Makam
Tanpa Nisan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
MATAHARI
belum lama tenggelam. Namun pulau kecil di pantai barat pesisir Andalas itu
telah terbungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam dibayang-bayangi oleh
deru angin laut dan debur ombak yang memecah di pasir pulau. Sesekali
kunang-kunang beterbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang tak
ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali kegelapan kelam menghantui.
Sesosok
tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam kegelapan. Gerakan kedua kakinya
enteng dan hampir tidak terdengar. Namun binatangbinatang melata yang
bertelinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat mendengar gerakan langkah
kaki orang ini lalu cepat-cepat melarikan diri menjauh.
Di
samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan langkahnya. Telinganya dipasang
tajamtajam. Kedua matanya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam
kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang membentuk sebuah parit
dangkal. Dia mengikuti parit itu ke arah seberang sana hingga pandangan matanya
tertumbuk pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama
orang ini menatap pohon besar yang tegak menyeramkan sejarak dua puluh langkah
dari tempatnya berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang besarnya
lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu. Lalu dia menyeringai dan
gelengkan kepala. Dari mulutnya terdengar ucapan perlahan.
"Di
saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk sahabat yang berpulang, masih
saja ada makhluk-makhluk lain hendak berbuat kejahatan."
Orang ini
kembali memandang ke arah pohon, lalu dia berseru. "Manusia dibalik pohon!
Apa maksudmu sengaja sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong?!"
Tak ada
sahutan.
Angin
laut bertiup kencang. Semak-semak dan daundaun pepohonan terdengar
bergemerisik. Seekor kadal hutan melintas cepat di depan kaki orang yang tegak
dekat mata air.
"Ah,
dia tak mau menjawab…" kata orang yang barusan bicara. "Kalau begitu
terpaksa aku harus meneruskan langkah." Dengan tangan kanannya dia
mematahkan sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan ranting ini,
orang itu meneruskan langkahnya. Melompati parit kecil di depannya. Sesaat
kemudian dia telah sampai di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja
tetap terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata dan telinganya
dipasang benar-benar.
Satu
langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba laksana setan keluar dari
sarangnya satu bayangan putih melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda
berbentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah kepalanya!
"Membokong
adalah pekerjaan pengecut!" seru orang yang diserang. tangan kanannya yang
memegang ranting digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali bahwa
ranting yang dipegangnya tidak akan menang melawan tombak besi yang menghantam
ke arahnya. Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi berusaha memukul
lengan yang memegang tombak bermata dua itu.
Si
penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak diperbuat lawan. Sambil menggeser
kakinya dan miringkan tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini
ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang diserang sekarang
terpaksa pergunakan rantingnya untuk menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke
depan, masuk di antara dua mata tombak.
Orang
memegang tombak terkejut ketika merasakan bagaimana tombak besinya laksana
ditahan satu kekuatan dahsyat membuatnya tidak mampu untuk mendorong walau
sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad kalau tadi dia hanya andalkan
tenaga luar, orang ini kerahkan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia
keluarkan bentakan keras.
Kraaakkkk!
Ranting
kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua terpelanting ke kiri, nyaris
terlepas. Si pemilik tombak mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan,
coba menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang yang gagal diserangnya
itu. Tapi sia-sia saja. kegelapan malam begitu pekat sehingga walau berada
cukup dekat dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenalinya.
Maka
diapun bertanya membentak. "Siapa di situ?!"
Jawaban
yang didapatnya justru bentakan pula. "Kau yang menghadang dan menyerang!
Aku yang lebih layak menanyakan siapa dirimu!"
Orang
dibalik pohon keluarkan suara mendengus.
"Aku
Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa dirimu?!"
"Kiyai
Surah Ungu dari Banten…?" mengulang orang yang masih memegang patahan
ranting. "Ah… ah… ah! Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa
Mahkota, yang menjauhkan diri dari Kesultanan karena tidak suka dengan
kehidupan Keraton yang menurutmu menjijikkan?"
Dalam
gelap berubahlah paras orang dibalik pohon. Rasa terkejut membuat dia
mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau
telah mengetahui siapa diriku, lalu kau sendiri siapa adanya?!" tanya
Kiyai Surah Ungu.
"Aku
belum mau memberi tahu sebelum aku mendengar apa keperluanmu jauh-jauh datang
ke pulau terpencil ini!"
"Kau
keliwat mendesak. Tapi tak jadi apa karena kau ada di atas angin. Aku kemari
untuk melayat seorang kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan
dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang sebetulnya padamu,
sekarang giliranmu memberi tahu siapa dirimu dan apa pula keperluanmu
gentayangan di tempat ini!"
Orang
yang ditanya tertawa pendek. "Belum…. Belum Kiyai. Aku belum akan menjawab
pertanyaanmu. Masih ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu kuajukan…. ‘
"Kau
membuat aku jadi jengkel dan marah! Apa kau kira diriku ini seorang pesakitan
yang tengah diperiksa dan perlu ditanyai segala-galanya?!"
"Jangan
cepat jengkel, apalagi marah Kiyai Surah Ungu. Di malam yang gelap begini
dimana kita tidak dapat melihat wajah satu sama lain, tipu menipu bisa saja
terjadi!"
"Apa
maksudmu dengan kata-kata itu?!" tanya Kiyai Surah Ungu.
""Lupakan
saja ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa sahabat yang kau katakan meninggal dan
dimakamkan di pulau ini…"
"Kau
pasti kenal. Dia seorang tokoh silat nomor satu di kawasan Andalas ini, Pernah
membuat nama besar dan menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh tahun
lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah Hati. Adapula yang
memberinya julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun di kalangan golongan putih
dia lebih dikenal dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau sudah
puas atau masih hendak merahasiakan dirimu sendiri?!"
"Ah,
rupanya kita mempunyai tujuan yang sama!"
Kiyai
Surah Ungu merasa heran. Tujuan yang sama belum tentu berarti hati yang sama!
""Katakan apa maksudmu…?"
"Aku
merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini. Kecurigaan membuatku
sengaja menghadangmu di balik pohon ini. "
"Begitu…?"
Orang itu batuk-batuk beberapa kali.
"Kita
ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan tahun tak pernah bertemul"
Kiyai
Surah Ungu maju dua langkah.
"Aku
memang rasa-rasa pernah mendengar suaramu. Rasa-rasa mengenali. Tapi…Ah! Otakku
sudah agak pikun. Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu
slapa dirimul"
"Aku
Ramadi Watampone dari Bugis!"
"Astaga!
Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan sendiri! Bukankah kau yang di timur
dikenal dengan nama besar Pendekar Badik Emas?!"
Orang
yang mengaku bernama Ramadi Watampone tertawa perlahan. "Ulah manusia
memang banyak, aku kebagian menerima ulah dalam bentuk gelar seperti itu!"
Kiyai
Surah Ungu sisipkan tombak pendeknya di pinggang. Dia menyalami Ramadi
Watampone. Kedua orang ini kemudian malah saling berangkulan.
"Puluhan
tahun tidak bertemu. Sekali bertemu di tempat gelap di pulau terpencil begini!
Siapa yang tidak saling curiga!" kata Kiyai dari Banten itu. "Nah,
kukira kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat yang mendahului
kita."
"Kau
betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama tidak sempat melihat wajah Tua
Gila penghabisan kali sebelum dikubur…"
"Ada
baiknya kita segera sama-sama menuju ke makam sahabat kita itu. Biar aku
berjalan duluan…"
"Kalau
begitu aku mengikuti dari belakang," kata Ramadi Watampone.
Dalam
gelap kedua orang yang sama-sama berusia hampir tujuh puluh tahun itu berjalan
beriringan menuju bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian mereka
keluar dari kerapatan pepohonan dan sampai pada sebuah lapangan kecil yang
dikelitingi oleh batu-batu karang runcing diseling oleh batu-batu cadas
membentuk dinding setengah lingkaran.
Karena
tempat ini agak terbuka maka kepekatan malam masih bisa ditembus pandangan
mata. Di ujung depan, di sebelah tengah lapangan tampak dua gundukan tanah
kuburan yang masih merah.
Dari dua
makam itu hanya satu yang memiliki batu nisan.
Kiyai
Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah ke arah makam namun di tengah
lapangan langkah kedua orang ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh
menggeletak tak berapa jauh dari makam. Ketika diperiksa keduanya ternyata
tidak bernyawa lagi. Wajah mereka tertutup darah yang mulai mengering. Pada
kening masingmasing kelihatan sebuah lobang sebesar kuku ibu jari. Dari lobang
inilah darah sebelumnya mengucur.
"Kiyai
Surah… Kau mengenali siapa adanya mayatmayat ini?!"
Yang
ditanya menggeleng. Malah balik bertanya "Kau…?"
"Tak
pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapi dari dandanan mereka pasti yang
seorang dari dunia persilatan dan satu lagi yang masih menggenggam keris
seperti orang bangsawan. Mungkin juga pejabat dari sebuah kerajaan…"
Kiyai
Surah mengambil keris dari genggaman mayat. Meneliti badan dan hulu senjata itu
lalu berkata, "Gagang keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana
Gading di selatan…"
"Kita
menghadapi satu peristiwa pembunuhan, Kiyai!" kata Ramadi Watampone alias
Pendekar Badik Emas.
"Itulah
yang ada dibenakku…" jawab Kiayi Surah Ungu seraya memandang berkeliling.
Hanya pepohonan dan batu-batu cadas serta batu-batu karang yang tampak
menghitam dalam kegelapan.
"Sulit,
dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi makam seorang sahabat, tahu-tahu
dihadapkan pada peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang
membunuh?’
Ramadi
Watampone memegang tubuh salah satu mayat lalu berkata, "Meski darah di
mukanya mulai mengering tapi tubuhnya masih agak hangat. Pertanda orang ini
belum lama menemui kematian…"
"Jangan-jangan
pembunuhnya masih berada di sekitar sini… " ujar Kiyai Surah lalu memandang
berkeliling sekali lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan berkata,
"Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada sese-orang yang mengikutiku
sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini? Aku tadinya menduga kau yang
menguntit. Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pembunuh itulah yang
mengikutiku…!"
*******************
2
Untuk
beberapa lamanya kedua orang tua itu samasama jongkok dan saling pandang
dengan perasaan tidak enak. "Aku punya firasat ada orang lain tengah
memperhatikan gerak gerik kita saat ini…" berbisik Kiayi Surah Ungu.
Ramadi
Watampone jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. Tengkuknya seperti
dihembus angin dingin. Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, "Apapun
yang terjadi di tempat ini harus kita lupakan dulu. Maksud utama kita kemari
adalah untuk berziarah melihat makam sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam
sana …"
"Tunggu
dulu sahabat," berkata Kiyai Surah seraya memegang lengan Ramadi.
"Kalau kita berada di makam, punggung kita harus membelakangi dinding
batu-batu cadas dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak mungkin dibokong
orang. Siapapun yang hendak membunuh kita pasti akan muncul di arah
depan…"
"Kau
betul. Kita harus berhati-hati…" kata Ramadi pula. "Sebaiknya
melangkah mundur."
Kedua
orang itu kemudian mendekati dua buah makam dan melangkah mundur dalarn gelap.
Begitu sampai keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan. Mereka
memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat.
"Aneh…"
kata Ramadi Watampone. "Mengapa ada dua makam di tempat ini?"
"Keanehan
itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak pertama kali aku melihat dua makam ini
tadi," menyahuti Kiyai Surah Ungu. "Yang satu ada nisannya. Terbuat
dari batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu di sebelahnya
ini sama sekali tidak memiliki batu nisan…"
"Apakah
sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?" tanya Ramadi Watampone.
Kiayl
Surah menggeleng. "Setahuku kakek-kakek itu tak pernah punya istri…
Kalaupun ini makam istrinya, lalu mengapa tidak ada batu nisannya?"
"Hemmm,
sulit diduga makam siapa yang satu ini," berkata Pendekar Badik Emas.
"Ada
satu keanehan lagi…" ujar Kiyai Surah.
"Apa?"
"Kedua
kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya. Berarti siapapun yang dimakamkan di
dua kubur ini waktunya tidak berbeda banyak …"
"Kau
benar," kata Ramadi dan hatinya merasa tidak enak. lalu setengah berbisik
dia bertanya: "Apakah kau mencium bau sesuatu…?"
Kiayi
Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu menghirup udara malam dalam-dalam, coba
membaui sesuatu yang dimaksudkan Ramadi Watampone.
"Memang
ada bau sesuatu. Tapi sulit kuterka bau apa…" kata sang Kiayi kemudian.
"Bau apa yang tercium oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?"
"Seperti
bau asap…" jawab Ramadi pula. "Baunya ada tapi bentuknya tidak
kelihatan."
"Sudahlah.
Mari kita membaca doa dan apa saja untuk almarhum sahabat kita Tua Gila.
Mudahmudahan dia diberikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa."
Ramadi
mengangguk. Kedua orang tua itu lalu membaca berbagai surat suci dan
memanjatkan doa panjang bag! Tua Gila. Menjelang dini hari baru mereka selesai.
Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu bertanya apa yang akan mereka
lakukan sekarang.
"Sesudah
menengok makam Tua Gila sebenarnya kita bisa saja segera meninggalkan pulau
ini. Tetapi tidak pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua orang
ini…" berkata Kiyai Surah.
"Kalau
begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi."
"Kita
tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur dan menanam jenazah mereka.
Aku punya cara yang lebih gampang. Kita memanggul masing-masing seorang dari
keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuangnya di tengah lautan. Itu
lebih balk dari pada meninggalkan mereka membusuk atau dirusak binatang di
tempat ini."
Baru saja
Kiyai Surah berkata begitu tiba-tiba dikejauhan terdengar suara raungan anjing,
panjang menggidikkan.
Kiyai
Surah merapatkan kerah jubahnya. "Aneh… Di pulau seperti ini ada
anjing..:" katanya.
"Makin
lama berada di pulau ini semakin tidak enak perasaanku," berucap Ramadi
Watampone berterus-terang. "Kita berangkat sekarang?"
Kiyai Surah
mengangguk.
Kedua
orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul masing-masing satu jenazah. Namun
belum sempat mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba keduanya
merasa ada seseorang bergerak di belakang mereka.
Kiyai
Surah dan Ramadi Watampone segera membalik. Keduanya sama melengak kaget. Hanya
delapan langkah di hadapan mereka tegak sesosok tubuh tinggi besar. Selain
pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini juga bermantel hitam dalam
sebatas lutut. Wajahnya terlindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa
dikenali. Di kepalanya bertengger sebuah topi tinggi
"Hati-hati…
Mungkin sekali kita tengah berhadapan dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi
…" bisik Kiyai Surah.
"Aku
malah memastikan orang di depan kita ini pembunuh kedua orang ini," sahut
Ramadi Watampone. Lalu tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip
yaitu sebilah badik berbadan dan bergagang emas.
Kiyai
Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjagajaga dengan mendekatkan tangan
kanannya pada tombak bermata dua yang tersisip di pinggangnya.
"Kalian
mau bawa ke mana dua mayat itu?!" Tiba-tiba sosok yang tegak di depan sana
bertanya.
Suaranya
garang dan keras.
"Kami
bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Membuangnya di tengah laut,"
menjawab Kiyai Surah.
"Kalian
tidak akan sempat melakukan itu!" Orang tinggi besar berkata.
"Kenapa
tidak?!" tanya Ramadi Watampone.
"Karena
kutuk telah jatuh terhadap siapa saja yang menjejakkan kaki di pulau ini.
terhadap siapa saja yang Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian
berdua akan menemui kematian seperti kedua orang itu!"
Terkejutlah
Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas.
"Jadi
kau yang membunuh kedua orang itu?!" tanya Kiyai Surah puia. Tangannya
telah memegang batang tombak erat-erat.
"Kamu
sudah tahu kenapa bertanya?!"
"Katakan
siapa kau adanya!" tanya Ramadi.
"Kalian
tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat Tua Gila sudah kusumpah untuk mati
di tempat inil Di depan makam Tua Gila sendiri!"
"Kita
tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan jiwa kami?!" tanya Kiyai
Surah.
Si tinggi
tertawa pendek. "Kematian memang tidak selalu disebabkan oleh silang
sengketa. Tetapi Tua Gila telah menanam bahala dan silang sengketa beberapa
tahun yang silam. Dan aku telah bersumpah siapa saja sahabat Tua Gila yang
muncul di sini akan kuhabisi nyawanya. Termasuk kalian berdua!"
Sehabis
berkata begitu orang tinggi besar itu melompat ke depan. Kedua tangannya
membuat gerakan aneh dan menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat
menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai
Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga cepat menghindar ke
samping. Dari kiri kanan mereka lalu balas menyerang.
Tapi
angin yang menyambar dari kedua tangan orang tinggi besar itu membuat dua orang
tua ini terhuyunghuyung.
Pendekar
Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta kerahkan seluruh tenaga dalam yang
mereka miliki lalu menghantam secara bersamaan.
Orang
yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya keluar suara seperti
menggereng. Kernbali kedua tangannya bergerak untuk menangkis serangan kedua
lawannya.
Bukkk!
Bukkk!
Terdengar
dua kali suara bergedebuk begitu tangan masing-masing beradu keras. Kiyai Surah
Ungu terpental empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan besi. Paras
sang Kiyai berubah pucat. Pendekar Badik Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya
mencelat tiga langkah dan dari mulutnya terdengar seruan kesakitan.
Si tinggi
besar tertawa bergelak.
"Aku
senang melihat manusia-manusia seperti kalian. Walau ilmu kepandaian cuma
sejengkal tapi berani menantang!"
Bukan
main panasnya hati Kiayi Surah Ungu dan Pendekar Badik Emas. Mereka telah
mendalami ilmu silat, tenaga dalam bahkan kesaktian selama bertahun-tahun.
Dalam
dunia persilatan mereka dihormati dan menjadi dua tokoh yang disegani. Kini
seorang tak dikenal enak saja mengejek kepandaian mereka!
"Manusia
sombong! Lekas beri tahu siapa kau sebenarnya?!" membentak Ramadi
Watampone alias Pendekar Badik Emas.
Yang
dibentak malah tertawa.
"Bukankah
kau manusianya yang bergelar Pendekar Badik Emas dan kawanmu itu Si Pangeran
Tanpa Mahkota?"
Kiyai
Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama terkesiap mendengar kata-kata itu.
Dan si tinggi besar melanjutkan kata-katanya.
"Memandang
nama besar kalian, aku memberi kelonggaran memperpanjang sedikit seat kematian
kalian. Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata masing-masing.
Perlihatkan Tombak Dwi Sula-mu Kiyai Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas,
bukankah kau datang dari jauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak melihat
senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan badik emasmu!"
Dua orang
tua kembali terkesiap karena orang yang tidak mereka kenal itu ternyata tahu
banyak tentang diri mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka miliki. Namun
merasa diejek dan dianggap remeh bahkan ditantang maka baik Kiyai Surah maupun
Pendekar Badik Emas ini tidak merasa sungkan lagi.
Keduanya
keluarkan senjata masing-masing. Sesaat kemudian sebilah badik emas sudah
tergenggam di tangan Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas sedang
sebatang tombak bermata dua tampak menyilang di depan dada Kiayi Surah Ungu
yang dijuluki Pangeran Tanpa Mahkota.
"Bagus…!
Kalian boleh maju berbarengan!"
Dua orang
tua itu menunggu sesaat. Ketika si tinggi besar tidak tampak mengeluarkan
senjatanya maka kedua orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat
menaburkan sinar kekuning-kuningan dalam kegelapan malam. Tombak Dwi Sula
menderu mencari sasaran di tenggorokan lawan.
Serangan
dua tokoh silat kelas tinggi itu bukan serangan main-main. Siapapun lawan
pastilah nyawanya akan sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi
lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa. Lalu dia gerakkan tangannya
kiri kanan.
Dua benda
hitam sebesar ujung jari kelingking berbentuk bulat melesat dalam kegelapan
malam. Baik Kiyai Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya mendengar suara
berdesing tapi tidak melihat bendanya.
Ketika
mereka kemudian menyadari ada benda yang melesat ke arah mereka, Kiyai Surah
sapukan tombak bermata duanya ke atas. Ramadi Watampone babatkan badiknya di
udara. Namun gerakan kedua orang ini sudah sangat terlambat.
Di lain
kejap terdengar jeritan mereka merobek kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh
kedua jago tua ini terkapar di tanah di hadapan dua buah makam. Satu di
belakang makam Tua Gila, satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya
menemui ajal dengan mata membeliak!
Di kening
masing-masing tampak sebuah lubang mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan.
Dari lubang ini mengalir keluar darah yang segera saja membasahi wajah dan mata
mereka!
Begitu
kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi tadi menyelinap dan lenyap di celah
antara batu karang dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali
ter-dengar suara panjang lolongan anjing.
Angin
malam bertiup tambah keras dan tambah dingin. Ombak di pantai pulau berdebar
semakin keras.
*******************
3
PUNCAK
Gunung Singgalang disaput awan kelabu sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini
semakin tebal dan akhirnya membuat suasana mendung menutupi daerah luas sekitar
gunung. Namun sampai siang hujan tak kunjung turun.
Di lereng
barat Gunung Singgalang, seorang tua duduk termenung di ruang depan rumah kayu
berkolong tinggi. Di halaman seorang lelaki tengah asyik membakar seekor ikan
besar sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah orang tua di atas rumah. Bau
sedap ikan panggang ini menebar kemana-mana.
Orang
yang membakar ikan untuk kesekian kalinya memandang ke arah orang tua di atas
rumah. Dalam hatinya dia berkata, "Kasihan orang tua Itu. Sulit diduga
sudah berapa tahun uslanya. Kelihatannya dia sudah pasrah untuk meninggalkan
dunia. Tapi Yang Kuasa masih belum Jugs mengutus mataikat maut…"
Bagi
orang yang baru pertama kali melihat orang tua di atas rumah, mungkin bisa
serasa terbang nyawanya oleh rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah
bertahuntahun tinggal bersamanya menjadi kawan dan pembantu, tidak lagi merasa
ngeri melihat wajah itu.
Wajah dan
keadaan tubuh orang tua tersebut memang menyeramkan untuk dipandang. Mukanya
pucat berkerut dan sangat cekung. Kedua matanya hanya merupakan sepasang rongga
besar yang menggidikan. Salah satu telinganya sumplung. Dimulutnya tak sepotong
gigipun bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung sebatas pergelangan.
"Saringgih…."
tiba-tiba terdengar suara orang tua itu. Halus melengking.
"Ambo
Nyanyuk…" menyahuti lelaki yang membakar Man. Dia berhenti mengipas bara
api pemanggang ikan.
"Akan
lamakah pekerjaanmu itu selesai?"
"Ah,
Nyanyuk sudah lapar sekali rupanya!" Orang tua bermata seperti setan
gelengkan kepala.
"Aku
belum ingin makan Saringgih. Ada sesuatu yang aku pikirkan."
"Ah,
pantas sejak tadi ambo lihat Nyanyuk duduk termenung- menung:
"Aku
merasa kita harus segera meninggalkan Gunung Singgalang ini."
Singgih
tercenung mendengar ucapan orang tua itu. Kipas bambu diletakkannya di tanah
lalu die melangkah ke dekat tangga. "Angan-angan apa yang ada di pikiran
Nyanyuk?"
"Nyanyuk
Amber tidak pernah berangan-angan. Aku mendapat firasat yang tidak enak. Juga
ada isyarat mimpi yang kuterima malam tadi…" Jawab orang tua itu sementara
angin meniup-niup rambutnya yang putih jarang.
"Kalau
begitu ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk itu," kata Saringgih lalu
menaiki tangga dan duduk di hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber.
"Malam
tadi aku mimpi melihat udara hitam kelam di pantai pulau ini. Paginya ketika
aku terjaga entah mengapa aku tiba-tiba saja teringat pada seorang sahabat lama
yang tinggal di sebuah pulau di barat Andalas. Aku berpikir, jangan-jangan ada
sesuatu terjadi atas dirinya. Usianya lebih tua dariku. Sudah sakit-sakitan.
Sejak beberapa tahun berselang aku tidak pernah mendengar kabar beritanya. Kau
sendiri sudah beberapa lama tidak pernah turun gunung untuk menyirap kabar dan
segala kejadian yang ada di luaran. Aku khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi
atas dirinya…"
"Jalan
pikiran Nyanyuk selama ini biasanya tidak pernah meleset," kata Saringgih.
"Jadi akan berangkatkah kita hari ini, Nyanyuk?"
"Tidak…
Tidak hari ini Saringgih, Tapi sekarang!"
"Sekarang
Nyanyuk? Ah, kenapa secepat itu?"
"Kau
tahu perjsianan ke sana sangat jauh. Kau harus membawaku melalul perjalanan
darat paling tidak selama dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau
keberangkatan ditunda-tunda, kapan akan sampainya di sana Saringgih?’
"Kalau
begitu Nyanyuk bilang, ambo hanya mengikut saja. Tapi biar saya selesaikan
panggangan ikan Itu. Kita makan dulu baru berangkat. Begitu kan Nyanyuk?"
"Tidak,
tidak begitu Saringgih. Ikan bakarmu sudah cukup matang. Bungkus dan kita makan
di perjalanan…"
Saringgih
ternganga, garuk-garuk kepala namun akhirnya hanya bisa mengangkat bahu.
"Selesal
kau membungkus ikan itu, siapkan jubah hitamku Saringgih," terdengar
Nyanyuk Amber berkata.
"Jubah
hitam katamu Nyanyuk?"
"Kau
sudah dengar dan aku tidak perlu mengatakannya sampai dua kaIi!"
"Agaknya
kita akan menghadapi urusan besar lagi kali ini Nyanyuk?" tanya Saringgih.
"Betul.
Urusan besar. Mungkin sangat besar dalam hidupku. Karenanya kau juga kupinta
menyiapkan diri dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu…"
"Balk
Nyanyuk, saya akan membungkus ikan bakar itu. Menyiapkan baju hitammu dan
membekal keris Pusako Dewa." Lalu Saringgih bergegas menuruni tangga.
Dengan selembar daun pisang dibungkusnya ikan besar yang barusan dibakarnya.
Lalu dia
naik atas rumah, masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sebilah keris. Setelah
Itu dia masuk ke dalam kamar Tdyanyuk Amber dan mengambil sehelai baju hitam
lengan panjang terbuat dari kain sangat tebai. Baju yang berupa jubah pendekar
ini dikenakannya ke tubuh Nyanyuk Amber.
Pada
bagian bahu kiri kanan baju hitam ini terdapat sebuah saku. Dan pada
masing-masing saku tersisip selusin senjata berbentuk anak panah kecil
sepanjang seterrgah jengkal, terbuat dari perak putih.
"Kau
sudah siap Saringgih?"
"Siap
Nyanyuk?"
"Tak
ada yang ketinggalan?"
Saringgih
berpikir sejenak lalu menjawab. "Rasanya tidak ada Nyanyuk."
"Bagus
kalau begitu. Jangan lupa ikan bakarmu. Bisabisa kita kelaparan di tengah
jalan."
Saringgih
mengangguk lalu jongkok di hadapan orang tua yang sejak tadi duduk saja di
lantai. Ketika si pembantu ini mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya
kelihatanlah kini keadaan tubuhnya di sebelah sepasang tangan buntung tetapi
kedua kakinyapun juga bunting!
Siapakah
sebenarnya orang tua yang memiliki banyak cacat ini?
Nyanyuk
Amber adalah salah satu dari beberapa tokoh silat tingkat tinggi yang paling
disegani di pulau Andalas. Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki
Raja Rencong Dari Utara. Celakanya sang murid tergoda oleh nafsu hendak
menguasai dunia persilatan. Cara yang ditempuhnya adalah sesat dan keji yaitu
mengundang semua tokoh persilatan di pulau Andalas untuk datang ke tempat
kediamannya, lalu membunuh mereka secara masal!
Sebagaf
seorang guru tentu saja Nyanyuk Amber menghalangi maksud jahat muridnya itu.
Ternyata kesetanan Raja Rencong sudah sedemikian jauhnya sehingga dia kemudlan
tega membuat buta kedua mata Nyanyuk Amber, memotong tangan dan kaki orang tua
itu. Meskipun dalam usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun kemudian
Nyanyuk Amber bersama-sama Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil menumpas dan
menamatkan riwayat Raja Rencong Dad Utara. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
Raja Rencong Dari Utara).
Setelah
dua hari menempuh perjalanan darat akhirnya Saringgih dan Nyanyuk Amber sampai
di pantal barat pulau Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa
mengangkut mereka ke tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak jauh dari pesisir
barat. Tapi ternyata tak ada seorang pemilik perahupun yang mau mengantarkan
mereka.
"Aneh!"
kata Nyanyuk Amber. "Apakah mereka takut melihat tampangku atau mungkin
pemilik perahu itu sudah kebanyakan uang sehingga tak mau lagi bekerja.
Saringgih, kau tahu mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita ke pulau?"
"Mereka
tidak mau mengatakan, Nyanyuk. Tapi dari gelagat ambo kira orang-orang itu
merasa kawatir…" jawab Saringgih.
"Apa
yang mereka kawatirkan? Temui salah seorang dari mereka. Katakan kita akan
membayar dua kali lipat."
"Ambo
justru menjanjikan bayaran tiga kali lipat Nyanyuk. Tapi semua mereka tetap
menggeleng."
"Kalau
begitu kita sewa perahu saja dan. Kau terpaksa jadi tukang kayuh,"
"Ambo
tak keberatan Nyanyuk. Cuma disewapun mereka tidak mau!"
"Kapuyuak!"
mengomel Nyanyuk Amber. "Apa pun alasan mereka kali ini?"
"Salah
seorang memberitahu, ada empat kawan mereka yang telah menyewakan perahu.
Tujuan para penyewa itu sama dengan tujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal
hari ini keempat penyewa itu tak pernah kembali. Perahu mereka itu lenyap!
Orangorang di pantai menduga keras ada malapetaka yang telah menimpa keempat
penyewa perahu itu!"
Nyanyuk
Amber yang didudukkan Saringgih di bawah sebatang pohon tampak termenung
sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
"Mereka
tak mau mengantar, Mereka juga tak mau kita sewa perahu mereka. Sudah, kalau
begitu kita beli saja satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa uang,
Saringgih?"
"Kira-kira
begitu. Tapi seandainya tidak cukup bagaimana Nyanyuk?"
"Mudah
saja! Gadaikan keris Pusako Dewa milikmu!" sahut Nyanyuk Amber.
"Apa…?
Ini bukan senjata sembarangan Nyanyuk. Tapi senjata pusaka tujuh turunan. Dan
Nyanyuk sendiri sudah ikut menambahkan tuahnya!"
"Kita
dalam kesulitan Saringgih. Kau boleh pilih. Gadaikan keris itu atau kau
gadaikan kepalamu…" habis berkata begitu Nysnyuk Amber tertawa
terkekeh-kekeh hingga kelihatan gusinya yang tidak bergigi sama sekali.
Saringgih
geleng-geleng kepala. Dia menggaruk seluruh saku pakaiannya, mengambii semua
uang yang dibawanya Ialu menghitung.
"Mudah-mudahan
uang ini cukup. Dari pada menggadaikan keris atau kepala! Bagusnya si tua ini
saja yang digadaikan! Tapi… siapa pula yang mau menerima kepala setan
itu…!" kata Saringgih mengomel sendirian.
"Kepala
si tua siapa yang kau maksudkan itu Saringgih?" Rupanya ucapan pembantunya
tadi terdengar oleh Nyanyuk Amber.
"Ah,
tidak. Anu Nyanyuk. Bukan kepala siapa-siapa. Tapi kepala ambo yang
dibawa…" jawab Saringgih lalu cepatcepat meninggalkan tempat itu sambil
tersenyum-senyum.
*******************
4
Menjelang
matahari tenggelam perahu yang didayung Saringgih sampal di pulau tujuan. Di
bagian air lout yang dangkal pembantu itu melompat turun lalu mendorong perahu
ke pasir pantai.
"Kita
sudah sampai Nyanyuk… "
"Aku
tahu. Apa yang kau lihat sekitar tempat ini, Saringgih?"
Si
pembantu memandang berkeliling. "Laut, pantai, sang surya yang hendak
tenggelam, pepohonan, batu-batu karang…"
"Hanya
itu…?!" ujar Nyanyuk Amber. "Kedua mataku tidak melihat karena buta.
Tapi kau tidak melihat sesuatu yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol
Saringgih! Buka matamu lebar-lebar!"
Saringgih
memandang lagi berkeliling. "Ah, orang tua ini memang benar, mengapa aku
sampai tidak melihatnya tadi," kata pembantu itu dalam hati. "Saya
memang melihat sesuatu Nyanyuk. Ada tiga… Tidak… Bukan tiga tapi ada empat buah
perahu kecil jauh di sebelah sana…"
Nyanyuk
Amber usap-usap dagunya. "Ada empat perahu di pantai sini. Berarti keempat
penyewa perahu itu memang telah sampal di sini. Tapi tak pernah kembali ke
pulau besar. Mereka raib secara aneh."
"Kita
perlu berhati-hati Nyanyuk…"
"Betul.
Karena itu buka matamu lebar-lebar. Apakah kau ada melihat jejak-jejak kaki di
pasir pantai?"
"Tak
dapat saya pastikan Nyanyuk. Kita harus menyelidiki ke dekat empat perahu
itu…"
"Dukung
aku ke sana!"
Saringgih
lalu mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya melangkah ke tempat empat perahu
yang berada di tempat pasir pulau.
"Nah
sekarang katakan apa yang kau lihat!"
"Ada
empat perahu di bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang dua di depan kita, dua lainnya
tak jauh di sebelah sana."
"Berarti,
dua perahu yang pertama datang bersamaan. Dua perahu lainnya berbeda waktu… Apa
lagi Saringgih?"
"Di
atas pasir memang kelihatan ada legukan-legukan. Tapi tidak begitu jelas apakah
bekas jejak manusia atau jejak kaki binatang…"
Nyanyuk
Amber mengangguk. Dia mendongak ke langit beberapa saat. Hidungnya menghirup
udara laut dalamdalam. Tercium udara yang mengandung garam. Namun indera yang
tajam dari orang tua ini juga membaui sesuatu. Dia berpaling ke deretan
pohon-pohon lalu barkata, "Kita masuk ke dalam pulau Saringgih. Melangkah
saja luruslurus ke depan. Jangan membelok. Jangan berhenti sebelum aku memberi
tanda…"
"Tidakkah
sebaiknya kita makan dulu di sini Nyanyuk? Persediaan makanan kita masih
banyak…"
"Pikiranmu
tidak lain ke perut saja Saringgih. Dasar gadang lambuang! kau boleh makan
sambil mendukungku!" kata Nyanyuk Amber pula.
Makin
jauh mereka masuk ke dalam pulau kecil itu semakin berkurang kencangnya tiupan
angin laut. Udara pun tidak mengandung garam lagi. Namun ada sesuatu yang
mencucuk liang hidung dan rongga pernafasan kedua orang itu.
"Kau
mencium bau sesuatu Saringgih?" bertanya Nyanyuk Amber.
"Betul
Nyanyuk. Bau busuk… " jawab si pembantu. Saat itu sebenarnya dia sudah
keletihan mendukung orang tua itu di punggungnya tapi dia tak berani
mengatakan.
"Bau
busuk yang berasal dari apa menurutmu Saringgih?" bertanya lagi Nyanyuk
Amber.
"Sulit
diterka, Nyanyuk. Mungkin itu berasal dari bangkai binatang…"
"Kau
betul," berkata Nyanyuk Amber. "Itu memang bau bangkai binatang.
Binatang berkaki dua!"
"Maksud
Nyanyuk…?"
"Maksudku
adalah bau bangkai manusia! Kau tahu, bangkai manusia adalah yang paling busuk
dari segala bangkai yang ada di dunia ini!"
Saringgih
hentikan langkahnya.
"Jangan-jangan
itu adalah bangkai orang-orang yang menyewa perahu…"
"Kukira
begitu. Jalan terus Saringgih. Kita akan segera melihat sesuatu. Agaknya hari
mulai gelap. Buka matamu lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak mau
tersungkur ke tanah karena ketololanmu!"
Saringgih
melangkah terus sambil mendukung si orang tua di punggungnya. Dia melewati
sebuah mata air jernih dan sejuk. Tenggorokannya yang kering membuat dia ingin
sekali berhenti sebentar, meneguk air membasahi rangkungan dan juga membasahi
mukanya yang saat itu terasa tebal akibat seharian penuh disapu angin laut.
"Jalan
terus Saringgih! Kalau aku tidak bilang berhenti, jangan berani berhenti!"
Terdengar
suara Nyanyuk Amber dekat telinga Saringgih. Pembantu ini diam-diam mengomel
dalam hati. "Orang tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam
benakku!"
Melanjutkan
perjalanan di sela-sela pepohonan dan semak belukar sekitar seratus langkah
lebih di mana bau busuk tercium semakin santar sementara keadaan tambah gelap,
mendadak sontak Saringgih hentikan langkahnya. Orang tua yang dipunggungnya
hampir terlepas dari pegangannya.
"Saringgih!
Kau berhenti melangkah tanpa perintahku! Dadamu berdebar keras. Kedua lututmu
terasa goyah. Kudukmu terasa dingin. Apa yang kau lihat di depan matamu?!"
Nyanyuk Amber cepat ajukan pertanyaan.
Saat itu
memang Saringgih merasakan jantungnya berdebar keras, sepasang lutut goyah dan
tengkuk, merinding dingin sedang sepasang matanya membeliak kasar. Dia hendak
menjawab namun sesaat lidahnya terasa kelu.
"Cepat
katakan apa yang kau lihat Saringgih! Keselamatan kita di tempat asing ini
banyak tergantung dari cepat lambatnya kau memberi tahu aku!"
"Nyanyuk…
di depan kita ada lapangan kecil…"
"Kantuik!
Persetan dengan tanah lapang itu! Pasti ada hal lain yang lebih penting dari
tanah lapang sialan itu!"
"Kau…
kau benar Nyanyuk. Di ujung lapangan ada dua buah kuburan. Satu pakai batu
nisan hitam, satunya tidak. Tapi… di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada
masing-masing lima tiang kayu. Pada empat tiang, dua di kiri dua di kanan
terikat sesosok mayat. Rusak, busuk, mulai berbelatungan…"
"Ada
yang kau kenali diantara keempat mayat itu?"
"Sulit
Nyanyuk. Wajah mereka tertutup darah mengering dan sudah sangat rusak..:"
"Melangkah
lebih dekat. Perhatikan apa yang menyebabkan kematian mereka. Diracun, ditusuk
senjata tajam atau terkena pukulan sakti…"
Sambil
mendukung Nyanyuk Amber, Saringgih melangkah lebih dekat ke arah kedua makam.
Dibukanya matanya besar-besar. Selain sulit untuk meneliti sebab kematian
keempat orang diikat tegak ketiang kayu itu, juga saat itu hari bertambah
gelap.
"Keempat
orang ini agaknya menemui kematian dalam cara yang sama Nyanyuk. Muka mereka
bersimbah darah…"
"Berarti
sebab musabab kematian ada pada bagian kepala. Ayo kau perhatikan lagi lebih
teliti…"
Untuk
bisa melihat lebih jelas terpaksa Saringgih maju lagi dua langkah padahal saat
itu perutnya sudah mau meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera bau
busuk yang luar biasa.
"Nyanyuk…
Ambo melihat ada lobang kecil sebesar ujung jari pada setiap kening
mayat…" kata Saringgih ketika pada akhirnya dia melihat lobang-lobang aneh
dalam ukuran dan bentuk yang bersamaan pada kening masing-masing mayat!
"Bagus
Saringgih. Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri keempat orang itu, termasuk
pakaiannya lalu katakan padaku. Siapa tahu aku bisa menduga siapa-siapa mereka
yang menemui ajal secara aneh di pulau ini!"
"Sulit
diberi tahu Nyanyuk. Soalnya keempat mayat sudah sangat rusak. Pakaian
merekapun sudah tidak karuan lagi. Tapi, ambo melihat ada tiga buah senjata
tergeletak di tanah. Kelihatannya bukan senjata-senjata sembarangan."
"Coba
kau ceritakan senjata apa yang kau lihat itu!"
"Yang
di sebelah kanan terletak di depan kaki mayat, berupa sebuah tombak pendek
bermata dua…" menerangkan Saringgih.
"Tongkat
pendek bermata dua… Hemmmmmm." berguman Nyanyuk Amber. "Bagian bawah
tempat pegangannya dilapisi kulit…"
"Betul
Nyanyuk…"
"Itu
adalah Tombak Dwi Sula dari Banten! Berarti mayat di depan senjata ini adalah
mayat Kiyai Surah Ungu! Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari
keraton!"
Nyanyuk
Amber terdiam sesaat lalu, "Ceritakan tentang senjata yang kedua…"
katanya.
"Sebilah
badik Nyanyuk. Berwarna kuning legam. Mungkin terbuat dari emas…"
"Kuning
sampai ke hulunya?" tanya Nyanyuk Amber.
Ketika
Saringgih membenarkan, wajah tua cekung itu nampak menjadi kelam.
"Pendekar Badik Emas dari Bugis ternyata telah jadi korban pula,"
kata si orang tua perlahan. "Lalu apa senjata yang ke tiga
Saringgih?"
"Sebilah
keris bergagang gading…"
"Hemm…
Tak bisa kuduga siapa pemiliknya. Tapi senjata ini biasanya merupakan senjata
andalan orang-orang penting Istana Gading di pesisir selatan! Sulit diduga apa
sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi kau bilang ada dua makam
di ujung lapangan."
"Benar
Nyanyuk…"
"Satu
ada batu nisan hitam. Satunya tanpa nisan…"
"Betul
Nyanyuk."
"Apa
yang tertulis pada makam yang ada batu nisannya?" bertanya lagi Nyanyuk
Amber.
Saringgih
majukan kepalanya sedikit untuk dapat membaca guratan pada batu nisan.
"Disini hanya tertulis Tua Gila. Tak ada tulisan lain …"
"Ada…
bagiku itu sudah cukup. Ternyata benar telah terjadi sesuatu atas diri
sabahatku. Tua Gila aku tidak menyangka kau bakal mendahuluiku…" Untuk
beberapa lamanya Nyanyuk Amber termenung larut dalam kesedihan.
"Tak
ada tanda-tanda pada makam yang katamu tidak bernisan itu, Saringgih?" Si
orang tua kemudian ajukan pertanyaan.
"Sama
sekali tidak ada. Namun seperti kuburannya Tua Gila, kubur satu inipun tanahnya
masih merah…"
"Aneh.
Siapa yang dikubur disamping kuburnya Tua Gila? Istrinya…? Setahuku dia tidak
beristri! Muridnya? Hemmm…? Aku memang pernah mendengar Tua Gila mengambil
seorang murid. Tapi masih sangat kecil. Paling tidak usia muridnya itu baru
sekitar enam tahun. Lalu di mana anak itu? Di dalam kubur yang satu ini…?
Saringgih, kubur tanpa nisan itu apakah sama besar dengan makam Tua Gila? Atau
lebih kecil?"
"Sama
besar Nyanyuk…" sahut Saringgih.
"Berarti
ini makam orang gede! Ah, sulit kuduga siapa yang dikubur disini…" kata
Nyanyuk Amber lalu setelah diam sesaat orang tua ini berkata.
"Saringgih
kau ambil obat pelawan bau pusuk yang ada dalam saku baju celanaku sebelah
kanan. Teteskan cairan yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat. Setelah itu
kembalikan obat itu padaku…"
Si
pembantu merogoh saku kanan Nyanyuk Amber. Di saku ini ditemuinya sebuah botol
kecil. Botol ini berisi cairan berwarna coklat.
"Kau
pergi teteskan obat itu. Tapi lebih dahulu dudukkan aku di depan makam Tua
Gila. Aku ingin mengheningkan cipta dan berdoa…"
"Nyanyuk
terus terang sejak menginjakkan kaki di pulau ini hatiku merasa tidak enak.
Begitu selesai Nyanyuk berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan tempat
ini."
Nyanyuk
Amber tidak berkata apa-apa. Saringgih menundukkan mukanya di depan makam Tua
Gila lalu melangkah mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang. Dengan tengkuk
merinding ketakutan setengah mati dan sambil menekap hidung pembantu ini
teteskan cairan di dalam botol masing-masing satu tetes ke setiap kaki mayat
yang membusuk itu.
Begitu
cairan menyentuh kaki mayat, terdengar letupan…. Lalu mengepul asap coklat yang
perlahan-lahan naik ke atas menutupi sosok mayat. Sesaat kemudian asap itu
menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya asap
coklat, bau busuk yang menghampar di tempat itupun sirna perlahan-lahan.
"Obat
aneh…" kata Saringgih dalam hati sambil menutup botol kecil itu kembaii.
Pembantu ini tahu bahwa walaupun mempunyai daya pemusnah bau busuk yang ampuh
namun kekuatan obat itu hanya mampu bertahan selama satu hari satu malam.
Setelah itu bau busuk pasti akan muncul kembali.
Setelah
pembantunya memasukkan botol obat kembali itu dalam saku celananya, Nyanyuk
Amber mulai berdoa untuk arwah Tua Gila. Dalam berdoa seperti itu dia tiba-tiba
mencium bau sesuatu. Bau asap rokok. Meskipun hatinya kini menjadi tidak tenang
namun orang tua ini meneruskan juga membaca doa sampai selesai. Begitu selesai
dia bertanya. "Saringgih…! Aku tahu kau tidak merokok. Tetapi aneh, aku mencium
bau asap di tempat ini…"
"Ambo
juga menciumnya Nyanyuk," menyahuti si pembantu sambil memandang
berkeliling.
Tengkuknya
terasa lebih dingin.
"Aku
merasa ada mahluk bernafas disekitar tempat ini." kata Nyanyuk Amber yang
membuat Saringgih tambah merinding. "Aku juga mendengar ada suara
ketukarr-ketukan sangat halus. Seolah-olah datang dari perut pulau…"
"Nyanyuk,
bukankah lebih baik kita segera pergi saja dari sini?" kata Saringgih
pula.
"Diam
Saringgih… Aku mendengar ada suara sesuatu di kejauhan… Seperti suara
langkahlangkah kaki!"
Tiba-tiba
kedua orang itu sama-sama tercekat. Saringgih malah sampai tersentak saking
kagetnya. Suara raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan menggidikkan.
"Suara
anjing di pulau sekecil ini. Sungguh aneh…" kata Nyanyuk Amber seraya
memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Nyanyuk…"
kata Saringgih dengan suara bergetar. "Ambo bisa kencing di celana kalau
masih terus berada di tempat ini…"
"Kita
akan segera pergi. Tapi tunggu sampai aku memastikan bahwa yang kudengar
sebelum raungan anjing tadi adalah benar-benar suara kaki manusia…"
Kalau
saja bukan orang tua itu yang harus dijaga dan diikuti ucapannya mungkin saat
itu Saringgih sudah melompat dan lari meninggalkan tempat itu.
"Tak
ada suara apa-apa Nyanyuk. Pastilah…! Mungkin suara desau angin laut atau
gemerisik pepohonan yang tadi kau dengar… Bukan suara langkah kaki…"
"Aneh,
aku seperti yakin itu adalah suara langkah kaki. Telapaknya bergerak sangat
perlahan. Disengaja agar dimiringkan. Telinganya dipasang baik-baik."
Saringgih
kembali memandang berkeliling. Pertama sekali ke arah pepohonan dan semak
belukar dari jurusan mana tadi mereka datang. Tak kelihatan apa-apa. Lalu
pembantu ini mengalihkan pandangannya ke arah batubatu cadas hitam dan
batu-batu karang tinggi yang membentuk dinding setengah lingkaran di sebelah
kiri. Tepat ketika dia memandang di sebuah celah antara dua batu karang tinggi
mendadak dia melihat bayangan hitam besar bergerak.
"Nyanyuk…"
suara pembantu flu tersendat dan tercekat.
"Ada
apa Saringgih?"
"Ambo
melihat sesuatu. Ada sosok bayangan besar di celah batu karang di kiri kita
…."
"Itu
bayangan batu-batu karang saja agaknya Saringglh. Kenapa kau musti merasa
takut?"
"Tidak
Nyanyuk. Bayangan batu pasti diam. Tapi bayangan yang saya lihat bergerak
perlahan-lahan!
Nyanyuk!
Ada orang tinggi besar melangkah keluar dari celah batu karang!" seru
Saringgih dengan muka pucat.
*******************
5
Nyanyuk
Amber meskipun terkejut mendengar ucapan pembantunya itu namun tetap berlaku
tenang dan berkata. "Jangan takut. Tenang saja. Lekas beri tahu aku
ciri-ciri orang itu… Kalau dia memang manusia, bukannya setan!"
Kedua
mata Saringgih terpentang lebar kearah celah batu karang. Bayangan besar pada
batu bergerak terus.
Perlahan
tapi pasti. Lalu bayangan itu lenyap dan kini sebagal gantinya muncul sesosok
tubuh tinggi besar. Orang ini berewokan, mengenakan baju kuning serta sehelai
mantel panjang berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah topi tinggi.
"Apa
yang kau lihat Saringgih… Lekas katakan padaku!" desis Nyanyuk Amber.
Dengan suara tersendat-sendat pembantu itu segera mengatakan ciri-ciri orang
tinggi besar yang melangkah mendatangi itu. Dalam takutnya Saringgih melangkah
ke dekat Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok di depan sana keluarkan suara membentak
garang dan keras.
"Jangan
ada yang berani bergerak!"
Gerak
langkah Saringgih tertahan.
"Si…
siapa kau…?" Saringgih beranikan diri bertanya walau suaranya gagap.
"Budak!
Kau tak layak bertanya!" si tinggi besar membentak. Tujuh langkah dari
hadapan makam dia berhenti. Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih
duduk bersila di kaki makam Tua Gita. "Kakek buta! Apakah kau sudah
selesai berdoa?!"
Ditanya
sekasar itu Nyanyuk Amber batuk-batuk beberapa kali lalu balik bertanya,
"Siapa tanya siapa?!"
"Kurang
ajar! Aku tuan rumah di pulau ini! Aku yang layak bertanya!"
"Hemm,
aku tidak tahu kalau kau tuan rumah di pulau ini. Setahuku sahabatku Tua Gila
yang tinggal di sini…"
"Jadi…
Tua Gila sahabatmu, hah? Apakah kacungmu ini tidak mengatakan bahwa di sini ada
makam Tuan Gila yang menyatakan bahwa sahabatmu itu sudah mampus dan
dikubur?!"
Nyanyuk
Amber sunggingkan senyum. "Sebagai tuan rumah rupanya kau tidak pandai
bicara sopan dan lunak…"
"Pertu
apa bicara dengan manusia-manusia yang sebentar lagi akan jadi bangkai!" sentak
si tinggi besar. Dia bergerak maju satu langkah.
Nyanyuk
Amber tertawa mengekeh. Sebaliknya Saringgih menyumpah dalam hati.
"Gila!! Dalam keadaan seperti ini dia masih bisa tertawa seenaknya!"
"Semua
manusia pasti akan jadi bangkai. Itu sudah ketentuan Tuhan. Tapi bukan berarti
manusia bisa mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya! Cakapmu yang
sombong menyatakan bahwa kaulah yang telah membunuh keempat orang itu, lalu
mayatnya kau ikat di tiang!"
"Ha
…ha…ha! Matamu buta tapi banyak melihat! Apakah kau sadar kalau sebentar lagi
jumlah mayat akan bertambah menjadi enam? Kau dan kacungmu itu lalu akan
kuikat ke tiang-tiang kayu sana!"
"Bagus
kau telah memberi tahu!" sahut Nyanyuk Amber seenaknya. "Tua bangka
sepertiku memang tidak berguna lagi hidup di dunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu
apa yang ditakutkan menemui kematian?!"
Mendengar
ucapan Nyanyuk Amber itu kembali Saringgih menyumpah dalam hati. "Kau
tidak takut mati! Tapi aku masih kepingin hidup!"
"Kalau
kau memang sudah siap untuk mati berarti aku tidak terlalu susah payah
membunuhmu!" kata orang tinggi besar bertopi dan bermantel hitam.
"Tidak…
Kau tidak akan susah membunuh tua bangka sepertiku. Hanya saja sebelum mati aku
kepingin tahu mengapa kau menginginkan nyawaku? Juga nyawa keempat orang yang
kau bunuh terdahu!u!"
"Jawabnya
mudah dan singkat! Kutuk telah jatuh bahwa semua sahabat Tua Gila yang
menginjakkan kakinya di tempat ini akan menemui kematian! Mati di
tanganku!"
"Ah…
Kau ini malaikat maut jadi-jadian rupanya!" ujar Nyanyuk Amber. "Tapi
hari ini kau berhadapan dengan aku raja diraja segala malaikat jadi-jadian!
Lekas berlutut di hadapanku, terangkan siapa dirimu. Minta ampun dan bunuh
diri!"
Merah
padam wajah si tinggi besar bermantel hitam itu. Tangan kanannya dipukulkan ke
arah Nyanyuk Amber. Serangkum angin menderu menghajar orang tua itu. Saringgih
berseru memberi ingat.
Orang tua
bermata buta, bertangan dan berkaki buntung itu gerakkan bahu kanannya. Gerakan
ini menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya. Dari ujung lengan
jubah itu melesat keluar satu gelombang angin yang mengeluarkan suara
bersiuran. Dua angin dahsyat saling tabrak di udara.
Saringgih
melihat bagaimana bentrokan angin pukulan mengandung tenaga dalam tinggi itu
membuat Nyanyuk Amber terbanting jatuh punggung di tanah. Sebaliknya orang
bermantel hitam terjajar jauh ke belakang dan tersandar ke dinding karang.
"Kurang
ajar! Tingkat tenaga dalam tua bangka buruk itu tidak rendah. Kalau tidak
segera kuhantam dengan pukulan melumpuhkan, bisa-bisa aku mendapat celaka
sebelum menghabisi nyawanya!"
Orang ini
lalu menanggalkan mantelnya. Saringgih yang saat itu sudah melompat ke dekat
Nyanyuk Amber segera memberitahu apa yang dilihatnya.
"Saringgih,
kau menjauhlah. Cari perlindungan di balik pohon atau batu…"
"L.ebih
baik Nyanyuk saya dukung dan larikan dari sini saat ini juga!" kata
Saringgih.
"Kalau
kau mau selamat ikuti ucapanku!" si orang tua membentak halus. Mendengar
itu Saringgih tak berlaku ayal lagi. Dia melompat ke balik sebuah pohon.
Tepat pada
saat dia sampai dibaJik pohon, di depan sana orang bertubuh tinggi besar
kebutkan mantel hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads tanah
longsor. Bersamaan dengan itu satu gelombang angin laksana hantaman topan
menghampar ganas menebar hawa panas. Batu pasir berhamburan. Semak belukar
rambas. Tanah bergetar dan daun-daun pepohonan jatuh luruh, batang dan
cabang-cabangnya berderakderak!
Nyanyuk
Amber berseru keras. Dia kerahkan tenaga dalam penuh lalu goyangkan bahunya
kiri kanan. Dua gelombang angin melesat menyongsong gemuruh angin lawan. Namun
sambaran angin yang keluar dari mantel hitam lawan ternyata lebih dahsyat,
membuat orang tua cacat ini tak bisa bertahan. Dengan tubuh mandi keringat
karena berusaha menahan serangan lawan akhirnya Nyanyuk Amber terdorong lalu
terseret mental beberapa jauh.
Nyanyuk
Amber kini dapat membaca keadaan.
Dia
segera berteriak pada pembantunya.
"Saringgih!
Lekas lari ke perahu!"
"Nyanyuk!
Kau sendiri bagaimana… Ambo akan dukung kau. Kita lari sama-sama!" kata pembantu
yang setia itu.
Sambil
berguling-guling si orang tua berteriak. "Lakukan apa yang aku bilang!
Tunggu aku diperahu!"
Mendengar
ini Saringgih segera tancap diri, lari sekencang yang bisa dilakukannya menuju
perahu di tepi pantai.
Ketika
melihat lawan tersapu jauh oleh pukulan angin mantel hitamnya, si tinggi besar
gerakkan tangannya ke sebuah kantong di pinggang kiri. Ketika tangan itu
digerakkan ke depan, melesatlah dua buah benda hitam sebesar ujung jari
kelingking. Dalam gelapnya malam senjata rahasia berwarna hitam ini sulit untuk
dapat dilihat. Tapi telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada sesuatu
yang melesat ke arahnya dalam kegelapan malam.
Pada saat
tubuhnya dihantam angin dahsyat tadi dan menyadari bahwa dirinya tak bisa
bertahan, begitu tubuhnya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat
tubuhnya lalu gulingkan dirinya ke belakang. Tangan dan kakinya yang buntung
membuat tubuhnya bisa mengkerut menjadi bulat laksana sebuah bola. Hal ini
membuat daya gulingnya jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia
mendengar ada benda melesat ke arah kepalanya!
Nyanyuk
Amber tundukkan kepalanya ke bahu kanan. Mulutnya menarik sebatang senjata
rahasia berbentuk anak panah kecil yang tersisip di saku jubah pendek yang
dikenakannya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke tenggorokan, orang
tua ini meniup keras-keras.
Anak
panah perak itu melesat dalam kegelapan malam, memapas ke arah datangnya suara
berdesing. Sesaat kemudian terdengar suara berdentingan. Anak panah Nyanyuk Amber
berhasil menghantam benda bulat yang menyambar di udara. Walaupun anak panah
perak itu patah berantakan namun benda yang dihantamnya mental jauh hingga si
orang tua selamat dari hantaman senjata rahasia lawan yang diarahkan ke
keningnya! Nyanyuk Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinya sehingga
akhirnya dia sampai di tepi pasir.
Dengan
mengeluarkan suara menggereng geram si tinggi besar mengejar. Dia mengeruk lagi
kantong di pinggang kirinya lalu sambil lari dia hantamkan senjata rahasianya.
Untuk kedua kalinya pula Nyanyuk Amber menangkis dengan panah peraknya. Namun
sekali ini tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke arah
kepalanya. Dalam saat yang sangat berbahaya itu bahu Nyanyuk Amber menyerempet
gundukan batu. Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalu jatuhkan diri
di balik gundukan batu itu. Dia selamat. Senjata rahasia lawan Iewat seujung
kuku di atas kepalanya! Tanpa menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali
gulingkan diri di atas pasir.
Saringgih
yang menunggu di atas perahu berteriak keras.
"Nyanyuk!
Ambo di sini!"
Teriakan
ini sudah cukup bagi Nyanyuk Amber untuk mengetahui arah di mana pembantunya
berada. Orang tua ini lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itu melenting dan
mencelat di udara, jatuh tepat diatas perahu. Seringgih serta merta mendayung
perahu itu cepat-cepat ke tengah lautan.
Orang
tinggi besar menggeram keras. Dia berusaha iari mengejar masuk ke dalam laut
sampai tubuhnya tenggelam sebatas pinggang. Namun perahu yang dikayuh
Saringgih telah jauh ditengah. Dengan geram orang ini masih berusaha melepaskan
lagi satu senjata rahasia. Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam
bagian belakang perahu dan menancap di kayu perahu itu.
Kembali
orang ini menggeram.
"Kakek
cacat itu ternyata memiliki kepandaian hebat.
Baru dia
seorang yang sanggup menangkis serangan senjata rahasiaku! Aku belum pernah
melihatnya sebelumnya. Tapi dari ciri-cirinya… Jangan-jangan dia adalah
Nyanyuk Amber, tokoh silat dari puncak Singgalang, bekas guru Raja Rencong Dari
Utara! Kurang ajar! Mengapa tadi aku tidak menghantamnya dengan lima senjata
rahasia sekaligus! Kalau dia berani muncul lagi, tak akan kuberi ampun bangsat
tua itu!" Lalu sambil mengepalkan kedua tinjunya orang ini memutar tubuh
dan lenyap dalam kegelapan malam.
Sementara
itu di atas perahu.
"Manusia
itu luar biasa… Serangahnya ganas mematikan! Hampir saja aku benar-benar
hendak dibuatnya jadi bangkai!" kata Nyanyuk Amber seraya berusaha duduk
sementara perahu meluncur denan cepat. "Kita sudah cukup jauh ke tengah.
Manusia itu pasti tidak dapat lagi melihat kita. Sekarang putar arah perahu
ini, Saringgih!"
Tentu
saja si pembantu menjadi heran.
"Di
putar kemana Nyanyuk? Bukankah kita kembali ke pulau besar?"
"Tidak.
Kita kembali ke pulau itu!"
Saringgih
tersentak kaget dan hentikan mendayung perahu.
"Ambo
yang salah dengar atau Nyanyuk yang salah ucap?!"
"Kau
tidak salah dengar! Aku tidak salah ucap! Kita kembali ke pulau menyelinap
lewat arah selatan pada bagian yang berbatu-batu barang…"
"Nyanyuk!
Kau barusan saja lepas dari maut! Sekarang malah hendak kembali ke tempat
cilaka itu!"
"Saringgih
tugasku menyelidiki kematian sahabatku Tua Gila. Aku merasa ada sesuatu yang
aneh di balik kematiannya itu. Jika kau takut kembali ke pulau, antarkan saja
aku sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorang diri. Kau boleh
kembali ke Gunung Singgalang!"
Saringgih
jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. maka diapun menyahuti.
"Nyanyuk, kita pergi samasama. Pulangpun harus sama-sama…"
*******************
6
Karena
pulau itu tidak terlalu besar maka dalam waktu tak selang berapa lama perahu
yang dikayuh Saringgih telah sampai di bagian barat yaitu bagian yang pantainya
penuh dengan batu-batu karang tinggi diseling batu-batu cadas hitam. Saat itu
tengah terjadi pasang naik sehingga mereka bisa masuk jauh ke daratan.
Angin
laut menerpa bebatuan di sepanjang pantai menimbulkan suara aneh di telinga
Saringgih.
"Ceritakan
padaku keadaan di sekitar sini." kata Nyanyuk Amber begitu dia merasa
perahu mulai meluncur perlahan.
"Air
laut sedang pasang naik Nyanyuk. kita bisa masuk terus ke pedalaman pulau.
Pesisir di sini penuh dengan batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu
cadas hitam…"
"Bagus,
berarti kita sampai di arah yang tepat. Di bagian belakang kawasan makam Tua
Gila. Kau harus menyembunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita.
Dan jangan meninggalkan jejak atau tanda-tanda sedikitpun!"
Di celah
batu-batu besar hitam Saringgih menghentikan perahunya, lalu dia mendukung
Nyanyuk Amber turun ke darat.
"Nyanyuk,
ambo melihat ada lengkungan dalam salah satu dinding karang. Mungkin sekali
goa…"
"Bawa
dan tinggalkan aku disana. Lalu kau lekas cari tempat yang baik untuk
menyembunyikan perahu." kata Nyanyuk Amber pula.
Saringgih
mendukung orang tua itu menuju lengkungan batu. Ternyata lengkungan itu bukan
sebuah goa melainkan lengkungan biasa saja namun cukup besar untuk mereka
berdua.
Sebelum
Saringgih pergi mencari tempat untuk menyembunyikan perahu Nyanyuk Amber
meminta agar pembantunya itu mencari ranting-ranting dan semak belukar
sebanyak mungkin untuk menutupi bagian terbuka ruangan batu yang akan mereka
jadikan tempat bersembunyi sekaligus guna menghalangi kerasnya tiupan angin
dari laut.
"Nyanyuk,
apa kita benar-benar akan menuju makam Tua Gila malam ini juga?" bertanya
Saringgih sambil menancapkan ranting-ranting, serta belukar di depan legukan
batu karang.
"Aku
sudah memikirkan hal itu kembali. Malam ini kita tetap di sini saja. Kau tentu
letih, perlu istirahat dan tidur," jawab Nyanyuk Amber, "Besok saja,
kalau matahari telah terbit kita kembali ke lapangan yang ada dua makam
itu…"
Paginya
ketika matahari muncul dan pasang telah turun ternyata tempat mereka berada
cukup jauh dari pantai. Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Sebaliknya
seseorang yang datang dari arah pantai agak sulit melihat mereka karena ada
sebuah batu karang cukup tinggi menghalangi pemandangan.
"Nyanyuk,
kau ingin ambo mencari ikan dan membakarnya untuk sarapan pagi?" bertanya
Saringgih.
"Jangan
jadi orang tolol! Aku tak ingin mahluk yang katanya kini menguasai pulau ini
melihatmu. Membakar ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka itu
kemari!"
Saringgih
terdiam menyadari ketololannya sendiri. Dalam hati dia berkata " Alamat
akan kosong perutku pagi ini."
"Ada
hal lebih penting yang harus kita lakukan…"
"Hal
apa Nyanyuk?"
"Dukung
aku ke tempat kau menyembunyikan perahu."
Begitu
sampai di tempat perahu disembunyikan, yaitu dibalik sebuah batu karang lancip
orang tua itu minta diturunkan lalu pada pembantunya dia berkata.
"Malam
tadi salah sebuah senjata rahasia yang dilemparkan ke arah kita mengenai
bagian belakang perahu. Senjata rahasia itu pasti masih menancap disana. Coba
kau periksa!"
Saringgih
melakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk Amber. Sesaat kemudian terdengar
pembantu ini berkata. "Kau betul Nyanyuk. Ada bagian kayu perahu yang
berlobang tetapi tidak sampai tembus. Sebuah benda bulat menancap di dalamnya.
Ambo sudah berusaha mencungkil, tapi sulit sekali…"
"Kalau
kau cungkil dengan mulut atau jari tanganmu tentu saja sulit, Saringgih.
Pergunakan ujung kerismu!"
"Nyanyuk,
keris Pusako Dewa milikku bukan senjata sembarangan. Masakan dipakai untuk
mencungkil…"
Nyanyuk
Amber cepat memotong kata-kata pembantunya itu. "Benda yang hendak kau
cungkil juga bukan senjata sembarangan Saringgih! Paling tidak senjata seperti
itu telah menewaskan empat tokoh yang kau lihat telah jadi mayat itu! Bahkan
nyaris membunuhku! Keluarkan kerismu dan cungkil senjata rahasia itu dengan
hatihati!"
Saringgih
tak bisa berkata apa-apa lagi. Dikeluarkannya keris pusaka yang terselip di
pinggangnya lalu dengan ujung senjata ini dia mulai mencungkil benda yang
menancap di kayu belakang perahu. Setelah beberapa lama terdengar suara
pembantu itu berkata.
"Ambo
berhasil mencungkil senjata rahasia ini, Nyanyuk! Bentuknya seperti
kelereng…"
"Kelereng…?"
mengulang Nyanyuk Amber.
Dengan
tangan gemetar si pembantu menggenggamnya lalu memegang-megang benda bulat itu
dengan ujung jarinya. Benda bulat terasa licin dan besarnya seujung jari
kelingking.
"Hemmm…"
Nyanyuk Amber bergumam, Otaknya bekerja keras untuk menerka senjata rahasia
yang dikatakan Saringgih itu. Lalu dia bertanya. "Saringgih, katakan
padaku apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari kelereng ini?"
"Hitam
legam. Mengeluarkan sinar redup menggidikkan!" sahut Saringgih.
Paras
orang tua bermata buta itu berubah.
"Mutiara
Setan…" desisnya. "Pasti ini Mutiara Setan! Senjata ini tidak
beracun. Tetapi sekali menancap di tubuh manusia dia akan bergerak menutup
jalan darah, menembus dan menghancurkan urat-urat besar hingga korban tak
mungkin ditolong. Apalagi kalau sampai menembus kepala. Korban pasti akan mati
seketika! Itulah yang terjadi dengan empat tokoh silat yang sekarang telah
menjadi mayat!"
"Nyanyuk,
kalau kau sudah tahu nama senjata rahasia itu berarti kau juga tahu siapa
pemiliknya," berkata Saringgih.
Si orang
tua mengangguk. "Kita harus hati-hati. Sangat hati-hati. Manusia yang kita
hadapi saat ini sejahat iblis selicik setan!"
"Siapa
orangnya. Nyanyuk?" tanya Saringgih ingin tahu.
"Nanti
saja kau lihat sendiri. Kita berangkat sekarang!"
Walaupun
masih ingin berlama-lama di tempat itu namun Saringgih tak bisa membantah, Dia
jongkok di hadapan si orang tua. Ketika dia siap untuk mendukung tiba-tiba
Saringgih melihat sesuatu di tengah taut.
"Nyanyuk,
ada perahu sedang menuju ke arah pulau…"
"Pasti
sahabat yang hendak menziarahi makam Tua Gila. Ada beberapa orang kau lihat di
atas perahu?"
"Masih
terlalu jauh. Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma satu orang…"
"Tunggu
saja beberapa saat lagi. Begitu perahu mendarat kau lekas katakan ciri-ciri
orang yang datang."
Saringgih
menunggu. Sesaat demi sesaat perahu di tengah taut semakin mendekat ke pulau
dan akhirnya berhenti tertahan di pasir pantai. Penumpangnya melompat turun ke
pasir lalu menyeret perahunya ke dekat sebuah batu. Seutas tali yang terikat
pada ujung perahu dilibatlibatkannya ke batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang
ini tampak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu menggeliat beberapa
kali. Sambil bersiul-siul dia melangkah meninggalkan pantai.
"Saringgih
lekas katakan siapa orang yang barusan datang itu! Dan tengah menuju ke mana
dia!"
"Ambo
tak kenal. Belum pernah melihatnya sebelumnya. Orangnya masih muda Nyanyuk.
Berpakaian serba putih. Ikat kepalanya juga putih. Rambutnya menjulai gondrong.
Dia melangkah seenaknya. Sambil bersiul-siul. Agaknya dia tidak tahu malapetaka
apa yang bisa menimpa dirinya di pulau ini! Saat ini dia melangkah terus
memasuki pulau. Dia melompati batu-batu besar dengan gerakan enteng"
"Pakaian
putih ikat kepala putih. Rambut gondrong. Berjalan seenaknya malah sambil
bersiul-siul!" Nyanyuk Amber mengulangi ucapan pembantunya tadi. Otaknya
bekerja keras mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulutnya yang
kempot tersenyum. Lalu orang tua ini segera hendak berteriak menyebut nama
orang itu. Namun begitu dia sadar terlakannya pasti akan didengar orang tinggi
besar di dalam pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan mulutnya rapat-rapat.
"Lekas
kita susul pemuda itu!" katanya pada pembantunya.
Namun
saat itu tiba-tiba saja angin bertiup sangat kencang. Langit di atas pulau dan
taut di sekitarnya ditutup gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta
menjadi gelap. Lalu terdengar guntur menyambar. Di tengah laut kilat bersabung
sambar menyambar.
"Celaka
Nyanyuk! Badai menyerang pulau ini!" teriak Saringgih lalu cepat-cepat
berpegangan pada dinding batu di samping agar tidak terpental di hantam angin.
"Siapa
takutkan badai. Lekas dukung aku dan susul pemuda tadi!" kata Nyanyuk
Amber keras-keras di antara deru angin yang menggelegar.
Saringgih
terpaksa segera mendukung orang tua itu. Namun ketika dia baru saja melangkah
keluar dari legukan batu, satu sambaran angin melabrak dengan keras. Saringgih
dan Nyanyuk Amber terpelanting ke dalam legukan lalu sama-sama jatuh ke tanah.
Nyanyuk Amber terdengar menyerapah sedang Saringgih meringis kesakitan sambil
memegangi baglan keningnya yang benjol terantuk dinding batu.
*******************
7
Pendekar
212 Wiro Sableng lunjurkan kedua kakinya di lantai perahu, berhenti mendayung
dan membiarkan perahu itu meluncur dihanyutkan gelombang ke arah pantai.
Semakin dekat ke pantai pulau semakin jelas kelihatan barisan batu-batu karang
dan batu-batu cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini memandang tak berkesip pada dua buah batu karang yang menjulang
lancip ke udara dan paling tinggi diantara batu-batu karang yang terdapat di
teluk sempit di pulau itu. Ingatannya kembali pada masa beberapa tahun silam
ketika dia digembleng secara ganas oleh kakek sakti bergelar Tua Gila.
Waktu itu
sore hari. Air laut sedang pasang naik. Dia dibawa ke teluk. Tubuhnya diikat
dengan sejenis benang sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan. Lalu
dia disuruh memanjat naik ke puncak salah satu batu karang yang tinggi terjal
itu. Tua Gila sendiri kemudian naik ke atas batu karang yang satu lagi.
Berulang kali tubuh Pendekar 212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap kali
tubuhnya terlempar Tua Gila menyentakkan benang sakti yang dipegangnya hingga
Wiro kembali terlempar ke puncak karang. Dengan susah payah akhirnya Wiro
berhasil tegak di atas batu karang itu namun saat itu dia sudah sampai pada
batas kekuatannya. Darah keluar dari mata, hidung dan telinganya dan akhirnya
pendekar ini jatuh pingsan tidak sadarkan diri lagi. Dikemudian hari Wiro baru
maklum bahwa apa yang dilakukan Tua Gila atas dirinya menjadi dasar ilmu silat
tangguh yang tak ada tandingannya yang kemudian diajarkan kepadanya yaitu Ilmu
Silat Orang Gila.
Kini
setelah bertahun-tahun dari kejauhan dia dapat melihat dua puncak karang tidak
beds seperti keadaannya dulu. Luapan rasa gembira tercermin di wajah sang
pendekar. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan Tua Gila, manusia aneh bermulut
kasar tetapi berhati polos. Rupanya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi
dengan orang tua itu.
Begitu
bagian bawah perahu bergeser dengan pasir Wiro segera melompat turun. Perahu
itu diseretnya ke darat lalu dilkatkannya ke sebuah batu. Di tepi pantai Wiro
tegak sejenak, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menghirup Wars
dalam-dalam dan menggeliatkan badannya beberapa kali.
Lalu
dengan setengah berlari dia masuk kebagian dalam pulau melewati daerah
berbatu-batu. Pada saat itulah udara tiba-tiba menjadi gelap. Mendung tebal
menyungkup pulau. Angin kencong bertiup dahsyat. Guruh menggelegar dan kilat
sabung menyabung.
"Badai
celaka!" maki Pendekar 212 Wiro Sableng dan terus lari bahkan kini sambil
berteriak. "Tua Gila! Aku dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang
menyambangimu!"
Namun
suara teriakan Wiro itu tenggelam diteIan gelegar guntur dan deru badai yang
amat keras. Pendekar itu berjalan terus walaupun tersaruk-saruk karena gelapnya
udara yang tidak beda dengan kepekatan malam.
"Tua
Gila! Aku Wiro Sableng datang! Tua Gila!" kembali Wiro berteriak. Dia
bergerak di antara lamping-lamping batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas
besar dan akhirnya sampal di satu tempat terbuka yaitu lapangan kecil di mana
terletak dua makam.
Murid
Sinto Gendeng ini hendak berteriak kembali memanggil Tua Gila namun mulutnya
serta merta terkunci ketika tiba-tiba di bawah hujan lebat dan tiupan angin
keras serta gelapnya udara dia melihat empat sosok tubuh yang telah jadi mayat
dan sangat rusak terikat pada empat tiang kayu.
"Astaga!
Aku belum sampal ke neraka! Mengapa pemandangan mengerikan begini bisa ada dl
pulau ini! Gila dan aneh! Mayat rusak begitu mengapa tidak berbau busuk?"
Tentu saja sang pendekar tidak tahu kalau Nyanyuk Amber telah meneteskan
sejenis cairan yang mampu melenyapkan bau busuk untuk beberapa waktu lamanya.
Belum habis keterkejutan murid Eyang Sinto Gendeng itu, pandangan matanya
kemudian membentur duo buah makam yang terletak di depan tiang-tiang kematian!
"Eh,
kuburan siapa ini…?" bertanya Pendekar 212 dalam hati. Mendadak saja dia
menjadi merasa tidak enak. "Jangan-jangan orang tua itu…"
Wiro
melompat ke hadapan makam bernisan batu hitam. Dia berputar untuk dapat melihat
guratan tulisan yang ada dibatu itu.
"Tua
Gila…!" desis Wiro ketika samar-samar dia dapat membaca tulisan yang
tergurat di atas batu nisan. Tubuhnya terasa lemas dan pendekar ini langsung
jatuh berlutut di samping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. "Orang tua…
Kenapa kau pergi begitu cepat…" Wiro menutup mukanya dengan kedua tangan
lalu mengusap wajahnya yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan
hitam murid Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini baru disadarinya bahwa
tanah makam itu masih merah. Begitu juga tanah kubur yang disebelahnya. Lalu
dia melihat pula keanehan lain itu.
"Mengapa
kubur yang satu ini tidak ada batu nisan?
Kubur
siapa pula ini.?" Wiro coba menduga-duga. Dia ingat pada anak kecil
berusia dua tahun lalu yang kemudian diambil murid oleh Tua Gila.
Jika anak
itu masih hidup uslanya sekarang sekitar enam tahun. Dimana anak Itu kini?
Apakah kubur yang satu ini kuburannya?
"Tanah
kubur masih merah. Berarti duo jenazah yang ada di sini belum lama dimakamkan.
Lalu siapa yang menguburkan mereka?"
Wiro
menatapi kedua makam itu lama-lama. Kemudian dia melihat ada kabut tipis di
sekitar makam.
"Aneh,
setahuku tak pernah ada kabut di pulau inil"
Hujan
menders deras. Apa yang disangkakan Wiro sebagai kabut itu lenyap. Kini tinggal
bau sesuatu yang merasuk hidungnya. "Sepertinya yang kulihat tadi bukan
kabut. Tapi asap… Ada bau rokok sekitar tempat init" Wiro memandang
berkeliling. "Aneh… Setan atau jin lautkah yang merokok.. . ?°
Tak lama
setelah asap lenyap, bau rokokpun ikut sirna. Lalu lapat-lapat, seolah-olah
datang dari suatu terowongan jauh di perut bumi Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng mendengar suara ketukan-ketukan sangat halus. Semula dia
menyangka telinganya salah dengar. Namun ketika diperhatikannya baik-baik,
diantara deru badai memang ada suara ketukan halus terdengar beberapa kali. Lenyap
sebentar lalu terdengar lagi.
Murid
Sinto Gendeng menggeser tubuhnya lebih dekat ke makam. Lalu perlahan-lahan
telinga kirinya didekatkan ke batu nisan hitam. Kembali terdengar suara
ketukan. Lewat batu nisan itu kini matah ketukan itu terdengar lebih jelas.
Wiro mengorek sebuah batu kecil. Dengan batu itu dia mengetuk batu nisan hitam
beberapa kali. Suara ketukan yang tadi lenyap kini terdengar lagi. Lalu diam.
Wiro mengetuk lebih keras. Seperti dibalas dia mendengar jawaban suara ketukan.
Ketika Wiro hendak mengetuk sekali lagi, saat itulah dia melihat dalam
kegelapan sepasang kaki berkasut kulit sampai sebatas lutut melangkah di atas
tanah yang becek. Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan getaran di tanah.
Wiro angkat kepala Pendekar 212 melengak kaget ketika melihat satu sosok tubuh
tinggi besar bermantel hitarri tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Orang ini
bermuka panjang yang tertutup kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi.
Sepasang matanya sangat besar. Desauan nafas yang keluar dari mulutnya seperti
suara gerengan harimau. Di ketiak kirinya orang tinggi besar ini mengepit
sebuah benda hitam.
Tiba-tiba
orang ini menyeringai. Mulutnya terbuka. Kelihatan gigi-giginya yang besar
serta taring seperti harimau. Seringai lenyap. Dari mulut orang ini kini keluar
suara tawa berkakakan.
"Manusia
kutuk sumpah! Akhirnya kau datang juga! Ha… ha… ha …. Sahabatmu Tua Gila memang
sudah lama menunggu! Ha… ha… ha…!"
Perlahan-lahan
Wiro bangkit berdiri.
"Siapa
kau?!" Wiro membentak.
Yang
ditanya menjawab dengan tawa bergelak. Lalu benda hitam yang sejak tadi di
kempitnya diturunkan dan secepat kilat ditancapkannya di bagian kepala makam di
samping makam Tua Gila. Ternyata benda yang ditancapkannya itu adalah sebuah
batu nisan yang bentuk dan ukurannya sama dengan nisan yang ada di makam Tua
Gila!
Menurut
taksiran Wiro batu hitam itu beratnya puluhan kati. Orang bermantel sanggup
menancapkannya sampai setengahnya berarti dia memiliki kekuatan luar biasa!
Makam
yang tadi tidak bernisan itu kini lengkap sudafi dengan batu nisannya!
Sepasang
mata Pendekar 212 membelalak ketika melihat nama yang tergurat di atas batu
nisan. Ternyata itu adalah namanya sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu
adalah kuburannya sendiri!
Orang
bermantel hitam masih tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan terdengar
ucapannya "Bagus, kau telah datang untuk melihat makammu sendiri!"
Dengan kaki kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah batu yang
menonjol di dekat kepala nisan. Terdengar suara berdesir. Lalu terjadilah hal
yang aneh. Tanah kuburan yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan
kelihatan terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya adalah sebuah
batu tebal empat persegi panjang yang tidak beda dengan sebuah pintu penutup!
Ketika
besi penutup terbuka lebar Wiro melirik ke bawah. Dalam gelap dia dapat melihat
lobang kosong itu berdinding dan bertantai batu tebal. Sebuah pipa kecil aneh
terdapat dibagian bawah besi penutup.
"Liang
kuburmu sudah kusediakan Pendekar 212! Kau mau masuk secara baik-baik atau
perlu aku bantu menggotongmu ke dalam?!"
"Bangsat
keparat ini tidak bersenda gurau!" kata Wiro dalam hati. Dia melirik ke
makam di sebelah kiri. Rahangnya menggembung. "Berarti kau juga yang
telah memasukkan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!"
katanya menuduh.
"Ha
…ha… ha…! Dugaanmu tepat…"
"Di
mana murid Tua Gila yang berusia enam tahun? Apa kau pendam juga di makam
ini?!"
"Untuk
sementara anak itu ada di bawah kekuasaanku. Nyawanya tergantung pada gurunya
si Tua Gila. Ha… ha… ha… Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu
senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 padaku. Lemparkan senjata itu
kehadapanku. Juga berikan padaku buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Jangan coba
membangkang apa lagi melawan. Aku bisa membunuhmu secepat aku membalikkan
telapak tangan! kapak dan buku itu! Lekas!"
"Hujan
begini deras. Badai melanda begini hebat! Tapi belum pernah aku melihat orang
yang gilanya sehebatmu! Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik
muridnya! Kini menyuruh aku masuk ke dalam liang kubur! Malah mengemis dulu
minta senjata dan buku!"
"Mulutmu
pandai bicara! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara kalu mulutmu itu sudah
kurobek!"
Tiba-tiba
orang bermantel putar tubuhnya sambil memukulkan kedua tangannya sekaligus ke
depan. Dua gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto Gendeng.
Tubuh pendekar ini terdorong ke arah lobang kubur.
Wiro
membentak keras lalu cepat menghantam dengan pukulan Tameng sakti menerpa
hujan.
*******************
8
ORANG
bertopi tinggi berseru kaget ketika melihat bagaimana serangan balasan lawan
bukan saja membuyarkan hantamannya tetapi juga membuat kedua kakinya goyang
bergetar. Dia menyeka mukanya yang basah oleh air hujan dengan tangan kiri lalu
mencoba menyergap Wiro dengan satu lompatan.
Pendekar
212 sambut serangan lawan dengan jotosan ke arah perut. Jotosan itu mendarat di
sasarannya dengan telak tapi si tinggi besar tidak bergeming sedikitpun. Malah
dia menyeringai memperlihatkan taringnya. Wiro membuat gerakan berputar
setengah lingkaran. Laksana kilat kaki kanannya melesat ke atas.
Bukkk!
Kaki
kanan itu menghantam rahang lawan dengan keras, membuat orang itu terpelanting
dan jatuh terbanting di tanah yang becek. Paling tidak pasti tulang rahangnya
pecah, begitu Wiro berpikir. Tapi murid Sinto Gendeng ini jadi tercengang
ketika dilihatnya orang itu berdiri kembali tanpa menunjukkan rasa sakit
apalagi cidera. Hanya topi tingginya yang lepas dan jatuh ke tanah. Kelihatan
rambutnya yang panjang lebat riap-riapan, dan basah oleh air hujan.
Dengan tenang
dia mengambil topinya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk menendang ke
arah kepala. Dari mulut si tinggi besar terdengar suara menggereng. Lalu tangan
kirinya bergerak cepat menangkap pergelangan kaki Wiro yang menendang. Begitu
tertangkap orang ini membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuh Pendekar 212
sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan ke bawah. Tubuh pendekar itu jatuh
tepat di dalam liang kubur.
Sambil
menyeringai si tinggi besar melompat hendak menekan batu di kepala makam.
Maksudnya segera hendak menurunkan batu tebal penutup kuburan. Wiro yang tahu
apa artinya kalau dia sampai terperangkap di datam liang kubur itu segerar
melompat sambil lepaskan pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir
padi Berputar. Tangan kanannya menabas pergelangan kaki lawan yang hendak
menekan batu rahasia. Melihat serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi
besar cepat melompat selamatkan diri. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh
Wiro untuk melompat keluar dari dalam kuburan.
Di bawah hujan
lebat dan badai kedua orang itu kembali berhadap-hadapan. Sesast keduanya
berputarputar. Wiro membuka serangan dengan jurus kepala naga menyusup awan.
L.engan kanannya berkelebat ke atasseperti hendak menghajar dagu tetapi disaat
yang sama jotosan kanan menyusup ke arah dada lawan.
Yang
diserang keluarkan suara mendengus. TUbuhnya berkelebat ke kiri. Dua tangannya
disilangkan. Begitu silangan dibuka maka tangan kanan Wiro terjepit diantara
kedua lengannya laksana jepitan besi! Selagi Pendekar 212 berusaha melepaskan
jepitan itu kaki kanan lawan menderu menghantam perutnya.
Murid
Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak. Sebelum
dia bisa berdiri dengan benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali pendekar
ini terpental. Hidungnya mengucurkan darah sedang mata kirinya lebam membiru.
Si tinggi
besar keluarkan suara tawa bergerak dan mendekati Wiro dengan kedua tangan
terpentang. Baru lawan sempat maju dua langkah Wiro segera sambut dengan jurus
segulung ombak menerpa karang. Serangan ini dibuka dengan satu tendangan
tipuan, ketika lawan mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan
kiri membabat ke leher.
"Serangan
tak berguna! Terima pukulanku!" ejek lawan lalu cepat sekali tangan
kanannya melesat ke dada Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput.
Jotosan lawan menghantam dadanya dengan telak. Pendekar 212 terbanting jatuh
punggung di tanah. Dari mulutnya kelihatan ada darah keluar. Tulang-tulangnya
serasa berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya wiro segera menimbun
seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu sebatas lengan sampal ke
ujung-ujung jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara yang tadi
dingin berubah menjadi panas.
Si tinggi
besar mengekeh.
"Aku
mau lihat pukulan sinar matahari yang terkenal itu!" katanya mengejek lalu
tegak berkacak pinggang.
"Leleh
tubuhmu!" teriak Wiro seraya menghantam.
Sinar
putih berkilat. Hawa panas menghampar. Si tinggi besar masih tegak bertolak
pinggang. Malah kini kembali keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba dia
menggerakkan kedua tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke depan dan
didorongkan perlahan saja. Ada hawa aneh yang memancarkan sinar hitam redup
menyongsong pukulan sinar malahari. Lalu bummmm!
Satu
ledakan keras berdentum laksana merobek langit. Pukulan sinar matahari buyar
berantakan. Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya
terguling beberapa langkah. Dari mulutnya kelihatan lebih banyak darah keluar.
Di bagian lain lawannya tampak mengerenyit. Pakaian kuning yang dikenakannya di
bawah mantel hangus hitam sebagian tetapi tubuhnya sendiri tidak apaapa,
begitu juga mantel hitam yang dikenakannya!
"Saatmu
untuk masuk ke liang kubur Pendekar 212!" kata si tinggi besar. Lalu kaki
kanannya ditendangkan ke tubuh Wiro.
Dalam
keadaan terluka seperti itu Pendekar 212 masih sempat menghindar dengan
menggulingkan diri lalu cepat berdiri. Baru tegak dan belum sempat memasang
kudakuda lawannya sudah menyerbu dengan seranganserangan tangan kosong yang
ganas. Wiro keluarkan jurusjurus silat Tua Gila yang didapatnya Tua Gila. Tapi
lawan menyambut dengan taws mengejek.
"Keluarkan
seluruh jurus silat orang Gila! kalau penciptanya saja bisa kuhajar apalagi kau
yang cuma cecunguknya!"
Lalu
serangan lawan datang menghantam susul menyusul. Semua gerak silat orang Gila
yang selama ini tidak ada duanya dibuat mentah. Wiro terdesak hebat dan mundur
terus. Tanpa disadari dia mundur membelakangi liang kubur yang menganga.
Tiba-tiba lawan membuka mantel hitamnya lalu mengebutkan mantel ini ke arah
Wiro.
Murid
Sinto Gendeng seperti mendengar gemuruh suara air bah. Angin sedahsyat topan
keluar dari mantel yang dikebutkan menyapu tubuhnya. Wiro membentak dan
lindungi diri dengan pukulan sakti benteng topan melanda samudera! Tapi tak ads
gunanya. Tubuhnya telah terjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak
Muat Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya ikut tersapu ke udara. Wiro
berusaha melompat untuk menggapai senjata mustika itu. Namun di depan sana
lawan kembali kebutkan mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu
mencelat masuk ke dalam Hang kubur. Kepalanya membentur dinding makam yang
terbuat dari batu tebal.
Pemandangannya
seperti gelap. Di saat itu pula si tinggi besar meiompat. Tangannya menempel
pada batu yang menyembul dl kepala makam.
"Pendekar
212! Sebelum meregang nyawa kau dengar baik-baik. Beberapa tahun lalu kau telah
membunuh adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau terima
pembalasan dariku. Kau hanya bisa bertahan empat hari dalam liang kubur ini.
Tapi jika kau mau memberi tahu di mana kau menyimpan buku Seribu Macam limu
Pengobatan, nyawamu akan kuselamatkan. Beri tanda dengan tiga ketukan pada batu
penutup makam! Kalau kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan jadi
bangkai secara perlahan-lahan dalam makam itu! Ha… ha… ha …!"
Orang
yang mengaku kakak Datuk Sipatoka itu tertawa bergelak lalu tekan batu yang
menyembul di kepala makam. Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke bawah.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam keadaan antara sadar dan
tiada terpendam di dalamnya!
Sesaat
sebelum penutup batu itu jatuh mendadak terdengar seseorang berteriak.
"Wiro!"
Manusia
tinggi besar tersentak kaget. Dia cepat menyambar Kapak Maut Naga Geni 212
yang tercampak di tanah lalu memandang berkeliling.
Saat itu
badai dan hujan telah mereda. Udara beralih terang sedikit demi sedikit.
Sepasang mata lebar si tinggi besar jelalatan kian kemari. Tapi dia tidak
berhasil melihat dimana adanya orang yang barusan berteriak menyebut nama
Pendekar 212. Maka diapun membentak.
"Siaps
yang berteriak! Lekas unjukkan diri!"
Tak ads
jawaban. Dia memandang pada senjata mustika yang ada dalam genggamannya.
Perlahan-lahan disalurkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu Kapak Maut Naga
Geni 212 dibabatkannya beberapa kall. Sinar menyilaukan berkelibat disertai
suara seperti lebah mengamuk dan menclerunya haws panas. Pohon-pohon berderak
patah dan hangus. Semak belukar rambas dan mengepulkan asap. Batu-batu karang
dan batu-batu cadas yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak lalu
mental berkeping-keping.
"Senjata
luar biasal" kata si tinggi besar dalam hati. Dia memandang berkeliling.
Tempat itu kini sunyi senyap. Hanya debur ombak terdengar di kejauhan. Dan dia
masih belum dapat mengetahui siapa atau di mana orang yang tadi berteriak.
"Suara
yang berteriak tadi jelas suara perempuan… Atau mungkin telingaku keliru
menangkap bunyi suara…?!" Dia memandang sekali lagi berkeliling lalu
berteriak, "Hantu atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan
kira kau bisa bersembunyi! Aku akan menemukanmu! Masih banyak tiang-tiang
kosong mengikat bangkaimu di tempat ini!"
Habis
berteriak begitu orang ini cepat berkelebat dan tubuhnya yang tinggi besar
kemudian lenyap di celah antara dua batu karang.
*******************
9
Siapakah
sebenarnya orang tinggi besar yang memiliki ilmu silat hebat serta kesaktian
luar biasa itu? Yang sanggup menghajar Pendekar 212 sampai babak belur bahkan
memendamnya di liang makam yang agaknya memang telah sejak lama disiapkan.
Untuk menjawab
hal ini kita kembali pada masa beberapa tahun silam ketika Pendekar 212 Wiro
Sableng mengarungi laut Jawa untuk sempai ke pulau Andalas. Seorang tokoh silat
dari pulau Madura bernama Kiai Bangkalan ditemui mati terbunuh di tempat
kediamannya di Goa Belerang. Dari penyelidikan yang dilakukan Wiro, diketahui
bahwa pembunuhnya adalah Datuk Sipatoka seorang tokoh silat jahat di pulau
Andalas yang diam di Bukit Tambun Tulang.
Wiro
segera berlayar ke pulau Andalas untuk mencari si pembunuh. Ternyata Datuk
Sipatoka bukan saja membunuh Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab,
langka berjudul Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Dalam
pelayaran perahu yang ditumpangi Wiro diserang badai hingga terbalik. Wiro
berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di
tengah laut yang diamuk gelombang besar dia melihat seorang anak kecil timbul
tenggelam dipermainkan ombak. Ternyata anak itu masih hidup dan segera
diikatkannya ke papan. Dia sendiri tidak memikirkan keselamatannya lagi. Sesaat
sebetum Wiro tenggelam ditelan gelombang tibatiba muncul sebuah perahu
berpenumpang kakek aneh.
Orang tua
ini menyelamatkan Wiro dan anak kecil tadi.
Ternyata
kakek itu adalah seorang tokoh silat sakti mandraguna yang diam di sebuah pulau
dan dikenal dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian mendapat
pelajaran beberapa jurus ilmu silat langka yaitu Ilmu Silat Orang Gila sedang
si anak kecil diambil jadi muridnya.
Berkat
beberapa petunjuk yang diberikan Tua Gila Wiro akhirnya sampal di sarang Datuk
Sipatoka. Ternyata sang datuk memang bukan manusia sembarangan. Selain tinggi
ilmu silatnya orang ini juga memiliki berbagai pukulan sakti. Untung saja saat
itu Tua Gila muncul. Bersama-sama mereka kemudian menumpas manusia jahat itu.
Datuk Sipatoka terbunuh dan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan ditemukan oleh
Tua Gila lalu diberikan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kematian
Datuk Sipatoka dan hancurnya sarang manusia jahat itu ternyata tidak habis
sampai disitu saja. Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat pada
seorang sakti dan jahat yaitu kakak kandung sang Datuk bernama Datuk Tinggi
Raja Di Langit yang diam di Kepulauan Pagai.
Namun
ketika mengetahui bahwa adiknya terbunuh oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut
naga Geni 212 yang merupakan orang-orang dunia persilatan dengan name besar
maka Datuk Tinggi terpaksa menahan hati dan bersabar. Die maklum tak bakal
menang menghadapi kedua lawan yang berkepandaian tinggi itu. Maka dia menyusun
satu rencana sambil memperdalam ilmu kepandalannya sendiri. Dia mempelajari
pula ilmu silat Orang Gila ciptaan Tub Gila tetapi khusus menekuni
kelemahan-kelemahannya. Dengan care begitu jika kelak dia berhadapan dengan
musuh besarnya itu dia akan mudah menentukan segala serangannya.
Untuk
menghdapai Pendekar 212 Wlro Sableng. Datuk Tinggi Raja Di langit menggembleng
tenaga dalamnya dan membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan menjadi senjata
yang dapat diandalkannya. Di samping itu sang datuk telah menciptakan pula
semacam senjata rahasia yang bakal menggemparkan dunia persllahn, yang terbuat
dari mutiara hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan disebut sebagal
Mutiara Setan.
Setelah
empat tahun menyiapkan diri, diam-diam Datuk Tinggi Raja Di Langit berangkat ke
pulau kediaman Tua Gila. Dalam perjalanan dia menyebar kabar bahwa Tua Gila
telah meninggal dunia. Hal ini untuk mengundang para sahabat Tua Gila datang ke
pulau itu untuk berziarah. Datuk Tinggi ternyata bukan saja mendendam untuk
membunuh Tua Gila, tetapi juga semua sahabat orang tua itu akan dilenyapkannya.
Dan tujuan utamanya menyebar berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro
Sableng yang menjadi musuh utamanya muncul pula di pulau itu untuk dihabisinya.
Di samping itu Datuk Tinggi Raja Di Langit juga sangat berminat untuk memiliki
Benang Kayangan milik Tua Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro serta
mencari tahu di mana kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang dulu pernah
dimiliki adiknya Datuk Sipatoka.
Ketika
Datuk Tinggi sampai di pulau kediaman Tua Gila ternyata orang tua itu belum
kembali dari suatu perjalanan jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila, seorang
anak lelaki yang baru berusia enam tahun. Dengan mudah Datuk Tinggi meringkus
anak ini, mengikatnya dan membawanya ke sebuah goa sempit di antara celah-celah
batu karang dimana dia bersembunyi.
Datuk
Tinggl kemudian menggeledah gubuk kayu kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinya
yaitu buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan tidak ditemukan.
"Berarti
benar kabar yang kuterima di luaran, Kitab Itu telah diberikan dan berada di
tangan Pendekar Kapak maut Naga Geni 212!" kata Datuk Tinggi dalam hati.
Lalu cepat-cepat dia meninggalkan gubuk tersebut.
Sambil
menunggu kedatangan Tua Gila, Datuk Tinggi pergunakan kesempatan untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan rencananya. Dia membuat dua buah makam yang
diberi peralatan rahasia. Bagian atas makam dilapisi batu yang bisa dibuka dan
ditutup jika sebuah batu pada masing-masing kepala makam di tekan. Lantai dan
dinding makam juga dilapisi dengan batu-batu tebal. Di kedua makam ini kelak
dia akan menjebloskan dan mendekam Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng
sampai kedua orang itu menemui ajal secara perlahan-lahan. Dua buah batu nisan
hitam bertuliskan nama Tua gila dan Wiro Sableng tak lupa disiapkannyal
Setelah
menunggu hampir satu minggu akhirnya Tua Gila muncul pada suatu malam. Dia
langsung menuju ke tempat kediamannya sebuah gubuk kayu di bagian tenggara
pulau. Ada dua hal yang membuat Tua Gila terkejut begitu memasuki gubuk.
Pertama isi gubuknya kelihatan berantakan seperti ada yang membongkar setiap
sudut tempat itu. Hal kedua dia tidak menemukan muridnya, anak lelaki yang
baru berusia enam tahun itu.
"Heran,
ke mana anak itu? Kalau masih siang pasti dia tengah bermain-main di hutan
kecil atau di lapangan. Atau di tepi pantai. Tapi malam-malam begini…?"
membatin Tua Gila. Maka diapun keluar gubuk mulal mencari sambil tiada hentinya
berteriak memanggil muridnya itu.
"Malin…
Malin Sati! Di mana kau…?"
Mula-mula
Tua Gila mencari sepanjang tepi pantai terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai
orang tua ini kembali memasuki pulau dan akhirnya sampai di lapangan kecil.
Disini dua menghentikan langkah sambil memandang terheran-heran. Ada dua
gundukan tanah dilihatnya di ujung lapangan.
"Dua
buah kuburan…" desis tua Gila. "Kuburan siapa…" Satu berbatu
nisan. Satunya tidak…"
Tua Gila
bergegas mendatangi. Dihadapan makam bernisan langkahnya tertahan. Meskipun
malam gelap namun matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di atas batu
itu. Tua Gila! Namanya sendiri!
Tua Gila
menyeringai.
"Siapa
pula yang bercanda dengan segala kegilaan ini?" katanya dalam hati. Namun
sesaat kemudian seringainya lenyap. Parasnya berubah. "Mungkin ini bukan
senda gurau… " Dia berjalan mengelilingi kedua makam itu.
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Tua Gila terkesiap.
"Puluhan
tahun hidup di pulau ini baru kali ini aku mendengar suara lolongan anjing!
Tak pernah ada anjing di pulau ini. Atau itu suara hantu laut? Mungkin juga
binatang jadi-jadian…?" Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua sakti
ini kemudian menyadari, walau dia belum melihat sosok tubuh lain di tempat itu
tapi dia merasa pasti ada seseorang yang tengah memperhatikan gerak geriknya
saat itu. Perlahan-lahan Tua Gila menatap tajam setiap sudut gelap yang ada
disekitarnya. Tiba-tiba dia menghantam ke arah celah dua batu karang di depan
sana.
Serangkum
gelombang angin menderu. Dua batu karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam
sekali lagi. Pada saat itulah dari celah batu karang muncul melompat sesosok
tubuh tinggi besar yang langsung menyergapnya.
Tua Gila
cepat menyingkir seraya memukul. Tapi serangannya hanya mengenai tempat kosong
karena yang diserang tahu-tahu sudah melompat ke samping dan dari samping
lepaskan satu pukulan mengandung gelombang angin yang hebat sehingga Tua Gila
terhuyung-huyung hampir jatuh!
"Tenaga
dalam dan pukulan orang ini luar biasa sekali!" kata Tua Gila lalu dia
melompat mundur seraya membentak. "Penyerang tak dikenal!" Kau
mencari mati berani menginjakkan kaki di pulauku! Katakan siapa dirimu!"
Yang
ditanya menjawab dengan suara tawa bergelak. Orang ini bertubuh tinggi besar.
Mengenakan baju kuning yang disebelah luar dilapisi mantel dalam berwarna
hitam. Dia memakai kasut kulit sampai sebatas lutut. Di Kepalanya ada sebuah
topi tinggi. Mukanya tertutup kumis dan berewok sedang sepasang matanya besar
sekali.
"Mulutmu
busuk, taringmu seperti harimau! Jangan tertawa keras-keras di hadapanku!
Pasti kau binatangnya yang telah mengobrak-abrik isi gubukku…!"
Suara
tawa orang tinggi itu semakin keras.
Tua gila
ingat pada Malin Sati. Rahang dan pelipis orang tua ini langsung mengembung.
Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah.
"Pasti
kau juga telah menculik muridku! Lekas kembalikan Malin Sati! Jika anak itu
sampai tergores saja kulitnya akan kupatahkan batang lehermu!"
"Memang
aku yang membongkar isi rumahmu. Aku juga yang menculik muridmu…"
Mendengar
pengakuan si tinggi itu, Tua Gila menggembor marah. Tubuhnya melayang sebat,
tangan kanannya bergerak membabat ke arah batang leher orang.
Si tinggi
besar cepat membungkuk lalu balas menghantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua
ini terkesiap, cepat berkelit. Setelah itu dia kembali menyerbu dengan
mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tubuhnya gerabak gerubuk
seperti orang mabok. Tapi setiap tangan atau kakinya bergerak, itu adalah
gerakan menyerang yang sulit diduga dan sangat berbahaya.
"Ilmu
silat orang gila!" seru si tinggi bermantel hitam.
"Dulu
memang ditakuti orang! Tapi bagiku ilmu silatmu tidak lebih dari gerakan seekor
ayam yang tertelan karet!"
Habis
berkata begitu orang bermantel itu lalu menghadapi Tua Gila dengan jurus-jurus
tak kalah anehnya.
Tua Gila
terkesiap ketika melihat jurus-jurus yang dimainkan lawannya adalah kebalikan
dari setiap gerakan ilmu silatnya. Dengan sendirinya jurus apapun yang
dikeluarkannya untuk menyerang, dengan sangat mudah dapat dimentahkan lawan.
Melihat
Tua Gila terkesiap orang tinggi itu tertawa bergelak. Dia melangkah ke kepala
makam di sebelah kiri di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini
ternyata dibenamkan ke tanah dan dihubungan dengan sebuah alat rahasia. Ketika
batu di tekan terdengar suara berdesir lalu secara aneh bagian atas kuburan
sebelah kiri yang bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah tanah merah
ini terdapat lapisan batu sangat tebal. Kini Tua Gila dapat melihat bagian
dalam makam. Dinding dan lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu hampir
dua tombak lebih dalamnya.
"Sudah
saatnya aku mengucapkan selamat jalan padamu Tua Gila!"
"Eh,
setan ini tahu namaku!" rutuk Tua Gila.
"Kau
kaget aku tahu siapa dirimu?! Tua Gila, dengar baik-baik. Kematianmu tak dapat
dihindari. Liang kubur sudah kusediakan. Aku tadinya ingin membunuh dan
mencincang tubuhmu sampai lumat. Tapi aku mau berbaik hati agar kau bisa mati
wajar-wajar saja. Untuk itu kau harus menyerahkan padaku senjatamu berupa
benang sakti Benang Kayangan…"
"Manusia
kadal! Jadi itu maksudmu datang ke pulau ini?!"
"Bukan
itu saja Tua Gila! Di luaran aku telah menyebar kabar bahwa kau telah meninggal
dunia! Berarti akan banyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan kemari.
Mereka termasuk manusia-manusia yang kena kutukku! Siapapun sahabatmu akan
kubunuh mati ditempat ini!"
"Gilal"
teriak Tua Gila.
"Tidak…
Aku belum gila!"
"Kalau
tidak gila apa alasanmu membunuh orang-orang yang tidak ada dosa kesalahan
itu?!"
"Apa
alasanku akan kukatakan nanti. Kau harus dengar dulu maksudku yang lain datang
ke tempat ini. Aku minta kau juga menyerahkan kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan!"
Tua Gila
tertawa mengekeh.
"Rupanya
kau jenis pencuri tengik!" ejek Tua Gila. "Buku yang kau cari tidak
ada padaku. Kalau pun ada masakan aku mau memberikannya padamu!"
"Bagus,
pengakuanmu itu menyatakan bahwa kitab tersebut memang benar berada di tangan
Pendekar 212 Wiro Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu pasti
akan segera pula muncul di sini begitu mendengar kabar kematianmu!"
"Dia
bukan muridku! Aku hanya mengajarkan beberapa jurus ilmu silat padanya!"
Si tinggi
besar tertawa bergumam.
"Sekarang
kukatakan padamu mengapa aku menginginkan jiwamu! Juga ingin menghabisi siapa
saja yang menjadi sahabatmu, termasuk dan terutama sekali Pendekar 212 Wiro
Sableng!"
"Hebat!
Lekas kau katakan!"
"Beberapa
tahun yang lalu kau bersama Pendekar 212 rnenyerbu bukit Tambun Tulang,
menghancurkan tempat itu dan membunuh Datuk Sipatoka! Betul begitu atau kau
berani berdusta?!"
"Iblis!
Seumur hidup aku tidak pernah berdusta! Memang benar aku membantu Pendekar 212
membunuh Datuk Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia keji itu pantas
untuk disingkirkan dari muka bumii"
Orang
berbadan tinggi besar keluarkan suara seperti menggereng.
"Karena
kau penyebab kematian Datuk Sipatoka, make hari ini aku membalaskan dendam
kesumat sakit hati kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka,
bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!"
"Aha…
Raja di langit sudah turun ke bumi mencari penyakit!" teriak Tua Gila
mengejek.
"Sebelum
kau ku pendam dalam makam batu itu, lekas serahkan Benang Kayangan
padaku!" Datuk Tinggi berkata sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Kau
inginkan benang sakti itu. kau terimalah!" kata Tua Gila sambil
menggerakan tangan ke balik pakaian putihnya. Ketika tangan itu keluar dari
balik pakaian tiba-tiba melesat sebuah benda putih berbuntal-buntal hendak
menggelung tangan kanan Datuk Tinggi. Orang yang sudah mengetahui sekali
kehebatan benang putih itu cepat menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan
sampai lengannya digulung Benang Kayangan pasti tanggal anggota tubuhnya itu!
Sambil
menghindar Datuk Tinggi Raja Di Langit pukulkan tangan kiri. Tua Gila terkejut
besar ketika melihat bagaimana angin pukulan lawan sanggup membuat benang
saktinya tergoyang-goyang dan tak berhasil menyambar apalagi menggulung tangan
kanan lawan. Dia gerakkan tangan yang memegang benang. Ujung benang melesat dan
menyambar ganas ke arah leher Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Kini sang
datuklah yang jadi terkejut. Sambil keluarkan seruan keras manusla tinggi besar
itu jatuhkan diri ke tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat dia membuka
mantel hitamnya. Sambil menyeringai dia bertanya.
"Kau
mau memberikan Benang kayangan itu atau tidak, Tua Gila?!"
Sebagai
jawaban Tua Gila kembali menggerakkan tangan kanannya. Benang Kayangan
kelihatan berkilauan tanda prang tua itu telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Senjata ini melesat ke arah mulut Datuk Tinggi, siap untuk menggulung
lidahnya. Begitu tergulung, sekali sentak saja lidah orang itu akan terbetot
tanggal!
Tapi
lebih cepat dari datangnya sambaran Benang Kayangan, Datuk Tinggi Raja Di
Langit sudah kebutkan mantel hitamnya.
Tua Gila
mendengar seperti air bah bergulung ke arahnya. Lalu ada angin sangat dahsyat
badai menyambar ke arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta bergoyang
sedang Benang Kayangan membalik seperti menyerang ke arah dirinya sendiri.
Tua Gila
menggeram. Tangan kirinya lepaskan pukulan sakti yang juga mengeluarkan angin
dahsyat.
Datuk
Tinggi Raja Di langit tersenyum mengejek. "Pukulan Dewa Topan menggusur
gunung! Apa hebatnya!" katanya., mantel di tangannya berkelebat.
Wusss!
Tua Gila
berteriak keras. Tubuhnya tersapu angin serangan lawan. Dia berusaha bertahan
tapi sia-sia saja. Orang tua itu terlempar masuk ke dalam liang kubur berlantai
dan berdinding batu. Dia cepat hendak melompat keluar tapi tubuhnya terasa lemas.
Darah mengucur dari hidungnya.
Datuk
Tinggi Raja Di Langit tertawa mengekeh dan tegak di tepi makam.
"Berikan
Benang Kayangan itu padaku Tua Gilal"
"Iblisl
kau ambillah sendiri!" jawab Tua Gila. Orang tua ini buka mulutnya
lebar-lebar lalu benang putih yang menjadi senjatanya itu dibuntalnya dan
dimasukkan ke dalam mulut lalu cepat-cepat ditelannya! Sambil memegang-megang
perutnya Tua Gila berkata, "Kau harus membelah perutku lebih dahulu untuk
mendapatkan benang sakti itul"
Datuk
tinggi mendengus geram. Dia menjawab. "Aku tidak telalu terburu-buru.
Bagaimanapun juga aku akan mendapatkan benang itu. Kelak kau sendiri yang akan
memuntahkan dan memberikannya padakut Ingat, kau hanya bisa bertahan selama
tujuh hari Tua Gila! Ketuk batu penutup makammu jika kau memang kepingin hidup!
Jangan lupa, muridmu berada di tanganku!’
Lalu
dengan gerakan sangat cepat Datuk tinggi Raja Di Langit diinjak batu hitam yang
menonjol di belakang kepala makam. Tanah msnh yang berlapiskan batu tebal jatuh
dengan keras Tua Gila coba menahan batu itu dengan kakinya, tapi terlambat.
Orang tua ini masih sempat mendengar suara tawa bekakakan Datuk Tinggi sebelum
dirinya terpendam dalam liang kubur batu itu!
*******************
10
PADA saat
badai mulai melanda pulau kecil itu, dibagian pantai sebelah timur, sebuah
biduk tampak diombang-diambingkan ombak yang bergulung menggemuruh. DI atas
biduk kecil in!, penumpangnya seorang dara berpakaian ungu yang menutupi
wajahnya dengan cadar ungu sedang rambut hitam panjang tergerai lepas
melambai-lambai di tiup angin mendayung inatimatian agar biduknya jangan
sampai tenggelam. Namun beberapa ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai,
biduk itu akhirnya terbalik.
Biduk dan
penumpang lenyap dilamun ombak. Tak lama kemudian baru kelihatan kepala gadis
itu menyembul. Cadarnya terlepas dari wajahnya. kini tampak wajahnya yang
jelita, beralis hitam lengkung dan berhidung mancung. Wajah cantik ini nampak
tegang. Dia menghitung jarak, menduga-duga apakah dia akan sanggup berenang
mencapai pantai.
Ombak
raksasa kembali bergulung menghantam gadis berpakaian ungu. Kembali sosok tubuh
itu lenyap. Lalu timbul lagi untuk kemudian dihempaskan ombak. Ketika dia
hendak mulai mencoba berenang, dara ini tiba-tiba sadar. Berenang melawan ombak
yang menggila seperti itu hanya akan menghabiskan tenaga. Bukankah lebih balk
mengambangkan tubuh saja, membiarkan ombak memukul dan menyeretnya ke arah
pantai?
Maka
gadis itu lalu mengambil sikap menelentang. Tangan dan kakinya digerakkan
perlahan secara beraturan.
Tubuhnya
tampak mengambang. Dalam keadaan seperti itu ombak besar kembali datang.
Kecerdikan si gadis ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera dirinya,
tubuhnya yang mengambang itu mencelat di atas air, terlempar ke arah daratan.
Begitu terjadi sampai empat kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya terasa
menyentuh dasar laut di bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did lalu
menjejakkan kakinya dan melangkah di dasar lautan menuju tepi pasir.
"Badai
celaka! Untung Tuhan masih menolongku selamat sampai ke pantai! Kalau tidak
untuk melihat kubur seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang maut
seperti ini," kata si gadis lalu gerakkan kepalanya untuk mengibas air
laut yang membasahi rambutnya. Dia memandangi pakaiannya yang basah kuyup. Di
bawah hujan lebat dan angin keras dia lalu berlari memasuki pulau. Sebelumnya
dia tidak pernah datang ke pulau itu. Tapi mencari sebuah makam di pulau
sekecil itu rasanya tak bakal sulit. Sang dara terus menyusup diantara semak
belukar dan akhirnya sampai di bagian pulau yang penuh dengan batubatu cadas
hitam serta batu-batu karang.
Di salah
satu bagian kawasan pulau berbatu-batu ini dia melihat sebuah lobang pada salah
satu lamping batu karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini dengan
maksud beristirahat sebentar sambil menunggu redanya badai.
Ketika
dia sampai di mulut goa sang dara dikejutkan oleh apa yang dilihatnya didalam
goa batu itu. Seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun duduk tersandar ke
dinding goa. Mulutnya ditutup dengan sehelai kain hingga dia tidak bisa
mengeluarkan suara. Pergelangan tangan dan kakinya diikat dengan tali yang
dibuat dari sambungan akar-akar pohon.
Si anak
lelaki tak kalah terkejutnya ketika melihat munculnya seorang gadis cantik
berpakaian ungu yang tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di
pinggangnya ada sebuah saluang. Semula si anak mengira yang datang adalah
manusia tinggi besar dan berewokan yang telah menculiknya. Anak ini
goyang-goyangkan kepalanya memberi tanda.
Dara
berbaju ungu segera buka ikatan kain yang menutup mulut anak itu. Belum sempat
dia bertanya, si anak sudah membuka mulut.
"Kakak
yang baik. Terima kasih kau telah menolong. Says Malin Sati, murld kakek
bernama Tuan Gila…"
"Ah…
Kau murid Tua Gila! Justru aku datang untuk menyambangi makam gurumu itu!"
Si anak tampak
terkejut. "Guru… Kakek Tua Gila… Kata kakak kau hendak menyambangi makam
guru? Apa yang terjadi dengan beliau…?"
"Anak,
katamu kau murid Tua Gila. Gurumu meninggal kau tidak tahu! Aneh!"
"Apa…?!"
anak itu seperti hendak menjerit. "Tidak mungkin. Bukankah guru tengah
melakukan perjalanan?"
"Eh,
bagaimana ini? Berita yang tersiar di luaran ialah bahwa Tua Gila telah
meninggal dunia dan dimakamkan di pulau tempat kediamannya ini."
"Kakak
tolong kau lepaskan dulu ikatan pada tangan dan kaki saya. Orang jahat itu
telah mengikatku sejak empat hari lalu. Saya hanya diberinya makan
sedikit!"
"Siapa
orang jahat yang mau kau katakan itu Malin?" tanya gadis itu sambil
melepaskan ikatan pada kaki dan tangan Malin Sati.
"Seorang
tinggi besar bermuka buas, berkumis dan berjenggot lebat. Saya ditangkapnya
sewaktu sedang bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam goa
ini…"
"Kau
tahu mengapa orang itu menangkap dan mengikatmu lalu membawamu ke sini?"
tanya dara berpakaian ungu sambil menggoyang-goyangkan rambutnya yang basah.
"Saya
tidak tahu kakak," jawab murid Tua Gila. "Lalu di mana orang yang
mengikatmu itu sekarang?"
"Dia
pasti masih berada. di pulau ini. Karena pada waktu-waktu tertentu dia setalu
kemari untuk melihat dan mengawasi saysa.."
Gadis
baju ungu tampak berpikir-pikir.
"Kakak,
kau ini siapa? Ada hubunganmu dengan guru?’ bertanya malin Sati.
"Namaku
Pandansuri. Aku datang dari Wars, Aku berhutang budi bahkan nyawa pada gurumu.
Beberapa tahun lalu gurumu bersama seorang pendekar muda pernah menyelamatkan
diriku. ltutah sebabnya aku merasa sangat penting untuk menziarahi
makamnya."
"Tidak,
tidak mungkin! Guru jelas sedang pergi, tak ada di pulau. Bagaimana mungkin
kakak mengatakan hendak menziarahi makamnya? Di pulau ini sama sekali tidak ada
kuburan!"
"Ini
adalah aneh! Sebagai murid kau tentu tidak berdusta mengatakan bahwa gurumu
masih hidup," Kata Pandansari pula. "Kalau begitu mari kita cari
orang yang telah menangkap dan menyekapmu di goa ini!"
"Hati-hati,
manusia itu jahat sekali. Ilmu kepandaiannya pasti tidak rendah. Dan saya yakin
ilmunya dipergunakan untuk berbuat jahat!"
Pandansuri
pegang kepala anak itu lalu berkata, "Kita pergi sebentar lagi kalau badai
mulai reda."
Malin
Sati bangkit berdiri. "Maafkan saya kakak. Saya tidak bisa menunggu. Saya
harus menyelidiki apakah guru telah kembali, lalu apakah benar ada makam di
pulau ini."
"Kau
murid baik, Malin. Mari kita sama-sama menyelidik."
Dibawah
hujan lebat dan angin kencang kedua orang flu tinggalkan goa di dinding batu
karang.
"Kau
tentu tahu setiap sudut pulau ini. Kau jalan di depan," kata Pandansari.
Malin
Sati berjalan di sebelah depan. Sang dara mengikuti dari belakang. Tak selang
berapa lama keduanya sampai di gubuk kediaman Tua Gila. Si anak terkejut ketika
melihat isi gubuk berantakan sedang gurunya tak ada di situ.
"Pasti
ini perbuatan manusia jahat itu!" kata Malin Sati dengan kepalan tinjunya.
Dia melangkah keluar gubuk. Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih
keras dan mengeluarkan suara menggidikkan.
"Saya
harus menyelidiki seluruh pulau! Orang jahat itu jangan- jangan telah mencuri
sesuatu dari gubuk guru!"
Tanpa
berpaling pada Pandansuri Malin Sati langsung melangkah pergi.
Sang dara
cepat memegang bahu anak itu lalu berkata. "Seperti katamu, orang jahat
yang menyekapmu itu pasti masih ada di pulau ini. Kita harus berhati-bati. Biar
aku yang di depan sekarang. Bisakah kau berjalan tanpa mengeluarkan
suara?"
Malin
Sati mengangguk. Lalu seolah-olah seperti hendak membuktikan dia melangkah
cepat diantara semak belukar sedang di tanah jejak kakinya kelihatan tidak
melesak dalam.
"Ah,
Tua Gila tentu telah mengajarkan ilmu meringankan tubuh pada anak ini…"
kata Pandansuri dalam hati.
Kedua
orang itu bergerak menuju bagian tengah pulau. Pandansuri di sebelah depan, Malin
Sati di belakangnya. Kadang-kadang anak ini karena ingin lebih cepat,
melangkah mendahului. Terpaksa si gadis menariknya cepatcepat. Di suatu
tempat Pandansuri hentikan langkahnya.
"Aku
mendengar suara orang tertawa di kejauhan.
Apakah
kau mendengarnya?"
Malin
Sati gelengkan kepala mendengar pertanyaan Pandansuri itu.
"Ikuti
aku. Tapi harus lebih hati-hati…" kata Pandansuri lalu bergerak ke jurusan
di mana dia tadi mendengar datingnya suara orang tertawa.
Pandansuri
sampai di depan sebuah lapangan kecil yang becek. Gadis ini cepat menekap mulut
Malin Sati dan menariknya ke balik sebatang pohon besar ketika didengarnya si
anak sempat mengeluarkan suara tercekat sewaktu melihat pemandangan di
depannya.
Kalau
Malin Sati terkejut dan bergidik melihat empat sosok mayat rusak yang terikat
di tiang serta adanya dua buah makam dimana salah satunya terbuka secara aneh,
maka Pandansuri lebih terkesiap pada perkelahian yang terjadi antara seorang
manusia bertubuh tinggi besar dengan seorang pemuda yang segera dikenalinya
sebagai pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212.
Pemuda
inilah yang dulu menyelamatkannya bersama Tua Gila dari tangan ayah angkatnya
yang sesat yaitu Raja Rencong Dari Utara.
Seat itu
Pandansuri menyaksikan bagaimana tubuh Wiro terpental masuk ke dalam liang
kubur batu akibat hantaman mantel sakti orang tinggi besar. Ketika orang itu
tampak menekan sesuatu di kepala makam. Ketika batu penutup makam terhempas
jatuh Pandansuri secara tidak sadar keluarkan seruan memanggil nama pendekar itu.
"Wiro!"
Suara
teriakan Pandansuri inilah yang membuat Datuk Tinggl Raja Di Langit jadi
tersentak dan dia segera menyadari bahwa ada orang lain di tempat itu.
Pandansuri
sendiri begitu sadar telah berbuat kesalahan segera menarik lengan Malin Sati
lalu berkelebat meninggalkan pohon tepat pada saat Datuk Tinggi kiblatkan
Kapak Naga Geni 212 yang memporak-porandakan pepohonan dan bebatuan di tempat
itu.
*******************
11
Di dalam
liang makam batu yang gelap itu bahkan tangan di depan matapun tidak kelihatan-
Pendekar 212 Wiro Sableng masih berada dalam keadaan setengah sadar. Hantaman
mantel sakti Datuk Tinggi Raja Di Langit bukan main dahsyatnya. Di samping itu
kepalanya juga telah membentur dinding batu dengan keras.
Selang
beberapa lama setelah kesadarannya kembali pulih, murid Eyang Sinto Gendeng ini
berusaha berdiri. Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup makam
Tapi batu yang berat itu tidak bergeming sedikit pun. Akhirnya dia hanya bisa
tegak tersandar memikirkan bagaimana mencari jalan keluar dari sekapan. Aneh,
tubuhnya terasa sangat letih. Dicobanya mengerahkan tenaga dalam tapi tidak
berhasil. Ada sesuatu yang menyebabkan hal itu dan dia tidak tahu apa.
Perlahan-lahan
Wiro kembali duduk di lantai makam. Dalam gelap dia pergunakan lengan bajunya
untuk menyeka darah yang mulai mengering di bawah hidung dan di sudut
bibirnya. Saat itu hidungnya mencium bau aneh dalam ruangan batu itu, Dia lalu
ingat pada pipa kecil yang ada di batu tebal di atasnya. Dalam gelap dia meraba
dan berhasil menyentuh pipa itu. Wiro berpikir-pikir apa kegunaan pipa itu,
Mungkin untuk keluar masuknya udara? Dengan pipa sekecil itu beberapa lama dia
bisa bertahan di tempat itu? Datuk Tinggi memberinya waktu empat hari. Berarti
itulah batas kehidupannya! Empat hari tanpa makan tanpa minum. Dan disekap di
ruang batu seperti itu terasa udara menjadi makin panas saat demi saat.
"Bangsat
itu minta kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan! Gila! Kalaupun aku membawa kitab
itu tak bakal aku serahkan padanya! Agaknya aku sudah ditakdirkan menemui
kematian dengan cara begini rupa…"
Pikiran
Pendekar 212 menjadi kacau. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan lemas. Kepalanya
juga masih mendenyutdenyut. Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tiba dia
ingat makam di sebelahnya. Sebelumnya dia telah mendengar suara ketukan
sayup-sayup datang dari dalam makam itu. Ketika dia mengetuk, dari dalam
terdengar suara ketukan balasan. lalu dia ingat pula pada asap seperti asap
rokok yang ada di sekitar makam.
"Kalau
diriku dijebloskan hidup-hidup begini, janganjangan Tua Gila juga mengalami
nasib sama…" Wiro lalu keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni
212 yang masih tersisip di pinggangnya. Dengan batu hitam itu diketuknya
dinding batu sebelah kanan, dua kali berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada
jawaban.
"Mungkin
orang tua itu sudah …" Wiro tidak teruskan ucapannya, kembali dia
mengetuk. Tiba-tiba dari balik dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan
sekali.
"Kakek
Tua Gila! Kau ada di situ?!" Wiro berteriak keraskeras.
Jawaban yang
terdengar hanya ketukan halus.
"Kakek
Tua Gila! Kau yang mengetuk…!?"
"Siapa
yang menyebut namaku?!"
Ada suara
menyahuti. Halus dan jauh tetapi cukup jelas terdengar oleh murid Sinto
Gendeng:
"Aku
Wiro Sab!eng!" Wiro berteriak keras-keras. Hatinya gembira mendapatkan
jawaban. Lalu keningnya jagi mengkerut ketika didengarnya suara di kejauhan
itu berkata. "Nasib kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu
baru saja dijebloskan dalam makam batu! Aku sudah sejak tiga hari lalu…!"
Terdengar suara tawa mengekeh.
"Ah,
benar rupanya oratig tua itu dijebloskan di makam sebelah! Gila! Dalam keadaan
seperti itu dia masih bisa tertawa," kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar
ini bertanya. "Bagaimana kau bisa bertahan hidup kek?"
"Hanya
karena belas kasihan Yang Kuasa!"
"Selagi
di luar aku melihat dan mencium seperti asap rokok, Apakah kau yang
merokok?!"
"Tidak
sa!ah! Hanya itu yang bisa menjadi penyumpal mulut dan perutku! Tapi aku tidak
akan biasa bertahan lama. Paling lama empat hari lagi malaikat maut pasti
menemuiku! Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini. Kemunculan yang membawa
celaka dirimu! Tua bangka sepertiku mati di tempat ini tidak menjadi apa. Tapi
kau masih muda…!"
Wiro
terdiam sesaat mendengar kata-kata terakhir Tua Gila itu. Lalu dia membuka
mulut.
"Di
luaran tersebar berita bahwa kau telah meninggal dunia. Itu sebabnya kuperlukan
datang kemari. Ternyata ini jebakan belaka! Apa betul keparat yang menjebloskan
diriku itu adalah kakak Datuk Sipatoka yang kita habisi beberapa tahun lalu di
Bukit Tambun Tulang?! Siapa nama bangsat itu?!"
"Namanya
aku tidak tahu. Dia menyebut dirinya dengan gelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!
Dia memang kakak Datuk Sipatoka…! Dia muncul membawa dendam kesumat!"
"Bagaimana
kau bisa dikalahkan lalu dijebloskan ke dalam makam batu itu kek?!"
"Mantel
hitamnya itu! mantel itu merupakan senjata hebat luar biasa! Tua bangka ini tak
sanggup menghadapinya! Siapapun tak bakal sanggup mengalahkannya! Kecuali ada
yang berhasil menarik lepas mantel hitam saktinya itu!"
Wiro teringat
pada jubah Kencono Geni milik keraton di Jawa. Siapa saja yang mengenakan jubah
itu tak satu kekuatanpun sanggup mengalahkannya.
"Di
samping itu," terdengar lagi suara Tua Gila. "Datuk Tinggi memiliki
senjata rahasia yang luar biasa. Orang-orang dalam dunia persilatan di Andalas
menyebut senjata itu Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiara sungguhan tapi
berwarna hitam. Tidak beracun namun ganas sekali. Siapa saja yang sampai
ditancapi Mutiara Setan tubuhnya pasti akan menemui kematian dalam waktu sekejapan.
Datuk Tinggi selalu mencari sasaran di kening lawan!"
"Mutiara
Setan!" desis Wiro. "Senjata aneh dan mahal harganya!"
"Anak
muda, apakah datuk keparat itu minta buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan
padamu?!" bertanya Tua Gila dari makam sebelah.
"BetuI!"
jawab Wiro. "Tentu saja aku tidak membawa buku itu ke mana-mana. Sekalipun
kubawa tak akan kuberikan padanya!"
"Padaku
dia juga minta buku itu! Kukatakan kalau buku itu tidak ada padaku. Lalu dia
minta senjataku Benang Kayangan. Tapi dia tidak bisa mendapatkannya karena
benang sakti itu keburu kumasukkan ke dalam mulut dan kutelan! Kini senjata
langka itu aman dalam perutku!" Tua Gila tertawa mengekeh. Lalu dia
meneruskan ucapannya. "Iblis tinggi itu memberikan waktu tujuh hari
padaku! Jika aku tidak memberi tanda dengan ketukan maka tamatlah
riwayatku!"
Wiro
menghela nafas panjang. "Kalau begitu aku lebih celaka darimu, kek! Datuk
Tinggi berhasil merampas senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!"
"Maksudmu
Kapak Naga Geni 212?!"
"Betul
kek!"
"Ahl
Padahal jika, senjata itu ada padamu saat ini, mungkin bisa dipergunakan untuk
membobol dinding atau atap makam keparat ini!" kata Tua Gila pula. Tapi
dia segera menyambung. "Mungkin juga tidak! Senjata itu tidak akan ada
gunanya di dalam tempat ini. Karena kita tidak bisa mengerahkan tenaga
dalam!"
"Betul
kek. Aku tadi coba mengerahkan tenaga dalam tapi tidak berhasil! Apa yang ada
di tempat celaka ini?!"
"Datuk
Tinggi menaburi semacam obat. Tidakkah kau membaui hawa aneh dalam
makammu?!"
"Memang
ada hawa aneh di sini!"
"Hawa
itulah yang membuat peredaran darah kita tak bisa dipacu sehingga tenaga dalam
tak bisa dialirkan. Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi
lemah!"
"Apa
daya kita sekarang kek? Apakah kita tidak mungkin bisa keluar dari tempat
celaka ini?!"
"Tipis
sekali kemungkinannyal Mungkin satu berbanding seribu! Kita akan sama-sama
berkubur di tempat ini! Kita berdua pasti banyak dosa! Berdoa sajalah dan mints
ampun pada Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha… Ha… ha …!"
Wiro
terdiam.
"Anak
muda! Kau takut menghadapi kematian?!" terdengar Tua Gila bertanya.
"Semua
orang akan mati kek. Tapi kalau kematian datangnya seperti ini, perlahan-lahan
dan tersiksa, lebih baik aku memilih dipancung saja! Kita harus mencari akal
kek!"
"Aku
sudah tiga harl mencari akal. Sampai persediaan rokokku habis! Tapi sia-sia
saja!" jawab Tua Gila.
"Waktu
aku sampal di tempat ini, aku melihat ada empat sosok mayat diikat ke tiang
kayu!"
"Pasti
korban-korban jebakan Datuk Tinggi! Kau kenal siapa-siapa mereka?!"
"Belum
sempat memeriksa Datuk keparat itu sudah muncul! Tapi ada satu hal. Sewaktu aku
dijebloskan ke dalam makam ini, aku masih sempat mendengar sese-orang berterlak
menyebut namaku! Mudah-mudahan saja ada yang bakal menolong kita!"
"Jangan
terlalu berharap anak muda! Yang memanggilmu itu bukan mustahil adalah
malaikat maut yang sudah mengenalimu!" kata Tua Gila pula lalu kembali
tertawa gelak-gelak. Dalam hatinya Pendekar 212 jadi menyumpah. Dia duduk
bersandar ke dinding batu dan ulurkan kedua kakinya lurus-lurus. Hawa di
tempat itu semakin panas. Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai empat
hari."
"Kek!
Demi menyelamatkan nyawamu aku bersedia memberikan kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan itu!"
"Jangan
tolol!" membentak Tua Gila dari makam sebelah. "Sekalipun kau berikan
seribu buku dan seribu senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu
tetap saja akan membunuh kita! Keinginan utamanya adalah membalaskan dendam
kesumat kematian adiknya. Yaitu membunuh kita berdua dan semua sahabat kita
yang tertipu muncul di pulau ini! Kalau memang ingin selamat sudah sejak
kemarin-kemarin kuberikan Benang Kayangan padanya!"
"Jadi
beginilah perjalailan hidupku!" kata Wiro. Untuk pertama kalinya dia
menggaruk kepalanya berulang kali. "Mati terjebak dalam makam batu!"
"Kau
terlalu mengawatirkan kematian dirimu! Apalah kau sudah punya anak?!" Tua
Gila bertanya dari sebelah.
"Kawin
saja belum! Bagaimana punya anak?!" sahut Wiro setengah mengomel.
Tua Gila
terdengar tertawa gelak-gelak.
Wiro
memaki panjang pendek dalam hati. Lalu dia melengak ketika lapat-lapat dia
mendengar suara orang mengorok!
"Pasti
itu si Tua Gila! Edan! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih bisa
enak-enakan tidur! Malah sampai ngorok segala!" kata Wiro dalam hati
merutuk tidak hentihentinya.
Pendekar
212 berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Lalu berusaha
menghimpun tenaga dalam. Tapi setiap dikerahkan selalu tidak berhasil.
Sementara tubuhnya terasa semakin lemas.
Pendekar
ini tidak tahu berapa lama dia telah berada dalam pendaman makam batu itu
ketika tiba-tiba dia mendengar suara berdesir. Sesaat kemudian ada angin
bertiup masuk ke dalam liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit cahaya dan
menyusul terbukanya atap batu makam!
"Kakek
Tua Gila! Batu penutup makamku terbuka!" teriak Wiro memberi tahu. Lalu
cepat berdiri.
Tapi
untuk melompat keluar dari makam yang dalamnya lebih tinggi dari tubuhnya itu
dia tidak sanggup oleh keadaan tubuhnya yang lemas. Wiro berjingkat dan
berusaha menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Hujan dan badai tak ada
lagi. Tapi udara di atasnya diselimuti kegelapan walau tidak segelap dalam
liang batu tadi. Ini memberi pertanda bahwa saat itu hari telah malam.
Wiro
berusaha lagi untuk bisa keluar dari dalam lobang itu. Namun sia-sia. Tubuhnya
masih sangat lemas. Dia mendongak ke atas don melihat sepasang kaki di tepi
makam batu. Lalu ada tangan yang diulurkan untuk membantunya keluar dari
makam. Dalam gelap Wiro dapat melihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia
tidak kenal lelaki ini. Tapi jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar 212
ulurkan pula tangannya siap untuk ditarik ke atas. Sesaat kemudian Wiro telah
keluar dari dalam liang maut. itu.
"Pandeka
mudo, Nyanyuk Amber berpesan agar kau lekas mengatur jalan darah dan pernafasan.
Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun tenaga
dalam!"
"Nyanyuk
Amber? Orang tua itu ada di sini?!" tanya Wiro.
"Pandeka
akan bertemu dengan beliau. Lekas lakukan apa yang beliau pesankan."
"Sahabat,
kau sendiri siapa? Terima kasih kau telah menolongku!"
"Ambo
Saringgih, pembantu Nyanyuk Amber. Ambo harus menolong Tua Gila di makam
sebelah!" lalu Saringgih tinggalkan Wiro. Pendekar 212 segera duduk
bersila, mengatur jalan nafas, darah dan mulai coba mengalirkan tenaga
dalamnya. Hal itu tidak dapat dilakukannya dengan cepat karena lebih dari
setengah harian diri sudah sempat dipendam dalam makam batu.
Sementara
itu Saringgih telah bergerak ke makam yang satunya. Sesuai petunjuk Pandansuri
pembantu Nyanyuk Amber ini segera menekan batu kecil yang menonjol di belakang
kepala makam. Terdengar suara berdesir, lalu perlahan-lahan bagian atas makam
berikut batu nisannya bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentak kaget
di dasar makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus tinggal kulit pembalut
tulang menggapai-gapai di tepi lobang batu. Saringgih cepat menangkap salah
satu lengan Itu lalu menariknya kuat-kuat ke atas.
Pembantu
Nyanyuk Amber ini merasakan jantungnya seperti copot ketika melihat sosok dan
wajah orang yang barusan ditolongnya. Dia telah terbiasa dengan keangkeran
wajah Nyanyuk Amber. Namun manusia yang kini terduduk di hadapannya ini
memiliki tubuh dan kepala yang tidak bedanya seperti jerangkong hidup! Orang
yang barusan ditolongnya ini menatap padanya dengan sepasang matanya yang
sangat cekung. Pandangannya dingin mengerikan. Dan dia sama sekali tidak
mengucapkan satu patah katapun, apalagi mengatakan terima kasih! Seperti Wiro
orang ini kemudian duduk bersila mengatur jalan nafas dan darah serta
menghimpun tenaga dalam.
*******************
12
MARI kita
ikuti apa yang terjadi sebelum batu penutup makam Pendekar 212 Wiro Sableng
tibatiba terbuka. Seperti dituturkan ketika mengenali bahwa pemuda yang
terpental masuk ke dalam liang makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya,
Pandansuri anak angkat Raja Rencong Dari Utara tanpa sadar telah berteriak
memanggil nama Wiro. Teriakannya ini mengejutkan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Apalagi suara yang berteriak jelas suara perempuan. Dia menantang agar orang
yang berteriak unjukkan diri. Tapi Pandansuri tidak mau muncul. Karena
sama-sama dari utara Pandansuri sudah tahu betul siapa adanya Datuk Tinggi.
Satu lawan yang berat untuk dihadapi, apalagi saat itu dia bersama Malin Sati,
murid Si Tua Gila yang baru berusia enam tahun.
Ketika
Datuk Tinggi menghantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang membuat pepohonan dan
batu-batu di tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik lengan
Malin Sati, Kedua orang ini melarikan diri dibawah cuaca yang masih buruk.
Udara yang masih gelap ikut membantu hingga walau masih mengejar di belakang
tapi Datuk Tinggi telah tertinggal jauh.
Pandansuri
sengaja menempuh bagian pulau yangt rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke
arah dimana Nyanyuk Amber dan Saringgih berada dalam sebuah legukan batu
berbentuk goa.
Saat itu
karena badai dirasakan mulai reda maka Nyanyuk Amber yang sudah tidak sabaran
untuk mengejar pemuda berpakaian putih berambut gondrong seperti yang dilihat
dan diberitahukan oleh Saringgih kepadanya. Berdasarkan ciri-ciri yang
dikatakan pembantunya itu Nyanyuk Amber sudah dapat menduga bahwa si pemuda
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan siapa dia beberapa tahun
lalu menghancurkan sarang Datuk Sipatoka dan membunuh manusia jahat itu di
Bukit Tambun Tulang.
"Saringgih!
Lekas dukung aku! Kita harus mengejar pemuda yang kau lihat itu. Badai kurasa
sudah mulai reda!’
Saringgih
segera lakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia
keluar dari legukan batu, pembantu ini cepat bersurut kembali.
"Eh,
ada apa Saringgih?!" tanya si orang tua. Telinganya di pasang.
"Ada
orang mendatangi dari jurusan pantai sebelah kanan!" melapor sang
pembantu.
"Cepat
katakan ciri-cirinyal"
"Ada
dua orang Nyanyuk. Yang pertama seorang perempuan berambut panjang, berpakaian
serba ungu…"
"Seorang
perempuan berpakaian serba ungu! Apakah wajahnya ditutupi dengan cadar
ungu?"
"Tidak
Nyanyuk. Wajahnya tidak ditutup apa-apa. Dari sini jelas terlihat parasnya
cantik. Di pinggangnya ada sebuah saluang."
"Tak
ada dugaan lain. Orang ini adalah Pandansuri, anak angkat Raja Rencong. Tetapi
kenapa tidak bercadar? Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman!
Saringgih, lekas katakan ciri-ciri orang kedua!"
"Seorang
anak lelaki kecil. Umurnya belum sampai tujuh tahun."
"Anak
lelaki? Di pulau ini ada anak lelaki?! Pasti itu murid si Tua Gila!"
"Kedua
orang itu sudah mendekat kemari Nyanyuk. Kelihatannya mereka seperti dikejar
sesuatu!"
Telinga
Nyanyuk Amber menangkap suara kaki-kaki yang berlari itu mendekati legukan
batu, maka dia cepat berseru.
"Pandansuri,
lekas masuk ke dalam legukan batu!"
Pandansuri
tentu saja jadi terkejut ketika dia mendengar ada suara menyebut namanya. Dia
memegang lengan Malin Sati erat-erat seraya memandang ke arah legukan batu yang
tertutup rapat oleh pohon-pohon kecil serta semak belukar.
Semak
belukar terkuak. Saringgih muncul. Tentu saja Pandansuri tidak mengenali orang
ini. Tapi dia seperti pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut namanya.
"Malin,
kau kenal orang itu?" tanya Pandansuri. Malin Sati menggeleng.
"Saudara…
Siapa kau?!" tanya Pandansuri.
Dari
dalam legukan batu kembali terdengar suara halus tadi. "Pandansuri, lekas
masuk. Untuk sementara kalian akan aman berada di sini!"
Saringgih
menguak semak belukar lebih lebar. mata Pandansuri kemudian melihat sosok tubuh
yang duduk di lantai legukan batu.
Gadis ini
terkejut dan juga girang. Dia berseru.
"Nyanyuk
Amber!" Lalu bersama Malin Sati Pandansuri masuk dengan cepat kedalam
legukan batu. Saringgih segera menutup tempat itu kembali dengan semak belukar
dan pohon-pohon kecil.
Sampai di
dalam Pandansuri langsung jatuhkan did, bersimpuh di hadapan Nyanyuk Amber.
Sementara Saringgih dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata Saringgih
tidak berkedip memandang Pandansuri. Belum pernah dia melihat gadis secantik
yang satu ini.
"Kakek
guru, apakah kau baik-baik saja?" bertanya sang dara.
"Alhamdulillah.
Aku seperti apa yang kau lihat. Kuharap kau begitu juga. Apakah kau kini sudah
tidak mengenakan cadar ungu lag! Pandan?"
Sang dara
memegang wajahnya. _"Cadar itu lepas ketika saya menuju pantai…"
"Kedatanganmu
kemari pasti dengan maksud yang sama. Menyambangi makam Tua Gila…"
"Betul
Nyanyuk. Tapi saya melihat banyak keanehan dan hal-hal menggidikkan di pulau
ini…"
"Aku
sudah tahu apa yang kau maksudkan itu. Empat orang tokoh silat dibunuh dan
mayatnya dilkat di tiang kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya
tanpa nisan..:’
"Rupanya
kakek guru sudah tahu semua apa yang terjadi. Tapi apakah kakek juga tahu
bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng barusan saja dijebloskan Datuk Tinggi Raja Di
Langit ke dalam makam kedua?!"
Terkejutlah
Nyanyuk Amber mendengar kata-kata Pandansuri itu.
"Celaka!"
ujar si orang tNa. "Aku baru saja hendak mengejarnya. Padahal aku tadinya
berharap dialah yang bakal dapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit keparat
itu!"
"Kakak
Datuk Sipatoka itu memang bukan manusia sembarangan…" kata Pandansuri
pula.
"Pandan,
kau dan si datuk itu sama-sama dari utara. Apa saja yang kau ketahui tentang
dirinya. Sepak terjangnya sangat meresahkan orang-orang rimba
persilatan!"
"Manusia
itu memang biang racun segala malapetaka. Dia bercita-cita menguasai dunia
persilatan di Pulau Andalas. Untuk itu dia telah membekali diri dengan
berbagai ilmu. Antaranya senjata rahasia Mutiara Setan yang sangat berbahaya.
lalu sebuah jubah berupa mantel hitam yang dapat mengeluarkan angin sedahsyat
badai…"
"Mantel
itu memang luar biasa. Aku sudah sempat kena hantamannya:.:" kata Nyanyuk
Amber lalu menceritakan pada Pandansuri bagaimana dirinya hampir celaka di
tangan Datuk Tinggi Raja Di Langit.
"Kita
menghadapi masalah besar. Tua Gila dikabarkan meninggal. Makamnya diliputi
keanehan. Beberapa tokoh silat menemui ajal Pendekar 212 dipendam dalam makam
batu! Kita harus menghentikan Datuk Tinggi. Ini bukan pekerjaan mudah. kita
harus mempergunakan akal…"
"Kau
betul kakek guru. Datuk Tinggi punya segudang ilmu. Dia ahli segala peralatan
rahasia. Termasuk merancang dua makam batu yang bisa dibuka dan ditutup bagian
atasnya!" Pandansuri pula. "Disamping itu senjata andalan Wiro yakni
Kapak Maut Naga Geni 212 telah jatuh ke tangan Datuk Tinggi…"
"Ah,
celaka! Banar-benar celaka!"
"Kakek
guru! Saya tahu letak alat rahasia untuk membuka dan menutup makam Pendekar
212. Saya sempat melihat Datuk Tinggi menjalankan alat . itu. Kalau kita biasa
membebaskan Wiro, pasti lebih mudah bagi kita menghadapi Datuk Tinggi. Hanya
ada satu cara untuk dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang
melekat di tubuhnya!"
"Hal
itu sama saja dengan kita hendak menguliti harimau hidup!" kata Nyanyuk
Amber.
"Tak
ada jalan lain kakek guru. Dia tak mempan ditotok. Selama mantel itu masih
melekat ditubuhnya tak ada senjata atau pukulan saktipun yang mempan atas
dirinya!"
Nyanyuk
Amber menghela nafas panjang. Orang tua bermata buta ini lama termenung tapi
otaknya bekerja keras. Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya.
"Hanya
ada satu orang untuk dapat mengalahkan manusia keparat itu, Pandansuri. Dan ini
semua sangat tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya… "
"Katakan
apa yang harus saya lakukan kakek guru," ujar Pandansuri.
Nyanyuk
Amber tampak seperti bimbang.
"Tak
usah ragu-ragu, kek!"
Orang tua
itu memberi isyarat dengan anggukan kepala agar si gadis mendekat. Lalu Nyanyuk
Amber membisikkan sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta kelihatan paras
sang dara menjadi sangat merah.
*******************
13
SETELAH
berusaha mencari orang yang tadi berteriak namun tak berhasil menemuinya Datuk
Tinggi Raja Di Langit segera menuju ke goa kecil di mana dia meninggalkan
Malin Sati. Saat itu hujan mulai reda dan angin tidak sekencang sebelumnya
pertanda badal akan segera berhenti.
Begitu
masuk ke dalam goa, terkejutlah sang datuk. Murid Tua Gila yang ditinggalkannya
dalam keadaan terikat tak ada lagi di tempat itu! Di lantai goa bertebaran
akarakar pohon yang dijadikan tali untuk pengikat kedua kaki dan tangan anak
itu.
Paras
seram Datuk Tinggi berubah tambah angker. Dia ingat kembali pada suara seruan
perempuan sewaktu Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu.
"Seseorang
telah melepaskan anak itu! Dia pasti! Bagaimana aku tidak bisa mengetahui
kemunculannya? Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak itu
sebaiknya kuhabisi saja!"
Datuk
Tinggi segera membalikkan tubuh. Dia kembali menuju ke lapangan di mana dua
makam terletak. Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan berada
di tempat itu. Mungkin untuk menziarahi makam Tua Gila, tetapi mungkin sekali
untuk berusaha melepaskan orang tua yang disekapnya dalam makam batu.
Sampai di
lapangan Datuk Tinggi segera menyelidik setiap sudut. Setelah berpikir sesaat
din lalu naik ke atas sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan mendekam dan
bersembunyi di atas pohon itu. Cepat atau lambat pasti akan muncul orang yang
ditunggunya.
Sampai
siang bahkan menjelang rembang petang tak ada yang muncul. Keadaan sekitar
lapangan sunyi sepi. Dikejauhan terdengar deburan ombak memecah di pantai.
Datuk Tinggi mulai merasa tak sabar. Sebentar lagi matahari akan segera
tenggelam dan slang akan berganti malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan segera
turun saja dari atas pohon.
"Tidak
mustahil orang itu justru menunggu sampai malam turun. Baru muncul di tempat
ini!" Berpikir begitu Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja berada di
atas pohon sementara per!ahanlahan udara mulai tenggelam dalam kegelapan. Malam
mulai merayap.
Tiba-tiba
Datuk Tinggi Raja Di Langit. dongakkan kepala. Kedw telinganya dipasang
baik-baik. Dia mendengar suara sesuatu.
"Aneh!
Tak mungkin ada suara saluang di pulau ini! Tapi telingaku tidak salah tangkap!
Itu memang suara saluang! Siapa pula yang meniupnya?!"
Datuk
Tinggi menunggu sesaat. Suara yang didengarnya semakin jelas. Orang ini segera
turun dari atas pohon, melangkah ke arah barat yaitu clad arah mana asalnya
suara tiupan saluang itu.
Beberapa
saat saja Datuk Tinggi meninggalkan tempat itu, sesosok tubuh menyelinap keluar
clad rerumpunan semak belukar. Orang ini ternyata adalah Saringgih, pembantu
Tua Gila. Mengendap-endap dia mendekati dua buah makam di ujung lapangan.
Sesuai dengan petunjuk Pandansuri dia segera mencari batu hitam yang tersembul
keluar di belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng. Karena sudah diberi
petunjuk tidak sulit bagi Saringgih untuk menemukan batu hitam itu. Begitu
dilihatnya langsung ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara berdesir dan perlahan-iahan
bagian atas makam berderak membuka!
Datuk
Tinggi melangkah dengan hati-hati tanpa mengeluarkan suara. Semakin dekat dia
ke pantal pulau sebelah barat semakin jelas terdengar suara tiupan salung itu.
Bahkan kini dia mendengar suara orang menyanyi. Suara perempuan!
Datuk
Tinggi menyelinap dibalik batu-batu karang. Di bagian batu karang paling ujung
yang dekat ke pantai dia hentikan langkah. Dari sini dia melihat seorang
perempuan duduk di atas sebuah batu hitam membelakanginya. Rambutnya yang panjang
terurai di punggung pakaiannya yang berwarna ungu. Kedua tangannya memegang
sebuah saluang yang ditiupnya dengan suara merdu, diselingi dengan suara
nyanyian yang berhiba-hiba.
Indak
disangko larinyo ruso
larinya
kancang ka dalam guo
Indak
disangko ka cando Iko
Nasib
sangsaro sabatang karo
Tinggi-tinggi
si matohari
Ayam
bakokok di tanah Cino
Baiko
bana buruakno diri
Ayah
tiado bundopun tiado
Urang
Piaman pal ka koto
Urang
Talu manjunjung balango
Sangsaro
datang siliah batimpo
Kakasiah
dicinto lah hilang pulo
(Tidak
disangka larinya rusa)
(Larinya
kencang ke dalam goa)
(Tidak
disangka akan seperti ini)
(Nasib
sengsara sebatang kara)
(Tinggi-tinggi
si matahari)
(Ayam
berkokok di tanah Cino)
(Begini
benar nasibnya diri)
(Ayah
tidak ibupun tiada)
Orang Piaman
pergi ke kota)
(Orang
Talu menjunjung belanga)
(Sengsara
dating silih berganti)
(Kekasih
tercinta telah pergi pula)
Sehabis
menyanyi perempuan yang duduk di batu kembali meniup saluangnya. Kali ini
tiupan gadis itu terdengar tersendat sendat. Sambil menangis sesenggukan dia
meletakkan saluangnya di atas batu. Lalu perlahanlahan dia melangkah ke arah
laut. Di tepi pasir perempuan itu tegak tidak bergerak. Angin laut
melambai-lambaikan rambutnya yang panjang. Lalu dia memalingkan kepalanya ke kiri.
Sesaat Datuk Tinggi dapat melihat wajah perempuan itu. Temyata dia seorang
gadis berparas cantik jelita.
"Siapa
adanya gadis ini..?" bertanya sang datuk dalam hati. "Agaknya dia
muncul di sini bukan untuk melihat makam Tua Gila. Berarti dia bukan karib atau
sahabat orang tua itu. Dari syair yang dinyanyikannya jelas dia meratapi nasib
dirinya yang sebatang kara. Tanpa ayah tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi
pula. Hemmm…"
Datuk
Tinggi usap dagunya yang ditumbuhi berewok lebat. Dia sudah siap melangkah
untuk mendekati gadis itu namun niatnya terhenti ketika tiba-tiba dia
menyaksikan sesuatu yang membuat darahnya menjadi panas dan mengalir cepat.
Rangsangan nafsu segera menjalari setiap sudut tubuhnya yang tinggi besar.
Sudah cukup lama dia tidak pemah melihat tubuh perempuan, apalagi
menyentuhnya.
Di alas
pasir sana, selagi buih ombak membasahi kakinya, gadis berambut panjang itu
tampak membuka baju ungunya. Baju yang ditanggalkan dicampakkan di atas pasir.
Kelihatan punggungnya yang putih mulus.
Nafas
Datuk Tinggi Raja Di Langit mulai memburu. Dari mulutnya keluar suara
menggeram. Matanya dipentang lebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka
ikatan celana ungunya. Celana itu merosot sampal ke pinggul.
Lalu
tampak si gadis melangkah memasuki air laut. Setiap langkah yang dibuatnya
membuat pakaiannya semakin merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu
kemudian kelihatan melemparkan pakaiannya yang terakhir ke dekat baju yang tadi
dicampakkannya di atas pasir. Berarti di dalam air laut itu tak sepotong
pakaianpun lagi melekat di badannya!
Dengan
tubuh bergetar dilanda nafsu Datuk Tinggi Raja Di Langit. melompat keluar dari
balik batu karang dan lari menuju laut.
Gadis di
dalam air serta merta balikkan tubuhnya ketika mendengar ads orang mendatangi.
Dia terpekik sambil cepat-cepat menutupi bagian dadanya yang berada di atas
batasan air laut. Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak melihat kepadatan tubuh
sang dara.
"Orang
gagah bertubuh tinggi besar! Si… siapa kau…?!" si gadis bertanya dengan
gagap.
"Aku
Datuk Tinggi Raja Di Langit! Jangan takut! Aku tidak menyakitimu…!"
"Tapi
Datuk mengintip saya mandi di laut! Sekarang malah datang mendekati Datuk nakal
sekali!"
Datuk
Tinggi tertawa lebar. Dari nada ucapan si gadis jelas dia tidak marah. maka
Datuk Tinggipun bertanya.
"Gadis
cantik, siapa namamu. Bagaimana tahu-tahu muncul di sini. Apa kau diam di pulau
ini?"
"Saya
gadis malang Datuk. Says tengah mencari kekasih yang pergi. Entah masih hidup
entah sudah tiada. Dan… dan… saya terkejut…"
"Terkejut
melihatku?!’
"Betul…
Terkejut karena… karena wajah kekasih yang hilang itu mirip sekali dengan
Datuk…"
"Ah…!
Kalau begitu biarlah diriku menjadi penggantinya!" kata Datuk Tinggi pula
lalu masuk ke daiam laut.
"Datuk
Apakah Datuk hendak menemani saya mandi…?"
"Ya…
Aku akan menemanimu mandi di laut yang sejuk itul" jawab Datuk Tinggi
sambil terus melangkah. Air laut mencapai betisnya.
"Tidak
adakah orang yang akan melihat kita berdua-dua di sini?!" tanya si gadis.
"Jangan
kawatir. Pulau ini tidak berpenghuni!"
"Ah…
Tapi, apakah Datuk akan mandi dengan masih berpakaian seperti itu? Lucu…!"
Datuk
Tinggi tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tibal Gadis itu jelas minta
agar aku menanggalkan pakaian!" kata sang datuk dalam hati. Lalu tanpa
pikir panjang dengan cepat sekali dia menanggalkan mantel hitamnya. Melemparkan
mantel ini ke atas pasir. Mencapakkan topi tingginya.
Kemudian
membuka baju kuningnya. Kapak Naga Geni 212 yang diselipkannya di pinggang juga
dilemparkan dekat mentelnya hitamnya. Tak ketinggalan kantong kain berisi
senjata rahasianya yaitu Mutiara Setan. Terakhir sekali kasut kulit yang masih
merekat di kakinya terbang di udara.
Sambil
tertawa lebar dan mengangkat kedua tangannya Datuk Tinggi mendekati si gadis.
"Datuk!
Kejar saya!" kata si gadis lalu dia menyelam ke dalam air.
"Kau
akan kukejar kekasihku!" jawab Datuk Tinggi pula seraya masuk ke dalam
laut lebih tengah.
Pada saat
itulah tiba-tiba dari balik batu-batu karang yang gelap berkelebat tiga sosok
tubuh. Orang pertama maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian ungu sedang
orang kedua melompat menyambar mantel hitam milik Datuk Tinggi. Orang yang
ketiga membuat gerakan aneh yaitu berguling seperti bola dan cepat sekali dia
menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan dengan mulutnya! Ketiga orang ini
kemudian berjejer di tepi pasir. Dua tegak berkacak pinggang sedang yang yang
tadi menyambar kantong senjata rahasia dengan mulutnya duduk di pasir! Kantong
kain itu dijatuhkan dipangkuannya tapi sebelumnya dia telah memasukkan lima
butir Mutiara Setan ke dalam mulutnyal.
*******************
14
Datuk
Tinggi Raja Di Langit melompat dalam air untuk dapat menangkap tubuh gadis
tadi. Tapi dia hanya menangkap air karena dengan cepat sekali gadis itu
berenang ke tepi pasir. Begitu tubuhnya keluar laut orang yang tegak di tepi
pasir sambil memegang Kapak Naga Geni 212 melemparkan pakaian ungunya.
Dalam
gelap malam gadis itu lari ke balik batu karang dan cepat-cepat mengenakan
pakaiannya kembali. Sesaat kemudian dia sudah bergabung dengan tiga orang tadi.
Datuk
Tinggi tentu saja terkejut besar melihat apa yang terjadi. Dia berenang ke tepi
pasir tapi kedua kakinya kemudian berhenti ketika menyadari bahwa dirinya saat
itu sama sekali tidak berpakaian.
Sepuluh
langkah dihadapannya berdiri orang tua bertubuh dan bermuka jerangkong yang
bukan lain adalah Tua Gila. Di sebelahnya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu
duduk bersila adalah Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa mata, tanpa tangan dan
tanpa kaki. Dari balik batu karang kemudian muncul Pandansuri yang saat itu
telah mengenakan pakalan ungunya kembali. Gadis ini mengambil saluangnya dari
atas batu lalu berdiri di samping Tua Gila. Agak disebelah belakang Datuk
Tinggi melihat murid Tua Gila berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber.
"Celaka
besar! Bagaimana bisa begini kejadiannya?! Bagaimana kedua orong yang disekap
dalam makam batu Itu bisa lolos?! Mantelku…! Mutiaraku…!"
Datuk
Mata Tinggi memandang melotot pada Tua Gila yang memegang mantelnya, lalu
memperhatikan dengan dada membara pada kantong senjata rahasianya yang ada di
pangkuan Nyanyuk Amber.
"Celaka!
Bagaimana aku bisa lolos?!" Datuk Tinggi melirik ke arah pakaiannya yang
tercampak di pasir.
"Datuk
Tinggil" terdengar Tua Gila berkata. "Kami memberi kesempatan padamu
agar kau bisa mati berpakaian lengkap!" Orang tua ini menganggukkan
kepalanya pada Pandansuri.
Si gadis
maju lalu dengan ujung saluangnya satu persatu pakaian Datuk Tinggi termasuk
topi dan kasutnya di lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan kasut
itu terapung-apung di air laut. Datuk Tinggi belum bergerak untuk mengambilnya.
"Ayo
lekas kenakan pakaian, topi dan kasutmu!" beteriak Wiro. "Terlalu
lama telanjang kau bisa masuk angin! Atau mungkin minta sahabatku gadis cantik
ini membantumu mengenakan pakaianmu satu persatu?!"
Tua Gila
dan Nyanyuk Amber tertawa gelak-gelak.
Paras
Datuk Tinggi mengelam sedang wajah Pandansuri bersemu merah.
"Kembalikan
mantel hitam dan kantong kain itu!" membuka mulut Datuk Tinggi untuk
pertama kalinya.
"Keluar
dari dalam laut! Kau bisa mengambilnya sendiri!" jawab Tua Gila.
Datuk
Tinggi tidak bergerak. Mulutnya keluarkan suara menggeram. Tiba-tiba orang ini
berlaku nekad. Dia keluar dari dalam air laut tanpa mengenakan pakaian sama
sekali. Pandansuri cepat palingkan muka.
"Kalian
mau membunuhku lakukanlah cepat!" teriak Datuk Tinggi. Dia melangkah
mendekat. Tiba-tiba dia menubruk ke arah Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling
dekat. tangan kananya menyambar ke arah pangkuan si orang tua dimana dilihatnya
terletak kantong kain berisi Mutiara Setan.
Mulut
kempot Nyanyuk Amber mengembung. Lalu kelihatan orang tua ini meniup. Sebuah
benda hitam melesat di udara. Datuk Tinggi berseru kaget ketika mengenali benda
itu bukan lain adalah senjata rahasianya sendiri! Terpaksa di membuang diri ke
samping. Mutiara hitam melesat membabat rambut diatas telinganya. Datuk tinggi
keluarkan keringat dingin!
Datuk
Tinggi ternyata masih dapat mempergunakan akalnya dalam keadaan kepepet Itu.
Sambit mengelakan serangan senjata rahasia yang melesat dari mulut Nyanyuk
Amber, dia sengaja membuat diri ke arah Tua Gila yang memegang mantel hitamnya.
Dengan gerakan kilat dia berusaha merampas senjata Itu. Tap! Tua Gila tidak
bodoh. Mantel ditangannya dikebutkan satu kali!
Terdengar
teriakan Datuk Tinggi. Tubuhnya terpental dihantam angin laksana badai yang
keluar dari mantel sakti itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk
Tinggi menggerang. Dengan kalap dia bangkit dan kembali hendak menyergap Tua
Gila. Sekali ini gerakkannya tertahan oleh tendangan kaki kiri Pendekar 212.
Tubuhnya terlipat lalu tersungkur di pasir, megap-megap sulit bernafas.
"Kalian
bunuh saja diriku! Bunuh saja!" teriak Datuk Tinggi. "Manusia-manusia
pengecut! Beraninya main keroyok!"
Tua Gila
mendengus. Mantel ditangannya diserahkan pada Pendekar 212.
"Kalau
kau ingin perkelahian satu lawan satu, tua bangka ini siap melayanimu! Coba
perlihatkan kembali ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!"
Seperti
diketahui, selama empat tahun Datuk Tinggi memang telah menyiapkan did
merancang sendirl Ilmu pemunah ilmu silat Tua Gila. Merasa mendapat kesempatan
maka Datuk Tinggi segera berdiri lalu menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa,
kekuatan tenaga dalamnya sebenarnya ada pada mentel hitam sakti yang kini
tidak dimilikinya lagi. Setelah menempur dengan jurusjurus hebat selama beberapa
kali gebrakan akhirnya Tua Gila berhasil menghantamkan tangan kanannya, ke dada
Datuk Tinggi.
Darah
muncrat dari Datuk Tinggi. Tubuhnya terjengkang di pasir. Pada seat itu sambil
tertawa mengekeh Tua Gila tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang ditelannya
dan mendekap dalam perutnya sejak beberapa hari dimuntahkannya kembali. Lalu
dengan benang sakti itu diringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi. Sekali dia
melangkah maka terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera mengikuti.
Saringgih cepat mendukung Nyanyuk Amber dan Malin Sati mengikuti dari belakang.
Selama
tubuhnya diseret Datuk Tinggi menjerit-jerit tiada henti. Sekujur tubuh den
mukanya luka berkelukuran. Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan
kecil di tengah pulau di mana dua makam terletak dalam keadaan terbuka.
Datuk
Tinggi segera maklum apa yang akan terjadi atas dirinya. Maka diapun meraung
setinggi langit!
Tua Gila
menyeringai. Tangannya yang memegang benang sakti digerakkan. Benang
menggeletar. Tubuh Datuk Sakti terbetot lalu melayang masuk ke dalam makam di
mana Tua Gila disekap sebelumnya!
"Jangan!
Keluarkan aku! Ampun! Aku masih ingin hidup!" teriak Datuk Tinggi berulang
kali sampai suaranya parau.
Tua Gila
berpaling pada muridnya. "Sati! Kau tahu apa tugasmu!"
Anak enam
tahun ini segera melompat ke bagian belakang kepala makam. Dengan kakinya dia
menekan kuat-kuat batu hitam yang merupakan alat rahasia penutup bagian atas
makam. Terdengar suara berdesir. Lalu batu penutup makam itupun jatuh dengan
suara keras! Jeritan Datuk Tinggi sertat merta lenyap.
Pendekar
212 menggaruk kepalanya. Mantel hitam yang sejak tadi pegangnya dilemparkannya
ke dalam makam batu di mana sebelumnya dia disekap. Nyanyuk Amber mengatakan
sesuatu pada pembantunya. Saringgih kemudian mengambil kantong kain berisi
Mutiara Setan dari balik pinggang pakaian orang tua itu lalu melemparkannya ke
dalam makam.
"Semuanya
berakhir sudah…!" kata Tua Gila dan kembali dia memberi isyarat pada
muridnya. Malin Sati sekali lagi pergunakan kaki untuk menekan batu hitam.
Sekali ini yang terletak di belakang makam dimana Wiro sebelumnya mendekam.
Bagian atas makam menderu turun setelah lebih dahulu terdengar suara berdesir.
Sesaat
keadaan di tempat itu tenggelam dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar suara
Nyanyuk Amber bergumam seperti menelan sesuatu.
"Senjata
setan itu masih tertinggal dimulutku!" kata Nyanyuk Amber, lalu dia meniup
keras-keras. Dua buah mutiara hitam menyambar dalam gelapnya malam. Terdengar
suara benda keras pecah berantakan. Yang hancur adalah batu hitam alat rahasia
yang dapat menutup dan mernbuka makam batu di sebelah kiri. Sekali lagi orang
tua itu menlup. Dan buah mutiara setan yang masih bersisa dalam mulutnya
meleset menghancurkan batu hitam kedua di belakang makam sebelah kanan.
"Sekarang
urusan benar-benar beres!" kata Nyanyuk Amber. "Manusia iblis itu tak
mungkin keluar selamatkan diri! Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh
ke tangan orang lain!"
"Masih
ada yang perlu dirapihkan!" Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan ucapan
sambil mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. "Tua Gila dan
Wiro Sableng belum pernah mati!"
Lalu
senjata itu berkiblat dua kali. Suara gemuruh seperti tawon mengamuk disertal
sinar panas menyilaukan berkelebat.
Traaakkk!
Traaakkk!
Duo batu
nisan hitam masih tampak berdiri di kepala kedua makam batu. Tapi bagian atas
yang bergurat nama Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus!
Sambil
menyeringal dan garuk kepala Pendekar 212 berpaling ke arah Pandansuri yang
tegak di sampingnya.
"Aku
ini manusla tidak sopan. Sejak tadi belum sempat menegurmu. Apa kabar sahabatku
cantik jelilta? Apakah kau hendak mengajakku mandi bersama di laut malam
ini?!"
Paras
Pandansuri menjadi cemberut. Gadis ini mengangkat tangannya hendak menampar
wajah Pendekar 212. Tapi Wiro melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang dara
tidak sungguhan hendak menamparnya. Wiro cepat menangkap tangan itu lalu
mendekatkannya ke hidungnya dan menciumnya dengan mesra.
TAMAT
No comments:
Post a Comment