Delapan Sukma Merah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Kucing
putih terkapar di tangga candi. Seperti kesetanan delapan anak kucing merah
langsung membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok kucing putih
lenyap, bahkan tulangnyapun tidak bersisa. Di atas pohon ratu randang yang
bersembunyi dibalik kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin, bulu
kuduk merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia
membayangkan bagaimana nasib dirinya kalau tadi sampai terlambat keluar dad
sosok kucing putih itu. "delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka?
Binatang sungguhan atau jejadian? Benjolan merah di kening. Jumlah yang
delapan. Mereka pasti ada hubungan dengan dua sinuhun keparat itu…!"
*********************
1
HUJAN
rintik-rintik masih terus turun walau langit tampak cerah. Candi Kalasan
menjulang gagah meski banyak bagian candi rusak dan tertutup lumut karena tidak
terawat. Konon candi ini dibangun puluhan tahun silam oleh Raja Kedua dalam
silsilah Mataram Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Seperti dituturkan
dalam episode sebelumnya (Tabir Delapan Mayat) ketika Pendekar 212 Wiro Sableng
dan Empat Mayat Aneh berada di halaman candi, tiba-tiba menggelegar suara
mengorok keras. Begitu memandang ke bagian belakang candi, Wiro melihat satu
sosok raksasa menyembul, melebihi tingginya candi! Mahluk ini mengenakan jubah
biru tak berkancing menyibak dada penuh ditumbuhi bulu. Kepala botak memiliki
sebuah tanduk berwarna merah. Kumis dan janggut serta sepasang alis hitam
berkilat, mencuat ke atas. Mahluk mengerikan ini memiliki sepasang mata besar
menjorok keluar, berwarna putih dengan titik kecil aneh di sebelah tengah. Dari
balik candi dia mengangkat tangan kiri, menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng sambil hembuskan nafas yang memerihkan mata.
"Arwah
Ketual" Ucap Wiro. Lalu pada Empat Mayat Aneh yang ada di dekatnya, Wiro
memberi tahu. "Sebelumnya mahluk ini bermaksud jahat hendak membunuhku.
Kali ini kalau dia hendak melakukan kembali, aku tidak perduli larangan
Sepasang Arwah Bisu! Aku akan menghabisinya!"
Empat
Mayat Aneh saling pandang mendengar ucapan Wiro.
"Pemuda
keparat! Lancangnya kau berani menyebut langsung namaku! Semua orang di Bhumi
Mataram memanggilku dengan sebutan Kanjeng!" Arwah Ketua memaki marah.
Tanduk di kepalanya pancarkan cahaya merah terang.
Wiro
pencongkan mulut lalu prett! Keluarkan suara seperti orang kentut.
Mayat
Aneh Kedua berkata. "Aku mencium bau amis."
"Bau
amis itu adalah bau amis sosok Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang disusupkan
masuk ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ini semua perbuatan jahat keji Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Aku menaruh kasihan pada mahluk raksasa ini. Tapi kalau dia
memang ingin membunuhku, apa boleh buat. Aku terpaksa menghabisinya lebih
dulu!"
"Kalau
dalam tubuhnya memang ada roh jahat Ketua Jin Seratus Perut Bumi, lebih baik
serahkan pada kami. Biar kami menguliti!" Kata Mayat Aneh Ketiga lalu
memberi isyarat pada tiga saudaranya.
"Kalian
akan mengulitinya? Seperti menguliti kerbau?!" tanya Wiro sambil menggaruk
kepala heran. "Ah, ini satu ilmu baru yang ingin sekali aku
menyaksikannya!"
Empat
Mayat Aneh saling mendekat lalu tempelkan dua tangan satu sama lain.
"Delapan
Pahat Pengikis Arwah!"
Empat
Mayat Aneh serentak sama keluarkan seruan.
"Sreettt!"
Gulungan
kain putih yang membungkus sepasang tangan Mayat Aneh bergulung membuka sampai
ke
pergelangan.
Delapan tangan tersingkap.
"Dess!
Dess! Dess! Desss!"
Ujung
tangan yang seharusnya berupa lima jari ternyata berubah berbentuk sebuah pahat
besar. Delapan pahat angker terpentang berkilau saking tajamnya.
Mahluk
raksasa Arwah Ketua kembali keluarkan suara mengorok. Demikian hebatnya hingga
tanah bergetar. Mulut menyeringai memperlihatkan gigi dan taring besar tajam
mengerikan. Tangan kanan diletakkan di bagian atas candi lalu mencengkeram
seolah siap hendak mematah menghancurkan.
Melihat
hal ini Mayat Aneh Kesatu usap mata, Mayat Aneh Kedua mengusap mulut sambil
menunjuk ke arah candi dan berteriak.
"Mahluk
raksasa! Siapapun kau adanya! Jika kau berani merusak Candi Kalasan biar kami
berempat mewakili kemurkaan Para Dewa!"
"Siapa
takut murkanya Dewa!" jawab Arwah Ketua takabur. "Junjunganku adalah
Sinuhun Merah Penghisap Arwah!"
"Jelas
sudah! Jelas sudah kaki tangan siapa mahluk ini adanya!" Berkata Mayat
Aneh Keempat.
Arwah
Ketua kembali menyeringai. Tampangnya yang angker tampak kaku membesi. Tangan
kanan diturunkan ke partengahan bangunan candi. Lalu sambil keluarkan teriakan
menggelegar dia membuat gerakan mendorong.
"Rrreeekkkkkk!"
Candi
Kalasan bergoyang keras lalu bergeser ke depan hampir setengah tombak! Empat
Mayat Aneh cepat melompat berpencar. Dua ke samping kiri candi, dua lainnya ke
sebelah kanan candi. Sementara Wiro sendiri menyaksikan apa yang dilakukan
Arwah Ketua terkagumkagum, sesaat jadi lupa kalau mahluk raksasa ini punya
niat hendak membunuhnya.
"Saudara-saudaraku!
Saat menguliti sudah tiba! Lakukan sekarang juga!" Berteriak Mayat Aneh
Kesatu.
Empat
Mayat Aneh kemudian melesat ke udara. Delapan tangan berbentuk pahat menderu ke
arah Arwah Ketua.
"Mahluk-mahluk
salah ujud! Kalian memang sudah saatnya disingkirkan dari Bhumi Mataram untuk
selamalamanya!" Membentak Arwah Ketua. Dua tangan dipentang ke udara. Dua
telapak tangan dikembang lalu digerakkan dibolak balik! Tidak ada sambaran
angin, tidak ada getaran, bahkan tidak ada suaral Namun saat itu juga Empat
Mayat Aneh dapatkan diri mereka yang tengah melesat di udara dan hanya tinggal
sepejangkauan dari sosok lawan tiba-tiba mengapung tak mampu bergerak. Naik
tidak, turunpun tidak!
"Ilmu
Menahan Angin Menggantung Arwah!" Teriak Mayat Aneh Kesatu yang mengenali
nama ilmu kesaktian yang dikeluarkan Arwah Ketua untuk menyerang diri dan tiga
saudaranya.
"Celaka
kita semua!" Berteriak Mayat Aneh Ketiga.
"Pelihara
mulut hanya bicara kebaikan! Mengapa menyumpahi diri sendiri! Pergunakan akal!
Menangkal serangan memakai kesaktian lawan! Lekas kalian menyirap membayangkan
Batu Asmasewu yang ada dalam tubuh Arwah Ketua! Pasti tembus!" Yang
berteriak adalah Mayat Aneh Kedua.
Batu Asmasewu
adalah sebuah batu sakti luar biasa, berukuran seujung ibu jari tangan,
berwarna hijau bergemerlap. Batu sakti ini selalu dibawa kemana-mana oleh Arwah
Ketua karena berada di dalam rongga dadanya.
Setelah
berteriak, diikuti oleh tiga saudaranya Mayat Aneh Kedua pejamkan mata
membayangkan sosok tubuh Arwah Ketua di bagian dada!
"Celaka!"
Mayat Aneh Keempat berteriak.
Menyusul
Mayat Aneh Ketiga berseru. "Batu Asmasewu tidak terlihat di dalam tubuh
mahluk raksasa itu!"
"Jangan-jangan
sudah digasak Sinuhun keparat!" Teriak Mayat Aneh Kesatu.
Arwah
Ketua yang masih berada di belakang Candi Kalasan tertawa bergelak.
"Ajal
kalian sudah di depan mata! Ha …ha…ha!"
Mayat
Aneh Keempat gerakkan tangan hendak menekap bagian bawah perut tapi sampai saat
itu dia sama sekali tidak mampu menggerakkan tangan ataupun kaki. Namun mahluk
ini tidak kehabisan akal.
"Air
Dosa Penangkal llmu Gaib!" Teriak Mayat Aneh Keempat.
Tiga
Mayat aneh lainnya tersentak kaget lalu!
"Rrrrttttt!
"
"Edan!"
Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi.
Gulungan kain putih yang membungkus bagian bawah perut Empat Mayat Aneh
bergulung membuka. Empat burung lucu tak bersayap mencuat keluar lalu serrrrr!
Empat larik air kencing menderu deras ke arah sosok Arwah Ketua.
"Jahanam
kurang ajar!" Arwah Ketua memaki marah. Tampangnya yang garang tampak
berubah. Sementara Empat Mayat Aneh tertawa haha-hihi. Arwah Ketua keluarkan
suara mengorok keras. Mahluk raksasa ini cepat melompat mundur menghindari
siraman empat larik air kencing. Namun serangan aneh berupa semburan air
kencing itu tidak semuanya dapat dihindari!
Arwah
Ketua menggeliat dan berteriak keras ketika ada sebagian curahan air kencing
menyiprat mengenai pipi kiri serta membasahi bahu kanan.
"Tembus!"
Teriak Mayat Aneh Keempat.
*********************
2
BEGITU
air kencing mengenai kepala dan bahunya, ilmu kesaktian Arwah Ketua Menahan
Angin Menggantung Arwah yang menguasai Empat Mayat Aneh sera merta menjadi
musnah. Saat itu juga Empat Mayat Aneh mampu menggerakkan lagi dua tangan dan
kaki. Sementara gulungan kain putih di bagian bawah perut kembali bertaut,
Empat Mayat Aneh melesat dua tombak ke atas, jungkir balik satu kali lalu
secepat kilat melayang turun ke arah Arwah Ketua. Delapan tangan berbentuk
pahat besar dan luar biasa tajam menderu mengerikan. Arwah Ketua mengorok
marah. Dua tangan dipentang untuk melindungi diri dengan ilmu yang disebut
Seribu Arwah Menutup Awan Memagar Langit. Namun delapan tangan berbentuk pahat
besar keburu menyusup. Lalu terdengar suara sett…sett berulang kali disertai
teriakan kesakitan menggelegar dari mulut Arwah Ketua. Dari tempatnya berdiri
Wiro hanya melihat cahaya delapan pahat berkiblat tiada henti. Beberapa kejapan
mata berlalu tiba-tiba braakkk! Satu benda aneh terkapar di halaman candi, tepat
di depan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat murid Sinto Gendeng tersurut kaget
dua langkah. Hidung mencium bau amis luar biasa santar. Mata mendelik
memperhatikan. Padahal saat itu dia tengah memikirkan sesuatu. Yaitu air
kencing Empat Mayat Aneh yang mampu memusnahkan ilmu kesaktian Arwah Ketua. Dia
coba mengingat-ingat dan menghubungkan hal yang barusan disaksikan dengan satu
kejadian lain di masa lalu. Namun jalan pikirannya jadi buyar. Ketika dia
menatap ke depan, astaga! Satu benda aneh menyerupai kulit binatang teronggok
di tanah setinggi pinggang. Bagian yang berasal dari kepala memiliki cula
merah, kumis, alis serta janggut hitam. Bagian dada dipenuhi bulu! Lalu ada
bagian membentuk dua tangan dan kaki. Wiro merasa tengkuknya merinding dingin.
"Ilmu
menguliti mahluk…. Delapan Pahat Pengikis Arwah," ucap Wiro dengan suara
bergetar. "Apa ini benar tubuh Arwah Ketua yang telah dikuliti? Lalu mana
ujud asalnya? Mana tulang belulangnya? Tidak ada daging, tidak ada darah!"
Wiro
melirik ke arah Empat Mayat Aneh. Empat mahluk itu ternyata dalam keadaan tegak
mematung. Gulungan kain putih yang menutup kepala, di bagian mulut tampak
berwarna merah. Wiro terkejut.
"Mereka
terluka di dalam…."
Baru saja
Wiro keluarkan ucapan tiba-tiba satu benda merah panas menyala laksana ular
besar dan panjang melesat ke arah lehernya.
Walau
belum jelas mengetahui benda apa yang menyerang Wiro cepat jatuhkan diri sambil
menghantam dengan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung.
Satu
raungan keras menggelegar di tempat itu. Memandang ke depan Wiro melihat sosok
Ketua Jin Seratus Perut Bumi yang kaki kirinya buntung sebatas paha terjajar
beberapa langkah ke belakang. Benda merah panas yang bukan lain adalah lidah
panjangnya putus di sebelah tengah. Bagian yang terlampar ke udara berubah
menjadi kobaran api lalu lenyap. Bagian lidah yang masih berada dalam mulut
kepulkan asap merah disertai hamparan bau amis!
"Mahluk
jahanam dari alam delapan ratus tahun mendatang! Hari ini aku mengadu nyawa
denganmu!" Ketua Seratus Jin Perut Bumi keluarkan ancaman. Suaranya sember
karena lidah telah menjadi pendek. Dua tangan dipentang. Didahului teriakan
keras mendadak sontak dua lengan menjulur panjang dan sepuluh jari mencuat
berubah menjadi cakar elang raksasa!
"Breettt!"
Baju
Pendekar 212 robek di bagian dada terkena sambaran cakar tangan kiri Ketua
Seratus Jin Perut Bumi.
Empat
Mayat Aneh yang baru saja selesai mengobati luka dalam mereka dengan cara
menghimpun hawa sakti gaib berseru kaget.
"Sahabat!
Biar kami habisi mahluk laknat alam roh ini!" Teriak Mayat Aneh Ketiga.
"Yang
satu ini bagianku!" Jawab Wiro lalu tidak menunggu lebih lama dia melesat
ke udara. Dua kaki menderu mengirimkan tendangan berantai ke arah muka Ketua
Seratus Jin Perut Bumi.
"Praakk….
praakk!"
Wajah
Ketua Seratus Jin Perut Bumi remuk di bagian dagu dan pipi kiri. Namun sosoknya
tetap berdiri malah menggereng garang seperti harimau terluka. Hebatnya, dagu
dan pipi yang hancur sesaat kemudian kembali bertaut seperti semula! Tampang
menyeringai, mulut terbuka lalu meniup!
"Wusss!"
Satu
gelombang angin amis berwarna kehitaman menderu menyambar ke arah Pendekar 212.
Bersamaan dengan itu dua tangan Ketua Jin Seratus Perut Bumi berkelebat ke
depan. Gerakan yang luar biasa cepat nyaris menelikung tubuh Wiro kalau Empat
Mayat Aneh tidak menghalangi dengan serangan delapan tangan yang masih
berbentuk pahat besar!
"Crass!
Crasss!"
Dua pahat
menghunjam lengan kiri kanan. Ketua Jin Seratus Perut Bumi mengerang pendek
lalu dukk! Kaki kanannya yang masih utuh berhasil menendang Mayat Aneh Ketiga
hingga mencelat mental dan jatuh di atas peti mati. Megap-megap sebentar lalu
diam tak berkutik, entah mati entah sudah menemui ajal!
Tiga
Mayat Aneh lainnya berteriak marah. Mereka siap menyerbu namun Wiro yang tidak
mau membuang waktu segera berteriak.
"Sahabat
bertiga lekas menyingkir!"
"Kau
mau melakukan apa? Mahluk keparat ini telah membunuh saudara kami Mayat Aneh
Ketiga. Biar kami….. " Berteriak Mayat Aneh Keempat.
"Kalau
begitu kalian lekas menolong Mayat Aneh Ketiga sebelum rohnya minggat!"
balas berteriak Wiro.
Tiga
Mayat Aneh merasa kurang senang. Ketika mereka memandang ke arah Wiro. Saat
itulah mereka melihat satu cahaya putih menyilaukan menderu dahsyat keluar dari
tangan kanan pemuda yang mereka kenal dengan sebutan Kesatria Panggilan itu.
Mayat
Aneh Keempat cepat dorong dua saudaranya hingga terpelanting jatuh lalu dia
sendiri jatuhkan diri bergulingan di tanah.
"Wusss!"
Sinar
putih menderu dahsyat. Seantero halaman Candi Kalasan mendadak sontak menjadi
panas luar biasa. Melihat datangnya serangan dahsyat begitu rupa dan sebelumnya
sudah mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu kesaktian Wiro, Ketua Jin Seratus
Perut Bumi tidak berani membalas serangan dengan serangan pula. Secepat kilat dia
amblaskan diri ke dalam tanah. Tapi baru sebatas pinggul masuk ke dalam tanah,
Pukulan Sinar Matahari menghajar tubuhnya!
Maka
terjadilah satu pemandangan mengerikan. Tubuh sebelah atas Ketua Seratus Jin
Perut Bumi hancur lebur menjadi puluhan cabikan gosong! Sosok sebelah bawah
yang amblas di dalam tanah kepulkan asap menebar bau amis.
Tiga
Mayat Aneh tidak memperhatikan apa yang terjadi dengan Ketua Jin Seratus Perut
Bumi. Mendengar teriakan Wiro tadi mereka memang jadi kawatir akan keadaan
Mayat Aneh Ketiga.
Mayat
Aneh Kedua berbisik.
"Tugas
kita membawa gadis kaki satu itu sudah selesai. Soal orang tua yang dulu
menyuruh kita tidak ada di sini itu bukan urusan kita lagi! Lebih baik kita
segera menolong Saudara Ketiga dan pergi dari sini!"
Tiga
Mayat Aneh lantas belompatan ke arah peti mati. Sesaat kemudian peti itu
mengeluarkan suara menderu. Dari bagian dasar peti menyembur cahaya hitam
kecoklatan. Di lain kejap peti mati telah melesat tinggi ke udara.
Wiro
merasa hanya meminta Tiga Mayat Aneh menolong saudaranya, bukan pergi
meninggalkan tempat itu. Ketika dia hendak berteriak memanggil tiba-tiba wuttt!
Dari
dalam tanah melesat kutungan tubuh bagian bawah Ketua Jin Seratus Perut Bumi.
Kaki kiri buntung sebatas paha. Ketika Wiro memperhatikan kaki kanan mahluk jin
ini kejutnya bukan kepalang. Kaki kanan yang masih utuh sebatas lutut kebawah
tampak berwarna putih perak serta mengeluarkan hawa panas. "Kaki itu
seperti tanganku yang menyirap Pukulan Sinar Matahari," pikir Pendekar
212. Bagaimana mungkin!"
Tiba-tiba
kaki kanan menendang ke depan.
"Wuss!"
Selarik
sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa panas menyerupai Pukulan Sinar
Matahari, bedanya yang datang ini berupa tendangan, menderu ke arah Wiro.
"Gila!"
Teriak Wiro.
*********************
3
KETIKA
cahaya putih panas yang menyerang Wiro berkiblat di udara sekonyong-konyong ada
orang berseru. "Kalian bermain petir-petiran! Mengapa aku tidak
diajak!" Lalu ada teriakan susulan. "Manusia tolol! Lekas menyingkir!
Kau mau mampus! itu bukan petir!" Seorang mengenakan pakaian merah muda
melesat turun dari atas satu pohon besar di halaman Candi Kalasan. Tidak
perduli peringatan orang dia tetap saja berkelebat menyongsong datangnya
sambaran cahaya putih perak panas menyilaukan yang melesat dari kaki kanan
Ketua Seratus Jin Perut Bumi. Lalu dengan kedua tangannya ujung cahaya putih
ditangkap, dibuntal sambil berguling-guling di tanah! Tertawa haha-hihi seperti
anak kecil yang kegirangan bermain-main! Siapa lagi yang punya kemampuan aneh,
hebat dan gila seperti itu kalau bukan gadis langka Jaka Pesolek yang berjuluk
Si Penangkap Petir! Sebelumnya dia juga pernah menangkap serangan Lentera Iblis
yang dilancarkan Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan yang disangkanya
petir. Saat itu Jaka Pesolek tidak mengalami cidera sebaliknya pecahan serangan
Lentera Iblis memusnahkan puluhan Jin Perut Bumi. Sang Ketua sendiri putus paha
kirinya (Baca serial sebelumnya berjudul "Jaka Pesolek Penangkap
Petir") Selagi Wiro masih terkesiap kaget sekaligus kawatir kalau kali ini
Jaka Pesolek akan menemui celaka karena membuntal Sinar Matahari, Ketua Seratus
Jin Perut Bumi yang sosoknya hanya berupa buntungan sebatas pinggang ke bawah
memutar tubuh ke arah si gadis. Di udara terdengar suara bentakan keras.
"Mahluk
jahanam! Banci keparat! Kau membunuh puluhan anak buahku! Kau juga yang membuat
kaki kiriku buntung! Kau muncul tanpa kucari! Sekarang kau ikut aku ke neraka
alam roh! Tapi nyawamu harus minggat dulu dari tubuhmu yang salah kaprah!"
Kaki
kanan yang masih berwarna putih perak dan panas kembali menendang. Kali ini
tanpa menyemburkan cahaya. Namun jika sampai menghantam Jaka Pesolek pada
bagian dada yang diincar, kejap itu juga gadis itu akan meregang nyawa dengan
dada jebol tembus sampai ke punggung, tubuh hangus!
Wiro yang
merasa dirinya telah diselamatkan Jaka Pesolek dari serangan balik Sinar
Matahari yang dilancarkan Ketua Seratus Jin Perut Bumi melompat satu tombak ke
udara lalu dari atas melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Tanah ke arah
kutungan tubuh Ketua Seratus in Perut Bumi. Namun dia kalah cepat dengan Jaka
Pesolek yang punya gerakan kilat.
Marah
karena dirinya dimaki banci keparat Jaka Pesolek berteriak.
"Ihhh!
Tubuh tinggal sepotong! Mulut saja tidak punya! Masih bisa bicara tak karuan!
Ini makan pencarianmu!"
Jaka
Pesolek kemudian lemparkan buntalan cahaya putih yang ada di kedua tangannya.
"Wusss!"
Cahaya
putih yang sebenamya adalah cahaya Pukulan Sinar Matahari menderu ke depan
lalu!
"Blaarr!"
Satu
letusan dahsyat menggelegar. Potongan tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi
bertaburan ke udara dalam bentuk ratusan keping tulang dan daging! Asap hitam
bau amis mengepul memenuhi halaman Candi Kalasan. Di kejauhan terdengar suara
mahtuk meraung beberapa kali.
Ketika
suara raungan lenyap dan asap hitam pupus, lapatlapat terdengar suara aneh.
Suara kucing mengeong, banyak sekali!
Wiro yang
masih mengapung di udara dan tadi hendak melepaskan pukulan sakti untuk
menghajar potongan tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi sesaat merasa tercekat
namun kemudian cepat-cepat melayang turun mendatangi Jaka Pesolek yang
tertelentang di tanah dengan tubuh mengepul. Wiro ulurkan tangan untuk membantu
si gadis bangkit berdiri. Ketika tangannya bersentuhan dengan tangan Jaka
Pesolek, Wiro tersentak kaget dan kibas-kibaskan tangannya. Tangan Jaka Pesolek
panas laksana api!
"Oala!
Aku belum mengeluarkan sisa panas di dalam tubuhku." Kata Jaka Pesolek.
Nafas ditahan di bagian perut lalu berlahan-lahan mulut meniup. Kepulan asap
putih panas keluar dari dalam mulut, liang hidung dan telinga. Sesaat kemudian
tampak gadis ini tersenyum.
"Sobatku
hebat! Kau tidak apa-apa?" Tanya Wiro yang saat itu masih dalam keadaan
membungkuk.
"Ah,
aku senang bertemu kau lagi," jawab Jaka Pesolek lalu enak saja dua
tangannya dipagutkan ke leher Wiro. Si gadis berusaha menarik Wiro ke bawah
agar wajah mereka saling bersentuhan.
Tiba-tiba
ada suara teriakan.
"Jaka
Pesolek! Awas di belakangmu!"
"Wiro
ada serangan cahaya merah di depanmu!"
Wiro yang
dalam keadaan membungkuk tersentak kaget. Ketika dia mengangkat kepala di
atasnya berkelebat ganas delapan larik cahaya merah pekat.
"Serangan
Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" Kembali ada yang berteriak.
Kedudukan
dirinya tidak memungkinkan Wiro untuk menangkis serangan ganas itu. Yang bisa
dilakukannya adalah segera menjatuhkan diri, bergulingan di tanah bersama Jaka
Pesolek.
Sinar
merah menyambar. Hampir bersamaan dari sebuah pohon besar melesat dua larik
sinar lain. Satu bercahaya biru, satu lagi berwarna hijau. Kelihatannya dua
sinar ini berusaha menangkis atau memotong serangan cahaya merah. Namun cahaya
merah melesat lebih cepat.
"Bummm!"
Delapan
dentuman menggelegar secara bersamaan. Saat itu juga di halaman Candi Kalasan
tampak menguak delapan lobang besar dikobari api. Tanah yang atau muncrat ke
udara berhamburan ke bawah mengotori tubuh serta pakaian Wiro dan Jaka Pesolek.
"lhhh!
Aku takut! Ada orang membuat liang kubur untuk kita! Tapi mengapa sampai
delapan?!" Jaka Pesolek keluarkan ucapan sambil kencangkan rangkulannya di
tubuh Wiro.
"Gadis
konyol! Kau sudah diselamatkan! Sekarang jangan pergunakan kesempatan mau
bersuka-sukaan! Pura-pura ketakutan tapi niatmu sebenarnya hanya ingin memeluk
pemuda itu!"
Dua orang
berkelebat dari atas pohon besar. Salah seorang diantaranya menarik dua tangan
dan kaki Jaka Pesolek yang dirangkulkan ke punggung dan pinggang Pendekar 212.
"Hik…hik!
Siapa yang mau bersuka-sukaan?! Enak saja bicara!"
Jaka
Pesolek terpaksa lepaskan rangkulan lalu melompat bangun sementara Wiro juga
sudah berdiri sambil mesem-mesem. Keduanya membersihkan tanah yang menutupi
pakaian dan mengotori rambut serta wajah. Memandang berkeliling keduanya
melihat di tempat itu kini telah ada Ratu Randang dan Kunti Ambiri alias Dewi
Ular.
Jaka
Pesolek tahu kalau yang tadi bicara adalah Ratu Randang. Setelah mencibir pada
si nenek dia berkata.
"Nek,
aku tahu kau cemburu. Tapi jangan kelewatan. Aku baru sekali ini memeluknya.
Kau sendiri sudah puluhan kali menciumnya! Hik…hik!"
Wajah si
nenek cantik bersemu merah. "Gadis bengal! Jaga mulutmu! Jangan sampai
kutampar!" Mengancam Ratu Randang.
Jaka
Pesolek menyahuti. "Nek, kita sudah senasib. Kita sudah bersahabat, jangan
galak-galak padaku."
Wiro
garuk-garuk kepala. Sekali memperhatikan dia melihat kalau bulu-bulu halus
seperti kumis tipis di atas bibir Jaka Pesolek tidak ada lagi. Lalu dia menoleh
ke arah Kunti Ambiri yang berdiri sambil memegang delapan kuntum kecil Bunga
Matahari.
"Heran,
mengapa wajah gadis alam roh ini tampak jernih ayu tidak galak seperti
biasanya? Di tangannya ada delapan Bunga Matahari kecil. Dari mana dia
mendapatnya?" Wiro membatin. Ketika dia berpaling pada Ratu Randang,
kembali Wiro terheran-heran. Dilihatnya nenek itu lebih cantik dan lebih muda
dari sebelumnya. Raut tubuhnyapun tampak lebih molek.
"Nek…"
"Apa?!
Barusan matamu kulihat jelalatan memandang. Ayo, ada apa?!"
"Anu
Nek…Hemmm, bibirmu kulihat tidak jontor lagi."
"Kalau
tidak jontor memangnya kenapa? Apa kau mau membuat jontor lagi?!"
"Nek!
Kau sendiri mengundang pemuda ini untuk bersuka-sukaan! Jelas kau mau minta
dicium `kan?!" Jaka Pesolek berteriak yang segera dibentak oleh Ratu
Randang.
Wiro
berpaling pada Dewi Ular.
"Kunti,
kau menyuruhku datang ke Candi Kalasan ini. Ketika aku pertama kali sampai di
sini aku menemui Empat Mayat Aneh. Aku sengaja rnenyelinap masuk ke dalam peti
mati. Ternyata peti itu kosong. Sahabat kita Dewi Kaki Tunggal tidak ada di dalam
peti. Lalu muncul mahluk raksasa bernama Arwah Ketua…."
"Kami
bertiga sempat melihat apa yang terjad di sini. Kami berada di atas pohon besar
sana," menjawab Kunti Ambiri. "Cuma mengenai lenyapnya Dewi Kaki
Tunggal memang merupakan satu hal yang mengherankan…."
Tiba-tiba
Wiro ingat pada sosok Arwah Ketua yang tadi dikuliti Empat Mayat Aneh. Onggokan
kulit tubuh, tangan, kaki serta kepala Arwah Ketua masih tidak bergeser dari
tempat semula. Puluhan lalat entah dari mana datangnya mengerubungi.
"Apa
yang akan kita lakukan dengan onggokan kulit ini?" Wiro minta pendapat.
"Mengapa
dipusingkan? Bakar saja!" Berkata Jaka Pesolek.
Tiba-tiba
terdengar suara mengorok keras. Seperti orang marah. Siapa yang mengorok tidak
ketahuan. Keempat orang itu sama-sama terkejut dan saling pandang. Wiro
perhatikan lagi onggokan kulit setinggi pinggang lalu gelengkan kepala.
"Aku
melihat onggokan kulit itu seperti hidup. Apa kalian tidak melihat ada gerakan
berdenyut-denyut?"
*********************
4
KEMBALI
terdengar suara mengorok. Kali ini lebih perlahan dan halus. "Kita datang
kesini bukan untuk mengurusi kulit busuk itu," kata Jaka Pesolek.
"Lagi pula bukankah mahluk itu sebelumnya hendak membunuhmu?!"
"Dia bertindak diluar sadar karena dirasuk mahluk jin yang dimasukkan
Sinuhun keparat ke dalam tubuh dan otaknya. Jin itu sudah menemui ajal di
tanganmu, kita harus menolong Arwah Ketua. Jika dia hidup lagi aku rasa
sifatnya kembali seperti semula. Bukan mahluk jahat. Mungkin dia bisa membantu
kita," kata Wiro pula. "Menolongnya? Oala! Apa yang kini terjadi atas
dirinya sudah pantas diterimanya sebagai hukuman dari Para Dewa!"
Menyahuti Jaka Pesolek. "Wiro, bagaimana kita menolongnya? Kau bisa
melakukan apa?" Ratu Randang bertanya. Wiro menggaruk kepala. Dia menatap
ke arah candi. Lalu memandang ke langit. "Terus terang aku sendiri memang
tidak tahu bagaimana menolong mahluk ini. Mungkin untuk sementara kulitnya kita
masukkan saja ke dalam Candi Kalasan biar rohnya tenang dan tidak
gentayangan." Saat itu terdengar lagi suara mengorok halus. Wiro melirik
ke arah onggokan kulit tubuh Arwah Ketua. Hatinya bimbang tapi nyata-nyata
suara mengorok itu datang dari arah onggokan kulit. "Candi adalah bangunan
suci. Tidak pantas menjadi tempat mahluk busuk dan jahat seperti Arwah
Ketua!" Lagilagi Jaka Pesolek mengatakan ketidak senangannya.
Wiro
menggaruk kepala kembali. Ketika pandangannya membentur delapan kuntum kecil
Bunga Matahari di tangan Dewi Ular maka diapun bertanya.
"Kunti,
dari mana kau dapat delapan Bunga Matahari kecil itu. Aku ingat bunga yang besar
dibawa kabur Jaka Pesolek. Sekarang dimana bunga itu."
Jaka
Pesolek mengangkat bahu.
"Bunga
Matahari besar telah berubah menjadi delapan Bunga Matahari kecil"
Menerangkan Dewi Ular.
"Bagaimana
mungkin?"
"Nyi
Loro Jonggrang yang melakukan."
Saat itu
Wiro lebih memperhatikan raut wajah serta sikap Dewi Ular dari pada
mendengarkan apa yang diucapkannya. Raut wajah gadis cantik ini tidak garang
seperti yang selama ini dilihatnya. Sikapnya tidak kaku dan sombong. Lalu gerak
geriknyapun tampak anggun. Dan kemudian Wiro juga menyadari kalau nada suara si
gadis terdengar agak lembut.
"Wiro,
apakah kau mendengarkan apa yang barusan dikatakan Kunti Ambiri?" Ratu
Randang bertanya, diamdiam merasa tidak suka melihat Wiro memperhatikan si
gadis lama-lama dan hampir tidak berkesip.
"Ya,
aku mendengar, Nek." Jawab Wiro. Lalu pada Dewi Ular dia bertanya.
"Kunti, Nyi Loro Jonggrang itu…maksudmu patung Nyi Loro Jonggrang di Candi
Prambanan?" Dewi Ular mengangguk.
"Patung
itu muncul dari dalam telaga. Luar biasa hebat dan hidup. Bisa bergerak bisa
bicara." Kata Dewi Ular pula.
Wiro jadi
ingat ketika atas permintaan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal dia membawa
Bunga Matahari besar dan Ni Gatri menemui patung Nyi Loro Jonggrang di Candi
Siwa yang berada di kawasan Prambanan. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Sepasang Arwah Bisu")
"Luar
biasa. Bagaimana ceritanya?!" Tanya Wiro pula.
"Kunti
sebaiknya segera saja kau beritahu pada Wiro apa yang telah terjadi. Jangan
lupa menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang." Berkata Ratu Randang.
Kunti
Ambiri kemudian menceritakan mulai dari saat dia bersama Ratu Randang dan Jaka
Pesolek berada di satu telaga lalu tiba-tiba muncul patung Nyi Loro Jonggrang.
"Patung
cantik dan sakti itu menolong dan memberi berkah pada kami bertiga. Nyi Loro
Jonggrang pula yang merubah Bunga Matahari besar hingga menjadi delapan Bunga
Matahari kecil. Nyi Loro kemudian menyuruh kami agar cepat-cepat datang ke
Candi Kalasan ini. Ada pesan untukmu dan delapan Bunga Matahari kecil ini harus
aku serahkan padamu."
Wiro
ingat ucapan kakek sakti Kumbara Gandamayana tentang Candi Kalasan. Dia ingin
mengetahui apa ada kaitan antara yang dikatakan Nyi Loro Jonggrang dan yang
pemah diucapkan Dewi Ular. "Kunti, tunggu dulu. Sebelumnya kau juga
mengatakan akan menungguku di candi ini. Apakah itu ada hubungannya dengan
permintaan Nyi Loro Jonggrang."
Dewi Ular
menggeleng lalu menerangkan. "Aku minta kau datang ke sini karena ketika
masih berhubungan dengan dua Sinuhun, aku pernah mendengar mereka
bercakap-cakap dan mengatakan Candi Kalasan akan mereka jadikan sebagai salah
satu benteng dan tempat rahasia dari keberadaan satu benda sangat
bertuah."
"Benda
apa?" tanya Wiro.
"Aku
tidak pasti." Jawab Dewi Ular. "Mereka menyebut benda itu Mahkota di
atas Mahkota."
"Mahkota
Kerajaan masih ada di tangan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi." Ratu Randang
ikut bicara.
Tiba-tiba
Dewi Ular ingat sesuatu. Dia menggerakkan tangan kiri meraba ke atas kepala
dimana berada sebuah mahkota kecil terbuat dari perak berbentuk kepala ular, bermata
batu mustika hijau. Mahkota perak ini adalah pemberian Sinuhun Merah Penghisap
Arwah pengganti mahkota asli yang terbuat dari emas. Seperti diketahui pada
waktu itu baik Sinuhun Merah maupun Sinuhun Muda sama-sama berpantang tidak
boleh bersentuhan dengan emas murni. Saat itu Dewi Ular baru menyadari keanehan
bahwa mahkota masih ada di atas kepalanya padahal sebelumnya dia bersama
mahkota perak telah tercebur ke dalam telaga.
"Aku
rasa tidak ada gunanya lagi aku memakai mahkota ini. Nyi Loro mengatakan aku
telah berubah secara lahir dan batin. Aku mohon jangan ada lagi pada semua
sahabat yang ada di sini memanggilku dengan nama Dewi Ular…"
Wiro
terheran-heran mendengar ucapan Dewi Ular. Dalam hati Wiro berkata. "Aneh,
tapi kelihatannya gadis ini benar-benar telah mengalami perubahan.
Mudah-mudahan saja dia tidak menipu."
Habis
keluarkan ucapan Dewi Ular tanggalkan mahkota perak dari atas kepala lalu
dilempar ke tanah. Tidak sengaja mahkota yang dilempar jatuh di atas onggokan
kulit tubuh Arwah Ketua. Saat itu juga mahkota perak mental ke udara. Lima
tombak di atas tanah mahkota meledak. Puluhan kepingan berubah menjadi asap
kuning bercampur hitam lalu lenyap dari pemandangan. Onggokan kulit tubuh Arwah
Ketua tampak bergerak-gerak sementara suara mengorok terdengar berulang kali.
Tiba-tiba saja Wiro ingat pada ilmu kesaktian yang dimilikinya yaitu yang
didapat dari Ratu Duyung.
Dengan
cepat Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Saat itu juga dia melihat, di
dalam onggokan kulit ada sosok Arwah Ketua mengkerut bergelung. Wajah tampak
memelas. Sepasang mata menatap sayu ke arah Wiro. Mulut terbuka bergerak-gerak.
Lalu sayup-sayup Wiro mendengar ngiangan suara di telinganya.
"Aku
mohon, masukkan aku ke Candi Kalasan. Lakukan dengan tendangan kaki kanan. Jangan
mempergunakan lebih dari sepertiga tenaga dalammu. Dari Candi Kalasan aku akan
mencari jalan sendiri ke tempat kediamanku di Candi Miring. Aku tidak akan
melupakan budi baikmu."
"Arwah
Ketua…apakah kau yang barusan bicara?" Wiro bertanya ingin meyakinkan.
Tak ada
jawaban. Yang terdengar hanya suara mengorok halus.
"Wiro,kau
barusan bicara dengan siapa?" Ratu Randang bertanya. Ketika tadi Arwah
Ketua mengeluarkan ucapan, nenek ini dan juga Kunti Ambiri hanya mendengar
suara perlahan tidak jelas.
Wiro tidak
perdulikan pertanyaan Ratu Randang melangkah mendekati onggokan kulit. Sambil
melangkah dia melihat ke jurusan pintu depan Candi kalasan yang berada dalam
jarak sekitar lima tombak dari onggokan kulit.
"Aku
diminta tolong. Aku harus menendang. Aku harus mempergunakan tidak lebih dari
sepertiga tenaga dalam. Mengapa?"
Kembali
Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Walau onggokan kulit masih bergerak
berdenyut-denyut namun di dalamnya Wiro tidak melihat lagi sosok Arwah Ketua.
Setelah membuang kebimbangan yang ada dalam hatinya Wiro lakukan apa yang
dikatakan Arwah Ketua.
"Wuuuuttt!"
Kaki
kanan menendang ke arah onggokan kulit. Puluhan lalat yang mengerubung
beterbangan lenyap ke udara.
"Dess!"
Wiro
merasa seperti menendang tumpukan kapas!
*********************
5
GUNDUKAN
besar onggokan kulit mencelat ke udara lalu melesat ke arah pintu depan Candi
Kalasan. Hanya satu jengkal onggokan kulit itu akan lenyap masuk ke dalam Candi
Kalasan mendadak dari langit sebelah timur menyambar delapan larik sinar merah.
"Delapan
Arwah Sesat Menembus Langit menyerang lagi! Awas ada cahaya kuning
menyertai!" Teriak Ratu Randang. Si nenek langsung pukulkan dua tangan ke
udara. Dua cahaya biru berkiblat. Dewi Ular juga tidak tinggal diam. Sambil
sedikit merunduk dia menghantam ke atas. Dua sinar hijau menggebubu.
"Kalian
menyingkir saja. Biar aku menangkap serangan gila itu!" Jaka Pesolek
berteriak. Tapi sebelum sempat bergerak bahunya telah dipegang Wiro dengan
tangan kiri sementara tangan kanan melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam
Matahari. Satu cahaya putih menyambar ke udara.
Langit
laksana runtuh, tanah bergetar hebat. Candi Kalasan bergoyang-goyang ketika
bentrokan beberapa sinar sakti menimbulkan dentuman dahsyat, menggelegar dua
kali disertai taburan cahaya api. Wiro dan Jaka Pesolek jatuh terduduk ke
tanah. Si gadis langsung terkulai pingsan. Wiro cepat menolong. Di tempat lain
Dewi Ular dan Ratu Randang terhempas jatuh, megap-megap beberapa saat sebelum
mampu berdiri dengan wajah pucat.
Wiro
turunkan tangan kanan yang tadi memukul. Di kejauhan tiba-tiba terdengar lagi
suara aneh,suara kucing mengeong riuh.
"Nek,
Kunti, kalian terluka di dalam…" Wiro berseru.
"Aku
baik-baik saja," jawab Ratu Randang.
"Aku
juga!" ucap Dewi Ular.
Kedua
perempuan yang berpura-pura ini tersenyum lalu sama mengusap pinggiran mulut
yang ada lelehan darahnya.
"Ada
kekuatan lain menyertai serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit,"
kata Ratu Randang.
"Aku
juga melihat. Ada cahaya kuning agak redup melapisi cahaya merah!" kata
Wiro. Melihat akibat yang ditimbulkan yaitu sampai ketiga orang itu menderita
cidera Wiro yakin kalau kekuatan yang menyertai serangan delapan sinar merah
tadi bukan cuma berasal dari Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah.Tapi ada satu
kekuatan lain yang lebih dahsyat.
"Ah
sayang aku tidak bisa menangkap delapan petir itu!" Terdengar ucapan Jaka
Pesolek yang baru saja siuman setelah ditolong Wiro.
Ratu
Randang dan Dewi Ular cepat-cepat mengobati luka dalam masing-masing dengan
cara mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke dada. Wiro membantu dengan
menempelkan telapak tangan kiri kanan ke punggung kedua orang itu sambil
mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Setelah batuk-batuk beberapa kali baik
Ratu Randang maupun Dewi Ular tampak cerah merah kembali wajah mereka.
"Kalian
bertiga, apakah tadi juga mendengar suara kucing mengeong?" Wiro bertanya.
Jaka
Pesolek menggeleng. "Mana mungkin ada kucing di sekitar sini."
Ratu
Randang clan Dewi Ular sama-sama mengatakan bahwa mereka memang mendangar suara
kucing mengeong. Dan ini merupakan kali kedua suara aneh itu terdengar.
Wiro
tiba-tiba ingat pada onggokan kulit Arwah Ketua yang tadi ditendangnya. Apakah
berhasil masuk ke dalam Candi Kalasan atau musnah terkena serangan delapan
sinar merah. Dengan cepat dia berlari ke arah candi langsung masuk ke dalam.
Jaka Pesolek, Ratu Randang dan Dewi Ular sesaat saling pandang lalu menyusul
mengikuti Wiro.
Di dalam
candi sama sekali tidak ditemukan onggokan kulit Arwah Ketua. Namun pada salah
satu dinding dalam candi terlihat guratan membentuk tulisan berbunyi : Jangan
tinggalkan candi. Mahkota di atas Mahkota ada di sini. Sesuatu akan terjadi
pada saat sang surya berada di titik tertinggi. Arwah Ketua.
"Onggokan
kulit Arwah Ketua lenyap. Menurut kalian apakah guratan tulisan ini benar Arwah
Ketua yang membuat? Bagaimana kalau ada satu mahluk lain melarikan kulit Arwah
Ketua lalu membuat tulisan sebagai jebakan?" Wiro bertanya sambil
memandang pada tiga orang di hadapannya.
Jaka
Pesolek hendak menjawab tapi Ratu Randang memberi isyarat agar dia menutup
mulut.
"Mungkin
aku bisa mencari tahu dan membuktikan apa gurat tulisan itu memang Arwah Ketua
yang membuat." Kata Ratu Randang lalu melangkah mendekat dinding. Dua
telapak tangan dikembang dan diusapkan di atas dinding candi tepat di permukaan
guratan tulisan. Dua kaki digeser-geser ke lantai batu. Perlahan-lahan mulutnya
berucap menyebut nama ilmu yang akan disirap. "Tangan Langit Kaki
Bumi."
Tiba-tiba
dess!
Gurat
tulisan di dinding candi mengepulkan asap kelabu. Bersamaan dengan itu
sayup-sayup terdengar suara mengorok.
"Tulisan
di dinding memang Arwah Ketua yang membuat." Berkata Ratu Randang sambil
menurunkan kedua tangan dan mengusap wajah.
Wiro
merasa lega. "Berarti mahluk raksasa itu berada dalam keadaan selamat dan
saat ini dia tengah dalam perjalanan ke Candi Miring tempat kediamannya."
"Bagaimana
kau tahu kalau Arwah Ketua tinggal di Candi Miring?" tanya Ratu Randang.
"Ketika
masih berbentuk onggokan kulit, dia memberi tahu padaku lewat suara
mengiang," jawab Pendekar 212. Dia kembali memperhatikan tulisan di dinding.
"Kalian mau menunggu sampai tengah hari seperti yang ditulis Arwah
Ketua?" Wiro bertanya.
"Sebaiknya
memang begitu," jawab Ratu Randang.
"Mahkota
di atas Mahkota, aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan." Dewi Ular
berkata sambil duduk di tangga candi.
"Kalau
aku bicara jangan kalian melecehkan," berkata Jaka Pesolek.
"Memangnya
kau mau bicara apa?" tanya Dewi Ular.
Dewi Ular
bertanya baik-baik, tapi Jaka Pesolek menjawab dengan bergurau mempermainkan.
"Sobatku
cantik, maksudku aku belum mau bicara soal celana dalam pemberian Nyi Loro
Jonggrang. Aku belum akan memberikannya padamu. Selain masih enak dan sejuk
celana ini mantap dipakainya. Hik…hik…hik!"
Tahu
dipermainkan Dewi Ular tenang-tenang saja balas mempermainkan Jaka Pesolek.
"Silahkan
kau pakai dan jangan dicuci-cuci. Apa kau tidak tahu itu bukan celana dalam
sembarangan? Anumu bisa berjamur dan gatalan! Anumu bisa ubanan!
Hik…hik…hik!" Dewi Ular lalu lalu tertawa cekikikan.
"Jaka
Pesolek, apa sebenarnya yang hendak kau katakan?!" Ratu Randang bertanya.
"Ah,
kalau kau yang bertanya Nek, aku mau memberi jawaban apa adanya," sahut
Jaka Pesolek. Lalu si gadis menyambung. "Menurut pengertianku, yang
disebut Mahkota di atas Mahkota itu adalah sebuah benda yang jauh lebih
berharga dari Mahkota Raja Mataram. Dan seperti yang ditulis si mahluk raksasa
benda itu ada di Candi Kalasan sini."
Wiro
perhatikan wajah si gadis dan dalam hati membatin. "Gadis ini bukan cuma
pandai menangkap petir tapi otaknya juga jalan." Wiro lalu berkata pada
yang lainlainnya. "Empat Mayat Aneh membawa Dewi Kaki Tunggal ke tempat
ini. Sayang mereka sudah pergi hingga tak bisa ditanyai. Tapi sebelum pergi
mereka memberi tahu bahwa ada seseorang yang menyuruh mereka membawa Dewi Kaki
Tunggal ke sini. Menurut mereka orang itu adalah seorang Empu bernama Semirang
Biru…"
Ratu
Randang keluarkan suara tertahan. Wiro berpaling pada si nenek. "Nek Ratu,
apa kau kenal Empu itu?"
"Cukup
kenal. Dia adalah Empu yang diperintahkan Sri Maharaja Mataram untuk membuat
sebuah senjata sakti berupa sebilah keris yang diberi nama Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi."
"Hal
itu memang dijelaskan oleh Empat Mayat Aneh," kata Wiro pula. "Tapi
Empat Mayat Aneh tidak sempat meneruskan keterangan karena tiba-tiba muncul
Arwah Ketua yang ujudnya telah disusupi Ketua Jin Seribu Perut Bumi." `
"Kalau
aku boleh bicara lagi," tiba-tiba Jaka Pesolek menyeletuk. Sebelum
meneruskan ucapan dia keluarkan cermin pemberian Nyi Loro Jonggrang. Setelah
mematut rambut dan wajahnya baru dia berkata. "Kalau aku boleh
mengemukakan pendapat, jangan-jangan keris sakti itu yang dikatakan sebagai
Mahkota di atas Mahkota oleh dua Sinuhun. Dan senjata itu ada di Candi Kalasan.
Tapi di sebelah mana? Di dalam candi, di luar, di halaman, di bawah…."
"Sudah!
Jaka Pesolek jangan kau nyerocos terus!" Dewi Ular memotong ucapan Jaka
Pesolek sambil layangkan pandangan ke ujung barat halaman luas Candi Kalasan.
Parasnya berubah ketika pandangan mata membentur sosok seseorang yangberlari
cepat ke arah candi. Saking cepatnya dua kakinya seolah tidak menyentuh tanah
sementara debu beterbangan di belakangnya.
"Hai!
Lihat! Ada orang datang!" Dewi Ular berdiri. "Astaga! Bagaimana
mungkin! Sendirian pula!"
Kurang
dari sekejapan mata orang itu sudah sampai di depan tangga Candi Kalasan. Sadar
berhadapan dengan siapa Dewi Ular cepat-cepat membungkuk memberi hormat walau
hatinya bertanya-tanya.
*********************
6
RATU
RANDANG dan Jaka Pesolek segera menghambur ke pintu depan candi begitu
mendengar seruan Dewi Ular. Wiro untuk beberapa lama masih memperhatikan
keadaan bagian dalam candi berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan
petunjuk. Ketika sampai di ambang pintu candi, Jaka Pesolek dan Ratu Randang
sama terkejut. Orang yang tengah diberi penghormatan oleh Dewi Ular dan berdiri
di depan tangga candi bukan lain adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala. Ratu Randang buru-buru menuruni tangga. Sampai di hadapan Raja
dia juga membungkuk hormat seraya berkata. "Yang Mulia, saya gembira
melihat Yang Mulia tidak kurang suatu apa. Tapi kalau saya boleh bertanya
bukankah Yang Mulia sebelumnya diantar Rauh Kalidathi melakukan perjalanan ke
satu tempat rahasia? Saya merasa heran tiba-tiba Yang Mulia muncul di sini
seorang diri, di tempat sejauh ini. Tanpa seorang pengawalpun…" "Aku
memang telah sampai di tempat rahasia itu. Semua dalam keadaan selamat. Keadaan
aman. Atas petunjuk seseorang aku perlu segera ke sini." Jawab Raja sambil
matanya melirik ke arah delapan Bunga Matahari kecil yang ada di tangan Dewi
Ular. "Yang Mulia, bukan saya hendak berlaku lancang. Kalau boleh bertanya
siapa orang yang memberi petunjuk itu dan apa yang akan Yang Mulia
lakukan?" Bertanya Ratu Randang. Raja Mataram usap dagunya yang ditumbuhi
janggut kasar hitam. "Aku…aku tidak bisa memberi tahu padamu siapa orang
itu Ratu Randang. Tapi aku ke sini untuk menjemput Jaka Pesolek. Gadis
berpakaian merah muda itu."
Mendengar
Raja datang untuk menjemput dirinya, walau agak heran, senangnya Jaka Pesolek
bukan main. Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan Raja lalu berlutut.
"Saya
merasa sangat terhormat kalau Yang Mulia datang ke sini untuk menjemput saya.
Menjemput mau dibawa kemana, saya menurut saja…" Jaka Pesolek kedipkan
mata dan basahi bibir dengan ujung lidah.
"Jaka
Pesolek, berdirilah. Aku ingin kau membawaku ke satu tempat dimana Ni Gatri
berada. Gadis yang diculik itu dalam keadaan bahaya. Kau memiliki ilmu gerakan
kilat. Kita harus cepat sampai kesana…"
"Yang
Mulia, saya senang Yang Mulia mempercayai saya. Perintah Yang Mulia tentu saja
akan saya laksanakan. Tapi mohon maaf. Bagaimana mungkin saya mampu membawa
diri Yang Mulia yang begini besar dan berat….”
"Kau
tak usah kawatir. Aku akan memanggulmu. Kau hanya mengerahkan ilmu kepandaianmu
untuk membuat kita bisa melesat laksana kilat. Dan kau tahu, tempat yang bakal
kita datangi itu banyak petirnya."
Wajah
Jaka Pesolek tampak berseri girang mendengar kata-kata terakhir sang Raja
Mataram.
"Kalau
begitu kata Yang Mulia saya menurut saja." Kata Jaka Pesolek. Lalu gadis
itu keluarkan kaca kecil dan kotak hiasnya. Dengan cepat dia membedaki wajah,
menebalkan alis dan memerahkan bibir.
"Jaka,
simpan peralatanmu. Kita harus segera pergi." Raja Mataram jadi tidak
sabaran melihat apa yang dilakukan Jaka Pesolek.
"Maafkan
saya Yang Mulia. Tapi saya hendak berjalan bersama Raja Mataram. Rasanya tidak
pantas kalau wajah celemongan dan rambut acak-acakan," kata Jaka Pesolek
pula sambil tersenyum lalu setelah mematik dan mengatur rambut, cepat-cepat
menyimpan cermin dan kotak bedak.
Saat itu
Pendekar 212 Wiro Sableng telah muncul di ambang pintu candi. Jaka Pesolek
dilihatnya tengah hendak dipanggul oleh seorang lelaki tinggi besar mengenakan
mahkota. Wiro segera mengenali kalau orang itu adalah Raja Mataram.
"Jaka
Pesolek! Kau mau pergi kemana?!" Wiro berteriak bertanya.
"Tidak
usah dijawab, kita harus pergi cepat. Sekarang juga!" Raja berbisik pada
Jaka Posolek. Si gadis condongkan tubuh, siap merangkul dan naik ke bahu Raja
yang siap memanggulnya.
"Aneh,
Raja Mataram muncul seorang diri padahal seharusnya ada di Sumur Api bersama
Rauh Kalidhati, mungkin juga sudah ditemani kakek sakti Kumara Gandamayana.
Gadis itu mau dibawa kemana? Mengapa dia tidak menjawab pertanyaanku?"
Berpikir sampai di sini dan mendadak muncul rasa syak wasangka dalam hatinya,
entah mengapa Pendekar 212 segera saja merapal aji kesaktian. Begitu
pandangannya membentur sosok Raja Mataram kaget Wiro bukan alang kepalang
sampai dia berteriak keras. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke
halaman candi. Sambil melompat Wiro berteriak.
"Jaka!
Cepat jauhi orang itu!"
"Hai!
Ada apa ini? Raja hendak…"
Ucapan
Jaka Pesolek terputus karena saat itu dengan tangan kirinya Wiro mendorong si
gadis dengan satu pukulan jarak jauh sementara tangan kanan lancarkan jurus
pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar, ditujukan ke arah Raja Mataram.
Ratu
Randang dan Dewi Ular tentu saja kaget melihat apa yang dilakukan Wiro. Namun
dalam kagetnya untuk beberapa ketika mereka hanya tertegun berdiam diri.
Serangan yang dilancarkan Wiro dengan telak menghajar kepala Raja Mataram
hingga mahkotanya remuk dan tercampak jatuh sementara sosoknya terjengkang di
tanah. Namun kepala sang Raja tetap utuh tanpa cidera sedikitpun!
Sosok
Raja yang terkapar di tanah cepat berdiri lalu sekali lompat saja dia sudah
berada di hadapan Jaka Pesolek. Tangan kanan diangkat. Dari ujung ibu jari
muncul cahaya merah terang yang dengan cepat berubah membentuk lingkaran besar
berupa roda bergigi tajam berkilauan. Dengan suara menderu roda bergigi ini
menyambar ke arah Jaka Pesolek. Sekali tubuh si gadis kena dilibas pasti akan
hancur terkutung-kutung mengerikan!
"Cakra
Dewa Membersih Bumi!" Ucap Ratu Randang kaget. Lalu berkata pada Dewi
Ular. "Kunti, setahuku Raja tidak pernah memiliki ilmu aneh seperti
itu!"
"Orang
hendak mencelakai sahabat Jaka Pesolek! Jangan berdiam diri!" Teriak Dewi
Ular yang akhirnya sadar melihat apa yang terjadi dan berteriak keras. Lalu
wuuttt! Dari pusarnya melesat keluar sosok besar seekor ular hitam kepala
putih. Dengan cepat binatang ini menyusup ke bagian bawah roda merah bergigi
dan menyundul tiga kali.
"Tringg…tring…tring!"
Tiga kali
bunga api bermuncratan.
Roda
merah terpental setengah tombak ke atas tapi masih terus menyambar ke arah Jaka
Pesolek walau kini lebih tinggi dari sasaran hingga serangannya hanya mengenai
udara kosong.
"Jaka!
Lekas menyingkir! Sembunyi di balik pohon besar sana!" Teriak Ratu
Randang.
"Kau
punya ilmu gerakan kilat! Mengapa tidak dipergunakan!" Menyusul berteriak
Dewi Ular.
Mendengar
teriakan kedua orang itu Jaka Pesolek segera berkelebat ke balik pohon besar.
Roda besar bergigi tiba-tiba membuat gerakan berputar lalu, melesat mengejar ke
arah Jaka Pesolek.
"Wusss!"
Crasss!" "Braakk!"
*********************
7
POHON
besar putus di bagian tengah lalu tumbang dengan suara bergemuruh. Terdengar
Jaka Pesolek menjerit lalu suara jeritannya lenyap. Raja Mataram gerak-gerakkan
ujung ibu jari tangan kanan. Di udara roda merah bergigi berputar-putar di atas
tumbangan pohon. Agaknya tengah mencari Jaka Pesolek. Ketika tidak berhasil
menemukan gadis itu, roda bergigi berputar dan kini melesat ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng sementara Raja Mataram tampak berdiri dengan dua kaki
renggang, tubuh tak bergerak dan ibu jari tangan kanan terus diacung ke atas
mengendalikan arah gerakan senjata dahsyatnya. "Yang Mulia, hentikan
serangan!" Dewi Ular berteriak. Raja Mataram hanya menyeringai. Ibu jari
ditudingkan lurus ke arah Wiro. Membuat gerak serangan roda merah menjadi dua
kali lebih cepat! "Celaka Kunti!" teriak Ratu Randang.
"Jangan-jangan Raja sudah berada dibawah kuasa dan kendali dua
Sinuhun!" Lalu nenek ini coba memotong serangan roda bergigi dengan
pukulan sakti bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat. Selarik
cahaya biru berkiblat. Begitu cahaya biru membentur roda merah satu letusan
dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru saling menyabung di udara. Ratu
Randang terpekik, tubuh terbanting ke tanah. Walau sanggup berdiri dengan cepat
namun tampak wajahnya pucat pasi. Dewi Ular cepat mendatangi dan memeriksa.
Ternyata si nenek tidak menderita cidera. Di udara cahaya biru lenyap.
Sebaliknya cahaya roda merah kembali menderu dan meneruskan serangan ke arah
Wiro.
Menyaksikan
apa yang terjadi Wiro segera melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang.Yang diarah adalah roda merah bergigi. Cahaya putih membeset ke udara.
Seperti tadi satu letusan keras menggelegar, kali ini lebih dahsyat. Roda merah
terpental dua tombak ke udara tapi tetap utuh bahkan kembali melesat turun
untuk menyerang Wiro!
Wiro
sendiri saat itu walau hanya merasa getaran kecil di dada, namun dapatkan dua
kakinya melesak sampai setengah jengkal ke dalam tanah. Ketika melihat roda
merah bergigi kembali menderu ke arahnya, sang pendekar kertakkan rahang.
"Pukulan
sakti Datuk Rao tidak mempan. Apa aku harus lagi-lagi menghantam dengan Pukulan
Sinar Matahari?" Pikir Wiro. Ketika dia siap merapal aji pukulan sakti itu
dan ujung tangan kanannya mulai berubah menjadi seputih perak mendadak dari
samping kanan set …set:..set melesat sepuluh benda aneh berwarna hitam
berbelang merah. Ternyata benda itu adalah sepuluh ekor ular.
"Sepuluh
Ular Akhirat Turun Ke Bumi! Pasti Kunti Ambiri!" Wiro berkata dalam hati.
Dia pernah melihat dan mengenali ujud sepuluh ular. Dia melirik rucap dalam
hati seraya melirik ke arah Dewi Ular. Wiro melihat gadis alam roh ini berdiri
dengan dua kaki merenggang, kepala menyondak. Dari sepuluh liang yang ada di
kepala dan tubuhnya tampak asap hitam bercampur merah mengepul. Karena memang
sepuluh ekor ular ganas itu keluar dari dua liang hidung, dua mata, dua lobang
telinga, mulut, pusar, dubur dan kemaluan.
Sambil
berdiri Dewi Ular acungkan jari tangan kanan. Ibu jari mencuat ke atas sama
seperti yang dilakukan Raja Mataram. Mulut berucap perlahan.
"Anak-anak,
santapanmu adalah ujung jari Raja Mataram! Itu pangkal bahala!"
Sepuluh
ular merah hitam yang melesat di udara kibaskan buntut, kepala mendongak, mulut
mendesis.
"Wutttt!”
Sepuluh
mulut ular bertaring luar biasa tajam disertai semburan racun sangat jahat
menyambar ke arah ibu jari tangan kanan Raja Mataram yang sampai saat itu masih
diacungkan ke udara.
"Greeekk!"
Raja
Mataram menjerit keras ketika ibu jari tangan kanan sampai setengah bagian
telapak lenyap diterkam sepuluh ular. Darah menyembur sementara sepasang kaki
Raja tampak goyah dan terhuyung ke belakang. Di langit tiba-tiba ada cahaya
kuning kemerahan berkelebat disertai suara riuh kucing mengeong.
"Blaarr!"
Roda merah
bergigi meledak. Kepingannya menghunjam masuk ke dalam tanah.
Wiro yang
tadi hendak menyerang Raja Mataram dengan Pukulan Sinar Matahari kini hantamkan
pukulan sakti pada cahaya kuning merah yang menyerang dirinya.
Untuk
kesekian kalinya kawasan Candi Kalasan dilanda gelegar suara letusan dahsyat.
Halaman bergetar, bangunan candi nampak bergoyang. Tanah dan debu beterbangan
ke udara. Dalam keadaan seperti itu Raja Mataram pergunakan kesempatan untuk
melarikan diri. Sekali menjejak tanah seharusnya dia sudah mampu melesat ke
udara. Namun gerakannya lamban. Dua kaki seperti diganduli batu. Tangan kanan
yang putus masih mengucurkan darah hitam pekat. Itu pertanda racun ular sudah
merasuk di seluruh pembuluh darahnya.
Raja
Mataram keluarkan teriakan keras seolah putus asa. Perlahan-lahan tubuhnya
jatuh berlutut di tanah. Ketika ada satu bayangan samar terlihat di dalam
tubuhnya, saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke hadapan Raja
sambil lancarkan tendangan kaki kanan.
"Praakk!"
Kalau
sebelumnya tendangan Wiro tidak mampu menciderai kali ini kepala Raja Mataram
remuk mengerikan. Sosok terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Sekujur
tubuh tampak hitam berbelang merah. Racun Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi
sungguh luar biasa jahat. Kalaupun kepalanya tidak hancur dilanda tendangan
Wiro, sang Raja tetap saja tidak akan mampu bertahan hidup dari ganasnya racun
ular!
"Celaka!
Kita telah membunuh Raja Mataram!" Ratu Randng keluarkan suara tercekat.
Dewi Ular tertegun tak bergerak. Wiro garuk-garuk kepala sambil berkata.
"Para
sababat, jangan kawatir. Tidak satupun dari kita yang telah membunuh Yang Mulia
Raja Mataram."
"Kau…kau
bicara apa Wiro? Kau saksikan sendiri…" Ratu Randang hentikan ucapannya
sewaktu Wiro menunjuk ke arah tubuh Raja yang tergelimpang di halaman candi.
Belum sempat Wiro mengatakan sesuatu, saat itu terjadi keanehan. Asap kelabu
tiba-tiba mengepul keluar dari mayat Raja. Begitu kepulan asap menghilang
tertiup angin, sosok mayat Raja ikut lenyap. Di tanah kini tampak tergelimpang
sosok mayat seorang tua berpakaian selempang kain putih. Kepala hancur tapi
tidak ada darah membasahi wajah ataupun pakaiannya.
Ratu
Randang keluarkan suara tercekat. Tangan kanan kemudian ditekapkan ke mulut.
Wiro
berpaling.
"Ratu,
kau kenal siapa adanya orang tua ini?" Tanya Wiro pada si nenek.
Ratu
Randang anggukkan kepala. Turunkan tangan yang menutup mulut, menarik nafas
dalam baru bicara.
*********************
8
KAKEK ini
bernama Sedayu Galiwardhana. Menerangkan Ratu Randang. "Menurut Empu
Semirang Biru ketika berada di Istana Mataram kakek inilah yang mencuri Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Tapi sebenarnya dia sudah menemui ajal terbunuh beberapa
tahun silam…." (Agar lebih jelas mengenai riwayat Sedayu Galiwardhana,
harap baca serial "Mimba Purana. Satria Lonceng Dewa") "Berarti
arwahnya telah dihisap oleh Sinuhun Merah, dimunculkan kembali ke dunia nyata,
dikuasai lalu dikendalikan." Berkata Dewi Ular. "Kau benar
Kunti," sahut Ratu Randang. Si nenek berpaling pada Pendekar 212.
"Wiro, aku menduga kau sebelumnya sudah tahu kalau sosok Raja yang tadi
datang kesini bukan Raja Mataram sungguhan. Benar begitu?" Bertanya Ratu
Randang. "Benar Nek. Ketika aku menerapkan Ilmu Menembus Pandang, aku
melihat sosok kakek ini dalam tubuh Raja. Lalu semuanya berlangsung serba
cepat. Aku tidak sempat memberitahu." "Akan kita apakan mayat kakek
ini?" bertanya Dewi Ular. "Tidak perlu diapa-apakan. Ujudnya akan
segera lenyap kembali ke alam roh…" Berujar Ratu Randang. Baru saja si
nenek selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara ngeongan kucing.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang, menatap ke arah datangnya suara mengeong
tadi yaitu di udara lepas sebelah barat sana. Walau dia tidak melihat apa-apa
namun sepasang matanya terasa agak perih dan denyutan jantung menyentak.
Dewi Ular
memandang berkeliling lalu berkata.
"Suara
kucing mengeong itu. Aku sudah mendengar beberapa kali. Aku punya dugaan
jangan-jangan binatang itu ada sangkut paut dengan …."
Tiba-tiba
ada suara bergemerisik disusul teriakan seseorang.
"Aku
terpendam di bawah dedaunan lebat. Mengapa tidak ada sahabat yang
menolong?!"
"Astaga!
Itu suara Jaka Pesolek!" Ratu Randang lalu lari ke arah pohon besar yang
tumbang. Wiro dan Dewi Ular menyusul. Dari balik daun pohon yang lebat tampak
Jaka Pesolek berusaha menyeruak keluar.
Meski
ikut menolong tapi Dewi Ular tersenyum mesemmesem melihat keadaan si gadis.
Rambut awut-awutan, wajah kacau balau, pakaian kotor dan ada yang robek di
sebelah bahu serta punggung.
"Ihhh!
Ada semut rangrang merah!" Pekik Jaka pesolek ketika dilihatnya banyak
semut rangrang besar menjalar di bagian perut pakaiannya.
"Tidak
apa-apa. Semut itu tidak akan menggigitmu karena kau pakai celana dalam dari
Nyi Loro Jonggrang!" Kata Dewi Ular pula. "Kalau kau tidak percaya
coba saja masukkan semut-semut itu ke dalam celanamu! Hik…hik…hik!"
Jaka
Pesolek julurkan lidahnya.
"Nek,
aku punya dugaan Sinuhun Merah sengaja mendatangkan jejadian kakek yang sudah
mati itu dalam ujud Raja Mataram sengaja hendak membunuh Jaka Pesolek."
"Jaka,
kau punya silang sengketa apa dengan kakek bernama Sedayu Galiwardhana
itu?" Bertanya Dewi Ular pada Jaka Pesolek.
"Kenal
saja tidak. Kapan matinyapun aku tidak tahu. Bagaimana mungkin aku punya silang
sengketa dengan kakek itu," jawab Jaka Pesolek pula.
"Tapi
orang hendak membunuhmu, pasti ada alasannya." Ucap Ratu Randang.
Jaka
Pesolek hanya mengangkat bahu. Lalu sadar akan keadaan dirinya yang tidak
karuan rupa karena barusan keluar dari timbunan lebat daun pohon besar, gadis
ini segera ambil kaca dan kotak hiasnya.
"Kalau
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dicuri kakek itu dan dia tahu-tahu muncul di sini,
bisa saja senjata sakti milik Raja Mataram itu berada di sekitar sini. Mungkin
di dalam Candi Kalasan" Wiro tatap wajah tiga orang di hadapannya. Lalu
menyambung ucapannya. "Aku ingat tulisan Arwah Ketua di dinding yang
memberi tahu bahwa Mahkota di atas Mahkota ada di dalam candi. Mungkin apa yang
aku duga dan apa yang tadi dikatakan Jaka Pesolek benar adanya. Keris sakti
yang diumpamakan sebagai Mahkota di atas Mahkota itu ada di Candi Kalasan.
Bagaimana kalau kita masuk lagi ke dalam candi untuk menyelidik."
"Tulisan
Arwah Ketua di dinding candi. Apakah peristiwa mahluk jejadian hendak membunuh
Jaka Pesolek tadi yang dimaksudkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi dan
kita jangan meninggalkan candi?" Dewi Ular berkata, membuat semua orang
memandang ke langit lalu memperhatikan bayang-bayang tubuh mereka di tanah
halaman candi.
"Masih
ada bayang-bayang walau tinggal pendek. Berarti sang surya belum mencapai titik
tertinggi." Kata Wiro.
"Berarti
apa yang dikatakan Arwah Ketua masih belum terjadi tapi segera akan
terjadi." Jaka Pesolek keluarkan ucapan. Ada bayangan rasa kawatir pada
nada suara dan raut wajah gadis ini.
Ratu
Randang mendekati Wiro dan berkata setengah berbisik agar tidak terdengar oleh
Jaka Pesolek.
"Wiro,
gadis itu tidak punya ilmu kesaktian apa-apa. Kecuali gerakan kilat serta
kehebatannya menangkap petir. Apakah menurutmu orang hendak membunuhnya karena
dua kemampuannya yang luar biasa itu? Dia mampu menangkap petir dan pukulan
sakti mengandung hawa panas lalu melemparkan buntalan petir atau pukulan sakti
pada musuh. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Ketua serta puluhan
anak buah Seratus Jin Perut Bumi."
Untuk
beberapa lama Wiro terdiam mendengar ucapan Ratu Randang.
"Nek,
kalau dugaanmu betul, berarti nyawa gadis itu masih akan terus terancam. Kita
harus melindunginya."
Jaka
Pesolek menyimpan cermin dan kotak bedaknya. Sambil melirik pada Wiro dan Ratu
Randang gadis ini berkata.
"Aku
tahu kalian berbisik-bisik merasani diriku "
"Kami
kawatir akan keselamatanmu," berkata Ratu Randang.
"Kalau
begitu baiknya aku pergi saja dari sini. Aku mau mencari tempat yang banyak
petirnya." Kata Jaka Pesolek pula.
"Walau
kau punya gerakan kilat, tapi berada seorang diri, bahaya dan celaka bisa lebih
cepat menimpamu. Apa kejadian tadi tidak membuat dirimu kawatir? Kau jangan
pergi kemana-mana."
Setelah
berpikir sejurus akhimya Jaka Pesolek berkata. "Kalian semua orang baik.
Tapi aku rasa aku memang harus pergi. Nanti kapan-kapan aku menemuimu
lagi." Jaka Pesolek berpaling pada Dewi Ular. Kedipkan mata dan bertanya.
"Kunti, apa kau masih mau mengambil celana dalam pemberian Nyi Loro
Jonggrang? Kalau kau menginginkan akan aku tanggalkan dan berikan padamu
sekarang juga."
"Kau
boleh memakai celana itu sampai bulukan!" Jawab Dewi Ular lalu pencongkan
mulut.
"Ah,
kau masih marah padaku. Aku minta maaf. Aku harus pergi sekarang."
Jaka
Pesolek seperti hendak melambaikan tangan sebagai tanda berpisah. Di saat yang
sama di kejauhan terdengar suara gema lonceng. Di langit sebelah timur ada
kilasan cahaya kuning lembut. Laksana kilat cahaya kuning ini melesat ke bawah
dan tahu-tahu telah melingkari tanah dimana Jaka Pesolek berdiri.
"Wusss!"
Cahaya
kuning menjalar ke atas, membungkus tubuh dan kepala Jaka Pesolek. Lalu
desss….desss! Tubuh Jaka Pesolek amblas masuk dan lenyap ke dalam tanah.
Wiro,
Ratu Randang dan Dewi Ular sama-sama berseru kaget. Ketiganya berusaha mengejar
tapi terlambat. Jauh dari dalam tanah masih terdengar sayup-sayup suara jeritan
Jaka Pesolek lalu hening.
"Ada
yang menculik Jaka pesolek. lni pasti pekerjaan dua Sinuhun keparat! Kalian
berdua tunggu di sini!" Kata Wiro sambil cepat menerapkan ilmu kesaktian
yang diberikan Kumara Gandamayana. Dia hunjamkan dua kaki ke tanah. Saat itu
juga sosoknya masuk lenyap ke dalam bumi!
Ratu
Randang tersentak kaget.
"Oala!
Baru tahu aku kalau dia punya ilmu bisa masuk ke dalam tanah!" ucap si
nenek sambil berpaling pada Dewi Ular.
Kunti
Ambiri sendiri yang juga rnemiliki sejenis ilmu yang hampir sama dan didapat
dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah ketika hubungan mereka masih baik mengangkat
tangan kanan yang memegang delapan Bunga Matahari kecil seraya berkata.
"Nek,
aku mau menyusul Wiro. Aku belum menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang dan
belum menyerahkan delapan Bunga Matahari ini pada Wiro! Kau tunggu di sini! Jangan
kemana-mana!"
"Wuttt!
Desss!"
Sosok
Dewi Ular juga lenyap masuk ke dalam tanah.
"Sialan!
Aku ditinggal sendirian!" -
Si nenek
mengomel panjang pendek sambil melangkah mundar mandir. Tiba-tiba dia hentikan
langkah, menatap ke tanab. Astaga! Tubuhnya tidak lagi membentuk bayangbayang.
Dia mendongak ke langit.
Sang
surya bersinar terik.
"Tepat
tengah hari. Ini rupanya yang disampaikan Arwah Ketua melalui tulisan di
dinding candi. Tapi apa sebenarnya yang terjadi? Apakah aku harus menunggu di
sini seorang diri?" Ratu Randang kembali melangkah mundar mandir.
Tiba-tiba dia hentakkan kaki dan berhenti melangkah. "Benar-benar gila!
Mengapa tidak tadi-tadi Kunti Ambiri menyampaikan pesan dan menyerahkan delapan
Bunga Matahari kecil pada pemuda itu. Celaka! Jangan-jangan." Sepasang
mata juling Ratu Randang membesar. "Oala…Jangan-jangan gadis itu sengaja
melakukan karena ingin berdua-dua di dalam tanah dengan Wiro! Edan!"
Saking
kesalnya si nenek merasa tubuhnya jadi lemas. Dia memandang berkeliling.
Keadaan di sekitar Candi Kalasan tampak sunyi. Silir tiupan angin terasa aneh
di jangat. Beberapa pohon kecil tampak bergoyang-goyang ranting dan
dedaunannya, namun tidak mengeluarkan suara bergemerisik. Perasaan si nenek
tidak enak.
"Aku
kawatir bahaya maut bisa saja datang tidak terduga. Lebih baik aku merubah diri
menjadi mahluk hidup lain apa saja."
Lalu si
nenek merapal ajian kesaktian. Sesaat kemudian sosok Ratu Randang berubah samar
lalu lenyap, berganti menjadi seekor kucing putih, duduk menjelepok di depan
tangga paling bawah pintu depan Candi Kalasan sambil menjilati kaki dan
tubuhnya.
*********************
9
AIR
TERJUN mencurah bergemuruh jatuh ke dalam telaga dangkal. Di seberang sana, di
atas sebuah batu besar di tepi telaga anak lelaki berambut tebal dan beralis
kereng berusia sekitar dua belas tahun duduk setengah berbaring sambil mengelus
kening anak perempuan yang tergolek tak bergerak mata terpicing. Sesekali
kening itu diciumnya. Anak perempuan ini berwajah ayu, bertubuh sintal, berusia
empat belas tahun. Perlahan-lahan anak lelaki yang memakai anting-anting emas
di telinga kirinya itu dekatkan wajah ke telinga anak perempuan. Setelah
mencium lembut pipi kiri anak perempuan itu dia berbisik. "Ni Gatri,
bangunlah. Pagi sudah datang, mentari telah memperlihatkan diri. Tidakkah kau
ingin menghirup udara segar serta melihat pemandangan indah sekitar
telaga?" Si anak lelaki lalu kembangkan telapak tangan kanan dan disapukan
di atas wajah anak perempuan yang ternyata adalah Ni Gatri. Dua kali menyapukan
tangan sepasang mata Ni Gatri masih terpejam dan keadaannya masih seperti tadi
seolah tidur nyenyak. "Aneh, mengapa tidak bangun?" ucap si anak
lelaki. Tangan kanannya kembali disapukan di atas wajah Ni Gatri. Tetap saja
anak perempuan itu terus terlelap. Anak lelaki bergerak duduk di atas batu,
memandang berkeliling. Matanya menatap ke arah air terjun yang mencurah
bergemuruh. "Ah….mungkin ini sebabnya. Suara deru air terjun membuat
pendengaran Ni Gatri terhalang. Aku tahu itu bukan air terjun biasa." Anak
lelaki tersenyum. Lalu tangan kanan di angkat sambil mulut berucap.
"Air
terjun! Berhentilah mencurah barang beberapa lama!"
"Wuttt!”
Selarik
sinar kuning kemerahan menyambar keluar dari telapak tangan kanan anak lelaki,
melesat ke arah curahan air terjun. Dan astaga! Seolah ada satu kekuatan
dahsyat yang menahan, curahan air terjun terbendung sepuluh tombak di atas
telaga! Keadaan di tempat itu kini serta merta menjadi senyap.
Dengan
tenang si anak lelaki kembali usapkan telapak tangan kanan di atas wajah Ni
Gatri. Kali ini, hanya sekali mengusap sepasang mata Ni Gatri langsung terbuka
nyalang dan tubuh bergerak bangkit lalu duduk clan memandang berkeliling.
"Ni
Gatri, aku senang kau sudah bangun dari tidurmu…" Si anak lelaki tekapkan
dua tangannya di pipi Ni Gatri.
Ni Gatri
yang saat itu tengah menatap ke arah air terjun pergunakan dua tangan untuk
manyibakkan tekapan sepasang tangan si anak lelaki darl wajahnya.
"Aku
tidak tidur. Aku tahu. Kau telah menyirapku. Kau telah menyihirku!"
Tiba-tiba Ni Gatri keluarkan ucapan keras.
Si anak lelaki
tertawa. "Adikku sayang, kau ini bicara apa? Aku tidak, menyirapmu. Siapa
yang telah menyihirmu? Apa wajahku kau lihat seperti nenek angker tukang
sihir?"
"Aku
tahu dan ingat sernua apa yang telah terjadi. Kau tak perlu berdusta!"
"Kalau
begitu, apakah kau masih ingat namaku?" tanya si anak lelaki pula.
"Namamu
Dirga Purana. Kau anak jahat yang menculikku!"
"Ha
…ha! Aku senang kau masih ingat namaku. Adikku sayang, lihatlah berkeliling.
Tidakkah tempat ini indah sekali dan kita berdua bisa bermain bersenang-senang
di sini. Aku akan gembira selangit kalau kita bisa mandi berdua-dua di telaga
berair jernih dan sejuk ini."
Ni Gatri
tertawa sinis.
"Katamu
umurmu dua belas tahun. Aku empat belas tahun! Bagaimana kau bisa-bisaan
memanggil aku adikmu? Aku bukan adikmu! Aku tidak mau bermain denganmu. Apa
lagi mandi bersamamu di telaga! Kau anak jahat! Aku ingin pulang!"
"Pulang?
Pulang kemana? Rumahmu, rumah kita berdua ada di Bhumi Mataram ini."
Ni Gatri
menggeleng. Ketika anak lelaki bernama Dirga Purana itu hendak memegang
wajahnya Ni Gatri cepat membentak.
"Jangan
kau berani menyentuh diriku!"
"Kau
adikku sayang. Kau kekasih buah hatiku! Mengapa aku tidak boleh
menyentuhmu?!"
"Ihh!
Kau bicara seperti orang gila! Mungkin juga kau sudah kemasukan mahluk halus
penghuni telaga!"
"Ssshhh,
jangan bicara seperti itu. Dengar, aku memang gila. Tergila-gila padamu!"
Anak lelaki itu kembali gerakkan tangan hendak memegang wajah Ni Gatri.
"Kalau
kau berani menyentuhku lagi…!" Mengancam Ni Gatri.
Dirga
Purana tertawa. "Kau anak berani. Aku suka orang berani. Jika aku
menyentuh tubuhmu lagi, kau hendak berbuat apa?
“Menamparku?
Memukulku?"
"Aku
akan membunuhmu!" Jawab Ni Gatri dan matanya menyorot tajam ke arah mata
Dirga Purana.
"Hebat!"
Kata Dirga Purana pula. "Aku ingin kau membuktikan ucapanmu!" Lalu
anak lelaki ini condongkan tubuh dan ulurkan tangan. Sambil merangkul dia
jatuhkan diri diatas tubuh Ni Gatri hingga anak perempuan ini jatuh
tertelentang di batu dan di atasnya Dirga Purana menghimpit. Dalam usia yang
masih dua belas tahun anak lelaki itu memperlihatkan sikap seperti orang
dewasa. Ciumannya bertubi-tubi jatuh di wajah Ni Gatri. (Mengenai siapa anak
lelaki bernama Dirga Purana silahkan pembaca ikuti riwayatnya dalam serial
"Mimba Purana Satria Lonceng Dewa" karangan Bastian Tito)
Ni Gatri
berteriak, dua tangan berusaha memukul, dua kaki mencoba menendang. Namun
begitu Dirga Purana meniup keningnya, kekuatan anak perempuan ini serta merta
hilang. Tubuhnya mendadak lemas hingga tidak mampu bergerak bahkan berteriakpun
dia tidak bisa. Ni Gatri hanya tinggal pasrah diperlakukan secara tidak senonoh
seperti itu.
Semakin
memuncak nafsunya, semakin gila dan kurang ajar perbuatan Dirga Purana. Dalam
keadaan diri Ni Gatri dipermalukan seperti itu tiba-tiba satu bayangan merah
samar berkelebat dari depan gua yang terletak di balik air terjun. Sosok ini
laksana berlari di atas air telaga, bergerak cepat ke arah batu besar dimana
Dirga Purana dan Ni Gatri berada.
"Kesatria
Junjungan, mohon saya dimaafkan. Saya tidak tidak ingin mengganggu
kesenanganmu…."
Dirga
Purana angkat kepala. Sebelum menoleh ke arah datangnya suara dia membentak.
"Tidak
ingin menganggu tapi berani muncul! Siapa yang bicara?!"
"Saya
berada di sini. Saya Sinuhun Merah Penghisap Arwah." Terdengar suara
jawaban.
Dirga
Purana berpaling ke kiri. Di situ dia melihat sosok samar merah yang
perlahan-lahan berubah utuh. Sosok itu seorang kakek berpakaian dan mengenakan
belangkon merah. Di bagian depan belangkon tersemat sebuah hiasan berbentuk
bintang sudut delapan terbuat dari suasa muda atau perunggu. Delapan benjolan
merah yang ada di kening kelihatan memancar terang pertanda ada gejolak hati
yang tidak senang kalau tidak mau dikatakan marah. Hal ini juga kelihatan dari
kumis, sepasang alis serta janggut merahnya yang berjingkrak. Sepasang mata
yang seluruhnya nyaris berwarna merah tampak menyorot menatap ke arah si anak
lelaki.
"Sinuhun,
aku benar-benar tidak senang dengan kedatanganmu! Aku tidak suka melihat caramu
memandangku! Apa harus aku ingatkan dengan siapa kau berhadapan saat
ini?!"
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah merasa tubuhnya bergetar. Cepat dia membungkuk lalu
luruskan tubuh dan berkata.
"Maafkan
saya Kesatria Junjungan. Tapi keadaan di pihak kita saat ini benar-benar buruk.
Sejak kau membawa gadis dari alam delapan ratus tahun mendatang itu, kau
seperti lupa segala-galanya…"
"Apakah
kau berani melarangku berbuat yang aku suka, Sinuhun Merah?!" Dirga Purana
membentak seraya bangkit dan berdiri di atas batu sambil berkacak pinggang.
Wajah bocahnya tampak berubah tua dan angker.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah cepat membungkuk sekali lagi.
"Kesatria
Junjungan, mohon saya dimaafkan. Mana mungkin saya berani melarang.Namun selama
beberapa waktu belakangan ini Junjungan sepertinya tidak tahu lagi apa yang
terjadi di pihak kita…"
"Memangnya
apa yang terjadi, Sinuhun?"
"Ketua
Seratus Jin Perut Bumi dan seluruh anak buahnya musnah! Arwah Ketua yang saya
tugaskan mencegat Raja Mataram terpaksa lebih dahulu saya perintahkan pergi
membunuh Kesatria Panggilan. Tapi nasibnya nahas. Empat Mayat Aneh menguliti
kulit luarnya. Kesatria Panggilan kemudian memasukkannya ke dalam Candi
Kalasan. Dari situ dia mampu bertahan hidup dan mencari jalan menyelamatkan diri.
Lalu Kumara Gandamayana berhasil keluar dari dalam tanah. Dia ditolong oleh
Kesatria Panggilan dengan satu ilmu luar biasa sakti. Kesatria Roh Jemputan
tidak tahu ilmu apa yang dimiliki keparat itu! Sekarang Kumara Gandamayana
bergabung dengan Rauh Kalidathi mengamankan Raja Mataram…."
"Hanya
semua itu saja, apakah kau merasa seolah langit sudah runtuh, bumi sudah
terbelah dan air laut menyapu daratan?!" Tanya Dirga Purana ketus.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah terdiam seketika. Namun ketika bicara lagi suaranya
terdengar keras, tandas walau bergetar.
"Bukan
itu saja Kesatria Junjungan…."
"Lalu
apa?!"
"Karena
sibuk dengan anak perempuan itu Kesatria Junjungan sampai lupa memperhatikan
sesajen untuk Delapan Sukma Merah!"
Dirga
Purana tersentak kaget. Dari kepalanya langsung memancar cahaya kuning
kemerahan.
Saat itu
juga tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh.
Di udara
menyambar keras bau kemenyan membuat orang bisa merinding walau saat itu di
siang bolong!
Wajah
Dirga Purana berubah.
Tiba-tiba
seolah terjun dari langit, delapan benda merah melayang turun. Laksana burung,
delapan benda itu hinggap di tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dan mereka
ternyata bukan burung! Empat meriung di atas kepala. Dua mengendap di bahu kiri,
dua lagi di bahu kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah!
"Rakanda
Delapan Sukma Merah!" Ucap Dirga Purana. Anak ini memanggil delapan mahluk
dengan sebutan Rakanda seolah mereka adalah kakak-kakaknya! Anak ini kemudian
membungkuk sambil kembangkan dua tangan kesamping. Setelah meluruskan tubuh dia
berpaling pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan membentak. "Sinuhun
Merah! Jangan salahkan diriku! Kau yang terlambat memberi tahu
mengingatkan!"
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah diam-diam merasa jengkel karena dirinya dipersalahkan.
Namun dengan tenang mahluk alam roh ini menjawab.
"Kesatria
Junjungan. Tiada ada gunanya kita saling salah menyalahkan. Lebih baik cepat
dicari jalan sebelum Delapan Sukma Merah berubah buas dan mencabik-cabik tubuh
kita karena haus dan lapar! Saat ini saya merasakan tubuh Delapan Sukma Merah
mulai memanas. Jalan bagi saudara kembar senyawaku Sinuhun Muda Ghama Karadipa
untuk mendapatkan tahta Kerajaan masih sulit. Jangan Junjungan menambah beban
kesusahan…"
Rahang
Dirga Purana menggembung. Dia hendak mendamprat namun saat itu suara ngeongan
riuh kembali menggelegar.
*********************
10
RAKANDA
Delapan Sukma Merah, kami tidak berlaku sengaja melupakan sesajen kalian minggu
ini. Aku akan menggantikan dengan hidangan yang lebih lezat. Kemarilah!"
Habis berkata anak lelaki bernama Dirga Purana bertepuk tangan tiga kali. Lalu
dua tangan diulurkan. Kembali terdengar suara mengeong. Delapan sosok merah
kecil yang berada di kepala dan bahu Sinuhun Merah Penghisap Arwah melompat
masuk ke dalam gendongan dua tangan Dirga Purana. Ternyata delapan mahluk itu
adalah delapan ekor anak kucing berbulu merah. Binatang-binatang cilik ini
memiliki beberapa keanehan kalau tidak mau dibilang menyeramkan. Antaranya
sepasang mata yang seluruhnya berwarna merah. Dua telinga lebih besar dari anak
kucing biasa, mencuat runcing di bagian atas. Sepasang taring muncul di sela
bibir kiri kanan. Ketika mulut terbuka kelihatan lidah merah sepanjang satu
jengkal. Lalu pada kening setiap anak kucing ini terdapat satu tonjolan daging
seujung jari kelingking berwarna merah pekat. Jika diperhatikan, kepala delapan
anak kucing itu lebih menyerupai kepala kelelawar. Dirga Purana dekatkan
delapan ekor anak kucing yang digendongnya ke wajahnya, menciumnya satu persatu
lalu berbisik. "Rakanda Delapan Sukma Merah, aku tahu kalian lapar dan
haus. Aku harap Rakanda semua tidak marah. Sebagai ganti sesajen aku akan
memberikan santapan yang sangat sedap untuk kalian. Kalian pasti suka. Dari
sini aku sudah mencium kelezatannya." Delapan ekor anak kucing berbulu
merah mengeong keras. Lidah panjang merah mencuat keluar. Benjolan merah di
kening memancarkan cahaya terang. Delapan anak kucing ulurkan kepala dan dua
kaki depan ke arah Ni Gatri. Mulut dibuka lebar sambil keluarkan suara setengah
mengeong setengah mengaum! Ni Gatri terpekik ketakutan. Dia hendak melompat
turun dari atas batu tapi aneh, tubuhnya terasa berat.
"Ssss!
Rakanda semua, jangan ganggu anak perempuan itu. Dia adalah kekasihku." ‘
Delapan
anak kucing merah menggeram halus lalu mengeong keras!
Dirga
Purana tekap delapan anak kucing ke dadanya sambil digoyang-goyang tidak beda
seorang ayah menenangkan anaknya yang cerewet. Ketika binatangbinatang itu
berhenti mengeong dan tampak tenang Dirga Purana pejamkan mata. Kepala
mendongak ke langit. Hidung mencium dalam-dalam. Sesaat kemudian mulutnya
tampak menyeringai.
"Rakanda
Delapan Sukma Merah, mohon dimaafkan seribu maaf di atas langit dan di dalam
bumi. Sekali ini Sesajen Atap Langit tidak dapat kami berikan pada Rakanda
berdelapan. Sebagai penggantinya telah tersedia santapan lezat yang saat ini
telah menunggu dan berada di Candi Kalasan. Kalian pasti menyukai. Pergilah,
tapi ingat dan harap bersabar, jangan menyantap hidangan sebelum sang surya
melewati titik tertingginya."
Dirga
Purana kembangkan dua tangannya yang sejak tadi menggendong delapan anak kucing
berbulu merah. Delapan anak kucing mengeong keras, telinga besar
berkibas-kibas. Lalu benar-benar seperti kelelawar, mereka melayang ke udara,
mengeong panjang. Berputar-putar delapan kali di atas kepala si anak lelaki
kemudian berrr…..! Melesat ke arah timur.
KUCING
putih yang duduk di tangga depan Candi Kalasan yang tengah menjilati sepasang
kaki depannya tiba-tiba tersentak dan dongakkan kepala. Dua mata membesar
menatap ke arah matahari yang memancarkan cahaya terik menyilaukan.
"Aku
mencium bahaya. Tapi belum tahu datangnya dari mana.Mungkin dari arah langit,
bisa juga dari dalam tanah."
Binatang
itu, yang bukan lain adalah ujud jejadian si nenek sakti Ratu Randang yang
tengah melindungi diri dengan ilmu kesaktian langka berucap dalam hati. Sekali
lagi sepasang matanya menatap ke arah matahari. Tibatiba di balik cahaya yang
menyilaukan dia melihat ada delapan titik merah. Walau darah tersirap hati
tercekat namun Ratu Randang bersikap tenang.
"Hemmm,
aku sudah menduga. Siapa lagi yang punya pekerjaan kalau bukan dua Sinuhun
keparat itu. Mereka pasti akan mengirim serangan. Aku harus mencari
selamat" Ratu Randang membatin lalu merapal satu aji kesaktian yang telah
beberapa kali diterapkannya antara lain ketika menghadapi dan memperdayai dua
Sinuhun, Swara Pancala dan Iblis Menjunjung Dupa Kesatu dan Kedua.
Cepat
sekali, laksana kilat menyambar delapan titik merah yang tadi terlihat jauh di
langit melesat turun ke bumi dan di lain kejap nyaris tanpa mengeluarkan suara
delapan ekor kucing merah Delapan Sukma Merah telah menjejakkan empat kaki di
depan tangga Candi Kalasan. Mereka berpencar demikian rupa membentuk lingkaran,
mengurung kucing putih di tengah-tengah! Tubuh diangkat, berdiri diatas dua
kaki belakang. Kuku-kuku dua kaki depan mencuat sampai satu jengkal menyerupai
pisau pendek berkeluk berwarna merah pekat gelap pertanda ada racun jahatnya.
Mulut dipentang lebar memperlihatkan barisan gigi lancip serta sepasang taring
runcing dan lidah panjang.
Didahului
suara mengeong dahsyat, delapan anak kucing berbulu merah menyergap kucing
putih. Dari benjolan merah di kening masing-masing menyembur cahaya merah.
Tanah di depan tangga candi berhamburan ke udara.
Kucing
putih besar yang diserang tidak tinggal diam. Sambil balas mengeong binatang
ini melompat ke udara menghindarkan serangan delapan cahaya merah serta
sergapan delapan anak kucong. Begitu berhasil selamatkan diri kucing putih
mengeong tak kalah keras lalu melesat menyusup ke bawah lancarkan serangan
balasan.
Namun
kedahsyatan serangan delapan anak kucing yang disebut Delapan Sukma Merah itu
benar-benar luar biasa dan mengerikan. Selagi kucing putih masih mengambang di
udara mereka menerkam.
Kucing
putih terkapar di tangga candi. Kaki kanan sebelah depan buntung disambar
tebasan cakar berbentuk pisau. Binatang ini terguling menggelepar di tanah
sementara seperti kesetanan delapan anak kucing langsung membantai
mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun
tidak bersisa. Di udara bulu-bulu putih beterbangan membuat pemandangan
bertambah angker. Di halaman candi sesaat masih menggehang darah binatang ini
sebelum meresap masuk ke dalam tanah.
Di atas
pohon besar tak jauh dari Candi Kalasan, Ratu Randang yang bersembunyi di balik
kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin dan bulu kuduk merinding.
Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana
nasib dirinya kalau tadi sampai terlambat keluar dari sosok kucing putih itu.
"Delapan
anak kucing merah. Binatang apa mereka? Binatang sungguhan atau jejadian? Aku
merasa dan melihat ada kekuatan luar biasa dahsyat dalam tubuh mereka. Benjolan
merah di kening mereka. Jumlah yang delapan, pertanda dugaanku tidak meleset.
Mereka pasti ada hubungan dengan dua Sinuhun keparat itu…!".
Belum
sempat si nenek berpikir lebih jauh dibawah sana delapan anak kucing mengeong
aneh. Delapan kepala mendongak ke langit. Buntut dikibas Kian kemari. Sepasang
mata menjorok keluar. Dari mulut keluar darah membusah. Darah kucing putih.
Mereka sudah menyantap daging sampai ke tulang, sudah menghirup darah kucing
putih. Tapi mereka tetap merasa lapar dan haus!
Tiba-tiba
serentak delapan binatang ini palingkan kepala ke arah pohon besar dimana Ratu
Randang bersembunyi membuat si nenek tercekat pucat.
"Celaka,
apa delapan anak kucing keparat itu tahu kalau yang mereka santap tadi bukan
kucing benaran? Apa mereka tahu aku sembunyi di sini?"
Tidak
tunggu lebih lama si nenek segera merapal lagi aji kesaktian. Kejap itu juga
tubuhnya berubah menjadi seekor kadal, menempel di dahan pohon. Tetapi delapan
ekor anak kucing yang bukan binatang sembarangan itu tidak dapat ditipu.
Delapan pasang mata merah berputar liar. Didahului ngeongan keras mereka
melesat ke atas pohon besar.
Ratu
Randang cepat keluar dari dalam sosok kadal pohon.
Namun
sekali ini dia tidak punya kesempatan untuk mengubah diri lagi memperdayai
delapan anak kucing! Begitu dua kakinya menjejakkan tanah, delapan anak kucing
merah sudah terjun dari atas pohon. Mulut terpentang lebar, empat kaki dengan
cakar laksana pisau menyambar ganas!
"Hyang
Jagat Bathara! Tamat riwayatku!" Jerit Ratu Randang dalam hati. Saat itu
dia melihat satu-satunya tempat untuk cari selamat adalah sebuah batu besar
tinggi yang belum selesai dibentuk menjadi sebuah candi kecil.
Ratu
Randang segera merapal aji kesaktian Menunggang Kabut Menembus Batu. Dia juga
membarangi dengan ilmu kesaktian Insan Berjalan Tanpa Bayangan agar tubuhnya
tidak kelihatan.
"Wuuttt!"
"Desss!"
Sosok
Ratu Randang amblas lenyap masuk ke dalam batu namun delapan anak kucing mampu
melihat ke arah mana lari dan lenyapnya si nenek karena ilmu Insan Berjalan
Tanpa Bayangan asal muasalnya diperoleh Ratu Randang dari Sinuhun Merah
Penghisap Arwah dan Sinuhun Muda Ghama Karadipa sewaktu mereka masih
berhubungan dekat.
Di dalam
batu, baru saja merasa sudah aman tiba-tiba braak! Batu besar kokoh bergetar di
delapan tempat!
*********************
11
RATU
RANDANG tersentak kaget ketika di dalam batu dia melihat delapan sosok anak
kucing berbulu merah muncul dan tahu-tahu sudah mengurungnya! Tidak mau memberi
waktu pada si nenek, delapan kucing langsung menyerang! Mulut bertaring siap
melumat, kaki berkuku seperti pisau siap mencabik! Didahului suara mengeong
dahsyat yang membuat batu bergetar, delapan kucing menyerbu! Ratu Randang
berteriak keras. "Sang Hyang Widhi! Saya minta perlindungan padaMu!"
Begitu berteriak si nenek gerakkan dua tangan sambil merapal aji kesaktian Di
Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat. Dua larik cahaya biru berkiblat.
Batu bergoyang keras lalu blaar! Batu besar runtuh, hancur berkeping-keping.
Ratu Randang terpental dua tombak, jatuh terbanting di tanah. Belum sempat
bergerak bangun suara ngeongan menggelegar dan delapan anak kucing merah
tahu-tahu sudah berada di atasnya! Belasan cakar berbentuk pisau merah pekat
berkelebat ganas! Ratu Randang coba selamatkan diri dengan melancarkan serangan
Tombak Dewa Memancung Berhala. Kehebatan ilmu kesaktian ini adalah jumlah sinar
biru yang membentuk tombak akan muncul sesuai jumlah lawan yang diserang. Kalau
lawan hanya seorang maka tombak sakti akan melesat satu buah. Jika lawan ada
tiga, tombak akan keluar tiga. Saat itu cahaya biru yang membentuk tombak
berkiblat delapan buah yaitu sesuai dengan jumlah anak kucing merah yang
menjadi sasaran. Namun jarak antara si nenek dengan delapan lawan saat itu
sudah terlalu dekat. Dia tidak leluasa bergerak melancarkan serangan. Walau
delapan cahaya biru menyambar keluar dari tangannya tapi breett!
Si nenek
kena serangan lebih dulu. Anak kucing merah yang melesat di sebelah kiri berhasil
merobek lengan kanan pakaian dan melukai tangannya. Saat itu juga Ratu Randang
merasa sekujur tubuhnya menjadi panas, padahal luka di tangan kanan hanya
berupa goresan pendek! Sepasang lutut Ratu Randang goyah, pandangan menjadi
buram. Hanya sekejapan lagi. Delapan Sukma Merah akan mencabik-cabik tubuhnya
mendadak ada suara bersiur disertai munculnya sebuah benda aneh menebar cahaya
menyilaukan. Cahaya ini adalah pantulan sinar matahari. Walau hanya merupakan
pantulan tapi mengandung hawa panas luar biasa. Hingga delapan anak kucing
merah mengeong keras lalu bersurut menjauhi sambaran cahaya panas.
Benda
aneh itu menyerupai sebuah tabir putih besar. Bagian bawah menancap di tanah
menghambat memisahkan delapan anak kucing merah dongan sosok Ratu Randang yang
nyaris tidak berdaya.
Tabir
putih ternyata merupakan sebuah cermin aneh. Delapan anak kucing menggerung
keras. Mereka merasa aneh melihat sosok mereka berada di dalam cermin dan
berubah buas. Benjolan merah di kening pancarkan sinar terang. Enam belas kaki
depan dipentang lalu berkelebat berusaha mencabik permukaan cermin dengan cakar
pisau. Tapi tabir cermin seperti dilindungi lapisan sangat licin, tak mampu
dicabik atau dipecahkan, bahkan tergorespun tidak!
Delapan
anak kucing mengeong keras, melangkah mundur. Serentak mereka menerjang ke
depan, menghantamkan kepala ke arah tabir cermin putih.
Sebelumnya,
delapan anak kucing angker ini mampu menghancurkan batu besar dengan hantaman
kepala mereka. Namun kali ini kekuatan kepala mereka yang dahsyat tidak sanggup
memecahkan cermin.
"Dukkk!
Dukkk!"
Tabir
cermin hanya bergetar sedikit.
Delapan
anak kucing menjadi marah. Didahului suara mengeong mereka kembali menyerang.
Kali ini dengan lebih dulu menghantamkan delapan larik sinar merah yang
memancar dari delapan benjolan di kening.
"Wusss!"
Delapan
cahaya merah angker berkiblat.
"Kraakkk….kraakk!"
Tabir
kaca putih berlubang di delapon tempat lalu hancur berkeping-keping dan
akhirnya musnah. Ketika tabir lenyap dari pemandangan delapan kucing merah
melompat ke depan. Mereka menggerung marah karena tidak menemukan Ratu Randang.
Padahal mereka tahu sebelumnya si nenek telah terkapar tak berdaya di tanah di
balik tabir cermin putih. Delapan kucing mengeong dahsyat. Empat memandang
berkeliling, empat lagi mengeruk-ngeruk tanah. Semuanya mengendus dalamdalam.
Tapi mereka tidak mencium bau sosok si nenek. Padahal penciuman mereka bisa
menjajagi seseorang yang berada lebih dari dua ratus tombak jauhnya!
Delapan
ekor kucing berpandang-pandangan satu sama lain seolah saling bicara tanpa
suara. Setelah mengeong keras yang kali ini menyerupai suara raungan anjing di
malam buta, delapan mahluk itu melesat ke udara ke arah matahari yang bersinar
terik.
HANYA
beberapa ketika sebelum delapan anak kucing merah menghancurkan tabir cermin
putih, di belakang sana entah dari mana datangnya mendadak ada sosok seorang
kakek berjubah dan bersorban kelabu berkelebat. Kakek ini langsung mengangkat
tubuh Ratu Randang yang tidak berdaya, menggendongnya ke arah sebuah pohon
besar. Dalam satu kejapan saja sosok si kakek dan si nenek telah masuk ke dalam
batang pohon. Lalu ada cahaya berpijar ke bawah dan di lain saat sosok kedua
orang itu lenyap di arah akar pohon.
Ratu
Randang yang berada dalam keadaan setengah sadar, buka mata lebar-lebar tapi
tetap saja sepasang mata itu setengah terpejam. Dia hanya mampu melihat samar
wajah si kakek. Ketika mulutnya berucap, suaranya perlahan parau pertanda daya
kekuatannya benar-benar terkuras oleh racun jahat cakar pisau anak kucing
berbulu merah.
"Kumara
Gandamayana. Kau….. "
Si nenek
merasa gembira dan menyebut nama orang yang menggendongnya.
Seperti
diketahui Kumara Gandamayana adalah kakek sakti pembantu utama Raja Mataram
yang sebelumnya dituturkan setelah dikeluarkan oleh Wiro dari dalam tanah
bergabung dengan Rauh Kalidhati untuk membawa sang Raja ke satu tempat rahasia.
"Aku
bukan Kumara Gandamayana." Si kakek menjawab.
Tenggorokan
Ratu Randang tercekat. Alis mencuat dan kening mengkeret.
"Bagaimana
mungkin kau bicara dusta. Apa kau kira aku tidak mengenali lagi dirimu. Sobat
tua, walau aku keracunan tapi aku belum buta…"
"Aku
bukan Kumara Gandamayana." Kembali si kakek mengulang ucapan.
"Lalu…lalu
kau siapa? Setannya, atau jejadiannya atau apanya?" Tanya Ratu Randang
heran. Pandangan matanya semakin redup. Suara bertambah perlahan tapi
pendengaran masih cukup jelas.
"Aku
berpantang memberi tahu nama." Si kakek berikan jawaban.
Mulut
Ratu Randang bergerak pencong tanda jengkel mendengar jawaban orang tua
berjubah dan bersorban kelabu.
"Sebetulnya
kalau kau memang orang baik dan sakti, tidak perlu menolong diriku. Bukankah
lebih baik kau memusnahkan delapan anak kucing celaka itu? Pahalamu lebih
besar. Aku yang sudah tua rongsokan dan bau tanah ini perlu apa ditolong?
Menyelamatkan Kerajaan jauh lebih penting dari menyelamatkan diriku."
"Jalan
pikiran dan ucapanmu betul. Tapi mohon maaf. Aku berpantang membunuh mahluk
hidup. Sekalipun semut atau anak kucing, apa lagi yang namanya manusia…"
Ratu
Randang tertawa tapi tidak bersuara. Hanya mulutnya saja yang kembali tampak
pencong.
"Orang
tua, kau punya banyak pantangan rupanya. Tapi agaknya kau tidak punya pantangan
menggendong perempuan sekalipun tua bangka sepertiku! Kurasakan nafasmu
mengengah dan detak jantungmu bergemuruh. Aku kawatir sebenarnya kau bukan
bermaksud menolongku tapi tengah membawa aku ke satu tempat untuk digerayangi.
Hik…hik…hik."
"Desss!"
Si kakek
terkejut. Tubuh Ratu Randang sampai terlepas dari gendongannya dan mental ke
udara. Sebelum jatuh ke bawah si kakek cepat-cepat menangkap tubuh Ratu Randang
lalu digendong kembali. Mulut dikancing tak mau lagi bicara.
"Eh,
kita ini berada dimana sebenarnya? Aku melihat semua benda berwarna coklat
kehitaman. Mengapa tidak ada matahari, mana pepohonan. Tidak ada angin…"
Si kakek
diam saja.
Ratu
Randang pejamkan kedua matanya, lalu berlaku sama. Dia tidak bergerak. Tak mau
bicara. Bahkan nafasnya yang sudah sesakpun sengaja ditahan. Kini si kakek jadi
kawatir. Dia berhenti berlari dan pandangi wajah si nenek. Lalu pipi kirinya di
dekatkan ke hidung Ratu Randang. Tidak ada hembusan nafas. Ganti telinga
kirinya didekapkan ke dada si nenek.
Saat itu
terdengar tawa Ratu Randang.
"Kau
mulai nakal. Kau berbuat apa menyentuh dadaku dengan telinga. Mengapa tidak
dengan tangan? Hik…hik…"
"Semakin
banyak kau bicara semakin cepat racun Cakar Sukma Merah bekerja di tubuhmu dan
tambah cepat kau menemui ajal." Si kakek akhirnya keluarkan ucapan.
"Aku…aku
memang sudah mati…" Kata Ratu Randang. Lalu dari tenggorokannya terdengar
suara gheekkk!
Kakek
berjubah dan bersorban kelabu terkejut. Dia memandang berkeliling sambil dalam
hati berucap.
"Kurasa
aku sudah berada delapan tombak di dalam perut bumi. Mudah-mudahan Para Dewa
menolong diriku dan dirinya."
Padahal,
walau sakarat si nenek sebenarnya berpurapura!
Dengan
cepat Ratu Randang diturunkan dari gendongan. Dibaringkan lalu dua tangan kanan
menotok ubun-ubun si nenek. Luka di tangan kanan diremas demikian rupa hingga
darah kehitaman mengucur deras. Begitu darah berhenti mengucur kakek ini totok
dada kiri Ratu Randang di arah jantung.
"Huaahh!"
Si nenek
muntahkan darah kental bercampur sisa racun!
Ratu
Randang buka sepasang mata. Mulut tertawa. Tubuh tidak terasa lemas lagi.
Pemandangannya terang. Si kakek merasa lega.
Dengan
cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan berkata.
"Terima
kasih kau telah menyelamatkan diriku dari racun Cakar Sukma Merah. Tapi mengapa
kau tidak menolongku dari tadi?"
"Ada
pantangan…."
"Oala!
Lagi-lagi pantangan!"
"Maksudku,
racun Cakar Sukma Merah tidak bisa dimusnahkan sebelum masuk ke perut bumi
sedalam delapan tombak."
"Astaga!
Memangnya saat ini kita berada dimana?" Tanya Ratu Randang sambil
memandang berkeliling. "Aku baru sadar, tak ada cahaya terang, tak ada
matahari. Tak ada pepohonan atau rimba belantara. Tak ada bebukitan. Juga tak
ada sapuan angin. Semua berwarna kecoklatan, kadang-kadang hitam."
"Kita
berada di dalam tanah. Di perut bumi…" Menjelaskan si kakek.
"Oala!
Pantas….aneh tapi nyata. Aku berada dalam tanah tapi nafas tidak sesak, mata
tidak kerurupan tanah, bisa bergerak kemana-mana. Eh Kek, kau mau membawa aku
kemana? Mengapa aku dibawa masuk ke dalam tanah padahal di luar sana kalau kau
mau ajak aku jalan-jalan pemandangan jauh lebih indah…"
"Seperti
kataku tadi, racun Cakar Sukma Merah hanya bisa dimusnahkan kalau kau berada
delapan tombak di bawah tanah."
"Oo…begitu?"
Ratu
Randang manggut-manggut.
"Sekarang
aku sudah selamat dari racun jahat. Lalu kau mau membawa aku kemana?"
"Aku
mau membawamu ke dalam tanah di bawah Candi Plaosan Lor…"
"Lagi-lagi
jalan-jalan di dalam tanah." Kata Ratu Randang sambil unjukkan wajah
cemberut. "Tapi ya sudah! Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?"
Ratu
Randang lalu perhatikan si kakek mulai dari ujung sorban sampai ke kaki yang
berkasut putih.
"Ada
apa?
"Sorban
di kepalamu, wajahmu, jubahmu dan sepasang kasut putih di kedua kakimu. Lalu
juga suaramu! Semua menyatakan bahwa kau jelas-jelas adalah Kumara Gandamayana,
orang kepercayaan Raja Rakai Kayuwangi, sobatku di Bhumi Mataram. Tapi mengapa
kau tidak mau mengaku? Kau tiba-tiba saja menjadi aneh dan sombong!"
"Aku
memang aneh tapi tidak sombong. Selain itu aku berpantang untuk mengatakan
siapa diriku. Biar nanti kau tahu dari orang lain saja siapa diriku."
"Orang
lain siapa?"
"Aku
akan membawamu menemui orang itu. Beberapa sahabatmu sudah ada di sana…"
"Maksudmu
siapa…?" Ratu Randang bertanya.
Namun
tidak terduga orang tua bersorban kelabu tiup wajah si nenek. Saat itu juga
Ratu Radang merasa kantuk yang amat sangat Nenek ini menguap satu kali lalu
tertidur lelap dalam keadaan berdiri. Si kakek cepat menggendongnya.
*********************
12
SEKARANG
mari kita ikuti apa yang terjadi dengan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi.
Diceritakan sebelumnya (baca "Tabir Delapan Mayat") bahwa gadis
berkaki satu itu telah dibawa oleh Empat Mayat Aneh ke Candi Kalasan. Menurut
pengakuan Empat Mayat Aneh kepada Wiro si gadis dibawa atas suruhan seorang
kakek bernama Empu Semirang Biru. Sang Empu adalah orang yang atas perintah
Raja Mataram membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, tinggal di lereng Gunung
Bismo.
DITUTURKAN
dalam serial pertama ("Malam Jahanam Di Mataram") menjelang akan
datangnya malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram, selagi berada di Istana
bersama Raja dan para pejabat serta petinggi Kerajaan tiba-tiba saja berkelebat
satu bayangan kelabu dan tahutahu Empu Semirang Biru tak ada lagi di tempatnya
berdiri. Penculikan di siang bolong, dalam Istana, di tengah sekian orang
banyak itu tentu saja sangat menggemparkan. Beberapa orang berkepandaian tinggi
berusaha mengejar si penculik. Namun si penculik bersama Sang Empu lenyap
laksana ditelan bumi! Semenjak itu Empu Semirang Biru maupun Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi tidak diketahui lagi dimana rimbanya.
KETIKA
peti mati hitam besar menjejak halaman Candi Kalasan, Empat Mayat Aneh segera
membuka penutup peti mati untuk mengeluarkan Sakuntaladewi. Begitu penutup peti
terpentang lebar, Empat Mayat Aneh berseru kaget.
Sosok
gadis cantik berkaki satu itu tidak ada di dalam peti. Peti dalam keadaan
kosong. Sebagian lantai peti mati tampak jebol seperti habis dibongkar!
Semula
Empat Mayat Aneh mengira Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal berhasil
membongkar alas peti mati lalu menyusup keluar, mungkin masuk ke dalam tanah.
Peti mati digeser. Namun di tanah tidak tampak bekas-bekas adanya tanah yang
terbongkar atau berlubang!
Mayat
Aneh Kesatu jitak-jitak keningnya sendiri. Mayat Aneh Kedua menduga si gadis
telah diculik oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mayat Aneh Keempat menyelidik
masuk ke dalam Candi Kalasan namun tak lama kemudian tubuhnya terlempar keluar
candi. Gulungan kain putih yang melibat sekujur tubuh sampai kepala berwama
hitam mengepulkan asap. Di sudut mulut tampak lelehan darah.
Tiga
Mayat Aneh segera mengobati saudara mereka Mayat Aneh Keempat. Saat itu muncul
Delapan Tabir Mayat yaitu delapan sosok mayat busuk mengerikan ciptaan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Melihat mahluk apa yang muncul dan sadar kalau mereka
tidak akan mampu menghadapi, Tiga Mayat Aneh cepat melempar masuk lebih dahulu
Mayat Aneh Keempat ke dalam peti mati. Ketika mereka siap hendak melarikan
diri, Tabir Delapan Mayat menyerbu dengan ilmu ganas disebut Delapan Telunjuk
Arwah Busuk.
Sekejap
lagi peti mati akan hancur lebur dilanda serangan, tiba-tiba dari dalam peti
mati muncul Mayat Aneh Keempat menangkis dengan dua pukulan yang memancarkan
sinar putih berkilau dan menghampar hawa panas.
Ternyata
dibelakang sosok Mayat Aneh Keempat bersembunyi Pendekar 212. Dialah yang
melepas Pukulan Sinar Matahari dengan mempergunakan sosok dan dua tangan Mayat
Aneh Keempat sebagai perantara. Sebelumnya secara cepat Wiro juga telah
menolong menyembuhkan luka dalam yang dialami Mayat Aneh Keempat. Melihat
keadaan yang tidak menguntungkan di pihaknya, Tabir Delapan Mayat sendiri
kemudian diperintahkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lewat suara mengiang agar
segera meninggalkan kawasan Candi Kalasan.
Empat
Mayat Aneh tidak dapat menerangkan kemana dan bagaimana lenyapnya Sakuntaladewi
alias Dewi Kaki Tunggal yang mereka bawa di dalam peti. Kepada Wiro mereka
akhirnya memberi tahu bahwa mereka diperintahkan oleh Empu Semirang Biru untuk
membawa Sakuntaladewi ke Candi Kalasan. Tapi kakek itu sendiri tidak ditemui.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul sosok raksasa Arwah Ketua. Apa yang
terjadi selanjutnya telah diceritakan di permulaan buku ini. Lalu apa sebenarnya
yang terjadi dengan Sakuntaladewi? Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja?
SEWAKTU
peti mati hitam hanya tinggal dua jengkal akan menyentuh tanah halaman Candi
Kalasan tiba-tiba, tanpa diketahui Empat Mayat Aneh, lebih dari separuh lantai
peti mati terkuak.
Di dalam
peti Sakuntaladewi tersentak kaget ketika sepasang tangan mendadak muncul
mencekal pinggangnya. Gadis kaki satu ini berteriak. Tapi tak ada suara yang
keluar dari mulutnya. Dia lalu pergunakan tangan kiri kanan untuk memukul dua
tangan yang mencekal pinggangnya.Tapi astaga! Dua tangannya laksana memukul
udara kosong! Selagi tidak tahu mau berbuat apa sekonyong-konyong tubuhnya
ditarik ke bawah.
"Hai!
Bumi dan langit milik Yang Maha Kuasa! Siapa yang hendak berbuat jahat membenam
diriku ke dalam tanah!" Gadis berkaki satu itu membentak. Mendadak dia
merasa ada angin dingin menyapu wajahnya. Setelah itu gadis ini tak ingat
apa-apa lagi.
Ketika
sadar dan membuka mata Sakuntaladewi dapatkan dirinya dalam satu tempat
bercahaya redup. Gadis ini cepat bangun dan berdiri, menatap berkeliling.
Ternyata
dia berada dalam satu ruangan berbentuk segitiga. Dia tidak melihat orang atau
sepotong bendapun dalam ruangan, tapi dia ingat, sebelumnya dia berada dalam
peti mati. Dia sempat melihat peti itu turun di halaman Candi Kalasan. Lalu
tiba-tiba lantai peti mati terkuak dan dua tangan menarik tubuhnya ke bawah.
"Siapa
yang menarik tubuhku? Manusia atau mahluk alam gaib? Aku berada dimana saat
ini?"
Sakuntaladewi
menunggu beberapa lama. Lalu gadis ini mulai melangkah dengan kaki tunggalnya
mengitari ruangan. Dia mengelus dinding yang ternyata adalah tanah merah keras.
Tiba-tiba
Sakuntaladewi dikejutkan oleh suara mengiang.
"Anak
gadis berkaki satu, kau berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Kau tidak akan
melihat benda apapun dalam ruangan ini termasuk diriku sebelum kau mengusap
wajahmu tiga kalil dengan tangan kanan."
Sakuntaladewi
memandang berkeliling. Dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datangnya suara
tadi walau ngiangan terdengar sangat jelas tanda sumber suara berada dekat
dengan dirinya.
"Siapa
yang barusan bicara?" tanya si gadis. Tak ada jawaban. Tapi ada suara
seperti orang menarik nafas.
Sakuntaladewi
menatap ke atas, ke arah atap ruangan yang berbentuk kerucut. Dalam hati dia
berkata. "Suaranya seperti suara orang sudah berusia lanjut…."
Si gadis
pejamkan mata. Nafas ditahan seketika lalu dihembuskan. "Hemm…aku
merasakan ada dua detakan jantung. Satu berada dalam ruangan ini. Satu lagi di
luar ruangan." Lalu kembali gadis ini menegur. "Hai, siapa yang tadi
bicara? Mengapa tidak mau unjukkan diri?"
"Lakukan
saja apa yang tadi disarankan. Kita tidak punya waktu lama." Suara
mengiang menjawab. Kali ini bukan suara orang tua tapi menyerupai suara anak
lelaki.
"Penghuni
Ruang Segi Tiga Nyawa. Jika kalian bersahabat dengan diriku harap perlihatkan
diri."
"Sakuntaladewi,
lakukan saja apa yang dikatakan orang. Kita tidak punya waktu banyak."
Kembali
terdengar suara mengiang anak lelaki mengulang ucapan.
Sakuntaladewi
alias Dewi Kaki Tunggal terkejut. "Mahluk yang bicara tahu namaku…"
Ucap si gadis dalam hati.
Tiba-tiba
ada suara seperti angin berdesir di atap sebelah atas. Lalu sayup-sayup
terdengar suara tambur dan tiupan suling.
Sakuntaladewi
mendongak ke atas atap yang berbentuk kerucut.
Astaga!
Samar-samar
dia melihat sepasang kakek nenek berselempang kain putih di atas sana,
mengambang diluar atap.
"Kakek
nenek berdua…."
Sakantaladewi
rundukkan tubuh memberi penghormatan. Dadanya berdebar tapi dia tetap berlaku
tenang.
Dua kakek
nenek di atap Ruang Segi Tiga Nyawa gerakkan tangan dan jari jemari mereka.
Menyampaikan ucapan bahasa orang bisu! Kedua orang tua itu bukan lain adalah
Sepasang Arwah Bisu yang merupakan kakek nenek Sakuntaladewi.
*********************
13
SAKUNTALADEWI
perhatikan gerakan jari dan tangan sepasang kakek nenek. Namun kedua orang itu
masih terlalu samar hingga Sakuntaladewi tidak dapat membaca atau mengartikan
apa yang tengah dikatakan Sepasang Arwah Bisu melalui gerakan jari dan tangan
mereka. Sakuntaladewi menunggu sebentar. Begitu sosok kakek dan neneknya
berubah jelas, gadis ini segera membuat gerakan jari dan tangan bahasa orang
bisu tanpa memperdulikan apa yang hendak disampaikan dua kakek nenek di atas
sana. "Kakek nenek berdua, apakah datang untuk mengeluarkan saya dari
dalam ruangan ini?" Kakek berselempang kain putih langsung membalas
menjawab dengan gerakan jari dan tangan pula. "Cucuku Sakuntaladewi, kami
berdua datang bukan untuk mengeluarkanmu dari tempat dimana saat ini kau berada
" Karuan saja Sakuntaladewi menjadi kaget. Dia adalah cucu darah daging
dua kakak sakti. Tapi mereka muncul justru bukan untuk menolongnya! Nenek
berselempang kain putih gerakkan jari dan tangan. "Cucuku, jangan unjukkan
air muka kecewa. Sesungguhnya kau berada dalam satu keberuntungan dan
kesempatan besar untuk menolong Raja dan Kerajaan Mataram." Karena masi
belum bisa mengerti Sakuntaladewi diam saja. Si kakek lalu menggerakkan tangan.
"Kami
datang untuk meminta agar kau mengikuti apa yang disampaikan orang melalui
suara mengiang. Karena itu adalah petunjuk Para Dewa. Kau akan menghadapi satu
kejadian besar. Jika kau berbuat bakti maka kau akan menerima pahala besar
termasuk penentuan jodoh bagi masa depanmu. Lekas lakukan sebelum orang dan roh
jahat muncul membuat kekacauan dan menghalangi tindakanmu."
Sakuntaladewi
terkejut. Dia bertanya dengan membuat gerakan tangan bahasa orang bisu.
"Kek,
apa yang kau maksudkan dengan penentuan jodoh? Apakah…"
Nenek
berselempang kain putih memotong gerakan tangan bahasa yang disampaikan Sakuntaladewi.
"Cucuku,
dari dulu kau selalu banyak bertanya. Padahal keadaan sudah sangat mendesak.
Lekas usap wajahmu tiga kali dengan tangan kanan."
Di
kejauhan sayup-sayup kembali terdengar suara tambur dan suling. Sosok sepasang
kakek nenek perlahanlahan berubah samar. Sakuntaladewi tersentak.
"Tunggu!"
Sakuntaladewi berseru namun Sepasang Arwah bisu raib sudah. Keadaan dalam
ruangan terasa sangat sunyi. Keredupan semakin temaram.
Sakuntaladewi
angkat tangan kanan. Telapak dikembangkan, dipandangi beberapa lama. Lalu wajah
diusap tiga kali berturut-turut. Begitu salesai mengusap di kejauhan terdengar
suara dentangan lonceng. Lalu ada cahaya kuning lembut menyapu seantero
ruangan. Tempat yang disebut Ruang Segi Tiga Nyawa itu, yang tadinya redup
mendadak berubah terang. Ternyata ruangan itu cukup luas dan keseluruhan
lantai, dinding serta atap yang berbentuk kerucut merupakan tanah merah keras.
Ketika
menatap ke arah depan yang adalah ujung salah satu dari sudut segi tiga dalam
ruangan, Sakuntaladewi terkejut. Tadi sewaktu pertama kali ruangan berubah
terang dia tidak melihat benda itu.
Benda
yang dilihat Sakuntaladewi adalah seuntai rantai besar merah, bergulung
demikian rupa, mengambang di dalam ruangan seolah melingkari sesuatu.
"Rantai
besi aneh. Empat Mayat Aneh membawaku ke Candi Kalasan lalu ada orang menarikku
masuk ke dalam ruangan ini. Apakah hanya untuk melihat rantai ini? Empat Mayat
Aneh mengatakan ada seseorang yang menyuruhnya. Di ruangan ini sama sekali
tidak ada sepotong manusiapun!"
Dalam
keadaan hati tidak enak kembali Sakuntaladewi menatap ke arah rantai besi
besar. Tiba-tiba rantai itu memancarkan cahaya merah seolah berubah menjadi
bara api walau tidak ada hawa panas terasa menebar. Belum habis kejut si gadis,
di dalam gulungan rantai menyala perlahan-lahan muncul sosok seorang kakek
bertubuh kurus kering, hanya mengenakan sehelai kain putih sebatas pinggang ke
bawah. Tulang-tulang iga bertonjolan seperti jerangkong. Muka yang tinggal
kulit pelapis tulang membuat tampangnya nyaris menyerupai tengkorak hidup namun
anehnya tampang itu tidak menyorotkan keangkeran atau rasa seram bagi orang
yang melihatnya. Selain itu si orang tua memiliki rambut, kumis serta janggut
berwarna biru.
Kakek itu
duduk bersila di lantai tanah merah. Seluruh tubuhnya digulung oleh rantai
merah besar menyala.
Setelah
terpana beberapa ketika menyaksikan sosok tua dalam libatan rantai merah
Sakuntaladewi membungkuk memberi penghormatan. Dia maklum orang tua itu pasti
bukan orang sembarangan. Lalu gadis ini beranikan diri menegur.
"Orang
tua, saya tersesat masuk ke tempat ini. Mohonmaaf kalau saya mengganggu
ketenteramanmu…"
Orang tua
di dalam gulungan rantai merah mengangkat kepala sedikit, menatap tapi tidak
menjawab.
"Kalau
saya boleh tahu kau ini siapa?" Bertanya Sakuntaladewi.
"Aku
seorang Empu. Berasal dari Gunung Bismo. Namaku Semirang Biru." Si orang
tua dalam gulungan rantai besi keluarkan ucapan untuk pertama kalinya.
"Empu
Semirang Biru?" Sakuntaladewi berpikir sejenak. Tiba-tiba dia ingat.
"Orang tua, kalau namamu memang itu, saya pernah menyirap cerita. Bukankah
kau pembuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dikabarkan lenyap diculik orang
dari dalam Istana Mataram sebelum bencana Malam Jahanam melanda Bhumi Mataram?”
"Cerita
itu memang benar "
"Empu,
maaf kalau saya memotong bicaramu. Empat Mayat Aneh membawa saya ke Candi
Kalasan. Katanya atas suruhan seseorang…"
"Akulah
orangnya yang menyuruh."
"Ooo…"
Sakuntaladewi ternganga.
"Tapi
saya rasa saat ini saya tidak berada di kawasan Candi Kalasan. Ada orang yang
membobol peti mati di mana saya berada, lalu menarik saya masuk ke dalam tanah.
Saya berusaha mengetahui orang itu tapi keburu tidak sadarkan diri."
"Anak
gadis, ketahuilah saat ini kau berada tepat dibawah Candi Plaosan Lor.
Sesungguhnya aku sudah beberapa hari menunggumu."
Untuk
kesekian kalinya Sakuntaladewi dibuat tercengang.
"Empu,
rantai merah yang melingkari tubuhmu, apakah rantai itu milikmu atau…."
"Ada
seseorang sakti tapi tidak berhati putih. Karena tidak bisa membunuhku karena
aku mendapat perlindungan dari Para Dewa orang sakti itu lalu membelenggu aku
dengan rantai merah ini yang disebut Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Rantai ini
adalah benda curian milik seorang pertapa sakti dipuncak Gunung Semeru."
“Empu,
siapa orang jahat yang mengikat dirimu dengan rantai itu?" Bertanya
Sakuntaladewi.
"Seorang
anak lelaki sakti bernama Dirga Purana."
Lagi-lagi
Sakuntaladewi dibuat terkejut.
"Kalau
begitu biar aku coba membebaskan dirimu dari rantai itu," kata si gadis
pula.
Empu
Semirang Biru gelengkan kepala.
"Ada
hal lain yang lebih penting yang dapat kau lakukan. Jika kau berhasil maka kau
akan mampu memutuskan rantai merah ini. Kau sendiri kemungkinan akan bebas dari
azab sengsara yang kau derita selama ini."
Sakuntaladewi
melangkah mendekati Empu Semirang Biru. Dia pegang rantai merah di bagian bahu
kiri kanan si orang tua dan berkata. Walau rantai itu tampak merah menyala
namun dua tangannya terasa dingin aneh hingga gadis itu menggigil dan giginya
bergemeletukan. Sakuntaladewi tarik kedua tangannya. Menatap Empu Semirang Biru
dengan perasaan heran karena orang tua ini sama sekali tidak tampak kedinginan.
Padahal sekujur tubuhnya digulung rantai.
"Hal
apa Empu? Katakan apa yang harus saya lakukan?"
Empu
berambut biru itu dongakkan kepala, memandang ke arah atap runcing Ruang Segi
Tiga Nyawa. Sakuntaladewi ikuti pandangan si orang tua. Begitu dia melihat ke
atas, dadanya berdebar, darah berdesir dan sepasang bola mata membesar.
"Tadi
benda itu tidak ada di sana. Apakah "
*********************
14
DI ATAP
ruangan segi tiga yang berbentuk kerucut, menancap sebilah keris. Bagian yang
menancap adalah gagang yang masih telanjang sementara bagian badan dan ujung
yang runcing menukik ke bawah. Keseluruhan badan keris yang memiliki luk
sembilan memancarkan cahaya biru. Anehnya, di sebelah kanan badan keris, mulai
dari ujung runcing sampai ke bagian bawah yang melebar lancip, tampak gabungan
cahaya tujuh warna, memanjang dan bergelombang mengikuti luk keris yang
sembilan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Walau berada jauh di atas atap
ruang segi tiga namun Sakuntaladewi bisa merasa dan mencium tebaran bau harum
keluar dari badan keris. "Sakuntaladewi, senjata tak bergagang itu adalah
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Kelak senjata itu akan menjadi benda pusaka
Kerajaan Mataram. Aku yang membuatnya atas petintah Yang Mulia Rakai Kayuwangi
Raja Mataram. Kini aku dan keris bertuah berada dalam perlindungan Para Dewa di
Ruang Segi Tiga Nyawa ini! Tapi aku tetap merasa kawatir." Sakuntaladewi
tegak tak bergerak. Mata tak berkedip. Tanpa mengalihkan pandangan gadis ini
bertanya. "Empu, bagaimana kejadiannya keris sakti Kerajaan dan dirimu
bisa berada di tempat ini?" "Semua gara-gara perbuatan dua Sinuhun
yang berhasil membujuk anak lelaki sakti bemama Kesatria Junjungan itu."
Jawab Empu Semirang Biru. "Sakuntaladewi, hanya kau yang mampu
menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Namun kita masih memerlukan bantuan
seseorang.
Bukankah
kau mengenal seorang gadis yang punya kepandaian menangkap petir?"
"Maksud
Empu gadis bernama Jaka Pesolek?" Tanya Sakuntaladewi.
"Kalau
memang itu namanya maka itulah orangnya."
"Saya
tidak tahu dia berada di mana. Terakhir sekali dia masih berada di Bukit Batu
Hangus sewaktu Empat Mayat Aneh memasukkan saya ke dalam peti mati."
"Aku
punya firasat sebentar lagi gadis itu akan sampai di tempat ini. Biar kita
bersabar menunggu. " Kata Empu Semirang Biru pula.
"Empu,
di sini tidak ada petir. Lagi pula kalau hanya untuk mengambil dan
menyelamatkan keris sakti di atas atap sana, saya bisa melakukan."
Habis
keluarkan ucapan Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke lantai tanah merah.
"Desss!"
"Wutt!”
"Hyang
Jagat Bathara! Jangan lakukan!" Teriak Empu Semirang Biru.
Tapi
terlambat!
Tubuh
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal melesat membal ke atas atap berbentuk
kerucut dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Tangan dipentang siap untuk
menjangkau senjata sakti. Namun baru satu tombak dia berada di atas lantai
ruangan tiba-tiba di atas sana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya
terang putih menyilaukan. Warna putih ini bukanlah warna atau kekuatan asli
yang mengendap dalam tubuh keris. Kejap itu juga terdengar suara menggelegar.
Lalu blaarr! Kilauan cahaya putih panas menyambar keluar dari keris sakti!
Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat! Dinding dan atap ruangan yang terbuat
dari tanah merah keras berguguran, membuat keadaan dalam ruangan sesaat menjadi
redup merah. Empu Semirang Biru kembali berteriak. Mulut menggembung lalu meniup.
Satu gelombang angin menderu menerpa ke arah Sakuntaladewi, mendorong tubuh si
gadis agar tidak berada di arah lurus datangnya cahaya putih yang laksana
petir. Namun sambaran cahaya putih menyilaukan dan panas datang lebih cepat.
Sakuntaladewi
sendiri saat itu menjerit ketika melihat kilatan putih panas menggebubu ke
arahnya. Untuk melindungi diri gadis ini segera keluarkan jurus Enam Belas
Gerakan Tangan Bisu. Selain itu tubuhnya yang telah terdorong ke samping akibat
tiupan Empu Semirang Biru segera dibanting ke kiri hingga menghantam dinding
ruang segi tiga.
"Wusss!"
Cahaya
putih panas menyambar ganas.
Kembali
terdengar jeritan si gadis. Lalu tubuhnya melayang jatuh ke bawah tapi masih
sanggup berdiri di atas kakinya yang cuma satu. Wajah tampak pucat. Pakaiannya
yang berwama jingga hangus hitam di sisi sebelah kanan.
"Sakuntaladewi,
kau tidak apa-apa?!" Empu Semirang Biru berteriak cemas.
"Berkat
pertolongan Empu melepas tiupan sakti tadi, saya selamat. Saya hanya merasa
sedikit kehilangan keseimbangan. Pakaian hangus, tubuh sebelah kanan seperti
mati rasa…" Menjawab Sakuntaladewi sambil bersandar ke dinding. Nafas
sesak dada turun naik. Selagi dia berusaha mengatur jalan darah dan mengalirkan
hawa sakti di dalam tubuh, tiba-tiba kaki tunggalnya merasakan getaran-getaran
di tanah.
"Ada
orang berjalan cepat. Menuju ke sini…" Ucap si gadis dalam hati. Baru saja
membatin begitu tiba-tiba dari arah kanan ruang segi tiga tampak samar-samar
cahaya kuning. Cahaya kuning lenyap. Lalu ada suara seperti orang melengak
kaget, disusul ucapan.
"Aku
takut. Aku mau kencing. Tapi tadi aku mendengar suara petir menggelegar. Senang
juga rasanya. Oala…dimana aku ini sebenamya berada! Hai, di depan sana ada
cahaya terang kemerahan…"
Sakuntaladewi
segera mengenali suara orang. Sesaat kemudian orangnya muncul, mencuat keluar
dari dinding tanah merah sebelah kanan, tegak terheran-heran. Ketika
pandangannya membentur sosok Sakuntaladewi orang ini langsung berteriak girang!
"Sobatku
cantik! Ternyata kau ada di sini!"
"Huss!
Jangan berteriak! Beri hormat dulu pada orang tua penghuni ruangan."
"Penghuni
ruangan katamu! Hai apakah dia seorang lelaki gagah?!" Jaka pesolek segera
saja keluarkan cermin dan kotak bedaknya. Setelah berkaca dan memoles bedak
serta pemerah bibir dan merapikan rambut, gadis ini simpan semua benda itu dan
berpaling pada Sakuntaladewi.
"Mana?
Siapa? Mana orang gagah itu?"
Sakuntaladewi
geleng-geleng kepala. Dia menunjuk ke kiri. Jaka Pesolek mula-mula hanya
menampak gulungan rantai merah. Sesaat kemudian baru melihat sosok kakek yang
ada dalam libatan rantai. Si gadis terperangah karena sebelumnya menyangka yang
yang disebut sebagai penghuni ruangan itu adalah seorang lelaki muda dan gagah.
Ternyata seorang kakek berwajah tengkorak dan bertubuh seperti jerangkong.
"Gadis
berbaju merah, apakah kau masih ingin kencing?" Orang tua di dalam
gulungan rantai merah bertanya.
Jaka
Pesolek menatap tak berkesip. Tersenyum lalu anggukkan kepala. "Sekarang
malah sudah terdesak. Rasanya sudah diujung-ujung…"
Empu
Semirang Biru ikutan tersenyum. Dia meniup ke arah tubuh Jaka Pesolek.
"Tahan dulu kencingmu sampai nanti."
Jaka Pesolek
terperangah. Dia merasa ada hawa dingin menyapu tubuh. Buru-buru gadis ini
memegang bagian bawah perutnya. Aneh, rasa terdesak ingin kencingnya telah
lenyap. Sambil tersenyum dia berkata.
"Kek,
ilmu menahan kencingmu boleh juga. Apa ada ilmu lain yang lebih mantap.Misalnya
membuat besar……”
"Huss!
Jangan bicara sembarangan!" Bentak Sakuntaladewi. Lalu dia berpaling pada
Empu Semirang Biru dan berkata.
"Empu,
ini gadis bernama Jaka Pesolek yang Empu cari."
Sepasang
mata Empu Semirang Biru membesar, kening mengerenyit.
"Dewa
Maha besar. Akhirnya orang yang ditunggu sudah datang." Kata Empu Semirang
Biru pula. Tapi sungguh aku tidak mengira. Yang namanya Jaka Pesolek itu
ternyata adalah seorang gadis cantik."
Jaka
Pesolek tersenyum dan terbatuk-batuk. "Kek, terima kasih atas
pujianmu," katanya. "Aku ini manusia paling beruntung di dunia.
Karena dalam ujudku yang seperti ini sebenamya aku bisa jantan bisa
betina."
Kepala
Empu Semirang Biru tertegak. Wajah terheranheran.
Sakuntaladewi
cepat berkata. "Empu, harap jangan dengarkan ucapannya."
Empu
Semirang Biru untuk pertama kalinya keluarkan suara tertawa.
Tiba-tiba
orang tua ini sadar. "Hyang Jagat Bathara mohon ampunMu. Tidak sepantasnya
aku tertawa. Masalah besar masih menggantung…"
"Empu,
orang yang Empu tunggu sudah berada di sini. Sekarang apa yang akan kita
lakukan?" Bertanya Sakuntaladewi.
Empu
Semirang Biru mengangguk. "Aku ingin bertanya dulu. Jaka Pesolek, gadis
cantik yang pandai menangkap petir. Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini.
Padahal aku baru menyusun rencana bersama Sakuntaladewi untuk mencarimu…"
"Waktu
berada di Candi Kalasan, tiba-tiba ada cahaya kuning menyelubungi diriku.
Tahu-tahu aku sudah amblas masuk ke dalam tanah. Di dalam tanah anehnya aku
seperti berada di alam terbuka saja. Cuma suasananya memang agak gelap. Lalu
ada satu cahaya kuning disertai gema suara lonceng di kejauhan. Cahaya kuning
itu bergerak ke depan. Aku mengikuti dan akhimya sampai di tempat ini."
"Cahaya
kuning dan suara lonceng?" Ucap Empu Semirang Biru. "Para Dewa telah
menolongmu melalui kepanjangan tangan seorang anak sakti bernama Mimba Purana.
Aku bersyukur kau bisa selamat sampai di sini. Kau memang sudah sangat
ditunggu-tunggu. Sekarang…."
Belum
sempat si orang tua menyelesaikan ucapan tibatiba ada suara perempuan berseru.
"Aku
mendengar orang bicara! Tadi ada suara seperti petir menyambar. Apakah
kedatanganku juga sudah ditunggu?!"
Sesaat
kemudian satu bayangan hijau berkelebat memasuki bagian terang merah Ruang Segi
Tiga Nyawa disertai menebarnya bau harum.
"Hai!
Kalian berdua ada di sini rupanya. Tapi mana sang Kesatria Panggilan?!"
*********************
15
YANG
MUNCUL temyata Kunti Ambiri alias Dewi Ular. Rambut panjang hitam yang tergerai
lepas tidak lagi bermahkota membuat wajahnya tambah cantik. Namun wajah yang
tadi cerah gembira kini kelihatan kecewa karena tidak melihat Pendekar 212 Wiro
Sableng di tempat itu. Ketika memandang ke arah Empu Semirang Biru yang berada
dalam gulungan rantai merah, Kunti Ambiri tampak terkejut. Tapi dia tidak lupa
membungkuk memberi penghormatan. "Kek, apa yang terjadi denganmu. Kau ini
memang senang nyaman tinggal berada di dalam gulungan rantai atau kau tengah
menjalani hukuman?" "Tak usah memikirkan diriku." Menyahuti Empu
Semirang Biru. Lalu dia berpaling pada Sakuntaladewi dan bertanya.
"Sahabatmu yang baru datang ini, apa dia juga bisa jantan bisa
betina?" "Weleh! Aku disamakan dengan si pencuri celana dalam ini!
Puiiih!" Ucap Kunti Ambiri sambil menunjuk Jaka Pesolek lalu tertawa
gelak-gelak. Empu Semirang Biru yang tidak tahu cerita celana dalam itu tentu
saja terheranheran sementara Jaka pesolek mesem-mesem jengkel. Kunti Ambiri
kembali membungkuk ke arah si orang tua lalu berkata. "Kek, aku Kunti
Ambiri dan aku perempuan betulan." Lalu gadis dari alam roh ini berpaling
ke arah Sakuntaladewi. "Sahabat, aku lihat pakaianmu hangus di sisi kanan.
Tadi aku mendengar suara menggelegar disertai kilatan terang seperti petir
menyambar. Apa yang terjadi di sini. Tempat apa ini namanya?"
Sakuntaladewi menunjuk ke atas atap ruangan. "Tadi aku mencoba mengambil
keris yang menancap di atas sana. Tak terduga senjata itu mengeluarkan cahaya
putih panas menggelegar laksana petir. Untung kakek itu menyelamatkan
diriku…"
Kunti
Ambiri memandang ke atas. Yang lain-lain ikut memperhatikan.
"Keris
tidak bergagang. Menancap di atap ruangan. Aku yakin senjata sakti ini yang
oleh dua Sinuhun disebut sebagai Mahkota di atas Mahkota. Aku mencium hawa aneh
dibalik keharuman yang menebar. Senjata itu dihuni kekuatan jahat."
"Kau
benar Kunti Ambiri," berkata Empu Semirang Biru. "Mungkin kau belum
tahu. Aku membuat keris itu atas perintah Raja Mataram. Keris bernama Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Keris dicuri oleh dua Sinuhun dengan memperalat arwah
seorang pertapa sakti bernama Sedayu Galiwardhana yang saat ini telah menemui
kematian untuk kedua kalinya. Para Dewa menciptakan Ruang Segi Tiga Nyawa ini
untuk melindungi keris. Dua Sinuhun dan kaki tangannya termasuk anak sakti
Dirga Purana tidak mampu menembus ruangan ini untuk mengambil keris…"
"Tapi
Kek, tadi aku mudah saja masuk ke ruangan ini. Apa ilmu kesaktianku jauh lebih
hebat dari dua Sinuhun dan anak bernama Dirga Purana itu? Berkata Kunti Ambiri
yang membuat Jaka Pesolek mencibir.
"Para
Dewa telah membuat aturan," jawab Empu Semirang Biru. "Siapa saja
orang atau mahluk yang memiliki benjolan di keningnya tidak akan bisa menembus
ruangan ini. Mereka adalah dua Sinuhun dan para pengikutnya. Tapi mereka tidak
tinggal diam. Agar tidak ada orang yang dapat mengambil senjata itu mereka lalu
memasukkan satu kekuatan jahat ke dalam keris berupa sambaran petir ganas.
Siapa saja yang coba mendekat apa lagi berniat mengambil keris pasti akan
dihantam petir yang keluar dari dalam keris. Dewa Agung! Keris itu harus
diselamatkan sebelum dua Sinuhun dan lelaki sakti bernama Dirga Purana bisa
menemukan cara untuk merampasnya. Tapi kekuatan jahat yang ada dalam keris
menjadi penghalang sangat berbahaya. Sakuntaladewi sudah merasakan…"
"Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi…." Ucap Kunti Ambiri. Dia berpaling kembali
memperhatikan Sakuntaladewi. Tiba-tiba gadis kaki satu ini bertanya.
"Kek,
berapa jumlah luk keris buatanmu itu?"
"Sembilan."
Jawab Empu Semirang Biru.
"Sakuntaladewi,
apa yang ada di dalam pikiranmu?" Si orang tua bertanya.
"Saya
merasakan ada sesuatu. Apakah Yang Mulia Raja Mataram yang minta agar Empu
menciptakan keris berluk sembilan?"
Empu
Semirang Biru terpana mendengar pertanyaan si gadis.
"Tidak.
Utusan Sri Baginda Raja Mataram hanya menyerahkan logam sakti cikal bakal untuk
pembuatan keris. Selagi aku membuat senjata itu seorang kakek aneh muncul. Dia
merubah kedua tanganku menjadi bara api hingga aku mampu membuat dan membentuk
keris dalam waktu sangat cepat. Ketika keris selesai baru aku sadari kalau senjata
itu memiliki sembilan luk. Sakuntaladewi, katakan apa yang ada dalam
benakmu."
Gadis
berkaki satu usap pakaiannya yang hangus. Dari dalam gulungan rantai besi Empu
Semirang Biru berkata. "Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu." Lalu
orang tua ini meniup ke arah si gadis. Inilah satu-satunya ilmu kesaktian yang
dimilikinya. Pakaian jingga itu masih tampak hangus namun mati rasa yang
dialaminya pada sisi kanan tubuh lenyap seketika.
"Empu,
terima kasih. Lagi-lagi kau menolongku."
"Sakuntaladewi,
kau belum menjawab pertanyaanku. Katakan apa yang ada dalam benakmu. Mengapa
kau menanyakan jumlah luk Keris Kanjeng Sepuh Pelangi?"
"Saya
tidak tahu Empu. Hal itu muncul saja dalam jalan pikiran saya. Saya menaruh
dugaan jumlah luk yang sembilan merupakan…"
"Sudahlah,
mengapa membicarakan luk keris itu." Kunti Ambiri memotong bicara
Sakuntaladewi. Lalu pada sang Empu dia berkata. "Kek, aku ingin sekali
menolongmu. Izinkan aku mengambil keris di atap ruangan."
"Kunti
Ambiri, aku tahu kau bukan gadis sembarangan. Tapi jangan berani
mencoba…."
Sebelum
selesai si orang tua berucap Kunti Ambiri telah berdiri dengan dua kaki
terkembang. Perut dibusungkan kedepan.
"Desss!"
Dari
pusar Kunti Ambiri melesat keluar seekor ular hitam besar berkepala putih.
"Ambil
keris di atas atap!" Memerintah Kunti Ambiri.
Sambil
keluarkan suara mendesis keras ular hitam kepala putih melesat ke atas atap.
Seperti tadi kejadiannya, pada saat sosok binatang jejadian ini baru berada
sekitar satu tombak di atas lantai ruangan tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi pancarkan cahaya putih terang. Lalu terdengar suara menggelegar yang
menggoncang seantero ruangan. Cahaya putih panas menyilaukan berkiblat.
"Wusss!"
"Blaarr!"
Tubuh
ular hitam kepala putih hancur berubah menjadi puluhan kepingan dikobari api.
Luruh jatuh ke lantai ruangan bersama runtuhan debu clan tanah merah.
Kunti
Ambiri terpekik melihat apa yang terjadi. Seperti kalap dia siap melompat ke
atas atap. Dua tangan dipentang pertanda akan segera melancarkan dua pukulan
sakti.
"Kunti!
Jangan! Tetap di tempatmu!" Empu Semirang Biru berteriak.
Sakuntaladewi
cepat menghalangi namun Jaka Pesolek bertindak lebih cepat. Dengan gerakan
kilat dia menelikung pinggang Kunti Ambiri lalu menjatuhkan diri ke lantai
sambil menarik tubuh gadis alam roh itu.
"Tujuh
puluh tahun aku memelihara mahluk itu. Sekarang dia mati percuma. Lihat saja
pembalasanku!"
"Sssttt,
mengapa bicara menyebut bilangan tahun segala. Sama saja kau memberi tahu kalau
dirimu sebenarnya sudah tua bangka!" Berkata Jaka Pesolek setengah
berbisik.
Kunti
Ambiri hendak menyemprot. Tapi Jaka Pesolek mendahului bicara. "Sssshhh,
apa kau lupa ucapan Nyi Loro Jonggrang. Kau sudah berubah jadi orang baik.
Jangan kesusu bertindak. Kita berada di tempat aneh. Salah bertindak bisa
konyol. Biar aku yang akan mengambil keris di atas atap. Tanganku sudah gatal
karena sudah lama tidak bermain petir-petiran. Yang satu ini cuma petir kecil.
Kalau keris sudah dapat akan aku berikan padamu biar hatimu senang…"
"Sakuntaladewi,
Jaka Pesolek, dengar apa apa yang aku katakan." Empu Semirang Biru yang
sempat mendengar ucapan Jaka pesolek berkata. "Kalian berdua memang sudah
diatur agar bisa datang ke sini. Sebelumnya aku menunggu kalian di Candi
Kalasan. Tapi keadaan tidak mengizinkan. Para Dewa memindahkan diriku ke tempat
ini dan membuat Ruang Segi Tiga Nyawa untuk melindungi diriku dan keris
sakti…"
"Kek,
mengapa Para Dewa tidak sekalian menolong memusnahkan rantai besi merah yang
melibat sekujur tubuhmu?" Kunti Ambiri bertanya.
"Semua
sudah diatur. Rantai besi ini hanya bisa diputus oleh Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Sekarang jangan ada yang bertanya sebelum aku memberi tahu satu
petunjuk sesuai apa yang aku terima dari satu mahluk sakti. Sakuntaladewi kau
melesatlah ke atap. Seperti tadi keris sakti yang telah diisi kekuatan jahat
pasti akan menghantamkan cahaya kilat seperti petir. Jaka Pesolek, kau punya
kewajiban menangkap petir. Pada saat petir sudah dilumpuhkan kekuatannya kau Sakuntaladewi
cepat mengambil keris di atas atap…"
"Oala!
Mengapa gadis itu! Aku juga bisa melakukan!"
Tiba-tiba
satu suara menggema di luar Ruang Segi Tiga Nyawa.
*********************
16
DARI
dinding sebelah kiri mencuat masuk ke dalam ruangan seorang perempuan berusia
lebih dari setengah abad, rambut hitam agak awut-awutan. Pakaian kotor. Walau
sudah berusia lanjut tapi memiliki tubuh molek serta wajah cantik. Melihat
Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, perempuan yang baru datang yang
bukan lain adalah Ratu Randang langsung menegur. "Kalian bertiga ternyata
ada di sini." Lalu perempuan yang biasa dipanggil dengan sebutan Ratu atau
Nenek ini berpaling ke arah Empu Semirang Biru, yang terakhir kali dilihatnya
di Istana Raja Mataram sebelum diculik oleh seseorang. "Sahabat lama Empu
Semirang Biru, tidak kusangka kau punya tetirahan ditempat ini. Terima salam
hormatku." Setelah membungkuk Ratu Randang mendekati sang Empu, meraba
rantai merah yang menggelung sekujur tubuh si kakek. "Aku bersedih melihat
keadaanmu. Sayang tingkat ilmuku tidak mungkin aku dapat melepaskan rantai ini.
Aku bisa menduga apa yang terjadi denganmu. Ini pasti pekerjaan dua Sinuhun
jahanam!" Empu Semirang Biru tersenyum. "Ratu Randang, aku gembira
bisa bertemu denganmu lagi. Aku baik-baik saja. Jangan kawatirkan diriku. Ratu,
bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Empu Semirang Biru pula.
"Ketika berada di depan Candi Kalasan sendirian, menyamar sebagai seekor
kucing putih, sekonyongkonyong ada delapan anak kucing merah melesat dari langit.
Langsung menyerangku." Si nenek memperlihatkan pakaiannya yang robek serta
bekas luka di tangannya.
"Delapan
anak kucing merah!" Kata Empu Semirang Biru pula. "Binatang itu
adalah peliharaan anak lelaki jahat bernama Dirga Purana, junjungan dua
Sinuhun."
"Aku
juga menduga begitu," jawab Ratu Randang. Lalu meneruskan ceritanya.
"Ketika aku dibuat tak berdaya dan siap dijadikan mangsa dicabik-cabik
tiba-tiba ada orang menarik tubuhku hingga amblas masuk ke dalam tanah. Aku
memperhatikan. Ternyata orang itu adalah Kumara Gandamayana, orang kepercayaan
Raja Mataram dan juga sahabatku.Tapi anehnya dia tidak mengaku kalau dirinya
adalah Kumara Gandamayana. Padahal sorban di kepala dan jubah kelabu serta
kasut putih yang dikenakannya sangat aku kenali. Ketika aku memaksa agar dia
menerangkan siapa dirinya sebenarnya, orang tua itu malah berkata siapa dirinya
bisa ditanyakan pada orang yang akan aku temui. Aku kemudian disirap hingga
tertidur. Ketika terbangun aku telah berada beberapa langkah dari tempat ini.
Dan ternyata orang yang kutemui adalah dirimu. Nah, cerita apa yang bisa kau
berikan padaku Empu Semirang Biru?"
Sambil
bertanya Ratu Randang melirik ke atap ruangan dimana masih menancap Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Dia juga memandang berkeliling. Merasa heran tidak melihat
Wiro berada di tempat itu. Padahal sebelumnya sewaktu masih berada di Candi
Kalasan sang pendekar mengatakan akan menyusul Kunti Ambiri.
"Mengenai
kakek bersorban dan berjubah kelabu itu, dia memang mempunyai banyak pantangan.
Salah satu diantaranya dia tidak akan mau memberi tahu nama. Aku sendiripun
tidak tahu siapa namanya…."
"Oala!
Jauh jauh kesini ternyata kau sendiri tidak tahu siapa nama kakek yang
menolongku!" Tukas Ratu Randang.
"Soal
nama tidak penting." Menyahuti Empu Semirang Biru. "Walau tidak tahu
nama tapi aku tahu siapa dia sebenamya. Dia adalah Embah Buyut dari Kumara
Gandamayana."
Ratu
Randang terkejut. "Jadi dia adalah kakek dari kakek dari kakeknya Kumara
Gandamayana. Pantas wajah kakek itu mirip sekali dengan Kumara Gandamayana. Lalu
pakaian, sorban kelabu serta kasut putihnya juga sama."
"Dia
juga adalah orangnya yang menculik aku dari Istana Mataram. Aku diselamatkan di
tempat yang aman bersama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang berhasil direbut
kembali dari roh jejadian pertapa Sedayu Galiwardhana. Para Dewa kemudian
memindahkan aku ke tempat ini karena kawatir dua Sinuhun Muda akan merampas
senjata itu kembali dan membunuh aku. Walau diriku belum berhasil mereka babisi
tapi mereka membuatku begini rupa. Digulung dengan Rantai Kepala Arwah Kaki
Roh. Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga Purana ikut membantu mereka…"
"Anak
bernama Dirga Purana itu, menurut riwayat dia adalah saudara kembar anak lelaki
sakti Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa."
"Memang
begitu riwayatnya Ratu. Dirga Purana tumbuh sebagai seorang anak jahat,
berpihak pada dua Sinuhun. Mimba Purana menjadi anak baik, berpihak pada Raja
Mataram." Kata Empu Semirang Biru pula.
Ratu
Randang menatap ke atap ruangan. "Empu, senjata sakti yang bakal menjadi
Pusaka Istana Mataram itu, mengapa berada di atas sana?"
"Inilah
yang menjadi persoalan," jawab Empu Semirang Biru. "Karena tidak
dapat menguasai senjata sakti itu dua Sinuhun menyusupkan kekuatan jahat berupa
sambaran kilat atau petir. Siapa saja yang mendekat keris pasti akan dihantam
hangus bahkan leleh!"
"Ooo,
kebetulan aku sudah hampir satu hari tidak bermain petir-petiran. Jika
diizinkan biar aku membuntal petir yang keluar dari dalam keris lalu mengambil
senjata itu." Jaka Pesolek menyeletuk.
"Jaka
Pesolek, aku yakin kau bisa memberangus petir yang keluar dari dalam keris
sakti. Itu memang bantuan yang sangat aku harapkan. Tapi tidak ada orang yang
bisa menyentuh apa lagi mencabut senjata itu dari atas atap sana kecuali gadis
bernama Sakuntaladewi ini."
Semua
orang yang berada di ruangan itu sama-sama terkejut. Jaka Pesolek langsung
mendekati Sakuntaladewi dan berbisik. "Aku cemburu. Keris sakti itu jenis
kelaminnya pasti laki-laki dan ujudnya seorang pemuda gagah. Kalau tidak
mengapa cuma kau seorang yang bisa meraba dan mencabutnya? Usapan tanganmu
pasti mantap! Dari dulu sebenarnya aku sudah tahu! Hik…hik..hik?"
Tanpa
berpaling Sakuntaladewi mencubit perut Jaka Pesolek yang berada di belakangnya
sampai gadis ini bergumam kesakitan. Tapi mulutnya masih saja usil. "Nah,
apa kataku. Cubitanmu saja membuat tubuhku glenyerglenyer. Ayo cubit lagi.
Tapi ke sebelah bawah sedikit! Hik… hik… hik."
"Dasar
pencuri celana!" Kunti Ambiri mendamprat Jaka Pesolek. "Kau kira ini
tempat apa! Orang tengah menghadapi perkara besar bicara sembarangan!"
Jaka
Pesolek mencibir lalu menjauhi Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri.
Saat itu
terdengar Ratu Randang bertanya.
"Sahabatku
Empu Semirang Biru. Mengapa hanya sobatku muda Sakuntaladewi yang bisa
menyentuh dan mencabut keris sakti itu?"
"Inilah
kuasa dan petunjuk Para Dewa. Karena keris sakti konon hanya bisa disentuh dan
dicabut dari atas ruangan oleh seorang gadis yang memiliki cacat tubuh. Itulah
keadilan Yang Maha Kuasa. Setiap insan yang cacat pasti diberi kelebihan."
Semua
orang terkejut mendengar jawaban sang Empu dan sama-sama memandang ke arah
Sakuntaladewi, gadis yang dua pahanya dempet dan hanya punya satu kaki.
Selagi
kesunyian menggantung di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa tiba-tiba di atas atap
terdengar suara mengeong riuh dan keras. Ketika semua orang menatap ke atas, di
luar atap tampak delapan ekor anak kucing berbulu merah membuka mulut
memperlihatkan taring sambil mementang, cakar kaki depan yang menyerupai pisau.
Tiga dari delapan anak kucing itu bulu merahnya kelihatan lebih pekat bahkan
tampak kehitaman.
"Delapan
Sukma Merah…." Desis Empu Semirang Biru. "Kalian tidak usah takut.
Mereka memiliki benjolan di kening. Mereka tidak akan sanggup menembus masuk ke
dalam ruangan ini…."
"Empu,
sebaiknya kita cepat saja mengambil keris itu." Kata Kunti Ambiri.
Empu
Semirang Biru anggukkan kepala, memandang ke arah Jaka Pesolek dan
Sakuntaladewi. Di atas atap suara ngeongan delapan anak kucing semakin keras
hingga ruangan terasa bergetar!
Diam-diam
Empu Semirang Biru merasa dadanya berdebar. Orang tua ini membatin.
"Bagaimana kalau dua Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru lalu sanggup
menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Dewa Agung, lindungi kami semua
di ruangan ini. Selamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan
mahluk-mahluk jahat."
Baru saja
Empu Semirang Biru membatinkan kekawatirannya tiba-tiba brakkk!
Satu
sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robekrobek dipenuhi noda darah. Di
wajah ada tiga guratan luka.
"Wiro!"
Ratu
Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri samasama berteriak. Jaka Pesolek tidak
berteriak tapi melompat lebih dulu menjatuhkan diri di samping sosok yang
terbujur di lantai, langsung memeluknya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment