WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Gadis
berkumis halus tatap orang-orang yang ada di hadapannya lalu berkata.“namaku
jaka. Orang menyebutku jaka pesolek. Karena aku memang, suka berdandan. Kalian
sudah melihat diriku. Beginilah keadaanku.” “aku … aku masih belum mengerti”
kata mayat aneh ketiga. “sahabat ini sebenarnya seorang jaka atau seorang
gadis?” Jaka pesolek tersenyum. Dia kedipkan mata pada mayat aneh ketiga.
“kalau ditanya aku ini seorang perjaka atau seorang gadis maka aku adalah kedua
duanya.”
*********************
SATU
PETI mati
hitam melesat di udara seolah terbang hendak menembus langit. Di ufuk timur
sang surya memancarkan cahaya benderang namun belum mampu meredam kesejukan
pagi.
Di atas
peti mati Empat Mayat Bersaudara atau Empat Mayat Aneh duduk uncang-uncang
kaki. Sesekali terdengar mereka tertawa cekikikan, “Gadis di dalam peti.
Tubuhnya molek. Aku yakin dia cantik sekali. Tapi mengapa wajahnya aneh menyeramkan.
Hidung berada di pipi! ihh… bagaimana mau menciumnya! Hik… hik… hik!” Yang
berkata adalah Mayat Aneh Kesatu, bicara sambil meletakkan dua tangan di atas
mata.
Mayat
Aneh Kedua turunkan dua tangan yang menekap mulut lalu menegur.
“Saudaraku,
apa kau lupa ujar-ujar Pelihara Mulut Hanya Bicara Kebaikan?!”
“Walah …
Aku salah! Aku memang salah! Tapi sekali-sekali bicara keindahan mahluk ciptaan
Yang Maha Kuasa ada bagusnya untuk penyegaran. Apa lagi mayat-mayat seperti
kita. Jarang bertemu gadis cantik. Hik…hik…hik.” Mayat Aneh Kesatu lalu
tampar-tampar mulutnya sendiri.
“Kita
diminta membawa gadis itu ke Candi Kalasan. Untuk dipertemukan dengan kakek
bernama …”
Ucapan
Mayat Aneh Ketiga segera dipotong oleh Mayat Aneh Keempat yang selalu menekap
bagian bawah perut.
“Husss’
Jangan menyebut nama. Walau siang hari banyak roh jahat gentayangan mendengar
segala pembicaraan kita!”
“Betul!”Menyahuti
Mayat Aneh Ketiga sambil turunkan dua tangan yang menutup telinga. “Kalau
sampai gadis di dalam peti diculik orang, celaka kita.
Apa lagi
kalau yang diculik cuma hidungnya yang aneh! Oala… dimana mau mencari hidung
pengganti!”
Empat
Mayat Aneh sama-sama tertawa terpingkal-pingkal. Lalu diam. Mereka rebahkan
tubuh masing-masing di atas peti mati hitam besar. Mayat Aneh Kesatu menutup
mata dengan dua tangan. Mayat Aneh Kedua menekap mulut. Mayat Aneh Ketiga
kembali tutup telinga dengan dua tangan sementara Mayat Aneh Keempat menekap
bagian bawah perut sambil sesekali di usap-usap dan mata terpejam meram melek!.
Sunyi
beberapa lamanya sementara peti terus melayang di udara.
Tiba-tiba
Mayat Aneh Ketiga bergerak duduk. Tangan kanan menunjuk ke arah muka.
“Apa
tidak aneh! Disini terang benderang. Di depan sana mendung nyaris gelap
gulita!”
Tiga
Mayat Aneh lainnya bergerak bangun lalu palingkan kepala ke arah yang ditunjuk
saudara mereka Mayat Aneh Ketiga.
Mayat
Aneh Pertama letakkan dua tangan di atas alis, menatap tajam ke depan. Lalu
berkata.
“Mendung
tebal di atas bukit Randugunting sebelah utara! Memang aneh. Tapi kita tidak
menuju ke sana. Candi Kalasan hanya tinggal setengah jalan lagi…”
Baru saja
Mayat Aneh Pertama berucap tiba-tiba di depan mereka berpijar terang sambaran
kilat diikuti gelegar suara dahsyat. Udara bergetar. Peti mati hitam bergoncang
berderak. Empat Mayat Aneh dengan sigap melompat bangkit dan masing-masing
melakukan gerakan agar peti mati kembali pada keadaan seimbang.
“Luar
biasa! Petir menyambar di depan mata di siang bolong! Pertanda apa ini!”
Berseru Mayat Aneh Keempat sambil terbungkuk mengusap bagian bawah perut.
Tiba-tiba
untuk kedua kalinya halilintar berkiblat. Kali ini cahaya terang yang menggurat
langit menyambar turun ke bumi hanya terpaut satu tombak saja dari bagian depan
peti mati. Kalau tadi peti mati hanya bergoncang, kali ini peti itu berputar
kencang hingga bagian yang tadi ada di depan berbalik ke kanan. Empat Mayat
Aneh berteriak keras lalu sama-sama tertawa terkekeh-kekeh.
“Para
Dewa tengah menghibur kita dengan permainan alam yang sungguh cantik!”Berseru
Mayat Aneh Ketiga.
“Husss!
Jangan bicara sembarangan!”Membentak Mayat Aneh Kedua.
Mayat
Aneh Ketiga letakkan dua tangan di belakang daun telinga, lalu digoyang-goyang.
“Hai! Apa
kalian tidak mendengar suara orang tertawa gelak-gelak di bawah sana?!”
“Kami
tidak mendengar apa-apa!” Jawab Mayat Aneh Keempat.
“Sekarang
aku malah mendengar suara orang bertepuk tangan dan meneriakkan
sesuatu.”Berkata lagi Mayat Aneh Ketiga yang pendengarannya memang jauh lebih
tajam dari tiga saudaranya.
“Turunkan
peti! Kita menyelidik ke bawah!”Mayat Aneh Pertama akhirnya berkata sambil mata
dinyalangkan tajam-tajam berusaha menembus ketebalan mendung hitam di depan
sana.
Empat
Mayat Aneh menekuk lutut. Pantat disonggengkan. Beginilah cara dan gerakan
mereka menurunkan peti. Perlahan lahan peti mati besar bergerak turun ke bawah.
“Hai!
Kita kebablasan! Kalasan sudah kelewatan! Sekarang kita berada di bawah
gumpalan mendung tebal. Di atas Bukit Randugunting!”Mayat Aneh Kedua yang
berada di samping kanan peti mati berteriak.
Hanya
sekejapan sesudah itu untuk ketiga kalinya kilat menyabung dari dalam gumpalan
mendung. Dan sekali ini ujung kilat mengarah tepat pada peti mati hitam di atas
mana Empat Mayat Aneh berada, sementara di dalam peti berada Dewi Kaki Tunggal
atau Sakuntaladewi bersama Ni Gatri!
“Celaka!
Mati kita semua!” Teriak Mayat Aneh Keempat.
“Turunkan
peti cepat! Kita mati lagi bukan masalah! Yang penting bagaimana menyelamatkan
gadis berhidung aneh dan anak perempuan yang membawa Bunga Matahari itu!” Mayat
Aneh Kedua balas berteriak.
Empat
Mayat Bersaudara kembali membungkuk dan sunggingkan pantat.
Tenaga
dalam dikerahkan ke kaki yang menginjak penutup peti. Peti mati besar laksana
terjun dengan cepat bergerak turun kebawah menuju puncak bukit kecil bernama
Randugunting. Namun datangnya sambaran petir tentu saja jauh lebih cepat. Hanya
sesaat peti itu akan menyentuh puncak bukit yang banyak ditebari bebatuan dan
dikelilingi pohon Randu, seratus tombak di udara ujung petir yang laksana
tombak api raksasa dan menghampar hawa luar biasa panas datang menyambar
dahsyat.
Empat
Mayat Aneh tidak bisa berbuat apa-apa selain melompat berserabutan sambil
berteriak kecewa karena tidak mampu menolong Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri
yang terkurung di dalam peti mati!
Namun
kenyataannya petir maut tidak sampai menyentuh peti mati besar!
Masih
lima puluh tombak di udara tiba-tiba ada suara orang berteriak girang.
“Bagus!
Petir besar! Ini yang aku mau. Tiga ratus hari menunggu baru muncul!
Ha … ha …
ha! Huppp!”
Satu
cahaya kemerahan melesat di puncak Bukit Randugunting. Demikian cepat daya
lesatnya hingga mampu memotong datangnya sambaran ujung petir.
Dan
inilah yang sungguh luar biasa. Cahaya merah tadi bukan setan bukan jin
melainkan ternyata adalah seorang anak manusia berpakaian merah muda. Dua
tangan di kembang seperti seseorang menanggapi benda jatuh. Kepala mendongak
sedikit dimiringkan ke kiri. Ketika Ujung petir menghantam ke bawah, sulit
dipercaya dan diterima akal, dua tangan orang yang terkembang membuat gerakan
menangkap kepala petir hingga peti mati besar dan Empat Mayat Aneh yang ada di
atas peti serta Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri yang terkurung di dalam peti
selamat dari kehancuran yang mengerikan!
“Wuttt… !
Blaarr… !”
“Huaa! Ha
… ha … ha! Ini dia yang aku tunggu!”
Sosok
orang berpakaian merah muda berpijar terang dan mengepulkan asap merah.
Laksana
menangkap kepala seekor ular raksasa begitulah orang tadi menangkap ujung petir
dengan kedua tangan lalu jatuhkan diri bergelung dan berguling di atas batu
sementara mulut tiada henti keluarkan suara tertawa. Kalau tidak menyaksikan
sendiri pasti tidak ada orang yang bisa percaya!
“Wah…wah!
Mulai panas! Aku bisa leleh! Tubuhku bisa meledak! Hik … hik…hik !”
Orang di
atas batu berteriak lalu tertawa cekikikan. Sambil melompat bangun, dua tangan
yang memegang kepala petir didorongkan kuat-kuat ke atas seraya mulut
berteriak.
“Pergi!”
Dua
tangan berpijar terang!
Petir
besar bergoyang keras lalu terlempar ke udara. Sekitar tiga tombak dari atas
bukit petir meledak dahsyat! Belasan batu besar hancur dalam bentuk ratusan
keping menyala! Lusinan pohon Randu rambas tenggelam dalam kobaran api lalu
tergelimpang tumbang dalam keadaan gosong.
Di atas
bukit Randugunting, berdiri di atas batu besar, sekujur tubuh orang berpakaian
merah muda mulai dari kepala sampai ke kaki kecuali wajah dan rambut nampak
berpijar merah laksana terbungkus bara menyala. Sementara batu yang dipijaknya
ikut membara dan mengepulkan asap. Tapi luar biasanya orang itu kemudian tampak
berjingkrak-jingkrak dan bertepuk tepuk tangan. Lalu dia jatuhkan diri,
berlutut di atas batu merah panas membara.
“Berhasil!
Aku berhasil menangkap petir paling besar! Terima Kasih Para Dewa! Ilmuku
rampung sudah! Hik … hik … hik!”
Habis
tertawa cekikikan orang ini melompat girang, menari-nari di atas batu besar.
Setiap pijakan kakinya meninggalkan jejak, membuat batu merah panas tenggelam
seujung kuku. Sambil menari dengan gerakan yang tampak menggairahkan orang di
atas batu lantunkan nyanyian.
Rampung
ilmu pertanda berkah Dewa
Terima
kasih wahai Sang Hyang Jagat Bathara
Punya
ilmu bukan berarti sudah jadi orang pandai
Apa lagi
hendak berkuasa seolah langit sudah di gapai ilmu untuk kepuasan dan keteguhan
hati
Karenanya
dipakai untuk berbakti menolong sesama insani.
Empat
Mayat Aneh yang menyaksikan kejadian itu tampak terheran-heran tak percaya.
“Tidak
bisa dipercaya! Tapi mata menyaksikan!.”Ucap Mayat Aneh Kesatu sambil usap-usap
sepasang mata sementara Mayat Aneh Keempat tegak tertegun sambil pegangi bagian
bawah perut.
Mayat
Aneh Kesatu kembali usap-usap sepasang mata.
“Selama
puluhan tahun hidup jadi orang, selama puluhan tahun jadi mayat aku sudah
melihat ratusan keanehan! Tapi baru hari ini aku menyaksikan ada orang mampu
menangkap petir, menggeluti lalu melemparkannya kembali ke udara seperti anak
kecil bermain pita-pitaan! Apa benar dia anak manusia atau Dewa Agung yang
menjelma turun ke bumi!”
“Yang
jadi perhatianku bukan cuma semua itu. Tapi apakah kalian tidak melihat
bagaimana goyangannya tadi ketika menari?”Mayat Aneh Kedua keluarkan ucapan,
lalu menyambung.
“Dada
besar putih menyentak-nyentak, pantat berpinggul besar diogel-ogel.
Oala …”
“Huss!
Jaga mata hanya melihat kebaikan! Jaga mulut hanya bicara kebaikan!” Mayat Aneh
Ketiga membentak.
Diam
sesaat lalu Mayat Aneh Kedua berkata.
“Hail
Suara, orang yang tubuhnya membara itu aku dengar seperti suara lelaki.
Tapi
mengapa tawanya menyerupai suara perempuan. Aku mau melihat lebih dekati.
Kalian ikut?! Jangan-jangan ada Puteri Jin yang kesasar main-main di bukit
Randugunting!”
Habis
keluarkan ucapan Mayat Aneh Kedua siap melompat ke arah orang yang masih
berdiri di atas batu dalam keadaan tubuh membara merah dan mengepul.
Tiga
saudaranya segera, pula melakukan hal yang sama.
Namun
gerakan mereka terhenti ketika tiba-tiba.
“Braakk!”
Serangkum
cahaya biru melesat keluar dari dalam peti!
Papan
penutup peti mati hitam terpentang lebar. Bahkan ada bagian yang berpatahan.
Dari dalam peti melesat keluar Dewi Kaki Tunggal diikuti Ni Gatri!
“Oala!
Hancur peti kediaman kita!” Teriak Mayat Aneh Ketiga.
“Bagaimana
mungkin!”Mayat Aneh Kesatu ikut berteriak. “Seratus setan gentayangan saja
tidak mampu membuka penutup peti!”
*********************
DUA
DI DALAM
serial sebelumnya (Dewi Kaki Tunggal) diceritakan sewaktu Sinuhun Merah
Penghisap Arwah hendak membunuh Dewi Kaki Tunggal dengan tendangan maut,
tiba-tiba di langit muncul Sepasang Arwah Bisu. Dua kakek nenek dari alam roh
ini segera melindungi Dewi Kaki Tunggal yang sebenarnya adalah cucu mereka
sendiri dengan ilmu Empat Tonggak Istana Dewa. Empat cahaya putih berkilau yang
keluar dari sepasang mata mereka memagari si gadis.
Namun
dengan ilmu kesaktiannya yang luar biasa tinggi Sinuhun Merah Penghisap Arwah
menjungkirkan empat cahaya putih hingga berbalik menyerang Sepasang Arwah Bisu.
Untungnya kakek nenek ini masih bisa selamatkan diri dan menghilang dari
pandangan mata, masuk kembali ke dalam alam arwah.
Kemarahan
Sinuhun Merah Penghisap Arwah terhadap Dewi kaki Tunggal semakin menjadi-jadi.
Dia membuat aliran bara panas di tanah yang siap melumat tubuh gadis berkaki
satu itu. Namun niat jahat sang Sinuhun lagi-lagi terhalang dengan kemunculan
tidak terduga sebuah peti mati besar. Kepulan asap putih yang keluar dari
bagian bawah peti menyumbat aliran cairan bara panas hingga untuk kedua kalinya
Dewi Kaki Tunggal yang masih berada dalam keadaan tidak sadarkan diri selamat
dari kematian. Dari dalam peti kemudian melompat keluar empat mahluk yang
sekujur tubuhnya kecuali wajah yang putih pucat tertutup oleh gulungan kain
putih. Mereka bukan lain adalah Empat Mayat Aneh. Mayat Aneh Pertama dan Mayat
Aneh Ketiga dengan cepat memasukkan Dewi Kaki Tunggal ke dalam peti. Sinuhun
Merah Penghisap Arwah berusaha menghalangi dengan melancarkan serangan. Namun
gagal. Ni Gatri yang kemudian muncul membawa Bunga Matahari juga dimasukkan ke
dalam peti. Sebelum peti ditutup Ni Gatri masih sempat melihat sosok Dewi Kaki
Tunggal terbaring di lantai peti. Peti ditutup dari luar. Keadaan di dalam peti
selain pengap juga gelap sekali.
“Dewi ….
Dewi Kaki Tunggal….”Ni Gatri memanggil. Tak ada jawaban.
Dewi,
saya takut sekali. Ada empat mahluk aneh memasukkan kita ke dalam peti.
Sepertinya
peti tengah melayang di udara. Kita mau dibawa kemana? saya mencium bau
kemenyan. Saya takut. Dewi. Kau masih hidup atau bagaimana …?” Tetap saja tidak
ada jawaban.
Ni Gatri
beringsut ke kiri hingga tubuhnya bersentuhan dengan tubuh gadis berkaki satu.
Tubuh sang Dewi terasa hangat. Dia berharap tubuh itu masih bernyawa. Namun
anak yang cerdik ini ingin lebih meyakinkan. Dia meraba ke
sebelah
atas hingga tangan kirinya menyentuh wajah Sakuntaladewi. Ketika tangan
diletakkan di atas hidung yang berada di sebelah pipi kanan, Ni Gatri dapat
merasakan hembusan nafas gadis berkaki satu yang disebutnya sebagai Dewi Kaki
Tunggal itu. Anak perempuan ini merasa lega. Dia kemudian ingat pada Bunga
Matahari yang ada di tangan kanannya.
Seperti
yang diceritakan sebelumnya Dewi Kaki Tunggal telah mengalami cidera dalam yang
cukup berat akibat bentrokan pukulan sakti dan tenaga dalam dengan Kesatria Roh
Jemputan alias Pangeran Matahari. Ni Gatri yang tidak ingin meninggalkan Dewi
Kaki Tunggal seorang diri akhirnya baru mau pergi setelah diperintah oleh si
gadis agar dia mencari Ratu Randang dan meminta Bunga Matahari yang diberikan
Wiro kepadanya. Menurut Dewi Kaki Tunggal hanya dengan Bunga Matahari yang
telah dijampai oleh Patung Nyi Roro Jonggrang luka dalamnya bisa disembuhkan.
“Dewi,
saya sudah mendapatkan Bunga Matahari yang kau minta. Apa yang harus saya
lakukan untuk menolongmu …?”
Ni Gatri
menjadi bingung sendiri karena gadis berkaki satu yang berada dalam keadaan
pingsan tidak mungkin membuka mulut memberi jawaban. Dalam gelap Ni Gatri
meraba raba kembali dengan tangan kiri.
“Bathara
Agung, saya mohon petunjuk-Mu agar saya bisa menolong Dewi Kaki Tunggal…”Ni
Gatri berucap perlahan. Tangan kirinya menyentuh kening Sakuntaladewi. Anak
perempuan ini lalu letakkan Bunga Matahari di atas kening.
Perlahan-lahan
bunga sakti yang tetap dalam keadaan segar itu disapukan ke wajah, melewati
dagu turun ke leher lalu turun lagi ke dada. Pada saat menyentuh dada, Bunga
Matahari memancar kilatan cahaya putih. Tubuh Sakuntaladewi menggeliat. Mulut
mengeluarkan suara mendesah panjang.
“Dewi …?”
Sunyi sesaat lalu ada suara.
“NiGatri,
kaukah ini?”
Ni Gatri
terpekik kecil saking gembiranya.
“Bathara
Agung, terima kasih Kau telah menolong Dewi Kaki Tunggal,”ucap Ni Gatri pula.
Lalu pada Sakuntaladewi anak perempuan ini berkata. “Dewi, saya sudah
mendapatkan Bunga Matahari yang kau suruh minta dari Ratu Randang.
Sekarang
bunganya saya letakkan di dada Dewi …”
“Aku
berterima kasih padamu,”jawab Sakuntaladewi. Lalu gadis ini pegang lengan kanan
Ni Gatri. Bunga Matahari ditekankan ke dada sambil menarik nafas dalam-dalam.
Nafas ditahan seketika lalu perlahan lahan dilepas dihembuskan.
“Ni
Gatri, luka dalamku sudah sembuh….”Ucap Sakuntaladewi. Lalu Bunga Matahari
diambilnya dari tangan anak perempuan itu dan disimpan di balik pakaian Jingga
yang dikenakannya. Gadis, berkaki satu ini kemudian menatap berkeliling. Dia
merasa heran.
“Gelap
gulita, udara terasa pengap. Aku merasa kita seperti melayang. Ni Gatri, kau
tahu kita berada di mana?”
“Dewi,
kita berada dalam satu peti mati besar hitam. Ada empat mahluk aneh mengerikan
menculik kita. Tubuh mereka memancar bau seperti kemenyan. Tidak tahu kita mau dibawa
kemana.” Jawab Ni Gatri. Lalu atas pertanyaan Sakuntaladewi anak perempuan ini
menerangkan ciri-ciri empat mahluk aneh yang dilihatnya sebelum dia dimasukkan
ke dalam peti mati.
“Turut
keteranganmu tidak ada mahluk lain yang menyerupai ujud empat mahluk itu. Aku
yakin mereka adalah Empat Mayat Bersaudara atau Empat Mayat Aneh. Mereka mahluk
alam roh yang aku tahu bukan mahluk jahat. Tapi aku kawatir…”
“Kawatir
bagaimana Dewi” tanya Ni Gatri karena Sakuntaladewi tidak meneruskan ucapan.
“Siapa
tahu mereka telah menjadi kaki tangan dan berada dibawah kendali Sinuhun Merah
Penghisap Arwah , mereka bisa lebih jahat dari setan neraka!”
“Tapi
Dewi,”kata Ni Gatri pula. “Kalau benar mereka kaki tangan Sinuhun jahat itu,
pasti kita sudah mereka habisi. Perlu apa susah-susah dimasukkan ke dalam
peti.”
“Kau anak
cerdik. Ucapanmu betul Ni Gatri. Ada sesuatu yang menjadi rahasia dibalik
perbuatan mereka. Selain itu aku pernah menyirap kabar kalau mereka punya
pantangan.”Sakuntaladewi usap kepala Ni Gatri.
“Hanya saja,
Dewi, sebelum mereka memasukkan saya ke dalam peti saya melihat anjing kecil
hitam terkapar di tanah dalam keadaan mati.”
“Apa?!”
“Saya
mengira empat mahluk aneh itu yang membunuh. Tapi mereka menyangkal.”
“Seperti
kataku tadi, setahuku mereka mungkin punya pantangan. Kalau tidak terpaksa
sekali mereka tidak akan membunuh. Termasuk membunuh binatang. Itu sebabnya
atas kuasa Para Dewa mereka mendapat rahmat, bisa pergi dan berada dimana mana
serta hidup lagi dalam kematiannya.”
“Dewi,
apa yang harus kita lakukan. Saya takut…”
“Tenang
saja. Aku pernah berkata kalau Yang Maha Kuasa menolong, maka pertolongan-Nya
tidak pernah setengah-setengah. Ni Gatri, aku merasa peti ini tengah melayang
ke bawah…”
Baru saja
Sakuntaladewi berucap tiba-tiba di luar sana terdengar suara dahsyat disertai
kilasan cahaya terang.
“Aku
mendengar seperti gelegar suara petir. Aku harus melakukan sesuatu.
Kita
harus keluar dari dalam peti celaka ini! Aku rasa peti sudah menyentuh bumi.”
Sakuntaladewi
lalu gerakkan dua tangan, keluarkan ilmu pukulan yang disebut Enam Betas
Gerakan Tangan Bisu. Saat itu juga enam belas cahaya biru membersit lalu
bergabung jadi satu, selanjutnya melesat ke atas menghantam penutup peti mati !
Penutup
peti mati langsung terpentang lebar dan sebagian kayunya ada yang hancur.
Sakuntaladewi pegang lengan kiri Ni Gatri lalu melompat keluar dari dalam peti.
Empat
Mayat Aneh yang siap mendatangi orang di atas batu serta merta batalkan niat.
Saat itu Sakuntaladewi sudah berada di hadapan mereka.
“Empat
Mayat Aneh, terima kasih kalian sudah mengajak aku dan sahabat kecilku ini
jalan-jalan di udara …”
“Ah, dia
tahu siapa kita!”Mayat Aneh Kesatu berkata girang setengah berseru.
“Tapi
sebenarnya kami berdua juga ingin tahu mengapa kalian menculik kami berdua,
memasukkan kami ke dalam peti lalu menerbangkan kami ke udara.
Sebenarnya
apa maksud kalian. Kalian mau membawa kami kemana?”Bertanya Sakuntaladewi.
“Kami
tidak bermaksud jahat. Ada seseorang meminta tolong agar kami membawamu
menemuinya di satu tempat.”Yang menjawab adalah Mayat Aneh Ketiga.
“Siapa
orangnya dan berada dimana?”Tanya Sakuntaladewi.
“Kami
dipesan untuk tidak memberi tahu kepada siapapun. Termasuk dirimu.
Kami
hanya ditugaskan untuk membawamu kepadanya.”’ Berkata Mayat Aneh Keempat.
“Dewi,
mungkin mereka berdusta. Mereka bisa saja punya maksud jahat.” Berkata Ni
Gatri.
Empat
Mayat Aneh sama-sama. gelengkan kepala. Mayat Aneh Kedua maju dua langkah
mendekati Sakuntaladewi dan Ni Gatri, “Sahabat kecil. Pelihara mulut hanya
bicara kebaikan. Kalian berdua dengar baik-baik. Dari pada menuduh kami yang
bukan-bukan lebih balk terlebih dulu kalian mendatangi dan mengucapkan terima
kasih pada mahluk aneh di atas batu sana.”
Sakuntaladewi
kerenyitkan kening. Sebelum dia sempat membuka mulut Ni Gatri sudah bicara
duluan.
“Mahluk
aneh, mengapa kami harus mendatangi dan mengucapkan terima kasih pada orang di
atas batu yang tubuhnya diselimuti bara menyala… “
“Dia
telah menyelamatkan kalian berdua dan hantaman petir ketika masih berada di
dalam peti.”
Sakuntaladewi
terkejut tapi dapat menyembunyikan perubahan wajahnya. Dia ingat ketika masih
berada di dalam peti telah mendengar suara gelegar dan kilatan petir.
“Menyelamatkan kami dari hantaman petir ? Sungguh luar biasa ! Apa aku bisa
percaya ucapanmu ! Katakan apa yang terjadi !”Kata Sakuntaladewi pula.
“Empat
Mayat Aneh tidak pernah berdusta!”Kata Mayat Aneh Kedua lalu menceritakan apa
yang terjadi.
Setelah
mendengar cerita Mayat Aneh Kedua Sakuntaladewi terdiam sejenak lalu berkata.
“Sulit dipercaya. Kau berdusta! Kau mengarang cerita. Mana ada manusia yang
mampu menangkap petir lalu mempermainkannya, setelah itu melemparkannya kembali
ke udara!” Empat Mayat Aneh gelengkan kepala lalu salah seorang dari mereka
berkata.
“Kami
tidak berdusta. Kami tidak mengarang cerita. Kami juga luar biasa heran. Tapi
itu yang kami lihat dan itu yang kami ceritakan pada kalian!”
Mayat
Aneh Keempat yang berdiri sambil pegangi bagian bawah perut menyambung ucapan.
“Ketika
kau keluar dari dalam peti, kami berempat bermaksud mendatangi mahluk hebat
itu. Tapi niat kami tertahan karena kau menghadang. Sekarang bagaimana kalau
kita sama-sama saja mendatanginya?”
Sakuntaladewi
keluarkan suara bergumam. Dia berpaling pada Ni Gatri. Anak perempuan ini
anggukkan kepala. Tiba-tiba Sakuntaladewi balikkan tubuh. Sekali melompat
membal ke udara dan di lain kejap dia sudah berada di atas batu besar di
sebelah belakang orang yang tubuhnya masih membara. Ni Gatri lari menyusul.
Empat
Mayat Aneh tentu saja tidak mau ketinggalan. Mereka melesat ke atas batu,
berdiri di kiri kanan Sakuntaladewi dan Ni Gatri.
“Hik …
hik … hik !”
Orang
berpakaian merah muda di atas batu besar tertawa mengikik. Suara tawa
perempuan.
“Sahabat
hebat, mohon kau mau memutar tubuh. Kami ingin melihat wajahmu.
Bersama
kami ada dua orang yang telah kau selamatkan dari hantaman petir.
Mereka
ingin mengucapkan terima kasih. Kami juga mau melakukan hal yang sama karena
berkat pertolonganmu menangkap petir peti mati tempat kediaman kami tidak
sampai musnah dilabrak petir.”
“Hik….hik!
Rupanya ada orang yang melihat pekerjaanku! Lalu ada yang hendak berterima
kasih. Padahal aku merasa tidak menolong siapa-siapa.”
Kalau
tertawanya seperti tawa perempuan maka dalam berucap suaranya jelas laki-laki.
Hal ini membuat heran ke enam orang yang berdiri di belakangnya. Rasa heran ke
enam orang itu berubah menjadi melengak kaget ketika tiba-tiba si baju merah
muda membalikkan badannya yang semampai.
“Hai,
bagaimana ini. Tadinya aku mengira …”Mayat Aneh Kedua segera menekap mulut
tidak berani meneruskan ucapan.
Mayat
Aneh Keempat tekap kencang-kencang bagian bawah perutnya. “Oala cantiknya. Dada
tersingkap pula. “rapi mengapa ada kumis-kumis halusnya?
Pelihara
mata hanya melihat kebaikan. Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan…”
*********************
TIGA
ORANG
yang pakaian dan sekujur tubuhnya diselimuti bara menyala itu temyata adalah
gadis cantik belia berdandan sangat apik. Kulit muka licin di lapis bedak
halus. Sepasang alis kereng hitam melengkung seperti bulan sabit. Dua bola mata
bagus bening menatap bercahaya di hias bulu mata lentik. Hidung kecil mancung.
Di atas dagu yang bak lebah bergantung terdapat bibir bagus segar merekah
senyum. Rambut yang hitam tergerai sampai ke punggung. Sepasang daun telinga
dihias giwang bulat terbuat dari perak. Orang ini mengenakan pakaian merah muda
yang bagian dadanya agak tersingkap hingga belahan dadanya tampak jelas
diantara dua payudara yang putih kencang.
Namun ada
satu hal yang menimbulkan kesan janggal di wajah gadis cantik ini. Hal itu
ialah adanya bulu-bulu halus di bagian atas bibir menyerupai kumis halus anak
lelaki yang tengah menginjak alam dewasa atau akil baleq.
Mayat
Aneh Kesatu mendekati saudaranya Mayat Aneh Kedua. Lalu berbisik.
“Sssttt….
Bibirnya saja ada bulunya. Pasti di…”
Mayat
Aneh Kedua segera sikut rusuk Mayat Aneh Kesatu. “Pelihara mata hanya melihat
kebaikan. Pelihara mulut hanya bicara kebaikan!” Gadis berbaju maerh muda ini
menatap enam orang yang berdiri di hadapannya di atas batu besar, layangkan
senyum hingga tampak barisan giginya yang putih rata dan bagus. Dan di pipi
kirinya muncul satu lesung pipit. Setelah merapikan rambut yang tergerai gadis
ini keluarkan sebuah cermin kecil. Perhatikan wajahnya di dalam cermin lalu
keluarkan sebuah kotak berisi bedak. Dengan cepat dia membedaki dan mematut
wajah. Setelah menyimpan cermin dan kotak bedak diapun berkata.
“Maafkan,
aku telah membuat kalian menunggu sampai aku selesai bersolek Sahabat semua,
rasanya kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Apakah kehadiranku di tempat ini
membuat kalian merasa terganggu?”
Astaga!
Ketika bicara suara si gadis jelas suara lelaki walau terdengar halus dan
lembut!
Empat
Mayat Aneh saling pandang satu sama lain sedang gadis berpakaian merah muda
memperhatikan keadaan kaki Sakuntaladewi sementara pancaran bara menyala yang
melapisi tubuhnya perlahan lahan mulai meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
“Harap
maafkan, aku harus membuang dulu sisa-sisa petir yang masih ada dalam tubuhku…
“Gadis berpakaian merah muda lalu sambil menutup mulutnya dengan tangan kiri
keluarkan suara bersendawa. Dari sela-sela jarinya kelihatan berhembus keluar
nyala merah menebar hawa panas. “Ah, rasanya masih belum bersih semua. Masih
ada yang menyelinap di bawah kakiku…”Si gadis berkata lagi. Kaki kiri kanan yang
mengenakan kasut kulit halus digeser geser di atas batu dan wuss … wusss! Dari
telapak kaki menyambar keluar dua larikan cahaya merah. “Mudah-mudahan sudah
bersih semua. Nah sekarang kita bisa melanjutkan pembicaraan.”Sambil bicara si
gadis meraba bagian perutnya.
Agaknya
ada sesuatu yang mengganjal.
“Sahabat,
kehadiranmu di sini sama sekali tidak mengganggu. Malah agaknya telah
mendatangkan berkah bagi kami.”Menjawab Sakuntaladewi. “Kami sengaja datang
menemuimu. Menurut empat sahabat yang aku kenal dengan nama Empat Mayat Aneh
ini, kalian telah menyelamatkan aku dan adik kecilku ini dari sambaran petir
ketika berada di dalam peti. Kami berdua datang untuk menyampaikan rasa terima
kasih atas budi baikmu itu.”
“Kami
berempat juga ingin berterima kasih. Karena berkat pertolonganmu peti mati
tempat kediaman kami tidak sampai hancur dihantam petir.”Berkata Empat Mayat
Kedua mewakili saudara saudaranya.
Gadis
cantik bersuara laki-laki tampak tercengang lalu gelengkan kepala. Lalu
lagi-lagi mengusap bagian bawah perut sementara kening tampak mengernyit.
“Sahabat,
agaknya ada sesuatu yang menimbulkan rasa sakit di bagian bawah
tubuhmu?”Sakuntaladewi bertanya.
“Bukan …
bukan sakit. Tapi ada, rasa geli-geli. Hik…hik. Agaknya ada sisa petir nakal
yang menyelinap ke dalam auratku sebelah bawah. Aku mengalami kesulitan
mengeluarkannya. Paling tidak harus menunggu satu hari satu malam…” Menjawab
gadis berpakaian merah muda.
Sakuntaladewi
ingat pada Bunga Matahari yang ada di balik pakaiannya.
Bunga
segera dikeluarkan lalu berkata. “Kalau kau tidak keberatan, mudah-mudah aku
bisa menolongmu.”
Gadis
berkumis halus menatap bunga di tangan Sakuntaladewi. “Bunga Matahari. Indah
sekali. Tapi dengan bunga itu?”Dia bertanya.
Sakuntaladewi
tersenyum lalu mengangguk.
“Ihhh….
!”Gadis yang hendak ditolong undur satu langkah dan tekap bagian bawah
tubuhnya.
Sakuntaladewi
berpaling pada Mayat Aneh Keempat yang selalu menekap bagian bawah perut. Lalu
berkata. “Kau yang melakukan. Usapkan Bunga Matahari ini di bagian bawah tubuh
gadis itu.”
“Oala !
Mengapa aku ?!”Mayat Aneh Keempat ikutan mundur tapi sambil senyum-senyum
karena sebenarnya dia ingin sekali melakukan hal itu tapi merasa malu pada tiga
saudaranya !
Tiba-tiba
Ni Gatri mengambil Bunga Matahari dari tangan Sakuntaladewi.
Dengan cepat
bunga itu diusapkan ke bagian depan bawah perut gadis berpakaian merah muda.
“Ihhhh!”Si
gadis berkumis halus terpekik.
Dari
dalam Bunga Matahari memancar cahaya putih. Saat itu juga dari bagian bawah
perut si gadis yang terkena usapan bunga memancar cahaya merah dan kepulan asap
lalu lenyap.
“Luar
biasa, aku merasa lega sekarang !”
Berkata
si gadis berpakaian merah muda. Dia berpaling pada Ni Gatri yang saat itu
tengah mengembalikan Bunga Matahari pada Sakuntaladewi. Dia kedipkan mata dua
kali lalu berkata. “Sahabat cilik, masih kecil begini usapanmu mantap luar
biasa. Apa lagi kalau kelak kau sudah gadis. Ah, beruntunglah lelaki yang bisa
menjadi suamimu ! Hik … hik … hik !”
Empat
Mayat Aneh tertawa ditahan-tahan. Sakuntaladewi tampak bersemu merah wajahnya.
Ni Gatri melengos cemberut. Setelah tertawa si gadis berkumis halus menoleh
pada Sakuntaladewi. “Kau telah menolongku dengan Bunga Sakti itu. Aku sangat
berterima kasih. Sekarang mari kita lanjutkan bicara. Kalian berkata kalau aku
telah menyelamatkan kalian dari hantaman petir. Aku … aku merasa tidak pernah
menolong kalian. Kehadiranku di sini …. Ah, aku tidak boleh memberi tahu. Tapi
kalian semua agaknya bisa aku percaya.”
“Kami
mohon sahabat mau memberitahu apa sebenamya yang terjadi. Apa yang telah kau
lakukan. Selain itu aku ingin memperkenalkan diri. Namaku Sakuntaladewi. Aku
juga dipanggil dengan nama Dewi Kaki Tunggal. Anak perempuan ini bernama Ni
Gatri. Aku ingin tahu siapa gerangan sahabat adanya yang konon aku diberi tahu
mampu menahan, menangkap dan mempermainkan petir.”
“Kami
Empat Mayat Aneh atau Empat Mayat Bersaudara.”Mayat Aneh Keempat menyambung
kata-kata Sakuntaladewi. “Kami berempat juga ingin tahu siapa gerangan sahabat
adanya.”
Si gadis
berkumis halus menatap orang-orang yang ada di hadapannya lalu berkata. “Namaku
Jaka. Orang-orang menyebutku Jaka Pesolek. Karena aku memang suka berdandan.
Kalian sudah melihat diriku. Beginilah keadaanku.”
“Aku …
aku masih belum mengerti,”kata Mayat Aneh Ketiga. “Sahabat ini sebenarnya
seorang jaka atau seorang gadis?”
Mayat
Kedua langsung meremas pinggang Mayat Aneh Ketiga. “Kau ini bicara apa? Mulutmu
usil kurang ajar !”
“Orang
bertanya tidak jadi apa.”Jaka Pesolek berkata sambil tersenyum. Dia kedipkan
mata pada Mayat Aneh Ketiga. “Kalau ditanya aku ini seorang perjaka atau
seorang gadis maka aku adalah kedua duanya.”
Ucapan
orang membuat semua yang ada di situ jadi terdiam, terkesima melongo.
Sakuntaladewi
cepat memecahkan suasana yang agak mengganjal dengan berkata.
“Sahabat
Empat Mayat Aneh menerangkan kau telah menolong diriku dan Ni Gatri dari
hantaman petir. Sebaliknya kau tadi mengatakan tidak menolong siapasiapa.
Bagaimana
ini ? Aku tidak mengerti.”
“Aku akan
jelaskan. Aku akan ceritakan pada kalian.”Jawab Jaka Pesolek.
“Saat ini
aku tengah menuntut satu ilmu aneh yang kedengarannya tidak masuk akal. Ilmu
itu adalah ilmu Tangan Dewa Menangkap Petir. Hari ini aku berusaha merampungkan
ilmu kesaktian itu. Tapi masih ada yang belum tuntas. Aku masih belum bisa
membersihkan diri dari sisa-sisa petir yang masuk ke dalam tubuhku.
Kalau
kentut pasti aku akan mengeluarkan asap merah meliuk-liuk dari bawah bokongku!
Betapa malunya! Hik … hik … hik!”
Empat
Mayat Aneh ikut tertawa gelak-gelak mendengar ucapan orang.
“Aku dan
saudara-saudaraku telah menyaksikan ilmu itu. Sungguh luar biasa!” Berkata
Mayat Aneh Kesatu.
“Aku
datang ke Bukit Randugunting ini karena di sini cuaca selalu mendung dan paling
banyak sambaran petirnya. Ratusan hari sudah aku lewati. Selama ini aku hanya
menangkap petir yang kecil-kecil. Baru tadi muncul petir besar. Walau agak
kesulitan tapi aku mampu menahan, menangkap dan mempermainkan petir itu
sebentar lalu melemparkannya kembali ke udara. Kalian lihat sendiri tubuhku
nyaris telah ditimbun bara menyala yang berasal dari panasnya api petir. Pada
saat aku menahan dan menangkap petir besar kebetulan saja kalian lewat bersama
peti besar hitam itu. Kalaupun kalian menganggap aku telah menyelamatkan dua
nyawa dan peti hitam, semua terjadi secara tak sengaja, secara kebetulan.
Mungkin
kalau kalian tidak datang petir itu juga tidak muncul. Hik… hik… hik!”
“Bagaimanapun
juga aku dan Ni Gatri tetap berterima kasih dan merasa berhutang budi dan nyawa
padamu.”Kata Sakuntaladewi pula.
“Kami
juga begitu,”ujar Mayat Aneh Keempat.
“Ah,
lupakan segala peradatan. Hidup di dunia ini bukankah harus saling tolong
menolong?”
“Kakak
Jaka Pesolek … “Tiba-tiba Ni Gatri berkata. “Mataram telah dilanda malapetaka
yang diciptakan oleh orang-orang jahat. Semua orang termasuk Raja kejatuhan
demam panas dan menderita lumpuh serta ada benjolan merah di kening. Saya tidak
melihat benjolan itu di kening Kakak.”
“Adikku,”jawab
Jaka Pesolek. “Terkadang kejahatan memang selalu satu langkah lebih dulu dari
kebenaran. Tapi itu bukan berarti kejahatan mampu melakukan segala-galanya.
Diatas
kekuatan jahat masih ada kekuatan kebenaran dan semua itu berpulang pada
kehendak Para Dewa. Kau lihat sendiri, Empat Mayat Aneh dan juga kakakmu Dewi
Kaki Tunggal tidak memiliki benjolan di keningnya. Kau juga tidak ketularan
penyakit bisul aneh itu. Semua telah diatur sesuai kehendak Yang Maha Kuasa!”
Sakuntaladewi
berbisik. “Ni Gatri, apa yang dikatakan sahabat baru kita itu memang betul.
Kita bangsa manusia merupakan mahluk penerima takdir sesuai kehendak Yang Maha
Kuasa.”Sakuntaladewi kemudian bungkukkan badan memberi hormat pada Jaka
Pesolek. “Sahabat, sayang sekali aku dan Ni Gatri harus meninggalkan tempat ini
karena ada satu urusan sangat penting. Jika umur sama panjang aku berharap kita
bisa bertemu lagi.”
“Dewi
Kaki Tunggal, tunggu dulu. Kau mau kemana ?!”Tanya Mayat Aneh Kesatu.
“Kami
punya tugas membawamu menemui seseorang.”
“Sahabat
berempat. Aku berterima kasih kalian telah mengajak aku melayang jalan-jalan di
udara walau dari dalam peti yang tertutup aku dan Ni Gatri tidak bisa melihat
pemandangan indah di luar sana. Lain kali peti matinya tolong dibuatkan
jendela! Hik … hik…hik! Sahabat berempat, perjalanan dan pertemuan kita cukup sampai
disini dulu. Lain kali jika kau mengajak lagi, pasti kami berdua tidak akan
menolak. Kerajaan Mataram tengah dilanda bencana. Aku yang tidak memiliki
kepandaian apa-apa ini bagaimanapun juga punya kewajiban untuk menyelamatkan
Raja dan rakyat Mataram. Aku mohon maaf kalian semua.”
“Tunggu!
Jangan pergi dulu! Kami membawamu menemui seseorang justru dalam tujuan untuk
membantu menyelamatkan Kerajaan! Kami juga tidak punya kepandaian
apa-apa.”Berkata Mayat Aneh Ketiga merendah.
Sakuntaladewi
terdiam. Setelah menatap Mayat Aneh Ketiga sesaat dia lalu gelungkan tangan di
pinggang Ni Gatri sambil berkata. “Sahabat berempat, kalian lakukan apa yang
bisa kalian lakukan. Aku lakukan apa yang aku sanggup.”
Sakuntaladewi
hentakkan kakinya yang cuma satu ke tanah. Kejap itu juga tubuhnya melesat
membal ke udara. Dalam tiga kali lompatan saja bersama Ni Gatri gadis kaki satu
itu telah lenyap di kaki Bukit Randugunting.
“Urusan
jadi kacau! Apa yang harus kita katakan pada…”
Ucapan
Mayat Aneh Kesatu terputus karena saat itu Mayat Aneh Kedua berseru.
“Astaga!
Gadis cantik berkumis itu tak ada lagi di sini!”
Empat
Mayat Aneh sama-sama terduduk lemas di atas batu besar datar. Setelah berdiam
diri beberapa lama, Mayat Aneh Keempat keluarkan ucapan.
“Terus
terang aku masih penasaran. Terserah kalian mau bilang aku bermulut kotor,
tidak bisa memelihara mulut. Tapi aku ingin tahu, orang yang bernama Jaka
Pesolek tadi, apa anunya anu lelaki atau anu perempuan. Atau dia punya dua anu!
Hik … hik
!”
Mayat Aneh
Kedua menyahuti.
“Tadi
gadis berkaki satu yang punya hidung di pipi itu menyuruh kau mengusapkan Bunga
Matahari ke bagian bahwa perut! Mengapa kau tidak mau melakukan? Padahal jika
kau lakukan kau bisa mengusap dan mengetahui dia punya anu apa atau punya anu
berapa! Sekarang mengapa bicara segala penasaran?!”
“Ah,
memang tololnya diriku!” Kata Mayat Aneh Keempat lalu usap-usap bagian bawah
perutnya yang selalu ditekap sementara tiga saudaranya melangkah menghampiri
peti mati besar hitam!
*********************
EMPAT
“BUKIT BATU
HANGUS. Pendekar 212 Wiro Sableng mulai melakukan tugas. Dia memilih menolong
Tabib Sepuluh Jari Dewa alias Soka Kandawa terlebih dulu karena dilihatnya
orang tua bertubuh gemuk berambut merah ini menjelepok di tanah, tersandar di
batu dalam keadaan megap-megap nyaris tidak sadarkan diri. Begitu sampai di
hadapan sang tabib Wiro segera tempelkan telapak tangan kanan yang sudah
dialiri ilmu kesaktian Menahan Darah Memindah Jazad.
Wiro
mengusap empat benjolan di atas kening.
“Desss!”
Orang
banyak yang melihat apa yang terjadi sama-sama keluarkan seruan dan menunjuk ke
kening sang tabib. Soka Kandawa yang merasa ada perubahan pada dirinya,
letakkan tangan kiri di atas kening. Astaga! Kening yang sebelumnya ada empat
benjolan kini licin polis. Berpaling ke kiri dia melihat empat benjolan yang
sebelumnya menempel di keningnya tergeletak di atas batu, berdenyut-denyut dan
mulai leleh. Dan bukan itu saja! Demam panas yang selama ini membungkus
tubuhnya dan membuat dia tiada henti menggigil ikut lenyap ! Lalu ketika dia
menggerakkan kaki ternyata dua kakinya yang selama beberapa hari ini berat
lumpuh kini bisa diangkat. Tidak tunggu lebih lama sang tabib langsung bangkit
berdiri dan berseru gembira menyebut nama Yang Maha Kuasa berulang kali.
Ternyata
dia bukan hanya mampu berdiri tapi juga sanggup berjalan bahkan melompat!
Sekali melompat dia sudah berada di hadapan Pendekar 212.
“Kesatria
Panggilan, aku berterima kasih padamu. Aku …”
Wiro
ingat pada ucapan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal bahwa ilmu Menahan Darah
Memindah Jazad yang dimilikinya dan dipakai untuk menyembuhkan orang, orang
yang sembuh akan mampu menyembuhkan orang lain. Begitu secara berantai hingga
pertolongan bagi semua orang di Bhumi Mataram dapat dilakukan secara lebih
cepat.
Maka
diapun berkata. “Tabib Sepuluh Jari Dewa! Kau sekarang punya kemampuan
menyembuhkan orang. Pergunakan tangan kananmu untuk mengusap kening orang lain.
Yang sudah sembuh harus segera menolong yang lainnya !
Cepat
lakukan !”
Mendengar
seruan Wiro tabib gemuk berambut dan berpakaian serba merah itu segera
menghampiri sahabatnya Eyang Dukun Umbut Watukura.
Tangan
kanan dengan cepat ditempelkan di kening sang dukun lalu beett! Sekali mengusap
empat benjolan lenyap, berpindah ke telapak tangan.
“Weehhh!”Sang
Tabib merasa ngeri dan jijik melihat empat benjolan merah yang menempel
berdenyut denyut di telapak tangannya. Cepat-cepat dia kibaskan tangan kanan
hingga empat benjolan jatuh terbanting ke tanah.
“Umbut
Watukura! Kau sudah sembuh! Ayo kita menolong yang lain-lain!” Berteriak Tabib
Sepuluh Jari Dewa.
“Hyang
Jagat Bathara!”Eyang Dukun Umbut Watukura berseru lalu melompat bangkit. Sekali
berkelebat dia sudah ada di hadapan Rauh Kalidathi, nenek sakti bermuka bulat.
Si nenek
berdandan menor yang kini sudah awut-awutan dan tidak punya alis ini tertawa,
sepasang mata dikedap-kedip.
“He.. he
… Terima kasih kau memilih diriku untuk ditolong lebih dulu. Ini bukan berarti
karena kau suka padaku? Hik … hik!”
Kesal
mendengar ucapan si nenek Umbut Watukura bukan cuma mengusap kening, tapi malah
mengeplak kening perempuan tua hingga Rauh Kalidathi terjengkang dan terpekik.
“Hai! Kau
bernafsu sekali terhadapku atau memang kurang ajar?!”Teriak si nenek namun
tertawa gelak-gelak ketika mengetahui benjolan di keningnya lenyap. Demam panas
menghilang dan dua kaki sembuh dari kelumpuhan! Sadar kalau dirinya telah lepas
dari sengsara azab Malam Jahanam, Rauh Kalidathi segera berteriak. “Kesatria
Panggilan! Cepat tolong Raja Mataram!”Lalu nenek ini berkelebat kian kemari
menolong orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mendengar
teriakan si nenek dengan cepat Wiro mendatangi Sri Maharaja Mataram Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala.
“Yang
Mulia, izinkan saya…”Ucap sang pendekar lalu arahkan tangan kanannya ke kening
Sri Baginda. Seperti diketahui, ketika malapetaka Malam Jahanam jatuh menimpa
Bhumi Mataram, Raja hanya menderita kemunculan benjolan di keningnya. Dia sama
sekali tidak terserang demam panas dan kelumpuhan. “Kesatria Panggilan. Lakukan
tugasmu.
Para Dewa
memberkatimu. Jika sembuh aku dan semua pembantu akan segera menumpas
orang-orang yang telah menimbulkan malapetaka!”
Begitu
mendapat izin, Wiro segera tempelkan telapak tangan kanannya ke kening Raja
Mataram. Namun hanya tinggal seujung kuku telapak tangan akan bersentuhan
dengan kening yang ada empat benjolan, tiba-tiba dari arah utara bukit
menggelegar dan berkiblat cahaya merah menyapu lereng Bukit Batu Hangus sebelah
barat. Walau matahari pagi telah menerangi lereng bukit namun kilau cahaya
merah membuat keadaan tambah benderang. Melihat bahaya besar ini Wiro cepat
menarik Raja Mataram ke balik batu besar lalu dari balik batu dia lepaskan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Dalam waktu hampir bersamaan di langit
Wiro melihat ada selarik sinar jingga melesat menghantam bagian tengah larikan
cahaya merah angker.
Letusan
dahsyat laksana seratus halilintar berkiblat menggoncang lereng Bukit Batu
Hangus sebelah barat ketika cahaya merah, sinar putih pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro serta cahaya jingga sating bentrokan di udara. Wiro mendengar
ada suara pekikan perempuan di atas sana. Lalu dia merasakan dadanya mendenyut
sakit. Sementara itu puluhan batu-batu besar mengepulkan asap, terbongkar
bergemuruh. Diantara suara gemuruh batu runtuh terdengar banyak suara jeritan.
Lalu tampak belasan orang berkaparan di lereng bukit dalam keadaan tubuh merah
melepuh, mengepulkan asap! Salah satu korban yang menemui ajal secara
mengenaskan itu adalah Klingkit Kuning, tokoh silat Istana Mataram berkepala
gundul kuning yang belum sempat ditolong dilenyapkan empat benjolan di
keningnya. Temyata hantaman cahaya merah memiliki kekuatan di atas cahaya putih
dan jingga!
Dari
lereng bukit sebelah atas kemudian terdengar suara tawa bergelak. Semula semua
orang yang ada di lereng bukit sebelah barat mengira salah seorang dari dua
Sinuhun jahat yang muncul menebar maut dengan serangan ilmu Delapan Arwah Sesat
Menembus Langit atau Delapan Sukma Merah. Namun ketika mereka menatap ke atas
lereng bukit yang tampak adalah Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari.
Saat itu dia masih mengenakan mantel hitam, namun ikat kepala dan pakaiannya
telah berganti dengan warna biru pekat. Dan di tangan kanannya dia memegang
sebuah benda yang terlihat aneh bagi semua orang Mataram tapi tidak aneh bagi
Pendekar 212 yang sebelumnya pernah melihat benda itu.
Satu
langkah di belakang Pangeran Matahari berdiri puluhan mahluk tinggi hitam
berperut buncit menebar bau amis! Kepala botak bercula. Setiap mulut terbuka
dari dalam mulut terjulur lidah panjang merah. Puluhan mahluk mengerikan ini
berdiri sambil pentang dua tangan ke atas. Sepuluh jari tangan memiliki kuku
panjang berwarna merah, mencuat laksana cakar elang! Meski dalam keadaan bugil
namun tidak diketahui apakah mereka lelaki atau perempuan karena bagian bawah
perut berbentuk licin plontos! Seratus Jin Perut Bumi Anak buah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah!
Di
jajaran sebelah depan berdiri mahluk Jin Perut Bumi bertampang paling angker
dengan hidung di Canteli sebuah anting-anting terbuat dari batu hitam.
Inilah
pimpinan Seratus Jin Perut Bumi yang biasa dipanggil dengan sebutan Sang Ketua.
Di dalam
“Dua Nyawa Kembar’ diceritakan bagaimana Wiro dihadang oleh Seratus Jin Perut
Bumi di dekat sebuah telaga selagi dia berusaha mencari Eyang Sinto Gendeng.
Dalam pertarungan mati hidup dengan mempergunakan pukulanpukulan sakti yang di
dapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh, Wiro berhasil menumpas musnah dua puluh
jin. Kini walau mereka tinggal delapan puluh namun tetap saja bakal
mendatangkan bahaya besar bagi Wiro dan semua orang yang ada di Bukit Batu
Hangus.
Tiba-tiba
Sang Ketua keluarkan satu suitan keras. Puluhan anak buahnya serta merta
melesat menebar dan dalam bilangan kejapan sudah membentuk lingkaran, mengurung
lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat! Melihat hal ini Wiro segera alirkan
tenaga dalam ke tangan kiri kanan, menyiapkan pukulan sakti warisan Datuk Rao BasaWang
Ameh yakni Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Pukulan Tangan Dewa
Menghantam Batu Karang. Dulu ketika dirinya diserbu Seratus Jin Perut Bumi
(baca episode sebelumnya berjudul “Dua Nyawa Kembar”) dengan dua pukulan sakti
itulah Wiro membantai dua puluh Jin Perut Bumi.
Sambil
memandang pada benda yang dipegang Pangeran Matahari di tangan kanan, Wiro
berkata dalam hati.
“Lentera
lblis! Bagaimana Pangeran keparat itu bisa mendapatkan kembali senjata jahanam
yang sudah hancur musnah itu? Pasti Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang
melakukan. Aku tidak melihat mahluk terkutuk itu bersama Pangeran Matahari!
Tapi aku merasa dia ada di sekitar sini. Memberi bantuan pada Pangeran keparat
itu secara sembunyi. Aku harus merampas atau menghancurkan lentera itu.
Bagaimana caranya. Aku ingat, ketika Eyang Sinto menghancurkan lentera itu
dulu, dia tidak mempergunakan ilmu kesaktian, tendangan atau pukulan. Dia hanya
menjepit lentera di antara dua kaki. Ada satu rahasia. Ada satu kelemahan pada
Lentera Iblis itu !”
Benda
yang berada di tangan kanan Pangeran Matahari memang adalah sebuah lentera yang
mempunyai pegangan berbentuk kepala ular naga terbuat dari sejenis perunggu,
mempunyai tiga dinding tembus pandang. Setiap dinding menyerupai kaca memiliki
warna berbeda yaitu merah, kuning dan hitam.
Seperti
diriwayatkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Api Di Puncak Merapi”sebelum
menemui kematian, Lentera Iblis yang menjadi senjata baru sang Pangeran
berhasil dilumpuhkan dan dibuat meledak hancur berkeping keping oleh Sinto
Gendeng. Kini bagaimana Pangeran Matahari muncul dengan membawa lentera itu
kembali dalam keadaan utuh?
Sebelumnya
Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menjajagi kalau Pangeran Matahari di
masa kehidupannya di alam delapan ratus tahun mendatang memiliki satu senjata
sakti hebat luar biasa. Setelah memandikan dan menjumpaijampai sang Pangeran di
Telaga Banyuraden serta memberikan seperangkat pakaian baru, Sinuhun Merah lalu
menanyakan pada Pangeran Matahari senjata apa yang pernah dimilikinya, yang
menurut penglihatan Sinuhun memancarkan cahaya tiga warna.
Pangeran
Matahari ingat pada Lentera liblis yang pernah dimilikinya latu memberi tahu
pada Sinuhun Merah. Sinuhun segera melakukan samadi kilat di atas satu pohon
besar di pinggir Telaga Banyuraden. Kalau mendatangkan manusia yang sudah mati
dan berada di alam arwah Sinuhun Merah mampu melakukan maka mengambil sebuah
benda mati seperti Lentera Iblis hanya merupakan satu hal mudah baginya.
“Kesatria
Roh Jemputan, aku sudah mendatangkan Lentera Iblis. Ini kesempatan terakhir
bagimu. Bunuh Raja Mataram, musnahkan semua orang, yang ada, di Bukit Batu
Hangus.”
Pangeran
Matahari anggukkan kepala. Dia cepat mengambil Lentera Iblis yang diserahkan
Sinuhun Merah. Tidak menunggu lebih lama secara gaib dan cepat Sinuhun Merah
lalu membawa Pangeran Matahari bersama senjatanya ke Bukit Batu Hangus. Di
tengah jalan melalui ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh dia memberi tahu
kepada saudara arwah kembarnya Sinuhun Muda agar segera menyusul ke Bukit Batu Hangus.
Saat itu Sinuhun Muda berada di satu tempat dalam keadaan marah setelah
dipermainkan oleh Empat Mayat Aneh.
Di Bukit
Batu Hangus walau Sinuhun Merah Penghisap Arwah berdiri tidak jauh dari sang
pangeran dan deretan delapan puluh jin namun tidak ada satu orangpun yang
melihat sosoknya karena dia melindungi diri dengan ilmu bernama Insan Berjalan
Tanpa Bayangan.
Keadaan
bagi Pendekar 212 Wiro Sableng, Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala dan semua orang Mataram yang ada di Bukit Batu Hangus memang sangat
mencekam. Selain di kurung oleh Seratus Jin Perut Bumi, mereka harus pula
menghadapi Kesatria Roh Jemputan yang kini membawa senjata sakti mandraguna
Lentera Iblis. Selain itu ditambah lagi dengan Sinul tun Merah Penghisap Arwah
yang secara licik tidak mau memperlihatkan diri. Belum terhitung Sinuhun Muda
Ghama Karadipa yang segera akan muncul. Satu malapetaka besar dan dahsyat akan
terjadi setiap saat atas diri Pendekar 212 dan orang-orang yang ada di Bukit
Batu Hangus.
Di batik
batu besar Raja Mataram yang tengah berusaha berdiri didatangi oleh Tabib
Sepuluh Jari Dewa. Pada saat itu Pendekar 212 sendiri tengah mengalirkan hawa
sakti ke seluruh tubuhnya yang tadi mengalami goncangan hebat akibat bentrokan
pukulan sakti yang dilancarkannya untuk menangkis serangan jurus pertama
Lentera Iblis jurus pertama Lentera Iblis yang disebut Api Neraka.
“Yang
Mulia, harap tetap duduk dulu di tempatmu. Saya akan melenyapkan benjolan di
kening Yang Mulia.”
Dengan
cepat tabib gemuk yang sudah diselamatkan Wiro ini ulurkan tangan kanan ke arah
kening Raja Mataram. Namun sebelum dia sempat menyentuh kening Rakai Kayuwangi
tiba-tiba satu tangan luar biasa besar, hitam berbulu dan memiliki lima kuku
mencuat merah mencekal lengannya. Sang tabib merasa tubuhnya seperti dipanggang
oleh hawa panas luar biasa yang keluar dari tangan yang mencekal. Tiba-tiba!
Sekali puntir saja kraak! Tangan kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa berderak tanggal
di bagian persendian bahu !
*********************
LIMA
SELAGI
Tabib Sepuluh Jari Dewa menjerit kesakitan, satu sosok tinggi besar menebar bau
amis membanting tubuhnya ke batu besar. Bagaimanapun tabib ini bukan cuma ahli
dalam bidang pengobatan tapi juga menguasai ilmu silat dan kesaktian. Ketika
tubuhnya menghunjam ke bawah dia masih sempat memberi perlawanan. Dengan tangan
kiri dia melepas Pukulan Tangan Api Menjebol Tembok Berhala. Tangan gemuk
pendek sang tabib berubah panjang dan merah membara lalu bukk ! Tangan itu
menghantam telak dada mahluk tinggi besar yang berdiri di hadapannya yang bukan
lain adalah salah satu dari sisa delapan puluh mahluk Seratus Jin Perut Bumi !
“Wusss !”
Dada jin
yang kena dihantam pukulan berlobang besar. Dari dalam lobang menggebubu
kobaran api. Jeritan keras menggelegar keluar dari mulut Jin Perut Bumi.
Sebelum tubuhnya hancur dalam bentuk kepingan yang dikobari api dan amblas
masuk ke dalam tanah Jin Perut Bumi masih sempat melanjutkan membanting Tabib
Sepuluh Jari Dewa ke atas batu. Malangnya kepala sang tabib sampai lebih dulu.
Sekejapan
lagi batok kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa akan pecah beradu dengan batu besar
tiba-tiba satu bayangan jingga melesat dari arah kiri dan satu kaki aneh
menyorong di antara kepala dan batu.
“Dess !”
Kepala
Tabib Sepuluh Jari Dewa membentur kaki aneh. Dia terkesiap karena merasa
kepalanya seolah membentur gumpalan kapas lembut, bukannya gundukan batu keras.
Kemudian seperti bola kepala dan tubuh Tabib Sepuluh Jari Dewa membal ke udara.
Kepala sang tabib selamat dari kehancuran, nyawanya lolos dari kematian !
Sadar
kalau ada yang menolong dirinya Tabib Sepuluh Jari Dewa cepat membuat gerakan
jungkir balik. Ketika dia injakkan kaki di tanah, berdiri termiring-miring
karena tangan kanan tergontai-gontai lepas dari persendian, di hadapannya di
atas batu dia melihat tegak seorang gadis berkaki satu, mengenakan pakaian
jingga, memiliki hidung yang terletak di pipi kanan dan menggendong seorang
anak perempuan yang bukan lain adalah Ni Gatri.
Ah ! Sang
tabib terkejut. Dia tidak menyangka kalau yang menolong adalah gadis aneh yang
sebelumnya pernah dicurigainya. Sambil membungkuk orang tua bertubuh gemuk ini
berkata.
“Dewi
Kaki Tunggal! Hyang Jagat Bathara! Terima kasih telah menyelamatkan selembar
nyawa burukku!”
Dewi Kaki
Tunggal alias Sakuntaladewi turunkan Ni Gatri dari dukungan sambil berbisik
“Cari tempat berlindung yang aman.”Lalu gadis berkaki satu itu melompat ke
samping Pendekar 212. “Wiro, aku yakin sebentar lagi puluhan jin di atas sana
akan menyerang semua kita di sini. Pangeran keparat itu akan menggempur dengan
lenteranya. Secara sembunyi Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan ikut melancarkan
serangan licik tapi sangat berbahaya. Raja belum sempat ditolong …”
“Biar aku
yang menolong Raja Mataram!”Ada satu suara menyahuti. Satu bayangan biru
berkelebat. Rauh Kalidathi! Nenek bermuka bulat tak beralis yang barusan sembuh
ditolong Eyang Dukun Umbut Watukura langsung melompat ke hadapan Sri Maharaja
Mataram. Tangan kanan dipentang ke arah kening.
“Yang
Mulia, maafkan saya karena berani menyentuhmu!”
Tidak
terduga tiba-tiba wuuutt …. wuuut!
Dua sosok
bugil tinggi besar sambil keluarkan suara menggembor mengikuti gerakan Rauh
Kalidathi dari belakang. Ternyata tadi bukan hanya satu Jin Perut Bumi yang
melesat dari lereng bukit di atas sana, tapi masih ada dua temannya.
Keduanya,
dalam keadaan marah besar setelah melihat seorang kawan mereka menemui ajal
hancur berkeping-keping akibat jotosan Tabib Sepuluh Jari Sakti.
Sebenarnya
mereka ingin menghabisi sang tabib lebih dulu, namun ketika melihat Rauh
Kalidathi hendak menolong Raja maka dengan cepat mereka mengejar si nenek.
“Nek awas
di belakangmu!”Ni Gatri yang berada di balik satu batu besar berteriak
memperingatkan Rauh Kalidathi.
“Nek!
Teruskan menolong Raja! Aku akan melindungimu!”Dewi Kaki Tunggal berteriak lalu
melesat ke udara. Kaki tunggalnya laksana kilat berturut turut mengirimkan dua
tendangan ke arah kepala dua Jin Perut Bumi.
“Dukk!
Dukkk!”
Dua
tendangan yang bisa menghancurkan batu sebesar rumah itu menghantam sasaran
dengan telak tapi temyata tidak mempan. Walau kepala terdongak keras dan kaki
mereka amblas ke dalam tanah sampai pertengahan betis, dua Jin Perut Bumi hanya
mengerenyit merasakan sakit yang tidak berarti. Didahului suara menggembor
keras dua Jin Perut Bumi membuka mulut lebar-lebar. Dua lidah merah menyala
melesat keluar, menyambar Dewi Kaki Tunggal!.
“Plaakk!”
Telapak
tangan kanan Rauh Kalidathi mendarat di kening Rakai Kayuwangi.
Namun
saat itu tubuh si nenek secara tidak sengaja terdorong oleh gerakan mengelak
yang dilakukan Dewi Kaki Tunggal yaitu ketika di serang dua Jin Perut Bumi.
Akibatnya dari empat buah benjolan yang ada di kening Raja Mataram, hanya dua
saja yang tersentuh dan mampu dilenyapkan oleh Rauh Kalidathi.
Sadar
akan hal ini si nenek kembali pergunakan tangan kanan untuk menyentuh kening
Raja. Namun saat itu di belakangnya dia mendengar suara teriakan Dewi Kaki
Tunggal. Selain itu dari sekeliling lereng bukit sebelah atas dengan
mengeluarkan teriakan hiruk-pikuk puluhan Jin Perut Bumi melompat turun
menyerbu. Puluhan lidah merah berkelebat ganas laksana pecut api. Beberapa batu
besar yang terkena sambaran lidah api terbelah berkeping keping, berubah seolah
menjadi bara menyala!
Di saat
bersamaan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari sentakkan Lentera Iblis
yang dipegang di tangan kanan. Didahului suara menggelegar keras laksana petir
menyambar cahaya merah berkiblat. Untuk kedua kalinya murid Si Muka Bangkai ini
lancarkan serangan Api Neraka yang sebelumnya telah membantai belasan orang
Mataram di lereng Bukit Batu Hangus. Hanya saja kali ini serangan Lentera Iblis
ditujukan tepat-tepat ke arah Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
“Dewi!”Wiro
berteriak ketika melihat arah kilatan serangan lawan. “Lindungi Raja!”Dia tidak
bisa turun tangan sendiri karena walau melihat dua puluh Jin Perut Bumi melesat
ke arah Raja Mataram namun puluhan lainnya menyerbu
menghadang
dirinya!
Wiro
sendiri yang saat itu telah berhasil memulihkan keadaan dirinya dengan cepat
melesat ke udara sambil lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan
Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan dua pukulan sakti pemberian Datuk
Rao Basaluang Ameh inilah dia sebelumnya telah membantai dua puluh Jin Perut
Bumi yang menghadangnya di tepi telaga. Namun Pendekar 212 jadi terkesiap kaget
sewaktu menyaksikan sosok belasan Jin Perut Bumi yang ada di hadapannya hanya
terpental beberapa langkah, tidak cidera sedikitpun!
Padahal
dulu dengan dua pukulan sakti itu dia mampu membuat tubuh dua puluh Jin Perut
Bumi hancur berkeping keping. Saat itu Wiro telah melayang turun dan berdiri di
atas satu batu besar.
“Aneh,
apa yang terjadi?!” Ketika puluhan Jin Perut Bumi kembali menyerang Wiro baru
melihat, tidak seperti dulu, kini tubuh mahluk alam gaib itu semuanya
diselimuti selapis cahaya samar berwarna kuning bersemu merah. “Ada kekuatan
hebat melindungi mereka!” Ucap Wiro dalam hati.
Tiba-tiba
dari balik batu besar terdengar suara. Yang berkata adalah Tabib Sepuluh Jari
Dewa yang saat itu masih cidera berat, karena tangan kanan tanggal dari
persendian di bahu akibat dipuntir oleh salah satu Jin Perut Bumi.
“Kesatria
Panggilan. Mahluk-mahluk jin itu berasal dari api. Berarti hanya mampu dihabisi
dengan ilmu yang berinti pada kekuatan api atau hawa panas.
Aku tadi
… Ah, maafkan, aku tidak bisa bicara banyak. Aku harus membantu menyelamatkan
Sri Maharaja…”Sang tabib yang masih dalam keadaan cidera tangan kanannya,
bersama Eyang Dukun Umbut Watukura, Dewi Kaki Tunggal dan beberapa orang lainnya
yang memiliki kepandaian tinggi segera berkelebat memagari Raja dari serangan
dua puluh Jin Perut Bumi. Walau tangan kanan sang tabib cidera namun Jin Perut
Bumi merasa jerih mendekati Tabib Sepuluh Jari Dewa karena dengan tangan
kirinya orang tua bertubuh gemuk ini masih sanggup melancarkan Pukulan Tangan
Api Menjebol Tembok Berhala yang bisa membuat bolong tubuh mereka lalu meledak
hancur berkeping keping. Mereka mengincar kelengahan lawan dan siap menyerang
dengan semburan lidah merah menyala.
“Terima kasih
atas petunjukmu Kek!”Wiro yang mendengar ucapan Tabib Sepuluh Jari Dewa tidak
menunggu lebih lama segera pentang tangan kanan. Dia punya dua pilihan ilmu
kesaktian yang berdasarkan hawa panas atau inti api. Yang pertama dengan
mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu api sakti, yang kedua menghajar
lawan dengan Pukulan Sinar Matahari! Wiro memilih yang kedua. Maka tangan kanan
sang pendekar mulai dari siku sampai ke lima ujung jari tampak berubah laksana
perak, bercahaya menyilaukan dan menghampar hawa luar biasa panas.
Di atas
lereng bukit sebelah utara Sinuhun Merah Penghisap Arwah bertanya.
“Kesatria
Roh Jemputan, kau tahu pukulan sakti apa yang dimiliki jahanam berambut
gondrong itu. Aku mencium hawa panas sangat berbahaya. Aku kawatir….”
Belum
sempat Pangeran Matahari menjawab tiba-tiba!
“Wusssss!”
Sinar
putih berkiblat di lereng Bukit Batu Hangus sebelah barat. Udara serta merta
berubah luar biasa panas seolah matahari berada hanya satu jengkal di atas
kepala!
Pukulan
Sinar Matahari!
Belasan
Jin Perut Bumi yang ada di deretan sebelah depan dan siap hendak melumat Wiro
dengan lidah api merah, menggembor keras. Suara gemboran serta merta berubah
menjadi raungan setinggi langit begitu mereka merasakan, sambaran hawa panas.
Beberapa di antara mereka dengah nekad meneruskan serangan, yang lain-lain
cepat menghindar.
Namun
semua menjerit keras begitu Pukulan Sinar Matahari menghantam.
Cahaya
putih berkilau dan panas luar biasa menebar laksana kipas raksasa dikembang.
Delapan belas Jin Perut Bumi terangkat ke udara. Lidah panjang merah yang
mencuat berputar melintir berubah menjadi pendek dan berwarna hitam mengepulkan
asap. Hanya sesaat mengambang di udara tiba-tiba tubuh sekian banyak mahluk
gaib ini meletup keras dan hancur berkeping-keping lalu amblas ke dalam tanah
di sela-sela bebatuan, meninggalkan tebaran bau amis!
Di atas
lereng bukit sebelah utara Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang berdiri di
samping Pangeran Matahari tapi tidak terlihat mata biasa karena menerapkan Ilmu
Insan Berjalan Tanpa Bayangan tersentak kaget. Sepasang mata mendelik besar,
tengkuk merinding dan darah mendidih. Dari batok kepalanya mengepul delapan
larik asap merah! Di sebelahnya pimpinan Seratus Jin Perut Bumi yang biasa
disebut Sang Ketua atau Jin Ketua berteriak marah. Cula besar di kepala
pancarkan cahaya merah menyala. Sepuluh kuku jari mencuat panjang, merah
menggidikkan dan lidah api menyembur bergulung gulung. Sekali dia menghentak
kaki kanan ke atas batu tubuh tinggi besarnya melesat ke lereng bukit sebelah barat.
Dari sepasang mata menyambar keluar cahaya merah angker.
“Jin
Ketua! Jangan nekad mencari mati! Kau tidak akan sanggup menghadapi pukulan
bercahaya putih dan panas keparat Kesatria Panggilan!”
Tanpa
hentikan gerakan Jin Ketua menjawab teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
“Kalau begitu lindungi diriku dengan Cahaya Arwah Kuning Merah!”
“Tidak
ada gunanya! Aku telah melakukan hal itu pada puluhan anak buahmu!
Kau
saksikan sendiri! Pukulan sakti pemuda gondrong itu menghajar hancur mereka
semua!”
Sang Ketua
menyahut sengit. “Lalu apa gunanya menghadirkan Kesatria Roh Panggilan kalau
hanya menjadi penonton di tempat ini sementara puluhan anak buahku mati
berkaparan!”
Mendengar
ucapan Sang Ketua Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang berdiri di dekat Pangeran
Matahari menyumpah panjang. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan.
“Kurang
ajar! Pemuda keparat itu ternyata memiliki ilmu pukulan inti api mengandung
hawa panas! Aku harus menerapkan ilmu Serat Berhala. Tapi apakah kali ini akan
berhasil?!”
Ketika Wiro
kembali mengangkat tangan siap menghantam dua puluh Jin Perut Bumi yang tengah
menyerbu ke arah Raja Mataram, Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat berteriak.
“Kesatria
Roh Jemputan! Cepat alihkan arah serangan Lentera Iblis pada pemuda keparat
berambut gondrong itu!”
Seperti
diketahui sebelumnya Pangeran Matahari dengan mengandalkan Lentera Iblis telah
melancarkan serangan Api Neraka ke arah Raja Mataram.
Namun
mendengar perintah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, apa lagi tadi dia menyaksikan
sendiri bagaimana Wiro melabrak belasan Jin Perut Bumi dengan pukulan sakti
yang dikenalinya sebagai Pukulan Sinar Matahari, dengan cepat dia segera putar
pergelangan tangan sambil lipat gandakan tenaga dalam.
Lentera
Iblis berubah arah, menukik ke jurusan Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu
juga tengah mendapat serbuan dari sisa-sisa Jin Perut Bumi yang kini tinggal
sekitar enam puluh termasuk dua puluh yang menyerbu ke arah Raja!
Sekali
lagi terdengar suara menggelegar laksana petir menyambar. Cahaya merah pekat yang
keluar dari Lentera Iblis berkiblat ke arah lereng Bukit Batu Hangus sebelah
barat!
Perhatian
Wiro jadi terpecah. Yaitu mengawatirkan keadaan Raja Mataram sementara dirinya
kembali diserang puluhan Jin Perut Bumi. Dalam pada itu ketika memandang ke
arah utara dia melihat kilatan serangan Api Neraka yang keluar dari Lentera
Iblis telah berubah arah, kini tertuju tepat ke padanya!
“Celaka!
Aku tidak tahu kelemahan Lentera Iblis! Apa Pukulan Sinar Matahari sanggup
membendung?!”Wiro geser dua kaki, membuat kuda-kuda yang lebih kokoh pertanda
sang pendekar akan melancarkan pukulan sakti dengan tenaga dalam penuh!
Mendadak
satu bayangan merah berkelebat dari arah timur. Daya lesatnya luar biasa cepat,
tidak kalah dari kecepatan sambaran Api Neraka yang menyembur keluar dari
Lentera Iblis. Berbarengan dengan itu ada suara orang berseru.
“Aih!
Mengapa aku baru tahu kalau Bukit Batu Hangus ada petirnya!”
“Sialan!”Wiro
memaki karena gerakannya hendak melepas pukulan sakti terhalang oleh sosok
orang. Meski jengkel namun murid Sinto Gendeng tidak mau kesalahan tangan
membunuh orang atau sahabat sendiri. Lelaki itu dia juga merasa heran, siapa
gerangan orang yang bertindak nekad menghalangi datangnya serangan Api Neraka
Lentera Iblis. Apa dia punya dua raga dua nyawa?!
*********************
ENAM
DEWI KAKI
TUNGGAL yang mengenali siapa adanya orang berpakaian merah cepat berteriak.
“Jaka
Pesolek! Jangan tolol! itu bukan petir. itu serangan senjata maut! Awas!
Lekas
menghindar!”
Mungkin
tidak mendengar seruan gadis berkaki satu, mungkin juga tidak perduli orang
berpakaian merah muda yang memang adalah Jaka Pesolek si Penangkap Petir terus
saja melesat menyongsong sambaran cahaya merah yang keluar dari Lentera Iblis.
Semua
orang di lereng barat Bukit Batu Hangus termasuk Raja Mataram terkesiap
membelalak, ada yang berseru kaget tidak percaya ketika melihat bagaimana Jaka
Pesolek mengembangkan dua tangan lalu secepat kilat menangkap ujung cahaya
merah yang sebenarnya adalah serangan ilmu kesaktian Api Neraka yang keluar
dari Lentera Iblis di tangan Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari!
Jaka
Pesolek juga keluarkan seruan kaget karena tidak seperti petir yang beberapa
kali berhasil ditangkap sebelumnya, petir yang satu ini walau agak mudah
ditangkap namun mempunyai daya kekuatan aneh hingga pemuda pesole
kini
nyaris terbanting ke bukit batu.
“Hebat!
Petir Bukit Batu Hangus ternyata Lebih nakal dari petir Bukit Randugunting! Aku
suka! Hik … hik!”
Jaka
Pesolek lalu perhatikan pakaian, tubuh serta kaki dan mengusap wajah.
”Aneh,”ucapnya
perlahan. “Tidak seperti yang sudah-sudah, mengapa pakaian dan tubuhku tidak
tertutup bara api? Hik … hik … hik. Ini lucu! Petir Bukit Batu Hangus ternyata
lucu! Hik… hik…hik!”
Suara
yang terdengar suara lelaki tetapi lembut sedang suara tawa cekikikan
menyerupai tawa perempuan.
Jaka
Pesolek kerahkan seluruh ilmu kesaktian pada kedua tangan. Dia berhasil
menggulung cahaya merah lalu ditarik ke bawah seperti menarik benang
layanglayang kemudian dilibat-libatkan ke kaki, pinggang dan dada! Setelah itu
Jaka Pesolek gulingkan tubuh beberapa kali di tanah sambil keluarkan suara tawa
gembira seperti anak kecil tengah bermain-main.
“Enak
juga panasnya! Tapi tidak seenak panasnya petir di Bukit Randugunting!
Pusarku
terasa geli! Hik…hik!”
Setelah
puas bermain main dengan cahaya merah yang sebenarnya merupakan cahaya serangan
maut, Jaka Pesolek melompat bangun. Ujung cahaya Api Neraka dilempar keatas dan
meledak di lereng bukit pada ketinggian enam tombak!
“Oala!
Mengapa meledaknya aneh?!”
Jaka
Pesolek berucap kaget terheran-heran. Begitu memandang berkeliling barulah dia
melihat apa yang terjadi dan langsung bulu kuduknya jadi merinding.
“Ihhh..!”
Pangeran
Matahari terjengkang akibat tenaga serangan Lentera Iblis yang membalik
menghantam dirinya, Sinuhun Merah Penghisap Arwah berteriak kaget dan juga
marah. Bukan saja karena serangan Api Neraka musnah namun dari atas bukit
mereka melihat bagaimana tebaran cahaya merah melesat ke berbagai arah dan
secara liar melabrak Jin Perut Bumi yang saat itu tengah melesat turun untuk
menyerang Raja Mataram serta Pendekar 212.
Puluhan
Jin Perut Bumi terpanggang hangus, meledak lalu lenyap setelah lebih dulu
berubah menjadi kepingan menyala. Raungan dahsyat menggelegar di seantero
tempat. Beberapa orang Mataram yang ada di lereng bukit ikut menjadi korban.
Yang lain-lain masih bisa selamatkan diri karena cepat bertiarap. Jaka Pesolek
menatap ke udara, memandang berkeliling. Dia seolah baru menyadari kalau ada
banyak orang di tempat itu. Dua orang diantara mereka dikenalinya yaitu Dewi
Kaki Tunggal dan Ni Gatri.
“Aih, di
tempat ini ternyata banyak lelaki gagah dan ada pemuda lucu tapi ganteng. Aduh
bagaimana wajahku. Jangan-jangan tidak karuan rupa!”Dari balik pakaiannya Jaka
Pesolek keluarkan sebuah cermin. Sambil menatap ke dalam cermin rambut
dipatut-patut. Lalu dia mengeluarkan sebuah potongan kayu kecil berwarna merah.
Benda ini dipoleskan ke atas bibir hingga bibir itu kini berwarna lebih merah
dan tampak lebih segar. Setelah merapikan wajah, rambut dan pakaiannya, Jaka
Pesolek simpan kembali cermin dan alat pemerah bibir. Dia memandang ke arah
Rakai Kayuwangi sambil hati menduga duga karena seumur hidup dia memang belum
pernah bertemu muka dengan Raja Mataram. Lalu gadis berkumis halus ini
lontarkan lirikan pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
Jin Ketua
yang tengah melesat hendak menyerang Wiro menggembor keras sewaktu merasa paha
kirinya mendadak panas luar biasa. Ketika diperhatikan ternyata paha itu sudah
buntung. Rupanya ada pecahan sinar Lentera iblis yang terpesat menghantam
kakinya. Ujung buntungan kaki menyala dikobari api sementara kutungan kaki
sebelah bawah tidak diketahui berada dimana! Sebelum tubuhnya meledak Sang
Ketua melesat turun ke bukit berusaha mencari air untuk memadamkan api yang
mulai naik ke tubuhnya sebelah atas. Dari udara dia melihat satu mata air
kecil. Langsung saja dia mengayun tubuh lalu masukkan kaki kirinya yang
terbakar ke dalam mata air.
“Cesss!”
Air dan
kaki yang terbakar saling bersentuhan menimbulkan suara menggidikkan. Jin Ketua
menjerit setinggi langit namun dia selamat dari kematian! Cula di kepala
pancarkan cahaya merah terang tapi berkedap-kedip.
Lidah di
dalam mulut terasa kaku pendek, tak mampu dijulur keluar. Dalam keadaan seperti
itu pimpinan Jin Seratus Perut Bumi ini terperangah kaget ketika tiba-tiba dia
melihat satu tangan kiri panjang merah menyala dengan jari-jari membentuk tinju
hanya berada sejengkal di depan dadanya, siap menjotos! Jika hal itu sampai
terjadi maka tak ampun lagi tamatlah riwayatnya dengan dada bolong dan tubuh
dilamun api lalu meledak seperti yang terjadi dengan salah seorang anak buahnya
begitu pertama kali mereka datang di Bukit Batu Hangus.
“Pukulan
Tangan Api Menjebol Tembok Berhala!”ucap Jin Ketua dengan dada bergetar sambil
menatap pucat ke arah Tabib Sepuluh Jari Dewa yang tegak di hadapannya. Kalau
saja lidah di dalam mulutnya tidak berubah pendek dan kaku, saat itu juga pasti
orang yang berdiri di hadapannya sudah dilibas. Melirik ke samping kiri dia melihat
gadis berkaki satu dan Eyang Dukun siap menghantam. Di samping kanan Kesatria
Panggilan tegak dengan wajah menyeringai dan tangan kanan masih memancarkan
cahaya perak menyilaukan disertai sambaran hawa panas. Lalu masih ada satu lagi
orang tua berkepala gundul kuning yakni Klingkit Kuning yang dari penampilannya
pasti pula memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tidak ada kesempatan untuk lolos
dari lobang jarum!
Satu
satunya cara menyelamatkan diri adalah dengan mengamblaskan tubuh masuk ke
dalam tanah. Tapi jika gerakannya terlambat dan tangan kanan Tabib Sepuluh Jari
Dewa menghajar tubuh atau kepalanya lebih dulu maka celakalah dirinya! Apakah
dia berjibaku saja atau mengintai kelengahan orang?!
Perlahan-lahan
Jin Ketua jatuhkan tubuh dan duduk di tanah setengah bersila.
Dengan
suara bergetar dia berkata.
“Tabib
Sepuluh Jari Dewa. Aku mahluk bersalah! Aku menyesal telah mengkhianati Raja
dan Kerajaan Mataram yang memberi peluang hidup padaku, yang dulu pernah aku
bela ketika terjadi pemberontakan besar di Bhumi ini.
Untuk
menebus dosa kesalahanku, aku tidak akan menghindari kematian di tanganmu.
Namun, jika kau masih mau berbaik hati dan menaruh belas kasihan, aku mohon kau
memberi ampun pada diriku. Aku merasa tidak sanggup kembali ke alam roh untuk
selama lamanya. Aku akan berbakti padamu selama bumi terkembang!”
Tiba-tiba
dua puluh satu Jin Perut Bumi anak buah Jin Ketua yang masih hidup melompat
lalu berlutut di samping kiri kanan Tabib Sepuluh Jari Dewa. Salah seorang dari
mereka berkata.
“Tabib
sakti, jangan bunuh pemimpin kami. Kami bersedia menjadi tumbal kematian untuk
kau bunuh sebagai pengganti nyawa gaib pimpinan kami.”Habis bicara, diikuti
teman-temannya jin tadi pentang dada ke arah Tabib Sepuluh Jari Dewa, kepala
mendongak, sepasang mata merah dipejamkan. Semua tampak pasrah, siap, menerima
kematian.
Sesaat
Tabib Sepuluh Jari Dewa jadi terpana. Namun diam-diam orang tua ini berpikir
mengapa Ketua Seratus Jin Perut Bumi minta pengampunan padanya, bukan jatuhkan
diri berlutut dan memohon pada Raja Mataram.
Dalam
kebimbangan sang tabib melirik pada Dewi Kaki Tunggal dan Eyang Dukun Watukura
yang berdiri di dekatnya. Eyang Dukun diam saja. Gadis berkaki satu geleng
gelengkan kepala. sambil memandang ke arah Pendekar 212. Sang pendekar sendiri
kemudian menatap ke arah Raja Mataram. Saat itulah dia menyadari bahwa di
kening Raja masih terdapat dua benjolan merah. Berarti Raja masih berada dalam
keadaan bahaya. Tidak mau membuang waktu Wiro segera melompat ke hadapan Rakai
Kayuwangi dan sapukan telapak tangan kanan di atas dua benjolan. Sambil
melompat ke arah Raja Wiro berteriak.
“Jangan
percaya ucapan mahluk-mahluk alam gaib itu. Mereka semua pandai menipu!”
“Dess!”
Wiro
tersentak kaget ketika tangan kanannya terpental begitu bersentuhan dengan
kening Raja. Mata mendelik tatkala melihat dua benjolan yang ada di kening Raja
masih ada, tidak musnah! Malah tangan kanannya tampak bergetar hebat dan terasa
seperti mau lumpuh! Wiro cepat kerahkan hawa sakti yang bersumber pada Kapak
Naga Geni 212 yang ada di dalam rongga dada, dibantu yang ada dalam aliran
darahnya!
*********************
TUJUH
MELIHAT
keadaan Pendekar 212 Dewi Kaki Tunggal maklum apa yang terjadi. Cepat dia
berteriak.
“Wiro!
Ada orang coba menyusupkan ilmu jahat ke tanganmu! Ingat peristiwa waktu kau berusaha
melenyapkan benjolan merah di kening Lemayang dan orang malang itu pecah
kepalanya?! Saat ini agaknya kau masih menyimpan kekuatan tenaga dalam dan aji
pukulan sakti di tangan kananmu hingga ilmu jahat yang hendak disusupkan tidak
bisa tembus dan dirimu serta Raja selamat dari celaka besar!”
Raja
Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala tersentak pucat. Murid Sinto Gendeng
terperangah. Mata Masih membelalak menatap ke arah Raja Mataram lalu pandangi
tangan sendiri yang berwarna putih perak karena masih dialiri aji kesaktian
puku1an Sinar Matahari.
“Ilmu
Serat Berhata!” Ucap Wiro yang masih ingat dan menyebut nama ilmu hitam yang
untuk kedua kali hampir menclakainya dan Raja Mataram. “Jahanam keji. Pasti
Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang punya pekerjaan. Tapi aku tidak melihat dia
ada di atas lereng bukit sebelah utara sana!”
“Dia
pasti ada di sana. Sembunyi dibalik ilmu kesaktian yang menyesat pandangan
mata!” Jawab Dewi Kaki Tunggal.
Mendengar
ucapan gadis berkaki satu itu serta merta Wiro kembali merapal aji kesaktian.
Begitu tangan kanan berubah warna menjadi perak menyilaukan dan menghampar hawa
panas, dia segera menghantam ke arah bukit sebelah utara.
Namun
satu hal tidak terduga mendadak berlangsung di depan mata.
Selagi
semua orang terbagi perhatiannya pada Raja, Dewi Kaki Tunggal dan Wiro, Jin
Ketua pergunakan kesempatan. Laksana kilat tangan kanannya yang besar dan
berkuku panjang melesat ke arah kepala Tabib Sepuluh Jari Dewa tanpa sang tabib
mampu membuat gerakan selamatkan diri.
“Praakk!”
Tabib
Sepuluh Jari Dewa terjengkang di tanah dengan kepala rengkah menggidikkan.
Semua
orang yang ada di tempat itu berteriak kaget dan marah. Tapi wusss!
Dengan
mempergunakan ilmu kesaktiannya Jin Ketua amblaskan diri lenyap masuk ke dalam
bumi, meninggalkan tanah dan debu serta kepingan batu yang bermuncratan ke
udara.
“Akan aku
kejar!” Dewi Kaki Tunggal berteriak. Tadi dia telah menyelamatkan tabib sakti
itu. Ternyata sekarang tetap saja menemui ajal.
Amarah
Dewi Kaki Tunggal bukan alang kepalang. Tabib Sepuluh Jari Dewa dibunuh di
depan mata kepalanya! Didahului teriakan keras Dewi Kaki Tunggal hunjamkan
kakinya yang hanya satu ke dalam tanah lalu tubuhnya berputar laksana gasing.
Dalam sekejapan saja sosok Dewi Kaki Tunggal sudah tenggelam sampai ke pinggang.
Namun sebelum gadis itu lenyap dari permukaan tanah Raja Mataram cepat melompat
memegang bahunya.
“Dewi,
kau bisa mengejar. Tapi tidak akan mampu membunuh mahluk celaka itu. Bukan aku
merendahkan ilmu kepandaianmu. Namun aku menduga kau tidak memiliki ilmu
kesaktian yang berinti pada kekuatan panas atau api. Terialu berbahaya. Kau
bisa celaka dan menemui ajal!”
Menyadari
Apa yang dikatakan Raja Mataram benar adanya, Dewi Kaki Tunggal tidak
membantah. Dia memutar tubuh ke arah berlawanan dan kejap itu juga mencuat
keluar dari dalam tanah.
Walau
mengenal Tabib Sepuluh Jari Dewa belum lama dan malah pernah mencurigai dirinya
namun kematian orang tua bertubuh gemuk yang sangat mengenaskan itu membuat
Pendekar 212 Wiro Sableng mendidih amarahnya.
Pukulan
Sinar Matahari yang tadinya hendak dipakai untuk menyerang musuh di lereng
bukit sebelah utara kini dihantamkan ke arah dua puluh Jin Perut Bumi yang
masih ada di tempat itu.
Dua kah
terdengar suara menggelegar dan dua kali pula cahaya putih panas menyapu.
“Gila!
Ada petir bisa keluar dari tangan! Dua petir sekaligus!” Tiba-tiba ada suara
orang berteriak.
Sementara
itu dua puluh Jin Perut Bumi ketika melihat dua serangan sinar putih berkiblat
menyambar ke arah mereka menjerit keras, berusaha melesat ke atas dan ada yang
meniru pimpinannya, mengamblaskan diri ke dalam tanah.
Namun
Pukulan Sinar Matahari datang menghantam luar biasa cepat. Dua puluh Jin Perut
Bumi mencelat ke udara dengan tubuh dikobari api. Begitu jatuh di atas bukit
tubuh mereka tampak gosong hitam lalu meledak berkeping keping, berubah jadi
asap dan akhirnya lenyap dari pemandangan, meninggalkan tebaran bau amis.
Di lereng
bukit sebelah utara terdengar teriakan-teriakan marah dan menyumpah.
Wiro
melirik ke arah Raja Mataram ketika dia mendengar Rakai Kayuwangi menghela
nafas dalam. Wajah sang Raja tampak redup. Dewi Kaki Tunggal membisikkan
sesuatu ke telinga Wiro.
“Yang
Mulia, apakah saya telah membuat kesalahan? Membunuh puluhan jin tadi?” Wiro
bertanya setelah mendengar bisikan gadis berkaki satu.
“Kejahatan
dan mahluk-mahluk jahat memang harus dimusnahkan dari muka bumi. Namun aku
merasa hiba. Mahluk-mahluk yang disebut Seratus Jin Perut Bumi itu dulu adalah
mahluk gaib yang berbakti pada para sepuh Kerajaan Mataram. Mereka ikut
menyelamatkan Kerajaan ketika terjadi pemberontakan besar…”
“Yang
Mulia, kalau saya telah berbuat keliru saya mohon maaf. Namun masa lalu adalah
sesuatu yang tidak akan pernah datang lagi. Kita harus menghadapi kenyataan
yang ada saat ini, Apakah kita akan menjadi korban kejahatan atau kita harus
membasmi kejahatan agar kita tidak menjadi korban…”
Raja
terdiam lalu pegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Kesatria Panggilan, kau
tidak keliru…” katanya kemudian.
Wiro
alihkan pandangan ke arah lereng bukit sebelah utara. Raja Mataram dan semua
orang yang masih hidup ikut palingkan kepala memandang arah yang sama. Di
lereng bukit sebelah utara Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari tidak
kelihatan lagi. Namun di atas sana kini ada cahaya samar redup berwarna kuning
kemerahan. Sayangnya tidak semua orang yang terlalu memperhatikan hal ini.
Kecuali Dewi Kaki Tunggal yang berbisik pada Pendekar 212.
“Wiro,
walau tidak kelihatan aku menduga orangorang jahat itu masih ada di lereng
bukit sebelah utara. Mereka sembunyi dibalik ilmu penyesat mata. Selain itu ada
cahaya redup aneh di atas bukit sana…”
“Dewi,
harap kau terus memperhatikan. Sesuatu yang mencelakakan bisa terjadi secara
mendadak,”menjawabPendekar212.
Sementara
itu Raja memerintahkan beberapa pengawal mengurus jenazah Tabib Sepuluh Jari
Dewa dan Klingkit Kuning. 11Kita akan menyemayamkan lalu membakar jenazah Tabib
dan Klingkit Kuning bersama jenazah semua orang yang ada di bukit ini.”
Pendekar
212 berkata pada Dewi Kaki Tunggal. “Dewi, cepat kau lenyapkan dua benjolan
merah yang masih ada di kening Raja Mataram. Aku tidak mau melakukan sendiri,
kawatir ilmu setan Serat Berhala masih bersarang dalam tanganku.”
“Tapi aku
tidak punya ilmu kesaktian itu karena tidak kejangkitan benjolan merah.
Maksudku, aku belum kebagian ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang kau miliki.
Bagaimana kalau kita minta Eyang Dukun saja yang melakukan…” Jawab
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal. Wiro menggaruk kepala.
“Tidak,
harus kau sendiri yang melakukan. Jangan kawatir, aku akan menolongmu. Bukankah
kau yang memberi tahu jika dipakai untuk menolong, dengan kehendak Yang Maha
Kuasa ilmu itu bisa dipindahkan pada orang lain.”
Wiro lalu
letakkan tangan kanan di punggung si gadis. Sambil merapal aji kesaktian dia
mendorong gadis berkaki satu itu mendekati Raja Mataram.
Bersamaan
dengan itu Wiro kerahkan aliran sakti dan tenaga dalam ke punggung Dewi Kaki
Tunggal.
“Sekarang
Dewi!” ucap Pendekar 212 begitu Dewi Kaki Tunggal telah berhadapan hadapan
dengan Raja.
Begitu
mendengar ucapan Wiro, Dewi Kaki Tunggal segera angkat tangan kanan sementara
Rakai Kayuwangi yang tahu orang hendak menolongnya maju mendekat sambil
rundukkan kepala.
Telapak
tangan kanan yang halus Dewi Kaki Tunggal menyapu lembut di atas kening Raja
Mataram. Kejap itu juga dua benjolan merah di kening Rakai Kayuwangi lenyap
tidak berbekas. Semua orang yang menyaksikan berseru gembira. Dan kegembiraan
ini bersambung menjadi seruan-seruan panjang yang riuh sewaktu puluhan orang
yang masih belum sempat disembuhkan mendadak sontak ikut lenyap
benjolan-benjolan merah yang ada di kening mereka.
“Dewa
Jagat Bathara!” berkata Eyang Dukun Umbut Watukura. “Rupanya angkara murka yang
menimpa Bhumi Mataram oleh orang-orang jahat dipusatkan pada Sri Baginda Raja.
Celaka Raja maka celaka semua yang hidup di Kerajaan ini. Sembuh Raja sembuh
pula mereka semua. Aku yakin yang mengalami kesembuhan bukan cuma yang ada di
bukit ini, tapi semua orang di seluruh Kerajaan … !”
Raja usap
keningnya yang kini licin. Sepasang mata tampak berkaca-kaca.
“Kuasa
Para Dewa sungguh luar biasa…” ucap Raja Mataram dengan suara bergetar. Lalu
dia memimpin semua orang di tempat itu berlutut sambil mengucapkan puji syukur
dan terima kasih pada Yang Maha Kuasa. Dalam kekhusukan itu sekonyong-konyong
di lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan lantang disusul gelegar suara
tawa.
“Raja dan
rakyat Mataram! Jangan terlalu cepat bergembira dan bersyukur!
Lihat apa
yang aku bawa! Ha … ha … ha!”
Semua
orang yang ada di lereng bukit sebelah barat sama terkesiap dan serentak
dongakkan kepala. `
“Astaga!
Mereka menangkap Ratu Randang!” Yang berteriak adalah nenek bermuka bulat tak
beralis Rauh Kalidathi.
*********************
DELAPAN
DI LERENG
Bukit Batu Hangus sebelah utara, dalam keredupan cahaya kuning kemerahan tampak
berdiri seorang perempuan tua, tubuh terbungkuk, kepala menunduk dan muka
lebam, mata terpejam bengkak, mulut terkancing.
Rambut
yang biasa dikuncir lucu ke atas kini lepas awut-awutan. Pakaian yang dikenakan
tampak robek besar di beberapa bagian. Bukan cuma, Rauh Kalidathi yang tadi
berteriak, semua orang serta merta mengenali kalau perempuan itu memang Ratu
Randang adanya. Lereng barat bukit serta merta menjadi gempar.
Di leher
Ratu Randang melingkar benda aneh berbentuk tali gelembung panjang sebesar
lengan berwarna putih berlumur darah. Tali ini bergerak berdenyut seperti
hidup. Di sela bibir perempuan berusia lebih setengah abad ini terlihat lelehan
darah tanda dia menderita, luka dalam yang cukup parah.
“Ratu
dijirat dengan rantai usus babi! Celaka! Kita tidak bisa membebaskannya kalau
tidak menemukan bangkai babi yang punya usus dan membakarnya! Yang berteriak
adalah Eyang Dukun Umbut Watukura.
Di
samping kiri Ratu Randang, berdiri menyeringai seorang pemuda berpakaian serta
mengenakan ikat kepala kain hijau. Wajah tertutup kumis, janggut dan cambang
bawuk hitam. Ghama Karadipa alias Sinuhun Muda! Dialah tadi yang mengeluarkan
suara teriakan serta tawa bergelak.
Di sebelah
Sinuhun Muda berdiri Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari, memegang
Lentera Iblis dan dongakkan kepala serta mengulum seringai penuh kecongkakan.
Sepasang mata sesekali menatap tajam ke arah Jaka
Pesolek.
Agaknya ada semacam kebencian, mungkin juga dendam dalam dirinya terhadap gadis
ini. Karena Jaka Pesoleklah yang telah menggagalkan serangan maut Lentera Iblis
yang tadi ditujukan untuk membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di
sebelah kanan Ratu Randang ada satu sosok aneh. Sosok ini selain terlihat agak
samar juga merupakan sosok seorang anak lelaki kecil berpakaian bagus, berusia
sekitar dua belas tahun, memiliki sepasang alis mata tebal hitam. Walau
wajahnya gagah namun sikapnya tidak kalah pongah dengan Pangeran Matahari.
Dia tegak
sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan mata menatap dingin sementara
mulut menyeringai pencong. Sesekali tangan kirinya bergerak mengusap anting
anting emas yang mencantel di telinga kiri.
“Yang
Mulia, apa Yang Mulia tahu siapa gerangan anak lelaki samar di sebelah kanan
Ratu Randang? Kelihatannya Sinuhun Muda Ghama Karadipa menaruh hormat padanya.”
Bertanya Rauh Kalidathi.
Raja
Mataram tidak segera menjawab. Dia berusaha berpikir keras.
Wiro
menggaruk kepala lalu berkata. “Bocah itu mirip dengan Kesatria Lonceng
Mataram, Mimba Purana yang pernah saya lihat beberapa waktu lalu…”
“Kau
benar,” menyahuti Raja Mataram. “Wajah sangat mirip tapi sikap dan
penampilannya tidak seperti Mimba. Yang satu ini tampak congkak. Pakaian mewah
sementara Satria Lonceng Dewa selalu mengenakan pakaian kain kasar dan sangat
sederhana. Aku coba menduga…” Raja usap dagunya yang ditumbuhi janggut
meranggas. Mendadak wajah Rakai Kayuwangi berubah. “Dengar …”
Katanya.
“Aku pernah menyirap kabar. Anak lelaki ini pernah muncul sewaktu terjadi
pemberontakan besar di Bhumi Mataram. Dia tidak berada di pihak Kerajaan! Hyang
Jagat Bathara. Aku ingat sekarang! Dia adalah Dirga Purana, bocah kembaran
Mimba Purana…”
Eyang
Dukun Umbut Watukara melangkah mendekati Rakai Kayuwangi.
Setengah
berbisik dia berkata. “Keadaan kita sungguh sulit. Jika bocah itu berpihak pada
Sinuhun Merah Penghisap Arwah…”
“Yang aku
lebih kawatir,” sahut Raja pula. Mia bukan cuma berpihak pada Sinuhun Merah
Penghisap Darah tapi justru dia yang jadi biang keladi semua malapetaka yang
terjadi di Bhumi Mataram! Mulai dari Malapetaka Malam jahanam!
“Yang
Mulia, saya pernah mendengar tentang disebutsebutnya Sang Junjungan oleh
kelompok Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jangan-jangan bocah inilah orangnya.”
(Tentang Dirga Purana harap baca Serial Mimba Purana Kesatria Lonceng Mataram
karangan Bastian Tito).
“Bisa
jadi,” jawab Raja pula. “Kita harus melakukan sesuatu menyelamatkan Ratu
Randang …”
Wiro
menatap tak berkesip ke arah lereng bukit sebelah utara lalu berkata. “Yang
Mulia setahu saya Ratu Randang punya ilmu kesaktian merubah diri atau
menjadikan benda mati atau benda hidup lainnya menyerupai dirinya.
Mungkinkah
saat ini dia tengah melakukan tipuan dan yang ada di atas lereng sana
sebenarnya bukan dirinya yang asli?”
“Jika musuh
mempergunakan rantai usus babi maka semua kesaktian Ratu Randang akan lenyap
sampai rantai usus babi itu tersingkir dari lehernya. Untuk menyingkirkan
rantai usus babi kita harus mencari dan membakar bangkai babi yang punya usus
itu!” Memberi tahu Eyang Dukun Umbut Watukura.
Wiro
melirik pada gadis berkaki satu. “Sesuatu telah terjadi dengan Ratu Randang
sewaktu aku tinggal pergi ke bukit ini …” Dewi Kaki Tunggal berpaling pada Ni
Gatri.
“Ni
Gatri, aku pernah memintamu menemui Ratu Randang untuk mengambil Bunga Matahari
sakti. Ketika kau menemuinya bagaimana keadaannya?”
“Saat itu
Ratu tampak biasa-biasa saja. Malah setelah memberikan Bunga Matahari Ratu
sempat berkata kalau dia akan segera pergi ke Bukit Batu Hangus.”
Menerangkan
Ni Gatri. Seperti diketahui ketika Ni Gatri menemui Ratu Randang, nenek
berwajah cantik itu baru saja bertarung menghadapi Pangeran Matahari dan Tiga
Iblis Menjunjung Dupa. Kakek Kumara Gandamayana yang muncul di tempat kejadian
membantu Ratu Randang dan berhasil menghabisi Iblis Kedua.
Namun
dirinya sendiri dipendam di dalam tanah oleh Sinuhun Muda dan dua Iblis yang
masih hidup. (Baca episode sebelumnya berjudul “Dewi Kaki Tunggal”)
Mendengar
keterangan Ni Gatri, Wiro menggaruk kepala.
“Gawat
juga! Bagaimana aku harus menyelamatkan Ratu Randang! Aku memilih mengadu
jiwa!”
“Pendekar
Dua Satu Dua! Tidak ada yang gawat kalau kau mau menerima diriku sebagai
sahabat! Apa untungnya mengadu jiwa segala?!”
Di udara
mendadak terdengar suara perempuan bicara. Lalu wutt! Sebuah benda hitam
panjang melesat dari balik sederetan batu besar dan buuuk! Benda panjang ini
jatuh bergulung di hadapan Wiro dan Raja.
Keduanya
cepat melompat mundur.
Ternyata
benda itu adalah seekor ular hitam besar berkepala putih. Dengan cepat ular
tegakkan kepala. Melihat sikap yang mengancam dari binatang ini Wiro cepat
menggeser kaki, berdiri melindungi Raja sambil tangan kanan siap melancarkan
pukulan Tangan Dewa, Menghantam Karang.
Ular
besar miringkan kepala sambil keluarkan ucapan.
“Mau
membunuhku? Apa untungnya! Padahal aku berniat memberikan pertolongan pada
kalian!” Habis bicara wuss! Sosok ular hitam kepulkan asap dari kepala sampai
ke ujung ekor. Lalu terdengar suara tawa panjang. Bersamaan dengan itu ular
hitam kepala putih menjelma berubah menjadi sosok seorang gadis cantik
mengenakan pakaian sutera halus hijau nyaris tembus pandang. Di kepalanya ada
satu mahkota terbuat dari perak berkilau berbentuk kepala ular dengan sepasang
mata terbuat dari batu permata hijau. Bau harum menebar keluar dari tubuh dan
pakaian. Ular hitam kepala putih besar yang tadi lenyap kini kelihatan dalam
ukuran lebih kecil, menyembul keluar dari perut si gadis!
“Dewi
Ular!” Ucap Wiro tidak senang ketika melihat dan mengenali ujud gadis yang
berdiri di hadapannya.
“Dewi
Ular! Ah! Itu nama yang hebat tapi yang tidak membawa keberuntungan bagi
diriku. Kau tahu nama asliku. Kunti Ambiri.
Mengapa
tidak memanggil aku dengan nama itu? Apa nanti tidak saru dengan sahabatmu
gadis berkaki satu itu?” Ular jejadian yang kini merubah ujud menjadi seorang
gadis cantik menjawab. Suara dan sikapnya yang selalu garang dan sombong
menghina sekarang berubah lembut.
“Ada apa
kau muncul di sini! Jangan berani membuat tambah kalut urusan!
Apa kau
tidak tahu kalau di sini hadir Sri Baginda Raja Mataram dan kami tengah
menghadapi satu perkara besar!”
“Aku
tidak bermaksud mengacaukan urusan kalian, apapun adanya. Aku juga mana berani
berlaku tidak hormat terhadap Raja Mataram.” Habis berkata begitu Dewi Ular
memutar tubuh menghadap Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu membungkuk memberi
hormat. Diam-diam matanya melirik ke arah Jaka Pesolek dan membatin. “Sulit aku
menduga apakah dia benar-benar betina atau jantan.
Hik..hik..hik!”
“Aneh,
kau sekarang kelihatan sopan dan lembut. Malah jelas-jelas berpihak kepada
kami. Apa kau sudah tidak laku lagi menjual diri dan tipu muslihat di kalangan
mahluk bernama Sinuhun Muda? Tipuan apa yang ada dibalik semua sikapmu ini?!”
Tanya Pendekar 212 sambil menatap tajam tepat ke arah sepasang mata Dewi Ular.
“Wiro,
dengar. Aku tahu rahasia penangkal ilmu rantai usus babi yang menjirat leher
Ratu Randang!”
“Siapa
percaya Padamu! Semua orang di Bhumi Mataram tahu kalau kau adalah kaki tangan
bahkan gendak Sinuhun Muda Gharna Karadipa!”
“Berucap
dan menduga seperti yang kau lakukan apa salahnya?” Jawab Dewi Ular.
“Ketahuilah, orang-orang di lereng bukit sana sekarang sudah menjadi musuhku.
Mereka menghina dan melecehkan diriku termasuk Pangeran Matahari!
Aku
diminta melayani beberapa mahluk edan yang jadi kaki tangannya! Termasuk Ketua
Jin Seratus Perut Bumi yang tadi kakinya kau buat buntung! Siapa sudi!”
“Aku
tetap tidak percaya padamu! Aku tahu kaupandai mengarang cerita!
Tidak ada
yang memintamu datang ke Bhumi Mataram ini! Apa yang terjadi dengan dirimu
menjadi urusanmu sendiri! Ular sungguhan saja punya seribu kelicikan. Apa lagi
ular iblis seperti dirimu!” Dewi Ular tersenyum.
“Wiro, di
negeri delapan ratus tahun mendatang kita bisa merupakan musuh bebuyutan dan
saling berbunuhan. Bahkan kau memang telah membunuh diriku di jurang batu
pualam. Ingat? Tapi di negeri ini apa salahnya kalau kita saling bersahabat.
Bersatu menghadapi musuh Raja dan rakyat Mataram.”
Wiro
tetap tidak bisa percaya ucapan Dewi Ular. Perempuan iblis ini mungkin saja
tengah menyiapkan satu tipu daya besar. Raja Mataram Rakai Kayuwangi mendekati
Wiro dan membisikkan sesuatu. Wiro kemudian menatap ke arah Dewi Ular. Lalu
berkata.
“Tadi kau
mengatakan kau tahu rahasia penangkal rantai usus babi yang menjirat Ratu
Randang. Jangan menipu! Bagaimana kau bisa tahu … ?”
Dewi Ular
tersenyum. Ujung lidah di ulurkan membasahi bibir yang merah bagus. Mata di
kedipkan.
“Ketika
masih bercinta dengan Sinuhun Muda, banyak rahasia yang aku dapat.
Tidak
beda ketika Ratu Randang menipu Sinuhun tolol itu!”
“Kalau
begitu katakan rahasia itu padaku.”
“Aku
malah telah membawa benda penangkal itu,” jawab Dewi Ular.
“Coba
perlihatkan,” kata Wiro pula agak tidak sabaran tapi tetap berlaku penuh
waspada. Bisa saja gadis iblis ini pura-pura mengeluarkan sebuah bendi yang
kemudian ternyata bisa meledak, membunuh atau meracuni semua orang yang ada di
tempat itu.
Dewi Ular
gerakkan tangan kanan ke balik dada pakaian. Gerakannya sengaja dibuat
menggairahkan. Wiro jadi curiga. Bisa saja di bawah payudaranya yang putih
kencang itu dia menyembunyikan satu benda yang dapat membawa celaka!
“Tunggu!’
Wiro berkata dan cepat pegang tangan Dewi Ular. “Bersumpahlah bahwa kau bukan
dikirim oleh Sinuhun Muda atau Sinuhun Merah untuk menipu dan mencelakai
diriku, Raja atau siapa saja yang ada di tempat ini.”
Dewi Ular
tatap sebentar wajah Wiro Pendekar 212 lalu rundukkan kepala mencium tangan
sang pendekar penuh khidmat. Dasar gadis nakal, dari hanya mencium dia kemudian
menjilat tangan Wiro, dengan ujung lidah, lantas berkata.
“Wiro,
mahluk semacamku mana mengenal sumpah. Hidupku adalah gelap atau hitam. Jikalau
kau menaruh curiga maka silahkan gebuk dan pecahkan kepalaku saat ini juga!”
Wiro
terdiam, menoleh ke arah Raja. Ketika Raja anggukkan kepala, perlahan lahan
Wiro tarik tangan kanannya yang masih dicium dan dijilati oleh Dewi Ular lalu
berkata.
“Kunti
Ambiri. Bagaimanapun aku belum bisa percaya padamu. Tapi jika kau memang tidak
membekal niat jahat harap kau segera perlihatkan padaku dan Raja benda
penangkal itu!”
“Terima
kasih kau memanggilku dengan nama itu. Bagiku itu sudah merupakan satu
kebahagiaan dan kepercayaan,” kata Dewi Ular pula. Lalu dari balik dada
pakaiannya Dewi Ular alias Kunti Ambiri mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.
Dari dalam kantong kain hitam dia mengambil satu bungkusan daun keladi. Ketika
bungkusan dibuka di atas daun terlihat satu benda berbulu putih bergelimang
darah menjijikkan.
“Apa
itu?” tanya Wiro.
“Potongan
kemaluan babi betina…” Jawab Dewi Ular.
“Huekkk!”
Raja
Mataram semburkan muntah. Wiro cepat menutup mulut karena mendadak sontak
perutnya jadi mual dan ingin menyemburkan muntah pula. Dewi Ular tertawa.
“Pendekar,
kalau umpamanya yang aku pegang ini bukan potongan kemaluan babi betina, tapi
potongan kemaluan perempuan benaran apakah …”
*********************
SEMBILAN
WIRO
menggaruk kepala. Walau kemudian membentak, dia berusaha sembunyikan senyum
jengkelnya.
“Kunti
Ambiri! Jaga mulutmu! Kau bicara kotor apa di hadapan Raja!”
Air muka
Raja Mataram sendiri tampak berubah merah mendengar ucapan Dewi Ular.
Orang-orang yang ada di tempat itu terperangah. Nenek Rauh Kalidathi
mesem-mesem. Dewi Kaki Tunggal dan Ni Gatri saling pandang samasama rikuh.
“Siapa
yang bicara kotor!” jawab Dewi Ular. “Sebentar lagi akan aku buktikan!”
Sementara
itu di atas lereng bukit sebelah utara, cahaya merah kekuningan yang sejak tadi
tampak redup kini kelihatan lebih jelas. Pertanda ada satu kekuatan dahsyat
yang tengah menunggu saat meledaknya.
Sinuhun
Muda mengusap wajah lalu berkata pada anak lelaki dua belas tahun di
sebelahnya.
“Kesatria
Junjungan Dirga Purana. Dewi Ular tiba-tiba muncul di lereng bukit sana. Gadis
iblis itu menjual diri ke mana-mana…”
“Sinuhun
salah seorang pembelinya!” tukas Dirga Purana sambil tersenyum lalu cibirkan
mulut.
Tampang
Sinuhun Muda menjadi merah kelam membatu. “Kesatria Junjungan, harap tidak
terus terusan menyudutkan saya! Saya punya firasat kalau Dewi Ular saat ini
tengah melakukan sesuatu yang bisa mencelakai kita. Jika saya dan temanteman
mulai menyerang, harap kau mau memberi perlindungan dengan ilmu Mega Kuning
Sujud Ke Bum!”
“Sinuhun
Muda, aku kawatir. Selama bercinta dengan gadis iblis itu kau telah banyak
terpedaya. Itu semua karena kelemahanmu. Tidak bisa mengendalikan nafsu
syahwat! Ingat, sebelum Malam Jahanam turun ke Bhumi Mataram kau sudah diberi
peringatan sebaiknya tidak menyentuh tubuh perempuan selama dua puluh satu
hari”
“Kesatria
Junjungan saya tidak lupa hal itu. Tapi peringatannya tidak jelas.
Didahului
dengan kata-kata sebaiknya. Yang berarti kalau dilanggar tidak ada masalah.
Lagi pula semua ilmu kesaktian yang saya miliki akan berkurang dayanya jika
saya tidak bersentuhan dengan hawa hangat yang ada dalam tubuh perempuan. Hal
yang sama juga berlaku atas diri Nyawa Kembaran saya.”
Anak
lelaki berusia dua belas tahun yang tampak samar dalam cahaya kuning kemerahan
seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Sinuhun Muda. Sepasang mata yang tadi
menatap dingin kini tampak berkilat ketika pandangannya membentur Ni Gatri,
anak perempuan berusia empat belas tahun yang berwajah cantik dan bertubuh
sintal, yang sebelumnya berdiri agak terlindung di balik sebuah batu.
Tanpa
mengalihkan pandangan matanya dari Ni Gatri Kesatria Junjungan Dirga Purana
berkata.
“Sinuhun
Muda, aku hanya menyayangkan secara tidak sadar kau telah terbujuk menceritakan
beberapa ilmu kesaktianmu termasuk penangkalnya.
Bukankah
begitu yang terjadi? Kau mengacaukan urusan sendiri!”
Sinuhun
Muda tidak menjawab. Dia berpaling pada Kesatria Roh Jemputan.
“Aku akan
bertindak sesuai rencana. Jika gagal kau cepat menyerang Raja Mataram dengan
Lentera Iblis. Jika pemuda aneh berpakaian merah muda melakukan sesuatu aku
akan menghajarnya dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Jika Dewi
Ular, Kesatria Panggilan atau siapa saja di lereng bukit barat sana ikut
melakukan penyerangan saya harap Kesatria Junjungan mau melakukan sesuatu!”
Bocah
lelaki berusia dua belas tahun tersenyum, angguk anggukkan kepala tapi matanya
masih terus menatap ke arah Ni Gatri. Kembali ke lereng bukit sebelah barat.
Sambil
memegang lengan Wiro Dewi Ular berkata.
“Aku akan
menyelamatkan Ratu Randang. Kalian semua di sini harap mau membantu.” Lalu
gadis alam roh itu melirik pada Jaka Pesolek. Setelah melempar senyum dia
berpaling pada Dewi Kaki Tunggal dan berkata. “Kau punya
sekuntum
Bunga Matahari sakti. Mengapa tidak dipergunakan untuk menumpas kejahatan?
Bukankah Sinuhun Muda musuh yang harus kau habisi karena dengan tipu daya
liciknya dia hampir menghancurkan kehormatanmu? Ketika dia tidak berhasil
merampas kegadisanmu dia menebar fitnah. Padahal bukankah dia saudara satu
ayahmu sendiri?!”
Dewi Kaki
Tunggal terbelalak. Sampai saat itu hidungnya masih berada di pipi kanan. Semua
orang yang ada di tempat itu dan mendengar jelas ucapan Dewi Ular tersentak
kaget. Dengan wajah berubah pucat gadis berkaki satu itu bertanya.
“Dari…dari
mana kau tahu semua itu….”
“Bukan
saatnya untuk bicara panjang. Ada urusan lebih besar yang harus segera
dilaksanakan!” Jawab Dewi Ular. Habis berkata begitu dia goyangkan dua bahu.
Wusss! Saat itu juga tubuhnya berubah menjadi ular hitam raksasa berkepala
putih. Potongan kemaluan babi betina dimasukkan ke moncongnya, kepala dinaikkan
hingga kini ekornya yang berdiri di atas batu besar.
Tiba-tiba
dari atas lereng bukit sebelah utara terdengar teriakan lantang.
“Raja
Mataram Rakai Kayuwangi! Aku Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jika kau ingin aku
menyerahkan nenek mesum orang kepercayaanmu ini dalam keadaan hidup, kau harus
menyerahkan nyawa Kesatria Panggilan sebagai imbalan!”
Rahang
Raja Mataram tampak menggembung oleh luapan amarah. Pendekar 212 kertakkan
sepuluh jari tangan. Saat itu ingin sekali dia menghajar sampai lumat mahluk
bernama Sinuhun Muda Ghama Karadipa itu.
“Yang
Mulia,” kati Pendekar 212. “Saya tidak perduli! Saya akan menerima tantangan
Sinuhun Keparat itu. Ratu Randang mungkin akan tewas. Tapi Sinuhun jahanam
harus leleh di tangan saya!”
“Tunggu
dulu!” Jawab Raja Mataram. Lalu dia berteriak. “Sinuhun Muda Ghama Karadipa!
Kau tidak layak memerintah aku Raja Mataram. Lepaskan Ratu Randang atau kau
akan menerima hukuman sangat berat!”
Sebagai
jawaban Sinuhun Muda tertawa gelak-gelak.
“Rupanya
sekarang telah ada hukum berlaku di Bhumi Mataram! Tiga tahun silam ketika
terjadi pemberontakan dan dua orang tuaku serta saudara-saudaraku dibantai
secara keji dan kejam tanpa salah tanpa dosa saat itu tidak ada hukum!
Rakai
Kayuwangi tanganmu berlumuran darah dan sampai saat ini darah itu masih belum
kering!”
“Siapa
ayahmu yang menurutmu tidak berdosa tidak bersalah itu?!” Tanya Raja berteriak.
*********************
SEPULUH
“AYAHKU
Rakai Sedana Dyah Seladu!” Jawabn Sinuhun Muda dengan teriakan sangat keras
hingga menggelegar di seantero bukit.
Raja
Mataram terkejut. Semua orang Mataram terdiam. Sesaat kemudian Raja Mataram
berkata “Aku tidak pernah mendengar kalau Rakai Sedana Dyah Seladu mempunyai
seorang putera bernama Sinuhun Muda Ghama Karadipa!”
“ Raja
Mataram! Kau bicara apa?!” teriak Sinuhun Muda. “Apa kau lupa kalau Rakai
Sedana Dyah Seladu adalah saudara tuamu yang berhak atas tahta Kerajaan
Mataram! Yang kau rampas tahtanya secara keji! Apa kau tidak sadar tahta
Kerajaan yang kini kau duduki penuh lumuran darah rakyat Mataram yang kau
bantai termasuk kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku?! Dan kalau semua orang
mau tahu gadis berkaki satu bernama Sakuntaladewi itu adalah satu satunya anak
perempuan keturunan Rakai Sedana yang selamat dari kezalimanmu selain diriku!”
“Juga
selamat dari kezaliman bejatmu! Hingga dia menerima kutukan!
Bukankah
kau hendak merusak kehormatannya padahal kau tahu gadis itu ayahnya adalah
ayahmu juga!”
Tiba-tiba
Dewi Ular yang telah membentuk diri menjadi ular hitam besar dan berdiri lurus
di atas ekornya keluarkan ucapan lantang. Sebelum bicara Dewi Ular keluarkan
dulu potongan kemaluan babi betina yang ada di moncongnya yang dari jauh tidak
terlihat apa adanya oleh Sinuhun Muda.
Rahang
Sinuhun Muda menggembung. Geraham bergemelatakan.
“Braakk!
Bless!”
Gundukan
batu yang dipijak Sinuhun Muda terbelah dan amblas ke dalam tanah!
“Dewi
Ular pelacur iblis! Kau akan segera mendapat bagianmu! Aku bersumpah akan
memendam roh bejatmu di lapis tanah ke tujuh!”
Habis
berteriak mengancam Sinuhun Muda berkata pada bocah lelaki di sampingnya.
“Kesatria
Junjungan, aku mohon kau menyirap agar semua orang jangan ada yang bergerak
dulu, termasuk ular hitam di atas batu sana! Biar kita bikin lumat mereka semua
dengan sekali menggempur!”
“Aku
mendengar ucapanmu dan akan melakukan apa yang kau minta!”Anak lelaki bernama
Dirga Purana menjawab. Dua tangan dikembang ke samping lalu digerakkan ke
depan. Saat itu juga cahaya kuning kemerahan yang sejak tadi menyungkup di atas
Bukit Batu Hangus bergerak turun sampai seratus jengkal di atas lereng bukit
sebelah barat, membuat semua orang Mataram tertegun dalam kejut dart takut!
“Ilmu
Pembungkam Bumi…” desis Raja Mataram.
“Sinuhun
keparat!” Tiba-tiba Eyang Dukun Umbut Watukura berteriak. “Anak siapapun kau
adanya! Aku salah seorang sepuh di Bhumi Mataram yang tahu semua riwayat! Walau
usia ayahmu lebih tua dari Raja Mataram Rakai Kayuwangi namun dia hanyalah anak
dari seorang selir! Mana mungkin menjadi Raja dan berhak atas tahta Kerajaan
Mataram. Rakai Sedana Dyah Seladu adalah tokoh dibalik pemberontakan. Mengajak
anak istri serta saudara-saudaranya menghasut para pejabat dart tokoh silat
serta rakyat Mataram di wilayah selatan untuk memberontak merebut tahta!
Hukuman mati adalah hukuman yang setimpal bagi setiap pemberontak, dimanapun di
muka bumi ini! Aku yakin tiga tahun lalu kau juga ikut melakukan pengkhianatan
terhadap Kerajaan! Kalau Raja Mataram tidak menangkapmu saat ini, itu sudah
satu berkah besar bagimu! Karena itu lekas angkat kaki dari sini dan bebaskan
Ratu Randang maka kau akan mendapat pengampunan!”
Sinuhun
Muda mendengus lalu meludah ke arah Eyang Dukun Umbut Watukura.
“Tua
bangka bermulut busuk! Kau adalah kacung penjilat pantat Raja Mataram. Tentu
saja bicara yang bagus-bagus tentang Rajamu. Berapa ribu rakyat tak berdosa
yang telah kalian bunuh ketika terjadi peperangan di Mataram tiga tahun lalu?
Jika kau hendak menangkap diriku, mengapa tidak dilakukan sekarang juga?!”
Habis
berteriak begitu Sinuhun Muda sentakan gelungan usus babi yang menjirat leher
Ratu Randang hingga kepala perempuan tua ini tersentak, mulut mengeluarkan
suara tercekik dan mata sesaat terbuka membeliak. Dari mulut makin banyak darah
yang mengucur.
“Rakai
Kayuwangi…” Sinuhun Muda berteriak.
“Mahluk
kurang ajar! Jangan berani menyebut nama Raja Mataram selancang itu!” Membentak
Eyang Dukun Umbut Watukura.
Sinuhun
Muda Ghama Karadipa menyeringai lalu meludah. “Bagiku seekor anjing gila
budukan adalah lebih mulia dan terhormat dari seorang Raja jahat pembantai rakyat!”
Mendengar
dirinya dihina orang secara keterlaluan begitu rupa Rakai Kayuwangi berteriak
geram. Walau tahu di lereng bukit sebelah utara bahaya besar mengancam, namun
dia segera hendak melompat menyerbu.
“Yang
Mulia, harap tetap di sini. Biar saya yang merobek mulut mahluk kurang ajar
itu!” Kata Pendekar 212 sambil menahan bahu Raja Mataram. Saat itu, melihat
kesengsaraan Ratu Randang, amarah murid Sinto Gendeng jadi tambah menggelegak.
Namun di sampingnya Eyang Dukun Umbut Watukura sudah lebih dulu berteriak dan
bergerak.
“Mahluk
jahanam terkutuk!” Eyang Dukun Umbut Watukura melompat ke atas satu batu besar.
Kumis dan janggut putihnya sampai berjingkrak mendengar ucapan orang. Dari atas
batu orang tua berjubah biru berikat kepala kain kuning ini lepaskan satu
pukulan maut ke arah Sinuhun Muda.
Selarik
cahaya biru melesat ke arah lereng bukit sebelah utara yang hanya terpisah
sekitar dua puluh tombak. Cahaya ini berbentuk aneh karena di sebelah ujungnya
membuntal dua lingkaran yang berputar seperti gerinda raksasa.
“Astaga
Mengapa bisa tembus?!” Anak lelaki yang dipanggil dengan sebutan Kesatria
Junjungan dan bernama Dirga Purana berseru kaget ketika melihat Eyang Dukun
Umbut Watukura bukan saja mampu bergerak tapi juga lancarkan serangan pukulan
sakti yang menembus ilmu Pembungkam Bumi berupa cahaya merah kekuningan yang
mengambang di atas lereng bukit. Dua tangan digosokkan ke telinga kiri kanan.
“Sinuhun, apa kau mendengar suara lonceng di kejauhan?”
Wajah
Dirga Purana tampak berubah dan suaranya bergetar.
Sinuhun
Muda mendengus. Dia tidak perduli lagi.
“Sepasang
Cakra Bumi Langit.!” Sinuhun Muda berteriak menyebut nama ilmu kesaktian
serangan Eyang Dukun Umbut Watukura. “Ilmu mainan tolol! Bocah ingusan pun
tidak akan menaruh takut!”
Sinuhun
Muda sentakan kepala. Dari kening yang ada delapan benjolannya serta merta
mencuat delapan larik cahaya merah disertai suara gelegar dahsyat!
Serangan
Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
“Delapan
petir merah!”
Jaka
Pesolek yang sejak tadi berdiam diri menyaksikan semua kejadian berteriak
girang.
Gadis
berkumis halus ini agaknya tidak dapat membedakan mana petir mana serangan. Dan
dalam keadaan seperti itu dia jadi bingung sendiri. Dari delapan petir yang
berkiblat, yang mana yang akan ditangkapnya lebih dulu!
Di atas batu
besar, ular hitam berkepala putih yang merupakan perujudan Dewi Ular tiba-tiba
berteriak marah. Potongan kemaluan babi betina yang barusan dikembalikan ke
moncongnya tiba-tiba lepas direnggut orang!
“Kurang
ajar! Siapa yang merampas kemaluan babi betina di mulutku!”
“Dewi
Ular! Masih untung orang tidak menganibil kenialuanniu sendiril Kalau kau
sampai kecolongan dimana mencari penggantinya?! Hik … hik … hik!” Tibatiba ada
orang berteriak disusul suara tawa cekikikan.
“Setan
alas! Siapa berani bicara mempermainkanku’?! Teriakan suara laki-laki,
cekikikan suara perempuan! Pemuda banci pasti kau!”.
Di atas
batu besar sosok ular hitam kepala putih semburkan asap hitam beracun ke arah
suara orang yang berteriak dan tertawa cekikikan yaitu yang bukan lain adalah
Jaka Pesolek.
“Dewi
Ular! Hik … hik! Aku hanya bercanda.
Kita
dipihak yang sama mengapa kau menyerang kawan sendiri?!” Jaka Pesolek cepat
melompat, mundur hindari serangan asap beracun.
“Siapapun
yang berani menghina dan mempermalukan diriku pasti aku hajar!”
“Oala!
Jangan begitu. Aku hanya bergurau. Bergurau adalah kembangnya persahabatan.
Main hajar adalah tanda kurang belajar! Hik … hik … hik! Sobatku cantik, nanti
saja kita bicara lagi. Aku mau menangkap petir dulu., Ada petir bagus
menggelegar di atas bukit!”
Dewi Ular
yang masih jengkel berusaha mengejar Jaka Pesolek yang berhasil lolos dari
serangan asap hitamnya. Kini dia berusaha mematuk. Namun saat itu dengan
gerakan kilat Jaka Pesolek kembali berhasil menghindar. Sebaliknya Dewi Ular
yang masih dalam ujud ular besar hitam kepala putih merasakan ada usapan lembut
tapi hangat di kepalanya sebelah kiri, membuat dadanya bergetar. Dan aneh
usapan ini membuat ujudnya kembali ke bentuk semula, seorang gadis cantik
berpakaian sutera hijau tipis.
“Gila!”
Dewi Ular merutuk sambil raba pipi kirinya yang tadi diusap Jaka Pesolek.
*********************
SEBELAS
KETIKA
delapan cahaya serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang dilancarkan
Sinuhun Muda menggelegar ke arah cahaya biru pukulan Sepasang Cakra Bumi Langit
yang dilepas Eyang Dukun Umbut Watukura, sewaktu Kesatria Junjungan Dirga
Purana mendadak mendengar suara genta lonceng dan berseru kaget melihat Ilmu
Mega Kuning Sujud ke Bumi dan Ilmu Pembungkam Bumi miliknya sanggup ditembus
serangan sang dukun, pada saat itu seseorang tiba-tiba berkelebat ke udara.
Orang ini
bukan lain Jaka Pesolek yang punya gerakan secepat kilat. Pemuda yang berdandan
dan bersifat seperti seorang gadis ini sempat bingung sendiri. Ada delapan
cahaya merah datang menyambar. Mana yang harus ditangkapnya?!
“Hebat
tapi aneh! delapan sekaligus! Apa ini benar-benar petir?!”
Bingung
hanya sebentar. Otak Jaka Pesolek cepat bekerja. Seperti yang sudahsudah dia
cepat menangkap salah satu dari sinar merah itu lalu digulungkan pada tujuh
sinar merah lainnya. Namun dia hanya berhasil menggulung lima cahaya merah. Dua
sisanya lolos menyambar ke arah Eyang Dukun Umbut Watukura yang tengah
melakukan serangan Ilmu Sepasang Cakra Bumi Langit.
Begitu
berhasil menggulung lima cahaya merah, Jaka Pesolek kerahkan tenaga dalam
penuh. Lima cahaya diputar di atas kepala seperti titiran lalu dilempar ke
udara. Lima cahaya merah yang digulung ditambah dengan satu cahaya yang
menggulung meledak dahsyat antara lereng bukit sebelah utara dan sebelah barat,
menghambur kobaran api ke berbagai penjuru, membakar beberapa pohon.
Jaka
Pesolek bersorak gembira namun berteriak kaget ketika belum sempat menjejakkan
kaki kembali di atas bukit, di bawahnya Eyang Dukun Umbut Watukura menjerit
keras. Dua larik cahaya merah sisa dari gempuran Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit saling bentrok dengan ilmu Sepasang Cakra Bumi Langit yang tadi dipakai
untuk menyerang Sinuhun, Muda.
Jaka
Pesolek kembali berteriak sambil berusaha menolong Eyang Dukun Umbut Watukura.
Namun takdir menentukan lain.
Satu
letusan dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru mencuat ke langit menebar
hawa panas. Bukit Batu Hangus laksana dihantam gempa. Beberapa batu besar
menggelinding longsor. Orang-orang terhuyung, banyak yang jatuh terbanting.
Beberapa diantaranya menemui ajal digilas atau terjepit batu. Ketika tebaran
cahaya kuning kemerahan dan biru sirna, beberapa orang termasuk Raja Mataram
menjerit keras.
Apa yang
terjadi?!
Di atas
sebuah batu besar yang telah rengkah tergeletak mengerikan sosok Eyang Dukun
Umbut Watukara dalam keadaan hangus hanya tinggal berupa tulang belulang gosong
hitam!
Jaka
Pesolek memandang dengan wajah pucat. Setengah sesunggukan dia berkata. “Orang
tua, maafkan diriku. Aku tidak mampu menolongmu. Rupanya yang tadi itu memang
bukan petir…”
“Sinuhun
keparat! Kau harus mengganti nyawa Umbut Watukura dengan nyawa busukmu!” Raja
Mataram berteriak marah. Dua tangan dipentang dan mendadak sontak berubah
menjadi hijau pertanda dia telah merapal aji kesaktian Dewa Kembar Membalik
Gunung. Namun belum sempat melepas serangan, dari lereng bukit sebelah utara
Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah menghantam dengan serangan
Lentera Iblis! Sinar hitam menggidikkan menyambar panas dan ganas. itulah jurus
kedua Lentera Iblis yang disebut Jurus Api Akhirat!
Melihat
datangnya serangan, Raja Mataram cepat memutar badan. Pukulan Dewa Kembar
Membalik Gunung yang tadi hendak diarahkan pada Sinuhun Muda kini sambil
membuat gerakan melompat ke udara dihantamkan ke arah datangnya serangan Api
Akhirat.
“Yang
Mulia, saya bersamamu!” Dewi Ular berteriak dari atas batu lalu tubuhnya
melesat ke arah lereng utara Bukit Batu Hangus. Yang dituju adalah Pangeran
Matahari!
“Kakak
Kunti Ambiri! Aku ikut kamu!”
Dewi Kaki
Tunggal yang tidak mau ketinggalan segera menyusul melesat ke udara sambil dua
tangan membuat gerakan Enam Belas Gerakan Tangan Bisu.
Enam
belas larik cahaya biru menggebubu menyongsong serangan Api Akhirat.
“Yang
Mulia! Dewi Kaki Tunggal! Kunti Ambiri! Batalkan serangan. Lekas menghindar!
Kalian tidak akan mampu menghadapi serangan Lentera Iblis!”
Yang
berteriak memberi ingat adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun
terlambat.
“Wusss!”
Cahaya hitam Api Akhirat berkiblat.
“Blaar!
Blaar!”
Raja
Mataram yang melesat lebih dulu ke udara berseru kaget ketika melihat serangan
Lentera Iblis tahu-tahu sudah berada satu tombak di depan mata. Dua tangan yang
telah dipentang hendak melepas Pukulan Dewa Kembar Membalik Gunung mendadak
terasa kaku! Maut tidak dapat dielakkan lagi!
“Dewa
Jagat Bathara! Ketika rakyat saya masih dalam keadaan ditimpa sengsara
malapetaka apakah saya pantas mati lebih dulu!” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala berteriak seolah putus asa.
Hanya
setengah tombak lagi cahaya hitam Api Akhirat Lentera Iblis akan menghabisi
Raja Mataram, tiba-tiba sebuah benda meluncur keluar dari lengan kanan Raja
yang ternyata sebuah tongkat kayu. Tongkat kayu ini adalah tongkat sakti
pemberian Eyang Dhana Padmasutra mahluk dari alam roh.
Seperti
diceritakan dalam episode berjudul “Empat Mayat Aneh” Eyang Dhana Padmasutra
adalah utusan Para Dewa yang membantu Raja Mataram ketika tersesat di satu
rimba belantara antara Prambanan dan Kali Dengkeng. Tongkat bukan saja bisa
dipergunakan sebagai penunjuk jalan untuk menemukan Sumur Api tapi kesaktiannya
juga akan menjadi pelindung Raja. Jika tongkat dipegang terbalik, yaitu ujung
yang lebih kecil digenggam sementara gagang tongkat diarahkan ke bawah maka
tongkat akan menyelamatkan Raja dari segala marabahaya. Eyang Dhana Padmasutra
berpesan jika kelak telah bertemu dengan Kesatria Lonceng Dewa Mimba Purana,
maka tongkat harus diserahkan pada anak lelaki itu karena sesungguhnya tongkat
sakti adalah pinjaman dari ibu kandung Mimba Purana. (Mengenai kisah tongkat
serta riwayat Mimba Purana harap baca serial Kesatria Lonceng Dewa karangan
Bastian Tito)
“Wuttt!”
Tongkat
sakti melesat ke udara, berubah ujud menjadi besar laksana batang pohon jati,
lalu berputar seperti titiran raksasa! Merupakan tameng dahsyat melindungi Raja
Mataram.
“B1aarr!”
“Traakk …
trakkk …. traak!”
“Biaaar!
Blaaar!”
*********************
DUA BELAS
WALAU
tongkat sakti yang membentuk tameng batang pohon jati hancur berantakan,
berhambur berkeping keping dikobari nyala api, namun Raja Mataram Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala masih bisa selamat. Meski demikian terpaan angin dan
hawa panas Api Akhirat membuat Raja terlempar jatuh ke bawah.
Pakaian
hangus dan mengepulkan asap di beberapa bagian. Sebelum tubuhnya terbanting di
atas sebuah batu besar, satu bayangan merah berkelebat secepat kilat
menangkapnya lalu dengan perlahan lahan diturunkan dan dibaringkan di tanah.
Si
penolong bukan lain adalah Jaka Pesolek yang punya gerakan secepat kilat
menyambar!
“Putus,
nafasku!” kata Jaka Pesolek terengah engah. Maklum saja, tubuh Raja yang tadi
digendongnya dua kali besar tubuhnya. “Aduh biyung, untung Raja masih selamat.”
“Keparat
jahanam!” Di lereng bukit sebelah utara Pangeran Matahari menyumpah marah
melihat Raja Selamat dari serangan mautnya. Lentera Iblis kini diarahkan pada
Dewi Kaki Tunggal dan Dewi Ular yang tengah melesat ke arahnya. Sekali
menggerakkan lentera maka menderulah cahaya kuning pekat.
Inilah
jurus ketiga Lentera Iblis yang disebut Liang Lahat Menunggu! Yang merupakan jurus
paling ganas dari tiga jurus cahaya serangan Lentera Iblis!
Masih
terpaut jauh dari cahaya kuning, Dewi Kaki Tunggal dan Dewi Ular sudah
merasakan terpaan hawa panas. Seperti juga Raja Mataram tadi, Dewi Kaki Tunggal
dan ular besar kepala putih mendadak merasa tubuh mereka kaku. Ada gelombang
hawa aneh yang tidak bisa mereka tembus, yang bukan saja membuat keduanya tidak
mampu mendekati lawan tapi juga tidak bisa bergerak. Dalam keadaan seperti itu
serangan Liang Lahat Menunggu hanya tinggal sekejapan lagi di depan mata.
“Celaka!
Ini pasti perbuatan Sinuhun keparat itu! Tadi sudah bisa ditembus mengapa
sekarang …. Jangan-jangan…” Dewi Ular berteriak.
Mendadak
dua cahaya besar aneh muncul lebih benderang di lereng Bukit Batu Hangus.
Cahaya
pertama berwarna kuning turun ke bawah dengan cepat disertai suara genta
lonceng. Cahaya kedua kuning kemerahan. Udara di atas bukit untuk beberapa
ketika menjadi redup. Lalu terdengar ledakan-ledakan dahsyat. Asap kuning dan
merah mengepul dimana mana. Hawa panas menebar di udara.
“Kesatria
Junjungan! Apa kau tidak memberikan perlindungan padaku! Mana kehebatan Ilmu
Pembungkam Bumi dan Ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!” Sinuhun Muda berteriak
marah.
“Aku
sudah melakukan!” Jawab bocah dua belas tahun di sampingnya yang tampak berdiri
tegang. “Tapi apa kau tidak merasakan saudara kembarku Kesatria Lonceng Dewa
berada di sekitar sini?”
“Persetandengan
Kesatria Lonceng Dewa. Tiga tahun silam aku sudah minta engkau membunuhnya! Kau
tidak melakukan. Sekarang ini akibatnya! Dimana mana dia selalu muncul
mengacaukan segala rencana!”
Ketika
terjadi ledakan-ledakan keras, selagi hampir semua orang di lereng bukit
terhuyung-huyung dan banyak yang jatuh ke tanah, di atas sana sosok Pendekar
212 melesat ke arah Sinuhun Muda yang tegak tergontai-gontai sambil mencekal
rantai usus babi yang menjirat leher Ratu Randang. Di tangan kanan Wiro
memegang potongan kemaluan babi betina yang dirampasnya dari mulut ular hitam
jejadian Dewi Ular. Seperti yang dikatakan Dewi Ular, potongan kemaluan babi
itu merupakan penangkal untuk menyingkirkan rantai usus babi.
Karena
tidak tahu bagaimana cara mempergunakan benda penangkal itu Wiro langsung saja
tempelkan potongan kemaluan babi betina pada rantai usus babi yang melingkar di
leher sebelah depan Ratu Randang.
“Dess!”
Wiro
merasa tangan kanannya seperti dijalari api dan tubuhnya bergoncang keras.
Sinuhun
Muda berteriak kaget dan marah luar biasa ketika dalam jarak sedekat itu baru
menyadari benda apa yang ada di tangan Wiro dan barusan ditempelkan ke rantai
usus babi di leher Ratu Randang!
“Jahanam
kurang ajar! Pasti ini pekerjaan gadis iblis Dewi Ular!”
Dengan
cepat Sinuhun Muda sentakan tangan kanan yang memegang ujung rantai usus babi.
Dengan gerakan ini dia bermaksud untuk menghabisi Ratu Randang saat itu juga.
Jika maksud jahatnya itu berhasil maka leher Ratu Randang akan putus dan
kepalanya akan buntung!
Namun
terlambat. Begitu potongan kemaluan babi betina menyentuh rantai usus babi,
berpijar satu sinar hitam. Saat itu juga rantai usus babi putus leleh
mengepulkan asap hitam berbau busuk. Sosok Ratu Randang keluarkan suara
batuk-batuk beberapa kali, mata yang sejak tadi terpejam mendadak membeliak,
tubuh menggeliat Jalu roboh ke tanah.
Sinuhun
Muda keluarkan suara meraung seperti srigala terluka. Dua telapak tangan
dikembang lalu secepat kilat dihantamkan ke arah Pendekar 212 yang saat itu
tengah berusaha mengimbangi diri dari goncangan hebat. Telapak kiri mencari
sasaran di kening, telapak kanan melesat ke pertengahan dada. Ketika dua
telapak tangan menghantam, jari tengah sengaja ditekuk! Ternyata Sinuhun Muda
melancarkan serangan Delapan Sukma Merah yang sangat berbahaya dan paling
ditakuti!
Mendapat
serangan begitu rupa Wiro tidak tinggal diam. Tangan kanan dikembang lalu
ditiup. Di telapak tangan serta merta muncul gambar kepala harimau putih
bermata hijau! Di kejauhan menggelegar suara gerengan harimau.
Lereng
bukit sebelah utara bergoyang laksana dilamun gempa!
Wiro
bukan saja mengeluarkan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Harimau Dewa
pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh dari Pulau Andalas, serangannya itu disertai
pula aliran hawa sakti mengandung inti api yang berasal dari Kapak Maut Naga
Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya.
“Plaa! Plaak!”
“Bukk!
Kraak!”
Wiro
menjerit keras. Tubuhnya terpental hampir satu tombak lalu terbanting
tertelentang di tanah. Kening dan dada kanan terasa panas. Sehabis memukul
Sinuhun Muda mendadak melihat ada seekor harimau besar putih bermata hijau
menerkam ke arahnya. Entah harimau sungguhan entah jejadian. Dia tidak bisa
menduga duga lebih lama karena saat itu juga Pukulan Harimau Dewa menghantam
dadanya dengan telak.
“Bukk!
Kraaak!”
Sinuhun
Muda terlempar dari lereng bukit sebelah utara. Tubuh mengepulkan asap putih
kehijauan. Di balik kepulan asap tampak dada yang hancur nyaris berlubang
sebesar kepala. Sebagian isi dada dan perut kelihatan menguak, mengerikan.
Namun anehnya tidak ada darah yang mengucur. Sinuhun Muda meraung keras.
“Kesatria
Junjungan! Sinuhun Merah Penghisap Arwah kalian dimana?!
Hekk!”’
Teriakan Sinuhun Muda terhenti. Tenggorokannya seperti dicekik sementara
tubuhnya terus melayang ke bawah bukit.
Tidak ada
suara jawaban. Yang terdengar justru suara aneh. Suara kucing mengeong! Latu!
“Buummm!”
Untuk
kesekian kalinya di udara antara lereng barat dan lereng utara Bukit Batu
Hangus menggelegar dentuman keras. Cahaya kuning polos dan cahaya kuning
kemerahan membungkus udara hingga keadaan di tempat itu untuk beberapa lama
menjadi kelam. Begitu perlahan lahan dua cahaya di atas sana sirna dan keadaan
menjadi terang kembali, teriakan-teriakan keterkejutan terdengar di lereng
Bukit Batu Hangus sebelah barat.
*********************
TIGA BELAS
DIDAMPINGI
Jaka Pesolek, di atas sebuah batu besar Raja Mataram terbujur tak bergerak.
Walau akibat bentrokan Api Akhirat yang menyembur keluar dari Lentera Iblis
hanya membuat dirinya cidera ringan, pakaian hangus, namun saat itu Raja juga
merasa sekujur tubuhnya laksana luluh-lantak. Nafas mengengah engah dan
sepasang mata setengah terpejam.
“Yang
Mulia, bagaimana keadaan Yang Mulia. Apa ada yang dirasakan sakit?”
Jaka
Pesolek bertanya sambil usap kening Raja, agak bingung karena tidak tahu harus
menolong bagaimana.
“Aku …
aku tidak apa-apa. Bagaimana yang lain-lainnya?” Raja Mataram justru
mengawatirkan keadaan orang lain yang ada di lereng bukit. Rauh Kalidathi
satu-satunya orang Kerajaan ditempat berkepandaian tinggi yang masih ada di
tempat itu cepat mendatangi Raja Mataram. Nenek bermuka bundar tak punya alis
ini memeriksa lalu menotok tubuh Raka Kayuwangi di beberapa bagian.
“Yang
Mulia,syukur Dewa melindungi. Yang Mulia tidak apa-apa. Tak ada hawa beracun
mengindap dalam tubuh Yang Mulia. Izinkan saya dan gadis ini menggotong Yang
Mulia ke tempat lebih aman…” Si nenek memberi isyarat pada Jaka Pesolek. Kedua
orang ini lalu mengusung tubuh tinggi besar Raja Mataram beberapa belas langkah
ke bagian bawah lereng lalu membaringkan di balik sebuah batu hitam.
Di bagian
lain lereng barat Bukit Batu Hangus Pendekar 212 terbujur di tanah tak
bergerak, mata terpejam dan ada darah meleleh dari sudut kedua mata. Di
keningnya ada tanda bekas telapak tangan kiri berjari empat! Di pertengahan
dada yang tersingkap juga kelihatan tanda telapak tangan kanan berjari empat.
ltulah Pukulan Delapan Sukma Merah yang secara kasat mata dilakukan oleh
Sinuhun Muda namun sebenarnya ada roh gaib lain yaitu Sinuhun Merah Penghisap
Arwah yang memberi kekuatan dan merasuk masuk ke dalam tubuh Sinuhun Muda.
“Wiro!
Kau! Ohh Sang Hyang Jagat Bathara! Jangan …”
Satu
jeritan perempuan terdengar lalu ada sosok seseorang meneduhi tubuh Pendekar
212 dan mengusap kening serta dadanya berulang kali. Sambil mengusap dia
kerahkan tenaga dalam mengandung hawa sakti memancarkan cahaya biru.
“Wiro,
jangan mati! Kau tidak boleh mati !”
Orang
yang tengah berusaha menolong Wiro adalah gadis berkaki satu Sakuntaladewi
alias Dewi Kaki Tunggal. Melihat Wiro masih tetap tidak bergerak Dewi, Kaki
Tunggal letakkan telinga kanannya di dada sang pendekar.
“Dewa
Bathara Agung! Aku tidak mendengar suara detak jantung!” Wajah Sakuntaladewi
berubah pucat. Lalu dia guncang tubuh Wiro keras-keras. Tiba-tiba dalam keadaan
antara sadar dan tiada, Wiro buka kedua mata, tidak cukup besar dan
pandangannya tidak cukup jelas. Namun hidungnya mencium bau harum.
Wiro
pejamkan mata beberapa kali lalu memandang lagi. Perlahan lahan dua tangan
diangkat memegang wajah orang yang berada di atasnya. Dia melihat ada cahaya
biru. Lalu ada wajah cantik samar. Mulut berucap perlahan tapi cukup jelas.
“Bidadari
Angin Timur, kau …”
“Wiro,
kau menyebut nama siapa? Aku… aku Sakuntaladewi. Aku gadis berkaki satu yang
punya kaul. Aku Dewi Kaki Tunggal! Kau calon suamiku! Kau tidak boleh mati!”
Wiro
terdiam, mulut ternganga. Mata dibuka lebih lebar. Bola mata membesar.
“Dewi ….
kau,” sang pendekar berkata. “Pikiranku tidak jernih, kepala dan dada terasa
panas. Pandangan mata kabur…”
“Kau, kau
terkena pukulan Delapan Sukma Merah. Seharusnya kau sudah menemui ajal saat
ini! Para Dewa pasti telah menolongmu! Wiro, di kening dan dadamu ada tanda
telapak tangan berjari empat. Bekas pukulan Delapan Sukma Merah…”
Wiro
mengusap kening lalu memperhatikan dadanya. Walau samar dia masih mampu melihat
bekas telapak tangan kanan berjari empat yang tertera di dada.
“Kepalaku
memang terasa panas. Dada sakit, nafasku sesak …. Aku tidak pernah mengalami
seperti ini. Apakah … apakah aku akan mati?”
“Tidak,
kau tidak akan mati Wiro! Aku akan…”
Wajah
pucat sang pendekar tersenyum datar. “Sebelum mati aku harus melakukan sesuatu.
Aku telah membuat wajahmu yang cantik menjadi buruk. Aku akan mengembalikan
hidungmu ke tempat semula. Maafkan kalau aku…”
“Jangan
pikirkan diriku. Yang penting kau harus sembuh lebih dulu. Kau telah memberikan
ilmu itu padaku. Aku bisa melakukan sendiri nanti.”
“Tidak,
aku yang melakukan aku yang harus mengembalikan.”
Wiro
gerakkan tangan kanan ke hidung Sakuntaladewi yang ada di pipi kanan.
Hidung
diusap lalu tangan dipindah ke pertengahan wajah. Ketika tangan diangkat hidung
gadis itu telah kembali ke tempat semula secara. sempurna. Namun selesai
melakukan hal itu, mungkin karena mengerahkan hawa sakti dikala tubuh cidera,
dua tangan sang pendekar terkulai, jatuh ke samping. Mulut keluarkan keluhan
pendek, mata kembali terkancing!
“Wiro!”
Sakuntaladewi
terpekik. Dia pegang dua bahu Pendekar 212 lalu digoyang keras-keras. Tubuh itu
tidak bergerak, wajah tampak semakin pucat. Seperti tadi Sakuntaladewi letakkan
telinga. kanannya di dada Wiro. Dia tidak mendengar suara detak jantung.
Sakuntaladewi tempelkan dua telapak tangannya di atas dada Wiro lalu ditekan
dihentakkan. Satu kali, dua kali. Sampai beberapa kali Wiro tetap diam tidak
bergerak.
“Dewa
Agung tolong saya. Tolong saya!” Sakuntaladewi berkata setengah meratap. Lalu
gadis ini menotok kening, dada dan urat besar di pangkal leher kiri kanan Wiro.
Setelah itu dia rundukkan kepala, jari-jari tangan kanan menekap dua lobang
hidung Wiro, jari-jari tangan kiri membuka mulut yang terkatup. Lalu gadis itu
tempelkan bibirnya ke bibir sang pendekar. Berulang kali dia menghembuskan
nafas hangat ke dalam mulut Wiro.
Tiba-tiba
ada suara perempuan tertawa dan menegur!
“Hik …
hik! Sahabatku itu belum mati. Mengapa buru-buru memberikan cium perpisahan?!”
Saat itu
tiba-tiba saja Wiro sadar dari pingsannya. Sambil terbatuk-batuk dia nyalangkan
sepasang mata. Di arah lain ada lagi suara orang perempuan berucap.
“Seharusnya
aku yang memberikan puluhan bahkan ratusan ciuman. Apa kalian tidak tahu kalau
aku masih berhutang empat ratus enam puluh dua ciuman lagi pada Pendekar
Panggilan?!”
Sakuntaladewi
angkat kepalanya. Memandang ke kiri dia melihat Kunti Ambiri alias Dewi Ular
tergeletak di tanah. Rambut hitam panjang tergerai lepas.
Mahkota
perak hilang entah kemana. Tubuh bagian pinggang ke bawah termasuk pakaian
sutera hijaunya tampak hangus. Kelihatannya gadis alam roh ini hanya mampu
menggerakkan dua tangan dan sebagian tubuh sebelah atas saja.
Sementara
tubuh pinggang ke bawah dalam keadaan lumpuh!
“Oala!
Sahabatku muda! Nasibku celaka aku tidak perduli. Tapi kalau dirimu yang sengsara
aku sungguh sedih. Tidak ada yang bisa menghilangkan tanda telapak tangan di
kening dan dadamu selain dengan ciuman yang harus dilakukan oleh Sinuhun Muda
atau Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Oala! Apakah kau mau dicium mahluk keparat
itu. Lalu apakah dia mau menciummu? Hik … hik !”
Wiro yang
baru saja siuman dan mata masih menerawang ke langit mengenali suara itu.
“Ratu ….
Ratu Randang … Kaukah itu!”
*********************
EMPAT BELAS
SEORANG
nenek berambut kusut masai tidak karuan, berdiri di samping Wiro yang masih
terbujur di tanah didampingi Sakuntaladewi. Sepasang matanya yang juling
menatap hiba memperhatikan Pendekar 212. Ternyata dia memang adalah Ratu
Randang si nenek yang sebenarnya berwajah cantik tapi kini dalam keadaan lebam
bekas dianiaya orang, salah seorang kepercayaan Sri Baginda Raja Mataram.
“Wiro,
aku berterima kasih kau telah menyelamatkan diri dan nyawaku dari tangan jahat
Sinuhun Muda. Tapi akibatnya sekarang kau malah yang jadi sengsara. Bagaimana
aku ganti menolong membalas budimu. Hutang empat ratus enam puluh dua ciuman
saja masih belum lunas!”
Wiro yang
masih menahan sakit di kepala dan di dada masih bisa tersenyum mendengar ucapan
sinenek, Malah dia kemudian berkata. “Nek, jangan berterima kasih padaku, tapi
berterima kasih pada Kunti Ambiri. Dia yang membawa benda penangkal rantai usus
babi…”
“Kunti
Ambiri? Siapa itu? Aku tidak pernah kenal dengan perempuan bernama seperti
itu.” Kata Ratu Randang pula.
“Kunti
Ambiri adalah nama sebenarnya dari Dewi Ular. Menerangkan Wiro.
Ratu
Randang terkejut. Ini kali kedua si nenek terkejut. Pertama ketika mendengar
disebutnya benda penangkal rantai usus babi dan kedua sewaktu mendengar nama
Dewi Ular.
“Dewi
Ular? Wiro, apa kau tidak salah bicara aku tidak salah mendengar?
Bukankah
gadis iblis yang sama datang dari alammu itu adalah musuh besarmu dan musuh
orang-orang kerajaan? Semua orang tahu dia berpihak bahkan pasti sudah digilir
oleh Sinuhun Muda. dan Sinuhun Merah dan beberapa kali hendak membunuhmu!” Si
nenek kernyitkan kening.
“Sekarang
tidak lagi Nek. Kalau dia memusuhi kita, tidak akan gadis itu muncul membawa
benda penangkal … “
Ratu
Randang bergumam. Agak senyum-senyum dia berkata. “Benda penangkal, maksudmu
potongan kemaluan babi betina?”
“Betul
Nek,” jawab Wiro.
“Ah…!
Ratu Randang menghela nafas panjang lalu sambil menahan tawa cekikikan dia
berkata. “Aku tidak heran. Kalau soal benda-benda semacam yang aku sebut tadi
Dewi Ular memang ahlinya … Hik…hik! Dimana gadis alam roh itu sekarang?”
“Nenek
tua tapi masih cantik dan montok, aku di sini. Apakah kau hendak menolong atau
mau membunuhku! Aku menunggu apa maumu saja…”
Satu
suara menjawab dari depan sebuah batu besar. Tidak tunggu lebih lama Ratu
Randang segera melesat ke udara dan melayang turun di depan batu, dimana Kunti
Ambiri alias Dewi Ular tergeletak. Walau masih bisa bicara namun tubuhnya
sebelah bawah berada dalam keadaan hangus dan lumpuh. Ini bukan lain akibat
bentrokan sebelumnya dengan cahaya, serangan Lentera Iblis serta sapuan cahaya
kuning kemerahan yang menyambar dari lereng bukit sebelah utara.
“Sahabat,
kau mengalami cidera berat! Kulihat tubuhmu pinggang kebawah dalam keadaan
lumpuh. Aku kawatir tidak bisa, menolongmu…” Dewi Ular tersenyum.
“Sebenarnya
aku tidak minta ditolong. Kau mau memanggil diriku dengan sebutan sahabat sudah
merupakan satu hal sangat menggembirakan bagiku … “
“Jangan
bicara begitu,” kata Ratu Randang pula sambil coba alirkan tenaga dalam dan
hawa, sakti ke tubuh bagian bawah Dewi Ular. Di saat yang sama dia merapal ilmu
kesaktian bernama Tangan Langit Kaki Bumi. Dua larik sinar biru memancar dari
dua tangannya. Dua kaki Dewi Ular hanya tersentak sebentar lalu diam lagi.
Sampai sekujur tubuh si nenek keringatan tetap saja dia tidak bisa menolong
Dewi Ular. “Aku menyesal….” Ucap Ratu Randang pula. “Aku menduga ada satu
kekuatan masih menolongmu sewaktu membantu Raja menggempur Kesatria Roh
Jemputan bersenjata lentera.”
“Ah,
tidak sangka kau mengetahui hal itu…”
“Ketika
masih dijerat rantai usus babi tadi orang melihat dua mataku yang lebam seperti
terpejam. Tapi aku masih mampu menyaksikan apa yang terjadi.
Hanya
saja saat ini aku berpikir-pikir…”
“Apa yang
kau pikirkan Nek ? Sisa ciuman yang masih empat ratus enam puluh dua itu ?”
Ratu Randang terperangah tapi kemudian tertawa gelak-gelak.
“Itu
memang jadi pikiran dan sangat penting. Tapi yang saat ini aku pikirkan ialah
aku heran melihat keadaan gadis berkaki satu yang dipanggil Dewi Kaki Tunggal
itu. Dia ikut menyerang orang-orang di lereng bukit utara. Tapi mengapa dia
hampir tidak mengalami cidera sedikitpun? Apakah dia memang memiliki kesaktian
luar biasa?”
“Yang aku
tahu dia masih sedarah dengan Sinuhun Muda. Tapi tidak berada di pihaknya. Lalu
gadis kaki satu itu sebenarnya juga adalah cucu dari dua mahluk sakti Sepasang
Arwah Bisu. Namun aku …. Astaga! Aku ingat sesuatu!” Dewi Ular berucap setengah
berseru lalu diam,. “Heh ! Kau ingat apa ?!” Ratu Randang bertanya tidak
sabaran.
“Aku
pernah tahu kalau gadis berkaki satu itu membekal sebuah bunga sakti.
Sekuntum
Bunga Matahari. Sebelum Sinuhun Muda dan Kesatria Roh Jemputan melakukan
serangan aku malah sudah memberi tahu dan mengingatkan dirinya kalau bunga itu
bisa dijadikan andalan…”
Belum
selesai Dewi Ular dengan ucapannya, tidak menunggu lebih lama Ratu Randang
segera berkelebat ke atas lereng dimana Wiro dan Sakuntaladewi berada.
“Anak
gadis, apakah bunga yang aku kembalikan padamu melalui Ni Gatri sudah kau
terima?” Tanya Ratu Randang begitu sampai di hadapan Sakuntaladewi yang tengah
menolong Wiro yang saat itu telah mampu duduk bersandar ke sebuah batu besar.
“Mengapa
kau menanyakan bunga itu Nek ?” Balik bertanya Sakuntaladewi.
Lalu
tiba-tiba saja gadis ini ingat. “’Hyang Jagat Bathara Dewi Ular pernah
mengatakan sesuatu !”
Dengan
cepat Sakuntaladewi keluarkan Bunga Matahari dari balik pakaiannya.
Namun
dengan cepat pula segera dirampas oleh si nenek. Dia hendak melesat turun
kembali ke tempat Dewi Ular tergeletak namun batal karena ingat akan keadaan
Pendekar 212. Bunga yang pernah dijampai oleh patung Nyi Roro Jonggrang di
kawasan Candi Prambanan ini segera disapukannya di kening Wiro dimana terdapat
tanda telapak tangan empat jari.
“Kalau
ampuh di sini, maka dengan kehendak Yang MahaKuasa akan mampu untuk menolong
semua orang!” Ucap Ratu Randang lalu wuss!
Asap
kuning kemerahan mengepul dari kening yang diusap Bunga Matahari.
Begitu
asap sirna, tanda telapak tangan kiri berjari empat di kening Wiro lenyap tidak
berbekas! Ratu Randang dan Sakuntaladewi berseru gembira. Wiro
terbengong-bengong sambil meraba kening. Dia tentu saja tidak bisa melihat apa
yang terjadi dengan keningnya namun saat itu rasa sakit di kepalanya serta
merta lenyap begitu Bunga Matahari diusap di atas kening.
“Nek …
Nek, masih ada satu tanda lagi,” kata Wiro pada Ratu Randang sambil membuka
bagian dada pakaiannya.
“Kecil!”
Jawab si nenek jadi sombong. Sekali menyapukan Bunga Matahari di dada Pendekar
212 maka tanda telapak tangan kanan berjari empat yang tertera di dada itu juga
lenyap setelah lebih dulu mengeluarkan asap kuning kemerahan!
Rasa
sesak dan sakit di dada juga sirna!
“Terima
kasih Nek,” kata Wiro sambil mengulurkan tangan. Tiba-tiba saja dia sudah
merangkul Rati Randang. “Sekarang biar aku bantu mengurangi hutang ciumanmu
Nek!”
Wiro
memagut punggung dan belakang kepala si nenek. Lalu cup … cup … cup. Dia
mengecup bibir si nenek berulang kali sampai si nenek megap-megap tapi tidak
mau melepaskan diri seolah memang suka dicium begitu rupa!
Tersengal-sengal
Wiro hentikan ciuman. Dia melihat wajah si nenek yang bersemu merah. Mata
dipejam, bibir diruncingkan tanda masih ingin dan siap dicium. Wiro berkata.
“Sudah
dulu Nek.”
Ratu
Randang buka kedua mata dan usap bibirnya. Dia merasa ada kelainan.
“Oala,
kenapa bibirku terasa lain? Jadi lebih tebal …”
Wiro
memperhatikan. Ternyata bibir si nenek sudah melembung merah!
“Kau …
kau membuat bibirku jontor!” kata Ratu Randang. Tangan kirinya bergerak
menjewer telinga Wiro. Lalu sambil membawa Bunga matahari di tangan kanan nenek
ini berkelebat menuruni bukit.
Di lereng
bukit Wiro berteriak.
“Nek,
tadi aku tidak menghitung. Tapi paling tidak ada empat puluh kali aku
menciummu. Berarti hutang ciumanmu kini tinggal empat ratus dua puluh dua!”
Si nenek
hentikan lari. Memutar tubuh ke arah Wiro sambil kepalkan tinju.
Sampai di
hadapan Dewi Ular Ratu Randang berkata.
“Dengan
bunga ini aku berhasil mengobati Wiro. Mudah-mudahan bunga sakti ini juga bisa
menyembuhkanmu … “
“Astaga!
Setan mana yang menyedot bibirmu Nek?” Tanya Dewi Ular bergurau padahal
sebenarnya dia tadi sempat melihat apa yang terjadi.
“Jangan
menggoda. Kau mau aku tolong tidak?!” Kata Ratu Randang pula.
“Nek,
jangan pikirkan diriku. Sebaiknya kau lekas menolong Raja Mataram.
Dia di
sana ditemani gadis yang ada kumis halusnya itu.” Dewi Ular menunjuk ke arah
satu batu besar di belakang mana Raja berada bersama Jaka Pesolek.
Ratu
Randang orangnya memang polos.
Karena
sudah merasa bersahabat dengan Dewi Ular, sebelum pergi meninggalkan gadis alam
roh itu, Bunga Matahari diusapkannya di atas perut, punggung, pantat dan dua
kaki Dewi Ular. “Biar aku tambahkan satu usapan lagi sebagai hadiah!” Kata Ratu
Randang. Lalu tanpa banyak cerita lagi dia angkat bagian bawah pakaian sutera
hijau Dewi Ular dan susupkan Bunga Matahari ke bagian bawah perut gadis itu.
“Hai nek!
Kau ini gila apa ?!” Teriak Dewi Ular kegelian tapi tidak sempat menghindar.
Ratu
Randang tertawa cekikikan.
“Kau
bilang aku gila! Nanti lihat saja! Pasti banyak lelaki yang tergila-gila
padamu! Hik… hik … hik !” Ratu Randang kembali tertawa panjang.
“Nek,
bagaimana kalau nanti karena kualat bunga itu hilang kesaktiannya.
Padahal
kau belum menolong Raja!”
Walau
lari terus ke arah dimana Raja dan Jaka Pesolek berada namun ucapan Dewi Ular
membuat Ratu Randang jadi berdebar dan dingin tengkuknya. Dia jadi punya rasa
kawatir kalau-kalau apa yang diucapkan Dewi Ular menjadi kenyataan. Bunga
Matahari hilang kesaktiannya karena tadi langsung diusapkan ke bagian
terlarang. Si nenek dekatkan Bunga Matabari ke hidungnya lalu mencium
dalam-dalam.
“Tidak
ada bau yang aneh…” ucap si nenek dalam hati. “Tapi tadi aku tidak sempat
melihat. Apa Dewi Ular pakai celana dalam atau tidak ya? Gadis seronok itu!
Jangan-jangan dia tidak pakai celana dalam!”
Jaka
Pesolek terkejut ketika tahu-tahu Ratu Randang sudah berdiri di hadapannya.
“Nek, kau
datang membawa Bunga Matahari. Kau mau berbuat apa ? Apa kau bisa menolong Raja
?”
Ditegur
begitu Ratu Randang hanya tegak terdiam. Dia masih memikirkan ucapan Dewi Ular
tadi.
“Kalau
perbuatanku tadi memang mendatangkan kualat, berarti Raja memang tidak bisa
ditolong. Celaka, bagaimana ini. Apa ada penangkal untuk menghilangkan kualat?
Tadi aku usapkan ke anunya Dewi Ular. Mungkin penangkainya lawan dari yang itu
…. Hemmm.”
Lalu
tiba-tiba sekali Ratu Randang rundukkan tubuh. Bunga Matahari yang ada di
tangan kanan diusapkan ke bagian bawah perut Raja Mataram.
“Ratu
Randang! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Raja Mataram. Tapi akibat usapan bunga
sakti pada bagian bawah perutnya segala rasa sakit yang diderita Raja menjadi
lenyap. Malah setelah ada kepulan asap kuning kemerahan Raja langsung melompat
bangkit. Dua tangan ditekapkan ke bawah perut. Kepala mendongak sementara
sepasang mata berkedap-kedip meram melek dan lidah diulurkan berulang kali
membasahi bibir.
Melihat
hal ini Jaka Pesolek dekati si nenek dan bertanya.
“Nek, apa
yang kau lakukan pada Raja. Kelihatannya Yang Mulia seperti orang yang sedang
keenakan. Coba aku lihat bunga itu Nek.”
“Jangan!
Kau tidak sakit!”
Tapi Jaka
Pesolek yang punya gerakan kilat sudah merampas Bunga Matahari dari tangan Ratu
Randang lalu dengan cepat bunga sakti itu diusap ditekan-tekan berulang kali ke
bawah perutnya sendiri!
Tiba-tiba
Jaka Pesolek menjerit keras. Bunga Matahari terlepas jatuh dari tangan kanan.
Tubuh gadis ini jatuh tertelentang, Mata membeliak, bola mata berputar-putar.
Mulut senyum-senyum.
“Gila!
Apa yang terjadi?!” Si nenek cepat mengambil Bunga Matahari yang tercampak di
tanah dan berpikir pikir sambil menatap ke arah Raja, lalu memandang pada Jaka
Pesolek, setelah itu memperhatikan Bunga Matahari.
“Hemmm…,.”
Si nenek bergumam. “Kalau tidak aku lakukan sendiri mana aku tahu apa yang
terjadi dan dirasakan dua orang itu.” Tiba-tiba si nenek tekapkan kuat-kuat
Bunga Matahari sakti ke bagian bawah perutnya. Sesaat kemudian sepasang mata si
nenek tampak terbeliak, mulut menganga mengeluarkan suara eranga dan lidah
terjulur.
“Oala!
Oala!” Ratu Randang berteriak berulang kali. Lututnya goyah, tubuh limbung lalu
jatuh tertelentang menggeliat geliat di atas sebuah batu.
“Nek, “
tiba-tiba ada orang mendatangi dan bertanya. Ternyata Jaka Pesolek.
“Nek, aku
cuma mau tanya. Apa yang kau alami sama dengan yang aku rasakan.
Aku
merasa geli-geli aneh tapi enak di sebelah bawah tubuhku. Lalu sesekali seperti
ada tangan lembut yang mengusap anuku … Hik … hik….”
“Kalau
sudah tahu mengapa masih bertanya ?!” Ratu Randang mendamprat.
Lalu
kembali berteriak Oala…Oaia Mata meram melek!
Jaka
Pesolek tertawa panjang lalu jatuhkan tubuh melintang di atas tubuh si nenek!
“Gadis
liar! Aku ini perempuan! Jika kau mau senang-senang cari lelaki saja!”
Ratu
Randang berucap marah karena tubuhnya dihimpit begitu rupa.”
“Hikk …
hik… “ Jaka Pesolek kembali tertawa geli cekikikan. “Apa kau tidak tahu Nek ?
Aku ini bisa jantan bisa betina ?!”
“Huekkk
!” Ratu Randang keluarkan suara seperti mau muntah. Lalu dia membentak.
“Setan
alas! Jangan mengganggu!. Jangan membuat aku marah. Aku sedang keenakan tahu!”
“Sama
lagi Nek, sammaaa … Aku juga lagi…. uhuk…uhuk…ihik..ihik!” Jawab Jaka Pesolek
dan terus saja menindih tubuh si nenek sementara dua kakinya bergerak
melejang-lejang.
T A M A T
No comments:
Post a Comment