Kitab
Seribu Pengobatan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
MATAHARI
belum lama tenggelam. Kegelapan malam terasa begitu cepat menghantui permukaan
bumi. Dalam waktu singkat kawasan bukit batu 113 Lorong Kematian tenggelam
dalam kepekatan menghitam. Kesunyian yang menyelimuti tempat itu merubah
suasanaseperti sunyinya pekuburan. Sebelumnya tempat ini telah menjadi ajang
ertempuran antara Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan melawan kelompok
manusia pocong di bawah pimpinan Yang Mulia Ketua. Manusia jahat luar biasa ini
kemudian diketahui ternyata Pangeran Matahari adanya. Musuh bebuyutan Pendekar
212 dan para tokoh silat golongan putih.
Ketika
angin dari arah utara bertiup agak kencang dan debu yang membumbung ke udara
tidak sanggup memecah kesunyian, sekonyong konyong seperti hantu laiknya, dari
reruntuhan pintu rahasia di selatan 113 Lorong Kematian muncul satu sosok
lelaki mengerikan. Orang ini nyaris tidak mengenakan pakaian. Kulit wajah dan
tubuhnya yang bugil menghitam gosong. Di beberapa bagian kelihatan daging mengelupas
kemera han. Rambut di atas kepala awut-awutan, kotor berdebu dan menebar bau
sangit akibat terbakar.
Di tangan
kanan, orang ini memegang sebuah bendera besar berbentuk segi tiga, bergagang
besi berujung runcing, hampir menyerupai sebatang tombak. Sesekali dari
mulutnya keluar suara erangan halus, mungkin tak tahan oleh rasa sakit pada
sekujur tubuh yang melepuh. Selain itu setiap menghembuskan nafas, kepulan asap
ke merahan keluar dari dua lobang hidung. Siapakah gerangan mahluk mengerikan
ini? Dialah Pangeran Matahari! Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya
(Kematian Kedua), di dalam rumah panggung beratap ijuk hitam yang terletak di
bagian belakang 113 Lorong Kematian, Yang Mulia Sri Paduka Ratu (Puti Andini)
hendak diperkosa oleh Wakil Ketua yang sesungguhnya adalah Yang Mulia Ketua dan
bukan lain adalah Pangeran Matahari. Dengan menyebadani Sri Paduka Ratu,
Pangeran Matahari akan berhasil menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu
kesaktian luar biasa yang ada dalam diri Sri Paduka Ratu. Namun niat keji
Pangeran Matahari tidak kesampaian. Karena di saat itu pula Bunga bersama Naga
Kuning, Ratu Duyung, dan Gondoruwo Patah Hati datang menyerbu.
Pangeran
Matahari menyambut serangan ke empat orang itu dengan dua pukulan sakti yaitu
Gerhana Matahari dan Telapak Matahari. Rumah kayu langsung tenggelam dalam
kobaran api lalu meledak hancur luluh. Yang Mulia Sri Paduka Ratu berhasil
diselamatkan, namun Pangeran Matahari sendiri tanpa diketahui Wiro dan
kawankawan melesat loloskan diri dari bangunan yang meledak dalam keadaan
hampir keseluruhan tubuh hangus terbakar.
Manusia
yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik,
dan Segala Congkak ini, begitu berhasil setamatkan diri segera menyelinap masuk
ke dalam 113 Lorong Kematian lewat pintu belakang. Dia tahu, kalaupun
musuh-musuhnya melihat, mereka tidak akan berani memasuki lorong. Pangeran
Matahari yang tidak memikirkan lagi keadaan dirinya, tidak berusaha mencari
pakaian untuk menutupi aurat, yang perlu segera didapatkannya saat itu adalah
bendera keramat yang ada di Ruang Bendera Darah. Setelah berhasil mendapatkan
Bendera Darah, Pangeran Matahari duduk bersila di dalam lorong, mengatur jalan
darah untuk mengurangi rasa sakit di sekujur badan. Sekaligus berusaha menguras
habis hawa beracun yang ada dalam tubuhnya dengan cara meniupkan nafas panjang
panjang berulang kali.
“Aksara
Batu Bernyawa…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Manusia paling jahat dalam
rimba persilatan ini khawatir berat. Ketika Bunga dan tiga tokoh silat lainnya
menyerbu, dia tidak sempat mengambil batu mustika yang saat itu masih berada
dalam salah satu saku jubah putih nya. “Aku harus mendapatkan batu itu kembali.
Harus!
Jahanam betul!”
Aksara
Batu Bernyawa memang merupakan sebuah batu sakti luar biasa. Dengan batu itulah
Puti Andini yang telah menemui kematian, rohnya dapat dihadirkan kembali, masuk
ke dalam tubuh dan membuat gadis yang dalam rimba persilatan dikenal dengan
julukan Dewi Payung Tujuh itu mampu dihidupkan kembali. Seandainya Puti Andini
tidak menemui kematian kedua dan sang Pangeran berhasil menyedot semua ilmu
kesaktian yang dimiliki gadis itu, rimba persilatan akan jatuh ke dalam cengkereman
Partai Bendera Darah sebagaimana yang telah direncanakan ber dirinya oleh
Pangeran Matahari.
Cukup
lama Pangeran Matahari berada di dalam 113 Lorong Kematian sebelum akhirnya
bangkit berdiri lalu sambil membekal Bendera Darah berlari cepat ke arah goa di
bagian belakang lorong. Di mulut goa yang porak poranda dia hentikan langkah.
Sepasang mata menatap ke arah pedataran berbatu-batu. Sunyi dan gelap.
Telinga
dipasang tajam-tajam. Mulut menyeringai.
Dia
menangkap suara banyak orang bicara di ujung pedataran batu.
“Belum
pergi. Mereka masih di ujung pedataran sana. Apa yang dilakukan manusia-manusia
keparat itu?” pikir Pangeran Matahari. Dia gulung Bendera Darah seputar gagang
besi lalu berkelebat ke pedataran berbatu-batu. Bersembunyi di balik sebuah batu
besar, Pangeran Matahari memperhatikan Wiro dan kawan-kawan berdiri
mengelilingi satu gundukan tanah merah. “Hemmm… mereka telah menguburkan gadis
itu.” Sepasang mata sang Pangeran memancarkan sinar berkilat.
Dendamnya
terhadap Wiro setinggi langit sedalam lautan. “Kali ini aku gagal. Tapi sebelum
rimba persilatan kiamat, aku bersumpah akan menghancurkanmu!” Rahang Pangeran
Matahari menggembung. Selagi semua orang di depan sana masih mengelilingi makam
Puti Andini dalam suasana penuh kesedihan, Pangeran Matahari pergunakan
kesempatan untuk menyelinap, berkelebat ke arah lorong rahasia di bagian
selatan yaitu jalan masuk melewati jurang yang ditempuh Wiro, Bunga dan
kawan-kawan waktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Dari bagian atas tangga batu
yang melingkar di dinding jurang, Pangeran Matahari memandang ke bawah. Gelap.
Dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa walau ada seberkas cahaya suram masuk ke
dasar jurang melalui sebuah lobang di dinding batu. Meski tubuhnya hangus serta
masih ada hawa beracun yang menyekat di jalan pernafasannya namun Pangeran
Matahari tidak kehilangan ilmu kesaktian asli yang dimilikinya. Dengan gerakan
cepat dan enteng dia berkelebat menuruni tangga di dinding jurang. Begitu
sampai di dasar jurang di mana terdapat sebuah telaga, Pangeran Matahari siap
menerobos lobang di dinding batu yang akan menghubunginya dengan satu kawasan
persawahan. Mendadak sontak sang Pangeran hentikan gerakan. Dua bola matanya
membesar, memandang lekat-lekat ke arah tepi telaga di seberang kanan. Di tepi telaga
sana, terbujur tak ber gerak satu sosok tubuh berwarna kuning.
“Setahuku
bangsat aneh satu ini adalah sahabat Pendekar 212. Mengapa berada di tempat
ini? Sudah mampus?”
Tidak
tunggu lebih lama lagi Pangeran Matahari dengan tiga kali lompatan saja sudah
berada di samping sosok yang terbujur di tepi telaga. Mata melotot tak
berkesip, dada turun naik, suara nafas menyengal. Orang ini bukan lain adalah
Jatilandak, pemuda dari Latanahsilam negeri 1200 tahun silam. Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya, ketika ikut menyerbu ke dalam 113 Lorong
Kematian, Jatilandak telah keracunan hawa mengandung belerang yang merupakan
pantangan besar bagi dirinya. Dalam keadaan sekarat Pendekar 212 Wiro Sableng
memindahkan Jatilandak ke tempat yang lebih aman yakni di dasar jurang di tepi
telaga. Sebelum meninggalkan pemuda malang itu Wiro berjanji bila semua urusan
di 113 Lorong Kematian selesai dia dan kawan-kawan akan kembali menjemput
Jatilandak.
Pangeran
Matahari pandangi wajah dan sosok Jatilandak. Mulutnya menyeringai.
“Mahluk
buruk! Kau korban pertama dendam kesumatku terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Sepasang
mata Jatilandak tetap mendelik tak berkesip. Namun bibirnya tampak bergerak.
Mungkin
hendak mengucapkan sesuatu namun tidak ada suara yang mampu keluar.
Pangeran
Matahari angkat tinggi-tinggi Bendera Darah yang dipegang di tangan kanan.
Ujung lancip bendera yang terbuat dari besi diarahkan ke dada kiri, tepat di
jurus jantung Jatilandak.
Didahului
tawa bergelak Pangeran Matahari lalu hunjamkan gagang Bendera Darah!
Hanya
satu jengkal lagi ujung lancip besi gagang bendera akan menembus dada kiri Jati
landak, tiba-tiba ada cahaya gemerlap melesat melewati lobang di dinding kiri
telaga. Lalu selarik sinar biru menyusul berkiblat ke arah ujung lancip gagang
bendera.
Bunga api
memercik ketika terjadi benturan antara sinar biru dengan ujung lancip gagang
bendera. Ada satu kekuatan dahsyat siap membuat mental bendera. Pangeran
Matahari kerah kan tenaga dalam untuk bertahan. Dua kakinya goyah, tubuh
bergetar keras. Dia pergunakan tangan kiri membantu pegangan tangan kanan agar
Bendera Darah tidak terlepas mental. Tapi!
Desss!
Asap
mengepul. Pangeran Matahari berteriak marah ketika melihat sebagian ujung atas
Bendera Darah mengepul hangus. Belum sirna gaung teriakannya, satu kekuatan
dahsyat yang bersumber pada sinar biru melanda keras, membuat tubuh nya
terpental, jungkir balik di udara dan jatuh tercebur ke dalam telaga.
Dinginnya
air telaga terasa sebagai sengatan menyakitkan di wajah dan sekujur tubuh Pange
ran Matahari yang hangus akibat luka bakar.
Sewaktu
memunculkan kepala di permukaan air telaga, Pangeran Matahari jadi tersentak
kaget ketika melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya.
Sosok
Jatilandak yang tadi hendak dihabisinya kini berada dalam gendongan mahluk aneh
berbentuk bayang-bayang dan memancarkan cahaya bergemerlap.Walau berupa
bayangan dan cahaya, namun jelas dapat dilihat sosok aneh itu berbentuk seorang
perempuan muda berwajah cantik, rambut panjang terurai.
Mahluk
bayangan itu memandang ke arah Pangeran Matahari sesaat lalu balikkan tubuh
siap bergerak ke arah lobang besar di dinding batu sebelah kiri.
“Hantu
perempuan!” Bentak Pangeran Matahari. “Mau kau bawa ke mana pemuda itu?”
“Mau aku
bawa ke mana apa urusanmu?” Mahluk yang ditanya menjawab. Suaranya perlahan
saja dan sikapnya tenang. Lalu dengan sikap tidak perdulikan orang dia
melangkah ke tepi telaga menuju lobang di depan sana.
“Bangsat
perempuan! Lagakmu congkak sekali!
Kau tidak
tahu berhadapan dengan siapa!”
“Siapa
dirimu apa untungnya aku mengetahui!
Yang
kulihat kau adalah sosok gosong tak lebih berharga dari sepotong kayu hangus!”
Dihina
begitu rupa marahlah Pangeran Matahari. Serta merta dia berkelebat menghadang
si cantik mahluk bayangan.
“Mahluk
jahanam! Hantu atau apapun kau adanya akan kukembalikan kau ke alam asalmu!”
Pangeran
Matahari menerjang ke depan sambil tusukkan ujung besi runcing gagang Bendera
Darah ke arah leher perempuan bayangan.
Saat itu
juga sosok yang diserang pancarkan cahaya bergemerlap berwarna kebiruan
disertai munculnya kekuatan memiliki daya dorong kuat.
Pangeran
Matahari terhuyung-huyung begitu kekuatan aneh itu menerpa ke arahnya. Dia
cepat imbangi diri dan kembali menyerang. Kali ini serangannya dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya sehingga ujung runcing gagang
Bendera Darah bergetar hebat dan pancarkan sinar kehitaman.
Wuttt!
Ujung
runcing gagang besi menusuk ke arah kepala perempuan bayangan. Namun setengah
jalan tak terduga mendadak sontak berubah menyambar ke arah kepala Jatilandak.
Mahluk yang menggendong Jatilandak menyeringai.
“Serangan
bagus! Tapi licik!” serunya. Bahu kiri kanan digoyang. Cahaya biru bergemerlap,
memancar terang benderang seperti percikan ratusan bunga api, menyambar ganas
ke arah Pangeran Matahari.
Tersentak
kaget, Pangeran Matahari berseru keras, terpaksa tarik pulang serangannya dan
melompat mundur sambil putar tangan kanan yang memegang Bendera Darah.
Bettt!
Bettt! Bettt!
Bendera
Darah yang sejak tadi tergulung pada gagang mengembang lebar, membentuk tameng,
melindungi diri Sang Pangeran dari serangan ratusan bunga api. Percikan air
campur darah bermuncratan. Bau busuk menebar. Bersamaan dengan itu Pangeran
Matahari hantamkan tangan kiri melepas pukulan sakti Telapak Matahari.
Namun sebelum
niatnya terlaksana, satu sambaran angin luar biasa dahsyat datang melabrak
hingga tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh tergelimpang. Masih untung
tidak kecebur ke dalam telaga untuk kedua kalinya.
Ketika
Pangeran Matahari bangkit berdiri sosok perempuan bayangan dan Jatilandak tidak
ada lagi di tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara panjang tawa
perempuan seolah mengejek sang Pangeran!
“Jahanam!”
rutuk Pangeran Matahari sambil perhatikan Bendera Darah. Tampang gosong manusia
congkak itu langsung berubah. Mata mendelik. Bendera Darah kini penuh dengan
puluhan lobang sebesar ujung jari kelingking!
“Keparat
setan alas!” kembali Pangeran Mata hari memaki. Tangan kiri mengepal, rahang
menggembung dan mata seperti dikobari api. Saking marahnya dia tendangkan kaki
kanan. Braakk!
Sebuah
gundukan batu di tepi telaga hancur berantakan. “Siapa adanya mahluk perempuan
itu! Jelas dia bukan gadis dari alam roh bernama Bunga, gendak Pendekar 212!”
*********************
2
DI
TIKUNGAN sungai yang gelap, di bawah naungan batang-batang bambu, mahluk
perempuan berbentuk bayangan turunkan tubuh Jatilandak lalu dibaringkan di atas
sebuah batu besar. Tiupan angin membuat daun-daun bambu bergemerisik. Air
sungai yang mengalir melewati sela-sela gundukan batu mengeluarkan suara deru
panjang tak berkeputusan.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar kepakan sayap burung disusul suara
kicau nyaring panjang. Perempuan bayangan berpaling. Di atas cabang rendah
pohon waru di tepi sungai hinggap seekor burung gagak hitam. Setelah me natap
burung itu sesaat, perempuan cantik berupa bayangan membuka mulut. Suaranya
begitu halus ketika berkata.
“Sahabat,
terima kasih untuk bantuanmu hari ini. Sekarang pulanglah. Jika aku
memerlukanmu lagi, aku akan memberi tanda…”
Seolah
mengerti akan ucapan perempuan bayangan, gagak hitam di cabang pohon waru
angguk-anggukan kepala, menguik dua kali, rentangkan sayap lalu melesat ke
udara dan lenyap dalam kegelapan.
Perempuan
di atas batu besar duduk bersimpuh. Menatap Jatilandak yang terbaring tak bergerak.
Tangan kiri diulurkan meraba kening lalu dipindah dan diletakkan di atas urat
besar di pangkal leher sebelah kiri. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam,
tubuhnya pancarkan cahaya bergemerlapan, dan dari dua lobang hidungnya keluar
kepulan tipis asap kuning.
“Racun
belerang…” ucap perempuan bayangan.
“Dia
terkena racun belerang. Apakah aku masih bisa menyelamatkannya?” Mahluk cantik
berambut panjang dekatkan mulutnya ke telinga kiri Jatilandak. “Jatilandak,
apakah kau bisa mende ngar suaraku?”
Orang yang
diajak bicara terbujur tak bergerak.
Dua mata
terpentang lebar menatap ke langit hitam. Mulut terbuka sedikit. Bibir
bergetar.
“Aku
melihat setitik harapan. Mudah-mudahan kekuatan putih dan baik di atas langit
mau menolong.”
Habis
berkata begitu perempuan bayangan turun ke dalam sungai. Sosoknya mengapung di
belakang batu besar tepat di ujung dua kaki Jatilandak. Dua telapak tangan
dirapatkan satu sama lain lalu diletakkan di atas kepala. Sesaat kemudian
terjadi satu keanehan. Aliran sungai yang melewati tubuh perempuan bayangan
bersibak ke samping dan mengeluarkan suara seperti mendidih disertai
mengepulnya asap putih.
Pada saat
suara mendidih terdengar bertambah keras dan kepulan asap putih semakin banyak,
perempuan bayangan turunkan dua tangan. Ibu jari kiri. kanan ditempelkan ke
telapak kaki kanan kiri Jatilandak.
“Pergi,
bersih kembali!” Perempuan bayangan berucap halus. Dua ibu jari ditekan
kuat-kuat.
Dess!
Dess!
Asap
putih mengepul. Bersamaan dengan itu tubuh Jatilandak terangkat setengah tombak
ke atas lalu melesat di udara. Dalam kegelapan malam, di atas sungai tubuh itu
berputar-putar beberapa kali. Setiap berputar, dari lobang hidung, mulut, serta
liang telinga menyembur asap kuning menebar bau busuk belerang. Setelah dua
belas kali berputar, semburan asap kuning mulai berkurang. Pada saat asap
kuning itu lenyap sama sekali, sosok Jatilandak perlahan-lahan melayang turun
dan terbaring kembali di atas batu besar. Di dalam sungai, aliran air di
sekitar tubuh perempuan bayangan kelihatan berubah kekuningkuningan.
Perempuan
bayangan melesat keluar dari dalam sungai. Tidak ada setetespun air menempel di
tubuhnya yang aneh itu. Dia kembali duduk di samping Jatilandak. Setelah
memandang pemuda itu beberapa saat. perempuan bayangan berkata.
“Jatilandak,
kau selamat dari kematian akibat racun belerang. Kau mampu bergerak. Bangkitlah
dan duduk menghadap ke arahku.”
Sepasang
mata Jatilandak yang sejak tadi membeliak tak berkedip kini mampu bergerak.
Perlahan-lahan
dia bangkit duduk di atas batu lalu berputar menghadap ke arah orang yang
barusan bicara. Jatilandak lalu terkesiap. Dia tidak menyangka kalau orang di
hadapannya
memiliki
tubuh seperti bayang-bayang. Dalam ketidak-percayaannya Jatilandak ulurkan
tangan kanan ke arah bahu kiri mahluk yang duduk bersimpuh di depannya. Astaga!
Walau sosok itu seperti bayang-bayang, namun Jatilandak merasa tidak beda
seperti menyentuh dan memegang tubuh manusia biasa!
Perlahan-lahan
Jatilandak tarik tangannya.
Mata
menatap tak berkesip, mulut lalu berucap.
“Walau
tadi mata tak dapat melihat namun perasaan memberi tahu bahwa kau telah menyela
matkan diriku. Aku sangat berterima kasih padamu. Kalau aku boleh mengetahui,
siapakah engkau adanya? Mengapa ujud keadaanmu seperti ini?”
Perempuan
cantik di hadapan Jatilandak usap usapkan rambutnya yang tergerai panjang.
Untuk beberapa lamanya dia pandangi pemuda berkulit kuning itu. Jatilandak
melihat ada sekelumit senyum di wajah jelita itu, namun samar-samar ada
bayangan kesedihan atau semacam ganjalan.
“Kau tak
mau menjawab tak jadi apa,” kata Jatilandak “Aku tidak tahu harus memanggilmu
apa. Namun karena kau telah menyelamatkan jiwaku, apa yang harus aku lakukan
untuk membalas budi besarmu itu? Aku bersedia berbuat apa saja untukmu.”
Senyum di
wajah cantik perempuan bayangan tampak lebih kentara.
“Jatilandak…”
“Hai,
bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanya Jatilandak penuh heran.
Mahluk
bayangan hanya tersenyum. Tidak menjawab pertanyaan si pemuda.
Jatilandak
menarik nafas panjang. “Kau masih belum menerangkan siapa dirimu. Mengapa
ujudmu seperti ini?”
Si cantik
di hadapan Jatilandak tersenyum.
“Aku
memang datang dari alam tidak nyata…”
“Maksudmu
kau sebangsa roh…”
Perempuan
cantik berujud bayangan palingkan wajahnya ketika Jatilandak menatap
lekat-lekat ke arahnya. Lalu dia berucap halus. “Terserah kau mau menyebutku
aku ini apa. Namun siapa diriku tidak penting. Ada hal lain yang lebih
penting.”
“Apa?”
“Aku
perlu keterangan.”
“Keterangan?
Keterangan apa?”
“Tentang
sebuah kitab. Dalam rimba persilatan tanah Jawa kitab itu dikenal dengan nama
Kitab Seribu Pengobatan. Kau pernah mendengar?
Mungkin
juga tahu di mana beradanya? Aku ingin mendapatkan kitab itu. Paling tidak
untuk membacanya lalu mengembalikan kepada siapapun yang jadi pemiliknya.”
“Aku
pernah mendengar sedikit tentang kitab itu. Kalau tidak salah kitab itu adalah
kitab yang harus dicari Pendekar 212 Wiro Sableng. Konon kitab itu telah dicuri
orang dari tempat kediaman gurunya di satu puncak gunung.”
“Siapa
itu Pendekar 212 Wiro Sableng?” tanya perempuan bayangan.
“Seorang
pendekar paling terkenal di tanah Jawa ini.” jawab Jatilandak. Tadinya dia
ingin menambahkan bahwa antara dia dengan Wiro terjalin suatu persahabatan,
namun belakangan ada ganjalan dan kesalahpahaman di antara mereka.
Perempuan
bayangan terdiam sesaat. Tampaknya seperti memikirkan sesuatu. “Apakah aku
harus mencari pendekar itu?” ucapnya perlahan.
“Jika mau
silahkan saja. Namun kitab itu tidak berada di tangannya…”
“Aku
gembira mendapat penjelasan darimu.
Berarti
benar berita yang aku sirap. Kitab itu berada di tanah Jawa ini. Maukah kau
menolong mencarikannya untukku?” kata perempuan bayangan.
“Aku
berhutang nyawa padamu. Apapun yang kau pinta akan aku lakukan. Namun kalau aku
boleh bertanya, apa perlunya kitab itu bagimu?”
“Bukan
untukku, tapi bagi seorang lain,” jawab si cantik bayangan.
“Kalau
kelak kitab itu aku temukan, di mana aku harus mencarimu untuk menyerahkan?”
Bertanya Jatilandak.
“Kau tak
perlu bersusah payah. Aku yang akan mendatangimu. Sekarang aku harus pergi.
Jaga dirimu baik-baik…” Perempuan bayangan pegang lengan kanan Jatilandak.
Pemuda ini merasa ada hawa sangat sejuk mengalir ke dalam tubuhnya.
Sosok
berupa bayangan di hadapannya tiba-tiba memancarkan cahaya biru bergemerlap.
Lalu secepat kilat berkiblat, secepat itu pula tubuh itu melesat lenyap.
Untuk
beberapa saat lamanya Jatilandak duduk termangu di atas batu besar di tikungan
sungai yang gelap itu. Kemudian terbayang kembali sosok serta wajah perempuan
cantik aneh
tadi.
Pemuda ini geleng-geleng kepala. Dia berucap perlahan. “Banyak keanehan di
Latanahsilam.
Tapi
tanah Jawa ini punya segudang keanehan.”
************************
Naga
Kuning berjalan paling depan, menuruni tangga batu sambil membawa obor. Di
belakang nya menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng, Gondo ruwo Patah Hati, lalu
Anggini yang juga membawa obor, Dewa Tuak, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu, dan
Bunga. Di belakang sekali sambil membawa obor, berjalan Luhkentut, nenek sakti
dari Negeri Latanahsilam.
Ratu
Duyung dan Setan Ngompol tidak bersama rombongan karena kedua orang ini harus
mengurusi delapan perempuan hamil yang sebelumnya disekap dalam 113 Lorong
Kematian.
Dengan
pertolongan cermin sakti milik Ratu Duyung mereka berhasil keluar di pintu
utara lorong batu. Sebelumnya kesaktian cermin itu tidak mampu mengatasi
kehebatan kesaktian penguasa 113 Lorong Kematian. Namun begitu Yang Mulia Sri
Paduka Ratu menemui kematian kedua, Wakil Ketua menemui ajal, dan Yang Mulia
Ketua babak belur melarikan diri, cermin sakti dengan mudah mampu memantau
keadaan di sekitar lorong mana yang harus dilalui hingga akhirnya keluar di
mulut lorong sebelah utara.
Sekeluarnya
dari 113 Lorong Kematian bukan merupakan hal mudah bagi Ratu Duyung dan Setan
Ngompol mengadakan perjalanan membawa delapan perempuan yang sedang hamil, apa
lagi malam hari begitu rupa. Jelas tidak mungkin mengantarkan
perempuan-perempuan hamil itu satu persatu ke tempat kediaman masing-masing.
Karenanya
begitu sampai di sebuah desa kecil, Ratu Duyung menemui Kepala Desa untuk di
mintai bantuannya mengurusi perempuan-perempuan malang itu. Setelah Ratu Duyung
dan Setan Ngompol pergi, Kepala Desa itu masih terteguntegun.
Tidak
percaya malam buta begitu rupa dia bakal mendapat tugas menangani delapan
perempuan hamil!
Di jalan
kecil yang menuju keluar desa, Ratu Duyung berkata. “Kakek sahabatku, sebentar
lagi pagi akan datang. Aku rasa aku tidak perlu kembali ke lorong.”
“Mengapa
pikiranmu berubah?” tanya Setan Ngompol sambil mengusap-usap perut. Dia merasa
tenang karena sejak tadi belum kucurkan air kencing. “Bukankah kita sudah
berjanji dengan para sahabat akan bertemu di telaga?”
“Semua
urusan sudah selesai…”
“Siapa
bilang semua urusan sudah selesai?”
tukas
Setan Ngompol dengan mata didelikkan.
“Pangeran
Matahari kabur dan…”
“Sudahlah,
kau saja yang pergi menemui teman-teman.”
“Ah,
rasa-rasanya aku tahu mengapa kau tidak mau bergabung dengan para sahabat.”
Berkata Setan Ngompol dan kali ini sambil senyum senyum.
“Apa yang
ada dalam benakmu, kakek bau pesing?”
Setan
Ngompol usap-usap daun telinganya yang lebar lalu masih sambil senyum-senyum
dia berkata. “Menyangkut urusan jodoh. Kau punya banyak saingan berat di sana.”
“Saingan
berat? Maksudmu apa?” tanya Ratu Duyung.
“Di sana
ada Anggini yang konon adalah kekasih lama Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu ada
Wulan Srindi yang mengaku-aku murid Dewa Tuak sekaligus berjodoh dengan Wiro.
Kemudian masih ada Bunga, gadis dari alam roh yang semua orang tahu sangat
mengasihi pemuda itu. Nah, nah, bukankah kau menghadapi saingan-saingan berat?
Masih untung si pirang bernama Bidadari Angin Timur tidak ada di sana!”
“Kakek
konyol! Mulut usil tak karuan! Kau pergi saja sana! Aku tidak akan bergabung
dengan mereka! Alasan yang kau katakan tadi tidak betul!”
Setan
Ngompol pegang lengan Ratu Duyung.
“Sahabatku
cantik bermata biru. Kita sudah berjanji untuk bergabung dengan teman-teman.
Apa yang
akan kukatakan pada mereka jika aku kembali tidak bersamamu?”
“Katakan
saja penguasa pantai laut selatan memerintahkan aku datang menghadap.”
“Bisa
saja aku ngomong begitu. Padahal mereka semua tahu. Bukankah kau sendiri yang
jadi penguasa di pantai selatan?”
“Jangan
bicara melantur!”
Setan
Ngompol geleng-geleng kepala. “Aku tidak memaksa. Mungkin juga kau tidak suka
jalan bersamaku. Kakek jelek, bau pesing…”
“Lain
kali kita berkumpul lagi dengan para sahabat. Lain kali kita jalan lagi
sama-sama,” kata Ratu Duyung. Lalu, plaak! Setan Ngompol merasa kan satu
tepukan di pantatnya. Dia tersentak kaget. Memandang ke depan Ratu Duyung tak
ada lagi di tempat itu.
Sambil
usap-usap pantatnya Setan Ngompol berkata. “Pantatku ditepuk. Aku terkejut.
Tapi aneh, mengapa kali ini aku tidak kucurkan air kencing? Ratu Duyung
seharusnya kau menepuk pantatku sebelah depan, bukan sebelah belakang!
Hik… hik…
hik. Ah…”
Mendadak
serrr! Setan Ngompol kucurkan air kencing.
“Oala!
Muncrat juga kamu! Kukira sudah mampet! Ha… ha… ha!”
*********************
3
SAMPAI di
tepi telaga Naga Kuning angkat obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bocah
berambut jabrik ini memandang sekeliling telaga lalu berpaling pada Wiro.S
“Katamu Jatilandak kau tinggalkan di tepi telaga sini. Kau lihat sendiri tidak
ada mahluk hidup atau mahluk mati di tempat ini, kecuali perahu kayu di tepi
telaga sebelah sana.” Wiro garuk-garuk kepala.
“Ini
aneh. Aku tidak berdusta. Tubuhnya aku baringkan di tepi telaga sebelah sana.
Dia kutinggalkan dalam keadaan hidup.”
“Mungkin
dia kecebur, jatuh tenggelam ke dalam telaga,” kata Wulan Srindi.
“Bisa
jadi,” ujar Wiro masih garuk-garuk kepala
“Musti
ada yang menyelidik masuk ke dalam telaga.” Wiro sambung ucapan sambil
memandang pada Naga Kuning dan kedipkan mata.
Bocah
berambut jabrik ini tertawa. “Aku tahu kau ingin agar aku masuk ke dalam
telaga. Malam buta dingin begini. Ih! Enak kamu sial di aku!
Bukankah
kau punya ilmu menembus pandang?
Mengapa tidak
pergunakan ilmu itu untuk menyelidiki telaga sampai ke dasarnya?”
“Bocah
konyol tapi cerdik. Aku sendiri sampai lupa kalau memiliki ilmu kepandaian
itu!” kata Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini menatap ke arah telaga. Hawa
sakti dialirkan ke kepala.
Mata
dikedipkan dua kali. Walau tidak terlalu jelas, saat itu Wiro mampu melihat isi
telaga sampai ke dasarnya.
“Kosong,
telaga itu kosong. Jangankan manusia, ikan bahkan kodok seekorpun tidak ada di
dalamnya.” Wiro memberi tahu.
“Lalu ke
mana lenyapnya pemuda itu?” Anggini keluarkan ucapan.
“Mungkin
ada seseorang datang lalu menolongnya.” Kata Naga Kuning pula.
“Siapa?”
menimpali Gondoruwo Patah Hati.
Naga
Kuning berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kek, coba kau selidiki…”
Kakek Segala
Tahu dongakkan kepala. Tangannya yang memegang kaleng rombeng yang sebelumnya
lenyap dan ditemukan Wiro digoyang hingga menimbulkan suara berisik di seantero
telaga sampai ke atas jurang. Setelah diam sejurus kakek bermata putih buta ini
berkata, “Kali ini aku tidak bisa memberi keterangan. Mungkin aku masih
dipengaruhi minuman setan itu. Aku hanya melihat satu bayangan aneh sosok
perempuan seperti asap mengambang.”
Wiro
berpaling pada nenek berambut dan berpakaian serba kuning di sampingnya, “Nek,
kau dan pemuda itu sama-sama berasal dari Negeri Latanahsilam. Mungkin kau bisa
mengira-ngira apa yang terjadi dengan Jatilandak?”
Nenek
berambut kuning yaitu Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin pencongkan mulutnya.
“Aku punya beberapa dugaan,” katanya. “Pertama, pemuda itu mungkin mampu
mengatasi racun belerang lalu tinggalkan tempat ini. Kedua, mungkin ada orang
yang menemuinya, membunuhnya, lalu membuang mayatnya di tempat lain…”
“Pangeran
Matahari!” ucap Gondoruwo Patah Hati.
“Siapa
dia? Aku tak kenal manusia itu,” kata Luhkentut. “Dugaan ketiga, dugaanku yang
terakhir. Ada seseorang menolongnya membawanya ke suatu tempat.”
“Siapa si
penolong itu? Mustahil ada orang lain di tempat ini,” kata Pendekar 212 pula.
“Bidadari
Angin Timur,” kata Wulan Srindi.
Beberapa
orang berpaling ke arah gadis berkulit hitam manis itu. Kening berkerut mata
menatap tak berkesip. Anggini yang sejak pertama kali kenal tidak menyukai
gadis ini, langsung menanggapi. “Kau menyebut nama gadis sahabatku itu.
Apakah
kau punya bukti bahwa dia yang menolong Jatilandak?”
“Aku
memang tidak punya bukti. Juga tidak melihat sendiri kejadiannya memang begitu.
Tapi apa salahnya menduga-duga? Lebih baik bicara mengemukakan pendapat
daripada cuma diam melongo seperti patung kayu yang sudah lapuk dan busuk! Tapi
jeleknya kalau sudah ada orang lain bicara lebih dahulu, langsung mendebat
sengit!”
“Beraninya
kau menghina aku sebagai patung kayu lapuk busuk!” Anggini marah besar. Wajah
nya kelihatan merah. Dia melangkah mendekati Wulan Srindi tapi Bunga cepat
memegang tangannya.
Wiro
kembali berpaling pada Luhkentul. “Nek, ada sesuatu yang akan kau beri tahu?”
Luhkentut
usap rambutnya yang kuning. “Aku membaui sesuatu. Bau manusia dari negeri
seribu dua ratus tahun silam…”
“Hantu
Muka Dua!” kata Wiro Sableng. “Aku khawatir jangan-jangan dia telah membunuh
Jatilandak. Semasa di Negeri Latanahsilam, dia telah punya niat jahat hendak
menghabisi pemuda itu di sebuah pulau.” Tiba-tiba Wiro ingat. “Nek, bukankah
Hantu Muka Dua bersamamu di tepi jurang. Waktu itu Nyi Roro Manggut yang datang
bersamamu meminta agar kau mengawasi manusia satu itu. Apa yang terjadi dengan
dirinya? Dimana dia sekarang?”
Luhkentut
tak segera menjawab. Mulutnya yang ditutup rapat dipencong-pencong.
“Nek, ada
apa? Mengapa kau tidak menjawab?”
“Jangan-jangan
nenek ini punya penyakit ayan.
Mau
kumat…” kata Naga Kuning yang segera terdiam begitu dipelototi Gondoruwo Patah
Hati.
“Sebentar.
Aku…, aku lagi nahan kentut. Nah, sekarang sudah lewat jadi angin. Hik… hik…
hik.”
Luhkentut
menjawab sambil mesem-mesem. Lalu nenek sakti dari Latanahsilam ini
menerangkan.
“Tak lama
setelah terdengar letusan-letusan dahsyat di dalam lorong, aku melihat terjadi
perubahan pada diri Hantu Muka Dua. Tubuhnya yang lunglai seperti mendapatkan
kekuatan dan kesaktiannya kembali. Saat itu dia berkata mungkin penguasa lorong
telah menemui ajal. Lalu dia berdiri. Aku mengikuti dan bertanya dia mau
kemana. Katanya dia akan mencari orang-orang yang telah menolongnya. Mungkin
mereka dalam bahaya. Dia ingin membalas budi dengan ganti menolong. Aku sendiri
merasa heran. Apa ucapan nya bisa dipercaya. Hantu Muka Dua melompat ke tangga
batu. Dia menghancurkan dinding batu di mana terdapat pintu rahasia. Dia
berteriak agar aku segera mengikuti. Namun sewaktu aku bergerak masuk,
langit-langit lorong di hadapanku runtuh. Aku terhalang. Ketika aku berhasil
menerobos. Hantu Muka Dua tidak kelihatan lagi. Aku berteriak berulang kali
memanggil, namun tidak ada jawaban. Aku kemudian bertemu dengan rombongan yang
masuk ke dalam lorong untuk membebaskan perempuan-perempuan hamil serta gadis
bernama Anggini ini.”
Kesunyian
menggantung beberapa saat ditempat itu.
“Mungkin
dia tersesat di dalam lorong,” kata Wiro.
“Mungkin
juga kabur untuk mengatur siasat jahat baru,” kata Anggini.
Wiro
garukkan kepala dan berkata. “Jika Hantu Muka Dua masuk ke dalam lorong,
berarti bukan dia yang mencelakai atau menolong Jatilandak.
Kita akan
tetap di sini sampai Setan Ngompol dan Ratu Duyung datang.”
Dewa Tuak
yang sejak tadi diam saja keluarkan suara batuk-batuk lalu berucap. “Aku tidak
bisa berlama-lama di tempat ini. Tenggorokanku panas haus! Aku terpaksa
meninggalkan kalian untuk mencari tuak!”
Habis
berkata begitu kakek berambut dan berjanggut putih ini melirik ke arah Wiro,
kedipkan mata dan berkata. “Aku mau cari tuak benaran, bukan mencari bibir…” Si
kakek tertawa gelak-gelak, membungkuk lalu menepuk permukaan air telaga.
Tepukan ini bukan saja menyebabkan air telaga muncrat tinggi ke atas tapi juga
membuat perahu kayu yang tertambat di tepi telaga putus tali pengikatnya lalu
melesat ke arah lobang besar di dinding batu.
“Ha… ha…
Perahuku sudah menunggu di sungai. Selamat tinggal para sahabat. Kuharap kalian
baik-baik saja!”
Dewa Tuak
siap melompat ke arah lobang di dinding. Namun tiba-tiba Wulan Srindi
mendahului bergerak dan jatuhkan diri di hadapan si kakek. Dengan suara memelas
gadis ini berkata.
“Guru,
sebagai murid perkenankan saya ikut mengantar ke mana guru pergi…”
“Ngaconya
kumat lagi!” kata Anggini dengan wajah sebal. Yang lain sama-sama terdiam,
menungggu apa jawaban si kakek.
Setelah
menatap Wulan Srindi beberapa saat, sambil usap janggut putihnya Dewa Tuak
berkata.
“Gadis
bawel, memang baiknya kau tidak berada di tempat ini. Kau boleh menumpang
perahuku tapi nanti harus mau turun di tengah jalan.”
“Murid
akan ikuti apa kata guru,” kata Wulan Srindi sambil matanya melirik ke arah
Anggini karena merasa menang. Tidak terduga gadis ini kemudian melangkah ke
hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng dan berkata. “Selama ikatan jodoh telah
terjalin antara kita, perpisahan hanyalah untuk berbagi rindu dan menguji
kesetiaan…”
Merah
padam wajah Anggini mendengar ucapan Wulan Srindi itu. Yang lain-lain tampak
terkesiap sementara Bunga hanya tersenyum simpul.
Wiro
sendiri tegak melongo sambil golang-golengkan kepala. Dia tidak sempat menarik
lengannya sewaktu Wulan Srindi menyalami dan mencium punggung tangannya. Sekali
lagi Wulan Srindi melirik ke arah Anggini, sunggingkan senyum penuh arti lalu
melesat ke arah perahu di belakang dinding batu!
“Guru! Murid
sudah berada di perahu menunggumu!”
Dewa Tuak
menghela nafas panjang. Dia melangkah biasa saja namun di lain kejap sudah
berada di dalam perahu, duduk di sebelah depan.
Sebelum
perahu bergerak, Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu melompat
ke lobang di dinding batu. Kepala dijulurkan.
“Apa
masih ada tempat dalam perahu untuk tubuh rongsokan ini?”
“Kakek
Segala Tahu, jika kau sudi jalan bersama kami silahkan masuk ke dalam perahu.”
Yang
menjawab adalah Wulan Srindi.
Kakek
Segala Tahu berpaling ke arah orangorang yang tegak di tepi telaga. Dia
lambaikan tangan.
“Selamat
tinggal para sahabat. Kalau umur sama panjang kita pasti akan bertemu lagi.”
“Kek,
tunggu!” Tiba-tiba Wiro berseru dan melompat ke hadapan Kakek Segala Tahu.
“Kau mau
ikutan? Rupanya kau tak mau ditinggal gadis itu. Ha… ha… ha! Tapi kalau tak
salah, mataku yang buta melihat agaknya perahu sudah sempit,” kata Kakek Segala
Tahu. Lalu goyangkan kaleng butut di tangan kirinya hingga suara berisik
kembali menggema di tempat itu.
“Tidak,
aku bukan mau ikut. Ada satu titipan amanat orang yang kelupaan aku serahkan
padamu. Aku mohon maafmu.”
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan kipas kayu cendana yang pernah dititipkan oleh
Nyi Roro Manggut dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Wiro
susupkan kipas kayu cendana itu ke dalam pegangan jari-jari tangan kanan Kakek
Segala Tahu.
“Eh,
benda apa ini?” tanya si kakek. Lalu mencium harumnya bau kayu cendana. Wajah
tuanya tampak berubah.
“Kipas,
Kek,” kata Wiro setengah berbisik.
“Titipan
dari Nyi Roro Manggut.”
“Ah…”
Kakek Segala Tahu menarik nafas panjang. Dia goyangkan tangan kanan. Sreettt!
Kipas
kayu cendana terkembang. Si kakek dekat kan kipas ke wajahnya. Walau dia tidak
bisa melihat namun dia tahu, pada badan kipas tertera gambar sepasang muda
mudi. Kakek buta mata putih itu tempelkan kipas kayu di keningnya. Lalu kipas
disimpan baik-baik di balik pakaian rombengnya.
“Pendekar
212,” kata Kakek Segala Tahu pula.
“Kalau
kipas ini kau serahkan sewaktu masih dalam lorong, mungkin kita bisa lebih
cepat menghancurkan manusia-manusia pocong durjana itu.
Tapi
semua berjalan sesuai kehendak Gusti Allah.
Terima
kasih kau mau bersusah payah menyampaikan kipas ini.” Kakek Segala Tahu
berpaling kearah perahu. “Sobatku Dewa Tuak. Harap maafan. Aku tak jadi ikut
denganmu. Aku harus menemui seseorang…”
Dewa Tuak
tertawa gelak-gelak. “Aku tahu riwayat kipas kayu cendana itu. Jika kau bertemu
orang yang memberikan sampaikan pesanku padanya…”
“Akan aku
lakukan,” jawab Kakek Segala Tahu Dewa Tuak tepukkan tangan kirinya ke dalam
air sungai. Perahu yang ditumpanginya bersama Wulan Srindi serta merta melesat
dan lenyap dalam kegelapan malam.
************************
Ketika
pagi tiba, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati pergi ke kawasan persawahan di
seberang sungai. Mereka menangkap hampir selusin burung belibis lalu memanggang
dan
menyantapnya
bersama yang lain-lain. Menjelang tengah hari Setan Ngompol muncul. Wiro merasa
kecewa karena Ratu Duyung tidak datang bersama kakek itu. Banyak hal yang ingin
ditanyakan pada gadis cantik bermata biru itu. Ketika ditanya pada Setan
Ngompol, sesuai pesan yang dipesan Ratu Duyung, si kakek memberi tahu bahwa
gadis itu diperintahkan penguasa pantai selatan untuk datang menghadap.
“Aku
tahu, kau dan juga gadis itu berdusta,”
kata Wiro
yang membuat kencing Setan Ngompol jadi terpancar. Setelah merenung sejenak,
murid Sinto Gendeng lalu berkata, “Para sahabat, aku sangat berterima kasih
atas semua bantuan kalian dalam menghancurkan gerombolan manusia sesat 113
Lorong Kematian. Aku akan mencari dan mengejar Pangeran Matahari. Selain itu
aku masih punya satu tugas dari Eyang Sinto Gendeng.
Mencari
dan menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Aku tidak tahu para sahabat mau ke mana
dan apa yang hendak kalian lakukan. Saat bisa berkumpul bersama seperti ini
entah kapan lagi bisa terjadi.”
“Wiro,
aku ikut bersamamu,” kata Setan Ngompol.
Wiro
tersenyum. “Terima kasih,” katanya perlahan.
“Aku dan
Gondoruwo Patah Hati ada sedikit urusan di pantai utara. Jika ada kesempatan
aku akan bergabung denganmu,” kata Naga Kuning.
Wiro
anggukkan kepala.
“Aku akan
mencari Hantu Muka Dua,” berkata Luhkentut yang merasa bersalah atas lenyapnya
dedengkot rimba persilatan dari Negeri Latanahsiam itu.
Wiro
memandang ke arah Anggini. Dalam hati dia ingin gadis itu ikut bersamanya
karena banyak hal yang akan dibicarakan. Namun murid Sinto Gendong merasa
kecewa sekali ketika Anggini berkata.
“Mungkin
sudah saatnya aku menjenguk guruku Nyanyuk Amber di Danau Maninjau Pulau
Andalas…”
Gadis ini
memandang berkeliling. Wajahnya nampak redup. “Para sahabat, aku mohon diri
lebih dulu.” Tanpa perhatian atau pandangan khusus, bahkan tanpa satu lirikan
pun kepada
Wiro,
Anggini berkelebat ke arah lobang besar di dinding batu. Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati menyusul pergi. Juga Luhkentut.
Setan
Ngompol duduk di tepi telaga, menatap ke arah Wiro. Dia merasa kasihan terhadap
pemuda itu. Lalu si kakek berpaling pada Bunga, gadis dari alam roh. “Apakah
kau juga akan meninggal kan kami?” Bertanya Setan Ngompol.
Bunga
tersenyum. “Apakah kau tidak suka aku berada lama-lama di tempat ini?” Gadis
ini lalu melangkah mendekati Wiro. Dipegangnya lengan kiri sang pendekar seraya
berkata. “Ingat ujar-ujar yang mengatakan jangan hati mempengaruhi pikiran,
jangan pikiran mengacaukan hati. Orangorang yang barusan pergi itu tidak perlu
kau risaukan. Jika umur sama panjang kau pasti akan bertemu dengan mereka. Justru
ada seorang lain yang harus mendapat perhatian lebih darimu…”
“Aku
mengerti. Aku akan lebih banyak memperhatikan dirimu…”
“Kau
tidak mengerti. Orang yang kumaksudkan tidak ada di tempat ini…”
“Maksudmu
Bidadari Angin Timur?”
“Kau
masih tidak mengerti. Mungkin kau lupa akan ucapanku tempo hari bahwa hanya ada
satu orang yang cocok menjadi pendamping dirimu…”
“Kalau
yang kau maksudkan Ratu Duyung, rasanya aku. banyak membagi perhatian untuknya.
Sebaliknya kau ketahui sendiri, dia tidak kembali ke sini…”
“Disitulah
letak kebesaran jiwanya. Dia bersedia. mengalah walau mungkin hatinya perih.
Dia tidak ingin mengganggu pertemuanmu dengan Anggini, atau Wulan Srindi, atau
pun diriku…”
Wiro
terdiam beberapa lama lalu tertawa lebar.
Bunga
mengulurkan tangan kanan, menyerahkan sesuatu pada Wiro. “Aku tahu kau tidak
memiliki lagi kembang kenanga. Ambil yang sekuntum ini.
Seperti
yang sudah-sudah, kembang ini satu-satunya alat penghubung antara kita.”
Wiro
ambil kembang kenanga kuning yang diserahkan Bunga.
“Apakah kau
juga berniat pergi?”
“Ada
sesuatu yang harus aku lakukan. Selain itu matahari telah tinggi. Sudah terlalu
lama aku keluar dari alamku…”
“Apa yang
hendak kau lakukan kalau aku boleh tahu?” tanya Wiro.
“113
Lorong Kematian…” jawab Bunga. “Tempat itu harus dimusnahkan. Jangan sampai
dipergunakan oleh orang lain untuk berbuat kejahatan.
Bukan
mustahil Pangeran Matahari akan kembali ke bekas markasnya itu.”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Otakku tidak berpikir sampai ke sana,” kata murid Sinto
Gendeng pula. Lalu dipegangnya bahu gadis alam roh itu.
“Terima
kasih untuk segala-galanya. Kalau saja aku bisa masuk ke dalam alammu, ikut
bersama mu…”
“Aku
senang mendengar kata-katamu itu, Wiro.
Alammu
dan alamku hanya terpisah sebatas cahaya sang surya pada siang hari, sebatas
tiupan angin pada malam hari dan sebatas embun sejuk pada pagi hari. Lagi pula
dengan kembang kenanga itu, kau bisa memanggilku setiap saat kau memerlukan
diriku…”
Wiro
mengangguk. Dia membungkukkan kepala mencium kening Bunga lama sekali. Si gadis
memeluknya erat-erat. Selagi kedua orang itu berangkulan, Setan Ngompol berdiri
mendekati gundukan batu setinggi orang di tepi telaga. Kakek ini lalu memeluk
gundukan batu itu.
“Kakek
Setan Ngompol, apa enaknya memeluk batu basah dan dingin!” Suara Bunga menggema
di tempat itu. “Kau mau perempuan sungguhan?
Nah lihat
dan peluklah yang kuat!”
Setan
Ngompol terkejut. Batu yang dipeluknya tiba-tiba berubah menjadi sosok seorang
perempuan muda berwajah cantik, bertubuh montok mengenakan kemben dengan dada
membusung putih. Kali ini saking kagetnya si kakek semburkan air kencing. Sosok
sintal perempuan muda cantik itu dipagutnya erat-erat. Ketika hidungnya hendak
ditempelkan ke dada yang putih besar, mendadak sosok perempuan muda cantik itu
kembali ke ujud semula yaitu batu hitam basah dan dingin. Setan Ngompol
terduduk jatuh, beser habis-habisan! Di dasar jurang suara tawa Bunga menggema
panjang dan akhirnya sirna bersama lenyapnya ujud kasarnya dari tempat itu.
*********************
4
PANGERAN
Matahari berlari laksana terbang dalam kegelapan malam. Terpaan angin membuat
sekujur permukaan tubuhnya yang gosong sakit seperti dikikis. Di sebelah dalam
tulang belulangnya seolah bertanggalan. Namun kesengsaraan badaniah itu tidak
berarti apa-apa dibandingkan tumpukan rasa sakit hati dan dendam kesumat akibat
semua malapetaka yang dialaminya.
Pertama,
tergusurnya dia dari 113 Lorong Kematian yang sekaligus memusnahkan rencana
besarnya untuk mendirikan satu partai rimba persilatan bernama Partai Bendera
Darah. Dendam kesumat dan sakit hatinya terhadap Wiro dan kawan-kawan bukan
alang kepalang.
Kedua,
semua ilmu kesaktian luar biasa yang tadinya siap akan didapat dari sosok nyawa
kedua Puti Andini alias Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kegagalan karena
gadis yang hidup dengan nyawa tumpangan itu keburu menemui kematian.
Ketiga,
Bendera Darah yang dianggap sebagai bendera keramat mengalami kerusakan. Ini
dianggap sebagai suatu pertanda tidak baik.
Lalu yang
keempat ialah sakit hati atas kekalahannya ketika menghadapi mahluk halus
berbentuk perempuan cantik yang menolong Jatilandak, Walau dia tidak berhasil
menyedot dan mendapatkan ilmu kesaktian yang ada dalam diri Yang Mulia Sri
Paduka Ratu namun dia berharap masih memiliki ilmu kesaktian asli yang tidak
bisa dibuat main-main. Seluruh tokoh rimba persilatan tanah Jawa merasa ngeri
menghadapinya. Mengapa dengan sosok berbentuk perempuan bayangan itu dia bisa
dipecundangi? Apakah dia juga telah kehilangan keampuhan ilmu kesaktian sakti
yang didapatnya dari mendiang gurunya, Si Muka Bangkai? Kalau saja ada orang
lain di hadapannya saat itu ingin sekali dia membunuh untuk menjajal salah satu
pukulan sakti yang dimilikinya.
“Mahluk
jahanam itu! Kalau dia bukan gadis alam roh kekasih Pendekar 212, mungkin
sekali dia adalah mahluk yang datang dari alam yang sama dengan pemuda kulit
kuning itu. Lalu apa hubungannya dengan Jatilandak? Gurunya atau kekasihnya?
Ilmu kesaktiannya luar biasa. Edan!
Bagaimana
aku harus menghadapinya kalau bertemu lagi?” Sosok tubuh berbentuk bayangbayang
wajah cantik yang samar, muncul dipelupuk mata Pangeran Matahari.
Selewat
satu bukit kecil, Pangeran Matahari lari ke arah timur memasuki rimba
belantara. Keluar dari hutan dia sampai di satu pedataran tinggi ditumbuhi
pohon-pohon jati berusia puluhan tahun. Di satu tempat dia hentikan lari.
Jatuhkan diri ke tanah, berbaring menelentang menatap langit kelam lalu
pejamkan mata. Sakit hati dan dendam kesumat masih menggumpal di rongga
dadanya.
Pangeran
Matahari bangkit berdiri dan siap untuk tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya
tertahan ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau harum lalu telinganya menangkap
suara orang menghela nafas berulang kali. Suara itu datang dari bagian tanah
rendah di sebelah kiri. Perlahanlahan, tanpa suara dia, melangkah ke arah
sumber suara. Tepat pada bagian tanah yang menurun, Pangeran Matahari
menyelinap ke balik satu pohon jati besar. Sepasang mata menyipit, lalu
membesar. Mulut sunggingkan seringai.
“Ahh… dia
rupanya. Sungguh tidak disangka…”
Ucap
Pangeran Matahari dalam hati. Dada berdebar, aliran darah mengencang dan
memanas.
Untuk
sesaat rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya luar dalam tidak terasa.
“Hampir tak percaya aku akan penglihatanku sendiri! Pantas sewaktu para jahanam
itu menyerbu lorong aku tidak melihat yang satu ini. Ternyata dia ada di sini.
Kelihatannya tengah bersedih. Seperti mau menangis. Ha… ha! Nasibmu tidak akan
lebih baik dari saudara kembarmu! Pendekar 212! Saat ini aku punya satu
kesempatan untuk membuat dirimu hidup dengan hati sengsara seumur-umur sampai
akhirnya aku mengirimmu ke neraka!”
Apa atau
siapakah yang telah dilihat Pangeran Matahari saat itu? Sejarak sepuluh langkah
dari balik pohon jati tempat dia bersembunyi, ada sebuah gubuk tak berdinding,
beratap rumbia berlantai papan. Di sisi kiri gubuk, di pinggiran lantai papan,
tangan kiri menopang kening, duduk menyamping seorang dara berpakaian biru.
Rambutnya yang pirang tergerai lepas, bergerak perlahan dimainkan hembusan
angin malam. Angin malam pula yang menebar bau harum tubuh dan pakaiannya.
Pangeran
Matahari sandarkan Bendera Darah ke batang pohon lalu perlahan sekali, tanpa
mengeluarkan suara dia melangkah mendekati sang dara.
“Bidadari
Angin Timur, malam sunyi dan dingin begini rupa, apa yang kau perbuat seorang
diri di tempat ini?”
Mendengar
suara orang, gadis berambut pirang yang duduk di lantai papan tersentak kaget.
Lebih kaget lagi ketika dia melihat sosok nyaris telanjang berwajah gosong luar
biasa mengerikan tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Didahului pekikan keras
si cantik di dalam gubuk melompat bangkit.
Namun,
dess… dess!
Dua
totokan kilat dengan hebat menusuk pangkal lehernya kiri kanan, membuat gadis
ini jatuh terduduk di lantai papan. Tak bisa bicara, tak mampu bergerak, dua
mata membeliak! Dia cepat kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti keleher.
Walau memiliki kekuatan dahsyat namun si gadis hanya sanggup membuyarkan
totokan yang menutup jalan suara. Totokan yang membuat dia tak mampu bergerak,
tidak dapat dimusnahkan.
Gadis di
lantai gubuk yang bukan lain memang Bidadari Angin Timur adanya kembali
menjerit keras lalu membentak.
“Setan!
Mahluk siapapun kau adanya lepaskan totokan di tubuhku!”
Pangeran
Matahari tertawa bergelak. “Nasibku memang buruk,” katanya. “Sekujur tubuh dan
wajah hitam gosong. Pakaian penuh robek nyaris telanjang. Tidak heran kalau kau
tidak mengenali diriku!”
Pangeran
Matahari perlahan-lahan berjongkok di hadapan Bidadari Angin Timur.
“Perhatikan
kepala dan tubuhku! Gosong terbakar! Lihat wajahku! Lihat! Hidung miring ke
kiri.
Pipi kiri
melesak, rahang amblas. Mata kiri terbenam! Ada cacat luka di kening kiri!
Lihat jari kelingking tangan kiriku yang buntung! Apa kau masih belum mengenali
diriku, hah?”
Pangeran
Matahari ulurkan kepalanya dekatdekat hingga hampir menyentuh wajah Bidadari
Angin Timur. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit keras.
“Mahluk
jahanam! Lepaskan totokan di tubuhku!”
“Kau
tahu, semua penderitaan ini, semua kesengsaraan ini adalah akibat perbuatan
kekasihmu si keparat Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Sesaat
Bidadari Angin Timur terbeliak kaget “Mahluk terkutuk! Siapa percaya ucapanmu!
Jangan
kau berani bermulut lancang! Aku bukan kekasih Pendekar 212!”
“Ha… ha…!
Kalau begitu aku benar-benar mendapat peluang! Malam ini aku Pangeran Matahari
akan menjadi kekasihmu! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu,
segala licik, segala congkak! Ha… ha… ha!” Habis mengumbar tawa Pangeran
Matahari ulurkan tangan kanan membelai wajah sang dara.
“Jangan
kau berani menyentuh diriku!” teriak Bidadari Angin Timur sambil matanya
membeliak menatap ke arah wajah mengerikan di hadapannya. Sulit dia mempercayai
mahluk bugil menyeramkan itu adalah Pangeran Matahari. Tapi suaranya. Dia
pernah mendengar suara Pangeran Matahari sebelumnya. Memang ada kesamaan.
Pangeran
Matahari tundukkan kepala, mencium pipi Bidadari Angin Timur, menjilat telinga
si gadis lalu berbisik. “Saudara kembarmu pernah menjadi kekasihku. Ah, dia
gadis hebat. Luar biasa di atas ranjang. Tapi aku rasa kau lebih hebat dari dia
walau alas ketiduran kita saat ini hanya lantai papan.”
“Setan!
Mahluk terkutuk! Pergi kau!”
Bidadari
Angin Timur kembali menjerit ketika Pangeran Matahari mendorong tubuhnya hingga
terbaring terlentang tak berdaya di lantai gubuk.
“Jahanam!
Jangan lakukan ini padaku! Demi Tuhan jangan!” teriak Bidadari Angin Timur
sewaktu Pangeran Matahari mulai merobek dan melucuti pakaiannya sebelah atas,
dilanjutkan dengan merobek dan menyingkap pakaiannya sebelah bawah.
“Jahanam!
Lebih baik kau bunuh diriku!”
Pangeran
Matahari tertawa bergelak.
“Kekasihku,
bukankah sejak lama sebenarnya kita saling memendam cinta? Sekarang ada
kesempatan kita menikmati hidup ini. Mengapa malah minta dibunuh?”
Bidadari
Angin Timur memaki habis-habisan lalu meludahi muka Pangeran Matahari. Yang
dimaki dan diludahi cuma menyeringai. Sepasang mata sang Pangeran
berkilat-kilat, dikobari api amarah, dendam kesumat dan yang paling hebat
adalah kobaran nafsu bejat terkutuk! Apalagi seumur hidup belum pernah dia
melihat aurat perempuan semulus dan seindah serta sekencang seperti yang
terbaring di hadapannya saat itu. Di puncak gelegak nafsunya, tubuhnya sebelah
bawah yang tidak mengenakan apa-apa lagi lang sung dirapatkan ke aurat paling
terlarang Bidadari Angin Timur.
Crasss!
Darah
menyembur!
Pangeran
Matahari keluarkan teriakan dahsyat ketika dari arah kegelapan satu sinar merah
melesat ke bagian bawah perutnya. Tubuhnya terjengkang, terguling ke samping,
beberapa lama berkelojotan seperti disengat bara api! Darah mengalir di lantai
papan. Dia berusaha bangkit. duduk dan memeriksa bagian bawah perutnya. Ketika
melihat luka besar yang menyemburkan darah pada kemaluannya langsung dia
menjerit setinggi langit berulang kali seperti orang gila! Bagaimana tidak,
kemaluan itu nyaris putus!
Tubuh
gemetar menahan amarah dan rasa sakit luar biasa, Pangeran Matahari cepat totok
urat besar di pangkal paha kiri kanan. Darah dari luka di kemaluan berhenti
mengucur namun rasa sakit tidak bisa hilang.
“Pembokong
jahanam! Pengecut! Kau hendak menghancurkan hidupku! Aku Pangeran Matahari
tidak bisa dihancurkan! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu,
segala licik, segala congkak! Tidak ada yang bisa hancurkan diriku!
Perlihatkan
dirimu!”
Pangeran
Matahari memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.
Bidadari Angin Timur masih tergeletak di lantai papan dalam keadaan nyaris
bugil, antara sadar dan tidak.
Gilanya,
dalam keadaan terluka parah seperti itu nafsu bejat Pangeran Matahari kembali
berkobar.
Dia
segera membungkuk hendak mengangkat tubuh Bidadari Angin Timur. Rencananya
gadis itu akan dipanggul dan dibawa lari ke tempat lain di mana dia akan
melanjutkan niat terkutuknya.
Namun
sebelum sempat menyentuh tubuh sang dara untuk kedua kalinya, kembali selarik
sinar merah melesat dari kegelapan.
Pangeran
Matahari menjerit kesakitan ketika lengan kanannya terluka dan kucurkan darah.
Nafsu
bejat sang Pangeran serta merta sirna berubah menjadi amarah. Terbungkuk-bungkuk
dia keluar dari dalam gubuk, tertatih-tatih ke arah pohon besar di mana dia
menduga bersembunyi nya orang yang membokong. Sejarak sepuluh langkah dari
pohon itu Pangeran Matahari hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti.
Sinar
kuning, merah, dan hitam berkelebat dalam kegelapan malam. Itulah pukulan sakti
bernama Gerhana Matahari. Di seberang sana, pohon besar yang terkena hantaman
berderak
hancur,
tumbang ke tanah dalam keadaan terbakar. Semak belukar sekitar pohon tenggelam
dalam kobaran api, hancur bertaburan, beterbangan ke udara. Bersamaan dengan
tumbang dan terbakarnya pohon, melengking satu jeritan keras.
“Rasakan!
Mampus kau!” ucap Pangeran Matahari yang menyangka pukulan saktinya tadi telah
berhasil mengenai si pembokong. Terhuyunghuyung menahan rasa sakit pada luka
besar di kemaluannya dia melangkah ke balik tumbangan pohon. Namun alangkah
terkejutnya dia ketika tidak menemukan siapa-siapa. Padahal jelas-jelas tadi
ada suara orang menjerit keras sekali di tempat itu. Suara jeritan lelaki!
“Setan
dari mana yang tengah mempermainkan diriku?” rutuk Pangeran Matahari.
“Mungkinkah mahluk perempuan berujud bayangan di telaga itu? Tapi yang menjerit
tadi jelas suara lelaki!”
Mendadak
terdengar suara tawa melengking dari arah gubuk beratap rumbia. Kali ini suara
tawa perempuan! Membuat Pangeran Matahari melengak kaget, merutuk
habis-habisan. Segera dia mengambil Bendera Darah yang tadi disandarkannya di
batang pohon lalu secepat langkah yang bisa dilakukannya, sambil terus menahan
sakit, dia berjalan menuju gubuk. Setengah jalan langkahnya tertahan. Dia jadi
terkejut luar biasa, karena selain tidak melihat siapa orang yang tertawa,
sosok Bidadari Angin Timur yang sebelum nya tergeletak di lantai gubuk tak ada
lagi di tempat itu!
Pangeran
Matahari terdongak kaget ketika mendadak terdengar suara tawa perempuan. Kali
ini datangnya dari atas atap gubuk.
“Setan
perempuan! Kali ini tamat riwayatmu!”
bentak
Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia mengerahkan
tenaga dalam penuh. Ketika tangan itu dihantamkan ke atas selarik sinar merah
menderu dahsyat. Tidak kepalang tanggung karena sang Pangeran berniat
benar-benar ingin menghabisi orang yang tertawa di atas atap, dia lepaskan
pukulan Merapi Meletus.
Bilamana
lawan yang terkena hantaman pukulan ini mampu bertahan maka umurnya tidak akan
lama. Isi dada dan isi perut laksana dibetot berbusaian keluar. Jalan darah
berhenti. Sekujur tubuh hilang kekuatan dan akhirnya leleh!
Atap
gubuk yang terbuat dari ijuk tenggelam dalam kobaran api, hancur berantakan.
Pangeran Matahari melompat keluar dari dalam gubuk.
Untuk
beberapa lama kesunyian menggantung di udara.
“Kurang
ajar!” Pangeran Matahari merutuk sambil matanya memandang ke arah atas gubuk
yang kini tidak beratap, lalu memperhatikan berkeliling. “Lolos lagi!” katanya
dengan rahang menggembung. Sulit dipercaya karena selama dia memiliki pukulan
sakti itu hanya para tokoh rimba persilatan cabang atas saja yang mampu
menyelamatkan diri. “Perempuan yang tertawa itu!
Sampai di
mana kehebatannya? Apakah dia salah satu tokoh rimba persilatan tanah Jawa?”
Baru saja
Pangeran Matahari selesai berucap, mendadak kembali suara tawa perempuan
melengking keras. Kali ini hanya beberapa langkah saja di depannya. Dalam kaget
dan marahnya Pangeran Matahari tusukkan ujung gagang Bendera Darah yang lancip
ke depan.
Wuttt!
Bendera
Darah melesat deras. Tapi karena tak ada siapa-siapa di hadapannya ujung
runcing gagang Bendera Darah hanya menembus udara kosong!
Bagaimanapun
angkuh congkaknya sang Pangeran namun saat itu nyalinya jadi ciut juga.
Tengkuk
mulai terasa dingin. Tidak tunggu lebih lama lagi dia segera tinggalkan tempat
itu.
Semula
dia punya niat kembali ke kawasan 113 Lorong Kematian untuk mencari Aksara Batu
Bernyawa. Namun saat itu dia lebih mementingkan keselamatan diri dan berusaha
mencari seseorang yang bisa mengobati luka parah yang dideritanya pada alat
kelaminnya.
Belum
jauh Pangeran Matahari meninggalkan hutan jati tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara bergemuruh dahsyat laksana gunung batu runtuh. Untuk beberapa saat lama
tubuhnya tertegun gontai. Kepala dipalingkan ke arah selatan.
“113
Lorong Kematian…” desisnya. Wajah berubah tercekat. “Suara gemuruh itu datang
dari arah sana. Apa yang terjadi?” Rasa khawatir muncul dalam hati Pangeran
Matahari. Dia ingin sekali menyelidik. Namun keadaan dirinya tidak me
mungkinkan.
*********************
5
CAHAYA
matahari pagi menyeruak di selasela dedaunan, sebagian jatuh tepat di permukaan
wajah pucat Bidadari Angin Timur.
Kehangatan
cahaya sang surya membuat sepa sang mata si gadis yang sekian lama tertutup
kini tampak bergetar lalu perlahan-lahan membuka.
Yang
pertama kali dilihatnya adalah langit biru lepas. Lalu dia mendengar suara
kicau burung dan sayup-sayup di kejauhan ada suara menderu tak berkeputusan.
Suara air jatuh. Ada air terjun di sekitar situ.
Sedikit
demi sedikit daya ingatan Bidadari Angin Timur mulai bekerja.
“Di mana
aku saat ini? Bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Bukankah…?” Gadis beram
but pirang ini raba dadanya dengan tangan kanan.
Dia
sadar, bukankah sebelumnya dia berada dalam keadaan tertotok? Siapa yang
melepaskan totokannya?
Di atas
tubuh Bidadari Angin Timur dapatkan sehelai kain menutupi. Ini membuat dia
tambah tak mengerti.
Tiba-tiba
satu wajah menyeramkan muncul di pelupuk matanya. Muka lelaki gosong, rambut
terbakar, mata dan pipi kiri melesak, hidung miring.
Pangeran
Matahari!
Bidadari
Angin Timur menjerit keras. Tubuh tersentak bangkit dan terduduk di tanah. Kain
yang menutupi auratnya merosot jatuh ke pangkuan. Saat itulah dia menyadari
betapa pakaian birunya robek tak karuan hingga keadaannya nyaris telanjang.
Kejadian malam tadi! Ada rasa sakit di bagian bawah perutnya. Sekujur tubuh si
gadis menggigil. Mukanya seputih kain kafan.
Dengan tangan
gemetar dia sibakkan kain yang menutupi tubuhnya sebelah bawah. Sepasang mata
Bidadari Angin Timur terbeliak besar ketika melihat ada noda darah setengah
mengering di kedua pangkal pahanya!
Untuk
kedua kalinya Bidadari Angin Timur menjerit keras. Lalu ratap mengenaskan
meluncur keluar dari mulutnya.
“Tuhan!
Teganya engkau membiarkan manusia dajal itu merampas kehormatanku! Tak ada
gunanya lagi hidup ini! Lebih baik mati daripada hidup bercermin bangkai!”
Didahului
satu jeritan panjang, Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Tanpa memperhatikan
kemana dia menuju gadis ini berlari sambil terus menjerit dan menjerit.
Mendadak larinya tertahan.
Di
hadapannya terbentang satu jurang batu luar biasa dalamnya. Di salah satu sisi
jurang mengu cur deras air terjun. Sang dara tertegun.
Ada
bisikan halus dalam lubuk hatinya. “Bidadari Angin Timur, jangan kau menempuh
jalan sesat…”
Si gadis
terkesiap. Tapi cuma seketika. Ada bisikan lain dalam dirinya. “Apa kau sanggup
bertahan hidup. Hamil karena diperkosa lalu melahirkan seorang anak haram…”
Sekujur
tubuh Bidadari Angin Timur bergetar.
“Tuhan!
Berikan kematian saat ini juga padaku!
Aku tak
sanggup bertahan hidup dalam keadaan ternoda seperti ini! Tuhan, jika sudah
mati aku rela menjadi setan untuk mencari dan membunuh manusia terkutuk
Pangeran Matahari!”
Bidadari
Angin Timur menjerit lagi satu kali.
Suara
jeritan itu bergaung panjang menggidikkan ketika dengan segala kenekatan gadis
cantik bernasib malang ini menghambur jatuhkan diri ke dalam jurang. Ketika
gaung jeritan sirna yang terdengar kini hanya suara curahan air terjun. Langit
pagi yang tadi biru bersih tiba-tiba berubah gelap.
Mendung
menggumpal di mana-mana. Di udara, kilat menyambar disusul gemuruh suara
gelegar guntur. Sesaat kemudian hujan turun luar biasa hebatnya. Lapat-lapat di
kejauhan terdengar suara raungan binatang. Alam seolah ikut meratapi nasib
malang yang menimpa seorang anak manusia yang terlahir bernama Pandan Wangi dan
dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan sebutan Bidadari Angin Timur.
************************
Dua orang
berpakaian pasukan Kerajaan memacu kuda masing-masing dalam gelapnya malam.
Menempuh jalan mendaki dan berliku-liku.
Mereka
bukannya memperlambat lari kudanya, malah menggebrak binatang-binatang itu agar
berlari lebih kencang. Dari kecekatan mereka me nunggang kuda jelas keduanya
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Selewatnya
satu tikungan tajam, entah dari mana munculnya, tiba-tiba satu sosok hitam
berkelebat jungkir balik satu kali di udara. Ketika berdiri di tengah jalan
tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan tancapkan sebatang besi ketanah.
Tampangnya garang walau ada bayangan seperti menahan sakit.
Dua kuda
besar meringkik keras. Dua kaki depan naik ke atas Tubuh sebelah belakang
terbanting ke samping. Kalau dua penunggangnya tidak cepat merangkul leher kuda
masing-masing dengan kuat, niscaya mereka sudah terlempar jatuh!
“Jahanam!
Anjing kurap dari mana berani menghadang perjalanan orang!” Penunggang kuda di
sebelah kanan membentak marah. Namun kalau tadi dia belum begitu jelas melihat
sosok orang yang menghadang di tengah jalan, kini setelah lebih memperhatikan
dengan jelas orang di depannya, tengkuknya mendadak menjadi dingin.
Penunggang
kuda satunya terkesiap tak berkedip.
“Aku
tidak dapat memastikan. Apakah mahluk di depanku ini manusia atau setan
adanya,”
ucapnya
dalam hati. Dia rapatkan kuda mendekati temannya. “Surojantra, kalau mahluk ini
hantu benaran, aku tidak takut. Tapi kalau dia manusia, berarti kita menghadapi
perkara besar. Mungkin rahasia urusan kita telah bocor?”
Sang
teman yang tadi membentak menjawab.
“Baunya
seperti kayu hangus. Ada asap tipis kemerahan keluar dari hidung dan mulutnya.
Dia menancapkan besi gulungan bendera ke tanah.
Aku yakin
dia manusia seperti kita walau tubuh nyaris telanjang. Gosong dari kepala
sampai ke kaki. Tampang memang seperti setan. Bukan mustahil dia suruhan
orang-orang Keraton Kaliningrat untuk mencegat kita. Jaliteng, aku akan
menghadapinya. Jika perkara tidak bisa dielakkan kau harus cepat tinggalkan
tempat ini. Selamatkan barang bawaan!”
Habis
berkata begitu Surojantra menggerakan kuda mendekati orang yang menghadang di
tengah jalan.
“Sampeyan
siapa? Ada urusan apa menghadang perjalanan kami?”
Orang di
tengah jalan yang bukan lain Pangeran Matahari adanya tertawa bergelak.
“Aneh,
bicaramu sekarang jadi sopan. Sekarang kau memanggil aku sampeyan segala! Ha…
ha…ha! Padahal kau tadi menyebut aku anjing kurap!”
“Maaf
kalau tadi aku keterlepasan bicara kasar karena kaget oleh kemunculanmu yang
tiba-tiba.
Aku tidak
punya waktu banyak bicara panjang lebar dengan setan jejadian sepertimu. Lekas
menyingkir!”
“Kalau
aku tidak mau menyingkir?” tantang Pangeran Matahari sambil dongakkan kepala
penuh sombong padahal masih menahan sakit, “Kaki kudaku akan menghancurkan
batok kepalamu! Dan kau akan jadi setan benaran!” kata Surojantra pula.
Pangeran
Matahari tertawa bergelak. “Aku mau lihat bagaimana caramu memecahkan batok
kepalaku!” Lalu dia sengaja ulurkan kepalanya seolah menantang minta digebuk.
Surojantra
jadi berang. Dia tepuk pinggul kanan kuda tunggangannya. Secara bersamaan
tangan kiri menyentak tali kekang. Didahului ringkikan keras kuda besar
menyepakkan kaki kanan sebelah depan ke arah kepala Pangeran Matahari. Cepat,
ganas mematikan! Walau cukup terkesiap melihat datangnya serangan luar biasa
itu namun sang Pangeran masih bisa mengumbar tawa mengejek. Kepala dirundukkan.
Lutut dilipat.
Tiang
Bendera Darah yang terbuat dari besi dan saat itu menancap di tanah secepat
kilat dicabut.
Wuuttt!
Wuuuttt!
Kraakk!
Kraak!
Dua kaki
depan kuda besar tunggangan Suro jantra hancur patah. Binatang ini meringkik
dahsyat lalu roboh ke tanah. Sekali lagi tongkat Bendera Darah berkelebat.
Praakk!
Kali ini
gagang bendera menghantam remuk kepala kuda. Binatang ini melosoh ke tanah,
melejang dua kali lalu rebah tak berkutik lagi.
Surojantra
yang terpental dari punggung kuda, dengan berjumpalitan berhasil selamatkan
diri.
Namun baru
saja dua kakinya menginjak tanah, ujung lancip gagang Bendera Darah melesat dan
amblas menancap ke ulu hatinya, tembus sampai ke punggung!
Melihat
Surojantra menemui ajal menggidikkan begitu rupa, Jaliteng serta merta memedal
kudanya. Namun Pangeran Matahari lebih cepat menggebukkan gagang Bendera Darah
ke perut Jaliteng. Tubuh lelaki ini terlipat ke depan lalu terguling-guling di
tanah. Darah menyembur dari mulut. Secepat kilat Pangeran Matahari melesat
keatas punggung kuda Jaliteng dan memacu binatang ini ke arah timur.
“Prajurit-prajurit
tolol! aku hanya mau minta kuda! Tapi kalian malah sengaja serahkan nyawa!”
************************
Ki
Tambakpati bersemedi sejak tengah malam tadi demi untuk mendapat petunjuk Yang
Maha Kuasa. Gubuk kecil kediamannya di puncak bukit diterangi obor redup di
empat sudut. Di tanah di depan tempat dia duduk bersila terdapat sebuah belanga
tanah. Di dalam belanga ada ramuan tulang belulang, daun, kulit dan akar
tetumbuhan serta cairan yang menebar kepulan asap sengak serta mengeluarkan
suara mendidih. Padahal di bawah belanga sama sekali tidak ada api yang
menyala!
Hebatnya,
sekaligus menggidikkan, di manamana dalam gubuk itu terdapat tulang belulang
manusia. Bahkan lima tengkorak kepala manusia yang sudah lumutan tergeletak di
lantai tanah.
Empat
obor di sudut gubuk yang biasanya dibuat dari potongan bambu, terbuat dari
tulang kaki manusia. Di salah satu bagian gubuk, merapat kedinding, terdapat
sebuah ketiduran terbuat dari tulang belulang manusia di alas tikar jerami
kering. Di samping kiri Ki Tambakpati terbentang sehelai tikar kulit kambing.
Tidak
terduga, khidmat khusus semedi Ki Tambakpati mendadak terganggu. Bagaimanapun
dia berusaha tetap saja dia tidak mampu menutup jalan pendengaran serta
menghindari getaran pada kelopak matanya.
“Ada
malapetaka menuju ke sini…” ucap Ki Tambakpati dalam hati. Lalu terdengar suara
derap kaki kuda di kejauhan. Makin kencang makin keras pertanda mendekat
mendatangi ke arah gubuk di puncak bukit itu. Lalu, braak!
*********************
6
PINTU
gubuk terpentang jebol. Satu sosok tubuh hitam gosong melesat masuk, tegak
tergontai-gontai sambil berpegangan pada besi gagang bendera. Bau sengak dalam
gubuk kini bercampur dengan bau amis darah setengah kering.
“Malapetaka
telah datang,” kata Ki Tambakpati dalam hati. Perlahan-lahan dia buka kedua
mata nya yang sejak tadi terpejam. Walau rasa bergidik membuat sekujur tubuh Ki
Tambakpati menggigil bergetar, namun orang tua yang berusia lebih tujuhpuluh
tahun ini berusaha tenangkan diri, menatap sosok mengerikan di hadapannya
dengan pandangan mata redup tak berkesip. Tubuh gosong tanpa pakaian sama
sekali. Setiap menghembuskan nafas, dari mulut serta lobang hidung keluar asap
tipis kemerahan.
Meskipun
wajah orang di hadapannya gosong hitam, namun Ki Tambakpati mengetahui bahwa
tamu yang muncul menunggang kuda, masuk menjebol rusak pintu gubuknya adalah
seorang lelaki berusia muda. Mahluk mengerikan ini berdiri gontai sambil tangan
kiri terus-terusan mendekap kemaluannya.
“Welas
asih dan kesejahteraan untuk semua orang.” Ki Tambakpati menyalami. “Anak muda,
apakah kau tidak keliru terpesat datang kemari?”
“Siapa
bilang aku keliru! Aku tidak pernah keliru!” sang tamu menjawab teguran Ki
Tambakpati dengan suara keras dan sikap congkak lalu tancapkan gagang besi
bendera ke lantai tanah.
“Ah,
syukurlah kalau begitu…” kata Ki Tambakpati pula.
“Orang
tua, bukankah kau bernama Ki Tambakpati, berjuluk Tangan Penyembuh. Jangan
berani berdusta!”
“Anak
muda, kau betul. Aku memang Ki Tambakpati. Seumur hidupku yang lebih dari tujuh
puluh tahun, dengan kuasa serta petunjuk Gusti Allah aku belum pernah berdusta.
Mengenai julukan, itu hanya sekedar pemberian orang banyak yang aku sendiri
sebenarnya risih sekali untuk menerima. Anak muda, katakan…”
“Orang
tua!” sang tamu membentak memotong ucapan orang. “Dengar, jangan panggil aku de
ngan sebutan anak muda!”
Dibentak
begitu rupa Ki Tambakpati jadi kaget namun cepat tenang kembali. “Harap
maafkan.
Aku harus
memanggilmu bagaimana?”
“Panggil
aku Pangeran! Kau dengar Ki Tambak pati? Pangeran!”
Kening si
orang tua berkerut. “Seorang Pangeran muncul dengan berkeadaan seperti ini.
Sulit dipercaya. Pangeran dari mana dia gerangan?”
kata Ki
Tambakpati dalam hati. Kemudian merebak senyumnya. “Ah, aku yang tua ini telah
berlaku lancang. Tidak tahu kalau berhadapan dengan seorang Pangeran. Maafkan
diriku.” Ki Tambakpati bungkukkan dadanya sampai tiga kali.
Ketika
kepala diangkat dia bertanya. “Pangeran, ada keperluan apa Pangeran datang ke
gubukku yang hina ini?” Mata si orang tua melirik ke bagian bawah perut tamu di
hadapannya yang sejak tadi ditekap dan ditutupi dengan tangan kiri. Di antara
sela-sela jari tangan itu dia melihat ada lelehan darah.
“Aku
ingin kau menolong menyembuhkan luka yang aku derita.”
“Luka?
Luka apa, Pangeran?”
Orang di
hadapannya perlahan-lahan membuka tekapan tangan kirinya. Melihat aurat yang
kini tersingkap itu, merinding bulu tengkuk Ki Tambakpati. Seumur hidup belum
pernah dia melihat luka mengerikan seperti itu. Kemaluan orang dihadapannya itu
mengalami luka yang amat hebat, nyaris putus!
“Pangeran,
apa yang terjadi?” tanya Ki Tambak pati.
“Kau tak
layak bertanya! Apa yang terjadi bukan urusanmu! Kewajibanmu adalah
menyembuhkan luka ini!”
Ki
Tambakpati terdiam sesaat lalu berkata. “Ah, lancangnya diriku dalam bertanya.
Tapi Pangeran, kau datang ke tempat yang salah. Aku memang punya sedikit ilmu
pengobatan. Namun hanya khusus dalam pengobatan orang-orang yang patah tulang.
Aku tak mungkin menyembuhkan luka yang kau derita. Kau harus mencari seorang
lain yang mampu mengobati dan memberi kesembuhan.”
“Aku
datang dari jauh untuk selamatkan nyawa! Sampai di sini kau berani menolak
mengobati lukaku! Kau ingin aku mati berdiri!”
“Pangeran,
bukannya aku menolak. Tapi diriku memang tidak punya kemampuan untuk
mengobatimu…”
“Kalau
aku mati karena luka ini, lebih baik kita mati sama-sama saat ini juga!” Sang
Pangeran mengancam. Lalu tangan kirinya yang berlumuran darah bergerak
menjangkau tengkorak kepala manusia yang tergeletak di lantai gubuk. Sekali
jari-jarinya meremak, kraaakk! Tengkorak kepala itu remuk hancur! Belum cukup
sang Pangeran hantamkan tangan kanan, Braaakk!
Dinding
gubuk di belakang Ki Tambakpati hancur berantakan. Belasan tulang belulang yang
tergantung di dinding itu ikut mental ke dalam kegelapan di luar sana.
“Anak
mud… Pangeran. Dengar…” Rasa takut mulai menjalari diri Ki Tambakpati.
“Dukun
keparat! Kau yang harus mendengar!
Obati
lukaku atau aku pecahkan kepalamu saat ini juga!”
Ki
Tambakpati geleng-geleng kepala sambil berulang kali menyebut nama Tuhan.
“Kalau
kau memaksa, aku hanya bisa mencoba. Soal kesembuhan kita serahkan pada Gusti
Allah Yang Maha Kuasa.” Orang tua itu bangkit berdiri.
“Pangeran,
berbaringlah di atas tikar kulit kambing itu.”
Sang
Pangeran berdiri. Dia bukannya berjalan ke arah tikar kulit kambing tapi
melangkah dan baringkan diri di atas tempat tidur yang terbuat dari tulang
belulang beralaskan tikar jerami kering.
“Kau
jangan berani menghinaku, Ki Tambakpati. Seorang Pangeran apa layak tidur di
tikar rombeng kulit kambing? Di atas tempat tidur inipun sebenarnya sangat
tidak layak bagiku!”
“Maafkan
aku Pangeran,” kata Ki Tambakpati.
Lalu dia
melangkah ke salah satu sudut gubuk yang masih utuh. Sepasang mata dipejamkan,
dua telapak tangan saling dirapatkan, dua lengan diluruskan ke atas. Saat itu
pula perlahan-lahan tubuhnya terangkat ke atas hingga kedua kakinya yang kurus
tidak lagi menginjak lantai tanah gubuk.
“Daun
sirih pembersih luka.” Ki Tambakpati berucap. Secara aneh dari sela-sela dua
telapak tangannya menyembul keluar tiga helai daun sirih.
Daun-daun
ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.
“Kunyit
putih perekat luka.” Ki Tambakpati kembali berucap disusul melesatnya tiga
butir benda putih. Seperti tiga helai daun sirih tadi, tiga benda putih ini
melesat masuk ke dalam belanga.
“Alang-alang
dewa penyambung otot dan urat”
Kembali
si orang tua berseru. Tiga lembar alangalang sepanjang dua jengkal melesat
keluar dari sela dua telapak tangan, melayang di udara lalu masuk ke dalam
belanga tanah.
“Kemenyan
pemohon keredohan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Penyayang lagi Maha
Penyembuh!”
Untuk
kesekian kalinya dari sela telapak tangan Ki Tambakpati melesat keluar benda
yang disebutkan. Kali ini berupa serbuk kemenyan kasar berkilauan. Serbuk ini
melesat masuk ke dalam belanga tanah. Suara mendidih di dalam belanga terdengar
makin keras. Kepulan asap bertambah tebal. Bau harum cendana kini bertukar
dengan bau obat aneh.
Memperhatikan
semua yang terjadi, orang yang tergeletak di atas ranjang tulang yang tentu
saja adalah Pangeran Matahari, berkata dalam hati.
“Sulap
atau sihir apa yang dilakukan tua bangka ini! Kalau dia menipuku, kupecahkan
kepalanya!”
Untuk
beberapa lama tubuh Ki Tambakpati masih mengapung di udara. Mulut
berkomatkamit.
Mata
masih terpejam. Pangeran Matahari memperhatikan dengan tidak sabar. Tak selang
berapa lama perlahan-lahan sosok orang tua itu bergerak turun ke tanah. Pada
saat kedua kakinya menginjak lantai tanah gubuk, obor yang tinggal dua di sudut
ruangan berkelap-kelip. Udara terasa dingin. Belanga tanah bergerak-gerak
seolah digoyang oleh tangan yang tidak kelihatan. Ki Tambakpati dongakkan
kepala. Perlahanlahan mata yang terpejam dibuka, perlahan-lahan kepala ditundukkan
kembali. Lalu dari dinding gubuk dia mengambil sebuah gayung terbuat dari
tulang. Dengan gayung tulang si orang tua men ciduk cairan obat dalam belanga
tanah lalu dimasukkan ke dalam cangkir tulang. Di dalam cangkir tulang, cairan
itu masih terus mendidih dan kepulkan asap.
Ki
Tambakpati melangkah mendekati ranjang tulang. Dia membungkuk di samping
ranjang, susupkan tangan ke belakang kepala Pangeran Matahari lalu kepala
diangkat sedikit.
“Pangeran,
harap kau suka meminum obat ini.
Teguk
perlahan-lahan sampai habis.”
“Orang
tua gila! Kau menyuruh aku minum cairan panas mendidih! Kau menipuku! Kau mau
membunuhku!” bentak Pangeran Matahari.
Ki
Tambakpati tersenyum. “Kalau cairan di dalam cangkir tulang panas, mana mungkin
jarijari tua ini sanggup memegangnya? Kau tak usah khawatir. Minumlah…”
Sesaat
Pangeran Matahari terdiam. “Kau benaran Ki Tambakpati?”
“Pangeran,
sebelumnya kau berkata tidak pernah keliru. Kau yakin bahwa aku memang Ki
Tambakpati. Apa lagi sekarang yang merisaukanmu?” Orang tua itu dekatkan
cangkir tulang ke mulut Pangeran Matahari. Walau masih agak ragu namun karena
ingin sembuh akhirnya Pangeran Matahari teguk juga obat di dalam cangkir.
Anehnya,
ternyata cairan obat itu terasa sejuk.
“Bagus,
sekarang berbaringlah kembali. Kembangkan paha lebar-lebar.” Ki Tambakpati
lemparkan cangkir ke arah tumpukan tulang belulang lalu mengangkat belanga
tanah. Ketika dia berdiri di kaki ranjang tulang, orang tua ini berkata.
“Pangeran
aku akan menyiramkan cairan obat ini ke auratmu sebelah bawah. Rasanya akan
sakit sekali. Aku percaya kau sanggup menahannya.
Berdoalah
pada Gusti Allah agar kau mendapat kesembuhan…”
“Seumur
hidup aku tidak pernah berdoa kepada Gusti Allah. Apa perlunya jika kau memang
dapat menolong?”
Terkesiap
Ki Tambakpati mendengar ucapan itu. “Congkak dan takabur sekali manusia satu
ini!” katanya dalam hati. “Semoga Tuhan mengampunimu.” Lalu tanpa banyak
menunggu Ki Tambakpati guyurkan cairan obat di dalam belanga ke atas kemaluan
Pangeran Matahari yang terluka parah. Seperti besi panas menyala tersiram air
begitulah keadaannya.
Cesss!
Cessss!
Pangeran
Matahari menjerit setinggi langit.
“Kau mau
membunuhku! Kau mau membunuhku!” teriaknya berulang kali. Kaki kanannya
menendang.
Byaarrr!
Belanga
tanah yang dipegang Ki Tambakpati hancur berantakan. Orang tua ini terjajar ke
belakang beberapa langkah. Seperti seekor harimau luka, Pangeran Matahari
melompat. Dua tangan mencekik leher Ki Tambakpati hingga lidahnya mencelet
keluar. Nafas menyengal. Namun sebe lum Pangeran Matahari sempat membunuh orang
tua ini mendadak sosoknya menjadi lemas.
Perlahan-lahan
dia melosoh lalu jatuh terguling di lantai tanah.
Ki
Tambakpati usap-usap lehernya yang bekas dicekik. Dia menarik nafas panjang
berulang kali.
Memandang
pada sosok Pangeran Matahari, orang tua ahli pengobatan tulang ini
geleng-geleng kepala, “Apa yang terjadi dengan orang ini hingga dia mengalami
luka begini parah? Siapa dia sebenarnya? Pangeran? Seorang Pangeran sungguhan?
Dari
keraton mana?”
Ki
Tambakpati memandang ke luar gubuk lewat pintu dan dinding yang jebol. Sunyi
dan gelap.
Lalu dia
mendengar suara sesuatu. Ki Tambakpati segera keluar. Di halaman gubuk, tak
jauh dari serumpunan semak belukar dia melihat seekor kuda besar tengah
merumput dalam kegelapan. Ki Tambakpati dekati binatang ini. Usap-usap
tengkuknya. Ada sebuah kantong kulit besar di samping pelana kuda. Ki
Tambakpati bukan seorang yang usil suka memeriksa barang yang bukan miliknya.
Namun entah mengapa sekali ini dia merasa begitu ingin melihat apa yang ada di
dalam kantong kulit itu. Dia lalu buka buhulan tali penutup kantong. Ketika
penutup dibuka, terlihat selapis kain hitam. Kain ini disingkap. Ada tumpukan
barang aneh berbentuk lempenganlempengan dibungkus kertas warna merah gelap.
Ki
Tambakpati ambil satu lempengan benda berwarna coklat. Ki Tambakpati memeriksa
benda itu dengan teliti, lalu dicium. Seperti disengat kalajengking begitulah
kagetnya orang tua ini.
“Madat…”
ucap Ki Tambakpati mendesis. Orang tua ini berpaling ke arah gubuk. “Dia datang
dengan kuda ini. Berarti benda haram dajal ini adalah miliknya. Apa yang harus
aku lakukan?
Aku tak
mau mencari perkara. Dia harus segera pergi dari sini. Tapi dia baru sadar
besok.
Menjelang
tengah hari esok baru pulih. Selain itu pengobatanku masih belum selesai.” Ki
Tambakpati menarik nafas panjang berulang kali. Dia merasa serba salah. Setelah
menambatkan kuda ke sebatang pohon dia masuk kembali ke dalam gubuk. Langkahnya
kali ini agak bergetar terhuyung.
*********************
7
TAK LAMA
setelah Pangeran Matahari merampas kuda Jaliteng di jalan mendaki yang
berbatu-batu, dua orang laksana setan malam berkelebat di kegelapan. Keduanya
masih muda-muda dan bertampang sangar, memiliki bobot tubuh sama-sama tinggi
dan tegap. Samasama mengenakan pakaian ringkas serta blangkon warna hitam. Di
dada kiri baju masing-masing ada sulaman kuning rumah berbentuk joglo. Di
sebelah bawah ada sulaman lain berupa dua bilah keris telanjang saling bersilangan.
Hampir
berbarengan, dua orang itu berkelebat sampai di depan kuda milik Surojantra.
“Ini
kudanya! Mana orangnya? Aku tidak melihat kantong perbekalan di pelana kuda.”
Lelaki di sebelah kiri keluarkan ucapan.
Temannya
memandang berkeliling lalu menunjuk ke depan. “Di sana! Ikuti aku!”
Kedua
orang itu berkelebat melewati tikungan jalan. Di satu tempat mereka menemukan
sosok seorang lelaki berpakaian anggota pasukan Kerajaan yang sudah jadi mayat.
Menemui ajal dengan luka terkuak di perutnya.
“Surojantra!
Mati. Mengenakan pakaian pasukan Kerajaan. Tidakkah ini aneh? Bagaimana
menurutmu Galirenik?”
Orang
bernama Galirenik masih perhatikan mayat Surojantra beberapa ketika baru
menjawab, “Bangsat ini punya ilmu cukup tinggi. Siapapun orang yang telah
membunuhnya berarti punya kepandaian sukar dijajagi. Mengenai pakaian pasukan
Kerajaan yang dipakainya aku rasa dia sengaja melakukan penyamaran.”
“Setahu
kita dia bersama Jaliteng. Mungkin orang itu jadi musuh dalam selimut. Membunuh
Surojantra dan melarikan barang bawaan!”
“Berarti
kita harus menemukan bangsat satu itu! Barang yang kita cari pasti ada padanya!
Aku…”
Rakadanu,
teman Galirenik angkat tangan kiri, memberi tanda agar Galirenik berhenti
bicara.
Telapak
tangan kanan dikembangkan di belakang daun telinga sebelah kanan agar
pendengarannya bertambah jelas.
“Aku
mendengar sesuatu. Suara orang mengerang…” Rakadanu menunjuk ke depan. Lalu
melompat ke arah yang ditunjuknya. Galirenik mengikuti.
Kedua
orang berpakaian serba hitam itu menemukan orang yang mereka cari terkapar di
tanah jalanan dalam keadaan megap-megap sekarat. Mereka tidak melihat kuda
tunggangan milik Jaliteng.
“Muka
kelimis, tubuh utuh…” Rakadanu membungkuk lalu sibakkan pakaian Jaliteng.
“Perutnya pecah! Aku tidak dapat memastikan apakah nyawanya masih bisa
tertolong!” Rakadanu berbisik pada Galirenik lalu cepat menotok beberapa bagian
tubuh Jaliteng.
“Seperti
Surojantra, dia juga mengenakan pakaian pasukan Kerajaan,” kata Galirenik
sambil tekapkan telapak tangan kirinya ke dada Jaliteng untuk alirkan hawa
sakti.
“Jaliteng,
kami akan menyelamatkan nyawamu!
Sebagai
imbalan, katakan di mana beradanya barang yang kau bawa dalam kantong kulit
besar?” Rakadanu ajukan pertanyaan.
Dada
Jaliteng turuh naik pertanda dia sulit bernafas. Mukanya mendadak jadi pucat
sekali.
Namun
telinganya masih bisa mendengar. Mata bergerak, menatap dalam gelap. Dia hendak
mengatakan sesuatu tapi mulutnya tak bisa dibuka.
“Percuma,
dia tak bisa bicara. Kita cari saja kudanya. Mungkin ada di sekitar sini.”
Galirenik
dan Rakadanu menghabiskan waktu cukup lama untuk memeriksa kawasan itu.
Namun
kuda tunggangan milik Jaliteng tidak ditemukan.
“Kita
sudah kedahuluan orang,” ucap Galirenik perlahan tapi penuh geram.
“Bagaimana
kita mempertanggung-jawabkan tugas ini kepada penguasa di Keraton Kaliningrat?”
kata Rakadanu pula. Nada suara dan raut wajahnya menunjukkan kerisauan hatinya.
“Kita
kembali saja. Laporkan apa adanya.” Jawab Galirenik.
Rakadanu
gelengkan kepala. “Pengejaran kita sudah sangat jauh. Apapun yang terjadi harus
kita lanjutkan. Mudah-mudahan ada tanda-tanda yang bisa kita pakai sebagai
pencari jejak. Bagaimana?”
“Kalau
kau mau meneruskan pencarian, aku hanya mengikut saja,” jawab Galirenik pula.
Kedua
orang dari Keraton Kaliningrat ini segera tinggalkan tempat itu.
Sekian
lama berdiam diri, satu ketika Galirenik berkata. “Seingatku, masih cukup jauh
di depan sana ada satu bukit kecil tempat kediaman seorang ahli pengobatan. Dia
dijuluki si Tangan Penyembuh. Mungkin ada baiknya kita mampir di sana sekaligus
menyelidik. Siapa tahu orang yang mencuri barang itu pernah singgah di sana.”
Rakadanu
menyetujui ajakan kawannya itu.
Keduanya
lalu mempercepat lari masing-masing.
************************
Di puncak
bukit udara malam terasa luar biasa dingin. Dari kejauhan telah terlihat gubuk
kediaman Ki Tambakpati alias Si Tangan Penyembuh.
Rakadanu
dan Galirenik mendatangi hampir tanpa suara, padahal lari keduanya luar biasa
cepat.
Galirenik
langsung hendak menuju gubuk tapi segera dicegah oleh Rakadanu yang
perhatiannya lebih dulu tertuju ke tempat lain. Lelaki ini pegang lengan
temannya dan berkata perlahan.
“Di bawah
pohon sana ada seekor kuda besar tertambat. Di dekat pelana ada sebuah kantong
kulit.”
Galirenik
palingkan kepala ke arah yang dikatakan temannya. “Astaga…”
Rakadanu
cepat tekap mulut Galirenik seraya berkata. “Jangan bicara keras-keras. Kita
tidak tahu siapa yang ada di dalam gubuk. Kalau Surojantra dan Jaliteng yang
berilmu tinggi bisa dibuat mati konyol, berarti si pembunuh memiliki kepandaian
luar biasa tinggi. Kau pergi ke arah pohon. Ambil kantong kulit, biarkan kuda
tetap tertambat. Tunggu aku di sana. Aku akan meng intai ke dalam gubuk.”
“Raka,
tunggu dulu.” kata Galirenik. “Apakah kau tidak melihat kejanggalan?”
“Kejanggalan
apa?”
“Barang
di dalam kantong kulit itu nilainya selangit tembus. Bagaimana mungkin orang
yang merampas membiarkannya di luar begitu saja, malam buta begini rupa pula!”
“Kawan,
kau benar. Lekas kau ambil kantong kulit itu. Periksa isinya. Aku tetap akan
mengintai ke dalam gubuk.” Habis berkata begitu Rakadanu segera melangkah ke
gubuk sedang Galirenik cepat-cepat bergerak ke arah kuda yang ter tambat.
Dari
arahnya datang Rakadanu telah melihat kerusakan pada pintu dan dinding belakang
gubuk. Pertanda sebelumnya telah terjadi tindak kekerasan di tempat itu. Lelaki
tinggi besar dari Keraton Kaliningrat ini mengintai dari pinggiran pintu. Nyala
dua api obor yang walau redup berkelip masih cukup menerangi gubuk kecil itu
dan Rakadanu dapat melihat jelas keadaan di dalam gubuk. Seorang tua duduk
bersila di atas sehelai tikar kulit kambing. Dua tangan bersilang di dada. Mata
terpejam entah tidur entah tengah bersemedi. Di atas sebuah ranjang yang
terletak merapat ke dinding terbaring satu sosok hitam hangus dalam keadaan
bugil. Dia tidak dapat melihat wajah orang ini. Dua kakinya terkangkang dan
Rakadanu jadi mengerenyit ketika melihat kemaluan orang itu disarungi sebuah
benda berwarna putih kekuningan. Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama
di tempat itu Rakadanu segera temui Galirenik yang berdiri di samping kuda
memanggu! kantong kulit di bahu kirinya.
“Kau
sudah memeriksa isi kantong ini?” tanya Rakadanu pada temannya.
“Isinya
utuh!” jawab Galirenik dengan seringai bergumam dan mata bersinar. “Apa yang
kau lihat di dalam gubuk?” Galirenik balik bertanya.
“Tidak
penting apa atau siapa yang ada dalam gubuk. Barang sudah kita dapat. Kita
segera kembali ke Keraton. Banyak keanehan di tempat ini.
Kita
harus pergi sebelum keanehan itu berubah menjadi bahaya mengancam keselamatan
kita!”
Sebagaimana
mereka datang tanpa suara.
begitu
pula ketika menyelinap pergi. Kedua orang berpakaian serba hitam itu raib
ditelan kegelapan malam membawa 50 kati madat yang nilainya cukup untuk
membangun lima istana besar.
************************
Ketika
kokok ayam pertama kali terdengar di kejauhan, Ki Tambakpati hela nafas panjang
dan buka kedua matanya yang sejak tadi malam terpicing. Memandahg ke samping
dia lihat Sang Pangeran masih terbujur di atas ranjang tulang.
Lalu dia
ingat pada kantong kulit di luar sana.
Cepat-cepat
orang tua ini bangkit berdiri, melangkah ke pintu, terus ke halaman menuju kuda
yang masih tertambat di pohon. Hanya tinggal dekat akan mencapai binatang itu,
langkah Ki Tambakpati mendadak terhenti. Matanya membesar.
Dadanya
berdebar keras. Kantong kulit besar yang sebelumnya tergantung di samping
pelana lenyap, tak ada lagi di tempatnya semula.
“Tak
mungkin kantong dan isinya raib kalau tidak ada yang mengambil. Aku mungkin
berlaku salah. Seharusnya kantong itu aku bawa masuk ke dalam gubuk. Dia pasti
akan mempersalahkan diriku. Bisa-bisa begitu sadar dan mengetahui barang itu
tak ada lagi, aku pasti akan dibunuhnya.
************************
Sebelum
matahari naik tinggi keesokan paginya ternyata Pangeran Matahari telah siuman
dari pingsannya. Dia mencoba duduk di tepi ranjang tulang. Begitu duduk
pandangannya langsung di tujukan pada auratnya sebelah bawah. Dia dapatkan
kemaluannya telah bersarung sepotong tulang menyerupai pipa.
“Ki
Tambakpati!” teriak Pangeran Matahari.
“Aku di
sini.” Terdengar jawaban dari samping.
Pangeran
Matahari palingkan kepala. Ki Tambakpati berdiri dengan wajah menunjukkan
keletihan, memandang kepadanya.
“Apa yang
kau lakukan padaku? Apa ini?”
“Itu
merupakan pengobatan tahap terakhir.
Agar luka
pada daging dapat bertaut sempurna, lalu agar urat dan otot bisa bersambung aku
sengaja menyarungkan alat kelaminmu dengan potongan tulang berbentuk pipa.
Antara tujuhpuluh sampai seratus hari tulang itu akan hancur dengan sendirinya.
Saat itu lukamu sudah bertaut dan kau akan mendapatkan kesembuhan.”
“Begitu…?”
Pangeran Matahari berdiri. “Aku perlu pakaian!” katanya kasar.
“Sudah
aku siapkan Pangeran,” jawab Ki Tambakpati lalu menunjuk ke kepala ranjang. Di
situ terletak seperangkat pakaian terdiri dari baju warna putih dan celana
hitam.
“Aku
tidak suka baju warna putih!”
“Maaf,
Pangeran. Hanya itu baju yang ada.”
jawab Ki
Tambakpati. Orang tua ini diam-diam mulai merasa jengkel. Sudah ditolong,
banyak pinta pula.
Dengan
cepat Pangeran Matahari kenakan baju dan celana. Lalu keluar dari gubuk lewat
dinding belakang yang jebol. Di pinggir sebuah sumur dilihatnya ada satu
gentong besar. Kulit wajahnya terasa perih ketika dia mencuci muka dengan air
gentong. Begitu juga bibir serta lidahnya ketika dia minum air gentong beberapa
teguk.
“Aku
harus pergi. Apakah aku perlu mengucap kan terima kasih padamu karena telah
menolong diriku?” Pangeran Matahari bertanya sambil sunggingkan seringai.
Ki
Tambakpati balas tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Binatang saja jika
ditolong masih bisa berterima kasih dengan caranya sendiri. Seorang anak
manusia berlaku seperti ini. Sungguh luar biasa. Dosa apa yang telah aku
lakukan hingga bertemu dengan orang seperti ini?”
“Kau
tidak mau menjawab?” Pangeran Matahari gembungkan rahang.
“Kewajibanku
menolong siapa saja sesuai dengan kemampuan. Soal berterima kasih tidak menjadi
hal yang penting bagiku. Aku ucapkan selamat jalan padamu. Namun ada satu hal
perlu aku sampaikan.”
“Kau
minta bayaran Ki Tambakpati?”
Si orang
tua menggeleng lalu berkata. “Paling lambat empatpuluh hari dari sekarang
lukamu akan sembuh. Namun kesembuhan itu adalah kesembuhan luar dan dalam.
Yakni bersambungnya bagian luar dan bagian dalam batang kelaminmu.
Namun tidak
bisa kujamin setelah sembuh kau masih memiliki kejantanan sebagai laki-laki.”
Sepasang
mata Pangeran Matahari mendelik besar. Pelipis bergerak-gerak dan dari hidung
serta mulutnya keluar asap tipis berwarna kemerahan.
“Orang
tua! Kau bicara apa?” Menghardik Pangeran Matahari.
“Alat
kelaminmu yang hampir putus itu memiliki ratusan, atau mungkin ribuan syaraf.
Walau kelaminmu dapat disambung kembali namun syaraf-syaraf yang begitu halus
itu tidak mungkin bersambung kembali. Ini berarti kau akan kehilangan
kejantananmu seumur hidup.”
“Orang
tua keparat! Kau sengaja tidak menyembuhkan diriku secara sempurna.”
“Pangeran,
aku sudah berusaha sesuai kemampuanku. Kemaluanmu kelak akan bersambung kembali
dan lukamu akan sembuh. Tapi soal kerusakan syaraf itu, aku tidak mampu me
nyembuhkannya.”
“Jahanam!
Tidaaakkk!” teriak Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Ki Tambakpati
cepat menahan bahunya sehingga sang Pangeran tidak sampai roboh ke tanah.
“Kalau kau sudah tahu hal itu, mengapa kau menolongku? Lebih baik kau
membiarkan aku mati! Matiii!” Pangeran Matahari berteriak lagi sambil memukuli
kepala dan dadanya. “Kau harus menyembuhkan aku.
Kau harus
menolongku!”
“Maafkan
aku, Pangeran. Kemampuanku terbatas. Bisa menolong menyembuhkan lukamu saja
sudah satu mukjizat bagiku…”
“Kalau
kau tidak bisa menolong lalu siapa yang bisa? Katakan! Beritahu aku!”
“Aku
tidak bisa memberitahu karena memang tidak tahu siapa orangnya yang ahli dalam
penyembuhan syaraf yang rusak. Namun aku pernah menyirap sebuah kabar. Ada satu
ilmu
pengobatan
berdasarkan petunjuk sebuah kitab.”
“Kitab
apa?”
“Apa kau
pernah mendengar? Dalam rimba persilatan ada sebuah kitab keramat bernama Kitab
Seribu Pengobatan. Di dalam kitab itu ada bagian yang menerangkan obat serta
cara
penyembuhan
untuk keadaan atau penyakit yang bakal kau alami.”
“Di mana
aku bisa menemukan kitab celaka itu!” tanya Pangeran Matahari pula.
“Konon,
kitab itu dimiliki dan disimpan oleh seorang nenek sakti yang diam di puncak
Gunung Gede. Namanya Sinto Gendeng…”
“Cukup!”
bentak Pangeran Matahari. Lalu ter tawa tergelak-gelak.
Ki
Tambakpati tegak terheran-heran. Tak ada yang lucu yang barusan diucapkannya.
Kalau otaknya tidak miring lantas mengapa manusia ini sampai tertawa
gelak-gelak?
“Ki
Tambakpati, aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Belakangan aku dengar kitab
itu lenyap dicuri orang.”
“Ah,
sayang sekali. Kurasa kitab itu satusatunya harapan penyembuhan bagi dirimu.”
“Aku akan
mencarinya sampai dapat. Walau harus keluar masuk seribu pintu neraka! Begitu
dapat, akan kubawa ke sini agar kau bisa melaku kan pengobatan atas diriku!”
Ketika
Pangeran Matahari balikkan badan hendak berlalu, Ki Tambakpati cepat berkata.
“Ada satu hal lagi, Pangeran.”
Pangeran
Matahari tahan langkahnya. “Apa?”
“Dalam
tubuhmu mengindap sejenis racun yang membuat dari hidung dan mulutmu selalu
keluar asap tipis berwarna kemerahan. Obat yang kau minum tadi malam ternyata
tidak bisa mele nyapkan racun itu. Aku sarankan agar kau berusaha mengunyah dan
menelan daun sirih serta bawang putih sebanyak yang bisa kau lakukan.
Itu obat
yang paling mudah dicari untuk bisa memusnahkan racun. Selama racun jahat hanya
mendekam sebatas leher ke bawah tidak ada bahayanya bagimu. Namun jika sempat
naik kekepala bisa merusak otak. Kau bisa gila.”
Pangeran
Matahari pandangi wajah orang tua di depannya sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Aku memang sudah gila! Kau ikutan membuatku gila!”
Habis
berkata begitu Pangeran Matahari ambil Bendera Darah yang masih menancap di
lantai gubuk lalu tinggalkan tempat itu.
Sesaat
setelah sang Pangeran lenyap di kejauhan, Ki Tambakpati baru ingat pada kuda
yang masih tertambat di pohon halaman depan gubuk.
“Aneh,
mustahil dia tidak ingat pada binatang itu. Lebih mustahil lagi jika dia tidak
ingat pada kantong kulit berisi madat yang tergantung dekat pelana. Apa arti
semua ini? Mungkin kuda itu bukan miliknya. Dia merampas di tengah jalan, tanpa
sadar ada barang luar biasa berharga di atas kuda itu. Berarti kantong kulit
berisi madat itu juga bukan miliknya. Atau seperti katanya mungkin dia sudah
benar-benar gila hingga tidak ingat lagi dengan kuda dan kantong kulit?”
*********************
8
WALAU
jelas ngorok, namun dalam tidur lelapnya kakek berjuluk Setan Ngompol itu tiada
henti usap-usap daun telinga kanannya yang lebar dan terbalik. Tiba-tiba
seperti ada sesuatu yang mengejutkan dia tersentak bangun. Duduk di lantai
dangau, tangan kanan masih mengusap daun telinga sedang tangan kiri menekap
bagian bawah perut yang perlahanlahan mulai kucurkan air kencing.
Gerakan
bangun dan duduknya Setan Ngompol membuat lantai yang terbuat dari bambu reyot
keluarkan suara berderik. Suara ini menyebabkan Pendekar 212 Wiro Sableng yang
juga ada di dangau itu terbangun dari tidurnya.
“Kek, ada
apa? Bangun-bangun kau seperti orang bingung?” tegur Wiro.
“Anu, aku
mau ke telaga. Mau cuci muka.”
Agak jauh
dari situ memang ada sebuah telaga di bagian pedataran berbentuk ceguk.
“Masih
pagi, dingin dan gelap. Kenapa mau cuci muka?”
“Aku
barusan mimpi.” Jawab Setan Ngompol.
“Kalau
mimpi basah bukan mukamu yang di cuci tapi perabotanmu yang sudah rongsokan
itu!”
kata Wiro
pula lalu bangkit dan duduk di samping si kakek.
“Sialan.
Siapa bilang aku mimpi basah. Aku mimpi tentang orang mati!”
“Siapa
yang mati?” tanya Pendekar 212 pula.
“Kau
bakalan kaget kalau aku sebutkan nama orangnya.”
Wiro
tertawa lebar. “Mungkin aku kaget tapi kau yang bakalan kucurkan air kencing.
Siapa yang kau mimpikan mati itu Kek?”
“Bidadari
Angin Timur,” jawab Setan Ngompol.
Dan benar
saja, habis menyebut nama gadis itu sikakek langsung semburkan air kencing.
Wiro
terdiam. Tatap wajah Setan Ngompol beberapa lama lalu berkata. “Aku lihat
tampangmu tidak bohong. Ceritakan mimpimu itu Kek.”
“Aku
berada di tepi sebuah jurang. Udara cerah, langit biru polos. Tiba-tiba keadaan
berubah. Mendung tebal di mana-mana. Dalam kege lapan mendadak jauh di depanku
ada cahaya terang. Makin lama cahaya itu makin dekat.
Ketika
kuperhatikan cahaya itu ternyata adalah sosok Bidadari Angin Timur yang
mengenakan pakaian dan berdandan seperti pengantin. Dada nya penuh dengan
kalungan bunga tujuh warna.
Sayup-sayup
aku mendengar suara gamelan di tabuh serta suara sinden menyanyi. Bidadari
Angin Timur tersenyum padaku. Lambaikan salah satu tangannya. Lalu hujan lebat
turun. Bersamaan dengan itu sosok Bidadari Angin Timur melayang menjauh dan
akhirnya lenyap.”
Wiro
terdiam beberapa ketika lalu berkata.
“Kau
bermimpi melihat Bidadari Angin Timur berdandan dan berpakaian seperti seorang
pengantin.
Lalu
mengapa kau mengatakan gadis itu mati?”
“Dengar
anak muda. Dalam pengertian orang tua-tua, jika kita mimpi melihat seseorang
jadi pengantin, lelaki atau perempuan, maka orang itu telah tiada alias mati,
atau akan segera menemui kematian.”
“Kau
membuat hatiku jadi tidak enak, Kek…”
“Aku mau
cuci muka dulu di telaga.”
Wiro
tarik bahu pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini tidak bisa bergerak turun
dari dangau.
“Kek,
terakhir sekali kau berada bersama gadis itu. Dia tidak pernah muncul sewaktu
para sahabat menyerbu 113 Lorong Kematian. Kau masih ingat saat-saat terakhir
bersamanya. Mungkin kau juga tahu ke mana perginya gadis itu?”
“Semua
kekacauan itu hingga urusan jadi kapiran begini adalah gara-garamu…”
“Enaknya
kau menyalahkan diriku…”
“Waktu
terakhir kali aku bersamanya yaitu menjelang keberangkatan menuju lorong
kematian, Bidadari Angin Timur dapatkan beberapa gadis cantik sudah ada di
tempat itu. Dia langsung cemburu. Dia merasa apa perlunya berada di tempat itu
dan ikutan ke lorong kematian…”
“Siapapun
yang ada di sana waktu itu, termasuk para gadis, mereka adalah sahabatku.
Seharusnya Bidadari Angin Timur tidak mengambil sikap seperti itu,” kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala. “Lalu kau tahu ke mana dia pergi dari tempat itu?
Kau masih tidak mau cerita di mana dan bagaimana terakhir kali kau bertemu
dengan Bidadari Angin Timur?”
“Aku dan
Ratu Duyung,” kata Setan Ngompol pula. “menemui Bidadari Angin Timur di satu
hutan kecil tak jauh dari jurang di bagian belakang bukit batu markas manusia
pocong. Dia duduk di tanah, sandarkan diri pada sebatang tumbangan pohon.
Sepertinya dia baru habis menangis. Kami menanyakan apa yang terjadi. Namun
gadis itu tidak menjawab dan alihkan pembicaraan pada hal lain. Katanya
sebelumnya dia bersama Jati landak. Pemuda itu kemudian pergi seorang diri
menuju 113 Lorong Kematian. Dia juga mencerita kan melihat dirimu didorong
masuk ke dalam jurang oleh seorang nenek cebol. Aku tidak mengada-ada. Tapi di
wajahnya yang murung tidak terlihat bayangan rasa khawatir. Aku dan Ratu Duyung
justru melihat ada bayangan rasa tidak enak dalam dirinya terhadap kehadiran
kami. Aku dan Ratu Duyung lalu tinggalkan gadis itu. Nah, itu kali terakhir aku
bertemu dengan Bidadari Angin Timur.”
Lama Wiro
terdiam mendengar penuturan Setan Ngompol itu.
“Aku
ingat, satu kali kami bertemu, Bidadari Angin Timur pernah memberi semacam
petunjuk.
Katanya
dia mungkin bisa menduga di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Saat itu
aku kurang menaruh perhatian karena tengah menghadapi urusan besar dengan
manusia-manusia pocong 113 Lorong Kematian. Agaknya saat ini aku harus mencari
gadis itu untuk mendapat keterangan lebih lanjut.”
“Tapi
bagaimana kalau dia memang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Seperti yang
tersirat dalam mimpiku,” kata Setan Ngompol pula.
“Tidak
baik berucap seperti itu,” kata Wiro pula sambil pelintir telinga kiri si kakek
hingga yang dipelintir meringis kesakitan. Ketika Setan Ngompol turun dari
dangau menuju ke telaga, Wiro tidak lagi mencegah, namun tak selang berapa lama
tiba-tiba Setan Ngompol muncul kembali dengan muka pucat nafas terengah. Dia
tarik tangan Wiro Sableng, hingga pemuda ini terpaksa turun dari dangau.
“Ada apa?
Kau seperti melihat setan!” ucap Wiro.
“Mungkin!
Tapi aku berdoa mereka bukan setan benaran. Tapi manusia betulan. Soalnya
keduanya cantik-cantik…”
“Kau lagi
ngaco atau bagaimana, Kek?”
“Dengar,
aku hanya melihat kepala. Aku tidak dapat melihat badan mereka. Apa punya badan
atau tidak, aku belum tahu. Aku mengajakmu sama-sama nyebur ke dalam telaga.”
Wiro
pegang lagi telinga lebar si kakek, dipelintir sedikit hingga orang tua itu
kembali meringis kesakitan dan pancarkan air kencing.
“Bicara
yang betul. Jangan sepotong-potong membuat aku tidak mengerti!”
Setan
Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya. Setelah muncratkan air kencing dua
kali berturut-turut dia lalu berkata. “Waktu aku mau mencuci muka di telaga,
mendadak aku lihat ada dua kepala mengapung di permukaan air. Semula kukira
kepala setan. Ternyata kepala dua perempuan muda cantik-cantik. Rambut dikonde
apik diatas kepala, wajah dipoles bedak dan gincu merah di bibir. Sepasang alis
hitam kereng. Di dalam air aku lihat keduanya bicara berbisik-bisik.
Sebentar-sebentar sepasang mata mereka memandang ke arah pinggiran telaga.
Mungkin mereka sudah tahu kehadiranku di tempat itu tapi malu memanggil mengajak
mandi bersama. Hik… hik… hik! Kau mau ikut aku ke telaga? Berkenalan dan mandi
sama-sama dua perempuan cantik itu?”
“Kek,
pergunakan otak warasmu. Mana ada perempuan cantik malam buta menjelang pagi
begini mau mandi berendam dalam air telaga yang dinginnya seperti es. Pasti
mereka mahluk jejadian. Kalau kau tidak percaya silahkan pergi sendiri.
Masuk ke
dalam telaga, dekati keduanya.”
“Ah, kau
membuat aku takut saja. Padahal ini satu kesempatan. Kasihan keduanya
kedinginan. Kalau bersama kita pasti bisa berhangat-hangat. Hik… hik… hik.”
Pendekar
212 Wiro Sableng tiba-tiba ulurkan tangan menutup mulut si kakek hingga suara
tawa cekikikannya serta merta berhenti. Wiro lalu tarik kakek ini ke balik
semak belukar di samping kiri dangau.
“Ada
apa…?” bisik si kakek sambil muncratkan air kencing.
Wiro
goyangkan kepalanya ke depan. Setan Ngompol berpaling tepat pada saat dua orang
berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul berkelebat dan berdiri sepuluh langkah
di depan dangau.
“Aku
barusan mendengar seperti ada orang tertawa…” lelaki tinggi besar di sebelah
kanan berkata sambil memandang berkeliling.
Kawannya
yang memanggul sebuah kantong kulit ikut pula memperhatikan keadaan sekitarnya.
“Suara angin di tempat sepi begini bisa menyerupai suara orang bahkan suara
setan tertawa,” katanya. “Rakadanu, lihat di sana ada dangau. Bagaimana kalau
kita istirahat barang sebentar. Bahuku pegal sekali membawa lari beban seberat
ini.”
“Sobatku
Galirenik, kita tengah menjalani tugas luar biasa penting. Ayal sedikit saja
bisa mengundang bahaya. Jika kau letih biar aku yang ganti membawa barang itu.
Yang penting kita harus segera sampai di keraton secepatnya!”
Walau
mengkal tapi orang bernama Galirenik terpaksa ikuti ucapan temannya. Namun
kedua nya hanya sempat melanjutkan lari sekitar duapuluh langkah. Ketika sampai
di sisi telaga, sekonyong-konyong air telaga muncrat ke atas. Dua buah benda
melesat ke udara menyipratkan air lalu sttt… stttt! Di lain kejap dua benda itu
yang bukan lain dua perempuan muda yang tadi dilihat Setan Ngompol berendam
dalam telaga tahu-tahu sudah berdiri di hadapan dua orang lelaki berpakaian dan
berblangkon serba hitam yakni Rakadanu dan Galirenik.
Tentu
saja kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget. Hentikan lari dan
mengambil sikap penuh waspada. Namun ketika menyadari yang menghadang mereka
ternyata adalah dua orang gadis berwajah cantik, keduanya segera saja menebar
senyum. Apa lagi pakaian basah menem pel ketat di tubuh mereka membuat liuk
liku tubuh dua gadis itu terlihat jelas.
“Sahabatku
Raka,” kata Galirenik. “Agaknya kita memang perlu istirahat dulu barang
sebentar.”
“Kalau
begini urusannya, istirahat sampai pagi pun aku tidak menampik!” jawab
Rakadanu. Lalu kedua orang lelaki itu tertawa gelak-gelak.
Ketika
mereka hentikan tawa, gadis di sebelah kiri yang mengenakan pakaian merah
mengangkat dagu sedikit lalu membuka mulut.
“Apakah
kalian sudah puas tertawa?”
Ditanya
begitu Rakadanu dan Galirenik saling pandang lalu kembali tertawa. Malah lebih
keras.
Dua orang
gadis cantik berpakaian basah tetap tak bergerak di tempat, tenang-tenang saja
memperhatikan polah tingkah dua lelaki tinggi besar yang tengah tertawa. Sesaat
kemudian suara tawa dua lelaki itu berubah perlahan dan akhirnya sirap sama
sekali.
“Hemmm…
sudah puas mereka tertawa.” Kini dara berpakaian biru keluarkan ucapan
ditujukan pada temannya si baju merah.
“Ketahuilah!”
gadis berpakaian merah menyambung ucapan si biru. “Tawa kalian berdua tadi
adalah tawa terakhir sebelum kalian menjadi mayat!”
“Oo
hebatnya!” teriak Rakadanu.
“Mati
barengan satu kubur dengan kalian aku pasrah saja!” kata Galirenik pula. Lalu
kembali umbar tawa bergelak.
“Ah,
rupanya masih ada tawa tambahan. Tidak apa. Ada satu syarat menguntungkan bagi
kalian.
Kalian
tidak akan jadi mayat malam ini asalkan menyerahkan kantong kulit itu pada
kami!”
Kini
kagetlah Rakadanu dan Galirenik. Mereka benar-benar tidak percaya kalau ada dua
gadis cantik di malam buta inginkan barang sangat berharga yang mereka bawa.
Rakadanu
berucap cerdik. “Kantong kulit itu hanya berisi pakaian bekas. Apa ada gunanya
bagi kalian?”
“Tidak
apa. Pakaian baru atau bekas serahkan saja pada kami!”
Dua
lelaki dari Keraton Kaliningrat itu mulai mencium ada yang tidak beres.
Galirenik yang membawa kantong kulit di bahu kiri berkata keras. “Kau inginkan
pakaian? Tanggalkan dulu pakaian kalian! Bertelanjang dulu di hadapan kami!
Nanti kami berikan pakaian pengganti yang bagus-bagus! Kalian mau berapa
pasang?”
Dua gadis
gelengkan kepala sambil leletkan lidah. Si merah berkata, “Kami tidak suka
guyonan cabul. Letakkan kantong kain di tanah lalu lekas minggat dari tempat
ini. Itu menyelamatkan kalian dari kematian!”
“Gadis-gadis
keparat! Kau yang kami bantai lebih dulu! Sudah jadi mayatpun kami tidak kecewa
menggauli kalian! Ha… ha… ha!”
“Ah,
sahabatku Galirenik memang suka bicara jorok! Dua gadis cantik harap maafkan
kalau kami agak lancang. Mungkin kalian belum tahu siapa kami. Perkenankan kami
memperkenalkan diri!”
Kata
Rakadanu pula.
“Tidak
perlu! Dari gambar joglo dan keris bersilang di baju kalian kami sudah tahu
siapa kalian berdua!” ucap gadis berpakaian biru. Konde dikepala dilepas.
Sekali kepala digoyang rambutnya yang panjang hitam tergerai ke punggung,
menambah cantik wajahnya. “Kalian adalah dua monyet kesasar dari Keraton
Kaliningrat! Apa salah aku berucap?”
Dua
lelaki tinggi besar karuan saja jadi terkejut. Namun mereka pandai sembunyikan
keterkejutan masing-masing.
“Rakadanu,”
bisik Galirenik. “Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres. Sebaiknya kita
tinggal kan tempat ini.”
“Sahabat,
jangan jadi pengecut. Dua santapan enak sudah terhidang di depan mata. Kau mau
pergi begitu saja?” balas Rakadanu juga berbisik.
Lalu dia
berpaling pada gadis berpakaian biru.
“Dengar,”
katanya. “Jika kalian sudah tahu siapa kami, maka dengan segala kerendahan hati
kami mengundang kalian berdua untuk ikut ke Keraton Kaliningrat! Kalian akan
kami perlakukan lebih terhormat dari sepasang puteri Kerajaan!”
“Apakah
undangan untuk kedua muridku juga berlaku bagi diriku?” Tiba-tiba satu suara
menggema dalam udara dingin dan gelap.
Di lain
saat, dari atas sebuah pohon besar melesat satu bayangan hitam disertai kepulan
asap panjang berwarna hitam, biru, dan merah. Ketika sosok itu menjejak tanah
dan berdiri tepat di antara dua gadis cantik, Rakadanu dan Galirenik langsung
tersurut sampai dua langkah. Tampang masing-masing berubah mengkeret.
Di
samping dangau Setan Ngompol pancarkan air kencing sementara Pendekar 212 Wiro
Sableng tertegun melongo, mata terbuka tak berkedip.
“Kek, kau
kenal siapa adanya mahluk dahsyat yang barusan muncul ini?”
Setan
Ngompol mana sempat menjawab. Saat itu terbungkuk-bungkuk dia sibuk pancarkan
air kencing.
*********************
9
ORANG
yang barusan muncul dan berdiri diantara dua gadis jelita ternyata adalah seorang
nenek berpakaian baju dan celana panjang hitam ringkas. Kemeja bajunya dihias
dengan sulaman bunga warna putih. Meskipun sudah tua, mungkin berusia sekitar
tujuhpuluh, si nenek berdandan menor. Sepasang alis hitam kereng. Bedak tebal
licin dan pipi diberi merahmerah.
Bibir
yang runcing dilapis pewarna merah mencorong. Dahsyatnya, di atas batok kepala
nenek ini, di antara rambut yang riap-riapan, menancap sepotong bambu kuning
setinggi satu
setengah
jengkal. Dari lobang bambu mengepul keluar asap berwarna hitam, biru, dan merah
disertai suara seperti perapian di tungku atau anglo pandai besi. Setiap dia
membuka mulut atau menyeringai kelihatan barisan gigi memancarkan warna
berkilau.
“Hantu
Malam Bergigi Perak!” Rakadanu dan Galirenik keluarkan seruan hampir
berbarengan.
Si nenek
tertawa cekikikan. Matanya yang belok berputar beberapa kali. “Bagus kalian
masih mengenali diriku. Sekarang katakan, cara mati bagaimana yang kalian
inginkan setelah berani memperhinakan dua muridku?”
Rakadanu
dan Galirenik buru-buru jatuhkan diri berlutut di tanah. Kelihatan kedua orang
ini begitu takut terhadap si nenek yang disebut dengan Hantu Malam Bergigi
Perak.
Rakadanu
membungkuk berulang kali lalu berkata. “Hantu Malam Bergigi Perak, kami berdua
mohon maaf dan ampun. Kami tidak pernah tahu kalau kedua gadis cantik itu
adalah murid-muridmu. Kami berjanji tidak akan mengusik keduanya lagi…”
“Bagus!
Kalian berdua mendapat pengampunanku!” kata si nenek pula yang membuat terkejut
kedua muridnya.
“Guru,
mengapa…” gadis berpakaian biru berkata tapi ucapannya terputus oleh isyarat
gerak tangan si nenek.
“Terima
kasih Nek, terima kasih…” kata Rakadanu dan Galirenik berulang kali sambil
membungkuk-bungkuk.
Si nenek
tertawa cekikikan.
“Pengampunan
itu tidak kalian dapat percuma!
Dasar
manusia-manusia tolol!”
Rakadanu
dan Galirenik tegakkan dada. Muka langsung pucat.
“Dua
muridku telah meminta kantong kulit itu.
Mengapa
kalian tidak mau memberikan?”
Perlahan-lahan
dua orang dari Keraton Kaliningrat itu bangkit berdiri.
“Gali,”
bisik Rakadanu. “Murid dan guru sama saja. Ujung-ujungnya mereka minta barang
bawaan kita.”
Galirenik
maju satu langkah, membungkuk dalam lalu berkata. “Hantu Malam Bergigi Perak,
barang dalam kantong kulit itu bukan milik kami.
Kami
berdua hanya orang suruhan untuk membawanya.”
“Nah,
nah! Kalau barang bukan milik kalian lebih enak lagi kalian memberikannya
kepada kami!” ujar si nenek lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Tapi,
Nek,” kata Rakadanu pula. “Barang ini sama saja dengan nyawa kami berdua. Mana
mungkin kami memberikan?”
Si nenek
geleng-geleng kepala. “Jalan pikiran kalian tidak waras! Barang itu kalian
anggap sebagai nyawa. Lalu nyawa kalian benaran di mana? Dalam dubur kalian?
Hik… hik… hik…”
“Nek,
kami tidak mungkin memberikan barang ini. Kalau saja kau meminta yang lain…”
“Ah…
Baik, baik! Sekarang aku minta kalian mencongkel jantung masing-masing dan
menyerahkan padaku!” kata si nenek sambil berkacak pinggang dan delikkan mata.
“Tua
bangka sinting!” maki Rakadanu tapi cuma dalam hati.
“Hantu
Malam Bergigi Perak,” Galirenik yang bicara. “Kalau… kalau kau kelewat mendesak
dan tidak memberi jalan lain, kami berdua terpaksa mengadu jiwa.” Kantong kulit
diikatkannya eraterat ke punggung. Rakadanu bersiap-siap.
“Kalian
sudah mengambil keputusan!” si nenek angguk-anggukkan kepala. “Murid-muridku,
habisi dua kaki tangan pemberontak itu! Jangan ada yang bersisa dari tubuh
mereka. Amankan kantong kulit dan isinya.”
Mendengar
perintah sang guru, dua gadis cantik segera siap menerjang. Namun tiba-tiba ada
satu bayangan melesat ke tengah kalangan disertai mengumbarnya bau pesing.
Si nenek
dan dua muridnya sampai tersurut beberapa langkah sementara Rakadanu dan
Galirenik tak kalah kagetnya.
“Nenek
berwajah cantik, biar aku dan temanku mewakili murid-muridmu menangkapi kedua
orang ini!”
Hantu
Malam Bergigi Perak maju satu langkah.
Leher
dipanjangkan, mata belok dibuka lebih lebar dan hidung dipencet menutup
penciuman.
“Kakek
bau pesing! Kau mengganggu kesenanganku dan murid-murid. Apa kepentinganmu
mencampuri urusan orang lain? Siapa kau?”
“Maaf
kalau aku bertindak lancang. Namaku sudah lama tidak kuingat lagi. Orang-orang
memanggilku Setan Ngompol. Nama besarmu sejak lama ada dalam ingatanku. Sungguh
satu kebahagiaan kalau saat ini aku bisa bertemu denganmu.
Sebagai
salah seorang pengagummu, apa salahnya aku membantu menyelesaikan urusanmu
dengan dua cecunguk ini.”
“Kakek
kuping terbalik! Dengar! Aku tidak butuh pengagum. Apa lagi pengagum yang
celana nya lepek basah oleh air kencing. Menebar bau pesing ke mana-mana. Apa
sangkut pautmu dengan si nenek bau pesing bernama Sinto Gendeng?”
“Dia
sahabatku. Sama-sama tua bangka,” kata Setan Ngompol pula.
“Oo
begitu…?”
“Muridnya
ada di sini. Masih malu unjukkan diri!” sambung Setan Ngompol pula.
“Oo… Di
mana dia bersembunyi?” tanya Hantu Malam Bergigi Perak sambil layangkan
pandangan ke tempat gelap.
Selagi
nenek dan kakek itu asyik bicara, Rakadanu dan Galirenik pergunakan kesempatan
untuk kabur tinggalkan tempat itu. Tapi belum bergerak sampai dua langkah
tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat menghadang. Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dalam
kaget dan juga marah karena tidak menyangka ada orang lain lagi menghalangi
gerakan mereka, Rakadanu dan Galirenik serentak lancarkan serangan. Rakadanu
memukul ke arah pangkal leher sebelah kanan sedang Galirenik menghantam ke arah
pangkal leher sebelah kiri.
Serangan
yang dilancarkan dua pentolan Keraton Kaliningrat itu luar biasa berbahayanya
yang disebut Keris Silang Memangkas Puncak Gunung.
Jangankan
leher manusia, batu sekalipun akan buntung pupus dibuatnya!
Murid
Sinto Gendeng turunkan bahunya sedikit, dua kaki menekan tanah. Bersamaan
dengan itu dua lengan melesat ke atas.
Bukkk!
Bukkkk!
Rakadanu
dan Galirenik walau terjajar tiga langkah namun sama sekali tidak mengalami
cidera. Dengan cepat keduanya mengimbangi diri.
Didahului
teriakan keras keduanya kirimkan tendangan ke arah Wiro yang akibat bentrokan
pukulan tadi jatuh terduduk di tanah, lengan kiri kanan laksana dihantam
pentungan.
Wutt!
Wutt!
Dua tendangan
sama-sama mencari sasaran dikepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro
putarkan tubuhnya demikian rupa lalu jatuhkan diri ke tanah. Dua tendangan
lawan lewat di samping kepalanya. Tidak disangka oleh Rakadanu dan Galirenik,
dalam keadaan berbaring Wiro tendangkan kaki kiri kanan ke belakang.
Bukkk!
Kaki kiri
mendarat di kening Rakadanu.
Dukkk!
Kaki
kanan menghantam telak dada Galirenik.
Kedua
orang yang kena tendang itu tak ampun lagi terpental dan terguling di tanah.
Tapi luar biasanya bukan saja kepala dan dada mereka tidak cidera barang
sedikitpun, malah sambil menyeringai keduanya bangkit berdiri lalu sama
melangkah mendekati Wiro dengan mata menyala marah.
“Kakek
bau pesing!” nenek Hantu Malam Bergigi Perak menegur Setan Ngompol. “Apa pemuda
berpakaian putih itu yang kau sebut sebagai murid Sinto Gendeng?”
“Benar!”
jawab Setan Ngompol. “Namanya Wiro,” menambahkan si kakek sambil melirik kearah
dua gadis yang saat itu tengah mengerling memperhatikan Wiro.
“Dia akan
mati konyol kalau tidak tahu kelemahan ilmu kebal dua lawannya!”
“Kalau
begitu saatnya aku membantu!” ucap Setan Ngompol.
“Kaupun
akan mereka lumat sampai kekantong menyanmu!” kata si nenek pula.
Serrr!
Setan Ngompol tekap bagian bawah perut tapi tak urung air kencingnya terpancar
juga.
“Nek,
kalau begitu tolong beritahu rahasia kelemahan mereka!”
“Puah!
Siapa sudi! Enak betul! Cari sendiri!” jawab Hantu Malam Bergigi Perak. Lalu
dia berpaling pada kedua muridnya yakni sepasang gadis cantik berpakaian merah
dan biru. “Perlihatkan pada dua orang yang katanya tokoh rimba persilatan tanah
Jawa ini bagaimana kalian menghabisi dua lawan!”
Dua gadis
membungkuk hormat. Lalu didahu lui teriakan nyaring si merah dan si biru
melesat ke udara. Selagi tubuh melayang di udara kedua nya hantamkan tendangan
ke arah punggung Rakadanu dan Galirenik yang tengah mendekati Wiro.
Mendengar
ada sambaran angin di belakang, Rakadanu dan Galirenik cepat membalik sambil
hantamkan dua tangan sekaligus.
Duukkk!
Duuukkk!
Dua
tendangan yang tadinya akan menghantam punggung, kini lewat sela-sela lengan,
mendarat telak di dada Rakadanu dan Galirenik, tepat diarah jantung! Kedua
lelaki tinggi besar ini terlontar sampai satu setengah tombak. Mulut semburkan
darah segar. Tubuh masing-masing kemudian terbanting ke tanah. Melejang-lejang
beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi!
Pendekar
212 Wiro Sableng setengah melongo garuk-garuk kepala. Tadi dia jelas-jelas
menendang kepala dan dada kedua orang itu. Tapi jangankan mati, cidera
sedikitpun tidak!
Setan
Ngompol bertindak cepat. Dia gulingkan tubuh Galirenik lalu membetot lepas
kantong kulit. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Hantu Malam Bergigi
Perak.
“Terima
kasih,” kata si nenek. “Tapi jangan terlalu dekat. Nanti pakaianku kebasahan
air kencingmu!”
Setan
Ngompol cuma bisa tersipu-sipu.
“Kedua
orang berpakaian dan berbelangkon serba hitam itu. Siapa mereka?” bertanya si
kakek.
Kudengar
tadi kau menyebut mereka sebagai kaki tangan pemberontak. Murid-muridmu
menyebut mereka orang-orang Keraton Kaliningrat. Aku tidak pernah mendengar
nama Keraton itu.”
Si nenek
tidak segera menjawab. Dia memandang ke langit memperhatikan gugus
bintangbintang lalu berpaling pada dua muridnya. “Kalian berdua pergilah lebih
dulu. Tak lama lagi pagi segera datang.”
“Kami
siap pergi,” menyahuti gadis berbaju merah. “Tapi, Nek, kalau kami boleh
menunggu barang beberapa ketika, bukankah kita tengah mencari sebuah benda. Di
sini ada orang yang punya hubungan dekat dengan pemilik benda itu.”
Si baju
merah lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau
betul,” kata si nenek pula. Dia menatap wajah dua muridnya yang cantik itu,
lalu tersenyum penuh arti, membuat wajah dua gadis cantik bersemu merah. Si
nenek lalu lambaikan tangan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Anak muda,
kemarilah sebentar! Ada yang hendak aku tanyakan padamu.”
Wiro
mendekat dan berhenti empat langkah di depan si nenek. Sambil menatap wajah
perempuan tua itu hatinya berkata. “Melihat dandanan nya yang begini mencorong,
nenek satu ini pasti sudah genit dari sejak mudanya.”
“Hai, apa
yang kau ucapkan dalam hati?” tibatiba Hantu Malam Bergigi Perak membentak,
membuat Wiro jadi tergagau dan berpura batukbatuk.
Sambil
senyum dan garuk kepala murid Sinto Gendeng merunduk unjukkan sikap hormat lalu
bertanya. “Nek, apa yang hendak kau tanyakan padaku?”
“Apa
betul kau murid Sinto Gendeng?”
“Pasti
kakek kuping lebar itu yang bilang padamu,” sahut Wiro pula.
“Aku dan
dua muridku tengah mencari sebuah kitab. Namanya Kitab Seribu Pengobatan. Menurut
kabar yang aku sirap, kitab itu adalah milik gurumu. Kami telah menghabiskan
hampir tiga ratus hari dan sempat pergi ke puncak Gunung Gede tapi gurumu tak
ada di sana. Kami cari dia dimana-mana tapi dia seperti cacing tanah, amblas
tidak kelihatan, sulit dicari.”
“Kitab
Seribu Pengobatan itu tak ada lagi padanya.” Menjelaskan Wiro.
“Maksudmu,
anak muda?”
“Hilang
dicuri orang.”
Si nenek
unjukkan wajah risau. Dua muridnya juga nampak gelisah.
“Menatap
wajahmu dan mendengar nada suaramu aku tahu kau tidak berdusta. Kau tahu siapa
pencurinya?” tanya Hantu Malam Bergigi Perak.
Wiro
menggeleng. Lalu berkata. “Seseorang pernah bilang kalau dia tahu di mana
beradanya kitab itu.”
“Berarti
dialah pencurinya!” kata si nenek pula tanpa tedeng aling-aling.
“Tapi orangnya
sudah mati.” menyelutuk Setan Ngompol.
Wiro
sodokkan sikunya ke perut Setan Ngompol hingga kakek ini mengeluh kesakitan dan
pancarkan air kencing. Wiro menyengir. “Nek, sangkaan mu bahwa orang yang
memberi tahu itu adalah pencuri kitab tidak mungkin. Selain dia seorang baik,
dia juga sahabatku paling dekat.”
Hantu
Malam Bergigi Perak rangkapkan dua tangan di depan dada. Suara seperti tungku
api yang keluar dari bambu kuning di atas kepalanya mengeras lalu kembali
meredup.
“Dalam
kehidupan ini, suatu kejahatan kerap kali dilakukan oleh orang-orang di dekat
kita. Sulit dipercaya, tapi itulah kenyataan! Kalau kau mau memberi tahu siapa
orangnya, aku dan muridku akan mencari pencuri itu.”
“Aku tak
mau ada yang kesalahan tangan. Biar aku sendiri yang mencari kitab itu. Eyang
Sinto Gendeng telah menugaskan hal itu padaku.” Lalu dia bertanya pada si
nenek. “Apa pentingnya kitab itu bagi kalian?”
“Namanya
saja kitab pengobatan. Apa ada tujuan lain?”
“Siapa di
antara kalian yang sakit? Aku lihat kalian bertiga sangat ceria dan sehat-sehat
saja,” kata Setan Ngompol.
Si nenek
ataupun dua muridnya tidak menjawab. Wiro garuk-garuk kepala.
“Nek,
tadi sahabatku kakek tukang ngompol ini menanyakan beberapa hal bersangkutan
dengan dua orang yang sudah jadi mayat itu. Bahwa mereka kaki tangan
pemberontak Murid-muridmu menyebut mereka orang-orang dari Keraton Kaliningrat.
Aku tak pernah mendengar letak Keraton itu. Di mana letaknya?”
“Cerdiknya
kau mengalihkan pembicaraan.”
Ucap si
nenek. Namun dia memberi penjelasan juga. “Yang namanya Keraton Kaliningrat itu
hanya merupakan keraton bayangan. Letaknya bisa di mana-mana. Di sana bergabung
orang-orang pandai yang hendak menumbangkan tahta Kerajaan, termasuk dua
manusia itu. Mereka mengenakan pakaian dan belangkon hitam. Di dada pakaian ada
gambar rumah joglo serta sepasang keris bersilang. Mereka memiliki semacam ilmu
kebal. Buktinya pukulan dan tendanganmu sama sekali tidak mempan! Sementara dua
muridku dengan mudah berhasil menghabisi mereka.”
“Berarti
kalian mengetahui cara memusnahkan ilmu kebal mereka,” kata Wiro. “Kau mau
memberi tahu pada kami?”
“Aku
tidak akan memberi tahu padamu!” jawab si nenek.
Wiro
tertawa. “Kalau kau inginkan kitab pengobatan itu, kau harus membantu. Bukan
mustahil kitab itu ada di tangan orang-orang Keraton Kaliningrat.”
Sesaat si
nenek terdiam berpikir-pikir. Ucapan Wiro ada betulnya. Namun dia tetap tidak
mau memberi tahu. “Kau dan kakek itu dua tokoh rimba persilatan. Punya ilmu
selangit punya pengalaman seluas samudera. Kurasa jika mau kalian bisa mencari
sendiri kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat.”
“Kalau
kau bilang begitu Nek, kalau kitab itu aku temukan, aku tidak akan
memberikannya padamu,” ucap Wiro pula.
“Bagaimana
dengan kau?” kata si nenek sambil berpaling pada Setan Ngompol dan
kedap-kedipkan matanya serta senyum-senyum genit. “Jika kau yang menemukan, apa
juga tidak akan mau memberikan padaku?”
Si kakek
kesemsem dan tekap dulu bagian bawah perutnya baru menjawab. “Itu bisa kita
atur, bisa kita atur.”
Hantu
Malam Bergigi Perak tertawa lebar.
Nenek ini
dekati Setan Ngompol lalu membisikkan sesuatu. Wajah Setan Ngompol tampak
mengerenyit lalu kakek ini tertawa-tawa sendiri sambil goleng-goleng kepala.
Karena si
nenek tidak mau memberi tahu kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton
Kaliningrat Wiro alihkan percakapan dengan bertanya.
“Kantong
kulit yang ada di punggungmu itu. Apa isinya hingga kau begitu ingin
memilikinya?”
“Madat!”
jawab si nenek dengan suara keras dan polos.
Setan
Ngompol langsung terkencing mendengar jawab si nenek. Wiro melongo garukkan
kepala.
“Jadi kau
merampasnya untuk dipakai sendiri?”
Si nenek
tersenyum sementara dua muridnya menutup mulut menahan tawa cekikikan. “Kalau
aku pakai sendiri, sampai dua ratus tahun baru madat ini habis! Hik… hik!
Orang-orang Keraton Kaliningrat telah lama memburu madat ini. Asal muasalnya
rampasan dari sebuah kapal Cina yang berlabuh di Tuban. Mereka bermaksud
menjual barang setan ini. Hasil penjualan untuk membiayai perjuangan sesat
mereka merebut tahta Kerajaan.”
“Siapa
orang dibalik rencana pemberontakan itu Nek. Biasanya pasti ada pentolan atau
dedeng kotnya. Kau tahu?”
“Aku
tidak tahu namanya. Ada yang menyebut dia seorang pangeran tua yang punya
pertalian darah sangat dekat dengan Sri Baginda. Mungkin salah seorang adik
tiri Sri Baginda.”
Si nenek
untuk kedua kalinya menatap ke langit lalu memberi tanda pada dua muridnya.
Sebelum
tinggalkan tempat itu pada Wiro dia berkata.
“Jika kau
dapatkan kitab itu, aku bersedia memberikan madat satu kantong ini padamu!”
“Oala…!”
ucap Setan Ngompol setengah berseru sementara Wiro cuma garuk-garuk kepala.
Sekali berkelebat si nenek lenyap dalam gelapnya malam.
Hanya
cahaya kepulan asap yang keluar dari potongan bambu di atas kepalanya yang
masih kelihatan di kejauhan. Dua orang gadis cantik murid si nenek untuk
beberapa lama masih berada di tempat itu. Menatap ke arah Wiro.
“Hai!
Kalian mengapa masih belum bergerak?”
Di
kejauhan terdengar suara Hantu Malam Bergigi Perak.
“Kami
segera menyusul!” jawab gadis berpakaian biru. Dia berpaling pada si merah.
Gadis
berpakaian merah dekati Wiro lalu berkata. “Kami berdua sangat mengharapkan kau
bisa mendapatkan kitab pengobatan itu secepat nya.”
“Kalau
begitu mengapa tidak ikut bersama kami?” ujar Setan Ngompol.
“Kami
mempunyai keterbatasan,” jawab si merah pula.
“Keterbatasan
apa?” tanya Pendekar 212.
“Kami
tidak bisa memberitahu” jawab si merah.
Lalu
ditariknya lengan gadis berpakaian biru.
Setelah
dua gadis cantik pergi Wiro dekati Setan Ngompol dan bertanya. “Apa yang tadi
dibisikkan nenek ganjen itu padamu?”
Setan
Ngompol nyengir. Tekap dulu bagian bawah perutnya baru menjawab. “Dia bilang,
kalau aku menyerahkan kitab pengobatan padanya, dia akan memberikan satu gigi
perak di mulutnya padaku.”
“Kau
mau?” tanya Wiro.
“Mauku
dia memberikan gigi di mulut bawah perut, bukan gigi atas!” Habis berkata
begitu Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh dan serrrr.
Kencingnya
langsung muncrat.
*********************
10
PERLAHAN-LAHAN
sang surya menyembul di.
ufuk
timur. Setan Ngompol baru saja kembali dari telaga. Dilihatnya Wiro sudah
bangun dan duduk di pinggiran lantai dangau. Si kakek duduk di samping sang
pendekar.
“Aku
masih ingat-ingat saja pada dua gadis cantik murid Hantu Malam Bergigi Perak…”
kata Setan Ngompol.
“Kau
ingat muridnya atau gurunya? Bukankah kau sudah kecantol sama si nenek yang
berdandan menor itu? Apa lagi kau dijanjikan mau diberikan gigi! Pasti sedap
kalau kau berciuman dengan nenek itu, Kek!”
Setan
Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kencingnya mengucur banyak. Celananya yang
tadi sudah dicuci di telaga kini kembali bau pesing air kencing.
“Aku yang
tua bangka ini masih tahu diri.
Masakan
naksir sama dua gadis yang pantas jadi cicitku. Kalau dapatkan si nenek saja
rasanya sudah seabrek-abrek. Hik… hik… hik! Menurutmu apakah aku cocok menjadi
pendamping Hantu Malam Bergigi Perak?”
“Kau
tanyakan saja sendiri nanti kalau bertemu dia,” jawab Wiro.
“Menurutku
dua gadis cantik itu kelihatannya ingin sekali ikut bersamamu. Demi untuk
mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Namun si merah mengatakan mereka punya
keterbatasan. Keterbatasan apa? Selain itu aku merasa heran. Di mana ada
manusia apa lagi dua gadis cantik, merendam diri dalam air telaga malam-malam
buta.”
“Kitab
Seribu Pengobatan,” ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Ke mana aku harus
mencarinya?”
“Menurutmu,
apakah ucapan Hantu Malam Bergigi Perak ada benarnya? Bahwa orang yang
memberitahumu itu adalah si pencuri kitab?”
Setan
Ngompol malah balik bertanya.
“Kek,
orang yang memberi tahu itu adalah Bidadari Angin Timur. Aku pernah
menceritakannya padamu. Semalam mulutmu enak saja nyelonong mengatakan gadis
itu sudah mati! Atas dasar itu apakah seseorang lantas bisa menuduhnya begitu
saja sebagai pencuri kitab? Apa kepentingannya mencuri kitab itu? Apa lagi
mencuri sesuatu yang dia ketahui adalah milik guruku Eyang Sinto Gendeng.
Bidadari Angin Timur pernah beberapa kali diselamatkan oleh guruku.
Seandainya
pun aku dan dia ada permusuhan, kurasa Bidadari Angin Timur tidak akan sejahat
itu.”
“Kau
pernah mendengar rasa cemburu bisa lebih panas dari bara api? Rasa cemburu bisa
lebih jahat dari setan kepala tujuh?”
“Hebat
sekali bicaramu. Tapi aku tidak mengerti maksudmu Kek,” kata Wiro pula.
“Satu
saat kau akan mengerti. Aku tidak mau bicara banyak. Takut kau salah menduga
dan marah…”
“Sudahlah,
kita harus melanjutkan perjalanan.
Aku tidak
tahu kita mau menuju ke mana.
Kurasa…”
Wiro berhenti bicara. Dari tikungan jalan muncul berlari seseorang.
Begitu
mengenali orang ini, Setan Ngompol keluarkan ucapan. “Si centil satu ini.
Bukankah sebelumnya dia pergi bersama Dewa Tuak? Me ngapa sekarang tahu-tahu
bisa muncul di sini?”
Yang
datang dan kini berdiri di hadapan Wiro dan Setan Ngompol adalah Wulan Srindi.
Seperti dituturkan sebelumnya, sewaktu semua orang mulai meninggalkan jurang
batu di 113 Lorong Kematian, gadis ini ikut naik perahu bersama Dewa Tuak. Apa
yang terjadi?
Karena
Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terdiam seperti melongo melihat kehadirannya,
Wulan Srindi lantas keluarkan ucapan.
“Ada
mayat dua lelaki dekat telaga. Apakah kalian mengetahui?”
Wiro
berpaling pada Setan Ngompol sambil kedipkan mata kiri, memandang kembali ke
arah Wulan Srindi lalu gelengkan kepala. Setan Ngompol ikutan gelengkan kepala.
“Semalaman
kami tidur di dangau. Pagi ini belum ke mana-mana,” kata si kakek pula berdus
ta.
“Sudahlah,
soal dua mayat itu akupun tidak perduli. Ada satu hal lain yang jauh lebih
penting.”
Kata Wulan
Srindi. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kain panjang. “Kalian
mengenal pemilik kain ini?”
Wiro
menggeleng. Setan Ngompol juga menggeleng.
Wulan
Srindi campakkan kain panjang ke tanah. Kembali dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan beberapa carik robekan kain biru halus.
“Kalian
mengenali robekan kain ini? Harap diperiksa dan coba cium baunya.”
Si gadis
melemparkan dua potongan robekan kain biru itu ke arah Wiro dan satu robekan
lagi kepada Setan Ngompol. Wiro perhatikan dua robekan kain biru itu.
Tanpa
mendekatkan ke hidung, dia sudah dapat mencium bau harum yang tak asing lagi
baginya. Air muka Pendekar 212 serta merta berubah. Di sampingnya Setan Ngompol
menciumi potongan kain biru berulang kali. Mata kakek yang sudah belok ini
bertambah mendelik. Dia berpaling pada Wiro, hendak mengatakan sesuatu tapi tak
ada suara yang keluar, hanya bibirnya saja yang kelihatan bergetar.
“Wulan,
dari mana kau dapatkan robekan kain itu?” Bertanya Wiro
“Kalian
bisa mengenali?” Balik bertanya Wulan Srindi.
“Dari
kehalusan kain, warna serta bau harum nya aku merasa yakin ini adalah robekan
pakaian Bidadari Angin Timur.” Ucap Wiro.
“Betul,”
membenarkan Setan Ngompol.
“Aku
sudah menduga. Itulah yang membuat aku khawatir kalau-kalau telah terjadi
sesuatu dengan Bidadari Angin Timur,” kata Wulan Srindi pula.
Baik Wiro
maupun Setan Ngompol mendugaduga apakah ucapan si gadis keluar dari hati yang
tulus. Karena sebelumnya di hadapan Sinto Gendeng Wulan Srindi berani membakar
hati dan perasaan para gadis cantik sahabat Wiro.
“Cukup
jauh dari sini terdapat sebuah jurang yang ada air terjunnya. Robekan pakaian
biru serta kain panjang itu aku temui di sebelah barat jurang. Hatiku merasa
tidak enak. Kain dan robekan pakaian aku ambil. Aku cukup kenal kawasan ini dan
tahu kalau ada sebuah telaga tak jauh dari jurang. Ketika aku sampai ke telaga,
kulihat dua mayat tergeletak di tanah. Ada bekas-bekas perkelahian. Aku coba
menyusuri jejak yang datang dari arah sini. Ternyata aku menemui kalian berdua
di dangau ini…”
“Tunggu
dulu,” Wiro memotong ucapan Wulan Srindi. “Sebelumnya bukankah kau ikut bersama
Dewa Tuak? Mengapa tahu-tahu bisa muncul di tempat ini?”,
“Wiro,
pertanyaanmu terasa mengandung kecurigaan,” kata Wulan Srindi datar tapi dengan
mulut tersenyum. “Sesuai perjanjian, Dewa Tuak menurunkan aku di satu tempat.
Guruku itu meneruskan perjalanan, aku tak tahu ke mana.
Tapi
beliau berjanji akan bersedia menemuiku lagi pada hari ke sepuluh bulan muka.”
“Di
mana?” tanya Wiro. Dia tidak suka Wulan Srindi selalu menyebut-nyebut Dewa Tuak
sebagai gurunya.
“Saat ini
aku belum bersedia memberi tahu padamu. Tapi jika kau, suka kita bisa pergi
samasama ke tempat itu,” jawab sang dara.
Wiro
tidak perdulikan kata-kata si gadis.
“Wulan,
antarkan kami ke tempat kau menemukan kain dan potongan pakaian ini.”
“Ikuti
aku,” si gadis berkata lalu balikkan badan.
Pada saat
matahari sudah mulai meninggi, mereka akhirnya sampai di sekitar jurang yang
diceritakan Wulan Srindi. Si gadis kemudian menunjukkan tempat di mana dia
menemui kain
panjang
dan robekan-robekan kain biru. Tempat ini merupakan satu pedataran kecil
ditumbuhi rumput liar dan ada sebatang pohon berdaun rindang.
“Jika ini
memang benar potongan pakaian Bidadari Angin Timur, sulit aku menduga apa yang
terjadi,” kata Wiro sambil memandang berkeliling.
“Ketika
kita ramai-ramai memasuki lorong kematian, gadis itu tidak kelihatan, tidak
diketahui di mana beradanya.”
Setan
Ngompol tekap bagian bawah perutnya.
“Kalau
binatang buas mencelakai Bidadari Angin Timur, darah akan berceceran di
mana-mana.
Sisa-sisa
tubuhnya pasti ada yang tertinggal di tempat ini. Yang aku takutkan…”
Setengah
berlari Wiro mendekati tepi jurang.
Wulan dan
Setan Ngompol mengikuti. Jurang batu itu ternyata dalam sekali. Di salah satu
sisinya menderu air terjun. Jatuhan air terjun pada bebatuan di dasar jurang
membuat air seolah berubah menjadi asap dan membumbung naik ke atas sampai
ketinggian satu tombak.
“Jurang
ini tak ubahnya seperti satu tabung panjang. Aku tidak melihat ke mana
mengalirnya curahan air terjun. Kalau tidak ada tempat mengalir, pasti sejak
lama jurang ini sudah berubah menjadi sebuah danau atau telaga.” Wiro berucap,
memberitahu jalan pikirannya kepada Setan Ngompol dan Wulan Srindi. Lalu dia
menambahkan. “Kalau ada orang jatuh ke dalam jurang, pasti mayatnya akan
terapung berputar-putar di dasar sana.”
“Apa yang
ada dalam benakmu, Wiro?” tanya Setan Ngompol sambil pegangi perut.
“Tiba-tiba
saja aku punya firasat buruk. Aku khawatir, satu malapetaka telah menimpa
Bidadari Angin Timur. Seseorang telah memperkosanya lalu membunuh dan membuang
mayatnya ke dalam jurang.”
“Ingat
waktu aku menceritakan mimpiku tentang Bidadari Angin Timur padamu? Saat itu
aku katakan Bidadari Angin Timur telah menemui ajal.
Lalu
menurutmu jika ada yang berbuat jahat terhadapnya, siapa orangnya? Pangeran
Matahari, kurasa bukan…” ujar Setan Ngompol pula.
“Hantu
Muka Dua,” kata Wiro. “Dia pernah mencoba merusak kehormatan Bidadari Angin
Timur. Untung Jatilandak muncul dan menyelamatkan gadis itu.”
“Waktu di
lorong kematian, Luhkentut pernah memberi tahu bahwa ada perubahan pada diri
Hantu Muka Dua. Dia bahkan ingin mencarimu karena telah menyelamatkan dirinya…”
“Yang
namanya hantu, siapa percaya ucapan nya!” jawab Wiro. Lalu dia tegak tak
bergerak. Dua tangan disilang di depan dada. Mata diarahkan ke dasar jurang.
Dia mulai mengerahkan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung.
Cukup lama Wiro meneliti keadaan dasar jurang yang bisa dilihatnya cukup jelas.
Namun dia tidak menemukan sosok manusia. Wiro menghela nafas panjang.
“Kau
melihat sesuatu?” tanya Setan Ngompol.
Wiro
menggeleng. “Aku harus menyelidik, turun ke dalam jurang. Kalian berdua harap
menunggu di sini.”
“Bagaimana
caranya kau turun ke bawah?”
tanya
Wulan Srindi. “Jurang itu dalam sekali. Tak ada tempat untuk menjejak kaki, tak
ada pohon untuk bergantung. Kalaupun kau bisa turun ke dasar jurang, apakah kau
mampu naik lagi ke sini?”
Murid
Sinto Gendeng tidak menjawab. Dia duduk bersila di tepi jurang. Dua tangan
diletakkan bersilang di atas dada. Mata dipejamkan dan jalan pendengaran
ditutup dengan cara mengalirkan hawa sakti ke liang telinga. Perlahan-lahan
Wiro mulai kosongkan pikiran. Lalu hatinya melafalkan kata Basmallah tiga kali berturut-turut
disusul dengan ucapan Meraga Sukma.
“Ah… Ilmu
Meraga Sukma…” ujar Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencing ketika
melihat dari tubuh Pendekar 212 bergerak keluar sosok samar. hampir menyerupai
bayangan. Perlahan-lahan sosok ini berubah berbentuk utuh dan melangkah ke
jurang.
Setan
Ngompol tak sanggup menahan pancaran kencingnya, sementara Wulan Srindi
memperhatikan semua yang terjadi dengan mata membeliak besar. “Ilmu Meraga
Sukma?” ucapnya dalam hati.
Tanpa
keraguan sama sekali, sosok sukma Pendekar 212 Wiro Sableng seperti seekor
burung besar melayang turun ke dalam jurang batu, lenyap di balik curahan air
terjun.
Setan
Ngompol terduduk di tanah. Masih kucurkan air kencing. Dia sudah lama tahu
kalau Wiro memiliki kesaktian yang sangat langka itu.
Namun
baru sekali ini menyaksikan. Sementara Wulan Srindi yang tidak pernah tahu
keberadaan ilmu itu dan bahwa Wiro memilikinya, sampai sekian lama masih saja
tegak di tepi jurang, memandang dengan mata tak berkesip mulut ternganga. Ada
rasa khawatir dalam diri gadis ini.
Apalagi
setelah ditunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul. Hingga dia bertanya
pada Setan Ngompol.
“Kek, aku
khawatir sesuatu terjadi dengan Wiro di dasar jurang sana. Bagaimana kita menolongnya?”
“Kau tak
usah khawatir. Dia pasti akan kembali ke sini.”
“Kek,
setahuku Eyang Sinto Gendeng tidak memiliki yang disebut ilmu Meraga Sukma.
Dari mana Wiro mewarisinya?”
“Aku
sendiri tidak tahu,” jawab Setan Ngompol.
“Dia anak
baik. Suka menolong orang. Tidak mustahil banyak orang pandai yang berkenan
memberikan ilmu kesaktian padanya.”
Baru saja
Setan Ngompol berkata begitu tibatiba dari dalam jurang melayang naik sosok
sukma Pendekar 212 Wiro Sableng. Sosok ini melangkah mendekati Wiro asli yang
sejak tadi masih duduk bersila di tanah. Sosok samar perlahanlahan masuk dan
menyatu dengan tubuh yang duduk bersila. Begitu kesadaran memasuki alam
pikirannya, Wiro ucapkan Basmallah lalu katakata Meraga Sukma Kembali Pulang
masing-masing sebanyak tiga kali.
Begitu
Wiro buka kedua matanya, Wulan Srindi segera mendekati dan Setan Ngompol
bertanya.
“Bagaimana?”
“Aku
tidak menemukan tanda-tanda adanya orang jatuh ke dalam jurang. Di dinding
dasar jurang di hadapan air terjun ada satu celah berbentuk cegukan. Aku
menerobos masuk, mengikuti aliran air. Di balik dinding batu ada sebuah kolam
kecil. Air kolam yang berasal dari air terjun mengalir deras menuju sebuah anak
sungai.”
“Aku
berharap segala dugaan kita atas diri Bidadari Angin Timur tidak benar.
Mudahmudahan gadis itu berada dalam keadaan selamat,” kata Wulan Srindi pula.
Wiro
memandang pada Setan Ngompol. “Aku harus mencari gadis itu sampai dapat. Apa
lagi kalau kitab yang aku cari memang ada padanya…”
“Wiro,
sambil mencari Bidadari Angin Timur, dalam perjalanan kita bisa mampir ke
tempat guruku Dewa Tuak berjanji untuk bertemu…”
“Maaf
Wulan, aku tidak punya kesempatan memenuhi permintaanmu.”
“Tapi
nanti akan ada pembicaraan sangat penting antara aku, kau, dan Dewa Tuak.
Menyangkut soal perjodohan kita.”
Wiro
tertawa lebar tapi hatinya terasa panas mendengar ucapan si gadis. “Kalau kau
memang ingin memaksa dan mau cepat-cepat mencari jodoh, kawin saja dengan Dewa
Tuak!” Wiro sampai keluarkan ucapan tidak enak saking kesalnya.
“Tunggu
dulu Wiro,” kata Wulan Srindi sambil memegangi lengan pemuda itu ketika
dilihatnya Wiro hendak berlalu. “Apakah sapu tangan yang pernah aku berikan
padamu masih kau simpan?”
Pendekar
212 jadi sengit dan meraba ke balik pakaiannya. Sesaat kemudian dia keluarkan
sehelai sapu tangan biru muda. Seperti diceritakan dalam Episode berjudul
Pernikahan Dengan Mayat, karena bicara usil, Sinto Gendeng sampai menampar muka
Wiro hingga bibirnya luka dan mengucurkan darah. Wulan Srindi kemudian mengusap
darah itu dengan sehelai sapu tangan biru muda. Sapu tangan ini kemudian
diselipkannya di pinggang Wiro.
“Kau
inginkan sapu tangan ini kembali? Ambillah!” kata Wiro pula lalu susupkan sapu
tangan biru muda ke dalam genggaman Wulan Srindi.
Tanpa
banyak bicara lagi Wiro kemudian tinggalkan tempat itu.
Setan
Ngompol tampak bingung. “Ah, kenapa urusan jadi tak karuan begini? Aku…” Si
kakek tekap bagian bawah perutnya lalu lari terbungkuk-bungkuk tinggalkan si
gadis.
Wulan
Srindi tampak tenang saja malah gadis cantik berkulit hitam manis ini mengulum
senyum. Sambil mengibas-ngibas sapu tangan biru muda dia. berkata seorang diri.
“Siapa yang
ingin
meminta kembali sapu tangan ini. Aku hanya ingin tahu apakah dia masih
memegangnya.
Ternyata
dia masih menyimpannya. Pertanda dia tidak melupakan diriku…” Gadis ini
campakkan sapu tangan biru muda bernoda darah ke dalam jurang lalu masih
senyum-senyum dia tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya Wiro dan Setan
Ngompol.
Namun
baru berlari kurang dari lima puluh langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar
suara kuda dipacu menyusul bentakan keras.
“Perempuan
berpakaian hijau! Hentikan larimu!
Jangan
berani bergerak!”
Dalam
kejutnya Wulan Srindi yang memang mengenakan pakaian hijau perlambat larinya.
Baru saja
dia berhenti di pinggir jalan, dua kuda besar yang ditunggangi dua lelaki
berpakaian hitam dan belangkon hitam berhenti di hadapannya.
Di atas
dua ekor kuda tunggangan mereka kelihatan melintang dua orang yang juga
berpakaian hitam. Wulan Srindi segera mengenali, dua sosok itu adalah dua mayat
yang ditemuinya tak jauh dari telaga.
“Apa
kepentingan kalian memerintahkan aku berhenti?” tanya Wulan Srindi sambil
berkacak pinggang.
“Ah,
ternyata seorang gadis cantik! Bukan main!” ucap lelaki di sebelah kanan.
“Aku suka
gadis galak!” kata lelaki di samping kiri.
Seperti
dua mayat, pada dada kiri baju kedua orang itu terdapat sulaman rumah joglo dan
dua keris bersilang. Orang-orang dari Keraton Kaliningrat.
“Kami
lihat kau memiliki ilmu lari cukup tinggi.
Dua teman
kami mati dibunuh orang. Hanya orang berkepandaian tinggi yang sanggup
menghabisi mereka. Kami tidak menuduh kau pembunuhnya. Paling tidak kau mungkin
mengetahui siapa si pembunuh!”
“Aku
sedang ada urusan! Kalian berdua hanya menghabisi waktuku dengan pertanyaan
edan!
Siapa
pembunuh kedua temanmu mana aku tahu? Mana aku perduli? Tanyakan pada setan di
jurang air terjun sana!” Wulan Srindi mencibir lalu berkelebat untuk lanjutkan
perjalanan. Namun dalam gerakan cepat salah seorang dari kedua lelaki berhasil
mencekal lengannya.
“Dua
temanku ini membawa satu kantong kulit.
Kau
melihat kantong itu?” tanya lelaki yang mencekal lengan Wulan Srindi.
“Tanyakan
pada setan air terjun!” jawab Wulan Srindi. Dia berusaha menarik lepas
tangannya yang dicekal. Tapi tidak mampu!
*********************
11
WULAN
SRINDI kerahkan tenaga dalam lalu sentakkan tangan orang yang mencekal
lengannya. Bersamaan dengan itu dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung
anak murid Perguruan Silat Lawu Putih ini sodokkan siku kanannya ke lambung
orang. Bukkk!
Kuntorandu,
orang yang kena hantam, terjajar dua langkah dan terpaksa lepaskan cekalannya.
Namun tak
ada kerenyit kesakitan di wajahnya.
Pekik
Ireng, orang dari Keraton Kaliningrat satunya tertawa mencemoohkan Kuntorandu.
“Menghadapi
seorang gadis jelita saja kau tak mampu. Memalukan! Atau kau memang sengaja
mengalah?”
Melihat
lawan kena dihantam Wulan Srindi jadi bersemangat. Dia teruskan serangannya
dengan jurus Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.
Tangan
kiri menggebuk ke arah dada, tangan kanan menjotos mencari sasaran di kepala
lawan.
Bukkk!
bukkkt
Dua
pukulan Wulan Srindi mendarat telak di dada dan rahang Kuntorandu. Namun lelaki
ini hanya menyeringai. Tiba-tiba Kuntorandu kembangkan kedua tangannya. Wulan
Srindi tenggelam dalam rangkulan Kuntorandu. Penuh nafsu lelaki ini ciumi
wajah, leher, dan dada si gadis. Dia tidak perdulikan sama sekali pukulan yang
mendera perut serta punggungnya. Dalam keadaan bergelantungan, dua kaki tidak
menginjak tanah, tiba-tiba Wulan Srindi gigit dagu Kuntorandu hingga luka dan
mengucurkan darah. Kuntorandu menjerit kesakitan, lepaskan pukulan.
Plaakk!
Kuntorandu
daratkan tamparan keras ke wajah Wulan Srindi. Selagi gadis ini melintir
kesakitan, dari belakang Pekik Ireng memeluk tubuh gadis itu kuat-kuat. Dari
arah depan Kuntorandu tusukkan dua jari tangan ke pertengahan dada, tepat di
antara dua payudara. Wulan Srindi mengeluh tinggi. Nafasnya sesak. Tubuhnya tak
bisa bergerak lagi.
Pekik
Ireng tertawa bergelak. “Di situ ada dangau. Kita bawa dia ke sana!”
Kuntorandu
segera menggendong Wulan Srindi dan membaringkannya di lantai dangau. “Aku
duluan! Kau jauh-jauh dulu dari sini!”
Pekik
Ireng tertawa lebar. “Jangan tertalu lama. Jangan dihabisi semua! Ha… ha… ha!”
Sebelum
melangkah pergi, Pekik Ireng mendengar suara pakaian robek dilucuti lalu suara
pekik jerit Wulan Srindi tiada henti!
************************
Jatilandak,
pemuda dari alam 1200 tahun silam melangkah tanpa tujuan. Dia hanya tahu kalau
saat itu malam hari dan dia ada di tepi sungai, berjalan sepembawa kaki
menyusuri sungai.
Pikiran
dan ingatannya tidak pupus dari apa yang baru dialaminya. Perempuan cantik
berupa bayang-bayang yang telah menolong dirinya itu, siapa dia sebenarnya?
Mengapa dia menginginkan Kitab 1000 Pengobatan? Apakah dia akan bertemu lagi?
Apakah dia dapat membalas budi baiknya yang telah menolong dan menyelamatkan
jiwanya?
“Aneh,
kenapa aku ingin sekali bertemu dengan dia. Mengapa tiba-tiba ada kerinduan
dalam hatiku terhadapnya. Kitab Seribu Pengobatan. Dia menginginkan kitab itu.
Aku harus berusaha keras untuk mendapatkan dan memberikan pada perempuan muda
bayangan itu.”
Jatilandak
juga ingat pada Bidadari Angin Timur, Wiro, Naga Kuning, Anggini, serta semua
orang yang mendatangi 113 Lorong Kematian. Di mana mereka sekarang?
Ketika
malam berganti pagi dan matahari mulai naik, Jatilandak masih saja berjalan
menyusuri tepi sungai ke arah hulu. Sampai pada satu ketika langkahnya terhenti
karena di depannya menju lang satu dinding bukit batu yang tinggi. Di kiri
kanan sungai mengapit rimba belantara.
“Sungai
aneh. Airnya seolah keluar dari dalam dinding batu…” kata Jatilandak dalam hati
sambil memperhatikan aliran air sungai yang deras. Di balik dinding batu
Jatilandak mendengar suara menderu tak berkeputusan.
“Sepertinya
ada air mencurah di balik dinding batu. Air terjun…”
Memandang
ke depan pemuda dari negeri Latanahsilam ini melihat ada tebing terjal di
sebelah kiri dinding batu yang menjulang tinggi.
Cukup
lama berada di tempat itu Jatilandak tibatiba saja merasa hatinya tidak enak.
Seperti ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.
Dia memandang berkeliling.
Tak
terlihat ada orang di sekitar situ. Tidak tampak hal-hal yang mencurigakan.
Kemudian, diantara deru air yang mencurah di balik bukit batu, sayup-sayup
Jatilandak mendengar suara sesuatu.
“Seperti
suara jeritan orang minta tolong. Atau mungkin salah pendengaranku? Mungkin
desau suara angin?”
Jatilandak
akhirnya terjun menyeberangi sungai lalu mendaki tebing curam di sebelah kiri
dinding batu. Walau dia memiliki kepandaian tinggi serta ilmu meringankan tubuh
namun cukup susah juga baginya untuk mencapai bagian mendaki lamping batu yang
sangat terjal itu. Di bagian atas dia menemukan sebuah pedataran, lalu sebuah
telaga. Ketika berada di tepi telaga inilah kembali dia mendengar suara
teriakan orang minta tolong. Kini dia dapat mengenali. Suara teriakan itu
adalah suara teriakan perempuan. Datangnya dari balik tikungan jalan di kiri
pendataran. Jatilandak segera berlari ke arah datangnya suara.
Cukup
jauh setelah melewati tikungan terlihat sebuah dangau. Di atas dangau inilah
tampak tergeletak sesosok tubuh perempuan. Perempuan inilah yang berteriak dan
kini suara teriakannya terdengar melemah parau.
Begitu
sampai di dangau, kejut Jatilandak
bukan
olah-olah. Dia cepat membuka bajunya dan dipakai menutupi tubuh perempuan yang
tergeletak dalam keadaan miring di lantai dangau. Pakaiannya robek serta
tersingkap tak karuan, membuatnya nyaris telanjang.
“Tolong…
tolong…”
Tubuh itu
bisa bersuara tapi tak bisa bergerak.
Perlahan-lahan
Jatilandak balikkan sosok perempuan itu. Dia melihat satu wajah perempuan muda
penuh bengkak dan berdarah bekas pukulan.
Dalam
keadaan seperti itu Jatilandak masih bisa mengenali siapa adanya perempuan itu.
“Wulan
Srindi. Kaukah ini…? Betul…?”
Suara
mengerang berhenti. Perempuan muda itu yang memang Wulan Srindi adanya berusaha
membuka dua matanya yang sembab namun dia tidak mampu melihat jelas. “Siapapun
kau ada nya, tolong… Orang telah menganiaya diriku. Aku ditotok di pertengahan
dada… Tolong…”
Jatilandak
singkapkan sedikit bagian dada yang tertutup pakaian. Dia melihat ada tanda
merah di antara dua payudara Wulan Srindi. Jatilandak bertindak cepat. Pemuda
dari negeri 1200 tahun silam ini basahi ibu jari tangan kanannya dengan ujung
lidah. Lalu ibu jari itu ditempelkan pada bagian dada Wulan Srindi yang
berwarna merah bekas totokan. Jatilandak alirkan tenaga dalam serta hawa sakti
yang dimilikinya.
Dess!
Bagian
tubuh yang ditekan keluarkan asap.
Beginilah
cara Jatilandak memusnahkan totokan di tubuh Wulan Srindi. Begitu dirinya lepas
dari totokan, Wulan Srindi menggeliat, menjerit keras lalu gelungkan kedua
tangannya ke leher Jatilan dak, bergayut di tubuh pemuda itu beberapa lama.
Jatilandak
cepat pegang tubuh Wulan Srindi agar tidak jatuh.
“Tidak!
Jahanam! Jangan sentuh tubuhku!”
Teriak
Wulan Srindi tiba-tiba. Dalam keadaan nyaris tidak melihat dia melompat dari
dangau lalu berlari kencang ke arah timur sambil terus menjerit-jerit.
Jatilandak
berusaha mengejar namun dia men dengar ada suara mencurigakan di balik
semaksemak tak jauh di samping kirinya. Dia hentikan larinya dan memperhatikan.
Semak-semak itu kelihatan bergoyang. Ketika dia mendekati, Jatilandak tidak
menemukan siapa-siapa. Namun matanya yang tajam dapat melihat tanda-tanda kalau
sebelumnya ada seseorang bersembunyi di tempat itu.
Jatilandak
cepat berbalik dan mengejar ke arah larinya Wulan Srindi. Mudah baginya untuk
mengetahui ke arah mana larinya si gadis karena sambil lari Wulan Srindi terus
berteriak-teriak.
Sekonyong-konyong
teriakan itu lenyap. Jatilandak mengejar terus dan baru berhenti ketika dia
menyadari telah kehilangan jejak.
“Wulan!
Wulan Srindi! Kau di mana?” teriak Jatilandak berulang kali memanggil Wulan
Srindi.
Namun tak
ada jawaban.
“Aneh,
tak mungkin dia bisa melenyapkan diri begitu saja. Suara jeritannya lenyap. Di
mana dia berada saat ini? Apa yang terjadi?”
Jatilandak
akhirnya sandarkan badan ke sebatang pohon sambil menyeka keringat yang
bercucuran di kening dan dadanya yang telanjang.
“Wulan
Srindi… kasihan. Gadis itu agaknya telah diperkosa. Siapa manusia bejat yang
tega melakukan? Kalau si pemerkosa menotok Wulan Srindi berarti dia adalah
orang dari rimba persilatan. Seingatku ketika aku dan kawan-kawan menerobos
masuk ke dalam lorong kematian Wulan Srindi merupakan salah satu gadis yang
diculik. Bagaimana dia bisa berada di dangau?
Pasti
para sahabat membebaskannya atau dia berhasil kabur melarikan diri.”
Saat itu
kembali terbayang wajah cantik perem puan muda berbentuk bayangan di pelupuk
mata Jatilandak. “Aku telah berjanji padanya untuk mendapatkan Kitab Seribu
Pengobatan itu. Aku harus mencari kitab itu. Mungkin pertama sekali aku harus
mencari Wiro lebih dulu. Tapi antara aku dan dia ada ganjalan besar. Apakah dia
bersedia menolongku? Bidadari Angin Timur, di mana kau berada saat ini?”
*********************
12
MALAM
HARI, dalam sebuah rimba belantara di tenggara Gunung Lawu. Setan Ngompol atur
tumpukan kayu perapian.
“Ini
malam ketiga perjalanan kita. Mencari Bidadari Angin Timur seperti mencari
seekor ikan dalam lautan. Petunjuk di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan
sedikitpun belum kita dapat kan.”
“Perjalanan
ini bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Sebenarnya ada beberapa orang
yang bisa kita temui untuk mendapatkan petunjuk. Pertama guruku sendiri Eyang
Sinto Gendeng.”
Setan
Ngompol pencongkan mulut lalu gelengkan kepala. “Gunung Gede jauh sekali dari
sini.
Belum
tentu nenek itu ada di sana pada saat kita datang. Lagi pula menurutku dia
tidak punya petunjuk apa-apa. Kalau tahu di mana kitab itu beradanya pasti
sudah diberitahukan kepadamu.”
“Eyang
Sinto pernah menyatakan kecurigaan nya pada Dewa Tuak. Sebelum kitab hilang,
Dewa Tuak pernah mampir di Gunung Gede.”
“Aku
tidak percaya kalau kakek itu yang jadi pencuri…”
“Terus
terang aku juga tidak percaya,” kata Wiro pula. “Ketika sama-sama di lorong
kematian, aku menyesal tidak banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu.”
“Kita
harus mencari kakek buta itu. Ingat sewaktu kau menyerahkan kipas kayu cendana,
dia merubah niatnya naik perahu ikut bersama Dewa Tuak dan Wulan Srindi. Kau
bisa menduga ke mana perginya kakek itu?”
“Ke mana
lagi kalau bukan menemui si pemberi kipas, Nyi Roro Manggut di pantai selatan.
Aku memang punya niat menemui Nyi Roro Manggut.
Siapa
tahu sekalian bisa menemui Kakek Segala Tahu. Tapi untuk pergi ke sana tidak
sembarang waktu dan sulitnya bukan main. Aku harus minta bantuan Ratu Duyung.
Gadis itupun lenyap entah ke mana. Pada siapa aku benar-benar bisa men dapatkan
pertolongan…?”
“Bagaimana
kekasihmu yang dari alam roh itu?” tanya Setan Ngompol pula sambil usap mata
nya yang belok jereng.
“Maksudmu
Bunga?” Wiro tertawa, “Aku harus tahu diri Kek. Baru beberapa hari lalu kita
mendapat pertolongan dari dia sewaktu menyerbu 113 Lorong Kematian. Sekarang
mau minta tolong lagi…”
Si kakek
usap-usap kepalanya yang setengah botak. “Menurutku dalam bercinta, kekasih
adalah segala-galanya. Jangankan pertolongan, nyawa pun akan diberikan…”
“Ucapanmu
mengada-ada. Dari mana kau tahu aku bercinta dengan gadis alam roh itu?”
Setan
Ngompol tertawa lebar lalu terbatukbatuk beberapa kali. “Kalian saling peluk di
telaga, saling…”
Wiro
julurkan kakinya ke arah bagian bawah perut si kakek, Setan Ngompol cepat-cepat
bersurut mundur sambil menahan kencing.
“Yang
membuat aku khawatir, bukan cuma kita yang menginginkan kitab keramat itu.
Ingat Hantu Malam Bergigi Perak dan dua muridnya? Mereka juga menginginkan.
Wiro, kita harus berhati-hati dalam bicara dan menebar kabar. Semakin banyak
orang yang tahu kitab itu hilang semakin banyak yang ingin mencari dan
mendapatkannya.”
Lama Wiro
terdiam dan merenung. Akhirnya murid Sinto Gendeng keluarkan Kapak Naga Geni
212 dari balik pinggang. Mata kapak diusap-usap sesaat. Lalu perlahan-lahan
kapak diangkat, gagang yang berbentuk kepala naga didekatkan kebibir. Jari-jari
tangan ditempelkan pada lubanglubang di batang gagang kapak yang menyerupai
seruling. Wiro meniup seruling Kapak Naga Geni 212 dengan penuh perasaan dan
mata dipejamkan. Mula-mula perlahan saja, kemudian mulai keras namun tetap dalam
irama naik turun meng alun lembut. Siapa mendengar tiupan seruling dengan
berhiba-hiba itu pasti akan tercenung dan ikut terbawa larut perasaannya.
Pendekar
212 Wiro Sableng sengaja memainkan seruling kapak untuk berusaha membebaskan
dirinya dari pikiran serta perasaan yang menghimpit. Kemudian dia juga berharap
ada seseorang yang mendengar suara tiupan seruling itu, yakni Bidadari Angin
Timur, dan datang menemuinya.
Namun
lain dengan diharapkan lain pula yang datang. Di bawah nyala perapian yang
mulai redup, berkelebat satu bayangan. Di lain kejap bayangan ini telah berdiri
di hadapan Wiro dan Setan Ngompol.
“Jatilandak!”
ucap Setan Ngompol setengah berseru begitu dia mengenali siapa adanya yang
datang dan berdiri di hadapannya tanpa baju. Pemuda dari negeri 1200 tahun
silam itu membung kuk sedikit memberi hormat pada si kakek.
“Kek, aku
senang bisa bertemu denganmu kembali.”
“Sewaktu
di lorong kematian, kami berusaha mencari. Kau lenyap entah ke mana tahu-tahu
muncul di sini dalam keadaan cuma pakai celana, tidak mengenakan baju.”
“Aku
terpaksa menyerahkan bajuku untuk menolong seseorang,” jawab Jatilandak.
Perlahan-lahan
suara tiupan seruling bergema perlahan dan akhirnya lenyap. Pendekar 212 buka
sepasang matanya. Pandangannya saling berbenturan dengan tatapan Jatilandak.
“Wiro,
aku gembira dapat menemui lebih cepat dari yang aku duga. Ada yang perlu kita
bicarakan…”
Wiro
susupkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu berkata. “Saat di lorong
kematian, aku meninggalkanmu di tepi telaga. Aku berjanji akan kembali untuk
menjemputmu. Tapi ketika aku dan kawan-kawan kembali ke telaga di dasar jurang,
kau tak ada lagi di situ.”
“Wiro,
sekali lagi terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku. Ada hal lain yang
ingin kubicarakan agar lenyap kesalahpahaman antara kita…”
“Jika
yang hendak dibicarakan soal hubunganmu dengan Bidadari Angin Timur, kurasa
semua sudah jelas. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Aku
menerima keadaan apa adanya.”
“Kau
salah mengerti Wiro…”
Pendekar
212 tersenyum dan gelengkan kepala.
Jatilandak
akhirnya memutuskan untuk tidak membicarakan hal itu. Maka dia mengalihkan
pembicaraan. “Tak lama setelah kau meninggalkan aku di tepi telaga, ada satu
mahluk perempuan aneh berbentuk bayang-bayang menolongku keluar. Aku dibawa ke
sungai dan racun belerang dalam tubuhku dikuras keluar. Sebelum pergi mahluk
itu minta agar aku mencarikan Kitab Seribu Pengobatan. Jika dapat dia ingin
meminjamnya barang beberapa lama. Karena aku sudah menerima budi maka
permintaannya itu aku luluskan. Aku berjanji akan mencarikan kitab tersebut dan
menyerahkannya. Wiro, aku tahu kitab itu adalah milik gurumu. Aku juga tahu
kitab itu lenyap dicuri orang. Jika kau punya petunjuk aku akan melakukan apa
saja untuk dapatkan kitab itu.”
Wiro diam
saja. Yang bersuara adalah Setan Ngompol. “Satu-satunya orang yang punya
petunjuk tentang kitab itu adalah Bidadari Angin Timur.
Kini
gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, laksana asap ditelan udara.”
Jatilandak
terdiam. Ketika dia hendak mengatakan sesuatu tiba-tiba belasan orang berkelebat
dalam kegelapan. Sesaat kemudian dua belas obor besar menyala menerangi rimba
belantara itu, membentuk lingkaran lapis luar. Sepuluh orang pada lapis
terdepan ikut merangsak maju, juga dalam bentuk lingkaran. Semua bersenjatakan
golok telanjang. Orang kesebelas yang tidak mencekal senjata melangkah
mendekati Jatilandak.
Usianya
masih muda, bertubuh tinggi langsing.
Keseluruhan
ada 23 orang mengurung tempat itu.
Semua
berseragam pakaian serta ikat kepala berwarna biru tua.
“Jatilandak!
Berlututlah agar kepalamu bisa aku penggal dengan cepat!” Habis berkata begitu
tahu-tahu sebilah golok sudah tergenggam di tangan kanan pemuda tinggi
langsing.
Kejut
Jatilandak bukan alang kepalang. Orang tahu namanya sementara dia tidak
mengenal satupun di antara mereka. Setan Ngompol kucurkan air kencing,
perlahan-lahan bangkit berdiri sambil pegangi bagian bawah perut.
“Orang
tua! Tetap di tempatmu atau kau bakal mampus duluan!” bentak pemuda tinggi
langsing.
Si kakek
terpaksa duduk menjelepok di tanah kembali. Pendekar 212 Wiro Sableng
tenangtenang saja malah garuk-garuk kepala.
“Ada apa
ini? Apa salahku? Siapa kalian?” tanya Jatilandak.
Tangan
kiri berkacak pinggang, tangan kanan tudingkan ujung golok ke muka Jatilandak
pemuda tinggi langsing keluarkan ucapan.
“Aku Yuda
Paranglangit. Murid ketiga mewakili mendiang Ketua Perguruan Silat Lawu Putih.
Dua hari lalu kau memperkosa kakak seperguruan kami Wulan Srindi di sebuah
dangau!”
“Tuduhan
palsu! Aku tidak pernah melakukan kejahatan itu. Aku malah…”
“Tutup
mulutmu!” teriak Yuda Paranglangit.
Golok di
tangan kanannya diputar demikian rupa hingga, craass! Rambut kuning di kepala
Jatilandak putus ujungnya. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tersentak kaget
dan jadi marah.
Sekali
melompat tinju kanannya menghantam kedada Yuda Paranglangit. Namun serangan
terpaksa di tahan karena pada saat itu juga tujuh golok malah menempel di
kepala, leher, dan tubuhnya.
“Kakang
Yuda, perlu apa bicara panjang lebar.
Kita
cincang saja bangsat ini sekarang juga!”
“Lakukan!”
teriak Yuda Paranglangit. Tangannya yang memegang golok bergerak mendahului
sepuluh golok lainnya!
“Tunggu!”
Tiba-tiba satu bentakan menggelegar.
Semua
anak murid Perguruan Lawu Putih merasa bagaimana bentakan dahsyat itu
menggetarkan tanah yang mereka pijak. Membuat mereka jadi terkesiap dan
palingkan kepala.
Pendekar
212 Wiro Sableng yang barusan keluarkan bentakan berdiri di hadapan Yuda Parang
langit. “Sahabat, aku kenal baik dengan kakak seperguruanmu Wulan Srindi. Aku
juga kenal baik dengan pemuda berkulit kuning ini. Dia tidak mungkin melakukan
perbuatan bejat itu terhadap Wulan Srindi!”
“Gondrong!
Kau membela pemuda bejat berkulit kuning ini! Apa kepentinganmu!” Seorang anak
murid Perguruan Lawu Putih melintangkan golok di leher Pendekar 212.
Murid
Sinto Gendeng menyeringai lalu garukgaruk kepala. “Jangan main-main dengan
senjata tajam. Salah-salah kau bisa terluka!” Sambil bicara, dengan kecepatan
yang sulit terlihat mata Wiro pergunakan tangan kiri untuk menotok urat di
pinggang pemuda itu. Lalu sekali tangan kanan bergerak, golok yang dipegang
orang sudah berpindah tangan.
“Senjata
seperti ini sesekali harus disimpan baik-baik karena bisa mencelakai orang!”
Wiro lalu hujamkan golok yang dipegangnya ke tanah hingga amblas tak kelihatan.
Kini Yuda
Paranglangit dan saudara seperguruannya baru menyadari kalau saat itu mereka
berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi.
Jelas
melebihi tingkat kepandaian kakak seperguruan dan ketua mereka. Namun karena
amarah dendam kesumat terjadinya pemerkosaan atas diri kakak seperguruan, semua
anak murid Perguruan Lawu Putih tidak unjukkan rasa jerih.
“Kita
semua bersahabat. Mengapa tidak bicara baik-baik? Aku yakin kau tidak sembarang
tuduh.
Bukan
menfitnah kawanku ini.” Kata Wiro pula sambil pegang bahu kiri Yuda
Paranglangit. Saat itu juga Yuda Paranglangit merasa seperti ada batu sangat
besar menindih tubuhnya hingga dia bergeletar dan kucurkan keringat dingin.
“Siapa
sembarang tuduh? Siapa melakukan fitnah? Kami punya saksi!” Habis berkata
begitu Yuda Paranglangit berteriak. “Warok Jangkrik!
Lekas
datang kesini!”
Dari arah
kegelapan muncul seorang lelaki berkulit hitam berkilat. Kepala menyerupai
jangkrik ketiongan. Pakaian dan ikat kepala serba hitam.
Janggut
dan kumis lebat kasar. Pada telinga dan cuping hidung sebelah kiri mencantel
sebuah giwang emas. Tangan kanannya buntung sebatas lengan. Inilah Warok
Jangkrik, manusia jahat yang pernah menjadi pimpinan rampok hutan
Sarnigalih.Beberapa waktu sebelumnya sebagai mana diceritakan dalam Episode
Bendera Darah, Warok Jangkrik pernah menculik Wulan Srindi.
Beruntung
Bidadari Angin Timur dan Jatilandak yang melakukan pengejaran berhasil
selamatkan gadis itu. Sebagai hukuman dan peringatan agar Warok Jangkrik sadar
serta kembali ke jalan yang benar, Bidadari Angin Timur menabas putus lengan
kanan gembong rampok ini.
Melihat
Warok Jangkrik, Jatilandak jadi geram sekali. Dengan suara lantang dia berkata.
“Kau pernah menculik Wulan Srindi. Aku dan Bidadari Angin Timur memergokimu
ketika hendak merusak kehormatan gadis itu. Sekarang kau bersaksi bahwa aku
memperkosa Wulan Srindi! Jangan berani bersaksi dusta!”
Sebenarnya
saat itu nyali Warok Jangkrik agak menciut karena tidak menyangka di tempat itu
ada pemuda yang dikenalinya sebagai Pendekar 212. Dia melihat juga seorang
kakek bermata belok jereng berkuping lebar yang pasti juga seorang
berkepandaian tinggi. Namun Warok Jangkrik juga punya dendam kesumat pada
Jatilandak yang mengakibatkan tangan kanannya sampai cacat begitu rupa.
“Warok
Jangkrik! Katakan kesaksianmu!” perintah Yuda Paranglangit.
“Siang
itu, aku kebetulan lewat dekat sebuah dangau. Aku mendengar ada perempuan
berteriak-teriak minta tolong. Dari balik semak belukar aku lihat pemuda
berkulit kuning ini baru saja memperkosa seorang gadis yang aku ketahui adalah
Wulan Srindi, murid kedua Perguruan Lawu Putih…”
“Fitnah
busuk! Jahanam keparat!” Jatilandak berteriak marah. Ketika dia berusaha hendak
menggebuk Warok Jangkrik, Yuda Paranglangit tahan dada Jatilandak dengan ujung
golok.
“Jatilandak,
biarkan dia meneruskan kesaksiannya! Kalau kau memang tidak melakukan perbuatan
keji itu mengapa harus takut? Tenang saja!” Wiro yang berdiri di samping
Jatilandak keluarkan ucapan.
“Warok!
Teruskan keteranganmu!” kata Yuda Paranglangit.
“Selesai
memperkosa dia membuka bajunya lalu ditutupkan ke tubuh Wulan Srindi. Waktu dia
mau menggendong gadis itu, Wulan Srindi berhasil melarikan diri.”
“Kalian
lihat sendiri! Pemuda berkulit kuning ini tidak mengenakan baju! Itu satu bukti
bahwa apa yang dikatakan Warok Jangkrik bukan fitnah!”
“Aku
bersumpah! Aku tidak pernah memperkosa Wulan Srindi. Aku membuka bajuku untuk
dapat menolong menutupi auratnya. Ketika aku sampai di dangau keadaannya nyaris
tanpa pakai an. Dia berteriak-teriak. Sekujur tubuhnya tak bisa bergerak karena
ditotok…”
“Kalau
kau mau bersumpah, bersumpahlah di hadapan setan neraka!” ucap Yuda
Paranglangit.
Dia
berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Gondrong,
kau masih membela manusia bejat ini?”
“Aku juga
membelanya. Aku yakin pemuda ini tidak melakukan perbuatan keji itu!” Setan
Ngom pol yang berikan jawaban.
Yuda
Paranglangit menyeringai. Tiba-tiba dia berteriak. “Kawan-kawan! Mari kita
berebut pahala menghabisi manusia mesum keparat ini! Siapapun yang ingin
membelanya akan menemui ajal di tempat ini.”
Teriakan
Yuda Paranglangit disambut dengan teriakan keras oleh semua anak murid
Perguruan Lawu Putih. Belasan golok berkelebat. Wiro menghantam. Dua orang
penyerang roboh terjungkal.
Setan
Ngompol menyikut membuat seorang murid Perguruan Lawu Putih mencelat dan
menjerit karena patah tulang iganya. Namun serangan datang laksana banjir. Apa
lagi dua belas orang yang memegang obor kini cabut senjata masingmasing dan
ikut menyerbu.
“Kalau
kalian tidak hentikan serangan jangan salahkan banyak yang bakal cidera!” Setan
Ngompol memperingatkan sementara Wiro sudah siap untuk menyapu serbuan lawan
dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Namun
anak murid Perguruan Lawu Putih yang sudah seperti kemasukan setan karena
amarah dendam kesumat itu tidak perdulikan ucapan sikakek. Mereka terus
merangsak membabat, menusuk dan membacok dengan senjata masingmasing ke arah
Jatilandak.
Desss!
Traang! Traang! Traang!
Didahului
suara berdesis keras, sosok Jatilandak lenyap. Kini berdiri angker binatang
berujud seekor landak raksasa. Bacokan, babatan maupun tusukan senjata yang
mengenai tubuhnya disambut dengan bulu landak yang berjingkrak sebat.
Semua
anak murid Perguruan Lawu Putih menjadi geger. Terlebih ketika landak raksasa
ini memutar tubuh demikian rupa, mereka serta merta selamatkan diri
berhamburan. Ternyata Jatilandak yang telah mengubah diri ke ujud aslinya tidak
ingin mencelakai lawan yang rata-rata masih muda belia itu. Yang jadi
incarannya adalah Warok Jangkrik. Selagi manusia hitam berkilat ini berusaha
kabur, sang landak gelindingkan diri ditanah dan berhasil menangkap kaki tangan
Warok Jangkrik. Bekas pentolan rampok ini berteriak kesakitan dan ketakutan
setengah mati.
Kraakkk!
Sambungan
lutut kanan Warok Jangkrik hancur. Tubuhnya kemudian dilempar mental keudara,
jatuh di atas pohon besar dan terkapar melintang di salah satu cabang. Darah
menyem
bur dari
lehernya yang koyak kena cakaran landak. Mulut menganga seperti hendak
menyuarakan sesuatu namun yang keluar adalah nafas nya yang terakhir. Setan
Ngompol terduduk di tanah, tak sanggup menahan pancaran air kencing. Jatilandak
yang telah merubah dirinya menjadi pemuda berkulit kuning duduk di samping
sikakek sementara Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri memperhatikan ke arah
murid-murid Perguruan Lawu Putih yang tinggalkan tempat itu dengan membawa
kawan mereka yang cidera.
Sesaat
kemudian Jatilandak berdiri lalu mendekati Wiro. “Mungkin kau merasa tidak enak
kalau aku terlalu lama di tempat ini. Aku akan berusaha mencari Bidadari Angin
Timur untuk dapatkan keterangan tentang kitab yang hilang.
Jika aku
berhasil menemukan, aku akan meminjamkannya beberapa lama. Aku berjanji akan
mengembalikan buku itu padamu…”
“Sebelum
kau kembalikan, berikan dulu padaku. Aku juga memerlukan kitab itu!” satu suara
perempuan menggema di tempat itu disusul suara cekikikan.
“Hantu
Malam Bergigi Perak!” seru Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.
“Ah,
jangan-jangan dia mau memberikan giginya!”
Setan
Ngompol buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
Betul
saja, sesaat kemudian dari kegelapan keluar sosok si nenek yang berdandan
menor.
“Kalian
berdua lihat sendiri. Sebelum aku dapatkan kitab itu, aku tidak akan pernah
jauh-jauh dari kalian.” ucap si nenek.
“Mana dua
muridmu si merah dan si biru?” tanya Setan Ngompol.
“Kau
menanyakah orang-orang yang tidak ada.
Apakah
diriku kurang menarik di matamu yang belok?”
“Ah…”
Setan Ngompol tersenyum gembira.
Sambil
kedip-kedipkan mata dia dekati si nenek.
“Eit!
Kalau mau dekat denganku kau harus mandi kembang di tujuh sumur agar bau pesing
mu hilang! Hik… hik… hik!”
Si nenek
gerakkan tangan kirinya. Walau tidak menyentuh dada namun Setan Ngompol merasa
seperti didorong keras hingga terjajar dan jatuh terduduk di tanah. Walau
pantat terasa sakit namun si kakek tertawa terkekeh.
“Disuruh
mandi aku mau saja. Siapa takut!
Apalagi
kalau kau ikut menemani, mandi berbugilria bersamaku! Ha… ha… ha… ! Dan kau
jangan lupa membawa madat satu kantong tempo hari.
Sambil
menyedot madat pasti mandinya tambah asyiik. Apa lagi sambil usap-usap gigi
bawahmu.
Ha… ha…
ha!”
Wajah
berdandan medok si nenek berubah.
“Kakek
kurang ajar, apa maksudmu usap-usap gigi bawahku?”
“Maaf,
jangan salah mengerti. Aku tidak bicara kurang ajar. Maksudku aku suka mengusap
gigi dimulutmu pada deretan sebelah bawah. Aku tidak tahu kalau kau punya gigi
lain di sebelah bawah.
Ha… ha…
ha!” Habis berkata begitu Setan Ngompol lalu menyelinap ke balik semak belukar,
sembunyi di tempat gelap, takut digebuk Hantu Malam Bergigi Perak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment