Lentera Iblis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
1
PAGI ITU
Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata baru saja selesai sarapan. Dia akan
segera berangkat menuju Keraton untuk menemui Sri Baginda. Banyak hal penting
yang akan dibicarakan. Salah satu diantaranya menyangkut gerakan orang-orang
yang menamakan diri dan mengaku berasal dari Keraton Kaliningrat. Saat keluar
dari ruang makan seorang pengawal datang memberi tahu bahwa Danang Kaliwarda,
kepala pengawal Gedung Bendahara ingin menghadap.
“Danang
Kaliwarda…..” Patih Kerajaan menyebut nama itu. “Aku pernah melihatnya beberapa
kali. Tapi tak pernah bertegur sapa. Pengawal, apa kau tanyakan maksud
kedatangannya?”
“Memang
ada saya tanyakan. Katanya ada hal sangat penting ingin disampaikan. Namun dia
hanya mau bicara langsung dengan Kanjeng Patih,” menerangkan pengawal Gedung
Kepatihan.
Setelah
berpikir sebentar Patih Kerajaan akhirnya berkata pada pengawal. “Aneh juga.
Kalau ada sesuatu urusan penting seharusnya Bendahara Wira Bumi yang datang
menghadap. Kepala Pengawal itu datang seorang diri atau ada yang menemani?”
“Dia
datang seorang diri, Kanjeng Patih.”
“Baiklah,
suruh dia menunggu di pendopo sebelah timur. Suguhkan kopi jika dia belum
sarapan. Aku akan segera menemuinya.”
Gedung
Kepatihan memiliki dua buah pendopo.
Pendopo
besar di sebelah barat, pendopo ke dua di sebelah timur, lebih kecil dan
memiliki dua dinding penutup terbuat dari papan jati berukir pemandangan gunung
Merapi. Di tempat ini Patih Kerajaan biasanya menemui tamu-tamu tertentu.
Danang
Kaliwarda yang duduk bersila di lantai batu pualam bersih dan licin berkilat
cepat-cepat berdiri begitu Patih Sawung Giring Bradjanata muncul, melangkah
menaiki anak tangga pendopo timur.
“Hormat
untuk Patih Kerajaan. Saya Danang Kaliwarda, Kepala Pengawal Gedung Bendahara.”
Danana Kaliwarda berucap lalu membungkuk dalam-dalam.
Patih
Kerajaan menyilahkan tamunya duduk kembali.
Keduanya
kemudian bersila berhadap-hadapan. Seorang pelayan datang menating secangkir
kopi hangat, diletakkan di depan Danang Kaliwarda.
“Danang
Kaliwarda, waktuku tidak banyak karena harus segera menghadap Sri Baginda.
Ceritakan apa maksud kedatanganmu. Apakah Bendahara Wira Bumi yang mengutusmu
datang menghadapku? Sebelum kau menjawab silahkan meneguk kopi lebih dulu.”
“Terima
kasih Kanjeng Patih. Saya minum.” Selesai meneguk kopi hangat Kepala Pengawal
Gedung Bendahara itu meluruskan duduknya lalu berkata. “Kanjeng Patih, saya
mohon maaf kalau kedatangan saya begini mendadak, apa lagi sampai mengganggu dan
menyita waktu Kanjeng Patih. Saya datang dengan kemauan sendiri. Tidak diutus
oleh Raden Mas Wira Bumi.”
Sawung
Giring Brajanata mengangguk. “Langsung saja pada maksud kedatanganmu.”
“Saya
datang untuk menyampaikan satu hal yang sangat rahasia, Kanjeng Patih.”
Patih
Kerajaan angkat kepala sedikit, dua mata menatap lekat-lekat ke wajah tamunya.
“Satu hal yang sangat rahasia katamu. Bagiku ini agak mengejutkan. Hal sangat
rahasia macam apa? Menyangkut pribadi atau ada hubungannya dengan Kerajaan?”
“Dua-duanya,
Kanjeng Patih,” jawab Danang Kaliwarda. “Terlebih dulu saya mohon maaf.
Kejadiannya berlangsung kemarin malam. Terjadi di halaman belakang gedung
kediaman Kanjeng Bendahara. Semula saya merasa bimbang apakah akan memberitahu
hal ini pada Kanjeng Patih atau tidak. Kalau saya memberi tahu berarti saya
melangkahi atasan saya Raden Mas Wira Bumi. Kalau saya tidak memberi tahu
sebagai seorang prajurit saya merasa berdosa pada Kanjeng Patih dan Kerajaan
….”
Patih
Kerajaan berusia enam puluh tahun tapi masih berwajah segar dan klimis usap
dagunya yang ditumbuhi janggut halus dan rapi.
“Teruskan
ceritamu, Danang Kaliwarda.”
“Malam
itu gedung kediaman Bendahara kedatangan tamu seorang lelaki tinggi kurus
dengan penampilan serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Walau dia tidak
menyebut nama namun Saya tahu siapa dia karena sebelumnya sudah pernah datang
menemui Raden Mas Wira Bumi. Orang itu saya kenal dengan nama Eyang Tuba
Sejagat. Pada kedatangannya yang kedua kali ini saya lihat ada sesuatu yang
terjadi dengan tubuhnya sebelah luar dan sebelah dalam. Agaknya dia menderita
luka dalam parah. Seperti mengalami keracunan yang sangat hebat. Mungkin saya
menyalahi adat, namun entah mengapa saya begitu ingin mengetahui apa yang
dibicarakan sang tamu dengan Raden Mas Wira Bumi.
Ternyata
kecurigaan saya ada hikmahnya. Rupanya, sebelumnya Raden Mas Wira Bumi telah
memberi tugas pada Eyang Tuba Sejagat untuk membunuh dengan cara meracuni
seorang Kiai yang diam di puncak Gunung Gede bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas …..”
Sikap dan
air muka Patih Kerajaan langsung berubah mendengar ucapan Danang Kaliwarda itu.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas adalah seorang suci berilmu tinggi yang dianggap setengah
Dewa. Dia banyak membantu Kerajaan. Kalau ada orang jahat ingin membunuhnya pasti
ada satu masalah besar dibalik perbuatan keji itu. Danang, teruskan
keteranganmu.”
“Ternyata
Eyang Tuba Sejagat gagal melaksanakan tugas. Dua pembantunya tewas. Dia malah
dicekoki Racun Akar Bumi miliknya sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Untuk
mengobati dirinya yang keracunan dia harus membeli obat dari seorang tabib.
Obat itu mahal sekali. Eyang Tuba Sejagat minta agar Raden Mas Wira Bumi mau
memberikan sejumlah uang. Dia berjanji kalau sudah sembuh akan segera
melaksanakan tugas berikutnya.” Sampai di situ Danang Kaliwarda tidak
meneruskan ucapan, dia menatap sang patih dengan bayangan rasa takut pada
wajahnya.
“Kepala
Pengawal, kau kelihatan seperti bimbang atau takut meneruskan ucapan ….”
“Maafkan
saya Kanjeng Patih. Terus terang saya memang merasa takut karena apa yang
hendak saya katakan menyangkut langsung diri Kanjeng Patih.”
“Katakan
saja. Mengapa harus takut?”
“Tugas
berikut yang dikatakan oleh Eyang Tuba Sejagat itu adalah membunuh Kanjeng
Patih.” Walau suaranya agak bergetar meluncur juga ucapan itu dari mulut Danang
Kaliwarda.
Sosok
Patih Kerajaan seolah berubah menjadi patung, diam tak bergerak. Air mukanya
berubah. Namun sesaat kemudian seringai muncul di wajahnya.
“Apakah
ucapanmu bisa aku percaya Danang Kaliwarda?”
“Demi
Gusti Allah saya bersumpah saya tidak berdusta.”
“Kalau
begitu lanjutkan ceritamu. Apa yang terjadi kemudian?”
“Raden
Mas Wira Bumi tidak memberi uang yang diminta. Malah Eyang Tuba Sejagat
dibunuh. Kepalanya dipukul hingga rengkah!”
“Dengan
tangan kosong?”
“Betul
Kanjeng Patih. Raden Mas Wira Bumi menghabisi Eyang Tuba Sejagat dengan pukulan
tangan kosong. Tangan kanan.” Jawab Danang Kaliwarda sambil mengepal dan
mengangkat tangan kanannya sendiri.
“Ceritamu
hebat! Luar biasa! Tapi tunggu dulu.
Setahuku
Bendahara Wira Bumi tidak memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang sanggup
membuat rengkah kepala orang. Kau berdusta padaku, Danang Kaliwarda!”
Patih
Kerajaan berkata dengan mata menatap tak berkesip ke mata orang di hadapannya.
Danang
Kaliwarda susun sepuluh jari di atas kepala.
“Saya
mana berani berdusta Kanjeng Patih. Saya sudah mengucapkan sumpah. Mungkin
Kanjeng Patih tidak tahu kalau beberapa waktu belakangan ini Raden Mas Wira
Bumi telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang sakti di pantai selatan.”
“Yang aku
tahu Wira Bumi pernah minta waktu istirahat cukup lama. Katanya untuk mengobati
penyakit yang diidapnya. Rupanya dia berguru pada seseorang. Kau tahu siapa
orang sakti yang jadi gurunya itu?”
“Saya
tidak tahu. Ada seorang pembantu yang dulu pernah bekerja pada Raden Mas Wira
Bumi sewaktu dia masih menjadi Tumenggung. Pembantu itu bernama Djaka Tua.
Kabarnya dia yang tahu siapa adanya guru Raden Mas Wira Bumi. Hanya sayang dia
telah lenyap melarikan diri ….”
“lstri ke
tiga Wira Bumi bernama Nyi Retno Mantili juga lenyap dan sampai saat ini tidak
pernah ditemukan.”
“Kanjeng
Patih, saya yakin lenyapnya pembantu serta istri Raden Mas Wira Bumi saling
punya kaitan. Maaf, ijinkan saya melanjutkan keterangan. Setelah Eyang Tuba
Sejagat tewas, saya diperintahkan membuang mayatnya.
Mayat
saya buang malam itu juga ke dalam sebuah jurang di pinggir selatan Kotaraja.”
“Aku
tidak percaya dan merasa sangat aneh. Wira Bumi ingin membunuhku lewat tangan
Eyang Tuba Sejagat. Aku tidak ada permusuhan dengan dirinya. Ketika istrinya
lenyap aku memerintahkan pasukan besar untuk mencari. Jabatannya yang baru
sebagai Bendahara Kerajaan juga aku yang mengusulkan kepada Sri Baginda.
Lalu dia
ingln membunuhku. Apa dia sudah gila. Wira Bumi bukan saja membalas air susu
kebaikanku dengan air tuba, tapi malah dengan darah!” Patih Kerajaan gelengkan
kepala berulang kali.
“Ada dua
kejadian lagi malam itu yang perlu saya beri tahu pada Kanjeng Patih.” Kata
Danang Kaliwarda pula.
“Apa?”
Tanya sang Patih. Dia seolah melupakan waktunya yang sangat terbatas serta
rencana menemui Sri Baginda pagi itu.
“Selesai
saya membuang mayat Eyang Tuba Sejagat saya kembali ke Gedung Bendahara. Tak
sengaja saya lihat jendela kamar tidur Raden Mas Wira Bumi dalam keadaan
sedikit terbuka dan lampu di dalam kamar menyala terang benderang. Mungkin
Raden Mas Wira Bumi sudah tertidur dan lupa menutup jendela. Saya bermaksud
hendak menutup jendela itu namun di dalam kamar saya lihat Raden Mas Wira Bumi
tengah menggeluti seorang perempuan cantik di atas ranjang. Keduanya dalam
keadaan bugil …..”
“Semua
orang tahu Raden Mas Wira Bumi punya tiga orang istri termasuk Nyi Retno
Mantili. Apakah perempuan yang bersamanya saat itu bukan salah satu dari dua
istrinya yang lain?”
Danang
Kaliwarda gelengkan kepala.
“Tidak Kanjeng
Patih. Perempuan yang digauli Raden Mas Wira Bumi itu bukan salah satu dari dua
istrinya. Saya tidak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Ada keanehan
dengan auratnya. Salah satu buah dadanya, yang sebelah kiri sangat besar.”
“Apa
perempuan itu terus berada di Gedung Bendahara sampai pagi? Menginap?”
“Tidak
Kanjeng Patih. Saya bersembunyi di satu tempat setelah lebih dulu memberi
perintah pada anak buah yang bertugas malam itu agar jangan sekali-kali
melewati atau berada di dekat jendela. Menjelang pagi jendela terbuka. Saya
lihat perempuan itu melesat keluar kamar, masih dalam keadaan bugil, menenteng
pakaian lalu lenyap di arah timur. Gerakannya luar biasa cepat pertanda dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak selang berapa lama saya lihat Raden Mas
Wira Bumi keluar pula dari gedung, berjalan cepat menuju bagian luar tembok
sebelah selatan. Saya mengikuti. Raden Mas Wira Bumi berjalan menuju satu
rumpunan pohon bambu. Ternyata di situ ada sosok seorang lelaki, terjepit tak
berdaya di antara empat batang bambu. Ketika saya perhatikan ternyata orang itu
adalah Djaka Tua, bekas pembantu di Gedung Tumenggung dulu. Saya dengar Raden
Mas Wira Bumi menanyakan bayinya dan sebilah golok. Dia menuduh Djaka Tua telah
menculik bayi itu dan mencuri golok. Menurut pengakuan Djaka Tua bayi dan golok
diambil oleh seorang kakek tinggi putih. Dia tidak tahu siapa adanya kakek itu
dan berada dimana. Raden Mas Wira Bumi kemudian mencekik leher Djaka Tua.
Hampir pembantu itu menemui ajal tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. Dia
mengatakan sesuatu tapi tak jelas saya dengar. Kemudian ada dua larik sinar
putih menderu disertai dua letusan dahsyat dan menebarnya kabut aneh.
Raden Mas
Wia Bumi selamat dari serangan dua larik sinar putih. Namun saat itu Djaka Tua
tak ada lagi di tempat itu.
Saya
segera mendekati Raden Mas Wira Bumi dan menanyakan apa yang terjadi. Dia
menjawab tidak terjadi apa-apa di tempat itu dan mengatakan saya bermimpi lalu
…..”
Entah apa
yang terjadi mendadak udara di pendopo sebelah timur Gedung Kepatihan itu
berubah redup seolah siang telah berganti malam. Satu bayangan merah berkelebat
disertai membahananya bentakan perempuan.
“Danang
Kaliwarda, manusia busuk pengkhianat atasan! Kau memang tidak dalam alam mimpi
tapi tengah menuju alam kematian!”
Dua orang
yang duduk di lantai pendopo sama terkejut.
Patih
Kerajaan merasa sambaran angin menerpa di samping kanan. Di lain kejap seorang
nenek kurus bungkuk tahu-tahu telah berdiri di depannya. Muka keriput, rambut
riap-riapan serta pakaiannya yang berupa selempang kain, semua berwarna merah.
Patih Kerajaan bahkan melihat bagaimana sepasang mata termasuk alis, lidah dan
gigi nenek ini juga berwarna merah menggidikkan.
Danang
Kaliwarda tidak tahu siapa adanya nenek serba merah ini. Namun dari ucapannya
tadi dia bisa menduga jangan-jangan perempuan tua ini adalah orang sakti guru
Wira Bumi. Dadanya berdebar, muka pucat.
Sementara
Patih Kerajaan maklum siapapun adanya nenek serba merah ini dia adalah seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sang Patih mencium adanya bahaya.
Serta
merta dia berdiri dan menegur dengan suara datar.
“Nenek
muka merah, antara kita tidak saling kenal.
Mengapa
berani masuk ke Gedung Kepatihan tanpa ijinku”
Si nenek
yang bukan lain adalah Nyai Tumbal Jiwo, guru Raden Mas Wira Bumi hamburkan
suara tawa bergelak.
“Aku
datang dan pergi kemana aku suka! Siapa berani melarang!” .
Walau
merasa dianggap enteng namun Patih Sawung Giring Bradjanata masih bicara dengan
suara rendah.
Malah
dengan seringai tersungging di mulut.
“Rupanya
aku berhadapan dengan seorang perempuan tua kurang ajar. Nenek muka merah,
dengar.
Aku masih
memberi pengampunan padamu jika kau mau angkat kaki dari tempat ini sekarang
juga!”
“Kalau
aku tak mau minggat?!” Nyai Tumbal Jiwo menantang.
Habislah
kesabaran sang patih. Dia berteriak memanggil pengawal. Tiga pengawal segera
muncul.
Sesaat
mereka terheran-heran menyaksikan udara di pendopo redup seperti itu.
“Ringkus
perempuan tua muka merah itu. Bawa dia keluar dari Gedung Kepatihan. Jika
berani masuk lagi tangkap!”
Tiga
pengawal bertubuh kekar segera lakukan perintah Patih Kerajaan. Namun apa yang
terjadi kemudian membuat Patih Sawung Giring Bradjanata terkejut luar biasa,
juga merinding. Ketika hendak disergap, nenek muka merah berkelebat. Lalu tiga
larik sinar merah berkiblat. Tiga pengawal menjerit. Ketiganya terpental sejauh
dua tombak. Terguling di lantai pendopo dalam keadaan sekujur tubuh melepuh
serta kepulkan asap! Selagi Patih Kerajaan terkesiap begitu rupa si nenek
kembali berkelebat dan tahu-tahu keris milik sang Patih telah berada di tangan
sl nenek sementara sarungnya masih tersisip di pinggang Patih Sawung Giring.
Selaku
Patih Kerajaan Sawung Giring Bradjanata tentu saja memiliki kepandaian tinggi.
Namun kalau senjata di pinggangnya dapat dirampas orang, berarti si perampas
memiliki kehebatan melebihi dirinya.
“Tua
bangka kurang ajar! Kembalikan kerisku!” teriak Patih Kerajaan marah besar.
Lalu tubuhnya melesat ke depan. Tidak sungkan lagi dia langsung kirimkan
pukulan kilat ke arah kepala nenek muka merah. Nyai Tumbal Jiwo merunduk.
Tertawa cekikikan.
Perkelahian
hebat segera terjadi. Seolah melecehkan, si nenek hanya pergunakan tangan kanan
untuk melayani lawan sementara tangan kiri memegang keris tanpa sarung. Setiap
terjadi bentrokan lengan Nyai Tumbal Jiwo terjajar dua langkah ke belakang
sebaliknya Patih Kerajaan merasa kesakitan amat sangat seolah tangannya
membentur pentungan besi.
Dalam
jurus ke empat setelah menggempur habishabisan dengan mengeluarkan jurus
bernama Menusuk Bumi Menikam Langit Patih Sawung Giring Bradjanata berhasil
mendaratkan jotosan tangan kanannya ke dada kiri lawan. Nyai Tumbal Jiwo
meraung setinggi langit. Asap merah mengepul dari ubun-ubunnya. Bagian yang
barusan kena dipukul adalah tepat payudara sebelah kiri yang bengkak besar.
Walau dasarnya adalah mahluk dari alam roh, namun tetap saja dia mengalami luka
dalam yang hebat. Nyai Tumbal Jiwo semburkan ludah campur darah dari mulutnya.
Sepasang mata laksana memancarkan kilatan api. Dari ubun-ubun mengepul asap
merah tipis.
“Patih
jahanam! Terbanglah ke akhirat!” Mulut berucap lima jari tangan kanan
menjentik!
“Wuutt…
wuutt… wuutt… wuutt… wuuttt!”
Lima Jari
Akhirat!
Lima
larik sinar merah berkiblat. Patih Kerajaan berusaha menghindar sambil dua
tangan melepas pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi, namun tetap jebol!
Seperti diketahui terhadap serangan Lima Jari Akhirat jarang lawan bisa lolos.
Kalaupun sanggup bertahan maka sekujur tubuhnya akan melepuh cacat dan
menderita kesakitan seumur hidup. Patih Sawung Giring menjerit keras ketika
empat dari lima sinar merah menyapu dirinya. Tubuhnya terpental menghantam
salah satu tiang pendopo. Tiang patah, sosok Sawung Giring Bradjanata terkapar
di lantai dalam keadaan hangus mengerikan!
“Anjing
pengkhianat! Kau mau lari kemana?!” bentak Nyai Tumbal Jiwo ketika Danang
Kaliwarda dilihatnya berusaha hendak kabur.
“Aku
tidak punya dosa kesalahan apa-apa terhadapmu ….”
“Manusia
anjing kurap! Tutup mulutmu! Siapa bilang kau tidak punya dosa kesalahan
terhadapku! Aku Nyai Tumbal Jiwo adalah guru dan kekasih Wira Bumi yang kau
khianati! Aku tahu malam itu kau mengintip dibalik jendela sewaktu aku bercinta
dengan Wira Bumi. Apa kau tergiur?
Apakah
kau ingin melakukannya padaku? Hik … hik..hik!
Kau belum
pantas melayaniku! Kau lebih cocok kalau aku kirim keakhirat seperti majikan
besarmu itu! Hik … hik … hik!”
Nyai
Tumbal Jiwo menyergap.Keris di tangan kanan menderu ke arah dada Danang
Kaliwarda. Kepala Pengawal Gedung Bendahara ini cepat melompat mundur sambil
menghunus golok besar.
“Kau
punya nyali juga! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Tangan kanan Nyai
Tumbal Jiwo yang memegang keris berkelebat laksana kilat. Serangan ganasnya
membuat Danang Kaliwarda kelabakan. Dalam waktu beberapa kejapan saja dia telah
menghunjamkan empat tusukan dan tiga babatan keris ke tubuh Kepala Pengawal
Gedung Bendahara Kerajaan itu.
Danang
Kaliwarda hanya sempat menangkis satu kali.
Lalu
tubuhnya roboh. Darah bersimbah dari luka-luka di sekujur tubuh dan
tenggorokan.
Dengan
tenang sambil menyeringai Nyai Tumbal Jiwo melangkah mendekati mayat Sawung
Giring Bradjanata.
Keris yang
dipegangnya digenggamkan ke dalam jari-jari tangan Patih Kerajaan itu. Sebelum
meninggalkan pendopo timur nenek muka merah ini hampiri sosok Danang Kaliwarda
yang tengah sakarat. Enak saja dan kurang ajar sekali, tangan kanannya
disusupkan, merabaraba ke balik celana Kepala Pengawal itu, kepala mendongak,
wajah menyeringai.
“Aaahh,
rnenyesal aku membunuhnya terlalu cepat.
Seharusnya
aku coba dulu yang satu ini. Hik … hik … hik.”
Sesaat
setelah Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu, udara di pendopo kembali cerah.
Hari itu
juga Kotaraja dilanda geger besar. Tersiar kabar bahwa telah terjadi
perkelahian antara Patih Kerajaan dengan Kepala Pengawal Gedung Bendahara.
Kedua-duanya
tewas. Di duga kedua orang ini telah mengadu jiwa akibat satu dendam atau perkara
yang tidak diketahui apa adanya. Hanya saja tidak ada yang bermata jeli dan
menyelidik lebih jauh akan keadaan mayat Patih Sawung Giring. Danang Kaliwarda
tidak memiliki ilmu kesaktian yang mampu membuat dia membunuh lawannya sampai
sekujur tubuh sang Patih melepuh hangus!
Dua puluh
hari setelah peristiwa berdarah itu, Raden Mas Wira Bumi dipercayakan Sri
Baginda untuk menduduki jabatan Patih Kerajaan. Malam harinya Nyai Tumbal Jiwo
datang menemui Wira Bumi, minta dihibur sampai pagi.
Dan Wira
Bumi melayani sepenuh hati karena dia menyadari jabatan Patih Kerajaan itu
didapatnya dari hasil pekerjaan licik dan keji si nenek dari alam roh itu.
**********************
2
HUJAN
luar biasa lebat mengguyur puncak Gunung Merapi. Walau saat itu siang hari
namun keadaan tidak beda seperti malam. Setiap angin bertiup kencang
ranting-ranting serta daun pepohonan bergoyang dan bergesek mengeluarkan suara
bersiur panjang menggidikkan.
Dalam
cuaca buruk begitu rupa Pangeran Matahari berlari ke arah utara puncak gunung.
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Nyi Bodong) setelah ditimpa
malapetaka berulang kali, Pangeran Matahari menemui gurunya Si Muka Bangkai
alias Si Muka Mayat melalui tapa Aras Bumi Aras Langit. Sesuai petunjuk sang
guru saat itu dia tengah menuju sebuah goa yang puluhan tahun silam pernah
menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai.
Karena
sudah sekian lama, ditambah keadaan cuaca yang gelap, di bawah hujan lebat
pula, meski pernah tinggal di situ, cukup sulit bagi Pangeran Matahari untuk
mencari goa tersebut.
Sementara
berlari dia ingat semua ucapan Si Muka Bangkai.
“Kau
pergilah ke puncak Gunung Merapi sebelah utara, ke bekas goa tempat kediamanku.
Di sana kau akan menemukan seperangkat pakaian yang harus kau pakai begitu
turun gunung. Di dalam goa kau akan menemukan pula sebuah lentera yang hanya
bisa menyala jika kau isi dengan minyak kasturi ini. Pada dinding goa kau akan
melihat guratan tulisan yang aku buat sebagai petunjuk penggunaan dan kegunaan
benda itu. Untuk sementara sampai keadaan aman bagimu, kau hanya boleh menampakkan
diri pada malam hari. Demi keselamatanmu kau harus membawa dan menyalakan
lentera itu kemanapun kau pergi. Kau harus sadar musuhmu kini bukan hanya murid
Sinto Gendeng keparat itu. Banyak orang lain yang menginginkan nyawamu! Sebelum
aku lupa, ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Lentera yang aku katakan
tadi sekali-kali tidak boleh terkena atau bersentuhan dengan cairan atau air
yang keluar dari tubuh manusia. Misal air mata, air keringat, air kencing
bahkan air mani! Ha.. .ha.. .ha! Pokoknya semua air yang berasal dari tubuh
manusia! Kalau larangan itu sampai dilanggar kau akan ditimpa malapetaka besar!
Pergilah ke goa di puncak Merapi. Kau akan mengetahui apa yang harus kau
lakukan. Satu hal harus kau ingat. Selesai membaca dan memahami guratan
tulisanku di dinding goa, tulisan itu harus kau kikis habis. Harus kau
lenyapkan!”
Hujan
bertambah lebat dan udara semakin gelap.
Sesekali
kilat menyambar. Puncak gunung Merapi sesaat jadi terang benderang. Walau
sangat singkat namun cukup memberi petunjuk pada Pangeran Matahari kemana
dimana dia berada saat itu dan kemana dia harus meneruskan larinya.
Karena
hujan tak kunjung berhenti dan udara semakin gelap, kawatir akan kesasar,
Pangeran Matahari akhirnya memutuskan untuk mencari tempat berteduh.
Kalau
cuaca sudah baik baru dia melanjutkan perjalanan.
Ketika
kilat kembali menyambar dan keadaan terang benderang sekilas, mata tajam sang
Pangeran sempat melihat satu lamping bukit ditumbuhi sederetan pohonpohon
besar. Pada bagian bawah deretan pohon sebelah tengah ada satu cekungan tanah
cukup dalam. Tanpa pikir panjang Pangeran Matahari segera berlari memasuki
cekungan tanah itu. Cukup lama dia duduk berteduh di situ sampai akhirnya hujan
mulai reda dan langit perlahanlahan bersih benderang.
Sekitar sepenanakan
nasi akhirnya Pangeran Matahari berhasil menemukan goa yang pernah menjadi
kediaman guru dan dirinya sendiri. Goa ini terletak di lamping sebuah kali
kecil yang saat itu airnya meluber banjir kemana-mana. Begitu sampai di depan
goa Pangeran Matahari mencium bau tengik menyesakkan pernafasan.
Melangkah
masuk ke dalam goa sejauh tujuh langkah bau tengik itu semakin keras dan seolah
mencekik jalan nafas.
Dadanya
berdebar, dua lutut terasa goyah. Langkah tertahan. Pangeran Matahari segera
kerahkan tenaga dalam, tutup saluran pernafasan untuk beberapa lama sampai
perasaannya tenang kembali dan getaran di kedua lutut lenyap. Hati-hati,
penuhwaspada dia melanjutkan langkah.
“Aneh,
seharusnya goa ini berada dalam keadaan gelap gulita. Mengapa seperti ada cahaya
datang dari sebelah dalam? Mungkin lenteranya sudah menyala?”
membatin
Pangeran Matahari lalu dia meraba bagian pakaian di balik mana dia menyimpan
tabung berisi minyak kasturi yang diberikan Si Muka Bangkai. Dia ingat, lentera
yang ada di dalam goa hanya bisa dinyalakan dengan minyak kasturi itu.
Setelah
lewat tujuh langkah lagi memasuki goa bau tengik yang menyesakkan dada mendadak
lenyap, kini berganti dengan bau wangi kulit pohon kayu manis, yang menebar
rasa segar. Di sisi kanan goa ada satu gundukan batu. Di atas batu ini terletak
seperangkat pakaian berupa jubah hitam panjang selutut, serta celana hitam dan
gulungan kain ikat kepala berwarna merah. Ketika Pangeran Matahari
mengembangkan jubah hitam, pada bagian dada terpampang gambar matahari bulat
besar berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna merah. Pangeran
Matahari terdiam sejurus. Dia ingat, baju dan celana hitam serta ikat kepala
merah adalah perangkat pakaian yang dikenakannya pertama kali sewaktu turun
gunung. Hanya kali ini baju ditukar menjadi jubah dan bentuk gambar matahari
berbeda dari yang dulu. Dia juga ingat pesan gurunya bahwa pakaian itu baru
boleh dikenakan jika dia siap turun gunung. Apakah pakaian dan ikat kepala itu
merupakan tanda bahwa dia akan turun gunung untuk kedua kalinya, membuka
lembaran baru dalam rimba persilatan?
Sang
Pangeran lanjutkan langkah. Baru menindak dua langkah mendadak telinganya
mendengar suara orang mengorok. Suara ini datang dari bagian dalam goa.
Membuat
Pangeran Matahari menjadi penuh tanda tanya.
“Ada
orang tidur di dalam sana. Siapa? Mungkin guru? Tapi dia sudah meninggalkan
pesan baru akan kembali lagi tiga ratus hari yang akan datang.”
Pangeran
Matahari usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar lalu kembali teruskan
langkah. Kali ini lebih perlahan sambil tangan kanan siap sedia membekal dan
melepas pukulan sakti jika mendadak ada bahaya tak terduga mengancam. Semakin
jauh masuk ke dalam goa semakin terang cahaya yang datang dari sebelah dalam
dan bertambah keras suara mendengkur.
Tiga
langkah di depan sana goa membelok ke kiri. Tujuh langkah dari kelokan, goa itu
sampai pada ujungnya.
Pangeran
Matahari masih belum melihat, lentera yang dikatakan Si Muka Bangkai. Mungkin
berada di bagian ujung goa, dibalik kelokan. Mau tak mau berdebar juga dada
sang Pangeran ketika dia melangkah memasuki kelokan. Suara tertahan keluar dan
mulutnya begitu melewati kelokan dan memandang ke depan. Tujuh langkah di
seberang sana, goa berakhir pada satu dinding batu. Ujung goa terlihat rata,
membentuk sebuah ruangan batu berukuran dua kali tiga tombak. Ruangan ini
bersih sekali seperti ada yang barusan menyapunya. Di sinilah dulu dia pernah
tinggal bersama Si Muka Bangkai selama bertahun-tahun. Kenangan akan masa lalu
serta merta buyar, berubah dengan rasa kaget luar biasa ketika Pangeran
Matahari melihat bagaimana di salah satu sudut ruangan bergelung sosok besar
seekor ular hitam berkilat, kepala menjulai ke lantai goa, mata terpejam, mulut
sedikit terbuka. Dan dari mulut inilah keluar suara mendengkur keras seperti
dengkur manusia! Tubuh ular yang berkilat itulah yang memancarkan cahaya
menerangi sepanjang goa. Untuk beberapa lama Pangeran Matahari tegak setengah
memicingkan mata karena kesilauan.
“Ular
mendengkur seperti manusia…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Keanehan ini
membuat dia berlaku waspada dan pentang mata lebar-lebar. Dia masih belum
melihat lentera yang dikatakan sang guru. Dia juga tidak melihat
guratan-guratan tulisan seperti yang dikatakan Si Muka Bangkai. Pangeran
Matahari memandang berkeliling.
Matanya
kembali memperhatikan sosok ular hitam di sudut ruangan. Ah! Kali itulah dia
baru melihat. Di dalam lingkar sebelah dalam gelungan tubuh ular hitam besar
terdapat satu benda yang bukan lain adalah sebuah lentera. Bagian atas lentera
terbuat dari bahan tembus pandang semacam kaca tebal berwarna merah, kuning dan
hitam, diikat oleh sejenis logam berwarna hilam, lengkap dengan pegangan
berbentuk kepala naga. Bagian bawah lentera tidak terlihat karena tentutup
gelungan tubuh ular hitam.
“Gila.
bagaimana aku mau mengambil lentera? Ular besar itu menggelung seperti
menjaganya. Si Muka Bangkai, dia hanya membuat diriku susah saja. Di dinding
goa aku sama sekali tidak melihat guratan tulisan seperti yang dikatakannya!
Guru tidak pernah menyebut perihal binatang ini. Apakah ular ini datang begitu
saja, kesasar di dalam goa karena hujan lebat di luar sana? Atau apakah Si Muka
Bangkai menipuku. Sebenarnya dia sengaja memasang perangkap, ingin membunuhku
di tempat ini?!”
Baru saja
Pangeran Matahari berkata dalam hati begitu rupa, tiba-tiba ular hitam besar di
sudut ruangan keluarkan suara mengorok lebih keras hingga lantai goa terasa
bergetar. Kepala binatang ini terangkat dan sepasang mata terbuka sedikit,
berputar melirik ke arah Pangeran Matahari. Sang Pangeran tercekat sewaktu
menyaksikan bagaimana dari sepasang mata ular hitam besar ada cahaya menyambar.
Cahaya kematian!
Kemudian
ular ini kembali lunjurkan kepala di lantal dan lanjutkan tidur mendengkurnya!
“Aku
harus dapatkan lentera itu. Bagaimana caranya?
Apakah
aku harus membunuh ular hitam itu terlebih dulu?”
Pangeran
Matahari berdiri tak bergerak. Sepasang mata menatap ke arah ular hitam
sementara otak mulai bekerja. Cukup lama dia bersikap seperti itu,
perlahanlahan Pangeran Matahari turunkan badan, duduk bersila di sudut yang
berlawanan dengan ular besar hitam yang menggelung lentera. Dua telapak tangan
dikembangkan, lalu diletak ditekankan ke lantai goa. Bersamaan dengan itu murid
Si Muka Bangkai ini kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti mengandung kekuatan
dahsyat, disalurkan ke lantai goa dan diarahkan ke sudut ruangan di
seberangnya.
Lantai
goa yang dialiri tenaga dalam dan hawa sakti yang keluar dari tubuh Pangeran
Matahari tampak retak mengepulkan asap kemerahan. Retakan dan kepulan asap ini
bergerak ke arah sudut ruangan dimana ular hitam besar bergelung. Lentera di
dalam gelungan bergoyanggoyang.
Sesaat
kemudian tubuh ular ini kelihatan ikut mengepulkan asap. Suara dengkuran serta
merta lenyap.
Sepasang
mata membuka. Kepala tersentak naik ke atas dan mulut yang tertutup kini menganga.
Lidah terjulur memancarkan cahaya biru menyilaukan. Dari mulut binatang ini
kemudian mendadak keluar suara tawa panjang. Suara tawa perempuan!
Jelas
sudah binatang ini adalah mahluk jejadian!
Yang
membuat Pangeran Matahari jadi melengak kaget bukan hanya karena menyadari
bahwa binatang itu bukan ular sungguhan, atau mendengar tawanya yang
menggidikkan, tetapi juga karena merasakan bagaimana tenaga dalam dan hawa
sakti panas yang dikirimkannya ke arah ular hitam itu kini membalik mengarah
dirinya dengan kekuatan berlipat ganda. Retakan di lantai batu tampak merah
membara saking panasnya. Kepulan asap bukan lagi berwarna merah tapi berubah
biru pertanda panasnya sangat luar biasa! Yang sangat dikawatirkan Pangeran
Matahari adalah rusaknya lentera akibat hawa panas luar biasa.
“Plaakk!”
Tiba-tiba
ular hitam sentakkan ekor, menghantam lantai goa. Saat itu juga hawa panas dan
kepulan asap biru menyambar dahsyat. Pangeran Matahari berteriak keras. Dua
tangan dipukulkan. Satu menghantam ke depan ke arah ular hitam, satunya lagi
untuk membuyarkan serangan hawa panas dan kepulan asap biru.
“Buumm!”
“Buumm!”
Dua
letusan dahsyat menggelegar. Goa batu laksana digoncang gempa. Pangeran
Matahari terpental sampai ke tikungan goa. Dia merasa tubuhnya seperti hancur
lebur.
Rasa
sakit menjalar dari ubun-ubun sampai ke jari kaki.
Namun
ternyata dia masih hidup dan mampu berdiri.
Hanya
saja ketika memperhatikan keadaan dirinya, tengkuknya langsung dingin. Jubah
kelabu yang dikenakannya kini telah berubah hitam hangus dan mengepulkan asap!
Di dalam goa sana terdengar suara tawa sang ular, suara tawa perempuan!
“Aneh,
kalau pakaianku hangus seharusnya aku mengalami cidera berat. Bahkan bisa mati!
Ada satu kekuatan melindungi diriku …” Pangeran Matahari berucap dan
bertanya-tanya dalam hati. Rasa jerihnya perlahanlahan lenyap, berganti dengan
rasa percaya diri.
“Pangeran
Matahari, aku tahu kedatanganmu kemari adalah untuk mengambil lentera. Aku akan
memberikan padamu asal kau mau menukar dengan sesuatu!”
Ada orang
bicara di dalam goa! Suara perempuan!
Ular
itukah yang mengeluarkan ucapan?!
Belum
lenyap gema suara ucapan di dalam goa, Pangeran Matahari telah melompat
melewati tikungan dan berdiri lima langkah di hadapan ular hitam.
“Mahluk
jahanam! Jejadian siapa kau adanya?! Apa maksudmu menukar lentera itu dengan
sesuatu?!”
Pangeran
Matahari membentak sambil tangan kiri menyiapkan Pukulan Telapak Matahari yang
diwarisinya dari Si Muka Bangkai sementara tangan kanan siap melepas Pukulan
Menahan Bumi Memutar Matahari. Ini adalah jurus pertahanan sekaligus menyerang
yang didapatnya dari seorang sakti bernama Singo Abang. (Baca Episode berjudul
“Kembali Ke Tanah Jawa”) Ular hitam angkat kepala lebih tinggi. Dua mata
memandang berkilat. Lidah menjulur lalu mulutnya berucap.
“Pangeran
Matahari. Walau banyak lawan telah menggebukmu, walau mukamu sudah menjadi
cacat buruk, sikap dan ucapanmu masih saja sombong pongah seperti dulu! Pasang
telingamu baik-baik.Yang aku minta sebagai pengganti lentera adalah nyawamu!”
Sepasang
mata Pangeran Matahari mendelik berkilat.
Rahang
menggembung dan pelipis bergerakgerak. Kepala mendongak lalu dia tertawa
bergelak.
“Mahluk
jejadian! Ketololan akan membawa celaka bagimu! Kau tidak berada di alammu,
mengapa berani bicara congkak?! Lekas menyingkir dari goa ini atau kau akan
menerima azab yang akan membuat rohmu tergantung lumpuh antara langit dan
bumi!”
Ular di
sudut ruangan kembali tertawa panjang.
“Kau
tidak tahu indahnya hidup di alam roh.
Sebaliknya
apakah kau pernah merasakan hidup sengsara dipendam dua puluh satu tombak di
dalam tanah? Hik … hik … hik! ltulah nasib yang bakal kau alami!”
Saat itu
Pangeran Matahari sudah siap untuk menyerang ular di sudut ruangan. Namun dia
kawatir serangannya akan merusak lentera. Dia harus mencari akal. Paling tidak
mengulur waktu.
“Ular
betina jejadian! Apakah kekasihmu yang menyuruh datang mencari celaka ke tempat
ini?!”
Mendengar
ucapan Pangeran Matahari sang ular malah tertawa.
“Kau
tidak tahu! Kekasihku adalah dirimu sendiri!”
Pangeran
Matahari melengak kaget dan memaki dalam hati.
“Siapa
kau sebenarnya?!” Bentak murid Si Muka Bangkai.
“Aku
adalah titisan seseorang.”
“Seseorang
siapa?!”
“Seorang
gadis yang pernah kau permainkan, kau jadikan budak nafsu sehingga hamil. Lalu
kau bunuh!”
Kening
Pangeran Matahari mengerenyit. Mulut ternganga.
“Binatang
keparat! Katakan kau ini titisan siapa?!”
“Aku
adalah Pandan Arum. lngat peristiwa di Pangandaran? Di sana kau membunuh aku!”
(Baca Episode berjudul “Kiamat di Pangandaran”)
Pangeran
Matahari jadi tertegun. Apakah binatang jejadian ini tidak menipunya? Benarkah
dia titisan Pandan Arum, adik Bidadari Angin Timur yang hendak menuntut balas
melampiaskan dendam kesumat?! “Akal … akal, cerdik … cerdik! Aku harus punya
segala daya, akal dan kecerdikan …..” Pangeran Matahari berkata dalam hati.
Lalu dia mendengus dan berkata.
“Terlalu
banyak manusia yang aku bunuh! Aku tidak ingat satu persatu! Aku tidak tahu kau
ini Pandam Arum yang mana! Jika mampu harap perlihatkan ujud dirimu yang
sebenarnya!”
“Dajal busuk!
Tumpukan dosa keji membuat matamu buta dan hatimu menjadi batu! Buka mata
lebar-lebar!
Apa kau
masih bisa melihat!”
Ular di
sudut ruangan membuka gelungan, tubuhnya naik ke atas. Kepala dan tubuh
digoyang tiga kali. Wusss!
Asap
putih mengepul. Saat itu juga sosok ular berubah menjadi ujud seorang gadis
berpakaian hitam, rambut hitam, wajah cantik tapi pucat. Sepasang mata berwarna
merah membara pertanda ada pancaran dendam kesumat, menatap tak berkedip ke
arah Pangeran Matahari.
“Pandan
Arum, memang dia ….” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Lalu tidak membuang
waktu lagi karena memang ini kesempatan yang ditunggu, Pangeran Matahari
hantamkan tangan kiri kanan. Tangan kanan melepas Pukulan Tapak Merapi. Tangan
kiri melepas Pukulan Merapi Meletus.
Menghadapi
dua serangan maut yang bisa menghancurkan dirinya dan mampu meruntuh goa
perempuan di dalam ruangan rangkapkan dua tangan di depan dada lalu sepasang
mata dikedipkan.
“Wuss!
wusss!”
Dua larik
slnar merah menderu dahsyat. Dua pukulan sakti yang dilepas Pangeran Matahari
musnah berubah menjadi asap tiga warna. Pangeran Matahari sendiri terpental
jauh, terkapar di lantai goa, mulut kucurkan darah.
“Setan
alas, kenapa tidak mampus?! Aku melihat ada cahaya aneh keluar dari pinggang
manusia jahanam itu!
Kekuatan
pelindung apa yang dimilikinya?!”
Cahaya
aneh berwarna kehijauan yang dilihat perempuan itu juga sempat dilihat Pangeran
Matahari. Dia yakin cahaya itulah yang telah menyelamatkan dirinya walau
mengalami luka dalam yang cukup parah. Pangeran Matahari meraba pinggang kiri.
Jari-jarinya menyentuh sebuah benda. Dia ingat benda itu adalah tabung bambu
berisi minyak kasturi yang diberikan gurunya Si Muka Bangkai. Berarti inilah
benda yang memberikan kekuatan pelindung maha dahsyat padanya. Tidak pikir
panjang lagi Pangeran Matahari segera keluarkan tabung bambu dari balik
jubahnya yang hangus.
Sepasang
mata perempuan di depan sana mengerenyit. Dua kaki rnelangkah mundur ketika
melihat benda yang ada di tangan Pangeran Matahari.
“Minyak
larangan alam roh! Bagaimana bisa berada di tangan manusia jahanam itu?!”
Perempuan dalam ujud gadis bernama Pandan Arum tiba-tiba berkelebat ke sudut
ruangan, berusaha menyambar lentera. Namun Pangeran Matahari bertindak lebih
cepat. Dia melompat menghadang sambil membuka kayu penutup tabung bambu. Tabung
di dekatkan ke wajah Pandan Arum. Bau harum minyak kasturi serta merta memenuhi
ruangan.
Pandan
Arum meraung panjang dan keras. Sosoknya memudar lalu berubah jadi asap dan
bergelung panjang melayang ke arah mulut goa.
Pangeran
Matahari terduduk di lantai. Muka pucat, dada berdebar keras. Tabung bambu
ditutupnya kembali lalu dia beringsut mendekati lentera. Lentera diperhatikan
dengan seksama, dibolak balik beberapa kali. Pada bagian samping bawah yang
merupakan dudukan lentera terdapat sebuah lobang kecil. Di samping lobang
menempel sebongkah benda lembut yang ketika diperhatikan lebih teliti ternyata
adalah lilin. Pangeran Matahari buka kayu penutup tabung bambu. Minyak kasturi
yang ada dalam tabung itu dimasukkan ke dalam lentera lewat lobang kecil.
Lobang kecil kemudian ditutup dengan lilin yang menempel di bagian bawah
lentera. Begitu lobang tertutup terjadilah satu keanehan.
Perlahan-lahan
lentera menyala sendiri, mengeluarkan cahaya terang tiga warna. Hitam, kuning
dan merah. Keadaan di dalam goa menjadi terang benderang.
“Luar
biasa, menyala sendiri tanpa disulut api …”
ucap
Pangeran Matahari penuh kagum. Namun dia masih ingin tahu sampai dimana
kehebatan lentera ini. Ketika dia hendak menyentuh pegangan lentera mendadak
lentera mengiblatkan tiga sinar ke dinding ruangan. Sinar hitam, kuning dan
merah. Saat itu juga pada tiga dinding ruangan terdapat serangkaian tulisan,
tergurat dalam warna hitam, kuning dan merah.
Pada
dinding sebelah kanan, terpampang rangkaian tulisan merah.
Jurus
pertama Lentera Iblis.
Di dalam
hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang
ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke kanan.
Cahaya merah akan berkiblat mencari korban.
!tulah
jurus Api Neraka.
Pangeran
Matahari baca sekali lagi tulisan yang tergurat di dinding goa sebelah kanan
itu. Lalu alihkan padangan ke dindirig sebelah kiri. Di situ terpampang
rangkaian tulisan ke dua, berwarna hitam.
Jurus ke
dua Lentera iblis.
Di dalam
hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang
ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera diputar ke kiri.
Cahaya hitam akan berkiblat mencari korban. Itulah jurus Api Akhirat.
Pangeran
Matahani menatap lurus ke arah dinding ruangan sebelah depan. Di sini tergurat
jurus ketiga Lentera Iblis dalam warna kuning.
Jurus ke
tiga Lentera Iblis.
Di dalam
hidup ada kematian. Di dalam kematian masih ada kehidupan. Dua kaki merenggang
ke depan dan ke belakang. Salurkan tenaga dalam. Lentera didorong ke depan.
Cahaya kuning akan berkiblat mencari korban.
Itulah
jurus Liang Lahat Menunggu.
Pangeran
Matahari usap wajahnya. Dia memandang seputar ruangan batu. Ketika hendak
melangkah mengambil lentera baru dia menyadari bahwa di lantai ruangan ternyata
ada pula serangkaian tulisan, tergurat dalam selang seling tiga warna.
Lentera
hanya akan menyala dalam ruangan dan malam hari serta ketika bahaya mengancam.
Berjalan dan mencari mangsa di malam hari. Istirahat di siang hari.
Lentera
Iblis akan menjaga keselamatan diri. Ingat pantangan niscaya kuasa rimba
persilatan akan berada dalam tangan.
Pangeran
Matahari meneliti lagi seputar ruangan. Tak ada tulisan atau petunjuk lain. Dia
lalu melangkah mengambil lentera. Ketika pegangan lentera berada dalam
genggamannya dia merasa ada hawa aneh menjalar memasuki tubuhnya, mendekam di
bagian perut lalu mengalir ke arah kepala dan ke kaki.
Sebelum
meninggalkan goa, Pangeran Matahari membuka jubah kelabunya yang telah hangus
lalu dirobek.
Sebagian
robekan digulung dan dibalutkan pada pegangan lentera. Ini untuk menjaga agar
keringat dan tangannya tidak menyentuh pegangan lentera. Selesai mengenakan
jubah dan celana hitam serta ikat kepala merah Pangeran Matahari keluar dan
dalam goa. Di luar goa nyala lentera langsung meredup lalu padam. Tanpa
disadari satu kealpaan besar telah dilakukan manusia segala akal segala cerdik
ini. Dia lupa menghapus semua tulisan pada dinding dan lantai goa! Padahal
gurunya Si Muka Bangkai telah sangat memesan dan mengingatkan hal itu.
*************************
Selang
setengah hari setelah Pangeran Matahari meninggalkan goa di puncak utara Gunung
Merapi, menjelang matahari menggelincir memasuki ufuk tenggelamnya, seorang
perempuan tua berpakaian biru gelap berambut panjang awut-awutan berkelebat di
depan mulut goa. Mukanya yang putih menjadi pertanda bahwa dia adalah Nyi
Bodong pendatang baru rimba persilatan yang belakangan ini tengah mengejar
manusia keji berjuluk Hantu Pemerkosa yang diyakininya adalah Pangeran
Matahari.
Bagian
dalam goa tampak gelap. Namun tanpa ragu Nyi Bodong terus saja melangkah masuk.
“Untung Kiai memberiku ilmu melihat di dalam gelap.” Nyi Bodong membatin.
Memasuki
goa Nyi Bodong melihat jejak-jejak kaki yang masih basah di lantai. Dada si
nenek berdebar. Di satu tempat dia menemukan sisa sobekan jubah kelabu
teronggok di lantai goa. “Aku terlambat lagi. Dia memang ada di tempat ini
sebelumnya.”
Nyi
Bodong kecewa besar.
Begitu
melewati tikungan dalam goa, walau penglihatannya agak redup namun Nyi Bodong
mampu melihat empat rangkaian guratan tulisan pada tiga dinding serta lantai
goa. Sementara hidungnya mencium wangi minyak kasturi.
“Lentera
lblis…..” ucap Nyi Bodong perlahan. “Di dinding ada petunjuk tiga jurus
kematian mengandalkan lentera. Aku punya dugaan ada bahaya baru dalam rimba
persilatan. Kemana aku harus mengejar?. “
Nyi
Bodong jongkok di lantai goa. Telapak tangan kanannya diletakkan di atas jejak
kaki yang ada dilantai.
Ketika
dia mengalirkan hawa sakti ke atas jejak kaki, di lereng gunung sebelah
selatan. Pangeran Matahari yang tengah berlari cepat merasa sesuatu menyengat
telapak kaki kanannya hingga dia nyaris tersungkur di tanah.
Bersamaan
dengan itu Lentera lblis yang ada dalam buntalan jubah kelabu mendadak menyala
terang. Di dalam goa kini Nyi Bodong merasakan datangnya serangan balik. Lantai
yang masih ditempeli tangan kanannya mengepulkan asap. Tangan terpental, tubuh
terdorong keras, tersandar ke dinding goa.
“Bahaya
besar! Apakah aku perlu memberi tahu Kiai sebelum melakukan pengejaran?” Nyi
Bodong berdiri agak terhuyung. Lalu nenek muka putih ini dengan cepat
tinggalkan tempat itu. Di satu tempat ketinggian dimana dia dapat melihat jelas
goa bekas kediaman Si Muka Bangkai itu, Nyi Bodong berhenti. Dua kaki
dikembang. Tangan kiri di angkat sebatas kepala, telapak di arahkan ke goa.
Dari mulut melesat keluar suara raungan seperti lolong srigala. Sunyi sesaat lalu
terdengar suara tawa cekikikan. Tangan kanan Nyi Bodong bergerak menyingkap
bagian perut pakaian birunya. Pusar bodong tersembul.
“Wuss!
Wusss!”
Dua sinar
biru berkiblat. Hanya dalam satu kejapan mata, goa di bawah sana runtuh dan
hancur. Longsoran tanah-serta tumbangan pepohonan bergemuruh menimbun. Goa yang
punya peran penting dalam rimba persilatan tanah Jawa itu kini lenyap untuk
selamalamanya.
**********************
3
SANG
SURYA masih belum menyembul di ufuk timur namun di hutan jati itu cuaca sudah
terang-terang tanah. Di bawah sebuah pohon besar Djaka Tua sibuk membelah
batangan-batangan bambu. Hujan besar yang turun malam tadi membuat gubuk
beratap rumbia yang dihuninya bersama Nyi Retno Mantili dan Kemuning mengalami
bocor di beberapa tempat. Kawatir hujan akan turun lagi, pagi-pagi sekali dia
sudah bangun, mencari bambu dan dedaunan besar untuk memperbaiki atap yang
bocor.
Sementara
bekerja kicau burung terdengar bersahutsahutan.
Membelah
bambu mengingatkan bekas pembantu Tumenggung Wira Bumi itu pada kejadian ketika
dirinya ditangkap oleh Nyai Tumbal Jiwo. Ditotok lalu dijepit di rerumpunan
bambu di tembok selatan gedung kediaman Wira Bumi yang waktu itu telah menjabat
sebagai Bendahara Kerajaan. Untung dirinya diselamatkan Nyi Retno. Itu sebabnya
pembantu ini mengangkat sumpah dalam hati, kemanapun Nyi Retno pergi dia akan
selalu mengikuti. Apapun yang terjadi dia akan membela walau harus menumpah
darah menyerahkan nyawa.
Terdengar
suara berkereketan. Pintu gubuk terbuka. Nyi Retno Mantili keluar sambil
menggendong Kemuning, boneka kayu yang dianggapnya sebagai anaknya yang hilang.
“Sepagi
ini kau sudah sibuk. Apa yang kau kerjakan?” bertanya Nyi Retno.
“Hujan
malam tadi lebat sekali.Atap gubuk kita banyak yang bocor. Harus cepat
diperbaiki. Saya kawatir hujan turun lagi. Kasihan si kecil Kemuning kalau
sampai terkena tirisan air hujan. Dia bisa sakit.”
Nyi Retno
tersenyum. Walau sampai saat itu pikirannya masih tidak waras namun ada kalanya
ucapan yang menyentuh hati membuatnya larut walaupun hanya untuk beberapa saat.
Djaka Tua
tahu, sudah beberapa hari Nyi Retno tidak pergi mandi ke telaga kecil tak jauh
dari situ. Maka diapun bertanya. “Den Ayu, apa pagi ini Den Ayu akan mandi di
telaga bersama Kemuning?” Djaka Tua selalu memanggil majikannya itu Den Ayu
karena kalau dipanggil dengan nama Nyi Retno Mantili, perempuan muda yang
terganggu jalan pikirannya itu selalu marah karena katanya namanya bukan Nyi
Retno Mantili.
“Uh,
mandi di udara sedingin begini? Bisa sakit anakku. Entah kalau siangan nanti.”
Nyi Retno Mantili menggeliat, mendekap boneka kayu lalu berkata. “Sebetulnya
atap itu tidak dibetulkanpun tidak jadi apa.
Bukankah
kita selalu berpindah-pindah tempat tinggal?
Katamu
untuk menjaga keamanan dan keselamatan.
Padahal
aku tidak takut pada siapapun! Selama ini aku hanya mengikuti kemauanmu.
Sebenarnya mengapa kita selalu berpindah-pindah? Aku sudah betah tinggal di
gubuk itu. Udara di sini bagus. Ada telaga. Dan selama ini tidak ada mahluk
yang mengusik kita.”
“Saya
mengerti Den Ayu. Tapi belakangan ini di luaran banyak orang jahat
berkeliaran,” jawab Djaka Tua.
Dia
menatap perempuan malang itu seketika lalu menyambung ucapannya. “Den Ayu,
terakhir kali saya ke pasar tiga hari lalu, saya mendengar kabar. Tumenggung
Wira Bumi yang belum lama menjadi Bendahara Kerajaan sekarang telah diangkat
menjadi Patih Kerajaan …”
“Ceritamu
itu tidak ada artinya bagiku. Siapa Wira Bumi? Apa itu Tumenggung? Apa itu
Bendahara Kerajaan?
Apa pula
itu Patih Kerajaan?”
Djaka Tua
terdiam. Kembali hatinya merasa sedih karena sampai saat itu jalan pikiran Nyi
Retno masih belum jernih. Gangguan jiwanya terlalu dalam dan parah.
lngin dia
menerangkan bahwa Raden Mas Wira Bumi yang sekarang menjadi Patih Kerajaan itu
adalah suaminya.
Namun pembantu
ini takut akan didamprat Nyi Retno.
Yang
paling dikawatirkannya kalau-kalau keterangannya nanti akan membuat perempuan
malang itu bertambah parah sakit jiwanya. Kalau saja Raden Mas Wira Bumi tidak
menuntut ilmu sesat pada Nyai Tumbal Jiwo, tidak akan begini nasib perempuan
muda yang masih belum sampai berusia tujuh belas tahun itu.
Sedikit
demi sedikit sang surya menyembul di ufuk terbitnya. Cuaca perlahan-lahan
menjadi terang.
“Den Ayu,
selesai membetulkan atap saya bermaksud pergi ke pasar.
Persediaan
makanan kita hanya cukup untuk satu hari.”
“Ya,
pergilah. Jangan lupa membeli pisang untuk Kemuning. Aku akan mengambil uang …”
Setiap ke
pasar Djaka Tua memang membeli pisang.
Pisang
yang katanya untuk Kemuning tentu saja tidak pernah dimakan boneka kayu itu
hingga akhirnya selalu tinggal membusuk.
“Tidak
usah Den Ayu. Sisa uang belanja tempo hari masih ada,” jawab Djaka Tua.
“Kalau
begitu, sebelum kau pergi ke pasar ada baiknya aku dan Kemuning mandi dulu di
telaga.” Habis berkata begitu sambil bernyanyi-nyanyi menggendong boneka kayu
Nyi Retno Mantili melangkah pergi. Tapi dia bukannya menuju telaga. Ketika
melewati satu pohon besar yang salah satu cabangnya meliuk rendah, perempuan
ini enak saja melesat ke atas dan sesaat kemudian dia sudah duduk berjuntai di
atas cabang pohon, boneka kayu digendong diayun-ayun. Lnilah kehebatan yang
dimiliki Nyi Retno berkat ilmu yang diberikan Kiai Gede Tapa Pamungkas padanya.
Walau pikirannya tidak waras namun dengan kuasa Tuhan dia memiliki kemampuan
untuk menyerap beberapa ilmu kepandaian yang dimasukkan sang Kiai ke dalam
tubuhnya.
Sambil
duduk uncang-uncang kaki Nyi Retno Mantili mulai menyanyi. Sebenarnva Djaka Tua
selalu merasa kawatir setiap kali Nyi Retno menyanyi. Dia takut ada orang
mendengar, mendatangi lalu menyelidiki atau berbuat jahat. Bagaimanapun juga
meski pikiran terganggu, keadaan tidak terawat, namun kecantikan Nyi Retno
Mantili tidak pupus. Sekali melihat wajahnya orang pasti akan tertarik. Apa
lagi yang namanya mata lelaki!
*************************
WALAU
cuaca buruk, hujan gerimis turun dan pasar becek namun tetap saja Pasar lmogiri
ramai dikunjungi orang. Selesai membeli barang belanjaan, untuk melepas haus
dan mengurangi rasa lelah serta dingin Djaka Tua menyempatkan diri minum air
serbat di salah satu sudut pasar. Minuman hangat itu membuat tubuhnya segar
keringatan. Caping bambu yang sejak tadi menempel di kepala dibuka sebentar
untuk mengusap rambut serta keningnya yang basah oleh keringat.
Hanya
terpisah beberapa belas langkah dari tempat Djaka Tua minum serbat ada sebuah
kedai makanan yang selalu ramai pengunjung. Dua orang di antara para tamu yang
sarapan di tempat itu adalah perajurit Keraton yang pernah bertugas di gedung
kediaman Wira Bumi semasa masih menjadi Tumenggung. Saat itu keduanya sedang
bebas tugas satu hari dan tidak mengenakan pakaian keperajuritan. Salah seorang
dari mereka sejak tadi memperhatikan Djaka Tua yang asyik menikmati serbat
hangat. Saat itu Djaka Tua telah membuka caping bambunya sehingga wajahnya
terlihat lebih jelas. Perajurit yang satu ini kemudian menyikut rusuk temannya
dan berkata.
“Gondo,
coba kau perhatikan lelaki yang sedang minum serbat itu. Aku sangat mengenali
wajahnya.
Bukankah
dia Djaka Tua pembantu di gedung Tumenggung tempat kita pernah bertugas dulu?”
Perajurit
bernama Gondo memandang ke arah yang ditunjuk kawannya, memperhatikan lelaki
berusia sekitar setengah abad yang duduk di bangku panjang tengah minum serbat.
Sebuah caping terletak di pangkuan. Di alas bangku di sebelahnya ada sebuah
keranjang berisi barang belanjaan.
“Supat,
tampang dan potongan badannya memang sama dengan Si Djaka Tua,” berkata Gondo.
“Tapi orang ini tidak memiliki punuk di punggungnya”
“Walau
ini memang aneh.” kata perajurit bernama Supat. “Tapi aku tetap yakin dia Djaka
Tua pembantu di Gedung Tumenggung dulu.
Bagaimana
kalau kita menyelidiki. .Jika dia memang Djaka Tua dan kita bisa menangkapnya,
pasti akan mendapat hadiah besar dari Raden Mas Wira Bumi. Apa lagi beliau
sudah menjadi Patih Kerajaan. Bagaimana kalau kita tangkap dia sekarang juga?”
“Tunggu
dulu, jangan kesusu. Menangkapnya soal gampang. Dia dikabarkan telah mencuri
bayi Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Kalau diam-diam kita
mengikutinya, besar kemungkinan dia akan membawa kita ke tempat dimana bayi itu
disembunyikan. Kalau kita mendapatkan bayi itu hadiah dari Raden Mas Wira Bumi
akan berlipat ganda. Malah tidak mustahil kita akan mendapat kenaikan pangkat
istimewa.”
“Aku
setuju jalan pikiranmu,” kata Supat. “Lihat, dia sudah membayar tukang serbat.
Ayo kita ikuti.”
*************************
DJAKA TUA
bukan tidak tahu kalau ada dua orang berbadan tegap mengikutinya sejak dia
meninggalkan Pasar Imogiri. Dia tidak mau berpaling ke belakang untuk
memperhatikan wajah. Namun dari potongan tubuh dua penguntit dia yakin mereka
adalah perajurit Kerajaan. Jika orang menguntit dirinya pasti ada yang diincar
atau hendak diselidiki. Pembantu ini cukup cerdik. Kalau hutan jati tempat
beradanya gubuk kediaman Nyi Retno Mantili terletak di sebelah timur maka saat
itu dia sengaja berjalan ke arah barat.
Setelah
sekian lama dan jauh mengikuti, orang yang dikuntit tidak sampai-sampai ke
tempat tujuan, Gondo dan Supat mulai curiga. Dua perajurit Keraton ini langsung
saja mengejar dan menghadang jalan Djaka Tua.
Djaka Tua
pura-pura terkejut.
“Kalian
ini begal atau apa? Aku tidak punya barang berharga untuk dirampok.” Ucap Djaka
Tua.
“Setan
alas! Kami bukan begal bukan perampok!”
bentak
Gondo. “Kami ingin menyelidik siapa kau adanya!”
“Dulu kau
punya punuk di punggungmu! Sekarang tidak ada lagi. Apa yang terjadi dengan
dirimu?!”
Menyambung
Supat dengan bentakan pula.
“Ada-ada
saja kalian. Aku tidak pernah punya punuk di punggung.” Jawab Djaka Tua. “Kalau
kalian mau mencari orang berpunuk pergilah ke desa Getas di kaki selatan Gunung
Merbabu. Kabarnya di sana banyak lelaki perempuan yang punya punuk di
punggungnya.”
Supat dan
Gondo menyeringai.
“Kau
pandai bicara!” ucap Gondo lalu merampas keranjang di tangan kiri Djaka Tua,
memeriksa isinya.
“lni
belanjaan dapur. Untuk siapa kau membeli?!” Bentak Gondo.
“Aku yang
belanja. Tentu saja untuk keperluanku sendiri di rumah!”
“Jadi kau
punya rumah! Nanti tunjukkan pada kami dimana rumahmu!” Berkata Supat sambil
tepuk-tepuk bahu Djaka Tua.
“Di dalam
keranjang ada pisang. Untuk siapa?
Makanan
bayi?” Gondo menanyai dengan pandangan mata garang.
“Aku
tidak punya bayi.”
“Tentu
saja karena kami tahu kau adalah perjaka tua!” hardik Gondo. “Jangan
bersandiwara. Kau kira kami tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah Djaka Tua, dulu
pembantu di Gedung Tumenggung Wira Bumi. Kami mengenalimu karena pernah
bertugas beberapa hari di sana.”
Walau
dadanya berdebar karena orang sudah tahu pasti siapa dirinya namun Djaka Tua
pura-pura tersenyum dan gelengkan kepala berulang kali. “Keliru. Keliru sekali.
Namaku
Lor Arta bukan Djaka Tua. Aku tidak pernah bekerja di Gedung Tumenggung.”
“Dusta!
Kau kira bisa mempermainkan kami?! Kau tengah menuju ke satu tempat. Tapi
sengaja berputarputar untuk menipu kami! Sekarang juga bawa kami ke tempat
kediamanmu. Kau mencuri bayi Raden Mas Wira Bumi! Pisang dalam keranjang itu
pasti untuk makanan bayi! Dimana bayi itu kau sembunyikan hah!”
“Makin
bingung aku mendengar ucapan kalian berdua. Bayi? Bayi apa? Siapa Raden Mas
Wira Bumi aku juga tidak tahu. Aku ingin melanjutkan perjalanan. Harap jangan
membuat susah orang desa seperti aku ini.”
Supat dan
Gondo tertawa gelak-gelak. “Pandainya kau bersandiwara, Djaka Tua. Apa aku
copot dulu salah satu tanganmu baru kau mau bicara betul?!” Supat rnengancam
sambil menghampiri Djaka Tua lalu menyambar tangan kiri pembantu itu dan
memelintirnya ke punggung hingga Djaka Tua merintih kesakitan.
“Kau
bakal tambah sengsara kalau terus menipu kami. Sekarang juga tunjukkan di mana
tempat kediamanmu! Kalau kau berani menipu atau melarikan diri akan kami
tanggalkan anggota badanmu satu persatu!”
“Aku
tidak punya salah apa-apa. Tuduhan kalian dibuat-buat! Dari pada menganiaya
diriku mengapa tidak membunuhku sekarang juga?!”
Djaka Tua
sudah nekad. Dia lebih baik mati dibunuh orang dari pada memberi tahu dimana
tempat kediamannya yang berarti sama dengan membuka rahasia dimana beradanya
Nyi Retno Mantili.
“Hebat!
Berani menantang! Rasakan dulu ini!”
Tangan
kanan Gondo berkelebat. Satu jotosan keras mendarat di ulu hati Djaka Tua.
Caping di kepala Djaka Tua terlempar. Tubuhnya yang kecil terlipat ke depan.
Dari mulutnya keluar suara jeritan keras lalu muntahkan darah segar!
“Manusia-manusia
jahat! Mengapa tidak membunuhku saja …” ucap Djaka Tua dengan suara parau, muka
pucat dan darah berselomotan di mulut dan dagu.
Supat
jambak rambut Djaka Tua lalu menyentakkannya ke atas hingga lelaki berusia
setengah abad ini tertegak terhuyung.
“Gondo!
Hajar mulut dustanya biar dia tahu rasa!”
Mendengar
ucapan kawannya, Gondo segera layangkan satu jotosan keras ke muka Djaka Tua,
tepat di arah mulut dan hidung.
“Praakk!”
Djaka
Tuak menjerit keras. Tulang hidung patah, bibir atas pecah. Darah mengucur.
Supat lepaskan jambakannya, Djaka Tua langsung roboh ke tanah, mengerang
tersengal-sengal, menahan rasa sakit luar biasa.
Jeritan keras
Djaka Tua tadi sempat terdengar oleh dua orang yang kebetulan lewat di tempat
itu.
Gondo
jongkok di samping Djaka Tua.
“Bagaimana
rasanya? Kau akan lebih sengsara kalau tanganmu ini aku tanggalkan dari
persendian. Mau memberi tahu dimana tempat kediamanmu atau tidak?
Dimana
kau sembunyikan bayi itu?!” Gondo cekal pergelangan tangan kanan Djaka Tua
erat-erat.
“Aku mau
kau membunuhku saat ini juga …” jawab Djaka Tua. Suaranya parau karena ada
ludah campur darah di mulutnya. Pembantu ini memilih mati dari pada membuka
rahasia.
“Manusia
tolol! Kau memilih sengsara!” Gondo pelintir pergelangan tangan Djaka Tua.
Ketika dia hendak membetot tangan itu tiba-tiba sepotong patahan ranting
melesat di udara lalu menancap di punggung kanan Gondo. Perajurit Keraton ini
menjerit setinggi langit. Kaget dan sakit. Tubuh terhuyung, cekalannya terlepas
dari pergelangan tangan Djaka Tua. Supat berteriak marah. Berpaling ke belakang
dia melihat dua orang melangkah mendatangi sambil cengar cengir. Yang di
sebelah kanan seorang kakek berkepala setengah gundul, mata dan kuping lebar,
mengenakan celana gombrong basah kuyup di sebelah bawah. Orang kedua seorang
pemuda berambut gondrong, berpakaian serba putih, berjalan cengar cengir sambil
garuk-garuk kepala!
“Kurang
ajar! Siapa diantara kalian yang barusan melempar ranting melukai temanku!”
bentak Supat sementara Gondo terduduk di tanah. Darah membasahi bagian belakang
bajunya setelah tadi dengan paksa dia mencabut patahan ranting yang menancap di
punggungnya.
“Aku
orangnya!” menjawab si kakek yang bukan lain adalah Setan Ngompol sambi! angkat
tangan kiri lalu telapak diulap-ulapkan. “Memangnya kau mau juga? Aku masih ada
sepotong ranting lagi!” Setan Ngompol goyangkan patahan ranting yang ada di
tangan kanan lalu tertawa mengekeh.
Dijawab
dan disikapi begitu rupa Supat jadi berang.
Dia
melompat menyerbu si kakek. Tinjunya menderu deras ke muka Setan Ngompol.
“Bukkk!”
“Huuwee!”
Setan Ngompol meledek sambil julurkan lidah.
Tinju
Supat tenggelam ke dalam telapak tangan kiri yang dipakai menangkis oleh Setan
Ngompol. Lima jari tangan si kakek mencengkeram lalu berputar.
“Terbang!”
Setan Ngompol berteriak keras. Kencing terpancar.
Supat
merasa tangan dan tubuhnya disentak keras.
Saat itu
juga tubuh tinggi besar perajurit Keraton ini benar-benar terbang melesat ke
udara sampai setinggi dua tombak. Walau memiliki dasar ilmu silat yana cukup
baik namun seumur hidup baru sekali itu Supat mengalami dilempar lawan ke
udara. Akibatnya dia jadi kelagapan tunggang langgang dan tak mampu mencari selamat.
Supat
terbanting bergedebuk, jatuh punggung di tanah!
Pemuda
yang muncul bersama Setan Ngompol, si rambut gondrong berpakaian serba putih
yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak sambil
menunjuk-nunjuk ke arah Supat yang tergeletak di tanah. Rupanya perajurit ini
cukup kuat juga. Setelah nanar terdiam beberapa lama dia mulai bergerak lalu
bangkit berdiri. Muka kelam membesi, tubuh bergetar tanda hawa amarah yang
menggelegak. Sementara itu dalam keadaan hidung dan mulut cidera berat serta
menahan sakit Djaka Tua masih sempat memperhatikan apa yang terjadi. Dalam hati
dia bertanya-tanya siapa adanya kakek dan pemuda yang telah menyelamatkan
dirinya itu.
“Tua
bangka jahanam! Kau dan kawanmu mencari mati! Kalian tidak tahu siapa kami!
Kami adalah perajuritperajurit Keraton di Kotaraja!” Supat berteriak keras.
“Aha!
Jadi kalian ini aparat Kerajaan rupanya. Lalu mengapa enak saja menyiksa orang
?!“ tanya Setan Ngompol sambil dua tangan berkacak pinggang.
“Apa yang
kami lakukan adalah urusan kami! jangan berani ikut campur! Kalian berdua lekas
minggat dari tempat ini!” Gondo membentak. Perajurit yang terluka pada
punggungnya ini sudah mampu berdiri walau terhuyung-huyung dan muka pucat.
“Dua
keparat tidak tahu juntrungan! Manusia yang kami hajar itu adalah penculik bayi
Patih Kerajaan! Kalian hendak melindunginya? Kalian berdua akan kami buat busuk
dalam penjara!” teriak Supat.
“Seorang
bertubuh kecil, bertampang tolol begini rupa dituduh menculik bayi Patih
Kerajaan. Dihajar habishabisan.
Luar
biasa! Bagaimana menurutmu, Wiro?” Setan Ngompol delikkan mata pada Supat yang
barusan bicara lalu berpaling pada Pendekar 212.
Murid
Sinto Gendeng pencongkan mulut, menggaruk kepala lalu menjawab. “Luar biasa!
Aku tidak percaya dia penculik!”
“Manusia-manusia
sinting! Kepala kalian pantas dipisahkan dari badan!” teriak Supat. Lalu dari
balik pakaian gombrongnya dia menghunus sebilah golok pendek. Senjata ini
tampak angker karena warnanya tidak berkilat tapi hitam penuh karatan. Menurut
orang yang tahu warna hitam serta karatan itu adalah bekas darah orang yang
pernah dibunuh Supat, tidak diseka dibiarkan kering sendiri.
Selain
memiliki ilmu silat tangan kosong, Supat juga menguasai ilmu memainkan golok
yang disebut “Tiga Jurus Rajawali Terbang”. Selama ini telah banyak lawan yang
roboh dihajar goloknya. Namun dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa
ketika dia menyerbu ke arah Setan Ngompol. Seharusnya ketika tadi dirinya
dibuat terbang oleh si kakek dia sudah tahu diri. Namun amarah membuat dia
tidak mampu berpikir jernih, juga temannya yang bernama Gondo.
“Tabas
lehernya Supat! Cincang tubuhnya!” teriak Gondo memberi semangat.
Golok di
tangan kanan Supat berkelebat ganas.
Menderu
deras mengarah kepala Setan Ngompol dalam kecepatan luar biasa. Perajurit
Keraton ini terperangah ketika Tiga Jurus Rajawali Terbang yang diandalkannya
lewat begitu saja tanpa senjatanya mampu menyentuh lawan, apa lagi menabas
leher dan mencincang! Untuk beberapa saat lamanya dia tegak tertegun, memandang
ke arah golok lalu ke arah Setan Ngompol. Akan halnya Gondo, menyaksikan apa
yang terjadi otaknya mulai bekerja dan tengkuknya serta merta menjadi dingin.
“Kek,
kita tidak punya waktu lama di tempat ini.
Bagaimana
kalau perajurit yang barusan menyerangmu dengan golok kita beri hadiah minuman
kehormatan?”
Mendengar
ucapan Wiro, Setan Ngompol tertawa bergelak.
“Aku
setuju saja. Memang sudah lama aku tidak berbuat kebajikan memberikan hadiah.
Silahkan kau yang mengatur!” kata si kakek pula.
Ketika
Wiro melangkah cepat ke arahnya Supat serta merta menyambut dengan serangan
golok. Orang yang diserang bergerak kian kemari. Senjata Supat hanya menyambar
udara kosong. Ketika Supat nekad melanjutkan serangan tiba-tiba satu totokan
mendarat di paha kirinya. Lutut kiri perajurit ini goyah. Sesaat kemudian dia
roboh ke tanah. Tubuhnya sebelah kiri mulai dari bahu sampai ke kaki mendadak
sontak lumpuh tak mampu digerakkan. Wiro angkat kaki kiri lalu diinjakkan ke
leher Supat. Tidak keras tapi cukup membuat mulut Supat terbuka lebar.
“Mana
minumannya Kek?” tanya Wiro sambil senyumsenyum.
“Jahanam!
Kalian mau apakan diriku?!” teriak Supat.
“Tenang
saja sobat! Kau bakal dapat minuman paling sedap di dunia!” kata Wiro pula.
“Kek?!”
“Siap!
Tinggal dikucurkan!” jawab Setan Ngompol.
Lalu kakek
ini melangkah mendekati Supat. Kaki kiri di angkat di arah atas kepala, ujung
celana yang basah lepek tepat berada di atas mulut perajurit itu. Pantat
digoyang diogel-ogel. Mata dikedap-kedip. Mulut mengedan-edan. Sesaat kemudian
serrr … serrr …. serrr! Air kencing si kakek mengucur kebawah, melewati kaki
celana kiri lalu serr …gluk-gluk-gluk masuk ke dalam mulut Supat.
Perajurit
Keraton itu memaki habis-habisan. Namun semakin keras dia berteriak semakin
banyak air kencing Setan Ngompol yang masuk ke dalam mulutnya hingga dia
tercekik-cekik! Sementara Supat tersiksa setengah mati Wiro dan Setan Ngompol
tertawa gelakgelak.
Gondo
yang menyaksikan apa yang terjadi dengan temannya karuan saja jadi ketakutan
setengah mati.
Dirinya
mungkin akan jadi korban ke dua. Lebih baik digebuk babak belur dari pada
dicekok diminumi air kencing begitu rupa. Perutnya mendadak merasa mual,
seperti mau muntah. Tidak menunggu lebih lama dia segera kabur meninggalkan
tempat itu secepat yang bisa dilakukannya. Sementara itu Djaka Tua yang
menyaksikan hal itu walau dirinya berada dalam keadaan cidera dan sakit mau tak
mau selain heran juga merasa geli.
“Cukup
Kek?” “ tanya Wiro.
“Tunggu,
masih ada yang kental,” jawab Setan Ngompol.
Suara
caci maki Supat tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara seperti orang
mengorok. Lalu perajurit ini semburkan muntah. lsi perutnya serasa mau
terbongkar. Wiro turunkan kaki dari atas leher Supat. Setan Ngompol juga
turunkan kaki kirinya ke tanah.
“Bagaimana?
Enak?!” tanya Wiro.
“Mau
lagi?!” tanya Setan Ngompol seraya melirik ke arah Gondo. Melihat orang
memperhatikan dirinya, Gondo tidak menunggu lebih lama. Serta merta perajurit
Keraton satu ini putar tubuh dan lari lintang pukang dari tempat itu.
“Hak ..
huk … hak … huk …. Hueekkk!”
Supat kembali
semburkan muntah. Kelumpuhan pada tubuhnya sebelah kiri lenyap. Setelah
menunggingnungging dia berusaha berdiri walau terhuyung-huyung.
Melihat
temannya kabur dia akhirnya melakukan hal yang sama. Ambil langkah seribu meski
larinya tersaruk-saruk.
Djaka Tua
menyeka darah yang membasahi muka sekitar hidung dan mulut lalu berdiri. Sambil
memegangi perutnya yang bekas dijotos pembantu yang malang ini melangkah
mendekati Wiro dan Setan Ngompol lalu jatuhkan diri di hadapan ke dua orang
itu.
**********************
4
KAKEK dan
Raden berdua, saya Djaka Tua, sangat berterima kasih atas pertolongannya.
Kalau
tidak diselamatkan niscaya saat ini saya sudah menemui ajal ditangan dua orang
perajurit Keraton tadi.” Suara Diaka Tua tersengal bindeng akibat cidera di
hidungnya. Begitu terhenti bicara darah mengucur dari hidung. Dia berusaha
membungkuk. Tapi tubuhnya menghuyung, hampir terjerambab ke tanah kalau tidak
bahunya cepat ditahan Setan Ngompol.
“Duduk
saja di tanah. Tidak perlu berlutut di hadapan kami,” kata Pendekar 212 Wiro
Sableng. Lalu dia menotok jalan darah di pelipis dan leher Djaka Tua. Darah
yang tadi mengucur di hidung serta merta berhenti. Rasa sakit akibat cidera
pada hidung serta mulut perlahan-lahan terasa jauh berkurang.
“Terima
kasih … Saya benar-benar berhutang budi besar pada Raden ….” Setelah ditotok
suara Djaka Tua tidak bindeng lagi.
“Namaku
Wiro. Tidak usah memanggil dengan sebutan Raden segala. Kakek ini biasa
dipanggil Setan Ngompol.”
“Saya
sangat berterima kasih …” Djaka Tua anggukanggukkan kepala. Dua matanya tampak
berkaca-kaca.
“Mengapa
dua orang perajurit Keraton itu hendak membunuhmu?” bertanya Setan Ngompol.
“Betul kau menculik bayi Patih Kerajaan?”
Djaka Tua
duduk bersila di tanah, tak segera menjawab. Walau dua orang itu telah
menyelamatkannya namun dia masih belum tahu siapa mereka adanya. Rasa kawatir
membuat dia tidak mau membalas budi baik orang dan hutang nyawa dengan menjawab
secara jujur.
“Jika dia
tidak mau bicara kita pergi saja dari sini. lngat Kek, kita masih banyak urusan
yang harus dikerjakan.” Kata Wiro.
“Ra …
Wiro, tunggu. Jangan tinggalkan saya di tempat ini. Mengingat budi pertolongan
yang sudah saya terima tentu saja saya akan akan menceritakan. Tapi saya ingin
tahu lebih dulu siapa adanya sahabat berdua. Apa yang akan saya ceritakan
merupakan taruhan nyawa.
Taruhan
nyawa saya sendiri dan seorang lain yang harus saya lindungi keselamatannya.”
“Kalau
kau ingin tahu, kami berdua adalah orang.
orang
gila rimba persilatan. Apakah keterangan itu cukup membuat kau mau bicara?!”
Ucap murid Sinto Gendeng pula.
Djaka Tua
terdiam. Dia sering mendengar bahwa orang-orang rimba persilatan berkepandaian
tinggi ada kalanya menunjukkan sikap serta penampilan aneh.
Dengan
suara perlahan Djaka Tua berkata. “Saya memang menculik bayi Raden Mas Wira
Bumi. Waktu itu beliau masih menjabat sebagai Tumenggung. Sekarang kabarnya
sudah menjadi Patih Kerajaan. Semua masalah yang saya hadapi bermula ketika
saya datang ke Goa Girijati untuk memberi tahu bahwa istri Raden Mas Wira Bumi
sudah melahirkan seorang bayi perempuan …”
“Wong
edan! Ternyata kau lebih gila dari kami!
Mengapa
berani-beranian menculik bayi seorang pejabat tinggi Kerajaan?” tanya Setan
Ngompol pula sambil usapusap perut.
“Bapak
tua ….”
“Panggil
saya Djaka Tua,” kata Djaka Tua pada Wiro.
“Djaka
Tua, ada orang yang menyuruhmu menculik bayi itu?” tanya Wiro. “Kau mendapat
bayaran besar?
Benar?”
Djaka Tua
usap darah di dagunya lalu gelengkan kepala.
“Tidak
ada yang menyuruh saya. Saya menculik justru untuk menyelamatkannya. Seseorang
memerintahkan Saya untuk membunuh bayi itu dengan sebilah golok besar milik
Raden Mas Wira Bumi.”
“Siapa
yang menyuruh?” Tanya Setan Ngompol.
“Satu
mahluk dari alam roh. Perintah diberikan pada Raden Mas Wira Bumi. Karena
beliau telah menyalahi sumpah perjanjian. Tapi Raden Mas lalu menyuruh saya
melaksanakan tugas itu …” menerangkan Djaka Tua.
“Mahluk
dari alam roh itu apakah dia sebangsa hantu, setan, dedemit atau apa?!” tanya
Setan Ngompol sambil menahan kencing yang mau muncrat.
“Saya
tidak tahu. Ujudnya seorang nenek angker serba merah, mulai dari rambut sampai
kaki. Pertama kali saya melihat sewaktu malam hari dibawa paksa oleh Raden Mas
Wira Bumi ke pekuburan Kebonagung ….”
“ltu
pekuburan besar di luar Kotaraja,” ujar Setan Ngompol.
Djaka Tua
mengangguk. “Dari dalam sebuah makam yang dijaga oleh seorang kuncen saya lihat
sendiri ada semburan asap. Lalu muncul sosok seorang nenek sangat mengerikan.
Rambut, muka, pakaian, tubuh, semua serba merah. Raden Mas Wira Bumi memanggil
mahluk ini Nyai Tumbal Jiwo…”
Setan
Ngompol berpaling pada Wiro.
“Kek aku
belum pernah mendengar nama itu. Apa lagi kenal orangnya.” Kata Wiro yang
mengerti maksud pandangan Setan Ngompol.
“Aku juga
tidak tahu siapa adanya mahluk itu,” ucap Setan Ngompol pula.
“Mahluk
itu adalah guru Raden Mas Wira Bumi dalam mendapatkan ilmu kesaktian.”
Menerangkan Djaka Tua.
“Begitu?
Lalu bayi yang kau culik, kau kemanakan?
Berada
dimana sekarang?” tanya Wiro.
“ltulah
yang menjadi pikiran saya. Di tengah jalan, waktu itu hujan turun lebat sekali.
Saya masuk ke dalam goa. Bayi yang saya bedung dalam sehelai kain menangis
terus-terusan. Tiba-tiba di mulut goa saya lihat ada kabut tipis. Di dalam
kabut muncul seorang kakek pakaian selempang kain putih. Tubuhnya tinggi,
kepala hampir menyondak bagian atas goa. Di tangan kiri dia memegang sebuah
tongkat kayu putih. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta agar saya
menyerahkan bayi karena katanya saya tidak akan bisa merawat. Katanya lagi bayi
itu berjodoh dengan dirinya. Kalau sampai terlambat bayi itu akan mati. Saya
jadi bingung, juga takut. Akhirnya bayi saya serahkan saja. Si orang tua lalu
memberi nama bayi itu Ken Permata. Orang tua ini juga tahu kalau saya membekal
golok besar milik Raden Mas Wira Bumi yang sebenarnya akan dipakai untuk
menggorok bayi malang itu. Dia minta golok, saya serahkan. Sebelum pergi orang
tua itu melenyapkan punuk yang selama lima puluh tahun ada di punggung saya …”
“Sakti
luar biasa, “ kata Wiro sambil garuk kepala.
“Djaka
Tua kau tahu siapa adanya orang tua itu?” tanya Wiro.
Djaka Tua
menggeleng. “Saya juga tidak tahu dibawa kemana bayi itu …”
“Tololnya!
Kau menyerahkan anak orang seperti menyerahkan kucing!” kata Setan Ngompol.
“Saat itu
saya bingung sekali. Saya percaya pada kuasa dan jalan Tuhan. Kalau tindakan
saya salah biarlah saya menerima hukuman dunia akhirat. Orang tua itu adalah
seorang sakti berhati mulia. Dia pasti akan menjaga bayi itu baik-baik. Saya
berharap satu ketika, kalau sudah besar dia akan datang menyerahkan bayi itu
pada ibunya. Cuma sayang …..” “Cuma sayang apa?” tanya Wiro.
“Ibu bayi
itu saat ini berada dalam keadaan tidak waras. Pikirannya terganggu. Dia
melarikan diri dari Gedung Tumenggung.. .”
“Mendengar
bicaramu agaknya kau tahu dimana ibu bayi itu berada.”
Djaka Tua
menatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu menoleh pada Setan Ngompol. “Waktu
dua perajurit itu menyiksa saya agar memberi tahu dimana tempat kediaman saya,
saya memilih lebih baik dibunuh …”
“Kami
tidak akan membunuhmu sekalipun kau tidak mau memberi tahu,” kata Setan Ngompol
pula.
“Saya
percaya. Saya akan membawa para sahabat kesana …” kata Djaka Tua lalu berdiri
dan melangkah.
Melihat
langkah Djaka Tua yang tertatih dan terhuyung Setan Ngompol hilang sabarnya.
“Kalau
kami mengikutimu. sedang kau berjalan seperti siput seperti itu, hampir kiamat
rasanya baru sampai ke tempat tujuan! Biar kugendong. Kau tinggal menunjukkan
jalan!” Habis berkata begitu Setan Ngompol lalu dukung Djaka Tua di bahu
kirinya. Celakanya tubuh Djaka Tua digendong melintang dengan bagian kepala
menghadap ke depan sebelah bawah hingga mukanya bersentuhan dengan celana
gombrong Setan Ngompol yang basah lepek oleh air kencing dan menebar bau
pesing!
*************************
KETIKA
sampai di gubuk di hutan jati, ke tiga orang itu dapatkan pintu terbuka dan gubuk
dalam keadaan kosong. Djaka Tua yang masuk ke dalam keluar kembali.
Wajahnya
menunjukkan rasa kawatir.
“Den Ayu
….. ?!” Djaka Tua memanggil. Mula-mula dengan suara perlahan lalu bertambah
keras. Tidak ada sahutan.
“Den Ayu!
Kemuning!” Djaka Tua kembali berseru, tetap tak ada jawaban. Yang terdengar
hanya suara semilir tiupan angin dan daun-daun pohon jati yang saling
bergesekan.
“Siapa
Kemuning?” tanya Wiro pada Djaka Tua.
“Anak Nyi
Retno Mantili …”
“Kau
bilang anak itu telah kau serahkan pada seorang kakek sakti. Namanya Ken
Permata, bukan Kemuning.” Kata Setan Ngompol pula.
“Bayi
asli memang saya serahkan pada kakek sakti waktu di dalam goa. Yang bernama
Kemuning ini adalah sebuah boneka kayu yang oleh Den Ayu dianggap sebagai
bayinya yang hilang.”
Mendengar
keterangan Djaka Tua Setan Ngompol dan Wiro jadi saling pandang. Si kakek
tersenyum. Si pemuda garuk-garuk kepala tapi otaknya berpikir-pikir.
“Den Ayu!
Kau berada dimana? Ini aku Djaka Tua sudah kembali dari pasar. Aku membeli
pisang untuk Kemuning!” Untuk kesekian kalinya Djaka Tua berseru.
Tiba-tiba
ada suara tawa perempuan melengking.
Setan
Ngompol langsung pancarkan air kencing. Pendekar 212 Wiro Sableng berpaling.
Mencari siapa yang barusan tertawa. Namun suara tawa itu seolah datang dari berbagai
arah.
Djaka tua
tampak tugang. “Den Ayu … ?!”
“Wiro
awas!”
Setan
Ngompol berteriak. Secepat kilat dia mendorong tubuh Wiro ke belakang,
merangkul pinggangnya lalu bergulingan di tanah. Saat itu dari atas sebatang
pohon jati berkiblat dua larik sinar putih menyilaukan. Di lain kejap buumm ….
buuumm!
Dua
letusan keras menggelegar. Tanah terbongkar.
Asap
mengepul. Dua lobang terpentang lebar dan dalam di bekas tempat Setan Ngompol
dan Wiro tadi berdiri.
Kencing
si kakek muncrat tak karuan. Wiro sendiri terduduk setengah berlutut dengan
wajah pucat.
“Gila!
Setan dari mana mau membunuh kita?!” ucap Setan Ngompol sambil pegangi bagian
bawah perutnya.
“Saat itu
dari atas salah satu pohon jati besar melayang turun sosok seorang perempuan
berpakaian kumal, rambut tergerai kusut masai. Di tangan kirinya dia memegang
sebuah boneka perempuan terbuat dari kayu.
Boneka
diarahkan pada Wiro dan Setan Ngompol. Jari-jari tangan siap memencet pinggang
boneka. Jika pinggang boneka ditekan, dari sepasang mata boneka akan melesat
keluar dua larik sinar putih. Sinar-sinar itulah yang tadi menyerang Wiro dan
Setan Ngompol. Melihat serangannya gagal kini si pemegang boneka yaitu Nyi
Retno Mantili kembali hendak melepas serangan kedua.
“Den Ayu!
Jangan!”
Nyi Retno
Mantili menjadi ragu meneruskan serangan ketika didengarnya seruan Djaka Tua.
Perempuan ini membuat gerakan jungkir balikdi udara, begitu turun dia sudah
berdiri di hadapan Djaka Tua. Tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri masih
memegang boneka dan tetap diarahkan pada Wiro serta Setan Ngompol.
“Dua
orang itu telah menganiayamu! Mereka memaksamu datang kesini. Ternyata kau
telah berkhianat!” Suara Nyi Retno Mantili keras sekali dan dua matanya
memandang mendelik. “Kalian bertiga akan aku habisi saat ini juga!”
“Den Ayu,
kau keliru. Justru kedua orang itu telah menyelamatkan diriku,” kata Djaka Tua.
Lalu dengan cepat dia menerangkan apa yang telah terjadi.
Sementara
Djaka Tua memberi keterangan. Wiro dan Setan Ngompol saling bicara berbisik.
“Kek, aku
ingat sekali. Bukankah perempuan membawa boneka ini yang dulu kita temui di
hutan belantara? Yang hendak diperkosa oleh seorang lelaki berperawakan dan
punva ilmu pukulan seperti Pangeran Matahari?!”
“Perempuan
kecil halus. Wajah dekil rambut kusut awut-awutan. Tapi cantik!” menyahuti
Setan Ngompol sambil matanya menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Si kakek
rupanya hanya ingat cantiknya orang saja. “Kau betul Wiro. Perempuan inilah
yang menghajar Pangeran Matahari dengan dua cahaya sakti yang keluar dari
sepasang mata boneka kayu. Lalu sosoknya lenyap dan berganti muncul seorang
nenek muka putih yang menuduh Pangeran Matahari sebagai Hantu Pemerkosa. Nenek
muka putih itu kemudian membuntungi tangan kiri Pangeran Matahari.”
“Jadi
inilah Nyi Retno Mantili, istri Raden Mas Wira Bumi. Sang suami jadi Patih
Kerajaan. Dia sendiri dalam keadaan begini rupa. Kasihan sekali …”
“Kasihan
satu langkah menuju naksir” ucap Setan Ngompol lalu tertawa cengar cengir.
Di depan
sana tiba-tiba perempuan muda yang memegang boneka keluarkan ucapan. “Aku
dengar kalian menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantill. Siapa itu?
Perempuan
mana dia?!”
Setan
Ngompol bengong. Wiro garuk-garuk kepala.
“Betul
keterangan Djaka Tua. Perempuan muda lni benarbenar sudah rusak ingatannya.”
Kata Wiro dalam hati.
“Begini ….
Nyi Retno adalah seorang sahabat kami yang sudah lama tidak pernah ketemu.
Wajahnya menyerupai Den Ayu. Tapi Den Ayu jauh lebih cantik …”
Nyi Retno
Mantili tertawa keras dan panjang.
“Laki-laki
dimana-mana sama saja. Mulut mudah mengumbar rayuan. Aku tidak cantik.
Pakaianku kumuh, tubuhku dekil. Hik..hik..hik.” Nyi Retno berpaling pada Setan
Ngompol. “Kakek yang kupingnya terbalik, temanmu ini matanya pasti sudah
terbalik!”
“Tidak
Den Ayu, kau memang cantik,” jawab Setan Ngompol.
Nyi Retno
Mantili kembali tertawa. “Yang muda yang tua sama saja belangnya!” .Setelah
memperhatikan Pendekar 212 sejenak, perempuan muda ini berkata.”Menurut
pengasuh anakku, kalian mengaku sebagai orang-orang gila rimba persilatan! Apa
betul?!”
“Betul
sekali Den Ayu,” jawab Setan Ngompol.
“Walau
gila tentunya punya julukan” kata Nyi Retno Mantili pula.
“Ah kami
cuma orang-orang gila pinggiran, orangorang rimba persilatan kelas teri. Mana
punya julukan …”
“Lalu apa
kalian juga tidak punya nama?!”
Setan
Ngompol batuk-batuk, usap-usap perut.
“Namaku
jelek. Orang-orang menyebut aku Setan Ngompol …”
Nyi Retno
Mantili tertawa cekikikan. “Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Rupanya
kau yang ngompol di celana.” Nyi Retno berpaling pada Wiro. “Kau tidak punya nama?”
Pendekar
212 garuk-garuk kepala.
“Sobat
mudaku ini orangnya pemalu. Biar aku yang memberi tahu. Namanya Wiro. Wiro
Sableng.”
Wiro
tersenyum.
“Nyatanya
dia bisa tersenyum. Berarti tidak pemalu tapi mata keranjang. Hik …hik …hik!
Ada orang namanya pakai sableng segala! Sableng benaran apa?!”
“Den Ayu,
jangan mempermainkan orang yang telah menolong kita.” Djaka Tua berkata.
Nyi Retno
Mantili cuma tertawa panjang sambil matanya melirik ke arah murid Sinto
Gendeng. Melihat sikap Nyi Retno Mantili ini Setan Ngompol membatin.
“Perempuan
sinting ini sepertinya tertarik pada anak setan itu. Urusan bisa jadi panjang.
Harus cepat-cepat pergi dari sini.”
“Den Ayu,
apa saya boleh bertanya?”
“Nah, apa
kataku. Dia mau bicara padaku. Silahkan saja kalau mau bertanya. Aku siap
memberi jawaban terlebih dulu. Anakku ini namanya Kemuning. Aku bukan Nyi Retno
Mantili. Aku tidak punya suami. Aku tidak kenal Raden Mas Wira Bumi …”
“Maaf Den
Ayu, saya tidak menanyakan semua itu.
Saya
ingin tahu. Waktu kejadian di hutan, ketika Den Ayu diserang lelaki tinggi
besar berjubah kelabu dan Den Ayu menghajarnya dengan satu pukulan sakti. Den
Ayu tibatiba lenyap. Lalu muncul seorang nenek muka putih.
Pertanyaan
saya, apakah nenek muka putih itu perubahan ujud dari Den Ayu … ?”
Nyi Retno
Mantili tertawa cekikikan. Djaka Tua memperhatikan. Tidak pernah dilihatnya Nyi
Retno banyak tertawa seperti saat itu. Kehadiran dua orang yang menolongnya itu
rupanya mendatangkan kegembiraan pada diri Nyi Retno. Djaka Tua ikut merasa
senang.
“Aku
tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dari dulu aku seperti ini, tidak
pernah berubah ujud. Apa kau kira aku ini mahluk gaib atau setan jejadian? Hik
… hik … hik!”
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Menurut
Djaka Tua ……” Nyi Retno memotong ucapan Setan Ngompol dengan pertanyaan. “Djaka
Tua, siapa itu Djaka Tua?!”
Si kakek
menunjuk ke arah Djaka Tua. “Dia.
pengasuh
anak Den Ayu.”
“Oh dia.
Baru tahu aku kalau namanya Djaka Tua.”
Nyi Retno
Mantili kembali tertawa cekikikan. Djaka Tua sendiri hanya tegak berdiam diri.
“Menurut
Djaka Tua, anakmu itu bernama Kemuning.
Nama
bagus.” Setan Ngompol meneruskan ucapannya yang tadi terpotong.
“Kau suka
anakku? Mau menggendongnya?” Nyi Retno melangkah mendekati Setan Ngompol hendak
menyerahkan boneka kayu pada si kakek. Tapi tiba-tiba boneka yang sudah
diulurkan ditarik kembali. “Tidak mungkin aku bisa percaya pada orang yang
punya nama Setan sepertimu. Hik..hik! Nanti anakku dibawa kabur!
Apalagi
kau bau pesing! lihhh!”
Nyi Retno
Mantili lalu berpaling pada Wiro. “Kau mau menggendong Kemuning? Mungkin dia
suka padamu.”
Wiro
tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Nyi Retno lalu mendatanginya dan
mengulurkan boneka kayu. Mau tak mau Wiro mengambil boneka itu. Dengan kikuk
dia menirukan cara orang menggendong bayi. Setan Ngompol memperhatikan dengan
tertawa-tawa. Djaka Tua mengulum senyum.
“Nah,
nah! Kemuning suka padamu. Anak itu tidak menangis.” Ucap Nyi Retno Mantili
pula.
Ketika
Wiro hendak menyerahkan boneka kayu kembali Nyi Retno berkata. “Gendong saja
biar lama.
Kemuning
anteng sekali dalam gendonganmu. Apa kau takut dikencingi? Hik … hik … hik.?’
Wiro jadi
serba salah. Terlebih ketika melihat Setan Ngompol memberi isyarat agar mereka
segera tinggalkan tempat itu. “Den Ayu, kami senang mengenalmu. Kami juga suka
pada anakmu, Kemuning. Cuma, kami tidak bisa lama-lama di sini. Kami terpaksa
minta diri …” Wiro ulurkan boneka kayu.
“Tunggu
dulu,” jawab Nyi Retno. Dia tidak mau mengambil boneka yang diulurkan.
Wiro
tidak kehabisan akal. Boneka diserahkan pada Djaka Tua.
“Maaf Den
Ayu, saya ingin buang air kecil. Tadi kebanyakan minum air tebu …” Setelah
menyerahkan Kemuning pada Djaka Tua, Wiro segera putar tubuh tinggalkan tempat
itu.
“Aduh,
perutku juga mendadak mulas. Den Ayu, Djaka Tua aku pergi dulu.” Setan Ngompol
ikut-ikutan ngacir dari tempat itu.
Nyi Rento
Mantili tampak gusar. Dia ambil boneka kayu dari tangan Djaka Tua lalu
diarahkan pada kedua orang yang berada di depan sana. Jari-jari tangannya siap
menekan pinggang boneka.
“Jangan
Den Ayu. Mereka orang-orang baik. Saya yakin mereka terpaksa pergi karena ada
kepentingan ain yang tak bisa menunggu …”
“Kalau
begitu mari kita ikuti kemana mereka pergi!”
kata Nyi
Retno pula. “Aku ingin tahu orang-orang gila bagaimana mereka sebenarnya!”
Ketika
Nyi Retno Mantili berkelebat ke arah dua orang yang telah pergi itu mau tak mau
Djaka Tua terpaksa mengikuti. Lagi pula dia punya firasat bahwa keberadaannya
yang telah diketahui dua perajurit Keraton cepat atau lambat akan mendatangkan
bahaya bagi Nyi Retno.
*************************
MASlH
dalam keadaan cidera, Gondo dan Supat sesampainya di Kotaraja langsung
menghadap Patih Kerajaan. Setelah menunggu cukup lama akhirnya ke dua orang ini
dipersilahkan menunggu di pendopo timur.
Begitu
Patih Kerajaan datang dua perajurit segera menceritakan pertemuan mereka dengan
Djaka Tua. Tentu saja tidak lupa mereka menerangkan munculnya dua orang aneh,
satu kakek bermata besar berkuping lebar bau pesing dan seorang pemuda berikat
kepala putih berambut panjang sebahu.
“Dua
perajurit, jika aku bisa menangkap Djaka Tua dan menemukan bayi, kalian berdua
akan aku beri hadiah besar dan kenaikan pangkat satu tingkat.” Kata Raden Mas
Wira Bumi. Supat dan Gondo merasa girang dan membungkuk dalam-dalam sambil
mengucupkan terima kasih. Patih Kerajaan kemudian menyambung ucapannya.
“Namun ingat
baik-baik. Mulai saat ini kalian harus melupakan apa yang telah terjadi di
hutan jati itu. Kalian tidak pernah bertemu Diaka Tua serta dua orang aneh itu.
Kalian
juga tidak tahu menahu tentang bayi. Kalian mengerti?”
“Kami
mengerti Kanjeng Patih,” jawab Supat dan Gondo sambil membungkuk.
Tak lama
setelah kedua perajurit itu pergi, Raden Mas Wira Bumi menemui seorang tokoh
silat Keraton bernama Cagak Lenting berjuluk Si Mata Elang. Orang ini
sebenarnya tidak memiliki ilmu silat atau kesaktian tinggi.
Namun dia
disegani karena punya kemampuan luar biasa dalam mencari jejak, mengejar dan
menemukan seseorang.
Siang itu
juga secara diam-diam Raden Mas Wira Bumi bersama Cagak Lenting meninggalkan
Gedung Kepatihan dengan menunggang kuda keduanya menuju tempat dimana Supat dan
Gondo menghadang dan menghajar Djaka Tua.
Cukup
lama Cagak Lenting memperhatikan keadaan di tempat itu dengan sepasang mata
elangnya. Terakhir sekali dia jongkok, letakkan telapak tangan kiri kanan di
tanah. digeser-geser beberapa kali lalu tegak berdiri dongakkan kepala.
menghirup udara dalam-dalam.
“Bagaimana?”
tanya Patih Wira Bumi tidak sabaran.
“Saya
mendapat petunjuk ada dua orang pergi ke arah selatan. Arah Kotaraja. Mereka
pasti dua perajurit yang datang melapor. Lalu ada tiga orang bergerak ke arah
barat. Djaka Tua dan dua orang aneh itu.”
Wira Bumi
memandang ke langit. Matahari telah menggelincir ke barat. “Kita ke barat. Kau
di sebelah depan.” Kata Wira Bumi.
Cukup
lama memacu kuda ke arah barat akhirnya ke dua orang itu sampai di pinggiran
hutan jati. Si Mata Elang hentikan kudanya sejenak.
Mata
memandang tajam berkeliling lalu memberi tanda pada Patih Kerajaan untuk
mengikutinya. Tak selang berapa lama Cagak Lenting hentikan kudanya di depan
sebuah gubuk. Bersama Wira Bumi dia masuk memeriksa.
“Kita
terlambat …” kata Patih Kerajaan sambil memperhatikan isi gubuk. Dia mengambil
sebuah keranjang dan menemukan sesisir pisang. “Bayi itu ada di sini! Lihat,
ini pisang makanan bayi.”
Cagak
Lenting alias Si Mata Elang menggeleng.
“Petunjuk
yang saya dapat hanya ada dua orang pernah berada di tempat ini. Tidak ada bayi
. Dan kedua orang itu agaknya telah pergi dari sini.”
“Aku
harus tahu mereka menuju kemana.” Kata Wira Bumi pula. Si Mata Elang keluar
dari gubuk.
Memperhatikan
jejak-jejak di tanah. Lalu memandang ke jurusan sebelah kanan. Menghirup udara
dalam-dalam.
“Kanjeng
Patih, mereka pergi ke arah utara. Ada empat orang ….”
“Aku
sudah bisa menduga. Nyi Retno, Djaka Tua dan dua orang aneh itu. Kita kejar
mereka.”
“Jarak
kita terlalu jauh Kanjeng Patih. Belum tentu kita bisa mengejar mereka sebelum
malam tiba. Selain itu bukankah petang ini ada pertemuan penting dengan Sri
Baginda?”
“Cagak
Lenting. kau teruskan mengejar ke arah utara. Aku kembali ke Kotaraja. Mampir
di Kaliurang. Cari Kepala Desa. Jika kau menemui orang-orang itu jangan
mengambil tindakan dulu. Awasi saja jangan sampai lolos.
Kita
berhadapan dengan tokoh-tokoh aneh rimba persilatan. Usahakan mencari tahu
siapa mereka.
Kemudian
perintahkan Kepala Desa segera menemuiku di Gedung Kepatihan.”
“Perintah
Kanjeng Patih akan saya laksanakan. Saya mohon diri.” Cagak Lenting naik ke
atas kudanya lalu memacu binatang itu menuju utara.
**********************
5
PENDEKAR
212 Wiro Sableng perlambat lari. berpaling pada Setan Ngompol di sampingnya.
“Kek, kau tahu kalau kita ada yang mengikuti?”
“Sudah
tahu dari tadi. Juga sudah tahu siapa orangnya. Justru aku tengah mencari akal
bagaimana caranya bisa menyelinap dari kejaran mereka.”
“Kita
bisa menghilang dari kejaran Djaka Tua. Tapi dari perempuan muda berotak tidak
waras itu rasanya sulit. Dia hanya sekitar dua puluh tombak di belakang kita.
Turut
keterangan DjakaTua, Nyi Retno Mantili dulu tak punya ilmu kepandaian apa-apa.
Jika sekarang ia memiliki ilmu silat, kesaktian serta ilmu lari yang begitu
hebat, sungguh luar biasa. Siapa gerangan gurunya?”
“Bagaimana
kalau kita tunggu saja dua orang itu. Kita tanyakan pada Nyi Retno apa maunya.”
“Urusan
bisa berabe Kek. Jelas dia mau ikut kemana kita pergi ….”
“Wiro,
jika mereka masih mengejar seharusnya Nyi Retno sudah sampai lebih dulu di
sini,” kata Setan Ngompol pula sambil putar-putar daun telinga sebelah kiri dan
memandang ke jurusan yang barusan mereka lalui.
“Aku
mendengar suara derap kaki kuda ….” Baru saja Wiro selesai berucap tiba-tiba
ada suara kuda meringkik disusul bentakan-bentakan keras.
“ltu
teriakan Nyi Retno!” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.
Tidak
menunggu lebih lama kedua orang itu segera menghambur ke arah datangnya suara
kuda meringkik serta bentakan-bentakan. Di satu kelokan jalan mereka temui
seekor kuda tergeletak di tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kepalanya
hancur. Di samping binatang ini, terduduk di tanah seorang lelaki berpakaian
dan berikat kepala hijau, rambut menjulai sebahu. Wajah sangat pucat, mata
memandang membeliak penuh takut pada Nyi Retno Mantili yang saat itu berdiri hanya
terpisah beberapa langkah. Tangan kiri memegang boneka kayu, dia arahkan pada
orang yana terduduk di tanah yaitu Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
“Den Ayu!
Jangan!” teriak Setan Ngompol.
Kencingnya
terpancar. Selain ingin mencegah serangan maut yang hendak dilancarkan Nyi
Retno dengan bonekanya, kakek ini juga mengenali siapa adanya orang yang hendak
jadi korban itu.
“Tua
bangka bau pesing! Apa urusanmu!” Bentak Nyi Retno dengan suara lantang wajah
garang. Dia turunkan tangan kirinya sedikit, kemudian diangkat lagi, kembali di
arahkan pada Cagak Lenting.
“Den Ayu,
saya mohon jangan bunuh orang itu!” Kini Wiro yang berucap. Beberapa waktu lalu
bersama Setan Ngompol dia telah melihat Nyi Retno menghantam Pangeran Matahari
dengan sinar sakti yang melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu.
Akibatnya luar biasa.
Sang
Pangeran yang memiliki kepandaian tinggi itu terpental muntah darah!
Gerakan
Nyi Retno langsung terhenti ketika mendengar ucapan Wiro. Perempuan muda ini
terdiam sesaat. Perlahan-lahan dia palingkan kepala. Ada secercah senyum di
sudut bibirnya. “Wiro. jika kau yang melarang aku menurut saja …” Keluar ucapan
itu dari mulut Nyi Retno Mantili. Tangan kirinya yang memegang boneka diturunkan
lalu boneka didekap ke dada. “Tapi manusia jahat ini telah membunuh pengasuh
Kemuning …”
“A … aku
tidak membunuhnya. Dia hanya pingsan. …”
“Mana
pengasuh anakku?!” bentak Nyi Retno.
“Dia
tergeletak di ujung jalan sana.”
Wiro
segera lari ke arah yang ditunjuk Cagak Lenting, diikuti Nyi Retno sementara
Setan Ngompol cepat menghampiri Cagak Lenting, membantu orang ini bangkit
berdiri.
“Sobatku
Cagak Lenting, apa kau masih ingat diriku?” sapa Setan Ngompol.
“Ah. mana
ada tokoh sakti lelaki bau pesing di dunia ini selain dirimu? Setan Ngompol,
lama tidak bertemu tahu-tahu kau muncul menyelamatkan diriku. Aku bersyukur
pada Tuhan dan berterima kasih padamu.”
“Apa yang
terjadi? Mengapa perempuan itu hendak membunuh sahabatku yang berjuluk Si Mata
Elang ini?” tanya Setan Ngompol.
“Sobatku,
tugas seringkali mendatangkan kesulitan. Aku diperintahkan oleh Patih Kerajaan
untuk mengejar Djaka Tua dan Nyi Retno. Juga dua orang seperti yang dilaporkan
dua perajurit Keraton. Siapa menyangka dua orang itu salah satu diantaranya
adalah engkau. Pemuda berambut gondrong itu, siapakah dia?”
“Dia
adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng dari Gunung
Gede.”
“Ternyata
rejekiku besar sekali hari ini. Selain diselamatkan aku juga bisa bertemu
dengan dua tokoh silat tanah Jawa. Aku sudah lama mendengar nama hebat sobat
mudamu itu. Baru sekali ini bertemu muka.
Setahuku
guru dan murid itu banyak sekali membantu Kerajaan di masa yang sudah-sudah.”
Lalu Cagak Lenting ceritakan tugas yang diberikan Patih Kerajaan padanya.
“Ketika
sampai di kawasan ini sebenarnya aku berdua dengan Kepala Desa Kaliurang Ki
Sentot Bayu. Setelah melihat Djaka Tua, aku suruh dia kembali ke Kotaraja untuk
melapor pada Patih Kerajaan. Di tempat ini aku temui Djaka Tua, bekas pembantu
Patih Kerajaan sewaktu masih jadi Tumenggung dulu. Dia berlari sendirian. Aku
cekal dia. Djaka Tua berteriak. Aku tidak menduga kalau Nyi Retno Lestari juga
ada di dekat situ. Tadinya mengira mungkin dia sudah berada di satu tempat
tersembunyi.
Dan aku
sama sekali tidak menyangka perempuan muda itu memiliki ilmu kesaktian. Dia
muncul langsung menyerangku. Aku selamat tapi kudaku menemui ajal.
Luar
biasa. Boneka kayu miliknya itu benar-benar merupakan senjata maut…”
Saat itu
Wiro, Nyi Retno dan Djaka Tua muncul.
Cagak
Lenting cepat membungkuk.”Pendekar Dua Satu Dua, saya Cagak Lenting
menghaturkan terima kasih kau telah menyelamatkan selembar nyawaku.” Cagak
Lenting berpaling pada Nyi Retno. Dia membungkuk sekali lagi dan berkata.
“Maafkan
kalau saya telah berlaku lancang. Saya sangat berterima kasih Den Ayu telah
mengampuni selembar nyawa saya. Saya yang tolol ini hanya melakukan perintah
atasan, perintah Patih Kerajaan.
Sekali
lagi saya minta maaf.”
Nyi Retno
Mantili tertawa sinis dan acuh. Dia memandang pada boneka kayu dan berkata.
“Kemuning, kau dengar ucapan orang itu. Seringkali ketololan mencelakakan diri
sendiri. Hik … hik!”
“Para
sahabat, silahkan semua melanjutkan perjalanan. Saya kawatir Patih Kerajaan
akan muncul di sini bersama orang-orangnya. Sebelumnya saya sudah meminta
seorang Kepala Desa untuk memberi tahu ….”
“Apa yang
akan kau katakan pada Patih Kerajaan karena tidak berhasil menangkap dua orang
itu?” tanya Setan Ngompol.
“Biar itu
menjadi urusanku. Kalian pergilah ….”
Setan
ngompol masih belum puas. Dia ajukan satu pertanyaan lagi. “Cagak Lenting, kau
tahu siapa adanya perempuan muda itu?”
Lebih
dari tahu, sobatku. Yang aku masih tidak mengerti adalah cerita tentang seorang
bayi …”
“Justru
perihal bayi itulah yang membuat Nyi Retno jadi tidak waras. Di lain
kesempatan, kalau kita bertemu lagi aku akan ceritakan kisahnya padamu.
Sobatku, kita berpisah di sini …”
Cagak
Lenting membungkuk dalam-dalam. Sebelum ke empat orang itu bergerak pergi, dia
telah beranjak lebih dulu.
Wiro dan
Setan Ngompol saling pandang.
“Bagaimana
sekarang?” tanya si kakek.
“Apanya
yang bagaimana?” tanya Nyi Retno Mantili sambil ayun-ayun boneka di tangan
kiri. Tiba-tiba boneka itu diserahkan pada Wiro. “Anakku senang padamu,
gendonglah.”
Wiro
garuk-garuk kepala. Agaknya sekali ini sulit untuk meninggalkan Nyi Retno
begitu saja.
“Den Ayu.
kau tidakmungkin ikutan dengan kami,” kata Setan Ngompol.
“Siapa
mau ikut kamu. Aku mau ikut dia ….” Nyi Retno menunjuk ke arah Wiro.
“Celaka!”
ucap Pendekar 212 dalam hati dan kembali garuk-garuk kepala.
“Wiro,
kalau Kemuning suka padamu, apakah aku tidak boleh suka padamu? Apakah aku
tidak boleh ikut bersamamu?”
“Ooalaa.
Perempuan sinting ini suka pada Wiro.
Kenapa
bisa jadi begini?!” Ucap Setan Ngompol dalam hati.
“Kemuning
anak baik. Semua orang tentu suka padanya. Cuma saat ini saya dan kakek itu ada
beberapa tugas yang harus dilakukan.Saya harap Den Ayu dan Djaka Tua mau
bersabar untuk tidak ikut dulu. Nanti selesai urusan kami berdua pasti akan
menemui Den Ayu …”
“Omongan
lelaki siapa percaya. Kalau kau sudah pergi pasti tak ingat Kemuning, tak ingat
diriku. Aku mengerti, orang seperti diriku ini siapa yang mau diajak jalan
bersama? Dan Kemuning, hanya sebuah boneka kayu buruk …..”
Djaka Tua
tercengang mendengar ucapan Nyi Retno itu. “Tuhan,” ucap lelaki ini dalam hati.
“Dalam ketidak warasannya apakah Engkau telah memberikan secercah kejernihan
hati dan pikiran?”
Sepasang
mata Nyi Retno tampak berkaca-kaca.
Djaka Tua
tundukkan kepala. Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Pendekar 212 Wiro
Sableng tegak terdiam. Nyi Retno melangkah mendekati Wiro. “Tolong kembalikan
anakku,” pintanya dengan suara lirih.
Wiro jadi
sedih dan kasihan melihat Nyi Retno Mantili.
Hal ini
membuat dia tidak segera menyerahkan boneka perempuan yang terbuat dari kayu
itu.
Dalam
keadaan semua orang terdiam seperti itu dan kesunyian menggantung tidak enak,
tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disusul suara bentakan dan
menghamparnya bau pesing.
“Anak
setan! Apa yang kau buat di tempat ini?!”
Wiro
tergagau. Setan Ngompol tersentak kaget langsung muncratkan air kencing. Djaka
Tua terheranheran.
Hanya Nyi
Retno Mantili yang kelihatan tenang saja walau wajahnya masih menunjukkan
kemurungan.
Di tempat
itu kini berdiri seorang nenek hitam, kurus tinggi agak bungkuk. Pipi dan mata
cekung, rambut putih jarang. Tangan kiri membolang baling sebatang tongkat kayu
butut hingga mengeluarkan suara bersiuran. Mata yang cekung itu menatap
lekat-lekat ke wajah Pendekar 212, melirik pada boneka kayu yang dipegang Wiro,
melirik lagi ke arah Nyi Retno Mantili. Tongkat ditancap di tanah.
“Anak
setan! Jadi ini pekerjaanmu! Kuberi tugas malah berleha-leha enak-enakan. Siapa
perempuan muda berpakaian dekil tak karuan rupa ini! Gendakmu yang baru?!
Pantas …pantas!” Si nenek berpaling pada Setan Ngompol. “Tua bangka jelek!
Pasti kau yang jadi mak comblangnya!”
“Sinto
kau ini ….” Setan Ngompol pegangi perut.
“Diam!”
teriak Sinto Gendeng memotong ucapan Setan Ngompol lalu kembali memandang pada
Wiro.
“Anak
setan! Apa yang kau pegang itu?!”
“Bayi Nek
….” Karena gugup Wiro ketelepasan menjawab.
Tampang
Sinto Gendeng jadi kelam mengkeret.
Rahang
menggembung, mulut perot komat kamit! Susur dalam mulut dikunyah gemas. Dia
meludah ke tanah.
“Bayi?!”
“Maksud
saya, boneka Nek. Namanya Kemuning.. ..”
“Setan!
Jelas itu boneka. Bukan bayj! Apa kau kira aku buta, tak bisa melihat?! Aku
juga tidak tanya namanya! Belum lama bertemu kau masih waras.
Sekarang
apa otakmu sudah berubah sinting? Eh, kau sudah sableng beneran ya?! Kau kawin
sama perempuan hantu gembel ini sampai punya anak bayi berbentuk kayu?
Hik … hik
… hik!”
Suara
tawa Sinto Gendeng tiba-tiba dibarengi tawa Nyi Retno Mantili tak kalah
nyaringnya. “Setan perempuan! Jangan kau berani melecehkan tawaku! Jika saat
ini aku tertawa, di lain kejap aku bisa berteriak dan membunuhmu!” Sepasang
mata Sinto Gendeng yang cekung tampak berkilat-kilat.
“Nenek
jelek! Sudah bau tanah mulutmu masih kotor!
Kalau aku
mau ketawa siapa berani melarang?! Kalau kau mau berteriak dan membunuhku
mengapa tidak melakukan sekarang?!”
“Perempuan
kurang ajar! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa! Kurobek mulutmu!” Sinto
Gendeng cabut tongkat yang menancap di tanah.
“Wuuttt!”
**********************
6
UJUNG
tongkat di tangan kanan Sinto Gendeng melesat ke arah muka Nyi Retno Mantili.
“Eyang!
Jangan!”
teriak Wiro.
Si nenek
tidak bergeming, terus lancarkan serangan.
Sedang
Nyi Retno Mantili tidak berusaha selamatkan diri.
Tetap
saja tegak di tempatnya.
“Kemuning,
ada nenek jahat bau mau mencelakai ibumu, apa kita diam saja?!”
Nyi Retno
tiba-tiba berseru. Tangan kiri yang memegang boneka diangkat, diarahkan pada
Sinto Gendeng. Jari-jari menekan.
“Den Ayu,
tahan!” teriak Wiro. Dia cepat melompat dan berdiri menghalang di antara Sinto
Gendeng dan Nyi Retno Mantili.
“Wiro,
jika kau yang melarang aku menurut saja …”
Nyi Retno
mundur dua langkah. Tangan yang memegang boneka diturunkan.
“Breettt!”
Ujung tongkat
Sinto Gendeng menyambar punggung Wiro. Bukan saja merobek baju putihnya tapi
juga menggurat dalam daging di bagian punggung hingga mengucurkan darah. Wiro
menggigit bibir menahan sakit, melompat ke samping. Nyi Retno Mantili menjerit
keras ketika melihat luka melintang panjang mengucurkan darah di punggung Wiro.
“Nenek
jahat! Kau apakan Wiro! Aku tidak rela!” Nyi Retno menerjang ke arah Sinto
Gendeng. Tangan kanan diangkat. Wajah boneka dipentang ke arah si nenek. Kali
ini dia benar-benar ingin membunuh Sinto Gendeng. Wiro cepat merangkul Nyi
Retno seraya berkata. “Nyi Retno Mantili! Jangan! Dia guru saya. Dia berhak
menghukum saya jika saya salah.”
“Tapi apa
salahmu?!” teriak Nyi Retno.Matanya berkaca-kaca. Tangan kiri memagut punggung
Wiro, mengusap darah yang mengucur. Perempuan tidak waras ini menjerit keras
ketika tangannya basah oleh lumuran darah.
“Wiro ….
Darahmu ….” Nyi Retno menjerit lalu merangkul Pendekar 212 erat-erat.
Setan
Ngompol terkencing habis-habisan. Tidak percaya dia melihat apa yang terjadi.
Djaka Tua ingin mendekati Nyi Retno tapi tak berani.
“Kalian
manusia-manusia konyol sinting semua!”
Sinto
Gendeng memaki. “Anak setan! Kau dengar baikbaik ucapanku! Saat ini juga kau
harus berangkat ke Gunung Gede. Temui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ada hal sangat
penting yang ingin dibicarakannya denganmu! Ini adalah perintah Kiai dan
perintahku yang tidak boleh kau tolak! Soal Kitab Seribu Pengobatan kau tak
perlu mencarinya lagi!” Sinto Gendeng memandang garang ke arah Nyi Retno
Mantili. Yang dipandang membalas dengan seringai mengejek. Membuat Sinto
Gendeng tambah terbakar dada dan darah amarahnya. “Anak Setan!
Sebelum
aku minggat ada satu hal yang harus kau pertanggung jawabkan! Kau sudah membuat
bunting seorang gadis bernama Wulan Srindi! Dia merampas satu dari lima tusuk
kondeku. Mengatakan bahwa tusuk konde itu adalah sebagai Mas Kawin tanda
perkawinan kalian!
Cari
setan perempuan itu! Kau harus dapat mengambil tusuk kondeku kembali! Soal
nanti Wulan Srindi melahirkan bayimu, apa lahir berupa boneka kayu atau boneka
batu aku tidak mau tahu!”
Wiro
melengak kaget mendengar caci maki sang guru. “Eyang, saya tidak pernah berbuat
serong seperti itu. Saya tidak pernah menggauli Wulan Srindi ….”
“Lalu
bagaimana dia bisa hamil?! Hantu yang membuntinginya?!” bentak Sinto Gendeng.
“Eyang,
memang ada satu kejadian buruk menimpa diri Wulan Srindi. Malah seorang sahabat
saya sampai dituduh melakukan kekejian itu. Namanya Jatilandak ….”
“Anak
Setan! Kau pandai bicara, pandai berkilah.
Pandainya
kau mencari kambing hitam. Tapi jangan mengira bisa mendustai tua bangka
seperti aku ini! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Aku pernah memeliharamu!
Jadi tahu
betul sifat serta sikapmu! Murid kurang ajar!
Manusia
tidak berbudi! Kau membuat malu diriku. Kau mencelemongi mukaku dengan
kotoranmu! Jangan harap aku akan memberikan Ilmu Sepasang Inti Roh yang pernah
kau minta!” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Munculnya Sinto Gendeng”)
Dalam
diamnya Wiro merasa sekujur tubuh bergetar.
Pelipis
bergerak-gerak dan dada terasa sesak. Mulutnya terbuka tapi tidak sepotong
suarapun yang bisa keluar.
Luar
biasa, guru yang dihormat dan dicintainya tega mengeluarkan ucapan begitu keras
di hadapan sekian banyak orang. Soal ilmu kesaktian dia dulu memang pernah
meminta ilmu Sepasang Inti Roh itu. Namun kemudian tidak pernah
mengingat-ingatnya lagi. (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Munculnya Sinto
Gendeng”) Dalam keadaan seperti sekarang ini dia tambah tidak berminat untuk
memintanya. Apa lagi dia sudah memiliki ilmu yang hampir sama keampuhannya
yaitu “Sepasang Pedang Dewa” yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Hanya saja ilmu ini cuma bisa dikeluarkan dua kali dalam waktu 360 hari.
Di
tempatnya berdiri Wiro merasa punggungnya yang cidera sakit dan panas bukan
main. Dua lutut mulai goyah.
Getaran
ditubuh semakin keras. Dia menggigil seperti diserang demam panas.
Perlahan-lahan Pendekar 212 jatuh berlutut. Nyi Retno Mantili menjerit,
jatuhkan diri dan terus merangkul Wiro. Luka panjang di punggung Wiro
mengepulkan asap. Nyi Retno kembali menjerit.
Setan
Ngompol cepat mendekati Wiro. Sinto Gendeng tak kelihatan lagi. Melihat keadaan
luka di punggung Wiro yang mengepulkan asap, si kakek tusukkan tiga totokan.
Darah
serta merta berhenti mengucur dan kepulan asap perlahan-lahan sirna.
Setan
Ngompol sendiri habis menotok lalu kucurkan air kencing habis-habisan.
“Terima
kasih Kek,” ucap Pendekar 212. Matanya menatap sayu pada Setan Ngompol. “Kek,
mungkinkah aku telah berbuat dosa kesalahan? Aku tidak mengerti mengapa Eyang
Sinto tega melukaiku. Aku yakin tadi dia masih bisa menarik pulang serangan
tongkatnya. Tapi dia sengaja tidak melakukan. Soal Wulan Srindi itu, kau tahu
aku tidak pernah berbuat sekeji itu. Hatiku sedih sekali Kek. Aku merasa sangat
terpukul …”
Setan
Ngompol hanya bisa angguk-anggukan kepala sambil pegangi bagian bawah perut.
“Kek,
mungkin dimatanya aku ini merupakan seorang murid murtad? Kalau aku salah
memang pantas dihukum.
Dibunuhpun
aku ikhlas. Aku menghormati Eyang Sinto, juga menyayanginya. Tapi rasanya … Ah,
aku ini memang murid kurang ajar!” Wiro akhirnya menyalahi diri sendiri.
Sepasang
matanya berkaca-kaca.
“Wiro,
siapa berani membunuhmu akan aku bunuh juga!” tiba-tiba Nyi Retno berkata sambil
tangan kanan mendekapkan boneka kayu ke dadanya.
Wiro
menatap wajah Nyi Retno. Perempuan itu tersenyum padanya. Wiro hanya bisa balas
tersenyum.
“Wiro,
gurumu sedang kacau pikiran,” kata Setan Ngompol. “Wulan Srindi muncul memberi
tahu bahwa dia sudah kawin denganmu dan hamil. Satu dari lima tusuk kondenya
dirampas ….”
“Aku kira
nenek itu pikirannya lebih semrawut dari diriku!” lagi-lagi Nyi Retno keluarkan
ucapan. “Kalau ada seribu gadis mengaku hamil, apa itu semua pekerjaan Wiro?
Seharusnya dia menyelidik dulu. Uh! Baru kehilangan satu tusuk konde
kelakuannya seperti setan kebakaran pantat! Murid sendiri dilukai! Dicaci maki!
Bagaimana
kalau tusuk kondenya hilang semua?! Mungkin manusia sejagat ini dibunuhinya!”
Djaka Tua
sampai tertegun mendengar kata-kata Nyi Retno Mantili itu yang jelas-jelas
membela Wiro. Dalam keadaan tidak waras bagaimana dia bisa bicara begitu.
“Luar
biasa sekali perubahannya setelah pertemuan dengan pemuda ini.”
Wiro
berdiri. “Kek, tadi kau dengar sendiri Eyang Sinto mengatakan aku tidak perlu
lagi mencari Kitab Seribu Pengobatan. Aku senang saja terbebas dari satu tugas
berat. Tapi menurutmu apa yang telah terjadi?”
Setan
Ngompol usap-usap perutnya. “Aku menduga, jangan-jangan dia sudah menemukan
kitab itu. Jadi tidak memerlukan lagi bantuanmu.”
“Dugaanmu
kurasa benar Kek. Tadi aku menyelidiki dirinya dengan Ilmu Menembus Pandang.
Sebenarnya hal itu tidak boleh aku lakukan. Samar-samar aku melihat ada sebuah
benda berbentuk kitab di balik pakaiannya sebelah kiri. Kalau kitab itu memang
sudah ditemui dan berada di tangan Eyang Sinto aku merasa bersyukur. Tapi
bagaimana kini caranya aku membantu dua murid Hantu Malam Bergigi Perak? Mereka
membutuhkan petunjuk pengobatan yang ada dalam kitab itu. Kau tahu sendiri,
kita sudah kepalang berjanji mau menolong.”
“Wiro,
terus terang aku jadi bingung. Semakin lanjut usianya semakin aneh-aneh saja
perilaku gurumu. Apa gunanya kitab itu dimilikinya sendirian. Padahal kitab
bisa memberi pertolongan pada banyak orang. Apa dia ingin mengangkanginya
sampai mati?!”
“Mungkin
dia kawatir kitab itu akan dicuri orang lagi.”
“Bisa
jadi. Tapi aku tahu. Sinto Gendeng itu perempuan culas!” kata Setan Ngompol
pula.
“Mengenai
perintahnya agar aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas, bagaimana menurutmu
Kek?”
“Kau
harus melaksanakan. Perintah itu bersumber dari sang Kiai.”
“Selama
ini aku tidak dekat dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas.” Ucap Wiro sambil
memandang pada Nyi Retno. Perempuan ini menatapnya dengan pandangan mata sayu.
Suaranya terdengar lirih ketika berkata. “Kalau kau pergi ke Gunung Gede, aku
ikut bersamamu. Aku mohon kau jangan meninggalkan diriku dan Kemuning ….”
“Saya tak
mungkin membawamu ke sana Nyi Retno Mantili. Perjalanan jauh dan sulit …”
Perempuan
muda yang terganggu jalan pikirannya itu tersenyum. “Sudah beberapa kali kau
memanggilku Nyi Retno Mantili. Biasanya aku marah dipanggil dengan nama itu.
Tapi karena kau yang menyebut, sekarang aku jadi berpikir. Apakah itu memang
namaku?”
Wiro
memandang pada Djaka Tua. Pembantu ini tersenyum. Wiro berpaling lagi pada Nyi
Retno lalu anggukkan kepala.
“Retno
Mantili, itu memang namamu. Nama bagus …” kata murid Sinto Gendeng pula.
Nyi Retno
tertawa panjang dan lepas. Wajahnya tampak merah segar. “Wiro,” katanya. “Menurut
perhitunganmu berapa lama waktu kau butuhkan untuk sampai ke puncak Gunung
Gede?”
“Mengapa
kau bertanya begitu Nyi Retno?”
“Jika
berkuda mungkin delapan sampai sepuluh hari.
Aku tahu
jalan memintas. Aku hanya butuh waktu lima hari.”
“Sebaiknya
kau tidak kesana. Tunggu saja di tempat kediaman Ki Tambakpati seorang juru
pengobatan sahabat kami. Setan Ngompol akan mengantarkanmu kesana.”
Nyi Retno
tertawa. “Wiro, aku dan Kemuning menunggumu di tepi telaga.”
Pendekar
212 tercengang.
“Nyi
Retno, bagaimana kau tahu kalau di puncak Gunung Gede ada telaga? Kau pernah
…..”
Nyi Retno
tertawa panjang dan kedipkan sepasang matanya. Mata yang selama ini selalu sayu
kuyu oleh penderitaan batin kali ini tampak begitu bagus bening bercahaya.
Djaka Tua sampai mengucap nama Tuhan berulang kali melihat kejadian ini.
Diam-diam dia merasa bahagia.
“Nyi
Retno …..” panggil Wiro.
Namun
perempuan itu sudah berkelebat pergi.
Dikejauhan
terdengar suara nyanyiannya.
Kemuning
anakku sayang Ada seorang sahabat baik hati Membawa kita ke puncak Gunung Gede
Dia berlari cepat seperti angin Tapi kita akan sampai lebih dahulu Menunggunya
di tepi telaga Lagi-lagi Djaka Tua tertegun heran. Dalam hati dia berkata. “Den
Ayu jarang-jarang menyanyi di depan orang lain. Juga aneh, bagaimana Nyi Retno
tahu jalan ke Gunung Gede. Bagaimana dia tahu di sana ada telaga?”
Pembantu
setia ini lalu memandang pada Pendekar 212.
“Wiro,
saya melihat banyak perubahan pada diri Nyi Retno sejak dia mengenalmu. Jika
saja kau bisa berada lebih lama bersamanya mungkin keadaannya akan tambah baik.
Apakah
kau sudi menolongnya?”
“Dia suka
dan percaya padamu,” menambahkan Setan Ngompol. “Dua hal itu bisa kau jadikan
sebagai dasar menolong dirinya …”
“Kalian
berdua ikut aku ke Gunung Gede?” bertanya Wiro.
Setan
Ngompol menggeleng. “Kami akan menunggumu di pondok Ki Tambakpati.” Kata si
kakek pula.
Wiro
garuk-garuk kepala.
Belum
sempat dia tinggalkan ke dua orang itu mendadak seorang nenek dengan dandanan
tebal mencolok tahu-tahu telah tegak berdiri berkacak pinggang di hadapan tiga
orang itu. Di atas kepalanya ada sebuah tabung bambu kuning setinggi satu
setengah jengkal, mengepulkan asap tiga warna.
“Hantu
Malam Bergigi Perak, kau rupanya ….” Setan Ngompol yang pertama sekali membuka
suara.
“Ah, kau
tidak melupakan diriku. Tapi aku tidak berurusan denganmu.
Aku mau
bicara dengan pemuda ini.” Kata nenek berpakaian serba hitam guru dua gadis
cantik Liris Merah dan Liris Biru. Dia memandang ke arah Wiro. “Jika aku tanya
tentang kitab itu pasti jawabanmu kau masih belum tahu berada dimana. Betul
begitu?”
“Nek,
kalau kitab itu ada padaku, pasti akan kuminta izin Eyang Sinto agar
dipinjamkan padamu untuk mengobati kelainan pada dua muridmu.”. Kata Wiro pula.
Si nenek
kerenyitkan kening. “Aku tidak pernah memberi tahu bahwa dua muridku punya
kelainan. Dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu?!” Dua mata si nenek
mendelik, memperhatikan penuh curiga.
Wiro
sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dulu dua kakak beradik Liris Merah dan
Liris Biru sendiri yang memberi tahu penyakit yang mereka idap.
“Aku cuma
menduga Nek. Kalau tidak dirimu tentu dua muridmu yang memerlukan pengobatan.
Melihat kau cantik dan sehat-sehat saja maka aku mengira dua muridmulah yang
membutuhkan pertolongan.”
“Hemmm,
kau pandai bicara. Hidungku tidak besar oleh pujianmu! Pemuda mata keranjang,
awas kalau kau ada hubungan yang tidak-tidak dengan dua muridku, kupecahkan
batok kepalamu! Sekarang katakan apa kau sudah mendapatkan kitab itu?”
Wiro
menggeleng.
“Tahu
dimana beradanya?”
Wiro
menggeleng kembali.
Hantu
Malam Bergigi Perak tertawa bergelak. Deretan giginya atas bawah tampak
berkilauan. “Anak muda, kau berdusta. Apa kau kira aku tidak tahu gurumu yang
bau pesing itu tadi ada di sini. Kau dicuci maki habis-habisan seperti mencuci
kesetan kaki!
Hik …
hik! Aku juga mendengar dia berkata agar kau tidak perlu mencari kitab itu
lagi. Berarti kitab itu sudah ditemukan dan ada di tangannya. Aku tahu ke arah
mana dia pergi. Aku akan minta pinjam kitab itu secara baikbaik.
Kalau dia
tidak memberikan akan kubunuh! Apa katamu?!”
“Aku
tidak akan berkata apa-apa Nek,” jawab Wiro.
Si nenek
tertawa panjang. “Bagus, kau mau berpihak padaku. Berarti dalam hatimu ada rasa
dendam terhadap gurumu yang telah melukai dirimu. Benar?! Kalau aku jadi
dirimu, perlu apa punya guru seperti itu. Sudah jelek, bau pesing, bicara tak
karuan, hatinya jahat pula.”
“Ucapanmu
hanya menunjukkan bahwa hatimu juga tidak seputih dan selembut kapas …” tukas
Wiro.
Bagaimanapun
juga telinganya jadi panas mendengar ucapan si nenek.
Sebaliknya
Hantu Malam Bergigi Perak tertawa panjang mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
“Wiro,
diriku bisa saja lebih jahat dari Sinto Gendeng.
Tapi aku
tidak pernah menganiaya murid sendiri seperti yang dilakukannya padamu!”
Air muka
Wiro tampak merah. Sebelum dia menjawab ucapan Hantu Malam Bergigi Perak Setan
Ngompol cepat mendahului mengalihkan pembicaraan. “Sobatku Hantu Malam Bergigi
Perak, Wiro pasti akan memberikan kitab itu padamu begitu dia mendapatkan.
Kalau kau
tidak percaya padanya, kau boleh menyandera diriku. Kau boleh membawaku kemana
saja sampai dia menyerahkan kitab …”
“Tua
bangka kuping terbalik. Kau kira aku tidak tahu akal bulusmu?! Siapa sudi
berada dekat-dekat dengan orang bau pesing sepertimu. Sekalipun kau mandi di
tujuh telaga bau pesingmu tak akan hilang. Lebih baik kau ikut membantu mencari
kitab itu. Siapa tahu di dalamnya ada petunjuk obat yang dapat menghilangkan
penyakit kencingmu!”
“Oaallaaa.
Aku tak pernah memikirkan hal itu!” kata Setan Ngompol pula sambil pegangi
bagian bawah perutnya. “Terima kasih kau mengingatkan. Sekarang apakah aku
boleh ikut bersamamu?!”
Si nenek
mencibir lalu tinggalkan tempat itu.
Setan
Ngompol berpaling pada Wiro. “Aku berubah pikiran. Tak jadi ke gubuknya Ki
Tambakpati. Tapi mau mengejar nenek bergigi perak itu. Dia benar! Tidak
mustahil dalam Kitab Seribu Pengobatan ada petunjuk obat serta cara
menghilangkan penyakit kencingkencingku!”
“Kek.
tunggu dulu!”
“Kau ini.
apa lagi. Nanti nenek itu keburu lari jauh!”Setan Ngompol mengomel.
“Eyang
Sinto menyuruh aku mendapatkan tusuk kondenya yang dirampas Wulan Srindi.
Menurutmu bagaimana?”
“Kalau
aku jadi kau aku tidak akan melakukan. Itu urusannya dengan Wulan Srindi.
Mengapa kau yang jadi repot? Sudah, aku mau mengejar nenek menor itu …”
Setan
Ngompol segera saja lari ke arah lenyapnya Hantu Malam Bergigi Perak.
Pendekar
212 Wiro Sableng tak bisa berbuat apa. Dia bertanya pada Djaka Tua. “Bagaimana
denganmu. Aku terpaksa rneninggalkan kau sendirian.”
“Tidak
jadi apa. Saya pernah mendengar nama Ki Tambakpati. Saya akan mencari pondok
tempat kediamannya. Kalau tidak keliru di sebuah bukit dekat Plaosan. Saya
hanya mohon agar kau bisa menolong Nyi Retno Mantili. Yang penting dia bisa
disembuhkan serta diselamatkan dari tangan jahat Raden Mas Wira Bumi yang
bertekad hendak membunuhnya.”
Wiro
pegang bahu Djaka Tua. “Kau orang baik.
Menurutku
kesembuhan atas diri Nyi Retno hanya bisa terjadi jika bayinya yang hilang
ditemukan kembali. Coba kau ingat-ingat mengenai orang tua serba putih kepada
siapa bayi itu kau serahkan. Aku ingin kau menceritakan sekali lagi apa yang
terjadi di goa. Jangan ada satu halpun yang terlupa …”
Djaka Tua
lalu bercerita.
“Malam
itu. lebih satu tahun lalu. Saya membawa lari bayi Nyi Retno dari Gedung
Tumenggung. Bayi saya bungkus dengan sarung. Malam itu hujan turun lebat
sekali. Untung ada sebuah goa. Belum lama berteduh di situ muncul kabut aneh.
Lalu kelihatan sosok seorang tua.
Tubuhnya
tinggi sekali. Kepala hampir menyentuh bagian atas goa. Orang tua ini mengenakan
pakian sebentuk selempang kain putih. Rambutnya putih. Ada sebatang tongkat
putih di tangan kirinya …..”
“Apa kau
memperhatikan sepasang mata orang tua itu?’. tanya Wiro.
“Wajah
orang tua itu berada di bagian yang agak gelap. Tapi saya ingat ….. Bagian
putih matanya hanya sedikit. Selebihnya mungkin hitam, mungkin coklat. Sulit
saya mengetahui karena gelap. Orang tua itu memanggil saya sahabat. Dia minta
saya menyerahkan bayi ….”
“Orang
tua itu, apakah dia membawa sebuah suling emas disisipkan di pinggangnya?”
“Tidak
dapat saya pastikan. Karena bagian pinggang ke bawah tubuhnya tertutup kabut
tipis. Ada satu hal yang ingin saya beritahu. Dibalik kabut, di belakang orang
tua itu saya merasa ada satu mahluk. Entah orang entah binatang. Nafasnya menghembus
berat. Saya tidak bisa melihat sosoknya tapi saya melihat ada dua buah titik
hijau. Titik ini sesekali tampak bergerak-gerak …”
“Djaka
Tua, kau bicara cukup lama dengan orang tua itu. Kau ingat logat bicaranya?
Logat Jawa, Pasundan, Madura …. ?”
Djaka Tua
berpikir. “Bukan logat Jawa. Bukan Sunda. Juga bukan logat Madura. Bahasanya
halus. Kata-katanya lembut. Saya kira dia orang dari tanah seberang. Tapi
seberang daerah mana saya tidak tahu …”
Wiro
pegang bahu Djaka Tua. “Keteranganmu sangat berharga. Mudah-mudahan aku bisa
menduga siapa adanya orang itu.”
“Kalau
begitu kita cari sekarang juga.” kata Djaka Tua bersemangat.
Wiro
tertawa. “Biar aku yang melakukan tugas satu itu. Kau pergilah ke tempat
kediaman Ki Tambakpati.
Katakan
aku dan Setan Ngompol yang menyuruh kau kesana.”
“Saya
akan berdoa siang malam semoga bayi itu bisa ditemukan. Karena hanya pertemuan
dengan bayi itulah Nyi Retno bisa disembuhkan dari sakitnya. Saat ini paling
tidak bayi itu sudah berusia satu tahun lebih. Dibalik ketidak warasannya kau
dapat membayang kan derita duka Nyi Retno. Kasihan sekali. Seharusnya dia
tinggal di satu gedung mewah. Dikelilingi para pelayan. Berpakaian bagus
berdandan apik. Dihormati orang dimana-mana ….”
“Djaka
Tua, tidak banyak di dunia ini orang yang begitu setia pada atasannya
sepertimu. Aku merasa bahagia bisa mengenalmu. Kau pergilah sekarang juga.
Jangan
lewat dijalan biasa. Aku menduga Patih Kerajaan akan mengirim orang-orangnya
atau datang sendiri menyelidik ke tempat ini.”
Djaka Tua
mengangguk. Pembantu ini membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu
sementara langit mulai kelihatan redup di akhir rembang sore itu.
Wiro
menunggu sampai Djaka Tua lenyap di kejauhan. Lalu dia mencari tempat yang agak
lapang dan duduk bersila di tanah. Dua mata dipejam, hati dan pikiran
dipusatkan pada membayangkan sosok seekor harimau putih bermata hijau.
“Sahabat
Datuk Rao Bamato Hijau. Saya Wiro Sableng. Saya perlu bantuanmu. Datanglah.”
Wiro
hanya menunggu satu kejapan mata. Kabut putih entah dari mana datangnya
tahu-tahu menutupi tempat itu seluas lima tombak persegi. Di dalam kabut
kelihatan dua titik hijau. Tanah bergetar. Ada suara hembusan nafas berat.
Perlahan-lahan masih di dalam kabut, kelihatan sosok seekor harimau putih
memiliki sepasang mata hijau.
“Datuk.
terima kasih kau mau datang …”
Terdengar
suara gerengan halus seolah menyahut memberi salam. Harimau putih keluar dari
dalam kabut, melangkah ke hadapan Wiro, menjilati tangan kanan sang pendekar. Wiro
usap-usap kepala binatang itu dengan tangan kirinya. Terasa ada hawa hangat
yang menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Mernbuat rasa sakit luka di punggung
serta merta menjadi lenyap.
“Datuk,
saya buluh pertolonganmu. Mohon disampaikan pada Datuk Rao Basaluang Ameh. Saya
ingin petunjuk tentang seorang bayi perernpuan yang pernah diserahkan kepadanya
oleh seorang lelaki berpunuk di sebuah goa sekitar satu tahun silam ….”
Harimau
putih kedipkan dua mata lalu menggereng halus. Ekornya menjentik ke atas tiga kali
berturut-turut, memancarkan bunya api berwarna hijau. Kabut masih menggantung
di udara. Perlahan-lahan sosok harimau putih bermata hijau lenyap dari
pemandangan. Kabutpun ikut sirna.
Seperti
dikisahkan dalam Episode berjudul “Delapan Sabda Dewa” harimau putih bernama
Datuk Rao Bamato Hijau ini adalah peliharaan seorang sakti di Pulau Andalas
bernama Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari Sang Datuk Wiro telah menerima banyak
ilmu kesaktian. Harimau bermata hijau itu oleh Datuk Rao Basaluang Ameh
dijadikan sebagai pelindung Wiro.
Namun
sebegitu jauh dalam menghadapi berbagai kesulitan terutama menghadapi musuh
berkepandaian tinggi hampir tak pernah Wiro meminta bantuan si mata hijau ini.
Segala kesulitan yang ditemui jika masih bisa dihadapi selalu ditangani sendiri.
Tidak
lebih dari dua kejapan mata berlalu tiba-tiba tanah kembali bergetar. Di
kejauhan terdengar suara saluang (semacam suling khas Minangkabau) disusul
munculnya kabut. Lalu di dalam kabut kelihatan kembali harimau putih besar
Datuk Rao Bamato Hijau. Ternyata harimau ini tidak datang sendiri. Di atas
punggungnya duduk seorang anak perempuan bertubuh gemuk montok, berkulit putih.
Rambutnya yang hitam tebal di kuncir dua di atas kepala. Wajah segar dengan dua
pipi merah. Mulut selalu mengulum senyum sementara sepasang matanya tampak
bening bagus dihias alis tebal dan bulu mata lentik. Anak perempuan seusia satu
tahun ini adalah bayi Nyi Retno Mantili yana dulu diserahkan Djaka Tua pada
seorang kakek. Dan kakek itu kini berdiri di samping harimau putih bermata
hijau.
Sang
kakek mengenakan selempang kain putih.
Sepasang
matanyanya berwarna biru. Meski usia sangat lanjut namun masih tampak gagah. Di
tangan kiri dia memegang sebatang tongkat putih sedang di pinggang terselip
sebuah seruling terbuat dari emas. lnilah Datuk Rao Basaluang Ameh, orang sakti
dari Pulau Andalas yanq menjadi salah satu dari guru Pendekar 212 karena dia
pernah mewariskan ilmu silat dan kesaktian pada Wiro melalui kitab “Delapan
Sabda Dewa”. Perlahan-lahan kabut menipis dan suara alunan saluang lenyap dari
pendengaran.
Wiro
cepat berdiri, melangkah kehadapan Datuk Rao Basaluang Ameh. membungkuk,
menyalami dan mencium tangannya.
“Datuk,
salam hormat saya untuk Datuk. Maafkan saya karena telah berani merepotkan dan
menyita waktu Datuk. Saya terpaksa melakukan karena ada seorang ibu kehilangan
bayi perempuannya. Saat ini dia berada dalam keadaan tidak waras. Sakit dan
derita sengsaranya ini mungkin sekali bisa disembuhkan jika dia bertemu dengan
anaknya kembali.”
“Anak
muda bernama Wiro, kau sendiri apakah tidak mempunyai banyak kesulitan hingga
mementingkan orang lain dari pada diri sendiri?” Datuk Rao Basaluang Ameh
bertanya. Suaranya halus lembut.
Wiro tahu
kalau sang guru tengah menjajal dirinya.
“Datuk
Rao, sudah menjadi garis nasib saya bahwa dalam hidup ini saya akan selalu
menemui kesulitan serta bebagai macam bahaya. Namun jika saya masih bisa
menolong orang lain, mengapa tidak saya lakukan. Lagi pula dari keterangan
orang yang menyerahkan bayi saya coba menduga-duga bahwa yang membawa bayi itu
mungkin adalah Datuk Rao Basaluang Ameh. Maafkan kalau salah keliru …”
Datuk Rao
tersenyum.
“Dugaanmu
tidak keliru Wiro. Anak di atas punggung Datuk Rao Bamato Hijau itulah bayi
yang kau maksudkan.
Aku
memberinya nama Ken Permata.”
“Saya
merasa lega mengetahui bahwa bayi itu memang ada di dalam perawatan Datuk. Saya
sendiri senang melihatnya, apa lagi ibunya …” Wiro dekati anak perempuan di
atas punggung harimau putih, membelai kepalanya. mengusap pipinya yang merah.
Si anak tertawa-tawa. mulutnya mengucapkan sesuatu dan kedua tangannya
diulurkan ke arah.Wiro.
“Anak itu
suka padamu. Dukunglah barang sebentar.”
kata
Datuk Rao Basaluang Ameh pula sementara harimau putih keluarkan suara gerengan
halus.
Wiro
segera menggendong anak perempuan itu. Ken Permata tertawa tawa dan tepuk-tepuk
wajah Pendekar 212.
“Wiro.
Ketahuilah bahwa saat sekarang ini masih belum waktunya Ken Perrnata ditemukan
dengan ibu kandungnya. Sang ibu masih menghadapi berbagai macam kesulitan.
Keselamatan mereka sama-sama terancam ….”
“Saya
hanya menuruti apa pang baik kata Datuk.”
“Waktu
yang tepat adalah sekitar tujuh bulan di muka. Pada malam Satu Suro tahun depan
kita bertemu lagi. Saat itulah Ken Permata akan aku serahkan padamu.
Akan
lebih baik kalau saat itu ibunya ada bersamamu.
Sementara
itu dari sekarang sampai saat pertemuan nanti kuharap kau mau menjaga
keselamatan ibu anak ini.”
“Terima
kasih atas petunjuk Datuk. Perintah Datuk akan saya lakukan Saya tidak akan
menganggu Datuk lebih lama. Saya hanya mohon nasihat. Pesan wejangan atau
mungkin juga teguran. Agar saya bisa lebih lega dalam menghadapi berbagai
tantangan di masa yang skan datang.”
Datuk Rao
Basaluang Ameh tersenyum.
“Wiro.
ketahuilah segala nasihat, pesan wejangan maupun teguran sesungguhnya dimiliki
dan berada dalam diri manusia itu sendiri. Semua yang datang dari orang lain
tidak akan ada gunanya jika tidak dituruti. Suara hati nurani sendiri, yang
datang dari lubuk terdalam hati tulus dan bersih adalah mata telinga bagi diri
seseorang untuk melangkah di jalan yang baik dan diredhohi Allah, Tuhan Seru
Sekalian Alam. Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui”
Wiro
membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih Datuk. Ucapan Datuk akan saya perhatikan
sungguhsungguh.”
“Datuk
Rao Basaluang Ameh tersenyum. Dia usap kepala Pendekar 212. Wiro turunkan Ken
Permata dari gendongan. Ketika hendak didudukan kembali di atas punggung
harimau putih, anak ini menangis tak mau pisah dengan Wiro. Datuk Rao Bamato
Hijau menggereng halus ketika Wiro mengusap tengkuknya dan mencium keningnya.
Wiro tak lupa mencium tangan kanan Datuk Rao Basaluang Ameh sekali lagi.
“Wiro,
sebelum pergi biar aku sembuhkan luka di punggungmu.”
“Terima
kasih Datuk memperhatikan saya. Saya ingin biar luka di punggung saya akan
menjadi cacat yang mengingatkan diri saya betapa pahitnya hidup ini.
Membuat
saya bisa berbuat lebih baik dan lebih bijaksana.
Karena
betapapun buruknya diri saya ini. saya masih tetap seorang anak manusia. Bukan
anak setan ….”
Lama
Datuk Rao Basaluang Ameh tegak terdiam mendengar ucapan Pendekar 212 itu.
Akhirnya si kakek mengulum senyum luruh, membelai kepala sang pendekar dan
berkata. “Kau anak baik. Namun sebagai manusia kita tidak pernah lepas dari
perasaan hati dan jalan pikiran.
Jaga
dirimu baik-baik, Wiro …”
Sosok si
orang tua. harimau putih dan Ken Permata berubah samar. Kabut menipis. Di
kejauhan terdengar suara seruling. Tak lama kemudian ketiga mahluk itupun
lenyap dari pandangan.
Pendekar
212 menghela nafas. Hatinya membatin.
“Turut
akal sehat otak manusia, siapa bisa percaya akan semua yang barusan terjadi di
tempat ini. Di balik semua keanehan, tangan dan kuasa Tuhan bergerak memberikan
segala rakhmatNya.”
Wiro
usapkan dua telapak tangan ke wajah. Sang surya masih menyisakan cahaya terakhirnya
di ufuk barat. Sebentar lagi petang akan memasuki malam. Terbayang wajah Kiai
Gede Tapa Pamungkas “Apa yang ingin dibicarakan orang sakti itu hingga dia
menyuruhku datang menemuinya?” Pertanyaan itu muncul dalam hati sang pendekar.
**********************
7
PUNCAK
Gunung Gede. Sang surya belum lama tenggelam namun kepekatan malam telah muncul
memagut hingga segala sesuatunya kelihatan gelap dan hitam. Sosok yang datang
berkelebat dari arah timur untuk beberapa lama tegak diam tertegun. Mata
memandang berkeliling, wajah putih membayangkan perasaan heran sekaligus
keterkejutan.
“Walau
cuma satu kali datang ke sini, rasanya tak mungkin aku datang di tempat yang
salah. Pohon besar itu masih berdiri di sebelah sana. Sumur tua di sebelah
situ. Tapi mana gubuknya? Semua tinggal tanah rata.”
Orang
yang barusan datang, seorang nenek berwajah putih memandang berkeliling lalu
melangkah kian kemari seputar tanah datar dimana sebelumnya berdiri gubuk
kediaman Sinto Gendeng.
“Sesuatu
telah terjadi di sini. Aku melihat pecahanpecahan kayu. Kepingan tempayan tanah
…” Di satu tempat si nenek berdiri agak lama. Kaki digeser beberapa kali. Dada
berdebar. “lni tempatnya. Apakah aku harus ……” Dalam membatin si muka putih ini
merasa ragu. Dia melangkah kembali.
Di
pinggir sebuah sumur tua, si nenek berhenti.
Pandangan
diarahkan ke berbagai penjuru, telinga dipasang. “Tak ada tanda-tanda manusia
terkutuk itu telah muncul di tempat ini. Apakah aku datang lebih cepat, lebih
dahulu? Atau mungkin ditengah jalan dia merubah pikiran.
membatalkan
niat datang ke tempat ini?” Suara hatinya itu dibantah sendiri. “Tidak mungkin.
Turut keterangan Ki Tambakpati dia menanyakan Kitab Seribu Pengobatan. Dia
mesti ke sini. Aku akan menunggu. Sekali ini dia tidak bakal lolos dari
tanganku! Manusia keji jahanam! Kau akan jadi bangkai di tempat ini!”
Baru saja
si nenek berkata dalam hati seperti itu mendadak ada kilasan satu cahaya di
sebelah barat dan telinganya menangkap suara orang berlari cepat sekali.
“Pasti
jahanam terkutuk itu!”
Secepat
kilat nenek muka putih yang bukan lain Nyi Bodong adanya melesat ke atas
sebatang pohon besar.
Mendekam
di situ, mata memperhatikan tak berkesip ke arah datangnya suara orang yang
berkelebat datang.
Hanya
satu kejapan mata saja, seorang mengenakan jubah hitam dengan gambar matahari
bulat merah di bagian dada, bermuka cacat. tegak di pinggiran sumur, tepat
dimana si nenek tadi berdiri. Keningnya diikat secarik kain warna merah. Di
tangan kanan orang ini menenteng satu benda aneh, yakni sebuah lentera yang
cahayanya menerangi tempat terbuka sampai seluas tiga tombak persegi. Tidak
seperti lentera biasa, lentera ini memancarkan cahaya tiga warna yaitu merah di
sebelah atas, hitam di sebelah tengah dan kuning di sebelah bawah.
Di atas
pohon besar Nyi Bodong bergerak hati-hati, masuk menyelinap ke balik kelebatan
daun pepohonan, melindungi diri dari cahaya terang lentera.
“Lentera
lblis ….” ucap Nyi Bodong dalam hati. Dia ingat pada guratan tulisan yang dilihat
dan dibacanya dalam goa kediaman Si Muka Bangkai. “Jahanam itu mengenakan
pakaian baru berlambang gambar matahari.
Dia
berani unjuk tampang tanpa mengenakan topeng setan. Berarti ada kekuatan yang
diandalkannya. Lentera itu …. ? Mahluk jahanam! Hantu Pemerkosa alias Pangeran
Matahari! Kau datang ke sini mencari kitab keramat. Kalau kau mendapatkan kau
akan menyerahkannya padaku bersama nyawamu! Apapun penyakitmu kau tidak akan
pernah tersembuhkan!
Mungkin
ada hikmahnya Kiai mengembalikan kitab itu.
Kalau
tidak aku tidak akan memergokinya di tempat ini!”
Orang
yang memegang lentera yang memang Pangeran Matahari adanya memperhatikan
keadaan sekitar.
“Tak ada
pondok! Tak ada gubuk! Tapi Si Muka Bangkai menyuruhku datang kesini. Sekali
ini mungkin dia benar-benar hendak menipuku!”
Hati-hati
Pangeran Matahari letakkan lentera di tanah. Mata tak berkesip memperhatikan
keadaan tanah.
yang
diterangi lentera. Sesungging seringai menyeruak di mulut, hidung yang pencong
patah mendongak seperti binatang mencium sesuatu. Perlahan-lahan dia berjalan
ke bagian kanan lentera, berhenti sejarak tiga langkah. Kaki digeser. Seringai
kembali muncul di wajahnya.
“Pasti di
sini tempatnya.”
Tiba-tiba
Pangeran Matahari membungkuk.
Bersamaan
dengan itu tangan kanan dihantamkan ke tanah.
“Bruukkk!”
Tangan menembus tanah sedalam tiga jengkal.
“Kraaak!”
Ada satu benda berderak pecah dilanda hantaman tangan kanan. Ketika Pangeran
Matahari mengangkat tangannya keluar dari tanah yang terbongkar, di pergelangan
tangan itu menggelantung sebuah peti kayu warna hitam. Pangeran Matahari
menggeprak peti kayu dengan tangan kiri hingga pecah berantakan. Dari dalam
peti yang hancur jatuh ke bawah satu benda yang bukan lain adalah sebuah kitab
tebal terbuat dari daun lontar. Sang Pangeran cepat sambuti kitab daun lontar
itu dengan tangan kiri. Di atas pohon besar Nyi Bodong tegang sesaat. “Kau
tidak akan dapatkan kitab itu Pangeran jahanam! Aku akan membunuhmu!”
Saking
girangnya Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa berteriak keras. Tangan kanan
dipukulkan ke dada.
“Kitab
Seribu Pengobatan! Aku akan sembuh! Akan sembuh! Aku akan menguasai rimba
persilatan tanah Jawa! Guru, terima kasih atas semua petunjukmu!”
Pangeran
Matahari masukkan kitab daun lontar ke dalam saku besar di kanan jubah hitam.
Lalu dia melangkah untuk mengambil Lentera Iblis. Namun sebelum tangannya
menyentuh gagang lentera, ada satu perasaan yang membuat dia mengeluarkan
kembali Kitab Seribu Pengobatan dari saku jubah. Kitab didekatkan ke lentera.
Di bawah penerangan cahaya tiga warna lentera Pangeran Matahari membuka halaman
pertama. Halaman itu kosong! Dibuka halaman kedua! Kosong polos! Begitu
seterusnya. Sampai halaman terakhir. Kitab daun lontar itu tidak satu
halamanpun ada tulisannya!
Pangeran
Matahari berteriak keras! Marah sekali kitab dibanting hingga menancap amblas
dan lenyap di dalam tanah.
Di atas
pohon wajah putih Nyi Bodong unjukkan rasa heran.
“Bagaimana
mungkin,” katanya dalam hati. “Apakah Kiai sengaja melakukan? Lalu dimana kitab
yang asli?”
“Keparat
kurang ajar! Siapa menipuku! Jahanam mana yang punya pekerjaan begini rupa!
Muka Bangkai!
Kau yang
jadi biang kerok menipuku?!” Pangeran Matahari menyalahi gurunya lalu
memakipanjang pendek.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba menggelegar suara tawa cekikikan dari salah satu
pohon besar.
“Pangeran
Matahari! Hantu Pemerkosa! Kasihan sekali kau ditipu guru sendiri. Kalau kau
diperlakukan seperti itu berarti baginya kau tidak lebih baik dari cacing dalam
comberan! Hik … hik. ..hik!”
“Jahanam
keparat! Siapa berani bicara menghina diriku!”
Pangeran
Matahari hantamkan tangan kanannya ke arah pohon. Udara mendadak bertambah
kelam. Dari atas pohon saat itu tiba-tiba menggelegar suara seperti raungan
srigala, disusul suara tawa bergelak dan di lain kejap berkiblatlah selarik
sinar biru pekat.
“Wusss!
Buuummm!”
Tiga
larik sinar pukulan sakti Gerhana Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari
berdentum keras, buyar tercabik-cabik. Sang Pangeran terpental ke arah sumur
tua, mulut muntahkan darah segar. Dia cepat gulingkan diri dan menyambar
Lentera Iblis. Ketika dia berdiri di hadapannya telah tegak sosok nenek muka
putih berpakaian biru gelap.
“Tua
bangka jahanam Nyi Bodong! Kau berani mengikutiku! Kau mencari mati mencari
mampus!”, teriak Pangeran Matahari. Lentera ditangan kanan diangkat ke atas.
Nyi
Bodong menyeringai.
“Kau kira
Lentera lblis itu bisa menyelamatkan dirimu? Benda butut itu hanya pantas
dipakai ronda pamong desa! Hik … hik … hik!”
Kejut
Pangeran Matahari bukan olah-olah.
“Dari
mana hantu perempuan ini tahu yang kupegang adalah Lentera Iblis!” ucap Pangeran
Matahari dalam hati.
Seperti
dapat membaca apa yang ada dalam hati lawan, Nyi Bodong berkata. “Goa di puncak
Merapi! Tiga jurus ilmu Lentera Iblis! Hanya sayang, goa itu sudah aku
hancurkan menjadi timbunan tanah tak berguna! Hik … hik … hik …”
Pangeran
Matahari berteriak keras. Kaki kanan maju ke depan. Tenaga dalam disalurkan ke
tangan kanan.
Lentera
lblis didorong ke arah Nyi Bodong.
Cahaya
kuning memancar lebih terang dan angker dibanding dua warna cahaya lainnya.
“Jurus
ketiga Lentera Iblis! Jurus Liang Lahat Menunggu! Hik..hik..hik!” Nyi Bodong
sebut nama jurus serangan maut yang hendak dilancarkan Pangeran Matahari. Walau
kaget bukan kepalang namun sang Pangeran terus dorongkan Lentera Iblis. Cahaya
kuning berkiblat dari dalam lentera. Bersamaan dengan itu Nyi Bodong singkapkan
pakaian birunya di bagian perut. Kaki kanan dihentakkan ke tanah, tangan kiri
meremas. Selarik sinar biru menggidikkan menderu memapaki cahaya kuning
serangan Lentera Iblis! Nyi Bodong menjerit keras! Pohon besar
dibelakangnya
tenggelam dalam kobaran api dan dalam sekejapan telah berubah menjadi gosong
kuning!
Puncak
Gunung Gede sebelah utara bergoncang hebat ketika dua cahaya sakti saling
hantam di udara. Dentuman dahsyat menggelegar. Tubuh Pangeran Matahari
bergoyang-goyang. Darah mengucur di sela bibir. Muka pucat namun dia masih
mampu berdiri di atas ke dua kakinya.
Nyi
Bodong sendiri mencelat mental. Terguling ke bagian gunung yang terjal dan
lenyap dari pemandangan.
Pangeran
Matahari mengejar. Lentera diangkat tinggitinggi hingga tempat di sekitarnya
menjadi terang. Namun dia tidak menemukan sosok Nyi Bodong.
“Mampus!
Mungkin sudah lumat jadi tanah!”
Pangeran
Matahari seka darah di sudut bibir. Tertatih-tatih sambil pegangi dada dia
melangkah tinggalkan puncak Gunung Gede, menuruni lereng gunung ke arah
tenggara.
Hatinya
masih penasaran hendak mencari Nyi Bodong untuk memastikan apakah nenek muka
putih itu benarbenar sudah menemui kematian. Namun rasa kesal karena Kitab
Seribu Pengobatan palsu itu, akhirnya dia memutuskan untuk cepat-cepat
tinggalkan Gunung Gede.
Kini dia
memiliki senjata luar biasa. Lentera lblis yang mampu menandingi kehebatan Nyi
Bodong. Begitu turun gunung tekadnya bulat untuk segera mencari dan menghabisi
Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah itu satu persatu para tokoh persilatan tanah
Jawa akan dihabisinya.
*************************
TERPISAH
hampir tiga hari dari kemunculan Pangeran Matahari dipuncak utara Gunung Gede,
pada satu siang yang cerah Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tepi telaga tiga
warna di puncak gunung sebelah timur.
Keanehan
pada telaga ini, airnya selalu membentuk riak dan mengeluarkan suara halus
seperti air mendidih.
Pertama
sekali yang jadi perhatiannya ialah dia tidak melihat sawung yang pernah ada di
tepi telaga itu.
Kemudian
dia tersentak kaget dan melongo ketika di balik serumpunan pohon bunga di tepi
telaga duduk seorang perempuan muda bewajah cantik, rambut hitam tergerai,
pakaian kembang-kembang kuning dan biru. Sepasang alisnya yang tebal hitam naik
ke atas, bibir yang mungil mengulum senyum. Dua kakinya yang mulus putih berada
dalam air telaga sampai sebatas ujung lutut. Di atas pangkuannya ada sebuah
boneka kayu perempuan.
“Den Ayu
… Nyi Retno Mantili, kaukah ini?” tanya Pendekar 212.
“Hik …
hik. Apakah kau tidakmengenali diriku lagi?”
tanya
perempuan muda yang memang Nyi Retno Mantili adanya. Saat itu tubuh, wajah dan
rambutnya dalam keadaan bersih. Pakaian bagus, apik dan rapi. Alis hitam
kereng, pipi kemerahan dan bibir segar. Selain cantik dirinya tampak anggun
sekali.
“Ah,
maafkan. Saya hampir tidak mengenali,” jawab Wiro terkagum-kagum. Sebelumnya
dia melihat Nyi Retno dalam keadaan dekil kumal baik tubuh, rambut maupun
pakaian.
“Guru
menyuruhku membersihkan diri, memberi pakaian baru, berdandan. Kalau dulu aku
tidak mau. Tapi sekarang mau. Karena menyambut kedatanganmu. Boleh ‘kan? Kau
suka Wiro? Hik .. hik … hik.”
Pendekar
212 jadi rikuh mau menjawab pertanyaan Nyi Retno. Dia malah balik bertanya.
“Guru? Maksud Nyi Retno guru siapa?”
“Nanti
kau tahu sendiri.”
“Aku lupa
menanyakan perihal anakmu. Apakah Kemuning baik-baik saja?” Wiro mengambil
boneka kayu dari pangkuan Nyi Retno dan menimang-nimangnya.
“Dia
selalu rewel. Selalu menanyakan kapan kau datang. Kapan kau datang. Sekarang
lihat. Dia tersenyumsenyum.
Gembira
kau sudah datang. Terbukti sekarang ….”
Wiro
tertawa. “Terbukti apa Nyi Retno?.”
“Aku
lebih dulu sampai darimu.”
“Ya. kau
orang hebat. Aku kagum padamu. Aku mengaku kalah.”
Nyi Retno
tertawa panjang.
“Hai,
apakah gurumu si nenek bawel itu tidak mengikuti…?”
Wiro
tertawa lebar.
“Dia guru
baik. Semua nenek di dunia ini sama saja bawelnya. Nyi Retno, yang masih jadi
tanda tanya besar bagi saya, bagaimana Nyi Retno tahu jalan ke puncak ini.
Lalu tahu
telaga ini?
“Tanyakan
saja pada Kemuning,” jawab Nyi Retno lalu terlawa “Kemuning. katakan pada saya
bagaimana Kau tahu jalan ke sini. Juga tahu telaga ini?” Wiro bertanya pada
boneka lalu tertawa.
Nyi Retno
ikut tertawa. Habis tertawa dia berkata.
“Tidak
ada yang mengherankan. Rumahku di sini”
Wiro
terkejut.
Tiba-tiba
di bagian pertengahan telaga air membentuk gelombang-gelombang kecil. Bersamaan
dengan itu kabut tipis turun menutupi permukaan air. Tak selang berapa lama
satu sosok putih melesat keluar. Air telaga muncrat sampai beberapa tombak. Di
pertengahan telaga kemudian kelihatan seorang tua berselempang kain putih,
rambut. janggut dan kumis putih melambai-lambai tertiup angin. Seperti berjalan
di tanah datar begitulah dia melangkah di atas air menuju tepi telaga dimana
Wiro. Nyi Retno dan Kemuning berada. Sekujur tubuh dan pakaiannya sama sekali
tidak basah sedikitpun!
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas, terima hormat saya.
Saya Wiro
menghadap Kiai sesuai dengan pesan Eyang Sinto Gendeng.” Wiro membungkuk dalam,
menjabat tangan si kakek lalu menciumnya.
Yang membuat
Pendekar 212 terkejut ialah ketika Nyi Retno Mantili melompat, tertawa panjang
lalu membungkuk di hadapan si kakek. Seraya berkata.
“Guru…”
Wiro
perhatikan Nyi Retno dengan pandangan heran yang dibalas pandang ditambah
senyuman. Wiro menatap pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah guru dari
Sinto Gendeng dan Tua Gila. (Kisahnya harap baca serial Wiro Sableng berjudul
“Pedang Naga Suci 212”. Juga dapat dibaca kisah muda kedua orang tokoh silat
itu dalam CERMIN berjudul “Selingkuh Rimba Persilatan”)
Masih
berdiri di atas air di tepi telaga. Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. “Wiro,
dia memang muridku.”
“Saya
tidak mengira. Kalau saya boleh bertanya, bagaimana kejadiannya Kiai?”
“Sewaktu
lari dari Gedung Tumenggung di Kotaraja.
Nyi Retno
Mantili hampir dihabisi seorang nenek dari alam roh bernama Nyi Tumbal Jiwo.
Mahluk jejadian ini adalah guru dari Wira Bumi, suami Nyi Retno yang waktu itu
masih menjabat sebagai Tumenggung di Kotaraja. Aku menyirap kabar sekarang dia
sudah jadi Patih Kerajaan …”
“Guru
saya tidak mengenal siapa itu Wira Bumi. Saya tidak pernah punya suami. Kalau
saya mencari suami saya ingin orangnya yang seperti dia!” Tiba-tiba Nyi Retno
berkata sambil menunjuk pada Pendekar 212 membuat Wiro jadi merah mukanya dan
garuk-garuk kepala!
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. Dia melanjutkan ceritanya.
“Nyi
Retno aku bawa kesini. Aku beri beberapa ilmu kesaktian dan sedikit pelajaran
silat. Tujuanku adalah agar dia mampu menjaga diri karena aku tahu tidak akan
bisa menahannya lama-lama di tempat ini. Kenyataannya satu tahun di sini dia
menghilang. Tahu-tahu beberapa hari lalu muncul bersama Kemuning. Aku gembira
melihat kalian semua. Wiro, sesuai dengan pesanku pada gurumu, pembicaraan kita
lanjutkan di dalam telaga.”
“Kiai
saya tak punya kemampuan masuk dan tinggal lama di dalam telaga.” Ucap Wiro
terus terang.
“Tak usah
kawatir. Kau dan juga juga Nyi Retno serta Kemuning tinggal mengikutiku saja.”
Wiro
hanya bisa menggaruk kepala.
Tiba-tiba
selintas pikiran muncul di benak Wiro.
“Jangan-jangan
orang tua ini mempertemukan aku dengan Nyi Retno di sini untuk maksud
perjodohan. Tapi mana mungkin. Nyi Retno masih istri Wira Bumi. Ah, aku mungkin
sudah gila berpikir sampai ke situ …”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu bertanya. “Pendekar, apa
yang ada dalam hati dan benakmu?”
“Ah, agaknya
Kiai tahu apa yang barusan aku pikirkan,” membatin Wiro. Dia cepat-cepat
membungkuk.
“Harap
maafkan kalau saya berpikiran sangat dangkal dan tolol.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum. “Kiai, sebelum kesini saya singgah di puncak gunung
sebelah utara. Saya tidak melihat gubuk kediaman Eyang Sinto. Sepertinya telah
terjadi sesuatu …”
“Ketika
gurumu bertemu denganmu saat menyampaikan pesan, apakah dia tidak menceritakan
apaapa?”
“Banyak
Kiai. tapi sama sekali tidak ada cerita tentang keadaan di tempat kediaman
Eyang.”
“Kalau
kau bertemu lagi, tanyakan langsung padanya,” kata sang Kiai pula. Dipegangnya
tangan Wiro dan Nyi Retno. Lalu seperti diajak terbang dia mengangkat tubuh ke
dua orang itu ke udara. Kemudian perlahanlahan diturunkan di pertengahan telaga
dan plaaass!
Ketiga
orang itu lenyap masuk ke dalam air!
**********************
8
MASUK ke
dalam telaga di puncak timur Gunung Gede itu mengingatkan Wiro pada kejadian
sewaktu dia dibawa masuk oleh Ratu Duyung ke dalam samudera pantai selatan
(baca serial Wiro Sableng berjudul “Kiamat Di Pangandaran”) Ternyata di dasar
telaga terdapat tiga buah bangunan batu pualam yang indah sekali bentuknya. Dua
bangunan berukuran kecil, mengapit sebuah bangunan besar yang atapnya
menyerupai mesjid.
Nyi
Retno. masuklah ke dalam bangunan di samping kiri. Tunggu sampai kami berdua
datang.”
“Guru.
jangan suruh saya menunggu terlalu lama.
Nanti
saya lari lagi seperti dulu…”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas membelai rambut hitam Nyi Retno. mencubit pipi boneka kayu.
Setelah perempuan muda itu masuk ke dalam Bangunan batu di sebelah kiri Kiai
Gede Tapa Pamungkas berkata. “Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kulihat keadaan
Nyi Retno banyak berubah.
Pikirannya
masih belum jernih tapi untuk hal-hal tertentu dia tampak secerdas orang biasa.
Mudah-mudahan Tuhan menolong dan memberkatinya.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas melangkah ke bangunan batu di sebelah kanan. Sambil berjalan dia
berkata “Kita nanti bicara di bangunan besar. Itu tempat kediamanku.
Sebelum
kesana aku membawamu terlebih dulu ke bangunan ini karena ada yang perlu aku
perlihatkan.
Penuh
tanda tanya Wiro mengikuti langkah sang Kiai.
Bagian
dalam bangunan walau segala sesuatunya terbuat dar batu keadaannya tidak beda
dengan bangunanbangunan kecil sekitar Istana di Kotaraja yang pernah
dilihatnya. Di hadapan sebuah pintu berwarna hijau muda Kiai Gede Tapa
Pamungkas berhenti. Pintu yang juga terbuat dari batu secara aneh bergeser ke
samping.
Setelah
keduanya masuk, pintu bergeser menutup.
Ruangan
dimana Wiro berada ternyata adalah sebuah ruang ketiduran yang bagus sekali.
Udara di sini nyaman dan sejuk. Nanya ada beberapa perabotan. Sebuah
pembaringan batu beralas seperai tebal berwarna biru muda lalu sebuah meja batu
diapit dua buah kursi.
Begitu
masuk pandangan Wiro langsung tertuju pada satu sosok perempuan tua berwajah
putih yang terbujur di atas pembaringan. Rambutnya yang panjang hitam menjulai
sampai menyentuh lantai ruangan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah tentutup
sehelai selimut tebal.
“Nyi
Bodong…” Ucap Wiro begitu melihat orang yang ada di atas pembaringan.
“Kau
mengenal nenek ini?” tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Kiai.
saya sempat bertemu nenek ini beberapa kali.
Ilmunya
tinggi. Terakhir sekali saya ketahui dia memburu seorang berjuluk Hantu
Pemerkosa yang bukan lain adalah Pangeran Matahari. musuh saya dan musuh para
tokoh rimba persilatan.” Wiro diam sebentar, memperhatikan.
Dia
hampir tidak melihat gerakan nafas di tubuh si nenek.
“Kiai,
bagaimana orang ini bisa berada di sini. Apakah dia masih dalam keadaan hidup?”
“Nyi
Bodong menderita luka dalam yang sangat parah. Dua hari dia dalam keadaan
sengsara dan nyaris sakarat. Ketika dalam perjalanan ke sini, Nyi Retno yang
melewati jalan memintas di arah timur menemuinya di satu lekukan lereng. Nyi
Retno membawanya kemari. Kau tahu sendiri Wiro. Nyi Retno bertubuh kecil tapi
mampu memanggul Nyi Bodong yang tinggi dan lebih besar. Lalu, jika otaknya kita
anggap tidak waras, dia tidak akan memperdulikan nenek ini. Perlu apa menolong?
Ternyata Tuhan memberikan perasaan welas asih padanya hingga dia mau membawa
Nyi Bodong. Aku tidak tahu, berapa lama lagi dia sadar dari pingsan.
Mudah-mudahan Tuhan memperpanjang umurnya. Selama dia disini, kau tahu siapa
yang merawatnva?”
“Saya
bisa memperkirakan Kiai. Tentu Nyi Retno Mantili.” Jawab Wiro pula.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mengangguk. Lalu berkata. “Selama di sini, Nyi Retno banyak
bicara tentang dirimu. Dia yang memberi tahu bahwa kau akan datang.”
“Nyi
Retno orang baik. Punya niat baik untuk rimba persilatan. Hanya saja nasibnya
yang buruk …” Wiro lalu melangkah mendekati tempat tidur dan berdiri dekat
kepala Nyi Bodong.
“Kiai,
apakah Kiai atau Nyi Retno tahu siapa yang mencelakai Nyi Bodong?”
“Kenapa
kau bertanya begitu?”
“Setahu
saya Nyi Bodong memiliki ilmu kesaktian langka. Dia bisa mengeluarkan sinar
biru sangat mematikan dari pusarnya.”
“Setiap
ada ilmu yang tinggi dan hebat. pasti ada lagi ilmu lain yang lebih tinggi dan
lebih hebat. Jangan kau pernah melupakan hal itu. Yang berarti seorang pendekar
tidak boleh sombong, tidak boleh takabur. Aku tidak tahu siapa orang yang
mencelakai Nyi Bodong. Keadaannya agak aneh. Pertama kali ditemui sekujur
tubuhnya berwarna kuning. Beberapa urat besar serta syarafnya mengalami
pembengkakan. Seperti dipanggang. Kalau dia siuman dan sembuh pasti akan aku
tanyakan. Aku menyempatkan diri pergi ke tempat dimana Nyi Retno menemui Nyi
Bodong. Kelihatannya ada pertempuran hebat disana. Satu pohon besar berubah
menjadi arang tapu berwana kuning. Kalau tidak dilindungi kekuatan hebat,
rasanya nasib Nyi Bodong tidak beda dengan pohon itu.”
“Syukur
Tuhan masih menyelamatkannya,” kata Wiro.
“Rimba
persilatan memerlukan orang seperti Nyi Bodong.”
“Wiro,
saatnya pergi ke tempat kediamanku dan bicara.”
“Baik
Kiai.”
Sebelum
meninggalkan ruangan Wiro pandangi dekat-dekat wajah Nyi Bodong. Sebenarnya dia
ingin menyingkap selimut yang menutupi bagian kaki nenek muka putih itu. Namun
dia tidak berani melakukan. Takut dianggap berlaku lancang dan ditegur Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Akhirnya Wiro hanya usapkan tangan kirinya di kening si
nenek. Mulutnya berkata perlahan.
“Nyi
Bodong, kau orang baik. Tuhan akan menolong menyembuhkanmu. Jika kau sembuh aku
ingin bertemu dan bicara banyak denganmu.”
Namun
seperti disentak. Wiro cepat-cepat menarik tangannya. Entah karena sentuhan
tangan atau karena memang sudah saatnya siuman. sepasang mata Nyi Bodong yang
sekian lama terpejam tiba-tiba membuka.
Mata itu
mula-mula tampak sayu kuyu. Namun begitu pandangannya membentur wajah Pendekar
212, sepasang mata jadi membesar, bersinar dan air muka si nenek berubah.
“Dia
mengenalimu, Wiro…” kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
“Saya ….’
“Kau
mempunyai daya penyembuh pada tanganmu?”
“Tidak
kiai. Saya tidak punya ilmu apa-apa…”
“Kalau
begitu mari kita keluar dari sini.” kata sang Kiai.
Wiro
mundur selangkah. Dia merasa berdebar ketika melihat sepasang mata Nyi Bodong
masih memperhatikan.
Sebelum
pintu batu bergeser menutup. Wiro sempat melihat mata itu masih terus
mernandang ke arahnya.
Bahkan
mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Kiai.
saya mohon pintu jangan ditutup dulu. Nyi Bodong seperti hendak mengatakan
sesuatu. Mungkin dia hendak memberi tahu siapa orang yang telah mencelakainya”
Mendengar
ucapan Wiro Kiai Gede Tapa Pamungkas berdiri di hadapan pintu batu. Pintu
terbuka. Nyi Bodong masih dalam keadaan seperti tadi. Mata memandang mulut
terbuka.
“Nyi
Bodong. kau hendak rnengatakan sesuatu?”
tanya
Wiro. Tangannya kembali hendak mengusap kening si nenek.
Mulut si
nenek terbuka. Suaranya serak parau tapi jelas. “Jangan kau berani menyentuh
diriku. Pergilah,”
Wiro
tersurut mundur. Memandang pada Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di
sampingnya lalu cepatcepat keluar dari ruangan itu. Sambil berjalan mengikuti
sang Kiai. Wiro membatin.
“Dia
dalarn keadaan cidera berat. Pingsan. Siuman secara tiba-tiba. Bicara seperti
itu padaku. Aneh. Rasanya aku ini sebagai seorang penjahat.”
Di dalam
bangunan batu yang atapnya berbentuk mesjid Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Wiro
duduk di satu ruangan tak seberapa besar. beralaskan permadani tebal.
Untuk
beberapa lama Wiro hanya berdiam diri. Seolah menunggu apa yang akan dikatakan
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Namun sebenernya pikirannya masih tertuju pada
kejadian di kamar tempat Nyi Bodong terbaring tadi.
“Dia
tidak senang padaku. Mengapa? Karena pertengkaran di pondok Ki Tambakpati dulu
atau…”
“Wiro,
sebelum kita memulai pembicaraan ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kau datang
dengan baju putih robek besar di sebelah belakang. Di punggungmu ada guratan
luka. panjang dan cukup dalam. Apa yang terjadi?”
“Saya
tersangkut di ranting pohon sewaktu melayang turun.” jawab Wiro berdusta. tidak
mau menceritakan hal sebenarnya.
“
Begitu?”
Wiro
tidak berani mengangguk, tidak berani mengiyakan. Hanya berdiam diri saja.
“Hanya
ada satu manusia yang bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu. Gurumu Sinto
Gendeng. Betul?”
“Eyang
Sinto bermaksud baik, Kiai. Sementara saya murid kurang ajar yang sesekali
memang perlu diberi peringatan.”
Alis
kanan Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas lalu orang sakti ini berkata.
“Membaliklah.
Biar aku sembuhkan cacat luka di punggungmu itu.”
“Terima
kasih Kiai. Saya memilih memiliki cacat ini.
Agar saya
selalu ingat untuk berlaku baik.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tertawa lebar. “Mengingati diri sendiri untuk berbuat baik bukan
dari cacat luka yang ada di tubuh. Tapi dari lubuk hati. Sudahlah. jika kau
ingin membawa cacat itu kemana-mana aku tidak bisa melarang. Sekarang kita
lanjutkan pembicaraan.”
“Ba..baik
Kiai. Saya menunggu. Sebelumnya saya menghaturkan terima kasih karena Kiai mau meminta
saya datang ke sini. Saya siap menerima nasihat maupun teguran …”
“Rimba
persilatan ….” Kata sang Kiai memulai ucapannya. “Sekarang ini telah jauh
berbeda dengan saat ketika dulu kau dilahirkan, ketika kau pertama kali turun
gunung. Perubahan bukan saja terjadi pada sifat manusia dan para tokoh yang
ada. Tapi juga pada berbagai ilmu yang dimiliki orang-orang rimba persilatan
sendiri.
Dendam
kebencian, keserakahan, kejahatan membuat banyak orang menciptakan berbagai
ilmu baru yang luar biasa dahsyatnya. Lebih mengerikan lagi kalau manusia biasa
berilmu tinggi berserikat dengan mahluk alam roh, menciptakan ilmu yang bisa
membuat rimba persilatan mengalami kiamat! Contoh ketika Pangeran Matahari
hendak mendirikan Partai Bendera Darah yang bermarkas di Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian. Orang-orang rimba persilatan golongan putih tidak mampu
menghancurkan komplotan manusia pocong itu secara seorang diri.
Termasuk
kau. Berapa tokoh yang bergabung untuk menghancurkannya? Itu telah terjadi.
Yang bakal terjadi mungkin jauh lebih dahsyat. Apa lagi Pangeran Matahari masih
hidup dan berkeliaran. Dendam kesumatnya terhadap dirimu selangit tembus
sedalam lautan. Satu hal harus kau ingat Wiro, manusia-manusia jahat itu mudah
sekali berserikat dalam kejahatan. Sebaliknya manusia yang katanya orang
baik-baik kerap kali tidak saling akur.
Itu
sebabnya kejahatan terlihat selangkah lebih cepat dari kebaikan.
“Aku tahu
kau memiliki banyak ilmu kesaktian untuk menghadapi musuh-musuhmu. Tapi kau
harus memahami bahwa setiap manusia itu punya hari sial. Hari apes. Satu kali
kau akan mengalami hal itu dan dirimu akan mendapat celaka besar bahkan mati di
tangan musuhmusuhmu.
Itu garis
nasib setiap orang. Kau tidak terlepas dari garis itu. Seperti penyakit,
mengapa kita tidak berusah mencegahnya sebelum kena?
“Seorang
pendekar tidak harus memperlihatkan jati dirinya dengan tanda-tanda tertentu
yang bisa membahayakan jiwanya. Contoh nyata adalah dirimu. Ada rajah angka Dua
Satu Dua di dadamu. Melihat rajahan itu setiap orang akan akan mengenali siapa
dirimu. Hal ini mengandung bahaya besar yang mungkin tidak kau sadari. Juga
tidakdisadari oleh Sinto Gendeng ketika belasan tahun silam dia membuat rajah
itu di tubuhmu dengan jarum sakti. Sudah saatnya rajah itu dilenyapkan.
Kau
memiliki senjata sakti mandraguna pemberian gurumu berupa Kapak Naga Geni Dua
Satu Dua dan batu hitam pasangannya. Senjata sebesar itu apakah kau tidak rikuh
membawanya kemana-mana?”
Ucapan
Kiai Gede Tapak Pamungkas itu mengingatkan Wiro akan apa yang belum lama
terjadi antara dia dengan Eyang Sinto Gendeng. Jangan-jangan ada pesan tertentu
dari si nenek.
“Kiai,
apakah Eyang Sinto berpesan minta saya mengembalikan kapak dan batu sakti itu?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas menggeleng.
“Aku
ingin senjata dan batu sakti itu tetap ada padamu. Tetapi tidak terlihat secara
kasat mata.”
“Saya
tidak mengerti maksud ucapan Kiai.” Kata Wiro. “Kiai, terus terang saya merasa
lega kalau kapak dan batu sakti saya kembalikan pada Eyang Sinto. Kalau
diizinkan, saya juga ingin mengembalikan semua ilmu silat dan kesaktian yang
pernah saya dapatkan dari beliau.
Sehingga
antara kami tidak ada lagi ganjalan.”
“Ucapanmu
memberi kesan kau membenci gurumu.”
“Tidak
Kiai, saya tidak membenci Eyang Sinto.”
“Kau
menaruh dendam atas apa yang telah dilakukannya padamu?”
“Saya
tetep menghormati Eyang Sinto,” jawab Wiro dengan tenang walau hatinya terasa
perih.
“Mulutmu
berucap begitu, tapi aku tidak tau apa yang ada di lubuk hatimu. Sinar matamu
terlihat lain…”
“Kiai,
saya ingin melupakan apa yang telah terjadi.
Saya
ingin melupakan masa lalu dengan segala perbuatan buruk dan baik saya. Saat ini
saya punya keinginan meninggalkan rimba persilatan untuk selama-lamanya.
Saya rasa
tanpa menjadi seorang pendekar sekalipun seseorang bisa berbuat baik.”
Kalau
saja sang Kiai tidak dapat menekan keterkejutannya pastilah saat itu dia sudah
terlonjak dari duduknya.
“Anak
muda, kau ini bicara apa? Selagi rimba persilatan dilanda kekacauan seperti
ini, selagi rimba persilatan digentayangi manusia-manusia jahat kau bermaksud
meninggalkan rimba persilatan. Apakah kau hanya mengikuti perasaan hati hingga
mengorbankan akal sehat?”
“Kiai,
mungkin perasaan hati terkadang menyesatkan.
Namun
bagaimanapun juga perasaan hati adalah satu kejujuran yang tidak pernah berkata
dusta. Murni dan bersih separti tetesan-tetesan embun di pagi hari.”
Habis
berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan batu
hitam sakti. Dua senjata mustika ini diletakkan di atas permadani di hadapan
Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Dengan
segala hormat dan mohon maap, kapak dan batu sakti saya serahkan pada Kiai.”
“Wiro,
jangan membuat aku bingung. Aku tidak bisa menerima perbuatanmu ini!”
Habis
berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat angkat tangan kanan, telapak
dikem
bang
diarahkan ke dada Wiro.
“Kiai,
kau mau berbuat apa? Membunuhku?!” seru Wiro.
**********************
9
SANG KIAI
tak menjawab. Mukanya berubah merah.
Tangan
kanan mulai bergetar. Lalu muncul satu cahaya putih melingkari tangan. Ketika
Kiai Gede Tapa Pamungkas mendorongkan tangan itu ke depan, satu cahaya
menyilaukan berkiblat ke arah dada Pendekar 212.
Wiro
menjerit keras. Tubuhnya terpental kedinding.
Rasa
panas seperti ada bara di dalam dada membuat sekujur tubuhnya berkelojotan.
Dada itu dipenuhi kilatan ribuan bunga api. Sesaat kemudian perlahan-lahan
bunga api dan rasa panas lenyap, berubah menjadi hawa sangat sejuk hingga kini
Wiro jadi menggigil kedinginan dan giginya bergemeletukan.
Wiro
menatap ke depan. Kiai Gede Tapa Pamungkas menatapnya tenang-tenang saja.
Ketika Wiro memperhatikan ke arah dirinya sendiri ternyata baju putihnya dalam
keadaan terbuka, dada tersingkap telanjang. Dan rajah tiga angka 212 yang
selama ini ada di dada itu kini telah lenyap!
“Kiai
…..” ucap Wiro. “Saya ….”
Belum
sempat Wiro menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Kiai Gede Tapa Pamungkas
angkat dua tangan sekaligus. Mulutnya berseru. “Wiro! Kapak Naga Geni Dua Satu
Dua! Batu hitam sakti! Aku kembalikan padamu!”
Dua
tangan ditepukkan satu sama lain.
“Blaar!
Blaar!”
Dua
cahaya sangat terang berkiblat. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti
berubah menjadi dua benda sangat menyilaukan. Melesat ke udara lalu menukik
turun dan sett … sett! Sulit dipercaya. Dua senjata mustika sakti itu melesat
masuk ke dalam tubuh Pendekar 212 sebelah depan. Asap putih mengepul dari
telinga, hidung, mata serta ubun-ubun Wiro! Untuk beberapa lamanya tubuh Wiro
tampak kaku tak bergerak.
Keringat
memercik dimana-mana. Tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulut sang
pendekar.
Sepasang
matanya berubah merah laksana bara menyala.
Tubuh
bergoncang keras lalu terkulai lemas, tersandar ke dinding.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berdiri. Melangkah mendekati Wiro. Telapak tangan kanan
diletakkan di atas kepala Pendekar 212, mulut komat kamit merapal sesuatu.
“Dess!
Dess!”
Asap
mengepul dari kepala Wiro.
“Rampung
sudah. Tugasku sudah selesai. Semoga Tuhan melindungi dan mernberkatimu …” .
“Kiai,
apa yang terjadi? Apa yang telah Kiai lakukan?”
tanya
Wiro seperti orang baru sadar dari siuman.
“Kapak
Naga Geni Dua Satu Dua dan batuk hitam sakti telah menyatu dalam tubuhmu.
Kemana kau pergi dua senjata mustika itu akan selalu bersamamu. Bilamana kau
memerlukan mereka kau hanya berseru menyebut Kapak Naga Geni Dua Satu Dua atau
Batu Sakti! Maka secepat kilat kapak akan berada di tangan kanan dan batu sakti
di tangan kirimu.”
Wiro
terdiam. Bukan terpana kagum akan kehebatan yang telah diiakukan Kiai Gede Tapa
Pamungkas tapi justru terbalut oleh rasa penyesalan. Mengapa sang Kiai tidak
memberi tahu lebih dulu apa yang akan dilakukannya. Padahal tadi dia
jelas-jelas mengatakan ingin mengembalikan dua senjata mustika sakti itu.
“Mengenai
jarah tiga angka Dua Satu Dua di dadamu.
Angka-angka
tersebut akan muncul di dada kirimu dengan sendirinya jika kau sengaja
menyibakkan baju di hadapan lawan.”
“Kiai,
apakah saya boleh minta diri sekarang?” Bertanya Wiro.
“Aku tahu
kau tidak suka atas apa yang telah aku lakukan. Namun dikemudian hari kau akan
menyadari bahwa yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikanmu.”
“Saya
sangat berterima kasih. Kiai, saya mohon diri.
Sebelum
pergi izinkan saya menemui Nyi Retno” Wiro berdiri.
Melihat
air muka dan sikap Pendekar 212 Wiro Sableng, sang Kiai tak punya niat untuk
mencegah walau sebenarnya masih banyak yang ingin dibicarakannya dengan pemuda
itu.
Di
bangunan batu sebelah kiri Nyi Retno Mantili telah resah rnenunggu. Bersama
Wiro dia ingin cepat-cepat keluar dari dasar telaga. Ketika Wiro muncul dia
menyambut dengan tertawa lega. Sambil menimang boneka kayu dan bertanya pada
Kiai Gede Tapa Pamungkas yang berada di samping Wiro.
“Guru,
apakah kami boleh minta diri sekarang?”
Sang Kiai
anggukkan kepala.
“Wiro,
jaga Nyi Retno dan Kemuning baik-baik.” Lalu orang sakti ini pegang lengan Wiro
dan Nyi Retno.
“Selamat
jalan. Harap kalian selalu berhati-hati.” Dua lengan disentakkan. Wiro dan Nyi
Retno melesat ke atas permukaan air terlaga.
Beberapa
lama setelah Wiro dan Nyi Retno Mantili lenyap dari hadapannya Kiai Gede Tapa
Pamungkas masih tegak di depan bangunan besar yang atapnya berbentuk mesjid.
Orang tua ini menarik nafas panjang. Membalikkan badan seraya mulutnya berucap
perlahan. “Sinto, dari dulu kau tak pernah berubah. Kau akan menerima azab
akibat perbuatan semena-menamu terhadap murid sendiri.
Sayang ….
sayang sekali. Padahal rimba persilatan sangat memerlukan orang-orang seperti
kalian.”
Wiro dan
Nyi Retno hampir tidak menyadari kapan mereka melesat keluar dari dalam telaga.
Tahu-tahu keduanya sudah ada di tepi telaga tiga warna sebelah timur.
“Aneh,
tubuh dan pakaianku tidak basah!” kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Aku
juga. Kemuning juga tidak basah! Kesaktian guruku pasti yang membuat kita tetap
kering begini! Hik … hik … hik. Aku suka pada Kiai itu. Tapi aku tidak senang
akan semua ucapan dan apa yang dilakukannya padamu waktu di gedung besar di
dasar telaga tadi.”
Wiro
berpaling heran.
“Bagaimana
kau bisa tahu segala pembicaraan dan apa yang terjadi di bangunan besar?” tanya
murid Sinto Gendeng pula.
“Aku ada
di dalam ruangan.”
Wiro
menggaruk kepala tak percaya.
“Kiai
memberikan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri padaku. Aku pergunakan ilmu itu.
Tubuhku lenyap dari pemandangan mata. Aku masuk ke dalam ruangan. Kau tidak
tahu, tidak melihat. Kiai juga tidak tahu tidak melihat. Tapi aku kira dia
tahu. Cuma sengaja berpurapura Hik … hik … hik. Aku kira dia menyesal
memberikan ilmu itu padaku.”
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas orang baik dan sangat bijaksana. Dia tahu apa yang
dilakukannya.”
“Kau juga
orang baik. Kau baik padaku. Kau baik pada Kemuning …” kata Nyi Retno. Sambil
melangkah pelan di samping Wiro, dia sandarkan kepalanya ke bahu kiri sang
pendekar. “Wiro, kita akan pergi kemana sekarang ? “ Nyi Retno bertanya.
“Nyi
Retno, saya rasa saya harus mengantarkanmu ke pondok Ki Tambakpati…”
“Terserah
kau mau bawa kemana. Aku dan Kemuning ikut ….”
Wiro
menggaruk kepala.
“Kau
tidak suka aku dan Kemuning ikut?”
“Tentu
saja saya suka. Tapi …”
“Tapi
apa?”
Wiro
memandang berkeliling. Dia melihat ada satu pohon rindang. “Ada yang hendak
saya ceritakan pada Nyi Retno. Mari kita bicara di bawah pohon sana.”
Mendengar
kata-kata Wiro itu Nyi Retno Mantili langsung mendahului lari dan duduk di bawah
pohon.
Begitu
Wiro sampai dia berkata. “Senangnya hendak diceritakan sesuatu. Kau mau cerita
sekarang?” Nyi Retno menarik tangan Wiro. Keduanya duduk di tanah
berhadaphadapan.
“Nyi
Retno, beberapa hari lalu dari keterangan Djaka Tua saya berhasil mencari tahu
dimana bayimu berada …”
“Tunggu
dulu, ceritamu tidak lucu Wiro. Bayiku ada di sini. Lihat, ini Kemuning!
Bayiku, anakku, puteriku.” Nyi Retno mengangkat boneka kayu yang ada di
pangkuannya lalu tertawa panjang.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia tidak tahu musti bicara bagaimana. Setelah
berpikir-pikir, dia mendapat akal.
“Kau
betul Nyi Retno. Kemuning ini memang puterimu yang manis. Semua orang suka
padanya.Tapi apa kau lupa kalau Kemuning punya kakak?”
Kening
Nyi Retno mengerenyit, mulut dipencongkan, mata menatap lebar. “Kau
mempermainkanku. Kau jahat …”
“Tidak
Nyi Retno. Kakak Kemuning juga seorang anak perempuan. Sama cantiknya dengan
Kemuning. Namanya Ken Permata. Usianya satu tahun …”
“Kemuning
juga berusia satu tahun. Kalau Kemuning punya kakak paling tidak usianya dua
tahun!”
“Celaka,
katanya otaknya tidak waras. tapi ternyata tahu menghitung. Dia lebih dari
waras!” Ucap Wiro dalam hati. Wiro usap-usap kepala boneka. “Sudahlah, nanti
saja kita bicara lagi. Saya akan mengantarkan Nyi Retno ke pondok Ki
Tambakpati. Perjalanan kita jauh kali. Berharihari.
Saya tahu
tempat dimana kita bisa mencari tumpangan gerobak kuda.”
“Tadi
malam saya bermimpi,” kata Nyi Retno sambil berdiri. Untuk pertama kalinya Wiro
mendengar dia menyebut dirinya dengan kata saya, bukan aku.
“Mimpinya
buruk. Dalam mimpi saya melihat Djaka Tua digantung kaki ke atas kepala ke
bawah. Saya kawatir.”
“Tak ada
yang perlu dikawatirkan Nyi Retno. Mimpi adalah mimpi. Djaka Tua berada di
tempat kediaman Ki Tambakpati, tempat yang aman.”
Tiba-tiba
dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda. Perjalanan menuju puncak
Gunung Gede cukup sulit. Seseorang hanya bisa menunggangi kuda paling jauh
sampai dua pertiga ketinggian gunung. Jika sekarang ada yang mampu naik sampai
ke puncak, niscaya dia adalah seorang berkepandaian tinggi dan memiliki kuda
tunggangan yang cekatan luar biasa.
Wiro
cepat menarik Nyi Retno ke balik pohon besar dan memberi tanda agar perempuan
itu tidak mengeluarkan suara. Tapi tetap saja Nyi Retno membuka mulut. “Pasti
yang lewat manusia setan dan kuda setan.
Hik …
hik..hik.”
Wiro
cepat tekap mulut Nyi Retno. Celakanya walau cuma main-main Nyi Retno gigit
jari tangan Wiro hingga hampir saja Wiro mengaduh kesakitan.
Derap
kaki kuda semakin keras. Sesaat kemudian seekor kuda putih muncul bersama
penunggangnya seorang mengenakan sorban dan jubah putih berkilat.
Yang
membuat Wiro terkejut kuda putih itu terus saja lari ke arah telaga, melompat
tinggi dan jauh, lalu perlahanlahan seperti dikendalikan, didahului satu
ringkikan keras binatang dan penunggangnya masuk ke dalam telaga, tanpa membuat
air telaga bermuncratan, hanya menimbulkan riak gelombang kecil.
“Luar
biasa.. ..” Ucap Pendekar 212 sambil lepaskan tekapannya dari mulut Nyi Retno
Mantili.
“Apa yang
saya bilang terbukti. Yang naik kuda itu setan, kuda yang ditunggangi juga
setan.”
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas kedatangan tamu hebat.
Nyi
Retno, bisakah kita menunggu sampai orang berkuda tadi keluar dari telaga. Saya
ingin melihat lebih tegas, siapa dia adanya. Rasanya saya pernah ….” Wiro
menggaruk kepala mengingat-ingat.
Nyi Retno
gelengkan kepala berulang kali lalu tarik lengan Wiro.
*************************
KITA
kembali pada Hantu Malam Bergigi Perak yang tengah berusaha mengejar Sinto
Gendeng yang dicurigainya telah mendapatkan kembali Kitab Seribu Pengobatan. Si
nenek merasa jengkel karena dia tahu, di sebelah belakang kakek bermata belok
berkuping lebar bernama Setan Ngompol itu ternyata mengikuti. Namun rasa kesal
itu jadi hilang ketika otaknva berpikir mungkin orang itu bisa dimanfaatkannya.
Setelah
berlari cukup jauh sementara matahari mulai memasuki ufuk tenggelamnya mendadak
Hantu Malam Bergigi Perak kehilangan jejak Sinto Gendeng.
“Kurang
ajar! Tidak mungkin dia lenyap begitu saja.
Aku masih
mencium bau pesingnya. Pasti dia sembunyi di sekitar sini.” Nenek berusia 70
tahun ini memperhatikan keadaan sekeliling. Tempat dimana dia berada adalah
kawasan hutan bambu. Pohon-pohon bambu itu tumbuh berjejer rapat seolah
membentuk dinding panjang dan tinggi. Perlahan-lahan Hantu Malam Bergigi Perak
langkahkan kaki, bergerak ke tempat yang mulai diselimuti kegelapan. Asap
hitam. merah dan biru yang keluar dari potongan bambu yang ada di atas
kepalanya kelihatan mengepul lebih tebal. “Tua bangka itu tidak mungkin
sembunyi karena takut,” membatin Hantu Malam Bergigi Perak. “Dia tidak punya
ilmu melenyapkan diri. Dia bersiasat mau membokongku! Aku harus waspada.”
Benar
saja. Baru si nenek selesai mengucap dalam hati tiba-tiba didahului suara
lengking jerit keras berkiblat selarik sinar putih perak menyilaukan disertai
berhembusnya angin luar biasa panas!
“Pukulan
Sinar Matahari!” teriak Hantu Malam Bergigi Perak kaget sekali. “Jahanam itu
inginkan nyawaku!”
Sambil
berguling selamatkan diri si nenek angkat dua tangan di atas kepala. Ketika dua
tangan didorong terdengar suara bergemuruh. Dari potongan batang bambu di atas
kepala kepulan asap tiga warna keluarkan suara mendesis lalu membuntal dan
bergulung ke arah cahaya putih perak yang menyerang dirinya, ltulah tangkisan
dalam jurus yang disebut Hantu Malam Menyanggah Bumi.
“Buummm!”
Letusan
dahsyat menggelegar. Tanah bergetar.
Pepohonan
berderak-derak. Salah satu diantaranya amblas dalam kobaran api. Walau selamat
dari serangan mematikan, Hantu Malam Bergigi Perak merasakan dadanya berdenyut
keras. Dia cepat berdiri ketika terdengar suara tertawa panjang.
Di depan
sana, terpisah dua belas langkah, berdiri angker seorang nenek tinggi kurus,
berkulit hitam dengan mata dan pipi cekung serta kepala ditancapi empat tusuk
konde. Tangan kiri melintangkan tongkat kayu di depan dada dan dari mulutnya
mengumbar suara tertawa. Sinto Gendeng!
Hantu
Malam Bergigi Perak mendengus.
“Tua
bangka edan! Kita sama-sama orang rimba hijau! Apa kau tidak punya peradatan?
Sengaja membokong diriku! Nama besar Sinto Gendeng ternyata hanya menampilkan
seorang nenek jelek berjiwa pengecut!”
Sinto
Gendeng semburkan ludah susurnya ketanah.
Lalu menjawab.
“Apa kau sendiri punya peradatan? Mengejar orang padahal aku tidak punya
urusan? Kau bukan cuma tua bangka tidak tahu peradatan tapi pasti juga punya
niat jahat! Untung tubuhmu masih utuh! Kalau kau tidak lekas menyingkir dari
hadapanku saat ini juga kau akan aku buat lumat!”
“Tidak
heran kau bicara sombong!” sahut Hantu Malam sambil berkacak pinggang.
“Sepertinya cuma kau seorang yang punya ilmu kesaktian di dunia ini! Tidak
heran kau mau melumat diriku! Muridmu sendiri kau aniaya sampai cacat! Hik..hik..hik!
Aku mau lihat apa benar kau mampu melumat diriku?!”
Tubuh
bungkuk Sinto Gendeng tersentak ke atas.
Sepasang
matanya memandang mencorong, penuh kilatan hawa amarah.
“Kepentingan
apa kau ikut campur aku punya urusan dengan muridku!”
“Sinto
Gendeng, sudahlah. Aku tidak mau bicara panjang lebar, apa lagi yang aneh-aneh.
Aku langsung saja pada tujuanku. Aku butuh Kitab Seribu Pengobatan yang ada
padamu. Dalam waktu tiga puluh hari akan kukembalikan. Jika kau mau meminjamkan
kita akan menjadi sahabat malah mungkin jadi saudara dunia akhirat. Tapi kalau
kau tidak berbaik hati untuk meminjamkan, aku akan merampas kitab itu. Kalau
kau tetap keras kepala aku akan mengambil kitab berikut nyawamu! Harap kau
pikirkan ucapanku dengan otak sehat pikiran jernih!”
Sinto
Gendeng balas berkacak pinggang lalu tertawa mengekeh.
“Ucapanmu
seperti pemain sandiwara keliling.
Dengar,
aku masih mau mengampuni selembar nyawa rombengmu kalau kau lekas minggat dari
hadapanku. Aku tahu diriku buruk jelek. Tapi melihat tampangmu aku seperti mau
muntah! Hueek! Siapa sudi jadi saudaramu dunia akhirat! Hik … hik … hik!”
“Sinto,
setahuku kitab itu bukan milikmu. Tapi milik Wiro muridmu! Mengapa kau serakah
mengangkangi?!
Kalau kau
pinjamkan pada orang yang membutuhkan kesembuhan dari penyakit, kau bukan saja
akan mendapat nama harum tapi juga pahala besar.”
“Jangan
bicara soal pahala di hadapanku! Dosaku sudah setinggi gunung sedalam lautan.
Apa masih perlu aku mencari pahala?!”
“Kalau
begitu kau akan mampus dalam kesesatan!
Kasihan sekali!
Coba kau mendongak ke langit! Apa kau tidak melihat pintu neraka sudah terbuka
menantimu? Hik .. hik … hik!”
Sinto
Gendeng berteriak marah.
Hantu
Malam Bergigi Perak sendiri saat itu sudah melompat ke hadapan Sinto Gendeng.
Dari tabung bambu di atas kepalanya menyembur asap hitam, kuning dan merah
membuat pemandangan Sinto Gendeng jadi terhalang dan matanya terasa agak perih.
Bersamaan dengan itu Hantu Malam lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam sangat tinggi.
Sinto
Gendeng menyeringai. Dia melompat ke samping untuk selamatkan diri dari pukulan
sakti sambil kepala dan tubuh dirundukkan untuk menghindari halangan asap. Lalu
secepat kilat tangan kirinya yang memegang tongkat bergerak.
“Wuuut!”
“Breett!”
“Dukkk!”
Leher
baju hitam berenda putih yang dikenakan Hantu Malam Bergigi Perak robek besar
disambar ujung tongkat Sinto Gendeng. Mukanya yang tertutup dandanan tebal
seolah kehilangan darah, pucat pasi seperti kertas.
Sebaliknya
saat itu Sinto Gendeng sendiri tampak meringis dengan tubuh setengah terlipat.
Walau tidak telak satu tendangan lawan berhasil mendarat di perutnya.
Rupanya
tadi pukulan tangan kosong yang dilancarkan Hantu Malam Bergigi Perak hanya
tipuan belaka karena sebenarnya kaki kanannyalah yang benar-benar melakukan serangan
dalam jurus bernama Hantu Malam Menusuk Rembulan Menikam Matahari.
“Manusia
jahanam, kau akan mampus tak berbentuk!” teriak Sinto Gendeng marah sekali. Dua
matanya memandang membeliak dan bagian putihnya perlahan-lahan berubah membiru.
Nenek ini jelas-jelas hendak mengeluarkan ilmu dahsyat Sepasang Sinar Inti Roh.
Dari matanya akan melesat dua larik sinar biru mematikan yang selama ini sulit
lawan bisa menghindar cari selamat. Ilmu inilah konon yang pernah diminta Wiro
tapi tidak diberikan oleh sang guru.
Hantu
Malam Bergigi Perak cukup banyak pengalaman dan segera maklum ilmu kesaktian
apa yang hendak dikeluarkan lawan. Secepat kilat dia melompat mundur sambil dua
tangan disilangkan di depan dada.
Mulut
bergumam merapal mantera. Sekujur tubuh bergetar. Asap tiga warna yang keluar
dari tabung bambu di atas kepala menderu keras lalu bergerak menyelubungi
sekujur tubuh, mulai dari kepala sampai ke kaki. Sosok si nenek lenyap dari
pemandangan, hanya sepasang matanya yang masih terlihat seolah mengintip melalui
dua buah lobang. Ilmu yang dikeluarkan Hantu Malam Bergigi Perak ini bernama
Membungkus Jazad Melindung Jiwa.
Dari
namanya sudah dapat diketahui ini merupakan ilmu pelindung diri. Konon si nenek
telah menghabiskan waktu tiga puluh tahun untuk mendapatkan dan meyakini
kesaktian ini. Selain mempersiapkan diri dalam bertahan, dua tangan Hantu Malam
Bergigi Perak yang bersilang di depan dada kelihatan berubah menjadi hitam.
Lima kuku jari mencuat panjang juga berubah warna hitam dan pekat. Ilmu pertahanan
yang telah disiapkannya rupanya sekaligus mampu dibarengi dengan jurus
menyerang yang disebut Limbah Neraka Menghujat Bumi. Ini merupakan ilmu yang
jahat sekali. Dari lima kuku jari akan menyembur keluar cairan hitam berbau
sangat busuk.
mengepulkan
asap hitam serta menebar hawa luar biasa panas.
“Mampus!”
teriak Sinto Gendeng. Sepasang mata dikedipkan.
“Balas
kematian dengan kematian!” Hantu Malam Bergigi Perak balas berteriak tak kalah
garang. Dua tangan yang disilang di depan dada dikibas ke depan. Gerakan ini
sama sekali tidak terlihat oleh Sinto Gendeng karena kecuali sepasang mata
sampai saat itu tubuh lawannya masih tertutup dan terlindung rapat oleh ilmu
Membungkus Jazad Melindung Jiwa. Dua nenek sakti itu rupanya sudah sama-sama nekad
mengadu jiwa.
Di saat
yang luar biasa menegangkan itu Setan Ngompol sampai di tempat itu. Kakek ini
langsung berteriak.
“Tahan
serangan! Kalian berdua akan sama-sama mati konyol!”
Setan
Ngompol pegangi bagian bawah perut. Tak urung kencingya tetap memancur.
Dua nenek
sama sekali tidak perdulikan peringatan Setan Ngompol. Malah masing-masing
melipat gandakan hawa sakti dan kekuatan tenaga dalam.
“Celaka!”
teriak Setan Ngompol. Dia segera melompat menjauhi. Dia sudah dapat memastikan
jika dua nenek tetap meneruskan serangan, mereka akan sama-sama menemui ajal.
Selain itu bentrokan tenaga dalam dan hawa sakti akan melanda tempat itu,
bisa-bisa merenggut nyawanya sendiri. Itu sebabnya si kakek buru-buru melompat
jauh mencari selamat. Tentu saja dalam keadaan air kencing muncrat kemana-mana.
Dentuman
dahsyat menggelegar di tempat itu. Langit laksana runtuh, tanah seperti
terbalik. Sinar biru, kuning, hitam dan merah mencuat tinggi ke langit,
membeset ke seantero tempat. Hantu Malam Bergigi Perak terpekik.
Tubuhnya
mental sampai tujuh tombak, bergulingan di tanah. Walau tubuh masih terbungkus
asap pelindung tiga warna namun pada bahu kirinya kelihatan satu luka menganga.
Darah mengucur deras mengerikan.
Di bagian
lain jeritan Sinto Gendeng seperti merobek langit. Nenek ini tidak terpental,
hanya jatuh duduk dengan tubuh mengepulkan asap hitam menebar bau busuk. Mara
kirinya tampak lebam merah biru. Empat tusuk konde di atas kepala
bergoyang-goyang memancarkan sinar redup. Saat itu entah dari mana datangnya
mendadak muncul cahaya gemerlap. Sinto Gendeng yang hanya mampu melihat dengan
satu mata, terkesiap kaget ketika di hadapannya melayang mahluk aneh berbentuk
bayang-bayang berupa perempuan cantik sekali dengan rambut tergerai lepas.
Mahluk ini melayang ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto
Gendeng merasa ada sesuatu yang lenyap dari tubuhnya.
Dia
berteriak. Lalu nenek ini tersungkur roboh, tergeletak di tanah dalam keadaan
pingsan!
Setan
Ngompol yang berada lebih dari sepuluh tombak dari pusat dentuman dahsyat
terlempar dan menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata
setengah mendelik. Dada berdenyut sakit sementara kencing kembali awur-awuran.
Untuk berapa lamanya kakek ini terpentang tak mampu bergerak. Dirinya seolah
lumpuh! Mahluk bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek
menatap dengan mata melotot, tubuh terhuyung lemas dan pandangan sedikit demi
sedikit menjadi kabur.
“Nek. aku
tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan.
Kitab itu
ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku akan mencarimu dan menyerahkan padamu
…”
“Kau
siapa …. ?” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau dada sesak.
Nafas tinggal satu-satu.
“Aku
seorang sahabat …”
Si nenek
menggeleng. “Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka dibahuku mengandung racun
jahat. Selain itu aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati
serahkan kitab itu pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia tahu masalah
yang dihadapi dua muridku yang sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk
dalam kitab yang bisa menyembuhkan. Jika Pendekar itu inginkan salah satu dari
dua muridku, dia tinggal memilih.
Aku tahu
dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka berjodoh nan bahagia.”
“Nek. kau
tidak akan mati. Aku akan .. menolong.”
Mahluk
bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi Perak.
Namun kepala si nenek terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal dengan
sepasang mata nyalang terbuka. Mahluk bayangan usap dua mata si nenek hingga
tertutup lalu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.
Tak
selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang
terjadi lalu bergerak duduk di tanah. Meraba seputar pinggang. Kagetnya seperti
disambar petir.
“Jahanam
kurang ajar! Siapa yang telah mencuri kitab?!” Nenek ini melompat dari
duduknya. Berdiri terhuyung-huyung. Pandangannya membentur sosok Hantu Malam
Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng
memeriksa seluruh tubuh Hantu Malam dan tidak menemukan Kitab Seribu
Pengobatan. Saking kesalnya Sinto Gendeng tendang tubuh orang hingga terpental
sampai beberapa tombak.
Sinto
Gendeng putar tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan Ngompol yang
tergeletak menyangsrang tak berdaya di atas rumpunan semak belukar.
“Setan
tua keparat! Semua terjadi gara-gara kau!
Mana
kitab itu? Kau pasti yang mengambil!”
“Sinto,
aku …..”
Plaakk!
Satu
tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol membuat pecah bibir si kakek.
“Sinto!
Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri! Apa sudah gila?!”
“Siapa
bilang kita berternan?! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu
tapi membunuhmu! Kau dengar? Aku ingin membunuhmu!”
Habis
berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke dada Setan
Ngompol.
“Kraaakk!”
Setan
Ngompol menjerit. Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini megap-megap
beberapa kali lalu tak berkutik lagi.
TAMAT
No comments:
Post a Comment