Episode
113 Lorong Kematian
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
KEINDAHAN
dan ketenangan Telaga Sarangan di kaki selatan Gunung Lawu sejak beberapa waktu
belakangan ini dilanda oleh kegegeran menakutkan. Tujuh penduduk desa sekitar
lembah dicekam rasa cemas amat sangat. Jangankan malam hari, pada siang hari
sekalipun jarang penduduk berani keluar rumah. Pagi hari mereka tergesa-gesa
pergi ke ladang atau sawah, menggembalakan memberi makan atau memandikan lemak
lalu cepat-cepat kembali pulang. Mengunci diri dalam rumah, menambah palang
kayu besar pada pintu dan jendela.
Pasar
yang biasanya ramai hanya digelar sebentar saja lalu sepi kembali. Penduduk
lebih banyak berada di rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga sambit
berjaga-jaga. Terutama dirumah dimana ada orang perempuan yang tengah hamil
tujuh bulan ke atas. Malam hari setiap desa diselimuti kesunyian. Penduduk
tenggelam dalam rasa takut. Tak ada yang berani keluar rumah. Apakah yang lelah
terjadi ? Apa penyebab hingga penduduk dilanda rasa takut demikian rupa?
Peristiwanya
dimulai sekitar empat purnama lalu. Malam hari itu rumah Ki Mantep Kepala Desa
Plaosan kelihatan ramai. Mereka tengah mempersiapkan hajatan selamatan tujuh
bulan kehamilan pertama Nyi Upit Suwarni yang akan dirayakan secara
besarbesaran besok harinya. Maklum Nyi Upit adalah anak tunggal, puleri satu-satunya
Ki Mantep Jalawardu yang bersuamikan I Ketut Sudarsana. seorang pcngusaha dan
juru ukirberasal dari Klungkung, Bali berarti bayi yang dikandung Nyi Upit akan
merupakan cucu pertama Kepala Desa Plaosan itu. Tidak mengherankan selamatan
tujuh bulan ini dilangsungkan secara meriah. Besok malam, setelah upacara adat
pada siang harinya, akan digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Untuk
itu sebuah panggung besar telah di bangun di halaman depan rumah Kepala Desa.
Malam itu
semakin larut hari semakin ceria kelihatan suasana di rumah Ki Mantep
Jalawardu. Di dapur orang memasak berbagai macam makanan dan kue-kue. Di ruang
tengah ibu-ibu muda sahabat Nyi Upit sambil sesekali berseloroh, sibuk menata
sebuah meja besar, menghiasi berbagai juadah dan buah-buahan yang diletakkan
dalam beberapa piring besar mengelilingi sebuah tumpeng raksasa.
Di dalam
kamar setengah berbaring di atas tempet tidur, Nyi Upit mengobrol dengan
beberapa orang gadis. Gadis-gadis itu adalah sahabatnya sedesa, tapi beberapa
diantaranya berasal dari desa lain. Mereka mengobrol segala macam hal.
Terkadang mengganggu Nyi Upit dengan cerita-cerita lucu tapi nakal, sesekali
terdengar mereka tertawa riuh.
Di ruang
depan Ki Mantep dan sang menantu I Ketut Sudarsana, ditemani beberapa keluarga
dekat serta tetangga, kelihatan asyik bercakap-cakap. Kopi hangat dihidangkan
tiada henti. Berbagai juadah disuguhkan. Sekotak cerutu besar yang dibeli dari
awal sebuah kapal asing yang berlabuh di pantai utara ikut menambah maraknya
suasana percakapan. . .
Lewat
tengah malam ketika udara terasa tambah dingin dan beberapa orang sejawat mulai
minta diri, orang-orang lelaki yang tengah asyik bercakap-cakap di langkan
depan rumah dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian seorang
penunggang kuda dengan cepat melintas di halaman rumah. Wajahnya tidak jelas
karena halaman depan agak gelap dan kuda hitam yang ditungganginya melesat
cepat sekali. Yang sempat terlihat ialah si penunggang mengenakan jubah putih
serta kerudung berbentuk pocong putih. Aneh!
”Siapa
menunggang kuda malam-malam buta begini ? Berpakaian aneh, lewat begitu saja
seperti setan”. I Ketut Sudarsana keluarkan ucapan sambil berdiri dari kursi
memperhatikan penunggang kuda yang segera saja menghilang dalam kegelapan
Sesaat
selelah penunggang kuda itu lewat dan lenyap, sebuah benda melayang di udara
melewati bagian depan rumah, menyipratkan cairan kental. Benda yang melayang
ini terus melesat ke bagian dalam rumah. Beberapa orang ibu muda yang tengah
menghias buah-buah serta juadah di meja besar terpekik kaget dan melangkah
mundur dengan muka pucat. Ki Mantep Jalawardu orang yang pertama sekali
melompat dari kursi, lari ke bagian dalam rumah diikuti menantunya I Ketut
Sudarsana serta beberapa anggota keluarga dekat dan kenalan.
“Ada
apa?!” lanya Kepala Desa Plaosan itu sambil memandang ke arah orang perempuan
yang bergerombol merapat di salah satu sudut ruangan, unjukkan wajah ketakutan.
Seorang diantara mereka dengan tangan gemetar dan muka pucat menunjuk kearah
tumpangan di atas meja besar.
Tepat di
bagian atas tumpengan yang terletak di meja. kelihatan menancap sebuah bendera
kecil berbentuk segitiga. Bendera ini diikatkan pada potongan kecil bambu
sepanjang setengah jengkal. Ujung bambu inilah yang menancap di tumpengan.
Warna merah bendera aneh Itu ternyata adalah cairan kental yang masih
menetes-netes.
Dari
dalam kamar beberapa orang gadis berlarian keluar. Nyi Upjt mengikuti. Mereka
mendengar ribut-ribut diluar, suara orang menjerit. Mereka ingin tahu apa yang
terjadi orang-orang yang bekerja di dapur lak ketinggalan ikut berlarian ke
ruangan tengah rumah.
“Ayah,
ada apa ?" Bertanya Nyi Upit.
“Tidak
ada apa-apa. Kalian semua masuk kembali ke dalam kamar…” jawab Ki Mantep. Tapi
Nyi Upit dan teman-temannya tetap saja tegak di depan pintu kamar,
Ki Mantep
dekati meja besar. Tubuhnya dibungkukkan, kepala didekatkan ke tumpengan,
memperhatfkan bendera merah. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan meraba
bendera segi tiga. Terasa cairan kental menempel di ujung-ujung jari. Ki Mantep
tarik tangannya, memperhatikan cairan merah yang melekat di ujung jari-jari
tangan sambil jari-jari itu digesekkan. Tengkuk Kepala Desa ini mendadak
dingin. "Darah..” Ucap Ki Mantep dengan suara bergetar. Kepala Desa ini
tersurut dua langkah. I Ketut Sudarsana beranikan diri maju mendekati meja.
Dengan tangan kirinya dicabutnya bendera segitiga yang menancap di tumpengan.
Bendera merah basah diperhatikan dengan mata tak berkesip. Hidungnya mencium
bau amis. ”Darah, memang darah." kata I Ketut Sudarsana. Seperti ayah
mertuanya, suara sang menantu juga bergetar "Apa artinya ini? Siapa yang
melempar bendera darah ini?!" "Pasti orang berkuda berjubah putih
tadi." Ucap Ki Mantep Jalawardu. "Mengapa dia melakukan ini? Melempar
bendera segitiga basah dengan darah. Apa maksudnya?” Tanya I Ketut Sudarsana
sambil memandang pada ayah mertuanya lalu pada orang-orang di sekeliliingnya.
Tak ada yang menjawab karena memang mereka tidak tahu apa artinya semua ini.
Namun Ki Mantep Jalawardu sebagai orang tua yang telah berpengalaman dan
menjadi Kepala Desa Plaosan lebih dari dua puluh tahun diamdiam merasa ada
sesuatu yang aneh di balik apa yang barusan terjadi. Dan di belakang keanehan
Ini dia mencium sesuatu yang berbahaya.
Ki Mantep
kembali menyuruh putrinya dan semua anak gadis masuk ke dalam kamar. Orang
dapur dimintanya kembali bekerja di dapur. Ibu-ibu muda yang tadi sibuk
menghias piring-piring besar berisi berbagai hidangan, juadah dan buah disuruh
meneruskan pekerjaan. Kepala Desa ini kemudian mengajak semua orang lelaki
kembali ke langkan rumah. "Orang melempar bendera darah ke dalam rumah,
Sulit aku menduga apa maksudnya,” Ki Mantep berkata. “Di masa muda, aku banyak
membasmi orang-orang jahat sekitar kaki Gunung Lawu. Mungkin saja salah satu
dari mereka, kawan atau turunan mereka ingin membalas dendam, sengaja mencari
kesempatan pada saat kita mengadakan pesta selamatan tujuh bulan puteriku. Kita
perlu berjaga-jaga. Aku akan mengatur para perangkat desa untuk melakukan
perondaan sampai pagi. Besok siang penjagaan harus dilanjutkan. Orang yang
punya niat jahat pasti akan mengintai kelengahan kita. Aku tak ingin perayaan
selamatan tujuh bulan puteriku sampat terganggu." "Ki Mantep” seorang
lelaki berusia enam puluh tahun yang merupakan tetangga dan sahabat Kepala Desa
sejak bertahun-tahun, bernama Surablandong berkata, “Malam ini urusan keamanan
biar serahkan pada saya. Saya akan mengatur anak-anak. Ki Mantep dan yang
lain-lain tetap di sini saja. Istirahat dan tidur kalau perlu…”
Kepala
Desa Plaosan terdiam sesaat, akhirnya menganggukkan kepala. Siapa tidak kenal
dengan Surablandong bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah punya
nama harum di sekitar perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur mulai dari Sragen di
sebelah utara sampai Ponorogo di kawasan selatan, mulai dari Surokerto di ujung
barat sampai Madiun di sebelah timur. Selama bertahun-tahun dirinya ditakuti
para penjahat dan orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Sejak empat
tahun lalu setelah istrinya meninggal, dalam duka cita yang sangat mendalam.
Surablandong mengundurkan diri dari dunia persilatan. Jabatan Ketua Perguruan
Silat Lawu Putih diserahkan pada muridnya yang paling pandai dan paling
dipercaya, bernama Tambak Juwana.
Sambil
memegang punggung sahabatnya yang tiga tahun lebih muda itu Ki Mantep mengajak
Surablandong melangkah ke pintu pagar.
“Ki
Blandong, aku sengaja membawamu ke sini agar yang lain tidak mendengar apa yang
akan aku katakan” kata Ki Mantep Jalawardu dengan suara perlahan. "Saya
sudah merasa kalau Ki Mantep hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak tahu mau
mengatakan apa”.
“Aku
punya firasat buruk…”
“Jangan
berkata begitu Ki Mantep." Potong Surablandong.
“Padamu
aku tidak pernah berpura-pura. Kita sama-sama menyaksikan apa yang terjadi
malam ini, Mulai dengan munculnya orang menunggang kuda hitam. Berjubah putih
mengenakan penutup kepala seperti pocong. Lalu bendera segitiga yang dibasahi
darah. Sengaja dilemparkan ke dalam rumah menancap di Tumpeng besar. Semua itu
bagiku adalah suatu pertanda akan terjadi satu malapetaka…”
”Ki
Mantep. siapa orang yang berani berbuat macam-macam terhadap dirimu dan
keluargamu. Apa lagi saya ada di sini. Bukan saya bicara sombong akan saya
tekuk leher orang yang berani mengacau”.
“Kekacauan
barusan telah terjadi. Dan kita tidak sempat berbuat apa-apa. Orang sanggup
melemparkan bendera darah. Lalu kabur begitu saja…”
Diam-diam
Surablandong merasa malu mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Ki
Mantep, sudahlah. Jangan dipikirkan apa yang telah terjadi. Masuklah, kau perlu
istirahat dan tidur barang beberapa kejap. Soal keamanan rumahmu dan keluargamu
menjadi tanggung jawab saya. Saya akan mengatur anak-anak untuk melakukan
penjagaan.” "Terima kasih Ki Blandong. Aku akan masuk.Tapi aku tak akan
tidur. Kata Ki Mantep Jalawardu pula sambil menepuk bahu sahabatnya lalu
berbalik.
“Memang
dalam cemas melanda seperti itu siapa orangnya yang bisa tidur,”
Baru satu
langkah sang Kepala Desa itu berbalik ke arah rumah, sekonyongkonyong ada
derap kaki kuda dari ujung halaman sebelah kanan. Ki Mantep cepat balikkan
tubuhnya kembali. I Ketut Sudarsana dan beberapa orang lelaki yang ada di
langkan rumah besar menghambur lari ke halaman. Saat itu Surablandong telah
melompati pagar terus melesat ke atas panggung besar.
Dari arah
kegelapan di sebelah depan kanan panggung melesat seekor kuda hitam.
Surablandong siap untuk menggebuk siapapun yang jadi penunggangnya. Tapi jago
tua ini jadi melengak kaget ketika melihat kuda hitam itu berlari kencang tanpa
penunggang sama sekali!
Saat itu
Ki Mantep, I Ketut Sudarsana dan yang lain-lainnya juga sudah melompat ke atas
panggung. Seperti Surablandong, tadinya mereka siap menghadang dan menyergap
penunggang kuda. Namun semua mereka ikut terkesiap melihat kuda tanpa
penunggang itu. Rasa terkesiap dibayangi rasa mengkirik aneh. Selagi semua
orang terheran-heran bercampur kecut begitu rupa, kuda hitam lewat menghambur
di depan panggung. Dan saat itu pula di dalam rumah mendadak terdengar pekik
jerit tiada hentinya. I Ketut Sudarsana tersentak kaget.
Salah
satu jeritan itu dikenalinya adalah jeritan isterinya. Lelaki menantu Kepala
Desa Plaosan ini secepal kilat melompat turun dari atas panggung, terus melesat
ke dalam rumah.
Ki Mantep
sesaat tampak bingung sebelum menyusul sang menantu. Yang lain-lain ikut
berlarian ke dalam rumah. Hanya Surablandong yang lari ke jurusan lain yakni ke
halaman belakang rumah besar, ke arah kandang kuda.
Di dalam
rumah jerit pekik orang-orang perempuan semakin keras. Ketika menantu dan
suaminya berlari mendatangi, isteri Kepala Desa berteriak,
“Pakne,
Nyi Upit diculik ! anak kita diculik setan pocong ! “
*********************
2
DI DALAM
gelap di bawah hitamnya bayangan pohon besar Surablandong mendekam di atas
punggung kuda. Mata dipentang lebar, telinga dipasang tajam. Di dalam rumah
didengarnya suara jerit-pekik tiada henti. Malah kini ada suara orang meratap.
Surablandong maklum ada satu perkara besar lelah terjadi dalam rumah Kepala
Desa sahabatnya itu. Dia tidak bisa menduga apa. Dia tidak bisa membagi
perhatian. Lalu didengarnya suara itu. Suara yang ditunggu-tunggu. Derap
kaki-kaki kuda.
Di ujung
halaman timur rumah besar Kepala Desa, seorang penunggang kuda mengenakan jubah
dan penutup kepala putih menyerupai pocong muncul dari dalam kegelapan. Kuda
digebrak membelok ke arah depan bangunan panggung, yang berarti akan melewati
pohon besar di balik mana Surablandong menunggu Sekitar lima tombak kuda dan
penunggangnya dari pohon besar, untuk pertama kalinya Surablandong melihat
kalau di sebelah depan si penunggang kuda, di atas pangkuannya, terbujur
melintang sosok seorang perempuan. Surablandong tidak bisa menduga siapa adanya
perempuan itu. "Jahanam penculik! Manusia atau setan sekalipun kau adanya
akan ku pecahkan kepalamu!” Kertak Surablandong. Dengan gerakan gesit lelaki
berusia enam puluh tahun ini membuat gerakan ringan dan cepat melesat ke alas.
Dua tangannya bergantungan di cabang pohon paling bawah. Ketika penunggang kuda
berjubah dan berlutup kepala putih lewat. Surablandong ayun tubuhnya. Saat itu
juga, laksana seekor burung rajawali Surablandong melesat ke bawah. Tangan
kanan menggebuk ke arah kepala penunggang kuda yang ditutupi kain putih seperti
pocong. "Praakk!"
Surablandong
merasa yakin gebukan tangannya yang mengandung daya kekuatan atau bobot sama
kekuatan hantaman batu seberat 100 kati akan menghancurkan kepala orang. Bahkan
dia seolah mendengar suara pecahnya kepala si penculik. Namun jago tua yang di
masa muda telah menggegerkan delapan penjuru angin kawasan perbatasan Jawa
Tengah – Jawa Timur ini kecele. Bukan kepala orang yang dipecahkannya, malah
sebaliknya dirinya yang kena celaka!
Orang di
atas kuda lewat dua lobang kecil pada penutup kepala yang menyerupai pocong
rupanya telah melihat bayangan kuda dan sosok Surablandong yang mendekam di
balik pohon besar. Begitu Surablandong melayang ke arahnya sambil gebukkan
tangan kanan orang ini cepat rundukkan kepala sama datar dengan leher kuda.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat tinggi ke samping.
”Dukkk!”
Gerakan
tubuh Surablandong yang menukik sambil memukul sesaat tertahan di udara lalu
mencelat dua tombak untuk kemudian jaluh bergedebuk di tanah! Sesaat
Surablandong mengerang menahan sakit. Tangan kirinya ditekapkan ke ulu hatinya
yang barusan kena dihantam tendangan. Dia kerahkan tenaga dalam ke bagian yang
cidera, atur pernafasan lalu bangkit berdiri. Setengah berlari, tanpa
perdulikan rasa sakit pada ulu hatinya. Surablandong menghampiri kudanya, naik
ke atas punggung binatang ini yang kemudian digebrak ke arah lenyapnya
penunggang kuda berpakaian serba putih.
Sambil
mengejar Ki Blandong tiada hentinya merutuki diri sendiri. Dia tahu dirinya
telah tua. Tapi ilmu silat dan kepandaiannya tidak pernah berkurang. Tiga kali
dalam satu minggu dia selalu melatih diri. Kini ternyata orang begitu mudah
menghajarnya dengan satu tendangan. Menendang lawan sambil melesat di atas punggung
kuda dan memangku sosok perempuan di atas paha bukanlah satu pekerjaan mudah.
Hal inilah yang agaknya dilupakan Surablandong. Siapapun adanya penunggang kuda
yang kepalanya ditutupi kain putih, dia adalah seorang berkepandaian tinggi.
Dan tingkat kepandaiannya jelas berada di atas kepandaian Surablandong!
Orang
yang dikejar menggebrak tunggangannya ke arah barat daya. Surablandong yakin
dalam waktu tidak terlalu lama dia akan berhasil mengejar orang itu. Berkuda
sambil memangku tubuh orang di atas paha bukan pekerjaan mudah dan memungkinkan
seseorang bisa memacu tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Namun lagi-lagi
Surablandong dibuat kecele. Bagaimanapun dia kerahkan kepandaian memacu
kudanya. Tetap saja antara dia dan orang yang dikejar terpaut sekitar lima
lombak
Dalam
kesalnya Surablandong gerakkan tangan ke pinggang. Dari balik sabuk kulit besar
yang melilit pinggangnya dia keluarkan dua buah benda berwarna kuning,
berbentuk bola-bola kecil sebesar ibu jari kaki, yang dipenuhi duri-duri
lancip. Ketika dia masih malang melintang dalam rimba persilatan, benda ini
merupakan senjata rahasia sangat menakutkan, dikenal dengan julukan Elmaut
Kuning. Belasan lawan terutama orang-orang jahat menemui ajalnya oleh bola
berduri terbuai dari kuningan beracun ini.
Sejak dia
mengundurkan diri dari dunia persilatan meninggalkan Perguruan Silat Lawu
Putih, Surablandong tidak pernah lagi mempergunakan senjata rahasia itu.
Agaknya malam ini tidak ada jalan lain. Dia terpaksa mengeluarkan senjata
tersebut untuk menghentikan sekaligus menghabisi si penculik.
Ketika di
depan sana penunggang kuda yang dikejar membuat gerakan membelok ke kiri.
Surablandong melihat inilah kesempatan terbaik untuk menghantam orang. Secepat
kilat dia gerakkan tangan kanannya.
”Wuutt ”.
Surablandong
lancarkan serangan pertama. Satu dari dua bola kuningan berduri itu melesat di
udara. Inilah kebiasaan dan kecerdikan Surabandong. Dia tidak pernah melepas
senjata rahasia lebih dari satu buah dalam satu ketika serangan. Cara ini pula
yang membuat banyak lawan terpedaya dan menemui ajalnya.
Walau
malam gelap namun bola lembaga itu pelihatkan menyala kuning, melayang laksana
batu berpijar yang jatuh dari langit, mencari sasaran di.arah kepala penunggang
kuda hitam. Orang yang diserang rupanya sudah tahu kalau dirinya hendak
dihantam orang dengan satu senjata rahasia. Sambil menyentakkan tali kekang
kuda dan rundukkan kepala, dia membuat gerakan berkelit, bersamaan dengan ilu
tangan kirinya dilambaikan ke samping.
Pada saat
orang berusaha menghindari serangan bola kuningan pertama itulah Surablandong
susul dengan serangan kedua. Untuk ke dua kalinya dalam gelapnya malam
terdengar suar menderu disertai melesatnya cahaya kuning yang kali ini mencari
sasaran di pinggang penunggang kuda hitam.
Orang di
atas kuda hitam mendengus. Kembali dia lambaikan tangan kirinya,
”Tringg!"
"Tringg!”
Dua kal
terdengar suara berdering disertai kerlipan bunga api dalam gelapnya mafam. Dua
bola kuningan berduri yang dilemparkan Surablandong hancur bertaburan di udara!
Kagetnya Surabiandong bukan alang kepalang. Seumur hidup baru sekali ini
serangan bola kuningannya dipukul hancur demikian rupa. Pernah kejadian ada
lawan yang memang mampu mengelakkan bola kuningan pertama, Tapi hampir tidak
ada yang sanggup menyelamatkan diri dari serangan bola kuningan susulan.
Geram
penasaran dan marah Surablandong menggebrak kudanya lebih cepat. Kuda
tunggangannya lari seperti dikejar setan namun tetap saja dia tidak mampu
mengejar penunggang kuda didepannya.
Ternyata
orang yang dikejar lari ke arah timur Telaga Sarangan. Sel ah u Surablandong
tak jauh dari kawasan itu terdapat sebuah air terjun. Lalu lebih jauh ke arah
utara ada satu bukit batu yang konon menjadi sarang kediaman berbagai binatang
buas mulai dari ular berbisa sampai harimau raksasa.
Di timur
telaga entah bagaimana Surnblandong berhasil mendekati orang yang dikejarnya.
Makin dekat, makin dekat dan akhirnya dia dapat mengejar bahkan mendahului
orang itu. Surablandong memutar kudanya, berbalik. Kini dia menghadang orang
yang sejak tadi dikejarnya. Bekas Ketua Perguruan Silat Lawu Putih ini tidak
sadar kalau dia bisa mengejar orang karena orang yang dikejar memang sengaja
memperlambat lari kudanya.
Dua
tombak dari hadapan Surablandong penunggang kuda hitam hentikan kudanya. Dua
matanya memandang tajam ke arah Surablandong. Lalu dari bawah penutup kepala
berbentuk pocong putih itu menggema suaranya. "Surablandong, perjalananmu
cukup sampai disini! Kembali ke Plaosan atau kubuat kau meregang nyawa saat ini
juga!" Surablandong tersentak kaget mendengar orang tahu dan menyebut
namanya. Dia coba mengingat-ingat. Tapi tak mampu mengenali suara itu. Matanya
memperhatikan sosok yang menggeletak di atas pangkuan orang. Sosok seorang
perempuan, perutnya tinggi. Astaga! Surablandong terkejut untuk kedua kalinya.
Perempuan di atas pangkuan penunggang kuda hitam itu adalah Nyi Upit! Puteri
Kepala Desa sahabatnya yang tengah hamil tujuh bulan!
*********************
3
SURABLANDONG
majukan kudanya hingga mulut binatang ini hampir bersentuhan dengan kepala kuda
tunggangan orang di hadapannya. Pandangan orang tua ini seolah ingin menembus
penutup kepala kain putih berbentuk pocong, namun dia hanya bisa melihat
kerlapan cahaya sepasang mata di balik dua lobang kecil kain putih penutup
kepala.
Perempuan
lain saja diculik orang dudan cukup membuat Surablandong marah. Apa lagi yang
diculik puteri sahabatnya dan dalam keadaan hamil pula. "Bangsat
penculik!’ Bentak Surablandong. "Beraninya kau menculik puteri Kepala Desa
yang sedang hamil! Serahkan Nyi Upit padaku atau kuhabisi kau saat ini juga!”.
Dari
balik kain putih penutup kepala berbentuk pocong keluar suara tawa bergelak
"Surablandong, kembalilah ke Plaosan. Anggap kita tidak pernah bertemu di
tempat ini. Anggap kau tidak pernah melihat apa-apa. tidak pernah menghadapi
kejadian ini. Maka kau akan selamat dalam sisa hidupmu!"
Rahang
Surablandong menggembung, dia merasa sangat dihina dan direndahkan.
"Manusia atau hantu kurang ajar! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan
siapa!”.
Kembali
dari balik penutup kepaia berbentuk pocong terdengar suara tertawa, "Siapa
tidak kenal Surablandong, tokoh nomor wahid rimba persilatan yang pernah
menjabat Ketua Perguruan Sifat Lawu Putih! Semua kehebatanmu hanya tinggal
kenangan Surablandong. Malah aku melihat Perguruan Silai yang kau tinggalkan
empat tahun silam akan menjadi porak paranda. Pergilah, kembali ke Plaosan !”.
”Penculik keparat! Aku tidak akan pergi dari tempat ini sebelum membetot lepas
kain penutup kepafamu mengetahui siapa dirimu!. Dan sebelum kau menyerahkan
padaku puteri Kepala Desa itu!"
Kembali
orang bertutup kepala keluarkan tawa bergelak. "Sura,… Surablandong, Di
masa muda ketika kau sedang hebat-hebatnya malang melintang di rimba persilatan
tanah Jawa. Seandainya kita bertemu saat itu, kau tak bakal berkemampuan
menghadapi diriku. Apa lagi saat ini. di usiamu yang sudah tua badan telah
rapuh dan pikiran mulai pikun! Kau ingin membetot lepas kain penutup kepalaku!
Ha…ha! Jangan berucap terlalu sombong. Jangan berkata apa yang kau tidak mampu
melakukan! Kau ingin membawa puteri Kepala Desa ini! Jangan sekali-kaii
bertindak menjadi pahlawan besar! Karena nyawamu Cuma satu, Surablandong !”.
"Mungkin kau punya dua atau tiga nyawa hingga bicara sombong di hadapanku!
Aku mau lihat, berapa banyak nyawa kau punyai!” Surablandong membalas ucapan
orang dengan suara lantang keras, bergetar penuh marah. "Kau ingin
menghitung nyawa yang aku miliki?’ Ceh… ceh… ceh!”. Kepala yang ditutupi kain
putih berbentuk pocong bergeleng beberapa kali. Mulutnya keluarkan suara
leletan lidah. "Orang muda terkadang berlaku tolol. Tapi banyak orang bisa
memahami dan memaafkan. Namun kalau orang tua bangka seperti mu berlaku tolol
hanya penyesalan yang akan kau bawa ke liang kubur!"
Amarah
Surablandong meluap sudah ! "Ujudmu seperiti setan! Biarlah kau kujadikan
setan sungguhan!"
Habis
berkata begitu Surablandong membedal kudanya ke depan. Begitu bersisian dengan
lawan serta merta dia melesat dari punggung kuda. Sementara tubuhnya melayang
di udara, Surablandong kirim pukulan dengan kedua tangan ke arah muka orang.
Tangan kanan memang sungguhan hendak menghantam kepala lawan, tapi gerakan
tangan kiri hanya tipuan karena bertujuan untuk membetot lepas kain penutup
kepala. Inilah gerakan silat bernama Jurus Menghantam Batang Mencabut Daun.
Penunggang
kuda hitam keluarkan suara mendengus lalu membuat gerakan merebahkan tubuh
sebelah atas dan kepalanya ke belakang. Kaki kanan ditendangkan ke perut kuda
tunggangan Surablandong hingga binatang ini meringkik kesakitan dan angkat dua
kaki depannya tinggi-tinggi. Selagi Surablandong berusaha mengimbangi diri agar
tidak terpental dari punggung kuda, tahu-tahu tangan kanan si pocong putih
telah melabrak dada Surablandong dua kali berturut-turut. Tubuh Surablandong
terlipat ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sekali lagi jotosan
keras melanda dada orang tua itu. Tak ampun sosok Surablandong terpental dari
atas kuda. Terbanting menelentang di tanah. Matanya mendelik tapi dia tidak
melihat apa-apa.
Wajah di
balik kain penutup kepala menyeringai. Entah kapan dia mengambil dan entah dari
mana diambilnya, orang ini tahu-tahu telah memegang sebuah bendera kecil
berbentuk segitiga terbuat dari sehelai kain putih. Sekali tangannya
digerakkan, bambu kecil lancip yang menjadi ikatan bendera menancap dalam di
leher Surablandong. Darah menyembur. Kain berbentuk segitiga yang tadinya putih
serta merta berubah merah. Menjadi Bendera Darah’.
Di arah
selatan, dalam kegelapan malam kelihaian setengah lusin api obor bergerak cepat
menuju Telaga Sarangan. Sambil perhatikan barisan obor di kejauhan, orang di
alas kuda usap-usap perut hamil perempuan yang terbujur di atas pangkuannya.
Mulutnya menyeringai. Lalu sekali tali kekang kuda disentakkan, sebelum
rombongan pembawa obor sampai di tepi telaga, bersama tunggangannya orang ini
telah melesat lenyap dalam kegelapan malam.
PEDATARAN
tinggi bukit berbatu-batu di utara Telaga Sarangan. Dalam pekat gelapnya malam
kawasan itu kelam menghitam, menampilkan pemandangan angker dalam kesunyian
yang membuat kuduk bisa terasa dingin. Sesekali hembusan angin bertiup mengeluarkan
suara aneh menegakkan bulu roma. Ketika dari arah selatan muncul satu bayangan
putih, bergerak cepat bersama hembusan angin, siapa yang menyaksikan akan
menduga makhluk itu adalah setan yang tengah berkelebat gentayangan di malam
gelap gulita.
Tapt
makhluk tersebut, walau berpakaian serba putih, bertutup kepala laksana pocong
hidup, bukanlah setan atau makhluk halus adanya. Dia adalah manusia biasa yang
berdandan seperti setan. Sambil melompat dari satu batu ke batu lain,
berkelebat cepat dalam kegelapan malam, orang ini menggendong sosok perempuan
hamil.
Berlari
cepat dalam gelapnya malam di kawasan berbatu-batu dengan beban perempuan hamil
dalam gendongan, jelas bukan pekerjaan mudah. Kalau makhluk seperti pocong
hidup itu mampu melakukan, berarti dia memiliki ilmu kepandaian luar biasa
tingginya
Di atas
sebuah batu agak datar, orang ini hentikan larinya. Dan balik dua lobang kecil
pada kain putih penutup kepala, sepasang matanya memandang berkeliling. Dia
sudah sering berada dibukit batu ilu, namun pada malam hari segala sesuatunya
kelihatan serba hitam. Dia harus memasang mata mengawasi agar tidak salah
jalan.
Akhirnya
dia melihat mulut lorong itu. Gelap menghitam dibalik bayang-bayang sebuah batu
besar, sejarak dua puluh tombak di sebelah bawah bukit. Tidak menunggu lebih
lama orang ini segera berkelebat ke arah balu besar di bawah sana. Dilain kejap
sosok putihnya lenyap menghilang masuk ke dalam mulut lorong batu yang berada
di perut bukit.
Adalah
aneh, di dalam lorong batu keadaannya remang-remang, tidak segelap di luar.
Kenyataan lain ialah bahwa di dalam perut bukit batu Itu tidak hanya ada satu
lorong tetapi terdapat banyak sekali cabang dan setiap cabang memiliki
cabang-cabang pula. Orang yang tidak tahu seluk beluk tempat ini bukan saja akan
tersesat malah bisa-bisa tidak mampu lagi mencari jalan keluar.
Sambil
lari sepanjang lorong batu yang penuh dengan cabang-cabang itu orang berpakaian
seperti pocong berucap perlahan seperti menghitung-hitung.
”Lima
puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh kanan. Lima puluh kiri. Empat puluh
kanan. Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan. Empat puluh kiri. Tiga puluh kanan.
Lima puluh kiri. Empat puluh kanan Tiga puluh kiri. Lima puluh kanan."
Tepat
pada ucapan lima puluh kanan yang terakhir di depan orang yang berlari sambil
menggendong sosok perempuan hamil, terlihat sebuah pintu kayu berwarna hitam.
Pada pertengahan daun pintu menancap sebuah bendera kecil berbentuk segitiga,
berwarna merah basah. Bendera Darah !
Sepuluh
langkah akan sampai ke depan pintu hitam yang ditancapi Bendera Darah tiba-tiba
dari kiri kanan pintu dimana terdapat dua buah lorong melompat keluar dua sosok
berpakaian putih dengan kepala ditutup kain putih berbentuk pocong.
Masing-masing mencekal golok. Yang sebelah kanan langsung membentak.
”Siapa?!"
"Wakil Ketua Harap buka pintu hitam” . .
Dua orang
di depan pintu cepat-cepat menekuk lutut dan menjura memberi hormat pada setan
pocong yang menggendong perempuan hamil. Lalu salah seorang dari mereka menekan
sebuah tombol rahasia di dinding kiri pintu. Serta merta pintu hitam terpentang
lebar. Sekali melompat manusia pocong yang menyebut diri Wakil Ketua lenyap ke
dalam satu ruangan batu di balik pintu. Pintu hitam tertutup kembali.
Begitu
berada dalam ruangan balu di belakang pintu hitam, manusia pocong segera
berkelebat ke ujung ruangan dimana terdapat pintu kedua berwarna biru. Pada
pintu ini juga menancap sebuah bendera segitiga merah dan basah. Ketika
mendekati pintu biru tiba-tiba atap ruangan terbuka. Empat manusia pocong
melayang turun dengan mengeluarkan suara berkesiuran. Golok tergenggam di
tangan. Empat pasang mata di balik lobang-lobang kecil kain putih penulup
kepala yang sebelumnya berkilat beringas begitu melihat dan mengenali orang di
depannya, serta merta menekuk lutut menjura hormat,
”Wakil
Ketua, silahkan masuk. Ketua sudah aama menunggu."
Manusia
pocong yang barusan bicara menekan sebuah tombol di kiri pintu. Maka pintu
biruu terbuka dengan sendirinya. Begitu manusia pocong yang menggendong
perempuan hamil masuk ke dalam, pintu biru segera menulup.
Ruangan
batu dimana manusia pocong itu berada, luas sekali tetapi kosong dan sunyi.
Kekosongan dan kesunyian ini hanya sebentar. Tak selang berapa lama dinding
batu di sebelah kiri bergeser membentuk celah. Dari celah ini keluar seorang
manusia pocong bertubuh tinggi.
Manusia
pocong yang menggendong perempuan hamil cepat bungkukkan badan lalu berkala.
"Yang Mulia Ketua, terima salam hormat saya. Saya datang sesuai
tugas."
”Wakil
Ketua, aku gembira melihat kau berhasil. Baringkan perempuan itu dilantai. Aku
akan menyerahkannya pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu”. Manusia pocong bertubuh
tinggi keluarkan ucapan. Suaranya menggema menggetarkan dinding, lantai dan
atap ruangan batu.
Sesuai
apa yang diperintahkan sang Wakil Ketua baringkan sosok perempuan hamil di
lantai batu. Orang yang dipanggil dengan sebutan Ketua perhatikan sesaat wajah
perempuan hamil itu lalu bertanya. "Siapa dia?"
”Nyi
Upit. pureri Kepala Desa Plaosan”, jawab Wakil Ketua. "Berapa usia
kandungannya?" "Tujuh bulan rencananya besok akan dilangsungkan
hajatan selamatan." "Bagus. Aku puas. Kau boleh istirahat barang
sebentar. Sebelum pergi ada hal lain yang hendak kau sampaikan?"
"Ada, Yang Mulia. Pertama saya telah membunuh Surablandong. Bekas Ketua Perguruan
Silat Lawu Putih…" "Manusia satu itu memang tidak berguna hidup,
lebih lama. Ada hal lain ?”.
”Ki
Mantep Jalawardu. Kepala Desa Plaosan, bersama menantunya, I Kelut Sudarsana,
suami Nyi Upit tengah melakukan pengejaran. Sebelum pergi saya mendengar Ki
Mantep memerintahkan anak buahnya untuk melapor dan minta bantuan ke Kadipaten
Magetan. Selain itu saya juga mendengar Ki Mantep minta didatangkan Ki Juru
Seta, ahli pencari jejak. Apa yang saya harus lakukan? Apakah orang-orang itu
cukup layak untuk dibiarkan hidup dan dipakai tenaganya seperti yang kita
rencanakan?” "Tingkat kepandaian Ki Mantep Jalawardu tidak ada artinya.
Juga sang menantu Habisi mereka" "Bagaimana dengan Ki Juru
Seta?" "Bunuh dia sebelum berhasil mengetehui tempat ini."
"Akan saya lakukan. Saya akan berangkat sekarang juga.” ”Tunggu dulu. Tadi
kau mengatakan Ki Mantep minta bantuan Kadipaten Magetan. Aku tahu Adipati
Magetan adalah sahabat kental Ki Mantep Jalawardu. Mungkin dia akan turun
tangan sendiri menolong sahabatnya itu. Jika Adipati benar-benar muncul,
tangkap dia hidup-hidup. Tingkat kepandaian silat dan ilmu kesaktiannya bisa
kita manfaatkan," "Baik Yang Mulia. Saya minta diri sekarang."
"Pergilah. Orang-orang itu harus kau habiskan malam ini juga." ”Balk
Yang Mulia."
Manusia
pocong Wakil Ketua membungkuk hormat lalu memutar badan, tinggalkan ruangan
itu.
*********************
4
SAMBIL
mengangkat obor tinggi-tinggi, penunggang kuda paling depan berteriak.
”Berhenti!
Ada tubuh manusia tergeletak ditengah jalan!”. Dua penunggang kuda di sebelah
belakang, hentikan kuda lalu melompat turun. Kedua orang ini adalah Ki Mantep
Jalawardu Kepala Desa Plaosan dan menantunya I Ketut Sudarsana. Tujuh orang
lagi menyusul turun dari kuda masing-masing. Lima diantaranya membawa obor.
Mereka adalah para petugas Pamongdesa Plaosan.
Ki Mantep
Jalawardu mengambil obor dari tangan salah seorang anak buahnya. Dia melangkah
cepat ke arah tergeletaknya sosok manusia. Ketika obor di tangan Ki Mantap dan
dua obor lain, menerangi wajah dan badan orang yang terhampar ditanah itu,
kagetlah Kepala Desa dan semua orang yang ada disitu. Ki Mantep berikan obornya
pada anak buah disampingnya lalu berlulut, pegangi kepala orang yang tergetak di
tanah. "Surablandong,..”. Suara Ki Mantep bergetar wajahnya tegang
membesi. Kemudian dia melihat bendera segitiga merah yang menancap di leher
sababatnya itu. ”Bendera Merah…" desis Ki Mantep. I Ketut Sudarsana
berlutut di seberang ayah mertuanya. "Ki Sura pasti berhasil mengejar
penculik. Si penculik lalu membunuhnya."
Ki Mantep
pejamkan mata, anggukkan kepala lalu bangkit berdiri. Dia memandang
berkeliling. Mula-mula ke arah Telaga Sarangan. Lalu ke jurusan kerapatan
pepohonan dan terakhir sekati ke arah bukit batu yang menghitam di kejauhan.
Sulit untuk menduga kemana larinya si penculik. "Ini satu perkara besar!
Nyi Upit anakku harus bisa diselamatkan! Si penculik harus bisa ditangkap. Aku
sendiri yang akan memenggal batang lehernya. Tapi jika dia sanggup menghabisi
sahabatku Surablandong seperti ini berarti penculik jahanam itu memiliki ilmu
kepandaian sangat tinggi. Kita perlu berhati-hati. Kita harus menyusun siasat
pengejaran.”
Dua orang
Pamongdesa ditugaskan membawa pulang jenazah Surablandong ke Plaosan.
Sesampainya di Plasoan, salah seorang dari mereka harus kembali lagi membawa
bantuan tenaga pengejar sebanyak mungkin. Sedang petugas satunya harus segera
menemui Adipati Magetan untuk melaporkan apa yang terjadi. Kalau bisa meminta
bantuan perajurit Kadipaten mengejar si penculik. Kepada petugas ini juga
diminta untuk menemui seorang bernama Juru Seta yang dikenal memiliki
kepandaian mencari jejak orang atau binatang buruan. Semasa perang. Kerajaan
mempergunakan kepandaian Juru Seta untuk mengintai, menyelidiki kedudukan
musuh. Di masa kaum pemberontak mengacau negeri, tenaganya dimanfaatkan untuk
mengejar para pemberontak sampai ke sarangnya hingga pemberontakan dapat
ditumpas sampai ke akar-akarnya.
Kepada
menantunya Ki Mantep kemudian berkata.
”Kau dan
tiga orang Pamong tetap di sini, menunggu sampai tenaga bantuan datang. Aku dan
yang lain-lain melanjutkan pengejaran.”
Khawatir
akan keselamatan ayah mertuanya Ketut Sudarsana menjawab.
”Ayah,
sebaiknya biar saya yang meneruskan melakukan pengejaran. Ayah dan yang
lain-lain menunggu di sini…"
”Yang
diculik jahanam itu adalah anakku! Aku harus….." "Nyi Upit adalah
istri saya. Di dalam perutnya ada jabang bayi darah daging saya!” ucap sang
menantu. Kelihatannya Ketut Sudarsana tidak dapat menahan rasa geram yang
sebelumnya berusaha ditahan hingga dia mengeluarkan kata-kata keras pada ayah
mertuanya. "Seperti ayah saya juga ingin menyelamatkannya dan membunuh
penculik keji itu”.
Ki Mantep
terdiam mendengar ucapan sang menantu.
”Kalau
begitu kita lanjutkan pengejaran sama- sama!”, kata Ki Mantep Jalawardu
akhirnya.
Dua orang
petugas Pamongdesa ditinggalkan di tempat itu menunggu rombongan bantuan. Ki
Mantep dan I Ketut Sudarsana bersama enam orang lainnya segera melanjutkan
pengejaran. Sebelum pergi Ki Mantep meninggalkan pesan pada dua anak buahnya.
Kalau Juru Sela dan rombongan datang agar menyusul ke arah utara.
Sebagai
orang yang telah menjadi Kepala Desa Plaosati lebih dari dua puluh tahun Ki
Mantep bukan saja tahu belul seluk beluk desanya tapi juga hampir seluruh
kawasan perbatasan termasuk daerah sekitar kaki Gunung Lawu. Karenanya walaupun
saat itu malam hari. bukan merupakan satu kesulitan bagi Kepala Desa ini untuk
melanjutkan pengejaran. Namun sampai fajar menyingsing di ufuk timur, jejak
sang penculik masih belum tersidik. Padahal dia dan rombongan telah dua kali
mengitari telaga. "Kita tunggu sampai hari terang. Baru melanjutkan
pencarian”. Ki Mantep mengambil keputusan. Rombongan itu kemudian beristirahat
di tepi barat Telaga Sarangan.
Pagi harinya,
selesai Ki Mantep mencuci muka di tepi telaga, petugas Pamongdesa yang
diperintahkan menemui Juru Seta serta meminta tenaga bantuan muncul membawa
Juru Seta serta orang enam pemuda yang rata-rata bertubuh tegap dan membekal
golok besar di pinggang masing-masing.
Ki Mantep
segera menemui Juru Seta, seorang tua berpakaian dan berblangkon serba hitam
yang setiap saat selalu mengunyah sirih campur tembakau dalam mulutnya dan
sesekali menyemburkan ludah merah ke tanah. "Ki Juru, aku sangat
mengharapkan bantuanmu….” "Dari Pamongdesa saya sudah mendengar apa yang
terjadi. Saya akan berusaha sebisanya agar Nyi Upit dapat segera ditemukan
dalam keadaan selamat.” "Pamong desa memberitahu mengenai Bendera
Darah?" Juru Seta mengangguk. ”Agaknya bendera segitiga yang dibasahi
dengan darah itu menjadi satu tanda dari penjahat terkutuk yang menculik
anakku. Mungkin Ki Juru pernah tahu atau pernah mendengar sebelumnya hal-hal
yang berhubungan dengan Bendera Darah itu. Mungkin juga tahu siapa orang di
belakang semua kejadian ini?" "Ini satu kejadian aneh luar biasa
dalam hidup saya. Saya tidak mengetahui dan juga tidak bisa menduga apa
sebenarnya yang terjadi. Mengapa ada orang menculik puteri Ki Mantep yang
sedang hamil. Lalu mengapa begilu tega membunuh Surablandong dan menancapi
lehernya dengan Bendera Darah. Hanya ada satu hal yang bisa saya artikan. Orang
dibalik kejadian ini ingin memberi kesan. Jangan main-main dengan Bendera
Darah. Setiap Bendera Darah muncul maka satu peristiwa besar akan terjadi. Yang
juga bisa berarti kematian." Juru Seta diam sebentar lalu berkala lagi.
"Ki Mantep, sebaiknya kita segera saja mulai bergerak.”
Dari
balik pakaiannya orang tua yang seumur dengan sang Kepala Desa Plaosan ini
keluarkan sebuah tongkat kecil terbuat dari bambu kuning panjang lima jengkal.
Inilah benda yang menjadi andalan Juru Seta dalam melakukan pekerjaannya.
Juru Seta
memulai penyelidikannya dari tempat ditemukannya mayat Surablandong. Tongkat
bambu kuning ditancapkan di tanah, tepat dimana sebelumnya sosok Surablandong
terkapar menemui kematian. Perlahan-lahan Juru Seta pejamkan mata. Begitu
matanya terkancing rapat tiba-tiba tongkat bambu kuning yang menancap di tanah
sedalam satu jengkal kelihatan bergetar. Makin lama makin keras. Kemudian
perlahan-lahan, masih dalam keadaan bergetar ujung tongkat bambu kuning itu
meliuk ke arah utara. Pada saat ujung tongkat meliuk membentuk garis patah
tiba-tiba tongkat Itu melesat ke udara lalu melayang turun kembali. Tanpa
membuka matanya Juru Seta ulurkan tangan menangkap tongkainya. Benda ini
diselipkan di pinggang lalu matanya dibuka, langsung menatap pada Kepala Desa.
"Bagaimana Ki Juru Seta?”. Tanya Ki Mantep Jalawardu tidak sabaran,
"Penculik membawa puteri Ki Mantep ke jurusan utara. Kita menuju ke sana
sekarang juga”. Jawab Juru Seta.
Di daerah
sebelah utara terdapat kawasan rimba belantara. Di seberang rimba belantara ada
satu kawasan bukit batu. Kawasan mi merupakan kaki selatan Gunung Lawu.
Rombongan segera meninggalkan Telaga Sarangan menuju utara. Sepanjang perjalanan
Juru Seta mendapat petunjuk melalui getaran yang keluar dari tongkat bambu
kuning yang terselip di pinggangnya. Selama tongkat itu mengeluarkan getaran
berarti arah yang mereka ikuti adalah benar, berarti puta bahwa si penculik
memang melarikan diri di arah yang tengah mereka ikuti. Selain getaran
tongkatnya. Juru Seta juga bisa melihat jejak yang ditanggalkan kaki kuda si
penculik. Tongkat terus bergetar dan jejak kelihatan jelas ketika rombongan
memasuki rimba belantara.
Menjelang
tengah hari rombongan sampai di kaki selatan Gunung Lawu. Getaran masih terus
keluar dari tongkat bambu kuning di pinggang Juru Seta tetapi gelarannya terasa
semakin perlahan. Sedangkan jejak-jejak kaki kuda tidak kelihatan lagi. Hal ini
dapat dimaklumi karena kawasan tlu memiliki tanah yang tertutup bebatuan.
Diam-diam Juru Seta merasa kawatir. "Aneh.” membatin Juru Seta. ‘Kalau
penculik membawa Nyi Upit ke sekitar tempat ini, jejak bisa saja hilang karena
ini kawasan berbatu-batu. Tapi seharusnya getaran tongkat semakin keras."
Ketika
getaran tongkat lenyap sama sekali, Juru Seta memberi isyarat agar rombongan
berhenti. Lalu orang tua berpakaian serba hitam ini turun dari kudanya.
”Bagaimana
Ki Juru, sudah ada petunjuk?" Bertanya I Ketul Sudarsana,
Juru Seta
tidak segera menjawab. Dia memandang dulu berkeliling. Di sebelah belakang
terbentang rimba belantara yang barusan mereka lewati. Di sebelah depan ada
jajaran lembah yang walau cukup dalam tapi tidak sulit untuk ditempuh. Di
seberang lembah terdapat satu pedataran tinggi membentuk bukit batu. Ke sebelah
barat ada tiga desa besar yakni Tawang mangu. Karang anyar dan Karang pandan.
Jika pergi ke timur akan sampai ke kawasan pecandian. Salah satu candi yang
terkenal di daerah itu adalah Candi Cemorosewu. Juru Seta berpikir-pikir. Kalau
getaran tongkat lenyap di tempat itu dan jejak di tanah tidak lagi kelihatan,
berarti itulah akhir perjalanan si penculik. Berarti ke tempat sekitar situlah
Nyi Upit dilarikan. Namun memandang berkeliling Juru Sela tidak melihat hal-hal
mencurigakan. Mungkin penculik membawa Nyi Upit menuruni lembah. Dan di dasar
lembah sana perempuan muda hamil tujuh bulan itu disekap. "Kalau penculik
dan Nyi Upit berada di lembah sana, seharusnya tongkat mengeluarkan getaran
lebih kuat. Tapi nyatanya getaran tongkat malah lenyap. Aku merasa, sejak
sebelum keluar dan rimba belantara ada hawa aneh menahan getaran tongkat.
Seumur hidup baru sekali ini aku mengalami peristiwa seperti ini. Mengejar
pemberontak walau berbahaya tapi tidak sufit. Mengejar seorang penculik mengapa
begini susah?. Agaknya ada satu hal besar yang tak bisa kubayangkan di belakang
semua kejadian ini. ”Ki Juru, kau mengetahui sesuatu?" K i Mantep
Jalawardu bertanya.
”Agaknya
penculik berada di sekitar kawasan ini…”. jawab Juru Seta. "Agaknya? Berarti
kau ragu-ragu Ki Juru ” ujar Ki Mantep. "Menurut petunjuk, Nyi Upit
dilarikan ke arah sini. Di depan ada jajaran lembah. Di seberang sana ada bukit
batu. Dua kawasan ini harus kita selidiki" "Ki Juru tidak tahu pasti
di sebelah mana penculik berada?" bertanya Ketut Sudarsana. Juru Seta
menggeleng. Terus-terang dia berkata. ”Ada satu kekuatan aneh tapi hebat
mempengaruhi pekerjaan saya. Namun saya yakin, kalau tidak didalam lembah,
puteri Ki Mantep mungkin berada di pedataran tinggi berbatu-batu sana." Baik
Ki Mantep Jalawardu maupun I Ketut Sudarsana dan semua orang yang ada di tempat
itu merasa tidak puas atas keterangan Juru Seta.
Juru Seta
sendiri diam-diam merasa gelisah. Dia cabut tongkat bambu kuning yang terselip
di pinggang lalu tancapkan tongkat ini ke tanah antara dua buah batu. Dengan
telapak tangan kanannya Juru Seta tekan ujung tongkat. Belum lama menekan
tiba-tiba ada sambaran hawa aneh menyengat telapak tangan Juru Seta. Wajah
orang tua ini jadi berubah. Terlebih ketika tangan kanannya yang berada di atas
tongkat mulai bergetar. Juru Seta kerahkan tenaga meredam getaran aneh.
Tiba-tiba orang tua ini keluarkan jeritan keras. Tangan kanannya terpental,
tubuhnya terbanting ke tanah. Kepalanya nyaris membentur sebuah batu. Dari
mulutnya tersembur keluar tembakau serta sirih yang selalu dikunyahnya. Lalu
ada lelehan cair berwarna merah. Lelehan ini bukan ludah sirih tetapi darah!
Satu kekuatan aneh dan dahsyat yang dikirimkan orang ke tongkat kuning telah
membuat Ki Juru Seta menderit luka dalam yang parah.
Saat
tubuh Juru Seta terbanting ke tanah, bersamaan dengan itu tongkat bambu kuning
yang menancap di tanah tercabut. Melayang ke udara, lalu berbarengan, suara
tawa bergelak menggelegar di tempat itu, menggema sampai ke dalam jajaran
lembah dan rimba belantara.
*********************
5
SEMUA
tersentak kaget. Ki Mantep Jalawardu melompat turun dari kuda. menghambur ke
arah Juru Seta yang saat itu melingkar di tanah, tubuh menggigil seperti orang
kedinginan. Dari mulutnya masih mengucur darah. I Ketut Sudarsana juga telah
berkelebat turun dari punggung kudanya. Menantu Kepala Desa ini bukan melompat
ke arah Juru Seta tapi melesat ke dekat sebuah balu besar dlmana berdiri seekor
kuda. Di atas kuda ini duduk seorang berpakaian jubah putih, kepala ditutup
kain putih berbentuk pocong. Dari wajahnya hanya sepasang matanya yang
kelihatan lewat dua lobang kecil pada penutup kepala. Di tangan kanannya orang
ini memegang tongkat bambu kuning milik Juru Seta yang sebelumnya melesat
tercabut dari tanah. Rupanya ketika tongkat bambu itu melayang di udara, orang
ini berhasil menyambarnya. Sesaat diperhatikannya tongkat itu lalu berkata.
”Tongkat
hebat! Tapi aku tidak butuh!"
Tangan
manusia pocong meremas beberapa kali. Tongkat bambu kuning hancur tak berbentuk
lagi. "Setan jahanam…" Juru Seta merutuk melihat tongkat andalannya
dihancurkan begitu rupa. Dia berusaha kumpulkan tenaga, mencoba bangkit berdiri
untuk menyerang manusia pocong tapi hanya mampu bergerak sedikit, sosoknya
terhempas kembali ke tanah. Sementara itu beberapa orang anak buah Ki Mantep
Jalawardu dengan golok di tangan mengikuti gerakan Ketut Sudarsana, melompat ke
arah penunggang kuda di dekat batu. ”Setan pocong! Pasti kau yang menculik
isteriku" Teriak Ketut Sudarsana, Lalu dia mengambil golok yang dipegang
seorang pemuda Pamong desa. Dengan senjata ini dia menyerang si penunggang
kuda. Diserang orang dengan golok, melihat gerakan lawan serta derasnya siuran
senjata yang membabat ke arahnya jelas Ketut Sudarsana memiliki kepandaian
silat tidak rendah. Si penunggang kuda tidak mau berlaku ayal. Sekali membuat
gerakan, sosok nya melesat ke udara. Di lain kejap dia telah berdiri di atas
sebuah batu besar berpermukaan rata. Tangan kiri bertolak pinggang.
”Jahanam!
Mana istriku!” Kucincang kau kalau tidak menyerahkan Nyi Upit dalam keadaan
selamat !” Ketut Sudarsana berbalik, melompat ke atas batu dan untuk kedua
kalinya menyerang orang berjubah dengan goloknya.
”Wuuttt..!”
Golok
menderu membabat ke arah pinggang. Si jubah putih condongkan tubuhnya ke
belakang. Dengan tangan kanannya dia pukul lengan yang memegang golok.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menyapu ke depan, menendang tulang kering
kaki kanan Ketut Sudarsana. Gerakannya luar biasa cepat walau Ketut Sudarsana
memiliki kepandaian tidak rendah namun dia tak mampu menghindar.
"Kraaakr!” "Kraaak!"
Golok
besar di tangan Ketut Sudarsana mencelat mental, jatuh ke dalam lembah. Dua
kali terdengar suara tulang patah disertai jerit setinggi langit keluar dari
mulut I Ketut Sudarsana, lelaki muda ini terbanting jatuh ke atas batu datar.
Tulang lengan kanan dan tulang kering kaki kanan patah. Untuk beberapa lamanya
dia terkapar menggeliat kesakitan di atas batu sambil keluarkan suara erang
kesakitan.
Sosok
yang dipanggil dengan sebutan setan pocong mendatangi lalu injakkan kaki
kanannya ke dada Ketut sudarsana. Orang yang sedang megap-megap kesakitan ini
merasa seolah sebuah batu besar menindih dadanya, membuat dua matanya mendelik
dan lidahnya terjulur.
Sambil
bertolak pinggang manusia pocong yang menginjak dada Ketut Sudarsana berteriak.
"Orang-orang Plaosan! Kematian sudah dijatuhkan bagi kalian. Tapi aku
masih berbaik hati. Dengar! kalian harus segera tinggalkan tempat ini! Kalau
sampai matahari terbenam kalian masih berada di sini, kalian semua akan mampus
percuma! Contohnya ini"
Habis
berkata begitu si manusia pocong tendang tubuh Ketut Sudarsana hingga lelaki
muda ini mencelat mental dan jatuh tepat di samping Ki Mantep Jalawardu yang
tengah menolong Ki Juru Seta. Ki Mantep Jalawardu terbeliak melibat sosok
menantunya terkapar di depannya, tidak bersuara tidak bergeming. Amarah Kepala
Desa Plaosan tidak terbendung lagi. "Keparat jahanam! Kau menculik anakku!
Membunuh sahabatku! Mencelakai menantuku! Kupatahkan batang lehermu!"
Belum lenyap gema suara bentakan Kepala Desa, sosoknya telah melesat ke atas
batu. Lancarkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam, dua kali
berturut-turut.
Seperti
tadi ketika diserang Kelut Sudarsana, manusia pocong hantamkan tangannya ke
atas untuk menangkis serangan disertai niat hendak mematahkan lengan lawan.
Tapi Ki Mantep Jalawardu sudah mencium maksud tersebut dan berlaku cerdik.
Sebelum dua lengannya beradu dengan dua lengan lawan dia cepat melompat ke
atas. Setengah tombak melayang di udara Ki Mantep kembali menggempur. Bukan
cuma dengan jotosan tapi kali ini disertai tendangan ke arah dada. "Hebat
!”.
Si
manusia pocong berseru. Sambil miringkan tubuh dia bergerak ke samping satu
tangkah lalu tangan kanannya bekerja. Ki Mantep Jalawardu menjerit kesakitan
ketika urat besar di pahanya kena ditotok lawan. Keseimbangannya hilang dan
tubuhnya berputar di udara lalu jaluh ke tanah. Selagi mencoba berdiri sambil
menahan sakit, kaki lawan telah berkelebat ke arah kepalanya. Ki Mantep
terlambat melihat serangan ini.
”Praaakkk"
Kepala
Desa Plaosan itu terbanting ke tanah. mengerang pendek lalu tak berkutik lagi!
Nyawanya lepas dengan kepala pecah! Ki Juru Seta yang megap-megap dalam cidera
batalnya pejamkan mata ngeri melihat kematian Kepala Desa itu. Dua belas anak
buah Ki Mantap melengak kaget dan juga bergidik.
Juru Seta
coba berteriak. Wala teriakannya tidak keras tapi cukup jelas terdengar oleh
selusin anak buah Ki Mantep Jalawardu, "Kalian! mengapa diam saja! Orang
telah membunuh Kepala Desa kalian lekas bunuh makhluk setan jahanam itu!"
DUA belas
orang anak buah Ki Mantep Jalawardu yang sejak tadi diam saja berkelebat dengan
cepat mereka mengurung bat besar di atas mana si manusia pocong berdiri.
"Kalian mau apa? Aku tidak begitu suka melayani monyet-monyet macam
kalian. Pergi sana!”. "Bunuh! Cepat bunuh!”. Berteriak Juru Seta ketika
melihat dua belas orang yang diperintahkannya untuk membunuh manusia pocong
berdiri bimbang walau sudah mengurung lawan. Darah meleleh dari mulutnya.
Mendengar teriakan itu dua belas orang pemuda petugas Pamongdesa tadi serta
merta menyerbu. Dua belas senjata tajam berkelebat dalam gelapnya malam,
mengeluarkan suara bersiuran. "Kalian minta mati aku akan berikan!"
Manusia pocong di atas batu keluarkan ucapan. Bersamaan dengan itu tubuhnya
melesat ke udara. Begitu terabasan dua belas golok lewat di bawahnya tiba-tiba
orang ini membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar seperti gasing. Kaki kanan
menyapu ganas.
Enam
orang anak buah Ki Mantep Jalawardu keluarkan jeritan keras. Tiga terlempar
lalu tergelimpang tak berkutik lagi karena kepalanya pecah. Dua lainnya
terkapar di tanah sambil pegangi tulang-tulang iga yang patah. Yang ke enam
megapmegap lalu semburkan darah dari mulut. Tendangan si setan pocong
meremukkan tulang dadanya. Enam anak buah Ki Mantep Jalawardu yang lain serta
rnerta melompat mundur dengan wajah pucat manusia pocong keluarkan tawa
bergelak. "Kalian mengapa mundur? Mau minta mampus ayo mendekat ke sini.”
Tak ada
yang berani bergerak. Ketika manusia pocong melompat turun dari atas batu, enam
pemuda itu bersurut mundur. Lutut masing-masing terasa goyah. Nyali mereka
leleh sudah setelah menyaksikan kematian Ki Mantep Jalawardu dan enam kawan mereka.
"Kalian… pengecut semua…”.
Juru Seta
keluarkan ucapan. Semangat dan dendam amarah masih berkobar. Dia kembali
berusaha bangkit berdiri. Namun setengah jalan tiba-tiba satu benda putih
melesat di udara.
Di lain
kejap sebuah bendera putih berbentuk segi liga menancap tepat di atas kening
antara dua mata Juru Seta. Kepalanya terbungkuk. Tubuhnya kemudian jatuh
menelungkup di tanah. Darah mengucur membasahi bendera segitiga, serta merta
bendera yang terbuat dari kain putih itu berubah menjadi merah basah. Bendera
Darah!
Semakin
lelehlah nyali enam pemuda Pamongdesa anak buah Ki Mantep Jalawardu. Ketika
manusia pocong melangkah ke arah mereka, tidak tunggu lebih lama lagi mereka
serta meria menghambur kabur. Ada yang masih sempat melompat naik ke punggung
kuda, ada yang terus lari pontang panting seperti dikejar setan.
*********************
6
KETIKA
petugas Pamongdesa Plaosan datang memberitahu terjadinya penculikan atas diri
Nyi Upit Suwarni puteri Ki Mantep Jalawardu. Raden Sidik Mangkurat, Adipati
Magetan segera memerintahkan orang andalannya nomor satu di Kadipaten untuk
memberikan bantuan sekaligus menyelidik peristiwa tersebut.
Orang ini
adalah Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten, seorang lelaki tinggi kepandaian
silatnya, berusaa sekitar setengah abad. Dulunya Aji Warangan adalah seorang
Warok alias kepala rampok yang malang melintang berbuat kejahatan dan keonaran
sepanjang kawasan Kali Madiun, mulai dari Ponorogo di selaian, sampai Madiun di
utara dan tentu saja di wilayah Magetan. Ketika Sidik Mangkurat menjadi Adipati
di Magetan, hal pertama yang dilakukannya adalah menumpas Warok Aji Warangan
dan kelompoknya. Puluhan anak buah Warok Aji berhasil ditangkap. Yang melawan
tidak diberi ampun langsung dihabisi. Namun sang Warok sendiri tidak berhasil
dibekuk. Sebulan kemudian, setelah seluruh anak buahnya ditumpas. Sidik
Mangkurat baru berhasil menemui sarang Warok Aji Warangan.
Sidik
Mangkurat maklum kalau dia berhadapan bukan dengan Kepala Rampok biasa. Aji
Warangan selain berpengalaman dalam berbuat kejahatan juga memiliki ilmu silat
serta kesaktian tinggi. Karenanya begitu bertemu, sang Adipati menasihatkan dan
mengajak kepala rampok itu agar meninggalkan perbuatan jahatnya, kembali ke
jalan yang benar. Namun Warok Aji Warangan mana mau mendengar ajakan tersebut,
Apa lagi puluhan anak buahnya telah ditumpas oleh Sidik Mangkurat.
Menghadapi
sikap kepala rampok itu, walau saat itu Sidik Mangkurat membawa pasukan terdiri
dan lima puluh prajurit terlatih, namun dia tidak memerintahkan mereka untuk
mengeroyok, menangkap atau membunuh Aji Warangan. Adipati ini turun tangan
sendiri membekuk Warok itu. Maka perang tanding satu lawan satupun terjadilah.
Keduanya bertempur dengan tangan kosong tanpa mengandalkan senjata. Berarti
masing-masing mengeluarkan dan mengandalkan kehebatan tenaga luar, tenaga dalam
serta hawa sakti yang dimiliki.
Perkelahian
seru berlangsung lebih dan enam puluh jurus. Aji Warangan berhasil mendaratkan
beberapa pukulan ketubuh bahkan muka Adipati Sidik Mangkurat. Namun jurus-jurus
selanjutnya sang Adipati tak memberi hati lagi. Aji Warangan dihajar
habishabisan sampai akhirnya terkapar dengan muka bersimbah darah luka-luka
dihantam Sidik Mangkurat. Dalam keadaan tak berdaya Warok itu siap menunggu
kematian di tangan Adipati Magetan. Namun sang Adipati tidak membunuhnya. Di
luar dugaan Aji Warangan, Sidik Mangkurat malah memerintahkan anak buahnya
menolong dan mengobati luka-lukanya. Di satu tempat, tanpa dihadiri orang lain
Sidik Mangkurat bicara empat mata dengan kepala rampok yang barusan
dikalahkannya itu.
Kepada
kepala rampok itu sang Adipati berjanji akan mengampuni semua dosa kesalahan
dan perbuatan jahatnya asalkan dia mau bertobat. Menyadari bahwa orang memang
berniat baik terhadapnya, sambil kucurkan air mata Aji Warangan jatuhkan diri,
berlutut di hadapan Sidik Mangkurat. Menyatakan dirinya bertobat dan siap
kembali ke jalan yang benar. Sidik Mangkurat tidak percaya begitu saja terhadap
apa yang dikatakan Aji Warangan. Bekas Warok yang ditakuti ini dibiarkan
tinggal bersama sisa-sisa anak buahnya di satu kampung kecil, tapi di bawah
pengawasan orang-orangnya. Di tempat itu dihadirkan seorang guru yang
memberikan pelajaran agama yang selama ini tidak pernah menyentuh diri dan hati
Aji Warangan. Berkat ajaran agama itu dalam waktu singkat bekas kepala rampok
ini benar-benar telah berubah. Namun Sidik Mangkurat masih belum mempercayai
dirinya. Secara diam-diam Adipati itu menyusupkan beberapa orang
kepercayaannya. Orang-orang ini menyamar sebagai para penjahat dari timur.
Mereka membujuk Aji Warangan untuk bergabung dengan mereka bahkan akan
dijadikan pimpinan mereka. Kejahatan pertama yang akan mereka lakukan jatah
menghadang rombongan dari Kotaraja yang dikabarkan membawa barang-barang sangat
berharga ke satu tempat. Tapi Aji Warangan yang memang sudah benar-benar
berubah menolak ajakan itu malah dua dari orang yang mendatanginya dihajar
sampai babak belur.
Setelah
percaya penuh atas diri Aji Warangan, Sidik Mangkurat memanggil Aji Warangan ke
Magetan. Di sini dia diberi jabatan sebagai satu dari empat Kepala Perajurit
Keamanan Kadipaten. Lalu dijadikan Wakil Pasukan Kadipaten. Lima tahun kemudian
dia diangkat menjadi Kepala Pasukan Kadipaten.
****************************
Sebelum
meninggalkan Kadipaten bersama sepuluh orang anak buahnya Aji Warangan lebih
dulu menemui atasannya. " Adipati, ada satu hal yang mengherankan dalam
peristiwa ini”. kata Aji Warangan pada Sidik Mangkurat. ”Biasanya orang jahat
selalu menculik gadis atau perempuanperempuan muda istri orang. Tapi yang satu
ini menculik seorang perempuan yang tengah hamil.” "Rata heranmu sama
dengan rasa heranku, Ki Aji." Jawab Sidik Mangkurat. Saya merasa ada
sesuatu dibalik peristiwa yang tidak biasanya ini. Saya harap kau mampu
menyelidiki sampai tuntas. Yang penting menangkap hidup-hidup pelakunya.”
"Menurut Pamong desa yang datang melapor penculik mengenakan pakaian serba
putih. Kepalanya ditutup dengan kain putih berbentuk pocong. Jika seseorang
sengaja menutupi wajahnya, berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Saya setuju
dengan pendapat Adipati. Ada sesuatu di balik peristiwa penculikan ini. Saya
pernah mendengar kabar. Beberapa tahun lalu Ki Mantep Jalawardu pernah
menghancurkan beberapa kelompok penjahat yang berkeliaran di sekitar Plaosan
sampai ke Telaga Barangan. Mungkin ada sisa-sisa dari kawanan penjahat itu yang
membatas dendam?"
Adipati
Sidik Mangkurat memegang bahu Aji Warangan. Sambil gelengkan kepala dia
berkata. "Saya yakin bukan itu yang sebenarnya terjadi. Kau lebih tahu Ki
Aji, untuk memastikan, itu sebabnya saya muinta Ki Aji turun tangan
menyelidiki. Sekali lagi tangkap hidup-hidup pelakunya" "Saya
berangkat sekarang juga Adipati." Bersama sepuluh orang anak buahnya Aji
Warangan larut malam menjelang pagi itu segera meninggalkan Kadipaten Magetan
menuju Plaosan. Anak buah Kepala Desa Plaosan yang datang melapor dijadikan
sebagai penunjuk jalan.
Pagi
harinya setelah mampir sebentar di rumah Ki Mantep Jalawardu di Plaosan, Aji
Warangan dan rombongan segera meneruskan perjalanan ke arah utara, ke arah mana
menurut petugas Pamongdesa penculik melarikan Nyi Upit tadi malam.
Belum
jauh meninggalkan Plaosan, di satu jalan lurus dan mendaki. Aji Warangan dan
ank buahnya berpapasan dengan dua orang penunggang kuda. Walau mereka menempuh
jalan menurun namun dua penunggang kuda itu memacu tunggangan masingmasing
seperi! dikejar setan. Agaknya ada sesuatu yang membuat mereka ke susu seperti
Itu.
Aji
Warangan memberi tanda lalu menepikan kuda diikuti oleh sepuluh anak buahnya.
Ketika dua penunggang kuda mendekat. Aji Warangan segera berteriak.
"Berhenti! Ada apa?!
****************************
Dua
penunggang kuda hentikan kuda masing-masing. Yang di sebelah depan begitu
melihat dan mengenali Aji Warangan, dengan nafas terengah segera mendekati,
"Kepala Pasukan Kadipaten, Ki Aji Warangan. Syukur kami bisa menemui Ki
Aji hingga tak perlu jauh-jauh ke Magetan…”. ”Kalian siapa?" "Mereka
petugas Pamong desa Plaosan, teman saya," yang bicara petugas Pamong desa
yang ikut bersama rombongan Aji Warangan, "Betul, kami anak buah Ki Mantep
Jalawardu, Kepala Desa Plaosan." "Kawan kalian ini memberitahu
peristiwa penculikan atas diri Nyi Upit, puteri Ki Mantep Jalawardu. Sekarang
kalian menunggang kuda seperti diburu selan. Ada apa?" ”Ki Mantep dan
menantunya I Ketut Sudarsana, juga Ki Juru Seta. Mereka semua dibunuh…"
Kagetlah
Aji Warangan mendengar ucapan anak buah Kepala Desa Plaosan itu. "Tenang,
jangan kesusu. Ceritakan bagaimana kejadiannya. Jangan ada satu halpun yang kau
lupakan.” Setelah mendengar semua keterangan mengenai peristiwa kematian Ki
Mantep. Ki Juru Seta dan I Ketut Sudarsana. Aji Warangan berkata pada orang
yang barusan bicara. Kau segera teruskan perjalanan ke Magetan. Beritahu
Adipati Sidik Mangkurat apa yang terjadi. Berangkat sekarang juga!" Sesaat
setelah orang itu menggebrak kudanya dan pergi Aji Warangan berpaling pada
petugas Pamongdesa satunya. Kau menjadi penunjuk jalan. Antarkan kami ke tempat
kejadian itu!”
****************************
KETIKA
rombongan Aji Warangan sampai di tepi rimba belantara tempat terjadinya
pembunuhan atas diri Ki Mantep petugas Pamongdesa yang bertindak sebagai
penunjuk jalan terheran-heran. Di tempat itu. tidak satu sosok tubuhpun
kelihatan. Dia segera melompat turun dari kudanya. Di tanah dan bebatuan
sekitarnya masih terlihat jelas tandatanda bekas perkelahian. Beberapa buah
golok bergeletakan di tanah. Namun dimana tubuh-tubuh yang telah jadi mayat
korban pembunuhan manusia pocong? "Aneh…”. ucap petugas Pamong desa itu
berulang kali. ”Petugas, kau tidak membawa kami ke tempat yang salah?"
tegur Aji Warangaa "Saya yakin ini tempatnya." Jawab pemuda
Pamongdesa. "Kau tidak tengah bersenda gurau?” "Demi tuhani masakan
saya berani bergurau ! Ketika saya pergi, mayat mereka masih ada disini. Termasuk
beberapa mayat petugas Pamongdesa kawan-kawan saya. Bagaimana mungkin semuanya
bisa lenyap?"
Aji
Warangan usap-usap dagunya. "Ada yang tidak beres! Adipati agaknya benar
dengan ucapannya. Ada sesuatu dibalik semua kejadian ini.”
Aji
Warangan turun dari kudanya. Semua anak buahnya mengikuti. Setelah
memperhatikan keadaan di tempat itu, memandang ke arah rimba belantara, lalu
Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini berjalan ke pinggiran jajaran tiga lembah
batu. Di tepi lembah ini dia jongkok beberapa lama. memasang telinga sambil
layangkan pandangan ke bawah. Sesaat kemudian Aji Warangan bangkit berdiri. Dia
memberi tanda pada sepuluh orang anak buahnya. Ke sepuluh orang ini segera
mendekati.
”Ikuti
aku. Kita akan menuruni lembah batu ini di sebelah sini. Aku mendengar
sesuatu"
Dipimpin
oleh Kepala Pasukan Kadipaten Magetan itu rombongan segera menuruni jajaran
lembah di sebelah tengah. Mereka baru menuruni lembah pada kedalaman kurang
dari empat tombak ketika seorang anggola rombongan berteriak. "Ada mayat
di atas batu!"
Ternyata bukan
cuma satu mayat yang mereka temui. Mayat Ki Mantep Jalawardu tergeletak di kaki
sebuah pohon berlumut. Kepalanya pecah mengerikan. Jenazah Juru Seta ditemukan
rneringkuk di belakang sebuah balu besar. Di keningnya masih menancap Bendera
Darah. "Ada suara orang mengerang!" Seorang anggota rombongan
berteriak. Dari arah semak belukar sana!"
Saat Ki
Aji Warangan sudah lebih dulu melompat ke balik semak belukar. Sesosok tubuh
tergeletak dalam keadaan mengenaskan. Muka penuh luka, pakaian berlumuran
darah, tangan kanan dan kaki kanan terkulai patah. Walau wajah orang itu penuh
luka dan tertutup darah namun Aji Warangan masih bisa mengenali. "I Ketut
Sudarsana, ” Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini berlutut. Dia raba urat besar
di leher menantu Ki Mantep Jalawardu itu. Begitu merasa masih ada denyutan pada
urat nadi, Aji Warangan segera memberi perintah pada empat anak buahnya untuk
mengangkat dan membawa naik sosok Ketut Sudarsana ke atas lembah. I Ketut
Sudarsana walau dengan suara perlahan dan tersendat keluarkan ucapan.
"Nya… nyawaku tidak lama la.., lagi. Biarkan saya terbaring dan meng.,.
menghembuskan nafas terakhir di,., disini. Ada… ada sesuatu yang perlu saya
sampaikan…”
Aji
Warangan segera menolok beberapa bagian tubuh Ketut Sudarsana. Totokan ini adalah
untuk memperlancar peredaran darah sekaligus memberi kekuatan. "I Ketut
Sudarsana. katakan. Apa yang kau sampaikan." "Man… manusia-manusia..,
pocong. Menculik.,menculik istriku. Sar… sarang mereka di sekitar sini. Tolong
selamatkan Nyi,… Nyi Upik" ”Manusia-manusia pocong? Lebih dari satu?"
ujar Aji Warangan. "Menurut keterangan yang kudapat, yang melakukan
pembunuhan dan mencelakai dirimu hanya satu manusia pocong….” "Lebih…
lebih dari satu. Tadi pagi muncul tiga manusia pocong. Satu bertindak sebagai
pim…..pimpinan. Dia memberi perinlah… pada dua kawannya. Jenazah ayah. Juru
Seta dan yang lain-lain dilempar ke dalam lembah. Saya… saya yang terakhir
mereka lempar. Saya,,..”
Kepala I
Ketut Sudarsana terkulai. Matanya nyalang kosong tak berkesip. Aji Warangan
menarik nafas dalam. Perlahan-lahan diusapnya kedua mataKetut Sudarsana hingga
menutup.
****************************
WALAU
para korban pembunuhan yang dilakukan oleh manusia pocong bertebaran tidak
terlalu jauh di dalam lembah, namun bukan pekerjaan mudah untuk membawa naik
sekian banyak mayat. Menjelang tengah hari, tiga orang perajurit Kadipaten yang
ditugaskan mencari angkutan muncul membawa tiga buah gerobak. Jenazah Ki Mantep
Jalawardu, I Kelut Sudarsana dan Ki Juru Seta serta semua anak buah Ki Mantep
yang jadi korban diangkut dengan gerobak ke Plaosan. Aji Warangan sendiri tidak
ikut mengantar karena bersama dua orang anak buah kepercayaannya dia akan
menyelidiki kemana lenyapnya penculik Nyi Upit, sekaligus pembunuh Kepala Desa
Plaosan dan yang lain-lainnya itu.
Menjelang
sore, ketika rombongan pasukan Kadipaten yang membawa para korban sampai di
rumah kediaman Kepala Desa. jerit pekik dan ratap tangis menyayat hati serta
merta pecah merobek kesunyian.
Hari itu
seharusnya adalah hari berbahagia, hari kegembiraan upacara selamatan tujuh
bulan hamilnya Nyi Upit. Namun saat itu tidak ada kebahagiaan, tidak ada
kegembiraan! tidak ada upacara selamatan. Yang berlangsung adalah kesedihan
yang tidak dapat dilukiskan. Di mana-mana terdengar ratap tangis orang
perempuan. Nyi Gusni, istri Ki Mantep Jalawardu tergolek di atas tempat tidur.
Perempuan ini menjent keras ketika melihat mayat suaminya lalu roboh pingsan.
Dalam
keadaan seperti itulah Adipati Sidik Mangkurat datang bersama para pengawal dan
perajurit Kadipaten Magetan. Sebelumnya dia telah mengutus Aji Warangan. Kepala
Pasukan Kadipaten untuk menyelidiki, mengejar dan menangkap penculik Nyi Upit.
puteri sahabatnya itu. Namun ketika siang harinya seorang petugas Pamongdesa
Plaosan datang membawa berita kematian Ki Mantep Jalawardu. Adipati Sidik
Mangkurat memutuskan untuk turun tangan sendiri, menyusul pasukan Kadipaten di
bawah pimpinan Aji Warangan.
Adipati
Sidik Mangkurat telah mengenal Ki Mantep Jalawardu selama puluhan tahun. Kawan
sepermainan sejak kecil. Orang yang banyak membantunya dimasa-masa sulit ketika
dia harus menumpas kaum pemberontak termasuk menghancurkan komplotan rampok
pimpinan Warok Aji Warangan yang kini dijadikannya Kepala Pasukan Kadipaten.
Ketika dia menduduki jabatan Adipati. Sidik Mangkurat menawarkan satu jabatan
tinggi bagi sahabatnya itu. Namun Ki Mantep Jalawardu menolak dengan sopan dan
halus. Agaknya dia lebih suka menjadi Kepala Desa Plaosan. Bagi Adipati Sidik
Mangkurat Ki Mantep Jalawardu bukan Cuma seorang sahabat. Tapi sudah dianggap sebagai
saudara sendiri. Kematian Ki Mantep Jalawardu membual Sidik Mangkurat sangat
terpukul tapi juga marah. Sore itu juga dia membawa satu pasukan besar terdiri
dari lima puluh perajurit bersama dua Kepala Perajurit berangkat ke utara,
singgah dulu di Plaosan. Ternyata di desa ini kehadirannya bersamaan dengan
kedatangan rombongan jenazah Ki Mantep Jalawardu.
Betapapun
tenggelamnya Sidik Mangkurat dalam kedukaan atas kematian sahabatnya yang tidak
wajar itu, ada satu hal yang tidak luput dari perhatian Adipati Magetan ini.
Yakni sebuah bendera merah basah yang menancap di kening Ki Juru Seta. Itulah
Bendera Darah! Bendera seperti ini menurut laporan anak buahnya juga ditemui
menancap di leher Surablandong, seorang sahabat Ki Mantep yang menemui ajal ketika
melakukan pengejaran atas penculik Nyi Upit. Semakin yakin Adipati Magetan ini
bahwa di balik semua kejadian penculikan dan pembunuhan ini. tersembunyi satu
hal yang lebih ganas, lebih mengerikan.
*********************
7
SAMPAI
beberapa lama setelah rombongan tiga gerobak pembawa jenazah meninggalkan
lembah dan lenyap di dalam rimba belantara Aji Warangan. Kepala Pasukan
Kadipaten Magetan masih berdiri di tepi lembah. Saat itu dia ingat akan
keterangan l Ketut Sudarsana mengenai manusia-manusia pocong. Sayang menantu Ki
Mantep Jalawardu itu keburu menemui ajal hingga tidak bisa memberitahu lebih
banyak. Aji Warangan sendiri tidak punya kesempatan untuk bertanya.
Kepala
Pasukan Kadipaten Magetan ini ingat ucapan I Ketut Sudarsana menjelang ajalnya.
Menurut menantu Ki Mantep Jalawardu itu sarang manusia-manusia pocong itu
berada di sekitar kawasan flu. Tapi dimana? Sambil terus berpikir Aji Warangan
perhatikan lembah di bawahnya. Lalu pandangannya di arahkan ke bukit batu di
seberang lembah. Cahaya matahari petang yang mulai condong ke barat membuat
kawasan bukit batu yang abu-abu kehitaman itu warnanya berubah aneh, terkadang
memancarkan pantulan sinar menyilaukan.
Sebagai
orang yang pernah menjadi kepala rampok dan malang melintang di delapan penjuru
angin wilayah itu. Aji Warangan cukup mengenal baik kawasan sekitar rimba
belantara dan jajaran tiga lembah. Bersama dua orang anak buahnya dia telah
menyelidiki keadaan di tiga lembah itu. Bukan satu pekerjaan mudah. Namun
berkat pengalamannya dimasa menjadi orang jahat dahulu Aji Warangan mampu
melakukan penyelidikan dengan cepat. Di tiga lembah dia tidak menemukan
tanda-tanda atau hal-hal yang memberi petunjuk bahwa sarang manusia-manusia
pocong itu berada di tempat tersebut
Keluar
dari lembah Aji Warangan memandang ke arah bukit batu di kejauhan. Di masa dia
menjadi rampok bukit batu itu tidak banyak menjadi perhatiannya. Orang-orang
jahat tidak begitu suka berada lama-lama di tempat itu apa lagi menjadikannya
sebagai sarang. Bukit batu tersebut selain tidak terlalu tinggi mudah dicapai,
keadaannya serba terbuka hingga bisa didaki dari berbagai jurusan. Namun entah
bagaimana Aji Warangan tiba-tiba ingat pada sebuah kiat yang biasa diterapkan
oleh orang-orang jahat Kiat itu berbunyi : Menipu penglihatan di malam hari
menipu pandangan di siang hari.
Aji
Warangan usap-usap dagunya. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini menyeringai.
Berdasarkan keterangan yang didengarnya dari beberapa orang anak buah Ki Mantep
Jalawardu yaitu bagaimana manusia pocong itu denganseorang diri mampu membunuh
Ki Mantep dan Ki Juru Seta. menghajar l Ketut Sudarsana sampai sekarat dan
menghabisi begitu banyak para petugas Pamongdesa Klaosan. jelas manusia pocong
itu memiliki ilmu kepandaian linggi. Lalu menurut keterangan Ketut Sudarsana
sebelum menemui kematian. ternyata bukan cuma ada satu manusia pocong di tempat
itu.
Jika
mereka lebih dari satu orang berarti mereka memiliki seorang pemimpin. Dan sang
pemimpin tentunya bukan saja memiliki tingkat kepandaian luar biasa tetapi juga
mempunyai otak cerdik. "Bukan mustahil, pimpinan manusia-manusia pocong
itu menerapkan kiat orang-orang jahat. Menipu penglihatan di siang hari, menipu
pandangan di malam hari," Aji Warangan perintahkan dua anak
buahnyamenyiapkan kuda. "Bukit batu di seberang sana perlu kita
selidiki," kata Aji Warangan. Lalu dengan menunggang kudanya dia
mendahului bergerak sepanjang tepi tiga buah lembah menuju ke timur. Di ujung
lembah dia mengambil jalan berputar, kembali ke barat tapi pada jalur tepi
lembah yang berdampingan dengan kaki bukit batu. Di pertengahan kaki bukit
batuh di satu tempat Aji Warangan berhenti, turun dari kudanya memandang ke
langit sebelah barat. Kepala Pasukan ini sesaat menduga-duga. Apakah mungkin
bisa mencari dan mengetahui dimana letak sarang manusia-manusia pocong itu
sebelum sang surya tenggelam dan hari berubah menjadi gelap?
Setelah
memperhatikan beberapa lamanya bukit batu yang tidak seberapa tinggi itu Aji
Warangan memberi isyarat pada dua perajurit untuk mengikutinya. Ketiga orang
itu mendekati bukit batu tepat di lereng sebelah tengah. Aji Warangan di
sebelah depan. Mata di pasang telinga di pentang. Tak ada gerakan, tak ada
suara selain deru halus tiupan angin yang sesekali menerpa deras.
Sampai di
puncak bukit Aji Warangan memandang berkeliling. Dia dapat melihat jelas
pemandangan cukup indah di bawahnya. Mulai dari rimba belantara, jajaran lembah
dan kaki bukit berbatu-batu. "Pemimpin, mustahil ada orang bersembunyi di
tempal ini. Malam dinginnya pasti luar biasa, siang panas sekali. Rasanya tidak
ada mata air di bukit ini."
Aji
Warangan tidak perdulikan ucapan anak buahnya itu. Dia balikkan badan. Kini
matanya memperhatikan kawasan bukit di sebelah utara. Kawasan ini agaknya tidak
pernah disentuh manusia. Pohon-pohon besar, semak belukar tinggi menyelimut d
imanamana. Agak ke barat ada sebuah jurang batu, tidak seberapa lebar tapi
cukup dalam. "Pimpinan, saya melihat sesuatu," tiba-tiba perajurit di
samping kiri berkata sambil menunjuk ke arah bawah sana, jurusan kanan jurang
batu. "Perajurit, matamu cukup tajam. Aku sudah.tahu. Yang kau lihat
sebuah atap bangunan, terbuat dari batang-batang bambu disusun rapat."
"Benar sekali Pimpinan." Jawab si perajurit. Tanpa mengalihkan
pandangannya ke bawah sana Aji Warangan berkata. "Atap bangunan itu
diselimuti tanaman Iiar. Ujung sebelah kiri miring. Besar kemungkinan bangunan
itu tidak terpakai lagi. Siapapun pemiliknya kurasa tidak pernah lagi mempergunakan.
Tapi, bagaimanapun juga kita perlu menyelidik. Adalah aneh. satu bangunan ada
di pinggir jurang, di kaki bukit batu sunyi yang tidak pernah didatangi
manusia.” "Kami berdua akan turun menyelidiki!” "Kita menyelidik
bersama-sama" kata Aji Warangan pula. Lelaki bekas kepala rampok yang
telah berpengalaman ini seperti seekor srigala mulai mencium sesuatu. Dia
mendahului menuruni bukit batu ke arah jurang kecil di bawah sana. Belum jauh
bergerak turun tiba-tiba di sebelah kiri lereng bukit batu Aji Warangan melihat
sebuah celah di antara dua batu besar. Dia perhatikan sejurus keadaan di tempat
itu lalu memerintahkan salah seorang anak buahnya untuk turun menyelidik. Tak
lama kemudian perajurit itu kembali menemuinya dengan nafas terengah. Wajah
orang ini bukan cuma menunjukkan keletihan, tapi juga memperlihatkan sesuatu
yang lain. "Apa yang kau temui?" tanya Aji Warangan. Dari air muka
bawahannya itu dia tahu ada sesuatu.
”Di balik
dua celah batu ada satu batu besar. Di belakang batu besar saya menemui mulut
sebuah goa. Saya coba masuk ke dalam, ternyata merupakan satu lorong panjang.
Tanpa perintah pimpinan saya tidak berani menyelidik terlalu jauh. Saya kembali
ke sini.
Tidak
menunggu lebih lama, begitu mendengar keterangan si perajurit Aji Warangan
segera menuruni bukit ke arah dua buah batu yang membentuk celah. Setelah turun
melewati celah, seperti yang dikatakan perajurit tadi dia melihat sebuah batu
besar. Lalu dibalik balu besar ini terdapat pedataran sempit seluas beberapa
kaki persegi. Di salah satu sisi pedataran, pada deretan batu-batu yang
membentuk dinding kelihatan sebuah mulut goa. Sesaat Aji Warangan perhatikan
keadaan mulut goa, coba memandang sejauh mungkin ke arah dalam. Memang benar
apa yang dikatakan anah buahnya, Mulut goa itu melupakan awal dari satu lorong
batu yang cukup panjang.
Aji
Warangan balikkan tubuh, memandang ke arah celah dua buah batu yang tadi
dilewatinya. Walau segala sesuatunya berbentuk alami tapi mata tajam Aji
Warangan melihat ada bekas-bekas ringan manusia yang membuat demikian rupa
hingga batu-batu di tanah menebar demikian rupa merupakan tangga tersamar
menuju mulut terowongan. Lalu tanah bebatuan di depan mulut terowongan
kelihatan bersih dan licin pertanda tempat itu sering terinjak kaki manusia.
Kembali
Aji Warangan membalikkan badan, menghadap ke arah mulut lorong batu. Keadaan di
tempat itu sangat sunyi. Dalam kesunyian ini Aji Warangan semakin jelas mencium
sesuatu yang tidak enak Ada siapa di dalam lorong batu itu ? Apakah tempat ini
yang jadi sarang manusia-manusia pocong penculik Nyi Upit, pembunuh Ki Mantep
Jalawardu, Ki Juru Sela, Ketut Sudarsana dan petugas Pamongdesa Klaosan?
”Kalian
berdua masuk ke dalam. Selidiki apa yang ada di dalam lorong batu. Berlaku
hati-hati. Jika menemui sesuatu yang mencurigakan jangan melakukan apa-apa.
Tapi segera kembali menemuiku!"
Dua
perajurit cabut golok di pinggang masing-masing, lalu dengan cepat keduanya
menyelinap masuk dan lenyap di mulut lorong batu.
****************************
DI DALAM
lorong batu dua perajurit berjalan cepat. Ternyata selain cukup lebar dan
tinggi lorong itu juga cukup terang. Namun baru berjalan sekitar dua puluh
langkah, dua perajurit ini berhenti. Bingung. Di depan mereka, lorong itu
bercabang ke kiri dan ke kanan. Berarti ada tiga arah yang bisa ditempuh. Lurus
atau membelok pada salah satu cabang. "Kita harus kemana?" tanya
peraj rit yang satu pada temannya. "Aku memilih lurus. Kau membelok ke
kiri atau ke kanan.”
Dua
perajurit meneruskan langkah. Yang pertama berjalan lurus. Temannya membelok ke
abang lorong sebelah kanan. Baru belasan langkah berjalan di masingmasing
lorong, kembali di kiri kanan kelihatan lorong baru. Sekarang bukan cuma satu
cabang lorong tapi ada dua di sebelah kiri dan tiga di samping kanan. Dua
perajurit ini tidak tahu harus menempuh lorong yang mana. Rasa bimbang yang
selanjutnya berubah menjadi rasa takut menyamaki diri keduanya. Kalau di bawah
bukit batu itu begitu banyak lorong, bisa saja mereka akan tersesat. Dan lebih
celaka kalau sampai tidak mampu mencari jalan keluar ke mulut terowongan.
Selagi
bingung dan cemas begitu rupa lapat-lapat di kejauhan terdengar suara aneh.
Entah suara orang menangis entah suara orang menyanyi. Dalam keadaan seperti
itu tiba-tiba di depan dua perajurit Kadipaten itu berkelebat satu bayangan
putih. Lalu terdengar dua jeritan hampir berbarengan!
****************************
KEPALA
Pasukan Kadipaten Magetan itu memandang ke langit. Tak lama lagi sang surya
akan tenggelam dan hari akan menjadi gelap. Dia merasa kesa tapi juga heran.
Dua perajufit yang diperintahkannya masuk ke dalam lorong batu ditunggu sampai
sekian lama masih belum muncul. "Apa yang mereka lakukan di dalam
lorong?" pikir Aji Warangan. Hatinya yang kesal dan heran mendadak berubah
menjadi tidak enak bilamana muncul dugaan janganjangan telah terjadi sesuatu
dengan kedua anak buahnya itu
”Aku
harus masuk ke dalam terowongan.” Aji Warangan mengambil keputusan. Maka dia
melangkah ke arah mulut goa di dinding batu. Mendadak terdengar suara benda
melayang, bersiur di udara. Aji Warangan dengan cepat memutar tubuh, melompat ke
samping. "Wuuuttt!"
Sebuah
benda melesat di udara. Sambil keluarkan seruan kaget dan marah Aji Warangan
membuat gerakan menghindar dengan cara melompat. Benda yang melesat lewat hanya
setengah jengkal dari kepalanya, menyipratkan cairan ke pipi kiri dan bajunya.
Lalu menancap di batu besar di depan mulut lorong.
*********************
8
SEPASANG
mata Aji Warangan membeliak besar. Sambil usap pipinya yang kecipratan cairan
dia memandang ke arah batu besar. Disitu menancap sebuah bendera kecil
berbentuk segitiga. berwarna merah dan basah!.
”Bendera
Darah!" ucap Aji Warangan dengan suara bergetar. Sebelumnya dia telah
melihat bendera ini. Satu diantaranya yang menancap di kening Ki Juru Sela. Aji
Warangan perhatikan tangan kirinya. Jari-jari tangan itu basah dan merah oleh
cairan darah yang menyiprat dari Bendera Darah.
Aji
Warangan melangkah, dekati batu besar. Sesaat dia perhatikan bendera yang
menancap di batu. Cairan berwarna merah yang membasahi bendera memang darah
adanya. Bukan saja dia bisa mencium amis baunya, tapi bekas kepala perampok ini
yang telah membantai sekian banyak manusia kenal betul dengan apa yang
dinamakan darah. Tangkai bendera terbuat dari bambu kecil. Kalau ada orang yang
melemparkan bendera dari kejauhan dan bendera kemudian mampu menancap di batu
besar, pasti si pelempar memiliki ilmu dan tenaga dalam luar biasa hebatnya!.
Dan dapat dibayangkan, batu saja sanggup ditembus, apa lagi kepala manusia!
Rahang
Aji Warangan menggembung. Dengan tangan kanannya dicabutnya Bendera Darah yang
menancap di batu lalu dibantingkannya ke tanah. Seluruh bendera, tangkai dan
kainnya amblas masuk ke dalam tanah. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini
palingkan kepala ke arah mulut lorong batu. Bendera Darah tadi melesat keluar
dari terowongan itu. Berarti orang yang melempar ada dalam Iorong. Aji Warangan
dekati mulut lorong lalu berteriak.
”Orang
yang melempar bendera! Jangan berlaku pengecut! Unjukkan dirimu! Katakan apa
maumu menyerang aku dengan bendera!"
Sunyi.
Hanya sesaat. Dari dalam lorong batu terdengar suara orang leletkan lidah
disusul suara tawa bergelak, "Aji Warangan! Kepala Pasukan Kadipaten
Magetan! Ternyata kau punya nyali! Aku suka pada orang bernyali besar. Untukmu
aku akan memberikan dua hadiah sebagai tanda penghormatan. Harap kau mau
menerima dengan senang hati! Ini hadiah pertama!"
Dari
dalam lorong batu kemudian terdengar suara menderu. Sepertinya ada sebuah benda
besar dan berat melesat ke arah mulut lorong. Aji Warangan yang barusan kaget
karena orang di dalam lorong tahu nama serta jabatannya kini bertambah kaget
ketika melihat satu sosok tubuh manusia melayang deras keluar dari mulut lorong
batu. Kalau dia tidak cepat menghindar, badannya akan dibentur sosok tubuh yang
melesai itu.
”Buukkk”.
SOSOK
tubuh yang melayang menghantam batu besar di seberang lapangan besar di depan
mulut lorong, lalu jatuh terbanting ke tanah. Dua mata Aji Warangan mendelik
besar. Yang terkapar di tanah itu bukan lain adalah salah seorang dari dua
perajurit yang ladi diperintahkannya masuk ke dalam lorong batu untuk
menyelidik "Kurang ajar…."
Baru saja
Aji Warangan merutuk seperti itu di dalam lorong kembali terdengar orang
berteriak.
”Ini
hadiah kedua!"
Seperti
tadi terdengar suara menderu disusul melesatnya satu sosok tubuh di udara. Aji
Warangan sudah tahu tubuh siapa adanya. Sebelum menghantam batu besar Aji
Warangan cepat melompat menangkap tubuh yang melayang. Maksudnya jika orang itu
masih dalam keadaan hidup maka dia berusaha menyelamatkan agar tubuh atau
kepalanya tidak menghantam batu. Dia berhasil. Namun percuma. Ketika dia
memperhatikan orang yang didukungnya ternyata orang itu adalah mayat yang mati
dengan mata mendelik dan kepala pecah! "Benar-benar biadab!" Kutuk
Aji Warangan.
Sosok
tubuh dafam dukungannya yakni anak buahnya yang kedua diturunkannya ke tanah.
Dia melompat ke mulut lorong batu dan berteriak keras!
”Jahanam
pembunuh! Lekas keluar! Atau kubakar kau hidup-hidup di dalam sana!"
”Orangnya
hebat! Ucapannya luar biasa! Aku menerima undanganmu!"
Satu deru
yang dahsyat terdengar di dalam lorong batu. Sesaat kemudian didahului oleh
hantaman angin yang berasal dan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi. dari dalam lorong batu melesat keluar satu sosok serba putih mulai dari
kepala sampai ke kaki. "Manusia pocong!" ucap Aji Warangan, memandang
dengan mata melotot.
Sosok
serba putih berdiri bertolak pinggang di depan batu besar. Sepasang matanya
yang berada di balik dua buah lobang kecil kain putih penutup kepala kelihatan
menyorot berkilat. "Dasar pengecut! Kau sengaja menutupi wajah dengan kain
putih! Buka penutup kepalamu! Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!"
Manusia
pocong leletkan lidah.
”Sisa-sisa
keberanianmu sebagai kepala rampok rupanya masih ada! Ketahuilah Aji Warangan,
hal itulah yang menyelamatkan dirimu dari kematian!”.
”Jahanam!
Apa maksudmu?”. "Kau tak perlu tahu terlalu banyak. Saat ini aku
memberikan satu tawaran padamu. Serahkan dirimu, ikut aku masuk ke dalam lorong
batu."
Aji
Warangan mendengus.
”Kau
telah membunuh Kepala Desa Plaosan, membunuh menantunya dan juga membunuh Ki
Juru Seta. Belum lagi para petugas Pamongdesa. Dan barusan kau membunuh dua
perajuritku..”. "Mudah-mudahan itu bisa menjadi peringatan padamu agar mau
ikut aku secara baik-baik". ”Manusia jahanam! Aku akan membuat dirimu
menjadi pocong benaran!"
Habis
membentak begitu Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini melompati manusia pocong,
lancarkan satu serangan kilat. Tangan kanan kirimkan satu jotosan ke dada.
Bersamaan dengan itu tangan kiri berkelebat berusaha mencabut penutup kepala
berbentuk pocong,
”Hebat!
Tapi sayang gerakanmu kurang cepat sobat! Lihat serangan balasan!"
Dua
tangan manusia pocong berkelebat ke depan dalam gerakan aneh dan tahutahu
telah memotong sambaran dua tangan Aji Warangan. Kepala Pasukan Kadipaten
Magetan ini sebelumnya telah maklum bahwa lawan memiliki tenaga dalam tinggi.
Kini dia mempunyai kesempatan untuk menjajal dan membuktikan. Sambil lipat
gandakan tenaga luar dan tenaga dalamnya Aji Warangan sengaja tidak mau menarik
pulang serangannya. Akibatnya bentrokan dua lengan tak dapal dihindarkan.
”Bukkk!
Bukkkr!”
Sosok
manusia pocong terguncang sempoyongan. Namun dua kakinya tidak bergeser dari
kedudukan semula. Sebaliknya Aji Warangan terpental tiga langkah lalu jatuh
berlutut di tanah. Rahang menggembung wajah merah.
Dari
balik kerudung putih yang menutupi kepalanya, si manusia pocong keluarkan suara
tawa mengekeh.
”Aji
Warangan, apa kau masih belum mau sadar? Aku bukan tandinganmu” "Aku belum
kalah!” teriak Aji Warangan.
Sewaktu
berlutut tadi diam-diam dia telah kerahkan tenaga dalam dan atur aliran darah.
Dalam waktu singkat dia mampu menguasai dirinya. Begitu bangkit berdiri dia
segera lancarkan serangan hebat. Dua tangannya menderu deras dan cepat pada
saat dua tangan tidak melancarkan serangan, di sebelah bawah kaki kanan
menendang.
Orang
yang diserang leletkan lidah lalu tertawa mengejek.
”Ha… ha!
Apakah ini jurus yang disebut Badai Membantai Puncak Gunung?"
Aji
Warangan bukan saja marah diejek demikian rupa tapi juga terkejut karena lawan
mengenali jurus serangannya. Di masa menjadi kepala rampok jurus Badai Membantai
Puncak Gunung itu merupakan jurus paling diandalkan ofeh Aji Warangan. Jurus
silat ini bukan merupakan jurus tunggal, tetapi memiliki jurus pecahan sampai
lima jurus.
Empat
jurus menyerang habis-habisan Aji Warangan masih belum mampu menyentuh lawannya.
Ketika tubuhnya berkelebat dalam jurus kelima, tiba-tiba satu cahaya putih
berkilat di udara yang mulai redup karena sang surya barusan saja tenggelam.
"Brettt”.
Terdengar
robekan pakaian disusul seruan tertahan. Manusia pocong melompat mundur. Sepasang
matanya berkilat-kilat laksana dikobar api. Jubah putihnya ternyata sobek besar
di bagian pinggang. Saat itu di hadapannya dilihatnya Aji Warangan berdiri
memegang sebilah golok besar bergagang kayu berbentuk kepala ular. Walau
hatinya cukup terguncang namun si manusia pocong jauh dari rasa jerih.
Diam-diam dia mengagumi jurus terakhir serangan Aji Warangan yang diketahuinya
bernama Badai Melanda Lereng Gunung.
Mengira
lawan kini menjadi kecut, tidak membuang waktu Aji Warangan kembali menyerbu.
Golok besar di tangannya menderu ganas ke arah leher, membabat ke dada lalu
menyambar ke pinggang. Dimasa yang sudah-sudah salah satu dari hantaman golok
pasti akan bersarang telak di tubuh lawan. Namun manusia pocong walau tadi
sempat robek pakaiannya terkena sambaran senjata di tangan lawan, kini tidak
mau berlaku ayal. Gerakannya secepat setan malam. Lalu tukkk!
*********************
9
AJI
WARANGAN mengeluh tinggi. Paha kanannya dihantam totokan dua jari ta
ngan kiri
lawan. Mendadak sontak sekujur kakinya menjadi berat laksana diganduli batu.
Jalan darahnya tidak karuan. Rasa sakit menyengat sampai ke ulu hati. Golok di
tangan terlepas jatuh berkerontangan ke tanah berbatu-batu. Gerahamnya bergemertakan
menahan amarah yang mendidih. Saat itu dia ingin melompati si manusia pocong,
mematahkan batang lehernya dan mencabik-cabik tubuhnya. Namun jangankan
melakukan hal itu, bergerak saja Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini tidak
mampu. Ulu hatinya semakin sakit. Kaki kanannya bertambah berat.
”Aji
Warangan! Saatnya kau menyerahkan diri dan ikut aku!" "Bangsat!
Sampai mati aku lidak akan menyerah!" Manusia pocong mendengus. ‘Kita akan
lihat!" katanya. Lalu dia melangkah mendekati. Kembali tangannya bergerak
membuat totokan di tubuh Aji Warangan. Saat itu juga sekujur tubuh lelaki itu
menjadi kaku. tak mampu bergerak tak dapat keluarkan suara. Sebelum tubuhnya
jatuh terbanting ke tanah, si manusia pocong cepat merangkul pinggangnya.
Sesaat kemudian Aji Warangan telah berada di panggulan bahu kirinya, di bawa
lari masuk ke dalam terowongan batu.
Walau
tubuh kaku, mulut tak bisa keluarkan suara namun jalan pikiran Aji Warangan
masih bisa bekerja. Matanya mampu melihat dan memperhatikan segala sesuatu. Manusia
pocong itu membawanya berlari sepanjang terowongan batu yang dikiri kanannya
dipenuhi banyak sekali lorong.
Banyak
lorong di bawah bukit batu. Tempat apa Ini?”, pikir Aji Warangan. ‘Agaknya
memang disini sarang kediaman manusia-manusia pocong. Manusia pocong yang
memanggul aku sebenarnya bisa menghabisi diriku dengan mudah. Tapi dia tidak
membunuhku. Aku mau dibawa kemana? Mau diapakan?"
Setelah
melewati puluhan lorong, manusia pocong hentikan langkah di hadapan sebuah
pintu kayu berwarna hitam. Pada pertengahan pintu menancap sebuah bendera merah
basah berbentuk segitiga. Bendera Darah. Dua manusia pocong bersenjata golok
menjaga pintu tersebut. Salah seorang dari mereka membuka pintu kayu hitam
melalui sebuah tombol rahasia di samping kiri pintu. Aji Warangan dapatkan
dirinya berada dalam sebuah ruangan besar dan kosong. Manusia pocong yang
memanggulnya membawanya ke hadapan sebuah pintu berwarna biru, Di pintu ini
juga ada sebuah bendera segitiga merah basah.
Aji
Warangan mendengar suara bersiur halus. Tiba-tiba atap ruangan membuka. Empat
manusia pocong melayang turun. Gerakan mereka enteng dan gesit penanda memiliki
kepandaian cukup tinggi. Rupanya mereka sudah tahu dan mengenali siapa yang
datang. Salah seorang dari empat manusia pocong ini menekan satu tombol di
dinding kiri. Pintu biru serra merta terbuka. Empat manusia pocong kembali
melesat ke atas, lenyap dibalik langit-langit ruangan yang menutup.
Ruang di
belakang pintu yang dimasuki lagi-lagi kosong. Sepasang mata Aji Warangan
memandang berputar. Walau tidak takut menghadapi kematian namun rasa tegang
membuat tengkuk bekas Warok yang ditakuti ini terasa dingin juga. Telinga Aji
Warangan menangkap suara benda bergeser. Dia melirik ke kiri dan melihat
bagaimana dinding ruangan bergerak aneh. Dari dinding yang terbuka itu
muncullah sarang manusia pocong. Sosoknya tinggi besar. "Wakil Ketua Yang
Mulia, siapa yang kau bawa?" Manusia pocon yang baru muncul ini menegur.
"Ketua, lebih dulu terima salam hormat saya." Masih memanggul Aji
Warangan dia bungkukkan badan lalu menerangkan. ”Orang ini bernama Aji
Warangan. Dulu menjalani hidup sebagai Warok ditakuti di delapan penjuru angin,
Sekarang jabatannya adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan.” "Hemm..,
jadi dia orangnya. Ilmunya kudengar lumayan tinggi. Bagus! Rejeki kita hari ini
cukup besar rupanya. Aku akan memberikan hadiah untukmu. Sesuai yang sudah aku
atur, bawa dia ke Ruang Peristirahatan. Suguhkan Minuman Selamat Datang.
Berikan Pakaian Persalinan.” "Perintah Yang Mulia Ketua akan saya lakukan.”
jawab manusia pocong yang punya jabatan Wakil Ketua, Dia membungkuk memberi
hormat. Lalu bertanya. "Apakah saya boleh melakukannya sekarang
juga?" ”Tunggu. Aku ingin lahu apakah kau sudah menyirap kabar mengenai
orang yang menjadi tugas utamamu?" "Maksud Ketua pemuda bernama Wiro
Sableng berjuluk Pendekar 212?”
Kepala
yang tertutup kain putih bergoyang mengangguk. "Saya belum mendapat
laporan dari anak buah yang ditugaskan. Penyelidikan yang saya lakukan sendiri
juga belum menghasilkan apa-apa. Jika boleh, saya ingin diberi waktu khusus
untuk melacak pemuda itu.”
Aku akan
berikan waktu satu purnama padamu. Ingat, kau juga harus mendapatkan tiga gadis
yang kukatakan tempo hari. Mengumpulkan orang-orang berkepandaian tinggi
sebanyak-banyaknya.” "Perintah Ketua akan saya perhatikan dan lakukan.
Saya minta izin membawa orang ini ke Ruang Peristirahalan.” Wakil Ketua
bungkukkan tubuh lalu melangkah cepat memasuki celah di dinding.
Yang
disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu terbentuk segitiga
berpintu besi. Pada sisi sebelah atas pintu besi ini ada sebuah lubang
berbentuk lingkaran sebesar lingkaran jari tengah yarng ditemukan dengan ibu
jari tangan. Di sisi kanan ada tempat tidur terbuat dari batu beralaskan tikar
jerami kering. Di bagian kepala bentuk batu tempat tidur agak naik ke atas.
Agaknya bagian ini dijadikan sebagai bantal ketiduran. Lalu di ruangan itu ada
pula sebuah meja dan kursi kecil juga terbuat dari batu. Ke dalam ruangan
inilah Aji Warangan dibawa lalu dibaringkan di atas ranjang batu.
Aji
Warangan, silahkan beristirahat. Kau beruntung terpilih untuk masuk dalam
barisan kami. Seseorang akan muncul mengurus segala keperluanmu…"
”Jahanam!
Apa yang kau lakukan? Tempat celaka apa ini?” Suara Aji Warangan hanya menggema
di dalam dada Karena sampai saat itu tubuh dan jalan suaranya masih berada
dalam pengaruh totokan.
”Aku
masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita berdua bisa menjadi sahabat. Aku akan
menemuimu lagi secepatnya.” "Manusia setan! Kalau tubuhku bebas dari
totokan aku bersumpah membunuhmu”. Teriak suara hati Aji Warangan. Manusia
pocong itu tepuk-tepuk bahu Aji Warangan. Yang ditepuk merasa seperti ditiban
batu besar, mengerenyit kesakitan dan hanya bisa menyumpah dalam hati. Walau
pintu besi ruangan batu itu di sebelah luar memiliki dua buah palang besar
namun sang Wakil Ketua tidak memalang pintu tersebut. Dia pergi begitu saja
karena memang Aji Warangan yang masih berada dalam pengaruh totokan tidak akan
mampu keluar atau melarikan diri dari tempat itu.
****************************
TAK SELANG
berapa lama setelah Wakil Ketua meninggalkan Aji Warangan di Ruang
Peristirahatan, muncullah seorang gadis membawa sebuah keranjang Di dalam
keranjang itu ada sehelai jubah putih dan kain penutup kepala putih. Lalu di
situ juga ada sebuah cangkir besar dan tanah, berisi minuman bening sampai
setengahnya. Kedatangan seorang gadis yang lumayan cantik ini tentu saja
mengejutkan Aji Warangan. Dari wajah, dandanan serta pakaian yang dikenakan
gadis ini kentara dia adalah seorang gadis desa.
Di ambang
pintu besi si gadis berhenti sebentar, menatap kosong ke arah Aji Warangan lalu
baru masuk ke dalam. Aji Warangan memperhatikan. Langkah dan gerak gerik si
gadis terlihat aneh di mata Aji Warangan. Setiap gerakan yang dibuat gadis ini
tampak kaku. Selain itu dia melihat perut si gadis besar. Apakah dia dalam
keadaan mengandung. Kalau sa}a dia bisa bicara, puluhan pertanyaan akan
diajukannya pada gadis itu.
Si gadis
meletakkan keranjang di atas meja batu. Mengambil cangkir berisi cairan bening
lalu berkata.
”Saya akan
menyuguhkan Minuman Selamat Datang dalam cangkir ini kepadamu. Minumlah sampai
habis. Saya akan berada di tempat ini sampai pengaruh minuman bekerja dan jalan
suaramu terbuka. Setelah itu saya akan pergi. Bila saya pergi harap kau
mengganti pakaianmu dengan Pakaian Persalinan, sehelai jubah putih. Lalu tutup
kepalamu dengan kain putih. Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya
Ketua seorang yang wajib dicintai.”
Selagi
Aji Warangan terheran-heran mendengar ucapan gadis itu, si gadis mendekatkan
cangkir minuman ke bibirnya. Aji Warangan berusaha menolak ketika cairan dalam
cangkir dituangkan ke dalam mulutnya. Tapi dalam keadaan tertotok demikian rupa
tentu saja dia tidak mampu melakukan. "Tak usah takut. Minuman ini tidak
beracun. Minuman ini justru memberi jalan kehidupan padamu." Si gadis
berucap. "Setan alas! Mana aku tahu minuman itu beracun atau tidak!"
Rutuk Aji Warangan. Tapi suaranya hanya dalam hati. sama sekali tidak keluar,
tidak terdengar
Walau
tersendat-sendat cairan dalam cangkir akhirnya masuk ke dalam mulut, terus ke
perut lewat tenggorokan. Aji Warangan merasa ada hawa sejuk di dalam perutnya.
Rasa sejuk mi kemudian menjalar ke bawah ke arah kaki dan ke atas ke arah dada
terus ke leher. Begitu hawa sejuk memasuki kepala tanpa disadari kedua matanya
perlahan-lahan tertutup dan Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini lantas
tertidur.
Gadis di
dalam ruangan tatap wajah Aji Warangan. Lalu mulutnya berucap. ”Di dalam
kesejukan ada hawa penidur. Di dalam tidur ada kebangkitan. Di dalam kebangkitan
ada kemenangan. Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua
seorang yang wajib dicintai.” Habis berkata begitu si gadis ulurkan tangan
kirinya diletakkan di kening Aji Warangan.
Aji
Warangan tidak tahu apa yang. Terjadi atas dirinya. Dia batuk-batuk beberapa
kali lalu nyalangkan sepasang mata. Dia dapatkan gadis desa tadi masih ada
dalam ruangan itu.
”Kau….”
Ucapan keluar dari mulut Aji Warangan. Astaga. Ternyata dia sekarang bisa
bicara. Dia gerakkan dua tangan. Dia mampu. Dia juga bisa menggerakkan ke dua
kaki. Malah bangkit dan duduk. Namun ada keanehan dirasakannya. Sekujur
tubuhnya terasa lemas, seolah dia tidak memiliki tenaga, tidak punya tulang
belulang. Saking lemasnya agar tidak roboh dia sandarkan punggung ke dinding,
menatap ke arah si gadis.
Kau sudah
bisa bicara. Sudah bisa bergerak. Saatnya saya pergi. Jangan lupa. begilu saya
keluar dari ruangan ini segera kenakan pakaian dan penutup kepala putih. Hanya
perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib
dicintai." Si gadis dengan kaku memutar tubuh lalu melangkah ke pintu.
”Tunggu!"
seru Aji Warangan. Kau siapa? Ini tempat apa? Siapa Ketua yang kau sebut-sebut!
Mengapa tubuhku lemas. Aku…"
Dicecar
pertanyaan begitu banyak si gadis tersenyum. Tapi senyumnya terasa aneh di mata
Aji Warangan. "Siapa saya itulah yang saya tidak ketahui…”. "Hai
gadis! Otakmu waras bukan? Masakah kau tidak tahu siapa dirimu sendiri? Apa kau
tidak punya nama? Kau tinggal di sini, muslahil tidak tahu tempat apa ini
adanya Juga mustahil kau tidak kenal siapa manusia-manusia pocong itu!"
Kembali
si gadis tersenyum.
”Saya
tidak tahu apakah saya waras atau tidak. Saya tidak tahu apakah saya punya nama
atau tidak. Saya tidak tahu tempat apa ini adanya. Yang saya tahu hanyalah
menjalankan perintah Ketua, Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya
Ketua yang wajib dicintai."
”Ucapan
aneh. Ucapan gila!" rutuk Aji Warangan. "Apa arti semua ini?!
Gila!" "Saya tidak tahu apakah saya gila atau tidak, berkata si
gadis.
Aji
Warangan hendak membentak tapi membatalkan niatnya. Ada sesuatu ketidakberesan
pada gadis desa ini. Ketidak beresan mengandung keanehan yang sukar diketahui
apa adanya.
”Dengar,
aku yakin tadinya kau tidak tinggal disini. Apa kau masih ingat sudah berapa
lama kau berada di sini?”
”Itulah
yang saya tidak ingat…." "Aku tidak percaya kau tidak ingat
segala-galanya. Perutmu besar. Apakah kau sedang hamil?”
Si gadis
memegang perutnya. ”Saya tidak tahu apakah saya sedang hamil.”
"Benar-benar aneh. Aneh dan gila’ Tempat apa ini sebenarnya?" Aji
Warangan pandangi wajah . gadis di depannya. "Tadi kau berkata hanya Ketua
seorang yang wajib dicintai. Apakah kau bercinta dengan Ketua ? Apakah kau kekasih
Ketua manusiamanusia pocong itu?"
Si gadis
membuka mulut tapi bukan untuk memberikan jawaban. "Ada orang datang, aku
harus meninggalkanmu."
Ketika
gadis itu melangkah pergi. Aji Warangan meluncur turun dari tempat tidur batu.
Dia kumpulkan tenaga coba melangkah mengikuti. Tapi baru berjalan dua langkah
tubuhnya jatuh ambruk di depan pintu besar. Si gadis melangkah terus tanpa
berpaling. Satu sosok manusia pocong kemudian muncul di depan ruangan batu
segitiga itu. Terdengar suara lidah dileletkan. "Aji Warangan, belum saatnya
kau turun dari tempat tidur. Tunggu sampai satu hari satu malam. Kelak kau akan
menjadi manusia pengabdi sempurna."
Manusia
pocong itu selinapkan kaki kirinya kebawah dada Aji Warangan. Sekali kakinya
diayunkan tubuh Aji Warangan terangkat dan terlempar jatuh ke atas tempat tidur
batu. Aji Warangan mengeluh tinggi. Tubuhnya yang lemas terasa seperti hancur
berantakan. ,
Antara
sadar dan tidak, lapat-lapat dia mendengar suara perempuan. Karena suara itu
terlalu jauh, dan mungkin datang dari salah satu dari sekian banyak lorong di
bawah bukit batu. dia tidak dapat mendengar jelas bait-bait nyanyian yang
diucapkan. Apalagi orang yang menyanyi mengucapkan nyanyiannya setengah
meratap. Aji Warangan pejamkan mata, memasang telinga. Tetap saja dia tidak bisa
mendengar Jelas dan lengkap semua apa yang dinyanyikan.
Di dalam
lorong batu
Kematian
datang ….
Di dalam
… batu
Ada
seratus tiga belas lorong
Siapa
tersesat…
Di
dalam..
Ada Rumah
Tanpa….
Inilah
Tempat teraman
Bendera
Darah lambang…
Darah
bayi tumbal….
Tiba-tiba
ada suara bentakan. Suara nyanyian mendadak sontak lenyap.
*********************
10
KITA
tinggalkan dulu Aji Warangan yang berada di dalam perut bukit batu yang
memiliki puluhan lorong aneh. Kita kembali pada satu peristiwa hebat yang
terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Dalam
Episode "Meraga Sukma” diceritakan setelah terjadi pertempuran hebat di
Bukit Menoreh, Sinto Gendeng berusaha mengejar Nyi Ragil Tawangalu alias Si
Manis Penyebar Maut. Seperti diketahui, nenek kekasih kembaran Si Muka Bangkai
itu telah membunuh Datuk Mudo Carano Ameh, saudara sepupu Tua Gila Dari
Andalas. Dendam Sinto Gendeng terhadap nyi Ragil bukan saja karena pembunuhan
tersebut tetapi juga karena akibat perbuatannya itu Sinto Gendeng telah
kesalahan tangan membunuh seorang anak lelaki bernama Boma Wanareja. cucu Ki
Kalimanah seorang abdi yang bertugas merawat kuda-kuda Keraton (baca “Si Cantik
Dalam Guci")
Di saat
melakukan pengejaran terhadap Nyi Ragil itulah Sinto Gendeng tersesat ke sebuah
telaga. Di tempat ini tiba-tiba muncul dua nenek kembar, berambut seperti perak
dan berwajah putih. Luar biasanya tubuh sepasang nenek kembar ini berbentuk
sosok seekor naga pulih. Mereka bernama Naga Nini dan Naga Nina, dikenal dengan
julukan Sepasang Naga Putih Kembar.
Kemunculan
dua makhluk kemba aneh ini ternyata untuk menghukum Sinto Gendeng atas dosa
kesalahannya telah membunuh anak lelaki bernama Boma Wanareja. Sinto Gendeng
mengakui bahwa dia memang telah membunuh Boma, namun hal itu terjadi karena
kesalahpahaman. Dia mengira anak itulah yang telah membunuh Datuk Mudo. Karena
saat ditemui Boma memegang golok besar yang menghabisi nyawa Datuk Mudo.
Bagaimanapun Sinto Gendeng menerangkan dan membela diri tetap saja Sepasang
Naga Putih Kembar yang mengaku sebagai pelindung Boma Wanareja tidak mau
perduli. Hal ini membuat Sinto Gendeng menjadi marah. Dia menyerang sepasang
naga putih. Tapi sampai seluruh ilmu silat dan kesaktiannya dikeluarkan Sinto
Gendeng tidak mampu mengalahkan dua nenek bertubuh naga itu. Malah dua makhluk
aneh itu akhirnya berhasil memendam Sinto Gendeng ke dalam tanah di tepi telaga
sampai sebatas dada.
Sinto
Gendeng merasa sekujur tubuhnya lemas. Dua tangan terkulai di tanah. Matanya
yang biasanya menyorot angker kini kelihatan kuyu. Suaranya terdengar perlahan
ketika dia berucap. "Kalian… Meng.., mengapa memendam diriku begini rupa.
Apa dosa kesalahanku…" "Kalau ingin kami mengatakan, dosamu terlalu
banyak Sinto Gendeng. Tapi dosamu terakhir yang ada sangkut pautnya dengan diri
kami adalah pembunuhan yang kau lakukan terhadap seorang anak lelaki berusia
lima belas tahun. Bernama Boma Wanareja" "Aaahhh,… Anak itu, ujar
Sinto Gendeng lirih dan mata berputar liar. "Aku membunuhnya secara tidak
sengaja. Aku mengira dia orang yang telah membunuh Tua Gila Dari Andalas.
Ternyata orang yang dibunuh itu adalah saudara sepupu Tua Gila bernama Datuk
Mudo Carano Ameh. Aku membunuh anak itu. Tidak sengaja, karena tidak tahu. Aku
ketelepasan tangan. Seumur hidup aku akan menyesali perbuatanku itu!"
Sepasang
Naga Putih sama-sama gelengkan kepala. Lalu keduanya berucap berbarengan.
"Kau tidak ketelepasan tangan Sinto. Kau juga bukan tidak sengaja. Sebelum
menemui ajal anak itu sempat berteriak bahwa dia bukan pembunuh Datuk Mudo
Carano Ameh. Tapi karena kau sudah biasa gatal tangan membunuh sembarangan, kau
tidak perdulikan teriakan orang. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar
Matahari! Sungguh keji! Pukulan sakti yang sanggup menghancur gunung itu kau
pakai untuk membunuh seorang bocah tidak berdaya!"
Sinto
Gendeng keluarkan suara menggerung mendengar kata-kata Sepasang Naga Pulih
Kembar. "Kalian berdua boleh saja tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah
aku tidak punya niat jahat membunuh anak itu!"
”Kematian
sudah terjadi! Anak yang mati tak mungkin dibuat hidup kembali! Dosamu tak
mungkin dilebur. Jadi saat ini pantas sekali kami membenamkan dirimu di tanah!’
Berkata Naga Nini yang merupakan nenek tertua dari sepasang nenek kembar itu.
Adiknya, Naga Nina menyambung. "Sebenarnya kami ingin memendam tubuhmu di
puncak Gunung Gede, di samping makam Boma Wanareja. Namun ketika kami datang ke
sana kau tengah gentayangan kemana-mana hingga akhirnya kami menemuimu di
tempat ini…" ”Aku bukan gentayangan. Aku justru tengah mengejar Nyi Ragil,
pembunuh sebenarnya dari Datuk Muda Carano Ameh" jawab Sinto Gendeng
setengah berteriak, garang dan melotot dan juga, Setengah putus asa "Sekalipun
Nyi Ragil punya tujuh nyawa dan kau membunuhnya sampai tujuh kali, Boma tidak
akan dapat hidup kembali." Ujas Naga Nini.
Sinto
Gendeng tak dapat menahan amarahnya, "Kalian… kalian bukan manusia.
Makhluk apa kalian aku tidak perduli. Apa sangkut paut kailan dengan Boma
Wanareja?!" "Kami adalah Sepasang Naga pelindung anak itu. Ketika
kejadian kau membunuh Boma, kami baru saja menyelesaikan tapa di Gunung Wilis.”
Menerangkan Naga Nina. Naga Nini menyambungi. "Sekarang kau sudah tahu dosamu.
Berarti kau harus menyadari bahwa cukup pantas dirrmu kami hukum dipendam dalam
tanah begitu rupa!" ”Tidak bisa! Kalian bukan Tuhan yang bisa menghukumku
seenaknya!" Teriak Sinto Gendeng lantang.
Sepasang
Naga Putih Kembar tertawa panjang. "Ketika kau membunuhi musuh-musu mu apa
terpifkir olehmu bahwa kau juga bukan Tuhan yang bisa menghukum dan membunuh
orang lain seenaknya?’ "Jahanam! Kalian berdua tidak lebih dari makhluk
keji kesasar!” Keluarkan aku dari dalam tanah. Mari kita bertempur secara
satria ”.
Kembali
Sepasang Naga Putih tertawa. "Selamat tingga! Sinto Gendeng.” Naga Nini
dan Naga Nina berucap lalu didahului dengan menebarnya kabut pulih, sosok kedua
makhluk aneh itu lenyap dari tepian telaga. ”Jahanam pengecut!" teriak
Sinto Gendeng karena dua makhluk pergi begitu saja tanpa mau melayani
tantangannya. Dia mengira dengan perginya Sepasang Naga Putih Kembar itu dia
akan bisa keluar dari pendaman. Tapi tetap saja sia-sia. Tekanan berat di
sebelah atas tak kunjung lenyap. Sampai berapa lama dia bisa bertahan. Tubuhnya
bisabisa amblas sampai ke ubun-ubun. Kalau hal ini sampai kejadian nyawanya
lidak tertolong lagi.
SINTO
Gendeng, nenek sakti dedengkot rimba persilatann tanah Jawa tidak tahu entah
sudah berapa lama dia terpendam di tanah. Dia tidak mampu menghitung hari.
Tubuhnya mulaidari dada ke atas kotor diselimuti debu tebal. Keadaannya hampir
menyerupai jerangkong hidup. Selama terpendam, pada siang hari dirinya
dipanggang sinar matahari. Pada malam hari diselimuti hawa dingin berlapis
embun. Di atas kepalanya, di tusuk konde perak. yang tinggal empat, mulai
bersarang dan berkeliaran berbagai macam serangga.
Selama
dipendam begitu rupa tentu saja Sinto Gendeng tidak pernah makan, tidak pernah
minum. Padahal telaga berair jernih dan sejuk hanya beberapa langkah saja di
dekatnya. Bibirnya pecah-pecah. Rongga dua matanya semakin cekung mengerikan.
Kalau ada buah atau daun pohon yang melayang jatuh dan bisa dijangkau
dipungutnya, itulah yang jadi makanannya. Kalau ada lapisan embun menempel di
bibirnya, itulah yang dijilatnya dijadikan air minuin pelepas dahaga. Keadaan
nenek ini sungguh mengenaskan. Siap menunggu sekarat.
Saat itu
sore hari. Entah sore yang keberapa. Sinto Gendeng tak bisa menghitung.
Sepasang matanya tertutup. Kepala terkulai ke samping, dua tangan terletak
lunglai di permukaan tanah. Dia tahu saat itu matahari hampir tenggelam karena
dapat merasakan sinarnya tidak lagi keras membakar, memanggang kepala dan
wajahnya.
”Mati,
mengapa aku tidak mati saja?" Sinto Gendeng berucap menyumpahi diri sendiri
dalam hati "Malaikat maut. dimana kau. Mengapa kau tidak datang, mencabut
nyawaku sekarang juga! Memang aku banyak dosa! Aku tidak takut matil Cabut
nyawaku sekarang juga”.
Mulut si
nenek terbuka sedikit. Lalu dia terbatuk-batuk. Menyemburkan ludah bercampur
darah!
Dalam
keadaan seperti itu sayup-sayup di kejauhan ada suara orang berjalan sambil
bercakap-cakap. Sesekali terdengar suara tawa menyelingi percakapan.
"Kalau aku tidak salah, di sekitar sini ada sebuah telaga. Rasanya aku
ingin sekali mandi berbasah-basah.” Yang bicara seorang perempuan. Kalau begitu
mari kita cari telaga itu. Aku juga kepingin mandi asal kau mau menemani"
Menyahuti suara orang lelaki. Sepertinya bukan suara lelaki dewasa. "Pasti
di otakmu saat ini sudah muncul pikiran kotor. Aku mau mandi tapi tidak mau
membuka pakaian.
”Mana ada
orang mandi mengenakan pakaian. Yang namanya mandi itu ya pasti bugil. Kerbau
saja kalau mandi telanjang tidak pakai baju! Ha… ha..ha… ha!”
Suara
tawa bergelak itu tiba-tiba terputus. Berganti dengan seruan kaget.
”Lihat”.
”Astaga!"
Dua orang
berkelebat ke hadapan Sinto Gendeng.
”Sulit
dipercaya. Mukanya tertutup debu tebal. Tapi dari tusuk konde perak di atas
kepalanya aku yakin dia……” "Aku mencium bau pesIng. Walau tidak santar
karena tubuhnya sebelah bawah ada di dalam tanah. Pasti dia Sinto Gendeng.
Nenek sakti dari Gunung Gede guru Pendekar 212 Wiro Sableng.” "Hanya,
bagaimana kita bisa percaya dia terpendam begini rupa? Siapa yang melakukan?
Dia sendiri? Bunuh diri? Ah, ini bukan cara bunuh diri yang menyenangkan. Ha…
ha..ha!" "Jangan tertawa saja. Kita harus melakukan sesuatu. Menolong
dia keluar dari pendaman tanah."
Sejak
tadi Sinto Gendeng mendengar semua pembicaraan dua orang yang muncul di
hadapannya itu, Dia ingin melihat siapa kedua orang itu adanya. Tapi dua
matanya terasa sangat berat tak mampu dibuka. Di atas kepalanya seperti ada
benda luar biasa berat menekan dirinya. "Tunggu apa lagi. Ayo kita
keluarkan nenek ini dari dalam tanah!"
Sinto
Gendeng merasa ada dua pasang tangan memegang bahunya kiri kanan. Lalu
perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke alas. Namun jangankan tubuh nenek itu bisa
keluar dari dalam tanah. Bergerak atau bergeming sedikitpun tidak. Kedua orang
itu kerahkan tenaga. Salah seorang dari mereka selinapkan lengan di bawah ketiak
si nenek.
Lalu
keduanya mengangkat kuat-kuat ke atas. Dari mulut Sinto Gendang mengeledek
jerit kesakitan. Tulang pinggangnya seperti mau putus.
”Anak
Setan! Kalian mau membuat copot tubuhku?!”.
Dibentak
begitu rupa dua orang yang berusaha menolong terperangah kaget.
”Nenek
kami bukan mau mencelakai dirimu. Tapi mau menolong. Mau mengeluarkan tubuhmu
dari dalam tanahl"
”Mau
menolong…?" Wajah tengkorak Sinto Gendeng menyeringai kaku. Dua matanya
masih terkatup. Jadi kalian bukannya malaikat maut? ”
Dua orang
itu saling pandang. Dalam keadaan sekarat seseorang memang bisa saja bicara
melantur, "Aku mau mati. Kalau kalian bukan malaikat maut pergi
sana!." "Nek, kami bukan malaikat maut! Kami sahabat-sahabatmu,"
Suara perempuan memberitahu. "Betul. Yang namanya malaikat maut kalau
datang mana pernah memberitahu. Nyawamu langsung disedot dari ubun-ubun atau
dibetot dari jempol kaki! iiiihhh!” "Manusia-manusia sialan! Siapa
kalian?!" "Buka matamu Nek, kau pasti mengenali kami!" "Kepala
dan bahuku terasa berat. Mataku tak bisa dibuka. Kalaupun kalian bukan malaikat
maut, tapi kalian tentu bisa membunuhku saat ini juga!"
Dua orang
di hadapan Sinto Gendeng saling berbisik.
”Ada yang
tidak beres di tempat ini. Ada satu kekuatan aneh membuat tubuh Sinto Gendeng
tidak bisa dikeluarkan dari dalam tanah." "Kalau saja Wiro ada di
sini dia pasti mampu menolong gurunya. Dengan kapak saktinya atau dengan ilmu
aneh yang didapatnya di Negeri Latanah silam. Ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah." Mendengar nama muridnya disebut seolah mendapat satu kekuatan
ajaib sepasang mata Sinto Gendeng perlahan-lahan terbuka.
*********************
11
SINTO
Gendeng buka sepasang matanya lebih lebar.
”Kalian.."
ucap si nenek. Dia hanya mampu melihat samar-samar. "Aku mendengar suara,
tapi aku tidak melihat jelas. Boleh jadi… boleh jadi aku telah buta,"
Dua orang
di hadapan Sinto Gendeng saling pandang.
”Kita
harus bantu penglihatannya. Mungkin aliran darah ke kepalanya tidak lancar.
Kita perlu menotok urat besar di leher kiri kanan dan dua pelipisnya. "Kau
yang melakukan. Aku akan membantu memberi kekuatan dengan totokan di
ubun-ubunnya!.
Dua
tangan lalu bergerak cepat menotok jalan darah di leher dan kening Sinto
Gendeng. Totokan berikutnya di arahkan tepat di ubun-ubun batok kepala si
nenek. Begitu ditotok Sinto Gendeng keluarkan suara seperti ayam digorok.
Sepasang matanya terbuka semakin ebar, ada cahaya mencorong angker. Pertanda
kemampuannya melihat kini hampir kembali sempurna. Tubuhnya tidak terasa lemas
namun beban berat yang menindih di sebelah atas masih terasa.
"Kalian…" desis Sinto Gendeng, memandang pada bocah berpakaian serba
hitam berambut jabrik yang jongkok di hadapannya. "Kau… Bocah edan…."
"Aku Naga Kuning Nek. belum jadi bocah edan!” jawab anak berpakaian serba
hitam lalu menutup mulut menahan tawa.
”Dan aku,
apa kau mengenali diriku?” Perempuan tua berwajah seram berpakaian hitam dan
berkuku panjang hitam di samping Naga Kuning keluarkan ucapan.
Sinto
Gendeng menyeringai buruk. "Aku mengenali tampangmu yang seram tidak
karuan. Tapi aku lupa namamu.." "Aku Gondoruwo Patah Hati
Sahabatmu..” ”Aahhh… " Sinto Gendeng lepas nafas panjang.
”Nek kami
barusan berusaha menotongmu, Tapi aneh, sosokmu tak bisa diangkat, tak bisa
ditarik dari dalam tanah. Apa yang terjadi dengan dirimu? Siapa memendammu
begini rupa?”. "Ada satu kekuatan aneh menindih kepala dan tubuhku. Sampai
kiamat kalian tak bakal bisa membebaskan diriku."
Kalau kau
mau menceritakan apa yang terjadi, atau siapa yang melakukan perbuatan gila ini
atas dirimu, mungkin kami bisa mencari jalan untuk menolongmu”.
”Aku
manusia penuh dosa. Aku pantas menerima hukuman ini sampai mati." Jawab
Sinto Gendeng. "Hukuman yang paling pantas jatuh atas diri manusia adalah
yang datang dari Gusti Allah. Hukum manusia atas manusia lainnya biasanya
dipengaruhi rasa dendam, iri dengki atau rasa takut tak beralasan. Aku belum
bisa percaya kalau apa yang terjadi atas dirimu ini adalah hukuman dari Gusti Allah.
Harap kau mau bercerita”.
Sinto
Gendeng tatap wajah seram nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati sesaat Dia tahu
riwayat nenek satu ini. Di balik wajah yang buruk seram itu ada satu wajah
cantik jelita. Di balik tubuh yang kelihaian rapuh buruk itu ada satu sosok
yang mulus bagus. Dan dia juga tahu kalau si nenek sebenarnya bernama Ning
Intan Lestar. Dan bocah berambut jabrik itu sesungguhnya adalah seorang kakek
sakti berjuluk Kiai Paus Samudera Biru. Satu senyum menyeruak di wajah angker
Sinto Gendeng. "Nek, aku sahabat muridmu. Aku tahu senyummu lebih mahal
dari emas sebesar gunung. Tapi saat ini aku melihat kau tersenyum, ada apakah?
”. "Aku senang melihat kalian berdua. Kalian manusia-manusia berbahagia.
Tidak seperti diriku. Seumur hidup dirundung sengsara, korban tipu daya, korban
fitnah dan hari ini menjadi korban hukum. Hik… thik… hik.” ”Jalan hidup kami
berdua tidak lebih baikdarimu, sahabatku Sinto," kata Gondoruwo Patah Hati
pula. ”Puluhan tahun kami dirundung duka sengsara sebelum Gusti Allah mempertemukan
kami kembali”. Sinto Gendeng menarik nafas dalam "Dunia penuh keanehan. Di
dalam keanehan itulah agaknya aku akan menemui ajal”. Sinto Gendeng usap
wajahnya "Naga Kuning, tadi kau menyebut muridku. Kau tahu dlmana anak
setan itu sekarang berada? Aku ingin melihatnya sebelum diri buruk penuh dosa
ini menemui kematian," "Sinto sahabatku. Siapa bilang kau akan mati.
Kami akan menolongmu keluar dari dalam pendaman tanah…." "Kalian
sudah berusaha tapi tidak mampu…”. "Cerita Nek, ceritakan apa yang terjadi!’
kata Naga Kuning pula.
Atas
desakan Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati, Sinto Gendeng menceritakan
pertemuannya dengan Sepasang Naga Putih Kembar, Naga Nini dan Naga Nina.
"Sulit dipercaya ada makhluk seperti itu." Kata Naga Kuning sambil
mengusap rambut jabriknya, "Nek, kami berdua akan mencoba mengeluarkan kau
dari dalam pendaman tanah…" "Tidak ada gunanya. Kalian sudah mencoba
dan tak berhasil. Tinggalkan saja diriku. Tolong cari muridku si enak setan
bernama Wiro Sableng itu. Mudah-mudahan dia bisa menemuiku sebelum aku menemui
kematian…"
Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berbisik-bisik. "Lakukan dengan sepuluh
jarimu. Aku akan membantu dari belakang. Mudah mudahan berhasil," bisik
Naga Kuning. "Aku tidak bisa memastikan kita berhasil. Ingat, waktu aku
bertapa mendalami ilmu itu di pinggir Kali Lanang, kau jatuh ke pangkuanku!
Tapaku menjadi buyar!" "Aku ingat,” jawab Naga Kuning. Tapi tak ada
salahnya kita coba. Aku akan membantumu”. (Peristiwa jatuhnya Naga Kuning ke
pangkuan Gondoruwo Patah Hati yang tengah bertapa merampungkan ilmu Kuku Api di
tepi Kali Lanang, dapat dibaca dalam Episode "Gondoruwo Patah Hati")
Gondoruwo
Patah Hati beringsut mendekati Sinto Gendeng. Lima jari tangannya yang berkuku
panjang hitam dipentang lurus, diletakkan di tanah. Di sebelah belakang Naga
Kuning letakkan dua telapak tangannya di punggung Gondoruwo Patah Hati.
”Kalian
mau melakukan apa?" tanya Sinto Gendeng sambil memperhatikan sepuluh jari
berkuku panjang hitam nenek bermuka seram di hadapannya.
”Aku akan
menggali tanah di sekitar tubuhmu. Itu satu-satunya cara terbaik untuk
mengeluarkanmu dari pendaman tanah…"
Sinto
Gendeng menyeringai. ”Lebih baik sepuluh kuku jarimu itu kau cengkeramkan ke
leherku biar aku mati! Itu lebih mudah dari pada bersusah payah menggali.
Hik.hik.hik!"
Tanpa
perdulikan ucapan Sinto Gendeng, Gondoruwo Patah Hati mulai kerahkan tenaga
dalamnya lalu dialirkan pada sepuluh jari tangan. Di sebelah belakang Naga
Kuning bantu mengalirkan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya ke tubuh Gondoruwo
Patah Hati.
Sekujur
tubuh Gondoruwo Patah Hati bergetar. Sepuluh jari tangannya yang berkuku hitam
kini berubah merah, memancarkan cahaya seperti bara api. Tangan dan jari serta
tanah disekilarnya mengeluarkan kepulan asap merah. Sinto Gendeng merasa ada
hawa panas menjalar di tanah sekitarnya, masuk ke dalam tubuhnya. "Lakukan
sekarang”, bisik Naga Kuning. Mendengar ucapan Naga Kuning, Gondoruwo Patah
Hati hunjamkan sepuluh jari tangannya ke dalam tanah. "Cesss! Cessss!”
Terdengar
suara seperti besi panas dicelup ke dalam air. Asap merah mengepul semakin
tebal. Dengan kedua tangannya yang berkuku panjang Gondoruwo Patah Hati
menggali tanah sekitar tubuh Sinto Gendeng. Memang luar biasa kehebatan dua
tangan si nenek Sepuluh jari berkuku hitam yang kini memancarkan sinar merah
Itu pada puncak kehebatannya sanggup meremas hancur batu kini dipergunakan
untuk menggali tanah yang jauh lebih lunak. Tentu saja dalam waktu cepat tanah
di sekitar dada Sinto Gendeng terbongkar terkuak lebar dan cukup dalam. "Nek,
coba gerakkan tubuhmu!. Mungkin tanah yang menjepitmu sudah longgar!"
Berkata Naga Kuning.
Sinto
Gendeng pular-putar tubuhnya. Ternyata hanya dadanya yang berada di atas
permukaan tanah yang mampu digerakkan sementara bagian tubuh yang terpendam di
sebelah bawah masih belum bisa bergeming.
”Aku
merasa tekanan tanah agak berkurang. Tapi aneh, aku tidak bisa menggerakkan
tubuh bagian bawah,” kata Sinto Gendeng. Ada tekanan berat luar biasa menindih
kepala dan pundak ku.
”Kerahkan
tenaga dalammu!" Kata Gondoruwo Patati Hati.
Sinto
Gendeng kerahkan tenaga dalamnya tapi tetap saja dia tak mampu bergerak.
"Gali lebih dalam dan lebih besar," ucap Naga Kuning pada Gondoruwo
Patah Hati. "Matahari hampir tenggelam. Sebentar lagi malam tiba! Kita
harus bisa mengeluarkannya sebelum hari menjadi gelap”. Lalu kembali Naga
Kuning salurkan tenaga dalamnya ke punggung Gondoruwo Patah Hati. Nenek ini
bekerja mati-matian menggali tanah dengan dua tangannya. Sinto Gendeng kembali
menggerakkan tubuh, coba mengeluarkan diri dari jepitan tanah. Namun tetap saja
tidak berhasil. Nafas Gondoruwo Patah Hati sudah terengah. Di belakangnya Naga
Kuning telah mandi keringat karena mengerahkan tenaga dalam tak putus-putusnya.
Sang surya telah tenggelam. Keadaan ditepi telaga mulai gelap. Dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan keras.
"Manusia-manusia culas keji kurang ajar! Apa yang kalian lakukan! Dendam
apa. dosa apa sampai tega-teganya dan beraninya kalian memendam Eyang Sinto
Gendeng hidup-hidup?”. "Wuuut" "Wuuut!"
Satu
tendangan melabrak ke punggung Naga Kuning. Satu jotosan menghantam ke arah
batok kepala Gondoruwo Patah Hati. Si bocah jabrik dan si nenek bermuka setan
berseru kaget, lalu sama-sama cari selamat dengan jatuhkan diri ke tanah
*********************
12
NAGA
Kuning merasa sekujur tubuhnya dingin ketika mengetahui tendangan orang lewat
hanya seujung kuku, menyerempet punggung baju hitamnya. Kalau dia tidak cepat
jatuhkan diri ke tanah, tubuhnya sebelah belakang pasti akan hancur berantakan.
Gondoruwo Patah Hati seperti Naga Kuning tertelentang pucat di tanah. Pukulan
orang akan memecahkan balok kepalanya kalau dia tidak cepat jatuhkan diri.
Rambutnya yang sebagian tergulung kini terbongkar awut-awutan. Masih untung
hanya gulungan rambutnya yang kena serempetan pukulan orang. Kalau sampai balok
kepalanya yang kena digebuk, saat itu pasti dia sudah jadi mayat. "Anak
Setan! Dedemit mana yang masuk ke dalam tubuhmu hingga mau membunuh dua sahabat
yang hendak menolong diriku?”.
Sinto
Gendeng keluarkan bentakan keras. Bayangan putih yang barusan berkelebat sambil
lancarkan dua serangan maut keluarkan seruan tertahan. Dengan dua mata
dibesarkan dia melangkah mendekati Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang
saat itu tengah berusaha bangun dari tanah. "Ampun Eyangl Saya kesalahan
mata? Hampir kesalahan tangan. Tempat Ini begitu gelap. Saya hanya melihat
sosok Eyang kerena menghadap ke arah saya. Dan dua orang itu membelakangi arah
saya datang !”
Orang
yang bicara jatuhkan diri berlutut dihadapan Sinto Gendeng, lalu memutar tubuh
pada Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.
”Salah
mata salah nyawa ! Kau pantas menerim hukuman seperti yang aku alami saat ini”.
”Mohon
ampun Eyang. Tapi kedua orang ini tidak sampai mati ditanganku.”
”Kalau
kami berdua sempat mati ditanganmu,kami akan menjadi setan dan datang
mencekikmu!” Kata Naga Kuning.
”Naga
Kuning, nenek Gondoruwo Patah Hati, maafkan aku, aku benar-benar tidak mengira.
Aku hanya melihat kalian dari belakang. Sepertinya hendak memendam guruku ke
dalam tanah.”
”Wiro,
kami justru ingin mengeluarkannya dari dalam tanah. Tetapi gagal
terusterusan.” Kata Naga Kuning sambil memegang tengkuknya yang masih terasa
dingin sementara Gondoruwo Patah Hati merapikan gulungan rambutnya.
”Apa yang
terjadi di tempat ini ?” tanya orang yang barusan datang, dan bukan lain lain
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
”Jangan
banyak bertanya dulu! Bantu mereka mengeluarkan aku dari dalam tanah.” Sentak
Sinto Gendeng.
Wiro
menggaruk kepala.
”Baik
Eyang akan saya lakukan. Saya akan lakukan.” Kata Wiro pula. Lalu dia keluarkan
Kapak Maut Naga Gen i 212. "Jangan pergunakan kapak”’ ucap Naga Kuning.
”Wiro, aku ingat bukankah kau punya ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah.
Pergunakan ilmu itu untuk mengeluarkan gurumu dari pendaman tanah.”
Wiro
memperhatikan sejenak. Lalu gelengkan kepala.
”Tidak,
terlalu berbahaya. Salah-salah guruku malah bisa terjepit amblas! Nek kau terus
menggali tanah dengan dua tanganmu. Naga Kuning. Kau teruskan menyalurkan
tenaga dalam. Aku akan menarik Eyang Sinto ke atas.”
”Sudah
dilakukan. Tapi tidak berhasil. Sosok gurumu seperti dijepit di sebelah bawah
dan di sebelah atas seolah ada kekuatan berat luar biasa menindih kepala dan
pundaknya.”
”Lalu
bagaimana caranya kita membebaskan Eyang? Sialan! Siapa yang punya pekerjaan
kurang ajar seperti ini!”
”Wiro.
kau punya kepandaian Menembus Pandang. Selidiki apa yang ada di atas kepalaku.
Mata biasa bisa saja tidak mampu meiihat….”
Masih
memegang kapak sakti di tangan kanannya, wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang
yang didapatnya dari Ratu Duyung. Begitu ilmu diterapkan dan matanya memandang
ke depan. Wiro keluarkan seruan kaget. Dua kakinya sampai bergerak surut dua
langkah. "Anak Setan! Apa yang kau lihat?” Tanya Sinto Gendeng sementara
Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning dalam herannya juga ingin tahu apa yang
barusan telah dilihat Pendekar 212. "Eyang….” Suara sang murid agak
gemetar. "Saya… saya melihat ada dua benda aneh, besar putih, bergulung di
atas Kepala Eyang…” Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati saling pandang. Sinto
Gendeng mengulangi kata-kata Wiro. "Dua benda aneh, besar putih, bergulung
di atas kepalaku. Jahanam! Pasti mereka!" ”Mereka siapa Eyang?!"
”Makhluk yang memendam diriku! Sepasang Naga Putih Kembar!" "Siapa
mereka?" tanya Wiro. "Berhenti dulu bertanya. Pergunakan kapak
saktimu. Eh, aku melihat ada cahaya merah aneh membungkus senjata itu. Apa yang
terjadi dengan kapakmu Anak Setan?”. ”Ada makhluk pandai memberi kekuatan tambahan
pada senjata ini. Seekor naga..,"
Sepasang
mata Sinto Gendeng membesar dalam rongga cekung angker. "Naga dengan naga.
Anak setan! Tunggu apa lagi! Hantam dua makhluk yang kau lihat itu dengan Kapak
Naga Geni 212! Kerahkan seluruh tenaga dalammu! Tapi awas jangan batok kepalaku
yang kau hantam! Hik..hik..hik!" Dalam keadaan tegang seperti itu si nenek
masih bisa bergurau dan tetawa cekikikan.
Wiro
melangkah mendekati sosok Sinto Gendeng yang terpendam setengah badan di tanah.
Kapak Naga Geni 212 dipegangnya dengan dua tangan sekaligus. Belum pernah dia
memegang senjata sakti ini seperti itu. Tenaga datam dialirkan penuh. Dua mata
kapak sakti memancarkan sinar putih terang, dibungkus sinar kemerahan.
Dua
tangan yang memegang gagang senjata sakti bergerak. Kapak Naga Geni 212 berkelebat
dahsyat di atas kepala Sinto Gendeng. Suara dahsyat seperti ratusan tawon
mengamuk menggelegar di tempat itu. Cahaya putih menyilaukan serta cahaya merah
angker merobek kegelapan malam. Hawa panas menghampar membuat Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati menyingkir jauhkan diri.
Kapak
Maut Naga Geni 212 kelihatannya membabat udara kosong. Tapi saat itu juga
terjadi satu keanehan. Di kejauhan terdengar suara dua orang berbarengan
meratap kesakitan. Lalu ada dua makhluk besar terbang, melesat tak kelihatan
dalam kegelapan malam.
Sinto
Gendeng tersentak. Tindihan berat di kepala dan pundaknya lenyap. "Anak
Setan! Cepat kau lihat! Apa dua makhluk putih itu masih ada di atas
kepalaku?"
Wiro
terapkan kembali Ilmu Menembus Pandang. "Lenyap, tak ada lagi Eyang. Tapi
di kejauhan sana saya melihat ada dua titik putih”. "Persetan dengan dua
titik putih itu!" ujar Sinto Gendeng. "Gondoruwo, cepat kau gali
tanah di sekitarku. Naga Kuning, alirkan terus tenaga dalammu. Wiro, kau angkat
tubuhku ke atas. Hati-hati, perlahan-lahan! Aku khawatir tanah jahanam itu
masih menjepit diriku di sebelah bawah,"
Gondoruwo
Patah Hati kembali menggali tanah di sekitar tubuh Sinto Gendeng. Naga Kuning
kerahkan seluruh tenaga dalam ke tubuh si nenek lewat punggung. Wiro sendiri
saat Itu telah berada di belakang sosok gurunya. Dua tangan diselinapkan
kebawah ketiak Sinto Gendeng lalu dengan mengerahkan tenaga luar dalam dia
mulai mengangkat tubuh gurunya ke atas. Berhasil! Perlahan-lahan tubuh kurus
kering dan bau pesing Sinlo Gendeng terangkat ke atas. Mulai dari bagian dada,
lalu pinggang, menyusul bagian perut. Ternyata ada yang tidak beres. Walau
tubuh si nenek bisa diangkat ke atas, dikeluarkan sedikit-demi sedikit dari
dalam pendaman tanah, namun kain yang dikenakannya terjepit di bawah dan
tertinggal di dalam tanah sehingga auratnya di bagian bawah perut terbuka
jelas!
Gondoruwo
Patah Hati langsung melengos palingkan kepala begitu melihat aurat Sinto
Gendeng yang tersingkap. Naga Kuning berteriak. "Wir! Tahan!"
"Ada apa?”. Wiro yang tidak tahu apa yang terjadi bertanya. Dan terus saja
menarik tubuh gurunya ke atas, keluar dari pendaman tanah. "Hentikan!
Jangan ditarik terus! Lepas! Lepaskan dulu. Ada yang tidak beres" ”Naga
Kuning, apa yang tidak beres?!" Sinto Gendeng bertanya heran. Cuma saat
itu dia memang merasakan saputan udara malam menyapu dingin di auratnya sebelah
bawah.
”Itu!
Anu…. Kain Eyang Sinto ketinggalan di dalam tanah Anu Nek… ada yang nongol
kelihatan”. "Ada yang nongo?. Apa maksudmu?" Sinto Gendeng bertanya.
Di sebelah
belakang Wiro masih berusaha menarik tubuh gurunya ke atas.
Naga
Kuning menunjuk ke bawah perut si nenek, Sinto Gendeng tundukkan kepala,
memandang ke bawah. Wiro ikutan julurkan kepalanya memandang ke bawah perut
sang guru. "Oo… wualla! Setan alas!" teriak Sinto Gendeng dengan muka
kelam begitu melihat auratnya sendiri. Dua tangannya dipukul-pukulkan ke tangan
Wiro.
Wiro
poncongkan mulut. Meringis geli. Lalu loloskan dua tangannya dari bawah ketiak
sang guru. Sosok Sinto Gendeng meluncur ke dalam tanah. "Brengsek
kau!" kata Naga Kuning pada Wiro. "Sudah aku bilang berhenti kau
malah menarik terus ke atas. Bisa sakit rebebkan mataku melihat benda terlarang
itu”. "Kau yang brengsek. Mengapa kau bilang. Ada yang nongol. Aku mana mengerti?!"
tukas Pendekar 212. "Lalu aku mau bilang apa? Masa aku mau bilang ijuk.
Habis berucap begitu Naga Kuning tertawa cekikikan. Gondoruwo Patah Hati jewer
telinga bocah ini. Sinto Gendeng memaki panjang pendek sedang Wiro berdiri
senyum-senyum sambil garuk-garuk kepala. "Kalian orang-orang gila
semua!" Rutuk Sinto Gendeng.
Saat itu
Gondoruwo Patah Hati telah tanggalkan jubah luarnya. Jubah hitam ini
dililitkannya ke tubuh Sinto Gendeng. Kalaupun nanti tubuh itu ditarik ke atas,
maka auratnya akan terlindung di balik jubah hitam, Naga Kuning memberi tanda
pada Wiro, masih tertawa-tawa. Pendekar 212 kembali mengangkat tubuh sang guru
yang kini telah diselubungi jubah itu. Ketika sosok Sinto Gendeng terangkat ke
atas sampai sebatas pinggul, tiba-tiba entah dari mana datangnya tahu-tahu
kawasan sekitar telaga ttu telah tertutup kabut putih. Semua orang tercekat.
Sinto Gendeng merasa ada yang tidak beres, cepat berteriak. "Anak Setan!
Lekas tarik tubuhku! Cepat!"
Wiro
lakukan apa yang dikatakan sang guru.
Tiba-tiba
dari balik kabut ada suara menggema. "Jangan ada yang berani bergerak.
Atau kalian semua akan menemui ajal di tempat ini!"
*********************
13
SIAPA
yang barusan bicara? Setan telaga atau dedemit hutan?” Naga Kuning keluarkan
ucapan. Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam kabut menyambar
sebuah benda putih seperti ujung sebuah cemeti. "Wuuuuttt!"
"Desss!"
Naga
Kuning berseru kaget. Cepat melompat mundur. Ketika dia memandang ke depan,
tanah di tempat tadi dia berdiri amblas sedalam dua jengkal dan berwarna
kehitaman seperti hangus. Melihat hal ini Gondoruwo Patah Hati berteriak marah.
Dia langsung angkat tangan kanan hendak hantamkan ilmu Kuku Api. Watau ilmu ini
belum rampung dikuasainya, tapi tingkat yang saat itu sudah dimilikinya sanggup
menghancurkan sebuah batu sebesar kerbau.
”Tahan.”
Tiba-tiba Wiro berkata sambil memegang lengan Gondoruwo Patah Hati, Kita tidak
melihat musuh. Sebaliknya musuh melihat kita. Tunggu sampai kabut lenyap.
Siapapun yang ada di balik kabut akan muncul kelihatan."
Apa yang
dikatakan Wiro memang benar. Perlahan-lahan kabut pulih melenyap sirna. Lalu
dari balik kabut itu di atas telaga kelihatan dua sosok nenek berwajah putih
berambut perak. Tubuh mereka menyerupai tubuh naga berwarna putih. Didada
masingmasing kelihaian ada luka besar yang walaupun sudah bertaut tapi tampak
masih mengucurkan darah. Agaknya luka ini adalah bekas hantaman Kapak Maut Naga
Geni 212 yang dilancarkan Wiro tadi. "Sepasang Naga Putih Kembar! Mereka
makhluk jahanam yang memendam aku ke dalam tanah!".Teriak Sinto Gendeng
yang saat itu terpendam kembali di tanah. ”Jadi ini makhluknya yang berani
berlaku kurang ajar terhadap guruku!" Wiro melompat ke depan. Kapak Maut
Naga Geni 212 sudah tergenggam di tangan. Sepasang mata dua nenek kembar bertubuh
naga melirik pada senjata di tangan Pendekar 212 itu. Jelas kelihaian mereka
agak ngeri melihat senjata yang sebelumnya telah melukai diri mereka itu.
"Bocah sableng! Mulutmu jangan terlalu enteng bicara! Kau tahu apa tentang
dosa kesalahan gurumu! Kau sendiri saat ini telah berbuat kesalahan besar.
Berani menyerang dan melukai kami! Serahkan Kapak Naga Geni 212 itu pada kami.
Kau akan selamat dari kematian!" "Wiro,” Naga Kuning berbisik.
”Agaknya dua makhluk berkepala manusia bertubuh naga ini jerih terhadap kapakmu.
Hati-hati. Aku punya dugaan mereka akan berusaha merampas senjata itu dari
tanganmu!"
Dari
dalam pendaman tanah tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara tawa melengking.
"Sepasang Naga Putih! Kalian inginkan senjata di tangan muridku! Tapi
kalian hanya berani meminta seperti pengemis! Pengecut! Jika kalian memang
punya ilmu kepandaian mengapa tidak mengambil sendiri?!” Sinto Gendeng rupanya
juga sudah membaca kalau dua nenek kembar itu merasa kecut melihat Kapak Maut
Naga Geni 212.
Dimaki
pengemis dan pengecut dua naga putih keluarkan suara menggembor. Yang di
sebelah kanan yaitu Naga Nini membuka gelungan tubuhnya lalu melesat ke arah
Pendekar 212 Wira Sableng. Wiro menyambut dengan hantaman tangan kiri, melepas
pukulan Benteng Topan Melanda Samudera sementara kapak di tangan kanan menderu
membabat ke arah kepala nenek bertubuh naga. Sinar terang putih menyilaukan
terbungkus cahaya merah menderu panas dan mengeluarkan suara ratusan tawon
mengamuk.
Naga Nini
buka mulutnya lalu menyembur. Satu gelombang angin dahsyat melabrak. Pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera buyar. Tubuh Pendekar 212 terpental dua tombak.
Dia merasa seperti ditancapi ratusan jarum. Darah mengambang di permukaan
kulitnya. Kapak di tangan kanan terlepas. Dia berusaha menjangkau tapi ekor
Naga Nini tiba-tiba berkelebat menghantam ke arahnya. Murid Sinto Gendeng ini
terpaksa lebih dulu selamatkan nyawanya daripada selamatkan kapak sakti. Selagi
senjata itu melayang di udara. Gondoruwo Patah Hati cepat melesat untuk
mengambilnya. Pada saat kapak berhasil disentuhnya, dari depan mendadak naga
pulih ke dua yaitu Naga Nina telah bergerak kirimkan serangan. Ekornya yang
panjang laksana cambuk membeset ke arah si nenek. Gondoruwo Patah Hati nekad
pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menangkis. "Trangg!"
Luar
biasa! Ekor naga itu laksana baja lentur, mengeluarkan suara berdentrangan
ketika beradu dengan mata kapak. Walaupun begitu tampak ada darah mengucur di
bagian ekor Naga Nina pertanda daya kebal keatosan tubuhnya mampu ditembus oleh
kapak sakti milik Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kapak
boleh sakti tapi Gondoruwo Patah Hati ternyata belum sanggup menerima labrakan
buntut naga yang luar biasa kerasnya. Meski dia masih sanggup menggenggam
senjata itu namun tubuhnya terlempar jauh dan terbanting ke tanah. Naga Kuning
cepat memburu.
"Aku
tak apa-apa. Mungkin hanya luka di dalam sedikit. Ambil kapak sakti. Agaknya
hanya senjata Ini yang mampu menghadapi makhluk aneh itu."
Semula
Naga Kuning hendak mengambil senjata itu. Tapi akhirnya dia berkala.
"Kapak
itu biar tetap di tanganmu untuk menjaga segala kemungkinan! Dua makhluk
bermuka nenek putih bertubuh naga itu siapa mereka sebenarnya. Dia berani
mencelakaimu. Aku akan menghajar mereka sampai kapok!"
”Hati-hati,
mereka bukan makhluk sembarangan."
Saat itu
Naga Kuning telah melompat kehadapan Naga Nina yang barusan telah menghantam
jatuh Gondoruwo Patah Hati.
Di dalam
pendaman tanah Sinto Gendeng memaki panjang pendek. Dia sudah gatal tangan
untuk ikut menempur sepasang naga itu namun walau tindihan berat di kepala dan
pundaknya telah lenyap ternyata dia masih tidak mampu mengeluarkan diri sendiri
dari dalam tanah.
Ketika
Naga Kuning mendatangi Naga Nina, Wiro melompat ke arah Naga Nini. Sebelum
menerjang naga berkepala nenek berwajah putih itu dia telah menyiapkan pukulan
Sinar Matahari di tangan kanan. Begitu menerjang dia segera lepaskan pukulan
sakti itu ke arah lawan. Sinar putih berkelibat dalam gelapnya malam disertai
hamparan hawa panas luar biasa.
Tapi Naga
Nini keluarkan tawa dan ucapan mengejek menyambuti serangan sang pendekar.
”Pukulan
Sinar Matahari! Apa perlu ditakuti? Hik… hik… hik".
Di
tempatnya terpendam Sinto Gendeng merasa dirinya seperti terpanggang mendengar
ilmu kesaktian yang diwariskan pada muridnya itu diejek orang seperti itu.
Namun karena dalam keadaan tak berdaya dia tidak mampu berbuat suatu apa.
Habis
keluarkan tawa dan ucapan mengejek Naga Nini menyembur. Seperti tadi satu
gelombang angin yang luar biasa dahsyatnya menghantam ganas.
Satu
dentuman keras menggelegar, menggoyang pepohonan, memuncratkan air telaga dan
menggetarkan tanah. Naga Nini keluarkan suara menggerung hebat tapi sosoknya
tidak bergeming sedikitpun. Dari wajah dan kepalanya mengepul asap kelabu.
Sebaiknya Pendekar 212 terlempar jauh, bergulingan di tanah. Tangan kanannya
yang tadi melepas pukulan Sinar Matahari terasa kaku sulit digerakkan. Wiro
cepat atur pernafasan kerahkan tenaga dalam dan berusaha melancarkan peredaran
darah.
Sementara
itu Naga Kuning dengan tangan kosong nekad menyerbu Naga Nina yang telah
menciderai Gondoruwo Patah Hati. Selagi tubuhnya melayang di udara anak ini
lepaskan dua pukulan Naga Murka Merobek Langit. Dua larik sinar biru enyambar
ke arah Naga Nina. Nenek muka putih bertubuh naga Ini sesaat terkesiap. Lalu
mulutnya terbuka, menyembur. Dua larik sinar biru serangan Naga Kuning berbalik
menghantam ke arah pemiliknya.
Gondoruwo
Patah Hati berteriak keras menyaksikan apa yang terjadi
"Gunung!"
Si nenek berseru menyebut nama asli Naga Kuning. Walau dirinya dalam keadaan
cidera, dia berusaha menyambuti tubuh anak itu dengan satu tangan masih
memegang Kapak Naga Geni 212. Tapi dari samping ekor Naga Nini tiba-tiba
menyambar, menggelung senjata sakti itu dan membetotnya lepas. Walau si nenek
berhasil menyambuti tubuh Naga Kuning namun kapak sakti milik Pendekar 212
telah kena dirampas Naga Nini. Melihat kejadian ini Wiro menjadi kalap. Sekali
melompat dia lelah melesat ke arah Naga Nini. Sambil melesat dia kembangkan
telapak tangan kanan, didekatkan ke mulut lalu ditiup. Serta merta pada telapak
tangan itu muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Itulah gambar
Datuk Rao Barmato Hijau, harimau sakti peliharaan seorang kakek bernama Datuk
Rao Basaluang Ameh. Tangan kanan Wiro kini sudah terisi ilmu pukulan sakti
bernama Pukulan Harimau Dewa. Jangankan kepala manusia atau binatang, batu
sebesar apapun sanggup dipukul hancur oleh Wiro dengan hanya menggerakkan
tangannya sedikit saja.
Naga Nini
memandang remeh ketika dilihatnya Wiro menyerbunya kembali dengan tangan
kosong. Sambil memegang Kapak Maut Naga Genl 212 di tangan kirinya, Naga Nini
hantamkan ekornya ke arah murid Sinto Gandeng. Saat itulah Wiro dorongkan
tangan kanannya perlahan saja. Selagi ekor Naga Nini berkelebat ke arah
tubuhnya, dari tangan Wiro menyambar keluar satu gelombang angin luar biasa
dahsyatnya.
"Wusss!"
‘
Naga Nini
menggerung keras. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu terbanting di tanah dekat
telaga. Di kening kirinya kelihatan satu benjutan luka mengucurkan darah.
Pukulan Harimau Dewa yang dilepaskan Pendekar 212 ternyata hanya sanggup
membuat luka, tidak mampu menghancurkan kepala Naga Nini! Sebaliknya Wiro
sendiri walau tidak kena digebuk telak oleh Naga Nini namun sambaran angin yang
keluar dari ekor manusia bertubuh naga itu membuat dirinya terhenyak ke tanah.
Untuk beberapa Iamanya dia terkapar tak bisa bergerak. Dia masih tak mampu
bergerak ketika Naga Nini mendatangi dengan mementang Kapak Maut Naga Geni 212
di tangan kanan.
"Anak
Setan! Jangan diam saja! Lakukan sesuatu! Selamatkan dirimu!” Teriak Sinto
Gendeng ketika dilihatnya muridnya tidak berdaya sementara kapak sakti di
tangan Naga Nini membacok ke arah kepalanya.
Tiba-tiba
ada suara aneh di tempat itu. Suara yang menyatakan ketakutan amat sangat
disusul dengan suara setengah meratap. Gerakan Naga Nini yang hendak membacok
kepala Wiro serta merta terhenti. Itu adalah suara saudara kembarnya. Seumur
hidup belum pernah dia mendengar saudaranya mengeluarkan suara seperti itu. Apa
yang terjadi?. Naga Nini melintangkan kapak sakti di depan dada, berpaling ke
arah kiri. Terkejutlah dia ketika melihat ada sosok makhluk yang mengambang di
udara di hadapan Naga Nina. Di depan saudaranya saat itu ada seekor naga besar
bertubuh kuning, mala merah menyorot, lidah menjulur hijau,
"Naga
Hantu Langit Ke Tujuh!" desis Naga Nini. Tubuhnya mendadak sontak menjadi
dingin. Nyalinya leleh dan wajahnya yang pulih jadi pucat bertambah putih.
Apa yang
terjadi?
Selagi
Naga Kuning masih berada dalam gendongan Gondoruwo Patah Hati, Naga Nina
tiba-tiba lancarkan serangan. Si bocah cepat melompat dari gendongan si nenek.
Sebelum kakinya menginjak tanah ekor Naga Nina menyambar ke arah kakinya. Naga
Kuning melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Namun serangannya tidak mengenai sasaran. Sebaliknya hantaman
ekor Naga Nina datang bertubi-tubi diseling pukulan tangan. Naga Kuning
terdesak hebat. Gondoruwo Patah Hati berusaha menolong. Dengan kuku-kuku
jarinya yang runcing hitam Si nenek berhasil merobek pinggul Naga Nina hingga
terluka besar kucurkan darah. Naga Nina menggerung marah dan menyerang
Gondoruwo Patah Hati dengan ganas. Salah satu sambaran ekornya berhasil
menghantam bahu kiri Gondoruwo Patah Hati hingga nenek ini terlempar jauh,
terbanting di tanah.
Naga
Kuning berteriak keras. Selagi dia berusaha memburu ke arah si nenek, Naga Nina
menghadang dan menyerangkan dengan hebat. Beberapa jotosan dan hantaman ekor
mendarat di tubuh bocah itu. Untungnya dia telah membentengi diri dengan ilmu
Ikan Paus Putih sehingga tubuhnya menjadi licin. Setiap jotosan ataupun
hantaman ekor lawan tidak bisa mengenai dirinya secara telak. Tapi bagaimanapun
hebatnya Naga Kuning bertahan, lambat laun dia kehabisan tenaga dan terdesak
hebat. Ketika ekor Naga Nina menggelung dan mencekik lehernya, siap memisahkan
kepala dan tubuh Naga Kuning, tiba-tiba wajah dan sosok sang bocah berubah
menjadi wajah dan tubuh seorang kakek berambut putih. Inilah sosok asli Naga
Kuning yang dikenal dengan nama Kiai Paus Samudera Biru. Dari dada kakek ini
melesat keluar satu sosok naga yang makin lama makin besar, mengapung tinggi di
udara seolah menindak langit.
Ekor Naga
Nina yang masih menggelung leher si bocah yang tekah berubah menjadi sosoK
seorang kakek mengepulkan asap seolah menggelung besi panas. Naga Nina tersurut
mundur bukan hanya karena kesakitan akibat ekornya yang hangus, tapi juga
karena terkejut dan kecut ketika melibat sosok naga besar berwarga kuning di
hadapannya.
"Naga
Nina, kau tahu berhadapan dengan siapa”. Kiai Paus Samudera Biru keluarkan
ucapan. Suaranya perlahan tapi menggetarkan seantero tempat, membuat Naga Nina
tambah kecut.
"Saya
tahu berhadapan dengan siapa. Naga Hantu Langit Ketujuh, raja dari segala naga
yang hidup maupun yang telah menjadi roh.” Suara Naga Nina terdengar gemetar
pertanda dia takut setengah mati.
"Aku
Kiai Paus Samudera Biru mewakili Naga Hantu Langit Ketujuh untuk menanyaimu.
Perbuatan apa yang kau lakukan di tempat ini? Menyiksa dan menghantam orang?
Apakah kau tidak punya pekerjaan lain selain membuat kekacauan!"
”Kiai
Naga Hantu Langit Ketujuh! Mohon maafmu. Kami tidak bermaksud berbuat
Kekacauan. Kami….”
"Panggil
saudaramu ke sini! Aku perlu bicara dengan kalian berdua!"
Naga Nina
tundukkan kepala. Dia berpaling pada saudaranya, memberi isyarat agar Naga Nini
mendatangi. Begitu dua nenek kembar bertubuh naga itu berada di hadapannya.
Naga Hantu Langit Ketujuh berkata.
”Sekarang
jelaskan apa yang kalian lakukan disini. Mulai dengan perbuatan kalian terhadap
nenek itu" Kiai Paus Samudera Biru goyangkan kepalanya ke arah Sinto
Gendeng yang saat itu masih terpendam di tanah.
"Beberapa
waktu lalu kami mendatanginya untuk menjatuhkan hukuman. Kami memendamnya di
dalam tanah.” Naga Nina yang termuda dari dua naga kembar ilu angkat bicara.
Kenapa
kalian menjatuhkan hukuman atas dirinya’?" Tanya Naga Hantu Langit
Ketujuh.
"Dia
telah berbuat dosa. Melakukan satu kesalahan besar”.Jawab Naga Nini.
”Dosa
apa, kesalahan apa?"
"Dia
membunuh seorang anak kecil bernama Boma Wanareja." Kata Naga Nini pula.
Wiro
terkejut mendengar ucapan Naga Nini itu.
"Tidak
mungkin Guruku…!"
"Kiai
Paus Samudera Biru berpaling pada Wiro.
"Anak
muda biar aku lebih dulu menyelesaikan urusan dengan dua naga kembar ini.
Jangan mencampuri pembicaraan."
”Kalau
Eyang Sinto Gendeng tidak besalah aku tidak mau mendengar fitnah kotor dari
mulut siapapun!”
”Fitnah
atau bukan kita akan segera mengetahui," ujar Kiai Paus Samudera Biru.
”Kami
tidak pernah memfitnah. Apa yang terjadi adalah kenyataan!” Ucap Naga Nina.
"Sinto Gendeng membunuh anak itu dalam keadaan sadar!"
”Siapa
adanya anak bernama Boma Wanareja itu?"
"Seorang
anak lelaki berusia sepuluh tahun. Dia diharapkan akan menjadi seorang pendekar
sakti mandraguna, pembela keadilan penegak kebenaran, penolong orang-orang
terlindas. Tapi Sinto Gendeng telah menghabisinya!"
Kiai Paus
Samudera Biru menoleh ke jurusan Sinto Gendeng lalu bertanya.
"Benar
kau telah membunuh anak lelaki bernama Boma itu?”.
"Benar!”
jawab Sinto Gendeng mengakui tanpa tedeng aling-aling. "Tapi kejadian itu
berlanssung secara tidak sengaja. Aku mengira dia telah membunuh seorang
sahabatku. Aku telah mengaku bersalah dan bersumpah mencari pembunuh sebenarnya
Tapi dua nenek bertubuh naga itu berkata tak ada gunanya aku mencari si
pembunuh. Walau aku membunuh orang itu sampai tujuh kali, anak bernama Boma
Wanareja tidak akan bisa dihidupkan kembali! Apa yang dikatakan mereka benar.
Tapi mengaitkan kesalahanku dengan menghidupkan orang yang sudah mati kurasa
adalah jalanan pikiran gila! Tuhan sekalipun tidak pernah menghidupkan orang
yang sudah mati! Bukan begitu? Kalau itu terjadi aku pikir dunia ini akan
panjang dengan antrian ribuan manusia yang sudah mati ingin minta dihidupkan
kembali! Hik… hik…hik!"
"Sinto!
Hentikan tawamu!" Tegu Kiai Paus Samudera Biru, lalu orang tua penjelmaan
bocah bernama Naga Kuning ini berpaling pada sepasang nenek berwajah putih.
"Apa hubungan kalian berdua dengan bocah bernama Boma itu?"
"Kami
adalah pelindungnya.” Jawab Naga Nini dan Naga Nina berbarengan.
”Pelindungnya?"
Sepasang alis putih Kiai Paus Samudera Biru mencuat ke atas. Keningnya
mengerenyit. "Kalau kalian memang pelindungnya, di mana kalian ketika anak
itu terancam jiwanya, menjadi korban kekeliruan Sinto Gendeng?"
”Kami
tengah bertapa di puncak Gunung Wilis," jawab Naga Nina.
"Aneh,"
ucap Kiai Paus Samudera Biru. "Kalian mengaku pelindung anak itu! Tapi
kalian tidak berada di dekatnya ketika nyawanya terancam.Kalian lebih
mementingkan tapa dari mendampinginya sebagai pelindung. Menurut hematku kalian
berdualah yang telah berbuat alpa. Jika kalian benar-benar melindungi anak itu,
kejadian yang tidak diinginkan itu tidak akan terjadi. Menurutku kalian berdua
yang pantas menerima hukuman!”.
Wajah
putih dua nenek bertubuh naga itu menjadi sepucat kain kafan. Keduanya
rundukkan kepala dan berkata berbarangan.
"Kiai
Paus Samudera Biru kalau kami memang alpa dan melakukan kesalahan, kami
bersedia menerima hukuman. Namun bagaimanapun juga kami berharap pengampunan
dari dirimu. Dan kami juga meminta maaf pada Sinto Gendeng atas semua perbuatah
kami. Juga minta maaf pada semua orang yang ada di sini. Jika kami bisa diberi
pengampunan dan diben maaf. kami mohon minta diri dari tempat ini."
Kiai Paus
Samudara Biru pandangi dua nenek bermuka pulih itu sejurus lalu anggukkan
kepala.
"Setiap
orang, siapapun adanya bisa saja berbuat kesalahan, kekeliruan bahkan dosa!
Tapi manusia lain tidak layak menjatuhkan hukuman tanpa penyelidikan yang benar
serta pertimbangan rasa adil yang tidak memihak. Kalian berdua boleh pergi.
Lain kali berhati-hatilah dalam bertindak. Sebelum pergi letakkan Kapak Maut
Naga Geni 212 di tanah. Senjaia itu harus dikembalikan pada pemiliknya."
"Terima
kasih Kiai. Kami minta diri.”
Naga Nini
meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di atas sebuah batu. Lalu sepasang nenek
kembar itu rundukkan kepala, sama bersurut mundur. Tempat itu dipenuhi kabut
putih. Ketika kabut putih lenyap dua nenek bertubuh naga itupun tidak kelihatan
lagi.
Wiro
mengambil kapak sakti dan atas batu. Naga Hantu Langit Ketujuh menggeliat lalu
secara aneh masuk ke dafam tubuh Kiai Paus Samudera Biru. Gondoruwo Patah Hati
merasa ragu hendak mendekati kakek itu. Sang Kiai sendiri melangkah mendekati
Sinto Gendeng.
”Sinto,
kau tidak apa-apa?" Kiai Paus Samudera Biru bertanya. Dia perhatikan wajah
si nenek lalu membuka jubah hitam yang menyelimuti tubuh Sinto Gendeng,
maksudnya untuk memeriksa bahwa si nenek benar-benar tidak mengalami cidera.
Jubah hitam diletakkannya di tanah.
Terima
kasih Kiai, aku tidak apa-apa," jawab Sinto Gendeng.
"Kalau
begitu biar kubantu kau keluar dari dalam tanah." Lalu Kiai Paus Samudera
Biru cekal leher baju Sinto Gendeng, siap menarik si nenek ketuar dari dalam
pendaman tanah.
"Wah
celakai" ucap Wiro. Dia tahu apa yang bakal terjadi kalau tubuh gurunya
sampai tertarik luar. Dia cepat berteriak.
"Kiai!
Jangan! Tunggu dulu ”.
Tapi
terlambat. Sekali tangan Kiai Paus Samudera Biru bergerak, sosok si nenek
terangkat keluar dari dalam tanah.
Gondoruwo
Patah Hati menjerit dan palingkan kepala ke jurusan lain. Wiro terkesima kaget,
tidak beran memandang ke jurusan gurunya. Sinto Gendeng sendiri terpekik dan
kalang kabut ,pergunakan dua tangan menutupi tubuhnya sebelah bawah yang
tersingkap bugil karena seperti kejadian tadi, kain hitamnya terjepit tinggaI
di dalam tanah. Begitu melihat jubah hitam di tanah si nenek segera menyambarnya
lalu lari terbiritbirit ke balik pohon.
Kiai Paus
Samudera Biru sendiri kelihatan terperangah kaget. Sepasang matanya mendelik,
digosok-gosok. Lalu tapak tangannya ditutupkan ke mata tapi jari-jarinya dalam
keadaan renggang. "Aduh, rejeki atau kesialan yang aku lihat ini?
Amit-amit… Jangan sampai aku ditimpa sial melihat barang terlarang ini!’
Entah
karena pemandangan luarbiasa yang dilihatnya itu atau memang sudah saatnya
merubah diri, ujud Kiai Paus Samudera Biru yang berbentuk kakek tua renta itu
berubah kembali menjadi sosok bocah konyol berambut jabrik bernama Naga Kuning.
Gondoruwo Patah Hati cepat menyambar telinga anak ini dan memuntirnya kuat-kuat
hingga Naga Kuning teraduh-aduh kesakitan. "Apa salahku! Apa
salahku!" Teriak Naga Kuning. ”Kau tahu nenek itu tidak mengenakan apa-apa
disebelah bawah. Mengapa masih kau tarik keluar dari dalam tanah? Kau sengaja
menanggalkan jubah hitam. Kau punya niat kotor! Ingin melihat anunya!"
”Tunggu! Aduh! Tunggu? Sebagai Naga Kuning aku memang tahu. Tapi sebagai Kiai
Paus Samudera Biru mana aku tahu apa yang terjadi sebelumnya!" “Kau pandai
berdusta! Naga Kuning dan Kiai Paus Samudera Biru orangnya itu-itu juga!
Mustahil tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya!" Gondoruwo Patah Hati
kembali puntir telinga Naga Kuning hingga anak itu terpekik kesakitan. ”Anak
konyol kurang ajar!" Wiro melompat mendekati Naga Kuning dan pelintir
kupingnya yang satu lagi. "Gondoruwo Patah Hati betul! Kau dan Kiai itu
dua makhluk yang sama hanya berbeda bentuk! Apa yang kau ketahui pasti
diketahui juga oleh Kiai Paus Samudera Biru. Kau pandai mencari alasan!
Sebenarnya kau ingin melihat anu guruku" "Menurut maumu itu bukan
anu. Tapi Ijuk! Ha…ha… ha”.
Naga
Kuning keluarkan ilmu tkan Paus Putih. Dua telinganya yang dijewer Wiro dan Gondoruwo
Patah Hati menjadi licin hingga dengan mudah dia lepaskan diri. Sambil
tertawa-tawa bocah ini lari menjauhi. Entah sengaja entah tidak dia justru lari
ke balik pohon besar dimana Sinto Gendeng belum sempat mengenakan jubah hitam
alias masih bugil di bagian bawah. Melihat kemunculan si bocah nenek itu
terpekik dan keluarkan carut marut panjang pendek! Sambil menutupi tubuhnya
sebelah bawah dengan jubah hitam dia lari terbirit-birit meninggalkan tempat
itu! "Apa kataku!" teriak Wiro. "Kau memang ingin melihat anu
guruku! Bocah kurang ajar kuberi sambal dua matamu!" Wiro melompat
mengejar. Naga Kuning tertawa gelakgelak, menyusup ke dalam semak belukar dan
lenyap di kegelapan malam.
TAMAT
No comments:
Post a Comment