WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
" Nyi
Retno, kau tidak boleh membunuh Patih Wira Bumi!" "Kau membelanya.
Apa dia sahabatmu?!" "Tidak." "Lalu mengapa aku tidak boleh
membunuh manusia jahat itu?!""Karena dia adalah suamimu." Jawab
Wiro. "Dia adalah ayah dari putrimu yang bernama Ken Permata. Yang saat
ini sudah berusia satu tahun." Nyi Retno hentikan lari. "Aku tidak
pernah punya suami yang namanya Wira Bumi. Aku tidak pemah punya anak bernama
Ken Permata! Wiro, kalau aku punya anak aku ingin ayahnya adalah kau! Aku suka
padamu! Kemuning suka padamu!"
**********************
1
DEBUR
ombak laut selatan yang menghantam lamping batu di malam gelap tanpa bintang
tiada bulan terdengar menggidikkan. Angin bertiup kencang, sesekali menderu
menimbulkan suara seperti suling yang ditiup setan. Dalam keadaan seperti itu,
satu pemandangan mencekam terlihat di kejauhan. Di tengah laut dari arah
selatan tampak meluncur membelah gulungan ombak besar sebuah perahu kayu.
Perahu meluncur pesat tanpa didayung. Di atas perahu, tegak berdiri agak
membungkuk sang penumpang yang ternyata adalah seorang nenek berwajah keriput
angker, berpakaian selempang kain merah. Pakaian yang dikenakan begitu seronok
hingga menyingkapkan bagian dada, perut bahkan aurat terlarang di bawah pusar.
Rambutnya yang Juga berwarna marah melambai riap-riapan ditiup angin laut
Sepasang
mata merah menatap tajam ke depan. Mulut perot menyeringai memperlihatkan
barisan gigi serta lidah yang Juga berwarna marah. Sesekali dia keluarkan suara
bersiul seolah menyenangi alunan ombak yang menghantam, membuat perahu melesat
ke udara sampai setinggi satu tombak.
"Hik
… hikt Tujuh bulan aku menunggu! Malam ini maksudku akan kesampaian! Dia
dapatkan ilmu. Aku dapatkan tubuhnya yang kekar hangatl Hik… hik.. aku tahu.
Aku tahu. Itunya pasti… hik… hik! Ki Batang Kerso kau tidak ada apa-apanya
dibanding dengan orang itu! Hik… hik! Ah…. Aku akan mendapatkan sejuta nikmat
malam ini. Juga malam-malam lain setiap aku membutuhkan dia atau dia
menghendaki diriku!"
Dalam
asyiknya bicara sendiri sambil sesekali bersiul si nenek seperti tidak
menyadari kalau perahu di atas mana dia berada hanya tinggal satu tombak lagi
dari lamping batu hitam yang membentuk dinding batu setinggi belasan tombak. Si
nenek masih saja tertawatawa sambil membayangkan kenikmatan yang akan
dirasakannya malam itu.
"Braaakkk!"
Perahu
kayu menghantam dinding batu. Hancur berantakan. Sosok si nenek tidak
kelihatan. Tetapi astaga! Nenek berpakaian selempang kain merah itu sekejap
kemudian kelihatan melesat ke udara, lalu melayang laksana seekor burung besar
untuk kemudian menukik turun dan jejakkan kaki tepat di depan sebuah goa. Bau
kemenyan menghampar keluar dari dalam goa. Manusia biasa pasti akan bergidik
berada di tempat itu.
Orang
yang memiliki kesaktian dan ilmu meringankan tubuh bagaimanapun tingginya
tidak akan mungkin melompati dinding batu setinggi belasan tombak. Namun si
nenek dengan mempergunakan kecerdikan berhasil membuat lompatan yang melesatkan
tubuhnya ke atas melewati dinding batu dengan cara meredam lalu mengandalkan
daya kekuatan benturan antara perahu dengan dinding batu sewaktu terjadi
tabrakan.
Masuk ke
dalam goa yang konon bernama Goa Giri jati, si nenek dapatkan seorang lelaki
bertubuh tegap hanya mengenakan sehelai celana pendek hitam, duduk bersila di
lantai goa. Rambut tebal hitam menjulai sebahu. Kumis dan janggut panjang
meranggas. Ketenangan tampak di wajahnya yang gagah dalam usia belum mencapai
setengah abad. Dadanya yang bidang menonjolkan otot-otot yang masih kekar. Di
sudut goa sebelah kanan ada sebuah obor kecil. Sementara di sudut goa sebelah
kiri ada pendupaan menyala menebar harum bau kemenyan.
"Anak
manusia bernama Wira Bumi, pejabat Tumenggung Kerajaan. Hentikan tapa samadimu.
Waktu perjanjian tujuh bulan sudah kau selesaikan. Apa kau tidak mencium
keharuman diriku berdiri di depanmu?"
Si nenek
keluarkan ucapan. Lalu dua tangannya dikibaskan ke depan. Saat itu juga bau
harum aneh memenuhi seluruh goa bahkan menghampar keluar dan ditebar oleh
tiupan angin kemana-mana. Cuping hidung lelaki yang duduk bersamadi kelihatan
bergerak-gerak pertanda dia sudah mencium bau harum yang ditebar si nenek.
Perlahan-lahan dia turunkan dua tangan yang sejak tadi didekapkan di dada lalu
diletakkan di atas lutut kiri kanan. Perlahan-lahan pula orang ini membuka
sepasang matanya. Begitu pandangannya membentur sosok si nenek seria merta
sepasang mata itu membuka lebih besar dan mulut berucap.
"Nyai…"
"Nyai!
Nyai siapa?! Ada ratusan Nyai di kawasan ini!" Si nenek menyentak.
"Nyai
Tumbal Jiwo!"
"Nah
itu memang namaku! Hik… hik… hik."
"Nyai,
kau datang….apakah…"
"Wira
Bumi, hari ini tapa samadimu yang kau lakukan selama tujuh bulan telah selesai.
Sesuai permintaanmu, kau akan mendapatkan rejeki besar dalam hidupmu, kau akan
dianugerahi jabatan lebih tinggi dari yang kau miliki sekarang. Dan yang paling
penting kau sudah mendapatkan dan menguasai semua ilmu kesaktian yang kau
inginkan…"
"Nyai
Tumbal Jiwo!" Lelaki bernama Wira Bumi yang menjabat sebagai Tumenggung
Kerajaan itu buru-buru jatuhkan diri. berlutut di hadapan si nenek sambil
berulang kali mengucapkan terima kasih.
"Dengar
dulu, bicaraku belum selesai Wira Bumi!"
"Maafkan
saya Nyai…"
"Kau
mengakhiri tapa samadi dan mendapatkan apa yang kau minta dengan cara dan jalan
yang tidak mulus. Ingat peristiwa lahirnya seorang bayi perempuan dari istri
mudamu bernama Retno Mantili?"
"Saya
Ingat Nyai. Saya mengaku lalai dan salah. Saya sudah mohon pengampunan dan Nyai
telah memberikan kebijaksanaan."
Si nenek
berambut merah menyeringai. "Apa yang kau katakan betul. Namun aku tidak
bisa menguasai seluruh alam roh dan alam gaib. Aku sudah memberi jalan yaitu
kau harus membunuh bayi yang lahir itu. Namun orang suruhanmu, pembantu bemama
Djaka Tua justru melarikannya. Sampai saat ini walau tidak tahu berada dimana
tapi bayi itu masih hidup…"
"Kalau
begitu saya akan turun tangan sendiri Nyai. Saya akan cari bayi itu dan
membunuhnya."
"Kau
juga harus membunuh Nyi Retno Mantili."
"Perintah
Nyai akan saya laksanakan," jawab Wira Bumi.
Sepasang
mata merah Nyai Tumbal Jiwo berkilat-kilat memperhatikan sosok Wira Bumi.
Wira
Bumi, setelah nanti kau kembali ke Kotaraja, kau harus melaksanakan satu
kaulan. Yaitu mengadakan pesta hiburan untuk rakyat banyak yang pasti juga akan
dihadiri oleh mahluk-mahluk dari alam roh secara tidak kelihatan. Kau harus
menyediakan satu meja khusus dilengkapi sesajen, dihias kembang tujuh rupa. Kau
juga harus menyalakan pendupaan ditaburi setanggi di empat sudut rumah
kediamanmu. Kau mendengar dan mengerti?"
"Jelas
dan mengerti Nyai," jawab Tumenggung Wira Bumi pula.
"Bagus,"
si nenek tersenyum. Sepasang matanya kembali berkilat. "Ada satu hal lagi.
Sebelum kau meninggalkan Goa Girijati ini, ada satu hal yang harus kau lakukan.
Maksudku kita! Ini termasuk cara penangkal atas semua kelalaian yang kau
lakukan."
"Apa
yang Nyai akan katakan akan saya lakukan."
Nyai
Tumbal Jiwo angkat dua tangan ke atas merapikan rambut merah riap-riapan.
Sekali dia menggerakkan bahu dan pinggul maka selempang kain merah yang jadi
pakaiannya tanggal jatuh ke lantai goa.
"Nyai…."
Wira Bumi
melihat sosok telanjang Nyai Tumbal Jiwo. tubuh kurus dibalut kulit hitam
keriput. Lelaki ini cepat tundukkan kepala tak berani memperhatikan lebih lama.
‘Tubuhku
jelek, wajahku buruk. Apakah kau jijik melihat diriku?" Nyai Tumbal Jiwo
bertanya.
"Tidak
Nyai, saya tidak jijik…."
"Lalu
mengapa kau tundukkan kepala tak berani memandang diriku."
"Maafkan
Nyai. Saya menaruh hormat dan tidak mau berbuat kurang ajar," jawab
Tumenggung Wira Bumi.
Si nenek
tertawa panjang.
"Angkat
kepalamu! Lihat diriku!"
"Maaf
Nyai, saya tidak berani…"
"Wira
Bumi! Ini perintah. Kalau kau tidak melaksanakan maka semua ilmu kesaktian yang
kau miliki akan tidak ada gunanya."
Mau tak
mau Wira Bumi angkat kepala, memandang ke arah sang guru. Sepasang mata lelaki
ini serta merta mendelik besar. Tak percaya akan apa yang dilihatnya. Di
hadapannya kini berdiri bukan lagi seorang nenek hitam keriput berwajah setan.
Melainkan seorang gadis. Wajah yang tadi buruk kini berubah wajah cantik
jelita. Kulit yang hitam keriput kini tampak kuning langsat dan mulus. Dada
yang sebelumnya rata ceper kini berubah padat besar membusung.
"Bagaimana,
apakah kini kau suka melihat diriku seperti ini?" Bertanya si gadis yang
merupakan jejadlan Nyai Tumbal Jiwo.
"Nyai,
saya…"
Gadis
cantik jelita yang tidak terlindung auratnya oleh selembar benang itu melangkah
ke arah Wira Bumi.
"Wira
Bumi, kau harus menghiburku. Puluhan tahun hidup di alam roh, terpendam dalam
tanah rasanya seperti di neraka…" Lalu si gadis cantik dudukkan diri di
pangkuan Wira Bumi. Rangkulkan dua tangan ke punggung lelaki itu dan
mendekapnya erat-erat.
Tujuh
bulan tak pernah menyentuh perempuan, membuat Wira Bumi laksana terpanggang
oleh nafsu. Wajahnya dibenamkan ke dada putih padat sehingga si gadis
menggeliat dan mendesah panjang talu melumat leher lelaki itu dengan gigitan
penuh gairah.
**********************
2
DALAM
episode berjudul "Lentera Iblis" diceritakan Pendekar 212 Wiro
Sableng pergi ke puncak Gunung Gede guna menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Di
sana telah berada Nyi Retno Mantili. Wiro hampir pangling karena Nyi Retno kini
berada dalam keadaan bersih, mengenakan pakaian baru kembang-kembang biru dan
kuning. Selain itu dia juga berdandan apik hingga untuk pertama kalinya
Pendekar 212 menyadari betapa cantik dan, anggunnya perempuan malang ini. Dia
juga kaget ketika kemudian mengetahui kalau Nyi Retno Mantili pernah tinggal di
tempat itu bahkan sudah merupakan murid sang Kiai karena kepadanya diajarkan
beberapa ilmu kesaktian agar dapat melindungi diri.
Dalam
pertemuan dengan sang Kiai, demi untuk menjaga keselamatan Wiro, Kiat Gede Tapa
Pamungkas melenyapkan jarahan tiga angka 212 di dada sang pendekar. Lalu Kapak
Naga Geni 212 berikut batu sakti secara gaib dimasukkan ke dalam tubuh Wiro.
Sebelum
meninggalkan telaga tiga warna tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas, orang
tua itu berpesan agar Wiro menjaga baik-baik Nyi Retno Mantili. Dalam
perjalanan, sambil beristirahat dibawah sebatang pohon, Wiro berkata.
“Nyi
Retno. ada satu hal yang hendak aku sampaikan padamu”.
"Ah,
senangnya aku mendengar kata-katamu. Katakanlah apa yang hendak kau ceritakan.
Bicara yang keras agar Kemuning bisa mendengar, kata Nyi Retno Mantili.
Kemuning adalah boneka kayu yang selalu dibawa kemana-mana oleh Nyi Retno dan
dianggap sebagai anak oleh perempuan yang berubah ingatan ini akibat lenyapnya
bayi yang dilahirkannya.
"Nyi
Retno, beberapa hari lalu, dan keterangan Djaka Tua aku berhasil mencari tahu
siapa adanya orang tua yang mengambil bayimu dari pembantu itu." Kening
Nyi Retno mengerenyit. Alis yang lengkung bagus naik ke atas.
"Tunggu
dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Hik… hik! Bayiku ada di sini. Lihat Ini.
Kemuning! Ini bayiku! Ini anakku!" Nyi Retno angkat boneka kayu yang
dipegangnya lalu didekatkan ke wajah Wiro sambil tertawa panjang.
"Lucu
atau tidak lucu seharusnya kau bertanya siapa adanya orang tua itu." Wiro
jadi mengkal.
Habis
tertawa Nyi Retno berkata, "Kau tahu Wiro, justru ada hal lain yang ingin
aku bicarakan. Tadi malam aku bermimpi. Mimpi buruk. Dalam mimpi aku melihat
Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Aku kawatir…"
"Tak
ada yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Djaka Tua berada di kediaman Ki
Tambakpati yang baru. Tidak ada orang yang tahu. Tempatnya aman.." Dalam
hati Wiro mengomel. "Aku bicara soal anaknya dia bicara soal mimpi!
Geblek. Nggak nyambung!"
MIMPI Nyi
Retno Mantili ternyata menjadi kenyataan. Ketika sampai di pondok tempat
kediaman Ki Tambakpati yang tersembunyi di satu hutan jati, bangunan itu
ditemukan dalam keadaan porak poranda, nyaris sama rata dengan tanah. Yang
paling mengejutkan Wiro dan Nyi Retno mendapatkan pembantu malang itu telah
menemui ajal secara mengenaskan. Djaka Tua digantung di dahan satu pohon besar,
kaki ke atas kepala kebawah. Keadaan mayat yang mulai membusuk pertanda
pembantu malang itu telah menemui ajal paling tidak sekitar dua hari lalu.
Nyi Retno
Mantili menjerit keras. Seperti kemasukan setan dia hendak menghancurkan pohon
besar. Wiro cepat merangkul perempuan itu.
"Nyi
Retno, tenang. Biarkan aku mengurus jenazah Djaka Tua dulu…"
"Aku
akan mencari siapa pembunuhnya!" teriak Nyi Retno.
"Kita
akan menemukan pembunuh terkutuk Itu. Sekarang harap Nyi Retno menjauh dulu.
Aku akan menurunkan mayat Djaka Tua lalu membuat lobang untuk mengubur.’"
"Orang
sebaik dia dibunuh! Sungguh keterlaluan!" Nyi Retno menjerit lalu menangis
keras sambil mendekap boneka kayu ke dadanya. "Apa memang selalu seperti
ini nasib seorang pembantu? Dihina, dinista, diperlakukan semena-mena bahkan
dibunuh!" Di hadapan makam Djaka Tua Nyi Retno Mantili bersimpuh di tanah.
Lalu dengan suara masih terisak dia bertanya.
"Wiro,
kau tahu, paling tidak bisa menduga. Siapa manusia terkutuk yang membunuh
pengasuh Kemuning itu?"
Wiro
menggaruk kepala. "Aku menaruh curiga pada Cagak Lenting. Orang yang
mengaku dapat tugas dari Patih Kerajaan. Setelah bentrok dengan Nyi Retno dia pasti
melapor pada Patih di Kotaraja. Lalu Patih Kerajaan mengirim orang ke sini.
Mungkin Cagak Lenting atau bisa juga Patih Kerajaan turun tangan sendiri."
"Hanya
untuk membunuh seorang pembantu Patih Kerajaan turun tangan sendiri? Sulit
dipercaya! Pasti ada sesuatu dibalik perbuatannya itu."
Wiro
menatap wajah Nyi Retno cukup lama sambil berucap dalam hati. "Kata-kata
dan jalan pikirannya bukan seperti orang tidak waras…"
"Seharusnya
kubunuh manusia satu itu tempo hari! Aku akan menyelidik ke Kotaraja! Siapapun
yang terlibat kematian pengasuh Kemuning akan kubunuh habis!" Nyi Retno
hendak memutar tubuh.
Wiro
cepat pegang tangan perempuan ini.
"Nyi…
Retno tunggu dulu. Jangan bertindak tergesa-gesa. Yang aku pikirkan saat ini
adalah Ki Tambakpati. Ini tempat kediamannya. Tapi dia tidak kelihatan. Aku
kawatir diapun sudah jadi korban keganasan…"
Belum
selesai Wiro berucap tiba-tiba dari balik rerumpunan di arah kanan satu pohon
besar kelihatan seseorang berjalan mengendap-endap. Wiro siapkan pukulan tangan
kosong bertenaga dalam tinggi sementara Nyi Retno segera angkat boneka kayu
lalu diarahkan pada orang di kegelapan.
"Nyi
Retno, tahan serangan. Aku seperti mengenali," ucap Wiro sambil pegang
lengan kanan Nyi Retno. "Siapa?" Wiro membentak.
"Aku!
Ki Tambakpati! Wiro apa kau tidak mengenali diriku?!"
Wiro dan
Nyi Retno melepas nafas lega. Wiro cepat mendatangi.
"Ki
Tambak, apa yang terjadi. Pondokmu dihancurkan orang!"
Djaka Tua
digantung di pohon sana. Kami baru saja menguburkan jenazahnya. Siapa yang
melakukan?"
"DjakaTua
datang ke pondokku. Aku mengobati cidera di wajah dan sekujur tubuhnya.
Menjelang pagi tiba-tiba pintu pondok didobrak dari luar. Dua orang menerobos
masuk. Ternyata mereka adalah Cagak Lenting dan Patih Kerajaan Wira Bumi! Aneh!
Patih Kerajaan melaksanakan sendiri tugas yang bisa dilakukan oleh seorang
perajurit! Mereka menghancurkan pondokku. Djaka Tua diseret keluar. Dihajar
sampai babak belur. disiksa agar mau memberi tahu dimana beradanya Nyi Retno
Mantili dan bayinya…"
"Mengapa
dua orang itu ingin tahu dimana aku dan Kemuning berada?" Nyi Retno
memotong dengan pertanyaan.
"Orang-orang
itu hendak berbuat jahat padamu," yang menjawab Wiro. Lalu memberi isyarat
pada Ki Tambakpati untuk meneruskan keterangan.
"Patih
Kerajaan membujuk. DjakaTua akan diberi uang banyak kalau mau memberi tahu
dimana beradanya Nyi Retno dan bayinya.Tapi pembantu itu tetap tak mau membuka
rahasia. Patih Wira Bumi marah sekali dan habis sabar. Dia memerintahkan Cagak
Lenting menggantung Djaka Tua di cabang pohon. Cagak Lenting alias Si Mata
Elang benar-benar menggantung Djaka Tua. Secara luar biasa kejam. Kaki ke atas
kepala ke bawah hingga pembantu itu tidak segera menemui ajal tapi tersiksa
dulu selama satu hari lebih…"
Sampai di
situ satu jeritan dahsyat menggelegar dari mulut Nyi Retno.
"Cagak
Lenting! Tunggu pembalasanku! Aku akan gorok batang lehermu! Juga kau Patih
keparat bernama Wira Bumi! Akan kuhisap darah kalian!" Selesai berteriak
Nyi Retno segera berkelebat hendak tinggalkan tempat itu.
Wiro
cepat mencegah.
"Nyi
Retno. Kau mau kemana?!"
"Wiro!
Sekali ini jangan berani menghalangi diriku! Aku akan ke Kotaraja! Mencari
Cagak Lenting dan Patih Wira Bumi! Aku tidak main-main! Aku bersumpah akan
menggorok putus batang leher mereka!"
"Nyi
Retno, tenang. Jangan bertindak mengikuti hati yang sedang panas. Jika Nyi
Retno memang mau ke Kotaraja sebaiknya bersama Wiro…" Berkata Ki
Tambakpati.
"Wiro!
Mlnggir!" teriak Nyi Retno.
Wiro
masih berusaha membujuk.
Nyi Retno
habis sabar. Berteriak marah. Tangan kanan bergerak.
"Bukk"
Wiro
terjungkal jatuh duduk di tanah begitu jotosan tangan kanan Nyi Retno Mantili
mendarat di dadanya. Mukanya tampak pucat dan dada berdenyut sakit. Sesaat
segala sesuatu di sekitarnya tampak kelam.
"Gila!
Kalau saja dia memiliki tenaga dalam tinggi pasti sudah jebol dadaku! Ilmu apa
yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas pada ibu si Kemuning ini!"
Membatin Wiro.
Melihat
Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik! Kaget sendiri dan menyesal! Langsung
perempuan muda ini jatuhkan diri, memeluk sang pendekar dan menangis.
"Wiro,
aku…" Suara Nyi Retno tenggelam dalam isakan tangis.
"Nyi
Retno. kau memaksa pergi sendirian? Kau mau meninggalkan aku begitu saja?"
Mendengar
kata-kata Wiro Nyi Retno langsung menggerung. Kepala digelengkan berulang kali.
"Wiro,
kau … kau tak apa-apa?" Nyi Retno usap-usap dada yang tadi dipukulnya.
Malah menciuminya berulang kali. "Aku menyesal sekali. Mengapa kau tidak
menangkis. Mengapa kau tidak mengelak! Kau sengaja membiarkan dirimu menerima
pukulanku! Wiro! Pukul aku! Pukul!"
"Nyi
Retno, aku tahu perasaanmu. Sudahlah." Wiro peluk tubuh mungil perempuan
muda itu.
Walau
sikap dan kemarahan Nyi Retno Mantili agak mengendur namun niatnya untuk pergi
ke Kotaraja mencari Cagak Lenting dan Patih Kerajaan tidak dapat ditahan. Malah
kini dia yang membujuk Wiro agar meluluskan permintaannya itu.
"Kemuning
akan marah dan benci padamu, jika kau tidak mau mendengar permintaan
ibunya…"
Wiro
garuk kepala lalu tertawa.
"Baik.
kita sama-sama ke Kotaraja. Tapi dengan satu syarat."
"Mengapa
pakai syarat segala?" tanya Nyi Retno.
"Syarat
apa?"
Terus
terang saja aku juga punya banyak tugas yang belum aku lakukan. Mencari sebuah
kitab pengobatan. Mencari tusuk konde guruku yang dicuri orang…"
"Segala
tusuk konde saja jadi masalah. Pergi saja ke pasar kau bisa beli. Berapa banyak
yang diperlukan gurumu?! Satu bakul atau satu karung?!"
Wiro
tertawa dan tepuk-tepuk pipi Nyi Retno Mantili. "Tugasku paling penting
adalah mencari manusia terkutuk berjuluk Hantu Pemerkosa. Dia juga dikenal
dengan nama Pangeran Matahari. Manusia paling jahat dalam rimba
persilatan…"
"Oooo
begitu?" Nyi Retno runcingkan bibir."Wiro kalau kau memang punya
banyak tugas, sudah aku pergi sendiri saja! Aku tidak mau merepotkan
orang!"
Habis
berkata begitu Nyi Retno Mantili memutar tubuh lalu sekali melompat dia sudah
berada belasan langkah di depan sana.
"Nyi
Retno!Tunggu !Teriak Wiro lalu mengejar.Tapi sampai beberapa lama berlari dia
tidak mampu mengejar perempuan muda itu.
Malah
dari depan yang tidak disadari sang pendekar ada angin mengandung hawa aneh
yang membuat dia tidak bisa berlari lebih cepat. Ini adalah ilmu kesaktian yang
diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas pada Nyi Retno, bernama Menahan Kaki Menolak
Raga, Siapa saja orang yang melakukan pengejaran tak akan sanggup menyusul
sekalipun memiliki ilmu lari yang hebat karena dua kaki akan terasa berat
sementara dada seperti ditahan.
"Aneh,
ilmu lari apa yang dimilikinya?" pikir Wiro. Dia kembali berteriak tapi
Nyi Retno lari terus. Wiro garuk kepala mencari akal.
"Nyi
Retno, apa tidak kau dengar Kemuning menangis? Biar aku yang menggendong
nyai"
Mendengar
kata-kata Wiro itu kali ini Nyi Retno Mantili hentikan lari. Begitu Wiro sampai
di depannya Nyi Retno serahkan boneka kayu lalu kembali berlari. Namun kali ini
dia tidak menerapkan lagi ilmu Menahan Kaki Menolak Raga.
Sambil
lari di samping perempuan itu Wiro berkata.
"Nyi
Retno. aku akan mengantarkanmu ke Kotaraja Tapi ingat. Kita hanya mencari Cagak
Lenting…"
"Mencari
dan membunuhnya!" Ucap Nyi Retno sambil terus lari dan tanpa berpaling
pada Wiro. "Aku juga akan mencari Patih Kerajaan dan membunuhnya!"
"Kau
tidak boleh melakukan yang satu itu!"
Nyi Retno
tertawa panjang.
"Manusia
satu itu sama jahatnya dengan Cagak Lenting. Malah lebih Jahat. Karena dia
biang racun yang memerintahkan Cagak Lenting untuk membunuh Djaka Tual"
"Nyi
Retno, aku katakan padamu. Kau tidak boleh membunuh Patih Wira Bumi."
"Kau
membelanya. Apa dia sahabatmu?!"
"Tidak."
"Lalu
mengapa aku tidak boleh membunuh manusia jahat itu?!"
"Karena
dia adalah suamimu," jawab Wiro. "Dia adalah ayah dari puterimu yang
bernama Ken Permata. Yang saat ini sudah berusia satu tahun dan berada di satu
tempat aman bersama seorang guruku."
Nyi Retno
hentikan lari.
"Aku
tidak pemah punya suami yang namanya Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak
bernama Ken Permata!"
Wiro juga
hentikan lari, menggaruk kepala." Kumat lagi… kumat lagi
penyakitnya."
"Wiro,
kalau aku punya anak aku Ingin ayahnya adalah kau! Aku suka padamu. Kemuning
suka padamu."
Wiro
tatap wajah Nyi Retno. Sepasang mata mereka saling beradu pandang. Wiro melihat
dan seolah baru menyadari betapa bening dan bagusnya dua mata perempuan itu.
Lalu wajah mungil yang begitu jelita. Ada perasaan kasihan dalam hati sang
pendekar.
Tapi juga
ada rasa sayang.
"Ah,
hati dan perasaanku tidak boleh mempengaruhi jalan pikiran!" Ucap Wiro
dalam hati. Wiro lalu pura-pura menciumi boneka kayu.
"Wiro,
aku sedih sekali…."
"Mengapa
kau sedih Nyi Retno?"
"Kau
mencium Kemuning.Tapi tidak menciumku."
Murid
Sinto Gendeng tertawa bergelak. Dia bungkukkan kepala mencium kening Nyi Retno.
Perempuan itu berjingkat, menggayutkan kedua tangannya di leher Wiro lalu
membalas ciuman sang pendekar dengan kecupan hangat di bibir.
**********************
3
HASIL
tapa samadi yang dilakukan Wira Bumi selama tujuh bulan memang luar biasa. Tak
lama setelah dia kembali ke Kotaraja, jabatannya naik dari Tumenggung menjadi
Bendahara Kerajaan. Bersamaan dengan kenaikan jabatan itu maka uang serta
hartanya jadi berlimpah. Sekali seminggu yaitu pada setiap malam Jumat Nyi
Tumbal Jiwo selalu mengunjunginya untuk minta dilayani. Terkadang Wira Bumi
yang sudah ikut kerasukan nafsu setan si nenek datang sendiri ke makam Nyai
Tumbal Jiwo di pekuburan Kebonagung. Padahal dia masih punya dua orang istri
yang masih muda-muda dan cantik yang sejak kembali dari Goa Girijati tak pernah
disentuhnya. Di pekuburan si nenek telah menunggu dengan ujud berupa gadis
cantik. Di tempat terbuka ini, disaksikan oleh makam-makam hitam membisu
keduanya bermesraan sampai sebelum fajar menyingsing. Sebelumnya perbuatan
semacam ini sering dilakukan Nyai Tumbal Jiwo dengan Ki Batang Kerso, orang tua
kuncen penjaga makamnya sekaligus menjadi tempat pelampiasan nafsunya. Namun
sejak kuncen itu dipecundangi oleh Wira Bumi dalam satu pertarungan dan disuruh
pergi maka kini Wira Bumilah yang jadi pengganti pemuas nafsu badaniahnya.
Ternyata
Nyai Tumbal Jiwo tidak hanya menginginkan dan menuntut kesenangan dari Wira
Bumi, nenek sakti dari alam roh ini juga selalu berusaha agar Wira Bumi dapat
mencapai tingkat jabatan yang lebih tinggi. Maka diam-diam dia menyusun rencana
keji. Patih Kerajaan Sawung Giring Brajanata dibunuhnya. Pembunuhan diatur
sedemikian rupa ketika seorang Kepala Pengawal bernama Danang Kaliwarda datang
menghadap sang Patih. Ditemukannya mayat kedua orang itu di pendopo Kepatihan
mendatangkan sangka dan duga bahwa mereka saling bunuh karena masalah dendam
kesumat dimasa lampau yaitu Danang Kaliwarda dituduh berselingkuh dengan istri
tua sang Patih. Tidak sampai tiga puluh hari setelah kematian Sawung Giring
Brajanata, Wira Bumi diangkat menjadi Patih Kerajaan yang baru.
SESUAI
dengan perintah Nyai Tumbal Jiwo. sekaligus sebagai syukuran atas
pengangkatannya menjadi Patih Kerajaan, Raden Mas Wira Bumi mengadakan pesta
besar di alun-alun di depan Gedung Kepatihan. Disamping itu dia mengharap pada
pesta keramaian itu dia dapat menyirap kabar dimana beradanya Nyi Retno Mantili
dan bayi perempuannya.
Yang
paling banyak datang selain penduduk Kotaraja adalah penduduk di desa-desa.
Para tamu disuguhi makanan serta minuman melimpah ruah, juga ada hiburan berupa
tari-tarian. ketoprak serta akrobat. Setelah para tamu dikocok perutnya dengan
lawakan ketoprak maka kini giliran pertunjukan akrobat yang sudah
ditunggu-tunggu orang banyak karena memang jarang-jarang ada.
Acara
pertama pertunjukan akrobat dilakukan oleh enam pemuda gagah berseragam pakaian
ringkas warna merah dan dua gadis cantik berseragam pakaian biru. Didahului
suara tiupan terompet seorang pemuda bertubuh paling besar dan kekar naik dan
berdiri kokoh di tengah panggung, memanggul sebuah balok melintang di bahu kiri
kanan. Gong berbunyi. Dua gadis melompat ke atas panggung, menari memutari
pemuda yang memanggul balok.Tak berapa lama kemudian gong berbunyi lagi. Kali
ini dua kali berturut-turut. Maka dua pemuda dengan gagah dan gerakan ringan
melompat ke atas potongan balok. Satu di sebelah kiri, satu mengimbangi di
sebelah kanan. Gerakan mereka menjejakkan kaki di atas balok harus pada saat
bersamaan. Kalau tidak maka balok akan jomplang dan salah seorang dari dua
pemuda akan tejerumus jatuh.
Kembali
gong ditalu dua kali. Dua pemuda lagi melesat ke udara, jungkir balik satu kali
lalu melayang turun dan dalam saat bersamaan jatuhkan diri duduk di atas bahu
dua kawannya yang berdiri di atas balok.
Orang
banyak bertepuk tangan, sorak riuh memenuhi seantero tempat. Ada pula yang
bersuit-suit tiada henti. Ketika gong kembali berbunyi. orang banyak menahan
nafas. Pemuda terakhir bertubuh tinggi lentur melompat ke sebuah bantalan
karet. Tubuhnya dengan membal melesat ke udara Sesaat kemudian pemuda ini telah
berdiri dengan kaki kiri kanan menginjak bahu dua pemuda yang duduk di atas
bahu dua teman lainnya. Kembali tempat itu dipenuhi tepuk tangan serta sorakan
kagum.
Puncak
pertunjukan akrobat yang menegangkan ini segera datang. Dua gadis yang sejak
tadi menari berputar-putar, sambil bergandengan tangan berlari ke arah bantalan
karet Di tangan masing-masing ada sebuah payung kertas warna kuning. Gong
berbunyi lagi. Kali ini disertai tabuhan tambur dan tiupan seruling.
Dua gadis
berteriak nyaring lalu melompat ke atas bantalan karet. Saat itu juga tubuh
mereka yang masih saling berpegangan satu sama lain melesat ke udara. Begitu
mulai bergerak turun keduanya sama kembangkan payung kuning. Gerakan mereka
waktu melayang turun indah sekali. Perlahan-lahan dua gadis ini letakkan salah
satu kaki di bahu kiri kanan pemuda yang tegak berdiri di atas bahu dua
temannya.
Suara
gong dan tambur bertalu-talu. Tiupan seruling mencuat nyaring. Pemuda yang
berdiri diatas panggung yakni yang memanggul balok besar perlahan-lahan mulai
memutar tubuhnya. Balok diatas bahu ikut berputar. Selanjutnya para pemuda
berpakaian merah yang ada di atas turut pula berputar. Di tingkat paling atas
dua gadis berpakaian biru menari lemah gemulai sambil tersenyum-senyum. Sungguh
tontonan luar biasa! Semua orang menyaksikan dengan menahan nafas, mata tak
berkedip. Namun sesaat kemudian pekik sorak serta tepuk tangan dan suitan
kembali menggema di tempat itu.
Suara
gong dan tambur terus bertalu-talu tiada henti. Tiupan seruling
melengking-lengking. Lalu terdengar suara tiupan terompet. Itulah pertanda
bahwa pertunjukan pertama dari rombongan akrobat ini berakhir sudah. Dua gadis
cantik berpakaian biru berseru nyaring. Tubuh mereka yang sejak tadi
berpegangan melesat berpisah. Satu ke kiri satu ke kanan. Dengan mengandalkan
daya tahan payung kuning yang terkembang keduanya melayang turun sambil
meliuk-liukkan tubuh. Pemuda paling atas menyusul melompat turun setelah lebih
dulu berjungkir balik di udara. Dua pemuda lainnya mengikuti melompat turun,
tak lupa berjungkir balik satu kali sebelum menjejakkan kaki di panggung.
Pada saat
itulah satu sosok berpakaian hijau entah dari mana munculnya ikut melesat jatuh
ke bawah. Semua orang jadi heran. Mengapa orang yang turun jadi tiga dan satu
berpakaian hijau. Geger besar melanda semua orang yang ada di tempat
pertunjukan sesaat kemudian. Kalau dua orang pemuda berpakaian merah jejakkan
kaki di lantai panggung dengan gerakan enteng hampir tanpa suara maka
sebaliknya sosok ketiga yang berpakaian hijau jatuh terbanting dengan suara
keras.
"Braakkk!"
SEBELUM
melanjutkan apa yang terjadi dalam pesta di Gedung Kepatihan kita ikuti dulu
perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Nyi Retno Mantili. Keduanya sampai
di Kotaraja pada malam yang sama di mana tengah berlangsung pesta di tempat
kediaman Patih Kerajaan. Dari tempat tersembunyi mereka memperlihatkan
gerak-gerik orang ini.
Cagak
Lenting langsung mencari tempat duduk di antara para tamu terkemuka melainkan
berjalan memutari panggung lalu melangkah ke arah timur lapangan yang dipenuhi
banyak orang. Sekaligus menyirap kabar keberadaan orang-orang tertentu.
"Wiro!"
Suara Nyi Retno Mantili bergetar. Dia menunjuk ke arah Cagak Lenting. "Itu
jahanamnya!" Darah langsung naik ke ubun-ubun. sepasang mata berkilat
penuh amarah."Aku akan membunuhnya saat ini juga.
"Jangan
lakukan di sini, Nyi Retno," Wiro cepat mencegah. "Kita harus
mengerjakannya di tempat sepi."
"Mana
ada tempat sepi di sini. Lihat saja, orang begini banyak, berjubalan!"
Wiro
menunjuk ke atap Gedung Kepatihan yang luas. "Kau naik ke atas atap itu.
Aku akan memancing cagak Lenting…"
Nyi Retno
tampak seperti berpikir lalu tersenyum dan anggukan kepala. Dia. meenyelinap di
antara orang banyak. Di ujung lapangan sebelah timur perempuan ini naik ke atas
tembok halaman belakang lalu melesat ke atas atap Gedung Kepatihan.
**********************
4
NYl RETNO
tidak menunggu lama. Dalam kegelapan malam dia melihat dua orang melesat ke
atas wuwungan. Di sebelah depan Wiro sedang di belakang menyusul lelaki
berpakaian hijau.
"Pendekar
Dua Satu Dua! Kalau kau memang benar mau menunjukkan dimana beradanya Nyi
Retno, aku tidak akan mencari perkara denganmu. Setelah aku melihat perempuan
itu kau bebas pergi. Tapi ingat, jika kau memperdayai diriku di sini ada lebih
dari selusin tokoh silat Istana. Kau bisa mati konyol!"
"Jahanam
pembunuh Djaka Tua! Kau yang akan mampus duluan! Aku Nyi Retno Mantili yang kau
cari ada di sini!"
Tiba-tiba
dari atas atap Gedung Kepatihan terdengar bentakan perempuan. Berpaling ke kiri
Cagak Lenting melihat Nyi Retno Mantili berdiri di atas atap sambil memegang
boneka kayu.
Walau
agak kaget namun Cagak Lenting umbar senyum dan berkata. "Nyi Retno. Aku
membekal pesan dari Patih Wira Bumi. Apapun kesalahanmu dia telah memaafkan.
Sekarang mari turun. Ikuti aku menemuinya."
Nyi Retno
menatap mendelik lalu tertawa panjang. Sementara di bagian atap yang lain
Pendekar 212 berjaga-jaga kawatir Cagak Lenting akan mengirimkan serangan
membokong. Baik Nyi Retno maupun Wiro tidak percaya pada ucapan Si Mata Elang
ini.
"Cagak
Lenting, undangan Patihmu aku terima. Tapi apakah aku boleh membawa serta
anakku Kemuning?" Nyi Retno bertanya.
"Tentu
saja Nyi Retno.Tentu saja…." jawab Cagak Lenting.
"Nyi
Retno, awas orang mau menipu!" bisik Wiro.
"Ssttt.’Nyi
Retno letakkan telunjuk tangan kanan melintang di atas bibir. Mata dikedipkan
lalu berpaling pada Cagak Lenting. Sambil tersenyum dia berkata.
"Kalau
begitu katamu jalanlah duluan! Maksudku jalan duluan ke neraka! Hik…hik…
hik!"
Nyi Retno
tertawa melengking. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang memegang boneka
kayu bergerak meremas pinggang. Dua larik sinar putih melesat keluar dari
sepasang mata boneka, menyambar ke arah Cagak Lenting. Lelaki ini tidak sempat
keluarkan teriakan apalagi menyingkir selamatkan diri. Dua sinar putih mendarat
tepat membelah di pertengahan kepala. Tubuh roboh tergeletak di atas atap.
Darah bergelimang sampai ke dada. Seperti orang kemasukan setan Nyi Retno
Mantili angkat tubuh Cagak Lenting. Mulutnya siap hendak menggeragot leher dan
menghisap darah orang yang telah membunuh Djaka Tua Ini.
"Nyi
Retno! Jangan!" teriak Wiro mencegah. Dia cepat tarik mayat Cagak Lenting
lalu dilempar ke bawah gedung. Tepat jatuh di atas panggung hiburan yang saat
itu ada pertunjukan akrobat.
"Braakk!"
Tubuh
bagian pinggang ke bawah Cagak Lenting amblas masuk ke bawah panggung yang
jebol. Sementara bagian pinggang ke atas terhenyak di atas lantai. Darah
mengucur dari batok kepalanya yang rengkah. Orang banyak merasa aneh. Sewaktu
jatuh kepala itu tidak menabrak lantai panggung. Berarti kepala itu memang
sudah belah dan wajahnya sudah hancur sebelum orang ini menghantam panggung!
Darah mengucur menggidikkan. Orang banyak mulai ada yang berteriak-teriak.
Suasana serta merta jadi kacau balau!
Dua gadis
pemain akrobat menjerit ketakutan setengah mati, lari ke bawah panggung
ditolong oleh beberapa temannya. Patih Wira Bumi, seorang Perwira Tinggi
Kerajaan dan dua orang tokoh silat Istana serta merta melompat ke atas
panggung.
"Cagak
Lenting!"
Beberapa
orang termasuk Patih Wira Bumi samasama berseru kaget ketika mengenali siapa
adanya orang berpakaian hijau yang menemui ajal secara mengerikan di atas
panggung pertunjukan itu walau kepala dan wajahnya nyaris hancur. Perwira
Tinggi dan seorang tokoh silat segera menarik tubuh orang berpakaian hijau dari
jepitan papan tebal lalu dibaringkan di lantai panggung. Orang ini ternyata
memang Cagak Lenting yang dikenal dengan julukan Si Mata Elang.
"Kanjeng
Patih, ada secarik kertas menempel di punggung mayat." Perwira Tinggi Suko
Daluh yang barusan menarik tubuh Cagak Lenting memberi tahu. Dia mengambil
kertas itu, tanpa membaca tulisan yang tertera, kertas langsung diserahkan pada
Patih Wira Bumi.
Ketika
membaca tulisan di atas kertas, kaget sang Patih bukan alang kepalang. Wajahnya
berubah. Karena ternyata tulisan itu ditujukan padanya.
Patih
Kerajaan, siapapun namamu! Malam Ini aku telah menyelesaikan sebagian dari
hutang dendam di antara kita. Kau dan Cagak Lenting telah membunuh Djaka Tua
secara keji. Cagak Lenting telah menerima bagiannya. Giliranmu segera datang.
Bersiaplah menghadap setan neraka!
Tampang
Wira Bumi berubah kelam membesi. Rahang menggembung pelipis bergerak-gerak.
Sepasang mata seperti menyala. Kertas yang dipegang diremas hingga hancur jadi
bubuk!
"Perwira…"
ucap Patih Wira Bumi dengan suara bergetar. "Jika ada orang sanggup
membunuh Cagak Lenting lalu mampu melemparkan mayatnya tanpa satupun di antara
kita mengetahui, berarti si pembunuh memiliki tingkat kepandaian sangat luar
biasa. "Aku…."
Belum
habis sang Patih berucap tiba-tiba seseorang berteriak.
"Ada
orang di atas atap!"
Patih
Wira Bumi mendongak ke atas atap Gedung Kepatlhan.
Dia tidak
melihat apa-apa namun siap hendak melompat ke atas wuwungan gedung.
"Kanjeng
Patih, biar kami yang mengurus penyusup kurang ajar itu!" Kata Perwira
Tinggi Suko Daluh. Lalu bersama tokoh silat Istana bernama Ki Wulur Jumena dan
Ki Genta Kemillng dia melesat ke atas atap Gedung Kepatihan. Saat itulah dari
atas atap gedung yang gelap berkiblat dua larik cahaya putih menyilaukan
disertai tawa cekfkikan. Dua jeritan merobek udara malam. Tubuh Perwira Tinggi
Suko Daluh dan tokoh silat Ki Wulur Jumena melayang jatuh ke bawah. Orang
banyak yang ada di sekitar panggung berteriak dan cepat menyingkir. Dua tubuh
malang itu tergelimpang di tanah. Kepala laksana dibelah. Wajah dan sekujur
tubuh bergelimang darah. Semua terjadi begitu cepat!
Patih
Wira Bumi lari mendatangi. Dia bertanya pada tokoh silat Istana yang selamat.
"Ki
Genta Kemiling? Apa yang terjadi?"
Dengan
wajah pucat dan tengkuk masih dingin Ki Genta Kemiling menjawab.
"Saya
melihat dua orang di atas atap. Ketika kami bertiga menyerbu, tiba-tiba ada dua
larikan cahaya putih. Satu menghantam Perwira Tinggi Suko Daluh, satunya
menghajar Ki Wulur Jumena. Saya masih sempat menyingkir. Suko Daluh dan Ki
Wulur menjerit lalu terpental jatuh ke tanah. Saya coba mengejar dua orang yang
masih ada di atas atap. Namun cepat sekail mereka berkelebat pergi dan lenyap
di kegelapan malam di arah timur."
"Apakah
kau sempat melihat atau mengenali siapa mereka?"
"Saya
hanya melihat sekilas.Tidak bisa mengenali. Mereka satu perempuan satu
telaki."
Tampang
Patih Kerajaan jadi berkerut. Sulit dia menduga siapa adanya ke dua orang itu.
"Kalau
memang Nyi Reno Mantili yang melakukan pembalasan, bagaimana dia mampu berbuat.
Dia tidak memiliki ilmu silat apalagi ilmu kesaktian. Tapi ada kabar yang
mengatakan bahwa dia pernah berada di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas
di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan… Lalu siapa penyusup satunya? Seorang
lelaki…."
"Kanjeng
Patih, apa yang akan kita lakukan. Suasana pesta sudah kacau balau…"
Bertanya Ki Genta Kemiling.
"Minta
semua tamu meninggalkan tempat ini. Suruh mereka pulang. Aku…" Sang patih
tak dapat meneruskan kata-kata. Dia memutar tubuh dan bergegas masuk ke dalam
Gedung Kepatthan. Sampai di dalam gedung dia langsung masuk ke sebuah kamar
yang tidak seorang lainpun boleh berada di situ kecuali dirinya.
Sementara
itu di atas Gedung Kepatihan Wiro pegang lengan Nyi Retno.
"Nyi
Retno, lekas! Kita harus tinggalkan tempat ini!"
"Enak
saja kau bicara! Aku masih mau membunuh bangsat bernama Wira Bumi Patih
Kerajaan. Aku sudah bisa menduga yang mana orangnya pasti orang berpakaian
mewah, bertubuh besar yang sedang bicara di sana itu!"
"Nanti
saja Nyi Retno. Keadaan di bawah sana sangat kacau. Bisa berbahaya bagi dirimu.
Aku melihat banyak tokoh silat Istana berkeliaran. Selain itu Patih Kerajaan
tak tampak lagi di tempatnya." Tanpa menunggu lebih lama Wiro lalu menarik
lengan Nyi Retno. Namun perempuan ini cepat menghindar dan di lain kejap
sosoknya seolah lenyap ditelan kegelapan malam di atas wuwungan Gedung
Kepatihan. Wiro memandang berkeliling, menggaruk kepala.
"Dia
menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri pemberian Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Aku tak mungkin menemukannya…."
BEGITU
berada dalam kamar,Wira Bumi nyalakan sebuah pelita kecil lalu tanggalkan semua
pakaian yang melekat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang begitu rupa dia naik
ke atas tempat tidur, berbaring menelentang. Mata dipejamkan, mulut berucap
perlahan.
"Nyai
Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan dirimu."
Tiba-tiba
ada desir sambaran angin. Satu bayangan merah menyusup masuk lewat celah
jendela lalu membentuk sosok seorang nenek. Sosok ini kemudian dengan cepat
berubah menjadi sosok seorang gadis cantik menebar bau harum. Dua kali
menggoyangkan tubuh pakaian yang melekat tanggal jatuh ke lantai. Gadis ini
naik ke atas ranjang.
"Wira
Bumi. aku datang. Aku sudah berbaring di atas tubuhmu. Apakah kau merindukan
diriku atau ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiranmu? Mari kita bercinta
dulu. Semua kerinduan dan kesulitan akan sirna."
**********************
5
KAWASAN
kaki selatan Gunung Lawu. Di satu pedataran tandus yang dikenal dengan sebutan
tanah Plaosan, tak jauh dari reruntuhan candi tua yang nyaris tidak berbentuk
lagi. Saat itu di ambang sore. Hawa panas yang sejak siang mendera pedataran
kini mulai berkurang. Tiupan angin dari timur perlahan-lahan merubah udara
menjadi sedikit sejuk. Dua orang tampak duduk bersila di depan sebuah lobang
yang baru saja mereka gali. Dari mulut mereka keluar suara meracau
berkepanjangan entah merapal apa.
Di tanah
di depan kedua orang ini tergeletak gulungan daun lontar kering. Di tepi lobang
sebelah kanan terbujur satu sosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat,
dibungkus dengan anyaman tikar daun pandan kering. Setiap angin bertiup mayat
itu menebar bau busuk bercampur wanginya daun pandan kering. Menimbulkan
perpaduan bau yang memuakkan dan bisa membuat orang muntah. Namun ke dua orang
tadi tampaknya tenang-tenang saja seolah tidak berhidung tidak punya
penciuman.
Lalat
mulai banyak beterbangan. Di langit serombongan burung gagak hitam pemakan
mayat terbang berputar-putar lalu hinggap di satu pohon yang hanya tinggal
batang, cabang dan ranting tak berdaun menatap mengintai mangsa yaitu mayat
yang dijaga dua orang di samping lobang.
Dua orang
lelaki yang duduk di depan lobang sebentar-sebentar menatap ke langit,
memperhatikan sang surya yang warna putihnya penahan berubah kuning kemerahan.
Wajah mereka menunjukkan rasa kawatir. Orang di sebelah kanan bertubuh kurus
tinggi, berpakaian kembang-kembang warna warni. Memiliki rambut hitam lurus
berjingkrak ke atas seperti lidi. Kulit wajah dicat warna merah bergaris-garis
hitam. Sepasang mata diberi sipat kelabu kehitaman. Dihias sepasang alis kereng
melengkung hitam serta bibir dilapisi gincu warna ungu. Sepuluh kuku jari dipelihara
panjang, dilapis cat berwarna ungu sama. dengan wama gincu.
Teman di
sebelah si muka merah Ini memiliki wajah yang dicat kuning diberi garis-garis
hijau, bertubuh katai, mengenakan pakaian kuning kegombrongan. Seperti si muka
merah lelaki satu ini juga memiliki rambut lurus hitam menyerupai lidi.
Si muka
merah bergaris hitam memandang lagi ke arah sang surya di langit, sebelah
barat. Mulutnya berucap. Suaranya halus seperti perempuan.
"Saudaraku
Momok Pertama, Tukak Racun Kuning, tak lama lagi matahari akan segera
tenggelam. Saudara kita si Momok Ketiga Denok Tuba Biru belum juga datang.
Kalau matahari sampai tenggelam dan jenazah guru belum masuk ke dalam liang
lahat, celaka kita semua."
"Saudaraku
Momok Kedua Alis Bisa Merah, terus terang aku juga kawatir. Kita berharap saja
saudara kita si Denok Tuba Biru tidak melalaikan tugas, tidak mendapat halangan
apapun. Dia pasti datang di saat yang tepat…"
Baru saja
lelaki berwajah kuning selesai bicara, dari arah pedataran sebelah barat tampak
debu mengepul. Sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat berlari kencang ke
arah dua orang aneh yang duduk di tepi lobang. Mendekati lobang dan kedua orang
itu berada, kusir gerobak berseru lantang lalu tarik kuat-kuat tali kekang.
Kuda coklat meringkik keras.Sesaat kemudian kuda dan gerobak berhenti tak jauh
dari tepi lobang. Kusir gerobak melompat turun. Ternyata dia adalah seorang
perempuan berwajah biru bergaris-garis kuning, bertubuh gembrot. Pakaiannya
menyerupai baju ketat tak berlengan dan celana monyet. Dari sela ketiaknya
menyembul bulu-bulu hitam, tebal dan panjang. Pada lengan kanan sebelah atas
ada jarahan bergambar bunga mawar berwarna biru. Sepasang anting besar bulat
terbuat dan perak murni menyantet di daun telinga. Pipi yang tembam, dada yang
melar, perut gembrot dan paha gempal berayun-ayun setiap dia membuat gerakan.
Inilah Momok Ketiga si Denok Tuba Biru.
"Kalian
berdua cepat bantu aku menurunkan barang bawaan!
Lekas!
Sebentar lagi sang surya akan tenggelam!"
Mendengar
seruan itu Alis Bisa Merah dan Tukak Racun Kuning melompat bangkit dari duduk
masingmasing. Dari dalam gerobak mereka menggotong sebuah gentong besar
terbuat dari kayu besi. Dari dalam gentong yang tertutup bagian atasnya ini
membersit keluar harumnya bau tuak. Dengan hati-hati gentong itu diletakkan di
samping mayat yang terbungkus tikar daun pandan kering.
Di atas
gerobak terdapat sebatang pohon pinang kuning dan satu karung besar yang tampak
selalu bergerak-gerak serta mengeluarkan suara mendesis tiada henti. Karena
tahu apa isi karung ini. Momok Kedua Alis Bisa Merah tak mau bantu menggotong.
Dia hanya menurunkan batang pinang dan menyeretnya ke tepi lobang lalu
cepat-cepat menjauh. Wajah menunjukkan perasaan takut. Sesekali tubuhnya
menggigil dan tekapkan dua tangan ke dada.
"Aku
tidak mau bantu menurunkan karung itu." kata Alis Bisa Merah. "Aku
jijik, aku takut. Iihhhh!"
Perempuan
gembrot berwajah biru tampak jengkel.
"Kalau
kau tidak mau menurunkan ya sudah! Momok Kedua, kau lebih perempuan dari
perempuan! Dasar banci! Aku saja yang perempuan sungguhan tidak takut, tidak
jijik! Kau cuma manja dan cengeng!"
"Saudaraku
Denok Tuba Biru, jangan bicara begitu padaku. Kau tidak tahu bagaimana
nikmatnya jadi lelaki sekaligus perempuan! Hik… hik!"
"Kalian
berdua selalu saja bertengkar. Padahal saat ini kita tengah menghadapi urusan
besar! Apa kalian ingin membuat bangun mayat guru dan memarahi kita
semua?!"
Habis
memarahi kedua saudaranya itu Tukak Racun Kuning lalu menurunkan sendiri karung
besar dan menyeretnya ke samping gentong kayu berisi tuak.
"Alis
Bisa Merah, kalau kau takut menjauhlah. Aku dan Denok Tuba Biru mau membuka
karung dan menuangkan isinya ke dalam gentong!"
"lihhhh!"
Dengan mimik ketakutan lelaki bernama Alis Bisa Merah yang memang seorang banci
cepatcepat menjauh. Tukak Racun Kuning membuka penutup gentong kayu. Lalu
bersama Denok Tuba Biru dia mengangkat karung besar, meletakkan karung di
pinggiran gentong. Sementara DenokTuba Biru memegangi karung Tukak Racun Kuning
membuka tali pengikat bagian atas karung.
Setelah
saling memberi isyarat Tukak Racun Kuning dan Denok Tuba Biru mengangkat bagian
bawah karung tinggi-tinggi. Dari dalam karung berhamburan jatuh ke dalam
gentong berisi tuak puluhan ekor ular berbisa, puluhan kala jengking, ratusan
lipan dan lusinan kodok hitam beracun!
Alis Bisa
Merah terpekik ngeri, cepat-cepat membuang muka memandang ke jurusan lain.
"Aduh
aku mau kencing!" teriak si banci bermuka merah ini sambil pegang bagian
bawah perutnya. Ternyata dia memang benar-benar kebelet kencing. Karena tidak
sanggup menahan Alis Bisa Merah lari ke balik pohon kering, tarik ke atas
pakaiannya yang berbentuk jubah dalam lalu jongkok dan serrrr! Dia kencing
seperti perempuan!
"Dasar
banci sialan!" maki Momok Ketiga Denok Tuba Biru. Lalu perempuan gembrot
ini cepat menutup gentong kayu. Di dalam gentong terdengar suarasuara aneh
yang dikeluarkan berbagai jenis puluhan binatang berbisa itu. Tak selang berapa
lama suara-suara itu lenyap dengan sendirinya.
"Saatnya
kita memulai upacara," kata Tukak Racun Kuning. Lalu dia berteriak
memanggil Alis Bisa Merah. Lelaki yang berdandan seperti perempuan ini datang
terbirit-birit sambil rapikan pakaian.
"Najis
tidak cebok. Joroki" Mengumpat Tukak Racun Kuning.
"Pantas
kau bau!" menyambung DenokTuba Biru yang ikut kesal.
Alis Bisa
Merah cuma cengengesan."Kalian mana tahu. Yang bau itu yang selalu disukai
laki-laki! Hik… hik…hik!"
"Tutup
mulutmu! jangan bicara yang tidak-tidak!" Hardik Tukak Racun Kuning.
"Kita akan segera memulai upacara pemakaman." Lalu lelaki ini kembali
duduk di depan lobang, diikuti DenokTuba Biru dan Alis Bisa Merah yang masih
cengar-cengir.
**********************
6
SIAPAKAH
tiga orang aneh yang berada di pedataran Plaosan itu? Mereka adalah murid
seorang tokoh silat golongan hitam yang dikenal sebagai nenek bisu jahat berjuluk
Si Bisu Racun Akhirat. Nenek ini dikenal sebagai orang nomor satu dalam dunia
hitam peracunan. Lebih tinggi dan lebih ganas tingkat kepandaiannya dibanding
Raja Racun Bumi Langit ataupun Eyang Tuba Sejagat.
Murid
pertama dan tertua bernama Tukak Racun Kuning, dipanggil dengan sebutan Momok
Pertama yaitu lelaki yang mukanya dicat kuning bergaris hijau. Murid kedua si
banci berpakaian kembang-kembang warna warni, berwajah merah bergaris
hitam.bernama Alis Bisa Merah, dikenal dengan panggilan Momok kedua. Murid
ketiga perempuan gembrot yang dikenal sebagai Momok ketiga bemama Denok Tuba
Biru. Muka biru bergaris kuning.
Di usia
hampir sembilan puluh tahun, sewaktu sakarat, sebelum menghembuskan nafas
terakhir dua hari lalu si nenek memanggil ke tiga murid. Kepada murid-muridnya
itu, diwakili Momok Pertama nenek gagu Si Bisu Racun Akhirat menyerahkan sebuah
piring perak serta satu gulungan tebal daun lontar.
Di atas
piring perak tertera tulisan dalam bahasa Jawa Kuna berbunyi:
Muridku
Momok Pertama. Momok Kedua danMomok Ketiga.
Hidupku
hanya tinggal dua hari.
Jika
ajalkusampai maka ingat baik-baik apa yang haruskalian lakukan.
Pertama
gali liang lahatku di tanah Plaosandi bagian selatan candi runtuh.
Kedua
bungkus jenazahku dengan tikar terbuatdari daun pandan kering.
Ketiga,
kuburkan diriku dengan satu upacarasakral.
Yaitu
kalian harus menyiapkan satu gentong tuak wangi.
Kedalam
gentong harus kalian masukkan binatang beracun hitam.
Masing-masing
binatang tidak boleh kurang dari dua belas ekor.
Makin
banyak akan lebih baik bagi perjalanan arwahku.
Cari
pohon pinang berbuah kuning
Ratakan
tanah kuburku
Tancapkan
pohon pinang kuning sebagal pertanda
Petunjuk
selanjutnya akan kalian dapat di dalam gulungan daun lontar.
Yang
hanya boleh kalian buka sebelum jenazahku kalian masukkan ke dalam liang lahat.
Satu hal
harus kalian Ingat baik-baik
Jenazahku
sudah harus dikubur paling lambat sebelum matahari tenggelam hari kedua sesudah
kematianku
Kalian
adalah murid-murid yang berbakti
Mulai
hari ini aku nobatkan kalian bertiga dengan nama Serikat Momok Tiga Racun.
Setelah
kalian membaca dan memahami apa yang tertulis di atas piring perak Ini harap
kalian segera memusnahkan piring perak dengan cara membakarnya.
Sampai
berjumpa di akhirat.
Aku : Si
Bisu Racun Akhirat
Seperti
yang dipesankan sang guru, ketiga murid lalu membakar piring perak. Dua hari
kemudian si nenek Bisu Racun Akhirat benar-benar menemui kematian. Tiga orang
murid segera sibuk mempersiapkan upacara pemakaman sesuai dengan pesan sang
guru yang ditulis di atas piring perak. Yaitu menggali liang lahat di pedataran
Plaosan, pengadaan satu gentong berisi tuak, mencari binatang berbisa serta
mendapatkan pohon pinang kuning.
SETELAH
duduk di tepi lobang yang bakal menjadi liang lahat sang guru Momok Pertama
Tukak Racun Kuning mengambil gulungan daun lontar kering yang sejak tadi
tergeletak di tanah. Dia menyodorkan gulungan daun lontar itu pada Alis Bisa
Merah. Lelaki Momok Kedua ini gelengkan kepala.
"Kau
saja yang membacanya," kata si banci.
Momok
Pertama berpaling pada Momok Ketiga yaitu Denok Tuba Biru. Si gembrot ini juga
menggeleng sambil berkata.
"Kau
tahu aku tidak bisa membaca. Mengapa menyuruhku?"
"Kalau
begitu aku akan membuka gulungan daun lontar dan membaca pesan yang dituliskan
guru. Kalian berdua harap mendengar baik-baik dan memperhatikan."
Tukak
Racun Kuning perlahan-lahan membuka gulungan tebal daun lontar kering. Di atas
daun lontar sebanyak tiga gulungan itu tertera pesan Si Bisu Racun Akhirat
Momok
Pertama, Momok Kedua dan MomokKetiga.
Kalian
telah membaca pesanku di dalam piringperak
Sekarang
inilah petunjukku berikutnya
Ilmu
racun yang kalian kuasai yang sanggupmembuat orang menjadi cacat seumur
hidupatau mati seketika
Akan
lebih langgeng dan lebih bertambah hebatbilamana kalian mengikuti dan harus
melakukan
apa yang aku tuliskan di bawah ini :
Pertama
aku yakin saat ini semua binatangberbisa yang ada di dalam gentong berisi
tuaktelah menemui ajal
Masing-masing
kalian harus mengambil seekordari tiap jenis binatang beracun itu lalumemakannya
Mendengar
bacaan sampai disitu Momok Kedua yaitu si banci Alis Bisa Merah langsung
menggigil tubuhnya.
"Ihhh….
aku…."
Momok
Ketiga Denok Tuba Biru pelototkan mata seraya berbisik. "Sekali lagi kau
keluarkan suara mengganggu bacaan Tukak Racun Kuning akan kugebuk
kepalamu."
Alis Bisa
Merah hanya bisa manggut-manggut sambil tutup wajah dengan dua telapak tangan.
Momok Pertama lanjutkan bacaannya.
Jika
sudah teguklah sebagai minuman tuak di dalam gentong
Kalian
akan mendapat kesegaran dan kekuatan
Kalian
akan mendapat kesaktian mandraguna
Setelah
itu baca amalan yang aku ajarkan sebanyak tiga kali
Masukkan
jenazahku ke dalam liang lahat
Tuangkan
isi gentong yaitu tuak dan semua binatang berbisa ke dalam kuburku
Tutup
kuburku dengan tanah.
Ratakan
tanah hingga tidak berbekas
Tancapkan
pohon pinang kuning sebagai pertanda
Bila
upacara pemakamanku telah selesai berarti arwahku akan lebih tenang dalam
perjalanan menuju akhirat dimana aku menunggu kedatangan kalian
"Ihhh…."
Sampai di situ lagi-lagi Momok Kedua Alis Bisa Merah yang tidak tahan mendengar
dan ketakutan kembali keluarkan suara."Aku belum mau mati. Aku belum mau
pergi ke akhirat. Di dunia ini lebih enak…" ucapnya dengan suara halus gemetar.
"Plaakk!"
Momok
Ketiga Denok Tuba Biru keplak kepala Momok Kedua membuat lelaki banci ini serta
merta kancing mulut dan hanya berani menghela nafas berulang kali. Setelah
keadaan tenang kembali. Momok Pertama Tukak Racun Kuning lanjutkan bacaannya.
Walau
sekarang aku sudah berada di alam lain Aku selalu memikirkan agar kalian
bertiga menjadi raja diraja dalam dunia peracunan rimba persilatan tanah Jawa
Aku ingin agar Serikat Momok Tiga Racun akan menjadi-satu nama besar angker dan
ditakuti di delapan penjuru angin
Bahkan
penguasa Istana sekalipun akan takutserta tunduk pada kalianPahami dan
laksanakan perintah yang aku tulisdibawah ini :
Kalian
harus mencari, seorang perempuan berotak tidak waras alias sinting alias gila.
Makin
muda usianya makin bagus
Gantung
tubuhnya kaki ke atas kepala ke bawah di pohon yang memiliki cabang berjumlah
ganjil
Tunggu
tiga hari sampai mayatnya busuk
Setelah
tiga hari kalian harus menjebol tubuh mayat di sebelah depan
Momok
Pertama, kau harus mengambil dan memakan jantungnya
Momok
Kedua kau harus mengambil dan memakan hatinya
Momok
ketiga kau harus mengambil dan memakan ginjalnya
Setelah
hal itu kalian lakukan bakar mayat berikut pohon
Lalu
pergi ke pantai selatan.
Berendam
di laut dangkal selama tiga hari tiga malam
Kalian
kelak akan menjadi raja diraja peracunan rimba persilatan tanah Jawa
Tidak ada
orang yang mampu menandingi kalian
Dari
alamku aku akan bahagia melihat
Serikat
Momok Tiga Racun berjaya di delapan penjuru angin.
Aku: Si
Bisu Racun Akhirat
"Huokkk!"
Baru saja
Momok Pertama Tukak Racun Kuning selesai membaca surat petunjuk sang guru.
Momok Kedua Alis Bisa Merah yang tidak bisa menahan rasa jijik dan mual
langsung semburkan muntah. Denok Tuba Biru menyumpah habis-habisan karena
pahanya yang gempal terkena cipratan muntah.
SESAAT sebelum
sang surya masuk ke ufuk tenggelamnya dan siang berubah menjadi malam. jenazah
Si Bisu Racun Akhirat telah masuk ke liang lahat Tuak dalam gentong yang
dipenuhi ular, lipan, kalajengking dan kodok hitam, semuanya merupakan binatang
sangat berbisa dituang dimasukkan ke dalam kubur sang guru. Lalu tanah galian
diuruk kembali, di buat sama rata seperti semula. Setelah itu pohon pinang
kuning ditancapkan di tanah, di ujung lobang arah kepala jenazah.
Begitu
kegelapan malam mulai menyungkup kawasan pedataran Plaosan, Tiga Momok
tinggalkan makam guru mereka tanpa satupun sadar kalau gulungan surat yang
terbuat dari daun lontar kering tertinggal. Begitu angin malam bertiup agak
kencang, gulungan daun lontar terbawa melayang ke arah timur.
**********************
7
TELAH
lebih dari satu minggu Serikat Momok Tiga Racun mencari perempuan gila namun
tidak berhasil menemukan.
"Kita
makin jauh dari Kotaraja. Padahal aku kira semua orang gila lebih banyak berada
di Kotaraja dan pada tempat lain Bagaimana kalau kita kembali saja ke Kotaraja."
berkata Momok Ketiga Denok Tuba Biru ketika dia dan dua saudara seperguruannya
duduk melepaskan lelah di tepi sebuah telaga.
"Aku
heran, mengapa guru menyuruh kita harus mencari perempuan gila. Bukan lelaki
gila Padahal di tengah jalan kita sudah menemukan beberapa orang lelaki
gila," berkata Momok Kedua yaitu Alis Bisa Merah. "Sudah, kita tukar
saja dengan orang gila laki-laki"
"Jangan
berani berlaku lancang menyalahi aturan dan perintah guru!" kata Momok
Pertama Tukak Racun Kuning marah.
"Maumu
memang selalu laki-laki. Dasar banci!" mendamprat Denok Tuba Biru.
"Kalau laki-laki kau mau mengambil dan memakan apanya? Bijinya?
Burungnya?!"
Alis Bisa
Merah tersenyum lalu tertawa cekikikan. Tiba-tiba Momok Kedua Ini tekap mulut
hentikan tawa Di kejauhan di salah satu ujung pinggiran telaga yang cukup besar
itu dia mendengar suara orang menyanyi. Dua Momok lainnya juga sudah mendengar.
"Ada
perempuan menyanyi. Arahnya dari sana…" Alis Bisa Merah menunjuk ke arah
timur telaga.
"Bagaimana
kalau kita selidiki? mengusulkan DenokTuba Biru.
Ketiga
orang itu sama-sama berdiri lalu sekali berkelebat meroka sudah melesat ke arah
timur telaga. Di arah ini suara perempuan yang menyanyi semakin keras dan syair
lagunya semakin jelas.Tiga Momok menyelinap ke balik semak belukar dan
mengintai.
Di atas
sebuah batu besar yang menjorok ke dalam telaga duduk seorang perempuan sangat
muda, bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru, memiliki wajah anggun rupawan.
Di pangkuannya ada sebuah boneka kayu. Sambil menyanyi perempuan ini mengusap
pipi kening atau kepala boneka.
Anakku
Kemuning sudah lama kau tidak melihat ayahmu
Entah
dimana dia sekarang
Apakah
kita yang akan mencari dia
Atau dia
tengah mencari kita
Anakku
Kemuning Lekaslah besar
Agar ibu
tak selalu mendukungmu
Kita
pergi ke tempat Jauh
Tempat
yang indah-indah Agar kita bisa bersuka cita
Melupakan
segala duka
Perempuan
yang menyanyi yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili rebahkan boneka di atas
dada. Sambil mengelus punggung boneka dia meneruskan nyanyiannya.
Anakku
Kemuning
Apakah
duka hati bisa dilupakan
Apakah
luka hati bisa disembuhkan
Kalau
bertemu ayahmu nanti
Tanyakan
padanya rahasia hati
Saat itu
sementara menyanyi sepasang mata bening Nyi Retno tampak berkaca-kaca. Lalu
perlahan-lahan air mata meluncur jatuh di pipinya yang kotor berdebu.
Di balik
semak belukar MomokTiga Racun saling berbisik. "Ini yang kita cari!"
ucap Momok Pertarma. "Tepat seperti maunya guru."
"Akhirnya
kita temui Juga," kata Momok Ketiga dengan wajah merah gembira.
"Perempuan gila. Masih muua! Mengangap boneka sebagai anaknya!"
"Sayang
bukan laki-laki gagah…." ujar Momok Kedua.
Momok
Pertama dan Momok Ketiga berpaling sama-sama melototi Momok Kedua.
"Kau
bicara seperti itu lagi!" bentak Momok Ketiga DenokTuba Biru. "Kalau
kau tidak senang, sebaiknya kau pergi saja dari sini. Cari lelaki yang kau
sukai! Kutuk guru akan jatuh atas dirimu! Kau tidak akan punya ilmu
apa-apa!"
"Ssttt.
jangan keras-keras nanti perempuan itu mendengar dan melarikan diri…" Ucap
Momok Kedua sambil tersenyum. "Sudah tak perlu marah. Sebaiknya kita
segera menangkap perempuan sinting itu. Kita pesiangi dengan cepat. Kailan
makan jantung dan ginjalnya. Aku melahap hatinyai Hik …hik!"
Tanpa
mengeluarkan suara ketiga Momok murid Si Bisu Racun Akhirat itu menyelinap
keluar dari balik semak belukar lalu berkelebat mengurung Nyi Retno Mantili
yang masih bernyanyi-nyanyi, tenggelam dalam perasaan. Namun begitu menyadari
ada tiga orang tidak dikenal mengelilinginya, Nyi Retno serta merta hentikan
nyanyiannya. Dia cepat memasukkan boneka ke dalam bedongan di dada namun
kemudian dikeluarkan lagi. Nalurinya mengatakan ada bahaya besar tengah
mengancam dirinya.
"Kemuning
anakku, kita kedatangan tiga tamu tidak dikenal. Berwajah dan berdandan aneh.
Aku tidak mengenal satupun dari mereka. Apakah kau mengenal salah seorang dari
mereka?" Nyi Retno diam sebentar. "Ah, rupanya kaupun tidak mengenal
mereka. Anakku, jika mereka datang membawa niat jahat bukankah lebih baik kita
mengusirnya sekarang juga?!"
"Perempuan
muda berbaju biru, beranak boneka kayu. Bernyanyi di tepi telaga sunyi. Membuat
kami bertiga kepingin tahu siapakah dirimu adanya" Momok Pertama Tukak
Racun Kuning bertanya.
Di
sampingnya Momok Ketiga berbisik.
"Buat
apa pakai bicara segala. Kita ringkus saja sekarang juga! Cari pohon bercabang
ganjil. Gantung dia di sana!"
Tukak
Racun Kuning tidak perdulikan bisikan Momok Ketiga.
"Perempuan
muda. apakah kau mau menjawab pertanyaanku?"
"Hik…
hik! Anakku Kemuning, ada orang bertanya siapa diriku. Tapi dia tidak bertanya
siapa dirimu.
Alangkah
sombong dan tidak adilnya. Padahal aku ibumu dan kau anakku!"
Tukak
Racun Kuning melirik pada ke dua saudara seperguruannya
"Perempuan
muda, rupanya kau tidak senang kami ganggu. Kalau begitu kami akan pergi
saja.Teruskan nyanyianmu tadi."
Ketiga
Momok itu membuat sikap dan gerakan seperti benar-benar hendak meninggalkan
tempat itu. Namun seperti kilat mereka berbalik. Dari jarak dua langkah ke Tiga
Momok tusukkan dua Jari tangan kanan ke arah Nyi Retno. Melepas totokan Jarak
jauh bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan.
**********************
8
CAHAYA
kuning melesat dari dua jari Momok Pertama. Dua jari Momok Kedua memancarkan
cahaya merah sedang dari dua jari Momok Ketiga menyambar sinar biru!
Totokan
yang dilakukan ketiga orang itu adalah totokan jarak jauh yang sangat ampuh dan
ganas. Dengan satu totokan saja jangankan manusia sekecil Nyi Retno, gajah
besarpun akan amblas ditelan totokan. Apa lagi tiga totokan dilakukan
berbarengan oleh tiga orang berkepandaian tinggi.
Nyi Retno
walaupun berotak tidak waras namun sejak tadi dia sudah punya firasat kalau
tiga orang tidak dikenal punya niat jahat terhadapnya Maka begitu Tiga Momok
menggerakkan tangan dia segera kerahkan Ilmu Cahaya Dewa Turun Ke Bumi yang
didapatnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat itu sekujur tubuh perempuan ini
mulai dari kepala sampai ke kaki dibungkus oleh cahaya aneh berwarna Jingga.
Tiga
letusan keras berkumandang di tempat itu ketika tiga cahaya totokan yang
dilepaskan Tiga Momok saling tabrak dengan cahaya warna Jingga yang melindungi
tubuh Nyi Retno.
Tanah
bergetar. Debu menggebubu ke udara.Tiga Momok tampak tergontai-gontai sementara
Nyi Retno Mantili walau terlindung dari totokan tetap saja terpental jatuh dan
menjerit seperti ada bagian tubuh yang sakit. Wajahnya sedikit pucat dan dua
tangannya bergetar. Dari sudut bibir tampak ada lelehan darah Didahului satu
pekik kemarahan Nyi Retno Mantili tiba-tiba melompat. Dia menerjang ke arah Momok
Kedua yang berada paling dekat.
"Racun
Pelemas Raga!" tiba-tiba Momok Pertama Tukak Racun Kuning berteriak. Dia
jentlkkan jari tengah tangan kanan diikuti oleh dua Momok lainnya.
Tiga
cahaya terang, merah, kuning dan biru menyilaukan mata berkiblat, menyambar ke
arah Nyi Retno. Saat itu Nyi Retno telah menerjang sambil acungkan boneka kayu
ke depan. Meski kesilauan dia sempat melihat datangnya tiga cahaya yang
menyerang. Perempuan ini segera angkat boneka di tangan kanan.Lima jari
memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih menyambar dari sepasang mata
boneka. Sepasang Cahaya Batu Kumala! Namun karena serangan dilakukan dalam
keadaan tubuh terluka di bagian dalam, dua sinar putih hanya lewat di atas
kepala Tiga Momok. Sebaliknya serangan Racun Pelemas Raga tepat mendarat di
wajah Nyi Retno. Walau wajah itu tidak cidera sedikitpun namun saat itu juga
Nyi Retno tidak ubah seperti benang basah.Tubuhnya melosoh ke tanah. Boneka
kayu di tangan kanan terlepas, jatuh masuk ke dalam telaga.
Tiga
Momok bergerak cepat Momok Pertama yang merasa kawatir Nyi Retno akan
mengadakan perlawanan kembali dengan cepat tusukkan satu totokan ke pangkal
leher Nyi Retno yang sudah tidak berdaya itu. Didahului satu keluhan pendek
perempuan ini terguling jatuh di tanah.
"Momok
Pertama! Lekas gendong perempuan sinting itui." berkata Momok Ketiga
DenokTuba Biru. "Kalian berdua ikuti aku. Aku tahu di mana beradanya pohon
bercabang ganjil!"’
"Dimana?!’
tanya Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah.
"Tak
jauh dari sini. Di tepi sebuah jurang! Sudah jangan banyak tanya! Ikuti saja
aku!" jawab Denok Tuba Biru. Lalu perempuan bertubuh gembrot ini
berkelebat ke arah barat. Momok Kedua segera mengikuti. Momok Pertama cepat
gendong tubuh Nyi Retno Mantili lalu berkelebat mengikuti dua saudara seperguruannya.
Berlari
kira-kira sepeminuman teh, Momok Kedua sampai di tepi sebuah jurang.Tak jauh
dari tepi jurang berderet tumbuh beberapa pohon besar. Momok Kedua menghampiri
pohon paling ujung kiri. Dia mendongak memperhatikan dan menghitung cabang pohon.
Ternyata borjumlah delapan cabang. Dia pindah ke pohon yang di sebelah. Kembali
memperhatikan dan menghitung.
"Ini
pohonnya!" ucap Momok Kedua. "Jumlah cabangnya ada tujuh!
Momok
Pertama Tukak Racun Kuning turunkan tubuh Nyi Retno Mantili ke tanah. Dia berpaling
pada Momok Kedua Alis Bisa Merah.
"Keluarkan
tali penggantung yang kau bawa."
Dari
balik pakaian Momok Kedua keluarkan segulung tali. Tali ini berbentuk kecil
halus terbuat dari jerami kering dilapisi getah pohon jarak hingga menjadi
lentur dan luar biasa kuat.
Momok
Pertama ikatkan salah satu ujung tali pada dua pergelangan kaki Nyi Retno
Mantili. Ujung lainnya dilempar ke atas cabang pohon di sebelah tengah.
"Biar
aku yang menarik!" kata Momok Ketiga. Lalu dia menjangkau ujung tali yang
terjulai. Sekali menarik tubuh Nyi Retno terangkat dari tanah. Tarikan kedua
tubuh perempuan malang itu naik setengah tinggi tubuh manusia. Pada tarikan
ketiga sosok Nyt Retno Mantili tergantung sejajar kepala orang.
"Cukup!"
kata Momok Pertama.
"Hai,
apa kalian tidak melihat ada keanehan?" bertanya Momok Kedua Alis Bisa
Merah. "Tadi ada kerlipan cahaya biru menyelubungi tubuh perempuan sinting
ini. Sekarang cahaya Itu masih ada di sekitar dua kaki yang terikat."
"Perduli
setan dengan segala macam cahaya!" menjawab Momok Ketiga. "Sekarang
sesuai petunjuk guru kita menunggu tiga hari sampai mayatnya busuk." Momok
Ketiga berpaling ke arah Momok Kedua. "Alis Bisa Merah, diantara kita
bertiga kau yang memiliki kuku paling panjang. Nanti kau yang akan menjebol
tubuh perempuan itu dengan kukumu yang lancip. Ambil jantung, hati dan
ginjalnya! Berikan padaku ginjalnya. Berikan jantung pada Momok Pertama dan kau
boleh menyantap hatinya…"
Wajah
merah Momok Kedua langsung berubah. Tubuh menggigil dan dua tangan menekap
leher.
"Aku…
aku yang harus menjebol tubuh perempuan itu? Mengambil jantung, hati dan
ginjalnya? lihhhh … Aku ngeri. Aku bisa pingsan. Kalian saja yang melakukan.
Cari kayu, dibuat lancip…’
Momok
Kedua geleng-geleng kepala berulang kali.
"Kau
selalu berdalih ini itu! Alis Bisa Merah seharusnya kau tidak jadi murid Si
Bisu Racun Akhirat Tidak ada gunanya kau bergabung dengan kami!" Momok
Ketiga DenokTuba Biru marah sekali.
Momok
Pertama ikut menimpali.
"Di
Kotaraja ada perkumpulan manusia-manusia banci sepertimu! Lebih baik kau pergi
kesana. Bergabung dengan mereka!"
Alis Bisa
Merah mulai terisak dan tutup wajah dengan kedua tangan. "Sebenarnya aku…
aku tidak akan menampik jika kalian memberi perintah. Tapi ucapan kalian sangat
menyakiti hatiku…"
"Kalau
perlu kami akan menyakiti sekujur tubuhmu!" Bentak Momok Ketiga.
"Sudah,
sudah! Aku akan turuti permintaan kalian. Aku akan merobek dada dan perut
perempuan itu. Nanti jika tubuhnya yang tergantung sudah busuk!"
Saat itu
di langit yang menjelang sore serombongan burung gagak hitam terbang
berputar-putar di atas pohon. Melihat ini Momok Ketiga kembali membuka mulut.
"Burung-burung
pemakan mayat sudah tahu kalau bakalan ada mangsa di tempat ini. Mereka sudah
datang bersiap-siap. Kita jangan sampai keduluan. Momok Kedua, aku dan Momok
Pertama akan beristirahat barang sebentar. Kau berjaga-jagalah. Awasi
burung-burung penggeragot mayat itu. Biasanya mereka mulai bergerak begitu
mayat mulai membusuk!"
"Aku
lagi yang kebagian pekerjaan. Kalian benarbenar tidak adil!" umpat Momok
Kedua si banci Alis Bisa Merah dengan wajah merengut. Lalu dari balik pakaian
dia keluarkan sebuah cermin kecil. Sambil memandang ke dalam cermin dia
merapikan rambut yang hitam lurus seperti lidi, mematik-matik alis dan
menjulur-julurkan lidah di atas bibir yang diberi gincu ungu.
"Kita
tengah menghadapi urusan besar. Kau masih saja menyibukkan diri berdandan!
Dasar banci!" ucap Momok Ketiga.
"Aku
melakukan apa saja yang aku suka. Kau tak usah cemburu. Aku yang banci lebih
bisa merawat diri dari pada kau yang perempuan sungguhan. Sekujur tubuhmu
beriemak mulai dari pipi sampai ke kaki! Siapa lelaki yang suka padamu. Melirik
sajapun tidak sudi!"
Seiagi
Tiga Momok saling bersilang kata, mereka tidak mengetahui munculnya satu cahaya
putih menyembul dan menyelubungi tubuh Nyi Retno Mantili yang tergantung kaki
ke atas kepala ke bawah.
Namun
Momok Pertama yang paling tinggi ilmu kepandaiannya merasakan sesuatu. Dia
menatap pada kedua saudara seperguruannya.
"Apa
kalian tidak merasakan ada siuran angin barusan?"
Momok
Kedua dan Momok Ketiga diam sesaat lalu sama gelengkan kepala.
"Kita
harus berhati-hati. Buka mata pasang telinga. Sampai mayat perempuan sinting
itu membusuk kita tidak boleh berlaku ayal!"
Selagi
Tiga Momok sibuk bicara satu sama lain. lagi-lagi ada cahaya putih menyelubungi
tubuh Nyi Retno. Lalu cahaya ini keluar dari sosok perempuan itu. melesat ke
arah timur dan lenyap dari pemandangan.
TIDAK
SAMPAI tiga hari. pada pagi hari kedua mayat Nyi Retno Mantili yang tergantung
mulai menebar bau busuk.Tiga Momok memperhatikan lalu Momok tertua berkata.
"Momok
Kedua, kau bersiaplah. Aku akan memutus tali penggantung. Begitu mayat busuk
jatuh di tanah kau cepat menjebol dada dan perut mayat…"
Momok
Kedua Alis Bisa Merah rentangkan lima jari tangannya yang berkuku panjang
runcing berwarna Jingga.
"Aku
sudah siap,’" ucap momok banci ini dengan suara keras walau agak gemetar.
Tiba-tiba
di atas pohon, belasan burung gagak pemakan mayat yang telah mendekam sejak Nyi
Retno mulai digantung mengeluarkan pekik keras. Binatang ini berlesatan ke
udara, terbang bergerombol, membuat dua kali putaran lalu menukik ke bawah.
menyambar ke arah mayat yang tergantung.
"Burung-burung
keparat! Kalian hendak mendahului kami! Terima bagian kalian! Mampuslah! Maki
Momok Ketiga. Perempuan bertubuh gemuk ini kibaskan tangan kanannya ke atas.
"Wuttt!"
Selarik
sinar biru setengah lingkaran menerpa ke atas. Belasan burung gagak menukik
keras. Tubuh mereka terlempar dua tombak ke udara. Begitu melayang jatuh
semuanya telah berubah jadi sosok arang biru mengepulkan asap sangit.
"Saudara-saudaraku,
sekarang saatnya!" berseru Momok Pertama Tukak Racun Kuning. Jari telunjuk
tangan kanan dijentikkan.
"Tass!"
Tali yang
menggantung Nyi Retno Mantili putus pada ketinggian dua jengkal di atas
pergetangan kaki. Tak ampun sosok jenazah yang mulai membusuk itu jatuh
terhempas ke tanah, tergelimpang menelungkup tak berkutik.
"Momok
Kedua! Lakukan tugasmu!" perintah Momok Ketiga.
**********************
9
DENGAN
kaki kirinya Momok Kedua balikkan mayat Nyi Retno Mantili hingga tertelentang.
Perlahan-lahan dia lipat dua lutut, jongkok di samping mayat. Tangan kanan
diulurkan menekan pundak kiri mayat, tangan kanan mementang lima jari berkuku
panjang.
"Crass!"
Lima jari
ditancapkan didada kiri, tepat arah jantung. Lalu breett! Lima jari ditoreh
menyilang ke kiri kemudian lurus ke bawah. Sosok mayat robek mulai dari bagian
dada sampai ke bawah pusar.Luar biasa mengerikan!
"Aku
sudah mengambil hatinya! Kalian silahkan mengambil sendiri bagian
masing-masing!" Berkata Momok Kedua sambil melompat lalu berdiri menjauh.
Momok
Pertama dan Momok Ketiga menyumpah marah karena tadi jelas Momok Kedua
diperintahkan untuk sekaligus mengambil jantung, hati dan ginjal. Sekarang
setelah membedol hati dan siap untuk memakannya, dia suruh dua saudara
seperguruan untuk mengambil sendiri jantung dan ginjal. Walau marah namun Momok
Pertama dan Momok Ketiga terpaksa melakukan. Momok Pertama memuntir jantung
lalu membetotnya. Sementara Momok Ketiga mencengkeram dua buah ginjal dan
membedolnya keluar! Darah bergenangan dimanamana.
Selesai
melakukan perbuatan yang sangat mengerikan, benar-benar diluar akal dan
perikemanusian itu Tiga Momok pergi ke telaga untuk mencuci tangan dan muiut
yang penuh bercelemongan darah. Setelah itu ketiganya sama-sama berlutut di
tanah dan berseru berbarengan.
"Guru!
Kami telah melaksanakan perintahmu! Hari ini nama Serikat Momok Tiga Racun
berkibar di rimba persilatan tanah Jawa! Kami bertiga mohon restumu dari alam
akhirat!"
Tiga
Momok berdiri kembali.
"Apa
yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Momok Kedua sambil usap-usap dada
dan sebentarsebentar keluarkan suara seperti kesolekan menahan mual yang ingin
membuatnya muntah.
Kita
sudah punya dua rencana. Kita berangkat ke Kotaraja sekarang juga. Kita akan
meracuni seluruh tokoh silat Istana. Setelah semua mereka mati kita akan
menemui Sri Baginda, mengatakan bahwa mulai saat itu kekuasaan berada di tangan
Serikat Momok Tiga Racun! Sri Baginda tidak lain hanya boneka suruhan kita
belaka! Ha … ha..ha!" Momok Pertama tertawa bergelak. Lalu melanjutkan
ucapan. "Rencana kedua. Jika Sri Baginda menolak dan tidak mau tunduk pada
kita maka seluruh keluarga Istana termasuk Sri Baginda akan kita racuni sampai
semua mereka menemui ajal di tangan kita! Sekarang mari kita tinggalkan tempat
celaka ini!"
Tiga
Momok serentak berdiri.Tanpa menoleh lagi pada mayat yang berbusaian dan
tergelimpang di tanah ketiganya melangkah pergi.
Namun
belum sampai berjalan sepuluh langkah jauhnya dari tepi telaga tiba-tiba tiga
murid Si Bisu Racun Akhirat yang menamakan diri Serikat Momok Tiga Racun ini
sama hentikan langkah. Tak jauh di depan mereka, di tengah jalan yang akan mereka
lalui bergolek melintang seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih.
Kaki kiri diletakkan di atas lutut kanan- Dua tangan disusun di atas mulut,
jari-jari bergerak dan dari mulutnya meluncur suara berkepanjangan menirukan
suara suling.
"Tulit
…tulit …tulilit….liitt….tuut!Tuuut!
Habis
menirukan suara suling si gondrong ini tertawa gelak-gelak lalu kembali:
"Tulit… tulit…Tutt … tuttt… littt… tittitt! Ha… ha… ha!"
"Orang
sinting lelakil Tubuhnya kekar, wajahnya gagah! Ah, rejekiku besar sekali hari
Ini! Kalau yang satu ini biar aku yang menangani sendiri! Pasti itunya keras.
Jangan berani ada yang mengganggu! Hik… hik!" Momok Kedua si banci Alis
Bisa Merah berseru gembira. Dia segera hendak melangkah ke arah si pemuda yang
bergolek di tengah jalan. Namun tangannya cepat dicekal oleh Momok Pertama.
"Jangan
berlaku gegabah! Pemuda tak dikenal itu sepertinya sengaja menghadang
kita."
"Eh,
masakan kau takut sama orang sinting?"tukas Momok Kedua.
"Jangan-jangan
dia laki perempuan sinting yang kita bunuh!" kata Momok Ketiga. Lalu
menyambung ucapannya. "Mari kita dekati, tapi hati-hati. Kalau dia membuat
gerakan mencurigakan langsung bunuh dengan pukulan beracun!" kata Momok
Pertama pula.
Momok
Ketiga yang juga sudah memperhatikan wajah si pemuda berkata pada saudara
tuanya itu.
"Jangan
buru-buru dibunuh. Aku ikut tertarik. Mudah-mudahan saudaraku Momok Kedua tidak
cemburu kalau aku yang lebih dulu mendapatkannya!"
"Kau
dan Momok Kedua sudah pada gila semua!" rutuk Momok Pertama. Namun
ketiganya kemudian sama maju melangkah mendekati pemuda di tengah jalan.
Tiga
langkah di depan si pemuda mereka berhenti. Pemuda di tengah jalan juga
hentikan mulutnya yang tulat-tulit. Lalu berguling ke kiri dan duduk di tanah.
Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan menunjuk ke arah Tiga Momok.
"Kalian
sobatku muka warna warni!" si gondrong yang bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng keluarkan ucapan. "Kalian bertiga habis makan besar! Mengapa
tidak membagi-bagi barang sedikit padaku?! Padahal aku lagi lapar-lapar
buaaanget! Bagaimana rasanya makan jantung, hati dan ginjal monyet besar? Nyam
… nyam… nyam! Pasti enak ya?!"
"Pemuda
gila! Lekas menyingkir. Kami mau lewat!" Bentak Momok Pertama.
"Heh.
jalan ini cukup lebar. Kalian boleh lewat di samping kiri atau di sebelah
kanan. Tinggal pilih! Begitu saja repot! Tapi kau belum menjawab pertanyaanku!
Bagaimana rasanya Jantung, hati dan ginjal monyet? Benar-benar enak?
Gurih?"
"Hai!
Kami barusan bukan makan jantung, hati dan ginjal monyet.Tapi jantung, hati dan
ginjal manusia! Perempuan sinting!" Yang berucap adalah Momok Kedua si
banci Ali Bisa Merah sambil tersenyum dan kedipkan mata ke arah Wiro.
Momok
Ketiga ikut bicara. "Sayang kami baru ketemu dirimu saat ini. Kalau sejak
tadi-tadi kau muncul pasti kami bagi!"
"Aneh.
kalian bilang makan jantung, hati dan ginjal manusia. Perempuan sinting. Tapi
yang aku lihat kalian barusan melahap jantung, hati dan ginjal monyet hutan
besar!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula sambil balas kedipan mata si
banci Alis Bisa Merah lalu sunggingkan senyum pada Denok Tuba Biru.
"Dasar
sinting! Aku perintahkan sekali lagi lekas menyingkir! Atau kau akan jadi mayat
busuk di tempat ini!" Momok Pertama mulai marah. Dia memberi isyarat pada
dua saudaranya.
Wiro
bangkit berdiri sambil keluarkan suara berdecak.
"Ck…ck…ck!
Sombongnya main perintah. Aku mau bikin apa di jalan ini siapa yang berani
melarang? Memang jalan ini punya bapak gundulmu?! Aku bicara soal monyet kau
bicara soal menyingkir! Hati-hati kalian bertiga, sehabis makan jantung, hati
dan ginjal monyet hutan sebentar lagi kalian akan punya sifat seperti monyet
Menyeringai cekikikan, garuk-garuk pantat, kencing awut-awutan…"
Momok
Pertama dan dua momok lainnya saling pandang.
"Hai!
Kalian rupanya tidak percaya. Yang kalian santap tadi bukan jantung, hati dan
ginjal, perempuan sinting. Tapi jantung, hati dan ginjal monyet! Kalau tidak
percaya berpalinglah ke belakang! Lihat mayat siapa yang menggeletak di tanah
sana!"
Yang
menoleh duluan adalah Momok Kedua si banci Alis Bisa Merah. Begitu menoleh dia
langsung keluarkan suara tercekat dan wajah berubah. Dua Momok lainnya serta
merta ikut memandang ke belakang. Seperti Momok Kedua, mereka juga terkejut Di
belakang sana, di tempat dimana seharusnya mayat perempuan sinting tergeletak
dengan isi perut berbusaian, kini yang kelihatan adalah bangkai seekor monyet
hutan berbulu coklat dengan perut robek menganga!
"Dua
saudaraku, apa kita tidak salah melihat?" Berkata Momok Pertama.
Tidak
mungkin!” ucap Momok Ketiga DenokTuba Biru dengan mulut ternganga.
Berlainan
dengan dua saudaranya yang terkejut dan terheran-heran Momok Kedua Alis Bisa
Merah putar wajah ke arah Wiro, tersenyum kedip-kedipkan mata sambil acung dan
goyang-goyang Jari tangan kanan.
Ketika
Momok Pertama berpaling dan melihat kelakuan Momok Kedua dia segera membentak
marah.
"Momok
Pertama, jangan marah dulu. Lebih baik kita datangi pemuda itu. Tanyakan siapa
dia dan selidiki bagaimana hal aneh ini bisa terjadi. Siapa tahu kita bisa
bersahabat dengannya." Berkata Momok Kedua sambil kembali layangkan senyum
ke arah Wiro. Murid Sinto Gandeng yang sudah bisa membaca keadaan membalas
senyum, tempelkan dua jari tangan kanan di bibir lalu dilayangkan ke arah Momok
Ketiga yang membuat si banci ini jadi tertawa girang tersipusipu!
"Momok
Kedua! Kau tunggu di sini! Aku dan Momok Ketiga akan mendatangi pemuda itu!
Awas kalau kau berani mendekati pemuda itu!"’
Kata
Momok Pertama pula. Lalu bersama Denok Tuba Biru dia mendekati Pendekar 212
yang menanti kedatangan mereka sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
Empat
langkah di depannya Wiro mengangkat tangan.
"Kalian
berhenti disitu. Jangan berani lebih dekat lagi. Aku tidak mau ketularan Jadi
monyet!"
Dengan
menahan amarah Momok Pertama berkata.
"Kami
tidak mengenalmu. Apa kau mau menerangkan siapa dirimu? Lalu bagaimana
kejadiannya mayat perempuan itu bisa Jadi monyet hutan?"
"Ah….
Kalau sekedar menjawab pertanyaanmu, apa susahnya. Aku orang sinting lakilaki
yang nyasar di tempat ini. Si baju warna warni itu pasti suka padaku. Mengapa
dia tidak boleh datang mendekat ke sini?"
"Jawab
saja pertanyaanku tadi!" bentak Momok Pertama.
"Soal
monyet hutan itu, aku orang yang memeliharanya. Soal mengapa kalian menoreh
perutnya lalu menyantap jantung, hati dan ginjalnya biar orang lain yang
menjawab!"
Selesai
berkata Pendekar 212 keluarkan suara bersiul. Dari balik pohon besar di tepi
telaga menyeruak keluar dua perempuan, satu muda dan satunya sudah nenek-nenek.
Melihat
si perempuan muda Tiga Momok melengak kaget, memandang mendelik tidak berkesip
penuh rasa tidak percaya!
**********************
10
DUA
perempuan yang keluar dari balik pohon adalah Nyi Retno Mantili sambil memegang
boneka kayu yang basah. Di sampingnya melangkah tertawa-tawa nenek berambut
kelabu bermata merah mengenakan jubah kuning yang bukan lain adalah kembaran ke
tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Hik..hik!
Aku melihat tampang mereka sudah mulai mirip-mirip monyet hutan…" berucap
si nenek sambil tertawa cekikikan.
"Kau
keliru Nek. bukan tampang mereka yang berubah mirip-mirip monyet, tapi pantat
mereka yang akan lebih dulu berubah merah seperti pantat monyet ledes!"
Kata Pendekar 212 Wiro Sableng pula lalu dia dan si nenek tertawa gelak-gelak
sementara Nyi Retno Mantili hanya senyum-senyum.
"Saudaraku,
bagaimana mungkin…" bisik Momok Pertama Tukak Racun Kuning. "Kita
sudah menggantungnya. Merobek perutnya. Memakan jantung, hati dan ginjalnya.
Ternyata dia masih hidup. Dan boneka itu, bagaimana bisa ada lagi di tangannya?"
"Hai
kalian bertiga! Jika kalian inginkan jantung. hati dan ginjalku aku bersedia
memberikan! Ayo belek saja tubuhku. Kalian mau aku membuka baju lebih dulu atau
bagaimana? Hik… hik… hik!" Nenek jejadian rambut kelabu berkata lalu
tertawa cekikikan.
"Momok
Kedua. Momok Ketiga, kita harus segera membunuh tiga manusia ini! Sekarang
juga! Serang dengan pukulan Enam Racun Akhirat!" Momok Pertama berikan
perintah pada dua saudaranya.
Serentak
ke tiga murid Si Bisu Racun Akhirat tusukkan dua jari ke depan, ke arah Wiro.
Nyi Retno dan si nenek.
"Wuuuttt!"
Enam
larik sinar, dua kuning, dua merah dan dua biru, menderu dahsyat, menebar hawa
aneh berbau sangit.
"Awas
serangan racun jahat! Tutup jalan nafas!" teriak nenek jejadian rambut
kelabu. Dia cepat menarik Nyi Retno ke belakang ialu bersama Wiro sambut
serangan tiga lawan.
Wiro
membalas serangan dengan pukulan Angin Es. Ilmu kesaktian ini jarang
dikeluarkan dan memang ampuh untuk menghadapi serangan mengandung racun yang
menebar. Udara sedingin es langsung menyungkup tempat itu. Enam sinar
mengandung racun mematikan tertahan mengambang di udara, perlahan-lahan berubah
beku lalu leleh. Jatuh ke tanah! Lenyap tanpa bekas!
Selagi
Tiga Momok yang tubuh masing-masing kini dilanda hawa luar biasa dingin, selagi
mereka berseru kaget melihat apa yang terjadi, nenek jejadian sambil melesat ke
depan membuat sikap seperti orang bersila menghantam dengan pukulan yang
memancarkan sinar merah.
Tiga
Momok berteriak keras. Mereka cepat selamatkan diri dengan melesat sampai dua
tombak ke udara lalu dari atas berteriak berbarengan "Racun Air Bah!"
Saat itu
juga terdengar suara menderu dahsyat luar biasa seolah benar-benar ada gemuruh
air bah melanda tempat itu. Cahaya biru merah dan kuning bertabur silang
menyilang, angker mengerikan.
"Nek!
Kau tahan di bawah aku akan melabrak dari atas!" teriak Wiro. Nenek
jejadian rambut kelabu segera jatuhkan diri berlutut di tanah. Dua tangan
dipukulkan ke atas melesatkan dua larik cahaya merah yang menebar seperti
kipas. Kepala didongakkan, mulut meniup. Selarik asap, kelabu bergulung-gulung
ke udara, mencabik-cabik cahaya biru, merah dan kuning yang menyapu ke bawah.
Namun karena kalah tenaga tiga lawan satu, si nenek jatuh terjengkang dan racun
jahat sempat terhisap ke dalam jalan pernafasannya.
Selagi
Tiga Momok terus melancarkan serangan Racun Air Bah Wiro melesat ke udara lalu
dari atas melepas pukulan Sinar Matahari.
Ketika
cahaya putih menyilaukan mulai memancar di tangan kanan Wiro dan hawa panas
menebar Tiga Momok berteriak kaget kalang kabut.
"Pukulan
Sinar Matahari!" teriak Momok Pertama. "Celaka! Pemuda itu pasti
Pendekar Dua Satu Dua murid nenek sakti Sinto Gendeng!"
Wiro
gerakkan tangan kanan. Cahaya putih panas berkiblat! Sekejapan lagi tubuh
mereka akan dilabrak hangus pukulan sakti yang tidak ada bandingannya di rimba
persilatan itu tiba-tiba menggeledek seruan keras.
"Sahabat
Wiro! Tahan serangan! Jangan bunuh mereka! Tiga Momok lekas pergi dari sini
atau aku yang akan menghabisi kalian!"
Lalu ada
satu tangan aneh penuh ditancapi paku putih mencekal pergelangan tangan kanan
Pendekar 212 yang telah berubah warna seputih perak dan luar biasa panas.
"Cess!"
Tangan
yang memegang lengan Pendekar 212 langsung melepuh. Si pemilik tangan menjerit
kesakitan tapi hebatnya masih terus memegang lengan itu. Wiro cepat membalik
dan menghantam dengan jurus Kincir Angin Berputar.
"Bukk!"
Orang
yang terkena hantaman dan masih memegang lengan Wiro mengeluh panjang. Kail ini
baru dia melepaskan cekatannya dari lengan Pendekar 212. Tangan itu tampak luka
melepuh akibat panas ilmu kesaktian Sinar Matahari.
"Kau
siapa?!" teriak Wiro marah sekali.
Orang
yang ditanya tepuk-tepuk bahu Wiro lalu menarik sang pendekar turun ke tanah.
Begitu berhadap-hadapan murid Sinto Gendeng terkesiap kaget tak percaya.
"Sandaka!
Kau!"
"Betul.
Aku memang Sandaka. Manusia Paku! Sobatku lama, apa kau tidak mengenali diriku
lagi?"
"Bukankah…
bukankah kau sudah menjatuhkan diri ke dalam jurang?"
"Gusti
Allah masih memberiku umur panjang…."
"Kalau
begitu kita bercerita nanti saja. Aku harus menghajar tiga manusia aneh itu.
Mereka hendak membunuh seorang perempuan yang menjadi tanggung jawabku menjaga
keselamatannya."
"Mereka
sudah kusuruh pergi." kata Sandaka.
"Apa?
Kau suruh pergi? Apa kau tuan besarnya? Eh. apa hubunganmu dengan tiga mahluk
sialan itu? Mengapa kau menolong mereka?!" Wiro rada-rada jengkel. Matanya
tak berkesip memperhatikan orang yang berdiri dihadapannya. Lalu
geleng-gelengkan kepala
Yang
berdiri di hadapan Wiro saat itu adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga
puluh tahun berambut panjang riap-riapan sampai sebahu. Muka tangan dan kaki
penuh dengan tancapan paku putih berkilat terbuat dari baja murni.
"Sandaka.
dulu kau cuma pakai cawat. Sekarang sudah bisa pakai baju dan celana. Apakah
paku di sekujur tubuhmu juga masih ada?"
Orang
bernama Sandaka tarik tangan Wiro lalu disapukan ke dada dan perutnva. Wiro
merasa tonjolan-tonjolan benda keras yaitu paku baja yang ternyata masih
bertebaran menancap di seluruh bagian tubuhnya.
Wiro
ingat pada Nyi Retno Mantili. Ketika dia memandang mencari berkeliling,
perempuan itu tidak ada lagi.
"Kau
mencari perempuan bertubuh kecil yang membawa boneka kayu itu?" tanya
Sandaka.
"Nek,
kau melihat Nyi Retno Mantili?" Wiro bertanya pada nenek jejadian kembaran
ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu sambil menolong nenek itu berdiri.
“Tadi dia
lari ke arah sana." Si nenek menunjuk ke arah barat. "Aku sedang
kesakitan, tidak bisa menghalangi."
"Aku
mengawatirkan keselamatannya. Aku harus mengejar. Kalau Tiga Momok tadi
menghadangnya di tengah jalan tubuhnya pasti akan dibantai. Dikorek jantung,
hati dan ginjalnya!"
"Aku
jamin. Tiga Momok tidak akan mencelakai perempuan itu lagi." Kata Sandaka.
"Siapa
percaya jaminanmu. Apa hubunganmu dengan tiga manusia aneh itu!"
"Guru
mereka seorang nenek sakti tapi jahat bernama Si Bisu Racun Akhirat. Dia
meninggal beberapa waktu lalu. Nenek ini adalah saudara angkat guruku Eyang
Gusti Kelud…"’
"Guru
yang kau bunuh sendiri!" potong Wiro.
"Ya.
itu cerita lama gara-gara aku terjebak oleh Dewi Ular," jawab Sandaka.
"Kau
masih berhubungan dengan perempuan itu?"
Sandaka
menggeleng. "Kami kini menjadi dua musuh besar. Apa kau kangen ingin
menemuinya?"
Wiro
tertawa.
Sandaka
mendekati nenek rambut kelabu lalu enak saja memegang kepala si nenek.
"Eh.
apa-apan ini. Jangan berlaku kurang ajar. Berani-beraninya kau memegang
kepalaku!"
Sandaka
yang mukanya penuh paku baja menyeringai.
"Maaf
Nek. aku hanya ingin mengetahui apakah kau terkena racun atau tidak. Nyatanya
kau memang sudah keracunan akibat serangan Racun Air Bah yang dilancarkan Tiga
Momok tadi. Tapi kau tak usah kawatir. Aku bisa menolong. Pejamkan
matamu!"
"Eh.
mengapa mesti memejamkan mata segala? Kau mau apakan diriku? Mau
meraba-raba?"
"Aku
akan memasukkan jari telunjukku pada lobang telingamu kiri kanan."
"Kenapa
musti lobang telinga. Bukan lobang yang lain?!" tanya si nenek masih
curiga.
"Kau
maunya lobang yang mana Nek? Lobang kencingmu?!" tanya Wiro.
"Hik
… hik! Kau berpikiran kotor. Maksudku mengapa bukan lobang hidung," jawab
si Nenek.
Sandaka
masukkan jari telunjuk kedua tangannya ke telinga kanan kiri si nenek lalu
alirkan hawa sakti. Si nenek tanpa banyak bicara lagi pejamkan ke dua mata. Dia
merasa ada hawa panas mengaliri liang telinga, sebagian masuk ke kepala
sebagian turun ke dada.
"Mataku
terasa perih…"
"Tidak
sakit Nek. Matamu akan mengucurkan sedikit darah. Kalau sudah maka kau akan
terlepas dari racun Jahat Tiga Momok itu."
Nenek
rambut kelabu merasa sakit sekail pada kedua matanya Seperti dikatakan Sandaka
dari ke dua mata itu kemudian mengucur keluar darah kental merah kehitaman.
Sandaka
meniup. Noda darah lenyap.
"Kau
sudah sembuh Nek. Kau boleh membuka kedua matamu."
Nenek
jejadian buka kedua matanya. Dia hendak mengucapkan terimakasih namun saat itu
juga Sandaka gerakkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu.
"Hai,
kenapa pergi!" berteriak si nenek.
"Sandaka!
Tunggu! Banyak hal ingin kutanyakan padamu!" Wiro berseru. Namun Sandaka
telah lenyap dari pandangan sementara hari mulai gelap karena sang surya telah
tenggelam.
Wiro
berpaling pada nenek di sampingnya.
"Nek,
aku berterima kasih kau telah menolong Nyi Retno dengan ilmumu Mengambil
tubuhnya, menukar dengan monyet hutan tanpa Tiga Momok itu mengetahui. Ilmu
kepandaianmu benar-benar luar biasa.
“Apa nama
ilmu kesaktian itu Nek?”
"Merubah
Ujud. Menipu Pandang. Melindungi Raga." Jawab si nenek.
"Hebat
Nek. Sekali lagi aku berterima kasih. Sayang Nyi Retno sudah pergi. Seharusnya
dia juga berterima kasih padamu karena telah menyelamatkan jiwanya.Tapi jalan
pikirannya masih kacau."
"Jangan
keliwat memuji ilmuku itu hanya bisa aku keluarkan satu kali dalam tujuh
rembulan. Yang lebih hebat adalah nenek jahat musuh besarmu Nyai Tumbal Jiwo.
Dia bisa melakukannya setiap saat. Selain itu dia mampu bersalin rupa menjadi
gadis cantik. Kau harus hati-hati…"
"Tapi
waktu kau berubah jadi Dewi Pemikat. Wah Nek. kecantikan dan keindahan tubuhmu
selangit tembus!"
Si nenek
tertawa mengekeh sambil pegangi dada. Mendadak dia hentikan tawa. Paras
berubah. Dua tangan masih di atas dada.
"Eh,
apa yang terjadi?"
"Ada
apa Nek"
"Apa
yang dilakukan sobatmu si Manusia Paku itu?"
"Memangnya
ada apa Nek?" kembali Wiro bertanya.
"Dadaku…"
Jawab si nenek Jejadian.
"Dadamu
sakit?"
Si nenek
menggeleng.
"Lalu?"
"Dadaku,
sebelumnya leper rata. Sekarang kenapa Jadi begini?"
Dua
tangan si nenek mengusap-usap dada.
Wiro
perhatikan dada nenek rambut kelabu itu. Masih belum mengarti."Jadi begini
bagaimana Nek?"
"Wiro.
dadaku jadi membusung besar"
“Hah?!
Kau bergurau Nek?"
"Tidak.
Tadi waktu Manusia Paku itu mengobati diriku, ada hawa yang masuk ke dalam
kepala dan yang turun ke dada. Yang dikepala berhasil memusnahkan racun. Tapi
yang ke dada membuat dadaku jadi melambung mekar besar begini rupa…"
"Wah
Nek, berarti kau beruntung. Mana, coba kulihat." Kata Wiro pula.
"Gila
kowe!"
"Bukan
gila Nek. Aku cuma mau lihat apa dadamu melambungnya sama besar kiri kanan.
Soalnya yang aku tahu Nyai Tumbal Jiwo si nenek alam roh jahat itu pernah cuma
satu dadanya saja yang melendung seperti kelapa!"
"Setan
kau! Aku jadi bingung punya keadaan seperti ini."
"Kau
jadi tambah bingung kalau nanti banyak lelaki yang tahu dan
mengejar-ngejarmu!"
"Kau
memang pantas disebut anak setan!" maki si nenek. "Eh, aku mau tanya.
Sobatmu yang muka dan sekujur tubuhnya penuh paku tadi. Apa paku itu juga
menancap di anunya. Hik..hik!"
"Kenapa
kau tanya begitu Nek?"
"Tidak
apa-apa. Hanya kepingin tahu. Aku berpikir soalnya kalau juga ada paku menancap
di anunya. bagaimana dia kelak berhubungan dengan Istrinya? Hik…hik..hik!"
"Agar
kau bisa tahu Nek. kau saja yang jadi istrinya!" kata Wiro pula.
"Dasar
anak setan!" Si nenek tertawa cekikikan. jewer telinga kiri Wiro lalu
berkelebat pergi.
Tinggal
sendirian Wiro kini yang jadi bingung. Terutama mengingat Nyi Retno Mantili
yang selamat akibat pertolongan si nenek tadi kini entah berada dimana.
"Sandaka
Manusia Paku, apakah aku bisa mempercayai dirimu."
Apa
sebenarnya hubunganmu dengan Tiga Momok tadi? Jangan-jangan kau menyuruh mereka
pergi untuk mengejar dan menghadang Nyi Retno. Jika sesuatu terjadi dengan Nyi
Retno akibat keculasanmu, aku akan mengejarmu sampai ke jurang neraka
sekalipun!
Siapakah
Sandaka si Manusia Paku tadi?
Diceritakan
bahwa dirinya adalah pemuda bernama Sandaka Arto Gampito. Berkepandaian tinggi
murid seorang kakek sakti di Gunung Kelud yaitu Eyang Gusti Kelud.
Setelah
selesai menuntut ilmu silat dan ilmu kesaktian Sandaka dilepas turun gunung
oleh sang guru. Agaknya takdir buruk telah menunggu lelaki berusia sekitar tiga
puluh tahun itu. Dia bertemu dengan seorang perempuan cantik bernama Kunti
Arimbi berjuluk Dowi Ular. Sandaka bukan saja jatuh cinta tergila-gila pada
Kunti Arimbi. dijadikan budak nafsu, tapi juga diperalat untuk membunuh banyak
tokoh silat rimba persilatan. Bahkan Sandaka juga tega membunuh Eyang Gusti
Kelud serta Mantili. kekasihnya sendiri.
Dengan
menusukkan 30 buah paku baja putih ke tubuhnya Sandaka berhasil diselamatkan
oleh Datuk Bululawang dari tangan Dewi Ular. Namun pemuda itu kini menjadi
peliharaan sang Datuk yang ternyata menyukai sesama jenis. Sinto Gendeng turun
tangan memberikan dua buah paku emas pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Paku
pertama dipergunakan untuk menolong Sandaka sedang paku kedua untuk menghabisi
Dewi Ular.
Sandaka
berhasil ditolong oleh Wiro. Dewi Ular dapat ditusuk pusarnya dengan paku emas
dan dalam satu pertarungan hebat ditendang masuk ke dalam jurang. Sandaka
sendiri kemudian menjatuhkan diri masuk ke dalam jurang yang sama. Untuk
jelasnya kisah mengenai Sandaka dan Dewi Ular harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Dendam Manusia Paku" dan "Dewi Ular"
**********************
11
DALAM
serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak Merapi" diceritakan Patih
Wira Bumi membawa satu pasukan besar untuk menyelidiki kebakaran besar yang
terjadi di puncak Gunung Merapi. Selain itu dia juga bermaksud menyergap
Pangeran Muda, pimpinan pemberontak yang menyebut diri Orang Orang Keraton
Kaliningrat dan dikabarkan terlihat naik ke puncak gunung bersama beberapa
pengiring untuk menemui Pangeran Matahari.
Pangeran
Muda ditemui di satu tempat dalam keadaan hancur tangan kanannya akibat
tendangan Pangeran Matahari. Setelah dimintai keterangan Patih Wira Bumi tanpa
ampun menghabisi Pangeran Muda dengan menusukkan sebatang tombak ke arah dada,
tepat di bagian jantung
Kedatangan
Patih Kerajaan di puncak Gunung Merapi bersamaan dengan kehadiran beberapa
tokoh persilatan yang hendak membuat perhitungan dengan Pangeran Matahari alias
Hantu Pemerkosa yang saat itu memiliki satu senjata hebat dan luar biasa berupa
sebuah lentera bernama Lentera Iblis. Para tokoh silat itu adalah Pendekar 212
Wiro Sableng. Wulan Srindi, Purnama, Setan Ngompol, Sinto Gendeng, Jatilandak,
Liris Biru serta Nyi Bodong yang kemudian diketahui ternyata adalah Bidadari
Angin Timur.
Sang
Pangeran sendiri didampingi Liris Merah, kakak Liris Biru murid mendiang nenek
sakti Hantu Malam Bergigi Perak yang telah jatuh hati dan menjadi budak nafsu
Pangeran Matahari.
Patih
Wira Bumi berusaha menangkap Pangeran Matahari dengan dua tuduhan. Pertama
telah membakar kawasan puncak Gunung Merapi secara sengaja. Kedua hendak
mendirikan Partai Bendera Darah yang bisa merongrong dan membahayakan Kerajaan.
Namun setelah hampir separuh dari anggota pasukannya menemui ajal dibantai
Pangeran Matahari dengan Lentera Iblis. Patih Wira Bumi pergunakan akal,
berlaku cerdik. Dia membiarkan para tokoh silat menyelesaikan urusan dengan
Pangeran Matahari. Apa lagi dia menaruh firasat bahwa begitu selesai urusan
dengan Pangeran Matahari. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan Ngompol akan
meminta pertanggung Jawabnya atas kematian Djaka Tua.
Puncak
Gunung Merapi menjadi arena pertarungan hebat Walau Pangeran Matahari pada
akhirnya dapat ditamatkan riwayatnya oleh Sinto Gendeng yaitu dengan meremas
hancur kemaluannya atas petunjuk Purnama namun Wulan Srindi sendiri tewas dalam
pertarungan itu.
Patih
Wira Bumi buru-buru kembali ke Kotaraja dengan perasaan kecewa. Banyak anak
buahnya yang menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Dia sendiri yang merasa
telah mendapat Ilmu kesaktian dan Nyai Tumbal Jiwo ternyata masih belum sanggup
menghadapi Pangeran Matahari.
"Ada
sesuatu yang tidak beres dengan ilmu yang aku miliki. Apa yang terjadi? Tidak
ampuh karena aku masih belum membunuh bayi itu? Aku harus menghubungi
Nyai." pikir Wira Bumi.
Karenanya
begitu sampai di Gedung Kepatihan malam harinya. Wira Bumi langsung masuk ke
kamar rahasia yang selama ini dijadikan tempat pertemuan dan pelampiasan nafsu
badaniah dengan Nyai Tumbal Jiwo. Seperti biasa, Wira Bumi naik ke atas ranjang
setelah lebih dulu menanggalkan seluruh pakaiannya.
Sambil
berbaring meneJentang Wira Bumi berucap.
"Nyai,
aku Wira Bumi. Aku ingin bertemu. Datanglah."
Biasanya
hanya dalam bilangan lima hitungan saat itu juga Nyai Tumbal Jiwo muncul dalam
ujud seorang gadis cantik berkulit kuning langsat, berbaring di samping Wira
Bumi bahkan seringkali langsung merebahkan diri menelungkup di atas tubuh sang
Patih.
Namun
sekali ini setelah ditunggu cukup lama bahkan Wira Bumi telah memanggil
berulang kali sang Nyai tidak kunjung muncul.
"Nyai.
apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah kau tidak mau mengunjungku lagi? Apa kau
sudah bosan bermesraan dan bersatu badan denganku? Nyai datanglah. Paling tidak
tunjukkan ujudmu watau cuma samar. Bicara pada saya…"
Setelah
berulang kali dipanggil tetap tak kunjung datang. Wira Bumi menyalakan
pendupaan. menebar setanggi lalu kembali naik ke atas ranjang. Kali ini dia
tidak berbaring tapi duduk bersila mengambil sikap bersamadi. Dua mata dipejam.
Sementara
itu di luar gedung hujan turun lebat sekali. Tiupan angin kencang menimbulkan
suara menyeramkan. Tiba-tiba jendela besar di samping kanan ranjang terpentang
lebar. Hawa dingin masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian jendela tertutup
kembali.
"Nyai…."
Wira Bumi Merasakan ada getaran di sekitar tubuhnya. Lalu dia mendengar suara
mengiang.
"Wira
Bumi, aku sudah datang.Tapi aku tidak bisa memperlihatkan diri seperti
sudah-sudah…"
"Ada
apa Nyai? Kenapa? Apa yang terjadi?"
"Beberapa
waktu lalu aku memergoki Pendekar Dua Satu Dua di satu tempat. Ketika aku
hendak membunuhnya ada mahluk perempuan dari alam gaib menolong. Mahluk itu
memiliki ilmu kesaktian yang sulit aku tandingi. Tubuhku dicabik-cabik. Aku
menemui kematian kedua. Aku hanya bisa muncul kembali setelah seratus dua puluh
hari…."(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Api Di Puncak
Merapi")
"Nyai.
apakah mahluk perempuan dari alam gaib itu punya nama dan bagaimana
ciri-cirinya? Aku akan mencari dan membunuhnya demi Nyai!’
"Setahuku
dia dipanggil dengan nama Purnama. Dia selalu mengenakan pakaian biru. Rambut
digulung ke atas terkadang dilepas. Hati-hati Wira. Perempuan ini tidak pernah
jauh dari Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng."
"Terima
kasih atas petunjukmu Nyai. Saya tengah menghadapi masalah. Keselamatan saya
terancam. Ilmu kesaktian yang kau berikan tidak mampu bekerja sebagaimana
mestinya."
"Aku
tahu Wira, aku tahu. Kau harus bisa melaksanakan sumpah secepatnya. Membunuh
bayi Itu…."
"Saya
sudah mencarinya Nyai.Tapi bayi itu tidak juga diketemukan. Yang muncul justru
dua orang tak dikenal. Malam ini ketika pesta berlangsung, ada yang membunuh
Cagak Lenting. Saya ingin merasa yakin bahwa Nyi Retno lah yang melakukan.
Mungkin ada seorang yang membantu.Tapi dari mana perempuan itu mendapatkan ilmu
kesaktian?"
"Apa
kau lupa Nyi Retno pernah tinggal di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas
di puncak Gunung Gede? Pasti Kiai satu itu yang punya pekerjaan."
"Lalu
apa yang harus saya lakukan Nyai?"
"Untuk
sementara sebagal penjaga diri aku akan memberikan kekuatan penangkal padamu.
Kekuatan itu juga akan memungkinkan diriku masuk ke dalam dirimu sehingga jika
sesuatu terjadi aku masih bisa menolong. Jika aku masuk ke dalam tubuhmu maka
orang yang akan berbuat jahat padamu akan melihat dirimu sebagai
perempuan."
"Terima
kasih Nyai. Apakah aku bisa mendapatkan penangkal itu sekarang juga?"
"Tentu
Wira. Letakkan keningmu di atas ranjang lalu menungginglah. Kekuatan penangkal
akan aku masukkan ke dalam tubuhmu melalui dubur. Jangan kaget atau takut bila
nanti dari hidung, mulut dan dua telingamu keluar mengucur darah merah."
"Nyai,
saya menurut apa yang kau katakan."
Lalu Wira
Bumi letakkan kening di atas ranjang. Tubuh bagian bawah ditunggingkan ke atas.
Saat itu di dalam kamar muncul satu cahaya merah yang keluar dari sebuah benda
berbentuk paku sebesar jari telunjuk dengan panjang satu jengkal. Paku bersinar
ini melayang tujuh kali seputar kamar lalu bergerak ke bagian tubuh Wira Pati
sebelah belakang.
"Tahan
Wira. Kau akan merasa sakit luar biasa. Tapi hanya sebentar…"Terdengar
suara Nyai Tumbal Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi.
Paku
bersinar tiba-tiba melesat ke arah bagian bawah tubuh sang Patih, masuk ke
dalam dubur. Saat itu juga Wira Bumi menjerit keras akibat rasa sakit luar
biasa. Namun seperti yang dikatakan Nyai Tumbal Jiwo rasa sakit itu hanya
sekejapan. Lalu berganti ada rasa sejuk sewaktu paku bersinar meluncur masuk ke
dalam tubuh. Begitu paku sampai di dada Wira Bumi merasa ada hawa panas di
sekitar kepala. Saat Itu juga darah mengucur keluar dari lobang hidung, mata
dan mulut. Setelah beberapa lama kucuran darah berhenti dan lenyap tanpa
meninggalkan noda sedikitpun.
"Nyai….?"
"Wira,
kurasa ada baiknya kau pergi ke Goa Girijati. Tinggal di sana barang beberapa
hari untuk mencari ketenangan."
"Kalau
itu memang baik untuk saya akan saya lakukan Nyai," jawab Wira Bumi.
"Saya akan berangkat besok pagi. Lalu Nyai…. apakah kita tidak akan
bercinta malam ini…?"
Sunyi.
"Nyai,
walau kau tidak bisa menunjukkan ujud, apakah kau tidak bisa meraba tubuhku seperti
biasanya kau lakukan?"
Tetap tak
ada jawaban. Jendela kamar kembali membuka lalu menutup lagi secara aneh.
**********************
12
SOSOK
perempuan di atas pohon besar mendekap boneka kayu ke dada, mengusap punggung
boneka lalu berkata perlahan.
Tenang
Kemuning, jangan gelisah anakku. Aku Kasihan waktu kau kecebur dalam telaga.
Untung nenek jelek itu menemuimu dan menyerahkanmu padaku. Kalau aku sampai
kehilanganmu, aduh … Sudah dua malam kita datang ke tempat ini. Sekali ini aku
merasa maksud kita akan kesampaian. Para pengawal sudah berkurang jamlahnya.
Enam orang yang ibu curigai sebagai orang-orang rimba persilatan saat ini hanya
tinggal dua. Malam Ini kita akan masuk ke dalam gedung. Akan kita gorok batang
leher Patih keparat itu. Dia membunuh pengasuhmu. Dia juga punya rencana hendak
mencelakai ibumu ini."
Perempuan
itu yang tentu saja Nyi Retno Mantili adanya kemudian mencium pipi boneka lalu
berbisik.
"Apakah
kau rindu pada si gondrong itu Kemuning? Apakah kau kangen pada orang yang aku
inginkan menjadi ayahmu itu? Ya…ya… ya aku tahu kau tidak suka perbuatan Ibu.
Tapi Ibu meninggalkannya karena masih jengkel. Dia mencegah Ibu membunuh Patih
Wira Bumi. Dia mengatakan Patth itu adalah suamiku. Ayahmu! Gila sekali! Tapi….
menurutmu, apakah dia saat ini juga berada di sekitar tempat ini? Bisa saja.
Dia juga sudah kangen sama kita. Mengintip intip kalaukalau kita ada di sini.
Hik… hik…Tenang Kemuning. Jangan gelisah…."
Malam
merayap dingin dan sunyi. Enam orang pengawal tampak mengelilingi Gedung
Kepatihan. Di salah satu sudut gedung dua orang tengah bercakap-cakap. Mereka
adalah tokoh silat dari Istana yang diminta bantuan oleh Patih Wira Bumi untuk
mengawalnya. Sesekali satah seorang tokoh silat itu naik ke atas wuwungan
gedung untuk memeriksa keadaan.
Menjelang
pagi Nyi Retno melihat salah satu dari dua tokoh silat itu berjalan ke bagian
belakang gedung.
"Bangun
Kemuning, saatnya kita menyembelih manusia keparat itu. Ingat, jika kau lihat
kepalanya menggelinding, darah muncrat jangan kau menjerit. Kau anak Ibu. Kau
tidak boleh takut!"
Setelah
menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri Nyi Retno melayang turun dari atas
pohon. Dia melompati tembok rendah pembatas halaman depan lalu dengan langkah
tidak terlalu cepat berjalan menuju halaman belakang. Di ujung gedung langkahnya
terhenti. Mata menatap ke arah kandang kuda. Dua orang pengawal tengah menuntun
empat ekor kuda.Tak lama kemudian dari bagian belakang gedung keluar tiga orang
lelaki. Di depan sekali diingat Nyi Retno bukan lain adalah Patih Wira Bumi. Di
sebelahnya seorang kakek berjubah ungu lalu seorang lelaki muda bertubuh tegap.
Tiga
orang itu naik ke punggung kuda lalu melarikan tunggangan masing-masing ke arah
halaman depan. Seorang pengawal telah membuka pintu gerbang Gedung Kepatihan.
Nyi Retno berpikir sejurus lalu melompat ke atas punggung kuda ke empat yang
masih ada di depan kandang. Dua pengawal tersentak dan berteriak kaget ketika
melihat kuda itu tiba-tiba menghambur menuju halaman depan. Melewati pintu
gerbang, berlari mengikuti tiga ekor kuda yang telah dipacu lebih dulu.
"Aneh!
Aku tidak melihat orang.Tapi bagaimana mungkin kuda itu bisa lari seperti ada
yang membedalnya?!"
Di salah
satu sudut gelap atap Gedung Kepatihan seorang yang sejak tadi mendekam tidak
menunggu lebih lama melesat turun. Laksana terbang melewati tembok depan dan
lenyap ke arah perginya rombongan Patih Kerajaan dan Nyi Retno Mantili.
"Sial’.Tak
mungkin aku mengejar! Kalau saja aku tahu mereka menuju kemana…." Walau
mengomel tapi orang ini masih terus mengejar. Sesekali dia menggaruk kepala.
"Kuda yang kabur tanpa penunggang itu pasti dinaiki Nyi Retno. Dia
menerapkan ilmu menyembunyikan diri dari Kiai Gede Tapa Pamungkas."
Tiga
penunggang kuda di sebelah depan setelahmemacu kuda masing-masing beberapa
lama. salahseorang diantara mereka yaitu kakek berjubah ungu. tokoh silat
bernama Ki Luwak Ireng berkata.
"Ada
orang mengikuti kita!"
"Kanjeng
Patih dan Ki Luwak Ireng, biar saya yangmenangani. Saya akan menghadang dan
mencari tahusiapa orangnya!" Yang bicara adalah lelaki mudaberbadan tegap
bernama Bantarangin, KepalaPengawal Gedung Kepatihan. Dia segera hentikankuda,
memutar binatang ini menghadap ke arahdatangnya orang yang membuntuti.
Saat itu
hari mulai terang-terang tanah. Tak selangberapa lama muncul seekor kuda coklat
tanpa penumpang. Bantarangin tahu betul kuda ini adalah kuda di Gedung
Kepatihan. Namun ada hal aneh dilihatnya.
"Heran!
Kuda berlari kencang.Tapi tak ada yang menunggangi!"
Kepala
Pengawal Gedung Kepatihan ini angkat tangan kanan tinggi-tinggi sementara
tangan kiri menyentakkan tali kekang hingga kuda yang ditungganginya kini
melintang di tengah jalan.
Kuda yang
dihadang meringkik keras sambil angkat dua kaki depan. Bantarangin
memperhatikan dengan mata besar, masih tidak bisa percaya kalau kuda itu
benar-benar tidak ada penunggangnya. Ola hendak turun dari kudanya untuk
memeriksa kuda coklat itu. Namun gerakan Kepala pengawal ini jadi tertahan
ketika tiba-tiba dia mendengar suara tawa cekikikan lalu samar-samar tampak
ujud seorang perempuan mengenakan pakaian kembang-kembang kuning dan biru. Dari
bentuk samar perlahan-lahan sosok perempuan itu berubah jelas. Seorang
perempuan sangat muda. masih belasan tahun, bertubuh mungil, berwajah cantik
dan membawa sebuah boneka kayu yang dibedong di depan dada. Bantarangin segera
menegur.
"Perempuan
muda, aku tidak kenal dirimu. Tapi kau menunggang kuda milik Kepatihan. Kau
menguntit mengejar kami. Kau tahu rombongan siapa yang kau ikuti?! Kau Ini
hantu atau apa?" Kepala Pengawal Gedung Kepatihan ini memang tidak pernah
kena! atau melihat Nyi Retno Mantili sebelumnya.
Di atas
kuda coklat Nyi Retno Mantili sunggingkan senyum. Lalu menjawab. "Kau tak
perlu kenal siapa diriku. Aku cukup tahu rombongan yang aku ikuti!
Dan aku
bukan hantu! Nah, kau masih ada pertanyaan lain? Kalau tidak iekas menyingkir!
Jangan berani menghalangi jalanku!"
"Gadis
galak…"
"Huss!
Siapa bilang aku gadis. Apa kau tidak melihat aku sudah punya anak yang saat
ini ada dalam bedongan di depan dadaku?!"
Kepala
Pengawal itu tentu saja jadi terheran-heran. Namun dia tidak punya waktu banyak
untuk melayani Nyi Retno.
"Dengar,
siapapun kau adanya. Aku minta kau kembali ke arah dari mana kau tadi datang.
Jangan berani mengikuti rombonganku. Cepat pergi!"
Nyi Retno
tertawa. "Kemuning, kau dengar ada orang mengusir kita? Sombong benar! Apa
dia merasa jalan ini miliknya sendiri? Hik…hik!" Selesai berucap Nyi Retno
memandang tajam pada Bantarangin. "Kau! Siapapun kau adanya aku tidak akan
berkata dua kali! Lekas menyingkir dari hadapanku!"
"Kau
membuatku marah!" bentak Bantarangin.
"Kau
yang membuat aku marah!" baias membentak Nyi Retno Mantili.Tangan
kanannya bergerak mengeluarkan boneka kayu dari dalam bedongan lalu diarahkan
pada Bantarangin. "Kau mau menyingkir atau memilih celaka?!"
"Perempuan
gila! Apa yang bisa kau lakukan dengan sebuah boneka butut itu!" sambil
tertawa mengejek Bantarangin gerakkan tangan kiri, hendak menepis boneka vang
diarahkan padanya.
Saat Itu
juga Nyi Retno gerakkan jari-jari tangan memencet pinggang boneka. Cahaya aneh
begemeriap pada dua mata boneka. Lalu dalam bilangan kejapan mata dua larik
cahaya putih melesat ke arah dada Bantarangin. Kepala Pengawal ini menjerit
keras. Tubuhnya mencelat tiga tombak dalam keadaan terbelah di bagian dada talu
jatuh tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Darah membanjir!
Kemuning,
bukankah Ibumu sudah memberi peringatan? Tapi orang itu tidak mau
mendengar!" Nyi Retno melompat turun dari kuda coklat. Walau tubuhnya
kecil namun dia tidak mengalami kesulitan mengangkat mayat Bantarangin dan
membaringkan melintang di atas kuda yang tadi ditunggangi Kepala Pengawal itu.
Pinggul kuda ditepuk. Binatang ini langsung menghambur lari ke arah jalan yang
semula ditempuh yaitu menuju pantai selatan. Nyi Retno Mantili tertawa
cekikikan. Dia kembali naik ke atas kuda coklat, mengikuti kuda yang membawa
mayat Bantarangin sambil menerapkan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri.
**********************
13
SETELAH
berlalu cukup lama dan Bantarangin tidak kunjung muncul, baik Ki Luwak Ireng
maupun Patih Kerajaan menjadi curiga. Keduanya sama-sama menghentikan kuda.
Saat itu di timur fajar sudah menyingsing dan sang surya siap menyembul
menerangi jagat
"Ki
Luwak, aku kawatir sesuatu telah terjadi dengan Kepala Pengawal…" Berkata
Patih Kerajaan.
"Kalau
Kanjeng Patih memberi izin saya.akan menyelidik." Ki Luwak Ireng orang tua
berkulit hitam berjubah ungu yangtokoh silat Istana itu siap memutar kuda.
"Pergilah.
Aku akan menunggu di sini. Jika’kau tidak menemui Bantarangin lekas
kembali."
Saat itu
satu cahaya marah entah dari mana datangnya menyusup masuk ke dalam kepala
lewat ubun-ubun Wira Bumi disertai terdengarnya suara mengiang.
"Wira
Bumi, kau dalam bahaya…"
"Nyai…"
Patih Kerajaan berucap tercekat. Dia merasa ada getaran di dalam tubuhnya.
Sesaat kemudian wajah dan sosoknya telah berubah menjadi seorang gadis cantik
mengenakan pakaian ringkas wama merah muda. Inilah penampilan yang biasa
dilakukan Nyai Tumbal Jiwo jika dia hendak bercinta dengan Wira Bumi. Namun
kali ini ilmu kesaktian tersebut dipergunakan untuk melindungi sang Patih
seperti yang dikatakan sang Nyai sebelumnya.
"Akan
saya laksanakan Kanjeng Patih." Kata Ki Luwak Ireng menanggapi perintah
Patih Wira Bumi tadi. Lalu dia segera sentakkan tali kekang kuda. Namun di
depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda hitam, berlari kencang mendatangi. Di
punggung binatang Ini melintang sesosok tubuh berlumuran darah yang masih
mengucur membasahi tubuh kuda dan berlelahan ke tanah.
"itu
kuda Bantarangin!" Kata Patih Kerajaan. Dadanya mendadak berdebar.
"Ki Luwak lekas periksa! "Walau ujudnya sudah berubah jadi seorang
gadis namun saat itu suaranya masih suara laki-laki, suara Wira Bumi.
Tidak
menunggu lebih lama Ki Luwak Ireng yang tidak melihat ke arah Patih Kerajaan
cepat melompat dari punggung kuda. Dengan satu gerakan kilat dia menyambar tali
kekang kuda hitam hingga binatang ini meringkik keras dan berhenti berlari. Ki
Luwak cepat memeriksa. Dia segera mengenali sosok orang yang sudah jadi mayat,
di atas kuda hitam.
"Kanjeng
Patih! Bantarangin dibunuh!"
Ki Luwak
Ireng cepat turunkan mayat Kepala Pengawal, dibaringkan di tepi jalan. Dia
berpaling ke arah Patih Kerajaan.
"Kanjeng
Patih…"
Ucapan Ki
Luwak Ireng terhenti ketika dia melihat satu keanehan. Yang duduk di atas kuda
di sebelah sana bukan Patih Kerajaan Wira Bumi. tapi seorang gadis cantik
berkulit kuning langsat yang tidak dikenalnya.Terheran-heran Ki Luwak bertanya.
"Kau
siapa? Mana Kanjong Patih Wira Bumi?!"
Gadis
cantik di atas kuda tidak menjawab. Hanya tersenyum lalu memutar kuda siap tinggalkan
tempat itu. Ki Luwak Ireng cepat menghalangi dengan menahan tali kekang kuda.
Si gadis pegang tangan tokoh silat itu seraya berkata.
"Ki
Luwak, aku pergi duiuan. Ada orang lain mendatangi ke arah sini!" Suaranya
kini benaran suara perempuan.
"Aku
tidak mengerti. Orang lain siapa? Kau sendiri siapa?!" Ki Luwak memandang
berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat Patih Kerajaan. Tapi kuda yang
ditunggangi gadis tak dikenal itu jelas adalah kuda yang tadi ditunggangi sang
Patih.Tokoh silat Istana Ini tak bisa berpikir loblh jauh karena saat Itu di
hadapannya telah berdiri seekor kuda coklat yang penumpangnya seorang perempuan
bertubuh kecil dalam bentuk samar!
"Siapa
lagi ini?!" Pikir Ki Luwak Ireng sementara gadis cantik di alas kuda yang
tadi ditunggangi Patih Kerajaan siap meninggalkan tempat Itu.
Sosok
samar di atas kuda coklat berubah jelas lalu melesat ke udara dan turun di
jalan menghadang kuda yang ditunggangi gadis cantik berpakaian merah muda.
Ketika si gadis melihat siapa adanya perempuan bertubuh kecil yang menghadang
kudanya, kagetnya bukan alang kepalang.
"Retno
Mantili!" ucap si gadis di atas kuda dalam hati dengan dada berdobar
keras. Gadis Ini bukan lain adalah perubahan bentuk dari Patih Wira Bumi
selelah roh Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam tubuhnya. Di saat yang sama si
gadis mendengar suara mengiang. "Wira Bumi tinggalkan tempat Ini! Cepat
pergi ke Goa Girijati!"
"Nyai,
aku harus membunuh perempuan itu. Kau lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili.
Istriku!"
"Saatnya
lidak tepat. Serahkan perempuan itu pada Ki Luwak Ireng!" jawab suara
mengiang.
"Kalian
berdua jangan ada yang berani tinggalkan tempat ini!"Tiba-tlba perempuan
yang menghadang di tengah jalan yaitu Nyi Retno Mantili berteriak sambil tangan
kanan mengacungkan boneka kayu.
"Ki
Luwak Ireng! Kau urus perempuan sinting itu. Aku harus segera pergi dari
sini!" Kata si cantik diatas kuda.
Ki Luwak
Ireng jadi bingung.
"Aku…"
Gadis di
atas kuda menggebrak tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan, siap
menerjang Nyi Retno Mantili.
"Hik…
hik! Perempuan di atas kuda! Jangan mengira aku tidak tahu siapa ujudmu
sebenarnya!" sewaktu terjadi perubahan rupa atas diri Wira Bumi tadi Nyi
Retno Mantili sempat melihat dan juga mendengar Ki Luwak Ireng masih memanggil
si gadis dengan sebutan Kanjeng Patih. Tidak tunggu lebih lama Nyi Relno tekan
pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyembur dari sepasang mata boneka
kayu. Sepasang Cahaya Satu Batu Kumala. Menyambar dada dan kaki kanan kuda yang
hendak menabraknya. Dada terbelah, kaki kanan buntung. Kuda besar meringkik
keras lalu roboh ke tanah.
Gadis
berpakaian merah muda cepat selamatkan diri dengan melesat ke udara. Jungkir
balik dan melayang turun ke belakang Ki Luwak ireng yang sampai saat itu masih
berdiri kebingungan, apa lagi setelah menyaksikan kematian kuda besar dihantam
dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka kayu.
"Ki
Luwak Ireng, aku Patih Kerajaan! Bunuh perempuan yang memegang bonoka
itu."
Ki Luwak
Ireng berpaling. Dia tetap saja melihat gadis cantik bukan Patih Kerajaan!
Tambah bingung! Di saat yang sama Nyi Retno Lestari sudah melompat ke hadapan
ke dua orang itu sambil mengacungkan boneka kayu.
"Ki
Luwak! Kau tunggu apa lagi!" Bentak gadis baju merah muda.
Dalam
bingungnya Ki Luwak ireng menerjang ke arah Nyi Retno sambil lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam jurus yang disebut
Angin Melanda Puncak Mahameru.
Angin
sedahsyat badai menghantam Nyi Retno hingga tubuhnya yang kecil terangkat satu
tombak ke udara. Dari tubuh boneka tiba-tiba keluar cahaya berwarna Jingga,
menebar menyelubungi Nyi Retno. Membuat perempuan ini sama sekali tidak cidera
oleh hantaman serangan KI Luwak Ireng. Padahal jangankan manusia, tembok batu
sekalipun akan hancur berantakan dilanda pukulan itu. Sambil tertawa cekikikan
Nyi Retno berteriak.
"Tua
bangka hitam keling! Aku tak ingin membunuhmu. Tapi kau yang sengaja minta
mati. Lima jari tangan memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih
menyambar.
“Dreet…dreett”
Seperti
digergaji tubuh Ki Luwak Ireng terbelah mulai dari bahu sampai ke pinggul
kanan. Mulutnya masih sempat mengeluarkan jeritan keras sebelum roboh ke tanah
dan diam tak berkutik lagi! Darah menggenang!
Melihat
kejadian ini dan tahu kalau kini dirinya yang bakal jadi Incaran, gadis
berpakaian merah muda yang sebenarnya adalah Patih Wira Bumi segera menghantam
ke arah Nyi Retno dengan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat inilah pukulan maut
warisan Nyai Tumbal Jiwo, hasil tapa tujuh bulan di Goa Girijati. Selarik angin
ganas menderu ke arah batok kepala Nyi Retno.
"Hik
… hik! Kemuning! Ada orang hendak membunuh kita dengan ilmu setan!"
Sambil
jatuhkan diri ke tanah dan berguling Nyi Retno Mantili arahkan boneka kayu pada
gadis baju merah muda. Pinggang boneka ditekan, tangan membuat gerakan membabat
dari kiri ke kanan. Dari dalam tubuh gadis baju merah muda muncul keluar satu
bayangan merah sambil dua tangan memukul ke arah Nyi Retno Mantili. Namun
sambaran Sepasang Cahaya Batu Kumala datang lebih cepat, menyambar leher si
gadis baju merah.
"Craasss!"
Seperti
dibabat sebilah golok besar leher itu putus. Tubuh terbanting jatuh, kepala
menggelinding. Di saat yang bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing mengembik,
keras dan panjang. Anehi
Nyi Retno
Mantili tertawa panjang.
"Kemuning!
Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat pembunuh pengasuhmu sudah mampus! Apa kita
akan meneguk darahnya," ihhh. jijik … Ayo anakku, kita pergi dari
sini!"
Nyi Retno
Mantili susupkan boneka kayu ke dalam kain bedongan yang melintang di dadanya,
memutar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Kalau saja Nyi Retno
Mantili masih berada di tempat itu barang beberapa lama maka dia akan melihat
keanehan yang tak bisa dipercaya. Dia menyangka telah membunuh Wira Bumi yang
merubah diri jadi gadis cantik berpakaian merah muda. Padahal itu tidak pernah
terjadi!
Hanya
beberapa saat setelah Nyi Retno pergi. Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di
tempat itu. Murid Sinto Gendeng ini geleng-geleng kepala berulang kali.
"Ada
seekor kuda menemui ajal! Seorang kakek berjubah ungu dan seorang lelaki muda
tewas mengerikan. Lalu ada seekor kambing mati dengan kepala putus…. Kambing!
Aneh! Mengapa ada kambing di tempat ini?! Memangnya ada yang mau nyate?! Siapa
yang membantai semua mahluk celaka ini?! Nyi Retno, apakah kau yang punya
pekerjaan."
Wiro
memandang berkeliling lalu menggaruk kepala.
TAMAT
No comments:
Post a Comment