Misteri Pedang Naga Suci 212
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
Wakil
Ketua melangkah cepat memanggul tubuh Hantu Muka Dua. Setelah melewati sebuah
pintu besi, dia hentikan langkah dan berpaling pada Satria Pocong yang berjalan
mengikutinya.
“Untung
tadi Yang Mulia Ketua tidak sampai Menanyakan soal caping milik Kakek Segala
Tahu. Kau sempat memeriksa benda itu ?“
“Sudah,
tapi saya tidak menemukan gulungan kain putih yang kita cari.”
“Apa
ucapanmu bisa kupercaya?“ tanya wakil ketua barisan manusia pocong 113 lorong
kematian sambil dua matanya menatap lurus dan tajam pada sepasang mata anak
buahnya.
“Saya
tidak berdusta. Saya tidak punya keperluan apa apa atas benda itu.” Menjawab
Satria Pocong.
“Yang
Mulia Ketua pernah bilang benda itu luar biasa penting. Menyangkut kelangsungan
masa depan seratus tiga belas lorong kematian dan rencana pembentukan sebuah
partai yang bakal menguasai seantero rimba persilatan tanah Jawa dan tanah
seberang.”
“Saya
pernah mendengar hal itu…” ucap Satria Pocong.
Lalu dan
balik jubah putihnya orang ini keluarkan caping milik Kakek Segala Tahu.
“Silahkan Wakil Ketua memeriksa sendiri”
“Simpan
saja. Saat ini aku mempercayai semua ucapanmu. Kalau kemudian kau ternyata
berdusta, aku akan merajam dirimu tiga hari tiga malam sebelum nyawamu kucabut!
Camkan itu baik baik!”
“Saya
mengerti Wakil Ketua.” Satria Pocong masukkan kembali caping bambu ke balik
jubahnya.
Wakil
Ketua serahkan tubuh Hantu Muka Dua pada anak buahnya. “Tunggu aku di depan
Rumah Tanpa Dosa. Jangan melakukan apapun sampai aku datang!”
“Wakil
Ketua mau kemana?” tanya Satria Pocong.
“Sesuai
perintah Yang Mulia Ketua, aku akan menemui Dewa Tuak di ruangannya. Aku harus
memeriksa tua bangka satu itu. Gadis muridnya lenyap dan kamar Yang Mulia
Ketua. Mungkin dia yang punya pekerjaan.”
Satria
Pocong mengangguk. Panggul sosok Hantu Muka Dua di bahu kiri lalu cepat cepat
tinggalkan tempat itu. Wakil Ketua menyusuri lorong di mana terdapat deretan
ruang batu. Di depan sebuah pintu besi dia berhenti. Ada satu jendulan di batu
ini. Pintu besi terbuka. Engselnya keluarkan suara berkereketan.
Di sudut
kamar, di atas satu tempat tidur terbuat dan batu, duduk seorang kakek
berpakaian putih lusuh. Wajah pucat, tubuh kelihatan lemas. Rambut putih acak
acakan. Janggut dan kumis putih tidak karuan. Di lantai ruangan, dekat kepala
tempat tidur batu, teronggok helai jubah dan kain putih penutup kepala. Orang
tua ini yang bukan lain adalah Dewa Tuak adanya pandangi sosok manusia pocong
yang masuk lalu berkata.
“Lagi
lagi kau datang berhampa tangan. Kukira kau membawa tuak kayangan untukku!”
Wakil
Ketua tutup pintu besi, perhatikan orang tua di atas tempat tidur batu seraya
berucap dalam hati.
“Seingatku
dia sudah dicekoki Iebih dan empat cangkir minuman pelupa diri pelupa ingatan.
Nyatanya ingatannya tidak sepenuhnya leleh. Dia masih ingat pada minuman
kesayangannya itu. Tidak heran Yang Mulia Ketua masih terus menyekapnya di
tempat ini. Manusia satu ini masih berbahaya. Aku akan menyuruh orang untuk
memberi minuman tambahan padanya.”
Sejurus
kemudian Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong berkata.
“Selama
kau belum mau mengenakan jubah dan kain putih penutup kepala, jangan harap aku
akan memberikan tuak padamu!”
“Aku
sudah bilang, jubah dan penutup kepala tidak pantas jadi dandanan tua bangka
sepertiku! Para gadis cantik tidak dapat melihat wajahku yang walau sudah
keriputan ini tapi masih merangsang! Ha.. ha. .ha!”
“Tua
bangka edan. Alasan tolol!” bentak Wakil Ketua.
Dewa Tuak
menyeringai. Kepala didongakkan. Mulut dibuka. Dua tangan diangkat ke atas
seolah memegang sebuah benda panjang. Sikap si kakek seperti seseorang yang
meneguk minuman sungguhan. Mata meram melek dan dari tenggorokannya yang
bergerak naik turun keluar suara gluk…gluk…gluk!
“Gila!
Bagaimana mungkin!” ujar Wakil Ketua dalam hati.
Dewa Tuak
tertawa bergelak. Belakang telapak tangan kirinya dipakai mengusap mulut,
seperti orang yang barusan benar benar habis meneguk minuman enak.
“Tuakku
terasa tawar. Tapi lumayan. Daripada meneguk air comberan….” Dewa Tuak kembali
tertawa sambil mengusap usap perutnya yang kempes.
Wakil
Ketua hentakkan kaki kanannya ke lantai hingga ruangan batu itu bergetar. “Dewa
Tuak! Jangan bertingkah macam macam yang membuatku jengkel!”
“Oala!
Sampeyan jengkel rupanya. Mana aku tahu! Padahal aku tidak macam macam. Cuma
satu macam! Ha…ha…ha!”
“Aku
datang untuk menanyakan perihal muridmu!”
“OaIa,
kapan aku punya murid? Aku lupa.”
“Muridmu,
gadis bernama Anggini lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua! Ini pasti kau punya
pekerjaan. Kau sembunyikan dimana gadis itu?”
Dewa Tuak
pentang lebar lebar matanya.
“Aku
tidak pernah ingat kalau punya murid. Aku tidak kenal siapa gadis bernama
Anggini itu. Di tempat ini mana mungkin aku main sembunyi sembunyian. Pintu
celaka itu selalu dikunci. Bagaimana mungkin aku bisa keluar?”
“Beberapa
waktu lalu ketika ada seorang tokoh rimba persilatan dijebloskan kedalam
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, kau diberi kebebasan keluar kamar ini.
Kesempatan itu pasti kau pergunakan untuk melarikan dan menyembunyikan
muridmu!”
Dewa Tuak
tertawa. Dia kembali membuat sikap seperti orang tengah meneguk minuman dan
dalam sebuah bumbung.
“Gluk!
Gluk…gluk!”
“Mengurusi
diriku saja, aku tak mampu, apalagi mengurusi orang lain! Sudah, pergi sana!
Lama lama aku muak melihatmu. Aku mau kentut!”
“Kakek
jahanam! Jangan kau berani main main padaku!”
“Aku
tidak main main. Aku memang mau kentut sungguhan!” Habis berkata begitu Dewa
Tuak turun dan tempat tidur batu, badannya membungkuk dan pantat disonggengkan.
Lalu!
“Buuuttt…….
Buuutt……. buttttttt!”
Dewa Tuak
keluarkan kentut, tiga kali berturut turut, panjang dan keras. Selagi pantatnya
keluar suara kentut, dan mulutnya si kakek keluarkan suara mengekeh.
Ruangan
batu itu buncah oleh bau kentut luar biasa busuk “Jahanam kurang ajar!”
Wakil
Ketua angkat kaki kanannya dan bukkk!
Satu
tendangan mendarat di pantat Dewa Tuak. Suara tawa mengekeh si kakek berubah
jadi jeritan keras. Tubuhnya terlempar, kening membentur dinding batu itu hingga
benjut besar. Si kakek melingkar tak bergerak di lantai, mata terpejam, mulut
meringis kesakitan.
“Kalau
aku kembali dan kau masih belum mengenakan jubah serta penutup kepala itu, akan
aku patahkan batang lehermu!” Wakil Ketua lalu keluar dan kamar, pintu besi
dibanting keras.
Dewa Tuak
usap usap pantatnya. “Untung tidak remuk tulang bokongku! Edan! Tendangan
bangsat itu keras juga! Weleh…!”
Dewa Tuak
buka sepasang mata. Pandangannya membentur onggokan jubah dan kain putih
penutup kepala. Si kakek mencibir. “Mungkin sudah saatnya aku harus mengenakan
pakaian dan penutup kepala sialan ini! Dari pada ditendang lagi, apa lagi kalau
sampai dipatahkan Ieherku. Hik…hik…hik. Sebelum mengenakan jubah dan penutup
kepala itu, aku mau minum tuak dulu ah!” Lalu Dewa Tuak dongakkan kepala, buka
mulut dan dua tangan dikeataskan, mata merem melek dan leher naik turun.
“Gluk…gluk. . .gluk!”
************************
Satria
Pocong berdiri tak bergerak di hadapan Rumah Tanpa Dosa. Sepasang matanya
sesekali melirik ke arah bangunan, menatap ke bagian atas. Setiap berada di
dekat rumah itu dia selalu merasa takut. Kini dia berada di situ dengan beban
tubuh Hantu Muka Dua di bahu kiri.
Yang
disebut Rumah Tanpa Dosa ini adalah sebuah rumah panggung terletak di seberang
Iembah kecil. Di sebelah atas ada sebuah pintu dan delapan jendela dalam
keadaan tertutup. Mulai dari atap yang terbuat dan ijuk sampai tiang penyangga
bangunan dan tangga berputar menuju ke atas, semua berwarna putih. Di bawah
atap, dekat tangga setengah Iingkaran, menjulai ke bawah hampir menyentuh tanah
seutas tali besar. Tali ini berhubungan dengan sebuah genta atau lonceng besar
yang terletak di depan pintu bangunan.
Di dalam
rumah panggung putih yang disebut Rumah Tanpa Dosa inilah diam Yang Mulia Sri
Paduka Ratu, seorang gadis berambut hitam panjang yang hidup dengan nyawa kedua
setelah mendapat satu kekuatan majis aneh dan benda berupa batu yang disebut
Aksara Batu Bernyawa. Sang Ratu yang memiliki kesaktian luar biasa ini berada
di bawah kekuasaan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian.
Walau
cukup lama memanggul tubuh Hantu Muka Dua, Satria Pocong di halaman rumah Tanpa
Dosa tetap berdiri tak bergerak. Setiap dua kakinya terasa capai atau bahunya
terasa pegal maka cepat cepat ia mengucap. “Hanya penintah Yang Mulia Ketua
yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Satu
bayangan putih berkelebat. Satria Pocong lepaskan nafas lega. Wakil Ketua
akhirnya muncul dan tegak di sampingnya.
“Tidak
ada kejadian apa apa di tempat ini?” Wakil Ketua bertanya.
“Sepi
sepi saja.” Jawab Satria Pocong.
Wakil
Ketua memperhatikan arah delapan jendela dan pintu rumah pintu.
“Saatnya
kita minta Yang Mulia Sri Paduka Ratu keluar,” kata Wakil Ketua pula lalu
melangkah mendekati tali besar yang menjulai ke permukaan tanah. Ada sedikit
debaran di dada manusia pocong ini ketika jari jaritangan kanannya menyentuh
dan menggenggam tali. Terlebih ketika dia menggerakan tangan menarik tali. Saat
itu juga genta di bawah atap mengeluarkan suara berkumandang. Tanah di halaman
Rumah Tanpa Dosa bergetar. Tiang rumah panggung berderak. Satria Pocong
merasakan dua kakinya goyah dan tubuhnya sebelah atas gontai seperti ditiup
angin. Wakil Ketua Ietakkan tangan kiri di depan dada lalu mendongak dan
berseru.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Kami diutus oleh Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian untuk satu permintaan yang harus kau
laksanakan!”
Wakil
Ketua menanik genta sekali lagi. Lalu menunggu. Sementara itu di selatan bukit
batu tak jauh dari jalan masuk ke dalam 113 lorong kematian, Ratu Duyung
tercekat ketika mendengar suara menggema dari kejauhan. Tanah yang dipijaknya
seperti dialiri getaran aneh. Ratu Duyung berpaling pada Setan Ngompol yang
tegak di sampingnya sambil memegangi bagian bawah perut agar tidak membersit
air kencingnya.
“Kek, kau
dengar suara aneh itu?”
Setan
Ngompol anggukkan kepala. “Seperti suara lonceng besar.”
Ratu
Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Sepasang matanya yang biru
memperhatikan tak berkesip. Setan Ngompol ulurkan kepala ikutan melihat Mula
mula tampak tebaran asap tipis.
“Jangan
jangan tak mempan lagi….” Ucap Ratu Duyung dalam hati agak khawatir. Namun
perlahan lahan asap tipis dalam cermin bulat berangsur lenyap. Kini muncul satu
bangunan berwarna putih. Ratu Duyung berpaling pada si kakek.
“Rumah
putih itu pernah muncul sebelumnya dalam cermin beberapa waktu lalu. Bangunan
penuh rahasia menyimpan satu kekuatan dahsyat.”
Baru saja
Ratu Duyung berucap begitu tiba tiba di sebelah utara kembali terdengar gema
suara aneh. Cermin bulat bergetar. Satu hawa aneh berkekuatan hebat tiba tiba
menghantam Ratu Duyung. Gadis ini terpekik, terjajar beberapa langkah dan jatuh
duduk di tanah. Wajahnya tampak pucat. Setan Ngompol sudah lebih dulu
terjengkang di tanah dan kucurkan kencing.
“Rumah putih
itu…“ desisnya dengan dada turun naik “Aku yakin itu tempatnya markas manusia
pocong.”
*********************
2
Setelah
berdiam diri sesaat untuk menenangkan hati dan mengatur jalan darahnya, Ratu
Duyung berdiri. Sebenarnya melalui cermin sakti dia ingin memantau lagi.
Menjajagi dimana beradanya Wiro. Namun khawatir akan diserang kekuatan dahsyat
yang tidak kelihatan Ratu Duyung simpan cermin saktinya di balik pakaian lalu
tinggalkan tempat itu sambil memberi isyarat pada si kakek di sebelahnya untuk
mengikuti.
“Kita mau
kemana?” tanya Setan Ngompol.
“Aku
yakin markas manusia pocong ada di arah utara. Kita menuju ke sana.”
Setan
Ngompol raba telinga kanannya yang terbalik, peras celananya yang basah oleh
air kencing lalu cepat cepat mengikuti Ratu Duyung yang telah jalan duluan.
************************
Kembali
ke halaman Rumah Tanpa Dosa. Belum lenyap gema suara genta, belum hilang
getaran di tanah, delapan jendela rumah putih terpentang. Ada hembusan angin
aneh keluar lewat jendela yang terbuka disertai tebaran asap putih. Sesaat
kemudian pintu bangunan ikut terbuka.
“Siapa di
luar sana?”
Tiba tiba
suara perempuan bertanya. Keluar dan bagian atas rumah panggung putih.
“Saya
Wakil Ketua bersama seorang Satria Pocong. Kami diutus Yang Mulia Ketua untuk
satu keperluan yang harus dilaksanakan oleh Yang Mulia Sri Paduka Ratu!” Wakil
Ketua memberi jawaban dengan berteriak.
Sunyi
beberapa saat ketika pada saat Yang Mulia Sri Paduka Ratu diharapkan keluar,
justru dari dalam rumah panggung putih terdengar suara orang bernyanyi.
Kematian
datang tidak disangka
Di dalam
bukit batu
Ada
seratus tiga belas lorong
Siapa
masuk akan tersesat
Tidak ada
jalan keluar
Sampai
kematian datang menjemput
Di dalam
lembah
Ada Rumah
Tanpa Dosa
Inilah
tempatnya…
Di
halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kematian berteriak keras.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu! Yang Mulia Ketua telah berulangkali memperingatimu agar
tidak menyanyi! Jangan membuat Yang Mulia Ketua gusar dan marah!”
Sunyi
lagi. Lalu satu bayangan putih muncul di pintu. Tampak satu sosok tinggi
semampai dibalut jubah terbuat dan kain putih lembut dan halus berkilat. Di
bawah kain putih penutup kepala menjulai rambut hitam panjang hampir menyentuh
pinggul. Pada bagian kening dan kain penutup kepala melingkar sebuah mahkota
kecil berwarna hijau memancarkan cahaya berkilau. Di depan pintu sosok ini
berhenti sebentar. Dua mata memandang ke bawah. Menatap ke arah Wakil Ketua,
lalu ke arah sosok berjubah putih di atas panggulan bahu Satria Pocong.
“Yang
Mulia Ketua mengutusmu ke sini untuk satu urusan. Wakil Ketua, harap katakan
urusan apa?” Sosok di atas rumah panggung putih yaitu Yang Mulia Sri Paduka
Ratu ajukan pertanyaan.
“Kami
membawa seorang tawanan. Yang Mulia Ketua meminta agar Yang Mulia Sri Paduka
Ratu menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiIikinya.”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dicintai!”
“Jangan
membuang waktu. Harap Yang Mulia Sri Paduka Ratu segera melaksanakan perintah!”
kata Wakil Ketua pula.
Untuk
turun ke bawah Sri Paduka Ratu bisa mempergunakan tangga setengah Iingkaran.
Tapi dia tidak melakukan hal itu. Dengan satu gerakan enteng tanpa suara sama
sekali, seperti seekor burung besar, dalam gerakan yang begitu indah Sri Paduka
Ratu melompat, melayang turun ke tanah. Di lain saat dia telah berdiri di
hadapan Wakil Ketua dan Satria Pocong.
“Ini
manusia yang akan disedot ilmu kesaktiannya?” tanya Sri Paduka Ratu sambil
menatap tubuh yang tergeletak di bahu kiri Satria Pocong.
“Pakaian
dan kain penutup kepalanya hampir sama dengan kalian berdua.”
“Dia
bukan anggota Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian,”
menjelaskan Wakil Ketua.
Wakil
Ketua memberi isyarat. Anak buahnya turunkan sosok Hantu Muka Dua dan bahu kiri
lalu ditegakkan di tanah. Karena dalam keadaan tertotok tanpa bisa bergerak
ataupun berbicara, Hantu Muka Dua tegak kaku seperti patung. Hanya dua matanya
yang aneh berbentuk segi tiga menatap angker ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Dari
matanya yang aneh aku bisa memaklumi manusia ini memang memiliki ilmu kesaktian
yang luar biasa. Tapi baunya aneh. Dia seperti bukan mahluk alam sini. Beri
tahu siapa namanya.”
“Nama
aslinya kami tidak tahu. Orang orang yang kenal menyebut dia Hantu Muka Dua!
Konon dia bukan mahluk alam kita. Tapi berasal dan alam seribu dua ratus tahun
silam. Silahkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyaksikan dan menyelidik sendiri!”
Selesai berucap Wakil Ketua tanggalkan kain yang menutupi kepala Hantu Muka Dua.
Orang
lain mungkin akan terkesiap kaget bahkan ngeri melihat keadaan kepala Hantu
Muka dua. Betapa tidak. Kepala itu memiliki dua wajah. Satu di sebelah depan,
satunya di bagian belakang. Wajah sebelah depan berkulit putih kekuningan
sedang bagian belakang hitam berkilat. Keduanya mewujudkan wajah seorang lelaki
berusia sekitar empat puluhan.
Di balik
kain penutup kepala walau kening mengerenyit dan mata menyipit namun air muka
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak memperlihatkan rasa gentar. Dengan tenang ia
melangkah mendekati Hantu Muka Dua. Dari mulutnya keluar ucapan.
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”
Di
hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dua wajah Hantu Muka Dua tiba tiba berubah.
Warnanya yang tadi hitam dan putih kini sama sama menjadi merah. Tampang itu
bukan berwujud manusia biasa tapi lebih menyerupai tampang raksasa. Mulut
berbibir tebal, taring mencuat. Cambang hijau berubah merah. Sesuai ujud dan
sifatnya iniIah satu pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada dalam kemarahan luar
biasa!
Kalau
Wakil Ketua dan Satria Pocong tercekat kaget melihat perubahan dua wajah Hantu
Muka Dua, sebaliknya Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa pendek.
“Mungkin
ini mahluk jejadian yang kesasar dan rimba belantara. Mungkin kau memang
memiliki ilmu kesaktian setinggi langit sedalam samudera! Namun semua
kehebatanmu itu berakhir hari ini! Harus kau serahkan padaku! Mulai yang ada di
batok kepala sampai yang ada di telapak kakimu!”
Tenggorokan
Hantu Muka Dua turun naik. Bola matanya yang berbentuk segi tiga warna hijau
pantulkan cahaya bergidik tapi tidak punya kemampuan untuk melancarkan serangan
berupa sinar maut. Raja Diraja dari segala Hantu dari Negeri Latanahsilam ini
berusaha kerahkan tenaga dan hawa sakti untuk memusnahkan totokan yang
menguasai dirinya, namun sia sia.
Sementara
itu bersamaan dengan akhir ucapannya, sosok Yang Mulia Sri Paduka Ratu tiba
tiba melayang ke atas. Serentak dengan itu tangan kanannya menyambar ke atas
batok kepala Hantu Muka Dua. Telapak tangan menempel pada ubun ubun mahluk dari
Negeri Latanahsilam ini.
“Dess!
Dess! Dess!
Sekujur
tubuh Hantu Muka Dua bergetar hebat. Sepasang mata mendelik. Tenggorokan
mengeluarkan suara seperti sapi digorok. Untuk kedua kalinya wajahnya depan
belakang berubah mengerikan. Tampang raksasa lenyap, berganti dengan wajah
kakek keriput pucat pasi. Ini merupakan pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada
dalam keadaan kaget dan takut besar.
Dari
batok kepala Hantu Muka Dua mengepui asap kelabu. Lalu ada cahaya biru mengalir
dari telapak kaki, menjalar ke atas dan akhirnya keluar dari ubun ubun. Cahaya
biru itu disedot, melesat masuk ke dalam tangan kanan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu, terus menjalar ke seluruh jalan darah dalam tubuhnya. Begitu cahaya biru
mencapai bagian kepala, kelihatan kain penutup kepala serta mahkota kecil
memancarkan sinar biru sangat benderang.
Hantu
Muka Dua yang sebeiumnya dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak bisa
bersuara, keluarkan suara raungan keras mengerikan. Tubuh seperti benang basah,
terkulai iemah. Wajahnya yang tua keriputan, depan belakang semakin putih.
Ketika sosoknya hampir roboh ke tanah tiba tiba ada suara mengiang di kedua
telinganya kiri kanan. Kepala Hantu Muka Dua tersentak.
Seperti
ada kekuatan aneh yang masuk ke dalam tubuhnya lewat suara mengiang itu
mendadak bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi tiga pancarkan
cahaya berkilat aneh, menatap Sri Paduka Ratu. Malah tangan kirinya yang
menunjuk nunjuk kini bergerak berusaha hendak memegang tubuh perempuan itu.
Dari mulutnya keluhan suara hek…hek…hek berkepanjangan disertai lelehan air
liur berwarna biru!
“Sreettt!”
Tangan
kiri Hantu Muka Dua berhasil menggapai Jubah putih Sri Paduka Ratu.
“Ihh!”
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu cepat mundur satu langkah Lalu hentakkan kaki kanannya.
Tanah bergetar hebat. Hantu Muka Dua tergelimpang roboh. Tangan kirinya yang
tadi sempat menyentuh pakaian Sri Paduka Ratu kelihatan berwarna putih dan
mengepulkan asap. Satria Pocong cepat memeriksa keadaan Hantu Muka Dua. Tubuh
itu dingin sekali. Ketika diraba urat besar di leher terasa denyutan.
“Wakil
Ketua, orang ini masih hidup!” Satria Pocong memberi tahu. “Biar saya
selesaikan sekalian!” Satria Pocong angkat tangan kanannya siap hendak
menggebuk batok kepala Hantu Muka Dua yang tergelimpang tak berdaya.
“Ajalnya
hanya tinggal beberapa kejapan mata. Buang dia ke dalam jurang di belakang
lorong,” perintah Wakil Ketua. “Biar dia tersiksa lebih dulu sebelum menemui
kematian!”
Satria
Pocong segera panggul tubuh Hantu Muka Dua. Aneh sosok orang itu kini terasa
sangat enteng seolah dia memanggul batangan bambu.
“Wakil
Ketua, aku sudah melaksanakan perintah. Aku akan kembali masuk ke dalam Rumah
Tanpa Dosa. Harap kau tidak berlama lama berada di sekitar tempat ini.”
Wakil
Ketua tidak segera berlalu. Mulutnya keluarkan suara berdecak. Dia berkata,
“Seorang gadis tawanan, bernama Anggini, lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua.
Mungkin melarikan diri. Jika Yang Mulia Sri Paduka Ratu melihatnya harap
memberi tahu kami Kalau bisa tangkap sekalian dan serahkan padaku!”
Sri
Paduka Ratu putar tubuh, melangkah ke arah tangga setengah Iingkaran. Sebelum
melesat ke atas rumah panggung ia berhenti sebentar dan berpaling pada Wakil
ketua lalu mendongak dan berkata.
“Yang
barusan kau katakan bukan penintah Yang Mulia Ketua. Kau dan anak buahmu
berkewajiban mencari tawanan yang kabur itu. Bukan aku!”
“Ck…ck…ck…”
Mulut Wakil Ketua berdecak berulang kali.
Walaupun
telinganya panas mendengar ucapan itu namun dia segera saja angkat kaki dan
halaman Rumah Tanpa Dosa. Tapi dalam hati dia berkata, “Lihat saja, Kalau aku
punya kesempatan dan berhasil mencuri rahasia dirimu akan aku sedot habis
seluruh ilmu kesaktianmu lewat lubang paling bawah di tubuhmu! Setelah itu kau
akan jadi budak pemuas nafsuku!”
Begitu
menginjakkan kaki di lantai atas rumah panggung, Yang Mulia Sri Paduka Ratu
berpaling memperhatikan sosok Hantu Muka Dua yang dilarikan Satria Pocong dari
halaman Rumah Tanpa Dosa. Sang Ratu usapkan tangannya dan dada sampai perut.
“Aneh,”
ucapnya dalam hati. “Mahluk satu itu benar benar luar biasa. Memiliki dua wajah
yang bisa berubah ubah. Orang lain pasti sudah leleh tubuhnya kusedot begitu
rupa.
” Yang
Mulia Sri Paduka Ratu kembali mengusap tubuhnya sebelah depan. “Matanya itu….
Apa yang dilihatnya, apa yang diperhatikannya?”
Satria
Pocong yang memanggul Hantu Muka Dua lenyap di kejauhan. Sri Paduka Ratu putar
tubuh lalu masuk ke dalam bangunan. Tak lama kemudian sayup sayup terdengar
suaranya menyanyi.
Kehidupan
muncul secara aneh
Kematian
datang tidak disangka
Di dalam
bukit batu
Ada
seratus tiga belas lorongSiapa masuk akan tersesat
Tidak ada
jalan keluar
Sampai
kematian datang menjemput…
*********************
3
Pendekar
212 Wiro Sableng berdiri di pinggir timur jurang batu. Memandang ke bawah tak
terlihat dasar jurang karena tertutup pohon pohon besar berdaun lebat dan
rimbunan pohon bambu. Sayup sayupWiro mendengar suara air mengalir ke bawah
berarti di dasar jurang yang tak kelihatan itu ada genangan air atau semacam
telaga.
Murid
Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Wulan Srindi yang tegak di sebelahnya. “Apa
kataku. Ini jadinya mengikuti petunjuk nenek bau pesing itu!”
“Wiro,
jangan kau berkata begitu. Nenek itu adalah gurumu sendiri!”
“Siapa
bilang dia bukan guruku? Tapi Wulan, kau saksikan tak ada jalan masuk lewat
bagian belakang bukit bukit batu yang jadi markas manusia pocong itu! Kau
percaya pada ucapan Eyang Sinto Gedeng. Inilah jadinya! Pakai ilmu bambu. Setiap
ada jalan masuk dari depan pasti ada jalan masuk dan belakang. Ilmu bambu…Huh!
Di dalam jurang aku lihat banyak pohon bambu. Makan saja bambu itu!”
Sambil
tersenyum Wulan Srindi pegang punggung Wiro.
“Saat ini
kita berada di bagian terpendek dan lebarnya jurang. Bagaimana kalau kita
bergerak ke arah barat, menyusuri panjangnya pinggiran jurang. Mungkin kita
akan menemukan sesuatu.”
“Sudah
setengah nyasar, biar nyasar benaran. Aku mengikuti apa katamu saja,” ucap Wiro
masih kesal.
Cukup
lama mereka menyusuri pinggiran jurang di belakang bukit batu. Di satu tempat
ketinggian Wiro dan Wulan Srindi berhenti. Saat itu mereka berada di deretan
pohon pohon tinggi berbatang sebesar pemelukan tangan.
“Wiro
lihat!” Tiba tiba Wulan Srindi keluarkan ucapan sambil menyibakkan semak
belukar di depannya.
Wiro
sibakkan pula semak belukar di sebelah depan yang menutupi pemandangan. Dua
mata terpentang lebar. Di seberang jurang, gundukan batu hitam berjejer
bertumpuk tumpuk, membentuk dinding hitam kokoh dan tinggi. Di bagian tengah
dinding, antara dua buah batu menyerupai tiang hitam tumbuh dua buah pohon
berdaun lebat. Di sebelah belakang ada tumbuhan merambat, melekat ke dinding
agak terlindung oleh dua pohon berdaun lebat. Di belakang pohon terdapat satu
tangga batu seratus undak menuju ke dinding yang ditutupi tumbuhan merambat.
Sepasang
mata Wiro memperhatikan tak berkesip.
“Kalau
ada tangga berarti ada pintu, berarti ada jalan masuk. Tapi aku tidak melihat
sebuah pintupun di bagian atas tangga batu….” Ucap Wiro.
“Pintu
yang kau cari terhalang daun pohon lebat dan tertutup tumbuhan merambat”
“Bagaimana
kau tahu?” tanya Wiro penasaran. Lalu dia hendak mengerahkan ilmu menembus
pandang. Tapi tidak jadi. Khawatir kekuatan gaib akan menghantam dirinya lagi
seperti yang sudah sudah.
“Petunjuk
gurumu bukan isapan jempol. Di sebelah depan satu satunya jalan masuk ke dalam
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian adalah mulut goa. Siapa masuk lewat goa itu
akan tersesat seumur umur sampai akhirnya menemui ajal. Di sebelah belakang tenyata
ada pintu masuk lain. Terlindung oleh daun dan tumbuhan merambat.”
“Kalau di
situ memang ada pintu berarti Eyang Sinto betul,” kata Wiro menyeringai dan
sambil garuk kepala.
“Yang
jadi pertanyaan sekarang apakah pintu itu memang dipergunakan untuk jalan
keluar masuk. Kau lihat sendiri. Tangga batu itu menuju pinggiran jurang.
Buntu! Lalu apa kegunaan pintu kalau memang di dinding itu ada pintu
tersembunyi?”
“Betul,
apa kegunaan pintu itu.” Mengulang Wulan Srindi. “Kalau orang membuat pintu,
lantas tidak ada kegunaannya, buat apa?”
“Bisa
saja sebagai jebakan,” kata Wiro pula.
Wulan
Srindi pegang lengan Wiro. Menarik pemuda itu melangkah sepanjang pinggiran
jurang dan berhenti tepat di jurusan dinding batu yang ada tangganya. Si gadis
memperhatikan ke arah kejauhan. Lalu memperhatikan ke arah kakinya sendiri.
Pandangan terus melebar ke arah sekitarnya. Wiro ikuti perbuatan Wulan Srindi.
Dua orang ini kemudian sama sama melepas nafas tercekat.
“Apa yang
ada dalam pikiranmu?” tanya Wiro.
“Apa yang
ada dalam benakmu?” balik bertanya Wulan Srindi.
“Aku
melihat batu di pinggiran jurang sebelah sini agak kurang lumutnya.” Kata Wiro
pula.
“Itu yang
pertama. Yang kedua nyaris tidak ada semak belukar di sekitar sini. Berarti ada
yang pernah merambasnya. Berarti tempat ini, yang jika ditarik garis lurus
berhadap hadapan dengan bagian dinding batu yang aku kira ada pintunya itu.
Wiro, keras dugaanku tempat ini sering dilalui orang.”
“Wulan,
yang jadi pertanyaan jika banyak orang lewat sini, apakah mereka pergi dan datang
ke dinding batu? Lalu bagaimana caranya? Tidak mungkin melompat, apa lagi
terbang. Siapapun orang sakti dan memiliki ilmu meringankan tubuh hebat
sekalipun tak mungkin sanggup melompat dari sini sampai ke sana atau
sebaliknya.”
“Apapun
kesulitannya kita harus mampu menyeberang dan menyelidik bagian dinding batu
yang ditutupi tumbuhan merambat itu.”
“Jarak
dua pinggiran jurang terlalu jauh. Kita tidak mungkin melompat atau turun ke
bawah lalu naik lagi di sebelah sana. Jurang ini terlalu dalam. Kita tidak tahu
ada apa di dasarnya. Mungkin ular atau binatang buas lainnya. Mungkin juga ada
dedemit penghuni jurang….”
“Kita
harus mencari akal,” kata Wulan sambil menggigit bibir. Pandangannya diarahkan
ke berbagai jurusan. Ketika dia memperhatikan ke arah tiga pohon tinggi yang
tumbuh tak jauh di sisi kanan, gadis ini tersenyum.
“Aku tahu
apa yang ada dalam benakmu. Kau ingin menumbangkan salah satu pohon itu untuk
dijadikan jembatan dan sini ke dinding seberang sana. Menurut perhitunganku
kelebaran jurang paling sedikit lima puluh kaki. Tinggi pohon ini sampai ke
pucuknya paling banyak empat puluh kaki.”
“Jarak
yang terpaut sekitar sepuluh kaki bisa kita atasi dengan melompat.” Setelah
memperhatikan akar pohon, Wulan Srindi melanjutkan. “Akar pohon ini dari jenis
yang melebar ke samping, bukan menghujam ke dalam tanah. Wiro, keluarkan kapak
saktimu. Akar pohon harus diputus baru bisa ditumbangkan.”
“Enak
saja kau bicara. Kapak saktiku bukan alat untuk menebang pohon!”
“Kalau
begitu kita berdua harus pergunakan kekuatan tenaga dalam. Tunggu apa lagi?
Dorong batang pohon yang di tengah. Kalau akarnya terbongkar pasti pohonnya
tumbang.”
Wiro dan
Wulan mencari bagian batang yang baik untuk tempat meletakkan dua telapak
tangan dan selanjutnya mulai mendorong pohon iu. Namun sampai tangan mereka
licin oleh keringat walau batang pohon bergerak, akarnya tidak terbongkar dari
tanah. Kedua orang itu terus mencoba sambil kerahkan tenaga dalam yang mereka
miliki.
“Preettt!”
“Pendekar
kurang ajar!” maki Wulan Srindi seraya melompat menjauhi Wiro. “Mendorong pohon
saja sampai keluar kentut!”
“Siapa
yang kentut?” tukas Wiro dengan mata mendelik.
“Kalau
bukan kamu apa ada setan yang kentut di tempat itu!” Wulan Srindi semakin
marah. “Kalaupun ada setan aku belum pernah mendengar ada setan bisa kentut!”
Wiro
gosok gosok pantatnya sendiri. Tangannya kemudian ditempelkan ke hidung. “Kalau
aku memang kentut pasti bau! Nyatanya tanganku tidak bau! Kau mau cium?”
Wulan
Srindi mencibir.
“Ayo kita
dorong sekali lagi pohonnya,” kata Wiro.
Wulan
Srindi menggeleng. “Percuma, pohon tidak tumbang malah kentutmu yang
bermuncratan!”
“Kalau
begitu biar aku pergunakan pukulan sakti saja.”
Kata Wiro
Jadi jengkel mendengar kata kata si gadis.
“itu
lebih baik. Dan pada kau nanti kentut lagi!” jawab Wulan Srindi.
“Sial!
Jangan bicara soal kentut lagi! Pokoknya aku tidak kentut! Sumpah!” Murid Sinto
Gendeng mundur menjauhi pohon. Tangan kiri menggaruk kepala, tangan kanan
menyiapkan pukulan “Dewa Topan Menggusur Gunung”. Diarahkan ke bagian paling
bawah pohon tinggi di depan.
“Wiro,
tunggu!” tiba tiba Wulan Srindi berseru.
“Ada
apa?”
“Lihat!”
Wulan
Srindi menunjuk ke seberang jurang.
“Astaganaga…”
Wiro mengucap setengah berolok.
Saat itu
bagian dinding yang tertutup tumbuhan merambat kelihatan bergeser ke samping
hingga membentuk sebuah celah tinggi dan lebar.
“Apa
kataku! Kau lihat sendiri! Ternyata memang ada pintu di dinding itu!” kata
Wulan Srindi.
“Pintu
rahasia,” ucap Wiro.
Sesaat
kemudian dan ruang agak gelap di balik pintu yang barusan terbuka keluarlah
manusia pocong memanggul sosok besar seorang berjubah tanpa kain putih penutup
kepala. Si manusia pocong menuruni tangga batu yang memiliki seratus undakan
dan membawanya ke tepi jurang.
“Wiro! Si
manusia pocong melemparkan orang yang dipanggulnya ke dalam jurang!” ucap Wulan
Srindi.
“Aneh!”
“Tidak
aneh kalau orang itu memang anggota barisan manusia pocong yang sudah mati,”
kat Wiro pula.
“Kalau
begitu yang jadi pertanyaan mengapa orang itu mati. Dibunuh?”
Manusia
pocong yang barusan melemparkan orang berjubah ke dalam jurang untuk beberapa
lama masih berdiri di tepi jurang. Dia mengomel sendiri karena orang yang
dilempar ternyata menyangsrang di antara kerapatan ranting dan kelebatan daun
pohon di dalam jurang, juga tertahan oleh sebuah cabang cukup besar. Sebelum
tinggalkan tepian jurang, sepasang matanya melirik ke seberang. Di balik kain
penutup kepala mukanya menyeringai. Dalam hati dia berkata,
“Yang
Mulia Ketua dan Wakil Ketua pasti senang jika kulapori sudah ada dua tokoh
rimba persilatan menyelinap ke bagian belakang markas.”
Tak ama
kemudian Wiro dan Wulan melihat manusia pocong tadi menaiki tangga, masuk ke
dalam pintu. Setelah itu pintu rahasia di dinding batu tertutup kembali.
“Saatnya
kita menyeberang ke sana.” Kata Wiro. Dia melangkah mendekati pohon besar yang
akan ditumbangkan dan dipergunakan sebagai jembatan untuk menyeberang. Tenaga
dalam dialirkan. Hawa sakti disalurkan ke tangan. Wiro lalu hantam bagian bawah
pohon dengan pukulan “Dewa Topan Menggusur Gunung”…
“Wuttt!”
“Braakkk!”
“Reeetttttt!
Bummmm!”
Pukulan
sakti pemberian Tua Gila dan Pulau Andalas itu menghancurkan bagian bawah pohon
besar, membongkar akar yang menjalar ke enam bagian tanah lalu masuk dengan
suara bergemuruh tumbang melintas di atas jurang.
Seperti
yang diperhitungkan Wiro, ujung pohon ternyata tidak sampai menyentuh pinggiran
jurang batu di seberang sana. Selain itu karena tumbangnya miring, jarak yang
terpaut menjadi Lebih jauh dan sepuluh langkah.
“Kau
siap?” tanya Wiro.
Wulan
Srindi mengangguk. Kedua orang itu kerahkan ilmu meringankan tubuh dan segera
meniti batang pohon yang melintang di atas jurang batu. Menjelang akan sampai
ke ujung pohon Wiro menyempatkan memandang ke bawah kanan, ke arah orang yang
tadi dilempar dan menyangsrang di atas pohon. Jaraknya hanya terpisah sekitar
dua jangkauan tangan. Dia bisa melihat sosok dan wajah orang itu. Gerakan
kakinya yang tengah meniti batang pohon serta merta terhenti. Wulan Srindi
hampir menabrak tubuhnya.
“Apa yang
kau lakukan? Mengapa berhenti mendadak? Gila! Kita bisa sama sama jatuh!”
teriak Si gadis.
“Orang
itu.” Ucap Wiro.
“Aku…aku
mengenalinya. Dia Hantu Muka Dua, mahluk dari negeri seribu dua ratus silam.
Coba kau perhatikan kepalanya. Di memiliki dua wajah. Satu di depan satu di
belakang. Saat ini wajahnya seperti kakek. itu bukan wajah aslinya. Dia dalam
ketakutan luar biasa.”
“Turut
keteranganmu, dia adalah musuh besarmu sewaktu berada di alam lain. Dia muncul
di alam kita untuk mengejar dan membunuhmu! Aku pernah cerita dan punya dugaan
kalau bangsat itu yang hendak memperkosa Bidadari Angin Timur! Lalu dia pula
yang menyeranq kita waktu di bukit batu.”
“Wulan,
semua yang kau katakan betul adanya.”
“Lalu
mengapa kau berhenti? Apa yang hendak kau lakukan?”
“Aku ingin
tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Jika manusia pocong melemparkannya ke
dalam jurang berarti dia bukan anggota barisan manusia pocong.”
“Belum
tentu. Bisa saja dia anggota yang berbuat salah besar lalu dibunuh dan mayatnya
dibuang ke dalam jurang.”
“Wulan,
manusia itu masih belum jadi mayat. Lihat, tangan kanannya bergerak gerak. Dia
berusaha mengangkat tangan, berusaha melambai ke arah kita. Mungkin dia ingin
minta tolong…”
“Perduli
setan! Orang jahat seperti dia kenapa diperdulikan? Biar dia mati nyangsrang di
atas pohon itu. Ayo jalan, Wiro! Kalau kita terus terusan berdiri di sini lama
lama batang pohon ini bisa melengkung dan roboh. Kita berdua bakalan mati
konyol jatuh ke dalam jurang!”
“Aku
tidak tega meninggalkannya. Aku bisa menolongnya.”
“Jangan
terlalu berbaik budi dengan seorang musuh besar. Keselamatan kita saja tidak
ada yang menjamin. Kau mau mauan menolong orang! Sudah gila apa!”
Wulan
mendorong bahu Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk kepala. Sesaat jadi bingung.
“Wulan,
Hantu Muka Dua pernah masuk ke dalam lorong kematian. Maksudku kita bisa
menanyainya. Mungkin dan dia kita bisa mendapat keterangan yang besar
manfaatnya.”
“Aku
pernah masuk ke lorong jahanam itu! Aku sudah ceritakan semua yang aku ketahui!
Di dalam lorong kematian ada beberapa tokoh yang perlu diselamatkan. Kau akan
ke lorong atau mau menolong bangsat satu itu?”
Wiro
tidak menjawab. Tiba tiba pemuda ini menjatuhkan diri ke bawah, bergayut pada
batang pohon.
“Benar
benar sableng! Apa yang kau lakukan, Wiro?” teriak Wulan Srindi.
“Aku
memberi jalan padamu! Lewatlah cepat! Tunggu aku di tangga batu.”
“Pendekar
goblok! Seumur hidup baru hari ini aku menyaksikan seorang pendekar mau maunya
menolong musuh besarnya! Kau akan mati karena ketololanmu sendiri!” Dengan
kesal Wulan Srindi tinggalkan Wiro, meniti batang pohon, bergerak hati hati di
sela sela ranting dan begitu sampai di ujung pohon dia Iesatkan diri, membuat
lompatan sejauh lima belas kaki lebih dan berhasil mendarat di undakan tangga
batu ke tiga.
Setelah
memperhatikan Wulan Srindi sebentar Wiro putar tubuhnya sedemikian rupa hingga
kini dia berada dalam keadaan duduk di cabang pohon. Dengan cepat dia buka baju
putihnya. Pakaian ini dibuntal demikian rupa hingga membentuk tali sepanjang
lebih sepuluh jengkal.
“Hantu
Muka Dua!” Wiro berteriak. “Kalau aku lemparkan ujung pakaian padamu, cepat
tangkap! Pegang kuat kuat. Aku akan menarikmu ke batang pohon ini!”
Hantu
Muka Dua tidak menjawab karena jalan suaranya berada dalam keadaan ditotok.
Wiro lemparkan pakaian putihnya yang kini berbentuk tali. Ujung pakaiannya
jatuh tepat di bahu kiri Hantu Muka Dua
“Hantu
Muka Dua! Tunggu apa lagi? Lilitkan ujung pakaian ke lenganmu. Pegang kuat
kuat! Kau akan aku tarik!”
Hantu
Muka Dua dengan wajah masih berupa kakek keriput hanya bisa menatap ke arah
Pendekar 212. Dua tangannya terkulai lemah di kedua sisi, sama sekali tidak
bisa digerakkan.
“Hantu
Muka Dua! Kau mendengar teriakanku! Cepat pegang ujung pakaian!” Wiro kembali
berteriak. Tak ada jawaban. Tak ada gerakan.
“Jangan
jangan mahluk itu sudah jadi mayat,” pikir Wiro.
“Tapi
tadi salah satu tangannya mampu digerakkan membuat lambaian. Atau mungkin dia
sudah pasrah, tak mau ditolong.” Di atas pohon sosok Hantu Muka Dua bergoyang
goyang menyangsrang terlentang. Penasaran Wiro tarik pakaiannya. Dalam hati ia
berkata.
“Lebih
baik aku mengikuti ucapan Wulan Srindi. Buat apa susah susah menolong mahluk
satu ini.” Perlahan lahan Wiro berdiri di atas cabang pohon.
Sebelum
beranjak pergi untuk terakhir kalinya dia melihat ke arah Hantu Muka Dua. Saat
itu dilihatnya tangan kanan mahluk dan negeri Lahtanahsilam itu bergerak
sedikit. Jari terkembang, telapak melambai.
“Edan!”
maki murid Sinto Gendeng. Namun rasa kasihan kembali muncul dalam hatinya.
Ujung pakaian dibuhul membentuk simpul cukup lebar. Simpul ini menyebabkan
kepanjangan tali buatan itu jadi berkurang. Wiro memperhatikan. Bagian tubuh
Hantu Muka Dua yang paling dekat adalah kaki kanannya yang terangkat ke atas.
Wiro lemparkan ujung tali berbentuk simpul ke anah tangan kiri itu. Meleset.
Tali jatuh ke bawah. Sekali lagi dicoba. Ujung tali tepat jatuh di kaki kiri
Hantu Muka Dua tapi simpul tidak masuk ke kaki. Wiro goyang goyangkan ujung
tali yang dipegangnya. Simpul bergerak turun. Begitu mencapai pergelangan kaki
kiri, dengan cepat Wiro menyentakkan hingga simpul menjerat keras.
“Mudah
mudahan saja tali dan baju butut ini cukup kuat untuk menahan tubuh tinggi
besar Hantu Muka Dua. Kalau sampai putus tamat riwayatnya.”
“Hantu
Muka Dua. Aku akan menarik tubuhmu!” Wiro berteriak memberi tahu. Duduk di atas
batang dengan dua kaki disilang merangkul batang pohon kuat kuat, Wiro
mempergunakan dua tangan untuk menarik Hantu Muka Dua. Jelas bukan pekerjaan
mudah melakukan hal itu. Salah salah Wiro sendiri bisa terseret oleh beban
berat dan amblas jatuh di dalam jurang. Namun herannya murid Sinto Gendeng ini
dapatkan ternyata tubuh Hantu Muka Dua yang besar dan tinggi itu enteng sekali.
Dia seperti menarik sebatang ranting pohon kering.
Begitu
sosok Hantu Muka Dua berada di dekatnya, Wiro sentakkan tangan kanannya hingga
Hantu Muka Dua terbetot dan jatuh tepat di atas bahu kanannya. Lagi lagi Wiro
dibuat heran. Tubuh Hantu Muka Dua yang tinggi besar itu terasa ringan hingga
Wiro mampu bergerak dan berdiri di atas batang pohon. Tidak ada waktu untuk
mencari tahu keanehan itu Wiro cepat meniti batang pohon yang membelintang di
atas jurang. Di ujung pohon dia membuat lompatan, melesat di udara dan melayang
turun di samping kin tangga batu seratus undak. Ketika memperhatikan ke arah
tangga batu di samping kanan, Wiro tersentak kaget. Wulan Srindi yang tadi
dilihatnya berada di undakan tangga batu ketiga kini tidak ada lagi di tempat
itu!
“Gadis
bengal. Pergi kemana dia?” pikir Wiro. “Wulan!”
Wiro
berteriak memanggil. Tak ada jawaban.
“Wulan!”
terlak Wiro lebih keras hingga suaranya menggema ke seantero tempat dan
bergaung di dalam jurang. Tetap tak ada jawaban. Wiro baringkan tubuh Hantu
Muka Dua di samping tangga batu. Dia lalu melompat ke atas tangga, memandang
berkeliling, mencari cari. Sekali lagi dia berteriak memanggil Wulan Srindi.
Tak ada jawaban, apalagi kelihatan sosoknya. Selagi Wiro kebingungan tiba tiba
terdengar suara suitan di kejauhan. Suara suitan ini disahuti oleh suitan lain
dan arah yang berbeda.
“Orang
orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian sudah mengetahui kehadiranku…” ucap
Wiro dalam hati. Dia melompat turun dari tangga batu, menghampiri Hantu Muka
Dua.
Rasa
cemas mulai menggerayangi diri murid Sinto Gendeng ini. “Tidak mungkin Wulan
Srindi pergi begitu saja. Kalau orang orang lorong membawanya kabur masakan aku
tidak melihat. Masakan dia tidak melakukan perlawanan…” Wiro memperhatikan
bagian dinding batu yang tertutup tumbuhan rambat. Lalu menyelidik ke tepi
jurang di depan tangga batu seratus undak.
“Gila!
Apa yang terjadi dengan gadis itu!” pikir Wiro.
Sambil
garuk garuk kepala dia mendekati Hantu Muka Dua kembali.
“Mahluk
Latanahsilam Hantu Muka Dua! Kita bertemu pada saat yang tidak karu karuan! Apa
yang terjadi denganmu?” Wiro ajukan pertanyaan.
Tenggorokan
Hantu Muka Dua bergerak turun naik.
Namun dan
mulutnya tak ada suara yang keluar. Tubuh tergeletak kaku. Wajah depan belakang
masih berupa wajah kakek keriput. Pertanda dirinya masih berada dalam ketakutan
besar. Mungkin sekali saat itu dia takut kalau Wiro akan menghabisi dirinya.
Maklum saja, silang sengketa permusuhan dan dendam kesumat dia dengan Wiro
sewaktu masih berada di negeri 1200 tahun silam luar biasa hebatnya. Tambahan
lagi beberapa waktu lalu dia sengaja hendak merusak kehormatan Bidadari Angin
Timur karena diketahuinya gadis itu adalah kekasih musuh besarnya itu.
Perbuatan keji yarg tidak kesampaian itu adalah salah satu cara dia membalaskan
dendam kesumat sakit hati terhadap Wiro. Dan kini dalam keadaan dirinya tidak
berdaya Wiro muncul di hadapannya. Selain takut amat sangat juga ada tanda
tanya besar dalam hati Hantu Muka Dua. Mengapa pemuda musuh besarnya itu mau
menyelamatkan dirinya.
*********************
4
Hantu
Muka Dua menatap Wiro dengan pandangan kosong. Mukanya depan belakang yang
berwujud kakek keriput tetap menunjukkan rasa takut amat sangat.
“Aku
bertanya kau tak menjawab. Apa kau tuli atau gagu?!” Wiro kembali membuka
mulut.
Hantu
Muka Dua masih tidak keluarkan jawaban.
Wiro
sandarkan mahluk dan negeri 1.200 tahun silam itu ke dinding batu. Karena kesal
waktu menyandarkan Wiro sengaja menghempaskan punggung Hantu Muka Dua ke
dinding batu. Tetap saja Hantu Muka Dua tidak bersuara tidak bergerak, kecuali
tenggorokannya yang turun naik. Wiro lalu perhatikan sekujur tubuh mahluk itu.
Periksa bagian leher serta singkapkan jubah putih di bagian dada orang. Tak ada
tanda tanda bekas totokan.
“Heran,
apa yang terjadi dengan mahluk sialan ini!” maki Wiro dalam hati. Lalu dia
ingat. Tubuh Hantu Muka Dua selain tinggi juga besar kekar. Namun mengapa
keadaannya luar biasa enteng? Untuk beberapa lama Wiro melangkah mundar mandir
sambil matanya terus mengawasi Hantu Muka Dua. Karena agak tertutup rambut
tanda itu nyaris tidak kelihatan kalau dia tidak memperhatikan dengan teliti.
Tanda itu menyerupai bekas telapak tangan dengan jari jari yang mengembang.
“Tanda
aneh”, ucap Wiro dalam hati.
“Kalau
ada orang sakti memukul kepalanya pasti kepala ini sudah hancur! Banyak hal
ingin aku tanyakan padanya. Bagaimana caraku membuat dia mampu bicara!”
Wiro
berlutut di hadapan Hantu Muka Dua. Dua jari tangannya ditusukkan ke beberapa
bagian tubuh mahluk dan negeri Latanahsilam itu. Sosok Hantu Muka Dua hanya
meliuk sedikit lalu kembali diam. Saking kesalnya Wiro kemudian pukul batok
kepala mahluk itu.
“Desss!”
Suara
seperti benda gembos terdengar bersamaan dengan mengkeretnya tubuh Hantu Muka
Dua. Kepala yang dipukul jatuh ke dada. Dada turun ke perut dan bagian perut
melosoh ke pangkal paha. Sesaat kemudian seperti lenturnya karet, kepala, dada
dan perut itu naik ke atas dan bentuknya kembali seperti semula. Murid Sinto Gendeng
sampai terperangah dan terduduk di tanah saking kagetnya melihat apa yang
terjadi.
“Mahluk
geblek! Ada yang tak beres dengan dirimu!” ucap Wiro. Lalu dia bangkit berdiri.
“Aku tak
punya waktu lama lama mengurusi dirimu!” Wiro hendak melompat ke alas tangga
batu.
“Huk…huk…hukkk…”
Tiba tiba
mulut Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti orang mau muntah.
“Nah,
nah! Akhirnya kau bersuara juga!”
“Hukkk…huk…hukkk…”
“Apa yang
terjadi dengan dirimu. Aku lihat kau dipanggul keluar dan balik dinding balu
ini lalu dilempar ke jurang. Apakah kau anggota Barisan Manusia Pocong Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian?!”
“Hukk…hukk!
Hukkk…”
“Tubuhmu
enteng sekali! Apakah…”
“Hukkk…huukkk…hukk!”
“Setan
alas! Apa kau lak bisa bicara lain selain hukk…hukk…hukk melulu?!” Saking
kesalnya Wiro tampar pipi kanan Hantu Muka Dua.
Saat itu
juga wajah Hantu Muka Dua depan belakang mendadak sontak berubah menjadi wajah
raksasa lengkap dengan taring mencuat. lnilah kehebatan dan keangkeran mahluk
dan negeri 1.200 tahun silam. Dua mukanya depan belakang bisa berubah sesuai
dengan perasaan yang menguasai dirinya yaitu muka wajar, muka takut, muka marah
dan muka nafsu.
“Nah,
nah! Kau ternyata masih punya perasaan! Tampangmu depan belakang berubah jadi
muka raksasa tanda kau lagi marah! marah padaku! Ha…ha…ha!” Wiro tertawa sambil
garuk garuk kepala.
“Hukkk…hukkkkk!”
Lagi lagi Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti orang mau muntah sementara
wajahnya perlahan lahan kembali berubah menjadi wajah kakek kakek dengan
sepasang mata memandang ke depan. Bersamaan dengan itu Wiro melihat mahluk ini
berusaha mengangkat tangan kanannya. Walau tergontai gontai, gerakan tangan itu
seperti berusaha menggapai sesuatu. Dua mata menatap ke depan, sayu tidak
berkesip.
Wiro
garuk garuk kepala. Dia memandang ke belakang, ke samping sambil bertanya tanya
dalam hati.
“Apa yang
diperhatikan mahluk ini? Ada sesuatu yang hendak dipegangnya. Apa?”
"Hantu
Muka Dua! Kau menghabiskan waktuku saja!”
Wiro
akhirnya melompat ke atas tangga batu, menaikinya hingga mencapai bagian
dinding yang tertutup tumbuhan merambat. Dia meraba kian kemari.
“Aneh,
jelas di bagian ini aku tadi melihat dinding batu terbuka menyerupai pintu!
Mengapa rata semua, tidak ada tanda tandanya?” Dengan jari jari tangannya Wiro
merenggut tumbuhan merambat dan kini dia berhadapan dengan dinding batu hitam,
kotor berlumut.
“Kalau di
sini ada pintu, berarti disini ada jalan masuk! Seberapa tebalnya dinding batu
ini. Kalau kuhantam dengan pukulan sakti masakan tidak jebol!”
Pendekar
212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan. Pukulan sakti yang
hendak dikeluarkannya adalah Segulung Ombak Menerpa Karang dengan pengerahan
tenaga dalam setengah dan yang dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh
Lima. Dua kaki tegak merenggang. Dua tangan perlahan lahan diangkat dan arah
pinggang ke atas lalu dihantamkan ke arah dinding batu hitam, tepat pada bagian
yang diperkirakannya merupakan pintu rahasia.
“Wutttt!
Wuttt!”
“Bummm!
Bummm!
Dinding
batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti menyebabkan gelegar panjang di dalam
jurang. Namun dinding batu tetap berdiri kokoh. Pukulan sakti yang dilepaskan
Wiro untuk menjebol dinding malah berbalik menghantam ke arahnya. Pendekar 212
berteriak kaget.
Darah
menyembur dan mulut. Tubuh mencelat mental ke belakang, ditunggu jurang batu
yang dalam!
Lapat
lapat dikejauhan terdengar suara perempuan bernyanyi.
Di dalam
lorong ada kesepian
Di dalam
kesepian ada kehidupan
Di dalam
lorong ada kesunyian
Di dalam
kesunyian ada kematian
Belum
lagi suara nyanyian sirap mendadak ada suara “Preett!” Suara orang kentut! Dan
seperti ada yang mendorong dan belakang, tubuh Pendekar Pendekar 212 yang akan
amblas masuk ke dalam jurang batu mental ke depan, jatuh terkapar di undakan
tangga batu ke delapan puluh dan delapan puluh satu. Wiro merasa sekujur
tubuhnya sebelah depan seperti remuk. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya
bisa tergeletak tak bergerak. Mulut meringis menahan sakit, mata setengah
terpejam. Ketika merasa ada cairan hangat dan asin di dalam mulut, murid Sinto
Gendeng ini sadar kalau dirinya telah terluka di dalam!
“Gila!
Kekuatan setan apa yang membalikkan pukulanku!” Walau menahan sakit namun otak
sang pendekar masih bisa bekerja.
Kekuatan
daya pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik menghantam dirinya itulah
yang membuat tubuhnya sebelah depan serasa remuk dan terluka di sebelah dalam.
Namun aneh dorongan keras dan arah belakang yang tak kalah hebatnya sama sekali
tidak membuatnya cidera.
“Ada
kekuatan Jahat dan arah depan menghantam tubuhku. Pasti datangnya dan arah
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Lalu kekuatan dan belakang yang
menyelamatkan diriku! Siapa? Orang yang kentut tadi?”
Wiro
memandang berkeliling. Tak ada siapa siapa kecuali Hantu Muka Dua yang masih
duduk tersandar ke dinding batu. Masih bisa garuk garuk kepala.
Wiro
semburkan ludah campur darah. Dengan menahan sakit dia berusaha bendiri dan
berteriak. “Siapa yang barusan kentut?!” Tak ada jawaban. Diperhatikannya
Hantu
Muka Dua. Mahluk ini masih tetap tak bergerak dan tempatnya semula, tersandar
ke dinding batu.
“Jelas
tadi aku mendengar suara orang kentut! Tak mungkin mahluk sialan satu ini yang
keluarkan angin!”
Wiro
mendadak sadar. Dia harus melakukan sesuatu untuk meredam luka dalam yang
dialaminya. Sang pendekar duduk bersila di tangga. Alirkan hawa sakti ke bagian
dada dan tarik nafas dalam lalu dilepaskan lagi.
Demikian
dilakukan berulang kali. Setelah itu sambil mengusap dada Wiro alihkan
pandangan ke dinding batu yang barusan dihantamnya dengan pukulan sakti. Mau
tak mau ada rasa bergidik di dalam hatinya. Pukulan Segulung Ombak Menerpa
Karang tidak mampu membobol dinding batu itu. Bahkan membekas sedikitpun tidak!
Kekuatan apa sebenarnya yang tersembunyi di balik dinding? Lalu suara perempuan
menyanyi tadi? Wiro berpikir pikir akan menghantam dinding batu dengan Pukulan
Sinar Matahari namun ada rasa kawatir, kekuatan gaib seperti tadi akan
membalikkan pukulan sakti itu lalu menghantam dirinya sendiri! Dia bisa benar
benar celaka! Malah mungkin mati konyol dengan sekujur tubuh hangus!
“Apa yang
harus aku lakukan? Bagaimanapun juga aku harus bisa masuk ke dalam sana! Dewa
Tuak ada di sana. Orang tua itu harus kuselamatkan. Kakek Segala Tahu dan juga
Wulan Srindi mungkin sekali ada di sana. Jahanam! Siapa sebenarnya penguasa
lorong kematian itu? Apakah ilmunya setinggi langit sedalam samudera?!
Berbahaya dan sulit dijajagi!”
Wiro
garuk garuk kepala berulang kali.
“Mungkin
aku harus menunggu sampai pintu rahasia terbuka dan ada orang keluar dan dalam
sana. Tapi sampai berapa lama aku musti menunggu sementara para tokoh dan
sahabat di dalam terancam keselamatannya? Gila betul! Wiro meludah lagi.
Ludahnya masih merah bercampur darah.
“Satu
satunya cara mungkin aku harus pergunakan ilmu itu. Sebelumnya aku pernah
kucoba. Tapi terhalang oleh Wulan Srindi Tak ada jalan lain. Rasanya saat ini
aku harus mengeluarkan ilmu itu” Wiro melompat turun dan tangga. Dia memilih
berdiri di sebelah kanan sementara Hantu Muka Dua berada di sebelah kiri tangga
batu.
Duduk
bersila di tanah Wiro pejamkan mata. Dua tangan diletakkan di atas paha kiri
kanan. Perlahan lahan dia mulai mengosongkan pikiran. Bersamaan dengan itu
jalan pendengarannyapun mulai ditutup. Dalam hati Wiro melafal Basmallah tiga
kali berturut turut. Lalu disusul dengan ucapan Meraga Sukma juga sebanyak tiga
kali. Apa yang tengah dilakukan oleh Pendekar 212 saat itu adalah menerapkan
imu kesaktian yang disebut “Meraga Sukma”. Dengan ilmu kesaktian ini raga atau
ujud kasarnya akan tetap tinggal sebagaimana biasa namun roh atau sukmanya akan
keluar dan dalam tubuh kasar. Sukma ini selanjutnya akan memiliki kemampuan
untuk masuk kemana saja walaupun terhalang dinding tebal. Atau menerobos masuk
ke satu tempat melalui lobang atau celah sekecil apapun.
Sebelumnya
Wiro hendak menerapkan iImu kesaktian ini ketika berada di depan goa yang
merupakan jalan masuk ke dalam 113 Lorong Kematian. Namun Wulan Srindi yang
tidak sabaran saat itu mengajaknya cepat cepat berlalu. Seperti diceritakan
dalam serial Wiro Sableng berjudul “Meraga Sukma” ilmu kesaktian langka ini
didapat Pendekar 212 dan! seorang sà kti di kawasan samudera selatan yang
dikenal dengan nama Nyi Roro Manggut.
Sesaat
setelah Wiro mengucapkan kata kata Meraga Sukma dalam hati, sekujur tubuhnya
terasa bergetar. Tidak seperti yang pernah kejadian sebelumnya, keringat
membasahi wajah dan badan. Beberapa saat berlalu. Di bawah tanah yang
didudukinya seolah ada bara api membakar. Wiro merasa pening. Ujud gaib atau
sukmanya tidak mampu keluar dan dalam tubuh kasar. Beberapa saat berlalu.
Saputan angin tencium menebar bau setanggi! Wiro merasa bulu tengkuknya
merinding. Akhirnya sang pendekar buka sepasang mata.
“Apa yang
terjadi? Aku tidak mampu menerapkan ilmu kesaktian itu. Mungkin ilmu itu sudah
lenyap, tak lagi aku miliki? Mengapa tengkukku terasa meninding? Biar kucoba
sekali lagi.”
Wiro
kembali duduk bersila penuh khidmat, kosongkan pikiran dan pendengaran.
Mengucapkan Basmallah dan Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Wiro merasa tubuhnya
enteng sekali. Mengira ilmu kesaktian itu akan berhasil dikeluarkannya mendadak
harumnya bau setanggi membucah seantero tempat. Lalu satu kekuatan dahsyat,
laksana angin topan datang dan arah dinding batu, menggemuruh melabrak dirinya!
Pendekar
212 berteriak kaget. Jatuhkan diri ke tanah tapi tetap saja kena disapu
hantaman angin hingga terguling kencang ke arah jurang. Sesaat lagi dirinya
akan tercebur ke dalam jurang, seperti tadi ada satu kekuatan aneh mendorong
tubuhnya hingga dia terlempar kembali ke depan dan terhenyak di tanah!
“Apa yang
terjadi dengan diriku! Mengapa aku tidak sanggup menerapkan ilmu kesaktian itu.
Siapa yang barusan menolongku,” ucap Wiro dengan dada turun naik dan nafas
tersengal.
Seperti
tadi ada rasa asin dalam mulutnya. Ketika dia meludah, ludahnya merah kental
bercampur darah. Dia terluka di bagian dalam kembali! Berubahlah paras murid
Sinto Gendeng ini. Hantaman kekuatan gaib tadi telah membuat dirinya cidera di
sebelah dalam untuk kedua kali!
“Dari
pada penasaran biar aku coba sekali lagi!” Kata Wiro dalam hati. Dia sengaja
pindah duduk ke bagian depan lain dan dinding batu. Dua tangan diletakkan di
ujung lutut. Mata dipejamkan. Pikiran dikosongkan dan jalan pendengaran
ditutup. Baru saja dia hendak melafalkan Basmallah, tiba tiba di depannya
terdengar suara angin menderu, lebih keras dan lebih dahsyat dan yang tadi
menghantam dirinya.
“Bocah
tolol! Memangnya kau punya nyawa berapa berani mengadu jiwa?!’ Tiba tiba ada
suara perempuan berteriak disusul tawa cekikikan. Bersamaan dengan itu Wiro
merasa rambut gondrongnya dijambak. Di lain saat dia sudah pindah duduk di atas
tangga batu pada undakan ke dua puluh empat. Ketika jambakan di kepalanya
terlepas, Wiro cepat berpaling. Dia tak melihat siapa siapa!
Tiba tiba
dia mendengar suara tawa cekikikan perempuan. Berpaling ke kanan Wiro tersentak
kaget ketika melihat siapa yang ada di arah sana.
“Nyi Roro
Manggut!” Seru Pendekar 212.
Seruan
Wiro disambut suara tawa cekikikan.
“Hik…hik…hik!
Pemuda sableng! Kau masih mengenali diriku! Heran, kenapa kau kelayapan sampai
jauh jauh kesini dan berpakaian cuma tinggal sepotong celana?!”
“Bajuku
dijadikan tali untuk menolong orang”, jawab Wiro. Lalu dia menimpali “Nek, aku
juga heran! Ngapain Nyi Roro sendiri ikutan keluyuran bersamaku sampai di
sini!”
Ucapan
Wiro disambut orang dengan tawa panjang.
“Weleh!
Siapa yang ikutan kamu datang kesini”
Walau
luka dalamnya cukup parah dan sekujur tubuh sakit bukan main, Wiro yang tidak
mau melupakan sopan santun serta peradatan cepat melompat turun dan atas tangga
batu, terbungkuk bungkuk menjura di hadapan satu sosok nenek bertubuh cebol.
Sepasang matanya besar jernih tapi juling. Muka yang berkulit keriput dihias
sebuah hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
“Nyi
Roro, terima salam hormatku. Apa kau yang tadi menolongku tapi juga sekaligus
menebar kentut prat pret prat pret?!”
“Enak
saja kau bicara! Kentutnya bau apa tidak?” Si nenek bertanya sambil kepalanya
termanggut manggut.
Wiro
garuk kepala lalu mendongak, hidung mengendus endus.
“Tidak
Nyi Roro. Kentutnya tidak bau,” jawab Wiro pula.
“Kalau
kentutku pasti bau! Berarti bukan aku yang kentut!”
“Lalu…?!”
*********************
5
Nenek
berambut putih yang disanggul di atas kepala sunggingkan senyum. Kepala
mengangguk angguk seperti orang kesedakan. IniIah Nyi Roro Manggut. Orang
kepercayaan Nyi Roro Agung, penguasa samudera kawasan selatan. Nenek sakti
inilah yang memberikan ilmu Iangka Meraga Sukma kepada Wiro dengan Ratu Duyung
yang sebelumnya juga adalah penghuni samudera selatan.
“Yang
menolongmu memang aku! Tapi soal kentut jangan menuduh diriku!” Si nenek
menjawab.
Wiro
garuk kepala. “Berarti kakek yang punya dua muka itu yang kentut?!”
Nyi Roro
Manggut menoleh ke arah Hantu Muka Dua yang sampai saat itu masih menjelepok di
tanah, duduk tersandar ke dinding batu.
“Bau
mahluk itu terasa aneh. Menyembunyikan banyak rahasia. Aku mencium bahaya besar
dibalik dua wajahnya yang menyeramkan. Matanya menatap kosong namun dibalik
kekosongan itu dia seolah melihat sesuatu. Jari jari tangan kanannya bergetar.
Ingin digerakkan, ingin diangkat karena hendak berusaha mengambil sesuatu. Dia
orang yang katamu kau tolong dengan mengorbankan baju bututmu?!”
“Kau suka
padanya?”
“Bocah
geblek!” Nyi Roro Manggut berteriak marah.
Matanya
sampai mendelik besar.
Wiro
tertawa dan seenaknya menggoda lagi. “Dia bukan mahluk sembarangan, Nek. Kalau
mukanya dua berarti anunya juga dua. Siapa yang ha ha hi hi dengan dia pasti
puas!”
“Anak
kurang ajar! Apa maksudmu dengan kata kata ha ha hi hi itu?!”
“Maaf
Nek,” jawab Wiro sambil nyengir. “Aku hanya bergurau.”
“Benar
benar sableng! Kau tengah menghadapi urusan besar! Masih bisa bergurau!” Kepala
si nenek tersentak sentak, dagunya manggut manggut. Wiro garuk garuk kepala.
“Nyi
Roro, apakah kau tahu kita berada di mana?”
“Kau yang
akan menerangkan padaku.” Jawab Nyi Roro Manggut.
“Di balik
dinding batu ini ada satu tempat yang disebut Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Lorong ini merupakan sarang dan gerombolan orang yang dikenal sebagai
manusia pocong….”
“Manusia
ya manusia. Pocong ya pocong! Mana ada manusia sekaligus pocong….”
“Maksudku….”
“Sudahlah,
aku lebih tahu dari kamu!” potong Nyi Roro Manggut.
“Kalau
begitu kau bisa menolongku”, kata Wiro cepat.
Kepala si
nenek menggangguk angguktapi ini bukan merupakan gerakkan tanda dia mengiyakan
ucapan Wiro.
“Aku
muncul di sini bukan untuk menolongmu!”
“Lalu….?”
tanya Wiro sambil garuk kepala.
“Aku
mencari seseorang.”
“Siapa
Nyi Roro?”
“Apa
perlumu mencari tahu?!” sentak si nenek.
“Bukan
maksudku lancang, Nyi Roro. Tapi… sudahlah. Walau kau tak mau memberi tahu aku
sudah bisa menduga siapa orang yang kau cari itu.”
“Siapa?”
Kini Nyi Roro Manggut yang balik bertanya.
“Apa
perlu aku memberi tahu?!” Wiro menggoda sambil senyum senyum.
Dan balik
pinggang celananya Wiro mengeluarkan sebuah kaleng butut lalu digoyang hingga
mengeluarkan suara berkerontang. Berubahlah paras Nyi Roro Manggut.
“Kau
memegang kaleng miliknya. Orangnya dimana?”
Suara si
nenek agak tercekat ketika mengajukan pertanyaan. Wiro lalu menuturkan riwayat
bagaimana dia mendapatkan kaleng milik Kakek Segala tahu itu. Termasuk penemuan
kuburan tak jauh dan sebuah jurang. Air muka Nyi Roro Manggut menunjukkan rasa
kawatir. Terlebih setelah Wiro mengatakan dugaan bahwa besar kemungkinan Kakek
Segala Tahu telah diculik oleh orang orang 113 Lorong Kematian.
“Aku
kawatir apakah dia masih hidup. Berikan kaleng itu padaku.” Kata Nyi Roro
Manggut pula.
Wiro
serahkan kaleng milik Kakek Segala Tahu kepada si nenek dan Nyi Roro Manggut
lalu memegang kaleng itu dengan kedua tangan. Mata dipejamkan, kepala yang
termanggut manggut sedikit diangkat ke atas. Sesaat kemudian mulutnya berucap
perlahan.
“Aku
merasa ada sedikit hawa hangat. Dia masih hidup. Tapi keadaannya sangat
sengsara…” Nyi Roro Manggut tarik nafas panjang lalu buka kedua matanya. Sesaat
dia pandangi yang ada di dalam pegangan tangan kanannya. Kaleng berisi batu
batu kerikil digoyang. Wiro hendak mencegah tapi terlambat. Suara kerontangan
kaleng menggema ke suluruh penjuru, menggaung sampai ke dalam jurang. Tanah,
dinding dan tangga batu seratus undak bergetar!
Tiba tiba
Nyi Roro Manggut terpekik. Satu sambaran angin keras membuat kaleng yang
dipegangnya mencelat mental dan jatuh ke dalam jurang. Si nenek sendiri ikut
tersapu terpental namun dengan jungkir balik di udara sambil dorongkan dua
tangan ke depan dia berhasil menahan hantaman angin dahsyat dan melayang turun,
injakkan kaki di tanah.
“Luar
biasa kekuatan gaib itu”, ucap si nenek bertubuh cebol ini.
“Nyi
Roro, kita berdua harus bisa masuk ke dalam lorong….”
Nyi Roro
Manggut menggeleng. “Aku terlalu jauh berada dan dalam asalku. Selain itu
kekuatan gaib yang ada di dalam lorong tak mungkin kusentuh….”
“Kalau
kau saja berkata begitu bagaimana aku?” ujar Wiro pula.
“Tadi aku
mencoba mengeluarkan ilmu Meraga Sukma untuk bisa menembus masuk ke dalam
lorong. Tapi gagal. Aku mencium bau setanggi. Malah ada satu kekuatan dahyat
kemudian menghantamku. Apakah aku telah kehilangan ilmu yang kudapat darimu itu
Nyi Roro?”
Si nenek
menggeleng.
“Tidak,
kau masih memiliki ilmu kesaktian itu. Namun seperti penjelasanku dulu sewaktu
ilmu itu aku berikan. Ada kemungkinan suatu saat kau tidak bisa menerapkan ilmu
itu. Ingat, semua apa yang kita miliki, semua kepandaian dan kesaktian yang
dipunyai manusia keampuhannya sangat tergantung pada kuasa dan ridhonya Gusti
Allah. Selain itu di tempat ini ada satu kekuatan dahsyat dan alam lain yang
sulit ditandingi. Kekuatan itu merupakan kekuatan roh! Dan roh paling suka bau
setanggi!”
“Kalau begitu
tidak ada yang bakal bisa menembus masuk ke dalam lorong kematian untuk
menyelamatkan perempuan perempuan hamil dan para tokoh yang diculik. Aku
kawatir Wulan Srindi saat ini juga menuju ke sini. Aku tidak tahu berada dimana
mereka sekarang. Jangan jangan….”
Nyi Roro
Manggut terdiam sesaat. Kemudian mulutnya berucap perlahan.
“Kekuatan
roh hanya bisa ditandingi oleh roh pula. Tapi, mungkin ini semua sudah kehendak
Gusti Allah….”
“Tidak
bisa! Kita tidak bisa berkata seperti itu Nyi Roro! Apapun yang terjadi aku
harus bisa masuk ke dalam lorong. Kalau tidak bisa lewat jalan rahasia di
tempat ini aku akan kembali ke bagian depan bukit batu dan memasuki lorong dan
mulut gua. Tidak perduli aku akan tersesat dan menemui ajal di dalam lorong!”
Melihat
Nyi Roro Manggut diam saja Wiro jadi penasaran.
“Nyi
Roro, kau orang sakti. Mustahil kau tidak bisa memberi pertolongan. Atau
mungkin cuma berupa petunjuk. Tadi kau sendiri telah menyelidiki. Kakek Segala
Tahu ada dalam lorong. Keadaannya mengawatirkan. Apakah kau tidak ingin
menolongnya?”
Bukannya
menjawab si nenek malah balik bertanya.
“Ketika
kau berkunjung ke tempatku di dasar samudera. Setelah aku memberikan Ilmu
Meraga Sukma, sebelum kau pergi aku pernah menitipkan sebuah kipas padamu.
Dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Apakah kipas itu sudah kau
berikan padanya?” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Meraga Sukma”)
Wiro
terkejut. Dia meraba pinggang celana sebelah kanan. Lalu beralih ke pinggang
kiri. Dia menemukan benda yang dicarinya. Sebuah kipas kayu cendana
dikeluarkannya dan balik pinggang celana. Wiro garuk garuk kepala.
“Anu Nek,
kipasnya masih ada padaku. Aku tidak ingat. Tapi kalau tidak keliru sampai saat
ini aku belum sempat bertemu dengan Kakek Segala Tahu. Kau ingin mengambil kipas
ini kembali?”
Nyi Roro
Manggut kelihatan kecewa tapi masih bisa tersenyum.
“Kemarikan,
biar kupegang sebentar kipas itu,” katanya.
Kipas
kayu cendana diambil lalu dikembangkan. Di sebelah dalam kipas itu penuh dengan
ukiran bagus sekali. Di bagian tengah kipas ada gambar seorang pemuda gagah dan
seorang gadis cantik. Nyi Roro letakkan kipas itu di atas kening, mata dipejam
dan mulut komat kamit entah merapal apa. Tiga larik sinar biru berpijar lima
kali berturut turut dari kepala Nyi Roro ke badan kipas. Kipas kemudian
diserahkan kembali pada Wiro.
“Simpan
saja, kalau bertemu berikan pada orangnya.”
“Nyi
Roro, maafkan aku karena lalai memenuhi pesanmu…” Wiro masukkan kipas kayu
cendana ke balik pinggang celana.
“Huk…huk…huk…huk!”
Di
dinding batu sebelah sana Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti mau muntah.
Nyi Roro melirik, Wiro berpaling.
“Nyi
Roro, tadi kau berkata. Orang itu melihat sesuatu dan ingin mengambil sesuatu
itu. Sebelumnya aku memang melihat sikapnya yang aneh itu. Kalau kau mau
menerangkan apakah yang dilihatnya itu.”
“Mengapa
tidak kau tanyakan sendiri padanya?”
“Tubuhnya
kaku, mulutnya gagu”.
“Dia
tidak gagu. Hanya lidahnya kena dikancing orang.”
“Maksud
Nyi Roro?”
“Sudahlah….”
“Nyi
Roro, maukah Nyi Roro menyempatkan diri memeriksa keadaan orang itu barang
sebentar? Nyi Roro saksikan sendiri walau tubuhnya terkulai lemah perawakannya
tinggi dan besar. Tapi ketika aku menolong dan memanggulnya, tubuhnya seenteng
kertas! Kalau dia bisa dibikin bicara mungkin banyak rahasia di dalam lorong yang
bisa kita ketahui…”
“Begitu….?”
Nyi Roro
manggut manggut lalu melangkah mendekati Hantu Muka Dua. Wiro mengikuti. Di
hadapan Hantu Muka Dua nenek cebol itu berdiri memperhatikan. Dia melihat tanda
berupa.
Telapak
dan jari jari tangan di atas kepala Hantu Muka Dua. Si nenek geleng geleng
kepala.
“Turut
apa yang aku lihat, orang ini bukan mahluk dan alam kita…”
“Kau
benar Nyi Roro, dia datang dan negeni seribu dua ratus tahun silam…”
“Dia
memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Tapi sekarang ilmunya itu sudah lenyap.
Dirampas orang dengan cara menyedot lewat kepala. Lihat tanda telapak tangan
dan lima jari di kulit kepalanya. itu menyebabkan tubuhnya sekujur tubuhnya
menjadi sangat lemah dan berubah menjadi enteng. Mahluk lain pasti sudah amblas
nyawanya disedot begini rupa.”
“Kau tahu
siapa yang menyedot ilmu kesaktiannya itu, Nyi Roro?” tanya Wiro.
Si nenek
cebol tidak menjawab. Melainkan ulurkan tangan kiri dan cekik tenggorokan Hantu
Muka Dua kuat kuat.
“Hueekkkk!”
Mulut
Hantu Muka Dua terbuka lebar seperti mau muntah. Mata mendelik. Lidahnya
terjulur. Pendekar 212 Wiro Sableng melengak kaget sampai tersurut satu
langkah! Lidah yang terjulur panjang itu ternyata berada dalam keadaan
terbuhul!
“Itu yang
membuat dia tidak bisa bicara!” Menjelaskan Nyi Roro Manggut.
“Bagaimana
sampai lidahnya jadi seperti ini?”
“Akibat
sedotan dahsyat di kepalanya.”
Nyi Roro
Manggut cabut jepitan kayu pada rambutnya yang dikonde hingga konde terlepas
dan rambutnya yang putih sepinggang tergerai ke bawah. Dengan jepitan kayu itu
kemudian mengait lidah Hantu Muka Dua sampai terlepas. Tenggorokan Hantu Muka
Dua turun naik. Mulutnya mengeluarkan suara mendesah panjang berulang kali.
Lidahnya terluka. Mukanya depan belakang berubah ubah beberapa kali. Sesaat
merupakan wajah kakek keriput, dilain kejap berupa muka raksasa bercaling.
Nyi Roro
buang ke tanah jepitan kayu bernoda darah yang tadi dipakai membuka buhulan
lidah Hantu Muka Dua.
“Nyi
Roro, kau tahu siapa yang melakukan penyedotan itu?” Wiro ulangi pertanyaannya
tadi.
“Roh?”
Wiro mengulang heran sambil garuk kepala.
“Benar.
Dan kau akan kawin dengan roh itu!”
Murid
Sinto Gendeng tersentak kaget.
“Nyi
Roro, jangan kau bergurau. Mana ada manusia kawin dengan roh.”
Si nenek
cebol tersenyum.
“Aku
tahu, kau menyimpan secarik kain di dalam kantong hitam yang tergantung di
pinggangmu. Kau pernah membacanya…,”
“Eh,
bagaimana kau tahu perihal kain itu?’ Wiro menggaruk kepala. “Kain itu memang
ada tulisannya. Aku pernah membacanya….”
“Sudah
keluarkan saja dan baca sekali lagi apa yang tertulis disitu.” Kata Nyi Roro
dengan kepala terangguk angguk.
*********************
6
Wiro
mengeruk kantong kain di pinggang yang dipergunakan sebagal tempat menyimpan
batu sakti hitam pasangan Kapak Naga Geni 212. Di kantong itu pula dia
menyimpan secarik kain putih yang di dapatnya terselip di bawah caping milik
Kakek Segala Tahu.
“Baca
yang keras biar aku bisa mendengar,” kata Nyi Roro Manggut pula.
Wiro
mulai membaca.
Batas
antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan
Kehidupan
yang terjadi tanpa Izin Yang Kuasa
Akan
menimbulkan bencana malapetaka dimana mana
Jika
kehidupan pertama tidak dimusnahkan
Rimba
persilatan akan kiamat
Dalam
kiamat tangan tangan jahat akan menjadi penguasa
Darah
mengalir sederas air sungai di musim hujan
Nyawa
tiada artinya lagi
Hanya
pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat
Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan
Nikahkan
dia dengan seorang perjaka
Jika pemilik
nyawa kedua seorang laki laki
Nikahkah
dia dengan seorang perawan
Pernikahan
adalah sesuatu yang sakral
Dalam
kesakralan ada kesucian
Dalam
kesucian ada jalan untuk selamat
Maka
kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan
“Bagaimana?”
tanya Nyi Roro Manggut.
“Apanya
yang bagaimana, Nek?” balik bertanya Wiro.
Nenek
cebol tertawa lebar hingga hidungnya yang pesek penyet benar benar jadi sama
rata dengan pipi kiri kanan.
“Kau
sudah siap?” Kembali Nyi Roro bertanya yang membuat Wiro tambah heran.
“Siap?
Siap apa?”
Nyi Roro
tertawa cekikian. “Aku bertanya apa kau sudah siap nikah dengan roh?”
Wiro
terperangah. Sambil garuk garuk kepala murid Sinto Gendeng ini berkata.
“Dengan
gadis manusia
sungguhan
saja aku belum sempat dan belum tentu mau nikah. Apalagi dengan roh!” Lalu sang
pendekar tertawa sendiri.
“Kau
tahu, tulisan di atas kain putih itu bukan sembarangan tulisan dan dibuat oleh
orang yang juga bukan sembarangan. Seseorang telah memberikan kain itu pada
Kakek Segala Tahu. Aku tidak tahu siapa orangnya! Tapi semua tujuan adalah
untuk memusnahkan mahluk mahluk jahat yang gentayangan seperti pocong! Kain itu
menjadi rebutan beberapa tokoh, termasuk manusia manusia pocong penguasa
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Mereka ingin tahu apa yang tertera di situ
lalu mencari penangkalnya. Bocah sableng. Kau tahu, satu satunya jalan untuk
menghancurkan mereka adalah melalui pernikahanmu dengan roh yang ada di dalam
lorong…”
“Roh
perempuan…?” tanya Wiro.
“Tentu
saja roh perempuan! Apa kau mau kawin dengan laki laki sejenismu juga?” tukas
Nyi nora Manggut lalu tertawa cekikikan.
Wiro
garuk garuk kepala.
“Maksudku
masuk ke dalam lorong adalah untuk menyelamatkan perempuan perempuan yang
diculik. Termasuk para sahabat dan para tokoh.”
“Kau
tidak akan mampu melakukan itu karena kau tidak sanggup menghadapi kekuatan
roh. Buktinya kau tidak sanggup menjebol dinding batu yang ada pintu rahasianya
itu! Dengar bocah sableng, satu satunya cara adalah melumpuhkan roh itu hanya
dengan cara menikahinya.”
“Gila!
Aku tidak mau!” ucap Wiro sambil mengusap tengkuknya yang mendadak menjadi
dingin dan merinding.
“Jadi kau
tidak mau masuk ke dalam lorong? Membatalkan semua rencana?”
“Bukan
tidak mau masuk ke dalam lorong! Tapi tidak mau nikah dengan roh!”
“Anggap
saja nikah dengan gadis sungguhan.”
Wiro tak
bisa menjawab lagi. Malah kini dia jadi tertawa gelak gelak.
“Syukur “
katanya Nyi Roro Manggut pula.
“Syukur
apa Nek?”
“Kau
tertawa gelak gelak. Tandanya kau senang dan suka nikah dengan roh!”
Wiro mencibir
dan keluarkan suara seperti orang kentut dari mulutnya.
“Prett!”
Ada yang
membalas. Dengan kentut sungguhan! Wiro kaget, memandang berkeliling. Dia tidak
melihat orang lain di tempat itu, Nyi Roro tertawa cekikikan. Wiro pandangi
nenek ini. Dia tahu bukan Nyi Roro yang barusan kentut. Lalu siapa?
“Sudah,
segala kentut kau urusi.” Kata Nyi Roro pula.
“Kau
tidak punya waktu banyak. Kau harus segera masuk ke dalam Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian. Tadi kau bertanya padaku mengenai mahluk bermuka dua itu.
Walau tubuhnya sangat lemah, kurasa sekarang dia sudah bisa bicara.”
“Aku
memang banyak pertanyaan untuknya,” sahut Wiro lalu mendatangi Hantu Muka Dua.
Begitu sampai di hadapan Hantu Muka Dua Wiro bukannya ajukan pertanyaan tapi
justru mendamprat mahluk dan negeri latanahsilam itu.
“Nenek
itu sudah menolong membuka buhul lidahmu! Apakah kau tidak punya adat tidak
tahu diri untuk mengucapkan terima kasihmu padanya?”
Hantu
Muka Dua batuk batuk. Mukanya depan belakang masih berupa muka kakek kakek
keriput pertanda masih ada rasa takut menghinggapi dirinya. Mendengar kata kata
Wiro tadi ia segera menggeser tubuh, lalu masih dalam keadaan duduk dia
bungkukkan tubuh ke arah Nyi Roro Manggut dan keluarkan ucapan.
“Nyi
Roro, aku Hantu Muka Dua dan negeri Latanahsilam sangat berterima kasih padamu.
Kau telah melepaskan siksa diriku dan lidah yang terkancing.”
Walau
sudah bisa bicara namun suara Hantu Muka Dua perlahan sekali karena tubuhnya
sangat lemah. Nyi Roro Manggut pencongkan mulut lalu melirik pada Wiro.
Hantu
Muka Dua kemudian putar tubuhnya menghadap ke arah Wiro. Kembali dia
membungkukkan badan lalu berkata
“Aku juga
sangat berterima kasih padamu. Aku sudah tewas kalau bukan kau yang menolongku.
Mengingat perseteruan kita di negeri Latanahsilam, aku sungguh tidak mengerti
mengapa kau mau mengorbankan nyawa menyelamatkanku.”
“Semua
silang sengketa di negerimu sudah berlalu. Kau sekarang berada di alam lain.”
Jawab Wiro.
“Ketika
kau terdesak melawanku, dua manusia pocong muncul menolongmu. Kau dilarikan ke dalam
lorong. Apakah kau salah seorang dari mereka? Mungkin juga kau biang kerok
pimpinan Barisan Manusia Pocong mahluk celaka itu!”
Hantu
Muka Dua gelengkan kepala. Tampang kakek keriputnya tampak tegang. “Aku bukan
anggota Barisan Manusia Pocong. Apalagi pimpinannya. Mereka menculik aku…”
“Perlu
apa mereka menculik dirimu?” yang bertanya Nyi Roro Manggut.
“Semula
aku juga tidak mengerti. Ternyata mereka punya maksud jahat. Mereka membawa aku
menemui seseorang yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu.”
Wiro dan
Nyi Roro saling pandang.
“Jadi
Yang Mulia Sri Paduka Ratu itu rupanya yang jadi pimpinan Barisan Manusia
Pocong.” Ujar Wiro sambil rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Nyi Roro
tegak angguk anggukkan kepala.
“Turut
apa yang aku lihat sang Ratu bukanlah pimpinan Barisan Manusia Pocong. Ilmunya
memang luar biasa tapi dia berada di bawah kekuasaan dan perintah yang disebut
Yang Mulia Ketua. Selain itu ada lagi yang dipanggil dengan sebutan Wakil
Ketua. Dia punya kebiasaan mengeluarkan suara berdecak ck. . .ck.. .ck.”
“Kau
melihat wajah wajah semua orang itu? Tahu siapa mereka?”
Hantu
Muka Dua gelengkan kepala. Semua mahluk yang ada dalam lorong mengenakan jubah
putih dan kain penutup kepala putih. Termasuk yang dipanggil dengan sebutan
Ratu.
“Kau
dibawa menghadap Ratu. Apa yang kemudian terjadi?”
“Ratu
menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang ada di tubuhku’” jawab
Hantu Muka Dua.
Lalu dia
tundukkan kepala memperlihatkan bekas telapak tangan dan jari jari sang Ratu di
kulit kepalanya.
Murid
Sinto Gendeng raba tengkuknya sendiri, lalu berbisik pada Nyi Roro.
“Kalau
yang namanya Ratu itu kerjanya hanya menyedot tenaga dalam dan kesaktian orang,
dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam dan ilmu kesaktian yang kini
dimilikinya. Sudah berapa orang saja yang kena disedotnya? Bagaimana mungkin
hal itu bisa terjadi? Dia bukan pimpinan Barisan Manusia Pocong. Mengapa
disuruh menyedot tenaga dalam dan ilmu kesaktian orang?”
“Aku
punya dugaan, di balik semua kejadian ini ada satu rahasia besar. Ada satu
kejadian luar biasa yang akan meluluh Iantakkan rimba persilatan tanah Jawa.
Tokoh Seratus Tiga Belas Lorong Kematian mempergunakan tangan orang untuk
melaksanakan hal itu. Mungkin Yang Mulia Sri Paduka Ratu itu. Dan firasatku
mengatakan Ratu itulah yang bakal jadi calon jodoh untuk dinikahkan dengan
dirimu!”
“Apa
Nek?” tanya Wiro dengan mata terbelalak. Nyi Roro hanya senyum senyum.
“Turut
keteranganmu tadi yang akan nikah dengan aku adalah sebangsa roh. Sekarang
ternyata malah muncul seorang Ratu.”
“Bocah
tolol. Yang namanya Roh itu bisa saja nyangsrang di pohon, nempel di batu, main
air di sungai atau masuk ke dalam tubuh manusia hidup atau yang sudah mati,
atau nemplok di pantatmu! Hi…hik…hik!”
“Aku
tidak mengerti…” Wiro garuk garuk kepala. Dia mendekati Hantu Muka Dua dan
bertanya. “Setelah Ratu menyedot tenaga dalam dan kesaktianmu, apa yang
kemudian terjadi?”
“Wakil
Ketua memerintah seorang Satria Pocong membuang diriku ke dalam jurang di
belakang markas. Masih untung aku tidak amblas jatuh sampai ke dasar jurang.
Tubuhku tersangkut menyangsrang di pohon sampai kau muncul menyelamatkan
diriku. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu…”
“Aku
sempat melihat kau dipanggul keluar dan pintu rahasia di dinding sana. Apa yang
kau ketahui mengenal pintu itu?” tanya Wiro pula.
“Pintu
batu penuh rahasia. Hanya bisa dibuka dan dalam lewat satu kekuatan gaib. Tidak
ada satu kekuatan lain yang bisa membuka pintu dan menjebol pintu itu dan
luar…”
“Selain
Ketua, Wakil Ketua dan Ratu ada berapa banyak manusia pocong di dalam lorong?”
“Aku
tidak tahu pasti. Mungkin beberapa orang saja. Bolak balik aku hanya melihat
Wakil Ketua dan seorang bawahannya.” Jawabnya Hantu Muka Dua.
Wiro
garuk garuk kepala.
“Coba kau
ingat ingat. Selama kau berada di dalam lorong mungkin ada hal atau peristiwa
lain yang terjadi? Atau mungkin kau bertemu orang lain yang jadi tawanan.
Mungkin juga melihat perempuan perempuan bunting?”
“Waktu
aku dibawa dan dijebloskan dalam ruangan batu, aku melihat deretan kamar
berpintu besi. Lalu masuk seorang perempuan bunting. Dia mencekoki aku dengan
sejenis minuman. Kalau aku tidak salah minuman itu disebut Minuman Selamat
Datang. Konon siapa saja yang meneguk minuman itu akan lupa diri dan akan
tunduk seperti kerbau dipasung. Dalam setiap hal mereka selalu mengumandangkan
ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia
Ketua seorang yang wajib dicintai! Ternyata minuman itu tidak mempan padaku.
Aku lalu ditotok. Aku berada dalam keadaan kaku ketika Ratu menyedot tenaga
dalam dan ilmu kesaktian yang ada dalam diriku”
*********************
7
Wiro
geleng geleng kepala. Nyi Roro manggut manggut.
“Sudah?
Hanya itu saja yang bisa kau ceritakan? Atau. ..“
“Ada satu
kejadian lain,” kata Hantu Muka Dua pula.
“Sewaktu
aku dipanggul dalam perjalanan ke tempat Ratu…”
“Tunggu,”
memotong Nyi Roro. “Kau bilang dibawa ke tempat Ratu. Apakah tempat itu di
dalam markas, di dalam lorong atau Ratu punya tempat tersendiri?”
“Ratu
punya kediaman sendiri. Letaknya di seberang sebuah lembah kecil. Berbentuk
satu rumah panggung berwarna putih. Di bawah atapnya ada sebuah genta besar…”
“Ah. .
.Suara genta itu rupanya suara aneh yang pernah aku dengar beberapa kali…” Ucap
Wiro. “Hantu Muka Dua, teruskan keteranganmu.”
“Sewaktu
aku dipanggul menuju tempat kediaman Ratu, di dalam lorong terjadi satu
kehebohan. Seorang gadis culikan lenyap dan kamar ketiduran Ketua Barisan
Manusia Pocong.”
Air muka
murid Sinto Gendeng jadi berubah.
“Kau tahu
siap adanya gadis itu?”
“Turut
ucapan Wakil Ketua dan seorang bawahannya gadis itu adalah murid seorang tokoh
silat yang diculik. Tokoh itu kalau aku tidak salah berjuluk Dewa Tuak.”
“Anggini!”
seru Wiro.
“Gadis
itu pasti Anggini! Kurang ajar! Kalau manusia manusia pocong itu berani
menyentuh Anggini aku bersumpah akan membunuh dan mencincang lumat tubuh mereka
semua!”
“Wiro,
waktu kita tidak banyak. Ada lagi yang ingin kau tanyakan padanya?”
“Aku
memperhatikan gerak gerikmu. Nyi Roro tadi juga menyebutkan. Kau pernah
bersikap seperti melihat sesuatu. Tanganmu berusaha menggapai. Apa yang
sebenarnya terjadi?”
Sepasang
mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segi tiga hijau berputar. Setelah batuk
batuk beberapa kali dan mukanya menjadi merah, baru mahluk ini keluarkan
ucapan.
“Keselamatan
diriku. Aku melihat sebuah benda yang bisa menyelamatkan diriku dari keadaan
seperti sekarang ini.” Suara Hantu Muka Dua perlahan sekali sehingga Wiro
terpaksa membungkuk dan dekatkan telinganya ke mulut orang.
“Kau
melihat benda yang bisa menyelamatkan dirimu. Benda apa? Dimana kau
melihatnya?” Tanya Wiro sementara Nyi Roro Manggut memperhatikan sambil
rangkapkan dua tangan di atas dadanya.
“Berbentuk
cahaya putih…”
Wiro
menggaruk kepala. “Kau tidak tahu benda apa itu?”
“Tidak
jelas karena mataku silau terkena cahayanya. Tampaknya seperti… mungkin seperti
ikat pinggang dalam keadaan tergulung.”
“Benda
putih. Bercahaya. Seperti gulungan ikat pinggang…” Wiro ulangi ucapan Hantu
Muka Dua. Sulit dia menduga benda apa yang sebenarnya dilihat Hantu Muka Dua
itu. Kalau cuma sebuah ikat pinggang, kesaktian apa yang ada di dalamnya hingga
mampu menyelamatkan Hantu Muka Dua dan keadaannya yang sekarang.
“Kau
melihat benda itu dimana?” Wiro ajukan pertanyaan.
“Di dalam
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Jangankan memiliki jika aku bisa menyentuh
saja benda itu, semua tenaga dalam dan kesaktianku yang hilang akan kembali.”
“Luar
biasa,” ucap Wiro.
“Katakan
di sebelah mana Seratus Tiga Belas Lorong Kematian kau melihat benda bercahaya
putih itu? Aku akan masuk ke sana. Aku akan berusaha menemukan benda itu dan
memberikan padamu…” Wiro mengiming iming agar orang mau bicara terus.
“Benda
itu bukan berada di satu ruangan atau di satu tempat. Tapi di.. .di. . .di
dalam rongga. Aku hanya sempat menggapai. Robek! Lihat jari jaritangan kiriku.
Cidera. Putih semua…”
“Hantu
Muka Dua, keteranganmu tidak jelas. Apa yang kau maksud dengan rongga. Kau
menggapai, menggapai apa? Apa yang robek?” tanya Wiro mencecar.
“Yang
robek pakaian….”
“Pakaian?
Pakaian siapa? Lalu rongga yang kau sebut itu, rongga apa?”
“Di dalam
tu…“
Belum
sempat Hantu Muka Dua menyelesaikan ucapannya tiba tiba tubuhnya tampak
menggigil hebat. Lalu tidak terduga, entah dan mana datangnya berkiblat satu
cahaya putih, menyambar ke arah mahluk dari negeri 1200 tahun silam itu. Karena
Wiro berada dekat sekali dengan Hantu Muka Dua sangat mungkin cahaya putih itu
akan melabrak dirinya pula.
“Wiro
awas!” teriak Nyi Roro Manggut lalu kebutkan ujung lengan kanan pakaiannya.
Selarik sinar biru melesat, memotong jalan cahaya putih.
Wiro
berpaling. Dia masih sempat melihat sambaran cahaya putih. Secepat kilat
Pendekar 212 jatuhkan diri ke tanah. Pukulan yang memancarkan cahaya biru yang
dilepas Nyi Roro Manggut sempat menabrak cahaya putih hingga mengeluarkan suara
dentuman keras diserta letupan api. Namun sebagian dari cahaya putih itu masih
sempat menghantam Hantu Muka Dua. Mahluk ini menjerit keras. Sosoknya terkapar
pucat dekat tangga seratus undak. Bagian kiri jubah putih yang dikenakannya kelihatan
hangus dan mengepulkan asap kelabu.
“Ada
kekuatan gaib yang tidak ingin mahluk ini membuka mulut memberi keterangan.”
Berkata Nyi Roro Manggut.
“Kekuatan
roh?” tanya Wiro.
“Bagus
kalau kau sudah bisa menduga.” Sahut Nyi Roro Manggut pula. “Sekarang lekas
ikuti aku.”
“Kau mau
mengajakku kemana, Nyi Roro? Aku masih penasaran tentang benda bercahaya putih
yang dilihat Hantu Muka Dua itu. Mungkin di situ letak seluruh kekuatan gaib
penguasa Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
“Jangan
banyak tanya. Ikut saja!”
Wiro
akhirnya melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut. Tiba tiba ada satu bayangan
kuning berkelebat dan arah pohon besar yang membentang di tengah jurang
disertai suara menegur.
“Nyi Roro
sahabatku, tadi kita datang bersama. Apa kau tidak ingin aku bertemu dulu
dengan pemuda itu sebelum dia kau ajak pergi?”
Nyi Roro
Manggut hentikan langkah. Wiro berpaling dan terkejut bukan alang kepalang. Di
hadapan Wiro dan Nyi Roro Manggut saat itu berdiri seorang nenek yang
keadaannya serba kuning. Mulai dan rambut, wajah dan juga pakaian. Selain itu
si nenek juga mengenakan hiasan tiga tusuk konde, giwang, beberapa untai kalung
yang kesemuanya juga berwarna kuning. Salah satu dari gandulan kalung berbentuk
aneh yaitu berupa sebuah sendok emas.
“Luhkentut!
Pantas aku mendengar suara orang kentut beberapa kali sebelumnya. Ternyata kau!
Pasti kau dan nenek satu itu sudah lama di sini!” berseru Pendekar 212 dan
segera mendatangi lalu pegang dua Si nenek seperti orang kangen. Diam diam
Hantu Muka Dua juga terkejut melihat kemunculan nenek serba kuning itu. Hatinya
mendadak jadi tidak enak. Karena Luhkentut adalah juga mahluk dan negeri 1200
tahun silam. Dan antara mereka tidak terjalin hubungan baik.
“Prett!”
Nenek yang dipanggil dengan sebutan Luhkentut pancarkan kentut keras. Membuat
Wiro lepaskan dekapannya dan bersurut dua langkah.
“Penyakit
kentutmu masih belum lenyap. Jauh jauh kau bawa ke sini. Padahal di negeri
Latanahsilam kau sudah makan tujuh puluh kibul ayam!”
Si nenek
berujud serba kuning tertawa cekikikan.
“Untung
kau anjurkan aku menelan kibul ayam itu. Aku sekarang cuma kentut sekali sekali
saja. Kalau tidak penyakit kentutku tidak akan sembuh sembuh. Aku akan terus
kentut mulai pagi sampai malam. Dan malam sampai pagi lagi. Hik …hik … hik..”
“Ya, …
ya, dalam tidurpun kau masih bisa kentut!” kata Wiro menggoda yang membuat tawa
Si nenek semakin panjang. (Mengenai nenek bernama Luhkentut ini harap baca
kisah Wiro di negeri Latanahsilam berjudul “Hantu Langit Terjungkir”).
Luhkentut
dikenal juga dengan julukan Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa angin.
Sebagai salah seorang tokoh berkepandaian tinggi di Negeri Latanahsilam nenek
ini memiliki berbagai ilmu kesaktian langka.
Kepada Wiro
dia telah memberikan ilmu kesaktian yang disebut Menahan Darah Memindah Jazad.
Dengan ilmu kesaktian ini seseorang bisa memindahkan bagian tubuh manusia ke
tempat mana saja yang disukainya.
“Luhkentut,
kau ingat sahabatku bernama Setan Ngompol?”
“Kakek
bau pesing itu dimana dia? Apa masih suka kencing di celana?” tanya si nenek
muka kuning.
“Dia
pasti gembira kalau bertemu denganmu. Bukankah dulu kau memindah telinga
kanannya. Sewaktu kau kembalikan kembali daun telinga itu kau pasang terbalik!
Sampai sekarang keadaannya masih seperti itu!”
Luhkentut
tertawa gelak gelak.
“Luhkentut,
bagaimana kau bisa muncul di tempat ini?”
Wiro
ingin tahu. “Apakah kau punya maksud baik menolongku menumpas manusia manusia
pocong itu?”
“Tak
sengaja dalam perjalanan aku bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Begitu berkenalan
kami saling cocok. Dia mengajak aku ke tempat ini. Aku mau saja karena katanya
dia akan menemuimu di sini. Ternyata memang benar.”
“Kau mau
ikutan aku mencari jalan masuk ke dalam lorong?”
“Aku
sudah kebagian tugas dari Nyi Roro.” Si nenek mendekati Wiro lalu berbisik,
“Aku harus menjaga Hantu Muka Dua sampai manusia manusia pocong itu
dimusnahkan. Ada sesuatu yang dikawatirkan Nyi Roro.”
“Apa?”
“Dia
tidak mengatakan padaku,” jawab si nenek.
“Luhkentut,
sewaktu di Latanahsilam aku mendapat Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah dari
Hantu Santet Laknat. Menurutmu dengan ilmu itu apakah aku bisa membongkar
dinding batu ini lalu menerobos masuk ke dalam markas manusia pocong?”
“Jangan
mencari penyakit. Dirimu belum berada di tingkat roh. Nyi Roro sudah mengatakan
padamu bahwa ada kekuatan roh di dalam lorong sana. Dan roh hanya bisa dilawan
dengan roh pula.”
Wiro
menggaruk kepala. “Kalau begitu aku akan tanyakan pada Nyi Roro apa maksudnya
ucapannya itu.”
“Sahabat
Luhkentut, kami berdua akan pergi. Seperti yang sudah kita bicarakan di
perjalanan harap kau tetap di sini.” Nyi Roro berkata.
Luhkentut
anggukkan kepala. Dia tepuk tepuk bahu Wiro dan berkata.
“Anak
muda, jika semua urusan sudah selesai kita ketemu lagi. Banyak cerita yang bisa
kita bicarakan. Dari pagi sampai malam.”
“Sambil
kentut!”
Luhkentut
alias Nenek Selaksa Kentut tertawa cekikan. Wiro tinggalkan nenek dari negeri
Latanahsilam itu. Melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut.
“Nyi
Roro, kau mau bawa aku kemana?”
“Dekat
dekat sini saja,” jawab Nyi Roro seraya berjalan terus dan baru berhenti begitu
sampai di pinggiran jurang. Wiro berdiri di samping si nenek.
“Nyi
Roro, aku mohon petunjuk tentang ucapanmu roh harus dilawan roh.”
“Apakah
kau pernah kenal dengan seseorang dari alam roh?” Nyi Roro balik bertanya.
“Cobalah berhubungan dengan dia.”
Wiro
garuk garuk kepala.
“Aku coba
mengingat ingat dulu. Rasanya… Tapi Nek, katamu aku bisa menghancurkan kekuatan
dahsyat di dalam lorong yang berasal dan roh jika aku nikah dengan roh.
Sekarang mengapa kau meminta aku menghubungi seseorang dan alam roh?”
“Karena
orang itulah yang mungkin akan jadi juru nikahmu” Jawaban Nyi Roro Manggut
membuat Wiro tercengang diam, mulut terbuka.
“Nek,”
Wiro garuk garuk kepala. “Selain urusan dengan gerombolan manusia pocong ini,
aku punya dua perkara atau dua tugas besar dan guruku Eyang Sinto Gendeng.”
“Hemmmm,
urusan apa?” tanya Nyi Roro pula.
“Aku
harus mencari dua benda pusaka langka yang lenyap dicuri orang. Pertama sebilah
pedang sakti mandraguna bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Yang kedua
sebuah buku keramat bernama Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus menemukan kedua
benda pusaka itu. Apa kau pernah mendengan dan punya petunjuk?”
Nyi Roro
geleng geleng kepala. Dipegangnya lengan Wiro. Ditariknya seraya berkata,
“Berdiri Lebih dekat ke sini!”
Wiro
mengikuti ucapan si nenek.
“Coba kau
memandang ke dalam jurang. Apa yang kau lihat?”
Wiro
memperhatikan ke bawah. Ke dalam jurang.
“Aku
hanya melihat pepohonan. Selainnya redup gelap.”
“Kau
tidak melihat dasar jurang?”
“Tidak,
nek.”
“Menurutmu
apakah jurang ini dalam?”
“Dalam
sekali,” jawab Wiro
“Heran,
mengapa kau bertanya seperti itu Nyi Roro? Orang gila mana yang mau mauan
mengukur dalamnya jurang.”
“Kalau
begitu aku sarankan agar kau mengukur dalamnya sekarang juga!”
Selagi
murid Eyang Sinto Gendeng terheran heran karena tidak mengerti semua ucapan si
nenek, tiba tiba Nyi Roro Manggut dorong punggung Pendekar 212 kuat kuat. Tak
ampun lagi Wiro terlempar jatuh ke dalam jurang.
“Nyi
Roro!” Wiro berteriak keras. Suara teriakannya menggaung di seantero tempat,
bergelegar di dalam jurang.
Di
pinggir jurang, Nyi Roro Manggut tetawa panjang. Lalu berkelebat lenyap ke arah
pohon besar yang membelintang di atas jurang. Dekat dinding batu Luhkentut si
nenek muka kuning ikutan tertawa. Hantu Muka Dua menyaksikan apa yang terjadi
dengan perasaan tercekat. Jika nenek bernama Nyi Roro Manggut itu tega teganya
membunuh Wiro berarti dirinya tidak bakal lama akan dihabisi pula!
Belum
lama Nyi Roro Manggut lenyap dan tempat itu, belum lama pula suara gaung
teriakan Wiro sirna tiba tiba dinding batu di depan anak tangga seratus undak
bergeser membuka. Bersamaan dengan itu, dan pintu rahasia yang terbuka melesat
keluar sebuah benda aneh berbentuk papan panjang. Papan ini meluncur begitu
hingga mencapai dan membelintang pada dua pertiga lebarnya jurang.
Tak selang
berapa lama, dua orang manusia pocong berkelebat keluar dan pintu rahasia,
langsung meniti sepanjang papan. Diberati dua sosok tubuh papan itu kelihatan
bergoyang goyang turun naik. Mendekati ujung papan, dua manusia pocong
berhenti, memandang berkeliling.
“Aneh,
orang orang kita memberi tahu ada beberapa orang di tempat ini. Salah satunya
adalah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Nyatanya tak ada satu orangpun di
tempat ini.”
“Mereka
sudah kabur entah kemana. Lihat pohon yang membellntang di atas jurang! Jelas
mereka sebelumnya ada di tempat ini, Wakil Ketua.”
“Tadi aku
mendengar suara teriakan. Lalu suara perempuan tertawa. Sepengetahuanku tak ada
setan atau dedemit di sekitar sini. Lalu siapa yang berteriak, siapa yang
menjerit?” Orang yang bicara ternyata Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Pandangannya membentur
dua buah batang kayu kering yang tergeletak di tanah, di samping kiri tangga
batu.
“Mungkin
salah aku menduga. tapi seingatku dulu tidak ada dua batang kayu kering di
tempat itu,” ucap Wakil Ketua.
Dia
mengangkat bahu lalu berkata, “Sudah kita kembali saja ke dalam lorong. Banyak
urusan yang harus kita lakukan.”
Dua
manusia pocong itu berbalik, meniti papan panjang yang melesat masuk kembali ke
arah pintu rahasia. Namun sebelum masuk ke dalam pintu Wakil Ketua hentikan
larinya. Di balik kain putih penutup kepalanya dia menyeringai. Tangan kanannya
melepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi dua kali
berturut turut.
Pohon
besar yang melintang di atas jurang patah dua lalu bergemuruh masuk ke dalam
jurang.
“Siapapun
mahluk yang coba sembunyi mengelabui diriku tak bakal punya jalan keluar. Dia
akan mati kelaparan di tempat ini! Ha … ha… ha…!”
Wakil
Ketua dan anak buahnya berkelebat masuk. Pintu rahasia tertutup kembali.
Dinding batu itu kembali pada ujudnya semula seolah tak ada apa apadi tempat
itu. Dua onggok batang kayu kering yang tergeletak di samping kiri tangga batu.
Secara aneh perlahan lahan berubah bentuk menjadi sosok nenek berpakaian serba
kuning serta sosok kakek berjubah putih.
“Luhkentut,
terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dengan ilmu kesaktianmu hingga kita
berdua berubah bentuk jadi batang kayu kering tak berguna. Kalau sampai dua
manusia pocong tadi itu sempat melihat kita di sini, Jangan harap saat ini kita
masih bisa bernafas.”
Nenek
Selaksa Angin alias Luhkentut cuma menyeringai dingin mendengar kata kata Hantu
Muka Dua itu.
“Luhkentut,
kalau aku boleh bertanya. Mengapa nenek cebol tadi membunuh pemuda bernama Wiro
itu?”
Sambil
bertanya sepasang mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segitiga memperhatikan
kalung berbentuk sendok yang tergantung di leher si nenek.
“Siapa
yang membunuh?” ujar Luhkentut pula.
“Kau
menyaksikan sendiri. Nenek itu mendorong Wiro hingga masuk ke dalam jurang. Kau
juga aku lihat tertawa. Rahasia apa yang ada di balik semua kejadian aneh ini?”
Luhkentut
kembali menyeringai dingin dan tidak memberikan jawaban apa apa. Pandangan
Hantu Muka Dua ini tertuju ke arah jurang. Pohon yang tadi membelintang tak
tampak Iagi karena sudah dihancurkan oleh Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
Hatinya
merasa cemas. Bagaimana dia bisa tinggalkan tempat itu. Melirik ke samping si
nenek dilihatnya tenang tenang saja.
*********************
8
Teriak
kemarahan Pendekar212 menggelegar di dalam jurang. “Nenek cebol keparat! Apa
salahku! Kau pasti kaki tangan kompiotan manusia pocong!”
Namun
rasa marah itu dalam sekejap berubah menjadi rasa takut Iuar biasa. Tubuhnya
yang melayang jatuh dengan deras, sesekali tersangkut cabang pepohonan. Cabang
cabang pohon berpatahan dan dia kembali amblas ke bawah. Sekujur tubuhnya
sebelah atas yang tidak berpakaian penuh goresan luka. Sebuah patahan ranting
menancap di punggung. Rasa sakit membuat tubuhnya bergetar. Pipi kiri
mengucurkan darah akibat luka sewaktu membentur pohon bambu. Bagaimanapun juga
rasa saki dan luka luka itu tidak seberapa dibanding rasa takut bahwa di bawah
sana batu batu besar menunggu kejatuhan tubuhnya di dasar jurang! Dalam keadaan
seperti itu Wiro masih berusaha menyelamatkan diri. Kaki dipentang mencari
tahanan, tangan menggapai mencari pegangan. Namun bobot tubuhnya yang berat
membuat dia tidak berdaya menahan kejatuhan. Semakin dia berusaha mencari
selamat, semakin deras tubuhnya jatuh ke bawah.
Akhirnya
dia hanya bisa pasrah. Agaknya Tuhan memang sudah menakdirkan dia menemui
kematian dengan cara begini. Dia tahu dalam hitungan kejapan mata tubuhnya akan
menghantam batu di dasar jurang. Remuk dan hancur! Kematian baginya bukan apa
apa dibanding dengan beban tanggung jawab untuk menyelamatkan para tokoh, para
gadis serta perempuan perempuan hamil yang disekap dalam 113 Lorong Kematian.
Pada saat saat menunggu ajal itu Pendekar 212 berulang kali memanggil nama
Gusti AIlah.
“Byuuurrr!”
“Hik hik!
Ada dedemit kecebur!”
Wiro
merasakan tubuhnya amblas dalam air luar biasa dingin. Saat tubuhnya tenggelam
ke dalam air rasa sakit perih mencengkeram wajah dan sekujur tubuhnya yang
penuh goresan luka.
“Astaga!
Berada dimana aku ini?! Masih hidup atau sudah mati?!”
Wiro
kembangkan dua tangan ke samping dan gerakkan sepasang kaki. Perlahan lahan
kepalanya muncul di permukaan air. Dalam keadaan mengambang yang hampir tak
bisa dipercaya.
Wiro
dapatkan dirinya berada di tengah sebuah telaga besar berair luar biasa dingin,
dikelilingi kerimbunan pepohonan dan deretan batu batu besar membentuk dinding
tinggi seperti lingkaran. Kabut tipis menggantung di permukaan air. Wiro
berenang sejauh lima belas tombak lebih mencapai tepian telaga terdekat. Susah
payah dia berhasil menggapai deretan batu berlumut, naik ke atas dan duduk di
atas batu. Wiro alirkan hawa hangat yang berpusat di perut untuk melawan
gigilan rasa dingin. Lalu dia memandang berkeliling.
Di
hadapannya terbentang telaga besar berair biru gelap. Kabut menutupi sebagian
pemandangan. di sebelah kanan ada cahaya terang. Ketika diperhatikan ternyata
terdapat sebuah celah besar berbentuk goa antara dua dinding batu. Sayup
sayupdia mendengar suara aliran air.
“Apa yang
ada di balik celah itu,” pikir Wiro. Rasa nyeri di punggung membuat dia meraba
ke belakang. Tangannya membentur patahan ranting yang menancap di punggung.
Sambil gigit bibir Wiro cabut patahan ranting. Darah mengucur dan luka yang
menganga. Wiro cepat totok urat besar di bahu kiri. Kucuran darah serta merta
berhenti.
“Nyi Roro
…“ ucap Wiro begitu dia ingat nenek cebol itu.
“Permainan
jahat apa yang kau lakukan padaku! Kau sengaja mendorong diriku ke dalam
jurang. Maksudmu hendak membunuhku atau bagaimana? Apa kau memang sudah tahu di
dasar jurang ini ada telaga hingga kalaupun jatuh aku tidak bakal menemui
kematian?”
Wiro
garuk garuk rambutnya yang basah. “Kalau ini hanya siasatmu lalu apa tujuanmu?
Mencelakai diriku atau ..?“ Wiro usap goresan luka di dada kiri. Sekujur
tubuhnya basah, dingin dan sakit. “Nenek itu, tidak mungkin dia berniat jahat
terhadapku …“ ucap Wiro dalam hati. Otak diputar.
“Nyi
Roro, apakah kau hendak menunjukkan sesuatu padaku?” Wiro memeriksa beberapa benda
yang disimpan di balik pinggang celana.
Kaleng
butut milik Kakek Segala Tahu masih ada. Juga kipas kayu cendana dari Nyi Roro
Manggut yang harus diserahkannya pada kakek itu. Batu hitam sakti pasangan
Kapak Naga Geni 212 masih ada dalam kantong kain. Begitu juga gulungan kecil
kain putih. Lalu sapu tangan biru muda pemberian Wulan Srindi, juga masih ada.
Dan tentunya Kapak Naga Geni 212 yang tersembul di atas pinggang celana sebelah
kiri.
Tiba tiba
saja Wiro ingat. Waktu dirinya jatuh ke dalam telaga tadi dia sempat mendengar
suara tawa cekikikan serta ucapan “Ada dedemit kecebur.” Siapa yang tertawa,
siapa yang berucap?
“Suara
anak anak. Aku yakin betul itu suara anak anak,” kata Wiro dalam hati. Dia
memandang berkeliling. Tidak melihat apa apa, kecuali air telaga, batu batu
yang mengelilingi dan pepohonan.
“Jangan
jangan ada Setan anak anak di sini. Sebangsa tuyul … Tempat apa ini sebenarnya?
Telaga apa ini sebenarnya? Tempat mandi mahluk halus?” Wiro mengusap usap
tengkuknya. Sekali lagi dia memandang berkeliling. Kali ini ada yang membuatnya
jadi tercekat. Tadi permukaan telaga tertutup kabut. Kini ketika kabut naik ke
atas, di arah kiri dia melihat sebuah perahu kayu terapung apung di tepi
telaga, ditambatkan pada sebuah tiang yang menancap di tebing batu. Lalu di
sebelah sana kelihatan ada tangga kecil merambat ke atas sepanjang dinding batu
yang terjal.
“Nyi
Roro,” Wiro kembali menyebut nama nenek cebol itu.
“Aku
menaruh sangka buruk padamu. Kini aku mengerti kau menceburkan aku ke dalam
jurang adalah untuk menemukan tempat dan jalan rahasia ini.” Wiro garuk garuk
kepala. Dia ingat gurunya dan berucap lagi dalam hati.
“Eyang
Sinto, sebelumnya aku mengejekmu. Ternyata ucapanmu betul. Pakai ilmu bambu.
Ada jalan masuk ada jalan keluar…“
Perlahan
lahan Wiro bangkit berdiri. Celah terang di samping kanan lebih dekat dari
perahu kayu yang tertambat. Wiro benjalan di atas batu batu di sepanjang tepi
telaga. Dia harus kerahkan ilmu meringankan tubuh agar tidak terpeleset ketika
menginjak batu licin berlumut.
Begitu
sampai di celah terang dan berdiri di atas batu besar, Wiro melihat sebuah
sungai berair jernrh kebiruan terbentang di depannya. Di seberang sungai
menghadang rimba belantara. Wiro perhatikan batu besar yang dipijaknya. Dia
melihat sesuatu. Wiro membungkuk agar bisa memperhatikan Iebih dekat. Walau
tanda tanda sangat samar, dia merasa yakin sebelumnya ada orang di tempat itu.
Murid Sinto Gendeng bersikap lebih waspada. Bukan mustahil ada orang saat itu
tengah memperhatikan gerak geriknya. Dia melingkari telaga. Tak kelihatan
bayangan orang, tak tampak gerakan. Kecuali perahu kayu yang terapung dan
bergoyang perlahan.
Wiro
akhirnya mencebur memasuki telaga dan berenang menuju perahu. Pada saat tangan
kanannya menggapai pinggiran perahu, dua kepala bergerak naik dari dalam
perahu. Ketika Wiro keluarkan kepala dan tubuh atasnya dan dalam air pada saat
itu pula ada dua tangan berkelebat. Satu menjambak rambut gondrong basah sang
pendekar, tangan kedua mendorong perutnya.
Wiro
berteriak kaget. Jantungnya seperti mau copot! Selagi tubuhnya melayang ke
udara Wiro mendengar dua suara tawa bergelak. Satu suara anak lelaki, satu lagi
suara tawa perempuan. Setelah jungkir balik di udara Wiro melayang turun dan
injakkan kaki di atas batu. Di saat hampir bersamaan dua sosok melesat keluar
dan dalam perahu kayu, mengumbar tawa haha hihi lalu berkelebat ke hadapan
Pendekar 212.
Tidak
tunggu Lebih lama sebelum dua sosok itu menginjak batu murid Sinto Gendeng
segera pukulkan dua tangan ke depan.
“Hai ini
aku!” Suara anak kecil berteriak nyaring.
“Oala!
Apa kau tidak mengenali diriku lagi? Hik … hik!”
Menimpali
suara perempuan yang disertai tawa cekikikan!
Wiro
terkesiap dan cepat tarik dua tangannya yang sudah diisi kekuatan tenaga dalam
tinggi. Mata mendelik dan begitu dia mengenali siapa dua orang yang berdiri di
hadapannya Iangsung saja mulutnya memaki.
“Bocah
kurang ajar! Kau rupanya. Dan kau nenek jahil!”
Dua orang
yang dimaki semakin keras gelak tawanya.
“Setan
keblinger! Kalian masih bisa tertawa! Bagaimana kalian bisa muncul di sini?”
Bentak murid Sinto Gendeng.
“Kami
lagi jalan jalan. Saking enaknya jalan jalan kesasar sampai ke sini. Kami
berdua mau mandi bugil bugilan di telaga waktu kau muncul! Takut diintip bugil
kami lantas sembunyi di dalam perahu!”
“Bocah sialan!
Apa kau dan nenek kekasihmu itu tahu berada dimana saat ini?”
Dua orang
di hadapan Wiro tertawa haha hihi.
Orang
pertama anak lelaki berpakaian hitam berambut jabrik bukan lain adalah Naga
Kuning bernama asli Gunung. Pada dada pakaiannya tergurat gambar seekor naga
bergelung, kulit kuning mata merah. Seperti diketahul ujud asli anak lelaki ini
adalah seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun, yang dalam rimba
persilatan dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera BInu. Di punggung Naga
Kuning terikat sebuah bumbung bambu yang sudah pecah.
Di
samping Naga Kuning tegak seorang nenek berambut tebal kelabu berwajah angker.
Bahkan waktu tertawa atau tersenyum sekalipun tampangnya tetap mengerikan. Lima
jari tangan yang menyembul di balik lengan jubah hitam memiliki kuku runcing
berwarna hitam pekat. Siapa gerangan nenek ini?
Nama asli
semasa mudanya adalah Ning Intan Lestari. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dia
kemudian dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati. Konon si nenek tengah
berusaha mendapatkan satu llmu kesaktian yang disebut Ilmu Kuku Api. Namun
karena banyak masalah besar yang dihadapi dalam dunia persilatan, ilmu tersebut
sampai saat ini masih belum dapat dirampungkan. Diriwayatkan dalam beberapa
Episode serial Wiro Sableng sebelumnya, di masa muda antara Gunung dan Ning
Intan Lestari terjalin hubungan tali kasih. Nasib membuat mereka berpisah selama
puluhan tahun dan ketika bertemu kembali keduanya sudah berusia sangat lanjut.
Namun hubungan cinta yang selama ini seolah terputus kini bersambung kembali
dengan segala kehangatannya. Sejak beberapa lama belakangan ini kemana mana
mereka selalu berduaan.
“Wiro,”
kata Naga Kuning menjawab pertanyaan Pendekar 212 tadi.
“Kami dua
insan yang sedang dimabuk cinta. Mana perduli dimana kami berada saat ini?”
“Cinta
gila bisa membuat kalian mati konyol di tempat ini!” tukas Wiro.
“Nyatanya
kau juga ada di sini. Apa juga mau ikutan mati konyol? Kalau begitu silahkan
mati konyol duluan!” ucap si nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa
gelak gelak.
“Kalian
berdua sama saja gebleknya!” Wiro mengomel kesal. Sebaliknya Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati malah tertawa haha hihi.
Wiro
perhatikan bumbung bambu di puggung Naga Kuning. Dia mengenali benda itu adalah
bumbung bambu milik Dewa Tuak yang pernah ditemukannya di sebuah pondok di
tengah hutan tempat dimana Wulan Srindi hampir jadi korban perkosaan manusia
pocong.
“Anak
kurang ajar! Bagaimana bumbung bambu itu bisa ada padamu?” Wiro bertanya.
“Kami
menemukannya di sebuah gubuk ambruk di tengah hutan,” yang menjawab Gondoruwo
Patah Hati.
“Melihat
bentuk dan bau yang masih menempel di bumbung itu, kami menduga keras bumbung
itu adalah milik tokoh silat bernama Dewa Tuak. Kalau bumbung miliknya
ditinggal begitu rupa dalam keadaan pecah sedang orangnya tidak kelihatan, kami
menaruh curiga sesuatu telah terjadi dengan kakek itu. Apa lagi melihat keadaan
gubuk jelas ada tanda tanda terjadinya penkelahian hebat di sana. Kami juga
melihat percikan darah.”
“Bagaimana
pun juga dia adalah sahabat kita semua,” menyambung Naga Kuning.
“Pantas
saja kami berusaha menyelidik apa yang terjadi dengan kakek itu, dimana dia berada
saat ini. Apa lagi kami menyirap kabar bahwa di salah satu bagian kawasan ini
terdapat lorong maut yang dikenal dengan nama Seratus Tga Betas Lorong
Kematian, markas manusia manusia jahat yang menamakan diri Barisan Manusia
Pocong. Waktu pertemuan kita terakhir kali tempo hari, kami berdua berniat
bergabung dengan kalian di Kotaraja, di gedung kediaman Sutri Kaliangan, puteri
Patih Kerajaan. Tapi kami tidak menemukan dirimu dan tuan rumah. Juga tidak
melihat bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini. Terakhir kami sempat
melihat Ratu Duyung di sebuah rumah di Jatipurno. Ada manusia pocong yang
hendak memperkosa Sutri Kaliangan! Nasibnya jelek. Kemaluannya aku gebuk sampai
amblas!”
“Kami
juga mendapat kabar bahwa selain menculik perempuan perempuan hamil ternyata
orang orang Seratus Tiga Betas Lorong Kematian juga menculik para tokoh silat
serta orang orang berkepandaian tinggi. Apa maksud mereka perlu diwaspadai. Di
masa muda aku sering berkeliaran di tempat ini. Aku tahu kalau ada sebuah
telaga di bawah bukit batu. Aku dan Naga Kuning menyusuri sungai dengan perahu.
Beberapa jauh dari sini perahu kami kandas. Kami masih bisa berenang dan
berhasil menemukan telaga ini. Ternyata di sini kami menemul kejutan!”
“Kejutan
apa?” tanya Wiro pula pada Gondoruwo Patah Hati.
“Di
telaga kami menemukan sebuah perahu. Lalu dinding batu ini kini memiliki sebuah
tangga menuju ke atas. Berarti ada pintu di atas sana. Paling tidak ujung
tangga ini berhubungan dengan sebuah ruangan. Karena telaga berada di bawah
bukit batu tempat terletaknya Seratus Tiga Betas Lorong Kematian kami berdua
yakin ini semua adalah pekerjaan manusia manusia pocong penghuni lorong!”
Wiro
garuk garuk kepala mendengar semua ucapan Naga Kuning itu.
Gondoruwo
Patah Hati memandang ke bagian tangga sebelas atas. Lalu berkata, ”Aku dan Naga
Kuning tengah memeriksa perahu ketika kau jatuh dan kecemplung masuk ke dalam
telaga.”
“Yang aku
heran, mengapa kau kini cuma tinggal mengenakan celana. Kemana baju putih
bututmu?” bertanya Naga Kuning. Lalu ia meneruskan,
“Jangan
jangan ada anak gadis orang yang kau kerjakan di atas sana. Gadis itu berontak
dan mendorongmu ke dalam jurang! Betul!?”
“Anak
Setan bermulut jahil. Enak saja kau menuduh yang bukan bukan!” damprat murid
Sinto Gendeng. Lalu dia cenitakan yang terjadi dijurang.
“Jadi
nenek cebol yang suka manggut manggut itu yang melemparkanmu ke dalam jurang?”
ujar Naga Kuning.
“Tadinya
aku menduga buruk. Ternyata dia sengaja ingin mengirim aku ke tempat ini. Untuk
menunjukkan bahwa ada jalan rahasia menuju Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Saat itu aku ingin cepat cepat menerobos ke atas. Tapi ingat pada petunjuk Nyi
Roro Manggut aku harus berlaku waspada. Di dalam lorong ada satu kekuatan luar
biasa. Kekuatan roh!”
“Kau
jangan menakut nakuti aku!” kata Naga Kuning.
Wiro
menyeringai.
“Kita
akan masuk ke sana. Kau akan lihat sendiri apa aku menakuti dirimu atau tidak.
Nyi Roro minta aku berhubungan dengan roh agar bisa menghadapi kekuatan yang
ada di dalam lorong. Aku jadi bingung. Mau menghubungi roh siapa? Bagaimana
caranya? Salah salah aku bisa dipencet roh sampai mati mencelet!”
“Kenapa
bingung?” ujar Naga Kuning pula.
“Setahuku
kau punya kekasih. Seorang gadis dan alam roh!”
“Astaga!”
Wiro terkejut.
“Anak
kurang ajar! Kau betul!”
lalu
Pendekar 212 sibuk menggeledah sekitar pinggangnya. Semua benda yang disimpan
di balik pinggang kecuali Kapak Naga Geni 212 dikeluarkan. Yaitu sapu tangan
biru muda pemberian Wulan Srindi, kipas cendana pemberian Nyi Roro Manggut,
kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu, batu hitam serta gulungan kain putih
kecil. Namun benda yang dicarinya tidak ditemukan. Wiro jadi bingung.
Diperiksanya sekali lagi. Pinggang celana ditarik ke depan, di betot ke
samping.
“Ada apa?
Apa yang kau cari?” tanya Naga Kuning.
“Burungmu
lenyap?!”
“Hik…hik…hik.”
Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikan.
“Jangan
bergurau! Aku mencari benda yang sangat menentukan mampu tidaknya kita
menghadapi kekuatan roh di dalam lorong! Celaka, jangan jangan benda itu ada di
saku baju putihku! Itu satu satunya benda yang bisa menghubungkan aku dengan
gadis dan alam roh!”
Naga
Kuning menunjuk ke batu di depan kaki kiri Wiro. Ketika Wiro sibuk mencari cari
seputar pinggang celananya, anak ini melihat sebuah benda meluncur dari kaki
celana kiri Wiro.
“Benda
itu yang kau cari?”
Wiro
memandang ke arah yang ditunjuk Naga Kuning. Mata membesar, mulut menyeringai.
Dia menjadi lega dan cepat cepat mengambil benda yang ada di atas batu di depan
kakinya.
*********************
9
Benda
yang dipungut Wiro itu ternyata adalah sekuntum kembang kenanga yang telah
mengering dan kini menjadi layu karena kebasahan air telaga. Wiro mengeringkan
bunga basah itu dengan kedua tangannya sambil meniup niup. Setelah itu Wiro
pegang kembang kenanga itu diantara ibu jari dan jari tengah tangan kanan. Mata
dipejamkan. Sambil menggosok perlahan bunga di antara dua jarinya Wiro berucap.
“Bunga,
datanglah. Aku membutuhkan pertolonganmu. Bunga datanglah…“
Wiro
menunggu dengan dada berdebar. Tidak terjadi apa apa. dia mengulang Iagi.
Kembang kenanga digosok gosok. Mulut berucap, ”Bunga, aku memerlukanmu.
Datanglah ….“
Naga
Kuning dekatkan mulutnya ke telinga Gondroruwo Patah Hati dan berbisik, “Apa
yang dilakukannya? Bicara sendiri sambil mengusapusap kembang kenanga …“
Si nenek
meilntangkan jari telunjuknya di atas bibir.
“Jangan
berisik. aku tahu apa yang dilakukannya. Aku tahu siapa yang dipanggilnya.”
Naga
Kuning masih bandel.
“Maksudmu
dia tengah memanggii kekasihnya gadis dan alam roh itu? Mana aku tahu kalau
caranya begitu. Aku ….“ Anak lelaki itu baru hentikan bicaranya ketika tiba
tiba dia mencium harumnya bau kembang kenanga santar sekali. Si nenek juga
sudah mencium bau itu dan dalam keadaan tercekat dia sama sekali tidak kedipkan
mata. Tiba tiba dan arah batu yang terang terasa ada sambaran angin. Cahaya
terang untuk sesaat seperti terhalang. Suasana di sekitar telaga menjadi redup.
Ketika cahaya dan luar kembali memasuki telaga terdengar satu suara berucap.
“Wiro,
aku di sini.”
Wiro
berpaIing ke arah datangnya suara. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati
melakukan hal yang sama. Di situ, di atas perahu tampak segulung asap yang
perlahan lahan berubah menjadi sosok seorang gadis mengenakan kebaya putih
berkancing besar. Dia duduk di lantai perahu. Dua kaki yang disilang terlindung
oleh celana putih sebatas betis. Di tangan kanannya dia memegang sehelai baju
putih. Wajahnya cantik namun pucat seperti tidak berdarah. Inilah gadis dan
alam roh bernama Suci yang oleh Wiro dipanggil dengan sebutan Bunga.
Dalam
serial Wiro Sableng benjudul “Dewi Bunga Mayat” dikisahkan bahwa Suci menemui
kematian akibat diracun oleh Sadewo, bekas kekasihnya sendiri atas suruhan
Suntini, adik tiri Suci. Antara Wiro dan Suci kemudian terjalin satu hubungan
mesra. Suci yang menyadari keadaan dirinya yang berbeda alam dengan Wiro dan
tak mungkin hidup berdampingan dengan pemuda itu lebih banyak mengalah dan
sengaja menjauhkan diri. Namun dia memberikan sekuntum kembang kenanga pada
Wiro. Jika Wiro ingin bertemu dengan dirinya Wiro harus mengusap kembang kenanga
itu sambil memanggil namanya.
Dalam
girangnya melihat kemunculan Bunga, Pendekar 212 melompat dari atas batu. Di
dalam perahu, Bunga bangkit berdiri, kembangkan dua tangan lalu melesat ke
udara menyambut kedatangan Wiro. Untuk beberapa saat keduanya seperti
menghambang dan saling berangkulan di udara.
“Wiro,
aku rindu padamu. Rindu sekali” bisik Bunga.
Wiro
memeluk erat erat gadis dari alam roh itu. Bunga menggerakkan kakinya. Dia
membawa Wiro melayang turun ke atas batu.
“Aku juga
rindu padamu, Bunga. Tapi saat ini ada perkara besar yang tengah aku hadapi.
Aku butuh bantuanmu.”
“Dalam
alamku, aku sudah tahu kesulitan apa yang tengah kau hadapi. Tapi seperti yang
pernah aku jelaskan, aku tidak bisa keluar dan alamku. Kecuali kau mengusap
kembang kenanga itu dan menyebut namaku. Untung kau masih menyimpan kembang
itu. Dulu kuberi satu pernah kau hilangkan.”
Wiro
tersenyum.
“Maafkan
aku Bunga. Dua orang temanku ada di sini. Mari kuperkenalkan kau pada mereka.”
“Biar
dulu, aku masih kangen. Aku masih ingin memelukmu,” jawab Bunga dan tidak mau
melepaskan pelukannya.
Naga
Kuning kembali keluar jahilnya. Dia mendehem berulang kali sampai akhirnya Wiro
dan Bunga lepaskan pelukan masing masing. Bunga tersenyum manis dan lambaikan
tangan pada Naga Kuning. Pada Gondowuro Patah Hati dia anggukkan kepala lalu
membungkuk. Si nenek balas penghormatan Bunga dengan kedip kedipkan sepasang
matanya.
Bunga
angsurkan tangannya yang memegang baju putih.
“Di
alamku aku melihat kau tidak mengenakan baju. Pakailah ini, mudah mudahan
cocok.”
Wiro
mengambil baju yang diberikan Bunga lalu memakainya dan ternyata cocok dengan
besar tubuhnya.
“Terima
kasih …“ bisik Wiro sambil membelai pipi gadis dan alam roh itu.
“Bunga,
seorang nenek sakti bernama Nyi Roro Manggut memberi tahu bahwa kau akan
menjadi juru nikahku. Kau akan mengawinkan aku dengan roh yang berada dalam
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Setelah itu baru kekuatan jahat yang ada di
lorong dapat dimusnahkan.”
Wiro
hendak mengeluarkan gulungan kain putih dari dalam kantong kain yang terikat di
pinggangnya. Bunga tersenyum.
“Tidak
usah dikeluarkan. Tulisan di atas kain putih itu aku yang menulisnya. Dan alam
gaib aku kirim ke dalam alammu. Diterima oleh tokoh silat berjuluk Dewa Sedih.
Selanjutnya kain itu sampai di tangan Raja Penidur yang kemudian diserahkan
pada Kakek Segala Tahu dan akhirnya jatuh ke tanganmu.”
Kaget
Wiro bukan olah-olah. Mulutnya sampai menganga dan sepasang mata terbuka lebar
tak berkesiap.
“Bunga,
kau merencanakan pernikahan bagi diriku,” ucap Wiro perlahan.
“Aku …“
Bunga
tundukkan kepala.
“Aku
mengerti apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Perasaan kasihku padamu ingin
menolak hal itu. Namun aku merasa punya tanggung jawab untuk menolong dirimu
serta rimba persilatan dimana kau berada. Hanya pernikahan itu yang akan
menyelamatkan dirimu dan semua orang yang disekap di dalam lorong. Hanya
pernikahan itu satu satunya jalan yang bisa menyelamatkan rimba persilatan.
Kalau saja nasib diriku bukan sebagai mahluk dan alam roh, sudah lama aku ingin
bersimpuh di depan kakimu untuk dapat kau terima sebagai teman pendamping
hidupmu. Namun ….“ Bunga tidak meneruskan katakatanya.
“Maafkan
aku Wiro. Aku tidak dapat menahan perasaanku. Tidak seharusnya aku mengeluarkan
kata kata tadi.”
Kalau
saja di situ tidak ada Naga Kuning dan Gondowuro Patah hati, ingin sekali Wiro
memeluk gadis dari alam roh itu kembali. Masih bingung Wiro kembali ajukan
pertanyaan.
“Pernikahan
itu, apakah memang benaran? Maksudku apakah aku betul betul akan terikat dalam
satu tali perkawinan? Gila! aku tidak dapat membayangkan!”
“Aku juga
tidak dapat membayangkan. Aku hanya menjalankan sesuatu yang tersirat dan
tersurat sebagaimana petunjuk yang aku dapat dari alamku.”
Wiro
garuk garuk kepala.
“Bunga sebenarnya
apa tujuan manusia pocong penghuni lorong dengan segala perbuatan keji mereka
itu?” tanya Wiro pula.
“Mereka
ingin menguasai dan menjadi raja diraja rimba persilatan. Caranya dengan
menghimpun seluruh kekuatan yang dimiliki para tokoh persilatan melalui satu
ilmu sesat. Memanfaatkan kekuatan nyawa kedua atau memperalat kekuatan roh yang
saat ini bisa mereka kuasai.”
“Nyawa
kedua? Aku tidak mengerti.” Murid Sinto Gendeng lagi lagi garuk garuk kepala.
“Seseorang
yang sudah mati dihidupkan kembali. Rohnya yang mengapung diantara langit dan
bumi dimasukkan kembali ke dalam jazadnya lalu dikuasai. Dialah yang disebut
dengan panggilan Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Mahluk dengan nyawa kedua dan alam
roh ini akan melakukan apa saja segala yang diperintahkan oleh orang yang
menguasainya. Dan orang ini adalah penguasa atau pimpmnan Barisan Manusia
Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
“Kau tahu
siapa orangnya?”
Bunga
gelengkan kepala.
“Sebelum
aku masuk ke dalam lorong sulit aku menduga siapa adanya mahluk dengan nyawa
kedua dan alam roh itu.”
“Luar
biasa. Mengerikan ….“ ucap Wiro.
“Wiro,
jika sampai di dalam lorong, berlaku hati hati. Orang orang di dalam lorong
telah mengetahui kedatanganmu dan dua sahabatmu itu.”
“Aku
sudah menduga hal itu,” jawab Wiro.
“Satu hal
lagi, Wiro. Di dalam lorong sahabat bisa menjadi musuh yang dapat membunuhmu.”
“Terima
kasih, kau telah mengingatkan aku…“ kata Wiro sambil meremas jari jari tangan
Bunga.
“Sebelum
kau pergi, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”
Bunga
anggukkan kepala.
“Di atas
jurang sana ada seorang kakek dari negeri seribu dua ratus tahun silam. Dia
menjadi korban keganasan penghuni lorong. Seluruh tenaga dalam dan kesaktiannya
disedot oleh mahluk yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Menurut Nyi Roro
dialah yang akan dinikahkan dengan diriku. Apa yang dikatakan Nyi Roro sama
dengan yang kau jelaskan.”
“Lalu?”
tanya Binga pula.
“Kakek
itu bercerita. Waktu di dalam lorong dia melihat sebuah benda putih bercahaya.
Katanya jika saja dia bisa menyentuh benda itu maka seluruh tenaga dalam dan
kesaktiannya yang lenyap akan kembali. Bunga, kau tahu benda apa yang dilihat
kakek itu?”
Bunga
diam sejenak, seperti merenung.
“Wiro,
aku barusan mendapat petunjuk. Benda itu adalah salah satu dan dua benda pusaka
yang lenyap.”
Habis
keluarkan ucapan itu sekujur tubuh Bunga mendadak bergetar hebat. Mukanya
seputih kain kafan. Dua kakinya yang menginjak batu kepulkan asap putih.
“Bunga!”
seru Wiro kaget dan cepat hendak memeluk gadis alam roh itu sambil alirkan hawa
sakti untuk menjaga segala kemungkinan. Wiro merasa ada hawa panas menyengat
dirinya. Cepat dia kerahkan tenaga dalam untuk membentengi diri. Hawa panas
yang menyengat perlahan lahan hilang.
“Tenang
Wiro. Aku masih dapat menguasai diri. Kekuatan roh di dalam lorong melancarkan
serangan gaib agar aku tidak bicara.”
“Benda
itu Bunga, apakah Pedang Naga Suci Dua Satu Dua atau Kitab Seribu Pengobatan?”
tanya Wiro.
“Aku
tidak dapat memastikan sebelum masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Saat ini aku hanya bisa menduga duga. Benda yang dilihat kakek itu
mungkin Pedang Naga Suci 212.”
“Doss!
Doss! Doss!”
Tiga
letupan keras menggema di tempat itu. Dua tepat di bawah kaki Bunga hingga
gadis alam roh ini terpekik dan terlempar ke udara. Dua kaki celananya
kelihatan hangus hitam. Letupan ke tiga terjadi di atas kepala Bunga. Untuk
menghindari cidera akibat letupan di atas kepalanya, gadis alam roh hantamkan
tangan kanan ke atas.
“Bummmmm!”
Satu
ledakan dahsyat menggelegar. Permukaan air telaga sampai muncrat. Perahu kayu
bergoyang keras dan terangkat sepuluh jengkal di atas permukaan air telaga.
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati saling berpegangan karena batu yang mereka
pijak bergeletar keras. Wiro tegak tergontai gontai dengan wajah pucat. Bunga
hampir jatuh terduduk. Ketika dia berhasil berdiri, sekujur tubuhnya bergetar
dan keringat kebiruan memercik di wajahnya yang pucat pasi.
Setelah
keadaan gadis dari alam roh itu tenang, Wiro berkata, “Bunga, boleh aku
mengajukan satu pertanyaan lagi?”
Bunga
anggukkan kepala.
“Menurut
kakek tadi, dia melihat , dia melihat benda itu di dalam rongga. Bunga, mungkin
kau tahu rongga apa?”
Bunga
tersenyum. Gadis alam roh ini kembali merenung. Sesaat kemudian dia gelengkan
kepala.
“Maafkan
aku Wiro. Aku bisa menjawab pertanyaanmu itu. Tapi jika kuberitahu tempat ini
akan runtuh. Aku bisa selamatkan diri. Kau dan tiga temanmu tak mungkin lolos
dari maut!”
Wiro
garuk kepala lalu berkata, “Aku bisa menduga rongga apa yang dimaksudkan kakek
itu”
“Wiro!
Jangan kau sebutkan! Kita bisa mati semua!”
Bunga
cepat memberi ingat sambil menekap mulut Wiro dengan jari jari tangan kanannya.
Wiro hanya bisa mengangguk angguk.
“Maaf,
aku masih punya satu pertanyaan,” kata Wiro pula. Bunga tersenyum dan anggukkan
kepala.
“Aku
pernah mengerahkan beberapa ilmu kesaktian bahkan menghantam dinding batu jalan
masuk ke dalam lorong. Aku pernah menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Tapi semua itu
membalik menghantam diriku sendiri ….“
“Kau atau
siapapun selaku manusia tidak mungkin menghadapi kekuatan roh secara langsung.
Justru disitulah letak pantangannya. Roh di dalam lorong memiliki kekuatan luar
biasa. Dan roh itu menyedot kekuatan yang kau keluarkan untuk kembali
dihantamkan pada dirimu. Pada siapa saja yang berani menghadapinya secara
langsung. Apapun yang terjadi, dimanapun, jangan sekali kali berani melakukan
adu kekuatan secara langsung dalam satu garis lurus dengan roh.”
“Kalau
begitu tidak seorangpun, tidak satu kekuatanpun yang bisa menghadapi sang
Ratu.”
“Kaulah
yang akan menghadapinya Wiro. Dengan pernikahan itu. Dengan menikahi dirinya.
Aku hanya bertindak sebagai pembantu.”
Wiro
garuk garukkepala sementara tengkuknya terasa merinding.
“Ada satu
hal yang perlu aku jelaskan padamu, Wiro,” kata Bunga pula.
“Di dalam
lorong terdapat sebuah benda berupa batu pipih hitam persegi. Batu inilah yang
jadi pangkal sebab segala bencana. Kau harus mendapatkan batu itu dan
menghancurkannya. Dan petunjuk yang aku lihat di alam gaib, batu itu berada di
tangan pimpinan manusia pocong.”
“Tambah
lagi satu pekerjaan …“ ucap Wiro sambil garuk garuk kepala.
“Aku
pergi sekarang. Aku akan membukakan pintu rahasia di atas tangga sana untukmu
dan teman teman. Sebelum pergi aku akan memberikan sesuatu padamu.”
Dan balik
kebaya putihnya Bunga keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dan kain putih.
“Ambil,
simpan baik baik. Dalam keadaan terdesak jika kau harus berhadapan dengan
kekuatan roh di dalam lorong usap wajah dan tubuhmu dengan benda ini. Sebagian
tebarkan di depannya.”
“Benda
apa yang ada di dalam kantong mi?” tanya Wiro.
“Serbuk
Setanggi.”
“Eh,
dimana sebelumnya aku mencium bau Setanggi?” Wiro bertanya tanya pada diri
sendiri. Lalu dia ingat.
“Bunga,
sewaktu aku hendak mencoba masuk ke dalam lorong menerapkan Ilmu Meraga Sukma,
ada kekuatan dahsyat menghantam diriku disertai menebarnya bau Setanggi.”
“Kekuatan
dahsyat itu adalah kekuatan roh. Datang dan dalam lorong bersama tebaran bau
setanggi.”
Menerangkan
Bunga. Gadis dan alam roh ini memegang lengan sang pendekar dan berkata,
“Aku
pergi sekarang. Hati hatilah! Keselamatan semua orang yang diculik dan berada
di dalam lorong kematian serta masa depan rimba persilatan berada di tanganmu…“
Wiro
menggaruk kepala, “Aku selalu ketiban pulung hal yang tidak enak…“ ucapnya.
Bunga
lepaskan pegangannya di lengan Pendekar 212. Sosok gadis alam roh itu melesat
ke atas dan lenyap dan pemandangan, meninggalkan bau harum bunga kenanga yang
membuat Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati dan Wiro jadi tercekat.
Setelah
Bunga tinggalkan tempat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati datangi Wiro.
Si bocah pegang lengan sahabatnya.
“Wiro,
apa aku barusan tidak salah dengar. Gadis alam roh sahabatmu itu bilang kau
akan dikawinkan dengan roh yang ada di dalam Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Kawin dengan gadis benaran saja kau belum pernah. Sekarang kau mau
kawin dengan roh! Apa otakmu sudah berubah pindah ke dengkul, lalu turun ke
pantat?”
Wajah
Pendekar 212 tampak memerah. Namun enak saja dia menjawab.
“Sahabatku
bocah berambut jabrik,” kata Wiro pula.
“Kau
memang tidak salah dengar. Karena kau belum torek, belum budek. Tapi kau keliru
menyebut. Aku bukannya mau dikawinkan. Tapi dinikahkan…“
“Lalu apa
bedanya?” tanya Naga Kuning.
“Tentu
ada beda. Kalau nikah pakai niat. Kalau kawin pakai urat!” jawab murid Sinto
Gendeng lalu tertawa gelak gelak dan melompat ke arah tangga batu.
*********************
10
Kembali
ke kawasan jurang di sebelah belakang bukit batu dimana terletak 113 Lorong
Kematian. Tak lama setelah Pendekar 212 didorong jatuh ke dalam jurang Nyi Roro
Manggut tinggalkan tempat itu dengan melintas di atas tumbangan pohon. Tak
selang berapa lama ketika setelah Wakil Ketua dan anak buahnya muncul dari
pintu rahasia lalu menghancurkan pohon yang melintang di atas jurang dan
kembali masuk ke dalam lorong lewat pintu rahasia di dinding batu, dua orang
melayang turun dari atas satu pohon besar berdaun rimbun. Rupanya sudah cukup
lama mereka sembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua kejadian di tempat
itu. Kedua orang ini ternyata gadis cantik Bidadari Angin Timur dan Jatilandak,
pemuda berkulit kuning dan negeri 1200 tahun silam.
“Aku
mengkhawatirkan Wiro. Kalau sampai dia menemui ajal di dasar jurang…“
Bidadari
Angin Timur bersikap dingin saja mendengar ucapan Jatilandak.
“Kau
tidak khawatir?” tanya Jatilandak sewaktu Bidadari Angin Timur dilihatnya hanya
berdiam diri.
“Sebelumnya
kau sudah tahu, aku tidak ingin ke tempat ini. Tapi kau membujuk…“
“Maksudku
baik. Ingin membantu para sahabat yang menghadapi urusan besar,” sahut
Jatilandak.
“Umur
manusia di tangan Tuhan. Kalau pemuda itu harus menemui kematian di dasar
jurang, apa yang perlu dikawatirkan?”
“Sahabatku,
kau menyaksikan sendiri nenek itu mendorong Wiro masuk ke dalam jurang.
Tidakkah kau ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu?”
“Mungkin
saja nenek itu punya silang sengketa dengan Wiro. Mungkin pula si nenek adalah
kaki tangan orang orang penghuni lorong atau salah seorang dari mereka yang
sengaja muncul untuk mencelakai Wiro. Pemuda itu karena tidak tahu gelagat dan
tidak waspada akhirnya jadi korban. Dalam rimba persilatan segala sesuatunya
bisa terjadi. Kematian bisa berlangsung karena seribu satu macam sebab. Wiro
telah menemukan penyebab kematiannya…”
“Kalau
Wiro benar benar menemui ajal di dasar jurang, apakah kau tidak punya rasa
hiba? Bukankah antara kau dan dia…“
Jatilandak
tidak teruskan ucapannya. Bidadari Angin Timur sendiri berdiri sambil
rangkapkan dua tangan di atas dada dan kepala memandang ke langit yang terlihat
di sela sela kerimbunan daun pepohonan. Bibirnya digigit gigit.
“Jatilandak,”
sang dara akhirnya keluarkan ucapan.
“Aku tak
ingin lagi membicarakan pemuda itu. Aku mengikutimu cukup hanya sampai di sini.
Kau silahkan meneruskan perjalanan seorang diri”.
Jatilandak
menatap lekat lekat ke wajah cantik itu.
“Sahabat,
aku sedih sekali mendengar semua ucapanmu. Seandainya kau benci pada seseorang
akulah orangnya. Karena sebenarnya akulah yang telah berlaku keliru. Kalau Wiro
menemui kematian tanpa aku sempat memberi keterangan padanya tentang hubungan
kita, aku akan menyesal seumur hidup…“
“Kita
tidak punya hubungan apa apa. Seandainya dia nanti ditemui dalam keadaan hidup,
tidak ada yang perlu diterangkan. Bukankah dia sudah berbahagia dengan sahabat
barunya, gadis bernama Wulan Srindi itu?” kata Bidadari Angin Timur pula.
Di dalam
hati Jatilandak bertanya tanya apa sebenarnya yang membuat gadis berambut
pirang itu selalu berubah ubah pikiran serta menunjukkan kebencian mendalam
terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Hanya karena rasa cemburu yang berubah
menjadi kebencian semata?
“Aku
ingin pergi. Kau mau ikut bersamaku?” Bidadari Angin Timur bertanya. Dia
bertanya dengan kepala dipalingkan ke jurusan lain. Untuk menyembunyikan
sepasang matanya yang berkaca kaca.
“Aku
ingin pergi kemana kau pergi. Tapi saat ini kita menghadapi urusan besar. Aku…“
Bidadari
Angin Timur angkat tangan kirinya memberi tanda agar Jatilandak hentikan
ucapan.
“Aku
ingin membawamu menemui seorang tokoh rimba persilatan. Namanya Bujang Gila
Tapak Sakti. Dia memiliki ilmu yang bisa merubah warna kulitmu yang kuning.”
“Sahabatku
Bidadari Angin Timur, terima kasih kau memperhatikan diriku. Soal keadaan kulit
tubuhku yang kuning kalaupun tidak bisa disembuhkan bagiku tidak menjadi apa.
Saat ini ada hal lain yang lebih penting dari diriku. Yaitu menyelamatkan rimba
persilatan dari manusia manusia pocong lorong kematian. Kau tahu sendiri banyak
perempuan hamil yang diculik. Beberapa tokoh silat yang tersesat ke dalam
lorong tidak diketahui bagaimana keadaannya. Kita harus berbuat sesuatu.”
“Kau
orang baik. Budimu sangat luhur. Satu saat kau akan mengerti. Kepentingan orang
banyak tidak selalu diatas kepentingan diri pribadi. Selamat tinggal
Jatilandak. Selamat berbakti pada rimba persilatan.”
Habis
berkata begitu Bidadari Angin Timur balikkan badan dan tinggalkan tempat itu.
Jatilandak memanggil dan hendak mengejar. Namun ragu. Sudah dua kali dengan ini
si gadis bersikap seperti itu. Akhirnya pemuda berkepala botak kuning ini duduk
di tanah, bersandar ke batang pohon. Menatap ke seberang jurang, di arah mana
Luhkentut dan Hantu Muka Dua berada.
Bidadari
Angin Timur Iari cukup jauh. Gadis ini baru berhenti berlari ketika sampai di
pinggiran rimba belantara. Dia duduk di tanah, bersandar pada tumbangan batang
pohon yang telah kering. Wajah dibenamkan di atas telapak tangan. Pundaknya
bergetar pertanda dia berusaha menahan isak. Sebelum isakan berubah menjadi
tangis, tiba tiba dua bayangan berkelebat dan berdiri di kiri kanannya. Sang
dana mencium bau pesing santar sekali.
“Sinto
Gendeng,” pikir Bidadari Angin Timur. Wajahnya masih dibenamkan di atas dua
telapak tangan akhirnya telinganya mendengar suara perempuan menegur.
“Bidadari
Angin Timur, sahabatku, apa yang kau buat di sini?”
Bidadari
Angin Timur terkejut. Dia mengenali suara itu. Dua tangan yang menutupi wajah
diturunkan.
Dihadapannya
berdiri Ratu Duyung dan kakek berjuluk Setan Ngompol.
“Ah,
kalian berdua rupanya. Aku gembira bisa bertemu dengan kalian lagi.”
Ratu
Duyung tersenyum, anggukkan kepala lalu bertanya,
“Kau
seorang diri di tempat ini. Raut wajah dan sinar matamu menunjukkan hati dan
perasaanmu sedang tergoncang. Maukah kau berbagi rasa menceritakan padaku apa
yang terjadi?”
Bidadari
Angin Timur usap kedua matanya, tersenyum lalu tertawa.
“Ratu
Duyung, terima kasih kau punya perhatian begitu baik terhadapku. Tapi apa
perlunya kau mengkawatirkan orang seperti diriku? Urusanmu sendiri begitu
banyak.”
Dalam
hati Bidadari Angin Timur berkata, “Aku tidak punya silang sengketa apa apa
dengan gadis bermata biru ini. Tapi entah mengapa aku tidak suka padanya.
Hubungannya dengan Wiro sangat dekat. Aku heran, mengapa aku masih mencemburui
orang lain. Padahal aku sendiri ingin berpaling diri dari pemuda itu. Mana
mungkin aku menghargai seorang pemuda yang punya kekasih dimana mana. Yang
pernah kawin dengan seorang gadis dari alam lain…“
Ratu
Duyung pegang bahu Bidadari Angin Timur lalu berkata, “Kau sahabatku, susah
senangmu susah senangku juga. Ayo katakan apa yang terjadi?”
Bidadari
Angin Timur masih tersenyum. Dia melirik pada Setan Ngompol. Si kakek kedip
kedipkan mata lalu cepat cepat pegang bagian bawah perutnya agar kencing tidak
terpancar.
“Di
tengah jalan kakek Setan Ngompol ini bilang padaku kau pengi bersama pemuda
bernama Jatilandak. Dimana dia sekarang?”
Bidadari
Angin Timur sisir rambut pirangnya dengan jari jari tangan.
“Dia
pergi ke arah sana. Mungkin tengah menuju bukit batu sarang manusia manusia
pocong. Untuk sementara aku menunggu di sini”
“Aneh,
mengapa mereka tidak pergi sama sama?” pikir Ratu Duyung.
“Kau tahu
dimana Wiro berada?”
“Itulah…”
“Itulah
apa?” tanya Ratu Duyung ketika Bidadari Angin Timur tidak teruskan ucapannya.
“Di
belakang bukit batu, ada sebuah jurang. Wiro berada di sana. Seorang nenek
cebol mendorongnya masuk ke dalam jurang. Sulit aku menduga apakah pemuda itu
masih hidup atau…”
Ratu
Duyung menatap wajah Bidadari Angin Timur. Ketika pertama kali berjumpa tadi
dia melihat paras gadis berambut pirang itu lesu sedih dan sepasang mata yang
balut seperti mau menangis. Tapi agaknya bukan lenyapnya Wiro ini yang menjadi
ganjalan kesedihan hatinya.
Ratu
Duyung tidak rnenunggu Bidadari Angin Timur menyelesai kan kalimatnya. Gadis
bermata biru dari samudera selatan ini memberi tanda pada Setan Ngompol, lalu
berkelebat pergi tinggalkan tempat itu.
Sambil
berlari cepat Ratu Duyung berkata, “Aku melihat sikap aneh Bidadari Angin
Timur. Kalau dia tahu Wiro didorong orang masuk jurang mengapa dia masih bisa
duduk tenang tenang di tempat itu?”
“Aku
melihat matanya balut sedih seperti habis menangis. Mungkin meratapi kematian
Wiro,” ujar Setan Ngompol.
“Jangan
kau bicara seolah Wiro sudah mati. Kita belum tahu kenyataan sebenarnya…“
“Kau bisa
pergunakan cermin sakti untuk menyelidiki”
“Sebelumnya
telah beberapa kali aku mempergunakan cermin itu. Namun satu kekuatan gaib
menghantam diriku dengan dahsyat. Aku khawatir… Nanti saja kalau kita sampai di
jurang aku akan mencoba…“
“Kau bisa
menduga siapa nenek cebol yang disebutkan Bidadari Angin Timur tadi?”
“Mungkin
aku bisa menduga. Tapi mustahil dia mau berbuat sejahat itu” jawab Ratu Duyung.
Sambil
terus berlari Ratu Duyung berkata, “Aku tadi memperhatikan. Ketika Bidadari
Angin Timur melirik ke arahmu, ada sesuatu di balik lirikan itu.”
“Maksudmu
dia menaruh hati padaku?” ujar Setan Ngompol.
“Tua
bangka geblek!” maki Ratu Duyung hingga Setan Ngompol tersentak kaget lalu
tertawa mengekeh dan kucurkan air kencing.
“Air
mukanya menunjukkan ada sesuatu yang dikhawatirkan…“
“Benar
sekali. Dia kawatir kalau aku jatuh cinta pada gadis lain! Ah, kasihan kalau
Bidadari Angin Timur sampai patah hati karena ulahku,” sahut Setan Ngompol
kembali bergurau dan tertawa gelak gelak.
Kedua
orang itu sampai di tepi jurang di sebelah belakang bukit batu markas manusia
pocong. Mereka tidak menemukan Jatilandak. Namun di seberang jurang, dekat
dinding batu mereka melihat seorang kakek dan seorang nenek berwajah angker.
Ratu Duyung bertanya perihal kedua orang yang tidak dikenalnya itu. Setan
Ngompol yang pernah tersesat ke negeri 1200 tahun silam bersama Naga Kuning dan
Wiro segera saja mengenali.
“Si kakek
yang memiliki dua muka di kepalanya itu berjuluk Hantu Muka Dua. Jahatnya
selangit tembus, si nenek bernama Luhkentut karena kentut melulu. Keduanya
memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Mereka sama sama berasal dan negeri
seribu dua ratus tahun silam. Tapi heran dari sini aku lihat Hantu Muka Dua
hanya duduk menjelepok di tanah seperti kakek pikun tiada daya. Mengapa mereka
berdua bisa berada di seberang jurang sana? Tak mungkin melompat sejauh ini
walau ilmu mereka setinggi langit sekalipun. Nenek jelek itu. Aku benci
padanya. Dia yang membaIikkan daun telingaku sebelah kanan! Nanti akan
kubalas!” Si kakek pegang daun telinga sebelah kanannya yang lebar tapi
terbalik.
“Dan
tanda tanda di sekitar sini,” ucap Ratu Duyung sambil sepasang matanya yang
biru memperhatikan berkeliling.
“Memang
jelas ada beberapa orang berada di tempat ini sebelumnya. Lalu pada kemana
mereka?”
“Bidadari
Angin Timur memberi tahu, seorang nenek cebol mendorong pemuda itu ke dalam
jurang. Saatnya kau mempergunakan cermin untuk menyelidik.” kata Setan Ngompol
sambil menahan kencing.
Ratu
Duyung sesaat merasa ragu. “Aku kawatir kejadian itu akan terulang kembali.
Saat ini kita justru berada dekat sekali dengan markas manusia pocong.”
“Kalau
kau takut, biar aku yang pegang kacanya. Kau yang melihat ke dalam cermin,”
kata Setan Ngompol pula sambil seka tangan kanannya yang basah oleh air kencing
ke dada.
Ratu
Duyung tersenyum. Dan balik pakaiannya yang bagus dia keluarkan cermin sakti
bulat. Cermin dipegang di tangan kanan. Untuk menjaga segala kemungkinan Ratu
Duyung alirkan tenaga dalam ke kaki hingga dua kaki itu laksana di pantek ke
tanah. Sebagian tenaga dalam juga dialirkan ke tangan kiri. Tangan ini kemudian
diangkat sebatas dada untuk membentengi diri. Dengan dada berdebar Ratu Duyung
kemudian mulai arahkan pandangannya ke dalam cermin. Pikirannya dipusatkan pada
jurang di hadapannya. Tak ada getaran pada tangan kanan dan cermin yang
dipegangnya. Tak ada hawa aneh mempengaruhi. Sepasang matanya melihat hamparan
kabut muncul di dalam cermin. Sesaat kemudian kabut lenyap. Dalam kejernihan
permukaan cermin dia melihat jurang di bawah sana. Mula mula yang tampak adalah
rimbunan pepohonan dari bebatuan. Lalu genangan air muncul sebuah benda
berbentuk perahu.
“Ada
sebuah telaga dalam cermin. Hai, apa ini ….? Di salah satu dinding ada tangga
batu menuju ke atas. Aku melihat seorang anak menaiki tangga. Aku seperti
mengenalinya. Pakaian hitam, rambut tegak lurus seperti ijuk”
“Itu
pasti Naga Kuning!” seru Setan Ngompol.
“Kau
tidak melihat yang lain lain? Wiro, Anggini, Wulan Srindi, Jatilandak?”
Ratu
Duyung gelengkan kepala.
“Tunggu.
Astaga, apa ini?! Ada seekor binatang melompat lompat menaiki tangga mengikuti
bocah itu. Seekor tikus besar. Tapi bulunya panjang tebal dan runcing…“
“Gila,
apakah Wiro telah berubah menjadi tikus besar?” ujar Setan Ngompol sambil
menahan kencing.
“Ratu,
kalau bocah itu Naga Kuning, bersamanya pasti ada seorang nenek jelek ….“
“Aku tak
melihat orang lain,” ucap Ratu Duyung.
“Kalaupun
Wiro sudah menemui ajal di dasar jurang, pasti aku bisa melihat sosoknya lewat
cermin ini. Aneh, tidak terjadi apa apa. Tidak ada kekuatan gaib menyerangku.”
Perlahan
lahan dia gerakkan cermin sakti di tangan kanan. Gerakan mi membuat dia mampu
melihat bagian atas tangga batu. Namun saat itu tangannya mulai bergetar.
“Serangan
itu datang kembali…“ membatin Ratu Duyung. Dengan cepat dia turunkan cermin,
tegak tak bergerak sambil kerahkan tenaga dalam.
Mendadak
sontak menggelegar satu dentuman dahsyat. Seantero kawasan bergetar.
Ratu
Duyung hampir terjungkal ke dalam jurang. Setan Ngompol masih sempat memegang
pinggang pakaiannya. Kedua orang ini terbanting jatuh ke tanah. Setan Ngompol
pancarkan air kencing. Sambil pegangi kupingnya yang mengiang dia bertanya. Di
seberang jurang nenek Latanahsilam Luhketut terhempas ke tanah. Hantu Muka Dua
mencelat ke udara dan jatuh bergedebuk.
Di dalam
jurang terdengar suara teriakan teriakan beberapa orang disusul benda benda
yang berjatuhan kecebur masuk ke dalam telaga.
“Apa yang
terjadi ….?“ Setan Ngompol keluarkan suara bergetar.
Ratu
Duyung duduk bersila di tanah. dia coba melihat ke dalam cermin kembali. Tak
kelihatan apa apa kecuali kabut tebal.
“Aneh,
sewaktu aku memantau ke dalam jurang tidak terjadi apa apa. Ketika aku merubah
arah cermin pandangan ke dinding batu sebelah kiri letak markas manusia pocong
itu tanganku bergetar. Lalu ada letusan keras itu…“ Ratu Duyung geleng geleng
kepala.
“Sesuatu
terjadi di bawah sana. Aku kawatir. Kita harus bisa turun ke dasar jurang. Tapi
bagaimana caranya?” Ratu Duyung usap keringat yang memericik di kening. Setan
Ngompol usap celananya yang kuyup oleh air kencing.
“Ratu,
waktu ledakan menggelegar aku mendengar suara teriakan. Coba kau menyelidik
lagi lewat cermin. Perhatikan ke arah jurang, jangan melenceng ke arah dinding
batu…“
Ratu
Duyung ikuti ucapan Setan Ngompol. Dia angkat cermin sakti ke depan wajahnya
lalu memperhatikan dengan seksama. Kabul menutupi pandangan di permukaan
cermin. Kabut lenyap berganti dengan pohon pohon lebat. Lalu muncul telaga di
dasar jurang.
“Astaga,
aku melihat mereka!” seru Ratu Duyung.
“Siapa
saja?”
“Wiro,
Naga Kuning, nenek berpakaian serba hitam. Lalu tikus besar itu … Mereka berada
di telaga. Mereka berenang menuju salah satu tepian. Hai!”
“Ada
apa?” Naga Kuning coba melihat ke dalam cermin. Namun dia tidak melihat apa
apa.
“Aku
tidak melihat apa apa. Kau melihat apa? Apa yang barusan mengejutkanmu?”
“Setibanya
di pinggir teiaga di arah tangga batu, tikus besar tadi berubah menjadi kepulan
asap. Lalu muncul sosok seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala botak dan
berkulit kuning.”
“Itu
pasti Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam. Ah, aku tahu ilmu yang
dipakainya. Untuk turun ke bawah dia merubah diri ke bentuk aslinya. Seekor
landak besar!”
Satu
suara tercekat terdengar di belakang kedua orang itu. Ratu Duyung dan Setan
Ngompol berpaling. Di situ berdiri Bidadari Angin Timur dengan wajah pucat. Dua
tangan memegangi pangkai leher. Apa yang diucapkan Setan Ngompol tadi
membuatnya sangat terkejut. Ternyata perwujudan asli pemuda bernama Jatilandak
itu adalah seekor landak besar.
“Bidadari
Angin Timur,” tegur Ratu Duyung. “Kami gembira akhirnya kau mau menyusul ke
sini. Kami tengah memikirkan bagaimana cara turun ke dalam jurang. Wiro dan
beberapa orang terlihat lewat cermin saktiku. Mereka berada di dasar jurang
yang ada telaganya…“
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab. Hanya sepasang matanya menatapi Ratu Duyung lalu
beralih pada Setan Ngompol. Perlahan lahan dua butir air bening menggelinding
dan kelopak mata sebelah bawah gadis berambut pirang ini. Kepalanya
digelengkan. Mulutnya terbuka. Suaranya berucap perlahan.
“Nasib
diriku buruk sekali…“
“Sahabatku,
kau menyesali apa?” tanya Ratu Duyung seraya mendekat.
Bidadari
Angin Timur gelengkan kepala lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
“Lagi
lagi dia menunjukkan sitat aneh…“ ucap Ratu Duyung.
************************
BUNGA
gadis dari alam roh sampai di anak tangga teratas. Mata manusia biasa tidak
akan melihat celah sehalus rambut membentuk bagian empat persegi pada dinding
batu.
"Ada
celah. Ternyata mereka tidak sepandai yang aku sangka…“ ucap Bunga dalam hati.
Gadis dan
alam roh ini goyangkan kepala. Saat itu juga sosoknya berubah menjadi samar,
berubah lagi menjadi asap tipis lalu bergerak menembus celah halus di dinding
batu. Sesaat kemudian Bunga telah berada di bagian dalam dinding batu. Ujudnya
yang seperti asap kembali membentuk sosok seorang gadis berkebaya putih.
Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada di satu ruangan cukup besar.
Di sebelah depan ada satu lorong pendek. Di ujung lorong kelihatan sebuah
tangga menuju ke atas. Bunga balikkan tubuh, menatap ke arah dinding yang
barusan dilewatinya melalui celah halus. Samar samar dia melihat ada cahaya
kuning pada bagian dinding batu yang berada dalam celah sehalus rambut.
“Cahaya
itu, pertanda satu kekuatan roh dahsyat Membentengi batu. Apakah aku sanggup
menembusnya? Aku harus bertindak cepat sebelum roh di dalam lorong mengetahui
kehadiranku…“
Tiba
tibasetiup angin berhembus disertai menebarnya bau setanggi.
“Celaka,
mahluk penguasa lorong telah mengetahui kehadiranku,” Baru saja Bunga membatin
seperti itu tiba tiba satu suara halus seolah datang dan kejauhan mengiang di
telinga Bunga.
“Roh dari
alam gaib. Kau datang membawa bencana. Terima kematianmu sebelum kau
menimbulkan malapetaka!”
Mendengar
suara halus itu Bunga cepat menyahuti.
“Bencana ada
dalam hatimu. Malapetaka ada dalam benakmu! Aku datang membawa kebaikan. Aku
akan berindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas dirimu kembali bebas alammu.
Dunia bukan tempat kediamanmu. Di dalam lorong ada manusia jahat yang
memperalatmu!”
“Ahai!
Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Aku mau
lihat apakah kau masih bisa berkata kata sesudah aku menjatuhkan kematian kedua
padamu!”
Dari arah
lorong di depan sana kembali bertiup serangkum angin, menyusul munculnya cahaya
kuning. Bunga cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala. Mulut
terkancing rapat. Sepasang mata menatap tajam ke arah cahaya kuning yang datang
menyambar.
“Roh dari
alam gaib, aku mewakili semua roh dari alammu. Berikan kekuatanmu padaku!
Hancurkan pintu itu!” Bunga gerakkan tangan kanannya ke depan. Sejenis bubuk
menebar di udara. Bubuk setanggi. Bau harum semakin santar di tempat itu. Dan
jauh mendadak terdengar suara pekikan.
Sosok
Bunga laksana kilat berubah menjadi asap melesat ke atas. Di ujung lorong
kemudian terdengar satu teriakan keras.
“Jangan!”
Cahaya
kuning berkiblat. Menghantam dinding batu. Tebaran setanggi yang masih melayang
di udara berubah menjadi percikan bunga api terang benberang.
“Bummm!
Byaaarr!”
Satu
letusan dahsyat berdentum mengguncang seantero tempat. Dinding batu di depan
sana hancur berantakan. Sebuah lobang berupa pintu empat persegi terpentang.
Bunga
kembali membentuk ujud nyatanya. Gadis dari alam roh ini berseru :“Terima
kasih! Kau telah membuka pintu untuk calon suamimu!”
Satu
pekikan panjang terdengar di kejauhan. Begitu suara pekikan sirna, mendadak
terdengar suara genta tujuh kali berturut turut. Terguncang ke kiri ke kanan.
Bunga lari ke arah pintu.
“Wiro,
cepat!”
Di bawah
sana Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning dan Jatilandak baru saja keluar
dari dalam telaga. Keempatnya cepat menaiki tangga menuju ke atas.
“Cepat,
ikuti aku!” kata Bunga begitu keempat orang itu sampai dihadapannya. Di
kejauhan genta terdengar lagi tujuh kali berturut turut. Kawasan 113 Lorong
Kematian seperti diguncang gempa.
TAMAT
No comments:
Post a Comment