Episode
Malam Jahanam Di Mataram / Petualangan Wiro Di Masa Kerajaan Mataram Kuno
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
KESUNYIAN
malam menjelang pagi di lereng Gunung Bismo tiba-tiba saja pecah dihentak oleh
suara dentrangan benda keras tak berkeputusan. Suara ini datang dari bagian
belakang sebuah gubuk tak berdinding terletak di bawah naungan pohon besar. Di
atas sehelai tikar butut yang diberi bantalan jerami kering duduk seorang tua.
Tubuh yang kurus hanya dibalut sehelai kain putih dari pinggang ke bawah.
Demikian kurusnya hingga muka seolah tinggal kulit pelapis tulang.
Tulang-tulang iga bertonjolan seperti jerangkong.
Di
samping kanan si orang tua, di atas tanah terletak sebuah pedupaan menyala yang
asapnya menebar harum bau kemenyan. Di sebelah kiri ada satu keranjang bambu
kecil berisi kembang tujuh rupa.
Orang tua
ini berambut panjang riap-riapan, kumis dan janggut berwarna biru. Walau
wajahnya seperti tengkorak namun tidak membayangkan keangkeran. Sepasang mata
bening memiliki sorot pandang penuh semangat. Saat itu dia duduk menghadapi
setumpuk bara menyala. Di depan bara menyala ada sebuah bantalan besi. Di atas
bantalan besi ini membelintang sebatang besi panjang.
Ada
keanehan, walau batangan besi merah panas menyala namun cahaya yang dipancarkan
berwarna redup kebiruan. Ini satu pertanda besi itu bukan besi biasa, mungkin
mengandung satu kekuatan atau hawa sakti.
Si muka
tengkorak duduk sambil tangan kiri memegang batangan besi membara dengan sebuah
japitan besi yang pegangannya dibalut kain untuk menolak panas. Di tangan kanan
dia menggenggam sebuah palu besi. Palu ini dipukulkan tiada henti pada batangan
besi menyala. Setiap kali palu besi beradu dengan batangan besi menyala, bunga
api memercik terang disertai suara dentrangan keras.
Sambil
memukul besi orang tua itu tiada henti mengeluarkan ucapan perlahan yang lebih
mirip nyanyian.
Tempa
besi selagi panas
Tugas
suci sebagai abdi
Jangan
berhenti sebelum jadi
Tempa
besi selagi panas
Puasa dua
puluh tujuh hari
Pergunakan
hati dan pikiran
Bekerja
dengan ketulusan
Tempa
besi selagi panas
Selalu
ingat
Manusia
hanya pelaku
Yang
punya kehendak adalah Dewa
Tempa
besi selagi panas
Antara
Bhumi dan Swargaloka
Kuasa
Dewa sudahlah jelas
Karenanya
memohon pada Yang Kuasa
Tiada
yang lain tempat meminta
Trang…
trang… trang!
Untuk
kesekian kali terdengar suara dentrang berkepanjangan dari beradunya palu dan
batangan besi disertai percikan bunga api, mengiringi suara nyanyian orang tua
bermuka tengkorak.
Mendadak
suara nyanyian mengalun perlahan lalu lenyap sama sekali. Bersamaan dengan itu
tangan yang tengah menempa palu ke batangan besi merah menyala berhenti
memukul. Ada sesuatu yang jadi penyebab. Perlahan-lahan orang tua ini angkat
kepala.
Sepasang
mata beningnya melihat dua kaki berkasut putih di bawah ujung sehelai jubah
sutera kelabu. Dua kaki berkasut kulit itu sama sekali tidak menjejak tanah!
Perlahan-lahan
orang tua itu letakkan palu di atas tikar. Tangan kiri melepas japitan dari
batangan besi yang tadi ditempa. Lalu dia angkat kepala lebih tinggi dan
memandang ke atas. Kini dia dapat melihat keseluruhan sosok berjubah sutera
kelabu itu.
Orang ini
ternyata seorang kakek berwajah jernih. Di kepalanya ada gulungan kain kelabu
menyerupai sorban. Alis, kumis, serta janggut yang putih memberi gambaran,
kalau usianya tidak di bawah si orang tua penempa besi. Di pinggang melingkar
ikat pinggang berbentuk tasbih besar terbuat dari kayu berwarna coklat dan
mengeluarkan bau mewangi.
“Saya
merasa mendapat kehormatan besar atas kunjungan seorang sahabat yang agaknya
datang dari jauh. Namun karena saya tidak mengenal, bolehkah saya bertanya
siapa gerangan adanya sahabat?”
Sehabis
menyapa orang tua di depan tumpukan bara menyala segera hendak berdiri,
maksudnya akan membungkuk memberi salam hormat pada kakek yang berdiri di
hadapannya.
Kakek
yang disapa tersenyum lalu berkata.
“Empu
Semirang Biru, tak usah berdiri. Tetap saja duduk di tempatmu. Kata-kata dalam
nyanyianmu tadi sungguh indah dan suaramu menyanyi sungguh bagus…”
“Terima
kasih sahabat telah memuji. Tapi…” Orang tua yang dipanggil dengan nama Empu
Semirang Biru terheranheran orang yang tak dikenal mengetahui namanya. Setelah
menatap wajah jernih orang di hadapannya sesaat baru dia meneruskan ucapan.
“Tapi saya mempunyai dugaan, sahabat datang ke sini bukan tertarik oleh
nyanyian saya. Atau mungin saya salah menduga…”
“Empu
Semirang Biru, kau sungguh arif. Perasaan dan pandangan matamu tajam karena kau
mempergunakan hati sanubari yang tulus. Walau tadi saya katakan katakata dalam
nyanyianmu sungguh indah dan suaramu sungguh bagus, tapi memang saya datang ke
sini bukan karena nyanyianmu tadi. Sudah tersurat di kahyangan sana sejak satu
purnama yang lalu, bahwa malam Jum’at Kliwon ini, setelah kau melakukan puasa
selikur, saya harus datang menemuimu. Saya merasa sangat berbahagia bisa
berjumpa dengan seorang empu, seorang ahli pembuat senjata ternama untuk
Kerajaan Mataram…”
“Sahabat
keliwat memuji. Sahabat belum memberi tahu siapa sahabat adanya.” Empu Semirang
Biru menjawab dan kembali menyatakan keingintahuannya siapa adanya kakek
bersorban dan berjubah kelabu itu yang membekal ikat pinggang berbentuk tasbih
besar menebar bahu harum.
Orang
yang ditanya bukannya menjawab pertanyaan Empu Semirang, malah balik mengajukan
pertanyaan.
“Empu
Semirang Biru, pekerjaan apa dan untuk siapa yang tengah kau lakukan saat ini?”
Semula
Empu Semirang Biru merasa segan untuk menerangkan. Namun karena diam-diam
menyadari orang di hadapannya bukan orang sembarangan maka dia menjawab juga.
“Sahabat,
saya tengah menempa sebilah keris, atas kepercayaan dan permintaan Sri Maharaja
Rakai Kayuwangi dari Mataram.”
“Terima
kasih sahabat telah mau memberi tahu. Kalau saya boleh bertanya, dengan cara
menempa begitu rupa, belum lagi mengukir dan mengikir, berapa lama perkiraan
keris itu akan selesai dikerjakan?”
“Saya
menjanjikan pada utusan Sri Maharaja, keris akan selesai dalam waktu dua puluh
tujuh hari ditambah dua puluh satu hari. Dua puluh tujuh hari masa untuk saya
berpuasa dan dua puluh satu hari waktu untuk mengerjakan pembuatan keris. Tapi
sang utusan minta agar saya menyerahkan keris itu dalam tempo tujuh hari.
Berarti saya harus bekerja keras. Malam ini adalah malam pertama saya memulai
pekerjaan…”
“Apakah
Sri Maharaja memberi tahu pada sahabat apa gerangan nama yang akan diberikan
pada keris itu jika kelak sudah selesai dan diserahkan?”
“Mohon
maaf, saya tidak bisa memberitahukan hal itu,” jawab Empu Semirang Biru. “Saya
tidak boleh bicara terlalu jauh sampai ke situ. Saya tidak berani melangkahi
Sri Maharaja…”
Kakek di
hadapannya anggukkan kepala sambil tersenyum.
“Kanjeng
Sepuh Pelangi, bukankah itu nama yang akan diberikan pada keris yang sahabat
buat?”
Empu
Semirang Biru tercengang.
*********************
2
KAKEK
bersorban dan berjubah sutera kelabu di hadapan Empu Semirang Biru tersenyum.
“Apakah saya salah mengira dan menyebut nama?” “Bagaimana sahabat mengetahui
hal itu?” Bertanya Empu Semirang.
“Sesuai
namanya bukankah keris itu akan menjadi sepuh dari semua keris yang sudah
dimiliki Sri Baginda dan Kerajaan Mataram walau usia pembuatannya seolah bayi
yang baru dilahirkan. Namun bahan logam keris tersebut diketahui berusia hampir
seribu tahun dan berasal dari perut kawah Gunung Merapi lapisan ke tujuh. Itu
sebabnya dia menjadi sepuh dari semua keris yang ada di Mataram ini.”
Empu
Semirang Biru angguk-anggukkan kepala mendengar apa yang diucapkan kakek yang
berdiri di hadapannya tanpa menjejak tanah itu.
“Sahabat,
kau tahu lebih banyak dari saya tentang keris yang akan saya buat. Apakah
sahabat seorang kepercayaan Sri Maharaja Mataram yang sengaja datang hendak
menguji saya? Atau mungkin saya berhadapan dengan…”
Kakek
bersorban kelabu cepat memotong ucapan Empu Semirang Biru.
“Empu
Semirang, kerajaan tidak bisa menunggu sampai tujuh hari untuk pembuatan keris
bernama Kanjeng Sepuh Pelangi itu…”
“Saya
tidak mengerti. Utusan Sri Maharaja sendiri yang memberi tahu kalau saya harus
menyelesaikan pembuatan keris dalam waktu tujuh hari. Sekarang sahabat
mengatakan kerajaan tidak bisa menunggu sampai tujuh hari. Apakah saat ini saya
berhadapan dengan utusan Sri Maharaja Mataram yang datang membawa perintah
baru. Tapi bagaimana saya tahu kalau…”
“Empu,
ketahuilah. Keadaan telah berubah. Akan terjadi satu petaka besar menimpa Bhumi
Mataram. Malapetaka itu diperkirakan akan muncul dalam waktu tujuh hari dari
sekarang. Itu sebabnya Sri Maharaja meminta agar sahabat menyelesaikan
pembuatan keris dalam waktu lebih cepat. Tiga hari, tidak boleh lebih…”
“Kalau
itu perintah Sri Maharaja Mataram akan saya lakukan. Tapi bagaimana saya bisa
memastikan kalau itu memang perintah beliau sementara saya masih belum tahu
siapa sahabat ini adanya. Sahabat, saya juga sangat ingin mengetahui,
malapetaka apakah yang akan terjadi di Bhumi Mataram? Kemudian bagaimana mungkin
saya mampu membuat sebilah keris hanya dalam waktu tiga hari…”
Tubuh
kakek berjubah kelabu perlahan-lahan turun ke bawah hingga akhirnya kedua kaki
berkasut menginjak tanah. Begitu dua kaki menginjak tanah, Empu Semirang Biru
merasakan ada hawa aneh menjalar ke dalam tubuh dan berakhir di ujung sepuluh
jari tangannya.
“Empu
Semirang, mengenai siapa diri saya kau boleh menganggap saya adalah utusan Sri
Maharaja Mataram. Mengenai malapetaka yang akan terjadi, kelak akan kau ketahui
tak lama setelah keris Kanjeng Sepuh Pelangi selesai kau buat. Lalu mengenai
bagaimana mungkin dapat membuat keris tersebut dalam waktu tiga hari, saya
harap sahabat mau melakukan apa yang akan saya katakan.”
Empu
Semirang Biru menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya dengan hati terus
bertanya-tanya.
“Sahabat
Empu Semirang, tebarkan bunga tujuh rupa di atas bara menyala…”
Empu
Semirang Biru terdiam namun perlahan-lahan dia menggerakkan tangan, mengambil
bunga tujuh rupa di dalam keranjang bambu lalu menebarkan di atas tumpukan bara
menyala. Aneh! Semua kembang yang ditebar mengambang sejarak setengah jengkal
dari atas bara menyala!
“Sekarang
ulurkan dua tanganmu. Masukkan dan benamkan ke dalam bara yang menyala.”
Tentu
saja ucapan kakek bersorban kelabu membuat Empu Semirang terkejut. Namun orang
tua muka tengkorak ini masih bisa tersenyum dan berkata.
“Sahabat,
apakah tidak keliru pendengaran saya…?”
“Kau
telah mendengar. Sekarang lakukan apa yang saya katakan.”
“Sahabat,
saya bukannya takut memasukkan tangan ke dalam bara menyala. Namun kalau saya
menurutkan perintahmu, kedua tangan saya akan hancur leleh sampai ke tulang.
Maka saya tidak akan mungkin meneruskan pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi.”
“Memang
begitu jalan pikiran dalam dunia nyata. Namun di balik kenyataan ada yang lebih
nyata. Yaitu Kuasa Para Dewa. Sahabat jangan membuat saya menunggu terlalu
lama. Segera masukkan kedua tanganmu ke bawah tumpukan bara menyala. Para Dewa
akan memberkatimu.”
Empu Semirang
Biru tarik nafas dalam. Dalam hati dia mengucap.
“Sang
Hyang Jagat Bathara, saya mohon perlindunganMu. Kalau memang begini harus
kejadiannya maka itulah yang harus saya lakukan.” Orang tua bermuka tengkorak
ini pejamkan kedua mata lalu tanpa ragu-ragu Empu Semirang Biru masukkan kedua
tangannya sampai pergelangan ke dalam tumpukan bara menyala merah!
Wusss!
Asap
putih mengepul dari tumpukan bara menyala. Menerbangkan bunga tujuh rupa yang
mengambang di udara. Asap dan kembang-kembang kemudian lenyap tak berbekas.
Ketika
dua tangannya masuk ke dalam tumpukan bara menyala, dua tangan itu tidak
cidera, apa lagi leleh. Empu Semirang tidak merasa sakit dan tidak merasa
panas.
Malah dia
merasa sejuk pada kedua tangannya. Apa yang terjadi. Mengapa bisa begini?
Perlahan-lahan
sang Empu buka kedua matanya. Dia memandang dengan perasaan heran luar biasa.
Dia melihat sendiri bagaimana dua tangannya kiri kanan sampai ke pergelangan
menyusup masuk ke dalam tumpukan bara merah menyala. Tetapi dia sama sekali
tidak merasa sakit. Malah merasa sejuk. Dua tangannya sama sekali tidak hancur
atau leleh!
“Kuasa
Dewa telah berlaku. Empu Semirang, sekarang tarik keluar dua tanganmu dari
dalam bara menyala.”
Mendengar
perintah orang berjubah kelabu Empu Semirang Biru perlahan-lahan tarik kedua
tangan, dikeluarkan dari dalam bara menyala.
Astaga!
Muka tengkorak sang Empu berubah. Sepasang mata menatap tak berkesip. Walau
tidak merasa sakit namun dia melihat bagaimana kedua tangannya mulai dari
pergelangan sampai ke ujung jari telah berubah menjadi merah menyala,
memancarkan hawa panas luar biasa.
“Sahabat,
apa yang terjadi dengan dua tanganku…?” Walau tetap tenang namun bagaimanapun
juga nada suara Empu Semirang Biru membayangkan rasa khawatir.
“Empu
sahabatku, tidak usah takut Dengan Kuasa Dewa, dua tanganmu kini memiliki
kekuatan dan kemampuan luar biasa. Kini untuk membuat keris Kanjeng Sepuh
Pelangi kau tidak lagi memerlukan palu, japitan, bantalan besi maupun bara
menyala untuk menggarang besi bahan pembuat keris. Kau cukup mempergunakan dua
tanganmu untuk melakukan semua itu. Dan kau akan mampu menyelesaikan pekerjaan
dalam waktu tiga hari. Kekuatan dahsyat yang ada di tanganmu hanya bisa
dipergunakan untuk membuat keris. Tidak bisa dipergunakan untuk pekerjaan lain.
Bahkan tangan-tangan yang panas itu tidak akan menciderai dirimu atau makhluk
lain. Kalau kau tak percaya, usapkanlah dua tangan ke wajahmu.”
Karena
memang sulit untuk percaya Empu Semirang Biru walau agak takut-takut usapkan
juga dua tangannya ke wajah. Sejuk! Itulah yang dirasakan!
“Sahabat,
saya sangat berterima kasih padamu…”
“Jangan
berterima kasih pada saya. Tapi berterima kasih pada Yang Maha Kuasa,” jawab
kakek berjubah sutera kelabu.
Empu
Semirang Biru rundukkan tubuh hingga kening menyentuh tanah. Mulutnya berulang
kali menyebut nama Yang Maha Kuasa, menyampaikan terima kasih. Ketika tubuh
diluruskan dan kepala diangkat kembali ternyata kakek bersorban dan berjubah
kelabu tidak ada lagi di hadapannya. “Ah sayang sekali. Aku tidak mengetahui
nama orang tua gagah berjubah kelabu tadi…” Empu Semirang merasa agak kecewa.
Namun cepat-cepat kembali menyebut nama Yang Maha Kuasa berulang kali. Mata
menatap batangan besi yang akan dijadikan bahan utama pembuat keris dan masih
tergeletak di atas bantalan besi. Tangan diulurkan memegang batangan besi.
Ketika jarijarinya mengusap dengan sedikit menekan, lempengan besi seolah
lilin lembut, begitu mudah dibentuk. “Dewa Bathara Agung, saya insan yang lemah
sungguh sangat bersyukur dan berterima kasih. Engkau telah memberi rakhmat dan
kemampuan tiada tara pada saya… Terima kasih… terima kasih.”
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara raungan binatang. Panjang dan menggidikkan. Empu
Semirang tercekat sesaat.
“Setahuku
tidak pernah ada anjing hutan atau srigala di Gunung Bismo ini. Makhluk apakah
yang tadi meraung…?” Orang tua ahli pembuat senjata ini memandang ke arah
kegelapan di kejauhan. Dia lalu menatap ke langit dan kembali tercekat. Di
langit biru gelap tak berbintang tampak sama-samar awan kelabu berbentuk
lingkaran besar. Di kejauhan, sekali lagi terdengar suara raungan panjang. Awan
kelabu berbentuk lingkaran perlahan-lahan sirna.
“Mudah-mudahan
dugaanku keliru. Tapi aku mendengar suara dan melihat pertanda tidak baik. Aku
harus segera mengerjakan pembuatan keris ini…”
Tidak
menunggu lebih lama, saat itu juga Empu Semirang Biru dengan sepuluh jari
tangan merah menyala dan memancarkan hawa panas luar biasa mulai bekerja.
Batangan besi berusia seribu tahun bahan dasar pembuatan keris ditarik hingga
berubah panjang tiga jengkal. Salah satu ujung diusap ditekan-tekan hingga
menjadi runcing. Batangan besi yang agak berbentuk bulat itu kemudian
ditekan-tekan di antara dua telapak tangan dan berubah menjadi pipih. Kini
batangan besi telah menjadi bentuk dasar sebuah senjata berupa keris atau
pisau. Setengah terkesiap Empu Semirang memperhatikan hasil pekerjaan yang
sulit dipercaya. Kalau begini kemampuan yang diberikan Dewa padanya, jangankan
tiga hari. Dua haripun rasanya dia sanggup merampungkan membuat keris Kanjeng
Sepuh Pelangi.
“Dewa
Bathara Agung, ilmu kesaktian yang Kau berikan pada saya sungguh luar biasa.
Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih…” Sang Empu membungkuk
berulangulang. Gerakannya terhenti ketika tiba-tiba dia merasa ada suara
terpaan angin. Memandang ke depan dia melihat seorang perempuan muda berwajah
cantik, berpakaian tipis merah tahu-tahu telah berdiri di hadapannya.
*********************
3
SEUMUR
hidup belum pernah Empu Semirang Biru melihat perempuan secantik ini. Untuk
beberapa lama dia diam menatap setengah terpesona. Apalagi perempuan di
hadapannya itu mengenakan pakaian merah yang demikian tipis hingga aurat di
balik pakaian itu terlihat nyaris jelas. Benarkah manusia atau bidadari yang
berdiri di depannya itu. Sadar akan dirinya, si orang tua cepat-cepat tundukkan
kepala, alihkan pandangan pada batangan besi merah menyala yang ada dipegang di
tangan kiri.
Perempuan
cantik tertawa merdu. Suaranya terdengar selembut buku perindu ketika menyapa,
“Empu Semirang, salam sejahtera untukmu. Kau mengalihkan pandangan mata. Apakah
aku terlihat sebagai satu makhluk yang menyeramkan…”
“Tidak,
kau tidak menyeramkan. Harus saya akui seumur hidup baru kali ini aku melihat
perempuan secantik dirimu.” Jawab sang Empu polos. “Kau tahu namaku, sebaliknya
aku tidak tahu siapa dirimu. Kau berasal dari mana, apa maksud keperluanmu
datang ke sini. Kalau aku boleh mendapat penjelasan…”
“Orang
tua, namaku Sri Padmi Kameswari. Aku berasal dari satu negeri yang jauh, berada
antara bumi dan langit di atas Mataram. Aku terpesat datang ke tempatmu karena
mencium wanginya bau kemenyan di dalam pedupaan, harumnya bunga tujuh rupa
serta kekuatan gaib yang ada pada dirimu dan berpusat pada lempengan besi merah
menyala yang ada di tangan kirimu.”
Empu
Semirang Biru untuk beberapa lama hanya menatap, tidak mengeluarkan ucapan.
Diam-diam dia mulai menduga-duga.
Perempuan
cantik mengaku bernama Sri Padmi Kameswari kembali berkata, “Sampai di sini,
melihat dirimu aku sungguh kagum luar biasa. Kau memiliki sepasang tangan
menyerupai bara menyala. Kau memegang batangan besi yang juga merah menyala
pertanda panas luar biasa. Aku rasa tidak ada satu orang lain pun di dunia ini
yang memiliki kesaktian seperti dirimu…”
“Sri
Padmi, apa yang kau saksikan ini semua adalah kehebatan dan anugerah dari Dewa.
Aku sendiri tetap saja seorang tua renta yang tidak punya ilmu kepandaian
apaapa…”
“Empu
Semirang, kau keliwat merendah diri. Walau kau memencilkan diri di Gunung Bismo
ini, siapa orangnya di delapan penjuru Bhumi Mataram yang tidak tahu nama dan
dirimu. Kalau boleh bertanya, batangan besi apa yang ada di tangan kirimu.
Agaknya kau tengah mengerjakan pembuatan satu senjata yang dapat aku duga
pastilah satu senjata sakti mandraguna…”
“Kau
benar, aku memang tengah menempa besi ini untuk dijadikan senjata.”
“Luar
biasa! Tapi akan lebih luar biasa bila kita berdua bisa saling bantu membantu…”
“Saling
bantu membantu bagaimana maksud Ajeng?” Tanya Empu Semirang Biru.
Sri Padmi
Kameswari mengangkat ke atas pakaian merah tipis yang dikenakannya hingga
menyingsing sampai ke pangkal paha yang putih dan bagus berisi. Empu Semirang
cepat melengos membuang muka walau tadi dia sempat melihat ada sebuah benda
hijau berbentuk lempengan besi menempel terikat pada paha kiri perempuan muda
itu.
Dengan
gerakan yang sengaja dilakukan seperlahan mungkin, Sri Padmi tanggalkan benang
tipis pengikat lempengan besi hijau. Perlahan-lahan pula dia baru menurunkan
kembali pakaian yang tadi disingsingkan tinggitinggi. Tujuannya adalah untuk
memancing agar si orang tua tergoda memandang, paling tidak melirik keindahan
auratnya.
“Empu
Semirang, jangan membuang muka terusterusan. Aku akan menawarkan satu
keberuntungan padamu. Itulah yang aku maksudkan dengan saling bantu membantu.”
Tahu
kalau perempuan muda itu telah menurunkan pakaiannya menutupi aurat, baru Empu
Semirang memalingkan kepala.
Sambil
mengacungkan lempengan besi hijau Sri Padmi berkata. “Empu, besi hijau ini
berasal dari kepundan sebuah gunung di laut utara. Usianya hampir dua ribu
tahun. Jadi jauh lebih tua dari lempengan besi yang Empu pergunakan sebagai
bahan pembuatan senjata. Ini berarti kesaktiannya juga jauh lebih tinggi. Aku
akan menyerahkan besi hijau ini pada Empu dan Empu menyerahkan lempengan besi
yang Empu pegang itu kepada saya. Sebagai tambahan saya akan memberikan
sekantung batu permata yang harganya sama dengan kursi emas tahta Raja
Mataram.”
Kalau
tadi Sri Padmi menyingsingkan bagian bawah pakaiannya untuk mengambil lempengan
besi hijau maka kini tanpa rasa jengah dia membuka lebar-lebar bagian atas dada
pakaiannya. Dari antara celah dua payudaranya si cantik ini kemudian mengambil
sebuah kantong kain berwarna kuning. Lalu dalam keadaan dada masih tersingkap
dia membungkuk, meletakkan kantong kain di hadapan Empu Semirang. Ikatan
kantong dibuka hingga terlihat isinya yaitu setumpuk batu permata serta tiga
batangan emas. Lempengan besi hijau diletakkan di samping kanan kantong kain.
Sambil
tersenyum dan menutup pakaiannya sebelah atas Sri Padmi berucap, “Empu tidak
mengatakan apa-apa. Apakah itu satu pertanda bahwa Empu menyetujui maksudku
saling bantu membantu? Kalau begitu saya harap Empu mau menyerahkan lempengan besi
biru di tangan kiri Empu.”
“Sri
Padmi, maafkan diriku. Aku tidak mungkin menerima tawaranmu. Betapapun luar
biasanya besi hijau itu namun aku tidak mungkin menukar dengan besi biru yang
masih menyala ini. Besi ini amanat orang. Aku tidak boleh menukarnya dengan
benda apapun, sekalipun satu gunung emas…”
“Empu,
apakah Empu tidak menyadari kalau aku memberikan satu keuntungan besar padamu?
Kau tidak akan merugi karena menukar besi biru dengan besi hijau. Selain itu
kau kini memiliki pula sekantong benda berharga. Kalau ada yang memberimu
gunung emas, bagaimana mungkin kau akan mengangkatnya? Hik… hik… hik.” Sri
Padmi tertawa cekikikan.
“Maafkan
saya Ajeng. Saya tidak bisa menerima permintaan Ajeng. Silahkan ambil kembali
besi hijau sakti dan kantong itu…”
Sri Padmi
Kameswari masih belum mau mengalah. Dia duduk seenaknya, setengah mencangkung
di hadapan sang Empu.
“Empu…”
Ucap Sri Padmi dengan suara lembut sambil tangan kanan diletakkan di atas
lengan kiri Empu Semirang yang memegang besi merah menyala. “Kalau harta
sekantong itu masih belum ada artinya, aku siap memberi imbalan yang lain.
Apapun yang Empu minta…”
“Ajeng…
maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Saat ini aku harus cepat
memulai pekerjaan. Pertemuan kita cukup sampai di sini…”
“Empu
Semirang, aku tahu. Selain sakti Empu juga seorang berhati polos dan jujur.
Harap Empu mau mempercayai saya. Kita saling bertukar lempengan besi. Lalu…”
Empu
Semirang gelengkan kepala.
“Empu…”
Sri Padmi eluskan tangannya di lengan si orang tua. “Seperti kataku tadi,
apapun imbalan yang Empu minta akan aku berikan. Termasuk diri saya…”
“Ajeng,
dengan segala hormat aku minta Ajeng segera meninggalkan tempat ini…”
Sri Padmi
masih belum mau surut. Dengan gerakan sangat cepat dia tanggalkan pakaian
merahnya. Dalam keadaan tidak selembar benangpun menutupi aurat dia kemudian
duduk di pangkuan Empu Semirang dan memeluk orang tua ini.
Sekujur
tubuh si orang tua bergetar hebat!
“Cukup!
Lekas kau pergi dari sini!” bentak Empu Semirang.
Sri Padmi
tertawa merdu. “Empu, berikan lempengan besi itu padaku. Diriku akan menjadi
milikmu selamalamanya…”
Tiba-tiba
tangan kanannya bergerak menyambar ke arah lempengan besi menyala di tangan
kiri Empu Semirang.
“Perempuan
kurang ajar!” Rutuk Empu Semirang. Sekali dia bergerak, tubuhnya yang dalam
keadaan duduk di atas tikar melesat ke udara. Kaki kanan menendang hingga Sri
Padmi Kameswari terpental. Empu Semirang terkejut sendiri. Dari mana dia
memiliki ilmu kepandaian silat hingga mampu melompat dan menendang!
“Empu,
kita masih ada waktu untuk bicara. Jangan perturutkan kemarahanmu. Aku tidak
berniat jahat padamu. Aku justru pasrah menyerahkan diri…” Sri Padmi kembangkan
dua kakinya.
“Makhluk
jahanam! Perlihatkan dirimu sebenarnya!” Bentak Empu Semirang.
Sri Padmi
terpekik lalu tertawa panjang. Tawa yang terdengar menggidikkan. Dengan sikap
penuh menggoda dia geliatkan pinggul lalu melangkah mendekati sang Empu.
Tiba-tiba gadis ini melompat sambil tangan berusaha merampas lempengan besi
yang dipegang si orang tua. Namun Empu Semirang memukul sambaran tangan itu
dengan tangan kanan.
Buukkk!
Tangan
kanan merah menyala Empu Semirang beradu keras dengan lengan kanan Sri Padmi
Kameswari.
*********************
4
SRI PADMI
menjerit keras ketika, desss…! Kraak! Lengan kanannya yang kena dipukul
berderak dan berubah hangus mengepulkan asap. Empu Semirang sendiri terkejut
tidak menyangka. Dia merasa menyesal telah melakukan pukulan. Seperti yang
telah dibuktikannya sendiri, walau tangan itu telah menjadi bara membara dan
panas luar bisa namun ketika dipakai mengusap wajah, dia sama sekali tidak
mengalami cidera sedikitpun. Mengapa sekarang ketika memukul perempuan muda
cantik itu pukulannya mendatangkan petaka?
“Ini
pasti kuasa Dewa…” Empu Semirang membatin.
Dalam
menahan sakit yang amat sangat, Sri Padmi Kameswari berteriak, “Orang tua
celaka! Kau tidak akan pernah melihat fajar menyingsing besok pagi! Kau akan
mampus dan lempengan besi itu akan menjadi milikku! Rohmu akan tergantung
antara langit dan bumi! Ha… ha… ha! Mataram akan dilanda bencana! Negeri itu
akan menjadi neraka! Semua orang akan menemui ajal secara mengerikan!”
Suara
lembut perempuan muda cantik itu berubah menjadi keras dan kasar parau.
Wuss!
Satu
kilatan cahaya berwarna hitam keluar dari dalam tubuhnya. Di lain kejap sosok
Sri Padmi Kameswari berubah dahsyat mulai dari kepala sampai ke kaki. Pakaian
yang tadinya jubah merah tipis kini masih berbentuk jubah tapi terbuat dari
kain tebal hitam. Rambut yang sebelumnya hitam legam berkilat kini tampak kasar
awut-awutan seperti ijuk. Wajah yang cantik jelita berganti menjadi wajah jelek
seorang nenek keriput. Di keningnya terlihat delapan benjolan sebesar ujung ibu
jari berwarna merah dan selalu mengepulkan asap. Tubuh yang tadi elok kini
kelihatan kurus kering dan bungkuk. Ketika menyeringai kelihatan deretan gigi
hitam bercaling. Sepuluh jari tangan berubah menjadi paku besar berwarna hitam,
memancarkan sinar menggidikkan.
“Makhluk
terkutuk! Katakan siapa kau sebenarnya. Siapa yang mengutus dirimu datang untuk
berbuat kejahatan di tempat ini!”
Sri Padmi
Kameswari kembali tertawa panjang. Tawanya tidak lagi semerdu sebelumnya tapi
angker menggidikkan.
“Namaku
Gendeng Pakumati. Aku datang memang untuk berbuat kejahatan. Merampas lempengan
besi yang hendak kaujadikan keris. Kalau kau bertanya siapa yang mengutus
diriku maka aku adalah utusan dari alam arwah! Ha… ha… ha!”
Selesai
berucap dan tertawa bekakakan Sri Padmi Kameswari alias Gendeng Pakumati
kembangkan sepuluh jari lalu dijentikkan ke arah Empu Semirang. Sepuluh paku
hitam melesat, menyerang sepuluh bagian tubuh sang Empu.
Empu
Semirang Biru adalah seorang yang ahli dalam membuat senjata. Kalau dia
memiliki ilmu kesaktian maka ilmu itu adalah hanya sebatas untuk membuat
senjata. Dia sama sekali tidak memiliki ilmu silat ataupun ilmu sakti untuk
bertarung. Bahkan tenaga yang dimiliki hanya tenaga luar atau tenaga kasar.
Bukan tenaga dalam mengandung hawa sakti. Ketika sepuluh paku dengan ganas
menyambar ke arahnya tentu saja orang tua ini tidak kuasa untuk mengelak
apalagi menangkis. Dalam keadaan seperti itu si orang tua sama sekali tidak
merasa takut sekalipun dia akan menemui ajal. Yang dikhawatirkannya adalah
bagaimana dia harus menyelamatkan lempengan besi cikal bakal keris Kanjeng
Sepuh Pelangi.
Hanya
beberapa saat lagi paku-paku maut itu akan menghajar Empu Semirang Biru
tiba-tiba lempengan besi merah menyala di tangan kiri orang tua ini melesat ke
udara, menderu dari kiri ke kanan. Sembilan cahaya aneh berkiblat membentuk
sisi lingkaran besar, tidak beda dengan taburan pelangi di langit luas. Lalu
terdengar suara bedentrangan sepuluh kali berturut-turut. Sepuluh paku hitam
hancur berkeping-keping, luruh ke tanah. Empu Semirang tertegun
tercengang-cengang.
Setelah
melindungi sang Empu dari serangan maut, lempengan besi merah menyala melesat
ke bawah dan menyusup ke dalam genggaman tangan kanan si orang tua. Ketika Empu
Semirang memandang ke depan, sosok Sri Padmi Kameswari alias Gendeng Pakumati
tak ada lagi.
“Makhluk
jahat. Dia pergi begitu saja. Meninggalkan lempengan besi hijau sakti dan
sekantung perhiasan…” Ketika Empu Semirang memperhatikan, orang tua ini
terkejut dan ada rasa tak percaya. Agar lebih jelas dia membungkuk memeriksa.
Ternyata lempengan besi hijau telah berubah menjadi potongan bambu. Puluhan
batu permata di dalam kantong kain kini hanya merupakan batu kerikil dan tiga
batangan emas berubah menjadi besi butut karatan!
Empu
Semirang Biru hela nafas dalam berulang kali lalu letakkan lempengan besi merah
di atas kening sambil mulut berkata.
“Kanjeng
Sepuh Pelangi. Dirimu belum lagi berbentuk sebilah keris namun kau telah mampu
menyelamatkan diri saya. Terima kasih Kanjeng. Terima kasih wahai Para Dewa di
Swargaloka…
Empu
Semirang memandang berkeliling. Setelah memastikan bahwa nenek jahat tadi
benar-benar telah meninggalkan tempat itu maka dia kembali duduk di atas
bantalan jerami kering untuk melanjutkan lagi pembuatan keris sakti.
*********************
5
HARI
pasar di Demak sekali ini tidak seperti biasanya, lebih ramai dari yang
sudah-sudah. Penyebabnya hari itu ada pertunjukan Kuda Lumping Cahaya Utara
pimpinan Ki Sugeng Jambul dari Semarang. Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng
sampai ke tempat itu seorang anak perempuan cantik belia berusia empat belas
tahun, berdandan menor mencorong tengah menunjukkan kebolehannya. Sambil
mengunyah sirih gadis ini berjalan berkeliling, melompat-lompat, menunggang
kuda lumping terbuat dari kajang. Tambur dan terompet saling berebut riuh
keras-kerasan, ditingkah suara kerincingan perak di kedua kaki dan tangan si
gadis. Ketika mata gadis ini mulai membeliak terbalik-balik dan mulut meracau
tak karuan pertanda dia mulai kesurupan, seorang lelaki berpakaian hitam
berjambul tinggi, sambil memegang cemeti mendekat dari belakang. Lelaki separuh
baya ini adalah Ki Sugeng Jambul, pimpinan rombongan kuda lumping. Seorang
pemuda gagah berambut panjang mendatangi dari arah depan membawa sebatang
semprong kaca lampu minyak di tangan kanan dan bendera merah berbentuk segi
tiga di tangan kiri.
Ki Sugeng
Jambul putar cemeti di udara. Cemeti menderu keras. Tiba-tiba taar… taar!
Cemeti dicambukkan ke punggung si gadis.
Brett!
Breett!
Pakaian
si gadis robek di dua tempat. Asap mengepul. Namun kulit punggungnya sama
sekali tidak cidera. Malah sambil terus melompat-lompat mengelilingi kalangan
pertunjukan gadis ini mulai menyanyi-nyanyi kecil dan sesekali tertawa
cekikikan. Cairan merah daun sirih campur kapur, tembakau dan pinang meleleh
membasahi dagunya. Ki Sugeng Jambul mencambuk lagi sampai empat kali lalu
menari-nari mengelilingi si gadis yang menunggang kuda lumping.
Pemuda di
hadapan si gadis tiba-tiba mengacungkan semprong kaca. Tangan kiri
mengibar-ngibarkan bendera merah segi tiga.
“Ni
Gatri. Saatnya makan siang! Makan! Makan sampai habis!”
Semprong
kaca disusupkan ke dalam tangan kanan si gadis yang saat itu menggoleng-goleng
kepala, melenggaklenggok pinggul. Sesaat kemudian sambil terus bernyanyi gadis
pemain kuda lumping bernama Ni Gatri ini mulai menggigit ujung semprong.
Kraakk!
Ujung semprong
rontok. Kaca masuk ke dalam mulut. Terdengar suara kerauk-kerauk keras ketika
pecahan kaca semprong dikunyah seperti enaknya orang mengunyah kerupuk.
“Makan!
Habiskan!” Kembali pemuda yang tadi memberikan semprong kaca berseru sambil
mengebut-ngebut bendera.
Ni Gatri
masukkan semprong kaca ke dalam mulut. Digigit lalu, krauk! Semprong berderak
patah dan Ni Gatri kembali komat-kamit mengunyah pecahan kaca. Sepasang mata
meram melek seolah-olah dia tengah menyantap makanan sangat sedap. Suara
terompet dan tambur semakin menjadi-jadi. Semprong utuh akhirnya habis dimakan
Ni Gatri.
Suara
terompet dan tambur mereda sedikit. Saat itu seorang anggota pertunjukan
menyeret sebuah papan besar berbentuk empat persegi ke tengah kalangan. Seluruh
permukaan papan ini ditancapi puluhan paku sepanjang tiga perempat jengkal. Di
antara paku-paku runcing ditebar pecahan beling.
Bersamaan
dengan melengking keras tiupan terompet serta menggelegar tabuhan tambur, Ni
Gatri melompat ke udara. Kuda lumping dari kajang dilempar. Setelah berputar di
udara beberapa kali kuda lumping ini lalu ditangkap oleh Ki Sugeng Jambul. Kuda
lumping kemudian diserahkan pada salah seorang anak buahnya. Ni Gatri sendiri
saat itu menari-nari mengelilingi papan berpaku. Setiap satu kali putaran kepala
didongakkan lalu mulut mengumbar tawa panjang. Orang-orang yang menonton kalau
tadi bertepuk tangan kini tampak berdiri hening, mata tak berkesip. Mereka
ingin menyaksikan apa yang kemudian akan dilakukan oleh si gadis kembang
pertunjukan.
Ki Sugeng
Jambul usap mukanya dua kali dengan tangan kiri. Mulut komat-kamit membaca
mantera. Cemeti dipecut ke udara hingga mengeluarkan suara menggelegar seperti
petir menyambar. Pecutan cemeti ini merupakan tanda bagi Ni Gatri untuk segera
melompat ke atas papan yang ditancapi puluhan paku serta tebaran beling. Tiupan
terompet dan tabuhan tambur berubah perlahan. Semua orang menahan nafas,
menatap dengan mata tidak berkedip. Ni Gatri berteriak keras. Bersamaan dengan
itu dia melompat. Tubuhnya yang padat elok sesaat mengapung di udara lalu
dengan cepat melayang turun. Dua kaki mengarah papan berpaku!
Hanya
beberapa jengkal lagi telapak kaki gadis berusia empat belas tahun itu akan
bersentuhan dengan paku tibatiba entah dari mana datangnya satu cahaya putih
berkelebat di udara lalu masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Kejap itu juga tubuh Ni
Gatri naik lagi ke atas lalu jungkir balik. Ketika melayang turun kepalanya
lebih dulu mengarah puluhan paku yang menancap di papan. Orang banyak berteriak
tegang dan ngeri! Orang yang memiliki kepandaian tertentu akan segera
mengetahui bahwa gerakan yang tadi dibuat Ni Gatri bukan gerakan pertunjukan.
Tapi ada satu kekuatan yang membuat tubuhnya jungkir balik tak karuan di udara
lalu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu!
Melihat
hal ini Ki Sugeng Jambul berteriak keras. “Tahan! Hentikan pertunjukan! Ada
orang luar hendak mencelakai Ni Gatri!”
Suara
terompet dan tabuh serta merta berhenti. Orang banyak berseru tegang. Semua
anggota perkumpulan sama membaca mantera penolak bahala. Sementara Ki Sugeng
Jambul dengan cepat melesat ke depan untuk selamatkan Ni Gatri. Namun dia kalah
cepat. Satu bayangan putih mendahului gerakannya, menyambar tubuh Ni Gatri lalu
gadis itu dibaringkan di tanah di tepi kalangan pertunjukan.
Orang
banyak mengerubung, ingin tahu bagaimana keadaan Ni Gatri. Saat itu Ni Gatri
terbaring di tanah dengan mata terpejam. Dada sesak turun naik, nafas
megap-megap. Kunyahan sirih bercampur cairan kental berwarna merah meleleh di
sudut bibir kiri kanan. Ki Sugeng Jambul menyeruak di sela-sela kerumunan orang
banyak. Dia segera memeriksa keadaan Ni Gatri.
“Gadis
ini tidak apa-apa. Tidak ada orang jahat yang hendak mencelakainya. Cahaya
putih satu pertanda bahwa yang tadi masuk ke dalam tubuhnya adalah roh
baikbaik…” kata seorang pemuda.
Ki Sugeng
Jambul angkat kepala, berpaling ke arah orang yang bicara. Seorang pemuda
berambut gondrong, berikat kepala dan berpakaian serba putih. Pemuda tak
dikenalnya ini tentu saja adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya ikut
menonton pertunjukan kuda lumping.
“Anak
muda, aku tahu kau yang barusan menolong gadis ini. Untuk itu aku sangat
berterima kasih. Kalau aku boleh bertanya siapakah adanya dirimu. Lalu
bagaimana kau tahu tidak ada orang berniat jahat. Bahwa ada roh baik-baik masuk
ke dalam tubuhnya. Padahal aku dan semua orang di sini jelas-jelas melihat
kepala Ni Gatri hampir saja amblas ditancap puluhan paku!”
Murid
Sinto Gendeng diberondong pertanyaan seperti itu garuk-garuk kepala lebih dulu
baru menyahut, “Aku, aku hanya seorang pengelana yang kebetulan lewat di pasar
ini. Aku tertarik dengan pertunjukan kuda lumpingmu.
Mengenai
roh baik-baik itu, dugaanku berdasarkan cahaya putih yang masuk ke dalam tubuh
gadis ini. Kalau roh jahat warnanya pasti tidak putih. Buktinya anak buahmu ini
tidak cidera, tidak menyemburkan darah. Keadaannya hanya pingsan karena
terkejut dan takut. Sebentar lagi dia pasti siuman.”
Sebenarnya
Wiro mengetahui apa yang terjadi dengan si gadis. Sebelum cahaya putih
berkiblat masuk ke dalam tubuh Ni Gatri, lebih dulu ada sekilas cahaya hitam
menyambar. Cahaya hitam itu memiliki kekuatan jahat yang bisa membuat sekujur
tubuh si gadis menjadi hangus. Lalu muncul cahaya putih memusnahkan kekuatan
jahat cahaya hitam. Di saat yang bersamaan sosok si gadis sudah keburu melayang
jatuh ke bawah. Semua apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan Wiro pada Ki
Sugeng Jambul. Khawatir akan tambah merusak suasana.
Wiro
letakkan telapak tangan kirinya di atas kening Ni Gatri. Hawa sakti sejuk
dialirkan. Sesaat kemudian gadis itu tampak menggerakkan kepala lalu ada
tarikan nafas panjang. Menyusul mata yang terpejam dibuka. Begitu memandang,
yang pertama sekali dilihatnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Si gadis
tersenyum.
“Kau…”
Ucap Ni Gatri. “Akhirnya kutemui juga dirimu…”
Wiro
mengerenyit, kepala digaruk.
Ki Sugeng
Jambul dan semua anak buahnya terheranheran mendengar ucapan Ni Gatri.
Ni Gatri
bangkit lalu duduk bersimpuh di tanah. Sepasang matanya tidak beralih dari
memperhatikan Pendekar 212.
Ki Sugeng
Jambul dan semua anggota pertunjukan kuda lumping saling pandang. Suara yang
keluar dari mulut Ni Gatri bukan suara si gadis. Tapi suara laki-laki. Suara
seorang kakek-kakek. Wiro sendiri diam-diam juga merasa heran. Dia ingat pada
cahaya putih yang masuk belakangan ke tubuh Ni Gatri.
“Ni
Gatri, apa yang terjadi. Mengapa suaramu berubah. Apa kau kenal dengan pemuda
ini?” Bertanya Ki Sugeng Jambul.
“Ki
Sugeng, saya memang tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah
orangnya.” Ni Gatri menjawab dengan suara anehnya.
“Orangnya
apa? Siapa dia Ni Gatri?” tanya Ki Sugeng Jambul heran dan tidak mengerti.
Seorang
tua bermata belok, berdestar merah dan menyandang sarung, menyeruak di antara
kerumunan orang banyak lalu mendekati Ki Sugeng Jambul dan berkata, “Ki Sugeng,
saya curiga. Jangan-jangan pemuda berambut gondrong ini yang punya pekerjaan.
Dia mencelakai Ni Gatri lalu pura-pura menolong. Dia pasti punya maksud jahat
yang tersembunyi…”
Mendengar
ucapan orang tanpa berpikir lagi Ki Sugeng Jambul langsung percaya. Dia pandangi
Wiro dengan mata melotot. Sementara Wiro sendiri delikkan mata pada kakek
bermata belok yang barusan bicara pada Ki Sugeng Jambul.
“Anak
muda, apa niat yang ada dalam dirimu. Hendak mencelakai Ni Gatri lalu pura-pura
menolongnya!”
Pendekar
212 jadi kesal mendengar ucapan Ki Sugeng Jambul. “Ki Sugeng, kalau aku memang
hendak mencelakai anak buahmu, apa perlunya aku kemudian menyelamatkannya? Apa
kau kira aku orang goblok seperti dirimu?!”
Wajah Ki
Sugeng Jambul kelihatan merah. Namun dia menjawab juga. “Karena kau pasti punya
niat jahat tersembunyi!”
Wiro
geleng-geleng kepala lalu bangkit berdiri. Ni Gatri ikut berdiri. Ki Sugeng
juga buru-buru berdiri.
“Jangan
kau berani pergi dari sini sebelum aku tahu siapa kau sebenarnya dan
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!”
“Tidak
ada yang harus aku pertanggungjawabkan. Kau sendiri tadi mengucapkan terima
kasih karena aku telah menolong gadis itu. Sekarang gara-gara ucapan kakek
bermata bongsang itu kau punya pikiran yang bukan-bukan terhadapku! Lebih baik
kau urus gadis itu. Usianya masih terlalu muda untuk kau pekerjakan sebagai
pemain kuda lumping! Dia bekerja keras bahkan menyabung nyawa. Sementara kau
yang dapat uang banyak!”
Wiro
memutar tubuh siap untuk pergi. Namun Ki Sugeng Jambul yang saat itu menjadi
marah mendengar ucapan murid Sinto Gendeng putar lengannya yang memegang
cambuk. Ujung cambuk menggelegar di udara mengeluarkan percikan api pertanda
gerakan yang dilakukan mengandung aliran tenaga dalam cukup tinggi. Ki Sugeng
Jambul sekali lagi gerakkan lengan.
Seetttt!
Cambuk
dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu sudah melibat Pendekar 212 mulai dari
bahu sampai ke pergelangan kaki hingga dia tidak mampu bergerak lagi.
Wiro
tertawa cengengesan. Dalam hati dia berkata, “Ki Sugeng, kalau aku membalas
perbuatanmu ini, melepas libatan cambuk lalu memasukkannya ke lobang hidungmu
dan keluar dari lobang pantat baru kau tahu rasa!”
Ni Gatri
maju satu langkah. Matanya menatap ke dada Wiro tajam-tajam. Dalam hati gadis
ini membatin, “Memang dia orangnya. Aku melihat pancaran cahaya senjata mustika
itu ada di dalam tubuhnya…”
Ni Gatri
lalu ulurkan tangan kanan. Lima jari dijentikkan. Lima sambaran angin berdesir.
Dess!
Cambuk
yang melibat Wiro putus secara bersamaan di lima tempat. Ki Sugeng Jambul
berseru kaget. Tidak bisa percaya Ni Gatri mampu dan memiliki ilmu untuk
melakukan hal itu. Wiro juga merasakan hal yang sama. Ada satu kekuatan dahsyat
dalam tubuh Ni Gatri yang bukan saja telah melindunginya tapi juga memberi
kemampuan untuk melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh tokoh silat
berkepandaian tinggi.
“Paman,
jangan ganggu pemuda itu. Biarkan dia pergi dari sini…” Kata-kata itu meluncur
keluar dari mulut Ni Gatri dan lagi-lagi merupakan suara kakek-kakek.
“Ni
Gatri! Apa yang terjadi dengan dirimu Mengapa kau bicara begitu?!”
“Pemuda
berambut gondrong ini telah memasukkan roh jahat ke dalam tubuh Ni Gatri! Semua
orang menjauh cepat! Sebentar lagi tubuh gadis ini akan meledak!” Berkata kakek
berdestar merah. Ucapannya membuat semua orang menjadi gempar dan cepat
menjauh.
Sebaliknya
Ni Gatri malah melangkah mendekati orang tua berdestar merah ini. Tangan
kirinya menuding, “Kaulah pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak memasukkan
angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa Jagat melindungi diriku,
menghancurkan kejahatanmu! Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan
kujadikan mahluk paling hina di muka bumi ini!”
Kakek
berdestar tertawa. Ketika tertawa mulutnya terbuka, dan astaga! Kelihatan dia
memiliki lidah panjang merah dan bercabang dua! “Tidak hari ini masih banyak
hari lain kau akan menerima celaka!”
Selesai
keluarkan ucapan orang tua itu siap berkelebat pergi namun Ni Gatri tusukkan
telunjuk tangan kirinya yang sejak tadi menuding.
Wutt…!
Selarik
cahaya biru membentuk garis panjang menderu. Ujungnya tepat mendarat di
pertengahan kening si kakek. Didahului jeritan keras yang kemudian berubah
menjadi suara lolongan anjing, sosok si kakek lenyap. Di tempat itu kini
kelihatan seekor anjing hitam, kurus kering dan kulitnya penuh koreng budukan
Di keningnya ada delapan benjolan sebesar ujung jari telunjuk berwarna merah.
Semua orang yang ada di tempat itu menjadi gempar!
“Makhluk
celaka! Kau telah menerima kutukan Dewa! Sekarang pergi dari sini!” Ni Gatri
berteriak keras lalu menendang dengan kaki kanan.
Dukkk!
Anjing
hitam buduk perubahan sosok kakek berdestar merah mencelat mental. Sambil
terkaing-kaing kesakitan binatang ini menghambur lari, menyelinap di antara
kaki orang banyak dan lenyap ke arah timur.
Di saat
bersamaan selarik cahaya putih berkelebat keluar dari tubuh Ni Gatri. Ni Gatri
jatuh terduduk di tanah. Mukanya pucat. Seluruh wajah dan tubuh basah oleh
keringat. Gadis ini memandang berkeliling. Ketika melihat Ki Sugeng Jambul dia
berkata, “Paman, dada saya sakit. Tolong… Mana kakak tadi?” Suara Ni Gatri
sekarang kembali ke suara aslinya. Suara anak perempuan usia empat belas tahun.
Bukan lagi suara aneh kakek-kakek.
Beberapa
teman Ni Gatri cepat menolong gadis ini berdiri. Ki Sugeng Jambul memandang
berkeliling. Pemuda gondrong berpakaian putih yang tadi menyelamatkan Ni Gatri
dilihatnya tak ada lagi di tempat itu.
*********************
6
TAK LAMA
meninggalkan Demak, akhirnya Wiro sampai di sebuah lembah. Cahaya matahari yang
terik serasa membakar jagat. Wiro ingin beristirahat dulu barang sebentar. Dia
pergi duduk di bawah kerindangan sebatang pohon randu. Di hadapannya terbentang
pesawahan luas. Padi menguning, bergoyang-goyang seperti ombak ketika angin
bertiup. Di ujung pesawahan menjulang gunung biru kehijauan.
Angin
bertiup sepoi basah. Hawa sejuk membuat murid Sinto Gendeng duduk melunjur
terkantuk-kantuk. Namun dia tidak bisa memejamkan mata walau untuk sesaat.
Peristiwa di Demak seolah terbayang di pelupuk matanya.
“Gadis
pemain kuda lumping itu. Dia kemasukan roh putih. Ketika dia menatap ke arahku
pandangannya aneh. Mulut berucap. Suaranya bukan suara perempuan. Tapi suara
laki-laki. Suara seorang tua. Kau… Akhirnya kutemui juga dirimu. Lalu ketika
dia bicara dengan lelaki bernama Ki Sugeng itu, dia mengatakan, Ki Sugeng saya
memang tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orangnya. Aneh, apa
arti semua ucapan gadis yang kemasukan roh putih itu. Ada apa dengan diriku.
Roh putih di dalam tubuhnya agaknya menguasai jalan pikiran dan mengatur setiap
ucapan. Dari ucapan gadis itu agaknya ada orang tengah mencari diriku. Aku
harus menyelidik siapa dan dari mana berasalnya roh itu…”
Selagi
mengingat-ingat kejadian di pasar di Demak itu tiba-tiba ada suara
berkerincingan dan jeritan perempuan minta tolong. Lalu ada suara anjing
menggonggong.
“Siang
bolong dikejar anjing! Ada-ada saja! Wiro tidak beranjak dari duduknya tapi
kepala dipalingkan ke arah datangnya suara jeritan dan gonggongan anjing.
Sesaat
kemudian dari balik semak belukar lebat berlari keluar seorang anak perempuan.
Wajah menunjukkan rasa takut yang amat sangat. Hanya beberapa langkah di
belakangnya mengejar seekor anjing berbulu hitam berkulit penuh budukan. Mulut
menganga memperlihatkan gigi dan taring runcing. Air liur menjela-jela. Siap
menerkam kaki anak perempuan yang dikejarnya. Tepat di depan Wiro anak
perempuan itu seperti kehabisan tenaga lalu jatuh tersungkur. Tangan bergelang
kerincingan perak masih mampu menggapai ke depan ke arah Wiro. Kepala diangkat,
mulut berucap. “Tolong… Den Mas tolong diriku.”
Wiro
serta merta mengenali, anak perempuan itu bukan lain adalah gadis pemain kuda
lumping di Demak. Ni Gatri. Anak buah Ki Sugeng Jambul.
Baru saja
si gadis belia empat belas tahun itu berucap minta tolong, anjing buduk hitam
yang di kepalanya ada delapan benjolan merah telah melompat menerkam kaki kanan
Ni Gatri. Wiro yang tahu kalau anjing hitam buduk itu bukan binatang biasa,
cepat melompat lalu menendang dengan kaki kanan. Tendangan yang dilepas Wiro
tidak disertai tenaga dalam, hanya mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar.
Walau begitu untuk ukuran seekor anjing, kalau sampai kena paling tidak
kepalanya akan remuk!
Apa yang
terjadi membuat Pendekar 212 terkejut. Tendangan kaki kanannya mendarat tepat
di kepala sebelah kiri anjing hitam. Binatang ini meraung kesakitan. Tubuh
terpental sampai satu tombak. Tapi kepalanya tidak hacur! Malah setelah
berguling beberapa kail, didahului raungan keras anjing ini laksana terbang
melompat ke arah Wiro. Mulut menganga lebar keluarkan suara mendengus, dua kaki
depan siap mencakar.
“Binatang
jejadian kurang ajar!” Maki Pendekar 212. Kini tangan kanannya yang bekerja.
Melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Matahari. Karena tahu anjing
jejadian ini memiliki ilmu dan kekuatan hebat, Wiro kini tidak kepalang
tanggung. Pukulan yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa itu sanggup
meluluh lantak batu besar. Apalagi hanya seekor anjing! Sekalipun binatang ini
mungkin dibentengi oleh kekuatan dahsyat yang berasal dari roh jahat!
Wuttt!
Angin
pukulan yang tidak memancarkan warna menderu. Anjing hitam melolong keras.
Tubuh terpental tiga tombak, terhempas di tanah dalam keadaan tidak berbentuk
lagi! Dari kepalanya yang hancur di mana terdapat delapan benjolan merah
mengepul delapan asap merah, bergelung di udara lalu melesat ke arah matahari
terbenam dan lenyap dari pemandangan.
Di tempat
itu menghampar bau kemenyan! Lalu tampak satu bayangan samar seorang lelaki tua
berpakaian hitam. Bersamaan dengan itu terdengar suara, “Anak muda, jangan
pernah mengira kalau aku sudah menemui ajal! Delapan Sukma Merah tidak pernah
mati! Ha… ha… ha!”
“Edan!”
maki murid Sinto Gendeng. “Delapan Sukma Merah! Apa itu? Persetan! Mengapa
harus aku pikirkan!”
Wiro
ingat pada gadis pemain kuda lumping yang saat itu sembunyi di balik pohon
randu. “Ni Gatri, kau tidak apaapa?” tanya Wiro.
“Terima
kasih Den Mas telah menolong Gatri. Saya tidak apa-apa…”
“Hemm…”
Wiro bergumam. “Jangan panggil aku Den Mas. Panggil saja kakak.”
Ni Gatri
tertawa senang. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah kembali.
“Bagaimana
ceritanya sampai kau dikejar anjing hitam buduk itu. Bukankah kau seharusnya
bersama rombongan pemain kuda lumpingmu?”
“Gatri
melarikan diri. Gatri tahu Paman Sugeng Jambul pasti marah. Tapi Gatri tidak
perduli…”
“Mengapa
kau melarikan diri?” tanya Wiro lagi.
“Saya
ingin mencari Kakak.”
“Mencariku?
Heh! Mengapa mencariku…”
“Gatri
suka sama Kakak.”
Wiro jadi
melongo mendengar jawaban anak perawan belia itu.
“Selain
itu Kakak sudah menyelamatkan Gatri. Mulai sekarang Gatri mau ikut Kakak…”
“Urusan
berabe!” kata Wiro dalam hati sambil garukgaruk kepala. “Ada baiknya aku
tanyai dulu anak ini…” Sebelum bertanya Wiro memegang bahu kiri Ni Gatri untuk
mengetahui apakah masih ada makhluk luar yang mendekam dalam tubuh anak
perempuan itu. Tak ada getaran, tak ada hawa aneh. Berarti Ni Gatri utuh tidak
ada pengaruh jahat dari luar.
Waktu
bahunya dipegang Ni Gatri balas memegang lengan Wiro. Wiro tarik tangannya lalu
bertanya, “Ni Gatri, kau ingat kejadian di pasar Tuban?”
Yang
ditanya anggukkan kepala. “Kalau Kakak tidak menolong pasti waktu itu Gatri
sudah mati. Kepala menancap di paku. Ihhh… ngerinya. Untung ada Kakak. Gatri
sangat berterima kasih…”
“Itu
tidak penting. Yang aku ingin tahu apa kau ingat kalau saat itu kau memandang
padaku dan berkata Akhirnya kutemui dirimu. Lalu pada Ki Sugeng Jambul kau
mengatakan kalau kau tidak mengenal diriku. Tapi kau yakin akulah orangnya.
Suaramu bicara saat itu bukan suara aslimu tapi menyerupai suara orang tua. Kau
ingat Ni Gatri?”
Si gadis
tampak berpikir-pikir. Kemudian dia menggelengkan kepala. “Kakak, Gatri hanya
ingat melihat wajahmu. Tapi Gatri tidak tahu apa yang Gatri ucapkan.”
“Pada
kakek berdestar merah kau berkata Kaulah pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak
memasukkan angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa Jagat melindungi
diriku, menghancurkan kejahatanmu! Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan
kujadikan makhluk paling hina di muka bumi ini. Kau ingat Ni Gatri kalau kau
pernah mengucapkan kata-kata itu?”
“Maafkan
saya Kakak. Gatri ingat semua yang terjadi.
Yang
Gatri saksikan dengan mata. Tapi apa yang Gatri ucapkan Gatri tidak bisa
mengingat kembali…”
“Baik,
sekarang aku tanya lagi. Apa kau ingat sewaktu menusukkan jari telunjuk tangan
kiri ke arah seorang kakek berdestar merah?”
“Ingat,”
jawab anak perempuan pemain kuda lumping itu. “Ada sinar biru keluar dari jari
telunjuk Gatri. Lalu kakek itu berubah jadi anjing hitam budukan. Kepalanya
benjal-benjol.”
Wiro
menggaruk kepala.
“Kakak,
apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku? Kakek yang berubah menjadi anjing
hitam itu, mengapa dia hendak mencelakai Gatri.”
“Kakek
itu juga hendak mencelakai diriku,” jawab Wiro. “Ada yang mengirimnya untuk
membantu roh jahat yang sengaja dimasukkan ke dalam dirimu. Agaknya tujuan
utamanya adalah mencelakai diriku. Tapi ada roh putih yang mendahului masuk ke
dalam dirimu. Sekarang sudah aman. Kau tak perlu takut.”
“Gatri
tidak pernah takut kalau Kakak ada di dekat Gatri,” jawab anak perempuan itu
lalu dengan sikap kekanak-kanakan sandarkan kepalanya di dada Wiro. Sang
pendekar menghindar dengan pura-pura duduk di bawah pohon besar. Gatri ikutan
duduk di sebelahnya.
“Setelah
aku pergi apa yang terjadi?” Wiro bertanya.
“Paman
Sugeng Jambul menyuruh kami berkemaskemas dan segera meninggalkan pasar.
Katanya akan meneruskan perjalanan ke Japara. Waktu itulah saya melihat ada
kesempatan. Saya menyelinap di antara orang banyak yang masih berkerumun di
situ lalu melarikan diri. Saya hanya mengingat-ingat ke arah mana sebelumnya
Kakak pergi. Di tengah jalan, di pinggiran kota tahu-tahu muncul anjing hitam
itu mengejar saya. Saya heran saya bisa berlari cepat sekali. Saya bersyukur
akhirnya bisa menemui Kakak. Saya mau ikut ke mana Kakak pergi. Saya tidak
punya ayah, tidak punya ibu. Juga tidak punya saudara…”
“Lalu Ki
Sugeng Jambul yang kau panggil paman itu?”
“Dia
hanya paman-pamanan. Dia memelihara saya sejak kecil, menganggap sebagal anak
sendiri. Tapi setelah saya meningkat dewasa seperti ini sikapnya jadi lain. Dia
sering meraba-raba tubuh saya. Kalau tak ada orang dia suka mencium saya. Dia
juga suka mengintip saya kalau lagi mandi…”
“Kuda
lumping keparat!” Maki Wiro dalam hati. “Gadis ini agaknya dijadikan perantara
oleh roh putih untuk mencari diriku. Lalu ada roh hitam yang berusaha
menghalangi. Siapa mereka?”
Wiro
perhatikan Ni Gatri seketika. Dia mendengar apa yang dikatakan Gatri tadi
tentang sang paman Ki Sugeng Jambul. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata.
“Tidak heran kalau pamanmu itu bisa blingsatan. Walau berdandan mencorong
wajahmu sebenarnya cantik. Tubuhmu yang sedang mekar sintal membuat jantung
lelaki bisa berhenti berdetak kalau terlalu lama memandang!”
“Ni
Gatri, walau pamanmu itu punya sikap tidak baik tapi dia telah memeliharamu
sejak kecil. Kurasa sebaiknya kau kembali menemuinya. Kalau perlu aku bersedia
mengantar. Kalau kau memang mau meninggalkannya kau harus menjelaskan secara
baik-baik…”
“Saya
akan menuruti ucapan Kakak. Asal setelah lepas dari Ki Sugeng Jambul saya boleh
ikut bersama Kakak.” Jawab Ni Gatri pula.
Wiro jadi
garuk-garuk kepala lagi. Dia sadar tidak mungkin membawa gadis belia itu
kembali ke rombongan kuda lumping yang dipimpin Ki Sugeng Jambul. Dalam hati
dia berkata, “Cepat atau lambat Gatri pasti akan dilalap si Jambul keparat itu.
Kasihan Ni Gatri.”
“Ni
Gatri, berapa usiamu…” Murid Sinto Gendeng bertanya.
“Empat
belas tahun, Kakak,” jawab si gadis beila. Lalu menambahkan. “Di kampung, gadis
seusia saya sudah dianggap tua kalau belum kawin.”
“Begitu?”
ujar Pendekar 212 sambil tertawa lebar. Lalu dia berpikir-pikir. “Kalau anak
perawan secantik ini sampai terlunta-lunta sebatangkara, pasti banyak lelaki
jahat mempergunakan kesempatan.”
“Ni
Gatri, aku akan ke kotaraja. Perjalanan cukup jauh…”
“Jangankan
ke kotaraja. Ke ujung duniapun kalau bersama Kakak Gatri pasti mau ikut.” Ni
Gatri memotong ucapan Wiro, membuat murid Sinto Gendeng ketar-ketir.
“Di
kotaraja aku banyak punya sahabat. Aku akan carikan seorang yang paling baik
untukmu. Kau bisa tinggal bersamanya. Syukur-syukur kau nanti bisa dipekerjakan
di Keraton Sri Sultan. Kau mau…?”
“Saya
menurut saja apa kata Kakak. Asal saya tidak jauh dari Kakak…”
Wiro
manggut-manggut. Dalam hati sang pendekar membatin. “Ni Gatri, kalau saja kau
tiga atau empat tahun lebih tua mungkin jalan ceritanya bisa jadi lain.”
*********************
7
KEMBALI
ke lereng Gunung Bismo yang merupakan salah satu dari beberapa gunung di
dataran tinggi Dieng. Malam itu adalah malam kedua Empu Semirang Biru
mengerjakan pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sejak malam pertama memulai
pekerjaan, dia tidak beranjak dari bantalan jerami kering yang didudukinya, tak
pernah berhenti bekerja kecuali untuk sekedar minum. Sepuluh jari sang Empu
yang berwarna merah menyala dan mengandung panas luar biasa, bergerak leluasa
di atas batangan besi keramat yang telah membentuk badan keris. Saat itu dia
tengah memperhalus bagian-bagian tertentu. Semakin diperhalus semakin terang
cahaya biru yang memancar dari senjata yang belum bergagang itu. Selain cahaya
biru yang menyelubungi seluruh badan keris berluk sembilan ini, masih ada
kumpulan cahaya yang hanya terlihat di sisi sebelah kanan keris, berupa
lengkungan sembilan warna mulai dari ujung runcing sampai ke bagian bawah yang
lebih menonjol dan juga runcing tipis. Walau senjata ini diputar berlainan
arah, tujuh gabungan warna yang melengkung seperti pelangi kecil tetap berada
di sebelah kanan keris.
Empu
Semirang juga merasakan ada bau harum dan aliran hawa sejuk keluar dari badan
Kanjeng Sepuh Pelangi memasuki tangan, padahal saat itu tangannya masih merah
membara.
“Sang
Hyang Jagat Bathara, terima kasih Kau telah melindungi dan memberi kemampuan
pada saya untuk membuat keris ini. Seumur hidup belum pernah saya membuat
senjata luar biasa sakti seperti ini. Hanya dengan mempergunakan jari-jari
telanjang begini rupa. Sungguh besar kuasaMu. Dengan perkenanMu wahai Bathara
Agung mudah-mudahan paling lambat menjelang fajar menyingsing keris sakti
mandraguna ini sudah sempurna kerampungannya. Saya tinggal menunggu kedatangan
Raden Ageng Daksa, utusan Sri Maharaja Mataram untuk mengambil keris ini yang
menurut janjinya akan datang tengah malam besok…”
Empu
Semirang Biru kemudian letakkan keris yang masih merah menyala itu di atas
kening bahkan beberapa kali dicium penuh khidmat tanpa wajahnya yang berkulit
tipis hangus atau terluka.
Ternyata
sebelum fajar menyingsing Empu Semirang telah selesai dengan pekerjaannya.
Sambil mengusap-usap keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak putus-putusnya orang tua
bermuka tengkorak berambut biru riap-riapan ini memanjatkan puji syukur dan
berterima kasih pada Yang Maha Kuasa karena telah dipercaya untuk membuat keris
tersebut dan diberi kemampuan serta pertolongan untuk melaksanakannya.
Ketika
fajar menyingsing dan ufuk bumi sebelah timur mulai tampak terang, wajah Empu
Semirang tampak berseri-seri. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berluk sembilan
diletakkan di atas pangkuan. Dielus-elus seraya berkata. “Kanjeng Sepuh
Pelangi, besok tengah malam utusan Raja Mataram akan datang membawa sarung dan
gagang pelengkap dirimu. Tak lupa pula sebuah kotak kaca beralas beludru merah
untuk menyimpanmu. Setelah itu kau akan dibawa ke kotaraja. Entah kapan aku
akan melihatmu lagi…”
Tidak
terasa sepasang mata orang tua ini telah berkaca-kaca. Empu Semirang Biru
geleng-gelengkan kepala, tertawa sendiri.
“Aneh,
mengapa aku harus menangis…” katanya. Tangan kanannya kembali mengusap keris
berluk sembilan itu.
Tiba-tiba
dua tangan yang merah menyala itu berubah kembali ke bentuk aslinya. Empu
Semirang tidak menjadi terkejut. Malah dia membungkuk dalam-dalam dan berkata
perlahan. “Pekerjaan sudah selesai. Adalah pantas kalau Yang Maha Kuasa
mengambil kembali ilmu kesaktian yang diberikanNya.”
Angin
pagi bertiup dari arah barat. Empu Semirang hendak mengusap wajah, tiba-tiba
dia ingat sesuatu. Lalu memandang ke arah timur.
“Fajar
telah menyingsing. Tapi aneh, aku sama sekali tidak mendengar suara ayam hutan
berkokok seperti biasanya. Apa binatang-binatang itu lupa menyambut kedatangan
bahagia pagi atau mereka masih pada tertidur lelap semua…?”
Untuk
pertama kalinya Empu Semirang merasa letih. Orang tua ini menguap lalu
perlahan-lahan bangkit berdiri. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibungkus dengan
sehelai kain putih, dipegang di tangan kanan. Dari lereng gunung tempat
kediamannya itu dia bisa melihat gunung Prahu di arah utara dan gunung Sundoro
di sebelah selatan. Karena kabut pagi masih cukup tebal mula-mula Empu Semirang
tidak melihat jelas puncak dua gunung itu. Namun begitu angin bertiup membuat
kabut bergerak membuyar, sang Empu kini bisa melihat puncak gunung. Begitu
matanya memperhatikan hatinya langsung tercekat.
“Lingkaran
besar awan kelabu. Muncul kembali. Kali ini di atas puncak Gunung Sundoro…”
Ucap orang tua berambut, kumis dan berjanggut biru ini. Dia langsung ingat
peristiwa pada malam dua hari lalu ketika pertama kali hendak memulai pekerjaan
membuat keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Saat itu di langit kelam dia melihat jelas
lingkaran awan kelabu yang menurut pengalaman dan pengetahuannya merupakan satu
pertanda tidak baik.
“Mengapa
sekarang lingkaran awan kelabu itu muncul lagi…?” Baru saja sang Empu berucap
begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raung srigala. “Suara lolongan
srigala. Sama seperti yang aku dengar malam itu. Pertanda apa ini? Dewa Jagat
Bhatara, kalau ada sesuatu yang buruk, aku mohon perlindunganMu.”
Empu
Semirang pegang keris di dalam gulungan kain erat-erat. Dia bermaksud duduk
kembali di atas bantalan jerami kering. Tidak sengaja matanya memandang ke
selatan, di mana menjulang puncak gunung Prahu. Untuk kedua kalinya orang tua
ahli pembuat senjata ini tercekat. Di atas puncak Gunung Prahu juga ada
kelihatan lingkaran awan kelabu.
“Aneh…
Ada beberapa keanehan. Ayam hutan tidak berkokok menyambut pagi. Suara raung
srigala di kejauhan padahal di gunung ini tidak pernah ada binatang seperti
itu. Lalu gulungan awan kelabu berbentuk lingkaran besar di langit dan di atas
dua puncak gunung…” Lama orang tua ini tegak merenung. Wajahnya jelas
menunjukkan kegelisahan.
Sekonyong-konyong
seseorang berkelebat di antara pepohonan lalu melayang turun sambil menegur.
“Empu Semirang. Mengapa unjukkan wajah muram. Padahal kau telah berhasil menyelesaikan
pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi dengan sempurna dan satu hari lebih cepat
dari yang ditentukan…”
Empu
Semirang tersentak dari renungnya. Dia mengenali suara orang itu. Dalam hati
orang tua ini membatin, “Heran, mengapa dia datang satu hari lebih cepat dari
perjanjian. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku telah menyelesaikan pembuatan
keris sakti…”
*********************
8
EMPU
Semirang memutar tubuh. Di depan gubuk berdiri seorang lelaki separuh baya,
mengenakan baju lurik hitam sebatas dada. Di atas kepala bertengger topi tinggi
hitam bersulam benang emas. Di leher tergantung empat buah kalung terbuat dari
emas, masingmasing dihias batu permata berlainan warna. Di pinggang sebelah
belakang tersisip sebilah keris bergagang perak berukir-ukir dihias empat batu
permata berwarna merah darah. Dari dandanannya dapat diketahui kalau dia adalah
seorang pejabat tinggi Kerajaan Mataram. Orang inilah yang beberapa waktu lalu
atas perintah Sri Maharaja Mataram mendatangi Empu Semirang, membawa besi sakti
berusia seribu tahun yang berasal dari perut kawah gunung Merapi lapis ke
tujuh.
Jauh di
belakang orang yang berdiri di hadapannya, Empu Semirang melihat puncak Gunung
Prahu. Di langit di atas gunung itu masih kelihatan lingkaran besar awan
kelabu. Empu Semirang tidak mengerti mengapa hatinya mendadak merasa tidak
enak.
“Raden
Ageng Daksa, salam sejahtera bagimu dan bagi Raja Mataram Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala. Atas kuasa Para Dewa saya telah diberi kemampuan
menyelesaikan pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi satu hari lebih cepat.
Bersyukur Raden telah mengetahui dan segera datang hingga saya tidak perlu
menunggu sampai besok.” Empu Semirang tidak mau menceritakan kejadian munculnya
orang tua gagah berjubah dan bersorban kelabu.
“Sri Maharaja
pasti senang sekali. Kelak rahmat anugerahnya akan melimpah diberikan kepada
Empu.”
Kata
orang bertopi tinggi hitam bernama Raden Ageng Daksa.
“Terima
kasih Raden berucap begitu. Namun saya tidak mengharapkan apapun sebagal
imbalan. Sudah menjadi tugas saya melakukan apa yang diperintahkan Raja
Mataram…” Jawab Empu Semirang Biru sambil menatap wajah pejabat tinggi Kerajaan
yang berdiri di hadapannya. Beberapa saat dia memperhatikan mata kiri pejabat
itu.
Merasa
tidak enak dipandang seperti itu Raden Ageng Daksa buru-buru berkata, “Empu
Semirang, waktuku tidak lama. Bolehkah aku melihat senjata sakti keramat itu
sebelum aku bawa ke kotaraja dan diserahkan pada Sri Maharaja?”
“Tentu
saja Raden” jawab Empu Semirang. Sejenak dia kembali memperhatikan pejabat
kerajaan itu. Ada yang tidak dimengertinya. Namun dia melangkah juga mendekati.
Di hadapan Raden Ageng Daksa sang Empu membuka kain putih yang membungkus Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi.
Sepasang
mata Raden Ageng Daksa tampak berkilatkilat. Wajah menunjukkan kekaguman tak
terperikan.
“Luar
biasa!” katanya. “Sinar biru seputar badan. Sinar pelangi kecil di sisi kanan.
Pancaran hawa sejuk dan bau harum semerbak. Tepat seperti yang diriwayatkan
dalam kitab Puji dan Doa. Tidak salah! Inilah Kerja Kanjeng Sepuh Pelangi.”
Setelah
menghela nafas lega, sambil tersenyum Raden Ageng Daksa berkata. “Empu Semirang
Biru, tolong keris sakti dibungkus kembali baik-baik. Aku akan membawanya ke
kotaraja sekarang juga.”
Ketika Raden
Ageng Daksa memperhatikan keris Kanjeng Sepuh Pelangi diam-diam Empu Semirang
kembali memperhatikan mata kiri pejabat kerajaan itu. Lalu ketika sang pejabat
memintanya membungkus keris sakti sang Empu menyampaikan ucapan dan pertanyaan
yang sebenarnya sejak tadi ingin dikatakan.
“Raden
Ageng Daksa, sewaktu Raden datang tempo hari membawa besi bertuah cikal bakal
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, Raden mengatakan jika datang untuk mengambil keris
maka Raden akan membawa gagang dan sarung senjata ini. Apakah saat ini Raden
ada membawa kedua barang itu?”
Raden
Ageng Daksa tampak terkejut. Lalu pejabat ini pukul kepalanya sendiri. “Astaga!
Betapa alpanya diriku ini. Karena tergesa-gesa aku sampai lupa membawa gagang
dan sarung untuk Kanjeng Sepuh Pelangi. Mohon maafkan diriku. Namun Empu tak
usah kawatir. Gagang dan sarung itu kusimpan di rumahku di kotaraja. Gagang dan
sarung nanti bisa disisipkan langsung di hadapan Sri Maharaja Mataram. Apakah
Empu tidak berniat ikut bersamaku ke istana menemui Sri Maharaja Mataram?”
“Terima
kasih Raden mau mengajak. Namun mohon dimaafkan. Saya tidak dapat pergi. Masih
ada beberapa pekerjaan penting yang harus diselesaikan.”
“Tidak
jadi apa. Aku sudah terbiasa datang sendiri dan kembali sendiri…” Raden Ageng
Daksa tertawa. Lalu dia ulurkan tangan untuk mengambil bungkusan kain putih di
dalam mana terbungkus keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Namun
Empu Semirang dengan cepat kembali keluarkan ucapan sambil bersurut mundur
sedikit. “Saya tidak melihat Raden membawa kotak kaca untuk menyimpan keris
sakti. Apakah Raden juga melupakan benda itu?”
Raden
Ageng Daksa menggigit bibir lalu tersenyum. Sambil memegang bahu Empu Semirang
dengan tangan kiri dia berkata. “Kotak itu sebenarnya tidak aku lupakan. Tapi
mengingat membawa-bawa kotak kaca hanya akan merepotkan perjalanan, apalagi
perjalanan jauh, di samping aku takut terjadi hal tak terduga hingga kotak kaca
bisa saja pecah, maka kotak aku tinggalkan sementara di rumah tukang kayu yang
membuatnya di pinggiran kotaraja. Nah, aku sudah menjelaskan. Sekarang izinkan
aku mengambil Keris Kanjeng Sepuh Pelangi…”
Raden
Ageng Daksa segera ulurkan tangan kanan untuk mengambil keris sakti dalam
bungkusan kain putih.
“Maafkan
saya Raden, saya tidak bisa menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada Raden…”
Raden
Ageng Daksa tampak terkejut dan juga heran. Wajah berkerut. Mata agak membesar.
Dua tangan direntangkan ke samping.
“Kenapa
Empu? Mengapa Empu tidak bisa menyerahkan keris itu padaku? Empu bermaksud mau
mengantar sendiri, hendak langsung menyerahkan kepada Sri Maharaja Mataram?”
Empu
Semirang Biru menggeleng. “Tidak, saya tiada niat menyerahkan sendiri senjata
bertuah itu kepada Sri Maharaja…”
“Lalu apa
alasan Empu tidak bisa menyerahkan Kanjeng Sepuh Pelangi kepadaku?” Sambil
bertanya Raden Ageng Daksa bergerak satu langkah mendekati sang Empu.
“Raden,
terus terang saya katakan saya menaruh curiga pada Raden. Saya tidak tahu siapa
Raden ini sebenarnya!”
“Empu
menaruh curiga pada diriku? Apa Empu sudah hilang pikiran tidak tahu siapa aku?
Pejabat yang dipercaya dan diutus Raja Mataram! Jangan berani menghina diriku!
Katakan apa yang menjadi kecurigaan Empu…”
“Sekarang
rasanya bukan hanya curiga. Tapi tahu. Sangat mengetahui…”
“Empu,
seperti aku katakan tadi aku tidak punya waktu lama. Jangan bicara berteka-teki!
Serahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi padaku!”
“Tidak!
Saya akan mempertahankan senjata keramat ini sekalipun maut tantangannya!
Karena saya tahu Raden bukan Raden Ageng Daksa yang sebenarnya!”
Sepasang
mata Raden Ageng Daksa membeliak besar.
“Empu!
Matamu sudah buta, otakmu sudah tidak waras atau ada setan mana yang masuk ke
dalam kepalamu hingga bicara tidak karuan!” Suara Raden Ageng Daksa keras
sekali pertanda dia mulai marah.
*********************
9
RADEN,
saya memang sudah tua renta. Usia hampir delapan puluh tahun. Tapi saya belum
pikun. Tidak buta. Otak saya masih waras. Dan tidak ada setan yang masuk ke
dalam diri saya. Saya tidak pula bicara tak karuan. Saya yakin yang berdiri di
depan saya saat ini bukan Raden Ageng Daksa yang asli. Raden Ageng Daksa yang
saya kenal memiliki bintik hitam di bagian putih mata kirinya…”
“Empu
Semirang, ucapanmu tadi sama saja dengan mengatakan diriku adalah makhluk
jejadian yang…”
“Bukan
hanya makhluk jejadian. Tapi makhluk yang punya maksud jahat. Hendak menipu
diriku dan merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi! Bukankah begitu? Siapapun kau
adanya lebih baik segera pergi dari sini sebelum Para Dewa murka dan
menjatuhkan kutuk atas dirimu!”
Dalam
amarah yang menggelegak orang di hadapan Empu Semirang berteriak dahsyat.
Bersamaan dengan itu dia menerjang. Kaki kanan ditendangkan ke perut si orang
tua hingga orang tua ini mencelat dua tombak. Punggung menghantam salah satu
tiang gubuk, membuat atap gubuk yang sudah reyot itu runtuh menimbun sosok Empu
Semirang. Bungkusan kain putih berisi keris sakti terlepas dari tangan. Dengan
cepat segera disambar oleh orang yang dituduh bukan sebagai Raden Ageng Daksa
asli.
Meski
muntahkan darah segar dan satu tulang iga di bagian bawah patah, Empu Semirang
masih bisa menyusup keluar dari timbunan atap gubuk.
“Demi
Bathara Agung, aku mohon kembalikan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi padaku. Kau
boleh membunuh aku tapi jangan ambil senjata itu…”
Raden
Ageng Daksa tertawa bergelak.
“Siapa
kau sebenarnya? Mengapa merampas senjata itu. Kembalikan padaku!”
“Empu
Semirang, kalau kau ingin tahu siapa diriku buka matamu lebar-lebar. Lihat
baik-baik!”
Raden
Ageng Daksa usap wajahnya.
Wusss!
Segulung
asap hitam mengepul dari tubuh dan kepala. Sosok Raden Ageng Daksa lenyap. Di
balik kepulan asap yang kemudian menipis kini berdiri seorang kakek berambut
putih panjang, bermata juling, bertubuh kurus jangkung, berpakaian putih
sepinggang. Di keningnya terdapat delapan benjolan sebesar ujung ibu jari
berwarna merah dan mengepulkan asap. Tangan kanan memegang bungkusan kain
putih, tangan kiri memegang sebatang tongkat bambu kuning.
“Resi
Karbayana… Aku benar-benar tak menyangka,” ucap Empu Semirang begitu mengenali
siapa adanya orang tua di hadapannya. “Apa yang terjadi dengan dirimu?! Mengapa
ada benjolan di keningmu…”
Orang
yang disebut sebagai Resi Karbayana tertawa gelak-gelak. “Empu, kau keliru. Aku
bukan Resi Karbayana, karena resi itu telah kubunuh tiga hari yang lewat! Lihat
baik-baik!” Mulut berucap muka diusap.
Wusss!
Sekali
lagi asap hitam mengepul dan sesaat kemudian bersamaan dengan lenyapnya sosok
orang tua berambut dan berpakaian putih itu, kini muncul sosok lain yang juga
seorang tua. Seperti Resi Karbayana tadi, orang tua ini juga memegang bungkusan
kain putih berisi keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi. Meski di kening orang ini
juga terdapat delapan benjolan merah namun Empu Semirang tetap masih bisa
mengenali.
“Sahabat
Sedayu Galiwardhana, pertapa sakti dari Gunung Merbabu…” ucap Empu Semirang
dengan suara bergetar dan menatap heran. “Bagaimana mungkin. Tidak salahkah
mataku melihat? Bukankah kau sudah meninggal beberapa waktu yang lalu…”
“Kalau
ada kekuatan seratus jin yang membawaku kembali ke Bhumi Mataram, tidak ada
satu kekuatan lain pun yang bisa mencegah! Ha… ha… ha!”
“Sedayu
Galiwardhana, jangan bicara takabur…”
“Empu
Semirang, seharusnya kau aku habisi saat ini juga sebagaimana aku menghabisi
Resi Karbayana. Tapi aku sengaja membiarkan kau tetap hidup. Selain mengingat
persahabatan kita di masa lalu aku juga ingin kau menjadi salah satu dari
beberapa gelintir manusia yang akan menjadi saksi terjadinya malapetaka besar
yang akan menimpa Bhumi Mataram! Ha… ha… ha! Tunggu kedatangan Malam Jahanam!”
Setelah puas tertawa Sedayu Galiwardhana angkat tangan kanannya.
“Tunggu!
Sedayu, kalau kau ingin aku memberi kesaksian katakan apa yang sebenarnya
terjadi dengan dirimu. Siapa yang menguasai dan mengendalikan rohmu?! Lalu
malapetaka apa yang kau maksudkan akan menimpa Bhumi Mataram?”
“Delapan
Sukma Merah adalah penguasa tujuh samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis
bumi! Ha… ha… ha.” Itulah jawaban Sedayu Galiwardhana yang tidak dimengerti
Empu Semirang Biru.
“Sedayu!
Kembalikan keris itu!”
Suara
Empu Semirang terputus sampai di situ. Dari ujung ibu jari tangan kanan Sedayu
Galiwardhana melesat selarik cahaya merah. Begitu cahaya ini menyentuh Empu
Semirang tak ampun lagi orang tua ini terkulai lemas, roboh dan masuk kembali
ke dalam reruntuhan gubuk.
Sebelum
jatuh pingsan Empu Semirang masih sempat mengucapkan doa, “Sang Hyang Jagat
Bathara. Kalau saya memang harus mati saat ini saya pasrah. Tapi tolong
selamatkan Keris Kanjeng Sepuh pelangi yang dirampas Sedayu Galiwardhana.
Mungkin dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Untuk itu wahai Yang Maha Kuasa
tolong sahabat saya itu. Selamatkan rohnya dari kungkungan amarah murka yang
menguasainya.”
Siang itu
di langit mendadak muncul mendung tebal. Udara di puncak Gunung Bismo berubah
kelam dan siuran angin menderu kencang. Tak lama kemudian hujan lebat turun
membasahi bumi. Ketika malam tiba Empu Semirang masih berada di antara
reruntuhan gubuknya. (Mengenai riwayat Sedayu Galidharna silahkan dibaca serial
Mimba Purana Satria Lonceng Dewa. Telah terbit episode “Perawan Sumur Api”,
“Arwah Candi Miring”, “Pangeran Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jerangkong”, dst.)
*********************
10
TAK LAMA
setelah Empu Semirang pingsan di tengah reruntuhan atap gubuk, seseorang
berkelebat dari lereng timur Gunung Bismo. Dalam waktu singkat dia sudah berada
di bagian belakang gubuk. Dengan cepat orang ini mengeluarkan Empu Semirang
dari bawah reruntuhan atap lalu memanggulnya di bahu kiri. Sebelum meninggalkan
tempat itu dia memeriksa lebih dulu terutama sekitar tempat Empu Semirang mengerjakan
pembuatan senjata. Dengan beberapa kali tendangan saja dia melempar jauh
reruntuhan gubuk, melanjutkan pemeriksaan. Namun dia tidak menemukan apa yang
dicarinya.
“Kalau
takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi. Tidak satu insan pun di muka bumi ini
mampu menolak. Semoga Para Dewa memberi petunjuk…”
Habis
keluarkan ucapan orang ini segera berkelebat pergi, membawa Empu Semirang Biru.
Empu
Semirang Biru tidak tahu berapa lama dia berada dalam kedaaan pingsan. Ketika
siuman dia dapatkan diri terbaring di atas kasur empuk di dalam satu kamar
tidak seberapa besar. Orang tua ini coba mengingat-ingat. Dia ingat apa yang
telah terjadi sebelumnya. Namun dia tidak mengetahui di mana dia berada saat
itu dan bagaimana bisa sampai di tempat itu. Selagi dia menduga-duga tibatiba
pintu kamar terbuka. Seorang berpakaian prajurit lengkap dengan tombak di
tangan masuk mengiringi seorang pelayan membawa secangkir minuman dan sepiring
makanan. Pelayan ini juga membawa sehelai pakaian berwarna biru. Kepada Empu
Semirang pelayan memberitahu kalau dia selesai makan dan minum, dia harus
mengganti pakaiannya yang basah lalu keluar dari kamar. Kedua orang itu keluar
dari kamar tanpa Empu Semirang sempat bertanya.
“Jangan-jangan
aku berada di dalam istana raja,” kata sang Empu dalam hati. “Lalu bagaimana
aku bisa berada di sini? Siapa yang membawa?”
Empu
Semirang hanya meneguk minuman hangat dalam cangkir. Dia sama sekali tidak
menyentuh makanan di atas piring. Ketika dia keluar dari kamar, perajurit dan
pelayan tadi sudah ada di depan pintu. Pelayan masuk ke dalam kamar, si
prajurit meminta Empu Semirang mengikutinya. Sewaktu melewati satu taman
terbuka baru dia tahu kalau saat itu siang hari. Orang tua ini tidak bisa
menduga apakah ini hari yang sama saat keris sakti dirampas orang atau ini
adalah hari keesokannya. Hanya satu hal yang diyakininya. Saat itu dia memang
berada di istana Sri Maharaja Mataram di kotaraja.
“Secepat
inikah aku bisa sampai di kotaraja dan masuk ke dalam istana? Pasti ada orang
sakti yang menerbangkan diriku dari Gunung Bismo ke sini,” pikir Empu Semirang.
“Prajurit,
aku mau dibawa ke mana?” Empu Semirang bertanya. Orang yang ditanya hanya
menoleh sebentar tapi tidak menjawab.
Ternyata
orang tua ahli pembuat senjata itu diantar memasuki sebuah ruangan pertemuan
besar. Di dekat pintu banyak pengawal melakukan penjagaan. Di dalam ruangan itu
telah berada lebih dari sepuluh orang. Salah seorang di antaranya duduk di atas
sebuah kursi besar di lantai yang agak tinggi sementara yang lain-lain duduk
berderet di atas bangku panjang dialas kasur.
Empu
Semirang merasa agak tegang. Orang yang duduk di atas kursi besar bukan lain
adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Dalam hati Empu Semirang
berkata, “Orang membawa aku ke hadapan Raja Mataram. Pasti ada sangkut pautnya
dengan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang hilang. Agaknya Raja dan semua orang
yang ada di sini akan memberi putusan hukum atas diriku. Aku pasrah menerima
hukuman. Aku telah berlaku lalai hingga keris sakti milik kerajaan lenyap
dirampas orang.”
Empu
Semirang jatuhkan diri, bersujud sedekat mungkin di hadapan Sri Maharaja
Mataram sambil mulutnya berucap. “Sembah sujud dan hormat saya untuk Sri
Maharaja Mataram. Saya sadar kesalahan saya. Saya Empu Semirang Biru siap
menerima hukuman.”
Tiba-tiba
ada orang mendatangi dan menyuruhnya berdiri. “Empu Semirang, kita tidak punya
waktu lama. Ini pertemuan sangat penting dan sangat rahasia. Menyangkut
keselamatan Mataram dan rakyatnya. Kau dibawa ke istana ini, menghadap Sri
Maharaja Mataram bukan untuk diadili atau dijatuhi hukuman. Sri Maharaja
Mataram dan kami semua yang ada di sini ingin mendapat penjelasan mengenai apa
yang terjadi dengan dirimu. Lalu ke mana lenyapnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Aku akan mewakili Sri Maharaja Mataram sebagal juru tanya.”
Empu
Semirang perlahan-lahan berdiri. Di hadapannya tegak seorang lelaki separuh
baya yaitu orang yang barusan bicara dan membantunya berdiri. Orang ini
mengenakan topi tinggi, pakaian lurik hitam sebatas pinggang dan empat kalung
tergantung di leher. Inilah Raden Ageng Daksa. Karena masih ada perasaan
khawatir Empu Semirang memperhatikan mata kiri orang. Seperti yang pernah
dilihat sebelumnya salah satu bagian putih mata orang itu terdapat tanda atau
bintik berwarna hitam. Berarti dia memang sebenarnya Raden Ageng Daksa.
“Raden…”
Raden
Ageng Daksa memberi tanda agar Empu Semirang tidak bicara dulu. Dia diantar dan
dipersilahkan duduk pada satu bantalan tinggi di deretan paling depan tak jauh
dari duduknya Sri Maharaja Mataram. Raden Ageng Daksa sendiri kemudian
mengambil tempat duduk di hadapan Empu Semirang. Pintu ruangan ditutup pengawal
dari luar.
Di atas
sebuah meja di tengah ruangan, Empu Semirang melihat sebuah mangkok besar
terbuat dari porselin putih. Di dalam mangkok yang hampir sebesar pelukan
tangan ini terdapat air berwarna kehijau-hijauan. Di atas air mengambang asap
tipis yang juga berwarna hijau. “Air Penjajak Bala…” Ucap sang Empu dalam hati
begitu mengenali mangkok dan isinya karena dia telah pernah melihat sebelumnya.
Di atas meja juga terletak gagang dan sarung keris berlapis emas serta kotak
kaca. Orang tua ini kemudian perhatikan orang-orang yang ada dalam ruangan.
Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi duduk di atas kursi kebesaran. Walau sikapnya gagah,
Raja yang baru berusia tiga puluh tahun ini agaknya sedang dalam kegelisahan
karena sambil duduk berkali-kali dia mengusapkan dua telapak tangannya satu
sama lain.
Di
deretan bangku panjang sebelah depan duduk seorang kakek berjubah biru gelap.
Rambut, kumis dan janggut sangat putih hampir menyerupai kapas. Dia duduk
dengan tubuh bungkuk bertopang sebuah tongkat tembaga yang ujungnya berbentuk
lingkaran. Kening, leher dan pinggang diikat sehelai kain hitam yang penuh
sulaman aksara bertuliskan huruf Palawa. Usianya sulit diduga. Empu Semirang
mengenali orang tua ini bernama Umbut Watukura dan di Bhumi Mataram biasa
dipanggil dengan sebutan Eyang Dukun. Sebelum dan sampai Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi memegang tahta kerajaan, Eyang Dukun dipercaya untuk menjaga
keselamatan kerajaan dan rakyat. Konon Eyang Dukun mempunyai hampir lima puluh
murid atau anak buah tersebar di seluruh Bhumi Mataram.
Di
samping Eyang Dukun duduk seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, berkumis
melintang dan berjanggut tebal, membekal dua bilah keris di belakang pinggang.
Di dada kirinya yang berotot ada jarahan gambar burung rajawali mengembangkan
sayap. Orang ini adalah Garung Parawata, panglima pasukan kerajaan. Pada ujung
bangku yang diduduki Empu Semirang duduk seorang perempuan yang walau usia
sudah lebih dari setengah abad tapi masih berpenampilan cantik dan segar. Tubuh
tinggi semampai dibalut kulit sawo matang. Di atas pinggul yang besar terdapat
pinggang ramping. Lalu di sebelah atas menonjol dada yang montok. Rambut yang
sebenarnya sudah putih dicat hitam, dikuncir tinggi di atas kepala. Di bawah
alis kereng melengkung, perempuan ini memiliki sepasang mata yang agak jereng.
Konon mata yang jereng ini menjadi daya tarik sendiri bagi orang laki-laki di
kalangan istana.
Perempuan
bernama Ratu Randang ini dikenal sebagai penasihat Sri Maharaja dan masih
merupakan kerabat sangat dekat pada garis keturunan raja-raja Mataram. Selama
hidup sampai seusianya sekarang Ratu Randang belum pernah mempunyai suami.
Namun tersiar kabar yang tidak sedap di kalangan istana bahwa Ratu Randang
punya simpanan beberapa orang pemuda gagah. Hanya saja sebegitu jauh tidak ada
satu orangpun yang bisa membuktikan hal itu atau mengetahui siapa adanya
pemuda-pemuda tersebut. Sambil menunggu dimulainya pembicaraan Ratu Randang
mempermainkan cincin emas berbatu permata yang berderetan di jari-jari tangan
kanan kiri.
Selagi
Empu Semirang memperhatikan tak sengaja Ratu Randang memandang ke arahnya.
Perempuan ini layangkan senyum dan kedipkan mata. Sang Empu hanya balas
mengangguk lalu cepat-cepat alihkan padangan ke jurusan lain.
Pandangan
Empu Semirang kemudian tertuju pada seorang lelaki tua gemuk bercelana dan
memakai baju rompi berwarna merah. Di atas kepalanya bertengger topi yang juga
berwarna merah. Rambut merah menjulai di bawah topi panjang sekuduk. Si gemuk
ini memiliki sepasang mata yang sangat sipit hingga tampak seolah-olah dia
meram terus-terusan sepanjang hari. Pipinya yang tembam bergerak-gerak karena
mulutnya tak bisa diam selalu berkomat kamit. Sepuluh jari tangan selalu
digesek-gesekkan satu sama lain. Dalam kalangan Istana Mataram si gemuk ini
dikenal sebagal tabib sakti bernama Soka Kandawa berjuluk Sepuluh Jari Dewa.
Kecuali
beberapa tokoh silat istana yang memiliki jabatan tinggi. Empu Semirang tidak
mengenal siapa adanya orang-orang lain yang ada di tempat itu. Tapi adalah
pasti mereka orang-orang yang sangat dipercaya hingga diminta hadir dalam
pertemuan penting dan rahasia itu.
Raden
Ageng Daksa berdiri dari duduknya. Lelaki berusia enam puluh tahun ini punya
ilmu kesaktian tinggi dengan kedudukan sebagai pejabat penting kepercayaan Sri
Maharaja. Boleh dikatakan setingkat lebih tinggi di atas Panglima Pasukan
Kerajaan Garung Parawata. Membungkuk ke arah Sri Maharaja kaku menanyakan
apakah pertemuan penting dan rahasia itu bisa segera dimulai. Raja memberi
jawaban dengan anggukan kepala.
*********************
11
SETELAH
menatap sebentar ke dalam mangkok porselen putih berisi Air Penjajak Bala,
Raden Ageng Daksa berpaling pada Empu Semirang Biru. “Empu, kami di Istana
Mataram tadi malam mendapat petunjuk dari Para Dewa di Swargaloka kalau Empu
telah berhasil menyelesaikan pembuatan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi hanya dalam
waktu dua hari. Ini adalah aneh tapi sungguh luar biasa. Namun menyusul
petunjuk yang menggembirakan itu telah terjadi sesuatu di tempat kediaman Empu
di Gunung Bismo. Jelasnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang baru saja Empu
selesaikan pembuatannya hilang. Namun kami tidak mengetahui jelas bagaimana
kejadiannya. Sri Maharaja memerintahkan aku melakukan penyelidikan. Ketika
fajar menyingsing ketika aku datang ke tempat kediaman Empu di lereng Gunung
Bismo, Empu aku temukan dalam keadaan pingsan, tertimbun di bawah runtuhan atap
dan dinding gubuk. Bersyukur kepada Yang Maha Kuasa Empu masih dipanjangkan
umur walau mengalami cidera. Selagi Empu masih dalam kedaaan pingsan, Tabib
Sepuluh Jari Dewa telah mengobati hingga tidak ada yang perlu Empu khawatirkan
lagi…”
Embu
Semirang memandang ke arah Tabib Soka Kandawa alias Sepuluh Jari Dewa. Dua
telapak tangan dirapatkan di depan dada lalu tubuh dibungkukkan memberi
penghormatan sebagai tanda ucapan terima kasih yang tulus. Tabib bertubuh gemuk
berambut merah itu tersenyum. Manggut-manggut sambil mata yang sipit
dikedap-kedip. Tampangnya tampak lucu.
Raden
Ageng Daksa lanjutkan ucapan. “Empu Semirang, saat ini Maharaja Mataram dan
kami semua di sini ingin mengetahui apa yang terjadi. Harap Empu menerangkan
sejelas-jelasnya. Jangan ada satu halpun yang terlupa atau terlewatkan…”
Setelah
menghatur sembah kepada Sri Maharaja Rakai Kayuwangi dan membungkuk hormat pada
orang-orang yang ada dalam ruangan, Empu Semirang segera memberi penuturan.
Orang tua ini memulai ceritanya dari kedatangan orang tua misterius bersorban
dan berjubah kelabu ke gubuknya di lereng Gunung Bismo.
“Orang
tua yang tidak saya kenal itu pertama kali datang tidak menjejakkan kaki di
tanah. Tubuh mengambang di udara. Dia menyuruh saya memasukkan dua tangan ke
dalam tumpukan bara menyala. Walau mulamula saya merasa takut namun saya ikuti
juga. Ketika dua tangan saya tarik ternyata dua tangan saya telah berubah
menjadi bara api yang sangat panas. Tapi tidak menciderai. Dengan tangan
seperti itu saya bisa lebih mudah dan lebih cepat mengerjakan pembuatan keris…”
Sri
Maharaja Mataram berpaling pada Umbut Watukara. “Eyang Dukun harap kau
memeriksa ke dalam Air Penjajak Bala. Selidiki siapa orang itu.” Lalu Sri
Maharaja berpaling pada Ratu Randang. “Ada sesuatu yang akan kau katakan Ratu
Randang…”
“Jika dua
kaki tidak menginjak tanah berarti ada dua kemungkinan. Pertama orang itu
sebangsa jin putih yang menjelma jadi manusia. Atau kedua, mungkin dia adalah
orang yang sangat dekat dengan kekuasaan Para Dewa di Swargaloka. Yang manapun
dia sebenarnya maka dia adalah makhluk baik. Tapi dalam jaman edan seperti
sekarang ini musang bisa saja berbulu domba. Ular bisa berkepala sepuluh.
Jerangkong bisa jadi perempuan cantik, tapi bukan aku ya… Hik… hik… hik…”
“Terima
kasih Ratu Randang,” ucap Sri Maharaja lalu dia memberi tanda pada Eyang Dukun.
Kakek
bungkuk si dukun sakti membungkuk hormat, lalu berdiri dan melangkah ke hadapan
mangkok porselen di atas meja. Sebelum memandang ke dalam air di dalam mangkok
terlebih dulu dia berkata pada semua orang yang ada di tempat itu untuk
membantu. Maka semua orang segera rangkapkan dua tangan di atas dada, ada juga
yang merapatkan dua telapak tangan lalu diletakkan di atas kepala. Mereka
serentak mengerahkan tenaga dalam dan kesaktian yang dimiliki.
Eyang
Dukun sapukan tongkat tembaga di atas mangkok porselen, dari kiri ke kanan tiga
kail berturut-turut. Kepulan asap putih menebal. Air hijau di dalam mangkok
bergejolak seperti mendidih. Sesaat kemudian asap lenyap dan air tenang
kembali.
Eyang
Dukun lebih membungkukkan diri lalu menatap ke dalam air. Sesaat kemudian
dengan wajah tampak merah dan keringatan dia melangkah mundur lalu membungkuk
ke arah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi.
“Sri
Maharaja Mataram, ilmu kepandaian saya tidak dapat menjajaki keberadaan orang
itu, melihat ujud atau mengetahui siapa adanya. Saya hanya melihat kilatan
cahaya putih beberapa kali di dalam air. Satu pertanda siapapun adanya orang
tua itu dia berasal dari alam arwah dan memiliki roh putih. Agaknya
keberadaannya mendapat perlindungan dari Para Dewa di Kahyangan. Tongkat saya
telah meresap kilatan cahaya putih di dalam air. Kita hanya bisa mengharap
paling cepat tujuh hari di muka baru bisa mengetahui atau paling tidak
mengadakan sambung rasa dengan roh tersebut…”
Sri
Maharaja berpaling pada Raden Ageng Daksa.
Lalu
orang kepercayaan Raja itu berkata. “Waktu kita sangat pendek. Kita tidak bisa
menunggu sampai tujuh hari. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi sebelum tujuh
hari. Mungkin nanti malam, besok pagi atau lusa…”
Raden Ageng
Daksa kemudian berpaling pada Ratu Randang, satu-satunya perempuan di ruangan
itu.
“Ratu,
bagaimana menurut jalan pikiranmu?”
“Aku akan
menemui makhluk bernama Arwah Ketua begitu selesai pertemuan ini. Aku rasa dia
bisa memberi petunjuk. Bukankah petunjuk yang kita terima sebelumnya berasal
dari dirinya…?”
“Terima
kasih Ratu Randang. Lakukan hal itu secepat pertemuan ini selesai,” kata Raden
Ageng Daksa pula (Siapa adanya Arwah Ketua harap baca “Arwah Candi Miring”
serial kedua Satria Lonceng Dewa).
Ratu
Randang susun sepuluh jari di atas kepala. “Perintah akan aku laksanakan.”
Empu
Semirang lalu melanjutkan penuturan. Dia menceritakan munculnya seorang
perempuan muda berwajah cantik sekali mengaku bernama Sri Padmi Kameswari.
Perempuan ini merayu dan membujuknya untuk menukar besi sakti biru dengan besi
hijau. Karena terus-terusan menolak perempuan itu kemudian coba merampas besi
biru cikal bakal Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang belum jadi, masih berbentuk
besi kasar panjang dan polos.
“Sosok
perempuan muda cantik itu kemudian berubah menjadi nenek buruk dengan delapan
benjolan merah di kening. Dia mengaku bernama Gendeng Pakumati. Dia menyerang
saya dengan sepuluh senjata berbentuk paku yang keluar dari ujung jarinya. Saya
tidak mungkin menyelamatkan diri. Tiba-tiba terjadi kehebatan yang aneh. Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi yang masih merupakan lempengan besi kasar melesat ke
udara menghancurkan sepuluh paku. Sebelum pergi si nenek meneriakkan semacam
kutukan. Bahwa Mataram akan dilanda bencana. Berubah menjadi neraka. Semua
orang akan menemui ajal secara mengerikan…”
Ketika
Empu Semirang hentikan ceritanya, keadaan di ruangan besar itu untuk beberapa
lama menjadi hening. Sampai akhirnya Raden Ageng Daksa meminta sang Empu
melanjutkan penuturan.
“Ujian
dan bahaya rupanya belum berhenti atas diri saya. Pagi hari sesaat setelah
fajar menyingsing yaitu setelah saya menyelesaikan pembuatan Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi, saya kedatangan Raden Ageng Daksa…”
Raden
Ageng Daksa terkejut, langsung berdiri dari duduknya. Sri Maharaja Mataram
kerenyitkan kening.
Semua
orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah orang kepercayaan Raja Mataram
itu.
“Empu
Semirang,” ujar Raden Ageng Daksa pula. “Aku tidak mendatangimu pada pagi hari.
Tapi baru pada malam hari. Bagaimana kau bisa mengatakan…”
“Saya
tahu Raden. Yang datang memang bukan Raden, tapi seseorang yang merubah ujud
seperti Raden.” Jawab Empu Semirang. “Pertama kali melihat saya sudah tahu
kalau dia bukan Raden yang asli. Ada beberapa hal yang membuat saya curiga. Di antaranya
Raden tidak datang membawa sarung dan gagang keris serta kotak kaca untuk
menyimpan senjata itu. Kemudian, ini yang paling tidak masuk akal. Di mata kiri
orang itu tidak ada bintik hitam seperti keadaan mata kiri Raden…”
“Ahh…”
Raden Ageng Daksa menghela nafas lega. “Kau cerdik Empu.”
“Karena
saya menolak memberikan keris, dalam marahnya orang itu tiba-tiba merubah diri.
Ujudnya kini menjadi ujud Resi Karbayana. Di kepalanya ada delapan benjolan
merah…”
Semua
orang termasuk Sri Maharaja terkejut mendengar ucapan Empu Semirang.
Sang Empu
lanjutkan cerita. “Ketika saya menegur mengapa dia jadi berkeadaan seperti itu
makhluk itu mengatakan kalau dia bukan Resi Karbayana karena resi itu telah
dibunuhnya tiga hari lalu. Lalu ujud sang resi berubah menjadi sosok Sedayu
Galiwardhana pertapa sakti dari Gunung Merbabu. Seperti yang lain-lainnya, di
keningnya juga terdapat delapan benjolan merah berasap…”
Sri
Maharaja Mataram bangkit berdiri dari kursinya. “Empu Semirang ini satu
keanehan yang dahsyat. Kecuali kalau semua ceritamu adalah dusta belaka! Semua
orang di Mataram tahu kalau pertapa suci Sedayu Galiwardhana telah tewas
beberapa waktu lalu dalam perkara yang ada hubungannya dengan Sumur Api dan
Empat Gading bersurat…” (Baca serial Mimba Satria Lonceng Dewa, “Pendekar Bhumi
Mataram”).
Mendengar
teguran sang Raja, Empu Semirang segera jatuhkan diri, berlutut dan berkata.
“Ampun beribu ampun wahai Sri Maharaja Mataram. Saya ini orang bodoh, tetapi
saya tidak pernah berani bicara dusta di hadapan Sri Maharaja.”
Hening
seketika. Sang Empu lanjutkan bicaranya. “Yang muncul kali ini memang roh
sahabat saya Sedayu Galiwardhana karena ujudnya tidak berubah menjadi ujud
makhluk lain. Dia mengatakan sengaja tidak membunuh saya karena dia ingin saya
menjadi salah seorang saksi atas malapetaka besar yang akan menimpa Bhumi
Mataram. Dia berteriak. Tunggu kedatangan Malam Jahanam. Saya bertanya siapa
yang menguasai dan mengendalikan rohnya. Malapetaka besar apa yang akan terjadi
di Mataram. Dia menjawab bahwa Delapan Sukma Merah adalah penguasa tujuh
samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Sedayu Galiwardhana kemudian
lenyap bersama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada dalam bungkusan kain putih.
Saya mengaku salah karena saya tidak bisa mempertahankan senjata bertuah itu.
Saya siap menerima hukuman…” Empu Semirang meratap.
“Hal
buruk telah terjadi di Mataram tanpa kita bisa mencegah. Tapi yang lebih buruk
agaknya segera akan datang,” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi duduk kembali ke
kursi lalu berkata. “Malam Jahanam. Apa yang akan terjadi. Delapan Sukma Merah!
Makhluk apa itu? Ratu Randang, coba kau periksa. Eyang Dukun lihat dalam Air
Penjajak Bala. Satu hal yang jadi pertanyaan, mengapa roh Sedayu Galiwardhana,
siapapun yang mengendalikannya, merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi…”
Ratu
Randang segera pejamkan mata. Kepala mendongak. Dua tangan dikembang ke depan,
agak ke samping. Kakek yang disebut Eyang Dukun cepat melangkah dan menunduk di
depan mangkok porselen putih.
Keadaan
di dalam ruangan kembali diselimut kesunyian. Semua mata memperhatikan Ratu
Randang dan Eyang Dukun. Tiba-tiba tubuh Ratu Randang terdorong dua langkah ke
belakang. Mata masih terpejam nafas
mengengah.
Dada turun naik. Dia berteriak keras.
“Jahanam
kurang ajar! Siapa yang meraba dadaku!”
Jeritan
perempuan berusia lebih setengah abad ini membuat semua orang melengak kaget.
Raden Ageng Daksa cepat mengusap kening Ratu Randang lalu menuntunnya ke tempat
duduk.
“Ratu
Randang, tak ada yang meraba dirimu. Duduk dan tenanglah. Katakan apa yang kau
lihat…”
Ratu
Randang buka kedua matanya, memandang mendelik pada Raden Ageng Daksa.
“Ageng
Daksa, apa kata Raden?! Lihat ini!” teriak Ratu Randang. Lalu brettt! Dia robek
dada pakaiannya sendiri. Semua mata memandang membeliak besar. Di kiri kanan
dada montok yang tersingkap itu kelihatan tanda jari tangan berwarna merah.
Jumlahnya hanya delapan tanpa jari tengah!
“Kenapa
cuma delapan jari? Tidak utuh sepuluh?!” Hampir semua orang yang melihat
bertanya-tanya seperti itu.
Di depan
mangkok besar Eyang Dukun mengangkat tongkat tembaganya tinggi-tinggi. Dari
mulut keluar suara menggembor. Ketika dia memutar tubuh kelihatan bagaimana
kedua matanya telah digenangi darah merah dan kental!
“Delapan
Sukma Merah! Makhluk itu ada di sini!” Eyang Dukun berteriak.
Semua
orang menjadi geger! Di atap ruangan tampak cairan merah kental meleleh
berjatuhan ke lantai. Di saat bersamaan seluruh ruangan bergoyang keras.
Dinding dan lantai retak-retak.
“Selamatkan
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi!” Teriak Ratu Randang.
Garung
Parawata segera melompat merangkul raja lalu melarikannya ke arah pintu. Raden
Ageng Daksa mendahului membuka jalan dengan melepas pukulan sakti tangan kosong
hingga pintu ruangan hancur berantakan.
*********************
12
SEMAKIN
jauh sang surya menggelincir ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat, keadaan di
kotaraja terutama di kawasan istana tampak semakin mencekam. Di luar tembok
istana puluhan prajurit melakukan perondaan. Pasukan kerajaan di bawah pimpinan
Garung Parawata dalam jumlah besar ditempatkan di beberapa kawasan untuk
berjaga-jaga. Sampai ke desa-desa termasuk beberapa candi besar pasukan
kerajaan terutama yang menunggangi kuda melakukan pengawasan. Hal ini
mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Untuk menghindarkan kekacauan Raden
Ageng Daksa memang memberi perintah agar tidak memberi tahu adanya bahaya.
Selain itu memang belum diketahui malapetaka apa yang akan terjadi atau kapan
akan terjadinya. Namun rakyat Mataram yang rata-rata memiliki tingkat pemikiran
cukup tinggi tidak mau berdiam diri. Sejak matahari terbenam mereka terutama
orang laki-laki berada di luar rumah. Kentongan siap dipukul jika mendadak
muncul bahaya. Kebanyakan dari mereka menduga akan ada serangan dari kaum
pemberontak dari wilayah selatan. Karenanya orang laki-laki rata-rata membekal
senjata berupa golok atau tombak.
Menjelang
malam tiba Sri Maharaja dan semua pejabat penting kecuali Panglima Garung
Parawata berkumpul di sebuah ruangan rahasia. Sementara istri-istri Sri
Maharaja bersama puluhan perempuan lain dan anak-anak dikumpulkan di Kaputren,
dijaga hampir seratus pengawal. Ruangan bekas tempat pertemuan kini dalam
keadaan porak-poranda. Atap runtuh, dinding dan lantai jebol. Selain itu cairan
aneh berwarna merah yang menebar bau busuk menggenang di lantai.
Di satu
ruangan dalam kawasan istana, Umbut Watukura alias Eyang Dukun ditemani Tabib
Soka Kandawa alias Sepuluh Jari Dewa tengah melakukan penyelidikan. Dari dalam
ruang pertemuan yang telah ambruk Eyang Dukun sebelumnya mengambil secawan air
merah yang menggenangi lantai. Dua orang sakti itu duduk saling berhadapan.
Sang Dukun letakkan dua tangan di bahu sang Tabib sementara Tabib ini juga
melakukan hal yang sama, meletakkan dua tangan di bahu kiri kanan Eyang Dukun.
Cawan berisi cairan diletakkan di lantai di antara keduanya.
Setelah
beberapa lama saling mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti, Eyang Dukun
duluan bicara.
“Aku
melihat banyak Gunung…”
“Aku
melihat banyak sungai,” berucap Tabib Soka Kandawa.
“Ada
delapan lingkaran merah aneh di langit gelap…” Menimpali Eyang Dukun.
“Aku
medengar suara jeritan-jeritan angker seolah keluar dari dalam jurang batu yang
dalam…”
Eyang
Dukun turunkan dua tangannya dari bahu Tabib Soka Kandawa.
“Kita
harus segera menemui Sri Maharaja. Aku khawatir Malam Jahanam yang dikatakan
roh Sedayu Galiwardhana kepada Empu Semirang akan terjadi malam ini. Malam
Selasa Pahing…”
“Aku juga
menduga begitu,” menyahuti Tabib Soka Kandawa. “Tapi apa yang sebenarnya akan
terjadi? Bagaimana caranya kita menolak dan menangkal…”
“Aku akan
meminta Sri Maharaja mengeluarkan Kereta Kencana Kanjeng Ratu Adil. Meletakkan
kereta itu di wuwungan istana. Selain itu kita juga harus memagari seluruh
Bhumi Mataram dengan doa Empat Penjuru Angin Menolak Bala. Kita harus melakukannya
malam ini juga!”
Kedua
orang itu segera meninggalkan ruangan bergegas menemui Sri Maharaja Mataram dan
para tokoh kerajaan lainnya.
************************
LANGIT di
atas Mataram gelap tidak berbintang. Angin dari selatan, jauh dari arah laut
bertiup kencang. Cabang pepohonan bergoyang, ranting berderak dan dedaunan
bergesekan mengeluarkan suara gemerisik berkepanjangan. Ketika hujan
rintik-rintik mulai turun di halaman istana, ratusan orang kebanyakan di
antaranya adalah anak murid Eyang Dukun duduk di halaman seputar tembok istana.
Mereka melafatkan doa memohon perlindungan pada Yang Maha Kuasa untuk Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi dan keluarga serta kerabat istana dan juga seluruh
rakyat Mataram. Sekitar tiga puluh orang terpencar di empat sudut halaman,
menabuh gendang kecil, mengikuti naik turun, panjang pendek suara doa bersama.
Upacara sakral itu dipimpin oleh Eyang Dukun. Diikuti oleh Sri Maharaja, Raden
Ageng Daksa, Empu Semirang, Ratu Randang, Tabib Sepuluh Jari Dewa dan banyak
lagi para pejabat serta petinggi kerajaan. Hujan yang mulai turun agak lebat
tidak mereka perdulikan.
Mendekati
tengah malam sebagaimana yang direncanakan Eyang Dukun dan disetujui Sri
Maharaja, Kereta Kencana Putih dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di
halaman samping kiri istana. Kereta putih tanpa kuda ini dibawa ke bagian depan
istana, dikelilingi oleh empat tokoh kerajaan yaitu Raden Ageng Daksa, Eyang
Dukun, Ratu Randang dan seorang kakek berkepala botak, berjubah kuning yang
merupakan tokoh disegani karena ketinggian ilmunya. Orang ini bernama Klingkit
Kuning karena selalu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwana kuning.
Keempat
orang itu berdiri sambil tangan kanan masingmasing memegang roda Kereta
Kencana. Raden Ageng Daksa dan Ratu Randang di sebelah depan sementara Eyang
Dukun dan Klingkit Kuning di bagian belakang.
Eyang
Dukun angkat tangan kiri ke atas. Suara doa dan tabuhan gendang serta merta
berubah perlahan. Raden Ageng Daksa, Klingkit Kuning dan Ratu Randang letakkan
tangan kanan di atas kepala. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi silangkan dua tangan
di depan dada, kepala ditundukkan, mulut berucap.
“Wahai
Para Dewa di Swargaloka. Jika memang ada bahala dan bencana yang akan menimpa
kerajaan dan rakyat Mataram, kami mohon perlindungan dariMu. Buang jauh-jauh
bencana itu ke tengah laut dan hukum orang-orang atau makhluk yang telah
melakukan kejahatan. Wahai Yang Maha Kuasa, hanya kepadaMu tempat kami meminta
tolong dan berlindung. Dengarkan dan kabulkan permintaan kami…”
Begitu
selesai Raja Mataram mengucapkan doa permohonan, empat orang yang memegang roda
kereta berteriak keras lalu tubuh mereka melesat ke udara. Semua mata yang ada
di tempat itu menyaksikan bagaimana Kereta Kencana Putih ikut naik ke udara
lalu perlahanlahan diturunkan di atas wuwungan istana. Empat orang yang tadi
mengangkat kereta segera melayang turun kembali.
Angin
dari laut yang semula bertiup kencang kini mereda. Langit yang tadi gelap kini
mulai terang.
“Terima
kasih Yang Maha Kuasa. Engkau telah mendengar permohonan kami.” Berkata Sri
Maharaja Mataram yang kini berdiri dikelilingi keempat orang yang tadi membawa
terbang Kereta Kencana Putih ke atas wuwungan.
Empu
Semirang yang juga berada di tempat itu mengusap muka tengkoraknya berulang
kali. Sewaktu dia mengusap rambutnya yang berwarna biru tak sengaja dia menatap
ke langit. Saat itu juga dia tersentak kaget. Muka berubah pucat. Tadi langit
yang gelap telah berubah terang dan bersih. Tapi kini di langit kelihatan
lingkaran besar awan berwarna kelabu.
“Astaga.
Dewa Jagat Bathara…” Empu Semirang mengucap. Wajah tak berdaging orang tua ini
tampak pucat.
“Ada apa
Empu…?” Tanya Tabib Soka Kandawa yang berdiri di sebelah Empu Semirang.
“Memandanglah
ke langit. Ada lingkaran besar awan kelabu. Pertanda buruk itu muncul kembali…”
Tabib
gemuk bermata sipit menatap ke langit. “Aku tidak melihat apa-apa. Langit
bersih…” Kata si gemuk.
Empu
Semirang tidak puas. Dia memegang bahu seorang perajurit di samping kirinya.
“Prajurit coba kau melihat ke langit. Apakah kau melihat ada lingkaran awan
berwarna kelabu?”
Si
prajurit melakukan apa yang disuruh. Sesaat kemudian dia menggeleng. “Saya
tidak melihat apa-apa Empu…”
“Ada yang
tidak beres. Mengapa cuma aku sendiri yang melihat pertanda buruk itu. Sekarang
juga ada suara lolongan srigala di kejauhan…” Empu Semirang segera menemui
Raden Ageng Daksa. Menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya serta arti
pertanda semua itu.
“Empu,
kau tak usah khawatir. Bumi Mataram telah dilindungi seribu doa Empat Penjuru
Angin Menolak Bala. Kereta Kencana Ratu Adil sudah naik ke atas wuwungan istana
untuk menangkal segala macam kejahatan. Para Dewa tidak mungkin berlepas tangan
tidak melindungi Mataram dan rakyatnya…”
“Tapi
Raden…”
“Sudahlah
Empu, lebih baik kita sama-sama ikut merapal doa walau saat ini keadaan cuaca
sudah cerah. Hujan mulai berhenti turun…”
Baru saja
Raden Ageng Daksa mengeluarkan ucapan tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
bergemuruh. Tanah halaman istana terasa bergetar. Semua orang tercekat
merinding. Saat itulah satu bayangan kelabu entah dari mana datangnya melesat
menyambar tubuh Empu Semirang. Dalam sekejapan mata saja orang tua ahli pembuat
senjata itu telah dipanggul dibawa melompat melewati tembok halaman istana
sebelah timur.
“Ada yang
menculik Empu Semirang. Lekas cegah!” Teriak Raden Ageng Daksa. Lalu dengan
cepat melesat ke arah lenyapnya sang Empu. Beberapa orang berkepandaian tinggi
termasuk Ratu Randang ikut mengejar.
Namun
sang Empu dan si penculik tidak kelihatan lagi.
“Jangan-jangan
si penculik itu yang telah meraba dadaku meninggalkan bekas…” Ucap Ratu Randang
perlahan.
“Kau tak
usah mengawatirkan bekas itu. Kalau kau izinkan aku bisa mengobati hingga
hilang.”
Ratu
Randang berpaling pada Soka Kandawa si tabib sakti yang barusan bicara. Tabib
gemuk ini kedipkan mata sipitnya sambil sunggingkan senyum.
“Aku
lebih baik tidak sembuh daripada kau raba-raba!” Kata Ratu Randang dengan wajah
bersungut. Lalu dia mendekati Raden Ageng Daksa. “Raden, kurasa ini saatnya aku
harus pergi menemui Arwah Ketua di Candi Miring.”
Raden
Ageng Daksa yang tidak bisa memberi keputusan minta persetujuan Sri Maharaja.
Raja anggukkan kepala tanda mengizinkan namun disertai ucapan agar Ratu Randang
cepat kembali.
Sementara
di kejauhan suara bergemuruh terdengar semakin keras.
“Seperti
suara arus sungai mengamuk deras…” ucap Klingkit Kuning.
“Lekas
semua kembali ke istana,” kata Raden Ageng Daksa.
*********************
13
PADA
malam hari saat ratusan orang memenuhi halaman Istana Mataram mulai memanjatkan
doa Empat Penjuru Angin Menolak Bala, jauh dari kotaraja terjadi keanehan
dashyat di hulu tiga sungai besar yang mengalir ke selatan melewati Bhumi
Mataram. Hulu sungai yang bermula di puncak tiga gunung tenggelam dalam hujan
lebat tiada tara. Arus sungai membuntai tinggi dan deras, mengalir dengan cepat
ke arah hilir. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara raungan srigala. Lalu
lingkaran awan kelabu besar yang sejak tadi menggantung di langit bergerak
memecah menjadi delapan lingkaran lebih kecil. Perlahan-lahan delapan lingkaran
awan kelabu ini bergerak turun mendekati hulu tiga sungai. Sementara melayang
ke bawah warnanya yang kelabu berubah menjadi merah.
Petir
menyabung, guntur menggelegar. Delapan lingkaran merah tiba-tiba memancarkan
sinar merah terang. Lalu ribuan percikan aneh bersama curahan hujan melayang ke
bawah, masuk ke hulu sungai di tiga gunung. Dalam waktu singkat air sungai yang
tadinya kecoklat-coklatan dan penuh buntalan lumpur kini berubah menjadi merah
seperti darah!
Penduduk
belasan desa yang dilewati tiga aliran sungai menjadi geger dan sangat
ketakutan ketika banjir besar datang melanda lewat tengah malam itu. Pekik
jerit terutama perempuan dan anak-anak terdengar di mana-mana menegakkan bulu
kuduk. Suara berbagai ternak menambah kengerian. Ratusan rumah dan pepohonan
diterabas hanyut tanpa ampun. Suara kentongan memberi tahu datangnya bahaya
terdengar di berbagai penjuru. Penduduk yang berhasil menyelamatkan diri
berusaha lari ke bukit. Namun arus banjir datang lebih cepat menyapu semua yang
menghalang.
Menjelang
tengah malam Garung Parawata, panglima pasukan kerajaan bersama selusin anak
buahnya menghambur masuk ke dalam istana. Dia memberi tahu terjadinya banjir
aneh di utara Bhumi Mataram.
“Lewat
tengah malam banjir akan sampai di kotaraja. Sri Maharaja dan semua orang yang
ada di sini sebaiknya lekas pergi ke Bukit Batu Hangus. Rasanya itu
satu-satunya tempat paling tinggi dekat kotaraja yang bisa dijadikan tempat
penyelamatan…”
Malam itu
juga Sri Maharaja Rakai Kayuwangi bersama para istri dan putera puterinya, para
kerabat istana, ditemani Kepala Pasukan Kerajaan, dukun sakti Umbut Watukura
alias Eyang Dukun, Tabib Sepuluh Jari Dewa alias Soka Kandawa, Klingkit Kuning,
puluhan pejabat tinggi kerajaan, dengan dikawal ratusan prajurit berangkat
menuju Bukit Batu Hangus yang terletak di barat laut kotaraja. Bukit Batu
Hangus merupakan satu bukit yang banyak batu-batu besar berwarna hitam gosong.
Keadaan di sini sangat panas pada siang hari sedang pada malam terutama
menjelang pagi dingin luar biasa. Angin bertiup kencang dari berbagai penjuru.
Di bukit ini terdapat beberapa mata air jernih dan cegukan-cegukan batu
membentuk goa besar yang dapat dipergunakan untuk berlindung.
Sebelum
meninggalkan istana Sri Maharaja menyempatkan diri menatap ke wuwungan istana
di mana diletakkan Kereta Kencana Putih. Raja Mataram ini hela nafas dalam.
“Kesaktian Kereta ternyata tidak mampu menolak bencana yang datang. Insan hanya
berusaha. Yang Maha Kuasa yang jadi penentu…”
Tiba-tiba
ada delapan larik sinar merah menyambar disertai gelegar laksana suara petir.
Kereta Kencana Putih hancur berkeping-keping. Meninggalkan kepulan asap putih
dan merah di udara.
Sepasang
mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca. Lalu dia memberi tanda pada kusir kereta
untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara di kejauhan terdengar suara
gemuruh air tanda banjir besar semakin dekat.
Sepanjang
perjalanan menuju Bukit Batu Hangus pasukan Mataram menolong penduduk banyak
desa dan diikutsertakan naik ke bukit.
Tepat
tengah malam, banjir besar tiga aliran sungai yang airnya berwarna merah
mencapai kotaraja. Walau gejolak derasnya agak berkurang namun tetap saja
mendatangkan bencana mengenaskan.
Ratusan
rumah hancur dihanyutkan. Ratusan pohon bertumbangan. Sebagian bangunan istana
roboh. Ke mana mata memandang yang terlihat hanya air berwarna merah setinggi
dada manusia, apungan mayat orang-orang yang tidak mampu menyelamatkan diri
serta bangkai binatang. Bau busuk menghampar di mana-mana. Dalam keadaan
seperti itu dari delapan arah di kejauhan terdengar suara lolongan srigala
seperti saling bersahut-sahutan. Malam Jahanam seperti yang dikatakan roh
Sedayu Galiwardhana benar-benar kejadian, menimpa Bhumi Mataram! Namun
kejahanaman itu agaknya tidak berhenti hanya sampai di situ.
Di Bukit
Batu Hangus Sri Maharaja duduk termenung di atas sebuah batu besar.
“Sri
Maharaja, untuk sementara Sri Maharaja cukup aman di sini. Izinkan saya kembali
ke kotaraja untuk mengawasi keadaan. Secepatnya banjir surut saya akan datang
memberi tahu. Saya membawa serta sepuluh prajurit…” Panglima Pasukan Garung
Parawata berkata sambil memegang tali kekang kuda tunggangannya.
Untuk
beberapa lama sang Maharaja hanya berdiam diri, tak bisa menjawab.
“Sri
Maharaja, kalau Sri Maharaja tidak mengizinkan, saya tidak memaksa…”
“Panglima
kau boleh pergi. Bawa serta Eyang Dukun. Kita harus terus mencari tahu siapa
penyebab semua bencana ini. Malam Jahanam bukan kehendak alam. Tapi ada makhluk
jahat yang melakukan. Malam ini aku akan bertapa di puncak bukit batu. Aku akan
mencoba masuk ke alam roh agar dapat berhubungan dengan roh pertapa Sedayu
Galiwardha. Dia satu-satunya makhluk yang menyebut-nyebut Malam Jahanam ketika
mendatangi Empu Semirang di Gunung Bismo dan mencuri Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Kalau kita bisa menemuinya rasanya kita mungkin akan mendapatkan
senjata sakti itu kembali. Panglima, tunggu sampai aku berada di puncak bukit.
Setelah itu baru kau dan Eyang Dukun boleh pergi…”
Panglima
Garung Parawata dan Eyang Dukun samasama membungkuk. Keduanya, para istri dan
putra putri serta semua orang yang ada di tempat itu memperhatikan kepergian
raja mereka menuju puncak Bukit Batu Hangus.
Di puncak
bukit Sri Maharaja Mataram tampak sebagai sosok hitam samar yang duduk bersila
sementara hujan lebat terus mendera dan tiupan angin kencang sekali.
“Sri
Maharaja berada di tempat tinggi dan terbuka. Aku khawatir kalau-kalau terjadi
sesuatu atas dirinya…” Berkata Eyang Dukun setengah berbisik pada Panglima
Garung Parawata.
“Kita
semua yang ada di sini memiliki jimat bertuah dalam tubuh masing-masing. Mari
sama kita keluarkan dan kita pergunakan untuk memagari puncak bukit.
Mudahmudahan dengan kuasa Para Dewa dapat membantu melindungi raja kita…”
Habis
berkata begitu Garung Parawata membuat gerakan seperti mengorek mata kanan.
Dari mata itu keluar sebentuk benda bulat bercahaya biru.
Eyang
Dukun segera pula meletakkan tangan kanan di atas dada kiri. Tangan itu membuat
gerakan mencengkeram lalu dibetot. Ketika genggaman dibuka terlihat benda
berbentuk bintang bersudut empat berwarna putih.
Tabib
Sepuluh Jari Dewa tidak mau ketinggalan. Dia rentangkan sepuluh jari. Sepuluh
sinar hijau mencuat keluar. Ditangkap dengan kedua tangan lalu digulung hingga
berubah menjadi bulat sebesar kelereng.
Klingkit
Kuning gosok-gosok ubun-ubun di atas kepala botak. Lalu dia mendehem tiga kali.
Saat itu juga dari batok kepalanya melesat sebuah benda berbentuk mata tombak.
Dengan cepat orang tua berjubah kuning ini menangkap benda itu.
Setelah
semua orang yang memiliki jimat mengeluarkan jimat tersebut dari tubuh
masing-masing maka didahului dengan rapalan doa meminta pertolongan Para Dewa,
semua jimat dilempar ke arah Puncak Bukit Batu Hitam. Sekejapan di udara tampak
berbagai warna cahaya jimat melesat menembus hujan lebat.
“Eyang,
kita pergi sekarang,” kata Panglima Garung Parawata pada Eyang Dukun sambil
mengendus. Dia mencium bau sesuatu. “Ada bau aneh…”
“Aku
sudah mencium dari tadi,” jawab Eyang Dukun.
Kedua
orang ini naik ke atas kuda tunggangan masingmasing. Namun belum sempat dua
kuda itu melangkah menuruni bukit, tiba-tiba kedua binatang ini meringkik keras
lalu roboh. Terguling di tanah hanya mampu menggerak-gerakkan kepala dan ekor
sementara empat kaki masing-masing tak berkutik sedikitpun alias lumpuh!
Garung
Parawata dan Eyang Dukun dengan sigap melompat. Namun begitu dua kaki mereka
menyentuh tanah, kedua orang ini serta merta roboh karena sepasang kaki
mendadak terasa lemas dan tak kuasa digerakkan lagi.
“Dewa
Jagat Bathara! Apa yang terjadi dengan kedua kakiku?!” Teriak Garung Parawata.
Tabib
Sepuluh Jari Dewa dalam kejutnya segera mendatangi kedua orang itu dengan
maksud hendak menolong. Tapi setengah jalan si gemuk ini jatuh terguling. Dua
kakinya juga mendadak lumpuh!
Semua
orang yang ada di Bukit Batu Hangus berpekikan. Karena secara bersamaan mereka
juga mengalami kejadian yang sama. Lumpuh, tak mampu berdiri, tak bisa
menggerakkan kaki!
Jerit
pekik kembali memenuhi Bukit Batu Hangus ketika semua orang entah bagaimana
kejadiannya tahu-tahu di kening mereka muncul delapan benjolan sebesar ibu jari
berwarna merah. Saat itu pula tubuh mereka menggigil laksana diserang demam
panas! Benjolan serupa juga tampak di kening belasan kuda yang ada di atas
bukit!
Apa yang
dialami orang-orang yang berada di Bukit Batu Hangus malam itu ternyata menimpa
pula semua orang dan binatang yang berada dan masih hidup di Bhumi Mataram.
Lumpuh dan ditumbuhi delapan benjolan di kening serta diserang demam panas.
TAMAT
No comments:
Post a Comment