Dewi Ular
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
Bagian 1
PEREMPUAN
berambut merah acak-acakan bertubuh gemuk yang duduk terkantuk-kantuk di depan
goa batu perlahan-lahan buka kedua matanya.
Bagaimanapun
dia membesarkan, tetap saja kedua mata itu sipit hampir merupakan dua garis
melintang di wajahnya yang gembrot. Pakaian yang melekat di tubuhnya jelas aneh
karena terbuat dari susunan daun lontar berbentuk jubah. Dia sibakkan rambut
yang menutupi telinga kirinya.
Ternyata
telinga ini diganduli sebuah anting besar. Sesaat tampak daun telinga itu
bergerak-gerak dan anting yang mencantel di situ ikut bergoyang-goyang.
Kalau
tadi si gemuk ini hanya duduk menjelepok di dekat pintu goa, kini dia bangkit
mencangkung. Tangan kiri dimelintangkan di atas kening. Sepasang matanya yang
sipit memandang tajam ke depan. “Ujudnya belum kelihatan tapi suaranya sudah
masuk ke telingaku. Untung aku belum tuli. Hik…hik…hik! Suara apa itu?!”
perempuan gemuk itu menduga-duga.
Dia
menghirup udara di jurang dalam-dalam. “Hemmm…. bau itu…! Aku kenal betul bau
itu! Rupanya si keparat itu sudah berhasil! Dia hendak menggasakku dengan
binatang-binatang peliharaannya itu!
Dikiranya
aku tidak siap! Percuma selama tiga bulan ini aku memata-matainya. Sipatoka!
Kau boleh menyerangku.
Kau boleh
mengeluarkan semua kepandaianmu. Aku akan menyambut dengan segala senang hati!
Hik … hik… hik…!”
Dari
balik jubah daunnya perempuan ini keluarkan satu benda berwarna coklat gelap
kemerahan.
Ternyata
buah manggis hutan. Sekali remas saja manggis itu hancur. Isinya yang putih
langsung digeragot. Kulit buah manggis yang sudah lumat itu kemudian
digosokkannya ke muka hingga wajahnya jadi berselemotan merah coklat tak
karuan.
“Sipatoka!
Sebentar lagi kau akan tahu siapa diriku! Ini kali kesembilan kau menyerangku!
Sebelumnya kau empat kali kalah empat kali menang. Tapi sekali ini kau boleh
menggigit jari karena aku yang bakal keluar sebagai pemenang! Hik… hik…! Aku
sudah tahu dengan apa kau hendak menyerang! Aku sudah siap dengan senjata
penangkal! Hik… hik… hik…!”
Sementara
itu dari arah barat jurang semakin jelas terdengar suara aneh tadi. Suara ini
seperti suara sayap yang mengepak disertai suara menggembor terus menerus.
Perempuan gemuk masih memandang tajam ke depan. Pada saat itulah tiba-tiba ada
suara menggema dari sebelah barat.
“Kunti
Rao! Apakah kau sudah siap menerima seranganku?!”
Perempuan
di depan goa yang terletak di dinding jurang sebelah timur mendengus lalu
menjawab dengan berteriak. “Aku sudah siap sejak tiga bulan lalu datuk celaka!”
“Ha … ha…
ha…! Kalau begitu saat-saat kematianmu sudah di depan mata! Daging tubuhmu
sebentar lagi akan dicongkel hingga hanya tinggal tulang belulang alias
tengkorak hidup!”
Perempuan
gemuk di depan jurang batu sebelah timur kembali mendengus. Di sebelah barat
dia mulai bisa melihat sosok-sosok hitam melesat di udara, bergerak ke arah
dinding jurang di mana dia berada.
Jumlahnya
banyak sekali, tak kurang dari seratus ekor.
“Datuk
keparat! Kau akan lihat bagaimana aku mengerjai binatang peliharaanmu itu!”
perempuan gemuk yang dipanggil dengan nama Kunti Rao itu memutar tubuhnya.
Walau berbobot hampir 150 kati, tapi gerakannya kelihatan cepat dan tak
bersuara. Sosoknya lenyap dalam goa. Sesaat kemudian kelihatan dia keluar
membawa dua buah kayu besar. Puluhan, mungkin ratusan ekor lebah coklat
berkepala hitam mengerumun bergelantung di dua kayu besar itu. Setiap lebah
mengeluarkan suara menggeru.
Bayangkan
kalau ratusan ekor mengeluarkan suara itu secara berbarengan. Bisingnya seperti
mau merobek gendanggendang telinga!
Di depan
mulut goa si gemuk Kunti Rao angkat dua kayu besar tinggi-tinggi lalu
berteriak. “Datuk Sipatoka!
Aku sudah
siap! Mana kecoak-kecoak peliharaanmu itu!”
Dari arah
barat terdengar suara tawa bergelak. “Mereka sudah di depan hidungmu Kunti Rao!
Apa matamu buta?”
Baru saja
gema suara lelaki itu menghilang, di jurusan barat sosok-sosok hitam yang
melesat di udara semakin dekat dan jelas wujudnya. Ternyata benda-benda ini
adalah kelelawar berbentuk aneh. Bagian tubuhnya berwarna hitam legam, namun
kepalanya berwarna putih. Sepasang mata berwarna merah.
Binatang
ini memiliki kuku-kuku panjang sangat runcing. Ujung sayapnya pipih tajam tak
ubah seperti mata pisau, sementara moncongnya lancip seperti ujung tombak.
“Kau
sudah melihat Kunti? Atau matamu yang sipit itu memang sudah buta?!” orang
lelaki di dinding jurang sebelah barat berteriak.
“Aku
sudah melihat! Tadinya kukira kecoak busuk! Tak tahunya hanya kutu-kutu busuk
yang kau kirimkan padaku!” jawab Kunti Rao.
“Bagus
kau sudah melihat! Sebentar lagi kau rasakan bagaimana kutu-kutu busuk itu akan
menggerogoti dagingmu yang empuk!”
Dari arah
barat ada satu gelombang angin menderu. Tiupan angin ini membuat
kelelawar-kelelawar hitam berkepala putih seperti didorong keras hingga dalam
waktu sesaat saja binatang itu sudah mencapai dinding sebelah timur jurang,
langsung menyerang Kunti Rao. Perempuan gemuk berambut merah acak-acakan ini
keluarkan jeritan keras lalu meniup kuat-kuat pada dua batang kayu yang
dipegangnya.
“Piup…!
Piup…!”
“Werrrr!
Werrrr!”
Ratusan
lebah yang mendekap pada dua batang kayu menghambur terbang terus menyerbu ke
arah puluhan kelelawar yang datang menyerang dengan mengeluarkan suara
menggidikkan serta menebar bau busuk, menyesakkan jalan pernafasan!
Sesaat
kemudian berlangsunglah satu hal hebat yang tidak pernah kejadian sebelumnya.
Puluhan kelelawar kepala putih berkelahi melawan ratusan lebah berkepala hitam!
Jurang batu menjadi bising oleh suara kepak sayap dua jenis binatang itu.
Ditambah pula dengan suara cicit menggidikkan yang keluar dari mulut puluhan
kelelawar serta suara menggeru tak berkeputusan yang dibuat oleh ratusan lebah
membuat suasana di jurang batu benar-benar mengerikan.
Meskipun
kelelawar-kelelawar itu memiliki tubuh lebih besar, hantaman sayap yang deras
dan berbahaya, serta kuku-kuku runcing ditambah moncong yang bisa membuat
gerakan mamtuk cepat sekali, namun menghadapi ratusan lebah milik Kunti Rao
boleh dikatakan mereka tidak berdaya. Bukan saja jumlah lebah lebih banyak,
tapi binatang bertubuh kecil ini mampu bergerak lebih gesit hingga sanggup
mengelak serangan lawan sekaligus balas menyerang dengan ganas.
Suara
cicit kelelawar terdengar riuh. Satu demi satu binatang-binatang itu
menggelepar lalu melayang jatuh ke dasar jurang. Perempuan gemuk bernama Kunti
Rao tertawa panjang. Seperti anak kecil dia berjingkrakjingkrak sambil
bertepuk-tepuk tangan!
“Datuk
celaka! Sekarang baru tahu rasa! Kau tentunya tidak tuli mendengar
binatang-binatang yang kau andalkan menjerit meregang nyawa. Kau tentunya juga
tidak buta menyaksikan bagaimana mereka jatuh mampus ke dasar jurang! Hik …
hik… hik…!”
“Perempuan
gendut sialan! Jangan cepat-cepat bersuka hati! Lihat ke udara!” terdengar
teriakan jawaban dari arah barat. Lalu di udara muncul dua kelelawar besar,
satu jantan satu betina. Kunti Rao sebentar terkesiap. “Ini pasti dua biangnya.
Lebih besar lebih seram! Tapi siapa takut!”
Dua
kelelawar menukik menyerang. Satu dari kiri yang lainnya dari kanan. Kunti Rao
tamengi diri dengan dua batang kayu besar. patukan kelelawar jantan menancap di
bantang kayu di tangan kiri Kunti Rao, sedang sambaran kepak kelelawar satunya
yang tak ubahnya seperti sambaran pisau tajam lewat di atas kepala perempuan
gemuk itu, tapi masih sempat memapas sedikit rambut perahnya. Si gemuk ini
sempat terpekik kecil.
Disebelah
barat terdengar suara tawa orang bernama Sipatoka.”Sekarang rasakan olehmu!”
“Kelelawar
jahanam! Sebentar lagi kupecahkan kepalamu!” teriak Kunti Rao marah.
Saat itu
kelelawar jantan kembali datang menyerbu. Kunti Rao merunduk. Tangan kirinya
bergerak. Kayu besar dilemparkan. “Praakkk!” Kayu menghantam telak kepala
kelelawar jantan itu. Cicitan binatang ini terputus. Tubuhnya melayang jatuh ke
bawah jurang dengan kepala hancur.
Di udara,
kelelawar betina melengking keras. Rupanya marah sekali melihat kematian
jantannya. Dia tadi yang berhasil memapas rambut Kunti Rao. Binatang ini
berputar tiga kali di udara lalu menukik.
Kelihatannya
dii seperti hendak menyerang dengan mematuk ke atas batok kepala musuh. Tapi
sewaktu Kunti Rao mengelak sambil hantamkan kayu di tangan kanannya, kelelawar
ini membuat gerakan membalik. Di lain kejab tubuhnya berputar seperti
baling-baling, dua sayapnya laksana golok pendek membabat ke arah leher Kunti
Rao.
Kunti Rao
keluarkan suara garang. Dia membuat gerakan jatuhkan diri. Dalam keadaan
setengah berlutut dia pergunakan kayu besar di tangan kanan untuk menangkis
lindungi diri. “Blaakkk! Craasss!” Kayu besar di tangan perempuan gemuk itu
terbabat putus!
“Binatang
sialan!” maki Kunti Rao. Sisa potongan kayu dilemparkannya ke arah kelelawar
betina.
Binatang
ini melayang turun. Bukan saja dia berhasil mengelakkan hantaman kayu, tapi
secepat kilat dia kembali menyambar ke arah Kunti Rao.
“Binatang
celaka! Kau membuat aku kehabisan sabar!” kertak Kunti Rao. Dua tangannya
bergerak mencabut dua buah daun yang merupakan pakaiannya. Kelelawar betina
datang. Dua lembar daun melesat ke udara.
“Craasss!
Craasss!”
Daun
pertama menancap di dada kelelawar betina. Daun kedua memapas lehernya. Darah
menyembur.
Binatang
ini keluarkan jeritan aneh yang keras. Hebatnya, dalam keadaan sekarat dia
masih berusaha mengejar ke arah Kunti Rao. Namun sekali menghantamkan tangan
kirinya, kelelawar betina itu terlempar jauh ke arah dinding barat jurang dan
jatuh di depan kaki seorang kakek yang saat itu tengah melangkah mondar-mandir
di depan sebuah goa.
“Jahanam!
Kelelawarku mati semua!” orang ini kepalkan kedua tangannya dan hentakkan kaki
kanan hingga bebatuan di jurang itu bergetar.
“Datuk
Sipatoka! Apa sekarang kau malu mengakui kekalahan?!”
“Perempuan
keparat!” maki sang datuk begitu didengarnya suara Kunti Rao dari arah timur.
“Jangan buruburu merasa menang dajal gendut!”
“Hik…hik…!
Kenyataannya memang begitu Datuk! Kau menang empat kali, aku lima kali dengan
ini Apa otakmu sudah tumpul hingga tidak bisa berhitung lagi?! Hik… hik… hik…!”
“Kau akan
terima pembalasan dariku Kunti Rao! Sekalipun sampai seratus tahun aku akan
mendekam di sini sampai akhirnya kau mampus di tanganku!”
“Huh
takaburnya!” ejek perempuan gemuk. Dia mendongak ke atas memandang ke arah
puluhan lebah yang masih terbang berputar-putar di dalam jurang, lalu bertepuk
beberapa kali. “Lebah-lebahku! Kalian menjalankan tugas dengan baik! Aku
berterima kasih! Tugas sudah selesai. Mulai saat ini kalian bukan peliharaanku
lagi! Sekarang kalian bebas mau pergi ke mana saja! Tapi ingat, setiap aku
memerlukan kalian, jangan terlambat datang!” habis berkata begitu si gemuk
bertepuk terus menerus.
“Werrr…
werrr…. werrr….!” ratusan lebah berputar-putar di atas kepala si gemuk lalu
melesat ke atas jurang.
Kunti Rao
baru berhenti bertepuk begitu semua lebah lenyap dari pandangannya.
Kunti Rao
menyeringai. Dia memandang ke arah barat. Di kejauhan, samar-samar di balik
kabut yang kini mulai mengambang di jurang dilihatnya sosok Datuk Sipatoka melangkah
mondar-mandir di depan mulut goa. Kunti Rao tertawa. Mulutnya berucap. “Rasakan
olehmu! Sekarang baru tahu rasa! Dikiranya bakalan bisa menguasai jurang batu
pualam ini! Huh! Tua bangka tak tahu diuntung! Selama aku masih bercokol di
sini jangan harap jurang ini akan jadi wilayah kekuasaanmu! Apalagi mau
menguasai dunia persilatan!
Hik… hik…
hik…!”
Sementara
itu di lereng jurang sebelah barat, seorang kakek melangkah mondar-mandir sabil
tiada hentinya memukuli sendiri kepalanya yang botak dan berwarna biru. “Lima
bulan aku menyusun rencana!
Mengajar
binatang-binatang itu! Ternyata semua mati percuma! Apalagi yang bisa kulakukan
agar bisa menyingkirkan perempuan itu dari jurang sebelah timur! Bukan! Bukan
cuma menyingkirkan! Tapi membunuhnya! Kalau dia masih hidup berarti bahaya
besar bagiku!”
“Datuk
Sipatoka!” tiba-tiba menggema seruan Kunti Rao dari arah barat.
“Kuda nil
rambut merah! Apa lagi maumu?!” maki Datuk Sipatoka menyebut Kunti Rao yang
memang gemuk dan berambut merah.
“Sesudah
kalah, apa kau masih terlalu kikir dan sombong untuk berbagi rezeki denganku?!”
“Sampai
matipun aku tidak mau berbagai rezeki dengan kau!”
“Aha!
Bintang Kalimukus akan muncul tak lama lagi! Petunjuk di mana letak sepasang
senjata pusaka itu akan segera muncul! Jika kau tak mau membagi rezeki, berarti
dua senjata akan jadi milikku sendiri!”
“Kau tak
akan mampu memiliki semua! Kau tahu itu!”
“Siapa
bilang tidak mampu! Yang jelas kau pasti akan menyesal! Hik … hik… hik…!”
“Manusia
sialan! Pergilah ke neraka!” teriak Datuk Sipatoka marah.
“Kalau
aku ke neraka, pasti aku tidak lupa membawamu datuk! Dan kau akan jalan duluan
di depanku!
Hik …
hik… hik…!” ejek Kunti Rao.
“Perempuan
setan! Makan tanganku ini!” teriak Datuk Sipatoka, lalu tangan kanannya
menyembul di balik lengan jubah kuning.
“Wuttt!”
serangkum angin menderu. Di sebelah timur, Kunti Rao melihat ada kilatan cahaya
kuning menyambar dan datang ke arahnya cepat sekali. “Wow! Ilmu yang sudah
tidak laku masih diperlihatkan!”
ejek
perempuan itu. Lalu dia angkat tangan kanannya ke atas. Telapak
diputarsentakkan.
“Bettt!
Bettt!” dua larik pukulan sakti tanpa warna menggemuruh, menyambut sambaran
sinar kuning dari kiri kanan.
“Bessss!
Dessss!”
Sinar
kuning mental dan buyar hanya satu tombak di depan Kunti Rao. Perempuan gemuk
ini merasakan tubuhnya bergetar keras lalu tersandar ke dinding batu. Sesaat
wajahnya yang celemongan dengan kulit manggis tampak berubah.
Di
dinding jurang sebelah barat Datuk Sipatoka kelihatan tegak terbungkuk-bungkuk
sambil pegangi dada.
Dia jatuh
berlutut dan cepat kerahkan tenaga dalamnya guna mengatur jalan darah. Dari
kepalanya yang botak biru mengepul asap tipis.
“Setan
perempuan benar-benar tinggi kepandaiannya!” diam-dia si kakek harus mengakui
walaupun dengan memaki. “Tapi bagaimanapun dia tak bisa mengalahkanku
bulat-bulat! Sepasang senjata sakti di dasar jurang tak bakal jadi miliknya!
Untuk sementara biar kulupakan dirinya. Lebih baik aku meneruskan pekerjaan
membuat tali itu. Kalau sudah tiba saatnya, aku bisa dengan mudah dan cepat turun
ke dasar jurang!”
Kunti Rao
perlahan-lahan luruskan badannya yang gemuk. Dia rapikan susunan daun-daun yang
jadi pakaiannya karena dua lembar daun tadi terpaksa dicabutnya untuk
menghadapi sepasang kelelawar besar.
“Tua
bangka satu itu memang tidak boleh dikasih hati. Lihat saja! Akan aku berikan
satu pelajaran telak dan mematikan padanya!”
Si gemuk
memutar tubuhnya hendak masuk ke dalam jurang. Tiba-tiba dia mendengar ada
suara berdesir di atasnya. “Hah! Apa jahanam itu sudah menyerangku lagi?! Ilmu
apa pula yang dikeluarkannya!” ujar Kunti Rao seraya hentikan langkah dan
mendongak ke atas. Lalu keluarkan satu seruan keras dari mulut si gendut ini
ketika melihat benda apa yang melayang jatuh dari atas jurang tepat ke arahnya
disertai satu jeritan perempuan!
Dalam
keadaan tercekat Kunti Rao masih sempat berteriak. “Oladalah! Tubuh perempuan
bersimbah darah!
Jatuh
dari atas jurang! Bagaimana ini? Akan kutangkap atau kubiarkan saja amblas ke
dasar jurang batu?”
Perempuan
gemuk itu hanya bimbang sesat. Di lain kejab dia melompat ke kiri mencari
kedudukan yang tepat untuk menyambut tubuh perempuan berpakaian tipis hijau
penuh noda darah mulai dari rambut hingga kaki.
“Hup!”
Kunti Rao berhasil menangkap sosok tubuh yang jatuh. “Gila! Darahya berbau
anyir busuk!” berucap Kunti Rao. Tubuh yang berhasil ditangkapnya itu
dibaringkan di atas batu. Dia memperhatikan dengan mengeryitkan dahi penuh
ngeri.
“Perempuan
malang. Aku yakin kau masih muda dan berwajah cantik! Tapi mengapa ada yang
tega mencelakaimu seperti ini? Di dada dan bahumu ada luka yang begitu besar
mengepulkan asap. Lalu heh .. benda apa itu? Paku?” Kunti Rao jongkok di
samping tubuhnya. Mukanya yang gembrot celemongan kulit manggis didekatkan ke
bagian perut dan memperhatikan tanpa berkesip. “Paku! Benar paku,” desis Kunti
Rao.
“Paku
aneh. Terbuat dari emas. Menancap tepat di pusarnya. Eh, rasa-rasanya aku
pernah mendengar tentang paku emas ini. Kabarnya berasal dari daratan Tiongkok.
Memiliki kekuatan maha sakti. Mulai dari kekuatan mengobati hingga membunuh!”
Kunti Rao
sibakkan rambut panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya. “Hemm… Benar
nyatanya.
Dia
memang memiliki wajah cantik. Meski berlumuran darah seperti ini. Aku tak kenal
padanya. Siapa gerangan dirinya? Mengapa bisa jatuh ke dalam jurang seperti
ini. Lalu luka-luka mengerikan di tubuhya?” Kunti Rao berpikir sejenak.
Setelah
meraba urat besar di leher dan merasakan masih ada hembusan nafas dari lubang
hidungnya, Kunti Rao mendukung perempuan itu dan membawanya masuk ke dalam goa.
“Orang biasa pasti sudah meregang nyawa akibat luka begini hebat. Di antara bau
amis dan busuk darah di tubuhnya aku mencium sekilas bau harum. Perempuan muda
ini agaknya bukan perempuan sembarangan.”
Sampai di
dalam goa Kunti Rao meletakkan perempuan itu di atas sebuah pembaringan terbuat
dari batu.
Lalu
sibuk meramu beberapa jenis obat. Sebelum itu dia terlebih dahulu menotok tubuh
di beberapa tempat.
Sejenis
bubuk hitam ditaburkannya ke atas luka pada bahu dan dada. Dia mengalihkan
pandangan pada paku yang menancap di pusar. Sesaat Kunti Rao merasa bimbang.
Agaknya dia tak punya pilihan lain.
“Rupanya
kelemahan perempuan ini ada pada pusarnya. Aku harus mencabut paku di pusarnya
itu!”
Kunti Rao
ulurkan tangan kanan. Ibu jari dan telunjuk bergerak cepat mencabut paku yang
menancap di pusar. Pada saat paku tercabut, dari pusar yang berlobang itu
mengucur darah hitam sangat busuk disertai asap. Perlahan-lahan kepulan asap
hilang. Tapi begitu lenyap tiba-tiba sebuah benda melesat ke luar dari perut
lewat pusar yang bolong itu.
********************
Bagian 2
Kunti Rao
terpekik keras dan berubah parasnya saking kagetnya. Dari pusar yang berlobang
di perut perempuan muda tidak dikenal itu melesat keluar seekor ular hitam
berkepala putih. Semula dia menyangka dirinya akan diserang. Cepat Kunti Rao
angkat tangan untuk menghantam. Tapi ditariknya tangan ketika melihat ular itu
melesat ke atas. Laksana terbang ular itu ke udara lalu lenyap menjadi asap.
“Ular
jejadian..!” desis Kunti Rao. “Siapa manusia ini sebenarnya?!” tanyanya dalam
hati penuh rasa ingin tahu, lalu cepat-cepat bubuk hitam ditaburkan dalam
lobang pusar. Sedikit demi sedikit darah busuk berhenti mengucur dan lobang
bertaut kembali. Kepulan asap serta merta lenyap.
“Lobang
di pusar itu tidak akan menimbulkan cacat. Tapi luka dada dan bahu walau bisa
kusembuhkan rasanya akan meninggalkan bekas sangat buruk. Kasihan perempuan
muda cantik ini.. tubuhnya akan cacat seumur hidup. Tak bakal ada lelaki mau
dengannya…”
Kunti Rao
duduk di samping pembaringan batu. “Eh, apa urusanku memikirkan perempuan ini?
Anak bukan, saudara bukan, teman juga bukan? Mati sekalipun apa peduliku? Tapi
mungkin dia bisa kumanfaatkan?
Hemm…
baiknya kutunggu sampai dia siuman. Harus kuketahui siapa dia adanya. Mungkin,
ah! Siapa tahu dia bisa kumanfaatkan untuk menghadapi kakek keparat itu!”
Setelah
menunggu sehari semalam, pada pagi kedua selagi Kunti Rao berada di luar goa
dia mendengar suara orang batuk-batuk. “Perempuan itu..!” kata Kunti Rao seraya
memutar tubuhnya masuk ke dalam goa.
Sesampainya
di dalam, dilihatnya perempuan itu sudah duduk di pembaringan batu, bersandar
ke dinding dan batuk beberapa kali. Ketika melihat kemunculan Kunti Rao dia
cepat-cepat beringsut. Wajahnya memancarkan sikap terkejut, takut dan
mengancam.
“Kau
sudah siuman rupanya. Syukurlah!” kata Kunti Rao. Perempuan di atas batu
pandangi rambut Kunti Rao yang merah acak-acakan itu, mukanya celemongan oleh
kulit manggis, tubuhnya yang gemuk gembrot dan tentunya pada keanehan jubahnya
yang terbuat dari susunan daun-daun.
“Perempuan
gemuk, siapa kau? Apakah kau orang yang menolongku? Berada di mana saat ini
aku?!”
“Wah,
pertanyaanmu belum-belum sudah banyak betul!” sahut Kunti Rao. “Bagaimana kalau
aku yang ganti bertanya. Siapa dirimu? Mengapa ada dua luka besar di tubuhmu.
Lalu mengapa ada paku emas di pusarmu? Apa kau jatuh sendiri ke dalam jurang
ini, apa ada yang mencelakaimu? Mengapa bisa ada ular hitam kepala putih keluar
dari dalam perutmu lewat pusar yang kemudian lenyap menjadi asap! Apa kau
manusia atau makhluk jadian?”
Perempuan
berpakaian hijau tipis yang duduk di pembaringan batu mula-mula hendak
menyemprot marah.
Namun
kesadaran masuk dalam benaknya. Agak samar dan masih sulit dia mengingat.
Dipandanginya tubuhnya. Di dada dan bahu ada luka mengering tertutup bubuk
hitam. Lalu disingkapkannya bagian perut pakaiannya. Di situ juga ada taburan
bubuk hitam yang sudah mengering, tepat di bagian pusar.
Tangannya
bergerak ke kepala meraba bagian atas kening. Dia ingat biasanya di situ ada
mahkota kecil.
“Paku
emas…?” desisnya.
“Ya, paku
emas!” kata Kunti Rao sambil memperlihatkan sebuah benda tepat di depan wajah
perempuan itu.
“Katamu
paku emas. Aku melihat benda itu paku biasa. Terbuat dari besi buruk dan
hitam!”
“Heh, kau
betul! Tadinya paku ini terbut dari emas. Sewaktu masih menancap di pusarmu
paku ini masih berwarna kuning emas asli. Tapi begitu kecabut bentuknya berubah
menjadi hitam. Pertanda paku ini penuh dengan kekuatan hitam yang tersedot dari
dalam tubuhmu!”
Lama
perempuan di atas pembaringan itu terpana mendengar keterangan Kunti Rao. “Kau
telah menolongku, aku musti berterima kasih kepadamu,” dia cepat membungkuk
tapi Kunti Rao mencegah.
“Saudari
aku…”
Kunti Rao
tertawa tergelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gemuk tergoncang-goncang.
”Ada apa?
kenapa kau tertawa? Apakah ada sesuatu yang lucu dari diriku?”
“Perempuan
muda kau dengar baik-baik. Kau tak pantas memanggilku dengan sebutan saudari.
Karena kau pantas jadi cucuku. Panggil aku nenek!”
“Aku
pantas jadi cucumu dan aku harus memanggil nenek?”
“Betul
karena usiaku sudah lebih dari enam puluh tahun!”
Tentu
saja perempuan di atas batu terkejut mendengar kata-kata itu. “Walau tubuhmu
luar biasa gemuk dan berpakaian aneh seperti itu, tapi menurutku kau berusia
dua puluh tahunan…”
Kunti Rao
tertawa “Yang kuasa memberiku awet muda dan ganjarannya aku punya bobot seperti
kerbau seperti ini. Kalau aku boleh memilih, biar wajahku jelek keriput tapi
tubuhku langsing! Hik.. hik… hik…!”
Kunti Rao
tertawa panjang. Lalu berkata, “Perempuan muda aku ingin tahu siapa dirimu. Apa
yang telah terjadi… ingat! Aku tidak orang berdusta padaku!”
“Aku
bernama Kunti Arimbi,” kata perempuan di atas pembaringan batu.
“Eh, nama
depannya kenapa sama denganku?” ujar Kunti Rao dalam hati.
“Aku
dikenal dengan julukan Dewi Ular.”
Kunti Rao
sempat tersurut satu langkah mendengar julukan yang disebutkan. Walau dia sudah
lama mendekam di goa batu pualam itu namun dia pernah mendengar nama angker
Dewi Ular. Maka dia pun berkata. “Tidak sangka Dewi Ular ternyata masih muda
tapi memiliki kesaktian tinggi yang menggegerkan…”
“Semua
kehebatan itu sudah berlalu,” kata Kunti Arimbi alias Dewi Ular. Dia memandang
sayu pada paku hitam di tangan Kunti Rao. “Benda itu yang menyebabkannya.
Seseorang mengkhianati dan menipuku.
Dia
merayuku dan merangsangku. Memperlihatkan kejantanannya. Ketika kami berdua di
suatu tempat dan dia seperti hendak meniduriku tiba-tiba dia mengeluarkan paku
emas itu dan menusukkannya ke pusarku…”
“Siapa
orangnya?” tanya Kunti Rao.
“Pendekar
212 Wiro Sableng. Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede..”
“Astaga!
Pendekar besar itu…!” seru Kunti Rao.
“Aku
bersumpah untuk membalas dendam. Apalagi kusadari diriku saat ini selamat dari
kematian. Hanya saja tubuhku agaknya akan cacat seumur hidup. Jangankan
laki-laki, binatang pun akan jijik melihatku!”
Diam
sesaat. “Eh nek, betul aku harus memanggilmu nenek?” Kunti Arimbi meragu.
“Tentu
saja, memang seharusnya begitu!”
“Aku
berterima kasih kepadamu. Kau telah menyelamatkan diriku. Saat ini tidak
mungkin aku membalas segala utang piutang ini! Tapi percayalah walau dulu aku
pernah jadi manusia jahat, mengingat budi orang aku masih mampu. Nek, aku harus
pergi dari tempat ini. Mohon tunjukkan jalan keluar…”
Perempuan
gemuk yang mengaku sudah nenek itu menghela nafas panjang. “Jangan terkejut
Kunti Arimbi.
Di sini
sama sekali tidak ada jalan keluar. Sekali berada di sini akan mendekam seumur
hidup, kecuali…”
“Kecuali
apa nek?” Tanya Kunti yang kini walau masih memiliki ilmu silat dan menguasai
tenaga dalam tingkat tinggi namun banyak kesaktian luar biasa yang sudah
lenyap.
“Kecuali
kita bisa mendapatkan sepasang senjata mustika yang terpendam di dasar jurang
batu pualam ini!”
“Senjata
mustika apa itu?” tanya Kunti Arimbi.
“Sepasang
keris sakti. Katanya datang dari kahyangan. Satu keris laki-laki, satu keris perempuan.
Jika sudah bisa menguasai kedua keris itu, dunia persilatan sudah di tangan.
Dan cacat di tubuhmu bisa hilang dengan menggosokan keris yang perempuan ke
bekas luka,” ujar Kunti Rao.
Perlahan-lahan
Kunti Arimbi turun dari pembaringan batu. “Kau harus mendapatkan itu Nek! Aku
akan membantumu!”
“Tidak
mudah mendapatkannya Kunti Arimbi. Pertama kita harus mendapat tanda dari
langit di mana keris itu terpendam. Di jurang ini ada musuh tangguh yang juga
menginginkan keris itu!”
“Siapa?”
tanya Kunti Arimbi.
“Namanya
Datuk Sipatoka. Dia mendekam di dinding sebelah barat…”
“Kita
harus mengalahkannya Nek!” bisiknya. “Kalau saja aku memiliki kesaktian seperti
masih jadi Dewi Ular dulu…”
“Nasib
peruntungan di tangan Tuhan. Kita manusia mana ada yang tahu. Bukan mustahil
suatu ketika kau bisa menyandang gelar Dewi Ular kembali. Bahkan mungkin lebih
hebat!”
Kunti
Arimbi tersenyum. Sepasang matanya yang dahulu hijau kini kecoklatan menerawang
ke depan.
“Sepasang
keris sakti itu. Jika aku bisa menguasainya bukan mustahil ucapan nenek gendut
ini akan menjadi kenyataan…”
Ketika
perempuan muda ini memandang ke seputar ruangan dia melihat sebuah benda
berbentuk kerucut dan ada gagangnya tertegak di sudut ruangan batu. “Benda apa
itu Nek?”
“Payung
raksasa,” jawab Kunti Rao. “Dengan payung itu kelak aku akan turun ke dasar
jurang…”
“Sebegitu
sulitnyakah mencapai dasar jurang?”
“Jurang
batu pualam seputar dindingnya berbentuk tegak lurus dan licin. Di sebelah
bawah, kabarnya ada kawah mendidih. Tempat berpijak hanya gugusan batu-batu
runcing….”
Kunti
Arimbi kembali hanya menerawang. Apa yang ada dalam benaknya sulit diduga.
“Kalau nasibku harus mendekam di sini, aku rela hidup dan mati bersamamu Nek…”
“Kau
perempuan baik. Aku ada rencana bagus untukmu. Kita berdua bisa menghadapi
Datuk Sipatoka…”
“Aku rela
mati untuk menolongmu. Tapi rasanya ilmu kesaktianku sudah tidak sehebat dulu
lagi…”
“Jangan
bersedih aku akan menggemblengmu menguasai beberapa ilmu kesaktian. Mungkin
tidak sehebat kesaktianmu saat jadi Dewi Ular dulu. Tapi yakinlah tidak akan
mengecewakan. Dengar perempuan muda, mulai saat ini aku akan memanggilmu Dewi
Ular saja. Perkenalkan namaku Kunti Rao. Digelari orang Iblis Daun Setan…”
Mendengar
nama dan julukan itu Kunti Arimbi segera jatuhkan diri.
“Eh, ada
apa ini?” kata Kunti Rao.
“Nek, aku
mendengar dari guruku bahwa kau adalah saudara sepupunya. Aku menghaturkan
perhormatan…”
Kunti Rao
tertawa panjang. “Gurumu si Hantu Tangan Geledek itu memang tidak bisa memegang
rahasia.
Sayang
dia mati muda. Apakah kau sudah mewarisi ilmu tangan geledek darinya?”
Dewi Ular
menarik nafas panjang. Lalu menggelangkan kepala. “Rencananya mengajarkan ilmu
itu memang sudah ada. Tapi dia keburu meninggal dan aku jatuh ke tangan jahat
ratu ular…”
“Kabarnya
dia menyimpan kitab pelajaran lengkap pukulan tangan geledek…”
“Aku
pernah mencari tapi tidak ketemu. Aku curiga jangan-jangan kitab itu ada pada
Ratu Ular. Ratu Ular sendiri tidak diketahui keberadaannya. Entah sudah mati
pula….”
“Semua
apa yang tidak diketahui kini menjadi jelas kalau kelak aku mendapatkan
sepasang keris sakti di dasar jurang itu… Aku senang jika kau mau membantu.”
“Aku akan
membantumu Nek. Tak usah kau ragukan….” kata Dewi Ular pula. Lalu wajah Sandaka
muncul di pelupuk matanya. “Kau juga akan kucari Sandaka. Nyawamu sama tidak
bergunanya dengan pendekar 212…!”
“Eh, kau
seperti bicara sendirian. Siapa orang bernama Sandaka itu…?” tanya Kunti Rao.
“Sandaka…
dia orang kedua yang akan kubunuh setelah Pendekar 212 Wiro Sableng!” jawab
Kunti Arimbi.
Di
dinding di jurang sebelah barat kakek berkepala botak warna biru mengenakan
jubah kuning, yang dikenal dengan nama Datuk Sipatoka, rangkapkan dua tangan
didepan dada. Muka dan pandangan matanya diarahkan ke dinding sebelah timur.
Dadanya terasa panas akibat pengaruh hawa marah dan penasaran.
“Perempuan
setan! Kalau kau merasa sudah menang, nanti lihat saja! Akan kubuat kau
minta-minta ampun sampai terkencing-kencing!” dia memandang tak berkesip ke
arah kejauhan. Namun pandangannya tertutup oleh kabut yang semakin menebal di
seantero jurang. “Kabut sialan! Aku tak dapat melihat apa yang dilakukan
perempuan sialan itu!” maki si kakek.
Selagi
dia memaki-maki seperti itu tiba-tiba di arah timur di dengarnya ada suara
jeritan keras dan panjang.
“Eh,
siapa yang menjerit itu! Suaranya suara perempuan!” Datuk Sipatoka miringkan
kepalanya sedang kedua matanya coba menembus kabut yang menghalangi, tapi
sia-sia. “Rasa-rasanya seperti ada sesuatu melayang jatuh. Apa mungkin
perempuan itu tiba-tiba menjadi gila dan jatuhkan diri ke dasar jurang?!” sang
datuk berpikir keras.
Lalu dia
menjawab sendiri pertanyaannya dalam hati. “Tidak mungkin, bukan dia. Suara
jeritan tadi datang dari atas jurang. Berarti yang jatuh berasal dari atas
sana. Si kuda nil merah itu bertapa di duapertiga jurang… atau mungkin dia
tengah membuat tipuan untukku?! Nah… nah… suara jeritan lenyap…” Datuk Sipatoka
arahkan pandangannya ke dasar jurang. “Tak ada benda jatuh di bawah sana. Tapi
mana mungkin menyangsang di dinding batu…!” Sesaat sang datuk terdiam merenung.
Akhirnya dia kembali memaki sendirian. “Persetan siapa yang menjerit tadi.
Peduli apa aku kalau ada sesuatu yang jatuh dari atas jurang!”
Setelah
menunggu sesaat, akhirnya Datuk Sipatoka memutar tubuh melangkah ke mulut goa
tempat kediamannya. Di dekat pintu tergantung segulung tali. Belum lagi kakek
ini mencapai pintu goa tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu melayang jatuh
dari bagian atas jurang sebelah timur. Dia cepat putar kembali badannya. Belum sempat
dia mendongak, benda yang jatuh kelihatan jungkir balik di udara lalu lenyap
sesaat di ketebalan kabut. Ketika benda itu kelihatan lagi, tiba-tiba sudah ada
di dinding jurang sebelah barat di mana dia berada, melayang jatuh dengan
deras! “Benda aneh, sosoknya seperti manusia tapi hanya mengenakan cawat. Dan,
heh, apa yang menempal di kepala, muka dan sekujur tubuhnya?!”
Benda
yang jatuh melayang satu tombak di depan Datuk Sipatoka. Mengira sosok itu
adalah sesuatu yang dikirim Kunti Rao untuk mencelakainya, Datuk Sipatoka
angkat tangan kirinya siap menghantam dengan satu pukulan sakti. Tapi entah
mengapa dia batalkan maksudnya. Dengan cepat dia menyambar gulungan tali dekat
pintu goa. Sesosok tubuh yang jatuh lewat didepannya. Datuk Sipatoka putar gulungan
tali yang dipegangnya. Tali ini berputar deras lalu melesat menyusul ke arah
jatuhnya makhluk tadi.
Datuk
Sipatoka sentakkan tangannya dua kali berturut-turut. “Bettt! Bettt!” Ujung
tali melibat bagian pinggang orang yang jatuh pada ketinggian hanya duapuluh
kaki dari dasar jurang di mana menunggu batu-batu runcing. Dua tangan Datuk
Sipatoka yang memegang tali tersentak ke depan. Tubuhnya terbungkuk.
“Gila!
Manusia atau kerbau yang aku jerat ini! Berat amat!” kata sang datuk. Lalu dia
cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Dua kaki di balik jubah kuning
itu laksana dipantek ke batu yang dipijaknya.
Tubuhnya
yang bungkuk perlahan-lahan melurus kembali. Lalu dia mulai menarik sosok tubuh
yang dijerat seperti orang menimba. Setiap dia menarik, dari mulutnya keluar
ucapan “Hup… hup… hup…!”
Sosok
yang dilibat tali dan ditarik Datuk Sipatoka akhirnya sampai ke sisi dinding
jurang di mana dia berada, terus digeletakkan di atas batu di depan goa. Begitu
melihat bentuk dan sosok tubuh itu sang datuk kaget bukan main. “Makhluk apa
ini!? Manusia atau hantu yang menampakkan diri sebagai manusia?
Tubuhnya
bergelimang darah kering, penuh paku! Masih hidup atau sudah jadi bangkai?!”
Tidak
heran kalau Datuk Sipatoka begitu terkejut. Orang yang tergeletak di depannya
adalah seorang pemuda hanya mengenakan cawat. Tubuhnya yang kokoh dan nyaris
telanjang itu penuh ditancapi paku.
Bukan
saja di bagian badan, tapi juga di bagian kepala dan mukanya.“Setan sekalipun
tidak ada yang seperti ini!” membatin Datuk Sipatoka.
Dia
membungkuk agar bisa memperhatikan lebih jelas. “Masih hidup…” katanya
perlahan. Lalu dengan kaki kanan disentuhnya pinggul pemuda itu seraya berseru.
“Makhluk aneh! Kalau kau memang manusia, jadilah manusia! Kalau kau pingsan,
lekas siuman! Kalau kau pura-pura tidur, ketahuilah aku tak suka orang yang
pandai menipu!”
Datuk
Sipatoka pergunakan kakinya bukan hanya sekedar menyentuh untuk membangunkan
orang tetapi sekaligus menggunakan tenaga dalamnya hingga tersalur ke dalam
tubuh pemuda yang ditancapi paku itu.
Saat
itulah pandangan si kakek membentur bagian depan cawat yang agak kedodoran.
“Gila!” serunya.
“Sampai-sampai
di kepala anggota rahasianya juga ada paku yang menancap! Tapi paku yang satu
ini bentuk dan warnanya agak aneh…”
Sewaktu
sang datuk hendak menyingkapkan cawat itu agar dia bisa melihat lebih jelas,
tiba-tiba sosok tubuh si pemuda bergerak. Kedua kakinya naik ke atas. Bersamaan
dengan itu tangannya sebelah kanan ikut bergerak dan sepasang matanya membuka.
Ketika matanya membentur wajah Datuk Sipatoka pemuda ini berusaha bangkit
dengan cepat.
“Kau
siuman! Bagus! Pertama sekali yang aku ingin tahu lekas kau terangkan apakah
kau ini manusia sungguhan atau makhluk jejadian sebangsa setan dedemit atau
hantu jurang!”
Karena
baru saja sadar, pemuda yang ditanya tak bisa segera menjawab. Malah
terheran-heran mendapatkan dirinya berada di lereng jurang itu berhadap-hadapan
dengan seorang kakek berkepala botak biru yang tidak dikenalnya. Ketika dia
memandang ke bawah, dilihatnya ada tali aneh menjerat pinggangnya.
Otaknya
berpikir, coba mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Dari mulutnya
meluncur perlahan ucapan yang bisa didengar Datuk Sipatoka.
“Aku
jatuh dari atas jurang sana… Seharusnya aku sudah mati. Ada seseorang
menyelamatkanku.
Menjerat
pinggangku dengan tali dan membawaku ke sini…”
Si pemuda
menatap wajah tua di depannya. “Orang tua, pasti kau orang yang telah
menolongku…” Datuk Sipatoka tidak mengangguk juga tidak menjawab. Pemuda itu
lepaskan tali yang menggelung pinggangnya
lalu
bangkit dan duduk bersandar di dinding jurang. “Aku menyesal kau menolongku,”
katanya.
********************
Bagian 3
Datuk
Sipatoka melengak. Kening mengernyit dan mata memandang tak berkesip pada
manusia paku di depannya. Jelas kakek ini berusaha menekan amarah mendengar
kata-kata pemuda itu.
“Seharusnya
aku sudah bebas di alam kematian. Karenanya aku tidak perlu mengucapkan terima
kasih padamu. Aku benci karena kau telah menyelamatkanku!”
Datuk
Sipatoka keluarkan suara menggereng di tenggorokannya. Semula dia hendak membentak
marah.
Bagaimana
ada manusia begini aneh?! Tidak tahu diri telah ditolong diselamatkan dari
kematian malah membencinya dan tak mau berterima kasih! Tidak jadi marah, Datuk
Sipatoka malah tertawa gelak-gelak sampai suara tawanya terdengar sampai ke sisi
jurang sebelah timur dan membuat Kunti Rao yang ada di dalam goa dongakkan
kepala seraya bertanya-tanya. “Ada apa di sebelah sana sampai si tua bangka
sialan itu tertawa begitu rupa?! Jangan-jangan dia sudah gila!”
Datuk
Sipatoka delikkan mata lalu berkata. “Tidak ada yang minta kau harus berterima
kasih. Kalau kau merasa menyesal masih hidup, silakan kau lihat ke bawah.
Jurang masih dalam. Kawah mendidih dan batubatu runcing siap menunggu. Kalau
kau memang mau mampus, jatuhkan saja dirimu kembali!”
Kini si
pemuda yang jadi terkesiap. Datuk Sipatoka angkat kakinya ke arah tubuh si
pemuda dan membuat gerakan siap untuk mendorong. “Kalau kau sekarang jadi takut
bunuh diri biar aku bantu mendorong tubuhmu agar jatuh ke dasar jurang!” kaki
kanan sang datuk bergerak.
“Tunggu!”
si pemuda cepat berseru. Tangan kanannya diangkat. Datuk Sipatoka terkejut.
Tangan yang menahan telapak kakinya itu laksana batu karang kokoh yang tidak
bisa digoyangkan.
“Hemmm….,
manusia aneh ini agaknya bukan orang sembarangan. Dia memiliki tenaga dalam
tingkat tinggi.
Buktinya,
sanggup menahan tekanan kakiku!”
Datuk
sipatoka batuk-batuk beberapa kali lalu turunkan kakinya. “Anak muda aneh. Coba
terangkan siapa dirimu. Mengapa memilih mati daripada hidup. Lalu aku juga
kepingin tahu mengapa keadaanmu seperti ini.
Kurasa
setan di neraka pun tidak seseram dan seburuk dirimu ini!”
Orang
yang ditanya memandang ke dasar jurang lalu pandangannya ditujukan pada dirinya
sendiri.
Setelah
itu diangkatnya kepalanya berpaling pada Datuk Sipatoka. “Namaku Sandaka. Aku
manusia sesat yang jatuh ke tangan Dewi Ular. Menjadi budak nafsu dan budak
kekuasaannya. Dia ingin menguasai dunia persilatan dengan memperalat diriku…”
Datuk
Sipatoka manggut-manggut beberapa kali. Lalu dia tertawa. “Kalau kau dijadikan
budak nafsu itu pasti enak ya?! Ha… ha… ha…!”
Meski
diejek, Sandaka diam saja.
“Kalau
kau diperalat untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di rimba persialatan
berarti kau memiliki kepandaian luar biasa. Aku memang pernah mendengar nama
Dewi Ular. Jadi kau orangnya yang diperalat untuk membunuh beberapa tokoh
persilatan…”
“Lebih
jahat dan keji dari itu. Dia juga menyuruhku membunuh kekasih, calon istriku.
Dia juga yang memerintahkan aku membunuh guruku Eyang Gusti Kelud Agung…”
“Astaga!
Kau rupanya tak kepalang sesat! Tapi mengapa semua itu mau saja kau lakukan?!”
tanya Datuk Sipatoka.
“Aku
terjebak! Masuk dalam perangkapnya setelah darahku tercemar oleh racun jahat
yang ada dalam cairan tubuhnya…”
“Gila!
Baru sekali ini kudengar yang seperti ini!” seru Datuk Sipatoka. “Mengapa kau
jatuhkan diri ke dalam jurang? Mengapa sengaja mencari mati? Siapa yang
memantek tubuhmu dengan paku seperti ini? Lalu kulihat ada paku aneh berwarna
kuning pada kepala kemaluanmu!”
“Panjang
ceritanya… Biar kujelaskan singkat-singkat saja,” jawab Sandaka. “Aku memilih
mati karena merasa tak ada guna lagi hidup. Dosaku sedalam lautan setinggi
puncak Merapi. Aku menganggap kalaupun aku mati, aku bisa mati dengan puas.
Karena sebelumnya aku berhasil membunuh Dewi Ular dan menendangnya masuk ke
dalam jurang…”
“Ah! Tadi
aku mendengar jeritan perempuan. Aku juga melihat ada sosok tubuh jatuh. Jadi
Dewi Ular sudah tamat riwayatnya…” Sandaka mengangguk.
“Kau
belum menceritakan mengapa kepala, muka dan sekujur tubuhmu sampai ke kaki
dipantek dengan paku seperti ini…”
“Seorang
sakti bernama Datuk Bululawang yang melakukannya. Paku-paku ini bukan paku
sembarangan.
Berjumlah
tigapuluh dan terbuat dari baja putih murni! Datuk Bululawang melakukannya
karena dengan paku-paku ini dia sanggup melumpuhkan sekaligus menguasai diriku!
Maksudnya sama kejinya dengan tujuan Dewi Ular. Ingin memperalat diriku untuk
menguasai dunia persilatan. Tapi tidak kesampaian.
Beberapa
tokoh silat menghajarnya sampai babak belur. Keadaannya entah mati entah masih
hidup.
Kusumpahi
agar dia memang sudah jadi bangkai saat ini!”
Datuk
Sipatoka geleng-geleng kepala. “Makin tua umur dunia ini makin macam-macam
keanehan terjadi!”
Dia
memandang ke bawah perut Sandaka. “Paku berwarna kuning itu…” katanya seraya
menunjuk pada bagian tubuh Sandaka sebelah bawah yang tersingkap. “Kelihatannya
buka paku biasa… Sinarnya sinar logam murni…”
“Ini paku
emas. Paku yang membuat diriku bersih dari racun jahat cairan Dewi Ular.
Sekaligus membuat musnahnya ilmu kesaktian yang kudapat darinya…”
“Apakah
Datuk Bululawang juga yang menancapkan paku emas itu di alatmu?”
Sandaka
menggeleng. “Seorang pemuda sakti bergelar Pendekar 212 yang melakukan…”
“Dia
bukan pemuda sembarangan…”
Sandaka
mengangguk. “Dia memiliki senjata mustika berupa kapak bermata dua. Dengan
senjata itu aku mencabik-cabik tubuh Dewi Ular. Aku merasa seperti berhutang
budi padanya… Hanya sayang aku tidak memiliki ilmu kesaktian lagi.”
“Kau
masih mempunyai dasar tenaga dalam yang hebat Sandaka. Aku… Hemmm…” Datuk
Sipatoka usapusap kepala botaknya yang berwarna biru.
Sebelumnya,
Sandaka memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di benak seseorang.
Namun
setelah tubuhnya ditancapi paku emas, kemampuan itu ikut lenyap bersama
musnahnya kesaktian yang didapatnya dari Dewi Ular.
“Kau
masih muda. Memiliki dasar ilmu silat yang jarang dimiliki orang lain. Dengar
Sandaka, aku akan menggemblengmu di tempat ini. Kelak kau akan jadi pendekar
hebat kembali, walau tidak sehebat ketika kau berada di bawah pengaruh Dewi
Ular. Kalau itu kejadian. aku butuh bantuanmu untuk menghadapai seseorang…”
“Kau
punya musuh besar rupanya. Siapa dirimu kalau aku boleh tahu? Siapa pula yang
jadi musuhmu?” tanya Sandaka.
“Aku
dipanggil orang dengan sebutan Datuk Sipatoka. Nama yang hampir tidak dikenal
dalam dunia persilatan. Tapi ketahuilah. Sebagian rimba persilatan saat ini
sudah ada dalam tanganku… Aku hanya menunggu waktu dan menyingkirkan seorang
nenek gendut sialan yang mendekam di sisi jurang sebelah barat. Namanya Kunti
Rao, bergelar Iblis Daun Setan. Nah sekarang apakah kau masih ingin bunuh
diri?”
“Kau
telah tolong menyelamatkan diriku dari kematian. Walau aku masih merasa tidak
ada gunanya hidup, namun mengingat budi baikmu aku bersedia membantumu
menghadapi Iblis Daun Setan. Tapi… apa aku bisa menjadi pendekar hebat seperti
yang kau bilang?”
“Jangan
khawatir Sandaka. Aku akan buktikan dan nanti kau akan lihat sendiri hasilnya!”
jawab Datuk Siptoka seraya tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Sambil menepuk dia
kerahkan tenaga dalamnya. Tubuh Sandaka seperti diguncang tapi tetap duduk
tersandar. Orang lain mungkin sudah terjerembab roboh.
Datuk
Sipatoka menyeringai. Diam-diam dia merasa gembira mendapatkan pemuda ini.
“Satu hal yang harus segera kau lakukan Sandaka, cepat cabut paku emas yang
menancap di kemaluanmu itu!”
Sandaka
ulurkan tangan kanannya. Jari-jarinya mencengekeram kepala paku emas. Terasa
sangat panas.
Pemuda
ini kerahkan tenaga. Sekali tarik saja paku emas itu tercabut dari tempatnya
menancap.
Bersamaan
dengan itu secara aneh paku yang tadinya berwarna kuning berubah menjadi hitam.
“Racun
jahat benar-benar telah terkuras habis dari tubuhmu. Buktinya paku emas telah
berubah hitam.
Tidak
beda seperti paku besi biasa…” kata Datuk Sipatoka pula. Sandaka tarik nafas
panjang lalu berkata, “Satu paku berhasil dicabut. Tigapuluh lagi masih
menancap di kepala, muka dan tubuhku. Apakah bisa kusingkirkan dengan jalan
mencabutnya datuk?”
“Jangan
terlalu berani bertindak anak muda. Paku-paku itu bukan benda sembarangan.
Lagipula kulihat menancap sampai jauh di dalam tubuhmu. Ada saatnya benda-benda
itu bisa kita singkirkan. Kelak kalau sepasang keris sakti di dasar jurang itu
sudah kumiliki, mencabut paku-paku celaka itu hanya satu urusan gampang seperti
membalik telapak tangan…”
“Sepasang
keris sakti di dalam jurang? Datuk, apa maksudmu?”
“Pertanyaanmu
tidak akan kujawab sekarang. Harap kau bersabar sampai aku merasa tiba saatnya
untuk menerangkan padamu…” jawab Datuk Sipatoka.
Bagaimana
kisah Dewi Ular dan Sandaka jatuh lalu masuk jurang batu pualam, kita kembali
dulu pada apa yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Seperti dituturkan dalam
episode I (Dendam Manusia Paku)
Dewi Ular
mengajak Pendekar 212 Wiro Sableng ke tempat kediamannya, yakni sebuah bangunan
terbuat dari batu pualam terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan
bangunan terhampar sebuah jurang yang menurut pandangan mata dalamnya sekitar
enampuluh kaki. Tetapi sebenarnya jurang ini memiliki kedalamannya lebih dari
seratus duapuluh kaki.
Di
bangunan batu pualam, Dewi Ular sengaja memancing murid Eyang Sinto Gendeng
untuk membuktikan kejantanannya. Sebaliknya, kesempatan ini digunakan oleh Wiro
untuk menancapkan paku emas ke pusar perempuan itu. Begitu paku menghujam dalam
ke pusar Dewi Ular, serta merta ilmu kesaktian perempuan yang dianggap setengah
manusia setengah iblis ini menjadi punah.
Walaupun
demikian ketika Wiro bertindak lengah Dewi Ular berhasil menendang perut sang
pendekar.
Selagi
dia terkapar, Dewi Ular berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro
yang terjatuh di lantai bangunan. Saat itulah Sandaka si manusia paku tiba-tiba
muncul di tempat itu. Dia berhasil menguasai senjata mustika. Dengan kapak
sakti ini dia kemudian membabat tubuh Dewi Ular dua kali berturut-turut hingga
luka besar mengerikan terkuak di bahu kiri dan dada perempuan itu.
Dalam
keadaan luka parah bersimbah darah, di tepi jurang Dewi Ular berusaha minta
pertolongan Wiro.
Namun
Sandaka bertindak lebih cepat. Sekali tendang saja tubuh perempuan itu
terpental dan jatuh ke dalam jurang. Setelah jeritan Dewi Ular lenyap di dalam
jurang, kesunyian mengerikan menggantung di tempat itu. Sandaka mengembalikan
kapak sakti ke Wiro, lalu memutar tubuh melangkah ke tepi jurang.
Wiro
cepat menangkap apa yang ada di kepala pemuda itu. Dia mengejar tapi terlambat.
Sandaka lebih dulu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang batu pualam.
Selagi
Wiro tegak termangu-mangu di tepi jurang, tiba-tiba muncullah seorang
penunggang kuda yang berpakaian serba ungu yang ternyata adalah Anggini, murid
Dewa Tuak. Setelah tahu apa yang terjadi, Anggini yang merasa keadaannya
seolah-olah terkatung-katung karena baik Wiro maupun Eyang Sinto Gendeng sebegitu
jauh tidak memberikan tanda-tanda kepastian mengenai perjodohan mereka
memandang ke langit. Udara kelihatan mendung berat.
“Satu
malapetaka besar telah lewat…” berucap Anggini. Dia masih memandang ke langit
di atasnya.
“Sebentar
lagi agaknya akan turun hujan lebat. Kita harus segera meninggalkan tempat ini
Wiro…”
“Kau
pergilah duluan. Di kaki bukit batu tak jauh dari ujung jalan ada sebuah
dangau. Tunggu aku di sana …”
“Kuda ini
cukup kuat untuk kita tunggangi berdua…” ujar sang dara pula.
Wiro
tersenyum. “Agaknya rasa jengkelnya terhadapku sudah lenyap. Hemmm… kalau
begini tanpa disadarinya dia menunjukkan sikap baik dan mesra…” membatin murid
Sinto Gendeng. Lalu pada Anggini dia berkata. “Kau lihat sendiri, badan dan
pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan, nanti aku menyusul…”
Anggini
mengangguk. “Kulihat badan dan pakaianmu memang kotor. Dari mana kau dapat
pakaian aneh itu? Mau-mauan memakai pakaian perempuan…”
“Hanya
pakaian ini yang kutemui ketika berhasil keluar dari sarang Dewi Ular, setelah guruku
Eyang Sinto Gendeng menghancurkan tempat itu…”
“Pakaianmu
boleh aneh dan kotor. Namun satu hal aku tahu… hatimu bersih…”
Wiro
tertawa lebar. “Untuk pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun
juga!” lalu Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke atas kuda, duduk di belakang
Anggini.
Hanya
beberapa saat saja setelah sepasang muda-mudi itu meninggalkan tepi jurang dan
mulai menuruni lereng bukit, dari balik sebuah batu besar seorang lelaki
separuh baya, berpakaian ringkas warna hijau dengan sebilah pedang pendek
tersisip di pinggangnya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Agaknya ia tidak
sempat melihat kejadian jatuhnya Dewi Ular dan Sandaka ke dalam jurang.
Bilamana dia mampu menyelinap di balik batu besar tanpa Pendekar 212 Wiro
Sableng maupun Anggini mengetahui, jelas lelaki berpakaian hijau ini memiliki
kepandaian tinggi.
Orang ini
menyelinap di antara batu-batu besar di bebukitan hingga akhirnya sampai di
satu tempat yang agak rata. Di tempat ini kelihatan sembilan orang tegak
mengelilingi sebuah tandu. Delapan di antaranya mengenakan pakaian prajurit
kerajaan. Mereka bertugas sebagai pengusung tandu secara bergantaian.
Orang
kesembilan adalah seorang tua berjanggut dan berambut kelabu. Tidak seperti
yang lainnya, orang tua ini kelihatan asyik membaca sebuah kitab bertuliskan
huruf-huruf kuno. Melihat bentuk dan warna kitab tersebut agaknya berusia
puluhan tahun.
Di atas
tandu beratap ijuk, duduk seorang lelaki bermuka pucat mengenakan jubah mewah
berwarna merah pekat. Pada dada kirinya tersemat sebentuk hiasan emas berupa
lambang agung keraton. Delapan orang prajurit dan dan orang yang duduk di atas
tandu segera berpaling begitu lelaki berpedang muncul.
Sebaliknya,
orang tua berambut kelabu terus saja membaca kitab sambil berdiri seolah tidak memperdulikan
keadaan dan orang-orang sekitarnya.
Lelaki
berpedang dan berpakaian ringkas hijau menjura di hadapan orang yang duduk di
atas tandu.
“Pangeran
Ipong Nalakudra, saya datang memberi laporan.”
Ternyata
lelaki bermuka pucat berpakaian merah pekat itu adalah seorang pangeran. Dia
anggukkan kepala lalu berkata. “Beritahu hasil pengintaianmu…”
Lodaya
Surakali, lelaki separuh baya segera menjawab. “Murid nenek sakti Sinto Gendeng
dan murid kakek berjuluk Dewa Tuak itu memang benar saya lihat berada di dekat
jurang batu pualam. Tak lama saya sampai di sana mereka segera berlalu. Saya
menaruh syak wasangka penuh keduanya memang mengetahui kalau sepasang keris
Nagasona terpendam di dasar jurang. Mereka pergi begitu saja pertanda belum
saatnya mereka turun ke dalam jurang guna mengambil kedua keris sakti
tersebut…”
“Atau
mungkin mereka pergi karena diam-diam sudah mengetahui kahadiranmu di tempat
itu. Mereka pergi hanya sekadar berpura-pura…” kata Pangeran Ipong Nalakudra.
Lelaki
berpedang gelengkan kepala. “Saya dengar mereka bicara hendak pergi ke satu
tempat.”
“Jadi kau
tahu ke mana mereka pergi?” tanya sang pengeran.
“Mereka
pergi ke sebuah dangau di kaki bukit. Saya yakin keduanya hendak bermesraan di
tempat itu…”
Pangeran
Ipong Nalakudra tersenyum. Sesaat mukanya yang pucat tampak kemerahan.
“Bagaimana kau bisa yakin mereka hendak bermesraan?”
“Saya
tahu, antara keduanya terjalin hubungan khusus sejak lama. Dangau di kaki bukit
satu tempat sepi.
Perlu apa
sepasang muda-mudi pergi ke sana kalau bukan hendak bercumbu?”
“Lalu apa
yang hendak kau lakukan kini Lodaya? Kita sudah melakukan perjalanan hampir
lima hari.
Tubuhku
sangat letih. Kurasa semua orang yang ada di sini juga sudah kecapaian!”
“Saya
mengerti pangeran. Kalau pangeran suka, harap kembali saja ke kotaraja. Saya
akan melanjutkan pengintaian seorang diri sampai akhirnya mengetahui kapan
mereka akan turun ke jurang batu pualam mengambil dua keris sakti itu.”
“Ingat
Lodaya, mereka tidak boleh lepas. Tidak boleh lolos! Kalau mereka berhasil
mendapatkan sepasang senjata mustika itu dan kau tidak berhasil merampasnya,
berarti aku akan cacat seumur hidup! Dan kegagalanmu itu harus kau bayar mahal
Lodaya!”
“Saya
tahu betul Pangeran Ipong,” jawab Lodaya Surakali. “Percayalah, mereka tak akan
lolos dari tangan saya…”
Orang tua
berjanggut dan berambut kelabu di samping tandu yang masih asyik membaca kitab
tua batukbatuk
beberapa
kali. Pangeran muka pucat berpaling pada si orang tua. Begitu juga yang
lainnya, termasuk Lodaya.
“Ki Sepuh
Dulantara,” menegur Pangeran Ipong. “Dari tadi kau berdiam diri saja. Apa
sekarang ada yang hendak kau katakan?”
Orang tua
itu membungkukkan badannya sedikit pada Pangeran Ipong Nalakudra. “Pangeran,
saya mana berani bicara kalau tidak diminta. Saat ini saya hanya akan membaca
apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Petunjuk Kuna ini.” si orang tua arahkan
pandangannya pada kitab yang dipegangnya. Lalu dia mulai membaca.
“Bilamana
Bintang Kelimukus muncul di langit malam, itulah satu pertanda terbukanya satu
rahasia besar mengenai sepasang keris sakti berusia lebih dari dua abad
terpendam di dasar jurang batu pualam, di satu tempat di mana tidak sembarang
orang bisa mengetahui. Air mendidih di dasar jurang akan surut dan kering
secara ajaib. Di antara dua celah batu runcing akan kelihatan dua sinar mencuat
ke atas menembus tanah dan bebatuan. Sinar merah kehitaman berasal dari keris
jantan. Sinar kuning kehitaman itulah dari keris betina. Barang siapa menguasai
kedua keris itu, maka dia akan menjadi raja diraja ilmu pengobatan, akan
menjadi raja diraja dunia persilatan. Pertanyaan kini kapan dan siapa yang tahu
saat munculnya Bintang Kelimukus yang konon hanya memperlihatkan diri di langit
sebelah tenggara sekali dalam tujuhpuluh tahun.
Petunjuk dalam
buku ini tidak akan ada artinya kalau manusia tidak mempergunakan akal. Karena
itu…”
********************
Bagian 4
Bacaan Ki
Sepuh Dulantara belum selesai, tiba-tiba di langit yang saat itu gelap oleh
awan mendung berkiblat cahaya kilat, disusul menggelegarnya guntur. Bukit batu
itu bergetar keras. Selagi semua orang yang ada di situ terbalut oleh kejut dan
rasa ngeri, tiba-tiba di saat yang bersamaan berkelebat satu bayangan disertai
suara mendesis keras. Selarik asap kuning menyambar kearah orang tua berambut
dan berjanggut kelabu itu.
Sebagai
orang berkepandaian tinggi dan memiliki segudang pengalaman, Ki Sepuh Dulantara
maklum kalau asap kuning yang menyambar ke arahnya mengandung racun jahat.
Cepat orang tua ini menyingkir ke kiri.
Tangan
kanannya menghantam ke depan. Selarik angin dahsyat menderu. Asap kuning
langsung buyar berantakan. Namun saat itu pula terdengar seruan Ki Sepuh
Dulantara. Kitab Seribu Petunjuk Kuna terlepas dari tangannya. Salah satu
halamannya robek. Seseorang telah merampas kitab yang sangat berharga itu!
Dalam
kejut yang amat sangat Ki Sepuh Dulantara, Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong
Nalakudra serta semua yang ada di situ melihat seorang perempuan tegak di
tempat agak ketinggian. Dialah yang telah merampas kitab berharga itu karena
kini kitab itu tampak berada dalam kepitan tangan kirinya.
Perempuan
ini tidak bisa disebut muda lagi. Namun walau masih berusia agak lanjut,
wajahnya menyatakan bahwa di masa muda, paling tidak sampai beberapa tahun
sebelumnya, dia memiliki paras yang sangat cantik. Dia tegak dengan
menyeringai. Barisan giginya tampak rata dan bercahaya. Dia mengenakan pakaian
berbentuk kemben terbuat dari kain halus. Dadanya yang besar menggembung,
seharusnya tampak putih menggairahkan. Tetapi tidak bagi semua mata laki-laki
yang ada di tempat itu.
Penyebabnya
karena di lehernya yang jenjang bergelung seekor ular berwarna hitam belang
kuning. Di kepalanya dia mengenakan sebentuk mahkota terbuat dari sosok ular
hijau yang telah dikeringkan.
“Ratu
Ular!” seru Ki Sepuh Dulantara dengan suara bergetar begitu mengenali siapa
adanya perempuan di hadapannya. Mendengar nama yang disebutkan itu, yang
lain-lain jadi tercekat. Lodaya Surakali melirik pada Pangeran Ipong lalu
memberi tanda bahwa kemunculan Ratu Ular di tempat itu membawa satu bahaya
besar. Yang jelas, dia sudah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna.
Perempaun
di hadapan Ki Sepuh Dulantara tersenyum. “Bertemu cuma satu kali, itu pun
sepuluh tahun silam. Ternyata kau masih mengenali diriku!”
“Orang
hebat berkepandaian tinggi, menggetarkan tujuh penjuru angin, siapa yang tak
kenal padamu Ratu Ular?” sahut Ki Sepuh Dulantara.
Ratu Ular
tertawa tinggi. Dia melirik pada Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra
lalu berkata.
“Seorang
pangeran sampai jauh-jauh berada di tempat ini, tentu ada sesuatu yang luar
biasa dan sangat penting. Ki Sepuh Dulantara, bisakah kau menerangkan mengapa
kalian berada di sini?”
“Ah, Ratu
Ular bicara jumawa. Sebagai orang berkepandaian tinggi, tentu kau sudah
menyerap kabar dan tahu apa sebab kami berada di sini. Nyatanya kau sendiri
berada di sini…”
“Orang
tua, aku suka sikap bicaramu. Tapi aku tidak suka menyembunyikan sesuatu. Aku
kemari untuk mencari jejak muridku Dewi Ular. Dia tidak kutemukan. Tapi aku
merasa bersyukur karena sekali pun tidak bertemu muridku namun bisa mendapatkan
kitab hebat ini…” sahut Ratu Ular pula.
Pangeran
Ipong melihat gelagat yang kurang baik ini cepat memasuki pembicaraan. “Kami di
sini dalam rangka mencari sejenis obat yang kabarnya mampu menyembuhkan kedua
kakiku yang lumpuh…”
“Oh,
begitu…?” Ratu Ular memperhatikan sepasang kaki Pangeran Ipong yang tertutup
jubah merah.
“Sayang
sekali aku tak bisa membantu menemukan obat itu. Sayang juga aku tidak punya
banyak waktu.
Aku harus
pergi sekarang. Terima kasih untuk buku yang kau berikan ini!”
“Ratu
Ular, tunggu!” berseru Ki Sepuh Dulantara.
Perempuan
berkemben kain halus itu berpaling. “Orang tua, ada sesuatu yang hendak kau
sampaikan?”
“Kitab
itu, aku tidak merasa pernah memberikannya padamu!”
“Ah,
begitu? Mungkin kau lupa?”
“Ki Sepuh
Dulantara benar!” berkata Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kami semua di sini
tahu dan melihat.
Dia tidak
pernah memberikan kitab itu padamu. Kau merampasnya!”
“Oh,
begitu?! Aku merampasnya?!” ujar Ratu Ular, lalu tertawa panjang. “Bukan main!
Kalau begitu betapa jahatnya diriku! Padahal aku sebenarnya sudah sangat berbaik
hati pada tua bangka buruk rambut kelabu ini!”
Paras Ki
Sepuh Dulantara tampak berubah. Kalau orang lain bicara begitu padanya pasti
sudah dilabraknya.
Tapi
maklum kalau dia berhadapan dengan orang berkepandaian sangat tinggi dan
terkenal ganas, maka dia berusaha bersikap sabar. “Berbaik hati bagaimana
maksudmu Ratu Ular?”
“Berbaik
hati karena aku hanya merampas kitabmu, tidak ikut merampas nyawamu!”
Ki Sepuh
Dulantara sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Ratu Ular. Di atas
tandu, PAngeran Ipong memberi tanda pada Lodaya Surakali. Lelaki separuh baya
berpedang pendek ini segera maju ke hadapan Ratu Ular. “Ratu Ular, Pangeran
meminta padamu agar segera mengembalikan kitab itu…”
“Hemmm…
siapa kau?” tanya Ratu ULar dengan sikap memandang rendah walau hatinya
tertarik juga melihat kegagahan wajah lelaki ini.
“Aku
Lodaya Surakali. Biasa dipanggil dengan gelar Pendekar Pedang Pendek. Aku
bekerja untuk Pangeran Ipong.”
“Jadi kau
orang keraton. Bagus, katakan pada pengeranmu mengapa dia tidak bisa bicara
sendiri padaku meminta kitab ini?”
“Sudahlah,
mengapa hal itu menjadi urusan. Aku mohon kitab itu diserahkan padaku. Itu
merupakan salah satu benda pusaka keraton.”
“Kalau
ini merupakan benda pusaka keraton, mengapa bisa berkeliaran di luar.
Jangan-jangan pangeranmu telah mencurinya untuk kepentingan sendiri!”
“Ratu
Ular!” teriak Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kau tak layak tahu tentang
segala hal menyangkut kitab itu. Yang penting lekas serahkan pada orangku lalu
angkat kaki dari sini…”
“Pangeran
lumpuh! Kalau aku tidak mengembalikan kitab ini kau mau berbuat apa?!” tanya
Ratu Ular dengan wajah mengejek.
“Jangan
terlalu sombong Ratu Ular. Aku bisa memerintahkan penangkapan atas dirimu.
Jangan sampai kau menyesal seumur-umur!” jawab Pangeran Ipong sementara Ki
Sepuh Dulantara yang telah banyak siapa adanya Ratu Ular tampak berdiri
gelisah.
Ratu Ular
tertawa panjang mendengar kata-kata sang pangeran. Pangeran Ipong jadi habis
kesabarannya.
“Lodaya!
Ambil kitab itu, kalau dia melawan, bunuh!”
Dalam
hati Ki Sepuh Dulantara mengeluh cemas. “Pangeran belum tahu tingginya tingkat
kepandaian perempuan itu. Juga belum tahu keganasannya. Aku harus cepat
mencegah sambil mengatur siasat…”
Orang tua
berambut kelabu cepat bergerak mendekati LOdaya Surakali. Tapi orang yang
berjuluk Pendekar Pedang Pendek sudah keburu berkelebat. Tubuhnya berubah
menjadi bayangan hijau warna pakaiannya.
Tangan
kirinya mendorong ke arah bahu Ratu Ular sedang tangan kanan menyambar ke arah
kitab dalam kepitan tangan kiri.
Ratu Ular
keluarkan tawa melengking. Dia hanya tegak bertolak pinggang. Sedikit pun tidak
bergerak.
Yang
membuat gerakan justru ular besar belang hitam kuning yang bergelung di
lehernya. Binatang ini mendesis keras lalu gelungannya terlepas dan tubuhnya
menyambar ke arah Lodaya Surakali. Kepalanya mematuk cepat ke arah muka lelaki
berjuluk Pendekar Pedang Pendek ini.
Semua
orang yang menyaksikan melengak tegang. Mereka melihat bagaimana patukan ular
datang lebih cepat dari gerakan dua tangan Lodaya Surakali yang berusaha
memukul bahu lawan dan merampas kitab.
“Binatang
jahanam!” maki Lodaya. Dia terpaksa mencari selamat. Sambil merunduk, tangan
kanannya bergerak cepat mencabut pedang pendek di pinggang. Lalu “Wuuuuttt!”
sinar putih pedang yang terbuat dari besi bercampur perak murni menyambar
disertai deru angker. Sekejap lagi putuslah leher ular hitam belang kuning itu.
Tapi apa
lacur. Yang terjadi malah kebalikannya. Bukan ular itu yang celaka, namun
Lodaya Surakali yang terdengar menjerit keras. Pedang perak terlepas dari
genggamannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk menekap mata kiri yang
kini telah jebol mengucurkan darah akibat patukan ular besar. Sekali lagi orang
ini menjerit lalu lututnya menekuk. Sesaat kemudian tubuhnya roboh
tergelimpang. Kulit di sekujur tubuhnya, mulai dari muka hingga ke ujung kaki
kelihatan menghitam akibat racun ular!
Ratu Ular
menyeringai, memandang pada Pengeran Ipong lalu pada Ki Sepuh Dulantara. Kitab
masih berada dalam kepitan tangan kiri, sedang tangan kanan dipergunakan untuk
mengusap-usap kepala ular besar yang saat itu kembali bergelung di lehernya.
“Ada lagi yang kepingin cepat-cepat menghadap Raja Akhirat?!” tanyanya. Tak ada
yang berani menjawab. Juga tak ada yang berani bergerak.
Hujan
turun rintik-rintik tak lama setelah Wiro Sableng dan Anggini tiba di dangau di
kaki bukit batu.
“Kurasa
ada keanehan ketika Dewi Ular jatuh ke dalam jurang batu…” Wiro membuka
pembicaraan sambil memperhatikan pakaian yang dikenakannya, yaitu pakaian
perempuan yang didapatnya sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kediaman Dewi
Ular.
“Keanehan
apa maksudmu?” tanya Anggini.
“Jurang
batu itu dari atas kelihatannya cuma sedalam enampuluh kaki. Tapi pandangan
mata bisa salah karena sebenarnya dasar jurang lebih seratus kaki…”
“Itu
keanehan yang kau maksudkan?”
Wiro
menggeleng. “Waktu perempuan itu jatuh dia menjerit keras. Namun suara
jeritannya mendadak lenyap pada kedalaman yang aku yakin belum mencapai dasar
jurang. Sesuatu terjadi dengan dirinya…”
“Bisa
saja dia jatuh pingsan selagi melayang jatuh. Atau kepalanya membentur batu
jurang…” kata murid Dewa Tuak pula.
“Dugaanmu
yang pertama mungkin saja. Dugaan kedua kurasa tidak, karena dinding jurang
lurus sampai ke dasar. Aku khawatir kalau sesuatu terjadi dengan dirinya…”
“Hemmm,
kau mengkhawatirkan dirinya. Justru itu yang aneh!”
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. “Bukan khawatir apa. Yang aku khawatir kalau-kalau dia
tidak mati.
Ada yang
menolong…”
“Hantu
atau setan jurang?”
Wiro tak
bisa menjawab. Dalam hati dia tetap saja merasakan ada sesuatu.
“Daripada
membicarakan perempuan itu, lebih bagus kau menceritakan padaku bagaimana kau
bisa mengenakan pakaian perempuan seperti ini?”
“Ah!
Ini…” Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala. Dia merasa tidak ada
perlunya menyembunyikan apa yang terjadi antara dia dan Dewi Ular di bangunan
batu pualam. Anggini
mendengarkan
dengan wajah bersemu merah.
“Gila!
Itu pekerjaan yang paling berat dalam hidupku! Kalau aku tidak dibebani tugas
mahabesar, mungkin bukan paku emas itu yang aku tancapkan pada tubuhnya!”
Anggini
memalingkan wajahnya mendengar kata-kata Pendekar 212. Dalam hati dia berkata.
“Tabiatnya masih tidak berubah sejak dulu. Bicara seenaknya…”
“Eh,
mengapa kau memalingkan muka dan tiba-tiba jadi diam saja?” tanya Wiro sambil
mengulum senyum.
“Kau
masih untung…” sahut Anggini.
“Untung
bagaimana?”
“Waktu
gurumu meledakkan sarang Dewi Ular, kau masih bisa menemukan pakaian walau
pakaian perempuan. Kalau di sana tak ada pakaian kau bisa memperkirakan
bagaimana keadaanmu saat ini…”
Wiro
terdiam lalu tertawa tergelak. “Kau betul! Aku masih untung walau jadi seperti
banci begini! Tapi sudahlah, mengapa kita harus membicarakan perempuan ular
itu. Kukira ada baiknya kita membicarakan hubungan kita…”
Anggini
menatap paras si pemuda dengan hati bergetar.
“Selama
ini kau mendesakku agar kita membicarakan soal perjodohan itu. Aku
berpikir-pikir sebaiknya kita mempertemukan saja guru-guru kita, biar mereka
bicara langsung…”
“Mempertemukan
mereka bukan soal gampang. Kalaupun bisa dipertemukan, dua kakek nenek itu bisa
saja melantur bicara yang lain-lain…”
“Mereka
semakin tua, tentu ada perubahan dalam hati dan jalan pikiran. Kurasa ada
baiknya kau pergi menemui Dewa Tuak, aku menemui Eyang Sinto Gendeng lalu kita
atur waktu dan tempat pertemuan bagi mereka. Kita ikut hadir di sana…”
“Aku
menurut saja,” jawab Anggini.
Wiro
tatap paras gadis itu lekat-lekat. Seolah baru menyadari betapa paras Anggini
begitu cantik. dihias sepasang mata yang bagus dan bening. Perlahan-lahan
tangan kanannya diulurkan untuk membelai rambut si gadis. “Mungkin selama ini
aku begitu saja melupakannya. Menyia-nyiakannya… Mungkin sudah saatnya aku
harus lebih dekat dengannya. Aku tahu betul dia sangat mencintaiku dan gurunya
Dewa Tuak menginginkan diriku jadi suaminya…”
“Apa yang
kau pikirkan…?” bisik Anggini bertanya sambil pegang dan mengusap lengan pemuda
itu.
“Ada
serombongan orang yang mendatangi…”
“Hah!
Apa?!” kejut Anggini karena lain yang ditanya lain yang dijawab. Dia mengikuti
pandangan pemuda itu lalu berpaling ke jurusan yang dilihat Wiro.
Dari arah
kaki bukit batu pualam sebelah timur, di bawah hujan rintik-rintik Anggini
melihat empat orang prajurit berlari menggotong sebuah tandu. Di atas tandu
duduk seorang lelaki berjubah merah. Empat prajurit lagi berlari di samping
tandu. Lalu di sebelah belakang mengikuti seorang tua berambut dan berjanggut
serba kelabu.
Dalam
waktu singkat rombongan itu sampai di depan dangau. Empat prajurit turunkan
tandu lalu bersama empat kawannya yang lain mereka segera mengurung dangau
sementara orang tua rambut kelabu tegak rangkapkan tangan di depan dada sambil
menatap tajam pada Anggini dan Wiro. Sepasang muda-mudi di atas dangau lepaskan
rangkulan masing-masing.
“Siapa
mereka?” tanya Anggini.
“Belum
bisa kuduga. Kau tetap di sini.” Lalu Wiro melompat turun dari atas dangau.
“Rombongan
dari mana datang ke sini? Apa hendak berbagi tempat berteduh? Silakan naik ke
atas dangau.
Tapi
karena dangau kecil, tidak semua kalian bisa naik…” Wiro menegur sambil matanya
ditujukan pada orang bermuka pucat berjubah merah di atas tandu. Dia telah
melihat perhiasan emas yang tersemat di dada kiri orang ini yang menandakan
bahwa dirinya seorang pejabat tinggi atau penguasa kerajaan.
Orang tua
berambut kelabu angkat tangan kanannya. “Kami rombongan Pangeran Ipong Nalakudra
dari Kotaraja,” katanya. “Kami datang untuk mendapatkan keterangan kapan
Bintang Kelimukus muncul!”
“Eh?!
Apa-apaan ini?!” ujar Wiro heran lalu berpaling pada Anggini. “Sejak kapan aku
jadi ahli perbintangan?!”
“Pendekar
212 Wiro Sableng dan kau juga murid Dewa Tuak Anggini, jangan coba
menyembunyikan apa yang kau ketahui!” kata orang tua berambut kelabu yang bukan
lain adalah Ki Sepuh Dulantara.
“Astaga
Anggini! Mereka tahu siapa kita!” ujar Wiro lagi-lagi sambil berpaling pada
Anggini dan kini malah sambil garuk-garuk kepala.
“Pendekar
212…” Pangeran Ipong yang duduk di atas tandu ikut bicara. “Karena menguntit
kalian, kami telah kehilangan seorang anggota! Mati dibunuh Ratu Ular! Jadi
kuharap kau segera saja memberi keterangan! Aku memerlukan penjelasan mengenai
Bintang Kelimukus itu!”
“Siapa
suruh kalian menguntit kami?! Kalau ada anggota kalian yang menemui ajal, itu
tanggung jawab kalian sendiri!” Dari atas dangau Anggini mendamprat.
“Murid
Dewa Tuak!” membentak Ki Sepuh Dulantara. “Jaga mulutmu! Kau bicara dengan
Pangeran Ipong Nalakudra dari keraton!”
Anggini
jadi sewot. Dia hendak mendamprat kembali tapi Wiro memberi isyarat. Dia
berpaling pada orang yang duduk di atas tandu. “Harap maafkan sahabatku itu.
Kalian muncul secara tiba-tiba, mengatakan telah menguntit kami! Bicara tentang
anggota yang mati di tangan Ratu Ular. Lalu menanyakan Bintang kelimukus. Terus
terang saja, bisa dikatakan kalian muncul tidak tahu juntrungannya. Tentu saja
kami jadi heran. Coba bicara baik-baik biar tidak terjadi salah paham…”
Melihat
Wiro bicara lunak, kejengkelan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara jadi
mengendur. Orang tua ini lantas berikan keterangan. “Kami mendapat petunjuk dan
berhasil menyerap kabar bahwa di dasar jurang batu pualam tersembunyi sepasang keris
sakti bernama Nagasona. Satu betina satunya jantan. Menurut catatan kuna dan
silsilah yang ada di keraton, sepasang senjata itu berasal dari tua-tua
kerajaan beberapa puluh tahun lalu yakni dari Kerajaan Singosari.. Selain kedua
keris itu adalah milik sah kerajaan, juga mempunyai daya pengobatan luar biasa.
Pangeran Ipong Nalakudra menderita lumpuh sejak usia limabelas tahun. Hanya
sepasang keris itu yang bisa mengobati kelumpuhannya…”
“Lalu apa
hubungan sepasang keris Nagasoma dengan kami?” tanya Wiro.
“Kami
yakin kalian mengetahui kapan munculnya Bintang Kelimukus. Karena pada saat
bintang itu muncul di langit, pada saat itu pula ada petunjuk di mana letak
tepatnya dua bilah keris mustika itu…”
“Walah!”
Wiro berusaha menahan tawa dan garuk-garuk kepala, sementara Anggini sambil
senyumsenyum geleng-gelengkan kepala.
********************
Bagian 5
“Pangeran
Ipong, keyakinan kalian tidak berdasar. Kami berdua tidak tahu menahu soal
keris Nagasona itu.
Kami…”
“Tapi!”
memotong Pangeran Ipong dengan cepat. “Kalian berdua kami ketahui berada di
tepi jurang batu pualam. Kalau tidak ada sangkut pautnya dengan senjata-senjata
sakti itu, apa perlunya kalian jauh-jauh tersesat ke sana…?!”
“Pangeran,
apakah kau pernah mendengar nama Dewi Ular?” bertanya Wiro.
“Apa
sangkut paut perempuan jahat itu dengan urusan ini?!” bentak Ki Sepuh
Dulantara.
“Justru
Ratu Ular, guru Dewi Ular yang telah membunuh salah satu anggota kami!” tukas
Pangeran Ipong pula.
“Sudahlah,
sekalipun kita bertengkar sampai pagi dan pagi lagi tak ada gunanya. Dengan
jujur aku katakan aku tidak tahu menahu tentang sepasang keris Nagasona. Juga
tidak tahu kapan munculnya Bintang Kelimukus!”
“Dia
berdusta Pangeran!” kata Ki Sepuh Dulantara.
Pangeran
Ipong mengangguk. “Siapa percaya pada pemuda sableng yang mengenakan pakaian
perempuan ini! Paksa dia bicara! Kalau tidak mau memberi keterangan, hajar!
Kalau perlu sampai mampus!”
Mendengar
ucapan Pangeran Ipong, Anggini langsung melompat dari atas dangau. Ki Sepuh
Dulantara maju selangkah lalu berkata. “Kalian membangkang terhadap permintaan
pangeran! Berarti kalian membangkang terhadap kerajaan! Dengar dua anak muda.
Aku akan menangkap kalian secara baikbaik.
Tapi jika
tidak mungkin, jangan menyesal kalau kami menjatuhkan tangan kasar!”
Orang tua
ini lantas berikan isyarat pada delapan orang prajurit. Serta merta mereka yang
sejak tadi memang telah mengurung maju mendekat lalu menyergap.
“Kasihan!
Kalian hanya jadi korban perintah pangeran tolol!” teriak Anggini. Murid Dewa
Tuak berkelebat.
Tangan
dan kakinya bergerak. Pendekar 212 tidak ketinggalan. Dia tidak bergerak dari
tempatnya berdiri.
Tapi dua
tangannya lepaskan dua pukulan kosong.
Enam
jeritan mengumandang. Enam orang prajurit berpelantingan dan bergelimpangan di
tanah. Tiga kelihatan pegangi perut, dua menutupi mata yang bengkak sedang
satunya lagi melompat-lompat kesakitan sambil pegangi tulang keringnya yang
kena tendang Anggini dan serasa mau patah!
Dua
prajurit yang tidak sempat kena hantaman serta merta mencabut pedang
masing-masing. Yang diserang cepat merunduk lalu menyusup di bawah sambaran
pedang sambil menghantam. Kembali terdengar jeritan keras. Dua prajurit
mencelat mental. Yang satu muntah darah, satunya lagi menjerit berguling-guling
karena sambungan siku tangan kanannya hancur dikepruk Wiro Sableng.
Di atas
tandu Pangeran Ipong kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke samping.
Ternyata di atas bangku tandu ada sebuah busur kecil serta selusin anak panah.
Dengan gerakan cepat Pangeran Ipong mengambil busur itu dan merentang dua anak
panah sekaligus! Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dua anak panah melesat di
udara. Hebatnya walau lepas dari satu busur yang sama namun dua anak panah itu
mampu melesat pada dua sasaran yakni Wiro dan Anggini!
“Anggini
awas panah!” teriak Wiro memberitahu. Murid Dewa Tuak tanggalkan selendang
sutera ungu yang melilit di lehernya. Sekali selendang ini dikebutkan,
kekuatannya berubah seperti sepotong besi.
“Traakk!”
Anak
panah yang menyerang Anggini hancur berkeping-keping. Anak panah kedua yang
melesat ke arah Pendekar 212 tiba-tiba berbalik dan menghantam ke arah Pangeran
Ipong begitu murid Eyang Sinto Gendeng lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Pangeran ini terkejut bukan main. Dengan cepat
dia gerakkan tangan kanannya yang masih memegang busur.
“Traakk!
Traakk!”
Busur dan
anak panah sama-sama patah tapi sang pangeran sendiri selamat dari senjata
makan tuan!
“Pendekar
212 bukan nama kosong!” ujar Pangeran Ipong. “Aku mau lihat apa kau juga mampu
menerima serangan ini!” lalu dari atas bangku tandu diambilnya sekaligus
delapan buah anak panah. Dengan gerakan luar biasa cepat ke delapan anak panah
itu dilemparkannya ke arah Wiro. Delapan anak panah menyerang di delapan bagian
tubuh Pendekar 212. Dua di antaranya di bagian kepala dan satu mengarah leher.
“Ganas
sekali!” kertak Wiro. Dia melompat ke samping kiri seraya menghantamkan dua
tangan sekaligus.
Meski
enam anak panah sanggup dibuat mental namun anak panah ke tujuh menyusup di
bahu kiri pakaiannya. Terasa perih tanda ujung panah sempat mengiris daging
bahunya. Anak panah ke delapan yang mengarah pinggang tak sempat dielakkan sang
pendekar. Sebelum senjata itu menancap telak di tubuhnya dari samping Anggini
kebutkan selendang ungunya. Ujung selendang menghantam panah hingga patah
bermentalan.
Pangeran
Ipong berteriak marah. Dua anak panah yang masih ada di bangku segera
dilemparkan ke arah Anggini. Si gadis tak kalah marahnya Dia keluarkan jurus
“selendang dewa memagut naga menghancurkan matahari.”
Selendang
ungu di tangan Anggini memukul lurus ke depan. Bukan saja senjata andalannya
ini mampu membuat mental dan hancur dua buah anak panah yang datang menyerang
namun di lain kejap hampir tidak terlihat oleh Pangeran Ipong tahu-tahu selendang
ungu itu telah menggelung lehernya!
“Kau
boleh membuat gerakkan konyol apa saja Pangeran! sekali aku menyentakkan tangan
tulang lehermu akan remuk!”
Murid
Dewa Tuak memang tidak punya maksud membunuh pangeran berkaku lumpuh itu.
Maklum kalau si gadis tidak akan mencelakainya maka Pangeran Ipong berteriak
pada Ki Sepuh Dulantara. “Kau tunggu apa lagi?! Kau harus dapatkan keterangan
dari meeka Bagaimana caranya terserah!”
Ki Sepuh
Dulantara memandang tak berkesip pada Anggini, melirik ke arah Wiro. Dia sudah
lama mendengar kehebatan pemuda ini dan juga tindakan-tindakannya yang menjurus
pada kekurangajaran.
Walau dia
menganggap tingkat kepandaian Wiro masih di bawah Ratu Ular namun untuk mencari
perkara dengan pemuda ini dia harus pikir dua kali. Apalagi disaksikannya
sendiri bagaimana tadi Wiro dan Anggini menghajar delapan prajurit hingga babak
belur. Namun sebagai orang yang tunduk pada perintah Pangeran Ipong kalau dia
tidak berbuat apa-apa pasti sang pangeran akan marah besar terhadapnya.
“Pendekar
212, kami telah meminta secara baik-baik padamu agar memberi tahu apa yang kau
ketahui tentang kemunculan bintang Kalimukus….”
“Meminta
baik-baik dengan menyuruh delapan prajurit itu menyerang kami?!” tukas Wiro.
Anggini
menimpali. “Pangeranmu malah menyerang kami dengan selusin panah!”
“Kami
masih mau menyelesaikan urusan ini secara kekeluargaan. Jika kau membuat jasa
pada Pangeran Ipong masakan kerajaan tidak akan mengingat dan membalas
kebajikanmu itu…” ujar Ki sepuh Dulantara pula.
“Kalian
telah menjatuhkan tangan jahat! Mana kami mau percaya! Jika mau menganggap
urusan selesai sebaiknya kau gotong pangeramu itu cepat-cepat meninggalkan
tempat ini!”
“Ki
Sepuh! Lekas kau beri pelajaran pada pemuda kurang ajar itu!” teriak Pangeran
Ipong. Tak perduli walaupun lehernya masih dijerat selendang dia gerakkan
tangan kanannya ke balik jubah merah. Begitu tangan keluar Anggini melihat sang
pangeran menggenggam beberapa buah benda berbentuk bintang kepala enam, terbuat
dari besi tipis hitam. Senjata rahasia! Dari warnanya yang hitam jelas bintang
besi itu mengandung racun.
“Pangeran
apa yang hendak kau lakukan….?” tanya Anggini
“Kau
bertanya! Kau boleh mendapatnya lebih dulu!” jawab Pangeran Ipong. Lalu tangan
kanannya bergerak ke arah kepala Anggini. Maksudnya tentu saja hendak
melemparkan senjata rahasianya itu pada si gadis.
Tapi
Anggini yang dari tadi sudah bersikap waspada, apalagi selendangnya masih
melilit di leher sang pangeran tentu saja mampu bergerak lebih cepat. Begitu
ujung dua jari tangan kirinya menusuk punggung lelaki lumpuh itu, tubuh
Pangeran Ipong serta merta kaku. Dia seolah berubah jadi patung dengan tampang
mengerenyit sedang tangan kanan terangkat ke atas.
“Anak
gadis! Kau melakukan kesalahan besar!” teriak Ki Sepuh Dulantara. Orang tua ini
melompat ke arah Anggini. Selagi tubuhnya melayang di udara tangan kanannya
sudah bergerak mengirimkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi.
Yang
diserang tak tinggal diam. Apa yang dilakukan murud Dewa Tuak membuat Ki Sepuh
Dulantara berteriak kaget. Dia cepat tarik serangannya tapi terlambat.
Pukulan
tangan kosong yang dilepaskan orang tua berambut kelabu itu menghantam dada
Pangeran Ipong yang tubuh kakunya diangkat oleh Anggini dan dijadikan tameng
untuk melindungi dirinya!
Meski
dalam keadaan kaku akibat totokan Anggini namun begitu hebatnya hantaman
pukulan yang dilepaskan Ki Sepuh Dulantara tubuh Pangeran Ipong tampak
menggeliat. Mulutnya menganga mengeluarkan darah!
“Jahanam!
Kau membunuh pangeran kami!” teriak Ki Sepuh Dulantara marah sekali. Padahal
sang pangeran hanya pingsan. Tidak tunggu lebih lama dia segera menyerbu
Anggini. Murid Dewa Tuak siap menyambut serangan si orang tua namun dari
samping saat itu tiba-tiba saja Pendekar 212 memotong gerakannya. Melihat ada
yang berusaha menghalangi serangannya Ki Sepuh Dulantara berbalik dan memukul.
Wiro
angkat tangan dan menangkis.
“Bukkk!”
Dua
lengan saling beradu. Orang tua rambut kelabu mengeluh tinggi dan
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya yang sakit laksana dihantam
pentungan besi. Sebaliknya Wiro sendiri terjajar dua langkah. Ketika diperiksa
ternyata lengan kanannya tampak bengkak membiru. Sambil mengurut-urut lengannya
yang bengkak Wiro perhatikan Ki Sepuh Dulantara yang masih terbungkuk-bungkuk
kesakitan.
Pada saat
itulah selintas pikiran muncul dibenakknya. Meskipun sudah lanjut usia namun
orang tua ini masih memiliki tubuh kokoh dengan perawakan sama besar seperti
Wiro.
“Tinggi
sama. Besar dadanya juga sama denganku. Pasti ukuran pakaiannya … Hemmm…Mengapa
tidak kulakukan?” Memikir sampai di situ murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede
itu segera dekati Ki Sepuh Dulantara sambil tersenyum-senyum.
“Orang
tua, apakah kau akan meneruskan perkelahian?!” Wiro bertanya.
Merasa
diejek dengan pertanyaan itu, apalagi Wiro bicara sambil mengulum senyum Ki
sepuh Dulantara jadi marah sekali. Anggini sendiri terheran-heran melihat sikap
pemuda itu. “Apa yang ada dibenak si konyol itu,” pikirnya.
“Jahanam!
Makan tanganku!” teriak si orang tua lalu hantamkan satu jotosan ke kepala
Wiro.
Yang
diserang cepat menghindar. Begitu tangan si orang tua lewat didepannya Wiro
segera susupkan satu totokan ke ketiak lawan. Tapi Ki Sepuh ternyata cukup
gesit. Begitu berhasil menghindari totokan yang bisa melumpuhkan sekujur
tubuhnya itu, si orang tua lancarkan serangan kilat berupa pukulan tangan kiri
kanan.
Demikian
cepatnya serangan ini hingga yang terdengar hanya suara bak-buk-bak-buk. Tubuh
pendekar 212 terguncang keras beberapa kali lalu terpelanting dan jatuh duduk
di tanah. Dadanya mendenyut sakit.
Selagi
dia mencoba bangkit kaki kanan Ki Sepuh Dulantara datang menyambar.
“Orang
tua, sekarang giliranku!” teriak Wiro. Dengan salah satu kaki dia menghantam
tulang kering kaki kiri Ki Sepuh Dulantara yang berpijak di tanah.
“Patah!”
teriak murid Sinto Gendeng.
“Bukkk!”
Tendangan
Wiro mendarat tepat di tulang kering kaki Ki Sepuh Dulantara. Tapi kaki itu
tidak patah. Dia hanya terhuyung-huyung sedikit. Malah yang membuat Wiro jadi
geram ialah sewaktu dilihatnya Ki Sepuh Dulantara memandang padanya dengan
seringai penuh ejek.
“Gila!
Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini?” ujar Wiro dalam hati. “Tadi waktu
bentrokkan lengan jelas dia kesakitan. Rupanya kini dia mengeluarkan ilmu kebal
aneh!” Selagi lawan masih terhuyung-huyung dia cepat menyergap dan hantamkan
empat jotosan di dada orang. Lagi-lagi Wiro jadi terperangah ketika dia merasa
bagaimana empat kali dia menjotos dada empat kali dia seperti menghantam
tumpukan kapas empuk! Penasaran Wiro lancarkan lagi pukulan keras berulang
kali. Kini yang dihantamnya adalah perut orang tua itu. Lama-lama tangannya
seperti kesemutan. Dengan muka keringatan dan nafas mengengah Wiro hentikan
serangannya,menatap si orang tua dengan pandangan heran.
“Nama
besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata hanya nama kosong belaka! Aku
mau lihat sampai dimana kekuatan tulang belulangmu!” Ki Sepuh Dulantara tutup
ucapannya dengan satu gerakan kilat. Tangan kiri mencekal tengkuk sang pendekar
sedang tangan kanan mencengkeram pinggang pakaiannya. Tubuh Wiro diangkatnya ke
atas diputarnya beberapa kali lalu dilemparkannya ke arah danau.
“Brakkk!”
Dua buah
tiang dangau yang terbuat dari bambu patah karena hantaman tubuh Wiro hingga
bangunan yang memang sudah agak lapuk itu roboh berantakan.
Wiro
tentu saja menderita kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang. Namun
yang berteriak justru orang tua berambut kelabu itu. Apa yang terjadi? Ketika
tubuhnya diangkat ke atas dan diputarputar beberapa kali, sebelum dilemparkan
ke danau Wiro susupkan dua tangannya mencengkeram bahu baju yang dikenakan Ki
Sepuh Dulantara. Begitu tubuhnya dilempar dia cepat merenggut. Akibatnya baju
tak berkancing yang melekat ditubuh orang tua terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh
Dulantara tegak dalam keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.
Tenang
saja malah sambil senyum-senyum Wiro bangkit berdiri lalu cepat kenakan baju
yang berhasil dirampasnya itu.
“Bangsat
kau benar-benar mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan bajuku!”
teriak Ki Sepuh Dulantara marah.
“Kalau
kau punya kemampuan silahkan ambil sendiri!” sahut Wiro. Lalu dia melompat dan
lancarkan tendangan ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh Dulantara
bukannya menghindar tapi malah angkat kaki kanannya menyongsong tendangan
dengan tendangan!
“Pasti
dia akan mengandalkan ilmu empuk-empuk itu!” pikir Wiro. “Silahkan saja! Kali
ini dia akan kutipu!”
Begitu
kaki kanan Ki Sepuh Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping. Dari
samping dia gunakan tangan kanan untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi
sambil tangan kirinya mendorong ke arah yang berlawanan.
Akibatnya
tak ampun lagi Ki Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah. Selagi orang tua
itu terhenyak nanar, Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram kaki celana
panjang yang dikenakan orang tua ini lalu membetotnya dengan sekuat tenaga.
“Kurang
ajar! Hai!”
Apa yang
terjadi dapat dibayangkan. Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah
telanjang kini orang tua itu benar-benar bugil karena ternyata dibawah
celananya itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Wiro
lambaikan celana milik Ki Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak dekat
tandu lalu berkelebat ke balik runtuhan dangau. Anggini yang mengerti isyarat
Wiro segera pula berkelebat mengikuti.
“Bangsat,
jahanam!” teriak Ki Sepuh Dukantara. “Kembalikan pakaianku! Hei! Kembalikan
pakaianku!”
“Aku akan
perintahkan pasukan mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan tahu rasa”
berteriak Pangeran Ipong.
Wiro
tidak perdulikan teriakan kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini dia
terus berlari.
“Lumayan
dapat pakaian. Sekarang aku tidak seperti banci lagi. Mengenakan pakaian
perempuan…”
“Bagusnya
pakaian itu kau cuci dulu. Siapa tahu dia mengidap penyakit kulit. Kau bisa
budukan!” kata Anggini pula lalu tertawa cekikikan.
Seratus
lima puluh hari setelah jatuhnya Dewi Ular dan manusia paku Sandaka ke dalam
jurang batu pualam….
Saat itu
menjelang sang surya akan tenggelam ke ufuk barat. Di dinding timur jurang yang
mulai redup temaram kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian kemari
seolah seekor kunang-kunang yang terbang melayang. Namun sesekali cahaya itu
tampak melesat panjang disertai suara bersiur dan membersitnya hawa dingin.
“Bagus
sekali! Hebat! Dasar tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali dulu kau
menginjakkan kaki di tempat ini! Tidak percuma aku menggemblengmu. Walau kurang
dari setengah tahun tapi aku sudah bisa yakin kau bakal dapat menggusur kakek
keparat di jurang barat sana! sekarang aku perlu menjajalmu untuk terakhir
kali! Kau sudah siap Dewi Ular?!” Yang bicara adalah si nenek gendut Kunti Rao
berjuluk Iblis Daun Setan.
“Nenek
guru, tentu saja saya sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku emas
yang tadinya sudah butut menghitam kau asah ujungnya hingga kembali ke
bentuknya yang asli. Kuning emas berkilat!”
Terdengar
suara menjawab. Ini adalah suara kunti Ambiri alias Dewi Ular. Saat itu kedua
perempuan tersebut berada di depan goa batu, di lereng barat jurang batu
pualam. Demikian terjalnya dinding jurang jangankan bergerak dan membuat
gerakan-gerakan silat, berdiri saja sangat berbahaya. Sekali seseorang
tergelincir pasti akan disambut maut di dasar jurang yang ada kawah mendidih
serta puluhan batu-batu lancip. Tapi luar biasanya Dewi Ular justru bergerak
kian kemari, memainkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya sejak seratus
lima puluh hari lalu dari Kunti Rao. Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi
Ular memang merupakan ilmu silat langka. Namun yang lebih luar biasa adalah
paku hitam yang berada dalam genggaman tangan kanannya.
Paku
hitam itu dulu adalah paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke
pusar Dewi Ular hingga perempuan setengah manusia setengah iblis ini musnah
ilmu kesaktiannya yang ganas. Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu
ke dinding batu di sekitarnya, berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning
emas. Namun dia hanya mampu mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.
Itupun
hanya setengah panjang kuku jari kelingking. Tetapi kesaktian yang keluar dari
ujung yang secuil itu sungguh luar biasa!
Dewi ular
memegang paku pada bagian kepalanya. Seutas tali diikatkan pada bagian bawah
kepala paku.
Selanjutnya
ujung lain diikatkan ke lengan perempuan itu hingga dalam keadaan bagaimanapun
paku itu sulit terlepas dari tangannya.
********************
Bagian 6
“Dewi
Ular! harap kau simpan dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan menjajal
tenaga luarmu, gabung dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu baru yang kuajarkan.”
“Saya
siap guru!” kata Dewi Ular. Dia cepat menyimpan paku hitamnya lalu tegak
memasang kuda-kuda.
“Lihat
serangan!” teriak Kunti Rao. Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan. Rambutnya
yang acakacakan berakibat sebat. Dua tangannya menghantam berbarengan.
Dewi Ular
geser sedikit ke dua kakinya ke samping. Lalu dengan gerakan tak kalah cepat
dia songsong serangan dua tinju si nenek dengan balas menyerang, mempergunakan
ke dua tinjunya pula. Terjadilah hal yang hebat. Empat jotosan saling berada
menimbulkan suara keras. Bukan cuma satu kali. Tapi berulang kali dan dalam
gerakan sangat cepat. Dalam waktu singkat saja terjadi saling adu jotos
sebanyak seratus kali!
“Bagus!”
seru Kunti Rao seraya mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang kelihatan
merah. Hal yang sama juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah
namun sama sekali tidak cedera. Lecet sajapun tidak.
“Kau
boleh ikatkan paku hitam itu kembali ke pergelangan tanganmu,” kata Kunti Rao.
“Dan siap dengan ujian berikutnya!”
Dewi Ular
keluarkan paku hitam dari balik pakaiannya lalu mengikatkan tali paku ke
pergelangan tangannya sebelah kanan.
“Lihat
serangan!” Kunti Rao kembali berteriak keras.
Tangan
kanannya dipukulkan ke arah dada Dewi Ular. Serangan yang dilancarkan perempuan
gemuk berambut merah acak-acakan dan mengaku berusia lebih enam puluh tahun itu
bukan serangan mainmain.
Jangankan
tubuh manusia, dinding batu sekalipun sanggup dihantamnya sampai hancur.
Dewi Ular
selaku orang yang diserang bukan tidak tahu kalau bahaya maut mengancam
jiwanya. Tapi penuh percaya diri dia bersikap diam. Dia sengaja menunggu.
Begitu jotosan Kunti Rao hanya tinggal satu jengkal dari dadanya baru dia
gerakkan tangan kanan yang memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna
kuning keemasan.
Satu
sinar kuning menyilaukan menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa dingin
menggidikkan.
Kunti Rao
merasa tangan kanannya mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari laksana
kesemutan.
Tangannya
tak bisa maju lagi. Berarti serangannya tak mampu mencapai sasaran yaitu dada
Dewi Ular.
Kunti Rao
coba memaksa. Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya yang gembrot basah oleh
keringat dan kelihatan sangat merah. Rasa kesemutan lenyap tapi bagaimanapun ia
mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tidak mampu menghantam Dewi Ular.
Di
hadapannya Dewi Ular walaupun di luar tampak tenang namun sebelah dalam
tubuhnya terasa seperti diremas-remas. Rahangnya dikatupkan kencang-kencang
menahan rasa sakit aneh yang seperti hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya.
Keringat membasahi badannya.
“Luar
biasa! Aku tak sanggup bertahan!” keluh Dewi Ular dalam hati. Dia segera pegang
kepala paku hitam.
Ujungnya
ia arahkan pada Kunti Rao. Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke paku hitam itu,
ujungnya yang berwarna kuning emas mengeluarkan sinar terang menyilaukan.
Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti angin menderu dibarengi menebarnya
hawa dingin menggidikkan.
Kunti Rao
menjerit keras ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku menyambar
tangannya yang masih terpentang dalam sikap memukul. Hawa dingin menyerang
sekujur badannya. Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan kati itu
terpental, terbanting keras ke dinding goa batu. Kunti Rao mengeryit menahan
sakit. Dadanya yang besar berguncang turun naik. Dia cepat duduk bersila di
lantai batu, atur jalan nafas dan peredaran darah. Sepasang matanya yang sipit terpejam.
“Kau
berhasil menguasai ilmu itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas…. Tapi jangan
lengah! lihat serangan!”
Tiba-tiba
si gendut berteriak. Tubuhnya yang tadi duduk seperti membal ke atas. Bersamaan
dengan itu tangannya bergerak mencabut empat helai daun besar yang menutupi
auratnya.
“Wuttt!
Wuuuttt! Wuttt! Wutttt!”
Empat
lembar daun lontar mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang
menyambar. “Bettt! Bettt! Betttt! Bettt!” Dewi Ular acungkan tangan kanannya
yang memegang paku. Paku hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar.
Empat lembar daun lontar yang menyerang tampak ikut berputar di udara lalu
berpelanting ke empat penjuru.
“Clep!
Clep! Clep! Clep!”
Empat
lembar daun itu menancap sampai setengahnya pada dinding batu goa!
Dewi Ular
rasakan tengkuknya menjadi dingin. “Dia tidak main-main mengujiku! Terlambat
aku menangkis pasti saat itu aku sudah menjadi mayat!”
“Bagus!
Aku senang! tidak sia-sia aku menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat tapi
kau dapat menguasai semua ilmu! Dengan kepandaian itu kau bisa membantuku
menamatkan riwayat Datuk Sipatoka.
Dia akan
tahu rasa nanti!”
Dewi Ular
ikut duduk dihadapan si gemuk Kunti Rao.
“Guru
saya sangat berterimakasih padamu. Bukan saja karena kau telah mengajarkan ilmu
kepandaian yang hebat.Tapi lebih dari itu kau telah mengembalikan hasrat untuk
hidup dalam diriku….”
Kunti Rao
tertawa lebar. “Kau harus hidup, kau harus percaya diri. Bukan saja karena aku
perlu bantuanmu tapi bukankah kau juga ingin membalaskan dendam kesumatmu pada
dua orang pemuda itu…?”
Dewi Ular
mengangguk. “Saya tidak akan lupakan dua manusia jahanam itu. Sandaka….
Pendekar 212.
Tunggu
pembalasanku. Kalian akan kubikin lumat! Kalian akan mati hancur, luluh dan
tanpa kubur!”
“Satu hal
lagi jangan dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus mendapatkan
sepasang keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang tidak ada
duanya!”
Dewi Ular
mengangguk. “Jangan khawatir guru. Bila tiba saat datangnya petunjuk itu, saya
rela mengorbankan nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah
mendidih….”
Kunti Rao
tertawa panjang. Dia pegang bahu Dewi Ular dan menepuknya beberapa kali. “Kau
murid baik!
Baik dan
hebat!”
Dewi Ular
menggeser duduknya lebih dekat kehadapan sang guru. Kepalanya ditundukkan
seolah-olah hendak memberikan penghormatan sebagai ucapan terima kasih. Tetapi
tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke atas. Perutnya mengempis. Nafasnya
sesaat ditahan. Inilah satu pertanda bahwa dia tengah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya.
Ujung
paku yang berada dalam pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang
menyilaukan.
Kunti Rao
tidak tahu apa yang hendak dilakukan muridnya itu. Mendadak sontak paku hitam
telah menancap ditenggorokannya!
“Dew….
Dewi Ular… Apa yang kau lakukan ini?! Perempuan Jahanam! Dasar manusia berhati
ular…!”
tampak
meringis ganas. Tangannya yang memegang paku ditekannya hingga paku itu
menancap semakin dalam ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi
leher dan tubuh sebelah atas si nenek gendut itu, juga membasahi tangan Dewi
Ular sampai ke siku.
“Jahanam
penghianat!” teriak Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi dia tak mampu
melakukan pukulan. Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit dan
berwarna kemerahan. Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai sesak.
Dewi Ular
terus mengumbar tawa. “Kunti Rao…” katanya langsung menyebut nama orang yang
biasanya dipanggilnya dengan sebutan nenek atau guru itu. “Kau manusia sakti
paling bodoh di dunia. Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini, apa
kau kira cuma kau seorang yang ingin memilikinya? Apa cuma kau seorang yang
ingin jadi raja di raja dunia persilatan? Semua orang menginginkan kedudukan
itu.
Termasuk
aku! Hik…hik…hik!”
“Jahanam!
Perempuan jahanam!” maki Kunti Rao. Tapi suaranya mendadak jadi perlahan bahkan
menghilang. Matanya yang sipit semakin merah, bergerak liar. Lidahnya ikut
bergerak. Lalu semuanya itu berhenti bergerak. Dadanya yang tadi turun naik
kini diam. Sesaat kemudian kepalanya terkulai ke kiri.
Dewi Ular
tersenyum. Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan perempuan
gemuk itu.
Asap biru
keluar mengepul dari luka bekas tusukan. Dewi Ular mengumbar tawa lalu bangkit
berdiri, keluar dari dalam goa.
Di depan
goa Dewi Ular menghirup udara segar dalam-dalam. Saat itu senja telah memasuki
malam.
Udara di
dalam jurang batu terasa sangat sejuk. Dewi Ular timang-timang paku yang
tergantung di pergelangan tangan kanannya. Dalam hati dia berkata. “Aku hanya
tinggal menunggu munculnya bintang Kalimukus itu.
Kunti Rao
bicara banyak tentang bintang dan sepasang keris di dasar jurang. Aku pasti
mampu mendapatkan dua senjata mustika itu. Hemm… begitu aku mendapatkannya
pertama sekali akan kucari dua manusia terkutuk itu. Pendekar 212 Wiro Sableng,
Sandaka… kalian tak bakal bisa lolos dari tanganku!”
Dewi Ular
goyangkan paku hitam di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat
menyilaukan lalu lenyap dalam kegelapan malam.
Lalu dia
ingat pada mayat Kunti Rao yang ada dalam goa. “Mayat itu harus disingkirkan
dulu sebelum busuk!” Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia membungkuk untuk
mencekal kaki perempuan gemuk itu lalu menyeretnya ke luar goa. Tapi baru saja
ia memegang kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao melesat.
“Bukkk!”
Dewi Ular
terpekik tubuhnya terpelanting ke pintu goa. “Keparat! Belum mati dia rupanya!”
Sambil
menahan sakit di dada kirinya yang kena tendangan, Dewi Ular masuk kembali ke
dalam goa.
Saat itu
dilihatnya Kunti Rao berusaha bangkit berdiri.
“Kau
boleh punya tujuh nyawa! Tapi ini akan menamatkan riwayatmu!” Dewi Ular putar
paku hitam di tangannya. Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti Rao.
Perempuan gemuk ini menjerit keras.
Darah
mengucur deras membasahi mukanya yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan
seperti muka setan. Sebelum tubuhnya jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa
bergerak mencabut dua lembar daun lontar. Lalu “bet…bet!” Dua lembar daun itu
laksana lempengan besi menyambar ke perut dan kaki Dewi Ular.
“Benar-benar
jahanam!” maki Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu larik cahaya
kuning terang menyambar. Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan
hancur berantakan. Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding
goa.
Sosok
Kunti Rao kembali kelihatan berusaha bangkit. Kali ini Dewi Ular tak mau
memberi kesempatan.
Sambil
melompat dia kembali hujamkan paku hitam di tangannya. Sinar kuning kembali
berkiblat. Paku hitam kembali menancap di dada kiri Kunti Rao, tepat di detak
jantungnya! Kali ini bagaimanapun sakit dan kuatnya perempuan bergelar Iblis
Daun Setan itu, ketika jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas
meninggalkan tubuh!
Di
dinding barat jurang batu pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa
ketika tiba-tiba di arah timur dia melihat ada cahaya kuning menyambar ke
sebelah atas jurang lalu lenyap dalam kegelapan.
Orang tua
berkepala botak biru ini berpaling ke samping.
“Sandaka
kau lihat sinar kuning tadi?!”
Di sebelah
si kakek tegak seorang pemuda berpakaian kotor. Pakaian ini pemberian Datuk
Sipatoka hingga dia kini tidak lagi mengenakan cawat. Tubuhnya yang penuh
tancapan paku kini tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan
dari paku-paku yang dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu. Pemuda
ini adalah Sandaka yang sejak seratus lima puluh hari lalu berada bersama si
kakek di tempat itu.
“Aku
melihat. Sinarnya terang sekali lalu lenyap,” jawab Sandaka.
“Aneh
selama puluhan hari jurang sebelah timur itu sunyi senyap. Tak terdengar suara
apapun. Lalu malam ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning. Aku yakin sinar itu
muncul dari arah depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao. Jangan-jangan dia
telah menemukan satu ilmu baru.”
“Kalau
memang begitu berarti kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian yang
telah kau ajarkan selama ini,” ujar Sandaka pula.
Datuk
Sipatoka terdiam. Beberapa lama dia melangkah mondar-mandir di dalam goa.
”Datuk,
lupakan apa yang kita lihat tadi. Bukankah kau sudah berjanji malam ini kita
akan mengadakan latihan sampai pagi?”
“Mungkin
tak jadi. Hatiku tiba-tiba saja kacau balau…. Hai! Kau dengan suara sesuatu
Sandaka?” tanya Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.
“Seperti
suara jeritan…”
Datuk
Sipatoka mengangguk. “Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa melihat apa
yang terjadi di sana!”
“Kalaupun
siang sama saja. Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut tebal. Kita
tidak bisa melihat apa-apa,” kata Sandaka.
Selagi
dua orang itu terdiam dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di kejauhan
terdengar suara sesuatu.
“Sandaka!
Dengar! Ada sesuatu yang jatuh ke dasar jurang!”
“Tubuh
manusia! Aku yakin tubuh manusia!” kata Sandaka seraya mementang mata berusaha
menembus kegelapan malam.
Sesaat kemudian
jauh di bawah sana, dalam kegelapan terdengar suara sebuah benda mencebur ke
dalam air jurang yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.
“Bagaimana
kau bisa yakin itu tubuh manusia…?” Datuk Sipatoka ajukan pertanyaan.
“Kalau
batu pasti akan menimbulkan suara berdentang dan gaung keras serta panjang di
dasar jurang.
Jadi tak
bisa tidak yang barusan jatuh itu adalah tubuh manusia….”
“Otakmu
cerdas! Aku sependapat denganmu. Tapi…” Datuk Sipatoka usap-usap kepala
botaknya.
“Menurutmu
siapa yang jatuh ke dasar jurang itu? Si kuda nil Kunti Rao?”
“Di
jurang sebelah timur sana cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa mungkin
ada orang lain?”
Datuk
Sipatoka lama termenung. Akhirnya dia berkata. “Sebentar lagi kita akan tahu
siapa yang barusan kecebur ke dasar jurang!”
Lalu
kakek botak ini melangkah ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke arah
dinding jurang sebelah timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.
“Kunti
Rao! Puluhan hari kau mendekam membisu! Apa kau masih hidup?!” Teriakan Datuk
Sipatoka bergaung melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.
“Tak ada
jawaban…” katanya perlahan pada Sandaka. “Jangan-jangan perempuan itu memang
sudah jadi bangkai di dasar jurang!”
“Biar aku
yang memanggil” berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam dan
berteriak.
Suara
teriakannya menggelegar dalam kegelapan malam di jurang angker itu, membuat
Datuk Sipatoka sendiri terkesima kagum.
“Kunti
Rao! Orang memanggil mengapa tidak menjawab? Apa tiba-tiba kau menjadi tuli
atau bisu? Atau rohmu sudah gentayangan saat ini di alam akhirat?! Atau kau
ikut menghadapi kenyataan bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di
tempat ini?!”
“Bagus
teriakanmu pasti akan membuatnya marah. Kalau manusia bertubuh kuda nil itu
masih hidup pasti dia akan menjawab garang!” kata Datuk Sipatoka sambil
senyum-senyum.
Di
dinding jurang batu pualam sebelah timur Dewi Ular yang baru saja melemparkan
mayat Kunti Rao ke dalam jurang pasang telinga, kerenyitkan kening.
“Menurut
Kunti Rao di sebelah barat sana memang ada seorang kakek musuh bebuyutannya
bernama Datuk Sipatoka. Tapi barusan aku jelas mendengar teriakan dari dua
suara yang berbeda. Berarti ada dua orang di tempat itu.”
Di
dinding barat Datuk Sipatoka memandang pada Sandaka. “Tak ada jawaban…”
katanya. “Berarti memang perempuan itu sudah menemui ajal! Mati di dasar
jurang…”
“Perlu
kita uji dulu Datuk…” jawab Sandaka. Lalu pemuda itu melangkah lebih dekat ke
pinggir jurang.
Kedua
kakinya dikembangkan. Aneh, sesaat kemudian bagian perutnya seperti ada cahaya.
“Goa di
dinding timur itu terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian paku
dan tingginya tenaga dalammu, kau tak bakal mampu….”
“Kita
coba dulu Datuk. Paling tidak untuk membuat perempuan itu kaget!” sahut Sandaka
pula. Habis berkata begitu dia hentakkan kaki kanannya. Batu di sepanjang
pinggiran sungai bergetar keras.
Bersamaan
dengan itu dari selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan, berkelebat
ke arah jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada. Perempuan ini terkejut
sewaktu belum lama dia melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu sudah
menyambar di samping kiri goa, membuatnya cepat menyingkir ke kiri.
Dinding
batu yang barusan kena sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa saja. Tidak
berubah warna ataupun bentuknya. Tapi ketika dia mengulurkan tangan meraba
bagian yang terkena sambaran cahaya tadi, Dewi Ular jadi berdebar. Lapisan luar
dinding batu itu ternyata telah gugus, hancur menjadi pasir.
“Kunti
Rao! Sayang kau sudah mampus rupanya!”
Dewi Ular
melengak ketika kembali dari arah dinding jurang sebelah barat terdengar suara
teriakan.
Perempuan
ini tak bisa lagi menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam dan
berteriak.
“Datuk
keparat! Jadi kau masih hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik… hik…
hik….!”
“Ada
suara teriakan!” ujar Sandaka.
“Betul!
Tapi itu bukan suara Kunti Rao!” kata Datuk Sipatoka terheran-heran.
“Berarti
disana juga ada dua orang…” kata Sandaka.
“Kau
bukan Kunti Rao! Mana perempuan itu! Aku hanya mau bicara dengannya!” teriak
Datuk Sipatoka.
“Manusia
sepertimu tidak layak bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup sampaikan
padaku!”
********************
Bagian 7
“Sialan!”
maki Datuk Sipatoka sambil memandang pada Sandaka. Lalu dia berteriak. “Aku
tidak kenal perempuan kecoak macammu! Memangnya kau siapa?!”
“Aku Dewi
Ular bekas murid Kunti Rao alias Iblis Daun Setan!”
Datuk
Sipatoka dan Sandaka langsung melengak kaget. Keduanya sampai tersurut satu
langkah dan saling pandang dengan mata melotot.
“Dewi
Ular…” desis Sandaka.
“Dewi
Ular…” ujar Datuk Sipatoka.
“Tidak
mungkin! Mustahil! Benar-benar tidak masuk akal!” kata Sandaka sambil kepalanya
dipalingkan ke arah dinding timur jurang batu pualam. “Aku membacok tubuhnya
dua kali dengan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga yang
menendangnya masuk ke dalam jurang! Aneh kalau sekarang dia masih hidup dan ada
di dinding jurang di sebelah sana!”
“Jangan-jangan
ini tipu daya Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular. Sengaja hendak
menyiasati kita…” Kata Datuk Sipatoka pula.
Sandaka
menggeleng. “Aku kenal benar suara tadi. Itu memang suara Kunti Arimbi alias
Dewi Ular….
Manusia
jahanam itu kalau memang dia masih hidup aku bersumpah akan membunuhnya untuk
yang kedua kali!”
Datuk
Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya dia tengah
berpikir keras.
“Kita
harus mampu menyingkap keanehan ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao?
Bagaimana Dewi Ular tahutahu ada di sana….”
“Memang
sulit dipercaya. Jangan-jangan waktu dia kutendang jatuh ke dalam jurang ada
yang menolongnya….”
“Kunti
Rao…?” Datuk Sipatoka kembali usap-usap kepala botaknya.
“Biar aku
bicara padanya! Biar dia tahu kalau aku musuh besarnya berada di tempat ini!”
kata Sandaka.
“Jangan!
Kurasa ada baiknya kau merahasiakan keberadaanmu di tempat ini,” kata Datuk
Sipatoka cepat.
“Biar aku
saja yang bicara!” Lalu Datuk Sipatoka berteriak. Teriakannya diarahkan ke
dinding jurang sebelah timur. “Kunti Rao jangan kau mengaku-ngaku sebagai Dewi
Ular! Apa kau kira aku takut padamu? Atau kau sengaja menyiasatiku karena sadar
tak bakal lolos dari tangaku?!”
Di
dinding timur jurang batu pualam terdengar suara tertawa melengking.
“Dewi
Ular tidak pernah memalsu diri! Kalau kau punya kemampuan silahkan datang ke
sini!”
“Sialan!”
maki Datuk Sipatoka . Tentu saja dia tidak mungkin datang ke tempat Dewi Ular
berada.
Di
samping Sandaka berkata. “Tadi dia menyebut dirinya sebagai bekas murid Kunti
Rao. Tanyakan apa maksudnya…”
Datuk
Sipatoka lantas berteriak menanyakan. “Aku Datuk Sipatoka tidak percaya kalau
kau adalah Dewi Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti Rao!
Lagi pula apa maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao?!”
“Itu
bagus! Orang tolol semacammu musti banyak bertanya agar tidak buta keadaan!”
sahut Dewi Ular yang membuat Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak pelipisnya dan
menggembung rahangnya saking marah.
“Kunti
Rao sudah tidak ada lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang!
Kalau kau untung rohnya mungkin akan menemuimu! Hik…hik…hik…!”
“Apa yang
terjadi dengan perempuan itu?!” Tanya Datuk Sipatoka berteriak.
“Aku
telah membunuhnya!” jawab Dewi Ular yang membuat sangat terkejut sang Datuk dan
Sandaka.
“Ilmumu
memang tinggi. Tapi untuk mampu membunuh Kunti Rao aku tidak percaya!” teriak
Datuk Sipatoka.
Bagaimanapun
juga kalau Kunti Rao sampai mati maka dia ingin musuh bebuyutannya itu mati di
tangannya.
Di jurang
sebelah timur kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular. “Tidak percaya itu
urusanmu sendiri!
Aku tahu
banyak tentang permusuhanmu dengan Kunti Rao. Aku juga tahu banyak tentang
sepasang keris sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini! Selama aku
masih hidup jangan harap kau dapat bakal menguasai dua senjata bertuah itu!”
“Kau
boleh mimpi Dewi Ular! Kalau tiba saatnya kau akan berhadapan denganku!
Bersiap-siaplah untuk mencari nyawa cadangan!”
“Tua
bangka takabur! Kau menyusul akan kupendam di dasar jurang agar rohmu bias
menyusul roh Kunti Rao! Hik…hik…hik…!”
Awal
bulan ke tujuh menjelang perayaan besar Sekaten, di kawasan bebukitan batu
pualam terlihat kesibukan-kesibukan tidak seperti biasanya. Hari pertama satu
rombongan besar berkuda dari Kotaraja kelihatan bergerak ke arah selatan dimana
terletak jurang batu pualam. Rombongan ini terdiri dari duapuluh prajurit, dua
orang perwira muda, seorang perwira tinggi yang mengawal sebuah kereta di dalam
mana kelihatan duduk Pangeran Ipong Nalakudra. Lalu disitu jua ada seorang tua
berambut dan berjanggut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh Dulantara. Di
sebelah orang tua ini menunggang kuda seorang nenek berpipi dan bermata sangat
cekung. Dia mengenakan jubah hitam yang permukaannya berbulu kasar.
Jubah ini
berbentuk aneh karena pada bagian ketiak bergelembung. Pada dua ujung lengan
mengembang dan pada bagian bawah mekar. Di bagian punggung jubah hitam berbulu
ini kelihatan lembaran kain tebal juga berwarna hitam dan berbulu, tidak beda
seperti sehelai mantel.
Sepanjang
perjalanan dia tidak pernah bicara. Kedua matanya seolah nyalang terus jarang
kelihatan berkedip. Perempuan tua ini adalah sahabat dekat Ki Sepuh Dulantara,
dikenal dengan julukan Kelelawar Berjubah Hitam. Pangeran Ipong sebenarnya tidak
suka dengan nenek satu ini. Namun karena dia memiliki kepandaian khusus maka
mau tak mau sang pangeran harus menerima kehadiran si nenek untuk membantu.
Rombongan
besar dari Kotaraja ini berhenti lalu membuat kemah tak berapa jauh dari tepi
selatan jurang batu pualam.
Hanya
beberapa saat saja setelah Pangeran Ipong sampai di tempat itu, dibagian lain
dari jurang, terhalang oleh batu-batu besar berkelebat cepat satu bayangan
hijau. Demikian cepatnya dia berkelebat, bukan saja tidak mengeluarkan suara
tapi kedua kakinya pun seolah tidak menjejak bebatuan di bukit-bukit yang
mengelilingi jurang batu pualam itu. Di satu tempat dia berhenti dan memandang
berkeliling. Karena tempat ini agak ketinggian maka dia mampu melihat keadaan
sekitarnya dengan jelas, termasuk pinggiran jurang batu pualam yang hanya
tinggal belasan tombak saja di bawahnya.
“Tempat
ini cukup baik untuk mengawasi keadaan…” kata orang itu dalam hati. Ternyata
dia adalah si Ratu Ular yang kini mengenakan sehelai jubah hijau berkilat
diatas pakaiannya berbentuk kemben. Sesaat dia memandang ke langit pagi yang
cerah. “Bintang Kalimukus…” desisnya. “Aku ingin melihatmu lebih dulu dari yang
lain-lainnya. Hmmmm… baru rombongan pangeran lumpuh itu yang terlihat di
sekitar sini.
Pangeran
kurasa nasibmu bakalan jelek. Kau akan lumpuh seumur-umur. Jangan mengharap
sepasang keris mustika itu akan kau dapatkan!” Ratu Ular memandang ke arah
selatan dimana Pangeran Ipong dan rombongannya berkemah. “Apa benar banyak yang
sudah tahu kalau bintang Kalimukus akan muncul pada malam Sekaten? Aneh, sampai
saat ini aku masih belum menemui jejak Dewi Ular. Dimana anak itu sekarang…?”
Hari ke
tiga awal bulan ke tujuh.
Pagi
terasa sejuk dan cerah. Di atas sebatang pohon berdaun lebat, tak berapa jauh
dari mulut jurang sebelah tenggara, dua orang kelihatan duduk di atas cabang
pohon sambil bercakap-cakap dengan suara rendah.
“Mungkin
kita terlalu cepat datang ke tempat ini Wiro,” dara berpakaian serba ungu
berkata. Dia bukan lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak.
Pemuda yang
duduk di sebelahnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng menjawab. “Mungkin benar,
mungkin tidak….”
“Maksudmu?”
“Hari
Sekaten hanya tinggal satu hari dari sekarang. Kita melihat bagaimana rombongan
Pangeran Ipong sudah lebih dulu datang. Lalu tadi kau bilang seperti melihat
ada bayangan hijau berkelebat di sebelah sana.
Aku yakin
itu sosok Ratu Ular. Setelah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna rupanya
pengetahuannya tentang sepasang keris pusaka itu jadi bertambah. Kalau tidak
ingin menguasainya apa juntrungannya dia muncul di sini…?”
“Kau
sendiri mengapa begitu yakin kalau bintang Kalimukus yang jadi petunjuk itu
akan muncul pada malam Sekaten?” tanya Anggini.
“Seorang
abdi dalem di Keraton yang pernah kuselamatkan jiwanya memberitahu. Katanya
satu malam dia mendengar pembicaraan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara.
Mereka yang lebih dulu tahu petunjuk itu dari seorang pertapa di lereng Merapi.
Tapi setelah memberi tahu si pertapa itu juga mengatakan bahwa dia akan turun
dari pertapaan untuk mengadu nasib mendapatkan sepasang keris jantan betina
Nagasona.
Pangeran
Ipong yang khawatir keduluan lalu memerintahkan Ki Sepuh Dulantara untuk
membuat si pertapa tidak berdaya…”
“Pangeran
itu menyuruh bunuh si pertapa?” tanya Anggini.
“Membunuh
secara pelan-pelan…” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Membunuh
pelan-pelan bagaimana?” Anggini tidak mengerti.
“Pertapa
malang itu dirantai tangan dan kakinya lalu besi diikatkan pada sebatang pohon
besar. Sepuluh duapuluh hari dia bisa bertahan. Tapi kalau sampai berbulan-bulan
apa dia tidak akan mati kelaparan…?”
Sepuluh
tombak dari pinggiran jurang batu pualam dua ekor kuda hentikan lari mereka
lalu meringkik keras.
Orang
gemuk yang tidur mengorok di atas susunan batang-batang pinang menggeliat.
Kepalanya diangkat sedikit. Memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu setelah
menatap ke langit dia bangkit dan duduk.
“Ah,
sudah sampai kita rupanya…” kata si gendut ini yang bukan lain adalah Si Raja
Penidur, dedengkot dunia persilatan yang telah berusia lebih dari seratus
delapan puluh tahun. Dia cabut pipanya dengan tangan kiri sementara tangan
kanan mengucak-ucak sepasang matanya. “Sialan! Kenapa cepat-cepat sampai!
Padahal aku masih ingin tidur! Mimpi-mimpi bagusku tadi jadi terputus!
Huahhhhh!” Si gemuk menguak lebar-lebar lalu hisap pipanya dalam-dalam. “Dua
ekor kuda. Kalian tentu keletihan. Kalian boleh pergi kemana saja. Tapi ingat
pada saat aku mau pulang kalian harus ada di sini!” Si Raja Penidur melompat
turun dari atas susunan batang pinang. Tali-tali yang mengikatkan batang-batang
pinang ke punggung dua ekor kuda dibukanya. Lalu susunan batang pinang itu
diturunkan, diletakan di kaki sebuah batu besar.
Sekali
lagi si gendut ini hisap pipanya dalam-dalam lalu rebahkan tubuh di atas
batang-batang pinang. Sesaat ketika dia hendak mengorok tiba-tiba terdengar
suara orang menegur.
“Kek!
Tidak sangka akan bertemu dirimu di tempat ini!”
Si Raja
penidur menguap dulu baru buka sepasang matanya. Belum melihat siapa orang yang
bicara dia sudah memaki.
“Mengganggu
orang yang sedang tidur bagiku sama dengan memutus daun telingaku! Siapa
kadalnya yang berani mencari mati? Sialan! Siapa memanggilku kakek? Aku merasa
tidak pernah jadi kakek di dunia ini!”
Si raja
Penidur bantingkan kaki kanannya ke batu.
“Braaaaakkk.”
Batu yang
terkena bantingan kaki remuk amblas. Kawasan bukit batu sesaat terasa bergetar.
“Kek,
maafkan kalau aku mengganggu tidurmu! Aku Wiro Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede….”
Si Raja
Penidur menggeliat, menguap lebar-lebar lalu cantelkan pipa panjangnya di sela
bibir. Setelah itu perlahan-lahan dia bangkit dan duduk diatas susunan batang
pinang. Dua matanya yang kuyu dan selalu tampak mengantuk itu menatap ke depan.
“Ah! Kau
rupanya! Pantas! Memang hanya orang sableng yang berani menggangguku! Murid
sableng, gurunya gendeng! Cocok! Sudah pergi sana! Aku mau tidur lagi! Sebentar
malam ada pekerjaan dan urusan besar di tempat ini! Aku tak mau diganggu…!”
Raja Penidur rebahkan kembali tubuhnya yang gemuk luar biasa.
“Harap
maafkan Kek. Aku senang melihat kau berada di sini. Kalau aku bisa membantu apa
saja aku akan melakukan. Apakah kedatanganmu kemari ada sangkut pautnya dengan
sepasang keris sakti yang terpendam di dasar jurang…?”
Raja
penidur menguap lebar. “Itu urusan gila! Aku memang datang kemari untuk melihat
orang-orang gila berebutan keris jantan betina itu! Aku tidak mau ikut campur.
Hanya ingin menonton….”
“Jauh-jauh
kau kemari hanya untuk menonton?! Aku tidak percaya Kek! Pasti ada penyebab
lain… Kalau saja kau mau menceritakannya padaku…?”
“Dasar
sableng! Kau keliwat mendesak. Baik! Aku bilang padamu. Aku kemari karena
mencium Dewi Ular ada di sekitar tempat ini. Di atas sini dia tidak kelihatan,
baunya tidak tercium. Aku punya dugaan keras dia ada di dalam jurang! Beberapa
waktu lalu dia membunuh teman-temanku. Kabarnya dia juga mencariku untuk
menamatkan riwayatku. Kutunggu-tunggu tak pernah muncul. Aku jadi gatal kaki.
Lebih baik aku saja yang keluar sarang mencarinya. Perempuan iblis itu perlu
diberi pelajaran apa artinya nyawa bagi seseorang. Aku juga mau memperlihatkan
bagaimana cara mati yang layak baginya!”
“Hemm…
Kalau dia yang berkata begitu itu agaknya memang Dewi Ular berada di sekitar
sini.
Janganjangan
masih hidup di dalam jurang sana…” Wiro hendak menceritakan kejadian jatuhnya
Dewi Ular ke dalam jurang. “Kek….”
“Sudahlah!
Dari tadi kau ribut saja. Kak kek kak kek! Aku bosan mendengar suaramu.
Lagipula aku sangat ngantuk. Kau boleh pergi. Aku mau tidur dulu….”
“Sebentar
Kek. Aku…”
Tapi Si
Raja Tidur telah picingkan dua matanya. Sesaat kemudian terdengar suara
dengkurnya panjang pendek tidak berkeputusan. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya
bisa garuk-garuk kepala. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu. Kembali menemui
Anggini di cabang pohon.
Langit di
sebelah barat tampak kemerahan oleh cahaya sang surya yang perlahan-lahan
menggelincir ke ufuk tenggelamnya. Suasana di dalam jurang sunyi senyap. Begitu
juga di luar jurang seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu.
Padahal di beberapa penjuru ada beberapa orang sama menunggu datangnya malam
dengan rasa tegang.
Ketika
cahaya kuning merah sang surya perlahan-lahan lenyap, orang-orang yang ada di
tempat itu merasa datangnya malam seperti merayap. Ketegangan jadi berlipat
ganda.
Bola
penerang jagad itu akhirnya lenyap di sebelah barat. Bersamaan dengan itu
suasana berubah mulai menjadi gelap.
Di
sebelah selatan mulut jurang semua anggota rombongan Pangeran Ipong tampak
sejak tadi sudah dongakkan kepala memandang ke langit sebelah tenggara.
“Pangeran!
Lihat!” tiba-tiba Ki Sepuh Dulantara berteriak membuat semua orang kaget dan
berpaling padanya. Orang tua rambut kelabu ini menunjuk lurus-lurus ke langit.
“Bintang yang kita tunggu-tunggu sudah muncul! Itu! Lihat!”
Semua
mata kemudian diarahkan pada jurusan yang ditunjuk si orang tua. Mula-mula
mereka belum bisa melihat apa-apa. Namun setelah memperhatikan dengan pandangan
tak berkesiap satu persatu semuanya melihat kemunculan sebuah bintang di langit
sebelah tenggara. Bintang ini saat demi saat tampak semakin terang. Kilauannya
lain dari yang lain yaitu merah di sebelah tengah dan biru pada kelilingnya.
“Kelelawar
Berjubah Hitam …” Pangeran Ipong berkata pada nenek yang mengenakan jubah hitam
berbulu di sampingnya. “Bintang Kalimukus sudah muncul. Apakah kau sudah
siap…?”
Nenek
bermuka dan bermata sangat cekung itu mengangguk. “Saat yang kita tunggu
akhirnya datang juga.
Pangeran
akan mendapatkan apa yang pangeran inginkan. Kelak jika pangeran sembuh dari
kelumpuhan dan dinobatkan menjadi Raja pengganti Sultan yang saat ini sudah
uzur, harap jangan lupakan diriku…”
Pangeran
Ipong mengangguk. “Janji sudah kita buat! Aku Pangeran Ipong Nalakudra tidak
akan mengingkari janji. Satu jabatan tinggi akan menjadi hakmu ditambah satu
rumah kediaman bagus…”
“Bagaimana
dengan pemuda-pemuda gagah kesukaanku?” Tanya si nenek yang rupanya masih doyan
daun-daun muda.
“Tak usah
khawatir. Kau bakal mendapatkannya!” Jawab Pangeran Ipong Nalakudra dengan
menekan rasa jengkelnya. Sebenarnya dia tidak suka pada nenek satu ini. Kalau
tidak terpaksa dan butuh bantuannya dia tak akan pernah mau berhubungan dengan
orang ini.
Ki Sepuh
Dulantara sendiri yang adalah kenalan dekat si nenek kini diam-diam jadi merasa
iri. Dia telah mengabdi belasan tahun pada Pangeran Ipong, apa yang didapatnya
biasa-biasa saja. Tapi si nenek bergelar kelelawar berjubah hitam itu belum
apa-apa sudah dijanjikan jabatan tinggi, rumah serta pemudapemuda gagah.
“Tua
bangka cabul!” rutuk Ki Sepuh Dulantara dalam hati.
Nenek
muka cekung periksa jubahnya dengan teliti. Mantel hitam di belakang
punggungnya dikembangkan beberapa kali hingga mengeluarkan suara menderu keras.
Lalu dengan langkah tetap dia berjalan menuju jurang batu pualam. Saat itu
keadaan belum gelap betul. Matanya yang cekung masih sanggup melihat dasar
jurang. Pada bagian kawah yang ada air mendidihnya terlihat gejolak aneh. Air
di dekat jurang itu bercipratan ke atas sampai setinggi tiga tombak. Lalu
berhenti dan perlahan-lahan tampak air kawah menyurut seolah ada yang menyedot.
Batu-batu runcing bermunculan dimana-mana.
“Keadaan
seperti yang diterangkan dalam kitab itu…” kata nenek kelelawar berjubah hitam.
“Tapi petunjuk akhir belum muncul. Aku harus menunggu… Harus menunggu….”
Tiba-tiba
mata si nenek kelihatan berkilauan. Di dasar jurang kelihatan dua larik sinar
aneh. Mula-mula sinarsinar ini redup saja. Namun perlahan-lahan tambah terang.
Sinar di sebelah kiri berwarna merah kehitaman.
Di
sebelahnya ada sinar kuning kehitaman.
Nenek
Kelelawar Berjubah Hitam menyeringai. Dia kembangkan kedua tangannya. Jubah
yang melekat di tubuhnya menggembung lebar. Pada samping kiri dan kanan hingga
dia seolah-olah memiliki dua sayap sangat lebar. Jubah ikut mekar, begitu juga
ujung jubah di bagian kakinya. Di saat bersamaan mantel di punggungnya ikut
menggembung ke atas seolah-olah ada rongga di sebelah dalamnya berisi angin.
Di atas
pohon di dalam gelap Pendekar 212 Wiro Sableng tampak gelisah.
********************
Bagian 8
“Kau
memikirkan sesuatu?” Tanya Anggini.
“Aku
harus mengambil keputusan,” jawab murid Sinto Gendeng itu.
“Keputusan
apa?” Tanya Anggini heran.
Wiro tak
menjawab melainkan tiba-tiba saja dia melompat turun dari cabang pohon “Hai!
Kau mau kemana?!” teriak Anggini bertanya.
“Cari
tumpangan turun ke dasar jurang!” sahut Wiro. Lalu dia lari secepatnya menuju
tepi jurang dimana nenek berjuluk Kelelawar Berjubah Hitam siap untuk melompat
turun.
Saat itu
si nenek telah menghambur ke dalam jurang. Jubah dan mantel yang dikenakannya
membuat tubuhnya laksana seekor burung besar melayang turun menuju dasar
jurang. Di saat ini pulalah Wiro sampai di tepi jurang. Tanpa tunggu lebih lama
tanpa ragu-ragu dia segera melompat.
“Ada
orang lari ke arah jurang!” Pangeran Ipong berteriak. “Apa yang hendak
dilakukannya! Lekas cegah!”
Lima
orang prajurit dan seorang perwira muda segera menghambur. Tak ketinggalan Ki
Sepuh Dulantara.
Tapi
terlambat saat itu Wiro sudah terjun. Tubuhnya tampak melayang sebelum akhirnya
jatuh tepat dipunggung nenek kelelawar Berjubah Hitam Dua orang prajurit di
tepi jurang angkat tangan mereka yang memegang tombak. Tapi si perwira muda
cepat mencegah. Dia khawatir serangan tombak akan mencelakai si nenek. Ki Sepuh
Dulantara sendiri dengan alasan yang sama tidak bisa berbuat apa-apa pula.
“Pemuda
kurang ajar itu! Dia! Jahanam betul!” si kakek hanya bisa memaki.
“Ki
Sepuh! Apa yang terjadi?!” berteriak Pangeran Ipong.
“Celaka
Pangeran! Pemuda bergelar pendekar 212 itu! Dia melompati tubuh si nenek,
merangkulnya dan ikut terjun ke bawah jurang….”
“Lekas
kau berteriak pada perempuan tua itu agar segera membunuhnya!”
“Saya
rasa memang itu yang akan dilakukan Kelelawar Berjubah Hitam. Jurang gelap
gulita. Saya hanya melihat sebentar sebelum mereka lenyap ke bawah…”
“Kalau
sepasang keris Nagasona itu sampai jatuh ke tangan Pendekar 212, aku bersumpah
untuk membawanya ke tiang gantungan dengan tuduhan perampok besar!” Habis
berkata begitu sang pangeran seperti terhenyak di atas bangku kereta yang
didudukinya.
Nenek
Kelelawar Berjubah Hitam tentu saja kaget bukan kepalang ketika tahu-tahu ada
dua tangan merangkul dadanya yang peot datar.
“Kurang
ajar! Siapa kau?!” teriaknya marah.
“Aku
tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menumpang terjun sampai ke dasar
jurang!” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Keparat
kurang ajar!” Si nenek menendang. Tendangannya hanya mengenai tempat kosong.
Kini dia pergunakan tangan kanan untuk hantam kepala orang. Tapi ketika Wiro
menangkis dan dua lengan saling beradu si nenek meringis kesakitan.
“Nek,
kalau kita terus berkelahi kita bisa celaka sendiri!” teriak Wiro.
“Kau yang
celaka! Bukan aku!” teriak si nenek. “Sekarang mampuslah!” Nenek Kelelawar
kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Untuk kedua kalinya dia menghantam kepala
Wiro.
“Rupanya
kau tak bisa diajak bersahabat!” kata Wiro pula. Lalu jari-jari tangannya
dipergunakan untuk menggelitik dada dan tulang rusuk si nenek. Karuan saja
perempuan tua yang tubuhnya tidak berdaging lagi itu jadi kegelian setengah
mati. Dia berteriak-teriak panjang pendek.
“Jahanam!
Hentikan perbuatanmu!” teriak si nenek.
Wiro
tidak perduli. Dia terus menggelitik. Kemudian dirasakannya ada cairan panas
mengucur membasahi kakinya.
“Gila!
Nek, kau kencing ya?!” teriak Wiro.
“Jahanam!
Tutup mulutmu!” balas si nenek sambil tubuhnya bergoyang-goyang menahan geli.
Kitikan Wiro rupanya membuat si nenek sampai hilang daya tahan dan tak sanggup
menahan kencing.
Sementara
itu di goa pada dinding jurang sebelah timur Dewi Ular yang berjaga-jaga sejak
sore hari telah pula melihat munculnya bintang Kalimukus di langit sebelah
tenggara lebih dulu dari si nenek Kelelawar.
Waktu dia
memperhatikan ke arah dasar jurang yang mulai gelap jelas kelihatan dua larik
sinar kuning dan merah kehitaman mencuat ke atas.
“Sepasang
keris sakti! Di sana rupanya letaknya!” Kata Dewi Ular. Segera dia mengambil
payung raksasa yang dibuat Kunti Rao. Di luar goa payung serta merta
dikembangkan lebar-lebar. Sesaat dia memandang ke bawah lalu tanpa tunggu lebih
lama perempuan ini jatuhkan diri ke dalam jurang. Payung besar yang mengembang
kukuh membuat tubuhnya melayang turun dengan mantap. Sambil melayang dia
berpaling ke arah dinding jurang sebelah barat. Melihat kalau-kalau Datuk
Sipatoka sudah muncul dan melakukan sesuatu untuk terjun ke dasar jurang. Namun
saat itu keadaan sudah tambah gelap. Dewi Ular tak bisa melihat dengan jelas.
Selagi
dia melayang turun dengan perasaan lega karena merasa yakin dia bakal dapatkan
sepasang keris mustika itu tiba-tiba di sebelah atasnya dia mendengar suara
orang marah dan memaki panjang pendek.
Lalu
dalam gelap di sampingnya terlihat satu benda melayang jatuh cepat sekali.
Ketika benda itu lewat di sebelahnya dia cepat memperhatikan.
“Ada dua
orang terjun ke bawah! Yang satu bergelantungan kepada yang lain…” Dewi Ular
jadi tak senang hati. Kalau orang lain mampu terjun lebih cepat berarti dia
bisa keduluan dalam mendapatkan dua senjata sakti itu. Perempuan ini jentikkan
tangan kanannya dua kali berturut-tirut ke atas.
“Breett!
Breettt!”
Payung
yang terbuat dari kertas tebal itu robek dan berlubang besar di dua bagian.
Robekan ini membuat daya tahannya terhadap angin berkurang. Akibatnya daya
luncur payung yang digelantungi Dewi Ular itu menjadi lebih cepat. Dia berhasil
menyusul jatuhnya dua orang tadi. Begitu saling bersisian Dewi Ular hantamkan
tangan kanannya. Lancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi.
“Nek!
Jangan memaki saja! Kita diserang orang!” teriak Wiro.
Suara
makian berhenti.
Dua orang
yang jatuh deras sadar kalau diri mereka diserang. Yang sebelah depan yaitu si
Nenek Kelelawar kebutkan lengan jubah kirinya yang lebar laksana sayap burung
raksasa. Satu gelombang angin menderu ke arah Dewi Ular. Orang yang
bergelantungan di sebelah belakang yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng tak tinggal diam. Tangan kirinya memukul lepaskan pukulan “segulung
ombak menerpa karang.” Terdengar suara bergemuruh ketika selarik angin laksana
topan menghantam ke arah Dewi Ular.
Diserang
dua pukulan dahsyat sepeti itu tubuh Dewi Ular bergoncang. Dia membuat gerakan
jungkir balik dan putar payung besarnya demikian rupa hingga dirinya terlindung
dari dua serangan lawan.
“Breettt!
Breettt!”
Payung
kertas robek besar. Kayu-kayu penahan kertas patah berantakan. Dewi Ular
berteriak. Entah kesakitan entah marah. Yang jelas dia cepat pegang paku hitam
yang terikat di lengan tangannya. Begitu tenaga dalamnya disalurkan dia segera
gerakkan paku hitam itu. Ujung lancip paku yang kini berwarna kuning emas itu
kiblatkan sinar kuning angker.
“Wussss!”
Pendekar
212 Wiro Sableng tercekat melihat cahaya aneh menyambar ke arahnya. Secepat
kilat dia memutar badan seraya menarik tubuh si nenek Kelelawar. Sadar apa yang
hendak diperbuat orang terhadap dirinya si nenek membentak marah. Sikut
kanannya dihantamkan ke kepala Wiro sedang tangan kirinya lepaskan tangkisan
berupa satu pukulan mengandung tenaga dalam penuh!
Pendekar
212 merasa kepalanya seperti meledak pecah. Siku kanan si nenek mendarat tepat
di pelipis kirinya yang langsung menggembung bengkak. Pinggiran matanya robek.
Darah serta merta mengucur.
Si nenek
Kelelawar Berjubah Hitam menerima nasib lebih jelek. Tangkisannya tak sanggup
menahan sambaran sinar dingin kuning yang keluar dari ujung lancip paku hitam
di tangan Dewi Ular.
Perempuan
tua itu memekik panjang. Sinar kuning paku sakti membelah tubuhnya mulai dari
kening sampai ke dada. Sayatan luka mengerikan itu mula-mula kelihatan putih.
Lalu perlahan-lahan berubah merah ketika darah membersit dan mengucur keluar.
Tubuh si nenek tak ampun melayang jatuh ke bawah tanpa daya penahan lagi.
Pendekar 212 ikut amblas. Untungnya saat itu dasar jurang hanya tinggal dua
tombak.
Sebelum
tubuh si nenek terhempas dan menancap disebuah lancipan batu murid Sinto
Gendeng cepat melompat. Ketika dia berhasil menjejakkan tanah di dasar jurang
yang tanahnya berpasir, orang berpayung hancur yang barusan membunuh nenek
Kelelawar sampai pula di dasar jurang. Dua orang ini saling berhadap-hadapan
dalam jarak hanya terpisah lima langkah. Dua lari cahaya yang mencuat dari
dalam tanah jurang membuat tempat itu cukup terang hingga satu sama lain saling
melihat dan mengenali “Dewi Ular! Kau…!” seru Pendekar 212 kaget. “Jadi kau
belum mati rupanya!”
Dalam
keadaan seperti itu Dewi Ular masih bisa keluarkan suara tawa melngking. “Kalau
kau anggap aku sudah mati, maka yang berdiri di hadapanmu saat ini adalah setan
Dewi Ular! Mengapa kau terjun ke jurang ini?!”
“Kau
sendiri ada urusan apa berpayung-payung turun ke sini?” balik bertanya Wiro.
“Bicara
denganmu memang menjengkelkan. Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu! Tidak
sangka saatnya ternyata datang begini cepat!”
Dewi Ular
putar paku hitam yang terikat di pergelangan tangannya. “Pendekar 212!” katanya
sambil acungkan paku yang ujungnya kuning. “Dulu dengan paku ini kau celakai
diriku! Kini paku ini pula yang akan merenggut nyawamu! Kau sudah saksikan
kematian tua bangka itu! Nasibmu tak bakal beda!”
“Tunggu
dulu!” teriak Wiro seraya cepat siapkan pukulan sinar matahari di tangan kanan.
“Orang
gagah tapi culas! Sayang sekali maut datangnya tak bisa ditunda!” Dewi Ular
tertawa panjang.
Tangan
kanannya yang memegang paku bergerak. Larikan sinar kuning berkiblat. Wiro
angkat tangannya.
Namun
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia merasa seperti ada yang mendorong
dirinya ke samping lalu satu sinar yang juga berwarna kuning menyambar ke arah
sinar paku yang tengah menyerangnya.
Satu
letusan dahsyat menggelegar di dasar jurang. Air dan pasir bermuncratan. Tanah
dan batu-batu di jurang bergetar keras. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Dewi Ular
jatuh terbanting ke tanah jurang. Di samping mereka kemudian bergedebukan dua
sosok tubuh. Yang satu seorang kakek berkepala botak biru.
Satunya
lagi seorang pemuda berpakaian hitam yang kepala dan mukanya ditancapi paku.
Wiro segera kenali pemuda ini dan tahu betul si pemudalah yang barusan
menolongnya. Si kakek dan pemuda rupanya meluncur turun dari atas jurang dengan
mempergunakan tali aneh yang panjang dan kuat.
“Sandaka!”
seru Wiro.
Pemuda
itu tidak menjawab. Sandaka melompat kehadapan Dewi Ular. Kakek kepala botak
yang tentunya adalah Datuk Sipatoka memperhatikan Dewi Ular sebentar lalu
balikkan badan, melompat ke dasar jurang di mana terlihat mencuat cahaya kuning
dan merah kehitaman. Secepat kilat orang tua ini pergunakan kedua tangannya
untuk menggali tanah jurang yang gembur itu. Baru setengah jengkal menggali dua
larik cahaya terlihat semakin terang. Sang Datuk menggali terus. Pada kedalaman
satu jengkal tangannya kiri kanan menyentuh sesuatu. Dadanya berdebar keras.
Dia pegang erat-erat dua benda itu lalu menariknya ke atas.
Mata si
kakek menjadi silau ketika dua benda yang dikeluarkannya dari dalam tanah
jurang itu ternyata adalah sepasang keris tanpa sarung terbuat dari emas. Satu
memancarkan warna merah kehitaman.
Satunya
lagi berwarna kuning kehitaman. Itulah sepasang keris mustika sakti Nagasona,
satu jantan satu betina!
“Keris
Nagasona…! Aku berhasil mendapatkannya!” teriak Datuk Sipatoka. “Sandaka!
Lihat!”
Sandaka
tidak perhatikan teriakan kakek botak itu. Sepasang matanya tidak berkedip
memandang pada Dewi Ular yang saat itu mencoba bangkit sambil pegangi dadanya
yang berdenyut sakit. Sandaka sendiri merasakan aliran darah dan pernafasannya
seperti tidak keruan akibat bentrokkan dua kekuatan sakti yang keluar dari
paku.
“Kunti
Arimbi…” kata Sandaka menyebut nama asli Dewi Ular. “Jadi kau belum mati!”
“Kau
sendiri juga belum mampus!” sahut Dewi Ular sambil menyeringai. Hasratnya untuk
membunuh Sandaka tidak bisa ditahan. Tapi saat itu perhatiannya terbagi pada
Datuk Sipatoka yang telah berhasil mendapatkan sepasang keris Nagasona. Akalnya
bekerja. Di bibirnya yang merah merekah senyum.
Lalu
terdengar suaranya lembut.
“Sandaka,
dalam keadaan seperti ini apa ada perlunya kita melampiaskan dendam masa
lampau? Kau dan aku, masih terbuka jalan bagi kita untuk menguasai dunia
persilatan. Jangan khawatirkan keadaanmu.
Dua keris
ini sanggup memulihkan tubuhmu semula. Jadi saat ini yang harus kau lakukan
ialah mengambil sepasang senjata itu dari tangan kakek botak itu! Lekas lakukan
Sandaka! Ambil dua bilah keris itu…!”
Sandaka
Arto Gampito menyeringai. “Masamu menguasai dan memerintah diriku sudah lama
berlalu Dewi Ular. Perlakuanmu terhadapku selama ini sangat keji! Kau membuat
aku buta hingga menumpuk dosa yang tak sanggup aku pikul! Jalan terbaik untukmu
adalah menebus semua itu dengan nyawamu!”
Sandaka
rentangkan kedua kakinya. Bagian bawah perutnya kelihatan seperti menyala oleh
satu cahaya berwarna kuning. Dewi Ular terkejut. Dia cepat pegang paku hitam
yang terikat di pergelangan tangan kanannya. Sambil memegang paku dia melangkah
mundur. Tiba-tiba perempuan ini membentak keras.
Tubuhnya
melesat ke samping.
“Datuk
awas!” teriak Sandaka.
Tapi
terlambat. Serangan Dewi Ular datang sangat cepat. Satu tendangan menghantam
punggung orang tua berkepala botak itu demikian dahsyatnya hingga tulang
punggungnya remuk. Tubuhnya mencelat.
Keris
Nagasona di tangan kanannya yakni yang jantan terlepas mental. Dengan cepat
Dewi Ular berusaha menyambarnya. Tapi dari samping Pendekar 212 bertindak lebih
cepat. Didahului dengan menghentakkan pukulan “sinar matahari” ke arah Dewi
Ular dia melompat menyambar keris Nagasona jantan.
Melihat
cahaya putih panas menyambar ke arahnya dengan suara menggemuruh dahsyat Dewi
Ular terpaksa tarik tangannya yang hendak mengambil keris Nagasona jantan.
Penuh marah dia membuat gerakan menusuk dengan paku hitamnya.
Sinar
maut berwarna kuning menyambar ke arah Pendekar 212 pada saat belum lagi murid
Sinto Gendeng ini sempat memegang keris Nagasona jantan yang masih melayang di
udara.
Pada saat
itulah tiba-tiba menggelegar suara perempuan dari bagian atas jurang.
“Manusia-manusia
tolol! Apa yang kalian buat di tempat ini?!” Suara keras dari atas itu sangat
berpengaruh.
Membuat
semua orang mendongak dan sama-sama terkesiap. Dalam gelapnya malam, hanya
diterangi oleh cahaya keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara dan
keris Nagasona betina yang masih ada di tangan kiri Datuk Sipatoka kelihatan
satu sosok tubuh perempuan mengenakan kemben dilapisi jubah hijau berkilat
turun ke bawah. Yang membuat semua orang hampir tak bisa percaya ialah
perempuan ini melayang turun dengan berpijak pada tubuh bergelung seekor ular
besar warna hitam kuning. Binatang ini keluarkan suara berdesis tiada henti.
Begitu sampai di tanah jurang tiba-tiba dia membuka gelungnya.
Kepalanya
melesat dua kali. Semua orang keluarkan seruan tertahan. Sesaat kemudian keris
Nagasona jantan yang tadi melayang di udara dan keris Nagasona betina yang
sebelumnya masih berada dalam genggaman tangan kiri Datuk sipatoka kini
tahu-tahu telah berada dalam gigitan ular besar itu!
Ular
besar naikkan kepalanya ke atas. Perempuan berpakaian hijau berkilat cepat
ambil sepasang keris Nagasona, membuat semua orang yang ada di situ jadi
melongo sekaligus geram. Hanya Dewi Ular yang tampak tenang sekali bahkan ada
senyum tersembul dari bibirnya. Sementara itu ular hitam kuning menjalar di
atas tubuh perempuan itu.
“Ratu…”
panggil Dewi Ular.
Perempuan
berbaju hijau yang di kepalanya ada mahkota yang terbuat dari ular yang telah
dikeringkan menyapu wajah semua orang yang ada di jurang itu dengan pandangan
mata dingin. Lalu tanpa menoleh pada Dewi Ular dia berkata. “Dewi Ular, lekas
melangkah ke sampingku!”
Dewi Ular
cepat melakukan apa yang dikatakan orang. Begitu berada di sampingnya dia
berkata. “Terima kasih Ratu Ular, kau bersedia datang untuk menolongku…”
“Aku
datang bukan untuk menolongmu! Selama ini kau banyak berbuat lalai. Kalau bukan
karena perbuatanmu aku tidak bakal kesasar ke tempat ini!”
“Maafkan
saya Ratu Ular. Saya mohon ampunmu!”
Dari
balik jubahnya Ratu Ular keluarkan sebuah benda berwarna kuning yang ternyata
adalah sebuah mahkota kecil dan berbentuk kepala ular. Dewi Ular terkejut
melihat benda itu.
“Ini
milikmu…?” tanya Ratu Ular.
“Betul
Ratu. Mahkota itu jatuh waktu saya…”
“Sudah!
Tutup mulutmu! Aku sudah tahu semua yang terjadi. Mendekat padaku!” perintah
Ratu Ular.
“Ratu kau
hendak menghukumku…?” tanya Dewi Ular ketakutan. Tapi dia bergerak juga
mendekati sang ratu.
Begitu
Dewi Ular berada di sampingnya, Ratu Ular usapkan sepasang keris Nagasona ke
bahu dan dada perempuan itu.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dua kali
asap dingin kelabu mengepul dari tubuh Dewi Ular. Ketika asap lenyap Dewi Ular
terpekik.
Bukan
pekik sakit atau ketakutan. Tapi pekik gembira. Sapuan sepasang senjata sakti
itu telah menyembuhkan cacat luka hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 di bahu dan
dadanya. Tubuhnya kembali utuh dan mulus seperti semula. Bahkan wajahnya tampak
segar berdarah kembali dan tambah cantik.
“Terima
kasih Ratu… Terima kasih…” kata Dewi Ular manggut-manggut lalu jatuhkan diri di
hadapan Ratu Ular.
“Lekas
berdiri! Saatnya kita tinggalkan tempat ini!” kata Ratu Ular pula.
********************
Bagian 9
Dewi Ular
bangkit berdiri. Dia memandang pada Datuk Sipatoka, Pendekar 212 Wiro Sableng
dan Sandaka.
“Bagaimana
dengan orang-orang ini?” tanyanya pada sang ratu.
Ratu Ular
berpikir sejenak lalu berkata. “Jika dia mau menjadi hamba sahaya kita, dua
pemuda itu boleh kau ajak serta. Yang berkepala botak biru itu hanya merusak
pemandangan saja! Aku jijik melihat tua bangka ini.
Harap kau
lekas membunuhnya!”
“Perintah
akan saya lakukan Ratu,” kata Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya yang
memegang paku hitam. Paku lalu ditusukkan pada Datuk Sipatoka. Selarik sinar
dingin kuning menyambar. Mendapat serangan maut ini sang datuk tentu saja tidak
berlaku ayal. Sambil melompat ke samping dia dorongkan kedua tangannya. Dua
larik cahaya yang juga berwarna kuning menggemuruh menangkis serangan selarik
sinar kuning yang keluar dari paku.
“Bummm!”
Tubuh
Datuk Sipatoka bergoncang keras. Dari mulutnya keluar darah segar. Dewi Ular
belum puas dia cepat melompat sambil tusukkan paku hitam berujung kuning ke
kening orang tua itu. Kini sang datuk tidak bisa lagi selamat dari kematian!
Pada saat
itu dari samping terdengar bentakkan Sandaka. Tubuhnya melesat dan dari
selangkangannya di mana tertancap paku hitam yang bagian kepalanya sudah diasah
itu menyambar larikan sinar kuning yang lebih besar dari yang sanggup
dikeluarkan oleh paku milik Dewi Ular. Karena tidak menyangka akan mendapat
serangan Dewi Ular hanya sempat berkelit sedikit. Larikan sinar kuning memapas bagian
belakang kepalanya.
Dari
tempatnya berdiri Ratu Ular yang melihat kejadian itu segera angkat dua keris
Nagasona ke atas.
Dia
kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan pukulan jarak jauh melewati dua senjata
sakti ini. Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Dari tubuh sepasang keris tanpa
sarung itu melesat keluar cahaya kuning sangat terang. Dua cahaya ini langsung
menghantam musnah larikan sinar kuning yang keluar dari bawah perut Sandaka.
Si pemuda
merasakan tubuhnya tergontai-gontai. Kalau tak lekas di tolong tubuhnya akan
segera digulung serangan lawan!
“Ratu
Ular! Aku ingin menjajal kehebatan sepasang keris itu!” Satu suara menggeledek
disusul dengan berkoblatnya sinar putih menyilaukan serta menghamparnya hawa
panas lalu menggemuruhnya suara aneh laksana seribu tawon mengamuk! Itulah
sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang dihantamkan Wiro ke arah Ratu Ular.
Kalau
semua orang merunduk kaget melihat serangan kapak itu Ratu Ular tetap tegak
bahkan ganda tertawa. Dia angkat tangan kanannya yang memegang dua bilah keris
sakti. Kembali dua larik sinar kuning menggebu.
Pendekar
212 Wiro Sableng menjerit keras. Kapak Naga Geni 212 mencelat mental dari
pegangannya.
Dia
sendiri kalau tidak lekas jatuhkan diri berlindung di balik satu batu besar
yang runcing niscaya akan celaka berat! Batu tempatnya berlindung hancur
berantakkan tapi Wiro selamat dari serangan maut walau sekujur tubuhnya kotor
oleh hancuran batu dan tanah becek di dasar jurang.
“Dewi
Ular kau lihat sendiri! Aku sudah memberi kesempatan pada dua pemuda itu untuk
ikut kita! Tapi mereka adalah manusia-manusia culas yang tidak bisa dipercaya!
Biar keduanya meregang nyawa di tanganku!”
Habis
berkata begitu Ratu Ular angkat tangan kanannya kembali. Justru pada saat itu
ada sesiur angin menyambar dari atas. Bersamaan dengan itu ada suara sesuatu
meluncur di tali yang masih tergantung di dinding jurang. Lalu “buk!” Satu
sosok tubuh luar biasa besarnya jatuh berdebam di atas tanah jurang.
Kaki ke
atas kepala ke bawah sedang pinggangnya melintang di atas sebuah batu jurang.
Luar biasanya walau orang ini jatuh kepala duluan tapi lehernya tidak patah dan
kepalanya tidak remuk. Begitu juga punggungnya yang menghantam batu runcing
sama sekali tidak cedera. Malah terdengar suaranya seperti menguap.
Lalu ada
asap berbau tembakau memenuhi jurang itu. Tak lama kemudian terdengar suara
orang mengorok keras!
“Raja
Penidur!” seru Wiro ketika dia mengenali siapa yang tergelimpang kaki ke atas
kepala ke bawah itu.
“Celaka!
Jangan-jangan kepalanya sudah pecah!” Wiro melompat dan cepat memeriksa. “Gila!
Bagaimana
dia masih bisa tidur dalam keadaan seperti ini! Hai! Kek! Bangun!” Wiro guncang
tubuh itu. Tapi tubuh gemuk ratusan kati itu tidak bergerak sedikitpun. Tidak
kehilangan akal Wiro cabut pipa dari mulut Raja Penidur. Ujung pipa
ditusukkannya ke salah satu lobang hidung si gendut ini lalu dikocok-kocok
hingga akhirnya Raja Penidur terbangun sambil berbangkis. Wiro cepat selipkan
kembali pipa panjang itu ke mulut si Raja Penidur.
“Aku
enak-enak tidur mengapa dibangunkan? Sialan betul! Siapa kalian ini orang-orang
jelek semua!
Hah?!”
Raja
Penidur menggeliat. Lalu dengan gerakkan malas-malasan dia berdiri sambil
bersandar ke sebuah batu lancip berbentuk tiang.
Pada saat
si Raja Penidur menggeliat tadi, Ratu Ular yang tampak ada perubahan besar pada
raut wajahnya memberi isyarat pada Dewi Ular seraya berbisik. “Lekas ikuti
aku!”
Dewi Ular
hendak bertanya tapi memutuskan untuk diam dan mengikuti saja apa perintah sang
ratu.
Namun
baru saja keduanya bergerak tiba-tiba sekali sosok si Raja Penidur sudah berada
di depan mereka.
“Untari…
Kau masih saja berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih
menghantui dirimu.”
Semua
orang yang ada di tempat itu terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk. Siapa
yang bernama Untari itu? Lalu mereka melihat bagaimana berubahnya wajah Ratu
Ular. Sikapnya menunjukkan rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut. Takut
pada siapa?
“Raja
Penidur, urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit…” terdengar Ratu Ular
bersuara. Jadi dialah yang bernama Untari.
“Kalau
begitu baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal harus kau tinggalkan…”kata Si
Raja Penidur pula.
“Hemmm…Apakah
itu?” tanya Ratu Ular.
Si Raja
Penidur menyedot pipanya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara hingga
tempat itu disamaki oleh tembakau. Setelah menguap dan mengucak kedua matanya
baru dia menjawab.
“Pertama,
serahkan padaku sepasang keris Nagasona itu. Dua senjata mustika itu bukan
milikmu.”
“Lalu
apakah keduanya milikmu?” tukas Ratu Ular.
“Jelas
bukan milikmu. Aku hanya menjadi perantara untuk mengembalikannya pada
pemiliknya. Sebentar lagi utusan si pemilik akan datang untuk mengambil…”
Ratu Ular
tertawa panjang. “Ceritamu enak sekali didengarnya…”
“Aku
tidak bicara dusta. Tidak pernah…”
“Kecuali
terhadapku…?”
“Ah, kau
sendiri tadi mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit!”
Si Raja
Penidur berubah parasnya. Tapi hanya sebentar. “Menurutku ini adalah penyelesaian
yang paling baik…”
“Kau
belum mengatakan hal kedua…” Ratu Ular alihkan pembicaraan.
“Hal
kedua yang harus kau tinggalkan di sini adalah perempuan muda berjuluk Dewi
Ular itu…” jawab Si Raja Penidur.
“Apa
keperluanmu dengan dirinya?!” bentak Ratu Ular. “Apa kau hendak
memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku puluhan tahun silam?!”
“Eh,
bagaimana ini…” pikir Pendekar 212 Wiro Sableng sambil garuk-garuk kepala.
“Perempuan itu menyebut-nyebut masa puluhan tahun lalu. Memangnya usianya
berapa?”
Si Raja
Penidur batuk-batuk beberapa kali. Setelah menguap lebar-lebar diapun berkata.
“Itu dua permintaanku. Terserah padamu mau memenuhinya atau tidak…”
“Aku
ingin tahu apa yang hendak kau lakukan terhadap muridku Dewi Ular? Jawab dulu
itu!”
“Kau tahu
apa yang sudah diperbuatnya? Dosanya membunuhi tokoh-tokoh silat tidak bersalah
sedalam lautan setinggi langit! Kau kira dia bisa lolos begitu saja dari
hukuman? Mengingat hubunganmu denganku aku bersedia melindunginya dari balas
dendam yang mengerikan. Biar aku yang mengatur hukuman terbaik bagi dirinya….”
“Hemmm
begitu? Hukuman terbaik baginya adalah ikut bersamaku. Saat ini kemana aku
pergi dia harus ikut!” kata Ratu Ular pula.
“Terserah
padamu. Aku sudah menawarkan yang terbaik! Mataku sudah mengantuk. Aku ingin
menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi….”
“Aku
tidak akan memenuhi apa-apa Raja Penidur. Seperti kau tidak memenuhi apa-apa
terhadap diriku!”
“Sayang
sekali kalau begitu…” kata Raja Penidur seperti tak acuh. Dia kembali menguap
lebar-lebar.
Ratu Ular
memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua orang itu cepat melangkah pergi. Namun
baru berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada satu sinar terang melayang
turun. Ketika sinar itu mencapai pertengahan jurang semua orang yang ada di
tempat itu terkesiap. Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat cantik.
Sosok tubuhnya menebar bau harum kembang melati. Dan tubuh ini hanya terbalut
segulung kain putih yang sangat halus tembus pandang.
Tenggorokan
Pendekar 212 Wiro Sableng tampak turun naik. Matanya memandang tak berkedip.
Hal yang sama terjadi juga dengan Sandaka sementara Datuk Sipatoka yang berada
dalam keadaan luka jadi lupa diri dan ikut-ikutan menyaksikan pemandangan indah
itu tanpa berkesip.
Si Raja
Penidur menguap dan tarik pipa dari sela bibirnya. “Utusan yang ditunggu sudah
datang. Aku tidak bisa membantumu lagi Untari…”
Untari
alias Ratu Ular dan sang murid Dewi Ular sama-sama terkesiap. Gadis cantik
jelita yang melayang turun tegak di hadapan Ratu Ular. Wiro melihat jelas kalau
dua kakinya yang bagus dan putih mulus sama sekali tidak menginjak dasar
jurang. Kalau tadi dia begitu terpesona melihat kecantikan dan sosok tubuh si
jelita yang hampir polos itu maka kini tengkuknya terasa dingin. Gadis berbalut
kain putih halus itu memberi isyarat pada Ratu Ular lalu mengulurkan tangannya
meminta agar sepasang keris Nagasona diserahkan padanya.
Ratu Ular
melangkah mundur. Tangan kirinya mengusap kepala ular besar yang bergelung di
lehernya.
Dia melirik
pada murid di sebelahnya lalu memberi isyarat. Dewi Ular yang tahu isyarat itu
segera siapkan paku hitamnya. Lalu berlangsunglah tiga serangan yang mematikan.
Serangan
pertama, ular besar di leher Ratu Ular mematuk ke arah muka gadis jelita.
Serangan kedua sambaran sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku yang
dilancarkan Dewi Ular. Serangan ketiga ini yang terhebat adalah cahaya kuning
besar yang menghampar keluar dari sepasang keris sakti. Manusia biasa,
betapapun tinggi ilmunya diserang begitu rupa pasti tak bisa loloskan diri dari
kematian. Namun gadis jelita yang tidak berpijak ke bumi itu tenang saja.
Gerakannya lemah gemulai seperti penari ketika tangan kanannya diangkat dengan
telapak terkembang. Tiga serangan yang datang ke arahnya laksana tersedot masuk
ke dalam telapak tangan itu. Binatang itu menggeliat-geliat sesaat lalu jatuh
terkapar di tanah jurang dengan kepala hancur.
Ketika
tangan kiri gadis jelita itu ikut bergerak, tahu-tahu sepasang keris sakti
Nagasona telah berpindah dari tangan Ratu Ular ke dalam genggamannya!
Seperti
orang gila Ratu Ular berteriak keras. Kedua tangannya dipukulkan ke arah lawan
yang hanya berjarak dua langkah dari hadapannya. Dari dua tangan itu secara
tidak terduga melesat dua senjata berbentuk tombak dengan kepala tombak
menyerupai kepala ular sendok. Yang diserang kembali angkat tangan kirinya.
Kali ini gerakannya cepat sekali. Lalu, “Trak… trak… trak…!”
Bukan
cuma dua tombak kepala ular itu saja yang hancur berpatahan, tapi dua tangan
Ratu Ular ikut hancur mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan tangan. Ratu
Ular meraung keras. Dewi Ular, meski bergidik melihat apa yang terjadi mendadak
menjadi nekat dan kembali pergunakan dua paku saktinya untuk menyerang. Sebelum
larikan dua sinar kuning keluar dari paku itu, si jelita berbalut kain putih
ulurkan tangannya.
“Kraaakkk!”
Paku
hitam dan tangan kiri Dewi Ular hancur luluh. Seperti sang ratu, dari mulut
Dewi Ular terdengar pula raungan menggidikkan. Murid dan guru terhuyung-huyung
nanar menahan sakit.
Begitu
keduanya saling berbenturan, Ratu Ular berkata, “Dewi, aku rasa tidak ada
gunanya lagi hidup dengan derita cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku
lakukan…”
“Saya
mengerti Ratu, Saya siap…” sahut Dewi Ular.
Tidak
terduga dan tidak bisa dicegah, Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan
keras sama-sama berlari lalu hujamkan kepala masing-masing ke dinding batu
jurang. Suara kepala mereka yang pecah remuk terdengar mengerikan!
Si Raja
Penidur geleng-geleng kepala. Matanya semakin kuyu dan dia menguap berulang
kali. Di sebelah sana, gadis jelita berbalut kain putih tembus pandang
palingkan tubuhnya ke arah Si Raja Penidur.
“Terima
kasih kau sudah datang menjemput sendiri dua senjata sakti. Kau boleh pergi dan
membawanya kepada pemiliknya di Pantai Selatan. Hanya saja kalau aku boleh
meminta, saat ini ada dua orang yang menderita sakit di jurang ini. Lalu ada
satu lagi di atas jurang sana. Aku mohon kau mau pergunakan sepasang senjata
sakti itu untuk mengobati mereka…”
Si cantik
yang diajak bicara hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu melangkah seperti
melayang.
Pertama
sekali dia mendekati Datuk Sipatoka yang menderita luka parah di sebelah dalam
akibat bentrokan pukulan sakti dengan Dewi Ular tadi. Sekali saja sepasang
keris Nagasona diusapkan ke wajah dan dadanya, maka asap kelabu dingin
mengepul. Begitu asap lenyap, kelihatan sang datuk tersenyum. Luka dalam yang
dideritanya serta merta sembuh. Dia sanggup berdiri dan cepat menjura pada si
jelita sebagai ucapan terima kasih.
Selesai
menyembuhkan Datuk Sipatoka, gadis berbalut kain putih mendekati Sandaka. Kembali
dia pergunakan sepasang keris Nagasona untuk mengusap kepala, muka dan tubuh
pemuda yang penuh ditancapi paku itu.
“Wusss…
wusss… wusss!”
Asap
kelabu mengepul berbuntal-buntal. Terdengar suara benda-benda keras
bermentalan, lalu jatuh ke dasar jurang. Ketika asap kelabu lenyap, kelihatan
kepala, muka dan tubuh Sandaka mulus. Puluhan paku yang menancap di kepala,
muka dan tubuhnya lenyap dan kini kelihatan bergeletakan di tanah jurang.
Semua
orang yang menyaksikan kejadian ini leletkan lidah saking kagumnya.
Sandaka
berbungkuk hampir bersujud untuk menyampaikan rasa terima kasihnya. “Terima
kasih kau telah mengobati dua orang itu,” Si Raja Penidur berucap. “Seperti
permintaanku tadi, di atas sana ada seorang pangeran menderita lumpuh selama
belasan tahun. Mohon kau mau mengobatinya…”
Gadis
yang diajak bicara anggukkan kepala. Dia memandang berkeliling seolah minta
diri. Sebelum tubuhnya melayang ke atas, Pendekar 212 Wiro Sableng berseru.
“Tunggu, aku juga sakit, tolong sembuhkan!”
Si Raja
Penidur cabut pipanya dari sela bibir lalu membentak. “Anak sableng! Jangan kau
berani macammacam!”
Wiro jadi
tersurut garuk-garuk kepala. Si gadis di sebelah sana tersenyum lalu kedipkan
matanya pada sang pendekar. Sesaat setelah gadis itu melayang ke atas dan
cahaya benderangnya lenyap dalam kegelapan malam, Wiro membungkuk mengambil
Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi tercampak di tanah.
Lalu dia
berpaling pada Si Raja Penidur.
“Kek,
kenapa dia tak boleh menolongku? Bentrokan dalam perkelahian tadi menyebabkan
sakit di sekujur badanku!”
Si Raja
Penidur tertawa mengekeh. “Aku sudah tua. Usiaku lebih dari seratus delapan
puluh tahun.
Masakan
bocah sepertimu bisa membohongiku. Kau pura-pura minta diobati padahal
sebenarnya hanya ingin diusap jari-jari bagus gadis itu! Ayo! Jangan kau berani
berkilah!”
Wiro
tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala.
Datuk
Sipatoka melangkah ke hadapan Si Raja Penidur. “Sahabat, kalau tidak ada kau
kami semua di sini tentu sudah menjadi mayat. Aku mewakili mereka mengucapkan
terima kasih.”
Si Raja
Penidur hanya mengangguk perlahan lalu menguap.
“Ada satu
hal yang ingin aku tanyakan. Menyangkut Ratu Ular. Berapa usia perempuan itu
sebenarnya?” tanya Datuk Sipatoka pula.
Si Raja
Penidur geleng-gelengkan kepala. “Aku sudah seratus delapan puluh tahun lebih
Perempuan itu hanya terpaut duapuluh tahun di bawahku…”
“Astaga!”
ujar Wiro. “Kalau usianya memang seratus enampuluh tahun, mengapa kelihatan dia
masih begitu muda? Seperti hanya berumur empat puluhan…?”
Si Raja
Penidur tertawa bergelak. “Perempuan itu punya kepandaian untuk mengubah wajah
dan keadaan tubuhnya. Masih untung dia jadi perempuan empat puluh tahunan.
Kalau dua puluhan kau pasti sudah naksir! Ha… ha… ha…!”
“Kek,
bagaimana kita keluar dari dasar jurang ini?” tanya Wiro.
“Nah,
nah! Kau mulai cemas ingin buru-buru keluar dari sini. Tak usah khawatir. Aku
tahu ada lorong rahasia yang membawa kita ke bebukitan di atas sana. Rupanya
kau barusan ingat pada gadis berbaju ungu yang menunggumu di atas sana ya?”
Wiro
tertawa lebar. “Kau rupanya sudah tahu segalanya Kek!”
Empat
orang itu berjalan beriringan. Si Raja Penidur di sebelah depan, Menyusul Datuk
Sipatoka, lalu Sandaka danh di belakang sekali Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sambil berjalan, di suatu tempat murid Sinto Gendeng yang suka usil ini ingat
sesuatu.
“Sandaka,”
bisiknya memanggil. “Semua paku-paku baja murni yang sebelumnya menancap di
kepala dan tubuhmu tercabut mental secara aneh berkat sepasang keris Nagasona
itu.”
“Ya, aku
sangat berterima kasih pada gadis ajaib itu. Mungkinkah dia seorang bidadari…?”
“Anggap
saja begitu. Tapi ada hal lain yang ingin aku tanyakan padamu…”
“Apa?”
“Setahuku
ada sebuah paku lagi yang menancap di anu-mu! Ingat apa yang aku lakukan padamu
dulu?”
“Lalu…?”
tanya Sandaka masih tidak mengerti.
“Apakah
tadi paku yang satu itu juga sanggup dicabut mental oleh sepasang keris sakti
itu?”
Sandaka
terdiam. Sesaat kemudian dia menjawab. “Tentu saja, kurasa begitu…”
“Kau rasa
katamu. Agaknya kau sendiri merasa ragu.”
“Tidak,
aku tidak ragu. Aku merasa pasti!”
“Kau
bicara begitu tapi nada suaramu terdengar ada kebimbangan… Coba kau periksa.
Pegang anu-mu itu untuk membuktikan bahwa paku itu benar-benar tidak menancap
lagi di ‘burung’-mu.”
“Sialan
kau!” mengomel Sandaka. “Perlu apa aku memegangnya segala?!”
“Tidak
apa-apa, hanya sekadar untuk meyakinkan…”
Diam-diam
Sandaka menjadi bimbang juga. Dia memandang ke belakang ke arah Wiro. Murid
Sinto Gendeng dilihatnya menyeringai. Akhirnya Sandaka susupkan tangan kirinya
ke balik celana panjangnya.
Dia
meraba ke bawah perut, lalu terdengar dia menarik nafas lega.
“Bagaimana?”
tanya Wiro.
“Tidak
ada! Paku satu itu tak ada lagi di anu-ku!” jawab Sandaka.
“Syukurlah.
Kau sekarang benar-benar telah jadi manusia sempurna kembali. Kalau paku itu
masih menancap di sana, apa kau pernah membayangkan gadis mana yang mau kawin
denganmu…”
“Sialan!
Jalan pikiranmu kotor amat!” ujar Sandaka.
Dalam
gelapnya lorong yang mereka lalui Pendekar 212 tak dapat lagi menahan tawanya.
“Anak sableng!”
Si Raja
Penidur terdengar mengomel di sebelah depan. “Kalau kau tak bisa diam, aku
lebih baik tidur saja di lorong ini. Kalian boleh menunggu aku bangun sampai
berbulan-bulan…”
“Kek,
maafkan diriku…” ujar Wiro.
“Apa yang
lucu hingga kau tertawa begitu rupa?!” tanya Si Raja Penidur pula.
“Anu Kek…
Maksudku si Anu anu-nya sudah tidak ada anunya lagi. Jadi benar-benar sudah
anu…” jawab Wiro.
“Dasar
anak gila!” maki Si Raja Penidur.
Di
sebelah belakang, Wiro dan juga Sandaka setengah mati menahan tawa.
TAMAT
No comments:
Post a Comment