WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
1
LANGIT
terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung
pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Seorang
pemuda gagah berjalan lenggang kangkung seenaknya di satu lamping gunung.
Keterikan sinar matahari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia
bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya menggema sepanjang
jalan seantero lamping gunung.
Bila
seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara siulan yang keras tiada
menentu itu, segera dia akan maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu
bukan lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212.
Di satu
tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia memandang ke bawah. Luar biasa sekali
keindahan alam yang dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara dua
buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah
sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak
karena ditimpa sinar matahari.
Wiro
menyeka peluh yang mencucur di keningnya dengan ujung sapu tangan putih penutup
kepalanya. Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan
perjalanan kembali dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki
sehingga dalam sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan
sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai
Bangkalan telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan
menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya.
Memasuki
satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya. Jalan di
tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam
terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana jangan harap akan
hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari dasar jurang
pasti akan sia-sia!
Dari
memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan
itu dilihatnya duduk mencangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya
kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak ubah seperti tengkorak
atau jerangkong hidup!
Yang
membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang tengah dikerjakan si orang tua tak
dikenal itu. Sambil duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah pigura
kain putih yang lebarnya satu meter sedang panjangnya hampir satu setengah
meter. Pigura kain putih itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak
sehelai daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan kental
berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya.
Si orang
tua membetulkan letak pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung
jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwarna di
atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan cairan berwarna itu, si orang
tua mulai menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia
tidak mengetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ.
Wiro
terus memperhatikan dengan tak bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si orang
tua kelihatannya dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa
terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian di atas kain putih itu,
meski belum begitu jelas, terlihat gambaran seorang perempuan tengah berbaring
di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang tua
adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga aneh! Lihai dan aneh karena dia
melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang
diletakkan di atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah
teriknya sinar matahari!
Agar bisa
memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang tua, maka
Wiro Sableng melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua
berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti lukisannya.
“Ah…
bagus sekali… bagus sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya!” Suara
orang tua ini kecil halus seperti perempuan.
Wiro
Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang
perempuan telanjang yang berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang
bagus. Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela ke lantai kamar
yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup pakaian demikian bagus
dan mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan itu.
Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta yang merangsang begitu rupa.
Dan siapa pula bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan
senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan
telanjang? Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia
ini? Sementara itu si orang tua kelihatan menambah beberapa guratan pada
lukisannya. Wiro Sableng memperhatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan
serangkaian kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. Karena jauh Wiro
tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin tahu akan apa yang ditulis si orang tua,
Wiro Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di kejauhan
didengarnya suara gemeletak roda kereta meningkahi derap kaki-kaki kuda. Sesaat
kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda
meluncur ke arah tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang
kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak
perlahan. Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. Apakah dia tidak
mendengar suara kedatangan kereta dan derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika
rombongan tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak
berpaling. Apakah dia tuli? Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari
kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang tersandar di batu lalu dengan
sikap hormat menegur si orang tua.
“Bapak,
kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta bisa lewat.” Orang tua itu
mencelupkan jari telunjuk tangan kanannya ke cairan berwarna putih di daun
pisang lalu melanjutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan
lukisan. Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia melangkah ke samping
dan menegur lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si
orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak! Dari
dalam kereta terdengar suara seseorang.
“Pengawal,
ada apakah kereta berhenti?”
“Kita
mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” jawab prajurit yang turun dari
kuda. Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki berparas
gagah, berkumis rapi dan mengenakan belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata
laki-taki ini membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka tertariklah
hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya.
“Lukisanmu
luar biasa bagusnya, orang tua,” kata lakilaki ini. Untuk pertama kalinya orang
tua bertubuh jerangkong itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada
laki-laki berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi pekerjaannya.
“Orang
tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. Apakah kau sudi menjualnya?”
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap orang demikian jumawa maka
si orang tua hentikan pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan
tersenyum lagi.
“Terima
kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk
dijual…” Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu.
“Aku
sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja harganya…” Orang tua itu
gosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
“Mohon
dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia
buatkan yang lain.”
“Tapi aku
sangat tertarik pada yang satu ini,” kata Raden Mas Cokro.
“Menyesal
sekali…”
“Akan
kubeli lima puluh ringgit.”
“Maaf
Raden Mas…”
“Seratus
ringgit!”
“Ah…
sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas…”
“Kalau
begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah
kantong kain dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling pandang dan
kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu bagus luar biasa tapi dua ratus
ringgit belul-betul harga yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak
sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya
pula ditawar semahal itu si orang tua kurus kering tidak mau menjual
lukisannya!
“Ini
terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya mengacungkan kantong yang dipegangnya.
Dua ratus uang ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. Tapi
lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala.
“Walau
dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon
maafmu…” Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan sikap si orang tua.
Maka berkatalah dia,
“Apa
dengan harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?”
“Ah…” Si
orang tua menjura dalam-dalam.
“Tak
tahunya aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” katanya. Dihelanya
nafas panjang lalu sambungnya,
“Benar-benar
ini satu kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon
dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan buatkan lukisan
lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu membayar mahal… Kau pasti tak
akan kecewa Raden Mas…” Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. Dibalikkannya
tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke dalam kereta.
“Lain
kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, orang tua. Di mana tempat
tinggalmu?” tanya Raden Mas Cokro lewat jendela kereta. Si orang tua menghela
nafas lagi. Sambil tersenyum dia menjawab,
“Aku
seorang pengembara luntang lantung, Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman
yang tetap. Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku akan
antarkan sendiri ke Pamekasan…” Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga
penasaran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya anak
buahnya melanjutkan perjalanan! Si orang tua kembali duduk mencangkung
melanjutkan pekerjaannya. Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan
garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! Harga tawaran yang
semahal itu ditolak oleh si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh sekali!
Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang berlari cepat. Belum lagi
sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang
tua. Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia
muncul di depan mata. Karena manusia ini tentunya memiliki kepandaian tinggi,
maka Wiro Sableng memperhatikan dengan seksama. Orang ini berbadan sangat gemuk
tapi pendek. Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia
tak berleher ini berambut gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan
di bagian dada terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap
dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah,
hidung besar, bibir tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar
serta kuning kelihatan menjorok ke luar.
“Ha… ha…
ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus luar biasa!” berkata si gemuk yang
baru datang ini. Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang
tersandar di batu. Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya tidak
berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan katakata pada bagian bawah kanan
lukisan itu.
“Orang
tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata si gemuk dengan suara keras
lantang hingga mengumandang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam
jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! Namun kehebatan ini seperti
tiada terasa dan tiada diperdulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek
melangkah mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya di situ
dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh
si orang tua!
“Orang
tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” bentak si gemuk. Barulah orang tua
itu berpaling. Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik ke atas.
Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit senyum tersungging di bibirnya.
“Ah,
kalau mataku tak salah lihat… bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan
salah seorang Dua Iblis Dari Selatan?”
***************
2
SI GEMUK
terkesiap karena tiada menyana kalau orang tua kurus kering itu mengetahui
dirinya. Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan manusia
sembarangan.
“Bagus
sekali kau kenali aku!” kata si gemuk.
“Ini
membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan itu padamu!” Si orang tua
tertawa panjang. Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan di daerah
selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti bersaudara yang berkepandaian
tinggi. Yang seorang berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. Dia
berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk pendek juga bermuka buruk seram
dan bergelar Iblis Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan dengan
si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus keduaduanya lebih dikenal dengan
sebutan Dua Iblis Dari Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga
hadir Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang muncul. Dan dalam
dunia persilatan keduanya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat
sehingga pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping berhati
jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengumpulkan barang-barang antik seperti
senjata-senjata kuno, patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan
yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan dia musti mendapatkan
lukisan itu. Tentu saja bukan dengan jalan membeli, tapi menurut caranya
sendiri yaitu kekerasan.
Setelah
meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka menjawablah si orang tua,
“Lukisan
ini tak bisa kuberikan padamu, atau pada siapapun.”
“Setelah
tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!” ujar Iblis Gemuk.
“Ah
sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis
Gemuk.” Si orang tua memutar kepalanya kembali dan hendak meneruskan
pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras.
“Suka
atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan padaku! Kalau tidak kau akan
menyesal orang tua…!” Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa mengacuhkan
Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali pekerjaannya. Marahlah Iblis
Gemuk. Dengan tumit kaki kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping.
Tapi belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan berdiri.
Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakannya untuk mengenyampingkan
orang tua tadi adalah salah satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang
tidak mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah marah dan serta merta
pukulkan tangan kirinya ke arah dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong
itu!
“Manusia
tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai marah,
“Lekas
kau pergi dari sini…!”
“Aku akan
pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu pukulan padamu dan mendapatkan lukisan
itu!” Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan dengan lambaikan
tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana
sambaran angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan saja
pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-huyung
sampai empat lahgkah ke belakang!
“Orang
tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa kau sesungguhnya?!” bentak Iblis
Gemuk. Si orang tua tertawa pendek.
“Tak
perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat ini sebelum aku betul-betul
marah!”
“Manusia
jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di badanmu kubikin berantakan!” Habis
berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke muka dan kirimkan serangan yang
ganas. Dalam tempo yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di
tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, menunggu jurang batu yang
luas dan dalam. Salah saja membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau
terpeleset, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! Pertempuran telah
berjalan delapan jurus. Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua
yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian sebat dan entengnya.
Beberapa kali dia melihat bahwa orang tua ini mempunyai peluang untuk
menjatuhkan tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergunakan. Nyatalah
bahwa orang tua ini berhati demikian polosnya sehingga menghadapi lawan yang
terangterangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih belum mau lepaskan
tangan keras!
“Iblis
Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat kaki dari sini?!”
“Kunyuk
kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung Menentang Bukit ini!” teriak Iblis
Gemuk. Tinju kanannya menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan
serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi pukulan dan tendangan
itu sampai, anginnya saja sudah menderu dahsyat! Buukk! Terdengar menyusul
suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya
menghantam gundukan batu di atas mana Wiro Sableng duduk, kemudian melosong
jatuh duduk di tanah. Nafasnya megapmegap ketika berdiri. Masih untung dia
terbanting ke samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan terlempar
masuk jurang dan tamat riwayatnya.
“Masih
belum cukup peringatan yang kuberikan padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua.
Iblis Gemuk berkemak kemik. Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita luka di
dalam yang cukup parah akibat pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya!
“Bangsat
tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis Dari Selatan akan menunjukkan
jalan ke akhirat padamu!” Si orang tua tertawa mengekeh.
“Kau mau
panggil kambratmu si Iblis Kurus…? Silahkan… silahkan! Masa ada tamu yang bakal
datang aku hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaankupun belum selesai!”
Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu, sedang si
orang tua seperti tiada terjadi apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! Di
atas batu yang tinggi Wiro Sableng memutar otaknya berusaha mengingat-ingat
siapa adanya orang tua yang berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil
mendadak entah dari mana datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng melihat di bawahnya
telah berdiri seorang nenek-nenek berbadan bungkuk berambut putih yang mukanya
buruk sekali. Karena Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan perempuan ini
nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa! Setelah
memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar di atas batu maka perempuan tua
renta ini menegur bertanya,
“Orang
tua, apakah kau melihat dua orang kawanku lewat di sini…?” Tidak seperti
biasanya, sekali ini begitu ditegur maka orang tua itu hentikan pekerjaannya
dan berpaling. Matanya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksama
sedang keningnya berkerenyit.
“Hanya
ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab si orang tua.
“Iblis
Gemuk, apakah dia yang kau maksudkan?”
“Bukan!”
jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di batu.
“Itu kau
yang membuatnya?”
“Betul.”
“Bagus
sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka lukisan itu harus kau bawa ke
Gunung Sumpang dan menyerahkannya padaku! Kau dengar?”
“Tentu
saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak bisa kuberikan pada
siapa-siapa!”
“Aku tak
perduli!” sentak si perempuan bongkok.
“Umurmu
memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak ingin buru-buru mampus!
Karenanya jangan banyak mulut! Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang
pada tanggal satu bulan di muka!”
“Tidak
mungkin!”
“Kau
membantah?!” Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala.
“Jangankan
diminta, dibeli pun aku tidak sudi!”
“Kalau
begitu kau ingin cepat-cepat mati!”
“Sobat,
Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak berikan. Adipati Pamekasan berniat
membelinya dua ratus ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya.
Tetap saja aku tak bisa memberikan!”
“Kalau
begitu kau berikanlah nyawamu!” sahut si perempuan tua seraya mundur satu
langkah dan siap-siap untuk kirimkan satu pukulan.
“Tahan
dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus.
“Sesungguhnya
ada apakah hingga kau begitu menginginkan lukisan itu?!”
“Itu kau
tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis perkara! Ayo, kau mau serahkan apa
tidak?!”
“Lucu!
Sungguh lucu!”
“Apa yang
lucu?!” sentak si perempuan bungkuk bermuka keriput.
“Lukisan
begini rupa banyak orang yang menginginkannya, apa itu bukan lucu?!”
“Orang
tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serahkan lukisan itu kalau tidak nasibmu
akan seperti ini!” Habis berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan
kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk sembunyi sejak tadi! Byur!
Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu besar yang tinggi itu. Bagian
atasnya laksana pohon tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam jurang
dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu merasa bagian bawah batu hancur
segera melesat dan berpindah ke puncak batu yang lain! Si orang tua tarik nafas
panjang-panjang dan gelenggelengkan kepala.
“Pukulan
yang bagus luar biasa! Pukulan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian
dipandanginya paras perempuan di hadapannya.
“Sungguh
mataku yang telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku masih
bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja yang kau lepaskan itu tadi kini
aku yakin bahwa aku betulbetul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang
terkenal itu!” Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak mengherankan
si perempuan bungkuk berambut putih. Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa
kaget sewakZtu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya!
“Kalau
kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, apakah kau masih banyak cerewet
tak mau serahkan lukisan itu?!”
“Langit
memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah semua itu dapat melebihi tinggi
dan luasnya budi manusia yang berhati luhur?” Terkejut Nenek Rambut Putih
mendengar ucapan itu.
“Lekas
beri tahu siapa kau!” sentaknya. Si orang tua geleng-gelengkan kepala.
“Manusia
tetap manusia sekalipun dia punya seribu nama! Manusia tak perlu agul-agulkan
nama terhadap sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama…!”
“Cacing
kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga!”
kata Nenek Rambut Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat
menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu. Namun mendadak
sontak perempuan tua itu merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang
kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu sentilan ujung jari ke
arahnya!
“Jadi kau
punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking Nenek Rambut Putih. Tanpa
sungkan-sungkan lagi dia segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan
menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini lebih seru dari
pertempuran antara si orang tua dengan Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus
berlalu sangat cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan lenyap
berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil berhamburan, debu jalanan
beterbangan. Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berkedip. Nenek Rambut
Putih gerakannya sangat gesit. Setiap pukulan atau tendangan yang
dilancarkannya hebat luar biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi
lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat sepuluh jurus Nenek Rambut
Putih berhasil didesaknya ke tepi jurang!
“Perempuan
tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini secara baik-baik pasti riwayatmu
akan tamat di dasar jurang sana!” Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya.
Dia melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan satu tendangan ganas.
Lawannya berkelit gesit ke samping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu
di hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkepingkeping! Si orang tua
badan jerangkong terkejut melihat hal ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar
inginkan jiwanya. Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap saja
tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih kebingungan sendiri! Bret! Si
nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang robek besar dan kulit badannya
terasa dingin sedang di hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa
dan menegur,
“Kita tak
ada permusuhan. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini!” Tenggorokan Nenek
Rambut Putih kelihatan turun naik. Kegemasan nyata sekali terlihat pada
parasnya yang tua keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan
tandingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, Nenek Rambut Putih
berkata,
“Sayang
aku tengah mencari dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun
aku akan ladeni kau.” Si orang tua ganda tertawa.
“Permusuhan
tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya
“Berlalulah…!”
“Tanggal
satu di bulan muka lukisan itu harus sudah kau sampaikan ke Gunung Sumpang!
Kalau tidak aku dan kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang tua!”
“Aku
tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa minta-minta ampun segala?!”
menyahuti si orang tua. Tapi Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang
dari tempat itu! Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan sebelah
kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar seruan nyaring,
“Orang
tua keparat! Aku datang untuk menagih jiwamu!”
**************
3
TERNYATA
yang datang bukan lain daripada Iblis Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si
orang tua berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, tapi bersama
seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus luar biasa, lebih kurus dari si
orang tua sendiri. Keadaan tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis
seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini pun menguncir ke
atas rambutnya yang gondrong dan dia bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak
kandung dan kakak seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki ilmu
kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis Gemuk. Karena itulah Iblis
Gemuk telah mencari kakaknya itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si
orang tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelumnya! Si orang tua
yang tadi sudah hendak mencangkung untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar
suara seruan nyaring itu segera berdiri.
“Hem… kau
betul-betul datang menepati janji, Iblis Gemuk!” kata si orang tua sambil
melirik pada Iblis Kurus. Iblis Kurus memandang mencemooh.
“Adikku,
apakah ini manusianya yang telah berani turunkan tangan lancang terhadapmu?!”
“Betul,
memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. Iblis Kurus memperhatikan lukisan di
belakang si orang tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. Tidak
salah kalau adiknya demikian tertarik dan menginginkannya.
“Manusia
kurus cacingan macam ini saja kau tidak sanggup menghadapi. Betul-betul membuat
nama besarku menjadi luntur!” Si orang tua tertawa dingin.
“Tampang
dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu mencela
orang lain…”
“Kakakku,
kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar dengan bangsat tua ini. Mari kita
musnahkan dia!” ujar Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengekeh.
“Nyalimu
melembung besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan kakakmu ini,
bukan?!”
“Orang
tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih bisa bicara sombong!” Si orang tua
berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata,
“Sobat,
nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. Antara kita tak ada permusuhan…”
“Sesudah
kau berani berlaku lancang terhadap adikku, apakah itu bukan berarti
permusuhan?!” potong Iblis Kurus.
“Itu
salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan nada sabar.
“Dia
inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah
kalau aku memberi sedikit pelajaran padanya?!”
“Tapi
tidak seorangpun yang boleh turun tangan seenaknya terhadap Dua Iblis Dari
Selatan!” tukas Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengejek.
“Sifat
manusia memang banyak yang aneh,” katanya.
“Ingin
menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!” Iblis Kurus rangkapkan tangan di
muka dada.
“Orang
tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu pada adikku. Niscaya kami Dua
Iblis Dari Selatan tidak akan bikin urusan menjadi panjang!” Orang tua itu
geleng-gelengkan kepala.
“Heran,”
katanya,
“mengapa
di dunia ini masih banyak manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya
terhadap orang lain…”
“Kau mau
serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak Iblis Kurus.
“Kalau
begitu lekas terangkan namamu! Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu
nama atau julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!” Si orang tua
tertawa panjang tapi kali ini tawanya bernada rawan.
“Seharian
ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu namaku,” katanya.
“Padahal
semua manusia dilahirkan tidak bernama…”
“Jangan
ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis Kurus sambil maju satu langkah.
Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu keluarkan serangkaian
nyanyian: Puluhan tahun mengembara Tiada berumah tiada bertempat tinggal
Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan Bukankah pekerjaan baik, melukis
segala yang indah? Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari
Selatan. Mereka saling pandang sejenak.
“Jadi
rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini malang melintang dalam dunia
persilatan?!” ujar Iblis Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya
manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut Si orang tua yang memang Si Pelukis
Aneh adanya mengusap-usap dagunya.
“Sungguh
tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan akan berhadapan dengan Si Pelukis
Aneh akan pasrahkan jiwanya di tanganku!” Si pelukis Aneh tertawa
panjangpanjang.
“Rupanya
hari ini aku terpaksa mencabut pantangan membunuh yang sejak lama kulakukan.
Orang lain hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan…?!”
“Bagus!
Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!” teriak Iblis Kurus dan dengan
serta merta menyerang ke muka. Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang
kepandaiannya sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu
silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis Kurus keluarkan
jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya sehingga dalam waktu yang singkat
serangannya laksana hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si Pelukis Aneh! Dalam
lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin terdesak hebat. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Iblis Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan
telanjang yang tersandar di batu! Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis Aneh
masih sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka dengan melengking
tinggi orang tua ini melompat sejauh dua tombak lalu menukik laksana kilat dan
lancarkan satu tendangan ke arah Iblis Gemuk. Iblis Gemuk terpaksa batalkan
niatnya untuk mengambil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin
tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah! Baru saja Si Pelukis Aneh
jejakkan kakinya di tanah, maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua
tendangan, dua pukulan! Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah permainan
silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu sudah melihat
kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis
Kurus merasakan desakan serangan yang hebat sekali membuat dia selangkah demi
selangkah dan jurus demi jurus terdesak hebat. Dia sama sekali tak dapat
melihat gerakan lawan dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada
dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sempurnalah maka dia masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi
sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?! Iblis Kurus menjadi gemas sekali.
Semakin lama seakan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak bisa
dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus pertahanannya yang terlihai.
Iblis Kurus keluarkan keringat dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi
jurang! Setiap dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berhadapan dengan
tendangan-tendangan atau jotosan-jotosan lawan yang menyambar di muka hidungnya
hingga dia terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke samping! Dalam pada
itu, detik demi detik tepi jurang semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran
yang kelima belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa langkah
saja lagi di belakangnya!
“Gemuk!
Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus. Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang
sejak tadi sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang sebelumnya telah
menghajarnya segera cabut senjata dari balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk
pedang tapi bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan dilapisi
emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu membabat ke
arah punggung Si Pelukis Aneh! Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar
Iblis Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran angin yang deras datang
menerpanya dari belakang! Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang
mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan cepat memutar badan
menghadapi serangan pedang berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! Kesempatan
ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat ke samping menjauhi tepi
jurang batu lalu dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya sama
dengan yang di tangan Iblis Gemuk. Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro
Sableng menjadi penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak batu
untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak jadi dilakukan karena pada
saat itu dilihat si kakek telah berkelebat dan kini di tangannya memegang
pelepah pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia meletakkan
cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan untuk melukis! Dengan mempergunakan
benda ini sebagai senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya dengan
hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar sekali, ditambah dengan saluran
tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras
luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis Gemuk dan Iblis Kurus! Dua
sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung ganas. Agaknya Dua Iblis Dari
Selatan itu mulai mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka.
“Bagus!
Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku mau lihat!” seru Si Pelukis Aneh.
Daun pisang di tangannya bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap
jurus serangan yang dilancarkan. Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di tangan lawan sanggup
membuat satu goresan pada daun pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski
digerakkan demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata namun cairan-cairan
aneka warna yang ada di daun pisang itu tidak satu tetespun yang tumpah atau
meleleh! Benarbenar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! Dalam mengagumi
kehebatan orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata
daun pisang di tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. Pedangnya
mental sedang tubuhnya terpelanting sampai beberapa tombak dan celakanya terus
terguling ke tepi jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba memegang
sebuah batu runcing yang menonjol di tepi jurang. Tapi pukulan daun pisang yang
dialiri tenaga dalam yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama sekali
kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang batu runcing itu dan menahan
dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian
pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya melayang masuk jurang.
Batu-batu runcing menantinya di dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar
jeritan Iblis Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! Melihat kakaknya yang
berilmu lebih tinggi menemui kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik.
Berdua dia tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka
tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama Iblis Gemuk segera ambil
langkah seribu! Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang Iblis Kurus
yang menggeletak di tanah.
“Orang
jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih lama, Iblis Gemuk!” teriak Si Pelukis
Aneh lalu lemparkan pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri!
Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis Gemuk terus menembus
sampai di luar ujung pada dadanya! Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! Si
Pelukis Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu dia duduk
menjelapok di tanah dan memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan kepala
dari lukisan itu, dia berseru,
“Orang
yang sembunyi di atas batu tinggi harap turun!” Kagetlah Wiro Sableng. Pendekar
ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi keluar dari
persembunyiannya dan melompat turun.
***************
4
PENDEKAR
212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki di tanah tanpa keluarkan sedikit pun
suara. Begitu dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menjura dan
berkata,
“Aku yang
muda merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan
penjuru angin.” Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah
dipandangnya.
“Siapa
namamu…?”
“Wiro.”
“Apa kau
punya gelar?” Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab dengan gelengan
kepala. Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi,
“Kenapa
kau sembunyi di atas batu sana?”
“Aku tak
ingin mengganggumu, orang tua.”
“Bagus,
kau tahu peradatan juga rupanya.” Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh
palingkan wajah dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang lagi pada
lukisannya dan menggoyangkan kepala.
“Menurutmu
apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si Pelukis Aneh.
“Bagus
luar biasa,” jawab Wiro Sableng. Si Pelukis Aneh tertawa pendek.
“Kalau
lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau menerimanya…?” Wiro berpikir
sejenak. Adipati Pamekasan telah menawar lukisan itu sampai dua ratus ringgit,
Si orang tua tidak menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui kematian
karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih dibikin kelabakan sewaktu
memaksakan kehendaknya atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si
Pelukis Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu kepadanya! Wiro
menjawab,
“Ah,
hatimu terlalu baik orang tua. Aku yang rendah ini mana berani menerima buah
ciptaanmu yang bagus luar biasa ini?!” Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap
dagunya.
“Manusia
kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,” berkata Si Pelukis Aneh.
“Apa yang
kelihatan bagus itu belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu…?” Wiro
anggukkan kepala.
“Kau
mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh daripada sesuatu yang kelihatan
bagus namun nyatanya buruk?” Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan dilihatnya sebuah gunung
hijau membiru. Dia kemudian menunjuk ke arah gunung itu.
“Kau
lihat gunung yang jauh itu, orang tua?”
“Ya… ya…,
aku lihat.”
“Dari
sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. Tapi coba kita mendekatinya.
Gunung yang bagus itu tak lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak
belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.” Pelukis Aneh tertawa.
“Kau
betul! Otakmu cerdik. Tentu kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu
orang muda?” Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. Dia tahu betul
kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan marah sekali bila namanya
digembar-gembor di luaran. Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan
senyumsenyum,
“Pengalaman
adalah guru yang paling baik dan bijaksana bagi setiap manusia…” Si Pelukis
Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras si pemuda lekat-lekat. Sesaat
kemudian mengumandanglah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung
dan jurang batu.
“Tong
kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak akan mengeluarkan suara nyaring!
Orang berilmu tinggi akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit
sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar. Kuharap saja bocah itu
kelak akan mempunyai sifat macammu, Wiro!” Telah dua kali dengan ini si orang
tua menyebut ‘bocah’. Maka bertanyalah Wiro,
“Pelukis
Aneh, siapakah yang kau maksudkan dengan bocah itu?”
“Calon
muridku!” jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian ditelitinya lukisan di hadapannya.
Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan perempuan telanjang itu
betul-betul bagus luar biasa. Betul-betul seperti melihat manusia hidup di
depan mata. Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga.
“Tadi
kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli lukisan ini sampai dua ratus ringgit.
Kenapa kau tidak menjualnya?” tanya Wiro. Si Pelukis Aneh tertawa.
“Bacalah
tulisan di sudut kanan bawah.” katanya. Wiro Sableng baru ingat pada tulisan
itu. Tadi waktu memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh telanjang
si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya bagian yang dikatakan si orang
tua. Pada sudut bawah sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: Lukisan
ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira Prakarsa. Wiro manggut-manggut
“Calon
muridmu itu, di manakah sekarang?”
“Tentu
saja di rumahnya.” sahut Si Pelukis Aneh.
“Umurnya
baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas tahun baru dia kuambil jadi
murid.”
“Lalu apa
perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak kau serahkan padanya?” tanya Wiro
tak mengerti,
“Ah… itu
satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda.” Wiro maklum tentu ada
apa-apanya. Namun demikian, pendekar ini berkata pula,
“Begitu
selesai apakah lukisan ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” Pelukis
Aneh gelengkan kepala,
“Aku
tidak terlalu bodoh.” jawabnya.
“Sekarang
saja orang-orang jahat sudah pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan
lukisan ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa berabe. Nanti
pada dua tahun di muka baru kuberikan.”
“Dua
tahun di muka calon muridmu itu baru berumur duabelas tahun. Bagaimanapun dia
tetap masih disebut anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini macam ke
padanya bukan merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya…?!” Si Pelukis Aneh
tertawa.
“Aku
sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu seringkali menipu kita. Dan di dalam
seribu satu keanehan dunia, kita manusia ini tahu apa?!” Wiro maklum kalau si
orang tua adalah seorang yang pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai
sifat aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi gelar Si Pelukis
Aneh kepadanya!
“Wiro.”
berkata Pelukis Aneh.
“Kalau
aku tak salah raba agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau pengembaraan.
Tengah menuju ke manakah kau sebetulnya?” Wiro Sableng merasa bimbang untuk
mengatakannya terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah menuju Goa
Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. Maka pendekar ini menjawab,
“Manusia
macamku ini berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” Setelah
bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro Sableng minta diri dan meneruskan
perjalanan. Sampai di kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa
perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 212 Wiro Sableng
teruskan perjalanannya dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil
bersiul-siul. Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di puncak bukit
dilihatnya dua titik kuning laksana bintang malam bergerak cepat ke arah
selatan. Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas. Dua buah titik
itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah dua orang manusia yang tengah
berlari cepat. Wiro memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit di
sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah berbatu-batu dan terus
lagi ke pegunungan di mana sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning
itu lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sewaktu Wiro ingat
akan Si Pelukis Aneh yang ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak
hatinya menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar! Dua titik
kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi yang mempergunakan ilmu lari
cepat. Dan keduanya mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke gunung
itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik terhadap Si Pelukis Aneh. Wiro
merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir begitu jauh. Diputarnya
badannya hendak melanjutkan perjalanan namun langkah.yang dibuatnya
tertahan-tahan olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 membalikkan diri
lalu berlari cepat kejurusan selatan. Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng
sampai ke tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212
sewaktu dia sampai di tempat itu! Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang
kakinya laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada menggemuruh, kedua
tinju terkepal sedang rahang terkatup rapat-rapat!
“Terkutuk!”
desis Pendekar 212. Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang
menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini mengerikan sekali. Mulai
dari kepala sampai ke kaki ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang
terbuat dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia
hebat ini pastilah mengandung racun yang luar biasa jahatnya karena saat itu
Wiro melihat tubuh Si Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. Yang
mengerikan ialah apa yang tercengkeram di tangan kanan Si Pelukis Aneh yang
sudah tidak bernyawa itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah
kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini mengingatkan Wiro pada
dua titik kuning yang dilihatnya sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah
potongan lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah terjadi lagi
pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis Aneh dan dua orang berpakaian
kuning yang dilihat Wiro di kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara.
Meski menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih
sanggup membetot putus lengan kiri salah seorang lawannya hingga tanggal dan
dalam matinya masih mencengkeran lengan itu! Wiro Sableng tersentak sewaktu dia
ingat pada lukisan perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari
situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si Pelukis Aneh itulah
yang telah mencurinya! Wiro berdiri perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si
Pelukis Aneh meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia harus
menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua itu. Tengah dia memandang
berkeliling mencari tempat yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil
tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa jauh dari tepi
jurang. Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya
seorang anak kecil berpakaian compangcamping, menggeletak tak bergerak.
Kepalanya ada benjut besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan.
Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini siuman. Begitu
siuman begitu dia menangis. Tampangnya tolol sekali!
“Namamu
tentu Wira.” tegur Pendekar 212. Anak itu hentikan tangis dan seka kedua
matanya lalu memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis
Aneh maka anak ini kembali menangis lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan
bagaimana dia sampai berada di tempat itu. Dengan terhenti-henti oleh
sesenggukan maka si anak memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, calon
murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermainmain di depan rumah sewaktu
dua orang berpakaian kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah seorang
dari mereka langsung mendukungnya dan membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang
jalan orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di mana letak
pegunungan yang biasanya didatangi oleh calon gurunya. Karena tak tahan
dipukuli akhirnya dia memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis
Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning itu menyerang calon
gurunya. Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu bertempur.
Kemudian ada sambaran angin yang menyerempetnya hingga membuat dia
terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi! Wiro
maklum kini apa yang telah terjadi.
“Apa kau
pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?” Wira Prakarsa menggeleng.
“Tadi kau
katakan muka kedua orang itu mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa
yang mengerikan itu?” Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab dengan
masih sesenggukan.
“Yang
mendukungku matanya cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, bermata
besar merah dan tak punya kuping…” Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia
bertemu dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mendengar tentang
ciri-ciri mereka sebelumnya.
“Apakah
kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini sebelum dia meninggal?”
“Dia
melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam lukisan itu ada…” Si anak tarik
kembali lidahnya dan tak teruskan bicara.
“Ada
apa…?” tanya Wiro ingin tahu.
“Tidak,
tak ada apa-apanya.” Menyahuti si anak, lalu kembali dia menangis. Pendekar 212
Wiro Sableng semakin yakin bahwa di dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada
tersembunyi satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon muridnya itu
yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu rahasia itu sehingga mereka
menginginkan lukisan tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan
perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua manusia berpakaian kuning yang
telah membunuh Si Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan.
Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam
lukisan itu! Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur Si Pelukis Aneh
maka Wiro Sableng mendukung Wira Prakarsa lalu membawanya berlari kembali
pulang ke rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani miskin yang
saat itu masih belum kembali dari ladangnya.
“Wira,”
kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si anak.
“Karena
pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka aku akan mencarinya sampai dapat dan
mengembalikannya padamu…” Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang
tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak habis pikir bagaimana Si
Pelukis Aneh telah memilih anak yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi
bila dia ingat pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang tolol
geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang Si Pelukis Aneh maupun anak
tadi segera lenyap.
“Kalau
dia tolol karena dia masih anak-anak,” ujar Wiro dalam hati.
“Aku yang
sudah dedengkot begini rupa masih sableng! Masih mending anak itu!”
***
Satu
bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebohan. Tokoh-tokoh silat terkenal
dari delapan penjuru angin dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk
mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung rahasia besar. Siapa yang
berhasil mendapatkan lukisan itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi
pasti akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu terkandung semacam ilmu
silat dan ilmu kesaktian yang hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di
delapan penjuru angin! Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut
Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh silat. Terakhir sekali
kabarnya kembali jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu
bulan itu telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar hancur
lebur semua gara-gara lukisan perempuan telanjang yang mengandung rahasia besar
itu!
**************
5
PENDEKAR
212 Wiro Sableng tengah berlari di antara rapatnya pohon-pohon dan semak
belukar di dalam sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan santar
menggeledek membentaknya.
“Berhenti!”
Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia sempat berpaling tahu-tahu
sesosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Orang ini berjanggut putih yang
panjangnya sampai ke dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi
kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu.
“Dewa
Tuak!” seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi juga bersangsi. Manusia di
hadapannya kelihatan tambah tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski
demikian masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa Tuak ini harap baca
serial Pendekar 212 yang kedua yaitu: Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro
Sableng menjura dalamdalam. Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu
mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk tuak di dalamnya sampai lepas
dahaganya. Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak maka Dewa Tuak
berkata,
“Beratus
hari mencarimu, saat ini baru bertemu!” Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang
tua ini masih hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa
menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya maka Wiro cepat-cepat
bertanya,
“Apakah
kau masih juga hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak…?”
Dewa Tuak
angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya beberapa kali. Kemudian digelengkan
kepalanya perlahanlahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman yang
diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 212 merasa lega sedikit.
Namun demikian apa pula gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah
beratus hari dia mencari-cari dirinya?
“Aku
tahu… aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik! Soal jodoh mana bisa
dipaksakan?!” Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
“Kalau
begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, Dewa Tuak?”
“Kau
sendiri tengah menuju ke mana Wiro?” Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang
mencari lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan dunia persilatan
waktu itu. Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan berkata,
“Ah,
rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat dalam mencari lukisan itu, orang
muda?” Wiro terkejut.
“Kunasihatkan
padamu agar segera mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya mendatangkan
malapetaka, lain tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu partai
besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau juga ingin mati percuma hanya
karena lukisan telanjang itu?!”
“Tapi
lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, Dewa Tuak…”
“Eh,
sangkut paut bagaimana?” tanya Dewa Tuak heran. Maka Wiropun menuturkan
pertemuannya dengan Si Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu
calon murid Si Pelukis Aneh itu. Dewa Tuak menarik nafas panjang.
“Memang,
itu sudah menjadi tugasmu orang muda. Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum
lukisan itu kembali pada pemiliknya yang sah…” Keduanya berdiam diri sebentar.
“Dewa
Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang muridmu?” tanya Wiro.
“Sudah…
sudah! Aku gembira melihat dia kini berada dan bertapa di Goa Dewi Kerudung
Biru. Dia beruntung sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh Dewi
Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku bertemu katanya dia hendak
mempersuci diri, mengundurkan diri dari segala urusan duniawi.” Wiro Sableng
termenung mendengar keterangan Dewa Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa
tahun yang lewat, berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu.
“Sekarang
marilah ikut aku,” kata Dewa Tuak.
“Ikut ke
mana Dewa Tuak?”
“Ikut
sajalah.”
“Terima
kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau sendiri sudah maklum.”
“Justru
aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang ada sangkut pautnya dengan lukisan
yang tengah kau cari itu!” ujar Dewa Tuak. Mendengar ini maka Wiro tidak
membantah. Keduanya segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam rimba
belantara yang jarang didatangi manusia! Menjelang tengah hari kedua orang ini
sampai di bagian rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat besar
dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi sedang sinar matahari tak sanggup
menembus lebatnya daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti di
malam hari layaknya! Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang tinggi.
Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak, terkejutlah dia. Sekira
dua puluh tombak di bawah sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang
beratap rumbia.
“Pondok
siapakah itu?” tanya Wiro. Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu
dengan suara perlahan dia berbisik,
“Ikut aku
dan jangan keluarkan suara!” Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang
lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat di atas wuwungan atap
rumbia tanpa keluarkan suara sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah
berada pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat namun tanpa
mereka mengandalkan ilmu meringankan tubuh pastilah atap itu akan roboh! Dewa
Tuak membungkuk dan dengan hati-hati membuat sebuah lubang di atas atap. Dia
memberi isyarat agar Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu
lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke dalam pondok. Karena di
dalam pondok agak gelap maka mula-mula Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian
matanya yang mengintai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam legam
berdiri terbungkuk-bungkuk di sudut pondok. Kedua matanya meram tapi mulutnya
yang kempot berkomatkamit. Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa adanya
nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya terdengar oleh si nenek maka lantas
dia pergunakan ilmu menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan pertanyaan
mendadak pintu pondok terpentang lebar dan dua orang masuk ke dalam. Keduanya
ternyata neneknenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut biru, yang
kedua berambut putih. Di bahu masing-masing memanggul dua sosok tubuh yang
agaknya telah ditotok kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih
kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan lain Nenek Rambut Putih
yang sebelumnya telah dilihatnya di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan
lainnya itu pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam!
“Pemimpin!”
ujar Nenek Rambut Biru,
“Inilah
bangsatbangsat yang kau inginkan itu!” Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi
pemimpin kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua laki-laki yang
menggeletak di muka kakinya.
“Buka
jalan suara mereka!” perintahnya. Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan
suara kedua orang itu. Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari
dua laki-laki itu membentak,
“Iblis
betina, kau rupanya yang jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan
kawan-kawanku!” Nenek Rambut Hitam tertawa melengking-lengking.
“Ketua
Partai Angin Timur, aku akan bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di mana
sarangnya Sepasang Elmaut Kuning!” Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki
yang seorang itu adalah ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi sekali!
Dan dari situ dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek Rambut Biru dan Rambut
Putih yang telah berhasil menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya.
“Ada apa
kau tanyakan sarang kambratku itu?!” balas menanya Ketua Partai Angin Timur.
“Bedebah!
Aku tak suruh kau bertanya setan?!” bentak Nenek Rambut Hitam. Plaak! Tamparan
Nenek Rambut Hitam melayang melanda sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan
terguling di lantai pondok. Dua buah giginya mencelat mental sedang bibirnya
pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur membesi. Nyata kemarahan menggelegak
dalam dirinya, tapi karena ditolok maka yang bisa dilakukannya ialah memaki
habishabisan! Nenek Rambut Putih menjambak rambut Ketua Partai Angin Timur dan
menyentakkannya hingga laki-laki itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya!
“Lekas
terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut kuning!” hardik Nenek Rambut Hitam.
Ketua Partai Angin Timur mendengus!
“Maksudmu
untuk mencari lukisan telanjang itu tak akan berhasil, iblis betina!”
“Keparat
betul! Kau mau bilang apa tidak?!” Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur
mendengus.
“Aku
tidak tahu!” sahutnya.
“Sekalipun
tahu aku tak akan bilang padamu!” Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya
tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan jari jari tangan kanan
sang Ketua! Laki-laki itu menjerit kesakitan dan memaki habis-habisan! Kawannya
keluarkan keringat dingin.
“Itu
masih belum apa-apa,” ujar Nenek Rambut Hitam.
“Kalau
kau tetap membangkang tak mau kasih keterangan, seluruh tubuhmu akan kubikin
hancur! Lekas katakan!”
“Nenek
Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak tahu letak sarangnya Sepasang
Elmaut Kuning,” berkata kambrat Ketua Partai Angin Timur.
“Kau tak
usah berbacot!” bentak sang nenek.
“Kalau
dia tak tahu kau tentu tahu ya?!” Pucatlah wajah laki-laki itu.
“Ayo
lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan disiksa sampai setengah mampus!”
teriak Nenek Rambut Biru.
“Nenek
Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing satu golongan, kenapa berbuat
sejahat ini?” Nenek Rambut Hitam tertawa melengking,
“Kalau
kau dan kambratmu tidak mau binasa percuma lekas beri keterangan!”
“Kalian
penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa kasih keterangan!”
“Aku mau
lihat!” ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka
tanggallah lengan kiri Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong laksana
srigala lapar, mengerikan sekali! Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik.
“Dewa
Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman terkutuk itu berjalan lebih lama!” kata
Wiro. Dia bergerak cepat hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si
orang tua yang memanggul dua buah bumbung bambu memegang lengannya dan menjawab
dengan ilmu menyusupkan suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata
padanya tadi.
“Biarkan,
kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak beda dengan tiga orang nenek
serta seorang kawannya itu! Mereka sama-sama dari golongan hitam tukang bikin
kejahatan di dunia persilatan! Biar saja mereka saling bunuh! Kita menonton
saja!”
“Tapi
Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan tak berdaya!” tukas Wiro Sableng.
“Perduli
amat! Sudahlah kita lihat saja!” bentak Dewa Tuak pula. Wiro Sableng menggerutu
dalam hati lalu dia mengintai lagi lewat lobang.
“Ayo! Apa
kau masih tidak mau kasih keterangan?!” Si Nenek Rambut Hitam membentak.
Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara raungan yang mengerikan! Nenek
Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua Partai Angin Timur.
“Jaliwarsa!
Kau tentu tak ingin menerima nasib macam kambratmu itu, bukan?!” Pucatlah wajah
laki-laki yang bernama Jaliwarsa.
“Apa
maksudmu Nenek Rambut Hitam…?”
“Kau
tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat kediaman Sepasang Elmaut Kuning!”
“Demi
setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut Hitam…” Nenek Rambut Hitam
mendengus marah. Dia berpaling pada anak buahnya.
“Rambut
Biru! Cungkil mata kirinya!” perintah Nenek Rambut Hitam.
“Tobat!
Jangan…!” teriak Jaliwarsa.
“Kalau
begitu lekas buka mulut!” sentak Nenek Rambut Hitam. Jaliwarsa menangis macam
anak kecil. Meratap mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana letak
sarang Sepasang Elmaut Kuning.
“Tak ada
ampun bagimu! Cungkil matanya!” bentak Nenek Rambut Hitam. Maka Nenek Rambut
Biru melompat ke muka. Dua buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa.
Terdengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu mencelat bersama
semburan darah yang disusul oleh suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila
karena kesakitan!
**************
6
PEREMPUAN
iblis!” teriak ketua Partai Angin Timur yang menggeletak di lantai pondok.
“Kalian
bunuhlah kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang leher kalian!”
Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh.
“Nyalimu
boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian
memang tidak berguna hidup lebih lama!” Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki
Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya bergerak maka
mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke atas atap. Serentak dengan itu
si nenek berseru,
“Tukangtukang
intip keparat, terima ini!” Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak
sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah mengetahui kehadirannya
bersama Dewa Tuak di atas atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping.
Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh yang dilemparkan Nenek
Rambut Hitam! Tubuh Ketua Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon,
pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa! Kawannya menyangsang
sebentar di sebuah pohon lain, lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala
pecah! Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk itu sudah mengetahui
kedatangannya bersama Wiro, maka Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke
dalam pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di sampingnya.
Kelima orang itu saling menyapu dengan pandangan mata masing-masing. Diam-diam
ketiga nenek itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng meskipun kegagahan
itu agak dibayangi oleh mimik ketololan! Sedang masing-masing mereka sama
kerenyitkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua buah bumbung bambu
yang agaknya berisi cairan. Cairan apa mereka tak bisa menduga.
“Siapa
kau?!” tanya Nenek Rambut Hitam.
“Dan kau
juga?!” katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro Sableng. Dewa Tuak tak segera
menjawab melainkan mengangkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk isinya
beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu tidak ditutup. Meski dibawa
berlari bagaimanapun kencangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak
itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaannya! Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum bahwa si orang tua
berjanggut itu bukan seorang yang bisa dianggap remeh maka dia cuma memandang
saja dengan mata mendelik!
“Sobat-sobatku,”
kata Dewa Tuak kepada tiga orang nenek,
“Sebelum
kita bicara-bicara apakah tidak lebih bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini
dulu?” Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhatikannya orang tua di
hadapannya lebih teliti. Kemudian,
“Kalau
aku tak salah duga, apakah kau manusia yang bergelar Dewa Tuak?!” Dewa Tuak
usut-usut janggutnya yang panjang sampai ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi
tuaknya beberapa kali.
“Aku
memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa!”
“Sejak
puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari dunia persilatan! Tahu-tahu kini
muncul unjukkan tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau yang sudah
tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusan mencari lukisan perempuan
telanjang itu?!” Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
“Rupanya
di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang teringat nenek bangkotan! Kita yang
sudah tua-tua begini bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan
duniawi!”
“Lantas
perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak tahu adat?! Dan cecunguk hijau
ini apamu?!” Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya disebul
cecunguk hijau lalu tertawa geli!
“Orang
muda! Nyalimu cukup besar untuk berani tertawa di hadapanku!”
“Tertawa
saja apa susahnya?!” ujar Wiro lalu tertawa lagi lebih keras hingga pondok itu
terdengar hebat! Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak buahnya. Tiada
dinyana kalau si anak muda memiliki tenaga dalam yang sehebat itu!
“Kau
tanyakan dia?” ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro dengan ibu jarinya.
“Dia
adalah calon mantuku yang tidak jadi!” Lalu orang tua ini tertawa bekakakan
sampai kedua matanya berair. Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa
Tuak.
“Cepat
terangkan mengapa kau berada di daerah ini?!” Saat itu untuk pertama kalinya
Nenek Baju Biru buka suara,
“Pemimpin,
bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini tengah mencuri dengar percakapan kita
tadi dengan Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka akan
dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang Sepasang Elmaut Kuning!” Nenek
Rambut Putih menimpali,
“Bukan
tak mungkin pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, pemimpin!”
Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek Rambut Hitam. Maka segera
dia memerintah,
“Rambut
Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih, bekuk cecunguk hijau
itu!” Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi kepandaiannya dari Rambut Putih
maka dia disuruh meringkus Dewa Tuak.
“Perempuan-perempuan
keriputan! Kalian betul-betul tidak tahu adat!” gerutu Dewa Tuak lalu
cepat-cepal menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang dilancarkan
Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa Tuak angkat bumbung bambunya hingga
ujungnya dengan tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan! Tapi Nenek
Rambut Biru tidak berkepandaian rendah! Penasaran melihat totokannya lewat,
dengan satu jeritan keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertempuran
yang hebat. Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi Wiro Sableng.
Dengan memandang enteng dia lakukan serangan dan sekali menyerang dia yakin
akan sanggup meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejutnya ketika
sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah bahkan berkata mengejek,
“Ah,
jurus seperti ini telah kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis
Aneh!”
“Bocah
hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis Aneh?!” tanya Nenek Rambut Putih.
Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek malah berkata,
“Orang
tua semacammu ini sepantasnya banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya
malang melintang bikin kejahatan dan ikut campur segala macam urusan duniawi!”
“Kentut
ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar
Garuda Berkiblat! Terimalah!” Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal
bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya menotok ke dada, sedang lima
jari kiri mencakar ke arah muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu
sebenarnya hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya ialah totokan
pada dada! Bila lawan coba hindarkan mukanya dari cakaran maka kecepatan
totokan tangan akan ditambah dua kali lipat! Dan celakanya Pendekar 212 kini
kena tertipu! Begitu melihat lima jari mencakar di depan hidung dia segera
buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu ke arah si nenek. Namun di saat
itu si nenek sudah melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan
kecepatan luar biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng! Penasaran sekali karena
dia tahu bahwa totokan yang lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan
tangan kanannya dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si nenek berseru
keras. Dia tersurut sampai dua tombak, mukanya pucat bahkan terkejut. Nenek
Rambut Hitam segera maklum bahwa tenaga dalam anak buahnya itu jauh rendahnya
dari si pemuda. Ini adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika dia
memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan neneknenek itu kelihatan bengkak
membiru sedang lengan Wiro Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian
dilihatnya pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa Tuak. Anak buahnya itu
tengah dibikin sibuk bahkan dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam.
Segera dia berseru,
“Kalian
berdua jangan bikin malu aku! Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian
tak bisa meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!” Mendengar seruan
Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya
segera loloskan setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu menyerang
dengan lebih sebat! Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak ubahnya
laksana dua ekor ular besar yang meliuk-liuk sebat kian kemari, kadang-kadang
bergerak cepat membelit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah bahkan
kadang-kadang mematuk ke arah kedua mata! Dan semua itu terjadi bertubi-tubi
laksana kilat. Betapapun Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka,
namun tetap saja keduanya dibikin terdesak dan tak sanggup ke luar dari
gulungan setagen lawan!
“Setagen
sialan,” gerendeng Pendekar 212. Baik dia maupun Dewa Tuak kini segera merubah
sikap. Kalau tadi mereka cuma main-main dan mengejek lawan mereka, maka setelah
terdesak hebat dan terkurung setagen yang berbahaya itu, mereka mulai lancarkan
serangan-serangan balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat! Dalam
tempo yang singkat lima jurus telah lewat. Nenek Rambut Hitam penasaran sekali
melihat kedua anak buahnya tiada sanggup meringkus lawan masingmasing, padahal
tiga jurus yang ditentukannya telah berlalu!
“Kalian
berdua mundurlah!” bentaknya marah. Nenek Rambut Biru segera melompat mundur.
Namun karena agak gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, dia menjadi
sedikit lengah dan akibatnya ujung selendangnya berhasil ditarik oleh Dewa Tuak
sehingga robek! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain pihak Nenek Rambut Putih
begitu melompat begitu dirasakannya sekujur tubuhnya tak sanggup digerakkan.
Ketika ditelitinya ternyata lawannya telah melibat sekujur badannya dengan
setagennya sendiri! Pucatlah paras nenek tua ini. Dia maklum bahwa pemuda itu
berilmu tinggi sekali dan kalau bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia
kena celaka! Nenek Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang itu.
“Bagus!”
katanya.
“Rupanya
kalian memiliki ilmu yang diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju berdua
atau seorang-seorang?!” Dewa Tuak mendengus.
“Bagusnya
berdua sekaligus biar lekas kubereskan!” Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk
tuaknya beberapa kali.
“Dengar
Rambut Hitam,” kata Dewa Tuak pula.
“Mainmain
dengan dua orang anak buahmu itu sudah cukup. Lain kali saja kau kami hadapi…!”
“Kentut
tua bangka! Katakan saja kau tidak punya nyali menghadapi Nenek Rambut Hitam!”
Dewa Tuak ganda tertawa. Dia berpaling pada Wiro Sableng dan berkata,
“Mari
kita pergi!” Tapi baru saja dia bergerak Nenek Rambut Hitam sudah melompat ke
hadapannya dan kirimkan satu serangan yang luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si
orang tua tidak bersikap waspada pastilah dadanya akan kena jotosan keras dan
mukanya disambar cakaran dahsyat! Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si
nenek.
“Dasar
tua bangka geblek! Masih saja mengikuti amarah membabi buta!”
“Jangan
banyak ribut setan tua! Makan jariku ini!” Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut
Hitam menyerbu ke muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke perut sedang lima
jari tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa Tuak. Angin serangan ini bukan main
derasnya. Dewa Tuak memaklumi bahwa dibandingkan dengan kedua anak buahnya
sekaligus, si nenek yang satu ini jauh lebih berbahaya! Dewa Tuak melompat ke
belakang dan putar kedua bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan Nenek
Rambut Hitam! Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru,
“Wiro kau
layanilah perempuan bongkok jelek ini!” Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua
nenek lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda.
“Manusia-manusia
keparat! Kau berani main-main terhadapku?!” sentak Nenek Rambut Hitam.
“Siapa
yang main-main? Kau tanya aku jawab!” sahut Dewa Tuak.
“Apakah
kau manusianya yang bernama Wiro Sableng?! Yang bergelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212?!” tanya Nenek Rambut Hitam.
“Ah,
perlu apa segala macam nama, segala macam gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua
mau memberikan sedikit pelajaran padaku si bocah hijau!” sahut Wiro pula. Meski
Wiro tidak mengaku terus terang siapa dia adanya namun Nenek Rambut Hitam yakin
bahwa pemuda itu memang Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Sejak berbulan-bulan belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya
seorang pemuda gagah di dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Banyak tokoh silat golongan hitam yang
berilmu tinggi mati konyol di tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman
Dari Bukit Tunggul, kabarnya juga telah menemui kematian di tangan pendekar
muda ini! Mau tak mau si Nenek Rambut Hitam menjadi gentar juga. Untuk
mengelakkan baku bantam dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka Nenek
Rambut Hitam berpaling pada Dewa Tuak dan berkata lantang,
“Kalau
kau tak punya nyali untuk menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki dari
sini!” Dewa Tuak yang sudah dapat menduga hati perempuan itu tertawa dan
berkata,
“Aku yang
tak punya nyali atau kau yang takut hadapi kawanku itu?” Nenek Rambut Hitam
tertawa bergetar.
“Orang
muda! Tadinya aku hanya berniat untuk meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena kau
begitu berani menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari ini saja!” Sesudah
berkata begitu si nenek menerjang ke muka. Wiro bergerak cepat. Mengelak dan
lancarkan serangan balasan yang anginnya saja membuat si nenek mengeluh! Tenaga
dalam si pemuda jauh lebih tinggi dari yang dimilikinya. Dalam tempo dua jurus
Nenek Rambut Hitam tak sanggup lagi lancarkan serangan-serangan bahkan musti
mempertahankan diri dan dalam jurus keempat terdesak hebat ke pojok pondok!
Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya lenyap dan jurus permainan
silatnya berubah sama sekali. Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan kaki
dan tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya berbahaya
mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Ilmu Silat Delapan
Kaki Delapan Tangan yang telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari mendiang
gurunya! Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan memang patut dikagumi. Nyatanya
selama lima jurus Wiro Sableng dibikin bingung dan musti berhati-hati. Meski
ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun
gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu mematahkan pertahanannya! Dan dua
jurus di muka satu hantaman telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada
Pendekar 212! Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia maklum kalau
saja dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya dari si nenek pastilah dia akan
mendapat luka di dalam yang amat berbahaya! Di lain pihak Nenek Rambut Hitam
tidak kepalang tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar! Tangan dan
kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang lagi! Dan kembali Wiro Sableng
terdesak! Dewa Tuak kerenyitkan kening. Hanya sebegitukah kehebatan Pendekar
212 sehingga menghadapi ilmu silat si nenek dia sudah dibikin kewalahan
demikian rupa?! Si nenek sendiri juga tiada menyangka bahwa dia akan berhasil
memukul lawannya. Diam-diam dia merasa berada di atas angin kini! Tiba-tiba
Wiro menyurut sejauh satu tombak.
“Ha… ha!
Apakah nyalimu sudah lumer orang muda?!” ejek Nenek Rambut Hitam.
“Ah,
jangan lekas-lekas berbesar hati sobat tua! Kau rasakan dulu pukulanku ini!”
sahut Wiro. Serentak dengan itu dia sudah alirkan sebagian tenaga dalamnya ke
ujung tangan kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas. Didahului oleh
satu bentakan nyaring, Wiro Sableng pukulkan tangannya ke arah si nenek. Begitu
memukul begitu jari-jari tangan yang mengepal membuka kembali! Inilah Pukulan
Kunyuk Melempar Buah yang tak asing lagi! Nenek Rambut Hitam terkejut sekali
sewaktu merasakan gelombang angin keras laksana batu besar melanda ke arahnya.
Sambil pukulkan kedua tangannya sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat
jungkir balik lalu membuang diri ke samping! Braaak! Dinding pondok di belakang
si nenek pecah dan berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam melihat
kehebatan pukulan itu. Setelah tenangkan hatinya dia maju menghadapi lawannya
kembali. Dan pada saat itu untuk pertama kalinya Wiro Sableng membuka jurus
pertempuran dengan menyerang lebih dahulu! Si nenek dibikin gelagapan kini.
Serangannya selalu mengenai tempat kosong sedang pertahanannya saat demi saat
semakin mengendur. Bila dia tidak kuat lagi menghadapi pemuda itu maka tanpa
malu-malu Nenek Rambut Hitam lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari
rambutnya! Dengan kedua senjata itu dia menyerang Wiro Sableng. Setelah
bertempur dua jurus maka Wiro segera mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di
tangan kanan si nenek jauh lebih berbahaya daripada setagen di tangan kanannya!
Semakin lama pertempuran semakin seru. Tibatiba si nenek hentikan gerakannya
dan memandang bingung karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi!
“Aku di
sini, Rambut Hitam!” Terdengar suara Wiro di belakangnya! Nenek Rambut Hitam
kertakkan geraham dan secepat kilat membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya
membalik maka, plaaak…! Telapak tangan kanan Wiro Sableng menghantam keningnya!
Perempuan tua itu melengking kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding
pondok. Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening sedang keningnya sakit
bukan main! Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum pernah mereka
melihat pemimpin mereka dihajar demikian rupa! Selama ini tak pernah seorang
pun yang sanggup menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa mendapat celaka! Dan yang
membuat mereka lebih terkejut lagi ialah sewaktu melihat kening pemimpin
mereka.
“Pemimpin,
keningmu!” seru Nenek Rambut Biru. Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening
itu sakit sekali dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yang menyebabkan
Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain karena akibat pukulan telapak tangan
kanan Wiro tadi kini di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga deretan angka
yaitu 212! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk… cegluk… cegluk, dia lalu
teguk tuaknya.
“Rambut
Hitam, sobatku telah hadiahkan tiga buah angka di keningmu! Apakah kau masih
belum mau mengaku kalah?!” Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum apa
yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang mengguratkan angka telah menimpa
keningnya. Tiga deretan angka itu tak akan bisa dihilangkan seumur hidupnya!
Nenek Rambut Hitam menggerutu macam singa lapar!
“Anak
haram jadah mampuslah!” lengking si nenek. Tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya berkomat-kamit. Seluruh pondok itu dengan
tibatiba dilanda hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro sendiri yang tak
mengerti apa yang tengah terjadi sampaisampai bergeletar tubuhnya dilanda hawa
dingin itu. Geraham-gerahamnya bergemeletukan. Melihat ada kelainan ini secepat
kilat Dewa Tuak berseru,
“Wiro
cepat menghindar! Bangsat keriput ini mau lepaskan pukulan Salju Kematian!”
Habis berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat meneguk tuaknya. Dalam pada itu
Nenek Rambut Hitam melengking nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke arah
Wiro dan Dewa Tuak! Satu gelombang benda putih yang bentuknya putih seperti
salju, menderu amat dingin ke arah kedua orang itu. Dewa Tuak runcingkan
mulutnya yang menggembung lalu menyembur ke muka! Terdengar suara laksana air
bah sewaktu semburan tuak dan pukulan salju kematian saling beradu. Bumi
seperti mau kiamat. Dewa Tuak cepat tarik lengan Wiro Sableng lalu melompat ke
atas atap menerobos melewati lobang besar. Dari sebuah cabang pohon kemudian
Wiro melihat bagaimana pondok itu hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh
lapisan salju putih! Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga nenek itu
tidak kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala ke cabang di samping. Dia
terkejut sewaktu melihat Dewa Tuak duduk bersila di atas cabang dengan pejamkan
mata. Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu pukulan tadi
telah membuat si orang tua menderita luka di dalam yang parah juga. Lama Dewa
Tuak bersila seperti itu. Sewaktu dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat
diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat kemudian wajahnya yang pucat
telah normal lagi seperti biasa! Dewa Tuak tarik nafas panjang,
geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok yang
kini tertimbun salju kematian itu!
“Ternyata
benar perempuan busuk itu telah mendapatkan ilmu Pukulan Salju Kematian!” kata
Dewa Tuak seakan-akan pada dirinya sendiri.
“Kelihatannya
masih kurang sempurna. Tapi sudah demikian luar biasa…!” Wiro sendiri diam-diam
bergidik juga melihat pukulan yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam
Dewa Tuak berada jauh di atas Nenek Rambut Hitam, tapi pukulan Salju Kematian
yang dilepaskan si nenek membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat!
“Meski
seseorang memiliki tenaga dalam yang sepuluh kali lebih tinggi, tapi jangan
coba-coba berani adu kekuatan dengan pukulan salju kematian itu.” Dewa Tuak
gelenggeleng kepala kembali.
“Aku tak
mengerti, bagaimana keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian.
Itu adalah salah satu dari beberapa ilmu pukulan yang pernah menggetarkan dunia
persilatan dan menjadi rajaraja ilmu pukulan!”
“Jika
ilmu semacam itu dipergunakan untuk kejahatan bisa berbahaya,” kata Wiro pula.
“Itulah
yang aku kuatirkan,” desis Dewa Tuak. Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi
Nenek Rambut Hitam itu kembali. Apakah ilmu pukulan Sinar Matahari-nya sanggup
menghadapi ilmu pukulan Salju Kematian itu?
“Dewa
Tuak, apa yang kita buat sekarang?” tanya Wiro.
“Aku
bermaksud meneruskan perjalanan mencari lukisan telanjang itu…” Tak ada
jawaban. Wiro berpaling. Astaga! Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya. Dia
mencari-cari tapi orang tua itu tiada kelihatan.
“Dewa
Tuak! Di mana kau?!” teriak Wiro memanggil. Tetap tak ada jawaban. Wiro hendak
melompat turun. Tapi tiba-tiba pada batang pohon di mana dia berada dilihatnya
sebaris tulisan ‘Pergilah ke Utara!’. Pasti itu adalah tulisan Dewa Tuak. Maka
tanpa menunggu lebih lama Wiro segera melompat dari atas pohon.
**************
7
MATA yang
cuma sebuah itu memandang tanpa berkedip pada lukisan perempuan telanjang yang
terletak di atas meja. Digelengkannya kepalanya lalu dirobahnya letak lukisan
itu dan ditelitinya kembali. Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi, demikian sampai
satu jam lebih. Akhirnya dia menjadi penasaran sekali dan memaki habis-habisan.
“Keparat
betul! Keparat betul!”
“Mata
Picak!” satu suara menegur laki-laki yang memaki-maki itu.
“Lama-lama
kau bisa jadi gila!” Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan mendelikkan
matanya yang cuma satu.
“Kuping
Sumplung! Kau bisanya mengejek saja!” kata si Mata Picak.
“Perlu
apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu sudah ada di tangan kita. Dan lambat laun
pasti kita akan berhasil membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya!”
“Tolol
betul kau Kuping Sumplung!” sentak Mata Picak.
“Apa kau
tidak tahu dunia persilatan kalang kabut? Tokohtokoh persilatan kasak-kusuk
mencari-cari lukisan ini? Ingat waktu lukisan ini dirampas oleh Awan Langit
tempo hari? Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu silat hebat ini akan
dirampas orang lain lagi sebelum kita berhasil memecahkan rahasianya!”
“Tapi
marah-marah dan memaki begitu mana mungkin kau bakal bisa menecahkannya!” ujar
Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua tokoh silat
golongan hitam yang bergelar Sepasang Elmaut Kuning. Merekalah yang telah
membunuh Si Pelukis Aneh dan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu
telah lama berada di tangan mereka namun tak seorang pun dari mereka yang
berhasil memecahkan rahasianya. Lukisan itu telah berpuluh-puluh jam mereka
teliti mereka jungkir balikkan, namun tetap saja tak dapat mereka membongkar
rahasia ilmu silat yang menurut keterangan terkandung dalam lukisan itu!
Jangan-jangan Si Pelukis Aneh hanya menipu saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya!
Elmaut Kuning Kuping Sumplung perhatikan lengan kirinya yang buntung akibat
dibetot putus oleh Si Pelukis Aneh sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu!
Dia kemudian tertawa dingin dan berkata,
“Kau
sekarang yang jadi orang tolol! Kalau lukisan ini tak ada apa-apanya masakan
orang tua keparat itu sampai-sampai mau mengadu jiwa!” Elmaut Kuning Mata Picak
jambak-jambak rambutnya.
“Tapi
sialan sekali! Masakan sampai saat ini kita tak bisa memecahkan rahasianya?!”
Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku batu. Ditatapnya sebentar lukisan di
hadapannya. Dia sendiri sebenarnya heran juga karena sampai sedemikian lama tak
sanggup membongkar rahasia lukisan tersebut.
“Apakah
kau sudah meneliti kayu pigura lukisan itu?!” bertanya Elmaut Kuning Kuping
Sumplung.
“Setiap
sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga bagian belakangnya!” sahut Mata Picak.
“Agaknya
kita membutuhkan seseorang yang bisa membuka rahasia lukisan ini…” desis Kuping
Sumplung.
“Tapi
siapa manusianya?!” tanya Mata Picak.
“Satusatunya
manusia yang tahu rahasia lukisan ini adalah Si Pelukis Aneh sendiri! Dan dia
sudah mampus di tangan kita!”
“Siapa
tahu calon muridnya juga mengetahui…” kata Kuping Sumplung pula. Elmaut Kuning
Mata Picak tertegun.
“Mungkin
juga…” desisnya.
“Kalau
begitu kita datangi anak itu kembali dan paksa dia memberi keterangan!” ujar
Kuping Sumplung seraya berdiri dari duduknya.
“Tempat
anak itu ratusan kilo dari sini…”
“Soal
jauh bukan halangan!” potong Kuping Sumplung.
“Ada hal
lain yang aku khawatirkan,” ujar Mata Picak.
“Apa?”
“Kalau
kita pergi berarti kita harus membawa lukisan ini. Dan kau tahu sendiri!
Puluhan orang-orang persilatan mengincar-incar lukisan ini! Kita bisa konyol
sendiri dikeroyok beramai-ramai!” Elmaut Kuning Kuping Sumplung tertawa dingin.
“Apa
nyalimu sudah keropok?!” ejeknya dengan pencongkan hidung. Mata Picak menjadi
gusar.
“Mulutmu
kelewat tekebur, Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku tak mau
terlibat dengan manusia-manusia yang membikin kita jadi berabe dan tambah
urusan! Di lain hal kita musti mengakui bahwa di atas kita masih ada
tokoh-tokoh persilatan yang benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau mau
kehilangan satu lenganmu lagi?!” Merah-lah paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung.
Dia balikkan badannya dengan cepat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi mendadak
di ambang pintu goa langkahnya tertahan dan parasnya berubah.
“Mata
Picak! Lekas ke sini!” seru Kuping Sumplung. Mata Picak heran mendengar nada
seruan kawannya itu. Dia melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di mana
mereka berada itu terletak di satu dasar lembah yang penuh dengan batu-batu
besar. Di balik batu-batu yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali
orang laki-laki yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing tergenggam
sebatang golok besar berbentuk empat segi seperti golok penjagal babi! Menurut
taksiran Mata Picak, orang-orang yang ada di lembah itu semuanya berjumlah
sekitar duapuluh orang! Melihat kepada golok-golok besar empat persegi di
tangan mereka yang berkilau-kilau ditimpa sinar matahari, melihat pula kepada
pakaian seragam hitam yang mereka kenakan, Sepasang Elmaut Kuning segera
mengenali siapa mereka itu adanya.
“Kroco-kroco
sialan ini pasti hendak membalaskan sakit hati ketua mereka,” desis Mata Picak.
“Kurasa
demikian. Agaknya mereka belum tahu letak tempat kita ini. Apakah perlu kita
segera bertindak…?” tanya Kuping Sumplung. Mata Picak manggut-manggut. Dengan
tersenyum aneh dia melangkah ke luar dari goa. Kuping Sumplung mengikut di
belakang. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak melesat ke balik sebuah batu
besar. Dalam kejap itu pula terdengar suara keluhan pendek. Di lain kejap dari
balik batu itu melesatlah sesosok tubuh berpakaian hitam, laksana terbang ke
udara dan kemudian jatuh di atas sebuah batu besar dalam keadaan tulang
belulang hancur berantakan! Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di
lembah batu itu terkejut dan lari ke batu besar di mana kawan mereka
menggeletak mengerikan tanpa nyawa! Semuanya terkejut dan berubah paras
masing-masing. Dan darah mereka tersirap sewaktu di lembah batu itu
mengumandang dua buah suara tertawa yang menggidikkan! Ketika mereka palingkan
kepala, semuanya melihat dua orang berjubah kuning berewokan berdiri di atas
sebuah batu yang menjulang lima tombak tingginya!
“Sepasang
Elmaut Kuning!” seru mereka hampir serentak. Elmaut Kuning Mata Picak dan
Kuping Sumplung tertawa lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak hentikan tawanya
dan bertanya membentak,
“Siapa
yang menjadi pemimpin rombongan tikus-tikus busuk ini?!” Seorang laki-laki
berbadan tegap, berkumis melintang, dada berbulu, melompat ke muka dan menuding
keren.
“Kalian
berdua turunlah untuk menerima kematian!” Sepasang Elmaut Kuning saling pandang
lalu untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak.
“Apakah
kau mimpi atau mengigau di siang bolong?!” sentak Kuping Sumplung.
“Ketuamu
sudah mampus di tangan kami!”
“Ketua
Perguruan Seberang Kidul boleh lenyap. Tapi Perguruan Seberang Kidul tak dapat
dimusnahkan dari muka bumi ini…!”
“Kalau
begitu kami Sepasang Elmaut Kuning akan menggusur Perguruan Seberang Kidul hari
ini juga hingga cuma tinggal nama!”
“Tak usah
bermulut besar! Lekas turun!” teriak si kumis melintang. Dia dan kawan-kawannya
adalah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua mereka telah menemui
kematian di tangan Sepasang Elmaut Kuning gara-gara terlibat dalam perebutan
lukisan perempuan telanjang!
“Tikus-tikus
busuk! Ketahuilah kalian akan melepas jiwa di sini!” teriak Mata Picak dan
serentak dengan itu, diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia melompat ke
bawah. Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan berpakaian seragam hitam
segera mengurung dan dengan serempak menyerbu Sepasang Elmaut Kuning! Maka
terjadilah pertempuran yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu.
“Kalian
mencari mati!” seru Mata Picak.
“Bangkai
kalian akan membusuk di sini! Akan digerogoti burung-burung pemakan mayat!”
bentak Kuping Sumplung! Lalu keduanya dengan berbarengan hantamkan tangan kanan
ke muka. Dua larik sinar kuning menderu. Puluhan benda berwarna kuning yang
berbentuk paku beterbangan gencar ke arah anak-anak murid Perguruan Seberang
Kidul yang hendak menuntut balas kematian ketua mereka.
“Paku
Emas Beracun!” pekik anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Yang
berkepandaian tinggi putar golok mereka dengan sebat menangkis. Yang lain-lain
berserabutan menghindar. Tapi serangan senjata rahasia paku emas beracun dari
kedua tokoh silat golongan hitam itu luar biasa sekali, tak sanggup ditangkis,
sukar dikelit! Dua kelompok anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul roboh bertumpukan.
Mereka berkelojotan sebentar lalu diam meregang jiwa! Tubuh masing-masing penuh
ditancapi paku-paku emas beracun! Dua belas orang yang masih hidup dengan kalap
membabi-buta menyerang Sepasang Elmaut Kuning. Dua belas golok besar menderu
bersirebut cepat! Laksana hujan menerpa ke arah dua manusia yang diserang!
Sepasang Elmaut Kuning ganda tertawa. Keduanya hantamkan tangan kembali ke
muka. Dan terdengar lagi pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata
rahasia itu. Delapan orang menggeletak roboh! Delapan jiwa melayang!
“Kawan-kawan
larilah!” seru seorang dari empat anak murid Perguruan Seberang Kidul yang
masih hidup. Maka serentak dengan itu keempatnya keluar dari kalangan
pertempuran dan melarikan diri.
“Mau lari
ke mana?!” bentak Mata Picak.
“Kalian
musti ikut sama-sama kawan kalian ke neraka!” Lalu menyusul selarik sinar
kuning menderu ke punggung keempat orang yang lari menyelamatkan jiwa itu.
Sinar kuning menyambar! Keempatnya mencelat mental dan menjerit, lalu roboh
menyusul kawan-kawan mereka! Seperti yang dikatakan oleh Elmaut Kuning Kuping
Sumplung tadi, maka kini Perguruan Seberang Kidul betulbetul hanya tinggal nama
saja lagi!
“Manusia-manusia
tolol!” desis Mata Picak seraya sapukan pandangannya pada mayat-mayat yang
bertebaran di atas dan di antara batu-batu di lembah itu. Kuping Sumplung
sebaliknya bertanya,
“Bagaimana?
Kurasa makin cepat kita berangkat ke tempat anak itu, makin baik!”
“Anak
mana maksudmu?” tanya Mata Picak.
“Calon
muridnya si Pelukis Aneh!”
“Ah,
rencanamu itu perlu dipikirkan masak-masak dulu!” sahut Mata Picak seraya
melangkah ke goa. Dengan hati penasaran Kuping Sumplung melangkah di
belakangnya. Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa tiba-tiba meledaklah
suaranya,
“Celaka!
Lukisan itu lenyap!” Kedua orang itu melesat masuk ke dalam goa! Lukisan
perempuan telanjang yang sebelumnya terletak di atas meja kini tak ada lagi di
tempat itu!
“Bangsat
kurang ajar! Siapa yang berani-beranian jadi maling di sarangku?!” teriak Mata
Picak lari ke luar goa dan melompat ke atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu
dia sampai di atas batu dan memandang berkeliling, di jurusan timur dilihatnya
sesosok tubuh berlari cepat sekali. Dan sosok tubuh itu memboyong sebuah benda
empat persegi yang bukan lain daripada lukisan perempuan telanjang adanya!
*************
8
MANUSIA
yang melarikan lukisan perempuan telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia
mengenakan jubah merah yang panjang sekali hingga menjelajela sepanjang
larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil beterbangan dilanda angin jubah
manusia katai ini. Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam
sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu. Pohon-pohon di kiri
kanan yang dilaluinya laksana terbang! Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar
di belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia berjubah kuning laksana
kilat berlari ke arahnya. Si katai terkesiap dan tancap gas, berlari lebih
cepat. Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke belakang, kedua
pengejarnya ternyata hanya tinggal beberapa puluh langkah saja lagi! Manusia
katai ini merutuk.
“Celaka!
Kedua bangsat itu betul-betul lihai!” Dan bila kedua pengejar yang bukan lain
daripada Sepasang Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima belas langkah di
belakangnya maka si katai segera robah ilmu larinya. Gerakan kakinya menjadi
lambat dan tidak teratur, tapi anehnya bagaimana pun sepasang Elmaut Kuning
mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah dari lima belas
langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu Kaki Menipu Jarak yang telah
dikeluarkan oleh manusia katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh
silat saja yang memilikinya!
“Heran!”
kata Elmaut Kuning Kuping Sumplung.
“Jarak
kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar bangsat itu?!”
“Kurasa
dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu Jarak,” sahut Mata Picak yang
berpengalaman lebih luas dan berpemandangan tajam.
“Berhenti!”
teriak Kuping Sumplung. Tapi mana si katai mau hentikan larinya! Marahlah Mata
Picak. Hilang kesabarannya.
“Berhenti!
Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun!” Tergetarlah hati si
katai. Tapi untuk berhenti dia juga tidak mau. Dia lari terus dan berusaha
memperlebar jarak!
“Bedebah
laknat!” maki Mata Picak. Tangan kanannya diangkat ke atas dan dihantamkan ke
muka. Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran angin dingin menyambar di
belakangnya. Melihat selarik sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke arahnya
dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia membalas dengan satu
pukulan tangan kosong yang mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya!
Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan buru-buru menghindar.
“Badan
kate, jubah merah panjang dan pukulan angin panas! Pastilah maling ini Si Katai
Bisu!” teriak Mata Picak. Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu
sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama Kuping Sumplung dia mengejar kembali!
Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya dan kaget sekali. Jalan
buntu dan di depannya kini terbentang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin
untuk dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam!
“Ha-ha!
Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak Kuping Sumplung. Tapi Si Katai
Bisu tidak kehilangan akal. Laksana seekor burung walet dia melompat ke cabang
sebuah pohon.
“Turun!”
teriak Mata Picak.
“Serahkan
lukisan itu dan berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!”
“Ha-hu…
ha-hu… ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara.
“Ayo
turun lekas!” teriak Kuping Sumplung.
“Ha-hu…
ha-hu… ha-hu!”
“Kurang
ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata Picak angkat tangan kanannya.
“Ha-hu!”
Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu menunjuk ke lukisan perempuan telanjang
kemudian tertawa dan mencibir! Mata Picak yang tak mengerti apa maksud manusia
itu siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si Katai Bisu lindungi
dirinya dengan lukisan perempuan telanjang! Mata Picak terkesiap kaget dan
batalkan serangannya. Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si
Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan pukulan Paku Emas
Beracun maka paku-paku itu akan merusak lukisan perempuan telanjang karena Si
Katai Bisu mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! Mata Picak
memaki hahis-habisan. Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan memukul.
Braak! Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tumbang. Tapi Si Katai Bisu
sudah melompat ke pohon lain!
“Setan
alas!” Mata Picak melesat ke depan dan lancarkan satu serangan dari jarak satu
tombak. Si Katai Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil pergunakan
lukisan perempuan telanjang untuk menangkis serangan lawan. Mau tak mau Elmaut
Kuning Mata Picak tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap
lawannya karena khawatir akan merusak lukisan!
“Kuping
Sumplung! Serang bangsat itu dari belakang!” teriak Mata Picak marah sekali.
Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera berkelebat dan menyerang Si Katai Bisu
dari belakang, sedang dari muka Mata Picak kembali menyerbu! Namun Si Katai
Bisu tidak menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan perempuan
telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu kini dialiri tenaga dalam oleh
Si Katai Bisu maka bukan saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat
sekali, tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus memapaki serangan
Sepasang Elmaut Kuning! Dalam waktu yang singkat sepuluh jurus telah
berkecamuk! Sepasang Elmaut Kuning menyumpah-nyumpah tak ada hentinya.
Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak mendapat akal. Sewaktu pertempuran berjalan
seru-serunya dia memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini membuat Si
Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini dengan cepat Mata Picak menyusul
dengan satu serangan ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa
ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke belakang menyambar lengan
kiri Kuping Sumplung yang hendak menotok punggung Si Katai Bisu! Hampir tiga
puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut Kuning Mata Picak pada kambratnya.
“Keluarkan
jurus Elmaut Menggila!” Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak lalu
dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana merobek gendang-gendang
telinga keduanya menyerbu kembali dalam satu jurus aneh! Lambat laun suara
pekik dan jerit yang datangnya dari pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu
menjadi gugup dan panik gerakan-gerakan silatnya! Tiba-tiba tangan kanan Elmaut
Kuning Mata Picak memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu dengan
sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya hanya tipuan belaka. Karena
begitu lukisan menderu secepat kilat Mata Picak tarik pulang serangannya dan
ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat yang sama dari belakang
Elmaut Kuning Kuping Sumplung lancarkan pula satu serangan ganas ke arah
kepala. Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke samping kanan. Lukisan
disabetkan dengan cepat ke bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian
bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar ke arah Kuping Sumplung membuat
manusia ini batalkan serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain
pihak Elmaut Kuning Mata Picak yang tidak berani adu kekuatan dengan lukisan
yang menyambar kakinya, terpaksa tarik pulang tendangannya. Namun Mata Picak
menjadi gugup sewaktu melihat bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke
arah matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
matanya hanyalah dengan pergunakan lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan
merusakkan lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis tentu akan
terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut Kuning Mata Picak lebih baik
melihat lukisan itu rusak, toh nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih
baik lengannya mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang cuma
tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan kirinya dengan cepat. Braak!
Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan sudutnya menganga. Lengan
kiri Elmaut Kuning Mata Picak juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian
dengan kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas Beracun! Rasa sakit
membuat dia tidak perduli lagi apakah pukulannya yang dahsyat itu akan
menghancurkan lukisan di tangan lawan! Melihat datangnya serangan yang dahsyat
dari lawan, Si Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas kebutkan jubah
merahnya. Segelombang sinar merah laksana topan prahara memapasi serangan
Elmaut Kuning Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang melesat ke arah
manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di antaranya ada yang membalik
menyerang Mata Picak sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke
samping selamatkan diri! Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat sewaktu
di belakangnya terasa sambaran angin dingin. Namun kasip! Belasan paku kuning
telah dilepaskan Kuping Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak mungkin
ditangkis tak bisa dikelit! Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk
berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping Sumplung sedang tangan
kanan mendorong ke muka! Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si
Katai Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. Tiga di antaranya
langsung menembus jantung! Tak ampun lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas
sedang sekujur badannya kelihatan menggembung biru! Di lain pihak meski dia
dapat menyelamatkan kepalanya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut
Kuning Kuping Sumplung tak sempat menghindarkan diri dari sambaran angin
pukulan yang dilepaskan Si Katai Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau
saja tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi dipukulnya, pasti Elmaut
Kuning Kuping Sumplung akan melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung
muntahkan darah segar lalu roboh pingsan! Mata Picak segera menyambar lukisan
yang rusak piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan meninggalkan
tempat itu dengan cepat.
**************
9
DI
SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menjulang tinggi penuh kemegahan. Hari
itu adalah hari ke duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng dalam
mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia tengah menuju ke sebuah kota
kecil yang terletak di selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi
Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. Jauh di hadapannya
dilihatnya seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping berjalan
melenggang-lenggok dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi batu
yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga mengeluarkan suara bergerontangan.
Di ketiak kirinya terkempit sebuah tas daun pandan. Yang membuat Wiro diam-diam
jadi tertegun ialah karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua
berpakaian compang-camping itu sudah berada di hadapannya. Wiro sunggingkan
senyum. Tapi orang tua aneh itu terus saja melangkah seenaknya dan hendak
memapasi Wiro. Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya,
“Orang
tua, apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?” Orang tua itu hentikan
langkahnya. Tanpa menoleh pada si pemuda dia membuka mulut,
“Siapa
tanya siapa?” Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu berbunyi
berkerontangan. Wiro tersenyum lagi.
“Namaku
Wiro. Aku dalam perjalanan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang
betul?” Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan memandang Wiro Sableng
dari atas sampai ke kaki.
“Ah…
melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah mengkhawatirkan tentang suatu
barang yang hilang…” Dan habis berkata begitu orang tua ini
kerontang-kerontangkan lagi kaleng di tangan kanannya. Tentu saja Wiro Sableng
terkejut mendengar ucapan si orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia
ini.
“Coba
ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tibatiba memerintah. Wiro Sableng
meragu seketika. Dia tidak kenal dengan orang tua itu dan disuruh ulurkan
telapak tangan kirinya. Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun
ulurkan telapak tangan kirinya. Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu
lalu dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan garis pada
telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng terkejut sewaktu jari telunjuk itu
menyentuh telapak tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah
batu besar yang ratusan kati beratnya! Tahu kalau orang hendak mencoba
kekuatannya maka Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan kiri
itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada telapak tangannya dan
Wiro merasa tangannya tergetar hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
Keringat dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga dalamnya ditindih
hebat oleh tenaga dalam si orang tua. Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah
telapak tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu untunglah si orang
tua menarik ujung jarinya dan sambil batuk-batuk dia berkata,
“Orang
muda, masa depanmu penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis
di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya yang selalu mengikuti
perjalanan nasibmu! Tapi kau tak perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya,
bagaimanapun besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati semuanya.” Orang tua
aneh kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu meneruskan,
“Garis
percintaanmu tidak begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat
mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik…” Kaleng berisi batu
berkerontang lagi. Wajah Pendekar 212 kelihatan merah menjengah! Dan si orang
tua bertanya,
“Kau
tengah menuju ke Paritsala?”
“Betul
orang tua,” jawab Wiro.
“Kunasihatkan
agar dibatalkan saja…”
“Memangnya
ada apakah?”
“Kesulitan.
Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan dan bahaya di mana-mana…”
“Tapi
seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke utara…,” kata Wiro yang ingat akan
petunjuk yang diberikan Dewa Tuak. Orang tua itu tertawa tawar sambil
kerontangkerontangkan kalengnya lalu hendak menindak meninggalkan tempat itu.
“Orang
tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu. Sebelum berpisah sudilah kau
terangkan namamu…” Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan dengan
melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro Sableng sambil bernyanyi:
Orang-orang menyebutku Si Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri
aku tidak tahu… Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua aneh itu terus
diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap di kejauhan. Wiro Sableng berdiri
terlongong-longong. Orang persilatan mana yang tak tahu dan tak pernah
mendengar tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? Ilmu silatnya
tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengembara ke mana-mana tapi jarang bisa
ditemui orang. Jika dia berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan
mengatakan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul. Itulah sebabnya
dia diberi nama Segala Tahu oleh orangorang dunia persilatan. Wiro merasa
beruntung sekali dapat bertemu dengan orang tua itu. Dia segera melanjutkan
perjalanan. Di satu persimpangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu
sesuai dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke Paritsala. Belum
lagi dia sempat membelok ke kanan, di belakangnya terdengar derap kaki-kaki
kuda dan gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang penunggang kuda
hitam memacu kuda masing-masing dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang
ditarik oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan. Rombongan itu
terdiri dari penunggang-penunggang kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju
mereka terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian samping kereta putih
juga terdapat gambar semacam itu. Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela
kereta, sekilas dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik sekali.
Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terkesiap melihat paras jelita itu.
Mata perempuan itu laksana sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang
ke jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan ucapan Si Segala
Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah menempuh jalan vang ditempuh rombongan
itu. Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki Paritsala. Di hadapan
sebuah bangunan berbentuk panjang dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor
kuda hitam pun tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah
penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke sana. Baru saja Pendekar 212
berdiri di tangga bawah pintu penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah
agak lanjut.
“Orang
muda, apakah kau berniat menginap di sini?”
“Betul”
sahutWiro.
“Sayang
sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang…”
“Seluruh
kamar?” ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan kepalanya ke arah kereta dan
kuda-kuda hitam di halaman.
“Apakah
rombongan pemilik kereta itu yang telah menempatinya?”
“Ya.”
“Berapakah
jumlah kamar di penginapan ini?”
“Enam
belas… Mengapa?”
“Rombongan
itu jumlahnya tidak sampai enam belas orang,” kata Wiro.
“Pasti
ada kamar yang masih kosong untukku…”
“Sudah
kubilang semua kamar diambil oleh rombongan itu. Majikanku memerintahkan agar
menolak siapa saja yang hendak menginap di sini…” Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya,
“Kalau
begitu aku musti cari penginapan lain,” katanya setengah menggerutu.
“Di sini
tak ada lagi penginapan lain.”
“Hem…”
Wiro menggumam.
“Terpaksa
kau menolong menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak jadi apa.”
“Tak
mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini sampai ke gudang telah disewa oleh
rombongan itu!” Wiro Sableng jadi penasaran.
“Apa kau
kira aku tak sanggup membayar sewa untuk sebuah gudang tua? Atau kau minta
sogok agaknya heh?!” Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal.
“Kuharap
kau tak usah memaksa-maksa dan bicara lantang. Salah-salah kau bisa berabe!”
Wiro keluarkan suara bersiul.
“Kenapa
bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini
“Ah! Tak
usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro
mencekal bahunya hingga dia tak bisa bergerak.
“Katakan
dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis Wiro ke telinga pelayan itu. Dan si
pelayan mendadak merasa kecut sewaktu merasakan bagaimana telapak tangan Wiro
yang berada di bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai!
“Orang
muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh Ketua Perguruan Garuda Sakti.
Dia dan rombongannya tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan
dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang pemuda, anak Ketua
Perguruan Merapi…” Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada sekilas
bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya tewat jendela kereta.
“Sekarang
kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, Ketua Perguruan Garuda Sakti galak
luar biasa! Sekali dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan
kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali tampar saja pasti kepalamu
menggelinding!” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Kurang
ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tibatiba satu suara garang
membentak dan sesaat kemudian seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah
berdiri di ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada bajunya ada
gambar kepala burung garuda putih. Dia berdiri bertolak pinggang dan beliakkan
mata kepada Wiro. Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat!
“Pemuda
hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau tidak, kupuntir kepalamu sampai
putus!”
“Hak
apakah kau mengusirku?!” tanya Wiro dengan senyum mengejek. Marahlah si tinggi
besar. Tangan kanannya dengan cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng.
Begitu terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi besar ini
bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya yang menjambak itu
dirasakannya laksana memegang sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan
keras luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir!
“Mampus!”
teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan tangannya! Sekali menyentak
maksudnya hendak ditanggalkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya
rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok kepalanya. Tapi apa yang terjadi
kemudian betul-betul tak diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat
menyentakkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan darah di dadanya!
Si tinggi besar mengeluh tertahan. Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam
keadaan kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya ke sebuah pohon
di halaman penginapan. Tubuh si tinggi besar menyangsrang di antara cabang
pohon, tak bisa bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro
sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! Sepasang mata yang
bersinar-sinar mengintai di balik jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti
kepergian Pendekar 212.
****************
10
KETIKA
dia menempuh jalan yang menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap kaki
kuda datang mendekatinya dari arah belakang. Menyangka bahwa yang datang ini
adalah kawan-kawan si tinggi besar tadi segera Wiro berlindung di balik
sebatang pohon. Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan tadi.
Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan memandang kian ke mari. Jelas
dilihatnya tadi Wiro berada di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.
“Hai! Kau
mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro
keluar dari balik pohon.
“Lekas
ikut bersamaku!” kata si pelayan.
“Ikut ke
mana?” tanya Wiro heran.
“Jangan
bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak murid
Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!”
“Aku tak
percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” Di kejauhan terdengar derap kaki kuda
banyak sekali!
“Lekaslah!”
kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat juga
ke atas punggung kuda di belakang si pelayan.
“Bapak,”
bisik Wiro waktu mereka berlalu dengan cepat,
“Kalau
kau menipuku, aku akan gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” Sesaat
kemudian keduanya meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat sepeminum teh
pelayan penginapan hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan
berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia berada di
bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera
cekal tangan si pelayan.
“Jika
bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke sini?!” desis Wiro Sableng.
“Kalau
aku betul-betul menipumu kau boleh betot batang leherku!” jawab si pelayan.
Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang penginapan terbuka
dan dua orang berpakaian hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada
dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan menunggangi dua ekor kuda,
keduanya meninggalkan bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan
malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin
malam di kejauhan!
“Ikut
aku!” kata pelayan itu.
“Tunggu!”
jawab Wiro.
“Terangkan
dulu apa arti semua ini!”
“Orang
muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku
tidak menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud jahat padamu!”
“Dari
siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah itu?!” tanya Wiro Sableng
lagi,
“Kita tak
punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” Wiro Sableng di belakang si pelayan.
Sepasang bola matanya berputar liar waspada kian kemari sambil melangkah.
Mereka masuk lewat dapur penginapan. Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk
hidup yang kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti sebuah tulang
ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan
ruangan lain di bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah
gudang tempat menyimpan segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu
membawa Wiro Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di
sebuang gang. Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah
mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat
deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling pada Wiro.
“Bukalah
pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau temui
di dalam kamar itu adalah orang yang memerintah aku!” Wiro Sableng hendak
menanyakan. Wiro memaki dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah
mendekati pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak
terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu
sampai di dalam kamar, terkesiaplah Pendekar212! Di hadapannya berdiri seorang
dara berkulit kuning langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar
laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbungabunga merah yang bagus
sekali potongannya. Pada rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde
dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. Sang dara melangkah ke dekat
Wiro. Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis
hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara
jelita ini kemudian melangkah kembali ke tengah kamar.
“Saudari
apakah artinya ini?” tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi
berdiri di hadapan si jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka
akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia
berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis
dalam kereta putih yang dilihatnya di tengah jalan tadi sore!
“Saudara,
apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyusupkan suara?” si gadis bertanya
perlahan. Wiro Sableng terkejut
“Apaan
pula ini?” tanyanya dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian
dengan ilmu menyusupkan suara si gadis berkata,
“Aku
telah saksikan apa yang kau lakukan ternadap anak murid ayahku di depan
penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan
penolongku…”
“Hem…,”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Pertolongan
apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau adalah anak
gadisnya Ketua Perguruan Garuda Sakti.” Si gadis anggukkan kepala.
“Aku dan
ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak
Gunung Merapi…”
“Pelayan
itu mengatakan bahwa kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak
laki-laki Ketua Perguruan Merapi.”
“Betul,
bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya
padamu,” jawab si jelita. Lalu sambungnya,
“Perkawinanku
dengan anak lakilaki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku yang
memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak ingin pula menjatuhkan
nama besar ayah! Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua
Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi malu pada
ayah dan juga untuk menghindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah
antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.”
“Kalau
kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak
paksaan ayahmu, kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula.
“Kau
lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akananak murid ayah menjagaku
dengan keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat
meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan Merapi
menuduh ayahkulah yang telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri
mendapat tekanan dari mereka.” Wiro merenung sejenak.
“Apakah
kau punya kekasih? Seorang pemuda yang kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, Anak
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah parasnya. Tapi dengan terus
terang dia kemudian anggukkan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia
berkata,
“Kekasihku
telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu…” Dan di mata yang
bersinar seperti bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir air mata
laksana berlian mengambang di kelopak mata si gadis.
“Lantas
apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” tanya Wiro.
“Menolong
agar perkawinanku bisa batal!”
“Aku
orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk
kepala.
“Sekarang
bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak akan
kulupakan seumur hayat.” Wiro berpikir, lalu,
“Kau
ingin kularikan sekarang?!” tanya Wiro mengambil keputusan pendek.
“Jangan.
Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil
mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar ayah akan
luntur karena berilmu tinggi dan punya anak buah banyak tapi tak sanggup
menjaga anak. Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu…”
“Berabe
juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya.
“Kapan upacara
perkawinanmu dilakukan di puncak Merapi?”
“Lusa
siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi.
“Baiklah,”
kata Pendekar 212 kemudian.
“Aku
sudah dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku akan muncul
tepat pada saat upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum
pergi apakah aku boleh tahu namamu…?” Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba
pintu kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar suara lantang.
“Permani!
Buka pintu cepat.” Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat
pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi
di kamar itu. Tapi begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat.
Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah tenyap di
luar sana setelah terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali!
“Permani!”
Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedorangedoran. Sang dara cepat-cepat
membuka pintu kamar. Seorang laki-laki bermuka klimis bermata merah dan
berbadan tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari tangannya berwarna
putih dan panjang sekali! Inilah Ketua Perguruan Garuda Sakti yang bernama
Manik Tunggul. Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh
teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki dengan hati berdebar.
“Kau
menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” tanya Manik Tunggul. Permani
tertawa.
“Kecurigaan
ayah terhadap anak sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu.
“Siapa
dan untuk apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?!” Manik
Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan memeriksa
kolong tempat tidur!
“Sepuluh
orang anak murid ayah mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika
seseorang masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. Manik Tunggul
masih belum percaya akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan
membukanya. Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya tampak
berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini
menutupkan jendela kembali.
“Permani,
menjelang hari perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan.
Jangan beri malu ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan
antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!”
“Ayah,
meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak
bisa berbuat lain daripada patuh atas segala kemauanmu…” kata Permani dengan
tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu anaknya.
“Kau anak
yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke
pintu meninggalkan kamar.
*********
Malam itu
di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro Sableng duduk termenung! Usahanya
mencari lukisan perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia kini
sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? Mengapa dia telah menerima
permintaan tolong gadis anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini
berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro
Sableng merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala
Tahu. Orang tua itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak
menghiraukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya
yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak
gadis Ketua Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga
bersedia turun tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si
Segala Tahu,
“kau
punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik…” Wiro
menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala, direbahkannya badannya di lantai
dangau.
*****************
11
DI PUNCAK
Gunung Merapi. Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir serta hiasan
gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk
lingkaran, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian sebeleh utara
panggung berbentuk lingkaran terdapat sebuah podium. Di depan podium ini
terletaklah sebuah pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di
pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang bertaburan berlian,
segala apa yang dipakainya, semua itu tak dapat menyembunyikan parasnya yang
buruk dan cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, calon suami
Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ rata-rata adalah orang-orang dunia
persilatan dan beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang disegani!
Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa naik ke atas podium dan upacara
perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang
pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon besannya yaitu
Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila upacara pernikahan selesai, para tamu
akan dijamu makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-pertandingan silat
yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan di atas panggung besar kayu jati!
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. Dari sebuah bangunan
keluarlah pengantin perempuan, diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang
memandang kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji kecantikan
paras Permani! Dilihat kepada rupa memang ada juga di antara para tamu yang
merasa kurang cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada nama besar
Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan itu menjadi sirna. Siapa yang tak
kenal dengan Bogananta? Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu
tinggi?! Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas panggung di depan
podium maka pengantin laki-laki pun berdiri dan suara seruling berhenti.
Serentak para hadirin pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan
dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama Wararayan. Di kalangan dunia
persilatan di masa itu Wararayan sangat terkenal dan telah puluhan kali
memimpin upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di bawah pimpinannya
pastilah kedua mempelai akan hidup bahagia! Satu menit telah berlalu. Wararayan
belum juga muncul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul serta
Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri dengan menundukkan kepala
juga tampak gelisah. Tapi apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang
digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai saat itu orang yang
hendak menolongnya belum juga kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau
terlambat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! Telah lewat sepeminum
teh. Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat sangat membuat
kulit muka Manik Tunggul merah laksana saga. Apalagi karena dialah yang
bertanggung jawab mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak
Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan karena malu melainkan
merasa terhina! Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik sebuah
batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul seorang berjubah biru. Manik
Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh
Wararayan! Apakah manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik batu
karang itu? Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, terkejutlah Manik
Tunggul serta para hadirin. Langkah si jubah biru demikian enteng, laksana
kapas diterbangkan angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, maka
tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang. Si jubah biru ternyata bukan
Wararayan! Tapi anehnya jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik
Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah terjadi dengan Wararayan? Di
mana orang tua itu berada dan siapa pula manusia yang datang ini?! Si jubah
biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah liat. Rambutnya yang gondrong
acak-acakkan diikat dengan robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di
tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut runcing sedang di tangan
kanannya menggenggam sebatang tombak pendek dari batu hitam yang banyak
terdapat di sekitar kawah gunung. Si jubah biru langsung menuju ke podium.
Anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti segera hendak turun
tangan, tapi ketua masing-masing memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun
dalam posisi mengurung si jubah biru. Akan tetapi Permani begitu dia melihat si
jubah biru ini, meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan rambut
awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa mengenali. Si jubah biru ini bukan
lain pemuda gagah yang dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar penginapan,
bukan lain orang yang diharapkannya sebagai tuan penolongnya! Hati dara ini
lega sedikit. Tapi apaapaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? Tiba-tiba
si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 212 keluarkan suara macam orang
tua dan menggigil,
“Uh… uh…
dinginnya! Dingin sekali!” Dan kedua tangannya didekapkan di dada sedang
geraham-gerahamnya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di samping itu
karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam yang hebat, maka suaranya itu
menggetarkan liang telinga para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang
mereka injak! Semua orang heran campur terkejut! Hari sepanas itu. Matahari
bersinar terik. Bagaimana manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang
dingin?!
“Jubah
biru!” bentak Manik Tunggul.
“Manusia
atau setankah kau?!”
“Hai… aku
bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak merasa? Apakah kalian semua di
sini tidak kedinginan? Uh.. uh…!” Semua orang saling pandang.
“Jubah
biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana kau dapatkan jubah milik
Wararayan itu?!” Kembali Manik Tunggul buka suara keras. Wiro Sableng dengan
menahan geli di dalam hati purapura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan
kiri. Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di tangan kanan dia
berkata,
“Anak-anakku…
kalian semua dengarlah!”
“Persetan
manusia edan!” hardik Bogananta beringas.
“Kau kira
kami ini apamu sampai memanggil kami anakanakmu?!” Si jubah biru tidak ambil
perduli. Malah dia tudingkan tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua
Perguruan Merapi itu.
“Kalian
dengar dulu… jangan ganggu bicaraku. Siapa yang bertindak lancang akan celaka
seumur hidup. Akan dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa di
khayangan!” Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil kedinginan lagi!
“Dingin…
uh… dingin sekali! Di dasar kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan
main! Uh…!”
“Manusia
gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari sini kutekuk batang lehermu!” ancam
Manik Tunggul.
“Aku
bukan manusia… bukan manusia!” kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang
mendengar tergetar dadanya!
“Aku
adalah titisan dewa di khayangan! Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala
sesuatu yang ada dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian tahu
hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang kalian rayakan di sini tanpa
meminta izin pada dewa-dewa di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua!
Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan dari puncak Gunung
Merapi ini. Tapi dengan memandang aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian…”
“Keparat
pendusta!” bentak Manik Tunggul.
“Kau kira
kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!” Wiro Sableng menyeringai dan
keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya dia memaki!
“Aku
pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu…?! Kau akan lihat… akan lihat!” kata
Wiro pula dengan suara keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang
terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang duapuluh tombak itu
dicapainya dengan beberapa kali gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi
tertegun! Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati dia geli sekali.
Kemudian tongkat pendek batu hitam di tangan kanannya di acung-acungkan ke
udara dan pecahan kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian
terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke dasar kawah dan dipantulkan
kembali ke atas.
“Wahai
dewa-dewa di khayangan! Kalian telah menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di
hadapanku ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu yang ada di bawah
pengawasanku. Kalian dengar sendiri bagaimana manusia-manusia itu mengatakan
aku sebagai pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! Demi
memandang mukaku, demi menjaga kesucian tempat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap
perlihatkanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka…!” Wiro putar-putarkan kedua
tangannya ke udara.
“Hukumlah
mereka wahai dewa!” seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke
ujung kedua tangan. Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. Maka
mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu yang bukan orang-orang
persilatan tak ampun lagi jatuh berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan
mereka yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar tidak ikut
terpelanting. Tapi makin lama deru angin semakin dahsyat dan keras!
Hiasan-hiasan dan gaba-gaba di atas panggung serta podium tanggal beterbangan,
tak ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang dikenakan pengantin
laki-laki tak urung mental dan kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang!
“Tahan!”
teriak Manik Tunggul seraya melompat ke muka dan lepaskan satu pukulan tangan
kosong ke arah si jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak dirinya
sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan
Wiro. Pakaiannya berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang
keluar dari tangan sang Pendekar 212!
“Jubah
biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara padamu!” Berada sedemikian dekat Manik
Tunggul melihat bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si jubah
biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat! Maka hatinya yang tadi
sedikit tergetar kini menjadi curiga. Walau bagaimanapun si jubah biru ini
adalah manusia biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa!
“Tahan!”
teriak Manik Tunggul sekali lagi.
“Aku mau
bicara!” Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit.
“Dewa-dewa,
aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.” Maka sesaat kemudian deru angin yang
dahsyat itu mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan Manik Tunggul
yang ada di sampingnya Wiro melangkah kembali ke atas panggung di depan podium
sambil tertawa mengekeh-ngekeh!
“Masih
untung, masih untung dewa mau mengampuni kalian manusia-manusia sombong!” kata
Wiro. Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya. Dan Wiro buka
mulut kembali,
“Itu baru
sepersepuluh dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti kalian
semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana daun kering dan mampus!”
Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke muka.
“Sekarang
kalian dengar semua!” serunya menggeledek.
“Dewa
telah mengampuni kalian orangorang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan
pengampunan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung Merapi tempat dewa
yang suci ini tak pernah dibersihkan dengan darah suci seorang dara! Telah lima
ratus tahun lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini dewa
memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu semua di sini untuk menyerahkan
pengantin perempuan kepadaku!” Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya
terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta mendelik memandang kepadanya.
Cuma seorang yang kelihatan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain
Permani. Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang menyamar itu.
“Kalian
dengar? Pengantin perempuan harus diserahkan padaku…!” Wiro melangkah mendekati
Permani. Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah memapasinya.
“Jubah
biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau tidak bisa lain daripada
manusia dajal keparat! Kalau kau maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu
sepuluh kuku ini!” Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti melompat
ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!
**************
12
WIRO
Sableng terkejut melihat datangnya serangan dua tangan yang mencengkeram dengan
dahsyat itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan kiblatkan tombak batu hitam
di tangan kanannya memapasi serangan lawan! Kini Manik Tunggul-lah yang
terkejut! Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus Sepuluh Jari Sakti
Menggarap Gunung, merupakan satu jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya.
Tapi si jubah biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak cepat
menarik pulang kedua tangannya pastilah akan dihantam oleh tombak batu di
tangan si jubah biru! Wiro tertawa mengekeh.
“Manusia
sombong dan kotor hendak melawan titisan dewa?I” ejeknya.
“Kau akan
tahu rasa!” Malu bercampur amarah yang meluap Manik Tunggul siap menyerang
kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh melompat ke depan dan satu seruan
terdengar,
“Ketua
Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjukkan bakti padamu! Biar aku
yang ringkus manusia kentut dewa itu!” Sreet! Sokananta, anak Ketua Perguruan
Merapi, si pengantin laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya
lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu tusukan satu babatan!
Pendekar 212 tertawa gelak-gelak dan elakkan serangan pedang dengan satu
putaran tombak batu. Dengan penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua
tebasan sekaligus! Wiro putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran Terbang
Ke Langit. Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah serangannya bukan
main dongkolnya Sokananta. Dia ambil keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga
dalam sekaligus! Trang! Trak! Tombak batu hitam di tangan kanan Wiro Sableng
patah dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta terlepas mental, tangannya
tergetar hebat dan pedas membuat dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap
ketika dia hendak melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua
Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental ternyata sudah berada
di tangan lawannya! Gelaplah muka Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman
yang menyala! Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara semua
orang! Sokananta adalah anak kandung gemblengannya sendiri. Meski tenaga
dalamnya masih belum mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap
ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah dikuasai oleh Sokananta!
Bagaimana kini dia bisa dipecundangi dalam satu gebrakan itu aja? Untuk tidak
membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta berseru memerintahkan anak-anak
buahnya nenyerang si jubah biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula
memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang bertomba ke depan podium
bukan saja mengurung Wiro tapi dengan serentak menyerangnya! Pendekar 212
tertawa dan keluarkan suara bersiul. Begitu gelombang serangan datang
menggempurnya, pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik turun, kembali
terdengar jerit empat orang pengeroyok. Keempatnya menggelinding ke tanah dalam
keadaan pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri mematung
karena di totok oleh Wiro dengan bagian belakang yang tumpul dari patahan
tombak batu hitamnya! Melihat ini baik Bogananta maupun Manik Tunggul segera
maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan anak-anak murid mereka. Bahkan
ketinggian ilmu silatnya belum tentu berada di bawah mereka!
“Bangsat!”
bentak Bogananta marah.
“Rupanya
kau sengaja datang mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku akan urus jalan ke
akhirat bagimu!” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Terhadap
titisan dewa kau berani main perintah seenaknya! Makan pukulanku ini!” bentak
Wiro pura-pura marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya satu
kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan dengan semua orang di situ, karenanya
dia tak punya niat untuk turun tangan jahat! Maklum bahwa tenaga dalam lawan
hebat luar biasa, Bogananta cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan
menyambar ke arahnya dan dengan jurus Naga Menyelinap Dari Balik Rimba
Belantara, Ketua Perguruan Merapi ini kembali menyerbu! Wiro tak melihat
gerakan lawan tahu-tahu tubuhnya sudah berada dekat sekali dan tinju kiri kanan
sudah berada di depan hidung! Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat
jurus serangan yang tak terduga dari lawan. Sekejap kemudian tangan kirinya
sudah bergerak dan pecahan kaca rias bersudut-sudut runcing melesat ke arah
tenggorokan Bogananta!
“Keparat!”
maki Bogananta. Dia pergunakan tangan kanan memukul kaca itu hingga hancur
lebur, sebaliknya tinju kiri diteruskannya ke arah muka lawan! Namun serangan
ini telah berkurang kecepatannya karena gerakan yang dibuatnya waktu memukul
hancur kaca tadi! Dan dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi makanan
yang empuk bagi Pendekar 212. Namun karena dia tak punya niat turun tangan
jahat maka Wiro cuma tarik lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat!
Begitu tubuh Bogananta terputar, Wiro segera menotok punggungnya. Keluh
kesakitan yang hendak keluar dari mulutnya Bogananta sirna di tenggorokannya
karena tubuhnya keburu kaku dilanda totokan Pendekar212! Tercekatlah hati Manik
Tunggul. Ilmu silat dan kepandaian calon besannya itu dua tingkat lebih tinggi
dari dia! Berarti adalah mencari konyol kalau dia coba pula turun tangan! Tapi
agar tidak dicap pengecut, Ketua Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke
depan Wiro. Begitu menyerang dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang paling
hebat yaitu Seribu Garuda Mengamuk! Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke
samping laksana sayap burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul pasti hancur
remuk! Dari mulutnya keluar suara berkuikkuik macam suara garuda sedang di
samping memukul, kedua tangannya secepat kilat bisa berobah mencengkeram setiap
bagian tubuh lawan! Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut panggung
dekat para tamu duduk. Tapi memasuki jurus kedua sekali berkelebat terdengarlah
keluhan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka.
Sepasang kakinya laksana tiada bertulang. Tubuhnya tergelimpang di panggung.
Wiro telah menotok kedua urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana
lumpuh tak sanggup berdiri! Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai.
Tamu-tamu dilihatnya dicekam oleh rasa kejut dan takut. Inilah saatnya untuk
melarikan Permani, pikir Wiro. Segera dia hendak melompat ke tempat sang dara.
Namun dari panggung sebelah timur melesat sesosok tubuh berjubah hitam.
Lesatannya sangat ringan luar biasa dan tanpa suara tahu-tahu dia sudah di atas
panggung kayu jati! Manusia berjubah hitam ini ternyata seorang perempuan
separuh baya yang berparas cantik sekali. Namun sekali melihat sinar matanya,
Wiro segera maklum bahwa manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya juga
mempunyai hati jahat! Tiba-tiba jubah hitam menunjuk cepat-cepat ke arah Wiro
Sableng!
“Manusia
yang mengaku titisan dewa, harap datang ke hadapanku!” Suara perempuan ini
besar parau dan menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan tenaga
dalam perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan tahu bahwa dia berhadapan
dengan seorang yang tak boleh dibuat main-main, Pendekar 212 segera melompat ke
panggung kayu jati! Semua mata kini ditujukan ke panggung, pada kedua orang
itu!
“Aku tak
suka bikin urusan dengan manusia yang sembunyikan tampangnya di balik
penyamaran! Lekas perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru itu!”
Wiro kaget namun dia tertawa.
“Kupuji
ketajaman matamu! Tapi harap kau suka terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual
lagak di atas panggung ini!” Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan
kemarahannya dan berkata datar,
“Ketahuilah,
aku datang untuk menagih hutang jiwa!”
“Ohh…
kukira kau berdiri di sini hendak membela kedua ketua perguruan itu.”
“Aku tak
ada sangkut paut dengan mereka! Aku adalah kakak seperguruan Dewi Kala Hijau
yang kau bunuh beberapa tahun yang lalu!” (Tentang siapa adanya Dewi Kala Hijau
harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul Neraka Lembah Tengkorak). Kaget
Wiro Sableng bukan alang kepalang! Dewi Kala Hijau yang pernah dibunuhnya tempo
hari ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak seperguruannya datang menuntut
balas! Tentu ilmunya lebih hebat lagi! Tapi meskipun demikian mana pemuda ini
merasa jerih. Malah dia tertawa dan berkata,
“Kau
datang kurang cocok waktunya, perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya menagih
segala macam hutang, apalagi hutang jiwa!” Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak
mendekati Permani, tapi dari samping Sokananta telah memapasi. Di tangannya
kiri-kanan kini tergenggam dua bilah pedang mustika yang berkilauan ditimpa
sinar matahari! Begitu memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini kiblatkan
kedua senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua batang pedang itu bukan pedang
biasa tak mau bertindak ceroboh. Anginnya saja sudah memerihkan kulitnya. Dia
melompat mundur mengelak dan pada saat dia berada dekat Bogananta secepat kilat
Wiro mencabut pedang yang tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi
itu! Kini sibuklah Sokananta. Dia terdesak hebat ketika salah satu pedangnya
dibikin mental. Muka pemuda berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang
ayahnya yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan merobek besar pakaian
di bagian dadanya! Dalam dia terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan
pukulan tangan kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Sokananta telah merasakan
tubuhnya kaku tegang tak bisa bergerak lagi!
“Sudah
cukup aku melihat pertunjukanmu!” kata satu suara di samping Wiro.
“Sekarang
kau hadapi Si Jubah Hitam.” Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun
gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan hati itu kini berubah menjadi muka
tengkorak yang membuat bulu kuduk menggerinding! Didahului oleh satu lengkingan
dahsyat, Si Jubah Hitam pukulkan tangan kanannya ke depan. Gelombang angin
keras melanda Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring dan berkelebat dengan cepat
tapi dari samping Si Jubah Hitam susul dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212
terkurung di antara dua angin pukulan sekaligus!
“Sialan!”
maki Wiro. Dengan serta merta pendekar ini angkat kedua tangannya dan dorongkan
ke muka dalam jurus pukulan yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera! Dua
pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam hebat luar biasa saling bergulat
tindih menindih! Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini
menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali pertempuran yang begini hebat mereka
saksikan! Si Jubah Hitam kernyitkan kening tengkoraknya. Di kening Wiro
sebaliknya kelihatan butiran-butiran keringat. Braak! Lantai kayu jati yang
diinjak oleh Pendekar 212 hancur roboh!
“Celaka!”
keluh Pendekar 212. Ternyata tenaga dalam lawan tidak berada di bawahnya, malah
satu dua tingkat berada di atasnya! Dengan bersuit nyaring Wiro melompat mundur
sejauh dua tombak lalu jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut dan
jatuhkan diri di lantai dan seterusnya berguling cepat! Dengan demikian baru
dia berhasil menolak dan melebur serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang
sangat dahsyat itu!
“Gila
betul!” maki Wiro dalam hati. Kalau dihadapi terus manusia bermuka tengkorak
ini meski belum tentu dia bisa dikalahkan dengan mudah tapi bisa berabe! Maka
dengan cepat Wiro melompat menyambar tubuh Permani! Tapi celaka, begitu tubuh
sang dara berada di atas bahu kirinya, enam orang telah mengurungnya. Mereka
adalah tokoh-tokoh silat yang menjadi tamu dan bersahabat baik dengan kedua
Ketua Perguruan yang kini berada dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan
demikian manusia yang mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah dengan Si Jubah
Hitam! Si Jubah Hitam tertawa panjang.
“Enam manusia
tak tahu diri! Kalian mundur semua! Nyawa pemuda itu hak milikku!”
“Perempuan
muka tengkorak!” jawab seorang di antara yang enam sambil melintangkan
senjatanya yaitu sebuah ruyung perak.
“Urusanmu,
urusanmu! Kami juga punya kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak menculik
anak gadis sahabat kami!”
“Di
hadapan Iblis Tengkorak kalian berani jual tampang petantang petenteng!
Pergilah semua!” Si Jubah Hitam yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak dorongkan
kedua tangannya ke muka! Gelombang angin yang dahsyat menyambar. Laksana
daun-daun kering keenam tokoh silat itu terpelanting ke luar panggung! Dua
orang muntah darah. Empat lainnya melingkar pingsan di tanah! Sewaktu
orang-orang itu bertengkar mulut dan sewaktu Iblis Tengkorak menggempur keenam
tokoh silat, maka kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu dengan
cepat. Tapi lebih cepat lagi, tahu-tahu Si Jubah Hitam Iblis Tengkorak sudah
berada di depannya! Dan sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro
berkelit gesit dan selundupkan satu tendangan ke perut lawan! Tapi dengan sigap
Iblis Tengkorak hantamkan tangan kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan
lebih tinggi, Wiro terpaksa tarik pulang tendangannya dan sebagai gantinya
kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah.
“Apakah
tak ada ilmu pukulanmu yang lebih berguna?!” ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali
dia kebutkan lengan jubah hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang
berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya itu!
“Hebat
sekali iblis betina ini!” rutuk Wiro. Tubuh Permani diturunkannya, kemudian
diiringi oleh satu bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya
merupakan bayang-bayang! Dua gelombang angin pukulan melanda Iblis Tengkorak,
masing-masing pukulan Orang Gila Mengebut Lalat dan pukulan Angin Es. Angin
besar menderu-deru, mengibarkan jubah hitam Iblis Tengkorak. Sedang udara
mendadak sontak menjadi dingin luar biasa. Semua orang menggigil bergemeletukan
geraham mereka! Tapi Iblis Tengkorak ganda tertawa. Dua tangan memukul ke muka.
Dua larik sinar hitam menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat
tombak, pakaiannya robek hampir di setiap bagian sedang dari hidung dan sela
bibirnya kelihatan darah ke luar! Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir
pil. Matanya beringas galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang mendekat dengan
tertawa, Pendekar 212 segera sambut dengan pukulan Sinar Matahari.
“Aha!
Pukulan Sinar Matahari!” seru Iblis Tengkorak.
“Inilah
yang kutunggu!” Tangan kanannya bergerak membuat lingkaran, kemudian laksana
kilat dihantamkan ke muka! Terdengar suara laksana guntur! Satu gelombang angin
hitam bergerak berputar bergulung-gulung lalu menghantam ke muka laksana topan
prahara! Sinar putih perak pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212
tiada berdaya dan terbuntal dalam gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan
untuk kemudian melesat kembali menyerang dirinya sendiri, sekaligus bersama
serangan angin pukulan lawan! Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah
dilepaskan oleh Iblis Tengkorak!
“Tobat.”
keluh Pendekar 212! Tangan kanannya bergerak sebat! Selarik sinar putih yang
menyilaukan mata berkiblat dan, … Buum! Satu letusan yang luar biasa kerasnya
terdengar! Puncak Gunung Merapi bergetar! Suara letusan yang dipantulkan
kembali oleh dasar kawah tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ
merasakan dunia laksana mau kiamat! Iblis Tengkorak terkejut besar. Jantungnya
mendenyut sakit sedang kedua lututnya agak tertekuk! Ketika dia memandang ke
depan dilihatnya pemuda itu berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat pasi dan
sepasang mata merah sedang di tangan kanannya tergenggam sebuah kapak bermata
dua, yang gagangnya terbuat dari gading dan berbentuk kepala naganagaan!
Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat kehebatan senjata lawan! Kapak Maut Naga
Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang
dilepaskan tadi adalah pukulan paling hebat dan ganas yang dimilikinya! Selama
sepuluh tahun memiliki ilmu pukulan itu tak satu lawan gagahpun yang sanggup
menghadapinya! Tapi kini seorang lawan berusia muda sekali dengan Kapak Naga
Geni 212 berhasil memusnahkan pukulannya itu! Kedua mata Pendekar 212 terbuka
perlahan. Satu seringai maut tersungging di bibirnya. Parasnya yang selama ini
macam paras anak-anak dan tolol kini berubah total menggidikkan! Sinar matanya
laksana menembus tembok baja!
“Iblis
Tengkorak!” desis Wiro Sableng.
“Kalau
hari ini aku tak sanggup memisahkan kepala dan badanmu, biarlah aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan selama-lamanya!” Sebenarnya pemuda ini
sudah terluka di dalam. Tapi begitu Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya
satu aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan memberi kekuatan baru padanya
meskipun luka di dalam yang dideritanya tidak bisa dikatakan sembuh! Perempuan
muka tengkorak tertawa dingin.
“Keluarkan
semua ilmu simpananmu. Kalau kau punya sepuluh senjata cabut sekaligus agar
tidak mati penasaran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti tak
bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala enam tangan!”
“Manusia
sombong! Kalaupun aku mampus di tanganmu tapi kejahatan tak akan sanggup
menumbangkan kebenaran!”
“Jangan
mengigau di siang bolong! Hari ini gelar Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan
kuhapus dari dunia persilatan!” Iblis Tengkorak menggembor macam kerbau marah.
Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua belas serangan telah menyerbu Wiro Sableng!
Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak Naga Geni 212 berkiblat maka suara
menderu laksana suara ribuan tawon merangsang telinga! Sedang dari mulut sang
pendekar melengking suara siutan nyaring yang tak menentu dan menusuk
gendang-gendang telinga! Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. Putaran
angin kapak tak sanggup diterobos oleh pukulan-pukulan yang dilancarkannya.
Sebaliknya angin kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah pula
oleh suara mengaung serta siulan yang tiada hentihentinya menusuk liang
telinganya, membuat gerakangerakannya kacau balau! Dengan penasaran dan kalap,
dalam jarak sedekat itu Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk.
Tapi cepat-cepat dia tarik pulang tangan kanannya karena jurus putaran kapak
yang bernama Pecut Sakti Menabas Tugu yang dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir
saja membuat tangan kanannya terbabat putus! Semua orang yang menyaksikan tak
dapat lagi melihat wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyaksikan
lama-lama mata mereka menjadi sakit dan kepala masing-masing menjadi pusing!
Telah dua kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya namun tetap saja dia kena
didesak! Tubuhnya telah mandi keringat dingin. Tiba-tiba dengan licik manusia
muka tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 212 dan dari belakang
ini lancarkan satu serangan maut yang ganas! Tapi Wiro sudah lebih dahulu
rasakan datangnya angin serangan yang dingin di punggungnya. Dengan lancarkan
jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro balikkan badan! Iblis Tengkorak
tak mengira lawannya akan mengetahui posisinya dan bisa menyerang secepat itu.
Dengan gugup dia mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela Memanah
Rembulan yang tak asing lagi. Tangan kirinya membabat ke pinggang lawan. Jubah
hitam masih bisa berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat
dihindarkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah melesat menyambar
ke arah batang lehernya! Craas! Darah memancur. Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke
lantai panggung. Kepalanya menggelinding mengerikan! Semua orang menjadi
gempar! Dan ketika mereka memandang lagi ke atas panggung, Wiro Sableng sudah
tak ada. Bahkan kemudian mereka menyadari bahwa Permani pun tak ada lagi di
hadapan podium! Untuk kedua kalinya semua orang menjadi gempar!
**************
13
INIKAH
Goanya?” tanya Wiro seraya melompat turun dari punggung kuda. Dalam perjalanan
melarikan diri bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua ekor kuda hitam
milik anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti. Permani anggukkan kepala lalu
turun pula dari kudanya. Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa.
Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja keras beberapa lamanya baru
batu besar itu bisa disingkirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke
dalam.Ternyata goa itu cuma delapan tombak dalamnya.
“Kanda
Panuluh!” Tiba-tiba mengumandang pekik Permani. Dara ini laksana diburu sctan
lari ke depan dan meraung keras. Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama
tadi! Wiro Sableng berdiri termangu. Seorang pemuda yang berada dalam keadaan
menyedihkan tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai
besi yang dipakukan ke dinding kuat sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat.
Sekujur tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam bekas cambukan.
Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi lecet, sedang kedua mata bengkak
menggembung. Pada bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang telah
membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh pemuda itu. Wiro menggigit bibir.
Dia maklum kalau pemuda itu sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro
berteriak,
“Jangan!”
Dan secepat kilat melompat ke muka menangkap tubuh Permani.
“Bunuh
diri tak ada gunanya!” seru Wiro. Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati
maka tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa. Untung Wiro masih
sempat menghalanginya.
“Tenanglah
Permani,” bisik Wiro coba menghibur.
“Tidak!
Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!” teriak sang dara keras dan meronta-ronta laksana
orang gila!
“Jangan
mengambil jalan sesat!”
“Tak
perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi telah tiada!” Lengking Permani.
“Lepaskan!
Biar aku bunuh diri Wiro! Lepaskan!” Karena Permani adalah seorang gadis yang
mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah payah baru Wiro
berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan disandarkan ke dinding. Suara
tangisnya menyayat hati. Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang
mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu membaringkan pemuda itu di lantai goa.
Permani tutupkan kedua matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu.
“Apakah
ayahmu yang melakukan kekejaman ini?” tanya Wiro.
“Sokananta!
Dia dan orang-orangnyalah yang melakukan!”
“Bangsat
itu akan dapat ganjaran dariku kelak!” desis Wiro Sableng. Dia memandang ke
luar goa.
“Masih
ada waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum senja datang. Apakah
kau bisa menahan hati? Kalau tidak, aku tak bisa melepaskan totokanmu…” Permani
tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi seluruh goa. Wiro Sableng memanggul
mayat Panuluh dan membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia masuk,
Permani masih juga menangis meskipun kedua matanya yang seperti bintang timur
itu kini telah menjadi bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak berkata
apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan hentikan sendiri tangisnya, pikir
Wiro. Senja telah turun dan malampun tiba. Di luar angin malam yang dingin
merambas masuk ke dalam goa. Wiro merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi
tambah perih oleh hembusan angin dingin itu. Bila tangis Permani sudah mereda
maka Wiro berkata,
“Aku akan
cari makanan buat kita. Kau tunggulah di sini! Berteriak keras-keras kalau ada
apa-apa!” Kemudian Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia mencapai mulut
goa mendadak di luar sana, dalam kegelapan malam didengarnya suara semak
belukar bergesekan dan suara langkah-langkah kaki yang banyak sekali. Sesaat
kemudian kelihatanlah beberapa sosok manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang
maklum akan datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika terjadi
pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia bisa kepepet! Yang datang
berjumlah lima belas orang. Orang pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari
Sokananta, kemudian Bogananta, menyusul Manik Tunggul. Yang lainlainnya adalah
anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal
pedang! Ketika Wiro Sableng memandang ke ujung kanan, samarsamar di kegelapan
malam dilihatnya orang yang keenam belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat
sebelumnya waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar biasa seperli
bola api, lucunya celana panjang dan bajunya sangat kecil sekali, hampir-hampir
tak dapat menutupi tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia berkepala
botak ini memegang seuntai tasbih di tangan kirinya dan mulutnya senantiasa
komat-kamit tak bisa diam! Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke
hadapan Wiro dan membentak nyaring,
“Mana
anakku?!” Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada kuburan baru yang
tanahnya masih merah.
“Tanyakanlah
pada makam baru itu!” Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya.
“Bangsat
rendah! Anakku kau bunuh?!” Manik Tunggul menggeram dan sepuluh kuku-kuku
tangannya menyambar ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro.
“Mari
kita satai beramai-ramai jahanam ini!” teriak Bogananta seraya kiblatkan pedang
dan kirimkan satu tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang lainnya
segera menyerbu! Empat belas batang pedang berserabutan dan sepuluh jari
berkuku panjang mencakar dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut
menyerang ialah si gemuk pendek yang memegang tasbih. Dia memperhatikan saja
sambil mulutnya terus berkomatkamit!
“Tahan!”
teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu goa. Tapi yang menyerangnya terus
memburu!
“Sialan!
Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini jangan menyesal!” Bogananta dan yang
lain-lainnya tak ambil perduli. Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari
pinggangnya. Wuut! Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan tawon
menggerung dan empat anak buah Perguruan Merapi menjerit roboh mandi darah.
Yang lain-lainnya tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi kecut dan
bimbang untuk menyerbu kembali!
“Manik
Tunggul!” kata Wiro dengan suara keras sehingga semua orang mendengar.
“Anakmu
masih hidup. Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya lebih buruk
daripada seseorang yang telah mendahuluinya!”
“Kalau
masih hidup di mana dia sekarang?” tanya Sokananta lantang.
“Durjana
cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak bicara pada kau!” tukas Wiro. Kelamlah
paras Sokananta ditelan kemarahan!
“Lalu ini
kuburan siapa?!” tanya Manik Tunggul.
“Jangan
pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau lupa pada seorang pemuda bernama
Panuluh, yang ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan itu lalu
disekap di goa ini sampai akhirnya menemui kematian dalam cara yang
mengerikan?!” Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta. Tapi saat
itu Sokananta sudah membentak Wiro kembali,
“Lekas
katakan di mana calon istriku!” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Kekasihnya
kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah kau masih punya muka untuk mengawini
gadis itu?!” Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat. Manik Tunggul
masih memandang pada Sokananta, lalu bertanya,
“Calon
menantuku, apakah yang diucapkan bedebah ini betul?!” Sokananta tertawa.
“Namanya
saja manusia bedebah. Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia melarikan
Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini masih bisa dipercaya?! Dia
hendak mengelabuhi kita dan mengadu domba kita satu sama lain!” Wiro
menggerendeng.
“Keparat,
dosamu sudah lewat takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki dari
sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia pertama yang bakal kubelah
kepalanya sesudah empat krocomu itu!”
“Bangsat
rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos dari liang kubur yang telah kau
gali sendiri!” Sokananta palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang
tasbih.
“Tasbih
Kumala, kau tunggu apalagi?!” Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai.
Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga berkomat-kamit! Sekali dia
bergerak, tubuhnya sudah berada di samping Sokananta.
“Inikah
tampang manusianya yang kau minta aku untuk membereskannya, Soka?” tanya Tasbih
Kumala dengan mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokananta mengangguk. Tasbih
Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara tertawanya, laksana merobek
langit di malam hari itu! Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan
Wiro lalu membentak,
“Pemuda
bau pupuk! Betul kau orangnya yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212?!”
“Sobat,”
sahut Wiro,
“melihat
kepada gelarmu pastilah kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau.
Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau tak kuundang untuk
datang ke sini, sebaiknya segera angkat kaki!”
“Bapak
moyangmu!” bentak Tasbih Kumala, dia melangkah ke muka.
“Tunggu
dulu!” seru Manik Tunggul.
“Sebelum
kita mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu beberapa hal!”
“Ah, kau
hanya menambah panjang umurnya beberapa detik saja, Manik Tunggul!” kata
Bogananta.
“Sokananta,
betul kau yang menangkap dan menyiksa Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di
dalam goa ini?!” Sokananta jadi beringasan!
“Kenapa
antara kita musti berprasangka yang bukan-bukan?!” Wiro menengahi,
“Manik
Tunggul, kau juga ikut bertanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang
memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam cacingan ini! Kau gila nama
besar! Kau pengecut kelas satu yang mau menjual anak sendiri karena ditekan
oleh Ketua Perguruan Merapi…”
“Tutup
mulutmu!” teriak Manik Tunggul marah. Tiba-tiba Sokananta berteriak beri
komando. Maka Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguruan Merapi
segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri dengan bimbang. Dua orang anak
buahnya karena melihat Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam
pertempuran! Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perempuan,
“Wiro!
Wiro! Kaukah yang bertempur itu? Wiro…!” Mengenali bahwa itu adalah suara
anaknya yang ternyata masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan pikiran
jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba dia melompat ke muka dan
berteriak,
“Sokananta
bajingan! Kaulah yang jadi biang racun! Kau harus mampus di tanganku!” Sepuluh
kuku-kuku jari dengan ganas menyambar Sokananta! Karena tak diduga akan
diserang sehebat itu dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka
Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak punya kesempatan untuk mengelak!
***************
14
SEKEJAP
lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan mengeremus hancur muka Sokananta,
tiba-tiba, Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah kedua lengan Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu!
“Manik
Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah lawanmu!” Ketika berpaling ke kanan
ternyata yang menyampokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah di
kepala Manik Tunggul!
“Bogananta
keparat! Kau sama saja dengan anakmu!” Maka kedua orang itupun bertempurlah
satu lawan satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya lebih rendah
dan lawan bersenjatakan pedang pula maka lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun
kena didesak! Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan Tasbih
Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat, bertahan dengan hebat dan
sekali-sekali lancarkan serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan
dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keadaannya tak bisa dikatakan di
atas angin. Sokananta dan yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah
yang tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat, satu gelombang
angin yang laksana gunung beratnya menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan
bagaimana jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih sakti itu! Dua
jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul yang ikut mengeroyok Bogananta
mandi darah dilanda pedang.
Pada
jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan satu, Manik Tunggul telah
didesak hebat oleh Bogananta. Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus kesembilan
mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini dalam jurus kesepuluh kembali Manik
Tunggul didesak hebat! Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua
orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar jeritan Manik Tunggul!
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua tangan memegangi dada yang
robek besar dibabat ujung pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar
di tanah, detik itu pula nyawanya lepas!
“Jahanam!”
teriak Pendekar 212. Dari mulutnya terdengar suara bentakan menggeledek.
Tubuhnya melesat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 berkiblat
memancarkan sinar putih dan menebar suara bergaung.
“Ayah,
awas!” teriak Sokananta. Bogananta memang sudah melihat datangnya sambaran
senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan pedang mustikanya ke depan untuk
menangkis! Trang! Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan Bogananta
patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar lolongannya macam kerbau
disembelih! Batang lehernya hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke
tanah! Wuut! Satu sambaran angin mendera ke arah punggung Pendekar 212. Wiro
melompat ke muka dan balikkan badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang
menyerangnya ternyata Tasbih Kumala!
“Manusia-manusia
keparat!” kertak Wiro.
“Satu
nyawa Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!” Dari mulut
Pendekar 212 kemudian terdengarlah kumandang suara siulan yang menggidikkan
bulu roma! Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga pekikan
terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi! Lima korban terhampar di tanah!
Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih Sokananta. Hanya mereka berdua
kini yang masih hidup! Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek
Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan kanannya yang memegang tasbih
terbabat buntung. Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak Naga Geni
212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan badan Tasbih Kumala! Lumerlah
nyali Sokananta! Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh dan ambil
langkah seribu!
“Jahanam
cacingan! Kau mau minggat ke mana?! Tempatmu toh di neraka!” Wiro gerakkan
tangan kirinya. Siap untuk lepaskan pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya.
Sebagai gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! Tak ampun
lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu mendadak sontak menjadi kaku tegang!
Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah melepaskan totokan gadis
itu. Kegelapan malam, angin dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum,
tebaran mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupakan hal-hal yang
tidak enak bagi Wiro Sableng. Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian
berkata,
“Tak ada
gunanya tangis itu, Permani. Tak ada gunanya membuang-buang air mata lebih
banyak! Kejadian begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang Kuasa.
Masuklah ke dalam goa…” Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka
kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut goa, pandangannya
membentur Sokananta yang tegak kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah
Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang tersisip di pinggang
ayahnya dan berlari ke arah Sokananta seraya berteriak,
“Bangsat!
Kaulah yang jadi biang racun segala-galanya!”
“Permani!”
seru Sokananta dengan keras tapi gemetar.
“Ampunilah
selembar nyawaku ini.”
“Ini
ampun untukmu!” teriak Permani garang dan keris bereluk tujuh di tangan
kanannya dihunjamkannya keraskeras ke dada pemuda itu. Sekejap lagi ujung keris
akan menembus dada Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan Permani!
“Lepaskan
tanganku!” teriak si gadis kalap. Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu
silat serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak sukar juga bagi Wiro
menahan gadis itu.
“Dengar
Permani! Kematian dengan tusukan keris seperti ini terlalu enak baginya!” kata
Wiro.
“Bangsat
ini musti diberi ganjaran yang setimpal…!” Gelora amarah Permani menyurut. Dua
bola matanya memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian maklum apa
yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilemparkannya keris di tangan kanan. Lalu
dijambaknya rambut Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantairantai
besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani membelenggu kedua tangan dan
kaki Sokananta.
“Permani,
kau mau bikin apa…?!” tanya Sokananta. Keringat dingin membasahi sekujur
badannya. Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu masuk lagi di
tangannya ada seutas akar gantung sepanjang satu setengah tombak. Permani
putar-putarkan akar gantung itu di atas kepalanya.
“Permani…”
Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar gantung yang mendera dadanya.
Pakaiannya yang bagus robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan
kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan yang dahsyat! Sokananta
telah lama pingsan. Parasnya hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang
darah. Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecahpecah bermandi
keringat dan darah! Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di depan
mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. Kuburan Manik Tunggul yang
berdampingan dengan kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu
diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan dua ujung jari-jari
tangannya Wiro telah menggurat nama kedua orang itu.
“Kau akan
kembali ke kota?” tanya Wiro Sableng yang berdiri di samping Permani dan tengah
memandangi dua kuburan bertanah merah itu. Si gadis gelengkan kepalanya.
“Memang
tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik terus langsung pulang ke kota
kediamanmu…”
“Tidak,
aku tak akan kembali pulang.” Wiro kernyitkan kening.
“Lalu…?”
“Aku akan
tinggal di sini. Akan bertapa di goa…” Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia
berkata,
“Ibumu
akan susah bila kau tak kembali…”
“Setelah
ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di dunia ini…”
“Jadi
ibumu juga sudah meninggal?” Permani mengangguk.
“Kau tak
punya kerabat atau saudara?”
“Tidak…”
“Tapi
hendak bertapa dalam umur semudamu ini betulbetul belum masanya, Permani. Kau
menyia-nyiakan masa mudamu dan juga masa depanmu!”
“Masa
muda dan masa depanku tak ada lagi sejak orang yang kucintai masuk di bawah
tumpukan tanah merah itu…” sahut Permani dan butir-butir air mata berjatuhan
melewati kelopak kedua matanya. Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang
dara secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagaimana dia bisa
melarang? Diam-diam diperhatikannya paras Permani dari samping dan ketika gadis
itu memutar kepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk beberapa
lamanya.
“Dunianya
Panuluh berakhir sampai di tempat ini, Wiro,” bisik Permani.
“Aku akan
tinggal di sini sampai akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan
berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya…” Wiro Sableng merasa terharu
sekali. Betapa agungnya nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini.
“Di
samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat yang pernah diwariskan ayah…”
“Itu
sudah semestinya…” kata Wiro perlahan. Hatinya tetap menyayangkan keputusan
gadis itu untuk tinggal di goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam
ilmu silatnya.
“Dunia
ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap kejahatan kadangkala dibarengi
dengan ilmu yang tinggitinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui
nasib buruk…” Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu tundukkan
kepalanya dan untuk beberapa lamanya suasana diliputi kesunyian.
“Aku akan
mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari sini. Sebentar aku kembali…” kata
Wiro.
*************
15
KETIKA
berjalan kembali ke goa sehabis membersihkan tangan dan beberapa bagian
tubuhnya Wiro tersentak kaget. Telinganya yang tajam mendengar suara
ribut-ribut seperti suara orang berkelahi yang diselingi suara tertawa
gelak-gelak! Tanpa membuang waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di depan
goa, terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini! Dilihatnya Permani tengah
bertempur melawan seorang laki-laki berjubah kuning yang tangannya cuma satu.
Sebenarnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa Si
Jubah Kuning bertangan buntung itu tengah mempermain-mainkan Permani serta
kurang ajar dan sambil tertawa-tawa. Setiap kali dia bergerak tangan kanannya
meraba ke bagian-bagian tubuh Permani yang terlarang hingga gadis ini mengamuk
penuh amarah. Tapi semua serangannya luput! Tak jauh dari tempat terjadinya
perkelahian tegak berdiri orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma punya satu
mata alias picak! Dia menyaksikan perkelahian itu dengan gelak tawa gembira.
“Ayo
Sumplung! Robek saja pakaiannyal Biar mataku yang cuma satu ini bisa lihat
kebagusan tubuhnya! Ah…! Sudah lama mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha… ha…
ha!” Di samping si mata picak ini, tersandar ke sebatang pohon, kelihatan
sebuah lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu sudah agak kotor dan kayu
pigura bagian bawahnya ada bekas sambungan! Seperti kawannya, diapun memelihara
berewok. Kalau tadi Wiro sudah demikian terkejutnya melihat pertempuran antara
Permani dan si tangan buntung maka melihat lukisan telanjang itu puluhan kali
dia lebih terkejut! Tak bisa tidak kedua manusia berjubah kuning ini adalah
Sepasang Elmaut Kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan
perempuan telanjang itu! Ditambah dengan menyaksikan apa yang diperbuat si
tangan buntung terhadap Permani maka menggemuruhlah amarah Wiro Sableng.
“Iblis-iblis
kesasar! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang tahu-tahu kalian muncul di depan
hidungku!” Serentak dengan itu Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si
tangan buntung! Kedua manusia berjubah kuning itu memang bukan lain dari
Sepasang Elmaut Kuning adanya. Bagaimana mereka bisa sampai ke tempat itu?
Seperti telah diceritakan sebelumnya, mereka diam di sebuah goa yang terletak
di lembah berbatu-batu. Karena sebegitu jauh mereka belum juga bisa membongkar
rahasia yang tersembunyi di dalam lukisan perempuan telanjang maka keduanya
akhirnya memutuskan untuk pergi ke kampung tempat kediaman calon murid Si
Pelukis Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka menduga anak itu pasti mengetahui
rahasia tersebut dan kemudian memaksanya untuk memberi keterangan! Di samping
itu, diam lamalama di lembah batu sudah terasa tidak aman bagi Sepasang Elmaut
Kuning. Anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah
mengetahui tempat persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu telah
berhasil mereka kirim ke akhirat namun bukan tak mustahil banyak lagi
tokoh-tokoh silat akan mendatangi mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri
lukisan yang ada di tangan mereka. Maka keduanyapun berangkatlah meninggalkan
lembah batu. Dalam perjalanan mereka melewati tempat di mana Permani berada dan
yang saat itu tengah berdiri di depan makam Panuluh dan ayahnya. Melihat gadis
cantik di tengah daerah liar begitu rupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning
jadi tertarik. Nafsu bejat merangsang keduanya dan Elmaut Kuning Kuping
Sumplung ‘turun tangan’ lebih dulu hingga akhirnya terjadilah pertempuran!
Sepasang Elmaut Kuning bukan kepalang terkejut mereka sewaktu mendengar bentak
memaki Wiro Sableng. Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah menjamahi
tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia dengan cepat menyurut mundur sewaktu
merasa satu angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja dia tidak
lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan dibuat mencelat mental!
“Pemuda
gondrong hina dina!” bentak Kuping Sumplung.
“Siapa
kau?!”
“Kau dan
kambratmu yang bermata satu itu pastilah Sepasang Elmaut Kuning!”
“Hem…
matamu cukup tajam untuk mengenali kami. Lekas terangkan siapa kau dan apakah
mau mencari mampus sengaja membuat kericuhan di sini?!” Wiro tertawa mengejek.
“Mataku
bukan cuma cukup tajam mengenali tampang-tampang kalian, tapi juga mengetahui
bahwa kalianlah bangsat-bangsatnya yang telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu
melarikan lukisan perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping sumplung
bertangan buntung berani bikin kurang ajar terhadap kawanku!”
“Ho… ho,
jadi kau adalah kawannya si cantik ini?! Kalau begitu biar kau kubikin mampus
lebih dulu agar kami berdua tak banyak rintangan untuk menikmati tubuhnya
nanti!” Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup ucapannya dengan serangan tangan
kanan yang hebat dan berkekuatan sepertiga tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia
berharap akan dapat membuat pemuda itu menemui ajalnya, sekurang-kurangnya luka
parah dan cacat seumur hidup! Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika
melihat bagaimana pemuda itu bukan saja berhasil mengelakkannya tapi juga ganti
membalas dengan satu serangan yang ganas! Elmaut Kuning Kuping Sumplung
melompat ke samping. Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras sedang kaki
kanan serentak dengan itu menendang ke pinggang. Inilah jurus yang dinamakan
Dua Palu Sakti Melanda Mega. Angin serangannya saja hebatnya bukan olah-olah!
Pendekar 212 Wiro Sableng melompat satu setengah tombak ke udara. Tendangan
maut lawan lewat, sebaliknya dengan tangan kirinya Wiro sengaja memapasi lengan
lawan. Elmaut Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang! Seluruh tenaga dalamnya
dialirkan ke tangan kanan! Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan
penjuru angin, Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga dalamnya jauh lebih tinggi
dari lawan. Dia sengaja mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan
lengan dan memastikan lengan lawannya akan patah! Di lain pihak memang
bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro Sableng! Sekejap kemudian lengan kedua
orang yang bertempur itupun beradu! Wiro Sableng mengerenyit. Lengannya
tergetar sakit. Kulitnya keriputan dengan serta merta. Sebaliknya dari mulut
Elmaut Kuning Kuping Sumplung terdengar suara pekik setinggi langit. Dia
melompat dua tombak ke belakang. Lengannya yang beradu kelihatan terkulai
bergoyang-goyang! Ternyata tulang lengannya telah patah! Untung daging lengan
itu hanya sebagian saja yang hancur, kalau tidak pasti di saat itu juga lengan
kanan Kuping Sumplung akan putus dua! Namun demikian keadaan Kuping Sumplung
adalah parah sekali! Tak mungkin baginya untuk meneruskan pertempuran! Bahkan
mungkin lengannya itu tak bisa dipergunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan
menggigit bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapa urat di
pangkal bahunya. Rasa sakitpun hilang. Melihat kambratnya dibikin demikian rupa
marahlah Elmaut Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas kaku karena luapan
amarah itu! Di samping marah dia juga terkejut karena tidak menyangka bahwa
pemuda bertampang tolol itu berkepandaian sedemikian tingginya! Dengan
langkah-langkah besar Mata Picak maju ke hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Budak
anjing hina dina!” bentaknya,
“Aku tak
begitu senang membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa adanya! Lekas
terangkan namamu!” Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang.
“Bicaramu
keren sekali, Mata Picak,” sahut Wiro. Dia melirik pada Elmaut Kuning Kuping
Sumplung yang duduk menjelepok di tanah sambil berusaha mengobati lengannya
yang patah.
“Namaku
kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau kenal dengan tiga buah angka ini?!” Habis
berkata begitu Wiro pukulkan telapak tangan kanannya ke arah dada Mata Picak.
Selarik angin menyambar panas!
“Kurang
ajar!” maki Mata Picak seraya menyingkir ke samping. Dia terkejut ketika
mendengar suara jeritan di belakangnya. Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping
Sumplung yang menjelepok di tanah terjerongkang ke belakang, menggeletak di
tanah tanpa bergerak lagi! Dan di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas
kelihatan tiga buah angka putih 212! Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak!
Sejak hampir satu tahun belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya
seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh
silat golongan hitam menemui ajal di tangannya! Bahkan banyak pula
partai-partai silat yang hancur diobrak-abrik Pendekar 212! Pendekar itu sudah
merupakan momok paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dan kini
tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan dengan Pendekar 212 itu! Lebih tidak
dinyana lagi ialah bahwa Pendekar 212 itu adalah seorang pemuda belia
bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa kawannya, di depan mata kepalanya
sendiri! Mata Picak yang berotak cerdik dan tahu bahwa pemuda itu bukan lawan
enteng serta mengkhawatirkan pula akan lukisan perempuan telanjang, sambil
tertawa dan berbatuk-batuk berkata,
“Ah… ah…
dengan seorang gagah! Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212!”
Lalu dengan rangkapkan tangan di muka dada dia meneruskan,
“Sebenarnya
antara kita tak ada permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini baru
bertemu muka. Gerangan apakah yang membuatmu sampai demikian tega merampas
nyawa sahabatku?!” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Kalau
tak ada hujan masakan ada geledek!” kata Wiro.
“Kambratmu
itu telah berani berlaku kurang ajar terhadap sahabatku…”
“Hem…,” Mata
Picak menggumam dan tarik nafas panjang.
“Sahabatku
itu memang ceriwis dan tak boleh lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia sudah
menebus kekurangajarannya itu dengan nyawanya sendiri? Sekarang antara kita tak
ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain hari kuharap bisa bertemu dengan
kau lagi!”
“Mana
bisa kau pergi seenaknya!” Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro.
“Kau
telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan yang tersandar di pohon itu!
Untuk itu kau patut menerima hukuman!” Paras Mata Picak berubah membesi.
“Agaknya
kau punya sangkut paut dan hubungan tertentu dengan Si Pelukis Aneh…”
“Ada
hubungan atau tidak, kau tak usah ambil perduli. Yang penting kau musti
serahkan lukisan itu kepadaku! Sedang sebagai hukuman karena telah membunuh Si
Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu yang tinggal satu itu!” Elmaut
Kuning Mata Picak tertawa terbahak-bahak.
“Aku
sudah relakan kematian sobatku. Sekarang kau minta barang yang bukan milikmu.
Menyuruh aku mencungkil mataku sendiri! Sungguh keterlaluan! Nama besarmu
terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini juga!” Begitu selesai bicara Mata
Picak menggembor dan menerjang ke muka. Dalam sekejap saja kedua orang ini
sudah terlibat dalam satu pertempuran dahsyat. Gerakan Mata Picak hebat sekali,
tubuhnya lenyap. Hanya bayangan sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan
menelikung mengurung tubuh Pendekar 212! Di lain pihak begitu diserang lawan
Wiro segera maklum bahwa Mata Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi
dari Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-hati Wiro melayani lawannya ini.
Dalam tempo yang singkat sepuluh jurus sudah berlalu! Elmaut Kuning Mata Picak
membentak nyaring dan tukar permainan silatnya dengan jurus-jurus yang disebut
Elmaut Menggila. Untuk lima jurus lamanya Wiro Sableng bertahan mati-matian.
Lima jurus kemudian Pendekar 212 mulai terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul
Wiro percepat gerakannya tapi dia terkejut ketika di sekelilingnya terdengar
suara, wutt… wutt… wutt… wutt! Selarik sinar hijau melingkarinya dan
mengeluarkan angin dingin yang menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! Wiro tak
tahu senjata apa yang di tangan lawan, karena gerakan yang dibuat Mata Picak
sangat cepat luar biasa! Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya
semakin mengendur sedang setiap serangannya senantiasa terbendung oleh
lingkaran sinar hijau! Breet! Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat
mundur. Parasnya berubah. Pakaian putih di bagian dadanya robek besar. Belum
sempat dia berbuat sesuatu apa, tiba-tiba Mata Picak sudah menyerangnya lagi.
Meski sekilas tapi Wiro berhasil melihat senjata-senjata di tangan lawannya.
Senjata itu ternyata adalah sebuah kebutan yang terbuat dari bulu-bulu halus
berwarna hijau! Wuuut! Kebutan itu menderu lagi dengan hebatnya. Dua tiga kali
Wiro lepaskan pukulan yang mengandung tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di
tangan lawan benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-pukulan tangguhnya
itu. Wiro mulai memaki-maki dalam hati. Suara siulan mengumandang aneh dari
sela bibirnya! Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tiba-tiba jarijari
tangan itu telah berubah menjadi putih dan kukukukunya laksana kilauan perak
mendidih!
“Mata
Picak ayo tangkis pukulan Sinar Matahari-ku ini!” teriak Wiro Sableng.
Mendengar
nama pukulan itu, Elmaut Kuning Mata Picak lipat gandakan tenaga dalamnya dan
mendahului menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah turunkan tangan
kanannya! Wuss! Mata Picak terpekik! Kebutan di tangannya mental dan hancur
bertaburan sedang tangan kanannya hangus hitam laksana terbakar! Buru-buru
manusia ini alirkan tenaga dalamnya ke tangan yang terluka, telan sebutir pil
dan atur jalan darah! Untuk menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat
besar di bahunya! Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia ini. Seseorang
yang tersambar pukulan Sinar Matahari biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan
menggeletak mati!
“Anjing
hina dina! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Mata Picak. Mulutnya
berkomat-kamit, kedua tangan diangkat ke atas dan memancarkan sinar
kekuningkuningan. Melihat ini Wiro segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Lalu
Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan kedua tangannya ke muka. Terdengar suara
menderu laksana topan prahara. Dua gelombang sinar kuning melesat. Puluhan Paku
Emas Beracun bertaburan menyambar ke arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng!
Kapak Naga Geni 212 berkiblat membuat gerakan setengah lingkaran! Sinar putih
menyilaukan menggebu ke muka memapasi dua gelombang sinar kuning yang
melesatkan puluhan paku-paku emas beracun. Laksana daun kering dihembus angin
puting beliung demikianlah bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut Kuning
Mata Picak itu! Mata Picak tersirat kaget. Mukanya pucat laksana mayat! Selama
sepuluh tahun ini tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup menumbangkan pukulan
Paku Emas Beracunnya itu demikian hebatnya! Apalagi serangan itu tadi dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! Melihat ini dan memaklumi bahwa
naga-naganya dia akan mencari penyakit jika meneruskan pertempuran maka tak
ayal lagi Mata Picak segera melompat mundur, menyambar lukisan perempuan
telanjang dan larikan diri dengan cepat!
“Hai!
Jalan ke neraka bukan ke situ Mata Picak!” seru Wiro Sableng. Dia mengejar
dengan sebat. Enam langkah di belakang lawan Wiro buat gerakan Burung Walet
Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara dan ketika turun tahu-tahu sudah
menghadang larinya Mata Picak!
“Keparat!
Mampuslah!” hardik Mata Picak dan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan
tangan kirinya! Tapi sekali ini dia terlambat! Belum lagi paku-paku itu
berlesatan, Kapak Naga Geni 212 sudah membabat dan, cras! Putuslah lengan kiri
Mata Picak! Manusia ini meraung kesakitan. Tubuhnya terasa panas. Dari
buntungan tangannya mengalir hawa aneh yang menggidikkan bulu kuduknya. Pasti
racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata
Picak hantamkan lukisan perempuan telanjang ke kepala Wiro Sableng. Wiro
menangkis. Braak! Kayu lukisan itu hancur berantakan. Bagian bawah dari lukisan
robek sepanjang setengah jengkal! Mata Picak makin penasaran dan kirimkan satu
tendangan kilat ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni menderu turun. Untuk
kedua kalinya terdengar suara cras! Untuk kedua kalinya pula terdengar raungan
Mata Picak. Betisnya telah terbabat putus. Tak ampun lagi tubuhnya tergelimpang
ke tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar macam ikan meregang
nyawa. Kemudian tubuhnya tak bergerak lagi tanda rohnya melayang sudah!
Wiro
Sableng usap-usap lengannya yang dihantam pigura lukisan. Lengan itu lecet dan
bengkak, tapi tidak mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di tanah
dan kembali ke depan goa.
Permani
tak kelihatan di situ. Tentu di dalam goa, pikir Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi
sang dara juga tak kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di
dinding. Sekujur tubuhnya bergelimang darah. Mukanya hancur. Ketika didekati
dan diperhatikan oleh Wiro, ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi!
Pembalasan yang setimpal telah didapatnya!
Wiro
keluar dari goa dan berseru memanggil Permani. Tak ada jawaban. Dia memandang
kian kemari. Pada saat itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro
terkejut dan membacanya:
“Permani
berjodoh untuk jadi muridku, pengganti Anggini. Sampai jumpa, Dewa Tuak.”
Membaca
tulisan di atas tanah itu, legalah hati Wiro Sableng. Dia bersyukur Dewa Tuak
melakukan hal itu. Bukan saja Permani kelak bakal mendapat pelajaran ilmu silat
dan ilmu kesaktian yang tinggi, tapi yang lebih penting bagi Wiro ialah bahwa
gadis itu tak jadi meneruskan niatnya untuk hidup sebagai pertapa!
Wiro
mendongak ke langit. Matahari telah tinggi, hampir mencapai titik kulminasinya.
Wiro kemudian memperhatikan lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah
hancur bagian bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia memperbaiki kayu pigura
yang hancur itu dan menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian baru
membawanya ke tempat kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh itu?
Dia menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua bulan belakangan ini telah
diperebutkan oleh belasan tokoh silat dan beberapa buah partai serta perguruan.
Membawanya secara terang-terangan pastilah akan mencari kesulitan karena
lukisan diincar oleh hampir semua tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari
golongan hitam! Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
Akhirnya
Wiro Sableng mendapat akal. Dibukanya keempat sisi kayu pigura lukisan itu satu
demi satu. Dengan menggulung lukisan itu dan menyimpannya di balik pakaian
pasti akan aman dalam perjalanan. Ketika kayu pigura sudah dilepaskan, ketika
Wiro hendak menggulung lukisan itu, jari-jari tangannya merasakan kain lukisan
itu bergeser-geser. Diperhatikannya dengan teliti. Ternyata di bawah kain
lukisan perempuan telanjang itu, terdapat lagi sebuah kain lain yang putih
bersih. Tentunya ini sebagai alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba
kain putih di bagian bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap.
Terkesiaplah
Wiro Sableng sewaktu melihat bagian pada kain yang disangkanya cuma sebagai
alas itu ternyata terdapat tulisan-tulisan banyak sekali dan juga gambargambar
orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata semua tulisan dan
gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu silat aneh yang mengandung jurus-jurus
luar biasa hebatnya!
Wiro
geleng-gelengkan kepala. Rupanya inilah rahasia besar yang disembunyikan Si
Pelukis Aneh dalam lukisan perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh
tak mau menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan meskipun sudah ditawar
duaratus ringgit. Sungguh cerdik sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat
yang hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti lagi pelajaran
silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis Aneh menamakan ilmu silatnya
itu Ilmu Silat Selusin Jurus Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh
pelajaran berjumlah dua belas jurus tapi bisa dipecah-pecah sampai puluhan anak
jurus! Wiro harus mengakui kehebatan ilmu silat yang ditulis oleh Si Pelukis
Aneh itu. Tak dapat tidak, siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang
tokoh besar yang dikagumi dalam dunia persilatan! Sebagai seorang pendekar
berhati polos jujur, Wiro tak mau mencuri mempelajari ilmu silat itu.
Perlahan-lahan digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian diapun
sudah berlalu dari situ.
TAMAT
No comments:
Post a Comment