Episode
Bidadari Dua Musim / Masih Petualangan Wiro Sableng Di Masa Kerajaan Mataram
Kuno
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
Dewi Dua
Musim berjongkok di samping kepala pemuda yang dipantek di atas
papan."Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya…."
Ucapan itu terngiang lagi di telinganya. Si gadis ulurkan tangan kiri kanan.
Gerakan dua tangan membuat mulut si pemuda terbuka. Begitu dia melihat ke dalam
mulut Dewi Dua Musim tercekat. Ternyata di dalam mulut pemuda itu memang ada
satu paku kayu, menancap ke bagian dalam tenggorokan yang digenangi darah. Dewi
Dua Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat
sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat tangan kanan dimasukkan ke
dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur.
********************
SATU
SETELAH
didera musim kemarau lebih dari setengah tahun, ketika akhirnya hujan turun
cukup lebat pagi itu penduduk di kawasan kering tanah Jawa terutama di bagian
tengah dan timur merasa lega dan gembira. Banyak diantara mereka, yang umumnya
para petani pemilik ladang dan sawah memanjatkan puji syukur kepada Sang
Pencipta Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dengan berbagai cara baik dalam
upacara adat maupun bentuk keagamaan. Di laut utara dan selatan para nelayan
tidak kalah rasa syukur dan gembira mereka. Karena pada akhir musim kemarau
yang memasuki musim penghujan.
ikan di
laut muncul dalam jumlah lebih banyak dari biasanya dan tentu saja ini
merupakan rahmat serta rezeki berlimpah dari Yang Maha Kuasa.
Hari ke
lima setelah hujan pertama kali turun, para petani mulai ramai ke sawah untuk
menanam bibit padi. Pemilik ladang mulai mencangkul tanah guna persiapan
menanam berbagai macam tanaman yang dapat dipanen dalam waktu singkat anakanak
terlihat riuh di kali dan sungai, berenang dan bermain-main sambil memandikan
kerbau.
Pagi itu,
di lereng Bukit Menoreh sebelah timur, tak jauh dari kaki Gunung Gajah, seorang
gadis belia duduk di bawah sebatang pohon, asyik menatap pemandangan indah yang
terhampar di hadapannya. Di kejauhan Gunung Gajah menjulang biru kehijauan. Di
kaki gunung petak-petak sawah yang sebelumnya merupakan tanah gersang kini
basah berlumpur, ramai oleh petani. Mereka bekerja penuh semangat sambil
sesekali tertawa berseloroh. Ada yang memperbaiki pematang sawah, ada yang
membongkar saluran air yang tersumbat.
Kerbau-kerbau
pembajak tanah terlihat mundar-mandir hampir di setiap petak sawah. Beberapa
petani yang mampu bekerja cepat malah sudah mulai menyemai menebar bibit padi.
Di
kejauhan, dari arah timur Kali Progo membelintang biru seolah seekor ular
panjang membelah bumi. Sesekali alunan arusnya tampak berkilau oleh pantulan
sinar matahari yang tidak terlalu terik.
Hanya
beberapa tombak dari lereng bukit di mana gadis berpakaian biru duduk menikmati
pemandangan indah, ada satu jalan tanah yang cukup lebar, sejajar dengan Bukit
Menoreh.
Akibat
hujan, tanah yang tadinya keras gersang ini, sekarang berubah menjadi gembur
becek.
Jalan
tanah ini merupakan salah satu dari jalan utama yang menghubungi Kotaraja
dengan kawasan di sebelah barat.
Mulai dari
Godeyan dan Gamping sampai ke Renteng, terus ke Sibolong dan Girimulyo, terus
lagi ke Borobudur. Di sebelah selatan slmpangan jalan tanah menuju ke Sedayu,
Argosari dan berakhir di Wates.
Siapakah
gerangan gadis yang duduk sendirian di lereng Bukit Menoreh itu? Dari pakaian
birunya yang sederhana serta kasut kulit kasar yang menyarungi dua kaki, sulit
untuk menduga apakah dia seorang yang berasal dari desa atau penduduk Kotaraja!
Wajahnya sama sekali tidak dipalut dandanan namun kecantikan alami yang dimilikinya
mengagumkan untuk dipandang. Sepasang mata bulat jernih.
Bagian
putih tampak bening, bola mata hitam pekat membuat mata Ku seolah berkilat. Ini
menambah pesona pada kecantikan raut wajahnya. Lalu mengapa dia berada seorang
diri di lereng bukit itu? Apa benar hanya untuk menyaksikan keindahan alam yang
terpampang di hadapannya? Terlalu berbahaya bagi seorang gadis sebelia dia
berada seorang diri di tempat sunyi seperti itu. Karena sejak beberapa waktu
belakangan im daerah itu merupakan salah satu tempat orang jahat seperti begal
dan rampok berkeliaran. Sesekali si gadis memandang ke arah ujung jalan di
sebelah selatan, sambit telinga dipasang. Agaknya ada yang tengah ditunggunya.
Sayup-sayup
di kejauhan tiba-tiba terdengar suara derap kaki-kaki kuda, sekali-sekali
ditingkah suara binatang itu meringkik. Kalau saja tanah jalanan tidak berubah
becek derap kaki kuda niscaya akan terdengar lebih keras. Diantara suara derap
kaki kuda terdengar suara aneh berkepanjangan. Suara ini seperti sebuah benda
yang bergerak menggeser tanah jalanan.
Sepasang
mata gadis berpakaian biru membesar tak berkesip. Dua alis hitam lengkung
bergerak naik lalu mata itu menatap ke arah kiri lereng bukit. Pandangan
ditukik ke bawah, ke arah jalanan tanah. Dari balik kerapatan pepohonan dia
bisa melihat ada dua ekor kuda dipacu ke jurusan utara Gunung Gajah.
"Aku
bisa melihat dua ekor kuda dan penunggangnya.
Tapi aku
tidak bisa melihat benda yang mengeluarkan suara berkepanjangan. Apakah orang
yang kutunggu sudah datang? Seharusnya ada penunggang kuda ke tiga."
Gadis
berpakaian biru membatin dalam hati. Lalu dia berdiri. Gerakannya anggun dan
penuh kelembutan. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kotak kayu kecil.
Ketika dibuka isi kotak itu ternyata adalah berbagai alat untuk menghias diri.
Mulai dari pupur merah muda, kayu penebal alis dan kayu merah berujung lembut
untuk pemoles bibir. Pada bagian belakang penutup kotak menempel sebuah cermin
kecil.
Sambil
memperhatikan ke dalam cermin, gadis itu bukannya mulai menghias wajah, tapi
malah tertawa. Ketika mulutnya terbuka tampaklah barisan gigi yang putih
berkilau bak mutiara serta lidah merah basah.
‘Mengapa
aku masih merasa diri seperti gadis desa yang baru menanjak dewasa? Apakah aku
masih memerlukan cara berhias kuno mempergunakan segala macam peralatan tolol
ini? Aih, sungguh bodohnya diri ini."
Kotak
kayu kecil ditutup kembali. Lalu tangan kanan diayun satu kali dan wuttt! Kotak
kayu dilempar ke udara! Kotak ini kemudian menyangsrang jatuh di serumpunan
semak belukar.
Di jalan
tanah di bawah lereng bukit, dua penunggang kuda mulai nampak semakin jelas
namun benda yang mengeluarkan suara geseran dengan tanah masih belum diketahui.
Gadis di lereng bukit dongakkan kepala. Sepasang mata yang jernih menatap ke
langit. Telapak tangan kanan dikembang. Perlahan-lahan telapak tangan di usap
ke wajah.
mulai
dari kening sampai ke dagu. Begitu tangan diturunkan kelihatanlah wajah si
gadis yang tadi cantik alami tidak berdandan kini telah berubah jauh lebih
cantik. Kulit wajah kelihatan merah segar, sepasang alis melengkung bagus lebih
hitam dan bibir merah merekah. Dia telah menghias diri secara gaib. Tidak
sampai di situ. Sehelai kain biru diikat di kening.
rambut
diacak lalu digerai lepas. Kini kecantikannya seolah bertambah. Sungguh sangat
mempesona.
Di kaki
bukil, kembali terdengar suara kuda meringkik.
Gadis
cantik berpakaian biru tidak menunggu lebih lama. Sekali dia menggerakkan dua
kaki, tubuhnya melesat ke udara lalu seperti seekor burung tubuh itu menukik
melayang ke bawah.
sepasang
kaki menjejak enteng di cabang satu pohon besar yang tumbuh di tepi jalan tanah
yang akan dilalui dua penunggang kuda Semua gerakan yang dilakukan gadis itu
sungguh Indah, seolah dia tengah menari di udara cerah. Selain itu jelas sudah,
gadis cantik Ini bukan orang sembarangan.
Paling
tidak dia mempunyai ilmu kesaktian yang membuatnya mampu bergerak cepat dan
gesit serta ilmu meringankan tubuh pada tingkatan yang bukan sembarang orang
bisa memiliki.
Ketika si
gadis alihkan pandangan ke ujung jalan, ke arah dua kuda dan penunggangnya saat
itulah untuk pertama kali dia melihat benda apa yang mengeluarkan suara bunyi
menggeser tanah berkepanjangan.
Sepasang
alis mata si gadis langsung berjingkat naik!
Bibir
yang merah merenggang terperangah. Kepala digeleng beberapa kali.
Penunggang
kuda di sebelah depan bertubuh gemuk gempal, mengejakan pakaian dan belangkon
hitam. Pada bagian depan belangkon tersemat hiasan bintang dalam lingkaran,
terbuat dari kuningan berkilat. Tampang garang tertutup kumis dan berewok
meranggas tebal.
Penunggang
kuda kedua berpakaian dan mengenakan belangkon yang sama. Walau kumisnya kecil
saja dan hanya dagunya yang ditumbuhi jenggot kasar namun tampangnya tampak
angker. Apa lagi di wajah sebelah kiri ada codet bekas luka.memanjang mulai
dari mata sampai pertengahan pipi. Cacat ini membuat kelopak mata kirinya
mencuat merah mengerikan. Sambil menunggang kuda orang ini mencekal seutas
tambang yang ujungnya diikat ke leher kuda. Ujung tambang yang lain terikat
pada sebatang balok yang menjadi salah satu landasan tiga buah papan. Di atas
papan terkapar sosok seorang lelaki, tubuh dan pakaiannya penuh lumuran darah.
Wajah tak jelas karena dipenuhi darah yang mengucur dari luka di kening.Dua
tangan orang ini terpentang ke atas. Telapak tangan kiri kanan dipantek ke
papan dengan potongan bambu yang dibuat seperti paku besar. Dua kakinya juga
dipantek dengan potongan bambu. Darah mengucur dari luka pantekan. Tak dapat
dipastikan apakah orang itu masih hidup atau sudah menjadi mayat.
"Yang
datang bukan orang-orang yang aku tunggu"
Gadis
cantik di atas pohon berucap perlahan. Walau hatinya kecewa besar namun
wajahnya tetap tenang, malah dia sama sekali tidak unjukkan rasa ngeri melihat
orang yang dipantek di atas papan yang diseret kuda! Di dalam hati dia berkata.
"Kasihan,
dosa kesalahan apa yang dibuat orang itu hingga diperlakukan begitu rupa. Dalam
kehidupan yang katanya beradab ini mengapa masih ada kekejaman begini
rupa…."
Beberapa
tombak lagi dua kuda dan penunggangnya akan sampai di bawah pohon besar, gadis
di atas cabang pohon membuat gerakan enteng, melayang turun sambil berseru.
"Dua
kerabat berbclangkon hitami Mohon berhenti barang sebentar. Ada yang akan aku
tanyakan!"
********************
DUA
DUA ekor kuda
yang tengah berlari kencang meringkik keras.
Dua
penunggang berusaha menghentikan lari kuda masingmasing dengan menarik tali
kekang kuat-kuat hingga binatang itu berjingkrak dan sepasang kaki depan naik
ke atas. Di atas punggung kuda, dua orang penunggangnya hampir saja mencelat
jatuh kalau tidak cepat-cepat memagut leher tunggangan mereka yang larinya
akhirnya bisa dihentikan dengan susah payah. Celakanya kuda kedua, walau bisa
berhenti namun papan yang ditarik terus meluncur deras di tanah becek lalu
menghantam dua kaki belakangnya "Kraakk!Kraaak!"
Dua kaki
belakang kuda patah. Didahului suara meringkik keras binatang ini ambruk ke
tanah, melempar penunggangnya. Rupanya sang penunggang orang berilmu juga
karena dengan gerakan enteng dia tidak sampai jatuh terbanting di tanah becek.
Sepasang kaki menyentuh dan menginjak tanah lebih dulu. Papan di atas mana
orang yang dipantek tergeletak melesat satu tombak ke udara lalu jatuh ke
tanah, berpatahan di beberapa bagian namun sosok di atasnya tetap terpentang
tak bergerak.
Lelaki
gemuk bermuka berewokan di sebelah depan hendak mendamprat marah, namun ketika
melihat siapa yang berdiri di tengah jalan, amarahnya langsung saja menjadi
surut. Sebaliknya kawan di sebelah belakang yang kaki kudanya patah dan masih
tergeletak di tanah tidak bisa membendung amarah. Dia membentak garang.
"Perempuan
jahanam! Kau mematahkan dua kaki kudaku! Aku akan menghajarmu!" Habis
membentak si codet ini melompat ke hadapan gadis berpakaian biru sementara
temannya si gendut sudah melompat turun ke tanah.
Si gadis
tenang saja, tidak beranjak dari tempatnya.
Malah
sambil mengangkat tangan dia berkata dengan suara lembut.
"Aih!
Maafkan, bukan aku yang mematah dua kaki kuda itu. Tapi papan yang kau seret
sepanjang jalan. Tapi memang aku mengaku salah karena aku yang membuat
gara-gara kuda kalian terkejut ketakutan. Sekarang biar aku perbaiki dua kaki
kudamu."
"Memperbaiki
dua kaki kudaku? Gelo! Kau kira dua kaki kudaku bisa diperbaiki seperti
memperbaiki ladam besi?" Dua kaki kuda itu patah tahu!. Bagaimana kau mau
memperbaiki?
Wong
edan" Lelaki bermuka codet, berkumis dan berjanggut kasar berkata setengah
berteriak.
"Maksudku,
aku akan mengembalikan keadaan dua kaki kudamu seperti semula…" Jawab si
gadis sambil tersenyum.
"Apa?!"
Lelaki berwajah codet menghardik merasa dipermainkan.
Tanpa
perdulikan kemarahan orang si gadis dekati kuda yang tergeletak di tanah.
Binatang ini meringkik keras. Kepala dan dua kaki depan berusaha ditegakkan
namun tubuhnya kembali roboh. Selanjutnya binatang ini hanya bisa
melejanglejang dan meringkik berulang kali.
"Sahabatku
kuda bagus, tak usah takut. Tenang… tenang saja. Memang tadi gara-garaku dua
kakimu jadi patah. Sekarang biar aku menyembuhkan." Si gadis usap-usap
tengkuk kuda dan bagian kening antara kedua matanya.
Kuda yang
tergeletak di tanah becek dan tadi bersikap liar karena rasa sakit luar biasa
pada kedua kakinya yang patah, mendadak berubah jinak dan diam. Kepala dijulur
lalu ditidurkan di tanah. Sepasang mata setengah terpejam.
"Kudaku
mati!’ Teriak si codet dengan mata mendelik, tampang beringas.
Gadis
cantik tersenyum lalu berkata. "Kudamu tidak mati.
Dia
mendengar apa yang aku ucapkan dan pasrah untuk mendapat kesembuhan. Semoga
Yang Maha Pengasih menolong sahabatku ini."
Sambil
berkata si gadis berjongkok di samping kuda yang rebah. Dua tangan diulur.
Tangan kiri memegang kaki belakang sebelah kanan lalu tangan kanan mengusap
mengurut-urut kaki itu tiga kali berturut-turut sambil mulut meniup. Hal yang
sama dilakukan dengan kaki kiri belakang si kuda. Selesai mengurut si gadis
tepuk pinggul kuda sambil berseru.
"Kuda
bagus! Ayo berdiri, Kau sudah sembuh!"
Ajaib!
Begitu
ditepuk walau agak terhuyung-huyung tapi kuda yang patah dua kaki belakangnya
itu mampu berdiri kembali!
Dua
lelaki berpakaian dan berbelangkon hitam samasama terkejut dan saling pandang
terheran-heran. Walau menyaksikan dengan mata kepala sendiri tapi masih tak
bisa percaya. Bagaimana mungkin! Dua kaki kuda yang patah disembuhkan hanya
dengan cara mengusap mengurut sambil meniup! Kedua orang ini palingkan kepala,
menatap ke arah si gadis. Memperhatikan mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sementara
itu kuda yang barusan ditolong kini berdiri menggeser-geserkan moncongnya ke
bahu si gadis sambil keluarkan suara menggeru perlahan. Agaknya dengan cara itu
binatang ini ingin menyampaikan rasa terima kasihnya.
Si gadis
tersenyum. Dia balas membelai tengkuk dan kepala kuda sambil berkata. "Kau
kuda yang mendapat berkah.
tahu
mengucapkan rasa terima kasih walau kau hanyalah seekor binatang.Tapi banyak
yang namanya anak manusia tidak tahu berterima kasih setelah menerima berkah
dari Yang Maha Kuasa…."
Lelaki
codet yang tadi marah besar dekati temannya dan berbisik.
"Kita
harus hati-hati. Gadis itu bisa saja Lelembut Bukit Menoreh atau seorang
penyihir jahat yang tengah berkeliaran mencari mangsa!"
Betum
habis kejut ke dua lelaki itu, di depan mereka si gadis membuka mulut berkata.
"Dua
kerabat harap lupakan apa yang terjadi. Sekarang apakah aku boleh mengajukan
barang satu-dua pertanyaan?"
Dua
telaki kembali saling pandang. Si codet yang masih penasaran lalu berkata
dengan nada kasar.
"Katakan
dulu siapa dirimu! Mengapa berani menghadang kami orang-orang Pangeran Banowo
yang tengah mengurus satu perkara besar!"
"Aih!
Jadi kerabat berdua adalah orang-orang Pangeran Banowo. Bukankah Pangeran itu
dikabarkan adalah calon Adipati Magelang? Salam hormatku untuk kalian
berdua." Si gadis lalu membungkuk, menjura memberi penghormatan pada kedua
orang di hadapannya.
Lelaki
gemuk menatap dengan pandangan penuh selidik.
Lalu
bertanya. "Bagamana kau tahu kalau Pangeran Banowo akan menjadi Adipati
Magelang. Hal itu adalah masih merupakan rahasia Kerajaan."
"Maaf
kalau aku bicara ceroboh Tapi kabar rahasia yang disebar angin, mana ada manusia
yang bisa menekap mencegahnya."
Si gemuk
terdiam tapi temannya si codet sudah membentak lagi.
"Kau
belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau, apa punya nama dan datang dari mana!
Mengapa berada di tempat terpencil ini! Apa keperluanmu!" Lalu pada
temannya yang bertubuh gemuk si codet berbisik. "Aku curiga, jangan-jangan
gadis tak dikenal Ini sebenarnya tengah menghadang kita.
Jangan-jangan
dia ada sangkut paut dengan orang yang kita pantek di atas papan!"
Si gemuk
berewok yang agak lebih sabaran balas berbisik. "Aku malah menduga
jangan-jangan dia kaki tangan suruhan Klingkit Jenung. Sudah, kau diam dulu.
Gadis secantik Ini jangan diperlakukan sembarangan. Apa kau tidak melihat dia
punya ilmu kepandaian? Biar aku yang bicara."
"He…he!"
Si codet menyeringai. "Aku tahu maksud dibalik bicara bagusmu! Kau mulai
suka pada gadis itu kan?!"
"Sudah!
Diam saja!" Si gendut lalu berkata pada gadis di depannya. "Ning Ayu
Cantik," begitu si gendut memanggil si gadis. "Sebelumnya biar kami
memperkenalkan diri lebih dulu.
Aku
bernama Lor Randuwali. Sahabatku ini Seno Kalamurti.
Tadi kau
memanggil kami dengan sebutan kerabat. Kau juga telah menunjukkan itikad baik
menolong kaki kuda yang patah.
Sekarang
harap kau mau memberi tahu apa yang ditanyakan temanku tadi."
"Hemmm
…" Si gadis bergumam. "Tidak ada sulitnya menjawab pertanyaan
sahabatmu itu. Sebagai manusia tentu saja aku punya nama. Tapi aku lupa siapa
namaku sebenarnya.."
"Geto.
Mana ada orang lupa sama nama sendiri!" Si codet Seno Kalamurti memotong
ucapan si gadis dengan bentakan.
Yang
dibentak cuma tersenyum. "Aku tidak berdusta.
Sungguhan
aku lupa siapa nama yang diberikan kedua orang tuaku ketika aku dilahirkan.
Sejak beberapa waktu lalu orangorang memanggil aku dengan nama Dewi. Nah,
itulah namaku Kerabat berdua boleh memanggil aku dengan nama itu."
Pelipis
Seno Kalamurti bergerak-gerak. Rahang menggembung. "Dew….Dewi apa! Kau
seperti menyembunyikan sesuatu. Di dunia ini ada banyak perempuan bernama Dewi!
Kau Dewi
apa?! Dewi Lelembut! Dewi Gandaruwo atau Dewi Hantu Laut?!"
Gadis di
hadapan kedua lelaki berpakaian dan berbelangkon serba hitam itu masih juga
tersenyum. "Aih…."
katanya.
"Kurasa diriku ini tidak jelek-jelek amat. Masakan tega aku diberi nama Dewi
Lelembut, Dewi Gandaruwo, Dewi Hantu Laut "
Seno
Kalamurti kembali mau menghardik. Tapi Lor Randuwali cepat memberi isyarat agar
si codet itu tidak membuka mulut lagi.
Maka
diapun berkata. "Harap maafkan sahabatku ini. Dia memang suka berangasan
tapi sebenarnya hatinya baik. Hanya saja apa yang dikatakannya tadi betul
adanya. Nama Dewi banyak sekali. Apa hanya sesingkat itu nama yang kau miliki?
Pasti ada tambahannya."
"Orang-orang
memanggilku Dewi Dua Musim."
Lor
Randuwali dan Seno Kalamurti terperangah, sama-sama saling pandang. "Terus
terang, belum pernah aku mendengar nama seaneh namamu. Apa artinya itu. Mengapa
kau disebut Dewi Dua Musim?"
Si gadis
mengangkat bahu. "Aku tidak pernah menanyakan pada orang-orang itu mengapa
mereka memanggilku Dewi Dua Musim…"
"Randu,"
Seno Kalamurti berbisik. "Kurasa gadis Ini tengah mempermainkan kita.
Sebaiknya kita bereskan saja. Terakhir sekali aku meniduri perempuan empat
bulan silam. Masih ada cukup waktu sebelum kita meneruskan perjalanan ke
Magelang. Si cantik ini rupanya memang sudah jadi rejeki kita.
Tidak
mustahil dia memang sengaja mengantar diri. Hemmm…"
********************
TIGA
LOR
RANDUWALI meski memang tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Dewi
Dua Musim, saat itu tidak acuhkan ucapan temannya. Dia tidak mau bertindak
ceroboh karena diam-diam sudah merasa kalau gadis tak dikenal itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Pada si gadis dia berkata.
"Sekarang
jelaskan mengapa kau berada di tempat sunyi di lereng Bukit Menoreh ini. Dari
apa yang telah kau lakukan, kami menduga kau sepertinya sengaja menghadang
perjalanan kami."
Si gadis
gelengkan kepala. "Aku tidak ada niatan jahat. Apa lagi maksud menghadang
orang-orang gagah seperti kerabat berdua. Seperti kataku tadi aku hanya ingin
mengajukan barang satu-dua pertanyaan."
"Begitu?
Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya Lor Randuwali.
"Ketika
kerabat berdua dalam perjalanan menuju ke sini, apakah pernah berpapasan atau
melewati tiga orang penunggang kuda berpakaian serta berbelangkon hitam seperti
kerabat berdua? Bedanya mereka tidak mencantel hiasan bintang dalam lingkaran
seperti yang ada pada belangkon kerabat berdua…"
Lor
Randuwali mengingat-ingat lalu berpaling pada si codet. Kedua orang Ini
kemudian sama gelengkan kepala.
"Selama
perjalanan sampai ke sini kami tidak berpapasan atau melewati siapapun…."
"Kerabat
berdua tidak keliru? Tiga orang yang aku tanyakan itu, dua diantara mereka
masih muda-muda. Orang ketiga seorang kakek berwajah aneh. Dua telinganya
terletak di kening, mulut berada di leher…"
"Pasti
setan, bukan manusiai" Ucap Seno Kalamurti.
"Betul
kerabat berdua tidak melihat ke tiga orang itu?" Si gadis ingin
meyakinkan.
"Tidak,
kami tidak pernah menemui mereka dalam perjalanan." Jawab Lor Randuwali.
"Aku
tahu kerabat berdua telah berkata jujur. Untuk itu aku sangat berterima
kasih." Si gadis yang mengaku bernama Dewi Dua Musim alihkan pandangan
pada sosok yang tergeletak di atas papan. Lalu bertanya. "Siapa orang itu?
Dosa kesalahan apa yang telah dilakukannya hingga mengalami nasib seperti itu."
"Siapa
orang ini, apa dosa dan kesalahannya adalah urusan kami! Kau tidak layak
bertanya!" Yang menjawab adalah Seno Kalamurti.
"Kerabat
berdua, apakah…apakah kalian berdua yang memperlakukannya seperti itu?"
"Apa
perdulimu!" Bentak Seno Kalamurti.
"Kasihan
dia. Aku ingin sekali menolongnya"
"Dewi
Dua Musiml Siapapun namamu! Jangan sekali-kali berani berkata seperti
itu!" Seno Kalamurti berkata sambil delikkan mata.
"Manusia
menolong sesama adalah hal biasa. Memangnya mengapa aku tidak boleh menolong
orang itu?"
"Kau
mulai berani kurang ajari" Seno Kalamurti melangkah mendekati si gadis.
"Sebaiknya kau bersiap-siap ikut bersama kami ke Magelang!" Lalu enak
saja tangan kanannya diulurkan menyentuh dagu si gadis.
Dewi Dua
Musim tenang-tenang saja diperlakukan seperti itu. Dia sama sekali tidak
berusaha menghindar hingga tangan Seno Kalamurti benar-benar menyentuh dan
mengusap dagunya. Si codet ini letakkan tangannya yang bekas mengusap di depan
hidung lalu menyedot dalam-dalam. Dia mencium bau harum sekali. Melihat orang
tidak marah, malah seperti sengaja memasang diri Seno Kalamurti jadi lebih
berani dan tambah kurang ajar. Kembali dia ulurkan tangan kanan.
Kali ini
diarahkan ke dada si gadis.
Hanya
seujung kuku tangan itu akan menyentuh dada Dewi Dua Musim tiba-tiba dari
samping Lor Randuwali bertindak cepat mencekal tangan temannya itu.
Seno
Kalamurti berpaling.
"Randu!
Apa yang kau lakukan! Lepaskan tanganku! Nanti kau juga bakal dapat
bagian!"
"Urusan
kita belum selesai Mengapa mencari urusan baru!
Lekas
ikut aku pergi dari sini. Magelang masih cukup jauh dari sini! Jangan kita
sampai kemalaman dijalan."
"Randu….Randu.
Rupanya kau mau jadi malaikat penolong!" Seno Kalamurti merasa tidak
senang.
"Manusia
berhati malaikat itulah berkah Yang Maha Pengasih.
Kerabat
Seno Kalamurti. sebaiknya kau Ikuti kata-kata Lor Randuwali. Cepat pergi dari
sini. Teruskan perjalanan kalian ke Magelang. Tapi tinggalkan orang yang
tergeletak di atas papan!"
"Apa?!"
Seno Kalamurti berteriak marah.
"Dewi
Dua Musim, kau tidak tahu siapa adanya orang yang dipantek di atas papan itu.
Siksa dan hukuman yang diterimanya baru sebagian. Kesengsaraannya baru berakhir
kalau sebelum matahari tenggelam nanti dia digantung di alun-alun Kadipaten
Magelang."
Dewi Dua
Musim rangkapkan dua tangan di atas dada.
"Kalau
begitu mengapa kerabat berdua tidak mau memberi tahu siapa adanya orang itu?
Aku sejak tadi bertanya apa dosa dan kesalahannya. Tapi kalian tidak
menjawab."
"Saat
ini kami tidak bisa memberi tahu. Kalau kau mau tahu riwayatnya silahkan ikut
kami ke Magelang. Setelah dia digantung, orang banyak akan memberi tahu semua
apa yang kau tanyakan."
"Lor
Randuwali, perlu apa susah-susah membawa gadis ini jauh-jauh ke Magelang. Di
dekat tikungan sungai di bawah sana ada sebuah pondok. Kita bawa dia ke sana!"
Habis berkata begitu Seno Kalamurti gerakkan dua telunjuk tangan kanan hendak
menotok urat besar di pangkal leher Dewi Dua Musim.
Totokan
mendarat telak di pangkal leher. Seharusnya totokan membuat si gadis saat itu
juga menjadi kaku tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Namun apa yang terjadi
justru kebalikannya. Dua ujung jari Seno Kalamurti yang menotok terus saja
menempel di pangkal leher si gadis. Tak bisa digerakkan apa lagi ditarik lepas.
Selarik cahaya putih keluar dari pangkal leher yang ditotok, mengalir ke dalam
dua jari, menjalar sepanjang tangan kanan, masuk ke dalam tubuh Seno Kalamurti.
Ketika cahaya putih merambas memasuki rongga pernafasan, Seno Kalamurti
menjerit keras. Tubuh mencelat mental, mulut menyembur darah segar. Si codet
ini kemudian tergeletak tertelentang di tanah becek, megap-megap. Kaki dan
tangan melejang-lejang. Belangkon hitam lepas dari kepala berguling jatuh ke
tanah. Tangan kanan, kaki kanan dan mata kanan menggembung merah.
Melihat
apa yang terjadi dengan temannya itu Lor Randuwali merasa ngeri dan cepat
menolong. Namun semua usaha yang dilakukan tidak mampu membuat memulihkan
keadaan Seno Kalamurti. Lelaki ini terus saja megap-megap dan kejang-kejang.
"Kerabat
Lor Randuwali, bawa sahabatmu pergi dari sini.
Begitu
sampai di Magelang masukkan benda ini ke dalam mulutnya, suruh dia menelan.
Segala cidera di tubuhnya luar dalam akan segera slma.Semoga pelajaran dariku
ada manfaat bagi dirinya."
Lor
Randuwali perhatikan benda putih berkilat seujung jari yang ada di telapak tangan
kanan Dewi Dua Musim.
"Cepat
ambillah dan pergi dari sini."
"Dewi,
aku….Mengapa…." Lor Randuwali bingung ada.
takut
juga ada. Menatap wajah cantik si gadis dia merasa ada sambaran hawa aneh
keluar dari sepasang matanya yang berkilat, membuat hatinya bergetar.
Namun
rasa amarah melihat temannya diperlakukan seporti itu segera muncul menindih
rasa bingung dan takut.
Sambil
berdiri dia berkata. "Sekarang aku yakin. Kau pasti orangnya Klingkit
Jenung Hanya orang itu yang punya ilmu Membalik Hawa Sakti Menembus Jalan
Darah?"
"Aih,
kerabat Lor Randuwali. kau seharusnya bersyukur pada Yang Maha Kuasa yang telah
mendatangkan musim penghujan. Kalau saja saat ini masih musim panas pasti
keadaannya akan sangat mengenaskan bagimu dan sahabatmu itu."
"Apa
maksudmu?." Hardik Lor Randuwali.
"Maksudku
sederhana sekali " Jawab Dewi Dua Musim. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke
tanah becek. Lor Randuwuli tersentak kaget ketika merasa ada geteran aneh di
dalam tanah di bawah kedua kakinya. Belum habis kagetnya tiba-tiba Dewi Dua
Musim angkat tangan kiri. Tangan diayun ke udara begitu rupa. Wuttt! Tubuh
gendut Lor Randuwuli melesat ke udara lalu entah bagaimana tahu-tahu melayang
turun dan jatuh duduk di punggung kuda miliknya walau menghadap ke belakang!
Dewi Dua Musim ulurkan tangan menepuk pinggul kuda. Binatang itu meringkik lalu
menghambur ke depan. Lor Randuwali berteriak-teriak sambil berusaha berbalik
menahan tali kekang menghentikan kuda. Namun apapun yang dilakukannya binatang
itu terus saja lari seperti dikejar setan.
Kepala
lelaki gemuk ini berdenyut pening. Pandangan mata berkunang dan semua tampak
seperti terbalik. Seumur hidup baru sekali itu dia menunggang kuda menghadap ke
belakang!
"Tolong!
Tolong! Kuda jahanam berhenti berian!" Teriak Lor Randuwali
menyumpah-nyumpah. Tapi kuda tunggangannya malah berlari semakin kencang!
********************
EMPAT
DEWI Dua
Musim melangkah menghampiri Seno Kalamurti yang sampai saat itu masih
megap-megap dan melejanglejangkan kaki serta tangan. Benda putih berkilat
seujung jari dimasukkannya ke dalam mulut si codet yang menganga.
dengan
tangan kiri dia memijat tenggorokan orang. Hekkk! benda putih berkilat masuk ke
dalam tenggorokan si codet. lalu dengan tangan kiri dia mencekal kerah pakaian
orang itu. Sekali tangan mengayun tubuh Seno Kalamurti terlempar jatuh
menelungkup di atas punggung kuda miliknya. Si gadis lepaskan tambang yang
bergulung di leher kuda.
"Susul
sahabatmu! Semoga kau akan mendapat kesembuhan begitu sampai di Magelang. Kau
beruntung saat ini musim penghujan!"
Dewi Dua
Musim kemudian tepuk pinggul kuda. Seperti halnya dengan kuda Lor Randuwali,
binatang ini mengangkat dua kaki ke atas, meringkik satu kali lalu menghambur
lari. Sambil memperhatikan, dalam hati Dewi Dua Musim membatin. "Tiga
orang yang kutunggu, dimana mereka. Mengapa tidak muncul?"
Ingat
pada orang yang tergeletak dalam keadaan dipantek di atas papan, si gadis cepat
balikkan tubuh. Dia lebih dulu memotes selembar daun keladi liar di tepi jalan
lalu mendekati orang itu Sambil menyibak rambut serta menyeka darah yang
mencelemongi wajah orang dia berkata.
"Manusia
malang, apakah aku mengenalmu?"
Wajah
yang tadi tertutup darah kini terlihat jelas. Ternyata orang ini seorang pemuda
berwajah tampan. Di keningnya ada luka.
"Aih.
wajahnya tampan sekali. Aku tak mengenali siapa pemuda ini adanya. Mengapa dua
orang Pangeran Banowo tega-teganya memperlakukan dia begini kejami"
Dewi Dua
Musim tarik nafas dalam. Sepasang mata tampak berkaca-kaca. Dia seolah turut
merasakan kesengsaraan orang. Telapak tangan kiri diletakkan di atas kening si
pemuda.
"Untung
keningmu tidak panas. Berarti tak ada racun mengindap!"
Perlahan-lahan
telapak tangan kiri diletakkan di atas dada si pemuda. Si gadis tidak merasakan
adanya detak jantung.
Hati-hati
telinganya sebelah kanan ganti ditaruh di atas dada.
"Aihl
Dia masih hidup. Aku dapat mendengar detak jantungnya walau perlahan sekali.
Mungkin mulai sekarat Aku harus melakukan sesuatu agar dia tidak mati!"
Dengan
cepat Dewi Dua Musim letakkan dua tangan di atas dada pemuda itu lalu perlahan-lahan
alirkan hawa sakti dengan dorongan tenaga dalam tinggi. Sampai wajah dan
tubuhnya berkeringat, dia tidak mampu membuat sadar si pemuda.
"Kasihan,
apakah aku harus meninggalkannya dalam keadaan sengsara seperti ini? Kalau saja
saat ini musim panas aku tak akan perduli."
Sepasang
mata Dewi Dua Musim perhatikan empat buah paku kayu yang memantek dua tangan
dan dua kaki si pemuda.
"Aku
harus mencabut paku kayu itu. Mungkin bisa mengurangi penderitaannya disaat
sekarat."
Si gadis
membungkuk. Dia mulai dengan paku kayu yang memantek telapak tangan kanan si
pemuda. Sebenarnya hanya dengan mengandalkan tenaga luar dia akan mampu
mencabut paku kayu itu. Tapi sampai dia memaksa dengan mengerahkan tenaga dalam
sekalipun, paku kayu tidak dapat dicabut! Si gadis berpindah pada paku kayu
yang menancap di tangan kiri. Hal yang sama terjadi. Paku kayu tidak mampu
disentak dicabut Begitu juga ketika dicoba menarik paku kayu yang menancap di
kedua kaki orang.
"Aih.
sungguh aneh. Ilmu jahat apa yang dipakai orang memantek pomuda malang ini.
Mengapa aku tidak mampu mencabut satupun dari empat paku kayu itul Bagaimana
aku harus menolong pemuda ini." Si gadis melangkah mundar mandir di jalan
becek.
Tiba-tiba
mengiang satu suara di telinga Dewi Dua Musim.
"Musim
hujan telah tiba. Segala kesejukan menaungi diri manusia, mulai dan pikiran
sampai ke dalam aliran darah.
masuk ke
dalam kalbu dan menyentuh perasaan hati. Gadis berpakaian biru. kau tidak akan
mampu menyelamatkan pemuda itu kalau tidak dapat mencabut empat paku kayu yang
memantek bagian tubuhnya ke papan. Jangan mempergunakan kekuatan untuk
menghancur papan baru melepas paku karena dengan cara begitu paku tetap akan
menancap di dua tangan dan dua kaki. Cabutlah lebih dulu paku kayu yang ada di
dalam mulutnya. Kalau itu sudah kau lakukan mudah-mudahan Yang Maha Kuasa
menolongmu dan pemuda itu selamat dari kematian."
Dewi Dua
Musim terkesiap. Dia memandang berkeliling, mengusap telinga kiri yang tadi
mendengar suara mengiang itu lalu keluarkan ucapan, bertanya.
"Orang
pandai siapa yang bicara?"
Yang
menjawab hanya sapuan suara angin yang membuat gemerisik daun-daun pepohonan di
tepi jalan tanah.
Si gadis
bertanya sekali lagi. "Orang pandai, dengan segala hormatku harap unjukkan
diri atau beri tahu siapa kau adanya."
Tetap
saja tidak ada jawaban. Tidak ada suara mengiang susulan.
"Orang
pandai, rupanya kau tidak mau diganggu.
Baiklah,
aku akan ikuti petunjukmu. Aku berterima kasih padamu…."
Dewi Dua
Musim berjongkok di samping kepala pemuda yang dipantek di atas papan.
"Cabut lebih dulu paku kayu yang ada di dalam mulutnya" Ucapan itu
terngiang lagi di telinganya. Si gadis ulurkan tangan kiri kanan. Tangan yang
satu menarik dagu orang ke bawah, tangan lain mendorong bagian mulut ke atas.
Gerakan dua tangan membuat mulut si pemuda terbuka. Melihat ke dalam mulut Dewi
Dua Musim tercekat. Ternyata di dalam mulut pemuda itu memang ada satu paku
kayu. menancap ke bagian dalam tenggorokan yang
digenangi
darah. Dewi Dua Musim geleng-geleng kepala.
"Jahat
sekali!" Katanya dalam hati. Lalu dengan cepat tangan kanan dimasukkan ke
dalam mulut. Begitu paku kayu ditarik, darah menyembur dari mulut si pemuda.
Untung tidak sampai menodai tangan atau pakaian Dewi Dua Musim. Paku Kayu
ditancap ke tanah. Kini perhatian Dewi Dua Musim tertuju pada empat buah paku
kayu yang memantek dua tangan dan dua kaki si pemuda. Hatinya agak berdebar
ketika tangan diulur untuk menarik paku yang menancap di tangan kanan. Ada rasa
kawatir kalau-kalau usahanya kali ini mencabut paku itu akan gagal seperti tadi.
Namun kenyataannya paku yang menancap di telapak tangan kanan itu dengan mudah
bisa ditarik lepas.
Begitu
juga dengan tiga paku kayu lainnya.
Begitu
empat paku yang memantek dirinya ke papan lepas, sosok pemuda yang sejak tadi
diam tak berkutik tibatiba keluarkan suara mengerang lalu dua tangan bergerak
ke samping, bersitekan ke tanah dan luar biasa sekali. Orang yang disangka
sudah akan menemui ajal itu tiba-tiba bergerak bangun, duduk bersila di atas
papan. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka, menatap
tepat dan langsung ke arah wajah cantik di depannya. Tidak pernah sebelumnya
dia melihat gadis luar biasa cantik seperti yang berada di hadapannya saat itu.
Perlahan
si pemuda berucap."Seharusnya aku sudah mati. Apakah saat ini aku melihat
bidadari alam barzah. Diakah yang telah menyelamatkan diriku….?" Suara si
pemuda agak parau sember karena ada luka di dalam mulutnya. Sesekali tampak dia
seperti menelan ludah.
Mendengar
ucapan si pemuda Dewi Dua Musim hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa. Si
pemuda kembali berucap.
"Gusti
Allah Yang Maha Kuasa Maha Pengasih memberkatimu. Siapapun kau adanya, aku tahu
kau adalah orang yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolongku." Dalam
keadaan masih bersila pemuda itu lalu rundukkan tubuh hingga keningnya
menyentuh tanah.
Dewi Dua
Musim tersipu-sipu.
"Aih,
jangan berkata dan bersikap begitu. Jika kau memang tahu kuasaNya Gusti Allah
maka berterima kasihlah padaNya.
Bukan
padaku! Ayo lekas bangkit. Aku bukan mahluk yang pantas untuk disembah!"
Si pemuda
luruskan tubuh kembali.
"Siapapun
kau adanya, aku tidak akan melupakan budi pertolonganmu. Aku berharap kelak
dikemudian hari Gusti Allah memberi kesempatan padaku untuk membalas budi
besarmu.
Kalau
sampai tidak bisa membalas budi maka itu merupakan hutang besar yang akan aku
bawa sampai ke liang kubur."
"Aih.
di antara kita tidak ada hutang piutang!" Berkata Dewi Dua Musim.
"Kalau
begitu mohon aku bertanya, siapa gerangan sahabat ini? Aku sendiri bernama
Panji Ateleng. berasal dari satu desa kecil di timur Kuto Gede."
Di dalam
hati Dewi Dua Musim berkata. "Pemuda ini baik sekali sikap dan tutur
katanya. Padahal aku yakin saat ini dia masih menahan sakit amat sangat akibat
luka di dua tangan dan dua kaki serta di dalam mulut. Kalau tidak memiliki ilmu
tinggi mana mungkin dia berkeadaan seperti ini."
"Kerabat
Panji Ateleng aku tidak tahu siapa namaku.
Tapi
orang-orang memanggilku dengan sebutan Dewi Dua Musim."
Si pemuda
tatap sebentar wajah cantik di depannya.
Walau
merasa heran mendengar nama itu namun dia unjukkan senyum. "Namamu bagus
dan indah didengar. Walau kehadiranmu pastilah atas kehendak Gusti Allah, tapi
tetap saja aku ingin mengetahui bagaimana kau sampai berada di tempat sunyi
ini."
"Aku
tengah menunggu kedatangan tiga orang sahabat.
Mereka
seharusnya sudah melintas di jalan di kaki bukit ini.
Tapi
mereka tidak datang. Yang muncul justru dua penunggang kuda yang mengaku
bernama Seno Kalamurti dan Lor Randuwali.
Yang
bernama Seno Kalamurti menyeretmu dengan kudanya dalam keadaan kau dipantek di
atas papan."
"Dua
manusia biadab itul Pasti mereka sudah kabur dari sini!" Kata si pemuda
pula "Aku yang memaksa mereka pergi. Ah, apakah aku telah bertindak
salah?"
Panji Ateleng
terdiam sesaat lalu menjawab.
"Tidak,
kau tidak salah. Mungkin memang sudah begitu kejadiannya. Lagi pula bagiku
kelak tidak sulit mencari mereka.
Jika
bertemu aku akan membunuh keduanya."
"Aih,
manusia adalah ciptaan Gusti Allah. Gusti Allah pula yang memberikan nyawa
kepada manusia. Maka tidaklah layak jika ada manusia membunuh manusia lain.
Karena nyawa seseorang bukan milik seseorang lainnya."
********************
LIMA
PANJI
Ateleng terpana mendengar ucapan si gadis "Aih maafkan kalau aku bicara
seperti seorang juru dakwah saja," si gadis berkata sambil senyum-senyum.
Lalu dia mengalihkan pembicaraan. "Kedua orang itu mengaku sebagai
orangorangnya Pangeran Banowo."
"Mereka
bicara begitu?" Si pemuda menelan ludah tanda luka di mulutnya kembali
terasa mencucuk sakit. Dewi Dua Musim mengangguk.
"Sombong
tapi tolol! Membuka rahasia sendiri! Jika Pangeran Banowo tahu pasti mereka
berdua akan digorok habis!"
"Sebenarnya
siapakah mereka?"
"Keduanya
memang anak buah Pangeran Banowo."
"Lalu
mengapa mereka memperlakukanmu sekejam itu.
Tangan
dan kakimu dipantek ke papan. Mulutmu ditancap dengan paku kayu…"
"Sebenarnya
bukan mereka yang memantek diriku di atas papan ini. Ada seorang lain yang
punya ilmu hitam. Kedua orang itu hanya jadi bergundal-bergundal suruhan.
Mereka ditugaskan membawaku ke alun-alun Kadipaten Magelang.
Rencananya
aku akan digantung di sana. Selama dalam perjalanan mereka juga sempat
menganiaya diriku secara kejam…"
"Aih,
kau mau digantung! Memangnya kau salah apa?!" Si gadis berkata sambil
geleng-geleng kepala.
"Penderitaan
yang aku alami belum seberapa." Panji Ateleng teruskan kisahnya.
"Atas perintah Pangeran Banowo mereka juga telah membunuh kakak
perempuanku Cemani secara keji. Padahal Cemani adalah istri Pangeran itu
sendiri. Luar biasa biadab"
Sepasang bola
mata hitam Dewi Dua Musim tampak membesar dan berkilat lalu meredup sayu seolah
merasakan penderitaan batin si pemuda.
"Musim
hujan… seharusnya hati setiap manusia berada dalam kesejukan…."
"Sahabat,
apa maksudmu?" Tanya Panji Ateleng ketika mendengar ucapan Dewi Dua Musim.
"Tidak,
tidak apa-apa. Aku hanya tidak mengerti mengapa mereka berbuat kejam padamu dan
kakak perempuanmu.
Mungkin….mungkin
mereka berdua layak menerima hukuman berat.."
"Dewi
Dua Musim, kelak akan aku ceritakan padamu asal usul semua kejadian. Sekarang
biar aku mengobati luka-luka pada tangan dan kaki serta mulutku lebih dulu.
Sakitnya tidak
tertahankan
lagi…"
"Seharusnya
sudah sejak tadi hal itu kau lakukan. Kalau kau mau aku bisa membantu…" Si
gadis bergerak mendekati.
"Terima
kasih. Biar aku mengobati diriku sendiri," jawab Panji Ateleng pula.
Habis
berkata begitu pemuda yang masih duduk bersila di atas papan menjumput tanah
becek jalanan di sampingnya.
Tanah
liat itu dipoleskan ke atas lubang luka bekas tancapan kayu pada telapak tangan
dan pergelangan kaki. Setelah merapal sesuatu dia lalu meniup empat kali
berturut-turut yaitu ke arah dua telapak tangan dan dua pergelangan kaki. Tanah
basah berubah kering. Berubah lagi menjadi debu yang begitu ditiup serta merta
berterbangan ke udara. Wajah cantik Dewi Dua Musim tampak kagum ketika melihat
lubang luka bekas tancapan paku kayu di dua tangan dan dua kaki lenyap tak
berbekas.
"Ilmu
Penyakit Berasal Dari Manusia. Penyembuhan Datang Dari Alam. Kuasa Gusti Allah
sungguh luar biasa…"
Berucap
Dewi Dua Musim menyebut nama ilmu yang dipergunakan Panji Ateleng untuk
mengobati luka parahnya.
Seolah
tidak mendengar apa yang diucapkan si gadis.
Panji
Ateleng untuk kelima kalinya menjumput tanah becek.
Kali ini
tanah jalanan itu dimasukkan ke dalam mulut. Setelah menunggu sesaat si pemuda
dongakkan kepala lalu meniup.
Dari
dalam mulut menyembur keluar debu coklat. Disusul semburan darah merah
kehitaman. Setelah debu lenyap di udara Panji Ateleng terbatuk-batuk beberapa
kali. Mukanya yang pucat kini tampak berdarah kembali. Ketika bicara suaranya
tidak lagi parau sember. Sepasang mata menatap lekat-lekat ke arah gadis di
hadapannya.
"Sahabat
Dewi Dua Musim, bagaimana kau bisa tahu nama ilmu yang aku pergunakan untuk
mengobati luka tancapan paku?"
Dewi Dua
Musim tampak agak terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangka itu. Namun
dengan tersenyum dia menjawab.
"Aku
hanya mendengar, tidak pernah melihat sendiri. Ketika kau mempergunakan tanah
untuk menyembuhkan luka, aku hanya menduga dan asal bicara. Apakah aku keliru
berucap?"
Panji
Ateleng hanya diam. Mata masih menatap tak berkesip. Lalu dia berkata.
"Kau
cantik. Sikap dan bicaramu lembut. Hatimu pasti begitu juga. Penuh welas asih.
Aku tahu, kau pasti bukan gadis sembarangan."
"Aih.
kau keliwat memuji. Maksudmu apa….?" Dewi Dua Musim tersipu-sipu.
"Melihat
dirimu, aku jadi ingat pada adikku. Sikap dan caranya bicara sama sepertimu.
Hanya sayang dia meninggal dunia sewaktu berusia enam belas tahun…."
"Kasihan,
rupanya kau telah kehilangan banyak orang terdekat dan kau sayangi…."
Panji
Ateleng menarik nafas dalam. Dua matanya memperhatikan tangan si gadis kiri
kanan. Lalu mata digosokgosok.
Dia
seperti melihat sesuatu. Merasa diperhatikan secara berlebihan Dewi Dua Musim
bertanya. "Mengapa, ada apa dengan kedua tanganku?"
"Tidak,
tidak apa-apa," jawab Panji Ateleng walau saat itu sebenarnya dia berdusta
karena dia tadi memang telah melihat satu keanehan pada tangan kiri kanan si
gadis.
Dewi Dua
Musim bangkit berdiri. Panji Ateleng juga melakukan hal yang sama. Keduanya
sama-sama tegak dan saling pandang dalam jarak hanya terpisah satu langkah.
Panji Ateleng dapat mencium bau harum badan dan pakaian si gadis.
"Bau
harum yang menyejukkan hati. Seumur hidup aku tidak akan melupakan bau gadis
ini…." Panji Ateleng membatin dalam hati.
"Kerabat
Panji Ateieng, ada apa. Ada sesuatu dalam benak atau hatimu?" Tiba-tiba
Dewi Dua Musim bertanya.
"Tidak…."
Si pemuda tampak agak kelagapan karena tidak menyangka orang bisa menduga-duga
apa yang barusan diucapkan dalam hati "Kerabat Panji Ateleng, aku harus
mencari tiga orang yang tidak muncul itu. Aku terpaksa meninggalkanmu. Kuharap
kau baik-baik saja. Apakah kau akan pergi ke Magelang?"
"Aku
akan ke Kotaraja," jawab Panji Ateleng. Lalu pemuda ini bertanya.
"Apakah aku masih dapat berjumpa denganmu?"
Dengan
tersenyum si gadis menjawab. "Selama langit masih biru dan gunung masih
hijau. Selama air sungai masih mengalir ke laut dan selama sang surya masih
terbit di timur, uatu ketika kita pasti bertemu lagi."
"Ucapanmu
indah dan menyejukkan hati…."
"Itu
karena saat ini sudah musim penghujan…"
"Nah.
kau lagi-lagi menyebut itu. Bagaimana kalau saat ini bukan musim
penghujan.Musim panas misalnya?"
Dewi Dua
Musim tertawa. Barisan giginya tampak bagus putih dan rata. Panji Ateleng
mendekat dan berkata.
"Sebelum
kita berpisah aku akan memberikan sesuatu padamu. Bukan saja sebagai tanda
kenang-kenangan tapi juga sebagai tanda terima kasih."
"Aih,
kenapa kau mau repot-repot Aku tidak minta segala balas budi. Aih, memangnya
kau mau memberikan apa?" Dewi Dua Musim berkata sambil bersurat satu
langkah.
Panji
Ateleng luruskan dua jari tangan kanannya. Lalu tukkk! Dia menotok tangan di
bagian siku kiri sebelah dalam Ketika tangan itu ditarik, diantara dua jari
menempel sebuah benda bulat merah sebesar ujung jari kelingking.
"Ini
Mutiara Merah, pemberian almarhumah ibuku. Ambil dan simpan baik-baik. Jangan
sampai ada orang lain tahu kau memiliki benda ini.
Pangeran
Banowo sangat menginginkan Mutiara Merah ini. Dia mau mempertaruhkan apa saja
untuk mendapatkannya. termasuk membunuh"
"Aih,
aku tidak berani menerima pemberianmu. Mutiara Merah, mungkin hanya ini
satu-satunya di dunia…." Kata Dewi Dua Musim pula.
"Aku
mohon dengan sangat dan segala hormat." Panji Ateleng letakkan Mutiara
Merah di atas telapak tangan kanan yang dikembang. "Ambillah…"
Dewi Dua
Musim tckap mulutnya yang berbibir merah bagus dengan tangan kanan. Mata
berbinar-binar melihat kebaikan hati orang. Namun kemudian kepalanya
digelengkan.
"Kerabat
Panji Ateleng.Mutlara Merah pasti benda langka. Aku yakin hanya ini
satu-satunya di dunia. Pasti bukan benda sembarangan. Aku…aku tidak berani
menerima kebaikanmu…."
"Aku
memohon, sangat memohon. Karap kau mau menerima. Pemberian dari seorang sahabat
yang pernah kau selamatkan nyawanya. Hatiku akan sangat perih jika kau tidak
mau mengambilnya."
Dewi Dua
Musim agaknya merasa terenyuh mendengar ucapan si pemuda Akhirnya tangan kanan
itu diulurkan juga untuk mengambil Mutiara Merah. Setelah memperhatikan
sebentar si gadis berkata. "Kau tadi kulihat menyimpan Mutiara Merah ini
di dalam tangan, pada lipatan siku sebelah dalam.
Apa aku
juga boleh menyimpannya di tempat yang sama?"
Panji
Ateleng terkejut mendengar ucapan si gadis.
Namun dia
bisa sembunyikan perasaan dan raut wajah dengan cepat tersenyum lalu menjawab.
"Tentu, tentu saja kau boleh menyimpannya di tempat kau suka. Asal
aman."
Dewi Dua
Musim luruskan tangan kirinya. Mutiara Merah diletakkan di atas lipatan siku
sebetah dalam. Lalu dengan tangan kanan benda itu ditekan.
"Blesss!"
Mutiara
Merah masuk ke dalam tangan Dewi Dua Musim.
Kejut
Panji Ateleng bukan alang-kepalang. Namun dia pandai menyembunyikan perasaan,
malah memuji. "Kau gadis hebat. Aku kagum padamu."
"Aih,
aku hanya meniru apa yang kau lakukan!" Jawab si gadis lalu tertawa renyah
dan sekali memutar tubuh serta menggerakkan kaki dia sudah berada di tikungan
jalan tanah di kaki Bukit Menoreh sebelah selatan.
Di satu
tempat gadis ini hentikan larinya lalu berteriak sambil lambaikan tangan kiri.
"Hai1
Terima kasih untuk Mutiara Merah. Aku akan menjaganya baik-baik! Jangan lupa
mengobati luka di keningmu!"
Panji
Ateleng tersenyum dan batas melambaikan tangan.
Untuk
beberapa lama dia masih berdiri di tempatnya.
memandang
ke arah lenyapnya Dewi Dua Musim sambil meraba luka di keningnya. Dalam hati
dia tidak habis pikir, siapa sebenarnya gadis cantik berpakaian biru itu.
********************
ENAM
PANJl
Ateleng memandang ke arah Kali Progo di kejauhan di bawah sana. Pandangan
kemudian dialihkan pada pesawahan oimana para petani tampak sibuk bekerja.
Dalam hati pemuda ini bicara sendiri.
"Kalau
gadis itu seorang dari rimba persilatan, mengapa selama ini aku tidak pernah
mendengar namanya. Dia mengaku lupa nama adalah aneh seseorang lupa nama
sendiri. Tapi melihat pertemuan dalam keadaan dinku dipantek orang, wajar saja
kalau dia sengaja sembunyikan jati diri. Juga masih wajar kalau seandainya dia
menaruh curiga Lalu dia memperkenalkan diri sebagai Dewi Dua Musim. Kalau itu
merupakan gelar atau julukan, cukup aneh terdengarnya. Beberapa kali dia
menyebut musim penghujan Apa maksudnya….?"
Si pemuda
usap-usap tangan kirinya yang sebelumnya ditancap paku kayu. Lalu dia ingat dan
membatin kembali.
"Gadis
itu memasukkan Mutiara Merah yang aku berikan ke dalam tangannya. Setahuku di
dunia ini hanya ada dua orang yang mampu melakukan hal itu. Guru dan aku
sendiri. Ternyata gadis itu juga bisa melakukan hal yang sama. Dari mana dia
belajar ilmu kesaktian itu. Apakah guru pernah memberikan ilmu itu kepadanya
atau kepada seorang lain yang kemudian meneruskan pada gadis itu?"
Panji
Ateleng perhatikan paku kayu yang menancap dan empat lainnya yang tergeletak di
tanah. "Dia mampu mencabut lima paku kayu itu. Walau tidak sadar diri, aku
yakin mulutku dalam keadaan terkancing.
Bagaimana
dia bisa tahu kalau ada paku kayu menancap dalam mulutku?
Paku Kayu
Pengunci. Tanpa mencabut paku satu itu apapun yang dilakukan empat paku kayu
lainnya tak mungkin bisa dicabut! Kalau tidak ada perkara besar di Kotaraja
rasanya saat ini aku ingin sekati mengikuti gadis itu."
Di langit
sang surya mulai memancarkan sinarnya yang terik. Panji Ateleng masih
mengingat-ingat.
"Dua
tangan gadis itu. Tak sengaja ketika memperhatikan aku melihat samar-samar ada
gambar matahari di tangan kanan.
Di tangan
kiri ada gambar seperti air mengalir. Dewi Dua Musim memiliki beberapa
keanehan…"
Panji
Ateleng memandang lagi ke arah kejauhan, ke jurusan lenyapnya Dewi Dua Musim.
Pemuda ini kemudian tertawa sendiri. "Terus terang belum pernah aku
melihat gadis secantik dia. Heh, apakah aku sudah tertarik pada sang Dewi Dua
Musim itu?"
Si pemuda
membalikkan badan ketika tiba-tiba di belakangnya terdengar suara kaki kuda
mendatangi. Di kejauhan tampak tiga ekor kuda berlari cepat ke arahnya. Dua
ekor berwarna coklat. yang ketiga berwarna hitam pekat berkilat.
Dua ekor
kuda coklat masing-masing ditunggangi dua orang lelaki mengenakan pakaian serba
hitam, lengkap dengan belangkon yang juga berwarna hitam. Kuda hitam sama
sekali tidak ada penunggangnya.
Mengira
rombongan tiga kuda itu akan melewatinya Panji Ateleng segera menepi memberi
jalan. Ternyata tiga ekor kuda itu mendadak berhenti beberapa langkah di
hadapannya.
Dua
penunggang kuda yang masih muda-muda, sebaya dengan Panji Ateleng memperhatikan
keadaan di lereng Bukit Menoreh, lalu melihat ke jalan tanah becek yang banyak
bekas kaki kuda. kaki manusia dan guratan aneh sepanjang jalan becek. Mereka
juga melihat lima paku kayu. Satu menancap di tanah, empat lainnya tergeletak
di jalan becek.
"Paku
kayu itu…." bisik salah seorang penunggang kuda pada temannya. "Bukan
paku kayu biasa. Kau lihat papan di sebelah sana? Kau lihat guratan di
sepanjang jalan? Ada noda darah di tanah becek. Ada noda darah di wajah dan
pakaian pemuda itu. Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi di sini."
Sambil
bicara si penunggang kuda melirik ke arah Panji Ateleng. "Aku kawatir
sesuatu telah terjadi dengan gadis itu."
Menjawab
pemuda yang satunya. "Untuk meyakinkan coba kita periksa dulu dengan Ilmu
Di Dalam Udara Ada Raga."
Dua orang
pemuda ini kemudian mendongak dan menghirup udara dalam-dalam seperti tengah
membaui sesuatu.
Penunggang
di sebelah kanan berkata pada temannya. "Aku sudah mencium baunya.
Kau….?"
"Aku
juga sudah. Dia pasti berada di tempat ini sebelumnya."
Pandangan
dua penunggang kuda kemudian ditujukan pada Panji Ateleng. Mereka tundukkan
badan memberi penghormatan. Salah seorang diantaranya berkata.
"Ki
Sanak di tepi jalan, maaf kalau kami mengganggu perjalananmu. Kami ada
perjanjian dengan seseorang untu bertemu di tempat ini.
Karena
ada halangan kami datang terlambat. Tapi kami tahu sebelumnya orang itu berada
di tempat ini. Karena Ki Sanak telah lebih dulu berada di tempat ini. apakah Ki
Sanak melihat seseorang di sini? Seorang gadis berpakaian biru."
Walau dua
orang penunggang kuda yang masih mudamuda itu menunjukkan sikap baik dan sopan,
namun Panji Ateleng tidak segera menjawab. Bisa saja keduanya menanyakan orang
yang dicari membekal maksud jahat terhadap orang yang mereka tanya yaitu Dewi
Dua Musim. Maka dia balik bertanya.
"Kalau
boleh tahu keperluan apa Ki Sanak berdua menanyakan orang itu?"
Dibalik
bertanya seperti itu. dua penunggang kuda serta merta maklum kalau memang Panji
Ateleng telah bertemu atau melihat orang yang mereka cari.
"Kami
berdua ada urusan penting. Sayang kami tidak bisa menjelaskan. Dari ucapan Ki
Sanak cukup memberi tahu pada kami kalau gadis itu sebelumnya memang berada di
sini.
Kalau
dengan alasan tertentu Ki Sanak tidak mau menerangkan tidak menjadi apa. Kami
mencari gadis itu bukan dengan niat tidak baik." Penunggang kuda yang
bicara berpating pada temannya. "Kita melanjutkan perjalanan saja atau
menunggu Ajengan Manggala Wanengpati?"
Teman
yang ditanya berpikir sejenak lalu menjawab. "Kita terus saja. Kurasa
gadis itu masih berada di kawasan ini.
Hembusan
angin memberi petunjuk padaku dia meninggalkan tempat ini ke arah selatan Bukit
Menoreh."
Dua orang
pemuda kemudian tundukkan kepala memberi hormat pada Panji Ateleng, siap untuk
meninggalkan tempat itu.
Setelah
tahu dua pemuda tidak membekal niat jahat, Panji Ateleng cepat berkata.
"Ki Sanak berdua tunggu dulu!"
Dua orang
pemuda yang siap menarik tali kekang dan menarik kuda ke tiga serta merta
hentikan gerakan.
Salah
seorang dari dua penunggang kuda berkata.
Agaknya
Ki sanak berubah pikiran. Mau memberi tahu?"
"Gadis
yang Ki Sanak cari itu apakah dia bernama Dewi Dua Musim?" Bertanya Panji
Ateleng.
"Benar!"
Dua penunggang kuda menjawab berbarangan.
"Tadi
dia memang ada di sini. Dia menerangkan tengah menunggu kedatangan tiga orang
sahabat. Karena yang ditunggu tidak muncul dia kemudian pergi begitu
saja…"
"Ahh…."
Salah seorang pemuda penunggang kuda tarik nafas panjang. ‘Ki Sanak tahu dia
pergi atau menuju kemana?" Panji Ateleng menggeleng.
"Mungkin
Ki Sanak sempat bercakap-cakap dengan gadis itu.
Kalau
boleh kami tahu apa saja yang telah dibicarakannya dengan Ki Sanak?"
"Dia
tidak banyak bercerita.Hanya memberi tahu tentang tiga orang yang ditunggunya.
Dia juga tidak mengatakan siapa orang-orang itu."
"Hanya
itu?" Tanya salah seorang penunggang kuda.
"Hanya
itu." Jawab Panji Ateleng. Dia tidak mau menceritakan kejadian yang
dialaminya termasuk pertolongan yang diberikan Dewi Dua Musim.
Dua
penunggang kuda melirik pada papan serta tebaran paku kayu di tanah. Salah
seorang kemudian bertanya. Ki Sanak sendiri apakah kebetulan saja berada di
tempat ini?"
"Aku
dalam perjalanan ke Kotaraja.’ jawab Panji Ateleng.
"Ki
Sanak tinggal di Kotaraja?"
"Aku
tinggal di desa kecil tak jauh dan Kuto Gede."
"Kami
melihat noda darah di wajah dan pakaian Ki Sanak Apa yang telah Ki Sanak
alami?" Penunggang kuda di sampir kanan bertanya. Sementara teman di
sebelahnya kembali memperhatikan keadaan di tempat itu.
Panji
Ateleng yang merasa didesak orang menjawab dengan tenang tapi suaranya mantap.
"Ki
Sanak berdua jika kalian menarah curiga telah terjadi sesuatu antara aku dengan
gadis yang dicari, kecurigaan kalian tidak beralasan. Dewi Dua Musim gadis
baik. Dia memiliki kepandaian tinggi, berhati tulus ."
"Bagaimana
Ki Sanak tahu gadis itu berkepandaian tinggi.
Apakah Ki
Sanak sempat menjajalnya atau bertarung dengan dia?" Memotong pemuda di
atas kuda sebelah kiri Kawannya menyambung "Lagi pula yang kami tanyakan
bukan apa yang terjadi antara Ki Sanak dengan Dewi Dua Musim Tapi mengapa ada
noda darah di wajah serta pakaian Ki Sanak
"Maaf.
aku tidak bisa memberi jawaban. Yang pasti aku tidak berbuat satu kejahatan di
tempat ini"
"Mungkin
di tempat lain?!" Lagi-lagi pemuda berkuda di samping kanan yang bicara
menempelak Panji Ateleng tersenyum. Dia membungkuk memberi penghormatan.
"Ki
Sanak berdua aku masih ada kepentingan lain. Aku senang telah bertemu dan
berkenalan dengan kalian…"
Pemuda
berkuda di sebelah kiri berbisik pada temannya.
"Aku
merasa curiga. Jangan jangan telah terjadi perkelahian antara dia dengan Dewi
Dua Musim Pemuda ini berhasil mencelakainya. Bukan mustahil membunuh gadis
itu!"
"Mencelakai
mungkin bisa jadi Tapi untuk membunuhnya apapun kepandaian yang dimiliki pemuda
ini dia tidak akan mampu melakukan hal itu terhadap Dewi Dua Musim." Jawab
sang teman.
"Mungkin
kita perlu memeriksa dan menahannya agar tidak pergi dulu?"
"Itu
yang akan aku lakukan Sekalian menjajal sampai dimana ilmu kanuragan dan
mungkin juga kesaktiannya!"
Dua
pemuda di atas kuda dengan gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda
masing-masing. Sesaat kemudian mereka sudah berada di hadapan Panji Ateleng.
Satu di sebelah kin satu di samping kanan "Ki Sanak, kami terpaksa tidak
mengizinkanmu meninggalkan tempat ini. Paling tidak sampai ada kejelasan apa
yang terjadi dengan Dewi Dua Musim."
"Memangnya
apa yang terjadi dengan gadis itu. Sebenarnya kalian ini siapa dan apa yang ada
dalam benak serta hati kalian?!"
Panji
Ateleng mulai bersuara keras walau wajahnya tetap tidak menunjukkan kemarahan.
Pemuda
berbelangkon hitam di samping kanan memberi isyarat dengan anggukan kepala pada
sang teman. Si teman langsung bergerak. Sekali berkelebat dia sudah kirimkan
serangan menotok ke dada kiri Panji Ateleng. Serangan ini sangat berbahaya
karena kalau yang diserang hanya memiliki kepandaian sedang-sedang saja.
totokan bisa sekaligus merusak jantung!
"Ki
Sanak! Kau bertindak kelirul Tidak ada silang sengketa di antara kita. Mengapa
menyerangku?!" Panji Ateleng berseru sambil condongkan tubuh ke kanan
hingga serangan lewat hanya setengah jengkal di depan dada.
Dapatkan
serangan kilatnya tidak mengenal sasaran, pemuda yang menyerang jadi beringas.
Sekali berkelebat jotosan tangan kanannya menderu ke arah wajah Panji Ateleng.
Panji Ateleng angkat tangan kanan ke atas dengan telapak terkembang. Begitu
bukkk! Kepalan lawan menempel di telapak tangan, lima jari dengan cepat
mencengkeram.
Sambil
menahan sakit pemuda berpakaian hitam coba lepaskan cekalan Panji Ateleng. Tapi
semakin dipaksa semakin seolah terasa remuk tangan kanannya!
Panji
Ateleng dorongkan tangan kanan. Walau mendorong perlahan namun si pemuda
berbelangkon hitam terjajar sampai tiga langkah. Bukannya sadar kalau tenaga
luarnya berada di bawah tenaga luar lawan, pemuda itu malah menjadi
nekad.Didahutui bentakan garang dia kembali menerjang. Kali ini dua tangannya
menderu bergantian. Menjotos laksana kilat dan kelihatan berubah menjadi banyak
sekali. Sambil memukul dua kaki bergerak ke depan mendekati Panji Ateleng.
Namun sampai tubuhnya keringatan semua pukulannya mengenai tempat kosong.
Kemudian disadarinya Panji Ateleng tidak ada lagi di hadapannya.
"Ki
Sanak, aku ada di sini. Apa kau akan terus-terusan memukul angin?!"
Pemuda
yang menyerang berhenti memukul, cepat berbalik.
Mukanya
merah mengetam merasa dipermainkan. Dia melihat Panji Ateleng telah berdiri di
bawah pohon besar di tepi jalan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dan
tersenyum.
Panas
hati si pemuda bukan alang kepalang. Kalau tadi semua serangan yang dilancarkan
hanya mengandalkan tenaga luar maka kini dalam marahnya dia segera keluarkan
tenaga dalam dan hawa sakti. Sekali tangan kanan memukul, bukan saja tangan itu
berubah panjang, tapi juga mengeluarkan selarik
sinar
hitam, menyambar ke arah Panji Ateleng! "Ki Sanak, tahan serangan! Mengapa
kau jadi nekad!" Panji Ateleng berseru.
Tapi
lawan tidak perdufi. Malah lipat gandakan tenaga dalamnya hingga sinar pukulan
yang keluar dari tangan kanannya memancar lebih hitam, ganas dan angker!
"Wuuttt!"
********************
TUJUH
WALAU
orang menyerang dengan serangan ganas pertanda berniat mencelakainya. Panji
Ateleng tetap tenang. Dalam ketenangan dia melesat dua tombak ke udara.
•Wusss!
Braaakk!"
Sinar
hitam pukulan lawan lewat di bawah kaki Panji Ateleng, menghantam pertengahan
batang pohon hingga berderak patah dan tumbang bergemuruh! Jelas orang hendak
menghabisi dirinya, sambil melayang turun Panji Ateleng berteriak.
"Ki
Sanak! Ilmu kesaktian mu tinggi sekali Aku mengaku kalah. Katakan apa yang kau
inginkan dariku?!"
Di bawah
sana pemuda yang diteriaki tidak menjawab malah semakin garang. Selagi lawan
dilihatnya masih mengambang di udara, untuk kedua kalinya dia lancarkan pukulan
sakti. Kembali larikan sinar hitam pekat dan angker berkiblat menghantam ke
arah Panji Ateleng.
Kali ini
Panji Ateleng tidak mau lagi mengambil sikap mengalah terus-terusan. Di udara
dia membuat gerakan jungkir balik setengah lingkaran. Selagi sinar pukulan
lawan menderu ke atas, Panji Ateleng tahu-tahu sudah turun ke tanah dan
kirimkan tendangan ke lekukan lutut sebelah belakang kaki kanan pemuda
berbelangkon hitam. Lutut tertekuk. Si pemuda terhuyung ke belakang. Sewaktu
dia coba mengimbangi tubuh Panji Ateleng tendang bagian belakang lutut kirinya.
Tak ampun lagi pemuda itu langsung jatuh tertelentang di tanah becek.
Merasa
malu dan sekaligus marah, pemuda itu menyumpah habis dan cepat berusaha
berdiri. Namun dua kakinya terasa sangat berat seolah diganduli batu besar.tak
mampu digerakkan apa lagi untuk berdiri bangun.
"Manusia
keparat! Apa yang kau lakukan!" Teriak pemuda berbetangkon hitam.
"Ki
Sanak, tenanglah. Kau tak apa-apa. Mari kutolong bangun!" Kata Panji
Ateleng pula. Dia melangkah mendekati pemuda yang tertelentang di tanah sambil
mengulurkan tangan.
Maksudnya
memang hendak menolong. Namun saat itu melihat kawannya diperlakukan seperti
itu, pemuda satunya tidak tunggu lebih lama segera menerjang. Gerakannya luar
biasa cepat. Tahu-tahu jotosan tangan kanannya sudah menderu ke arah pipi kanan
Panji Ateleng.
Dari
suara deru pukulan orang Panji Ateleng maklum kalau pemuda ini memiliki
kepandaian lebih tinggi dari yang satunya. Panji Ateleng menghindar dengan
mundur satu langkah sambil tarik kepala ke belakang. "Wuttt!"
Pukulan
orang lewat di depan hidung Panji Ateleng.
Tapi
begitu lewat lima jari yang mengepal tiba-tiba membuka. "Wusss!"
Kepulan
asap kuning menyambar ke arah wajah Panji Ateleng. Bau aneh menerpa. Walau
mampu menjauh namun pemuda dari Kuto Gede ini sempat menghirup asap kuning.
"Racun
Wesi Kuningi" Ucap Panji Ateleng cepat menahan nafas dan meniup kuat-kuat
ke depan. Sebagian asap kuning bisa disembur namun sebagian lagi sudah masuk ke
jalan pernafasannya. Saat itu juga pemuda ini merasa dadanya sesak, nafas
menyengat dan pemandangan berkunang.
Melihat
lawan daiam keadaan limbung pemuda berbelangkon hitam yang tadi melancarkan
serangan asap beracun cepat menyerbu. Kali ini dia menggempur dengan pukulan
berantai yang disebut Sepasang Ular Sendok Keluar Dari Goa.Dari sela-sela jari
yang mengepal menyembur asap hijau menebar bau amis mendahului datangnya
pukulan.
Rupanya
pemuda satu ini punya keahlian dalam ilmu pukulan mengandung racun jahat.
Tahu
bahaya besar yang dihadapinya, dalam keadaan tubuh menghuyung akibat serangan
racun asap pertama, Panji Ateleng rundukkan tubuh, dua tangan di kembang ke
depan lalu didorong ke arah lawan.
Asap
hijau menerpa membalik ke arah pemuda berbelangkon hitam, membuat orang ini
tersentak kaget dan cepat melompat mundur. Begitu selamat dari senjata makan
tuan, si pemuda menerjang ke depan sambil lancarkan satu tendangan ke arah
kepala Panji Ateleng. Saat itu Panji Ateleng sendiri terduduk di tanah. Wajah
tampak kekuningan dan dua mata terpejam. Mulut komat kamit merapal mantera
perlindungan Dia hendak menggerakkan tangan untuk menotok urat besar di pangkal
leher berusaha agar bisa menyemburkan sisa Racun Wesi Kuning yang masih
mendekam ketika tendangan kaki kanan pemuda berbelangkon hitam datang laksana
geledek!
"Pecah
kepalamu!" Teriak si penyerang.
Hanya
sekejapan lagi tendangan maut itu akan menghantam hancur kepala Panji Ateleng
tiba-tiba tanah di tengah jalan yang becek terbelah. Dari dalam tanah menyusul
suara orang berteriak.
"Sora
Warangan! Sewaktu aku muda sepertimu saat ini, pasti aku juga ingin membunuh
pemuda itu! Tahan seranganmu!"
Pemuda
berbelangkon hitam bernama Sora Warangan dan tengah melancarkan tendangan maut
ke kepala Panji Ateleng tersentak kaget mengenali suara orang yang berteriak,
dia cepat tahan tendangan.
Dari
dalam belahan tanah kemudian mencuat keluar satu tubuh manusia yang kemudian
jatuh bergedebuk di di tanah becek. Orang ini mengenakan pakaian bagus, seperti
pakaian yang biasa dikenakan pejabat tinggi Kerajaan Mataram.
Wajahnya
yang berkumis tebal tampak benjat benjut, rambut riap-riapan. Di sela bibir
mengucur lelehan darah, turun sampai ke dagu yang ditumbuhi janggut tebal. Baik
pakaian maupun muka dan kedua tangannya penuh tertutup tanah merah. Dua tangan
orang ini menggapai-gapai lalu disusun di atas kepala sambil mulut keluarkan
suara mengerang dan meratap.
"Ampun,
Ajengan Manggala Wanengpati ampuni selembar nyawaku!" Habis meratap dia
semburkan ludah bercampur darah dan tanah.
Panji
Ateleng yang berdiri di tepi jalan terkejut ketika mengenali siapa adanya orang
berpakaian bagus yang tengah minta-minta ampun.
"Perwira
Tinggi Kerajaan Cakra Baskara! Apa yang terjadi dengan dirinya? Siapa yang
melemparnya keluar dari dalam belahan tanah! Dia meratap minta ampun pada
seorang bernama Ajengan Manggala Wanengpati. Mana orangnya?! Manggala Wanengpati.
bukankah dia kakek hebat sahabat sekaligus murid Kiai Manding Saroka dari Pulau
Madura?"
Saat itu
dari dalam belahan tanah melesat orang kedua mengenakan belangkon dan jubah
hitam legam. Seperti orang pertama yang meratap minta ampun, orang Ini wajah
dan pakaian serta tangan dan kakinya juga penuh dengan tanah merah becek. Namun
dengan sekali menggoyang aurat, semua tanah yang menempel rontok lenyap
seketika membuat ujud orang Ini jadi terlihat jelas!
********************
DELAPAN
ORANG
kedua yang keluar dari dalam tanah adalah seorang kakek tinggi kurus,
mengenakan jubah hitam. Di kepala bertengger sebuah belangkon hitam digelung
dengan ikatan kain putih berbahan sutera halus. Dari bawah belangkon sebelah
belakang menjulai rambut putih sepunggung. Walau tidak memelihara kumis,
janggut atau berewok namun wajah kelimis si kakek menampilkan ujud monyeramkanl
Dua daun telinga yang seharusnya berada di samping kepala terletak di kening
kiri kanan. Lalu mulut yang semestinya terletak di bawah hidung berada di
tenggorokan di bawah dagu! Agaknya kakek berwajah aneh inilah yang telah
melempar Perwira Tinggi Kerajaan Cakra Baskara dari dalam tanah dan saat itu
tengah meratap meminta ampun.
SIAPAKAH
si kakek aneh berjubah dan berbelangkon hitam berikat kepala kain sutera putih?
Dulunya sebelum menjadi Ajengan atau pemuka agama dia adalah seorang
berkepandaian tinggi baik ilmu silat maupun kesaktian.
Diketahui
bernama Manggala Wanengpati, dijuluki Iblis Hitam Kepala Putih. Julukan itu
diberikan orang karena dia selalu mengenakan jubah hitam sedang di atas kepala
yang mengenakan belangkon hitam pada bagian di atas kening selalu melilit kain
putih terbuat dari sutera.
Dengan
ilmu yang dimilikinya Manggala Wanengpati mengembara ke berbagai penjuru tanah
Jawa bahkan sampai ke tanah seberang termasuk pulau Madura, Bali dan Andalas,
Sesekali dia pernah pula muncul di negeri Bugis serta tanah Dayak. Dalam
pengembaraannya dia banyak mempelajari berbagai ilmu kesaktian langka dari
tempat-tempat yang dia datangi pada para tokoh yang ditemui. Namun di masa
mudanya Manggala Wanengpati telah berbuat banyak kejahatan. Mulai dari menjadi
kepala rampok sampai mempermainkan perempuan termasuk menculik istri dan anak
gadis orang. Dalam menjalankan kejahatan, perkara membunuh adalah soal kecil
baginya, seenak dan semudah dia membalikkan telapak tangan saja.
Menurut
riwayat yang kemudian diketahui banyak tokoh rimba persilatan dan tokoh agama
di tanah Jawa dan Madura, ketika memasuki usia hampir tujuh puluh tahun,
Manggala Wanengpati yang masih saja terus berbuat maksiat dan kejahatan suatu
ketika bertemu dengan seorang Kiai berasal dari Sumenep di Pulau Madura,
bernama Kiai Manding Saroka.
Seperti
biasa, jika bertemu dengan orang berkepandaian tinggi Manggala Wanengpati
selalu ingin menjajal.
Saat itu
sang Kiai berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka yang indah
pemandangan dan sejuk hawanya.
Kedatangan
sang tamu disambut Kiai Manding Saroka dengan segala hormat. Niat Manggala
Wanengpati menantangnya bertarung saling uji ilmu kepandaian hingga salah satu
dari mereka menemui kematian. tidak dilayani, ditolak secara halus oleh sang
Kiai. Malah dengan tenang Kiai Manding Saroka mengambil sebuah bantalan dan
Kitab Suci Al Qur’an, duduk bersila di lantai panggung rumah kediamannya.
Bantal diletakkan di atas pangkuan lalu Kitab Suci ditaruh diatas bantal.Sesaat
kemudian terdengar suara sang Kiai mulai membaca melantunkan ayat-ayat suci
dengan suara lembut Siapa saja yang mendengar suara sang Kiai mengaji pastilah
akan merasa kesejukan di dalam kalbu. Namun tidak demikian dengan Manggala
Wanengpati yang jahat, sombong, keras kepala keras hati. Dia merasa
tersinggung. Sambil borkacak pinggang dia membentak.
Mulut
aneh yang berada di tenggorokan di bawah bahu terbuka.
"Kiai
Manding Sarokal Jika kau tidak segera menghentikan bacaan dan meletakkan Kitab
Suci itu, jangan salahkan kalau aku akan segera menyerangmu. Jika kau sanggup
menghadapi tiga jurus saja dari seranganku, aku menganggap kau pantas menjadi
guruku!"
Kiai
Manding Saroka hentikan bacaannya, kepala diangkat sedikit, menatap Manggala
Wanengpati lalu mulut berucap.
‘Bahwasanya
jika seorang hamba telah melakukan kejahatan selama umur dikandung badan.
Seumpama dosadosanya tak terhitung sebanyak busah di lautan. Lalu pada suatu
ketika dia meminta ampun dan bertobat, maka Allah Maha Pengasih Maha Penyayang
akan menerima tobatnya."
"Kiai
kurang ajar! Aku menantangmu menerima tiga jurus seranganku! Bukan mau
mendengar dakwah!" Teriak Manggala Wanengpati dengan suara lantang mata
mendelik.
Kiai
Manding Saroka menjawab bentakan orang dengan tersenyum. Mata dikedip lembut
Lalu kembali dia berkata.
"Ketika
seseorang telah melakukan kejahatan dan berbuat begitu banyak dosa sepanjang
hidupnya, lalu dia menghadapi sakratal maut sengsara kematian. Lalu dia memohon
ampun dan tobat kepada Allah, maka baginya tobat tidak berlaku lagi.
Sesungguhnya dia sudah ditunggu siksaan yang teramat pedih.”
Amarah
Manggala Wanengpati meledak. Sekali lompat saja dia sudah lepaskan tendangan
kaki kanan dahsyat ke arah kepala Kiai Manding Saroka. Ini adalah jurus pertama
dari ilmu silat luar yang dinamakan "Tiga Iblis Hitam Membuncah Laut
Selatan"! Karena tendangan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dan
hawa sakti maka serangan itu memancarkan cahaya hitam pekat.
Diserang
dengan tendangan maut begitu rupa Kiai Manding Saroka meneruskan bacaannya
namun di saat itu dua tangan digerakkan untuk mengangkat Kitab Suci Al Qur’an
dari atas
bantal.
Begitu Kitab Suci naik ke atas, tiba-tiba sekali bantal yang ada di pangkuan
sang Kiai melesat ke udara, melindungi kepala Kiai Manding Saroka.
"Desss!"
Tendangan
maut Manggala Wanengpati menghantam bantal, menyelamatkan kepala Kiai Manding.
Walau kakinya hanya merasa menendang benda lembut seperti kapas namun tak urung
kakek berjuluk Iblis Hitam Kepala Putih terhuyung ke belakang, hampir saja
jatuh duduk di lantai rumah kalau tidak cepat mengimbangi diri.
Seharusnya
apa yang terjadi menyadarkan Manggala Wanengpati. Kiai Manding Saroka hanya
mempergunakan sebuah bantal untuk menghadapinya, tidak turun tangan langsung.
Tapi karena mata hati dan pikiran jernih sudah tertutup. Manggala Wanengpati
malah menggelegak amarahnya. Dia kembali menyerang sang Kiai. Serangannya
ternyata bukan hanya tiga jurus tapi sudah tujuh jurus. Seluruh tujuh jurus,
semua serangan itu ditahan oleh bantal milik sang Kiai! Hebatnya setiap
serangan yang dilancarkan Manggala Wanengpati dan mampu menghancurkan tubuh
besar seekor gajah atau batu.namun bantal yang dihantam sedikitpun tidak rusak,
robek apa lagi sampai berbusaian kapuk di dalamnya.
Dengan
hidung kembang kempis, tangan dan kaki merah bengkak, pada akhir jurus ke tujuh
Manggala Wanengpati hentikan serangan. Dia berdiri tegak dengan mata laksana
dikobari api. Tangan kanan diangkat perlahan sejajar dada.
Rahang
menggembung. Sesaat kemudian tangan kanan itu berubah menjadi hitam legam.
Kiai
Manding Saroka maklum kalau orang hendak menghantamnya dengan satu pukulan
sakti sangat jahat Maka sambil menutup Kitab Suci dan mendekapnya di dada,
orang tua ini berkata.
"Saudaraku
Manggala Wanengpati, sudah saatnya kau harus dimandikan. Tubuh, otak dan hatimu
perlu dibersihkan!
Mudah-mudahan
kau mendapat pengampunan dari Yang Maha Kuasa juga mau mengembalikan dua
telinga serta mulutmu ke tempat semestinya! Yang penting kau bisa insaf dan
kembali ke jalan yang benar."
"Kiai
keparat! Terima kematianmu!"
Manggala
Wanengpati hantamkan tangan kanannya yang telah berubah hitam berkilat ke arah
Kiai Manding Saroka. Sang Kiai jentikkan dua jari tangan kanan. Saat itu juga
bantal yang mengapung di udara melesat menutupi wajah Manggala Wanengpati.
Selagi kakek ini kelagapan, bantal mendorong kepalanya hingga tubuhnya terjajar
ke belakang lalu melabrak terali bambu di ujung langkan rumah. Terali roboh,
tubuh Manggala Wanengpati tercebur masuk ke dalam kali.
Kiai
Manding Saroka berdiri, lalu melangkah ke tepi langkan memperhatikan ke dalam
kali. Kepala atau tubuh Manggala Wanengpati tidak muncul padahal dia tahu
dorongan bantal tidak membuat kakek Itu pingsan dan Manggala juga pandai
berenang. Di salah satu bagian kali Kiai Manding melihat ada pusaran air yang
terus berputar. Arus air kali tidak mampu melenyapkan pusaran itu. Sang Kiai
tersenyum dan anggukanggukkan kepala.
"Manggala
Wanengpati, semoga Gusti Allah memberkatimu."
Tiga hari
setelah terceburnya Manggala Wanengpati ke dalam Kali Saroka, suatu malam
sambil menunggu kedatangan saat shotat Isa Kiai Manding Saroka mengaji di
langkan rumah
panggung,
diterangi cahaya sebuah obor kecil. Tiba-tiba dia mendengar suara keras kecipuk
air di antara suara arus kali.
Sesaat
kemudian sesosok tubuh melesat dan berdiri di hadapannya dalam keadaan basah
kuyup.
Yang
muncul bukan lain adalah Manggala Wanengpati.
Kakek ini
berdiri dengan tubuh menggigil. Belangkon hitam dan ikatan kain putih tak ada
lagi di kepala. Jubah hitam masih utuh walau robek kecil di beberapa bagian.
Dua telinga masih terletak di kening kiri kanan dan mulut juga masih tetap di
tenggorokan di bawah dagu. Yang berubah pada diri kakek ini adalah kulitnya
telah menjadi putih bersih dan pandangan matanya walau agak sedikit bengkak
tampak jernih.
"Alhamdulillah.
Mandi tiga hari tiga malam sahabat Manggala Wanengpati sudah selesai. Gusti
Allah benar-benar telah memberkatimu." Berkata Kiai Manding Saroka.
Tidak
memberikan jawaban Manggala Wanengpati langsung jatuhkan diri bersujud di
lantai rumah panggung.
Hening
beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara kakek itu berucap.
"Kiai
Manding Saroka, aku Manggala Wanengpati mengaku salah. Aku mohon ampun atas
semua dosa dan segala kesalahanku. Aku juga ingin bertobat pada Gusti Allah
atas semua dosa kesalahanku di masa lampau. Di sisa hidupku ini aku ingin
menjadi orang baik-baik dan taat beragama. Aku membutuhkan bimbingan
Kiai."
Kiai
Manding Saroka gembira sekati mendengar ucapan Manggala Wanengpati. Setelah
meletakkan bantal dan Kitab Suci di atas sebuah meja kecil, orang tua ini
memegang bahu Manggala Wanengpati lalu menyuruhnya berdiri. Sambil memegang
bahu Kiai Manding salurkan hawa hangat ke tubuh Manggala hingga kakek ini tidak
menggigil lagi kedinginan.
Hawa
hangat itu memberi kekuatan hingga Manggala mampu mengembalikan tenaga dalam
dan mengatur hawa sakti di tubuhnya.
"Saudaraku,
tidak ada sesuatu yang teramat indah selain niat baik yang diucapkan dengan
segala ketulusan. Tidak ada berkah yang besar dan menyejukkan hati selain
berkah dari Yang Maha Kuasa." Kiai Manding Saroka lalu memeluk tubuh basah
kuyup itu dengan perasaan penuh haru.
Menurut
cerita selanjutnya Manggala Wanengpati menetap di tempat kediaman sang Kiai
selama beberapa hari. Di sini dia menerima berbagai amalan. Konon kemudian atas
nasihat sang Kiai, Manggala Wanengpati berangkat ke tanah suci Mekkah.
Ketika
sepuluh bulan kemudian dia kembali ke tanah Jawa, walau penampilannya tidak
berubah yaitu tetap mengenakan jubah dan belangkon hitam serta ikat kepala
putih namun kakek ini telah menjadi seorang baik dan alim. Beberapa bulan dia
menetap di tempat kediaman Kiai Manding Saroka untuk menimba ilmu keagamaan.
Orang kemudian memanggilnya dengan sebutan Ajengan yang berarti seorang pemuka
agama. Sewaktu Kiai Manding Saroka menanyakan apakah dia ingin mempelajari
beberapa ilmu kesaktian, Manggala menggeleng dan memberi tahu dia lebih
membutuhkan ajaran agama dari sang Kiai.
Selama
berada di tempat kediamannya di tepi Kali Saroka, Kiai Manding tidak pernah
menanyakan pada Manggala Wanengpati apa yang terjadi dengan dirinya hingga dia
memiliki sepasang telinga dan mulut yang tidak pada tempatnya. Walau boleh
dikatakan Manggala Wanengpati sudah sebagai muridnya namun sang Kiai kawatir,
kalau bertanya akan menyinggung perasaan Manggala. Sebaliknya Manggala
Wanengpati sendiri tidak pula mengungkapkan hal-hal yang menyangkut dirinya di
masa lalu. Dia menaruh kawatir kalau sang Kiai sebenarnya sudah banyak tahu
mengenai dirinya atau bisa pula Kiai Manding Saroka tidak suka mendengar
riwayat masa lalunya.
KEMBALI
ke kaki Bukit Menoreh.
Melihat
orang kedua yang muncul dari belahan tanah yang saat itu telah menutup kembali,
pemuda bernama Sora Warangan cepat membungkuk dalam dan berkata.
"Gurul
Ajengan Kalau Ajengan tidak muncul niscaya saya telah membuat dosa besar karena
membunuh pemuda itu.
Maafkan
saya karena telah berbuat khilaf"
Tidak
mengacuhkan ucapan orang. Ajengan Manggala Wanengpati melangkah mendekati
pemuda satunya yang sampai saat itu masih tergeletak di tanah jalan becek dan
dari tadi setengah mati berusaha bangun tapi tidak mampu karena Panji Ateleng
telah menggelandutl kedua kakinya dengan Ilmu sepemberat batu!
"Wayan
Dekik!" Bentak Ajengan Manggala. "Apa yang kau lakukan di sini?!
Mengapa tidur di tengah jalan becek?!"
"Ajengan,
Guru, say..„saya_."
Sambil
gelengkan kepala tapi mata melirik ke arah Panji Ateleng, Ajengan Manggala
Wanengpati gebrakkan kaki kanan ke tanah. Tubuh pemuda bernama Wayan Dekik yang
tergeletak menggeliat-geliat di tanah terlempar ke udara. Anehnya tubuh pemuda
itu kemudian tertegak dan tersandar di sebatang pohon di tepi jalan. Dia tidak
jatuh, juga tidak lagi merasa kedua kakinya berat seperti tadi. Malah dia bisa
melangkah!
********************
SEMBILAN
PANJI
Ateleng yang memperhatikan apa yang terjadi membatin dalam hati. "Kakek
aneh berkuping di kening, bermulut di leher itul Dia bukan saja membuat muridnya
sanggup berdiri tapi sekaligus melenyapkan Ilmu Seberat Gunung Mengunci Bumi
yang aku terapkanl Pemuda itu tadi memanggilnya dengan sebutan Ajengan. Siapa
lagi orang sakti aneh berpakaian hitam, belangkon hitam, ditambah ikat kepala
sutera putih, kalau bukan Ajengan Manggala Wanengpati yang dulu menurut guru
pernah dijuluki orang-orang rimba persilatan sebagai Hantu Hitam Kepala
Pulih."
Di bawah
pohon Wayan Dekik tampak ketakutan. Buru-buru pemuda ini susun dua tangan di
atas kepala. "Guru, Ajengan, saya mohon maafmu. Saya mengaku kalau berbuat
salah…."
"Bukan
kalau tapi kau dan Sora Warangan memang telah berbuat kesalahan besar!"
Kembali
Wayan Dekik susun dua tangan di atas kepalasementara pemuda bernama Sora
Warangan hanya tegak dengan tundukkan kepala.
"Kalian
berdua masih ingin membunuh pemuda itu?" Tanya Manggala Wanengpati sambil
menunjuk dengan ibu jari tangan kanan ke arah Panji Ateleng.
Dua
pemuda berpakaian hitam-hitam saling pandang, gelengkan kepala lalu menunduk.
Dalam hati mereka merasa heran kenapa sang guru bertanya begitu. Apakah Ajengan
mengenal orang yang tadi hendak mereka bunuh itu?
"Kalian
sudah kuberi pelajaran bahwa membunuh sesama manusia tanpa alasan yang
benar-benar bisa dipertanggung jawabkan adalah dosa sangat besar di hadapan
Gusti Allah…"
"Saya
mohon maaf Ajengan, Guru…." kata Wayan Dekik.
"Saya
juga." berkata Sora Warangan.
"Kalian
tahu siapa pemuda ini?!" Manggala Wanengpati masih membentak.
Dua anak
murid yang ditanya menatap ke arah Panji Ateleng lalu sama-sama menggeleng.
"Dia
adalah Panji Ateleng! Adik ipar Pangeran Banowo.
Orang
paling penting di Istana Kerajaan Mataram! Masih sedarah dengan Sri Baginda
Raja Mataram!"
Wayan
Dekik dan Sora Warangan terkejut. Muka mereka berubah pucat. Buru-buru keduanya
melangkah ke hadapan Panji Ateleng, membungkuk dan meminta maaf berulang kali.
Panji
Ateleng balas tundukkan kepala Saat itu Panji Ateleng sebenarnya merasa
terkejut karena tidak menyangka Ajengan Manggala Wanengpati mengetahui nama dan
siapa dirinya berkata.
"Saudara
berdua, aku juga minta maaf. Sungguh tidak pantas apa yang telah aku lakukan
pada kalian."
Panji
Ateleng kemudian menemui Manggala Wanengpati.
Tangan si
kakek disalami dan dicium.
"Ajengan
yang saya hormati, sesungguhnya dua murid Ajengan tidak bersalah. Kami bertiga
orang-orang muda selalu menuruti kata hati dan aliran darah panas yang tidak
pada tempatnya. Lagi pula dua murid Ajengan itu bertindak untuk satu
kepentingan yang baik. Dia hanya ingin tahu keselamatan seorang gadis bernama
Dewi Dua Musim. Saya minta maaf pada Ajengan..-"
Manggala
Wanengpati tersenyum. Dalam hati dia berkata.
"Dia
pandai menyejukkan hatiku. Seharusnya anak ini cocok jadi muridku." Lalu
sambil memegang bahu Panji Ateleng sang Ajengan berkata.
"Anak
muda, dalam hidup ini kau harus selalu pertahankan ketulusan hati. Walau aku
tahu beban hidupmu sungguh sangat berat"
"Terima
kasih Ajengan memperhatikan saya."
Manggala
Wanengpati tepuk-tepuk perlahan bahu Panji Ateleng sambil diam-diam kerahkan
Ilmu Dua Gunung Menahan Langit. Ilmu ini hampir sama dengan Ilmu Seberat Gunung
Mengunci Bumi yang dimiliki Panji Ateleng. Lawan yang kena serangan akan
menjadi kaku berat kedua kakinya hingga tak mampu bergerak apa lagi melangkah.
Bedanya ilmu yang dimiliki sang Ajengan dikeluarkan melalui tangan sedang ilmu
Panji Ateleng keluar dari kaki.
"Dess!
Dess!"
Ajengan
Manggala Wanengpati merasa seperti memukul bantalan karet Tangannya yang
ditepukkan ke bahu Panji Ateleng terpental lembut ke atas. Kakek ini tersenyum.
"Anak baik….anak hebat!" Katanya dalam hati. Lalu dia perhatikan lima
buah benda. satu menancap empat lainnya tergeletak di tanah.
"Hemmm,
rupanya ada sesuatu terjadi di tempat ini." Kata sang Ajengan dalam hati
lalu mengambil dan memperhatikan salah satu dari empat benda yang ada di tanah.
"Paku
Kayu Iblis Jati Roban. Tidak beracun tapi orang yang tertusuk jika tidak
memiliki tenaga dalam cukupan, darahnya akan tersedot dan bisa menemui ajal
dalam waktu satu hari jika paku tidak segera dicabuti"
Manggala
Wanengpati kembali menemui Panji Ateleng.
"Anak
muda, ada darah di paku kayu ini. Apakah ini darahmu?"
"Benar
Ajengan…" Jawab Panji Ateleng tak berani berdusta.
"Sesuatu
yang hebat telah terjadi atas dirimu?"
"Benar
Ajengan…"
"Ada
orang memantek tangan dan kakimu dengan paku kayu ini. Satu paku dipantek dalam
mulutmu…."
"Itu
juga benar Ajengan…."
"Apa
Suro Gledek yang melakukan?"
Pertanyaan
sang Ajengan kali ini membuat Panji Ateleng terkejut.
"Betul
sekali Ajengan. Bagaimana Ajengan bisa mengetahui?"
"Karena
hanya ada satu orang yang memiliki Paku Iblis seperti ini. Warok hutan Roban
yang bernama Suro Gledek"
Jawab
Ajengan Manggala Wanengpati. "Sudah saatnya aku arus membuat tobat manusia
satu itu."
"Ajengan
kenal Warok itu?"
"Bukan
cuma kcnat. Aku juga tahu dlmana sarangnya Karena dulu dia adalah bekas anak
buahku…."
"Ah…."
Panji Ateleng tercengang tak menyangka.
"Ajengan,
sebenarnya Warok Suro Gledek hanya suruhan orang…."
"Begitu?"
Ajengan Manggala Wanengpati kerenyitkan kening. "Siapa orangnya?"
"Maaf
Ajengan. Saat ini saya belum bisa mwnberi tahu."
Ajengan
Manggala Wanengpati terdiam sebentar, kemudian berkata. "Tidak jadi apa
kau tidak mau memberi tahu.
Di dunia
ini memang banyak rahasia. Kalau semua orang tahu namanya bukan rahasia
lagi." Lalu sang Ajengan menyambung ucapan. "Soal Warok Suro Giedek
biar aku yang mengurusi."
Lalu
Ajengan Manggala Wanengpati pegang dan perhatikan tangan Panji Ateleng kiri kanan.
Mata juga melirik pada kedua kaki pemuda itu. "Hanya ada tanda bintik
kecil. Berarti kalau bukan dia sendiri yang melakukan, ada seseorang yang telah
menerapkan ilmu kesaktian mengobati luka pantekan tanpa bekas!"
"Anak
muda," kata Manggala Wanengpati kemudian sambil memegang bahu Panji
Ateleng. Turut keteranganmu tadi. mungkin dugaanku keliru, apakah kau bertemu
seorang gadis mengenakan pakaian biru di tempat ini."
"Yang
bernama Dewi Dua Musim?"
"Ah,
rupanya dia telah memperkenalkan diri padamu."
"Benar
Ajengan.saya memang bertemu dengan dia.
Justru
dialah yang telah menyelamatkan saya. Dia yang mencabut empat paku yang
memantek dua tangan dan dua kaki saya serta satu lagi di dalam mulut…."
Ajengan
Manggala Wanengpati angguk-anggukkan kepala. "Apakah dia juga yang menutup
dan menyembuhkan luka bekas pantekan di mulut serta dua tangan dan
kakimu?"
"Tidak
Ajengan. Kalau lima luka itu saya sendiri yang menyembuhkan walau Dewi Dua
Musim berniat membantu."
Ajengan
Menggala Wanengpati berpaling pada kedua muridnya.
"Kalian
dengar dan perhatikan baik-baik. Kalian menaruh curiga dan berniat membunuh
pemuda ini karena melihat ada noda darah di pakaian dan wajahnya. Kalian
menyangka dia telah mencelakai Dewi Dua Musim. Padahal darah yang ada di tubuh,
wajah dan pakaiannya adalah darahnya sendiri. Darah yang keluar dan luka akibat
siksaan orang!"
Sora
Warangan dan Wayan Dekik sama rundukkan kepala. Wayan Dekik berkata. "Kami
mengerti Ajengan. Kami berdua minta maaf." Lalu bersama Sora Warangan dia
mendatangi Panji Ateleng. Sambil membungkuk keduanya berkata. "Kami minta
maaf."
"Kita
bertiga sudah jadi sahabat. Malah bisa dikatakan sudah menjadi saudara. Aku
juga minta maaf." Jawab Panji Ateleng seraya memegang bahu dua pemuda di
hadapannya.
Saat itu
Ajengan Manggala Wanengpati kembali perhatikan dua tangan dan kaki Panji
Ateleng. "Hemmm…."
Ajengan
Manggala Wanengpati usap dagunya. "Anak muda, untuk menyembuhkan luka
bekas pantekan kau mempergunakan Ilmu Penyakit Datang Dari Manusia.
Penyembuhan
Datang Dari Alam. Batu?’
Panji
Ateleng terkejut mendengar ucap pertanyaan sang Ajengan. Tapi dia juga merasa
kagum. Ternyata kakek bertelinga dan bermulut aneh ini bukan cuma memiliki ilmu
silat dan kesaktian tinggi tapi juga punya pengetahuan luas tentang segala
macam ilmu yang dimiliki orang lain. Satu ilmu yang termasuk langka dalam rimba
persilatan pada masa itu Sebenarnya Panji Ateleng hendak bertanya bagaimana
atau dari mana si kakek bisa tahu ilmu yang dipergunakan untuk menyembuhkan
dirinya. Namun sang Ajengan dilihatnya tertawa dan lebih dulu berkata.
"Panji
Ateleng, di masa muda aku pernah terluka parah akibat tusukan delapan anak
panah yang menancap di tubuhku.llmu itu juga yang menyembuhkan diriku."
Mendengar
ucapan orang Panji Ateteng langsung bertanya. "Rupanya Ajengan juga
memiliki ilmu itu….?"
Panji
Ateleng tidak lanjutkan ucapan karena saat itu dilihatnya Ajengan Manggala
Wanengpati tertawa lebar.
"Gurumu
Toh Bagus Kamandipa adalah sahabatku paling baik tapi paling konyol. Tapi
justru kekonyolannnya aku paling suka.
Ha…hal
Untung kau kulihat tidak konyol seperti dia." Ajengan Manggala Wanengpati
tertawa gelak-gelak.
"Gurumu
satu-satunya tokoh rimba persilatan yang tidak pernah aku tantang untuk
bertarung lalu aku peras ilmu kesaktiannya. Ha…ha…ha! Dia orang baik. Aku
sangat menghormatinya. Cukup lama kami tidak pernah bertemu.
Apakah
dia baik dan sehat-sehat saja di tempat kediamannya di pantai selatan?"
"Beliau
baik-baik dan sehat-sehat Terima kasih Ajengan memperhatikan guru. Hanya saja
sejak beberapa waktu lalu beliau tidak lagi menetap di pantai selatan, tapi
telah mendirikan sebuah gubuk di salah satu lereng Gunung Merapi"…."
"Si
konyol itu rupanya sudah bosan dengan hawa panas, angin dan bau garam air laut
Kini mencari kesejukan di Gunung Merapi. Bagus begitu. Agaknya dia sengaja
bersejuk-sejuk agar bisa awet muda! Ha…ha…ha!"
Panji
Ateleng Ikut tertawa mendengar seloroh si kakek lalu berkata.
"Kalau
bertemu guru, nanti akan saya beii tahu pertemuan kita ini."
"Bagus,
memang harus begitu. Sampaikan salam hormatku padanya. Sekarang aku masih ada
satu pertanyaan. Ketika kau bertemu dengan Dewi Dua Musim, apa saja ceritanya
padamu?"
"Dia
tidak bicara banyak. Saya ingat dia mengatakan kalau berada di tempat ini
karena ada janji bertemu dengan tiga orang. Tapi yang ditunggu tidak datang.
Kemudian dia malah bertemu dengan dua penunggang kuda yang menyeret saya di
atas papan dalam keadaan dipantek."
"Ketika
berpisah, gadis itu tidak mengatakan mau pergi kemana?" Panji Ateleng
menggeleng.
"Yang
ditunggu Dewi Dua Musim adalah aku dan dua muridku. Tapi Perwira Tinggi jahanam
itu membuat masalah, menimbulkan halangan hingga kami terlambat datang ke
sini!"
Panji
Ateleng sebenarnya ingin bertanya apa yang telah dilakukan Perwira Tinggi itu.
Namun hal tersebut tidak dilakukan karena dia paling tidak suka mengetahui atau
mencampuri urusan orang lain.
Ajengan
Manggala Wanengpati usap bibirnya yang terletak di tenggorokan lalu palingkan
tubuh, melangkah mendekati lelaki berpakaian bagus tapi berselomotan tanah yang
saat itu masih duduk menjelepok di tanah. Melihat dirinya didatangi langsung
orang ini susun sepuluh jari di atas kepala dan seperti tadi kembali meratap.
"Ajengan,
mohon ampuni selembar nyawaku. Aku mengaku sangat bersalah. Sangat
berdosa…."
"Diam"
Bentak Manggala Wanengpati. Dia berpaling pada dua muridnya Sora Warangan dan
Wayan Dekik.
"Menurut
kalian apakah Perwira Tinggi licik perlu dibunuh dihabisi?!"
Dua murid
saling pandang karena tak berani menjawab.
"Aku
bertanya! Mengapa kalian tiba-tiba jadi gagu!"
"Ajengan,
Guru, bukankah tadi menurut Ajengan membunuh adalah satu dosa besar…."
Wayan Dekik beranikan membuka mulut.
"Betul!
Kecuali ada alasan yang tepat!" Hardik Manggala Wanengpati.
"Kalau
begitu biar saya membunuh Perwira Tinggi ini!"
Sora
Warangan berkata seraya melangkah mendekati orang yang duduk di tanah. Orang
ini langsung saja menggerung keras lalu jatuhkan diri, kening sampai menyentuh
tanah jalanan
yang
becek.
"Ajengan,
saya benar-benar minta ampun. Saya bertobat tidak akan berbuat jahat lagi
kepada siapapun. Ajengan…."
Ajengan
Manggala Wanengpati memberi isyarat pada Sora Warangan agar tidak melangkah
lebih dekat lalu menepuk bahu si Perwira Tinggi.
"Cakra
Baskaral Berdiri di hadapanku!"
Mendengar
bentakan sang Ajengan Perwira Tinggi bernama Cakra Baskara yang masih bersujud
di tanah cepat-cepat berdiri.
"Cakra
Baskaral Nasib dirimu masih baik! Muridku tidak akan membunuhmu. Aku juga tidak
walau kau hampir mencelakai nyawa kami bertiga dan menghalangi urusan besar
yang tengah kami jalankan. Tapi hukuman tetap berlaku atas dirimu. Kau tidak
kulepas begitu saja!"
Mendengar
ucapan sang Ajengan, mengira dia tetap akan mendapat hukuman borat, kembali si
Perwira Tinggi menggerung ketakutan dan menyembah-nyembah.
Ajengan
Manggala Wanengpati tidak acuhkan Perwira itu. Dia malah tegak membelakangi
tapi sepasang mata melirik ke atas satu pohon besar di depannya. Pada salah
satu cabang pohon sejak tadi dia sudah melihat ada satu sarang tawon besar.
Tanpa membalikkan diri kakek ini cekal leher pakaian si Perwira lalu sekati
menyentak Perwira Tinggi Kerajaan Mataram itu melesat ke udara. Kepala
membentur sarang tawon hingga sarang tawon menjadi remuk, tubuh jatuh
membentang di atas cabang tepat di bawah sarang tawon.
Dari
dalam sarang tawon yang hancur menderu keluar ratusan tawon besar yang langsung
menyerang Cakra Baskara!
Perwira
ini melolong menjerit-jerit. Sebentar saja muka dan tubuhnya sebelah atas telah
bengkak matang merah akibat antukan tawon. Karena tidak tahan, dari cabang
pohon dia terjun ke tanah. Tapi ratusan tawon tetap mengikuti mengejarnya.
Sambil terus menjerit-jerit kesakitan Cakra Baskara lari lintang pukang
menuruni kaki Bukit Menoreh. Walaupun jauh di bawah sana tapi Kali Progo adalah
satu-satunya tempat yang dirasakannya bisa dipergunakan untuk menyelamatkan
diri. Maka dengan segala sisa tenaga yang ada dia bertari ke arah kali. Begitu
sampai di tepi kali langsung menceburkan diri!
Memperhatikan
apa yang terjadi dengan sang Perwira, Panji Ateleng kasihan ada, merasa geli
juga ada. Ketika dia berpaling dilihatnya Ajeng Manggala Wanengpati dan dua
muridnya telah duduk di atas punggung kuda.
"Anak
muda, saatnya kita berpisah. Aku harus mencari Dewi Dua Musim. Musim panas lalu
aku dan dua murid mengalami kesulitan menemuinya. Sekarang di musim hujan ini
harus berhasil. Kalau tidak dapat menemuinya dan nanti datang lagi musim panas,
semua urusan bisa tambah tidak karuan."
Mendengar
si kakek menyebut musim panas dan musim hujan. Panji Ateleng hendak menanyakan
sesuatu namun sang Ajengan mendahului.
"Jika
kau bertemu gurumu si orang tua konyol itu. sampaikan salam hormatku
padanya."
"Pasti
akan saya sampaikan Ajengan," jawab Panji Ateleng. "Kalau saya boleh
bertanya…."
Sayang,
Ajengan Manggala Wanengpati telah melompat ke atas kuda hitam yang dibawa dua
muridnya. Sekali tali kekang kuda disentak, ketiga orang itu berlalu dari
hadapan Panji Ateleng.
Di langit
matahari telah naik. Sinar teriknya mulai terasa panas. Panji Ateleng
perhatikan dirinya sendiri. Baru menyadari betapa kotor tubuh dan pakaiannya.
"Aku
harus membersihkan diri." Dia memandang ke arah Kali Progo di kejauhan.
"Aku bisa mandi di sungai itu.Siapa tahu ketemu Perwira Tinggi yang
menceburkan diri tadi. Lalu bisa bertanya perbuatan apa yang telah dilakukannya
hingga Ajengan marah besar dan nyaris membunuhnya."
Panji
Ateleng segera berlari menuruni bukit Dalam waktu singkat dia telah sampai di
tepi Kali Progo. Ketika tengah mencari tempat yang baik untuk mandi
membersihkan tubuh dan pakaian tiba-tiba dia melihat banyak sekali penunggang
kuda di jalan tanah becek dimana sebelumnya dia berada. Diantara penunggang
kuda ada yang menunjuk-nunjuk ke arahnya Lalu rombongan yang ternyata adalah
satu kelompok pasukan Kerajaan itu bergerak menuruni bukit menuju Kali Progo.
Karena merasa tidak ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Panji Ateleng tetap
saja berdiri di tepi kali. Tak lama kemudian dua puluh perajurit Kerajaan
dipimpin seorang Perwira Muda berkumis tebal melintang yang membekal dua bilah
pedang sekaligus di pinggang telah mengurung Panji Ateleng.
Tanpa
turun dari kudanya, Perwira Muda mencabut satu pedang di pinggang dengan tangan
kanan. Lalu sambil tudingkan pedang ke arah Panji Ateleng dia berteriak
memerintah pada anak buahnya.
"Aku
Darka Gambilan. Perwira Muda Kerajaan. Aku memerintahkan tangkap orang
itu!"
Tentu
saja Panji Ateleng jadi terkejut. Dia segera mengambil sikap waspada berjaga
diri.
********************
SEPULUH
BELASAN
perajurit berkuda segera bergerak mempersempit pengurungan. Dua perajurit yang
mengenal siapa adanya Panji Ateleng segera mendekati Perwira Muda dan memberi
tahu.
"Perwira,
pemuda itu adalah adik ipar Pangeran Banowo.
Jangan
kita sampai kesalahan tangan."
Perwira
Muda yang merasa ditegur oleh bawahannya delikkan mata dan membentak marah.
"Ngurah!
Aku tahui Lalu apa urusanmu siapa dia. Justru aku mendapat wewenang dari
Pangeran Banowo untuk menindak siapa saja, termasuk pemuda itu. Bahkan
membunuhnya sekalipun! Kerjakan perintah atau kepalamu yang aku penggal lebih
dulu dengan pedang ini!"
Melihat
atasan belintangkan pedang di depan hidungnya, perajurit bernama Ngurah yang
tadi bicara cepat letakkan dua tangan di atas kepala Seraya berkata.
"Perwira,
aku telah kesalahan bicara. Mohon maafmu."
Lalu
bersama temannya dia segera undurkan kuda. Namun hatinya belum puas. Sambil
membawa kudanya ke tepian kali dimana Panji Ateleng berada dia bekata perlahan
pada temannya. "Panji Ateleng pemuda baik. Kenapa Perwira Muda hendak
menangkap bahkan mau membunuhnya?!"
Sang
teman menjawab "Ini semua sudah diatur para pejabat tinggi di Kotaraja.
Kita sebagai bawahan hanya tunduk pada perintah atasan."
Saat itu
delapan belas perajurit lainnya sudah mengurung Panji Ateleng di tepi kali.
Dalam
keadaan seperti itu walau terkejut dirinya dikepung pasukan Kerajaan namun
Panji Ateleng bersikap tenang dan waspada. Dengan cepat dia mendatangi Perwira
Muda namun hanya bisa mendekat sampai beberapa langkah karena dihalangi oleh
belasan perajurit Dengan sopan Panji Ateleng bertanya.
"Perwira,
ada apa kau memerintah pasukan menangkap diriku? Apa kesalahan yang telah aku
lakukan?"
"Seseorang
telah menculik Perwira Tinggi Cakra Baskara!
Tanda-tanda
menunjukkan bahwa dia dibawa ke sekitar tempat ini. Dan kami menemui kau dalam
keadaan tubuh serta pakaian penuh darah! Aku punya wewenang untuk menangkap dan
memeriksa dirimu!"
"Aku
mengerti," jawab Panji Ateleng. "Tapi kalau Perwira Tinggi bernama
Cakra Baskara itu yang kau cari dia masih hidupi Tidak ada yang membunuhnya!
Tidak juga aku!"
"Kalau
dia masih hidup mengapa tidak ada di sini?!"
Bentak
Perwira Muda di atas punggung kuda.
"Perwira!"
Tiba-tiba seorang perajurit berseru. "Kami menemukan lencana yang biasa
tersemat di dada pakaian Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
Perajurit
yang berseru lalu mendekati Perwira Muda dan menyerahkan sebuah benda. Benda
Ini adalah lencana atau lambang terbuat dari suasa, berupa bola dunia diapit
dua ekor naga.
"Sesuatu
telah terjadi dengan Perwira Tinggi Kerajaan!"
Perwira
muda palingkan kepala ke arah Panji Ateleng. Mata membeliak besar. "Kau
harus bertanggung jawab! Bisa juga kau adalah pembunuh Perwira Tinggi Cakra
Baskara!"
"Aku
orang desa. Mana mungkin membunuh seorang Perwira Kerajaan yang pasti memiliki
ilmu kepandaian tinggi seperti Perwira Tinggi Cakra Baskara!"
"Diam!
Aku tahu kau berdusta!"
"Perwira
Muda Darka Gambllan, aku tahu kau mengadaada.
Jika kau
mencari Perwira Tinggi Cakra Baskaia, tadi dia mandi di kali sebelah sana!
Perintahkan saja anak buahmu mencari!"
"Kurang
ajar! Kau berani berdusta mengelabuiku"
"Aku
tidak dusta. Tadi akupun mau mandi di kali ini. Tapi setelah kau dan pasukanmu
berada di sini, aku lebih baik mencari tempat lain. Harap kau perintahkan
pasukanmu memberi jalan!"
"Benar-benar
kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku Perwira Kerajaan! Nyawamu melayang
saat ini juga jika berani beranjak dari tempatmu!"
Delapan
perajurit segera mengarahkan tombak mereka dan empat lain sudah mencabut
pedang.
Tiba-tiba
dari dalam air kail melesat keluar seseorang seraya berteriak.
"Pemuda
itu tidak berdusta! Tapi dia memang layak ditangkap! Kalau perlu dihabisi saja!
Dia adalah kaki tangan Ajengan Manggala Wanengpati yang telah menculikku!"
Orang
yang berteriak melesat ke tepi kali, berdiri di atas satu gundukan batu. Orang
ini ternyata adalah Cakra Baskara si Perwira Tinggi Kerajaan. Rambut, pakaian
dan tubuh basah kuyup. Muka bengkak-bengkak merah kebiruan, mata gembung dan
bibir jontor bekas diantuk tawon.
"Perwira
Tinggi Cakra Baskara!" Perwira Muda berkumis melintang melompat turun dari
atas kuda dan berlari ke arah atasannya. Dia merasa lega melihat Perwira Tinggi
itu dalam keadaan hidup walau wajah dan sebagian tubuh bengkak gembung tak
karuan rupa!
Panji
Ateleng yang menyaksikan siapa yang muncul dan mendengar ucapan orang ingat apa
yang dikatakan Ajengan Manggala Wanengpati yaitu bahwa Perwira Tinggi itu
adalah seorang licik.
"Perwira
Tinggi Cakra Baskara! Aku tidak ada sangkut paut dalam urusanmu dengan Ajengan
Manggala Wanengpati.
Mengapa
menuduh aku sebagai kaki tangan orang tua baikbaik itu?!"
"Enak
saja kau bicara! Kalau orang menculikku, membenamkan dan menyeretku di dalam
tanah lalu melempar diriku ke atas pohonl Membuat ratusan tawon menyerangku
sementara aku tahu kau punya hubungan dekat dengan si penculik, apa kau masih
berani dusta kalau kau tidak ada kaitan dengan penculikan yang dilakukan
Ajengan jahat itu terhadapku?! Paling tidak kau adalah kaki tangan
pembantunya!"
"Perwira
Tinggi, kalau kau tidak membuat satu kesalahan besar tak mungkin Ajengan
Manggala Wanengpati memperlakukanmu seperti itu!"
Cakra
Baskara meludah ke tanah.
"Ajengan
Manggala Wanengpati kau bilang orang baik-baik?
Huh! Semua
orang di Mataram ini tahu siapa dia dulunya!"
"Bagiku
orang yang dulu tidak baik tapi sekarang menjadi baik adalah lebih berguna dari
pada orang yang dulu baik sekarang menjadi tidak baik alias jahat!"
Tampang
Perwira Tinggi Cakra Baskara yang sudah sembab merah jadi bertambah merah
seperti kepiting rebus mendengar ucapan Panji Ateleng.
"Pemuda
keparat! Ucapanmu seperti petinggi agama saja!"
"Perwira
Tinggi, waktu Ajengan itu berada di sini, kau dengar sendiri apa yang kami
bicarakan. Dia pergi begitu saja.
Kalau aku
memang pembantunya mengapa tidak ikut saja bersamanya?" Panji Ateleng
tidak perdulikan caci maki orang.
"Kau
tidak ikut karena dua anak murid Ajengan itu tidak menyukaimu!"
"Perwira
Tinggi, maaf aku tidak akan melayani orang sepertimu. Ajengan Manggala
Wanengpati telah mengampuni nyawamu! Seharusnya kau bertobat tidak berbuat
jahat lagi!
Sekarang
kau malah hendak berbuat sewenang-wenang dan culas terhadapku!" Panji
Ateleng berpaling pada Perwira Muda.
"Perwira,
aku minta jalani Perintahkan pasukanmu menyingkir!"
Cakra
Baskara menyeringai, lalu berteriak. "Aku Perwira Tinggi Cakra Baskara
mengambil alih pimpinan! Pasukan! Tangkap pemuda itu! Kalau melawan
bunuh!"
Setelah
berteriak Cakra Baskara tetap saja berdiri di atas gundukan batu di tepi kali.
Agaknya dia tidak mau turun tangan sendiri karena sebelumnya sudah melihat
kemampuan silat serta ilmu kesaktian Panji Ateleng. Dia malah memberi isyarat
pada Perwira Muda Darka Gambilan agar segera turun tangan memimpin pasukan
untuk menangkap Panji Ateleng hidup atau mati!
Seorang
Perwira Muda Kerajaan yang menghunus sepasang pedang ditambah dua puluh
perajurit bersenjatakan pedang, tombak dan golok langsung menyerbu Panji
Ateleng.
"Kalian
gila semua!" Teriak Panji Ateleng tapi dengan senyum dikulum. Otaknya yang
cerdik bagaimanapun juga tidak akan mau melayani serbuan hebat itu.
"Hantam
kopalanya, tangan dan kaki pasti tidak berdaya!" Sambil dalam hati ucapkan
ujar-ujar yang didapatnya dari sang guru Toh Bagus Kamandipa, Panji Ateleng
melompat setinggi dua tombak. Didahului dengan gerakan jungkir balik satu kali
dan melayang berputar di udara, tiba-tiba dia melesat ke arah Perwira Tinggi
Cakra Baskara yang berdiri di atas gundukan batu.
Sebagai
seorang Perwira Tinggi Kerajaan, walau ilmunya jauh berada di bawah Ajengan
Manggala Wanengpati namun tingkat kepandaian Cakra Baskara cukup dikenal dan
disegani.
Ketika
melihat sosok Panji Ateleng secara cepat dan tidak terduga menyambar ke
arahnya, sang Perwira segera membungkuk sambil dua tangan didorong ke atas.
Dua
gelombang angin deras menderu memapaki sosok Panji Ateleng yang saat itu masih
belum melepas serangan.
Mendengar
deru angin dahsyat pemuda itu geiakkan tubuh demikian rupa hingga melayang
datar satu jengkal di permukaan Kali Progo. Gerakan Panji Ateleng ternyata
lebih cepat dari lawan.
Selagi
gelombang angin lewat di atasnya, dua tangan Panji Ateleng tahu-tahu mencekal
sepasang kaki Cakra Baskara yang masih berdiri di atas gundukan batu.
Belum
habis kaget Perwira Tinggi Kerajaan itu tibatiba tubuhnya terlempar ke udara,
melayang ke arah pasukan yang tengah bergerak menyerbu Panji Ateleng.
"Tahan
serangan!" Teriak Pewira Muda Darka Gambilan melihat bahaya sekian banyak
tombak, pedang dan golok melesat ke depan ke arah tubuh atasannya.
Meski
banyak perajurit yang sempal membatalkan serangan namun banyak pula yang sudah
terlanjur menggerakkan senjata. Melihat bahaya yang mengancam, dari pada celaka
dtbacok golok atau dibabat podang atau ditusuk tombak, lebih baik menghantam
mendahului. Maka Perwira Tinggi Cakra Baskara pukulkan dua tangan sekaligus.
Deru angin dahsyat kembali menderu di tempat itu. Kali ini menghantam ke arah
belasan perajurit yang menyerbu.
Celakanya
tidak semua perajurit sempat menghindar dengan cara menerjunkan diri ke kali
atau jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Enam orang kelihatan terlempar ke
udara begitu kena hantaman dua golombang angin pukulan. Dua jatuh ke dalam air,
langsung tenggelam pertanda sebelum masuk ke dalam kali nyawanya sudah putus
lebih dulu. Empat perajurit lainnya berkapuran di tepi kali. Dua langsung
tewas, dua lainnya menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi!
"Pukulan
Gelombang Angin Selatan!" Ucap Darka Gambilan menyebut nama pukulan sakti
yang barusan dilepas atasannya. "Jangankan perajurit-perajurit itu. Aku
sendiri tidak mungkin menghadapinya!"
Perwira
Muda Darka Gambilan bukan memperhatikan anak buahnya yang tewas tapi malah
berlari mendatangi Cakra Baskara yang saat itu telah berdiri di tepi kali.
"Perwira
Tinggi, kau tidak apa-apa?" tanya Darka Gambilan.
Tampang
Cakra Baskara tampak mengetam. Sepasang mata memandang berkeliling. Rahang
menggembung geram.
Panji
Ateleng tidak terlihat lagi di pinggir kali.
"Pemuda
jahanam itu! Dia kaburi Pengecut!" Cakra Baskara merutuk.
"Manusia
satu itu tidak usah dihiraukanl Cepat atau lambat kita pasti akan menemukannya.
Nasibnya sudah ditentukan! Mati di tiang gantungan." Berkata Darka
Gambilan.
"Aku
punya firasat. Tidak semudah itu menggantung pemuda bernama Panji Ateleng itu.
Terus terang, jika tadi dia bisa menelikung kedua kakiku lalu melemparku ke
udara, jika dia mau sebenarnya dia bisa membunuhku! Ilmu silat dan kesaktiannya
belum tentu di bawah Ajengan Manggala Wanengpati Selain itu dia selalu bersikap
tenang bahkan terkadang tersenyum. Gila"
Dalam
hati Perwira Muda Darka Gambilan membenarkan ucapan atasannya itu. Namun dia
segera mengalihkan pembicaraan. "Perwira Tinggi Cakra Baskara. Sebaiknya
kita segera kembali ke Kotaraja. Saya membawa pesan dari Pangeran, jika bertemu
Perwira Tinggi agar segera menemui beliau di tempat biasa."
Untuk
beberapa lama Perwira Tinggi itu masih terdiam dalam kegeramannya. Kemudian dia
anggukkan kepala dan berkata.
"Aku
memang harus menemui Pangeran. Banyak yang harus aku laporkan padanya!"
Kata Cakra Baskara pula. Lalu dengan setengah berbisik dia bertanya.
"Apakah pasukan tambahan sudah didapat?"
"Sudah,
jumlahnya cukup banyak. Mereka berasal dari selatan Gunung Kidul." Jawab
Darka Gambilan.
"Bagus,
orang-orang Kidul memang dapat dipercaya.
Selain
itu mereka memiliki kekuatan raga yang dapat diandalkan." Kata Cakra
Baskara pula.
"Perwira
Tinggi, kalau saya boleh bertanya bukankah pemuda bemama Panji Ateleng itu
sebenarnya sudah dibuat tak berdaya dan dibawa ke Magelang?"
"Aku
tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos.
Tapi dari
pembicaraannya dengan Ajengan Manggala Wanengpati aku mencuri dengar ada
seseorang menolongnya."
"Siapa?"
Tanya sang Perwira Muda pula.
"Seorang
mengaku bernama Dewi Dua Musim." Jawab Perwira Tinggi Cakra Baskara.
Mendengar
disebutnya nama itu berubahlah tampang Darka Gambilan. Melihat ha! Ini Cakra
Baskara bertanya.
"Wajahmu
mendadak pucat seperti melihat setan kepala tujuh. Ada apa?!" tanya Cakra
Baskara.
“Tiga
minggu lalu" Berkata sang Perwira Muda dengan suara bergetar.
"Sebelum datang musim penghujan, saya nyaris menemui ajal di tangan gadis
itu. Kejadiannya tak jauh dari Candi Ratu Boko."
"Mengapa
kau tidak pernah memberi tahu padaku?"
"Mohon
maafmu Perwira Tinggi. Nanti dalam perjalanan ke Kotaraja akan saya ceritakan
semua apa yang terjadi."
"Kalau
begitu kita berangkat sekarang juga."
Empat
mayat perajurit yang tergeletak di tanah diceburkan ke kali, segera dihanyutkan
arus ke hilir. Perwira Muda Darka Gambilan memimpin pasukan menuju Kotaraja.
Perwira
Tinggi Cakra Baskara memilih menunggang kuda di tengah rombongan. Jika mendadak
terjadi sesuatu di depan sana atau di seberlah belakang maka dia punya waktu
mempersiapkan diri. Saat itu sebenarnya dia merasa kawatir Takut kalau Ajengan
Manggala Wanengpati mendadak muncul kembali.
********************
SEBELAS
MATARAM
Kuno, terpaut delapan ratus tahun silam dengan peristiwa kemunculan Dewi Dua
Musim di Mataram Baru Ketika malam itu di langit Mataram terlihat bulan purnama
bulat penuh berwarna biru, Kumara Gandamayana, satu-satunya pembantu
berkepandaian tinggi dan pengikut setia Raja Mataram yang masih ada segera
menemui Raja Rakai Kayuwsngi Dyah Lokapala. Saat itu mereka masih berada di
tempat rahasia di dasar Sumur Api. Kumara Gandamayana datang bersama sisa-sisa
Abdi Dalem Keraton Mataram Kuno.
Setelah
menghatur sembah si kakek berkata. "Yang Mulia, kami datang memberi tahu
bahwa satu keajaiban telah terjadi.
Saya
yakin ini adalah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Bulan pumama muncul di langit
Mataram sejak sore tadi. Tidak seperti biasanya bulan tampak berwarna biru,
memancarkan cahaya sejuk. Ini satu pertanda bahwa penyakit jahat yang selama
Ini melanda Bhumi Mataram telah lenyap. Orang-orang kepercayaan kita yang ada
di luar Sumur Api memberi kesaksian bahwa cairan merah yang selama ini terlihat
menggenang dimana-mana telah sirna tidak berbekas. Petaka Malam Jahanam telah
berlalu…"
"Berkat
Yang Maha Kuasa sungguh luar biasa. Kita harus berterima kasih dan memanjatkan
puji syukur." Kata Raja Rakai Kayuwangi. Lalu diikuti semua orang yang ada
di situ Raja bersujud di lantai.
"Dari
pinggiran pedataran berpasir kuning, kita bisa melihat bulan.
Jika Yang
Mulia ingin menyaksikan sendiri…" Berkata Kumara Gandamayana. Diantar oleh
si kakek dan diiringi oleh para Abdi Dalem serta Permaisuri Kerajaan, Rakai
Kayuwangi pergi ke pedataran pasir berwarna kuning yang berada di dasar Sumur
Api. Memang ajaib, walau elas berada di dalam tanah namun dari tempatnya
berdiri orang-orang itu bisa melihat langit di atas Bhumi Mataram. Ketika
melihat bulan Biru yang begitu bagus, untuk kedua kalinya Raja Mataram
melakukan sujud syukur. Yang lain-lain segera mengikuti apa yang dilakukan
Raja.
Selesai
bersujud Kumara Gandamayana berkata. "Yang Mulia, saya mendapat kabar
ratusan Jin Putih atas perintah Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban telah
memperbaiki Istana hanya dalam waktu sehari semalam. Pengawalan Istana juga
telah diatur oleh beberapa pimpinan perajurit d.bantu rakyat Bilamana kita
meninggalkan dasar Sumur Api secepatnya, maka sebelum tengah malam kita sudah
sampai di Kotaraja."
"Sangkala
Darupadha, walau dia tidak pernah menganggu Kerajaan apa lagi diriku tapi
hubungan Mataram dengan dirinya tidak begitu baik. Beberapa waktu lalu
diketahui dia memberi perlindungan pada warok dan para penjahat hutan Roban.
Jika sekarang dia berbalk hati menolong kita berarti ini adalah lagi-lagi satu
berkat dari Yang Maha Kuasa."
"Yang
Mulia, setahu saya Sangkala Darupadha Raja Jin Hutan Roban itu adalah sahabat
kental Arwah Ketua. Mungkin sekali Arwah ketua yang memintanya monolong
memperbaiki
Istana."
"Arwah
Ketua…." ucap Raja. "Mahluk hebat yang tinggal di Candi Miring itu
tidak terdengar lagi kabar beritanya sejak dia bentrokan dengan Satria Panggilan."
Setelah menatap penuh kagum ke langit, memandangi bulan biru. Raja Mataram
berkata. "Kakek Kumara, segera diatur persiapan untuk berangkat,"
kata Raja Mataram pula.
Kumara
Gandamayana lalu meminta orang-orang yang ada di situ segera mengatur keberangkatan.
(Mengenal siapa adanya kakek bernama Kumara Gandamayana ini sudah banyak
diketahui dan dapat dibaca dalam serial Wiro Sablong yang telah terbit mulai
dari "Malam Jahanam Di Mataram" sampai ”Bulan Biru Di Mataram".)
Setelah
mereka tinggal berdua saja di tepi pedataran pasir kuning Raja Mataram berkata
pada si kakek.
"Yang
Maha Kuasa telah memberi rahmat luar biasa besar pada Kera’aan Mataram. Besok
keadaan pasti semakin membaik.
Begitu
matahari terbit kita harus mengumpulkan rakyat di alunalun.
Memberi
tahu apa yang telah terjadi sekaligus menyampaikan ucapan syukur bersama. Namun
terus terang ada beberapa hal yang masih mengganjal di dalam hati saya.
Karena
belum ada kejolasannya."
"Saya
mengerti Yang Mulia. Sayapun dapat merasakan." Jawab Kumara Gandamayana.
"Apakah
Embah Buyut Lor Pengging Jumena tidak pernah muncul lagi memberi
petunjuk?" Bertanya Raja Mataram.
"Beliau
memang jarang menemui saya secara langsung.
Namun
melalui beberapa orang yang dipercayanya saya yakin beliau teiah melakukan sesuatu.
Salah satu diantaranya peristiwa yang baru kita alami. Beliau dengan segala
kearifan sengaja membawa Empu Semirang Biru kesini. Sepintas lalu jika orang
tidak bisa menyelami maksud perbuatannya muncul dugaan bahwa Emban Buyut saya
itu seperti hendak membantu dua Sinuhun Jahat menimbulkan kekacauan, bahkan
bisa menyebabkan mala petaka besar berupa kematian bagi Yang Mulia. Karena
jelas Empu Semirang Biru yang malang itu telah menjadi kaki tangan dua Smuhun.
Namun jika direnungkan apa yang dilakukan Embah Buyut saya justru agar kita mau
berpikir dan membuka mata bahwa kejahatan itu bisa muncul secara mendadak,
tidak terduga dalam bentuk dan cara yang sebelumnya mungkin tidak pemah
terpikir."
"Kek,
kita telah bertindak bijaksana menghadapi Empu Semirang Biru. Kita tidak sampai
membunuhnya. Tapi siapa yang menaruh kepastian sesuatu yang butuk tidak terjadi
dengan dirinya begitu dia keluar dari Sumur Api. Bahaya utama pasti datang dari
dua Sinuhun. Begitu tahu Empu Semirang Biru gagal membunuh saya, kakek itu
pasti akan dihabisi."
Kumara
Gandamayana terdiam. Dalam hati dia membenarkan ucapan Rakai Kayuwangi.
"Saat
ini kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya. Tapi jika di kemudian
hari kita mengetahui Empu itu telah menjadi korban kebiadaban dua Sinuhun, kita
harus mencari jenazahnya. Jenazah itu harus kita urus dengan baik lalu kita
membuat sebuah candi kecil untuk menghormati jasa besarnya yang telah membuat
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi."
"Ucapan
Yang Mulia akan saya tindak lanjuti," kata Kumara Gandamayana pula. Kakek
sakti ini ingat bagaimana suatu malam atas perintah Raja Mataram dia datang ke
puncak Gunung Bismo tempat kediaman Empu Semirang Biru. Dia memberikan ilmu
kesaktian yang membuat dua tangan sang Empu berubah menjadi bara api hingga pembuatan
keris sakti dapat dilakukan dalam waktu hanya beberapa hari saja. (Baca serial
Wiro Sableng di Mataram Kuno berjudul "Malam Jahanam Di Mataram")
Seperti
diceritakan dalam "Bulan Biru Di Mataram" Empu Semirang Biru telah
dibunuh oleh dua Sinuhun dengan mempergunakan tangan Satria Roh Jemputan alias
Pangeran Matahari. Sang Pangeran sendiri kemudian menemui ajal untuk kedua
kalinya dalam pertarungan hebat melawan Pendekar 212 dibantu oleh Ratu Randang,
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi atau Dewi Kaki Tunggal. Dalam pertarungan itu
diduga Penguasa Atap Langit ikut membantu karena sebelum menemui ajal tubuh
Pangeran Matahari dibuat tidak berdaya oleh ilmu yang disebut Lima Jarum
Penjahit Raga.
‘Kakek
Kumara, yang saat ini terpikir oleh saya ialah dimana beradanya keris asli
Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata itu telah ditentukan akan menjadi salah satu
benda keramat Pusaka Keraton. Walau baru dibuat kesaktian dan pamor wibawanya
tidak kalah dengan semua pusaka yang sudah dimiliki Istana Mataram. Saya
mendengar, di dalam rimba persilatan orang-orang menyebut senjata itu sebagai
Mahkota Di Atas Mahkota…"
"Saya
memang mendengar cerita itu, Yang Mulia."
"Namun
dimana keberadaannya tidak kita ketahui.
Sebelum
saya menduduki singgasana Kerajaan Mataram kembali, senjata itu harus sudah ada
dalam Istana. Itu ganjalan pertama yang saya rasakan. Ganjalan kedua,
kemunculan bulan biru di langit Mataram selain merupakan berkah dari Yang Maha
Kuasa juga pertanda bahwa ada orang-orang jahat termasuk mahluk alam roh yang
selama ini telah menimbulkan kekacauan dan mencelakai negeri ini telah menemui
ajal. Di antara mereka bisa jadi dua Sinuhun jahat itu bahkan mungkin juga anak
sakti bernama Dirga Purana. Namun saya minta kita tetap berlaku waspada. Karena
selama kita tidak melihat jenazah atau mayat mereka, atau mendengar sendiri
dari orang yang menyaksikan kematian mereka, akan selalu ada kemungkinan mereka
masih hidup. Atau roh mereka kembali menjelma masuk ke alam fana ini,
gentayangan lagi untuk melakukan pembalasan. Dua Sinuhun terutama Sinuhun Merah
Penghisap Arwah terkenal dengan ilmu kesaktiannya yang aneh-aneh, culas dan
luar biasa jahat"
"Yang
Mulia, semua ucapan Yang Mulia akan saya perhatikan. Kita memang harus selalu
bersikap waspada. Saya sudah punya rencana untuk mendatangkan beberapa orang
pintar dari daerah barat dan timur untuk membantu mengamankan Bhumi Mataram.
Tentu saja kalau Yang Mulia mengijinkan."
"Saya
dapat mendukung rencana Kakek Ku. Tapi tetap saja Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
harus ditemukan lebih dulu.
Jika
sampai jatuh ke tangan orang jahat bahaya besar akan tetap mengancam
Kerajaan."
"Mengenai
senjata sakti itu, saya yakin sudah berada di tangan orang-orang yang berpihak
kepada kita. Keris asli ditemukan di satu tempat bernama Ruang Segi Tiga Nyawa
dan saat ini berada di tangan Ratu Randang dan kawan-kawannya, termasuk Satria
Panggilan." Kumara Gandamayana lalu menuturkan pertemuannya dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Satria
Panggilan telah menolong saya keluar dari sekapan di dalam tanah…."
"Kek,
sebelumnya kau tidak pernah menceritakan hal itu. Siapa yang telah berlaku
jahat memendammu di dalam tanah?" Bertanya Raja Mataram.
"Sinuhun
Muda Ghama Karadipa. dibantu dua Iblis Menjunjung Dupa." Jawab Kumara
Gandamayana. Lalu kakek ini memberi tahu pula bahwa dia telah memberikan ilmu
kesaktian hingga Satria Pangggilan mampu masuk dan berjalan di dalam tanah.
(Baca "Tabir Delapan Mayat")
"Hidup
itu memang adalah jalinan budi." Ucap Raja Mataram setelah mendengar
cerita pembantunya Ku. "Kakek Gumara, kita kembali pada pokok pembicaraan.
Sebelum saya melihat dan memegang sendiri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, hati
saya tetap tidak tenang. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, Kek. Dimana
beradanya Satria Panggilan. Jangan-jangan dia telah kembali ke negerinya."
********************
DUA BELAS
KUMARA
Gandamayana maklum kekawatiran Raja Mataram. Maka dia cepat berkata. "Yang
Mulia tidak usah merisaukan Satria Panggilan. Walau dimata kita sikap
perilakunya aneh, bicara terkadang membuat kita jengkel, tapi sobenarnya dia
adalah seorang pemuda baik dan jujur. Dia tidak akan pergi begitu saja tanpa
minta diri dan memberi tahu kita.
Selain
itu dia masih punya beberapa urusan penting yang harus diselesaikan di Bhumi
Mataram ini."
"Maksud
Kakok Kumara urusan apa?"
"Satria
Panggilan harus mencari dan menyelamatkan gurunya yang diculik Sinuhun Merah
Penghisap Arwah…"
"Kalau
mahluk alam roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah bonar telah menemui kematlan
berarti guru Satria Panggilan dalam keadaan aman. Tapi Sinuhun Merah Penghisap
Arwah punya banyak kaki tangan. Mungkin sekarang guru Satria Panggilan berada
dalam kekuasaan mereka. Mungkin saja hal itu sebelumnya sudah diatur oleh
Sinuhun Merah jika hal terburuk terjadi atas dirinya."
"Apa
Yang Mulia katakan terpikir juga oleh saya." Kata Kumara Gandamayana pula.
"Selain menemukan dan menyelamatkan gurunya. Satria Panggilan masih harus
mencari senjata sakti miliknya berupa sebilah kapak bermata dua. Setahu saya
senjata itu juga dicuri oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan memanfaatkan
sosok guru Satria Panggilan."
"Kakek
Kumara, kita harus membantu Satria Panggilan menemukan guru dan senjata sakti
miliknya. Pemuda itu telah menanam budi besar dalam menyelamatkan Kerajaan.
Sangat layak kini giliran kita menolongnya."
"Akan
saya lakukan Yang Mulia," jawab Kumara Gandamayana.
"Selain
itu ada satu rencana yang sudah saya pikirkan sejak lama." berkata Raja
Mataram. "Jika saya sudah memegang kendali di singgasana Mataram, kita
perlu orang-orang jujur, bisa dipercaya dan berkepandaian tinggi untuk
menggantikan para sahabat yang telah tewas mendahului kita. Salah seorang
diantaranya adalah Satria Panggilan Wiro Sableng. Saya ingin mengangkatnya
menjadi Panglima Balatentara Kerajaan Mataram, mengganti mendiang Garung
Parawata."
"Saya
sangat setuju hal itu Yang Mulia," kata Kumara Gandamaya pula dengan hati
polos namun diam-diam dia merasa bimbang apakah Pendekar 212 Wiro Sableng akan
mau menerima tawaran tersebut "Selain itu Yang Mulia," Kumara
Gandamayana lanjutkan ucapan. "Sakuntaladewi, gadis yang dijuluki Dewi
Kaki Tunggal itu pernah diselamatkan Satria Panggilan sewaktu dihimpit batu
besar. Sebelumnya gadis itu membuat kaul siapa saja yang menyelamatkan dirinya,
jika dia seorang laki-laki akan dijadikan suaminya."
Raja
Mataram tersenyum. "Sakuntaladewi gadis cantik.
Satria
Panggilan pasti tidak menyia-nyiakan kaulan itu. Jika dia punya istri berarti
dia akan kerasan tinggal di Bhumi Mataram Kita akan punya seorang Panglima
Balatentara yang benarbenar hebat! Tapi…."
"Tapi
apa Yang Mulia?" Tanya Kumara Gandamayana ketika dia melihat bayangan rasa
was-was di wajah Raja Mataram.
"SakuntaladewLdua
kaki gadis itu masih dempet Malah boleh dibilang dia hanya punya satu kaki.
Mungkin Satria Panggilan…"
"Saya
mengerti apa yang ada dalam pikiran Yang Mulia. Justru menurut riwayat kelak
Satria Panggilanlah yang akan mampu memisahkan kaki yang satu itu hingga jadi
dua kembali. Dengan mempergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!"
"Begitu?"
Raja Mataram sampai tercengang mendengar kata-kata orang tua pembantu
kepercayaannya Ku.
"Saya
berharap begHu Yang Mulia." Kata si kakek pula.
Bersama
si kakek Raja Mataram memeriksa persiapan untuk berangkat ke Kotaraja. Rencana
besar itu didahului dengan memanjatkan doa agar Yang Maha Kuasa memberi
perlindungan.
***********************
ROMBONGAN
Raja Mataram keluar dari tempat rahasia di dasar Sumur Api. Mereka berjalan
kaki, bergerak secepat yang bisa dilakukan tanpa membawa penerangan atau
menyalakan obor. Raja berjalan memimpin di sebelah depan didampingi beberapa
Abdi Dalem. Kumara Gandamayana sengaja berada di sebelah belakang. Seperti yang
sudah diatur, rombongan akan mengambil jalan pintas menuju ke arah barat laut
melewati satu rimba belantara. Sambil berjalan Kumara Gandamayana terus merapal
doa minta keselamatan.
Tiba-tiba
satu cahaya kuning muncul di langit. Kumara Gandamayana cepat berkelebat ke
bagian depan rombongan untuk melindungi Raja dari segala kemungkinan. Dia
memberi isyarat agar rombongan berhenti dulu.
"Kakek.tidak
ada yang perlu dikawatirkan." Berkata Raja Mataram. "Cahaya kuning
tidak disertai alur cahaya merah.Saya juga mendengar suara lonceng di
kejauhan.Berarti cahaya kuning Ku berasal dari ilmu kesaktian Satria Lonceng
Dewa Mimba Purana yang telah banyak menolong kita. Sebaiknya kita tunggu saja
Sebentar lagi anak itu pasti akan segera muncul di tempat ini. Sambil menunggu
sebaiknya kita jangan berhenti, jalan terus."
Setelah
berjalan cukup jauh, anak sakti yang diharapkan tidak kunjung menampakkan diri.
Malah suara lonceng terdengar menjauh dan cahaya kuning di langit tampak
meredup.
Wajah
Kumara Gandamayana berubah. Kakek ini menatap ke arah Raja.
Kek, saya
punya dugaan ada satu kekuatan hebat tapi jahat menghalangi cahaya
kuning."
Baru saja
Raja Mataram berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara panjang raungan
anjing.
Kumara
Gandamaya pasang telinga. "Yang meraung bukan anjing sungguhan Saya yakin
itu suara jejadian yang berasal dari mahluk alam roh."
Raja
Mataram anggukkan kepala. Tangan kanan bergerak meraba Keris Widuri Bulan yang
tersisip di punggung. Senjata itu digeser ke pinggang sebelah kiri. Tiba-tiba
Raja Mataram mendengar suara mengiang. "Yang Mulia Raja Mataram, ada
mahluk hendak berbuat jahat menghabisi rombongan. Berhenti berjalan. Tunggu
sampai muncul delapan kunang-kunang. Ikuti kemana mereka terbang. Yang Mulia
dan rombongan pasti selamat”
Raja
Mataram terkejut Dia segera mendekati Kumara Gandamayana. "Kek, apa
barusan kau mendengar suara mengiang?"
Kumara
Gandamayana menggeleng. Raja Mataram lalu mengatakan apa yang didengarnya.
Sebelum Kumara Gandamayana sempat mengucapkan sesuatu tiba-tiba di dalam hutan
melayang delapan cahaya terang seujung jari kelingking.
"Yang
Mulia, kunang-kunangnya sudah muncul. Saya menaruh firasat tidak enak. Mengapa
harus berjumlah delapan….?"
Delapan
kunang-kunang melayang mendekati rombongan, berputar beberapa kali di hadapan
Raja lalu terbang perlahan ke depan.
"Kek,
delapan kunang-kunang mengarah ke tujuan yang sebelumnya kita tempuh. Ada orang
pandai menolong kita Rasanya tak perlu kawatir. Ini semua petunjuk Para
Dewa."
"Kalau
Yang Mulia ingin kita mengikuti delapan kunangkunang Itu, biar saya berjalan di
sebelah depan. Yang Mulia harap menjauh agak ke belakang." Kata Kumara
Gandamayana pula.
Rombongan
lalu bergerak kembali. Kali ini mengikuti arah terbangnya delapan
kunang-kunang. Kira-kira berjalan sejauh sepeminuman teh tiba-tiba Kumara
Gandamayana hentikan lanokah dan angkat tangan ke atas memberi tanda agar
rombongan berhenti. Raja Mataram cepat mendekati si kakek.
"Ada
apa?" Tanya Rakai Kayuwangi.
"Yang
Mulia, delapan kunang-kunang telah menipu kita. Lihat berkeliling. Bukankah
saat ini kita masih berada tak jauh dari Sumur Api?! Berarti sejak tadi kita
tidak kemana-mana!"
Raja
Mataram dan semua orang yang mendengar ucapan Kumara Gandamayana terkesiap
kaget. Mereka memandang berkeliling.
Saat
itulah tiba-tiba delapan cahaya benderang kuning di tubuh kunang-kunang berubah
lalu melesat ke arah depan rombongan dalam bentuk delapan larik cahaya merah
menggidikkan. "Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" Teriak Kumara
Gandamayana. Kakek ini cepat lepaskan sorban kelabu di atas kepala lalu
dikebutkan ke depan dalam jurus ilmu sakti Selendang Dewa Menutup Bahala.
Raja yang
berada di belakang si kakek tidak tinggal diam.
Keris
Widuri Bulan dicabut, dlbabalkan ke udara memancar cahaya putih kelabu.
Sementara tangan kiri melepas pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya
ungu berkiblat seperti payung mengembang, membentuk benteng pertahanan seluas
enam tombak persegi, melindungi rombongan.
Semua
perempuan dan anak-anak dalam rombongan berpekikan. Para Abdi Dalem menarik
mereka hingga jatuh sama rata dengan tanah.
"Wusss!"
Delapan
cahaya merah berkiblat ganas, langsung dipapaki cahaya putih kelabu yang keluar
dari sorban Kumara Gandamayana, dihantam sambaran cahaya keris sakti di tangan
Raja dan larikan sinar ungu pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai.
"Blaarr!"
Di udara
menggelegar suara dentuman keras.
Sosok
Kumara Gandamayana terhuyung-huyung. Walau mampu menghantam hancur dua dari
delapan cahaya merah yang menghantam namun sorban di tangan kanan tenggelam 63
Bidadari Dua Musim dalam kobaran api, berubah jadi asap. Si kakek cepat
jatuhkan diri dan berguling di tanah, menyambar pinggang Rakai Kayuwangi lalu
ditarik jatuh ke tanah untuk menyelamatkan sang Raja. Kakek ini maklum kalau
sorban saktinya tidak mampu menahan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit, maka pertahanan keris dan pukulan Payung Dewa Mengguncang Badai pasti
akan tembus juga.
********************
TIGA BELAS
UNTUK
kedua kali di tempat itu menggelegar letusan keras ketika sisa enam cahaya
merah melabrak sinar putih kelabu yang keluar dari Keris Wldurl Bulan serta
sinar ungu pukulan
Payung
Dewa Mengguncang Badai! Kembali dua cahaya merah dapat dilumpuhkan namun sisa
yang empat terus menderu.
Pancaran
cahaya merah tampak lebih terang menyilaukan tanda pengendali serangan melipat
gandakan kekuatan tenaga dalamnya!
Melihat empat
cahaya merah mampu menembus tangkisan Keris Widuri Bulan serta pukulan sakti
yang dilepaskan Raja, Kumara Gandamayana tersentak kaget. "Hyang Jagat
Batara Kami tiada daya! Lindungi kami semua!" Si kakek berteriak.
Di dalam
gelap mendadak ada suara tawa bergelak disusul teriakan lantang.
"Bumi
boleh kiamat! Tapi yang namanya Delapan Sukma Merah tidak pernah lenyap dari
muka bumi ini! Raja Mataram!
Jangan
mimpi kau bakal menduduki singgasana kembali!
Ha…ha…ha!"
Hanya
tiga tombak lagi lagi empat cahaya merah akan menyapu habis seluruh rombongan
Raja Mataram yang saat itu berusaha menyelamatkan diri dengan menelungkup di
tanah, tiba-tiba dari dalam rimba belantara berkelebat tiga bayangan.
Lalu ada
suara porempuan berteriak.
"Ilmu
pamungkas! Tusukkan delapan jari!"
Salah
satu dari tiga bayangan yang kebetulan berada di dekat sebatang pohon segera
lipat jari tangan tangan kiri kanan ke telapak sementara delapan jari lainnya
dipentang lurus dan keras seperti batangan besi.
"Crass!
Kraak" Delapan jari amblas masuk ke dalam batang pohon.
Bayangan
kedua yang tidak sempat melipat jari tengah ke telapak tangan begitu jatuhkan
diri langsung tusukkan sepuluh jari sekaligus ke tanah!
"Settt!
Dessss!"
Bayangan
ketiga terkesiap kaget Di dekatnya tidak ada pohon. Gerakannya berkelebat yang
begitu kencang tidak mungkin bisa menjatuhkan diri ke tanah dengan cepat.
"Oala.
Aku mau menusuk apa?!" Tiba-tiba saja orang ini Ingat Tanpa ragu delapan
jari tangannya ditusukkan ke batok kepala sendiri!
"Crasss!
Greekk!"
Delapan
jari amblas masuk ke dalam kepala. Tidak ada darah yang mengucur, tidak ada
rasa sakit. Malah orang itu yang bukan lain adalah si nenek cantik mata juling
Ratu Randang tertawa-tawa. Memandang ke depan dilihatnya empat cahaya merah
yang menderu ganas mendadak bergetar keras lalu mencuat ke atas.
Di udara
empat cahaya merah meledak dahsyat, menebar ratusan cabikan-cabikan api.
Sebagian langsung pupus lenyap di udara sebagian lagi membakar pepohonan di
dalam rimba belantara hingga kawasan itu kini menjadi terang benderang.
Raja
Mataram, Kumara Gandamayana, para Abdi Dalem segera bangkit berdiri sementara
para istri Raja duduk bersila di tanah, menenangkan anak-anak yang bertangisan.
"Kakek,
ada orang menolong kita!" Berkata Raja Mataram sambil memandang
berkeliling.
Belum
sempat Kumara Gandamayana menjawab tiga perempuan tahu-tahu telah membungkuk
hormat di depan Raja.
Mereka
bukan lain adalah Ratu Randang. Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi!
"Para
Dewa memberkati kalian bertiga. Aku senang melihat kalian tidak kurang suatu
apa. Malah pasti kalian yang telah menolong menyelamatkan kami semua dari
serangan mahluk terkutuk itu!" Berkata Raja Mataram sambil menatap ke arah
Ratu Randang yang berdiri sambil mesem-mesem.
"Beberapa
waktu lalu kami membicarakan kalian semua.
Ternyata
kalian sudah di sini. Eh, apakah Satria Panggilan dan gadis aneh bernama Jaka
Pesolek Itu tidak turut bersama kalian?" Yang bertanya adalah Kumara
Gandamayana.
"Yang
Mulia, kakek sahabatku," menjawab Ratu Randang.
"Sebaiknya
kita sama-sama segera meninggalkan tempat ini sebelum mahluk alam roh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah atau kaki tangannya mencoba lagi menghalangi kita."
"Sesuai
kabar yang aku terima mahluk jahat itu, bukankah dia sudah menemui ajal?"
Ujar Kumara Gandamayana pula.
"Benar,
tapi dia punya delapan pecahan nyawa. Yang amblas cuma tiga. Pecahan yang lima
lagi masih bisa gentayangan. Buktinya tadi dia bisa muncul melakukan
serangan." Jawab Ratu Randang. "Mengenal Kesatria Panggilan dan Jaka
Pesolek biar nanti aku ceritakan di tengah perjalanan."
Raja
Mataram terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu.
Lalu dia
berkata. "Kakek Kumara, sewaktu tadi ada sinar kuning dan terdengar suara
lonceng, saya yakin Satria Lonceng Dewa Mimba Purana akan muncul. Namun
kehadirannya dihalangi oleh satu kekuatan. Saya menduga ini pekerjaan kakaknya
sendiri yang bernama Dirga Purana. Sang adik kemudian mengelah. tidak mau
bentrokan dengan saudara sendiri.
Dirga
Purana lalu menyerang kita dengan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit."
"Yang
Mulia Raja Mataram. Yang saya tidak mengerti,"
berkata
Kunti Ambiri. "Mengapa Mimba Purana mau mengalah terhedap Dirga Purana.
Padahal dia tahu pasti kakaknya itu jahat dan berserikat dengan dua Sinuhun.
Lalu teganya dia mengorbankan Raja Mataram dijadikan bulan-bulanan serangan
maut!"
"Bukankah
Satria Panggilan pernah mengatakan langsung ketidak senangannya atas sikap
Mimba Purana ketika bertemu dengan bocah itu?" Berkata Sakuntaladewi.
Kemudian
tak ada yang bicara lagi. Keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Sesekali
terdengar gemeletak suara kayu pohon yang berderik dimakan api.
Akhirnya
Rap Mataram memecah kesunyian. "Sebaiknya kita segera melanjutkan
perjalanan. Mudah-mudahan paling lambat lewat sedikit tengah malam kita sudah
sampai di Kotaraja."
Baru saja
Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba dari arah ujung hutan yang gelap
terdengar suara bergemuruh.
Geletak
suara roda dan derap kaki kuda.
"Ada
rombongan besar datang ke sini." Ucap Kumara Gandamayana. Kakek ini cepat
memberi tanda agar semua orang berlaku waspada.
"Sepertinya
gemuruh suara puluhan kereta melucur ke arah sini!" Kata Sakuntaladewi.
"Bahaya
apa lagi ini!" Kata Kunti Ambiri sambil kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti pada dua tangannya.
Selagi
semua orang tercekat Ratu Randang tampak tenang-tenang saja. Malah sambil
tersenyum dia berkata pada Kunti Ambiri.
"Pasti
ini pekerjaan Satria Panggilan. Sejak mencium aku bertubi-tubi sore tadi.
semangatnya jadi tinggi. Hik…hik!"
Tak lama
kemudian muncul sosok sebuah kereta berwarna putih. Raja mengenali kereta putih
ini adalah salah satu kereta Kerajaan yang acap kali dipergunakannya. Lalu
menyusul kereta lainnya di sebetah belakang. Juga ada gerobak.
Semuanya
berjumlah lebih dari dua puluh! Kusir kereta putih yang berada paling depan
mengenakan jubah putih dan Ikat kepala putih. Ketika semua orang memperhatikan
wajah sang kusir, astaga! Kaget mereka bukan alang kepalang. Kusir itu berwajah
putih licin! Tidak bermata ataupun alis, tidak punya hidung dan mulut, tidak
pula memiliki telinga!
********************
EMPAT BELAS
SEMUA
orang kemudian memperhatikan jauh ke belakang kereta putih. Beberapa kusir
kereta dan gerobak juga terlihat mengenakan jubah putih.ikat kepala putih dan
berwajah putih licin Namun di antara mereka ada juga yang mengenakan pakaian
lain serta memiliki muka seperti manusia biasa. Salah seorang diantara kusir
berwajah manusia ini melompai turun dari atas kereta lalu berian dan jatuhkan
diri di hadapan Raja Mataram.
"Abdi
Dalem Karta Singgil!" Raja mengenali orang yang berlutut di hadapannya.
"Apa yang terjadi? Bagaimana kau dan semua orang berwajah aneh itu bisa
sampai di sini membawa kereta dan gerobak begini banyak?! Siapa orang-orang
berjubah putih tidak berwajah itu?"
Ratu
Randang berbisik pada Kunti Ambiri. "Ini pasti pekerjaannya si gondrong
konyol itu. Yang aku tidak mengerti dari mana dia bisa dapat begini banyak
kereta dan gerobak.
Hik-.hik!"
Kunti
Ambiri tidak menyahut tapi matanya menatap tak berkesip mengawasi keadaan.
"Yang
Mulia Sri Paduka Raja Mataram,” sahut kusir kereta setelah menghatur sembah.
"Saya diperintah oleh seorang pemuda berambut panjang sebahu, mengaku
bernama Satria Panggilan, yang tiba-tiba masuk ke dalam Istana membawa
serombongan perempuan muda cantik-cantik. Dia menyuruh saya dan teman-teman
menjemput Yang Mulia dan rombongan di hutan di dekat Kali Dengkeng ini. Katanya
kami pasti akan menemui Yang Mulia dan rombongan. Katanya kami harus secepatnya
membawa Yang Mulia ke Istana di Kotaraja. Saya bersyukur benar-benar menemui
Yang Mulia di sini."
Raja
Mataram tambah tercengang mendengar keterangan Abdi Dalem. Ratu Randang
menggamit bahu Kunti Ambiri dan berbisik. "Apa kataku. Pemuda konyol itu
sudah sampai di Kotaraja!"
"Kau
betul Nek. Dia bertindak cepat penuh semangat.
Karena
membawa banyak perempuan muda. bertubuh molek dan berwajah cantik-cantik! Tapi
anehi Sejak kapan Wiro punya sahabat manusia berjubah tanpa wajah itu!"
Menyahuti Kunti Ambiri.
Ratu
Randang agak tersentak. Namun kemudian nenek cantik bermata juling ini
menyeringai. "Biar saja, siapa tahu dia tengah mencari tenaga baru agar
nanti bisa memberikan ciuman
lebih
banyak padaku. Hik.hik. Kau tahu aku sendiri masih punya hutang ciuman lebih
dari empat ratus kali pada pemuda itu.
Harap kau
jangan cemburu. Hik…hik!"
"Siapa
yang cemburu!" sahut Kunti Ambiri seperti tidak acuh tapi wajah cantiknya
tampak cemberut.
Sementara
itu karena pertanyaan ada yang tidak dijawab, Raja Mataram berkata dengan suara
keras. "Abdi Dalem Karto Singgil Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa
mahlukmahluk berwajah licin putih itu!"
"Ampun
Yang Mulia. Mereka adalah anak buah Raja Jin Hutan Roban."
Kaget
Raja Mataram dan Kumara Gandamayana bukan olah-olah. Kedua orang ini saling
pandang. Si kakek berbisik.
"Ternyata
Raja Jin itu bukan saja telah memperbaiki Istana tapi juga mengirim anak
buahnya untuk menjemput dan mengamankan kita."
"Yang
aku tidak mengerti," kata Raja Mataram pula.
"Kereta
dan gerobak ini pasti dalam keadaan rusak akibat banjir beberapa waktu lalu.
Mengapa sekarang aku lihat utuh semua?"
"Benar
Yang Mulia. Pemuda berambut panjang bernama Satria Panggilan itu menyuruh Raja
Jin Hutan Roban yang masih ada di sana untuk memperbaiki." Jawab Abdi
Oalem Karto
Singgil.
"Luar
biasa" Ucap Raja Rakai Kayuwangl. "Aneh!"
"Sudah
Yang Mulia, apapun yang aneh biar kita bicarakan nanti saja. Kalau sudah sampai
di Kotaraja nanti ketahuan apa yang telah terjadi. Sekarang yang penting semua
naik kereta
dan
bergerak cepat menuju Kotaraja." Ratu Randang berkata lalu melompat ke atas
kereta putih, duduk di sebelah depan di atas bangku kusir kereta berwajah putih
licin. Kusir kereta aneh ini berpaling pada si nenek. Ratu Randang Juga balas
memandang walau tengkuknya terasa dingin. Tapi dasar nenek nakal, dia kedipkan
sepasang mata julingnya pada kusir tidak berwajah itu. Mahluk yang dikedip usap
wajahnya dengan tangan kiri. Tiba-tiba saja wajah itu jadi utuh seperti wajah
manusia biasa. Ada hidung, alis, mulut dan sepasang mata.
Sepasang
mata ini kemudian balas mengedip membuat Ratu Randang tersentak kaget dan
terkenclng di celana! Kusir kereta usap mukanya sekali lagi. Tampangnya kembali
seperti tadi. Putih licin!
"Oala!
Oala!" Ucap Ratu Randang dalam hati. Dia Ingin turun saja dari kereta itu
mencari kereta lain. Tapi tiba-tiba saja kaki kirinya diinjak oleh kusir kereta
hingga dia tak bisa bergerak!
Setengah
sadar setengah tidak tubuhnya condong ke kiri lalu tersandar seperti orang
tidur di bahu sang kusir!
Abdi
Dalem Karto Singgil buru-buru membuka pintu kereta. Setelah Raja dan Permaisuri
serta berapa orang puteraputeri masuk ke dalam kereta putih, semua anggota
rombongan yang lain juga segera naik ke dalam kereta dan gerobak.
Banyak
yang lebih suka memilih kereta atau gerobak yang dikusiri orang berwajah utuh.
Kumara Gandamayana, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sengaja memilih gerobak
terbuka agar dapat mengawasi keadaan selama perjalanan.
Kebetulan
Sakuntaladewi berada di satu gerobak dengan Kumara Gandamayana. Gadis berkaki
tunggal ini berbisik. "Kek, bagaimana kalau semua ini jebakan lagi.
Kusirkusir tidak berwajah itu ternyata adalah mahluk susupan kaki tangan dua
Sinuhun jahat.
Si kakek
tiba-tiba saja menjadi kaget "Astaga! Apa yang kau katakan itu bisa saja
terjadi! Aku harus mengingatkan Ratu Randang!"
Kumara
Gandamayana lalu melompat dari atas gerobak, melesat dari gerobak satu ke
kereta lainnya. Begitu seterusnya hingga dia sampai di atas kereta putih yang
membawa Raja Mataram.
Tak lama
kemudian dia kembali ke gerobak yang ditumpangi Sakuntaladewi.
"Sudah
Kek? Kau sudah memberi tahu nenek itu?"
Tampang
Kumara Gandamayana tampak cemberut ketika menggeleng.
"Aku
tidak jadi bicara. Kulihat dia malah bercinta sandarkan tubuh dengan mesra ke
kusir bermuka licin itu!"
"Apa
Kek?" Tanya Sakuntaladwewi tidak percaya.
"Dasar
nenek genit! Sial!" Kumara Gandamayana mengomel.
********************
LIMA BELAS
KETIKA
Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Kotaraja bersama tiga belas perempuan muda,
keadaan di sana lengang dan gelap. Satu-satunya penerangan adalah cahaya bulan
biru di langit bersih. Udara tercium kurang sedap namun Wiro tidak satupun
menjumpai mayat manusia atau bangkai binatang.
Sewaktu
sampai di alun-alun Wiro tercengang melihat bangunan Keraton atau Istana di
seberang sana berdiri megah dalam kesunyian malam dibawah siraman cahaya
rembulan.
Padahal
sebelumnya dia melihat banyak rumah penduduk serta candi-candi kecil dalam
keadaan rusak bahkan runtuh. Di halaman samping Istana kelihatan banyak sekali
kereta dan gerobak dalam keadaan rusak. Di bagian belakang istana terletak satu
kandang besar. Di dalam kandang belasan kuda yang sesekali mengeluarkan suara
mendengus keras.
"Aneh
istana seperti baru dipugar. Tapi tak ada tandatanda ada yang menghuni. Berarti
Raja Mataram belum berada di sana."
Ketika
mencapai pintu gerbang istana tiba-tiba empat orang berpakaian perajurit lusuh
bersenjata tombak muncul menghadang. Dua perajurit berusia lanjut, dua lainnya
masih muda. Mereka terlihat letih kurang tidur.
Empat
perajurit memperhatikan Wiro dari kepala sampai Ke kaki, lalu melirik ke arah
tiga belas perempuan yang ikut bersamanya. Salah seorang perajurit muda
melangkah maju mendekati Wiro lalu menegur.
"Kami
pengawal Keraton Mataram. Kau siapa? Ada keperluan apa hendak memasuki Keraton?
Siapa perempuanperempuan Ini?!"
"Aku
Satria Panggilan, sahabat Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala."
Jawab Wiro. "Perempuanperempuan Ini adalah sahabat-sahabatku yang
sebelumnya diculik oleh orang jahat dan ingin minta perlindungan pada Raja
Mataram. Aku sendiri ada urusan penting ingin menghadap Raja."
"Kami
tidak mengenal dirimu. Juga tidak pernah mendengar namamu! Lalu Yang Mulia Raja
Mataram tidak ada dalam Keraton. Kami diperintah untuk tidak memperbolehkan
siapapun masuk ke dalam Keraton."
"Begitu?"
Wiro menggaruk kepala. "Siapa yang memberi perintah."
"Penguasa
Keraton." Jawab si perajurit "Penguasa Keraton? Yang berkuasa di sini
adalah Raja Mataram. Tapi tadi kau bilang Raja tidak ada dalam Keraton.
Jangan
berani bicara ngacok padaku!"
Tiba-tiba
dari dalam istana terdengar suara menggembor keras. Disusul ucapan lantang.
"Aku penguasa Keraton Mataram.
Karena
aku dan anak buahku yang telah memperbaiki Keraton.
Aku pula
yang memerintahkan para pengawal untuk tidak mengizinkan siapapun masuk ke
dalam Keraton!"
Bersamaan
dengan selessinya suara ucapan lantang tahu-tahu di hadapan Pendekar 212 telah
berdiri satu sosok tinggi besar bertampang angker luar biasa. Mahluk ini
memiliki sepasang mata yang bola matanya keluar dari rongga, bergoyang bergundal-gandil
kian keman. Daun telinga mencuat melewati batok kepala. Karena tidak memiliki
bibir untuk mengatup mulut, barisan gigi atas bawah yang besar-besar mencuat
keluar. Mahluk ini mengenakan jubah hitam terbuat dari anyaman ijuk.
Kening
diikat tali hitam juga terbuat dari ijuk. Dua telapak tangan selalu diusap-usap
satu sama lain. Semua perempuan yang ikut bersama Wiro terutama tiga orang yang
masih berusia belasan tahun sembunyi di belakang sang pendekar, ketakutan
setengah mati.
Sesaat
Wiro terperangah melihat mahluk ini terutama matanya yang keluar dan terus
bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seperti lonceng, mengeluarkan suara
klek…klek…klek.
Untuk
beberapa lama murid Sinto Gendeng hanya bisa tertegun diam memperhatikan.
Tiba-tiba
mahluk dahsyat itu hembuskan nafas panjang.
Wiro
merasa hawa panas menyambar membuat dua matanya jadi perih.
"Aku
tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam Keraton. Apa kau berani mau
memaksa?!" Mahluk yang mengaku penguasa Keraton Mataram itu keluarkan
ucapan. Suara keras membahana.
"Hebat!
Baru hari ini aku melihat mahluk hebat sepertimu.
Malam-malam
pula!" Wiro menyeringai. "Harap kau bicara perlahan saja, jangan
menghembus hawa panas. Mata jangan digundal-gandil. Orang-orang perempuan yang
ada di belakangku bisa mati berdiri karena ketakutan!"
"Pemuda
geblek Kau berani memerintah aku Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan
Roban?"
"Tadi
kau bilang penguasa Keraton Mataram. Sekarang menyebut diri Raja Jin Hutan
Roban! Sebentar lagi apa lagi?!"
"Jangan
berani kurang ajar padaku! Kau datang membawa begini banyak perempuan muda dan
cantik. Janganjangan mau berbuat mesum di dalam Istana Raja Mataram yang tidak
berpenghuni!"
"Justru
aku baru saja menolong perempuan-perempuan ini dari sekapan bocah jahat bernama
Dirga Purana!"
"Apa?!
Kau menyebut nama Dirga Purana?! Apa aku tidak salah dengar?!"
Wiro
tidak segera menjawab. Dia merasa kawatir jangan-jangan mahluk dahsyat ini
adalah kambralnya Dirga Purana sekaligus sobat dua Sinuhun!
"Mahluk
hebat, jika kau tidak mengijinkan aku masuk ke dalam Keraton tidak apa Tapi
tolong perempuan-perempuan ini. Mereka kecapaian, kedinginan, juga pasti haus
dan lapar.
Berikan
tempat berlindung bagi mereka di dalam sana. Bangsal bekas tempat tidur kusir
Istanapun tak jadi apa."
Mahluk
dahsyat hentakkan kaki kirinya hingga tanah bergetar dan pintu gerbang
berderak. Dua tangan diusap-usap.
Tiba-tiba
dia membentak.
"Aku
tanya apa aku tidak salah dengar kau menyebut nama Dirga Purana?!"
"Tidak,
kau tidak salah dengar. Aku tadi memang menyebut nama bocah itu. Biar lebih
jelas dia juga dipanggil dengan nama Sang Junjungan!"
"Klek…klek…klek!"
Sepasang mata Raja Jin Hutan Roban terus bergundal-gandil ke kiri dan ke kanan,
kini lebih cepat dan suaranya lebih keras.
Wiro
menunjuk ke arah dua mata Raja Jin Hutan Roban.
"Sepasang
matamu Itu. Apa kau tidak dibuat kecapaian karena bergerak terus. Apa kau tidak
takut putus kalau jatuh bergelindingan di tanah, masuk ke dalam
comberan?!"
Semula
Wiro mengira mahluk itu akan membentak marah bahkan mungkin memukulnya. Tapi
diluar dugaan Raja Jin Hutan Roban malah tertawa bergelak. "Baru sekali
ini ada mahluk hidup berani bicara seperti kau! Katakan siapa kau adanya!"
"Namaku
Wiro Sableng…."
"Nama
aneh. Apa kau sableng alias gelo benaran?!"
"Aku
datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Berarti
kau orang gelo yang kesasar ke Bhumi Mataram Ini!"
"Orang
di sini memanggilku Satria Panggilan."
Kali ini
Raja Jin Hutan Roban tidak menyambung lagi ucapan Wiro. Untuk sesaat dua mata
yang keluar berhenti bergoyang gundal-gandil lalu diulur, bergerak ke kepala,
wajah, turun ke tubuh sampai ke kaki dan naik lagi ke kepala.
"Aku
tidak dapat memastikan! Bagaimana aku tahu kau bukan mahluk jejadian bikinan
Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa dirimu
adalah 73 Bidadari Dua Musim benar-benar pendekar yang didatangkan Raja Mataram
dari negeri delapan ratus tahun mendatang."
"Aku
merasa tidak perlu membuktikan. Kau tunggu saja, sebelum tengah malam Raja
Mataram beserta Permaisuri, anak istri dan seorang kakek sakti bernama Kumara
Gandamayana akan sampai ke sini."
"Memangnya
saat ini Raja berada dimana?" Tanya Raja Jin Hutan Roban.
"Cukup
jauh dari sini. Di timur Prambanan, dekat Kali Dengkeng." Jawab Wiro
sambil matanya menatap ke halaman samping dimana terdapat banyak kereta dan
gerobak rusak.
"Raja
Mataram, dibiarkan berjalan kaki sejauh itu. Walau di langit ada bulan purnama
menebar cahaya sejuk. Bahaya bisa muncul secara mendadak…"
"Raja
Jin Hutan Roban, jika kau sahabat Raja Mataram.
jika kau
mampu memperbaiki Istana semudah dan secepat membalikkan tangan, mengapa saat
ini kau tidak memperbaiki kereta dan gerobak yang ada di halaman sana untuk
dipakai menjemput Raja dan rombongan?"
"Aku
tidak bersahabat dengan Raja Mataram! Aku tidak bersahabat dengan manusia
bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Tapi aku bersahabat dengan seorang
kerabat Raja Mataram. Kerabat inilah yang telah meminta aku memperbaiki istana
atau Keraton Mataram. Aku mengerahkan ratusan Jin Putih. Setelah Istana selesai
diperbaiki dalam waktu satu hari satu malam kerabat ini pula yang minta aku
menjaga Istana ini sampai Raja Mataram kembali bersama rombongannya dari satu
tempat rahasia. Aku menghormati sang kerabat dan memenuhi permintaannya."
Wiro
menggaruk kepala lalu bertanya. "Kau mahluk berbudi. Kalau aku boleh tahu
siapa adanya kerabat Raja Mataram yang kau hormati itu?"
"Aku
tidak akan menjawab. Aku tidak akan memberi tahu!"
Tiba-tiba
tanah halaman Istana bergetar lalu braakk!
Tanah
terbongkar. Asap kelabu mengepul. Dari tanah yang menganga menyembul keluar
satu mahluk luar biasa besar dan tinggi seolah menyondak langit! Saking
tingginya, Raja Jin Hutan Roban yang hampir satu setengah kali tinggi Pendekar
212 ternyata hanya sopinggang mahluk inil Tanah yang terbongkar menutup
kembali!
Suara
mengorok keluar dari tenggorokan mahluk yang mengenakan jubah biru ini. Bagian
atas pakaian tidak dikancing hingga memperlihatkan dada penuh bulu tebal. Di
atas kepalanya yang botak plontos ada sebuah tanduk memancarkan cahaya merah.
Sepasang mata menjorok keluar, besar putih sementara lensa mata hanya merupakan
satu titik hitam kecil.
Kumis
menjulai tebal, janggut hitam lebat berkeiuk. Hembusan nafas memerihkan mata.
Sambil menyeringai memandang ke arah Wiro, mahluk raksasa ini rangkapkan dua
tangan yang penuh bulu di atas dada. Sepuluh jari tangan sebesar pisang tanduk
bergerak-gerak mengeluarkan suara berkeretekan.
Mahluk
ini tertawa bergelak. Di akhir tawanya dia membentak.
"Akulah
kerabat yang dimaksud Raja Jin Hutan Roban Sangkala Darupadha! Aku Arwah Ketua
penghuni Candi Miring!"
Kejut
Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di belakangnya tiga belas perempuan kembali
berpekikan.Wiro menenangkan dan menyuruh mereka pergi berlindung di dekat
sebuah pohon besar. Namun karena takut mereka tidak mau bergerak dari belakang
Wiro.
"Arwah
Ketua," ucap Wiro dalam hati dengan dada bergetar. "Sebelumnya mahluk
ini telah disusupi roh Ketua Jin Seribu Perut Bumi. Dikendalikan oleh Sinuhun
Merah untuk membunuhku! Di Candi Kalasan lenyap begitu saja setelah tubuhnya
yang dikuliti Empat mayat Aneh aku tendang masuk ke dalam candi. Sekarang apa
lagi yang hendak dilakukannya terhadapku Celaka aku kalau dia masih berada
dalam kekuasaan Sinuhun Merah atau Sinuhun Muda. Bisa juga dia dikendalikan
oleh Dirga Purana!"
Selagi
Pendekar 212 berpikir hendak mengamblaskan diri masuk ke daiam tanah dengan
ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana tiba-tiba tangan kanan Arwah Ketua
bergerak mencekal pinggang Wiro lalu diangkat ke atas, dekat-dekat di depan
wajahnya yang menakutkan! Mulut meniup! Wiro menjerit ketika tiupan itu membuat
kepalanya terasa seperti mau pecah!
Di bawah
sana tiga belas perempuan muda berpekikan lalu lari berserabutan.
"Sahabatku
Arwah Ketua!" Raja Jin Hutan Roban berkata.
"Akan
kita apakan manusia satu ini? Aku bisa melahapnya mentah-mentah! Aku juga bisa
mencopot bagian tubuhnya satu demi satu, mulai dari kaki berakhir di batang
leher! Atau aku suruh anak buahku mencincangnya sampai sehalus bubuk gergaji
untuk dicampur dalam sarapan kopi hangat mereka besok pagi?
Ha…ha…ha!
Tapi aku lebih suka menusuk tubuhnya mulai dari pantat tembus ke batok kepala
dengan besi panas.Lalu mayatnya aku pancang di puncak Candi Miring kediamanmul
Ha…ha…ha!"
Habis
tertawa bergelak Raja Jin Hutan Roban gerakkan dua tangan. Di tangan kanan
mahluk ini tahu-tahu sudah tergenggam sebatang besi panas membara yang ujungnya
lancip. Besi digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara menderu, menebar hawa
panas dan tebaran cahaya merah, berubah seolah menjadi puluhan banyaknya!
"Wuttt!
Tiba-tiba ujung lancip besi diarahkan ke bagian bawah perut Wiro seolah
benar-benar hendak ditusukkan ke pantat sang pendekar yang saat itu dalam
keadaan tak bergerak karena dicekal oleh Arwah Ketua.
Kalau
gerakan tangan kanan Raja Jin Hutan Roban mengeluarkan batangan besi panjang
lancip membara, maka gerakan tangan kirinya membersitkan cahaya putih yang
kemudian berubah menjadi ratusan sosok mahluk berjubah putih tanpa wajah,
mengambang diudara maiaml Mengerikannya sepasang tangan mahluk Ini tidak
berbentuk tangan biasa tapi berupa golok besar tajam berkilat! Jelas inilah
barisan pencincang yang dipersiapkan oleh Raja Jin Hutan Roban.
Walau
tengkuknya merasa sedingin es di puncak Mahameru Pendekar 212 tidak kehilangan
akal. Dia sadar sulit meloloskan diri apa lagi ratusan mahluk tanpa muka
dilihatnya mulai menebar membuat lingkaran mengurung! Tidak ada jalan lain. Dia
harus berjibaku.
Saat itu
Wiro telah mengalirkan tenaga dalam penuh dan seluruh hawa sakti yang
dimilikinya ke tangan kiri. Dia siap menghancurkan kepala Raja Jin Hutan Roban
dengan Pukulan Sinar Matahari. Lalu bersamaan dengan itu tangan kanannya siap
mencabut Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang terselip di punggung sebelah
belakang. Dengan senjata sakti ini dia akan menusuk dan membabat leher Arwah
Ketuai "Sahabatku Arwah Ketuai Aku masih menunggu. Pilihan kematian mana
yang kau inginkan atas diri manusia satu ini!"
Raja Jin
Hutan Roban berkata pada Arwah Ketua.
Sepasang
mata besar Arwah Ketua menatap tak berkesip pada Pendekar 212. Mulut
menyeringai. Tanduk merah memancarkan cahaya terang. Rahang menggembung dan
terdengar jelas suara geraham bergemeletukan.
"ini
saatnya!" Ucap Wiro dalam hati.
Begitu
dua tangan hendak digerakkan untuk melepas dua pukulan sakti dan mencabut Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi tiba-tiba terdengar Arwah Ketua berkata.
"Sobatku
Sangkala Darupadha, aku tidak punya pilihan apa-apa. Aku malah memintamu agar
kau mengabulkan permohonan yang tadi diucapkan pemuda ini."
Raja Jin
Hutan Roban dongakkan kepala. Lalu bertanya.
"Arwah
Ketua, apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru berucap?"
"Sobatku,
aku tidak keliru berucap dan kau tidak salah mendengar." Jawab Arwah Ketua
pula, membuat Raja Jin Hutan Roban semakin heran.
"Katakan,
permohonannya yang mana yang harus aku kabulkan?!"
"Tadi
dia meminta agar kau memperbaiki semua kereta dan gerobak yang rusak di halaman
samping Istana. Lalu aku menambahkan. Kau juga harus memasangkan kuda pada
kereta
dan
gerobak itu untuk dipakai menjemput Raja Mataram dan rombongannya di timur
Prambanan.tak jauh dari Kali Dengkeng."
"Sahabatku
Arwah Ketua! Tidak sulit bagiku melakukan apa yang kau katakan. Aku hanya
tinggal memerintah ratusan anak buahku!"
"Aku
tahu hal itu. Kau telah membuktikan. Ratusan anak buahmu mampu memperbaiki
Istana hanya dalam waktu satu hari satu malam! Kalau begitu mengapa tidak
segara kau penuhi permintaan pemuda itu dan permintaanku? Bukankah ini saatnya
yang tepat kita berbakti pada Kerajaan, menolong Raja Mataram, Permaisuri,
putera-puteri dan para pengikutnya."
"Sahabat
Arwah ketua, aku tidak mengerti. Mengapa kita tidak membunuh pemuda itu"
Perlahan-lahan
Arwah Ketua turunkan Pendekar 212 ke tanah lalu menjawab. "Dia sahabatku.
Berarti sahabatmujuga! Dia telah menyelamatkan roh dan tubuhku ketika ada orang
menguliti diriku di Candi Kalasan. Kalau bukan karena pertolongannya saat ini
aku tidak akan berada di sini dan rohku gentayangan tak karuan di alam
gaib." (Mengenal pertistiwa di Candi Kalasan harap baca serial Wiro
Sableng berjudul "Delapan Sukma Merah")
Raja Jin
Hutan Roban merenung sejurus. Mata yang bcrgundal- gandi! diulur ke arah Arwah
Ketua dan Wiro lalu mulutnya berucap.
"Sahabat
Arwah Ketua, jika begitu kemauanmu aku mengikut sajal Aku tidak keberatan
bersahabat dengan pemuda ini!" Lalu Raja Jin Hutan Roban mendongak ke
udara ke arah ratusan anak buahnya. "Kalian sudah mendengar semua
pembicaraan. Perbaiki semua kereta dan gerobak. Pasang kuda penarik. Lalu
kalian dibantu Abdi Dalem Istana malam Ini juga berangkat ke arah timur
Prambanan. Sebelum mencapai Kali Dengkeng aku rasa kalian sudah akan bertemu
dengan rombongan Raja Mataram. Bawa mereka dengan selamat sampai ke sinil
Sepanjang perjalanan kalian harus merapal aji Tabir Pelindung Delapan Penjuru
Angin. Aku kawattr roh-roh jahat masih akan mencoba menimbulkan malapetaka. Dan
jangan lupa mengunyah kemenyanl Lakukan sekarang!"
Puluhan
tangan yang berbentuk golok besar berkilat berubah menjadi seperti tangan
manusia biasa. Masing-masing mahluk kembangkan telapak tangan. Saat itu juga di
telapak mereka kelihatan ada sekeping kemenyan Benda itu lalu didekatkan ke
wajah licin, ditekan pada bagian dimana seharusnya terletak mulut "Cleepp!
Cleepp!"
Kepingan
kemenyan lenyap masuk ke dalam wajah licin.
Sementara
wajah aneh Ku tampak bergerak-gerak seperti mengunyah, tubuh mereka berubah
menjadi samar lalu melesat ke samping Istana. Kemudian terdengar riuh suara
orang bekerja, mengetok palu, menggergaji balok.
Tak
selang berapa lama puluhan kereta dan gerobak yang sebelumnya rusak akibat
dilanda banjir air merah pada bencana Malam Jahanam kini utuh kembali. Lalu ada
bayangan mahluk-mahluk berjubah putih berwajah licin mengeluarkan puluhan kuda
dari dalam kandang untuk dipasangkan pada kereta dan gerobak.
Hanya sesaat
setelah rombongan kereta dan gerobak meninggalkan Istana Mataram satu tangan
besar memegang bahu Pendekar 212 hingga sang pendekar hampir sempoyongan.
"Anak
muda Kesatria Panggilan, apakah kau membekal keris sakti Kanjeng Sepuh
Pelangi?"
Yang
bertanya adalah Arwah Ketua. Wiro memandang ke atas. Dia tidak segera menjawab.
Dalam hati timbul rasa kawatir. Apa maksud Arwah Ketua menanyakan senjata sakti
itu? Ingin memintanya? Apakah Arwah Ketua hendak menjebaknya karena dia
sebenarnya dia mungkin masih berada di bawah pengaruh kekuatan gaib mahluk alam
roh Sinuhun Merah.
"Celaka,
kalau dia meminta dan aku tidak memberi bisa saja dia nekad merampas!"
Melihat
Wiro tidak menjawab. Arwah Ketua tertawa.
"Aku
tahu senjata itu ada padamu. Aku juga tahu kalau tadi kau bermaksud mau
membunuhku dengan keris itu." Wiro terkejut mendengar ucapan Arwah Ketua.
"Aku hanya ingin mengatakan agar kau menjaga baik-baik senjata itu karena
tak lama lagi akan kau serahkan pada Raja Mataram. Lalu senjata itu juga akan
kau pergunakan untuk menolong seorang gadis berkaki tunggal. Waktu antara kau
menyerahkan keris ke tangan Raja terpaut cukup lama. Dalam keterpautan itu bisa
saja terjadi hal tidak terduga. Kau harus mencegah jangan sampai kecolongan.
Bukankah selama ini kau menyisipkan keris itu di punggung belakang dengan ujung
lancip mengarah ke bawah, ke arah tanah?"
Wiro
menggaruk kepala lalu mengangguk.
"Itu
cara yang salah menyimpan keris tak bersarung.
Seharusnya
keris itu kau sisipkan dengan ujung lancip menghadap ke atas, ke arah langit.
Bilamana terjadi sesuatu senjata sakti itu akan lebih mudah melesat untuk
menolongmu dan dirinya sendiri."
Wiro
terkejut dan buru-buru hendak keluarkan Keris Kanjeng Sepuh pelangi dari balik
punggungnya. Arwah Ketua tertawa.
"Tak
perlu susah-susah. Aku telah memperbaiki letak senjata itu. Kini ujung
runcingnya sudah menghadap ke atas."
Wiro
meraba ke punggung. Astaga. Memang betul. Keris yang selama Ini tersisip
menghadap ke bawah kini ujung lancipnya telah mengarah ke atas!
"Satria
Panggilan, kami berdua sudah cukup lama di sini. Kau masih menunggu kedatangan
Raja dan mengurus perempuan-perempuan muda itu." Arwah Ketua menyeringai
dan kedipkan matanya yang aneh. "Semoga Para Dewa melindungi dan
memberkatimu!"
Arwah
Ketua berpaling pada Raja Jin Hutan Roban.
Keduanya
saling bergandengan tangan lalu wuss! Dua mahluk alam roh ini sama amblas masuk
ke dalam tanah.
Wiro
lepas nafas lega lalu berucap perlahan. "Ternyata keduanya mahluk-mahluk baik.
Aku hanya kasihan pada Raja Jin Hutan Roban. Seumur-umur matanya menjulur
gundalgandil tak karuan. Mungkin aku bisa menolongnya memasukkan mata itu ke
dalam rongganya dengan ilmu Manahan darah Memindah Jazad. Sayang dia keburu
pergi."
Baru saja
Wiro berucap seperti itu tiba-tiba braakk! Tanah terbongkar. Sosok Raja Jin
Hutan Roban melesat keluar dan berdiri di hadapan Wioro. Sambil membungkuk
sedikit dia berkata. "Satria Panggilan.tadi kau berkata apa? Kau mau
menolong apa….?"
Kejut
Pendekar 212 bukan olah-olah. "Sudah amblas ke dalam tanah bagaimana
mungkin dia masih mampu mendengar ucapanku!" Wiro menggaruk kepala.
"Raja
Jin, sebenarnya aku hanya berandai-andai. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Aku
bermaksud menolong memasukkan kedua matanya yang terjulur dan selalu gondal
gandil itu ke dalam rongganya."
"Hah,
apa?! Bagus itu! Kau pasti punya ilmu hebat!
Lekas
lakukan! Aku sudah bosan dengan mata yang seumurumur menyiksa ini.
Gundal-gandil tak karuan."
Raja Jin
Hutan Roban lalu duduk bersila di depan Wiro hingga tinggi sosok mereka menjadi
sama Wiro jadi berdebar juga. Kalau gagal mahluk satu in bisa saja menjadi
marah.
Sambil
merapal ilmu Menahan Darah Memindah Jazad dua tangan diulur. Satu mendorong
mata kiri, satunya lagi mendorong mata kanan Raja Jin Hutan Roban.
Perlahan-lahan
dua mata masuk ke dalam rongga. Untuk beberapa lama Wiro masih menekapkan dua
telapak tangan, takut melepas karena kawatir usahanya gagal.
"Sudah
apa belum?!" Raja Jin Hutan Roban bertanya.
Dengan
perasaan tegang Wiro lepas dua tangannya yang menekap. Dia merasa lega ketika
melihat dua mata mahluk jin itu masuk sempurna ke dalam rongga. Hanya saja dia
menjadi
terkesiap
ketika melihat dirinya sendiri ada di dalam sepasang mata Raja Jin seolah-olah
dia berada di depan cermin.
Raja Jin
berseru gembira. Mata diusap berulang kali.
Memandang
berkeliling lalu pandangan diarahkan pada Wiro.
"Ada
apa ini? Mengapa aku bisa melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang. Weehhh.
Badanmu kecil tapi wehhh, itumu besar sekali! Ha…ha…ha! Sudah aku pergi
sekarang. Terima
kasih!
Ha…ha…ha!"
"Bless!"
Raja Jin
Hutan Roban amblaskan diri masuk ke dalam tanah.
Wiro
tersentak kaget dan lekapkan dua tangan ke bawah perut "Bagaimana dia bisa
melihat" Jangan-jangan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung ikut
tersedot masuk ke dalam matanya! Celaka!"
TAMAT
No comments:
Post a Comment