Episode
Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok
Kupu-Kupu
Giok Ngarai Sianok
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
" Anak
gadis…Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok
Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."Gadis Cina bernama Chia
Swie Kim yang cantik itu tersenyum."Terima kasih Datuk………" Ketika
ChiaSwie Kim hendak menyambung ucapannya datuk Marajo Sati memberi isyarat
seraya berbisik. Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya sudah sejak
tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah ujudmu menjadi
kupu-kupu giok!" Dengan cepat Chia Swie Kim merubah diri menjadi kupu-kupu
batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati ambil kupu-kupu batu giok
itu lalu meletakannya di dalam sebuah lekukan di dinding goa sebelah kiri.
***********************
1
SENJA itu
angin dari arah laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Daun-daun pohon
kelapa mengeluarkan suara gemerisik berkepanjangan.
Di pondok
kayu kediamannya di satu lereng bukit Sutan Panduko Alam yang baru saja menyelesaikan
shalat Magrib tengah berzikir khidmat ketika hidungnya mencium bau angin yang
mengandung garam. Orang tua ini letakkan tasbih batu hitam di atas pangkuan,
memandang ke arah pintu pondok yang tertutup sambil mengusap janggut seputih
kapas.
"Angin
dari laut," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati. "Tidak pernah angin
dari laut bertiup sampai sejauh ini ke Bukit Melintang. Pertanda apakah yang
hendak diberi tahu oleh alam?"
Perlahan-lahan
orang tua berusia hampir delapan puluh tahun ini bangkit berdiri. Setelah
merapikan letak sorban putih berumbai-rumbai benang emas di kepala, sambi terus
mengucapkan zikir dia melangkah ke pintu rumah lalu membukanya. Begitu pintu
pondok terbuka, angin kencang datang menerpa. Janggut panjang serta jubah putih
melambai-lambai.
Sepasang
mata si orang tua yang berwarna kelabu menatap berkeliling. Dia tidak melihat
apa-apa selain pepohonan yang menghitam dalam kegelapan serta mendengar deru
angin yang tiada henti.
Sutan
Panduko Alam melangkah mundur. Belum sempat dia menutup pintu pondok, di bawah
deru angin yang begitu keras dia mendengar suara kepakan halus.
Lalu ada
benda melayang dan kemudian hinggap di tangan kanan itu adalah seekor kupu-kupu
besar.
“Ramo-ramo…
Puluhan tahun aku tinggal di sini tidak pernah bertemu dengan ramo-ramo.
Mengapa malam ini tiba-tiba ada seekor ramo-ramo terpesat datang ke pondok
ini?" (Ramo-ramo = Kupu-kupu/bahasa Minangkabau) Sutan Panduko Alam angkat
tangan kanannya agar bisa memandang kupu-kupu itu lebih jelas. Binatang ini
memiliki warna-warni yang luar biasa indah. Kepala bergerak, diangkat sedikit,
dua buah mata yang bagus menatap ke arah si orang tua.
Sutan
Panduko Alam tersenyum laiu berkata.
"Mahluk
ilahi. Kau pasti datang dari jauh. Dihempaskan angin ke pondok ini. Kau ingin
perlindungan dari angin kencang dan hawa dingin di luar sana. Aku akan
memberikan tempat yang hangat bagimu." Lalu Sutan Panduko Alam pergunakan
tangan kiri hendak membuka sorban di atas kepala. Namun gerakannya tertahan
ketika tiba-tiba dia mendengar suara yang menjawab ucapannya barusan.
"Orang
tua berhati mulia, saya memang butuh perlindunganmu. Tapi bukan dari dingin dan
kencangnya angin. Melainkan dari serombongan orang yang mengejar dan hendak
membunuh saya."
Sutan
Panduko Alam sampai terlonjak saking kagetnya. Dia memandang berkeliling.
Barusan dia mendengar jelas suara orang berucap. Suara perempuan. Tapi orangnya
tidak kelihatan. Dia memandang keluar, lalu memperhatikan seputar bagian dari
pondok.
"Suaranya
jelas tapi orangnya tidak kelihatan. Gerangan siapakah yang barusan
bicara?"
"Orang
tua, saya yang bicara. Kupu-kupu besar di tangan kananmu."
Sutan
Panduko Alam kembali melengak. Mata yang kelabu semakin besar, tangan kanan
didekatkan ke wajah.
"Mahluk
Ilahi ramo-ramo. Allah Maha Besar. Benar kau yang burusan bicara?"
"Benar,
orang tua. Tolong cepat-cepat tutupkan pintu. Rombongan orang yang mengejar
saya semakin dekat" Kupu-kupu di tangan kanan Sutan Panduko Alam kembali
berbicara. Suara perempuan bernada sangat ketakutan. Dalam heran yang tidak
terkirakan orang tua itu lakukan apa yang diminta kupu-kupu besar.
Setelah
menutup pintu pondok dia bersurut mundur, duduk di tepi tempat tidur rotan.
"Allah
Maha Kuasa, berbuat sekehendakNya. Tapi baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu
pandai bicara. Ramo-ramo gadang, katakan kau ini mahluk apa sebenarnya? Mahluk
jejadian atau roh yang tersiksa karena sumpah kutukan? Datang dari mana?"
(gadang = besar)
"Orang
tua. saya berasal dari negeri sangat jauh di seberang lautan. Negeri tanah
daratan Cina. Ujud saya sebenarnya adalah kupu-kupu terbuat dari batu Giok
berwarna biru kehijauan yang merupakan benda pusaka utama milik Kaisar. Ketika
seorang Pangeran Kerajaan Tiongkok hendak membunuh puterinya karena dituduh
berzinah…"
Sutan
Panduko Aiam memberi Isyarat dengan gerakan tangan kiri agar kupu-kupu berhenti
bicara.
Telinga
tajam orang tua ini mendengar suara orang berkelebat di sekeliling halaman
pondok. Dia melirik ke atas sewaktu merasakan ada getaran halus di wuwungan.
"Mereka
sudah datang. Orang-orang yang hendak membunuh saya…" Kupu-kupu di tangan
kanan Sutan Panduko Alam bicara dengan suara berbisik. Orang tua itu bangkit
dari tempat tidur, melangkah ke dinding pondok. Melalui lobang kecil dia
mengintai ke luar. Tujuh orang dilihatnya berdiri di halaman depan rumah. Dua
orang yang bertubuh tinggi besar bermata besar merah, berbaju dan bercelana
galembong hitam, bertampang buas memelihara kumis melintang, jenggot dan
cambang bawuk.
Tangan
mereka selain ditumbuhi bulu lebat juga berwarna hitam mulai dari atas siku
sampai ke ujung sepuluh jari termasuk kuku. Di kiri kanan berdiri empat orang
yang dari bentuk tubuh, raut muka, warna kulit serta pakaian pasukan Kerajaan
Cina, menghunus golok besar telanjang. Salah seorang dari mereka memakai topi
terbuat dari besi berwarna merah dihias kaca-kaca bulat berkilat (galembong =
celana hitam berkaki besar).
Setelah
memperhatikan ke enam orang itu dengan cepat Sutan Panduko Alam mengalihkan
pandangan pada orang ketujuh yang berdiri di bawah bayangbayang gelap pohon
besar sambil rangkapkan dua tangan di depan dada Kepala agak mendongak. Sutan
Panduko Alam maklum betul, sikap berdiri seperti ini adalah sikap orang berkepandaian
tinggi yang tengah mementang mata memasang telinga. Orang ini seorang kakek
berjubah hijau mengenakan
blangkon
yang juga berwarna hijau berbunga-bunga putih.
Waiau
yang bisa dilihatnya hanya tujuh orang namun Sutan Panduko Alam tahu betul,
paling tidak ada dua orang di atas atap dan beberapa orang lagi di samping kiri
dan kanan dan bagian belakang pondok.
"Duo
Hantu Gunung Sago," ucap Sutan Panduko Alam dalam hati menyebut nama dua
orang lelaki berpakaian serba hitam bertampang seram. "Kalian masih
berkeliaran di nagari alam terkembang membawa orang-orang asing dari Cina,
berteman seorang pandai berbiangkon hijau dari tanah jawa. Hanya untuk memburu
seekor kupu-kupu betina. Gerangan rahasia apa yang ada dibaiik semua kejadian
ini."
Dari
lubang tempat mengintai Sutan Panduko Alam melihat kakek berjubah dan
berbiangkon hijau mengucapkan sesuatu sambil tangan kanan digerakkan memberi
aba-aba.
Dua
lelaki berpakaian hitam yang disebut Dua Hantu Gunung Sago segera melompat ke
depan rumah. Empat orang asing menebar. Yang memakai topi besi merah melangkah
lebih dulu. Kakek berjubah hijau tidak beranjak dari bawah pohon.
Sutan
Panduko Alam dengan cepat menanggalkan sorban putih di atas kepala. Kupu-kupu
besar dimasukkan ke dalam gulungan sorban seraya berkata. "Ramo-ramo
mahluk ilahi. Jika sesuatu terjadi denganku maka sorban Ini akan membawamu
terbang ke tempat yang aman…" Lalu Sutan Panduko Alam letakkan sorban di
atas tempat tidur.
Pada saat
itu braaakk!
Pintu
pondok terpental jebol.
Dua Hantu
Gunung Sago melesat masuk disusul empat orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan.
Atap ijuk amblas. Dua orang melayang turun. Satu membekal pedang, seorang lagi
menghunus keris. Sementara itu bagian belakang pondok juga telah didobrak dan
dua orang menghambur masuk yang ternyata adalah dua nenek berambut putih
panjang tapi jarang dan sama-sama bergigi perak. Yang satu berhidung mancung.
Lainnya berhidung pesek.
Walau
semua kejadian itu dihadapi dengan tenang, namun melihat dua nenek yang kini
berada dalam pondok mau tak mau bergetar juga hati Sutan Panduko Alam. Dua
nenek ini di pulau Andalas dikenal dengan julukan Si Kamba Tangan Manjulai yang
berarti Si Kembar Tangan Panjang. Seperti julukannya dua nenek kembar ini
memang memiliki sepasang tangan luar biasa panjang hingga ujungujung jari
mereka hampir menyentuh lantai.
"Banyak
tamu agung tidak terduga mengunjungiku.
Sungguh
satu kehormatan besar. Sebagai tuan rumah aku ingin bertanya. Gerangan maksud
apa hingga datang malam hari beramai-ramai pula?"
"Sutan
Panduko Alam, kami datang dari jauh, membawa empat tamu dari daratan Tiongkok.
Kami membawa urusan sangat penting. Kami tidak ingin datang dengan
sia-sia…" yang bicara adalah salah seorang dari Duo Hantu Gunung Sago,
yang berdiri di hadapan sebelah kanan bernama Si Kalam langit, memiliki muka
hitam legam.
"Maksud
belum disampaikan sudah menyebut sia-sia. Hantu Gunung Sago, katakan apa
keperluanmu dan semua orang yang kau bawa ke tempat ini."
"Kami
mencari sesuatu. Sesuatu itu kami ketahui masuk ke dalam pondokmu ini."
Kali ini yang bicara adalah salah seorang dari Si Kamba Tangan Manjulai.
Dia
diberi nama tambahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai karena memang memiliki
hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
Sutan
Panduko Alam tersenyum.
"Kalian
semua bicara setengah berteka-teki. Sahabat lamaku Si Kamba Tangan Manjulai,
katakan apa yang kau maksudkan dengan sesuatu itu. Seekor katak, ular berbisa
atau sebangsa mahluk halus jejadian. Atau mungkin juga seorang maling yang
telah mencuri barang berharga milik kalian."
Orang Cina
berpakaian pasukan Kerajaan yang mengenakan topi besi merah tampaknya tidak
sabaran. Dia berteriak mengatakan sesuatu sambil mengacungkan golok besar.
Hantu Gunung Sago yang berdiri di samping kiri Sutan Panduko Alam bernama Si
Batu Bakilek (Si Batu Berkilat) karena memiliki kepala botak plontos berkilat,
mengangkat tangan memberi tanda agar si orang Cina berlaku tenang.
Laiu dia
melangkah mendekat Sutan Panduko Alam.
Tangan
kiri diletakkan di atas bahu orang tua itu, dialiri tenaga dalam tinggi hingga
memiliki bobot seperti sebuah batu sebesar rumah. Sadar orang tengah menjajal
yang bisa membuat tubuhnya remuk sebelah, Sutan Panduko Alam membalas dengan
tenaga dalam yang mengeluarkan hawa lembut. Saat itu juga tangan kiri Hantu
Gunung Sago seperti ditepiskan ke samping. Karena mengerahkan tenaga besar
tubuhnya nyaris terperosok ke depan.
"Sahabatku
Hantu Gunung Sago Batu Bakilek, apakah kau belum makan dari pagi? Kau kelihatan
lemah, hampir jatuh tergelimpang," kata Sutan Panduko Alam mempercandai
orang.
Diejek
seperti itu si tinggi besar berkepala botak ini menggembor marah. Tinju
kanannya laksana kilat menyambar ke muka Sutan Panduko Alam. Cahaya hitam
membersit dari tangan kanan yang memukul pertanda pukulan mengandung kekuatan
yang mematikan. Di saat yang sama orang Cina bertopi merah bacokkan besarnya,
Juga mengarah kepala si orang tua.
***********************
2
"YANG
dicari belum bertemu. Mengapa mau membunuh orang yang tahu?”
Dua
tangan panjang bergerak luar biasa cepat menangkis serangan yang dilancarkan
Hantu Gunung Sago Batu Bakilek dan orang Cina bertopi merah hingga membuat
kedua orang itu terjajar. Yang menangkis serangan ternyata adalah Si Kamba
Tangan Manjulai yang memiliki hidung mancung, dikenal dengan nama julukan Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai (Si Kembar Manoung Tangan Panjang). Dia juga
yang tadi keluarkan ucapan sebelum bergerak.
Hantu
Gunung Sago kepala botak dan orang Cina berpakaian pasukan Kerajaan Tiongkok
berteriak marah. Si nenek mancung tidak perduli dia memutar tubuh menghadap ke
arah Sutan Panduko Alam.
"Aku
orang yang tidak suka bicara berteka teki seperti katamu tadi. Aku bertanya
langsung padamu. Seekor kupu-kupu besar masuk ke dalam pondokmu. Sekarang
katakan dimana kau sembunyikan binatang itu"
Sutan
Panduko Alam unjukkan wajah tercengang lalu gelengkan kepala sambil keluarkan
suara berdecak berulang kali.
"Sutan
Panduko, jangan berpura-pura. Jika kau tidak memberi tahu, lihat saja apa
jadinya. Kau sudah terkurung. Aku tidak akan menyelamatkan nyawamu untuk kedua
kalinya!"
"Sahabat
lama, terima kasih kau mau berbaik hati menolongku. Jadi kau dan yang lain-lain
datang beramai-ramai ini tengah mencari seekor kupu-kupu. Sungguh lucu. Lebih
lucu lagi karena aku tidak pernah tahu kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam
pondokku."
"Urang
Siak! Kau berdusta!" Bentak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. (Urang siak
= Orang alim)
Sutan
Panduko Alam tertawa Dalam hati orang tua ini berkata "Berdusta untuk
menyelamatkan nyawa mahluk ilahi apa dosanya? Berdusta terhadap orangorang
berbusuk niat seperti kalian apa haramnya?"
"Sutan
Panduko, lebih baik kau memberi tahu dimana kau sembunyikan ramo-ramo besar
itu. Kalau tidak kami akan membakar pondok ini" Yang bicara mengancam
adalah seorang lelaki muda berpakaian dan destar merah, memegang kens bertuah.
Sutan Panduko Alam mengenali orang ini adalah tokoh silat yang punya julukan
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. (Pendekar Bumi Langit Dari Sumanik) Ilmu
silat orang ini luar biasa berbahaya. Bisa memukul remuk kepala atau mencabik
muka dan menjebol tubuh lawan dalam sekali gebrakan saja. Konon ilmu silat yang
dimiliki sang Pendekar dikenal dengan nama Sitaralak.
“Buruk
nian nasibku hari ini. Banyak sahabat lamo yang datang aku harap kita bicara
berelok-elok beriang-riang. Ternyata datang membawa ancaman."
Sutan
Panduko Alam memandang berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan. "Agaknya pondok
buruk Ini terlalu sempit untuk bercakap-cakap. Lebih baik kita melanjutkan
bicara di halaman."
Sehabis
keluarkan ucapan Sutan Panduko Alam tiup pelita di dalam ruangan lalu melesat
ke pintu.
Dua Hantu
Gunung Sago Si Kalam langit coba menghalangi tapi terpental kena sambaran sikut
si orang tua. Selain mencari tempat yang jebih leluasa jika orang sekian banyak
menyerang dirinya. Sutan Panduko Alam juga tidak ingin orang-orang Itu
mengetahui keberadaan kupu-kupu besar yang tergulung dalam sorbannya dan saat
itu berada di atas tempat tidur rotan.
Hanya
sesaat setelah Sutan Panduko Alam injakkan kaki di halaman depan pondok
kediamannya, dua belas orang sudah mengelilinginya termasuk kakek berjubah dan
berbelangkon hijau yang sejak tadi tetap berdiri tak bergerak di bawah pohon
besar. Kini setelah Sutan Panduko Alam berdiri di halaman, kakek ini melangkah
mendatangi.
"Sutan
Panduko Alam. namaku Ki Bonang Talang Ijo. aku seorang sahabat datang dari satu
tempat bernama Kuto Gede di pulau Jawa. Terima salam hormatku!"
Habis
keluarkan ucapan kakek ini usap mukanya hingga saat itu juga berubah menjadi
hijau termasuk sepasang mata. Selesai unjukkan kehebatan, dia susul
menggerakkan badan membungkuk sambil tangan kanan dilambaikan.
Gerak
yang dibuat orang menimbulkan angin halus yang menggetarkan tubuh Sutan Panduko
Alam dan memerihkan mata. Cepat-cepat orang tua ini membalas penghormatan Ki
Bonang Talang Ijo.
"Sahabat
yang datang dari tanah Jawa. terima kasih balas salam dan penghormatanku.
Sayang kau dan orang-orang ini tidak memberi tahu kedatangan lebih dulu."
Sambil membungkuk Sutan Panduko Alam geserkan sedikit telapak kaki kanannya.
Tanah bergetar, gerakan menjalar masuk menyentuh dua kaki Ki Bonang Talang ijo
hingga kakek itu sesaat merasa dua kakinya seperti lumpuh.
Sambil
tersenyum dan batuk-batuk Ki Bonang Talang ijo luruskan tubuh lalu berkata.
"Sutan
Panduko Alam. aku tidak menginginkan pondokmu dibakar orang, apalagi melihat
dirimu sampai celaka. Aku meminta dengan sangat dan segala hormat agar kau
menyerahkan kupu-kupu besar yang terpesat masuk ke dalam pondokmu."
Sutan
Panduko Alam menyadari jika pecah pertarungan dia tidak akan mungkin menghadapi
sekian banyak musuh. Namun menyerahkan apa yang diminta orang diapun tidak
sudi. Melindungi mahluk Ilahi yang datang meminta tolong bagi keselamatan
jiwanya adalah kewajiban setiap orang termasuk dirinya. Maka Sutan Panduko Alam
lantas menjawab.
"Sahabat,
soal bakar membakar memang tidak layak dilakukan. Apa lagi perihal celaka
mencelakai sesama insan Ilahi. Aku katakan padamu bahwa tidak ada kupu-kupu
yang terpesat masuk ke dalam pondokku. Puluhan tahun aku menetap di sini.
daerah ini tidak pemah adaramo-ramo atau kupu-kupu yang kau sebut itu."
Ki Bonang
Talang Ijo tersenyum. Dia memandang pada orang-orang sekeliling lalu kembali
berpaling pada orang tua di hadapannya "Sutan Panduko Alam. Malam yang
dingin, kau tidak mengenakan sorban. Sungguh diluar kebiasaan…" Ki Bonang
melangkah lebih dekat. Lalu setengah berbisik dia berkata. "Aku tahu
dimana kau menyembunyikan kupu-kupu itu!"
Begitu
ucapannya selesai Ki Bonang Talang Ijo melompat ke udara melewati Sutan Panduko
Alam lalu melesat ke arah pondok. Sutan Panduko Alam berusaha menghalangi namun
sebelas orang serentak menyerbu dirinya. Duo Hantu Gunung Sago menyerang di
depan sekali, menyusul empat orang Cina dari samping kiri dan kanan. Si Kamba
Tangan Manjulai untuk beberapa lama hanya memperhatikan sambil tertawa-tawa
sementara Pendeka Langit Bumi Dari Sumanik bersama beberapa orang lainnya
menggempur dari arah belakangi Sutan Panduko Alam putar tasbih batu hitam di
tangan kanan.
"Traang…traang!"
Dua golok
mental ke udara. Salah seorang penyerang berpakaian pasukan Kerajaan Cina
terpental lalu tergelimpang pingsan.
"Breettt"
Jubah
putih Sutan Panduko Alam robek di bagian punggung dimakan mata keris salah
seorang penyerang. Darah mengucur dari luka memanjang.
"Membunuh
pantangan orang Muslim. Mempertahankan diri membela kebenaran menghancurkan
kemungkaran adalah kewajiban" Sutan Panduko Alam keluarkan teriakan
lantang. Tasbih batu hitam di tangan kanan menderu.
"Wuttt!"
Selarik
sinar hitam bertabur. Satu jeritan membelah langit malam. Penyerang yang
memegang keris dan dikenal dengan nama Datuk Mangkuta Karth Babegah terkapar di
tanah dengan kepala hancur.
Sutan
Panduko Alam mengamuk laksana banteng terluka. Seorang lagi yakni Duo Hantu
Gunung Sago Batu Bakilek menggerung keras ketika tangan kanannya remuk dihajar
tasbih batu hitam.
Bagaimanapun
kehebatan Sutan Panduko Alam namun menghadapi sekian banyak musuh walau dia
memiliki tingkat kepandaian ilmu yang disegani di seluruh Nagari ranah Minang,
setengah pertarungan tak seimbang berlangsung empat jurus, SI Kamba Pesek
Tangan Manjulai berhasil menelikung tubuh orang tua itu dari belakang dengan
kedua tangannya yang panjang, melilit laksana lilitan dua ular besar.
Sutan
Panduko Alam keluarkan gerak ilmu Burung Balam Mengepak Sayap. Dua sikut
terlepas dari tangan yang melilit lalu menghantam ke belakang.
"Kraakk!
Kraakk"
Tiga
tulang rusuk SI Kamba Pesek Tangan Manjulai kiri kanan berderak patah. Nenek
ini menjerit setinggi langit. Lepaskan lilitan dua tangannya dari tubuh Sutan
Panduko Alam, terhuyung-huyung beberapa langkah lalu roboh terjengkang di tanah
dengan mulut membusah darah!
Walau
lolos dari telikungan lawan namun keadaan Sutan Panduko Alam tidak tertolong
lagi. Orang tua ini menjadi bulan-bulanan jotosan, tendangan, tusukan dan
bacokan yang datang dari berbagai jurusan termasuk serangan pengecut dari arah
belakang!
Orang tua
ini akhirnya tergeletak tak bernyawa di tanah, kepala dan wajah tidak berupa
lagi, tubuh penuh luka bergelimang darah. Jubah putih telah berubah merah!
***********************
3
KI BONANG
Talang Ijo usap kedua matanya dengan telapak tangan kiri. Walau keadaan di
dalam pondok gelap gulita usapan tangan tadi membuat dia kini bisa melihat
jelas di dalam gelap. Benda yang dicari segera membentur pandangannya. Terletak
tergulung di atas tempat tidur rotan.
"Sutan
tolol! Hanya untuk seekor kupu-kupu yang tidak ada gunanya bagimu kau sampai
mau-mauan mati percuma!"
Sambil
menyeringai Ki Bonang melangkah cepat mendekati tempat tidur.
"Kupu-kupu
Giok. Aku tahu kau ada dalam gulungan sorban putih berumbai-umbai benang emas.
Hanya satu jengkal lagi tangan kakek ini akan menyentuh sorban, tiba-tiba
sorban melesat ke udara. Kaget Ki Bonang bukan kepalang. Dengan cepat dia
melompat ke atas, tangan menyambar tapi lagi-lagi luput. "Sorban keparat!
Roh jahanam apa yang membuat kau bisa melesat ke udara! Biar aku hancurkan kau
sekalian bersama kupu-kupu itu!"
Tapi Ki
Benang ingat, jangankan membunuh, melukai kupu-kupu itu saja dia tidak boleh
melakukan. Itu pesan Teng Sien, Perwira Muda pasukan Kerajaan Cina bertopi besi
merah yang jadi pimpinan rombongan pengejar kupu-kupu. Maka dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh kakek ini kembali berkelebat ke atas berusaha menyambar
sorban yang melayang.
Gerakan
Ki Bonang memang luar biasa cepat. Dia berhasil menangkap salah satu ujung
sorban yang terjulai. Namun seperti hidup sorban menyentak diri hingga brett!.
Ujung sorban robek putus.
Ki Bonang
Talang Ijo berteriak penasaran. Kembali kakek ini membuat gerakan menyambar.
Namun sekali ini sorban yang melayang di udara menyusup ke bawah lalu plaakk!
Ujung sorban yang robek mendarat di kening hijau Ki Bonang hingga kakek ini
terpental. Kepala terasa sakit, pemandangan berkunang.
"Jahanam
kurang ajar!" Dalam marahnya Ki Bonang tidak perduli lagi apakah dia akan
melukai atau membunuh kupu-kupu yang dipastikannya berada dalam gulungan
sorban. Ketika sorban putih melesat ke atas, melewati lobang jebolan di atap
ijuk, Ki Bonang segera melesat mengejar sambil tangan kanan digerakkan dalam
melepas jurus pukulan sakti bernama Di Atas Awan Menyergap Rembulan.
Serangkum
cahaya hijau berkiblat keluar dan ujung jari tangan kanan Ki Bonang, menebar
menjadi lima larikan yang bergulung-gulung lalu dengan cepat menelikung sorban
putih yang melesat di udara malam.
Walau
dalam keadaan terjerat sorban putih yang seolah hidup tiba-tiba pancarkan
cahaya terang menyilaukan.
"Brett!"
Untuk
kedua kalinya sorban putih Sutan Panduko Alam robek dan putus. Kali ini pada
sepertiga panjang.
Robekan
melayang jatuh ke atas atap, sisanya yang masih setengah tergulung melesat ke
udara. Ketika KI Bonang Talang Ijo sampai di atap pondok sorban telah melesat
jauh ke arah timur.
Ki Bonang
Talang Ijo hanya bisa kepalkan tangan dan hentakkan kaki hingga atap bangunan
berderak roboh. Lalu si kakek melayang turun ke tanah sambil berteriak memberi
tahu pada orang-orang yang ada di halaman.
"Lolos!
Kupu-kupu batu Giok Itu lolos dalam gulungan sorban "
Teng
Sien, orang Cina bertopi besi merah berteriak marah. Lalu memaki-maki sambil
bantingkan golok besar hingga amblas masuk ke dalam tanah.
"Kita
harus cepat mengejar" Kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Percuma,
tidak akan terkejar," kata KI Bonang Talang Ijo sambil mengusap wajahnya
hingga mukanya yang tadi hijau kini berubah ke warna asal. Keningnya yang bekas
dihantam ujung sorban tampak kemerahmerahan.
"Paling
tidak kita harus mencari tahu kemana sorban membawa kupu-kupu itu." Ucap
Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam langit sambil pegang sobatnya Si Batu Bakilek
yang tangan kanannya hancur dihantam tasbih hitam Sutan Panduko Alam
"Malam ini aku akan batarak," kata Si kamba Mancuang Tangan Manjulai
walau sibuk menolong saudaranya Si Pesek yang patah tulang iga kiri kanan
(batarak = bersamadi).
"Kita
harus mencari tahu kemana sorban itu membawa kupu-kupu giok."
Si Kamba
Pesek Tangan Manjulai meludah ke tanah.
Ludahnya
masih mengandung darah. Tampangnya tampak angker ketika berkata.
"Persetan
dengan kupu-kupu giok dan sorban jahanam itu. Yang penting kalian harus
menolong diriku dulu sampai sembuh" Lalu dia berpaling pada Teng Sien dan
tiga anak buahnya. "Cino cino keparat ini, suruh saja mereka kembali ke
negerinya. Gara- gara mereka mencari kupu-kupu setan itu aku jadi sangsaro
begini" (sangsaro = sengsara)
"Saudaraku,"
kata Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai setengah berbisik. "Kita tidak bisa
berbuat begitu. Kita semua sudah menerima pembayaran satu peti batangan emas
dari mereka. Kita akan memperoleh satu peti lagi jika berhasil mendapatkan
kupukupu giok itu. Kau sabar dan tenang sajalah. Aku dan para sahabat pasti
akan merawatmu. Kau akan sembuh dalam waktu cepat…"
"Kupu-kupu
giok, kupu-kupu giok" cemberut Si Kamba Pesek Tangan manjulai dengan suara
meradang.
"Mengapa
bukan si Giok gapuak anak gadis Taci Lim di Kampung Cino saja yang mereka cari.
Kupu-kupu… Bikin aku susah saja" (gapuak = gemuk) (Taci = bibi)
Si Kamba
Mancuang tertawa cekikikan. Ditepuktepuknya pipi kempot Si Kamba Pesek.
"Kau ini ada ada saja. Kupu-kupu gaib Itu jangan kau samakan dengan nona
gendut berwajah tambun di Kampung Cino Hik..hik..hik."
Tak
selang berapa lama semua orang meninggalkan tempat itu turun dari Bukit
Malintang. Mereka berjanji akan berkumpul di satu tempat di Muko-Muko sehari
kemudian.
Ki Bonang
Talang Ijo berjalan di sebelah belakang sambil menimang-nimang tasbih batu
hitam milik Sutan Panduko Alam yang ditemuinya tercampak di tanah.
Kakek
sakti dari tanah Jawa ini yang pertama sekali meninggalkan rombongan,
melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sementara dua nenek SI Kamba Tangan
Manjulai mencari dangau untuk bermalam. Seperti yang dikatakannya setelah
mengobati saudaranya Si Kamba Mancuang kemudian melakukan tarak (samadi) di
satu tempat yang sunyi tak jauh dari dangau, berusaha mencari petunjuk dimana
sekarang beradanya kupukupu giok. Dia menemukan sebatang pohon besar lalu
melompat ke salah satu cabang dan melakukan tarak (samadi) dengan cara
berjuntai yaitu dua kaki digelungkan di cabang pohon, rubuh dan kepala
bergantung ke arah tanah. Dua tangan yang panjang melilit seputar badan mulai
dari pinggang sampai ke dada.
***********************
4
SUARA
alunan arus sungai Batang Sianok terdengar lembut sejuk di telinga pada malam
yang sunyi itu. Langit di pertengahan malam bersih berhias bintang gumintang.
Di tepi
ngarai seorang pemuda berpeci hitam mengenakan baju dan celana panjang putih
berjalan sambil meniup puput, alat bebunyian sederhana yang ditiup dan mudah
dibuat dari batang padi.
Rambut
yang panjang menjulai bahu melambai-lambai di tiup angin. Sambil meniup puput
matanya tidak lepas dari memperhatikan sungai dan Ngarai Sianok yang tampak
sangat indah dibawah terangnya cahaya dari atas langit.
Entah
lagu apa yang dikumandangkan pemuda itu namun tiba-tiba dia berhenti meniup
puput. Matanya melihat sebuah benda putih melayang di udara malam.
Oia terus
memperhatikan. Benda putih berputar dua kali di atas ngarai lalu melayang ke
arah tebing sebelah timur dan lenyap dari pemandangan.
"Benda
putih tadi. Apakah ada sangkut pautnya dengan perintah Datuk menyuruhku datang
dan berjaga-jaga di sekitar Ngarai Sianok Ini?" Si pemuda berucap dalam
hati. "Sayang Datuk tidak terlalu banyak menjelaskan. Beliau mengatakan
akan terjadi satu peristiwa besar di ranah Minang dan aku diminta menyelidiki
sendiri."
Setelah
berpikir sejenak pemuda berpeci hitam segera melompat ke atas satu gundukan
batu, berpindah ke gundukan lain lalu melesat ke satu batu tinggi berbentuk
tonggak. Dari sini dia terus melompat ke dinding ngarai sebelah timur yang
merupakan batu keras berseilmut lumut yaitu ke arah mana tadi lenyapnya benda
putih yang melayang di udara malam. Dari caranya melompat dan melesat laksana
terbang jelas pemuda berkopiah hitam ini memiliki ilmu kepandaian yang bukan
sembarangan. Di Ranah Minang, terutama daerah luas yang dikenal dengan Lunak
Nan Tigo hanya yang disebut kaum Pandeka atau para tuo-tuo Nagari berilmu
kesaktian tinggi saja yang mampu melakukan hal itu (Pandeka = pendekar).
"Dinding
batu semua." Ucap si pemuda sambil menyentuh lamping ngarai di depan mana
dia berdiri.
"Kemana
lenyapnya benda putih tadi? Tak mungkin masuk menembus dinding ngarai."
Cukup lama memperhatikan akhirnya pemuda ini memutuskan untuk menerapkan ilmu
yang mampu melihat jauh menembus halangan. Begitu ilmu diterapkan mendadak
kepalanya tersentak ke belakang. Tubuh bergoncang. Dua kaki hampir terpeleset
di lamping ngarai yang terjal dan licin.
"Ada
kekuatan aneh menghalangi ilmuku…" ucap si pemuda dalam hati. Tapi diam-diam
dia merasa gembira karena kekuatan itu bersumber pada satu tempat di tebing
ngarai dan berarti benda putih yang tadi dilihatnya juga pasti berada di
sekitar itu. Perlahanlahan pemuda ini melangkah sepanjang tebing ngarai hingga
akhirnya dia menemukan sebuah lobang besar merupakan mulut sebuah goa. Sesaat
hatinya bimbang.
Tadi ada
kekuatan aneh menghalangi. Sekarang kalau aku masuk ke dalam goa lalu ada
harimau campa atau ulat besar yang menunggu bisa celaka diriku," pikir si
pemuda. Maka setelah lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan membekal satu
pukulan sakti di tangan kanan dia kemudian masuk ke dalam goa.
Ternyata
goa itu cukup panjang. Lorong di dalamnya berliku liku dan mendaki. Namun ada
satu keanehan.
Semakin
jauh ke dalam keadaan di goabukan bertambah kelam tapi malah menjadi lebih
terang. Di satu bagian goa si pemuda hentikan gerakan kakinya.
Sejarak
sepuluh langkah di depan sana dia melihat lantai, dinding dan atap goa
membentuk pintu menyerupai pintu sebuah mesjid. Penuh ukiran mengagumkan serta
dikelilingi tulisan dari rangkaian huruf Arab yang indah. Dari belakang pintu
yang tidak berdaun itu keluar satu cahaya terang. Pemuda berkopiah hitam
berpakaian serba putih melangkah mendekati pintu. Namun gerakannya tertahan
ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang bercakapcakap.
Satu
lelaki lainnya perempuan. Dari pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui
suara lelaki adalah suara seorang tua sedang yang perempuan agaknya masih muda
belia.
Setelah
menunggu sebentar, dari tegak berdiri si pemuda kini berjongkok, lalu
perlahan-lahan tanpa suara dia menggeser dua kaki, beringsut ke arah pintu
berukir.
**************************
SEPERTI
yang dikatakan Sutan Panduko Alam pada kupu-kupu besar yang ada di dalam
gulungan sorban putih, begItuah kejadiannya. Ketika Ki Bonang Talang Ijo siap
hendak mengambil sorban tiba-tiba sorban putih itu melesat ke udara. Walau
sampai dua kali sempat disambar oleh si kakek dan dua kali pula mengalami robek
namun sorban secara gaib masih bisa lolos dan melesat keluar lewat lobang besar
di atap pondok lalu melayang ke arah timur.
Di dalam
goa di salah satu dinding Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati baru saja selesai
melakukan sembahyang tengah malam, sembahyang Tahajjud dan masih duduk bersila
membaca berbagai doa bagi keselamatan diri dan ummat Nagari ketika tiba tiba
dia mendengar ada suara berdesing memasuki goa.
"Bukan
suara hewan bukan juga burung gerangan apakah yang melayang masuk ke dalam
tempat kediamanku ini?" Datuk Marajo Sati yang berusia enam puluh tahun
itu segera hendak meluruskan kaki lalu berdiri. Namun sekonyong-konyong
melayang sebuah benda putih dan jatuh tepat di atas pangkuannya.
Sang
datuk mengucap terkejut mengusap wajah dan janggut putih lalu memperhatikan
dengan mata tak berkesip pada benda yang tergulung di pangkuannya.
Sebuah
sorban putih berumbal-rumbal benang emas yang salah satu ujungnya sobek.
"Atagafirullah,
aku seperti mengenali sorban Ini." Ucap Datuk Marajo Sati dalam hati.
Ketika dia mengulurkan tangan kanan hendak menyentuh sorban, tangannya
jadi.tersurut Karena mendadak dari balik gulungan sorban putih bergerak keluar
seekor binatang. Semula Datuk Marajo mengira seekor burung. Tapi setelah
binatang Ini merentangkan empat sayap ternyata seekor kupu-kupu besar berwarna
indah sekali. Binatang ini perlahan-lahan bergerak dan berhenti di atas
pangkuan kiri sang Datuk.
"Allah
Maha Besar. Sebuah sorban dan seekor ramoramo dikirimkan Allah kepadaku. Apa
artinya ini?"
Datuk
Marajo Sati ambil gulungan sorban di pangkuannya lalu dibuka dan diperhatikan.
Mata kemudian dipejam dan kepala ditengadah.
"Ya
Allah, mengapa hati saya mendadak tidak enak? Sorban cabik berumbai benang emas
seperti ini, hanya ada satu orang yang memiliki yaitu sahabat dan kakak saya
Sutan Panduko Alam yang diam di Bukit Malintang di pesisir barat Lunak Agam.
Mengapa hanya sorban yang sampai pada saya? dimana sahabat saya itu? Apa yang
terjadi dengan dirinya? Lalu terbungkus di dalam sorban ada seekor ramo-ramo
rancak. Apa artinya ini? Ya Allah, beri saya petunjuk." (rancak = bagus,
elok).
Datuk
Marajo Sati lalu cium sorban putih berulang kali. Kemudian dia ulurkan tangan
mengusap kupu-kupu di paha kirinya. Kupu-kupu ini tundukkan kepala beberapa
kali lalu terbang ke atas sebuah gundukan batu berbentuk meja di samping kanan
goa.
"Orang
tua, saya mahluk tidak berdaya. Saya mohon pertolongan dan perlindungan."
"Hai.
siapa yang bicara?" Datuk Marajo Sati terkejut. Sorban putih yang
dipegangnya sampai terlepas jatuh ke pangkuan. Mata menatap ke atas batu.
"Ramo-ramo rancak, kaukah yang barusan berkata-kata?’
"Betul
sekali orang tua. Memang saya yang barusan bicara. Maafkan saya kalau membuatmu
terkejut"
Kupu-kupu
di atas batu menjawab, membuat Datuk Marajo Sati terpana beberapa ketika.
"Allah
Maha Besar. Kalau tidak dengan kehendakNya tidak mungkin seekor binatang
sepertimu pandai bicara. Beri tahu diriku, apakah kau ini binatang benaran,
mahluk jejadian atau sebangsa hantu pelayangan. Bagaimana kau bisa berada di
dalam gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam dan terbang ke sini. Apa yang
terjadi dengan Sutan Panduko Alam, dimana saudaraku sekarang?"
"Orang
tua, kalau boleh saya bercerita akan saya sampaikan asal muasal keadaan diri
saya. Juga akan saya beri tahu apa yang terjadi dengan sahabatmu, lalu
bagaimana saya bisa melayang terbang bersama sorban itu ke tempat Ini…"
"Katakan…
ceritakan padaku." Kata Datuk Marajo Sati pula.
"Orang
tua, saya berasal dari tanah leluhur negeri Cina. Ujud saya sebenarnya adalah
sebuah kupu-kupu batu giok berwarna antara biru dan hijau dan merupakan benda
pusaka utama milik Kerajaan yang harus berada di tangan Kaisar sebagai salah
satu syarat syahnya menduduki tahta Kerajaan…"
"Aku
mendengar, tapi ada yang aku tidak mengerti."
Datuk
Marajo Sati memotong ucapan kupu-kupu giok di atas batu. "Jika kau adalah
sebuah batu giok, bagaimana mungkin mungkin bisa bicara. Lalu jika kau berasal
dari negeri Cina bagaimana mungkin kau bisa bicara berbahasa anak negeri
Ini?"
"Orang
tua, ada satu kejadian besar di negeri leluhur saya. Seorang puteri Pangeran
dituduh telah berbuat zinah dengan kekasih puterinya. Ketika Pangeran hendak
membunuh pula puteri darah dagingnya sendiri Yang Maha Kuasa menolong. Puteri
pangeran dirubah menjadi angin lalu dimasukkan ke dalam kupu-kupu giok pusaka
Kerajaan. Kupu-kupu ini bisa menjelma menjadi kupukupu besar seperti yang kau
saksikan saat ini…"
"Kalau
begitu ceritanya berarti kau adalah puteri Pangeran yang malang itu."
"Benar
sekali orang tua…"
Datuk
Marajo Sati tercengang. Untuk beberapa lama dia tidak bisa mengeluarkan ucapan.
***********************
5
SETELAH
mengusap janggut pendeknya, Datuk Marajo Sati bertanya. "Lalu bagaimana
kau bisa bicara bahasa orang di sini?"
"Akan
saya ceritakan. Tapi biar saya lanjutkan kisah nasib diri saya selagi masih di
negeri leluhur." Jawab kupu-kupu giok pula. "Setelah tahu diri saya
masuk ke dalam kupu-kupu batu giok. Pangeran memerintahkan pasukan mencari dan
mengejar saya. Pangeran mau mengeluarkan hadiah besar asal saya bisa ditangkap
dan kupu-kupu giok ditemukan kembali. Dalam ujud kupu-kupu saya sampai di ujung
daratan, di satu pelabuhan. Karena tidak tahu mau lari kemana lagi saya masuk
ke dalam sebuah kapal besar. Kapal itu ternyata berlayar ke negeri beribu pulau
di selatan, berlabuh di satu daratan yang disebut tanah Jawa.
Ternyata
pasukan Kerajaan dibawah pimpinan seorang Perwira Muda bernama Teng Sien
berhasil mengetahui kalau saya berada dalam kapal besar.
Mereka
melakukan pengejaran dengan kapal kecil tapi lebih cepat. Sampai di tanah Jawa
saya hampir tertangkap karena Pasukan suruhan Pangeran menyewa beberapa orang
sakti berkepandaian tinggi.
Salah
seorang diantara mereka yang terus mengejar saya sampai ke negeri Ini saya
ketahui bernama Ki Bonang Talang Ijo." Kupu-kupu di atas batu diam sejenak
seperti mengingat-ingat lalu baru melanjutkan lagi kisahnya.
"Di
tanah Jawa saya tidak tahu lagi mau lari kemana. Saya setengah terbang setengah
dilayangkan angin hingga akhirnya sampai di sebuah selat besar. Di selat itu
saya kembali sembunyi di dalam sebuah kapal yang membawa saya ke arah tanah
India. Namun sewaktu kapal singgah sebentar di sebuah pelabuhan kecil di
pesisir barat pulau Andalas saya tidak tahan lagi setelah sekian lama terus
menerus di dalam kapal. Saya terbang meninggalkan kapal. Ternyata para pengejar
saya sudah lebih dulu mendarat di pantai Jumlah mereka juga bertambah. Ada dua
orang nenek berjuluk Si Kamba Tangan Manjulai, Duo Hantu Gunung Sago. Ada juga
yang bernama Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Masih ada beberapa orang yang
tidak saya ketahui siapa nama atau julukan mereka. Saya dikejar sampai akhirnya
saya tiba di sebuah bukit tak jauh dari pantai dan terpesat masuk ke dalam
sebuah pondok kayu yang didiami seorang tua yang kemudian saya ketahui bernama
Sutan Panduko Alam.."
"Sutan
Panduko Alam, dia sahabat dan kakak tuaku."
Datuk
Marajo Sati dekapkan sorban putih ke dadanya.
"Apa
yang terjadi dengan sahabatku itu?"
"Saya
masuk ke dalam pondok Sutan Panduko Alam. Beliau menolong dan melindungi saya.
Sewaktu beliau tahu bahwa orang-orang yang mengejar akan menyerbu pondoknya.
Sutan Panduko Alam memasukkan saya ke dalam gulungan sorban sambil berkata
kalau sesuatu terjadi dengan diri saya maka sorban akan menerbangkan saya ke
tempat yang aman."
"Ternyata
sorban yang diisi ilmu kesaktian itu membawamu ke sini. Kau diselamatkan
sahabatku, tapi kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Saya
mohon maafmu orang tua, dan saya sangat bersedih. Ketika sorban terbang di
udara meninggalkan pondok di atas bukit saya masih sempat melihat orang tua
yang telah menolong saya itu terbujur tak bergerak lagi di halaman pondok.
Sekujur tubuh serta pakaiannya bersimbah darah…"
"Inna
lillahi wainna illaihl roji’un…" Datuk Marajo Sati mengucap. Wajah
mengetam sedih. Sepasang mata berkaca-kaca "Tuhan akan memberi azab kepada
manusia yang menebar angkara murka."
"Orang
tua, saya tahu. Kalau tidak karena saya penyebabnya Sutan Panduko Alam tidak
akan bernasib seburuk itu." Kata kupu-kupu giok di atas batu.
"Setiap
Kematian seseorang ada penyebabnya. Langkah, pertemuan atau jodoh, rezeki dan
maut tidak seorangpun yang tahu. Semua kuasaNya Allah. Kematian seseorang telah
diukir di alam takdir, tersurat di alur nasib selagi dirinya masih di dalam
rahim. Tidak ada yang bisa menyalahkan dirimu. Malah aku bangga, sahabatku
Sutan Panduko Alam menemui kematian dalam berbuat satu kebajikan besar…"
Setelah
mengusap wajahnya Datuk Marajo Sati bertanya. "Ramo-ramo. apakah kau punya
nama?"
"Sebagai
kupu-kupu batu giok Kerajaan memberi nama Kupu-Kupu Mata Dewa. Sebagai puteri
Pangeran yang malang nama saya adalah Chia Swie Kim."
Datuk
Marajo Sati perhatikan sepasang mata kupukupu. Dia melihat dua mata binatang
ini memancarkan cahaya menyejukkan, namun sesekali ada kilatan yang
menggetarkan.
"Ramo-ramo
batu giok, kau belum menerangkan bagaimana kejadiannya kau bisa berbahasa anak
nagari di sini."
"Akan
saya ceritakan," jawab kupu-kupu giok yang merupakan binatang ketempatan
dari puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim "Sebelum saya sampai ke
pondok orang tua bernama Sutan Panduko Alam.
saya
terlebih dulu terpesat ke rumah satu keluarga di pesisir barat yang tengah
berada dalam kedukaan.
Seorang
anak gadis mereka meninggal dunia. Saat itu malam hari, saya hinggap di atas
atap. Ketika orang ramai bertangisan di dalam rumah tanda anak gadis Itu telah
menghembuskan nafas penghabisan tiba-tiba saya melihat ada satu cahaya putih
keluar lari dalam rumah. Cahaya ini berputar beberapa kali di udara malam lalu
berpijar terang masuk ke dalam tubuh saya.
Saat itu
juga saya merasa ada satu keanehan. Saya mengerti apa yang dikatakan orang di
dalam rumah.
Bahkan
ketika saya coba mengeluarkan suara yang terucap bukan lagi bahasa leluhur
saya. Tapi bahasa orang di sini Saya tidak bisa lagi mengucapkan bahasa leluhur
saya. Tapi saya masih mengerti jika ada orang yang bicara dalam bahasa itu.
Kejadian ini pastilah kehendak Yang Maha Kuasa. Saya merasa beruntung karena
waktu bertemu dengan orang tua bernama Sutan Panduko Alam, saya sudah mampu
bicara orang di negeri ini."
"Tuhan
Maha Besar dan berbuat sekehendakNya," ucap Datuk Marajo Sati.
"Orang
tua, apakah saya boleh mengetahui namamu?"
"Orang
biasa memanggilku Datuk Marajo Sati. Kau boleh memanggilku dengan sebutan Datuk
saja…"
"Terima
kasih. Apakah saya bisa berharap Datuk akan menyelamatkan saya dari orang-orang
yang mengejar saya? Mereka orang-orang sakti. Mereka akan sangat tega membunuh
saya karena sudah dijanjikan dua peti batangan emas. Satu peti telah mereka
terima. Cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan saya."
"Dengan
reiho Allah aku akan menolongmu sebisa yang aku lakukan…"
"Walau
mungkin Datuk akan terpaksa mengorbankan nyawa seperti yang dialami sahabat
Datuk bernama Sutan Panduko Alam itu?"
Datuk
Marajo Sati tersenyum lalu anggukkan kepala.
‘Seperti
kataku tadi maut atau kematian seseorang berada di tangan Tuhan. Sebelum ajal
berpantang mati."
"Datuk,
izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih saya."
Kupu-kupu
di atas batu melompat turun kehadapan Datuk Marajo Sati. Tubuhnya tiba-tiba
memancarkan cahaya putih lalu perlahan-lahan berubah menjadi hijau kebiruan.
Bersamaan dengan itu sosok kupu-kupu besar berubah menjadi sosok seorang anak
gadis berpakaian jubah panjang biru bersulam bunga-bunga benang emas. Rambut
panjang hitam menjela Indah. Wajahnya tidak kelihatan karena dalam keadaan
kepala tunduk disujudkan ke lantai goa.
"Anak
gadis, bangunlah. Jangan sekail lagi kau ulangi menyembah diriku. Ummat manusia
hanya menyembah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Seru Sekalian Alam."
"Saya
sangat mengucapkan terima kasih Datuk mau memberi perlindungan. Semoga Tuhan
Yang Maha Kuasa membalas kebaikan Datuk berlipat ganda."
Lalu
perlahan-lahan gadis yang bersujud itu bangkit berdiri. Ternyata wajahnya yang
putih kemerahan cantik sekali. Alis hitam berkelut, bibir semerah delima
merekah dan sepasang mata hitam indah sekali "Anak gadis, ujudmu yang aku
lihat ini apakah ujud puteri Pangeran Cina atau ujud jejadian roh gadis yang
meninggal beberapa waktu lalu dan masuk ke dalam tubuhmu?" Bertanya Datuk
Marajo Sati.
"Ujud
saya yang Datuk lihat adalah ujud asli puteri Pangeran. Saya adalah Chia Swie
Kim."
Untuk
beberapa lamanya Datuk Marajo Sati terpesona kagum melihat kecantikan sang
puteri dan tak bisa berkata-kata.
"Datuk,
apakah Datuk ingin saya tetap berkeadaan seperti ini, atau…."
Datuk
Marajo Sati cepat menjawab.
"Demi
keselamatan dirimu, sebaiknya kau kembali ke dalam ujud ramo ramo batu giok.
Tidak seperti ini tidak pula seperti ramo-ramo hidup. Dan aku akan mengganti
namamu. Apakah kau bersedia?’
"Datuk
tuan penolong saya. Saya akan menurut apa kata Datuk."
"Anak
gadis, berapakah usiamu saat ini?" Tanya sang Datuk selanjutnya.
"Semoga
saya tidak salah, purnama bulan di muka saya akan berusia delapan belas
tahun." Jawab Chia Swie Kim.
Datuk
Marajo Sati mengangguk. Sambil mengusap janggut pendeknya yang berwarna hitam
bercampur putih dia berkata.
"Anak
gadis. Mulai saat ini namamu Puti Bungo Sekuntum. Julukanmu Ramo-Ramo Giok
Ngarai Sianok atau Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok."
Gadis
Cina bernama Chia Swie Kim yang cantik itu tersenyum.
"Terima
kasih Datuk. Saya tahu. Nama dan julukan itu bagus sekali." ujar Chia Swie
Kim pula. Ketika dia hendak menyambung ucapannya Datuk Marajo Sati memberi
isyarat seraya berbisik. "Ada manusia jahil mendekam di luar sana. Agaknya
sudah sejak tadi dia mencuri dengar pembicaraan kita. Anak gadis, lekas ubah
ujudmu menjadi kupu-kupu giok!"
Dengan
cepat Chia Swie Kim yang kini bernama Puti Bungo Sekuntum merubah diri menjadi
kupukupu batu giok berwarna hijau kebiruan. Datuk Marajo Sati mengambil
kupu-kupu batu giok itu lalu meletakkannya di dalam sebuah lekukan di dinding
goa sebelah kiri.
***********************
6
PEMUDA
berpakaian putih berpeci hitam yang jongkok tak jauh dari pintu goa kediaman
Datuk Marajo Sati terperangah ketika dari dalam goa ada suara menegur.
"Orang
di luar pintu, yang mencuri dengar pembicaraan orang. Aku harap kau segera
datang ke hadapanku atau kau tidak akan keluar dari tempat ini untuk
selama-lamanya."
Si pemuda
raba kopiah hitam di atas kepala, memandang berkeliling.
"Galak
sekali. Di tempat ini cuma aku sendirian. Pasti ucapan orang di dalam sana
ditujukan padaku."
Perlahan-lahan
pemuda itu berdiri tapi tidak segera melangkah ke arah pintu. Sesaat dia merasa
bimbang.
Selagi
dia terdiam seperti itu tiba-tiba rrreettttttt Lantai goa di hadapannya
bergetar dan menganga terbelah ke arahnya. Dari dalam belahan terasa ada udara
menyedot sangat keras.
"Ilmu
Membelah Bumi Menyedot Arwah" ucap si pemuda setengah berseru.
"Bagaimana mungkin?!"
Namun
karena tidak mungkin berpikir lebih lama secepat kilat pemuda itu melompat ke
atas selamatkan diri. Kebetulan di atap goa ada batu panjang menggantung maka
dengan cepat dia bergayut pada batu Itu. Ternyata sedotan dari tanah goa yang
terbelah kuat sekali. Khawatir tidak bisa bertahan si pemuda akhirnya
melesatkan diri ke depan pintu terus menggelinding masuk dan terhenti berguling
sewaktu kepalanya membentur satu gundukan batu hitam berbentuk meja hingga
kopiahnya mental.
Sambil
usap-usap kepala sebelah belakang yang sakit agak benjut pemuda ini ambil
kopiahnya.
Terbungkuk-bungkuk
dia bangkit berdiri sambil letakkan kembali kopiah hitam di atas kepala. Dia
tersurut satu langkah sewaktu melihat di hadapannya duduk seorang bersorban dan
berjubah putih.
Wajahnya
yang klimis dihias janggut pendek hitam bercampur putih. Sepasang mata menatap
tak berkesip ke arahnya. Si pemuda merasa pandangan mata yang tajam itu seolah
mengunci gerakan tubuhnya. Ternyata benar. Saat itu dia tidak mampu
menggerakkan tangan dan kaki!
"Mengunci
gerakan dengan pandangan mata," ucap si pemuda dalam hati. "Luar
biasa orang tua satu ini" Lalu dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dari
arah pusar. Saat itu juga tangan serta kaki bisa digerakkan kembali. Sepasang
alis mata Datuk Marajo Sati mencuat ke atas. Kening mengerenyit "Pemuda
asing tidak aku kenal. Mempunyai kepandaian tinggi. Datang menyuruak-nyuruak.
Maksud baik atau ada niat jahat?" (menyuruaknyuruak= sembunyi-sembunyi).
"Datuk,
Sutan, Mamakl Orang tua siapapun kau adanya, kalau dipikir apakah kesalahan
saya begitu besar hingga kau hendak menurunkan tangan keras atas diri
saya?" Pemuda berpeci hitam keluarkan ucapan.
Datuk
Marajo Sati tidak segera menjawab. Dia masih terus perhatikan pemuda itu dari
kepala sampai ke kaki. Sesaat kemudian baru membuka mulut.
"Kopiahmu
kekecilan tanda kopiah pinjaman, mungkin juga kopiah curian. Rambutmu menjulai
bahu seperti padusi. Bibir tebal dan suaramu bicara macam orang kepedasan
pertanda kau bukan orang di sini. Kau pasti orang Jawa. Ulahmu memasuki tempat
kediamanku tidak meminta izin tidak pula memberi salam. Kelakuanmu tidak
berkenan di hatiku karena kau mencuri dengar pembicaraanku. Anak muda apa tidak
cukup pantas kalau aku menghukum kelancanganmu?" (padusi = perempuan).
Si pemuda
garuk-garuk dagu lalu menjawab.
"Tentu
saja. Siapa bersalah wajib dihukum. Tapi harus dilihat juga kadar kesalahannya.
Apakah karena kesalahan yang tidak disengaja lantas orang mau menghukum hendak
membunuh saya dengan Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah?" Tukas si pemuda
pula. "Oala….murah nian harga nyawa manusia di negeri ini."
Wajah
Datuk Marajo Sati membesi. Lalu orang tua ini tertawa. Sebenarnya dia memang tiada
niat hendak mencelakai apa lagi membunuh si pemuda. Namun tadi dia merasa malu
pada diri sendiri. Ilmunya begitu tinggi dan dia merupakan Datuk paling
disegani di Tiga Luhak Ranah Minang yaitu Agam, Tanah Datar dan Limapuluh Kota.
Bagaimana mungkin dia tidak segera mengetahui kalau ada orang masuk ke dalam
goa dan sembunyi mendengar pembicaraannya dengan gadis Cina. Dia baru menyadari
ada orang lain di tempat itu setelah orang itu mendekam cukup lama.
"Jangankan tarikan nafasnya, geseran tapak kakinyapun tidak kudengar tidak
kurasa. Apakah dia mendengar semua pembicaraanku tadi?"
"Anak
muda berambut panjang macam perempuan. Ilmu yang kumiliki bukan bernama
Membelah Bumi Menyedot Arwahl Tapi Bumi Tabalah Azab Manimpo. Bagaimana kau
enak saja menyebut ilmuku bernama Membelah Bumi Menyedot Arwah?" (Bumi
Tabalah Azab Manimpo – Bumi Terbelah Azab Menimpa).
Si pemuda
tidak menjawab tapi geserkan sedikit telapak kaki kanannya. Saat itu juga
rrretttt! Lantai goa terbelah. Belahan menjalar ke tempat Datuk Marajo Sati
duduk bersila. Sang Datuk sampai terlompat ke atap goa saking kagetnya.
Tubuhnya nyaris tersedot ke dalam belahan tanah kalau dia tidak cepat
melambaikan tangan menolak daya sedotan yang tebat dengan mengerahkan hampir
seluruh kekuatan tenaga dalam. Jubah putihnya bergerakgerak.
Sorban di
kepalanya tiba-tiba seetttl Masuk tersedot ke dalam belahan lantai goa.
"Retttttt!"
Belahan
tanah menutup kembali begitu si pemuda menggeserkan telapak kaki kanannya.
"Anak
muda kurang ajar!" Datuk Marajo Sati membentak marah sambil tangan kiri
mengusap kepala yang ternyata setengah botak.
"Kau
menarik korbanku masuk ke dalam belahan tanah. Sepasang mata sang Datuk
membeliak seperti mau melompat dan rongganya.
"Maafkan
saya orang tua. Sorbanmu ada di tangan saya." Si pemuda lalu keluarkan
tangan kanannya dari balik punggung. Di tangan itu memang terpegang sorban
milik Datuk Marajo Sati masih dalam keadaan tergulung rapi. Cepat-cepat si
pemuda menyerahkan sorban pada pemiliknya sambil membungkuk dan berulang kali
meminta maaf.
"Kau
bukan saja kurang ajar tapi juga sombong! Kau mungkin tukang sihir! Aku melihat
jelas sorbanku tadi masuk ke dalam belahan tanah goa. Mengapa tahu-tahu ada
ditanganmu?! Kau sengaja hendak memamerkan ilmu kesaktian di hadapanku? Apa kau
kira aku takut?!" Datuk Marajo Sati cepat mengambil dan mengenakan
sorbannya kembali.
"Maafkan
saya orang tua. Saya tidak bermaksud kurang ajar dan Jauh dari kesombongan.
Saya Juga bukan bukan bapak, bukan pula anak tukang sihir. Saya hanya ingin
menunjukkan bahwa kita memiliki ilmu kesaktian yang sama walau namanya berbeda.
Bukankah itu satu pertanda bahwa antara kita ada saling keterkaitan?"
"Siapa
kau. Dari mana kau dapatkan Ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo?!"
Si pemuda
angkat kopiah hitamnya sedikit, menggaruk kepala baru menjawab sambi!
senyumsenyum.
"Ilmu
yang saya miliki bukan bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo tapi Membelah Bumi
Menyedot Arwah. Ah, tapi keduanya memang sama benar. Apakah Itu berarti kita
masih satu guru satu ilmu. Yang mungkin pula berarti kita ini masih saling
bersaudara?!"
"Benar-benar
kurang ajar mantiko langek" Sang Datuk masih marah, (mantiko langek =
konyol kurang ajar) "Anak muda! Katakan dulu siapa dirimu! Apa yang
membuatmu berani masuk ke dalam tempat kediamanku tanpa izin. Lalu niat jahat
apa yang ada telah kau dengar?!"
"Orang
tua, saya mungkin kesalahan dan lancang masuk ke dalam goa Ini. Tapi semua
tidak saya sengaja dan saya tidak membekal niat jahat. Saya juga tidak punya
maksud mendengar pembicaraanmu. Kalau kau memang bicara, tadi kau bicara dengan
siapa? Tidak ada orang lain di tempat ini. Tidak mungkin kau bicara seorang
diri" Si pemuda pura-pura memandang seputar ruangan batu. Padahal
sebenarnya dia tahu dan mendengar kalau tadi orang tua itu memang bicara dengan
seorang perempuan. Tapi dia merasa heran karena perempuan itu tidak ada di
situ. Sekilas pandangannya membentur kupu-kupu batu giok di cegukan dinding
kiri. Ketika dia berusaha lebih memperhatikan orang tua di hadapannya cepat
berkata dengan suara keras.
"Aku
tidak percaya pada ucapanmul Aku tidak percaya pada orang-orang asing! Datang
ke Ranah Minang acap kali membuat keonaran!"
"Orang
tua, tidak baik berucap seperti itu. Orang baik ada dimana-mana. Orang jahat
juga ada dimanamana. Tapi saya bukan…"
"Sudah!
Katakan siapa namamu ! Ada keperluan apa kau menyusup ke dalam goa ini?"
"Nama
saya Wiro. Saya memang berasal dari tanah Jawa. Saya tidak menyusup ke
sini…"
"Apa
hubunganmu dengan seorang kakek Jawa bemama Ki Bonang Talang Ijo?"
Si pemuda
yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng mengangkat kopiah, menggaruk
kepala. Baru sekali ini saya mendengar nama itu. Saya tidak kenal orang itu.
Barangkali kau bisa menjelaskan?"
"Dia
salah seorang yang telah membunuh sahabatku Sutan Panduko Alam yang tinggal di
pesisir barat.."
"Saya
turut menyesal mendengar cerita duka itu. Tapi saya tidak ada sangkut paut
dengan kematian sahabatmu. Orang tua saya tidak mau mengganggumu lebih lama.
Dan saya mohon maaf kalau telah bedaku lancang masuk ke tempatmu."
"Tunggul
Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum menjawab beberapa pertanyaanku!"
***********************
7
PENDEKAR
212 angkat kopiah hitam, menggaruk kepala lalu berkata. "Orang tua, saya
siap menjawab semua pertanyaanmu."
"Pertama,
ada keperluan dan niat apa kau masuk ke dalam goa ini?" Tanya Datuk Marajo
Sati.
"Malam
ini, ketika saya berjalan di tepi Ngarai Sianok, sambil meniup puput batang
padi ini…." Wiro unjukkan puput yang sejak tadi dipegangnya di tangan
kiri.
"…tiba-tiba
saya melihat ada benda putih melayang di udara. Benda itu kemudian melesat ke
dinding ngarai dan lenyap. Karena ingin tahu saya memeriksa dinding ngarai.
Saya menemukan lobang besar yang rupanya mulut goa menuju ke tempat
kediamanmu."
"Kau
tidak bicara dusta anak muda berambut panjang seperti perempuan?"
Wiro
menggeleng.
"Saya
bicara apa adanya, orang tua."
Datuk
Marajo Sati angkat sorban buntung yang terletak di pangkuannya "Benda
putih yang kau lihat itu adalah sorban ini. Milik seorang sahabat yang sudah
aku anggap sebagai kakak kandung sedarah sedaging. Dia menemui ajal dibunuh
oleh serombongan orang. Salah satu diantaranya adalah kakek dari Jawa bernama
Ki Bonang Talang Ijo. Jika aku tahu kakek itu ada sangkut pautnya dengan dirimu
maka riwayatmu di negeri ini tidak akan lama."
Wiro
terdiam. Dia melihat bayangan rasa sedih mendalam di wajah si orang tua tapi
juga ada amarah yang membersit dari sepasang mata.
"Kau
bukannya mata-mata yang tengah menyelidiki keberadaan…" Datuk Marajo Sati
tidak meneruskan ucapannya. Hampir saja dia ketelepasan menyebut kupu-kupu
giok.
‘Keberadaan
apa. orang tua?" tanya Wiro.
"Aku
masih ada pertanyaan lain," sang Datuk alihkan pembicaraan. "Kau
datang dari jauh. Apa tujuanmu berada di ranah Minang ini?"
“Saya
baru saja menemui seseorang dan ada pesan amanat dari orang itu yang harus saya
lakukan."
"Siapa
orangnya? Tentu dia ada bernama dan juga bergala. Lalu apa pesan amanat yang
diberikannya padamu?" (bergala = bergelar)
“Maaf,
saya tidak bisa memberi tahu nama orang itu. Tapi kalau mengenai pesan
amanatnya bisa saya katakan. Beliau mengatakan bahwa sesuatu perkara besar akan
terjadi di Ranah Minang."
Kening
Datuk Marajo Sati mengerenyit.
"Perkara
besar apa?"
"Beliau
tidak memberi tahu. Beliau hanya meminta agar saya menyelidiki sendiri lalu
memberi tahu padanya apa-apa yang saya dapat…." Jawab Wiro.
"Aneh…."
Datuk Marajo Sati berucap dalam hati.
"Ucapannya
seolah dia seorang Pandeka Gadang. Seperti tidak ada orang cerdik pandai dan
sakti di Ranah Minang ini. "Aku harus mencari tahu siapa manusia satu ini.
Jangan-jangan orang gila yang kesasar. Tapi bisa masuk ke dalam goa ini bukan
satu pekerjaan mudah. Apakah dia mampu merayap di dinding ngarai seperti
cacak?" (Pandeka Gadang = Pendekar Besar) (cacak = cecak)
"Orang
tua apakah saya boleh meninggalkan tempat ini dan sekali lagi disertai
permohonan maaf?"
"Kau
tidak kuperbolehkan pergi sebelum menjawab satu pertanyaan lagi." Jawab
Datuk Marajo Sati.
"Kalau
begitu katamu saya menunggu apa yang hendak kau tanyakan."
"Dari
mana kau dapatkan ilmu membelah tanah yang kau sebut Membelah Bumi Menyedot
Arwah itu?"
"Maaf
orang tua. soal asal usul ilmu. saya tidak dapat menjelaskan."
"Tadi
kau mengatakan ilmu kita sama Mungkin ada keterkaitan diantara kita. Mungkin
kita satu guru satu ilmu. Sekarang mengapa kau bedaku tidak jantan tidak mau
memberi tahu?"
Wiro menggaruk
rambut di belakang kuduk.
"Maafkan
saya, orang tua. Tapi apakah kau sendiri mau memberi tahu dari mana kau
mendapatkan ilmu kesaktian yang kau sebut dengan nama Bumi Tabalah Azab Manimpo
itu?"
"Pemuda
culas. Pergilah dari hadapanku. Bilamana dikemudian hari kau kulihat berani
berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok ini maka aku akan menganggapmu sebagai
musuh! Kau tahu apa artinya itu! Ingat hal itu baik-baik."
"Saya
akan mengingat baik-baik," jawab Wiro.
"Sebaliknya
saya tidak akan pernah menganggapmu sebagai musuh. Saya menghormatimu."
Wiro membungkuk lalu mengambil tangan orang tua itu, menjabat dan menciumnya,
membuat Datuk Marajo Sati terkesiap, geleng-geleng kepala.
Belum
sempat Pendekar 212 Wiro Sableng mencapai mulut goa di dinding ngarai Datuk
Marajo Sati jentikkan ibu jari dan jari tengah tangan kanan dua kali. Saat itu
juga ada kepulan asap di dalam goa. Tak lama kemudian dari dalam kepulan asap
muncul seekor burung elang putih jantan besar bermata merah.
"Alang
Putih Rajo Di Langit, ikuti pemuda tadi. Cari tahu kemana dia pergi dan siapa
saja yang berhubungan dengan dia."
Elang
putih menguik panjang lalu sekali mengepakkan sepasang sayap tubuhnya melesat
ke arah mulut goa. Di satu tikungan goa yang agak gelap, Wiro yang sejak tadi
sengaja mendekam bersembunyi serata tanah serata dinding bergerak berdiri
sambil menyeringai.
"Benar
dugaanku. Orang tua itu tidak membiarkanku pergi begitu saja. Aneh, aku merasa
dia menyembunyikan sesuatu. Katanya ada seorang sahabat menemui ajal malam ini.
Pasti seorang berkepandaian tinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan amanat yang
diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh padaku?"
**************************
BAGAIMANA
Pendekar 212 Wiro Sableng bisa berada di tanah Minang? Seperti diceritakan
dalam serial sebelumnya berjudul "Bayi Titisan" dengan bantuan
harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau Wiro membawa Ken Permata dan Nyi
Retno Mantili ke tanah Jawa untuk menemui Manusia Paku Sandaka.
Setelah
Sandaka mengalami kesembuhan dari tiga puluh paku baja putih yang menancap di
tubuhnya sementara Nyi Retno Mantili juga sembuh dari penyakit jiwanya, atas
pesan yang disampaikan sang Datuk melalui isyarat jarak jauh yang diperlihatkan
harimau putih, Wiro kemudian kembali ke pulau Andalas menemui gurunya itu di
Danau Maninjau.
Datuk Rao
Basaluang Ameh memberi tahu bahwa akan terjadi satu peristiwa besar di Ranah
Minang.
Akan ada
beberapa tokoh silat berkepandaian tinggi dari tanah Jawa yang akan datang dan
terlibat dalam peristiwa itu.
"Selidiki
apa yang terjadi. Beritahu padaku. Kalau perlu kau harus langsung bertindak
sendiri…"
"Datuk,
tanah Minang bukan negeri saya. Apakah nanti saya tidak dikatakan lancang oleh
orang-orang di sini? Saya tahu di negeri ini banyak sekali orang cerdik pandai
berilmu silat tinggi dan memiliki kesaktian yang sulit dicari
tandingannya."
Datuk Rao
menggeleng.
"Seorang
pendekar yang ingin berbuat kebajikan layak berada di mana saja selama
mengingat kata-kata sakti Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung. Bahu
membahu dalam membuat kebajikan adalah suruhan Yang Maha Kuasa. Lagi pula bukan
sekali ini kau berada di tanah Minang. Apa kau lupa?"
"Saya
tidak lupa Datuk. Kalau begitu kata Datuk, saya mohon doa restu Datuk."
Jawab murid Sinto Gendeng. (Kisah Wiro di tanah Minang sebelumnya dapat di baca
antara lain dalam serial "Dendam Di Puncak Singgalang" dan
"Harimau Singgalang")
SESAAT
setelah elang putih peliharaan Datuk Marajo Sati yang bernama Alang Putih Rajo
Oi Langit melesat keluar goa dan membubung tinggi di atas langit malam Ngarai
Sianok, Wiro segera pula bergerak cepat menuju mulut goa. Tapi baru kepala dan
tubuhnya menyembul di depan goa tiba-tiba dua benda bercahaya hitam pekat
disertai suara mengiang, menderu menyambar ke arah kepala dan dadanya. Secepat
kilat murid Sinto Gendeng jatuhkan diri.
Benda
pertama berdesing di samping kiri kepala Wiro membuat telinganya pengang. Benda
ini kemudian menghantam amblas dinding goa sebelah dalam. Benda kedua melesat
di depan dada. Walau bisa dielakkan tapi masih sempat merobek sedikit dada baju
putihnya. Kulit dadanya terasa dingin tanda apapun benda yang menyerang
mengandung racun jahat Gerakan mengelak membuat kaki kiri Wiro tergelincir di
tebing ngarai yang terjal dan berlumut Tak ampun lagi tubuhnya terjatuh ke
bawah. Dia berusaha menggapai satu tonjolan batu di dinding ngarai namun karena
licin pegangan terlepas.
Tubuhnya
kembali melayang ke bawah. Kali ini sungai Batang Sianok yang ditebari
batu-batu besar dan runcing siap menunggu. Di pintu goa saat itu telah berdiri
Datuk Marajo Sati dan melihat apa yang terjadi. Dengan cepat orang tua ini
tanggalkan sorbannya. Sekali sorban disentakkan maka benda itu berubah menjadi
amat panjang. Sorban dengan cepat berhasil melilit kaki kanan Wiro hingga
jatuhnya tertahan dan tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam air Batang Sianok.
Ketika
merasa tidak ada daya berat yang menggelantungi sorbannya Datuk Marajo Sati
segera menarik sorban. Matanya memandang ke bawah, ke arah sungai berbatu-batu.
"Lenyap.
Pemuda itu tidak kelihatanl Aku tidak berhasil menolongnya…Saat ini Batang Anai
tidak seberapa dalam. Tapi kalau kepalanya membentur batu. Sayang sekali kalau
dia menemui ajal sebelum aku tahu siapa dia adanya…" Datuk Marajo Sati
tarik nafas panjang. Perlahan-lahan dia gulung sorbannya Ketika gulungan akhir
mencapai ujung sorban, sepasang mata orang tua ini terbelalak. Pada ujung kain
sorban terdapat lobang-lobang hitam seperti hangus yang ketika diperhatikan
merupakan kata berbunyi:Terima kasih.
"Mantiko
langek Benar-benar mantiko langek Mantiko Cirik Berarti dia tidak matil Dia
malah mempermainkan diriku! Dengan apa dia membuat tulisan ini?" Datuk
Marajo Sati tampak jengkel. (Mantiko langek/Mantiko cirik = konyol kurang ajar)
Di udara
malam yang bersih. Alang Putih Rajo Di Langit berputar dua kali di atas ngarai,
menguik panjang lalu melesat ke ujung goa. Burung putih bermata merah Ini
cengkeram kuku-kuku kaki ke dinding goa, paruh mengorek bagian dinding yang
tadi dihantam benda yang menyerang Wiro. Benda dijepit diantara dua paruh lalu
dibawa masuk ke dalam goa dan diletakkan di lantai hadapan Datuk Marajo Sati.
Benda itu ternyata adalah sebuah besi hitam berbentuk bintang bersudut empat
Pada setiap ujung terdapat lobang kecil. Bilamana benda ini dilempar dan
melayang di udara maka empat lobang yang bersentuhan dengan udara atau angin
akan mengeluarkan suara seperti tiupan seruling yang tidak putus-putus.
Datuk
Marajo Sati timang-timang benda itu sesaat lalu dekatkan ke hidung.
"Senjata
rahasia mengandung racun Baru sekali ini aku melihat yang seperti ini. Tidak
ada tokoh rimba persilatan Ranah Minang memiliki senjata rahasia seperti ini.
Berarti pemuda berambut panjang tadi datang ke sini sudah mempunyai musuh.
Atau…"
Datuk
Marajo Sati kembali perhatikan benda berbentuk bintang bersudut empat
"Kalau senjata rahasia ini memang benar bukan milik kerabat anak Nagari
berarti pemuda itu datang membawa musuh. Berarti betul dugaanku dia bukan orang
baik-baik."
Sang
Datuk angkat kepala, memandang pada elang putih. "Rajo Di Langit. Aku
berterima kasih kau membawa benda ini padaku. Sekarang kembali lanjutkan apa
yang aku tugaskan. Cari dimana pemuda itu. Ikuti kemana dia pergi…"
***********************
8
WIRO
mengambangkan tubuh, untuk beberapa lama sengaja mengikuti arus sungai Batang
Sianok ke arah hilir. Rasa dingin yang mencucuk membuat dia akhirnya berenang
ke tepian. Saat itu di timursudah mulai tampak cahaya terang tanda sebentar
lagi fajar akan menyingsing disusul munculnya sang surya kembali menerangi bumi
alam Minangkabau. Sambil merebahkan diri di atas sebuah batu besar di tepi
sungai Ingatan Wiro kembali pada orang tua di dalam goa.
"Orang
tua itu, sayang aku lupa menanyakan namanya. Dia orang baik. Tapi ada sesuatu
yang agaknya membuat dia curiga padaku. Sebelum bertemu muka dengan dia, aku
jelas sekali mendengar suara dia bicara dengan seorang perempuan. Tapi ketika
aku masuk ke tempatnya tidak ada orang lain di situ. Apa dia lebih dulu
menyembunyikan perempuan itu sebelum memerintahku menemuinya? Kalau benar
mengapa? Lalu siapa perempuan Itu? Sayang apa yang mereka bicarakan tidak
terlalu Jelas sampai di telingaku."
Wiro
kibas-kibaskan kopiah hitamnya yang basah kuyup. "Walau aku jatuh ke dasar
ngarai, dia menolongku meski sebenarnya aku masih bisa selamatkan diri. Itu
membuktikan dia benar-benar orang baik. Satu kali aku akan menemuinya lagi.
Ilmunya
tinggi. Jika aku bersahabat mungkin aku bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman
baru dari orang tua Itu. Seperti dia ingin tahu dari mana aku mendapatkan ilmu
Membelah Bumi Menyedot Arwah, aku juga Ingin tahu dari mana dia bisa menguasai
ilmu yang katanya bernama Bumi Tabalah Azab Manimpo itu. Aku mendapat dari Luh
Rembulan di Latanahsilam. Apakah dia juga mendapatkan dari negeri seribu dua
ratus tahun silam itu? Juga dari Luh Rembulan? Berarti apa dia juga pernah
terpesat ke sana?" Wiro garuk-garuk kepala "Aku tidak percaya.
Mustahil."
Wiro
tanggalkan baju putihnya. Setelah diperas baju dikenakan kembali. Pada saat
Ituah tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari diikuti hiruk pikuk teriakan
banyak orang di atas dinding ngarai. Bukan cuma suara lelaki tapi juga ada
suara perempuan.
Lalu
menyusul bak-buk bak-buk, suara orang dipukul dan suara orang menjerit-jerit
minta ampun.
Karena
ingin tahu apa yang terjadi, Wiro melompat ke atas sebuah batu. Dari atas batu
ini dia melesat ke atas ngarai. Beberapa belas langkah di hadapannya, di tepi
ngarai dia melihat belasan orang tengah menggebuki seorang pemuda berpakaian
hitam yang berulang kali berteriak minta ampun. Yang membuat Wiro terkejut
adalah karena pemuda ini mengenakan destar putihnya yang hilang sehari
sebelumnya "Pemuda sialanl Jadi dia yang mencuri destar ikat kepalaku.
Mengganti dengan kopiah hitam ini" Maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
Tak jauh
dari situ ada serombongan perempuan yang juga berteriak-teriak sambil
menunjuk-nunjuk. Salah seorang dari perempuan itu berteriak.
"Anak
itu pantas diberi pelajaran. Kalau tidak, tak akan jera-jera dia berbuat kurang
ajar."
"Tajunkan
saja dia ke dalam ngarai" Seorang pemuda yang ikut menggebuki berteriak
lalu melayangkan tendangan. (Tajunkan = lemparkan)
Pemuda
yang ditendang terkapar di tanah, dengan susah payah berusaha bangun lalu
bersujud, pegangi kepala yang mengenakan destar putih milik Wiro sambil kembali
berteriak minta ampun. Pukulan dan tendangan kembali menghantam tubuhnya.
"Sudah!
Sudah! Hentikan Cukup sudah kalian menghajarnya!" Seorang lelaki separuh
baya berpakaian putih dan menyandang sarung berteriak sambil coba menghalangi
orang-orang yang seperti kemasukan setan menggebuki lelaki berpakaian hitam.
"Kita bawa saja dia ke Datuk Penghulul Biar selesai perkara dan
hukumannya"
Pemuda
yang digebuki sudah tak karuan rupa lagi.
Bengkak
lebam, darah mengucur dari hidung dan mulut Menurut Wiro beberapa pukulan dan
tendangan lagi akan membuat orang itu menemui ajal. Ketika seseorang kembali
hendak menendang dan kali ini diarahkan ke kepala, Wiro segera melompat dan
mendorong orang itu hingga terjatuh. Melihat ada orang tidak dikenal datang
menolong, orang banyak jadi tambah beringas. Sebagian dari mereka segera
menyerang Wiro. Yang lain berteriak-teriak memaki dalam bahasa yang tidak
dimengerti murid Sinto Gendeng. Dua orang pemuda dilihat Wiro telah menghunus
lading. (lading = golok)
"Pemuda
aneh berambut macam padusi ini pasti kawan Malin Kapuyuak Mari sama-sama kita
habisi keduanya" Salah seorang pemuda yang memegang golok berteriak,
(padusi = perempuan)
Tidak
menunggu lebih lama Wiro segera angkat orang yang terkapar di tanah lalu
memanggulnya di bahu kiri. Tangan kanan cepat-cepat diangkat sewaktu dua pemuda
bersenjata golok diikuti beberapa orang lain hendak menyergap dirinya.
"Jangan,
tahan. Sabar!" teriak Wiro. "Orang ini sudah sekarat. Apa dunsanak
sekalian mau membunuhnya?" (dunsanak = saudara-saudara, di Jawa = ki
sanak)
“Sia
wa-ang mau membela anak Jahanam Itu Mau minta mati juga rupanya!” Seseorang
berteriak. (Siawa-ang = siapa kau)
Kecuali
lelaki berpakaian putih yang menyandang sarung, yang lain-lain tidak satupun
mau mendengar.
Dua
pemuda yang memegang golok menyerbu lebih dulu. Wiro tidak mau berlaku ayal
menghadapi orang orang kalap itu. Pemuda yang hendak ditolongnya itu pasti
punya kesalahan besar. Sambil melompat mundur Wiro dorongkan tangan kanan ke
arah dua penyerang. Satu gelombang angin yang hanya mengandalkan tenaga dalam
rendah dan tidak berbahaya menderu. Dua pemuda bersenjata golok berteriak kaget
ketika tubuh mereka terangkat ke udara dan mengapung beberapa saat lalu
terhempas ke tanah. Senjata yang dipegang terlepas jatuh. Selagi semua orang
tersentak kaget dan berteriak-teriak, Wiro segera berkelebat tinggalkan tempat
itu.
**************************
DI ATAS
dangau di tepi sawah yang baru di panen Wiro membaringkan pemuda berpakaian
hitam yang dilarikannya dari amukan orang banyak. Saat itu hari mulai terang
karena fajar telah menyingsing. Dari atas dangau kelihatan bayangan Gunung
Singgalang di arah barat dan Gunung Merapi di sebelah timur. Setelah
memperhatikan pemuda yang terbujur di lantai dangau dan menunggu sebentar Wiro
kemudian berkata.
"Anak
muda sial, aku tahu kau tidak tidur Juga tidak pingsan. Jangan pura-pura!"
Wiro
tepuk keras-keras pipi kiri kanan pemuda itu lalu menyandarkannya ke tiang
dangau.
Si pemuda
menatap Wiro dengan matanya yang sipit sembab. Lalu menyeka darah di mulut yang
bibirnya pecah.
"Aden….hukk"
(aden = waden = aku) Si pemuda keluarkan ucapan lalu pegangi dada. Kepala
digeleng geleng, muka mengerenyit menahan sakit yang terasa mulai dari
ubun-ubun sampai ke kaki.
"Kau
mencuri destarkul Pasti kau lakukan sewaktu aku mandi di telaga beberapa hari
lalu! Sialan!" Wiro mengambil ikat kepala putih miliknya yang ada di atas
kepala si pemuda. Ternyata destar itu sudah dikecilkan hingga tidak muat lagi
di kepala Wiro. Wiro bantingkan ikat kepala putihnya ke muka si pemuda.
"Kakak,
Uda sahabatku. Aku mohon maafmu. Memang aku yang mencuri kopiahmu. Aku sangat
tertarik Kopiah seperti itu tidak ada di negeri ini. Tapi aku bukan cuma
mencuri. Aku mengganti destarmu dengan kopiah hitam yang kini kau pakai."
(Uda = Kakak, Abang)
"Kopiah
ini kekecilan. Walau kau mengganti tetap saja namanya kau mencuri" Wiro
jewer telinga si pemuda dan diuntir-untir ke depan ke belakang hingga orang itu
menjerit kesakitan.
"Katakan
mengapa orang sekampung, lelaki perempuan mengejar dan menggebukmu sampai
begini rupa. Masih untung kau tidak sampai meregang nyawa"
Pemuda
yang ditanya hanya meringis sambil usapusap dada.
"Dengar,
aku akan meninggalkan dirimu. Kalau orang-orang itu mengejar sampai ke sini
tamat riwayatmu!" Wiro melompat turun dari atas dangau.
"Tunggu,
jangan pergi dulu…."
Wiro
balikkan badan. "Kau mau bercerita?"
"Dudukdi
sebelahku, aku akan bercerita."
Wiro lalu
naik kembali ke atas dangau dan duduk di samping si pemuda.
"Kau
bukan orang di sini…"
"Betul."
"Kau
telah menolongku. Aku berterima kasih."
"Aku
tanya sekali lagi. Kau mau bercerita atau tidak?" Si pemuda usap bibirnya
yang bengkak luka.
"Uda
bakupiah hitam. Siapa nama Uda?" (bakupiah = berkopiah)
"Sialan!"
Wiro memaki karena si pemuda masih bicara hal lain bukannya bercerita.
"Kau sendiri siapa namamu?!”
"Jangan
marah….Aden tahu Uda orang baik. Kau telah menolongkul Orang menyebutku Malin
Kapuyuak."
"Aneh
namamu. Apa itu nama atau gelar? Patah lidahku menyebut namamu.
Kapuyuaaakk…" (Kapuyuak = Kecoak) Wiro pencongkan mulut.
"Namaku
sebenarnya Salihin. Orang menyebutku Malin Kapuyuak. Kau bisa mengatakan itu
sebagai gelar. Tapi gelar cemooh ejekan. Kau tahu artinya Kapuyuak?"
Pemuda berpakaian hitam tertawa.
Wiro
menggeleng dan mulai kesal karena orang belum juga bercerita perihal mengapa
dia sampai digebuki.
"Kapuyuak
binatang yang banyak berkeliaran di kakus. Warnanya coklat, kadang-kadang bisa
terbang. Baunya busuk…"
"Sudah,
aku sekarang sudah tahu artinya Kapuyuaaakk. Di Jawa disebut kecoak…"
"Ah…Uda
ini orang Jawa rupanya." Kata Malin Kapuyuak pula.
Wiro
meneruskan. "Kecoak biasanya berada di kakus atau jamban. Berarti kau
masih saudara dengan taik…"
"Taik.
apa itu?" tanya Malin Kapuyuak.
"Taik
artinya langek!" jawab Wiro kesal, (langek = kotoran manusia)
Malin
Kapuyuak tertawa gelak-gelak. "Kau tahu Juga bahasa orang di sini. Uda
sahabatku, kalau boleh aku tahu siapa namamu?"
"Wiro…"
"Di
Koto Gadang banyak orang Jawa. Di Bukit Nan Tinggi ada Kampung Jawa. Di
Pagaruyung "
Wiro
menggaruk kepala. Kakinya di turunkan ke tanah. Pemuda mengaku bernama Malin
Kapuyuak alias Malin Kecoak cepat memegang bahu Wiro. Mukanya yang lebam sembab
dan penuh noda darah menyeruakkan tawa.
"Orang
Jawa rupanya lekas pemarah. Aden tahu, kau sudah kesal. Baik. sekarang aku
katakan terus terang padamu. Aku dipukuli orang karena ketahuan mengintip kuda
kawin…"
Wiro
kerenyitkan kening. Mengangkat kopiah basah lalu menggaruk kepala. Setelah
menatap muka lebam Malin Kapuyuak. murid Sinto Gendeng tertawa bergelak.
"Aneh!
Kalau cuma mengintip kuda kawin mengapa kau dihajar orang sampai lebam biru
begini rupa?! Janganjangan kau yang kawin dengan kuda itu!"
Malin
Kapuyuak ganti tertawa terbahak-bahak namun kemudian mengerenyit karena
bibirnya yang luka terasa sakit.
***********************
9
SETELAH
mengusapusap bibirnya yang pecah Malin Kapuyuak berkata.
"Induk
masalah sebenarnya, tak Jauh dari kandang kuda itu ada jalan menurun. Lalu di
kelokan jalan ada pancuran. Nah di pancuran itu ada anak-anak gadis sedang
mandi pagi. Mereka memang biasa mandi sebelum hari terang. Kau tahu maksudku…?
Mereka
mandi dengan menanggalkan seluruh pakaian.
Mereka
semua putih-putih. Rancak-rancak. Salah seorang di antara anak-anak gadis itu
bernama Pandan Dewi. Bunga dusun paling cantik."
"Aku
sudah bisa menduga apa yang kemudian terjadi," kata Wiro pula. "Kau
bukan hanya mengintip kuda kawin. Tapi kau ketahuan mengintip anak gadis orang
sedang mandi. Lalu dikejar dan digebuki orang sekampung!"
"Betul
sekali. Ibu serta mamaknya. Kawan-kawan, tetangga orang sekampung. Semua
mengejar dan memukuli ku" (mamak = paman)
‘Untung
kau tidak dilempar ke dalam ngarai."
"Awak
memang lagi sial. Aku sudah berulang kali mengintip di banyak tempat. Di
pancuran tempat Pandan Dewi mandi, aku sudah mengintai delapan kali"
"Delapan
kali? Gila!"
Malin
Kapuyuak tertawa.
"Sialnya
baru sekali ini adcn taparogok ketahuan."
Malin
Kapuyuak usap keningnya yang benjut lalu berkata (taparogok = tertangkap
tangan) "Anak gadis yang namanya Pandan Dewi itu…." SI pemuda acungkan
jempol kanan. "Benar-benar rancak. Bak penjelmaan bidadari turun ke bumi.
Tubuh tinggi semampai, putih bersih, gigi rata berkilat bak susunan mutiara.
Rambut panjang hitam sepinggang. Kalau bicara suaranya seperti bulu perindu
masuk ke telinga.
Satu minggu
masih tergiang-ngiang. Kalau kau mau akan aku beri tahu dimana rumahnya. Kau
nanti lihat sendiri. Kalau kau tidak sampai terpikat potong telingaku kiri
kanan. Kalau kau mau mengawininya akan aku carikan Tuan Kadi. Ha…ha…ha’ (Tuan
Kadi = penghulu)
Wiro
tertawa mendengar ocehan Malin Kapuyuak.
"Kau
penduduk dari dusun yang sama dengan gadis-gadis yang kau intip itu?"
Malin
Kapuyuak menggeleng.
"Setelah
digebuki orang hampir mati, apa kau sekarang sudah jera?" tanya Wiro.
Malin
Kapuyuak menyeringai. "Jera mungkin ada. Tapi celakanya mataku ini selalu
gatal Ingin mengintip."
"Masih
untung baru matamu yang gatal. Kalau sudah tanganmu ikut gatal, apa lagi anak
ketek yang ada di bawah perutmu ikutan gatal, oala….kau bakal celaka
besar." (anak ketek s anak kecil. Maksudnya burungnya si Malin Kapuyuak.)
Malin
Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
"Kau
senang melawak. Aku suka padamu."
"Malin,
aku akan coba menolongmu. Agar pendarahan pada luka di hidungmu berhenti dan
rasa sakit di sekujur tubuh berkurang. Tapi kau harus berjanji mau menjawab
beberapa pertanyaan."
"Uda
sahabatkul Jangankan menjawab pertanyaan, kau suruh aku tajun ke dalam
ngaraipun akan ku lakukan. Kau sudah menyelamatkan jiwaku. Obat apa yang mau
kau berikan padaku?" (tajun = terjun)
"Aku
tidak punya obat. Tapi akan melakukan ini…" Habis berkata Wiro lalu totok
tubuh Malin Kapuyuak mulai dari kepala, dada, pinggang dan telapak kaki. Malin
Kapuyuak pejamkan mata menahan sakit.
Saking
tidak bisa menahan pemuda ini sampai buuuttt…keluarkan kentut!
"Sialan
kaul Dasar kapuyuak!" Maki Wiro sambil menjitak kepala si pemuda lalu
melompat turun dari atas dangau Perlahan-lahan Malin Kapuyuak buka kedua mata.
Mulut
menyeringai.
"Aku
tidak bermaksud kurang ajar Tapi angin itu keluar sendiri. Hai ! Kau Ini dukun
besar rupanya. Lihat darah di hidungku tidak mengucur lagi. Rasa sakit di muka
dan sekujur badan jauh berkurang…"
Wiro
pegang bahu si pemuda lalu berkata.
"Sekarang
jawab pertanyaanku. Apakah kau tahu kalau di salah satu tebing Ngarai Sianok
ada sebuah goa. Dan di dalam goa itu diam seorang tua berpakaian dan bersorban
putih, memelihara seekor burung elang putih."
Tampang
Malin Kapuyuak mendadak berobah. Dia seperti orang ketakutan.
"Kau…kau
maksudkan Datuk Marajo Sati…?"
"Hemm…Jadi
nama orang tua yang tinggal di dalam goa itu Datuk Marajo Sati."
"Kau…kau
mau mengadukan perbuatanku padanya? Mati aden"
Wiro
menyeringai dan gelengkan kepala. "Orang tua itu orang baik…"
"Datuk
Marajo adalah Datuk pimpinan dari para Datuk di Luhak Nan Tigo. Adatnya keras.
Terutama menyangkut adat Nagari dan keagamaan. Beliau juga bertanggung jawab
atas keamanan Luhak Nan Tigo serta keamanan Kerajaan Pagaruyung. Meski paling
muda tapi ilmunya paling tinggi diantara semua Datuk. Kalau tidak ada maksud
tertentu mengapa kau menanyakan Datuk itu padaku?"
Wiro lalu
menceritakan bagaimana dia terpesat masuk ke dalam goa kediaman Datuk Marajo
Sati. Tapi belum memberi tahu tentang adanya suara perempuan di goa tempat
kediaman sang Datuk.
"Uda
Wiro sahabatku. Aku nasihatkan padamu. Lebih baik jangan mencari urusan dengan
Datuk Marajo Sati. Nanti kepalamu di pindahkan ke lancirik dan lancirik
dipindahkan ke kepalamu" (lancirik = pantat)
Wiro
tertawa. "Kalau ada orang yang mau dibegitukan oleh Datuk maka kaulah
manusianya Aku sudah minta maaf padanya. Dia juga telah menolongku sewaktu aku
jatuh dari dinding ngarai…."
"Pasti
dia mengaitmu dengan sorban saktinya."
"Bagaimana
kau tahu?" tanya Wiro pula.
"Siapa
orang di tanah Minang Ini yang tidak tahu kesaktian sorban Datuk Marajo Sati.
Sorban itu bisa mencuat tinggi sampai ke langit, mampu melesat sedalam dasar
samudera. Bahkan sorban bisa berubah menjadi binatang seperti ular atau naga
sebesar bukit Datuk itu juga biasa disebut Datuk Sorban Saribu Sati." (Datuk
Sorban Seribu Kesaktian)
“Hebat
sekali" memuji kagum Pendekar 212.
"Itu
belum seberapa. Kau tahu. Datuk Marajo Sati kalau kemana-mana dia bisa melayang
terbang naik sorbannya!"
"Luar
biasa!" Kembali Wiro memuji. "Sobatku yang sial. aku ada satu
pertanyaan lagi. Apakah Datuk Marajo Sati punya anak perempuan atau punya
seorang istri yang tinggal bersamanya di dalam goa di dinding ngarai itu?"
"Eh,
ini pertanyaanmu aneh. Rupanya kau tertarik pada istri Datuk! Ternyata kau
lebih galadiah dari aku. Lebih kurang ajar dari aku! Ha…ha…ha!" (galadiah
= brengsek)
"Aku
belum gila mau-mauan menyenangi istri orang, apa lagi yang sudah
nenek-nenek…."
"Huss!
Siapa yang mengatakan istri Datuk Marajo Sati seorang nenek-nenek. Istri
pertamanya memang sudah tua dan telah meninggal sepuluh tahun silam. Dari
istrinya itu Datuk Marajo Sati tidak dikarunia anak. Setelah istrinya tiada dia
kemudian mendapatkan istri pengganti, masih muda. Dikawini Datuk sekitar
setahun silam. Baru berusia dua puluh tahun. Cantik jelita. Tinggal di Koto
Gadang. Sampai saat ini dari istrinya yang baru dan muda itu Datuk juga belum
mendapatkan anak. Setahu orang istri Datuk Marajo Sati tidak pernah datang ke
goa di Ngarai Sianok. Sang Datuklah yang selalu mengunjungi istrinya pada
waktu-waktu tertentu. Tapi bisa saja istrinya datang ke sana kalau ada
kepentingan mendadak. Tapi….rasanya mustahil. Istri Datuk tidak akan mungkin
bisa memanjat ngarai, masuk ke dalam goa…"
Mendengar
cerita Malin Kapuyuak Wiro baru menerangkan tentang adanya suara perempuan yang
didengarnya di dalam goa, bicara dengan Datuk Marajo Sati.
"Dari
suaranya aku bisa menduga kalau perempuan itu masih sangat muda. Kalau istri
Datuk Marajo Sati tidak pernah datang ke goa, lalu suara perempuan siapa yang
aku dengar?"
Belum
sempat Malin Kapuyuak mengatakan sesuatu tiba-tiba seekor burung besar berwarna
putih melesat di atas dangau. Dalam waktu sekejap saja burung itu telah lenyap
di arah timur.
"Aku
tahu. burung yang barusan melintas di atas dangau adalah elang putih peliharaan
Datuk Marajo Sati…." Kata Wiro sambil menatap ke arah lenyapnya burung
putih besar.
"Burung
itu bukan binatang biasa. Walau tidak bisa bicara tapi dia mampu mengerti
ucapan Datuk Marajo Sati. Jika diperintah mencabik atau membunuh orang, burung
itu mampu melakukan dengan mudah."
"Malin.
apa kau tahu burung elang itu jantan atau betina?"
"Jantan
tentunya Eh, apa maksud tanyamu itu. Seandainya burung elang itu betina, kau
mau menduga-duga bahwa Datuk Marajo Sati…."
"Otakmu
kotor. Karena terlalu banyak mengintip" tukas Wiro. "Aku punya
firasat burung itu mematamatai diriku."
"Bisa
jadi Datuk Marajo Sati sudah berada dekatdekat ke tempat ini. Sebaiknya kita
segera pergi dari sini." Malin Kapuyuak tampak takut dan cepat berdiri.
Namun
belum sempat tubuhnya diluruskan tiba-tiba tiga orang berkelebat dan tahu-tahu
sudah berada di depan dangau.
"Cilakol
Mati aden" ("Celaka! Mati aku!") Ucap Malin Kapuyuak dengan
suara gemetar ketika dia mengenali salah satu dari tiga orang yang muncul.
***********************
10
DALAM
tarak (samadi) yang dilakukan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sejak tengah
malam sampai menjelang dini hari. nenek yang menggantungkan diri di cabang
pohon kaki ke atas kepala ke bawah ini memang mendapat petunjuk gaib. Namun
petunjuk itu tidak menyatakan dimana beradanya kupu-kupu giok melainkan
mengarah pada bayangan seorang pemuda asing tidak dikenal yang saat itu berada
di sebuah dangau tak jauh dari Ngarai Sianok.
"Aku
tidak bisa menjajaki keberadaan kupu-kupu giok. Agaknya mahluk itu memiliki daya
penolak yang hebat. Atau mungkin ada kekuatan sakti melindunginya….Mengenai
pemuda asing yang aku lihat dalam tarak, dia tidak sendirian. Ada seorang
pemuda lain bersamanya." Menerangkan si nenek pada beberapa orang
kambratnya yang menunggui.
‘Saudaraku,"
kata Si Kamba Pesek Tangan Manjulai yang berada dalam keadaan cidera.
"Kalau kau sudah bisa menduga dimana letaknya dangau itu, segera pergi
kesana. Jangan seorang diri. Bawa beberapa sahabat. Bukan mustahil pemuda asing
yang kau lihat dalam gaib itu adalah pelindung puteri Pangeran Kerajaan Cina
yang jadi kupu-kupu giok."
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai meminta Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit pergi
menemuinya. Karena Perwira Muda Teng Sien bersikeras minta ikut, maka si nenek
terpaksa membawanya. Pada saat menjelang fajar menyingsing ke tiga orang Itu
segera berangkat ke arah timur. Dalam perjalanan, di tengah jalan Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai sempat menyirap kabar perihal kejadian adanya seorang
pemuda bernama Malin Kapuyuak yang dihajar orang sedusun karena berani berbuat
lancang mengintai anak gadis mandi. Juga didapat cerita bahwa pemuda kurang
ajar itu kemudian dilari diselamatkan oleh seorang pemuda asing berambut
panjang seperti perempuan.
Si nenek
yakin betul, petunjuk yang didapatnya dalam bertarak tidak beda dengan apa yang
diceritakan penduduk setempat Kembali ke dangau. Melihat Malin Kapuyuak tampak
begitu ketakutan. Wiro berbisik. "Kau mengenali orang-orang ini?"
"Aku…aku
hanya mengenali nenek berambut jarang bergigi perak itu. Dia Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai, nenek setan berilmu tinggi yang sering menimbulkan kekacauan
di tanah Minang.”
‘Kurang
ajar! Kau berani menyebutku nenek setan penimbul kekacauan! Robek
mulutmu!"
Rupanya
ucapan Malin Kapuyuak yang walau berbisik-bisik sempat terdengar di telinga Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Nenek ini berteriak marah lalu sekali
berkelebat tangan kanannya yang panjang meluncur lebih panjang, membeset ke
arah mulut Malin Kapuyuak Jika pemuda ini tidak bisa menghindar dari serangan
itu maka bukan saja mulutnya tapi separuh kepalanya akan tercabik mengerikanl
Dan ternyata Malin Kapuyuak memang t’iak mampu selamatkan diri!
Sekejap
lagi mulut dan kepala pemuda tukang intip perawan mandi itu akan robek
tiba-tiba murid Sinto Gendeng dengan gerakan kilat ulurkan tangan berusaha
mencekal lengan si nenek.
"Nek,
jangan langsung bertindak keras. Mari kita bicara dulu" Ucap Pendekar 212.
Tapi si nenek tidak perduli, dia teruskan gerakan tangannya untuk merobek muka
Malin Kapuyuak.
Mau tak
mau Wiro terpaksa hantamkan pinggiran telapak tangan kanannya ke lengan si
nenek.
"Bukk!"
Lengan
dan pinggiran telapak tangan beradu keras. Lengan Si Kamba Tangan Manjulai
terpental.
Sambaran
tangan mautnya luput dari sasaran. Si nenek memekik kesakitan dan marah sekali.
Dengan cepat dia membuat gerakan aneh. Tangan yang barusan dipukul berubah
laksana seekor ular menggelung tangan kanan Wiro.
Pendekar
212 berseru kaget sewaktu dia tidak mampu melepaskan diri dari lilitan tangan.
Sesaat sebelum lengan itu dibelit hancur sampai ke tulang dengan cepat murid
Sinto Gendeng merapal aji kesaktian pelicin tubuh bernama Belut Menyusup Tanah.
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai berteriak kaget ketika tangannya yang sudah membelit
dan siap meremas hancur tangan Wiro tiba-tiba terlepas, membuat tubuhnya
terjengkang. Sebelum sempat Imbangi diri satu tombak, bergulingan di tanah. Dia
berusaha bangkit terbungkuk-bungkuk menahan sakit Untungnya Wiro tidak
menyertai tendangannya dengan aliran tenaga dalam. Si nenek tudingkan tangan
kiri ke arah Wiro.
"Palasik
jahanam! Beraninya kau menyakiti diriku! Kau yang aku lihat dalam samadiku! Kau
pasti punya sangkut paut dengan puteri Pangeran yang kabur dari negeri Cina
itu! Paling tidak kau merupakan mahluk penghalang berusaha mencegah kami
mendapatkan kupu-kupu giok!" (Palasik = semacam mahluk yang suka menghisap
darah terutama darah bayi)
"Kamba
Mancuang!" teriak Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit "Kau ini bicara
apa" Lelaki ini membentak keras karena dalam marahnya si nenek tadi telah
ketelepasan bicara soal puteri Pangeran Cina dan kupu-kupu giok yang seharusnya
dirahasiakan.
Tapi Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai tidak befduli. Habis memaki si nenek buka
mulutnya lebarlebar ialu berteriak keras. Saat itu juga dari barisan gigi
peraknya atas bawah melesat dua rangkum cahaya putih berpijar menyilaukan.
Menyambar ganas ke arah dua bagian tubuh Wiro. Yang pertama menyambar dari
pinggang ke atas, yang lain menghantam dari pinggang ke bawahi "Nek, kita
tidak saling bermusuhan! Mengapa menurunkan tangan jahat terhadapku?!"
Teriak murid Sinto Gandeng.
"Siapa
yang kurang ajari Siapa yang menghalangi pekerjaanku adalah musuh bagiku"
Jawab si nenek.
"Wusss
Wusss"
Dua larik
cahaya putih berpijar menyambar disertai menghamparnya hawa luar biasa panas.
Inilah ilmu kesaktian yang disebut Angin Merapi Merambah Bumi. "Tua bangka
edan" Maki Pendekar 212 sambil melesat ke udara. Selagi tubuh melayang
tangan kiri kanan didorong melepas dua pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam
Batu Karang.
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai berseru kaget ketika dua angin pukulan lawan keluarkan
suara menggemuruh seperti bukit batu roboh. Begitu dia melompat selamatkan diri
dihadapannya di menyaksikan bagaimana tiupan angin putih maut yang keluar dari
deretan gigi peraknya buyar cerai berai.
Sebagian
menyambar dangau hingga saat itu juga bangunan itu tengoelam dalam kobaran api.
Pemuda bernama Malin Kapuyuak yang masih berada di dalam dangau itu serta merta
melompat selamatkan diri lintang pukang. Si nenek delikkan mata melihat di
tanah di depannya kini ada lobang sebesar kubangan kerbau akibat dua pukulan
lawan.
Hantu
Gunung Sago SI Kalam Langit tadinya hendak menerjang menyerang Pendekar 212.
Namun melihat bagaimana pemuda berambut gondrong itu menghancurkan serangan si
nenek dan di tanah kini tampak lobang besar, kuduknya jadi merinding. Dia
berpikir dua kali untuk melanjutkan serangan.
Sebaliknya
lain halnya dengan Perwira Muda Teng Sien. Walau tidak mengerti ucapan orang
namun dia menduga Wiro mengetahui dimana beradanya kupukupu giok. Maka begitu
menghunus golok anggota pasukan Kerajaan Cina ini langsung menyerbu Wiro.
Ilmu
goloknya memang luar biasa. Sekait menggebrak dia telah kirimkan dua bacokan ke
arah kepala, menyilang menjurus dada lalu ditutup dengan tusukan ke bagian perut.
Melihat
Wiro tidak bersenjata dan terdesak hebat, Malin Kapuyuak segera mengambil bambu
patahan tiang dangau yang masih utuh lalu dilemparkan pada Wiro. Dengan cepat
Wiro sambar potongan bambu lalu dipergunakan sebagal senjata menghadapi
serangan lawan. Namun bambu bukanlah tandingan golok besar di tangan Teng Sien.
Dalam dua kali menggebrak saja Perwira Muda bertopi besi Ini telah membuat
bambu itu terpotong-potong dan kini hanya tinggal sepanjang satu setengah
jengkal yang masih berada di tangan Wiro.
"Perwira
Mudai Habisi orang itu. Bunuh!" teriak Si Kamba Hantu Manjulai.
Tanpa
disuruhpun walau tidak mengerti ucapan orang Teng Sien memang ingin mencincang
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong
Itu dan dia tidak perduli. Dia hanya punya kecurigaan bahwa Wiro merupakan
salah satu dari orang-orang yang menghalangi usahanya mendapatkan kembaii
kupu-kupu Giok yang membawa tubuh puteri Pangeran Chia Swie Kim. Sekali
melompat golok besar di tangan sang Perwira Muda sudah berdesing di udara.
Lancarkan serangan berantai yang sangat ganas. Memperhatikan gerak dan hawa
yang keluar dari golok lawan Wiro bisa mengukur kalau serangan Teng Sien tidak
disertai tenaga dalam. Namun tenaga luarnya sungguh luar biasa.
Ketika
lawan melompat lagi mengirimkan serangan kilat, saat inilah, tiba-tiba dengan
cepat Wiro merunduk sedikit lalu lemparkan potongan bambu yang masih ada di
tangannya ke arah bawah perut sang perwira. Tepat mengenal kantong menyannya
Jerit Teng Sien setinggi langit. Tubuhnya langsung ambruk, menjerit,
melejang-lejang di tanah sambil tekap bagian bawah perut yang sakitnya laksana
disundut bara apil Tidak sanggup menahan sakit akhirnya Perwira Muda Ini
tergeletak pingsan dengan mata mendelik!
"Manusia
tolol. Lain kail jangan hanya kepala atasmu yang pakai topi besi. Kepala bawah
harus juga kau lindungi dengan topi besi. Ha…ha…ha” Wiro mengejek.
"Kurang
ajar" Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai marah besar menyangka Teng
Sien telah menemui ajal. "Kalam Langitl Kau tangkap hidup-hidup pemuda
berdestar putih itu. Aku tak akan memberi ampun pada jahanam berambut seperti
perempuan Ini!"
Si nenek
lalu dahului serangannya dengan mengulur panjang dua tangan ke arah Wiro
sementara Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit melompat menyergap Malin Kapuyuak.
Sebelum orang mendatanginya pemuda tukang intip ini tendang tumpukan reruntuhan
bangunan dangau yang masih diselimuti api dan asap ke arah Si Kalam Langit yang
hendak menangkapnya. Lalu secepat kilat dia berputar-putar mengelilingi sebuah
pohon besar, memperdayai si tinggi hitam itu sambil mencari kesempatan untuk
kabur.
"Kalam
Langit" teriak Wiro yang tahu cepat atau lambat orang itu akan dapat
menangkap Malin Kapuyuak. "Berani kau rnencelakal sahabatku itu akan
kuubah dirimu menjadi Kalam Lancirik." (Lancirik= Pantat)
"Pemuda
jahanam Biar kau aku pesiangi lebih Dulu."
Teriak Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Dua tangannya yang menjadi panjang luar biasa
melesat kian kemari lalu melilit sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari pinggul
sampai ke dada. Saat Itu juga tubuhnya bergerak ke depan hingga hampir
bertempelan dengan tubuh Wiro. Seumur hidup baru kali ini murid Sinto Gendang
mendapat serangan seperti itu.
"Kreekkk…kreekkk"
Wiro
mendengar sendiri tulang-tulang tubuhnya berderak.
"Nenek
bergigi perak" Dari balik pohon Malin Kapuyuak walau dikejar orang masih
bisa berteriak.
"Kau
berpura-pura hendak membunuh sahabatku. Padahal kau Ingin memeluknya! Ha…ha….
Kau pasti sudah jatuh hati pada pemuda rambut panjang itu. Memang di nagari ini
tidak ada pemuda yang seperti Dia. Ayo cium dia kalau berani! Jangan cuma
memeluknya saja."
Keadaan
si nenek yang saat itu tengah menelikung Wiro dengan dua tangannya, sepintas
lalu memang tampak seperti orang yang tengah berpelukan dan bermesraan dengan
kekasihnya.
"Jahanam
bermulut kurang ajar. Lihat apa yang akan aku lakukan pada sahabatmu Ini."
Teriak Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Lalu dua tangannya yang panjang dan
telah membelit sekujur tubuh Wiro digerakkan demikian rupa hingga kreekkkkl
Kembali tulang-tulang sang pendekar mengeluarkan suara berkaretekan siap
hancuri Wiro menyeringai kesakitan. Tubuhnya seperti disengat api. Tapi dia
masih bisa berucap. Sablengnya keluar.
"Nek,
kalau kau tidak mau menciumku biar aku saja yang menciummu! Kau cantik. Walau
sudah tua tidak rugi rasanya menciummul Ha…ha…ha"
Lalu
cuuppp…cuuuppp…cuuuppp. Wiro benar-benar cium wajah si nenek bertubi-tubi.
"Jahanam
laknat kurang ajar!"
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai buka mulutnya lebar-lebar. Siap hendak meniupkan ilmu maut
Angin Merapi Merambah Bumi. Namun lebih cepat lagi Wiro mengecup lumat-lumat
bibir si nenek hingga Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai terperangah. Tubuhnya
bergetar. Nafas mengengah.
Dada naik
turun. Lalu dia berteriak keras antara marah dan menahan gelora yang tidak
pernah dirasakannya selama ini. Tidak sadar telikungan dua tangannya di tubuh
Wiro jadi mengendur.
Dengan
cepat murid Sinto Gendeng loloskan dua tangannya dari lilitan sepasang tangan
panjang si nenek. Lalu sekail dua tangan bergerak dia berhasil membuat empat
totokan. Dua di punggung, dua di pinggang. Saat Itu Juga Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai tertegak kaku tak berkutik, mulut menganga basah, dan sepasang
mata mengedap-ngedip.
Wiro
cepat lepaskan gelungan dua tangan panjang lalu loloskan diri sambil
tertawa-tawa cengengesan. Dia memandang ke arah pohon dan merasa khawatir
karena tidak melihat Malin Kapuyuak ataupun orang berpakaian hitam Si Kalam
Langit.
"Nek,
aku pergi dulu. Sebelum siang totokan di tubuhmu akan lepas sendiri. Kalau kau
masih ingin ciumanku, Jangan malu-malu mencari aku ya? Namaku Wiro Nekl
Ha…ha…ha…ha"
"Pemuda
kurang ajari Aku bersumpah akan menghancurkan tubuhmu. Aku masih akan berbaik
hati membuatkan papan nisan di atas kuburmu!"
"Kenapa
kau mau berbaik hati begitu Nek? Karena ciumanku tadi? Ha…ha…ha Aku akan
menciummu lagi. Jadi kau buatkan kuburku dua papan nisan sekaligus!"
Lalu enak
saja Wiro ciumi dan kecup lagi bibir basah si nenek. Dia berhenti mencium,
memandang berkeliling.
"Nek.
tak ada orang lain di sini. Serdadu Cina itu tidak sadarkan diri berarti tidak
akan melihat. Ssttt….Kau mau kucium lagi?"
"Setan
terkutuk. Kau akan jadi puntung neraka!”
Teriak Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Wajahnya
yang memang masih cantik dan berhidung mancung kelihatan berubah merah.
“Tapi kau
suka puntung neraka ini bukan?" Jawab Wiro dan kembali mengecup bibi Si
Kamba Mancuang
Tangan
Manjulai. Dalam gelora dahsyat yang tidak tertahankan, sepasang mata si nenek
tampak terbalik, yang kelihatan hanya putihnya saja. Lalu tubuhnya miring ke
kiri dan jatuh tergelimpang di tanah. Tapi dia sama sekali tidak pingsan.
"Pemuda
kurang ajari Najis. Beraninya dia berbuat kurang ajar terhadap diriku! Kurang
ajaarrr…"
Tiba-tiba
si nenek melihat Wiro berdiri di dekatnya. Kepala ditundukkan mendekati
wajahnya.
"Najis
katamu Nek? Kalau najis sesudah bibirmu kukecup mengapa kau tidak
meludah?"
"Manusia
setani Bangsat kurang ajari. Aku bersumpah…"
"Sssttt…
Tak baik bersumpah Nek. Jangan menipu diri. Kau suka aku cium. Aku juga suka
menciummu. He…he…Seumur hidup baru sekali ini aku mencium perempuan yang
giginya berlapis perak. Ternyata enak juga….Ha…ha…ha"
"Setan
alas" Maki Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Lalu nenek ini menjerit
keras. Wiro tertawa gelak-gelak sambil tepuk-tepuk pipi si nenek lalu
tinggalkan tempat itu.
Tubuh Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai bergetar. Debaran di dada perempuan menyentak
kencang dan aliran darahnya terasa panas dan cepat Lalu dia merasa tubuhnya
panas dingin seperti orang diserang demam kura. Bagaimanapun Juga seumur hidup
baru sekali itu dia diperlakukan lelaki seperti itu. Dipeluk, dicium dan
dikecup. Oleh lelaki muda pula.
***********************
11
MALIN
Kapuyuak lari seperti dikejar hantu benaran. Namun cepat sekali. Hantu Gunung
Sago Si Kalam Langit berhasil mengejar dan mencekal kuduknya. Cekalan di
tengkuk sampai ke leher sebelah depan begitu kencang membuat pemuda itu
tersengal-sengal, sulit bernafas dan tak bisa keluarkan suara.
Saat itu
matahari mulai tinggi dan sinarnya terasa terik. Si Kalam Langit lepaskan
cekalan. Malin Kapuyuak dibanting ke tanah hingga pemuda ini mengerang
kesakitan. Sakit bekas digebuki orang masih belum hilang, kini dibanting
seperti Itu. Sekujur tubuhnya terasa luluh lantak.
"Kalau
nenek tangan panjang itu tidak melarangku membunuhmu, sudah tadi-tadi kau
kuhabisi. Kau menyusahkan saja." Kata Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam
Langit
"Apa
salahku sampai diperlakukan seperti ini. Aku bukan maling bukan pancilok.”
suara Malin Kapuyuak setengah meratap, (pancilok = pencuri)
"Aku
dan nenek Itu tahu kau orang yang tadi malam dipukuli orang sekampung karena
mengintai anak gadis mandi di pancuran…"
"Itu
memang benar. Tapi apa sangkut pautnya dengan dirimu. Kau bukan orang sedusun.
Bukan pula mamak dan saudara gadis-gadis itu "
"Plaakkk!"
Satu
tamparan keras mendarat di pipi kanan Malin Kapuyuak hingga pemuda ini
terbanting Jatuh dan luka di bibirnya kembali mengucurkan darah.
"Kalau
kau mau tahu siapa diriku, aku adalah yang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago,
bernama Si Kalam Langit"
Mendengar
orang menyebut siapa dirinya, lelehlah nyali Malin Kapuyuak. Bahkan dia nyaris
terkencing.
"Pandeka
Besar, ampun beribu ampun. Aku tidak bermaksud berkurang ajar padamu. Aku
merasa tidak bersalah dan mohon diriku dilepaskan. Biarkan aku pergi dari
sini." Malin Kapuyuak berkata sambil bergerak bangun, lalu duduk di tanah
dan susun sepuluh jari di atas kepala.
"Aku
tahu siapa namamu. Aku juga tahu semua kelakuan mesummu…"
"Aku
sudah mengaku dan minta ampun…"
"Diam"
Hardik Si Kalam Langit. "Aku ingin tahu siapa pemuda berambut macam
perempuan yang kau panggil Uda dan kau katakan sahabatmu Itu Aku tidak pernah
melihat manusia satu itu sebelumnya."
"Dia..
.dia orang Jawa. Namanya Wiro. Aku bertemu dia baru parak siang tadi ketika dia
menolong diriku dari amukan orang karena ketahuan mengintai anak gadis
mandi." (parak siang dini hari)
"Bagus
Walau baru kenal, karena kau ditolongnya, kalian sudah bersahabat! Pasti banyak
yang kalian bicarakan. Kau tahu mengapa anak Jawa Itu Jauh-jauh datang ke
sini…"
Malin
Kapuyuak menggeleng.
"Aku
tidak tahu. Aku tidak pernah menanyakan padanya. Dia tidak pernah
bercerita."
"Plaakkk!"
Satu
tamparan lagi menghajar wajah Malin Kapuyuak membuat pemuda ini kembali
tergelimpang di tanah dan meratap minta-minta ampun.
"Bicara
jujur. Jangan berdusta atau kupatahkan batang lehermu!" Ancam SI Kalam
Langit.
"Ampun
Pandeka Besar. Aku bicara jujur. Cincang diriku kalau ketahuan aku bicara
dusta."
"Begitu….?"
Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit jambak dada pakaian Malin Kapuyuak lalu
menyandarkannya ke batang pohon. Sambil injakkan kaki di dada pemuda itu, Si
Kalam Langit berkata. "Sekali aku menekan kaki, hancur dadamu sampai ke
punggung! Jadi satu dengan batang kayu. Kau mau?"
"Ampun
Pandeka Gadang! Jangan lakukan Itu"
Malin
Kapuyuak meratap ketakutan. "Aku belum ingin mati! Aku belum kawin. Kalau
bisa aku kawin dulu sebelum mati!"
"Hemmm…begitu?"
Si Kalam Langit menyeringai.
Dia
turunkan kaki dari dada Malin Kapuyuak lalu kaki kanan itu kini diinjakkan ke
bagian bawah perut si pemuda. "Kalau kau mau bicara, kau akan selamat
Kalau kau bungkam atau berdusta aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku akan menghancurkan
si buyuang di bawah perutmu Berarti seumur-umur kau tak akan bisa kawini
Ha…ha…ha!" (si buyuang = di sini berarti barangnya si Malin Kapuyuak)
"Ampun
Pandeka Gadang…." Suara Malin Kapuyuak gemetaran karena takut setengah
mati.
SI Kalam
Langit perkeras injakan di bawah perut Malin Kapuyuak hingga pemuda ini
menjerit dan menggeliat kesakitan.
"Ampun.
Akan kukatakan padamu apa yang aku tahu…"
"Lekas
bicara!" Hardik Si Kalam Langit.
Walnu
ketakutan setengah mati dan merasa sakit tidak terperihkan namun Mnlin Kapuyuak
tidak mau menerangkan hal sebenarnya. Wiro telah menolongnya maka dia merasa
perlu melindungi si gondrong itu.
"Pemuda
Jawa itu….Dia…dia tengah dalam perjalanan. Dia tidak memberi tahu dari mana mau
kemana. Dia senang melihat keindahan malam di Ngarai Sianok."
"Ceritamu
tidak masuk di akal. Melihat keindahan ngarai di malam hari?"
"Kalau
langit bersih dan terang, apa lagi sedang ada bulan purnama, bukankah
pemandangan di ngarai sangat Indah pada malam hari?" ucap Malin Kapuyuak
pula.
Hantu Gunung
Sago SI Kalam Langit menyeringai.
"Kau
mulai berani bicara dusta. Di salah satu bagian Ngarai Sianok aku tahu Datuk
Marajo Sati diam di sebuah goa. Pemuda itu datang ke ngarai pasti ada sangkut
paut dengan diri Datuk itu."
"Kalau
hal Itu aku kurang tahu. Tapi…."
"Tapi
apa?!" Sentak SI Kalam Langit mulai tidak sabaran. Walau SI Kamba Mancuang
Tangan Manjulai melarangnya, tapi dia sudah punya niat akan menghabisi pamuda
satu Ini.
"Aku
menduga…." kata Malin Kapuyuak dengan raut wajah berpura bersungguh-sungguh.
"Pemuda Jawa itu agaknya tertarik dengan kecantikan istri Datuk Marajo
Sati yang masih muda belia. Mungkin dia berada di ngarai untuk mengintai padusi
itu." (padusi = perempuan)
SI Kalam
Langit tampak seperti tercengang mendengar ucapan Malin Kapuyuak. Mulutnya
ternganga.
"Kalau
dia tahu Datuk Marajo Sati beristri muda dan cantik, berarti pemuda Jawa itu
sudah lama berada di tanah Minang Ini."
Malin
Kapuyuak tidak menjawab. Si Kalam Langit perkeras injakan kaki kanannya hingga
pemuda itu menjerit kesakitan.
"Jangan
dusta mengarang cerita"
"Aku
bersumpah biar dicekik Hantu Haru-Haru" (Hantu Haru-Haru sejenis mahluk
halus yang suka menculik orang terutama anak kecil dan membawanya ke atas
pohon)
"Kapuyuak
jahanam Siapa percaya sumpah manusia macam wa-ang! Sebelum Hantu Haru-Haru
mencekikmu, aku yang akan lebih dulu mematahkan batang lehermu" Si Kalam
Langit putar telapak kakinya yang menginjak bagian bawah perut hingga Malin
Kapuyuak kembali berteriak kesakitan.
"Mengapa
pemuda itu menanyakan Datuk pimpinan Luhak Nan Tigo?" (wa-ang e kamu,
kasar)
"Sudah
aku katakan, dia tahu Datuk punya istri muda. Mungkin dia suka pada istri Datuk
Marajo Sati. Aku beritahu istri Datuk itu ada di dalam goa di Ngarai
Sianok."
"Hebat
kau Malin Kapuyuak Kalau benar ceritamu berarti kau mengkhianati Datuk Marajo
Sati. Tapi aku tahu kau dusta. Semua orang di Luhak Agam ini tahu kalau Istri
Datuk Marajo Sati tinggal di Koto Gadang. Tidak pernah datang atau berada di
dalam goa tempat kediaman suaminya…"
"Aku
tahu hal itu Pandeka. Itu sebabnya aku berdusta pada pemuda Jawa itu. Tak
mungkin aku akan mengkhianati Datuk Marajo Sati. Kalau tidak ingin melindungi
Istri Datuk, mengapa tidak aku katakan saja yang sebenarnya kalau parempuan Itu
tinggal di Koto Gadang.”
"Aku
tidak percaya padamu Malin Kapuyuak. Lebih baik kutamatkan riwayatmu saat ini
juga Kau pasti punya cerita lain yang sebenarnya Kau pasti tahu mengapa pemuda
Jawa Itu berada di sekitar daerah ini. Aku bosan bicara denganmu Aku muak
melihat tampangmu"
Si Kalam
Langit kerahkan tenaga dalam lalu kaki kanannya dihunjamkan kuat-kuat
"Ampuni Jangan" teriak Malin Kapuyuak.
Sekejapan
lagi bagian tubuh yang sangat berguna bagi si pemuda itu akan hancur, tapi
tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
"Barang
pusaka barang keramat! Wajib dipelihara wajib dijagai Mengapa tega hendak
memecah?! Hik…hik…hik"
Bersamaan
dengan kumandang seruan itu mendadak di udara terdengar suara berdesing
panjang. Dua benda hitam melesat ke arah SI Kalam Langit tanpa orang tinggi
besar ini sempat menyingkir mengelakkan diri.
"Craass!
Crassss"
Dua benda
hitam mendarat telak di kening dan pangkal leher orang tertua dari Duo Hantu
Gunung Sago Ini. Tak ampun lagi tubuhnya yang besar tergelimpang roboh di tanah.
Dari kening dan leher darah mengucur deras. Si Langit Kalam menggeliat dua
kali, lalu nyawa lepas. Tubuh diam tak berkutik lagi. Dari atas sebatang pohon
besar, orang bermuka cacat yang barusan melemparkan dua senjata rahasia memaki
geram, memandang melotot ke bawah.
"Jahanam!
Dari mana munculnya betina gendut keparat Itu. Apakah dia juga menyelidik
perkara yang sama yang tengah aku lakukan?! Aku belum pernah melihat dia
sebelumnya. Dari dandanannya yang aneh agaknya dia bukan orang negeri ini. Gerakannya
enteng dan luar biasa cepat! Suaranya terdengar lebih dulu baru ujudnya
kelihatan! Sialan, aku tidak bisa bertindak ceroboh. Dia menyelamatkan pemuda
itu pasti punya maksud. Saat ini dia tengah mengejar pemuda itu. Apa yang harus
aku lakukan?!"
DI udara
berkelebat seekor burung besar putih.
Di dekat
reruntuhan dangau di tepi pesawahan burung yang ternyata adalah seekor elang
putih ini melayang rendah lalu melesat kembali ke udara dengan mengeluarkan
suara menguik keras. Orang bermuka cacat yang mendekam di atas pohon, seolah
berpikir sebentar akhirnya tanpa keluarkan suara akhirnya melesat turun ke
tanah lalu berkelebat ke arah timur.
Dalam
hati dia membatin.
Para
tokoh rimba persilatan Itu akan bertemu besok di Muko Muko. Lebih baik aku
cepat-cepat menuju ke sana. Tapi mungkin ada gunanya aku mengintai dulu ke goa
di Ngarai Sianok. Aku punya kecurigaan. Malam tadi dua orang itu datang dari
sana. Bisa saja…."
***********************
12
ELANG
putih bermata merah melesat terbang di bawah terik cahaya matahari, melayang
turun dan bertengger di cabang pohon tak jauh dari dangau yang terbakar, di
tepi kawasan persawahan. Tak lama kemudian berkelebat muncul seorang tua
bersorban dan berjubah putih yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. Elang
putih yang bukan sembarang burung telah menuntun sang Datuk ke tempat itu.
"Alang
Putih Rajo Di Langit, aku menyangka kau membawaku menemui pemuda Jawa itu.
Ternyata kau menemukan mayat. Sudah lama negeri ini aman tenteram dari berbagai
macam kejahatan, apa lagi pembunuhan. Sekarang ada mayat terkapar di hadapanku.
Siapa yang jadi korban, siapa yang jadi pelaku pembunuhan?" Berkata
seperti itu Sang Datuk lupa kalau sebelumnya karena tidak dapat menahan hawa
amarah ketika berada dalam goa di Ngarai Sianok dia nyaris hendak mencelakai
bahkan bisa membunuh Wiro dengan ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo.
Datuk
Marajo Sati dekati mayat yang tergeletak di tanah. Kening mengerenyit, mata
menyipit dan langkah terhenti begitu dia mengenali mayat bersimbah darah itu
adalah orang tertua dari Duo Hantu Gunung Sago yang bernama Si Kalam Langit
"Orang
hebat berilmu tinggi menemui ajal di tengah hari. Siapa gerangan yang
membunuhnya?" Datuk Marajo Sati memandang berkeliling. "Tak ada
tanda-tanda perkelahian di tempat ini. Bagaimana dia bisa menemui kematian
seperti Ini? Orang jahat mana yang gentayangan di negeri ini, melakukan
pembunuhan"
Sang
Datuk perhatikan keadaan mayat Dia melihat ada dua luka besar penyebab kematian
yaitu di kening dan pangkal leher sebelah kiri. Wajah dan bagian leher yang
tidak tertutup darah tampak melepuh. Datuk Marajo Sati tarik nafas dalam lalu
perlahan-lahan gerakkan tangan kanan. Telapak dikembang, diarahkan ke kening
mayat.
Tangan
bergetar.
"Wuuttt"
Sebuah
benda hitam berlumuran darah yang menancap di dalam kening Si Kalam Langit
laksana disedot melesat keluar. Dengan cepat Datuk Marajo Sati menangkap benda
itu. Ketika diperhatikan ternyata sebuah besi hitam berbentuk bintang segi
empat Pada setiap ujung bintang yang tajam terdapat sebuah lobang kecil. Datuk
Marajo Sati sebelumnya malam tadi telah melihat benda yang sama.
"Senjata
rahasia seperti ini yang menancap di dinding goa kediamanku malam tadi,"
ucap Datuk Marajo Sati dalam hati lalu mengeruk saku jubah dan mengeluarkan
sebuah benda. Benda ini adalah senjata rahasia yang ditemukan dan dikorek elang
putih dari dinding goa. Ternyata kedua benda itu sangat sama satu dengan
lainnya. "Apakah senjata rahasia yang satu ini juga ada hubungannya dengan
pemuda dari Jawa mengaku Wiro itu?" Datuk Marajo Sati berpikir keras
sambil usap senjata rahasia yang masih berlumuran darah. "Kalau pemuda itu
yang dikejar atau dihadang musuh dan jadi sasaran serangan, mengapa manusia
satu ini yang jadi korban? Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Duo Hantu Gunung
Sago? Sebagai dua orang yang berserikat atau sebagai dua musuh? Berarti apakah
pemuda Jawa itu ada di tempat ini sebelumnya?"
Datuk
Marajo Sati melangkah ke tepi pematang sawah yang ada genangan air. Senjata
rahasia besi bintang segi empat dicelupkan ke dalam air sampai bersih dari
darah lalu dimasukkan ke dalam saku jubah. Sambil melangkah mengelilingi mayat
orang tua yang merupakan Datuk pimpinan dari para Datuk di Luhak Nan Tigo terus
berpikir, bertanya-tanya dalam hati dan mereka-reka. Ingatannya kembali tertuju
pada pemuda Jawa yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Waktu
di goa ketika kutanya apa tujuannya berada dinegeri ini, pemuda itu menjawab
kalau dia baru saja menemui seseorang. Ada pesan amanat dari orang itu yang
harus dilakukan. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa orang itu adanya. Lalu
mengenai amanat dia mengatakan bahwa satu perkara besar akan terjadi di tanah
Minang." Datuk Marajo Sati menatap di langit Pejamkan mata dan kembali
bicara dalam hati.
"Katanya
ada perkara besar. Perkara apa? Astaga… Mengapa aku begitu tolol. Kematian
Sutan Panduko Alam, kematian Duo Hantu Gunung Sago. Bukankah ini satu Perkara
besar? Paling tidak awal dari satu perkara besari Kalau turut cerita gadis Cina
Itu, jangan-jangan ini ada sangkut paut dengan dirinya!"
Memikir
dan ingat pada Chia Swie Kim si gadis yang menjelma dalam ujud kupu-kupu batu giok
dan kini berada di dalam goa kediamannya Datuk Marajo Sati mendadak merasa
khawatir. "Puti Bungo Sekuntum.
Aku harus
cepat-cepat kembali ke goa. Selain itu aku harus memberi tahu orang di dusun
terdekat untuk mengurus mayat Duo Hantu Gunung Sago."
Sebelum
pergi Datuk Marajo Sati berkata pada burung elang besar yang masih bertengger
di cabang pohon.
"Alang
Putih Rajo Di Langit Aku senang kau telah membawaku ke tempat Ini. Aku akan
kembali ke goa. Lanjutkan apa yang telah aku tugaskan padamu. Temukan pemuda
berambut panjang itu. Ikuti kemana dia pergi. Cari tahu dengan siapa saja dia
berhubungan."
Elang
putih di atas pohon seolah mengerti apa yang diucapkan majikannya menguik lalu
melesat terbang ke udara. Untuk berapa lama burung ini melayang berputar-putar
di atas kawasan persawahan.
**************************
KETIKA
Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa, orang tua ini terkejut karena kupu-kupu
batu giok yang diletakkannya di dalam cegukan dinding goa lenyap dari
tempatnya. Sang Datuk mengucap berulang kali, memandang berkeliling sambil
mulutnya berseru.
"Chia
Swie Kiml Puti Bungo Sekuntuml Dimana kau?"
Suara
Datuk Marajo Sati menggelegar menggetarkan seantero goa.
Tak ada
Jawaban.
"Kupu-kupu
giok"
Tiba-tiba
ada suara kepakan sayap halus. Sesaat kemudian dari balik celah batu di ujung
dalam goa melayang seekor kupu-kupu besar lalu turun ke lantai goa di depan
kaki Datuk Marajo Sati. Sang Datuk merasa lega.
"Datuk,
maafkan saya. Saya tadi terpaksa mengubah diri lalu terbang dan bersembunyi di
balik celah batu…."
Kupu-kupu
besar keluarkan cahaya berpijar, sesaat kemudian berubah bentuk menjadi gadis
cantik puteri Pangeran Cina bernama Chia Swie Kim.
"Anak
gadis, katakan apa yang terjadi? Mengapa kau merubah diri dan bersembunyi di
ujung goa?"
‘Sebelum
Datuk sampai di sini ada seseorang masuk kedalam goa. Dia seperti menyelidik.
Saya takut…"
Datuk
Marajo Sati terkejut besar.
‘Siapa
orangnya? Pemuda Jawa berkopiah hitam berambut panjang itu?" tanya Datuk
Marajo Sati dengan wajah berubah.
Gadis
puteri Pangeran Cina yang oleh sang Datuk diberi nama Puti Bungo Sekuntum
gelengkan kepala.
"Bukan,
bukan pemuda itu…."
"Salah
satu dari orang-orang yang mengejarmu. Pimpinan kakek bernama Ki Bonang Talang
Ijo?"
"Juga
bukan Datuk. Saya tidak mengenalnya. Orang ini mengenakan jubah biru. Mukanya
ada cacat bekas luka. Dia…."
"Sudah,
keadaan semakin tidak karuan di tempat ini. Puti, aku akan memindahkan mu ke
ruang rahasia di ujung goa. Jika kau Ingin keluar, ketuk dinding goa tiga kali.
Makanan dan air bersih tersedia banyak di ruangan itu. Tapi ingat satu hal.
Kecuali melalui dinding goa yang aku katakan, kau sekali-kali tidak boleh
mencari jalan keluar yang lain. Kau mengerti?"
"Saya
mengerti Datuk…." Jawab Chia Swie Kim.
Sebenarnya
ada sesuatu yang hendak dikatakan gadis ini namun saat itu Datuk Marajo Sati
telah mengangkat tangan. Dari ujung jari tengah dan jari telunjuk memancar
keluar dua larik cahaya putih.
Ketika
dua cahaya itu menyentuh dinding goa sebelah dalam maka terdengar suara
bersiur. Sesaat kemudian dinding goa bergeser. Di sebelah dalam terlihat satu
ruangan besar, terang dan bagus.
"Masuklah.
Aku akan meninggalkan goa selama satu atau dua hari. Kau akan aman di dalam
sana. Jaga dirimu baik-baik."
Tanpa
keluarkan ucapan apa-apa lagi Chia Swie Kim alias Puti Bungo Sekuntum segera
masuk ke dalam ruangan. Begitu dinding goa merapat menutup gadis ini jatuhkan
diri bersimpuh di lantai.
"Mengapa
nasib diriku jadi seperti ini? Datuk telah menolongku. Tapi berapa lama aku
bisa bertahan mendekam di ruangan ini. Tidak melihat dunia luar. Tidak tahu
slang atau malam." Si gadis tekap wajahnya dengan kedua tangan.
"Seharusnya Yang Maha Kuasa tidak menolongku dengan menjadikan diriku
masuk ke dalam kupu-kupu giok Kupu Kupu Mata Dewa. Rasanya akan lebih baik jika
saat itu aku juga tewas dibunuh. Rohku mungkin akan lebih bahagia bisa bersatu
di alam baka dengan roh koko Kul Hoa Seng. Sekarang aku berada jauh di negeri
orang. Entah bagaimana caranya bisa kembali ke negeri leluhur….Thian yang
Agung, mohon perhatikan dan tolong diri saya…." (koko = kakak) (Thian =
Tuhan)
Gadis
malang ini akhirnya sesenggukan tidak mampu menahan tangis.
***********************
13
SIANG
hari itu puncak Gunung Kerinci tampak jelas tinggi menjulang tidak tersaput
awan. Dari kejauhan gunung tertinggi di wilayah selatan ini diapit dan seolah
dikawal oleh Gunung Tujuh di sebelah timur dan Gunung Patah Sembilan agak ke
barat Ketika serombongan burung pipit melayang dan utara ke selatan di langit
terlihat satu pemandangan luar biasa Siapa saja yang melihat pasti tidak
percaya akan pandangan matanya. Betapa tidak, seorang tua berjubah putih, duduk
di atas gulungan sehelai sorban putih yang terbang melayang di udara ke arah
Gunung Kerinci. Di lereng barat gunung sorban dan orang yang duduk di atasnya
menukik ke bawah menuju kawasan berbatu-batu. Bentuk dan susunan batu-batu itu
tampak begitu indah seolah dibuat dan ditata oleh tangan manusia.
Tak lama
kemudian orang berjubah putih telah berdiri di atas sebuah batu rata. Wajahnya
tampak kusam tanda ada kemelut yang dirasa. Sepasang mata dengan dingin
memandang tajam berkeliling hingga akhirnya dia melihat sebuah lobang berbentuk
segi empat merupakan jalan masuk atau sebuah pintu.
"Alhamdulillah,
Allah telah membawaku dengan selamat sampai di tempat ini. Sekarang apakah
orang yang kucari ada di tempat kediamannya ini?"
Tidak
menunggu lebih lama Datuk Marajo Sati melompat dari satu batu ke batu lain
hingga akhirnya dia sampai di depan pintu batu. Di sini dia memberi salam
disusul ucapan.
"Inyiek
Sukat Tandika, saya Datuk Marajo Sati ingin bertemu dengan Inyiek. Semoga
Inyiek ada baikbaik saja dalam lindungan Yang Maha Kuasa." (Inyiek = Orang
sangat tua yang sudah sepuh dan dihormati)
Belum
lenyap suara gema ucapan Datuk Marajo Sati, dari arah pintu batu tiba-tiba
melesat keluar seorang kakek berpakaian selempang kain putih, berpenampilan
dahsyat Wajah tidak berdaging nyaris seperti tengkorak. Tubuh yang kurus kering
hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kepala berambut putih setengah sulah, kumis
dan janggut putih melambailambai ditiup angin gunung. Sepasang rongga mata
sangat cekung, angker. Walau keadaannya sangat sepuh seperti itu namun kakek
ini sikapnya tampak masih gagah dan gerakannya gesit Setelah menatap Datuk
Marajo sati seketika, si kakek tertawa gelakgelak lalu kembangkan tangan. Kedua
orang itu saling berangkulan.
"Berpuluh
tahun tidak berjumpa. Kau tiba-tiba saja dibawa Tuhan datang ke Gunung Kerinci
ini ha…ha. Pasti kau tidak sembarangan datang. Pasti ada maksud di hati dan
tujuan dalam pikiran. Sahabat muda Datuk Marajo Sati, mari kita masuk ke
dalam."
"Inyiek,
saya lebih suka kita bicara di sini saja. Karena saya tidak Ingin mengganggumu
berlama-lama. Apakah nenek Sabai Nan Rancak ada di dalam?"
Sabai Nan
Rancak adalah istri Tua Gila yang sejak peristiwa Gerhana Di Gajah Mungkur
kembali ke Pulau Andalas dari tanah Jawa dan keduanya menetap di Gunung
Kerinci. Sukat Tandika tersenyum.
"Kalau
hari panas seperti ini, perempuan itu suka pergi menyejukkan diri di telaga.
Jika kau ingin bertemu mari kita datangi dia di telaga. Tak jauh dan
sini."
"Terima
kasih. Sebaiknya lain kali saja saya menemui beliau. Inyiek Sukat Tandika, ada
satu hal sangat penting yang membawa saya menemui Inyiek di tempat ini."
SI kakek
bermuka seperti tengkorak tersenyum dan anggukkan kepala.
"Sampaikan
maksudmu. Aku ingin cepat-cepat mendengar."
Siapakah
kakek yang diam di goa batu di lereng Gunung Kerinci dan tengah ditemui Datuk
Marajo Sati ini? Para penggemar dan pecinta serial cerita silat Wiro Sableng
tentu tidak akan lupa. Sukat Tandika adalah nama asli dari Tua Gila alias
Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Nyawa, salah seorang
dedengkot rimba persilatan dari Pulau Andalas yang telah mengembara sampai ke
tanah Jawa dan merupakan salah seorang dari beberapa guru Pendekar 212 Wiro
Sablengi (Tokoh silat ini muncul pertama kali dalam serial Wiro Sableng
berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang. Bagi pembaca yang ingin mengetahui
berbagai kisah riwayat Tua Gila dapat mengikuti dan membaca dalam serial
berjudul Tua Gila Dari Andalas, Asmara Darah Tua Gila, Lembah Akhirat, Pedang
Naga Suci 212, Jagal Iblis Makam Setan,Utusan Dari Akhirat, Liang Lahat Gajah
Mungkur, Rahasia Cinta Tua Gila, Wasiat Malaikat, Dendam Dalam Titisan dan
Gerhana Di Gajah Mungkur)
"Inyiek,"
kata Datuk Marajo Sati pula, "terlebih dulu saya minta maaf kalau
kedatangan saya mengganggu ketenteramanmu. Kemudian saya juga mohon maaf kalau
apa yang akan saya sampaikan kurang berkenan dihatimu."
"Katakan
saja…katakan saja sahabatku muda."
Jawab
Sukat Tandika alias Tua Gila. Walau Datuk Marajo Sati bicara dengan suara
rendah namun Tua Gila maklum seperti ada sesuatu yang siap meledak dari dalam
diri Sang Datuk.
"Kalau
tidak salah saya mengingat, bukankah Inyiek pernah mempunyai seorang murid
berasal dari tanah Jawa. Bernama Wiro."
"Ah….Anak
itu yang kau tanyakanl Kau tahu, gurunya si nenek sakti Sinto Gendeng selalu
menyebutnya dengan panggilan Anak Setan. Sahabatku muda Datuk Marajo Sati,
mengapa kau menanyakan perihal anak itu?"
Datuk Marajo
Sati perhatikan wajah menyerupai tengkorak di hadapannya. Ucapan pertanyaan
tadi polos-polos saja. Tidak ada kepura-puraan. "Inyiek, apakah Inyiek
tahu kalau muridmu itu saat ini berada di tanah Minang?"
Tua Gila
gelengkan kepala.
"Jadi
sebagai murid dia tidak mengunjungi Inyiek?"
Kembali
Tua Gila gelengkan kepala lalu berkata.
"Soal
dia tidak mengunjungi diriku bukan satu kekecewaan bagiku. Anak muda seperti
dia, kalau pergi kemana dia suka. Sebentar ada di timur. Lain waktu ada di
barat Lain kejap muncul di utara atau di selatan atau dibelahan bumi mana saja
yang disukainya. Yang lebih penting bagiku adalah kemana dia pergi berbuat
kebajikan sesuai dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya." Si kakek ucap
janggut putihnya. Lalu bertanya. "Apa sahabat muda Datuk Marajo Sati telah
bertemu dengan dia?"
"Betul
Inyiek. Bukan hanya sekedar bertemu. Ada masalah yang dibawanya di tanah Minang
ini."
Kening
tak berdaging Tua Gila masih bisa berkerut Rongga mata tampak semakin cekung.
"Masalah?
Anak setan itu membawa masalah di tanah Minang? Gila betul kalau dia berani
kurang ajar di negeri ini Coba kau ceritakan padaku sejelasjelasnya!"
Datuk
Marajo Sati lalu menceritakan hal ihwal Pendekar 212 mulai dari penyusupannya
ke dalam goa di Ngarai Sianok sampai pada senjata rahasia berbentuk bintang
empat. Lalu juga mengenai Kematian Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit Tua
Gila geleng-gelengkan kepala.
"Kalau
anak itu berani menyusup ke tempat kediamanmu, benar-benar kurang ajar. Tapi
aku yakin kalau dia melakukan hal itu pasti tidak sengaja atau ada sesuatu yang
jadi alasannya."
"Saya
tidak tahu apa alasannya, Inyiek." Jawab Datuk Marajo Sati tanpa mau
memberi tahu perihal kupu-kupu giok. "Ada satu hal lagi. Dia mengatakan
bahwa dia berada di tanah Minang karena ada pesan dan amanat dari seseorang.
Akan terjadi satu perkara besar di negeri Ini. Dia merasa sebagai pendekar
besar dan hebat Karena inyiek gurunya, apakah Inyiek yang memberi pesan dan
amanat itu?"
"Aku
tidak pernah memberi pesan dan amanat. Seperti kataku tadi anak itu tidak
pernah mengunjungiku."
"Kalau
begitu lalu siapa?" tanya Datuk Marajo Sati dengan nada datar seperti tak
percaya. "Apa dia punya guru yang lain di negeri Ini?"
"Onde,
mana aku tahu!" jawab Tua Gila. Dia ingat pada Datuk Rao Basaluang Ameh
yang diketahuinya juga adalah guru dari Wiro. Namun tidak banyak para tokoh di
tanah Minang yang mengetahui hal itu.
Mereka
mengganggap Datuk Rao Basaluang Ameh sesuai dengan cerita yang tersebar telah
meninggal dunia seratus tahunan silam. Tapi Tua gila tidak mau memberi tahu
perihal orang sakti yang dianggap setengah Dewa itu pada Datuk Marajo Sati.
(Onde = Aduh)
"Saya
sempat memberi peringatan pada murid Inyiek itu. Kalau dia masih berani
berkeliaran di sekitar Ngarai Sianok maka saya akan mengganggapnya sebagai
musuh."
"Ah….walau
perangainya terkadang kurang ajar dan sering bertindak seperti orang gila, tapi
seharusnya kau tidak perlu mengeluarkan ucapan seperti itu. Aku tetap
berpendapat, setiap melakukan sesuatu muridku pasti punya alasan. Datuk Marajo
Sati, apakah kau tidak terlupa mengatakan sesuatu?"
"Sesuatu
apa Inyiek?" balik bertanya sang Datuk.
"Aku
merasa kau menyembunyikan sesuatu " Jawab Tua Gila.
Datuk
Marajo Sati tutup perubahan wajahnya dengan tersenyum.
Tua Gila
kembali membuka mulut "Jika muridku mengatakan akan terjadi satu perkara
besar di negeri ini, maka itu bukan pandainya dia yang bicara. Tapi pasti ada
yang memberi tahu memberi petunjuk. Siapa orangnya tidak perlu dijadikan
masalah Yang jelas kelak apa yang dikatakannya akan menjadi kenyataan. Kurasa
kau sudah bisa menduga hal itu. Kau sudah memaklumi…."
"Bagaimana
kalau dia sendiri yang menimbulkan perkara itu Inyiek? Datuk tahu, sekarang
kabarnya dia berteman dengan seorang pemuda tukang Intai anak gadis orang
mandi"
"Apa?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai keluarkan air mata. "Muridku belum
segila itu berani berbuat kurang ajar ikut-ikutan mengintip anak perawan mandi!
Tapi mengintai anak gadis mandi itu satu pekerjaan asyik! Ha…ha…ha"
"Inyiek.
waktu saya tidak lama. Bolehkah saya meminta bantuan Inyiek?"
"Dangan
senang hati Datuk. Katakan bantuan apa yang akan kau minta dari ku."
"Saya
ingin Inyiek mencari murid Inyiek itu. Jika bertemu perintahkan dia untuk
meninggalkan negeri Ini. Pulang kembali ke tanah Jawa."
Tua Gila
terdiam lalu tersenyum.
"Itu
yang tidak bisa aku lakukan Datuk. Di bumi ciptaan Allah ini setiap insan boleh
pergi kemana dia suka. Tapi kalau memang muridku punya pekerjaan salah, tanpa
kau mintapun bisa kutanggalkan kepalanya."
"Bagaimana
Inyiek bisa berkata begitu kalau Inyiek sendiri tidak beranjak dari sini, tidak
mau mencari dan menemuinya?"
"Datuk,
begini saja kita bicara. Kau saja yang mencari anak itu. Bawa dia ke hadapanku.
Kalau dia memang terbukti bersalah telah membuat keonaran, apa lagi sampai
membunuh orang tak berdosa di negeri Ini tak usah banyak cakap. Saat itu juga
akan kutamatkan riwayatnya."
"Kalau
begitu kata Datuk, saya merasa tidak perlu susah-susah membawanya ke hadapan
Datuk. Biar saya habisi saja dia pada saat bertemu."
Mulut Tua
Gila terbuka ternganga. Lalu tokoh silat Ini tertawa mengekeh.
"Datuk
Marajo Sati. Jangankan satu kalil Sepuluh kallpun kau boleh membunuh anak Itu
Tapi kalau dia mati dalam keadaan tidak bersalah tidak berdosa, apa kau bisa
menggadaikan nyawamu sendiri padaku?"
Wajah
Datuk Marajo Sati berubah kemerahan.
"Datuk,
kau tokoh terpandang di ranah Minang. Jangan sampai kesalahan tangan…."
"Justru
karena saya seorang tokoh maka saya merasa bertanggung jawab atas keamanan di
negeri Ini…."
"Menjaga
keamanan bukan berarti bekerja tanpa menyelidiki tanpa otak!" tukas Tua
Gila dengan ketus.
Datuk
Marajo Sati jadi panas. Dalam hati dia berkata. "Kalau gurunya seperti ini
bagaimana muridnya. Tua Gila, apa aku tidak tahu cerita riwayat dirimu di masa
lalu. Kau pernah membunuh hampir tiga ratus manusia ketika kau patah hati
karena ditinggal Sinto Gendeng"
Seolah
tahu orang merasani dirinya Tua Gila bertanya.
"Datuk,
apa yang ada di benakmu?"
Datuk
Marajo Sati tidak menjawab. Tua Gila bertanya lagi.
"Datuk,
apa yang ada di hatimu?!"
"Inyiek,
cukup sampai di sini kita bicara. Lebih kurangnya kita lihat saja apa kelak
yang akan terjadi."
Ucapan
Sang Datuk oleh Tua Gila terasa terlalu berkelebihan kalau tidak mau dikatakan
sombong Sebaliknya daiam hati yang masih panas Datuk Marajo Sati yang sudah
lama mendengar berbagai cerita hebat tentang ilmu kesaktian kakek satu ini
diam-diam ingin menjajal. Sambil bangkit berdiri dia membungkuk memberi hormat.
Tapi dua tangan pura-pura merapikan sorban. Dari dalam sorban itu melesat
keluar sambaran angin yang mampu membuat seseorang tidak bisa bergerak selama
setengah hari.
Tanpa
banyak bicara lagi Datuk Marajo Sati tinggalkan tempat itu. Di atas sebuah batu
dia buka sorbannya. Sorban mengapung di udara. Datuk Marajo Sati, melompat dan
berdiri di atas sorban. Sesaat kemudian Datuk pimpinan para Datuk Luhak Nan
Tigo itu telah melesat terbang di udara.
Tak lama
setelah Datuk Marajo Sati lenyap di langit tinggi Tua Gila tertawa mengekeh.
"Orang pandai hendak mengerjai diriku dengan sorban sakti. Melancarkan
serangan ilmu pembungkam tubuh bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Hik…hik.
Aku cuma merasa seperti kesemutan!" Sambil terus tertawa kakek yang punya
nama besar dalam rimba persilatan Ini bangkit berdiri lalu berlari ke arah
telaga guna menemui istrinya Sabai Nan Rancak.
**************************
MASIH
jauh dari Ngarai Sianok, Datuk Marajo Sati tidak bisa menahan kencing yang
sudah terasa sejak tadi. Ketika melihat ada sungai kecil di bawah sana, dengan
cepat Sang Datuk menukikkan sorbannya ke bawah. Setelah mencari tempat yang
baik dan terlindung Datuk Marajo Sati singsingkan jubah putihnya ke atas. Tapi
alangkah terkejutnya dia ketika mendapatkan tubuhnya mulai dari pinggang sampai
ke lutut telah dilibat sejenis benang sangat halus, nyaris tidak terasa dan
tidak terlihat mata.
"Benang
Kayangan. Kapan dia melakukannya….?" ucap Datuk Marajo Sati dengan suara
bergetar.
Benang
Kayangan. Ituah senjata milik Tua Gila yang merupakan salah satu keajaiban
rimba persilatan. Tidak sembarang orang atau benda tajam bisa memutuskan benang
sakti itu.
Dalam
keadaan kelabakan karena tidak bisa membuka pakaian, tidak mampu memutus benang
sakti yang melilit setengah tubuhnya Datuk Marajo Sati akhirnya melompat masuk
ke dalam sungai kecil dan pancarkan kencingnya di dalam air sungai. Sang Datuk
sadar. Dalam hati dia mengucap.
"Astagafirullah.
Aku telah berlaku congkak. Di atas langit masih ada langit lagi"
***********************
14
TEPIAN
BARAT Danau Maninjau tak Jauh dari Muko Muko. Angin danau bertiup sejuk. Ki
Bonang Talang Ijo tampak gelisah.
Diamelangkah
mundar mandir di depan sekumpulan Batu Tagak. (Batu Tagak = Batu Berdiri – Batu
Prasasti) Sebantar-sebantar orang tua berjubah hijau memandang ke langit. Sang
surya semakin tinggi.
Siap
menggelincir ke ufuk tenggelamnya.
"Kita
hanya tinggal menunggu Perwira Muda Teng Sien, dua bataaudara SI Kamba Tangan
Manjulai dan Duo Hantu Gunuang Sago SI Kalam Langit. Heran, matahari sudah
tinggi begini mereka belum juga muncul.”
Orang-orang
yang ada bersama si kakek di tempat itu tampak juga sudah tidak sabar. Mereka
adalah Duo Hantu Gunuang Sago SI Batu Bakilek yang tangannya diganjal pelepah
daun kelapa dan dibalut akibat cidera berat sewaktu dihajar Datuk Panduko Alam,
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, tiga orang anak buah Teng Sien dan seorang
lelaki separuh baya membekal pedang dikenal dengan nama Tuanku Laras Muko
Balang. Orang ini memiliki wajah aneh, ditumbuhi bulu. Bulu di sebelah kanan
wajah berwarna hitam, di sebelah kiri berwarna putih.
Tuanku
Laras Muko Balang cabut pedang besar yang terselip di pinggang. Senjata yang
terbuat dari perak murni ini memantulkan cahaya menyilaukan begitu tertimpa
sinar matahari, konon berasal dari negeri Arab. Setelah merenung sejenak sambil
pejamkan mata dia sarungkan pedang perak itu kembali. Sewaktu hendak dimasukkan
ke sarung, ujung pedang tampak bergetar.
"Aku
mendapat firasat buruk. Sesuatu terjadi dengan beberapa sahabat kita."
Berucap Tuanku Laras Muko Balang.
Baru saja
ucapan Tuanku Laras berakhir tiba-tiba di kejauhan kelihatan beberapa orang
berkelebat Di depan sekali Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Nenek ini
berlari sambil memanggul saudaranya Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. Seperti
diketahui nenek satu ini menderita cidera cukup parah, berpatahan tulang-tulang
iganya kiri kanan akibat dihantam Datuk Panduko Alam ketika terjadi pertarungan
di Bukit Malintang.
Di
samping si nenek berlari Perwira Muda Teng Sien. Larinya tak kalah cepat namun
dua kaki tampak terhengkang-hengkang seolah ada yang mengganjal di bawah
perutnya. Cara lari Teng Sien yang seperti ini tidak lain akibat hantaman
potongan bambu yang dilemparkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke bagian bawah
perutnya.
KI Bonang
Talang Ijo segera menyambut kedatangan orang-orang ini. Duo Hantu Gunung Sago
SI Batu Bakilek usap kepala botak berkilatnya dan bertanya mana kakaknya SI
Langit Kalam. Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lebih dulu sandarkan Si Kamba
Pesek ke sebuah batu tagak baru menerangkan dengan suara perlahan kalau Duo Hantu
Gunung Sago Si Kalam Langit telah menemui ajal dibunuh orang. Semua orang yang
ada di tempat itu melengak kaget Si Batu Bakilek menggerung keras.
Lupa dia
akan cidera di tangan kanan, orang ini melompat bangkit dan mencekal
keras-keras tangan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
"Siapa
yang membunuh saudaraku? Katakan bagaimana kejadiannya? Dimana jenazahnya
sekarang?!"
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai lalu menuturkan apa yang diketahuinya.
"Aku,
Perwira Teng Sien dan Si Kalam Langit berhasil menemui pemuda asing yang aku
lihat dalam tarak. Pemuda itu ternyata berasal dari Jawa. Dia bersama Malin
Kapuyuak yang malam sebelumnya dihantami orang sedusun karena ketahuan
mengintai anak gadis orang mandi di pancuran. Karena Malin keparat itu
mengeluarkan ucapan menghina diriku, maka hendak kucabik mulutnya. Tapi pemuda
Jawa yang mengaku bernama Wiro itu menolongnya. Ternyata dia memiliki ilmu
silat dan kesaktian tinggi. Aku tak tahu ilmu setan apa yang dimilikinya. Dua
tangannya bergerak dan tiba-tiba saja sekujur tubuhku kaku tak bisa
bergerak…." SI Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentu saja tidak mau dan
merasa malu besar menceritakan bagaimana Wiro telah memeluk, mencium dan
mengecupnya.
"itu
ilmu Mancucuk Raga Membungkam Badani Berasal dari negeri Cina" Kata Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik.
"DI
tanah Jawa dikenal dengan nama ilmu totokan."
Menjelaskan
Ki Bonang Talang Ijo. Lalu kakek ini minta Si Kamba Mancuang meneruskan cerita.
SI nenek lanjutkan keterangan.
"Pemuda
asing itu menghantam Perwira Teng Sien tepat pada barang terlarangnya dengan
potongan bambu hingga jatuh pingsan."
Tahu
kalau dirinya tengah dibicarakan Teng Sien lalu berteriak-teriak sambil
menunjuk-nunjuk bagian bawah perutnya.
"Si
Kalam Langit mengejar anak kurang ajar bernama Malin Kapuyuak. Aku baru tahu
apa yang kemudian terjadi dengan Si Kalam Langit setelah menjelang siang
totokan ditubuhku lepas." Si nenek menatap sebentar kaarah Si Batu Bakilek
baru meneruskan ucapan. "Di satu tempat tak jauh dari pesawahan aku
menemukan kakakmu Si Kalam Langit telah menemui ajal. Ada dua lobang besar di
kening dan di pangkal lehernya. Agaknya dia dihabisi dengan senjata
terbang"
Duo Hantu
Gunung Sago Batu Bakilek kembali berteriak keras, menendang kian kemari saking
marahnya. Sebuah batu tegak hancur berantakan kena tendangan.
"Aku
bermaksud mangurus jenazah SI Kalam Langit walau adikku juga dalam keadaan
masih cidera. Namun kemudian muncul penduduk dusun terdekat Mereka membawa
keranda mayat Menurut orang-orang itu mereka tahu ada mayat di tempat itu dari
Datuk Marajo Sati. Datuk itu juga meminta agar Jenazah dimakamkan di tempat
yang baik satelah lebih dulu dimandikan dan disembahyangi…."
"Datuk
Marajo Sati" ucap Duo Hantu Gunung Sago Batu Bakilek. "Aku menduga,
jangan-jangan Datuk itu yang membunuh saudaraku Aku akan mencarinya Jika
terbukti memang dia pelakunya akan kupecahkan kepalanya! Aku tidak takuti Aku
tidak perduli Ilmunya tinggi! Aku tidak perduli dia pimpinan para Datuk Luhak
Nan Tigo. Akan kucincang tubuhnya sampai lumat!"
"Hal
itu bisa sama-sama kita selidiki, tapi tidak sekarang. Ada urusan yang lebih
penting. Mencari kupu-kupu giok pusaka utama Kerajaan Tiongkok yang harus
segera berada di tangan Kaisar." Yang berkata adalah Ki Bonang Talang Ijo.
Orang tua berjubah dan berbelangkon hijau Ini tidak begitu tertarik untuk
menyelidiki dan mencari pembunuh SI Kalam Langit. Urusan lebih penting adalah
menemukan kupu-kupu batu giok yang akan memberi tambahan hadiah
batangan-batangan emas.
Menyelidiki
kematian Si Kalam Langit baginya tidak ada guna selain membuang waktu.
Mendengar
ucapan Ki Bonang Talang Ijo. amarah Duo Hantu Gunung Sago jadi meledak. Sambil
menunjuk tepat-tepat ke muka si kakek, lelaki tinggi besar berkepala botak ini
berteriak lantang.
"Kau
boleh tidak perdull dengan Si Kalam Langit karena dia bukan saudaramu! Bukan
darah dagingmu. Kau boleh tidak mau menyelidik dan mencari pembunuh kakakku
karena kau lebih suka pada upah besar batangan emasl Aku katakan pada kalian.
Soal kupu-kupu giok itu silahkan kalian urus sendiri. Pergi! Lindang hapus
kalian semua" (Lindang hapus = Pergi dan jangan kembali lagi)
Habis
berkata begitu Si Batu Bakilek hentakkan kaki hingga tanah bergetar ialu
tinggalkan tempat itu.
Perwira
Muda Teng Sien berteriak-teriak mengatakan sesuatu. Yang mengerti bahasanya
hanya Ki Bonang Talang Ijo. Maka kakek ini segera memanggil Si Batu Bakilek.
"Batu
Bakilek. Perwira Muda ini tidak suka kau meninggalkan rombongan. Kalau kau
memaksa pergi katanya kau harus mengembalikan tiga batangan emas yang sudah kau
terima!"
Duo Hantu
Gunung Sago Si Batu Bakilek hentikan langkah. Berpaling dan memandang melotot
ke arah KI Bonang Talang Ijo, lalu meludah ke arah Perwira Muda Teng Sien.
"Ki
Bonang! Katakan pada orang Cino Itu, Kalau dia minta kembali tiga batangan
emasnya, aku akan kembalikan. Akan aku bungkus baik-baik. Bukan cuma tiga
batang yang akan kau kembalikan. Tapi sepuluh. Tapi yang akan aku kembalikan
adalah batangan langek". (langek = kotoran manusia) SI Batu Bakilek
meludah sekali lagi ke arah Teng Sien lalu lanjutkan langkah. Melihat ini Teng
Sien berteriak pada tiga anak buahnya. Tiga anggota pasukan Kerajaan Tiongkok
itu segera mencabut golok dan tanpa banyak bicara langsung menyerang SI Batu
Bakilek!
Ki Bonang
Talang Ijo berteriak mencegah saling serang di antara anggota rombongan tapi
tertambat Di depan sana walau tangan kanannya cidera, SI Batu Bakilek masih
bisa pergunakan tangan kiri Sekali dia melepas pukulan tangan kosong, dari
tangan yang hitam berbulu itu melesat keluar selarik angin berwarna hitam. Dua
anak buah Teng Sien terpental, jatuh terduduk muntah darah lalu tergelimpang
tak bernyawa lagi. Yang ke tiga masih sempat selamatkan diri walau terjengkang
di tanah.
Teng Sien
menggembor marah. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Si Batu
Bakilek.
langsung
kirimkan tabasan ke leher orang. Si Batu Bakilek cepat menghindar. Golok
berbalik kali ini membabat ke arah pinggang.
"Breettt!
Masih
untung bukan perutnya yang Jebol tapi hanya baju hitam SI Batu Bakilek yang
robek besar.
"Hentikan!
Kalian berdua sudah kemasukan setan" Teriak Ki Bonang Talang Ijo. Kakek
ini tanggalkan belangkon hijaunya lalu dikibaskan ke arah dua orang yang aedang
bertarung. Saat itu Juga baik SI Batu Bakilek maupun Teng Sien sama-sama merasa
tubuh mereka menjadi lemas. Seperti lumpuh keduanya Jatuh terduduk di tanah.
KI Bonang
Talang Ijo dekati kedua orang ini.
Setelah
bahu masing-masing ditepuk keduanya baru bisa bangkit berdiri kembali. Ki
Bonang mengatakan sesuatu pada Perwira Muda Teng Sien lalu berpaling pada Si
Batu Bakilek.
‘Kau
memberi malu sajal Menerima hadiah tapi tidak mau bekerjal Kalau kau mau pergi
silahkan saja Aku tidak butuh orang sepertimul Kau tak usah mengembalikan tiga
batang emas yang sudah kau terimal Makan sampai perutmu gembung dipenuhi racun
kecurangan!’
Sepasang
mata besar Duo Hantu Gunung Sago berkilat-kilat dan tampak membersitkan cahaya
merah menyerupai buah sago.
"Ki
Bonang, kalaupun kau berada di tanah Jawa tidak pantas kau berkata menyumpah
seperti Itu Apa lagi saat Ini kau berada di negeri orang. Aku tidak akan
melupakan semua ucapanmu tadi. Lebih cepat kau meninggalkan tanah Minang Ini
akan lebih baik. Kalau tidak kelak aku akan mencarimu untuk memberikan sekedar
pelajaran bagaimana tata cara bicara yang sopani Atau kau minta kuberi
pelajaran sekarang juga?! Bagiku kematian bukan apa-apa. Tapi kau pasti takut
mati karena tidak akan mendapatkan harta. Padahal kalau kau mampus masih untung
jika ada yang membungkus jenazahmu dengan kain kafan! Atau kau kira akan mati
membawa batangan emas celaka keparat itu?!" Sambil keluarkan ucapan keras
SI Batu Bakilek angkat tangan kirinya, dipantang di depan dada. Tangan beaar
hitam berbulu itu memancarkan cahaya hitam redup pertanda orang kedua dari Duo
Hantu Gunung Sago ini siap melancarkan pukulan bernama Pukulan Batu Beracun
yang tadi sudah memakan dua korban anak buah Teng Sien.
Walau
hatinya panas sekali namun Ki Bonang Talang Ijo masih bisa menindih amarahnya
yang hampir meledak.
"Aku
siap menerima pelajaran sopan santun darimu. Datanglah kapan saja" ucap si
kakek.
Si Batu
Bakilek menyerang.
"Kau
takut menghadapiku saat ini. Ha…ha"
Si Batu
Bakilek tertawa mengejek. Sambil tudingkan telunjuk tangan kiri ke arah kepala
Ki Bonang Talang Ijo dia berkata.
"Kakek
keparat kau harus ingat satu hai. Dan kami semua orang di ranah Minang ini juga
akan mengingat baik-baik dan jelas-jelas Kau yang datang menimbulkan perkara
dan malapetaka di negeri ini dengan membawa manusia-manusia asing Itu Kau kelak
harus menebus dosa kesalahanmu dengan guyuran darahmu sendiri"
Selesai bicara
lantang SI Batu Bakilek segera memutar tubuh. Sebelum dia sempat melangkah tiba
tiba sebuah benda putih melesat di udara dan menancap di tanah antara SI Batu
Bakilek dan Ki Bonang Talang ijo.
Kedua
orang ini saling pandang seketika. Si Batu Bakilek bergerak lebih dulu mencabut
benda yang menancap di tanah. Benda itu ternyata adalah secarik kain putih yang
digulung pada sebatang potongan bambu. Dengan tangan kirinya Si Batu Bakilek
buka gulungan kain putih, di atas kain putih ada serangkai tulisan. Walau
tulisannya jelek tapi cukup jelas untuk dibaca Setelah membaca apa yang
tertulis di kain putih SI Batu Bakilek menyeringai lalu campakkan kain dan
bambu ke tanah. Tanpa banyak bicara ataupun menoleh dia tinggalkan tempat itu.
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai yang berada agak jauh ulurkan tangan kiri hingga
menjadi panjang lalu mengambil kain dan bambu. Kain dikembang.
Mulut
berkomat kamit terpencong-pencong mulai membaca apa yang tertulis di atas kain
putih.
Kalau mau
tahu siapa pembunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit, orangnya adalah
pemuda Jawa berambut panjang, bernama Wiro, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng.
TAMAT
No comments:
Post a Comment