Pelangi Di Majapahit
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
BAB I
Kuda
bernama Grudo yang ditunggangi Pendekar 212 dan Raden Ayu Gayatri bergerak
tidak terlalu cepat. Sebentar lagi mereka akan keluar dari kawasan hutan
belantara an langsung menuju pinggiran Timur Kotapraja. Disitu Wiro akan
melepaskan putri bungsu Prabu Singosari itu. Walau dia akan terlepas dari beban
berat menjaga keselamatan sang dara namun perpisahan membuat hatinya agak haru.
Saat itu
menjelang dini hari. Udara masih gelap dan hawa terasa dingin.
Mendekati
dua buah pohon besar yang terletak mengapit kira-kira dua tombak di depan jalan
yang mereka tempuh murid Eyang Sinto Gendeng perlambat langkah Grudo. Dia
memandang tak berkesip ke arah dua pohon besar di kiri kanan jalan.
”Ada
apa,” bisik Gayatri bertanya.
”Saya
punya firasat tidak enak. Mungkin sekali ada seorang yang sembunyi di balik
pohon menghadang kita,” jawab Wiro.
”Gandita?”
”Mungkin,
tapi bisa juga orang lain. Atau Gandita bersama orang lain.”
”Kalau
begitu kita ambil jalan lain saja,” mengusulkan Gayatri.
Wiro
mengangguk. Dia menarik tali kekang Grudo. Namun belum sempat dia memutar kuda
itu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara desiran angin disertai
berkelebatnya satu bayangan hitam. Bersamaan dengan itu Gayatri yang duduk di
belakang Wiro terdengar menjerit.
Wiro
membalik. Dan terkejut besar. Gayatri tak ada lagi di belakangnya!
Pendekar
212 melompat dari atas kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung alirkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Tapi dia tidak melihat bayangan siapapun. Tiba-tiba
terdengar suara kaleng berkerontangan dalam kegelapan malam. Suara kerontangan
lenyap, menyusul terdengar suara tawa bergelak di samping kiri. Wiro cepat
berpaling ke arah itu. Tiga tombak di hadapannya, dekat serumpun semak belukar
dilihatnya Gandita bertolak pinggang.
”Bangsat!
Kau menculik…”
”Apa kau
lihat kawanmu itu ada bersamaku?” ujar Gandita dengan seringai mengejek.
Aneh,
bangsat ini tampak biasa-biasa saja. Padahal sebelumnya dia jelas menderita
luka dalam parah! Pikir wiro. Pasti sesuatu terjadi dengan dirinya. Mungkin ada
orang pandai luar biasa yang menolong dan mengobatinya.
Gandita
tak bergerak di tempatnya, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang.
Dengan senyum mengejek dia berkata.
”Kau
masih ingin mencari temanmu yang berkumis tapi punya suara seperti perempuan
itu?! Lihat apa yang terjadi di balik pohon besar sebelah kanan sana!”
Sesaat
Wiro agak bimbang. Namun ketika dia menangkap suara seperti orang sedang
berkelahi dari arah pohon besar yang disebutkan Gandita maka murid Eyang Sinto
Gendeng segera berkelebat ke balik pohon itu.
Begitu
sampai di balik pohon besar murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut menyaksikan
apa yang terjadi.
Di situ
dilihatnya seorang kakek berkulit hitam dengan rambut di gelung ke atas dan
bertubuh tinggi dengan tampang kuyu sedih tengah mengepit tubuh Gayatri di
tangan kirinya. Orang tua berpakaian selempang kain putih ini keluarkan suara
seperti orang menangis sesenggukan terus menerus.
Astaga!
Manusia ini adalah Dewa Sedih, kakak Dewa Ketawa, pentolan kaki tangan
pemberontak! Celaka! Membatin Wiro. Jangan-jangan dia yang telah mengobati
Gandita!
Gayatri
sendiri yang saat itu berada dalam keadaan tak berdaya, tertotok dan dikepit
erat oleh kakek berkulit hitam.
Sambil
mengepit Gayatri si kakek berkelahi menghadapi seorang lawan dan dari mulutnya
masih saja terus terdengar suara seperti menangis.
Yang
dihadapi Dewa Sedih saat itu adalah seorang kakek aneh memakai caping lebar di
kepalanya. Dia memanggul sebuah buntalan besar. Di tangan kirinya dia memegang
sebuah tongkat kayu sedang di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi
batu-batu kerikil. Setiap saat kaleng rombeng ini digoyang-goyangkannya
sehingga mengeluarkan suara berkerontangan. Tangan kirinya yang memegang
tongkat bergerak kian kemari dalam gerakan aneh yang ternyata adalah
serangan-serangan ganas yang mengurung kakek hitam.
Bagaimanapun
kakek hitam ini berusaha bertahan dan mencoba membalas namun serangan tongakt
itu sulit ditembusnya.
Masih
untung dia belum sempat kena gebuk atau tertusuk ujung tongkat. Yang sungguh
luar biasanya lagi ialah bahwa kakek bercaping lebar dan berpakaian
compangcamping seperti pengemis itu ternyata kedua matanya tidak memiliki
bagian hitam barang sedikitpun. Sepasang mata kakek aneh ini putih semua dan
tentu saja ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak dapat melihat alias buta!
”Kakek
Segala Tahu!” seru Pendekar 212 ketika dia mengenali siapa adanya kakek buta
itu.
”Husss!
Jangan berisik! Biar aku memberi pelajaran pada tua bangka cengeng yang hendak
menculik temanmu ini! Jika dia tidak mau melepaskan temanmu itu, terpaksa aku
menghentikan tangisnya! Menghentikan tangisnya berarti menghentikan jalan
nafasnya!” berkata si kakek buta lalu kembali dia goyang-goyangkan kaleng
rombengnya sambil tertawa mengekeh.
”Ah benar
dugaanku…” kakek hitam yang mengepit Gayatri membatin sambil terus saja
sesenggukan. ”Memang dia rupanya. Tapi mengapa ilmunya setinggi ini. Aku hanya
tahu dia sebagai seorang pengemis yang pandai meramal. Ternyata aku tidak
sanggup keluar dari kurungan tongkatnya! Sudah kepalang! Lebih baik mati
daripada menerima malu besar!”
Kakek
hitam itu menggerung keras. Saat itu ujung tongkat menyambar ke mukanya lalu
membabat pakaiannya. Breeet! Dada pakaiannya robek besar.
”Itu
peringatan pertama dan terakhir!” kata Kakek Segala Tahu. ”Kalau kau masih
belum mau melepaskan orang itu, kali berikutnya tongkatku akan menyatai
tenggorokanmu!”
”Kau yang
bakal mampus duluan pengemis busuk!” teriak kakek hitam lalu kembali
menggerung. ”Baiknya lekas kau beri tahu nama atau gelarmu agar setan-setan
rimba belantara ini mengantarmu dengan senang ke rimba kematian!”
Kakek
bermata buta berpakaian seperti pengemis hanya sunggingkan tawa mengejek. Kakek
hitam jadi naik darah. Dia menggerung keras. Tangan kanannya dipukulkan ke
depan. Terjadilah satu keanehan dari telapak tangan kakek hitam itu berputar
keluar bola api yang langsung melesat ke arah kakek buta!
”Kakek
Segala Tahu! Awas! Lawan menyerangmu dengan bola api!” berteriak Wiro. Tangan
kanannya sendiri sudah siap diangkat siap untuk memberi pertolongan.
Tapi
Kakek Segala Tahu tetap tenang-tenang saja malah masih tertawa-tawa.
Wuss!
Bola api
menyambar. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu membungkuk.
Tapi gerakannya agak terlambat. Bola api menyambar ganas menghantam caping
lebarnya. Caping ini langsung terbakar dibuntal bola api dan terpental jauh. Paras
Kakek Segala Tahu jadi berubah. Sebaliknya di depannya kakek hitam malah
menangis keras-keras. Mungkin begitu caranya dia menyatakan rasa puas melihat
serangannya berhasil walaupun yang menyambar dan membakar caping lawan.
” Dalam
dunia persilatan hanya ada satu manusia yang bersenjatakan bola api! Kau pasti
adalah Dewa Sedih!”
Kakek
hitam dongakkan kepala dan menggerung pilu sekali. ”Kau sudah tahu siapa aku.
Akupun sudah tahu siapa kau! Kita orang-orang persilatan akan saling
berbunuhan!
Salah
satu dari kita akan menemui kematian. Betapa menyedihkan…Dewa Bathara kasihani
pengemis malang ini…” lalu orang tua ini yang sebenarnya memang adalah Dewa
Sedih menangis sejadi-jadinya.
”Manusia
edan!” maki Wiro dalam hati. “Kakek Segala Tahu, biar aku yang memberi
pelajaran pada tua bangka cengeng ini!”
“Tetap di
tempatmu Pendekar 212! Jangan campuri urusan kami dua tua bangka keblinger!”
Kakek Segala Tahu membentak, membuat Wiro terpaksa hentikan gerakan.
Hatinya
berkebat-kebit apakah kakek buta ini sanggup menghadapi Dewa Sedih yang punya
senjata berupa bola api yang dahsyat itu. Selama ini Wiro hanya mengenal Kakek
Segala Tahu sebagai seorang jago ramal tiada duanya. Sekarang dia menyaksikan
sendiri bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan.
Dengan tongkat bututnya dia sanggup membuat Dewa Sedih tidak berdaya. Tapi
apakah tongkat buruk itu bisa menghadapi bola api?! Selain hal itu yang
dikhawatirkan Wiro adalah keselamatan Gayatri yang saat itu masih berada di
kepitan tangan kiri Dewa Sedih.
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit yang mulai kelihatan terang tanda sebentar lagi
pagi akan tiba. Tangan kanannya digoyang-goyangkan. Kaleng rombeng itu
mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga. Tangan kirinya
mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke tanah.
“Dewa
Cengeng!” Kakek Segala Tahu sengaja menyebut nama Dewa Sedih menjadi Dewa
Cengeng. “Aku bertanya untuk penghabisan kali! Kau mau serahkan pemuda yang
hendak kau culik atau tidak!”
Suara
gerung tangis Dewa Sedih terdengar perlahan. Lalu dia berucap. ”Malang benar
nasibmu pengemis jelek. Rupanya bukan hanya matamu yang buta, telingamupun
sudah tuli. Orang dalam kepitanku ini kau katakan pemuda. Padahal jelas dia
menjerit mengeluarkan suara perempuan!”
Wiro
merasakan wajahnya menjadi pucat dan kuduknya menjadi dingin. Kakek hitam itu
ternyata sudah mengetahui bahwa orang yang tengah diculiknya itu adalah seorang
perempuan. Apakah dia juga sudah mengetahui siapa adanya orang itu?!
Gayatri
harus cepat dirampas. Aku harus ikut turun tangan. Persetan sekalipun Kakek
Segala Tahu akan marah besar padaku!
Begitu
Wiro bertekad dalam hati. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Kalau tidak dapat merampas Gayatri tanpa menciderai,membunuh kakek cengeng
inipun aku tak perduli. Apalagi dia berkomplot dengan pemberontak bernama
Gandita itu! Namun gerakannya lagi-lagi berhenti ketika didengarnya Dewa Sedih
berkata.
”Kau
inginkan pemuda banci ini, pengemis buruk? Boleh saja. Akan kuberikan padamu
tapi telan dulu bola apiku ini!”
Habis
berkata begitu Dewa Sedih kembali mengisak-isak lalu tangan kanannya dipukulkan
ke depan.
Dari
telapak tangannya untuk kedua kalinya melesat keluar bola api, menderu deras ke
arah mulut Kakek Segala Tahu!
”Ah
makanan enak! Aku suka sekali!” Kakek Segala Tahu berucap keras. Lalu buka
mulutnya lebar-lebar seperti siap untuk benar-benar menegak bola api yang
disuruh telan itu. Sedang tangan kanannya menggoyang-goyangkan kaleng
rombegnya.
Pinggulnya
digoyang-goyangkan seperti menari tapi tentu saja maksudnya mengejek lawan.
Sudah
gila tua bangka ini rupanya! Maki Wiro menyaksikan kelakuan Kakek Segala Tahu.
Serangan maut dihadapinya seperti itu! Mau tak mau murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede ini segera angkat tangannya, hendak menghantam bola
api dengan pukulan ”Dewa topan menggusur gunung”
******************
BAB II
”Makanan
Enak! Aku suka sekali!” kembali terdengar Kakek Segala Tahu berucap. ”Cuma
sayang aku sedang berpuasa!”
Lalu
mendahului gerakan Pendekar 212 Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu gerakkan tangan
kirinya. Tongkat kayu butut melesat ke atas. Ujung tongkat menusuk bola api.
Seperti
menusuk bola sungguhan, bola api itu tampak tidak bergerak lagi seolah ditancap
mati. Si kakek goyangkan tangannya sedikit. Bola api itu berputar seperti
titiran.
”Sayang
aku sedang berpuasa, kau saja yang makan kue enak ini!” seru Kakek Segala Tahu.
Lalu sekali tangan kirinya bergerak, bola api itu menderu, melesat ke arah
kepala Dewa Sedih.
Kakek
berkulit hitam itu berseru keras lalu meratap dalam kagetnya. Dia tak pernah
menyangka senjata yang sangat diandalkannya bisa dikembalikan untuk menyerang
dirinya sedemikian rupa. Sambil menangis Dewa Sedih cepat jatuhkan diri cari
selamat. Pada saat itulah tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu berkelebat
menggebuk bahu kirinya. Kali ini Dewa Sedih keluarkan jerit kesakitan.
Tulang
bahunya serasa hancur. Tubuhnya terbanting ke tanah.
Kempitannya
pada tubuh Gayatri terlepas. Melihat hal ini Wiro cepat pergunakan kesempatan
menyambar tubuh puteri bungsu Prabu Singosari itu dan membawanya ke tempat yang
aman.
Dewa
Sedih mencoba bangun dan mulai menangis lagi. Namun saat itu ujung tongkat kayu
di tangan Kakek Segala Tahu sudah menusuk tenggorokannya.
“Menangis
sepuas hatimu! Manusia biang kerok sepertimu tidak layak hidup lebih lama!”
Tampang
kakek muka hitam itu menjadi pucat.
Keringat
mengucur di keningnya. Tapi dasar manusia aneh dalam ketakutan seperti itu dia
masih saja terus menangis. Sebenarnya Kakek Segala Tahu hanya bermaksud
menggertak. Dia tidak punya keinginan untuk membunuh Dewa Sedih.
Pandangan
hidupnya ilmu silat dan segala macam ilmu kesaktian adalah untuk melindungi
diri sendiri, keluarga dan sahabat, bukan untuk membunuh orang, apapun alasannya.
Soal bunuh membunuh biar serahkan saja pada orang lain.
Sebaliknya
merasa dirinya tidak mungkin akan selamat dari kematian Dewa Sedih hanya bisa
pasrah. Dia mulai meratap memilukan. Menyaksikan kejadian itu Wiro hanya bisa
garuk-garuk kepala. Lalu dia ingat pada keadaan Gayatri. Totokan yang membuat
kaku sekujur tubuh gadis ini segera dilepaskannya.
Tiba-tiba
dari samping kiri pondok kayu berkelebat satu bayangan besar disertai
mengumandangnya suara tawa bergelak disusul suara seruan.
”Jangan
bunuh saudaraku!”
Selarik
angin menyambar.
Wuttt!
Kakek
Segala Tahu merasakan tangan kirinya bergetar. Tongkat yang ditusukkannya ke
leher Dewa Sedih bergoyang-goyang. Semula dia berusaha mengerahkan tenaga untuk
bertahan. Tapi memikir tak ada gunanya maka dia kendurkan pegangannya dan
tongkat itu terpelanting kiri namun tak sampai lepas dari pegangannya.
Di
hadapan Kakek Segala Tahu kini berdiri seorang bertubuh gemuk luar biasa,
mengenakan baju dan celana yang kesempitan. Sepasang matanya sipit hampir
berbentuk garis, rambutnya disanggul ke atas. Dari mulutnya tiada hentinya
keluar suara tertawa gelak-gelak.
Gayatri
yang tegak disamping Wiro dan sudah bebas dari totokan pegang lengan Pendekar
212 dan berbisik.
”Manusia-manusia
apa sebenarnya yang ada di depan kita ini? Sebaiknya kita lekas pergi saja dari
sini.”
Keadaan
tidak berbahaya seperti tadi lagi Raden Ayu. Kalau tadi memang saya yang
menginginkan agar kau cepat pergi, kini tak ada yang perlu dikhawatirkan. Orang
gendut seperti kerbau bunting itu adalah Dewa Ketawa. Kalau aku tidak salah dia
adalah adik dari kakek hitam berjuluk Dewa Sedih itu…”
”Kalau
begitu kita ketambahan seorang musuh.”
”Tidak.
Walau bersaudara tapi Dewa Sedih dan Dewa Ketawa tidak sehaluan.
Dewa
Ketawa selalu berpihak pada orang persilatan golongan putih…”
”Sungguh
tidak masuk akal. Bagaimana ada manusia-manusia aneh seperti mereka itu!”
”Dunia
persilatan justru menjadi ramai oleh manusia-manusia semacam mereka…Kita lihat
saja apa yang akan terjadi.”
Mengenali
siapa yangdatang Kakek Segala Tahu bermata buta itu tampak gelenggelengkan
kepala. Dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya dan ketuk-ketukkan tongkat
bututnya ke tanah.
”Tertawa
sepanjang hari. Berbobot sebesar sapi. Siapa lagi kalau bukan Dewa Ketawa?
Ha..ha..ha! Kalau sudah tahu apa yang terjadi mengapa tidak meminta kakakmu si
Dewa Sedih agar segera meninggalkan tempat ini?”
Dewa
Ketawa puaskan dulu gelaknya lalu mengangguk-angguk, kemudian berpaling pada
kakaknya.
”Kau
sudah dengar ucapan orang! Sudah untung kau masih bisa bernafas saat ini.
Ayo lekas
minggat dari sini!”
Sepasang
mata Dewa Sedih tampak melotot memandang pada adiknya. Namun sesaat kemudian
terdengar kembali isak tangisnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sambil
pegangi bahu kirinya yang mendenyut sakit akibat pukulan tongkat Kakek Segala
Tahu tadi.
“Kau
tidak pernah berubah,” Dewa Ketawa teruskan omelannya. “Masih saja melibatkan
“Masih saja melibatkan diri dengan orang-orang tidak baik. Apa untungmu
bergabung dengan orang-orang yang berniat jahat terhadap Singosari?!”
“Urusanmu
urusanmu. Urusanku urusanku!“ jawab Dewa Sedih. Dia melangkah mendapatkan
Gandita.
Dewa
Ketawa mengekeh mendengar ucapan kakaknya itu. Dia menyahuti dengan suara
keras. ”Bagus kalau begitu ucapanmu! Lain hari, jangan harap aku akan
menolongmu!”
”Aku
tidak perlu segala macam pertolongan adik durhaka sepertimu!” teriak Dewa Sedih
lalu kembali terdengar suara isak tangisnya. ”Kita pasti akan bertemu lagi. Kau
akan menyesal! Pasti menyesal!”
Dewa
Ketawa mencibir. ”Tua bangka tolol! Sudah bau tanah masih mau melantur!” Si
gendut ini perhatikan kepergian kakaknya bersama Gandita lalu berpaling pada
Kakek Segala Tahu. Dia mulai tertawa.
”Sahabatku
pengemis yang turun dari Kahyangan, apa kabarmu?”
Kakek
Segala Tahu tersenyum. ”Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan dirimu? Kau
kelihatan agak langsingan!”
Mendengar
ucapan itu meledak tawa Dewa Ketawa hingga kedua matanya berair.
”Selama
tiga bulan ini beratku telah bertambah dua puluh kilo. Bagaimana kau bisa
mengatakan aku agak langsing?! Ha..ha..ha..!” Dewa tertawa lalu melirik ke arah
Wiro.
”Kampret
Gondrong!” katanya menyebut Wiro dengan panggilan mengejek seenaknya itu.
”Selamat bertemu kembali dengan orang yang kau juluki Kerbau Bunting!”
Gayatri
menutup mulutnya agar suara tertawanya tidak membersit keluar. Wiro garuk-garuk
kepala tapi cepat menjawab, ”Aku si Kampret Gondrong baik-baik saja.
Kukira
kau sudah beranak Kerbau Bunting, rupanya belum!”
Dewa
Tertawa kembali meledak tawanya. Kakek Segala Tahu dan Gayatri ikut tertawa
gelak-gelak.
”Kalau
aku beranak, siapa yang akan menolong! Tidak ada dukun beranak di tempat ini!”
kata Dewa Ketawa pula.
Kembali
tempat ini menjadi riuh oleh suara tertawa.
Kakek
Segala Tahu mengangkat tongkatnya dan meletakkan benda ini di atas bahu
Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Anak
muda, kau selalu saja mencari-cari penyakit!” berkata si kakek ”Saya tidak
bermaksud berbuat begitu. Penyakit apakah yang kau maksudkan Kakek Segala
Tahu?”
Si kakek
ketuk-ketukkan tongkatnya ke bahu Wiro sedang tangan kanannya
menggoyang-goyangkan kaleng rombeng.
”Kau tahu
penyakit apa yang aku maksudkan Wiro. Yang jelas saat ini kau berada
berdua-duaan di dalam hutan bersama seorang puteri Kerajaan Singosari!”
”Astaga!”
Wiro melengak.
Dewa
Ketawapun tampak keheranan. Siapa yang dimaksud kakek buta itu dengan puteri
Keraton Singosari? Dia hanya melihat seorang pemuda berkumis tipis disamping
Wiro.
”Kakek
Segala Tahu, bagaimana kau…?”
Gayatri
sendiri tidak kalah kagetnya. Diam-diam dia mulai merasa gelisah. Dia hendak
membisikkan sesuatu pada Wiro tapi tak jadi karena saat itu terdengar kakek
buta berkata.
“Tak usah
teruskan pertanyaanmu itu. Aku mencium bau harum semerbak dari pakaian dan
tubuh orang yang tegak di sampingmu. Wewangian seperti itu hanya dimiliki oleh
permaisuri atau puteri-puteri Keraton Singosari! Apa salah dugaanku?”
”Kau..kau
betul,” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. Bertemu dengan Kakek Segala Tahu
belum tentu bisa sekali dalam tiga tahun. Maka murid Sinto Gendeng cepat
berkata.
”Kek,
selagi kau ada di sini, aku mohon petunjukmu…”
”Petunjuk
mengenai hubunganmu dengan gadis Keraton ini?” tanya Kakek Segala Tahu lalu
tertawa mengekeh. Dewa Ketawa ikut-ikutan tertawa. ”Jangan mimpi kau bakal
berjodoh dengannya, Pendekar 212!”
Paras
Wiro dan wajah samaran Gayatri tampak kemerah-merahan. Wiro cepat berkata.
”Maksudku bukan itu kek. Aku ingin kau meramal tentang Singosari di masa
mendatang. Hal ini kutanyakan karena saat ini ada komplotan jahat yang hendak
memberontak dan merebut tahta kerajaan dari tangan Sang Prabu.
”Kalau
itu yang kau tanyakan sulit bagiku untuk menjawab,” sahut Kakek Segala Tahu
sambil mendongak lalu goyang-goyangkan kaleng rombeng berisi batu di tangan
kanannya.
Wiro tahu
orang tua bermata putih dan buta itu berdusta. Dipegannya tangan Kakek Segala
Tahu. Sebelum dia berkata si kakek berpaling ke arah Gayatri lalu berkata.
”Sebentar
lagi pagi akan datang. Apakah kau tidak bakal mengalami kesulitan jika kembali
ke Keraton kesiangan?”
Ucapan
Kakek Segala Tahu itu membuat Gayatri sadar. Dia memandang ke Timur. Langit di
ufuk sana tampak mulai benderang. Puteri bungsu Prabu Singosari ini memandang
pada Wiro. Mungkin banyak yang ingin dikatakannya tapi dia hanya mengucapkan:
”Jika kau ingin menemui saya di Keraton, carilah seorang abdi tua bernama
Damar…” Habis berkata Gayatri tinggalkan tempat itu. Dia menemukan kudanya tak
jauh dari situ lalu bersama tunggangannya ini berlalu dengan cepat.
“Nah,
gadis itu sudah pergi. Sekarang baru aku bisa leluasa meramal. Aku tadi tidak
ingin dia mendengar ramalanku,” kata Kakek Segala Tahu. ”Rupanya dia sangat
menyukaimu Pendekar 212…”
”Lupakan
dulu gadis itu. Ucapkan ramalanmu,” kata Wiro.
”Ya,
ya…Aku juga ingin mendengar,” kata Dewa Ketawa lalu mengekeh panjang.
Mulut
Kakek Segala Tahu tampak komat-kamit. Dengan ujung tongkatnya dia menggurat
tanah di depannya membuat gambar segitiga.
”Akan
kucoba meramal. Benar tidaknya ramalanku hanya kenyataan nanti yang kelak akan
membuktikan. Terus terang ini Cuma ramalan seorang tua bangka tolol. Jadi
jangan terlalu percaya!”
Dewa
Ketawa tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang tua itu. Kakek Segala Tahu
memulai ramalannya.
Kaleng
rombeng di tangan kanannya digoyang keras-keras. ”Kejadian pertama.
Akan
terjadi perang saudara antara Singosari dengan orang-orang Kediri. Singosari
runtuh tapi bukan tidak bisa diselamatkan. Seoarang kesatria akan muncul
menyelamatkan tahta baru.” Ujung tongkat di tangan kiri Kakek Segala Tahu
bergeser ke ujung segitiga sebelah kanan bawah. ”Kejadian kedua. Akan datang
balatentara dari utara menyerbu tanah Jawa. Siapa yang dapat mempergunakan
kesempatan dalam kekalutan akan mendapat pahala besar. Akan muncul lagi seorang
kesatria baru. Dia bakal mendapat bantuan dari kesatria pertama tadi.”
Kakek
Segala Tahu kembali goyang-goyangkan kaleng bututnya. Lalu ujung tongkat
ditekankan ke arah ujung segitiga sebelah atas. ”Aku melihat sinar terang, tapi
tidak terlalu terang. Sinar ini bukan sinar matahari, juga bukan sinar rembulan
atau cahaya bintang-bintang. Ada tujuh warna bertabur memanjang. Mungkin ini
yang dinamakan pelangi. Ingat pelangi selalu muncul setelah hujan turun dan
reda. Berarti ada cahaya harapan memayungi bekas bumi Singosari…” Kakek Segala
Tahu mengakhiri ramalannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
menggoyang-goyangkan kalengnya.
”Terima
kasih kau telah mau meramal. Hanya saja ada yang kurang jelas. Kek, dapatkah
kau menerangkan mengenai balatentara dari Utara dan cahaya pelangi itu…” Kakek
Segala Tahu mendongak lalu gelengkan kepalanya.
”Sayang
waktuku terbatas. Aku harus pergi sebelum siang datang. Pendekar 212 ada satu
hal yang perlu aku sampaikan padamu. Betapapun sukanya Puteri Raja itu
terhadapmu, jangan kau berani bermain cinta. Karena bagaimanapun kalian tidak
berjodoh…”
Wiro
garuk-garuk kepala. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Terdengar suara kaleng
berkerontangan. Ketika memandang ke depan astaga! Kakek Segala Tahu tidak ada
lagi di tempatnya. Hanya suara kaleng rombengnya yang terdengar di kejauhan.
Dewa
Ketawa menepuk bahu Pendekar 212. ”Kampret Gondrong! Aku juga harus pergi
sekarang. Ingat pesan orang tua tadi. Kampret sepertimu jangan bercinta dengan
Puteri Raja! Ha..ha..ha..!”
”Kerbau
Bunting sialan!” maki Wiro tapi hanya dikeluarkannya dalam hati.
Dewa
Ketawa masukkandua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Lalu terdengar suara
siutan nyaring sekali. Sambil terkekeh-kekeh dia memandang seekor keledai yang
keluardari balik semak-semak.
”Tungganganku
sudah datang. Aku harus pergi sekarang. Lain kali kita ngobrol lagi Kampret
Gondrong! Ha..ha..ha..!”
Dewa
Ketawa melompat ke punggung keledai kecil itu. Binatang ini melenguh pendek
lalu melangkah cepat. Seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya Wiro melihat
Dewa Ketawa hanya menumpang duduk di atas punggung keledai sementara kedua
kakinya yang menjejak tanah melangkah cepat mengikuti langkah keledai.
******************
BAB III
Malam itu
hujan turun lebat sekali. Di bawah curahan hujan deras dan dinginnya udara
seorang penunggang kuda nampak memacu tunggangannya memasuki Singosari dari
pintu gerbang Utara. Busur dan kantong anak panah tersandang di bahunya.
Sebilah golok panjang tergantung pada ikat pinggang besar yang dikenakannya.
Bahu kirinya dibalut kain tebal untuk menutupi luka besar yang masih mengeluarkan
darah. Ternyata dia adalah seorang anggota pasukan Singosari berpangkat
setinggi di bawah kepala pasukan.
Luka di
bahu kirinya membuat tubuhnya panas dingin. Tapi perajurit ini berusaha
menguatkan diri. Apapun yang kemudian terjadi atas dirinya dia tidak perduli.
Yang penting dia harus menyampaikan berita besar itu pada Patih Kerajaan.
Seharusnya dia melapor pada atasan tertinggi yaitu Panglima Perang Argajaya.
Namun karena kediaman sang Panglima terletak jauh di selatan sedangkan Patih
Raganatha diam di kawasan kraton yang lebih dekat sementara lukanya cukup
parah, maka prajurit itu memutuskan menghubungi Patih Kerajaan lebih dulu.
Tetapi para pengawal di gedung Kepatihan tidak satupun yang berani membangunkan
Raganatha. Perajurit itu disarankan agar melapor pada Panglima Argajaya saja.
Udara
mulai terang-terang tanah ketika akhirnya prajurit itu sampai di tempat
kediaman Panglima Pasukan Singosari. Dia harus menunggu lama sampai seorang
pengawal keluar menanyakan keperluannya.
”Serombongan
pasukan menyerang balatentara Singosari di Welirang… Perajurit kita banyak yang
menemui ajal akibat serangan mendadak ini. Kepala pasukan berusaha bertahan.
Aku diutus untuk melapor serta minta bala bantuan.”
”Tunggu
di sini. Aku akan beritahu Panglima Argajaya,” kata pengawal itu.
Tak
selang berapa lama Panglima Balatentara Singosari itu muncul di hadapan si
prajurit. Prajurit ini segera menghatur hormat.
”Saya
Kijangat, Wakil Kepala Pasukan wilayah Porong di utara. Saya dikirim Kepala
Pasukan untuk menghadap dan melapor.”
”Pengawal
mengatakan ada pasukan tak dikenal menyerang pasukanmu. Betul?”
Kijangat
mengangguk. ”Jumlah mereka cukup banyak sedang kekuatan kita di wilayah itu
terbatas. Saat ini pasukan Singosari pasti berada dalam bahaya besar. Kepala
Pasukan minta saya mendapatkan bantuan dengan segera.”
”Kalian
tahu kira-kira pasukan dari mana yang berani menyerbu bala tentara Singosari
itu?” tanya Panglima Argajaya.
”Besar
dugaan mereka adalah orang-orang Kediri…”
”Orang-orang
Kediri berani melakukan itu? Pasti Adikatwang yang punya pekerjaan! Keparat!”
Argajaya tampak berang besar.
”Ada satu
hal lagi Panglima,” kata Kijagat.
”Apa?”
” Dalam
rombongan penyerbu itu bercampur pula orang-orang Madura…”
Paras
Panglima Argajaya yang tadi sudah merah kini jadi tambah merah mengelam. ”Aku
harus segera bertindak!” katanya. ”Tapi lukamu perlu diobati.”
Argajaya
berteriak memanggil pengawal. Begitu pengawal muncul dia berkata. ”Rawat
lukanya. Kalau sudah biarkan dia istirahat di salah satu kamar belakang.”
Dalam
keadaan letih karena perjalanan jauh dan karena banyak darah yang keluar
Kijangat dipapah oleh dua orang pengawal. Tapi dua pengawal ini ternyata tidak
melakukan seperti apa yang diperintahkan Argajaya. Kijangat dinaikkan ke atas
sebuah gerobak lalu dilarikan menuju ke Selatan. Pengawal yang satu bertindak
sebagai kusir gerobak sementara satunya lagi menduduki punggung Kijangat yang
dipaksa menelungkup di lantai kereta.
”Hai!
Kalian mau bawa kemana aku?!” teriak Kijangat. ”Kalian diperintahkan untuk
mengobati lukaku!”
”Tutup
mulutmu atau kubunuh kau saat ini juga!” bentak pengawal yang menduduki punggung
Kijangat hingga orang ini tidak berkutik. Sebilah golok pendek disilangkannya
di batang leher Kijangat.
Gerobak
meluncur kencang di atas jalan tanah berbatu-batu menuju arah Selatan Tumapel
ibukota Singosari.
Di satu
tempat yang sunyi dan ditumbuhi pepohonan lebat, pengawal di sebelah depan
hentikan gerobak. Dia memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu sunyi
senyap. Udara pagi masih terasa dingin. Mereka berada di bibir timur Lembah
Bulan Sabit. Keadaan di situ diselimuti kesunyian.
”Kurasa
ini tempat yang baik,” berbisik pengawal yang mengemudikan gerobak.
Dia
memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kawannya di sebelah belakang serta
merta angkat tangan kanannya yang memegang golok. Lalu sekuat tenaga senjata
itu dihunjamkannya ke punggung Kijangat.
Wakil
Kepala Pasukan wilayah Porong itu meraung keras. Kepalanya mendongak sesaat
lalu terbanting ke atas lantai gerobak. Darah mengucur membasahi punggung
pakaiannya. Kedua kaki dan tangannya mengejang beberapa kali lalu diam tak
berkutik lagi. Dua pengawal menurunkan tubuh Kijangat dari atas gerobak. Lalu
tubuh itu mereka lemparkan ke lembah.
Tak lama
setelah gerobak bersama dua pengawal itu berlalu, dari pusat Lembah Bulan Sabit
sayup-sayup terdengar suara orang bersiul menyanyikan lagu tak menentu.
Mendadak
suara siulan itu berhenti. Menyusul terdengar satu seruan.
”Astaga!
Binatang atau manusia yang melingkar di semak belukar itu!”
Orang
yang bersiul menggaruk kepalanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng yang tengah meninggalkan Lembah Bulan Sabit setelah pertemuan dengan
Gayatri, Dewa Ketawa, dan Kakek Segala Tahu. Wiro mendekati dengan cepat sosok
yang terbaring di tanah dengan pakaian penuh lumuran darah. Orang ini
berseragam prajurit Singosari. Sosok ini adalah Kijangat yang sebelumnya telah
ditusuk oleh pengawal Panglima Argajaya. Wiro memeriksa keadaan prajurit yang
malang itu. ”Masih hidup. Tapi tak bakal lama,” pikir Wiro. Bibir Kijangat
tampak bergetar.
Dari sela
bibir itu terdengar suara mengerang. Murid Eyang Sinto Gendeng segera alirkan
tenaga dalam untuk memberi kekuatan pada orang yang tengah sekarat itu.
”Prajurit
Singosari, katakan apa yang terjadi,” Wiro menekan dada Kijangat dengan telapak
tangan kanannya. Mulut Kijangat terbuka sedikit. Namun bukan suara yang keluar
melainkan lelehan darah. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Sepasang mata
Kijangat membuka, hanya putihya yang kelihatan.
Pas..pasukan
musuh me.. menyerang di Utara…” Kijangat berucap dengan susah payah. ”Aku…aku
melapor pad Panglima…Dua peng.. pengawalnya membawaku ke sini.
Aku..aku
ditusuk… Pengawal itu sengaja… membunuhku. Beritahu Patih. Penyerang adalah
orang-orang Kediri…orang-orang Madura. Aku…” Kijangat megap-megap.
”Beritahu
siapa namamu!” ujar Wiro.
”Aku…aku
Kijangat. Aku…” kata-kata Kijangat terputus. Nyawanya lepas. Wiro menghela
napas panjang. Dia ingat ramalan Kakek Segala Tahu.
”Agaknya
ramalan orang tua itu akan segera menjadi kenyataan,” kata Wiro dalam hati.
*********************
Bagi Wiro
yang merasa dirinya tidak lebih sebagai seorang buronan tidak mungki untuk
menemui Patih Singosari guna melaporkan apa yang diketahuinya. Sesuai dengan
petunjuk Gayatri, pagi itu dia berusaha untuk menyelinap di sekitar Keraton,
mencari seorang abdi tua bernama Damar.
Namun
anehnya setiap orang yang ditanya mengatakan tidak ada orang bernama Damar.
Selagi kebingungan tiba-tiba ada seorang anak lelaki mendatangi dan sengaja
menabraknya.
Wiro yang
sedang bingung hendak mendamprat anak itu. Tapi si anak berkata tanpa
berpaling, ”Ikuti saya. Saya tahu orang bernama Damar itu.”
Wiro
cepat ikuti si anak. Dia dibawa ke tembok belakang Keraton, menuju sederetan
kandang kuda. Seorang lelaki tua bertubuh katai tampak tengah memaku ladam kaki
kiri belakang seekor kuda besar. Anak tadi menunjuk pada orang tua katai itu
lalu cepat-cepat bertindak pergi.
Murid
Sinto Gendeng dekati orang tua bertubuh katai yang tengah memperbaiki ladam di
kaki seekor kuda. Abdi yang tingginya hanya sepinggang Wiro menatap Pendekar
212 dengan pandangan dingin.
“Apa
keperluanmu?” tanya orang tua katai ini. Ternyata suaranya besar sekali.
”Saya
mencari seorang bernama Damar,” jawab Wiro.
”Dari
mana kau tahu nama itu?” tanya lagi si katai.
Wiro jadi
ragu untuk menjawab.
”Orang
bertanya apakah kau tuli?!”
”Puteri
bungsu Sang Prabu yang memberi tahu nama itu,” Wiro akhirnya menjawab.
”Namamu
sendiri siapa?!”
Dalam
hati Wiro mulai mendumal. Si katai tua ini banyak sekali tanyanya. Tapi karena
perlu maka diapun menjawab juga. ”Saya Wiro. Sahabat Raden Ayu Gayatri.”
Si katai
menyeringai sinis. ”Puteri Gayatri mana punya sahabat orang sepertimu!”
Habis
berkata begitu acuh tak acuh si katai membalikkan tubuh. Dia mengambil sebuah
ladam besi dari dalam sebuah kotak kayu. Tangan kanannya yang memegang ladam
itu bergerak meremas. Kraaakkk! Ladam besi patah tiga!
Selagi
Wiro mengagumi kehebatan orang ini, tiba-tiba si katai melemparkan tiga besi
potongan ladam tadi ke arahnya.
Tiga
potongan besi itu menderu ke arah kepala, dada, dan perut Pendekar 212.
Kaget
murid Sinto Gendeng bukan kepalang. Cepat dia menghantam lepaskan pukulan sakti
Tameng sakti menerpa hujan. Tiga kepingan ladam maut mental. Dua menancap di
atap kandang kuda, satu lagi menancap di tembok belakang Keraton. Angin pukulan
sakti itu terus menggebubu menyapu ke arah si katai. Dengan cekatan orang tua
ini melompat ke samping. Di lain kejap dia telah duduk seenaknya di atas
punggung seekor kuda. Wajahnya masih sedingin tadi walau kini tampak senyumnya
yang sinis.
Ketika
Wiro hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong berikutnya, si katai cepat
mengangkat tangan tinggi-tinggi.
”Tahan!”
katanya. ”Sekarang aku baru percaya kau pemuda yang bernama Wiro, sahabat Raden
Ayu Gayatri. Aku mendengar kehebatanmu darinya. Karena itu aku perlu menguji
lebih dahulu. Kau mampu melumpuhkan seranganku. Hanya orang yang berkepandaian
setinggi puncak Gunung Semeru yang dapat melakukan hal itu!”
”Orang
tua, siapa kau sebenarnya?!” tanya Wiro.
Orang tua
itu tidak menjawab. Dia membuat gerakan ringan dan sekali berkelebat kini dia
sudah berdiri di atas punggung kuda. Tangan kanannya diulurkan ke atas atap.
Wiro
melihat ada sebuah bungkusan di atap kandang kuda itu.
Orang tua
ini mengambil bungkusan itu, membukanya lalu melemparkan isinya pada Wiro.
”Tukar pakaianmu
dengan itu!” kata si katai.
Wiro
perhatikan apa yang barusan dilemparkan orang tua katai itu. Ternyata
seperangkat pakaian prajurit Singosari.
”Kalau
kau ingin menemui Raden Ayu Gayatri, lekas kenakan pakaian itu. Aku tak punya
waktu lama.”
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya.
”Kau
pasti sudah lama tidak mandi. Sejak tadi kulihat sudah beberapa kali kau
menggaruk-garuk kepala!”
”Kurang
ajar! Sialan!” maki Wiro dalam hati.
******************
BAB IV
Patih
Raganatha yang ditemani Pendeta Mayana untuk beberapa saat seperti tidak bisa
percaya atas apa yang barusan disampaikan Raden Ayu Gayatri.
”Kami
akan sampaikan berita ini pada Panglima Argajaya agar dia segera melakukan
tindakan,” kata Patih Raganatha.
”Saya
lebih suka kalau Paman Patih langsung menyampaikan pada Sang Prabu,” kata Raden
Ayu Gayatri.
”Jika itu
keinginan Raden Ayu akan kami laksanakan,” jawab Pendeta Mayana.
”Lalu
bagaiman dengan Panglima Argajaya? Apakah tidak dilakukan pengusutan atas
dirinya?”
Patih
Raganatha tersenyum. ”Kita tidak tahu pasti apakah memang dia yang menyuruh
bunuh prajurit yang datang dari Porong itu. Atau kedua pengawalnya itu yang
sebenarnya telah menjadi kaki tangan orang-orang Kediri.”
”Kalau
begitu kedua pengawal itu harus ditangkap, diperiksa!”
Patih
Raganatha mengangguk. ”Serahkan semua urusan ini pada kami berdua.”
Patih
Raganatha dan Pendeta Mayana mengantarkan Gayatri sampai di pintu. Di situ
berdiri seorang prajurit bertubuh tegap yang tadi ikut datang mengantar puteri
Sang Prabu itu dan menunggu di luar.
”Raden
Ayu,” tiba-tiba Patih Raganatha ingat sesuatu.
”Dari
siapa sebenarnya Raden Ayu mendapat berita penyerangan itu. Bukankah prajurit
yang datang melaporkannya mati dibunuh?”
Gayatri
tak bisa menjawab. Dia berpaling pada prajurit yang tegak di samping pintu.
”Maafkan
saya,” kata prajurit itu setelah menghaturkan sembah hormat. ”Pagi tadi
kebetulan saya melakukan perondaan di Lembah Bulan Sabit. Saya yang menemukan
prajurit itu. Dalam keadaan sekarat dia masih sempat menceritakan apa yang
terjadi di Utara.”
Patih
Raganatha menatap paras prajurit itu sesaat.
”Jika kau
yang menemukan prajurit itu, selayaknya kau melapor pada Panglima, bukan pada
Raden Ayu Gayatri…”
Pendeta
Mayana melirik ke arah Gayatri. Dia melihat perubahan pada wajah puteri sang
Prabu ini ketika mendengar kata-kata Patih Raganatha.
”Terus
terang…” kata prajurit itu. ”Seharusnya memang saya melapor pada Panglima atau
Kepala Pasukan dipindahkan. Tetapi setelah saya tahu ada yang tidak beres dengan
kematian prajurit itu maka saya merasa khawatir dan berpikir lebih baik melapor
pada Paduka Patih saja. Dalam perjalanan ke sini saya berpapasan dengan Raden
Ayu. Saya ceritakan padanya kejadian itu. Kami bersama-sama kemudian menghadap
Paduka Patih.”
Patih
Raganatha mengangguk-angguk tapi kedua matanya tetap mengawasi prajurit itu.
”Paman
Patih, ingat. Kerajaan dalam bahaya besar. Sebaiknya segera saja menemui
Ayahanda,” kata Gayatri memotong karena mulai merasa tidak enak. Dia
membalikkan diri dan meninggalkan tempat itu dengan cepat. Si prajurit
melangkah di sampingnya.
”Tunggu!”
tiba-tiba Patih Ragantha berseru dan memburu. Dia memotong jalan si prajurit
dan menghadang di depannya. Pendeta Mayana bergegas menyusul. ”Aku merasa
pernah melihatmu sebelumnya,” kata Patih Raganatha.
Tangannya
diulurkan menarik rambut prajurit yang tergelung di atas kepala.
Ketika
ikatan rambut itu terbuka dan rambut si prajurit menjulai gondrong sebahu,
ingatan Patih Raganatha pulih penuh. Dia mengenali siapa adanya prajurit itu.
”Kau…!
Aku sudah duga dan curiga! Kau ternyata buronan bernama Wiro itu!
Serahkan
dirimu!”
”Paman
Patih! Siapa dia tidak penting!” Gayatri keluarkan suara keras seraya menyeruak
lalu tegak diantara Wiro dan Patih Raganatha. “Yang lebih penting adalah
menyelamatkan Kerajaan dari kaum penyerbu Kediri dan Madura!”
Paras
Patih Singosari itu nampak membesi. “Manusia satu ini tak kalah pentingnya
Raden Ayu. Saya harus menangkapnya saat ini juga!”
Di saat
itu pula Wiro tiba-tiba mendengar suara mengiang di telinga kirinya.
Seseorang
mengirimkan suara tanpa berucap kepadanya, “Anak muda, lekas kau lakukan
sesuatu sebelum Patih Raganatha menangkapmu.”
Wiro
maklum, yang mengirimkan ucapan itu adalah Pendeta Mayana, kekasih gurunya di
masa muda. Saat itu pula dilihatnya Patih Raganatha melompat ke hadapannya.
Kedua
tangannya diulurkan ke depan dan Wiro melihat kedua tangan itu berubah panjang
sekali, bercabang-cabang seperti gurita.
“Astaga!”
Pendeta Mayana terkejut melihat apa yang dilakukan Patih Raganatha.
”Mapatih
mengeluarkan ilmu Seratus gurita mengamuk. Murid Sinto Gendeng itu tak mungkin
bisa lolos!”
Diam-diam
dari belakang dalam gerakan yang tidak kelihatan dan terlindung di balik
pakaiannya, Pendeta Mayana mengangkat tangan kanannya lalu menariknya ke
belakang.
Gerakan
Patih Raganatha mendadak seperti tertahan. Dalam kejutnya Patih Kerajaan ini
lipat gandakan tenaga dalamnya.
Justru
saat itu dari depan Wiro mendahului dengan mendorongkan tangan kiri ke arah
dada, mengirimkan pukulan tangan kosong kunyuk melempar buah. Raganatha merasa
seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Dia cepat berkelit ke samping.
Namun
angin pukulan Wiro masih sempat menabrak bahunya. Patih Singosari ini terpuntir
keras dan terbanting ke lantai. Dua tangannya yang tadi berubah panjang
bercabang-cabang lenyap dan kembali ke bentuknya semula. Ketika dia mencoba
bangkit dengan mengerenyit kesakitan ditolong oleh Pendeta Mayana, Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Patih
Ragantha memandang tak berkesip pada Raden Ayu Gayatri. Kalau saja bukan puteri
sang Prabu yang dihadapinya mungkin saat itu sudah ditamparnya. Dia menoleh ke
arah Pendeta Mayana, pandangan matanya tampak beringas.
Ah, dia
tahu kalau aku tadi menahan gerakannya, membatin sang Pendeta. Lalu dia cepat
berkata: ”Mapatih, kita harus segera menghadap Sang Prabu.”
”Biarkan
saya sendiri yang menghadap Sang Prabu,” kata Patih Raganatha. Lalu dengan
bergegas ditinggalkannya tempat itu. Pendeta Mayana dan Gayatri hanya bisa
saling pandang untuk beberapa saat lamanya. Sang Pendeta kemudian berkata.
“Raden Ayu, seperti Raden Ayu, saya merasa yakin bahwa saat ini Singosari
benar-benar berada dalam bahaya besar. Saya akan menghubungi Damar.
Hati-hatilah bicara dan bertindak.
Bukan
mustahil dalam Keraton ini ada musuh dalam selimut.”
Raden Ayu
Gayatri mengangguk.
Ketika
Patih Raganatha masuk ke ruangan dimana sang Prabu biasa menerima kedatangan
para pejabat dan petinggi Keraton, di tempat itu ternyata sudah ada Panglima
Argajaya tengah bicara dengan sang Prabu.
”Mungkin
apa yang saya hendak sampaikan pada sang Prabu, sama dengan apa yang tengah
dibicarakan Panglima dengan sang Prabu saat ini,” kata Patih Raganatha.
Lalu dia
menerangkan kabar penyerbuan orang-orang Kediri yang dibantu oleh orangorang
Madura.
”Paman
Patih benar,” kata Panglima Argajaya.
”Saya
baru saja menyampaikan laporan itu pada sang Prabu. Bahkan saya sudah
mengirimkan satu kelompok kecil pasukan ke Utara.”
”Satu
kelompok kecil?” ujar Patih Raganatha. ”Kaum penyerbu dikabarkan berjumlah
cukup besar dan pasukan kita di sekitar Porong saat ini terdesak hebat.”
”Ah, dari
manakah sumber keterangan Paman Patih?” bertanya Argajaya.
Sesaat
Patih Raganatha terdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk bicara apa adanya. Lalu
diceritakannya kedatangan Raden Ayu Gayatri bersama pemuda bernama Wiro itu.
Terkejutlah
Sang Prabu mendengar keterangan Sang Patih. ”Pemuda kurang ajar buronan itu
berani masuk Keraton dan bersama puteriku! Paman Patih! Tugasmu menagkapnya!”
”Saya
sudah melakukannya Sang Prabu. Tapi pemuda itu sempat melarikan diri..” jawab
Patih Raganatha.
“Kalau
memang dia yang jadi sumber keterangan, jangan-jangan kita sudah kena ditipu!”
berkata Argajaya.
”Berarti
tepat tindakan saya hanya mengirimkan satu pasukan kecil ke Utara”
“Saya
mencium hal yang mencurigakan,” menyahut Patih Raganatha. Ketika bicara dia
memandang pada Sri Baginda.
“Maksud
Mapatih?” tanya Sang Prabu.
”Menurut
keterangan yang saya terima, prajurit yang datang dari Utara membawa laporan
dan pesan, dibunuh oleh dua orang pengawal yang bertugas di tempat kediaman
Panglima…Hal ini perlu diusut!”
”Secara
tidak langsung Paman Patih bermaksud mengatakan bahwa saya harus dicurigai dan
diusut!” Panglima Argajaya tidak dapat menyembunyikan rasa marahnya.
Suaranya
bergetar.
“Saya
tidak mengatakan demikian Panglima. Tapi jika keterangan itu benar, harus
dicari tahu mengapa hal itu terjadi,” jawab Patih Raganatha.
”Mencurigai
sesama kita tidak baik,” ujar Sang Prabu.
”Saya
setuju dengan ucapan Sang Prabu,” kata Panglima Argajaya. ”Lagi pula saya sudah
melakukan pengusutan sebelum Paman Patih mengemukakan. Prajurit yang datang
dari Utara berada dalam keadaan luka parah. Ketika hendak diobati dia berusaha
melarikan diri. Karena tidak mau menyerah, dua pengawal saya terpaksa
menyerangnya. Dia memang tewas.”
”Tapi
mengapa mayatnya ditemukan dekat Lembah Bulan Sabit? Tidak di Tumapel?”
Panglima
Argajaya tampak merah wajahnya. Lalu didengarnya Patih Kerajaan bertanya,
”Bisakah saya bicara dengan dua pengawal yang Panglima sebutkan tadi?”
”Bisa
saja. Tapi keduanya sudah saya kirim ke Utara bersama kelompok pasukan
bantuan.” jawab Argajaya pula. Lalu dia berpaling pada Sri Baginda. “Sang
Prabu, kita berada di sini bukan untuk membicarakan kematian prajurit atau
kecurigaan terhadap dua pengawal saya ataupun diri saya sendiri. Yang harus
kita lakukan adalah menumpas kaum pemberontak itu. Saya telah mengirimkan
sejumlah pasukan ke Utara. Seseorang sudah saya minta untuk melihat situasi dan
kembali memberikan laporan siang ini juga.
Bagaimanapun
juga saya mohon petunjuk Sang Prabu lebih lanjut.”
”Kalian
melaporkan adanya orang-orang Kediri dan pasukan dari Madura yang bergabung
dalam pasukan penyerbu itu,” berucap Sang Prabu. ”Sekali lagi saya katakan
tidak mungkin Adikatwang ataupun Wira Seta punya niat jahat terhadap Singosari.
Saya setuju dengan tindakan Panglima hanya mengirim serombongan pasukan kecil.
Yang penting seluruh pasukan disiapsiagakan untuk melindungi Tumapel.
Tapi
ingat, satu lapis pasukan harus dikirim ke luar Kotapraja sebelah Utara untuk
menjaga segala kemungkinan.”
”Perintah
Sang Prabu akan saya lakukan,” kata Panglima Argajaya pula. ”Jika tidak ada
hal-hal lain, saya minta diri untuk menjalankan perintah.”
”Kau
boleh pergi Panglima. Beritahu setiap ada perkembangan baru pada saya.”
“Akan
saya lakukan sang Prabu.” Kata Argajaya pula.
Lalu
setelah melontarkan lirikan tajam ke arah Patih Raganatha diapun keluar dari ruangan
itu.
“Saya
rasa sayapun bisa minta diri jika diizinkan,” kata Patih Singosari setelah
hanya dia saja yang berada di ruang itu bersama sang Prabu.
“Tolong
panggilkan Pendeta Mayana. Minta dia datang ke ruangan berdoa. Saatsaat seperti
ini meminta perlindungan dari Yang Kuasa adalah sangat penting. Jika Paman
Patih suka bisa ikut mengadakan upacara pemanjatan doa bersama-sama.”
“Saya
akan panggilkan Pendeta Mayana,” kata Patih Raganatha lalu meninggalkan ruangan
setelah terlebih dulu menjura hormat.
******************
BAB V
Beberapa
pengawal yang bertugas di halaman belakang Keraton meliha ada orang lari segera
mengejar. Di sebelah depan sempat menghadang empat orang prajurit bersenjatakan
tombak dan pedang. Namun keempatnya langsung terjengkang begitu kaki dan tangan
Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat menghantam.
Dengan
gerakan ringan apalagi setelah menerima ilmu meringankan tubuh dari Dewa
Ketawa, Wiro Sableng melompati tembok belakang Kraton tanpa kesulitan. Para
pengawal tak mungkin mengejar. Begitu menjejakkan kaki di jalan belakang tembok
sesaat Wiro berpikir kemana dia harus pergi dan apa yang musti dilakukannya.
Selagi dia berpikir begitu di depannya dilihatnya seorang nenek berjubah merah
muda berbelangbelang merah tua melangkah ke arahnya. Semakin dekat perempuan
tua ini mendatangi tambah jelas keanehan pada wajahnya dilihat Wiro. Nenek ini
memiliki mata semerah buah saga. Telinganya dicantoli giwang panjang berwarna
merah.
Tiupan
angin dan langkah yang dibuatnya menyebabkan sepasang giwang itu bergoyang-goyang
dan mengeluarkan suara bergemerincing. Sesekali si nenek mengulurkan lidah
membasahi bibirnya. Lidah itu mengerikan sekali. Bukan saja karena panjang
tetapi juga warnanya yang merah seperti api.
Di
belakang rambutnya yang berwarna merah lepas riap-riapan ada secarik pita yang
juga berwarna merah. Wajahnya yang angker tampak lebih mengerikan karena
sepasang alisnya yang panjang menjulai ternyata juga berwarna merah pekat!
Nenek
aneh ini melangkah ke arah Wiro. Begitu sampai di hadapannya baru murid Sinto
Geneng ini menyadari betapa tingginya si nenek. Kepalanya hanya sampai di dada
perempuan tua itu.
Si nenek
mengeluarkan tangan kanannya. “Minta sedekah!” katanya kasar.
Pandangan
mukanya garang dan kedua matanya membara. Ketika bicara lidahnya menjulur keluar
seperti lidah api menyambar. Wiro merasa ada hawa panas keluar dari mulut dan
mungkin juga dari kedua mata perempuan tua ini.
Ah,
pengemis dia rupanya, kata Wiro dalam hati.
Perasaannya
yang tidak enak kini menjadi lega. Namun dia tidak bisa memberikan apa-apa dan
harus segera meninggalkan tempat itu sebelum ada yang mengejar.
”Harap
mafkan, saya tidak punya uang,” kata Wiro lalu cepat memutar diri hendak
tinggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba, sama sekali tidak terduga, tangan kanan
yang masih diulurkan itu meluncur ke arah dada Wiro Sableng. Pendekar ini
merasakan ada hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. Saat itu juga dia tidak
bisa bergerak tidak bisa bersuara! Ternyata nenek pengemis itu telah menotoknya
dengan ilmu totokan yang aneh. Semakin lama Wiro merasakan tubuhnya semakin
panas!
Celaka!
Keluh Pendekar 212.
Di
hadapannya si nenek tertawa mengekeh. Lidahnya terjulur-julur seperti lidah api
menyambar-nyambar. Kedua matanya bertambah merah. Dia membungkuk, siap
memanggul tubuh Wiro. Pada saat itulah ada angin menyambar disusul oleh satu
letupan halus. Segulung asap putih menggebubu menutupi jalan seluas lima tombak
persegi.
Wiro
merasa ada seseorang tiba-tiba memegang pinggangnya, tubuhnya dikempit lalu
dibawa lari laksana melayang. Di belakangnya terdengar suara nenek memaki marah
lalu ada suara menderu keras. Wiro memandang ke belakang. Dari gelungan asap
putih tebal dilihatnya ada lidah api mencuat mengerikan. Lidah api ini mengejar
ke arahnya.
Panas dan
ganas. Orang yang mengempitnya melompat ke kiri sambil mengebutkan lengan jubah
pakaiannya. Semburan lidah api tampak bergoyang-goyang.tubuh si pengempit
bergetar keras hampir jatuh. Tapi lidah api berhasil dibuat mental hingga Wiro
dan orang yang mengempitnya tidak sempat disambar lidah api itu. Dalam waktu
beberap kejapan saja si pengempit sudah membawa Wiro jauh dan tak mungkin
dikejar oleh nenek pengemis tadi.
Di satu
tempat yang sunyi, orang yang mengempit menurunkan Wiro ke tanah.
Tegak
berhadap-hadapan Wiro cepata memandang ke arah wajah orang yang telah
menolongnya itu. Ternyata orang itu mengenakan sehelai cadar hitam untuk
menutupi wajahnya. Tapi dari pakaiannya Pendekar 212 mulai menduga-duga.
Orang
bercadar membuka dada pakaian Wiro lalu dari balik cadarnya dia meniupi dada
yang ditotok oleh nenek pengemis tadi. Wiro merasa ada hawa hangat sejuk
menembus kulit dan daging tubuhnya, terus menyusup ke seluruh peredaran
darahnya.
Sesaat
kemudian tubuhnya yang tadi serasa panas hingga dia kucurkan keringat
sebesarbesar butir jagung kini menjadi dingin dan saat itu pula dia bisa
menggerakkan kaki tangannya dan membuka suara.
”Terima
kasih,” ucap Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
”Sahabat,
siapakah kau yang telah menolongku? Dan siapa nenek pengemis tadi? Mengapa dia
menotok saya?”
“Dia
bukan pengemis,” jawab orang bercadar. “Dia adalah Dewi Maha Geni, seorang
tokoh silat istana yang ilmu luar biasa tapi diragukan kesetiaannya.
Kemungkinan
dia adalah kaki tangan orang-orang Kediri… Dia pasti bermaksud menculikmu. Ada
dua kemungkinan mengapa dia melakukan hal itu, pertama membujukmu ikut dalam
gerakan Adikatwang dan Wira Seta. Atau menyerahkan kepalamu pada orang-orang
Kediri!”
Wiro
terkesiap mendengar ucapan orang itu. “Kau, kau sendiri belum mengatakan siapa
dirimu. Saya seperti mengenal suaramu tapi agak meragu. Bukankah kau…“
Orang di
hadapan Wiro membuka cadar hitamnya. Wiro melihat satu wajah yang bersih dan
mata yang bening.
“Pendeta
Mayana!” seru Wiro sementara orang di hadapannya hanya tersenyum kecil. “Saya
memang sudah menyangka tadi..”
“Waktuku
tidak banyak. Aku perlu beberapa bantuan darimu,“ kata Pendeta Mayana.
“Katakanlah,
matipun aku mau mengingat budi besarmu” jawab Pendekar 212 tanpa ragu-ragu.
“Tidak,
bantuan itu bukan untuk pribadiku. Tapi untuk Kerajaan. Untuk Singosari,” kata
Pendeta Mayana pula. ”Kita sudah sama tahu bahwa musuh mulai menyerbu dari
Utara.”
Wiro
mengangguk. Sang Pendeta meneruskan. “Aku punya firasat bahwa Singosari akan jatuh.
Beberapa petunjuk Dewa mengatakan begitu. Sementara Sang Prabu seperti tidak
mau percaya pada kenyataan. Jika bahaya benar-benar tak dapat dihindari, aku
mohon kau menyelamatkan keempat puteri sang Prabu dan dua buah pusaka Kerajaan
yaitu Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Dua benda itu adalah yang
menentukan syah tidaknya seseorang menjadi Raja Singosari.”
”Saya
akan lakukan hal itu pendeta. Namun saya butuh petunjukmu bagaimana
melakukannya.”
Pendeta
Mayana mengangguk. “Bila saatnya sudah tiba, aku akan tunjukkan dimana adanya
kedua benda pusaka itu.”
”Bagaimana
caranya saya menghubungi pendeta?” tanya Wiro.
”Seorang
sahabat yang akan menghubungimu. Berusahalah agar tidak jauh-jauh dari Keraton.
Kalau perlu menyamar.”
”Akan
saya lakukan,” jawab Wiro. Lalu dia bertanya.
”Siapa
sahabat yang akan menghubungi saya itu?”
”Damar.”
”Damar?
Orang katai perawat kuda-kuda Keraton itu?”
Pendeta
Mayana tersenyum. “Itu pekerjaannya sehari-hari. Tapi sebenarnya dia adalah
orang kita yang disusupkan ke Keraton untuk membayangi tindak-tanduk Dewi Maha
Geni. Cuma aku khawatir tingkat kepandaiannya masih berada jauh di bawah nenek
bermata dan berlidah api itu. Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…”
“Sekali
lagi terima kasih saya untukmu Pendeta. Kau juga harus berhati-hati. Saya
menduga Keraton telah disusupi musuh dalam selimut…”
Pendeta
Mayana mengangguk segera tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba Wiro ingat pada pesan
Eyang Sinto Gendeng, gurunya. Pendeta Mayana juga tahu sekali pesan itu karena
disampaikan lewat dirinya.
”Pendeta,
tunggu dulu!” seru Wiro. Dia lari mengejar.
“Ada
apa?” tanya Pendeta Mayana seraya hentikan larinya.
”Saya punya
ganjalan dalam melakukan permintaanmu.
Ingat
pesan Eyang Sinto Gendeng yang disampaikannya untukku melaluimu di pondok
Lembah Bulan Sabit tempo hari?”
Pendeta
Mayana tersenyum. “Aku tidak lupa hal itu. Pesan orang tua dan guru wajib
diingat dan dihormati. Tetapi harus kau ketahui setiap pesan bisa saja tidak
sesuai lagi dengan keadaan dan kehendak waktu. Lebih dari itu berbuat satu
kebajikan untuk orang banyak apalagi Kerajaan lebih banyak hikmahnya daripada
hanya mengikuti suatu pesan yang tidak dapat lagi dipertahankan. Kau mengerti
maksudku?”
“Saya
mengerti Pendeta,” jawab Wiro.
“Apakah
kau kini masih merasa ada ganjalan?”
”Tidak.”
“Bagus.
Kalaupun nanti gurumu marah, biar aku yang menghadapinya. Aku yang akan
bertanggung jawab terhadap dirinya.”
“Kalau
begitu sekarang saya benar-benar merasa lega.”
Pendeta
Mayana mengangguk dan tinggalkan tempat itu.
*********************
Patih
Raganatha tidak berhasil menemui Pendeta Mayana. Sang Pendeta saat itu secara
diam-diam hendak menemui Raden Ayu Gayatri di Kaputeran.
Di taman
indah di samping Kaputeran Pendeta Mayana berpapasan dengan seorang pemuda
bertubuh tinggi langsing berparas cakap. Dia adalah Raden Juwana, calon menantu
sang Prabu yang kelak akan dinikahkan dengan puteri sulung Tribuana Tunggadewi.
Saat itu Raden Juwana tengah bercakap-cakap dengan calon istrinya yang ditemani
oleh seorang pengasuh. Melihat jalan Pendeta Mayana yang begitu bergegas, Raden
Juwana menegur hormat.
”Rupanya
ada sesuatu yang penting hingga Pendeta tampak melangkah cepat.
Ada
apakah hingga Pendeta mengambil jalan melintas menuju Kaputeran?”
“Syukur
Raden ada disini. Mari kita sama-sama masuk Kaputeran. Ada hal penting yang
perlu kita bicarakan.”
Raden
Juwana dan Pendeta Mayana melangkah di depan. Tribuana mengikuti dari belakang
diiringi pengasuh. Di dalam Kaputeran yang kemudian dihadiri juga oleh tiga
puteri Raja lainnya termasuk puteri bungsu Gayatri, Pendeta Mayana menjelaskan
tentang adanya serangan oleh musuh Kerajaan di sebelah Utara.
”Saya
bukan seorang peramal. Tetapi dalam kehidupan ini segala sesuatunya dapat kita
hubungkan dengan petunjuk dari Dewata. Beberapa waktu lalu ada hal aneh yang
terjadi di candi Jago. Petir dahsyat menyambar di siang hari.
Getarannya
terasa sampai di jantung. Ini satu pertanda dari para Dewa bahwa sesuatu akan
terjadi di Singosari. Jika hal itu adalah sesuatu yang baik, kita tidak perlu
membicarakannya. Tetapi bagaimana kalau kelak itu adalah pertanda akan
terjadinya sesuatu yang buruk, suatu malapetaka?”
“Maksud
Pendeta Mayana?” tanya Raden Juwana.
”Orang-orang
Kediri dibantu oleh orang-orang Madura mengirimkan pasukan, menyerbu kedudukan
pasukan kita di Utara sekitar Porong. Panglima telah mengirimkan bala bantuan
namun saya merasa khawatir pihak kita akan mengalami kekalahan.”
”Mana
mungkin Singosari bisa dikalahkan. Kta mempunyai jumlah pasukan yang lebih
besar dan terlatih. Apakah Raden Adikatwang dan Wira Seta ikut terlibat dalam
gerakan penyerbuan itu?”
”Saya
rasa begitu,” jawab Pendeta Mayana. Lalu dipegangnya bahu Raden Juwana dan
diajaknya berjalan agak menjauh dari Tribuana. ”Dengar…” kata Pendeta Mayana
pula. ”Singosari memang punya bala tentara besar dan terlatih. Tetapi baik
Panglima maupun Mapatih serta sang Prabu merasa bahaya itu tidak perlu
dikhawatirkan.
Lain dari
itu, saya merasa kita telah disusupi oleh musuh-musuh dalam selimut.”
”Kalau
Pendeta mengetahui siapa orangnya, mengapa tidak dilaporkan pada sang Sri
Baginda?” ujar Raden Juwana.
”Saya dan
beberapa petinggi Kerajaan berada dalam kesulitan. Sang Prabu tidak mau
mendengar pandangan kami.”
”Menurut
Pendeta apakah keadannya gawat sekali?”
“Saat ini
mungkin belum. Tapi siapa tahu apa yang terjadi besok atau lusa…?”
Saat itu
seorang prajurit Kraton muncul memberi tahu bahwa Pendeta Mayana ditunggu Sang
Prabu di Ruang Pemanjatan Doa.
”Kita
akan bicara lagi nanti,” kata Pendeta Mayana lalu tinggalkan tempat itu
mengikuti prajurit tadi.
******************
BAB VI
Malam itu
Tumapel dilanda kehebohan. Deretan gudang panjang di selatan Kotaraja dilanda
kebakaran. Di bagian lain hampir dua ratus ekor kuda yang ketakutan menjadi
liar, mendobrak palang pembatas dan lari ke pelabagai arah sulit untuk dikejar.
Di
halaman kandang kuda enam orang tidak dikenal menggeletak jadi mayat dengan
kepala pecah.
Orang tua
katai bernama Damar memandangi mayat itu satu per satu. Tak seorangpun yang
dikenalinya.
Seharusnya
tidak semua kubunuh, kata Damar dalam hati penuh penyesalan. Kini dia tidak
bisa mengetahui siapa adanya keenam orang yang dengan sengaja telah melepaskan
ratusan ekor kuda itu. Damar berlutut di samping salah satu mayat.
Dirabanya
pakaian orang itu. Terasa tebal. Tangannya bergerak merobek dada pakaian mayat.
Ah! Orang
tua katai ini melengak. Di bawah pakaian yang barusan dirobeknya terlihat
sehelai pakaaian berwarna hitam bergaris-garis kuning. Itu adalah pakaian
seragam prajurit Kediri! Pasti mereka juga yang telah melakukan pembakaran atas
gudang senjata! Damar segera tinggalkan tempat itu, bergegas menuju gedung
Kepatihan.
Sampai di
depan gedung dilihatnya Patih Raganatha tegak di tangga depan, memandang ke
arah timur dimana langit tampak merah terbakar.
”Mohon
maafmu, Mapatih Singosari,” kata Damar.
”Orang-orang
Kediri berhasil menyusup dan melepas kuda-kuda milik kita. Saya berusaha
mengejar binatang-binatang itu. Tapi sia-sia saja. Enam penyusup berhasil saya
tewaskan…”
”Orang-orang
Kediri rupanya tidak main-main,” kata Patih Raganatha. Hatinya mulai merasa
khawatir. Dia berpaling pada seorang pembantu kepercayaan yang tegak di
sampingnya. ”Apa sudah ada kabar dari Panglima mengenai keadaan di Utara?”
Yang
ditanya menggeleng. ”Orang saya berusaha menemui Panglima. Namun pengawal di
sana mengatakan bahwa Panglima tengah melakukan pertemuan di Selatan dengan beberapa
Kepala Pasukan untuk membuat persiapan berjaga-jaga melindungi Kotaraja.”
”Ada
beberapa keanehan!” kata Patih Kerajaan pula.
”Orang-orang
Kediri menyusup begitu mudah. Ratusan kuda yang bisa diandalkan untuk perang
dilepas orang! Panglima tidak ada di tempat. Lalu gudang senjata dibakar orang!
Tak ada yang bisa diselamatkan! Lalu tak ada sama sekali kabar dari medan
pertempuran di Utara.”
”Maaf
Mapatih,” berkata pembantunya. ”Mungkin keterangan saya sebelumnya kurang
jelas. Mengenai gudang senjata yang terbakar, gudangnya memang musnah tetapi
sewaktu kebakaran terjadi tidak ada sepotong tombak atau pedang ataupun tameng
di dalamnya.”
”Berarti
gudang itu memang sudah kosong sebelum terjadi kebakaran!” sepasang mata Patih
Raganatha membeliak.
”Mungkin
memang begitu adanya, Mapatih,” jawab si pembantu.
”Aku
segera menemui sang Prabu. Beliau masih berada di Ruang Pemanjatan Doa saat
ini.” Patih itu berpaling pada Damar lalu berkata.
”Lakukan
apa yang bisa kau lakukan. Usahakan mengembalikan kuda-kuda yang terlepas itu.”
Orang tua
bertubuh katai itu mengangguk dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Tapi dia
tidak melakukan apa yang diperintahkan Patih Raganatha melainkan mendahului
Patih itu menuju Ruang Pemanjatan Doa.
Dalam
Ruang Pemanjatan Doa, sang Prabu hanya ditemani oleh Pendeta Mayana.
Sang
Prabu saat itu duduk di atas batu pualam putih yang mengeluarkan sinar terang
dalam ruangan yang redup itu. Keadaannya seperti orang yang kurang sadar. Kedua
matanya terpejam. Telapak tangan dirapatkan dan diluruskan di depan dada.
Mulutnya bregerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Damar maklum sekali
keadaan sang Prabu seperti itu buakn karena dia tenggelam dalam kekhusyukan
doa, melainkan karena pengaruh minuman keras yang diteguknya terlalu banyak. Di
atas lantai di sekitarnya bertebaran tabung-tabung dari tanah tempat minuman
keras yang telah kosong.
Di
sebelah belakang duduk bersila Pendeta Mayana. Ada dua tabung minuman di
sampingnya yang masih berada dalam keadaan penuh karena dia sama sekali tidak
menyentuhnya walaupun dalam upacara pemanjatan doa seperti itu meneguk minuman
keras memang diperkenankan.
Walaupun
tidak membuka mata namun Pendeta Mayana sudah tahu siapa yang datang.
”Kau
membawa kabar apa Damar?”
“Orang-orang
Kediri membakar gudang senjata yang sebelumnya memang sudah kosong. Mereka juga
melepaskan kuda-kuda. Panglima…”
”Tunggu,
saya mendengar langkah orang di luar sana. Ada yang datang,”
memotong
Pendeta Mayana. Ketinggian ilmunya membuat dia mampu mendengar langkah kaki
orang yang masih jauh sekalipun.
”Pasti
itu Patih Raganatha,” kata Damar. ”Saya tidak suka dia mengetahui kita bicara
di tempat ini.”
”Kalau
begitu lekas kita menyelinap ke balik tirai besar di sebelah kiri sana,” kata
Pendeta Mayana.
Kedua
orang itu cepat bersembunyi ke balik tirai biru muda tebal yang ada di dinding
sebela kiri ruangan. Tak lama kemudian seseorang memasuki Ruang Pemanjatan Doa.
Dia
memang adalah Patih Raganatha. Sang Patih agak heran mendapatkan Sri Baginda
hanya sendirian di ruangan. Apalagi dilihatnya Sang Prabu berada dalam keadaan
kurang sadar. Mau tak mau dia harus bicara dengan Sang Prabu. Patih Raganatha
berlutut di samping Raja. ”Sang Prabu, saya Patih Raganatha datang menghadap…”
“Kau
berani mengganggu Raja yang sedang melakukan upacara keagamaan?”
sepasang
mata Sri Baginda membuka sedikit. Kelihatan matanya agak merah kurang tidur.
”Mohon
maafmu sang Prabu. Tapi ada berita penting yang harus saya sampaikan.
Gudang
senjata dibakar dan ratusan kuda dilepaskan orang. Sama sekali tidak ada kabar
dari pasukan kita di Utara…”
”Semua
laporan itu harus kau sampaikan pada Panglima, bukan padaku!”
”Saya
tahu sang Prabu. Tapi Panglima tidak ada di Kotaraja saat ini. Dia berada di
Selatan tengah berembuk dengan beberapa Kepala Pasukan untuk menyusun rencana
perlindungan atas Kotaraja.”
”Adalah
tolol kalau dia hanya memikirkan perlindungan bagi Tumapel. Dia harus turun
tangan menyerbu musuh, sebelum musuh mendekati Tumapel!”
Patih
Raganatha merasa heran mendengar ucapan Rajanya itu. Sebelumnya sang Prabu
sendiri yang menyetujui tindakan yang diambil Panglima yaitu hanya mengirim
satu kelompok kecil pasukan ke Utara. Kini mengapa dia baru bisa berpikir lebih
baik seperti ini?
”Paman
Patih, apakah kau masih di sini?”
”Saya
masih di sini sang Prabu. Saya mohon petunjuk sang Prabu,” jawab Patih
Raganatha.
“Kau
kuperintahkan untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab Panglima Argajaya…”
“Saya
siap kalau begitu perintah sang Prabu. Kita masih belum tahu sampai seberapa
besar bahaya yang dihadapi Singosari. Namun untuk berjaga-jaga saya mohon sang
Prabu meninggalkan tempat ini dan bersembunyi di satu tempat yang aman.”
“Bersembunyi?”
sang Prabu tertawa panjang.
“Raja
Singosari bersembunyi hanya karena ada gangguan dari serombongan tikus-tikus
Kediri dan Madura? Jangan kau hinakan Rajamu sendiri, Mapatih!”
”Maafkan
saya sang Prabu. Kalau sang Prabu ada usul lain demi keselamatan sang Prabu,
saya akan lakukan..”
“Usulku
lekas tinggalkan tempat ini. Aku tidak akan pernah meninggalkan Ruangan
Pemanjatan Doa ini apapun yang terjadi!”
”Sang
Prabu, keadaan sewaktu-waktu bisa berubah genting!” kata Patih Raganatha pula.
”Keluar
dari tempat ini Paman Patih, lakukan apa yang tadi kuperintahkan! Aku hanya
minta agar seratus prajurit utama berjaga-jaga di luar.”
Patih
Raganatha menarik napas panjang. Perlahan-lahan dia berdiri, menjura hormat
lalu tinggalkan tempat itu.
Di balik
tirai tebal Pendeta Mayana berbisik, ”Damar, saya rasa keadaan sudah mulai
gawat. Saya tidak yakin Panglima Argajaya emnemui beberapa Kepala Pasukan di
Selatan untuk menyusun perlindungan atas Tumapel…”
”Saya
juga merasa begitu Pendeta. Jika dia hendak melindungi Kotaraja, dia harus
memanggil semua Kepala Pasukan ke Kotaraja, bukannya dia yang harus pergi ke
sana. Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
”Kau
awasi gerak-gerik Dewi Maha Geni. Temui Raden Juwana, katakan agar dia
bersiap-siap mengungsikan empat puteri sang Prabu ke desa Tembang Sari dekat
Kudadu di percabangan Kali Brantas.” Dari balik jubahnya Pendeta Mayana
mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini diserahkannya pada Damar. ”Berikan peta
ini pada Raden Juwana agar dia tidak tersesat.”
Damar
menyimpan peta kecil itu di balik pinggang pakaiannya. ”Ada hal lain lagi
Pendeta?” tanya lelaki katai ini kemudian.
”Ya. Kau
ingat pemuda gondrong bernama Wiro itu?”
”Saya
ingat.”
”Saat ini
dia berada di sekitar tembok luar Keraton. Temui dia dan katakan padanya agar
menyiapkan seekor kuda yang kuat, menyamar sebagai tukang rumput dan supaya
menunggu di persimpangan jalan. Jangan pergi sebelum saya muncul. Nah hanya itu
Damar. Cepat pergi. Sebentar lagi pagi segera datang.”
”Pendeta
sendiri akan berada dimana dan akan berbuat apa?” tanya Damar.
”Ada
sesuatu yang akan saya lakukan. Jika sudah selesai saya akan berada di tempat
ini menemani sang Prabu.”
Damar
tampak bimbang sebentar. Lalu dia bertanya.
”Bagaimana
dengan Sri Baginda sendiri? Apakah kita tidak akan menyelamatkannya?”
”Keselamatan
sang Prabu serahkan pada saya,” jawab Pendeta Mayana pula.
”Kalau
begitu saya minta diri sekarang.”
”Pergilah.
Hati-hati..”
******************
BAB VII
Apa yang
dikhawatirkan orang-orang seperti Pendeta Mayana dan Damar serta Patih
Raganatha walaupun kekhawatiran sang Patih ini datangnya agak terlambat memang
beralasan.
Pasukan
musuh yang menyerbu di kawasan Utara jumlahnya memang tidak besar.
Tetapi
mereka sempat memporak-porandakan pasukan Singosari di wilayah itu. Katika bala
bantuan yang dikirim Panglima Argajaya datang, pasukan musuh berhasil dihantam
hingga cerai berai di satu tempat tak jauh dari Candi Sanggariti.
Pasukan
dalam jumlah besar yang kemudian dikirimkan oleh Patih Raganatha ke Utara
mambentuk tembok pertahanan guna melindungi Singosari. Namun satu hal tidak
pernah diduga oleh orang-orang Singosari. Serangan yang dilancarkan oleh
orang-orang Kediri yang dibantu oleh orang-orang Madura di kawasan Utara itu
ternyata hanyalah siasat tipu daya belaka. Selagi sebagian besar pasukan
Singosari bergerak menuju Utara, secara diam-diam satu gelombang gabungan
pasukan Kediri dan Madura yang luar biasa besarnya, bergerak menyusuri kaki
Gunung Penanggungan sebelah timur, terus menyusup ke kaki Gunung Welirang,
melewati bagian timur kaki Gunung Anjasmoro lalu mendekati Singosari dari arah
Selatan. Gerakan pasukan yang besar ini telah dilakukan jauh sebelum serbuan
pancingan dilakukan di Utara. Sehingga ketika pertempuran pecah di Utara, dua
hari kemudian pasukan musuh di Selatan sudah berada di pintu gerbang Selatan
membuat kaget pasukan Singosari yan berada di situ. Lebih mengejutkan lagi
karena di kepala pasukan kelihatan memimpin panglima Perang Argajaya. Lenyapnya
Sang Panglima sejak beberapa hari ini rupanya karena memang dia sudah menyusun
rencana pengkhianatan, menggabungkan pasukan yang dapat ditariknya dengan
pasukan Kediri-Madura yang datang dari Utara!
Saat itu
matahari masih belum menyembul dari ufuk timur. Rombongan pasukan yang siap
menggempur Singosari bergerak laksana gelombang air laut. Di lapis kedua
barisan terdapat serombongan penabuh genderang dan peniup terompet. Mereka
bertugas memberikan semangat pada seluruh balatentara.
Di
barisan terdepan di belakan pasukan panah kelihatan Panglima Argajaya. Dia
tidak mengenakan seragam pasukan Singosari melainkan berpakaian merah dengan
ikat kepala merah. Dia dikelilingi oleh enam orang bekas Kepala Pasukan
Singosari wilayah Selatan yang berhasil dibujuknya untuk ikut bergabung dengan
pasukan Kediri-Madura.
Dua puluh
tombak di sebelah kiri Argajaya terlihat Adipati Wira Seta didampingi pembantu
utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita. Kedua orang ini
mengenakan pakaian perang lengkap dengan senjatanya. Seperti Argajaya keduanya
menunggangi kuda.
Penunggang
kuda keempat yang bertindak selaku salah satu pimpinan pasukan penyerang adalah
Dewa Sedih. Orang tua ini seperti biasa selalu kelihatan murung dan
sesenggukan. Orang kelima yang menjadi tokoh di pihak penyerang adalah seorang
perempuan tua bertubuh jangkung, mengenakan jubah merah. Saosoknya hampir tidak
kelihatan karena terhalang oleh barisan berkuda yang ada di sebelah depan.
Perempuan tua ini bukan lain adalah Dewi Maha Geni yang seperti Panglima
Argajaya melakukan pengkhianatan, menyeberang ke pihak musuh. Yang tidak
kelihatan justru adalah Raden Adikatwang, pucuk pimnpinan tertinggi pasukan
musuh, yang berambisi ingin menjadi Raja di Raja penguasa Kediri dan Singosari.
Di pihak
Singosari yang telah bersiap sedia menyambut serangan musuh di pintu gerbang
Selatan hanya dipimpin oleh beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda.
Melihat
pasukan musuh dipimpin oleh empat orang kawakan itu mau tak mau pihak Singosari
menjadi kendor nyali mereka. Namun apa mau dikata tugas mereka harus siap
mempertahankan kerajaan dengan darah dan nyawa.
Perlahan-lahan
sang surya mulai muncul di Timur.
Genderang
ditabuh keras. Terompet ditiup nyaring. Inilah satu pertanda bahwa serangan
segera dimulai. Laksana air bah pasukan Kediri-Madura bergerak cepat menuju
pintu gerbang Selatan. Pasukan panah sudah siap merentang busur. Saat itulah
tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berpakaian perang. Ternyata dia adalah
Patih Raganatha.
Kedatangan
Raganatha memberi semangat pada pasukan Kerajaan. Orang tua ini muncul di pintu
gerbang, mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Argajaya. Patih Singosari
ini berusaha terus maju sampai ke luar pintu gerbang. Di satu tempat dia
hentikan kudanya.
Argajaya
mengangkat tangan dan meneriakkan sesuatu.
Seluruh
pasukan yang tengah bergerak itu berhenti dengan tiba-tiba.
“Argajaya!
Aku tidak mengira serendah ini budimu terhadap Sri Baginda Prabu dan Singosari.
Namun aku memberikan kesempatan. Kau masih punya waktu untuk kembali bersama
pasukanmu!”
Argajaya
menyeringai. Dia balas berteriak. “Patih Singosari! Saat ini tidak perlu kita
bicara menyangkut segala macam budi! Aku tawarkan padamu untuk bergabung
bersama kami. Atau kau akan ikut kami sama ratakan dengan bumi Singosari!”
”Pengkhianat
busuk!” teriak Patih Raganatha marah. Tangan kirinya dihantamkan ke depan.
Selarik angin menderu menyambar ke arah Argajaya. Selagi Panglima Singosari
yang menyeberang ke pihak musuh itu menarik kudanya dan mengelak ke samping,
Raganatha angkat tangan kanannya. Tangan itu berubah menjadi panjang sekali
bercabang cabang. Inilah ilmu kesaktian seratus gurita amuk. Argajaya tahu
betul kehebatan ilmu ini. Maka cepat-cepat dia menyingkirkan kudanya ke kiri
sambil balas menghantam dengan pukulan tangan kosong. Argajaya berlaku cerdik.
Yang dihantamnya adalah kuda tunggangan Patih Singosari itu.
Saat itu
pula Argajaya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Genderang ditabuh
gegap gempita.
Terompet
ditiup memekakkan telinga. Pasukan menyerbu untuk kedua kalinya.
Dan
sekali ini seperti tidak ada lagi yang sanggup menahannya. Setelah menewaskan
ratusan prajurit Singosari, pertahanan di pintu gerbang Selatan bobol.
Pasukan
musuh membanjir. Patih Raganatha berteriak memberi semangat. Tangan kanannya
kini memegang sebilah golok panjang sedang tangan kiri terus menerus
melancarkan serangan seratus gurita mengamuk. Balasan prajurit lawan menjadi
korbannya. Namun pasukan musuh datang laksana air bah, menggulung apa saja yang
ada di hadapannya. Patih Raganatha tidak mampu mendekati Argajaya. Bahkan kini
dia terpaksa mundur terus dan keselamatannya terancam.
Di
tengah-tengah perang bersosoh itu terdengar teriakan Argajaya.“Patih Singosari!
Nyawamu akan selamat jika kau ikut dengan kami!”
Patih
Raganatha menyambar sebilah tombak lalu dilemparkannya ke arah Argajaya. Karena
tidak menyangka akan diserang seperti itu, walau masih bisa berkelit namun
ujung tombak itu masih sempat menyambar kain merah ikatan kepalanya hingga
putus!
Meskipun
marah namun Argajaya tahu kalau ilmunya masih setingkat di bawah Patih
Raganatha. Maka dengan cerdik dia menoleh pada Dewa Sedih.
”Dewa
Sedih! Bantu aku melenyapkan tua bangka buruk ini!”
Dewa
Sedih keluarkan suara terisak lalu didahului oleh suara menggerung keras
tubuhnya berkelebat ke arah Raganatha. Saat itu pula Argajaya cabut golok
panjang yang mencantel di ikat pinggang besarnya lalu menarik tali kekang kuda
hingga binatang ini melompat mendekati Patih Raganatha. Dikeroyok dua serta
merta Patih Singosari ini terdesak hebat, sekalipun ada dua Perwira Tinggi yang
berusaha membantunya, Sang Patih akhirnya tewas secara mengenaskan.
Di bagian
lain, ketika pasukan gabungan Kediri-Madura mulai menyerbu, sambil mengeluarkan
pekik keras nenek berjubah merah yaitu Dewi Maha Geni berkelebat ke depan.
Dia
bukannya menyerang pasukan Singosari namun melompati tembok tinggi.
Begitu
sampai di dalam dia menggebuk kepala seorang Perwira Muda hingga rengkah dan
jatuh dari kudanya. Si nenek rampas kudanya lalu menghambur menuju ke arah
Timur yaitu dimana terletak kawasan Keraton.
Pagi itu
kabar penyerbuan besar-besaran pasukan musuh di pintu gerbang Selatan telah
sampai di Keraton Tumapel.
Di salah
satu bangunan yang sangat rahasia Pendeta Mayana keluar dengan tergopoh-gopoh.
Di tangannya ada dua buah kotak kayu. Yang pertama berisi Mahkota Narasinga
yakni mahkota lambang dan syahnya seorang menjadi Raja Singosari.
Kotak
kedua yang agak kecil dan pipih di dalamnya terdapat Keris Saktipalapa, juga
merupakan salah satu benda pusaka sangat berharga, pendamping Mahkota
Narasinga.
Pendeta
ini mengambil jalan berputar dan muncul di sebuah pintu kecil di bagian Barat
tembok Keraton. Dua orang pengawal yang bertugas di situ memberi hormat dan
membiarkannya lewat. Di luar tembok Pendeta Mayana melangkah cepat menuju
persimpangan jalan. Dia mengharapkan pemuda itu sudah menunggu di sana. Tetapi
ketika dia sampai di persimpangan tak seorangpun dilihatnya di tempat itu. Sang
Pendeta mulai khawatir. Serombongan prajurit berkuda lewat di jalan dengan
cepat. Pendeta Mayana memandang berkeliling. Hatinya lega ketika di depan sana
ada seorang bercaping terbungkuk-bungkuk memikul dua keranjang berisi rumput.
Di belakangnya mengikuti seekor kuda coklat.
Pendeta
Mayana cepat mendekati tukang pikul rumput itu. Dua buah kotak yang dibawanya
dimasukkan ke dalam keranjang seraya berkata.”Lekas tinggalkan Kotaraja.
Bergabung
denganRaden Juwana dan empat puteri Sri Baginda di desa Tembang Sari.
Ingat,
dua kotak berisi benda pusaka dalam keranjang itu adalah mati hidupnya Kerajaan
Singosari. Jaga baik-baik..”
”Akan
saya pertahankan dengan darah nyawasaya,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
”Saya
harus kembali ke Keraton untuk menyelamatkan Sang Prabu,” kata Pendeta Mayana
lalu pergi meninggalkan Wiro.
Murid
Sinto Gendeng cepat naik ke atas punggung kuda.
Tapi
belum sempat dia menarik tali kekang binatang itu tiba-tiba ada bayangan merah
berkelebat di depannya disertai menyambarnya hawa panas. Memandang ke depan
Wiro melihat nenek berjubah merah yang pernah ditemuinya sebelumnya dan
disangkanya adalah seorang pengemis. Dewi Maha Geni! Dari Pendeta Mayana Wiro
sudah mendapat keterangan siapa adanya nenek bermata dan berlidah api ini.
Dia
bersikap berpura-pura ramah tapi penuh waspada.
“Ah,
sobatku nenek canti jelita bermata seperti Bintang Timur. Apakah kali ini kau
muncul hendak mengemis lagi? Atau ingin menotokku sekali lagi?!”
Dewi Maha
Geni menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggerendeng. Lalu perempuan tua
yang sakti ini berkata dengan suara keras.
”Jangan
berlaku seperti pemuda merayu janda!”
Wiro
Sableng batuk-batuk beberapa kali. ”Harap maafkan kelancanganku. Aku tidak tahu
kalau kau seorang janda!”
Sepasang
mata Dewi Maha Geni menyorot marah laksana api. Lidahnya dijulurkan membasahi
bibirnya dan lagi-lagi Wiro melihat lidah itu seperti lidah api.
”Sebetulnya
aku sudah bosan jadi pengemis. Tapi sekali ini tidak ada salahnya.
Lekas kau
serahkan padaku keranjang berisi rumput yang kau cantelkan di leher kuda itu!”
Ah, jadi
dia sudah tahu apa isi keranjang ini, membatin Wiro. Kalau perempuan tua
beralis dan berambut merah ini sudah berkata begitu berarti dia tidak
main-main.
Tahu
betul tingkat kepandaian si nenek maka Wiro siapkan pukulan sinar matahari di
tangan kiri dan tangan kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang
tersisip di pinggangnya. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Kalau dia
mampu menipu nenek ini mengapa tidak dicobanya?
Daripada
harus melakukan baku hantam!
”Kalau
kau tidak mau serahkan keranjang itu, kau bisa ganti dengan menyerahkan
jantungmu!” si nenek membentak marah.
Pendekar
212 pura-pura ketakutan tapi masih coba bergurau.
Nenek,
aku tidak tahu kau senang rerumputan. Kalau kau memang doyan lalapan rumput
silahkan ambil keranjang ini!” lalu dengan tangan kirinya Wiro lepaskan
keranjang yang dicantelkannya pada tali di leher kuda. Namun tumit kaki
kanannya yang dialiri tenaga dalam tanpa terlihat oleh Dewi Maha Geni
ditusukkannya ke tulang rusuk kuda. Binatang ini meringkik kesakitan dan mengangkat
kedua kaki depannya tinggitinggi.
Wiro
pura-pura jungkir balik jatuh ke tanah.
Keranjang
rumput yang hendak diserahkannya jatuh bergelindingan dan bertabrakan dengan
keranjang rumput yang satu lagi yang masih ada di tepi jalan. Kedua keranjang
itu sama-sama terguling dan sama-sama bergelindingan. Wiro mengejar dan
menangkap salah satu dari dua keranjang itu.
Lalu
dilemparkannya ke arah Dewi Maha Geni.
”Ini
keranjang yang kau minta Nek! Ambillah!” ujar Wiro.
Nenek
bermata api segera menyambuti keranjang yang dilemparkan. Merasa bahwa
keranjang itu memang keranjang yang tadi berada di atas kuda maka Dewi Maha
Geni cepat tinggalkan tempat itu. Setelah si nenek menghilang di kejauhan Wiro
tertawa gelak-gelak. Diambilnya keranjang yang masih tergeletak di tengah jalan
dan cepat-cepat dicantelkannya ke tali leher kuda. Lalu murid Eyang Sinto
Gendeng ini menggebrak kuda tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan. Di
atasnya Wiro tak henti-hentinya tertawa karena berhasil menipu nenek tadi,
menyerahkan keranjang yang hanya berisi rumput, tidak berisi dua buah kotak
kayu benda pusaka Keraton Singosari itu!
Kita
tinggalkan dulu Pendekar 212 yang berhasil mengelabui Dewi Maha Geni.
Kita
menuju ke dalam kawasan Keraton. Sesuai dengan nasihat Pendeta Mayana maka
Raden Juwana mengumpulkan keempat puteri Sang Prabu. Agar tidak mencurigakan
mereka dinaikkan ke atas empat kereta mayat. Sekitar seratus orang prajurit
terpercaya tanpa pakaian seragam mengawal empat kereta jenazah itu. Untuk
mengelabui, enam orang perempuan disewa mengikuti perjalanan. Tugas mereka
adalah pura-pura menangis bila berpapasan dengan orang lain. Sehingga orang
menyangka bahwa rombongan yang lewat itu adalah benar-benar rombongan duka yang
membawa empat jenazah yang akan disembahyangkan di satu tempat. Di sebelah muka
menunggangi kuda Raden Juwana.
Dalam
rombongan terdapat si katai Damar dan empat Perwira Muda. Mereka tidak menempuh
jalan umum tapi melewati perbukitan dan hutan belantara di Timur Laut Tumapel.
Meskipun jarak perjalanan menjadi tambah jauh namun terasa lebih aman. Di satu
tempat Raden Juwana yang merasa was-was atas keselamatan calon mertuanya yaitu
Sri Baginda berbalik kembali menuju Tumapel. Dia berpesan kepada Damar dan
Perwira-Perwira kepercayaan agar terus bergerak menuju Kudadu. Bila sang Prabu
sudah diselamatkan dia akan segera menyusul.
Sementara
itu di Ruang Pemanjatan Doa, Pendeta Mayana telah mendampingi Sang Prabu
melakukan upacara keagamaan. Di luar seratus pengawal berjaga-jaga. Bagi
Pendeta Mayana apalah artinya jumlah seratus prajurit itu jika nanti ribuan
pasukan musuh berhasil menerobos benteng pertahanan Singosari di Selatan lalu
menyerbu Keraton. Apalagi kalau orang-orang berkepandaian tinggi seperti si
pengkhianat Argajaya dan Dewi Maha Geni muncul di tempat itu, pasti keselamatan
nyawa Sang Prabu tidak akan tertolong.
Belum
lama Pendeta Mayana berpikir seperti itu, seorang prajurit tiba-tiba masuk ke
dalam memberikan laporan. Prajurit ini jatuhkan diri ke lantai, bersujud
beberapa lamanya kemudian baru duduk bersila di hadapan Sang Prabu dan Pendeta
Mayana dengan wajah pucat.
“Ada apa
Prajurit?” tanya Pendeta Mayana sedang Sang Prabu hanya memandang dengan
lirikan matanya. Raja Singosari ini masih berada dalam pengaruh minuman keras.
“Pasukan
Singosari tidak sanggup mempertahankan pintu gerbang Selatan.
Balatentara
musuh berhasil menjebol pintu gerbang dan saat ini tengah membanjir memasuki
Kotaraja! Panglima Argajaya ternyata berpihak pada mereka dan ikut memimpin
pasukan musuh!”
Pendeta
Mayana mengelus dadanya sendiri. Musuh cukup cerdik. Mereka sengaja mengirimkan
pasukan kecil menyerbu kawasan Utara, padahal mereka sebenarnya tengah
menyelinapkan pasukan besar di bagian Selatan Tumapel!
Wajah
sang Pendeta nampak muram. Sebenarnya dia sudah maklum bahwa suatu saat
orang-orang Kediri di bawah pimpinan Adikatwang yang sudah dianggap Raja oleh
pengikutnya, dibantu orang-orang Madura di bawah pimpinan Wira Seta akan
melakukan penyerbuan. Namun dia sama sekali tidak mengira hal itu terjadi
demikian cepatnya.
“Prajurit,”
kata Pendeta Mayana. “Lekas kembali ke induk pasukanmu…”
Prajurit
itu merunduk khidmat. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Dia tidak
pernah kembali ke induk pasukannya tetapi menghambur bersama kudanya menuju ke
Barat yaitu ke arah Jombang. Baginya kembali ke pasukan sama saja dengan
menyerahkan nyawa pada pemberontak.
Pendeta
Mayana bangkit dari duduknya lalu melangkah ke tempat Prabu Kertanegara duduk
pejamkan mata. Dalam keadaan biasa tidak mungkin Pendeta Mayana akan berani
mengganggu sang Prabu. Namu saat itu keadaan sudah sangat gawat. Dia harus
memberi tahu Prabu Kertanegara. ”Sang Prabu…,” kata Pendeta Mayana.
Kertanegara
tetap tak bergerak dalam duduknya. Mukanya tampak merah akibat pengaruh minuman
keras.
”Sang
Prabu!” memanggil kembali Pendeta Mayana. Sekali ini dengan suara lebih keras.
Ketika dilihatnya kedua mata Kertanegara bergerak tanda dia mendengar panggilan
tadi maka Pendeta Mayana meneruskan ucapannya dengan suara keras. “Kita harus
meninggalkan tempat ini dengan segera Sang Prabu! Balatentara musuh telah
memasuki Tumapel…”
“Kau
takut pada orang-orang Kediri dan orang-orang Madura itu, Pendeta Mayana?”
“Tidak
ada yang saya takutkan di dunia ini sang Prabu, kecuali terhadap para Dewa…”
“Kalau
begitu ikuti aku memuja dan berdoa pada Dewata.”
”Sang
Prabu, maafkan saya. Doa bisa dilakukan kemudian. Yang penting saat ini sang
Prabu harus menyelamatkan diri. Ikuti saya. Saya tahu jalan rahasia yang bisa
membawa kita keluar dari kawasan Keraton dan sampai di sebuah rimba belantara.”
Sang
Prabu berpaling, memandang menyeringai pada Pendeta Mayana.
”Lupakan
apa yang ada dalam pikiranmu Pendeta Mayana. Lebih baik kau pimpin upacara
berdoa ini. Kita berada di tempat suci. Para Dewa akan melindungi kita.
Balatentara
musuh tidak akan dapat menyerbu ke tempat ini!
Kita
punya pasukan besar dan setia serta berani. Kita punya orang gagah seperti
Panglima Argajaya, Dewi Maha Geni, serta belasan Perwira.”
”Panglima
Argajaya telah berkhianat. Dia menyeberang ke pihak penyerbu. Dewi Maha Geni
saya yakin juga melakukan hal yang sama,” mejelaskan Pendeta Mayana.
Kening
sang Prabu tampak mengerenyit tapi dia tidak berkata apa-apa.
”Sang
Prabu, waktu kita hanya tinggal sedikit. Lekas ikuti saya…!”
”Kalau
kau mau pergi, pergilah sendiri. Aku akan tetap di sini. Jangan ganggu aku
lebih lama!” Sang Prabu lalu mencabut keris yang tersisip di pinggangnya dan
meletakkan senjata ini di atas meja kecil di hadapannya.
Keris itu
adalah senjata sakti, termasuk salah satu pusaka Kerajaan.
Dalam ke
adaan sang Prabu seperti itu akan sulit bagi Pendeta Mayana untuk membujuknya.
Sementara itu di luar terdengar sorak sorai gegap gempita disusul suara
beradunya senjata. Pendeta Mayana mengintai dari balik kisi-kisi di dinding.
Dia melihat banyak sekali pasukan musuh mengurung dan menghantam seratus
prajurit yang melindungi Raja. Bagaimanapu seratus prajurit itu mempertahankan
diri namun jumlah lawan banyak sekali.
Pendeta
Mayana berpaling pada sang Prabu. Saat itu dilihatnya sang Prabu tengah meneguk
minuman keras dari dalam sebuah tabung bambu. Tak ada jalan lain.
Sang
Pendeta segera mendekati Rajanya. Begitu berdekatan dengan cepat ditariknya
lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Namun
pertolongan yang dilakukan oleh Pendeta Mayana sia-sia saja. Saat itu puluhan
prajurit lawan telah menyerbu masuk ke ruangan itu. Kebanyakan dari mereka
segera mengenali sang Prabu dan Pendeta Mayana.
Tidak
menunggu lebih lama puluhan prajurit segera memburu kedua orang itu dengan
senjata masing-masing. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara membentak.
”Tahan!
Raja Singosari itu punya hutang padaku! Aku yang akan menghabisinya!”
Lalu
terdengar suara ringkikan kuda disusul ada suara angin menyambar dan tahu-tahu
seekor kuda hitam besar sudah berada dalam ruangan itu. Di atas punggungnya
duduk seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian sederhana.
Rambutnya yang hitam digulung di atas kepala. Di pihak musuh, suara itu tidak
asing lagi. Mereka segera batalkan serangan lalu bergerak mundur tapi tetap
dalam keadaan mengurung.
Melihat
tidak ada jalan untuk lari, perlahan-lahan Pendeta Mayana turunkan tubuh sang
Prabu yang didukungnya. Raja Singosari ini tegak terhuyung-huyung setengah
tidak sadar, bersandar ke dinding. Di hadapannya saat itu Pendeta Mayana
melihat Adikatwang penguasa Gelang-Gelang di Kediri duduk di atas punggung kuda
sambil memegang sebilah pedang. Di bagian lain sang Pendeta melihat Panglima
Argajaya berdiri diantara para prajurit penyerbu.
”Sri
Baginda yang mengakui sebagai Prabu dan Raja Singosari!” tiba-tiba suara
Adikatwang menggeledek di ruangan itu. ”Belasan tahun lalu kau membunuh ayahku.
Kini
puteranya akan menuntut balas! Bersiaplah menerima kematianmu!”
Habis
berkata keras begitu Adikatwang melompat dari kudanya. Namun gerakannya
disongsong oleh Pendeta Mayana.
”Adikatwang
manusia tidak berbudi!” bentak Pendeta Mayana. ”Ini balasanmu terhadap Sang
Prabu yang telah mengampuni jiwamu dan memberikan kedudukan tinggi di
Gelang-Gelang…!”
”Pendeta
Mayana! Kau tidak masuk dalam daftar manusia-manusia Singosari yang harus
disingkirkan. Tapi jika kau tidak segera minggat dari hadapanku, kau akan
kubunuh saat ini juga!”
Diancam
seperti itu Pendeta Mayana ganti tertawa dan menjawab. ”Kau bodoh!
Seharusnya
kau masukkan aku dalam daftar orang-orang yang harus kau bunuh! Aku bukan
pendeta yang berpantang membunuh demi menyelamatkan Singosari dan Sang Prabu
Raja syah kerajaan ini!”
Pendeta
Mayana tutup ucapannya dengan menghantamkan kedua tangannya ke depan sekaligus!
Dua gelombang angin menderu. Adikatwang tidak berlaku ayal. Dia sudah lama tahu
kalau Pendeta Mayana bukan Cuma seorang pendeta agama biasa, tetapi seorang
yang memiliki kesaktian tinggi. Cepat-cepat Adikatwang menyingkir dengan
melompat kek kiri. Dua gelombang angin menyambar lewat di sampingnya.
Saat itu
juga terdengar pekik jerit kematian sembilan orang prajurit yang terkena
hantaman pukulan Pendeta Mayana.
Adikatwang
cepat berpaling pada Panglima Argajaya dan berkata: ”Dimas Argajaya! Aku tak
ingin mengotorkan tangan membunuh manusia satu ini! Kau bereskan dia!”
Adikatwang
lalu melompat menjauhi Pendeta Mayana namun terus berkelebat ke arah Sang Prabu
yang masih tegak tersandar ke dinding. Pedangnya menyambar. Pendeta Mayana
berteriak marah dan coba memburu Adikatwang. Namun gerakannya dihadang oleh
Argajaya yang melompat ke hadapannya dengan golok besar terhunus.
”Pengkhianat
busuk terkutu!” teriak Pendeta Mayana.
Dengan
tangan terpentang dia menerjang. Argajaya babatkan goloknya tapi serangannya
luput. Sebaliknya serangan Pendeta Mayana pun dapat dihindari oleh Argajaya
yang kemudian berteriak pada beberapa Perwira dan puluhan prajurit yang ada di
sekitarnya. Pendeta Mayana tak dapat menghindarkan diri dari keroyokan begitu
banyak lawan. Dengan mengandalkan tangan kosong dan pukulan-pukulan sakti dia
mampu merobohkan belasan lawan. Namun lebih banyak yang datang. Selagi dia
terdesak dan bertahan mati-matian di bagian lain didengarnya suara jeritan Sang
Prabu.
Pendeta
Mayana yang telah menderita beberapa luka di tubuhnya berpaling ke arah suara
jeritan itu. Lalu terdengar Pendeta ini meraung ketika melihat apa yang
terjadi.
Adikatwang
tegak menyeringai memegang pedang yang berlumuran darah. Di depannya, tersandar
ke dinding sang Prabu berdiri megap-megam sambil pegangi perutnya yang
berlumuran darah akibat tusukan pedang Adikatwang.
”Manusia
iblis! Biadab!” teriak Pendeta Mayana. Dia melompat ke arah Adikatwang dan
menghantam dengan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Namun dari samping Panglima
Argajaya memotong gerakannya dengan sambaran golok besar.
Hantaman
Pendeta Mayana memang berhasil membunuh seorang Perwira Kediri dan delapan
prajurit musuh. Namun tangannya tidak dapat diselamatkan dari tabasan golok
yang dibabatkan Argajaya. Tangan kanan itu putus. Darah memancur. Selagi
Pendeta Mayana terhuyung menahan sakit, golok di tangan Argajaya bergerak
menusuk lambung pendeta itu.
”Ananta!”
tiba-tiba terdengar seseorang menjerit menyebut nama asli Pendeta Mayana. Lalu
terdengar suara berdesing. Tiga buah benda aneh memancarkan warna berkilau
melesat dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Di lain kejap terdengar jeritan Panglima
Singosari yang berkhianat itu. Sebuah senjata berupa tusuk kundai terbuat dari
perak menancap di keningnya. Dua buah lainnya menancap di lehernya!
Sekujur
tubuh Argajaya nampak bergetar. Dia seperti menahan rasa sakit yang luar biasa.
Lalu terdengar jeritannya sekali lagi. Tubuhnya kemudian terbanting ke lantai,
menggeliat beberapa kali akhirnya meregang nyawa dengan mata membeliak dan
lidah mencelet. Seluruh muka dan lehernya sampai ke dada tampak berubah menjadi
seputih kapur! Mengerikan untuk dipandang.
Selagi
semua orang geger melihat apa yang terjadi, satu sosok berkelebat laksana
bayangan. Orang ini menyambar tubuh Pendeta Mayana lalu memanggulnya. Belasan
prajurit dan beberapa orang Perwira berusaha menangkap atau menghantamnya
dengan senjata. Orang yang memanggul tubuh Pendeta Mayana membuat dua kali
gerakan.
Enam
orang prajurit roboh, seorang Perwira langsung meregang nyawa dengan kepala
pecah. Lalu laksana ada kilat yang menyambar, di ruangan itu terdengar suara
letusan keras disertai menghamparnya hawa panas dari suatu sinar yang
menyilaukan. Ruangan Pemanjatan Doa tergoncang seperti dilanda gempa. Dinding,
langit-langit dan lantai ruangan berderak.
”Lekas
tinggalkan tempat ini!” terdengar teriakan Adikatwang. Lalu pimpinan
pemberontak ini melompat ke arah pintu. Beberapa orang mengikutinya. Yang lain
tidak sempat menyelamatkan diri. Ruangan Pemanjatan Doa itu runtuh dengan suara
bergemuruh. Sekitar enam puluh orang terkubur hidup-hidup di dalamnya, belum
terhitung belasan mayat termasuk jenazah Sang Prabu dan Panglima pengkhianat
yaitu Argajaya.
Selamat
dari tertimbun ruangan yang runtuh wajah Adikatwang nampak pucat di balik debu
reruntuhan bangunan.
Dia
memandang berkeliling. Namun dia tidak melihat lagi bayangan orang yang tadi
melarikan tubuh Pendeta Mayana.
******************
BAB VIII
Pendeta
Mayana tahu kalau dirinya dipanggul dan dilarikan laksana kilat. Namun dia
tidak tahu siapa yang melarikannya itu. Dibukanya kedua matanya. Pemandangannya
berkunang dan kabur. Dia melihat wajah itu tapi sangat samar-samar. Lalu dia
ingat kejadian di Ruangan Pemanjatan Doa. Saat itu dia dalam keadaan luka.
Tangan kanannya buntung. Lalu perutnya ditembus golok Argajaya. Saat itu dia
mendengar ada seseornag berteriak menyebut namanya. Bukan memanggilnya sebagai
Pendeta atau Mayana tapi menyebut nama aslinya yaitu Ananta! Suara teriakan itu
jelas suara perempuan. Jika ada seorang perempuan yang tahu nama aslinya maka
hanya satu orangnya yaitu nenek sakti Sinto Gendeng alias Sinto Weni.
Dalam
keadaan luka parah seperti itu Pendeta Mayana alisan Ananta Wirajaya coba
mengerahkan tenaga dalamnya. Lama dan perlahan sekali akhirnya dia mampu
memandang sedikit lebih jelas. Wajah itu. Wajah orang yang mendukungnya. Wajah
seorang nenek berkulit hitam keriput dan cekung. Memang dia!
”Sinto
Weni, betul kakukah ini yang memanggul dan melarikanku…?”
terdengar
suara menjawab tersendat. ”Jangan bicara dulu Ananta. Lukamu parah sekali. Aku
tidak yakin bisa menyelamatkanmu…”
”Kau
telah menyelamatkanku. Aku berterima kasih. Bawa aku ke tempat yang teduh
Sinto. Aku ingin bicara banyak hal denganmu disana. Aku.. aku ingin mati
bahagia dalam pelukanmu.”
”Jangan
bicara begitu Ananta! Jangan bicara lagi atau aku terpaksa menotok jalan
suaramu…”
Ananta
diam tapi tersenyum. ”Bawalah aku kemana kau suka Sinto. Kali ini jangan kau
tinggalkan lagi diriku…”
Sinto
Weni tidak dapat menahan air mata yang membuat kedua matanya berkacakaca.
Dia
mendengar apa yang diminta Ananta Wirajaya. Dia tahu mungkin itu adalah
permintaannya yang terakhir. Karena itu Sinto Weni membawa Ananta Wirajaya yang
dipanggulnya menuju sebuah puncak bukit kecil yang teduh dimana tumbuh
pepohonan rindang dan kembang-kembang liar warna-warni.
Hati-hati
sekali nenek sakti itu membaringkan Ananta di atas rerumputan. Pendeta ini
berusaha membuka kedua matanya lebih besar agar dia dapat melihat orang yang
dikasihinya itu lebih jelas. Lalu terdengar suaranya berbisik. ”Sinto…Aku ingin
mati di dalam pelukanmu. Peluk diriku Sinto…”
Betapapun
kerasnya hati nenek sakti ini dia tetap seorang perempuan yang punya hati dan
sentuhan rasa. Dia membungkuk dan menangis terisak-isak lalu memeluk tubuh
Ananta.
”Boleh…boleh
aku melihat wajahmu untuk terakhir kali Sinto…?”
Sinto
Weni melepas kulit tipis yang selama puluhan tahun menutupi wajahnya.
Kelihatan
kini satu wajah putih yang keriputan tapi masih membayangkan kecantikan di masa
muda.
Dengan
tangan kirinya Ananta Wirajaya berusaha membelai wajah orang yang dikasihinya
itu tapi tangannya hilang kekuatan dan jatuh. Saat itu pula terdengar suara
tercekik halus di tenggorokannya. Kepala lelaki itu terkulai. Sinto Weni
menjerit keras dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernapas itu. Air matanya
membasahi wajah Ananta ketika dia menciumi lelaki itu sejadi-jadinya. ”Aku
mengasihimu Ananta. Hanya kau seorang yang benar-benar mendapat tempat di
hatiku. Aku ingin ikut bersamamu Ananta…” Ratapan Sinto Weni yang menyayat hati
itu hanya disambut oleh suara hembusan angin di puncak bukit.
”Ananta!
Aku bersumpah membalaskan kematianmu!” kata Sinto Weni diantara suara
isakannya.
*********************
Kejatuhan
Kraton Tumapel dan runtuhnya Kerajaan Singosari tidak dapat dielakkan lagi.
Apalagi kalau tewasnya Sri Baginda Prabu sudah tersebar luas. Di tengah
berkecamuknya pertempuran di sekitar Kotaraja, seorang mata-mata membawa kabar
kepada Adipati Sumenep Wira Seta. Kabar ini kemudian diteruskan Wira Seta
kepada pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita.
”Bawa
tigaratus prajurit. Kejar rombongan itu! Ingat jika apa yang dikatakan
mata-mata memang benar jangan biarkan seorangpun hidup!”
Gandita
mengangguk lalu cepat memisahkan diri keluar dari pertempuran. Tak lama
kemudian kelihatan dia membawa satu rombongan besar pasukan terdiri dari tiga
ratus prajurit gabungan Kediri-Madura. Rombongan berkuda ini bergerak
meninggalkan Kotaraja ke arah Timur Laut. Menjelang rembang petang, setelah
melewati satu jalan memintas Gandita dan pasukannya berhasil mencapai sebuah
bukit kecil. Memandang ke bawah mereka melihat satu rombongan sekitar seratus
orang berkuda membawa empat kereta jenazah. Rombongan ini bukan lain adalah
rombongan yang telah berusaha menyelamatkan empat puteri sang Prabu. Mereka
tidak pernah menyangka kalau pihak musuh telah mengetahui rahasia besar yang
ada dalam rombongan itu. Yang lebih mengenaskan ialah saat itu setelah
ditinggalkan oleh Raden Juwana yang hendak menyelamatkan rombongan tidak
memiliki lagi seorang berkepandaian tinggi kecuali lelaki katai bernama Damar.
Dari atas
bukit Gandita membawa turun pasukannya ke sebuah jalan menikung.
Pasukan
bergerak melebar dan begitu sampai di tikungan kembali merapat membentuk
japitan. Ketika rombongan yang membawa empat kereta jenazah sampai di tikungan
jalan serat merta mereka berada dalam kepungan rapat. Dari atas kudanya Gandita
memandang berkeliling. Ada empat kereta jenazah. Dikawal oleh hampir seratus
orang berpakaian biasa. Di bagian depan kereta ada satu atau dua orang
perempuan yang bermata merah tanda banyak menangis.
”Siapa
pimpinan rombongan ini?!” teriak Gandita sambil tekankan tangan kanan ke hulu
golok yang terselip di pinggangnya.
Orang tua
bernama Damar mengangkat tangannya dan menjawab. ”Aku pimpinan rombongan yang
tengah berduka ini!”
”Hemmmm..manusia
katai. Aku pernah melihatmu. Kau bekerja di Keraton.
Sebagai
perawat kuda-kuda Kerajaan! Betul! Memang kau orangnya!”
”Dugaanmu
tidak meleset!” jawab Damar.
”Rombonganmu
ini dari mana dan mau kemana?”
“Ini
adalah rombongan berduka. Empat orang kerabat kami menemui ajal karena penyakit
sampar. Kami akan mengurus upacara pemakaman mereka di muara Kali Mas.”
”Begitu?”
ujar Gandita sambil menyeringai. ”Aku mau periksa kereta jenazah itu satu per
satu!”
”Kalian
manusia-manusia tidak tahu peradatan! Berani mengganggu orang yang sedang
berduka! Kalau kalian adalah prajurit-prajurit pemberontak mengapa jauh-jauh
berada di sini menghadang kami? Bukankah kalian ingin merebut tahta Kerajaan
Sang Prabu? Pergialh ke Tumapel! Bertempur disana!”
”Manusia
katai! Cakapmu banyak amat! Bawa rombonganmu meninggalkan tempat ini. Empat
kereta jenazah tetap di sini!”
”Aku
meminta kaulah yang harus segera meninggalkan tempat ini! Pergilah mencari
mampus di Tumapel!”
Kesabaran
Gandita habis sudah. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Tiga ratus prajurit
menyerbu seratus lawan yang telah terkurung rapat. Si katai Damar yang sadar
tidak bisa berbuat banyak menyelamatkan empat kereta jenazah berisi
puteri-puteri sang Prabu memutuskan untuk berjibaku. Tubuhnya melesat dari
punggung kuda. Enam prajurit yang berusaha menghantamnya dengan berbagai
senjata terpental. Dua roboh tak berkutik lagi, empat terjengkang jatuh ke
tanah.
”Hemm… Si
katai ini rupanya bukan tukang kuda biasa! Aku mau lihat sampai dimana
kehebatannya!” habis berkata begitu Gandita majukan kudanya lalu lepaskan
pukulan tangan kosong ke arah Damar. Orang tua ini memang memiliki kepandaian
tidak rendah. Tapi dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Gandita, pemuda itu
bukanlah lawannya. Setelah berhasil mengelakkan serangan pemuda ini dia tampak
mengeruk saku pakaiannya. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah senjata
rahasia berbentuk paku hitam melesat ke arah kepala, dada dan perut Gandita.
Yang
diserang cabut golok besarnya. Sesaat kemudian senjata itu berkelebat di udara.
Terdengar tiga kali suara berdentangan. Tiga paku terbang yang dilemparkan
Damar runtuh ke tanah. Satu diantaranya menghantam leher seorang prajurit
Kediri hingga dia tewas saat itu juga!
Golok di
tangan Gandita berkelebat ganas kian kemari. Namun ternyata tidak gampang
baginya untuk dapat membacok atau menusuk lawan pendek yang mampu bergerak
cepat kian kemari. Apalagi saat itu Gandita masih tetap berada di atas kuda
tunggangannya. Sebelum dia memutuskan untuk melompat turun, si katai Damar
berhasil menyelinap di bawah tubuh binatang itu dan memukul pecah kemaluan kuda
jantan ini.
Diiringi
ringkik setinggi langit kuda itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi,
membuat Gandita terpental. Meskipun dia sanggup jatuh ke tanah dengan kedua
kaki lebih dahulu namun amarah si pemuda sudah tak terkendalikan lagi. Tubuhnya
berkelebat ke depan. Goloknya berubah jadi bayang-bayang yang mengeluarkan suara
bersiuran. Di samping itu Gandita telah pula memberi isyarat pada anak buahnya.
Sepuluh orang prajurit bergabung dengannya menyerang Damar. Empat prajurit
berhasil dirobohkan Damar, namun lebih banyak lagi yang datang mengeroyok. Si
katai tua ini hanya mampu bertahan enam jurus. Dengan tubuh penuh luka dia
bersandar ke roda salah satu kereta jenazah. Dalam keadaan tak berdaya dia
harus menerima tusukan golok Gandita di perutnya!
Seratus
prajurit yang setia pada Kerajaan bertahan mati-matian menyelamatkan empat
puteri Sang Prabu yang ada dalam empat kereta jenazah itu. Namun kekuatan lawan
yang tiga kali lebih besar tidak dapat dibendung. Apalagi setelah melihat
matinya Damar, mereka merasa tidak punya daya lagi. Dua belas prajurit dan
seorang Perwira yang masih hidup jatuhkan diri tanda menyerah. Tanpa ampun
Gandita memerintahkan pasukannya untuk memancung prajurit-prajurit dan Perwira
yang menyerah ini! Lalu dia melompat ke arah salah satu kereta jenazah. Dengan
kasar didorongnya dua orang perempuan yang duduk di depan kereta. Ketiga pintu
kereta dibuka, sepasang mata Gandita tampak membesar. Di dalam sana tampak
puteri bungsu sang Prabu duduk menyudut dengan wajah pucat pasi ketakutan. Di
tangan kanannya puteri ini memegang sebilah pisau.
“Kalau
kau sentuh aku, aku akan bunuh diri!” mengancam Gayatri.
Gandita
tersenyum. “Tidak ada seorangpun yang akan menyakitimu Raden Ayu Gayatri.”
Tanpa ada yang tahu sebenarnya Gandita sudah sejak lama secara diam-diam jatuh
cinta terhadap puteri bungsu sang Prabu ini. Namun ketika diketahuinya ada
semacam hubungan rahasia antara puteri Keraton Singosari ini dengan Pendekar
212 Wiro Sableng yang sangat dibencinya itu, maka rasa cinta sepihak pembantu
utama Adipati Sumenep ini kini dikobari rasa benci, dendam dan itikad untuk
menguasai Gayatri secara keji. Kesempatan itu kini sudah ada di depan mata, di
dalam tangannya karena Sang Puteri berada dalam kekuasaannya. Dan saat itu
malam segera pula akan tiba. Pucuk dicinta ulam tiba!
”Apa yang
kalian lakukan terhadap kami? Prabu Singosari akan memancung kepalamu jika
berani berlaku kurang ajar terhadapku!”
Gandita
mengulurkan tangannya memegang paha Gayatri. Puteri bungsu sang Prabu ini
hunjamkan pisaunya ke tangan Gandita. Tapi si pemuda sepat menarik pulang
tangannya. ”Raden Ayu Gayatri! Sejak saat ini tak perlu lagi menyebut-nyebut
nama Singosari. Kerajaan itu sudah runtuh! Musnah! Masih untung kalau
Ayahandamu dibiarkan hidup. Dengar, malam ini kau akan bersamaku. Kita akan
berdua-dua…!”
”Mulutmu
kotor! Otakmu keji!” teriak Gayatri marah sekali. Dia melompat dan kembali
menusukkan pisaunya ke arah Gandita. Tapi dengan cepat pemuda ini merangkul
pinggangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan menotok dada Gayatri
hingga puteri Kerajaan ini tersentak dan kaku tak bisa bergerak lagi. Gandita
memanggul Gayatri di bahu kirinya.
Sementara
itu ketika tiga kereta jenazah lainnya diperiksa dalam masing-masing kereta
memang ditemui ketiga puteri Raja Singosari.
”Kumpulkan
ketiga puteri ini di satu tempat,” perintah Gandita. ”Puteri Gayatri biar aku
yang mengurus. Kita berkemah malam ini di sini. Kalian semua boleh istirahat!”
”Tapi
Raden,” berkata seorang Prajurit Kepala.
”Bukankah
Adipati Wira Seta meminta kita segera kembali ke Kotaraja begitu urusan di sini
selesai?”
Sepasang
mata Gandita membeliak. ”Aku yang mengambil segala putusan dan mengeluarkan
perintah di sini!” bentak Gandita dengan mata melotot. ”Jika kau ingin pergi ke
Kotaraja, lebih baik minggat sekarang-sekarang!”
Prajurit
Kepala itu hanya bisa berdiam diri.
Gandita
berpaling pada seorang pembantunya. ”Siapkan sebuah kemah untukku di bawah
pohon sana! Dan dengar baik-baik! Kalau aku berada dalam kemah itu, jangan ada
yang berani mengganggu!”
Si
pembantu mengangguk lalu bersama beberapa orang lainnya dia segera melakukan apa
yang diperintahkan Gandita. Membangun sebuah kemah untuk atasan mereka itu.
******************
BAB IX
Ketika
Raden Juwana bersama empat pengiringnya memasuki Kotaraja dan sampai di Keraton
Tumapel, saat itu Ruang Pemanjatan Doa baru saja runtuh menimbun jenazah Prabu Singosari
dan Panglima pengkhianat Argajaya. Raden Adikatwang masih belum sirna kejut dan
kecutnya. Wajahnya masih tampak memucat. Para pengawal dan pembantunya
mengelilinginya. Kalau saja dia terlambat keluar dari ruangan tadi, pasti dia
akan ikut tertimbun hidup-hidup. Dalam tegak seperti tertegun Adikatwang
berpikir dan menduga-duga siapa adanya nenek sakti yang mampu membunuh Argajaya
dengan senjatanya berupa tiga buah tusuk konde perak lalu menyambar dan
menyelamatkan tubuh Pendeta Mayana yang terluka parah.
Selagi
dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba Adikatwang melihat kemunculan Raden Juwana
bersama empat pengiringnya. Adikatwang mengenali siapa adanya Raden Juwana.
Lebih dari itu dia tahu kalau Raden Juwana adalah calon menantu mendiang Prabu
Singosari, pemuda gagah yang akan dinikahkan dengan puteri sulung sang Prabu
yaitu Tribuana Tunggadewi.
”Manusia
ini harus dilenyapkan! Kalau tidak bisa berbahaya!” membatin Adikatwang. Dia
memberi isyarat pada Adipati Wira Seta. Melihat isyarat Adikatwang.
Adipati
Sumenep itu cepat mendatangi.
”Saya
tahu apa yang ada di benak Kangmas Adi,” kata Wira Seta pula.
”Kalau
begitu kita bunuh dia sekarang juga!”
”Jangan,
dia lebih berguna kalau dibiarkan hidup,” jawab Wira Seta.
”Apa
gerangan maksud Dimas?” bertanya Adikatwang.
”Setelah
sang Baginda dan Patih Raganatha tewas dia satu-satunya orang penting dan
berbobot di Singosari. Bukankah dia keturunan Raja besar Singosari pertama
yaitu Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa? Kalau dia tidak disingkirkan
sekarang, di kemudian hari bisa menjadi pangkal bahaya!”
”Apa yang
Kangmas katakan itu betul. Tapi untuk sementara biar dia kita tangkap
hidup-hidup. Kita perlu beberapa keterangan penting dari dia.” Wira Seta lebih
mendekat.
Lalu
berbisik ke telinga Adikatwang. ”Orang kita memberi kabar bahwa dua pusaka
sangat berharga milik Keraton Singosari yaitu Mahkota Narasinga dan Keris
Saktipalapa tidak ditemui di tempat penyimpanan rahasianya!”
“Kurang
ajar! Padahal dua benda pusaka itu sangat diperlukan syahnya aku menjadi
penguasa Singosari dan Kediri!” kata Adikatwang sambil mengepalkan tinjunya.
“Di
samping itu saya mendengar kabar bahwa keempat puteri Sang Prabu lenyap tanpa
bekas. Diduga dia kabur bersama Pendeta Mayana, tapi ternyata Pendeta itu
berada dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Walaupun seorang tak dikenal melarikan dan
menyelamatkan dirinya namun saat ini dia pasti sudah tewas karena luka-lukanya.
Nah, kalau pemuda itu kita tangkap hidup-hidup, saya yakin dia bisa memberi keterangan
dimana beradanya dua benda pusaka Keraton Singosari serta dimana pula beradanya
empat puteri Sri Baginda.”
“Kalau
begitu, saya setuju pada pendapat Dimas Wira Seta! Lekas gerakkan orang kita
untuk mengurung pemuda itu. Saya mendengar si Juwana ini membekal ilmu
kesaktian bernama geger guntur. Kita harus berhati-hati.”
Adipati
Wira Seta menyeringai. “Dia boleh punya seribu ilmu. Namun dia tidak lebih
seorang pemuda hijau yang tak punya apa-apa. Lagi pula masakan kita berdua
tidak bisa meringkusnya?”
Di lain
pihak Raden Juwana telah pula melihat kedua orang musuh besar Singosari itu.
Meskipun dia belum dapat memastikan nasib Sang Prabu Baginda Raja namun melihat
runtuhnya Ruangan Pemanjatan Doa pemuda ini merasa sangat khawatir bahwa
sesuatu telah terjadi dengan Raja Singosari itu. Ketika dia meninggalkan
Keraton sebelumnya, sang Prabu berada di dalam ruangan itu. Kini ruangan itu
dilihatnya dalam keadaan runtuh porak poranda. Jangan-jangan sang Prabu
tertimbun di dalamnya! Walau hatinya bersikeras ingin menyelidiki namun
menyadari bahaya yang bakal dihadapinya jika dia terus berada di situ maka
Raden Juwana cepat mengajak para pengiringnya meninggalkan tempat itu. Tapi
terlambat. Puluhan prajurit telah mengurung mereka. Lalu Adikatwang dan Wira
Seta bergerak ke tengah lingkaran.
“Calon
menantu sang Baginda yang malang!” menegur Adikatwang dengan seringai pongah
mengejek. “Calon mertuamu Prabu Singosari sudah jadi mayat di bawah puing
reruntuhan di sebelah sana! Patih Kerajaan sudah tewas! Kini tinggal kau
seorang diri. Jika kau mau menyerah secara baik-baik dan ikut bersama kami,
tubuhmu akan tetap utuh. Aku berjanji memberikan satu kedudukan yang lumayan
untukmu. Tapi kalau kau bertindak bodoh dan berani melawan, nyawamu tidak lebih
berharga dari sampah busuk!
Nah, kau
memilih madu atau minta racun?!”
“Manusia-manusia
terkutuk! Pengkhianat busuk! Kalian menghidangkan racun!
Sekarang
minumlah sendiri!” teriak Raden Juwana. Pemuda itu cabut pedangnya lalu
mendahului membuka serangan.
Ilmu
pedang Raden Juwana memang hebat. Sekali dia membabatkan pedang, dua prajurit
yang mengurung roboh mandi darah. Empat prajurit musuh bergerak maju.
Keempatnya
langsung tersungkur luka-luka. Sesaat para pengurung menjadi kecut.
Namun
Adikatwang berteriak memberi semangat lalu bersama Wira Seta dia menyerbu masuk
ke kalangan pertempuran. Empat pengiring Raden Juwana merupakan korban pertama
kedua orang berkepandaian tinggi ini. Raden Juwana mengamuk dengan pedang di
tangan kanan sementara tangan kiri mulai melepas pukulan tangan kosong
mengandung aji kesaktian bernama geger guntur. Setiap tangan itu dihantamkan
terdengar suara dahsyat seperti suara guntur. Lalu menyusul satu gelombang
angin panas menyapu dengan ganas. Belasan prajurit pengurung mencelat mental
dan roboh berkaparan tanpa nyawa.
”Awas!
Hati-hati Dimas!” teriak Adikatwang.
Bagaimanapun
kehebatan ilmu pedang dan pukulan sakti yang dimiliki Raden Juwana, dikurung
ratusan prajurit serta menghadapi dua tokoh pemberontak berkepandaian tinggi
setelah mengamuk selama sebelas jurus, dalam satu gebrakan hebat pedang di
tangan Raden Juwana berhasil dibuat mental oleh hantaman golok Adikatwang.
Walau golok Adikatwang patah dua tapi jelas bahwa tingkat tenaga dalam pimpinan
pemberontak ini jauh lebih tinggi dari yang dimiliki Raden Juwana.
Dalam
keadaan tanpa senjata begitu rupa, Raden Juwana kini pergunakan kedua tangannya
untuk menebar maut dengan melepaskan pukulan-pukulan geger guntur.
Semua
serangannya diarahkan pada Adikatwang yang dianggapnya sebagai biang racun
malapetaka dan gembing utama kaum pemberontak. Adikatwang yang sejak tadi telah
berlaku waspada sambut serangan Raden Juwana dengan mengangkat kedua tangannya
pula. Dari telapak tangan orang ini kelihatan sinar cahaya kebiru-biruan.
Inilah ilmu kesaktian andalan Adikatwang yang didapatnya dari seorang Resi di
pantai Selatan. Dia harus berpuasa dan merendam diri dalam lautan selama 40
hari untuk mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama gelombang hantu itu.
Berbarengan dengan terlihatnya sinar kebiruan maka menggemuruh suara seperti
ombak sambung-menyambung serta deru angin seperti badai mengamuk. Suara seperti
guntur yang menyertai ilmu pukulan yang dilepaskan Raden Juwana tampak bergetar
keras. Mukanya menjadi pucat dan keningnya penuh dengan butir-butir keringat. Ketika
dia berusaha bertahan, di depannya Adikatwang dorongkan kedua tangannya. Sinar
biru pukulan gelombang hantu kelihatan berkilau terang. Saat itu pula Raden
Juwana merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Dari mulutnya meleleh
darah. Sadar bahaya maut yang bakal dihadapinya jika dia bersikeras melayani
kekuatan lawan maka Raden Juwana cepat jatuhkan diri ke tanah.
Ketika
dia berusaha tegak dengan sempoyongan, dari belakang Wira Seta mendatangi lalu
menotok punggungnya dengan cepat hingga pemuda ini kaku tegang tak berkutik
lagi.
Lima
orang prajurit Kediri segera meringkusnya. Ketika hendak dinaikkan ke atas
seekor kuda Raden Juwana berpaling pada Adikatwang. ”Aku tidak takut mati!
Mengapa kau tidak membunuhku saat ini juga?!”
Adikatwang
menyeringai. “Bersabarlah sedikit anak muda. Akan datang saatnya aku mengorek
jantung dan hatimu!”
”Manusia
pengkhianat busuk! Sang Prabu telah mengampuni nyawamu dan masih mau memberikan
kedudukan tinggi di Gelang-Gelang. Sekarang ini balasanmu terhadapnya. Kau
bukan manusia tapi iblis laknat! Terkutuk kau dan keturunanmu!”
Plaak!
Tamparan
Adikatwang meledak di muka Raden Juwana. Pipi kiri pemuda ini tampak bengkak
merah kebiruan. Bibirnya pecah mengeluarkan darah. Tapi di wajahnya sedikitpun
tidak ada tampak rasa takut. Malah dengan menyeringai sinis dia mengangkat
kepalanya lalu meludahi muka Adikatwang!
”Keparat
rendah!” teriak Adikatwang. Dia menyambar golok seorang prajurit.
Sewaktu
senjata itu hendak dipancungkannya ke leher Raden Juwana, Adipati Wira Seta
cepat menghalangi seraya berbisik. ”Ingat rencana kita harus membiarkan
nafasnya berjalan.”
Tubuh
Adikatwang nampak bergetar menahan amarah. Golok di tangannya dibanting hingga
terhunjam masuk ke tanah sampai ke gagangnya. Dalam hati dia menyumpah. “Aku
akan menentukan cara matimu yang paling sengsara Juwana!”
******************
BAB X
Adikatwang
duduk di singgasana milik Sri Baginda Singosari sambil tiada hentinya
tersenyum. Dia benar-benar telah mendapatkan apa yang diidamkannya,
menumbangkan Kerajaan Singosari, merebut tahta Sang Prabu, dan menjadi Raja di
Raja di Kediri dan Singosari.
Di
samping singgasana berdiri Adipati Sumenep Wira Seta. Semuanya tidak kalah
dengan Adikatwang yang kini tengah mabuk kepayang. Di sekelilingnya berdiri
para pembantu kepercayaannya yang lain, yang telah membantu perjuangannya
meruntuhkan Singosari dan menjadikannya sekarang seorang Raja besar. Beberapa
orang Pendeta Istana juga kelihatan berada di tempat itu dengan wajah muram
tanda mereka sebenarnya mendekam perasaan tidak enak. Tetapi sebagai pemuka
agama mereka hanya bisa pasrah.
Apa yang
telah terjadi yaitu direbutnya tahta Kerajaan dan gugurnya sang Prabu mungkin
sudah menjadi suratan. “Saya sekarang menjadi Raja di seluruh kawasan ini,
Dimas Wira Seta!” kata Adikatwang sambil tertawa lebar.
“Memang
itu tujuan kita Sri Baginda,” jawab Wira Seta. “Saya mengucapkan selamat!”
“Kau
boleh memilih jabatan apa yang kau inginkan, asalkan bukan jabatan Patih
Kerajaan…”
Paras
Wira Seta berubah. “Kangmas Adikatwang, ” katanya dengan suara agak tercekat.
Rasa tercekat membuat dia tidak lagi menyebut Adikatwang dengan panggilan Sri
Baginda. “Kangmas, sesuai perjanjian kita dalam perundingan sebelum rencana ini
kita jalankan, bukankah kau sudah mengatakan dan menyetujui bahwa jabatan Patih
adalah menjadi bagianku kalau Singosari berhasil ditumbangkan. Apakah Kangmas
lupa hal itu?”
“Tidak,
tentu saja tidak Dimas Wira Seta.”
“Kalau
begitu mengapa…”
Adikatwang
berdiri dari singgasana dan memegang bahu Wira Seta. ”Saya tidak lupa janji itu
Dimas. Cuma berikan saya waktu. Untuk sementara jabatan itu akan serahkan pada
Rana Trijaya…”
“Adik
Kangmas?”
“Ya, adik
kandung saya…”
Paras
Wira Seta berubah mengelam. ”Jadi..”
”Dimas,
jabatan Patih itu akan saya berikan pada Rana hanya untuk sementara.
Satu atau
dua tahun saja. Setelah itu kau akan menggantikannya.”
”Itu
tidak ada dalam perjanjian kita Kangmas.” Wira Seta semakin tidak enak.
”Memang
benar. Maafkan kalau saat ini saya berubah pikiran. Bukan apa-apa.
Hanya
sekadar untuk mengajar Rana dalam tatacara kehidupan berkerajaan. Sementara itu
Dimas bisa memilih jabatan apa saja. Panglima Balatentara misalnya. Itu bukan
jabatan rendah. Hampir setingkat dengan kedudukan Patih Kerajaan.” Adikatwang
tersenyum.
Wira Seta
menggeleng. ”Saya tidak mengerti,” jawabnya.
”Saya
tidak menginginkan jabatan Panglima Balatentara itu.”
”Kalau begitu
masih tersedia jabatan lain. Kedudukan Dimas sebagai Adipati di Madura tidak
akan dikutik-kutik. Dimas tetap berkuasa di sana.”
”Maafkan
saya Kangmas. Saya merasa kurang sehat. Saya akan kembali dulu ke perkemahan di
tapal batas…”
”Dimas
Wira Seta, jangan pergi dulu. Nanti malam pembicaraan kita lanjutkan.
Kita akan
mengadakan pesta besar-besaran. Lagi pula Dimas harus menyaksikan satu acara
sangat menarik yang sebentar lagi akan diadakan di halaman belakang Keraton.
Sesuai
dengan usul Dimas sendiri… Ingat Raden Juwana yang sudah kita ringkus?”
Wira Seta
mengangguk. Tapi dia sudah tidak tertarik lagi untuk bicara dengan Adikatwang.
Juga untuk menyaksikan apa yang bakal dilakukan Raja baru itu. Dia merasa
sangat terpukul dan sangat kecewa. Dia merasa tertipu ikut membantu Adikatwang
meruntuhkan Singosari, merebut tahta. Begitu tujuan tercapai Adikatwang tidak
menepati janjinya yaitu memberikan kedudukan Patih Kerajaan padanya.
“Maaf
Kangmas, saya harus kembali ke tapal batas. Saya benar-benar merasa kurang
sehat…” kata Wira Seta. Lalu dia bergerak hendak melangkah.
”Tunggu
dulu Dimas,” ujar Adikatwang pula. ”Saya tidak melihat Gandita pembantu utamamu
itu. Dimana dia?”
Semula
Wira Seta hendak mengatakan bahwa dia telah memberikan tugas pada Gandita untuk
menguntit rombongan yang membawa empat kereta jenazah. Tetapi setelah melihat
keculasan Adikatwang, Wira Seta menjawab dengan angkat bahu. ”Dia pasti masih
berada di salah satu medan pertempuran. Saya akan beri tahu jika Kangmas ingin
bertemu dia.”
”Ya, malam
ini dia harus menghadiri pesta. Dimas juga…”
Wira Seta
tidak menyahut. Dia meninggalkan ruangan besar itu dengan langkah cepat tetapi
limbung.
Seorang
pembantu menyodorkan sebuah tabung bambu berukir-ukir berisi minuman keras pada
Adikatwang. Penguasa baru Singosari ini meneguk seluruh isi tabung sampai habis
hingga wajahnya kelihatan merah padam.
Seorang
Perwira Tinggi Kediri mendekatinya lalu membisikkan sesuatu. ”Bagus!
Mari kita
sama-sama ke halaman belakang…” Adikatwang memberi isyarat agar semua orang
yang ada di tempat itu mengikutinya. Namun tiba-tiba dari pintu depan terdengar
seorang berseru.
”Sri
Baginda Adikatwang! Lihat apa yang aku bawa!”
Satu
bayangan merah berkelebat. Sesaat kemudian di depan Adikatwang tampak berdiri
Dewi Maha Geni, si nenek yang menjadi kaki tangan utama Adikatwang dalam
penggulingan sang Prabu. Seperti diketahui sebelumnya nenek sakti ini adalah
pembantu Raja Singosari, seorang tokoh silat Istana. Dia berdiri di hadapan
Adikatwang membawa sebuah keranjang berisi rumput. Keranjang ini adalah
keranjang yang dirampasnya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Dewi Maha Geni
meletakkan keranjang di lantai. Lalu dia membongkar dan mengeluarkan rumput
yang ada dalam keranjang.
Paras si
nenek jadi berubah ketika keseluruhan rumput dikeluarkan tetapi dua kotak kayu
yang dipastikannya ada dalam keranjang saat itu sama sekali tidak ditemukan.
Hal ini
jelas karena sebelumnya dengan cerdik Wiro telah menukar keranjang rumput
berisi dua kotak kayu itu dengan keranjang rumput yang bentuk dan isinya sama,
tetapi tidak ada isinya selain rumput belaka.
Untuk
beberapa lamanya Dewi Maha Geni tegak ternganga. Dia memandang pada keranjang
rumput di hadapannya dengan rasa tidak percaya lalu berpaling pada Adikatwang.
”Nenek
sakti, permainan apa yang hendak kau sajikan di depan Rajamu?!” menegur
Adikatwang.
Paras
Dewi Maha Geni menjadi merah. ”Dalam keranjang ini seharusnya ada dua kotak
kayu itu…”
”Kotak
kayu apa?” tanya Adikatwang.
”Kotak
kayu berisi Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa!” sahut Dewi Maha Geni lalu
menggigit bibirnya sendiri.
Adikatwang
tampak terkejut. Tapi hanya seketika. ”Saya lihat keranjang itu hanya berisi
rumput melulu! Atau mata Rajamu ini telah buta?”
”Maafkan
saya Sri Baginda. Sesuatu telah terjadi. Pemuda itu telah menipu saya.” Dewi
Maha Geni nampak jengkel sekali.
”Pemuda
siapa maksudmu?” Adikatwang mulai kehilangan kesabarannya.
”Pemuda
bernama Wiro itu!”
”Lagi-lagi
dia!” sungut Adikatwang. ”Semua orang-orangku seperti menjadi tolol di hadapan
pemuda itu! Jika kau ditipu dan pemuda itu berhasil membawa lari Mahkota
Narasinga dan Keris Saktipalapa, lalu apa lagi yang kau tunggu? Cari pemuda
itu! Bawa kepalanya ke hadapanku dan yang lebih penting dapatkan kedua benda
pusaka Kerajaan Singosari itu!”
Dewi Maha
Geni merasa sangat tersinggung dianggap orang tolol. Tanpa banyak bicara lagi
dia berpaling dan tinggalkan tempat itu. Adikatwang tidak perdulikan lagi si
nenek. Dia melangkah ke halaman belakang diikuti oleh semua yang ada di ruangan
itu.
Halaman
belakang Keraton Tumapel yang sebagian merupakan sebuah taman luas dijaga oleh
hampir dua ratus pengawal bersenjata lengkap. Di bagian tengah halaman terdapat
dua buah tiang kayu besar dan di atas kedua tiang ini melintang sebuah balok.
Di sebelah atas balok ada seutas tambang besar yang salah satu ujungnya
dipegang oleh tiga orang prajurit bertubuh tegap kekar. Ujung lain dari tambang
ini dihubungkan dengan sebuah ikat pinggang besi. Dan ikat pinggang besi ini
dikatupkan ke dada terus ke ketiak Raden Juwana yang saat itu sudah dilepas
totokannya tetapi berada dalam keadaan terikat kedua tangan dan kakinya. Saat
itu dia hanya mengenakan sehelai celana dalam saja. Di punggung, dada, dan
wajahnya kelihatan bekas-bekas penganiayaan.
Di bawah
tubuh Raden Juwana yang tergantung itu sejarak dua tombak dari ujung kedua
kakinya ada sebuah kuali raksasa berisi minyak mendidih sementara di bawah
kuali api besar terus dipasang menyala. Sudah dapat dibayangkan malapetaka apa
yang bakal menimpa pemuda ini. Semua ini dilakukan atas perintah Adikatwang.
Semua orang menduga-duga apa tujuan Adikatwang melakukan hal itu.
Melihat
segala persiapan telah dilakukan orang, Adikatwang nampak puas. Dia melangkah
dan berhenti sekitar sepuluh langkah dari hadapan kuali besar di atas mana
Raden Juwana tergantung.
”Juwana!”
tiba-tiba Adikatwang berkata dengan suara lantang. ”Kau tahu bahaya apa yang
bakal kau hadapi saat ini?”
Mulut
Raden Juwana nampak bergetar. Terdengar suaranya menjawab. ”Manusia iblis!
Siapa bilang aku takut mati!”
Adikatwang
tertawa bergelak. ”Memang tidak ada yang bilang kalau kau takut mati. Tapi coba
kau perhatikan minyak yang mendidih di bawahmu. Sekali tubuhmu masuk ke dalam
kuali kau akan menjadi matang garing! Ha…ha…ha!”
”Kau
boleh melakukannya sekarang juga pengkhianat busuk!” teriak Raden Juwana tanpa
rasa takut. Kedua matanya seperti dikobari api.
”Kau
memang manusia hebat!” kata Adikatwang. Dia menjentikkan jari-jari tangannya.
Tiga orang lelaki di belakang tiang penggantungan mengulur tambang yang mereka
pegang. Tubuh Raden Juwana turun ke bawah sampai dua jengkal. Hawa panas minyak
mendidih yang ada di bawah kakinya mulai terasa.
”Juwana,
aku akan mengajukan dua pertanyaan! Kalau kau mau menjawab dan beri keterangan,
nyawamu kuampuni!” kata Adikatwang. Raden Juwana diam saja.
Kedua
matanya dipejamkan.
”Pertanyaan
pertama! Siapa yang membawa Mahkota Narasinga dan Keris Sakti Palapa. Dimana
kedua barang pusaka Kerajaan itu disembunyikan! Kau mau memberikan
keterangan?!”
Sepasang
mata Raden Juwana terbuka. Mulutnya juga terbuka. Lalu dari mulut itu melesat
ludah campur darah. ”Kau tanyalah pada setan-setan di neraka!”
Walaupun
tampang Adikatwang menjadi mengelam merah namun sambil menyeringai dia berkata.
”Pertanyaan kedua, dimana beradanya empat puteri Sang Prabu.
Kau pasti
tahu! Nah, saatnya kau menjawab atau tubuhmu akan garing dalam kuali itu!”
”Manusia
terkutuk! Kau tak bakal mendapat jawaban apa-apa dariku!” teriak Raden Juwana.
Adikatwang
menjentikkan jari-jari tangan kanannya. Tiga prajurit di belakang tiang
gantungan kembali mengulur tali yang mereka pegang. Hawa panas semakin keras
terasa pada kedua kaki dan tubuh bagian bawah Raden Juwana. Tapi pemuda ini
tetap tabah bahkan nekad.
”Kau mau
menjawab atau memilih mampus?” bentak Adikatwang.
”Aku
memilih mampus!” jawab Raden Juwana tanpa tedeng aling-aling.
”Bangsat
tolol!” maki Adikatwang. Dia mengangkat tangan kirinya. Dua orang pengawal
muncul membawa seekor kambing. Binatang ini dilemparkan ke dalam kuali
berminyak mendidih. Terdengar suara mendesis panjang mengerikan. Kambing itu
terdengar mengembik pendek lalu tubuhnya telah berubah menjadi garing,
mengambang di atas permukaan minyak. Semua orang yang ada di tempat itu
bergidik menyaksikan kejadian itu. Di tali penggantungan Raden Juwana tetap
tenang walau sekujur tubuhnya kini kelihatan keringatan oleh hawa panas minyak
mendidih.
”Bagaimana?
Kau masih tetap menutup mulut dan memilih mati?” tanya Adikatwang sementara dua
pengawal tadi mengeluarkan kambing yang sudah matang garing itu dari dalam
kuali.
Raden
Juwana tak menjawab. Diam-diam dia kerahkan tenaga dan mengukur jarak antara
dia dengan Adikatwang. Tiba-tiba tubuh itu berayun keras. Kaki kanan Raden
Juwana menyambar ke arah kepala Adikatwang. Kalu tendangan itu sempat menyambar
tidak dapat tidak akan pecahlah kepala Adikatwang. Namun dengan menunduk sambil
mundur satu langkah Adikatwang berhassil mengelakkan serangan maut mendadak
itu. Kedua matanya mendelik saking marah. Dia berteriak keras.
”Cemplungkan
keparat itu ke dalam kuali!”
Mendengar
perintah itu, ketiga orang di belakang tiang penggantungan langsung lepaskan
pegangan mereka pada tambang besar. Tubuh Raden Juwana melayang jatuh ke bawah.
Beberapa orang yang tidak tahan menyaksikan apa yang bakal terjadi, termasuk
para Pendeta Kerajaan, pejamkan mata masing-masing. Sebentar lagi pasti terdengar
suara mendesir keras begitu tubuh Raden Juwana menyentuh minyak mendidih di
dalam kuali besar!
Namun
suara mendesir itu tidak terdengar. Justru saat itu meledak satu bentakan
dahsyat yang menggetarkan halaman luas, disusul oleh suara berdesing.
”Orang-orang
Kediri! Pemberontak busuk! Kekejian dan dosa kalian sedalam laut setinggi
langit! Kalian rasakan pembalasanku!”
Di udara
kelihatan dua buah benda putih melesat ke arah Adikatwang. Lalu laksana petir
menyambar, di tempat itu satu sinar putih seperti perak berkilat. Panas yang
seperti membakar tubuh menghampar! Suara pekikan terdengar dimana-mana. Asap
putih kemudian bergulung-gulung di seluruh halaman. Ketika asap itu pupus,
kelihatanlah satu pemandangan yang mengerikan.
Sekitar
dua puluh orang prajurit Kediri berkaparan tewas di halaman belakang Keraton
Tumapel itu. Tubuh mereka kelihatan hitam seperti gosong. Kuali besar berisi
minyak mendidih hancur berantakan dan minyaknya menyiprat kian kemari
menimbulkan luka parah pada hampir selusin prajurit dan seorang Perwira.
Rerumputan dan tanaman yang ada di taman tampak hangus kehitaman. Bau daging
manusia yang seolah-olah dipanggang memenuhi udara di tempat itu, menegakkan
bulu kuduk semua orang!
Adikatwang
sendiri tampak tegak terhuyung-huyung sambil memgangi sebuah benda yang
menancap di bahunya. Jari-jari tangannya berlumuran darah. Benda itu adalah
sebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Apa yang telah terjadi?
Ketika
tadi terdengar suara orang membentak di udara tampak berdesing dua buah benda
putih. Dua buah benda yang merupakan senjata terbang ini melesat ke arah batang
leher Adikatwang. Dalam kejutnya Adikatwang memberikan reaksi cepat. Sambil
miringkan tubuh dia menghantam ke depan. Salah satu dari benda putih itu
berhasil dipukulnya sampai mental tapi tangannya sendiri luka dan berlumuran
darah. Benda kedua walau sudah dielakkan ternyata masih sempat menancap di bahu
kirinya! Dan benda ini ternyata adalah sebuah tusuk kundai perak ini! Dalam
dunia persilatan yang memiliki tusuk kundai perak dan menjadikannya satu
senjata maut hanyalah seorang nenek sakti dari Gunung Gede, guru dari Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yaitu Sinto Weni alias Sinto Gendeng,
manusia aneh yang dianggap Datuk dari segala Datuk tokoh-tokoh persilatan.
Adikatwang
telah menyaksikan ketika tiga buah tusuk kundai yang sama menancap di tubuh
Panglima Argajaya yang membuatnya mati seketika. Tanpa tunggu lebih lama
Adikatwang cepat cabut tusuk kundai perak yang menacap di bahunya, lalu menotok
jalan darahnya di bagian kiri tubuh. Saat itu dia merasakan bagaimana rasa
panas yang mengerikan merayapi hampir setiap bagian tubuhnya. Dari dalam saku
pakaiannya cepat dia mengeluarkan sebutir obat pemusnah racun lalu ditelannya
cepatcepat.
Sambil
menelan obat dia memandang ke depan. Adikatwang masih sempat melihat sosok
tubuh Sinto Gendeng menyambar tubuh Raden Juwana yang melayang jatuh ke bawah.
Tali pengikat pinggangnya putus. Di lain kejap si nenek telah lenyap dari
pemandangan bersama Raden Juwana di atas dipanggulnya.
”Dia
lagi…” desis Adikatwang. Lalu Raja pemberontak ini terkulai tak sadarkan diri.
Dua orang prajurit dan seorang Pendeta cepat menolongnya.
*********************
Raden
Juwana merasakan nafasnya seperti terbang dibawa lari oleh nenek tak dikenalnya
itu. Saat itu mereka telah berada jauh di luar Kotaraja.
”Nek, kau
mau bawa aku ke mana? Kau menolong jiwaku dari minyak mendidih itu. Katakan apa
kau seorang sahabat atau seorang penculik?!”
”Tutup
mulutmu anak sambel!” membentak Sinto Gendeng. ”Kalau aku tidak berpihak padamu
perlu apa aku menghabiskan waktu dan tenaga mengurusi manusia macammu!”
Di satu
tempat si nenek turunkan tubuh Raden Juwana yang hanya mengenakan sehelai
kolor. Begitu menginjak tanah Raden Juwana langsung bersujud menghatur sembah.
”Nek, aku
berhutang nyawa padamu. Mohon kau sudi memberi tahu nama…”
Mendengar
kata-kata Raden Juwana itu, Eyang Sinto Gendeng cemberut. ”Kau pergilah mencari
pakaian yang pantas. Kalau sudah lekas menuju ke arah Timur Laut dan bergabung
dengan pasukanmu kembali. Aku menaruh firasat empat puteri Sang Prabu berada
dalam bahaya besar.”
”Terima
kasih Nek, aku sangat berterima kasih. Sekali lagi mohon kau sudi memberi tahu
nama…”
”Sudah,
berdirilah anak muda. Aku tidak pantas mendapat kehormatan seperti cara yang
kau lakukan.”
Sekali
lagi Raden Juwana menghatur sembah memberi penghormatan seraya membungkuk
dalam-dalam. Ketika dia bangkit kembali si nenek tak ada lagi di tempat itu!
Lalu dia sadar keadaan dirinya yang hanya mengenakan sehelai celana kolor
begitu rupa! Cepat-cepat Raden Juwana menyelinap di antara semak belukar. Dia
harus segera menyusul rombongan puteri-puteri Kerajaan yang sebelumnya telah
ditinggalkannya.
Hatinya
mendadak saja merasa tidak enak. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan
rombongan itu. Raden Juwana memutuskan untuk mengambil jalan memintas agar dapa
menyusul sebelum rombongan mencapai desa Tembang Sari dekat Kudadu. Namun dia
harus mencari rumah penduduk lebih dahulu agar dapat meminta sehelai pakaian.
*********************
Adikatwang
dinaikkan ke atas sebuah tandu. Namun sebelum keburu diangkut dia sudah keburu
siuman. Dia minta diturunkan dari atas tandu dan melangkah sendiri dengan
sempoyongan menuju tangga belakang Keraton. Seperti merasakan sesuatu dia
hentikan langkah lalu memutar diri. Lama Adikatwang tegak tertegun. Sewaktu dia
mendongak ke atas, saat itulah dia baru menyadari bahwa langit di sore itu
telah dibungkus oleh awan mendung yang sangat tebal. Belum sempat Adikatwang
kembali meneruskan langkahnya memasuki Keraton tiba-tiba turunlah hujan sangat
besar. Tapi hanya sebentar. Begitu hujan berhenti langit tampak kembali cerah.
Adikatwang terheranheran menyaksikan perubahan cuaca yang serba cepat ini.
Ketika dia berpaling ke arah Utara kedua matanya membesar dan hatinya tercekat.
Di langit di kejauhan sana dia melihat pelangi terpampang membelintang dari
Barat ke Timur.
”Apa
artinya ini…?” desis Adikatwang. Karena luka di bahunya mendenyut, dia kembali
memutar tubuh. Dua orang pembantu menolong memapahnya menaiki tangga Keraton.
******************
BAB XI
Di
kawasan di mana pasukan pemberontak pimpinan Gandita berada sore itu sama
sekali tidak turun hujan. Cuaca terang benderang. Namun semua orang melihat
keanehan yang tampak di langit sebelah Utara. Sebuah pelangi membentang di
langit.
“Aneh,”
kata seorang Prajurit Kepala. “Tak ada hujan mengapa ada pelangi?
Mungkin
ini suatu pertanda buruk?” dia berpaling pada kawannya. ”Haruskah hal ini kita
beri tahu pada pimpinan pasukan?”
Kawannya
menjawab dengan gelengan kepala. ”Kurasa tidak usah saja. Pemuda itu sedang
dilanda nafsu. Dia sibuk memerintah agar kemahnya selesai sebelum malam tiba.
Aku tidak menyangka perang akan sekejam ini. Dia sama sekali tidak menaruh rasa
hormat kepada puteri Sri Baginda. Malah hendak….”
Prajurit
Kepala memberi tanda agar kawannya tidak meneruskan ucapannya.
Keduanya
meningglkan tempat itu, bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang juga
sudah melihat adanya pelangi di langit Utara.
Ketika
langit di Barat mulai tampak merah tanda sang surya akan segera tenggelam,
Pendekar 212 Wiro Sableng yang memanggul keranjang rumput berisi dua buah benda
pusaka Keraton Singosari yang sangat berharga sampai di puncak bukit.
Menurut
penjelasan yang pernah diterimanya rombongan puteri-puteri Kerajaan akan
melewati jalan kecil di bawah sana. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat
serombongan pasukan di kaki bukit. Ada empat buah kereta dekat tikungan jalan.
Lalu tersiraplah darah murid Sinto Gendeng ini. Dia melihat puluhan manusia
berkaparan di bawah sana. Diperhatikannya lagi dengan seksama. Pasukan yang
berada di tempat itu berseragam balatentara Kediri dan Madura, bukan seragam
Singosari.
Wiro
menggaruk kepalanya. ”Jangan-jangan…” Dia tidak berani meneruskan kata hatinya.
Wiro memandang berkeliling. Tak jauh di sebelah kanannya dilihatnya serumpunan
semak belukar lebat. Wiro keluarkan dua buah kotak kayu dari dalam keranjang
rumput. Dia menggali sebuah lobang dangkal di kaki semak belukar lalu
memasukkan kedua kotak berisi benda pusaka Keraton Singosari itu ke dalam
lobang dan menimbunnya kembali. Tepat pada saat matahari tenggelam dan keadaan
mulai gelap Pendekar 212 sampai di kaki bukit. Kini dia bisa melihat lebih
jelas, siapa adanya kelompok besar pasukan yang berkemah di tempat itu dan
pihak mana pula yang telah menjadi korban tewas berkaparan di mana-mana.
Dari
balik semak-semak Wiro perhatikan empat buah kereta di depannya. Jelas itu
adalah kereta milik Keraton Singosari. Keempat kereta itu dalam keadaan kosong.
Dimana
keempat puteri Sri Baginda? Wiro menyelinap mendekati. Tubuhnya bergetar ketika
tiba-tiba matanya melihat sosok orang tua katai terkulai tak bernyawa pada
salah satu roda kereta. Sekujur tubuh dan mukanya penuh luka mengerikan. Wiro
melompat ke hadapan mayat yang dikenalinya itu. ”Damar…” dia menyebut orang tua
katai itu dengan suara tegang.
”Hai!
Siapa kau?!” satu suara tiba-tiba membentak di belakang Pendekar 212 Wiro
Sableng. Bersamaan dengan itu terdengar suara gesekan senjata dicabut. Lalu
sebilah golok menempel di lehernya!
Perlahan-lahan
Wiro palingkan kepala. Di hadapannya berdiri seorang prajurit Madura bertubuh
tinggi besar dan berkumis melintang.
”Kau
pasti orang Singosari!” prajurit Madura itu kembali membentak. Tangannya
bergerak siap untuk menusukkan golok.
Murid
Sinto Gendeng menyeringai. ”Tahan, sabar dulu! Masakan kau lupa siapa aku?!”
”Sialan!
Lekas katakan siapa dirimu sebelum golok ini menembus lehermu!”
”Ah, kau
benar-benar sudah lupa siapa diriku. Bukankah aku malaikat maut yang datang
hendak mengambil nyawamu?!”
”Setan
alas…”
Makian
prajurit Madura itu hanya sampai di situ. Wiro membuat gerakan cepat. Kaki
kanannya menedang tulang kering orang lalu bersamaan dengan itu dia menarik
tangan kanan lawan. Dalam keadaan kesakitan prajurit itu terbetot ke depan.
Bersamaan dengan itu tangan kanan Wiro kembali berkelebat.Bukk! prajurit itu
langsung terjengkang dengan muka remuk akibat jotosan mengandung tenaga dalam
yang dihantamkan Wiro ke hidungnya. Dengan cepat Wiro menyelinap meninggalkan
tempat itu. Dia harus segera mengetahui dimana adanya keempat puteri Sang
Prabu. Yang paling dicemaskannya adalah kesalamatan puteri bungsu yaitu
Gayatri. Di samping itu dia juga menduga-duga dimana Raden Juwana yang
seharusnya berada bersama rombongan puteri-puteri Kerajaan.
Menyadari
kalau dia tidak bisa bergerak leluasa dalam pakaian seperti itu, Wiro mendekati
seorang prajurit yang tengah berjaga-jaga sambil menghisap sebatang rokok
kawung. Wiro sengaja berdiri di balik sebatang pohon, hanya memperlihatkan
sebagian tubuhnya lalu ”Ssstt…!” Dia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya.
Prajurit
yang sedang merokok berpaling. Dia melihat ada seorang pemuda gondrong tak
dikenal tersenyum padanya serta melambaikan tangan memanggilnya dari balik
pohon. Orang ini buang rokok kawungnya ke tanah, meraba golok di pinggangnya
lalu melangkah cepat ke arah pohon.
”Siapa
kau?!” si prajurit membentak. Dari balik pohon sepasang tangan yang kokoh
tiba-tiba berkelebat mencekik lehernya. Dia berusaha mencabut senjatanya. Tapi
tubuhnya keburu terangkat ke atas dan lehernya berderak patah. Wiro seret
prajurit ini ke balik pohon, menanggalkan pakaiannya lalu memakainya tanpa
membuka pakaiannya sendiri. Dengan mengenakan pakaian seragam prajurit Madura
itu Pendekar 212 Wiro Sableng bisa menyelinap ke setiap pelosok perkemahan
tanpa dicurigai.
Dalam
kegelapan, jauh di sebelah kiri Wiro melihat sebuah kemah. Dia segera bergerak
ke arah kemah ini. Sejarak tiga tombak dari kemah tiba-tiba ada dua orang
pengawal mendatangi.
”Kawan,
kau hendak kemana?”
”Ah,
kalian,,,” kata Wiro seraya senyum. ”Ada sesuatu hal penting hendak kusampaikan
pada orang di dalam kemah.”
”Kau tahu
Gandita pemimpin kita tengah beristirahat. Apa kau berani mati hendak
mengganggunya?”
”Ini
menyangkut puteri-puteri sang Prabu,” kata Wiro pula mengada-ada. Justru
ucapannya itu memancing jawaban yang mengejutkan.
”Semua
puteri itu sudah ada yang mengurus. Salah satu diantaranya malah sudah ada di
dalam kemah sana bersama Gandita.” pengawal yang bicara keluarkan suara tertawa
pendek.
Wiro
ikut-ikutan tertawa. Tapi dalam hati dia menyumpah. ”Wah, pasti Gandita memilih
puteri yang paling cantik. Siapa kira-kira yang beruntung dipaksa melayaninya?”
”Yang
paling muda dan yang paling cantik tentunya!” jawab pengawal satu lagi.
Gayatri!
Wiro berteriak dalam hati. Saat itu ingin dia segera melompat ke arah kemah.
Tapi dia masih bisa menguasai diri. Pura-pura bersungut dia berkata, ”Enak juga
jadi pemimpin. Bisa bersenang-senang. Sedang kita berjaga-jaga di luar.
Kedinginan dan disantap nyamuk hutan!” Lalu Wiro memutar tubuhnya seperti
hendak pergi. Tapi tibatiba sekali kedua tangannya bergerak. Empat ujung jari
bekerja. Kedua pengawal itu langsung roboh dalam keadaan kaku tertotok!
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat bergerak menuju kemah. Dia berhenti sesaat
ketika dari dalam kemah didengarnya suara perempuan membentak.
”Manusia
iblis! Kau akan mendapat hukuman setimpal atas perbuatan kejimu ini!”
Wiro
kenal betul. Itu adalah suara Gayatri. Pendekar ini menggeram dan cabut Kapak
Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Senjata mustika sakti itu tampak berkilau
meskipun dalam kegelapan malam.
”Gayatri…”
terdengar suara lelaki.
Bangsat!
Itu suara Gandita si keparat! Wiro memaki dalam hati. Apa yang hendak
dilakukannya?! Kalau dia sampai berani berbuat kurang ajar aku bersumpah
memenggal kepalanya!
”Gayatri,
kau tahu aku sejak lama menyukaimu. Kau seharusnya merasa beruntung dan
berterima kasih karena aku masih mau menyelamatkanmu. Menurut perintah kau dan
semua saudaramu harus dibunuh habis.”
”Aku
lebih suka kau bunuh daripada kau jadikan mangsa nafsu bejatmu!”
Gandita
terdengar ketawa, ”Dengar, jika kau mau berjanji kujadikan istri, keselamatanmu
akan kujamin. Tapi jika kau menolak kau tahu sendiri akibatnya.”
”Cis!
Siapa sudi menjadi istrimu! Pemberontak busuk! Kau berkacalah lebih dahulu!”
Panas hati Gandita mendengar kata-kata itu bukan kepalang. Mukanya merah
membesi. Dia bergerak mendekati tubuh Gayatri yang terbaring di atas sehelai
tikar.
Tangannya
bergerak. Terdengar suara pakaian robek disusul oleh suara jeritan Gayatri.
Wiro
merasakan tubuhnya bergetar. Gagang Kapak Maut Naga Geni 212 dipegangnya
erat-erat. Ketika dia siap menerobos kemah tiba-tiba dia mendengar suara aneh.
Ada suara perempuan menangis keras. Dan itu bukanlah suara tangisan Raden Ayu
Gayatri!
******************
BAB XII
Di dalam
kemah Gandita terkesiap kaget. Dia memandang ke arah kemah sebelah kanan dari
arah mana, di luar sana terdengar suara orang menangis.
Cepat-cepat
Gandita mengenakan pakaiannya kembali. Lalu dia membentak.
”Siapa di
luar sana?”
Suara
tangis di luar kemah semakin keras. Tampang Gandita berubah. Dia coba berpikir
dengan cepat. Mungkinkah dia? Tapi apa perlunya dia berada disini? Aku harus
menemui dan mengusirnya. Bangsat tua itu mengganggu saja!
Gandita
membuka tali pengikat belahan kemah lalu melangkah keluar. Apa yang diduganya
memang benar. Di dekat kemah, duduk menjelepok tanah tampak duduk seorang kakek
berkulit hitam sekali. Dia duduk sambil menangis keras. Belasan pengawal
berdatangan tapi segera disuruh pergi oleh Gandita.
”Dewa
Sediha! Apa yang kau lakukan disini?!” bertanya Gandita dengan suara keras.
Orang tua
sakti yang merupakan kakak dari Dewa Ketawa sesaat memandang pada Gandita lalu
mengusap kedua matanya. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang sayu ke arah
Gandita.
”Aku
bersedia membantu kalian orang-orang Kediri dan orang-orang Madura merebut
tahta Kerajaan. Membunuh soal biasa bagiku. Tapi merusak kehormatan seorang
gadis, melakukan perkosaan sangat bertentangan dengan jiwaku! Aku bersumpah
untuk tidak membantu lagi manusia-manusia macammu! Kau akan
mempertanggungjawabkan perbuatan kotormu di hadapan para Dewa!” habis berkata
begitu Dewa Sedih kembali menggerung dan melangkah pergi.
”Dewa
Sedih! Tunggu dulu! Jangan salah sangka….!” berseru Gandita. Tapi si kakek sudah
tidak kelihatan lagi di tempat itu. Sesaat Gandita tegak tertegun. Tapi bila
dia kemudian ingat pada tubuh Gayatri yang setengah telanjang di dalam kemah
maka dia tidak perdulikan lagi kakek sakti itu. Gandita menyibakkan kain
penutup kemah dan masuk ke dalam. Dua langkah masuk ke dalam kemah pemuda ini
terbelalak besar dan tegak laksana dipaku ke tanah!
Di
hadapannya berdiri Pendekar 212 bertelanjang dada. Di tangan kanannya ada
sebuah senjata yang terasa aneh di mata Gandita yakni sebuah kapak bermata dua
yang memancarkan sinar angker menyilaukan. Pandangan mata pemuda itu
membersitkan maut. Di belakangnya berdiri Raden Ayu Gayatri, mengenakan sehelai
baju putih. Pasti itu adalah pakaian Wiro yang dikenakannya untuk menutupi
bajunya yang robek-robek.
Di lantai
kemah ada sehelai baju seragam prajurit Kediri. Wiro sendiri dilihatnya
mengenakan celana pasukan Kediri.
”Gandita!
Dulu kau masih layak dihargai sebagai seorang musuh yang pantas untuk dilawan.
Tapi saat ini kau tak lebih dari seekor anjing buduk pembawa penyakit kotor
yang harus dibikin mampus!”
Pelipis
dan rahang Gandita menggembung. Dia menyeringai. ”Keberanianmu masuk ke sarang
harimau patut dipuji. Apakah kau sanggup menembus kepungan tiga ratus prajurit?
Kau datang menghantar nyawa pemuda tolol!”
Wiro
menyeringai. ”Umurmu tidak lama lagi! Keluarkan semua makian dalam perutmu!”
Sebelumnya
Gandita sudah dua kali berhadapan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Kali
terakhir di Lembah Bulan Sabit, dia dibuat muntah darah, menahan sakit dan malu
serta dendam bukan kepalang. Saat itu rasa dendam seperti membakar dirinya.
Tapi dia
menyadari bahwa Wiro bukan lawannya. Maka dia cepat mengeluarkan suitan keras
dua kali berturut-turut. Saat itu juga di luar sana terdengar langkah
berdatangan banyak sekali. Gandita menarik sehelai tali sebagian kemah tersibak
lebar sehingga kini Wiro dapat melihat bagaimana sekitar seratus prajurit telah
mengurung tempat itu.
Paras
Gayatri tampak ketakutan. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng tenagtenag saja.
Kalaupun dia mati di tempat itu dia akan merasa bahagia bisa mati bersamasama
Gayatri.
“Kurang
banyak Gandita! Panggil lagi yang lainnya! Aku tahu ada tiga ratus prajurit di
tempat ini. Yang muncul baru seratusan!”
”Manusia
sombong takabur!” rutuk Gandita. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Belasan
prajurit melompat ke arah Wiro dan Gayatri.
”Wiro…”
terdengar suara Gayatri ketakutan.
”Kalian
mau mampus? Majulah lebih dekat!” kata Wiro pula. Tangan kirinya diangkat ke
atas. Semua orang melihat tangan itu mulai dari siku sampai ke ujung jari
berubah menjadi putih seperti perak. Sementara itu dua mata kapak yang di
tangan kanan mengeluarkan cahaya lebih menyilaukan.
”Kalian
mengapa diam saja?! Bunuh kedua orang itu!” teriak Gandita.
Puluhan
prajurit kembali bergerak. Kali ini Wiro tidak ragu-ragu lagi. Tangan kirinya
dihantamkan. Terdengar suara menggelegar. Satu cahaya laksana kilat menyambar
berkiblat di tempat itu. Hanya luar biasa panas laksana matahari berada di atas
kepala! Belasan prajurit Kediri dan Madura berpekikan lalu berkaparan di tanah.
Semuanya
tewas mengerikan dengan tubuh menghitam hangus. Belasan lainnya bergelimpangan
terkena sambaran hawa panas, menderita luka bakar tapi masih untung tidak
sampai meregang nyawa. Yang lain-lainnya serta merta melompat mundur dengan
muka pucat. Gandita jelas tampak kecut. Nyalinya sudah leleh.
Wiro
sendiri saat itu merasakan dadanya berdenyut sakit. Seingatnya baru sekali itu
dia melepaskan pukulan sinar matahari dengan tenaga dalam penuh.
”Serang!
Bunuh mereka!” teriak Gandita.
Tapi
ratusan prajurit yang ada di tempat itu sudah putus nyali masing-masing.
Bukannya menyerang mereka malah mundur menjauh. Gandita menjadi salah kaprah.
Hendak melawan pasti dia tidak mampu. Untuk kabur melarikan diri dia masih
punya rasa malu. Ketika Wiro melangkah mendekatinya pemuda ini menjadi nekad.
Dia menyambar sebilah pedang yang dipegang oleh seorang prajurit. Dengan
senjata ini di tangan dia menyongsong gerakan Wiro. Pedang dibacokkan. Kapak
Maut Naga Geni 212 berkelebat. Seperti memotong sebatang ranting, pedang di
tangan Gandita dibabat putus.
Gandita
sendiri merasakan tangannya bergetar keras dan panas. Patahan pedang yang masih
ada dalam genggamannya dilemparkannya ke arah Wiro lalu disusul pukulan tangan
kosong yang ganas.
Wiro
cepat menghindar ketika ada dua gelombang angin menderu ke arahnya.
Kesempatan
ini dipergunakan Gandita untuk mengambil sebilah keris yang tergantung di tiang
kemah. Tapi dia tak pernah sempat menyentuh senjata mustika pemberian gurunya
itu. Dari samping Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat ganas mengeluarkan deru
angker disertai sambaran sinar panas menyilaukan.
Puluhan
mulut berseru tercekam. Puluhan pasang mata terbeliak ketika menyaksikan
bagaimana kepala Gandita menggelinding di lantai kemah. Tempat itu kini diselimuti
kesunyian seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung. Tak ada yang bergerak,
tak ada yang bicara. Gayatri sendiri sampai beberapa lamanya menutup matanya
dengan kedua telapak tangan.
”Kalian
lihat sendiri apa yang bisa aku lakukan! Kalian bisa bernasib seperti manusia
keji itu jika kalian memang menginginkan! Majulah siapa yang mau!”
semua
mata memandang ke arah Wiro. Tak ada yang bergerak, apa lagi maju menyambut
tantangan yang diucapkan Pendekar 212. Merasa dia telah dapat mempengaruhi
orang-orang itu Wiro lantas berkata, ”Aku tahu kalian adalah prajuritprajurit
gagah berhati polos. Aku tahu tiga orang puteri Raja Singosari yang terbunuh
ada di tempat ini. Aku meminta bantuan kalian. Lepaskan ketiga puteri itu dan
masukkan ke dalam kereta di sebelah sana!”
Para
prajurit itu tampak saling berpandangan sesaat. Lalu sekelompok demi sekelompok
mereka bergerak ke satu tempat. Tak lama kemudian kelihatan mereka mengiringi
tiga kakak perempuan Gayatri dalam keadaan selamat tidak kurang suatu apa.
Gayatri
lari menyongsong. Keempat puteri itu mendiang Sang Prabu itu saling berangkulan
dan bertangisan.
Khawatir
pasukan musuh itu akan berubah pikiran Wiro berbisik pada Gayatri agar membawa
kakak-kakaknya naik ke sebuah kereta lalu dia sendiri melompat ke bagian depan
kereta, bertindak sebagai sais. Wiro memandang pada prajurit-prajurit itu.
”Kalian
bebas pergi ke Tumapel. Kalian telah menang karena berhasil meruntuhkan tahta
Singosari. Tapi ingat, pengkhianatan dan pemberontakan yang kalian lakukan itu
kelak akan mendapat balasan yang sama pahitnya malah mungkin lebih pahit di
kemudian hari…”
Tidak
seorangpun dari puluhan prajurit Kediri dan Madura itu yang bergerak dari
tempatnya. Banyak yang menundukkan kepala.
”Mengapa
kalian tidak pergi?” tanya Wiro. Dia mulai was-was dan tangan kanannya
didekatkan ke pinggang dimana terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Seorang
prajurit yang sudah agak lanjut usia tiba-tiba melangkah maju. Dia menjura lalu
berkata. ”Raden…”
Wiro
hampir tertawa bergelak mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan Raden! ”Ada
apa…?”
”Kami
semua di sini memutuskan untuk ikut bersama Raden saja. Mengabdikan diri pada
empat puteri mendiang Sang Prabu.”
”Apa?!
Apa aku tidak salah dengar?” tanya Wiro.
”Tidak,
Raden tidak salah dengar…”
”Kalian
coba hendak menipu lalu nanti di tengah jalan membokong?!”
”Saya
tidak menipu. Saya mewakili kawan-kawan berkata jujur…”
Murid
Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling ke belakang dan
membuka jendela kereta. ”Semua Raden Ayu yang ada di dalam tentu sudah
mendengar kata-kata prajurit itu. Harap para Raden Ayu memberikan jawaban.”
Sesaat
kemudian muncul kepala Raden Ayu Gayatri di jendela kereta. ”Saya percaya
mereka semua prajurit-prajurit gagah yang jujur dan tahu artinya kebenaran.
Saya dan
kakak-kakak saya menyetujui mereka ikut bersama kita.”
Mendengar
ucapan Raden Ayu Gayatri itu, ratusan prajurit Kediri dan Madura mengangkat
tangan dan bertempik sorak.
Seorang
penunggang kuda muncul dalam kegelapan. Dia langsung menuju kereta di atas mana
Wiro dan empat puteri Singosari berada. ”Apa yang terjadi di sini?!” tanya
penunggang kuda itu.
Semua orang
berpaling. ”Astaga!” seru Wiro. ”Raden Juwana, kau rupanya. Kami semua sudah
kebingungan memikirkan apa yang terjadi dengan dirimu! Hai, kau memakai pakaian
kecil kesempitan. Dari mana kau mencurinya? Kau yang harus mengatakan apa yang
terjadi dengan dirimu!”
Si
penunggang kuda yang memang adalah Raden Juwana adanya memandang berkeliling.
Dia jelas melihat bahwa pasukan yang ada di tempat itu adalah prajuritprajurit
Kediri dan Madura. Parasnya berubah.
Wiro
cepat berkata. ”Raden tidak usah khawatir. Mereka adalah prajurit-prajurit
kita!”
”Dan
Raden mulai saat ini adalah pimpinan kami!” prajurit tua yang tadi bicara
keluarkan seruan. Yang lain-lainnya mengangkat tangan. Kembali di malam hari
itu terdengar pekik sorak gegap gempita.
”Dewa
Maha Besar…” kata Raden Juwana. Kedua matanya berkaca-kaca karena gembira.
Terlebih ketika dilihatnya empat puteri mendiang Sang Prabu semua berada di
atas kereta dalam keadaan selamat.
Wiro
ingat pada dua buah kotak kayu yang disembunyikannya di puncak bukit.
Dia
melompat turun dari atas kereta. ”Raden, kau lebih ahli menjadi kusir para
puteri ini.
Aku
pinjam kudamu sebentar…”
”Eh, kau
hendak kemana sahabat?”
Wiro
membisikkan sesuatu ke telinga Raden Juwana. Wajah pemuda itu nampak
berseri-seri. ”Kau luar biasa. Benar-benar luar biasa. Pergilah, tetap
hati-hati. Susul kami secepatnya…”
Wiro
mengacungkan ibu jari tangan kanannya lalu melompat ke atas kuda yang diberikan
Raden Juwana padanya.
******************
BAB XIII
Runtuhnya
Kerajaan Singosari memang tidak dapat dihindari lagi. Sang Prabu tewas di
Ruangan Pemanjatan Doa. Keraton Singosari musnah. Putera-putera terbaik
Kerajaan seperti Patih Raganatha, Pendeta Mayana, Damar, dan si pengkhianat
Argajaya ikut menjadi korban. Belum terhitung para Perwira dan ratusan
prajurit. Semua menemui ajal karena ketamakan akan kekuasaan yang berpangkal
pada dendam kesumat.
Adikatwang
kembali ke Gelang-Gelang membawa kemenangang. Puluhan harta pusaka dan kekayaan
Singosari dibawanya ke Kediri. Dalam perjalanan dari daerah pertempuran menuju
Kediri dia sempat menderita demam panas akibat tusuk kundai perak beracun milik
Sinto Gendeng. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan karena dia cepat menelan
obat penangkal racun. Di samping itu seorang tabib dari Banten telah pula
memberikan obat mujarab padanya hingga nyawanya tertolong.
Kini
Singosari yang porak poranda itu berada di bawah kekuasaan Adikatwang yang
mengangkat dirinya menjadi Raja di Raja Kediri-Singosari. Walau tanpa tanda
syah yaitu adanya Mahkota Narasinga dan Keris Saktipalapa. Gelang-gelang
dijadikan pusat Kerajaan, Kotaraja baru. Dalam kemelut berdarah itu Raden
Juwana bersama empat puteri Sang Prabu dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil
menyelinap meninggalkan Singosari menuju ke Utara. Mereka bergerak mengikuti
peta yang diberikan oleh mendiang Pendeta Mayana. Dalam perjalanan menuju desa
Tembang Sari di Kudadu beberapa kali rombongan itu dicegat dan diserang oleh
kelompok-kelompok pasukan gabungan Kediri-Madura. Namun Raden Juwana berhasil
mematahkan semua serangan dibantu oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kesetiaan
prajurit-prajurit Kediri-Madura yang ikut bersama Raden Juwana patut dipuji.
Mereka berjuang mati-matian menyelamatkan rombongan penting itu, terutama
menjaga keselamatan empat puteri mendiang Sang Prabu. Menjelang mencapai
Kudadu, Dewa Ketawa muncul dan bergabung dengan rombongan ini.
Beberapa
tokoh penting yang diketahui berpihak pada Adikatwang lenyap secara misterius.
Mereka antara lain adalah nenek bermata api Dewi Maha Geni. Lalu Adipati Wira
Seta dan yang ketiga kakek sakti bergelar Dewa Sedih.
Seperti
dituturkan Dewi Maha Geni meninggalkan Keraton Singosari karena sakit hati
dimaki tolol oleh Adikatwang di hadapan orang banyak. Nenek sakti ini kemudian
bergabung dengan rombongan Adipati Wira Seta yang dalam perjalanan ke Madura,
kembali ke Sumenep. Wira Seta termasuk salah seorang yang meninggalkan
Adikatwang karena dikecewakan mentah-mentah. Sebelumnya sudah ada perjanjian
bila Singosari jatuh maka dalam Kerajaan baru yang akan segera didirikan Wira
Seta akan diangkat sebagai Patih. Namun setelah mencapai kemenangan Adikatwang
berubah pikiran. Dia mengangkat adik kandungnya sendiri Rana Trijaya sebagai
Patih.
Orang
ketiga yang tadinya membantu Adikatwang kemudian melenyapkan diri begitu saja
adalah Dewa Sedih. Orang tua berkulit hitam yang aneh ini berbalik membenci
orang-orang Adikatwang ketika dia memergoki Gandita yang hendak merusak
kehormatan puteri bungsu sang Prabu. Bagaimanapun mungkin jahat hatinya, namun
Dewa Sedih sangat benci pada kekejian seperti itu. Dia mendengar kalau Dewi
Maha Geni bergabung dengan Wira Seta menuju Madura. Dewa Sedih memilih jalannya
sendiri, melenyapkan diri dalam rimba belantara dunia persilatan..
Ketika
sampai di pedataran dimana Kali Brantas bercabang dua, rombongan sempat
berhenti dan tercengang melihat pemandangan aneh di langit di atas mereka. Ada
pelangi membentang jelas dengan segala keindahannya.
Dewa
Ketawa mendongak sambil tertawa mengekeh. Wiro garuk-garuk kepala sedang Raden
Juwana memandang tak berkesip.
”Aneh,”
kata Raden Juwana. ”Tak ada hujan, bagaimana mungkin ada pelangi membentang di
langit?”
Wiro
lantas saja ingat p ada ramalan Kakek Segala Tahu. Dia menoleh pada Dewa Ketawa
yang juga ikut mendengarkan ramalan itu. Keduanya saling pandang sesaat.
Dewa
Ketawa kemudian mengekeh panjang.
Di desa
Tembang Sari rombonganmembuka sebuah lahan di pinggiran desa, dekat sebuah
hutan kecil dimana mengalir sebuah anak sungai. Di sini mereka mendirikan
pondok-pondok kayu untuk tempat bermukim sementara.
Pada hari
ketiga ratus Raden Juwana dan orang-orangnya bermukim disana, Pendekar 212 Wiro
Sableng yang selama ini menghilang sampai tiga bulan tiba-tiba muncul membawa
kabar besar.
”Belasan
perahu besar berisi pasukan Cina mendarat di Tuban!” katanya pada Raden Juwana.
”Sulit
saya percaya hal ini. Apa maksud kedatangan mereka?”
”Saya
coba menyirap kabar,” jawab Wiro. ”Pasukan Cina itu adalah pasukan Raja Kubilai
Khan. Ada tiga orang Perwira Tinggi bertindak sebagai pemimpin. Kalau saya
tidak salah sebut….” Wiro garuk-garuk kepala sebentar. ”Mereka masing-masing
bernama Shih Pie, Ike Mishe, dan Kau Sing. Kabarnya mereka datang untuk
menghukum sang Prabu. Tapi mereka tidak tahu kalau sang Prabu sudah tiada…”
Sepasang
mata Raden Juwana tampak membesar. Demikian juga keempat puteri mendiang sang
Prabu. Gayatri tiba-tiba membuka mulut.
”Saya
tahu mengapa mereka datang dengan maksud seperti itu. Ingat peristiwa beberapa
tahun lalu ketika utusan Kubilai Khan bernama Meng Chi datang ke Singosari
membawa perintah agar Singosari tunduk pada Kerajaan Cina? Ingat apa yang
terjadi saat itu?”
”Saya
ingat,” sahut Raden Juwana. ”Sang Prabu menyuruh potong hidung utusan bernama
Meng Chi itu. Ini satu penghinaan luar biasa. Tidak salah kalau Kubilai Khan
menjadi marah.”
”Kini
ribuan pasukan Cina mendarat di Tuban, tanpa tahu kalau Sang Prabu sudah tidak
ada lagi,” ikut bicara Wiro. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini memandang
melotot pada Raden Juwana.
”Sahabat,
ada apa kau memandangku seperti melihat setan?”
”Saya…saya
punya satu rencana. Bagaimana kalau…” lalu Wiro tertawa gelakgelak.
Saat itu
pula terdengar suara tertawa mengekeh. Sesosok tubuh gendut luar biasa muncul
dari balik pohon besar menunggang seekor kuda kecil.
”Dewa
Ketawa!” seru semua orang lalu mereka lari menyambut dan mengelilingi kakek
gemuk itu.
Dewa
Ketawa berpaling pada Wiro. ”Sekilas tadi aku sudah sempat mendengar
pembicaraan kalian. Dan aku…. Ha..ha..ha..! Aku tahu apa yang ada dalam benakmu
Kampret Gondrong!”
Sialan!
Dia masih ingat saja makian itu! Wiro mengomel dalam hati.
”Bukankah
kau ingin menjalankan siasat meminjam nyawa untuk membunuh nyawa?!
Ha..ha..ha..! Tampangmu tolol, wajahmu seperti kampret! Tapi siapa menyangka
otakmu boleh juga!”
”Dewa
Ketawa, apakah yang tengah kau bicarakan ini?” tanya Gayatri.
”Tanyakan
saja pada dia. Dia yang punya otak. Aku hanya menerka dan kebetulan sangkaanku
ini tidak meleset! Ha..ha..ha..!”
Gayatri
memandang pada Wiro. Pandangannya ini di samping ingin tahu apa yang ada dalam
kepala sang pendekar juga menunjukkan rasa rindu karena sekian lama tidak
bertemu dengan pemuda yang diam-diam disukainya itu dan kepada siapa dia banyak
berhutang budi bahkan nyawa.
Cara
memandang Gayatri ini membuat Raden Juwana merasa tidak enak. Maka diapun cepat
berkata.
”Agar
semua jelas dan semua orang tahu sebaiknya sahabat Wiro menerangkan saja kalau
memang punya rencana atau sesuatu.”
Wiro
menggaruk kepalanya dulu baru berkata. ”Saya tidak berani mengatakan kalau ini
adalah rencana saya. Terus terang sebenarnya apa yang akan saya sampaikan
adalah bersumber dari jalan pikiran Raden Juwana. Suatu malam kami mengobrol,
Raden Juwana sekali mengatakan. Kalau saja ada satu kekuatan besar yang bisa
kita pergunakan untuk menyerbu Gelang-Gelang, menghancurkan kekuasaan
Adikatwang yang tidak syah.”
Raden
Juwana terdiam mendengar ucapan Wiro itu. Mungkin memang dia pernah
menyampaikan pendapat seperti itu namun tidak ingat lagi kapan dan dimana.
”Kalau
hal itu memang bisa dilaksanakan mengapa tidak dicoba?” Gayatri membuka mulut.
”Saya
akan menemui pemimpin pasukan Cina yang baru datang itu!” kata Raden Juwana
pula.
”Tidak,”
kata Wiro. ”Raden tetap disini mengatur segala sesuatunya. Saya yang akan
berangkat ke Tuban menemui tiga orang Perwira Kubilai Khan itu.”
”Saya
ikut bersamamu,” kata Gayatri pula.
Raden
Juwana tampak tidak senang mendengar ucapan Gayatri itu sebaliknya Wiro
tersenyum dan dengan lembut berkata. ”Saya hargai keberanian Raden Ayu Gayatri.
Tapi ini adalah urusan laki-laki. Biar saya sendiri yang akan pergi.”
”Ya, biar
dia saja yang pergi,” kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Tuban
cukup jauh. Aku akan pinjamkan keledaiku padamu! Ha..ha..ha..!”
*********************
Pagi itu
di langit kembali kelihatan pelangi yang membuat semua orang di pemukiman di
pinggiran desa Tembang Sari itu semakin merasa aneh. Selagi mereka dicengkeram
perasaan itu tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan. Lalu muncul
seorang kakek bercaping, berpakaian penuh tambalan seperti pengemis. Di tangan
kirinya ada sebatang tongkat sedang tangan kanannya memegang sebuah kaleng
rombeng berisi batu. Setiap saat kaleng ini digoyang-goyangkannya hingga
mengeluarkan suara berisik memekakkan telinga.
”Pengemis
dari mana pagi-pagi kesasar ke sini?” ujar Raden Juwana. ”Beri dia makanan lalu
suruh pergi. Suara kalengnya menusuk gendang-gendang telinga!”
Raden Ayu
Gayatri muncul dari balik pondok. Begitu dia melihat kakek bercaping itu serta
merta dia berseru. “Kakek! Bukankah kau Kakek Segala Tahu?! Sahabat pemuda
bernama Wiro itu?”
Orang
bercaping memutar tubuhnya ke arah Gayatri yang mendatangi sementara Raden
Juwana jadi terheran-heran.
“AH,
syukur kau masih mengenali tua bangka buruk dan buta ini! Aku ingat siapa kau
adanya. Puteri bungsu mendiang sang Prabu yang biasa dipanggil Raden Ayu
Gayatri. Benar?!”
”Benar,”
sahut Gayatri. ”Saya senang Kakek masih ingat saya.”
”Mana
sahabatku si Wiro Gendeng itu?”
”Dia
tengah membawa pasukan besar dari Cina menuju kemari,” jawab Gayatri.
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit. ”Pagi yang segar…” ucapnya perlahan.
”Katakan,
apakah ada pelangi terpampang di langit?”
”Betul
Kek, memang ada pelangi di langit,” menjelaskan Gayatri.
”Pelangi
itu membentang di atas kawasan hutan maja yang luas di sebelah Timur?”
”Saya
tahu memang ada hutan pohon maja di sebelah Timur. Kau betul, Kek,” kata
Gayatri pula.
Wajah
Kakek Segala Tahu tampak berseri.
”Pelangi…Pasukan
besar dari Cina. Ah, rupanya ramalanku dahulu tidak terlalu tolol! Satu raja
baru akan muncul. Satu kerajaan baru akan berdiri. Maha Besar kekuasaan Sang
Pencipta. Maha Besar Kasih dan KeadilanNya.”
Kakek
Segala Tahu menggoyangkan kaleng rombengnya berulang kali. Lalu dia memutar
tubuh tinggalkan tempat itu. Raden Juwana coba mengejar untuk menanyakan apa
maksud ucapan si kakek tadi. Tapi orang tua itu tidak berhenti ataupun
berpaling.
Kaleng
rombengnya terus saja digoyang-goyang sepanjang jalan hingga akhirnya lenyap di
kejauhan.
******************
BAB XIV
Adikatwang
tengah duduk di atas singgasana emas berbentuk segi empat, rambut disanggul
rapi ke atas,berpakaian sutera dan bersepatu kulit. Beberapa orang pembantu
dekat duduk mengelilinginya. Tiba-tiba muncul seorang pengawal dengan nafas
terengah.
Pengawal
ini jatuhkan diri. Begitu bangkit dia segera berkata:
”Mohon
ampun daulat Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Seorang prajurit di perbatasan
Timur dan seorang lagi di perbatasan Timur Laut memberi tahu bahwa ada dua
rombongan besar pasukan Cina berjumlah ribuan orang bergerak menuju
Gelang-Gelang…”
Adikatwang
sampai tertegak dari duduknya mendengar ucapan si pengawal.
”Pasukan
Cina katamu?!”
”Betul
sekali daulat tuanku Sri Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina bergerak
menuju Kotaraja. Ikut bersama dua gelombang pasukan itu sejumlah prajurit
berseragam tidak dikenal. Namun ada yang menyaksikan bahwa dalam pasukan itu
kelihatan Raden Juwana, seorang pemuda yang dikenal bernama Wiro Sableng, juga
seorang kakek gendut menunggang keledai sambil tertawa-tawa. Juga ada beberapa
kelompok prajurit Kediri dan Madura dalam pasukan besar itu.”
Paras
Adikatwang berubah total. ”Raden Juwana…Wiro Sableng…Pasti dia pemuda keparat
murid nenek sundal yang bersenjatakan tusuk kundai itu! Lalu seorang kakek
gemuk menunggang keledai yang selalu tertawa-tawa. Siapa lagi kalau bukan Dewa
Ketawa! Tapi adalah aneh kalau diantara mereka ada prajurit-prajurit Kediri dan
Madura. Mungkin sisa-sisa pasukan Gandita yang dulu membelot? Atau mungkin Wira
Seta ikut ambil bagian pula!”
Adikatwang
memandang berkeliling pada para pembantunya. Lalu kembali pada pengawal yang
masih duduk bersila di lantai. ”Ada keterangan lain yang akan kau sampaikan?”
”Ada Sri
Baginda Raja di Raja Kediri. Pasukan Cina terlihat membawa senjata lengkap.
Tongkat yang bisa meletus dan batang kelapa yang juga bisa meletus!”
“Tongkat
dan batang kelapa! Prajurit tolol! Itu namanya bedil dan meriam! Sudah pergi
sana!”
Begitu si
pengawal berlalu Adikatwang segera perintahkan para pembantunya untuk memukul
genta tanda bahaya yang ada di empat sudut Kotaraja. “Siapkan pasukan!
Siapa
saja yang berani memasuki Kotaraja akan kita bantai!”
Saat itu
di Kediri terdapat sekitar dua ribu prajurit berpengalaman yang siap tempur.
Namun balatentara Cina jumlahnya jauh lebih besar. Sementara itu di Keraton
Kediri tidak lagi memiliki tokoh-tokoh silat yang bisa diandalkan sedang di
pihak musuh kelihatan Pendekar 22 Wiro Sableng dan si kakek sakti Dewa Ketawa.
Tiba-tiba saja Adikatwang ingat mimpinya malam tadi. Dia melihat rembulan indah
empat belas hari di langit malam yang jernih. Tiba-tiba rembulan itu turun ke
bumi, melayang ke arah pangkuannya, tapi begitu sampai di pangkuannya rembulan
itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah bola api yang meledak dan membakar sekujur
tubuhnya.
”Raden Juwana
keparat! Wira Seta tolol sialan! Kalau dulu-dulu aku membabat lehernya…”
Adikatwang
masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dia sudah mengenakan pakaian perang yang
bagian depan dan punggungnya dilapisi besi tipis. Di tangan kanannya dia
mencekal sebilah pedang.
Pada
seorang pembantu dia minta agar Patih Kerajaan segera datang menghadap.
Seperti
diketahui Patih Kediri adalah Rana Trijaya adik kandung Adikatwang sendiri.
Tak lama
kemudian pembantu tadi kembali membawa kabar yang membuat Adikatwang marah
besar.
”Patih
Raden Rana Trijaya meninggalkan Kotaraja beberapa saat lalu bersama keluarga
dan para selir. Dia membawa serta seratus prajurit sebagai pengawal.” begitu
laporan si pembantu.
”Manusia
keparat! Pengecut haram jadah!” kutuk serapah keluar dari mulut Adikatwang.
”Beritahu Panglima Ganda Cula! Dia harus menyongsong serbuan musuh di luar
Kotaraja! Lipat gandakan pasukan berpanah!”
”Mohon
maafmu Sri Baginda Raja di Raja Kediri,” berkata pembantu itu sambil menjura
beberapa kali. ”Panglima Ganda Cula juga sudah meninggalkan Kotaraja bersama
keluarganya tak lama setelah Patih Trijaya pergi…”
Meledaklah
kemarahan Adikatwang. Dia berteriak-teriak memanggil beberapa orang Perwira
Tinggi Kerajaan. Namun tak ada yang datang. Malah di kejauhan terdengar suara
letusan-letusan bedil yang sekali-sekali diseling oleh dentuman meriam.
Sebuah
peluru meriam menghantam dinding Keraton hingga ambruk dan berlubang besar.
Paras Adikatwang menjadi pucat. Dia lari keluar Keraton. Dua ratus prajurit
siap mendampinginya menuju medan pertempuran yang telah pecah di bagian Barat
tembok Kotaraja. Raja Kediri ini hanya sempat memacu kudanya sejarak seratus
langkah.
Laksana
air bah tiba-tiba saja pasukan musuh sudah berada didepan pintu gerbang
Keraton. Di sebelah depan tiga orang berkelebat ke arahnya. Dua larik sinar
putih menyilaukan menyambar ganas. Sembilan prajurit mencelat mental dan
menemui ajal dengan tubuh hangus hitam. Tiga ekor kuda terguling roboh. Itulah
hantaman pukulan sinar matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Orang kedua bukan lain si kakek gendut Dewa Ketawa. Sambil tertawa mengakak dia
mengarahkan keledainya ke barisan prajurit Keraton pendamping Adikatwang.
Ketika kakek sakti ini menggerakkan kedua tangannya terdengar suara seperti
angin puting beliung disusul menyambarnya sinar kebiruan. Pekik jerit seperti
merobek langit. Delapan prajuri Kediri terkapar mati, selusin lainnya
berpelantingan. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Dia terus merangsak maju.
Adikatwang
untuk beberapa saat lamanya seperti tertegun di atas punggung kudanya. Kemudian
dilihatnya Raden Juwana di sebelah kiri.
”Budak
keparat! Aku lawanmu!” teriak Adikatwang. Dia menggebrak kudanya ke arah Raden
Juwana. Namun sebutir peluru yang ditembakkan pasukan Cina menghantam dadanya
hingga dia terpelintir dan jatuh dari tunggangannya. Sebelum dia sempat bangkit
Raden Juwana sudah berada di depannya dan langsung menusukkan pedangnya tepat
di samping luka tertembus peluru. Adikatwang berteriak antara kesakitan dan
kemarahan.
Kedua
tangannya diulurkan dengan nekad mencabut pedang yang menancap di dadanya.
Begitu
pedang tercabut dia meneruskan hendak merebutnya dari tangan Raden Juwana.
Namun
saat itu, salah seorang Perwira Tinggi Balatentara Cina yaitu Kau Sing yang
berada di dekat sana merasa yakin bahwa Adikatwang adalah Sang Prabu,
melepaskan tembakan dengan bedil panjangnya.
Peluru
bersarang tepat di kening Adikatwang. Tubuhnya terbanting. Raja di Raja Kediri
ini menghembuskan nafas dengan kepala hampir rengkah!
Secara
keseluruhan Kediri bertekuk lutut hanya dalam tempo kurang dari setengah hari.
Selagi pasukan Cina bersuka ria merayakan kemenangannya, Raden Juwana, Dewa
Ketawa dan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga kelompok prajurit
Kediri-Madura serta sisa-sisa pasukan di masa Singosari dulu meninggalkan
Gelang-Gelang, kembali menuju pemukiman di pinggiran Desa Tembang Sari. Mereka
sampai di pemukiman pagi hari sama seperti ketika mereka meninggalkannya
beberapa hari lalu.
Dan
lagi-lagi mereka dicengangkan oleh bentangan pelangi di langit sebelah Utara,
tepat di atas hutan maja yang luas.
”Mungkin
sekali ini petunjuk para Dewa. Kita harus pindah dan membuka lahan baru di
hutan maja itu.” kata Raden Juwana. Ucapan Raden Juwana ini ternyata nantinya
akan menjadi kenyataan. Kelak kemudian hari hutan maja itu akan berubah menjadi
Kotaraja dari Kerajaan Majapahit.
”Bagaimana
pendapatmu Dewa Ketawa?” tanya Raden Juwana pada si kakek gendut yang
menunggang keledai.
”Selama
di tempat yang baru itu orang tidak dilarang ketawa, aku pasti setuju dan ikut
kesana!” jawab Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
”Dan kau
sahabat Wiro?” tanya Raden Juwana.
“Dia
pasti akan ikut bersama kita!” menjawab satu suara. Ketiga orang itu berpaling.
Yang menjawab ternyata adalah Raden Ayu Gayatri. Wiro sekilas cepat melirik ke
arah Raden Juwana. Seperti yang sudah-sudah dia melihat paras pemuda itu
berubah.
Wiro
mengeluh dalam hati. Aku tidak bisa menipu diriku. Aku menyukai gadis itu.
Diapun
menyukai diriku. Tapi seperti ucapan Kakek Segala Tahu adalah gila kalau aku
berharapkan bisa berjodoh dengan puteri Raja. Tempatku bukan di sini, ataupun
di lahan yang baru itu. Aku harus pergi.
Wiro
menggaruk kepalanya dan coba tersenyum. ”Kalian semua sahabat-sahabat, mungkin
malah bisa kukatakan saudara-saudaraku yang baik. Namun…”
”Kau
tidak boleh membantah!” potong Gayatri.
”Maafkan
saya… Saya harus pergi. Di lain waktu saya pasti akan menemui kalian lagi.
Semoga kalian mendapatkan perlindungan dan berkah Yang Kuasa. Selamat tinggal…”
Wiro memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Gayatri
tak tinggal diam. Dia melompat ke atas punggung seekor kuda dan mengejar hingga
Wiro terpaksa berhenti di satu tempat.
”Raden
Ayu…”
”Nama
saya Gayatri..” sepasang mata gadis itu berkaca-kaca.
”Gayatri,
kembalilah. Saya tidak mungkin menetap di sini.”
”Kau..Kau
tidak mengetahui bagaimana perasaanku padamu Wiro. Dan kau tak perlu mengatakan
bagaimana perasaanmu padaku. Aku dapat merasakannya. Lalu mengapa kau harus
pergi?”
Wiro
merasa tenggorokannya seperti kering. Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa
berkata apa-apa.
“Gayatri,
saya… Bagaimanapun juga dalam hidup ini kita harus melihat kenyataan. Antara
kita ada jurang yang maha luas. Kau adalah seorang puteri Raja. Saya seorang
gelandangan. Mana mungkin…”
Gayatri
sesenggukan. Tubuhnya seperti limbung. Wiro cepat memegang bahu gadis itu.
”Kuatkan hatimu Gayatri. Saya berjanji untuk datang lagi menemuimu suatu ketika
kelak.”
”Kau
masih menyimpan peniti emas yang kuberikan dulu?”
Wiro
mengangguk lalu keluarkan peniti emas yang pernah diberikan Gayatri.
Benda itu
diperlihatkannya sambil tersenyum. Dari balik pakaiannya Gayatri mengeluarkan
selipatan kain. Benda itu adalah ikat kepala yang dulu diberikan Wiro kepadanya
sebagai balasan pemberian peniti. Dengan kain itu disekanya air mata yang
menggelinding di pipinya.
”Berjanjilah
kau akan datang lagi Wiro…” bisik Gayatri.
”Saya
berjanji Gayatri. Izinkanlah saya pergi sekarang.”
Gayatri
mengangguk. Dia mendekatkan wajahnya ke muka Pendekar 212. kedua matanya
dipejamkan. Wiro merasa ragu-ragu sesaat. Namun dia tidak tega menolak
permintaan tanpa terucap itu. Diciumnya kedua pipi dan kening Gayatri. Lalu
dengan lembut dan mesra dikecupnya bibir gadis itu. Gayatri masih terduduk
memejamkan kedua mata dan tak bergerak di atas punggung kuda walau saat itu
Pendekar 212 telah meninggalkannya. Gadis ini seolah-olah terlena dan terbuai
oleh kelembutan hangat kecupan sang pendekar tadi.
”Pergilah
sayang. Selamat jalan orang yang kucintai. Jaga dirimu baik-baik.
Datanglah
kelak, aku akan selalu menantimu..” kata-kata itu terucap dan terukir di lubuk
hati Gayatri. Air mata kembali membasahi pipinya. Dia mendengar langkah-langkah
kaki di sampingnya. Dia tak mau membukakan matanya. Yang berjalan di sampingnya
saat itu adalah si gendut Dewa Ketawa bersama keledainya. Orang tua ini
pandangi wajah cantik yang tenggelam dalam kesedihan itu. Perlahan-lahan Dewa
Ketawa teruskan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. ”Cinta…”
desisnya. ”Kau datang begitu aneh.
Tidak
memilih siapa yang dicintai, tidak mengenal batas derajat dan keturunan. Cinta
begitu indah, tetapi terkadang bisa kejam. Itulah sebabnya aku memilih terus
saja jadi bujangan!” untuk pertama kalinya Dewa Ketawa tidak mengeluarkan suara
tawa bergelaknya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment