Roh
Dalam Keraton
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
BAB 1
Pendekar
212 Wiro Sableng dan Kinasih yang sembunyi di balik semak belukar di belakang
sederetan pohon-pohon besar tidak menunggu lama. Yang muncul ternyata bukan
Momok Dempet Berkaki Kuda, tapi serombongan penunggang kuda terdiri dari lima
orang. Mereka berseragam hitam, bertampang sangar ganas. Rambut rata-rata
panjang sebahu, kepala diikat kain hitam, muka tertutup kumis, janggut dan
cambang bawuk meranggas. Di pinggang terselip golok besar yang gagangnya
berbentuk sama yakni ukiran tengkorak. Kelima orang ini membawa buntalan besar,
digantung di leher kuda masing-masing.
“Siapa
mereka. Pasti orang-orang jahat…” bisik Kinasih.
Wiro
memberi anda agar Kinasih segera menutup mulut.
Penunggang
kuda paling depan tiba-tiba angkat tangan kirinya. “Kita berhenti di sini.
Hitung jarahan!” Orang ini memiliki cacat di pertengahan kening, membelintang
melewati mata kiri membuat matanya mencelet keluar, merah mengerikan.
Tampangnya paling seram dibanding dengan empat kawannya. Dari ucapan serta
sikap agaknya dia yang menjadi kepala rombongan.
Empat
penunggang kuda lain segera hentikan kuda masing-masing lalu melompat ke tanah,
turunkan buntalan. Buntalan itu mereka letakkan di tanah di hadapan pimpinan
mereka.
“Buka!”
perintah si mata cacat.
Empat
orang berpakaian hitam segera buka buntalan masing-masing. Di dalam setiap
buntalan ternyata ada sebuah peti, terbuat dari kayu jati coklat kehitaman.
Pada penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga
bergelung. Empat buah peti itu ternyata dikunci dengan sebuah gembok besar
terbuat dari besi.
Empat
lelaki berpakaian hitam cabut golok masing-masing. Tangan sama bergerak
membacok.
“Trang…
trang… trang… trang!”
Empat
gembok terbelah, tanggal dari peti, jatuh ke tanah. Empat orang bertampang buas
segera membuka tutup peti. Begitu peti dibuka, mata mereka sama membeliak besar
lalu berbarengan ke empatnya tertawa bergelak.
“Rejeki
kita benar-benar besar! Ha… ha… ha!”
Dari
tempat mereka bersembunyi, karena terletak di bagian tanah yang agak ketinggian
Wiro dan Kinasih daprt melihat sebagian isi peti itu.
”Harta
perhiasan… uang emas… bukan main! Seumur hidup aku tidak pernah melihat
sebanyak itu…” tak sadar Kinasih keluarkan ucapan. Wiro cepat menekap mulut
perempuan ini.
“Warok
Mata Api, kau belum membuka buntalanmu! Kami ingin melihat isinya!” salah
seorang dari empat lelaki berpakaian hitam berkata.
“Warok
Mata Api…” ujar Kinasih mengulang nama itu dengan suara perlahan dan bergetar.
“Kau tahu
siapa dia?” berbisik Wiro.
“Aku
pernah mendengar namanya. Suamiku pernah cerita. Warok Mata Api adalah salah
sati dari empat dedengkot rampok Alas Roban. Dia menguasai kawasan selatan.
Suamiku pernah menceritakan Warok Mata Api paling ganas di antara empat penguasa
Hutan Roban.”
“Aku
sudah duga. Ternyata mereka adalah komplotan penjahat. Gambar pada penutup peti
adalah lambang Kerajaan. Jangan-jangan yang mereka jarah harta benda milik
Kerajaan… Rampok berani mati!”
Wiro
hentikan ucapan karena saat itu dia melihat Warok Mata Api mulai membuka
buntalannya. Seperti isi empat buntalan yang sudah dibuka di dalamnya terdapat
sebuah peti coklat kehitaman. Bedanya peti satu ini jauh lebih besar dibanding
empat peti lainnya. Seperti yang dilakukan empat anak buahnya, Wiro mengira
kepala rampok itu akan membacokkan golok besarnya untuk menghancurkan gembok
besar penutup peti. Ternyata Warok Mata Api pergunakan tangan kosong. Gembok
besi digenggam. Sekali tangannya meremas gembok besi itu hancur berantakan!
Kalau Kinasih leletkan lidah terkagum-kagum, murid Sinto Gendeng hanya
menyeringai. “Boleh juga tenaga dalam begundal satu ini…” katanya dalam hati.
Warok Maa
Api buka penutup peti. Seringai lebar muncul di wajahnya begitu sepasang
matanya melihat ke dalam peti. Empat anak buahnya terperangah. Peti itu penuh
dengan barang perhiasan dan mata uang. Semuanya dari emas. Karena petinya lebih
besar maka dengan sendirinya isinya jauh lebih banyak dari peti-peti lain.
“Warok!
Ada satu kotak kecil di atas tumpukan perhiasan!” Salah seorang anak buah Warok
Mata Api berkata sambil menunjuk.
“Aku
sudah melihat!” Jawab Warok Mata Api lalu ulurkan tangan mengambil sebuah kotak
kayu yang terletak di atas tumpukan harta perhiasan. Kotak kayu ini bagus
sekali buatannya, halus berkilat. Di sebelah atas ada ukiran bintang dalam
lingkaran, diapit dua naga bergelung. Itulah lambang kerajaan. Siapa saja yang
melihat pasti mengenali.
Dengan
tangan kirinya Warok Mata Api buka tutup kotak. Empat anak buahnya mendekat.
Dari dalam kotak kayu itu keluar satu cahaya kuning.
“Keris
emas!” Empat anggota rampok Alas Roban berucap berbarengan.
Warok Maa
Api tenang saja. Tangan kanannya diulurkan. Ketika jari-jarinya menyentuh keris
emas di dalam kotak, dia merasakan ada satu hawa aneh menjalar memasuki tubuhnya,
membuat tengkuknya menjadi dingin.
“Ini
pasti bukan senjats sembarangan,” kata sang Warok lalu kerahkan hawa sakti di
dalam tubuhnya untuk menolak hawa aneh yang merangsak. Tangannya bergetar
hebat, rasa ngilu menyengat sampai ke persendian bahu.
“Warok!
Ada apa?!” Salah seorang anak buah Warok Mata Api berseru kaget ketika melihat
sosok pimpinannya mengerenyitkan muka angkernya.
Warok
Mata Api cepat-cepat kendurkan tenaga dalam, menghindarkan bentrokan yang bisa
membuat dia menjadi malu di depan sekian anak buahnya.
Sambil
memperhatikan keris emas itu Warok Mata Api berpikir-pikir.
“Belum
pernah aku melihat keris dengan sarung begini bagus. Buatannya halus. Ada
ukiran bintang dalam gelangan. Dua ekor naga… Aku yakin, senjata ini lebih
berharga dari semua harta perhiasan dalam lima buah peti…”
Dengan
hati-hati Warok Mata Api cabut keris emas itu. Begitu mata keris keluar dari
sarung, satu cahaya kuning membersit menyilaukan, membuat Warok Mata Api
tersurut dua langkah ke belakang. Tangannya bergetar dan kembali ada hawa aneh
menjalari sekujur tubuhnya. Kali ini lebih hebat dari yang tadi. Keris emas itu
hampir terlepas jatuh dari pegangannya.
“Senjata
luar biasa! Benar-benar luar biasa!” Kepala rampok hutan Roban kawasan selatan
itu cepat-cepat masukkan keris emas ke dalam sarungnya lalu selipkan senjata
itu di pinggang di balik pakaiannya. Begitu keris menempel di tubuhnya kini ada
hawa hangat mengalir. Sang Warok menunggu dengan berdebar. Ternyata hawa hangat
itu segera sirna. Dia menarik nafas lega.
“Warok,
saatnya kita membagi jarahan,” anak buah di samping kanan Warok Mata Api
berkata.
Warok
Mata Api mengangguk. “Dua pertiga dari harta dan uang dalam empat peti itu
masukkan ke dalam petiku. Sisa yang sepertiga itu bagian kalian!”
Empat
anggota rampok terkesiap saling pandang satu sama lain. Wajah mereka
membersitkan rasa tidak puas. Yang tiga hanya berdiam diri tapi yang satu
membuka mulut bicara keras.
“Warok,
pembagian yang kau tentukan tidak adil! Kami sudah belasan tahun ikut bersamamu!
Kau masih saja memperlakukan kami seperti ini! Sesuai janjimu semula kami
justru dapat dua pertiga. Yang sepertiga untukmu! Sekarang mengapa terbalik?!”
“Salak
Jonggrang! Apakah kau bicara mewakili teman-temanmu atau itu maumu sendiri!?”
Warok Mata Api bertanya. Suaranya datar dan sikapnya seperti tadi tetap tenang.
Tapi dua matanya memancarkan cahaya seperti kilatan api.
“Tiga
temanku semua sungkan bicara. Jadi anggaplah aku mewakili mereka…” menjawab
anggota rampok bernama Salak Jonggrang.
“Hemmmm,
begitu? Dari dulu kau selalu menjadi penyulut biang perpecahan di antara kita…”
“Aku
tidak bermaksud begitu Warok. Aku hanya mengingatkan, semua tindakanmu selama
ini, terutama dalam membagi hasil jarahan selalu tidak adil. Kami dapat
sedikit. Kau berlipat ganda. Seperti saat ini. Kau juga sudah mengantongi keris
emas itu. Kami tahu senjata itu bukan sentjata sembarangan. Jauh lebih berharga
dari semua emas perhiasan dan uang yang ada di lima peti. Anehnya kau masih
menetapkan pembagian berlimpah ruah untukmu. Apalagi sebelumnya kau sudah
berjanji. Hasil jarahan yang kami dapat satu banding tiga. Tiga untuk kami,
satu untuk kau. Lagi pula jarahan yang ada padamu tidak kami perhitungkan. Itu
bulatbulat untukmu…”
“Jangan
bicara segala macam janji. Aku pimpinan kalian. Setiap saat aku bisa merubah
perjanjian sepuluh kali aku suka!”
“Warok,
kalau begitu…”
“Bicaraku
belum selesai Salak Jonggrang!” hardik Warok Mata Api. Sepasang matanya
mendelik. Mata kirinya yang memerah seperti bara. “Jika aku tidak mau menuruti
permintaanmu dan teman-teman, kau akan melakukan apa Salak Jonggrang?! Akan
mengeroyokku?!”
Salak
Jonggrang terdiam. Dia memandang pada tiga temannya. Tiga orang itu hanya diam
dan agaknya mulai merasa tidak enak begitu melihat tampang pimpinan mereka,
kelam membesi sementara mata mendelik tak berkesip.
“Tiga
temanku hanya mengikut apa yang aku katakan, Warok…” kaa Salak Jonggrang pula.
Warok
Mata Api menyeringai.
“Apa aku
sudah tuli hah?! Tiga temanmu tidak bicara sepotongpun! Kau yang punya bisa! Kau
biang penghasut! Aku tidak suka pada anak buah sepertimu! Terus terang aku
sudah lama muak melihat tampangmu!”
Salak
Jonggrang rupanya memang agak keras kepala. Mungkin karena telah bertahuntahun
diperlakukan tidak adil.
“Jika
mereka suka menerima pembagian seperti maumu, itu urusan mereka. Untukku, aku
tetap menuntut seperti perjanjian semula.”
“Begitu…?
Baiklah! Kau boleh ambil semua isi peti yang tadi kau bawa. Mulai hari ini aku
tidak ingin melihat tampangmu lagi!”
Salak
Jonggrang pandangi tampang pimpinannya sesaat. Diam-diam hatinya bergeming juga
melihat tampang angker itu. Lalu peti yang ada di hadapannya ditutup,
dimasukkan ke dalam buntalan dan dinaikkan ke atas kuda.
“Aku
pergi Warok. Kita tidak akan bertemu lagi!” kata Salak Jonggrang.
“Sebaiknya
begitu,” sahut Warok Mata Api. “Sebelum pergi ada satu hal ingin kukatakan
padamu!” Sang Warok melangkah mendekati anak buahnya.
“Kau
hendak mengatakan apa?!” tanya Salak Jonggrang sambil hentikan gerakannya yang
hendak naik ke punggung kuda.
“Tadi kukatakan
aku sudah lama muak melihat tampangmu. Aku kawatir semua orang bersikap sama
denganku…”
“Apa
maksudmu Warok Mata Api?” tanya Salak Jonggrang tidak mengerti.
“Maksudku,
jika tidak disenangi orang dimana-mana, buat apalagi perlunya hidup
berlama-lama di dunia!” Habis berkata begitu Warok Mata Api tertawa bergelak.
Tiba-tiba seperti direnggut setan tawanya lenyap. Hampir tidak kelihtan kapan
tangannya bergerak tahutahu golok besar di pinggangnya telah terhunus keluar
dari sarung, lalu berkiblat di udara. Semua orang, termasuk Salak Jonggrang
hanya melihat cahaya putih berkelebat.
“Crassss!”
Salak
Jonggrang menjerit.
Darah
menyembur dari lehernya yang nyaris putus. Suara jeritannya tidak selesai,
tercekik setengah jalan lalu tubuhnya tergelimpang roboh ke tanah, menggeliat
sebentar kemudian diam tak berkutik lagi!
“Edan!
Gerakan kepala rampok itu luar biasa cepatnya. Aku hanya sempat melihat bahunya
bergerak lalu darah menyembur!” Di balik rerumpunan semak belukar tempatnya
bersembunyi bersama Kinasih, murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Dua anak
buah Warok Mata Api terbelalak. Mulut ternganga tapi tak ada suara.
Salak
Jonggrang adalah anak buah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namun jika
dia tidak bisa selamatkan diri dari serangan kilat tadi, menemui ajal sekali
tabas saja dapat dimengerti karena waktu mengirimkan serangan maut tadi Warok
Maa Api telah mempergunakan jurus paling hebat yang dimilikinya. Yakni jurus
bernama Di Dalam Gelap Maut Menyusup. Sesuai dengan nama jurus itu Salak
Jonggrang tidak melihat apa-apa. Dia seolah berada dalam gelap hingga jari di
depan matapun tidak kelihaan! Tahu-tahu golok sudah mengibas tenggorokannya!
Warok
Mata Api pandangi mayat anak buahnya itu dengan seringai bermain di mulut. Lalu
dia berpaling pada tiga yang lain.
“Ada di
antara kalian yang ingin mengikuti jejak Salak Jonggrang?!”
Tak ada
yang menyahut. Warok Mata Api angguk-angukkan kepala lalu berkata. “ Bagus,
kalian rupanya bukan bangsa pembangkang! Masukkan dua pertiga isi peti kalian
ke dalam petiku. Lalu tinggalkan tempat ini. Kita berpisah di sini. Kalian
kembali ke Roban, aku menyusul kemudian.”
Tanpa
banyak cerita atau berani bicara tiga anggota rampok hutan Roban segera lakukan
apa yang diperintah oleh pimpinan mereka. Lalu memasukkan peti kecul yang
isinya tinggal sepertiga ke dalam buntalan masing-masing. Warok Mata Api
kemudian sibuk mengemasi peti besarnya. Ketika ke empat orang ini hendak
melangkah ke kuda masing-masing tiba-tiba kesunyian di tempat itu dipecah oleh
suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian muncul seorang pemuda berbaju kuning
yang kancing-kancingnya terbuat dari kayu diukir seperti potongan bambu kecil.
Celananya berwarna hitam. Wajahnya tampan. Dia menunggang seekor kuda coklat
yang bagian hidungnya berwarana putih. Tubuhnya yang tegap kokoh tampak gagah
di atas kuda.
“Warok
Mata Api! Jangan buru-buru pergi. Kita perlu membicarakan pembagian hasil
jarahan untukku!”
Warok
Mata Api dan tiga anak buahnya berpaling cepat.
“Sial!
Kau rupnaya!” maki kepala rampok hutan Roban itu.
“Jangan
bermulut lancang berani memaki! kalau bukan bantuan dan keterangan dariku
seumur hidup kau tidak akan pernah mendapatkan hasil jarahan sebanyak itu! Apa
yang kau dapat cukup untuk hidupmu tiga turunan! Bukannya berterima kasih malah
berani memaki!”
Rahang
Warok Mata Api menggembung. Dua matanya mendelik. Dia masukkan tangan
kiri ke
dalam buntalan. “Kau minta imbalan! Ambillah dan lekas pergi!” Tangan kiri
Warok Mata Api bergerak. Satu benda kuning melesat ke arah pemuda di atas
kuda
coklat. Benda itu adalah sebuah perhiasan terbuat dari emas, berbentuk bunga
setangkai yang ujung-ujungnya runcing. Di tangan Warok Mata Api perhiasan itu
berubah menjadi satu senjata sangat berbahaya. Dinding kayu bisa ditembus!
Apalagi daging manusia! Sang Warok melempar sama sekali jelas bukan sekedar
untuk memberikan, tetapi merupakan satu serangan maut karena perhiasan itu
laksana kilat menyambar ke arah tenggorokan pemuda berpakaian kuning!
“Dasar
rampok! Membalas budi orang dengan khianat busuk! Hari ini kau akan tahu dengan
siapa berhadapan! Jangan harapkan selamat sekalipun kau punya nyawa rangkap!”
Di balik semak belukar Pendekar 212 sunggingkan senyum. “Ucapannya hebat!
Hemmmm… Siapa adanya manusia satu ini!”
********************
BAB 2
Orang di
atas kuda gerakkan tangan kiri, melintang di depan leher. Sesaat kemudian
perhiasan
yang dijadikan Warok Mata Api sebagai senjata maut untuk membunuh telah berada dalam
genggamannya. Ketika tangan yang menggenggam bergerak terdengar suara berderak.
Begitu genggaman dibuka perhiasan emas telah hancur, berubah menjadi pasir
kuning luruh jatuh ke tanah. Si pemuda berpakaian kuning menyeringai dan
usap-usapkan telapak tangannya satu sama lain.
Tiga anak
buah Warok Mata Api melengak kaget. Di balik semak belukar Pendekar 212 Wiro
Sableng menyeringai sambil garuk-garuk kepala. “Ternyata tenaga dalam pemuda
baju kuning itu lebih tinggi dari yang dimiliki Warok Mata Api…”
Warok
Mata Api walau hatinya berdebar melihat kehebatan orang tapi tetap unjukkan
sikap tenag. Malah sambil tertawa lebar dia berkata. “Sayang, hadiah untukmu
kau hancurkan sia-sia. Aku tidak akan memberikan apa-apa lagi padamu. Jadi
lekas pergi dari sini. Jangan berani menghalangi langkahku!”
Tiga anak
buah Warok Mata Api segera maklum bakal terjadi hal tak diingini di tempat itu.
Ketiganya segera hendak melompat ke atas kuda masing-masing.
“Siapa
menyuruh kalian pergi! Berani menggerakkan kuda satu langkah saja, berarti
minta mati!”
“Bajingan
tengik! Kau tidak layak memerintah anak buahku!” bentak Warok Mata Api.
“Aku
tidak main-main dengan ucapanku!” tukas penunggang kuda coklat.
Warok
Mata Api memberi isyarat dengan tangan agar tiga anak buahnya segera pergi.
“Kalian
cepat pergi! Aku mau lihat apa yang akan dilakukan bocah ingusan ini!”
Tiga
orang anak buah Warok Mata Api segera sentakkan tali kekang kuda masingmasing.
Pada saat itulah sosok pemuda berpakaian kuning di atas kuda coklat melesat ke
udara. Gerakannya laksana angin. Lalu!
“Bukk!
Praakkkk!”
“Bukk!
Praakkkk!”
“Bukk!
Praakkkk!”
Tiga
tendangan menderu dahsyat.
Tiga
anggota rampok terpental dari atas kuda, jatuh tergelimpang di tanah. Tak
berkutik lagi. Menemui ajal tanpa keluarkan suara. Kepala masing-masing
kelihatan rengkah! Ganas luar biasa!
Habis
menendang, pemuda baju kuning membuat gerakan jungkir balik di udara. Di lain
kejap dia sudah duduk kembali di punggung kudanya. Itulah jurus yang disebut
Menendang Matahari Menduduki Rembulan.
“Gila!
Gerakan luar biasa hebat!” kata Wiro sambil geleng-geleng kepala penuh kagum.
Kali ini
Warok Mata Api tidak dapat menyembunyikan perasaan hatinya. Mukanya yang sangar
berubah pucat walau sesaat. Kemudian untuk menutupi gejolak hati yang
mempengaruhi nyalinya dia membentak.
“Manusia
jahanam! Siapa kau sebenarnya?!”
Pemuda di
atas kuda coklat tersenyum.
“Namaku
tidak pernah berganti. Kemarin aku memperkenalkan diri padamu sebagai Damar
Wulung. Hari ini dan sekarang tetap Damar Wulung! Ada pertanyaan lain?”
“Jahanam!”
rutuk Warok Mata Api. “Kau inginkan bagianmu? Kau boleh ambil lima peti berisi
harta dan uang emas itu! Tapi tinggalkan dulu nyawa busukmu di sini!”
“Warok
Mata Api! Aku tidak serakah! Aku hanya ingin setengah dari harta dan uang
jarahan itu. Ditambah sebuah kotak berisi keris emas…!”
“Setan!
Kau tidak bakal mendapat sepotong tengikpun!” bentak sang Warok.
Pemuda
bernama Damar Wulung tertawa lebar. “Sungguh manusia tidak tahu budi. Kau tidak
mau membagi hasil pada anak buahmu aku tidak perduli. Tapi aku yang memberi
keterangan padamu mengenai rombongan yang membawa harta perhiasan serta uang
itu hendak kau lecehkan begitu saja, mana aku bisa menerima!”
“Perduli
setan kau mau menerima atau tidak!” hardik Warok Mata Api. Lalu srett!
Dicabutnya golok besar di pinggang. Sekali di menghentakkan kaki ke tanah,
laksana terbang tubuhya melesat ke udara. Golok di tangan menderu bergulung
menyambar ke arah pemuda di atas kuda coklat. Sinar putih berkiblat
menyilaukan!
Jurus
serangan yang dilancarkan kepala rampok Alas Roban itu adalah Petir Bergulung
Maut Meraung. Kehebatannya walau berada di bawah jurus Di Dalam Gelap Maut Menyusup
yang tadi menamatkan riwayat Salak Jonggrang namun selama ini jarang musuh bisa
selamat dari jurus Petir Bergulung Maut Meraung itu.
“Cepat
dan ganas…” kata orang di atas kuda yang mendapat serangan. Memang benar.
Karena sekali menggebrak Warok Mata Api lancarkan dua bacokan dan tiga tusukan.
Kalau lawan lolos dari dua bacokan, masakan satu dari tiga tusukan tidak bakal
menemui sasaran!
Tapi
alangkah terkejutnya dedengkot hutan Roban itu ketika mendadak dia dapatkan
lawan yang diserang lenyap dari pemandangan. Di lain saat dari bawah perut kuda
meluncur dua kepalan, menjotos ke arah ulu hati dan bagian bawah perutnya.
“Kurang
ajar!” Warok Mata Api kertakkan rahang. Serta merta dia sapukan goloknya ke
bawah.
“Putus!’
teriak sang Warok. Dia merasa yakin sekali tangan yang memukul ke arah tubuhnya
akan putus disambar tebasan golok. Tapi lagi-lagi dia dibikin kaget senjatanya
hanya memapas angin.
Si pemuda
yang diserang dengan gerakan cepat telah terlebih dulu jatuhkan diri ke tanah.
Golok lewat di atas punggung. Dengan geram Warok Mata Api putar goloknya,
mengejar kepala lawan. Mendadak dia merasa kaki kirinya dicekal. Sebelum dia
sempat melihat ke bawah apa yang terjadi tubuhnya tiba-tiba telah dilontarkan
ke atas. Bersamaan dengan itu dari bawah tubuh kuda melesat ke atas sosok
berpakaian kuning.
“Bukkk!
Bukkk!”
Masih
melayang di udara dua tendangan melabrak dada Warok Mata Api. Tubuhnya yang
tinggi besar mencelat jungkir balik. Darah menyembur dari mulutnya. Selagi dia
berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh kepala lebih dulu, goloknya lepas
ditarik orang.
Walau
dalam keadaan luka parah di dalam namun kepala rampok itu masih bisa melayang
turun ke tanah dengan kaki lebih dulu. Namun tidak ada gunanya. Karena begitu
dia berdiri, bagian tajam golok miliknya sendiri telah ditempelkan orang di
urat besar di lehernya. Keringat dingin langsung memercik di kening kepala
rampok ini. Mata mendelik seperti melihat setan kepala tujuh! Sebenarnya bukan
golok itu yang menyebabkan nyalinya lumer. Tapi kehebatan gerakan lawanlah yang
membuat dia mati kutu!
“Kau mau
membunuh kau. Lakukan cepat!” kata Warok Mata Api dengan suara bergetar. “Tapi
jika kau mau mengampuni selembar nyawaku, kau boleh ambil semua harta dan uang
dalam lima buah peti…”
Damar
Wulung sunggingkan senyum. “Permintaanmu mungkin bisa kupertimbangkan. Untuk
itu segera lakukan apa yang aku perintah. Lima peti dalam buntalan! Lekas kau
ikat ke leher kuda coklat milikku!”
Warok
Mata Api menarik nafas lega. Dia bisa tersenyum sedikit. “Terima kasih kau mau
mengampuni diriku. Aku Warok Mata Api tidak akan melupakan kebaikanmu!”
“Tidak
perlu banyak bicara. Lakukan apa yang aku perintah!” kata Damar Wulung pula.
“Segera
aku lakukan!”
Warok
Mata Api lalu kumpulkan lima buah peti yang sudah dibuntal lalu satu persatu
dinaikkannya ke atas kuda. Ketika hendak menaikkan peti ke lima tiba-tiba
kepala rampok ini balikkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu cepat sekali tangan
kanannya melemparkan sebilah pisau ke arah Damar Wulung.
Pemuda
yang dibokong berteriak marah. Sambil jatuhkan diri ke tanah, tangan kanannya
bergerak, balas melemparkan golok milik Warok Mata Api yang masih dipegangnya.
Golok melesat deras ke arah Warok Mata Api. Kepala rampok Alas Roban ini
berusaha mengelak. Namun terlambat. Senjata miliknya sendiri itu menancap telak
di pertengahan dadanya!
Sementara
itu pisau tadi yang dilemparkan sang Warok melesat di udara, menancap di
pinggul kuda milik Salak Jonggrang. Binatang ini meringkik keras, lari belasan
langkah lalu roboh tergelimpang, melejang-lejang dengan mulut berbusah lalu
kejang tak bergerak lagi. Pisau yang dilemparkan Warok Mata Api ternyata
mengandung racun luar biasa jahat. Kuda sebesar itu saja menemui ajal begitu
cepat. Apalagi manusia!
Damar
Wulung melangkah ke arah kudanya. Dekat mayat Warok Mata Api dia berhenti.
Membungkuk lalu menggeledah tubuh kepala rampok itu. Di balik pinggang pakaian
mayat ditemukannya sebilah keris emas. Senjata ini ditimang-timangnya sesaat
lalu dia melanjutkan langkah ke arah kudanya.
Di balik
semak belukar Wiro bergerak siap berdiri. Pada Kinasih dia berkata. “Kau tunggu
di sini sampai aku kembali…”
“Eh, kau
mau kemana? Aku tidak mau ditinggal sendiri. Begini banyak mayat bergelimpangan
di tempat ini. Aku ikut…” kata Kinasih sambil pegangi lengan baju Pendekar 212.
“Aku
punya syak wasangka buruk terhadap orang berbaju kuning itu… Dia membawa semua
harta benda rampokan. Kau lihat sendiri lambang Kerajaan pada peti-peti itu.
Aku perlu menanyakan mau dibawanya kemana semua barang jarahan itu…”
“Wiro,
itu bukan urusanmu. Jangan mencari perkara. Orang itu tinggi sekali ilmunya.”
“Siapa takutkan dia?” ujar murid Sinto Gendeng.
“Kau lupa
barusan kehilangan tenaga dalam akibat tendangan kaki kuda Momok Dempet?
Apa kekuatanmu
sudah pulih?” Wiro ingat dan jadi terkesiap. “Kau benar…” berucap Pendekar 212
perlahan. “Biar kucoba lagi…” Murid Sinto
Gendeng
ini lalu kerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. “Sialan!” Wiro memaki
sendiri. Ternyata dia hanya bisa mengerahkan sebagian kecil saja dari seluruh
tenaga dalamnya. “Kalau aku nekad mencari urusan dengan si baju kuning itu
bisa-bisa celaka…” Di depan sana terdengar suara kuda dipacu. Wiro hanya bisa
menggeram. Pemuda
bernama
Damar Wulung dan kudanya lenyap membawa lima peti berisi barang perhiasan dan
uang serta sebilah keris.
********************
BAB 3
Langit di
sebelah barat kelihatan merah kekuningan. Sebentar lagi sang surya akan masuk
ke ufuk
tenggelamnya, siang akan segera berganti dengan malam. Sebuah gerobak ditarik
dua ekor kuda meluncur kencang memasuki Kotaraja dari arah selatan. Di sebelah
depan tampak dua sosok aneh duduk berdempetan. Salah seorang dari mereka
bertindak sebagai sais gerobak sementera sosok dempet di sebelahnya duduk
terkulai, tiada henti keluarkan suara mengerang. Dua orang dempet di atas
gerobak ini bukan lain adalah Momok Dempet Berkaki Kuda.
Lantai
gerobak merah digenangi darah. Darah ini mengucur dari kaki kiri Momok di
sebelah kiri yang bernama Tunggul Gini. Kaki itu dalam keadaan buntung sebatas
lutut ke bawah. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (“Tiga Makam
Setan”) kaki kiri Tunggul Gini putus dimakan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah
sewaktu terjadi pertempuran antara sepasang momok ini dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Gono…
Tubuhku terasa panas. Ada hawa aneh mencucuk menjalari sekujur badanku…”
“Jangan
banyak bicara! Kerahkan tenaga dalam. Totok urat besar di pangkal paha kirimu
agar darah berhenti mengucur…” membentak Tunggul Gono.
“Sudah
kulakukan. Tapi aneh… Darah celaka masih terus mengucur. Ujung kakiku yang
putus bengkak membiru…”
“Bengkak
membiru?!” Mengulang Tunggul Gono. Dia melirik ke arah kaki kiri saudaranya
yang putus. Memang benar. Kaki itu kelihatan gembung membiru. Tengkuk Tunggul
Gono menjadi dingin. “Kau terkena racun!”
“Racun…
racun dari mana?” tanya Tunggul Gini pucat dan serak.
“Ilmu
gila Pendekar 212 itu! Tanah yang menjepit dan memutus kakimu itu pasti
mengandung racun!” Kata Tunggul Gono pula lalu mendera punggung dua ekor kuda
penarik gerobak dengan cemeti hingga binatang-binatang itu lari lebih kencang.
“Tunggul
Gono… Kalau aku mati..”
“Diam!”
bentak Tunggul Gono. “Jangan bicara seperti itu!. Siapa bilang kau akan mati…
Kuatkan dirimu! Kerahkan tenaga dalam. Sebentar lagi kita sampai di tujuan.
Orang yang akan kita temui pasti bisa menolong…”
Saat itu
sebenarnya Tunggul Gono sendiri merasa sangat kawatir. Bukan saja melihat
keadaan saudaranya yang tidak beda seperti orang mau sekarat. Tetapi juga
karena hawa panas yang ada di tubuh Tunggul Gini kini merambas masuk ke dalam
tubuhnya sendiri. Berarti kalau saudaranya itu kerasukan racun jahat, cepat
atau lambat racun itu akan masuk ke dalam tubuhnya!
Di depan
sebuah pintu gerbang satu gedung besar di pinggiran Kotaraja Tunggul Gono
hentikan gerobaknya. Gedung ini adalah tempat kediaman Raden Mas Selo
Kaliangan, Patih Kerajaan. Dua orang perajurit yang mengawal pintu gerbang
dengan sikap waspada dan gerakan cepat segera mendatangi gerobak. Mereka
terkejut melihat dan mengenali siapa adanya dua sosok di atas gerobak. Momok
Dempet Berkaki Kuda. Lebih terkejut lagi melihat kaki kiri Tunggul Gini yang
putus dan masih mengucurkan darah sementara Tunggul Gini sendiri dalam keadaan
setengah sadar setengah pingsan terus-menerus menggumam erang kesakitan.
Dua pengawal
pintu gerbang dalam kejutnya segera bertindak cepat. Setahu mereka Momok Dempet
Berkaki Kuda adalah sepasang buronan yang dicari-cari Kerajaan karena pernah
melakukan pembunuhan terhadap beberapa tokoh silat Istana.
Pengawal
pertama melompat ke atas gerobak sambil todongkan ujung tombak ke leher Tunggul
Gono. Pengawal satunya lari ke samping pintu gerbang. Di sini terdapat sebuah
kentongan kayu. Kentongan ini dipukulnya terus-menerus, baru berhenti ketika
dilihatnya dari halaman dalam berdatangan belasan perajurit Kepatihan. Dalam
waktu singkat gerobak yang ditumpangi Momok Dempet sudah dikurung lima belas
perajurit, ditambah satu di atas gerobak yang masih mengarahkan tombaknya ke
leher Tunggul Gono. Momok satu ini sama sekali tidak perdulikan mata tombak
yang hanya seujung rambut dari tenggorokannya. Dia memandang ke arah belasan
perajurit lalu keluarkan ucapan garang.
“Kalian
monyet-monyet memuakkan! Mana Patih Kerajaan! Beritahu aku Momok Dempet Berkaki
Kuda ingin menemuinya untuk satu urusan penting!”
Mendengar
ucapan Tunggul Gono satu dari belasan perajurit yang mengurung gerobak maju
mendekat. “Kalian buronan Kerajaan! Tidak pantas menemui Patih Kerajaan. Kalian
harus kami tangkap saat ini juga!”
“Setan
alas minta kugebuk!” Tunggul Gono berteriak marah. Tangan kanannya bergerak
secepat kilat. Pengawal pintu gerbang yang menodongnya dengan tombak berseru
kaget karena tahu-tahu tombak itu ditarik lepas dari pegangannya. Belum habis
kejutnya ujung tombak yang tumpul menghantam dadanya hingga dia terpental jatuh
dari atas gerobak, megap-megap meggerung kesakitan karena tulang dadanya remuk.
Kemarahan Tunggul Gono tidak sampai di
situ
saja. Tombak yang masih ada di tangannya ditusukkan ke kepala perajurit yang
tadi bicara hendak menangkapnya.
Perajurit
itu cepat babatkan pedangnya menangkis serangan. Beberapa temannya juga tak
tinggal diam. Ada yang ikut membantu menangkis, ada juga yang menyerbu ke atas
gerobak.
“Benar-benar
keparat!” maki Tunggul Gono. Setengah berdiri dia babatkan tombak dalam gerakan
setengah lingkaran. Terdengar suara berdentrangan disertai pekik kejut dan
kesakitan. Beberapa senjata bermentalan ke udara. Dua perajurit terguling di
tanah. Satu patah lengannya, satu lagi benjut bocor keningnya.
Di atas
gerobak, walau dalam keadaan luka parah, Tunggul Gini tidak tinggal diam.
Begitu beberapa perajurit melompat naik, dia gerakkan kaki kanannya. Satu
perajurit terpental dan jatuh terbanting ke tanah dengan perut pecah. Tiga
lainnya berteriak kaget dan cepat menghindar ketika melihat dari tangan kiri
Tunggul Gini melesat selarik sinar hitam. Tak ampun lagi ke tiga perajurit itu
mencelat ke udara. Ketika jatuh berkaparan di tanah tubuh mereka kelihatan
hangus menghitam dan mengepulkan asap!
Walau
berhasil membunuh empat orang perajurit namun akibat pengerahan tenaga yang
berlebihan membuat keadaan Tunggul Gini semakin parah. Sosoknya terkulai lemah.
Darah makin banyak mengucur dari kaki kirinya yang buntung. Melihat keadaan
saudaranya begitu rupa dan mengira Tunggul Gini sudah mati, Tunggul Gono jadi
mengkelap. Tombak yang masih dipegangnya diputar demikan rupa. Dua perajurit
lagi menjadi korban. Ketika kemudian ujung tombak hampir menembus mati
perajurit berikutnya, tiba-tiba dari samping melesat satu bayangan dan trang!
Tombak di
tangan Tunggul Gono patah dua. Di atas gerobak berdiri seorang kakek berpakaian
dan berdestar serba hitam, memegang sebilah pedang tipis berwarna biru. Sebiru
pedang, begitu pula biru warna alisnya.
“Sobat
lama Momok Dempet Berkaki Kuda! Kulihat salah satu dari kalian berada dalam
keadaan tidak menggembirakan. Apakah kalian datang untuk menyerahkan diri?!”
Kakek berpedang biru menegur.
Tungggul
Gono meludah. “Malaikat Alis Biru! Jangan bicara terlalu sombong! Momok Dempet
tidak mengenal kata-kata menyerah! Jadi jangan anggap kedatangan kami untuk
meyerahkan diri!”
“Riwayat
kalian di masa lalu tidak terpuji. Kalian adalah dua buronan yang dicari
Kerajaan hidup atau mati! Barusan saja kalian membunuhi perajurit-perajurit Kepatihan!
Apa kalian masih mengira bisa dibiarkan hidup lebih dari sekejapan mata?! Aku
hanya butuh jawabanmu setelah itu bersiaplah menerima kematian!”
Sosok
tinggi Tunggul Gono meregang ke atas.
“Aku
ingin menemui Patih Kerajaan!” kata Tunggul Gono.
“Begitu?
Sebutkan keperluanmu?!” kata kakek berpakaian serba hitam berkumis biru disebut
dengan julukan Malaikat Alis Biru. Dia adalah salah satu tokoh silat Istana
yang sore itu kebetulan bertamu di Gedung Kepatihan.
“Aku tahu
Patih Selo Kaliangan seorang yang memiliki ilmu pengobatan. Aku minta dia
menolong saudaraku ini…”
Mendengar
kata-kata Tunggul Gono itu si kakek keluarkan tawa mengekeh. “Otakmu sudah
tidak waras. Tidak menyadari diri sebagai buronan, malah baru saja membunuhi
perajurit Kepatihan, kini bicara minta pertolongan Patih Selo Kaliangan!
Jangan-jangan otakmu sudah miring alias sedeng gila!”
“Aku
minta tolong tidak cuma-cuma! Aku membawa imbalan besar sebagai ganti
pertolongan yang aku minta!”
“Hebat!
Katakan imbalan apa yang bisa kau berikan? Nyawa busukmu dan nyawa busuk
saudaramu?!” tukas Malaikat Alis Biru.
Rahang
Tunggul Gono menggembung mendengar kata-kata si kakek. Namun dia tindih
amarahnya dan berkata. “Kakek bau! Siapa sudi bicara denganmu! Aku hanya mau
bicara dengan Patih Kerajaan!”
Tiba-tiba
dari gelap bayang-bayang pintu gerbang Gedung Kepatihan terdengar satu ucapan
membahana.
“Aku Selo
Kaliangan, Patih Kerajaan ada di sini! Silahkan memberi tahu imbalan apa yang
akan kau berikan untuk pertolongan yang kau minta!”
Tunggul
Gono terkejut. Dia berpaling ke samping kanan. Di situ berdiri seorang
berpakaian serba merah. Tegak tak bergerak sambil rangkapkan dua tangan di atas
dada. Sepasang matanya yang besar memandang tajam ke arah Tunggul Gono. Orang
ini adalah Patih Kerajaan Selo Kaliangan.
Setelah
menatap sang Patih sesaat, baru Tunggul Gono membuka mulut. “Aku akan memberi
tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Untuk itu aku
minta Patih mengabulkan dua hal…”
“Katakan
apa dua hal itu,” kata Patih Kerajaan pula, tenang dan tetap tidak bergerak di
tempatnya berdiri.
“Pertama,
Kerajaan harus memberi pengampunan atas diri kami. Mencabut cap bahwa aku dan
saudaraku adalah buronan Kerajaan. Kedua aku minta kesediaan Patih Kerajaan
untuk mengobati luka saudaraku! Jika permintaanku dipenuhi, aku bukan saja
memberi tahu siapa pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta, tapi juga akan
membaktikan diri pada Kerajaan…”
Malaikat
Alis Biru tertawa bergelak. “Siapa percaya pada manusia kotor sepertimu…?”
Panaslah
hati dan naiklah darah Tunggul Gono.
“Gelarmu
Malaikat! Tapi kau sebenarnya hanyalah seekor cecunguk tidak berharga. Karena
kau cuma cecunguk maka sebaiknya jangan bicara banyak. Kau bukan penguasa yang
bisa memberi keputusan!” Habis berkata begitu Tunggul Gono berpaling pada Patih
Kerajaan Selo Kaliangan. :”Patih Kerajaan, aku menunggu jawabanmu.”
Patih
Selo Kaliangan tatap wajah Tunggul Gono sambil otaknya bekerja. “Siapa pembunuh
juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta memang masih gelap. Ada baiknya
kalau manusia satu ini diberi kesempatan…”
“Patih
Selo, aku menunggu….”
“Patih,
harap kita jangan sampai tertipu oleh manusia berpakaian bulu domba ini tapi
sewaktu-waktu bisa menjadi srigala! Mayat-mayat perajurit itu masih panas unuk
menjadi saksi!” Malaikat Alis Biru kawatir kalau Patih Kerajaan terpengaruh
oleh ucapan dan permintaan Tunggul Gono.
Sang
Patih anggukkan kepala dan kedipkan mata pada si kakek lalu berkata pada
Tunggul Gono. “Perihal pengampunan atas diri kalian hanya Sri Baginda yang
berkuasa memberikan. Aku tidak punya wewenang sama sekali…”
“Tapi
selaku Patih Kerajaan bukankah bisa memintakan pada Raja. Terserah apa Patih
mau melakukan.”
Patih
Selo Kaliangan usap janggutnya. Dalam hati dia berkata. “Kematian juru ukir
Raden Mas Sura Kalimarta memang mengusik Sri Baginda. Tapi sebenarnya orang tua
itu tidak terlalu penting. Kalaupun pembunuhnya tidak ditemukan rasanya bukan
satu ganjalan. Tapi momok satu ini agaknya bisa dimanfaatkan…”
“Baik,
aku akan bicarakan soal pengampunanmu dengan Sri Baginda,” Patih Selo Kaliangan
akhirnya ucapkan janji.
“Bagaimana
dengan permintaan kedua? Pengobatan untuk saudaraku Tunggul Gini?”
Patih
Selo Kaliangan melangkah mendekati gerobak. Saat itu hari sudah gelap. Patih
memerintahan dua perajurit membawa obor. Di bawah penerangan dua obor Patih
Selo Kaliangan memeriksa kutungan kaki kiri Tunggul Gini. Lama dia meneliti
keadaan kaki itu lalu usap-usap janggut kelabunya dan gelengkan kepala berulang
kali.
“Melihat
kutungan kaki saudaramu ini, aku meragukan dia telah ditabas senjata tajam.
Benda apa yang telah memutus kaki ini?” tanya Patih Selo Kaliangan pula.
“Putus
dijepit tanah…”
“Putus
dijepit tanah?!” Sang Patih kerenyitkan kening. “Tidak bisa kumengerti…”
“Patih,
sudah kukatakan orang satu ini miring otaknya. Mengapa kita perlu bicara
panjang lebar dengannya?!” berkata Malaikat Alis Biru.
Saat itu
Tunggul Gono masih memegang patahan tombak. Dalam marahnya mendengar kata-kata
Malaikat Alis Biru, Tunggul Gono gerakkan tangan hendak lemparkan tombak ke
arah si kakek. Tapi tangannya cepat dicekal oleh Patih Selo Kaliangan.
“Jelaskan
padaku hal yang menyangkut buntungnya kaki saudaramu…” berkata Sang Patih.
“Pendekar
212 Wiro Sableng yang melakukan!” jawab Tunggul Gono.
“Pendekar
212 Wiro Sableng?” mengulang Patih Kerajaan sambil memandang pada si kakek
berjuluk Malaikat Alis Biru.
Kakek
yang dipandang lantas membentak. “Tadi kau bilang kaki saudaramu putus dijepit
tanah! Barusan kau katakan Pendekar 212 Wiro Sableng yang melakukan! Mana yang
betul? Jangan berani bicara tak karuan pada Patih Kerajaan!”
“Setan
tua! Siapa bicara tak karuan! Kaki saudaraku memang putus dijepit tanah. Tanah
yang menjepit itu terjadi akibat ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar 212!”
“Pendekar
212… Aku pernah mendengar nama itu. Tapi sejak beberapa tahun belakangan ini
tidak kedengaran kabar beritanya…” Patih Kerajaan berucap dalam hati.
“Setahuku
Pendekar 212 Wiro Sableng telah meninggal dunia dua tahun yang lalu…” kata
Malaikat Alis Biru pula.
Tunggul
Gono keluarkan suara mendengus. “Kau terlalu banyak mendapat kesenangan di
Keraton hingga tidak tahu apa yang terjadi di dunia persilatan! Pendekar 212
masih hidup! Dia yang memutus kaki saudaraku dengan ilmu kesaktian aneh yang
tidak pernah kulihat sebelumnya!”
“Sepertinya
tidak masuk akal!” kata Malaikat Alis Biru. “Tanah Jawa dipenuhi puluhan tokoh
berkepandaian tinggi. Tapi tidak satupun yang memiliki ilmu kesaktian sanggup
membelah tanah lalu menjepit kaki lawan sampai putus!”
“Ada
silang sengketa apa di antara kalian hingga Pendekar 212 Wiro Sabelng memutus
kaki saudaramu dengan ilmu anehnya?” bertanya Patih Kerajaan.
Tunggul
Gono tidak menjawab. “Patih, saat ini biar kuberi tahu sekalian bahwa yang
membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta adalah juga Pendekar 212
Wiro Sableng! Kemungkinan besar istri juru ukir itu berselingkuh dengan
Pendekar 212. Karena terakhir sekali kami melihat mereka berdua-dua di satu
tempat…”
Kakek
alis biru gelengkan kepala. “Kalau Pendekar 212 memang masih hidup, tidak masuk
akal dia melakukan perbuatan keji itu. Membunuh seorang tua abdi Keraton yang
tidak berdosa lalu berbuat mesum dengan istrinya. Aku tahu betul sifat perangai
Pendekar 212. Senang pada gadis cantik dan sebaliknya disenangi puluhan gadis
jelita. Tapi dia bukan pemuda mata keranjang yang memanfaatkan kesempatan. Dia
tidak pernah menodai perempuan…”
“Setan
tua! Aku tidak meminta kau atau Patih Kerajaan untuk percaya pada keteranganku!
Aku hanya memberi tahu apa adanya. Jika kalian tidak percaya silahkan tunggu.
Kedua orang itu pasti muncul di Kotaraja. Kinasih, istri mendiang Sura
Kalimarta tidak mungkin akan meninggalkan rumah besar dan hartanya begitu
saja…” Setelah diam sebentar, Tunggul Gono meneruskan ucapannya. “Aku sudah
memberi tahu siapa pembunuh juru ukir Keraton. Harap Patih Kerajaan suka
menolong mengobati luka saudaraku…”
Patih
Selo Kaliangan kembali meneliti kaki kiri Tunggul Gini lalu berkata. “Aku
mengenal ratusan macam dan jenis racun. Tapi racun yang bersarang di luka
saudaramu ini tidak bisa kukenali. Aku tidak punya kemampuan untuk menolong
saudaramu…”
“Patih
Kerajaan, kau berdusta!”
“Apa
untungnya kedustaan macam itu bagiku? Aku bisa saja berpura-pura mengobati luka
adikmu. Akibatnya kau yang akan celaka karena mengira racun sudah dimusnahkan
padahal masih mendekam dan bisa menjalar masuk ke dalam jalan darahmu. Coba kau
perhatikan warna biru di kaki kiri saudaramu. Warna itu sedikit demi sedikit
naik ke atas. Bilamana mencapai pangkal paha, berarti racun sudah masuk ke
dalam pembuluh darah besar. Kalau sudah di situ saudaramu dan juga dirimu tidak
akan tertolong lagi!”
Berubahlah
paras Tunggul Gono. Momok satu ini usapkan tangan kanannya ke leher. Terasa
panas. “Aku tahu sekali, Patih ini seorang yang mengerti seluk beluk pengobatan
dan ahli dalam segala macam racun. Dia agaknya tidak berdusta. Umur saudaraku
rasanya tak bakal lama. Aku sendiri…” Tengkuk Tuggnul Gono menjadi dingin.
“Celaka, apa yang harus aku lakukan?!” Dia menatap tajam pada Patih Selo
Kaliangan lalu berpaling pada sosok saudaranya yang terkulai di sebelahnya.
“Tunggul
Gini…”
Orang
yang dipanggil diam saja.
“Gini!”
Tunggul Gono memanggil lebih keras. Kali ini sambil menggoncang bahu saudaranya
dengan tangan kanan.
Perlahan-lahan
sepasang mata Tunggul Gini yang sejak tadi tertutup membuka sedikit.
“Tunggul
Gini! Kau dengar suaraku?!”
“Tunggul
Gono. Kau… Ada apa… Tubuhku panas. Dadaku sesak, aku sulit bernafas. Pandangan
mataku kabur. Aku…”
“Gini,
maafkan aku. Aku terpaksa melakukan hal ini. Tak ada jalan lain!”
“Apa
maksudmu Gono…?”
Tunggul
Gono tidak menjawab. Tangan kanannya tiba-tiba memancarkan cahaya hitam.
Bergerak ke kiri.
“Kraaakkk!”
Bersamaan
dengan suara menggidikkan itu Tunggul Gini menjerit setinggi langit lalu diam.
Ketika Tunggul Gono bangkit berdiri, sosok Tunggul Gini terhempas ke lantai
depan gerobak yang dipenuhi genangan darah. Semua orang terkesiap kaget, ada
yang sampai keluarkan suara tertahan melihat apa yang terjadi. Tunggul Gono
membetot putus bahu kanan Tunggul Gini, saudara dempet yang menyatu bersama
tubuhnya selama puluhan tahun!
Untuk
beberapa lama kesunyian menegangkan menggantung di tempat itu. Semua orang
dicekam kengerian. Sesaat kemudian, belum lagi rasa bergidik yang memagut
sempat sirna, tibatiba terjadi lagi satu kengerian.
Secara
aneh sosok Tunggul Gini yang kini tidak lagi memiliki tangan kanan tiba-tiba
bangkit terduduk di lantai gerobak. Darah mengucur dari luka yang terkuak besar
di bahu kanan. Darah itu membasahi sekujur tubuh dan pakaiannya.
Kepala
Tunggul Gini berputar kaku ke arah Tunggul Gono. Mata membuka besar
menggidikan, bibirnya bergetar. Dari dua lobang hidungnya mengepul hawa aneh
keputihputihan. Di sela getaran bibir, mulut berucap.
“Jahanam
Tunggul Gono! Aku tidak rela kau perlakukan seperti ini. Kita dilahirkan dari
perut yang sama. Puluhan tahun hidup dempet bersama dan kelak harus mati
bersama pula. Tapi kini kau bunuh diriku untuk menyelamatkan diri sendiri. Aku
tidak ikhlas. Rohku tidak akan pernah tenteram. Rohku akan gentayangan
mengejarmu. Aku bersumpah akan meregang nyawamu! Kau lebih jahat dari keparat
Pendekar 212 yang menjepit putus kakiku! Aku akan membunuh kalian berdua!”
Mau tak
mau ngeri juga Tunggul Gono mendengar ucapan saudaranya itu. Apalagi waktu
memperhatikan wajah Tunggul Gini. Angker menggidikkan. Tengkuknya seperti
diguyur air es!
“Aku
harus tinggalkan tempat celaka ini! Tapi aku tidak mau membawa serta mayatnya!
Dia mengancamku dengan rohnya… Gila! Ini semua gara-gara Pendekar 212! Bangsat
itu harus kuhabisi!”
Dengan
kaki kirinya Tungggul Gono tendang sosok Tunggul Gini hingga jatuh ke tanah.
Cemeti dicambukkannya ke punggung dua ekor kuda. Dua kuda penarik gerobak
meringkik keras, melompat kabur meninggalkan hadapan pintu gerbang Kepatihan.
Sebelum
lenyap di kegelapan terdengar teriakan Tunggul Gono. “Patih Kerajaan! Jika kau
tidak menolong memnta pengampunan pada Sri Baginda, aku bersumpah akan
mengobrak abrik Kepatihan dan Keraton!”
Patih
Selo Kaliangan tersentak mendengar ancaman itu. Dia segera balas berteriak.
“Tunggul
Gono! Besok pagi sebelum sang surya terbit! Aku tunggu kau di pintu gerbang
Keraton sebelah timur!”
********************
BAB 4
Gerobak
yang ditumpangi Pendekar 212 Wiro Sableng dan Kinasih memasuki Kotaraja di
malam
gelap di bawah hujan rintik-rintik. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara,
termasuk kusir gerobak. Namun Wiro sempat melihat kesan yang tidak enak. Dia
memperhatikan beberapa kali kusir gerobak itu melontarkan lirikan aneh ke
arahnya dan Kinasih.
Di
hadapan satu rumah besar gerobak berhenti.
“Ini
rumahku,” kata Kinasih sambil turun, dibantu oleh kusir gerobak. “Heran,
mengapa sepi dan gelap saja? Apa suamiku tidak di rumah?”
Wiro
melompat turun. Pada saat itulah kusir gerobak untuk pertama kalinya membuka
mulut, berkata sambil membungkuk di hadapan Kinasih.
“Maafkan
saya, seharusnya saya memberi tahu dari tadi-tadi…”
“Memberi
tahu apa?” tanya Kinasih heran.
“Den Mas
Sura Kalimarta, suami Den Ayu, meninggal dunia beberapa hari lalu. Tewas
dibunuh orang…”
Sepasang
mata Kinasih terbeliak. “Aku tidak percaya…” katanya lalu memandang ke arah
rumah besar.
“Saya
tidak berdusta. Banyak orang berusaha mencari Den Ayu Kinasih, tapi tidak tahu
mencari dimana. Ada yang menduga Den Ayu telah menjadi korban bersama rombongan
yang menyambangi sahabat di desa. Tapi jenazah Den Ayu tidak ditemukan. Tapi
sewaktu Den Ayu mencegat gerobak saya hampir-hampir tidak percaya. Menduga Den
Ayu ini… Maafkan saya…”
Kinasih
berpaling pada Wiro.
“Aku akan
menyelidik ke dalam rumah,” kata Pendekar 212.
“Aku
ikut!” kata Kinasih.
Saat itu
dari seberang jalan mendatangi dua orang. Ternyata mereka adalah dua suami
istri tetangga Kinasih.
“Jeng…
Aduh Jeng! Syukur Jeng Kinasih masih hidup. Kami mengira…”
Belum
sempat istri tetangga itu menyelesaikan ucapannya Kinasih sudah memotong.
“Tolong diberi tahu. Apa benar suami saya…”
“Kami
semua bingung Jeng. Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di dalam rumah.
Jeng Kinasih tidak diketahui berada dimana…”
Kinasih
terpekik. Lalu sambil berulang kali menyebut nama suaminya perempuan ini lari
memasuki pekarangan rumah besar yang gelap. Wiro mengikuti. Tetangga lain di
sekitar situ segera pula berdatangan.
***********************
Kinasih
menangis menelungkup di atas makam Raden Mas Sura Kalimarta yang tanahnya masih
merah sementara hujan masih turun rintik-rintik.
“Ya
Tuhan, mungkin musibah ini sebagai hukuman dariMu atas penyelewegnan yang aku
lakukan. Bagus Srubud, aku bersumpah membunuhmu!” Rasa berdosa dalam dirinya
membuat perempuan ini keluarkan ratapan menyayat hati.
“Kang Mas
Sura, maafkan diriku! Siapa yang begitu jahat membunuhmu Kang Mas…”
Satu
suara di dalam gelap tiba-tiba menyahut kata-kata Kinasih. “Pembunuh suamimu
berada sangat dekat di sebelahmu Kinasih…”
Wiro dan
Kinasih serta kusir gerobak yang ada di tempat itu tersentak kaget. Tempat itu
tiba-tiba menjadi terang benderang. Memandang berkeliling Wiro melihat sekitar
dua puluh perajurit Kerajaan memegang obor di tangan kiri dan senjata di tangan
kanan telah mengurung seantero tempat. Di belakang barisan perajurit itu
kelihatan tiga penunggang kuda. Seorang di antaranya adalah salah satu dari
Momok Dempet.
Penunggang
kuda kedua seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki alis berwarna biru.
Dia bukan lain adalah kakek sakti tokoh silat Istana berjuluk Malaikat Alis
Biru. Di samping kakek, duduk tenang di atas punggung kudanya seorang tua
berjubah kelabu berenda kuning. Mulutnya komat kamit seperti tengah mengunyah
sesuatu. Di pinggang jubahnya melilit sebentuk tali berwarna kuning yang ada
umbai-umbai pada kedua ujungnya. Kakek berjubah kelabu ini di kalangan Istana
dikenal dengan nama Ki Balangnipa berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Mengapa dia mempunyai julukan aneh ini sebentar lagi akan kita saksikan.
Yang tadi
berucap menyahuti ratapan Kinasih adalah Tunggul Gono si Momok Dempet yang kini
tinggal sendirian. Setelah memutus tangan saudaranya kini dia memiliki dua buah
tangan di sebelah kiri. Yang satu tangan kirinya sendiri sedang yang dempet
adalah tangan kanan Tunggul Gini.
“Aneh,
makhluk dempet ini mengapa kini tinggal satu? Kemana lenyap pasangannya?!”
pikir Wiro.
Kinasih
usap matanya yang basah, memandang ke jurusan tiga penunggang kuda. “Si… siapa
yang tadi bicara?”
Momok
Dempet angkat tangan kirinya dan menjawab. “Aku! Momok Dempet bernama Tunggul
Gono…”
“Momok
Dempet Tunggul Gono,” kata Kinasih dalam hati. “Dia rupanya, tapi mana yang
satunya?”
“Kinasih,
apa aku perlu mengulang ucapanku tadi? Kau ingin tahu siapa pembunuh suamimu?”
Tunggul Gono bertanya dengan suara sengaja dikeraskan agar semua orang termasuk
Wiro mendengar.
“Siapa?
Kau mengetahui…?”
Tunggul
Gono tertawa. Jari telunjuk tangan kirinya di arahkan pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. “Pemuda gondrong di sebelahmu itulah pembunuh suamimu!”
Kinasih
terkejut. Matanya melotot besar memandang pada Wiro. “Dia…? Wiro?!”
“Jangan
percaya Kinasih. Ada yang tidak beres. Ada orang memfitnah hendak mencelakai
diriku. Aku tidak heran kalau orangnya adalah Momok Dempet yang kini berubah
menjadi Momok Kampret! Dia punya dendam terhadapku. Beberepa hari lalu
saudaranya aku celakai. Cuma aku tidak tahu dia buang kemana pasangannya itu!”
“Kau… kau
bisa membuktikan pemuda ini yang membunuh suamiku?” tanya Kinasih pada Momok
Dempet Tunggul Gono.
“Soal
bukti membuktikan bisa kita lakukan nanti. Saat ini aku dan pasukan Kerajaan
serta dua tokoh silat Istana datang ke sini untuk menangkapnaya. Ini adalah
perintah Raja!”
“Edan!”
maki Wiro.
“Pemuda
sableng! Kau mau menyerahkan diri hidup-hidup atau perlu kukorek dulu nyawamu
dari tubuhmu?!” Tunggul Gono ajukan pertanyaan dengan sikap sinis mengejek.
“Pendekar
212!” kakek alis biru membuka mulut untuk pertama kali. “Katakan dengan jujur,
benar kau yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta?”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Dengan jujur disertai sumpah, aku tidak
melakukan perbuatan keji itu!”
“Lalu
bagaimana kau bisa berada berdua-dua di satu tempat di luar Kotaraja dengan
istri juru ukir itu. Ada dugaan kalian berselingkuh dan berkomplot membunuh
suami perempuan ini. Lalu berpura-pura berbaik-baik menolongnya untuk menutupi
kebejatanmu…”
“Setan
sekalipun tidak akan sejahat itu! Apa lagi aku manusia yang punya hati dan
otak!”
“Tapi
semua orang tahu hatimu bisa bengkok dan otakmu miring sableng…” tukas Momok
Dempet Tunggul Gono.
Kinasih
bangkit berdiri. Manatap Pendekar 212 tajam-tajam. “Wiro, kuharap kau mengaku
secara kesatria. Kau…”
“Tidak
perlu bicara panjang lebar dengannya. Dipaksapun dia tidak akan mengaku!
Kinasih, harap kau menyingkir ke tempat aman. Kami orang-orang Kerajaan akan
menangkap manusia keji ini!” Momok Dempet memberi ingat bukan lantaran apa.
Tapi sesungguhnya sejak pertemuan di luar Kotaraja beberapa waktu lalu dia
sangat bernafsu terhadap perempuan muda berwajah ayu jelita ini. Kelak jika
urusan selesai dia akan berusaha mendapatkan Kinasih. Sebagai salah satu tokoh
silat Istana, dia akan mempunyai kesempatan lebih luas. Siapa berani
menghalangi?
Habis
berkata begitu Momok Dempet Tunggul Gono memberi isyarat pada dua puluh
perajurit dan dua kakek di sebelahnya. Dua puluh perajurit tancapkan obor ke
tanah lalu melompat mempersempit kurungan.
Bagaimana
ceritanya Momok Dempet Tunggul Gono saat itu bisa muncul bersama pasukan dan
dua tokoh silat Istana?
Seperti
dituturkan dalam Bab sebelumnya, Patih Selo Kaliangan bersedia menemui Tunggul
Gono di pintu gerbang timur Keraton. Pertemuan itu terjadi pagi tadi menjelang
fajar menyingsing.
Sebelumnya
begitu selesai ba’dal Subuh Patih Selo Kaliangan berkesempatan menemui Baginda
dan melaporkan apa yang terjadi tadi malam. Sang Patih pada pertemuan
selanjutnya dengan Momok Dempet Tunggul Gono memberi tahu bahwa Raja bersedia
memberi pengampunan atas perbuatannya di masa lalu menyangkut bentrokan yang
menyebabkan terbunuhnya beberapa tokoh silat Keraton. Dia juga diterima sebagai
salah satu abdi tokoh silat Istana. Namun untuk semua itu Tunggul Gono harus
menjalankan dua tugas besar.
Tugas pertama
mencari dan menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng yang disebutnya sebagai
pembunuh Raden Mas Sura Kalimarta.
Tugas
kedua dia harus membasmi para penjahat yang bercokol di Alas Roban sebelah
utara, timur dan barat. Walau berat namun Tunggul Gono bersedia menerima kedua
tugas itu tanpa menyadari bahwa dirinya kini diperalat oleh Kerajaan. Sri
Baginda maupun Patih Selo
Kaliangan
bukanlah orang-orang bodoh. Kepercayaan yang diberikan pada Tunggul Gono tetap
harus diwaspadai. Untuk itu Malaikat Alis Biru dan Hantu Muka Licin Bukit Tidar
diperintahkan agar selalu mengawasi gerak-gerik Tunggul Gono. Sebaliknya
Tunggul Gono juga cerdik. Dia maklum dua tugas yang diberikan kepadanya bukan
tugas enteng. Salah-salah bisa saja merupakan tugas bunuh diri. Tidak mudah
meringkus Pendekar 212. Juga tidak gampang menghadapi tiga tokoh rampok
penguasa tiga kawasan hutan Roban. Karena itulah dia bersedia bekerja sama
dengan dua tokoh silat Istana yang saat itu ikut bersamanya walau dia tahu
bahwa kedua orang itu diam-diam selalu mengawasi gerak-geriknya.
Setelah
memberi isyarat Tunggul Gono yang bertindak selaku pimpinan, lebih dulu
melancarkan serangan terhadap Pendekar 212. Dua puluh perajurit kemudian
merangsak maju, menjepit murid Sinto Gendeng dari delapan penjuru. Malaikat
Alis Biru baru bergerak setelah pecah pertempuran satu jurus. Kakek ini masuk
ke kalangan pertempuran dengan setengah hati. Dia tidak begitu yakin bahwa
Pendekar 212-lah yan telah membunuh Raden Mas Sura Kalimarta dan berbuat mesum
dengan Kinasih.
Yang
tetap tenang dan tak bergerak di tempatnya adalah Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Dari punggung kudanya kakek satu ini duduk diam, menyaksikan dengan tenang apa
yang terjadi di depannya sambil mulutnya tiada henti komat kamit.
Tunggul
Gono membuka serangan dengan pukulan sakti Ladam Setan. Tanah di bekas tempat
Wiro berdiri berubah menjadi kubangan besar, hangus hitam. Sebelumnya Wiro
telah menyaksikan kedahsyatan pukulan lawan. Untung saja saat itu cidera di
perutnya telah pulih hingga dia bisa mengerahkan tenaga dalam seberapa besar
yang dikehendaki.
Begitu
melihat sinar melesat dari tangan kanan Tunggul Gono, Wiro melompat setinggi
satu tombak seraya mainkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar dan melepas
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Gulungan angin dahsyat melabrak ke arah
Tunggul Gono. Sosok makhluk dempet ini bergoncang keras. Cepat-cepat dia
menyingkir selamatkan diri lalu kalau tadi tangan kanannya yang melepas pukulan
Ladam Setan, kini tangan kirinya yang dipergunakan untuk menghantam. Seperti
diketahui walau sosoknya sudah lepas dari tubuh saudaranya tapi tangan kirinya
masih tetap dempet dengan potongan tangan kanan Tunggul Gini. Larikan sinar
hitam dahsyat luar biasa menyambar dari sela dua tangan Tunggul Gono sebelah
kiri.
Para perajurit
di belakang Wiro berteriak kaget, berlompatan selamatkan diri karena sinar
hitam yang menyembur keluar dari tangan Tunggul Gono menyambar setinggi dada.
Wiro yang
sudah tahu sampai dimana tingkat kehebatan lawan, kerahkan dua pertiga tenaga
dalam lalu sambuti sinar hitam serangan Tunggul Gono dengan pukulan Sinar
Matahari.
Dua
pukulan sakti dalam warna berlainan beradu dahsyat di udara. Tanah kawasan
pekuburan bergoncang keras. Beberapa makam termasuk makam Raden Mas Sura
Kalimarta rambas sama rata dengan tanah diterjang pecahan sinar hitam dan sinar
puih. Tiga orang perajurit yang melakukan pengurungan menjadi korban. Menemui
ajal hangus mulai dari kepala sampai ke kaki.
Hawa
panas menyengat seantero tempat. Pendekar 212 terjajar dua langkah ke belakang.
Sesaat mukanya pucat tak berdarah. Sebaliknya Tunggul Gono keluarkan seruan
tertahan. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Lututnya tertekuk ketika dia coba
tegak imbangi diri. Mulutnya panas dan asin. Jalan nafasnya seperti dicekik.
“Celaka!
Aku terluka di dalam…” keluh Tunggul Gono begitu menyadari ada darah dalam
mulutnya. Dia meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah!
Tunggul
Gono cepat kerahkan tenaga dalam. Selagi dia mengalirkan hawa sakti itu
tibatiba satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu lawan sudah berada di
depannya kirimkan tendangan ke arah dada. Secepat kilat Tunggul Gono sambut
serangan itu dengan pukulan Sepasang Palu Kematian dengan tangan kirinya yang
dempet. Sinar hitam kembali berkiblat di tempat itu.
“Hancur
kakimu!” teriak Tunggul Gono. Tapi dia kecele. Pukulan dahsyatnya lewat dua
jengkal di bawah kaki Wiro. Dari atas, laksana seekor burung Rajawali murid
Sinto Gendeng melayang turun, menukik sambil tangan kanannya menyambar ke arah
tangan kiri Tunggul Gono yang dempet dengan kutungan tangan kanan Tungul Gini.
Sesaat
kemudian terdengar suara kreek… kreek… kreek. Tunggul Gono menjerit setinggi
langit. Jari tangan kirinya hancur. Begitu juga jari tangan Tunggul Gini yang
masih dempet pada tangan kirinya itu. Kreek… kreek… kreek! Menyusul telapak
tangan, lalu ujung lengan, berderak hancur.
Ki
Balangnipa alias Hantu Muka Licin Bukit Tidar kerenyitkan kening, sipitkan
sepasang mata menyaksikan apa yang terjadi.
Malaikat
Alis Biru melengak kaget.
“Ilmu
gila apa yang dikeluarkan pemuda sableng itu! Setahuku Sinto Gendeng tidak
mempunyai ilmu seperti itu. Jika tidak kucegah tangan Tunggul Gono bisa
dihancurkannya amblas sampai ke bahu! Bahkan tulang lehernya bisa dikeremuk
ludas!”
Dengan
cepat Malaikat Alis Biru menghunus pedang birunya lalu babatkan senjata ini ke
tangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar biru menggidikkan berkelebat disertai
suara mengaung.
Dalam
geramnya Wiro masih terus menghancurkan tulang tangan kiri Tunggul Gono sampai
ke pertengahan lengan. Momok Dempet ini meraung kesakitan. Dengan tangan
kanannya dia berusaha menghantam Pendekar 212, tapi sakit hancurnya tangan
seperti melelehkan sekujur tubuhnya.
Pendekar
212 Wiro Sableng telah mempergunakan ilmu Koppo yakni ilmu menghancurkan tulang
yang dipelajarinya dari Nenek Neko. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Sepasang Manusia Bonsai”).
Ketika
cahaya biru berkiblat disertai suara mendesing, sesaat Pendekar 212 Wiro
Sableng seperti tidak perduli dan seolah berjibaku membiarkan tangannya ditabas
pedang asal bisa menghancurkan seluruh tangan maut Tunggul Gono. Malaikat Alis
Biru yang sebenarnya tidak punya silang sengketa permusuhan dengan Wiro selain
menjalankan tugas sebagai tokoh silat Istana abdi Kerajaan, terkesiap kaget
melihat Wiro berlaku nekad, tidak berusaha menarik tangan kanan atau berbuat
sesuatu untuk selamatkan diri. Tapi rasa kagetnya itu berubah menjadi jeritan
keras ketika tiba-tiba sekali tangan kiri murid Sinto Gendeng menghantam
melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan ke empat
dari enam pukulan sakti yang dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang
didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
“Wasiat Iblis” terdiri dari 8 Episode).
Malaikat
Alis Biru melompat tunggang langgang dari punggung kudanya. Kakek satu ini
selamat tapi tunggangannya meringkik keras. Binatang bertubuh besar ini mental
sampai tiga tombak, terguling di tanah, melejang-lejang sebentar lalu diam kaku
tak bergerak lagi! Lobang besar terkuak mengerikan di rusuk kanan kuda itu. Si
kakek alis biru tegak tergontai-gontai dengan muka pucat.
Wiro
hancurkan tangan kiri Tunggul Gono sampai sebatas siku baru dilepaskan. Tunggul
Gono meraung-raung kesakitan lalu gulingkan diri di tanah.
“Kalian
semua tua bangka tak berguna! Menyingkir! Serahkan bocah ingusan itu padaku!”
Yang
berteriak adalah kakek tokoh silat Istana bernama Ki Balangnipa berjuluk Hantu
Muka Licin Bukit Tidar. Kudanya disentakkan ke depan. Kakinya kiri kanan
menendangi perajurit-perajurit yang tidak sempat menyingkir memberi jalan.
Sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Anak
muda, aku tidak bicara banyak! Kau mau serahkan diri atau minta kusakiti dulu
sampai tahu rasa…”
Wiro
pandangi wajah tua di atas kuda itu sesaat. Dia tidak kenal siapa adanya kakek
satu ini, juga belum pernah bertemu sebelumnya.
“Apa
salahku hingga kalian orang-orang Kerajaan hendak menangkapku?!” murid Sinto
Gendeng ajukan pertanyaan.
“Kalau
kau punya telinga tadi tentu sudah mendengar apa yang dikatakan kakek yang kau
hancurkan tangan kirinya itu!” jawab Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
“Kalian
seharusnya menyelidik lebih dulu. Aku…”
“Bicaraku
sudah cukup! Kau selain sableng juga keras kepala!” membentak kakek berjubah
kelabu itu. Lalu dia loloskan tali kuning berumbai-umbai yang melilit di
pinggang. Ketika tali itu diputar, suara deru keras membahana seperti mau
merobek gendang-gendang telinga. Bersamaan dengan itu larikan sinar kuning
berbentuk tabir lingkaran muncul menutup pemandangan. Wiro tersentak kaget
ketika merasakan tubuhnya tertarik laksana disedot, masuk ke dalam tabir
lingkaran kuning.
Didahului
satu bentakan keras murid Sinto Gendeng hantamkan tangan kanannya, coba
menjebol tabir lingkaran kuning dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Tabir kuning bergetar hebat seperti hendak pecah berantakan. Namun alangkah
terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika getaran tabir kuning itu berubah menjadi
satu hawa dahsyat, membalik memukul tubuhnya dari empat jurusan!
“Sial
dangkalan!” teriak murid Sinto Gendeng.
Wiro
cepat jatuhkan diri di tanah. Dia selamat dari hantaman pukulannya sendiri.
Sambil bergulingan dia lepaskan pukulan dengan dua tangan sekaligus. Tangan
kanan melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan ini mengarah ke
atas, ditujukan ke kepala lawan. Tangan kiri melancarkan pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang. Diarahkan ke dada Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Kakek
ini melengak kaget besar ketika melihat dua pukulan yang dilancarkan si pemuda
berhasil menjebol tabir lingkaran kuning. Tangannya yang memegang tali kuning
bergetar hebat, darahnya sesaat mengalir tidak karuan. Tubuhnya menghuyung,
dengan cepat dia imbangi diri agar tidak jatuh dari atas punggung kuda.
“Luar
biasa! Kalau aku tidak bertindak cepat bisa-bisa aku dibuat malu oleh pemuda
sableng ini!” membatin si kakek. Lalu dia cepat melesat dari punggung kuda.
Sambil melompat
dia pukul
pinggul tungganggannya hingga binatang ini selamat dari serempetan pukulan
tangan kanan Wiro. Dua pukulan sakti yang dilepas Pendekar 212 kemudian
melabrak sebuah gubuk dan sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping!
Wiro
terkejut ketika dapatkan lawannya tak ada lagi di atas kuda ataupun di
hadapannya. Ketika dia merasa ada sambaran angin di belakang, cepat Wiro
berbalik. Astaga si kakek ternyata ada di belakangnya. Memandang tak berkesip
ke arahnya. Belum habis kejut murid Sinto Gendeng, lawan tiba-tiba gerakkan
tangan kiri untuk mengusap wajahnya. saat itu juga wajah si kakek berubah
menjadi licin. tak ada alis dan mata, tak tampak hidung ataupun mulut! Lawan
mana yang tak bakal terkejut dan berlaku lengah melihat kejadian itu. Inilah
kehebatn si kakek hingga dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Banyak lawan
yang terkecoh, berlaku lengah lalu dihabisi!
Selagi
Wiro terkesiap dalam kejutnya tiba-tiba Hantu Muka Licin Bukti Tidar putar tali
kuningnya. Kali ini tidak muncul tabir kuning. Tapi di antara suara berdesir
aneh, tiba-tiba dari dua ujung tali kuning yang ada umbai-umbainya meluncur
keluar seratus jarum putih. Demikian cepat lesatan jarum-jarum itu hingga mata
telanjang sulit melihatnya.
Namun
bagi Wiro, cukup mendengar dari sambaran angin saja. Dia sudah maklum kalau ada
senjata rahasia dalam jumlah sangat banyak menyambar ke arah dirinya. Secepat
kilat Wiro melesat setinggi dua tombak seraya lepaskan pukulan Dinding Topan
Berhembus Tindih Menindih dan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
“Tembus!”
teriak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Wiro
berhasil mengelakkan puluhan jarum yang menyambar ke arahnya dan memukul mental
puluhan lainnya. Namun dua puluh satu buah masih bisa lolos! Menancap di dada,
perut, tangan kiri kanan dan dua kakinya. Inilah kedahsyatan senjata rahasia
Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang dalam rimba persilatan disebut Jarum Perontok
Syaraf. Saat itu juga Wiro merasa sekujur tubuhnya mati rasa, tak dapat
digerakkan lagi. Untung tak ada jarum yang menancap di muka atau matanya!
Hantu
Muka Licin Bukit Tidar tertawa mengekeh. Dia usap wajahnya dengan tangan kiri.
Sepasang alis, dua buah mata, hidung dan mulutnya kembali muncul di wajahnya
yang tadi licin!
“Kalian
tunggu apa lagi! Naikkan bocah sableng itu ke aats kuda! Kita bawa ke Kotaraja!
Jebloskan dalam kerangkeng besi bersama temannya kakek sial berjuluk Setan
Ngompol itu!” Sementara si kakek tertawa mengekeh Wiro terkejut mendengar apa
yang barusan diucapkan. “Jadi benar Setan Ngompol dipenjarakan di Kotaraja. Aku
belum sempat mengetahui sebab musababnya. Apa lagi menolongnya. Juga belum tahu
nasib apa yang menimpa si Naga Kuning. Kini diriku sendiri jadi tidak karuan!”
Seorang
perajurit tiba-tiba bertanya. “Bagaimana dengan isri mendiang juru ukir Keraton
ini?”
Meski
menahan sakit setengah mati tapi begitu ingat Kinasih Momok Dempet Tunggul Gono
cepat bangkit berdiri. “Tinggalkan perempuan itu. Aku yang akan mengurusnya!”
Hantu
Muka Licin Bukit Tidar tertawa bergelak. “Tunggul Gono, mengurus diri sendiri
saja kau tidak mampu. Apalagi mau mengurus perempuan muda secantik ini! Biar
aku yang akan berbaik hati padanya!” Si kakek putar tali kuningnya. Kinasih
mundur ketakutan. Dia terpekik ketika tiba-tiba tali kuning itu menjirat
pinggangnya. Sekali tarik saja tubuh Kinasih terbetot, melayang ke atas bahu
Hantu Muka Licin. Sambil terus mengumbar tawa kakek ini melangkah mendekati
kudanya.
Momok
Dempet Tunggul Gono memaki panjang pendek melihat perbuatan Hantu Muka Licin
Bukit Tidar itu.
“Tua
bangka busuk! Jika kau berani berbuat keji terhadap Kinasih, aku bersumpah akan
membunuhmu!” Wiro berteriak mengancam.
Hantu
Muka Licin putar tubuhnya sebentar, berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. “Perempuan ini apamu? Kekasihmu bukan, apalagi istrimu! Ancamanmu
membuktikan bahwa kalian berdua sebelumnya memang sudah berselingkuh! Aku akan
meminta Raja menjatuhkan hukuman berat atas dirimu! Pernahkah kau mendengar
siksaan anggota rahasia diantuk puluhan kelabang beracun?! Ha… ha… ha…!”
********************
BAB 5
Rawapening
sebenarnya tidak pantas disebut telaga. Selain luas, kedalamannya mencapai
puluhan
bahkan lebih dari seratus kaki. Saat itu tepat tengah hari. Sang surya bersinar
terik membakar jangat. Dari arah selatan kelihatan meluncur sebuah rakit bambu,
dikayuh oleh dua orang lelaki desa berbadan tegap. Kedua orang ini sangat
bersemangat mengayuh hingga rakit meluncur dengan cepat di permukaan air.
Semangat dua orang ini disebabkan tidak lain oleh empat penumpang yang mereka
bawa. Keempatnya merupakan gadis-gadis berwajah sangat
cantik.
Sukar bagi mereka membedakan mana yang paling cantik karena selama ini memang
keduanya belum pernah melihat dara-dara begitu jelita mempesona.
Meski
senang mendapatkan penumpang empat gadis cantik, namun diam-diam dua lelaki
desa ini merasa heran. Heran karena empat gadis itu membawa dua buah pacul,
sebuah linggis dan dua buah pengki besar. Hendak bertanya mereka merasa
sungkan.
Empat
gadis yang bearda di atas rakit bukan lain adalah Ratu Duyung, Bidadari Angin
Timur, Anggini dan Puti Andini. Dalam Episode sebelumnya (“Tiga Makam Setan”)
empat gadis itu diceritakan menyirap kabar bahwa Pendekar 212 telah meninggal
dunia, diperkirakan dimakamkan di sebuah makam yang terletak di satu dari tiga
pekuburan. Pekuburan pertama terletak di dekat candi di Kopeng. Yang kedua di
pekuburan Banyubiru dekat telaga Rawapening sedang yang ke tiga di puncak
Gunung Gede.
Bidadari
Angin Timur dan tiga gadis lainnya telah menyelidik ke pekuburan dekat candi
Kopeng. Di situ mereka menemui sebuah makam dengan papan nisan bertuliskan nama
Wiro Sableng. Setelah makam dibongkar ditemukan tulang belulang manusia masih
lengkap dengan kepala tengkorak. Pada kening tengkorak terdapat tulisan 212
sedang pada salah mata tengkorak ditemukan secarik kertas bertuliskan kalimat
“Selamat Datang Di Makam Setan Pertama. Kalian Ditunggu Di Makam Setan Kedua.”
Merasa
ditantang dan ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dengan
Pendekar 212 yang sama mereka cintai, empat gadis itu sepakat mengadakan
perjalanan ke pekuburan Banyubiru.
Angin
telaga bertiup kencang, mengibarkan pakaian dan rambut empat gadis cantik.
Harumnya bau pakaian dan badan Bidadari Angin Timur terasa sedap di rongga
hidung. Dua lelaki pengayuh rakit sampai kembang kempis cuping hidung mereka.
Setelah berdiam diri sekian lama, Anggini memecah kesunyian.
“Menurut
kalian, apakah kita akan menemukan kejadian sama seperti di makam pertama?”
“Maksudmu.
Kita akan menemukan tulang belulang, tengkorak dan kertas bertuliskan kalimat
gila itu?” tanya Puti Andini.
Anggini
anggukkan kepala.
“Kita
harus tabah kalau memang akan menemukan hal sama untuk kedua kalinya.” Kata
Ratu Duyung.
“Yang
jadi pertanyaan, siapa berbuat gila seperti itu. Apa tujuannya?”
Anggini,
Puti Andini dan Ratu Duyung tak bisa menjawab. Lalu Puti Andini berucap. “Dua
lelaki penggali makam di pekuburan candi Kopeng itu. Mereka menemui kema….”
Bidadari
Angin Timur cepat memberi tanda agar Puti Andini tidak meneruskan katakatanya
lalu berbisik. “Jika kau menyebut-nyebut kematian dua penggali makam itu, dua
pengayuh rakit ini kemungkinan besar tidak akan mau membantu kita menggali
kuburan….”
“Selama
malang melintang di rimba persilatan. Pendekar 212 banyak mempunyai musuh.
Mungkin salah satu dari orang-orang yang tidak menyukainya itu yang melakukan
perbuatan aneh ini….” kata Ratu Duyung pula.
”Bisa
jadi…” kata Anggini. “Tapi mengapa membalaskan sakit hati dengan cara begitu
rupa? Sepertinya mengarah pada diri kita. Di makam pertama kita selamat. Di
makam kedua kita harus berhati-hati.”
“Aku
menaruh firasat, siapapun orang yang berbuat gila ini dia tahu keadaan Wiro.
Sudah meninggal atau msaih hidup! Ada satu niat jahat di balik semua yang di
lakukannya. Kita benarbenar harus hati-hati…”
Tak
selang berapa lama rakit sampai di tepian barat telaga Rawapening. Begitu
merapat ke daratan, empat gadis melompat gesit, membuat kagum dua lelaki
pengayuh rakit.
“Kalian
harap menunggu sampai kami kembali ke sini. Tapi kami akan memberikan tambahan uang
jika mau membantu kami…” kata Anggini.
“Membantu
apa?” tanya salah seorang dari pengayuh rakit.
“Antarkan
kami ke pekuburan Banyubiru. Nanti akan kami beri tahu apa yang harus kalian
lakukan…”
“Baiklah,
untuk kalian kami akan melakukan apa saja!” kata lelaki desa yang lebih muda
dari temannya.
Tak jauh
berjalan kaki dari tepi barat telaga Rawapening terlihat pekuburan Banyubiru,
terletak di satu bukit kecil. Jumlah makam di tempat ini lebih banyak dibanding
dengan pekuburan di candi Kopeng. Seperti yang mereka lakukan di pekuburan
candi Kopeng, empat gadis ini berbagi tugas meneliti papan-papan nisan di
kepala makam. Kebanyakan papan nisan itu sudah lapuk dan nama penghuni makam
yang tertuls di situ sulit dibaca.
“Tak ada
papan nisan bertuliskan nama Pendekar 212 atau Wiro Sableng…” kata Bidadari
Angin Timur lalu menarik nafas dalam dan memandang berkeliling.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” bertanya Puti Andini.
Bidadari
Angin Timur diam, Ratu Duyung juga diam tapi matanya yang biru memandang tajam
memperhatikan puluhan makam yang ada di pekuburan itu. Tiba-tiba mata biru
bagus sang Ratu kelihatan membesar. Kepalanya sedikit menengadah.
“Para
sahabat, aku melihat sesuatu. Mungkin terlewatkan oleh kita waktu memeriksa
tadi. Lihat makam di ujung paling kanan, baris kedua.”
Anggini,
Bidadari Angin Timur dan Puti Andini mengikuti arah pandangan Ratu Duyung.
Memperhatikan makam yan terletak di baris kedua paling ujung kanan.
“Makam iu
tidak ada papan nisannya…” kata Puti Andini.
“Kita
semua terlalu memperhatikan pada bagian nisan,” kata Ratu Duyung. “Dari sini
aku melihat ada satu batu besar, mungkin batu kali, menyembul dari dalam tanah.
Pada bagian kepala makam… Ikuti aku!”
Empat
gadis itu segera bergerak, melangkah cepat. Ratu Duyung di depan sekali. Dua
lelaki desa yang tidak tahu apa sebenarnya yang tengah dikerjakan gadis-gadis
cantik itu mengikuti pula dari belakang.
Ratu
Duyung dan tiga kawannya sampai di depan makam baris kedua, ujung kanan. Pada
kepala makam, seperti yang terlihat dari jauh tadi, menyembul sebuah batu
besar, kotor tertutup debu dan tanah serta rumput liar.
Ratu
Duyung berjongkok. Tangan kirinya mematahkan sepotong ranting berdaun banyak.
Dengan daun-daun ini disapu dibersihkannya debu dan tanah pada permukaan batu.
Begitu debu dan tanah tersibak, sedikit demi sedikit kelihaan sederetan tulisan
di atas batu.
“Lihat!”
kata Ratu Duyung setengah berseru. Kini dia pegunakan tangannya yang halus
untuk membersihkan batu di kepala makam. Deretan tulisan kelihatan makin jelas.
Di situ tertera tulisan yang membuat dada empat gadis cantik berdegup keras
begitu mereka mambaca.
“DI SINI
DIMAKAMKAN WIRO SABLENG – PENDEKAR 212”
“Keadaan
makam ini berbeda dengan makam yang kita bongkar di candi Kopeng. Tanahnya
gersang, tidak ditumbuhi rumput segar. Berarti sudah cukup lama. Lebih dari
satu tahun…” Berkata Anggini dengan suara agak bergetar.
“Aku
punya firasat…” berucap Ratu Duyung. Suaranya agak tersendat menahan perasaan.
“Jangan-jangan kali ini kita akan menemukan dirinya di dalam…” Sang Ratu tak
mampu meneruskan ucapannya.
Bidadari
Angin Timur menggigit bibir lalu melambaikan tangan pada dua orang lelaki desa.
“Ambil pacul. Gali makam ini.”
Dua
lelaki tadi tidak menyangka kalau mereka akan disuruh menggali kuburan.
Keduanya saling berpandangan sesaat.
“Tadi
kalian begitu bersemangat mau membantu kami. Sekarang seperti ketakutan!
Menyingkirlah! Biar kami orang-orang perempuan yang melakukan!”
Anggini
sambar pacul di sebelah kanan. Puti Andini mengambil pacul satunya. Dua lelaki
tadi cepat menarik pacul-pacul itu dari tangan dua gadis. Tanpa banyak cerita
lagi keduanya segera menggali. Ketika makam digali sedalam dada salah satu mata
pacul mengeluarkan suara berdentrang tanda beradu dengan benda keras.
Empat
gadis saling pandang.
“Seperti
suara besi…” bisik Bidadari Angin Timur.
“Gali
terus sampai kalian menemukan sesuatu!” kata Anggini.
Dua
lelaki itu kembali menggali. Salah satu di antaranya mengganti pacul dengan
linggis. Sesaat kemudian untuk kedua kalinya mata pacul beradu dengan benda
keras. Lelaki yang memegang linggis tancapkan linggis di dekat pacul beradu
lalu mengait ke atas. Perlahan-lahan dari dasar makam menyembul sebuah benda
kehitaman. Ternyata sebuah peti besi karatan, tidak dikunci atau digembok.
“Naikkan
peti besi itu ke atas!” kata Anggini.
Begitu
peti dinaikkan ke pinggiran makam yang baru digali Anggini segera menariknya
menjauhi lubang makam. Dengan tangan gemetar gadis ini membuka penutup peti
besi. Agak sulit, mungkin karena engselnya karatan. Anggini kerahkan tenaga.
Ketika penutup peti tiba-tiba terbuka gadis ini terpekik hampir jatuh terduduk.
Tiga gadis lainnya juga sama menjerit tapi bukan karena hendak jatuh melainkan
karena melihat apa yang ada di dalam peti karatan itu.
Di dalam
peti ada sebuah tengkorak kepala manusia. Seperti sewaktu di makam pertama di
pekuburan candi Kopeng, pada kening tengkorak tertera angka 212, ditulis dengan
cat untuk
membatik.
Sepotong kertas terletak di samping tengkorak dalam keadaan terlipat. Anggini
yang masih belum sirap darahnya tidak berani mengambil.
Bidadari
Angin Timur ulurkan tangan mengambil kertas. Lipatan dibuka. Semua mata
terpentang lebar. Semua mulut sama membaca.
SELAMAT
DATANG DI MAKAM SETAN KEDUA. KALIAN MEMANG HEBAT. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM
SETAN KETIGA. DI PUNCAK GUNUNG GEDE.
“Setan
kurang ajar!” maki Bidadari Angin Timur. Kertas itu diremasnya sampai hancur.
Lalu sekali kaki kirinya bergerak, peti berisi kepala tengkorak manusia
mencelat jauh.
Sesaat
tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
“Aku akan
segera berangkat ke Gunung Gede. Di situ letak makam ke tiga! Makam terakhir!
Aku berharap akan menemukan manusia jahanam yang melakukan semua perbuatan gila
ini!” kata Anggini sambil kepalkan tangan. “Paling tidak bisa membuka teka teki
gila ini! Apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Apa benar dia sudah mati
atau masih hidup!”
Bidadari
Angin Timur memandang ke arah kejauhan. Dari wajahnya dia tengah memikirkan
sesuatu. Dalam hati dia membatin.
“Perjalanan
ke Gunung Gede agaknya tidak bisa dihindari. Aku pernah ke sana bersama Wiro.
Apakah aku sebaiknya memisahkan diri. Mendahului datang ke Gunung Gede? Mungkin
aku akan menemui pemuda itu di sana dalam keadaan hidup. Bukan mustahil ini
semua akalakalan Wiro sendiri. Tapi bagaimana aku memberi alasan meninggalkan
tiga gadis ini?”
Diam-diam
Ratu Duyung memperhatikan perilaku Bidadari Angin Timur, saingannya paling
berat dalam memperebutkan cinta kasih Pendekar 212 Wiro Sableng. “Seperti ada
sesuatu yang tengah dipikirkannya. Aku menaruh duga dia tengah memikirkan satu
kesempatan untuk bisa mendahului berada di puncak Gunung Gede. Kalau betul,
bagaimana aku harus bisa mencegah. Aku bisa mendahului ke sana melalui laut.
Tapi aku tidak mau mengkhianati dua gadis lainnya ini…..”
Sementara
itu Anggini tenggelam pula dalam jalan pikirannya sendiri. “Makam ke tiga di
puncak Gunung Gede. Besar kemungkinan Wiro meninggal dan dikuburkan di sana.
Bukankah di situ tempat dia digembleng oleh gurunya? Bukankah di situ pula
tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng? Kalaupun akan menemui tipu daya untuk
ketiga kalinya, paling tidak bisa menemui nenek sakti itu untuk mendapatkan
keterangan. Jika muridnya masih hidup, siapa tahu Sinto Gendeng tahu dimana
Wiro berada…” Sambil merenung seperti itu Anggini meraba bunga kenanga yang
tempo hari diberikan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang aslinya bernama Suci,
berjuluk Dewi Bunga Mayat. Kembang itu diberikan dengan pesan agar diserahkan
pada Wiro jika kelak Anggini bertemu dengan pemuda itu. “Apakah aku akan
bertemu dengan Wiro? Lalu jika kuserahkan kembang kenanga ini padanya, apakah
yang akan terjadi? Aku tahu benar, walau dia tidak mungkin hidup bersama Wiro
namun Bunga bisa menjadi ganjalan bagi diriku>”
Setelah
menimbang-nimbang, baik Bidadari Angin Timur maupun Ratu Duyung akhirnya
memutuskan untuk tetap melakukan perjalanan bersama-sama.
Empat
gadis itu memang sudah nekad. Setelah meninggalkan Rawapening, keesokan harinya
mereka berangkat menuju Gunung Gede. Jika saja mereka menyempatkan diri singgah
di Kotaraja dan mendengar berita ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sableng, jalan
cerita akan menjadi lain.
********************
BAB 6
Tumenggung
Cokro Pambudi pagi itu tengah asyik bermain-main dengan burung Tekukur
kesayangannya ketika seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam, memasuki
pekarangan menunggangi seekor kuda coklat. Di leher kuda bergelantungan dua
buah buntalan.
Seorang
penjaga segera menemui tamu ini, menanyakanan maksud kedatangannya. Si penjaga
kemudian memberi tahu Tumenggung Cokro.
“Orang
muda itu bernama Damar Wulung. Ingin bertemu dengan Tumenggung untuk melapor
satu kejadian penting dan menyerahkan sejumlah barang berharga.”
Tumenggung
Cokro Pambudi sangkutkan sangkar burung di bawah cucuran atap. Dia perhatikan
pemuda di atas kuda coklat sesaat. “Aku tidak kenal pemuda itu. Belum pernah
melihatnya sebelumnya. Suruh dia menunggu di beranda. Aku segera menemui….”
Tak
selang berapa lama Tumenggung Cokro Pambudi menemui tetamunya di beranda
samping yang merupakan ruang tamu cukup besar, dipenuhi jambangan-jambangan
berbagai ukuran.
Pemuda
berpakaian kuning itu segera bangkit berdiri begitu melihat sang Tumenggung
muncul. Dia membungkuk memberi hormat lalu memperkenalkan diri.
“Saya
Damar Wulung, berasal dari Desa Karangmojo. Maafkan kalau kedatangan saya
menggganggu ketentraman Tumenggung di pagi hari yang indah segar ini…..”
Tumenggung
Cokro Pambudi tersenyum. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan seorang pemuda
tampan yang bicara halus budi bahasa dan hormat seperti pemuda yang ada di
hadapannya ini. Dia melirik pada dua buntalan yang dibawa si pemuda dan
diletakkan di lantai di dekat meja rendah.
Setelah
mempersilahkan tamunya duduk Tumenggung Cokro mengambil tempat di lantai di
belakang meja rendah, berhadap-hadapan dengan si pemuda.
“Anak
muda bernama Damar Wulung, jelaskan maksud kedatanganmu…..”
“Saya
tahu Tumenggung tidak punya banyak waktu menerima saya. Karena itu saya
langsung saja pada pokok persoalan. Secara tidak sengaja saya memergoki
serombongan perampok. Ternyata mereka adalah para penjahat dari Alas Roban, di
bawah pimpinan Warok Mata Api…..”
Terkejutlah
Tumenggung Cokro Pambudi mendengar penuturan Damar Wulung. ”Teruskan ceritamu,
anak muda.”
“Mereka
berjumlah lima orang, termasuk Warok Mata Api. Agaknya mereka baru saja
melakukan penjarahan. Mereka tengah hendak membagi-bagi isi buntalan ketika
saya memergoki.”
Tumenggung
Cokro Pambudi perhatikan dua buntalan di samping Damar Wulung. “Kau tahu apa
isi buntalan itu?”
Damar
Wulung pindahkan dua buah buntalan ke atas meja rendah. Lalu satu persatu
buntalan itu dibukanya. Terkejutlah mata Tumenggung Cokro Pambudi ketika
melihat apa isi dua buntalan itu. Dua buah peti kayu jati coklat kehitaman. Pada
penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga
bergelung.
“Ini
peti-peti milik Kerajaan!” kata sang Tumenggung. “Apa isinya…” Tumenggung
menjawab sendiri dengan langsung membuka penutup dua buah peti. “Tidak salah!
Ini adalah harta dan uang emas milik Kerajaan yang dikabarkan lenyap dijarah
perampok beberapa hari lalu. Menurut keterangan para Abdi Dalem, barang yang
dirampok berjumlah lima peti. Kau menemukan hanya dua peti…?”
“Benar
Tumenggung.” Jawab Damar Wulung.
Pandangan
mata sang Tumenggung yang tak berkesip membuat si pemuda jadi tidak enak. Dia
dapat membaca apa yang ada dalam hati atau pikiran pejabat Kerajaan itu. Maka
dengan suara tenang dan halus dia berkata.
“Kalau
sekiranya saya berniat jahat, perlu apa susah-susah mengantarkan dua buah peti
ini? Lebih baik saya ambil untuk kepentingan sendiri…”
“Damar
Wulung, jangan kau menduga salah. Ketika kau memergoki Warok Mata Api dan
kawan-kawannya, mungkin saja tiga peti lainnya sudah disembunyikan di tempat
lain. Namun sebenarnya ada sesuatu yang sangat berharga ikut lenyap digasak
perampok Alas Roban itu….” Untuk memastikan ucapannya Tumenggung Cokro Pambudi
menuangkan seluruh isi dua peti ke atas meja. Matanya memperhatikan harta
perhiasan dan uang emas yang bergeletakan di atas meja. Diacak-acaknya beberapa
kali. Tapi benda yang dicarinya tidak ada.
“Tidak ada…”
kata Tumenggung Cokro dengan suara perlahan. Air mukanya tampak masgul.
Damar
Wulung masukkan tangan kanannya ke balik baju kuning. Ketika dikeluarkan
membersit cahaya kuning dari sebilah keris terbuat dari emas.
“Senjata
inikah yang Tumenggung maksudkan?” tanya Damar Wulung seraya meletakkan keris
emas itu di atas meja rendah.
Untuk
kesekian kalinya sepasang mata sang Tumenggung mendelik besar. Keris emas di
atas meja segera disambarnya. Dia agak tergagau ketika merasakan ada hawa aneh
menjalar masuk ke dalam tubuhnya lewat dua lengan. Selama ini dia hanya
mendengar, tidak pernah melihat langsung keberadaan keris emas itu. Setelah
menenangkan kejutnya, dengan cepat Tumenggung Cokro meneliti keris emas itu.
Mula-mula ditelitinya sarung senjata yang terbuat dari emas. Setelah
dibolak-balik beberapa kali Tumenggung Cokro Pambudi lalu mencabut senjata itu.
Dengan dada berdebar diperhatikannya keris telanjang itu. “Yakin, aku yakin!”
kata Tumenggung Cokro sambil menyarungkan keris itu kembali lalu sesaat meletakkan
di atas kepalanya.
“Benar
Damar Wulung! Benda ini yang kumaksudkan. Ini adalah Keris Kiai Naga Kopek!
Gusti Allah! Senjata ini jauh lebih berharga dari semua barang yang dirampok!
Aku akan menghadap Sri Baginda di Keraton, membawa keris ini dan dua peti itu.
Kau harus ikut bersamaku Damar. Tapi tunggu dulu. Aku ingin jelas ceritanya.
Katamu kau bertemu, memergoki Warok Mata Api. Penjahat itu tidak menyerahkan
cuma-cuma begitu saja dua peti dan keris ini padamu, bukan?”
Sepasang
mata sang Tumenggung memperhatikan sosok pemuda di hadapannya seolah mengukur
kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh kekar pemuda bernama Damar Wulung ini.
Damar
Wulung tersenyum. “Kami sempat bentrokan. Saya berusaha menghindari pertumpahan
darah. Saya coba mengingatkan kepala rampok itu agar meninggalkan dunia hitam,
kembali ke jalan yang benar. Tapi dia mana memandang sebelah mata. Dia menyuruh
empat anak buahnya mengeroyok saya…”
“Terjadi
perkelahian empat lawan satu. Benar…?”
”Memang
begitu Tumenggung. Saya beruntung bisa mengalahkan mereka…”
“Ah… Lalu
Warok Mata Api?”
“Seperti
empat anak buahnya, saya terpaksa menyelesaikan dirinya…”
“Hebat!
Luar Biasa!Selama ini tidak satu orang pandaipun sanggup menangkap kepala
rampok itu hidup atau mati! Pasukan Kerajaan telah berkali-kali menyerbu Alas
Roban kawasan selatan sarangnya Warok Mata Api. Mereka selalu kembali dengan
membawa korban tidak terhitung! Kini kau seorang diri berhasil menewaskannya!
Betul begitu Damar Wulung?!”
“Tumenggung,
apakah saya bersalah membunuh lima orang itu walau mereka adalah para penjahat,
rampok yang selama ini membuat onar, menyengsarakan rakyat menyusahkan
Kerajaan?”
Tumenggung
Cokro tertawa lebar mendengar kata-kata Damar Wulung.
“Anak
muda, baru sekali ini aku bertemu orang yang hatinya sangat polos sepertimu.
Ah…” Sang Tumenggung geleng-gelengkan kepala. Matanya tidak lepas-lepas
memandangi wajah tampan si pemuda. Dia teringat Milani, puteri satu-satunya.
“Sayang anak itu sudah mempunyai pilihan hati. Kalau tidak aku akan sangat
berbahagia bila dia mendapatakn jodoh seperti pemuda ini. Pagi tadi dia sudah
dijemput untuk latihan menunggang kuda. Seandainya saat ini dia ada di sini dan
bertemu degann Damar Wulung…”
“Damar
Wulung, kau telah berjasa besar pada Raja dan Kerajaan. Apakah kau menyadari
hal itu?”
“Saya…
Saya tidak merasa berjasa. Malah…”
“Kau
memilih datang padaku. Mengapa tidak menghadap Patih Kerajaan atau menemui
salah seorang Pangeran. Atau langsung menghadap Sri Baginda… Aku merasa
mendapat kehormatan besar…”
“Saya
hanya pemuda desa . Mana mungkin berani berlancang diri menemui Patih Kerajaan,
apalagi menghadap Sri Baginda. Saya sudah lama mendengar tentang pribadi
Tumenggung yang sangat dekat dengan rakyat. Itu sebabnya saya memilih menemui
Tumenggung. Jika tindakan saya ini salah atau tidak berkenan di hati
Tumenggung. Mohon saya diberi tahu dan minta maaf. Pagi ini saya sudah
menghabiskan waktu Tumenggung…”
Tumenggung
Cokro tertawa lebar. “Damar Wulung, kau bukan saja seorang pemuda gagah
berilmu. Tapi juga tinggi budi rendah hati!” Tumenggung Cokro tepuk-tepuk bahu
pemuda di hadapannya itu. Sambil menepuk dia kerahkan kekuatan tenaga dalam.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu, akan terhenyak miring tubuhnya oleh tepukan
yang kelihatannya enteng- enteng saja itu. Tetapi yang terjadi malah
mengejutkan sang Tumenggung. Tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming. Dia
merasa tangannya menepuk tumpukan kapas yang sangat lembut. Semakin sukalah
Tumenggnung Cokro Pambudi pada pemuda ini. Tidak terasa, meluncur saja
ucapannya.
“Aku
mempunyai seorang puteri. Kalau saja dia ada di sini, aku senang kau berkenalan
dengannya. Pagi-pagi sekali tadi dia…”
“Tumenggung,
rasanya saya sudah cukup lama mengganggu. Saya mohon diri…”
Tumenggung
Cokro terkejut. “Apa? Kau harus ikut aku, Damar!”
“Ikut
Tumenggung? Ikut kemana?” Damar Wulung bertanya heran.
“Astaga!
Kau masih belum sadar kalau sudah berbuat jasa besar pada Kerajaan. Aku akan
mengajakmu menghadap Sri Baginda di Keraton. Baginda pasti sangat gembira. Dan
kau tahu Damar. Pemuda sepertimu sangat besar arti dan gunamya bagi Kerajaan.
Aku yakin Sri Baginda akan memberikan satu jabatan tinggi bagimu. Bungkus
kembali peti itu Damar. Kita berangkat sekarang juga. Aku akan berganti pakaian
dulu…”
Tumenggung
Cokro masuk ke dalam dengan membawa Keris Kiai Naga Kopek. Dua peti
ditinggalkannya di atas meja. Ketika tak lama kemudian dia kembali ke beranda
samping, dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang emas sudah terbungkus
rapi dalam buntalan kain. Namun pemuda bernama Damar Wulung tak ada lagi di
tempat itu.
“Damar….?”
Tumenggung Cokro memanggil.
“Damar
Wulung?!” Sang Tumenggung berteriak lebih keras. Lalu lari ke halaman depan.
Damar Wulung lenyap.
“Aneh,
manusia aneh! Berbuat jasa besar begitu rupa. Lenyap menghilang! Sepertinya
tidak menginginkan balasan apa-apa! Padahal ratusan pemuda bisa nekad berbuat
apa saja agar bisa mendapat pekerjaan terhormat di Keraton…” Tumenggung Cokro
usap dagunya lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia kembali ke beranda
samping, lalu bergegas ke belakang menemui pembantu yang mengurus kudanya. Pagi
itu juga dia segera menghadap Raja di Keraton. Seperti yang telah diduganya,
Raja tidak kecewa dengan lenyapnya sebagian besar harta perhiasan dan uang.
Yang penting Keris Kiai Naga Kopek bisa diemukan kembali.
Dengan
mata bercahaya dan wajah berseri-seri Raja mengeluarkan Keris Kiai Naga Kopek
dari dalam peti.
“Sungguh
Gusti Allah Maha Besar. Ada saja uluran tanganNya melalui seorang pemuda
berhati jujur, membawa pusaka Kerajaan ini kembali ke Keraton…” Sri Baginda
cium sarung keris emas itu lalu perlahan-lahan ditariknya senjata itu keluar
dari sarungnya. Ketika dia hendak mencium keris emas telanjang itu, mendadak
gerakannya tertahan. Sepasang matanya membesar, meneliti ukiran di badan keris
lalu kelihatan tubuh Sri Baginda lemas, menatap membelalak tapi sayu pada
Tumengung Cokro Pambudi.
Heran
melihat sikap dan raut wajah Sri Baginda, Tumenggung Cokro Pambudi langsung
bertanya.
“Sri
Baginda, agaknya ada sesuatu?”
“Keris
ini Tumenggung… Keris ini….”
“Ya, ada
apa dengan keris itu Sri Baginda?” Tumenggung Cokro beringsut maju mendekati
Raja.
“Keris
ini bukan Keris Kiai Naga Kopek. Keris ini palsu! Hanya sarungnya yang benar
asli… Ampun Gusti Allah!”
“Tobat
biyung!” ucap Tumenggung Cokro begitu mendengar kata-kata Raja.
Pagi itu
juga Sri Baginda memerintahkan Tumenggung Cokro agar segera berangkat ke Desa
Karangmojo. Damar Wulung sempat memberi tahu bahwa dia berasal dari desa
tersebut. Tumenggung Cokro membawa sejumlah perajurit dan dua orang
berkepandaian tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Momok Dempet Tunggul
Gono. Saat itu tangan kiri Tunggu Gono yang buntung sebatas siku telah
disambung dengan selongsong besi yang ujungnya lancip berkeluk seperti ganco.
Begitu
sampai di Desa Karangmojo, Kepala Desa dipanggil.
“Di desa
sini tidak ada orang bernama Damar Wulung. Apalagi memiliki kepandaian silat
hebat bisa mengalahkan perampok Alas Roban…” menerangkan Kepala Desa
Karangmojo.
“Ada atau
tidak desa ini harus kami geledah!” kata Tumengtung Cokro. “Jumlah kami dari
Kotaraja tidak banyak. Harap perintahkan para petugas keamanan desa dan rakyat
ikut membantu!”
Semua
rumah penduduk di Desa Karangmojo digeledah satu demi satu. Karena desa ini
cukup luas, maka menghhabiskan banyak waktu dan melelahkan untuk
menggeledahnya. Dan hasilnyapun nihil besar. Damar Wulung tidak diketemukan batang
hidungnya!
Dalam
perjalanan kembali ke Kotaraja, Tumenggung Cokro Pambudi tidak habishabisnya
berpikir. “Agaknya aku berhadapan dengan bangsa penjahat kakap, cerdik dan
berkepandaian tinggi. Semula dengan membawa harta, uang dan keris itu kepada Raja,
aku berharap akan mendapat pujian. Syukur-syukur bisa diangkat jadi Adipati.
Ternyata kini aku yang menanggung apesnya! Edan biyung! Apa yang harus aku
katakan pada Sri Baginda? Tobat biyung!”
Selagi
dalam keadaan pikiran kacau serta hati gemas begitu rupa, sesampainya di
Kotaraja rombongan segera menuju Keraton untuk memberikan laporan. Ketika
sama-sama menambatkan kudanya, Momok Dempet Tunggul Gono berbisik pada sang
Tumenggung.
“Aku
menaruh curiga?”
“Menaruh
curiga? Maksud sampean apa?” tanya Tumenggung Cokro.
“Jangan-jangan
semua ini hanya sandiwaramu saja. Siapa tahu kau berada di belakang layar. Aku
mendengar peti emas itu sebenarnya berjumlah lima buah. Yang kau serahkan pada
Raja
hanya dua. Yang tiga pasti kau tilep. Lalu Keris Kiai Naga Kopek yang asli kau
ambil, menggantikannya dengan keris rongsokan dari kuningan disepuh emas…”
“Makhluk
jahanam bermulut busuk!” teriak Tuemnggung Cokro marah sekali. Tangan kanannya
bergerak laksana kilat hendak menampar. Tapi tangan kiri selongsong besi lancip
Tunggul Gono cepat membuat gerakan menangkis, melintang di depan mukanya.
Tumenggung Cokro menggeram. Dia berusaha menindih amarah dan terpaksa menarik
tangananya.
“Lain
kali jika kau berani berucap kotor, walau cuma sedikit saja, aku bersumpah akan
membunuhmu!” kata sang Tumenggung pula.
Momok
Dempet Tunggul Gono tertawa lebar. “Memang itu harus kau lakukan. Untuk
menghilangkan jejak. Tapi apakah kau sanggup Tumenggung?”
“Akan aku
buktikan. kita berdua akan menghadap Raja. Silahkan kau umbar mulut kejimu di
hadapan Sri Baginda. Kalau perlu aku akan menghabisimu di depan beliau!” Habis
berkata begitu Tumengung Cokro mendahului masuk ke dalam Keraton.
********************
BAB 7
Kembali
pada peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Dalam
keadaan lumpuh tangan dan kaki Pendekar 212 Wiro Sableng dogotong oleh dua
orang perajurit. Di sebelah belakang mengikuti Tunggul Gono yang tangan kirinya
hancur sebatas siku. Dengan menotok dua jalan darah di sisi kiri tangan yang
hancur itu tidak sampai mengucurkan darah. Namun rasa sakit seperti ada puluhan
paku mencucuk membuat Momok Dempet ini kelihatan mengerenyit kesakian berulang
kali. Tampang yang kesakitan itu juga tampak garang beringas. Amarahnya hampir
tidak terkendali. Saat itu ingin sekali Tunggul Gono menendang hancur kepala
Pendekar 212 dengan kakinya yang berbentuk kuda. Pemuda inilah yang menyebabkan
dia terpaksa membunuh saudaranya. Lalu pemuda ini pula yang telah menghancurkan
tangan kirinya sampai ke siku, membuat dia cacat seumur hidup.
Di
samping rasa dendam terhadap Wiro, Tunggul Gono juga marah pada Hantu Muka
Licin Bukit Tidar. Dia sudah lama mengincar Kinasih. Kini kakek satu itu
memisahkan diri, membawa perempuan cantik itu entah kemana.
Tunggul
Gono berdiri di hadapan sosok Wiro yang terbujur di lantai kerangkeng besi.
Kaki kanannya diangkat, dipisahkan ke kepala Wiro. Tenggorokannya keluarkan
suara menggeram pendek. Lalu mulutnya berucap.
“Pendekar
212! Saat ini sangat mudah bagiku menghabisi nyawamu. Satu kali kakiku menginjak
remuk amblas kepalamu!”
Murid
Sinto Gendeng menyeringai. “Lalu kenapa tidak kau lakukan?!” Wiro menantang.
Tunggul
Gono menggeleng. “Kematian secara cepat terlalu enak bagimu. Aku lebih suka
menyiksamu lebih dulu. Kalau perlu tidak usah membunuhmu, tapi membuatmu cacat
dan gila seumur-umur! Ingat ucapan Hantu Muka Licin Bukit Tidar? Kakek sakti
yang melumpuhkanmu dengan puluhan jarumnya? Malam nanti aku akan menyuruh orang
menyiksa anggota rahasiamu dengan sengatan puluhan kelabang beracun! Kau boleh
hidup, tapi sebagai laki-laki kau tidak akan punya daya apa-apa lagi. Di mata
perempuan anjing buduk lebih berharga dari pada dirimu! Ha… ha… ha!”
“Ha… ha…
ha!” Wiro ikutan tertawa membuat Tunggul Gono hentikan tawanya dan delikkan
mata.
“Jahanam!
Apa yang kau tertawakan?!” Tunggul Gono membentak.
“Kalau
aku jadi anjing buduk, aku akan menggigit bukan cuma kakimu. Tapi juga anggota
rahasiamu! Seperti aku kau juga tidak akan ada artinya bagi perempuan! Lalu
kita bisa gila barengan! Ha… ha… ha!”
“Keparat!”
Maki Tunggul Gono lalu tendang pinggul Pendekar 212 hingga mencelat ke sudut
kerangkeng. Sambil memaki panjang pendek Tunggul Gono kelur dari tempat itu.
Sebelum pergi dia kunci pintu kerangkeng dengan dua buah gembok besar. Kuncinya
lalu digantung pada tembok enam langkah di depan kerangkeng. Sebenarnya dia
ingin menyiksa Wiro dengan beberapa tendangan lagi, namun keadaan luka di
tangan kirinya saat itu membuat dia lebih mementingkan mencari seseorang untuk
minta pengobatan. Selain itu dia harus memikirkan akan disambugnya dengan apa
tangan kirinya yang buntung itu. Tangan palsu dari kayu, atau besi?
Ketika
Tunggul Gono mengikuti perajurit yang menggotong Wiro menuju kerangkeng besi,
Malaikat Alis Biru pergi menemui Patih Kerajaan di satu ruangan dalam Keraton.
Dia melaporkan perihal ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sanleng yang dituduh
sebagai pembunuh juru ukir Raden Mas Sura Kalimarta.
“Patih
Kerajaan,” kata Malaikat Alis Biru menyudahi laporannya. “Menyimak segala
perbuatannya di masa lalu serta mengetahui dia adalah murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede, saya menaruh kawatir kalau-kalau kita telah kesalahan tangan.”
“Maksudmu?”
“Saya
meragukan bahwa Wiro Sableng yang membunuh juru ukir itu lalu berselingkuh
dengan Kinasih, istri almarhum,” jawab Malaikat Alis Biru pula. “Kalau kita
sampai kesalahan tangan Sinto Gendeng pasti tidak akan tinggal diam. Lalu para
tokoh rimba persilatan pasti akan bersikap tidak enak pula terhadap Kerajaan…”
Patih
Selo Kaliangan merenung sejenak. “Ucapanmu ada benarnya…” kata sang Patih
kemudian. “Aku tugaskan padamu menemui pemuda itu malam nanti. Jika kau merasa
pasti dia tidak bersalah, aku memberi wewenang padamu untuk melepaskannya.
Namun setelah dilepas, ternyata memang dia yang melakukan pembunuhan itu,
bisakah kau memberikan satu jaminan bahwa kau akan mampu menangkapnya kembali?”
Malaikat
Alis Biru. “Saya menjadikan diri saya sebagai jaminanya Patih. Saya bersedia
dihukum berat kalau apa yang saya lakukan ternyata keliru.”
“Malaikat
Alis Biru, kalau aku boleh bertanya mengapa kau seperti membela Pendekar 212?”
bertanya Patih Kerajaan.
“Saya
tidak membela dirinya Patih. Bagi saya lebih baik kelolosan terhukum yang
bersalah dari pada memenjarakan orang yang sebenarnya tidak bersalah…”
Patih
menganguk. “Jalan pemikiran yang bagus,” kata Patih Selo Kaliangan. “Tapi
agaknya kau akan bentrokan kepentingan dengan Momok Dempet Tunggul Gono…”
“Saya
tidak menyalahkan dirinya, Patih. Tunggul Gono punya segudang dendam kesumat
terhadap Pendekar 212. Kematian saudaranya. Tangan kirinya yang dibikin
hancur…”
“Baiklah
Malaikat Alis Biru. Aku akan menemui Raja memberitahu keputusan kita ini.
Semoga Raja dapat memahami. Aku tidak melihat orang tua berjuluk Hantu Muka
Licin Bukit Tidar. Bukankah dia ikut serta dalam rombonganmu?”
“Di
tengah jalan dia memisahkan diri. Dia memboyong Kinasih, istri mendiang juru
ukir Keraton.”
Berubahlah
paras Patih Selo Kaliangan. “Malaikat Alis Biru, perintahkan satu pasukan untuk
mencari kakek itu. Cegah dia melakukan perbuatan keji itu. Aku akan memberitahu
Raja. Sudah sejak lama kita orang-orang Keraton tidak suka dengan segala
perbuatannya. Dia pernah diperingatkan, tapi masih saja berlaku tidak terpuji!”
“Saya
akan menyiapkan pasukan. Atas izinmu biar saya minta Tunggul Gono untuk
memimpin pasukan itu…”
“Ya, Momok
Dempet itu memang harus banyak diberi pekerjaan. Dia juga salah satu orang yang
harus kita awasi terus menerus…”
***********************
Sesaat
setelah Tunggul Gono dan dua perajurit meninggalkan tempat itu, Pendekar 212
berusaha mengetahui berada dimana dia saat itu. Ternyata dia disekap dalam
sebuah ruangan. Bagian belakang merupakan tembok batu yang sangat kokoh. Di
kiri kanan serta bagian depan ruangan itu dibatasi dengan jalur-jalur besi
sebesar betis. Ruangan itu tidak beda dengan sebuah kerangkeng tempat mengandangkan
binatang buas.
Wiro coba
kerahkan tenaga dalam. Tidak berhasil. Coba gerakkan kaki dan tangan. Juga
tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata dan menggerakkan leher atau
kepalanya sedikit. Selagi dia berusaha menarik nafas dalam sambil mengatur
jalan darah, tiba-tiba hidungnya mencium satu bau yang amat tajam. Dia memutar
mata, menggerakkan kepala. Tapi tak banyak yang bisa dilihatnya. Ditariknya
nafas dalam kembali, lalu lapat-lapat didengarnya ada suara seperti orang
mengorok jauh di sudut kiri, agak sebelah depan. Kalau saja dia bisa menaikkan
kepala sedikit. Kemudian terdengar suara orang batuk-batuk.
“Tidak
salah! Suara batuk itu aku kenali betul. Lalu bau pesing yang santar itu. Hanya
ada dua makhluk di dunia yang bau tubuhnya memancarkan bau pesing. Guruku Sinto
Gendeng dan Setan Ngompol. Yang tadi batuk adalah suara laki-laki. Jadi…” Wiro
membatin. Dia kumpulkan tenaga dan berteriak.
“Setan
Ngompol! Kau ada di sini?!”
Di dalam
sebuah kerangkeng besi, terletak sebelah kiri depan kerangkeng tempat Wiro
disekap, suara batuk serta merta lenyap. Satu sosok tua kerempeng yang sejak
tadi terbujur di lantai mendadak sontak bangkit berdiri. Dari bawah perutnya
memancar air kencing karena kaget oleh teriakan Wiro tadi. Sambil pegangi
perutnya, orang tua ini terhuyung-huyung bangkit berdiri. Daun telinganya
lebar. Yang sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik. Daun telinga yang
seharusnya menghadap ke depan justru menghadap ke belakang.
Kakek ini
memiliki sepasang mata jereng. Sambil memegang daun telinga kirinya, dua mata
jereng memandang berputar mencari-cari. Lalu dia berseru.
“Siapa
tadi berteriak menyebut nama Setan Ngompol?!”
“Aku!
Wiro Sableng! Jawab cepat! Kau Setan Ngompol atau bukan?!”
Kakek
dalam kerangkeng besi melangkah ke depan tapi gerakannya hanya sebatas dua
langkah. Sesuau yang menjepit di selangkangannya membuat dia tak bisa maju
lebih jauh. Walaupun demikian sudah cukup baginya untuk dapat melihat ke dalam
kerangkeng dimana Wiro berada. Sebaliknya karena kini kakek itu dalam keadaan
tegak berdiri, walau dia sendiri masih terbaring namun Wiro sudah dapat melihat
bagian kepala orang.
“Astaga
naga!” si kakek dalam kerangkeng yang memang Setan Ngompol adanya berseru
kaget. Kencingnya langsung terpancar. “Wiro! Dedemit dari mana yag membawamu ke
tempat celaka ini?!” teriak Setan Ngompol.
“Nanti
aku ceritakan. Kau duluan yang cerita. Tempat apa ini, kira-kira dimana
letaknya. Lalu bagaimana kau bisa bertahta di sini…”
“Sialan!
Kau menyebut aku bertahta! Nasibku dan nasibmu tidak beda! Kita dipenjarakan
orang di ruang bawah tanah ini. Letaknya di ujung satu lorong, masihdi kawasan
Keraton. Tapi di
bawah
tanah. Kau tahu tempat apa ini? Ini adalah tempat manusia-manusia malang celaka
menunggu
hukuman mati!”
Serrr!
Habis menyebut mati begitu si kakek kembali mengucur air kencingnya.
“Kalau
memang mati ya mau dibilang apa!” kata Wiro. Tangan kanannya digerakkan hendak
menggaruk. Tapi tidak bisa. “Lekas kau ceritakan riwayatmu sampai minggat ke
sini. Bukankah kita sama-sama melesat mental dari Latanahsilam, negeri seribu
dua ratus tahun lalu?”
“Ya… ya
aku sadari hal itu kemudian. Celakanya aku mental dan melayang jatuh di sumur
tempat sumber air mandi Raja! Walau semua itu terjadi secara tidak sengaja,
tapi para penguasa Istana mana mau tahu. Lagi pula siapa percaya kalau aku
katakan aku barusan saja terpental dari negeri jahanam Latanahsilam. Raja
marah, aku ditangkap. Kabarnya air sumur yang sudah tercemar air kencingku itu
bukan saja sempat dipakai bersiram oleh Sri Baginda tapi juga sempat dipakai
berkumur-kumur. Asyik tidak?!”
Pendekar
212 masih bisa tertawa gelak-gelak mendengar cerita Setan Ngompol itu. Lalu
Wiro berkata.
“Kau
tidak bersalah, semua terjadi bukan maumu. Kulihat kau dalam keadaan bebas.
Mengapa kau tidak berusaha kabur melarikan diri?”
“Apanya
yang bebas! Dari tempatmu terbujur kau mungkin sulit melihat. Tapi coba kau
angkat kepalamu sedikit, lihat kemari! Kau tahu mengapa aku tidak bisa kabur!
Gila betul!”
Pendekar
212 dengan susah payah berhasil mengangkat kepalanya sedikit. Ketika melihat
sosok Setan Ngompol terkejutlah pendekar ini. Tangan dan dua kaki si kakek
memang bebas. Tapi di bagian bawah perutnya, dari balik celana bututnya yang
basah kuyup oleh air kencing kelihatan menggelantung sebuah rantai besi. Bagian
lain dari ujung rantai dilibatkan ke jalur besi di dinding kiri sementara
ujungnya tenggelam masuk ke lantai batu.
“Anggota
rahasiaku dipatok jepian besi yang ada gandulan rantai. Aduh mak, sakitnya
tidak seberapa. Tapi gatalnya, sulit aku menggaruk! Masih untung japitannya
tidak terlalu kuat. Jadi aku masih bisa ngompol. Kalau sampai kencingku mandek
mungkin aku sudah mampus tiga hari yang lalu! Kau saksikan dua tangan dan
kakiku memang bebas. Aku bisa saja membobol jalur besi atau menghancurkan
dinding batu. Tapi kalau aku kabur berarti putus anuku ini! Sial dangkalan!” SI
kakek memberi keterangan lalu memaki panjang penden. “Wiro, sekarang giliranmu.
Ceritakan apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan lumpuh begitu
rupa. Kesalahan apa yang telah kau lakukan hingga disekap di tempat ini?!”
“Aku
dituduh membunuh juru ukir Keraton dan berbuat mesum dengan istrinya…” Wiro
menjawab lalu secara singkat menceritakan apa yang terjadi.
Setan
Ngompol tertawa cekikikan.
“Kakek
geblek, kenapa kau tertawa?!”
Setan
Ngompol duduk menjelepok di lantai kerangkeng. Sambil pegangi perutnya dia
bertanya. “Istri juru ukir itu, apakah dia masih muda dan cantik jelita?”
“Eh,
mengapa kau bertanya begitu? Memang dia masih muda, parasnya cantik ayu…”
Setan
Ngompol menyeringai. Setelah batuk-batuk beberapa kali dia lantas berkata.
“Soal tuduhan kau membunuh juru ukir itu aku memang tidak percaya. Tapi soal
kau beranu-anu dengan istrinya yang masih muda dan cantik, bisa saja memang kau
lakukan…” Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak.
“Tua
bangka setan! Mulutmu tidak karuan…”
“Walah,
mumpung masih bisa bicara dan bergurau mengapa tidak dilakukan? Besok kalau
sudah mati, setanpun tidak mau kita ajak bicara apalagi bercanda!” jawab Setan
Ngompol. “Kau tahu, hukuman apa yang hendak dijatuhkan atas diriku?”
“Katamu
ini sekapan tempat menunggu hukuman mati!”
“Mereka
hendak melakukan sesuatu yang lebih buruk dari kematian!” jawab Setan Ngompol
pula. “Mereka hendak mengebiri barang antikku!” Lalu serr, si kakek terkencing.
Wiro
terkejut lalu ingat akan ucapan Tunggul Gono. “Nasibku tidak lebih bagus. Anuku
akan diantuk dengan puluhan kelabang beracun!”
Kembali
Setan Nghompol pancarkan air kencing. “Nasib… nasib. Aku mengira bisa kembali
ke Tanah Jawa bakal mendapat kesenangan. Yang dapat malah malapetaka begini rupa.
Mendingan aku tetap saja berada di Negeri Latanahsilam!”
“Kapan
mereka mau menggorok burungmu Kek?” tanya Wiro.
“Besok
pagi!” jawab Setan Ngompol. “Kau sendiri kapan mau dikawini dengan kelabang
beracun?” bertanya si kakek.
“Enak
saja kau mengatakan aku mau dikawini!” Wiro mendumal. Tapi dia menjawab juga.
“Rencananya nanti malam. Yang punya niat tadinya adalah seorang kakek keparat
berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Tapi yang melakukan Momok Dempet Tunggul
Gono…”
”Agaknya
kita hanya menunggu nasib. Kecuali jika ada yang menolong…”
“Harapan
kita tipis Kek…” kata Pendekar 212 pula. Dia pejamkan mata, berusaha
menenangkan pikiran sambil mencari kala bagaimana bisa meloloskan diri. “Aku
memiliki ilmu Sepasang Pedang Dewa yang kudapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh,”
membatin Pendekar
212.
“Tapi percuma saja. Sekalipun aku bisa menjebol dinding, atau memutus
jalur-jalur besi kerangkeng, aku tetap saja tak bisa melarikan diri. Pertama
sekali aku harus bisa membebaskan diri dari kelumpuhan ini. Bagaimana aku bisa
mencabuti dua puluh satu jarum celaka yang menancap di sekujur badanku ini?
Siapa yang bakal menolong. Tuhan, apa Kau masih menaruh kasih menolong diriku?
Hanya Engkau satu-satunya tempat aku minta tolong. Di tempat ini memang ada
Malaikat. Tapi dia bukan MalaikatMu. Dia Malaikat Alis Biru, tokoh silat Istana
yang salah kaprah!”
********************
BAB 8
Dua mata
Si Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng yang sejak tadi berada dalam
keadaan terpejam tiba-tiba dibuka nyalang. Di ujung lorong terdengar
langkah-langkah kaki mendatangi.
“Jahanam
orang-orang Istana!” kata Setan Ngompol dalam hati. “Mereka pasti hendak
mengerjai Wiro. Aku harus melakukan sesuatu.” Kakek ini menunggu sampai
akhirnya dia melihat tiga orang muncul dan berhenti di depan kerangkeng besi
tempat murid Sinto Gendeng disekap.
Yang
tegak paling depan adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki
sepasang alis berwarna biru. “Hemmm… ini pasti begundal berjuluk Malaikat Alis
Biru yang diceritakan Wiro,” membatin Setan Ngompol. Diam-diam kakek ini
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, menyiapkan pukulan Setan Ngompol
Mengencingi Pusara. Begitu Wiro hendak dicelakai dia akan hantamkan pukulan
sakti itu ke arah Malaikat Alis Biru.
Malaikat
Alis Biru memberi isyarat pada dua orang perajurit berbadan tegap yang ikut
bersamanya. Salah seorang dari mereka mengambil sebuah kunci yang tergantung di
tembok di depan kerangkeng, lalu membuka dua gembok besar pengunci pintu
kerangkeng.
“Pendekar
212! Aku datang untuk membebaskanmu!”
Murid
Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar ucapan Malaikat Alis Biru. Dia sama
sekali tidak mengira. Setan Ngompol tak kalah kejutnya. Kakek ini buru-buru
menekap bagian bawah perutnya agar tidak kucurkan air kencing. Dua matanya
tetap mengawasi karena dia merasa ragu. Apa benar Malaikat Alis Biru hendak
membebaskan Wiro. Mungkin hanya satu jebakan saja.
Pintu
besi dibuka. Malaikat Alis Biru masuk ke dalam. Dua perajurit mengikuti.
“Kau
hendak berbuat apa?!” Wiro bertanya.
“Seperti
aku katakan tadi, aku datang untuk membebaskanmu. Patih dan Sri Baginda
menganggap kau bukan pembunuh juru ukir Keraton bernama Sura Kalimarta. Karena
itu kau dibebaskan. Aku menjamin kebebasanmu. Karena itu jika kelak terbukti
memang kau yang membunuh sang juru ukir, kau harus menyerahkan diri untuk
diadili!”
“Ini buka
jebakan atau tipuan?” tanya Pendekar 212.
“Tak ada
yang menjebak. Tak ada yang menipu!”
Di dalam
kerangkengnya Setan Ngompol merasa lega. Tenaga dalam di tangan kanannya
perlahan-lahan dikendurkan.
“Aku
berterima kasih padamu, Patih Kerajaan dan Raja. Tetapi kurasa tidak ada
gunanya aku mendapat kebebasan. Aku tidak bisa berjalan meninggalkan tempat
ini. Tangan dan kakiku lumpuh akibat tusukan dua puluh satu jarum Hantu Muka
Licin Bukit Tidar!”
“Soal
kelumpuhanmu aku tidak bisa menolong. Aku tidak bisa mencabut jarum-jarum itu
tanpa mencelakai. Aku tahu betul, kalau jarum kucabut tanpa mengerti bagaimana
caranya, keadaanmu bukannya tertolong, malah selain lumpuh kulit dan dagingmu
bisa membusuk!”
“Jarum
jahanam!” rutuk Pendekar 212.
“Aku akan
menyuruh dua perajurit ini membawamu keluar. Kau boleh minta diantar kemana
saja. Hanya itu yang bisa aku lakukan!” kata Malaikat Alis Biru pula.
Wiro diam
sejenak. Lalu dia ingat Setan Ngompol. “Aku tidak sudi meningggalkan tempat
celaka ini. Kecuali jika temanku kakek bernama Setan Ngompol di kerangkeng sana
juga ikut dibebaskan!”
“Ah… jadi
kakek jereng kuping terbalik bau pesing itu adalah kawanmu! Sayang aku tidak
diberi wewenang untuk melepaskannya. Apa yang telah dilakukannya bukan
kesalahan kecil. Dia mengencingi sumur sumber air mandi Sri Baginda.”
“Dia
melakukan itu tidak sengaja. Karena kecebur! Dengar, aku tidak akan
meninggalkan tempat ini kalau dia tidak ikut serta!”
“Anak
muda, mengapa berlaku tolol? Jika kau sudah bebas di luaran kau bisa mencari
jalan menolong kawanmu itu…”
“Benar
Wiro!” Berseru Si Setan Ngompol dari dalam kerangkengnya. “Jangan pikirkan aku.
Selamatkan dirimu. Minta dua perajurit itu mengantarkanmu ke Imoyudan. Cari
seorang bernama Mangiri. Dia tahu seorang pandai yang bisa mencabut dua puluh
satu jarum di tubuhmu!”
“Anak
muda, kau dengar ucapan sahabatmu itu. Tunggu apa lagi? Dua perajurit itu akan
membawamu ke Imoyudan. Saat ini malam hari. Tak ada yang akan mengganggu
perjalananmu sampai ke Imoyudan. Aku menjamin…”
“Tapi aku
mendengar besok pagi anggota rahasianya akan dikebiri. Dalam waktu singkat begitu
bagaimana mungkin aku menolongnya?”
“Berarti
kau berpacu dengan waktu, anak muda. Jadi jangan membuang waktu percuma…” kata
Malaikat Alis Biru pula.
Wiro
terdiam dan berpikir sambil memperhatikan Setan Ngompol.
“Kalau
tak ada cara lain untuk membebaskan kawanku itu, aku terpaksa mengikut saja…”
kata Pendekar 212 dengan suara perlahan. Dia merasa sedih meninggalkan Si Setan
Ngompol. Dua perajurit segera menggotong sosok Wiro Sableng. Tapi baru saja
mereka dua langkah meninggalkan kerangkeng, tidak terduga dari ujung lorong
muncul tiga orang mendatangi.
Di depan
sekali melangkah Momok Dempet Tunggul Gono. Tangan kirinya yang buntung tampak
disambung dengan sebuah selongsong besi yang ujungnya berkait seperti ganco. Di
kiri kanan, agak ke belakang menngikuti dua orang. Satu berpakaian merah gelap,
masih muda dan bertubuh hitam gelap. Satunya lagi seorang kakek berpakaian biru
muda, memakai blangkon yang pada bagian depannya tersemat sebuah batu permata
berwarna hitam.
Malaikat
Alis Biru merasa kaget melihat kemunculan orang-orang itu. Dia bisa tidak
perduli dengan Tunggul Gono dan lelaki muda yang membawa bumbung bambu. Tapi
kakek berbelangkon dan berpakaian biru muda membuat hatinya tiba-tiba menjadi
kawatir. Kakek ini di kalangan Keraton dikenal dengan julukan Iblis Batu Hitam.
Ilmu silatnya tidak seberapa tinggi. Tapi batu hitam yang menempel di
belangkonnya luar biasa berbahaya. Dengan benda yang dianggap keramat itu dia
mampu menghadapi lawan bagaimanapun hebatnya. Itu sebabnya di kalangan Keraton
dia dianggap sebagai pimpinan tertinggi dari para tokoh silat Istana. Dia
jarang muncul. Tapi sekali muncul pasti menjatuhkan malapetaka!
“Ada yang
tidak beres. Agaknya Tunggul Gono sudah tahu Wiro hendak dibebaskan. Dia datang
sambil membawa kakek ini.” Membatin Malaikat Alis Biru.
Sesaat
kemudian Momok Dempet Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki membawa
bumbung bambu sampai di depan kerangkeng.
“Sungguh
satu pertemuan tidak terduga!” Tunggul Gono angkat bicara. Matanya memandang
tak berkesip pada Malaikat Alis biru, lalu memperhatikan dua perajurit yang
menggotong Wiro, kembali memperhatikan Malaikat Alis Biru. “Sobatku Malaikat
Alis Biru, kau hendak bawa kemana tawanan ini?”
“Sesuai
persetujuan Patih Kerajaan dan Sri Baginda, aku diberi wewenang membebaskan
tawanan…” jawab Malaikat Alis Biru.
“Apa?!
Kau diberi wewenang membebaskan tawanan bernama Wiro Sableng ini? Jangan
bergurau sobatku Alis Biru!”
“Siapa
bergurau!” bentak Malaikat Alis Biru.
“Hemm…
Apakah kau membawa wewenang tertulis dari Patih atau Raja?”
“Wewenang
itu diberikan secara lisan.”
Tunggul
Gono menyeringai. “Kalau begitu harus aku suruh dulu orang memeriksa. Sementara
itu masukkan kembali tawanan ke dalam kerangkeng!”
“Kau
berani melawan kehendak Raja dan Patih Kerajaan?!” kembali Malaikat Alis Biru
membentak.
“Aku
berani melawan kehendak siapa saja selama urusannya belum jelas!” Lalu karena
melihat dua perajurit tidak mau menurunkan tubuh Pendekar 212 yang digotong,
Tunggul Gono tendangkan kaki kudanya sebelah kanan.
“Bukkk!”
Wiro
mengeluh tinggi. Tubuhnya terlempar menyerempet pintu lalu masuk ke dalam
kerangkeng, jatuh bergedebukan di lantai.
“Jahanam
berkaki kuda! Kau berani mencelakai sahabataku yang tidak berdaya! Makan
pukulanku!”
Satu
suara membentak di sebelah belakang. Lalu terdengar suara angin menderu
disertai bau pesing mencucuk hidung.
Tunggul
Gono, kakek berbelangkon dan lelaki yang memegang bumbung bambu berseru keras
lalu sama-sama berkelebat selamatkan diri. Selarik sinar hitam lewat di depan
mereka. Menghantam jalur-jalur besi kerangkeng hingga bengkok melengkung lalu
meruntuhkan dinding batu di sebelah sana.
“Tua
bangka jahanam! Kau minta mati berani menyerang kami!” teriak lelaki berpakaian
merah yang memegang bumbung. Dia melompat ke hadapan kerangkeng dimana Setan
Ngompol disekap. “Mana kunci kerangkeng! Biar kubunuh makhluk busuk tak berguna
ini sekarang juga!”
“Ini
urusan kecil. Serahkan kakek bau pesnig itu padaku!” Yang bicara adalah kakek
berbelangkon berjuluk Iblis Batu Hitam. Dia melangkah ke depan kerangkeng Setan
Ngompol. Matanya tiba-tiba dibelalakkan. Kepalanya digoyangkan ke depan. Saat
itu juga dari batu hitam yang tersemat di bagian depan belangkon menyembur
cahaya hitam, membungkus sekujur tubuh Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras
lalu terkapar roboh di lantai. Mukanya tampak kaku. Matanya mendelik dan dari
mulutnya mengucur darah.
Wiro
berteriak marah! Dia mengira Setan Ngompol tewas. Padahal cuma pingsan saja
walau sebenarnya membunuh kakek itu mudah saja bagi Iblis Batu Hitam.
“Jahanam
keparat! Kau berani membunuh sahabatku! Kalau aku bebas kucari kau! Akan
kupatahkan lehermu!”
Iblis
Batu Hitam cuma ganda menyeringai mendengar ucapan Wiro itu sedang Tunggul Gono
tertawa mengekeh.
“Anak
muda, turut hatiku aku ingin membunuhmu saat ini juga!” berucap Iblis Batu
Hitam. “Apalagi mengingat gurumu Si Sinto Gendeng beberapa waktu lalu telah
mencelakai diriku! Lihat!”
Iblis
Batu Hitam singkapkan tangan kirinya yang terlindung lengan dalam jubah hitam.
Tangan itu masih utuh, tapi menciut kecil dan kehitam-hitaman. Pada bagian atas
telapak melekat sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah
tusuk konde terbuat dari perak. Wiro segera mengenali. Tusuk konde itu adalah
tusuk konde yang biasa menancap di batok kepala gurunya.
“Gurumu
membuat aku cacat begini rupa. Aku bersumpah tidak akan mencabut tusuk konde
ini sebelum aku mencabut nyawa nenek keparat itu!”
Wiro
mendengus. “Kalau kau punya otak jernih kejadian itu seharusnya merupakan satu
pelajaran bagimu! Ternyata otakmu tidak jernih! Tapi penuh air comberan!”
“Jahanam,
berani kau menghina ketua kami!” teriak Tunggul Gono marah. Dia segera memberi
isyarat pada lelaki berpakaian merah yang membawa bumbung bambu. Sambil
melompat masuk ke dalam kerangkeng orang ini buka penutup bumbung bambu. Lalu
dia membungkuk di hadapan Wiro. Dengan tangan kirinya dia tarik celana sang
pendekar hingga melorot jauh ke bawah. Bersamaan dengan itu tangannya yang
kanan bergerak menuangkan isi bumbung bambu. Di dalam bumbung ini terdapat tiga
puluh ekor kelabang merah ganas yang sengatannya bisa membuat laki-laki menjadi
kehilangan kejantanannya seumur hidup!
“Lodan!”
teriak Malaikat Alis Biru menyebut nama lelaki muda hitam seraya melompat masuk
ke dalam kerangkeng. “Tahan! Jangan lakukan itu!”
Tapi
gerakan Malaikat Alis Biru tertahan karena pakaiannya tiba-tiba dicekal oleh
Tunggul Gono.
“Aku
susah payah menangkap bangsat itu! Aku harus membayar mahal dengan kehilangan
tangan kiri. Bahkan nyawa saudaraku! Kini kau hendak membelanya. Aku tidak perduli
Raja dan Patih Kerajaan berada di pihakmu! Kau pantas kubunuh lebih dulu!”
Habis
berkata begitu Tunggul Gono hantamkan selongsong besi yang ujungnya berbentuk
gaetan. Bagi orang berkepandaian tinggi seperti dia, gaetan besi itu bisa
berubah menjadi senjata yang lebih mengerikan dari pedang atau golok! Apalagi
dia memilki gerakan cepat. Gaetan besi tahu-tahu sudah berkelebat tinggal dua
jengkal dari leher Malaikat Alis Biru.
Satu
cahaya biru tiba-tiba berdesing membelah udara.
“Trangg!”
Tunggul
Gono keluarkan jeritan kesakitan. Darah mengucur dari goresan luka di lehernya
akibat sambaran benda tajam.
Gaetan
besi tangan kiri Tunggul Gono terpental. Kakek ini tersurut dua langkah.
Wajahnya pucat. Di depannya Malaikat Alis Biru tegak tergontai memegang sebilah
pedang berwarna biru. Mukanya tak kalah pucat.
“Sahabatku
Tunggul Gono, kau bantu Lodan. Urusan ini harus cepat diselesaikan. Aku tak
banyak waktu berada di Kotaraja ini!”
Yang
hicara adalah Iblis Batu Hiam. Dia melangkah ke hadapan Malaikat Alis Biru dan
berucap “Pedangmu cukup sakti. Aku Iblis Batu Hitam ingin melihat sampai dimana
kehebatannya!”
Habis
berkata begitu kakek berjuluk Iblis Batu Hiam delikkan matanya dan goyangkan
kepala. Saat itu juga serangkum sinar hitam menderu keluar dari batu hitam yang
tersemat di bagian depan belangkonnya.
Malaikat
Alis Biru membentak keras. Tangan kanan yang memegang pedang dibabatkan ke
depan. Bersamaan dengan itu dia lepaskan satu pukulan sakti dengan tangan kiri.
Selarik sinar biru berkiblat. Namun betapapun hebatnya pedang di tangan si
kakek serta saktinya pukulan yang dilepaskan, sinar hitam yang keluar dari batu
di belangkon telah lebih dulu menghantam.
Malaikat
Alis Biru keluarkan jeritan setinggi langit. Sosoknya yang dibungkus sinar
hitam lawan langsung kelojotan lalu roboh ke lantai. Tidak seperti Setan
Ngompol, kakek malang ini benar-benar menemui ajal alias dibikin mati oleh
serangan Iblis Batu Hitam. Habis membunuh manusia satu ini rangkapkan tangan di
depan dada, memandang menyeringai pada Momok Dempet Tunggul Gono. Namun
seringai masnuia satu ini mendadak sontak lenyap seperti direnggut setan. Di
dalam kerangkeng tiba-tiba ada dua cahaya hijau berkiblat disertai jeritan
mengidikkan keluar dari mulut Lodan. Lalu sunyi dan kengerian luar biasa
melanda tempat itu.
Sosok
Lodan yang tadi hendak mengguyurkan tiga puluh kelabang ke bagian bawah perut
Pendekar 212 berkaparan di lantai dalam bentuk tiga kutungan besar dan berwarna
hijau mengepul. Apa yang terjadi?
********************
BAB 9
Pada saat
tiga puluh kelabang beracun di dalam bumbung bambu hampir meluncur jatuh
ke bagian
bawah perut Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkapar, murid Sinto Gendeng tidak
melihat cara lain untuk selamatkan diri. Dari mulutnya keluar seruan keras
menyebut ilmu kesaktian yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca serial
Wiro Sableng mulai dari “Wasiat Iblis” sampai “Kiamat Di Pangandaran” terdiri
dari 8 Episode).
“Sepasang
Pedang Dewa!”
Saat itu
juga dari dua mata Wiro melesat keluar dua larik sinar hijau bersilang berbentuk
sepasang pedang luar biasa tajam dan cepat tabasannya. Lodan, pemuda hitam
berpakaian merah tidak tahu apa yang terjadi.
“Crassss!”
“Crasss!”
Tubuh
Lodan terbelah tiga mengerikan. Berkaparan di lantai kerangkeng. Puluhan
kelabang merah mati berkaparan di atas genangan darah yang mengucur keluar dari
potongan tubuh Lodan. Empat besi kerangkeng sebesar-besar betis putus!
“Jahanam
keparat! Kau bisa selamat dari kelabang beracun itu! Tapi jangan harap bisa
lolos dari tanganku!”
Iblis
Batu Hitam melompat ke depan pintu kerangkeng. Matanya dibeliakkan ke arah Wiro
yang terbaring di atas genangan darah. Kepalanya yang memakai belangkon
digoyangkan ke depan. Serangkum sinar hitam maut menderu ke arah Pendekar 212.
Sebelumnya
Setan Ngompol dan Malaikat Alis Biru tidak sempat meloloskan diri dari serangan
mengerikan ini. Agaknya hal itu juga akan terjadi dengan murid Sinto Gendeng.
Hanya sesaat lagi sinar hitam akan melabrak membungkus tubuhnya tiba-tiba ada
cahaya putih menyambar. Bersamaan dengan itu bau harum aneh menggidikkan
merebak di seantero tempat!
“Bau
bunga kenanga!” Wiro berkata dalam hati, tercekat!
Sesaat
lagi sinar hitam akan menggulung Pendekar 212 tiba-tiba cahaya putih menebar,
mendahului membungkus tubuh sang pendekar. Ketika kemudian sinar hitam dan
cahaya putih saling bergesekan meledaklah letusan-letusan yang menggetarkan
seluruh dinding dan lantai bangunan di bawah tanah itu. Bahkan di atas sana
bangunan Keraton terasa bergetar seperti dilanda gempa! Di depan kerangkeng
Tunggul Gono jatuh terhenyak. Mukanya pucat, masih belum tahu jelas apa yang
telah terjadi.
Iblis
Batu Hitam berteriak kaget ketika merasakan tubuhnya seperti dilabrak topan,
terpental membentur besi-besi kerangkeng. Kepalanya serasa tanggal.
Pamandangannya sesaat gelap dan keningnya terasa panas sekali. Tulang-tulang di
sekujur tubuhnya seolah bertanggalan. Di hadapannya muncul satu sosok aneh
menyerupai asap. Lalu berubah menjadi bayang-bayang. Kemudian antara kentara
dan tidak dia melihat satu sosok gadis berpakaian putih, berwajah cantik tapi
pucat pasi denan sepasang mata menyorot dingin laksana sambaran angin salju!
“Bunga…!”
Pendekar 212 menyebut nama itu dengan lidah setengah kelu, mata mendelik.
Iblis
Batu Hitam tanggalkan belangkonnya. Matanya terbelalak ketika melihat batu
hitam sakti yang jadi andalan ilmu kesaktiannya tak ada lagi di belangkon itu.
“Manusia
iblis, kau mencari benda ini?” Satu suara tiba-tiba menegur. Yang bicara adalah
sosok gadis berbentuk bayang-bayang itu. “Kau mencari benda ini?!” Si gadis
mengulang.
Iblis
Batu Hitam dan juga Momok Dempet Tunggul Gono tersentak kaget. Memandang ke
depan mereka melihat batu hitam yang tadinya menempel di belangkon kini berada
dalam genggaman jari-jari gadis muka pucat.
“Hantu
keparat! Kembalikan batu itu padaku!” teriak Iblis Batu Hitam.
“Hantu
keparat… Kau memanggil aku Hantu Keparat1 Sungguh lucu! Hik… hik… hik!” Gadis
muka pucat yang merupakan penjelmaan roh gadis bernama Suci alias Bunga alias
Dewi Bunga Mayat tertawa panjang. “Kau inginkan benda ini silahkan mengambil!”
Suci
gerakkan jari-jari tangannya.
“Traaakkk!”
Batu
hitam berderak hancur menjadi bubuk halus.
Iblis
Batu Hitam berteriak marah, berusaha mengejar tapi percuma. Terlambat. Dalam
remasan Suci batu telah berubah menjadi bubuk. Ketika gadis ini meniup, debu
batu itu menyembur ke arah Iblis Batu Hitam. Dan ini bukan sambaran debu biasa.
Kalau Iblis Batu Hitam tidak cepat menyingkir matanya bisa buta ditembus debu
hancuran batu hitam miliknya sendiri.
Lelehlah
nyali Iblis Batu Hitam. Bukan saja melihat apa yang terjadi tapi juga karena
dia tidak memiliki ilmu lain selain mengandalkan batu hitam tiu. Tunggul Gono
sendiri sejak tadi sudah putus keberaniannya. Begitu melihat Iblis Batu Hitam
memberi isyarat dan begerak kabur, Tunggul Gono segera pula melompat
menghambur.
“Kalian
terlalu terburu-buru. Mau pergi kemana?” satu suara menegur.
“Ih!”
Iblis
Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit berbarengan karena entah kapan bergeraknya
tahu-tahu sosok gadis berwajah pucat itu sudah berada lima langkah di hadapan
mereka, bertolak pinggang dan tertawa panjang.
“Aku
tidak menghalangi. Kalian mau kabur silahkan! Tapi terima dulu hadiah
kenangkenangan dariku. Satu orang dapat satu!”
Tangan
kiri kanan Suci bergerak. Dua buah benda berwarna kuning seperti berpijar,
melesat di udara. Bau wangi menggidikkan kembali menebar. Iblis Batu Hitam dan
Tunggul Gono menjerit setinggi langit. Tunggul Gono pegangi kupingnya sebelah
kanan. Di liang kupingnya menancap sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum
bunga kenanga kuncup. Darah mengucur dari liang telinga yang hancur sampai ke
gendang-gendangnya. Di sebelah Tunggul Gono. Iblis Batu Hitam meraung sambil
pegangi mata kirinya. Darah mengalir di selasela jarinya. Kalau Tunggul Gono
kuping kanannya yang dapat “hadiah” maka Iblis Batu Hitam mata kirinya yang
dihantam bunga kenanga kuncup! Sambil menjeri-jerit ke dua orang itu lari
tunggang langgang sepanjang lorong. Naik ke tingkat atas dan membuat gempar
seisi Keraton.
“Setan!
Hantu!” teriak Tunggul Gono sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.
“Ada roh
jahat gentayangan!” ikut berteriak Iblis Batu Hitam.
Pasukan
pengawal Keraton menjadi sibuk. Beberapa tokoh silat Istana juga segera berdatangan,
mencari tahu apa yang terjadi. Tapi seperti orang gila dan menunjuk-nunjuk kian
kemari sambil berteriak-teriak Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tidak bisa
ditanyai. Akhirnya karena terlalu banyak darah yang keluar dua tokoh silat ini
roboh pingsan.
***********************
“Bunga…”
ucap Wiro ketika sosok bayangan putih mendatangi. Dia berusaha bangkit tapi
lupa kalau sekujur tubuhnya berada dalam keadaan lumpuh. “Ah…! Aku gembira bisa
bertemu denganmu lagi, Bunga…”
“Diam
saja di tempatmu Wiro. Aku akan berusaha mencabut semua jarum yang menancap di
tubuhmu. Untung tidak ada jarum yan menancap di titik darah mematikan.
Mudahmudahan aku bisa memusnahkan kelumpuhanmu!”
Cepat
Suci berjongkok di samping Pendekar 212. Telapka tangan kanannya dikembangkan.
Matanya dipejamkan. Bersamaan dengan dibukanya matanya kembali, tangan kanannya
diusapkan sejengkal di atas permukaan tubuh Wiro. Terjadilah satu keanehan.
Dari
telapak tangan Suci keluar satu hawa dingin menyedot disertai kepulan asap
tipis putih. Sebaliknya dari sosok Pendekar 212 merambas keluar hawa panas
disertai asap kehitaman.
Tiba-tiba!
Sett… sett… sett!
Dua puluh
satu jarum yang menancap di tubuh Wiro melesat ke atas dan menancap di telapak
tangan Suci. Tangan itu kucurkan darah tapi cuma sebentar. Ketika Suci
mengibaskan tangannya semua jarum jatuh luruh ke tanah. Walau keadaannya saat
itu masih lemah namun Wiro sudah mampu menggerakkan tangan dan kakinya lalu
duduk di lantai.
“Bunga,
terima kasih. Kau muncul di saat aku membutuhkan pertolongan…” Wiro ulurkan
tangan hendak memeluk tubuh Suci. Namun sadar pakaiannya basah kotor oleh darah
dia tarik ke dua tangannya kembali. Bunga tersenyum lalu pegang ke dua tangan
Wiro. Walau sosoknya berupa bayang-bayang namun Wiro merasakan pegangan gadis
itu seperti pegangan manusia biasa adanya.
“Dua
tahun aku kehilangamu. Aku mencari dan mencari. Tapi kau lenyap tak tahu
rimbanya….” bisik Suci. Kata-kata itu diucapkanya sambil sepasang matanya
berkaca-kaca. Kemudian dia ingat. “Ini bukan saatnya untk berbincang-bincang.
Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Di atas sana aku mendengar suara
ramai. Sebentar lagi orang-orang Keraton akan menyerbu ke sini…”
Wiro
masih pegangi dua tangan si gadis dan memandangi wajahnya tak berkedip.
Perlahan-lahan dia coba bangkit berdiri. Tapi tubuhnya masih lemah. Dia tak
mamapu bangun. Menyadari hal ini Suci cepat membantu. Ketika dipapah keluar
dari dalam kerangkeng, Wiro ingat pada Setan Ngompol.
“Sahabatku,
kakek bau pesing itu. Kita harus menolongnya. Mudah-mudahan masih hidup.” Wiro
menunjuk pada sosok Setan Ngompol yang masih terhenyak di lantai kerangkeng
setengah pingsan setengah sadar.
Suci
sandarkan Wiro ke dinding. Lalu sosok gadis ini seperti asap berhembus melayang
masuk ke dalam kerangkeng lewat celah-celah besi. Dai memeriksa keadaan Setan
Ngompol sebentar, memberi tanda pada Wiro kalau si kakek masih hidup. Sesaat
Suci bingung bagaimana
harus
membuka rantai besi yang tergantung di bawah perut Setan Ngompol. Di atas
suara-suara kaki terdengar berlarian mendatangi bagian bawah di ujung lorong.
“Aku
perlu kapak saktimu!” kata Suci. Gadis ini melayang keluar dari dalam
kerangkeng, meminta Kapak Naga Geni 212 lalu kembali masuk ke dalam kerangkeng.
Sekali tabas saja, rantai besi yang mengikat Setan Ngompol putus pada
kepanjangan tiga jengkal dari bawah perutnya.
Suara
keras dentrangan mata kapak memutus rantai besi menyadarkan Setan Ngompol.
Kakek ini mula-mula mencium bau kembang kenanga. Ketika matanya dibuka
pandangannya membentur sosok aneh, seperti asap, berwujud gadis cantik pucat
berkebaya putih panjang.
“Si…
siapa kau…?” Dalam kejutnya dan takut si kakek kucurkan air kencing. Dia
terheran-heran melihat Kapak Naga Geni 212 ada di tangan si gadis lalu rantai
besi yang selama ini mengikat dirinya tergelatak putus di lantai.
“Kakek
bau pesing. Tidak ada waktu untuk bertanya jawab. Kita harus tinggalkan tempat
ini. Wiro sudah menunggu!”
“Wiro…?”
Tak
sabaran Suci bembeng tengkuk pakaian si kakek lalu seperti tadi dia masuk
begitu pula dia bertindak keluar dari dalam kerangkeng besi. Tapi dia lupa
sosok Setan Ngompol tidak sama keadaannya dengan dirinya. Ketika sosoknya sudah
di luar, tubuh Setan Ngompol tertahan menabrak jalur-jalur besi kerangkeng.
Kakek ini melolong kesakitan. Keningnya jontor dan tulang kering kakinya
seperti mau remuk membentur jeruji besi! Kencingnya awur-awuran. Dalam hati
Suci menggerutu. “Kalau kakek bau pesing ini bukan sahabat Wiro, rasanya lebih
baik aku tinggalkan saja di dalam kerangkeng ini!”
Suci
pergunakan kapak sakti untuk menjebol dua jeruji besi hingga Setan Ngompol bisa
keluar dari dalam kerangkeng. Kapak dikembalikannya pada Wiro. Untuk
mempercepat Suci bembeng leher pakaian kedua orang itu, lalu dibawa melayang di
udara sepanjang lorong.
“Tewas
aku!” teriak Setan Ngompol.
“Ada apa
Kek?!” tanya Wiro.
“Copot
barang antikku!” jawab Setan Ngompol. Kakek ini buru-buru pegangi ujung rantai
yang menggelantung di bawah perutnya. Wiro tertawa lebar sedang Suci jadi
senyum-senyum.
Ketika
mereka sampai di tingkat atas yang menuju bangunan Keraton, semua orang yang
ada di tempat itu mejadi gempar.
“Ada dua
tubuh melayang di udara!” Seseorang berteriak.
“Setan
perempuan menggondol dua tawanan!” teriak yang lain.
“Roh
halus masuk Keraton!”
Pasukan
pengawal Keraton segera mengurung, namun mereka tidak tahu mau berbuat apa
karena masing-masing telah dilanda ngeri melihat sosok perempuan aneh yang
membembeng Wiro dan Setan Ngompol.
“Semua
menyingkir! Apa yang terjadi di tempat ini!” satu suara membahana. Yang muncul
adalah Patih Selo Kaliangan. Di belakangnya mengikuti Sri Baginda. Semua orang
segera menyingkir. Anggota pasukan cepat melakukan pengawalan agar tidak
terjadi hal yang tidak diinginkan atas diri Sri Baginda.
********************
BAB 10
Mula-mula
Patih dan Raja melihat sosok Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tergeletak
di
lantai, tak berapa jauh dari tangga yang menuju ke lorong bawah bangunan. Lalu!
Ini yang membuat mereka melengak kaget. Dua sosok tampak seperti melayang di
udara. Satu pemuda gondrong yang pakaiannya penuh berselemotan darah. Satunya
lagi kakek bau pesing berkuping lebar. Dua tangannya memegangi gulungan rantai
besi sepanjang tiga jengkal. Di antara dua sosok yang seperti melayang itu
kelihatan sosok ke tiga, antara kelihatan dan tidak berujud gadis
cantik
berkebaya panjang.
Baik sang
Paih maupun Sri Baginda segera maklum kalau mereka tengah berhadapan dengan
makhluk setengah gaib setengah nyata. Dengan nada hati-hati Patih Selo
Kaliangan menegur.
“Roh
gadis berkebaya putih. Apakah kau telah tersesat masuk Keraton…?”
Sosok
Suci gelengkan kepala.
“Bisakah
kau membuat sosokmu lebih jelas agar kami dapat melihat wajahmu?”
“Jika itu
maumu tak ada salahnya…” jawab Suci. Saat itu juga wajah dan tubuhnya membayang
lebih jelas, hampir menyerupai sosok manusia biasa. “Namaku Suci, aku tidak
tersesat datang ke tempat ini…”
Sri
Baginda terangguk-angguk, walau ada rasa ngeri dan juga heran.
“Kalau
kau tidak tersesat berarti memang sengaja datang kemari. Lalu mengapa hendak
melarikan dua tawanan itu?” Patih Kerajaan kembali bicara.
“Aku
tidak melarikan mereka. Aku menolong meneyelamatkan keduanya. Mereka
dipenjarakan tanpa kesalahan.”
“Mana
mungkin kami bertindak seperti itu…”
“Patih,
aku tidak ingin berdebat denganmu. Tapi kau dan juga Sri Baginda harap sudi
mendengar ucapanku ini. Jika Keraton masih memelihara manusia-manusia busuk
seperti Tunggul Gono, Iblis Batu Hiam, Hantu Muka Licin Bukit Tidar dan yang
lain-lainnya, jangan harap berkah Gusti Allah akan menjadi bagian Keraton dan semua
isinya…!”
Habis
berkata begitu, selagi Patih dan Raja terkesiap Suci putar tubuhnya, membumbung
ke atas, membawa serta Wiro dan Setan Ngompol. Justru saat itu tiba-tiba
mengumandang satu bentakan aneh, seolah datang dari dalam sumur atau jurang
sangat dalam.
“Semua
tetap di tempat! Aku ingin tahu siapa yang mencelakai saudaraku Tunggul Gono!”
Sosok
Suci yang tengah melayang naik ke udara seperti diterpa angin. Kalau tidak
lekas dia menghindar Wiro dan Setan Ngompol bisa celaka. Dengan cepat Suci
bergerak turun ke lantai ruangan. Wiro dan Setan Ngompol dibisikinya agar
segera berlindung di balik sebuah tiang besar.
Di lain
saat dari atas langit-langit ruangan besar melayang turun satu sosok berujud
bayang-bayang, menampilkan seorang kakek berpakaian hitam, rambut awut-awutan,
memiliki sepasang mata besar. Bahu kanan buntung, lukanya masih tampak basah
berdarah! Kaki kiri putus sebatas lutut sedang kaki kanan berbentuk kaki kuda,
sama seperti yang dimiliki Tunggul Gono.
Seisi
Keraton menjadi gempar. Sosok yang muncul ini bukan lain adalah rohnya Tunggul
Gini, saudara kembar Tunggul Gono yang tewas akibat racun tanah yang menjepit
putus kakinya!
Sosok
Tunggul Gini berdiri di atas satu kaki, memandang mencorong pada Suci.
“Kita
sama-sama makhluk dari alam roh!” Tunggul Gini berucap. “Kuharap kau mau
berbaik hati menyerahkan pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng itu!”
“Kenapa
kau menginginkan dirinya?!” tanya Suci.
“Kakiku
buntung karena perbuatannya. Aku tewas dibunuh saudara sendiri juga akibat
perbuatannya. Di sebelah sana saudaraku menggeletak setengah mati setengah
hidup pasti juga karena ulah perbuatannya!”
“Saudaramu
aku yang menghajar! Sekedar untuk memberi pelajaran agar dia bisa bertobat!”
kata Suci pula.
Sosok
gaib Tunggul Gini keluarkan suara tertawa panjang. “Kau roh jujur. Mengakui
perbuatan. Aku bersedia mengampuni dosamu asal segera menyerahkan pemuda yang
kuminta!”
“Aku
tidak bakal menyerahkan pemuda itu. Bukankah lebih baik kau menyelamatkan
saudaramu sendiri?!”
“Kau tak
perlu memberi nasihat! Kau mau menyerahkan pemuda gondrong iu atau tidak?!”
“Kalau
kau merasa mampu silahkan mengambil sendiri!”
“Makhluk
roh muka pucat! Kau memaksaku menurunkan tangan jahat! Lihat jari!” Tunggul
Gini tusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah Suci. Serta merta selarik
sinar hitam menderu deras ke arah kening gadis ini. Sebenarnya serangan yang
dikeluarkan Tunggul Gini adalah jurus pukulan bernama Ladam Setan. Tapi kini
dia melancarkan serangan dengan cara
menusukkan
satu jari saja. Pertanda di alamnya yang baru makhluk roh ini memiliki
kehebatan berlipat ganda!
Pada saat
sinar hitam tusukan tangannya berkiblat, sosok Tunggul Gini melayang ke balik
tiang besar tempat Wiro dan Setan Ngompol sembunyi. Dengan tangan kirinya
mahkluk roh ini berusaha menyambar rambut gondrong Pendekar 212.
Di
sebelah sana sinar hitam serangan Tunggul Gini lewat dua jengkal di atas kepala
Suci yang cepat menunduk. Sinar ini melabrak dinding Keraton hingga menimbulkan
gelegar keras. Dinding tebal itu kelihatan berlubang besar kehitaman!
Ketika
Tunggul Gini melancarkan serangan dan berusaha menjambak rambutnya, untungnya
Wiro sudah berlaku waspada sejak tadi. Tangan kanannya bergerak. Selarik sinar
putih menerangi seluruh tempat disertai menebarnya hawa panas dan suara
bergaung seperti ribuan tawon mengamuk.
Tunggul
Gini berteriak, memaki keras. Walau tangannya yang menjambak mungkin tidak
mempan ditabas kapak sakti itu, tetapi dia tidak berani berlaku ayal. Dengan
cepat dia tarik pulang tangannya. Bersamaan dengan itu kaki kudanya sebelah
kanan menendang ke arah batok kepala Wiro dalam jurus Ladam Kematian!
Tidak
menyangka mendapat serangan susulan begitu rupa Pendekar 212 kembali babatkan
kapak saktinya. Tapi tangkisannya kali ini melesat jauh. Kaki kuda Tunggul Gini
menyusup di balik sambaran Kapak Naga Geni 212.
“Celaka!”
Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan. Dia berusaha hendak menolong, tapi dua
tangannya tak mungkin dilepas karena harus terus menerus memegangi rantai besi
berat yang mengganduli barang antiknya!
Hampir
kaki kuda Tunggul Gini menghancurkan kepala Wiro tiba-tiba dari samping Suci
lancarkan dua pukulan tangan kosong sekaligus. Sosok Tunggul Gini
terhuyung-huyung. Dia berteriak marah, membalik dengan cepat seraya jentikkan
lima jari.
“Gadis
jahanam! Biar kau kubikin mampus untuk kedua kalinya!”
Suci
tersentak kaget ketika melihat bagaimana dari tangan lawan berkelebat lima
sinar hitam luar biasa cepat dan ganasnya. Semua orang yang ada di tempat itu
berserabutan menyingkir. Tapi Suci sendiri tetap tidak bergerak di tempatnya.
Dia seperti sengaja menunggu.
Sesaat
kemudian tiba-tiba gadis dari alam roh ini hentakkan kaki kanannya ke lantai.
Dari lantai memancar sinar merah, menjalar ke atas memasuki tubuhnya terus ke
kepala. Di lain kejap dua larik sinar merah menyembur dari sepasang mata gadis
ini. Inilah ilmu yanfg disebut Roh Mendera Bumi.
Tunggul
Gini berseru tegang menyaksikan bagaimana dua larik sinar merah yang keluar
dari sepasang mata lawan menggulung lima sinar hitamnya lalu menghantam ke arah
dirinya sendiri!
Sosok
Tunggul Gini buyar tercabik-cabik, berubah menjadi asap hitam merah. Suara
raungannya menggelegar dahsyat. Sebelum sosoknya lenyap terdengar dia
berteriak.
“Makhluk
roh muka pucat! Aku belum kalah! Di lain saat aku akan muncul mencarimu untuk
membuat perhitungan!”
Selagi
semua orang di tempat itu terhenyak dalam kegemparan luar biasa Suci cepat
membembeng Wiro dan Setan Ngompol lalu membawanya melayang ke udara
meninggalkan Keraton.
Sri
Baginda mengusap wajahnya yang pucat keringatan berulang kali. Diiringi Patih
Kerajaan dia melangkah meninggalkan tempat itu dengan kaki terasa bergetar.
Satu saat dia berhenti, menunggu Patih Selo Kaliangan berada di dekatnya lalu
berkata. “Peringatan roh gadis bermuka pucat itu agaknya perlu kita perhatikan.
Tokoh silat yang hanya mencari keuntungan, bertindak mengatas namakan Keraton
atau Istana padahal melakukan perbuatan keji seharusnya kita pangkas dari
jajaran Istana. Temui aku besok pagi di serambi timur Keraton.”
“Akan
saya lakukan Sri Baginda,” jawab Patih Kerajaan seraya membungkuk.
***********************
Setan
Ngompol duduk julurkan dua kakinya di tanah. Setiap dia memandang ke bawah
perutnya
dia merasa marah, kesal dan jengkel. Hatinya selalu mendumal. “Japitan jahanam!
Rantai celaka! Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari benda keparat ini? Siapa
yang bisa menolong Wiro sudah mencoba dengan kapak. Rantai bisa dibabat pendek
sampai tinggal satu jengkal. Tapi sisanya termasuk japian besi tidak bisa
ditanggalkan, tidak mungkin dibuang…”
Memandang
ke tepi telaga kecil Setan Ngompol memperhatikan Wiro dan Suci duduk
berdua-dua. Di sebelah timur matahari baru saja naik. Udara masih terasa sejuk.
Setan Ngompol melihat dua orang di tepi telaga itu bangkit berdiri lalu
melangkah ke arahnya.
“Bagaimana
keadaanmu pagi ini kek?” menyapa Suci.
“Aku
baik-baik saja,” jawab Setan Ngompol. “Sebaliknya aku merasa kehadiranku di
tengah kalian hanya merupakan beban…”
“Beban,
beban apa? Memangnya kami menggendongmu kemana-mana?” ujar Wiro Sableng pula.
“Maksudku
jika hanya kalian berdua saja, tentu lebih merasa bebas. Kalian sudah sangat
lama tidak bertemu. Pasti banyak yang akan kalian bicarakan. Aku dulu juga
pernah muda…”
“Sekarangpun
kau masih muda Kek!” kata Suci menggoda.
Setan
Ngompol cibirkan mulutnya. “Terus terang banyak cerita lama yang mau
kubicarakan denganmu Wiro. Tapi kukira lain kesempatan masih ada. Aku ingin
memisahkan diri. Cuma, japitan besi dan sisa rantai yang masih sejengkal ini,
bagaimana menghilangkannya…”
”Aku
sudah bilang, kita kembali saja ke Keraton, minta kunci japitan itu. Kalau
kunci sudah ada pasti bisa dibuka.” Kata Wiro pula.
“Kunci,
kunci apa? Coba kau lihat sendiri!” Setan Ngompol lupa kalau di situ ada Suci.
Dia buru-buru hendak merorotkan celana butut basahnya ke bawah. Tapi begitu
sadar sambil tersipu-sipu si kakek tarik kembali celananya ke atas. “Japitan
ini tidak ada kuncinya. Waktu orang-orang celaka itu menjapit, mereka
mempergunakan martil besar untuk mematikan japitan. Untung barangku tidak
dijapit medel!”
Wiro
pandangi si kakek sambil garuk-garuk kepala.
“Aku
ingin menjajal memutus dengan Kapak Naga Geni 212. Tapi aku kawatir kalau
anggota rahasiamu ikut putus bersama besi japitan! Salah-salah kau bisa berubah
lelaki buka, perempuan juga bukan!” kata Wiro lalu tutup mulutnya menahan tawa
sementara Suci pura-pura memandang ke jurusan lain.
“Heran,
mengapa orang-orang Istana memelihara tukang siksa begini kejam….. Aku masih
ingat tampang bangsat yang memasang japitan pada barang antikku ini,” kata
Setan Ngompol. Waktu menyebut “barang antik” dia sengaja berucap perlahan agar
jangan sampai terdengar oleh Suci. “Aku bersumpah mencari kesempatan untuk
membalas! Awas kau bangsat!”
Setelah
merenung sejenak Setan Ngompol kembali berkata. “Sudahlah, kalian berdua pergi
saja. Tinggalkan aku di sini. Bagaimana nasibku nanti biar aku yang menanggung
sendiri.”
“Kami
tidak akan meninggalkamu Kek.” Kata Suci. “Itu janji kami berdua
sahabatsahabatmu ini.”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Setan Ngompol ikut-ikuan menggaruk. Tiba-tiba kakek ini
bangkit melompat. Dua tangan memegangi bagian bawah perut.
“Ada apa
Kek?” tanya Pendekar 212.
“Aku
ingat sesuatu…” jawab Setan Ngompol.
“Apa yang
kau ingat? Nenek genit Luhlampiri di Negeri Latanahsilam itu?”
Si kakak
gelengkan kepala. “Aku justru ingat kau!” katanya sesaat kemudian sambil menudingkan
telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Wiro.
“Ingat
aku? Aku ada di depanmu. Masakan diingat-ingat? Aneh kau ini. Aku kawatir
karena selalu memikirkan anumu yang kejepit itu lama-lama otakmu berubah
miring….”
“Wiro…
Dengar. Aku ingat! Bukankah kau memiliki ilmu aneh yang disebut Menahan Darah
Memindah Jasad…” (Baca rangkaian episode petualangan Wiro di Negeri
Latanahsilam mulai dari Episode pertama berjudul “Bola-Bola Iblis” sampai
Episode terakhir berjudul “Istana Kebahagiaan”).
“Kau
betul. Hantu Selaksa Angin, nenek tukang kentut di Negeri Latanahsilam itu yang
memberikannya padaku. Lalu apa maksudmu?” Wiro bertanya . Lalu dia tersentak
sendiri. “Astaga! Aku mengerti Kek! Biar kucoba! Tapi….”
“Tapi
apa?”
“Setahuku
ilmu itu hanya untuk memindahkan bagian tubuh atau aurat manusia saja. Sedang
besi yang menjapit anumu serta rantai yang sedang bergelantungan di anumu itu
bukan bagian dari aurat tubuhmu…’
Diam-dam
dari tempatnya berdiri Suci mendengarkan percakapan kedua orang itu.
“Aku
minta kau mencobanya Wiro. Kalau memang sudah dicoba dan tidak berhasil,
nasibku yang sial. Tapi kalau berhasil aku punya kaul mencukur semua rambut
yang ada di tubuhku! Mulai dari rambut sampai ke kaki!”
“Kaulmu
saja sudah tidak karuan! Berkaul itu sesuatu yang bersifat baik.”
“Aku
bingung. Mungkin kau benar. Karena keliwat memikir barangku ini otakku jadi
tidak karuan. Aku salah berucap. Tapi apa boleh buat. Rupanya memang begitu
bunyi kaulku! Ayo sobatku muda. Lekas kau coba ilmu kesaktianmu itu!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia pandangi si kakek dengan hati iba. “Baik, akan kucoba.”
Wiro lalu jongkok di hadapan Setan Ngompol yang duduk di tanah, Ke dua kaki si
kakek dikembangkannya. Setan Ngompol hendak menurunkan celana bututnya tapi tak
jadi. Dia menggoyangkan kepala ke arah Suci lalu mendehem beberapa kali. Suci
yang mengerti maksud deheman itu sambil senyum-senyum melangkah dan berlindung
ke balik sebatang pohon.
“Dia
sudah sembunyi. Turunkan celanamu Kek…” kata Wiro Sableng.
Tanpa
ragu-ragu Setan Ngompol tuunkan celananya sampai ke lutut.
Wiro
memandang ke bawah.
“Buset…!”
“Buset?
Apa yang buset?!” tanya Setan Ngompol.
“Jelek
amat Kek!”
“Apa yang
jelek amat?!”
”Anumu!”
“Setan
kau! Nanti kalau kau sudah tua barangmu lebih jelek dari punyaku, tahu?!”
Wiro
tertawa cekikikan. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya ke bawah perut si
kakek. Setan Ngompol pegang lengan sang pendekar.
“Kenapa?”
Wiro bertanya.
“Awas kau
kalau berani mengacak ke tempat yang bukan-bukan!”
Di balik
pohon Suci menutup mulutnya berusaha menahan tawa mendengar ucapanucapan ke
dua orang itu.
“Tenang
kek, aku berusaha. Mohon kepada Tuhan agar kau bisa tertolong…”
“Lakukan
cepat, aku sudah berdoa!” kata Setan Ngompol sembari matanya meram melek dan
mulutnya komat kamit.
“Eh,
belum kuraba kau sudah seperti orang keenakan Kek!” ujar Wiro melihat mimik si
kakek.
“Setan!
Jangan bergurau terus!” bentak si kakek.
Wiro
kembali ulurkan tangan kanannya ke bawah. Jari-jarinya menyentuh jepitan besi
di bawah perut si kakek. Dia lalu merapal bacaan yang diajarkan Hantu Selaksa
Angin alias Luhkentut. Hening… sunyi. Lalu kreek!
Dua mata
Setan Ngompol mendelik. Dua mata Wiro melotot. Kedua orang ini saling
berpandangan sesaat. Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya dari bawah perut
si kakek. Dia dan juga Setan Ngompol tak berani memandang ke bawah. Sama-sama
takut kalau-kalau…
“Kek…?”
Wiro bersuara setengah berbisik.
“Bagaimana…?”
Suara si kakek bergetar.
”Aku
memgang sesuatu. Keras. Aku tak berani melihat….”
“Uhh… Aku
juga!” jawab si kakek. Mukanya keringatan.
Tiba-tiba
Wiro melompat. Di tangannya ada sesuatu. Benda ini kemudian ditempelkannya ke
batang pohon di belakang mana Suci berada.
“Kek!”
seru Wiro girang. Di batang pohon itu kini menempel japitan besi dan ujung
rantai yang selama ini menyantel di bawah perut Setan Ngompol.
Setan
Ngompol takut-takut memandang ke bawah. Dia melihat. Masih tak percaya.
Dirabanya. Mula-mula satu tangan. Lalu memaki dua tangan.
“Masih
utuh… Masih utuh! Lengkap semua…!” Satu teriakan gembira menggelegar dari mulut
Setan Ngompol. Lalu kakek ini jatuhkan keningnya ke tanah, bersujud menyatakan
syukur. Dia lupa kalau saat itu celananya berada di ujung kaki.
“Kek,
untung tidak ada babi hutan di sini! Kalau ada bokongmu pasti sudah
dilalapnya!” kata Wiro sambil tertawa gelak-gelak.
“Terima
kasih Tuhan! Terima kasih Wiro!” Masih dalam keadaan tidak perduli akan
celananya yang merosot di bawah lutut kakek ini lari menuju telaga. “Aku harus
mandi! Mandi syukur sambil membersihkan diri! Mungkin selama ini aku terlalu
banyak dosa!”
“Byurr!”
Setan
Ngompol ceburkan tubuhnya ke dalam telaga kecl.
Suci
keluar dari balik pohon. Bersama Wiro dia melangkah ke tepi telaga. Si kakek
berkecimpung ria sambil tiada hentinya berteriak-teriak gembira.
“Kek, aku
kawatir tubuh, pakaian dan air kencingmu akan mencemari air telaga. Membuat
ikan di dalamnya mati semua!” Berseru Wiro.
Setan
Ngompol tidak acuhkan senda gurau itu. Dia berkecimpung terus dalam air,
sesekali menyelam sambil menggosok-gosok auratnya.
“Wiro,
kita tidak menunggu lama. Lihat!” Suci tiba-tiba menunjuk ke tangah telaga.
Wiro memperhatikan. Di situ dilihatnya beberapa ekor ikan timbul mengapung.
Makin lama makin banyak.
“Kek! Apa
kataku! Lihat! Ikan pada mati mencium bau tubuh, pakaian dan air kencingmu!”
“Jangan
bergurau terus anak setan!” teriak Setan Ngompol.
“Buka
matamu! Lihat sendiri!” teriak Wiro.
Setan
Ngompol usap mukanya yang basah. Dia memandang seputar telaga. “Celaka! Kau
benar! Tapi apa benar karena bau tubuh, pakaian dan air kencingku…”
“Ditambah
dosamu Kek!” sambung Wiro. “Lekas naik ke darat! Nanti semakin banyak ikan yang
mati di telaga ini!”
Tidak
sadar kalau saat itu di sebelah bawah dia tidak mengenakan apa-apa lagi, si
kakek
berenang
ke tepi lalu naik ke darat. Suci terpekik dan cepat balikkan badan sambil
menarik tangan Wiro. Keduanya lari menjauhi telaga. Di satu tempat Wiro
berhenti dan berteriak. “Kakek Setan Ngompol! Kami pergi! Jangan lupa kaulmu!
Mencukur semua rambut mulai dari kepala sampai ke kaki!” “Aku tidak akan
melupakan! Aku tidak akan melupakan!” terdengar si kakek menjawab disusul suara
tawanya terkekeh-kekeh. “Serrrrr!” Air kencing muncrat dari bawah perutnya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment