WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
SATU
Walau
saat itu menjelang tengah hari namun puncak Gunung Gede diselimuti kelapan
mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung bergulung. Angin
bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan deras seolah langit
koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus puncak gunung. Ditambah dengan
gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat suasana
benar-benar menggidikkan.
Di tepi
sebuah telaga yang terletak di puncak timur Gunung Gede, dua sosok tubuh tampak
duduk bersila di tanah yang becek. Sepasang lengan dirangkapkan di depan dada.
Mereka tidak bergerak sedikitpun seolah telah berubah menjadi patung tanpa
nafas. Sekujur tubuh ke dua orang ini basah kuyup mulai dari rambut sampai ke
kaki. Hawa dingin luar biasa membuat tubuh mereka sedingin es! Dua orang ini
tidak sedang bersamadi atau bertapa karena sepasang mata mereka memandang tak
ber-kesip ke tengah telaga yang airnya mengeluarkan riak seolah mendidih dan
mengepulkan asap putih.
Orang di
sebelah kanan adalah seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.
Wajahnya tampan dan memiliki sepasang mata besar dengan pandangan tajam tak
berkesip menyorot ke arah telaga. Di samping kiri si pemuda duduk tak bergerak
seorang dara berpakaian biru muda, berparas cantik dan berkulit hitam manis. Di
pinggangnya melilit ketat sehelai selendang merah hingga pinggangnya tampak
ramping dan pinggulnya mencuat bagus. Gadis ini memiliki rambut panjang
sepinggang yang dijalin lalu dilingkarkandi atas kepala. Seolah hiasan, jalinan
rambut ini menambah kecantikan wajahnya.
Sulit
diduga apa yang tengah dilakukan sepasang muda mudi itu. Mereka tetap tak
bergerak dan tak berkesip walau hujan terus mendera, hawa dingin mencucuk,
guntur menggelegar dan kilat membuat darah berulang kali tersirap.
Tiba-tiba
si pemuda tampak membuat gerakan. Perlahan sekali kepalanya dipalingkan ke kiri
ke arah gadis berpakaian biru. Sesaat dipandanginya gadis itu. Mulutnya
bergerak sedikit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang
keluar. Orang yang dipandangi tetap diam tak bergerak. Si pemuda sesaat menjadi
bimbang. Akhirnya dia memutar kepala, memandang kembali ke arah telaga. Tapi
dia seperti tidak dapat memusatkan perhatian lebih lanjut. Tak selang berapa
lama kembali dia menoleh ke kiri, pandangi gadis cantik di sebelahnya itu.
Mulutnya bergerak namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Hanya di dalam
hatinya si pemuda membatin. “Air mukanya jelas masih membayangkan marah dan
dendam. Dia pasti tetap tak akan mau bicara denganku. Tapi kalau aku tidak
bicara bisa-bisa lebih salah kaprah…. Hemmm. Bagaimana aku harus memulai.
Hatinya sekeras batu, sikapnya segarang harimau betina….”
Kilat
menyambar. Sekilas puncak Gunung Gede terang benderang. Guntur menggelegar
seperti merobek telinga dan menghancurkan jantung. Air telaga tampak beriak
keras dan kepulan asap semakin tebal bergulung ke udara. Cahaya kilat lenyap
dan tempat itu kembali dibungkus kegelapan.
“Aku
harus bicara! Terserah dia mau marahi” Pemuda berwajah tampan ambil keputusan.
Dia menarik nafas dalam lebih dulu seolah berusaha mempertabah diri. Lalu
terdengar suaranya menegur diantara deru hujan dan tiupan angin.
“Sinto,
apa kita tidak salah menghitung hari? Jangan-jangan kita datang terlambat atau
terlalu cepat….”
Si pemuda
menunggu. Tapi orang yang ditanya jangankan menjawab. Bergerak sedikitpun
tidak. Bahkan dua matanya yang tajam bagus terus saja memandang ke tengah
telaga tanpa berkedip.
“Sinto,
kau mendengar pertanyaanku. Harap kau suka menjawab dan sementara melupakan
dulu apa-apa yang menjadi ganjalan di hatimu….” Pemuda gagah di sebelah kanan
si gadis kembali membuka suara.
Gadis
yang diajak bicara tetap membungkam seribu bahasa. Hujan dan angin terus
berkecamuk. Kegelapan dan hawa dingin semakin mencekam.
“Sinto
Weni kalau kau….”
“Aku tak
pernah salah memperhitungkan segala sesuatu dalam hidupku. Satu-satunya
kesalahan adalah kesalahan memperhitungkan dirimu….”
Kata-kata
yang tiba-tiba keluar dari mulut si gadis walaupun diucapkan secara lembut tapi
membuat wajah pemuda tampan di sebelahnya menjadi berubah. Untuk beberapa
lamanya dia terdiam dengan mulut ternganga.
“Sinto
Weni adikku….”
“Suaramu
tidak sedap masuk ke telingaku. Kalau kau tak mau berhenti bicara lebih baik
segera saja angkat kaki dari tempat ini…,”
Si pemuda
menggigit bibirnya sendiri. “Hatinya bukan saja sekeras batu tapi juga sepanas
bara. Tak mungkin aku membujuknya. Dari pada urusan jadi panjang memang lebih
baik aku pergi saja. dari sini….”
“Sinto,
terus terang aku memang tidak mengharapkan warisan apa-apa dari kiai Gede Tapa
Pamungkas. Hanya sebagai murid aku harus patuh. Itu sebabnya aku datang ke sini
sesuai pesan Kiai beberapa tahun lalu. Kalau kau tidak menginginkan kehadiranku
di sini mungkin memang benar aku harus angkat kaki dari tempat ini. Selamat
tinggal Sinto. Urusan di antara kita pasti ada saat penyelesaiannya…. Satu hal
perlu kau ketahui. Hatiku tidak sejahat yang kau duga. Hanya memang mungkin
imanku setipis embun di permukaan daun. Mudah sirna terkena cahaya sang
surya….”
Habis
berkata begitu si pemuda siap bergerak bangkit. Bagi si gadis apa yang
dikatakan pemuda itu sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dia tetap tak bergerak
danterus menatap ke arah telaga.
Tiba-tiba
petir menyambar. Guntur menggelegar. Puncak Gunung Gede bergetar hebat. Si
pemuda yang hendak berdiri jatuh terduduk di tanah becek. Tapi hatinya telah
bulat, tekadnya telah tetap. Dia kembali bangkit berdiri. Namun sekali lagi
gerakannya tertahan.
Mendadak
di kejauhan terdengar suara orang menyanyi. Demikian halus lembut suara itu
hingga sulit diketahui apakah yang menyanyi seorang lelaki atau seorang
perempuan.
Hari
pertemuan datang sudah
Dua
warisan akan muncul di dunia
Benda
mati akan membawa manusia
Memilih
jalan lurus atau jalan sesat
Memilih
sorga atau dunia maksiat
Karena
itu manusia diberi otak untuk berpikir
Diberi
hati untuk menimbang
Manusia
harus menguasai benda
Bukan
benda yang harus menguasai manusia
Kalau
warisan sudah berbagi
Saat
berpisah datang sudah.
Baru saja
suara nyanyian sirap tiba-tiba kilat menyambar. Laksana sebilah pedang raksasa
yang menderu dari atas langit, kilat menghantam pertengahan telaga. Air telaga
berobah menjadi panas, mencuat sampai puluhan tombak! Puncak Gunung Gede
laksana dilanda gempa ketika guntur menyusul menggelegar. Sepasang muda-mudi
yang duduk di tepi telaga merasa ada hawa aneh keluar dari tanah lalu menjalar
masuk ke dalam tubuh masing-masing. Keduanya tampak bergetar hebat dan
terhuyung-huyung. Mereka kerahkan tenaga agar tidak terbanting roboh ke tanah.
Sambaran
kilat lenyap. Suara gema guntur sirna. Air telaga beriak tenang kembali seperti
semula. Dua orang di tepi telaga masih belum lenyap rasa kejut masing-masing.
Wajah mereka masih kelihatan pucat. Dalam keadaan seperti itu sekonyong-konyong
terdengar suara bergemuruh di dalam telaga. Lalu seolah ada satu kekuatan
dahsyat air di pertengahan telaga muncrat setinggi lima tombak. Bersamaan
dengan itu dari dalam telaga mencuat muncul sosok tubuh seorang tua
berselempang kain putih.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas!”
Pemuda
dan gadis di tepi telaga sama-sama keluarkan seruan. Keduanya lalu membungkuk
dalam-dalam memberi penghormatan.
Orang tua
berselempang kain putih yang dipanggil dengan sebutan Kiai Gede Tapa Pamungkas
seolah berdiri di atas air. Kepulan asap putih berhawa dingin membuat sosok dan
wajahnya tampak samar. Orang tua ini memiliki rambut putih panjang menjulai
yang bukan saja menutupi kepala dan punggungnya tapi juga sebagian wajahnya.
Selain dari itu kumis alis dan janggutnya yang putih panjang ikut
menyembunyikan mukanya.
Ada
beberapa keanehan menyertai kemunculan Kiai Gede Tapa Pamungkas ini. Pertama
dia muncul dari dalam telaga. Apakah dia memang diam dalam telaga itu? Manusia
mana yang mampu hidup dalam air? Ke dua dia bisa berdiri di atas air telaga
me-rupakan satu kepandaian yang sukar dijajagi. Lalu keanehan ke tiga, walau
saat itu hujan terus mendera dan barusan dia keluar dari dalam air telaga namun
baik tubuh, rambut maupun pakaian Kiai Gede Tapa Pamungkas sama sekali tidak
basah! Baik si pemuda maupun gadis bernama Sinto Weni sebelumnya tidak pernah
melihat kemunculan dan penampilan Kiai Gede Tapa Pamungkas begini hebat!
“Murid-muridku
apakah kalian berdua sudah lama menunggu?!” Sang Kiai ajukan pertanyaan. Sampai
saat itu dia tetap tidak beranjak dari pertengahan telaga sementara cuaca tetap
pekat mengetam.
“Kami
belum berapa lama berada di tempat ini Kiai,” menjawab si pemuda.
“Kalau
Kiai yang memerintah apapun akan kami lakukan. Berapa lamapun menunggu akan
kami nantikan,” berkata Sinto Weni.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. “Aku tahu kalian sudah lima hari menunggu di tepi
telaga. Tanpa makan tanpa minum. Kehujanan dan kedinginan. Murid-muridku, Tuhan
menjadikan hidup manusia ini tidak mudah. Cobaan dan ujian datang silih
berganti dalam berbagai bentuk. Tuhan tidak ingin menyusahkan umat-Nya. Semua
cobaan dan ujian itu justru untuk membuat manusia menjadi tabah dan berani
menghadapi tantangan. Hanya dengan ketabahan dan keberanian berdasarkan
kebenaran manusia menyadari apa artinya hidup ini. Ujian dan cobaan yang kalian
alami selama lima hari ini hanya sejumput kecil dari padang luas rimba
percobaan. Banyak lagi ujian, cobaan dan tantangan yang kelak akan kalian
hadapi. Untuk semua itu sandarkan keberanian dan kekuatan kalian pada kekuatan
dan perlindungan Yang Maha Kuasa. Karena hanya keberanian dan kekuatan Tuhanlah
yang maha benar dari semua kebenaran. Murid-muridku, Sinto Weni dan Sukat
Tandika apakah selama empat tahun tidak bertemu kalian berdua ada baik-baik
saja?”
“Berkat
doa Kiai dan perlindungan Yang Maha Kuasa kami ada baik-baik saja. Walau empat
tahun tidak terlalu lama namun kami merasa mulai mengenal apa artinya hidup dan
apa artinya dunia persilatan….” Yang menjawab adalah pemuda bernama Sukat
Tandika. Sinto Weni sang dara berkulit hitam manis hanya berdiam diri memandang
ke tengah telaga tepat pada arah sepasang kaki sang Kiai.
Di tengah
telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil melirik pada muridnya yang
bernama Sinto Weni dia kembali ajukan pertanyaan. “Murid-muridku apa kalian
berdua ada baik-baik saja selama empat tahun ini?”
“Kami…
kami berdua ada baik-baik saja Kiai,” akhirnya si gadis menjawab.
“Bagus
kalau begitu,” ujar Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil anggukkan kepala walau
sebenarnya dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan murid perempuannya ini.
“Sinto Weni dan Sukat Tandika. Empat tahun kalian terjun ke dalam rimba
persilatan bukan satu waktu yang lama. Tidak dapat dijadikan ukuran apakah
kalian telah mampu menjadi pendekar-pendekar yang dihormati dan disegani. Namun
aku sudah menyirap kabar bahwa ilmu Pukulan Sinar Matahari yang kuwariskan
padamu Sinto Weni telah membuat geger dunia persilatan. Lalu aku juga
mengetahui bahwa ilmu silat tangan kosong yang kau dapat dariku Sukat Tandika
telah membuat orang-orang golongan hitam menjadi mati kutu. Seperti yang pernah
aku katakan dulu, hari ini adalah hari pertemuan yang dijanjikan. Hari ini
adalah hari dua warisan akan kuserahkan pada kalian. Dan hari ini pula kita
akan berpisah untuk selama-lamanya. Entah kalau Tuhan masih mengijinkan bagi
kita bertemu. Adapun bentuk warisan yang akan kuberikan pada kalian, akan
kalian lihat sendiri nanti. Suka atau tidak suka kalian harus menerimanya
sebagai kenyataan. Karena dua benda warisan itu hanyalah titipan anak cucu
kalian yang harus dipergunakan untuk menyelamatkan dunia persilatan dari segala
macam angkara murka. Waktuku pendek, aku tak mungkin bicara terlalu banyak.
Harap kalian tetap duduk di tempat masing-masing. Jangan bicara kalau aku tidak
mengajak bicara. Jangan bergerak kalau tidak aku suruh!”
Habis
berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu kembangkan ke dua tangannya ke
samping. Bersamaan dengan itu terdengar, suara menggemuruh yang datang dari dua
arah di dasar telaga. Lalu air telaga di kiri kanan si orang tua mencuat
setinggi sepuluh tombak. Anehnya air yang melesat ke udara itu tampak
mengeluarkan tiga warna yakni putih, merah dan biru. Bersamaan dengan
mencuatnya air telaga di dua tempat, mendadak tiupan angin semakin kencang dan
hujan mendera bertambah keras!
Sinto
Wenidan Sukat Tandika merasakan jantung masing-masing berdebar keras. Mata
mereka dibuka lebar-lebar ketika ada suara mendesir di dalam telaga- Lalu dua
buah kepala mencuat ke permukaan air. Sepasang muda-mudi ini kalau tidak ingat
pesan guru mereka tadi, niscaya saat itu sudah tersurut ke belakang atau
keluarkan seruan tertahan ketika melihat dua makhluk yang keluar dari dalam
telaga!
******************
DUA
Dua
makhluk yang muncul di permukaan air telaga di kiri kanan Kiai Gede Tapa
Pamungkas ternyata adalah dua ekor ular besar bermata merah, satu jantan satu
betina, memiliki lidah terbelah yang menjulur panjang serta gigi dan taring
besar runcing. Di atas kepala sebelah depan ada sebentuk mahkota putih bertabur
batu-batu yang memantulkan sinar berkilauan. Di bagian kepala sebelah belakang
tampak sebentuk tanduk berwarna hijau.
“Ular
naga…” desis pemuda bernama Sukat Tan-dika dalam hati. “Setahuku binatang ini
hanya ada dalam dongeng. Apa yang kulihat ini ular naga sungguhan atau hanya
makhluk jejadian ciptaan kepandaian Kiai Gede Tapa Pamungkas?
Kalau si
pemuda berpikir seperti itu maka lain halnya dengan gadis bernama Sinto Weni.
Dalam hati gadis ini bertanya-tanya. “Permainan apa yang hendak diperlihatkan
Kiai padaku? Apa ular raksasa ini yang hendak diwariskannya padaku? Celaka!”
Di tengah
telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongakkan ke langit. Dua tangannya diangkat
sebatas dada dengan telapak membuka menghadap ke atas. Dia seperti tengah
membaca sesuatu. Dua ekor naga besar bergulung-gulung di sebelah kiri dan kanan
tubuhnya. Tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas rentangkan ke dua tangannya
kembali ke samping. Bersamaan dengan itu dia jentikkan jari-jari tangannya kiri
kanan. Mendengar suara jentikan dua ekor ular naga susupkan kepala ke dalam air
telaga sementara di sebelan sana air telaga tiga warna terus mencuat di dua
tempat.
Sekali
lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan jari-jari tangan kiri kanan. Terdengar
suara menggemuruh ketika dua naga munculkan lagi kepala di permukaan air
telaga. Kali ini di dalam mulut masing-masing mereka menggigit sebuah benda.
Ular naga
sebelah kanan yakni ular naga yang jantan mengigit sebuah benda berbentuk kapak
yang memiliki dua mata. Kapak ini bergagang putih kekuningan terbuat dari
gading. Bagian ujung gagang berbentuk ukiran kepala naga jantan dan ada enam
buah lobang kecil seperti lobang seruling. Pada dua mata kapak yang memancarkan
sinar berkilauan itu tertera tiga buah angka. 212.
Dalam
mulut ular naga kedua yaitu yang betina ada sebuah benda berbentuk seperti
gulungan ikat pinggang berwarna putih, memiliki ujung berbentuk kepala naga
sama seperti gagang kapak yang ada di mulut naga satunya.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas kembali jentikkan dua tangannya kiri kanan. Dua ular naga
kibaskan ekor masing-masing dengan keras hingga air telaga muncrat tinggi. Lalu
binatang ini rundukkan kepala dan meluncur menuju tepi telaga di mana Sinto
Weni dan Sukat Tandika duduk bersila tanpa berani bergerak ataupun keluarkan
suara. Namun sekali ini begitu dua ular naga meluncur ke arah mereka walau
mereka tetap mampu bertahan tanpa keluarkan suara tanpa bergerak rasanya saat
itu nyawa masing-masing sudah melayang terbang!
Di tepi
telaga dua ular naga jantan dan betina letakkan senjata berbentuk kapak dan
gulungan benda putih di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika. Untuk beberapa
lamanya binatang ini menjilati dua benda itu. Lalu keduanya perlahan-lahan
meluncur mundur kembali ke dalam telaga.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas jentikkan lagi jari-jari tangannya. Dua ular naga luruskan badan
masing-masing laksana tonggak lalu dongakkan kepala. Dari mulut mereka keluar
suara raungan aneh, terdengar antara lolongan srigala dan ringkik kuda, membuat
merinding Sinto Weni dan Sukat Tandika. Sang Kiai kembali menjentik. Saat itu
juga sosok tubuh sepasang naga perlahan-lahan meluncur turun ke dalam air
hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
“Murid-muridku….
Dua warisan telah berada di hadapan kalian. Sebelum aku meminta kalian untuk
memilih sendiri mana yang kalian sukat, aku akan perlihatkan kepada kalian
kehebatan dua benda itu.”
Di tengah
telaga Kiai Gede Tapa Pamungkas angkat kedua tangannya, diarahkan pada dua
benda yang ada di tepi telaga. Ketika dua tangannya disentakkan ke atas,
senjata berbentuk kapak bermata dua melesat ke udara mengeluarkan suara aneh
seperti ribuan tawon terbang mengamuk. Dari dua mata kapak memancar sinar putih
laksana perak. Sinar ini bukan saja sangat menyilaukan tapi sekaligus menghamparkan
hawa panas luar biasa. Untuk beberapa lamanya senjata ini berputar-putar di
atas telaga mengikuti gerak putaran tangan kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Begitu sang Kiai hantamkan tangan kanannya ke kiri, kapak bermata dua melesat
laksana kilat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tepi telaga.
“Craasss!”
Batang
pohon sebesar pemelukan tangan tertebas putus. Bagian atas pohon besar tumbang
dengan suara bergemuruh. Baik pohon yang tumbang maupun Sisa batang yang masih
tegak kelihatan berubah menjadi hitam gosong laksana habis dimakan api! Sukat
Tandika menyaksikan dengan mata lebarnya bertambah lebar sedang lidahnya
berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Sinto Weni memandang dengan mata
melotot tapi mulut ter-kancing.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas gerakkan tangannya ke arah tepian telaga. Kapak bermata dua
melayang turun dan perlahan-lahan digeletakkan kembali di depan sepasang muda
mudi. Kini sang Kiai ganti angkat tangannya yang kiri. Benda putih berbentuk
gulungan ikat pinggang melesat ke atas lalu “srettt!” Gulungannya terbuka. Satu
cahaya putih yang menghamparkan hawa dingin berkiblat. Di udara saat itu tampak
sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk kepala naga betina. Pada
badan pedang tertera angka 212. Pada bagian ujung pedang yang lancip kelihatan
sebuah lobang yang demikian kecilnya hingga sulit dilihat mata telanjang.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas sentakkan tangan kirinya ke atas. Pedang putih melesat ke
udara,. berputar memancarkan cahaya putih menyilaukan, menebar hawa dingin dan
mengeluarkan suara berdesing yang membuat liang telinga laksana ditusuk!
“Lihat
pedang!” berseru sang Kiai seraya hantamkan tangan kanannya ke arah kanan
telaga di mana tumbuh sebuah pohon besar berdaun rimbun. Kiai Gede Tapa putar
tangannya di atas kepala berulang kali. Terdengar suara tebasan tak
henti-hentinya. Daun pohon bertaburan di udara lalu melayang jatuh ke tanah dan
ke dalam telaga. Dalam waktu beberapa kejapan mata saja pohon yang tadinya
rimbun itu kini telah botak, hanya tinggal cabang dan ranting meranggas. Ketika
Kiai Gede Tapa Pamungkas meletakkan pedang putih itu di tepi telaga, begitu
menyentuh tanah pedang ini kembali menggulung diri secara aneh.
“Sekarang
kalian lihat bagaimana kalau dua senjata sakti dari dua sumber yang sama saling
baku hantam satu sama lain!” kata Kiai Gede Tapa pula. Lalu dua tangannya sama
disentakkan ke atas.
“Sreettt!”
“Wuttt!”
“Wuuutt!”
Pedang
putih tipis melesat ke atas dan lepas dari gulungannya. Kapak bermata dua
menyusul melesat lalu membeset gerakan pedang. Dengan lincah pedang tipis
membuat gerakan berputar menghindari tebasan kapak. Dalam waktu singkat di
udara dua senjata itu berubah menjadi buntalan cahaya yang saling menggempur.
Dua cahaya berkilauan saling menyabung. Hawa panas dan hawa .dingin berbenturan
hebat. Suara mengaung dan suara mendesing seperti seruling seolah merobek
langit.
“Traangg!”
Dua
senjata mustika sakti beradu di udara. Lidah api mencuat sejauh dua tombak.
Suara beradunya kapak dan pedang disusul dengan getaran dahsyat yang membuat
tempat itu laksana dilanda gempa. Karena bentrokan dua senjata sakti terjadi
berulang-ulang, baik Sinto Weni maupun Sukat Tandika terpaksa tutup telinga
masing-masing dengan tangan sementara tubuh mereka yang duduk bersila ditanah
terguncang-guncang, aliran darah tersentak-sentak. Kalau bentrokan dua senjata
sakti itu tidak lekas dihentikan sepasang muda-mudi ini pasti akan menderita
luka dalam yang parah!
Untung
Kiai Gede Tapa Pamungkas saat itu membuat gerakan dua tangan ke kiri dan ke
kanan. Kapak bermata dua dan pedang tipis lentur serta merta bergerak menjauh.
Lalu perlahan-lahan turun ke tanah di hadapan Sinto Weni dan Sukat Tandika.
Seperti tadi begitu menyentuh tanah pedang tipis lentur langsung bergelung
menggulung.
Untuk ke
sekian kalinya dua murid Kiai Gede Tapa itu dibuat terkagum-kagum menyaksikan
kehebatan senjata berupa kapak bermata dua dan pedang tipis lentur yang
memancarkan cahaya putih menyilaukan itu.
“Murid-muridku,
kalian telah menyaksikan kehebatan dua senjata itu. Apa yang barusan kalian
lihat hanya sebagian kecil saja dari kehebatan yang tersimpan di dalam dua
senjata itu. Inilah dua warisan yang akan aku berikan pada kalian. Senjata
berbentuk kapak cocok menjadi pegangan seorang kesatria. Senjata ini bernama
Kapak Naga Geni 212. Jika mulut kepala naga yang merupakan gagang kapak ditiup
maka senjata itu akan berubah menjadi sebuah seruling yang mampu mengeluarkan
suara keras. Membuat kacau jalan pikiran, peredaran darah dan bisa memecahkan
gendang-gendang telinga lawan. Bilamana mata naga kiri kanan ditekan maka dari
mulut naga akan melesat keluar jarum-jarum putih yang merupakan senjata rahasia
ampuh. Siapa saja yang mempergunakan senjata ini dia harus memiliki tenaga
dalam tinggi. Tanpa tenaga dalam Kapak Naga Geni 212 hanya merupakan satu benda
mati belaka. Berarti senjata ini tidak bisa dipergunakan oleh sembarang orang.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas memandang pada Sinto Weni sesaat lalu meneruskan penuturannya.
“Senjata
yang satunya yakni berupa pedang tipis dan bisa digulung bernama Pedang Naga
Suci 212. Keampuhannya tidak kalah dengan Kapak Naga Geni 212 dan cocok sebagai
senjata andalan seorang dara perkasa. Di dalam badan pedang tersimpan ratusan senjata
rahasia berbentuk jarum putih. Bilamana mulut naga ditiup maka jarum-jarum itu
akan melesat keluar lewat sebuah lubang kecil di ujung pedang. Seperti Kapak
Naga Geni 212, pedang sakti ini juga bisa ditiup dijadikan seruling yang
bunyinya dapat menghantam lawan. Untuk mengeluarkan segala kehebatan yang
tersimpan dalam pedang seseorang harus mengerahkan tenaga dalam. Murid-muridku
dua senjata ini bukan senjata sembarangan. Dicipta-kan oleh para pendahuluku
hanya dengan satu maksud dan tujuan yakni membela kebenaran dan keadilan,
menghancurkan angkara murka dalam rimba persilatan. Inilah warisan yang harus
kalian jaga dengan baik, dalam merawat maupun mempergunakannya. Sekali kalian
mempergunakan senjata itu di jalan yang salah maka kesaktiannya akan memukul
balik pada diri kalian! Murid-muridku, walau tadi aku sebutkan bahwa Kapak Naga
Geni 212 cocok untuk seorang kesatria dan Pedang Naga Suci 212 cocok untuk
seorang pendekar dara perkasa, namun terserah pada kalian masing-masing untuk
berunding memilih yang mana. Khusus untuk Kapak Naga Geni 212 memiliki pasangan
sebuah batu hitam berbentuk persegi panjang. Jika batu ini digosokkan atau
di-pukulkan ke mata kapak maka lidah api akan mencuat keluar dan merupakan
senjata luar biasa. Dua senjata sakti ini akan menjadi senjata maut bagi semua
orang jahat di rimba persilatan, merupakan senjata andalan atau senjata
pamungkas bagi kalian masing-masing. Nah murid-muridku sekarang aku persilahkan
kalian berunding. Setelah kalian menerima warisan dua senjata mustika sakti
itii maka aku akan merasa lega dan segera meninggalkan kalian….”
Dari
balik seiempang kain putih yang melilit di tubuhnya Kiai Gede Tapa Pamungkas
keluarkan sebuah batu hitam berbentuk empat persegi yang besarnya segenggaman
tangan. Batu ini dilemparkannya dan jatuh tepat di samping Kapak Naga Geni 212.
Sukat
Tandika bukan .seorang pemuda yang suka mementingkan diri sendiri dan tak
pernah temahak dalam hal apapun. Karena itu walau sang guru telah berkata
demikian dia tetap saja duduk di tempatnya, seolah memberi kesempatan pada adik
seperguruannya yaitu Sinto Weni untuk memilih lebih dulu salah satu dari dua
senjata mustika sakti itu. Bagaimanapun dia tidak berprasangka buruk dan yakin
bahwa Sinto Weni akan mengambil Pedang Naga Suci 212 dan dia akan kebagian
Kapak Naga Geni 212.
Namun
dugaan Sukat Tandika keliru.
******************
TIGA
Sinto
Weni membungkuk memberi hormat pada Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berkata.
“Kiai jika memang kau memberi izin untuk memilih, saya akan mengambil Kapak
Naga Geni 212 dan batu pasangannya!”
Di tengah
telaga sang Kiai kerenyitkan kening sedang Sukat Tandika melengak kaget.
Sehabis bicara Sinto Weni bergerak cepat mengambil Kapak Naga Geni S
212 dan
batu pasangannya. Setelah menyimpan dua benda itu dibalik pakaian ringkasnya,
dia kemudian menyambar pula Pedang Naga Suci 212.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas segera menegur. “Sinto Weni, kau hanya boleh mengambil satu dari
dua senjata sakti itu. Kau telah mengambil Kapak Naga Geni 212. Mengapa kau
juga mengambil Pedang Naga Suci 212?!”
Sinto
Weni cepat membungkuk. “Maafkan saya Kiai. Saya memang berlaku lancang
mengambil Pedang Naga Suci ini. Bukan untuk memilikinya tapi justru
menyelamatkannya.”
Baik Kiai
Gede Tapa maupun Sukat Tandika sama-sama heran dan tidak mengerti akan ucapan
Sinto Weni. Kalau si pemuda diam saja tak berani bertanya, tidak demikian
dengan sang Kiai. Orang tua ini ajukan pertanyaan.
“Apa
maksud ucapanmu tadi, Sinto?!”
“Maafkan
kalau jawaban saya terdengar, kasar atau keliru. Tapi saya beranggapan, senjata
sehebat Pedang Naga Suci 212 ini tak layak berada di tangan Sukat Tandika, Saya
mempunyai firasat senjata ini kelak akan disalati gunakannya! Jadi biar Pedang
Naga Suci 212 ini saya bawa dulu. Saya akan menyimpannya dengan baik sampai
suatu saat ada seseorang yang lebih pantas memilikinya.”
“Kau
berani menilai kakak seperguruanmu seperti itu Sinto?! Kau berani memberikan
warisan berupa pedang itu pada orang lain?!” Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas
tetap lembut namun alunan nadanya jelas menegur keras.
“Kalau
saya salah harap maafkan saya-Kiah Kalau ini sebuah dosa mohon kau mau memberi
ampun. Kelak waktu yang akan membuktikan ucapan saya!”
Habis
berkata begitu Sinto Weni membungkuk lalu dengan gerakan luar biasa cepatnya
bersamaan dengan sambaran kilat pada gelegar guntur gadis ini berkelebat dan
lenyap dalam kegelapan sementara hujan masih terus mengguyur dan angin terus
mendera kencang.
Melihat
gurunya diam saja walau menunjukkan wajah masygul Sukat Tandika segera bergerak
hendak mengejar. Namun sang Kiai mencegah.
“Sukat!
Tak usah kau kejar!”
“Tapi
Kiai…”
“Aku tahu
kau tak suka melihat orang melarikan warisan milikmu….”
“Bukan
hanya itu Kiai. Saya tidak suka melihat peri laku budi pekertinya. Dia begitu
merendahkan Kiai….”
Kiai Gede
Tapa angkat tangan kanannya dan berkata. “Tetap di tempatmu Sukat. Kita perlu
bicara….”
“Sementara
kita bicara Sinto Weni telah lari jauh!” memotong si pemuda.
“Kita
perlu bicara, Sukat. Setahuku gadis itu memiliki perasaan halus, penuh welas
asih walau kadang-kadang suka usil dan bicara ceplas-ceplos. Aku yakin ada
sesuatu yang telah membuat dirinya berubah seperti itu. Dan yang tahu mengapa
dia jadi begitu hanya, kau seorang. Selama empat tahun kalian berkelana menimba
ilmu dan pengalaman di rimba persilatan. Kau mau memberikan penjelasan padaku
Sukat?”
Mendengar
kata-kata sang guru Sukat Tandika jadi pucat, sesaat dia terdiam. “Saya rasa….”
“Jelaskan
padaku terus terang….” Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti mendesak.
“Kiai….
Sejak dilepas empat tahun lalu, dua tahun pertama kami memang selalu
bersama-sama. Pada masa-masa itulah antara kami terjalin hubungan yang sangat
akrab….”
“Akrab
sebagai teman, saudara seperguruan atau apa?” tanya Kiai Gede Tapa pula.
Kembali
Sukat Tandika terdiam. Setelah menarik nafas dalam dia baru menjawab. “Kami
saling jatuh cinta. Namun sesuatu terjadi….”
“Apa yang
kau maksud dengan sesuatu itu?” tanya Kiai Gede Tapa.
“Untuk
mencari pengalaman lebih luas pada tahun ke tiga kami setuju saling berpisah.
Meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Sinto berkelana di barat, saya sendiri
malang melintang ke berbagai penjuru. Saya kemudian bertemu dengan beberapa
orang gadis. Saya terpikat dan melupakan Sinto. Saya mengkhianati cintanya….
Mungkin itu sebabnya dia menjadi sangat marah dan mendendam pada saya. Saya
akan mencarinya….”
“Tidak,
kau tetap di sini sampai aku selesai bicara!” tukas Kiai Gede Tapa. “Muridku
Sukat Tandika! Bagi seorang gadis cinta adalah sejuta bahagia dalam sejuta
kesucian! Kalau dia dikhianati dia bisa sejuta diam dalam sejuta derita. Namun
bisa juga dia mendekam sejuta kebencian sejuta dendam. Agaknya Sinto Weni telah
memilih dua hal yang terakhir. Kalau kau kejar dia saat ini, selagi bara
kebencian dan dendam berkobar hebat dalam diri-nya, bukan mustahil dia akan
membunuhmu….”
“Saya
rela menemui kematian di tangannya….”
Kiai Gede
Tapa tersenyum. “Hanya orang tolol yang memilih jalan hidup seperti itu
muridku. Jangan menebus ketololan dengan menggadaikan nyawamu! Ketahuilah dalam
hidup ini ada tiga hal yang mendatangkan kehancuran pada kaum laki-laki kalau
dia menyimpang dari hukum alam yang telah ditentukan. Pertama jabatan, ke dua
harta dan ke tiga perempuan. Kau telah membenturkan diri pada salah satu dari
tiga hukum alam itu muridku. Apa jawabmu?!”
“Saya
mengerti Kiai. Saya telah berbuat sesuatu yang salah terhadap Sinto Weni. Saya
harus berani bertanggung jawab. Saya mohon maafmu Kiai….”
Kiai Gede
Tapa tersenyum rawan.
“Kalau
kau hendak mencarinya jangan lakukan sekarang. Sinto Weni membutuhkan waktu
bertahun-tahun, mungkin belasan tahun untuk mengobati luka hatinya. Kau harus
menunggu dan memilih waktu yang tepat. Jika kau bersikeras dan bertindak
ceroboh kau bisa celaka sendiri…. Lagi pula aku rasa ada baiknya untuk sementara
Pedang Naga Suci 212 berada di tangannya. Ketahuilah senjata mustika sakti itu
hanya bertuah di tangan seorang yang benar-benar suci lahir bathin dan
dipergunakan atas nama kebaikan serta kebenaran. Menyimpang dari itu Pedang
Naga Suci 212 akan mendatangkan malapetaka bagi orang yang memakainya secara
salah….”
“Nasihat
Kiai akan saya perhatikan…” kata Sukat Tandika dan dalam hati dia berkata.
“Kalau memang begitu tuah Pedang Naga Suci 212 mungkin sekaji senjata itu tidak
cocok bagiku. Selama empat tahun terakhir ini aku banyak melakukan hal-hal yang
tidak benar…. Agaknya aku harus melupakan pedang sakti itu seumur hidupku.”
Sukat memandang ke arah Kiai Gede Tapa.
“Nasihat
merupakan hal terakhir yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau sendiri yang
menentukan jalan hidupmu. Waktuku sudah habis. Aku harus pergi sekarang!”
Habis
berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas rapatkan telapak tangannya satu sama
lain lalu ke dua tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Kilat
menyambar. Guntur menggelegar. Air telaga beriak keras. Asap putih
berbuntal-buntal. Perlahan-lahan sosok tubuh Kiai Gede Tapa Pamungkas lenyap
masuk ke dalam telaga.
Sukat
Tandika mengusap wajahnya berulang kali. Walau saat itu udara dinginnya bukan
alang kepalang namun hujan yang membasahi wajah dan tubuhnya telah bercampur
dengan keringat.
Seperti
dituturkan dalam Episode sebelumnya Sukat Tandika malang melintang dalam rimba
persilatan sambil berusaha mencari Sinto Weni. Namun dalam pengelanaannya itu
justru Sukat Tandika semakin jauh tenggelam dalam kata hati dan bujukan nafsu.
Dia mempunyai kelemahan menghadapi gadis-gadis cantik. Mudah jatuh hati.
Sebelum dan sesudah kawin dengan seorang janda cantik puteri Adipati Plered,
pemuda itu menjalin hubungan cinta dengan beberapa gadis. Di antaranya Sabai
Nan Rancak dan Sika Sure Jelantik. Rata-rata semua gadis itu kemudian
ditinggalkannya begitu saja. Sukat Tandika sendiri kemudian melenyapkan diri
selama bertahun-tahun. Ketika dia muncul kembali keadaannya berubah seperti
orang kurang waras. Tindak tanduknya menggegerkan rimba persilatan. Dia bukan
saja membasmi para tokoh golongan hitam tapi juga menumpas mereka dari golongan
putih yang dianggapnya menjadi penghalang. Tak jelas apa yang menjadi tujuan
Sukat Tandika. Apa dia ingin menjadi raja di raja dunia persilatan atau semua
perbuatannya itu akibat penyesalan sesaat atas segala kelakuannya di masa lalu?
Rimba
persilatan memberi beberapa julukan pada Sukat Tandika. Dia disebut sebagai
Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Dari beberapa gelar yang
diberikan orang padanya, dia lebih dikenai dengan julukan Tua Gila. Dalam usia
tuanya dia kemudian bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengajarkan
ilmu silat Orang Gila ciptaannya sendiri pada Wiro yang sebelumnya telah
diambil murid oleh Sinto Weni. Sinto Weni sendiri dikenal dengan nama Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Sinto
Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212 pada Wiro yang dalam dunia persilatan
kemudian lebih dikenal sebagai Kapak Maut Naga Geni 212. Sedangkan Pedang Naga
Suci 212 tetap disembunyikan Sinto Gendeng sekalipun di hari tuanya dia telah
bertemu dan berbaik-baik dengan Tua Gila alias Sukat Tandika kekasihnya di masa
muda. Sinto Gendeng sendiri tidak pernah mempergunakan Pedang Naga Suci.
Mungkin dia menyadari sejak menjalin hubungan dengan Sukat Tandika dan
ditinggal pergi Setelah cinta dan kesuciannya dirampas begitu saja maka pedang
mustika sakti itu tidak mungkin, bisa dimanfaatkannya. Namun bagaimanapun Sinto
Gendeng merahasiakan di mana dia menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 itu, pada
akhirnya Tua Gila mengetahui juga dimana senjata itu beradanya. Hal itu
kemudian diberitahukannya pada Puti Andini, cucunya sendiri.
Sementara
itu di rimba persilatan selain berita besar mengenai Kitab Wasiat Malaikat kini
kabar tentang adanya Pedang Naga Suci 212 itu telah tersiar santar, membuat
para tokoh baik golongan putih maupun golongan hitam sama-sama membuka mata
memasang telinga dan mengatur siasat untuk menjejakinya!
******************
EMPAT
Badai
yang melanda pantai barat Pulau Andalas sekali ini dahsyat bukan main. Sejak
tengah malam tadi angin keras mendera tanpa henti, menerabas apa saja yang ada
di permukaan laut. Beberapa pulau kecil lenyap seolah amblas ke dasar samudera.
Puluhan nelayan menemui ajal, tenggelam bersama perahu mereka.
Menjelang
pagi walau langit di ufuk timur tampak terang tanda sang surya akan segera
terbit, badai masih belum berhenti. Malah bertiup ke arah pantai, menyapu
segala yang ada di daratan.
Di puncak
barat Gunung Singgalang seorang tua kurus mengenakan jubah hijau yang kebesaran
berulang kali mengusap wajahnya yang cekung. Sejak tadi dia melangkah
mundar-mandir. Sepasang matanya yang jereng berputar liar kian kemari dan
sebentar-sebentar mengerling ke arah mulut goa di dalam mana dia saat itu berada.
Semua gerak-gerik orang tua ini memberi pertanda bahwa saat itu dia berada
dalam satu kegelisahan. Paling tidak ada sesuatu yang membuatnya tidak sabar.
Bosan
mundar-mandir akhirnya orang tua ini duduk di lantai goa. Berusaha bersamadi.
Namun sia-sia saja. Sepasang telinganya tidak mampu menghambat suara deru angin
yang tiada henti-hentinya di luar sana.
Sadar dia
tak akan bisa bersamadi orang tua ini akhirnya bangkit berdiri. Diluruskannya
tubuhnya yang agak bungkuk dimakan usia lalu sambil merapikan letak destar
tinggi hijau di atas kepalanya dengan langkah gontai dia berjalan menuju mulut
goa yang sebagian tertutup oleh sebuah batu besar.
Si orang
tua menyeruak di antara mulut goa dan batu besar. Angin kencang menerpa muka
dan tubuhnya. Rambut putihnya yang menjulai di bawah destar, janggut serta
kumisnya melambai-lambai. Jubah dan destar hijaunya ikut berkibar-kibar.
“Pertanda
apakah yang tengah diberikan alam…” kata si orang tua dalam hati, “Sekian lama
diam di pulau besar ini baru sekarang ada badai begini hebat. Alam agaknya
mulai tidak lagi bersahabat dengan umat. Atau mung kin ini satu isyarat bagiku
untuk segera keluar dari komplotan manusia-manusia aneh tapi jahat itu? Orang
tua itu kembali mengusap wajahnya yang cekung lalu gelengkan kepala. Beberapa
kali menarik nafas dalam, biasanya kalau dia berdiri di mulut goa seperti itu
dia akan melihat pemandangan sangat indah di sepanjang lereng sampai kaki
Gunung Singgaiang. Namun saat itu dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa karena
lebatnya curahan hujan ditambah kabut menutup dimana-mana.
tiupan
badai semakin menggila. Hujan mendera bumi semakin ganas. Bagian bawah jubah
hijau si orang tua tampak basah. Sebelum tambah kuyup orang tua ini melangkah
mundur, masuk kembali ke dalam goa. Namun gerakannya terhenti ketika
sekonyong-konyong satu bayangan berkelebat di depan goa, tersamar oleh badai
dan hujan.
Paras
orang tua ini berubah. Sesaat rasa tegang menguasai dirinya. “Orang yang aku
tunggu sudah datang…” hatinya berbisik.
“Wuttt!”
Tahu-tahu
satu sosok serba hitam dalam keadaan basah kuyup telah berdiri di hadapan orang
tua itu.
Meski
orang yang tegak di hadapannya itu angker luar biasa namun si orang tua
bersikap tenang. Sepasang matanya yang jereng memperhatikan orang dengan tak
berkesip. “Hemmm…. Ini tampang manusianya. Tak pernah kulihat sebelumnya tapi
dari ciri-ciri jelas dia orangnya. Lebih baik aku bertanya dulu untuk
memastikan,” kata orang tua berjubah hijau dalam hati.
“Orang
tak dikenal, apakah kau tersesat mencari tempat berteduh? Atau memang goaku ini
menjadi tujuanmu?”
Orang
yang ditegur balas menatap tanpa berkedip. Orang ini bertubuh tinggi besar
hingga kepalanya yang berambut kasar seperti ijuk hampir menyondak mulut goa.
Kulitnya hitam laksana arang. Pakaiannya yang basah kuyup juga berwarna hitam.
Orang ini memiliki alis aneh. Tebal panjang dan bersambung mulai dari pelipis
kiri sampai ke pelipis kanan. Di atas alis, pada keningnya terdapat enam buah
lobang besar hitam. Lalu di bawah alis terdapat juga enam lobang serupa yakni
tiga di pipi kanan dan tiga di pipi kiri. Mungkin sekali dua belas lobang ini
diakibatkan oleh penyakit cacar air yang ganas.
“Aku
mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi! Apakah kau orangnya?” Orang yang tegak di
depan goa menjawab dengan mata tetap tak berkesip memandangi orang tua di
hadapannya. Suaranya serak namun dibawah hujan dan badai keras begitu rupa
ucapannya itu jelas terdengar ke telinga si orang tua pertanda dia barusan
bicara dengan memperguna-kan tenaga dalam.
“Di
puncak Singgalang ini hanya ada satu goa didiami manusia. Di muka bumi ini
hanya ada satu orang bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi. Apakah kau masih ingin
bertanya?!”
Si tinggi
besar bermuka angker undur selangkah. “Turut yang aku dengar Sutan Alam Rajo Di
Bumi adalah seorang yang meski tua tapi berbadan tegap. Selalu mengenakan jubah
putih. Kalau kau orangnya maka sungguh lain apa yang kudengar dengan kenyataan.”
Mata
jereng orang tua berdestar dan berjubah hijau berputar beberapa kali. Sambil
menyeringai dia kemudian berkata.
“Berita
yang didengar tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Apakah kau lebih
mempercayai ucapan orang ketimbang kenyataan?!”
“Kalau
begitu…. Hemmm….” Lelaki berpakaian hitam basah kuyup dengan muka berlubang dua
belas usap alisnya yang melintang panjang bersambung di atas sepasang mata.
“Jadi aku tidak salah saat ini berhadapan dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
“Kau
berhadapan dengan orang yang kau cari!” kata orang tua di dalam goa. “Aku sudah
tahu kau baka! datang. Lebih dari itu aku juga sudah tahu maksud dan tujuan
kedatanganmu. Jika kau memang orangnya yang dijuluki Hantu Balak Anam Dari
Sijunjung!”
Agak
terkesiap juga si jubah hitam mendengar orang sudah tahu siapa dia adanya.
“Kalau
kau memang Sutan Alam Rajo Oi Bumi, maka harap kau suka terima salam hormatku!”
Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung letakkan tangan kiri di atas dada lalu melipat lutut
sedikit.
Orang tua
bergelar Sutan Alam Rajo Di Langit tersenyum dan berkata. “Tampangmu seburuk
setan. Namun nyatanya kau cukup punya peradatan, tahu bagaimana menghormati
orang tua sepertiku!”
“Kalau
bicara soal hormat menghormati masalah usia tidak layak dijadikan pegangan….”
“Eh, apa
maksudmu…?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan senyum masih terkulum di
bibirnya.
“Karena
usiaku jauh lebih tua darimu….”
Tentu
saja orang tua di dalam goa menjadi terkejut. “Aku berusia hampir tujuh puiuh
tahun. Kau sendiri memangnya berapa umurmu?!” Si orang tua bertanya.
“Tujuh
puluh delapan!” jawab si jubah hitam Hantu Balak Anam.
Sesaat
Sutan Alam tampak seperti bengong tak percaya. Kalau memang benar bagaimana
mungkin orang seusia tujuh puluh delapan tahun masih memiliki tubuh tegap kokoh
begitu rupa. Rambutnya pun tak ada yang putih.
“Luar
biasa! Kalau kau memang berusia tujuh puluh delapan, walau wajahmu seburuk
setan ternyata kau awet muda! Aku si tua bangka ini ingin belajar ilmu apa yang
kau pergunakan agar tetap awet muda! Ha… ha… ha!” Sutan Alam Rajo Di Bumi
tertawa mengekeh. Puas mengumbar tawa orang tua ini berucap. “Lama mendengar
nama besarmu. Baru kali ini bertemu dengan orangnya. Aku tak mau berbasa-basi
lagi. Silahkan masuk ke dalam goaku. Mari kita bicarakah maksud kedatanganmu!”
Hantu
Balak Anam masuk ke dalam goa. Air hujan yang membasahi jubah hitamnya mencurah
jatuh ke lantai goa. Di dalam goa dia merasa lebih hangat.
“Silahkan
duduk tamu agungku!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi seraya menunjuk pada sebuah
batu berbentuk kursi.
“Aku
lebih suka berdiri saja….”
“Hemmm….
Manusia si Hantu Balak Anam ini agaknya bersikap terlalu waspada atau bercuriga
besar. Jangan-jangan dia….” Sutan Aiam Rajo Di Bumi anggukkah kepala dan
berkata. “Kau mau duduk atau tidak terserah saja. Seperti kataku tadi, aku
sudah menduga apa maksud, kedatanganmu. Sekarang apakah kau mau mulai
membicarakannya!”
“Kalau
kau sudah maklum maksud kedatanganku, lebih mudah bagiku untuk menjelaskannya,”
jawab Hantu Balak Anam. Dia menatap lurus-lurus pada sepasang mata jereng orang
tua di hadapannya lalu melanjutkan. “Sejak beberapa bulan belakangan ini
beberapa tokoh persilatan di pulau Andalas menemui kematian secara aneh. Tewas
mengenaskan. Kematian mereka kemudian diikuti dengan tersiarnya kabar yang
membuat dunia persilatan tanah Andalas menjadi geger….”
Sutan
Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu berkata. “Apa yang kau
dengar ternyata tidak beda dengan apa yang sekarang kau katakan. Hantu Balak
Anam teruskan penuturanmu!”
“Di Utara
ada kabar bahwa Kiai Tanjung Laboh mati dibunuh. Si pembunuh diduga keras
adalah seorang gadis sakti bernama Pandansuri yang konon merupakan anak angkat
mendiang Raja Rencong Dari Utara. Lalu seorang tokoh silat golongan putih
lainnya yang dikenal dengan julukan Sepasang Telapak Putih ditemukan tewas
secara mengerikan di tempat kediamannya dilereng Gunung Sihabuhabu. Di Andalas
tengah, tokoh silat Magek Bagak Bacufo Duo dibunuh orang di tepi pantai. Siapa
pembunuhnya belum jelas. Namun tersiar dugaan bahwa si pembunuh adalah Tua
Gila. Sementara itu Sabai Nan Rancak seorang tokoh terpandang di Andalas lenyap
tak diketahui di mana beradanya. Lalu di selatan seorang tokoh golongan putih
yang dikenal dengan julukan Datuk Agung Berbangsa ditemui menemui ajal dalam
keadaan tergantung di Baturaja. Pada jubah putihnya si pembunuh menuliskan
namanya yaitu Datuk Sunti Belanak. Seorang tokoh silat golongan putih, kawan
lama Datuk Agung Berbangsa yang diam di sebuah perguruan silat di Bukit
Martapura. Semua peristiwa yang luar biasa ini telah menimbulkan rasa saling
curiga antara sesama orang-orang persilatan golongan putih. Konon telah
terbentuk satu perserikatan golongan putih untuk memerangi orang-orang golongan
putih yang dikabarkan melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut. Dalam pada itu
seorang tokoh paling disegani bernama Nyanyuk Amber dikabarkan lenyap dari
Gunung Sing-galang ini…. Ada yang menduga bahwa semua pembunuhan itu didalangi
oleh Nyanyuk Amber!”
******************
LIMA
Sutan
Alam Rajo Di Bumi sesaat terdiam mendengar penuturan Hantu Balak Anam itu.
Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Apa yang kau katakan barusan semua
benar. Terus terang aku merasa risau dengan semua kejadian itu. Bukan mustahil
kita pun kelak akan jadi korban pembunuhan aneh itu. Gila, apa yang sesungguhnya
terjadi! Orang-orang golongan putih membunuh sesama teman sendiri! Lenyapnya
Nyanyuk Amber memang merupakan satu tanda tanya besar. Kau tahu, sejak aku
muncul di sini, Gunung Singgalang ini dibagi tiga. Aku menetap di sebelah
puncak. Sabai Nan Rancak di bawah pada lereng sebelah timur. Lalu Nyanyuk Amber
di lereng sebelah barat. Namun anehnya, tak lama setelah aku menetap di sini
Nyanyuk Amber lenyap dari tempat kediamannya. Lalu seperti katamu Sabai Nan
Rancak juga tiba-tiba seperti sirna.” (Mengenai Nyanyuk Amber harap baca serial
Wiro Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara”).
Orang tua
berjubah hijau itu menarik nafas dalam. Dia mendongak menatap langit-langit goa
batu lalu terdengar suaranya bertanya. “Dari semua kejadian itu, kedatanganmu
kemari pasti membawa satu rencana….”
“Betul
sekali Sutan. Aku ingin agar semua tokoh silat golongan putih berkumpul,
berunding dan menentukan sikap serta tindakan sebelum jatuh lagi korban-korban
berikutnya.”
“Aku
mendukung maksud baikmu Ku. Karena kau yang datang membawa usul bagaimana kalau
kau juga mau bersusah payah untuk mengatur rencana pertemuan itu….”
“Terima
kasih atas kepercayaan Sutan. Tapi pulau Andalas bukan pulau kecil. Bagaimana
kalau untuk bagian utara Sutan saja yang mengatur. Aku menghubungi para tokoh
di bagian tengah. Lalu seorang sahabat akan kuminta pertolongannya untuk
mengurusi wilayah selatan. Jika Sutan menyetujui maka saat ini sudah bisa
ditentukan kapan dan di mana pertemuan itu akan dilakukan. Makin cepat pasti
makin baik…..”
“Aku bisa
segera menentukan saat yang paling tepat,” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Namun sebelum hal itu aku katakan ada satu hal yang ingin aku katakan dan
tanyakan padamu. Apa kau pernah mendengar riwayat seorang tokoh silat berjuluk
Datuk Tinggi Raja Di Langit?”
“Bukankah
tokoh satu itu lenyap secara aneh beberapa waktu lalu?”
.
“Mungkin dia dibunuh oleh orang-orang persilatan golongan putih?”
Hantu
Balak Anam gelengkan kepala. “Lenyapnya Datuk Tinggi jauh sebelum peristiwa
pembunuhan beruntun itu….”
“Apa mungkin
dia sudah menemui ajal?” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi pula.
“Sukar
dipastikan. Kalau memang sudah menemui ajal mengapa mayatnya tak pernah
ditemukan? Tapi memang ada satu hal yang perlu diteliti….”
“Apa?”
tanya Sutan Alam seraya membetulkan letak destarnya yang kebesaran.
“Lenyapnya
Datuk Tinggi Raja Di Langit bersamaan dengan tersebarnya kapar kematian Tua
Gila, Juga bersamaan dengan munculnya seorang pendekar muda dari tanah Jawa
yang dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!”
Sutan
Alam Rajo Di Bumi manggut-manggut beberapa kali lalu dia mundar-mandir di
ruangan batu itu. Di hadapan Hantu Balak Anam dia hentikan langkah dan berkata.
“Sebenarnya aku telah meminta seseorang untuk menyelidik lenyapnya Patuk Tinggi
Raja Di Langit. Namun sampai saat ini belum ada kabar. Dalam pada itu di tanah
Jawa pun kudengar peristiwa yang hampir bersamaan dengan kejadian-kejadian di
pulau Andalas ini. Beberapa tokoh silat golongan putih dibunuh oleh orang-orang
segolongan. Terakhir kudengar kabar bahwa Datuk Angek Garang, tokoh silat pulau
Andalas mati dibunuh seorang tokoh aneh dikenal dengan panggilan Si Segala
Tahu. Tapi ada juga dugaan, pembunuh sebenarnya adalah Tua Gila….”
“Jika itu
benar Sabai Nan Rancak yang diketahui lenyap mungkin sekali telah berada di
tanah Jawa. Bukankah sejak lama diketahui bahwa nenek itu ingin membalaskan
sakit hatinya terhadap Tua Gila? Dan Tua Gila sendiri kabarnya melarikan diri
ke tanah Jawa.”
“Rupanya
banyak juga pengetahuanmu tentang apa yang terjadi di rimba persilatan
akhir-akhir ini…” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sunggingkan seringai.
“Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, Hantu Balak Anam. Apa kau
mendengar riwayat sebuah senjata berbentuk pedang, bernama Pedang Naga Suci
212?”
Si muka hitam
berlubang dua belas gelengkan kepala. “Mendengar namanya mungkin ada sangkut
pautnya dengan Kapak Naga Geni 212 milik Pendekar 212.”
“Pedang
itu adalah pasangan Kapak Naga Geni 212. Kehebatannya luar biasa. Sejak puluhan
tahun pedang itu disembunyikan di satu tempat. Yang tahu di mana letaknya hanya
dua orang. Pertama Sinto Gendeng seorang nenek sakti di kawasan barat pulau
Jawa yang juga adalah guru Pendekar 212. Orang ke dua adalah Tua Gila.”
“Apakah
Sutan berminat terhadap Pedang Naga Suci 212 itu?” tanya Hantu Balak Anam.
“Rasanya
tak ada satu orang pun dalam dunia persilatan yang tidak ingin memiliki senjata
mustika sakti. Termasuk aku dan juga kau tentunya! Namun urusanku di sini
banyak sekali. Kurasa sambil mengatur pertemuan para tokoh di kawasan ini kau
bisa. pergunakan kesempatan untuk menjajagi di mana beradanya Pedang Naga Suci
212 Itu, lalu mem-bawanya kepadaku.”
Hantu
Balak Anam mengangguk. “Akari aku coba melakukan apa yang kau katakan.” Namun
dalam hati dia berkata. “Kalau aku berhasil menemukan, pedang mustika sakti itu
tidak nanti aku serahkan padamu, keledai tua!”
Di luar
goa hujan masih deras dan tiupan badai belum mereda. Sutan Alam Rajo Di Langit
batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. “Dalam udara dingin begini rupa,
meneguk kopi panas tentu nikmat sekali. Tapi sayang minuman seperti itu tidak
dapat ku-sediakan untuk tamu agung sepertimu. Aku masih memiliki dua butir
kelapa hutan yang manis. Apa kau tidak berkeberatan kalau aku suguhi minuman
kelapa muda itu Hantu Balak Anam?”
“Hujan-hujan
dan dingin-dingin seperti ini rasanya kurang cocok meneguk kelapa muda. Tapi
kalau tidak ada. minuman lain, apa lagi tenggorokanku memang terasa kering, apa
boleh buat!”
Sutan
Alam Rajo Di Bumi tertawa mengekeh. Dia masuk ke bagian dalam goa. Tak lama
kemudian keluar lagi membawa dua buah kelapa muda. Sebuah kelapa diletakkannya
di atas batu berbentuk kursi. Yang sebuah lagi dipegangnya di depan dada.
Matanya yang jereng berputar liar. Sepuluh jari tangannya bergerak. Hantu Balak
Anam melihat bagaimana sepuluh jari tangan itu menusuk menembus buah kelapa.
Lalu “kraakk!” Sekali si orang tua menarik buah kelapa dalam cengkeramannya
terbelah dua. Dengan cepat Sutan Alam Rajo Di Bumi membalikkan dua belahan buah
kelapa hingga tak ada airnya yang
tertumpah.
Buah kelapa yang telah terbelah ini kemudian diserahkan pada Hantu Balak Anam.
“Air
kelapa hijau punya seribu khasiat untuk kesehatan tubuh. Silahkan meneguknya!”
kata Sutan Alam. Lalu dia mengambil buah kelapa satunya yang diletakkan di atas
kursi batu. Tapi karena agak terburu-buru, buah kelapa yang telah dipegangnya
itu meluncur jatuh lalu menggelinding ke mulut goa dan lenyap di luar sana.
“Ah
nasibku sial. Tanda perut tua ini tak akan menikmati air dan daging kelapa yang
enak Ku. Bodohnya akui” Sutan Alam mengumpati diri sendiri. Sepasang matanya
yang jereng memandang ke mulut goa.
“Biar aku
keluar mengambil kelapa Ku,” kata Hantu Balak Anam pula seraya meletakkan buah
kelapa yang sudah terbelah di atas batu berbentuk kursi.
“Hujan
masih derasi” mengingatkan Sutan Alam.
“Siapa
takutkan hujan. Lagi pula tubuh dan jubah hitamku sudah basah kuyup….”
“Kalau
kau memang mau mengambilkan kelapa yang menggelinding keluar goa Ku, aku akan
sangat berterima kasih.”
Hantu
Balak Anam segera keluar dari goa. Begitu si tinggi besar yang mukanya ada dua
belas lobang ini lenyap di mulut goa, Sutan Alam Rajo Di Bumi cepat keluarkan
satu lipatan kertas dari dalam jubah hijaunya. Lipatan kertas dibuka lalu
sejenis bubuk putih yang ada dalam kertas Ku dituangkannya ke dalam air pada
dua belahan buah kelapa. Dengan cepat kertas berisi bubuk dilipat kembali dan
disimpan di balik jubahnya.
“Ah…! Kau
berhasil mendapatkan kelapa itu!” kata Sutan Alam ketika tak lama kemudian
Hantu Balak Anam muncul membawa buah kelapa hijau yang jatuh menggelinding
keluar goa. Begitu buah kelapa diserahkan padanya dengan cepat Sutan Alam Rajo
Di Bumi cengkeramkah sepuluh jarinya. Seperti tadi, mudah saja dia membelah
buah kelapa berkulit dan berbatok keras itu. Lalu seperti orang kehausan tanpa
tunggu lebih lama dia segera meneguk habis air kelapa di belahan pertama.
Sambil mengusap mulutnya Sutan Alam berpaling pada Hantu Balak Anam. Sambil
menyeringai dia menegur. “Apa lagi yang kau tunggu? Ayo lekas habiskan air
kelapa itu!”
Hantu
Balak Anam balas menyeringai. Dia segera mengambil buah kelapa yang ada di atas
kursi batu dan tanpa tunggu lebih lama segera meneguk habis air yang ada di
belahan pertama, dilanjutkan dengan air kelapa di belahan kedua.
“Bagaimana
rasanya?!” tanya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mata jerengnya kembali berputar.
“Manis
dan sejuk!” jawab Hantu Balak Anam lalu meletakkan kelapa di atas kursi batu.
Sutan
Alam tertawa mengekeh. “Kau tidak mengupas dagingnya yang putih lembut itu?”
Hantu
Balak Anam menggeleng. “Airnya sudah cukup membuat hausku hilang dan perutku
kenyang!”
Kembali
Sutan Alam tertawa panjang. Buah kelapa yang dipegangnya diietakkahnya puia di
atas batu. Sambil menggosok-gosok ke dua tangannya dia bertanya. “Apakah masih
ada hal-hal yang hendak kau bicarakan Hantu Balak Anam?”
Hantu
Balak Anam berpikir sejenak lalu gelengkan kepala. “Semua sudah aku utarakan,”
katanya.
“Kalau
begitu kau sudah bisa mengatur urusan di bagian tengah dan selatan pulau
Andalas. Aku membereskan bagian utara. Yang penting harap kau suka menyirap
kabar di mana adanya Tua Gila, sekaligus muridnya bernama Wiro Sableng itu.
Lalu mehcari tahu di mana tersembunyinya Pedang Naga Suci 212.”
“Akan aku
lakukan Sutan!” kata Hantu Balak Anam Dari Sijunjung.
“Ada satu
hal lagi yang ingin kau selidiki. Di pulau Andalas beberapa waktu lalu muncul
seorang tokoh silat baru, tidak bernama tidak bergelar. Tapi memiliki
kepandaian luar biasa. Dia seorang perempuan yang selalu mengenakan pakaian
kuning. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar kuning. Sulit diduga berapa
usianya apa lagi menduga siapa dia adanya. Orang ini perlu diselidiki karena
tindak tanduknya sangat mencurigakan. Bukan mustahil dia yang jadi racun semua
pembunuhan atas diri para tokoh golongan putih.”
“Apa yang
kau katakan ini memang pernah kudengar,” ujar Hantu Balak Anam. “Kalau ada
kesempatan tak ada Salahnya aku menyelidiki.”
“Bukan
kalau ada kesempatan Sobatku! Tapi harus ada kesempatan untuk menyelidikinya.
Kalau tidak rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa tak bakal
tenteram….”
Hantu
Balak Anam Dari Sijunjung tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Kau boleh
menyuruh memerintah. Aku akan lakukan apa yang aku suka! Aku tidak berada di
bawah perintahmu. Aku bukan orang suruhan atau anak buahmu!”
Sutan
Alam Rajo Di Bumi menatap ke arah mulut goa. Lalu duduk bersila di atas lantai
goa, pejamkan sepasang matanya yang jereng letakkan dua tangan di atas lutut.
Seolah Hantu Balak Anam tidak ada lagi di situ orang tua ini mulai bersamadi.
“Tua
bangka sialan! Sebetulnya aku tidak suka padamu! Kalau tidak ingin
menyelamatkan dunia persilatan di pulau ini tak akan aku datang ke sini!” Hantu
Balak Anam memaki dalam hati diperlakukan seperti itu. Dengan cepat dia
membalikkan badan lalu tinggalkan goa.
Hanya
sesaat setelah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung meninggalkan tempat itu, Sutan
Alam Rajo Di Bumi buka ke dua matanya yang jereng. Di mulutnya terkulum
seringai buruk lalu sambil melompat bangkit dari mulutnya keluar suara tawa
bergelak. Dia melangkah ke mulut goa. Bayangan Hantu Balak Anam tak kelihatan
lagi. Orang tua berjubah hijau ini palingkan kepala ke belakang lalu berkata
dengan suara lantang.
“Sutan
Alam Rajo Di Bumi! Aku sudah jalankan tugas sesuai perintahmu!”
Belum
lenyap suara gema ucapan si kakek tiba-tiba di sebelah dalam terdengar suara
berke-reketan. Salah satu dinding goa tampak bergeser. Lalu dari balik dinding
yang terbuka secara aneh itu muncul sesosok tubuh tinggi besar mengenakan
destar serta jubah putih menjela lantai batu.
******************
ENAM
Hantu
Balak Anam berlari kencang menuruni lereng Singgalang di bawah hujan yang masih
mencurah lebat. Di satu tempat orang ini hentikan larinya dan tegak bersandar
ke sebatang pohon besar.
“Aneh….
Mengapa tubuhku mendadak terasa letih, padahal aku berlari belum berapa jauh.
Dadaku sesak, jantung berdebar keras. Peredaran darah dalam tubuhku sepertinya
tidak beres. Aku….” Hantu Balak Anam terbatuk-batuk beberapa kali. Dia merasa
ngeri sendiri mendengar suara batuknya. “Apa yang terjadi dengan diriku?”
Diusapnya wajahnya. Dirabanya lehernya. Terasa panas. Lalu dia batuk-batuk
lagi. Kemudian dirasakannya ada hawa panas seolah membakar perut dan dadanya.
Kepalanya berat seperti mau pecah. Ke dua telapak tangannya dibentangkan.
Terkejutlah Hantu Balak Anam ketika melihat bagaimana telapak tangannya kiri
kanan telah berubah warna menjadi kebiruan.
“Aku
termakan racun…” desis Hantu Balak Anam. Lalu mulutnya dibuka lebar tak kuat
menahan batuk. Namun sekali ini dia batuk lagi, ada darah ikut menyembur keluar
dari mulutnya. “Jahanam! Ada orang meracuniku! Pasti orang tua di puncak
Singgalang Ku! Sutan Alam keparat! Berani kau berlaku culas dan keji! Aku
bersumpah membunuhmu!”
Dengan
dua jari tangan kanannya Hantu Balak Anam menotok tubuhnya di arah lambung,
pusar, dada dan pangkal leher. Lalu dia mengeluarkan beberapa butir obat
berbentuk bulat yang segera ditelannya. Ketika kepalanya terasa lebih enteng
dan debaran jantungnya mengendur dengan cepat dia tinggalkan tempat itu, naik
kembali menuju puncak Gunung Singgalang.
“Sutan
Alam keparatl Serahkan nyawamu padaku!” teriak Hantu Balak Anam begitu dia
sampai di depan goa. Kaki kanannya ditendangkan. Pinggiran batu mulut goa
hancur berentakan. Hantu Balak Anam lalu berkelebat masuk ke dalam.
Langkah
Hantu Balak Anam tertahan ketika dia melihat di hadapannya berdiri sosok tubuh
tinggi besar seorang tua berjubah dan berdestar putih. Dia tidak kenal orang
ini dan dia tidak perduli. Langsung saja Hantu Balak Anam membentak.
“Mana
dia?!” Sepasang matanya memandang berputar. Rambutnya yang seperti ijuk dan
basah kuyup seperti mau berjingkrak dan alisnya yang aneh panjang mencuat pada
ke dua ujungnya.
Orang tua
di hadapan Hantu Balak Anam memperhatikan Hantu Balak Anam dengan tenang lalu
menegur.
“Kau
memasuki goaku tanpa memberi salam. Begitu masuk langsung membentak. Siapa yang
kau cari dan siapa dirimu sendiri?!”
Hantu
Balak Anam menindih rasa amarahnya sementara dadanya kembali mendenyut sakit.
Sepasang bola matanya memandang sekeliling goa.
“Kau
seperti mencari sesuatu. Apa ada binatang peliharaanmu yang tengah kau kejar
dan kesasar ke tempatku ini?!”
Hantu
Balak Anam tak dapat lagi menahan amarahnya. “Binatang itu bernama Sutan Alam
Rajo Oi Bumii Tua bangka berjubah hijau yang telah meracun diriku dengan air kelapa!”
Hantu Balak Anam memandang ke arah batu berbentuk kursi. Tadi sebelum pergi di
atas batu Ku terletak dua buah kelapa dalam keadaan terbelah. Tapi saat Hu
benda Ku tak tampak lagi.
“Aneh
sekali ucapanmu sampai di telingaku! Aku adalah Sutan Alam Rajo Oi Bumi! Aku
tidak mengenali dirimu, apakah kau mengenali diriku?!” Orang berjubah putih
ajukan pertanyaan.
“Jahanam!
Apa artinya semua ini!! Belum lama aku meninggalkan tempat ini! Di sini aku
menemui seorang kakek berjubah hijau mengaku bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi!
Kami bicara panjang lebar mengenai dunia persilatan. Dia menjamuku dengan air
kelapa yang diberi racun! Sekarang dia tidak ada lagi di sini. Dan kau mengaku
Sutan Rajo Di Bumi! Sandiwara apa yang ada di dalam goa celaka ini?!”
“Sobat,
agaknya hawa amarah mempengaruhi dirimu. Harap kau suka bersikap tenang dan
terangkan apa yang terjadi. Kalau kau memang mencari Sutan Alam Rajo Di Bumi
maka akulah orangnya!”
“Lalu
siapa tua bangka berjubah dan berdestar hijau yang mengaku bernama Sutan Alam Rajo
Di Bumi yang kutemui di tempat ini?!”
“Sobatku,
selama puluhan tahun aku tinggal seorang diri di tempat ini. Jika kau tidak
percaya silahkan kau memeriksa keadaan goa ini….”
“Aku
memang tidak percaya!” tukas Hantu Balak Anam. Matanya memandang liar kian
kemari lalu kembali pada orang tua di hadapannya. “Dengar, jika kau tidak
menjelaskan dan berusaha menyembunyikan sesuatu aku akan membunuhmu saat ini
juga!”
“Malaikat
maut datangnya memang tidak terduga,” kata orang tua tinggi besar yang mengaku
bernama Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil sungging ka n seringai mengejek. “Tapi
jika kau muncul dan berkata hendak membunuhku, ini adalah satu keanehan yang
sangat mahal harganya!”
“Aku
yakin ada hal yang tidak beres di tempat ini! Seseorang mengaku bernama Sutan Alam
Rajo Di Bumi telah meracuniku! Kini kau sendiri juga mengaku bernama Sutan Alam
Di Bumi! Dari pada susah-susah mengusut perkara biar kau yang aku bunuh lebih
dulu!”
Habis
berkata begitu Hantu Balak Anam menyergap orang berjubah putih dengan satu
pukulan keras ke arah kepala. Yang diserang tentu saja tidak tinggal diam.
Sambil membuat gerakan mengelak dia angkat tangan kirinya menepis hantaman
lawan.
“Bukkk!”
Dua
lengan yang sama-sama terlindung di balik jubah saling beradu keras. Ke dua
orang itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Kakek berjubah putih, terpental
sampai dua langkah sedang Hantu Salak Anam mencelat dan tersandar ke dinding
goa!
Dari
akibat bentrokan itu Hantu Balak Anam segera maklum kalau lawan memiliki
kekuatan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin ini akibat pengaruh luka dalam
racun yang menciderai dirinya.
“Kalau
kuserang lagi dan terjadi bentrokan luka dalamku bisa tambah parah!” membatin
Hantu Balak Anam. “Lebih baik kuhantam dengan ilmu andalanku!” Walau agak susah
payah namun Hantu Balak Anam masih sanggup menghimpun hampir tiga perempat
tenaga dalamnya yang segera dialirkan ke kepala.
Di
sebelah depan orang tua berjubah putih melihat kulit muka Hantu Balak Anam
semakin menghitam dan kepalanya seolah bertambah sampai empat kali lebih besar.
Dua belas lobang yang ada di wajahnya tampak mengeluarkan cahaya aneh
berkilauan. Tiba-tiba dari lobang-lobang itu melesat dua belas larikan sinar
hitam panas luar biasa, menderu ke arah dua belas bagian tubuh si jubah putih!
“Dua
belas jalur kematian!” teriak si jubah putih penuh kaget begitu mengenali ilmu
kesaktian apa yang tengah menyerangnya!
Serta
merta orang tua ini lesatkan tubuh ke atas hingga punggungnya menempel rata di
langit-langit goa. Dari mulutnya keluar bentakan garang. Sepasang matanya
mendadak menjadi merah. Lalu tiba-tiba sekali dari dua bola matanya mencuat
keluar dua larik sinar merah dan laksana kilat menghantam ke arah Hantu Balak Anam!
Kejut
Hantu Balak Anam bukan olah-olah ketika dia mengenali ilmu kesaktian lawan yang
dipergunakan untuk menyerangnya. “Sepasang Api Neraka! Astaga jadi kau benar
Sutan Alam Rajo Di Bumi! Tahan!” seru Hantu Balak Anam seraya menyingkir dengan
muka pucat.
Namun
terlambat.
Salah
satu dari dua sinar merah itu menghantam tubuhnya di bagian bawah bahu sebelah
kanan.
“Craaasss!”
Hantu
Balak Anam menjerit keras. Bukan oleh rasa sakit akibat hantaman serangan lawan
saja tapi juga oleh rasa ngeri ketika melihat bagaimana dada kanannya kini
telah geroak membentuk sebuah satu lobang besar mengerikan! Jubah hitamnya di
sekeliling lobang mengerikan itu tampak hangus dikobari api.
Terhuyung-huyung
Hantu Balak Anam bersurut ke pintu goa. Darah mengucur dari bofongan luka di
dada kanannya. Hantu Balak Anam menyadari dalam keadaan seperti itu terlalu
berbahaya baginya untuk meneruskan perkelahian. Sambil kertakkan rahang menahan
sakit dia berkata. “Orang tua berjubah putih! Siapapun kau adanya jangan
mengira urusan sudah selesai sampai di sini. Aku akan datang lagi mencari dan
mengorek nyawa busukmu!”
Orang tua
berjubah putih yang saat itu masih menempel di atas langit-langit goa keluarkan
tawa mengekeh.
“Hantu
Balak Anam. tubuh kasarmu boleh pergi dari sini! Tapi tinggalkan dulu nyawamu!”
Habis berkata begitu dua bola mata orang tua ini kembali berubah menjadi merah.
Lalu dua larik sinar sakti Sepasang Api Neraka kembali mencuat menghantam ke
arah Hantu Balak Anam Dari Sijunjung. Namun orang yang diserang sudah lebih dulu
berkelebat pergi. Dua larik sinar merah menghantam lantai dan dinding goa. Goa
batu itu menggelegar keras. Pecahan batu dan debu bertaburan di udara.
“Kurang
ajar! Dia melarikan diri!” merutuk si jubah putih. Lalu perlahan-lahan dia
melayang turun dari langit-langit goa. Begitu ke dua kakinya menjejak lantai
batu kagetlah dia ketika melihat ada tiga buah lobang hitam di jubah putihnya.
Ternyata tiga dari dua belas jalur serangan maut Hantu Balak Anam sempat
menghantam tubuhnya. Yang pertama pada bagian jubah sebelah bawah yang hanya
menghanguskan ke dua pada bagian lengan tangan sebelah kanan yang juga tidak
membawa Cidera. Namun hantaman yang ketiga sempat menyerempet pinggulnya. Orang
tua ini cepat robek jubahnya di bagian pinggul dan parasnya berubah ketika
melihat bagaimana daging pinggulnya sebelah kanan luka besar dan membengkak
berwarna merah kebiruan. Cepat dia membuat tiga totokan di sekitar luka. Lalu
dengan terpineang-pincang dia masuk ke bagian dalam goa. Dari sebuah legukan
batu diambilnya satu kendi kecil terbuat dari perak. Sejenis cairan yang ada
dalam kendi perak ini lalu diguyurkannya pada luka besar di pinggul. “Wusss!”
Cairan
itu seperti menyiram satu benda panas hingga mengeluarkan suara berdengus dan
mengepulkan asap. Si orang tua sampai keluarkan keringat dingin menahan sakit.
Kendi perak yang telah kosong terlepas jatuh dari tangannya. Tubuhnya
disandarkannya ke dinding goa. Ketika dia memandang ke dinding goa di sebelah
depannya tampangnya berubah garang. Dari mulutnya keluar teriakan keras,
“Datuk
Mangkuto Kamangl Lekas keluar dari balik dinding!”
Belum
lagi lenyap gema suara orang tua berjubah putih, dari arah depan terdengar
suara berdesir disusul suara berkereketan. Dinding batu di hadapan orang tua
ftu secara aneh bergeser ke kiri membentuk sebuah pintu di sudut kanan. Dari
pintu ini keluarlah orang tua berjubah dan berdestar hijau. Mukanya yang cekung
tampak agak pucat. Dia melangkah ke hadapan si jubah putih sementara dinding
batu di belakangnya kembali bergeser menutup.
“Datuk Mangkuto,
kau sadar bahwa kau telah melakukan satu kesalahan besar?!”
“Saya
menyadari Sutan Alam Rajo Di Bumi,” jawab si jubah hijau pada orang tua
berjubah putih yang sebelumnya menyamar menjadi Sutan Alam Rajo Di Bumi. Sedang
orang tua berjubah putih sendiri adalah Sutan Alam Rajo Di Bumi yang asli.
“Berapa
bagian racun dalam bungkusan kertas yang kau berikan pada Hantu Balak Anam Dari
Sijunjung? Yang membuatnya tidak segera menemui kematian, malah sanggup kembali
ke sini dan hendak membunuhku!”
“Saya
hanya memberikan setengah dari isi bungkusan, Sutan….”
“Itu
kesalahan besarmu! Kau tahu Hantu Balak Anam bukan orang sembarangan. Setengah
bungkus racun tidak akan membuatnya menemui ke-matian! Bukankah aku
memerintahkan padamu agar mempergunakan seluruh racun yang ada?!”
“Saya
mengaku salah Sutan. Tapi mengingat racun kala putih itu sulit dicari, mahal
harganya dan lagi pula masih ada dua korban lain yang harus dibunuh dengan
racun itu, maka saya hanya menaruhkan setengah….”
“Plaakkk!”
Satu
tamparan mendarat di pipi Datuk Mangkuto Kamang, Kepalanya laksana dipuntir.
Bibirnya pecah dan mengucurkan darah. Destar hijau yang kebesaran di kepalanya
tercampak ke lantai goa.
“Sutan,
saya sudah mengaku salah. Mengapa kau masih menjatuhkan tangan keras?!”
“Kau
berani meradang!” Kau ingin satu tamparan lagi di muka burukmu Mangkuto?!”
bentak Sutan Alam Rajo Di Langit.
“Sutan,
saya tidak dapat menerima perlakuan ini! Mulai saat ini saya keluar sebagai
anggota komplotan kejimu!”
Mendengar
kata-kata Datuk Mangkuto Kamang itu tampang gagah Sutan Alam Rajo Di Bumi
menjadi berubah merah. Lalu dia tertawa bergelak.
“Jika itu
maumu kau boleh pergi Mangkuto. Selamat jalan!” kata Sutan Alam Rajo Di Bumi
pula seperti tak acuh.
Tanpa
menunggu lebih lama Datuk Mangkuto Kamang segera melangkah ke pintu. Namun
sebelum dia sempat keluar dari dalam goa, di sebelah belakang sepasang bola
mata Sutan Alam Rajo Di Bumi berubah menjadi merah. Lalu “wuss…. Wusss!” Dua
larik sinar merah ilmu sakti Sepasang Api Neraka melesat. Datuk Mangkuto masih
sempat berpaling dan berusaha selamatkan diri ketika melihat ada dua larik
Cahaya merah menyambar ke arahnya. Namun terlambat. Dua larik sinar merah
menghantam tubuhnya, membuat dia mencelat dan terhempas jatuh dua langkah di
depan mulut goa. Sebuah lobang mengerikan yang mengepulkan asap terlihat di
batok kepalanya. Satu lobang lagi membentang di punggungnya!
******************
TUJUH
Pertemuan
dengan Anggini membuat Wiro merasa gembira. Bukan saja dia mendapat kawan seiring
seperjalanan sambil mengobrol, tapi dia juga merasa mendapat pelindung jika
terjadi apa-apa dengan dirinya dalam keadaan seperti itu. Sikap dan cara bicara
Anggini jauh berbeda dari masa lalu. Tampaknya gadis ini telah matang oleh
pengalaman. Selama perjalanan dia sama sekali tidak menyinggung masalah atau
rencana gurunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan murid Sinto Gendeng itu.
“Walau
menurutmu guruku meninggalkan Pengandaran bersama kekasihnya di masa muda,
namun sebagai murid aku tetap merasa was-was. Apa lagi mengingat belakangan ini
dikabarkan terjadi saling bunuh antara para tokoh silat sesama golongan putih.
Semua kejadian itu dikaitkan pula dengan munculnya komplotan orang-orang aneh
yang bermarkas di Lembah Akhirat…”
“Aku juga
bertanya-tanya siapa adanya manusia yang disebut dengan panggilan Datuk Lembah
Akhirat itu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup niscaya aku menduga sang
Datuk adalah si Pangeran keparat itu! Agaknya rimba persilatan tidak pernah
lepas dari manusia-manusia jahat berwatak aneh,” kata Wiro sambil melirik pada
gadis berpakaian serba ungu di sampingnya itu.
Saat yang
sama Anggini mengerling pula pada si pemuda hingga pandangan mereka saling
bertemu. Paras sang dara tampak bersemu merah sementara murid Sinto Gendeng tersenyum
sambil garuk-garuk kepala.
“Anggini,
apakah kau berniat hendak menyelidik ke Lembah Akhirat?” Wiro ajukan
pertanyaan-Lalu pemuda ini menguap lebar-lebar.
“Rencana
memang ada. Tapi aku harus tahu dulu di mana guruku Dewa Tuak berada. Sekaligus
memastikan bahwa dia tidak tersangkut dengan orang-orang Lembah Akhirat….”
Saat itu
hari memasuki petang. Mereka sampai di satu pedataran aneh. Di ujung timur
pedataran terdapat legukan menyerupai lembah batu cadas dikelilingi pohon-pohon
besar. Di bawah pepohonan bertumbuhan bunga-bunga hutan yang sedang berkembang
membentuk satu. pemandangan yang indah. Di salah satu sisi bebatuan cadas
tampak air mengucur jernih.
“Indah
sekali pemandangan di bawah sana. Ada bunga, ada air. Pasti sejuk. Aku ingin
membasahi tenggorokan dan membersihkan diri. Aku ingin ke bawah sana…” kata
Anggini.
Wiro
memandang ke langit. “Jangan lama-lama, sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Kau pergilah ke bawah sana. Aku menunggu di sini saja….”
“Apakah
tidak terlalu jauh kau menunggu di sini?”
“Kurasa
tidak. Kalau terlalu dekat nanti kau salah tingkah seandainya mau membersihkan
diri buka baju segala….”
“Ah,
penyakit lamamu usil mulut rupanya belum hilang!” kata Anggini. Lalu gadis ini
cepat tinggalkan tempat itu.
Wiro
duduk bersandar di bawah sebatang pohon. Beberapa kali dia menguap. Belum lagi
Anggini sampai di lembah batu cadas murid Sinto Gendeng ini sudah mendengkur!
Di lembah
Anggini membasahi wajah, kaki dan tangannya dengan air sejuk yang mengucur
jatuh di antara batu-batu cadas. Setelah meneguk air jernih itu sepuasnya dia
duduk berjuntai di atas sebuah batu. Ke dua kaki celananya digulung ke atas
lalu seperti anak kecil sambil bernyanyi-nyanyi kecil murid Dewa Tuak ini
permainkan air dengan ke dua kakinya. Sementara kakinya mempermainkan air
Anggini basahi tangannya lalu diusapkan ke balik dada pakaiannya. Saat itulah
dia menyadari kalau dia1 tidak sendirian di tempat itu. Ada seorang lain tak
jauh dari situ. Orang ini mendekam di atas salah satu pohon besar yang
mengelilingi lembah cadas. Mula-mula si gadis menyangka orang itu adalah
Pendekar 212. Namun ketika diliriknya dengan sudut mata ternyata bukan.
“Pengintip
lancang di atas pohon! Lekas turun kalau tidak mau mati!” Anggini berteriak.
Orang di
atas pohon tak menjawab. Bergerak pun tidak.
“Bagus!
Jadi kau memilih mati dari pada turun!” Tangan kanan si gadis bergerak ke
pinggang. Lalu “wuttt!” Terdengar suara menderu. Tiga buah benda berupa paku
perak melesat di udara. Menyambar ke arah pohon besar di mana orang yang
mengintip berada. Anggini menunggu suara orang itu terpekik ditembus paku perak
yang menjadi senjata rahasia andalannya. Tapi itu tak terjadi. Ketika dia
memandang ke arah pohon, orang yang tadi mendekam di salah satu cabang tak
kelihatan lagi. Dua dari tiga paku perak yang dilemparkan Anggini menancap di
batang dah cabang yang melintang.
“Aneh,
tak terdengar suara gerakan. Pohon sama sekali tidak bergoyang! Gerakan orang
itu cepat sekali. Jangan-jangan bukan manusia tapi monyet atau orang hutan.
Lalu ke mana kaburnya makhluk sialan itu?!” pikir Anggini. Pandangannya diputar
berkeliling ke arah pohon-pohon besar sekitar lembah batu cadas.
Tiba-tiba
dia mendengar suara bergemerisik di pohon sebelah kanan. Ketika diperhatikan
suara gemerisik itu berpindah pada pohon berikutnya. Lalu pindah lagi ke pohon
terdekat.
“Wuttt!”
Ada
sambaran angin di belakangnya. Begitu Anggini berpaling tahu-tahu di hadapannya
telah tegak seorang pemuda berwajah keren, berpakaian bagus berwarna hijau. Di
pinggangnya tergantung sebilah pedang sedang di telinga kanannya ada sebuah
anting terbuat dari emas.
“Kau yang
barusan mengintip orang mandi?!” bentak Anggini marah sekali.
“Jangan
salah paham. Aku tidak mengintip…” si pemuda agak tergagau dibentak begitu
rupa.
“Lalu
mengapa berada di atas pohon?!”
“Dengar,
sebelum kau datang ke tempat ini aku sudah lebih dulu berada di pohon itu…”
“Berarti
pekerjaanmu memang sengaja menunggu orang datang lalu mengintainya waktu
mandi….”
Si pemuda
tertawa lebar. “Namaku Panji, siapa namamu….”
“Pemuda
kurang ajari Siapa tanyakan namamu?!” sentak Anggini.
“Ah, aku
merasa tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar. Malah kau yang sejak tadi
membentak-bentakku!”
“Kesabaranku
ada batasnya. Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Tidak
bisa! Aku mau mandi di sini!” jawab pemuda berbaju hijau yang adalah putera
Raja Pulau Sipatoka yang juga dikenal dengan nama Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Kau saja
yang pergi!” Lalu enak saja pemuda itu membuka baju hijaunya hingga tampak
dadanya yang bidang penuh otot dan ditumbuhi bulu lebat.
Anggini
terbeliak, wajahnya merah sekali dan ke dua kakinya menyurut ke belakang.
“Kau
memang pemuda kurang ajar! Biar aku beri sedikit pelajaran bersopan santun!”
Lalu hampir tak kelihatan tangan kanan gadis itu bergerak menampar
ke arah
pipi kiri si pemuda.
“Rontok
gigimu!” kata Anggini. Tapi “wutttt!” Tamparan yang dipastikannya akan mendarat
keras di muka si pemuda ternyata hanya mengenai angin. Malah saking kerasnya
dia membuat gerakan menampar tubuhnya terputar setengah lingkaran. Kaki
kanannya terpeleset dari atas batu yang dipijaknya. Belum sempat dia
mengimbangi diri tahu-tahu tu-buhnya telah jatuh dan masuk ke dalam air
setinggi dada!.
Pemuda
berbaju hijau tampak terkejut sekali.
Dia
ulurkan tangan berusaha hendak menolong Tapi Anggini justru mencekal lengannya
lalu membetotnya kuat-kuat. Tak ampun lagi pemuda itu ikut jatuh masuk ke dalam
air. Si pemuda ternyata tak mau dilemparkan orang ke dalam air begitu saja.
Ketika tubuhnya melayang di atas kepala Anggini, tangannya yang dicekal membuat
gerakan berputar hingga kini dia juga mencekal lengan si gadis. Akibatnya ke
dua orang itu sama-sama jatuh ke dalam air saling tindih tubuh dan muka satu
sama lain. Si pemuda di sebelah bawah, Anggini menindih di sebelah atasi
Selagi Anggini
memaki panjang pendek dan pemuda bernama Panji batuk-batuk karena tertelan air,
di tepi lembah batu cadas terdengar orang tertawa gelak-gelak.
“Kalian
berdua sedang mandi bersama atau bergurau atau lagi apa?!”
Tanpa
menoleh Anggini sudah tahu kalau yang tertawa itu adalah Wiro Sableng.
Kemarahannya yang meluap ditumpahkannya pada Panji. Sambil melompat keluar dari
air kaki kanannya menendang ke arah dada si pemuda!
“Tahan!
Kenapa kau menyerangku!” teriak Panji seraya cepat-cepat menghindar dari tendangan
si gadis.
Lagi-lagi
serangan Anggini hanya mengenai tempat kosong, membuat murid Dewa Tuak ini jadi
tambah beringas. Padahal saat itu pakaiannya basah kuyup hingga bentuk tubuhnya
seolah tercetak di bawah pakaian yang basah itu!
Mula-mula
Panji memang tidak mau melawan. Dia membuat gerakan-gerakan kilat untuk
menghindar atau berkelit. Namun serangan si gadis datang bertubi-tubi. Di satu
saat ketika dia terdesak ke arah barisan batu-batu cadas setinggi punggung,
Anggini gerakkan tangan kanannya ke arah dada si pemuda. Dua jari menusuk
dengan deras ke arah jantung. Ini adalah totokan maut yang walau bisa dikelit
Panji akan tetap mencelakainya.
“Totokan
Seribu Lumpuh Seribu Ajal!” seru Wiro kaget ketika melihat jurus maut yang
dilancarkan murid Dewa Tuak itu. Tanpa sadar akan keadaan dirinya sendiri
Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat terjun ke dalam air. Dua tangannya
memegangi lengan Anggini dan dia sengaja bergantungan di tangan si gadis hingga
Anggini tak dapat meneruskan totokan mautnya.
“Apa-apaan
kau ini?!” bentak Anggini. “Jangan bergelayutan seperti monyet di tanganku!”
“Sabar
Anggini, jangan perturutkan amarahmu! Ayo naik ke atas sana!”
Saking
kesalnya Anggini hantamkan tangannya ke bawah. Akibatnya Wiro seperti
dihenyakkan dan kecebur masuk ke dalam air. Megap-megap dia keluar. Sambil
geleng-geleng kepala dia, menarik ujung baju ungu si gadis. Anggini tak dapat
berbuat lain dari pada mengikuti. Kalau dia melawan, pakaiannya yang tertarik
bisa robek di bagian dada sampai ke perut!
“Nah
duduk bagus-bagus di situ. Katakan apa yang terjadi!“ ujar Wiro sambil menyuruh
duduk Anggini di atas sebuah batu tapi sang dara tetap saja berdiri dan menatap
Wiro dengan mata berkilat-kilat.
“Kurasa
otakmu kejangkitan penyakit lama! Kau membantu orang yang sengaja mengintip aku
mandi!” kata Anggini setengah berteriak.
“Dia
salah sangka! Aku tidak berbuat serendah itu. Aku tidak mengintip…!” Panji
membela diri. Dia merancah air lalu naik ke atas batu-batu cadas tapi sengaja
menjaga jarak dengan Anggini karena khawatir gadis itu akan menyerangnya
kembali.
“Sobatku
beranting emas,” menegur Wiro Sableng. “Apa benar kau mengintipnya ketika
sedang mandi?”
Panji
menggeleng berkali-kali. “Istrimu itu salah sangka….”
“Pemuda
lancang! Enak saja kau bicara! Siapa bilang aku istrinya!” hardik Anggini
marah.
Wiro
tertawa lebar dan garuk-garuk kepala sementara Panji unjukkan wajah bingung.
“Harap
maafkan, aku tidak tahu kalau.». Sudahlah! Yang jelas dia salah sangka. Aku
sudah lama berada di atas pohon sana ketika dia datang ke lembah batu ini.
Lagipula dia tidak sedang mandi. Hanya mencuci muka dan duduk-duduk di atas
batu. Kalau dia mandi mana mungkin saat ini dia masih berpakaian seperti
itu.,..”
“Anggini,
kau dengar ucapan pemuda ini. Dia tidak mengintipmu….”
Anggini
palingkan wajah ke jurusan lain dan tampak merengut. “Mungkin saja dia tidak
mengintip, tapi mengapa tadi dia hendak membuka baju, hendak bertelanjang di
depanku?!”
Wiro jadi
melengak. “Saudara, apa ucapan gadis sahabatku ini benar?” tanya Wiro.
“Benar,
tapi tidak bermaksud bertelanjang. Aku hanya berniat membuka baju lalu mandi.
Mana mungkin aku berani melakukan hal segila itu! Sudahlah, kalau temanmu itu
merasa aku memang bersalah, aku minta maaf saja. Tapi aku tetap tidak mau
dituduh mengintip perempuan mandi!”
Wiro
angkat tangannya lalu berkata. “Kalau aku boleh bertanya, lalu apa yang kau
lakukan di atas pohon?!”
“Aku
dibesarkan di sekitar laut dan rimba belantara. Menyelam dan memanjat pohon
adalah kesukaanku….”
“Berartikalau
kau bukannya keturunan ikan buas pasti keturunan orang hutan!” sergah Anggini.
Mendengar
ucapan si gadis, Panji tidak marah malah tertawa lebar. “Sahabatku memang
monyet dan ikan! Kami sering berpacu cepat memanjat pohon dan menyelam ke dasar
laut!”
“Sahabat
beranting emas, kau belum mengatakan apa tujuanmu berada di atas pohon itu,”
Wiro mengingatkan.
“Terus
terang aku mencari dua sahabat. Karena hari sudah petang aku memilih duduk di
atas pohon sambil memperhatikan keadaan sekitar sini,” jawab Panji.
“Sahabat
yang kau tunggu itu lelaki atau perempuan?” tanya Wiro.
“Satu
perempuan satu lagi lelaki.”
“Apa
mereka punya nama?” tanya Wiro sambil senyum-senyum dan melirik pada Anggini.
“Yang
satu memang seorang gadis….”
“Jelas
bukan sahabatku ini, bukan?”
“Memang
bukan, tapi sahabatmu ini lebih cantik dari sahabatku itu!” jawab Panji polos
membuat Anggini kembali merengut.
“Siapa
nama sahabatmu itu?” tanya Wiro lagi.
Tak bisa
kukatakan padamu,” jawab Panji. Yang dimaksudkan pemuda ini seperti dituturkan
dalam Episode sebelumnya jelas adalah Puti Andini yang ditolongnya dari serbuan
anjing hutan ketika tergeletak di tengah jalan dalam keadaan pingsan akibat
ilmu yang diberikan nenek sakti Sika Sure Jelantik.
“Hemmm….
Lalu sahabatmu yang satu lagi siapa dia?”
“Seorang
kakek aneh tapi sakti, Namanya Wiro Sableng!”
Murid
Sinto Gendeng seperti hendak terlompat mendengar ucapan Panji, Anggini sendiri
palingkan kepala dan memandang terheran-heran pada pemuda beranting emas itu.
“Kau
yakin sahabatmu itu seorang kakek bernama Wiro Sableng?”
“Eh,
kenapa kau bertanya seolah tak percaya. Memang aku cuma bertemu satu kali
dengan dia. Tapi pertemuan itu membawa satu riwayat yang panjang….”
“Mengapa
kau mencarinya?” tanya Wiro pula.
“Dia
seorang sahabat baik walau usianya beberapa kali usiaku. Aku mencari karena dia
satu-satunya sahabat baikku di tanah Jawa ini. Waktu berada di pulau dia telah
menyelamatkan ayah dan ibuku dari racun jahat mematikan.”
“Sahabat,
coba kau jelaskan ciri-ciri kakek bernama Wiro Sableng itu,” ujar Wiro.
“Orangnya
agak bungkuk, tidak terlalu tinggi. Rambut panjang putih, kumis dan janggutnya
juga putih. Dia mengenakan pakaian putih. Matanya lebar sekali dan mukanya
sangat cekung seolah tak berdaging….”
“Tua Gila!
Pasti dia!” kata Wiro dalam hati. Dia berpaling pada Anggini, memberi isyarat
bahwa dia akan memberi tahu bahwa sebenarnya dialah orangnya yang bernama Wiro
Sablengi, Tapi Anggini menggelengkan kepala.
“Sahabatku,
kalau kau memang hendak mencari sahabatmu itu lebih baik melanjutkan perjalanan
dari pada mendekam di atas pohon….”
Sebenarnya
Panji ingin menanyakan siapa adanya Wiro dan teman gadisnya yang berpakaian
serba ungu itu. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik mengikuti nasihat si
pemuda yaitu melanjutkan perjalanan.
“Kalau
kita berpisah kuharap tak ada lagi salah sangka di antara kita,” kata Panji.
Pemuda ini lalu menjura pada Wiro dan Anggini. Ketika dia hendak bergerak pergi
tiba-tiba udara di sekitar lembah batu cadas itu dipenuhi oleh suitan-suitan
nyaring. Sesaat kemudian beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang
telah tegak di atas batu-batu cadas di empat jurusan.
******************
DELAPAN
Orang
pertama adalah kakek berwajah lancip mengenakan jubah hitam berbelang putih.
Yang membuat wajahnya jadi seram adalah sepasang matanya yang merah sangat
besar dan mencuat keluar seolah mau copot. Dia tegak menghadap ke arah lembah
batu di mana Panji, Wiro dan Anggini berada, namun kepalanya terus-terusan
mendongak ke langit seolah memandang sesuatu di atas sana.
Memperhatikan
kakek yang tidak dikenalnya ini Wiro berkata dalam hati. “Tua bangka aneh ini
mendongak terus-terusan. Mungkin takut mukanya diluruskan sepasang matanya yang
seperti ikan maskoki bisa jatuh menggelinding ke tanah!”
Orang ke
dua duduk berjongkok di atas batu cadas paling tinggi. Wajahnya tidak kelihatan
karena seperti sengaja disembunyikan di balik ke dua pahanya. Dua tangan berada
di samping dengan telapak dikembangkan menekan batu yang didudukinya. Orang ini
mengenakan celana panjang dan baju hitam tanpa lengan. Karena tubuhnya tak
bergerak sedikitpun tak dapat dipastikan apakah dia saat itu tengah tertidur
atau bagaimana.
Pendatang
ke tiga tegak dengan sikap keren. Kaki terkembang dan dua tangan berkacak
pinggang. Manusia ini memiliki kepala panjang tapi peang, berwajah hijau penuh
benjol-benjol seperti ditumbuhi bisul. Rambutnya yang keriting halus tersusun
tinggi ke atas seperti sarang tawon. Keanehan manusia ini masih ditambah dengan
sepotong tulang yang ditancapi di bibirnya sebelah bawah.
“Baru
sekali ini aku melihat makhluk seperti ini. Dedemit pun kalah seramnya!”
berucap murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu Wiro perhatikan telapak tangan
kanannya yang berwarna hijau. “Pasti kekuatan atau ilmu andalannya ada di
tangan kanan itu,” pikir Wiro.
Orang ke
empat adalah satu-satunya yang dikenali oleh Pendekar 212 yaitu bukan lain si
nenek bernama Sika Sure Jelantik. Seperti dituturkan dalam Episode pertama (Tua
Gila Dari Andalas) semasa berada di pulau Kerajaan Sipatoka dia telah menyamar
menjadi seorang dukun yang dikenal dengan panggilan Dukun Sakti Langit
Takambang. Kini karena dia muncul dalam bentuk aslinya maka Panji alias Datuk
Pangeran Rajo Mudo tidak bisa mengenalinya. Sebaliknya si nenek memandang pada
pemuda itu dengan mata berkilat-kilat. Dulu dia ingin menguasai kerajaan
Sipatoka dengan jalan meracuni ke dua orang tua Panji yaitu Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan dan permaisuri. Namun gagal berkat pertolongan Tua Gila yang
tersesat ke pulau Kerajaan itu. Kini melihat Panji berada di tempat itu,
kebencian Sika Sure Jelantik jadi berkobar. “Tak dapat ibu bapaknya, anaknya
pun tak jadi apa! Putera Mahkota keparat ini harus disingkirkan dari muka
bumi!” kata si nenek dalam hati penuh geram. Lalu dia melirik ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng. “Hemmm…. Pemuda keparat ini ada di sini pula! Dulu aku sudah
berniat membunuhnya! Namun saat itu ada gadis yang kusukai itu. Memandang
mukanya dan memenuhi permintaannya aku tidak jadi menghabisinya, tapi sekali
ini tanganku sudah gatal untuk merampas nyawanya!”
Habis
membatin begitu Sika Sure Jelantik memandang berkeliling pada tiga orang yang
datang bersamanya lalu berkata. “Kita berempat tidak satu golongan tapi punya
satu tujuan. Siapa yang hendak bicara dultian?!”
Kakek
berjubah hitam putih yang matanya mem-berojol keluar mendehem beberapa kali
seolah memberi isyarat bahwa dialah yang ingin bicara lebih dulu.
“Gadis
berpakaian ungu bernama Anggini! Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan. Karena
kalau nyawamu sudah minggat kau tak bakal bisa mendengar apa-apa lagi…!”
Anggini
yang berada di telaga dalam lembah batu terkejut sekali mendengar orang tua tak
dikenalnya itu menyebut namanya. Si gadis bertanya-tanya siapa adanya kakek
ini.
“Beberapa
waktu lalu di Pulau Andalas kau telah membunuh seorang bernama Datuk Mangkuto
Kamang tanpa sebab tanpa alasan. Seorang gadis sepertimu membunuh seorang tua,
sungguh satu perbuatan teramat keji. Apalagi kau dan sang Datuk sesama orang
satu golongan putih dalam rimba persilatan.” Ketika bicara sepasang mata si
kakek tampak bergerak bergoyang-goyang. Masih terus dengan kepala mendongak dia
lanjutkan ucapannya.
“Sehabis
membunuh kau melarikan diri ke tanah Jawa. Kau lupa betapa pun luasnya bumi
ini, dalam kejahatan dia akan menjadi sempit. Hari ini kau kutemui. Berarti
hari ini kau harus melepas nyawa membayar kematian Datuk Mangkuto Kamang. Aku
Datuk Gadang Mentari adalah kakak Datuk Mangkuto Kamang I”
Anggini
sampai ternganga mendengar apa yang barusan diucapkan orang tua mengaku bernama
Datuk Gadang Mentari itu, Sekilas dia berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng
dilihatnya tegak garuk-garuk kepala. Si gadis memandang kembali pada kakek
berjubah hitam putih itu lalu tertawa panjang.
“Orang
tua, aku tidak kenal dirimu. Aku juga tidak kenal saudaramu yang bernama Datuk
Mangkuto Kamang itu! Kau muncul dan menuduh aku membunuh adikmu! Apa kau tidak
keliru menjatuhkan tuduhan? Apa kau tidak terpesat kesasar ke tempat ini? Apa
kau tidak sedang mimpi dan mengigau sementara hari belum lagi malam!”
Sepasang
mata yang memberojol dari Datuk Gadang Mentari tampak bergoyang-goyang tanda
dia dilanda kemarahan. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan sebuah benda
berwarna ungu.
“Aku
bicara tidak sembarang bicara! Aku menuduh bukan tanpa bukti! Buka matamu
lebar-lebar. Benda apa yang aku lemparkan ke hadapanmu!”
Habis
berkata begitu sang Datuk lalu lemparkan benda yang dipegangnya ke hadapan
Anggini. Benda itu ternyata adalah sehelai selendang ungu yang salah satu
ujungnya ada tulisan 212. Terbelalaklah murid Dewa Tuak melihat selendang itu.
Bentuknya sangat sama dengan yang dimilikinya dan saat itu melingkar di leher.
Orang lain akan sulit membedakan ke dua selendang itu.
Sementara
Anggini hanya tertegak menganga Wiro melangkah lalu membungkuk mengambil
selendang ungu yang dilemparkan Datuk Gadang Mentari. Selendang itu
diperhatikannya sambil diusap-usap dengan jari tangan kiri lalu didekatkannya
ke hidung dan diciumnya.
“Pemuda
rambut gondrong bermuka pucat!” hardik Datuk Gadang Mentari. “Apa yang kau
lakukan?!”
“Hebat
juga tua bangka bermata brojol ini!” ujar Wiro dalam hati. “Dia mendongak dan
sama sekali tidak melihat ke arahku. Bagaimana bisa tahu kalau aku melakukan sesuatu?!”
“Menurutku
selendang ini memang sama dengan milik gadis ini. Tapi tidak serupa alias tidak
asli….”
“Aku
tidak minta pertimbanganmu!” kembali Datuk Gadang Mentari membentak.
Wiro
angkat bahu dan serahkan selendang ungu pada Anggini. Tapi tanpa memperhatikan
si gadis langsung saja mencampakkan selendang itu ke tanah.
“Apa yang
dikatakan pemuda ini benar! Selendang itu sama warna, sama bentuk dengan yang
kumiliki. Tapi tidak asli. Selendangku terbuat dari sutera asli, selendang yang
kau bawa terbuat dari sutera tiruan….”
“Selendang
sahabatku berbau harum. Selendangmu busuk bau tai ayam!” sambung Wiro pula.
Datuk
Gadang Mentari tertawa pendek. Dua bola matanya bergoyang keras. Dari hidungnya
terdengar suara mendengus. Lalu mulutnya semburkan ludah.
Hebatnya
ludah yang disemburkan itu tidak jatuh ke tanah seolah melesat dan lenyap di
udara.
“Orang
bersalah selalu mengingkari kesalahannya! Selendang itu ditemukan melingkar
menjirat leher adikku! Sementara tubuhnya hancur tak karuan! Apa kau masih
ingin mencari dalih?!”
“Perlu
apa aku mencari dalih! Aku tak pernah membunuh orang bernama Datuk Mangkuto
Kamang!” jawab Anggini ketus tapi tegas.
Tenggorokan
Datuk Gadang Mentari tampak bergerak cepat turun naik. Dua bola matanya kembali
bergerak-gerak. Kepalanya masih terus mendongak. Agaknya memang kepala ini tak
bisa diluruskan!
“Aku
punya seorang saksi yang mengetahui peristiwa pembunuhan itu dan melihat dengan
mata kepalanya sendiri bahwa memang kau yang membunuh adikku!”
“Katakan
siapa orangnya!” kata Anggini dengan suara keras.
“Aku tak
bisa memberi tahu karena dia bukan seorang tokoh sembarangan.”
“Berarti
semua ini adalah fitnah! Kau punya karangan! Katakan terus terang apa maksudmu
melakukan sandiwara keji ini?!” Sepasang mata Anggini membeliak dan suaranya
lantang membahana.
“Orang
yang menjadi saksi perbuatanmu itu bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang
tokoh di Gunung Singgalang!”
Kening
Anggini mengernyit. “Aku mengenal dua orang tokoh yang diam di gunung itu.
Seorang kakek buntung sakti bernama Nyanyuk Amber. Namun sejak lama dia
melenyapkan diri dari Gunung Singgalang. Orang satunya lagi adalah seorang
nenek berkepandaian tinggi bernama Sabai Nan Rancak. Dia….”
“Tidak,
tidak!” memotong Datuk Gadang Mentari. “Bukan mereka yang menyaksikan perbuatan
kejimu itu….”
“Berarti….”
“Sudahlah,
aku tak ingin bicara berpanjang lebar. Dosa dan kesalahanmu sudah jelas. Biar
kawan-kawanku yang lain punya kesempatan untuk bicara!” Datuk Gadang Mentari
berpaling ke arah Sika Sure Jelantik tapi kepalanya terus saja mendongak.
“Perempuan
tua sahabatku harap kau suka memberi tahu kedatanganmu pada calon-calon mayat
yang ada di tempat ini!”
“Calon-calon
mayat?!” Untuk pertama kalinya Panji membuka mulut. Dia memandang pada Wiro dan
Anggini lalu satu persatu pada empat orang yang ada di sekelilingnya. Tak satu
pun dari mereka yang dikenali pemuda ini. Maklum saja dia baru sekali ini
menginjakkan kaki di tanah Jawa. “Maksudmu kami bertiga ini yang kau sebut
sebagai calon-calon mayat? Kalian hendak membunuh kami?!”
Sika Sure
Jelantik tertawa panjang. “Putera Mahkota kerajaan pulau Sipatoka! Kau mewakili
ke dua orang tuamu menjadi tumbal kematian! Hik… hik… hik!”
Terkejutlah
Panji mendengar kata-kata si nenek. Matanya melotot tak berkesip menatap wajah
bulat keriput si nenek sementara rambutnya yang putih panjang riap-riapan
dihembus angin lembah. “Siapa sebenarnya perempuan tua ini…?” pikir Panji.
Matanya turun ke bawah memperhatikan jubah hitam yang melekat di tubuh si nenek
lalu pandangannya membentur tangan kiri kanan Sika Sure Jelantik. Sepuluh kuku
jari si nenek dilihatnya berwarna hitam dan panjang-panjang. Pemuda ini mencoba
mengingat-ingat. “
“Wajahnya
tidak sama. Tapi pakaian dan bentuk jarinya tak ada beda. Lalu suaranya. Aku
mengenali betul. Tak mungkin salah! Jangan-jangan….”
******************
SEMBILAN
Nenek
bermuka bulat dan ada tahi lalat di dagu kirinya itu kembali mengumbar tawa
panjang. Sementara Wiro dan Anggini memandang pada Panji terheran-heran karena
barusan disebut sebagai Putera Mahkota oleh si nenek.
"Anak
muda calon mayat! Aku adalah Sika Sure Jelantik yang dulu kau kenal sebagai
Dukun Sakti Langit Takambang!”
“Kau!”
seru Panji dengan lidah tercekat tapi wajah langsung merah seperti saga! Dan
darah amarah menggelegak!
“Hik…
hik! Kau adalah calon mayat pertama di tempat ini!” hardik si nenek.
Wiro
berpaling pada Anggini dan berbisik. “Agaknya siapa calon mayat ke dua di
antara kita…?”
“Aku
belum mau mati!” jawab Anggini tanpa berpaling pada Wiro.
“Ah,
nasibku jelek. Dalam keadaan seperti ini agaknya aku memang ditakdirkan jadi
calon mayat ke dua. Lebih dulu menemui ajal darimu!” keluh Wiro sambil
garuk-garuk kepala. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan air muka sedih
apalagi takut.
Murid
Dewa Tuak terkejut mendengar ucapan Pendekar 212 dan baru teringat akan keadaan
Wiro. Walau pemuda ini masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212, mengenakan jubah
sakti Kencono Geni dan dibekali Si Raja Penidur dengan ilmu tidur, namun tetap
saja si gadis merasa khawatir. Dia berbisik. “Jangan jauh-jauh dariku Wiro.
Kalau ada apa-apa aku sulit membantumu…” kata Anggini cepat.
Wiro
anggukkan kepala dan diam-diam merasa terharu gadis itu memperhatikan
keselamatannya.
“Dukun
tua keparat! Dulu kau melarikan diri dari pulau. Apa sekarang kau kira bisa
lolos dari tanganku? Biaraku yang muda mewakili kedua orang tuaku memuntir
putus kepalamu!”
Sika Sure
Jelantik tertawa bergelak. “Umur hanya beberapa kali usia jagung! Tubuh masih
bau pesing! Ilmu dan pengalaman hanya sejengkal dalamnya comberan busuk!
Sombong amat bicara hendak memuntir putus kepalaku!”
“Siapa
lagi yang hendak bicara?!” Tiba-tiba Datuk Gadang Mentari buka suara. Dia masih
terus mendongak ke langit dan sepasang matanya yang menjorok keluar
bergerak-gerak liar.
“Tunggu!
Aku masih belum habis bicara!” berteriak Sika Sure Jelantik.
Tenggorokan
Datuk Gadang Mentari bergerak turun naik. Bola matanya yang memberojol
bergoyang beberapa kali.
“Kaii!”
tiba-tiba Sika Sure Jelantik menghardik dan menuding dengan jari telunjuk
tangan kirinya yang berkuku panjang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid
Sinto Gendeng mengambil sikap diam menunggu. “Terakhir kali nyawamu selamat
karena gadis cantik berlesung pipit kekasihmu itu menolongmu! Kali ini jangan
harap kau bisa selamat dari kematian!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia melirik pada Anggini dan melihat bagaimana paras gadis
ini berubah begitu mendengar si nenek menyebut gadis lesung pipit yang jadi
kekasihnya. “Gara-gara mulut lancang nenek sialan ini, apa kini yang ada dalam
benak serta hati Anggini…?” membatin Wiro.
“Pendekar
212, apakah saat ini kamu masih belum mau memberi tahu di mana adanya kakek
keparat Tua Gila?!”
“Bukankah
tempo hari sudah kubilang di mana dia berada?!” ujar Wiro sambil cengar-cengir.
Di
sampingnya Anggini yang tiba-tiba jadi kacau pikiran mendengar kata-kata si
nenek tadi, bagaimanapun juga tetap tidak ingin melihat Wiro celaka. Maka dia
cepat berbisik. “Wiro, jangan berlaku gegabah. Nenek satu ini memiliki
kepandaian tinggi….”
Sepasang
mata Sika Sure Jelantik mendelik. “Kapan kau memberitahu! Di mana?!”
“Kau
sudah tua, tak salah kalau cepat pelupa. Bukankah waktu itu kuberitahu padamu
bahwa Tua Gila berada di satu kali kecil? Sedang membuang hajat besar alias
berak?! Sampai saat ini kurasa dia masih ada di sana. Memang mengherankan.
Buang hajat besar saja sampai berminggu-minggu….” Wiro tertawa gelak-gelak.
Anggini menggigit bibir melihat. Wiro abaikan nasihatnya. Datuk Gadang Mentari
keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. Orang bermuka hijau yang
rambutnya seperti sarang tawon keluarkan suara gemeretak dari rahangnya yang
dikatupkan kencang-kencang. Sementara itu terdengar suara tertawa cekikikan
tertahan. Yang tertawa ternyata adalah yang duduk dengan menyembunyikan mukanya
di atas batu cadas paling tinggi.
Amarah
Sika Sure Jelantik menggemuruh. Didahului satu teriakan keras dia siap melompat
ke hadapan Wiro. Namun dengan cepat Datuk Gadang Mentari rentangkan tangan
kirinya ke samping. “Wuuttt!” Selarik angin menyambar di depan Sika Sure
Jelantik membuat gerakan si nenek tertahan.
“Datuk
Gadang! Jangan kau berani menghadang diriku!” teriak Sika Sure Jelantik marah.
“Tenang
dan sabar sedikit Sika. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan bertindak
sendiri-sendiri sebelum semua dari kita bicara?!”
Si nenek
saking geramnya bantingkan kaki kirinya. “Kraakkk!” Batu yang dipijaknya retak
lalu terbelah dua. Sebelum batu roboh dia telah melompat ke batu lain di
sebelahnya.
“Giliran
siapa sekarang yang bicara?!” Datuk Gadang Mentari bertanya. Kepala masih
mendongak dan sepasang mata terus bergerak-gerak.
Lelaki
bermuka hijau letakkan tangan kirinya di atas dada lalu batuk-batuk beberapa
kali. Sebelum membuka mulut dia terlebih dulu memandang dengan garang pada
Wiro, Anggini dan Panji.
“Aku
Pengiring Mayat Muka Hijau! Wakil Datuk Lembah Akhirat! Aku diutus untuk
menjadi saksi pemusnahan orang-orang golongan putih yang melakukan kekejian
dalam rimba persilatan! Bilamana orang-orang golongan putih tidak bisa
diperbaiki maka aku membawa amanat untuk menyingkirkan mereka!”
Wiro
pencongkan mulutnya. “Hebat benar tugas manusia ular keket ini!” katanya dalam
hati.
Setelah
mengusap bibirnya yang ditancapi tulang kecil, Pengiring Mayat Muka Hijau
menatap ke arah Wiro lalu berkata. “Jika kau benar orang yang dijuluki Pendekar
212, seperti yang dituntut oleh sobatku Sika Sure Jelantik, aku ingin
menanyakan di mana adanya gurumu si Tua Gila itu?”
“Hemm….
Apa kau punya keperluan sama dengan nenek itu?” tanya Wiro seenaknya.
Pengiring
Mayat Muka Hijau menyeringai. “Gurumu si Tua Gila itu telah membunuh seorang
tokoh golongan putih di pulau Andalas. Korbannya adalah Magek Bagak Baculo Duo!
Dosa besar ini harus dipertanggung jawabkannyal Kalau kau tidak memberitahu di
mana dia berada maka aku akan mewakili dunia persilatan untuk menghabisimu saat
ini juga. Tapi mengingat nama besarmu aku bisa memberi pengampunan dengan satu
syarat…”
“Asyik
juga! Apa syaratmu manusia muka hijau berambut sarang tawon?!” bertanya
Pendekar 212 yang kembali membuat Anggini jadi panas dingin.
“Kau ikut
dengan aku ke Lembah Akhirat dan menyatakan tunduk pada Datuk Lembah Akhirat
masuk menjadi anggota kami!”
“Hemmm….
Coba aku pikirkah dulu!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Sebelum aku
memberi keputusan mau ikut denganmu atau tidak, apa boleh aku bertanya? Yang
namanya Lembah Akhirat itu pasti letaknya di akhirat ya? Walah, perjalanan ke
sana pasti jauh sekali. Apa orang harus terbang menuju ke sana atau ada
tangganya naik ke langit sana atau bagaimana ya…?” Wiro tutup ucapannya dengan
tawa bergelak.
Orang
yang duduk menutupi mukanya di atas cadas tinggi ikut-ikutan tertawa. Murid
Sinto Geri-deng mempermainkan Pengiring Mayat Muka Hijau tidak hanya sampai di
sana. Mulutnya kembali me-nyeletuk. “Manusia muka ular keketl Kau tahu Tua Gila
sejak lama berada di tanah Jawa ini, sedang buang hajat besan Kapan dia
sempat-sempatnya membunuh si Magek Bagak Babiji Duo itu?! Ha… ha… ha…!”
“Baculo
duo! Bukan Babiji Duo!” Orang yang duduk menutup wajah di atas batu cadas
membetulkan ucapan Wiro lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Datuk
Gadang Mentari! Aku sudah gatal tangan membetot jantung mencabut nyawa orang
ini! Harap kau cepat memberi kesempatan pada kawan kita yang terakhir untuk
bicara!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau dengan pelipis menggembung
bergerak-gerak saking mendidih amarahnya.
“Sobatku
di atas cadas!” berseru Datuk Gadang Mentari. “Jangan tertawa saja! Kami
memberi kesempatan padamu untuk bicara!”
Orang di
atas cadas hentikan tawanya tapi tetap saja duduk seperti tadi. Menyembunyikan
wajahnya di balik sepasang kakinya yang dilipat.
Lalu
terdengar suaranya berkata dengan nada rawan. “Datuk Gadang Mentari, kau tahu
siapa dan bagaimana sifatku. Harap kau saja yang mewakili aku bicara!”
“Hemm….”
Datuk Gadang Mentari bergumam. Matanya tak lepas memandang ke langit. “Sobatku
Iblis Pemalu, jika itu maumu baiklah. Aku akan bicara pada dua kecoak ingusan
itu! Pemuda bergelar Pendekar 212 dan gadis bernama Anggini, dengar baik-baik
apa yang aku katakan! Akibat ulah kalian berdua seorang tokoh bernama Datuk
Bululawang menemui kematian! Malang bagi kalian berdua, Datuk Bululawang adalah
kakak kandung sobatku Iblis Pemalu yang saat ini duduk di atas batu cadas sanal
Celaka bagi kalian berdua, hari ini akhirnya Iblis Pemalu berhasil menemui
kalian di sini setelah sekian lama mencari-cari! Nyawamu mungkin terpaksa kami
bagi dua!”
“Mana
bisa begitu!” Sika Sure Jelantik menukas. “Kita ada berempat jadi nyawanya
harus dibagi empat!” Si nenek lalu tertawa cekikikan.
Wiro
memandang ke atas batu cadas di mana lelaki berpakaian serba hitam duduk. Lalu
berbisik pada gadis di sebelahnya. “Anggini, apa yang kau ketahui tentang
manusia aneh bernama Iblis Pemalu itu?”
“Aku
memang pernah mendengar nama manusia satu ini. Dia malang melintang seorang
diri. Tidak merangkul golongan mana pun. Kepandaiannya sangat tinggi tapi dia
bukan bangsa manusia yang mudah dikecoh oleh orang-orang golongan hitam, Aneh
kalau hari ini dia ikut-ikutan dengan tiga manusia kesasar itu! Lekas kau
bicara menjelaskan kematian Datuk Bululawang itu!”
“Iblis
Pemalu!” Wiro berseru. “Soal kematian kakakmu itu, apakah kau menyaksikan
dengan mata kepala sendiri?!”
“Sobatku
Datuk Gadang Mentari, harap kau jawab pertanyaannya.” Iblis Pemalu bicara dan
tetap sembunyikan wajahnya di balik paha.
“Dia
memang tidak melihat sendiri pembunuhan yang kalian lakukan atas diri kakaknya!
Tapi dia mendapat penjelasan dari orang lain yang bisa dipercayai”
“Siapa
orang lain itu?!” tanya Anggini.
“Agar
sesama golongan putih tidak tambah ricuh, harap kau tidak memberi tahu siapa
orangnya Datuk Gadang!” Yang bicara adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Berarti
ada kedustaan besar di balik semua ini!” kata Anggini.
“Iblis
Pemalu, harap kau tidak termakan fitnah!” kata Wiro.
Iblis
Pemalu tidak menjawab tidak bergerak. Yang buka suara kembali, adalah Pengiring
Mayat Muka Hijau, anak buah Datuk Lembah Akhirat. “Kau pandai bicara membela
diri! Tapi siapa yang mau percayai Datuk Gadang, apakah kita sudah siap mulai
dengan pesta kematian ini?!”
Tunggu!
Aku mau bicara dulu dengan Iblis Pemalu!” teriak Wiro. Lalu dia naik ke atas
batu-batu cadas dan memanjat ke tempat iblis Pemalu duduk. Kalau saja dia masih
memiliki kesaktian dan tenaga dalam, Wiro tak perlu susah payah naik ke atas
batu itu. Tapi cukup sekali melompat dan melesat saja dia dengan cepat dan
mudah bisa sampai di sana. “Iblis Pemalu, harap kau mau mendengar penjelasanku.
Adikmu Datuk Bululawang bukan kami yang membunuh. Dia jadi korban pembalasan
sakit hati Sandaka, seorang pemuda berjuluk Manusia Paku. Pemuda itu sendiri
adalah korban ilmu hitam Dewi Ular!”
Pengiring
Mayat Muka Hijau mendengus. “Nama Sandaka ataupun Manusia Paku tak pernah
dikenal. Kalau orangnya memang ada di mana dia sekarang. Juga Dewi Ular. Coba
jelaskan di mana perempuan itu berada!”
“Mereka
amblas masuk jurang!” menerangkan Anggini.
Pengiring
Mayat Muka Hijau tertawa mengejek. “Semua yang kalian katakan tidak masuk akal!
Datuk…. Bagaimana? Apa kita bisa mulai?” (Mengenai Sandaka atau Manusia Paku
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
“Datuk
Gadang, kau belum menyampaikan satu permintaanku?” Tiba-tiba Iblis Pemalu
berkata.
“Astaga,
hampir aku terlupa!” kata Datuk Gadang Mentari. “Kami menyirap kabar, salah
satu dari kalian memiliki sebuah peta petunjuk di mana adanya sebilah pedang
sakti bernama Pedang Naga Suci 212! Aku dengar kau yang bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 yang menyimpannya. Jika peta itu kau berikan pada Iblis
Pemalu maka segala urusan menyangkut dirimu akan dilupakannya!”
“Gila,
kenapa urusan jadi panjang bertele-tele seperti ini!” keluh Wiro. “Kalian semua
dengar! Aku tidak tahu menahu soal pedang itu! Apalagi menyimpan peta
petunjuk!”
“Aku
juga!” kata Anggini.
“Aku yang
menyimpannya!” Tiba-tiba Panji yang sejak tadi berdiam diri keluarkan seruan.
Pengiring
Mayat Muka Hijau, Sika Sure Jelantik palingkah kepala ke arah pemuda itu. Datuk
Gadang Mentari memutar tubuhnya sedikit tapi tetap saja mendongak ke langit.
Iblis Pemalu tampak menggeser dua tangannya yang sejak tadi bersitekan ke batu.
“Datuk
Gadang! Lekas kau rampas peta itu!” Berteriak Iblis Pemalu.
“Jangan-jangan
dia hanya menipu!” Pengiring Mayat Muka Hijau berkata.
Panji
menyeringai. Dari balik pakaiannya yang bagus dia mengeluarkan secarik kain
putih yang telah lusuh. Benda itu diperlihatkannya pada orang-orang yang ada di
tempat itu. Lalu dengan cepat dimasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
Pengiring
Mayat Muka Hijau jadi bimbang. Datuk Gadang Mentari gerak-gerakkan kedua
kakinya. Iblis Pemalu keluarkan suara aneh sementara Sika Sure Jelantik
merupakan satu-satunya orang yang tampak tidak tertarik dengan urusan Pedang
Naga Suci 212 itu. Sepasang matanya terus menerus mengawasi Wiro yang sejak
tadi diincarnya.
Tiba-tiba
Panji berkelebat dari tempat itu. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dia sudah
berada di salah satu puncak batu cadas. Terus melesat ke atas sebatang pohon
besar dan lenyap di balik kerimbunan dedaunan.
“Kejar!”
teriak Iblis Pemalu. Tubuhnya melesat ke atas. Mukanya yang tidak tertutup lagi
di balik kedua pahanya kini ditutupnya dengan tangan kirinya. Di udara dia membuat
gerakan aneh. Di lain kejap laksana terbang dia melesat ke arah pohon besar
tempat lenyapnya Panji.
Datuk
Gadang Mentari walau tampak tak bisa menguasai diri tapi masih tetap berada di
atas batu tempatnya berdiri. Sementara Sika Sure Jelantik tidak melepaskan Wiro
dari pengawasannya.
“Sika
Sure Jelantik, sementara dua teman kita berusaha mendapatkah peta, bagaimana
kalau kita berdua membagi-bagi rejeki?!”
Sika Sure
Jelantik tertawa panjang. Dia maklum apa maksud ucapan Datuk Gadang Mentari
itu,
“Sika,
kau urusi si pemuda, aku biar membereskan yang gadis!” kata Datuk Gadang
Mentari pula. Lalu sekali dia menggenjotkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke
arah Anggini. kepalanya tetap mendongak ke langit. Namun tangan kanannya
membuat gerakan kilat. Menghantam ke jurusan Anggini.
Si nenek
Sika Sure Jelantik keluarkan teriakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar
212!
******************
SEPULUH
Kita
ikuti pengejaran atas diri Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo yang dilakukan
oleh Pengiring Mayat Muka Hijau dan Iblis Pemalu. Seperti diketahui putera Rajo
Tuo Datuk Paduko iman yano juga merupakan cucu Tua Gila itu memiliki ilmu
kepandaian aneh-aneh. Antara lain mampu menyelam dalam waktu sanya W! dalam
air. Lalu dia juga sangat pandai dalam soal panjat memanjat. Sekali berkelebat
di atas pohon dirinya lenyap seolah berubah jadi angin.
Pengiring
Mayat Muka Hijau penasaran setengah mati. Dia memandang berkeliling. Satu
bayangan hitam berkelebat. Dia siap menghantam tapi cepat menarik tangannya
ketika mengenali orang itu adalah Iblis Pemalu. Sambil tutupi kedua mukanya
dengan tangan manusia aneh ini mengawasi keadaan sekelilingnya lewat
celah-celah jarinya.
“Ke mana
lenyapnya jahanam itu! “kata Pengiring Mayat Muka Hijau setengah berteriak.
“Aku merasa malu! Lebih baik bunuh diri kalau tidak berhasil menangkap manusia
kampret itu!” kata Iblis Pemalu lalu tutup lebih rapat mukanya dengan ke dua
tangan.
Pengiring
Mayat Muka Hijau tambah jengkel mendengar kata-kata sj Iblis Pemalu. “Kau
menyelidik ke sebelah kiri! Aku ke jurusan kanan!” kata anak buah Datuk Lembah
Akhirat ink Lalu tanpa menunggu jawaban orang si Pengiring Mayat Muka Hijau
melompat ke atas pohon besar di sebelah kiri.
Tapi
begitu kakinya menginjak salah satu cabang tiba-tiba saja cabang pohon Hu
amblas. Kalau dia tidak lekas bergayut pada cabang di atasnya paling tidak dia
akan terperosok jatuh.
“Jahanam!”
maki Pengiring Mayat Muka Hijau. Dia memperhatikan bekas patahan cabang pohon.
Ternyata cabang itu tidak patah biasa, melainkan ada tanda bekas dipotong dengan
beda tajam. “Pasti pemuda jahanam itu yang punya, pekerjaan!”
Perigiring
Mayat Muka Hijau memaki.
“Sobatku
dari Lembah Akhirat!” tiba-tiba terdengar suara Iblis Pemalu.
Pengiring.
Mayat Muka Hijau diam saja. Kembali terdengar suara Iblis Pemalu. “Aku malu tak
dapat mencari pemuda pembawa peta itu! Mengapa kau tidak mengerahkan Ilmu
Pukulan Mayat! Sekali kau menerabas semua pepohonan ini akan musnah dan jahanam
itu tak bisa lagi bersembunyi! Lekas kau lakukan. Sebentar lagi matahari akan
terbenam dan tempat ini akan diselimuti kegelapan!”
Pengiring
Mayat Muka Hijau masih diam. Namun dalam hatinya dia membenarkan kata-kata
Iblis Pemalu. Maka dia segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya yang
telapaknya berwarna hijau. “Wusss!”
Pengiring
Mayat Muka Hijau menghantam ke pohon di atasnya. Selarik sinar hijau menderu.
Cabang, ranting dan daun-daun pohon di atas sana laksana dikobari api berwarna
hijau. Dalam waktu sekejapan saja pohon itu berubah menjadi bubuk berwarna
hijau yang kemudian lenyap bertaburan tertiup angin, Di pohon yang kini menjadi
gundul itu sama sekali tidak terlihat sosok pemuda yang dikejar. Penasaran
Pengiring Mayat Muka Hijau kembali menghantam pohon di samping kiri. Untuk
kedua kalinya pohon ini pun menerima nasib sama. Gundul laksana dimakan api!
Namun Panji tetap saja tidak kelihatan!
“Jahanam!”
Lagi-lagi Pengiring Mayat Muka Hijau menyumpah habis-habisan.
Tiba-tiba
seseorang melayang turun dari atas pohon dan tegak di samping Pengiring Mayat
Muka Hijau, membuat orang ini terkejut dan kembali menyumpah panjang pendek.
Yang datang ternyata adalah Iblis Pemalu.
“Sobatku
Pengiring Mayat Muka Hijau!” Iblis Pemalu berbisik. “Aku sudah melihat pemuda
itu. Dia sembunyi di pohon sebelah kanan sana. Lekas kau menghantam kembali.
Aku tak mau menyerangnya. Aku malu!”
Pengiring
Mayat Muka Hijau habis sabarnya. Dia membentak. “Kau malu menyerangnya. Tapi
tidak malu menginginkan peta rahasia itu!”
Iblis
Pemalu menutup wajahnya dengan dua tangan tambah rapat. “Ah, ucapanmu membuat
diriku tambah malu,” katanya tetap dengan suara berbisik. “Ayo cepat kau
menghantam pohon itu sebelum dia kabur dari sana!”
“Sialan!
Bangsat ini memperalat diriku! Jangan harap kau bakal dapatkan peta itu!” rutuk
Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tanpa berpaling pada orang di sebelahnya dia
langsung menghantam ke pohon yang dikatakan.
“Wusss!”
Untuk
kesekian kalinya sinar hijau menggebu. Kali ini lebih dahsyat karena Pengiring
Muka Mayat menghantam dengan penuh amarah serta pengerahan tenaga dalam tinggi
Pohon
besar di sebelah sana bukan saja hancur lebur di sebelah atas tapi setengah
dari batangnya ikut berubah jadi arang berwarna hijau yang kemudian lebur
ditiup angin!
“Mana
dia! Katamu bangsat itu ada di pohon itu! Kau lihat sendiri dia tidak ada di
sana!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau marah ketika dia sama sekali tidak
melihat sosok Panji.
“Ah,
bagaimana ini. Tadi jelas aku lihat dia mendekam di atas sana. Aku jadi malu!”
Iblis Pemalu memandang liar kian kemari di antara celah-celah jarinya.
Tiba-tiba
terdengar suara bergemeresak di belakang mereka. Iblis Pemalu dan Pengiring
Mayat Muka Hijau cepat berbalik.
Sesosok
tubuh berkelebat dari atas pohon kecil dan satu kaki menendang ke arah Pengiring
Mayat Muka Hijau. Demikian cepat datangnya tendangan membuat anak buah Datuk
Lembah Akhirat ini tidak dapat berkelit. Meskipun dia tak sempat menghindar
namun Pengiring Mayat Muka Hijau tidak diam begitu saja. Tangan kanannya
dihantamkan ke arah si penyerang.
“Bukkk!”
“Wuss!”
Satu
tendangan menghantam dada kanan Pengiring Mayat Muka Hijau dengan telak.
Selarik sinar hijau berkiblat!
Pengiring
Mayat Muka Hijau terpental dua tombak dan menyangsrang jatuh di semak belukar.
Dada kanannya serasa remuk.
“Memalukan!
Ah, kau tidak apa-apa sobatku?!” tanya Iblis Pemalu dan mendatangi Pengiring
Mayat Muka Hijau. Tangan kirinya masih ditutupkan ke mukanya. Tangan kanan
diulurkan untuk menolong.
Saat itu
bukan saja rasa sakit yang diderita Pengiring Mayat Muka Hijau tapi amarahnya
pun sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dengan kaki kirinya diterjangnya
perut Iblis Pemalu hingga orang ini terjengkang tapi cepat bangkit kembali.
Sambil
menutupkan ke dua tangannya di wajahnya, Iblis Pemalu berkata. “Memalukan, diantara
sahabat terjadi salah paham!”
“Jahanam!
Kalau kau tidak lekas menyingkir dari hadapanku akan kubuat jadi debu kau saat
ini juga!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ah
memalukan! Memalukan aku harus pergi!” Iblis Pemalu golengkan kepalanya
beberapa kali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke arah lenyapnya
bayangan hijau yang tadi menyerang Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dengan
susah payah Pengiring Mayat Muka Hijau keluarkan tubuhnya dari semak belukar.
Dada kanannya yang cidera terkena tendangan diusapnya berulang kali. Dia
memandang ke jurusan lenyapnya Iblis Pemalu. “Pemuda baju hijau itu tak bakal
lari jauh! Aku yakin Pukulan Penghancur Mayat yang aku lepaskan tadi mengenai
tubuhnya walau tidak telak….”
Dengan
cepat dia mengerahkan tenaga dalam ke dada yang cidera. Lalu begitu selesai
mengatur jalan nafas dan peredaran darah dia segera menyadari satu hal.
“Aku
harus mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan Iblis Pemalu mendapatkan peta
petunjuk di mana adanya Pedang Naga Suci 212 itu! Kalau sampai dia mendahului
pasti Datuk Lembah Akhirat akan menjatuhi hukuman berat padaku!”
Memikir
sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau segera berkelebat. Namun gerakannya
tertahan karena tiba-tiba saja di tempat itu terdengar suara tawa membahana.
Paras anak buah Datuk Lembah Akhirat yang berwarna hijau penuh benjolan seperti
bisul ini tampak tegang. Suara tawa itu bukan suara tawa biasa. Kedua kakinya
yang menginjak tanah dapat merasakan getaran hebat tanda siapa pun adanya orang
yang tertawa pasti memiliki ilmu kepandaian serta tenaga dalam luar biasa.
Berfirasat
bakal ada bahaya yang mengancam Pengiring Mayat Muka Hijau cepat menyelinap ke
balik sebatang pohon besar sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya.
Menyiapkan Pukulan Maut Penghancur Mayat!
******************
SEBELAS
Pengiring
Mayat Muka Hijau jadi tegang sendiri. Karena setelah ditunggu agak lama orang
yang tertawa itu belum juga muncul. Padahal suara tawanya begitu keras tanda
orangnya tidak berada jauh dari tempat dia bersembunyi. Suasana yang mendadak
menjadi sunyi senyap membuat anak buah Datuk Lembah Akhirat ini menjadi salah
tingkah. Dia ingin segera keluar dari balik pohon tapi khawatir orang akan
membokongnya. Tidak keluar membuat ketegangan semakin bertumpuk.
Si muka
hijau ini tergagau ketika tiba-tiba kembali suara tawa meledak. Kali ini
datangnya justru dari atas pohon di bawah mana dia berlindung. Mendongak ke
atas terkejutlah dia. Seumur-umur baru sekali ini dia melihat pemandangan yang
demikian luar biasa. Dia sempat menggosok mata berulang kali untuk memastikan
bahwa dia tidak salah lihat atau tengah bermimpi.
“Keanehan
apa ini! Sudah terbalikkah dunia hingga ada pemandangan begini rupa?!”
Di atas
pohon besar, di salah satu cabang dia melihat seekor keledai pendek kurus.
Tegak dengan telinga bergerak-gerak, mata berkedap-kedip dan ekor
bergoyang-goyang kian kemari. Di atas punggung keledai kurus kering itu duduk
seorang kakek gemuk luar biasa. Rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya
tak berkancing dan kesempitan hingga dada dan perutnya yang gembrot berlemak
tersembul. Pengiring Mayat Muka Hijau perhatikan wajah orang di atas pohon itu.
Tua dan memiliki sepasang mata sangat sipit.
“Benar-benar
edani” kata si Pengiring Mayat dalam hati. “Keledai bisa berada di atas pohon!
Tak masuk akal! Lalu si gendut yang duduk di atasnya! Meski binatang itu kurus
tapi cabang pohon tidak mungkin menahan bobot tubuhnya. Apalagi ditambah dengan
berat orang tua bertubuh gemuk itul Tapi cabang tidak patah, bergoyang atau
meliuk pun tidak! Siapa adahya dua makhluk aneh ini?!” Tengkuk Pengiring Mayat
Muka Hijau mendadak menjadi dingin. Dia tidak bisa menduga pasti. Namun terus
memutar otak mengingat-ingat.
Tiba-tiba
si gemuk di atas pohon keluarkan suara bersuit. Lalu tertawa bergelak.
Ranting-ranting pohon bergemeretak. Daun-daun bergemeresik bahkan ada yang
berguguran.
“Dasar
keledai pandir! Tolol! Bodoh! Hendak kau bawa ke mana aku ini?! Jalan ke sorga
bukan di sini! . Ha… ha… ha! Ayo lekas turun! Jangan membuat aku gamang.
Bisa-bisa aku ngompo! di celana! Ha… ha… ha! Ayo turun!”
Si gemuk
tepuk-tepuk pantat keledainya. Binatang ini mengeluarkan suara melenguh lalu
menggerakkan tubuh sebelah belakangnya ke atas beberapa kali. Si gemuk di atas
punggung keledai bergoncang-goncang. Dada dan perutnya yang gembrot
bergoyang-goyang.
“Keledai
dungu! Apa yang kau lakukan ini! Aku bilang jangan membuat diriku jadi gamang!
Nah… nah! Apa kataku! Lihat apa yang terjadi! Rasakan! Habis kau aku kencingi!”
Di bawah
pohon Pengiring Mayat Muka Hijau tersentak kaget ketika ada air jatuh membasahi
muka dan dadanya. Ketika mencium bau air dan menyadari air apa adanya yang
barusan membasahi muka serta pakaiannya menyumpahlah dia habis-habisan.
Sementara
itu di atas pohon kakek gemuk kembali tertawa keras. Dia tepuk pantat keledai
seraya berkata mengancam. “Keledai geblek! Lekas turun ke tanah! Kalau kau
masih membandel akan aku tutup lobang anusmu! Jangan harap kau bisa buang hajat
selama satu minggu!”
Entah
mengerti ucapan si gemuk entah bagaimana, nyatanya keledai kurus itu melenguh
tinggi dan putar-putar. ekornya. Lalu perlahan-lahan selangkah demi selangkah
dia meniti cabang pohon. Begitu sampai pada batang pohon keledai ini terus
membelok ke bawah dan betul-betul luar biasa! Binatang ini terus menjejakkan
kaki pada batang pohon, bergerak turun ke bawah!
Pengiring
Mayat Muka Hijau yang sudah tak dapat menahan amarahnya sesaat jadi terkesiap.
Dia memperhatikan dengan mata mendelik. Ketika dia mengetahui apa sebenarnya
yang terjadi kembali dia menyumpah.
“Jahanam
gendut itu menipuku! Ternyata kakinya yang menempel di batang pohon. Keledai di
bawahnya hanya mengikuti gerakannya saja!” Walaupun demikian Pengiring Mayat
Muka Hijau tetap tercengang melihat kehebatan kakek gemuk yang terus-terusan
keluarkan suara tertawa itu. “Dia memiliki tenaga dalam aneh yang mampu
membuatnya meniti pohon dengan tubuh melintang di udara!
Telapak
kakinya seperti memiliki perekat!”
Keledai
dan si gemuk akhirnya menjejakkan kaki di tanah. Kini lebih jelas di mata
Pengiring Mayat Muka Hijau. Sebenarnya kakek gemuk itu tidak duduk di atas
punggung keledainya karena ke dua kakinya yang panjang buntak menjejak tanah menopang
tubuhnya yang berat!
Si gemuk
usap-usap perutnya lalu kembali mengumbar tawa yang menggetarkan seantero
tem-pat. “Keledaiku, kau boleh pergi mencari makan. Tapi awas! Jangan jauh.
Tempat ini terasa aneh. Banyak pohon gundul berwarna hijau. Aku menunggumu di
sini sambil melepas lelah dan bernyanyi-nyanyi!”
Dengan
satu gerakan ringan si gendut turun dari keledainya. Begitu binatang itu
menyeruak di antara pepohonan si gemuk menghampiri sebatang pohon lalu duduk
menjelepok di tanah, bersandar ke pohon. Padahal di sebelah belakangnya tegak
bersembunyi Pengiring Mayat Muka Hijau yang barusan dikencinginya!
Mencari
saudara semata wayang
Entah
hilang entah nyawa sudah melayang
Lain yang
dicari
Lain yang
ditemui
Kalau
memang bukan maling bukan pencuri
Mengapa
sengaja sembunyikan diri
Ha… ha…
ha….
Enaknya
hidup di dunia ini
Bisa
tertawa bisa menyanyi
Ha… ha…
ha!
Di balik
pohon Pengiring Mayat yang sengaja menahan nafas maklum kalau nyanyi yang
dilantunkan kakek gendut itu merupakan sindiran bagi dirinya. Dalam pada itu
dia kini sudah bisa menduga siapa adanya orang itu. Maka tanpa tunggu lebih
lama dia segera keluar dari balik pohon di belakang si gemuk.
“Bukankah
aku berhadapan dengan tokoh dunia persilatan terhormat yang disebut dengan
gelaran Dewa Ketawa?” Pengiring Mayat Muka Hijau menegur.
Suara
tawa si kakek gemuk langsung berhenti. Sepasang matanya yang sipit memandangi
Pengiring Mayat Muka Hijau dari rambut sampai ke kaki. Lalu meledaklah tawa
orang ini kembali.
“Kau
pandai menerka siapa diriku. Tapi aku agaknya bakalan susah menduga siapa
dirimu! Di atas kepalamu ada sarang tawon. Ha… ha… ha! Mukamu hijau
benjal-benjol seperti ulat daun. Tubuhmu ada bau pesingnya! Bibirmu diganduli
tulang. Bagaimana kau mencium kekasih atau istrimu! Ha… ha… ha…. Siapa kau ini
kira-kira ya? Ha… ha… ha!”
Rahang
Pengiring Mayat Muka Hijau menggembung. Tenggorokannya turun naik. “Orang tua
gendut! Aku merasa banyolanmu tidak lucu!”
“Huss!
Siapa yang sedang membanyol! Aku tadi cuma menyanyi, bukan membanyol!
Jangan-jangan pendengaranmu agak terganggu alias tuli! Ha… ha… ha!”
“Dewa
Ketawa! Kekonyolanmu sudah melampaui batas! Tadinya aku punya rencana baik
untukmu! Tapi kini terpaksa aku batalkan!”
“Ah,
kalau begitu rejekiku memang jelek. Tapi bagaimana kau bisa membuat rencana
baik bagiku kalau dirimu sendiri kejatuhan sial! Barusan bukankah ada setan
pohon yang mengencingimu?! Ha… ha… ha!”
“Dewa
Ketawa, kau boleh tertawa sampai lidahmu copot! Jangan kaget kalau aku beri
tahu bahwa kakakmu si Dewa Sedih ada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah
Akhirat….”
“Eh,
apa…?! Astaga kenapa telingaku tiba-tiba menjadi budek?!” Si gendut Dewa Ketawa
ketok-ketok bagian kepala dekat telinganya kiri kanan. “Coba kau ulangi lagi
ucapanmu tadi! Aku kurang memperhatikan, kurang mendengar! Kau bilang kakakku
mau kawin? Eh…! Ha.,, ha… ha! Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Kakakmu
si Dewa Sedih berada di bawah kekuasaan kami orang-orang Lembah Akhirat! Tak
ada jalan kembali baginya ke dunia luar! Seumur-umur dia akan jadi budak Datuk
Lembah Akhirat! Dan jangan menyesal kalau dirimu pun akan segera menerima
giliran!”
“Ha… ha…!
Kalau hendak diajak jalan-jalan ke akhirat aku pun suka! Belum pernah aku pergi
ke sana. Kapan kita berangkat? Sekarang…?!” Dewa Ketawa bergerak bangkit.
Namun
saat itu juga Pengiring Mayat Muka Hijau menendang kakinya hingga si gendut itu
jatuh terduduk kembali di bawah pohon.
“Hai!
Barusan kau bilang hendak mengajak aku jalan-jalan ke akhirat! Mengapa sekarang
menye-rimpung kakiku?!” tanya Dewa Ketawa terheran-heran sambil menahan tawa.
Tadi
kakimu! Sekarang mulut besarmu!” bentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu tangan
kanannya melesat ke depan.
“Bukkk!”
Kepala
Dewa Ketawa membentur batang pohon di belakangnya ketika jotosan tangan kanan
Pengiring Mayat Muka Hijau mendarat di mulutnya. Bibirnya pecah. Darah
mengucur. Tapi si gendut ini masih bisa tertawa sambil seka darah di mulutnya.
“Kau baik
hati sekali hanya memecahkan bibirku tidak merontokkan gigiku! Ha… ha… ha!
Untung…. Karena dalam mulutku gigiku hanya tinggal dua! Ha… ha… ha!”
“Berapa
nyawa yang adadalam tubuhmugendut keparat?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Eh,
walau dara bertanyamu mulai kasar tapi aneh juga! Kampret cuma punya satu
nyawa! Burung hantu alias kokokbeluk juga punya satu nyawa! Ular keket yang tampangnya
sepertimu hanya punya Satu nyawa. Keledai butut tungganganku juga punya satu
nyawa. Lalu apa menurutmu aku bisa punya dua nyawa kalau yang satu aku pinjam
darimu?! Ha… ha… ha…! Untung mukamu hijau. Kalau tidak pasti sudah merah dadu
saat ini! Ha… ha… ha!”
“Gendut
edan! Kau akan menyesal sampai ke liang kubur! Nyawamu yang cuma satu itu
terpaksa harus kau serahkan padaku saat ini juga!”
Saat itu
diam-diam Pengiring Mayat Muka Hijau telah kerahkan tenaga dalam ke tangan
kanannya untuk mengeluarkan pukulan sakti Penghancur Mayat. Selagi Dewa Ketawa
masih asyik tertawa-tawa tiba-tiba dia hantamkan tangannya ke depan. “Wuutt!”
“Settt!”
Belum
lagi sinar hijau mematikan membersit keluar dari tangan Pengiring Mayat Muka
Hijau tiba-tiba tangan kanan anak buah Datuk Lembah Akhirat ini telah masuk
dalam cengkeraman tangan kanan Dewa Ketawa.
Pengiring
Mayat Muka Hijau kaget luar biasa. Dengan cepat dia menarik tangannya. Namun
bagaimanapun dia mengerahkan tenaga sampai keluarkan keringat dingin, dia tidak
mampu melepaskan tangan kanannya dari cengkeraman si gemuk itu.
Dewa
Ketawa tertawa mengekeh. “Apa ceritamu tentang nyawa sudah selesai….” Dewa
Ketawa mengejek. “Aku masih punya waktu untuk mendengarkan! Ha… ha… ha…!”
“Jahanam!
Lepaskan cengkeramanmu! Atau kakakmu akan aku suruh bunuh biar jadi setan
penasaran!” Membentak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tonjolan-tonjolan di mukanya
kelihatan seperti membengkak hingga kepalanya jadi tampak lebih besar.
Dewa
Ketawa ganda tertawa. “Kasihan, kau kesakitan rupanya. Memang tanganku kasar,
tidak sehalus tangan gadis cantik jelita! Ha… ha… ha! Sudah, tak perlu cengeng.
Lihat tanganmu akan aku lepaskan…. Ha… ha… ha!”
Ternyata
Dewa Ketawa tidak segera melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada tangan
Pengiring Mayat Muka Hijau. Acuh tak acuh sambil terus tertawa-tawa lima jari
tangannya bergerak meremas. Telapak tangannya menjepit laksana jepitan besi.
“Kreekkk….
Kereekkkk…. kereek!”
Terdengar
suara berderak tiga kali.
Pengiring
Mayat Muka Hijau menjerit setinggi langit.
Ketika
Dewa Ketawa lepaskan cengkeramannya kelihatan bagaimana tangan kanan Pengiring
Mayat Muka Hijau telah hancur. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan!
“Manusia
tak tahu diuntung! Tadi kau minta tanganmu dilepaskan. Setelah aku lepaskan
bukannya mengucapkan terima kasih malah menjerit-jerit seperti anak kecil!”
“Keparat
jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Tiga
jari tangan kirinya melesat laksana tiga mata tombak ke tenggorokan Dewa
Ketawa.
Yang
diserang sesaat masih tertawa. Tiba-tiba Dewa Ketawa meniup ke depan. Saat itu
juga sekujur tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau menjadi kaku tak bisa bergerak,
tak mampu bersuara! Inilah ilmu totokan dengan cara meniup yang dalam rimba
persilatan hanya dimiliki oleh Dewa Ketawa!
“Ha… ha…
ha! Sekarang kau sudah jadi anak baik penurut! Saatnya kau mengantarkan aku ke
tempat terletaknya Lembah Akhirat!”
Dewa
Ketawa bangkit berdiri. Dua jari tangan kanannya dimasukkan ke dalam mulut.
Lalu dari mulut itu keluar suara bersuit tiga kali nyaring sekali. Sesaat
kemudian dari balik semak belukar menyeruak datang keledai pendek kurus
tunggangannya.
DewaKetawa
tertawa panjang. “Bagus, sekali ini kau datang cepat. Berarti kau juga senang
diajak jalan-jalan ke Lembah Akhirat!”
Dewa
Ketawa naik ke punggung keledai itu. Ke dua kakinya menjejak tanah. Dengan
tangan kirinya dijambaknya rambut Pengiring Mayat Muka Hijau. Dengan tangan
kanan digebuknya pinggul keledai. Binatang dan penunggang sama-sama bergerak.
Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau ikut terseret!
******************
DUA BELAS
Panji
menghentikan larinya ketika dirasakannya tangan kanannya seperti kesemutan.
Ketika dia meneliti berubahlah paras pemuda ini. Ujung baju hijaunya mulai dari
bahu sampai ke pinggang nampak berlubang besar, berubah jadi bubuk!
“Sedikit
saja pukulan itu lebih masuk ke dalam pasti sebagian tubuhku berubah jadi
debu!” membatin si pemuda. “Rupanya bukan cerita kosong bahwa orang-orang
Lembah Akhirat memiliki ilmu Pukulan Penghancur Mayat yang mengerikan itu!
Kalau dibiarkan mereka malang melintang berbuat sekehendak hatinya celakalah
dunia persilatan di tanah Jawa ini. Padahal aku baru saja menjejakkan kaki di
sini. Belum punya pengalaman, apalagi yang namanya menimba ilmu baru!”
Tiba-tiba
ingat pada Anggini dan Pendekar 212. “Dua orang itu agaknya bisa kujadikan
sahabat. Apa yang terjadi dengan mereka. Apakah usahaku tadi dapat menolong
mereka? Sampai saat ini tak ada yang mengejarku. Kalau mereka sampai dikeroyok
empat celaka besar akan mereka hadapi! Aku harus kembali ke lembah batu itu!”
Berpikir
sampai di situ Panji berusaha merapikan pakaiannya yang robek hangus itu. Ketika
dia belum lama menyusuri jalan yang tadi dilewatinya tiba-tiba di depannya
tegak menghadang Iblis Pemalu. Orang ini berdiri dengan kedua tangan menutupi
wajah namun di antara sela-sela jarinya Panji melihat sepasang mata memandang
tak berkesip padanya.
“Hanya
dia seorang yang mengejar. Berarti yang tiga lainnya masih di lembah,” pikir
Panji yang tidak mengetahui kalau Pengiring Mayat Muka Hijau telah dibuat tak
berdaya oleh Dewa Ketawa.
“Sobatku,
mengapa kau menghadangku?” menegur Panji dengan nada bersahabat.
“Aku
bukan sobatmu! Aku malu jadi sobatmu! Lekas serahkan padaku peta itu!”
Melihat
sikap aneh orang di hadapannya yang terus-terusan menutupi wajahnya Panji
memutar otak. “Orang aneh kalau diikuti segala perbuatannya bisa dijadikan
sahabat. Tapi kalau meleset bisa membawa kematian…. Orang ini jelas memiliki
ilmu kepandaian yang bisa membawa bencana bagiku! Aku harus berani ambil
keputusan!”
Maka
Panji lantas meniru perbuatan Iblis Pemalu. Dengan kedua tangannya dia menutupi
mukanya. “Aku jadi malu kau tidak menerima persahabatanku! Daripada malu terus
lebih baik aku pergi saja….” Panji lalu memutar diri dan melangkah pergi.
“Tunggu!
Jangan pergi!” Tiba-tiba Iblis Pemalu berteriak dan sekali berkelebat dia telah
berada di hadapan Panji. “Kalau kau tidak menyerahkan peta itu, aku tidak akan
menjadi sahabatmu! Malah aku akan membunuhmu saat ini juga!”
“Celaka!
Bagaimana aku harus menjawab!” keluh Panji.
“Mengapa
tak menjawab? Apa merasa malu?!” bentak iblis Pemalu.
“Ya… yai
Aku merasa malu. Yang aku perlihatkan di lembah itu sebenarnya bukan peta. Tapi
sehelai potongan kain butut!”
“Aku
tidak percaya. Jangan membuat aku malu karena tertipu! Keluarkan kain itu!
Perlihatkan padaku!” bentak Iblis Pemalu.
“Ah…. Aku
benar-benar malu!” ujar Panji. Tangan kirinya diselinapkan ke balik pakaian.
Ketika dikeluarkan tampak dia memegang sehelai kain putih yang sudah kusut dan
dekil. Kain itu diulurkannya pada Iblis Pemalu.
“Aku malu
memegangnya! Kembangkan di tanah!” perintah Iblis Pemalu.
Panji
membungkuk. Potongan kain dikembangkannya di tanah. Di atas kain itu memang
tidak ada tulisan ataupun peta seperti yang dikatakan Panji.
“Balikkan
kainnya!” kata !b!is Pemalu pu!a.
Kembali
Panji mengikuti apa yang diperintahkan. Kain putih dibalikkan dan dikembangkan.
Pada bagian ini pun tidak ada apa-apanya. ,
“Hemmm….
Sayang matahari hampir tenggelam. Aku tak bisa mengembangkan kain itu ke arah
matahari. Siapa tahu peta itu tersembunyi di dalamnya dan hanya bisa dilihat
kalau dikembangkan di bawah penerangan tembus sinar sang surya!”
“Sobatku,
kau cerdik sekali,” memuji Panji.
“Jangan
membuat aku malu dengan pujian!” hardik Iblis Pemalu.
“Harap
maafkan aku. Tapi terus terang sebenarnya aku merasa malu karena telah
menipumu….”
“Apa
maksudmu? Jangan-jangan kau menyembunyikan peta yang sebenarnya!”
“Aku
tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Aku sengaja menipu kalian hanya karena ingin
menolong dua sahabatku yang sekarang mungkin masih ada di lembah, dikeroyok
oleh tiga orang kawan-kawanmu itu….”
“Aku
datang ke sana bukan untuk mengeroyok! Mengeroyok adalah perbuatan memalukan!
Tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan. Kau belum menerangkan tuntas apa
maksudmu sengaja menipu!”
“Sekali
melihat saja aku sudah tahu bahwa kau dan teman-temanmu adalah orang-orang
persilatan berkepandaian tinggi. Aku dan dua kawahku tak mungkin bisa menang
menghadapi kalian. Karena itu aku memancing dengan memperlihatkan secarik kain
butut yang kebetulan kubawa. Lalu kukatakan saja kain itu adalah peta petunjuk
di mana beradanya Pedang Naga Suci 212. Habis berkata begitu aku lalu melarikan
diri dengan harapan agar kalian mengejar. Dengan demikian dua sahabatku itu
selamat dari keroyokan kalian. Nyatanya yang mengejar aku cuma kau sendiri.
Berarti tiga temanmu masih ada di sana! Pasti saat ini tengah terjadi
perkelahian hebat di lembah. Aku harus kembali ke sana menolong mereka!”
“Jangan
kau berani pergi dari sini!” bentak Iblis Pemalu. Dua matanya berputar-putar
memandangi Panji. Lalu dari mulutnya terdengar suara tawa cekikikan.
“Manusia
aneh, apa pula yang ditertawakannya!” pikir Panji.
“Sobatku,
kalau kau tetap menghadang berarti kau melakukan perbuatan yang memalukan. Kau
membantu tiga orang itu mencelakai dua temanku!”
“Jangan
bicara seenak perutmu! Yang mengejarmu bukan aku sendirian. Tapi manusia
bermuka hijau itu juga ikut mengejar. Hanya aku tidak tahu sampai saat ini dia
tidak muncul!”
“Kalau
kau Jngin dipermalukan apa kau mau memberi jalan agar aku segera bisa kembali
ke lembarrbatu?” tanya Panji pula.
“Berarti
aku juga harus segera ikut ke sana!”
“Guna
membantu tiga temanmu itu?!”
“Jangan
bicara memalukan! Mereka bukan temanku! Aku ikut mereka karena diajak oleh
Datuk Gadang Mentari, katanya aku akan dipertemukan dengan dua orang yang telah
membunuh saudaraku yaitu Datuk Buluiawang! Kalau aku tidak ikut mereka bukankah
itu satu hal yang memalukan? Tidak melakukan sesuatu terhadap orang-orang yang
telah membunuh saudara sendiri?! Kalau aku dibuat malu terus-terusan apakah
menurutmu lambat laun kemaluanku tidak tambah besar? Astaga aku mengatakan
sesuatu yang salah! Sungguh memalukan! Maksudku….”
“Sudah!
Sudah! Aku mengerti maksudmu!” kata Panji sambil tersenyum. “Pasti, tentu saja
memalukan jika tidak melakukan sesuatu atas kematian saudara yang dibunuh
orang. Aku dapat mengerti perasaanmu. Tapi bakal memalukan lagi kalau ternyata
dua orang itu sebenarnya bukan pembunuh saudaramu! Itu hanya akal-akalan Datuk
Gadang Mentari saja! Mungkin dia punya maksud tertentu atau disuruh oleh
seseorang yang hendak mencari keuntungan darimu….”
Iblis
Pemalu terdiam sesaat. Mukanya yang selalu ditutup dengan dua tangan tampak
basah keringatan. “Agar aku tidak tambah malu, apa yang harus aku lakukan?”
“Kau
teruskan perjalananmu. Aku akan kembali ke lembah batu untuk menolong dua
sahabatku itu!”
“Hemm…
Kalau mereka sahabatmu, adalah memalukan kalau aku tidak menganggap mereka
sahabatku juga. Aku ikut bersamamu!”
Panji
terdiam bimbang. “Apakah orang yang kelihatannya kurang waras ini bisa
dipercaya?” pikirnya. “Dia dijuluki Iblis Pemalu. Kalau tidak memiliki sifat
jahat seperti iblis, tidak mungkin dia digelari seperti itu.
“Kau malu
membawa aku ke sana?” bertanya Iblis Pemalu. “Hemm…. aku tahu! Jangan-jangan….
Ha… ha… ha!”
“Jangan-jangan
apa?!” tanya Panji tak mengerti.
“Kau
takut aku merampas gadis cantik berbaju ungu itu! Kau telah jatuh hati padanya!
Benar?!”
Panji
tertawa gelak-gelak. Tapi wajahnya tampak kemerahan.
Di balik
ke dua tangannya wajah Iblis Pemalu tertawa lebar. “Wajahmu merah! Pasti
dugaanku betul! Ha… ha… ha! Dengar sobatku. Eh siapa namamu?”
“Panji.”
“Dengar,
jika aku sudah menganggap seseorang sebagai sahabat, walau hatiku bisa berubah
sejahat iblis tapi aku tidak akan mengkhianatinya.”
“Terima
kasih kau mau menganggapku sebagai sahabat,” kata Panji dengan perasaan lega.
“Aku
menduga gadis itu menyukaimu….”
“Kau
bicara memalukan saja sobatku. Pemuda yang bersamanya adalah kekasihnya!” kata
Panji.
“Bagaimana
kau tahu?” tanya ibis Pemalu. Panji terdiam. “Nah, kau tak bisa menjawab.
Berarti dugaanku tidak salah! Ayo lekas kita kembali ke lembah. Sebentar lagi
hari akan gelap!”
Iblis
Pemalu putar tubuhnya lalu tinggalkan tempat itu. Kalau tadi Panji tidak
menginginkan orang aneh itu kembali ke lembah, kini dia yang jadi mengikuti.
Ketika
sampai di lembah batu matahari telah tenggelam dan keadaan di tempat itu mulai
gelap. Mereka tidak menemukan Wiro ataupun Anggini. Sebaliknya di tempat itu
menggeletak mayat Datuk Gadang Mentari. Kepalanya pecah. Mukanya hancur dan
lehernya hampir putus dijirat selendang berwarna ungu.
“Kita
datang terlambat sobatku! Memalukan sekali!” kata Iblis Pemalu.
Panji
hanya bisa anggukkan kepala. Dalam udara yang mulai gelap dia memandang
berkeliling. Namun tak seorang lain pun tampak di tempat itu. Tiba-tiba Iblis
Pemalu mendongak.
“Aku
mendengar suara seseorang merintih…. Datangnya dari arah sana. Dari balik batu
cadas besar…. Jangan bertindak yang memalukan. Lekas kita menyelidik ke sana!”
Iblis Pemalu berkelebat ke arah batu besar di ujung kanan lembah. Lalu
terdengar suaranya berseru. “Sobatku Panji! Lekas kemari!”
Panji
melompat ke balik batu besar di mana Iblis Pemalu berada. Dia terkejut ketika
menyaksikan sesosok tubuh tergeletak di tanah. Pakaiannya penuh robek. Luka
berdarah terlihat di mana di mana-mana.
“Anggini!”
seru Panji. “Apa yang terjadi?!”
“Sungguh
memalukan!” desis Iblis Pemalu. Sepasang matanya berkilat-kilat memandangi
sekujur tubuh Anggini. Lalu dia cepat berkata. “Panji, luka yang diderita
sahabatmu tidak seberapa. Tapi racun yang mengendap dalam tubuhnya sangat
jahat! Lekas kau suruh dia menelan obat ini!”
Iblis
Pemalu angkat tangan kanannya dari wajahnya. Tangan kiri masih menutupi. Dari
kantong celana hitamnya dia keluarkan satu lipatan kertas yang segera
diserahkannya pada Panji. “Lekas kau. masukkan semua obat itu ke dalam
mulutnya. Memalukan kalau dia sampai menemui ajal dan kita tidak bisa
menolong!”
Panji
yang telah percaya penuh pada Iblis Pemalu cepat membuka lipatan kertas di
dalam mana terdapat sejenis bubuk berwarna kuning dan menebar bau harum.
“Anggini,
buka mulutmu. Telan obat ini….”
“Ja…
jangan perdulikart di… diriku. Tolong sahabatku Pendekar 212. Dia… dia diculik
nenek jahat bernama Sika Sure Jelantik…”
“Kami
akan menolongnya nanti. Yang penting kau cepat telan obat ini!” kata Panji
pula. Lalu setengah memaksa ditekannya ke dua pipi si gadis hingga mulut
Anggini terbuka. Obat bubuk kuning yang ada dalam lipatan kertas dikucurkannya
ke dalam mulut gadis itu. Anggini mengeluarkan suara tercekik lalu batuk-batuk.
Panji
cepat tekap mulut gadis itu hingga akhirnya obat dalam tubuhnya tertelan masuk
ke dalam tenggorokan. Bersamaan dengan masuknya obat ke dalam perut si gadis
langsung jatuh pingsan.
“Anggini!”
seru Panji yang jadi bingung melihat keadaan si gadis dan menyangka telah
menghembuskan nafas terakhir, Dia berpaling pada Iblis Pemalu dan memandang
penuh curiga.
“Jangan
khawatir. Gadis itu cuma pingan! Aku tidak melakukan sesuatu yang memalukan!
Dengar, kau tunggu gadis itu sampai dia siuman. Aku akan coba mengejar nenek
yang melarikan sahabatmu itu! Memalukan, sudah tua bangka masih suka-sukanya
melarikan anak muda!” Habis berkata begitu Iblis Pemalu segera berkelebat pergi
sementara hari merayap gelap.
Apakah
yang telah terjadi di lembah batu sepeninggalnya Panji, Iblis Pemalu dan
Pengiring Mayat Muka Hijau?
******************
TIGA BELAS
Seperti
dituturkan sebelumnya yang membunuh Datuk Mangkuto Kamang adalah Sutan Alam
Rajo Di Bumi. Namun Sutan Alam kemudian mengarang cerita bahwa murid Dewa Tuak
Angginilah yang membunuh sang Datuk disertai bukti-bukti palsu. Terhasut oleh
fitnah itu maka Datuk Gadang mentari, kakak- kandung Datuk Mangkuto Kamang
meninggalkan tempat kediamannya di muara sungai Siak. Sebenarnya Datuk Gadang
Mentari sudah belasan tahun tak pernah lagi mencampuri urusan dunia persilatan.
Dalam usianya yang telah lanjut itu dia lebih banyak bersunyi diri di tempat
kediamannya. Apa lagi dia menderita semacam penyakit yang membuat kedua matanya
sedikit demi sedikit keluar dari rongganya. Itu sebabnya dalam keadaan
bagaimanapun orang tua ini terpaksa harus mendongakkan kepala agar kedua bola
matanya tidak bergayut yang dikhawatirkannya bisa tangga! dan jatuh!
Walau
sudah lama tidak turun lagi ke rimba persilatan namun di kawasan timur pulau
Andalas orang tua ini tetap dikenal sebagai salah seorang tokoh yang disegani
kawan ditakuti lawan. Dengan demikian jelas dia memiliki kepandaian tinggi.
Hari itu yang dihadapinya adalah seorang gadis yang meskipun masih muda belia
tapi telah mendapat gemblengan hebat serta pengalaman luas. Ketika Sang Datuk
melancarkan serangan tangan kosong Anggini langsung balas menghantam dengan
selendang ungunya.
“Wuttt!”
“Desss!”
Tangan
kanan Datuk Gadang beradu dengan ujung selendang ungu. Sang Datuk tersentak
kaget dantersurut dua langkah. Mukanya yang mendongak tampak berobah sedang
sepasang matanya bergerak cepat. Walau tangannya tidak cidera namun dari
bentrokan tadi dia, segera maklum kalau lawannya yang masih muda itu memiliki
tenaga dalam tinggi. Ketika menyerang lagi untuk ke dua kalinya sang Datuk
tidak berani memukul langsung tapi kibaskan lengan jubahnya.
Satu
gelombang angin menderu ke arah Anggini. Si gadis berteriak keras dan melompat
ke atas. Dari atas selendangnya berkelebat menyambar ke arah kepala lawan.
Datuk Gadang Mentari lipat ke dua lututnya. Begitu selendang lewat di atas
kepalanya dia langsung menghantam dengan dua tangan sekaligus.
Angin
laksana topan prahara menyambar tubuh Anggini. Membuat gadis ini terpekik
kaget. Dia cepat berputar. Walau sempat mengelak namun tak urung salah satu
kaki celana ungunya tersambar robek. Merasa mendapat angin Datuk Gadang Mentari
susul dengan serangan berantai hingga Anggini terpaksa melompat ke atas sebuah
batu cadas.
Datuk
Gadang Mentari agaknya tak mau memberi kesempatan. Beium lagi sepasang kaki si
gadis menyentuh batu dia kembali melancarkan serangan tangan kosong-mengandung
tenaga dalam tinggi.
“Braaakkk!”
Batu di
bawah kaki murid Dewa Tuak hancur berantakan. Anggini kelihatan agak gugup dan
terlambat mengatur kuda-kuda. Ketika dia melompat ke kiri, salah satu kakinya
tertekuk dan tubuhnya miring. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Datuk
Gadang Mentari. Didahului suara menggembor, dengan kepala mendongak dia
menerjang dan kirimkan satu tendangan kaki kanan.
Anggini
gerakkan tangan kanannya yang memegang selendang.
“Wuttt!”
Selarik
sinar ungu membeset ke arah kaki Datuk Gadang Mentari yang mencari sasaran di
kepala si gadis. Namun serangan sang Datuk ternyata hanya tipuan belaka. Begitu
sambaran selendang yang bisa mematahkan kakinya lewat, Datuk Gadang Mentari
teka p matanya dengan tangan kiri lalu membuat gerakan berjumpalitan dua kali.
Ke dua kakinya mencuat ke udara. Anggini melompat mundur untuk menghindar namun
tubuhnya tertahan oleh dinding batu cadas! Mau tak mau, satu-satunya jalan
untuk selamatkan diri adalah melompat ke kiri atau ke kanan.
Anggini
memilih melompat ke kiri. Sayang gerakannya terlambat. Kaki kanan lawan memang
bisa dielakkannya. Kaki itu menghantam batu cadas hingga pecah berantakan.
Sebaliknya kaki kiri sang Datuk melesat mengikuti arah gerakan mengelak si
gadis.
“Bukkk!”
Anggini
terpekik. Tubuhnya terpental ke kanan begitu tendangan kaki Datuk Gadang
Mentari menghantam pinggangnya. Di samping kanan telah menunggu dinding batu
cadas. Anggini merasa seolah sekujur tubuhnya sebelah kanan hancur remuk begitu
beradu keras dengan batu. Selendang sutera ungunya terlepas dari tangan dan
jatuh ke dalam telaga kecil. Dia sendiri tersandar menahan sakit di dinding
batu.
Datuk
Gadang Mentari dengan kepala mendongak ke langit melangkah mendatangi.
“Anak
gadis, sebenarnya aku dan gurumu si Dewa Tuak pernah bersahabat! Tapi dosamu
keliwat besar! Aku terpaksa melupakan persahabatan itu dan membunuhmu saat ini
sebagai batasan sakit hati atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap
saudaraku!”
“Aku
tidak membunuh adikmu!” teriak Anggini.
Datuk Gadang
Mentari keluarkan tawa mengekeh. Sekali berkelebat dia sudah berada satu
langkah dari samping Anggini. Dua tangannya diulurkan cepat sekali dan
tahu-tahu sudah mencekal leher si gadis!
Anggini
merasa nyawanya seolah terbang. Namun dia tidak hilang akal. Dengan siku tangan
kirinya dihantamnya rusuk orang tua itu.
“Kraaakk!”
Paling
tidak ada dua tulang iga Datuk Gadang Mentari yang patah. Selagi sang Datuk
mengeluh tinggi kesakitan Anggini luncurkan dirinya masuk ke dalam telaga,
dengan cepat mengambil selendangnya yang mengapung di air. Datuk Gadang Mentari
yang walau mendongak dan kesakitan masih bisa mengetahui di mana lawannya
berada. Tangan kiri-nya dihantamkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Di
saat yang sama, sedikit lebih cepat Anggini putar selendang suteranya ke arah
kaki Datuk Gadang Mentari. Walau cuma sehelai selendang halus dan dalam keadaan
basah, namun di tangan murid Dewa Tuak benda itu bisa berubah seperti ular atau
tombak atau pentungan besi!
Datuk
Gadang Mentari terjungkal begitu kaki kirinya dihantam selendang. Di dalam air
Anggini sudah menunggu dengan hantaman berikutnya karena mengira sang Datuk
akan terbanting jatuh ke dalam telaga. Namun lawan berlaku cerdik. Dengan
membuat gerakan berputar Datuk Gadang Mentari berhasil melesatkan dirinya ke
kanan hingga dia jatuh di antara batu-batu cadas di sebelah atas telaga. Orang
tua ini bergerak bangkit dengan cepat. Ketika dilihatnya Anggini muncul di
antara dua Celah batu cadas, sang Datuk cepat menghantam salah satu batu di
depannya. Hancuran batu berhamburan menghantam ke arah Anggini. Hancuran batu
ini bukan sembarangan karena tidak ubahnya dengan puluhan senjata rahasia yang
bisa membuat sekujur tubuhnya tercabik-cabik!
Secepat
kilat Anggini jatuhkan diri ke tanah. Walau gerakannya sudah demikian cepat
namun masih ada hancuran batu yang merobek pakaian dan melukai tubuhnya. Bahkan
beberapa diantaranya menggores kening dan pipinya hingga menimbulkan luka
berdarah.
Datuk
Gadang Mentari bangkit berdiri lebih dulu dari Anggini. Justru inilah
kesalahannya. Sebelum dia melancarkan satu tendangan mematikan ke arah kepala
si gadis, murid Dewa Tuak hantamkan selendangnya ke bawah perut sang Datuk.
Jubah hitam belang putih Datuk Gadang Mentari robek besar. Dari sela robekan
kelihatan darah mengucur. Sang Datuk terjajar mundur. Kepalanya masih mendongak
namun tersentak-sentak.
“Gadis
jahanam! Terima kematianmu!” Datuk Gadang Mentari kebutkan lengan jubahnya
sebelah kiri. Terdengar suara bersiur disusul melesatnya tiga buah benda
terbuat dari besi hitam berujung tiga. Seumur hidupnya baru dua kali Datuk
Gadang Mentari mengeluarkan senjata rahasia beracun itu. Yaitu pada keadaan
sangat terdesak dimana dia tak sanggup lagi menghadapi lawan. Ini adalah kali
ke tiga dia terpaksa mengeluarkan senjata itu untuk menyerang lawannya.
Anggini
tak tinggal diam. Dengan tangan kirinya dia mengeruk ke dalam sebuah kantong
kecil di balik pinggangnya. Ketika tangannya melesat keluar maka setengah lusin
paku terbuat dari perak putih berukuran panjang setengah jengkal berkiblat
berkilauan dalam udara yang mulai menggelap.
“Traang…
trang… trang!”
Sembilan
senjata rahasia berdentrangan di udara disertai memerciknya bunga api. Selagi
Datuk Gadang Mentari terkesiap kecut melihat tiga senjata rahasianya dikepung
dan dibuat mental oleh enam senjata rahasia lawan, Anggini bergerak menyusup
lancarkan serangan. Selendang ungu di tangan kanannya melesat ke udara lalu
berputar dan se-terusnya laksana seekor kepala ular mematuk ke bawah dua kali
berturut-turut. Inilah jurus yang disebut Memecah Angin Memukul Matahari
Menghancurkan Rembulan!
“Praaakk!”
“Praaakk!”
Datuk
Gadang Mentari keluarkan pekik keras. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah
dan mukanya yang hancur. Sepasang matanya mencelat mental entah ke mana. Walau
cidera berat demikian rupa namun Datuk Gadang Mentari tak segera mati.
Terhuyung-huyung dia melangkah menghampiri Anggini. Dua tangan diulurkan seolah
hendak men-cekik. Ngeri dan juga khawatir lawan masih memiliki ilmu simpanan
yang bisa mencelakainya, murid Dewa Tuak kembali gerakkan tangan kanannya yang
memegang selendang. Senjata andalan si gadis melesat deras, laksana seekor ular
menggelung leher Datuk Gadang Mentari!
Anggini
putar pergelangan tangannya. Gerakannya membuat jiratan selendang mengencang
dan “kraakk!” Tulang leher Datuk Gadang Mentari hancur. Kepalanya miring ke
kiri. Nafasnya terhenti. Nyawanya melayang!
Belum
lagi sempat Anggini melepaskan jiratan selendangnya dari leher si Datuk
tiba-tiba ada siuran angin di belakangnya. Lalu “bukk!”
Satu
hantaman keras mendera punggung Anggini hingga murid Dewa Tuak ini terpekik dan
mencelat sampai dua tombak lalu terhampar di tanah.
“Pengecut
pembokong!” teriak Anggini dan cepat berdiri.
Di belakangnya
terdengar suara orang tertawa mengekeh!
******************
EMPAT BELAS
Anggini
berpaling. Dalam menahan sakit pada punggungnya gadis ini tersurut kaget. Di
hadapannya tegak si nenek Sika Sure Jelantik dengan rambut awut-awutan dan
jubah robek. Dia memanggul sesosok tubuh yang ketika diperhatikan si gadis
membuat dirinya tercekat. Yang dipanggul oleh perempuan tua itu ternyata adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Apa yang
terjadi dengan Wiro. Pingsan, dalam keadaan tertotok atau…? Kulihat pakaian
putihnya robek dan hangus.” Habis membatin begitu murid Dewa Tuak ini langsung
membentak.
“Tua
bangka pembokong keji. Ternyata kau bukan cuma seorang pengecut. Tapi juga
penculik busuk! Apa yang kau lakukan terhadapnya?!”
Si nenek
tertawa panjang. “Kau begitu mengkhawatirkan dirinya! Apa kau mencintainya?!
Hik… hik… hik!”
“Jangan
bicara hgacok! Lekas lepaskan pemuda itu!” Hardik Anggini.
“Percuma
kau memperhatikan dirinya. Apa kau tak tahu kalau dia dicintai oleh seorang
gadis berwajah secantik bidadari?! Nasibmu buruk…. Hik… hik… hik!”
Walaupun
wajahnya menjadi merah dari dadanya berdebar namun dalam keadaan seperti itu
Anggini tidak terlalu memperhatikan ucapan Sika Sure Jelantik, Hantaman si
nenek yang dilakukan secara membokong pada punggungnya membuat sekujur tubuhnya
terasa sakit. Tapi dia bersedia bertekad mati demi menyelamatkan Wiro. Secepat
kilat Anggini mengeruk kantong senjata rahasianya.
Enam buah
paku berdesing di kegelapan. Membuat Sika Sure Jelantik terkejut dan hentikan
tawanya.
“Gadis
sialan! Dari senjata rahasiamu aku bisa menduga siapa kau adanya! Gurumu dan
guru pemuda ini masih satu komplotan! Jadi jangan kira aku tidak tega
membunuhmu! Terima kematianmu!”
Habis
berkata begitu si nenek gerakkan tangan kirinya. Lima sinar hitam menderu ke
arah Anggini. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Kilat Kuku Akhirat.
Sebenarnya si nenek memiliki ilmu yang sama namun berdaya kekuatan jauh lebih
dahsyat yang disebut Jalur Hitam Bara Dendam. Namun pukulan sakti Jalur Hitam
Bara Dendam itu hanya akan dikeluarkannya untuk membunuh Tua Gila. Lagi pula
dia menganggap dengan pukulan Kilat Kuku Akhirat sudah cukup bagi si gadis
untuk meregang nyawa karena selama ini belum ada musuh yang sanggup bertahan.
Melihat
enam paku peraknya yang dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi mental
berpatahan Anggini segera maklum kalau lima jalur sinar hitam pukulan sakti
yang dilepaskan si nenek tidak bisa dibuat main. Serta merta gadis ini jatuhkan
diri. Dua jalur sinar hitam masih sempat melabrak pita di kepala dan bagian
bahu baju ungu murid Dewa Tuak.
Gadis ini
memekik keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Nyawanya serasa terbang. Dia tak
berani bergerak ketika si nenek melangkah mendekatinya.
Untung
saja Anggini terjatuh di bawah bayang-bayang gelap sebuah batu besar hingga si
nenek tidak bisa melihat jelas. Mengira Anggini sudah menemui ajalnya Sika Sure
Jelantik segera tinggalkan lembah batu itu dengan memboyong Pendekar 212 di
bahu kirinya.
Sebelumnya
telah terjadi perkelahian hebat antara Wiro dengan si nenek. Walau tidak lagi
memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam namun ilmu tidur yang diberikan Si
Raja Penidur serta Jubah Kencono Geni yang dikenakannya membuat Wiro sanggup
bertahan sampai dua puluh jurus walau untuk itu dia dibuat babak belur dan
megap-megap kehabisan nafas serta tenaga.
Sika Sure
Jelantik dua kali melepaskan pukulan Kuku Kilat Akhirat. Sekujur baju putih
yang dikenakan Wiro tampak robek hangus dan setiap menerima pukulan itu tubuh
Wiro terpental sampai tiga tombak. Asap mengepul.dari tubuhnya! Tapi sungguh
mengherankan si nenek, pemuda itu sama sekali tidak menemui ajalnya. Dari marah
Sika Sure Jelantik berubah menjadi heran. Dari rasa heran ini timbullah rasa
ingin tahu.
Memikir
sampai di situ, Sika Sure Jelantik hampiri Wiro yang tergeletak di tanah.
“Kau
ingin membunuhku, lakukan cepat!” kata Wiro tanpa rasa takut seolah sudah
pasrah menghadapi kematian.
“Nyalimu
boleh juga anak muda! Tidak, jangan kawatir. Aku tak ingin membunuhmu
cepat-cepat….”
“Kalau
kau mengharapkan keterangan tentang guruku, walau lidahku kau copot aku tak
akan memberi tahu!”
“Hemmm….
Kau memang murid yang pantas dipuji! Haik… hik!” Dua jari tangan kiri Sika Sure
Jelantik bergerak cepat ke arah pangkal leher Wiro. Saat itu juga Pendekar 212
tenggelam dalam totokan yang membuatnya tak mampu bergerak ataupun bicara!
Si nenek
segera menyambar tubuh Wiro, me-, letakkannya di atas bahu lalu berkelebat
pergi dari tempat itu.
Tak lama
setelah si nenek kabur Panji dan Iblis Pemalu muncul kembali di lembah batu
yang ada telaganya itu. Mereka berhasil menemukan Anggini. Setelah memberikan
obat dan meminta Panji menjaga serta merawat gadis itu, Iblis Pemalu segera
pergi untuk mengejar Sika Sure Jelantik yang sesuai keterangan Anggini telah
melarikan Pendekar 212.
Iblis
Pemalu berlari dengan satu tangan menutupi wajahnya. Tidak mudah untuk mencari
jejek Sika Sure Jelantik. Selain hari telah gelap dia juga tidak mengetahui ke
arah mana si nenek melarikan Wiro.
Ternyata
si nenek melarikan Wiro ke arah timur. Meskipun malam begitu gelap dan jalan
yang ditempuh terhalang oleh pepohonan serta berkelok-kelok namun dia mampu
berlari dengan cepat. Pertanda dia mengenali betul seluk beluk kawasan itu.
Sesampainya di satu pedataran tinggi Sika Sure Jelantik langsung mendaki ke
lereng timur. Di satu tempat di mana terdapat sebuah gubuk tanpa dinding si
nenek hentikan larinya. Tubuh Wiro yang berada dalam keadaan tertotok
dilemparkannya begitu saja ke tanah.
212!
“Pendekar Aku memberi kesempatan padamu sampai matahari terbit! Kalau sampai
saat itu kau tidak mau memberitahu dimana gurumu si Tua Gila berada maka
tamatlah riwayatmu! Apa jawabmu?!” Si nenek membungkuk lalu menotok leher Wiro
membuka jalan suaranya. “Kau tidak tuli! Kau mendengar apa yang barusan aku
ucapkan! Ayo jawab!”
Setelah
menguap lebar-lebar baru Wiro menjawab.
“Kau
sudah tahu apa jawabku! Aku tidak tahu dimana orang tua itu berada. Kalaupun
tahu tak bakal kukatakan!”
“Bagus!
Murid dan guru sama saja! Sama-sama keras kepala! Kau sudah menentukan
kematianmu sebelum marahari terbit besok pagi-pagi buta!”
“Aku
tidak takut mati! Sekarangpun kalau kau mau membunuh silahkan!” jawab Wiro.
Sika Sure
Jelantik tertawa panjang. “Aku memang tidak akan membunuhmu cepat-cepat. Biar
rasa takut menggerogoti dirimu! Biar kau tersiksa sebelum mampus! Jangan
mengharap ada yang bakal menolongmu! Kalaupun gadis berbaju biru berwajah
seperti bidadari kekasihmu itu muncul meminta pengampunan untuk ke dua kali
bagimu, jangan harap aku bakal mengabulkan!” Yang dimaksud si nenek adalah
Bidadari Angin Timur.
“Nek,
kurasa kau adalah manusia paling tidak berbudi dan paling tidak bersyukur di
muka bumi ini!”
“Jahanam!
Lancang betul mulutmu! Apa maksudmu hah?!”
“Ketika
kau bercinta dengan gurukupaling tidak kau telah merasakah kebahagiaan hidup!
Kalau kemudian kalian tidak berjodoh apa itu salah Tua Gila? Tidak! Juga bukan
salahmu Nek! Kejadiannya sudah lewat puluhan tahun lalu. Di usia tua seperti
ini apa bukan lebih baik kalian berbaik-baik saja? Dengan -bersikap garang dan
terus mendesak guruku apa yang bakal kau dapat?!”
“Kalau
dia mampus di tanganku aku merasa puas selangit!” jawab Sika Sure Jelantik.
“Belum
tentu. Rasa puasmu mungkin hanya sesaat. Setelah itu kau mungkin akan dirundung
penyesalan sampai malaikat maut memanggilmu masuk ke liang kubur!”
“Anak
setan! Kau pandai bicara! Siapa bakal menyesal atas kematian manusia terkutuk
seperti gurumu itu?!”
“Nek, aku
jauh lebih muda darimu. Katkanlah aku hijau dalam pengalaman. Tapi aku percaya
pada satu ujar-ujar yang berkata begini. Kita baru menyadari betapa berartinya
seseorang bagi kita setelah dia tidak ada lagi. Kuharap hal itu tidak terjadi
dengan dirimu Nek!”
Sesaat
mulut Sika Sure Jelantik jadi terkancing mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
Hatinya tercekat. Hanya sepasang matanya yang memandang tak berkesip pada Wiro.
Apakah ada kebimbangan kini menyeruak dalam dirinya? Ternyata tidak. Tiba-tiba
dia membentak keras.
“Jangan
kira aku akan terpengaruh oleh ucapan-ucapanmu! Keputusanku tidak berubah! Aku
akan membunuhmu besok pagi sebelum matahari terbit!”
“Terserah
padamu! Aku capek bicara denganmu! Lebih baik aku tidur saja!” Wiro lalu
menguap lebar-lebar.
Sika Sure
Jelantik jadi jengkel penasaran dan merasa seolah diejek. Dia membungkuk
memperhatikan sosok Pendekar 212.
“Dia
mampu menahan pukulan Kilat Kuku Akhirat sampai dua kali. Berarti dia memiliki
ilmu kebal luar biasa. Aku harus memeriksanya. Mungkin dia punya semacam jimat.
Aku harus mendapatkan jimat itu! Hemmm….”
Si nenek
pergunakan ke dua tangannya meraba-raba tubuh Wiro. Dia menyentuh sebuah benda
keras di balik pinggang si pemuda. Ketika pakaian putih Wiro yang hancur hangus
disibakkannya dia melihat Kapak Maut Naga Geni 212 terselip di pinggang pemuda
ini.
“Hemmm,
senjata ini perlu aku amankan dulu…” kata si nenek lalu kapak bermata dua itu
ditariknya dan diletakkan di tanah.
“Kau
merabai tubuhku, mengambil senjataku! Ternyata kau seorang tua bangka yang
masih menyimpan nafsu kotor! Ini membuktikan bagaimana pun buruknya sifat Tua
Gila, dia jauh lebih baik darimu!”
“Plaaaakkk!”
Sika Sure
Jelantik layangkan satu tamparan keras hingga darah mengucur dari sudut mulut
Pendekar 212.
Gilanya
yang ditampar malah menguap lebar-lebar. Hal ini membuat si nenek penasaran setengah
mati.
“Kau
tidak mengerang kesakitan! Bagus! Apa kau mau kutampar sekali lagi sampai
mukamu ku-bikin memar?!”
Murid
Sinto Gendeng menyeringai. Si nenek kembali merabai tubuh Wiro. Saat itulah
dalam gelap dia menyadari dan melihat bahwa di balik pakaian putihnya Wiro
mengenakan satu pakaian berwarna merah. Si nenek dekatkan wajahnya meneliti.
“Pakaian bagus, terbuat dari beludru merah. Ada renda-renda kuning emas. Aneh!
Pakaian ini tidak cidera oleh pukulan saktiku! Jangan-jangan…”
“Breeett!
Breettt!”
Sika Sure
Jelantik tanpa pikir panjang segera merobek baju putih Wiro. Ketika dia hendak
menanggalkan pakaian merah yang dikenakan si pemuda yang bukan lain adalah
jubah sakti Kencono Geni pemberian Si Raja Penidur mendadak ada suara tertawa
cekikikan di belakangnya.
“Setahuku
lelaki yang suka menelanjangi perempuan! Sekarang malah terbalik! Ada
nenek-nenek hendak membugili seorang pemuda! Dunia sudah terbalik rupanya! Hik…
hik… hik!”
Sika Sure
Jelantik tersentak kaget. Dia berpaling ke arah datangnya suara tadi. Namun dia
tidak melihat siapa-siapa!
TAMAT
No comments:
Post a Comment