Liang Lahat Gajahmungkur
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
SATU
Nenek
angker yang kepalanya ditancapi lima tusuk konde perak itu lari laksana angin.
Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan gugusan bukit karang di Teluk
Parangtritis. Memasuki sebuah lembah dia memperlambat larinya. Di satu tempat
yang sunyi dan teduh si nenek berhenti. Sosok anak kecil berpakaian serba hitam
yang sejak tadi dipanggulnya diletakkan di atas satu tonjolan tanah keras rata.
Dia pandangi tubuh pingsan tak bergerak itu sambil menarik nafas berulang kali.
Dalam hatinya sebenarnya nenek ini merasa sangat khawatir namun air mukanya
yang angker sebaliknya malah menyorotkan hawa kemarahan.
“Anak
setan! Tubuhmu panas seperti dipanggang! Tangan kananmu patah! Untung kau tidak
mampus dihantam pukulan sakti nenek bermuka putih itu! Kepandaian cuma
sejengkal berani-beraninya kamu mempermainkan orang!”
Anak yang
tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan itu adalah Naga Kuning alias Naga
Cilik.
Seperti
dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) anak itu berani
melawan Sabai Nan Rancak malah mempermalukan nenek sakti itu dengan menarik
tanggal jubah hitamnya di sebelah bawah. Akibatnya Sabai Nan Rancak menjadi
kalap. Setelah berhasil mematahkan tangan kanannya Sabai Nan Rancak
menghantamnya dengan pukulan Kipas Neraka. Walau tidak terkena telak namun
pukulan Kipas Neraka membuat si anak hangus sebagian pakaiannya. Wajahnya
tampak sangat merah tetapi anehnya bibirnya berwarna kebiruan.
“Mukamu
merah seperti udang direbus. Bibirmu sebiru jelaga. Ada hawa jahat mendekam
dalam tubuhmu. Jantungmu pasti megap-megap…. Anak setan! Kalau tidak kasihan
padamu seharusnya kubiarkan saja kau mampus! Mengapa aku mau-maunya menolongmu
mencari urusan! Huh!”
Nenek itu
menghela nafas panjang lalu kembali mengoceh.
“Aku
harus memeriksa tubuhmu. Kalau tanda merah dan biru juga ada di dadamu jangan
harap aku bisa selamatkan jiwamu!”
Si nenek
membungkuk. Lalu jari-jari tangannya yang kurus berkuku panjang dan hitam
bergerak ke dada si anak.
“Breett!”
Baju
hitam yang dikenakan bocah pingsan itu robek besar di bagian dada. Begitu dada
si anak tersingkap, kagetlah si nenek. Dia tersentak bangkit lalu tersurut
sampai dua langkah. Sepasang matanya mendelik memancarkan sinar aneh, menatap
lekat ke arah dada si anak. Di situ, di dada itu ada gambar seekor naga besar
berwarna kuning?
“Naga
Kuning…” desis si nenek dengan suara bergetar.
Untuk
beberapa lamanya nenek itu tegak tak bergerak, memandang melotot tak berkesip.
“Kalau
anak ini memang benar…. Ah! Bagaimana aku bisa mempercayai! Satu-satunya yang
tahu asal usul anak ini adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi orang sakti itu
kuketahui sudah lama berpulang…. Kalaupun masih hidup di mana aku harus
mencari!” Si nenek menarik nafas dalam berulang kali. Dia sadar kalau saat itu
sekujur tubuhnya terasa bergetar. Setelah terdiam beberapa lama akhirnya dia
berkata.
“Apapun
yang terjadi, aku berkewajiban menolong anak ini! Kalau dia sampai tewas di
tanganku, aku bakal celaka seumur-umur! Masih untung tak ada warna merah dan
biru di bagian dadanya. Berarti aku bakalan bisa menolong walau sulit setengah
mati! Mudah-mudahan Gusti Allah mau menurunkan kuasa, kekuatan dan kasihNya
menyelamatkan anak ini!”
Si nenek
lalu cabut tiga tusuk konde yang menancap di kepalanya. Tusuk konde pertama
ditusukkannya ke ubun-ubun si anak. Tusuk konde ke dua ditusukkan ke telapak
kaki kanan lalu yang terakhir ditancapkan ke telapak kaki kiri. Saat itu juga
tubuh Naga Kuning berguncang keras. Si nenek cepat tempelkan tangannya kiri dan
kanan di kening si bocah. Lalu mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Tubuh si anak
yang tadi berguncang kini mengendur dan guncangan perlahan-lahan lenyap. Si
nenek alirkan hawa sakti sejuk lewat tangan kanan sedang hawa sakti hangat
melalui tangan kiri. Dari wajah si anak yang berwarna merah keluar asap tipis.
Si nenek merasa agak lega. Dia lipat gandakan aliran hawa sakti. Namun jadi
terperangah ketika merasakan ada kekuatan aneh menolak keluar dari kening si
anak, membuat dua tangannya bergetar. Selagi si nenek terkesiap tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara berisik sekali. Liang telinganya seperti ditusuk.
Itulah suara kaleng yang dikerontangkan tiada hentinya.
“Setan
alas! Tua bangka sialan! Beraninya kau mengacaukan pekerjaanku!” Si nenek
menyumpah.
Suara
kerontangan kaleng sirna. Kini terdengar suara tawa mengekeh.
“Sinto
Gendeng! Walau sudah bau tanah sifatmu masih tidak berubah! Memaki mengutuk
serapah tak pernah berhenti! Sejak lama aku mencarimu! Apa kau tahu rimba
persilatan tanah Jawa dan Andalas tengah dilanda malapetaka besar?!”
“Kalau
tidak tahu masakan aku mau mencapaikan diri meninggalkan puncak Gunung Gede?!
Bukankah kau dan aku barusan mengalami sendiri di Teluk Parangtritis?!” jawab
si nenek seraya berpaling. Dia ternyata adalah Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede. Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Kau
betul. Sebelumnya kita sama-sama berada di Teluk Parangtritis. Kini sama-sama
tersesat di tempat ini…. Eh, aku merasa ada sosok lain yang bernafas
tersendat-sendat di dekatmu. Apa yang kau lakukan di sini Sinto?”
“Aku
tengah berusaha menolong menyelamatkan seorang bocah yang siap meregang nyawa.
Mendekatlah kemari agar kau tahu siapa adanya anak ini!”
Orang
yang diajak bicara melangkah mendekati si nenek. Begitu berada di dekatnya
Sinto Gendeng pegang lengan kanan orang itu lalu usapkan telapak tangannya ke
atas dada anak yang pingsan. Orang ini ternyata adalah seorang kakek bermata
putih alias buta melek dan bukan lain adalah manusia sakti salah seorang tokoh
aneh dunia persilatan yang dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu.
“Astaga!”
berucap si kakek setengah berseru. Walau matanya buta tapi dia memiliki
beberapa kehebatan. Diantaranya mengetahui sesuatu dengan jalan meraba.
“Ada gambar
ular besar di dadanya. Bukankah anak ini si Naga kuning alias Naga Cilik,
penjaga kawasan telaga besar Gajahmungkur?!”
“Kau
memang hebat. Meski jelek dan buta tapi punya kesaktian melihat secara
aneh…!”Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh dan goyangkan tangannya yang memegang
kaleng rombeng.
“Apa yang
terjadi dengan anak ini Sinto? Aku merasakan ada hawa aneh dan panas ketika
meraba dadanya. Aliran darahnya tidak beres. Nafasnya sudah sampai ke leher!”
“Anak ini
menderita cidera berat. Tangan kanannya patah. Tapi yang gawat luka dalam yang
dideritanya.”
“Aku
tahu. Anak ini terlibat dalam bentrokan hebat di Parangtritis….”
“Dia
dihajar Sabai Nan Rancak dengan pukulan Kipas Neraka!” kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau
bukan Naga Kuning, pasti anak ini sudah menemui ajal tadi-tadi.”
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit. Tangan kanannya yang memegang tongkat
diayun-ayunkan kian kemari. Sesaat terdengar dia bergumam. Lalu didengarnya
Sinto Gendeng berucap.
“Sabai
Nan Rancak. Jauh-jauh datang dari Andalas pasti punya maksud tertentu. Aku
sejak lama menyirap kabar nenek satu itu sepertinya punya satu urusan besar di
tanah Jawa ini. Agaknya telah terjadi sesuatu di luar pengetahuan kita. Aku
lihat nenek muka putih itu muncul mengenakan Mantel Hitam sakti milik Datuk Tinggi
Raja Di Langit. Aku yakin dia juga telah menguasai Mutiara Setan sang Datuk.
Belakangan ini dia muncul di beberapa tempat di tanah Jawa. Tindak tanduknya
aneh. Setiap dia muncul pasti terjadi sesuatu! Kau tahu atau kenal dengan nenek
keparat itu?”
Kakek
Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
“Apa yang
aku ketahui rasanya tidak sebanyak yang kau ketahui Sinto….”
“Maksudmu?”
“Seperti
kau di masa muda dulu nenek itu pernah bercinta dengan Sukat Tandika alias Tua
Gila….”
“Bukan
cuma bercinta. Tapi bunting dan punya anak!” ujar Sinto Gendeng.
“Ha… ha…
ha…!” Kakek Segala Tahu tertawa.
“Suaramu
ketus. Pertanda masih ada rasa sakit hati di dalam dirimu….”
“Aku
tidak ingin membicarakan masa lalu sialan itu. Apa yang sebenarnya tengah
terjadi di rimba persilatan tanah Jawa ini? Harap kau Suka menerangkan. Jangan
menyembunyikan sesuatu walau barang sepotong pun!”
“Pertama
kali aku bertemu dengan Sabai Nan Rancak adalah di Bukit Tegalrejo. Waktu itu
dia tengah menunggu kedatangan sobatnya bernama Datuk Angek Garang. Seperti
yang aku katakan padanya, sang Datuk tidak akan datang hidup-hidup.
Ternyata
benar. Datuk Angek Garang muncul naik gerobak. Tapi sudah jadi mayat. Pasti Tua
Gila yang membunuhnya. Karena Malin Sati, murid tunggal kakek sedeng itu mati
di tangan Datuk Angek Garang. Celakanya belakangan aku mendengar kabar bahwa
Sabai Nan Rancak menuduh aku yang telah membunuh Datuk Angek Garang…!” Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia
hentikan tawanya, menatap ke arah Sinto Gendeng dan berkata.
“Sinto,
kalau aku terus bercerita, kapan kau akan menolong Naga Kuning?”
“Astaga!”
Sinto Gendeng tersentak kaget.
“Aku
sampai terlupa!”
“Aku ikut
membantu!” kata si kakek pula.
“Kau tahu
siapa aku! Tak perlu dibantu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Jangan
takabur Sinto! Pukulan Kipas Neraka bukan pukulan sembarangan. Cidera yang
dialami Naga Kuning parah sekali….” Si nenek mencibir.
“Dari
dulu kau selalu meremehkan diriku.”
Kakek di
belakang Sinto Gendeng tertawa mengekeh lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
“Kakek
Setan! Kau mau membuat aku jadi budek! Hentikan perbuatanmu atau Liang Lahat
kuhancurkan kaleng jahanam itu!”
Rupanya
kerontangan kaleng yang memang disertai tenaga dalam itu telah membuat sakit
kedua liang telinga Sinto Gendeng maka kembali dia menyumpah dan mengancam.
“Sinto,
aku Kakek Segala Tahu yang sudah jadi sahabatmu sampai karatan begini merasa
wajib membantu! Terserah kau suka atau tidak! Ayo kau teruskan pekerjaanmu
tadi! Obati luka dalamnya lebih dulu. Lengannya yang patah biar nanti aku yang
mengurus!”
Si nenek
pelototkan mata dan hendak memaki kembali. Tapi akhirnya cuma diam. Tadi
sewaktu mengalirkan tenaga dalam ke tubuh si anak dia merasakan seolah ada satu
kekuatan yang menolak. Sinto Gendeng berpaling pada bocah yang tergeletak di
hadapannya.
Seperti
tadi perlahan-lahan dia duduk berjongkok lalu mulai mengalirkan hawa sakti
lewat kedua tangannya yang ditempelkan di kening Naga Kuning. Tiba-tiba si
nenek merasa terganggu. Ada sebuah benda ditusukkan di pantatnya sebelah kanan.
“Jahanam!
Apa yang kau lakukan?!” teriak Sinto Gendeng marah.
********************
DUA
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Aku
menempelkan ujung tongkat bututku di bokongmu,” katanya.
“Tenaga
dalammu bagaimana pun hebatnya tidak cukup untuk menolong anak itu. Lewat
tongkat ini aku akan mengalirkan tenaga dalamku ke dalam tubuhmu. Lalu kau
tolong meneruskan ke tubuh anak itu! Gampang saja bukan?!”
“Gampang
ndasmu!” maki Sinto Gendeng.
“Kalau
mau menolong kenapa pakai menusuk pantatku segala?! Apa tidak ada cara lain
yang tidak kurang ajar seperti ini?!”
“Soalnya
hanya bokongmu itu satu-satunya yang masih ada daging tebalnya! Bagian lain
tubuhmu hanya tinggal tulang keropos!” Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu
tertawa gelak-gelak. Si nenek memaki panjang pendek.
“Kalau
kau tak suka aku pakai tongkat mungkin kau lebih suka aku mempergunakan
tongkatku yang lain? Tapi tongkat satu ini lebih pendek dibanding yang kini aku
pegang! Ha… ha… ha!”
“Setan
tua! Jangan kau berani bicara kurang ajar!” hardik Sinto Gendeng.
“Sudah
jangan marah! Tongkat kayu tidak suka. Tongkat yang barusan kutawarkan kau juga
tidak mau. Malah tambah sewot. Baiknya aku pergunakan saja tangan. Kutempelkan
di pantatmu! Begitu?!”
“Kakek
kurang asem! Sudah! Tutup mulutmu!”
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh lalu tangan kirinya kembali menggoyangkan kaleng
rombeng berisi batu-batu kerikil itu. Sinto Gendeng walau masih jengkel tapi
terpaksa diam saja. Dia salurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh Naga kuning
melalui ke dua tangannya. Sementara di belakangnya si kakek yang menusukkan
tongkat bututnya ke tubuh bawah si nenek mulai pula mengalirkan hawa saktinya
lewat tongkat. Jika ada orang lain menyaksikan kejadian itu pastilah tak bisa
menahan tawa karena lucu melihat keadaan kedua orang itu. Tiba-tiba pinggul dan
pantat Sinto Gendeng tampak bergoyang-goyang.
“Hai!
Jangan bergerak! Salah-salah tenaga dalamku bisa masuk ke tempat lain!” Kakek
Segala Tahu berseru.
“Kakek
setan! Tusukan tongkatmu membuat bokongku gatal dan geli!” jawab Sinto Gendeng.
Kakek
Segala Tahu tertawa cekikikan.
“Tahan
saja! Pekerjaan ini tidak lama! Sebentar lagi juga selesai!” berkata si kakek.
“Jangan
terlalu keras menekan bokongku!” kata Sinto Gendeng yang dijawab oleh Kakek
Segala Tahu dengan tawa bergelak. Lalu ke dua orang tua itu sama-sama berdiam
diri. Sama-sama mengerahkan tenaga dalam untuk menolong Naga Kuning yang
terluka parah di sebelah dalam akibat hantaman pukulan sakti Kipas Neraka yang
dilancarkan Sabai Nan Rancak. Dari tiga bagian tubuh di mana tiga tusuk konde
ditancapkan tiba-tiba keluar cairan berwarna biru.
“Racun
pukulan membuat darah anak ini berwarna biru…” kata Sinto Gendeng dalam hati
sementara di belakangnya Kakek Segala Tahu yang bermata putih tampak
tenang-tenang saja walau sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat. Darah
bercampur racun mengalir terus. Bersamaan dengan itu warna biru di mulut Naga
Kuning perlahan-lahan berkurang. Wajahnya yang tadi merah berangsur-angsur berubah
putih. Hawa panas yang menjalari tubuhnya juga mulai berkurang. Begitu warna
biru di sekitar bibirnya lenyap, darah yang keluar dari tiga tempat tusukan
konde berubah pula menjadi merah.
Sinto
Gendeng tarik nafas lega. Kakek Segala Tahu kerenyitkan kening. Walau tidak
melihat tapi kakek sakti ini bisa menduga apa yang terjadi. Maka dia segera
kerontangkan kaleng rombengnya keras-keras. Membuat Sinto Gendeng tergagau
kaget dan tak dapat mengunci mulut menahan makian. Sambil memaki panjang pendek
Sinto Gendeng cabut tusuk konde di kepala dan dua kaki Naga Kuning. Benda ini
kemudian ditancapkannya kembali ke kulit kepalanya.
Di tanah,
Naga Kuning yang tadi pingsan gerakkan kaki kanannya lalu dari tenggorokannya
terdengar suara menggeru. Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya yang sejak
tadi terpejam. Begitu dia melihat wajah tua angker si nenek dan si kakek yang
saat itu masih saja menusukkan tongkatnya ke pantat Sinto Gendeng, si anak
usap-usap matanya sesaat lalu bertanya.
“Kalian
berdua sedang melakukan apa? Satu menungging satu menusuk dari belakang! Hik…
hik…!”
“Bocah
keparat!” Sinto Gendeng mendamprat.
“Jangan
kau berpikiran kotor! Kau kira kami ini sedang melakukan apa?!" Si nenek
lalu berpaling pada Kakek Segala Tahu dan dengan tangan kirinya dia kibaskan
tongkat yang masih ditusukkan ke pantatnya itu.Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh.
“Bocah
ajaib! Syukur kau masih bisa bicara tanda kau masih hidup!”
“Bocah
geblek! Begitu siuman kau bicara ngacok! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan
dengan siapa saat ini?!”
“Maafkan
saya Nek. Tentu saja saya tahu siapa kau adanya. Bukankah kau nenek sakti dari
Gunung Gede bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Hemmm!
Bagus kau masih mengenali diriku. Aku dan kakek ini barusan telah menolongmu
dari kematian akibat pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak yang berani kau
permainkan!”
”Ah!”
Naga Kuning berseru tertahan.
“Saya
anak yang tidak tahu diri. Melupakan pertolongan orang. Nek, saya mengucapkan
terima kasih. Juga padamu Kek….”
Kakek
Segala Tahu tertawa gelak-gelak. ketika dilihatnya Naga Kuning hendak bangkit
duduk, si kakek tekankan ujung tongkatnya ke dada si anak hingga Naga Kuning
kembali terbaring ke tanah.
“Pertolongan
kami belum rampung! Tangan kananmu patah. Tiduran saja! Aku akan mengobati.
Awas kalau kau berani berteriak kesakitan!”
Naga
Kuning baru sadar kalau tangan kanannya patah. Dia pergunakan tangan kiri
hendak menyentuh tangan kanan yang patah. Kakek Segala Tahu pukul tangan kiri
bocah itu dengan ujung tongkatnya hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Dari
dalam buntalan butut yang sejak tadi dipanggulnya Kakek Segala Tahu keluarkan
sebatang rotan sepanjang dua jengkal. Secara aneh rotan ini dibelahnya dengan
tongkatnya. Dua belahan rotan ditempelkannya di lengan yang patah. Satu di
sebelah kiri satu di sebelah kanan. Si kakek kemudian keluarkan segulung
sobekan kain dan diserahkannya pada Sinto Gendeng seraya berkata.
“Tolong
kau ikat kain ini di lengannya. Tepat di sekitar dua belahan rotan!”
Dengan
merengut Sinto Gendeng lakukan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Selesai tangannya
diikat Naga Kuning bertanya.
“Apa saya
boleh bangun sekarang Kek?”
Kakek
Segala Tahu tidak menjawab. Melainkan tiba-tiba ayunkan tongkatnya menggebuki
lengan kanan anak itu pada bagian yang dibalut kain. Kalau tidak ingat ucapan
si kakek pasti saat itu Naga Kuning sudah menjerit kesakitan digebuki begitu
rupa. Dia hanya bisa berdiam diri pejamkan mata sambil menggigit bibir menahan
sakit. Cukup lama baru Kakek Segala Tahu menghentikan gebukannya.
“Bocah,
jangan kau berani melepaskan ikatan dan dua belahan tongkat sebelum lewat dua
hari…” berkata Kakek Segala Tahu.
“Ucapanmu
saya ingat baik-baik Kek. Aku berterima kasih kau menolongku walau barusan
rasanya sama saja seperti kau mencincangi sekujur lengan ini!” Habis berkata
begitu Naga Kuning mencoba bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung dan hampir
terjerembab jatuh.
“Anak
tolol! Walau kau selamat dari cidera berat, aliran darah dalam tubuhmu masih
belum lancar!” kata Sinto Gendeng.
“Lekas
lakukan sesuatu untuk mengatur jalan darah dan pernafasanmu!”
Mendengar
ucapan itu Naga Kuning lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah. Tangan kanan
diletakkan di atas paha, tangan kiri dimelintangkan di atas dada. Sepasang mata
dipejamkan. Dia atur jalan nafasnya demikian rupa sehingga aliran darahnya yang
kacau perlahan-lahan teratur kembali. Begitu dirasakan keadaannya lebih baik,
anak ini baru berani berdiri. Walau masih menghuyung Naga Kuning membungkuk
dalam-dalam di hadapan Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Kakek
Segala Tahu tertawa panjang.
“Sinto
Gendeng, kalau anak itu adalah orang yang kuduga, sebetulnya kau yang harus
memberi penghormatan padanya. Bukankah begitu?”
Tampang
nenek sakti dari Gunung Gede itu menjadi merah gelap. Melihat si nenek salah
tingkah Naga Kuning segera berkata sambil goyang-goyangkan tangan kirinya.
“Melihat
keadaan lahir saya ini pantas menjadi cicitmu. Jadi siapa pun diriku, mengapa
kita harus memakai segala peradatan yang aneh-aneh!”
Mendengar
kata-kata Naga Kuning itu Sinto Gendeng tampak menjadi lega. Sikapnya kini
menjadi lunak dan nada ucapannya tidak kasar lagi.
“Naga
Kuning, aku butuh beberapa keterangan darimu….”
“Anak
kecil sepertiku keterangan apa yang bisa kau dapat, Nek? Bukankah lebih baik
bertanya pada Kakek Segala Tahu yang ada di sampingmu?” jawab Naga Kuning lalu
dia memperhatikan dada pakaiannya. Seolah baru sadar kalau baju hitamnya robek
besar dan dadanya tersingkap. Cepat-cepat anak ini rapikan pakaiannya
sebisanya.
“Aku
sangat perlu menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau tahu di mana dia
berada…?”
“Makhluk
setengah manusia setengah roh itu siapa yang tahu di mana dia berada. Lebih
baik kau menanyakan seratus hal yang susah, masih mungkin saya bisa menjawab,”
jawab Naga Kuning.
Sinto
Gendeng menggerendeng dalam hati.
“Menurut
riwayat, kau adalah satu-satunya orang yang selalu dekat dengan Kiai itu….”
“Kau
mendengar riwayat yang keliru, Nek….”
Sinto
Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu di sebelahnya. Walau tidak melihat
tapi kakek sakti ini tahu kalau dirinya diperhatikan. Maka dia pun berkata
setengah berbisik.
“Aku bisa
tahu seribu satu hal. Tapi tentang di mana beradanya orang sakti merupakan satu
dari beberapa hal yang tidak bisa kutembus dengan kesaktianku. Aku yakin anak
itu tahu di mana beradanya sang Kiai. Mungkin dia sudah diperintahkan untuk tidak
memberi keterangan apa-apa. Kau harus memutar otakmu Sinto….”
Sinto
Gendeng kembali berpaling pada Naga Kuning.
“Kapan
terakhir sekali kau berada di Telaga Gajahmungkur?”
“Saya
tidak ingat Nek. Tempat itu bukan satu tempat yang indah lagi sekarang sejak
orang yang menamakan dirinya Datuk Lembah Akhirat bermarkas tak jauh dari
telaga itu.”
“Hemm….
Aku sudah mendengar banyak cerita tentang orang-orang Lembah Akhirat. Katakan
apa saja yang kau ketahui Naga Kuning….”
“Tak ada
cerita yang lebih baik daripada datang sendiri menyelidik ke sana Nek….”
Mendengar
ucapan anak kecil itu tadinya Sinto Gendeng hendak meradang marah. Namun dengan
suara perlahan dia berkata.
“Aku
memang akan ke sana. Tapi banyak urusan yang harus kuselesaikan. Barusan saja
waktu di Parangtritis aku sempat melihat muridku Wiro Sableng. Tapi dia lenyap
begitu saja…. Aku harus mencari anak setan itu lebih dulu! Dia berada dalam
bahaya besar….”
“Bahaya
besar katamu Nek? Justru yang saya tahu muridmu itu banyak pacarnya di
mana-mana. Semua cantik-cantik. Berarti hidupnya senang, bukan dalam bahaya!
Hik… hik… hik!”
“Naga
Kuning, kau memancing kemarahanku! Jika kau tidak punya keterangan berharga
yang bisa kau berikan lebih baik kau pergi saja!”
“Nenek
Sinto, jangan kau marah. Aku memang mau pergi. Agar kau bisa berdua-dua dengan
kakek buta itu….”
“Anak
setan!” Sinto Gendeng tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Kau kira
kami berdua punya hubungan apa yang tidak senonoh?!” si nenek maju mendekati
Naga Kuning. Ulurkan tangan hendak menjambak rambutnya yang jabrik.
Si bocah
tertawa keras lalu berkelit. Sambil berlari tinggalkan tempat itu dia
berteriak.
“Kakek
Segala Tahu, jangan mau sama nenek itu! Dia bau pesing! Ha… ha… ha!”
Sinto
Gendeng memaki panjang pendek sampai mulutnya yang peot termonyong-monyong.
Hendak mengejar namun Naga Kuning sudah kabur. Kini kemarahannya ditumpahkan
pada Kakek Segala Tahu.
“Anak
setan itu berani mengurang ajari kita! Kau diam saja seperti tuli! Manusia
macam apa kau!”
Kakek Segala
Tahu goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng. Lalu dia tertawa
gelak-gelak. Sinto Gendeng sendiri banting-banting kaki saking kesalnya.
“Sinto,
ayo kita tinggalkan tempat ini. Sambil berjalan aku akan menuturkan apa saja
yang aku ketahui terjadi di rimba persilatan. Hanya ada satu hal penting yang
perlu buru-buru aku beritahukan. Pada bulan purnama yang akan datang aku
mendapat firasat ada satu peristiwa besar akan terjadi di Telaga
Gajahmungkur….”
“Hemmm….”
Sinto Gendeng bergumam.
“Kalau cuma
itu tanpa memakai firasat pun aku sudah tahu. Itu sebabnya aku saat ini akan
menuju ke sana….”
“Lalu apa
kau sudah mendengar riwayat seorang Datuk yang menguasai sebuah lembah bernama
Lembah Akhirat. Letaknya tak jauh dari Gajahmungkur….”
“Itu
termasuk hal yang akan kuselidiki…. Bocah nakal tadi memang benar. Aku harus
datang sendiri menyelidik ke sana!”
“Kita
harus berhati-hati Sinto. Banyak tokoh silat terkemuka datang ke tempat itu.
Mereka
tak pernah keluar lagi. Tidak diketahui masih hidup atau sudah menemui ajal.
Mayatnya pun tak pernah ditemukan. Mereka lenyap laksana ditelan bumi….
Terakhir yang kuketahui pergi ke sana adalah tokoh berjuluk Dewa Sedih. Lalu
menyusul Dewa Ketawa tidak diketahui pula di mana beradanya. Paling belakangan
Sika Sure Jelantik dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang Lembah
Akhirat…. Banyak urusan yang tidak karuan. Semua kabarnya berpangkal pada
sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat….”
“Kitab
geblek! Itu hanya cerita isapan jempol saja!” tukas Sinto Gendeng.
“Aku
justru berpendapat lain. Kitab itu kemungkinan besar memang ada. Hanya saja
perlu diselidiki apakah Datuk Lembah Akhirat benar-benar memilikinya. Atau
kitab itu ada pada orang lain dan sang Datuk cuma mengarang cerita untuk
mengeruk keuntungan tertentu. Guna menarik para tokoh untuk bergabung
dengannya.”
“Kalau
Dewa Sedih dan saudaranya si Dewa Ketawa benar-benar bergabung dengan Datuk
Lembah Akhirat, aku akan menghajar dua tua bangka tidak tahu diuntung itu!
Mengenai Sika Sure Jelantik, sejak muda aku kenal dia sebagai perempuan culas!”
“Hemmm…..Kuharap
ucapanmu itu tidak karena Sika Sure Jelantik adalah juga salah satu sainganmu
di masa muda dalam merebut Tua Gila….”
Paras
Sinto Gendeng tampak merah mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Mulutnya termonyong-monyong.
Mukanya yang keriputan kemudian kelihatan asam. Dalam hati dia memaki
habis-habisan.
“Sinto,
aku tahu saat ini pasti tampangmu merengut cemberut. Tapi kuharap kau mau
mendengar kata-kataku. Mungkin Naga Kuning tidak mengetahui di mana beradanya
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi aku yakin anak itu tahu beberapa hai penting
dalam rimba persilatan. Jadi aku usul agar kita segera mengikuti ke mana
larinya….”
“Bocah
itu menjengkelkanku. Ke mana dia mau pergi aku tidak perduli. Aku merasa lebih
penting mencari muridku si sableng itu lebih dulu. Kau tahu apa yang terjadi
dengan dirinya. Keadaannya dalam bahaya besar….”
“Kalau
begitu, hemmm…. Kita terpaksa meneruskan perjalanan berlainan arah. Namun ada
satu hal sangat penting. Pada saat bulan purnama empat belas hari di muka, aku
harap kau berada di Telaga Gajahmungkur….”
Sinto
Gendeng perhatikan wajah kakek buta itu. Mendadak saja hatinya berdebar.
“Ini kali
ke dua dia mengatakan hal itu. Jangan-jangan ada orang yang sudah tahu mengenai
pedang itu…” katanya dalam hati. Lalu dia bertanya dengan nada tak acuh agar
orang tidak curiga.
“Memangnya
ada apa di sana?”
“Aku
punya firasat akan terjadi satu hal besar di sana.” Lalu orang tua ini
mendongak ke langit. Kaleng rombengnya digoyang beberapa kali.
“Aku
melihat bulan purnama Sinto. Tapi diselimuti kegelapan….”
“Kau
ngacok saja! Bulan purnama mana ada yang gelap!” potong Sinto Gendeng.
“Yang
kulihat bukan kegelapan biasa Sinto. Bulan itu terselubung darah menghitam!”
Sinto
Gendeng hendak mengatakan sesuatu. Tapi si kakek lebih dulu menggoyang
kalengnya tiga kali berturut-turut. Membuat si nenek palingkan kepala ke
jurusan lain sambil menekap telinganya. Ketika dia membalik kembali si kakek
tak ada lagi di tempat itu.
Di
kejauhan tampak orang tua itu sudah berada delapan tombak di depan sana.
Melangkah tersaruk-saruk dengan pertolongan tongkatnya. Di lain kejap tokoh
sakti yang pandai meramal dan mampu melihat banyak hal secara gaib itu lenyap
dari pemandangan.
********************
TIGA
Ratu
Duyung tak mampu berlari kencang karena dia harus mengimbangi Pendekar 212 yang
lari tertatih-tatih di belakangnya. Di satu tikungan jalan Wiro hentikan larinya.
Dengan suara tersendat karena nafas sesak dia berkata.
“Aku tak
sanggup lari lebih jauh. Mau copot jantungku rasanya. Kita ini mau ke mana?”
Ratu
Duyung yang saat itu mengenakan pakaian serba hitam memandang berkeliling.
“Kita
sudah cukup jauh meninggalkan teluk. Kuharap di sini cukup aman. Ikuti aku
berlindung di balik semak belukar sana.”
Sang Ratu
lalu melangkah ke balik rimbunan semak belukar. Wiro mengikuti. Saat itu Wiro
ingat sesuatu. Dia meraba seputar pinggangnya.
“Astaga!
Senjataku!” katanya dengan wajah berubah.
Seperti
dituturkan dalam Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) sewaktu terjadi
pertempuran di Teluk Parangtritis, Naga Kuning telah pergunakan Kapak Maut Naga
Geni 212 milik Wiro untuk menghadapi Sabai Nan Rancak. Namun si nenek sakti
berhasil mematahkan tangan anak itu hingga Kapak Naga Geni 212 terlepas mental.
Untungnya sebelum senjata mustika itu diambil oleh Sabai Nan Rancak, orang aneh
berpakaian dan bercadar kuning mendahului mengambilnya.
“Aku
harus kembali ke teluk! Kalau sampai senjata itu jatuh ke tangan orang lain,
aku bisa celaka seumur-umur!”
“Wiro,
tunggu!” kata Ratu Duyung seraya cepat memegang tangan sang pendekar,
mencegahnya meninggalkan tempat itu.
“Ratu,
antara kita memang ada satu hal besar yang perlu dijernihkan. Namun saat ini
aku lebih penting mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Harap kau suka
melepaskan peganganmu….” Waktu bicara Wiro memandang ke jurusan lain seolah
sengaja tidak mau menatap wajah cantik yang dihias sepasang mata berwarna biru
indah itu.
“Wiro,
dengar! Dalam keadaanmu seperti ini terlalu berbahaya untuk kembali ke teluk.
Aku yakin Sabai Nan Rancak masih berada di sana. Lalu bagaimana kalau pemuda
bernama Utusan Dari Akhirat itu mengetahui bahwa kau adalah orang yang selama
ini dicarinya?”
“Jadi kau
sudah tahu kalau dia juga bermaksud membunuhku?”
“Memang
aku tidak dapat memastikan. Tapi jika dia memiliki pukulan sakti Gerhana
Matahari pasti dia punya sangkut paut dengan Pangeran Matahari atau Si Muka
Bangkai….”
“Bagaimana
kau bisa tahu dia memiliki pukulan Gerhana Matahari?” tanya Wiro.
“Sudahlah,
hal itu tidak perlu kita perdebatkan…”
“Yang aku
heran, bukankah Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai itu sudah tewas
di Pangandaran?”
“Mereka
boleh mati tapi apakah keanehan dalam rimba persilatan ini akan terhenti hanya
pada kematian mereka berdua?”
“Kau
benar.,.” kata Wiro perlahan.
“Apa yang
harus aku lakukan sekarang?”
“Kita
perlu bicara Wiro. Seperti kau katakan tadi antara kita ada satu masalah besar
yang perlu dijernihkan.”
“Hemmm….”
Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala.
“Aku tak
tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa seolah aku ini bukan diriku
lagi….”
“Aku
mengerti. Semua berpangkal pada diriku. Gurumu menuduh aku mencelakai dirimu.
Aku tidak menyalahkan gurumu. Tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku hanya
mementingkan diri sendiri. Gara-gara keinginanku lepas dari kutukan itu. Tapi
sebaliknya kau yang jadi celaka. Wiro, jika saja aku tahu hal itu akan terjadi
dengan dirimu, aku tidak akan mau melakukannya….”
Wiro
terdiam. Dalam hati dia berkata.
“Aneh,
dulu sebelum bertemu aku begitu marah padanya. Sekarang setelah
berhadap-hadapan mengapa rasa marah itu menjadi lenyap. Seolah aku sudah
memaafkannya sebelum dia meminta….”
“Menurut
perhitunganku, hanya tinggal sekitar sepuluh hari sebelum kau kembali memiliki
kesaktian dan tenaga dalam seperti dulu. Karena itu selama sisa waktu itu
izinkan aku selalu mendampingimu. Kalau bahaya mengancam aku rela mengadu jiwa
untuk keselamatanmu….”
Wiro
menghela nafas panjang.
“Aku tidak
tahu harus berkata apa. Dulu begitu sadar aku kehilangan segala-galanya sehabis
kita berada di Puri itu, aku benar-benar naik pitam. Aku ingin mencarimu, ingin
menghajarmu. Tapi sekarang….”
“Jika itu
kehendakmu, aku siap menerima hukuman. Dulu, aku begitu ingin bebas dari
kutukan jahat itu. Setelah terlepas dari kutukan aku jadi takut sendiri untuk
hidup di dunia seperti duniamu. Karenanya aku sudah mengambil tekad jika semua
urusan selesai aku akan kembali berkumpul bersama anak buahku dalam alam serba
gaib itu….”
“Kalau
begitu pengorbananmu sia-sia belaka….”
“Bukan
pengorbananku Wiro. Tapi pengorbananmu. Ketahuilah tak ada pengorban-an yang
sia-sia. Setiap kejadian ada hikmahnya sendiri-sendiri walau mungkin baru di
kemudian hari kita rasakan. Aku minta maaf atas semua apa yang terjadi. Jika
kau ingin menghukumku, aku sudah siap. Lakukanlah saat ini juga….”
Wiro
garuk-garuk kepala. Wajahnya diangkat sedikit untuk melirik wajah sang Ratu.
Saat itulah Wiro melihat bagaimana Ratu Duyung tegak dengan kepala tertunduk.
Butiran-butiran air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya yang halus.
Murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa melihat orang
menangis. Apalagi gadis secantik sang Ratu.
“Ratu,
kurasa waktu di Puri dulu kau dan aku belum sempat melakukan apa-apa. Tapi
mengapa….”
“Itu
semua terjadi atas kuasaNya Yang Maha Kuasa. Aku meminta dengan hati bersih
padaNya. Kau menolong dengan segala ketulusan. Sehingga sebelum itu terjadi aku
telah terlepas dari kutukan. Hanya saja kau yang menanggung akibatnya….”
Wiro
terdiam. Bukan saja karena mendengar ucapan Ratu Duyung tapi juga karena dia
kembali ingat pada Kapak Naga Geni 212 miliknya.
“Kita
sudah bicara. Segala sesuatunya serba jelas kini….”
“Jelas
sudah, tapi apakah kau bisa mengerti dan mau memaafkan diriku?” tanya Ratu
Duyung.
“Aku
sudah memaafkan Sebelum kau meminta,” jawab murid Sinto Gendeng pula.
“Antara
kita tidak ada lagi kesalahpahaman. Sekarang izinkan aku kembali ke teluk untuk
mencari senjata mustikaku…”
“Jangan
pergi. Baiknya aku melihat ke dalam cermin lebih dulu,” kata Ratu Duyung. Lalu
dia segera keluarkan cermin bulat dari balik baju hitamnya. Ketika dia
memandang ke dalam cermin sakti terkejutlah gadis cantik bermata biru itu.
“Ada apa
Ratu?” tanya Wiro ketika melihat perubahan wajah sang Ratu.
“Aku
melihat dua orang pemuda menuju ke tempat ini. Yang pertama pemuda bernama
Utusan Dari Akhirat itu. Di belakangnya seorang pemuda berpakaian hijau. Aku
rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya tapi lupa di mana…. Wiro, mereka segera
sampai di sini. Lekas berlindung di balik pohon besar sana.”
Dada
Pendekar 212 berdebar juga mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung itu. Tapi
dia tetap tidak bergerak dari tempatnya.
“Apa pun
yang terjadi kita hadapi semua urusan bersama-sama….”
Ucapan
Wiro menyentuh lubuk hati sang Ratu hingga gadis ini meremas jari-jari tangan
Wiro penuh perasaan haru. Niatnya untuk bersedia mati demi menyelamatkan Wiro
jadi bertambah besar. Ratu Duyung simpan kacanya di balik pakaian lalu
mendahului keluar dari rumpunan semak belukar. Wiro mengikuti. Belum lama
mereka keluar dari balik semak-semak, seperti yang dilihat Ratu Duyung dalam
cermin saktinya, dua pemuda tampak berlari cepat dari kejauhan. Wiro segera
mengenali. Di sebelah depan adalah Utusan Dari Akhirat. Di belakangnya menyusui
pemuda sahabatnya bernama Panji.
“Heran,
bagaimana Panji bisa muncul bersama pemuda ini. Bukankah sebelumnya dia bersama
Anggini dan Iblis Pemalu?” Baru saja Wiro berkata dalam hati, Utusan Dari
Akhirat dan Panji telah sampai di hadapannya.
“Kau!”
kata Utusan Dari Akhirat sambil menunjuk tepat-tepat ke arah Wiro yang berdiri
tiga langkah di hadapannya.
“Tidak
dinyana tidak diduga! Pemuda yang tadinya kuanggap bersahabat ternyata adalah
orang yang harus kubunuh! Wiro Sableng, sungguh mengenaskan kau harus mati di
tanganku!”
Panji
yang berdiri di samping Utusan Dari Akhirat maju selangkah dan berkata.
“Saudara,
aku tidak ingin kau salah menurunkan tangan. Aku memang tidak tahu nama pemuda
ini. Dia kukenal dengan julukan Pendekar 212. Kalau kau mencari Wiro Sableng,
orangnya adalah seorang tua renta. Bukan dia!”
Utusan
Dari Akhirat tertawa lebar.
“Pendekar
212 dan Wiro Sableng adalah orang yang sama! Kita barusan saja bertemu di
tengah jalan. Aku menganggapmu sebagai seorang sahabat. Pemuda beranting emas,
jangan kau berani menipuku!”
“Aku
bersumpah tidak menipumu!” kata Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Aku
pernah bertemu sendiri dengan Wiro Sableng. Orangnya tua. Berambut dan
berjanggut putih….”
Seperti
diceritakan dalam Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) ketika berada di
Kerajaan Pulau Sipatoka, Tua Gila secara main-main dan seenaknya telah memberitahu
pada Raja Tua Datuk Paduko Intan dan Datuk Pangeran Rajo Mudo bahwa namanya
adalah Wiro Sableng. Tentu saja dia tidak pernah menduga kalau ucapannya itu di
kemudian hari akan menimbulkan masalah seperti yang kini terjadi.
Sementara
Utusan Dari Akhirat dan Panji bertengkar maka Wiro sendiri dan juga Ratu Duyung
merasa heran mengapa Panji mengatakan bahwa dia bukan Wiro Sableng dan Wiro
Sableng adalah seorang tua renta.
“Ada yang
tidak beres…” bisik Wiro pada Ratu Duyung.
“Kukira
begitu. Tapi aku sudah bisa menduga jalan ceritanya. Tua Gila pernah menuturkan
padaku bahwa satu ketika dia tersesat ke sebuah pulau. Mungkin sekali saat
itu….”
“Kalian
berdua berbisik-bisik apa?!” Utusan Dari Akhirat membentak.
“Sahabat!
Pemuda ini adalah temanku! Dan dia bukan Wiro Sableng!” Lagi-lagi Panji
berusaha meyakinkan.
Rahang
Utusan Dari Akhirat menggembung.
“Jika kau
memang sahabatnya aku persilahkan bergabung dengannya. Aku tidak segan-segan
membunuh kalian berdua.”
Dalam
bingungnya Panji kembali hendak berkata. Namun saat itu Wiro mengangkat
tangannya. Padahal sebenarnya Ratu Duyung hendak bicara untuk membuat Utusan
Dari Akhirat menjadi tambah bingung agar Wiro bisa diselamatkan.
“Utusan
Dari Akhirat,” kata Pendekar 212.
“Walau
cuma sebentar tapi sebelumnya kita pernah bersahabat. Namun apa artinya
persahabatan itu jika kau memang mempunyai maksud membunuh seorang bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar 212. Karena akulah orang yang kau cari! Aku Wiro
Sableng. Aku Pendekar 212!”
“Berani
mati orang ini!” keluh Ratu Duyung dalam hati. Dia cepat melangkah maju dan
tegak membelakangi Wiro. Sambil bertolak pinggang dia berkata pada Utusan Dari
Akhirat.
“Saudara,
jika hatimu meragu jangan sekali-kali menurunkan tangan jahat apalagi membunuh.
Harap kau suka meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu sahabatku!”
Utusan
Dari Akhirat tersenyum.
“Sia-sia
saja kalau kau bermaksud melindunginya. Orang yang punya diri telah memberitahu
siapa dirinya! Jika kau punya maksud menantang diriku, aku tidak keberatan
menjadikan dirimu sebagai korban berikutnya. Berarti hari ini aku harus
mencabut tiga nyawa sekaligus!”
Habis
berkata begitu Utusan Dari Akhirat melompat mundur dua langkah. Sepasang
lututnya ditekuk. Tubuhnya membungkuk. Tangan kanannya diangkat ke atas. Udara
mendadak menjadi redup.
“Ratu
Duyung! Lekas menyingkir! Dia hendak lepaskan pukulan Gerhana Matahari!” seru
Wiro memperingatkan.
********************
EMPAT
Meski
sudah diperingatkan dan juga mengetahui kedahsyatan pukulan Gerhana Matahari
namun Ratu Duyung sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah
dengan sikap tenang dia letakkan tangan kirinya di pinggang. Bersamaan dengan
itu sepasang matanya yang bagus tampak menyorotkan sinar aneh. Sikap sang Ratu
pertanda bahwa dia bersedia menghadapi tantangan atau serangan pemuda
berpakaian hitam berambut gondrong di hadapannya.
“Ratu,
aku melihat saputan tanda hitam di sekitar bibirmu. Pertanda sebelumnya kau
pernah terluka di dalam. Jadi jangan nekad….” Wiro berbisik.
Sang Ratu
tersenyum kecil. Tanpa berpaling dia menjawab.
“Ternyata
kau masih bermata tajam walau dalam keadaan sakit. Tak usah khawatir. Aku sudah
sembuh. Gurumu Eyang Sinto Gendeng yang mengobati!”
“Apa…?”
kejut Wiro.
“Kapan
kau bertemu dia? Di mana?!”
“Nanti
saja aku ceritakan. Biar aku hadapi pemuda kesasar ini dulu….”
Karena
merasa khawatir Pendekar 212 maju selangkah mendekati Utusan Dari Akhirat yang
saat itu tegak semakin membungkuk dan tangan kanan diangkat ke atas. Sementara
udara bertambah redup.
“Tahan!”
tiba-tiba murid Sinto Gendeng berseru.
“Utusan
Dari Akhirat! Mengapa kau punya niat jahat hendak membunuhku! Apa hubunganmu
dengan Pangeran Matahari?!”
Sesaat
Utusan Dari Akhirat terdiam. Namun kemudian pemuda ini menyeringai lalu tertawa
bergelak.
“Pertanyaan
orang yang hendak mampus memang harus dijawab agar di akhirat rohnya tidak jadi
setan penasaran!”
“Jawab
saja pertanyaanku! Jangan bicara tidak karuan! Kau sendiri sudah jadi setan
ngacok sebelum mampus!” tukas murid Sinto Gendeng saking marahnya.
Rahang
Utusan Dari Akhirat menggembung. Alisnya mencuat ke atas. Walau tampangnya
tidak sama dengan Pendekar Matahari tapi Wiro melihat seolah-olah pemuda di
hadapannya itu telah berubah menjadi sosok sang Pangeran. Hal ini membuat Wiro
jadi bergidik karena menyadari bahwa dia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali
mengandalkan jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuhnya serta ilmu silat
orang tidur yang diberikan si Raja Penidur.
“Pendekar
212 Wiro Sableng!” Utusan Dari Akhirat membuka mulut.
“Agar kau
puas ketahuilah bahwa aku adalah adik satu guru Pangeran Matahari, murid kakek
sakti Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, kau menanggung dosa dan tanggung
jawab atas kematian kedua orang itu! Apa kau sekarang sudah puas dan siap
menerima kematian?!”
Sulit
bagi murid Sinto Gendeng mempercayai ucapan Utusan Dari Akhirat
“Dia
memang memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari yang hanya dimiliki si Muka
Bangkai dan Pangeran Matahari. Tapi kedua orang Itu sudah tewas di Pangandaran.
Dari mana bangsat ini mendapatkan ilmu kesakitan itu Sulit kuduga. Selain itu
tak pernah aku mendengar Pangeran Matahari punya seorang adik seperguruan….”
Wiro membatin.
“Kau
belum memberitahu mengapa kau ingin membunuhku! Juga dua orang lainnya yaitu
sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti serta Kakek Tua Gila!”
Kembali
Utusan Dari Akhirat sunggingkan seringai.
“Waktu di
pantai bukankah aku sudah mengatakan padamu? Membunuhmu dan dua orang itu
adalah perjanjian keramat yang menjadi tugasku! Kematian kalian adalah takdir
dari Yang Diatas!”
“Jahanam!”
maki murid Sinto Gendeng dalam hati.
“Katakan
siapa yang menugaskanmu!”
“Roh gaib
guruku Si Muka Bangkai!” jawab Utusan Dari Akhirat. Ketika dilihatnya Wiro
tercengang melongo mendengar ucapannya itu pemuda ini berkata.
“Ada lagi
yang ingin kau katakan atau tanyakan sebelum mampus?!”
“Ya ada!
Kau tolol dan gila! Punya guru dan kakak seperguruan yang sudah jadi hantu!”
jawab Wiro.
Tampang
Utusan Dari Akhirat kelam membesi. Dari hidungnya keluar suara mendengus.
Bersamaan dengan itu dia menghantam ke depan. Di saat yang sama Panji alias
Datuk Pangeran Rajo Mudo yang tetap yakin bahwa manusia bernama Wiro Sableng
adalah orang tua yang pernah datang ke pulaunya tempo hari, berteriak seraya
mendorong Utusan Dari Akhirat ke samping.
“Saudara!
Pemuda itu bukan Wiro Sableng!”
Tiga
larik sinar kuning, merah dan hitam berkiblat. Namun karena tubuhnya terdorong
keras ke samping, serangan Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Dari Akhirat
meleset setengah tombak dari sasaran yang dituju yakni Sosok Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Ketika
melihat orang melancarkan serangan Ratu Duyung cepat mendorong tubuh Wiro ke
samping hingga Serangan lawan semakin meleset jauh. Bersamaan dengan itu dari
sepasang mata Ratu Duyung melesat dua sinar biru, menderu ke arah Utusan Dari
Akhirat. Sang Ratu sengaja tidak menghantam langsung pemuda di hadapannya tapi
hanya mengarahkan serangan setengah tombak di depan kaki lawan,
“Byurrr!
Byuuuur!”
Tanah di
depan Utusan Dari Akhirat muncrat ke atas. Pemuda itu berseru kaget dan
melompat dua tombak ke atas seraya melotot menyaksikan bagaimana di bawah sana
kini kelihatan dua lobang besar mengepulkan asap biru.
“Itu
sekedar peringatan dariku! Harap kau lekas angkat kaki dari tempat ini!”
Utusan
Dari Akhirat memandang dengan mata berkilat-kilat. Tampaknya dia tidak perduli
dengan ucapan Ratu Duyung. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat itu.
Malah kini dia angkat ke dua tangannya ke atas dengan telapak terkembang.
“Jahanam!
Bangsat ini hendak lepaskan pukulan Telapak Matahari!” kata Wiro dengan suara
bergetar dan sempat terdengar oleh Ratu Duyung yang ada di sebelahnya.
“Aku
memberi peringatan! Kau tetap berkeras kepala! Kau memilih kematian di usia
muda!” kata Ratu Duyung. Lalu tangan kirinya menyelinap ke balik baju hitam.
Sesaat kemudian sang Ratu telah memegang cermin sakti. Cahaya menyilaukan yang
keluar dari cermin dan melintas di wajah Utusan Dari Akhirat membuat pemuda ini
tercekat. Dia cepat lindungi matanya dengan tangan kiri. Percaya bahwa dia
memiliki kesaktian yang mampu menghadapi gadis cantik di depannya itu, si
pemuda tetap tak bergeming dari tempatnya.
Dari
belakang Panji yang tadi gagal mencegah serangan, untuk ke dua kalinya berusaha
menarik dan mendorong tubuh Utusan Dari Akhirat. Kali ini Utusan Dari Akhirat
tak tinggal diam. Begitu pinggangnya dicekal, sikutnya bergerak, menghantam ke
belakang.
“Bukkk!”
Panji
terpental dua tombak dan jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya serasa melesak
kena hantaman sikut Utusan Dari Akhirat. Menahan sakit dan juga terbakar oleh
hawa amarah Panji bangkit berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang
lalu terdengar suara berdesing. Utusan Dari Akhirat merasa ada hawa dingin
menyambar ke arah dua tangannya yang diangkat ke atas. Tanpa berpaling pemuda
ini condongkan tubuh ke depan. Kaki kirinya menekan ke tanah. Bersamaan dengan
itu tubuhnya diputar ke belakang dan kaki kanannya melesat.
Panji
terkesiap kaget ketika melihat kaki kanan Utusan Dari Akhirat tahu-tahu melesat
ke arah kepalanya. Dia cepat membungkuk sambil tusukkan pedang ke selangkangan
lawan yang terbuka. Namun kaki kanan Utusan Dari Akhirat menghantam lebih dulu.
“Bukkk!”
“Breett!”
Panji
mengeluh tinggi. Bahu kirinya serasa remuk. Tubuhnya terlempar dan terbanting
di tanah. Dia berusaha bangkit tapi roboh kembali megap-megap. Utusan Dari
Akhirat tekap paha kiri celananya yang robek besar tersambar ujung pedang
lawan. Seperti diketahui walau dia memiliki pukulan sakti yang dipelajarinya
dari kitab
“Matahari,
Sumber Segala Kesaktian”, namun pada dasarnya pemuda yang dulu bernama Layang
Kemitir ini belum memiliki dasar ilmu silat yang luar biasa. Itu sebabnya walau
Panji sendiri tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi namun pemuda dari Pulau
Kerajaan Sipatoka ini masih sempat menusukkan pedangnya merobek paha kiri
celana hitam lawan.
Utusan
Dari Akhirat dalam keadaan marah besar melompat ke hadapan Panji. Kaki kanannya
diayunkan untuk menendang kepala orang. Baik Wiro maupun Ratu Duyung sama
mengetahui kalau tendangan itu bukan sembarang tendangan. Sekali kena dihantam
maka kepala pemuda berkulit sawo matang dan beranting emas itu akan hancur.
Nyawanya tidak tertolong lagi. Seolah lupa akan keadaan dirinya Wiro melompat
ke muka untuk berikan pertolongan. Ratu Duyung berteriak memberi ingat tapi
terlambat. Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya ke pelipis kiri Utusan Dari
Akhirat. Yang diserang tidak perdulikan serangan Hu dia tetap teruskan
tendangannya ke kepala Panji.
“Bukkkk!”
Jotosan
Wiro mendarat di pelipis Utusan Dari Akhirat. Kepalanya hanya tersentak sedikit
dan kelihatan kemerahan. Sebaliknya Wiro mengeluh kesakitan dan pegangi
tangannya. Jotosan yang dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaga luar itu
membuat dia kesakitan sendiri. Sementara usahanya untuk menolong Panji tidak
berhasil. Karena tendangan kaki kanan Utusan Dari Akhirat terus menderu ke
kepala Panji. Sesaat lagi kepala Panji akan dibikin pecah oleh tendangan Utusan
Dari Akhirat, mendadak di udara terdengar suara orang meraung disusul dengan
suara tangis yang membuat semua orang tersirap. Lalu ada sesuatu menahan kaki
kanan Utusan Dari Akhirat yang membuat tendangannya bukan saja tertahan tapi
tubuhnya terhuyung keras ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah.
“Aku
melihat langit! Aku melihat bumi! Aku melihat anak-anak manusia di tempat ini
berlaku salah kaprah! Bukankah nyawa mereka berada di tanganku…? Hik… hik…
hik!” Suara tangis aneh memenuhi tempat itu.
Semua
orang tersentak kaget. Lebih-lebih Utusan Dari Akhirat yang kini terhantar di
tanah. Semua kepala dipalingkan ke kiri di mana saat itu tampak tegak seorang
kakek berwajah murung. Berkulit sangat hitam, mengenakan pakaian berupa
selempang kain putih. Rambutnya digulung dan diikat di atas kepala. Alisnya
panjang menjulai ke bawah. Tangan kirinya tiada henti mengusap sepasang
matanya. Kakek ini keluarkan suara tangis berkepanjangan.
********************
LIMA
Sepasang
mata Ratu Duyung tak berkesip memandangi sosok kakek yang tegak menangis itu.
Demikian pula dengan Wiro Sableng.
“Dewa
Sedih. Tokoh aneh berkepandaian tinggi. Terakhir sekali aku melihatnya di
Pangandaran. Manusia satu ini memang aneh. Tapi kali ini aku merasakan ada satu
keanehan lain dalam dirinya….” Membatin Ratu Duyung.
Wiro
sendiri yang semula gembira melihat kemunculan orang tua ini namun menindih
perasaannya ketika pandangannya membentur tangan kanan Dewa Sedih.
“Aneh…”
desis Wiro dalam hati.
“Tangan
kanan Dewa Sedih berwarna hitam. Padahal dulu-dulu tidak. Lalu apa maksud
ucapannya tadi. Nyawa siapa yang dimaksudkannya berada di tangannya?”
“Kakek,
kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih….” Kesunyian di tempat itu
dipecahkan oleh suara Panji. Pemuda ini membuat gerakan menjura dalam keadaan
berlutut lalu bangkit berdiri. Dewa Sedih menggerung keras.
“Ucapan
terima kasih adalah pengantar perkabungan. Hik… hik… hik! Aku melihat langit.
Aku melihat bumi. Aku melihat nyawa beterbangan dari bumi ke langit. Dari
tempat ini ke atas sana….” Wiro garuk kepala melihat tindak tanduk Dewa Sedih
yang tidak seperti biasanya ini. Maka dia pun memancing.
“Dewa
Sedih, aku senang berjumpa lagi denganmu. Apa kau ada baik-baik saja? Apa kau
tahu di mana adikmu Si Dewa Ketawa sekarang berada?” Dewa Sedih mendongak ke
langit. Sepasang matanya dipejamkan. Tangisnya seolah ditahan hingga dia
terseguk-seguk. Lalu perlahan-lahan dia turunkan kepalanya dan berpaling ke
arah .Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu pandangannya membentur tampang murid
Sinto Gendeng itu maka meraunglah si kakek. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke
arah Wiro.
“Anak
manusia! Aku sedih. Tangis di mataku. Ratap di hatiku! Kau adalah orang yang
aku cari selama ini! Kau adalah orang pertama yang nyawanya harus kupindah dari
tubuh kasar ke alam barzah. Dari bumi ke langit! Hik… hik… hik…. Anak muda aku
terpaksa membunuhmu saat ini juga. Betapa menyedihkan…. Hik… hik… hik! Kau mati
lebih dulu. Yang lain-lain bisa menyusul kemudian!”.
Berubahlah
paras Pendekar 212 mendengar ucapan Dewa Sedih. Ratu Duyung terkesiap. Tenaga
dalam segera dikerahkan ke tangan kanan. Sepasang matanya memancarkan kilat. Tangan
kiri menggenggam gagang cermin bulat erat-erat.
“Kalau
kakek sinting ini berani melepaskan tangan jahat terhadap Wiro, aku tidak akan
menyesal membunuhnya saat ini juga!” kata sang Ratu dalam hati.
“Dewa
Sedih! Apa yang terjadi denganmu. Sejak lama kau menjadi sahabatku dan sahabat
orang-orang rimba persilatan golongan putih. Mengapa saat ini kau muncul hendak
membunuhku? Jangan-jangan ada yang telah mempengaruhimu?!” Wiro bertanya dan
langsung menyatakan kecurigaannya.
Dewa
Sedih menangis keras. Lalu berucap.
“Persahabatan
hanya sekental embun pagi. Maksud hendak membunuh sekeras butiran logam. Siapa
yang kuat itu yang menang. Mana mungkin embun lebih kuat dari logam! Anak
manusia aku mengemban tugas untuk membunuhmu! Kalau aku gagal, aku akan celaka
seumur-umur! Barangku tak akan kembali ke tempat asalnya. Lebih baik aku mati
daripada tak punya barang! Apa gunanya hidup! Hik… hik… hik!” Habis berkata
begitu Dewa Sedih lalu menangis kembali.
“Ah,
dugaanku tidak meleset. Ada sesuatu yang telah mempengaruhi kakek ini!” ujar
Wiro dalam hati.
“Siapa
yang memberi tugas padamu?!” Tiba-tiba Ratu Duyung membuka suara. Tanpa
berpaling pada sang Ratu, Dewa Sedih terus saja menangis. Begitu suara
tangisnya reda dia berkata.
“Anak
gadis, mungkin kau satu-satunya yang bisa kuampuni nyawanya. Tapi dengan syarat
harus ikut bersamaku setelah yang lain-lain kukirim ke langit. Hik… hik….
Betapa untungnya dirimu. Betapa malangnya nasib tiga kurcaci muda yang ada di
tempat ini!”
“Dewa
Sedih, ada sesuatu yang tidak beres dengan dirimu! Harap kau mengingat-ingat.
Kuasai hati, kuasai jalan pikiran! Jangan sampai salah menurunkan tangan!” kata
Wiro.
Tangis
Dewa Sedih tertahan. Suara segukan keluar dari tenggorokannya berulang kali.
“Aku tahu
hatiku! Aku tahu pikiranku! Aku melihat langit! Aku melihat gantungan tempat
nyawamu sebentar lagi bercokol! Jangan membuat hatiku tambah sedih anak muda!”
Dewa
Sedih putar tubuhnya ke arah Wiro. Selangkah demi selangkah dia maju mendekati
murid Sinto Gendeng sambil tangan kanannya yang berwarna hitam diangkat
setinggi dada. Tiba-tiba Utusan Dari Akhirat melompat dan tegak menghadang
langkah Dewa Sedih.
“Orang
tua aneh! Aku tidak tahu siapa kau adanya! Aku tidak akan perduli siapa adanya
dirimu! Ketahuilah nyawa pemuda bernama Wiro Sableng itu sudah ditakdirkan
menjadi milikku! Tugasmu tidak sepenting tugasku!”
“Hik…
hik…! Apakah satu nyawa bisa dibagi dua? Bagaimana cara membaginya?! Daripada
membagi dua bukankah lebih baik ditambah satu nyawa lagi? Jadi ada dua nyawa
yang harus kucabut secara berbarengan! Sungguh sedih….. Sungguh sedih! Hik…
hik… hik!”
Tangan
kanan Dewa Sedih bergerak ke arah Wiro.
“Tunggu!”
Ratu Duyung berseru seraya letakkan cermin bulat di depan dada.
Dewa
Sedih usap matanya yang basah.
“Apa
maumu anak gadis? Ingin minta mati duluan?!”
“Kau tadi
bilang membunuh Pendekar 212 karena mengemban tugas. Katakan siapa yang memberi
tugas padamu!” Dewa Sedih mendongak ke atas lalu meraung keras.
“Aku
melihat langit. Aku mendengar anak manusia bertanya tentang kematian. Biarlah
malaikat maut saja yang nanti akan menjawab!”
“Tua
bangka pengecut! Kau cuma bisa mewek menangis seperti bayi! Tapi takut
memberitahu siapa tuan majikanmu! Dengar baik-baik, kau tidak akan bisa kembali
menghadap dan berlutut di hadapan majikanmu! Kau akan menemui ajal lebih dulu
di tempat ini!” Lalu Ratu Duyung berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kau
hendak membunuh Wiro? Kau tentu tidak mau keduluan oleh kakek gila ini!
Bagaimana kalau kita bersama-sama menunjukkan jalan ke neraka padanya. Aku mau
tahu apa dia masih bisa menangis di akhirat!”
Utusan
Dari Akhirat sesaat terkesiap mendengar ucapan Ratu Duyung itu. Tapi dalam hati
dia mengakui ucapan si gadis bermata biru ada benarnya juga. Ratu Duyung
berpaling ke arah Panji.
“Ambil
pedangmu! Kau juga harus ikut membantu!”
Walau
cidera tapi Panji jadi terbakar semangatnya. Dengan cepat dia mengambil pedang
yang tergeletak di tanah. Pemuda ini menyadari bahwa saat itu dia berada di
tengah orang-orang berkepandaian tinggi. Dibanding dengan dirinya maka dia
bukan apa-apa. Namun rasa setia kawan yang ada dalam dirinya terhadap Wiro
membuat dia tidak merasa gentar* Hanya saja sampai saat itu dia merasa bingung.
Apa betul pemuda berambut gondrong berpakaian hitam itu adalah benar-benar Wiro
Sableng?
“Wiro,”
bisik sang Ratu kemudian pada murid Sinto Gendeng.
“Jika
terjadi bentrokan pukulan sakti, harap kau lekas mencari tempat berlindung. Aku
menduga keras kakek ini telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat….”
“Bagaimana
kau tahu?” tanya Wiro.
“Lihat
tangan kanannya. Berwarna hitam. Dia telah memiliki ilmu pukulan maut yang
disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. ilmu ini hanya dimiliki Datuk Lembah
Akhirat dan kaki tangannya. Siapa yang kena hantamannya, tubuhnya akan jadi
bubuk berwarna hitam!”
“Gila! Berbahaya
sekali kalau begitu!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Apa
jubah sakti yang kupakai tidak sanggup menahan kehebatan ilmu setan itu?”
“Aku
tidak berani menduga-duga. Sebaiknya lekas cari selamat. Cari perlindungan….”
Wiro tak
segera beranjak. Yang terpikir olehnya saat itu adalah bagaimana akibatnya
kalau Dewa Sedih menemui ajal di tangan orang-orang itu. Adiknya si Dewa Ketawa
pasti akan marah besar. Orang-orang golongan putih akan ikut campur. Urusan
besar bakal menghadang. Ternyata Ratu Duyung bisa membaca jalan pikiran murid
Sinto Gendeng. Maka cepat dia berkata dengan suara lantang agar Dewa Sedih ikut
mendengar.
“Wiro!
Buang kebimbangan dalam hatimu! Kakek di hadapan kita bukan manusia baik-baik
yang bisa dipercaya sebagai sahabat. Walau dia bukan dari golongan hitam tapi
dia juga bukan tokoh golongan putih. Seringkali dia tidak punya pendirian.
Kalaupun punya maka dia berada di pihak yang sesat. Ingat peristiwa di
Pengandaran tempo hari?
Kakek
berhati bengkok ini sudah saatnya disingkirkan. Kalau tidak dunia persilatan
akan dibikin kisruh oleh ulahnya!”
Dewa
Sedih tersurat dua langkah. Matanya mendelik memandang pada Ratu Duyung. Lalu
terdengar ratapnya.
“Aku
dibilang bukan manusia baik-baik. Hik… hik! Aku dikatakan tidak punya
pendirian! Aku dibilang berhati bengkok dan harus disingkirkan! Hik… hik… hik!
Malangnya nasibku! Anak gadis bermata biru, mulutmu lancang. Hatimu pasti tidak
sebagus wajahmu! Lihat ke langit! Lihat bumi! Antara keduanya itulah jalanmu ke
neraka!”
Dewa
Sedih keluarkan satu gerungan keras. Tangan kanannya dihantamkan ke arah Ratu
Duyung. Selarik Sinar hitam menggidikkan melesat. Inilah pukulan ganas
mengandung tenaga dalam tinggi bernama Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Siapa yang
terkena maka tubuhnya akan dikobari api berwarna kehitaman. Lalu tubuh itu akan
musnah berubah menjadi bubuk mengerikan! Dewa Sedih mendapatkan ilmu kesaktian
ini langsung dari Datuk Lembah Akhirat karena tugas yang diberikan kepadanya
sangat berat yakni membunuh beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Satu
diantaranya adalah Wiro Sableng!
Di
samping itu sang Datuk merasa cukup dapat mempercayai Dewa Sedih karena
sebelumnya kakek ini telah berhasil membunuh beberapa tokoh silat golongan
putih. Antara lain si Janggut Biru Berhati Emas dari kawasan timur.
Ketika
Dewa Sedih menggerakkan tangannya, sebelum sinar hitam berkiblat Ratu Duyung
tidak tinggal diam. Gadis cantik dari alam aneh ini hentakkan kaki kanannya ke
tanah. Tempat itu bergetar hebat laksana diredam gempa. Lalu tangan kirinya
yang memegang cermin sakti dibabatkan ke depan. Bersamaan dengan itu dari
sepasang matanya memancar dua larik sinar biru angker.
Di
sebelah belakang Panji yang memegang pedang, begitu melihat tubuh Dewa Sedih
bergerak dan tangannya menghantam ke depan segera melompat sambil babatkan
pedang. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tidak memiliki kemampuan untuk menyerang
terpaksa melompat mencari perlindungan.
Layang
Kemitir alias Utusan Dari Akhirat sesaat merasa bingung siapa yang bakal
diserangnya. Dia ingin membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangannya
sendiri. Jika Wiro sampai menemui ajal di tangan si kakek berarti dia tidak
akan dapat melaksanakan tugas dari roh gaib Si Muka Mayat alias Si Muka
Bangkai. Dalam keadaan seperti itu akhirnya dia membuat keputusan bahwa dia
harus ikut menghantam Dewa Sedih. Maka dari samping dia lepaskan pukulan
Gerhana Matahari. Sinar kuning, hitam dan merah menggemuruh ke arah si kakek.
Dewa
Sedih menggerung keras. Dia tidak menyangka akan mendapat serbuan begitu hebat.
Walau dia yakin pukulan maut yang dilepaskannya akan sanggup membunuh Ratu
Duyung tapi di saat bersamaan dia terpaksa harus menyingkir selamatkan diri
dari serangan pedang dari hantaman pukulan sakti Utusan Dari Akhirat.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga
letusan dahsyat menggoncang tempat Itu. Sinar hitam, merah, kuning dan biru
laksana pijar letusan gunung berapi menggelegar di udara. Wiro terbanting ke
tanah, terguling sejauh dua tombak lalu mengeluh keras ketika keningnya sebelah
kanan menumbuk akar pohon besar yang menonjol ke tanah. Ratu Duyung terpental
sampai empat tombak. Dia gulingkan diri di tanah lalu sambil berseru keras
gadis ini melompat bangkit. Tubuhnya tergontai-gontai beberapa saat. Wajahnya
yang cantik pucat seperti tidak berdarah. Di dadanya ada denyutan keras yang
menyesakkan. Tangan kirinya yang memegang cermin bulat terasa kaku. Di bagian
lain Panji terkapar tak bergerak di tanah. Dari telinga dan hidungnya mengucur
darah. Dari mulutnya keluar suara erang berkepanjangan. Utusan Dari Akhirat
tampak tersandar di bawah pohon tak jauh dari tempat Wiro tergeletak dengan
kening benjut dan berdarah. Tangan kanannya berdenyut kesemutan. Tak bisa
digerakkan seolah lumpuh. Bentrokan pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga
dalam tinggi tadi telah membuat semua orang yang ada di tempat itu mengalami
cidera. Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng walaupun dia tidak terlibat
langsung.
Dalam
keadaan masing-masing menderita cidera, semua orang masih sempat menyadari
kalau Dewa Sedih tidak ada lagi di tempat itu. Ke mana lenyapnya kakek yang
jadi pangkal bahala itu?!
Tiba-tiba
terdengar suara tangis meraung. Semua kepala sama diangkat. Semua mata
memandang ke atas. Di atas pohon besar di bawah mana Utusan Dari Akhirat dan
Wiro berada kelihatan sosok Dewa Sedih tegak terbungkuk-bungkuk di atas sebuah
cabang. Pakaian putihnya robek dan hangus di beberapa bagian. Dia menangis
dengan darah mengucur keluar dari mulutnya.
“Aku
melihat langit! Aku melihat bumi! Tapi aku tidak melihat jalan kematian! Datuk
Lembah Akhirat mana kedahsyatan pukulan sakti yang kau berikan padaku?!”
Sambil
menangis Dewa Sedih angkat tangan kanannya. Sampai sebatas pergelangan
tangannya masih tetap berwarna hitam. Namun di atas pergelangan tangan kakek
ini tampak merah membengkak.
“Datuk
Lembah Akhirat aku memilih mati daripada malu besar. Kepala ke bawah kaki ke
atas! Kaki menjunjung langit, kepala mencium bumi! Hik… hik… hik!”
Di luar
dugaan semua orang tiba-tiba Dewa Sedih jatuhkan diri dari cabang pohon.
Seperti ratapannya tadi kakinya ke atas dan kepalanya ke bawah. Kakek ini
benar-benar melakukan bunuh diri. Sesaat lagi kepalanya akan hancur membentur
tanah tiba-tiba ada suara
“tar…
tar… tar!” Menyusul suara orang tertawa membahana. Tak lama kemudian satu sosok
tubuh melayang sebat lalu membuat gerakan seolah terjun ke dalam air. Dua
tangan melesat ke depan dengan telapak terbuka, menahan kepala Dewa Sedih
hingga tidak menghantam tanah!
********************
ENAM
Pemuda
berkumis tipis dan berkulit halus itu duduk di atas tumbangan batang kayu,
menatap ke Seantero telaga luas berair tenang membiru. Sejak tadi dia berada di
tempat itu dan tampaknya seperti kebingungan.
“Kalau
tidak melihat sendiri tidak pernah kuduga telaga ini begitu luas. Kedalamannya
tentu sukar dijajagi. Dari sebelah mana aku harus terjun lalu menyelam…? Kalau
saja tidak diperintah kakek itu dan mengingat senjata sakti itu katanya mampu
mengobati Pendekar 212, tidak nanti aku mau datang jauh-jauh datang ke sini….”
Kembali
si gadis yang bukan lain adalah Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh yang
sengaja menyamar berdandan seperti seorang pemuda merenung menatapi Telaga
Gajahmungkur.
Tiba-tiba
dari sebelah barat dia melihat seorang anak kecil berpakaian hitam berlari
cepat ke arahnya. Dalam waktu singkat si anak sudah berada dekat sekali. Puti
Andini segera berlindung di balik serumpunan semak belukar. Ternyata si anak
adalah Naga Kuning yang sebelumnya telah ditolong dan diselamatkan oleh Sinto
Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Puti Andini perhatikan Naga Kuning yang saat itu
tegak di tepi telaga, tepat di samping pohon kelapa yang hanya tinggal batang
karena bagian atasnya pupus rata dihantam petir.
“Rambutnya
jabrik lucu. Keningnya benjut. Tangan kanannya dibalut. Kalau bukan murid
seorang pandai tidak nanti dia mampu lari secepat yang kulihat. Hemm…. Siapa
adanya anak ini. Mengapa dia berada di sini. Dia seperti memperhatikan sesuatu
di tengah telaga. Kalau dia mengetahui seluk beluk telaga ini rasanya ada
baiknya aku bertanya padanya….”
Puti
Andini hendak beranjak keluar dari balik semak belukar. Namun niatnya serta
merta dibatalkan ketika melihat apa yang dilakukan Naga Kuning. Anak ini
memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut. Saat itu juga dari mulutnya
keluar suara suitan keras dan panjang, tiga kali berturut-turut.
“Dia
mengeluarkan suara suitan. Memberi tanda atau memanggil seseorang…?”
Belum
selesai bertanya-tanya dalam hati tiba-tiba Puti Andini melihat sebuah benda
aneh berwarna kuning muncul di permukaan air telaga. Si gadis tak dapat
mengenali benda apa adanya. Karena selain jauh d; tengah, benda itu muncul
hanya sekejap lalu lenyap. Di saat bersamaan anak kecil berpakaian hitam yang
tangan kanannya dibalut dilihatnya lari ke arah telaga.
“Ah….”
Puti Andini keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat bagaimana laksana
melayang anak itu melesat di udara. Membuat gerakan berjungkir balik dua kali.
Lalu dalam, keadaan tegak lurus, tangan ke bawah kaki ke atas anak itu terjun
ke dalam Telaga Gajahmungkur.
Puti
Andini melompat keluar dari balik semak-semak, berlari ke tepi telaga. Untuk
beberapa lamanya dia menunggu sambil memandang tak berkesip ke arah air telaga
yang beriak tempat Naga Kuning tadi menceburkan diri. Ditunggu sekian lama si
anak tidak muncul-muncul.
“Aneh…”
pikir cucu Sabai Nan Rancak ini.
“Mengapa
anak itu tak muncul lagi? Tak mungkin tenggelam. Kalau dia tidak bisa berenang
tidak mungkin dia menceburkan diri. Tapi dia bukan cuma sekedar pandai
berenang. Dia mampu menyelam lama di dalam air….”
Puti
Andini ingat pada Pedang Naga Suci 212 yang harus dicarinya di dasar telaga.
“Jangan-jangan
anak itu murid seorang pandai yang mengetahui tentang adanya senjata sakti di
dasar telaga. Kalau aku tidak melakukan sesuatu jangan-jangan bisa kedahuluan
dan pedang sakti itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi kalau aku ikut menyelam,
apa benar aku mampu berada lama di dalam air?”
Seperti
diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini bertemu dengan Sika
Sure Jelantik. Tertipu oleh cerita yang dikarang si gadis, Sika Sure Jelantik
merasa kasihan dan akhirnya suka terhadap gadis itu. Lebih dari itu si nenek
lalu memberikan satu ilmu yang membuat Puti Andini mampu menyelam dan berada di
dalam air dalam waktu lama. Namun sewaktu dia hendak menerjunkan diri ke dalam
telaga yang luas itu si gadis tertahan sesaat. Dia merasa bimbang apakah dia
benar-benar mampu bertahan di dalam air?
“Aku
belum pernah mencoba sebelumnya. Kalau nenek itu menipuku seperti aku
menipunya, bakalan celaka diriku. Tapi kalau tidak terjun membuktikan sendiri
bagaimana mungkin aku tahu. Lagi pula tak ada jalan lain. Untuk mendapatkan
pedang sakti yang dikatakan Tua Gila aku memang harus masuk ke dalam telaga,
menyelam sampai ke dasarnya….”
Setelah
menetapkan hati akhirnya cucu Sabai Nan Rancak itu terjun ke dalam telaga.
Sesaat kemudian dia telah berada di bawah permukaan air. Selain merasakan
kesejukan air telaga gadis ini juga merasakan beberapa keanehan. Di dalam air
yang redup temaram itu ternyata dia mampu melihat cukup jelas sampai beberapa
tombak di sekitarnya. Kemudian dia mampu bernafas melalui hidung tanpa air ikut
tersedot. Pasti inilah kehebatan ilmu, yang diberikan nenek bernama Sika Sure
Jelantik itu, pikir Puti Andini. Karena penglihatannya cukup terang Puti Andini
masih sempat melihat bayangan anak kecil berpakaian hitam tadi berenang menukik
menuju dasar telaga yang sangat dalam. Tanpa menunggu lebih lama Puti Andini
segera berenang mengikuti.
“Aku
pasti akan menemui kesulitan mencari Pedang Naga Suci 212 itu. Lebih baik aku
mengikuti anak itu lebih dulu. Siapa tahu dia memberi petunjuk yang tidak
terduga…. Aku yakin anak itu bukan manusia sembarangan. Kalau tidak mana
mungkin dia mampu berenang dan menyelam sampai sedalam ini! Orang biasa akan
pecah gendang-gendang telinganya, akan kacau aliran darahnya dan bisa terhenti
denyutan jantungnya!”
Naga
Kuning menyelam menuju dasar telaga di sebelah timur. Tempat ini dipenuhi
tetumbuhan air serta batu-batu tinggi berbentuk aneh. Ikan-ikan berbagai warna
dan bentuk berkeliaran di sela-sela batu dan tetumbuhan. Air telaga terasa
lebih dingin dan keadaan semakin redup. Naga Kuning melesat di antara celah dua
dinding batu berwarna kehijauan tertutup lumut tebal. Dia sampai ke bagian
dasar telaga yang cekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti sebuah
piring besar. Di pertengahan lingkaran ada sebuah batu hitam menyerupai kursi
kecil. Dudukan kursi batu ini berbentuk miring hingga siapa saja yang duduk di
atasnya akan mendongak ke arah sebuah goa batu berwarna putih. Ini adalah satu
pemandangan luar biasa yang sulit dipercaya.
Di
kedalaman hampir dua ratus tombak dari permukaan air, di dasar telaga itu
berdiri sebuah goa besar putih berkilauan. Bagian tengah goa yang merupakan
jalan masuk tertutup oleh satu dinding batu memancarkan hawa sangat dingin
menggidikkan serta sinar merah. Pada pertengahan dinding ada tulisan besar
hitam berbunyi
“Liang
Akhirat”. Keanehan yang tidak dapat dipecahkan oleh otak manusia ialah adanya
dua buah tiang batu setinggi bahu manusia di kiri kanan goa. Di atas
masing-masing tiang terdapat sebuah pendupaan dipenuhi bara api yang menyala
serta menghamparkan asap putih dan menebar harumnya bau kemenyan!
Dari
balik dinding batu ini terdengar suara detakan-detakan aneh seolah detak jantung
makhluk raksasa yang sukar dibayangkan apa ada dan bentuknya. Demikian hebatnya
suara detakan itu hingga dasar telaga dan batu berbentuk kursi terasa bergetar
terus-terusan. Selain itu pada saat-saat tertentu terdengar suara desisan keras
dari balik dinding batu penutup mulut goa.
Semua
keanehan di dasar telaga itu seolah biasa-biasa saja bagi Naga Kuning. Ini satu
pertanda bahwa anak ini sudah sering dan terbiasa berada di tempat itu. Namun
satu hal wajahnya tampak diselimuti kecemasan. Naga Kuning berenang cepat ke
arah batu berbentuk kursi lalu duduk di atasnya. Dia menatap ke arah dinding
merah di mulut goa. Air mukanya membayangkan rasa khawatir. Dalam keadaan
seperti itu si anak perlahan-lahan pejamkan kedua matanya lalu rangkapkan dua
tangan di depan dada. Sikapnya seperti orang bersamadi. Tapi yang sebenarnya
tengah dilakukannya saat itu adalah mencoba mengadakan kontak atau sambung rasa
dengan seseorang di mana antara mereka berdua Saling terpisah di dua alam yang
berbeda. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba tampak tubuh Naga Kuning bergetar
keras. Getaran ini bukan akibat getaran dasar telaga atau kursi batu yang
didudukinya. Tapi satu getaran aneh yang datang dari alam gaib dan menembus
masuk ke dalam tubuhnya. Naga Kuning buka ke dua matanya. Sepasang tangannya
masih, diletakkan di atas dada. Dia menatap tak berkesip ke arah goa putih.
Lalu tampak mulutnya terbuka menyusul terdengar suaranya berucap.
“Kiai….
Saya Naga Kuning datang menghadapmu….”
Ini satu
lagi keanehan yang tak masuk akal. Seorang anak manusia bisa bicara di dalam
air dan suaranya keras bergema seolah dia berada di dalam satu jurang di
daratan terbuka!.
********************
TUJUH
Pada saat
gema ucapan Naga Kuning sirna, dari balik dinding batu merah penutup mulut goa
terdengar dua desisan panjang disertai bunyi detakan keras seolah dasar telaga
itu dihantam palu godam raksasa. Di antara suara-suara mengerikan itu tiba-tiba
terdengar suara lain.
“Anak
manusia yang terlahir bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran
terbuang, yang oleh sementara orang disebut sebagai Kiai Paus Samudera Biru,
yang oleh diriku sehari-hari dikenal dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik
alias Naga Kecil. Ternyata kau masih punya keberanian datang menghadap. Tapi
ingin aku tanyakan. Apakah kau masih punya malu untuk datang ke tempat ini?”
Getaran
di tubuh Naga Kuning semakin keras hingga kepalanya bergoncang-goncang. Tangan
kanannya yang patah sakit bukan main namun dia menguatkan diri untuk tidak
merasakannya. Paras anak berambut lurus kaku ini tampak berubah pucat mendengar
ucapan orang yang tidak kelihatan itu. Untuk beberapa lamanya dia tak kuasa
membuka mulut memberikan jawaban.
“Naga
Kuning! Mulutmu terkancing! Hatimu terpaku! Apa kau sudah menyadari
kesalahanmu?!”
“Saya
menyadari Kiai. Saya mohon maafmu dan minta ampun,” jawab Naga Kuning.
“Itu
salah satu sifat buruk manusia beradab. Membuat kesalahan dengan sengaja. Lalu
meminta maaf dan ampun! Coba kau katakan apa kesalahan yang telah kau perbuat!”
Tenggorokan
Naga Kuning bergerak-gerak. Anak ini menelan ludahnya beberapa kali baru
menjawab.
“Kesalahan
saya adalah meninggalkan Telaga Gajahmungkur tanpa izin Kiai. Meninggalkan
Liang Lahat ketika diperintahkan untuk berjaga-jaga.”
“Bagus!
Kau tahu apa kesalahanmu! Sosokmu memang sosok anak kecil. Tapi apa kau ingat
berapa usiamu sebenarnya sampai hari ini?!” Naga Kuning tercekat. Keningnya
berkerut. Wajahnya yang bocah berubah jadi tua karena berusaha keras
mengingat-ingat.
“Kau
tidak ingat lagi ketuaan dirimu Naga Kuning?”
“Saya
ingat Kiai. Usia saya saat ini tidak kurang dari seratus dua puluh tahun….”
Dari
balik dinding batu merah penutup goa terdengar suara orang tertawa.
“Orang
seusiamu sepantasnya berlaku bijaksana bertindak arif. Apa yang kau dapat dari
ketidakpatuhanmu itu Naga Kuning?”
“Saya…
saya tidak mendapatkan apa-apa Kiai.”
Kembali
dari balik dinding menggema suara tawa.
“Yang kau
dapat adalah kau kehilangan seruling saktimu. Yang kau dapat adalah patah
tangan kananmu! Bukan begitu Naga Kuning?”
“Ya,
memang begitu Kiai….”
“Dan satu
lagi. Kau telah membawa seseorang muncul di tempat ini sebelum waktunya…!” Naga
Kuning memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dibalik ketidak
mengertiannya anak ini menjawab.
“Saya
datang ke sini seorang diri Kiai. Saya tidak membawa siapa-siapa.”
“Kau
tidak percaya pada ucapanku. Nanti akan kau lihat sendiri…. Sekarang terangkan
apa saja yang kau lakukan di dunia luar sana. Siapa saja yang kau temui….”
“Saya
bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan ternama Kiai. Seorang pemuda
mengaku bernama Utusan Dari Akhirat. Lalu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
yang berada dalam musibah besar. Kehilangan ilmu silat dan kesaktiannya karena
dikabarkan berzinah dengan Ratu Duyung. Saya juga sempat melihat Ratu itu. Lalu
ada seorang sakti yang wajahnya selalu ditutupi cadar kuning. Saya juga bertemu
dan bentrokan dengan nenek sakti dari Pulau Andalas bernama Sabai Nan Rancak.
Dialah yang menciderai saya hingga patah tangan dan hampir menemui ajal kalau
tidak ditolong oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Di satu tempat saya
berada bersama Dewa Tuak dap Iblis Putih Ratu Pesolek. Hanya sayang saya tidak
melihat keduanya secara langsung….”
“Hemmm….
Cukup banyak para tokoh yang kau temui. Tapi kau belum mengatakan anak gadis
yang kau temui di atas kapal itu…. Padahal bukankah itu pangkal sebab segala
ketololanmu?!” Paras Naga Kuning berubah merah.
“Saya
memang bertemu dengan cucu Sri Baginda itu. Namanya Juminten….” Orang di balik
dinding batu tertawa bergelak.
“Cucu Sri
Baginda itu kabarnya lucu dan cantik. Dia juga menyukai dirimu. Jangan kau
berbuat macam-macam Naga Kuning. Usia anak itu belum sepuluh tahun. Kau walau
kelihatan masih bocah sebayanya tapi usiamu sudah seratus dua puluh tahun!”
“Saya
paham Kiai. Tak mungkin saya berbuat yang bukan-bukan….” Orang yang dipanggil
Kiai menghela nafas panjang.
“Naga
Kuning, perbuatanmu menyalahi pesan dan perintah hampir membuat aku kebobolan.
Apa kau mengenali dua mayat ini?”
Terdengar
suara berdesir. Dari balik goa putih muncul sosok seekor ikan besar yang
memiliki dua buah tanduk di bagian kepalanya. Di antara dua tanduk itu terbujur
bertindihan dua tubuh manusia. Satu berpakaian hitam, satunya mengenakan
pakaian merah. Kedua orang ini berusia lanjut dan berada dalam keadaan kaku
karena telah menjadi mayat. Ikan besar yang membawa dua mayat di atas kepalanya
berputar-putar di depan Naga Kuning. Anak ini memperhatikan. Dengan cepat dia
segera mengenali siapa adanya ke dua orang itu.
“Saya
mengenali siapa mereka Kiai. Yang baju hitam adalah Datuk Bonar. Dikenal dengan
julukan Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Dia adalah salah seorang kaki tangan
Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang. Konon Sutan itu dicurigai
sebagai orang di belakang layar penyebab pembunuhan-pembunuhan atas diri para
tokoh silat belakangan ini. Kemudian mayat berbaju merah itu. Bukankah dia Nyi
Ulan Si Singa Betina Pedataran Bromo?”
“Betul….
Tapi apa kau tahu siapa dia adanya?” bertanya suara di balik batu merah penutup
mulut goa.
“Setahu
saya dia adalah seorang nenek aneh yang selalu berpakaian seperti lelaki.
Berhati culas. Karena itu dia juga dijuluki Singa Betina Muka Seribu.”
“Hanya
itu yang kau ketahui…?”
“Hanya
itu saja Kiai,” jawab Naga Kuning.
“Akan
kukatakan padamu apa yang aku ketahui. Nyi Ulan sesungguhnya adalah kaki tangan
Datuk Lembah Akhirat. Dia punya silang sengketa besar dengan Sutan Alam Rajo Di
Langit. Tapi karena maksud tertentu dia bersekongkol dengan Datuk Bonar dan
datang ke tempat ini. Ini satu pertanda bahwa agaknya antara orang di puncak
Singgalang dan penguasa Lembah Akhirat ada satu jalinan hubungan rahasia yang
pada saatnya karena pengaruh kepentingan bisa berubah menjadi bentrokan besar.
Beberapa hari lalu Datuk Bonar dan Nyi Ulan muncul di sini. Mencoba masuk ke
dalam Liang Lahat dengan cara membobol jalan rahasia. Mereka sempat masuk dan
mencapai Tangga Akhirat. Untung Naga Kembar mengetahui, menghalangi dan
mengusir mereka. Keduanya berusaha membunuh Naga Kembar. Tapi mereka dibunuh
lebih dulu!”
Naga
Kuning terdiam mendengar keterangan itu. Dia tahu bagaimana besar kesalahan
yang telah dibuatnya. Maka dia segera berucap.
“Saya
sangat menyesal Kiai. Semua Itu terjadi karena perbuatan saya meninggalkan
tempat ini. Karena itu sekali lagi saya minta maaf dan mohon ampun.” Sambil
berkata Naga Kuning memperhatikan ikan besar menyelinap pergi membawa dua mayat
di atas kepalanya.
“Seingatku
seumur hidupmu baru sekali ini kau berlaku tolol dan membuat kesalahan. Jadi
pada tempatnya kalau aku masih mau memberi maaf dan ampun padamu. Di luar sana
tentu dingin sekali. Apa kau ingin cepat masuk ke dalam Liang Lahat?”
“Kalau
Kiai berkenan saya akan sangat berterima kasih. Saat ini saya merasa seolah
dipendam dalam lobang es saking dinginnya.” Saat itu juga terdengar suara
berdesing. Kursi batu yang diduduki Naga Kuning berputar laksana gasing. Lalu
seperti dilontarkan, tubuh Naga Kuning melesat ke atas ke arah goa batu putih.
Bersamaan dengan itu dinding batu merah yang mengeluarkan hawa aneh terbuka
sedikit. Tubuh Naga Kuning melesat melewati celah sempit. Sesaat kemudian
dinding batu itu menutup kembali. Naga Kuning lenyap tak kelihatan lagi.
********************
DELAPAN
Puti
Andini yang berusaha mengejar Naga Kuning membuat gerakan mengapung di dalam
air. Dia memandang berkeliling. DI kiri kanan dan sebelah belakang tidak tampak
apa-apa kecuali ikan-ikan kecil berenang kian kemari. Lalu di sebelah depan,
menghalangi pengejarannya menjulang dinding batu serta tumbuhan air.
“Kemana
lenyapnya anak itu?” pikir Puti Andini. Dia sengaja menunggu sambil mengawasi
keadaan sekitarnya. Namun si anak tidak kunjung muncul.
“Aku
sudah sampai di dasar telaga. Daripada mencari anak itu lebih baik mulai
menyelidik dimana beradanya Pedang Naga Suci 212. Sampai saat ini aku tidak
merasa apa-apa. Tapi bukan mustahil terjadi sesuatu yang membuat diriku tidak
bisa bertahan lebih lama di dasar telaga ini….” Memikir sampai di situ maka
Puti Andini segera mulai memeriksa dasar telaga di sekitarnya. Mencari sebuah
benda yang belum pernah dilihatnya sebelumnya di dasar telaga yang begitu luas,
dingin redup bukan satu pekerjaan mudah.
“Jangan-jangan
aku harus menjelajahi dasar telaga ini sampai puluhan hari. Apa aku sanggup
bertahan sekian lamanya?” pikir si gadis dengan perasaan bercampur bimbang.
Walau Sika Sure Jelantik sebelumnya memberi tahu bahwa dengan ilmu yang
diberikannya gadis itu sanggup berada di dalam air untuk jangka waktu 100 hari
namun Puti Andini tetap saja merasa was-was. Di atas telaga sang surya mulai
redup menuju ufuk tenggelamnya. Di dalam Telaga Gajahmungkur, apalagi jauh di
dasarnya keadaan menjadi lebih redup. Kemana-mana memandang Puti Andini hanya
melihat kegelapan.
“Pasti
saat ini matahari telah tenggelam. Tak mungkin meneruskan mencari senjata sakti
itu. Aku harus naik ke daratan….” Ketika dia muncul di permukaan telaga hari
memang telah gelap karena sang surya telah tenggelam. Malam telah turun. Dalam
keadaan pakaian basah kuyup serta tubuh terasa dingin Puti Andini duduk di tepi
telaga. Tanpa diketahuinya ada dua pasang mata mengintipnya. Sepasang di
sebelah timur, sepasang lagi di sebelah barat
“Pedang
Naga Suci 212…” desis si gadis.
“Sebilah
pedang mustika sakti walaupun berada dalam sarungnya biasanya akan memancarkan
cahayanya. Kalau senjata itu benar berada di dasar telaga, dalam gelap
cahayanya akan jelas terlihat. Besok akan kuteruskan lagi menyelam. Tapi sebaiknya
aku membatasi diri sampai dua atau tiga hari saja. Kalau tidak bertemu juga
perlu apa menghabiskan waktu? Atau sebaiknya aku menunggu saat perjanjian
dengan Tua Gila?” Seperti diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti
Andini dan Tua Gila membuat perjanjian bahwa mereka akan bertemu di pinggiran
timur Jelaga Gajahmungkur pada bulan purnama 14 hari yang akan datang.
“Hari
empat belas bulan purnama hanya tinggal delapan hari dimuka. Aku bisa menunggu.
Tapi aku khawatir dalam waktu itu sesuatu bisa saja terjadi. Mungkin Wiro akan
menemui celaka. Mungkin juga Tua Gila marah besar padaku karena aku menantinya
dan tidak berusaha mencari sendiri senjata sakti itu….”
Berbagai
pikiran membuncah kepala Puti Andini. Dari telaga bertiup angin keras.
“Ah,
dingin sekali udara di sini. Sebaiknya aku bersalin pakaian dulu….”
Puti
Andini melangkah ke tempat di mana dia sebelumnya meninggalkan bungkusan
perbekalannya. Dalam gelap dia membuka kain penutup kepalanya. Tak lupa dia
menanggalkan kumis palsunya. Lalu karena menganggap tempat itu sepi tak ada
orang lainnya apa lagi keadaan gelap maka enak saja gadis ini menanggalkan
pakaiannya. Sewaktu dia baru saja mengenakan celana panjang ringkas warna merah
sementara tubuhnya di bagian atas tidak tertutup apa-apa tiba-tiba satu tangan
memegang bahunya. Puti Andini terkejut setengah mati. Lupa akan keadaannya
gadis ini hendak memaki marah, membalikkan tubuh untuk menghantam orang yang
berada di belakangnya. Namun satu tangan yang kokoh lebih dulu menekap
mulutnya. Lalu ada satu suara berbisik.
“Jangan
mengeluarkan suara. Lekas kenakan bajumu. Ada orang mengintipmu di sebelah
timur sana.”
Puti
Andini membuka matanya besar-besar di dalam gelap. Tadinya dia hendak menggigit
tangan yang menekap mulutnya. Namun dia rasa-rasa mengenali suara orang itu.
Ketika dia lebih memperhatikan baru dia mengenali siapa adanya orang yang
merangkulnya saat itu.
“Panji…”
bisik Puti Andini.
Tiba-tiba
si gadis ingat akan keadaan tubuhnya yang polos di sebelah atas. Secepat kilat
dia melompat ke balik semak belukar sambil menutupi dadanya yang putih dan
kencang, wajahnya merah karena malu. Orang yang muncul di tempat itu adalah
Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Pemuda ini membungkuk mengambil baju
merah milik Puti Andini yang tergeletak di dalam bungkusan lalu dilemparkannya
pada si gadis seraya membuat tanda dengan gerakan tangan agar si gadis jangan
mengeluarkan suara dan cepat mengenakan baju itu. Sesaat setelah Puti Andini
selesai mengenakan baju merahnya Panji segera menyelinap ke balik semak
belukar.
“Kau
telah berlaku kurang ajari Kau berani mengintipku!” Dampratan menyambut Panji
begitu dia berada di hadapan Puti Andini.
“Jangan
salah menduga,” bisik si pemuda.
“Aku
tidak bermaksud kurang ajar. Aku terpaksa melakukah hal itu karena di sebelah
sana ada seseorang mengintip dan mengawasi gerak gerikmu.”
“Aku
tidak percaya! Kau mengarang cerita!”
“Sssttt….
Jangan bicara keras-keras. Kalau kau tidak percaya mari kita sama-sama
menyelidik ke sekitar semak belukar di sebelah sana…” kata Panji pula. Lalu
pemuda ini hunus pedangnya seraya memberi isyarat pada Puti Andini untuk
mengikutinya. Keduanya berjalan beriringan ke arah timur tepian Telaga
Gajahmungkur. Mereka melewati beberapa pohon besar lalu sampai ke balik
serumpunan semak belukar di dekat sederetan pohon bambu hijau.
“Orang
yang mengintai itu tadi kulihat berada di sini. Tapi sekarang tak ada lagi.
Mungkin dia telah melarikan diri atau masih mendekam di sekitar sini….” Panji
berkata sambil memandang berkeliling.
“Aku
tidak percaya padamu! Kau lagi-lagi mengarang cerita! Kau tadi sengaja
mengintipku lalu mengelak diri dengan pura-pura mengatakan ada orang lain
mengintipku! Sungguh keji perbuatanmu!”
“Puti,
aku bersumpah tidak berbuat keji padamu. Aku tadi benar-benar melihat ada
seseorang mengendap-endap memperhatikanmu di tempat ini….”
“Dusta
busuk!” maki Puti Andini seraya membalikkan tubuh.
“Tunggu.,.!”
seru Panji.
“Aku
mencium bau sesuatu….” Pemuda ini menghirup udara dalam-dalam. Si gadis kembali
hendak mendamprat. Namun saat itu hidungnya memang membaui sesuatu. Bau wangi
semerbak.
“Kau
lihat…” bisik Panji.
“Di
tempat ini tak ada bunga tumbuh, tak ada pohon harum. Bau harum yang kita cium
adalah bau wewangian. Berarti yang barusan berada di tempat ini dan mengintipmu
adalah seorang perempuan!”
“Mana ada
perempuan mengintip perempuan! Kau hanya hendak membela diri saja!”
“Bisa
saja. Kalau dia punya maksud sesuatu terhadapmu,” tangkis Panji.
Dalam
gelap Puti Andini jadi terdiam. Sepasang matanya masih memandang besar dan
galak pada pemuda di hadapannya itu. Tiba-tiba dia melihat noda darah di
pakaian hijau dan pipi pemuda ini. Bagaimanapun marahnya cucu Sabai Nan Rancak
ini pada si pemuda namun dia menyadari bahwa pemuda ini pernah menyelamatkan
jiwanya (baca Lembah Akhirat) Lain dari itu sejak pertemuan mereka pertama
kali, apapun beban pikiran dan beban hati yang dirasakannya Puti Andini selalu
terkenang pada pemuda ini. Sebaliknya walau ada rasa suka dalam diri Panji
terhadap Puti Andini tapi sesungguhnya hati pemuda ini sudah tertawan pada
Anggini, murid Dewa Tuak.
“Aku
melihat noda darah di wajah dan pakaianmu. Aku juga memperhatikan setiap kau
menarik nafas kau seperti menahan sakit….”
“Ada satu
peristiwa besar…” jawab Panji. Lalu diceritakannya bentrokan hebat yang terjadi
antara Ratu Dayung, Utusan Dari Akhirat, Pendekar 212 Wiro Sableng serta Dewa
Sedih.
“Saat itu
aku berada di sana. Ikut kebagian rejeki dihantam hawa ganas letusan
pukulan-pukulan sakti yang saling berbenturan satu sama lain.”
“Celaka
dunia persilatan kalau Dewa Sedih telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat,”
kata Puti Andini pula. Lalu dia bertanya.
“Kau tahu
dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng sekarang?”
“Tak
dapat kupastikan. Aku meninggalkannya ketika tempat itu masih dilanda
pertempuran dan muncul seorang kakek gendut yang suara ketawanya seolah mau
meruntuhkan langit. Entah mengapa saat itu aku teringat padamu. Lalu aku pergi
begitu saja. Mungkin tidak sepantasnya aku berbuat begitu namun aku lebih
mementingkan niat menolongmu mencari batu mustika yang menurutmu ada di dasar
telaga ini dan sangat penting bagimu.”
Hampir
tertawa si gadis mendengar ucapan Panji itu. Dia ingat dulu waktu bertemu
pertama kali dengan Panji dia menceritakan bahwa dia bermaksud pergi ke Telaga
Gajahmungkur untuk mencari sebuah batu mustika. Panji ingin sekali menolong
karena dia mempunyai kepandaian berenang dan menyelam. Namun saat itu Puti
Andini menolak untuk pergi bersama-sama. Ternyata sekarang dia bertemu lagi
dengan pemuda ini.
“Apa kau
telah menemukan batu yang kau cari itu?” tanya Panji.
Puti
Andini menggeleng.
“Aku akan
menolongmu. Besok pagi-pagi begitu matahari terbit aku akan menyelam ke dasar
telaga mencari batu itu….”
“Terima
kasih. Aku tidak mau merepotkanmu. Aku bisa mencarinya sendiri,” kata Puti
Andini pula.
“Agaknya
ada sesuatu yang membuatmu keberatan menerima pertolonganku?” tanya Panji
dengan nada agak kecewa.
“Hemm….
Kalau kau memaksa baiklah. Kita tunggu saja sampai pagi….”
“Ada satu
hal yang ingin aku tanyakan padamu Puti. Mengenai diri orang bernama Wiro
Sableng. Apakah dia seorang pemuda sepertiku atau seorang kakek-kakek. Lalu
apakah Wiro Sableng itu orangnya sama dengan Pendekar 212?”
“Pertanyaanmu
aneh. Wiro Sableng seorang pemuda sebayamu. Pendekar 212 adalah julukannya
dalam rimba persilatan. Memangnya ada apa?”
“Aneh…”
ujar Panji.
“Kalau
begitu siapa sebenarnya kakek yang datang ke pulau tempo hari…?”
“Kakek
yang mana maksudmu?” tanya si gadis. Panji lalu menerangkan tentang ciri-ciri
orang tua itu. Tak lupa dia menerangkan tentang jenazah anak kecil yang
dimakamkan di pulau yaitu Malin Sati murid tunggal Tua Gila yang mati dibunuh
Datuk Angek Garang.
“Kalau
orang tua itu yang kau maksudkan, aku hampir pasti dia adalah Tua Gila. Kakekku
sendiri!”
“Kakek
bagaimana maksudmu?”
“Aku
adalah cucu Tua Gila!” Terkejutlah si pemuda mendengar kata-kata Puti Andini.
“Kalau
dia memang kakekmu dan kau adalah cucunya, terima hormatku untukmu…” kata Panji
seraya membungkuk yang membuat Puti Andini tertawa.
“Kau tahu
dimana aku bisa menemui kakekmu itu?” tanya Panji.
“Dia
sulit dicari. Tapi jika kau mau bersabar menunggu sampai beberapa hari dimuka,
sesuai janjinya denganku dia akan muncul di tempat ini.”
“Kalau
begitu sampai kapan pun aku akan menunggu di tempat ini,” kata Panji pula. Baru
saja Panji berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai
menghamburnya bau wangi sekali. Panji yang hendak duduk di tepi telaga cepat
bangkit berdiri seraya mencabut pedang sedang Puti Andini siapkan pukulan jarak
jauh mengandung tenaga dalam tinggi.
“Tahan!
Aku datang sebagai sahabat!” Orang yang tegak di seberang sana berseru.
Ternyata suaranya menandakan dia adalah seorang perempuan.
Puti
Andini yang rasa-rasa pernah mengenali orang itu bergerak maju.
“Bukankah
kau gadis yang disebut dengan julukan Bidadari Angin Timur? Ingat, kita pernah
bertemu di Pengandaran?”
Gadis di
hadapan Puti Andini mengangguk. Gadis ini mengenakan pakaian hijau tipis,
berparas cantik sekali. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak. Dia
ternyata memang adalah Bidadari Angin Timur.
“Aku
gembira kau mengenaliku. Bukankah kau gadis dari seberang bernama Puti Andini
yang dijuluki Dewi Payung Tujuh yang hebat itu?”
“Ah….”
Puti Andini salah tingkah karena tidak begitu senang dipuji begitu rupa.
“Tunggu!”
tiba-tiba Panji maju dua langkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
“Aku
mengenali harum wewangianmu. Bukankah kau tadi orang yang mengintip di balik
semak-semak sebelah sana?” Bidadari Angin Timur tertawa. Dua lesung pipit
muncul di pipinya kiri kanan.
“Aku
mengintip bukan apa-apa. Aku harus berhati-hati sebelum tahu apakah kalian ini
kawan atau lawan. Rimba persilatan kini dilanda berbagai keanehan yang
mendatangkan maut; Orang-orang Lembah Akhirat bertebaran di mana-mana. Apalagi
tempat ini tidak jauh dari markas mereka. Aku ingin menanyakan seseorang pada
kalian. Tadi aku sudah mendengar sesuatu dari pemuda ini. Tapi kurang jelas….”
“Hemm,
siapa yang ingin kau tanyakan?”
“Pemuda
bernama Wiro Sableng. Menurutmu terjadi bentrokan besar di satu tempat. Di mana
kejadiannya berlangsung?”
“Di utara
Teluk Parangtritis. Di satu kelokan jalan kira-kira sepenanakan nasi jauhnya
dari sini…” jawab Panji mengira-ngira.
“Apa yang
terjadi di sana?”
“Tiga
orang berkepandaian tinggi terlibat dalam satu pertempuran. Mereka adalah Dewa
Sedih, Utusan Dari Akhirat serta Ratu Dayung. Wiro sendiri tidak ikut
bertempur. Tapi seperti diriku, dia juga mengalami cidera sewaktu tiga pukulan
sakti beradu di udara lalu bertabur menghantam sekelilingnya….”
“Kau
tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda itu?” tanya Bidadari Angin
Timur. Sejak tadi wajahnya tampak berubah pucat.
“Tidak
dapat kupastikan. Aku buru-buru pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa menghadapi
orang-orang berkepandaian tinggi itu. Aku terpaksa menyelamatkan diri dan
menghindarkan keterlibatan lebih jauh. Selain itu aku harus mencari gadis
sahabatku ini.”
“Hemmm….”
Bidadari Angin Timur melirik ke arah Puti Andini.
“Terima
kasih atas keteranganmu. Aku harus segera pergi….” Gadis cantik itu lalu
berkelebat lenyap dalam kegelapan.
“Agaknya
ada satu hubungan akrab antara gadis tadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng…” kata
Panji.
“Dia
tampak sangat mencemaskan pemuda itu.”
“Dugaanmu
bisa jadi betul. Tapi mungkin saja dia sengaja mencuri dengar percakapan kita
tadi….”
“Untuk
apa?” tanya Panji.
Puti
Andini tak segera menjawab. Diam-diam dia merasa khawatir kalau Bidadari Angin
Timur yang berkepandaian tinggi itu telah mengetahui adanya senjata sakti
Pedang Naga Suci di tempat itu lalu berusaha menyirap kabar mencari keterangan
lebih jelas.
“Aku
justru melihat sesuatu yang lain.” jawab Panji.
“Gadis
itu sepertinya punya satu ganjalan yang merisaukan hatinya….”
“Ah, kau
bisa-bisanya ngomong!” tukas Puti Andini.
“Kalau
aku melihat dan menduga gadis tadi diam-diam mencintai Pendekar 212…. Bagaimana
dengan kau. Apakah kau pernah mencintai seorang gadis?” Panji terkesiap
mendengar pertanyaan yang tidak terduga ini.
“Kau
sendiri bagaimana?” Akhirnya Panji balik bertanya.
“Apa kau
pernah jatuh cinta atau sudah pernah bercinta?” Kini Puti Andini yang menjadi
bungkam dengan muka merah.
********************
SEMBILAN
Sang Surya
belum lama terbit. Di dalam telaga Gajahmungkur dua orang tampak berenang
menuju dasar telaga. Keduanya adalah Puti Andini dan Panji. Si pemuda merasa
kagum dan terheran-heran ketika melihat bagaimana gadis yang menyamar sebagai
pemuda berkumis kecil itu memiliki kemampuan berenang dan menyelam luar biasa.
Seperti diketahui selama hidup di Pulau Sipatoka berenang dan menyelam jauh ke
dalam laut adalah pekerjaan yang sering dilakukannya. Sehingga dia memiliki
kemampuan menyelam selain dalam juga sanggup bertahan lama. Namun sekali ini
dia merasa heran ketika baru menyelam pada kedalaman lima puluh tombak ke dua
telinganya mengiang sakit. Hidungnya menjadi pedas, matanya perih dan dadanya
terasa mendenyut sakit. Di bawah sana Puti Andini dilihatnya menukik terus
menuju dasar telaga yang masih seratus lima puluh tombak jauhnya!
“Ada yang
tidak beres di telaga ini. Masakan baru menyelam sejauh ini aku merasa letih
dan sekujur tubuhku mendenyut sakit…” pikir Panji. Pemuda ini menjadi malu
sendiri. Sebelumnya berulang kali dia mengatakan akan menolong Puti Andini
mencari batu di dasar telaga. Tapi ternyata baru menyelam seperempat bagian
saja dari kedalaman telaga dia mulai megap-megap.
Panji
mencoba bertahan dan berusaha mengejar Puti Andini. Dia memaksakan terus
menyelam menuju dasar telaga. Tapi sia-sia belaka. Bukan saja dia tidak mampu
mengejar gadis itu malah denyutan di dada dan kepalanya semakin keras. Degup
jantungnya seolah mau pecah. Darah mengucur dari hidung dan pinggiran matanya.
Panji menyerah. Pada kedalaman tujuh puluh tombak dia berjungkir balik dalam
air laju berenang naik ke atas kembali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan
tulang-tulangnya seolah bertanggalan. Panji berenang menuju tepian telaga.
Hanya sesaat lagi dia akan sampai di daratan tiba-tiba ada sebuah benda
menyusup di balik punggung pakaiannya. Lalu tubuhnya terasa disentakkan. Di
lain kejap pemuda ini dapatkan dirinya terlontar ke udara setinggi empat tombak
lalu jatuh bergedebukan di pinggir telaga.
Untuk
beberapa lamanya pemuda itu terkapar tertelungkup di tanah. Darah makin banyak
mengucur dari hidungnya.
“Apa yang
terjadi dengan diriku…?” Panji masih bisa berpikir lalu palingkan kepalanya ke
kanan ketika didengarnya ada suara orang melangkah mendekatinya. Kalau saja
saat itu malam hari niscaya Panji mengira bahwa yang mendatanginya adalah setan
pelayangan atau hantu rimba belantara. Seorang nenek berjubah hitam melangkah
terbungkuk-bungkuk ke arahnya. Mukanya yang keriputan kotor bukan saja
berselimut debu tapi juga ada noda-noda darah yang telah mengering. Rambutnya
putih panjang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang bulat. Sepuluh
jarinya yang tersembul dari balik lengan jubah tampak berkuku panjang dan
hitam. Namun tangan kanannya berwarna merah pekat Sampai sebatas pergelangan.
Tepat di
samping Panji nenek ini hentikan langkahnya. Kaki kirinya diletakkan di atas
kepala Panji lalu ditekan hingga pemuda ini mengerang kesakitan.
“Pemuda
banci beranting emas, apakah kita pernah bertemu…. Apakah kau kenal siapa
diriku?” Kembali si nenek tekankan kakinya ke kepala si pemuda hingga erangan
Panji semakin keras.
“A… aku
tidak kenal siapa dirimu Nek. Rasa-rasanya…. Aduh! Aku mohon kau turunkan
kakimu dari kepalaku….”
“Kalau
bicara jangan diputus! Ayo katakan rasa-rasanya apa?!” Bentak si nenek. Kakinya
tetap saja menekan kepala orang.
“Aku
tidak kenal dirimu. Rasa-rasanya aku juga tidak pernah bertemu dirimu Nek. Aku
mohon…”
“Hemmm….
Benar begitu?”
“Benar
Nek,” jawab Panji menahan sakit. Tangan ..kanannya bergerak ke pinggang.
Maksudnya hendak menjangkau pedangnya. Tapi gerakannya terlihat oleh si nenek.
“Teruskan
gerakanmu mengambil pedang. Kakiku sudah siap menghancurkan batok kepalamu!”
Mau tak mau Panji terpaksa batalkan niatnya.
“Jangan
kau berani macam-macam anak muda! Siapa kau punya nama dan mengapa berada di
tempat ini. Aku tahu kau barusan keluar dari dalam telaga! Apa yang kau
kerjakan dalam telaga itu nah?!” Panji berlaku cerdik. Sejak pertama kali
melihat dia sudah mengira nenek satu ini bukan manusia berhati baik, Maka dia
tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya dilakukan.
“Aku
hanya mandi-mandi Nek. Menyegarkan diri sambil menyelam beberapa kali….”
“Jangan
dusta! Aku tahu kau mencari sesuatu di dasar telaga!” bentak si nenek.
“Tidak,
aku tidak mencari apa-apa. Telaga ini dalam luar biasa. Mana mungkin aku
sanggup menyelam sampai ke dasar.”
“Hemm….”
Si nenek memandang berkeliling.
“Kau
sendirian di tempat ini?”
“Benar
Nek, aku cuma sendirian….” Untung saja buntalan milik Puti Andini terletak di
balik semak belukar sehingga si nenek tidak melihat.
“Kau
orang aneh. Mengenakan anting tapi cuma satu. Kau ini banci atau setengah
gila….”
“Anggap
saja begitu. Terserah apa maumu Nek. Tapi tolong turunkan kakimu…. Kepalaku
rasanya mau pecah!” Si nenek tertawa mengekeh.
“Dengar,
namaku Sika Sure Jelantik. Aku datang dari Lembah Akhirat!’ Kau dengar? Lembah
Akhirat!”
“Aku
dengar Nek…” jawab Panji.
“Bagus!
Jadi jangan berani macam-macam. Sekarang jawab pertanyaanku! Sudah berapa lama
kau berada di telaga ini?!”
“Ba… baru
pagi ini Nek. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Lawu. Kemalaman di jalan lalu
pagi ini mandi di telaga. Aku….”
“Jangan
nyerocos terus!” bentak Sika Sure Jelantik yang kini ternyata telah menjadi
kaki tangan Datuk Lembah Akhirat.
“Selama
berada di tempat ini apa kau pernah melihat seorang gadis berpakaian merah,
berkulit putih dan berparas cantik?”
“Siapa
nama gadis Itu Nek?” tanya Panji.
“Ah
itulah sialannya! Aku tidak tahu nama anak itu!”
“Dia
menanyakan Puti Andini,” kata Panji dalam hati.
“Tidak
Nek, Aku tidak melihat siapapun di tempat ini. Apa hubunganmu dengan gadis itu
Nek?”
“Apa
perdulimu? Dia bukan anakku, bukan cucuku. Tak ada sangkut darah. Tapi aku suka
padanya!”
“Jangan-jangan
kau punya cucu seorang pemuda yang ingin kau jodohkan dengan gadis cantik itu?
Betul Nek?” Mula-mula Sika Sure Jelantik hendak mendamprat marah mendengar
kata-kata Panji itu. Tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana
aku bisa punya cucu. Punya laki saja tidak pernah! Hik… hik… hik!”
“Ah
melihat raut wajahmu, aku yakin di masa muda kau adalah seorang gadis cantik.
Aku tidak percaya kalau tidak ada laki-laki yang jatuh hati padamu,” kata Panji
pula.
Tampang
si nenek bersemu merah. Entah jengah entah senang dipuji. Lalu terdengar
tawanya cekikikan.
“Anak
muda, aku yang sudah tua saja berani kau rayu dengan pujian. Apalagi terhadap
gadis. Lagak dan sikapmu tentu sejuta puji sejuta rayuan! Dasar laki-laki! Apa
kau kira aku akan melepaskan injakanku di kepalamu!” Si nenek lantas keraskan
injakan kaki di muka Panji hingga kembali pemuda ini mengerang kesakitan.
Sepasang mata Sika Sure Jelantik menatap ke arah pertengahan telaga seolah
hendak menembus sampai di bawah permukaan air.
“Sayang
aku ada tugas dan kepentingan lain. Kalau tidak rasanya aku perlu menyelidik
sampai ke dasar telaga ini. Gadis yang kutemui tempo hari itu apakah dia telah
mendapatkan batu hitam untuk mengobati ibunya? Jika bertemu akan kuajak dia
menjadi anggota Lembah Akhirat.” Si nenek termenung sesaat. Dia memandang pada
pemuda yang mukanya masih diinjaknya lalu bertanya.
“Anak
mudai Kau belum memberi tahu namamu!”
“Namaku
Panji Nek….”
“Panji.
Panji apa? Panji Semirang, Panji Kemong atau Panji Banci…!” Si nenek cekikikan.
Tanpa menunggu jawaban Panji dia lalu tinggalkan tempat itu.
Kita
tinggalkan dulu Panji yang mencoba bangkit dan duduk menjelepok di tanah sambil
pegang! mukanya yang sakit bekas diinjak. Mari kita ikuti Puti Andini yang
menyelam ke dasar telaga Gajahmungkur. Dia meluncur ke bawah tepat di tempat
kemarin dia kehilangan jejak Naga Kuning. Rencananya semula hendak menyelidik
bagian dasar telaga yang lain dibatalkan karena lenyapnya si bocah menjadi satu
tanda tanya besar baginya.
********************
SEPULUH
Untuk
beberapa lamanya Puti Andini berenang mondar-mandir di sepanjang dinding batu
berlumut di dasar Telaga Gajahmungkur.
“Anak itu
lenyap ‘di sini. Hanya ada dua kemungkinan. Dia dilahap ikan atau binatang
buas. Atau. menyelinap masuk ke satu tempat. Berarti ada lobang atau jalan
rahasia di sekitar sini….” Kembali Puti Andini memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Serombongan ikan sebesar telapak tangan berenang di sekitar dinding
batu. Lalu menyelinap di balik tumbuhan air. Ditunggu-tunggu binatang Ini tidak
kunjung .muncul. Puti Andini berenang mendekati tumbuhan lebat itu. Air telaga
di tempat itu dingin luar biasa. Dengan tangan gemetar Puti Andini menyibakkan
tanaman tersebut. Dia berdebar ketika melihat di balik tanaman yang tersibak
ada sebuah celah sepemasukan tubuh manusia.
“Mungkin
anak itu lolos lewat celah batu ini,” pikir Puti Andini.
“Aneh,
bagaimana pun tingginya dinding batu ini mengapa aku tidak melihat ujungnya di
sebelah atas?”’ Cucu Tua Gila ini berenang mendekati celah lalu mengintai lewat
celah itu ke bagian dinding di sebelah belakang. Matanya terpentang lebar
ketika melihat ada cahaya putih di kejauhan.
“Aneh,
cahaya apa itu?” Si gadis bertanya-tanya dalam hati. Dia mengintai sekali lagi
lewat celah lalu berenang lebih ke atas. Kepalanya disorongkan. Maksudnya
hendak lolos lewat celah itu tapi terhalang pada bagian bahu. Puti Andini
membalikkan dan memutar tubuhnya berulang kali hingga akhirnya bahunya bisa
lolos. Namun untuk kedua kalinya tubuhnya tertahan pada bagian pinggulnya yang
besar. Ketika dipaksakan, pinggul celananya robek sampai ke paha. Dalam keadaan
seperti itu Si gadis tidak lagi memperhatikan keadaan pakaiannya. Begitu lolos
lewat celah Puti Andini tidak segera berenang menuju arah cahaya putih. Baginya
sesuatu keanehan di dalam air bisa saja mengandung bahaya yang dapat
mencelakakan. Gadis ini terlebih dulu memandang berkeliling. Hanya beberapa
tombak di bawahnya dia melihat dasar telaga berbentuk aneh. Dasar telaga
mencekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti piring besar. Di
pertengahan cekungan ada sebuah kursi terbuat dari batu.
“Ada
kursi, berarti ada yang pernah duduk di situ. Siapa…?” membatin Puti Andini. Diperhatikannya
lagi kursi itu tanpa berani mendekati. Baru kemudian disadarinya bahwa kursi
batu itu berukuran kecil. Orang dewasa bertubuh besar tak mungkin muat duduk di
situ.
“Mungkin
itu kursi anak yang tadi aku lihat di tepi telaga?” pikir si gadis. Kini dia
memandang ke depan ke arah cahaya putih. Perlahan-lahan Puti Andini berenang
mendekati cahaya itu.
Setelah
berenang sejauh lima belas tombak gadis ini tercengang heran ketika melihat
cahaya putih itu ternyata adalah sebuah goa batu besar yang memancarkan warna
putih menyilaukan. Bagian yang seharusnya merupakan pintu atau mulut goa
tertutup oleh dinding batu berwarna merah. Di sini ada sebaris tulisan. Dari
arah dinding ini memancar hawa aneh disertai pantulan cahaya merah yang sangat
dingin seolah menggiris tulang. Puti Andini menggigil menahan dingin. Lalu ada
gelombang angin menerpa ke arahnya. Membuat Puti Andini terjungkir balik di
dalam air dan kain pengikat kepalanya tanggal hingga rambutnya terlepas
riap-riapan.
Puti
Andini berusaha menabahkan diri walau sekujur tubuhnya saat itu terasa dingin
dan bergetar. Tiba-tiba hidungnya mencium bau kemenyan santar sekali. Tengkuk
si gadis jadi merinding. Dengan menguatkan hati dan beranikan diri dia berenang
mendekati goa batu putih agar bisa membaca apa yang tertera di dinding batu
tersebut.
“Liang
Akhirat.” Mulut Puti Andini bergetar ketika membaca tulisan yang tertera di
dinding merah. Lalu sepasang matanya membentur pandangan aneh lainnya. -Yakni
dua buah tiang yang terletak di kiri kanan goa putih. Di atas kedua tiang itu
ada dua buah pendupaan berisi bara menyala yang mengepulkan asap putih menebar
bau kemenyan.
“Aneh,
benar-benar aneh. Bagaimana di dalam air ada dua pendupaan dengan bara menyala.
Lalu ada kepulan asap dan menebar bau kemenyan. Sampai matipun aku tak bisa
percaya kalau tidak melihat sendiri. Tempat apa ini? Liang Akhirat? Ada akhirat
di dasar telaga? Apa ada sangkut pautnya dengan Lembah Akhirat? Jangan-jangan
aku telah kesasar ke Lembah Akhirat!”
Puti
Andini memandang berkeliling. Dia kembali bertanya-tanya.
“Dimana
tersembunyinya Pedang Naga Suci 212? Dimana beradanya anak berpakaian hitam
kemarin?”
Tiba-tiba
Puti Andini mendengar suara berdesis disertai detakan-detakan keras yang
menggetarkan dasar telaga serta membuat air di sekelilingnya bergelombang. Dia
tidak dapat memastikan suara apa adanya namun diketahui suara-suara itu datang
dari dalam goa putih, dari balik pintu atau dinding batu merah yang menjadi
penutup goa.
“Satu-satunya
jawaban pertanyaan yang ada dalam diriku terdapat di balik batu merah itu.
Bagaimana aku bisa menerobos masuk ke dalam goa?” Sambil berpikir Puti Andini
berenang mendekati goa putih. Sesekali dia berpaling ke belakang, memandang ke
arah kursi batu di legukan dasar telaga berbentuk lingkaran. Sementara itu di
dalam goa sesaat setelah Puti Andini menerobos lewat celah batu terjadi
percakapan antara Naga Kuning dengan suara tanpa sosok.
“Naga
Kuning, sebentar lagi dari tempat ini kau akan melihat kemunculan orang yang
kukatakan kemarin. Buka matamu lebar-lebar….”
Dari
tempatnya duduk bersila Naga Kuning memandang tak berkesip ke arah pintu goa
yang terbuat dari dinding batu berwarna merah. Secara aneh, dari tempat ini si
bocah sanggup melihat ke dalam telaga menembus dinding goa batu. Kepalanya
bergerak sedikit ketika apa yang dikatakan orang tadi menjadi kenyataan.
“Apa yang
kau lihat Naga Kuning?”
“Ada
seorang berpakaian merah menerobos masuk melewati celah di dinding batu,” jawab
Naga Kuning.
“Lelaki
atau perempuan….”
“Perempuan
Kiai. Tapi….”
“Matamu
sudah lamur hingga tidak bisa membedakan lelaki dengan perempuan?!” Suara tanpa
rupa menegur.
“Melihat
kepada rambut dan potongan tubuhnya orang itu jelas perempuan. Tapi mengapa dia
berkumis…?”
“Lagi-lagi
kau berlaku tolol Naga Kuning. Apa kau lupa pada ujar-ujar yang mengatakan:
Orang cerdik tidak akan tertipu oleh pandangan matanya. Karena sesungguhnya
kenyataan ada dibalik semua keanehan.”
Naga
Kuning terdiam mendengar kata-kata itu. Matanya kembali memandang tak berkesip
ke depan.
“Maafkan
saya yang kurang teliti Kiai. Orang yang datang itu ternyata adalah seorang
gadis yang menyamar Sebagai seorang pemuda.”
“Apa kau
mengenal atau pernah melihatnya sebelumnya?”
“Saya
kira tidak Kiai. Menurut penglihatan Kiai apakah dia orang yang kita tunggu?”
“Dia
memang orang yang kita tunggu walau datangnya lebih cepat dari dugaan semula.
Ini tak lain gara-gara kelakuanmu meninggalkan tempat pengawasan di Liang Lahat
ini dan pergi keluyuran ke dunia luar sana….”
“Maafkan
atas semua tindakan saya itu Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kalau
dia memang yang kita tunggu apakah dia juga berjodoh dengan senjata sakti
mandraguna itu?”
“Berjodoh
atau tidak adakalanya bukanlah satu takdir yang datang dari atas. Terkadang
manusia membuat-buat menjadi begitu. Padahal Yang Kuasa tidak bisa ditipu. Apa
yang dicari gadis itu tidak akan pernah didapatkannya kalau usahanya tidak
mampu membuka kunci Liang Akhirat dan masuk ke Liang Lahat ini.”
“Hati
kecil saya ingin menolongnya Kiai. Tapi terserah Kiai….” Terdengar suara tawa
membahana orang yang dipanggilkan Kiai itu.
“Aku
menduga jalan pikiranmu telah dirasuk oleh apa yang kau lihat. Kau tertarik
pada gadis cantik itu lalu berniat ingin menolongnya. Bukan begitu Naga
Kuning?”
“Kecantikan
adalah bunga hidup ciptaan Gusti Allah, Kiai. Tinggal terserah kita anak
manusia bagaimana melihat dan menilainya. Saya tahu siapa diri saya. Sama
sekali tidak terkandung niat menolong karena tergoda pandangan alias nafsu.
Saya hanya mengkhawatirkan malapetaka besar akan tambah memporak-porandakan
dunia persilatan. Rasanya sudah cukup jumlah para tokoh golongan putih menemui
ajal karena sandiwara busuk yang dimainkan oleh manusia-manusia keji dan kaki
tangannya….”
“Lalu apa
yang hendak kau lakukan Naga Kuning? Hendak memberi tahu kunci rahasia jalan
masuk ke tempat ini?”
“Tanpa
izin Kiai saya tidak berani melakukan hal itu Kiai.”
“Aku
tidak akan memberimu izin. Biarkan gadis itu mencari jalan sendiri. Aku tahu
seseorang telah menolongnya hingga dia mampu bertahan lama di dalam air. Itu
sudah menjadi rezeki besar baginya. Tetapi jika hidup seseorang selalu
berdasarkan pertolongan serta budi baik orang lain, apa jadinya dunia
persilatan? Kuharap kau bisa memahami Naga Kuning.”
“Saya
mengerti dan memahami Kiai…” jawab Naga Kuning.
********************
SEBELAS
Puti
Andini berlaku cerdik. Dia berenang mendekati pintu goa putih dari arah
samping. Dengan demikian dia terhindar dari hawa aneh yang memancarkan sinar
merah serta gelombang angin yang datang menyambar dari pintu batu. Semakin
dekat ke pintu goa semakin keras terasa suara detakan-detakan dari balik pintu
batu. Sesekali terdengar pula suara mendesis menggidikkan. Sekali melihat saja
gadis ini bisa menduga bahwa batu merah yang menutupi mulut goa beratnya
ratusan bahkan mungkin ribuan kati. Bagaimana pun hebatnya kekuatan dan
kesaktian seseorang tidak mungkin akan mampu mendorong pintu batu itu.
“Pasti
ada peralatan rahasia untuk membuka pintu goa ini,” pikir Puti Andini. Dia
memandang berkeliling, memperhatikan dengan teliti. Mulai dari dasar telaga di
depan pintu, dua buah tiang putih, dinding sekitar mulut goa, pintu batu itu
sendiri bahkan sampai ke bara menyala di dua pendupaan yang mengepulkan asap
berbau kemenyan. Gadis ini tidak menemukan apa-apa.
“Aneh,”
katanya dalam hati. Dia mendekati tiang putih terdekat.
“Ada bara
menyala, ada asap mengepul. Tapi apakah bara menyala ini api benaran….”
Puti
Andini ulurkan tangannya dekat-dekat di atas bara menyala dalam pendupaan. Dia
terpekik. Waktu mulutnya terbuka air telaga langsung masuk membuat hidungnya
terasa pedas dan tenggorokannya panas. Dia segera menekap mulutnya dengan
tangan kiri dan pandangi jari-jari tangannya yang kelihatan memerah. Ternyata
bara menyala dalam pendupaan itu api benaran dan panasnya bukan main.
“Bagaimana
mungkin bara bisa menyalakan api di dalam air.” Membatin sang dara.
Setelah
memeriksa berulang kali dan tetap saja dia tidak menemukan sesuatu petunjuk
jalan masuk ke dalam goa, cucu Sabai Nan Rancak ini memutuskan untuk menghantam
pintu batu dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam. Maka dia
berenang menjauhi pintu dan tetap menghindar dari jalur hawa serta gelombang
aneh. Dari jarak tiga tombak, setelah mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan
kanan Puti Andini menghantam. Air telaga bersibak membentuk jalur seperti
terowongan begitu pukulan yang dilepaskan Puti Andini melesat ke depan. Pada
saat pukulan sakti itu mendarat di permukaan dinding batu merah yang
bertuliskan Liang Akhirat, air laut bergulung dahsyat, muncrat laksana pijaran
bunga api raksasa. Dinding batu jangankan hancur, bergeming sedikit pun tidak!
Dari balik dinding itu terdengar dua desisan panjang disusul suara detak-detak
yang menyentak sampai ke dasar telaga.
“Wussss!”
Pukulan
yang dilepaskan Puti Andini membalik dalam bentuk satu gelombang besar,
membuntal bergulung. Menyapu ke arah si gadis. Di luar sadar Puti Andini
membuka mulut berteriak keras. Tapi tidak ada suara yang keluar. Malah air
telaga menggemuruh masuk ke dalam mulutnya! Selagi dia megap-megap gelombang
besar tadi melanda tubuhnya. Puti Andini terlempar sampai dua belas tombak.
Tubuhnya laksana hancur. Tulang-tulangnya seolah tanggal. Dalam keadaan seperti
lumpuh sesaat tubuhnya terapung dalam air. Lalu perlahan-lahan melayang turun
ke dasar laut. Jatuhnya di dalam lingkaran cekung berbentuk piring, sekitar dua
langkah dari kursi kecil yang terbuat dari batu.
“Apa yang
terjadi dengan diriku…? Sudah mati atau setengah mati…?” Puti Andini berusaha
bangkit. Tubuhnya seolah tidak mempunyai bobot dan terapung tak menentu.
Sementara itu di sekitarnya air telaga tampak membentuk gelombang riak besar
berlapis-lapis.
“Jangan-jangan
Tua Gila menipuku. Dia hanya menceritakan bahwa ada pedang sakti terpendam di
dasar telaga ini. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan Segala bahaya yang ada
di tempat ini.”
Puti
Andini memandang ke arah kursi kecil terbuat dari batu dua langkah di
sampingnya. Gelombang air membuat tubuhnya ikut bergerak tak menentu. Agar
dirinya tidak terseret kian kemari Puti Andini ulurkan tangan berpegangan pada
salah satu kaki kursi batu. Gadis ini tersentak kaget ketika merasakan kursi
batu itu ternyata mengeluarkan hawa hangat. Hawa aneh ini menjalar di sekujur
tangannya lalu masuk ke dalam tubuhnya. Sesaat kemudian rasa sakit di seluruh
badannya serta merta lenyap.
“Kursi
ajaib…” kata Puti Andini dalam hati. Kini dia pergunakan dua tangan sekaligus
memegangi kursi batu itu. Semakin keras dia memegang semakin banyak hawa aneh
masuk dan bertambah kuat terasa tubuhnya. Di balik dinding batu penutup goa
Naga Kecil menatap ke luar goa tanpa berkesip, membuka mulut.
“Kiai,
agaknya kita akan segera kebobolan. Kalau gadis itu sampai….” Orang yang diajak
bicara memotong ucapan si anak.
“Kau tak
perlu meneruskan ucapanmu Naga Kuning. Lihat! Gadis itu telah duduk di atas
kursi batu. Walau hanya sebagian tubuhnya duduk di atas kursi kecil itu, tapi
dia telah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke sini!”
“Yang
saya heran Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kesaktian
apa yang dimiliki gadis itu hingga dia mampu berada dalam air begitu lama….”
“Kita
akan segera mengetahui. Kita harus dapat membongkar rahasia siapa dirinya dan
siapa yang berada di belakangnya. Bukan mustahil dia disuruh dan diberi
petunjuk oleh muridku si Sinto Weni alias Sinto Gendeng itu….” Di dasar telaga
tiba-tiba Puti Andini merasakan kursi batu yang didudukinya bergetar keras. Dia
cepat pegangi lengan kursi agar tidak terpelanting. Lalu ada suara berdesing
yang hebat sekali. Di lain saat kursi batu itu berputar kencang. Di atasnya si
gadis ikut berputar laksana gasing. Lalu ada satu tekanan keras menghantam
tubuh Puti Andini yang membuat gadis ini melesat ke atas laksana dilontarkan
oleh satu kekuatan dahsyat. Cucu Sabai Nan Rancak itu seolah kaku tegang tak
bisa berbuat suatu apa. Hendak menjerit pun tidak bisa. Tubuhnya melesat kepala
lebih dulu ke arah dinding batu merah yang menutupi mulut goa putih. Matanya
membeliak. Sebentar lagi kepalanya pasti akan hancur luluh bertabrakan dengan
dinding batu itu!
Namun
sesaat lagi kepala Puti Andini akan menghantam dinding batu bertuliskan Liang
Akhirat itu tiba-tiba dinding itu bergerak ke samping. Satu celah sempit
terbuka. Justru lewat celah inilah kepala dan sosok tubuh Puti Andini melesat
lewat dan di lain saat
“Blukkk!”
Puti
Andini jatuh tertelentang di atas lantai keras yang terbuat dari batu pualam
berwarna kelabu. Keadaan di sekitarnya begitu redup. Nyaris gelap hingga dia
tidak bisa melihat dengan jelas. Hidungnya mencium bau harum yang aneh.
Si gadis
kedap-kedipkan sepasang matanya beberapa kali. Lalu memandang berkeliling.
Begitu penglihatannya mulai jelas dan dia dapat melihat keadaan di sekitarnya,
pucatlah paras gadis ini dilanda kengerian. Ternyata saat itu dia tertelentang
hanya tiga langkah di hadapan sebuah kuburan besar terbuat dari batu putih
berkilat. Ada satu batu nisan besar di kepala makam. Namun nisan ini polos tak
ada tulisan apa-apa!
“Di mana
aku berada. Tak ada air di sini. Makam siapa ini…?” tanya Puti Andini dalam
hati dengan dada berdebar. Perlahan-perlahan dan juga dengan sikap hati-hati
gadis ini mencoba bangkit. Baru saja dia mampu duduk, kembali Puti Andini
tersentak kaget. Ternyata hanya dua langkah di samping kirinya terdapat sebuah
lobang besar. Di salah satu sisi lobang menjulang sebuah dinding batu hitam
berbentuk setengah Ijngkaran. Pada dinding ini ada tulisan besar berbunyi
“Liang
Lahat”. Lalu di bawah tulisan Liang Lahat ini ada serangkaian tulisan. Belum
sempat Puti Andini membaca apa yang tertulis di situ, di atas sana, pada puncak
dinding batu hitam dia melihat anak kecil berpakaian hitam duduk di atas sebuah
kursi kecil dari batu yang sama bentuknya dengan kursi di cegukan dasar telaga.
Anak ini memandang ke arahnya. Mulutnya ditekuk seolah mengejek.
“Aku
mencarinya, ternyata anak itu ada di tempat ini…. Apa dia tinggal di sini?
Siapa sebenarnya anak itu?
Untuk
beberapa lamanya Puti Andini pandangi anak di puncak batu. Karena si anak tidak
bergerak atau melakukan sesuatu maka Puti Andini kembali arahkan pandangannya
ke dinding batu berbentuk setengah lingkaran. Dia membaca tulisan yang ada di
dinding batu itu yang ternyata berupa ujar-ujar.
LIANG
LAHAT
Sesungguhnya
insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya
terbatas dari tanah ke tanah
Namun
mengapa manusia menjadi lupa
Bersikap
sombong membusung dada
Bersikap
angkuh besar kepala
Insan
hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa
Tapi
mengapa insan berani menantang Sang Pencipta
Berani
tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi jujur
Bukankah
itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi
serakah
Liang
Lahat!
Di sini
tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli
dari ketidakjujuran
Bisakah
kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar desah
ketidakadilan
Bisakah
tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang
Kuasa dan Sang Pencipta adalah tempat bertanya, tempat meminta
Adakah
manusia bertanya dengan segala kebersihan hati?
Adakah
ihsan meminta dengan kejujuran jiwa?
Liang
Lahat, di sini kau berada.
Di sini
pula mulai dan berakhirnya satu rahasia.
Puti
Andini merasa sesak membaca ujar-ujar yang begitu panjang. Dia melirik ke atas.
Anak kecil berpakaian hitam berambut lurus tegak itu masih duduk di atas batu.
Tak bergerak tak melakukan apa-apa. Kecuali terus memandang ke arahnya tanpa
berkesip.
“Aku
harus melakukan sesuatu. Aku harus bertanya pada anak itu…” kata Puti Andini.
Lalu dia bergerak hendak bangkit berdiri. Namun mendadak ada suara bergaung.
Mula-mula perlahan, makin lama makin besar. Lantai batu pualam di mana dia
berada bergetar keras. Memandang ke depan terbelalaklah Puti Andini.
********************
DUA BELAS
Bagian
atas kuburan besar yang terbuat dari batu putih bergeser ke samping kanan.
Sebuah lobang berukuran lebar lima kaki dan panjang dua belas kaki menganga di
hadapan Puti Andini. Si gadis tidak dapat melihat apa ada mayat atau benda lain
di dalam lobang karena pemandangannya tertutup oleh semacam kabut tipis
berwarna putih yang menebar hawa sejuk sekali. Semua keanehan ini semakin
membuat merinding tengkuk Puti Andini. Wajahnya yang cantik memucat sedang
jantungnya berdetak keras.
“Jangan-jangan
liang lahat ini disediakan untuk diriku!” pikir Puti Andini.
“Aku
harus mencari jalan keluar jika bahaya maut benar-benar mengancamku!” Si gadis
memandang berkeliling. Pintu batu merah dari mana tadi dia melesat masuk berada
dalam keadaan tertutup rapat. Dinding hitam menjulang seolah tak ada batas
mengelilingi tempat itu. Sementara itu suara mendesis dan detakan-detakan aneh
semakin keras, menggetarkan lantai batu pualam di mana dia terduduk. Cucu Sabai
Nan Rancak ini mendongak ke atas dinding batu setengah lingkaran.
“Anak
kecil berkening benjut berbaju hitam itu! Dia satu-satunya tempat aku
bertanya.” Berpikir begitu si gadis segera berteriak memanggil.
“Hai…!”
Namun
baru saja seruan itu keluar dari mulutnya tiba-tiba dari dalam lobang besar di
samping kirinya terdengar suara mendesis sangat keras disusul oleh suara
menggemuruh. Tempat itu laksana diguncang gempa. Puti Andini terbanting kian
kemari. Ketika goncangan lenyap dari dalam lobang batu memancar dua larik sinar
kuning. Sesaat kemudian melesat keluar dua makhluk panjang yang membuat Puti
Andini tersurut menjauhkan diri dari lobang, mata membelalak, mulut terbuka
lebar tapi tak kuasa untuk keluarkan jeritan.
Dua
makhluk itu adalah dua ular luar biasa besar dan panjangnya. Berwarna kuning
emas, memiliki sepasang mata merah menyorot. Binatang yang satu jantan satu
betina ini memiliki lidah panjang terbelah yang selalu terjulur dan
bergerak-gerak kian kemari. Gigi dan taring-taring mencuat di mulutnya yang
terbuka membuat dua binatang ini tambah mengerikan. Pada bagian belakang kepalanya
ada sebuah tanduk berwarna hijau. Lalu di bagian depan kepala ada mahkota putih
bertaburan batu-batu permata memancarkan cahaya berkilauan. Dada dua binatang
ini tampak bergerak-gerak. Setiap gerakan disertai suara detakan keras yang
menggetarkan lantai. Suara detakan ini ternyata adalah suara denyutan keras
luar biasa jantung dua ekor ular besar itu!
“Ular
sungguhan atau binatang jejadian…” pikir Puti Andini dalam takut yang luar
biasa.
“Apa ini
yang disebut orang naga…?”
Dua ular
naga yang keluar dari Liang Lahat mendesis keras. Puti Andini kerenyitkan
kening dan usap wajahnya yang ketampiasan cairan yang keluar dari mulut
sepasang Naga Kuning. Di atasnya kedua binatang itu menggeliat-geliat beberapa
kati lalu tiba-tiba menukikkan kepala seolah hendak menerkam dan menelan
bulat-bulat gadis itu. Kali ini Puti Andini tak dapat lagi menahan jeritnya.
Tapi sesaat kemudian dua ekor naga menarik tubuh masing-masing, naik ke atas,
menggeliat lagi beberapa kali lalu membelitkan tubuh di sepanjang dinding berbentuk
lingkaran di atas mana bocah berpakaian hitam duduk tak bergerak, tenang-tenang
saja. Puti Andini merasakan nyawanya seolah melayang terbang. Wajahnya sepucat
kain kafan dan dadanya menggemuruh turun naik.
“Kakek
Tua Gila…. Kalau begini jadinya menyesal aku menuruti perintahmu!” kata Puti
Andini dalam hati menyesali kebodohan sendiri dan mengumpati kakeknya si Tua
Gila. Belum reda rasa takutnya tiba-tiba Puti Andini dikejutkan lagi oleh
getaran-getaran keras yang kembali melanda tempat itu. Tidak itu saja. Dari
dalam lobang makam melesat keluar kilatan-kilatan panjang disertai suara
menggelegar dahsyat.
“Petir….
Bagaimana mungkin ada petir menyambar keluar dari makam itu!” kejut Puti Andini
seraya menutup ke dua telinganya. Dia beringsut makin jauh takut terkena
sambaran petir. Dia tak bisa bergerak lebih jauh ketika punggungnya tertahan
oleh dinding hitam di belakangnya. Sekali lagi tempat itu bergoncang keras.
Sekali lagi kilat menyambar dari dalam makam batu. Lalu satu sosok manusia
perlahan-lahan tersembul dari dalam lobang yang dipenuhi kabut putih.
“Ya
Tuhan, makhluk apa lagi ini. Hantu atau manusia…?” ujar Puti Andini. Sekujur
tubuhnya bergetar.
Saat Itu
dari dalam lobang makam batu muncul sosok seorang tua mengenakan selempang kain
putih. Kabut putih membuat wajahnya agak tersamar. Selain itu rambutnya yang
putih panjang, alis, kumis serta janggut putih yang menjulai panjang ikut
menyembunyikan mukanya. Orang tua ini tegak berdiri di atas lobang makam
seolah-olah melayang di awan. Sepasang matanya memandang dingin dan tajam ke
arah Puti Andini. Membuat gadis ini merasa seperti ditembus oleh dua sinar
gaib.
“Anak
manusia, kau datang ke Liang Lahat melalui Liang Akhirat tanpa seperijinan
kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab. Tidak boleh ada kedustaan
di tempat ini. Jika jawabanmu tidak masuk akal dan tidak bisa aku terima maka
bagimu hanya ada satu keputusan. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Keputusan yang disebut hanya dengan satu kata. Mati!” Walau orang tua aneh itu
memiliki suara halus lembut namun apa yang diucapkannya membuat Puti Andini
semakin kecut dan tambah pucat wajahnya.
“Or…
orang tua…. Ka… kakek….” Puti Andini bingung sendiri, harus memanggil apa
terhadap orang tua aneh itu.
“Sebelum
saya memberitahu siapa diri saya, bolehkah saya mengetahui lebih dulu siapa kau
ini adanya dan di mana sebenarnya saat ini saya berada?” Untuk pertama kalinya
Andini keluarkan suara. Dia seperti asing mendengar suaranya sendiri.
“Berjalan
punya tujuan. Tujuan punya maksud. Kau pandai membaca. Kau melihat semua dengan
nyata. Apa kau masih hendak bertanya? Banyak orang hiba pada manusia bodoh.
Tapi sangat menyedihkan jika melihat seseorang sengaja memperbodoh dirinya
sendiri. Adakah layak tuan rumah memperkenalkan diri pada seorang tamu?
Bukankah tamu yang seharusnya mengucapkan salam dan memberi tahu siapa dirinya
pada tuan rumah. Mengatakan apa maksud tujuannya. Hidup di dunia ada jalur
aturannya. Jangan diputar balik karena semua itu bisa membawa manusia ke dalam
jalan yang menyesatkan.” Merahlah paras Puti Andini mendengar kata-kata orang
tua itu. Dia merasa seperti ditampar kiri kanan. Untuk beberapa lamanya gadis
ini hanya bisa terduduk diam.
“Maafkan
saya orang tua…” kata Puti Andini akhirnya dengan suara agak tersendat.
“Nama
saya Puti Andini. Kedatangan saya ke tempat ini adalah sesuai dengan petunjuk
dan perintah kakek saya….”
“Apakah
kakekmu itu punya asal usul, punya nama dan punya gelar?” tanya orang tua di
atas makam.
“Dia
berasal dari Pulau Andalas. Namanya Sukat Tandika. Gelarnya Tua Gila. Mungkin
dia punya gelar-gelar lain yang saya tidak ingat….”
Paras
orang tua berselempang kain putih itu sekilas tampak berubah. Mulutnya
berkomat-kamit. Setelah terdiam beberapa lamanya baru dia berkata.
“Orang
yang kau sebut sebagai kakek itu apakah dia kakek yang ada pertalian darah
denganmu atau hanya kakek sebagai panggilan?”
“Dia
kakek kandung saya, saya cucu kandungnya…” jawab Puti Andini. Si orang tua
menunjuk ke atas dinding berbentuk setengah lingkaran.
“Kau
kenal dengan anak yang duduk di atas sana?” Puti Andini segera saja menggeleng.
“Naga
Kuning, apa kau mengenal gadis ini?” Bocah di atas kursi batu di puncak dinding
tinggi tak segera menjawab baik dengan isyarat maupun ucapan. Sepasang matanya
memandang tak berkesip ke arah Puti Andini yang terduduk di lantai, mengarah ke
pinggul dan pangkal paha si gadis yang tersingkap putih karena pakaiannya di
bagian itu robek besar akibat tersangkut sewaktu memaksa meloloskan diri lewat
celah batu. Sepasang mata si orang tua memancarkan sinar aneh. Lalu suaranya
berubah keras ketika dia mengetahui apa yang tengah diperhatikan anak itu.
“Naga
Kuningi Mata adalah pangkal segala kebaikan dan kejahatan! Apa yang tengah kau
perhatikan?! Kau tidak menjawab pertanyaanku!”
Di lantai
batu pualam Puti Andini seolah baru sadar akan keadaan dirinya. Cepat-cepat dia
merapikan pakaiannya yang robek agar auratnya tertutup. Bocah di atas dinding
batu tersentak kaget dan senyum-senyum malu.
“Naga
Kuning! Jangan bertingkah tidak karuan! Siapa yang menyuruhmu tertawa!”
“Maafkan
saya Kiai. Saya tidak kenal dengan gadis itu,” jawab Naga Kuning lalu mengusap
wajahnya beberapa kali. Si orang tua memandang ke arah Puti Andini kembali lalu
berkata.
“Pakaianmu
walaupun basah menyatakan kau adalah seorang perempuan. Rambutmu yang panjang
ikut membuktikan, tetapi mengapa kau mengenakan kumis palsu? Kedustaan apa yang
ada di balik penyamaranmu itu?”
“Saya….
Tidak ada kedustaan apa-apa. Saya menyamar hanya untuk menghindarkan bahaya
yang tidak diinginkan. Dunia persilatan akhir-akhir ini dilanda kemelut.
Pembunuhan dan kematian muncul secara aneh, cepat tidak terduga semudah orang
membalikkan tangan….”
“Apakah
kau banyak musuh?”
“Tidak
dan saya tidak pernah ingin punya musuh. Tapi tidak semua orang berpikiran
seperti saya…” jawab Puti Andini pula. Habis berkata begitu Puti Andini
tanggalkan kumis palsu yang melekat di atas bibirnya. Begitu kumis palsu
tanggal maka semakin jelas kecantikan aslinya sebagai seorang gadis. Di atas
dinding setengah lingkaran Naga Kuning kembali terpesona. Ini jelas terlihat
pada pandangan matanya. Tapi ketika dilihatnya orang tua yang dipanggilnya
dengan sebutan Kiai memutar kepala dan memandang melotot ke arahnya anak ini
cepat-cepat tundukkan kepala, usap wajahnya beberapa kali.
“Puti
Andini, tidak semua orang sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air.
Apalagi di telaga yang sangat dalam seperti Telaga Gajahmungkur. Tekanan air,
hawa dasar telaga tanpa udara bisa memecahkan jantung. Tapi kau memiliki kemampuan
untuk bertahan. Bahkan akhirnya masuk ke tempat ini. Apakah kakekmu yang
bernama Tua Gila itu yang mengajarkan semacam ilmu padamu hingga kau bisa
berenang dan menyelam sehebat yang telah kau lakukan?”
Puti
Andini tak segera menjawab.
Orang tua
di atas makam besarkan matanya. Dua ekor naga yang melilit di dinding batu
menggeliat dan keluarkan suara mendesis.
********************
TIGA BELAS
Mengapa
kau tidak menjawab?! tanya orang tua itu.
“Bukan
kakek saya yang memberikan ilmu itu,” jawab Puti Andini.
“Lalu
siapa?”
“Seorang
nenek sakti….”
“Apa dia
tidak punya nama?”
“Dia
pasti punya nama. Tapi saya tidak sempat menanyakan…” jawab Puti Andini.
“Aneh
kedengarannya. Seolah tidak berbudi. Orang memberimu ilmu kepandaian.
Menanyakan namanya pun kau tidak….”
Puti
Andini tidak menjawab. Seperti diketahui ilmu kepandaian yang memungkinkan
gadis itu sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air diberikan oleh Sika
Sure Jelantik. Sesaat setelah ilmu itu masuk ke dalam tubuhnya Puti Andini
jatuh pingsan sehingga dia tidak sempat lagi bertanya siapa adanya nenek itu.
Yang diketahuinya adalah bahwa si nenek tengah mencari Tua Gila dan bermaksud
hendak membunuh kakeknya itu. (Baca Episode “Lembah Akhirat”)
“Anak
manusia,” orang tua yang tegak melayang di atas makam kembali membuka mulut.
“Katamu
tadi kedatanganmu ke sini adalah dengan petunjuk dan perintah kakekmu yang
bergelar tua Gila. Petunjuk apa? Perintah apa?”
“Saya…
saya tidak bisa menceritakannya….”
“Hemm….
Kenapa?!”
“Tidak
kenapa-napa. Hanya tidak bisa saja…” jawab Puti Andini.
Dua ekor
naga besar mendesis keras dan membuka mulut lebar-lebar. Lidah bercabang
menjulur ke bawah. Tiba-tiba binatang-binatang ini meluncurkan kepalanya ke
bawah, ke arah Puti Andini. walau tak sampai menyentuh dirinya namun Puti
Andini laksana copot jantungnya karena takut dan terkejut.
“Anak
manusia. Aku sudah berkata tadi. Di tempat ini tidak boleh ada kedustaan atau
hal yang ditutup-tutupi. Kematian sangat dekat dengan dirimu. Seperti dekatnya
kedua matamu satu sama lain….” Dua ekor naga keluarkan suara mendesis. Membuat
Puti Andini menjadi kecut.
“Saya
kemari mencari sesuatu….” Akhirnya si gadis berkata.
“Sesuatu!
Sesuatu apa? Bicara yang jelas!”
“Atas
suruhan Tua Gila saya kemari mencari sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga
Suci 212.” Menerangkan Puti Andini.
Berubahlah
paras si orang tua mendengar keterangan Puti Andini itu. Di atas dinding
berbentuk setengah lingkaran. Naga Kuning usap wajahnya berulang kali. Di
bawahnya dua ekor naga yang melilit di dinding batu keluarkan suara aneh
seperti suara lolongan anjing di malam buta. Di saat bersamaan, di atas makam
di sekitar tegaknya si orang tua berkiblat petir dua kali berturut-turut. Suara
menggemuruh keluar dari dalam lobang bernama Liang Lahat. Beberapa saat
kemudian setelah suasana reda, orang tua berselempang kain putih bertanya.
“Mengapa
Tua Gila menyuruhmu mencari Pedang Naga Suci 212 itu? Apakah itu miliknya sehingga
dia enak saja menyuruhmu begitu rupa?”
“Menurut
penuturan kakek, senjata mustika sakti itu Sebenarnya memang bukan menjadi
bagiannya. Tapi seseorang telah menukarnya dengan satu senjata lain. Bahkan
kemudian juga mengambil pedang lalu menyembunyikannya di dasar Telaga
Gajahmungkur….”
“Hemmm.,..
Kalau Tua Gila merasa Pedang Naga Suci 212 adalah miliknya mengapa tidak dia
sendiri yang datang mencarinya ke mari?”
“Saya
tidak tahu alasannya. Setahu saya dia tengah menghadapi urusan besar dalam
rimba persilatan. Saya sendiri sebenarnya merasa tidak pantas mendapatkan
senjata itu. Namun kakek memaksa karena dia dan saya masih ada pertalian darah.
Disamping itu kalau senjata tersebut memang saya dapatkan akan saya pergunakan
untuk menolong seseorang. Karena kabarnya Pedang Naga Suci 212 memiliki
keampuhan daya pengobatan luar biasa….”
Orang tua
di atas lobang makam untuk beberapa lamanya saling berpandangan dengan anak
yang duduk di kursi batu di atas dinding tinggi setengah lingkaran. Lalu dia
berpaling menatap Puti Andini dan bertanya.
“Bagaimana
aku bisa mempercayai keteranganmu bahwa Tua Gila yang menyuruhmu datang ke
tempat ini?” Lama Puti Andini terdiam sebelum memberikan jawaban.
“Saya
memang tidak bisa membuktikan. Saya juga tidak bisa berkata lain. Saya hanya
mengikuti ucapanmu tadi. Bahwa tidak boleh ada kedustaan di tempat ini….”
Paras si
orang tua tampak kaku membesi mendengar ucapan Puti Andini itu.
“Kau
mengatakan bahwa jika kau mendapatkan Pedang Naga Suci 212 maka senjata sakti
itu akan kau .pergunakan untuk mengobati seseorang. Mengobati siapa?”
“Seorang
pemuda bernama Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setahu
saya dia pernah dianggap murid oleh Tua Gila.”
“Semakin
aneh jalan ceritamu. Penyakit apa yang menimpa orang itu hingga seolah hanya
Pedang Naga Suci 212 yang sanggup mengobatinya?”
“Pendekar
itu kehilangan ilmu kesaktian dan tenaga dalamnya karena melakukan sesuatu yang
terlarang….”
“Kalau
memang begitu ceritanya bukankah pantas dia menerima musibah itu? Seorang
pendekar begitu mudah melanggar pantangan!”
“Saya
tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan dirinya. Namun sebagai seorang
yang pernah mengenalnya saya sudah menganggapnya sebagai sahabat. Itu sebabnya
saya mau menolong….”
“Apa
benar hanya karena perasaan bersahabat saja kau ingin menolong Pendekar 212?
Bukan karena dorongan perasaan lain? Rasa sayang, cinta atau suka padanya?”
Paras
Puti Andini menjadi merah mendengar ucapan si orang tua. Di atas kursi batu
Naga Kuning tampak tersenyum-senyum. Si orang tua sendiri tetap dingin wajah
dan sorotan sepasang matanya. Tiba-tiba dia menjentikkan ibu jari dan jari
tengahnya dua kali berturut-turut.
Dua ekor
naga yang bergelung di dinding tinggi menggeliat dan keluarkan suara mendesis
keras. Lalu keduanya meluncur turun sepanjang dinding batu tinggi masuk ke
dalam Liang Lahat hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Sesaat setelah
lenyapnya dua binatang aneh mengerikan ini di dasar lobang terdengar suara
menggemuruh. Begitu suara gemuruh lenyap keadaan di tempat itu menjadi tenang
kembali. Puti Andini menarik nafas lega. Paling tidak dua makhluk yang
menyeramkan yang membuatnya kecut setengah mati tak ada lagi di hadapannya.
Namun kejutnya bukan alang kepalang ketika mendadak didengarnya orang tua di
atas makam berseru.
“Naga
Kuning! Aku merasa anak manusia satu ini tidak pantas berada di tempat ini.
Semua ceritanya bohong dusta belaka! Apa dia mengira bisa menipu diriku?!
Lemparkan dia ke dalam Liang Lahat!”
“Orang
tua!” seru Puti Andini tercekat.
“Kiai!”
Naga Kuning keluarkan seruan tertahan. Tubuhnya sampai tertegak di atas kursi
yang didudukinya. Dia menatap melotot pada orang tua „di bawah sana yang balik
memandang padanya dengan mata mendelik dan wajah sedingin salju!
“Naga
Kuning! Kau tidak tuli! Kau mendengar apa perintahku! Lemparkan anak manusia
itu ke dalam Liang Lahat!” Waktu bicara paras si orang tua tampak bertambah
garang.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas…” ujar Naga kuning seolah ingin memastikan bahwa si orang
tua tidak salah mengucap berikan perintah. Namun ucapannya segera dipotong.
“Jika kau
tidak mau melemparkannya ke dalam Liang Lahat maka aku akan menyuruhnya
melemparkan kau ke dalam lobang itu!” Berubahlah paras Naga Kuning.
“Orang
tua itu tidak main-main…. Apa boleh buat. Gadis cantik, masih putih bersih
begini rupa harus menerima kematian secara mengenaskan. Ah, betapa malangnya….
Tuhan, jika Kau mendengar permintaanku tolong gadis itu!”
“Naga
Kuning!” suara si orang tua menggelegar.
Anak
kecil di atas dinding batu sana tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia melompat
dari kursi. Melayang turun ke arah Puti Andini yang saat itu masih tergeletak
duduk di lantai batu pualam. Dinding batu setengah lingkaran itu terpisah
belasan tombak dengan lantai batu pualam. Namun Naga Kecil menjejakkan kedua
kakinya di lantai tanpa suara dan tanpa kaki bergoyang sedikit pun. Si anak
memandang sedih pada gadis di hadapannya.
“Puti
Andini, maafkan diriku. Aku harus melemparkan dirimu ke dalam Liang Lahat itu…”
kata Naga Kuning dengari suara serak bergetar.
“Kau
menurut perintahi Aku layak mempertahankan diri!” jawab Puti Andini. Dalam
keadaan seperti itu hasrat untuk mempertahankan diri menimbulkan keberanian
dalam diri si gadis. Dia salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Di
hadapannya Naga Kuning masih diam sejenak. Tiba-tiba cepat sekali anak itu
melesat ke hadapan Puti Andini.
********************
EMPAT BELAS
Kita
tinggalkan dulu Puti Andini yang tengah menghadapi malapetaka besar, hendak
dilemparkan ke dalam Liang Lahat oleh Naga kuning atas perintah orang tua
bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kita kembali dulu ke tempat terjadi bentrokan
besar antara Ratu Duyung, Dewa Sedih dan Utusan Dari Akhirat. Seperti
dituturkan sebelumnya karena tidak mampu membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan
tidak sanggup menghadapi lawan-lawannya, ditambah dengan rasa takut terhadap
hukuman yang akan dijatuhkan Datuk Lembah Akhirat, maka kakek aneh si Dewa
Sedih ambil putusan gila yaitu bunuh diri. Dia menerjunkan diri dari atas pohon
tinggi, kepala ke bawah kaki ke atas. Sesaat lagi kepalanya akan remuk
menghantam tanah tiba-tiba terdengar suara pecut menderu di udara.
“Tar…
tar… tar!” Lalu menyusul suara orang tertawa membahana. Di lain kejap satu
tubuh gemuk melesat. Dua tangan diulurkan. Dua telapak tangan dikembangkan di
atas tanah. Tepat di bagian mana kepala Dewa Sedih akan jatuhi
“Blukkk!”
Batok
kepala Dewa Sedih mendarat di atas dua telapak tangan itu. Lalu dua tangan
bergerak ke samping untuk meredam daya berat tubuh Dewa Sedih. Sesaat kemudian
tampak tubuh si kakek dilemparkan ke udara setinggi empat tombak. Begitu turun
dua tangan kembali menyambut. Kali ini memegang bahu Dewa Sedih lalu
membantingkan orang tua ini ke tanah. Sesaat Dewa Sedih terkapar nanar.
Telinganya menangkap suara orang tertawa keras sekali. Tampang Dewa Sedih
langsung murung berat. Lalu terdengar suara ratapannya.
“Aku
mendengar suara orang tertawa. Aku melihat langit. Aku melihat tanah. Mengapa
aku tidak mati? Mengapa kepalaku tidak pecah? Hik… hik… hik!” Suara tawa
membahana mendadak lenyap.
“Tua
bangka gila! Hentikan tangismu! Manusia tidak tahu diri! Orang mati saja mau
hidup kalau bisa! Kau yang masih bernafas ingin mampus! Apa pasal apa lantaran?
Apa sudah bosan hidup? Ha… ha… ha?!
Yang
tegak di tempat itu adalah seorang kakek gemuk luar biasa. Dia mengenakan
celana hitam gombrong, baju putih kesempitan. Karena tidak dikancingkan maka
perut dan dadanya yang gembrot berlemak kelihatan membusai bergoyang-goyang.
Rambutnya yang sudah putih disanggul di atas kepala. Matanya sipit. Di
sampingnya tegak seekor keledai kecil kurus. Lalu di sebelah belakang tegak
seorang lelaki berpakaian serba hijau. Baik muka maupun rambutnya yang seperti
sarang tawon juga berwarna hijau. Di bibirnya sebelah bawah menancap sepotong
tulang. Mukanya penuh dengan benjolan-benjolan menjijikkan. Tangan kanannya
tergontai-gontai. Ternyata tangan itu hancur remuk mulai sebatas pergelangan
sampai ke ujung-ujung jari. Selain itu orang ini tampaknya berada dalam keadaan
kaku tertotok karena dia sama sekali tidak bisa bergerak maupun bersuara. Orang
ini bukan lain adalah salah seorang pembantu utama Datuk Lembah Akhirat yang
dikenal dengan nama Pengiring Mayat Muka Hijau.
Sebelumnya
telah diceritakan dalam Episode “Pedang Naga Suci 212” Dewa Ketawa tengah
mengadakan perjalanan untuk mencari kakaknya si Dewa Sedih yang dikabarkan
telah terjerat dalam perangkap Datuk Lembah Akhirat hingga masuk menjadi
anggota orang-orang jahat lembah Akhirat. Di tengah jalan Dewa Ketawa bertemu
dengan Pengiring Mayat Muka Hijau. Antara kedua orang ini terjadi perkelahian
hebat. Pengiring Mayat Muka Hijau diketahui berkepandaian sangat tinggi dan
memiliki pukulan sakti sangat berbahaya bernama Pukulan Penghancur Mayat yang
juga dikenal dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Namun demikian Dewa
ketawa adalah tokoh dunia persilatan yang dikenal sebagai dedengkot berperangai
serba aneh, tak kalah aneh dengan kakaknya yaitu si Dewa Sedih walau dalam
banyak hal sifat baik Dewa Ketawa lebih menonjol daripada sang kakak. Tak
sampai berkelahi lima jurus Dewa Ketawa berhasil mencengkeram hancur tangan
kanan Pengiring Mayat Muka Hijau yang sangat berbahaya itu. Bahkan kemudian
Pengiring Mayat Muka Hijau ditotok hingga dia tidak berdaya lagi. Dalam keadaan
seperti itu Dewa Ketawa menjambak rambut Pengiring Mayat Muka Hijau lalu
menyeret orang itu dan melanjutkan perjalanan. Kini dengan petunjuk Pengiring
Mayat Muka Hijau akan lebih mudah baginya mencari markas Datuk Lembah Akhirat.
Dalam perjalanan menuju Lembah Akhirat inilah, ketika berada di sekitar Telaga
Gajahmungkur Dewa Ketawa sampai di tempat kejadian di mana terjadi pertempuran
hebat antara Ratu Duyung, Utusan Dari Akhirat dan kakaknya si Dewa Sedih. Sang
adik datang tepat pada saat yang sangat genting ketika Dewa Sedih hendak bunuh
diri dengan cara melompat terjun dari atas pohon besar. Untung si gendut ini
masih sempat melakukan sesuatu menolong kakaknya. Melihat siapa yang datang
Wiro Sableng menjadi lega. Dia segera keluar dari balik tempatnya berlindung.
Ratu Duyung juga gembira karena sebelumnya sudah mengena! kakek gendut ini.
Hanya Utusan Dari Akhirat yang tampak agak bingung karena tidak tahu siapa
adanya Dewa Ketawa dan apa hubungannya dengan kakek bernama Dewa Sedih itu.
Panji yang berada di tempat itu sambil usap-usap mukanya yang kotor oleh debu
dan darah segera bangkit berdiri. Dewa Ketawa memandangi kakaknya sesaat lalu
tertawa gelak-gelak.
“Tua
bangka sinting! Orang hendak membunuh aku kau masih bisa tertawa!” bentak Dewa
Sedih. Lalu kakek ini menggerung keras. Tapi diam-diam dia gerakkan kedua
tangannya ke dada. Ketika dua tangan itu dipukulkan ke depan terdengar suara
berdentum dua kali berturut-turut. Lalu dari pinggiran ke dua tangannya meletup
dua bola api yang menggelinding bergulung-gulung menyambar ke arah Ratu Duyung
dan Utusan Dari Akhirat. Pukulan sakti yang mampu mengeluarkan bola-bola api
itu adalah kesaktian sangat langka dan hanya dimiliki oleh Dewa Sedih.
Melihat
dua bola api menerjang dahsyat ke arah mereka Ratu. Duyung segera kiblatkan
cermin saktinya. Utusan Dari Akhirat langsung lepaskan pukulan Gerhana
Matahari. Untuk kesekian kalinya tempat itu dilanda dentuman-dentuman keras
disertai goncangan dahsyat. Dua bola api menjulang ke udara menutupi
pemandangan.
“Ha… ha…
hal Dewa Sedih! Kau masih saja senang bermain-main dengan bola-bola sialan
ini!” Dewa Ketawa tertawa bergelak. Lalu kakek Ini kerahkan tenaga dalamnya ke
mulut dan meniup keras-keras. Dalam rimba persilatan Dewa Ketawa dikenal
memiliki ilmu aneh yaitu ilmu meniup. Dengan ilmunya itu dia sanggup menotok
musuh, membuat lawan terpental dan cidera berat. Saat itu sampai empat kali dia
meniup hingga mulut dan tenggorokannya terasa pedas. Ketika dua bola api lenyap
Dewa Ketawa, Utusan Dari Akhirat dan Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkesiap
kaget. Ternyata Dewa Sedih tak ada lagi di tempat itu. Dan bukan dia saja!
Pengiring Mayat Muka Hijau juga tak ada lagi di situ. Lalu Panji ikut lenyap
entah ke mana. Dewa Ketawa memandang berkeliling. Lalu tertawa gelak-gelak.
“Di mana
kakek sialan itu sembunyikan diri hah?! Eh, gembel muka hijau itu lari ke mana?
Astaga. Keledaiku juga ikut lenyap! Siapa yang berani mencuri! Sialan betul!
Ha… ha… ha! Apa-apaan ini! Ha… ha… ha…!”
Ketika
pandangannya membentur Pendekar 212 Dewa Ketawa hentikan tawanya. Dia
menunjuk-nunjuk dengan mulut termonyong-monyong.
“Sobatku
muda!” Begitu Dewa Ketawa biasa memanggil Wiro.
“Ternyata
kau berada di sini! Ha… ha… ha! Kudengar kabar kau sudah kawin dengan Ratu
Duyung. Kawin benaran atau kawin-kawinan! Ha… ha… ha!”
“Sobatku
gendut! Senang bertemu lagi dengan kau! Tapi jangan mulutmu nyablak asal
bicara!” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng sambil tangan kirinya memberi tanda
bahwa Ratu Duyung yang barusan disebutnya itu berada di samping kirinya, tegak
tak bergerak dengan wajah memerah. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
“Kau tak
menjawab. Berarti kau tidak kawin benaran! Ha… ha… ha! Tapi hidup di dunia ini
memang lebih sedap kalau cuma kawin-kawinan! Contoh saja diriku. Sudah tua
bangka begini tak pernah kawin! Ha… ha… ha!” Perut dan dada Dewa Ketawa yang
gembrot berguncang-guncang waktu tertawa. Lalu dia kembali menyerocos.
“Aku
pernah melihat Ratu Duyung. Wajahnya cantik selangit. Bola matanya biru.
Tubuhnya wangi! Kalau saja aku masih muda. Hemmm…. Ha… ha… ha!”
“Kerbau
Bunting! Jaga mulutmu!” teriak Wiro sambil banting kaki dan garuk-garuk kepala.
“Ha… ha!
Jangan pura-pura malu! Atau kau pura-pura alim sekarang! Hai, aku mau tanya.
Ha… ha… ha! Waktu kau kawin-kawinan dengan Ratu Duyung apakah kekasihmu yang
lain tidak cemburu dan marah padamu? Ha… ha… ha! Aku tahu semua nama mereka.
Anggini…. Lalu gadis dari alam gaib bernama Suci itu. Kemudian si rambut pirang
Bidadari Angin Timur. Rasanya masih ada beberapa lagi. Ya… ya… aku ingat. Si
Pandansuri. Lalu yang terakhir namanya kalau aku tidak salah Puti Andini. Gadis
seberang yang punya kepandaian memainkan tujuh payung. Mungkin ada lagi yang
lain? Ha… ha… ha!”
“Gendut
sialan! Mulutmu sudah keterlaluan!” bentak Wiro.
“Apa kau
tidak melihat Ratu Duyung ada di sebelahmu?!” Dewa Ketawa terkejut. Dia usap
mulutnya dengan belakang telapak tangan. Matanya sesaat membesar. Lalu dia
kembali tertawa gelak-gelak.
“Sobatku
muda, jangan kau membohongi diriku. Aku….” Seseorang berkelebat dan tegak di
hadapan Dewa Ketawa.
“Aku Ratu
Duyung memang ada di sini!” Melihat siapa yang berdiri di depannya kagetlah
Dewa Ketawa. Si gemuk ini tersurut dua langkah. Matanya membelalak. Hidungnya
bergerak-gerak dan mulutnya komat-kamit.
“Kau….
Betul kau Ratu Duyung? Pakaianmu pakaian hitam biasa. Mana mahkotamu….
Jangan-jangan bukan. Kau bukan Ratu Duyung. Tapi eh… wajahmu yang cantik memang
aku kenali. Lalu sepasang matamu yang biru. Astaga! Kau betulan Ratu Duyung!
Ha… ha… ha…! Aku gembira bertemu dengan kekasih sahabatku Pendekar 212!” Dewa
Ketawa tertawa mengekeh.
“Orang
tua, aku mendengar kau memang berwatak aneh. Tapi kalau bicara seperti tadi aku
tidak bisa terima…” kata Ratu Duyung pula dengan suara keras pertanda marah.
“Gadis
cantik! Kalau kau tak suka menerima jangan diterima. Ha… ha… ha! Salah bicara
sudah biasa! Aku tidak akan minta maaf padamu! Aku akan tertawa saja sampai
puas. Ha… ha… ha…!” Ratu Duyung berpaling pada Wiro. Dia memberi isyarat seraya
berkata.
“Aku akan
meninggalkan tempat ini. Kalau kau ingin menemani tua bangka gendut gila ini
silahkan saja!” Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Hendak pergi
sebenarnya dia ingin bicara banyak dengan Dewa Ketawa. Kalau tetap di situ dia
merasa tidak enak terhadap Ratu Duyung. Akhirnya Wiro berkata.
“Sobatku
Gendut aku terpaksa pergi. Temui aku dua hari lagi di tempat ini!”
“Siapa
sudi berjanji dengan kau! Lagi pula aku ingin menyelidik. Mengapa kalian hendak
membunuh kakakku si Dewa Sedih….”
“Siapa
yang membunuhnya! Tua bangka tolol itu mau bunuh diri sendiri!” Yang menjawab
Ratu Duyung dengan suara sengit karena masih sangat marah terhadap Dewa Ketawa.
“Kakakku
memang brengsek. Tapi dia tidak pernah dusta. Tadi dia mengatakan kalian hendak
membunuhnya! Jadi aku harus percaya dan harus tahu apa sebabnya. Kalian
orang-orang golongan putih. Mengapa berserikat hendak membunuh sesama
golongan?” Bicara sampai di situ Dewa Ketawa berpaling pada Utusan Dari
Akhirat.
“Kecuali
pemuda ini. Aku tidak tahu siapa kau adanya. Sesama teman golongan putih?”
“Perduli
dengan segala macam golongan! Kau mau menyelidik itu urusanmu! Saat ini yang
ingin aku lakukan adalah membunuh pemuda gondrong bernama Wiro Sableng bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini!”
“Oo…oo!”
Dewa Ketawa pencongkan mulut lalu tertawa gelak-gelak.
“Jika dia
berniat jahat terhadap saudaraku, berarti aku yang akan menghajarnya! Jangan
sekali-kali kau berani memotong!”
Utusan
Dari Akhirat mana perdulikan ucapan kakek gendut itu. Dia berputar ke arah Wiro
lalu langsung menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Dewa Ketawa tidak
tinggal diam. Didahului dengan suara tawa mengekeh si gendut ini berkelebat
memintas serangan Utusan Dari Akhirat. Cemeti keledai di tangan kanannya
dihantamkan ke udara.
“Tar…
tar… tar!”
Tiga
larik sinar maut yang keluar dari tangan kanan Utusan Dari Akhirat berdentum
dan bertabur di udara begitu cemeti berkiblat. Baik Dewa Ketawa maupun Utusan
Dari Akhirat sama-sama berseru kaget dan tersurut ke belakang. Dewa Ketawa
lemparkan cemeti keledai yang terbakar hangus dan mengepulkan asap. Dia
mendelik memperhatikan tangan kanannya yang tampak merah dan bergetar. Di
seberang sana Utusan Dari Akhirat terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Mukanya
pucat pasi. Lengan pakaiannya tampak hangus terkena hawa panas pukulan sakti
yang dilepaskannya dan berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Gendut
jahanam! Kau berani menghalangiku!” bentak Utusan Dari Akhirat.
“Pemuda
sompret! Berani kau memakiku!” balas berteriak Dewa Ketawa;
“Aku akan
mengiringi kematianmu dengan tertawa!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa tertawa
gelak-gelak. Lalu dia meniup ke depan. Utusan Dari Akhirat merasakan ada satu
gelombang angin dahsyat menghantam ke arahnya.
“Tunggu!”
pemuda itu berteriak.
“Pemuda
yang hendak kita bunuh tak ada lagi di sini! Jika kita meneruskan perkelahian
ini pasti dia lari jauh dan sulit dikejar!”
Dewa
Ketawa memandang berkeliling. Saat itu baik Wiro maupun Ratu Duyung memang tak
ada lagi di tempat itu.
“Anak
gila! Berani dia melarikan diri!” Memaki Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat
si gendut tidak meneruskan serangannya, Utusan Dari Akhirat segera berkelebat
tinggalkan tempat itu. Dewa Ketawa hentikan gelaknya. Dia kembali memandang
berkeliling.
“Heh….
Pemuda sialan satu lagi itu juga lenyap. Aku tinggal sendiri! Ha… ha… ha…!”
Sesaat Dewa Ketawa masih saja terus tertawa sambi! manggut-manggut Tiba-tiba
suara tawanya lenyap. Dia ingat sesuatu.
“Pemuda
yang aku tidak kenal tadi. Dia melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Aku tahu
betul! Aha…. Apa hubungannya dengan Pangeran Matahari yang sudah kojor itu?
Adik seperguruan…. Ha… ha… ha…. Ini hal lucu yang perlu aku selidiki!”
Dewa
Ketawa masukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu keluarkan suara
bersuit dua kali. Sesaat kemudian dari balik sebatang pohon besar melangkah
keluar tunggangan kesayangannya yaitu si keledai pendek kurus. Begitu binatang
ini sampai di depannya Dewa Ketawa langsung naik ke atas punggungnya. Biasanya
dia pergunakan cemeti untuk membedal binatang itu. Tapi karena cemetinya tadi terbakar
hangus terpaksa dia pergunakan tangan untuk menepuk pinggul tunggangannya.
Keledai kurus itu melenguh kesakitan lalu lari meninggalkan tempat itu.
Sebentar saja keledai dan penunggangnya yang gemuk telah lenyap.
Sebenarnya
Dewa Ketawa tidak betul-betul menunggangi keledai kurus kecil itu. Walau
pantatnya kelihatan seperti duduk di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya
yang gemuk besar menyentuh tanah dan berlari kencang mengikuti larinya keledai.
Sepasang kaki Dewa Ketawa beratnya puluhan kati. Namun demikian sama sekali
tidak terdengar gedebuk suara kakinya waktu berlari.
********************
LIMA BELAS
Burung-burung
merpati yang ratusan banyaknya berkeliaran jinak di lembah sunyi berhawa sejuk
itu. Sebagian dari burung-burung itu beterbangan berputar-putar di udara.
Sebagian lagi bermalas-malasan bertengger di cabang atau ranting pepohonan.
Tapi yang paling banyak adalah yang bergerombol berkeliaran di tanah sambil
mencari apa saja yang bisa dipatuk dan dimakan. Inilah lembah yang dikenal
dengan nama Lembah Merpati. Terletak di balik bukit kecil di utara Telaga
Gajahmungkur. Saat itu menjelang tengah hari. Walau sang surya bersinar terik
namun keadaan di Lembah Merpati tetap sejuk. Di satu tonjolan tanah yang
ditumbuhi rumput subur sesosok tubuh berpakaian sedia kuning duduk sambil
mempermainkan setangkai rumput. Wajahnya tak bisa dikenali karena kepala sampai
ke rambut tertutup dengan sehelai cadar kain kuning. Burung-burung merpati
berkeliaran di sekelilingnya. Yang jinak-jinak bertengger di bahu dan di atas
kepalanya. Ada beberapa ekor duduk seperti mengeram di atas pangkuannya. Waktu
berjalan seolah merayap. Di langit sang surya telah melewati titik
tertingginya. Orang bercadar mulai gelisah. Dia memandang berkeliling. Sunyi,
tak ada gerakan. Sesekali kesenyapan dipecahkan oleh gelepar sayap
burung-burung merpati atau suara merpati jantan menggeru-geru mendekati merpati
betina. Orang bercadar kuning membelai kuduk seekor merpati yang duduk di
pangkuannya. Perlahan-lahan antara terdengar dan tiada dari mulutnya terdengar
suara nyanyian.
Berbiduk
ke hulu
Bersampan
ke muara
Dua yang
ditunggu
Seorang
pun tidak menunjukkan muka
Terang di
hulu
Mendung
di muara
Kalau tak
datang yang ditunggu
Rahasia
akan terpendam seumur dunia
Panas di
hulu Hujan di muara
Rahasia
sengsara penuh duka sembilu Akankah terkuak menjadi bahagia
Berbiduk
ke hulu Bersampan ke….
Suara
nyanyian terputus. Orang yang menyanyi dongakkan kepala lalu memasang telinga
sambil memandang ke arah timur.
“Ada yang
datang….” Sinar kegembiraan menyeruak di wajahnya yang terlindung cadar kuning.
Dia tidak menunggu lama. Di balik rumpunan semak belukar dan pepohonan besar
dia melihat seorang berlari cepat. Burung-burung merpati yang ada di sekitar
situ terkejut beterbangan. Sesaat kemudian orang ini telah berada di sebelah
sana. Dia seperti tidak mau memperlihatkan diri di tempat terbuka. Sengaja
berlindung di balik batang pohon besar. Kedua tangannya ditutupkan ke wajahnya.
Dia
mengenakan baju hitam tanpa lengan dan bercelana panjang hitam. Orang ini bukan
lain adalah tokoh baru dalam dunia persilatan yang muncul dan memperkenalkan
diri dengan nama Iblis Pemalu. Termasuk sebagai salah satu tokoh aneh karena di
mana pun dia berada dan apa pun yang dilakukannya paling tidak salah satu
tangannya selalu menutup wajahnya.
Iblis
Pemalu mendehem beberapa kali..
Lalu dari
balik pohon terdengar suaranya.
“Aku malu
untuk bertanya. Tapi lebih malu lagi jika tidak bertanya: Apakah kau sudah lama
sampai di Lembah Merpati ini?’!
Pertanyaan
itu dijawab oleh si cadar kuning dengan ucapan berpantun.
“Begitu
sang surya menerangi bumi. Tubuh letih ini telah berada di sini. Letih menunggu
tidak seberapa. Dibanding dengan rasa cemas membara.”
“Malu aku
kalau salah menduga. Tapi apakah maksud ucapanmu tadi berarti orang yang kau
tunggu belum datang?” Iblis Pemalu kembali bertanya dari balik pohon.
“Layangkan
mata seputar lembah. Tukikkan pandang ke atas tanah. Meneliti ke balik semak.
Mengintip ke balik pohon. Adakah sosok yang terlihat? Padahal hati ini sudah
gelisah memohon….”
Iblis
Pemalu keluarkan desah panjang.
“Sungguh
memalukan. Kurasa aku sudah datang sangat terlambat. Nyatanya yang
ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Aku hanya akan berada di tempat ini sampai
matahari terbenam. Kalau sampai saat itu orang yang kita tunggu tidak juga
muncul, aku tidak akan malu-malu untuk angkat kaki dari tempat ini!”
“Malumu
malumu sendiri. Gelisahku gelisahku sendiri. Tapi ada keterkaitan di antara
kita. Mengapa pergi sebelum jelas duduk cerita?”
Iblis
Pemalu terdiam. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Perlahan-lahan rasa
galau juga muncul di lubuk hatinya. Baru saat itu dirasakan keletihan tubuhnya.
Dia datang dari tempat jauh. Membutuhkah sehari suntuk untuk sampai ke lembah
itu. Iblis Pemalu menghela nafas panjang. Lalu duduk menjelepok di atas tanah
di bawah pohon besar itu. Berdiam diri berlama-lama membuat Iblis Pemalu
menjadi tidak enak. Dia lantas berseru bertanya.
“Apa yang
kita lakukan kalau dia benar-benar tidak datang?”
“Hari
masih panjang. Dia belum tentu tidak datang. Kepastian memang belum menjadi
kenyataan. Hanya kesabaran jadi batu ujian,” menjawab orang bercadar kuning.
Setiap katanya selalu seperti orang berpantun.
“Kalau
dia tidak datang!” kata Iblis Pemalu berkata dari baiik pohon.
“Aku
tidak akan malu-malu mengangkat sumpah! Aku tidak akan sudi membantu lagi. Biar
semua rahasia ini terpendam di perut bumi! Kalau perlu aku lanjutkan sampai di
perut neraka. Aku tidak malu! Aku….”
“Ssttt…!”
Tiba-tiba orang bercadar memberi tanda.
“Berhenti
berbicara. Telingaku mendengar suara. Ada orang mendatangi. Melangkah secepat
angin. Berlari secepat topan….”
Baru saja
si cadar kuning ini berkata demikian tiba-tiba di Lembah Merpati muncul seorang
nenek bertopi berbentuk tanduk kerbau. Di bawah topi rambutnya yang putih
melambai-lambai ditiup angin lembah. Dia mengenakan sehelai mantel hitam. Di
bahunya bertengger seekor burung Merpati. Sepasang matanya memandang tak
berkesip pada orang bercadar kuning yang duduk di atas rumput. Dia tidak memandang
berkeliling. Tetapi dia tahu kalau di balik sebatang pohon besar di belakangnya
duduk mendekam sesosok tubuh.
“Sesuai
perjanjian sesuai pintamu. Aku datang memenuhi undangan!” kata nenek bermantel
hitam yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak si nenek sakti dari puncak Gunung
Singgalang. Perlahan-lahan kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Orang
berpakaian dan bercadar kuning bangkit berdiri. Merpati yang bertengger di bahu
dan kepalanya terbang ke udara. Yang tadi duduk di pangkuannya menggelepar ke
atas lalu hinggap di bahu kirinya. Di balik pohon perlahan-lahan Iblis Pemalu
berdiri pula. Dari sela-sela jarinya dia mengintip. Namun dia hanya bisa
melihat punggung Sabai nan Rancak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment