Hantu Langit Terjungkir
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
1
DI DALAM
telaga yang kedalamannya setinggi leher, Pendekar 212 Wiro Sableng
kibas-kibaskan rambut gondrong basahnya. Dia bermaksud hendak menselulupkan
tubuhnya sampai kepala sekali lagi baru keluar dari telaga itu. Namun
tiba-tiba, pluk! Sebuah benda menghantam kepalanya. Kagetnya sang pendekar
bukan kepalang. Pundaknya sampai tersentak ke atas. Benda yang tadi mengenai
kepalanya itu jatuh ke telaga. Sebelum tenggelam ke dalam air Wiro cepat
mengambilnya.
Ternyata
sebuah jambu muda berwarna hijau. Wiro memandang berkeliling. “Tak ada pohon
jambu sekitar telaga ini. Berarti ada orang jahil mempermainkanku!” pikir murid
Sinto Gendeng sambil memperhatikan seputar telaga. Tapi dia tak melihat
siapa-siapa. “Jangan-jangan ini pekerjaan bocah konyol Naga Kuning atau si
kakek geblek Setan Ngompol. Awas mereka berdua. Akan kubalas nanti!”
Wiro lalu
memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam air telaga yang sejuk itu. Sesaat
kemudian kepala disusul tubuhnya mencuat kembali di permukaan air telaga.
Justru saat itu sebuah jambu muda berwarna hijau kembali melayang di atas
telaga lalu mendarat di kepalanya!
“Sialan!
Naga Kuning! Setan Ngompol! Awas kalian berdua! Jangan berani kurang ajar
menimpuk mempermainkanku!”
Dari
balik sebuah pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat tiba-tiba
terdengar suara tertawa haha-hihi.
Pendekar
212 kerenyitkan kening dan menggaruk kepalanya yang basah. “Itu bukan suara
Naga Kuning atau Setan Ngompol…” kata Wiro dalam hati. Kalau tadi dia merasa
jengkel dan marah kini perasaannya jadi tidak enak. Dengan cepat dia melangkah
dalam air, menyisi tepian telaga ke tempat dia meninggalkan pakaiannya yaitu di
celah kering antara dua batu besar. Sebelum mengenakan pakaian, lebih dulu dia
memeriksa Kapak Naga Geni 212, batu sakti warna hitam pasangan kapak mustika
itu dan sebuah tongkat batu memancarkan cahaya biru redup. Tongkat ini
didapatnya dari Luhjelita beberapa waktu yang lalu. Tiga benda itu masih berada
dalam lipatan baju dan celana putihnya. Wiro dengan cepat mengenakan pakaiannya
kembali. Baru saja dia selesai mengikatkan tali celananya tiba-tiba, pluk!
Kembali sebutir jambu hijau mendarat di kepalanya lalu seperti tadi dari balik
pohon besar terdengar suara tawa cekikikan.
Wiro ikat
tali celananya kencang-kencang. Rahangnya menggembung dan matanya memandang
menyorot ke arah pohon besar. Dengan membungkuk-bungkuk dia menyusup mendekati
pohon itu. Sesaat kemudian, sekali lompat dia sudah berada di balik pohon. Di
situ dia tidak menemukan siapa-siapa. Tapi di tanah dia melihat hampir selusin
jambu muda bertebaran. Beberapa di antaranya ada bekas gigitan.
“Kurang
ajar… Kabur mereka! Siapa makhluk-makhluk kurang ajar itu adanya!” Wiro memaki
dalam hati lalu membungkuk mengambil sebuah jambu hijau yang paling besar.
Jambu itu ditimang-timangnya sesaat. Setelah dibersihkannya dengan bajunya lalu
dimakannya. “Hemm…Enak juga,” berucap Pendekar 212 dalam hati sambil
menyeringai. Namun seringai murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini serta
merta lenyap begitu pluk… pluk…pluk… Dari atas pohon berjatuhan jambu-jambu
hijau menimpa kepalanya! Menyusul terdengar suara tawa cekikikan.
“Benar-benar
kurang ajar!” Wiro mendongak ke atas sambil tangan kanannya siap untuk
menghantamkan.
Namun di
atas pohon dia tidak melihat manusia atau binatang. Walau begitu matanya yang
tajam bisa melihat dedaunan pada dua cabang besar bergerak-gerak. Wiro
memperhatikan tak berkedip. Tangan kirinya menggaruk kepala. “Tadi pasti ada
orang di atas pohon itu. Binatang pasti tidak bisa ketawa cekikikan. Dari suara
tawanya agaknya lebih dari satu orang. Mereka memiliki kepandaian bergerak
sangat cepat. Aku tidak dapat melihat sosok mereka padahal suara tawa mereka
masih menggema.”
Sepasang
mata Wiro melirik tajam seputar tempatnya berdiri. Beberapa langkah dari pohon
besar dari atas mana tadi berjatuhan buah-buah jambu yang menimpa kepalanya,
ada lagi sebuah pohon yang batangnya sebesar pemelukan lengan. Wiro tersenyum.
“Makhluk-makhluk yang menyambiti kepalaku itu pasti pindah melompat ke atas pohon
sana! Kini giliranku mengerjai mereka!”
Pendekar
212 dekati pohon itu lalu lingkarkan dua lengannya merangkul batang pohon
sambil mengerahkan tenaga dalam. Dengan mengandalkan hawa sakti itu Pendekar
212 mulai menggoyang batang pohon. Mulamula perlahan. Pohon bergeletar mulai
dari akar sampai ke puncaknya.
“Hik…
hik! Aih nyamannya…” Di atas pohon berdaun rimbun itu terdengar suara orang.
“Aku juga
enak. Aku bahagia…” Ada satu suara lain menyahuti.
Wiro
kerahkan tenaga dalam lebih besar. Kini dia menggoncang lebih keras.
Cabang-cabang pohon sampai ke ranting-ranting bergoyang kencang, keluarkan
suara berderik-derik. Dedaunan bergeletar seperti ditiup angin. Suara orang
tertawa di atas pohon serta merta lenyap.
“Wahai!
Mengapa mendadak jadi kencang begini? Tak sedap nian rasanya?”
“Getarannya
membuat aku seperti mau kencing! Hik…hik… hik! Saudaraku, baiknya kita
tinggalkan pohon ini!”
“Tunggu,
jambuku sudah habis. Kau masih punya? Pemuda gondrong itu agaknya suka jambu
hijau itu. Aku dengar tadi dia mengatakan jambu itu enak. Hik… hik…hik!”
“Jambuku
juga sudah habis! Wahai, getaran pohon ini semakin keras. Ayo kita pergi saja!”
Di bawah
pohon Wiro memandang ke atas. “Sial!” Dia menggerendeng. “Ranting dan daun
pohon ini rapat sekali! Aku tidak dapat melihat orang-orang di atas sana!
Mereka pasti sudah kabur lagi!” Wiro lepaskan rangkulannya pada batang di bawah
pohon. Lalu memutar tubuh, maksudnya hendak duduk bersandar di bawah pohon itu.
Namun begitu berputar mendadak sontak dia jadi tersentak kaget. Matanya
membeliak dan mulut ternganga. Di hadapannya berdiri dua orang gadis cantik,
yang wajah serta potongan tubuh seperti pinang dibelah dua, mirip sekali satu
dengan lainnya. Dua gadis ini mengenakan pakaian dari kulit kayu yang sangat
halus hingga menyerupai kain biasa, berwarna putih keabu-abuan dan agak
berkilat. Rambut mereka yang tergerai panjang sampai ke pinggang berwarna
kepirangpirangan. Ketika tersenyum kelihatan barisan gigi-gigi mereka yang
putih berkilat dan rata.
“Dua
gadis cantik berpakaian serba putih di dalam rimba belantara. Sekian lama
berada di Negeri Latanahsilam ini, baru sekali ini aku bertemu sepasang dara
kembar. Apa mereka makhluk hidup sungguhan, bangsa peri atau, jangan-jangan…”
Pendekar 212 memandang ke bawah, memperhatikan sepasang kaki gadis itu.
“Hik…
hik…” Gadis di sebelah kanan tertawa. “Lihat,” katanya pada gadis di
sebelahnya. “Dia memperhatikan kaki kita. Hik… hik! Di negerinya makhluk halus
memang tidak menginjak tanah. Rupanya dia hendak menyamakan di sana dengan di
sini…”
“Kalian
siapa…?” bertanya Pendekar 212. Walau dia senang bertemu dengan dua dara cantik
jelita itu namun hatinya mendua karena menduga jangan-jangan mereka adalah
hantu penghuni rimba belantara itu.
“Kami dua
gadis bahagia!” menjawab dara di sebelah kiri.
“Aku
tidak mengerti,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
“Biar aku
menerangkan,” ujar gadis di sebelah kiri.
“Hidup di
muka bumi ini hanya sementara. Mengapa harus berbuat sia-sia? Setiap makhluk
hidup harus berbuat dan merasa bahagia! Kebahagiaan membuat hati senang, dada
lapang. Langit akan tampak cerah, sang surya tampak gagah dan rembulan berseri
indah. Kebahagiaan menghindarkan segala macam penyakit, membuat makhluk berumur
panjang, tak ada musuh tetapi justru banyak sahabat…”
Wiro
tambah keras menggaruk kepalanya. “Aku setuju dengan semua ucapan kalian. Tapi
kalian ini siapa sebenarnya?”
“Kami
orang-orang di atas pohon yang tadi kau goncang-goncang!” jawab gadis di
samping kanan sambil tidak putus-putusnya tersenyum.
“Yang
tadi berlaku kurang ajar melempari kepalaku dengan jambu hijau?!” tanya
Pendekar 212.
Dua gadis
itu tertawa gelak-gelak. “Itulah salah satu kebahagiaan hidup!”
“Melempar
orang kau bilang kebahagiaan hidup?!” ujar Wiro dengan mata dibesarkan.
“Betul,
karena kami melakukan bukan dengan hati jahat! Tapi niat mencari kebahagiaan
semata. Buktinya kami berdua bisa tertawa-tawa. Dan kau sendiri setelah tahu
siapa yang melempar pasti juga merasa bahagia! Hik… hik… hik!”
Pendekar
212 menyeringai. Sesaat kemudian dia ikutikutan tertawa malah lebih keras dari
tawa dua gadis itu.
“Wahai,
rupanya kebahagiaan telah menjadi bagianmu pula! Kami bahagia melihat kau bisa
tertawa!”
Mendengar
kata-kata si gadis Wiro hentikan tawanya.
“Jangan-jangan
dua gadis ini miring otaknya,” pikir Wiro.
Lalu dia
berkata. “Jadi kalian rupanya kesasar di rimba belantara ini karena mencari
kebahagiaan!”
Dua gadis
kembali tersenyum. Yang di samping kanan menjawab. “Kami tidak kesasar. Kami
tengah melakukan perjalanan bersenang-senang, mencari dirimu!”
“Mencari
diriku? Sekarang sudah bertemu. Apa yang hendak kalian lakukan?”
“Membuat
dirimu bahagia!”
“Caranya?”
tanya Pendekar 212 sambil dalam hati bertanya-tanya apa sebenarnya niat dua
gadis tak dikenal dan kelihatan genit meriah ini.
“Caranya
yaitu membebaskan dirimu dari satu beban yang sebenarnya tak perlu terjadi…”
“Beban?
Beban apa? Aku tidak merasa punya beban,” kata Wiro pula.
Dua gadis
itu tersenyum manis. Yang satu bertanya.
“Apa
benar kau orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?”
Wiro
mengangguk.
“Wahai,
perbedaan waktu antara negeri ini dengan negeri asalmu saja sudah merupakan
beban bagi dirimu. Lalu rangkaian kejadian yang kau alami di negeri
Latanahsilam ini, apakah itu bukan merupakan beban? Bukan cuma satu, tapi
banyak. Apakah kau tidak sadar?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Mungkin ucapanmu benar. Tapi harap kau suka memberi tahu
siapa kau dan temanmu ini adanya. Kulihat wajah kalian sangat mirip satu sama
lain. Harap kau juga mau memberi tahu mengapa kalian mencariku.”
“Pertanyaan
pertama biar aku yang menjawab,” kata gadis di sebelah kanan. “Kami adalah dua
gadis kembar.
Aku yang
tua bernama Luhkemboja dan adikku ini bernama Luhkenanga. Kami biasa dipanggil
dengan sebutan Sepasang Gadis Bahagia.”
“Kemboja
dan Kenanga… Itu dua bunga yang ada sangkut pautnya dengan kematian. Bunga
kemboja banyak tumbuh di pekuburan. Bunga kenanga bunga taburan di atas makam
orang yang sudah mati…” Rasa tidak enak kembali menyelubungi Pendekar 212 walau
dua gadis cantik di hadapannya selalu bicara dan memandang padanya dengan
senyum.
Tiba-tiba
murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Langsung saja dia ajukan pertanyaan sambil
menatap tajam pada dua gadis di hadapannya itu. “Kalian mengaku dijuluki
sebagai Sepasang Gadis Bahagia. Apakah kalian punya sangkut paut dengan Istana
Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua, makhluk yang dijuluki Hantu Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu itu?”
Mendengar
kata-kata Wiro itu dua gadis cantik tertawa panjang. Wiro bertambah curiga.
********************
2
GADIS
bernama Luhkemboja hentikan tawanya lalu berkata. “Kebahagiaan itu ada dua
macam wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Pertama
kebahagiaan yang dicari berdasarkan nafsu. Seperti hasrat ingin kaya, ingin
kedudukan tinggi dan ingin berkuasa, ingin mendapatkan anak gadis orang. Hantu
Muka Dua termasuk dalam golongan ini. Lalu ada kebahagiaan yang diinginkan
secara wajar, diniati dengan hati ikhlas bersih. Kami berdua berusaha masuk ke
dalam golongan ini. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan
dan Hantu Muka Dua…”
Walau
masih menaruh hati tidak enak namun Wiro merasa agak tenteram mengetahui bahwa
dua gadis ini bukan kaki tangan Hantu Muka Dua, musuh bebuyutannya sejak
menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam.
Gadis
bernama Luhkenanga kemudian membuka mulut menyambung ucapan kakak kembarnya.
“Kami mencarimu karena ingin membantu membebaskan dirimu dari beban paling
akhir yang mungkin kau tidak sadar telah jatuh di atas pundakmu.”
Wiro
usap-usap pundaknya kiri kanan. “Beban yang mana? Beban apa maksudmu?” Murid
Sinto Gendeng ajukan pertanyaan karena makin lama bicara dengan dua gadis itu
semakin banyak yang dia tidak mengerti. “Belum lama berselang kau menerima
sebuah tongkat terbuat dari batu berwarna biru. Tongkat itu bukan milikmu. Kau
tak tahu harus menyerahkannya pada siapa. Kau tidak tahu pasti siapa
pemiliknya. Wahai, bukankah itu suatu beban bagimu?”
Selagi
Wiro terkejut mendengar kata-kata itu, dua gadis kembali memandang tersenyum
padanya.
“Kalian
pasti salah menduga. Aku tidak pernah menerima atau memiliki tongkat yang
kalian sebutkan itu,”
kata Wiro
berdusta. Dia yakin, tongkat batu biru yang diterimanya dari Luhjelita dan saat
itu terselip di pinggang di bawah baju putihnya, tongkat itulah yang
dimaksudkan dua gadis kembar ini.
“Berdusta
adalah satu penyakit yang membuat manusia jadi tidak bahagia…” kata Luhkenanga
pula.
“Tongkat
itu tidak ada padaku. Kalaupun ada belum tentu aku berikan padamu karena aku
yakin benda itu bukan milik kalian…”
“Memang
bukan milik kami. Tapi kami mendapat tugas untuk mencarinya sampai dapat…”
“Siapa
yang memberi tugas…?” tanya Wiro.
Dua gadis
itu saling pandang lalu sama-sama tersenyum. “Pemiliknya yang sah tentu. Tapi
kami tidak bisa memberi tahu padamu,” jawab Luhkenanga.
Wiro
ganti tersenyum. “Tidak mau bicara jujur dan polos adalah satu beban yang
membuat orang tidak bahagia. Bagaimana kalian bisa menemukan kebahagiaan kalau
dalam hati sendiri ada ganjalan yang tidak melapangkan dada?”
Walau
kata-kata Wiro membuat dua gadis kembar menjadi merah wajah masing-masing namun
keduanya tetap saja melayangkan senyum.
“Aku
bahagia mendengar ucapanmu,” menyahuti Luhkemboja. “Tapi harap kau bisa
membedakan kebahagiaan dengan tugas. Bila seseorang bisa melaksanakan tugas
maka itu akan menjadi satu kebahagiaan besar baginya. Lagi pula kami tidak akan
membebani dirimu dengan hal-hal yang tidak kau ingini kalau kami tidak mendapat
keterangan jelas bahwa tongkat batu biru itu memang ada padamu.”
Wiro
tertawa. Sambil geleng-gelengkan kepala dia bertanya. “Siapa yang memberi
keterangan bodoh itu pada kalian?”
“Siapa
lagi kalau bukan kekasihmu!” jawab Luhkemboja.
“Kekasihku?”
Murid Sinto Gendeng jadi terkejut. “Aku tidak punya kekasih di negeri
Latanahsilam ini!”
Luhkemboja
dan Luhkenanga tertawa gelak-gelak.
“Siapa
yang mengaku-aku kalau aku ini kekasihnya?”
Wiro jadi
penasaran. “Kalian berdua mengarang cerita!”
“Wahai,
si gadis sendiri yang mengatakan. Bagaimana kami tidak percaya?”
“Kalau
begitu lekas katakan siapa orangnya!”
“Luhjelita!”
jawab Luhkemboja dan Luhkenanga berbarengan.
Tentu
saja Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kaget mendengar ucapan itu.
“Wajahmu
berubah merah, sikapmu menunjukkan keterkejutan. Kau sengaja menyembunyikan
kebahagiaan atau bagaimana?”
“Antara
aku dengan gadis bernama Luhjelita itu tidak ada hubungan apa-apa, kecuali
sebagai sahabat. Di mana dia sekarang?”
“Saat ini
dia berada di satu tempat aman. Terpaksa kami sembunyikan untuk dijadikan
jaminan bahwa dia memberikan keterangan benar! Dia mengatakan kau kekasihnya
sedang kau mengatakan dia hanya seorang sahabat. Dia mengatakan tongkat batu
biru itu ada padamu, tapi kau sendiri berkata tidak memilikinya. Siapa yang
berdusta, siapa yang menyembunyikan kebenaran dengan menginjak kebahagiaan?”
Luhkemboja yang barusan bicara menatap lekat-lekat ke arah Pendekar 212.
“Wahai
kakakku Luhkemboja, mengapa kita tidak memutuskan secara adil saja?” Dara
kembar bernama Luhkenanga berkata. “Pemuda ini berucap benar bahwa gadis
bernama Luhjelita itu bukan kekasih, atau belum menjadi kekasihnya tapi baru
merupakan seorang sahabat saja. Lalu Luhjelita juga berucap benar bahwa tongkat
batu biru itu telah diserahkannya pada pemuda ini yang menurut dia bernama Wiro
Sableng. Bukankah sejak tadi kita sudah melihat bayangan tongkat mustika itu di
balik baju putihnya? Wahai pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang,
apa jawabmu?”
Untuk
beberapa lamanya Wiro hanya tegak berdiam diri.
Kemudian
sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Baiklah, kalau kalian memang sudah
tahu, aku mengaku. Tongkat batu biru itu saat ini ada padaku. Tapi aku tidak
akan memberikannya. Kalau aku ingin membebaskan diri dari beban, maka tongkat
ini akan kuserahkan pada Luhjelita. Katakan saja di mana dia kalian
sembunyikan…”
“Dia
berada di dalam sebuah goa, di satu kaki bukit di kawasan selatan. Tak jauh
dari sini. Jika kau keluar dari rimba belantara ini dan mengikuti sebuah jalan
setapak, goa itu pasti akan kau temui. Wahai, demi kebahagiaan kita semua,
apakah kau kini bersedia menyerahkan tongkat batu biru itu?”
“Aku akan
merasa lebih bahagia jika tongkat ini aku serahkan pada Luhjelita lalu gadis
itu menyerahkan padamu. Aku terlepas dari beban dan kalian merasa bahagia…”
jawab Wiro yang tetap tidak mau menyerahkan tongkat batu biru pada dua gadis
berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu. Bisa saja dua gadis ini tengah melakukan
siasat hendak menipunya. Selain itu dia merasa tongkat batu biru ini pastilah
satu tongkat yang sangat berharga.
“Untuk
mendapatkan kebahagiaan terkadang memang kita harus menempuh jalan berliku.
Tapi jika ada jalan pintas yang sama baiknya mengapa tidak langsung
dilaksanakan. Tongkat itu milik kakek kami. Kami ditugaskan untuk mencarinya
dan membawanya kembali kepadanya…”
“Apakah
kakekmu itu yang berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi?” bertanya Pendekar 212.
“Dari
mana kau tahu nama itu?” balik bertanya Luhkenanga.
“Ketika
Luhjelita memberikan tongkat itu padaku, dia menjelaskan tongkat itu ditemuinya
dekat sesosok mayat seorang kakek yang dikenalnya sebagai Si Tongkat Biru
Pengukur Bumi…”
“Si
Tongkat Biru Pengukur Bumi bukan kakek kami. Dia justru yang mencuri tongkat
itu dari kakek kami. Si Tongkat Biru Pengukur Bumi adalah kaki tangan Hantu
Muka Dua. Orang ini kemudian dihabisi oleh Hantu Muka Dua sendiri karena
dikhawatirkan akan berkhianat. Mayatnyalah yang ditemukan Luhjelita…”
“Aku
percaya keteranganmu, Luhkenanga. Tapi tongkat ini tetap tidak bisa kuserahkan
padamu atau saudaramu. Agar sama-sama mendapat kebahagiaan, kita sama-sama
pergi ke goa di mana kalian menyekap Luhjelita. Tongkat kuserahkan padanya dan
kalian kemudian boleh mengambil dari tangannya…”
“Sayang
sekali kami inginkan tongkat itu sekarang…” kata Luhkemboja.
“Apakah
kebahagiaan bisa didapat dengan cara memaksa?” tukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kami
tidak memaksa. Kami tengah menjalankan tugas!” jawab Luhkemboja.
“Apakah
tugas bisa dijadikan topeng alasan untuk mendapatkan kebahagiaan?” kembali
murid Sinto Gendeng menukas. Kali ini wajah dua gadis kembar menjadi kemerahan
walau senyum tetap menghias bibir mereka.
“Wahai,
untuk mendapatkan kebahagiaan terkadang memang harus menempuh jalan sulit
berliku,” kata Luhkemboja pula. Dia memandang pada Luhkenanga.
“Adikku,
rupanya tak ada jalan lain. Agaknya kali ini kita hanya bisa mendapatkan
kebahagiaan dengan menghadapi kenyataan. Apakah kau sudah siap adikku?”
“Aku
sudah siap wahai Luhkemboja. Tapi biarkan aku membujuk pemuda ini sekali lagi,”
jawab Luhkenanga. Lalu gadis ini mendekati Wiro dua langkah dan berkata.
“Kepercayaan
adalah salah satu dasar kebahagiaan. Kami telah menceritakan kebenaran padamu.
Sahabatmu Luhjelita ada dalam keadaan baik di goa itu. Tongkat yang ada padamu
bukan milikmu. Apa sulitnya menyerahkan pada kami?”
“Kau
bicara tentang kepercayaan. Aku mau bicara tentang kebijaksanaan. Harap kalian
sudi memaafkan. Bagaimanapun juga tongkat ini tidak akan aku serahkan pada
kalian. Kupersilahkan kalian jalan duluan. Kita samasama ke goa itu. Apa
sulitnya menerima usulanku?”
Luhkenanga
berpaling pada Luhkemboja. Sang kakak gelengkan kepalanya. Luhkenanga lalu
berkata. “Usulmu tidak kami terima. Kebahagiaan ada di tangan kita bersama. Aku
mohon kau mau menyerahkan tongkat batu biru.”
Wiro
balas dengan gelengan kepala.
Luhkenanga
menarik nafas dalam. “Tak ada jalan lain. Kakak Luhkemboja, aku sudah siap!”
Luhkemboja
mengangguk. Dua gadis ini lalu melangkah mundur. Di satu tempat mereka hentikan
langkah. Lalu dari mulut mereka yang selalu menyunggingkan senyum tiba-tiba
keluar suara gelak tawa berderai.
“Jurus
Bahagia Naik ke Pelaminan!” Luhkemboja berseru.
Sosok dua
gadis kembar itu melesat ke udara. Dua kaki dirapatkan begitu rupa, dua tangan
diletakkan di atas lutut. Sikap mereka seperti pengantin sedang duduk di kursi
atau di atas pelaminan. Mulut tersenyum simpul. Namun tiba-tiba kaki kiri
mereka ditendangkan ke depan.
Wuttt!
Wuuut!
Murid
Eyang Sinto Gendeng tersentak kaget ketika dapatkan dua larik angin deras
menghantam ke arahnya. Karena tidak mengira akan mendapat serangan, Wiro hanya
sempat menghindarkan diri dari sambaran angin yang datang dari sebelah kanan.
Sedang hantaman angin dari sebelah kiri yang berasal dari tendangan Luhkemboja
tak dapat dielakkannya.
Bukkk!
Walau
angin yang melabrak, tapi begitu mengenai dadanya terdengar suara bergedebuk.
Wiro seolah-olah terkena jotosan. Tubuhnya terpental sampai beberapa langkah
lalu terjengkang di tepi telaga. Luhkemboja dan Luhkenanga tertawa
terpingkalpingkal. Lalu dua gadis kembar ini membuat gerakan seperti orang
berenang. Selagi Wiro berusaha bangkit berdiri tiba-tiba Luhkemboja berseru.
“Jurus
Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan!”
Sosok dua
gadis itu yang sesaat masih melayang di udara tiba-tiba menukik ke bawah,
menyambar ke arah Pendekar 212. Wiro yang tidak mau kebablasan sampai dua kali
segera hantamkan tangan kirinya, menyongsong gerakan dua lawan dengan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Dua gelombang angin menderu dahsyat. Namun
serangan Wiro hanya mengenai tempat kosong karena dua gadis yang memiliki gerakan
luar biasa cepatnya benar-benar laksana menyelam. Dua tangan mereka menyambar,
satu ke kepala Wiro satunya lagi ke pinggang.
Dalam
keadaan seperti itu tentu saja Pendekar 212 lebih memperhatikan serangan
berbahaya yang di arahkan ke kepala. Sambil bergulingan dia pukulkan tangan
kiri untuk menangkis serangan di sebelah atas sedang dengan menendang dia coba
menghajar tangan lawan yang menyambar ke arah pinggang.
Ternyata
serangan ke kepala hanya tipuan belaka. Begitu perhatian Wiro terpecah,
sambaran yang ke arah pinggang tak dapat dimentahkannya dengan tendangan.
Tangan lawan yang menyambar lewat di bawah kakinya, melesat laksana kilat ke
pinggangnya. Lalu dua suara tawa cekikikan mengumandang di tempat itu. Suara
tawa lenyap. Wiro tersentak kaget dan cepat bangkit berdiri. Ternyata dua gadis
kembar tak ada lagi di situ. Gerakan mereka melenyapkan diri sungguh cepat luar
biasa.
“Astaga!”
Wiro pegang seputar pinggangnya. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam
pasangannya masih ada. Tapi tongkat batu biru lenyap! Dia memandang
berkeliling. Karena tidak sempat melihat ke arah mana kaburnya dua gadis kembar
tadi, Wiro hanya bisa memaki sendiri. “Sial! Aku kecolongan!” Wiro termangu dan
garukgaruk kepala. “Jurus Bahagia Menyelam Sungai Menyambar Ikan… Mereka mempergunakan
jurus aneh itu untuk menyambar dan merampas tongkat batu biru yang ada di balik
bajuku…” Wiro geleng-gelengkan kepala.
“Hanya
sebuah tongkat batu butut. Mengapa harus aku pikirkan…” membatin murid Sinto
Gendeng. “Tapi kalau cuma tongkat jelek, mengapa dua gadis kembar itu sangat
menginginkan? Siapa sebenarnya pemilik tongkat itu? Mungkin aku harus
menyelidik sementara menunggu munculnya Si Setan Ngompol dan Naga Kuning…”
Karena
tidak tahu mau mengejar ke mana, ketika dia ingat keterangan Luhkemboja dan
Luhkenanga tentang Luhjelita, Wiro segera saja berkelebat ke arah selatan.
Mungkin dua gadis kembar itu bicara dusta tentang Luhjelita yang mereka sekap
di dalam goa. Tapi tak ada salahnya menyelidik. Apalagi letak goa itu tidak
jauh dari sana. Wiro berlari sekencang yang bisa dilakukannya. Dalam berlari
seperti itu dia tidak memperhatikan lagi keadaan di sekitarnya. Dia tidak
menyadari kalau di udara, jauh di belakangnya ada satu benda putih terbang
mengikutinya.
********************
3
KITA tinggalkan
dulu Pendekar 212 yang tengah berusaha menyelidik goa tempat Luhjelita disekap.
Kita lebih dulu menuju ke Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Lasedayu.
Walau
langit di ufuk timur telah kelihatan merah namun sang surya belum nampak
muncul. Dinginnya udara pagi masih mencekam tulang dan persendian tubuh.
Kegelapan masih menghitam di mana-mana. Apa lagi di kawasan selatan Negeri
Latanahsilam di mana terletak sebuah lembah yang disebut Lembah Seribu Kabut.
Keadaan masih gelap gulita karena kabut mengapung di seantero tempat. Jangankan
pada malam atau pagi hari, siang hari saja ketika matahari bersinar terik,
kabut tebal acap kali menutupi pemandangan.
Dalam
keadaan seperti itu dari jurusan tenggara berkelebat seseorang. Kegelapan dan
pekatnya kabut yang menyungkup serta cepat gerakkannya membuat sosoknya hanya
berupa satu bayangan hijau yang meninggalkan bau seperti kubangan di
belakangnya. Agaknya orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak
mustahil dia bisa bergerak demikian cepat di kawasan yang banyak pepohonan dan
berbatu-batu serta masih gelap itu. Sepasang matanya seolah bisa menembus
kegelapan malam menjelang pagi serta kepekatan kabut yang menggantung di
mana-mana.
Cepat
sekali bayangan hijau tadi telah berada di pertengahan lembah. Orang ini
berkelebat ke arah sebuah batu besar di atas mana mendekam satu sosok aneh.
Sosok ini tidak tegak pada dua kakinya tetapi mempergunakan sepasang tangan
untuk dijadikan kaki. Sementara dua kakinya berada di sebelah atas. Makhluk ini
hanya mengenakan sehelai celana compang-camping. Karena cara berdirinya yang
aneh maka rambutnya yang putih panjang, begitu juga kumis dan janggutnya
menjulai ke bawah menutupi wajahnya. Dari sekujur tubuh orang ini mengepul
keluar asap tipis berwarna kebiruan. Sepertinya ada satu kekuatan dahsyat di
dalam tubuhnya yang terpendam dan tak bisa dikeluarkan.
Sosok di
atas batu ini masih tetap mendekam tak bergerak ketika bayangan hijau yang
muncul dari kegelapan dan kabut sampai di hadapannya. Ternyata yang muncul ini
adalah satu makhluk aneh angker. Sosoknya mulai dari ujung rambut di atas
kepala sampai ke kaki seperti terbungkus lumpur tebal berwarna hijau gelap dan
basah. Tetesan-tetesan air jatuh menitik dari tubuh yang basah ini. Sepasang
matanya juga berwarna hijau pekat. Menatap angker tak berkesip ke arah makhluk
yang tegak dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Jempol kaki kanan orang di atas
batu bergerak dua kali. Lalu dari balik riap rambut dan kumis serta janggut
putih panjang yang menutupi wajah terdengar suara berucap.
“Aku
mencium bau kubangan. Di balik kelopak mataku yang tertutup ada bayangan warna
hijau. Sepasang telingaku mendengar tetesan-tetesan air jatuh ke tanah. Wahai,
kuharap aku tidak salah menduga. Yang muncul di hadapanku saat ini bukankah
kerabat berjuluk Hantu Lumpur Hijau…”
Sosok
hijau yang tegak di depan batu sesaat masih pandangi orang yang tegak kaki ke
atas kepala ke bawah itu. Setelah kedipkan mata hijaunya satu kali makhluk yang
disebut Hantu Lumpur Hijau ini membuka mulut. Ternyata gigi dan lidahnya juga
berwarna hijau pekat!
“Puluhan
tahun tidak bertemu. Mata dan telinga tertutup rambut terjulai. Tapi kau masih
mengenali diriku. Wahai aku juga ingin memastikan. Bukankah kau yang konon
disebut Hantu Langit Terjungkir. Yang dulu dikenal bernama Lasedayu? Kalau
benar, sungguh dahsyat keadaanmu. Kau memang layak dinamakan Hantu Langit
Terjungkir!”
Orang di
atas batu terdengar menarik nafas dalam dan panjang. “Belasan tahun tidak
pernah kedatangan tamu. Sungguh hari ini aku merasa bahagia ada seorang yang
mau datang berkunjung. Wahai kerabat lama, selamat datang di Lembah Seribu
Kabut. Ada gerangan apa sampai kau datang berjauh-jauh ke tempat kediamanku
yang tidak nyaman ini?”
Hantu
Lumpur Hijau mendehem beberapa kali lalu menjawab. “Kedatanganku membekal
maksud kurang enak. Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu.”
Dua kaki
Hantu Langit Terjungkir mengembang ke samping. Dari balik riapan rambut
panjangnya yang menjulai ke bawah menyentuh batu mengepul asap biru tipis.
“Datang
dari jauh dengan maksud kurang enak. Wahai harap kau berterus terang Hantu
Lumpur Hijau. Katakan apa yang kurang enak itu! Hidupku sudah dibenam derita
sengsara sejak puluhan tahun silam. Jangan menambah deritaku dengan tidak
berterus terang…”
“Muridmu
telah merampas ilmu kesaktianku yang bernama Pukulan Hantu Hijau Penjungkir
Roh!” kata Hantu Lumpur Hijau dengan suara keras bergetar tanda dia berusaha
menahan didihan amarah.
Suara
orang seperti tercekik keluar dari tenggorokan Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir. “Muridku? Muridku yang mana? Seumur-umur aku tidak pernah mempunyai
murid…”
Hantu
Lumpur Hijau mendengus. “Pemuda itu datang mengagul membawa nama besarmu! Dia
mengatakan membawa perintah darimu untuk mengambil ilmu kesaktianku itu. Ketika
aku melawan dia langsung menyerangku habis-habisan. Kesaktiannya tinggi sekali.
Aku tak sanggup menghadapinya. Dia kabur setelah berhasil merampas ilmu
kesaktian itu.”
“Kau
tidak menyebutkan apa pemuda itu punya nama atau tidak. Tapi apa perduliku.
Bernama atau tidak aku memang tidak pernah punya murid!”
“Dia
mengaku bernama Lajundai! Dia juga mengaku bernama Labahala! Lalu dia
menyebutkan gelarnya Hantu Muka Dua. Raja Diraja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam ini!”
“Lajundai…
Labahala! Hantu Muka Dua! Memang dia!”
“Wahai!
Sekarang kau mengaku kalau dia muridmu!”
“Tidak,
aku bukan mengaku!”
“Lalu apa
maksud ucapanmu tadi. Memang dia!”
“Maksudku,”
jawab Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. “Pemuda itu pernah muncul di
lembah ini…”
“Hantu
Langit Terjungkir, apapun kilahmu aku tetap berpegang pada ucapan Lajundai.
Bahwa kau gurunya dan kau yang menyuruh dia untuk merampas ilmu kesaktian yang
paling aku andalkan itu…”
“Kita
lama bersahabat walau jarang bertemu muka. Apa kau lebih percaya pada ucapan
pemuda jahat itu daripada ucapanku?” ujar Hantu Langit Terjungkir pula.
“Kalau
kau memberi tahu di mana pemuda itu berada dan membantu aku mendapatkan kembali
ilmu kesaktianku, mungkin aku bisa berubah pikiran…”
“Tidak
mungkin. Tidak mungkin wahai kerabatku. Pemuda itu tinggi sekali ilmu
kesaktiannya. Jangankan kau sendiri, kita berdua bahkan tak mungkin
menghadapinya.”
“Kau
bersiasat! Kau sengaja melindunginya karena dia memang muridmu!”
“Aku
tidak bersiasat wahai Hantu Lumpur Hijau. Aku tidak pula berniat melindunginya.
Sejak sekian tahun silam aku juga ingin menghajarnya. Tapi aku sadar aku tak
bisa melawannya!”
“Kau
berdusta! Kesaktianmu tidak di bawah Hantu Tangan Empat yang dianggap sebagai
orang paling hebat di negeri ini. Lagi-lagi kau memang bersiasat untuk
melindunginya!”
“Dengar
kerabatku wahai Hantu Lumpur Hijau. Hantu Muka Dua, dalam keadaan kita seperti
ini bukanlah tandingan kita. Jika Para Dewa menurunkan pertolongan, satu hari
kelak mungkin kita bisa membalaskan sakit hati!”
“Aku
sudah lama menunggu pertolongan Dewa. Tapi pertolongan itu mana mau datang
kalau kita sendiri tidak berusaha! Hantu Langit Terjungkir, jika kau berserikat
dengan muridmu terpaksa aku menjatuhkan tangan kasar terhadapmu! Ketahuilah,
walau ilmu kesaktianku Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh telah dirampas oleh
muridmu, aku masih ada beberapa ilmu lain. Memang tidak sehebat ilmu yang satu
itu. Tapi aku yakin akan sanggup mengirimmu ke alam roh hanya dalam dua tiga
jurus saja!”
“Wahai,
kalau begitu takdir nasibku memang buruk. Hantu Lumpur Hijau, puluhan tahun
menderita sengsara, hidup terjungkir menghadap langit ke atas kepala ke bawah,
bertangan kaki seperti ini membuat kematian bagiku merupakan satu hal yang aku
dambakan. Kematian akan mengakhiri semua derita sengsara itu…”
“Kalau
memang kau sudah pasrah menerima kematian, akupun tidak merasa ragu-ragu lagi!”
kata Hantu Lumpur Hijau pula. Lalu tangannya dihantamkan ke depan. Selarik
sinar hijau menderu ke arah dada Lasedayu. Sinar ini menyerupai sebatang tombak
yang meluncur cepat dan deras sekali.
Di atas
batu Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara berdesah. “Pukulan
Tombak Lumpur Penambus Roh!” Makhluk ini tidak bergerak sedikitpun untuk
selamatkan diri. Agaknya dia memang sudah benarbenar pasrah menerima kematian.
Sesaat lagi larikan angin sakti yang berbentuk tombak itu akan mendarat di dada
Hantu Langit Terjungkir tiba-tiba terdengar suara gelegar ringkikan kuda. Di
lain kejap sesosok tubuh melesat di udara. Lalu sebuah benda bulat menghantam
ke arah Tombak Lumpur Penambus Roh.
Traaanggg!
********************
4
SEPERTI
diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya dengan judul “Rahasia Kincir
Hantu”, seluruh kesaktian yang dimiliki Lasedayu telah dirampas dan dikuras
habis oleh Labahala alias Hantu Muka Dua. Hal itu dilakukannya dengan
mempergunakan benda sakti bernama Sendok Pelangkah Nasib yang juga disebut
Sendok Pemasung Nasib. Sejak itu pula dunia ini menjadi terjungkir balik bagi
Lasedayu. Selain kehilangan ilmu kesaktian, keadaannya jadi berubah. Dia tidak
lagi bisa berdiri sebagai wajarnya manusia biasa yakni kaki ke bawah kepala ke
atas. Tapi dia hanya bisa berdiri dan berjalan dengan mempergunakan sepasang
tangannya. Dua kaki berada di atas, dua tangan berada di bawah. Sejak itulah
orang-orang di Negeri Latanahsilam menyebutnya dengan julukan Hantu Langit
Terjungkir. Walau ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya telah dirampas
seluruhnya oleh Hantu Muka Dua, namun saat itu sebenarnya Hantu Langit Terjungkir
telah memiliki satu ilmu baru yang secara tak sengaja didapat dan dipelajarinya
dari alam.
Selama
bertahun-tahun dia mengamati keadaan lembah di sekitarnya yang selalu tertutup
kabut berwarna putih kelabu dan terkadang tampak seperti kebiru-biruan. Ke
manapun dia pergi di lembah itu sosoknya selalu dikelilingi oleh kabut.
Penciuman dan jalan pernafasannya selalu bersentuhan dengan kabut. Dari hasil
pengamatannya itu Lasedayu menyadari bahwa kabut yang sebenarnya hanya
merupakan salah satu lapisan udara yang mengapung dan tidak bisa diraba itu
sesungguhnya adalah satu kekuatan dahsyat. Maka sedikit demi sedikit, hari demi
hari, dia mulai menyerap kabut itu ke dalam tubuhnya melalui jalan pernafasan.
Selama bertahun-tahun hal itu dilakukannya. Sampai pada suatu hari dia
merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan seolah seenteng kapas. Dia bisa mengapung
seolah mampu berjalan di udara.
“Tubuhku
seperti kabut! Ringan sekali. Seperti kabut aku bisa bergerak ke mana aku suka.
Wahai! Mukjizat apa yang telah diberikan alam padaku!”
Keterkejutan
Lasedayu tidak sampai di situ. Ketika dicobanya ternyata dia mampu mengatur
aliran darah dalam tubuhnya. Tubuhya yang selama ini berada dalam keadaan kaku
dan dingin kini seolah dialiri hawa panas. Lasedayu mencoba lebih jauh. Dia
menghimpun tenaga dalam di pusarnya yang bolong. Berkali-kali dicobanya tapi
tidak terjadi apa-apa. Lasedayu tidak putus asa. Kalau dia mampu mengatur jalan
darah berarti ada kemungkinan dia juga mampu menghimpun satu kekuatan tenaga
dalam baru di dalam tubuhnya.
Entah
berapa ratus kali dia mencoba dan tak juga berhasil maka berpikirlah orang tua
ini. “Ketika aku masih hidup dengan kepala ke atas kaki ke bawah, pusat
kekuatan tenaga dalamku memang di pusar. Sekarang keadaanku seperti ini. Pusar
tak punya. Semua serba terbalik. Jangan-jangan pusat kekuatan tenaga dalamku
juga berubah terbalik. Berpindah ke bagian badan yang lain.”
Lasedayu
lalu mengusapi sekujur tubuhnya. Dia tidak menemukan apa-apa. Dia tidak
mendapat petunjuk. Sampai berminggu-minggu berlalu dia masih belum juga
menemukan di mana kini beradanya pusat kekuatannya. Suatu pagi, sang surya baru
saja terbit dan cuaca di lembah mulai terang. Lasedayu tegak kaki ke atas
kepala ke bawah. Salah satu tangannya yang selama ini dijadikan kaki mengusap
dan memijit-mijit keningnya. Lama-lama dia merasakan kening serta jari-jari
tangan itu menjadi panas. Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Lalu
dari sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki mengepul
asap tipis berwarna kebiru-biruan. Dicobanya menarik nafas dalam lalu
menghembus ke depan. Selarik asap biru melesat keluar dari mulut orang tua ini.
Lasedayu
berteriak gembira. “Aku memiliki tenaga dalam baru! Pusat tenaga dalamku ada di
kening! Wahai! Aku menemukan satu ilmu kesaktian baru!” Namun kegembiraannya
seperti sirna ketika dia berpikir, janganjangan dia hanya sekedar memiliki
kemampuan menyerap dan menghembuskan udara. Apa arti dan kegunaannya? Bukankah
di tempat dingin semua orang bisa mengeluarkan udara berbentuk seperti asap
dari mulut dan hidungnya setiap kali dia bernafas? Untuk beberapa lamanya Lasedayu
seperti terhenyak dalam keputus-asaan. Namun ketika dia teringat pada Labahala
alias Hantu Muka Dua yang telah mencelakai dirinya begitu rupa, dendam
berkecamuk dalam tubuhnya, perlahan-lahan semangatnya bangkit kembali.
“Aku
harus membuktikan bahwa apa yang ada dalam tubuhku saat ini benar-benar satu
hawa sakti yang dapat kumanfaatkan untuk membalas dendam!” katanya dalam hati.
Lalu orang tua ini kerahkan aliran darah ke kepalanya.
Sepasang
matanya yang kelabu memancarkan cahaya aneh. Keningnya menjadi panas. Bersamaan
dengan itu dia gerakkan dua kakinya. Menendang di udara.
Wuuttt!
Wutttt!
Dua larik
sinar biru menderu di udara. Membelah kabut. Lalu di sebelah sana terdengar
suara benda berderak patah. Lasedayu sibakkan rambut dan kumis yang menjulai
menutupi wajahnya. Sepasang matanya yang berwarna kelabu membeliak besar. Dua
pohon yang selama bertahun-tahun tumbuh tegak di sebelah sana hancur patah
bagian tengah batangnya, lalu bergemuruh tumbang!
Sekujur
batang pohon yang telah patah itu berubah menjadi biru!
Walau
menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi namun Lasedayu alias
Hantu Langit Terjungkir masih belum percaya diri. Perlahan-lahan tubuhnya
diapungkan ke atas. Dua tangannya bergerak. Sosoknya lalu diputar ke arah
sebuah batu besar sejarak tiga tombak dari tempatnya berdiri kepala ke bawah
kaki ke atas. Kalau tadi dua kakinya yang digerakkan maka kali ini tangan
kanannya yang dipukulkan.
Wuuuttt!
Selarik
sinar biru menggebubu dari telapak tangan Lasedayu. Lalu di depan sana, braakk!
Batu besar hancur berantakan. Pecahan-pecahan batu berubah menjadi
kebiru-biruan. Orang tua ini berseru girang. Sosoknya mencelat ke atas beberapa
kali. Lalu dari mulutnya keluar teriakan. “Lajundai! Labahala! Hantu Muka Dua!
Siapapun kau adanya! Aku akan mencarimu! Tunggu pembalasanku!”
Habis
berteriak begitu Lasedayu segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun selintas
ingatan muncul dalam benaknya. Apakah memang perlu dia mencari Hantu Muka Dua
untuk melampiaskan dendam kesumat? Seperti yang dikatakan Lamanyala, makhluk
api utusan atau Wakil Para Dewa, bukankah bencana yang dialaminya akibat ulah
perbuatannya di masa muda? Dia telah membunuh seorang bernama Latumpangan yang
ketitipan sebuah jimat sakti bernama Jimat Hati Dewa. Setelah membunuh
Latumpangan dan merampas serta memakan Jimat Hati Dewa, dia kemudian mencelakai
Lamanyala, Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kutukan kemudian jatuh atas
dirinya. Yang membuat dirinya tersiksa seumur-umur. Hidup terjungkir kaki di
atas kepala di bawah! Dendam yang membara dalam diri Lasedayu perlahanlahan
mengendur. Apalagi ketika dia ingat pada istri dan empat orang anaknya yang
tidak diketahuinya di mana rimbanya.
“Apakah
perlu aku membalaskan dendam kesumat sakit hati? Bukankah keadaan diriku sampai
begini rupa karena dimakan hukum sebab akibat? Bukankah lebih baik sisa hidup
ini kupergunakan untuk menanti datangnya kematian? Hanya kematian yang akan
mempertemukan aku dengan istri dan anak-anakku di alam roh kalau memang mereka
telah menemui ajal akibat bencana banjir puluhan tahun silam itu…”
Berhari-hari
lamanya Lasedayu mendekam di Lembah Seribu Kabut dengan benak dibuncah alam
pikiran seperti itu hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk tidak mencari
Hantu Muka Dua guna melakukan pembalasan. Perasaan ingin mati cepat inilah yang
kemudian membuat Hantu Langit Terjungkir tidak berusaha menyelamatkan diri,
hanya tegak diam penuh pasrah sewaktu Pukulan Tombak Lumpur Penambus Roh yang
dilepaskan Hantu Lumpur Hijau menghantam ke arahnya! Orang tua ini benar-benar
akan menemui ajal jika saat itu tidak ada sebuah benda berbentuk bulat menderu
menangkis serangan orang.
Traaannggg!
Walau
jelas benda berbentuk tombak hijau itu hanya merupakan selarik sinar namun luar
biasanya begitu beradu dengan benda bulat dia mengeluarkan suara berkerontangan
seolah terbuat dari besi betulan. Tombak sinar hijau terpental ke udara dan
lenyap. Dada Lasedayu selamat dari tambusannya. Benda bulat yang dipakai
menangkis serangan gugus gompal sedikit sementara satu sosok tinggi besar terhuyung
jatuh tapi cepat bangkit kembali dan bergerak ke arah Hantu Lumpur Hijau yang
saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Bentrokan tombaknya dengan benda
bulat tadi membuat dia terdorong hebat dan jatuh terjengkang. Sosok tubuhnya
yang seperti lumpur berdenyut-denyut dan tetesan air keluar lebih banyak. Ini
satu pertanda bahwa makhluk ini tengah dirasuk kobaran kemarahan luar biasa.
Begitu berdiri dia putar tubuh ke arah makhluk yang mendatanginya.
Dukkk…
Dukkkk.
Tanah
lembah bergetar. Muka hijau Hantu Lumpur Hijau sesaat berubah redup kelabu
pertanda dia tengah mengalami keterkejutan. Hantu Lumpur Hijau memang kaget
besar ketika dia memandang ke depan dan mengenali siapa yang melangkah
mendekatinya.
********************
5
HANTU
Kaki Batu…” desis Hantu Lumpur Hijau. “Apa hubungan makhluk ini dengan Hantu
Langit Terjungkir hingga dia barusan bertindak menyelamatkan orang itu…” Sambil
menduga-duga begitu Hantu Lumpur Hijau melirik ke arah kejauhan di mana tampak
seekor kuda hitam besar berkaki enam yang merupakan tunggangan orang yang
dijuluki Hantu Kaki Batu itu.
Seperti
Hantu Lumpur Hijau, Lasedayu juga merasa heran mengapa ada orang yang selama
ini hanya dikenal namanya tapi tidak punya hubungan apa-apa telah menyelamatkan
dirinya dari kematian.
Duukkk…
duukkkk… duukkkk!
Sosok
tinggi besar yang sepasang kakinya terbungkus batu bulat melangkah terus
mendekati Hantu Lumpur Hijau. Dua langkah di hadapan Hantu Lumpur Hijau, orang
ini yang bukan lain Lakasipo adanya hentikan langkah lalu berucap.
“Hantu
Lumpur Hijau, aku tidak ada permusuhan denganmu. Karenanya lekas kau angkat
kaki dari Lembah Seribu Kabut ini!”
Walau
tadi hatinya kecut melihat kemunculan Hantu Kaki Batu yang jelas tidak berpihak
kepadanya namun ucapan Lakasipo membuat Hantu Lumpur Hijau merasa sangat dihina
dipandang enteng. Dalam marahnya dia menyahuti. “Wahai! Kau yang muncul mencari
lantai terjungkat! Sekarang kau pula yang berucap tidak punya permusuhan dengan
diriku! Sungguh aneh!”
Hantu
Kaki Batu menyeringai. “Sudahlah, tak perlu bicara berpanjang lebar. Tinggalkan
saja tempat ini agar lantai terjungkat yang kau katakan itu tidak kupatahkan!”
“Pongahnya
dirimu! Apa hubunganmu dengan Hantu Langit Terjungkir?! Hingga mencampuri
urusanku dan menyelamatkan dirinya?!” Hantu Lumpur Hijau membentak sambil
melirik pada Lasedayu. Lasedayu sendiri saat itu tentu saja ingin tahu dan
ingin mendengar jawaban Lakasipo.
“Antara
aku dan orang tua itu tidak ada hubungan apaapa. Tapi niat menolong adalah
dasar hubungan baik bagi semua makhluk di Negeri Latanahsilam ini!”
“Wahai!
Kau menolong orang yang salah! Kau menolong makhluk jahat! Apakah itu pantas
disebut dasar hubungan baik?!”
Hantu
Langit Terjungkir keluarkan suara menggeram tapi tetap tak bergerak di
tempatnya. Lakasipo ajukan pertanyaan. “Apa kesalahan Hantu Langit Terjungkir.
Apa kejahatan yang telah diperbuatnya?”
“Aku
datang ke Lembah Seribu Kabut ini untuk minta pertanggungan jawabnya. Muridnya
telah merampas ilmu kesaktianku!” jawab Hantu Lumpur Hijau.
“Kalau
aku tidak salah, orang tua ini tadi sudah memberi tahu padamu bahwa Hantu Muka
Dua bukan muridnya. Seumur-umur dia tidak punya murid. Mengapa kau berkeras
kepala tidak mempercayai ucapan orang?!”
“Hemmm…
Kalau begitu rupanya kau sudah lama berada di tempat ini hingga mendengar
pembicaraan kami!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
“Aku
sudah berada di sini sebelum kau muncul. Itu jika kau ingin tahu!” ujar
Lakasipo pula yang membuat Hantu Langit Terjungkir jadi terkejut dan
menduga-duga janganjangan manusia berkaki batu ini juga punya niat jahat
terhadap dirinya walaupun pertama kali muncul telah menolong menyelamatkan
dirinya dari serangan maut Hantu Lumpur Hijau.
“Aku
tidak percaya pada ucapan Hantu Langit Terjungkir. Sama dengan aku tidak
mempercayai dirimu! Aku yakin antara dia dengan Hantu Muka Dua ada hubungan
tertentu!”
“Sudahlah!
Kita habisi saja pembicaraan sampai di sini. Harap kau mau pergi dari sini!”
“Bagaimana
kalau kau saja yang segera angkat kaki dari sini?!” tukas Hantu Lumpur Hijau.
Lakasipo
tertawa bergelak. “Tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki merupakan lumpur
lembek dan busuk! Tapi wahai! Otakmu keras dalam ketololan! Mungkin ini bisa
membuatmu untuk tidak bicara berpanjang lebar!”
Habis
berkata begitu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu jentikkan lima jari tangan
kanannya.
Wussss!
Lima
larik sinar hitam menggebubu ganas. Menyambar ke arah lima bagian tubuh Hantu
Lumpur Hijau membuat orang ini terkejut besar. Sambil berteriak menyebut nama
serangan itu dia cepat melompat cari selamat.
“Lima
Kutuk Dari Langit!”
Lima
lobang hitam mengepulkan asap menguak di tanah bekas tempat Hantu Lumpur Hijau
tadi berdiri tegak!
Sang
hantu bergeletar sekujur tubuh lumpurnya. Sejak ilmu kesaktian yang sangat
diandalkannya dirampas Hantu Muka Dua, Hantu Lumpur Hijau memiliki satu
kelemahan yakni tidak tahan terhadap hawa panas, apalagi pukulan sakti
mengandung hawa panas seperti Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan
Lakasipo!
Sadar
kalau saat itu tak mungkin baginya untuk menghadapi Lakasipo maka Hantu Lumpur
Hijau berpaling pada Hantu Langit Terjungkir dan berkata. “Nasibmu masih baik.
Ada orang tolol muncul menolong. Tapi lain waktu jangan harap kau bisa lolos
dari tanganku!”
Habis
berkata begitu Hantu Lumpur Hijau lalu berkelebat dan sosoknya lenyap di
belakang kabut yang mengapung di udara.
Hantu
Langit Terjungkir tertawa mengekeh. “Dia yang bodoh mengatakan orang tolol!”
Lalu orang tua ini berpaling ke arah Lakasipo. Dari balik julaian rambut
putihnya yang panjang dia memperhatikan kemudian berkata. “Wahai, selama ini
hanya nama yang kukenal. Apakah benar dugaanku kau adalah makhluk yang dijuluki
Hantu Kaki Batu, korban kebusukan nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat?”
“Wahai!”
seru Lakasipo. “Dugaanmu tidak salah! Kau sebut nama nenek keparat itu!
Mengingatkan aku bahwa masih ada urusan dendam kesumat yang belum terselesaikan
dengannya!”
Hantu
Langit Terjungkir menyeringai di balik julaian rambut putihnya. “Selama dunia
terkembang, walau langit terjungkir seperti yang saat ini aku lihat, urusan
dendam kesumat tidak pernah habis-habisnya! Akupun sebenarnya memiliki satu
dendam kesumat besar luar biasa! Tapi apa ada gunanya untuk dilampiaskan?”
“Lalu itu
sebabnya waktu tadi Hantu Lumpur Hijau hendak membunuh kau hanya diam pasrah?”
ujar Lakasipo.
Hantu
Langit Terjungkir kembali menyeringai. “Wahai, turut bicaramu kau sudah lama
berada di tempat ini. Bahkan sebelum Hantu Lumpur Hijau muncul. Kau menyelamatkan
diriku dari kematian! Tapi aku perlu kejelasan apakah kau datang dengan maksud
baik atau membekal niat jahat seperti makhluk yang barusan merat itu?!”
“Aku
datang membekal maksud baik. Aku membawa amanat dari seseorang untuk
disampaikan padamu,” menjelaskan Lakasipo.
“Sungguh
luar biasa kejadian hari ini!” kata Hantu Langit Terjungkir sambil
geleng-gelengkan kepala. “Aku hendak dibunuh orang tapi diselamatkan orang
lain. Kini orang lain itu berkata dia datang membawa satu amanat! Wahai Hantu
Kaki Batu, amanat apa yang hendak kau sampaikan pada diri tua rapuh dimakan
usia dan derita ini?!”
“Sebelum
kujawab pertanyaanmu, aku juga ingin satu kejelasan bahwa kau memang adalah
Hantu Langit Terjungkir yang terlahir bernama Lasedayu. Kulihat pusarmu yang
berlubang, kulihat cara tegakmu yang terbalik, kaki ke atas tangan dijadikan
kaki. Namun di Negeri Latanahsilam ini seseorang bisa saja menyamar memalsukan
diri. Hantu Muka Dua misalnya, dia bisa membentuk ujudnya seperti sosok
dirimu!”
Hantu
Langit Terjungkir tertawa panjang. “Aku suka pada orang cerdik sepertimu. Ada
ujar-ujar yang mengatakan begini, ‘Seseorang harus tulus seperti seekor burung
merpati. Tapi ada kalanya harus cerdik seperti ular.’
Hantu
Kaki Batu, kau sendiri sudah mengetahui bahwa aku begitu pasrah menghadapi
bahkan menginginkan kematian. Jika kau tadi tidak yakin aku adalah benar-benar
Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu, tentu kau tidak akan menolong
menyelamatkan nyawaku dari Hantu Lumpur Hijau!”
“Wahai,
mendengar ucapanmu itu aku yakin kau memang adalah Hantu Langit Terjungkir
alias Lasedayu. Sebelum kukatakan amanat yang kubawa itu, apakah kau
berkesudian menceritakan riwayat hingga kau berkeadaan seperti ini?”
Si orang
tua menarik nafas panjang dan dalam. “Wahai, menceritakan nasib sendiri sama
dengan menusukkan duri ke lubuk hati yang telah sarat dengan derita sengsara ini.
Tapi mungkin juga bisa sedikit menghapus ganjalan hati. Kalau kau suka
mendengar akan kuceritakan. Tapi pendek-pendek saja…”
“Aku suka
mendengar riwayatmu,” jawab Lakasipo.
“Semua
derita sengsara ini terjadi ketika seorang bernama Lajundai alias Labahala yang
mengaku Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini, bergelar Hantu
Muka Dua, suatu hari di masa puluhan tahun silam muncul di lembah ini. Sebelum
muncul di Lembah Seribu Kabut ini rupanya dia telah mendatangi beberapa tokoh
di tempat lain dan merampas ilmu kepandaian para tokoh itu.
Ternyata
dia mendatangiku juga dengan maksud yang sama. Dia membekal sebuah benda
terbuat dari emas yang disebut Sendok Pelangkah Nasib atau lebih dikenal dengan
nama Sendok Pemasung Nasib. Kejutku bukan alang kepalang. Karena sendok itu
adalah satu-satunya benda di muka bumi ini yang bisa menguras semua ilmu
kesaktian yang kumiliki! Dengan satu gerakan kilat Hantu Muka Dua menusukkan
sendok emas itu ke perutku, mencungkil pusarku. Kau lihat sendiri saat ini. Pusarku
hanya merupakan satu lobang besar di pertengahan perutku. Dalam keadaan tak
berdaya dan mandi darah setelah ditinggal kabur oleh Hantu Muka Dua tiba-tiba
muncul Lamanyala…”
“Lamanyala,
aku pernah dengar nama itu. Siapa orang itu adanya?” tanya Lakasipo.
“Dia
adalah utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dia memiliki
kesaktian hebat. Sekujur tubuhnya dikobari api. Sejak puluhan tahun dia telah
menjadi musuh besarku. Karena aku telah merampas dan menelan Jimat Hati Dewa
yang berada di bawah pengawasannya. Selain itu tubuhnya telah kubikin cacat
mengerikan…”
“Lamanyala
pasti muncul untuk membalas dendam!” memotong Lakasipo.
Hantu
Langit Terjungkir gelengkan kepala. “Dia muncul hanya untuk mengatakan sesuatu
yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku, Hidup keluargamu moratmarit!
Kau tak tahu di mana istrimu berada. Kau juga tidak tahu di mana ke empat
anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah
kehilangan seluruh kesaktianmu!’ Setelah berkata begitu dia mengutuk, ‘Mulai
hari ini kau akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan
berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur!’
Seperti kau saksikan sendiri saat ini. Aku benar-benar hidup menyungsang. Kaki
ke atas kepala ke bawah!” (Mengenai riwayat Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir harap baca serial Wiro Sableng dua Episode sebelumnya yaitu “Hantu
Muka Dua” dan “Rahasia Kincir Hantu”).
“Wahai…
Riwayatmu sungguh hebat. Aku baru tahu kalau kau punya empat orang anak…”
“Empat
orang anak. Tapi apa artinya…” ujar Hantu Langit Terjungkir. “Aku tidak tahu di
mana mereka sekarang. Kalau masih hidup kira-kira seusiamu. Aku juga tidak tahu
apakah istriku Luhpingitan masih hidup atau entah sudah tiada…”
“Sungguh
berat beban derita hidup orang tua ini,” kata Lakasipo dalam hati. Lalu pada
Hantu Langit Terjungkir dia berkata. “Orang tua, karena kau sudah menceritakan
riwayat nasib dirimu, sekarang tiba saatnya aku memenuhi janji. Memberi tahu
amanat apa yang aku bawa untukmu. Apakah kau kenal dengan seorang tua bernama
Lawungu?”
Hantu
Langit Terjungkir keluarkan seruan tertahan. Berkali-kali dia menarik nafas
dalam. Tenggorokannya turun naik. “Lawungu… Lawungu…” katanya beberapa kali.
“Puluhan
tahun silam, kau belum lagi dilahirkan. Di Negeri Latanahsilam ini ada satu
kelompok orang-orang yang mengaku gagah karena paling tinggi ilmunya. Mereka
tiga bersahabat. Yang pertama adalah yang dikenal dengan Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Yang kedua aku sendiri. Yang ketiga Lawungu itu. Karena sibuk
dengan urusan masing-masing kami kemudian berpisah dan lama tak saling bertemu…
Wahai! Mengapa kau bertanyakan Lawungu padaku?”
“Karena
kakek itulah yang menitipkan amanat yang kukatakan itu,” jawab Lakasipo.
“Kau…
Lawungu! Amanat apa yang dititipkan sahabatku itu?!” tanya Hantu Langit
Terjungkir. Dengan tangan kirinya dia sibakkan rambut serta kumis yang terjulai
hingga kini Lakasipo untuk pertama kalinya dapat melihat jelas sebagian wajah
orang tua itu. Wajah ini putih seperti tidak berdarah sedang sepasang matanya
berwarna kelabu.
“Katakan
cepat. Amanat apa yang dititipkan Lawungu padamu!”
“Aku
dimintanya menyerahkan benda ini…” kata Lakasipo seraya mengeluarkan sebuah
benda berwarna kuning yang berkilauan tertimpa sinar sang surya pagi.
“Sendok
Pemasung Nasib!” seru Hantu Langit Terjungkir dengan keras dan mata mendelik
besar. Sekujur tubuhnya bergeletar. Lebih-lebih ketika Lakasipo mengulurkan
tangannya siap menyerahkan sendok itu pada si orang tua.
Hantu
Langit Terjungkir keluarkan suara seperti hendak menangis. Tangan kanannya
bergetar keras ketika diulurkan untuk mengambil sendok emas itu. Namun hanya
sekejapan lagi sendok itu akan disentuhnya tiba-tiba satu bayangan kuning
berkelebat, dan…! Lakasipo serta Hantu Langit Terjungkir sama-sama berseru
kaget. Sendok Pemasung Nasib lenyap disambar orang. Bersamaan dengan itu
bayangan kuning yang tadi berkelebat ikut menghilang!
Lakasipo
coba mengejar sambil lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Namun tak ada
gunanya. Yang hendak dihantam sudah keburu kabur. Hantu Langit Terjungkir
meraung keras. Betapa tidak. Melihat sendok emas tadi timbul kembali harapan
hidupnya dengan memiliki segudang kesaktian. Namun harapan tinggal harapan.
Sendok emas amblas dirampas sosok kuning tidak dikenal.
********************
6
KEMBALI
kepada Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berusaha menyelidiki di mana
beradanya Luhjelita. Kawasan selatan yang didatanginya ternyata merupakan
daerah mendaki berbatu-batu. Di situ tumbuh sejenis pepohonan setinggi kepala
manusia, yang batang, ranting serta dedaunannya ditancapi duri-duri berwarna
coklat kehitaman. Melihat duri-duri itu Wiro ingat pada sahabatnya yang malang
yaitu Hantu Jatilandak. Dia tidak tahu di mana pemuda yang sekujur tubuhnya
penuh duri landak itu kini berada.
Karena
pepohonan berduri tumbuh cukup rapat, Wiro tak bisa berlari cepat. Dia harus
hati-hati, jangan sampai tergores duri coklat yang bukan mustahil mengandung
racun. Di satu tempat ketinggian murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini
hentikan larinya, memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu
yang tergantung melambai-lambai di ujung sebuah ranting berduri. Wiro segera
bergerak, memperhatikan lebih dekat. Ternyata benda yang melambai-lambai di
ujung ranting berduri itu adalah robekan pakaian terbuat dari kulit kayu halus
berwarna jingga.
“Kain
jingga…” ujar Wiro berdebar. “Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Luhjelita. Aku
menempuh arah yang benar. Agaknya gadis itu berada di sekitar sini. Kini
tinggal mencari di mana goanya.” Wiro memandang berkeliling, tak berkesip. Dia
tidak melihat apa-apa. Juga tidak menemukan petunjuk lain. Lalu dia mendengar
ada suara menderu di udara. Memandang ke atas dia tidak melihat sesuatupun.
Langit cerah. Sinar sang surya terasa mulai menyengat. Wiro sibakkan semak
belukar di samping kirinya lalu meneruskan perjalanan. Berjalan sejauh belasan
tombak mendadak dia melihat kelainan pada serumpunan semak belukar dan
pohonpohon berduri di arah sebelah kanan. Semak-semak dan pepohonan itu terkuak
ke kiri kanan dan ada tanda-tanda bekas rambasan.
“Ada
orang membuat jalan setapak di tempat itu. Aku harus mengikuti jalan itu.
Mungkin menuju ke goa yang dikatakan dua gadis kembar cantik tapi sialan itu!”
Berpikir begitu Pendekar 212 Wiro Sableng segera bergerak ke ujung semak
belukar yang terkuak. Tak lama mengikuti jalan kecil itu tiba-tiba dia
dikejutkan oleh sebuah benda aneh yang mencuat seperti bukit batu kecil,
berwarna coklat. Selagi tegak keheranan Wiro kembali terkejut karena bukit batu
ini kelihatan bergerak. Tidak mau mengalami celaka yang tidak terduga, Wiro
segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan untuk sewaktuwaktu bisa
menghantamkan pukulan sakti.
Batu
coklat itu kembali bergerak. Tiba-tiba di ujung kanan bukit batu ada sesuatu
yang lain, bergerak naik ke atas. Ternyata kepala seekor kura-kura raksasa.
“Astaga,
Laecoklat! Kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita…” Dalam kejutnya Wiro juga
merasa gembira.
Kalau
tunggangannya berada di sana, berarti Luhjelita tidak berada jauh dari situ.
Laecoklat
berpaling pada Wiro. Matanya dikedipkedipkan. Melihat binatang ini tidak
bersikap galak Wiro beranikan diri mendekat lalu melompat ke atas punggungnya
yang keras atos. Sambil mengusap kepala binatang itu Wiro berkata. “Laecoklat,
bisa kau menunjukkan padaku di mana Luhjelita berada?”
Kura-kura
raksasa itu kedipkan sepasang matanya dua kali lalu palingkan kepalanya ke
kiri. Setelah menghadap ke kiri, kepala itu sedikit ditundukkan. Wiro
memperhatikan. Dadanya berdebar. Di balik lima rumpun pohon berduri yang telah
dirambas orang kelihatan sebuah mulut goa batu yang tingginya sepenyandak
kepala manusia.
“Kura-kura
pintar!” Memuji Wiro. Lalu sekali melompat dia sudah sampai di depan pintu goa.
Tanpa menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera masuk ke dalam goa
yang ternyata bagian dalamnya terbuat dari sejenis batu putih berkilauan hingga
keadaan di situ tidak gelap. Berjalan masuk sejauh enam tindak, Wiro tiba-tiba
hentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang mendesah dan sesenggukan
berulang kali. Suara perempuan. Luhjelita-kah itu? Apa yang terjadi dengan
dirinya? Karena belum melihat sosok orang, Wiro melangkah masuk lebih jauh ke
dalam goa. Untuk kedua kalinya kembali langkah sang pendekar terhenti. Di sana,
sejarak enam langkah di hadapannya, di lantai goa batu putih tergeletak sesosok
tubuh perempuan. Pakaiannya, sehelai baju panjang berwarna jingga bertebar di
lantai. Hanya sebagian saja yang masih menutupi auratnya hingga sosok perempuan
itu nyaris tidak terlindung. Wiro memperhatikan wajah perempuan itu. Dia segera
mengenali dan berseru memanggil.
“Luhjelita!”
Seperti
mendengar suara malaikat, perempuan yang tergeletak di atas lantai putar
kepalanya. Begitu dia melihat dan mengenali siapa yang berdiri di depan sana
langsung dia meraung.
“Wiro…!”
Perempuan
itu yang memang Luhjelita adanya menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang cantik
nampak pucat pasi dan basah oleh air mata. Gadis itu kemudian tutup mukanya
dengan dua tangan dan menangis lebih keras.
“Luhjelita,
apa yang terjadi dengan dirimu!” seru Wiro lalu mendekat dan duduk di samping sosok
Luhjelita. Dia hendak meraba kening gadis ini namun Luhjelita lebih dulu
bergerak bangkit dan rangkulkan kedua tangannya ke leher Wiro lalu menangis
lebih keras.
“Luhjelita,
tenangkan dirimu. Katakan apa yang telah terjadi. Dengar, kenakan pakaianmu lebih
dulu… Aku menyesal tidak bisa datang lebih cepat menolongmu…”
“Terlambat
Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus
mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah, pergi dan
jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar. Jangan
sesalkan dirimu Wiro…” Gadis itu lepaskan rangkulannya di leher Wiro lalu
menangis lebih keras sambil menutupkan dua tangannya di atas wajah. Pendekar
212 jadi bingung. Dia tak berani menyentuh tubuh Luhjelita yang saat itu memang
tidak tertutup apaapa. Akhirnya diambilnya pakaian Luhjelita yang bertebaran di
lantai. Pakaian ini ditutupkannya sebisanya ke tubuh si gadis. Pada saat itulah
dia melihat ada bayangan bergerak di dinding goa. Berarti ada seseorang di
mulut goa. Wiro berpaling, hendak bangkit berdiri. Namun gerakannya tertahan
oleh suara Luhjelita.
“Wiro…”
Wiro
terpaksa kembali mendekati gadis itu, duduk disampingnya. “Kenakan pakaianmu,
baru nanti kita bicara. Aku merasa ada seseorang di luar goa. Aku akan
menyelidik sebentar. Nanti kembali lagi ke sini…”
“Jangan…
jangan pergi. Aku takut Wiro. Takut sekali. Aku… rasanya aku ingin mati saja
saat ini. Jangan pergi. Siapapun yang ada di luar sana biar saja…”
“Gadis
ini sedang kacau pikiran,” kata Wiro dalam hati.
“Tadi
disuruhnya aku pergi, jangan menemuinya lagi. Sekarang dia tidak mau
ditinggal…”
Wiro
terpaksa mengikuti kata-kata Luhjelita. Karena si gadis tidak berusaha
mengenakan pakaiannya, setengah memaksa Wiro membantu Luhjelita berpakaian. Dalam
keadaan lain, berdua-dua seperti itu bisa membuat sang pendekar jadi panas
dingin.
“Gila,
mengapa keadaan bisa seperti ini. Kalau ada orang lain yang melihat bisa-bisa
dia salah sangka!” Wiro membatin sambil garuk-garuk kepala.
“Nah, kau
sudah berpakaian rapi. Duduklah bersandar ke dinding goa sebelah sini.
Kelihatannya kau berada dalam satu goncangan besar…”
“Luar
biasa besarnya Wiro. Membuat aku rasanya ingin mati saja saat ini,” jawab
Luhjelita lirih. Gadis ini beringsut ke kiri lalu duduk bersandar ke dinding
goa.
“Ceritakan
apa yang terjadi…” kata Wiro pula seraya duduk di hadapan si gadis.
“Aku
ingin tahu dulu, bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanya Luhjelita sambil
mengusap air mata yang membasahi pipinya. Wajahnya masih pucat tak berdarah.
Rambutnya awut-awutan.
Wiro lalu
bercerita.
“Aku
bertemu dan diserang oleh dua orang gadis kembar mengaku berjuluk Sepasang
Gadis Bahagia…”
Mendengar
Wiro mengucapkan nama itu Luhjelita langsung terpekik. “Dua gadis jahanam itu!
Mereka…!”
Jeritan
Luhjelita terputus, bersambung dengan ratapan panjang.
***********************
Kita
tinggalkan Wiro dan Luhjelita yang ada di dalam goa. Kita kembali pada
saat-saat sebelumnya ketika Wiro berusaha mencari goa di mana Luhjelita disekap
oleh sepasang dara kembar. Seperti dituturkan karena perhatiannya sangat
terpusat pada usaha mencari dan menyelamatkan Luhjelita, murid Sinto Gendeng
ini sampai tidak memperhatikan kalau di udara ada sesosok burung besar yang
bukan lain adalah Laeputih, angsa raksasa milik Peri Angsa Putih. Binatang ini
terbang mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja binatang itu melayang mengikuti
atas kehendak si pemiliknya yakni Peri Angsa Putih yang ada di atas
punggungnya.
Sang Peri
merasa heran melihat Wiro berlari ke arah kawasan tinggi berbatu-batu dan
dipenuhi semak belukar serta pohon-pohon berduri. Saat itulah angsa tunggangan
yang bernama Laeputih itu keluarkan suara menguik halus. Peri Angsa Putih yang
sudah tahu sifat binatang kesayangannya itu mengusap kepala Laeputih seraya
berucap.
“Aku
tahu, kau melihat sesuatu. Tapi mataku masih belum melihat apa-apa. Melayanglah
lebih rendah. Hatihati. Jangan sampai orang yang kita ikuti melihat kita…”
Laeputih
menguik halus lalu tukikkan kepalanya ke bawah. Sesaat kemudian angsa putih
inipun melayang merendah. Gerakan sayapnya dibuat demikian rupa hingga dia
terbang hampir tanpa suara. Di ketinggian tertentu Laeputih berputar dua kali.
Peri Angsa Putih memandang ke bawah. Dia melihat bebukitan. Batu-batu diseling
oleh semak belukar dan pohon-pohon berduri aneh. Tiba-tiba matanya melihat
sesuatu. Tapi belum jelas benar. Dada sang peri mendadak berdebar. Matanya
digosoknya.
“Lae…”
bisik Peri Angsa Putih pada binatang tunggangannya. “Berputar sekali lagi,
jangan terlalu cepat…”
Laeputih
lakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih. Binatang ini kembali melayang
berputar. Peri Angsa Putih memasang mata tajam-tajam. Debaran di dadanya
semakin kencang. Matanya membelalak dan dua tangannya memegangi pangkal leher.
Wajahnya berubah pucat.
“Laecoklat…”
desis sang peri. “Kura-kura bersayap tunggangan Luhjelita! Laeputih, lekas
terbang ke balik bukit sana. Melayang berputar sampai aku memberi perintah
berikutnya!”
Di langit
sebelah timur Laeputih berputar berulang kali. Namun sang Peri masih belum
memberi aba-aba selanjutnya. Di atas punggung angsa putih itu Peri Angsa Putih
justru berada dalam pikiran kacau balau serta hati tak karuan rasa.
“Wiro…
Dia menuju ke bukit terpencil itu. Ternyata di situ ada Laecoklat, kura-kura
terbang milik Luhjelita. Pasti gadis itu juga berada di bukit itu.
Jangan-jangan antara mereka memang sudah ada perjanjian untuk bertemu…Wahai
para Dewa, wahai para Peri Agung. Apa yang harus aku lakukan?!” Rasa cemburu
membakar diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik jelita menjadi merah sampai
ke pangkal leher.
Seperti
diketahui sejak dia pertama kali bertemu dengan Wiro yang masih berada dalam
sosok kecil dibanding dengan orang-orang yang ada di Negeri Latanahsilam, Peri
Angsa Putih memang telah merasa suka kepadanya. Lalu sewaktu sosok Wiro berubah
menjadi besar, rasa suka sang Peri semakin bertambah besar, malah berubah
menjadi rasa menyayangi. Peri Angsa Putih menyadari bahwa dia telah jatuh cinta
pada Pendekar 212. Satu perasaan yang sangat menjadi pantangan bagi bangsa Peri
di Negeri Atas Langit.
Sebelumnya
dia pernah tertarik pada lelaki gagah bernama Lakasipo berjuluk Hantu Kaki
Batu. Rasa tertarik ini lebih didorong karena hiba melihat nasib yang dialami
Lakasipo yakni setelah istrinya meninggal bunuh diri. Namun setelah kejadian
itu, jika kini dia boleh memilih maka rasa tertarik dan cinta kasihnya ingin diberikannya
sepenuhnya pada pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Peri
Angsa Putih sadar akan pantangan yang hendak dilanggarnya serta akibat besar
yang bakal dihadapinya. Namun dia seperti tidak berdaya. Semakin dia coba
menghilangkan Wiro dari pikirannya, semakin berkobar dan terpateri kasih sayang
dalam lubuk hatinya. Semakin dicobanya untuk keluar dari telaga cinta, semakin
jauh dia tenggelam ke dalamnya. Dalam keadaan seperti itu berbagai ganjalan
kemudian ditemuinya. Luhjelita, gadis cantik berkepandaian tinggi itu muncul
dan dirasakannya sebagai saingannya. Kemudian muncul pula gadis yang dikenalnya
dengan nama Luhcinta.
Kecantikannya
melebihi Luhjelita dan agaknya antara si gadis dengan Wiro telah terjalin satu
hubungan. Semua kecemburuan ini membuat Peri Angsa Putih merasa seolah-olah
langit hendak runtuh menyungkup dirinya. Apalagi kemudian dia menyirap kabar
yang bersifat tekateki. Hantu Raja Obat kabarnya pernah berucap bahwa ada
seorang gadis yang akan memberikan cinta kasihnya hanya pada Wiro seorang. Lalu
dia juga pernah mendengar sendiri Luhrinjani berucap. Istri Lakasipo yang
sebenarnya telah lama meninggal dunia tapi rohnya bisa muncul kembali seperti
manusia biasa itu berucap bahwa memang ada seorang gadis yang sangat mencintai
Wiro Sableng.
Celakanya
Luhrinjani tidak mau menyebutkan siapa orangnya. Namun Peri Angsa Putih selain
penasaran juga merasa sangat khawatir. Gadis yang dimaksud Luhrinjani itu
tentulah gadis penghuni Negeri Latanahsilam, bukan bangsa Peri seperti dirinya.
Seringkali dalam merenung di malam sepi Peri Angsa Putih mengucurkan air mata.
Itu sebabnya dia merasa lebih suka berada di Negeri Latanahsilam dari pada
berada di negerinya sendiri. Kalaupun dia berada di negeri bangsa Peri, dia
lebih suka memencilkan diri.
Terkadang
ada hasrat di hatinya untuk menemui Hantu Raja Obat atau mencari makhluk roh
bernama Luhrinjani itu untuk menanyakan. Siapa sebenarnya gadis yang mereka
katakan sebagai satu-satunya gadis yang memberikan cintanya hanya kepada Wiro?
Namun setelah dipikirnya lebih dalam dia memutuskan untuk tidak melakukan hal
itu. Bisa-bisa tersiar kabar bahwa dirinya telah tergila-gila pada Pendekar 212
Wiro Sableng dan menaruh cemburu pada gadis-gadis lainnya yang pernah
berhubungan dengan pemuda itu. Kini menghadapi kenyataan bahwa Wiro berada di
sebuah bukit di mana dipastikannya Luhjelita juga ada di situ, Peri Angsa Putih
merasa seolah sekujur tubuhnya terpanggang oleh panasnya hawa cemburu.
“Gadis
bernama Luhjelita itu. Dia selalu mendahului atau memotong setiap rencana yang
hendak aku lakukan. Kini mereka melakukan pertemuan rahasia di bukit itu.
Apakah aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan? Ah… Bagaimana ini!” Dalam
bingungnya Peri Angsa Putih membiarkan angsa tunggangannya melayang berputarputar
sampai beberapa kali. “Daripada tambah hancur hatiku, kurasa lebih baik aku
pergi saja dari sini. Luhjelita bukan saja cantik. Tapi juga pandai memikat.
Aku tidak punya kepandaian seperti itu. Aku… Laeputih, kita harus…”
Namun
maksud sang Peri hendak memerintahkan angsa putihnya meninggalkan kawasan itu
tidak terucapkan. Malah pada saat-saat hati dan pikirannya tambah kacau,
akhirnya dia mengambil keputusan yang berbeda.
“Lae,
kita kembali ke bukit tadi. Hati-hati, jangan sampai terlihat oleh Laecoklat…”
********************
7
HAMPIR
tanpa suara dan tidak terlihat oleh kura-kura coklat, Peri Angsa Putih menyusup
di balik kelebatan semak belukar dan pohon-pohon berduri hingga akhirnya dia
sampai ke mulut goa. Di mulut goa Peri ini hentikan langkahnya. Sesaat hatinya
meragu, apakah akan terus masuk ke dalam goa atau bagaimana. Jangan-jangan
gadis bernama Luhjelita berada di dalam goa. Dia tidak suka pada Luhjelita dan
dia yakin Luhjelitapun benci sekali padanya. Semua ini berpangkal pada perasaan
mereka yang sama-sama ingin menyayangi Pendekar 212 Wiro Sableng. Perselisihan
mereka sampai pada saling pukul memukul (baca Episode sebelumnya berjudul
“Hantu Muka Dua”).
Tiba-tiba
Peri Angsa Putih dikejutkan oleh suara perempuan menangis keluar dari dalam goa.
Dia memasang telinga. Sulit untuk mengenali suara tangisan siapa itu adanya.
Dengan dada berdebar akhirnya Peri Angsa Putih bergerak masuk ke dalam goa.
Tepat di pertengahan goa, langkah Peri Angsa Putih tertahan. Sepasang kakinya
laksana dipantek. Sekujur badannya menjadi panas bergeletar. Dua matanya
membeliak. Apa yang disaksikannya membuat dia ingin menjerit. Hatinya
benar-benar terpukul. Lututnya mulai goyah. Dia seperti mau roboh!
Di depan
sana, seorang gadis dalam keadaan tanpa pakaian duduk di lantai sambil
rangkulkan ke dua tangannya ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dan gadis itu
bukan lain adalah si cantik genit Luhjelita! Saat itu terdengar Luhjelita
berkata lirih tapi jelas seperti petir menyambar masuknya ke telinga Peri Angsa
Putih.
“Terlambat
Wiro, tak ada gunanya penyesalan. Mungkin ini sudah takdir nasib diriku. Harus
mengalami hal seperti ini. Jangan sentuh diriku lagi… Pergilah, pergi dan
jangan pernah menemui diriku lagi. Aib yang aku derita terlalu besar. Jangan
sesalkan dirimu Wiro…”
Menggigil
sekujur tubuh Peri Angsa Putih melihat keadaan kedua orang itu, lebih-lebih
mendengar apa yang barusan diucapkan Luhjelita. Dia tidak dapat membayangkan
apa arti maksud ucapan gadis itu. Tapi pasti telah terjadi sesuatu. “Mereka
telah melakukan sesuatu di dalam goa ini sebelum aku datang. Wahai Dewa… Wahai
Peri!” Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya erat-erat ke leher, berusaha
menahan jeritan yang mungkin bisa membersit keluar dari mulutnya. Khawatir dia
tidak sanggup menahan diri, tanpa menunggu lebih lama gadis dari Negeri Atas
Langit ini segera memutar tubuh dan tinggalkan goa itu. Namun bayangannya
sempat terlihat oleh Wiro di dinding goa. Murid Sinto Gendeng ini segera hendak
bergerak keluar goa guna menyelidik. Tapi niatnya batal karena mendadak
Luhjelita memanggilnya. Di luar goa saking bingungnya Peri Angsa Putih
bukannya
kembali menemui angsa putih tunggangannya yang ditinggalkannya di satu tempat
kelindungan, tapi dia justru lari ke dalam rimba belantara. Di satu tempat
ketika dadanya terasa sesak dan kakinya bergetar berat tak sanggup lagi di
langkahkan kakinya, Peri Angsa Putih gulingkan diri di tanah lalu menangis
tersedu-sedu. Sang Peri tidak tahu berapa lama dia berada dalam keadaan seperti
itu ketika tiba-tiba ada cahaya biru berkelebat di atasnya disertai menebarnya
bau harum semerbak. Peri Angsa Putih turunkan dua tangan yang sejak tadi
ditekapkannya ke wajahnya yang basah oleh air mata. Peri ini terbelalak ketika
melihat siapa yang tegak di depannya. Dia segera menghapus air matanya,
mengusap wajahnya dan membungkuk,
“Peri
Bunda… Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan…”
Yang
tegak di hadapan Peri Angsa Putih saat itu ternyata adalah Peri Bunda, Peri
separuh baya berwajah cantik. Pakaian birunya yang panjang menjela-jela sampai
ke tanah. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur batu permata. Walau
usianya sudah agak baya namun kecantikannya masih mempesona.
Peri
Bunda adalah salah seorang Peri yang sangat dihormati. Itu sebabnya Peri Angsa
Putih tadi membungkuk dan menyapa dengan segala panggilan penghormatan. Dalam
kejutnya melihat Peri Bunda, Peri Angsa Putih bertanya-tanya bagaimana Peri
Bunda tahu-tahu berada di tempat itu. Walau ingin mengetahui, namun Peri Angsa
Putih tidak berani menanya. Malah sebaliknya Peri Bunda berkata padanya dengan
penuh kelembutan.
“Wahai
Peri Angsa Putih kerabatku yang cantik. Setelah cukup lama kau meninggalkan
negeri kita, sungguh aneh menemukan dirimu di dalam rimba belantara ini. Lebih
aneh lagi tadi kau dalam keadaan terguling di tanah. Menangis. Dari suara
tangismu agaknya ada suatu keperihan yang sangat mendalam di relung hatimu.
Peri Angsa Putih katakan padaku apa yang terjadi. Katakan jika ada sesuatu yang
bisa kulakukan untuk menolongmu.”
Ditegur
begitu rupa kesedihan Peri Angsa Putih jadi bertambah, membuat dia kembali menangis
tersedu-sedu dan tutupkan lagi dua tangannya ke wajahnya yang berurai air mata.
Peri Bunda dekati kerabatnya itu. Sambil membelai rambut hitam Peri Angsa Putih
dia berkata. “Peri Angsa Putih, segala kesulitan dan kesedihan tidak dapat
diakhiri hanya dengan air mata. Aku ingin menolongmu dari duka deritamu. Karena
itu mulailah menceritakan padaku apa yang terjadi…”
Peri
Angsa Putih pergunakan pakaian putihnya untuk mengusap wajahnya lalu berkata.
“Peri Bunda, semuanya serba tidak terduga. Aku… dia…” Kembali Peri Angsa Putih
sesenggukan.
“Kuatkan
hatimu wahai Peri Angsa Putih. Bicaralah dengan ketabahan seorang Peri. Tak
usah terburu-buru. Aku akan mendengarkan dengan sabar…” Kembali Peri Bunda
membelai kepala Peri Angsa Putih dengan penuh kasih sayang.
“Peri
Bunda, sungguh baik sekali hatimu. Kau sangat memperhatikan diriku. Apakah kau
masih ingat pembicaraan kita beberapa waktu lalu tentang menipisnya batas
antara kita para Peri dengan manusia di bawah langit?”
Peri
Bunda pejamkan mata sesaat seperti merenung. Begitu dia membuka kedua matanya
yang bagus, diapun berkata, “Wahai, tentu saja aku ingat. Pembicaraan itu
sangat besar artinya bagimu bukan? Bagiku merupakan sesuatu yang perlu mendapat
perhatian. Apakah ada hubungan pembicaraan kita waktu itu dengan keadaanmu saat
ini?”
“Peri
Bunda, terus terang hatiku memang telah melangkah jauh walau sepasang kakiku
masih terikat demi menjaga segala pantangan dan larangan kaum Peri…”
Peri
Bunda kerenyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu wahai Peri
Angsa Putih. Atau…hemmm… Mungkinkah kau…”
“Peri
Bunda, barusan saja aku menyaksikan sesuatu di dalam sebuah goa tak jauh dari
tempat ini.”
“Apa yang
kau saksikan di dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih?” tanya Peri Bunda pula.
“Aku
menyaksikan Luhjelita…”
“Luhjelita,
gadis cantik genit perayu lelaki itu! Apa yang kau saksikan wahai kerabatku?
Mengapa dia, sedang apa dia?” Pertanyaan Peri Bunda datang beruntun.
Tenggorokan
Peri Angsa Putih turun naik dan suaranya bergetar ketika dia berucap, “Gadis
itu… Tanpa pakaian…Dia berdua dengan…” Tangis Peri Angsa Putih kembali
tersembur.
Setelah
tangisnya mereda baru Peri Bunda bertanya.
“Kau
melihat Luhjelita. Berdua dengan siapa wahai kerabatku?”
Karena
memang hanya akan membuat sesak dadanya menahan-nahan cerita, maka Peri Angsa
Putih lalu menuturkan apa yang dilihatnya di dalam goa beberapa waktu lalu.
Sepasang mata Peri Bunda jadi terbelalak, wajahnya sebentar memutih pucat
sebentar bersemu merah mendengar apa yang dituturkan Peri Angsa Putih. Dia
memandang lekat-lekat pada Peri Angsa Putih yang memandang kepadanya dengan
sepasang mata berurai air mata.
“Wahai
Peri Bunda…” kata Peri Angsa Putih tersengguksengguk.
“Sungguh
aku tidak menduga mereka mau melakukan hal itu. Dan setelah itu terjadi mereka
bicara segala macam penyesalan… Sangat menjijikkan…!”
Lama Peri
Bunda terdiam. Setelah geleng-gelengkan kepala beberapa kali baru dia berucap,
“Begitulah sifat dan martabat bangsa manusia di muka bumi, yang tidak sama dan
tidak boleh terjadi dengan kita para Peri dari Negeri Atas Langit. Luhjelita,
gadis perayu itu tidak menghargai diri dan kesuciannya sendiri. Begitu mudah
dia menyerahkan diri. Dan pemuda bernama Wiro Sableng itu aku menaruh curiga
dia sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai pemuda hidung belang. Kau dengar
mereka bicara segala penyesalan. Itu semua hanyalah siasat basa-basi karena
pasti di lain saat mereka akan melakukan hal-hal mesum seperti itu… Dan aku
yakin, pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu, setelah
mendapatkan kesucian Luhjelita, pasti dia akan mencari mangsa lainnya!”
Mendengar
kata-kata Peri Bunda itu Peri Angsa Putih tekapkan dua tangannya ke wajah, lalu
kembali terisakisak.
“Peri
Angsa Putih, turunkan dua tanganmu. Angkat wajahmu dan pandang wajahku. Aku
harus menanyakan sesuatu padamu. Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Apakah
kau mendengar ucapanku wahai kerabatku?”
Perlahan-lahan
Peri Angsa Putih turunkan kedua tangannya, menatap wajah Peri Bunda dan
menunggu sampai Peri yang digelari Simpul Agung Segala Peri, Peri Junjungan
Dari Segala Junjungan itu berkata.
“Melihat
kepada air mukamu. Dari cara kau menuturkan apa yang kau saksikan, aku melihat
dan bisa merasakan bahwa kau sangat terpukul. Kalau aku boleh bertanya wahai
Peri Angsa Putih, dan jika kau mau berterus terang, apakah kau mempunyai satu
perasaan tertentu terhadap pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang
itu?”
Peri
Angsa Putih gigit bibirnya menahan agar tidak terisak. Setelah menguatkan
hatinya baru dia berkata.
“Wahai
Peri Bunda, itu sebabnya tadi aku mengingatkanmu pada pembicaraan kita beberapa
waktu lalu…”
“Hemmm…
Aku mengerti sekarang,” ujar Peri Bunda pula. “Rupanya kau telah jatuh cinta
pada pemuda itu…”
“Wahai
Peri Bunda, aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku terhadap pemuda itu.
Karena selama ini hal-hal seperti itu tidak pernah aku alami. Lagipula bukankah
itu merupakan satu pantangan besar yang berat hukumannya jika sampai
dilanggar…”
“Jadi
benar kau telah jatuh cinta pada pemuda bernama Wiro Sableng itu?”
“Peri
Bunda,” sahut Peri Angsa Putih yang bermata biru itu. “Ingat pembicaraan kita
dulu. Waktu itu aku menanyakan padamu, apakah kau sependapat denganku bahwa
dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perbedaan. Bahwa batas antara
kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit sana semakin tipis. Laksana kabut
pagi yang mudah dipupus ditelan sinar matahari…?”
“Aku
memang ingat pembicaraan kita itu, wahai kerabatku. Tapi saat ini yang aku
inginkan ialah agar kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah kau telah
jatuh cinta pada Wiro Sableng?”
Ditanya
seperti itu Peri Angsa Putih jadi tundukkan kepala.
“Kau tidak
mau menjawab pertanyaanku Peri Angsa Putih?”
Karena
didesak akhirnya dalam menunduk Peri Angsa Putih anggukkan kepalanya. Peri
Bunda pejamkan sepasang matanya. Wajahnya sesaat memucat. Tanpa diketahuinya
saat itu Peri Angsa Putih telah mengangkat kepala dan memandang padanya. Peri
Angsa Putih merasa heran melihat sikap Peri Bunda yang mendongakkan wajah
dengan mata terpejam seperti itu.
“Peri
Bunda…” memanggil Peri Angsa Putih.
Sadar dan
agak terkejut Peri Bunda buka sepasang matanya, menatap ke dalam mata biru Peri
Angsa Putih, lalu berkata.
“Kerabatku
Peri Angsa Putih, jangan berisau hati. Mungkin kau memang telah melakukan satu
kesalahan. Jatuh cinta pada insan lain yang bukan kaum kita. Namun dalam
keadaan seperti itu kau masih ingat bahwa hal itu merupakan satu pantangan
besar. Yang jika kau langgar akan menimbulkan malapetaka besar, bukan saja bagi
dirimu tapi juga bagi negeri kita. Ingat apa yang terjadi di Negeri Atas Langit
ketika seorang peri yang kemudian mengganti namanya menjadi Luhmintari bercinta
dengan seorang lelaki berasal dari Negeri Latanahsilam bahkan kemudian
melangsungkan perkawinan yang membuahi seorang anak cacat mengerikan bernama
Jatilandak? Alam kita tercemar, segala tuah tidak lagi mujarab. Angin tidak
berhembus selama setahun penuh. Kalaupun berhembus maka hawa busuk tercium di
mana-mana dan udara terasa pengap. Air berhenti mengucur dari tempat ketinggian
ke tempat rendah. Akibatnya banyak kawasan mengalami kekeringan. Bunga-bunga
menjadi layu. Pucuk tidak akan menjadi buah. Buah banyak yang jatuh busuk ke
tanah. Lalu semacam penyakit menular bertebar menakutkan. Aku, kita semua
bangsa Peri tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Karenanya wahai
kerabatku Peri Angsa Putih, aku mewakili para Peri di Negeri Atas Angin,
berharap dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala.
Sebelum
terlambat, sebelum datang penyesalan yang tiada gunanya, jangan kau lanjutkan
kesesatan itu. Jangan langgar pantangan kaum kita. Sirnakan cintamu, kikis rasa
kasih sayangmu, buang jauh-jauh rasa sukamu, apapun namanya terhadap pemuda
bernama Wiro Sableng itu. Aku tahu kau belum melangkah terlalu jauh. Aku tahu
kau punya kebesaran jiwa ketabahan hati dan sikap tegas dalam mengambil
keputusan. Jauhi pemuda itu, lupakan semua yang ada di hatimu terhadapnya. Aku
dan para Peri akan berusaha menolongmu…”
Peri
Angsa Putih tercekat mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Wajahnya kembali pucat
tidak berdarah. “Peri Bunda…” ucapnya tersendat. “Mungkinkah… Mungkinkah aku
bisa melupakan pemuda itu? Kasih sayang, cinta tulusku terhadapnya telah
terpendam di lubuk hati, menjadi satu dalam aliran darahku. Berada dalam setiap
tarikan nafasku. Ke mana mataku memandang, wajahnya yang terlihat. Wahai…”
Peri
Bunda tersenyum. “Dengar baik-baik wahai Peri Angsa Putih. Kita para Peri tidak
mengenal dan tidak boleh mengenal kasih sayang atau cinta tulus terhadap
makhluk di bumi. Terhadap manusia di Negeri Latanahsilam saja hal itu sudah
merupakan satu pantangan besar yang jika dilanggar sangat mengerikan akibatnya.
Apalagi pemuda itu konon datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang.
Satu negeri yang tidak kita kenal. Ingat ketika pertama kali dia dan
kawan-kawannya muncul di sini? Sosok mereka tidak lebih besar dari jari kaki
kita…!”
Peri
Angsa Putih, Peri yang memiliki sepasang bola mata berwarna biru bagus ini
mengusap air mata yang berderai jatuh di pipinya. “Peri Bunda… Wahai, aku tidak
tahu harus mengatakan apa…”
“Kau
tidak perlu mengatakan apa-apa dengan mulutmu, wahai Peri Angsa Putih. Tapi
berucaplah dalam hatimu bahwa kau akan menjauhkan pemuda itu dan melupakannya
untuk selama-lamanya. Semua apa yang terjadi hanya kita berdua yang tahu. Aku
tidak akan mengungkapkannya pada Peri yang lain.”
Peri
Angsa Putih terduduk bersimpuh. Mukanya ditekapnya kembali pada wajahnya. Kepalanya
digelengkan, dadanya bergetar menahan isak. Mulutnya bergerak, tapi suaranya
hanya keluar di dalam hati.
“Tidak
mungkin Peri Bunda… Tidak mungkin aku menjauhkan dirinya karena dirinya sudah
terpateri dalam hatiku. Cinta kasihku terhadapnya sudah larut dalam aliran
darahku. Kasih sayangku terhadapnya menjadi satu dengan hembusan nafasku. Peri
Bunda, jika aku harus memilih sesuatu yang lain, aku lebih suka memilih
kematian…”
“Peri
Angsa Putih, aku tahu kau tidak akan mengecewakan aku dan kerabat para Peri
lainnya. Aku tahu kau akan mengambil keputusan sesuai dengan semua nasihat yang
kusampaikan tadi. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini dan harus kembali
ke Negeri Atas Langit. Kuharap kau juga segera kembali ke sana. Semakin
berlama-lama kau di negeri ini semakin buruk akibatnya bagimu…”
Setelah
berucap begitu dengan lembut Peri Bunda cium kening Peri Angsa Putih lalu
melesat ke udara dan lenyap di ketinggian langit sebelah timur.
Hanya
sesaat setelah Peri Bunda meninggalkan tempat itu, dari balik batu rerimbunan
semak belukar lebat, beranjak pula seseorang yang telah lama mendekam di situ.
Dia telah mendengar seluruh pembicaraan antara Peri Bunda dengan Peri Angsa
Putih. Apa yang didengarnya itu membuat hatinya tergoncang hebat. Dia baru menyadari
betapa dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu setelah mengetahui benar-benar
ada gadis lain yang mencintai si pemuda. Dalam pikiran kacau seperti itu dia
tidak lagi memperhatikan arah maupun gerak jalannya. Pakaiannya tersangkut di
ujung ranting lancip. Secarik kecil robekannya terkait tinggal di ujung
ranting.
********************
8
KEMBALI
ke dalam goa di mana Pendekar 212 Wiro Sableng berada bersama gadis cantik
Luhjelita. Saat itu Luhjelita telah mengenakan pakaian jingganya kembali. Gadis
ini duduk di lantai goa, bersandar ke dinding batu. Sepasang matanya sembab
bekas menangis dan wajahnya masih agak pucat.
“Luhjelita,
apakah sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi? Tadi aku menyebutkan nama
Sepasang Gadis Bahagia. Kau begitu terkejut, marah besar malah meraung keras!”
“Dua
gadis kembar itu! Mereka jahanam-jahanam yang telah mencelakai menodaiku!”
teriak Luhjelita. Lalu gadis itu hantamkan tinjunya ke dinding goa.
Braakkk!
Goa batu bergetar. Bagian yang terkena pukulan hancur berlobang besar.
“Aku
ingin menghancurkan kepala mereka seperti aku menghancurkan dinding batu ini!”
teriak Luhjelita. Lalu, braakkk! Sekali lagi dia hantamkan kepalan tangan
kanannya. Lobang ke dua menganga di dinding goa. Ketika Luhjelita yang seperti
kesetanan hendak menghantam untuk ke tiga kalinya, Wiro cepat pegang tangan
gadis itu dan berkata.
“Gadis
berkepandaian tinggi sepertimu jangan sampai dirasuk amarah dan melakukan hal
yang hanya mencelakai diri sendiri!”
Luhjelita
menggerung. Dua matanya memandang besar berapi-api pada Wiro. Wiro coba
tersenyum. Perlahan-lahan gadis ini turunkan tangannya.
“Diriku
memang sudah celaka! Saat ini matipun aku mau! Kau mau lihat bagaimana aku
memecahkan kepala dengan membenturkannya ke dinding batu ini?! Mau?!”
“Jangan jadi
orang gila!” kata Wiro pula tapi cepat-cepat menekap kepala si gadis dengan dua
tangannya karena khawatir Luhjelita benar-benar mau bertindak nekad. “Aku
percaya dua gadis kembar itu telah mencelakaimu karena mereka memang bukan
gadis baik-baik. Mereka telah merampas tongkat batu biru yang dulu kau berikan
padaku. Dengar, aku percaya mereka telah mencelakaimu. Tapi kalau kau katakan
mereka juga menodaimu, ini yang aku tidak mengerti!”
“Tidak
mengerti! Apa yang tidak kau mengerti! Apa kau tidak tahu siapa mereka?!”
“Siapapun
mereka, mana mungkin mereka menodaimu. Mana ada perempuan menodai perempuan…”
kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.
Luhjelita
mendengus gemas. “Kau dengar baik-baik Wiro!” katanya setengah berteriak. “Dua
gadis itu adalah gadis-gadis binal yang cuma bergairah melakukan hubungan badan
dengan sejenisnya!”
Wiro
melongo ternganga. “Maksudmu…” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepala. “Aku
tidak…”
“Kau
tidak mengerti! Kau juga tolol! Apa perlu kujelaskan terang-terangan?!
Menjijikkan!”
“Apanya
yang menjijikkan?” tanya Wiro.
Luhjelita
acungkan tinjunya. Siap hendak dijotoskan ke mulut Wiro. Wiro diam dan tenang
saja. Pelahan-lahan Luhjelita turunkan tangannya. Matanya berkaca-kaca dan
isakannya memenuhi goa itu.
“Aku
tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi aku benar-benar tidak mengerti…”
“Aku akan
jelaskan…” kata Luhjelita akhirnya dengan suara lirih. “Dua gadis kembar itu
memiliki kelainan.
Mereka
tidak pernah suka pada laki-laki. Mereka hanya bergairah dan bernafsu pada kaum
perempuan. Mereka menghadangku di satu tempat, menanyakan tongkat batu biru
yang kutemukan dekat mayat Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Aku tak mau memberi
tahu. Terjadi perang mulut disusul perkelahian. Dua gadis kembar itu ternyata
memiliki kepandaian tinggi dan juga licik. Mereka berhasil membuatku tidak
berdaya. Mereka membawaku ke dalam goa ini lalu mengancam. Jika aku tidak
menerangkan di mana beradanya tongkat batu biru itu maka mereka akan menodai
diriku… Daripada menjadi korban kebejatan dan kemesuman mereka aku terpaksa
mengatakan bahwa tongkat batu biru itu telah aku berikan padamu. Tapi memang
dasar mereka dua manusia bejat. Setelah kuberi tahu mereka tetap saja berbuat
keji menodaiku!”
“Menodaimu…
Maksudmu, maaf… Maksudmu mereka mengancam hendak memperkosamu?”
Luhjelita
beliakkan matanya ke arah Wiro tapi kemudian anggukkan kepalanya lalu palingkan
wajah yang bersemu merah ke arah lain.
“Luhjelita,
bagaimana mungkin… Bagaimana mungkin mereka melakukan hal itu padamu? Bagaimana
bisa perempuan dengan perempuan… Memangnya mereka memakai apa…?”
“Pertanyaan
gila!” teriak Luhjelita kembali marah.
“Mereka
menanggalkan pakaianku secara paksa! Mereka menggerayangi seluruh tubuhku!
Bukan cuma meraba! Mereka melakukan perbuatan mesum itu! Menodaiku bergantian!”
Luhjelita tekapkan dua tangannya ke wajahnya lalu menangis terisak-isak. Wiro
terdiam melongo, pandangi Luhjelita sambil garukgaruk kepala. “Luhjelita… Kalaupun
mereka menodaimu, kurasa saat ini kau masih tetap perawan. Maksudku kau tidak
sampai kehilangan kegadisanmu!”
Plaaakkk!
Tamparan
Luhjelita mendarat di pipi kiri Pendekar 212 hingga Wiro sempoyongan. Melihat
Wiro mengerenyit kesakitan sambil usap-usap pipinya yang terasa sakit pedas,
Luhjelita jadi sadar dan menyesal atas perbuatannya. Saking menyesalnya gadis
ini langsung memeluk Wiro seraya berkata. “Maafkan diriku. Aku tidak berniat
menyakiti dirimu. Aku… pikiranku sangat kacau. Semua yang kau ucapkan seperti
mempermainkan diriku. Aku menyesal… Maafkan…”
Wiro
pegang dua lengan Luhjelita. Lalu berkata. “Dulu…Di negeri asalku di tanah
Jawa, aku juga pernah mengalami kejadian aneh, lucu tapi juga mesum
menjijikkan. Aku bertemu dengan dua gadis cantik. Mereka hendak menggagahiku.
Ternyata mereka adalah dua orang lelaki yang hanya punya gairah terhadap
lelaki. Aku… Tapi aku tidak sempat… Ah sudahlah!” Wiro menutupkan tangannya ke
mulut. Tapi semburan tawanya tidak terbendung. Akhirnya murid Sinto Gendeng ini
tersadar ke dinding goa dan tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata.
Luhjelita mula-mula memandang dengan wajah beringas. Lalu cemberut. Namun
kemudian dia ikut-ikutan tertawa walau sambil banting-banting kaki (Mengenai
apa yang dikatakan Wiro itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Sepasang
Iblis Betina”).
Tiba-tiba
Luhjelita hentikan tawanya. Wajahnya yang cantik kembali kelihatan beringas.
Lalu berubah sayu sedih. Dia menarik nafas panjang dan dalam lalu berkata.
“Bagaimana
hidupku selanjutnya. Aku merasa sangat malu. Kalau saja ada orang lain yang
tahu…”
“Mengapa
kau mengkhawatirkan kehidupanmu selanjutnya. Memangnya ada sesuatu yang hilang
pada dirimu…?”
“Pemuda
sinting…! Jangan bergurau terus!”
“Aku
tidak bergurau. Walau apa yang kau alami akan sangat menghantui dirimu tapi
lambat laun harus bisa kau lupakan. Apalagi kau memang tidak kehilangan
apa-apa. Lalu tak ada orang lain yang menyaksikan atau tahu hal itu kecuali
aku. Dan aku tidak akan mungkin menceritakannya pada orang lain. Lalu…”
“Sudah!
Yang jelas aku akan mencari dua gadis kembar jahanam itu! Sebelum mereka
kuhabisi belum puas hatiku!”
“Kau
harus berlaku hati-hati Luhjelita. Menurutmu mereka berkepandaian tinggi. Aku
sendiri sudah menghadapi mereka. Keduanya memiliki gerakan sangat cepat.
Buktinya mereka berhasil merampas tongkat batu biru itu. Kalau kau suka, aku
mau membantumu! Sekaligus mendapatkan tongkat itu kembali. Tapi apa perlu
sampai membunuh mereka segala?!”
“Kalau
tidak dibunuh mereka akan menodai gadis-gadis lainnya! Sampai saat ini entah
sudah berapa puluh gadis yang jadi korban kemesuman mereka. Setan betul,
mengapa nasibku sampai begini. Kalau sudah kubunuh mereka mungkin aku akan
menjalani kehidupan memencilkan diri. Aku merasa malu sendiri melihat dunia
ini…”
“Jangan
bodoh. Kau masih muda! Masakan mau memencilkan diri. Memangnya kau mau jadi
apa…?”
“Mau jadi
apa bukan urusanmu. Tapi…” Luhjelita ingat pada ilmu yang tengah dicari dan
dituntutnya.
Dipandanginya
tangan kanannya di mana terlihat tiga buah tahi lalat hitam. Lalu dia melirik
pada Wiro. Dia tahu karena pernah melihat dan hampir mendapatkan. Di bawah
pusar sang pendekar ada tiga buah tahi lalat yang dulu hampir dapat
dipindahkannya ke telapak tangannya kalau tidak terhalang dengan kemunculan
seseorang berjuluk Si Pelawak Sinting (Baca Episode Wiro Sableng berjudul
“Hantu Tangan Empat”).
“Tapi
apa?” Wiro bertanya.
Luhjelita
gelengkan kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
“Aku
harus pergi sekarang.”
“Mencari
dua gadis kembar itu?” tanya Wiro.
“Aku
perlu menemui seseorang terlebih dulu. Kau betulan ingin membantuku menghadapi
dua gadis kembar itu?”
“Tentu.
Tapi aku juga perlu mencari dua sahabatku lebih dulu,” jawab Wiro.
“Kakek
tukang ngompol bau pesing dan anak lelaki konyol itu?”
Wiro
tertawa mendengar kata-kata Luhjelita itu.
“Karena
saat itu masing-masing kita punya kepentingan, bagaimana kalau kita berjanji
bertemu di satu tempat…”
“Setuju-setuju
saja,” jawab Wiro. “Kau yang menentukan tempat dan waktunya…”
“Di
sebelah selatan Gunung Latinggimeru ada sebuah kawasan dipenuhi batu-batu
berbentuk aneh. Aku akan menunggumu di dekat tiga buah batu berbentuk tonggak
lancip mengarah ke langit. Saatnya malam bulan purnama penuh mendatang.”
Wiro
anggukkan kepala.
“Kau
benar-benar akan datang?” Luhjelita bertanya seolah tidak percaya.
“Kita
memang tak sering berjumpa. Tapi apakah aku pernah berdusta padamu?”
“Mana aku
tahu,” jawab Luhjelita. “Mungkin di saat pertemuan, sebelum mencari Sepasang
Gadis Bahagia kita perlu bicara soal bunga mawar kuning beracun tempo hari…”
Wiro
jentikkan jari-jari tangannya seraya berkata. “Itu memang salah satu
keinginanku!”
Luhjelita
ulurkan tangan kanannya seperti hendak memegang lengan Pendekar 212. Tapi
niatnya itu dibatalkan. Dia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mulut
goa. Tak jauh dari mulut goa, di satu tempat yang kelindungan seseorang yang
sejak tadi menunggu mengintai begitu melihat kemunculan Luhjelita, dalam hati
dia berkata. “Agaknya apa yang dikatakan Peri Bunda benar adanya. Tadi di dalam
goa kulihat dan kudengar sendiri dia menangis menyesali diri yang ditimpa aib.
Kini keluar dari goa kulihat wajahnya cerah. Malah ada sekelumit senyum di
bibirnya. Rupanya memang dia gadis yang pandai merayu lelaki untuk diajak
berbuat mesum!”
Baru saja
dia berkata begitu sepasang mata biru orang yang mengintai tampak membesar
ketika dari mulut goa dia melihat pula sosok Pendekar 212 melangkah keluar
sambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin
memang ada benarnya aku harus menuruti nasehat Peri Bunda. Menjauhi dan
melupakan pemuda itu! Seperti gadis murahan tadi dia juga tampak keluar sambil
cengar-cengir! Sungguh menjijikkan!” Orang ini balikkan badannya siap hendak
melangkah pergi. Namun ada kebimbangan di wajahnya. “Wahai… Apakah aku memang
sanggup melupakannya? Mungkin aku harus menemui Hantu Raja Obat untuk mencari
keterangan. Mungkin juga aku perlu mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
untuk mendapatkan petunjuk…”
********************
9
LEMBAH
Seribu Kabut. Saking marahnya Lakasipo hantamkan kaki batunya hingga sebatang
pohon besar patah dan tumbang menggemuruh. Di atas batu Hantu Langit Terjungkir
mendesah berulang kali sambil menjambak-jambak rambutnya yang putih terjulai.
“Tololnya
diriku! Bagaimana mungkin aku berlaku ayal dan lengah! Hingga benda yang sangat
berharga itu sampai dirampas dan dilarikan orang. Wahai, titipan amanat orang
aku sia-siakan. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan!” Lakasipo alias
Hantu Kaki Batu menatap orang tua yang tegak kaki ke atas kepala ke bawah di
atas batu. “Hantu Langit Terjungkir, aku mohon maaf atas kelalaianku ini. Aku
bersumpah akan mencari si pencuri dan dapatkan kembali Sendok Pemasung Nasib
itu.”
“Aku
memang ikut menyesali kejadian ini…” kata Hantu Langit Terjungkir alias
Lasedayu. “Tapi mau dibilang apa. Mungkin ini sudah takdir para Dewa bahwa
hidupku seumur-umur akan sengsara seperti ini.” Hantu Langit Terjungkir
sibakkan rambutnya yang menjulai. Orang tua ini ternyata memiliki wajah pucat
putih seolah tidak berdarah. Sepasang matanya berwarna kelabu, menatap ke arah
Lakasipo lalu berkata.
“Orang
yang tadi merampas Sendok Pemasung Nasib itu dari tanganmu, pastilah seorang
berkepandaian luar biasa tinggi. Gerakannya laksana kilatan cahaya, seperti
hantu di siang bolong. Aku tidak sempat melihat sosok, apalagi wajahnya. Siapa
dia tak bisa diduga…”
“Aku akan
menyelidik. Aku musti mendapatkan sendok emas itu kembali…” kata Lakasipo pula.
“Terus
terang, aku tidak terlalu berharap wahai Hantu Kaki Batu,” kata si orang tua
setengah berputus asa. “Saat ini aku hanya menginginkan satu pertolongan saja
darimu…”
“Katakanlah,
mungkin itu bisa sebagai penebus kesalahanku,” ujar Lakasipo.
“Jika kau
bertemu sahabatku bernama Lawungu itu, atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,
beri tahu bahwa aku ada di lembah ini. Katakan padanya bahwa sebelum mati aku
sangat ingin bertemu dengannya. Terutama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Mungkin dia tahu perihal istri dan empat anakku…”
“Permintaanmu
pasti akan kulaksanakan, Hantu Langit Terjungkir. Jika kau mengizinkan aku juga
akan menyirap kabar tentang anak istrimu. Kau telah menjelaskan bahwa istrimu
bernama Luhpingitan. Kalau aku boleh tahu, siapakah nama ke empat anakmu?”
Hantu
Langit Terjungkir kelihatan sedih. “Kau orang baik. Kalau anak-anakku masih
hidup usia mereka kira-kira sebaya denganmu. Hanya sayang… Wahai. Waktu aku
pergi meninggalkan mereka sebelum banjir besar melanda negeri, aku belum
berkesempatan memberikan nama kepada masing-masing mereka…”
“Sayang
sekali, tapi aku akan berusaha melakukan apa yang bisa aku lakukan,” kata
Lakasipo lalu menyambung ucapannya. “Dengan memohon maaf sekali lagi atas
kelalaianku, aku minta diri. Cepat atau lambat aku akan menemuimu kembali di
Lembah Seribu Kabut ini.”
Lakasipo
menjura lalu balikkan tubuhnya. Ketika dia melangkah pergi sepasang kaki
batunya mengeluarkan suara bergemuruh menggetarkan tanah. Hantu Langit
Terjungkir memperhatikan dengan pandangan sepasang mata kelabunya. Tiba-tiba
orang tua ini melihat sesuatu di lengan atas sebelah belakang, dekat ketiak
Lakasipo. Mata Hantu Langit Terjungkir membeliak besar. Dadanya berdebar keras.
“Tanda
bunga dalam lingkaran! Dewa Maha Besar! Tidak salahkah penglihatanku?!
Jangan-jangan dia adalah salah satu dari…” Hantu Langit Terjungkir usap kedua
matanya berulang kali. Dari mulutnya kemudian melesat teriakan yang membahana
di Seantero lembah.
“Hantu
Kaki Batu! Tunggu dulu! Kembali!”
Di balik
kabut di kejauhan sana Lakasipo hentikan langkahnya lalu berbalik. Hatinya
bertanya-tanya ada apa Hantu Langit Terjungkir memanggilnya. Tetapi justru
ketika Lakasipo membalik, pada saat yang sama satu gelombang api sangat dahsyat
berkiblat seolah mencurah dari langit. Lakasipo cepat melompat mundur. Nyala
api mengobari kawasan lembah. Ketika akhirnya kobaran api itu sirna Hantu
Langit Terjungkir tidak kelihatan lagi di tempatnya.
“Ada
gelombang api dari atas langit! Apa yang terjadi? Ke mana lenyapnya orang tua
itu?!”
Tiba-tiba
di langit terdengar suara tawa bergelak. Lakasipo mendongak ke atas. Di langit
sebelah timur ada sesosok tubuh dibalut kobaran api, melesat laksana terbang
menuju ke utara.
“Lamanyala…
Pasti itu Lamanyala. Makhluk Wakil Para Dewa yang diceritakan Hantu Langit
Terjungkir…” pikir Lakasipo. “Jangan-jangan dia telah mencelakai orang tua itu.
Telah membunuhnya!” Lakasipo berkelebat kian kemari. Mencari sambil
memanggil-manggil. Namun tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Lembah Seribu Kabut
kini disungkup kesunyian.
********************
TAK lama
setelah Lakasipo meninggalkan Lembah Seribu Kabut, satu batu besar tampak
bergerak lalu terguling ke kiri. Dari sebuah lobang di bagian bawah batu itu
muncul sosok tubuh Hantu Langit Terjungkir, kotor coreng-moreng oleh tanah liat
basah. Ketika kejadian gelombang api melesat dari langit orang tua ini bukan
saja sudah tahu apa yang bakal terjadi, tetapi juga mengetahui siapa yang punya
pekerjaan. Secepat kilat dia melompat lalu menyelinap masuk ke dalam lobang di
bawah batu besar itu. Lobang tersebut memang sengaja dibuatnya untuk berlindung
dari segala macam bahaya yang tidak diinginkan. Hantu Langit Terjungkir selamat
dari sambaran api karena setelah mendapat ilmu yang ditimbanya dari kekuatan
alam tubuhnya menjadi sangat enteng seperti kabut dan dia mampu bergerak luar
biasa cepatnya. Dari tempatnya berdiri kaki ke atas tangan ke bawah Hantu
Langit Terjungkir memandang ke langit. Mulutnya komat-kamit, pelipisnya
menggembung. Matanya yang kelabu menyorotkan hawa amarah.
“Jahanam
Lamanyala! Siapa lagi kalau bukan dia yang punya pekerjaan! Belum puas dia
rupanya! Caranya tadi menghantam dengan gelombang api jelas hendak memisahkan
aku dengan Hantu Kaki Batu. Tepat pada saat aku melihat sebuah tanda di lengan
lelaki itu. Mungkin sekali Lamanyala tidak menginginkan aku mendapatkan jejak
anak-anakku!”
Lasedayu
alias Hantu Langit Terjungkir memandang ke arah lenyapnya Lakasipo. “Hantu Kaki
Batu…” desisnya.
“Firasatku
mengatakan kau memang salah seorang dari mereka. Tidak ada manusia lain di
dunia ini yang memiliki tanda bunga dalam lingkaran seperti yang kau miliki di
belakang lenganmu sebelah kanan. Kau… Wahai para Dewa, mengapa kau putus
petunjuk ini? Ke mana aku harus mencarinya? Lakasipo… Hantu Kaki Batu, aku
yakin kau salah seorang dari mereka. Kalaupun aku tidak menemukan tiga lainnya,
kau seorang sudah cukup menjadi pengobat hati dan derita sengsara puluhan tahun
ini. Lakasipo… Nama gagah walau bukan aku yang memberikan. Istriku Luhpingitan,
wahai… Di mana kau berada. Apakah kita masih bisa bertemu atau kau telah mendahuluiku
ke alam roh?” Sepasang mata kelabu si orang tua berkaca-kaca. Dia menghela
nafas dalam beberapa kali. “Mungkin saatnya aku harus meninggalkan Lembah
Seribu Kabut ini! Mendekam di sini berpuluh tahun tidak akan mungkin aku bisa
menemukan istri dan anak-anakku. Aku harus keluar dari sini. Aku harus mencari
jejak ke mana perginya Hantu Kaki Batu tadi. Lakasipo…Aku yakin… Aku yakin
sekali. Kalau saja si keparat Lamanyala tadi tidak melancarkan serangan kobaran
api niscaya aku sudah mendapat kejelasan mengenai dirimu.”
Habis
berkata begitu Hantu Langit Terjungkir gerakkan dua kakinya. Dua larik sinar
biru membeset, membuat kabut yang mengapung bersibak di udara. Di saat itu pula
sosok si orang tua berkelebat ke arah timur. Kepalanya masih tetap di sebelah
bawah dengan rambut melambai awut-awutan. Mendadak ada cahaya merah membabat
udara, memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir.
“Kurang
ajar! Masih ada saja orang hendak mencelakai diriku!” teriak Hantu Langit
Terjungkir marah ketika menyadari cahaya merah itu bukan cuma memotong
gerakannya tapi tiba-tiba laksana seekor ular api membalik menghantam ke
arahnya.
Sambil
berjumpalitan di udara orang tua itu tendangkan ke dua kakinya.
Wuuuutttt!
Wuuuutttt!
Dua larik
sinar kebiru-biruan menyambar keluar dari sepasang kaki Hantu Langit
Terjungkir. Begitu beradu dengan cahaya merah terdengar suara desssss… desss!
Asap
tebal mengepul di udara akibat bentrokan dua kekuatan sakti, yang satu
mengandalkan panasnya kekuatan api sedang yang lainnya berasal dari kabut alam
yang sejuk!
Hanya
sesaat setelah terjadinya dua bentrokan kekuatan dahsyat itu di kejauhan
terdengar suara orang menjerit kesakitan. Orangnya sendiri tidak kelihatan
entah berada di mana. Sementara itu Hantu Langit Terjungkir sendiri terpental
sampai dua tombak lalu jatuh bergulingan di tanah. Dia cepat berdiri di atas ke
dua tangannya. Walau dadanya berdenyut sakit namun dia tidak menderita cidera
luar maupun dalam.
“Penyerang
jahanam! Membokong secara pengecut! Aku sudah tahu siapa kau adanya! Mengapa masih
menyembunyikan tampang?!” Berteriak Hantu Langit Terjungkir.
Saat itu
juga dari balik pohon yang dikelilingi semak belukar keluar sesosok tubuh,
melangkah tertatih-tatih. Keadaannya sungguh mengerikan.
“Jahanam
kurang ajar! Memang dia rupanya!” kertak Hantu Langit Terjungkir seraya cepat
kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di kening. Tidak mustahil orang
yang barusan keluar dari balik pohon itu akan menghantamnya secara licik untuk
ke dua kali.
********************
10
SOSOK
yang melangkah ke hadapan Hantu Langit Terjungkir itu bukan lain adalah
Lamanyala, makhluk yang telah dicabut kewenangannya sebagai Wakil atau Utusan
Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Keadaannya tidak berbeda seperti terakhir
kali muncul. Tubuhnya masih dikobari api mulai dari kepala sampai ke kaki. Sisi
kanan badannya hanya merupakan satu lobang menggeroak besar mengerikan. Ini
akibat hantaman yang dilancarkan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir sewaktu
dulu terjadi perkelahian hebat antara mereka. Saat itu Lasedayu masih memiliki
kesaktian Jimat Hati Dewa yang dirampasnya dari Latumpangan lalu ditelannya
(Baca Episode berjudul “Hantu Muka Dua”).
Walau
bentrokan kekuatan hawa sakti tadi membuat Lamanyala menderita sakit cukup
parah namun begitu sampai di hadapan Hantu Langit Terjungkir dia menyeringai
dan semburkan tawa mengekeh.
“Tidak
kira tua bangka yang sudah dikuras seluruh ilmu kesaktiannya ternyata masih
membekal ilmu. Tapi sayang cuma ilmu kepengan hingga tidak ada gunanya, tidak
ada yang menaruh rasa takut! Ha… ha… ha!”
Hantu
Langit Terjungkir balas tertawa lalu meludah ke tanah. “Sosokmu masih berbentuk
setengah manusia setengah setan tapi masih bisa jual lagak di hadapanku! Jangan
menyesal kalau sekali lagi kuhantam tubuhmu bisa-bisa hanya tinggal jerangkong!
Ha… ha… ha!”
“Kutuk
telah jatuh atas dirimu! Bertahun-tahun kau didera derita sengsara. Tapi masih
saja sombong kalau bicara!” tukas Lamanyala. Dia meniup ke depan. Dari mulut,
hidung dan dua telinganya menyembur kobaran api.
“Mungkin
aku perlu menambahkan derita sengsaramu jadi beberapa kali lipat!”
“Wahai!
Jika kau memang mampu silahkan mencoba!”
jawab
Hantu langit Terjungkir pula. Lalu kedua kakinya digerakkan. Satu ke depan satu
ke belakang. Sebelum kedua kaki itu menghantam, di depan sana Lamanyala
tekukkan lututnya lalu serentak pukulkan kedua tangannya. Maka menggebubulah
dua gelombang kobaran api, laksana ombak besar menggemuruh menggulung ke arah
Hantu Langit Terjungkir. Hantu Langit terjungkir yang tidak jerih menghadapi
serangan lawan putar tubuhnya bagian pinggang ke kaki dalam gerakan setengah
lingkaran lalu menendang. Dua larik sinar kebiru-biruan menebar. Hawa dingin
menyambar. Satu larik menangkis dan menghambat datangnya dua gelombang kobaran
api serangan lawan. Satu larik lagi menyusup ke bawah lalu menderu di atas
permukaan tanah, menyambar ke arah Lamanyala.
Deesssss!
Asap
mengepul ke udara begitu larikan sinar kebiruan saling bentrok dengan dua
gelombang api. Lamanyala terkejut sekali ketika melihat bagaimana serangannya
terdorong hebat lalu pecah ke kiri dan ke kanan akibat bentrokan dengan
kekuatan lawan. Di saat itu pula larikan sinar biru kedua menyambar ke arah
kakinya. Kakek berbadan geroak bolong ini tersentak kaget. Sambil berteriak
keras dia melompat ke atas lalu meniup dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Empat larik kobaran api laksana gurita menyerbu Hantu Langit Terjungkir. Orang
tua yang diserang tetap berlaku tenang.
Kalau
tadi dia pergunakan kekuatan kaki maka kini dia hadapi serangan lawan dengan
menjentikkan lima jari tangan kanannya. Serta merta melesatlah lima sinar biru
memapasi empat sinar api serangan lawan. Kejut Lamanyala bukan kepalang. Masih
setengah jalan dia sudah dapat merasakan getaran dahsyat serangan Hantu Langit
Terjungkir. Sambil berseru keras dia cepat-cepat melesat ke udara.
“Belum
apa-apa kau sudah memperlihatkan ketakutan menghadapiku Lamanyala! Jangan kira
kau bisa lari dari tanganku! Sekali ini aku tidak memberi ampun lagi padamu!”
Baru saja
Hantu Langit Terjungkir berkata begitu tibatiba dari samping kanan mencuat satu
sinar hijau. Sebuah cahaya aneh berbentuk tombak raksasa menderu ke arah Hantu
Langit Terjungkir.
“Kerabatku
Lamanyala! Jangan takutkan makhluk pencuri jimat itu! Aku datang membantumu!
Kita berdua masakan tidak bisa menyingkirkannya dari muka negeri ini!”
Hantu
Langit Terjungkir karuan saja jadi tercekat besar dan berteriak keras. Serangan
lima larik sinar birunya terpaksa ditarik lalu dia cepat-cepat mencari selamat.
“Kurang
ajar! Makhluk keparat itu datang lagi!” merutuk Hantu Langit Terjungkir ketika
melihat siapa yang menyerangnya, bukan lain Hantu Lumpur Hijau. Seperti
dituturkan sebelumnya makhluk ini telah melarikan diri karena takut menghadapi
Hantu Kaki Batu yang muncul membantu Hantu Langit Terjungkir.
“Kerabatku
Hantu Lumpur Hijau! Terima kasih kau mau menolongku! Kita berdua pasti bisa
membereskan makhluk tak berguna ini. Tapi ketahuilah, kematian terlalu enak
baginya. Aku ingin membunuhnya secara perlahanlahan. Biar dia tersiksa dulu
seumur-umur!”
“Kalau
begitu katamu wahai Lamanyala, aku mengikut saja. Mari kita berebut pahala
menggebuk manusia tidak tahu diri ini!”
Dikeroyok
dua walau dia bisa bertahan sambil sekalisekali balas menghantam namun lambat
laun Hantu Langit Terjungkir menjadi agak terdesak juga. Untung saja dia
memiliki keringanan tubuh serta gerakan yang luar biasa cepatnya hingga sampai
dua puluh jurus berlalu dua lawannya itu masih belum sanggup menyentuhnya.
Namun Lamanyala yang pernah menjadi Utusan atau Wakil Para Dewa walau cacat,
selain memiliki kepandaian tinggi juga berotak cerdik. Setelah dua puluh lima
jurus berlalu dia dan Hantu Lumpur Hijau tidak sanggup merobohkan lawan maka
dia mulai memutar otak. Hanya sebentar saja, dia segera menemui kelemahan
lawan.
Seperti
diketahui Hantu Langit Terjungkir yang telah dikuras habis ilmu kesaktiannya
oleh Hantu Muka Dua kini memiliki ilmu kesaktian baru berdasarkan kekuatan
alam, terutama kekuatan yang berasal dari kabut yang selalu menyungkup kawasan
lembah. Kabut bersifat hampa dan hanya ada di udara dingin. Untuk melenyapkan
kekuatan kabut hawa panas adalah musuh utamanya. Walau sekujur tubuh Lamanyala
dikobari api panas namun tidak cukup kuat untuk mempengaruhi kekuatan lawan.
Maka Lamanyala lalu menciptakan kobaran api besar. Dia berlari mengelilingi
Hantu Langit Terjungkir sementara Hantu Lumpur Hijau terus lancarkan serangan.
Sosok Lamanyala yang dikobari api berputar mengelilingi Hantu Langit
Terjungkir. Saat demi saat dia memperciut putaran lingkarannya sambil menambah
besar kekuatan api yang mengobari tubuhnya.
“Celaka!
Apa yang dilakukan bangsat bertubuh geroak itu!” ujar Hantu Langit Terjungkir
ketika dia dapatkan dirinya dikelilingi lingkaran api hanya sejarak beberapa
jengkal saja sementara sosok Lamanyala tidak kelihatan lagi! “Aku tidak dapat
melihat apa-apa. Hanya api! Tubuhku seperti mau leleh. Dua tanganku seolah
berubah menjadi besi dibakar!”
Dalam
keadaan seperti itu pukulan-pukulan Hantu Lumpur Hijau mulai pula bersarang di
punggung, perut atau dadanya. Sekujur tubuhnya babak belur. Darah mengucur dari
hidung dan mulutnya. Dua tulang iganya malah sudah patah! Kalau dia tidak bisa
keluar dari lingkaran api, paling lama orang tua ini hanya bisa bertahan tiga
jurus di muka! Tubuhnya akan lumat dihantam pukulan serta tendangan Hantu
Lumpur Hijau lalu hangus gosong dipanggang kobaran api Lamanyala! Sebelum ajal
berpantang mati. Begitu kata ujar-ujar.
Dalam
keadaan siap meregang nyawa karena Hantu Langit Terjungkir tidak mungkin
tertolong lagi, tiba-tiba terjadi satu keanehan. Langit di atas lembah seolah
redup padahal tidak ada mendung tidak ada hamparan kabut. Lalu udara mendadak
berubah menjadi dingin. Makin lama hawa dingin ini semakin menggila hingga dua
kakek yang mengeroyok Hantu Langit Terjungkir mulai menggigil kedinginan.
“Gila!
Apa yang terjadi! Api di sekujur tubuhku meredup padam. Aku merasa dingin luar
biasa!” Lamanyala menggigil. Rahangnya sampai bergemeletakan. “Hantu Lumpur
Hijau! Apa kau juga merasa dingin?!”
Tak ada
jawaban. Lamanyala berpaling dan kagetlah dia. Hantu Lumpur Hijau dilihatnya
seolah telah berubah menjadi patung. Sekujur tubuhnya kaku tegang dibungkus
hawa dingin dan mengepulkan asap. Makhluk ini telah berubah menjadi patung es!
Tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Sepasang matanya yang hijau melotot
membeliak tapi bola matanya tidak bisa bergerak sedikitpun!
Nyali
Lamanyala menjadi leleh. Bukan saja dia merasa kecut melihat apa yang terjadi
dengan Hantu Lumpur Hijau, tapi juga ketika menyaksikan kobaran api di tubuhnya
telah mati semua. Kobaran api yang diciptakannya untuk menggempur Hantu Langit
Terjungkir, juga ikut-ikutan mengecil akhirnya lenyap sama sekali! Lalu hawa
dingin seperti menggempur sekujur tubuhnya, mulai dari ubunubun sampai telapak
kaki. Mulai dari permukaan jangat sampai ke tulang sumsum!
“Celaka!
Aku tak bisa menggerakkan dua tanganku!”
Lamanyala
keluarkan seruan tertahan. “Kakiku juga kaku!”
Dia
kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hawa panas mengalir dari
pusarnya tapi segera sirna. Malah rasa dingin yang menyungkup tubuhnya jadi
berlipat ganda. Kini bukan hanya asap yang mengepul dari badan makhluk itu. Tapi
dari pinggiran mata, dari liang hidung, telinga dan mulutnya mulai membersit
darah kental. Begitu meleleh begitu darah ini membeku!
Lamanyala
menjerit setinggi langit. Tapi…, hekkk! Tenggorokannya seperti tersumpal.
Suaranya lenyap seolah direnggut setan. Lalu seperti Hantu Lumpur Hijau makhluk
ini tak bisa lagi bergerak ataupun bersuara! Dia telah berubah menjadi patung
es!
********************
11
WALAU
Hantu Langit Terjungkir berada sangat dekat dengan Hantu Lumpur Hijau dan
Lamanyala yang saat itu telah berubah menjadi patung-patung kaku dingin dan
mengepulkan asap, namun kakek satu ini sama sekali tidak mengalami hal seperti
yang dialami kedua orang itu. Ini satu pertanda apapun yang terjadi, Hantu
Langit Terjungkir tidak ikut menjadi sasaran untuk dijadikan patung es!
Terheran-heran
Hantu Langit Terjungkir memandang berkeliling. Pandangannya membentur sosok
seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong. Pemuda tak dikenalnya
ini berdiri sekitar dua belas langkah di sebelah sana sambil angkat sepasang
tangan dengan telapak diarahkan ke depan. Perlahan-lahan pemuda ini kemudian
menurunkan dua tangannya itu lalu dirangkapkan di atas dada.
“Pemuda
itu… Aku tak kenal siapa dia. Tapi agaknya dia mempunyai satu ilmu aneh. Dia
barusan menolongku dengan ilmunya itu! Wahai… Aku harus menemuinya!”
Hantu
Langit Terjungkir membatin sambil melirik pada dua musuhnya yang masih tak bisa
bergerak tak bisa bersuara dan tubuh mereka terus-menerus mengepulkan asap
dingin.
“Edan!”
Tiba-tiba si gondrong membentak. “Apa yang salah! Mengapa aku ikut-ikut
kedinginan dan mau kencing!” Si gondrong ini segera salurkan hawa panas ke
dalam aliran darahnya. Tapi rasa ingin kencing memang tak dapat ditahannya
lagi. Begitu tangannya digerakkan langsung saja dia menggaruk kepala lalu lari
ke balik semak belukar. Di sini dia segera dodorkan celana putihnya. Belum
sempat dia membuang air seninya tibatiba dari balik semak belukar terdengar
orang memaki dan menjauhkan diri sebelum diguyur air kencing!
“Anak
setan! Kau kira aku ini patung kayu apa! Enak saja mau dikencingi!”
Si
gondrong terkejut dan memandang ke depan. “Setan Ngompol! Kau rupanya! Mengapa
kau sembunyi di situ?! Pasti kau tadi mengganggu mantera aji kesaktian Angin Es
yang aku keluarkan!”
“Wiro!
Aku jengkel padamu!” kata kakek bermata jereng berkuping lebar dan
sebentar-sebentar ngompol itu.
“Sudah
sejak lama aku tidak ngompol-ngompol. Datang ke sini mencarimu tahu-tahu kau
hajar dengan Ilmu Angin Es yang membuat aku tak tahan langsung ngocor! Itu
sebabnya tadi aku sengaja mengacau agar kau juga kebagian ngompolnya! Ha… ha…
ha!”
“Tua
bangka brengsek! Kalau kau tidak berniat nakal, Ilmu Angin Es itu tidak akan
mempengaruhimu! Pasti kau memang sudah punya niat jahil sebelumnya! Pantas aku
ikut-ikutan kedinginan dan tak bisa menahan kencing!” Si gondrong berpakaian
putih yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya memaki.
“Hik…
hik… hik! Sekali-sekali kau rasakan bagaimana enaknya ngompol di celana!” Satu
suara ikut menimbrung. Suara anak-anak. Wiro putar tubuhnya.
“Naga
Kuning sialan! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Bicara lagi biar aku guyur dengan
air kencing!”
“Hik…
hik… hik! Kalau mau mengencingi jangan aku! Dia saja!” kata Naga Kuning. Lalu
anak ini dorong sosok si Setan Ngompol ke balik semak belukar. Tepat pada saat
itu Pendekar 212 Wiro Sableng memang tidak dapat lagi menahan diri. Air
kencingnya mengucur dan jatuh muncrat di muka si Setan Ngompol. Memercik di
kedua matanya yang jereng bahkan ada yang sempat masuk ke dalam mulutnya.
“Hueekkk!”
Setan Ngompol memaki habis-habisan lalu meludah muntah-muntah!
Wiro
cepat-cepat rapikan celananya ketika dilihatnya ada orang mendatangi. Ternyata
orang tua yang berjalan dengan mempergunakan dua tangannya itu.
“Orang
muda, aku tidak tahu mengapa kau barusan menolongku. Wahai! Aku mengucapkan
terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku…” Hantu Langit Terjungkir sibakkan
rambut putihnya. Matanya yang kelabu dikedipkedipkannya pada Wiro. Mulutnya
menyunggingkan
senyum
dan dua kakinya digerak-gerakkan. “Kau memiliki ilmu aneh. Sanggup membuat dua
kakek jahat itu kaku tegang seolah dibungkus es. Siapakah kau adanya anak muda
berambut panjang sebahu? Yang di dadanya aku lihat ada jarahan angka 212?”
Wiro
balas tersenyum. “Aku bernama Wiro Sableng…”
“Wahai!
Tunggu! Logat suaramu terdengar lucu. Kau…Aku pernah menyirap kabar. Kau
pastilah pemuda asing yang katanya datang dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang itu!”
“Aku dan
teman-teman ini…” kata Wiro sambil menunjuk pada Setan Ngompol dan Naga Kuning,
“tak sengaja kesasar sampai di negeri ini. Aku datang ke lembah ini karena
mencari seorang sahabat.”
“Aku
adalah satu-satunya penghuni Lembah Seribu Kabut. Apakah sahabat yang kau cari
itu memang tinggal di sini?” tanya Hantu Langit Terjungkir.
Wiro
gelengkan kepala. “Sahabatku itu datang ke sini karena dia harus menyampaikan
satu amanat untuk seorang bernama Hantu Langit Terjungkir. Jika melihat keadaan
dirimu, bukankah kau kakek gagah yang mempunyai julukan hebat itu?”
Hantu
Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. “Sudah lama aku tak pernah tertawa,”
katanya. “Bicara denganmu enak juga! Kau pandai memuji tapi hatimu polos! Anak
muda, ucapanmu tadi membuat dadaku berdebar. Siapakah sahabat yang sedang kau
cari itu? Apakah dia berpunya nama?”
“Namanya
Lakasipo. Berjuluk Hantu Kaki Batu…”
Wajah si
orang tua tampak berubah kaget. “Kau mencari ke tempat yang betul. Tapi
sayangnya, Lakasipo telah lebih dulu meninggalkan tempat ini. Dia… Wahai,
justru saat ini timbul satu permintaanku padamu. Jika kau bertemu dengan
Lakasipo, katakan agar dia segera datang ke tempat ini. Dia tidak perlu
mengurusi mencari Sendok Pemasung Nasib itu! Aku ingin sekali bicara dengan
dia! Sangat penting! Menyangkut rahasia dirinya dan diriku!”
“Hantu
Langit Terjungkir, aku merasa heran mendengar ucapanmu. Setahuku sahabatku
Lakasipo datang ke sini untuk menyerahkan Sendok Pemasung Nasib itu padamu
sesuai yang diamanatkan seorang kakek sakti bernama Lawungu. Sekarang mengapa
kau mengatakan bahwa dia tidak perlu mencari sendok sakti itu…?”
“Aku
harus menceritakan sesuatu padamu wahai anak muda. Ketika Lakasipo hendak
menyerahkan sendok itu padaku, ada seorang berkepandaian tinggi merampas lalu
melarikannya!” Orang tua itu lalu menuturkan peristiwa lenyapnya sendok emas
itu. Lalu menghela nafas berulang kali. “Aku kecewa sekali, benar-benar kecewa.
Tapi apa mau dikata. Wahai, mungkin nasibku memang harus sengsara seumur-umur.
Tapi, ada satu kejadian yang membuatku penuh harapan hidup kembali. Aku
mempunyai firasat akan bertemu dengan anak-anakku kembali. Paling tidak dengan
salah seorang dari mereka…”
“Kek,
rupanya kau punya riwayat hidup yang luar biasa. Kau punya berapa orang anak
dan apakah selama ini tidak pernah bertemu dengan mereka?”
Ditanya
begitu sepasang mata Hantu Langit Terjungkir jadi berkaca-kaca. “Aku punya
empat orang anak. Dari seorang istri bernama Luhpingitan. Tapi aku tidak tahu
di mana mereka berada sekarang. Aku tak bisa menuturkan riwayatku padamu. Jika
kau dapat mencari Lakasipo dan menyuruhnya datang ke sini itu sudah sangat
menolong bagiku. Aku berpengharapan besar bahwa Lakasipo yang berjuluk Hantu
Kaki Batu itu adalah…” Hantu Langit Terjungkir tidak mampu meneruskan
penuturannya. Mungkin juga dia tidak mau bercerita terlalu banyak dengan
orang-orang yang baru dikenalnya itu. Melihat hal ini Wiro lalu merubah
pembicaraan.
“Kek, apa
benar kau tidak bisa berdiri di atas kedua kakimu. Hingga sepasang tangan
terpaksa kau jadikan kaki?”
“Makhluk
bernama Lamanyala itu telah menjatuhkan kutuk atas diriku. Para Dewa menerima
kutuknya karena aku telah mencuri dan menelan satu benda sakti yang disebut
Jimat Hati Dewa. Akibat kutukannya itu aku jadi begini…”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya, memandang pada Si Setan Ngompol dan Naga
Kuning.
“Kek,
boleh aku mencoba menurunkan sepasang kakimu ke bawah lalu menaikkan kepalamu
ke atas? Kurasa kau bisa berjalan seperti wajarnya semua orang.”
Hantu
Langit Terjungkir tersenyum pahit.
“Aku
sudah mencobanya ratusan bahkan mungkin ribuan kali. Setiap kucoba kedua kakiku
kembali naik ke atas. Kalau kau mau membuktikan sendiri silahkan saja…” kata
Hantu Langit Terjungkir pula.
Wiro lalu
pegang bahu orang tua itu. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol pegang dua kaki si
kakek lalu menariknya ke bawah. Perlahan-lahan sosok Hantu Langit Terjungkir
berputar demikian rupa hingga ke dua kakinya turun ke bawah, menyentuh tanah
sementara kepalanya naik ke atas sebagaimana wajarnya manusia.
“Ah,
tubuhmu ternyata seringan kapas, Kek!” kata Wiro terheran-heran. “Nah begini
cara berdiri yang benar. Wah, kau ternyata masih gagah Kek!” kata Wiro.
Hantu
Langit Terjungkir tertawa lalu berkata.
“Anak
muda, kau lihat sendiri. Kau telah berhasil membalikkan diriku kepala ke atas
kaki menginjak tanah. Sekarang coba kalian lepaskan tangan-tangan kalian dari
bahu dan kakiku!”
Wiro
ikuti ucapan Hantu Langit Terjungkir. Begitu Wiro lepaskan tangannya dari bahu
orang tua itu, dan Naga Kuning serta Si Setan Ngompol lepaskan pula pegangan
mereka pada sepasang kaki si kakek, sosok Hantu Langit Terjungkir secara aneh
mumbul ke atas lalu perlahan-lahan kepalanya berputar ke samping, terus turun
ke bawah. Dengan sendirinya kedua kakinya naik ke atas. Sebelum kepalanya
menyentuh tanah, orang tua itu cepat ulurkan tangan ke bawah untuk menopang
tubuhnya.
Wiro
memperhatikan apa yang terjadi dengan perasaan aneh dan garuk-garuk kepala.
Naga Kuning mencolek tangan Si Setan Ngompol lalu berkata. “Ada keanehan pada
orang satu ini. Kurasa jangan-jangan kantong menyannya besar seperti bola dan
ada hawa di dalamnya. Mungkin itu yang membuat tubuhnya sebelah bawah selalu
naik ke atas karena lebih ringan dari udara.”
Si Setan
Ngompol menekap hidung dan mulutnya menahan ketawa mendengar ucapan Naga Kuning
itu. Ditekap di atas yang di bawah lolos. Serrr… Kakek itu kembali pada
penyakit lamanya. Kencingnya tumpah tak bisa ditahan!
“Hantu
Langit Terjungkir, kami akan meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan kami bisa
menemui Lakasipo secepatnya dan menyuruhnya ke sini…” Wiro memberitahu.
Hantu Langit
Terjungkir anggukkan kepala lalu pegang betis Wiro dan berkata. “Kau telah
menyelamatkan diriku. Di negerimu aku dengar ada ujar-ujar seperti ini, Ada ubi
ada talas. Ada budi ada balas. Kelak satu ketika aku akan mencarimu, membalas
budi baikmu…”
“Kau baik
hati, tapi aku menolong tidak mengharapkan pamrih…”
“Kek, aku
mau tanya. Apa yang hendak kau lakukan pada dua manusia jahat itu?!” Naga
Kuning tiba-tiba ajukan pertanyaan sambil menunjuk pada Hantu Lumpur Hijau dan
Lamanyala.
“Berapa
lama dia akan menjadi patung es seperti itu?” balik bertanya Hantu Langit
Terjungkir pada Pendekar 212.
“Jika
mereka tetap berada di udara terbuka tapi terkena cahaya matahari, mereka baru
bisa bebas sekitar tujuh hari. Jika tidak terkena matahari bisa-bisa dua puluh
hari. Tapi jika mereka berada dalam air bisa-bisa empat puluh hari.”
Naga
Kuning menyambung kata-kata Wiro itu. “Waktu ke sini, kami melihat ada satu
comberan busuk, dalamnya sekitar seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran,
ular air, kodok dan lintah. Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat itu
ke sana?!”
Hantu
Langit Terjungkir menyeringai geli. “Ada baiknya aku mengikuti usulmu itu wahai
sahabat kecil yang nakal! Ha… ha… haaa!”
Di
sebelah sana Hantu Lumpur Hijau dan Lamanyala walau berada dalam keadaan tak
bisa bergerak tak mampu bersuara dan dilamun hawa dingin luar biasa tapi
keduanya masih bisa mendengar apa yang diucapkan Naga Kuning tadi. Karuan saja
keduanya menyumpah habis-habisan.
Ketika
mereka sampai di tepi lembah sebelah timur, Naga Kuning berkata. “Wiro,
sebenarnya kami mencarimu karena ada satu benda ajaib kami temui dalam sebuah
goa di kawasan sebelah selatan. Jika kita mencari Lakasipo lebih dulu mungkin
benda itu sudah diboyong orang…”
“Benda
ajaib. Benda ajaib apa maksudmu, Naga Kuning?” tanya Pendekar 212.
“Sebuah
patung batu perempuan cantik. Patung itu bisa tersenyum. Pandai mengedipkan
mata tapi juga bisa menangis.”
“Jangan
kau bergurau. Mana ada patung seperti yang kau katakan itu!”
“Anak ini
tidak dusta. Aku sendiri ikut berada dalam goa itu…” berkata Si Setan Ngompol.
“Aku sampai terkencingkencing melihat keanehan itu! Kalau saja patung itu
makhluk hidup mungkin aku sudah jatuh hati dan tidak akan meninggalkannya!”
“Kalau
begitu…” kata Wiro sambil menghentikan langkah dan garuk kepala. “Mungkin ada
baiknya kita segera menuju ke goa itu.”
********************
12
SEPERTI
diceritakan dalam episode sebelumnya, “Rahasia Patung Menangis”, patung cantik
Luhmintari yang hendak diboyong para Peri ke Negeri Atas Langit berhasil
diselamatkan oleh Peri Angsa Putih. Patung ini kemudian disembunyikannya dalam
sebuah goa di satu tempat terpencil. Secara tidak sengaja Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol terpesat ke tempat itu, masuk ke dalam goa dan menemukan patung
Luhmintari.
Kedua
orang ini bukan saja heran bisa menemukan patung begitu bagus halus dan cantik
di dalam goa, namun juga merasa aneh karena melihat dari kedua mata patung
sesekali meluncur jatuh tetesan-tetesan air. Ketika disentuh ternyata tetesan
air itu terasa hangat seperti air mata betulan.
“Aku
melihat dia seperti tersenyum…” bisik Setan Ngompol dengan suara gemetar. “Aku
khawatir ini satu tempat angker. Kalau aku ngompol dan kencingku sampai jatuh
di tempat ini bisa-bisa ada yang bakal mengutuk diriku. Aku keluar dulu…”
Sebenarnya si kakek sudah merasa takut dan dingin tengkuknya. Itu sebabnya dia
buru-buru keluar. Ditinggal sendirian Naga Kuning jadi kecut pula. Rasa
takutnya tak dapat ditahannya lagi ketika dilihatnya mata kiri patung itu
seperti mengedip! Anak ini langsung menghambur lari keluar goa.
“Kita
harus mencari Wiro, memberi tahu adanya patung itu. Jangan-jangan patung itu
satu patung keramat. Janganjangan ada kesaktian tersembunyi di dalamnya!”
Si kakek
setuju maksud Naga Kuning. Kedua orang itu segera tinggalkan tempat tersebut
dan pergi mencari Pendekar 212 yang kemudian mereka temukan di Lembah Seribu
Kabut. Dari Lembah Seribu Kabut ketiga orang itu langsung menuju kawasan di
mana goa berisi patung terletak. Setelah melewati sebuah bukit yang penuh
ditumbuhi bunga-bunga yang tengah mekar akhirnya mereka sampai ke tempat
tujuan. Di dalam goa lama murid Sinto Gendeng tegak terkagum-kagum
memperhatikan patung perempuan cantik dengan rambut tergerai lepas itu.
“Belum
pernah aku melihat patung sebagus ini. Halus sekali. Para pemahat di tanah Jawa
kurasa tidak sanggup membuat yang seapik ini…” Wiro geleng-geleng kepala. Dia
perhatikan wajah patung lalu berkata pada dua temannya.
“Kalian
bilang patung ini bisa menangis menitikkan air mata. Bisa mengedipkan mata.
Saat ini kulihat biasa-biasa saja. Kecantikan dan kehalusan buatannya memang
mengagumkan sekali.”
“Kalau
tidak berpenyakit suka ngompol rasanya mau aku tinggal di dalam goa ini,” kata
Si Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya dengan tangan kiri tapi
tangan kanannya enak saja mengusap-usap perut patung. Wiro melangkah seputar
patung. Ketika dia sampai di sebelah depan patung kembali, pendekar kita
mendadak tersurut dua langkah. Dia melihat bibir patung seperti bergerak
membentuk senyum.
“Kau tak
percaya! Apa kataku!” bisik Naga Kuning.
Pendekar
212 ulurkan tangan hendak mengusap bibir patung. Tiba-tiba di mulut goa
terdengar suara aneh.
Buuuuttttttttttt..!
“Hai,
suara apa itu?” Mata jereng Si Setan Ngompol berputar. Tangannya langsung turun
menekap ke bawah.
Buuuuttttttt…!
Suara
aneh panjang itu kembali terdengar. Datangnya memang dari luar goa.
“Ada
bayangan di dinding goa. Ada orang di luar sana,” bisik Naga Kuning.
“Jangan-jangan
pemilik goa, pemilik patung ini. Lekas sembunyi di balik lekukan goa di ujung
sana!” kata Wiro.
Ketiga
orang itu lalu menyingkir ke ujung goa di mana ada sebuah lekukan batu. Mereka
mendekam di lekukan ini. Dari sebelah depan tidak terlihat sebaliknya dari
tempat mereka berada ketiganya dapat melihat sebagian goa sebelah depan dan
seluruh sosok belakang patung. Bayangan di dinding goa kembali bergerak. Lalu,
serrrr… Seperti angin berhembus satu sosok berpakaian kuning melangkah seolah
melayang di dalam goa.
Buuuutttttt…!
“Ada
orang masuk…” bisik Wiro.
“Kau
dengar suara itu…?” ujar Naga Kuning.
“Seperti
suara orang kentut…” berucap Wiro.
“Kalau
memang kentut mengapa panjang amat. Juga mengapa sering sekali. Dari tadi sudah
tiga kali kudengar!” kata Naga Kuning.
Setan
Ngompol mendekamkan punggungnya ke dinding goa. Pejamkan mata tak berani
bergerak tak berani bersuara. Dua tangannya sudah menekap bagian bawah perut
menahan ngompol.
Buuutttttt…
Suara
aneh itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras karena lebih dekat, pertanda
sumber suara sudah berada dalam goa.
“Celaka…
Aku tak tahan mau beser!” kata Setan Ngompol.
“Jangan
ngawur! Harus kau tahan!” kata Naga Kuning.
“Siapa
tahu ini tempat suci tak boleh dikotori. Salah-salah kita bisa kesambet semua!”
(kesambet = kemasukan roh halus)
“Jangan
bicara menakuti aku! Nanti aku kencing benaran!” kata si kakek mata jereng
sambil cucukkan jempol kakinya ke pantat Naga Kuning yang duduk berjongkok di
depannya.
Buuuutttttt…!
“Bunyi
sialan!” rutuk Setan Ngompol. Dia sudah tidak sanggup menahan kencing. Dan di
saat seperti itu tiba-tiba seperti meledak satu suara tawa keras melengking
menggelegar di seantero goa. Suara tawa perempuan. Habis sudah! Setan Ngompol
tak bisa menguasai diri. Kencingnya mancur, jatuh ke bawah sepanjang kaki
celananya.
“Hai! Apa
ini?!” ujar Naga Kuning ketika merasa punggung pakaiannya basah oleh cairan
hangat. Dia menoleh ke belakang. “Sialan! Kek! Kau mengencingi punggungku!”
“Jangan
berisik! Tahan ucapan kalian! Lihat, ada orang aneh berdiri di depan patung!”
bisik Wiro.
Naga
Kuning dan Setan Ngompol segera ulurkan kepala, memandang ke arah depan. Memang
benar. Saat itu di depan patung cantik Luhmintari, tegak seorang nenek-nenek
yang keadaan dirinya serba kuning. Mulai dari rambut, muka sampai pada pakaian.
Di atas kepalanya, pada rambut yang disanggul di sebelah atas tapi diriapkan di
sebelah kuduk menancap tiga buah sunting berhias batu permata warna kuning.
Tiga sunting ini selalu bergoyang kian kemari.
Selain
berhiaskan tiga buah sunting di kepalanya, si nenek juga memakai giwang-giwang
bulat berbentuk rantai. Lalu di lehernya bergelantungan banyak sekali kalung.
Semuanya juga berwarna kuning. Naga Kuning colek pinggul Pendekar 212 lalu
berbisik.
“Lihat
kalung-kalung nenek itu. Salah satu di antaranya bukankah itu sendok sakti yang
terbuat dari emas…?”
Wiro
besarkan matanya dan perhatikan rangkaian kalung yang tergantung di leher si
nenek.
“Astaga…!
Kau benar Naga Kuning. Salah satu yang dijadikan kalung oleh si nenek adalah
Sendok Pemasung Nasib. Jadi dia rupanya yang merampas dan melarikan sendok
sakti itu ketika Lakasipo hendak menyerahkannya pada Hantu Langit Terjungkir…”
“Kita
harus hati-hati. Jangan-jangan dia bangsa neneknenek jahat…” kata Si Setan
Ngompol mulai kecut.
“Jahat
dan sinting!” menyambungi Naga Kuning.
“Nenek
seperti ini biasanya suka menggerayangi kakek sepertimu!”
“Sialan
kau!” maki Si Setan Ngompol.
Tiba-tiba
nenek muka kuning itu songgengkan pantatnya. Lalu, buuuuuutttttttt…! Ada suara
keluar dari bagian tubuhnya sebelah bawah belakang disertai sambaran angin.
“Gila!
Nenek sialan itu rupanya yang kentut sejak tadi!”
kata Naga
Kuning. “Kentutnya keras amat. Lantai goa ini seolah terasa bergetar. Untung
tidak mengandung bau yang membuat hidung tanggal! Hik… hik… hik!”
“Aku
pingin kencing!” kata Setan Ngompol.
“Kencing
saja! Biasanya tidak pakai bilang segala!” tukas Naga Kuning jengkel.
Si nenek
muka kuning kembali tertawa melengking. Lalu dia melangkah ke hadapan patung,
memandang dan berdecak terkagum-kagum sambil goleng-goleng kepala. Beberapa
kali dia melangkah berkeliling sambil sesekali mengusap tubuh patung. Selama
melangkah mengelilingi patung itu kentutnya terpancar berulang kali
bertalu-talu. Setelah tertawa sekali lagi nenek ini jatuhkan diri di depan
patung. Sambil usap-usap kaki patung dia berkata diseling suara terkadang
seperti orang meratap, terkadang seperti orang tertawa.
“Wahai
patung cantik jelita di dalam goa! Pertemuan ini sungguh tidak disangka tidak
diduga. Tidak dikira tidak dinyana. Agaknya kaulah patung sakti yang akan dapat
menolong penyakit diriku…” Si nenek diam sebentar lalu, butttt… Kembali dia
kentut. Habis kentut dia sambung ucapannya tadi. “Puluhan tahun aku mencari
orang pandai. Puluhan tahun aku mencari obat. Namun wahai. Penyakitku tak
kunjung sembuh! Tidak aku menenggak angin. Tidak aku menyantap udara. Tapi
mengapa kentutku panjang bertalu-talu! Sehari dua ratus kali kentut. Berapa
seminggu? Berapa sebulan? Berapa dalam setahun? Hik…hik… hik…! Silahkan hitung
sendiri!”
Buuuutttt…!
Si nenek
muka kuning bangkit berlutut lalu peluk patung batu itu. “Wahai patung batu
berwajah cantik jelita. Mengapa kau diam saja. Tidakkah kau pandai bersuara?
Wahai patung batu cantik jelita. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku! Jawablah
wahai patung. Jawablah!” Si nenek sesenggukan, lalu kentut panjang dan tertawa
cekikikan.
“Wahai
patung batu di dalam goa, mengapa kau belum juga menjawab ucapanku! Tolong
diriku…”
Di balik
lekukan goa Naga Kuning menggamit Wiro lalu menunjuk-nunjuk ke arah nenek muka
kuning. “Nenek tukang kentut itu pasti miring otaknya. Supaya dia cepat keluar
dari sini mengapa tidak kau jawab saja…”
“Gila!
Kita tidak tahu siapa adanya dia. Mengapa mau mencari penyakit. Jika sudah
bosan dia pasti pergi sendiri dari sini…”
“Kalau
dia bosan! Kalau tujuh hari tujuh malam dia nongkrong terus di sini celaka kita
semua…”
“Aduh,
aku kencing lagi!” Setan Ngompol bersandar ke dinding goa. Celananya kembali
basah kuyup. Naga Kuning buru-buru menjauh.
Wiro
garuk-garuk kepala. Ucapan Naga Kuning ada betulnya pikirnya. Dia usap-usap
tenggorokannya.
“Rubah
suaramu seperti suara perempuan…” bisik Naga Kuning.
“Patung
batu cantik jelita,” si nenek kembali berucap.
Dan
kembali kentut panjang. “Wahai patung batu cantik jelita… Aku mohon jawab
permintaanku. Tolong diriku. Sembuhkan penyakitku…”
********************
13
TIBA-TIBA
di dalam goa muncul satu suara menyahuti ucapan-ucapan si nenek. Suara
perempuan, agak tersendat-sendat. “Wahai perempuan tua bermuka kuning. Siapa
dirimu hingga berani menginjakkan kaki mengotori goa suci ini?”
Si nenek
tersentak kaget hingga bangkit berdiri. Sesaat dia pandangi patung batu itu
dengan wajah berubah. Lalu dia meraung panjang, menangis keras. Habis menangis
dia tertawa-tawa gembira terpingkal-pingkal sambil berjingkrak-jingkrak. Setiap
berjingkrak dari bawah tubuhnya bertalu-talu keluar suara buuuutttttt…
buuuttttt…buutttt…
“Patung
baik! Ternyata kau bisa bicara! Hik… hik… hik! Jika kau bisa bicara pasti kau
patung sakti keramat. Berarti pasti bisa mengobati penyakitku!”
Buuuutttttt…
“Nenek
muka kuning, waktuku tidak banyak. Siapa kau adanya dan apa penyakit yang kau
idap?” di dalam goa kembali ada suara perempuan.
“Wahai
patung cantik jelita. Siapa namaku sebenarnya aku tidak tahu. Hik… hik… hik!
Tapi orang-orang memberi aku nama Luhkentut! Mereka juga menggelariku Nenek
Selaksa Kentut. Hik… hik… hik! Soal penyakitku masakan kau tidak tahu waw… waw!
Hik… hik! Kau sudah dengar sendiri. Kau sudah saksikan sendiri. Setiap saat
tubuhku mengeluarkan angin yang bisa bersuara buutt buutt!
Bukankah
itu namanya kentut?! Hik… hik… hik. Aku ingin dengan kesaktianmu kau bisa
mengobatiku wahai patung cantik jelita…”
“Sudah
berapa lama kau menderita penyakit kentutkentut ini wahai nenek muka kuning?”
“Aku
tidak ingat. Mungkin dua puluh tahun, mungkin lima puluh tahun, bisa juga
lebih. Aku sudah bosan mendengar kentutku sendiri…”
“Apa ada
bagian tubuhmu yang lecet akibat kentutkentut itu?”
“Geblek!”
Naga Kuning menukas perlahan. “Mengapa kau ajukan pertanyaan tolol begitu?”
“Hik…
hik… hik! Aku tidak pernah memeriksa wahai patung cantik jelita. Mungkin kau
bisa tolong memeriksa sendiri…” Habis berkata begitu di depan patung si nenek
lalu angkat bagian bawah pakaian kuningnya dan menungging.
Wiro
membuang muka! Si Setan Ngompol melotot jereng. Naga Kuning tutupkan dua
tangannya ke mata sambil berkata. “Rasakan sekarang!”
“Bagaimana
wahai patung batu sakti. Ada yang lecet di tubuhku sebelah bawah?” bertanya si
nenek muka kuning.
“Tidak…
sudah…”
“Coba
lihat, periksa sekali lagi wahai patung cantik jelita!”
“Mampus
kau!” kata Naga Kuning pada Wiro.
Buuuttttt…!
“Sudah…
sudah kuperiksa. Tak ada yang lecet!
Turunkan
pakaianmu…” kata Wiro cepat.
“Wahai, gembira
aku mendengar tidak ada perabotanku yang lecet atau rusak! Hik… hik… hik!
Sekarang wahai patung sakti, bisakah kau menolong menyembuhkan penyakit
kentut-kentutku ini?”
Wiro
garuk-garuk kepala sambil memandang pada Setan Ngompol dan Naga Kuning.
“Ubi…
ubi…” bisik si kakek mata jereng.
Wiro
kerenyitkan kening.
“Nenek
muka kuning bernama Luhkentut, bergelar Nenek Selaksa Kentut, aku perlu tahu
asal muasal penyakitmu. Coba kau ingat-ingat apakah kau pernah salah makan…?”
“Wahai
mana aku ingat…”
“Apa dulu
kau pernah makan ubi sampai berkeranjangkeranjang…?”
“Hik…
hik… hik! Kau betul! Kau tahu asal muasal sebab penyakitku! Berarti kau bisa
mengobati diriku! Dulu waktu hidupku morat-marit tak karuan aku memang banyak
makan ubi, ubi hutan yang hitam-hitam itu! Hik… hik… hik! Apa obatnya wahai
patung sakti? Aku ingin cepat sembuh…”
Buuuuttttt…
“Kau
beruntung wahai Luhkentut. Penyakit kentutmu tidak disertai bau. Kalau ada
baunya akan sulit sekali disembuhkan…”
“Wahai
patungku, patung penolongku…” si nenek jatuhkan diri menciumi kaki patung
sambil terkentutkentut.
“Apa yang
harus kulakukan? Apa obat yang mujarab…?”
“Apakah
sebelumnya kau pernah minta pertolongan Hantu Raja Obat?”
“Hantu
keparat itu! Memang pernah…!”
“Kau
diberinya obat?”
“Dia
menipuku.! Makhluk jahat itu malah mencelakai diriku!” jawab Luhkentut alias
Nenek Selaksa Kentut.
“Menipu
mencelakai bagaimana?”
“Dia
menambal tubuhku dengan tumbukan daun cabaicabaian! Akibatnya aku megap-megap
setengah mati kepanasan!”
Wiro,
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol sama-sama menekap mulut menahan ketawa.
“Patung
cantik patung jelita! Mengapa kau diam saja! Kau belum mengatakan apa obat
buatku! Apa yang harus kulakukan…”
“Wahai,
apa kau tahu ‘kibul’ ayam?”
“Ayam aku
tahu. Tapi kibul aku tidak tahu…” jawab si nenek muka kuning.
“Anus…
Anus ayam kau tahu?”
Si nenek
menggeleng. “Anus aku juga tidak tahu! Hik…hik… hik…!”
Buuutttttt…!
“Kau
tidak tahu kibul, tidak tahu anus…?”
“Tidak,
aku tidak tahu wahai patung sakti cantik jelita…”
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Dubur…
dubur…” bisik Si Setan Ngompol.
“Kalau
dubur kau tahu?!”
“Wahai,
kalau dubur aku tahu betul!” jawab si nenek lalu buuutttt… dia kembali kentut.
“Nenek
geblek! Padahal dubur dan anus sama saja!” memaki Naga Kuning.
“Luhkentut,
dengar baik-baik. Untuk menyembuhkan penyakitmu kau harus mencari dan makan
dubur ayam sebanyak tujuh puluh tujuh buah. Ambil bagian yang ada
lancip-lancipnya. Itu yang namanya kibul! Makan mentahmentah!”
“Mentah-mentah…?!”
Si nenek keluarkan suara tercekik seperti mau muntah.
“Mentah-mentah
dan tidak boleh dicuci!”
Lidah si
nenek muka kuning terjulur. Air liurnya muncrat. Dia seperti mau muntah
betulan. Tapi kemudian malah tertawa melengking-lengking dan
berjingkrakjingkrak.
“Aku
sudah sembuh! Aku sudah sembuh!” teriaknya.
Buuuttt…
buuutttt… buuutttt!
“Nenek
Selaksa Kentut, aku menolong tidak pernah minta imbalan. Tapi sekali ini aku
terpaksa melanggar pantangan. Jika kau merasa sudah sembuh bolehkah aku meminta
sesuatu darimu?”
“Hik…
hik… hik! Katakan saja! Asal kau tidak minta duburku! Hik… hik… hik!”
Buuttttt!
“Jika kau
tidak keberatan, aku ingin kau memberikan kalung berbentuk sendok itu…”
Si nenek
tundukkan kepala. Dia mengacak-acak kalung yang banyak bergelantungan di
lehernya. Lalu tertawa panjang. “Matamu awas juga wahai patung cantik jelita.
Benda ini tidak ada artinya bagiku. Kau meminta pasti aku berikan. Tapi tidak
sekarang…”
“Kapan…?”
“Kalau
aku sudah makan tujuh puluh tujuh kibul alias anus alias dubur ayam itu! Hik…
hik… hik!”
Buuuttttt…!
“Celaka,
bagaimana aku bisa menolong Hantu Langit Terjungkir…” kata Wiro dalam hati
sambil garuk-garuk kepala.
“Kau yang
salah. Mengapa sampai kau minta dia makan tujuh puluh tujuh kibul ayam. Coba
kalau cuma tujuh saja. Pasti bisa lebih cepat mendapatkan sendok emas itu!”
kata Naga Kuning.
Sekonyong-konyong
tubuh nenek muka kuning mumbul ke atas. Ketika dia menukik tahu-tahu sudah
berada di hadapan Wiro dan kawan-kawannya. Pendekar 212 tergagau. Naga Kuning
keluarkan seruan kejut tertahan sedang Si Setan Ngompol langsung mancur
kencingnya. Si nenek tertawa cekikikan. Dia menunjuk pada Wiro seraya berkata.
“Satu!”
Lalu,
buuuttttt!
Dia
menunjuk pada Naga Kuning.
“Dua!”
Buuuttttt!
Sekali
lagi dia menunjuk. Kali terakhir ini pada Si Setan Ngompol. Bahkan bukan cuma
menunjuk tapi sekaligus menowel puncak hidung si kakek hingga dalam takutnya
kencing si kakek tumpah laksana pancuran!
Buuuttt!
“Kalian
bertiga! Hik… hik… hikkk! Ketahuan! Hik… hik…hik…!”
Buuuttttt…!
“Wahai!
Ternyata kalian lelaki semua! Hik… hik… hik! Yang mana di antara kalian tadi
meniru suara perempuan…” Sepasang mata kuning si nenek memandang menyambar
wajah-wajah di depannya.
“Aku,”
kata Wiro mengakui. Dia menduga perempuan tua muka kuning itu akan marah besar
atau menyerangnya.
Si nenek
pandangi wajah sang pendekar sejenak lalu tertawa gelak-gelak. “Anak berambut
panjang macam perempuan habis sakit panas! Siapa namamu?!”
“Namaku
Wiro Sableng,” jawab Wiro.
Si nenek
meledak tawanya. “Wiro Sableng! Hik… hik! Kau tahu apa arti sableng di Negeri
Latanahsilam ini?”
“Aku
tahu. Pernah seorang sahabat memberitahu.”
“Apa…?
Apa artinya sableng?”
“Sableng
di sini artinya kencing kuda,” jawab Wiro.
Luhkentut
tertawa cekikikan. Lalu kentut buutttt…buuttt… buttt!
“Dengar
kalian bertiga. Aku tidak tahu permainan atau tipuan apa yang kalian lakukan.
Tapi kalau sehabis makan tujuh puluh tujuh dubur ayam penyakit kentutku tidak
sembuh, kalian bertiga akan kupesiangi. Dubur kalian akan kupanggang! Ingat itu
baik-baik! Awas!”
Wiro
tetap tenang. Naga Kuning kelihatan kecut sementara Si Setan Ngompol kembali
mengucur air kencingnya.
“Hik…
hik…! Aku sembuh! Aku sembuh!”
Si nenek
jingkrak-jingkrakan. Dan seperti tadi kentutnya kembali memberondong.
Buuutttt…
Buuutttt… Buutttt!
“Kalian
bertiga ingat perjanjian kita! Hik… hik… hik!” Si nenek kedipkan matanya pada
Si Setan Ngompol lalu kembali kentut, banyak dan panjang.
“Eh! Aku
ingat sesuatu!” Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut pijit-pijit keningnya.
“Bagaimana aku yakin kalian tidak akan kabur atau sembunyikan diri jika nanti
terbukti aku tidak sembuh! Wahai! Aku perlu jaminan dari salah satu kalian!
Jaminan berupa… Hik… hik! Potongan salah satu bagian tubuh kalian!”
“Mati
aku!” kata Naga Kuning dalam hati.
Wiro
terkesiap sedang si kakek Setan Ngompol sudah jatuh melosoh ke lantai goa.
“Wahai!
Kalian bertiga jangan takut. Aku tidak minta yang aneh-aneh. Aku cuma minta
kalian menyerahkan salah satu daun telinga kalian! Hik… hik… hik!”
Si Setan
Ngompol dan Naga Kuning langsung tekap kuping masing-masing. Wiro merunduk tapi
mengawasi waspada. Si nenek kembali tertawa dan kentut-kentut.
“Siapa
yang sukarela mau menyerahkan sepotong kupingnya?!”
Tak ada
yang menjawab, tak ada yang bergerak. Luhkentut pandangi tiga orang di depannya
satu persatu. Ketika dia memandang pada Naga Kuning, bocah yang ketakutan
kupingnya mau diambil ini segera berkata sambil menunjuk pada Si Setan Ngompol.
“Kuping dia saja. Kupingnya besar lebar!”
“Anak
jahanam! Biar kutendang bokongmu!” Setan Ngompol marah besar. Kaki kanannya
hendak ditendangkan.
“Sudah!
Serahkan saja kupingmu! Daripada dia minta bagian tubuhmu yang lain! Apa kau
mau menyerahkan anumu!” teriak Naga Kuning karena saat itu dilihatnya si nenek
mulai bergerak mendekati.
“Anak
setan!” Si Setan Ngompol tendangkan kakinya.
Tapi
gerakannya didahului si nenek. Mendadak Setan Ngompol merasakan ada sambaran
angin halus di pipi kanannya. Lalu telinganya terasa dingin sekali. Dia cepat
meraba telinganya yang kanan. Astaga! Daun telinganya yang lebar tak ada lagi!
Si nenek
tertawa panjang sambil ulurkan tangannya. Di atas telapak tangannya yang
terkembang kelihatan potongan daun telinga Si Setan Ngompol.
“Gila!
Dia benar-benar mengambil telinga kakek itu! Bagaimana mungkin! Bagaimana dia
melakukan? Tak ada darah dan si kakek seperti tidak merasa sakit!” Wiro
terheran-heran tapi rasa-rasa ngeri juga. Naga Kuning mendelik. Mukanya pucat
dan mulutnya ternganga. Ketika meraba dan menyadari daun telinganya sebelah kanan
tak ada lagi, Si Setan Ngompol terlonjak lalu berteriak tak karuan. Di sebelah
bawah kencingnya berbusaian! Nenek muka kuning kembali terkentut-kentut. Dia
lambai-lambaikan potongan daun telinga Si Setan Ngompol. Lalu sambil tertawa
cekikikan dia berkelebat lenyap di mulut goa.
“Lebih
baik kita segera tinggalkan goa ini!” kata Si Setan Ngompol sambil tekap
telinga kanannya yang sudah rata.
Wiro dan
Naga Kuning menyetujui. Ketiganya segera menuju ke mulut goa. Tapi belum
sampai, tiba-tiba meledak tawa melengking. Satu bayangan kuning berkelebat.
Ketiga orang itu terdorong seperti dilanda angin dan jatuh tumpang tindih di
lantai goa. Memandang ke depan ternyata si nenek muka kuning telah berdiri di
mulut goa, menghalangi jalan mereka. Si Setan Ngompol jadi pucat pasi dan
terkencing-kencing.
“Celaka!
Jangan-jangan dia mau minta kupingmu yang satu lagi!” bisik Naga Kuning pada
Setan Ngompol, membuat kakek ini bergeletar ketakutan dan basah lagi celananya.
“Mending
kalau cuma kuping! Bagaimana kalau si nenek minta barang langka yang ada di
bawah pusarmu!” ujar Wiro. Setan Ngompol tambah muncrat kencingnya.
“Wahai!
Aku lupa menanyakan! Anak muda bernama Wiro Sableng! Dubur ayam yang harus
kumakan mentahmentah itu! Dubur ayam betina atau ayam jantan?!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Bingung menjawab karena memang semua yang dikatakannya itu
cuma dikarangkarang. Tapi tidak diduga akibatnya jadi begini!
“Dubur
ayam jantan Nek!” yang menjawab Naga Kuning.
Luhkentut
pelototkan matanya yang kuning. “Aku bertanya pada si rambut panjang itu! Bukan
padamu!” Lalu si nenek berpaling pada Wiro.
Murid
Sinto Gendeng ini cepat berkata. “Benar Nek, memang dubur ayam jantan!”
“Heemmmmm,
begitu? Hik… hik… hik!” Si nenek manggut-manggut lalu tertawa dan, buuutttt…
buuuttt!
Sehabis
kentut panjang dua kali itu dia melirik pada Setan Ngompol, kedip-kedipkan
matanya, memutar badan dan berkelebat pergi.
Wiro
menoleh pada Naga Kuning. “Anak geblek! Mengapa kau katakan padanya kalau dia
harus makan dubur ayam jantan?”
“Dubur
ayam jantan keras dan alot!” sahut Naga Kuning. “Biar nenek itu kesusahan
memakannya! Bisa-bisa dia kelolotan tercekik! Dia membuat kita semua jadi
susah. Biar gantian dia nanti yang susah!”
Wiro jadi
tertawa bergelak. Si Setan Ngompol walau dalam bingung berat akibat kehilangan
telinga kanan tapi akhirnya ikut-ikutan terkekeh mendengar ucapan Naga Kuning
itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment