Kutukan Sang Badik
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
1
LEMBAH
Welirang terletak di tenggara kawasan Bukit Menoreh, tak jauh dari sebuah desa
kecil sepi penduduk bernama Imoyudan. Sepanjang pagi asap kuning yang berbaur
dengan kabut menggantung di udara membuat pandangan mata kadang-kadang hanya
bisa menembus jarak beberapa tombak saja. Bau belerang tercium di mana-mana.
Siapa saja yang berada di sekitar lembah, apa lagi berani menuruni sampai ke
bawah, akan mengalami sesak nafas bahkan bisa jatuh pingsan akibat sengatan uap
belerang yang menyumbat jalan pernafasannya.
Namun
saat itu di bibir lembah sebelah timur kelihatan sepasang muda-mudi asyik
bercakap-cakap sambil memasang mata dan telinga, seolah-olah tidak terganggu
oleh asap dan kabut serta-bau belerang yang begitu santar. Kalau tidak memiliki
kepandaian tinggi, tidak mungkin keduanya bisa berbuat seperti itu.
Sang
pemuda yang berambut gondrong berpakaian serba putih dan bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya berdiri di bibir lembah, menatap ke arah danau
kecil menyerupai kawah berair kuning pekat di dasar lembah. Dari danau kecil
inilah berasalnya asap berbau belerang yang menyatu dengan kabut.
Beberapa
saat berlalu, Wiro alihkan pandangan ke bagian lembah di atas dan seputar danau
belerang yang hampir seluruhnya tertutup oleh batu-batu cadas berwarna kuning
dan coklat. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tidak melihat dengan
pandangan mata biasa karena penglihatannya di sana-sini akan terhalang kabut.
Dia menerapkan llmu Menembus Pandang yang di-dapatnya dari Ratri Duyung yang
saat itu berada di sampingnya. Seperti Wiro Sang Ratu juga telah mengerahkan
ilmu yang sama untuk menyelidik keadaan seantero Lembah Welirang.
Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya berjudul "Meraga Sukma" kedua
orang ini baru saja keluar dari dasar kawasan samudera selatan. Sesuai petunjuk
Kakek Segala Tahu dengan diantar Ratu Duyung Wiro telah menemui Nyi Roro
Manggut dan berhasil mendapatkan ilmu yang disebut Meraga Sukma. Konon hanya
dengan ilmu inilah Pendekar 212 akan mampu menyelamatkan dan membebaskan Suci
gadis alam roh yang lebih dikenal dengan nama Bunga dari sekapan guci tembaga
Iblis Kepala Batu Alis Empat.
"Ratu,
kau melihat sesuatu?" tanya Wiro.
Ratu
Duyung yang memiliki bola mata berwarna biru gelengkan kepala lalu berkata.
"Lembah
di bawah kita tidak seberapa besar. Tapi ternyata tidak mudah untuk mencari
tahu dimana bagian lembah yang dijadikan sarang tempat kediaman dan
persembunyian oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat."
"Kita
sudah tahu, kawasan Lembah Welirang ini adalah sarang kediaman Iblis itu. Jika
sulit mencari, dari pada membuang waktu lebih baik kita hancur leburkan lembah
ini. Masakan makhluk jahanam itu tidak akan muncul unjukkan diri."
Ratu
Duyung tersenyum mendengar ucapan Wiro. Sambil memegang mesra lengan sang
pendekar dia berkata.
"Bagi
kita berdua memang mungkin saja melakukan hal itu. Tapi apakah dengan cara
seperti itu kita akan mampu menyelamatkan gadis alam roh itu dari dalam sekapan
guci tembaga Iblis Kepala Batu?"
Wiro
garuk-garuk kepalanya.
"Kau
benar juga…" kata Wiro kemudian.
Iblis
Kepala Batu Alis empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh adalah dedengkot
golongan hitam rimba persilatan yang pernah menjadi tokoh silat Istana. Dia
telah menculik dan menyekap Bunga dalam sebuah guci kecil terbuat dari tembaga
dan sampai saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng masih belum rnampu membebaskan
gadis alam roh yang mencintainya itu. Harapannya kini ter-gantung pada ilmu
Meraga Sukma yang telah didapatkan-nya dari Nyi Roro Manggut.
"Kita
musti menuruni lembah. Tapi sebaiknya kita menunggu sampai, matahari bersinar
terik, membuat asap dan kabut menipis. Walau kita menerapkan Ilmu Menembus
Pandang, bisa melihat segala sesuatunya dengan cukup jelas, tetap saja
berbahaya. Kita tidak melihat orang yang kita cari. Tapi saat ini mungkin dia
tengah memperhatikan gerak-gerik kita. Sesuatu bahaya tak terduga bisa saja
terjadi secara mendadak dan kita…"
Ucapan
Ratu Duyung terputus karena tiba-tiba sekali Wiro menarik lengannya, membawanya
berlindung ke balik serumpunan semak belukar setinggi dada di pinggir lembah.
"Ada
apa?" bisik Ratu Duyung.
"Aku
mendengar suara orang berlari," jawab murid Sinto Gendeng. Sejak dia
menerima masukan hawa aneh dari Naga Biru yang diam di dasar samudera tempat
kediaman Nyi Roro Manggut, pendengaran dan penglihatan Wiro menjadi lebih peka.
Selain itu tubuhnya terasa lebih ringan.
Wiro
menyibakkan semak belukar lalu menunjuk ke arah lembah sebelah selatan.
"Lihat,
ada orang berlari di pinggiran lembah sebelah sana. Mungkin dia bergerak ke
arah kita. Aku seperti mengenali…"
Ratu
Duyung memandang ke arah yang ditunjuk Wiro. Memang benar. Di arah selatan
bibir lembah seorang berpakaian serba hitam tengah berlari kencang. Dari
rambutnya yang panjang melambai tertiup angin jelas dia adalah seorang
perempuan.
"Jangan-jangan
orang itu gurumu, Eyang Sinto Gendeng." kata Ratu Duyung pula.
Wiro
garuk kepalanya, buru-buru menjawab.
"Tidak
mungkin. Kalau orang itu Eyang Sinto Gendeng dari sini aku pasti sudah bisa
mencium bau pesing tubuh dan pakaiannya. Lagi pula di atas kepalanya ada lima
tusuk konde. Orang yang lari itu tidak ada tusuk kondenya tapi ada warna aneh
kemerah-merahan. Apakah kau tak bisa menduga siapa dia adanya?"
"Aku
akan menerapkan llmu Menembus Pandang kembali," kata Ratu Duyung pula.
Sepasang matanya yang biru memandang tak berkedip, mengikuti sosok tubuh yang
berlari. Ilmu Menembus Pandang yang dimiliki Sang Ratu satu tingkat berada di
atas ilmu yang sama yang dimiliki Wiro.
"Ahhh…."
Ratu Duyung keluarkan suara mendesah halus dan panjang. "Asap merah
berbentuk kerucut terbalik di atas kepala. Siapa lagi kalau bukan orang yang
kau sebut Hantu Penjunjung Roh, makhluk dari negeri seribu dua ratus tahun
silam."
"Aku
sudah mengira. Nenek itu adalah saudara Iblis Kepala Batu Alis Empat. Dia
muncul di sini pasti menemui saudaranya itu. Mungkin mau memheritahu kalau kita
akan mendatanginya di lembah ini."
"Sebelum
dia menemukan saudaranya, aku akan menghajarnya lebih dulu," kata Ratu
Duyung. "Ingat peristiwa di pantai waktu kita baru saja keluar dari tempat
kediaman Nyi Roro Manggut? Nenek jahat itu memukulku, membuatku hampir menemui
ajal."
"Ratu
Duyung, kuharap kau mau bersabar. Nenek itu bisa kita jadikan penunjuk jalan.
Secara tidak sadar dia akan memandu kita ke tempat kediaman Iblis Kepala Batu
Alis Empat!"
Ratu
Duyung terdiam lalu berkata perlahan. "Aku menurut saja apa katamu."
Saat itu
orang yang lari dari arah selatan telah berada di pinggir lembah sebelah timur,
tak jauh dari tempat mereka sembunyi di balik semak-semak. Ternyata dia memang
Hantu Penjunjung Roh yang nama aslinya adalah Luhniknik. Di atas kepalanya asap
merah berbentuk kerucut terbalik bergerak turun naik. Sepasang bola mata-nya
juga berbentuk aneh yakni tidak bulat tapi menyerupai segi tiga yang bisa
keluar masuk.
Si nenek
tegak tak bergerak di tepi lembah. Sepasang matanya berputar liar mencari-cari.
Lalu terdengar suara-nya menggerendeng.
"Gila!
Bagaimana aku bisa mengetahui di mana beradanya Hantu Pemasung Roh." Hantu
Pemasung Roh adalah nama panggilan saudaranya selagi masih diam di negeri 1200
silam. Di tanah Jawa dia lebih dikenal dengan julukan Iblis Kepala Batu Alis
Empat atau Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Sesuai dengan julukannya dia memang
memiliki ilmu kesaktian menculik dan memasung makhluk-makhluk gaib, termasuk
makhluk alam roh seperti Bunga. Karena kehebatannya ini pula dia diambil oleh
pihak Istana menjadi salah seorang tokoh silat Istana. Namun banyak tokoh silat
golongan putih yang juga bekerja untuk Keraja-an merasa tidak suka terhadap
Iblis Kepala Batu. Karena tindakan dan perbuatannya lebih sering dirasakan
sebagai satu kejahatan.
Si nenek
berpikir. Lalu berucap dalam hati. "Terpaksa aku mengeluarkan suitan
rahasia! Dia mungkin tak suka dan marah. Apa boleh buat! Lagi pula perduli
setan! Aku kakaknya!"
Si nenek
mendongak ke langit pagi. Lidahnya ditekuk demikian rupa. Sesaat kemudian dari
dalam mulutnya melesat keluar suitan nyaring. Dua kali berturut-turut.
Hantu
Penjunjung Roh menunggu. Tak ada jawaban. Dia memperhatikan, matanya menyusuri
seluruh bagian lembah. Tak ada yang kelihatan bergerak. Sebagian pandangannya
tertutup oleh asap kuning dan kabut. Kembali si nenek mendongak dan keluarkan
suitan. Kali ini walau cuma satu kali tapi suitannya panjang dan keras hingga
menggetarkan seantero lembah.
Belum
lenyap gema suitan si nenek tiba-tiba di bagian bawah sebelah barat danau kecil
berair kuning pekat kelihatan satu cahaya berwarna biru menyambar. Sesaat
kemudian menyusul terdengar dua kali suara suitan.
Hantu
Penjunjung Roh menyeringai. Sekali berkelebat dia sudah menuruni Lembah
Welirang sejauh tiga tombak. Seperti sebuah bola karet yang membal tubuhnya
mem-buat gerakan melompat berulangkali ke bawah tembah. Di lain saat dia sudah
berada di pinggiran danau berair kuning.
Wiro
memberi isyarat pada Ratu Duyung. Kedua orang ini segera keluar dari balik
semak belukar lalu dengan hati-hati tetapi cepat mengikuti Hantu Penjunjung
Roh. Semakin dalam ke dasar Lembah Welirang semakin santar tebaran bau
belerang. Wiro dan Ratu Duyung terpaksa mengatur cara bernafas masing-masing
agar tidak sesak. Ketika mereka sampai di pinggiran danau kuning sebelah barat
sosok nenek yang mereka ikuti lenyap seolah ditelan batu-batu cadas kuning
coklat. Di situ udara terasa panas hingga dua orang itu kucurkan keringat. Wiro
melirik pada Ratu Duyung. Dalam pakaiannya yang serba ketat dan basah oleh
keringat, tubuh gadis cantik ini seolah ter-bayang tercetak, memperlihatkan
liku-liku yang indah luar biasa. Sebelum hatinya tergetar murid Sinto Gendeng
alihkan pandangan ke jurusan lain sambil garuk-garuk kepala.
"Kemana
lenyapnya nenek itu?" ucap Wiro sesaat kemudian.
"Aku
sudah melihat," jawab Ratu Duyung. Gadis ini menunjuk ke depan.
"Perhatikan
batu cadas kuning yang dari sini kelihatan seperti kepala gajah dengan belalai
ditekuk ke dalam. Nenek itu lenyap tepat ketika berada di samping batu itu.
Pasti di situ ada celah atau terowongan batu." ‘
"Berarti
kita sudah berada dekat sarang Iblis Kepala Batu Alis Empat," kata Wiro
sambil kepalkan tinju. "Mari."
Kedua
orang itu memutari danau kecil hingga akhirnya sampai di depan batu yang tadi
mereka lihat dari seberang. Ternyata dibalik batu cadas menyerupai kepala gajah
itu tidak terdapat celah atau terowongan seperti yang mereka sangkakan.
"Edan!"
maki Wiro jengkel dan penasaran.
"Wiro,
lihat!" Mendadak Ratu Duyung berkata sambil menunjuk ke balik sebuah
gundukan batu coklat beberapa langkah di depan mereka. Nyaris terlindung di
balik batu coklat itu hampir sama datar dengan tanah dan bebatuan di
sekelilingnya kelihatan sebuah lobang besar. Cukup besar untuk dimasuki dua
orang sekaligus.
Wiro dan
Ratu Duyung segera dekati lobang. "Nenek itu pasti masuk ke sni. Aku akan
masuk menyelidik. Ratu, kau menunggu di sini."
"Tidak,
kita masuk sama-sama," jawab Ratu Duyung.
"Kita
tidak tahu ada apa di dalam lobang itu. Bukan mustahil ada jebakan, senjata
rahasia, binatang buas atau ular berbisa."
"Siapa
takut? Jauh-jauh datang kesini apakah aku hanya akan jadi penonton?"
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
"Dengar…"
"Biar
aku yang masuk duluan!" kata Ratu Duyung nekad ketika melihat Wiro
ragu-ragu.
"Tunggu,"
Wiro cepat pegang lengan Ratu Duyung.
Kedua
orang itu sama-sama bergerak ke tepi lobang mereka segera menerapkan Ilmu
Menembus Pandang. Samar-samar mereka melihat bagian dalam lobang yang merupakan
tangga batu menurun, lalu ada satu lorong panjang. Terlihat bayangan seseorang
lari ke ujung lorong lalu lenyap.
Wiro
memberi isyarat pada Ratu Duyung.
"Aku
masuk duluan. Kau mengikuti di belakang. Hati-hati!"
Ratu
Duyung mengangguk.
Dengan
gerakan cepat dan enteng Pendekar 212 Wiro Sableng masuk ke dalam lobang. Ratu
Duyung menyusul. Mendadak Wiro merasakan tangga batu yang dipijaknya bergetar.
Lalu telinganya menangkap suara berdesing halus.
"Awas
senjata rahasia!" seru Wiro.
********************
2
Dengan
cepat Wiro menarik tangan Ratu Duyung. Keduanya jatuhkan diri di tangga. Di
sebelah atas tiga benda memancarkan cahaya merah begemerlap melesat dari
dinding lobang sebelah kiri ke arah kanan. Hanya satu jengkal dari depan hidung
Wiro dan serambut di depan dada Ratu Duyung!
"Wutt!
Wutt! Wuttt!"
"Srett!"
Ujung
dada pakaian Ratu Duyung robek. Gadis ini terpekik, mukanya pucat. Untung hanya
pakaiannya yang robek.
"Blaarr!
Blaarr! Blaar!"
Tiga
benda itu menghantam dinding batu sebelah kanan. Amblas masuk ke dalam batu.
Lalu tiga ledakan inenggelegar. Asap mengepul, hancuran batu dan pasir
mengguyur.sosok ke dua orang yang saat itu jatuh bergedebukan di lantai lorong
gelap di depan tangga sebelah bawah.
Untuk
beberapa lamanya kesunyian menggantung dalam ketegangan di lorong batu. Wiro
dan Ratu Duyung keluarkan keringat dingin. Sambil menyeka pasir di wajahnya
Wiro berkata perlahan.
"Ratu,
sepanjang lorong ini pasti dipenuhi peralatan rahasia yang bisa membunuh kita
sebelum sampai ke ujung sana. Barusan saja kita hampir tewas. Selanjutnya harus
berhati-hati. Kerahkan Ilmu Menembus Pandang."
Ratu
Duyung mengangguk. Kedua orang itu sama bangkit berdiri lalu sambil menerapkan
Ilmu Menembus Padang mereka mulai melangkah ke arah depan.
Tiba-tiba
Ratu Duyung pegang lengan Wiro dan ber-bisik.
"Bagian
atas lorong batu, sekitar tujuh langkah dari sini. Coba kau perhatikan. Ada
lekukan aneh. Aku rasa di situ ditanam senjata rahasia."
"Aku
sudah melihat," jawab Wiro. "Senjata rahasia yang disembunyikan di
tempat itu hanya akan bekerja kalau pemicunya disentuh. Berarti ada alat
rahasia lain di depan kita yang berhubungan dengan senjata rahasia di atas
lorong…"
Wiro dan
Ratu Duyung segera menyusuri setiap jengkal lantai dan dinding lorong di depan
mereka dengan pandangan mata yang dialiri ilmu Kesaktian.
"Lantai
sebelah tengah, dua langkah dari hadapan kita! Gila!" Maki Pendekar 212.
Kalau tadi mereka tidak berhenti untuk meneliti keadaan lebih dulu, niscaya
salah satu dari mereka telah menginjak lantai lorong itu. Di bawah lapisan batu
lantai samar-samar kelihatan sebuah benda berbentuk bulat, mungkin terbuat dari
besi. Pada salah satu pinggiran benda bulat ini terdapat alat pengait yang
berhubungan dengan tali kaku yang kemungkinan terbuat dari kawat.
"Kita
harus hancurkan senjata rahasia di atas atap lorong." Bisik Ratu Duyung.
"Kalou sudah hancur sekalipun alat pemicu kita injak tak akan terjadi apa-apa."
"Kalau
begitu biar aku hantam," kata Wiro sambil angkat tangan kanannya.
"Biar
aku saja yang melakukan," kata Ratu Duyung.
Lalu
gadis ini bergerak ke samping kanan Wiro. Kepalanya didongakkan ke arah atap
lorong batu yang ada lekukan aneh. Tiba-tiba Ratu Duyung sentakkan kepalanya,
dua mata dikedipkan. Bersamaan dengan itu dua larik sinar biru memancar
berkiblat keluar dari sepasang mata Sang Ratu. Menyambar bersilangan,
menghantam bagian atas lorong batu. Itulah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang
Pedang Dasar Samudera.
"Bummm!"
"Bummm!"
Dua
letusan dahsyat menggoncang lorong batu. Ketika bagian atap amblas,
kepingan-kepingan benda aneh jatuh ke bawah, bertaburan dengan suara
berkerontangan di lantai lorong.
Wiro
meniup keras ke depan. Membuat kepulan asap dan taburan batu serta pasir
mencelat mental. Begitu keadaan di dalam terowongan kembali agak terang, kedua
orang ini baru dapat melihat jelas benda apa yang tadi jatuh bertaburan di
lantai. Ternyata di situ terlihat puluhan kepingan besi putih yang setiap
pinggirannya memiliki ketajaman seperti golok yang selalu diasah setiap hari.
"Aku
pernah mendengar Iblis Kepala Batu memiliki senjata rahasia berbentuk piringan
baja. Pinggirannya tajam luar biasa. Jangankan leher manusia, tiang baja seatos
apapun bisa dibabat putus! Yang hancur ini pasti senjata rahasia berbentuk
piringan maut itu." Berkata Ratu Duyung.
"Kau
hebat," memuji Wiro. "Kalau tadi kita salah melangkah, saat ini sudah
jadi bangkai dengan kepala dan sekujur tubuh terkutung-kutung…"
"Jangan
memuji," bisik Ratu Duyung. "Kita masih harus bergerak menuju ujung
lorong di sebelah depan sana. Barusan aku sudah menerapkan Ilmu Menembus
Pandang. Kelihatannya tidak ada lagi peralatan rahasia sampai di ujung lorong
batu ini. Tapi kita tetap harus berhati-hati…"
Wiro
mengangguk. Sambil melangkah dia berkata. "Si nenek berjuluk Hantu
Penjunjung Roh itu tentu sudah diberi tahu seluk beluk tempat ini. Kalau tidak
pasti dia lebih dulu celaka dari kita."
"Berarti
antara dua kakak adik itu ada persekutuan jahat. Jadi, walau dulu semasa berada
di negeri aneh itu kau bersahabat dengan si nenek, di sini kuharap kau jangan
terlalu mempercayainya. Bagaimanapun juga seorang saudara akan membela
saudaranya lebih dulu dari pada menolong orang lain walau saudaranya salah. Itu
hukum alam yang terkadang sulit dicerna, tetapi merupakan kenyataan yang tak
japat dipungkiri."
Wiro
mengamati wajah jelita Ratu Duyung dengan penuh kagum. "Aku tidak
menyangka kau bisa bicara seperti seorang penyair agung. Aku berterima
kasih." Sambil berkata Wiro membelai pipi Sang Ratu. Entah mengapa sejak
kepergian mereka bersama ke dasar samudera pantai selalu muncul rasa sayang
dalam lubuk hati Pendekar 212 terhadap gadis bermata biru itu. Mungkinkah
karena dia telah menerima budi yang begitu besar?
Sentuhan
jari-jari tangan Wiro pada pipinya itu mem-buat Ratu Duyung seribu bahagia.
Dipegangnya tangan sang pendekar. Ditarik dan didekatkannya ke wajahnya lalu
diciumnya penuh mesra. Dalam hati gadis ini berkata. "Wiro, kemanapun kau
pergi, apapun yang kau lakukan, aku rela mati berdua bersamamu."
***********************
Kepala
kerbau dan kulit tubuh yang dikeringkan merupakan tikar terhampar di tengah
ruangan. Di atas kepala kerbau terletak sebuah pelita aneh. "Terbuat dari
sejenis kayu berminyak yang ditancapkan dalam sebuah jambangan batu. Nyala api
pelita menerangi seluruh ruangan, termasuk dua orang yang duduk berhadapan di
atas tikar kulit kerbau dan sebuah guci terbuat dari tembaga yang terletak di
atas sebuah meja batu di sudut ruangan.
Orang
pertama seorang kakek bermuka kebiruan, mengenakan sehelai celana hitam
komprang. Di sebelah atas dia tidak mengenakan apa-apa. Sekujur dada sampai ke
leher dan juga dua tangannya penuh ditumbuhi bulu. Di sudut bibir mencuat
taring lancip. Masing-masing matanya memiliki dua alis, satu di atas satu
dibawah. Kepala kakek ini berbentuk segi empat, berwarna kelabu kehitaman,
sangat keras tidak beda dengan batu. Dulu di atas kepala itu ada sebuah
pendupaan yang selalu menyala dan menebar bau kemenyan. Pendupaan itu salah
satu kekuatan penunjang bagi si kakek. Namun beberapa waktu lalu pendupaan itu
hancur dihantam pedang Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. (Baca Episode
berjudul "Mayat Persembahan") Kakek angker ini bukan lain adalah
Iblis Kepala Batu Alis Empat yang juga dikenal dengan nama Iblis Kepala Batu
Pemasung Roh.
Di
hadapan si kakek muka biru bertaring lancip dan berkepala seperti batu duduk
orang kedua yakni seorang nenek berjubah gelap. Di atas kepalanya ada asap
merah berbentuk kerucut terbalik. Sepasang mata si nenek yang tidak bulat tapi
berbentuk segi tiga dan bisa keluar masuk, memperhatikan kakek di depannya.
"Hantu
Pemasung Roh," si nenek berucap. "Jika kau tidak menuruti nasihatku,
jangan salahkan diriku kalau ter-jadi apa-apa dengan dirimu, dan aku tidak bisa
menolongmu."
"Luhniknik,"
Iblis Kepala Batu menyebut si nenek dengan nama aslinya. "Kau adalah
kakakku. Kalau kau tidak mau menolong diriku sungguh keterlaluan. Tapi
sudahlah, aku tidak mau lagi membicarakan hal ini. Walau kau paksa sekalipun
aku tidak akan membebaskan gadis dari alam roh yang aku sekap dalam guci itu.
Tekadku sudah bulat untuk menjadikannya gadis peliharaanku. Kau tahu aku hanya
bisa bergairah pada makhluk seperti dia."
"Kau
membuatku marah!" Kata Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh.
"Kau
yang membuat aku marah!" tukas Iblis Kepala Batu. "Aku sudah
mengatakan agar kau tidak perlu mencari diriku. Kau malah datang ke sini. Dan
kau mengeluarkan suitan di dalam lembah! Kau mengundang perhatian orang! Aku
punya firasat dirimu diikuti pemuda itu! Aku juga menaruh curiga! Jangan-jangan
kau pernah menyebut tempatku ini secara sembrono! Sungguh tolol
perbuatan-mu!"
"Tolol
atau apapun yang hendak kau katakan, justru aku datang untuk menolongmu!
Ketahuilah, Pendekar 212 memiliki satu ilmu kesaktian yang bisa membuatmu tidak
berdaya dan sengsara seumur-umur."
Iblis
Kepala Batu berdiri, melangkah seputar ruangan, memegang guci tembaga di atas
meja batu sesaat lalu berkata. "Aku menyirap kabar, dua gadis sahabat
Pendekar 212 Wiro Sableng yaitu Bidadari Angin Timur dan Anggini pernah
menghajarmu beberapa waktu lalu, membuatmu hampir sekarat! Heran, mengapa kau
kelihatannya masih membela pemuda itu?"
"Aku
tidak ada maksud membela pemuda itu. Justru aku ingin menolongmu jika kau
memang mau bertobat!"
Iblis
Kepala Batu tertawa bergelak.
"Tobat
adalah perbuatan orang-orang tolol! Perbuatan orang-orang yang mau mampus! Aku
bukan makhluk tolol! Aku belum dan tidak akan menemui kematian!"
"Kau
terlalu takabur. Ketinggian ilmumu bukan segala-galanya. Diibaratkan kau
seperti gunung, jangan lupa tingginya gunung masih belum apa-apa dibanding
dengan tingginya langit."
"Sudah,
jangan terlalu banyak mengoceh di hadapan-ku. Kau pernah menerangkan. Katamu
Pendekar 212 mendapatkan ilmu bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah dari
seseorang di Negeri Latanahsilam. Apa itu yang menakutkanmu? Aku menaruh
curiga, jangan-jangan di-balik semua usahamu membujuk diriku ada terselip
maksud culas. Mungkin kau telah mendengar tentang harta karun yang aku pendam
di satu tempat? Ha… ha… ha!"
"Segala
macam harta karun apa perduliku!" jawab Hantu Penjunjung Roh dengan
sorotan mata dan wajah marah. "Ketahuilah, ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah tidak seberapa hebatnya dibanding dengan ilmu yang baru saja didapatnya
dari seorang sakti di dasar samudera kawasan selatan. Aku menyirap kabar bahwa
Pendekar 212 kini memiliki ilmu yang disebut Meraga Sukma."
"Ilmu
apa itu? Aku baru mendengar." Kata Iblis Kepala Batu acuh saja.
"Aku
sendiri tidak dapat memastikan. Tapi aku yakin dengan ilmu itu dia akan
mengobrak-abrik sarangmu ini. Bahkan mampu membebaskan gadis alam roh yang kau
sekap dalam guci itu."
Iblis
Kepala Batu tertawa bergelak.
"Pemuda
itu boleh punya seribu ilmu kepandaian dan kesaktian. Tapi Iblis Kepala Batu
Alis Empat bukan tandingannya! Kau akan menyaksikan sendiri bagaimana aku bakal
membantainya. Sekarang keluarlah dari ruangan ini. Aku mau bersenang-senang
dulu dengan gadis dari alam roh itu. Aku sudah memberi waktu memberi hati. Tapi
dia masih keras kepala. Saatnya dia harus melayani diriku!"
"Apa
maksudmu?" tanya Hantu Penjunjung Roh dengan mata mendelik.
Iblis
Kepala batu menyeringai. "Jangan pura-pura tidak tahu. Aku mau meniduri
gadis itu! Kalau kau tak mau keluar dari sini, silahkan menonton!"
Si nenek
merutuk habis-habisan sedang Iblis Kepala Batu sambil tertawa bergelak
melangkah mendekati meja batu di mana terletak guci tembaga tempat Bunga
disekap.
Sesaat
ketika Iblis Kepala Batu ulurkan tangan hendak mengambil guci tembaga tiba-tiba
di luar sana terdengar letusan keras. Tiga kali berturut-turut.
Langkah
Iblis Kepala Batu terhenti, gerakannya ter-tahan. Kepala diangkat, mata
membeliak.
"Dugaanku
tidak meleset. Tiga letusan itu adalah bekerjanya peralatan senjata rahasia
pertama di lorong batu. Berarti ada orang yang masuk ke sini. Aku berharap saat
ini dia sudah jadi mayat. Tapi…." Iblis Kepala Batu gelengkan kepala.
Tampangnya yang kebiru-biruan men-dadak berubah. "Tiga letusan tadi bukan
letusan kematian. Itu letusan hancurnya tiga senjata rahasia yang kupasang di
lorong."
"Menurutmu,
sejak kau memasangi tiga senjata rahasia itu tidak pernah ada satu orangpun
bisa melewati dengan selamat. Sekarang ada orang mampu melewatinya. Dia pasti
Pendekar 212 Wiro Sableng. Kau bisa mengukur sampai dimana kehebatan pemuda
itu. Apa hal ini tidak membuatmu mau berpikir sekali lagi?"
Iblis
Kepala Batu menyeringai. Belum lenyap seringai di wajahnya yang biru mendadak
dua letusan menggelegar di luar sana, menggetarkan ruangan di mana mereka
berada. Disusul suara benda keras jatuh berkerontangan.
Tampang
Iblis Kepala Batu bukan saja berubah tapi juga menunjukkan kemarahan! Dia
bangkit berdiri. Taring-nya mencuat di sudut bibir. Dia sudah maklum apa yang
terjadi. Senjata rahasia kedua yang dipasangnya di dalam terowongan pasti telah
dihancurkan orang. Iblis Kepala Batu melangkah ke dinding di hadapannya.
Telinganya ditempelkan di dinding.
"Pemuda
itu tidak sendirian. Ada seseorang bersama-nya," kata Iblis Kepala Batu
memberitahu Hantu Pen-junjung Roh. "Pertama sekali aku akan melumpuhkan
mereka dengan asap beracun! Setelah itu kau bisa menyaksikan bagaimana aku
menyiangi tubuh mereka!"
Sambil
menyeringai Iblis Kepala Batu melangkah men-dekati sudut ruangan sebelah kanan.
Di situ ada sebuah tonjolan batu berwarna merah. Iblis Kepala Batu per-gunakan ibu
jari tangan kanannya untuk menekan tonjolan batu. Secara aneh dinding batu itu
bergeser ke bawah, membentuk satu celah yang amat kecil, kurang dari ketebalan
ujung kuku. Lalu menyusul terdengar suara men-desis panjang.
Iblis
Kepala Batu menyeringai, memandang pada saudaranya. Hantu Penjunjung Roh angkat
kepala, coba mencium. Wajah si nenek berubah kaget.
"Kau
mengeluarkan Asap Penyiksa Roh!" ucap si nenek setengah berteriak.
"Gila! Makhluk alam roh saja bisa mati berkali-kali terkena asap jahat
itu. Apa lagi manusia biasa! Hentikan perbuatanmu!"
Iblis
Kepala Batu ganda tertawa.
"Mereka
mencari mati! Aku hanya memberikan apa yang mereka minta! Ha… ha…ha!"
***********************
WIRO dan
Ratu Duyung melangkah dengan hati-hati mendekati ujung terowongan batu. Tinggal
beberapa langkah dari ujung terowongan Wiro hentikan langkah sambil mengangkat
tangan memberi tanda.
"Ada
suara orang bicara…"
Ratu
Duyung angkat kepalanya sedikit, memasang telinga baik-baik lalu mengangguk.
"Ada
dua orang. Aku yakin mereka adalah Iblis Kepala Batu dan saudaranya si nenek
yang kepalanya ada asap merah. Tunggu apa lagi. Kita harus segera menyerbu
mereka."
"Saatnya
aku mengeluarkan llmu Meraga Sukma," kata Wiro pula. Dia mencari tempat
yang rata lalu duduk bersila. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Mata
dipejam-kan. Pikiran dikosongkan. Bibirnya bergetar ketika melafal-kan
Basmallah tiga kali berturut-turut. Kemudian dalam hati Wiro mengucapkan Meraga
Sukma. Juga sebanyak tiga kali.
Ratu
Duyung memang pernah mendengar ilmu yang di-sebut Meraga Sukma itu. Namun
seumur-umur dia belum pernah melihat cara atau kejadiannya seseorang
menerap-kan ilmu tersebut. Gadis ini sampai tersurut dua langkah ketika melihat
bagaimana dari sosok kasar Wiro yang duduk bersila tidak bergerak
perlahan-lahan keluar satu sosok samar yang ujudnya menyerupai Wiro. Mula-mula
ujud ini tampak bergoyang-goyang seperti asap. Namun saat demi saat berubah
utuh hingga tidak beda dengan sosok Wiro yang asli. Kalau tidak menyaksikan
sendiri Ratu Duyung tidak akan tahu mana Wiro yang sebenarnya dan mana Sukma
yang keluar dari dalam tubuh sang pendekar. Kini ada dua Wiro. Satu yang masih
tetap duduk bersila di lantai terowongan batu, satunya lagi sukmanya yang
tengah melangkah menuju mulut terowongan laksana melayang.
"Luar
biasa, apakah dia juga bisa bicara seperti asli-nya?" Ratu Duyung
bertanya-tanya dalam hati. Ketika Wiro sampai di ujung terowongan, sesaat Ratu
Duyung jadi bingung. Apakah dia akan tetap berdiri di tempat itu menunggui
sosok Wiro yang asli dan masih tetap dalam keadaan duduk bersila, mata terpejam
lanpa gerak sama sekali. Atau dia harus mengikuti Sukma Wiro di sebelah sana.
Selagi
bimbang seperti itu Ratu Duyung melihat Wiro yang di ujung terowongan
menggerakkan tangan, memberi isyarat agar mendatanginya. Tidak menunggu lebih
lama Ratu Duyung melangkah cepat menghampiri.
Di ujung
terowongan, seperti diduga semula, di sebelah kanan terdapat sebuah ruangan
batu. Tapi ketika Sukma Wiro sampai di situ, ruangan itu ternyata kosong.
Padahal tadi dia jelas mendengar ada suara dua orang ber-cakap-cakap di tempat
itu. Sukma Wiro memeriksa setiap sudut ruangan batu. Mulai dari lantai, empat
dinding dan langit-langit. Tak ada lobang, atau celah barang sedikitpun. Apa
lagi pintu.
Ratu
Duyung sampai pula di ruangan dimana Sukma Wiro berada.
"Kosong.
Tak ada siapa-siapa. Aneh…" kata Ratu Duyung.
"Di
belakang salah satu dinding batu pasti ada ruangan lain. Mereka berada di
situ."
Sukma Wiro
dan Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menem-bus Pandang. Tapi di tempat itu ilmu
tersebut ternyata tidak bekerja.
"Tidak
bisa tembus…" ucap Ratu Duyung seraya me-mandang pada Sukma Wiro.
Sukma
Wiro kembali perhatikan empat dinding batu di sekelilingnya. Lalu dia berkata.
"Ratu, kalau tidak salah kau memiliki ilmu kesaktian yang disebut Menyirap
Detak Jantung. Apakah kau bisa mengetahui di balik dinding sebelah mana mereka
berada?"
"Akan
kucoba," jawab Ratu Duyung. Lalu gadis ini kembangkan dua tangannya dengan
telapak dibuka meng-hadap ke arah dinding batu di depannya. Sepasang mata
dikecilkan setengah terpejam. Tak terjadi apa-apa. Berarti ruangan di balik
dinding itu kosong. Ratu Duyung berputar, kini menghadap ke dinding sebelah
kiri. Sesaat kemudian sepuluh jari tangan Ratu Duyung kelihatan bergerak-gerak.
Gadis ini letakkan dua tangannya di atas dada. Sesaat kemudian dia buka
lebar-lebar dua matanya yang setengah terpejam, menatap ke arah Wiro.
"Aku
berhasil menyirap. Ada dua detak jantung di balik dinding batu ini."
"Pasti
mereka, Iblis Kepala Batu dan Hantu Penjunjung Roh," kata Wiro. "Kita
harus bisa masuk ke ruang di balik dinding itu. Bagaimanapun caranya!"
Ratu
Duyung mengangguk. Sejak tadi gadis cantik bermata biru ini terkesima tapi juga
merasa lega. Ternyata ujud sukma sang pendekar bisa bicara seperti ujud
aslinya.
Tiba-tiba
dari belakang dinding terdengar suara tawa bergelak disusul ucapan lantang
keras.
"Aku
mengenali! Itu suara tertawanya Iblis Kepala Batu!" kata Sukma Wiro. Lalu
tangan kanannya diangkat, siap untuk dihantamkan.
"Pendekar
212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung!" Keluar suara dari balik dinding batu.
"Kalian telah sampai di liang akhirat! Aku mengucapkan selamat jalan ke
neraka! Ha… ha… ha!"
Belum
lenyap gema suara ucapan, di sebelah atas ruangan terdengar suara mendesis.
Sukma Wiro dan Ratu Duyung sama mengangkat kepala, memperhatikan dinding
ruangan batu sebelah atas. Dari sebuah celah sangat kecil, menguak antara ujung
dinding dan ujung langit-langit ruangan membersit keluar cahaya kuning yang
kemudian berubah menjadi asap.
"Asap
beracun!" teriak Pendekar 212 begitu dia mencium bau yang menyengat
hidung. "Ratu, kembali ke terowongan!"
Kedua
orang itu berkelebat ke mulut terowongan dari mana tadi mereka datang. Tapi
terlambat. Sebelum mereka bisa keluar dari ruangan, satu dinding batu secara
aneh bergerak bergemuruh dan braak! Lobang terowongan yang merupakan
satu-satunya jalan keluar tertutup rapat.
"Kurang
ajar!" Maki Sukma Wiro.
"Kita
terjebak!" ujar Ratu Duyung dengan wajah berubah.
"Jangan
panik," kata Sukma Wiro sambil pegang tangan si gadis.
********************
3
DI
SAMPING Sukma Wiro, Ratu Duyung mulai tersengal. Sesaat kemudian dadanya terasa
‘ sesak dan gadis ini mulai batuk-batuk. "Ratu bertahanlah. Jangan panik.
Kita harus bisa keluar dari tempat ini!" kata Sukma Wiro sambil memegang
lengan Ratu Duyung. Kedua orang itu segera menutup jalan pernafasan dan
pencium-an. Tapi berapa lama mereka bisa bertahan?
Wiro
perhatikan dinding di atasnya. Tepat pada pertemuan langit-langit ruangan.
Sepanjang dinding sebelah atas kelihatan membersit asap kuning. Berarti ada celah
memanjang di atas sana.
Dia
berpaling pada Ratu Duyung memberi isyarat agar gadis itu bergerak menjauh ke
belakangnya. Lalu dengan cepat tangannya hendak mencabut senjata sakti Kapak
Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggang di balik pakaian.
"Wiro,
kau mau melakukan apa?" tanya Ratu Duyung.
"Aku
mau menjebol dinding itu dengan kapak sakti ini."
"Tunggu,
aku punya firasat. Kalau dinding ini tidak tembus llmu Menembus Pandang,
berarti senjata atau pukulan sakti apapun tidak bakal sanggup menghancur-kannya…"
"Lalu
apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri saja sampai akhirnya kita mati pengap
di ruangan celaka ini?!"
"Pasti
ada cara! Pasti! berpikirlah Wiro! Putar otakmu!" Ratu Duyung batuk-batuk.
Dia semakin sulit bernafas.
Sukma
Wiro menggaruk kepalanya habis-habisan. Dia tak bisa berpikir. Dalam keadaan
seperti itu otaknya tak bisa bekerja.
"Wiro,
ingat Nyi Roro Manggut! Ingat Ilmu Meraga Sukma yang kau dapat dari dia. Ilmu
itu… pasti… pasti kau bisa melakukan sesuatu dengan ilmu itu!" Dengan
suara tersengal-sengal Ratu Duyung keluarkan ucapan.
Sukma
Wiro kembali menggaruk kepala. Dia mem-bayangkan pertemuan dengan Nyi Roro
Manggut beberapa waktu lalu. Dia coba mengingat setiap ucapan Nyi Roro Manggut
makhluk sakti berpenampilan sebagai seorang nenek cebol berhidung pesek bermata
juling. Tapi ujud sebenarnya adalah seorang perempuan muda luar biasa cantik
dan bagus tubuhnya.
"Aaah…."
Sukma Wiro keluarkan suara mendesah panjang.
"Wiro,
kau ingat sesuatu? Kau menemukan sesuatu dalam alam pikiranmu?" Ratu Duyung
bertanya sambil mengguncang bahu Sukma Wiro. .
Sukma
Wiro anggukkan kepala. Di telinganya saat itu mengiang suara ucapan Nyi Roro
Manggut ketika dia berada di dasar samudera, di tempat kediaman makhluk sakti
itu.
"Sosok
yang duduk bersila di atas batu merah panas itu adalah sosokmu yang asli. Yang
berdiri di sini adalah sukmamu. Inilah yang disebut ilmu Meraga Sukma. Si
pemilik bisa meninggalkan tubuh kasarnya, melanglang buana dengan sukmanya yang
bisa menembus ke mana-mana, bahkan masuk ke dalam lobang semut, lolos melewati
lobang jarum sekalipun."
Sukma
Wiro menatap ke arah dinding di hadapannya. Dia membayangkan wajah Nyi Roro
Manggut. Hatinya bimbang, dirinya diselubungi keraguan. Apakah dia memang mampu
melakukan hal itu? Lalu mulutnya ber-getar mengucapkan Basmallah. Saat itu juga
dalam dirinya muncul satu keyakinan dan satu kekuatan yang bersumber pada satu
kekuasaan yakni kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tanpa keraguan sedikitpun dia
melangkah ke arah dinding batu. Ratu Duyung menyaksikan dengan mata tak
berkesip hati tercekat sementara ruangan semakin dipenuhi asap kuning.
Sukma
Wiro melangkah terus ke arah dinding. Tinggal satu langkah lagi dari hadapan
dinding. Lalu sosok itu siap saling berbenturan dengan dinding batu. Tapi apa
yang terjadi? Dinding batu itu seolah udara kosong. Sosok Sukma Wiro melangkah
menembusnya lalu lenyap dari pemandangan Ratu Duyung. Sang Ratu tercekat kaget.
"Wiro!"
Ratu
Duyung mengejar. Tapi sosok Sukma Wiro telah lenyap dan Sang Ratu hanya
memegang dinding batu.
***********************
Di dalam
ruangan dimana dia berada Hantu Penjun-jung Roh keluarkan suara kaget ketika
dia melihat bagaimana sosok Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari dalam dinding
batu. Adiknya, Iblis Kepala Batu Alis Empat tak kalah terkejutnya. Bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi. Seseorang, sanggup masuk ke dalam ruangan dengan
cara menembus dinding batu! Apakah ini yang disebut Ilmu Meraga Sukma seperti
yang dikatakan kakak-nya?
"Pendekar
212 Wiro Sableng! Kau bisa selamat dari pendaman liang batu. Juga bisa lolos
ketika kupendam dalam liang tanah. Tapi hari ini jangan harap kau bisa
selamatkan diri dari kematian. Kau datang berdua. Tapi rupanya kau lebih suka
memilih mati sendiri-sendiri. Kau mampus di sini dan sahabatmu meregang nyawa
di ruang sana! Ha… ha… ha!"
Sukma
Wiro berdiri di tengah ruangan dengan sikap tenang. Sewaktu memasuki ruangan
itu tadi dia telah sempat melihat dimana beradanya guci tembaga tempat Bunga
disekap. Yakni di atas sebuah meja batu di salah satu sudut ruangan. Untuk
tidak membuat orang curiga, Sukma Wiro sengaja berdiri membelakangi guci
tembaga itu. Dia tahu kalau dia harus bertindak cepat. Pertama mengambil guci
dan kedua demi menyelamatkan Ratu Duyung yang berada di ruangan sebelah yang
disirami asap beracun.
Iblis
Kepala Batu Alis Empat sudah bisa menduga apa yang ada di benak Pendekar 212
saat itu. Karenanya secepat kilat dia melesat ke arah meja batu untuk mengambil
guci tembaga. Namun lebih cepat dari gerakan, sang Iblis, tubuh Sukma Wiro
berkelebat laksana siuran angin. Di lain kejap Sukma Wiro telah menghadang
gerakan Iblis Kepala Batu.
Iblis
Kepala Batu merutuk marah. Sukma Wiro tidak mau membuang waktu. Dia langsung
hantamkan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung ke arah kepala lawan. Ketika
Iblis Kepala Batu menghindar Sukma Wiro susul dengan serangan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang.
"Jahanam
kurang ajar!" damprat Iblis Kepala Batu. "Aku mau tahu sampai dimana
kehebatanmu!"
Lalu
tanpa tedeng aling-aling Iblis Kepala Batu sengaja sambuti pukulan Sukma Wiro
dengan jotosan Iblis Tunggal Menjebol Tembok Roh. Pukulan ini bisa juga
dilancarkan dengan dua tangan sekaligus dan disebut Dua Iblis Menjebol Tembok
Roh.
"Buukk!"
Dua
pukulan mengandung kesaktian tinggi beradu keras di udara. Sosok Sukma Wiro
merasakan tubuhnya terangkat ke atas. Sebelum terpental dia masih sempat
keluarkan ilmu oppo yakni ilmu menghancur tulang yang didapatnya dari Nenek
Neko ketika dia terpesat ke Negeri Sakura.
"Kreek…
kreekkk!"
Iblis
Kepala Batu terpental sampai punggungnya menghantam dinding batu lalu jatuh
terduduk di lantai ruangan. Dadanya berguncang hebat, seperti melesak akibat
hantaman tenaga dalam lawan yang membanjiri tubuhnya sewaktu terjadi bentrokan
jotosan tadi. Sambil menahan sakit Iblis Kepala Batu membatin heran.
"Aneh,
pemuda jahanam itu mengapa tenaga dalam-nya seperti berlipat ganda?"
Seperti
diketahui, ketika berada di dasar samudera Wiro telah bertemu dengan naga batu
yang bisa menjelma hidup dan disebut dengan nama Naga Biru. Saat itu makhluk
sakti yang telah mendekam selama ratusan tahun di dasar samudera ini menelan
Kapak Naga Geni 212. Ketika Wiro menyelipkan kapak sakti itu kembali dia merasa
ada hawa aneh mengalir dari dalam kapak memasuki tubuhnya sehingga dia merasa
tubuhnya lebih enteng dan tenaga dalamnya jauh lebih besar.
Terhuyung-huyung
Iblis Kepala Batu bangkit berdiri. Matanya mendelik ketika sadar apa yang
terjadi dengan tangannya. Empat dari lima jari tangannya telah hancur dimakan
cengkeraman Ilmu Koppo!
"Jahanam….
" rutuk Iblis Kepala Batu. Sekali dia per-gunakan tangan kiri mengusap
tangan kanan yang remuk itu maka secara aneh empat jari tangan yang hancur
kembali utuh! Dengan keluarkan suara menggereng Iblis Kepala Batu Alis Empat
melompat ke hadapan Wiro. Dua tangannya dipentang. Kini dia siap melancarkan
pukulan Dua Iblis Menjebol Tembok Roh.
Saat itu
Sukma Wiro tengah berusaha berdiri. Ketika dilihatnya lawan datang dengan
menghantamkan dua tangan sekaligus Sukma Wiro cepat bergerak mundur dan
menyusup masuk ke dalam dinding batu.
"Bukk!
Buukkk!"
Dua
jotosan maut Iblis Kepala Batu menghantam dinding ruangan. Walau tidak sampai
jebol tapi dinding itu hancur dan geroak besar di dua tempat.
Selain
marah besar melihat serangannya tidak mengenai sasaran, Iblis Kepala Batu
kembali terheran-heran menyaksikan bagaimana lawan bisa menghindar selamatkan
diri dengan menyusupkan tubuh masuk ke dalam tembok. Selagi dia terheran
bingung seperti itu tiba-tiba dari dalam tembok satu tangan mencuat melancarkan
serangan dahsyat. Inilah pukulan yang disebut Tangan Dewa Menghantam Matahari.
Yakni pukulan pertama dari enam pukulan inti Kitab Putih Wasiat Dewa.
"Praakkk!"
Bagaimanapun
atosnya kcpala Iblis Kepala Batu Alis Empat, namun dihantam jotosan yang
mengandung hawa sakti serta tenaga dalam luar biasa tinggi itu tak ampun Iblis
Kepala Batu terpental ke dinding, roboh ke lantai dengan kepala pecah.
Perlahan-lahan
dari dalam dinding batu Sukma Wiro bergerak keluar.
Si nenek
Hantu Penjunjung Roh yang sejak tadi diam saja memperhatikan jalannya
perkelahian meraung keras. Dia melompat menubruk sosok Iblis Kepala Batu,
meraung sekali lagi lalu berpaling pada Sukma Wiro.
"Pemuda
jahat! Kau membunuh saudaraku!"
"Nek,
kematian mungkin adalah penyelesaian terbaik bagi dirinya," menyahuti
Sukma Wiro. Lalu dengan cepat dia melompat menyambar guci tembaga di atas meja
batu. Setelah dapatkan guci ini Sukma Wiro segera hendak berkelebat menerobos
dinding ke arah ruangan dimana tadi dia meninggalkan Ratu Duyung.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa mengekeh.
"Siapa
bilang aku mati!" Satu suara berucap lantang. Itu adalah suara tawa dan
ucapan Iblis Kepala Batu Alis Empat. Tubuhnya yang tadi tergeletak tak berkutik
dan dalam keadaan kepala pecah kini perlahan-lahan bangkit berdiri.
Apa yang
telah terjadi? Sesaat setelah kepalanya pecah dan tubuhnya tergeletak di lantai
batu, sewaktu Sukma Wiro berkelebat menyambar guci tembaga, tangan kanan Iblis
Kepala Batu bergerak mengusap muka dan kepalanya. Ajaib luar biasa! Begitu
kepala dan wajahnya diusap, kepala yang pecah dan muka yang hancur itu kembali
utuh seperti semula!
Sukma
Wiro melengak kaget.
"Aneh,
apakah sewaktu kepalanya pecah tadi nyawa-nya belum melayang?! Mustahil bangsat
ini punya nyawa cadangan!" membatin Sukma Wiro.
Hantu
Penjunjung Roh sampai ternganga. Tidak per-caya kalau saudaranya punya ilmu
kesaktian seperti itu.
"Pantas…
pantas dia bicara begitu sombong! Tidak takut pada siapapun. Ternyata dia
memiliki ilmu aneh!"
"Pendekar
212! Aku ampuni selembar nyawamu! Tapi lekas serahkan guci itu padaku!"
Tiba-tiba Iblis Kepala Batu membentak. Taringnya mencuat tajam di sudut bibir.
Sukma
Wiro mendengus.
"Kau
boleh punya selusin nyawa. Siapa takut dirimu!"
"Kalau
begitu terima kematianmu!" Kertak Iblis Kepala Batu. Sepasang matanya
dipentang nyalang. Dia maju beberapa langkah mendekati Sukma Wiro.
Hantu
Penjunjung Roh tiba-tiba melompat di antara ke-dua orang itu.
"Kalian
gila semua! Hentikan perkelahian ini! Pendekar 212! Kau sudah dapatkan apa yang
kau inginkan! Lekas tinggalkan tempat ini! Dan kau Hantu Pemasung Roh!
Bertobatlah berbuat kejahatan!"
"Perempuan
celaka! Sejak semula kehadiranmu di ranah Jawa ini hanya mengacau saja! Rupanya
kau ingin ikutan mati bersama pemuda jahanam itu!"
"Hantu
Pemasung Roh. Dengar, kau boleh punya ilmu setinggi langit sedalam lautan! Tapi
jika datang hari apesmu, kau bakal menerima kematian secara sengsara!"
"Perempuan
celaka! Menyingkir dari hadapanku!" bentak Iblis Kepala Batu.
"Tidak!"
jawab si nenek malah sambil bertolak ping-gang.
Sebelumnya
Wiro telah beberapa kali bertempur nelawan Iblis Kepala Batu. Salah satu
diantaranya ketika dia berusaha menolong Sutri Kaliangan, puteri Patih
Kerajaan. Waktu itu sebelum diculik dan dilarikan oleh Iblis Kepala Batu Alis
Empat Sutri Kaliangan sempat berteriak.
"Wiro!
Alis kiri sebelah kanan bawah! Alis kiri sebelah bawah…!"
Wiro dan
Naga Kuning serta nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati pernah pula membicarakan
serta memecahkan apa maksud ucapan Sutri Kaliangan itu. namun mereka tidak bisa
menemukan apa makna atau apa yang hendak disampaikan puteri Patih Kerajaan itu
dengan ucapannya tersebut.
Kini
berada di tempat itu, dalam keadaan genting tegang begitu rupa, suara teriakan
Sutri Kaliangan itu seolah terngiang kembali di telinga Sukma Wiro.
Sepasang
mata Iblis Kepala Batu Alis Empat meman-dang nyalang tak berkesip ke arah Hantu
Penjunjung Roh, lalu ke sebelah belakang di mana Sukma Wiro berdiri. Tiba-tiba
Iblis Kepala Batu meluarkan bentakan keras. Sosok-nya naik ke udara setinggi
lima jengkal. Dua matanya me-mancarkan kilatan aneh. Sesaat kemudian dari
sepasang mata itu menyambar keluar dua larik cahaya menyilaukan.
"Sepasang
Sinar Pemasung Roh" teriak Hantu Penjunjung Roh. Dia cepat merunduk. Dua
larik cahaya menyambar lewat di atas kepalanya, terus menghantam ke arah Sukma
Wiro. Namun Sukma Wiro sendiri yang sudah menyadari datangnya bahaya, cepat
melompat ke kiri, masuk menembus dinding batu.
"Wusss!
Wusss!"
"Blummmm!"
"Blummmmm!"
***********************
4
DUA larik
cahaya menyilaukan menghantam dinding. Dua dentuman keras mengguncang ruangan
batu itu. Pecahan batu dinding berhamburan. Sesaat ruangan itu diselimuti
hamburan batu, pasir dan debu. Dua larik cahaya yang menghantam dinding
berbalik ke tengah ruangan. Lalu terdengar satu pekik mengenaskan!
"Nek!"
Sukma
Wiro berteriak. Dalam udara yang masih tertutup hamburan pasir dan debu yang
berasal dari hancuran dinding, Sukma Wiro berkelebat ke arah Iblis Kepala Batu
yang saat itu berdiri tertegun, serasa tidak percaya menyaksikan bagaimana
kilatan cahaya panas yang keluar dari kedua matanya telah berbalik meng-hantam
kakaknya sendiri yaitu Hantu Penjunjung toh.
"Iblis
jahanam! Kau inginkan guci ini! Ambillah!" teriak Sukma Wiro seraya
ulurkan guci tembaga di angan kirinya ke muka Iblis Kepala Batu Alis Empat.
Masih
terkesiap menyaksikan apa yang terjadi lengan kakaknya, Iblis Kepala Batu
secara di luar sadar ulurkan tangan kanan menyambuti guci tembaga yang
diserahkan Sukma Wiro. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Sukma Wiro
secepat kilat berkelebat nenyambar ke arah mata kiri Iblis Kepala Batu Alis
Empat. Saat itu juga satu raungan keras keluar dari mulut Iblis ini. Matanya
sebelah kiri, termasuk dua buah alis merah yang berada di sebelah atas dan
bawah kini berada dalam genggaman tangan Sukma Wiro.
"Kembalikan
mataku! Kembalikan alisku!" teriak. Iblis Kepala Batu. "Aku bertobat!
Aku minta ampun!"
Sukma
Wiro menyeringai.
"Kau
inginkan mata dan sepasang alismu. Ambillah!" Kalau tadi Sukma Wiro
pergunakan Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad untuk membetot lepas mata dan dua
alis kiri Iblis Kepala Batu, kini dia pergunakan Ilmu Meraga Sukma untuk
membenamkan mata dan dua alis itu ke dalam dinding batu!
Iblis
Kepala Batu merasakan sekujur badannya lemas. Seolah tidak bertulang lagi
sosoknya jatuh ke lantai. Dia berusaha bangkit, merangkak mendatang Sukma Wiro.
"Kembalikan
mataku! Kembalikan alisku! Tolong Pendekar 212, aku bersumpah! Aku bertobat!"
Sukma
Wiro menyeringai. Kini dia tahu apa arti ucapan Sutri Kaliangan. Alis mata kiri
sebelah bawah Iblis Kepala Batu, di situlah letak kekuatan dan kekebalannya.
Tanpa alis yang satu kini keadaannya tidak beda seperti seekor cacing tanah.
Sukma Wiro
mendekati sosok Hantu Penjunjung Roh yang tergeletak di lantai. Sebagian
tubuhnya, dari dada sampai pinggang kelihatan hancur dan bergelimang darah.
Orang lain cidera parah seperti itu mungkin sudah menemui ajal. Walau masih
bisa bertahan hidup namun Sukma Wiro bisa menduga umur nenek satu ini tak bakal
lama lagi.
"Pendekar
212…. Aku tak ingin mati di ruangan celaka ini. Bawa aku keluar…." Suara
si nenek perlahan sekali dan sepasang matanya setengah terpejam.
"Nek,
aku bisa keluar menembus dinding, tapi tidak mungkin membawa tubuh
kasarmu…"
Si nenek
menunjuk lemah ke arah dinding di mana terdapat tonjolan batu berwarna merah.
"Tekan…
tekan batu merah itu. Sebuah pintu rahasia akan terbuka di sudut kanan. Semburan
Asap Penyiksa Roh akan berhenti. Pintu yang menutupi… mulut terowongan akan
terbuka. Tekan cepat…"
Sukma
Wiro selipkan guci tembaga di pinggang. Lalu membungkuk di samping Hantu
Penjunjung Roh.
"Nek,
mengingat apa yang telah kau lakukan terhadap sahabatku Ratu Duyung, rasanya
tidak perlu aku bersusah payah menyelamatkan dirimu dari ruangan ini. Tapi
biarlah urusan hutang piutangmu dengan gadis itu kalian selesai-kan
sendiri."
Sukma
Wiro lalu panggul sosok si nenek lalu melang-kah ke sudut ruangan, menekan
tonjolan batu merah di dinding. Di ruang sebelah semburan asap kuning beracun
serta merta berhenti. Lalu berbarengan dengan itu ter-dengar suara berdesir di
dinding sebelah kanan. Sebuah pintu membuka. Tanpa tunggu lebih lama Sukma Wiro
melompat keluar dari ruangan itu. tapi ada dua tangan tiba-tiba mencekal
kakinya.
"Pendekar
212… Aku bertobat! Aku minta ampun! Jangan tinggalkan aku dalam ruangan
ini!"
"lbiis
keparat!" rutuk Sukma Wiro ketika melihat yang memegangi dua kakinya
adalah Iblis Kepala Batu Alis Empat. Kaki kanannya disentakkan ke atas lalu
tumitnya dihantamkan ke kening orang.
"Praakk!"
Untuk ke
dua kalinya kepala Iblis Kepala Batu Alis Empat pecah. Kali ini dia tak punya
kemampuan lagi untuk mengusap dan membuat utuh kepala itu. Dari mulutnya keluar
suara raungan menggidikkan lalu… hekk! Suara itu terputus. Sosok Iblis Kepala
Batu terkapar di lantai tak berkutik lagi. Kali ini dia benar-benar telah
menemui ajal!
Sukma
Wiro melompat melewati pintu di dinding batu. Dia sampai di satu ruangan yang
dipenuhi asap kuning. Saat itu tak ada lagi asap yang menyembur dari celah di
sebelah atas. Sukma Wiro ingat di ruangan inilah dia meninggalkan Ratu Duyung.
"Ratu!
Ratu Duyung!"
Sukma
Wiro memandang berkeliling mencari-cari sam-bil kerahkan Ilmu Menembus Pandang.
Dia bisa melihat pintu mulut terowongan yang sebelumnya tertutup kini berada
dalam keadaan terbuka. Sebagian asap kuning merambat keluar lewat mulut
terowongan itu.
"Ratu!
Ratu Duyung!" Sukma Wiro kembali berteriak.
Lalu
pandangan Sukma Wiro membentur sesosok tubuh tergeletak di lantai. Sosok Ratu
Duyung. Secepat kilat Sukma Wiro menyambar tubuh Ratu Duyung, me-manggulnya di
bahu kiri sementara si nenek berada di bahu kanan. Sukma Wiro lari sepanjang
terowongan menuju keluar. Dia tidak sadar kalau barusan telah melewati sosok
kasarnya di dekat mulut terowongan yang masih berada dalam keadaan tak
bergerak, duduk, bersila, mata terpejam.
Sampai di
luar, di udara terbuka di dasar Lembah Welirang Sukma Wiro baringkan dua tubuh
yang, dibawanya ke tanah. Saat itu matahari hampir mencapai puncaknya. Teriknya
cahaya sang surya membuat kabut dan asap kuning jauh berkurang hingga udara di
tempat itu lebih bersih dibanding pagi sebelumnya.
Saat
itulah Sukma Wiro baru menyaksikan dengan jelas bagaimana wajah dan kulit tubuh
Ratu Duyung kelihatan berwarna kuning. Ketika kelopak mata Ratu Duyung
dibalikkannya, bagian mata yang seharusnya putih juga kelihatan kuning. Sukma
Wiro dekatkan telinganya ke dada si gadis. Masih ada detakan jantung pertanda
gadis itu masih hidup. Sukma Wiro membuat beberapa kali totokan di bagian tubuh
tertentu Ratu Duyung. Gadis ini kemudian ditengkurapkannya. Perlahan-lahan
dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut sekujur tubuh sebelah belakang.
Beberapa saat berlalu. Dua kaki Ratu Duyung kelihatan bergerak. Sukma Wiro
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata yang bisa menyedot segala macam
racun ini diusapkannya berulang kali ke seluruh tubuh Ratu Duyung sebelah depan
dan belakang. Kapak yang tadinya berwarna putih dan dilingkari cahaya tipis
kemerahan kini berubah kekuning-kuningan pertanda senjata sakti ini berhasil
menyedot racun jahat yang ada di tubuh si gadis.
Semakin
kuning warna kapak sakti semakin putih tulit wajah dan tubuh Ratu Duyung.
Tiba-tiba Ratu Duyung menggeliat lalu batuk keras berulang kali. Dari mulutnya
mengalir cairan kuning. Sukma Wiro kembali melakukan beberapa kali totokan.
Cairan kuning semakin banyak keluar dan akhirnya terhenti sama sekali.
Sukma
Wiro membuka kelopak mata Ratu Duyung. Tak ada lagi bagian mata yang berwarna
kuning. Lalu ia merenggangkan bibir gadis itu. Di dalam mulut si tadis ternyata
masih ada cairan berwarna kuning. Wiro buka mulut Ratu Duyung lebih lebar. Lalu
dia lekatkan mulutnya ke mulut si gadis. Tanpa ragu-ragu dia kemudian menyedot
cairan di dalam mulut Ratu Duyung berulang kali hingga bersih sama sekali.
Tiba-tiba
tangan yang sejak tadi kaku bergerak melingkar ke leher Sukma Wiro. Satu suara
halus ter-dengar.
"Wiro….
Kita berada dimana? Apa yang terjadi?"
"Ah,
syukur. Kau siuman," kata Sukma Wiro lalu dengan cepat melepas totokan dan
membuat totokan baru. Sosok Ratu Duyung di dudukkannya di tanah, disandarkan ke
satu lamping batu.
"Ratu,
aku gembira kau selamat…"
"Wiro,
Iblis Kepala Batu?"
"Dia
sudah mati. Mudah-mudahan mati benaran."
"Apa
maksudmu mati benaran?"
"Sudah,
nanti saja aku ceritakan."
"Guci
tembaga?"
"Aku
berhasil mendapatkan." Sukma Wiro lalu keluarkan guci tembaga dan
diperlihatkannya pada Ratu Duyung.
Ratu
Duyung pegang guci tembaga itu sambil ter-senyum lalu berbisik. "Simpan
guci itu baik-baik. Kita harus segera mengeluarkan Bunga dari dalamnya."
"Segera,
tapi tidak di tempat ini. Kita mencari tempat yang baik di luar lembah."
Ratu Duyung mengangguk.
"Pendekar
212…"
Ada suara
memanggil. Hantu Penjunjung Roh.
"Ratu,
kau tunggu sebentar. Aku akan menolong nenek itu." kata Sukma Wiro pula.
Ketika dia hendak bangkit berdiri Ratu Duyung pegang lengan sang pendekar.
"Nenek
jahat itu, kau masih mau menolongnya?"
"Umurnya
tak lama lagi. Aku…"
"Jangan
seperti menolong anjing terjepit Wiro. Begitu dia kau bebaskan, kau akan
digigitnya…"
"Aku
akan berhati-hati. Kau tak usah kawatir," kata Wiro pula lalu menghampiri
si nenek.
Keadaan
Hantu Penjunjung Roh saat itu ternyata sudah sangat payah. Nafasnya tinggal
satu-satu. Sepasang matanya yang merah seolah masuk ke dalam. Asap merah
berbentuk kerucut terbalik di atas kepalanya tinggal tipis dan
bergoyang-goyang.
"Pendekar
212, nyawaku tak lama lagi. Ada sesuatu ingin kukatakan padamu. Dekatkan
telingamu ke mulutku."
Sukma
Wiro yang merasa tidak tega melihat keadaan si nenek, tidak sampai hati kalau
tidak memenuhi per-mintaannya. Sebagian tubuh Hantu Penjunjung Roh hancur
laksana dipanggang. Sukma Wiro dekatkan telinga kirinya ke mulut si nenek.
"Bicaralah
Nek…" bisik Sukma Wiro.
"Pemuda
jahanam! Kau telah membunuh adikku! Kalau bukan karena dirimu, aku juga tidak
bakal menemui ajal saat ini! Sekarang giliranmu untuk mampus, ikut kami berdua
ke alam akhirat!"
Sukma
Wiro tersentak kaget.
"Nek…!"
"Hekkk!"
Dua
tangan Hantu Penjunjung Roh yang tadi terkulai lemas, kini laksana japitan besi
mencekik batang leher Sukma Wiro.
Sebelum
lidahnya terjulur Sukma Wiro cekal dua lengan si nenek. Tapi cekikan Hantu
Penjunjung Roh luar biasa kuatnya. Sulit dilepaskan! Sukma Wiro mulai
megap-megap. Inilah satu keanehan. Kalau Sukma Wiro bisa menembus dinding batu,
mengapa melepaskan diri dari cekikan saja tidak bisa? Pasti Hantu Penjunjung
Roh memiliki ilmu penangkal bekerjanya Ilmu Meraga Sukma atas dirinya.
"Nenek
setan! Hutangmu padaku masih belum aku tagih! Sekarang kembali kau
memperlihatkan kebejatan budi! Orang telah menolongmu! Kau malah hendak
membunuhnya!" Satu suara memaki. Satu kaki bergerak menendang.
"Bukkk!"
Sosok
tubuh Hantu Penjunjung Roh mencelat mental lalu byuuur! Tubuh si nenek jatuh ke
dalam danau kecil berair kuning. Untuk beberapa lamanya tubuh si nenek
kelihatan mengapung. Lalu terjadi satu keanehan. Laksana leleh tubuh Hantu
Penjunjung Roh berubah menjadi cairan putih. Cairan ini kemudian berubah
menjadi asap, naik ke udara bersama sisi kabut dan asap belerang lalu sirna
dari pandangan mata.
Sukma
Wiro merasa tengkuknya dingin menyaksikan kejadian itu.
"Wiro,
kau tak apa-apa?" Ratu Duyung yang kini telah berlutut di samping Wiro
bertanya. Gadis inilah yang tadi menendang tubuh si nenek.
Sukma
Wiro usap-usap lehernya yang kelihatan merah bekas cekikan Hantu Penjunjung
Roh. Sambil geleng-geleng kepala dan garuk-garuk rambut Sukma Wiro ber-kata.
"Tadinya
aku kira dia minta dicium sebelum mati. Tahu-tahu…"
"Tahu-tahu
hampir saja kau mencium anjing yang kau lepaskan dari jepitan!"
Ratu
Duyung tertawa lebar, mengusap rambut gondrong sang pendekar sambil berkata.
"Dasar
sableng! Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau!"
"Aku
memang jelas sableng. Jadi harap kau jangan ikut-ikutan sableng!"
Ratu
Duyung menutup mulut menahan tawa. "Sebaik-nya kita segera tinggalkan
tempat ini. Mencari tempat yang baik untuk mengeluarkan Bunga." Sukma Wiro
melompat ke atas batu cadas.
"Hai
tunggu dulu!" Ratu Duyung berseru.
"Ada
apa?" tanya Sukma Wiro.
"Aku
mau tanya dulu…"
"Hemm,
tanya apa?"
"Sosokmu
yang sekarang ini Wiro benaran atau sukma-mu yang gentayangan dalam Ilmu Meraga
Sukma?"
Sukma
Wiro terkejut!
"Astaga!"
ucapnya. "Untung kau mengingatkan!"
"Aku
tak mau jalan bersama dengan makhluk gaib atau jejadian sepertimu!" kata
Ratu Duyung pula sambil tersenyum.
Sukma
Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku
harus kembali ke terowongan. Tubuh kasarku masih tertinggal di sana! Kau tunggu
di sini."
"Ya…
ya cepatlah. Aku kawatir sosok kasarmu yang ada di sana diboyong hantu
terowongan!"
Sukma
Wiro kepalkan tinjunya.
Ratu
Duyung tertawa-tawa memperhatikan Sukma Wiro berlari kembali ke arah lobang
jalan masuk menuju terowongan di balik batu-batu cadas.
********************
5
TAK lama
setelah meninggalkan Lembah Welirang, kedua orang itu sampai di satu pedataran
rumput. Walau rumput yang tumbuh adalah rumput liar, diseling alang-alang namun
pemandangan di tempat ini cukup indah. Jauh di bawah pedataran kelihatan sebuah
sungai kecil meliuk-liuk di antara kehijauan rimba belantara.
Wiro yang
sudah kembali pada ujud aslinya hentikan larinya. Saat itu sang surya telah
condong ke barat. Wiro duduk di batang pohon tua yang tumbang dan melintang di
ujung pedataran rumput. Berdampingan dengan Ratu Duyung.
"Sejak
tadi aku mendengar suara sayup-sayup. Mungkin sekali suara Bunga dari dalam
guci…" kata Pendekar 212. Lalu dia keluarkan guci tembaga yang di-selipkan
dibalik pinggang.
"Saatnya
kita mengeluarkan dia dari dalam guci," kata Ratu Duyung pula.
Wiro
anggukkan kepala. Guci tcmbaga ditimang-timang, diperhatikan beberapa sat lalu
dengan jari jarinya dia mengetuk-ngetuk badan guci.
"Bunga!
Aku Wiro! Aku bersama Ratu Duyung. Apakah kau bisa mendengar suaraku?"
Angin
sepoi-sepoi bertiup di pedataran.
Di antara
suara dedaunan yang saling bergesekan, tiba-tiba dari dalam guci terdengar
suara halus.
"Wiro!
Kau menunggu apa lagi? Lekas keluarkan aku dari dalam guci!"
Wiro dan
Ratu Duyung tampak lega mendengar suara gadis dari alam roh itu.
Wiro
letakkan guci tembaga di atas batang pohon. Sesaat diperhatikannya benda hitam
yang menyumpal dan menutup mulut guci. Dengan hati-hati dia tarik benda itu.
Begitu penutup guci lepas, terdengar satu letupan kecil. Lalu dari dalam guci
mengepul keluar asap putih. Perlahan-lahan asap ini sirna ditiup angin
pedataran rumput.
"Bunga,
penutup guci sudah aku buka. Mengapa kau masih belum keluar?" Wiro
bertanya setelah beberapa saat menunggu.
"Kaki
dan tanganku terbelenggu ke dasar guci!"
"Apa?!"
"Dua
hari lalu Iblis Kepala Batu membelenggu tangan dan kakiku ke dasar guci. Kau
harus memecah guci ini untuk bisa membebaskan diriku!"
"Kurang
ajar!" kata Wiro geram sekali.
Di
sampingnya Ratu Duyung berkata. "Kau harus mengeluarkan Ilmu Meraga Sukma
kembali untuk bisa masuk ke dalam guci itu. Jika kau belah dari luar aku
khawatir Bunga akan cidera."
Wiro
mengangguk. "Aku ingat ucapan Kakek Segala Tahu. Untuk bisa membebaskan
Bunga, katanya aku harus jadi kentut!"
"Jadi
kentut?!" Ratu Duyung bertanya heran. "Pasti kau bergurau lagi."
"Tidak.
Maksud kakek itu aku harus jadi angin dan nasuk ke dalam guci." Habis
berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng duduk bersila di rumput. Dua tangan
dirang-kapkan di depan dada. Mata dipejamkan. Pikiran dikosong-kan. Lalu dia
mengucapkan Basmallah, dan merapal kata Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Sesaat
kemudian, seperti yang pernah disaksikan Ratu Duyung sebelumnya, dari tubuh
kasar Wiro bergerak keluar satu sosok samar menyerupai asap. Asap ini bergelung
ke udara membentuk sosok kecil Pendekar 212 Wiro Sableng, meliuk-liuk lalu
menukik turun dan masuk ke dalam guci.
Ratu
Duyung kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Tapi ilmu itu tidak bisa menembus
dinding guci. Dia tidak bisa melihat apa yang terjadi. Sayup-sayup didengarnya
suara orang bicara. Lalu ada suara berkerontang halus. Tak lama kemudian ada
asap membubung keluar dari dalam guci. Asap membentuk dua sosok tubuh. Yang
pertama sosok Wiro dalam keadaan memegang Kapak Naga Geni 212 dengan tangan
kanan sementara tangan kiri memegang lengan sosok kedua yang bukan lain adalah
Bunga. Dua sosok yang menyerupai asap itu perlahan-lahan berubah besar.
Akhirnya membentuk ujud utuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bunga gadis dari
alam roh, mengenakan pakaian kebaya panjang putih yang kotor dan lusuh serta
berwajah sangat pucat. Rambut tergerai kusut.
Berdiri
di pedataran rumput Bunga terheran-heran me-lihat ada dua sosok Wiro. Satu yang
berdiri di hadapannya yaitu yang tadi masuk ke dalam guci. Satu lagi yang saat
itu masih duduk dalam keadaan bersila rangkapkan tangan di depan dada. ,
"Aku
tak mengerti…" bisik Bunga.
Wiro
selipkan kapak saktinya ke pinggang. Lalu per-lahan-lahan dia melangkah ke
sosok dirinya yang duduk bersila di atas rumput. Sosok Sukma Wiro berubah
samar, kemudian masuk ke dalam sosok kasar. Tak lama kemudi-an setelah
melafalkan Meraga Sukma Kembali Pulang sebanyak tiga kali, sosok Wiro yang
duduk bersila perlahan-lahan membuka mata, menurunkan sepasang tangan dan
bangkit berdiri menghampiri gadis alam roh.
"Ilmu
aneh. Luar biasa…" kata Bunga terkagum-kagum. "Wiro, aku, aku tidak
tahu bagaimana harus berterima kasih padamu…"
Tidak
bisa meneruskan kata-katanya, Bunga jatuhkan diri ke dada bidang Pendekar 212.
"Bunga…"
Suara Pendekar 212 bergetar dan setengah tercekat. Waktu di dalam guci, ketika
dia memutus belenggu besi di kaki dan tangan si gadis, dia tidak dapat melihat
jelas keadaan Bunga. Kini melihat keadaan gadis itu begitu rupa hatinya terharu
sekali. Ketika Bunga men-jatuhkan diri ke atas dadanya Wiro segera memeluknya.
"Tadinya
aku mengira tak akan pernah keluar lagi dari dalam guci itu…" Ucap Bunga
sambil memeluk Wiro erat-erat. Wiro merasakan hangatnya air mata si gadis di
per-mukaan dadanya.
"Iblis
Kepala Batu Alis Empat sudah menemui ajal."
"Aku
tahu. Walau cuma mendengarkan suara dari dalam guci tapi aku tahu semua yang
telah terjadi. Aku sangat berterima kasih padamu Wiro. Kau telah menyelamatkan
diriku…"
"Pertama
sekali berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Hanya
dengan kekuasa-anNya dirimu bisa selamat…"
"Dalam
alamku, aku memang sudah terlalu lama tidak mengingat Yang Satu itu. Tapi
bagaimanapun juga kau adalah kepanjangan tangan Tuhan yang nenolongku…"
"Sebenarnya
ada beberapa orang lain kepada siapa kau pantas berterima kasih. Bukan
kepadaku…"
"Aku
tahu. Aku ingin kau menyebutkan mereka satu persatu agar aku tidak salah
mengenang budi dan ber-terima kasih…"
"Mulai
dari Kakek Segala Tahu. Dia yang pertama kali memberi petunjuk tentang
bagaimana caranya agar aku bisa menolongmu. Lalu pada Nyi Roro Manggut, seorang
sakti di dasar samudera kawasan selatan. Dialah yang memberikan Ilmu Meraga
Sukma padaku. Lalu pada Nyi Agung Roro Kidul, penguasa kawasan samudera selatan
yang telah mengizinkan aku untuk bisa bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Kemudian
pada Ratu Duyung sahabat-ku. Kalau bukan dengan pertolongannya mustahil aku
bisa masuk ke dalam laut menemui Nyi Roro Manggut."
"Ratu
Duyung, aku tahu. Budinya besar sekali. Tapi di manakah dia? Bukankah tadi dia
ada di sini bersamamu. Bukankah dia ada bersamamu sejak berada di sarang Iblis
Kepala Batu?"
Pendekar
212 Wiro Sableng memandang berkeliling. Dia baru sadar kalau saat itu Ratu
Duyung tak ada lagi di tempat itu.
Bunga
menghela nafas dalam.
"Aku
ingin sekali bertemu dengan dia. Tapi mungkin dia sengaja mengelak. Di masa
lalu hubungan kami memang kurang baik. Mungkin aku banyak berbuat keliru."
"Bunga,
harap kau mau menunggu sebentar. Aku akan mencari Ratu Duyung. Dia pasti berada
di sekitar sini…"
Bunga
cepat memegang lengan Wiro dan berkata.
"Tak
usah pergi. Waktuku tidak banyak lagi. Aku sudah terlalu lama meninggalkan
alamku. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan selain dari ucapan terima kasih
atas budi pertolonganmu. Aku tidak malu mengatakan bahwa pada pertemuan kita
pertama kali dulu aku telah jatuh cinta padamu. Saat ini, sampai dalam
keadaanku seperti ini sebagai makhluk yang tidak satu dunia dengan dirimu, rasa
cinta itu tak pernah hilang. Malah semakin bertambah dan semakin dalarn. Namun
aku mengerti siapa diriku. Alam kita berbeda. Aku tidak perlu menanyakan,
apakah kau mengasihi diriku, apakah kau mencintai diriku. Kalau-pun perasaan
itu ada dalam lubuk hatimu, rasa cinta dan kasih sayang kita hanya akan tetap
merupakan perasaan belaka. Kita tidak mungkin bersatu. Apapun yang terjadi,
sampai kapanpun kita tak mungkin…."
Wiro
membelai rambut Bunga lalu memegang dua pipi-nya. Air mata masih meleleh
membasahi pipi pucat gadis alam roh itu.
"Saat
ini kau tidak boleh bicara segala ketidak-mungkinan. Serahkan semua pada Yang
Maha Kuasa. Aku ingin kau tetap bersamaku selama beberapa hari…"
Bunga
tersenyum. "Itu satu hal yang lagi-lagi tidak mungkin. Sebelum aku pergi
aku ingin mengatakan se-suatu. Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis
men-cintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu ter-hadap mereka. Tetapi
jika kelak dikemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai
teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia
baik-baik."
Wajah
Pendekar 212 berubah.
"Mengapa
kau berkata begitu Bunga?"
"Pertanyaanmu
tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri yang mencari tahu, yang mencari
jawabannya…"
"Mungkin
karena dia telah menanam budi menyela-matkan dirimu dari sekapan guci Iblis
Kepala Batu?"
"Kalaupun
aku harus menemui kematian ganda di dalam guci itu, aku tetap akan mengatakan
agar kau me-milih dirinya sebagai teman hidupmu."
Murid
Sinto Gendeng jadi terdiam.
"Saatnya
aku pergi Wiro."
"Tidak.
Tunggu dulu…"
Gadis
dari alam roh itu tersenyum. Kini dia yang ganti mendekap wajah si pemuda
dengan kedua tangannya.
"Aku
pergi Wiro. Ingat selalu apa yang telah aku ucap-kan saat ini padamu. Sampaikan
salam dan terima kasihku pada Ratu Duyung."
Wiro coba
memeluk gadis itu. Tapi seperti angin, Bunga meliuk lepas dan melesat ke udara
untuk kemudian lenyap dari pemandangan.
Lama Wiro
terduduk di batang pohon kayu di ujung pe-dataran rumput. Beberapa kali dia
menghela nafas dalam dan menggaruk kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
"Ratu
Duyung…" Wiro memanggil. "Ratu…" Wiro me-langkah menyusuri
pinggiran pedataran. Sampai ke ujung dia kembali lagi. Ratu Duyung lenyap entah
kemana. Wiro merasa berdosa seolah telah melupakan gadis itu ketika tadi dia
keluar dari dalam guci bersama Bunga. Tiba-tiba dia mendengar suara isakan.
Wiro memandang ke arah semak belukar rapat di ujung kanan. Dia cepat melangkah
ke tempat itu. Di balik semak belukar dia menemukan Ratu Duyung duduk dengan
kepala dibenamkan di atas dua lutut yang dilipat.
"Ratu…."
Wiro berlutut di samping gadis itu. "Bunga ingin menemuimu. Tapi kau
seperti mengelak. Mengapa? Kau tidak suka padanya?"
Perlahan-lahan
Ratu Duyung angkat wajahnya. Tanpa memandang pada Wiro dia berkata.
"Kami
memang pernah berseteru. Sudah lama kejadiannya dan aku sudah melupakan hal
itu. Kalau aku mungkin penyebab semua itu, aku berharap mungkin sedikit budi
yang aku tanamkan bisa menebus dosaku ter-hadapnya…"
"Bunga
tidak pernah mengingat lagi semua kejadian di masa lalu. Dia menyampaikan pesan
dan terima kasih padamu."
Ratu
Duyung menyeka air matanya. "Apa lagi yang di-katakan Bunga padamu?"
"Banyak…"
"Tentang
diriku?"
"Banyak
sekali."
"Coba
kau beritahu satu persatu."
Wiro
tertawa lebar.
"Akan
kuberitahu. Tapi tidak sekarang ini. Kita masih banyak urusan. Aku tidak tahu
apakah para sahabat telah berhasil mendapatkan Melati Tujuh Racun untuk meng-obati
Patih Kerajaan. Lalu bagaimana dengan Pedang Naga Suci 212 yang lenyap. Juga
Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang Sinto Gendeng yang dicuri orang…"
Dalam
hati Ratu Duyung berkata. "Kau tidak mau memberitahu apa saja yang
dikatakan Bunga padamu. Tapi tadi aku mendengar semua apa yang kalian
bicarakan. Kelak aku ingin tahu, apakah kau mau berkata jujur menceritakan
semua apa yang dikatakan gadis alam roh itu. Terutama mengenai hal yang satu
itu…"
Wiro
memegang lengan Ratu Duyung, membantu gadis ini berdiri. Saat itu ucapan Bunga
seolah terngiang di te-linga sang pendekar. "Jika kelak dikemudian hari
kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkan
pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wiro
garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
"Kenapa
kau tersenyum?" Ratu Duyung bertanya.
"Apa
aku tak boleh tersenyum?" Tanya Wiro.
"Pasti
ada sesuatu. Ada sebabnya."
"Tidak,
kali ini aku tersenyum tidak ada sebabnya."
"Oh
begitu? Aneh…"
"Aneh
bagaimana maksudmu?"
"Tidak,
tidak ada maksud apa-apa," jawab Ratu Duyung.
Wiro
menggaruk kepala.
"Ah,
kau sengaja menggodaku. Aku ingin tahu apakah kau juga bisa tersenyum."
Lalu Wiro menggelitik pinggang gadis bermata biru itu hingga Ratu Duyung
terpekik ke-gelian dan lari menuruni pedataran berumput.
********************
6
DI DALAM
Episode sebelumnya (Melati Tujuh Racun) telah diceritakan kemunculan Hantu
Jatilandak, pemuda berkulit serba kuning yang terpesat dari Negeri Latanahsilam
sewaktu meledaknya Istana Kebahagiaan. Juga dikisahkan bagaimana Jatilandak
menemukan bunga Melati Tujuh Racun yang menyumpal di liang telinga Setan
Ngompol.
Oleh
Setan Ngompol bunga melati keramat yang meru-pakan satu-satunya obat penyembuh
Patih Kerajaan diserahkan pada Bidadari Angin Timur yang muncul di tempat itu
bersama Anggini. Bidadari Angin Timur mem-bungkus bunga melati hitam itu dalam
sehelai lipatan sapu tangan.
Selagi
mereka membicarakan Hantu Jatilandak yang tiba-tiba saja melenyapkan diri dari
tempat itu, serta mem-perbincangkan bagaimana caranya agar bisa menemui
Pendekar 212 Wiro Sableng, secara tidak terduga murid Sinto Gendeng itu justru
muncul di tempat itu. Tentu saja semua orang menjadi gembira.
Tidak
perlu susah-susah mencari Wiro dan perjalanan ke Kotaraja menuju Gedung
Kepatihan bisa segera dilaku-kan.
Tapi
kehadiran Pendekar 212 kali ini mendatangkan rasa curiga dalam diri Bidadari
Angin Timur dan Anggini. Dia datang sendirian, padahal sebelumnya pergi bersama
Ratu Duyung menuju Lembah Welirang.
Pertanyaan-pertanyaan
yang mereka ajukan dijawab Wiro dengan sikap dan ucapan agak janggal, tidak
ber-sambung. Ketika Setan Ngompol menerangkan bahwa mereka baru saja berhasil
menemukan Melati Tujuh Racun, Wiro serta merta meminta bunga itu dengan sikap
setengah memaksa. Karena Setan Ngompol menyuruh Bidadari Angin Timur
menyerahkan bunga melati tersebut pada Wiro, mau tak mau si gadis berambut
pirang ini serahkan bunga yang disimpannya dalam lipatan sapu tangan itu pada
Pendekar 212.
Begitu
menerima selampai berisi bunga, Pendekar 212 Wiro Sableng segera minta diri
mendahului menuju Kota raja. Setelah Wiro pergi kecurigaan dalam diri dua gadis
jadi bertambah-tambah. Si kakek tukang ngompol juga merasa ada yang tidak
beres.
"Anak
sableng itu!" kata Setan Ngompol sambil me-rapikan celananya yang basah
kuyup dan kedodoran. "Dua kali aku menyebut nama Hantu Jatilandak. Kali
terakhir malah aku jelaskan kalau pemuda muka kuning itulah yang telah menolong
menemukan Melati Tujuh Racun. Tapi si gondrong itu tidak acuh. Seperti tidak
mendengar apa yang aku katakan."
"Dia
mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal pada Hantu Jatilandak,"
ujar Anggini pula.
"Di
situlah letak keanehannya! Seharusnya dia terkejut mendengar Hantu Jatilandak
ada di Tanah Jawa ini. Sewak-tu di Negeri Latanahsilam, dia pernah menolong
Hantu Jatilandak, masakan dia lupa pada pemuda itu?"
"Keanehan
yang kami lihat lain lagi Kek," ucap Bidadari Angin Timur. "Pertama,
dia pergi bersama Ratu Duyung. Muncul seorang diri. Kedua, jika dia memang
telah mem-bebaskan Bunga, masakan mereka berpisah begitu saja di Kotaraja.
Ketiga, mengapa dia memaksa pergi lebih dulu. Meninggalkan kita pergi ke
Kotaraja membawa Melati Tujuh Racun. Apa salahnya kita pergi sama-sama.
Ke-anehan keempat, seingatku Wiro tidak pernah memanggil kami dengan kata
kawan-kawan. Biasanya dengan pang-gilan sahabat. Itupun jarang dilakukan."
"Sesuatu
telah terjadi dengan anak sableng itu. Mungkin ini akibat ilmu baru yang
dimilikinya. Ilmu Meraga Sukma. Ah, aku menyesal menyuruh kau memberikan bunga
sakti itu padanya," kata Setan Ngompol sambil me-nahan kencing.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Aku
ingin kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab Bidadari Angin Timur yang saat
itu paling jengkel dan penasaran.
"Aku
setuju!" kata Setan Ngompol. "Nah, kita tunggu apa lagi?"
Sambil
pegangi perutnya untuk menahan kencing kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya
Pendekar 212. Bidadari Angin Timur dan Anggini segera mengikuti.
Belum
lama rombongan terdiri dari tiga orang itu me-nempuh jalan menuju Kotaraja, di
satu pedataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon jati serta tebaran batu-batu
bekas reruntuhan tembok sebuah candi yang telah rusak, terdengar suara orang
saling bentak. Satu perkelahian hebat rupanya tengah berlangsung di tempat itu.
"Serrr!"
Setan
Ngompol langsung kucurkan air kencing lalu hentikan larinya. Dia menunjuk ke
arah pedataran tinggi yang dirapati deretan pohon-pohon jati.
"Ada
orang berkelahi di atas pedataran sana. Aku ingin menyelidik."
"Perlu
apa menyelidik membuang waktu Kek?" ujar Bidadari Angin Timur. "Kita
punya urusan jauh lebih pen-ting."
"Aku
tahu," jawab Setan Ngompol. "Kita sudah tahu ke mana perginya Wiro.
Ke Kotaraja. Berarti kita sudah tahu arah yang dituju. Soal menyelidik siapa
yang berkelahi itu hanya urusan sesaat saja. Aku punya firasat, apa yang
ter-jadi di pedataran tinggi sana ada sangkut pautnya dengan semua keanehan,
yang tadi kita bicarakan."
Setan
Ngompol lalu berkelebat ke arah pedataran ting-gi. Dua gadis tak bisa berbuat
lain, berlari mengikuti si kakek.
Ketika
mereka melewati deretan pohon-pohon jati dan akhirnya sampai di puncak
pedataran, mereka semua ke-luarkan seruan tertahan.
Di puncak
pedataran mereka menyaksikan satu pe-mandangan sulit dipercaya. Dua sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng saling bertempur satu sama lain. Tak jauh dari situ
Ratu Duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua kakek. Kakek pertama berpakaian
ringkas warna biru bukan lain adalah Rana Suwarte, tokoh silat Istana yang
tergila-gila pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Istana Lestari. Di
sebelahnya, kawannya yang mengeroyok Ratu Duyung adalah seorang kakek bermuka
pucat laksana mayat hidup yang sekali lihat saja segera diketahui kalau dia
adalah Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. (Seperti diketahui Si Muka
Bangkai yang asli telah menemui ajal di Pangan-daran, dibunuh oleh Bujang Gila
Tapak Sakti sewaktu ter-jadi pertempuran hebat antara para dedengkot golongan
hitam melawan para tokoh puncak golongan putih. Si Muka Bangkai yang kemudian
malang melintang dalam rimba persilatan adaiah saudara kembar Si Muka Bangkai
yang konon lebih ganas dari Si Muka Bangkai yang asli dan memiliki ilmu silat
serta kesaktian tidak dibawah saudara kembarnya yang sudah almarhum itu)
Setan
Ngompol terkencing-kencing menyaksikan per-kelahian hebat di puncak bukit jati
itu. Sambil memegangi perutnya dia berkata.
"Gila!
Yang mana Wiro sungguhan, yang mana yang palsu?!"
"Yang
palsu adalah yang tadi kau suruh aku menyerah-kan Melati Tujuh Racun
padanya!" Menjawab Bidadari Angin Timur.
"Dua
gadis cantik. Salah satu dari dua orang kembar itu pasti Wiro palsu.
Berjaga-jagalah. Jangan dia sampai lolos! Kalian harus dapatkan Melati Tujuh
Racun itu kembali!"
"Kakek
tukang kencing! Kau sendiri mau ke mana?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Aku
mau membantu sahabatku si mata biru," jawab Setan Ngompol lalu melesat ke
hadapan Rana Suwarte. Sambil tertawa ha-ha he-he dan pegangi perutnya kakek
yang kini berkepala botak karena harus memenuhi kaulan itu berseru pada Rana
Suwarte.
"Rana
Suwarte pencuri Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan! Pembunuh gadis cilik bernama
Sulantri! Sobatku Naga Kuning telah menghancurkan tangan kirimu! Kau masih
malang melintang jual lagak! Apa kau kira dengan tangan hancur seperti itu Ning
Intan Lestari masih mau melihat tampangmu?! Hari ini kalau tidak bisa mencekok
mulutmu dengan kencingku biar aku disunat sekali lagi! Ha… ha… ha!"
Dimaki
sebagai pencuri keris pusaka Kerajaan serta sebagai pembunuh Sulantri tidak
membuat marah Rana Suwarte. Tapi ucapan Setan Ngompol menyebut-nyebut Ning
Intan Lestari alias Gondruwo Patah Hati yang selama ini digilainya membuat Rana
Suwarte jadi naik darah.
"Aku
memang sudan lama mengincar nyawamu. Hari ini aku bersumpah mengorek
jantungmu!"
Setan Ngompol
tertawa bergelak.
"Hati-hati
kalau bicara! Jaga mulut sombongmu!" kata Setan Ngompol. Lalu setengah
pancarkan air kencing kakek ini melesat ke arah Rana Suwarte.
"Wuutttt!"
Dalam
keadaan tubuh masih melayang di udara Setan Ngompol lancarkan serangan berupa
tendangan, dalam jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara.
Rana
Suwarte keluarkan tawa mengejek. Dengan mudah dia bisa menghindar dari serangan
Setan Ngompol. Tapi cipratan air kencing yang bertebaran bersama ten-dangan itu
sempat membasahi pakaian bahkan wajahnya yang pucat. Karuan saja Rana Suwarte
jadi mendidih amarahnya. Ketika lawan kembali menyerang dia segera menghadang
dengan serangan balasan. Perkelahian antara dua jago tua ini berkecamuk hebat.
Tapi tangan kirinya yang cidera berat dan saat itu masih dibalut merupakan
kendala besar bagi Rana Suwarte dalam menghadapi kakek tukang kencing yang
kelihatan konyol itu tapi sebenarnya sangat berbahaya.
Kita
kembali dulu pada Ratu Duyung.
Sewaktu
dikeroyok dua oleh Rana Suwarte dan Si Muka Bangkai, Ratu Duyung sempat
terdesak hebat. Apa lagi dirinya masih lemas akibat pengaruh jahat Asap
Penyiksa Roh. Begitu menghadapi Si Muka Bangkai satu lawan satu, semangat gadis
bermata biru ini jadi berkobar. Dia keluarkan jurus-jurus aneh ilmu silat dasar
samudera. Dalam waktu singkat Ratu Duyung mulai mendesak lawan-nya. Melihat
bahaya mengancam Si Muka Bangkai segera keluarkan pukulan-pukulan saktinya.
Mula-mula
Si Muka Bangkai bentengi diri dengan ilmu Sepuluh Tameng Kematian. Sepuluh
sinar merah kuning dan hitam berselang seling menyambar membentengi tubuhnya
tapi secara tak terduga bisa berubah menjadi serangan ganas. Beberapa kali Ratu
Duyung coba susup-kan serangan atau tendangan namun selalu sia-sia. Dari pada
kedahuluan dicelakai lawan maka Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya.
Kini dalam perkelahian kedua orang itu terlihat sambaran-sambaran sinar putih
menyilaukan yang keluar dari permukaan cermin, meng-gempur sepuluh larik sinar
sakti yang membentengi Si Muka Bangkai. Walau kakek muka mayat ini tidak gentar
menghadapi Ratu Duyung dan merasa masih bisa bertahan bahkan punya niat untuk
mulai mengeluarkan pukulan ganas Gerhana Matahari namun keadaan mendadak
berubah ketika dua gadis yang sejak tadi rnemperhatikan jalannya perkelahian dari
jauh, tibatiba melesat ke arahnya.
Sebelumnya
antara Bidadari Angin Timur dan Anggini terjadi percakapan.
"Tanganku
sudah gatal. Kita pilih mana? Rana Suwarte atau Si Muka Bangkai?" Bertanya
Bidadari Angin Timur.
"Menurutku
kakek tukang kencing itu tidak punya kesulitan menghadapi lawannya. Aku memilih
si bungkuk muka pucat. Kau sendiri bukankah punya dendam kesumat terhadap guru
Pangeran Matahari itu?" Yang bicara adalah Anggini.
Walau Si
Muka Bangkai yang satu ini bukan sungguh-an guru Pangeran Matahari tapi Anggini
langsung saja men-jawab.
"Setuju!"
"Dua
gadis cantik! Kalian mencari penyakit! Mengapa tidak menunggu giliran sampai
kakekmu ini melayani kalian di atas ranjang?! Ha… ha… ha!" Sebenarnya Si
Muka Bangkai merasa kecut dengan turunnya dua gadis cantik itu ke gelanggang
pertempuran. Dia tahu benar kehebatan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Cuma
untuk menyem-bunyikan rasa jerihnya dia sengaja keluarkan ucapan seperti itu.
"Bangkai
tua bermulut kotor!" teriak Bidadari Angin Timur. "Lihat
serangan!" Bidadari Angin Timur, yang dikenal memiliki gerakan luar biasa
cepatnya goyangkan kepala. Bau wangi menebar, rambut pirangnya berkelebat
laksana tebasan pedang. Dari sebelah kiri Anggini murid Dewa Tuak menghantam
dengan jurus ganas bernama Memecah Angin Meruntuh Matahari Menghancur Rembulan!
Si Muka
Bangkai membentak keras. Tubuhnya ber-kelebat sambil gerakkan tangan kiri kanan
melepas pukulan Merapi Meletus. Tapi gerakan tangan Si Muka Bangkai hanya
setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat sekali, Bidadari Angin Timur berputar
gesit dan tahu-tahu telah berada di belakang lawannya. Di sebelah depan cahaya
yang melesat keluar dari cermin sakti Ratu Duyung menyilaukan matanya. Si Muka
Bangkai tidak melihat gerakan Bidadari Angin Timur. Dia terpaksa pergunakan
salah satu tangannya untuk melindungi mata yang kesilauan sambil melompat ke
kanan menjauhi serangan ganas Anggini. Pada saat itulah dari belakang datang
melanda jotosan Bidadari Angin Timur. Telak bersarang di punggungnya yang
bungkuk!
"Bukkk!"
Sosok Si
Muka Bangkai mencelat dua tombak.
Darah
segar menyembur dari mulut kakek ini. Jatuh ke tanah dia masih sanggup bertahan
dengan cara berlutut, tak sampai roboh atau terguling-guling.
Memandang
ke depan tiga gadis dilihatnya mengurung rapat, memandang dengan wajah-wajah
cantik tapi angker seolah tiga bidadari yang muncul membawa persembahan anggur
kematian!
Perlahan-lahan
Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Saat itu didengarnya Ratu Duyung berseru.
"Para
sahabat! Tunggu apa lagi! Ini saatnya kita berebut pahala menghabisi manusia
sejuta jahat penimbul sejuta bencana!"
Tiga
tubuh elok serentak berkelebat.
Tiga
tangan halus menderu ke satu sasaran.
Si Muka
Bangkai tiba-tiba kembangkan dua tangannya.
"Aku
Si Muka Bangkai akan merasa bahagia jika dapat mati bersama kalian
bertiga!"
Dari dua
tangan yang mengembang itu tiba-tiba menebar bubuk berwarna biru. Bau aneh
menggidikkan tercium santar.
"Awas
bubuk beracun!" Teriak Anggini memperingat-kan.
Tiga
gadis serta merta batalkan serangan. Malah mere-ka terpaksa bersurut mundur.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Si Muka Bangkai. Sekali dia mengenjot ke dua
kakinya, tubuhnya melesat ke udara sampai dua tombak. Menembus ranting-ranting
dan dedaunan lebat sebuah pohon jati. Ratu Duyung bertindak cepat. Dia sudah
maklum apa yang hendak dilakukan si kakek. Cermin sakti diputar demikian rupa.
Cahaya menyiaukan berkiblat.
"Wusss!"
Ranting
dan daun-daun pohon jati di atas sana meranggas dilamun kobaran api. Namun
sosok Si Muka Bangkai lenyap tak kelihatan lagi!
********************
7
MENGETAHUI
kalau Si Muka Bangkai telah kabur melarikan diri, Rana Suwarte yang saat itu
berada dibawah tekanan serangan Setan Ngompol mulai leleh nyalinya. Beberapa
jotosan lawan telah mendarat di tubuh dan pipi kanan hingga wajahnya kelihatan
bengap merah kebiruan. Dua giginya rontok. Dalam menahan sakit Rana Suwarte
juga menyumpah panjang pendek. Dia menyesali kebodohan dirinya sendiri yang
berserikat dengan Pangeran Aryo Probo alias Sarontang untuk men-curi Keris Naga
Kopek dari tempat penyimpanan di Istana. Ternyata Sarontang telah menipunya.
Kalau keris sakti itu masih ada padanya saat itu mungkin sudah sejak tadi-tadi
Setan Ngompol dihabisinya. Kini Si Muka Bangkai yang jadi andalannya telah
kabur. Mau tak mau dalam otak Rana Suwarte timbul pula niat untuk melarikan
diri. Maka dia segera mengatur siasat mencari kesempatan untuk melari-kan diri.
Sambil terus mundur dicecar serangan gencar Setan Ngompol, Rana Suwarte coba
keluarkan pisau ter-bang yang merupakan salah satu senjata andalannya. Tapi
Setan Ngompol sudah bisa menduga siasatnya dan tidak memberi kesempatan pada
lawan.
Rana
Suwarte dengan nekad keluarkan jurus-jurus simpanannya. Begitu gempuran lawan
sedikit terbendung dengan cepat dia menyelinap ke balik sederetan pohon jati.
Dia membuat gerakan cepat dan aneh. Lalu di lain kejap sosoknya lenyap dari
pemandangan Setan Ngompol.
"Sialan!
Kemana lenyapnya bangsat itu!" maki Setan Ngompol dan serrr! Kencingnya
mengucur.
Rana
Suwarte memang bisa membuat gerakan menipu Setan Ngompol. Tapi dia tidak bisa
memperdayai pandang-an mata tiga gadis yang sejak tadi mengawasi gerak
geriknya. Ketika dia berhasil menipu Setan Ngompol dan berkelebat melarikan
diri, Bidadari Angin Timur yang berdiri di balik pohon palangkan kaki kanannya
mengait dua kaki Rana Suwarte. Tak ampun kakek berpakaian serba biru ini jatuh
tengkurap, terbanting di tanah. Sebelum dia sempat bangun dan kabur lagi, Setan
Ngompol telah melompat dan menginjak jidat orang ini. Tiga gadis bertindak
cepat, ber-diri mengelilingi ke dua orang itu.
"Rana
Suwarte! Saat ini kau hanya tinggal memilih. Menjawab semua pertanyaanku atau
kuinjak kepalamu sampai pecah!"
Rahang
Rana Suwarte menggembung. Matanya men-delik. Mulutnya komat-kamit tapi tak
sepotong suarapun keluar dari mulut itu. Dia merasa heran mendengar ucapan
Setan Ngompol.
"Kau
tak mau menjawab tidak apa-apa! Coba kau rasa-kan dulu ini!"
Setan
Ngompol keraskan injakkan kaki kanannya di kening Rana Suwarte hingga orang ini
merasa kepalanya seolah mau rengkah. Sakitnya bukan kepalang, sepasang matanya
sampai mendelik jereng. Setan Ngompol yang jereng benaran tertawa gelak-gelak.
"Mau
kuinjak lebih keras lagi?!"
"Keparat!
Ucapkan apa yang hendak kau tanyakan!" Rana Suwarte akhirnya membuka mulut
tapi disertai maki-an.
"Setan
Ngompol!" Bidadari Angin Timur yang sudah tidak sabaran menegur.
"Buat apa bicara panjang lebar dengan manusia jahat itu! Habisi saja dia
sekarang juga!"
"Sobatku
gadis cantik berambut pirang," jawab Setan Ngompol. "Tenang saja.
Sabar barang sebentar. Lihat saja apa yang aku lakukan! Kau pasti akan merasa
senang!"
"Huh!"
Bidadari Angin Timur merengut. Anggini dan Ratu Duyung senyum-senyum. Mereka
ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan kakek tukarrg kencing itu.
"Rana
Suwarte. Pertanyaanku yang pertama. Apakah sampean pernah minum dawet?"
(dawet – cendol)
Walau
heran mengapa orang ajukan pertanyaan seperti itu, setelah menggerutu dalam
hati Rana Suwarte menjawab juga.
"Pernah."
"Bagus!"
kata Setan Ngompol pula sambil senyum dan pegangi bagian bawah perut menahan
kencing. "Apakah sampean juga pernah minum wedang jahe?"
"Pernah,"
jawab Rana Suwarte lagi. Dalam hati dia me-maki panjang pendek.
"Aahhhh,
bagus! Lalu sewaktu kerja di Istana, apakah sampean pernah meneguk tuak
enak?"
"Pernah,"
jawab Rana Suwarte.
"Hemm,
tentu enak sekali tuak di Istana itu," Setan Ngompol melirik pada tiga
gadis sambil basahi bibirnya dengan ujung lidah. Kaki kanannya digeser-geser di
atas jidat Rana Suwarte. "Masih sewaktu sampean di Istana. Apa pernah
minum anggur wangi?"
"Pernah,"
sahut Rana Suwarte. "Bangsat, apa maksud-mu dengan semua pertanyaan
ini?!" teriak Rana Suwarte.
"Luar
biasa! Kau rupanya telah menikmati segala macam minuman enak! Pertanyaanku yang
terakhir. Apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air ken-cing?!"
Sepasang
mata Rana Suwarte mendelik. Kini dia tahu apa maksud kakek bermata jereng
berkuping leher tukang ngompol itu. Dari tenggorokannya keluar suara
menggem-bor. Sekujur tubuhnya menggeletar. Saat itu ingin dia me-lompat dan
menerkam Setan Ngompoi. Tapi injakan di atas keningnya terasa seberat batu
raksasa hingga dia tak ber-daya untuk loloskan diri.
Tiga
gadis yang kini sudah bisa menduga apa maksud semua pertanyaan si kakek,
menutup mulut dengan tangan menahan tawa cekikikan.
"Setan
Ngompol! Jangan kau berani berbuat edan ter-hadapku!" Rana Suwarte
mengancam.
"Wuaallllah!
Siapa yang mau berbuat edan terhadap sampean orang kepercayaan Istana. Wong aku
cuma tanya apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air kencing, aku dibilang
edan. Jawab saja pertanyaanku!"
"Setan
kau! Siapa manusianya yang pernah minum air kencing! Jelas tidak ada! Termasuk
aku"’
"Ha…
ha! Kalau begitu biar aku si orang edan ini memberikan minuman paling enak di
dunia itu padamu. Katamu kau belum pernah merasakan. Hari ini, sekarang kau
akan menikmatinya! Hik… hik,., hik!"
Habis
berkata dan tertawa cekikikan, Sean Ngompol angkat kaki kanannya yang tadi
menginjak kening orang, kini dipindah ke tenggorokan diinjak lehernya
keras-keras karuan saja mulut Rana Suwarte jadi terpentang lebar. Saat itulah
Setan Ngompol enak saja rorotkan celananya ke bawah. Bidadari Angin Timur,
Anggini dan Ratu Duyung tersentak kaget, sama-sama terpekik dan sama-sama
melompat lari dari tempat itu.
"Tua
bangka sinting!" teriak Bidadari Angin Timur.
Setan
Ngompol tertawa gelak-gelak. Dua tangan ber-tolak pinggang. Di sebelah bawah
perutnya air kencing yang sejak tadi dengan susah payah ditahan-tahannya kini
mancur deras. Rana Suwarte berusaha mengatupkan mulutnya. Tapi injakan keras
kaki kanan Setan Ngompol membuat mulut itu tak bisa ditutup. Air kencing si
kakek masuk ke dalam mulutnya dengan mengeluarkan suara seru meriah!
"Mana
enak air kencingku dengan dawet?!" Setan Ngompol bertanya. Pantatnya lalu
digoyang diogel-ogel.
"Hekkk!"
Tentu
saja Rana Suwarte tidak bisa menjawab. Yang keluar dari tenggorokannya adalah
suara tercekik. Dia berusaha untuk tidak menelan air kencing yang memenuhi
mulutnya. Tapi tidak bisa.
"Mana
enak lebih enak air kencingku dengan wedang jahe! Dengan tuak Istana? Dengan
anggur Istana?!"
"Hekkk!"
"Ha…
ha… he…"
Makin
keras tawa Setan Ngompol makin deras air kencingnya mengucur. Air kencing si
kakek bukan saja memenuhi mulut, menyumbat hidung Rana Suwarte tapi juga luber
membasahi muka dan lehernya!
Puas
mengencingi Rana Suwarte Setan Ngompol me-mandang berkeliling.
"Tiga
gadis sahabatku! Di mana kalian! Keluarlah! Mengapa sembunyi segala?
Mentang-mentang aku sudah tua. Anuku peot, keriput jelek! Kalian tidak mau
melihat! Coba kalau aku masih muda dan anuku mengkilat. Hemm… Pasti mata kalian
tidak akan berkedip! Ha… ha… ha!"
"Kakek
sinting!" Teriak Bidadari Angin Timur dari balik pohon jati. "Lekas
rapikan celanamu! Baru kami keluar!"
"Hai!
Kau tahu celanaku masih merosot di bawah pinggul! Berarti kau mengintip!"
"Enak
saja kau bicara! Siapa suka mengintip terong bonyok budukan!" Teriak
Bidadari Angin Timur.
"Ha…
ha… ha… ha!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu tarik celananya
tinggi-tinggi ke atas. "Sudah! Sekarang kalian boleh keluar!" kakek
ini kemudian berteriak.
"Jangan
keluar dulu," kata Ratu Duyung pada dua sahabatnya. "Mungkin dia
mendustai kita. Mungkin saja saat ini dia berdiri menghadap ke arah pohon,
memper-lihatkan terong bututnya!"
"Betul,"
menyahuti Anggini. "Kalau sampai kita melihat anunya, bakalan sial kita
empat puluh hari empat puluh malam!"
Tiga
gadis cantik itu tak dapat lagi menahan tawa. Mereka cekikikan sambil memegangi
perut.
"Hai!
Kenapa kalian ketawa? Apa yang lucu?!" teriak Setan Ngompol yang saat itu
memang sudah merapikan celananya.
Anggini
memberanikan diri mengintip dari balik pohon. Murid Dewa Tuak ini tarik nafas
lega.
Dia sudah
pakai celana," kata Anggini memberitahu dua sahabatnya.
Tiga
gadis kemudian muncul dari balik pohon dengan wajah merah. Bidadari Angin Timur
paling merah wajahnya.
"Siapa
diantara kalian yang paling jago ilmu totokan-nya? Tua bangka satu ini harus
dilumpuhkan! Dibawa ke Kotaraja! Biar Kerajaan yang akan menghukumnya atas dua
kejahatan yang dilakukannya. Mencuri Keris Naga Kopek dan membunuh Sulantri,
gadis cilik tak berdosa puteri Kepala Desa Maguwo."
Rana Suwarte
semburkan air kencing yang masih ber-sisa di dalam mulutnya.
"Kakek
edan! Jika kau mau membunuh aku, bunuh saja sekarang! Jangan bawa aku ke
Kotaraja!"
Setan
Ngompol mencibir mendengar teriakan Rana Suwarte itu. Dia memandang pada tiga
gadis.
Bidadari
Angin Timur berkata. "Buat apa bersusah payah membawa calon bangkai itu ke
Kotaraja? Lebih baik penuhi saja permintaannya! Habisi dia sekarang juga!"
"Mati
di tempat ini terlalu enak baginya. Biar dia me-rasakan sengsara jiwa bagaimana
menghadapi tiang gantungan. Selain itu para penjahat dan pengkhianat Kerajaan
akan bisa menyaksikan bagaimana hukum yang berlaku bagi manusia-manusia seperti
tua bangka satu ini!"
Tiga
gadis cantik jadi terdiam.
"Kalian
tidak mau menolong aku menotok orang ini?"
Tiga
gadis sama gelengkan kepala.
Setan
Ngompol angkat kaki kanannya. Lalu buuuuk! Tumit kaki kanan itu dihantamkan ke
pangkal leher sebelah kiri Rana Suwarte, tepat pada urat besar pem-buluh darah.
"Ngeekk!"
Tubuh
Rana Suwarte menggeliat lalu diam kaku tak mampu bergerak tak bisa bersuara.
Matanya membeliak seperti mau melompat dari rongganya.
"Rana
Suwarte orang hebat! Kau datang dari Istana. Kembali ke Istana. Di sana akan
ada sambutan meriah untukmu! Bukan dawet bukan wedang jahe. Bukan tuak juga
bukan anggur. Jangan takut, juga tak ada air kencing. Yang ada hanyalah tiang
gantungan!"
Selesai
keluarkan ucapan Setan Ngompol berpaling ke arah pertempuran yang berlangsung
hebat antara dua orang yang sama satu dengan lainnya yakni dua sosok Pendekar
212 Wiro Sableng. Salah seorang dari mereka tengah mendesak lawannya hingga
sang lawan terpaksa mundur sambil berkelebat di antara pohonpohon jati. Namun
di ujung pedataran tak ada lagi pohon jati yang bisa membantunya untuk
menghindar dari serangan lawan. Dengan mengeluarkan bentakan keras Wiro yang
terdesak tiba-tiba nekad menyerang dengan jurus-jurus luar biasa hebatnya.
Setan
Ngompol memberi isyarat pada tiga gadis seraya berkata. "Kita harus
mengawasi jalannya perkelahian dua orang itu. Jangan sampai Wiro palsu
meloloskan diri!"
Ke empat
orang itu segera berkelebat, mendekat memperhatikan jalannya pertempuran dari
empat tempat dan sekaligus mengurung berjaga-jaga.
********************
8
SEBELUM
Si Muka Bangkai melarikan diri dan sebelum Rana Suwarte dipecundangi dan dibuat
tak berdaya oleh Setan Ngompol, pertempuran antara dua sosok Wiro berlangsung
seimbang, hebat dan ganas. Namun begitu Si Muka Bangkai kabur dan Rana Suwarte
tergelimpang tak berdaya akibat totokan, hal ini men-datangkan pengaruh besar
bagi salah seorang Wiro. Rasa kecut mempengaruhi permainan silatnya. Apa lagi
ketika dia melihat bagaimana tiga gadis dan kakek botak itu telah mengelilingi
kalangan pertempuran, berdiri mengurung. Karena berkelahi dengan digerayangi
rasa bimbang, akibatnya Wiro yang satu ini mulai ditekan dan didesak lawan.
Namun, mendadak dia bertindak nekad. Gerakan silatnya berubah. Tubuhnya
berkelebat demikian rupa me-lancarkan serangan balik yang tidak terduga.
Setan
Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung segera mengenali. Serangan-serangan yang
dilancarkan Wiro satu ini bukanlah dalam ilmu silat warisan Sinto Gendeng.
Selain itu setiap tangan kanannya hendak saling beradu dengan tangan lawan,
Wiro yang satu ini selalu meng-hindar.
"Sepertinya
ada cidera di tangan kanannya…" Membatin Ratu Duyung. "Dia
terus-terusan menyerang dengan tangan kiri. Astaga… Serangannya itu, bukankah
itu jurus-jurus Pembalik Otak Pembuta Mata? Jangan-jangan dia adalah… Jahanam!
Siapa lagi manusianya yang bisa merubah-rubah ujud kalau bukan dia?!" Ratu
Duyung kepalkan dua tinju. Merasa yakin Wiro yang satu itu adalah erang yang
pernah mencelakainya, tanpa menunggu lebih lama didahului teriakan keras Ratu
Duyung menyerbu ke dalam kalangan pertempuran. Tapi mendadak gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba sosok Wiro di sebelah kanan lancarkan satu pukulan
yang memancarkan cahaya ber-kilauan disertai hantaran hawa panas luar biasa.
Pukulan Sinar Matahari!
Berarti
Wiro di sebelah kanan itu adalah Wiro yang asli! Wiro di sebelah kiri tidak
menyangka dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa lawan akan mengeluarkan
pukulan yang sangat ditakuti di dalam rimba persilatan itu. Dia cepat melompat
ke kiri. Tubuhnya bagian dada ke atas memang bisa diselamatkan, namun dari dada
ke bawah telak dihantam cahaya panas menyilaukan. Satu jeritan terdengar
menggidikkan mengiringi mencelatnya sosok tubuh ke udara sampai dua tombak.
Waktu melayang ke bawah tubuh ini melintir beberapa kali lalu jatuh
ber-gedebukan. Di balik asap yang mengepul dari tubuh bagian bawah yang seperti
dipanggang, kelihatan dua kaki me-lejang. Di sebelah atas dua tangan
menggeliat. Dari mulut orang ini keluar suara seperti kerbau digorok. Lalu
hekk! Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut orang itu. Tubuh-nya juga tidak
bergerak lagi. Perlahan-lahan, berbarengan dengan sirnanya kepulan asap yang
mencuat dari tubuh sebelah bawah, sosoknya yang tadi menyerupai sosok Pen-dekar
212 Wiro Sableng berubah, demikian juga kepala dan wajahnya. Wajah orang ini
ternyata adalah wajah seorang nenek berdandan mencorong. Alis mata kereng
hitam, bibir diberi gincu sangat merah, pipi tertutup bedak tebal!
Setan
Ngompol keluarkan seruan tertahan dan pancar-kan air kencing ketika dia
mengenali siapa adanya orang itu. Tiga gadis tak kalah kagetnya. Tapi yang
paling terkejut adalah Pendekar 212 Wiro Sableng asli yang barusan melepaskan
pukulan maut itu.
"Nyi
Ragil Tawangalu…." desis murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala.
"Pantas tangan kanannya tidak berdaya. Dulu dihajar Eyang Sinto hingga
patah dan buntung."
"Betina
berjuluk Si Manis Penyebar Maut…" kata Setan Ngompol. Satu tangan mengusap
kepala botaknya. Yang lain pegangi bagian bawah perut yang saat itu kembali
mengucur.
"Aku
sudah duga. Aku sudah duga," kata Ratu Duyung berulang kali.
"Ternyata memang dia!" Hati kecil Sang Ratu merasa penasaran karena
dia tidak dapat turun tangan sendiri membalaskan dendam sakit hatinya terhadap
orang yang tempo hari pernah menghantamnya hingga cidera berat.
Tiba-tiba
Setan Ngompol menjerit keras.
"Kek!
Kau kenapa?" tanya Wiro terkejut.
"Kek,
kau kesurupan?!" teriak Anggini.
"Setan
apa yang masuk ke dalam tubuh tua bangka ini?!" kata Bidadari Angin Timur
pula.
"Jangar-jangan
dia kemasukan rohnya Nyi Ragil!" ucap Ratu Duyung.
"Serrr…
serrr… serrr!"
Setan
Ngompol pancarkan air kencing sarnpai tiga kali berturut-turut. Lalu tanpa
perdulikan ucapan semua orang dia menubruk mayat Nyi Ragil Tawangalu. Dua
tangannya meraba sekujur tubuh jenazah si nenek mulai dari atas sampai ke
bawah.
"Kek!
Kau melakukan apa?!" Teriak Anggini yang jadi merasa jengah.
"Benar-benar
edan! Mayat saja digerayanginya. Apa lagi perempuan hidup!" Berkata
Bidadari Angin Timur.
"Celaka!
Celaka!" ucap Setan Ngompol berulang kali.
"Apa
yang celaka Kek? Siapa?!" Bertanya Ratu Duyung.
"Dia…
kalian semua!" Setan Ngompol berteriak marah. Lalu kakek ini jatuhkan
diri, duduk menjelepok di tanah. Kepala mendongak ke langit tapi dua mata
dipejamkan. Seperti orang terisak Setan Ngompol berkata. "Kasihan…. Aku
tidak menemukan! Aku tidak menemukan! Kasihan…."
Wiro
berlutut di hadapan si kakek. Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung
berdiri mengelilingi.
"Siapa
yang kasihan Kek? Apa yang tidak kau temu-kan?" tanya Wiro.
Masih
mendongak, Setan Ngompol menunjuk ke arah mayat Nyi Ragil. "Bunga itu…
Bunga melati hitam. Melati Tujuh Racun! Aku tidak menemukan! Yang kasihan Patih
Kerajaan. Dia akan sengsara sakit seumur-umur!"
Ratu
Duyung dan Anggini baru sadar dan mengerti. Keduanya memandang pada Bidadari
Angin Timur dengan paras pucat.
"Apa
sebenarnya yang telah terjadi?" Bertanya Wiro.
Setan
Ngompol buka matanya lalu menjawab.
"Perempuan
keparat ini muncul, menyaru menjadi diri-mu! Kami memberitahu kalau sudah
mendapatkan se-kuntum Melati Tujuh Racun. Dia meminta. Karena maksud-nya sama
dengan maksud kami yakni untuk mengobati Patih Kerajaan, apa lagi dia ingin
pergi mendahului agar bisa cepat sampai di Kotaraja. Aku menyuruh Bidadari
Angin Timur agar memberikan Melati Tujuh Racun itu pada-nya. Siapa mengira,
siapa curiga! Ternyata dia adalah Wiro palsu! Dan kini dia sudah mampus. Aku
menggeledah se-kujur tubuhnya. Bunga melati hitam itu tidak bertemu. Sapu
tangan pembungkusnyapun tidak ada! Pasti bunga dan saputangan sudah hangus dan
ludas terkena pukulan Sinar Matahari!"
Ratu
Duyung, Anggini dan Wiro Sableng hanya bisa ter-diam mendengar keterangan Setan
Ngompol itu. Bidadari Angin Timur memijit-mijit kepalanya dan menghela nafas
berulang kali.
"Kalau
saja bunga itu bisa kuganti dengan nyawaku, aku rela mati asal Melati Tujuh
Racun dapat ditemukan. Tapi apa jadinya sekarang?" Setan Ngompol bicara
me-nyesali diri. "Kalau saja aku tidak menyuruh Bidadari Angin Timur
menyerahkan bunga itu. Ah…!"
Setan
Ngompol pukuli jidatnya sendiri. Kepala atas yang dipukuli tapi kepala bawah
malah yang mengucur habis-habisan!"
"Sudahlah
Kek, tak usah sedih! Buat apa menyesal memukuli kepala sendiri!" Berkata
Bidadari Angin Timur. "Ini, kuganti bungamu yang hilang. Yang satu ini
harap kau sendiri yang menyimpannya baik-baik."
"Gadis
rambut pirang. Jangan kau bergurau! Apa mak-sudmu?" tanya Setan Ngompol.
Wiro dan dua gadis lainnya sama-sama memandang pada Bidadari Angin Timur.
Tenang
saja, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan
dalarn keadaan ter-lipat rapi. Ketika lipatan sapu tangan dibuka di dalamnya
kelihatan sekuntum bunga melati hitam.
"Gusti
Allah!" seru Setan Ngompol. Kakek ini melompat dari duduknya. Air
kencingnya langsung terpancar karena kaget luar biasa. "Bagaimana ini bisa
terjadi? Apa yang kau lakukan? Kau… kau merampas sapu tangan berisi bunga itu
dari Wiro palsu?"
Bidadari
Angin Timur tersenyum. Dia gelengkan kepala.
"Waktu
kau menyuruh aku menyerahkan Melati Tujuh Racun pada Wiro palsu, aku mengikuti
saja. Tapi lipatan sapu tangan yang kuberikan pada Wiro palsu kosong, tak ada
isi apa-apa. Sedang sapu tangan yang ada bunga melati hitamnya, tetap aku simpan
di balik pakaian. Aku…."
Setan
Ngompol tiba-tiba berteriak keras kegirangan. Dia melangkah ke hadapan Bidadari
Angin Timur.
"Sobatku,
kau ternyata bukan cuma cantik. Tapi juga cerdik!"
Lalu
dalam girangnya si kakek melompat mendekati si gadis. Ciumannya menyambar pipi
Bidadari Angin Timur. Gadis cantik berambut pirang ini tak sempat mengelak. Dia
hanya bisa berteriak, "Iiihhhh!" Lalu usap-usap pipinya yang kena
dicium!
********************
9
DALAM
episode sebelumnya (Meraga Sukma) telah diceritakan perihal Adipati Jatilegowo
yang melarikan Nyi Larasati ke sebuah rumah kosong miliknya di desa Bandongan.
Ternyata di tempat itu Sarontang alias Pangeran Aryo Probo telah mendahului dan
menunggunya. Amarah dan dendam kesumat Sarontang terhadap Jatilegowo memang
selangit tembus. Pertama, Jatilegowo sewaktu masih di tanah Makassar telah
mem-bunuh pemuda kekasihnya yakni Bontolebang. Membuat pemuda itu sebagai Mayat
Persembahan. Kemudian yang paling menyakitkan hati ialah Jatilegowo membawa
kabur Badik Sumpah Darah yang sangat diperlukannya untuk dapat merampas tahta
Kerajaan Pakubuwono.
Perkelahian
antara ke dua orang itu berkecamuk hebat. Sarontang keluarkan ilmu kesaktian
yang bisa men-datangkan belasan makhluk aneh berbentuk kelelawar besar
berkepala seperti srigala bertaring, memiliki se-pasang tangan menyerupai
manusia, berkuku panjang hitam yang sanggup membongkar batang kayu merobek
tembok. Namun menghadapi Badik Sumpah Darah di tangan Adipati Salatiga itu,
semua makhluk peliharaan Sarontang dibuat tidak berdaya. Mereka habis dibunuhi,
yang masih hidup melarikan diri. Sarontang sendiri kena dibabat putus lima kuku
jari tangan kirinya oleh badik sakti beracun itu. Sebelum racun menjalar ke
dalam peredaran darahnya yang bisa membuat dia menemui ajal, Sarontang terpaksa
tanggalkan tangan kirinya sebatas pergelangan lalu melarikan diri.
Ketika
Jatilegowo kembali ke tempat dia meninggalkan sosok Nyi Larasati, janda Adipati
Temanggung itu telah lenyap dilarikan seorang penunggang kuda.
Jatilegowo
berhasil rnengejar orang yang membawa kabur Nyi Larasati. Orang itu ternyata
adalah Loh Gatra, pemuda cucu Ki Sarwo Ladoyo, abdi Kabupaten Temang-gung yang
menemui ajal di tangan Jatilegowo. Walau Loh Gatra memiliki senjata sakti Keris
Tumbal Bekisar serta mampu melukai telinga kanan Jatilegowo dengan senjata
rahasia, namun dalam perkelahian yang berkecamuk hebat, pemuda itu terdesak
hebat. Pada saat nyawanya ter-ancam di ujung Badik Sumpah Darah, muncul Bujang
Gila Tapak Sakti menyelamatkannya. Ternyata pendekar aneh bersosok gemuk luar
biasa ini juga tidak sanggup meng-hadapi kehebatan Badik Sumpah Darah.
Sewaktu
Adipati Jatilegowo akan menghabisi Bujang Gila Tapak Sakti dan Loh Gatra,
mendadak ada orang lain melarikan Nyi Larasati untuk ke sekian kalinya. Yang
mem-bawa lari janda cantik itu kali ini adalah Sarontang yang rupanya kembali
lagi untuk menyiasati Jatilegowo. Karena lebih mementingkan sang janda dari
pada dua lawannya yang sudah tak berdaya itu, Jatilegowo memutuskan mengejar
Sarontang. Untuk beberapa lamanya Sarontang raib, tak bisa ditemukan. Lenyapnya
Sarontang ini adalah karena dia bekerja sama dengan Rana Suwarte menyusun
rencana untuk mencari Keris Naga Kopek yang belum lama lenyap dan kini telah
kembali serta disimpan dalam ruang penyimpanan rahasia. Menurut perhitungan
Sarontang, satu-satunya senjata yang dapat diandalkan untuk dapat menghadapi
Badik Sumpah Darah adalah senjata pusaka kerajaan itu yakni Keris Naga Kopek.
Kepada
Rana Suwarte Sarontang bukan saja menjanji-kan imbalan berupa sejumlah uang
emas dan harta per-hiasan, tetapi juga memberitahu dimana letak tumbuhnya bunga
melati hitam yang disebut Melati Tujuh Racun yang menjadi satu-satunya obat
penyembuh Patih Kerajaan. Rupanya Sarontang sudah mengetahui satu rencana busuk
yang tengah dijalankan Rana Suwarte. Salah satu dari ren-cana Rana Suwarte itu
ialah melenyapkan setiap bunga melati hitam, termasuk memusnahkan tempat di
mana bunga itu tumbuh.
Atas
petunjuk Sarontang Rana Suwarte kemudian me-mang menemukan tempat tumbuhnya
bunga melati hitam itu yakni di salah satu pinggiran Kali Opak. Bunga itu dan
seluruh tanaman yang ada di tempat itu dimusnahkannya dengan cara dibakar. .
Sebagai
tokoh silat Istana, dengan bantuan seorang petugas penjaga ruangan penyimpanan
senjata Rana Suwarte berhasil mendapatkan Keris Naga Kopek lalu diserahkannya
pada Sarontang. Namun Sarontang menipunya. Peti yang dikatakan berisi uang emas
dan harta perhiasan nyatanya berisi batu-batu kerikil. Sarontang kemudian
lenyap bersama Keris Naga Kopek. (Baca Episode "Meraga Sukma" dan
"Melati Tujuh Racun")
***********************
Dalam
usaha mengejar Sarontang, di sebuah telaga Jatilegowo bertemu dengan Nyi Ragil
yang saat itu tengah mengerang kesakitan karena tangannya baru saja dihantam
patah dan buntung oleh Sinto Gendeng dalam satu perkelahian hebat. Si Muka
Bangkai yang waktu itu melarikan diri bersamanya sempat terkena lemparan tusuk
konde Sinto Gendeng. Untung cuma bahunya saja yang terserempet. Walau begitu Si
Muka Bangkai cukup dibuat kalang kabut mengobati dirinya dari racun tusuk konde
itu.
Sebenarnya
saat itu Nyi Ragil Tawangalu yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut tidak
sendirian. Dia bersama kekasihnya Si Muka Bangkai. Namun Si Muka Bangkai
meninggalkannya sendirian untuk mencari obat agar luka patahan di tangan kanan
Nyi Ragil bisa cepat disembuh-kan.
Selagi
Nyi Ragil berada sendirian di tepi telaga itulah datang Jatilegowo. Si nenek
yang memang senang pada lelaki muda ini sangat tertarik pada sang Adipati yang
punya tampang jantan garang serta sosok besar kokoh. Kekasihnya Si Muka Bangkai
tidak ada, maka dia per-gunakan kesempatan. Segera dia terapkan ilmu
kesaktian-nya untuk merubah ujud. Saat itu sosok dan wajahnya yang tadi berupa
seorang nenek-nenek berdandan menor men-colok dan buntung tangan kanannya, kini
telah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita, dua tangan sempurna,
mengenakan pakaian sangat tipis hingga setiap sudut dan liku tubuhnya yang
mulus terlihat jelas di mata Jatilegowo.
Walau
terheran-heran melihat kejadian ini tapi sang Adipati tak urung jadi berdebar
jantungnya, darah mengalir panas dalam tubuhnya. Nafsunya segera saja naik ke
kepala. Apa lagi memang sudah agak lama dia tidak menyentuh perempuan. Dua
istrinya di Kabupaten Salatiga boleh dikatakan tidak pernah diacuhkan karena
ingatannya selalu tertuju pada Nyi Larasati.
Entah
karena selalu ingat pada sang janda, wajah gadis di tepi telaga itu jadi
kelihatan mirip-mirip dengan paras Nyi Larasati. Nafsu Jatilegowo semakin berkobar
ketika sang dara mengajaknya duduk di sampingnya di tepi telaga. Bahkan sang
dara memintanya mandi bersama. Tentu saja Jatilegowo tidak menolak.
"Orang
gagah, mandi sendirian apa nikmatnya. Sung-guh bahagia kau mau menemani aku
mandi. Mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."
Darah
panas dan nafsu membara semakin berkobar dalam tubuh Jatilegowo. Tidak tunggu
lebih lama dia segera lakukan apa yang barusan dikatakan si gadis. Dengan cepat
Jatilegowo melepas tali-tali kecil yang men-jadi kancing bagian depan pakaian
tipis yang melekat di tubuh sang dara. Pada saat bagian atas pakaiannya
ter-singkap, pada saat Jatilegowo terbelalak tak berkesip, kagum melihat
keindahan tubuh di depannya itu. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata.
"Nyi
Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi mencari obat untuk
menyembuhkan luka tanganmu yang buntung! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan
lelaki lain! Sungguh keterlaluan!"
Nyi Ragil
terkejut. Sirapannya terhadap Jatilegowo sirna. Serta merta ujudnya kembali ke
bentuk asli. Yakni seorang nenek genit berdandan mencorong, bertangan buntung.
Jatilegowo
tersentak kaget. Dia ingat, nenek inilah yang tadi pertama kali dilihatnya di
tepi kali. Si nenek tentu mempunyai ilmu aneh bisa merubah diri. Kalau nenek
bungkuk bermuka seputih kain kafan itu tidak muncul niscaya dia akan tertipu.
Bukan mustahil si nenek punya maksud jahat terhadapnya. Mungkin pula tua bangka
satu ini adalah kaki tangan Sarontang yang sengaja meng-hadangnya, hingga
Sarontang bisa melarikan diri.
"Srett!"
Jatilegowo
cabut Badik Sumpah Darah dari sarungnya. Nyi Ragil dan juga Si Muka Bangkai
terkesiap melihat cahaya redup angker yang keluar dari senjata itu. Kakek ini
memperhatikan bagaimana cahaya yang keluar dari tubuh badik membuat gelombang
halus air di permukaan telaga terhenti bergerak. Dia juga merasakan bagaimana
cahaya senjata sakti di tangan Jatilegowo itu seolah menahan tiupan angin yang
sejak tadi berhembus di sekitar telaga.
"Nyi
Ragil, namamu Nyi Ragil!" Berucap Jatilegowo dengan mata besar berkilat
memandang pada si nenek. "Aku hanya pernah mendengar cerita. Apa kau
orangnya yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut?!"
Nyi Ragil
sunggingkan senyum, kedipkan mata penuh genit menyahuti pertanyaan orang.
Sambil membungkuk dalam dia berkata.
"Matamu
cukup tajam. Aku memang Nyi Ragil yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut. Tapi
julukan itu keliru. Yang lebih cocok adalah Si Manis Penyebar Kasih! Hik… hik…
hik!"
"Apa
hubungan kalian berdua?!" Bentak Jatilegowo. Dia berpaling pada Si Muka
Bangkai. "Kakek muka pucat! Kau siapa?"
Si Muka
Bangkai batuk-batuk beberapa kali baru men-jawab.
"Dalam
rimba persilatan aku yang tua bangka btingkuk ini dikenal dengan panggilan Si
Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku diketahui sebagai guru seorang pendekar
besar bernama Pangeran Matahari!"
Kagetlah
Jatilegowo. Ternyata dia berhadapan dengan dua dedengkot rimba persilatan
berkepandaian tinggi.
"Apa
hubungan kalian dengan Sarontang? Jangan-jangan kalian berdua kaki
tangannya!"
"Sarontang,
siapa manusia satu itu? Kami tidak kenal!" ucap Nyi Ragil sambil memandang
pada Si Muka Bangkai.
"Betul,
kami baru sekali ini mendengar nama itu. Apa lagi melihat orangnya, belum
pernah!" Kata Si Muka Bangkai pula.
"Aku
tidak percaya pada kalian! Walau punya nama besar dalam rimba persilatan Tanah
Jawa tapi kalian bukanlah para tokoh baik-baik!"
Si Muka
Bangkai tertawa. "Begitulah takdir menentu-kan! Begitu kehendak yang
berlaku! Orang gagah, harap simpan senjatamu! Mari kita bicara baik-baik."
Ujar Si Muka Bangkai.
Jatilegowo
gelengkan kepala.
"Nenek
berdandan mencorong ini barusan menipuku. Merubah diri menjadi seorang gadis
cantik. Berusaha memikatku. Pasti dia punya maksud jahat tersembunyi!"
"Tidak
salah kau menduga seperti itu," kata Si Muka Bangkai pula. "Nyi Ragil
memang tua bangka jorok, tidak boleh melihat lelaki gagah langsung mau mencoba
ke-jantanannya. Tapi secara jujur aku bilang dia tidak punya maksud jahat
tersembunyi. Dia hanya ingin menipumu untuk memuaskan nafsunya…"
"Ya…
ya, memang betul begitu," kata Nyi Ragil meng-akui tanpa malu-malu.
"Mengenai
orang bernama Sarontang itu, siapakah dia?" Bertanya Si Muka Bangkai.
"Dia
seorang Pangeran tua dari Pakubuwon. Dia menculik seorang perempuan muda. Aku
tengah mengejar-nya!" Menerangkan Jatilegowo.
"Apakah
dia menunggangi kuda?" tanya Nyi Ragil.
"Benar.
Kau melihatnya?"
"Apakah
dia berambut biru berminyak? Ada cacat aneh memutari keningnya. Mengenakan
jubah tebal. Tangan kiri buntung sebatas pergelangan…"
"Benar
sekali! Bagaimana kau tahu ciri-ciri orang itu padahal kau tadi bilang tidak
kenal padanya!" Jatilegowo berkata setengah berteriak lalu mendekati si
nenek.
Nyi Ragil
tersenyum. Dia pegang lengan Adipati Salatiga itu dengan tangan kirinya lalu
usap-usap lengan yang penuh bulu itu berulang kali sambil matanya
ter-pejam-pejam.
"Sebelum
kau datang. Ketika aku sendirian di tepi telaga ini. Seorang penunggang kuda
dengan ciri-ciri yang aku katakan tadi, lewat di tempat ini. Membawa seorang
perempuan muda cantik, entah tidur entah pingsan. Perempuan itu melintang di
atas pangkuannya. Dia ber-henti di sebelah sana. Lalu melemparkan sesuatu ke
arahku. Yang dilemparkan ternyata sehelai daun lontar. Daun lontar jatuh tepat
di depan kakiku. Aku tidak acuh, tidak memperhatikan apa lagi mengambil daun
itu. Kemudian kakek berambut biru itu berkata padaku.
"Nenek
berdandan seronok! Aku tahu siapa dirimu. Jika kau mau bersahabat denganku
melakukan apa yang aku minta, maka benda ini akan menjadi milikmu!" Lalu
kakek itu acungkan sebuah kalung mutiara dengan lilitan dan rantai dari emas.
Ini barangnya." Dari balik pakaiannya Nyi Ragil keluarkan kalung mutiara
yang dikatakannya itu. "Melihat kalung begitu bagus, ada mutiara ada emas,
perempuan mana tidak tertarik. Aku bilang pada si rambut biru berminyak itu
bahwa apa permintaannya akan aku lakukan jika sanggup. Lalu dia melemparkan
kalung ini padaku. Setelah kalung berada di tanganku dia berkata. Akan lewat di
tempat ini seorang penunggang kuda ber-tubuh tinggi besar, berkumis melintang,
berdandan mewah. Jika dia muncul berikan daun lontar itu padanya. Agaknya
kaulah yang dimaksud oleh orang tersebut."
"Mana
daun lontar yang kau katakan itu!" Bertanya Adipati Jatilegowo.
Nyi Ragil
Tawangalu menunjuk semak-semak di arah kiri telaga. Di antara rerantingan
kelihatan terselip sehelai daun lontar.
"Setelah
menerima kalung mutiara, setelah orang itu pergi, aku tidak perdulikan daun
lontar itu. Daun aku ambil, aku tidak memperhatikan lalu aku buang ke
semak-semak itu."
Jatilegowo
melangkah cepat ke arah semak belukar lalu mengambil daun lontar kering yang
terselip di antara rerantingan. Ketika daun itu diperhatikannya, ternyata di
salah satu sisinya ada tulisan berbunyi.
"Jatilegowo.
Jika kau masih menginginkan Nyi Larasati datanglah ke Bukit Watu Ireng. Kau
akan mendapatkan perempuan yang kau sukai ini asal kau mau menyerahkan Badik
Sumpah Darah padaku. Datanglah pada bulan mati malam pertama."
Bulan
mati malam pert:ama berarti sekitar empat hari dari sekarang. Jatilegowo masih
sempat berpikir meng-hitung hari. Bukit Watu Ireng terletak di utara Kotaraja,
tak jauh dari desa kecil bernama Pakem.
Apakah
dia akan mendekaim di desa itu menunggu sampai empat hari sementara dia punya
kesempatan dan waktu untuk kembali dulu ke Salatiga. Akhirnya Jatilegowo
memutuskan untuk ke Salatiga dulu. Lalu dia menyumpah.
"Keparat!
Sarontang jahanam! Aku pasti datang untuk mengambil Nyi Larasati! Sekalian
mengambil nyawamu! Bedebah!"
Jatilegowo
bantingkan kaki kanannya hingga melesak ke tanah sedalam setengah jengkal. Daun
lontar ditangan kanannya diremas sampai hancur. Dia hendak tinggalkan tempat
itu tapi sesaat menahan langkah, berpaling pada sepasang kakek nenek di
depannya.
"Nyi
Ragil, bagaimanapun juga kau telah membantuku mencari petunjuk lewat daun
lontar itu. Jika kau mau ber-sekutu dengan aku, mungkin aku bisa membalas budi
baikmu itu."
"Bersekutu
bagaimana?" tanya Nyi Ragil sambil kedap-kedipkan matanya genit.
"Kau
ikut bersamaku, bantu aku menemukan Sarontang. Kalau berhasil kau akan mendapat
pahala dari-ku serta berkah dari Kerajaan."
"Berkah
dari Kerajaan?" ulang Si Muka Bangkai.
"Benar,
karena Sarontang sebenarnya adalah seorang Pangeran bernama Aryo Probo. Dia
ingin merebut tahta dari Sri Baginda Raja yang sekarang…"
"Ah….
Begitu ceritanya!" ujar Nyi Ragil. "Orang gagah, aku tidak berjanji
apa kami berdua bisa membantumu. Tetapi seandainya kami mampu dan berhasil,
imbalan apa yang akan kau berikan padaku?"
"Kalau
Sarontang memberimu sebuah kalung, aku akan memberikan padamu dua buah cincin dua
buah gelang dan sepasang giwang!"
Nyi Ragil
tertawa panjang. Dia memandang ke langit di atasnya lalu berkata pada
Jatilegowo. "Lupakan segala macam pemberianmu itu. Aku cuma minta satu
hal. Bisakah kita melanjutkan kemesraan yang tadi tertunda gara-gara munculnya
kakek bermuka mayat ini?!"
Tampang
Jatilegowo jadi berubah. Si Muka Bangkai merutuk habis-habisan.
"Kalau
begitu lupakan saja permintaanku!" Kata Sang Adipati. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
Nyi Ragil
tertawa gelak-gelak. Si ‘Muka Bangkai masih cemberut. Apa yang kemudian terjadi
Nyi Ragil tidak pernah melakukan apa yang diminta Jatilegowo. Dia malah
bersekutu dengan Rana Suwarte dalam berusaha me-musnahkan bunga Melati Tujuh
Racun. Untuk itulah Nyi Ragil merubah diri menjadi Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun akhirnya, seperti dituturkan dalam bagian depan buku ini, Nyi Ragil
akhirnya menemui ajal oleh Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro Sableng
sedang Rana Suwarte tertangkap hidup-hidup setelah sebelumnya dikerjai oleh
Setan Ngompol, diguyur mulut dan mukanya dengan air kencing.
********************
10
SEJAK
pertemuannya dengan Wiro Sableng, Sri Kemuning, istri muda Adipati Jatilegowo
yang cantik jelita itu tidak pernah melupakan sang Pendekar. Selama suaminya
pergi entah kemana, setiap malam dia selalu tidur sendirian dan sulit
memicingkan mata. Wajah serta senyum Wiro senantiasa terbayang di pelupuk
mata-nya. Suara ucapan dan tawa pemuda itu sering seperti mengiang di
telinganya.
Malam itu
udara di Salatiga memang panas. Sampai menjelang pagi, di atas ranjang Sri
Kemuning tidak dapat memicingkan mata. Wajah Wiro lagi-lagi terbayang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Disusul suara kaki berat me-langkah masuk. Hanya
ada satu orang yang berani masuk ke dalam kamar itu tanpa mengetuk. Dia adalah
Adipati Jatilegowo, suaminya.
"Siapa?!"
tanya perempuan muda ini sambil me-nyingkap tirai kelambu.
Tahu-tahu
sosok tinggi besar Jatilegowo telah berdiri di tepi tempat tidur. Kemuning
dapat mencium bau yang tidak sedap keluar dari tubuh, pakaian dan jalan nafas
lelaki itu.
"Kangmas…"
"Kau
kira siapa?!" Suara Jatilegowo langsung kasar. "Pintu tidak dikunci.
Sepertinya kau sengaja untuk mem-beri masuk seseorang. Siapa yang kau
tunggu?!"
"Saya
mohon maaf. Saya terlupa mengunci pintu. Saya tidak menunggu siapa-siapa…"
jawab Kemuning ketakutan.
"Aku
tahu kau dusta! Kau tengah menunggu pemuda sableng itu! Aku kira dia sudah
beberapa kali menyelinap ke atas ranjang ini selama aku pergi."
"Saya
berani sumpah Kangmas. Saya tidak pernah ber-buat serong seperti itu."
"Kau
pernah dikecupnya hingga menimbulkan tanda di leher. Apa kau masih mau
menyangkal?"
Kemuning
tadi terdiam. Tiba-tiba Jatilegowo ulurkan tangannya.
"Brett!"
Pakaian
tidur yang dikenakan Kemuning robek besar di bagian dada. Karena di balik
pakaian itu dia tidak menge-nakan apa-apa maka dadanya yang putih dan kencang
terbuka lebar. Nafas Jatilegowo menggeru, darahnya meng-alir cepat. Nafsunya
naik ke kepala.
"Suruh
pelayan membangunkan Sumini. Suruh perem-puan itu datang ke sini. Aku rindu
pada kalian berdua!"
Sri
Sumini adalah istri tua Jatlegowo yang hanya ter-paut beberapa tahun di atas
usia istri mudanya.
Sebagai
seorang istri kata-kata rindu sang suami se-harusnya merupakan hal yang
membahagiakan bagi Sri Kemuning. Tapi sebaliknya hal ini justru membuat tengkuk
sang istri muda menjadi dingin. Hatinya kecut. Dia tahu bagaimana perlakuan
Jatilegowo terhadap dirinya dan Sri Sumini selama ini. Mereka diperlakukan
bukan sebagai istri. Mereka disuruh melayani bukan sebagai suatu kewajiban.
Tapi mereka diperlakukan sebagai budak bah-kan seperti binatang, dengan
cara-cara tidak wajar.
"Kangmas,
saya akan panggilkan Kakak Sumini. Tapi setahu saya dia sedang sakit. Sejak dua
hari lain dia ter-serang demam panas…"
"Perduli
setan dia sakit demam panas atau sakit apa! Aku bilang panggil dan suruh dia
datang ke sini sekarang juga! Aku ingin dilayani saat ini juga!"
Jatilegowo
membentak marah.
"Baik
Kangmas, akan saya panggilkan Kakak."
Lalu
dengan ketakutan Kemuning turun dari atas tempat tidur sambil merapikan dada
pakaian tidurnya yang tersingkap lebar. Tak lama kemudian dia muncul kembali
sambil memapah Sri Sumini, istri tua Jatilegowo. Tanpa pupur dan pemerah bibir,
perempuan ini kelihatan sangat pucat dan lernah. Tubuhnya lunglai, mungkin akan
sempoyongan jatuh kalau tidak dipegangi Sri Kemuning. Selain itu Sumini masih
berada dalam keadaan panas.
Sebagai
seorang suami, melihat keadaan istrinya se-perti itu seharusnya Jatilegowo
menaruh rasa hiba. Tapi dasar manusia setengah binatang, laki-laki ini malah
me-narik Sumini ke atas tempat tidur.
"Kangmas,
saya sedang sakit. Saya mohon maaf. Saat ini saya tidak bisa melayani
Kangmas…" Keluar ucapan perlahan dan suara bergetar dari mulut Sri Sumini.
"Siapa
yang suruh kau sakit? Apa yang kau lakukan selama aku tidak ada di sini?!"
Bentak Jatilegowo.
"Tak
ada yang saya lakukan. Saya tidak ke mana-mana Kangmas…"
"Kalian
berdua sama saja pandai berdusta!"
"Kangmas,
kalau boleh biar saya saja yang melayani-mu malam ini. Kasihan Kakak Sumini.
Dia benar-benar sakit…" Sri Kemuning memohon.
"Sekali
lagi kau berani bicara mengatur diri dan kema-uanku, kutampar pecah
mulutmu!" Hardik Jatilegowo.
Sri
Kemuning tak berani lagi mengeluarkan kata. Per-lahan-lahan dia memapah madunya
naik ke atas tempat tidur. Kemudian dia menyusul berbaring di samping Sri
Sumini.
********************
Suasana
sunyi menjelang pagi di gedung Kadipaten dirobek oleh suara jeritan. Jeritan
itu keluar dari kamar tidur Adipati Jatilegowo. Yang menjerit , adalah Sri
Kemuning. Beberapa orang termasuk pengawal yang bertugas saat itu berhamburan
menuju kamar tapi mereka tidak bisa masuk karena pintu dikunci dari dalam.
Suara jeritan Sri Kemuning masih terdengar. Lalu terdengar bentakan-bentakan
keras Adipati Jatilegowo.
"Apa
yang terjadi?
Di lantai
kamar Sri Kemuning menangis keras, sesekali kembali menjerit. Di hadapannya
terbujur sosok Sri Sumini, pucat dingin tak bergerak. Dan hidung dan mulutnya
mengucur darah. Sebelumnya dalam keadaan sakit parah bersama-sama Sri Kemuning
perempuan ini telah dipaksa oleh Jatilegowo untuk melayani nafsu badaniahnya.
Karena keadaan tubuhmya yang sakit dan lemah, Sri Sumini tidak mampu melayani
sang suami. Akibatnya Jatilegowo menjadi marah. Setelah mendaratkan
tempelengnya beberapa kali Sri Sumini diusir keluar kamar.
Terhuyung-huyung
dan dengan berpakaian seadanya perempuan ini turun dari tempat tidur, melangkah
menuju pintu. Namun sebelum mencapai pintu tubuhnya terjerem-bab dan jatuh
terbanting ke lantai. Kepalanya bagian belakang mendarat keras di lantai kamar.
Sri Sumini keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya tak bergerak lagi. Dari
hidung dan mulutnya kelihatan darah mengucur.
Melihat
kejadian itu Sri Kemuning yang masih berada dalam pelukan Jatilegowo meronta
lepaskan diri. Istri muda Adipati Salatiga ini langsung menjerit ketika dia
dapatkan Sumini tidak bernafas lagi. Jatilegowo melompat turun dari atas tempat
tidur. Memeriksa Sumini lalu membentak, Kemuning agar perempuan itu berhenti
berteriak-teriak. Tapi jerit pekik Kemuning malah semakin menjadi-jadi. Tidak
tahu apa yang akan dilakukannya akhirnya Jatile-gowo mendaratkan tangan
menempelengi Kemuning hingga perempuan muda ini babak belur. Hidung dan
mulutnya mengeluarkan darah. Jatilegowo ikut berteriak-teriak. Tangannya terus
bekerja memukul dan menampar Kemuning.
Saat
dirinya dilanda ketakutan yang amat sangat serta rasa sakit dihajar Jatilegowo
seperti itu tiba-tiba Sri Kemu-ning melihat Badik Sumpah Darah tergeletak di
atas meja. Dengan cepat dia menyambar senjata sakti mandraguna ini. Tidak jelas
apakah senjata itu akan ditusukkannya kepada Jatilegowo atau dipakai untuk
menusuk dirinya sendiri, namun sebelum badik terhunus keluar dari dalam
sarungnya Jatilegowo telah merampas senjata itu. Lalu tangan kanannya kembali
mengirimkan tamparan keras ke muka Sri Kemuning hingga perempuan ini
terpelanting; menjerit keras dan jatuh terrguling di lantai.
Dengan
muka bengkak dan luka-luka akibat pukulan serta tamparan Jatilegowo, Sri
Kemuning merangkak menuju pintu. Dia berhasil membuka pintu yang terkunci lalu
tersaruk-saruk keluar dari kamar.
"Perempuan
celaka! Mau kemana kau! Masuk kem-bali!" teriak Jatilegowo. Dia coba
mengejar tapi Sri Kemu-ning telah berada di luar kamar. Beberapa orang menolong
perempuan malang itu. Beberapa lainnya mencoba masuk ke dalam kamar namun
terbirit-birit kembali keluar, keta-kutan karena dibentak dan diterjang
Jatilegowo. Ketika Adipati itu keluar dari kamar Sri Kemuning tak kelihatan
lagi. Dia berteriak pada para pengawal.
"Cari
perempuan itu! Bawa kesini! Cepat!"
Para pengawal
menjadi sibuk. Namun sampai sekian lama mereka mencari ke seluruh pelosok
gedung Kadipa-ten, Sri Kemuning tak berhasil ditemukan. Apa yang ter-jadi?
Kemana lenyapnya sang istri muda itu?
Bi Supi,
pembantu di Kadipaten yang selalu merawat dan melayani Sri Kemuning dengan
bantuan dua orang temannya membawa istri muda Adipati Jatilegowo itu ke bagian
belakang gedung, menyembunyikannya di sebuah gudang yang jarang orang keluar
masuk.
"Bi
Supi… Saya mohon…. Tolong keluarkan saya dari gedung ini. Adipati pasti mencari
saya. Dia akan membunuh saya. Tolong…."
Bi Supi
dan dua temannya tentu saja menjadi bingung mendengar ucapan Sri Kemuning itu.
Mereka ‘ hanya bisa menolong mengamankan Sri Kemuning di dalam gedung
Kadipaten. Jika harus membawa istri Adipati itu keluar gedung, tentu saja
mereka tidak mampu dan tidak berani melakukan. Terlalu berbahaya. Kalau sampai
Adipati mengetahui, mereka bertiga bukan saja bakal dihajar habis-habisan tapi
juga akan dipecat. Dalam bingungnya tiga pelayan itu hanya bisa menangis sambil
memeluki Sri Kemuning.
Dalam
keadaan seperti itu muncul Paman Rejo, lelaki berkumis yang juga bekerja di
gedung Kadipaten.
Dekat
dengan Bi Supi dan sangat bersahabat dengan Sri Kemuning. Bi Supi menyampaikan
permintaan Sri Kemuning.
"Paman,
tolong. Saya mohon. Saya tidak takut mati. Tapi kalau matipun saya tidak mau di
gedung ini." Kata Sri Kemuning dengan berurai air mata.
Paman
Rejo ikutan bingung. Tapi hanya sebentar.
"Jeng
Ayu, tunggu di sini. Jangan keluar sampai saya datang!"
Tak lama
kemudian Paman Rejo muncul bersama se-orang temannya, membawa selembar kain
lebar menyerupai terpal. Sri Kemuning mereka buntal di dalam kain lebar ini,
lalu digotong dan dinaikkan ke atas sebuah gerobak kuda yang biasa dipakai
untuk segala macam keperluan Kadipaten. Di sebelah atas, sosok Sri Kemuning
ditutupi dengan tumpukan jerami kering.
Sewaktu
kawannya naik ke atas gerobak, Paman Rejo berbisik. "Bawa ke Kali Tuntang.
Di bawah jembatan bambu di sebelah timur ada sebuah perahu milik seorang teman.
Tunggu aku di situ."
Gerobak
keluar dari gedung Kadipaten tanpa ada yang mencurigai, tanpa diperiksa oleh
perajurit dan pengawal. Di dalam kamarnya Adipati Jatilegowo berteriak marah
seperti orang gila ketika pengawai melaporkan Sri Kemuning tidak berhasil
ditemukan.
"Kurang
ajar! Pasti ada orang dalam yang menolong! Kalau kutemukan perempuan itu akan
kubunuh! Juga semua orang yang menolongnya!"
Menjelang
tengah hari Adipati Jatilegowo kelihatan meninggalkan gedung Kadipaten bersama
dua orang pengawal. Tampangnya sangat kusam. Pakaiannya tidak diganti. Dia
masih mengenakan pakaian yang dipakainya semalam. Tidak ada satu orangpun yang
tahu ke mana dia pergi. Ditunggu sampai keesokan harinya dia tak kunjung
muncul. Jenazah Sri Sumini terpaksa dimakamkan tanpa kehadirannya.
********************
11
ROMBONGAN
Pendekar 212 Wiro Sableng tengah dalam perjalanan menuju Kotaraja ketika mereka
berpapasan dengan sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda.
Kusir
yang mengemudikan kuda kereta mengenakan pakaian bagus berwarna merah. Di
sebelah bawah dia memakai sebentuk kain panjang longgar. Di pinggangnya
tersisip senjata seperti sebuah pisau besar.
Di bagian
belakang, di atas kursi kayu yang dipantek mati ke lantai kereta dan diberi
bantalan empuk duduk se-orang kakek berjubah hitam ditaburi sulaman benang
emas. Di atas kepalanya ada sebuah topi hitam berbentuk tarbus lengkap dengan
jumbai-jumbainya. Di bawah tarbus menjulai rambut panjang kelabu. Janggut dan
kumisnya putih seperti kapas. Kakek ini memiliki wajah sangat cekung seolah
tidak berdaging. Dia duduk di atas kursi dengan sepasang mata terpejam-pejam.
Kalau saja wajahnya pucat pasi maka tampang kakek ini hampir menyerupai Si Muka
Mayat.
Di
sebelah belakang, di kiri kanan kakek bertopi tarbus, di atas dua buah peti kayu
duduk dua orang lelaki berpakaian hampir menyerupai kusir kereta. Bedanya dua
orang ini membekal dua buah golok besar. Dari sikap mereka agaknya keduanya
adalah pengawal kakek ber-tarbus hitam.
Agar
tidak ditabrak atau diserempet oleh kereta yang berjalan kencang itu Wiro dan
kawan-kawannya cepat menepi. Tepi jalan. Kereta melewati rombongan dengan
cepat. Namun di depan sana atas perintah kakek ber-tarbus, kusir hentikan
kereta lalu berbalik kembali ke arah rombongan Wiro. Kusir hentikan kereta di
depan rombong-an yang berhenti di tepi jalan.
Kakek
berjubah hitam buka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Sepasang mata kakek
ini ternyata meman-carkan cahaya berkilat aneh dan angker. Dia layangkan
pandangan pada orang-orang di depannya, lalu tertawa mengekeh.
"Sekian
lama aku berada di Tanah Jawa, baru hari ini aku bisa mencuci mata, menikmati
wajah-wajah cantik. Sungguh besar berkah Tuhan atas diriku."
Si kakek
tentu saja tujukan ucapannya pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan
Anggini. Karena si kakek tidak bicara nakal dan memandang tidak memandang
secara kurang ajar, tiga gadis mengambil sikap diam. Dari logat bicara orang,
Wiro dan kawan-kawan sudah bisa men-duga bahwa si kakek di atas kereta adalah
orang dari tanah seberang.
Si kakek
turun dari atas kursi, tegak di lantai kereta. Ternyata kakek ini bertubuh
pendek bungkuk. Tetapi ketika dia meluruskan badannya, astaga! Sosoknya menjadi
sangat tinggi. Tarbusnya hampir menyondok ujung ranting sebuah pohon di tepi
jalan. Si kakek membungkuk dalam-dalam pada Wiro dan rombongan.
"Para
sahabat, terima salam penghormatan dariku."
Wiro
menggaruk kepala lalu membungkuk membalas hormat orang. Sementara Setan Ngampol
berdiri satu tangan pegangi celana yang merosot satu lagi menekap bagian bawah
perutnya menahan kencing.
Di atas
kereta kakek bertubuh tinggi jangkung bung-kukkan badannya hingga seperti tadi
dia kembali kelihatan pendek. Matanya yang berkilat memperhatikan sosok Rana
Suwarte yang melintang tak bergerak di atas seekor kuda yang dituntun Wiro.
"Hemmm…."
Si kakek bergumam. "Kalau bukan manusia jahat tidak akan mengalami nasib
seperti itu."
Dia lalu
arahkan pandangan pada Wiro.
"Kami
kehilangan jalan. Sebelum benar-benar tersesat ada baiknya kami bertanya pada
para sahabat. Kami harap para sahabat mau menolong."
"Orang
tua, kau datang dari mana dan tujuan ke mana?" Tanya Wiro.
"Kami
datang dari seberang. Dari tanah Makassar. Jauh-jauh ke sini mengejar
seseorang. Satu minggu lalu orang yang kami kejar lenyap. Kemudian kami
mendapat kabar bahwa orang itu akan berada di Bukit Watu Ireng. Itulah tempat
yang kami tuju. Tapi kami tidak paham jalan. Harap para sahabat sudi
memberitahu mana arah dan jalan yang harus kami tempuh."
"Kek,
bukit yang kau tuju terletak di sebelah utara sana." Wiro berikan
penjelasan. "Kau bisa mengikuti jalan ini. Jika bertemu simpangan membelok
ke kanan. Terus saja. Kira-kira menjelang sore kau akan sampai di kawasan kaki
bukit."
"Ah…."
Si kakek luruskan tubuhnya hingga dia kembali kelihatan tinggi. "Kami
sangat berterima kasih padamu, anak muda. Tuhan akan memberkatimu!"
Wiro
anggukkan kepala lalu ajukan pertanyaan.
"Kakek
dari tanah seberang. Tadi kau mengatakan tengah mengejar seseorang. Orang yang
kau kejar lenyap di tengah jalan. Kalau kami boleh bertanya siapakah orang yang
kau cari. Apakah dia punya nama?"
"Tentu,
tentu saja kau boleh bertanya. Siapa tahu penjelasan kami bisa mendatangkan
berkah bagi kita semua. Orang yang aku cari itu di tanah Jawa bernama Aryo
Probo. Konon dia adalah seorang Pangeran. Entah benar entah tidak kami tidak
perduli. Tapi sewaktu dia berada di tanah seberang, aku memberi nama baru
padanya. Sarontang."
"Aku
rasa-rasa pernah mendengar nama itu," bisik Ratu Duyung pada dua gadis
sahabatnya. "Mungkin juga salah satu diantara kita ada yang pernah
melihat. Biar aku tanyakan mengapa dia mencari orang itu." Lalu Ratu
Duyung ajukan pertanyaan pada si kakek.
"Mengapa
aku mencari orang itu?" Kakek yang ditanya mengulang lalu tertawa
mengekeh. Dia susutkan tubuhnya lalu duduk kembali ke atas kursi. Setelah duduk
baru dia keluarkan jawaban yang mengejutkan. "Aku ingin dia
mem-bunuhku!"
Wiro dan
teman-temannya tentu saja jadi terkesiap mendengar jawaban si kakek. Setan
Ngompol tak usah ditanya lagi. Saat itu kakek yang kepalanya plontos ini
langsung kucurkan air kencing.
"Aneh,
baru hari ini kami menemui orang yang ingin mati dengan cara meminta dirinya
dibunuh. Apa kau tidak salah bicara Kek?" Tanya Wiro.
Si kakek
di atas kursi gelengkan kepalanya yang me-makai tarbus hitam.
"Aku
sudah hidup seratus dua puluh tahun lebih. Aku sudah bosan melihat dunia ini.
Orang juga sudah bosan melihat diriku. Jadi bukankah lebih pantas aku mati
saja? Tapi celakanya aku tidak mati-mati. Entah mengapa Malaikat Maut masih
belum mau datang mengunjungiku. Padahal makin panjang umurku bisa saja makin
tambah dosaku! Aku ingin mati, malah sudah mencobanya be-berapa kali. Tapi tak
ada senjata yang bisa membunuhku. Kecuali satu senjata sakti yang ada di tangan
Sarontang. Dulu dia berjanji akan membunuhku di Gunung Lompo-batang tempat
kediamanku. Namun entah mengapa dia kabur begitu saja ke Tanah Jawa ini. Aku
terpaksa mengejarnya untuk minta dibunuh. Untuk minta mati!"
Wiro
tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiga gadis kembali berbisik-bisik. Setan
Ngompol cepat pegangi bagian bawah perutnya.
"Kalian
pasti tidak percaya ucapanku! Biar aku bukti-kan!"
Si kakek
tanggalkan topi hitamnya. Lalu. "Klik!"
Si kakek
gesekkan jari tengah tangan kanannya dengan ibu jari hingga mengeluarkan suara
keras. Melihat isyarat ini pengawal yang duduk di peti sebelah kanan cabut
golok besar di pinggangnya. Lalu tanpa banyak bicara dia bacokkan senjata itu
ke kepala, bahu, serta punggung si kakek. Tak satu bacokanpun mempan melukai
orang tua itu, apa lagi membunuhnya. Suara ber-dentrangan terdengar berulang
kali setiap golok besar beradu dengan kepala atau bagian tubuh si kakek. Si
pengawal terus saja membacokkan goloknya. Dia baru berhenti ketika senjata itu
akhirnya terlepas dari tangannya yang menjadi licin oleh keringat, lalu jatuh
berdentrangan di atas lantai kereta!
Setan
Ngompol terkencing-kencing melihat kejadian itu. Wiro dan tiga gadis sama
terkesima kagum.
"Sekarang
apa kalian mau percaya? Atau masih belum?" Si kakek bertanya. Dia
memandang pada Anggini. "Gadis cantik berpakaian ungu. Aku mengira ada
se-kantung senjata rahasia berbentuk paku terbuat dari perak di balik pakaianmu
yang bagus. Jika salah dugaanku harap maafkan. Tapi jika benar mohon kau mau
menyerangku dengan senjata rahasia itu."
Wiro dan
yang lain-lainnya jadi melengak kaget. Yang paling hebat kagetnya tentu Anggini
sendiri.
Di
sebelahnya Ratu Duyung berbisik.
"Aneh,
apa sepasang mata kakek itu bisa menembus pakaianmu hingga dia bisa tahu dan
melihat senjata rahasia Paku Perak Pemburu Nyawa milikmu? Jika mata-nya tembus
pandang kita bisa celaka. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi sekujur tubuh
kita dengan matanya!"
"Anak
gadis berpakaian ungu, kau mau menolongku membuktikan bahwa aku yang kepingin
mati ini memang benar-benar belum bisa menemui ajal?" Si kakek berkata
sambil menatap pada Anggini.
"Baiklah,
aku akan mencoba. Harap maafkan kalau aku sampai kesalahan tangan." Kata
Anggini murid Dewa Tuak. Dengan cepat dia mengeluarkan lima buah paku perak
yang menjadi senjata rahasia andalannya. Sekali tangannya bergerak lima paku
itu melesat laksana kilat. Dua menyambar ke arah mata, satu mencari sasaran di
tenggorokan, satu menghantam ke dada kiri tepat di arah jantung dan yang kelima
melesat ke arah kening si kakek.
Di atas
kursi si kakek duduk tenang-tenang, tidak bergerak malah sambil tersenyum. Lima
paku perak menghantam sasarannya dengan tepat. Terdengar suara lima dentringan.
Lima paku itu mental ke udara, jatuh ke tanah. Kening, dua mata, leher dan dada
yang kena hantaman paku sedikitpun tidak luka atau berbekas!
"Kuharap
sekarang kalian mau percaya," ujar si kakek sambil kenakan kembali topi
tarbusnya. "Atau mungkin masih ada yang merasa penasaran dan mengira aku
bermain sulap?" Si kakek menatap ke arah Wiro, memperhatikan pinggang sang
pendekar di mana di balik pakaian putihnya terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Wiro tahu apa yang ada di benak orang tua ini. Dia hendak menjajal kehebatan
Kapak Naga Geni 212. Sebelum si kakek bicara Wiro cepat membuka mulut.
"Terima
kasih Kek. Aku sungguh kagum. Kau luar biasa sekali. Kalau boleh aku hanya
ingin bertanya. Senjata apakah yang berada di tangan orang bernama Sarontang.
Yang menurutmu merupakan satu-satunya senjata yang bisa mengakhiri
hidupmu."
"Senjata
itu berupa sebilah badik. Bernama Badik Sumpah Darah."
"Badik
Sumpah Darah…" Mengulang Wiro. Dia meman-dang pada kawan-kawannya. Lalu
dengan suara perlahan sekali hingga tidak terdengar oleh si kakek dia berkata
"Menurut kabar yang aku dengar, bukankah senjata itu berada di tangan
Adipati Jatilegowo?" Wiro memandang pada kakek di atas kereta. "Kek,
kalau kami boleh ber-tanya, siapakah dirimu ini sebenarnya?"
Yang
ditanya tersenyum, usap-usap janggutnya lalu berkata. "Namaku Pattirobajo.
Di tanah Makassar dan tanah Bugis aku dijuluki Iblis Seribu Nyawa. Julukan
gila! Itu yang membuat tambah berat beban diriku. Aku seolah punya seribu
nyawa. Saat ini tidak tahu tinggal berapa nyawa. Mungkin seratus, dua ratus…
Ha… ha… ha!" Puas tertawa dari atas kursi si kakek menjura. "Para
sahabat, kami sangat berterima kasih pada kalian! Doakan agar aku lekas
mati!"
Tiga
gadis menutup mulut menahan tawa. Wiro garuk-garuk kepala. Setan Ngompol
manggut-manggut lalu kucurkan air kencing.
"Gila!"
kata murid Sinto Gendeng. "Orang hidup bisanya minta didoakan agar panjang
umur. Kakek itu malah minta didoakan agar lekas mati!" Sang pendekar
menatap ke arah kereta di kejauhan. Setan Ngompol mendekatinya.
"Apa
yang ada di benakmu, anak sableng?" Setan Ngompol bertanya.
Wiro
memandang si kakek. Dua-duanya sama tertawa.
"Aku
tahu, pikiran kita sama. Kalau Sarontang ada di Bukit Watu Ireng, manusia jahat
Adipati Jatilegowo pasti juga bakalan ada di sana…"
"Mungkin
begitu. Tapi…." Wiro tidak teruskan ucapan-nya. Di ujung jalan muncul
seorang penunggang kuda. Begitu melihat rombongan Wiro orang ini segera
hentikan kudanya secara mendadak hingga binatang itu meringkik keras dan angkat
dua kakinya ke atas. Untung saja si penunggang cukup cekatan hingga dia tidak
sampai dilemparkan tunggangannya. Malah orang ini membuat gerakan melenting ke
udara, jungkir balik lalu mendarat turun di hadapan Wiro dan kawan. Setan Ngompol
terkencing dan pelototkan mata.
"Loh
Gatra!" seru Pendekar 212 begitu mengenali orang yang berdiri di
hadapannya. Ternyata penunggang kuda itu adalah Loh Gatra, cucu mendiang Ki
Sarwo Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung yang mati di-bunuh Jatilegowo.
"Tuhan
Maha Besar! Beruntung aku menemui para sahabat di sini."
"Sobatku,
kau dari mana dan mau menuju ke mana?" tanya Wiro.
"Saya
memang tengah mencari kalian. Dua peristiwa besar terjadi di Temanggung dan
Salatiga. Di Temanggung Jeng Ayu Nyi Larasati diungsikan ke luar kota. Tapi
Jatilegowo berhasil mengetahui rumah persembunyiannya lalu menculik Nyi Lara.
Saya dan sahabat Bujang Gila Tapak Sakti berhasil memergoki Adipati itu. Namun
kami tidak berdaya menghadapinya.
Dia
memiliki sebilah senjata luar biasa sakti mandraguna…"
"Pasti
Badik Sumpah Darah," kata Wiro. "Loh Gatra, teruskan ceritamu."
"Ketika
saya dan Bujang Gila Tapak Sakti berkelahi melawan Adipati Jatilegowo, ada
orang lain muncul menculik Nyi Lara. Di mana Nyi Lara berada sekarang dan
bagaimana keadaannya tidak diketahui."
"Apa
yang terjadi di Salatiga?" tanya Pendekar 212.
"Adipati
Jatilegowo membunuh istri tuanya, Sri Sumini. Dia juga hendak membunuh Kemuning
istri mudanya. Tapi perempuan itu berhasil lari diselamatkan oleh para sahabat
abdi Gedung Kadipaten. Seorang bernama Paman Rejo menyerahkan Kemuning pada
saya di tepi Kali Opak dua hari lalu untuk diungsikan ke tempat yang lebih
aman. Kemuning minta saya mencarimu. Katanya ada satu hal penting yang hendak
disampaikannya."
"Di
mana Kemuning saat ini berada?" Tanya Pendekar 212 pula.
"Di
sebuah rumah kenalan saya. Di desa Klingkit, tak jauh dari sini."
Menerangkan Loh Gatra.
Wiro
menggaruk kepala. Otaknya bekerja. Lalu keluar ucapannya.
"Kalau
Jatilegowo kembali ke Salatiga seorang diri, membunuh istri tuanya, bahkan juga
hendak membunuh istri mudanya, lalu keterangan Loh Gatra barusan bahwa ada
orang lain menculik Nyi Lara, berarti Nyi Lara memang benar-benar tidak berada
di tangan Jatilegowo. Loh Gatra, kau tahu dimana Jatilegowo berada
sekarang?"
"Setelah
membunuh Sri Sumini, Jatilegowo meninggalkan Kadipaten Salatiga. Dua orang
pengawal ikut bersamanya. Sebelum pergi salah satu dari Pengawal itu sempat
bicara dengan temannya. Katanya Adipati minta dikawal ke Bukit Watu
Ireng…"
"Tidak
meleset dugaanku!" Ucap Wiro. "Berarti besar kemungkinan Nyi Lara
juga ada di situ. Janganjangan Sarontang yang telah menculik Nyi Lara. Berarti
Jatilegowo pasti berada di tempat itu. Nyawa Nyi Lara sangat terancam. Kalau
dia tidak celaka di tangan Sarontang, pasti akan binasa di tangan
Jatilegowo." Wiro menggaruk kepalanya. Lalu berkata pada Loh Gatra.
"Sahabat, aku dan kawan-kawan tadinya akan ke Kotaraja. Tapi mendengar
keterangan darimu aku memutuskan akan segera menuju Bukit Watu lreng saat ini
juga."
"Bagaimana
dengan pesan Kemuning? Dia ingin menemuimu. Ada satu pesan penting yang harus
disampai-kannya padamu. Tidak boleh melalui perantara sekalipun diriku."
Wiro
garuk-garuk kepala. Setan Ngompol usap kepala botaknya. Lalu kakek ini berkata.
"Begini saja. Kami tetap akan berangkat menuju Bukit Watu Ireng. Kau
jemput Kemuning. Bawa ke Watu Ireng. Kami menunggu di sana. Ini pekerjaan
berbahaya. Tapi tak ada cara lain. Dan satu hal! Dandani Kemuning seperti
lelaki!"
Loh Gatra
hanya bisa mengangguk-angguk. Dia men-jura pada orang-orang itu lalu melompat
naik ke atas kudanya.
Setan
Ngompol berpaling pada Wiro. Lalu memandang pada tiga gadis cantik. Seperti
tahu membaca pikiran si kakek, tiga gadis ini berbarengan keluarkan ucapan.
"Kami
ikut ke Bukit Watu Ireng."
"Lalu
bagaimana dengan manusia bernama Rana Suwarte ini?" tanya Wiro.
"Mudah
saja," jawab Setan Ngompol. "Tambah totokan di tubuhnya agar tahan
beberapa hari. Lalu kita titipkan dia di rumah salah seorang penduduk desa yang
tadi kita lewati."
"Kau
memang cerdik kek," puji Wiro.
"Siapa
dulu! Setan Ngompol!" kata si kakek memuji diri sendiri.
"Tukang
kencing…" Menimpali Bidadari Angin Timur lalu tertawa cekikikan.
Ketika
berjalan agak terpisah dari tiga gadis itu, Wiro berbisik pada Setan Ngompol.
"Kek,
sebenarnya aku ingin tiga gadis itu membawa Rana Suwarte ke Kotaraja. Kita
titipkan bunga Melati Tujuh Racun pada mereka…"
"Mana
bisa begitu?" ujar Setan Ngompol pula.
"Mengapa
tidak bisa?" tukas Wiro.
"Anak
sableng! Apa kau kira mereka tidak pernah menyirap kabar apa yang terjadi
antara kau dengan Sri Kemuning setelah peristiwa kau menyelamatkan gadis itu
dari perampok di Kali Tuntang. Jangan-jangan mereka juga tahu kalau kau pernah
mengecup leher gadis itu sampai meninggal bekas cupangan!"
"Edan,
aku mengecupnya bukan untuk membuat cupang. Tapi melepaskan totokan di
lehernya! Karena aku tidak boleh menyentuhnya mempergunakan tangan!"
Setan
Ngompol tertawa lebar. Sambil pegangi bagian bawah perutnya dia berkata.
"Seumur hidup baru aku mendengar kalau ada orang melepaskan totokan dengan
kecupan. Ilmu dari mana itu. Gila kali."
Wiro jadi
diam. Garuk-garuk kepala. Lalu tertawa.
Setan
Ngompol pegang lengan Wiro. "Eh, kau tahu mengapa tiga gadis itu ingin
ikut?"
Wiro
menggeleng.
"Jangan
pura-pura tolol. Mereka pasti pada cemburu. Takut kau bakal keplingsut pada
istri muda yang cantik jelita itu. Kalau sampai kejadian bisa-bisa kau membuat
cupang baru. Kali ini bukan di leher tapi di bawah pusarnya! Ha… ha… ha!"
"Tua
bangka jorok!" Maki Wiro. Lalu ikutan tertawa.
********************
12
BUKIT
Watu Ireng merupakan gugusan tanah tinggi ditumbuhi pohon-pohon raksasa tak
jauh dari Pakem. Di sela-sela pepohonan kelihatan batu-batu aneh berwarna
sangat hitam, menyerupai tiang berujung lancip dengan ketinggian antara satu
sampai tiga tombak.
Ketika
terjadi musim kemarau panjang beberapa tahun lalu, kawasan itu dilanda
kebakaran hebat. Semua pohon besar habis dilalap api. Begitu kebakaran reda dan
api padam, yang kelihatan kini adalah batangbatang kayu hitam gosong serta
batu-batu hangus. Debu yang berasal dari bakaran daun, ranting dan cabang pohon
mengendap di permukaan pedataran lambat laun berubah keras, hitam membatu
menjadi satu dengan permukaan pedataran.
Pada
malam hari kawasan itu tampak seram sekali. Selama bertahun-tahun tak ada orang
yang naik ke bukit ini. Mereka lewat di kaki bukit yang tidak terlalu tinggi
itu, melintas cepat-cepat. Ada perasaan angker kalau berada di sekitar tempat
itu.
Malam itu
langit hitam pekat tanpa sebuah bintangpun kelihatan. Saat itu adalah bulan
mati hari ke empat. Kawasan Bukit Watu Ireng dibungkus kegelapan menggidikkan.
Di kejauhan terdengar suara raungan anjing hutan menambah seramnya suasana.
Sesekali
ada suara aneh datang dari puncak bukit. Suara sesuatu yang bergerak dalam air.
Sejak sore tadi Wiro dan Ratu Duyung secara bergantian menerapkan Ilmu Menembus
Pandang. Namun mereka tidak melihat apa-apa kecuali batu dan pepohonan dalam
kepekatan malam.
"Para
sahabat," kata Setan Ngompol yang duduk di tanah bersandar ke batu besar
di belakangnya. "Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah. Mana
Adipati Jatilegowo. Mana manusia bernama Sarontang! Tak ada siapa-siapa di
sini! Juga kakek aneh yang tubuhnya bisa ciut bisa molor mengaku berjuluk Iblis
Seribu Nyawa itu! Katanya dia mau menuju ke sini untuk minta mati! Tapi mata
hidungnya tidak kelihatan!"
"Kek,
jangan mengomel dulu. Nanti kau beser lagi. Tenang, sabar. Aku punya firasat
satu peristiwa besar akan terjadi di tempat ini." Berkata Wiro sambil
memegang kepala botak Setan Ngompol. "Aku yakin di puncak bukit batu sana,
diantara tiga buah tiang batu itu ada benda hidup. Aku mendengar suara sesuatu
bergerak di dalam air. Berarti di atas sana ada kolam atau telaga, ada makhluk
hidup di dalamnya."
"Aku
tidak mendengar apa-apa," kata Setan Ngompol. Tiga gadis juga tidak
mendengar suara seperti yang dikatakan Wiro. Hal ini memang tidak aneh. Karena
sejak masuk ke dasar samudera, diberi kekuatan hawa murni secara aneh oleh Naga
Biru, pendengaran Wiro menjadi jauh lebih tajam.
"Ratu,"
bisik Wiro. "Coba kau terapkan Ilmu Menyerap Detak Jantung. Selidiki apa
ada orang sembunyi di atas bukit sana."
Ratu
Duyung lakukan apa yang dikatakan Wiro. Dua tangan diangkat, telapak dikembangkan
dan diarahkan ke puncak bukit. Sesaat kemudian sepuluh jari tangan gadis cantik
bermata biru ini kelihatan bergetar. Ratu Duyung pejamkan mata, letakkan dua
tangan di atas dada lalu berkata.
"Ada
dua makhluk hidup di atas bukit. Tapi bukan manusia."
"Serrr!"
Setan Ngompol langsung kencing.
"Kalau
bukan makhluk hidup lalu apa? Setan? Jin? Mungkin dedemit?" Ujar Wiro.
"Tidak
bisa kupastikan. Mungkin sekali binatang bersosok besar. Ada dua ekor. Tadi aku
mendengar suara sesuatu dalam air. Dua binatang itu memang berada dalam
air…"
Pendekar
212 angkat tangan kanan memberi tanda. Ratu Duyung hentikan ucapannya.
"Aku
melihat sesuatu bergerak di atas bukit."
Semua
pandangan serta merta diarahkan ke atas bukit. Memang benar. Saat itu di
sela-sela deretan pohon dan batu-batu hitam kelihatan seseorang berjalan sambil
memanggul sosok tubuh manusia di bahu kirinya. Dari rambutnya yang tergerai
panjang ke bawah jelas sosok yang dipanggul itu adalah seorang perempuan.
"Aku
yakin, perempuan yang dipanggul itu adalah Nyi Larasati," kata Wiro.
"Tapi siapa orang yang memanggul dan membawanya ke atas bukit batu
itu?!"
Di atas
bukit, si pemanggul menurunkan dan mem-baringkan sosok perempuan di atas sebuah
batu datar. Lalu dia duduk bersila di pinggiran batu. Tangan kiri terkulai
buntung di atas paha, tangan kanan melintang di dada, memegang sebuah benda
memancarkan cahaya kuning terang.
Wiro dan
Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Keduanya sama-sama terkejut.
"Perempuan
di atas batu memang Nyi Larasati!" kata Ratu Duyung.
"Benda
bersinar kuning sudah dapat kupastikan Keris Kiai Naga Kopek!" Wiro
menyambungi ucapan Ratu Duyung.
Semua
orang sama terkejut.
"Dulu
senjata itu berada di tangan Rana Suwarte. Rana Suwarte sudah kita bekuk.
Apakah Rana Suwarte menye-rahkan keris tersebut pada orang itu? Lalu siapa
orang yang kini memegang senjata pusaka Kerajaan itu?"
"Aku
yakin dialah manusianya yang bernama Saron-tang," kata Bidadari Angin
Timur pula.
"Sosok
Nyi Lara tidak bergerak tidak bersuara. Mung-kin pingsan, mungkin ditotok. Tapi
mungkin juga sudah dibunuh oleh Sarontang. Kita harus bergerak sekarang
juga!" Kata Wiro pula.
Mendadak
dari atas bukit batu orang yang memegang benda bercahaya kuning terang
keluarkan suara nyanyian.
Ketika
bintang dan bulan sembunyi mendekam
Sewaktu
angin malam bertiup bersama hembusan nafas para arwah
Kutukan
jatuh atas manusia sejagat salah sejagat dosa
Malam
bulan mati hari ke empat
Aku duduk
bersila di tempat ini
Menunggu
saat bertuah
Tubuh
hidup ditukar dengan benda mati.
Sosok
bernyawa ditukar dengan senjata sakti.
"Orang
gila kesasar dari mana dia! Malam-malam begini menyanyi di tempat begini
rupa…" Baru saja Setan Ngompol keluarkan gerendengan, tiba-tiba dari arah
timur kaki bukit terdengar derap kaki-kaki kuda. "Ada tiga penunggang Ruda
bergerak ke arah bukit," kata Ratu Duyung.
Semua
mata dipalingkan ke arah timur. Walau malam gelap pekat namun orang-orang itu
bisa mengenali. Penunggang kuda paling depan bertubuh tinggi besar bukan lain
adalah Adipati Salatiga Jatilegowo. Sekali bergerak Adipati ini melesat dari
kudanya, lalu melompat menaiki bukit. Ketika dia mencapai pertengahan bukit,
diikuti dua pengawalnya, di atas sana orang yang memegang senjata bercahaya
kuning berdiri dari duduknya.
"Cukup
sampai disitu Jatilegowo! Kalau kau berani naik lebih tinggi, kematian akan
lebih cepat menjamah janda yang kau sukai ini!"
Habis
keluarkan ancaman orang di atas bukit injakkan kakinya pada sebuah batu.
Tiba-tiba ujung batu di bagian kepala diatas mana terbaring sosok perempuan
yang memang Nyi Larasati adanya, bergerak ke atas.
"Jatilegowo!
Dengar baik-baik! Di bawah batu, satu tombak di ujung kaki Nyi Lara ada sebuah
liang berair dihuni dua ekor buaya hitam yang selama bertahun-tahun tidak bisa
keluar dan tidak pernah mendapat makanan! Sekali aku menggerakkan kaki, batu
tempat Nyi Lara terbaring akan terangkat tegak lurus dan perempuan itu akan
meluncur masuk ke dalam telaga maut, menjadi santapan sepasang buaya
lapar!"
"Sarontang
bangsat keparat! Jangan berdusta menakuti diriku! Aku bukan anak kecil! Mana
ada buaya di bukit ini! Kau yang akan kubantai lebih dulu!" Teriak
Jatilegowo marah. Tangannya bergerak mencabut Badik Sumpah Darah dari pinggang.
Begitu senjata sakti tersebut ketuar dari sarungnya, satu cahaya hitam angker
menebar di lereng Bukit Batu Ireng, membuat pudar terangnya cahaya Keris Naga
Kopek di tangan Sarontang. Dari bentrokan dua cahaya sakti ini sudah terlihat
bahwa badik di tangan Jatilegowo memiliki pamor atau kekuatan lebih hebat,
setingkat lebih tinggi dari Keris Kiai Naga Kopek.
Saat itu
antara Jatilegowo dan Sarontang terpisah sekitar tiga tombak. Ketika Jatilegowo
membuat gerakan hendak melompat ke atas bukit, Sarontang segera tekankan kaki
kanannya ke batu yang dipijaknya. Batu hitam tempat Nyi Lara terbujur bergerak
di atas, lebih tinggi. Tubuh Nyi Lara meluncur turun. Di ujung batu sebelah
bawah, dari dalam sebuah hang berair, terdengar suara-suara menyeramkan
disertai muncratan air. Jatile-gowo tercekat dan terpaksa hentikan gerakannya.
Di bawah bukit Wiro dan para sahabat terkesiap. Sarontang, orang di atas bukit
batu tertawa mengekeh. Gerakan batu ditahannya hingga sosok Nyi Larasati
berhenti meluncur.
Jatilegowo
berpaling pada pengawal di sebelah kanan-nya. "Naik ke bukit, selidiki apa
yang ada di atas sana!"
Meski
ragu tapi karena harus menjalankan perintah sang pengawal berlari naik ke atas
bukit. Sarontang segera menghadang.
"Kau
mau apa?!" bentak si kakek berambut biru berminyak. "Mau menyelidik?!
Biar majikanmu percaya aku akan memperlihatkan sesuatu padanya!"
Ketika
Sarontang mendekat, pengawal ini segera menghunus pedangnya. Walau bersenjata
dia bukan tandingan Sarontang. Sambil berkelit Sarontang menen-dang
selangkangannya. Pengawal ini keluarkan jeritan dahsyat. Tubuhnya mencelat ke
bawah. Setengah tombak akan mencapai bebatuan, tiba-tiba ada suara meng-gemuruh
disertai muncratan air dan melesatnya dua sosok buaya hitam dari liang batu
berair! Untuk kedua kalinya pengawal itu keluarkan jeritan keras. Lalu suara
jeritannya lenyap. Berganti dengan suara gaduh dua ekor buaya hitam
mencabik-cabik dan melahap tubuh pengawal malang itu. Kalau saja hal itu
terjadi pada siang hari, maka akan terlihat bagaimana air hitam di dalam liang
batu telah berubah menjadi merah pekat!
Wiro,
Setan Ngompol dan tiga gadis terkesiap ngeri. Jatilegowo dan pengawal satunya
terbeliak kaget. Semen-tara Sarontang enak saja umbar tawa bergelak. Begitu
hentikan tawa, dia tudingkan Keris Naga Kiai Kopek kepada Jatilegowo.
"Adipati,
kau saksikan sendiri! Setiap saat bisa terjadi kematian mengerikan di atas
bukit ini. Sekarang saatnya kita berjual beli. Saatnya tubuh hidup ditukar
dengan benda mati. Saatnya sosok bernyawa ditukar dengan senjata sakti!
Serahkan Badik Sumpah Darah padaku! Letakkan di atas tiang batu setinggi lutut di
depanmu. Lalu turun jauh-jauh ke bukit. Aku akan mengambil badik. Meninggalkan
tempat ini! Kau akan mendapatkan Nyi Lara dalam keadaan selamat!"
Jatilegowo
mendelik besar. Dua matanya laksana di-kobari api. Tiba-tiba dia keluarkan
tertawa bergelak lalu meludah ke tanah.
"Aku
bisa nekad Sarontang! Aku tidak akan memberi-kan Badik Sumpah Darah ini
padamu!"
Sarontang
tertawa mengekeh. "Aku juga bisa nekad! Aku tidak mendapatkan badik, kau
tidak akan men-dapatkan janda idamanmu ini!"
"Perduli
setan! Kau mau berbuat apa, kau mau mem-bunuh Nyi Lara silahkan! Aku masih bisa
mendapatkan perempuan lain. Tapi nyawamu cuma satu! Aku merasa lebih puas jika
bisa membunuhmu!" Dengan badik diacung-kan ke atas, Adipati Jatilegowo
menerjang ke arah Sarontang.
"Ha…
ha! Secepat itukah hati dan pikiranmu berubah?!"
Sarontang
yang tidak mengira Jatilegowo akan berbuat senekad itu cepat kiblatkan Keris
Naga Kopek menahan sambaran Badik Sumpah Darah. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya menginjak kuat-kuat batu penggerak batu besar di atas mana Nyi Lara
terbaring.
"Saatnya
kita bergerak! Ingat apa yang barusan sudah kita atur!" Dibawah bukit Wiro
berteriak. Lima sosok ber-kelebat ke atas bukit. Bidadari Angin Tirnur melesat
ke arah batu di mana Nyi Lara terbujur. Ratu Duyung berlari sambil keluarkan
cermin sakti. Setan Ngompol terkencing-kencing membuat dua lompatan. Anggini
melesat sambil mengeruk tiga paku perak senjata rahasia.
Saat
itulah tiba-tiba dua penunggang kuda mendatangi cepat dari arah barat.
"Wiro!
Tunggu!" Seorang berteriak.
Pendekar
212 yang telah melesat ke atas bukit terpaksa hentikan gerakan. Walau lama
tidak pernah bertemu tapi dia mengenali suara itu. Wiro berpaling ke bawah
bukit. Dua orang pemuda dilihatnya lari ke arahnya. Di sebelah depan
dikenalinya sebagai Loh Gatra. Satunya, jauh tertinggal di sebelah belakang
seorang pemuda berkulit halus, berwajah cakap memakai daster. ltulah Sri
Kemuning yang diberi dandanan laki-laki. Wiro ingat ucapan Loh Gatra tentang
pesan penting yang hendak disampaikan istri muda Jatilegowo itu padanya. Dengan
cepat Wiro melompat ke bawah. Loh Gatra sambil lari ke atas bukit perhatikan
suasana. Dia melihat Setan Ngompol dan tiga gadis berkelebat menyerbu ke arah
Jatilegowo. Dia melihat batu di atas mana Nyi Larasati terbujur bergerak ke
atas, membuat tubuh perempuan muda itu meluncur ke bawah, siap jatuh ke dalam
lobang dimana terdapat dua ekor buaya hitam ganas. Tidak tunggu lebih lama
pemuda ini melesat ke arah batu itu.
"Wiro!"
Begitu sampai di hadapan Wiro Kemuning jatuhkan diri dalam pelukan sang
pendekar. Nafasnya megap-megap karena berlari mendaki bukit. Dadanya turun
naik.
"Jeng
Ayu Kemuning, kata Loh Gatra ada satu pesan penting hendak Jeng Ayu kau
sampaikan padaku. Pesan apa? Katakan cepat!"
"Jangan
panggil saya Jeng Ayu!"
"Baik,
baik…. Sekarang katakan apa pesan yang hendak kau sampaikan."
"Jatilegowo!"
Ucap Kemuning. "Dia memiliki kekebalan bersumber dari kesaktian Badik
Sumpah Darah. Tidak ada pukulan atau senjata yang sanggup membunuhnya! Kecuali
jika kau menghantam kelemahannya…"
"Apa?!
Bagaimana Jeng Ayu… kau bisa tahu? Di mana letak kelemahannya?"
Belum
sempat Sri Kemuning menjawab, di atas bukit sana terdengar suara
letusan-letusan keras dibarengi kiblatan cahaya hitam kuning serta jerit pekik
dahsyat! Wiro palingkan kepala, memandang ke atas bukit.
********************
13
MELIHAT
Jatilegowo melompat ke arahnya dan melancarkan serangan dengan Badik Sumpah
Darah, Sarontang segera injak keras-keras batu dibawah kaki kanannya. Batu
besar di atas mana sosok Nyi Larasati terbujur tanpa bisa bergerak dan bersuara
meluncur ke bawah, ditunggu dua ekor buaya ganas dalam liang batu berair.
Sesaat kemudian kakek bertangan kanan buntung ini menerjang ke depan, sambuti
sambaran senjata lawan dengan Keris Kiai Naga kopek. Sarontang begitu percaya
bahwa keris pusaka Kerajaan itu akan sanggup menghadapi badik di tangan lawan.
"Traangg!"
Dua senjata sakti beradu di udara. Bunga api memercik di kegelapan malam
disusul dengan bentrokan sinar kuning dan hitam hingga mengeluarkan suara
gelegar letusan keras.
Sarontang
menjerit. Keris Kiai Naga Kopek terlepas dari genggaman tangan kanannya. Jatuh
berkerontangan di atas tanah membatu. Tubuhnya sendiri mencelat dua tombak,
terpental ke arah liang batu. Dia membuat gerakan jungkir balik, berusaha
menghindari agar tidak jatuh ke dalam liang maut itu. Namun saat itu Jatilegowo
telah melancarkan serangan susulan dengan membabat-kan secara ganas Badik
Sumpah Darah ke arah leher Sarontang.
"Crasss!"
Sarontang
keluarkan jeritan pendek. Darah menyem-bur dari pangkal lehernya yang terkena
sambaran Badik Sumpah Darah. Saat itu juga leher, muka dan bagian atas dadanya
berubah hitam oleh ganasnya racun Seratus Pohon Tuba. Tubuhnya yang berjungkir
balik tak ampun lagi melayang jatuh ke dalam liang batu. Sarontang menjerit
keras. Suara jeritannya lenyap begitu dua ekor buaya menyergap dan melahap
tubuhnya!
Jatuhnya
Sarontang ke dalam liang batu justru menyelamatkan Nyi Larasati. Sosoknya yang
meluncur deras ke bawah dan seharusnya masuk amblas ke dalam liang maut, untuk
sesaat tertahan oleh tubuh Sarontang yang telah lebih dulu jatuh ke dalam
liang. Hal ini memberi kesempatan pada Bidadari Angin Timur untuk
menyelamat-kan janda mendiang Adipati Temanggung itu. Bidadari Angin Timur yang
punya kemampuan bergerak cepat luar biasa, laksana kilat menyambar tubuh Nyi
Larasati, tapi gerakannya terhalang karena Jatilegowo secara tidak ter-duga
membabatkan badiknya ke arah sang d.ara.
Sesaat
setelah Jatilegowo membabat leher Sarontang, Setan Ngompol, Anggini dan Ratu
Duyung menghantam, dengan tiga serangan. Cahaya putih yang melesat dari cermin
sakti Ratu Duyung menyambar ke arah kepala Jatilegowo, membuat lelaki ini
meraung marah kesilauan. Dari samping kiri Setan Ngompol lancarkan pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dari sebelah kanan tiga paku
perak yang dilemparkan Anggini menyambar ke arah kepala dan dada!
Jatilegowo
menggembor marah. Dia tidak begitu mengenali siapa orang-orang yang
menyerbunya.
"Keparat!
Siapa kalian! Kalau minta mati akan kuberi-kan saat ini juga!"
"Wuuuuttt!"
Sinar
hitam angker menderu di kegelapan malam. Setan Ngompol berteriak kaget ketika
sinar hitam yang keluar dari Badik Sumpah Darah laksana badai meng-hantam
dirinya hingga dia terpental dan jatuh terjengkang terkencing-kencing. Sekujur
tubuhnya terasa remuk. Ketika dia mencoba bangun, tubuhnya terseok rubuh!
Tiga
suara berdentringan terdengar begitu pakupaku perak yang dilemparkan Anggini
disapu Badik Sumpah Darah, mental hancur berkeping-keping. Anggini sendiri
tergontai-gontai hampir jatuh berlutut di tanah.
Di bagian
lain Ratu Duyung terpekik sewaktu cahaya putih panas yang keluar dari cermin
saktinya berbalik ke arahnya begitu kena diterpa sinar hitam yang melesat
keluar dari badan senjata di tangan lawan. Kalau tidak lekas melompat menjauh,
cermin saktinya akan terlepas mental, mungkin bisa pecah bertaburan.
Pendekar
212 yang masih berada di lereng bukit sebelah bawah menyaksikan semua kejadian
itu hampir tak percaya. Belum pernah dia melihat senjata begitu luar biasa
seperti Badik Sumpah Darah. Angin dan cahayanya saja bisa membuat lawan celaka.
Wiro sadar, dia harus segera turun ke gelanggang pertempuran menolong para
sahabat.
"Kemuning,
lekas katakan dimana letak kelemahan Jatilegowo! Aku harus segera menolong
teman-temanku di atas bukit sana."
"Bagian
bawah perut, antara ke dua pangkal paha," jawab Kemuning.
Pendekar
212 merasa bimbang mendengar ket-erangan itu. "Bagaimana kau bisa tahu?
Siapa yang mengatakan padamu?"
"Saya
kedatangan seorang tua aneh dalam mimpi…"
"Mimpi?
Jadi kau mengetahui kelemahan Jatilegowo dalam mimpi? Ah…" Wiro jadi
garuk-garuk kepala.
"Kau
boleh percaya atau tidak. Saya bermimpi sampai tiga kali. Seorang tua berjubah
merah muncul. Dia mengaku bernama Daeng Wattansopeng. Katanya dia yang membuat
Badik Sumpah Darah. Kutuk akan segera jatuh atas diri Jatilegowo."
Wiro
memandang ke arah bukit. Saat itu dilihatnya Setan Ngompol masih terduduk di
tanah. Ratu Duyung walau mengeroyok Jatilegowo bersama Anggini dan Bidadari
Angin Timur namun berada dalam keadaan terdesak hebat. Setiap saat salah
seorang dari mereka bisa celaka.
Sebelumnya,
sewaktu Bidadari Angin Timur gagal menyelamatkan Nyi Larasati yang siap jatuh
masuk ke dalam liang batu berisi sepasang buaya, Loh Gatra yang datang kemudian
berhasil bertindak cepat, merangkul pinggang Nyi Larasati. Janda muda itu
selamat tapi Loh Gatra justru dilanda bencana. Dalam satu pertempuran beberapa
waktu lalu Loh Gatra berhasil melukai salah satu telinga Jatilegowo dengan
senjata rahasia berbentuk bintang (Baca Episode "Meraga Sukma") Kini
melihat pemuda itu muncul dan berusaha menyelamatkan Nyi Lara, dendam amarah
Jatilegowo jadi berkobar. Didahului makian kotor dia tusukkan Badik Sumpah
Darah ke arah dada Loh Gatra. Pemuda ini masih sanggup menghindar dengan
jatuhkan diri sambil terus memeluk tubuh Nyi Lara. Namun ketika kaki kiri
Jatilegowo bergerak menghantam-kan tendangan, Loh Gatra tak dapat lagi
mengelak. Tulang pinggulnya remuk. Tubuhnya terpental sejauh dua tombak.
Terguling-guling ke bawah. Dalam keadaan seperti itu tubuh Nyi Larasati tidak
dilepaskannya, terus saja dipeluk sampai akhirnya keduanya terkapar di kaki
bukit batu.
Wiro
cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sampai di atas bukit tepat ketika Badik
Sumpah Darah di tangan Jatilegowo membabat deras ke arah kepala Bidadari Angin
Timur. Untung saja gadis ini memiliki kecepatan luar biasa dalam bergerak.
Namun walau dia berhasil menyelamatkan kepala, tak urung sebagian rambutnya
yang pirang dan bagus masih kena dibabat putus dan mengepulkan asap. Bidadari
Angin Timur berseru tegang, melompat mundur. Wajahnya yang jelita tampak pucat
sekali. Dalam keadaan terkesima kaget dan kecut seperti itu, lawan pergunakan
kesempatan untuk menyerbu kembali. Satu tusukan dihunjamkannya ke dada Bidadari
Angin Timur.
"Adipati
jahanan! Aku lawanmu!"
Satu
bentakan menggeledek disusul berkeiebatnya satu bayangan putih, memotong
gerakan Jatilegowo. Lalu ada suara menderu laksana ratusan tawon mengamuk.
Sinar putih berselubung cahaya kemerahan disertai hawa panas berkiblat dafam
kegelapan. Sang Adipati tidak melihat jelas benda atau senjata apa yang
melabrak ke arahnya. Percaya akan kekuatan dan kesaktian Badik Sumpah Darah
Jatilegowo belokkan tusukan senjatanya, memburu ke arah benda yang menyambar.
"’Traang!"
Bunga api
memercik hebat. Dua orang sama-sama berseru kaget. Wiro terpental dua langkah,
lututnya goyah. Tangan kanan terasa panas dan perih. Dia genggam gagang kapak
erat-erat agar tidak lepas.
Namun dia
tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Murid Sinto Gendeng ini akhirnya jatuh
bertutut. Di hadapannya Jatilegowo terjengkang di tanah. Dadanya mendenyut
sakit seperti ada ratusan jarum menusuki.
Mukanya
yang garang kelihatan pucat. Mata mendelik merah. Ketika dia mengenali siapa
orang di depannya segera dia melompat.
"Pendekar
jahanam! Kau rupanya!" Teriak Jatilegowo memaki. "Aku memang sudah
lama mencarimu! Sekarang kau datang sendiri mengantar nyawa!"
Wiro
cepat melompat bangun. Kapak Naga Geni 212 diputar sebat demikian rupa hingga
puncak Bukit Watu Ireng laksana dilanda topan. Namun Badik Sumpah Darah sungguh
luar biasa. Cahaya hitam senjata beberapa kali menembus iingkaran sinar putih
Kapak Naga Geni 212. Tahu kehebatan badik lawan Wiro tidak berani bentrokan
senjata. Sambil terus memutar kapak di tangan kanan, tangan kiri ikut
melancarkan pukulan-pukulan inti Kitab Putih Wasiat Dewa. Dua kali pukulan
sakti yang dihantam-kan Wiro mengenai sasaran di dada dan perut lawan. Pertama
pukufan bernama Tangan Dewa Menghantam Air Bah. yang kedua pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang. Jangankan tubuh manusia, batang pohon atau tembok pasti
hancur dan jebol jika kena dihantam dua pukulan itu. Wafau tubuhnya terpental
dan kelihatan menahan sakit, tapi begitu Badik Sumpah Darah diusapkannya ke
bagian tubuh yang terpukul, rasa sakit dan cidera serta merta lenyap! Malah
ketika dengan nekad Wiro menyerbu tak mau memberi kesempatan pada lawan,
Jatilegowo berhasil menyusupkan satu jotosan ke dada Wiro, membuat murid Sinto
Gendeng ini terpental satu tombak dan muntah darah.
Tiga
gadis sama terpekik menyaksikan kejadian itu. Sri Kemuning yang tak mau diam di
lereng bukit dan naik ke puncak terisak pejarnkan mata, tidak tega melihat sang
pendekar terluka parah seperti itu. Setan Ngompol kucurkan air kencing.
Jatilegowo
menyeringai. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan Wiro.
"Pendekar
keparat! Terima kematianmu!" Badik Sumpah Darah dihunjamkan ke batok kepala
Wiro.
Setengah
jengkal lagi senjata sakti mandraguna itu akan menancap di kepala Wiro,
tiba-tiba sang pendekar rebahkan tubuh ke belakang, kaki kanan menderu ke atas
menendang perut lawan. Jatilegowo berteriak kaget, dia tarik tusukan badik ke
kepala. Senjata itu kini dibabatkan ke kaki lawan. Tapi saat itu Wiro sudah
membuat gerakan meliuk. Masih setengah berputar di tanah tubuhnya melompat ke
atas. Wiro ingat pesan yang disampaikan Sri Kemuning. Namun kedudukan dirinya
tidak memungkinkan untuk menendang atau membacok bagian bawah perut lawan. Maka
murid Sinto Gendeng ini keluarkan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung. Kapak
Maut Naga Geni 212 menderu. Yang jadi sasaran adalah batang leher lawan dan
kena!
"Deesss!
Craassss!"
Leher
Jatilegowo putus! Kepalanya menggelinding di tanah keras membatu. Badannya
terkapar menelungkup. Para gadis terpekik ngeri. Setan Ngompol terkencing
habis-habisan. Semua orany merasa lega. Tapi hanya sesaat. Tiba-tiba tangan
kanan Jatilegowo yang masih memegang badik bergerak ke arah leher yang buntung
dan masih mengucurkan darah. Badik bergerak mengusap bagian atas kutungan
leher. Dan terjadilah satu peristiwa yang sulit dipercaya.
Kepala
Jatilegowo yang tadi putus dan menggelinding jauh tiba-tiba melesat dan
menempel kembali ke leher.
Semua
orang menjadi geger! Setan Ngompol menenga-dah ke langit, pejamkan mata. Dua
tangan menekap bagian bawah perut kencang-kencang.
Sambil
keluarkan tawa bergelak perlahan-lahan sosok Jatilegowo bangkit berdiri. Wiro
memperhatikan dengan mata mendelik besar. Dia memutar otak.
"Ilmu
jahanam apa yang dimiliki keparat ini! Kepala jelas-jelas putus. Darah
menyembur. Tapi bisa menclok kembali ke leher. Dan hidup! Gila!"
Ketika
Jatilegowo melangkah ke arahnya, Wiro bergerak mendahului. Kapak Maut Naga Geni
212 dibabatkan ke bawah perut, yang menurut Sri Kemuning adalah titik kelemahan
sang Adipati. Tapi lebih cepat sang Adipati melesat ke udara hingga serangan
Wiro hanya mengenai tempat kosong. Penasaran Wiro mengejar dengan membuat
lompatan yang lebih tinggi. Kapak Naga Geni 212 kembali menderu. Jatilegowo
gerakkan tangan kanan, sengaja hendak menangkis dengan badik karena dia tahu
bahwa senjatanya memiliki kehebatan jauh di atas senjata lawan. Namun kali ini
dia kecele. Wiro bukan saja menghindari bentrokan senjata, tapi dengan memutar
kapak demikian rupa dia berhasil membabat pergelangan tangan lawan.
Tangan
yang putus dan masih memegang Badik Sumpah Darah melayang ke udara. Saat itulah
tiba-tiba dari balik tiang batu besar setinggi dua tombak, melesat sosok
seorang berjubah hitam, mengenakan tarbus hitam berjumbai. Sekali tangannya
bergerak memukul, jari-jari potongan tangan Jatilegowo yang memegang Badik
Sumpah Darah terpentang membuka. Senjata sakti itu melayang jatuh, langsung
disambuti oleh si iubah hitam yang ternyata adalah kakek dari tanah seberang
yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Pattiro-bajo.
"lblis
Seribu Nyawa!" seru Wiro dan Ratu Duyung berbarengan.
Sambil
berdiri acungkan Badik Sumpah Darah tinggi-tinggi ke atas, si kakek tertawa
mengekeh.
"Badik
sakti badik kematian! Akhirnya aku dapatkan dirimu! Semua roh di langit dan di
bumi! Saksikan! Inilah akhir hidup seratus dua puluh tahun Pattirobajo,
berjuluk iblis Seribu Nyawa!" Si kakek palingkan kepalanya ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia menyeringai dan kedipkan mata. "Anak muda,
aku berterima kasih padamu! Kau telah menolong aku mendapatkan senjata
pengakhir hayat ini!" Habis berkata begitu Pattirobajo pegang gagang badik
dengan dua tangan sekaligus. Tubuhnya yang pendek diluruskan hingga kelihatan
tinggi sekali. Lalu kembali dia mengumbar tawa panjang, Tiba-tiba suara tawanya
berhenti. Badik Sumpah Darah ditusukkannya ke dada kirinya hingga menancap
dalam, menembus sampai ke jantung!
Kakek
berjubah hitam itu keluarkan suara mengerang panjang. Perlahan-lahan tubuhnya
menyusut pendek kembali lalu jatuh punggung di tanah. Dua matanya menatap
langit gelap. Sesaat dua tangan masih memegangi gagang badik yang menancap di
dada. Lalu dua tangan itu terkulai jatuh ke sisi. Perlahan-lahan kulit tubuhnya
berubah hitam. Satu senyum menyeruak di mulut si kakek. Bersamaan dengan itu
nyawanya melayang.
Dari
tenggorokan Jatilegowo keluar suara meng-gembor. Dia melangkah mendekati mayat
Pattirobajo untuk mengambil Badik Sumpah Darah. Namun sebelum tangannya sempat
menyentuh gagang senjata yang ber-lumuran darah itu, tiba-tiba terjadi lagi
satu peristiwa aneh. Dari sosok mayat Pattirobajo keluar kepulan asap yang
dengan cepat membentuk sosok seorang kakek berjubah merah, berambut, berkumis
dan berjanggut putih.
Jatilegowo
melengak kaget. Langkahnya terhenti. Mulutnya bergetar ketika berucap.
"Kakek… Kakek Daeng Wattansopeng…"
"Wiro!"
Seru Sri Kemuning. "Kakek itu yang mendatangi diriku dalam mimpi!"
Wiro
terkejut. Semua orang memandang sesaat pada Sri Kemuning yang saat itu telah
membuang dasternya dan membiarkan rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas.
Di depan
sana, sosok kakek berjubah yang keluar dari mayat Pattirobajo membungkuk
mencabut Badik Sumpah Darah yang menancap di dada Iblis Seribu Nyawa. Dia
memandang ke arah Jatilegowo. Sambil melangkah men-dekati Adipati itu dia
berkata.
"Jatilegowo,
matamu masih terang bisa mengenali diriku. Mulutmu masih fasih menyebut namaku.
Allah Maha Besar, Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia telah berlaku seribu
benar. Ketika kau membunuhku dengan badik ini, aku belum menyempurnakan usapan
kekebalan di seluruh tubuhmu. Ada satu bagian yang masih tersisa. Di tempat
itulah terletak titik kelemahanmu!"
Habis
berkata begitu sosok kakek berjubah merah, entah makhluk apa sebenarnya
dirinya, menggerakkan sepasang kaki dan tahu-tahu dia sudah berada di hadapan
Jatilegowo. Badik di tangan kanan dihunjamkan ke bawah perut Adipati itu, tepat
di antara dua pangkal paha. Mulut Jatilegowo terbuka lebar, tenganga tapi tidak
keluarkan suara. Matanya membeliak besar tapi tidak melihat apa-apa. Ketika
Badik dicabut tubuhnya sesaat masih tertegak.
Kakek
berjubah merah gerakkan tangan kanan yang memegang badik, membuat tanda silang
di depan wajah Jatilegowo lalu keluarkan ucapan.
"Sampai
hari Kiamat rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Semoga ummat terbebas
dari kejahatan yang bersumber dari dirimu."
Begitu
selesai ucapannya sosok orang tua inipun berubah menjadi asap tipis dan
akhirnya sirna. Sementara itu sosok Jatilegowo yang tadi masih berdiri,
perlahan-lahan jatuh tersungkur. Sekujur kulit tubuhnya berubah menjadi hitam
mengepulkan asap. Inilah akhir kehidupan jahat dan keji seorang Adipati.
Dikisahkan
kemudian bahwa Keris Kiai Naga Kopek dikembalikan ke Istana. Jenazah Jatilegowo
dibawa ke Salatiga oleh satu-satunya pengawal yang masih hidup. Mayat
Pattirobajo dikubur di kaki bukit oleh tiga orang pengiringnya. Nyi Larasati
yang ternyata telah ditotok oleh Sarontang dan pernah mempunyai kaul akan
mengawini orang yang menolong dirinya, akhirnya melangsungkan perkawinan dengan
Loh Gatra. Pemuda ini memang pantas menerima bahagia besar itu karena dia sejak
lama mencintai Nyi Larasati dan telah beberapa kali mengorban-kan diri untuk
menyelamatkan sang janda. Patih Kerajaan berhasil disembuhkan dengan minuman
air godokan bunga Melati Tujuh Racun. Sang Patih menawarkan jabatan Panglima
Kerajaan pada Pendekar 212 Wiro Sableng, namun murid Sinto Gendeng ini lebih
suka meneruskan perjalanan bersama para sahabatnya. Apa lagi dia masih punya
beberapa tugas berat. Antara lain menemukan Pedang Naga Suci212 dan mencari
Kitab Seribu Pengobatan milik gurunya yang lenyap dicuri orang. Rana Suwarte
yang dititipkan di rumah penduduk desa, entah bagaimana berhasil melarikan diri
hingga selamat dari hukuman Kerajaan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment