Aksara
Batu Bernyawa
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
PANTAI
Selatan. Arah timur Parangteritis. Menjelang tengah malam. Langit kelihatan
hitam diselimuti awan tebal yang telah menggantung sejak senja berlalu. Tiupan
angin keras dan dingin terasa menusuk sangat. Kalau saja tidak ada suara debur
gulungan ombak yang kemudian memecah di pasir, kawasan pantai selatan itu
niscaya diselimuti kesunyian berkepanjangan.
Di balik
sederetan semak belukar liar, dua sosok berpakaian dan berdestar hitam mendekam
tak bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang nyaris hanya sesekali
berkedip memandang lekat ke tengah lautan. Ketika salah seorang diantara mereka
keluarkan ucapan memaki, hanya mulut saja yang bergerak. Kepala dan tubuh tetap
diam.
"Sialan!"
Orang yang memaki ini memiliki kepala besar. Sepasang alis kelihatan aneh
karena yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan berwarna putih
rimbun. Hidung besar tapi kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi ada
bentol-bentol hitam. Wajah manusia satu ini sungguh sangat tidak sedap untuk
dipandang.
“Apa yang
sialan Putu Arka?" tanya kawan si alis aneh yang duduk mencangkung di
sebelah. Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang lancip. Kalau Putu Arka
memiliki keanehan pada sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan pada mata
kiri. Mata ini putih semua seolah tidak ada bola mata, tapi anehnya mampu
melihat seperti mata kanan yang terlihat jelas bola matanya.
“Langit
itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan telunjuk tangan kanan ke atas.
“Langit?"
Teman yang bertanya mendongak ke atas, menatap ke arah langit. "Ada apa
dengan langit?"
"Apa
matamu buta?!" Suara Putu Arka menyentak tapi perlahan. Kedua orang ini
sengaja tak mau bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak mereka
ketahui mendekam di sekitar tempat itu dan mendengar percakapan mereka.
"Belum,
mataku belum buta. Memangnya kenapa?" sahut Wayan Japa yang disusul dengan
pertanyaan.
"Langit
ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat bintang satupun! Aku tidak bisa
menentukan saat ini apakah menjelang atau sudah tengah malam atau sudah lewat
tengah malam! Waktu sangat penting bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit kita
tidak akan mendapatkan benda itu. Percuma jauh-jauh dari Buleleng datang ke
sini. Kalau kita gagal, apa kata guru. Sekarang apa kau mengerti mengapa aku
tadi memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala. "Cuaca memang tidak
membantu. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan lebat. Jadi sebaiknya kita
teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga saat ini baru menjelang tengah
malam. Seandainya.."
Putu Arka
pegang lengan kawannya.
"Ada
apa?" tanya Wayan.
"Hidungmu
belum rusak?"
"Maksudmu?"
Wayan Japa bertanya heran.
"Tadi
langit, sekarang hidungku."
"Apa
kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu Arka bertanya sambil pelototkan mata.
Wayan
Japa tinggikan hidung lalu menghirup udara dalam-dalam.
"Astaga!"
"Sekarang
kau tahu! Kau mencium bau apa?!" Tukas Putu Arka.
"Menyan,
bau menyan…" jawab Wayan Japa.
"Di
tempat sesunyi ini, malam buta begini menurutmu apakah ada orang gi!a yang
datang ke sini untuk membakar menyan?"
Wayan
Japa gelengkan kepala. "Tentu saja tidak. Tapi…tapi ini bukan bau menyan
sungguhan. Ini bau rokok. Rokok klobot…"
"Bagus,
kau sadar sekarang, ucap Putu Arka.
"Nyoman
Carik! Pasti dia! Siapa lagi!"
"Hebat!"
Putu Arka menyeringai. Tampangnya tambah buruk. "Kau tetap di sini. Aku
akan memberi pelajaran pada manusia satu itu. Ini urusan besar. Urusan nyawa.
Enak saja dia membuat ulah yang bisa mengundang datangnya maut!"
Wayan
Japa melihat kilatan menggidikkan di sepasang mata Putu Arka dan cepat
berbisik.
“Putu,
jangan kau bunuh sahabat kita itu."
Putu Arka
menyeringai. "Aku akan pertimbangkan nasihatmu itu. Tetap memperhatikan ke
arah laut."
Wayan
Japa mengangguk. Hatinya terasa tidak enak. Putu Arka perlahan-lahan baringkan
tubuh, menelentang di tanah. Dua kaki dilunjur lurus, dua tangan disilangkan di
atas dada. Tiba-tiba tubuh itu bergerak ke samping. Laksana batang kayu
berguling menggelinding, membuat pasir beterbangan ke udara. Belum sempat Wayan
Japa kedipkan mata sosok Putu Arka telah lenyap.
Di balik
serumpunan semak belukar sekitar dua belas tombak di arah belakang tempat Putu
Arka dan Wayan Japa berada. Seorang lelaki yang juga berdestar dan berpakaian
serba hitam duduk menjelepok di pasir asyik menikmati sebatang rokok yang
asapnya menebar bau kemenyan. Orang bertubuh tinggi kurus ini jadi terganggu
ketika tiba-tiba ada suara bersiur. Sebuah benda menggelinding di tanah dan di
lain kejap benda itu berubah menjadi sosok manusia yang setengah berjongkok
memandang garang ke arahnya.
"Putu
Arka, ada apa…?"
"Bangsat
jahanam tolol! Kau masih bisa bertanya ada apa?!" bentak Putu Arka.
"Apa kau masih tidak sadar apa yang tengah kau lakukan?!"
"Aku….Memangnya….Bukankah
kau menyuruh aku sembunyi di tempat ini. Mengawasi kalau-kalau ada orang lain
yang datang, jika ada orang muncul aku harus membunuhnya. Jika mereka lebih
dari
satu aku
harus memberi tanda dengan bunyi suara burung…"
Darah
Putu Arka seolah mau muncrat dari ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak mencabut
rokok yang terselip di bibir Nyoman Carik. Rokok dibanting hingga amblas lenyap
masuk ke dalam tanah!
"Kita
tengah menghadapi pekerjaan besar. Rahasia besar! Tanggung jawab besar! Kau
beraninya bertindak ceroboh! Merokok! Nyala api rokok dimalam gelap akan mudah
dilihat orang! Bau kemenyan yang menyebar akan mudah tercium! Sungguh sembrono
perbuatanmu, Nyoman Carik!"
"Ah…."
Nyoman Carik luruskan tubuhnya yang kurus. Dua kaki yang dilipat dibuka
sedikit. Orang ini membungkuk seraya berucap. "Mohon maafmu Putu
Arka."
"Aku
maafkan dirimu! Tapi sesuai pesan guru setiap kesalahan besar mati
hukumannya!"
Tangan
kanan Putu Arka bergerak ke atas.
Nyoman
Carik melihat kilatan maut di kedua mata Putu Arka.
"Putu,
jangan…."
Tangan
kanan Putu Arka menghantam laksana palu godam.
"Praakk!"
Sosok
malang Nyoman Carik terbanting ke kiri. Sebelum tubuh itu terkapar di tanah
Putu Arka telah berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian dia sudah
berada di samping Wayan Japa kembali, di belakang semak belukar.
“Sudah…."
jawab Putu Arka pendek. Wajahnya yang buruk diarahkan ke laut. Lalu dia menatap
ke langit. Masih geiap, tak kelihatan satu bintangpun.
"Apa
yang sudah?" Wayan Japa bertanya. Hatinya syak tidak enak.
Aku sudah
memberi pelajaran pada sahabat kita satu itu.’ Menerangkan Putu Arka.
"Maksudmu,
kan telah membunuh Nyoman Carik?"
"Kira-kira
begitu." Putu Arka menyeringai,
“Gila
kau! Jahat sekali membunuh teman sendiri!"
"Teman
tidak iagi teman namanya kalau berlaku sembrono yang bisa membuat kematian
diriku. Juga
kematian
bagi dirimu!"
"Hanya
karena merokok?"
"Itu
cuma penyebab."
Wayan
Japa pegang lengan temannya. "Aku tidak percaya kau telah membunuh Nyoman
Carik."
"Sahabat,
kau membuatku jadi kesal. Kalau tidak percaya pergi saja ke balik semak belukar
sana. Periksa sendiri apakah Nyoman Carik masih hidup! Kurasa saat ini dia
sudah jadi bangkai tak berguna!"
Wayan
Japa terdiam. Dia palingkan kepala ke arah semak belukar di kejauhan. Gelap.
Tengkuknya terasa dingin. Hatinya menduga-duga keculasan sudah mulai muncul
diantara mereka. Putu Arka telah membunuh Nyoman Carik. Kini nanya tinggal
mereka berdua. Dalam hati Wayan Japa membatin. "Setelah dapatkan barang
itu pasti dia juga akan membunuh diriku. Aku harus berlaku waspada. Aku harus
mendahuluinya." “Putu, bagaimana kita mempertanggung jawabkan komatian Nyoman
Carik pada guru?"
“Soal
nyawa Nyoman Carik guru tidak akan mau tahu. Kepadanya kita hanya
mempertanggung jawabkan keberhasilan kita mendapatkan barang itu!
Kembali
Wayan Japa terdiam. Lalu didengarnya suara Putu Arka berkata.
"Ketololan
Nyoman Carik telah mengundang orang lain ke tempat ini! Kita berada dalam
pengintaian musuh yang juga menginginkan barang itu! Mereka tahu kita berada di
sini!"
Wayan
Japa terkejut. Membuka mata lebarlebar, memasang telinga. Memandang berkeliling.
Dia tidak melihat apa-apa selain semak belukar dan pepohonan dalam kegelapan.
Dia juga tidak mendengar suara lain kecuali tiupan angin dan deburan ombak di
pasir pantai.
"Ketika
aku berguling di tanah tadi, aku sempat melihat bayangan manusia di atas pohon
sana. Sewaktu kembali ke sini sekali lagi aku melihat. Ada dua orang di atas
pohon. Mungkin lebih tapi yang kulihat jelas hanya dua orang."
Wayan
Japa segera hendak palingkan kepala ke arah pohon yang dimaksudkan temannya
tapi Putu Arka cepat berkata. "Jangan menoleh! Jangan memandang ke arah
pohon! Mereka tengah mengawasi gerak-gerik kita. Pandanganmu ke arah pohon
hanya akan memberi tanda bahwa kita sudah mengetahui kehadiran mereka. Kita
pura-pura tidak tahu tapi harus waspada! Jangan berbuat tolol seperti Nyoman
Carik!"
"Lalu
apa yang akan kita lakukan?"
"Apa
yang ada di benakmu?" balik bertanya Putu Arka.
"Sebelum
makhluk pembawa barang muncul, bagaimana kalau kita habisi dulu kedua orang
itu. Hingga tidak perlu repot-repot belakangan."
"Itu
namanya perbuatan sangat tolol! Menghabiskan tenaga sebelum pekerjaan
selesai!" jawab Putu Arka pula. Setelah diam sebentar Putu Arka berkata.
"Wayan, kau mengambil
alih
tugas Nyoman Carik. Begitu makhluk pembawa barang muncul aku akan merampas
barang dan kau menghadang dua masuh di atas pohon."
"Baik
Putu," jawab Wayan Japa namun hati kecilnya kemudian berkata.
"Setelah kau dapatkan barang itu hanya ada dua kemungkinan. Kau akan
kabur, atau kau lebih dulu membunuhku."
TAK jauh
dari rumpunan semak belukar tempat beradanya Putu Arka dan Wayan Japa. Di atas
sebatang pohon besar berdaun lebat mendekam dua sosok berdandanan aneh. Muka
tua tertutup celemongan entah dipoles dengan apa. Mungkin cat atau kapur.
Rambut sama putih, awut-awutan menjela punggung. Pakaian compang camping penuh
tambalan. Dari jarak sepuluh langkah seseorang bisa mencium bagaimana tubuh
maupun pakaian kedua orang ini menebar bau apek tidak enak. Di atas pohon
keduanya memperhatikan keadaan sekitar pantai. Rupanya sejak lama mereka sudah
melihat gerak gerik Putu Arka dan Wayan Japa. Mereka juga telah mengetahui
keberadaan Nyoman Carik yang sembunyi beberapa tombak di belakang sana.
Orang tua
pertama berbisik pada kawannya.
"Kita
kedahuluan, tapi belum terlambat. Aku tidak dapat memastikan siapa tiga
cecunguk itu. Tapi hembusan asap rokok yang menebar bau kemenyan salah seorang
dari mereka mengingatkan aku pada tiga tokoh dari Bali. Mereka berasal dari
Buleleng. Kalau tidak salah mereka dijuluki Tiga Hantu Buleleng."
"Sakra
Kalianget, mereka boleh datang duluan. Tapi barang itu tak bakal menjadi milik
mereka."
Orang tua
bernama Sakra Kalianget menyeringai lalu usap mukanya yang celemongan.
"Jangan
keliwat takabur sobatku Bayusongko. Tiga Hantu Buleleng sudah punya nama di
rimba persilatan kawasan timur."
"Aku
tidak takabur. Apa lagi aku pernah dengar, walau terikat dalam satu kelompok,
namun setiap mereka memiliki hati culas. Lebih suka mementingkan diri sendiri.
Lihat saja nanti, kalau salah seorang dari mereka dapatkan barang itu,
ketiganya akan tega saling berbunuhan untuk
dapat
menguasai."
"Kabarnya
barang itu memang tidak bisa dimiliki lebih dari satu orang," ucap orang
tua berpakaian rombeng bernama Sakra Kalianget,
Bayusongko
menatap tajam-tajam ke mata sahabat yang duduK di cabang pohon di atasnya.
"Maksudmu,
kaiau barang itu jatuh ke tangan kita, salah seorang dari kita harus mati? Kau
mau membunuhku? Begitu?"
Sakta
Kalianget tutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Di balik telapak dia
tertawa mengekeh tanpa suara.
"Kita
berdua bukan orang-orang sinting! Hal itu tidak akan terjadi…"
"Sukra…."
Bayusongko pegang kaki temannya.
"Pasang
telingamu. Aku dengar sayup-sayup suara dua orang di depan tengah bicara.
Seperti bertengkar. Hai, lihat…."
Sakra
Kalianget sibakkan pohon yang menghalangi pemandangannya lalu menunjuk ke arah
rerumpunan semak belukar. Di bawah sana, di balik semak belukar saat itu Putu
Arka tampak membaringkan badan ke tanah.
Apa yang
dilakukan manusia itu? Tidur? Gila betul!" ucap Bayusongko. Lalu dia
keluarkan suara terkejut. "Astaga, lihat…"
Sosok
Putu Arka berguling di tanah. Pasir beterbangan. Cepat sekali gerakan tubuh
yang menggelinding itu lewat di bawah pohon lalu sampai di balik serumpunan
semak belukar dimana Nyoman Carik tengah sembunyi sambil asyik-asyikan merokok.
"Manusia
tolol! Sengaja menggelinding di tanah agar tidak terlihat orang! Padahal
keberadaan dia dan kawan-kawan sudah kita ketahui!"
Diam
Bayu! ujar Sakra Kalianget sambil menampar perlahan kepala teman yang berada di
cabang pohon di sebelah bawah. "Aku mendengar benda berderak pecah. Lalu
suara tubuh jatuh ke tanah…"
Dari
tempatnya berada di atas pohon, meski lebih rendah dari kedudukan Sakra
Kalianget namun Bayusongko bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi. Dia
keluarkan suara seperti mau muntah.
"Kenapa
kamu?" tanya Sakra Kalianget.
"Yang
kau dengar adalah suara kepala pecah! Orang yang menggelinding tadi membunuh
kawannya sendiri. Orang yang merokok! Gila!"
"Gila
tapi bagus! Berarti kekuatan mereka kini tinggal dua orang! Lebih mudah bagi
kita untuk merampas barang itu kalau sudah ada di tangan mereka."
"Rupanya
benar kabar yang tersiar. Tiga Hantu Buleleng itu masing-masing berhati culas.
Apapun alasannya orang satu itu membunuh temannya. aku yakin tujuan hati
busuknya adalah untuk mengurangi persaingan. Kelak dia bakal membunuh temannya
yang satu lagi…"
‘Bisa
begitu Bayu, bisa begitu…" ucap Sakra Kalianget pula.
"Sakra,
apa kita tetap pada siasat semula? Membiarkan mereka mendapatkan barang itu
lebih dulu baru merampasnya?"
"Siasat
tidak berubah. Kita, siapapun, sekalipun memiliki kepandaian setinggi langit
sedalam lautan, tidak bakal dapat merampas barang itu. Tiga Hantu Buleleng
mampu melakukan karena mereka punya penangkal, tahu rahasia kelemahan makhluk
yang membawa barang."
Bayusongko
mengangguk-angguk, usap-usap dagunya yang celemongan lalu alihkan pandangan
mata ke tengah laut. Dalam hati dia bertanya-tanya. Bagaimana bentuk makhluk
yang akan muncul membawa barang itu? Lebih dari itu bagaimana pula ujud barang
yang akan mereka rampas lalu diserahkan pada guru mereka di Danau Buyan di
Buleleng?
*********************
2
ANGIN
dari arah laut bertiup dingin mengandung garam. Sementara langit semakin hitam
tanpa bintang. Laut selatan diselimuti udara gelap gulita. Gemuruh suara ombak
yang bergulung untuk kemudian memecah di pasir pantai terdengar tidak
berkeputusan. Tiba-tiba di ufuk tenggara menyambar kilat, seolah muncul dari
dalam samudera, melesat ke angkasa membuat guratan seperti membelah langit.
Untuk sesaat kawasan pantai selatan terang benderang oleh sambaran cahaya
kilat. Di lain kejap kegelapan kembali membungkus.
Di balik
semak belukar Putu Arka mengusap wajah, membuka mata lebar-lebar memandang ke
tengah laut. Dia mendongak ke langit, coba mencari bintang pertanda. Tak
kelihatan satu bintangpun. Tapi dalam hatinya tokoh silat dari Buleleng ini
punya dugaan keras. Saat menjelang tepat tengah malam telah tiba. Makhluk
pembawa barang akan segera muncul. Dan hujan rintikrintik mulai turun.
Sekali
lagi kilat berkiblat. Kali ini di arah barat. Begitu cahaya terang sirna dan
kegelapan kembali muncul, mendadak di tengah laut tampak satu cahaya kehijauan,
seolah keluar dari dasar samudera. Secara aneh, entah apa yang terjadi, entah
kekuatan dari mana yang turun ke bumi. tiba-tiba ombak di laut berhenti
bergulung. Air laut diam tak bergerak seperti berubah menjadi hamparan rumput
luar biasa luas. Tak ada lagi ombak yang bergulung dan memecah di pasir pantai.
Anginpun berhenti bertiup dan hujan rintikrintik lenyap. Seantero kawasan
pantai selatan gelap pekat dan sunyi senyap.
“Saatnya….saatnya
sudah tiba," kata Putu Arka dalam hati. Dadanya berdebar, wajah buruknya
tampak tegang, mata terpentang lebar, menatap tak berkesip ke arah laut. Di
belakang sana Wayan Japa merasa tegang. Sekilas dia memandang ke arah laut.
Lalu kembali berpaling ke jurusan semula. Sesuai tugas, dia harus mengawasi
kemunculan mendadak orang-orang yang tidak diingini. Saat itu sepasang matanya
tidak lepas dari memperhatikan pohon besar dimana menurut Putu Arka bersembunyi
dua orang tak dikenal.
Keheningan
yang muncul mendadak membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat
bergidik.
"Keanehan
apa ini?! Mengapa mendadak sunyi seperti di liang kubur! Ombak berhenti
bergulung, angin tidak bertiup dan hujan yang barusan turun juga berhenti! Apa
yang terjadi?!" Berucap Bayusongko yang berada di atas pohon besar.
"Saat
yang ditunggu sudah tiba! Kita berada di tepat tengah malam. Ini saat munculnya
makhluk yang membawa benda mustika itu. Menurut petunjuk dia akan keluar
dari…." Ucapan Sakra Kalianget terputus. Dia meraba daun telinga sebelah
kiri. "Ada suara kuda berlari dari arah timur. Menuju ke sini.
Tapi….Mengapa tiba-tiba lenyap?"
Ada orang
lain yang tahu urusan besar ini. Kita harus lebih waspada," bisik
Bayusongko.
Di balik
semak belukar Putu Arka yang memperhatikan ke tengah laut tanpa berkesip
mendadak melihat cahaya hijau yang sejak tadi diawasinya berubah tambah panjang
dan tambah terang. Tiba-tiba cahaya itu melesat ke atas. Air laut laksana
terbelah. Cahaya hijau keluar dari dalam laut mengeluarkan suara bergemuruh.
Kawasan pantai bergetar, pepohonan bergoyang. Di tepi pantai pasir berhamburan
sampai setinggi dan sejauh dua tombak. Saat itu pula air laut kembali,
bergerak. Ombak menderu bergulung ke pantai. Angin kembali bertiup kencang dan dingin.
Lalu hujan rintik-rintik kembali turun dan dengan cepat berubah deras.
Putu Arka
tudungi kedua matanya dengan tangan kiri. Tak tahan silau cahaya hijau yang
keluar dari laut. Ketika dia dapat melihat dengan jelas, kejut tokoh silat dan
Bali ini bukan alang kepalang. Yang barusan melesat keluar dari dalam laut
disertai pancaran cahaya hijau menyilaukan ternyata adalah sosok seekor ular
besar dan panjang berkulit hijau. Sebagian tubuhnya masih berada didalam air
laut. Luar biasanya sosok ular ini memiliki kepala seorang nenek berambut
hijau, punya sepasang tanduk hijau serta dua mata yang juga hijau. Dua
tangannya memegang sebuah peti kayu hitam yang diikat dengan akar tumbuhan laut
berwarna hijau. Di atas kepalanya ada sebentuk mahkota terbuat dari batu hijau.
Keseluruhan sosok nenek ular ini, mulai dari kepala sampai ke bawah memancarkan
cahaya hijau menyilaukan. Orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng ini tidak
pernah menduga kalau inilah makhluk yang akan ditemuinya.
Dalam
kejut dan ketersiapannya Putu Arka perhatikan peti kayu hitam yang dipegang
nenek ular. "Peti itu…." katanya dalam hati. "Itu, yang harus
aku dapatkan. Makhluk itu pasti tak akan mau menyerahkan secara suka rela. Aku
harus merampasnya. Di dalam peti pasti tersimpan barang yang dicari. Mustika
pembawa nyawa, pemberi kehidupan baru!"
Putu Arka
usap wajah buruknya yang basah oleh air hujan lalu bergeser ke kanan. Saatnya
dia keluar dari balik semak belukar. Gerakannya terhenti sebentar ketika
dilihatnya manusia ular rundukkan tubuh bagian atas lalu meluncur di atas air
menuju pasir pantai. Begitu makhluk aneh mengerikan itu sampai di atas pasir,
Putu Arka tidak menunggu lebih lama. Dia segera melompat keluar dari balik
semak belukar lalu melesat ke tepi pasir.
"Makhluk
ular kepala manusia! Serahkan peti yang kau bawa padaku!"
Putu Arka
berteriak keras. Suaranya menggelegar di bawah deru hujan. Tokoh silat dari
Bali ini tentu saja menyertai teriakannya tadi dengan kekuatan tenaga dalam.
Nenek ular serta merta angkat kepala. Sepasang matanya yang hijau memandang
menyorot ke arah orang yang barusan membentak. Tiba-tiba si nenek keluarkan
suara tertawa aneh. Ketika mulutnya terbuka kelihatan lidah berwarna hijau,
menjulur terbelah di sebelah ujung. Makhluk bertubuh ular berkepala manusia ini
bersurut setengah tombak. Ekornya melesat ke atas, menekuk di udara. Seperti
buntut kalajengking yang siap menyengat, membuat Putu Arka harus berlaku
hati-hati.
"Anak
manusia, siapapun kau adanya pasti sudah lama menunggu di tempat ini. Kau
begitu sabar menantikan kematianmu. Apakah kau sendirian atau punya teman.
Suruh mereka segera keluar agar aku tidak terlalu banyak menghabiskan waktu
dan tenaga untuk menyingkirkan kalian!"
Putu Arka
mengeram marah.
"Aku
meminta untuk kali kedua. Itu merupakan kali yang terakhir! Serahkan peti kayu
padaku!"
"Kau
meminta barang yang bukan hakmu! Kau ini bangsa maling, begal atau
rampok?!" Nenek ular sehabis berucap kembali tertawa aneh.
"Makhluk
tolol! Kau lebih sayang peti itu dari nyawamu! Lihat, apa yang ada di
tanganku!"
Dua
tangan Putu Arka yang sejak tadi dimasukkan ke balik baju hitam yang basah
kuyup melesat keluar. Dia kembangkan telapak tangan. Di atas telapak tangan
kiri terdapat sehelai daun sirih. Di telapak tangan kanan kelihatan sebuah
Bawang putih tunggal.
Tampang
nenek ular serta merta berubah begitu melihat sirih dan bawang putih tunggal
Tubuh ularnya mengkeret dan bersurut sampai satu tombak.
"Manusia
beralis hitam putih! Katakan siapa Kau sebenarnya?!"
Putu Arka
menyeringai. Maklum makhluk tubuh ular kepala manusia itu kini merasa jerih
terhadapnya.
"Aku
tidak suruh kau bertanya. Aku perintahkan agar kau segera menyerahkan peti
kayu!" Habis berkata begitu Putu Arka lalu remas daun sirih di tangan kiri
dan bawang putih tunggal di tangan kanan. Daun sirih dan bawang putih yang
sudah hancur kemudian dimasukkannya ke dalam mulut, dikunyah lumat-lumat.
"Manusia
ini tahu kelemahanku’ Aku harus membunuhnya sebelum dia menyemburkan kunyahan
daun sirih dan bawang putih." Nenek ular berkata daiam hati. Lalu sambi!
surutkan tubuh ularnya dan rundukkan kepala dia keluarkan ucapan.
‘Aku
menaruh hormat dan tunduk padamu. Mungkin kau memang orangnya kepada siapa aku
harus menyerahkan peti kayu ini. Maafkan kelancanganku. Harap kau sudi
menerima." Nenek ular rundukkan kepala lebih ke bawah. Dua tangan yang
memegang peti kayu diulurkan ke depan kearah orang yang meminta. Putu Arka
tokoh silat berpengalaman. Dia tidak bodoh. Dia mencium gelagat yang tidak
baik. Tipu daya! Dan ternyata betul. Hanya seuluran tangan peti kayu berada di
depan Putu Arka, tiba-tiba ekor nenek ular yang ditarik tadi menekuk di udara
menghantam kearah kepala Putu Arka. Cahaya hijau berkiblat menyertai serangan
maut itu!
Didahului
bentakan keras Putu Arka melompat ke samping. Ekor ular menderu dahsyat,
membongkar tanah. Pasir pantai berhamburan ke udara di tempat itu kelihatan
lobang besar sedalam hampir setengah tombak. Dapat dibayangkan kalau hantaman
ekor ular mengenai kepala Putu Arka.
Begitu
ioios dari serangan maut Putu Arka cepat melesat ke udara. Pada saat kepalanya
sejajar dengan kepala nenek ular dia semburkan selengah dari kunyahan daun
sirih dan bawang putih yang ada dalam mulut. Hampir bersamaan dengan itu nenek
ular sentakkan kepala.
"Wuss!
Wusss!"
Dari
sepasang mata nenek ular melesat dua sinar hijau menggidikkan. Tapi dua larik
sinar maut itu serta merta menghambur berantakan begitu terkena semburan
kunyahan daun sirih dan bawang putih tunggal. Nenek ular keluarkan suara
meraung panjang aneh menggidikkan. Suara ini seperti raungan anjing namun pada
ujung raungan berubah seperti ringkikan kuda. Kepala nenek ular terbanting ke
belakang. Sekujur tubuh ularnya bergoncang keras. Dalam keadaan menghuyung
makhluk ini buka mulutnya. Lidah hijau terbelah dijulurkan. Memancarkan cahaya
hijau menyeramkan.
Putu Arka
yang maklum kalau lawan kembali hendak menyerang. Dengan cepat jungkir balik di
udara. Sambil menukik dia semburkan sisa kunyahan daun sirih dan bawang putih
ke arah kepala nenek ular. Makhluk yang belum sempat menyemburkan racun maut
dari mulutnya kembali meraung keras. Semburan kunyahan daun sirih dan bawang
putih tepat mengenai wajahnya. Saat itu juga kepala nenek ular kelihatan
berpijar hebat, mengepulkan asap hijau lalu seperti lilin terbakar kepala itu
leleh, berubah menjadi cairan hijau. Luar biasa mengerikan. Dua tangan si nenek
terpentang ke udara. Menggapai-gapai. Peti kayu yang sejak tadi dipegangnya
terlepas jatuh.
Perlahan-lahan
sosok ular si nenek tersurut dan tenggelam ke dalam laut. Putu Arka bertindak
cepat. Dua kaki dijejakkan ke pasir. Tubuhnya melesat ke udara, menyambar kayu
hitam yang siap jatuh ke dalam laut.
"Dapat!"
Di balik semak belukar Wayan Japa berucap gembira sambil kepalkan tangan ketika
melihat sobatnya Putu Arka berhasil menangkap dan mendapatkan peti kayu yang
terlepas jatuh dari pegangan makhluk ular kepala manusia.
Namun
pada saat yang sama, di arah belakangnya terdengar sambaran angin. Dua makhluk
aneh, berwajah celemongan melesat turun dari pohon besar. Musuh yang
ditunggu-tunggu telah keluar unjukkan diri. Sesuai yang sudah diatur, Wayan
Japa segera keluarkan suara siulan menyerupai suara burung malam. !ni adalah
tanda yang harus diberikannya pada Putu Arka.
Putu Arka
sempat mendengar suara siulan pertanda yang diberikan Wayan Japa. Tapi seperti
yang sudah diduga, keculasan pada masingmasing Tiga Hantu Buleleng ini menjadi
kenyataan. Bukannya datang untuk membantu sahabatnya, malah sambil menyeringai
Putu Arka berbalik kabur ke arah barat membawa peti kayu. Dia tidak menyadari
justru pada saat yang hampir bersamaan dari arah berlawanan terdengar derap
kaki kuda mendatangi.
SEBELUM
turun dari atas pohon besar, Sakra Kalianget berkata pada temannya.
‘Bayusongko, kau serang si penghadang. Aku mengejar orang yang melarikan peti
kayu!"
Dua tokoh
silat dari Madura itu segera berkelebat turun dari atas pohon sambil hunus
senjata masing-masing yakni sebilah clurit terbuat dari besi biru dilapisi
emas. Sakra Kalianget langsung mengejar Putu Arka sedang Bayusongko menyerbu ke
arah Wayan Japa yang memang bertindak sebagai penghadang.
Begitu
saling berhadapan Bayusongko tenangtenang saja melintangkan clurit emas di
depan dada. Sementara Wayan Japa tidak dapat menyembunyikan rasa kaget ketika
melihat siapa yang berdiri di hadapannya dan siap menyerbu. Namun dia cepat
menguasai diri dan merubah sikap.
"Owalah!"
ucap Wayan Japa. "Lihat siapa yang jual tampang di hadapanku! Muka
celemongan, pakaian rombeng penuh tambalan, menebar bau busuk. Bersenjata
clurit emas! Siapa lagi kalau bukan tua bangka berjuluk Pengemis Clurit Emas
dari Madura!"
Disapa
orang begitu rupa Bayusongko tertawa mengekeh.
"Malam
begini gelap, hujan pula! Tidak sangka orang masih mengenali diriku! Rupanya
aku memang sudah jadi tokoh kesohor! Ha…ha…ha!"
"Tunggu!
Jangan buru-buru berucap sombong!" Hardik Wayan Japa. "Biasanya
Pengemis Clurit Emas selalu muncul berdua. Mana temanmu? Apa lagi mengemis di
tempat lain? Ha…ha…ha!"
"Apa
perduiimu dimana temanku!’ jawab Bayusongko lalu keluarkan suara mendengus.
Wayan
Japa maklum kalau ejekannya membuat lawan mulai marah. Maka dia kembali
keluarkan ucapan.
"Malam-malam
buta begini. Di tempat sepi. Ketika cuaca begini buruk! Aneh kalau kau muncul
untuk mengemis! Sendirian pula!"
Bayusongko
menahan amarahnya. Batuk-batuk lalu tertawa gelak-gelak.
Kalau
mengemis nyawa manusia waktunya tidak perlu diatur, Malam-malam seperti ini
memang paling tepat untuk minta nyawa orang. Berbarangan dengan kehadiran setan
laut yang pasti banyak gentayangan di sekitar sini! Ha…ha. .ha!"
"Tolol
sekali!" tukas Wayan Japa. "Senjata saja terbuat dari emas. Masih mau
mengemis! Jua! saja cluritmu kalau tidak punya uang! Aku sering mendengar
kabar. Banyak pengemis yang sebenarnya kaya raya. Di kampung punya tiga rumah
dan tiga istri! Kau pasti termasuk pengemis macam begituan!"
"Ah,
rupanya Pengemis Clurit Emas memang sudah tersohor. Sampai-sampai kau tahu
keadaan diriku! Hai, kalau aku mau menjual clurit ini, apa kau mau
membeli?!"
"Siapa
sudi!" jawab Wayan Japa lalu meludah ke tanah.
"Kalau
begitu biar clurit ini aku berikan cumacuma padamu!" kata Bayusongko pula
lalu menerjang ke depan sambil babatkan senjatanya. Sinar terang kuning
berkiblat dalam gelapnya udara dan curahan hujan lebat.
Wayan
Japa cepat menyingkir selamatkan diri. Sinar kuning clurit emas membabat udara kosong.
Curahan air hujan seolah tertahan. Dari sambaran angin yang menggetarkan
pakaian dan tubuhnya Wayan Japa maklum, bukan saja senjata di tangan lawan
merupakan senjata berbahaya tapi yang melancarkan serangan juga memiliki tenaga
dalam tinggi.
Sambil
melompat mundur mengelak serangan orang Wayan Japa cepat loloskan destar hitam
di kepala. Destar yang basah oleh air hujan diperas dulu, lalu ditarik,
direntang dan diurut-urut. Sesaat saja destar hitam itu telah berubah menjadi
keras dan lurus. Destar dibolang baling mengeluarkan suara bersiuran. Luar
biasa, destar yang terbuat dari kain itu kini berubah menjadi sebatang tongkat
sepanjang lima jengkal.
Bayusongko
tertawa bergelak.
"Hantu
Dari Buleleng yang katanya punya nama besar di rimba persilatan ternyata cuma
punya senjata butut! Kau akan mampus lebih cepat kalau hanya mengandalkan
destar bau tengik itu!" ejek Bayusongko.
"Jangan
banyak mulut! Terima kematianmu!" kertak Wayan Japa. Lalu orang kedua dari
Tiga Hantu Buleleng ini menerjang lancarkan erangan dalam jurus bernama Tongkat
Hantu menghidang Iblis.
Seolah
mengejek dan memandang rendah lawan, Bayusongko sengaja tegak diam menunggu
datangnya serangan Wayan Japa.
*********************
3
SIKAP
memandang enteng senjata dan serangan lawan serta merta berubah jadi keterkejutan
besar. Malah Bayusongko sampai-sampai keluarkan seruan tertahan. Destar hitam
di tangan Wayan Japa laksana seekor ular bisa berubah lentur. Laksana seekor
ular mematuk kian kemari, menyerang tiga bagian tubuh Bayusongko dalam satu
gebrakan! Untuk mengelakkan hantaman ujung destar yang mengarah ke bagian dada,
perut dan betisnya Bayusongko dipaksa berkelebat dan berjingkrak kian kemari.
Untung saja orang tokoh silat dari Madura ini memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dia mampu selamatkan diri dari tiga kali
hantaman senjata lawan.
Bayusongko
menggeram dalam hati. Baru jurus pertama lawan mampu membuatnya kelabakan
begitu rupa. Hatinya jadi panas ketika Wayan Japa keluarkan ucapan.
"Ha…ha!
Aku tidak sangka pengemis bisa berubah jadi monyet! Jingkrak sana jingkrak
sini!"
"Umur
tinggal sejengkal! Masih mau bicara sombong!" hardik Bayusongko pula.
"Lihat clurit!"
Bayusongko
membuat satu terjangan. Dua kaki melesat di atas tanah. Tubuh meliuk aneh.
Clurit emas diputar di atas kepala, lalu menukik dalam bentuk serangan ke arah
pinggang lawan. Ketika Wayan Japa mundur dua langkah untuk elakkan sambaran
clurit, tubuh Bayusongko yang masih mengapung di udara kembali membuat liukan
aneh dan settt! Clurit emas tahu-tahu membabat ke arah leher Wayan Japa!
Sambil
surutkan kaki kiri ke belakang dan kepala dirundukkan, Wayan Japa sambut
serangan orang dengan jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat. Destar hitam
berkelebat searah perut lawan yang tidak terjaga,, membuat kakek bernama Bayusongko
terpaksa lentingkan tubuh ke belakang dan begitu berhasil selamatkan perutnya
dari sambaran destar dia teruskan babatan clurit ke arah leher lawan.
Jurus
Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat yang dimainkan orang kedua dari Tiga Hantu
Buleleng ini bukan satu jurus kosong. Ujung destar yang telah berubah menjadi
sebatang tongkat luar biasa ampuhnya, berkelebat di udara. Ujung atas melintang
di depan leher, ujung bawah menohok ke arah perut lawan!
"Trangg!"
Tongkat
destar beradu dengan clurit emas, mengeluarkan suara berkerontangan seolah dua
logam atos saling bentrokan di udara! Bunga api memercik. Destar mengeluarkan
cahaya hitam sedang clurit menebar percikan cahaya kuning benderang.
Bentrokan
senjata membuat tangan pengemis tua Bayusongko yang memegang clurit tergetar
keras. Ini sudah cukup membuat tokoh silat dari Madura ini jadi terkejut. Dia
tidak menyangka lawan memiliki kekuatan tenaga begitu besar serta senjata aneh
yang tak bisa dianggap enteng. Dan belum habis kejutnya tiba-tiba bagian bawah
tongkat lawan menderu ke arah perutnya!
"Bukkk!"
"Hueekk!"
Bayusongko
mengeluh tinggi dan muntahkan darah segar. Tubuhnya terlipat ke depan. Tangan
kiri meraba perut karena mengira perut itu sudah jebol dihantam tongkat yang
terbuat dari destar tapi kerasnya tidak beda dengan pentungan besi! Ketika dia
hendak mengusap darah yang membasahi mulutnya, tiba-tiba tongkat di tangan
Wayan Japa kembali menderu. Kali ini dalam gerakan mengemplang ke arah batok
kepala si pengemis yang berdiri setengah terbungkuk karena menahan sakit pada
perutnya dan tengah menyeka darah di mulut.
Untungnya
Bayusongko masih sempat melihat serangan maut itu. Secepat kilat dia jatuhkan
diri ke tanah. Sambil berguling dia babatkan clurit emas ke arah dua kaki Wayan
Japa. Tanpa menggeser kedudukan kedua kakinya, Wayan Japa tusukkan tongkat ke
bawah. Senjata itu menancap di tanah tepat pada saat clurit emas datang
membabat.
Untuk
kedua kalinya dua senjata saling bentrokan dan untuk kedua kalinya pula bunga
api hitam dan kuning memercik di udara gelap. Wayan Japa cepat tarik tongkat
tapi alangkah terkejutnya anggota Tiga Hantu Buleleng ini ketika dapatkan walau
telah mengerahkan tenaga sekuat apapun, malah mempergunakan dua tangan
sekaligus, dia tidak mampu mencabut tongkat yang menancap di tanah itu!
"Celaka!
Apa yang terjadi?!" Sepasang mata Wayan Japa mendelik besar. Clurit emas
senjata lawan dilihatnya melingkar pada badan tongkat. Ujungnya yang tajam dan
bagian gagang tidak kelihatan karena terpendam ke dalam tanah!
"Clurit…clurit itu mengunci senjataku!" Wayan Japa pentang matanya ke
arah Bayusongko yang saat itu telah tegak berdiri. Mukanya yang celemongan
tambak tak karuan oleh darah yang membasahi mulut dan dagunya.
Kakek
bermuka celemongan itu berdiri itu sambil tertawa mengekeh dan usap-usap dua
tangannya satu sama lain. Tiba-tiba entah dari mana munculnya tahu-tahu dalam
dua tangan Bayusongko telah tergenggam dua buah clurit kecil. Dua senjata ini
kelihatan aneh karena hanya gagangnya yang tampak jelas sedang bagian yang
tajam dan runcing hampir tidak membekas di dalam kegelapan.
"Clurit
Hantu!"
Wayan
Japa keluarkan seruan tertahan.
Tampangnya
berubah. Jelas ketakutan amat Hangat.
Si
pengemis tua Bayusongko tertawa mengekeh.
"Bagus
sekali! Kau mengenali sepasang clurit gaib ini! Pertanda kau sadar bahwa
kematian sudah di depan hidung! Ha…ha…ha!" Pengemis tua itu tertawa
bergelak. Begitu tawa lenyap dua tangan yang memegang clurit kecil yang
disebutnya sebagai clurit goib bergerak berputar.
"Seettt!"
"Seettt!"
Dua
clurit aneh yang hanya kelihatan gagangnya saja melesat ke arah Wayan Japa.
Tokoh dari Bali ini hanya sempat melihat clurit hantu yang menyerang ke arah
lehernya. Dia cepat menyingkir ke kiri sambil lepaskan satu pukulan tangan
kosong berkekuatan tenaga dalam penuh. Meskipun Wayan Japa berhasil memukul
mental clurit pertama namun dia tidak mampu melihat kelebatan datangnya clurit
hantu kedua.
Raungan
menggelegar dari mulut orang kedua Tiga Hantu Buleleng ini ketika clurit hantu
kedua menancap tepat di mata kirinya. Sosok Wayan Japa terhuyung ke belakang.
Tangan kiri menggapai udara kosong. Tangan kanan bergerak ke arah mata,
berusaha mencabut clurit hantu yang menancap di mata itu. Tapi belum sempat
menyentuh, mendadak sekujur tubuh Wayan Japa berubah dingin dan kaku. Dia hanya
sempat keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya terbanting ke tanah tak bergerak
lagi. Dalam gelap sekujur kulit tubuhnya kelihatan membiru. Itulah akibat racun
sangat jahat yang ada pada clurit hantu. Jangankan manusia, makhluk sebesar
gajahpun mampu terbunuh oleh racun ini dalam sekejapan mata! Ternyata Hantu
Buleleng tidak sanggup menghadapi clurit hantu alias clurit goib!
Pengemis
muka celemongan Bayusongko menyeringai sambil usap-usap dua tangan. Secara
aneh, dua clurit hantu telah berada dalam tangannya kembali. Orang tua ini
masih terbungkuk menahan sakit pada perutnya kemudian melangkah mendekati
tongkat milik Wayan Japa yang kini telah berubah ke bentuknya semula yaitu
selembar kain ikat kepala dan melingkar di tanah. Bayusongko cabut clurit emas
miliknya yang terpendam di tanah di samping destar hitam. Kepala pengemis tua
muka celemongan ini terdongak ketika dari arah pantai terdengar suara jeritan
orang. Dia mengenali. Itu adalah suara jeritan sahabatnya, Sakra Kalianget,
orang pertama dari Pengemis Clurit Emas.
KEMBALI
kepada Putu Arka. Seperti dituturkan sebelumnya orang pertama dari Tiga Hantu
Buleleng ini berhasil menghancurkan makhluk ular berkepala manusia yang keluar
dari dalam lautan membawa sebuah peti kayu berwarna hitam. Begitu peti berada
di tangannya Putu Arka segera kabur ke arah barat. Dia tidak perdulikan suara
suitan tanda yang diberikan sahabatnya Wayan Japa. Dia seperti tidak mendengar
suara derap kaki kuda banyak sekali datang dari arah timur. Yang penting dia
sudah dapatkan peti berisi benda maha sakti tiada duanya di dunia dan harus
menyelamatkannya.
Namun
belum sampai berlari dua puluh langkah, tiba-tiba satu bayangan hitam
berkelebat di depan Putu Arka. Cepat Putu Arka tahan lari kemana gerakan orang
jelas menghadang dirinya. Memandang ke depan, Putu Arka jadi melengak. Lnam
langkah di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang kakek bermuka celemongan,
rambut putih panjang awut-awutan. Berpakaian rombeng penuh tambalan. Dari
keadaan serta pakaian orang, Putu Arka segera maklum, dengan siapa dia
berhadapan saat itu.
Sakra
Kalianget! Orang pertama Pengemis Clurit Emas. Gerangan apa kau muncul di malam
buta
sepertinya sengaja menghadang jalanku?!" “Putu Arka, jangan pura-pura
berbasa-basi. Serahkan peti yang kau pegang padaku! Sekarang! Cepat!" “Ah”
Putu Arka mundur satu langkah. "Aku memang barusan merampas barang ini
dari orang lain. Tapi aku tahu betul peti dan benda isi di dalamnya bukanlah
milikmu! Mengapa aku merasa perlu menyerahkan kepadamu!" Sakra Kalianget
tertawa bergelak. Rangkapkan dua tangan diatas baju rombengnya lalu berkata.
“Kali
pertama aku hanya meminta peti itu. Kali kedua aku meminta berikut nyawamu!
Terserah kau mau memberikan yang mana!"
Sesaal
Putu Arka terdiam. Otaknya bekerja. Dia cukup tahu riwayat kakek muka angker
celemongan bernama Sakra Kalianget ini. Bersama seorang kakek lainnya bernama
Bayusongko di rimba persilatan tanah Jawa kawasan timur dia dikenal dengan
julukan Pengemis Clurit Emas. Mereka selalu muncul berdua. Mana yang satunya?
Tadi dia mendengar jerit raungan Wayan Japa. Dia tidak perlu menyelidik. Saat
ini Wayan Japa pasti sudah menemui ajal. Pembunuhnya? Besar dugaan si pembunuh
adalah Pengemis Clurit Emas yang bernama Bayusongko. Menghadapi manusia satu
ini saja cukup sulit. Apa lagi kalau sampai temannya muncul membantu.
"Sakra
Kalianget, aku tidak mau membuangbuang waktu berurusan dengan manusia pengemis
sepertimu. Tunggu saja sampai siang. Pergi ke pasar dan mengemis di sana! Jangan
mencampuri urusan orang!"
Sakra
Kalianget kembali tertawa.
"Urusan
yang kau hadapi bukan urusan dirimu sendiri. Tapi adalah urusan para tokoh
rimba persilatan!" Ucap jago tua dari Madura itu.
Dengar,
aku akan mengampuni selembar nyawamu, kalau kau tidak terlalu bodoh mau
menyerahkan peti kayu hitam padaku!"
"Jahanam!"
maki Putu Arka dalam hati. "Mati hidup peti ini akan aku
pertahankan!" Lalu dia keluarkan ucapan. "Pengemis kesasar! Kalau kau
inginkan peti ini silahkan mengambil sendiri!"
"Bodoh
sekali! Berani menantang Pengemis Clurit Emas dari Madura!" kata Sakra
Kalianget sambil menyeringai. Begitu selesai bicara kakek pengemis ini
keluarkan clurit emasnya dan langsung menyerang Putu Arka. Perkelahian hobat
segera pecah. Putu Arka segera terdesak begitu memasuki jurus kedua. Sebabnya
dia terpaksa berkelahi sambil satu tangan memegang peti kayu. Seperti Wayan
Japa tadi dia loloskan destar hitam yang terikat di kepala. Kalau Wayan Japa
terlebih dulu harus menarik dan menguruturut destar itu, lain halnya dengan
Putu Arka. Karena kesaktiannya jauh lebih tinggi dari Wayan Japa, maka sekali
kain hitam itu disentakkan, serta merta berubah menjadi sebatang tongkat seatos
besi!
Ternyata
ilmu silat yang dimiliki Putu Arka setingkat lebih tinggi dari Sakra Kalianget.
Walau di awal jurus perkelahian dia kena didesak, namun setelah keluarkan
jurus-jurus andalannya, Putu Arka berhasil mengimbangi serangan lawan malah
sesekali membuat serangan balasan yang mematikan.
Kesal
karena tidak bisa menembus pertahanan lawan Sakra Kalianget dengan cerdik
alihkan sasaran serangannya. Kini cluritnya dipakai untuk menghantam ke arah
peti hitam yang dikepit Putu Arka di tangan kiri. Satu kali clurit emas
berhasil membabat sudut kiri atas peti kayu hingga gompal. Untung peti itu cukup
tebal hingga isi di dalamnya masih terlindung. Namun keberhasilan merusak peti
harus ditebus cukup mahal oleh Sakra Kalianget. Karena di saat pertahanan Sakra
terbuka. Putu Arka berhasil susupkan tongkatnya ke dada kiri lawan.
"Kraakk!"
Salah
satu tulang iga Sakra Kalianget berderak patah. Orang ini menjerit kesakitan.
Jeritan inilah yang kemudian didengar oleh pengemis Bayusongko yang baru saja
berhasil membunuh Wayan Japa.
"Jahanam
Putu Arka! Kau memang minta mampus! Sekarang tidak ada lagi pengampunan bagi
dirimu!" Sakra Kalianget lemparkan clurit emas di tangan kanan ke arah
Putu Arka.
Demikian
cepatnya lemparan ini, Putu Arka hanya mampu pergunakan peti kayu untuk
melindungi diri. Clurit emas menancap di peti. Putu Arka tidak perdulikan. Dia
lebih memperhatikan keadaan lawan. Sementara Sakra Kalianget kesakitan, Putu
Arka melihat kesempatan untuk menghabisinya. Dengan satu lompatan kilat Putu
Arka kirimkan serangan tongkat dalam jurus Tongkat Hantu Memburu Iblis.
Tongkat
yang terbuat dari kain ikat kepala itu, yang kemudian berubah sekeras besi,
kini berubah lagi laksana sebilah pedang tipis, bergetar keras memancarkan
cahaya hitam.
Orang
lain mungkin segera menangkis atau bergerak cari selamat. Senjata di tangan
lawan bergetar demikian rupa hingga sulit diduga arah mana yang dituju sebagai
sasaran. Tapi luar biasanya Sakra Kalianget tegak tenang-tenang saja. Pasti ada
yang diandalkannya. Memang benar, ternyata dia berdiri sambil mengusap dua
tangan satu sama lain. Di lain kejap dua tangan itu telah menggenggam dua bilah
clurit yang dalam gelap hanya terlihat gagangnya. Clurit hantu alias Clurit
goib!
Gerakan
Putu Arka sesaat jadi tertahan begitu matanya memperhatikan benda apa yang ada
dalam pegangan tangan kiri kanan lawan. Dia belum pernah melihat senjata angker
itu, hanya banyak mendengar cerita,keganasannya saja. Tapi dia maklum yang
tengah dipegang Sakra Kalianget adalah sepasang clurit hantu yang telah banyak
membuat geger rimba persilatan tanah Jawa bagian timur.
"Jadi
benar berita yang tersiar. Bangsat ini memang punya sepasang clurit hantu! Aku
harus cepat membentengi diri dan kabur dari tempat ini!" Didahului
bentakan keras, sosok Putu Arka berputar seperti gasing dan melesat ke udara.
Di saat yang sama Sakra Kalianget gerakkan dua tangan yang memegang clurit
hantu. Tapi belum sempat dua senjata maut itu lepas dari tangannya tiba-tiba di
arah kiri belakang terdengar orang berseru.
"Sakra!
Biar aku yang menghabisi bangsat itu! Kau cepat menangkap peti begitu lepas
dari tangannya!"
Sakra
Kalianget kenali suara orang yang berteriak. Suara Bayusongko sahabatnya.
Selagi dia meragu apakah akan meneruskan melemparkan clurit hantu ke arah Putu
Arka, dari tempat gelap si kakek Bayusongko muncul dan langsung saja
melemparkan dua clurit hantu yang telah tergenggam di tangannya kiri kanan.
"Bettt!"
"Bettt!"
Putu Arka
yang tadinya bersiap untuk selamatkan diri dari clurit hantu yang hendak dilemparkan
Sakra Kalianget tentu saja jadi terkejut besar dan tidak menduga kalau bakalan
ada serangan yang sama dari arah lain. Apa lagi saat itu dia tengah bergerak
untuk mengeluarkan sebuah benda yang jika dipecahkan akan sanggup membentengi
dirinya dari serangan lawan. Namun sebelum sempat benda itu diambilnya, apa
lagi saat itu dia masih memegang tongkat, tahu-tahu sebuah benda menancap di
bahu kirinya.
"Clurit
Hantu!" seru Putu Arka. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi dingin.
Tidak pikir lebih lama, begitu dua kakinya menjejak tanah, Putu Arka segera
buang tongkat di tangan kanan. Lalu dengan tangan itu dia membetot kuat-kuat
lengan kirinya.
Terjadilah
hal yang mengerikan!
Putu Arka
menarik tanggal tangan kirinya yang ditancapi clurit hantu pada bagian bahu.
Tangan ini tanggal mulai sebatas persendian bahu ke bawah! Memang hanya inilah
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kematian akibat racun clurit
hantu atau clurit goib yang luar biasa ganasnya. Sehabis menarik tanggal
tangannya sendiri, Putu Arka jatuh terjengkang di tanah. Peti kayu hitam telah
lebih dulu lepas dari kepitan dan jatuh. Putu Arka gulingkan diri, masih
berusaha untuk menjangkau peti itu dengan tangan kanan. Namun dia kalah cepat.
Seseorang berkelebat mengambil peti!
Bukan
Putu Arka saja yang terkejut atas serangan yang dilancarkan secara mendadak
oleh pengemis Bayusongko. Sakra Kalianget juga ikutan kaget malah sampai
keluarkan seruan keras. Salah satu dari dua clurit hantu yang dilemparkan
Bayusongko menancap di lehernya. Sakra Kalianget keluarkan suara seperti orang
digorok. Rasa terkejut luar biasa dan disusul dengan, kemarahan besar membuat
dia lupa bertindak. Clurit hantu dibiarkan menancap di leher sementara mulutnya
keluarkan sumpah serapah. Sebenarnya memang tak ada yang bisa dilakukan Sakra
Kalianget. Dia tidak mungkin menanggalkan lehernya seperti yang dilakukan Putu
Arka menanggalkan tangan kirinya.
"Jahanam
Bayusongko! Kau sengaja membunuhku! Kau inginkan peti itu untuk dirimu sendiri!
Jahanam laknat! Terkutuk kau!"
Si tua
muka celemongan Bayusongko batuk-batuk. Seka darah yang meleleh di bibirnya dan
menjawab ucapan orang.
"Kau
telah lebih dulu mengkhianati kelompok kita! Pertama kau meyingkirkan Nyoman
Carik dongan alasan yang dicari-cari. Tadi waktu dapatkan peti ini kau langsung
bertindak kabur! Untung masih tertahan oleh hadangan Putu Arka! Bukan begitu
ceritanya?!"
"Jahanam
keparat! Serahkan peti itu padaku!" teriak Sakra Kalianget seraya melotot
memandang ke arah peti kayu hitam yang kini dipegang oleh Bayusongko. Namun
heekkk! Dari tenggorokan Sakra Kalianget terdengar suara tersedak. Itulah suara
tarikan nafasnya yang terakhir kali.
Sosoknya
mendadak dingin lalu terjungkal di tanah. Sekujur kulit tubuhnya berubah
kebiru-biru akibat racun ganas clurit hantu.
Bayusongko
tertawa mengekeh. Dia kepit peti kayu di tangan kiri. Dua tangan
diusap-usapkan. Dua clurit hantu yang tadi dipakainya untuk menyerang orang
pertama Tiga Hantu Buleleng dan kawannya sendiri yaitu Sakra Kalianget, secara
aneh berada kembali dalam genggamannya.
"Pengemis
culas! Kembalikan peti itu padaku! Itu milikku!"
Bayusongko
putar tubuh. Memperhatikan orang yang barusan memakinya. Orang itu adalah Putu
Arka yang masih terguling di tanah, berusaha duduk.
"Aha!
Orang pertama Tiga Hantu Buleleng! Belum mati kau! Kau benar-benar inginkan
peti ini rupanya! Aku tidak tega melihat keadaanmu. Biar kuberikan padamu!
Ambillah!"
Bayusongko
melangkah mendekati Putu Arka. Tersenyum dan membungkuk. Ulurkan dua tangan
yang memegang peti seolah benar-benar hendak menyerahkan. Tapi begitu Putu Arka
duduk dan ulurkan tangan untuk mengambil peti tiba-tiba Bayusongko tendangkan
kaki kanannya.
"Bukkk!"
Darah
menyembur dari mulut Putu Arka bersama jerit kesakitan. Tubuhnya mencelat
mental, terkapar tak berkutik di tepi pasir. Entah mati entah pingsan.
"Manusia
tolol!" ucap pengemis Bayusongko. Lalu putar tubuh, hendak tinggalkan
tempat itu sambil menyeringai dan kempit erat-erat peti kayu hitam di tangan
kanan. Namun gerak berputar kakek pengemis ini serta merta tertahan, seringai
di wajahnya yang celemongan mendadak lenyap seperti direnggut setan ketika
tiba-tiba tempat itu telah dikurung oleh enam orang penunggang kuda. Salah
seorang dari mereka berseru.
"Atas
nama Kerajaan harap peti kayu hitam diserahkan kepada kami!"
*********************
4
BAYUSOKO
sejenak jadi tertegun dalam keterkejutan. Namun kakek pengemis ini dengan cepat
membaca keadaan. Sorotan matanya memandang tajam pada enam orang berkuda yang
mengurung. Dia juga memperhatikan binatang tunggangan ke enam orang itu.
"Kuda
mereka besar-besar. Pelana bagus. Hiasan di leher kuda dan bentuk tapal kuda
menunjukkan tunggangan mereka memang kudakuda Kerajaan. Lalu pakaian yang
mereka kenakan. Dua berpakaian sebagai Perwira Tinggi. Tiga orang mungkin
pengawal. Orang keenam berpakaian paling bagus. Jabatannya pasti lebih tinggi
dari dua perwira. Tapi mengapa mereka semua menutupi wajah masing-masing dengan
sehelai kain hitam?"
"Pengemis
tua! Apa kau tuli tidak mendengar perintah kami?!" Salah satu dari dua
orang berpakaian Perwira Tinggi menghardik.
Bayusongko
merasa tanah yang dipijaknya bergetar. Pertanda sang perwira memiliki tenaga
cukup hebat.
"Kami
orang-orang Kerajaan! Lekas serahkan peti kayu itu pada kami!" Perwira
Tinggi kedua ikut membentak malah majukan kuda dua langkah.
Bayusongko
perkencang kepitan peti kayu di tangan kiri lalu cepat-cepat membungkuk.
Mulutnya berucap hormat.
"Harap
maafkan kalau aku, si tua bangka ini tidak segera menunjukkan sikap hormat. Aku
kaget…"
"Sekarang
kagetmu sudah lenyap. Lekas serahkan peti itu!" Perwira kedua kembali
majukan kudanya mendekati Bayusongko.
Si kakek
lagi-lagi membungkuk hormat. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Hormatku
untuk
kalian berenam yang mengaku orang-orang Kerajaan. Kalau boleh bertanya mengapa
kalian semua menutupi wajah dengan cadar hitam?"
"Angin
malam begini dingin. Banyak nyamuk. Apa tidak boleh kami melindungi
wajah?" Perwira Tinggi pertama yang menjawab.
Bayusongko
tersenyum. Angguk-anggukkan kepala. Peti kayu yang masih ditancapi clurit emas
milik Sakra Kalianget ditimang-timangnya beberapa kali.
"Aku
percaya, aku percaya…" kata si kakek pula. "Kalian orang-orang
Kerajaan memang harus menjaga kesehatan. Di perjalanan bukan cuma nyamuk dan
dinginnya udara yang bisa dltemui. Bisa juga bertemu harimau buas yang siap
menggerogot leher kalian. Atau ular yang mematuk pantat kalian? Ha…ha…ha! Aneh,
kalau orang-orang Kerajaan yang katanya terkenal hal Ilmu kepandaian tinggi
takut pada angin dan nyamuk! Seorang tua puteri saja kalaupun berada itt tumpat
ini kurasa tidak akan menutupi wajahnya dengan cadar. Kecuali wajah itu penyok
hidungnya, alis cuma sebelah, mata picek, kuping mamplung atau bopengan…"
"Pengemis
tua ini terlalu banyak mulut!" Untuk pertama kalinya penunggang kuda
berpakaian paling bagus keluarkan ucapan. Lalu memerintah.
Bunuh
dia! Ambil peti kayu hitam!"
Tiga
penumpang kuda berpakaian seperti pengawal segera melompat dari kuda
masingmasing. Tiga pedang dihunus keluar dari sarungnya. Di lain kejap tiga
senjata maut membabat ke arah kepala, dada dan pinggang si kakek pengemis
bermuka cemong. Rombongan orangorang yang mengaku dari Kerajaan itu tidak
begitu mengetahui siapa adanya Bayusongko. Mereka menganggap si kakek seorang
tua renta yang punya sedikit ilmu dan merampok peti yang mereka juga inginkan.
Namun semuanya jadi tersentak ketika Bayusongko cabut clurit emas yang menancap
di peti kayu hitam. Lalu menghamburlah cahaya kuning di kegelapan malam.
Tiga kali
terdengar suara bedentrangan disertai percikan bunga api. Dua orang penyerang
Bayusongko roboh ke tanah dengan leher dan dada muncratkan dada segar akibat
dimakan ujung clurit emas. Pengawal ke tiga masih berdiri tegak, tapi kemudian
menjerit keras ketika melihat dan sadar bagaimana tangan kanannya telah buntung
di pergelangan dan darah menyembur deras! kakek pengemis telah keluarkan jurus
Memapas Rembulan Membelah Matahari untuk menyikat tiga penyerang.
Diam-diam
dua orang berpakaian sebagai Perwira Tinggi Kerajaan leletkan lidah. Mereka
kini sadar kalau yang dihadapi bukanlah pengemis tua renta biasa. Tapi seorang
berkepandaian tinggi. Karena tiga teman mereka yang barusan tewas rata-rata
memiliki kepandaian cukup tinggi. Dan si orang tua hanya butuhkan satu jurus
saja untuk merobohkan mereka.
Kalian
berdua! Tunggu apa! Lekas bunuh pengemis jahanam itu!" Penunggang kuda
berpakaian bagus berteriak marah. Tidak menunggu lebih lama dua penunggang kuda
segera melayang turun dari kuda masing-masing dan menyerbu Bayusongko dengan
hanya mengandalkan tangan kosong.
Walau
tidak bersenjata apa-apa tapi ilmu silat dua perwira yang bercadar itu ternyata
sangat tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja Bayusongko segera terdesak. Perwira
Tinggi pertama menggempur kakek itu dari segala jurusan sementara kawannya
lebih memusatkan pada upaya untuk merampas peti.
Kakek
pengemis muka celemongan dari Madura menggeram dalam hati. Kalau terus seperti
itu, satu kali hantaman tangan dua lawan pasti akan sempat menghajarnya atau
peti kayu hitam akan kena dirampas orang. Dia putar clurit emas di tangan kanan
dengan sebat. Bukan saja senjata itu lenyap berubah jadi cahaya kuning. Tapi
cahaya kuning itu juga membuat tubuhnya lenyap seolah terbungkus. Dua Perwira
Tinggi Kerajaan untuk beberapa ketika jadi bingung. Melihat hal ini, orang
berpakaian bagus yang masih duduk di atas pelana kuda berteriak.
"Serang
dengan jurus Barat Timur -Utara Selatan Membongkar Nyawa!"
Begitu
mendengar teriakan, dua Perwira Tinggi yang mengeroyok si kakek pengemis
sama-sama keluarkan seruan keras. Lalu tubuh mereka seperti lenyap. Si kakek
hanya melihat bayang-bayang berputar cepat disusul dengan datangnya hantaman
bertubi-tubi dari depan, belakang, samping kiri dan samping kanan. Badai serangan
itu mendera terus sampai tiga jurus dimuka. Jurus berikutnya satu jotosan keras
mendarat di dada kiri si kakek. Membuat orang tua ini melintir. Sakit yang
dideritanya bukan alang kepalang. Separuh tubuhnya sebelah atas laksana hancur.
Namun dia masih bisa mempertahankan peti kayu hitam di kepitan tangan kiri.
Dalam keadaan terpuntir seperti itu Perwira Tinggi yang ada di sebelah kiri
sempat pula melancarkan serangan yang menghantam perut Bayusongko, tepat di
bagian mana sebelumnya kena disodok tongkat destar Wayan Japa. Luka dalam yang
masih terkuak membuat darah kembali menyembur dari mulut si kakek.
"Kalau
tidak segera kubunuh, aku bisa celaka!" Si kakek maklum keadaannya mulai
gawat. Didahului teriakan keras membahana Bayusongko melesat ke udara. Dua lawan
cepat mengikuti gerakannya. Namun inilah kesalahan besar yang harus dibayar
mahal. Ketika dua Perwira Tinggi terpancing ikut melesat ke udara, si kakek
tidak sia-siakan peluang. Peti kayu dipindah, dijepit di antara kedua paha.
Lalu dua tangan diusapkan satu sama lain. Sepasang clurit hantu serta merta
berada dalam genggamannya.
"Clurit
hantu! Awas!" Salah seorang Perwira Tinggi yang kebetulan melihat dua
senjata aneh yang ada di tangan lawan kiri kanan segera berteriak memberi
ingat. Dia kini sudah bisa menerka siapa adanya lawan tua muka celemongan itu.
Namun teriak peringatan itu terlambat, Clurit hantu pertama berkelebat.
Menancap di pipi kiri Perwira Tinggi sahabatnya.
Dia
sendiri masih bisa berusaha melancarkan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi. Namun clurit hantu kedua tetap saja berhasil menembus.
Padahal seandainya dua buah batang kelapa dihantamkan dan ditangkis dengan
pukulan tangan kosong itu niscaya dua batang kelapa terpental hancur! Clurit
hantu menancap tepat dipertengahan kening. Sepasang mata Perwira Tinggi ini
langsung terbeliak. Tubuh rubuh ke tanah, menindih sosok Perwira Tinggi
kawannya yang telah lebih dulu menemui ajal. Sekujur kulit tubuh mereka
kelihatan membiru.
Sesaat
setelah kakek pengemis melemparkan dua clurit hantu yang membunuh dua orang
berpakaian Perwira Tingi Kerajaan, sosok orang berpakaian paling bagus di atas
kuda mendadak lenyap dalam satu gerakan luar biasa cepatnya. Kakek pengemis
yang belum sempat memperhatikan musuh terakhirnya itu tiba-tiba terpental
laksana dihantam dahsyatnya angin topan. Pahanya yang menjepit peti kayu hitam
terkembang. Penunggang kuda ke enam telah menghantam si kakek dengan satu
tendangan luar biasa cepat dan keras. Sebelum kakek pengemis terkapar di tanah,
peti kayu yang melayang jatuh telah berpindah ke tangan orang bercadar
berpakaian bagus.
Bayusongko
megap-megap sulit bernafas. Dia tak mampu menggerakkan tubuh. Hanya sepasang
matanya saja memandang penuh dendam dan kebencian ke arah orang bercadar hitam
yang kini menguasai peti kayu.
"Jurus
tendangan Memendam Bumi Menjarah Nyawa…." Ucap kakek pengemis yang
mengenali jurus tendangan maut yang barusan dilancarkan musuh bercadar. Sudak
sejak lama dia mengetahui bahwa jurus Memendam Bumi Menjarah Nyawa itu adalah
jurus ilmu silat yang hanya dimiliki oleh sekelompok tokoh silat Kerajaan.
"Kalian
memang orang-orang Kerajaan. Tapi mengapa berlaku pengecut! Beraninya main
keroyok! Kau akan menerima laknat benda yang ada dalam peti itu!"
Orang
berpakaian bagus tertawa dibalik cadar.
"Kau
minta mati! Apa salahnya kami memberikan?!" ucap orang ini.
Pengemis
tua Bayusongko berusaha menyatukan dua tangan untuk diusapkan satu sama lain.
Ingin sekali dia menghajar manusia satu itu dengan clurit hantu. Namun nyawanya
keburu lepas. Setelah muntahkan darah segar kakek ini akhirnya tergeletak tak
berkutik lagi.
Orang
bercadar dan berpakaian bagus memandang berkeliling. Datang berenam kini hanya
tinggal dia sendirian. Dua Perwira Tinggi menemui ajal. Begitu juga dua
pengawal. Pengawal ke tiga, dalam keadaan buntung lengan kanan telah menghambur
lari entah kemana sejak tadi-tadi. Sambil menimang-nimang peti kayu dia
melangkah ke arah kuda tunggangannya. "Aku harus segera tinggalkan tempat
ini. Agar sebelum fajar menyingsing sudah berada di Kotaraja."
Peti kayu
di masukkan ke dalam kantong perbekalan yang digantung di leher kuda. Orang
bercadar ini baru saja mengangkat kaki untuk menjejak besi di sisi kiri kuda
ketika tiba-tiba satu suara suitan menggelegar dalam kegelapan.
Di lain
saat kuda yang hendak dinaiki meringkik keras. Dua kaki depan diangkat ke atas
lalu binatang ini tergelimpang di tanah. Di mulutnya ludah putih membusah. Mata
mendelik pertanda nyawanya sudah lepas. Orang bercadar meneliti. Kuda
tunggangannya menemui ajal dengan sebuah anak panah hitam menancap tepat pada
urat besar jalan darah di leher kanan, tembus ke leher kiri!.
"Jahanam!
Siapa yang punya perbuatan!" Rutuk orang bercadar. Dia mencium adanya
kesulitan, bahkan bahaya besar. Cepat dia membungkuk mengambil peti kayu di
kantong perbekalan. Namun belum sempat dia mengeluarkan peti itu tiba-tiba ada
suara menegur.
"Pangeran
Haryo, setelah mendapat rejeki besar tidak salah kalau kau buru-buru ingin
kembali ke Kotaraja. Tapi karena aku ada di sini, mengapa kita tidak berbagi
sedekah?!"
Kejut
orang berpakaian bagus bukan alang kepalang. Dia bagai mendengar suara setan.
Bagaimana dia tidak bisa mengetahui kalau di tempat itu ada orang lain? Kecuali
orang yang barusan menegur itu memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi hingga
kehadirannya seperti bertiupnya angin malam.
*********************
5
ORANG
bercadar cepat berbalik memutar tubuh. Pandangannya langsung membentur sosok
seorang kakek berkepala gundul, duduk mencakung di tanah. Di paha kiri
melintang sebuah gendewa atau busur, di tangan kanan dia memegang sebilah anak
panah berwarna hitam. Di punggung ada satu kantong dipenuhi dua lusin anak
panah berwarna hitam. Kakek berwajah bulat ini tiada henti tersenyum seolah ada
hal lucu yang menggembirakan hatinya. Pakaiannya berupa sehelai jubah hijau
panjang menjela tanah. Mata menatap tak berkedip ke arah lelaki bercadar hitam
dan sesekali melirik ke arah kantong perbekalan di leher kuda yang sudah jadi
bangkai.
Orang
bercadar yang disapa dengan nama pangeran Haryo kalau tadi terkejut dengan
teguran serta kehadiran orang lain yang tidak terduga di tempat ini, kini malah
tambah-tambah kagetnya ketika melihat siapa yang duduk berjongkok delapan
langkah di depan sana.
"Dia
selalu muncul berdua bersama gendaknya. Sembunyi dimana perempuan mesum
itu?"
Baru saja
dia membatin, tiba-tiba dari samping kiri terdengar suara perempuan tertawa
cekikikan!
Lelaki
bercadar hitam berpaling ke arah
datangnya
suara tertawa. Orang yang barusan dipertanyakannya dalam hati ternyata terlihat
enak-enakan duduk di atas rumpunan semak belukar tanpa semak belukar itu
merunduk meliuk apalagi roboh.
Orang
yang duduk di atas rumpunan semak belukar seperti si kakek kepalanya juga botak
dan sama mengenakan jubah hijau panjang. Di punggungnya ada sekantong anak
panah berwarna putih. Tangan kiri dimelintangkan di dada, memegang sebuah busur
sementara tangan knnan memutar-mutar sebuah anak panah berwarna putih. Seperti
si kakek botak dia juga senyum-senyum tiada henti. Kalau saja orang ini tidak
mengenakan anting besar pada kedua telinganya, sulit diduga mana yang perempuan
dan mana yang lelaki diantara mereka berdua.
"Pangeran
Haryo, kau mendadak jadi bisu atau tuli atau bagaimana? Mungkin terkejut karena
kehadiran kami yang tidak terduga di tempat ini? Atau karena sudah lama tidak
berjumpa membuat kau jadi pangling terhadap kami berdua."
Orang
bercadar melengak. Lalu membentak.
"Monyet
tua botak buruk rupa! Siapa bilang Pangeran Haryo!"
Si kakek
senyum-senyum terus. "Kau boleh sembunyikan wajah. Tapi raut sosok
tubuhmu, pakaian dan blangkon yang kau kenakan. Lalu barusan suaramu, bukankah
semua memberi petunjuk bahwa kau adalah Pangeran Haryo dari Kotaraja! Aku
mengenalmu bertahun-tahun. Aku tidak akan bisa ditipu walau kau menutupi wajah
dengan cadar hitam!"
"Setan
alas! Kau dan gendakmu tidak disukai di Keraton. Itu sebabnya kau tersingkir
sebagai tokoh silat Istana! Di tempat inipun tidak ada yang suka padamu!"
"Ah,
mulutmu usil amat." Jawab kakek botak sambil bolang balingkan panah hitam
di tangan kanan. "Lihat nenek cantik di atas semak sana? Dia kekasihku!
Dia sangat menyukai diriku! Jangan kau mengada-ada tidak ada orang yang
menyukai diriku! Ha…ha…ha…ha!"
"Kau
benar sekali kekasihku! Benar sekali!’ menyahuti nenek botak yang duduk
enak-enakan di atas semak belukar. "Aku menyukaimu. Dari dulu sampai
sekarang. Sampai nanti!
Hik…hik…hik!
Kau pandai bercinta denganku. Membuat aku selalu tergila-gila mabuk
kepayang!"
"Dasar
perempuan lacur! Bicara kotor seenaknya saja!" rutuk orang bercadar.
"Nah-nah
kau dengar sendiri!" kata kakek botak. "Sekarang kalau aku boleh
bertanya apa ada orang yang menyukai dirimu di tempat ini? Aku pasti
tidak!"
"Aku
juga tidak!" jawab si nenek di atas semak belukar lalu tertawa cekikikan.
"Tak
ada manfaatnya bicara dengan orang-orang sinting sepertimu! Aku bukan Pangeran
Haryo! Dengar itu baik-baik!"
"Kalau
begitu harap singkirkan cadar hitam penutup wajahmu!" tantang kakek botak
pula.
"Orang
sinting sepertimu mana layak memerintah diriku!"
"Amboi!"
seru si nenek botak.
Orang
bercadar mengambil peti hitam di dalam kantong perbekalan. Lalu dia melompat ke
arah kuda milik salah seorang perwira yang tewas. Kakek botak lirikkan mata ke
arah nenek botak di atas semak belukar. Perempuan tua ini senyumsenyum. Anak
panah diselipkan di tali busur. Lalu panah putih direntang. Semua itu dilakukan
dalam gerakan sangat cepat. Anak panah putih kemudian melesat membelah
kegelapan udara malam. Lalu di depan sana kuda yang hendak dipakai sebagai
tunggangan meringkik keras. Huyung sesaat lalu roboh ke tanah. Sebuah anak
panah berwarna putih menancap di kening, tepat di antara dua mata terus
menembus ke otak!
"Sepasang
Setan Tersenyum!" orang bercadar membentak. "Apa mau kalian
sebenarnya?
Kakek
botak dan nenek botak saling pandang lalu sama-sama tertawa.
"Akhirnya
kau sebut juga nama julukan kami! Pertanda kau tidak pernah lupa siapa kami
berdua Ha…ha…ha! Seperti kataku tadi aku ingin kita berbagi sedekah!"
"Berbagi
sedekah? Sedekah apa?!" Bentak orang bercadar walau dalam hati dia sudah
bisa menduga kemana melencengnya tujuan ucapan kekek botak yang juga dikenal
dengan julukan Raja Setan Tersenyum sementara kekasihnya dikenal dongan
panggilan Ratu Setan Tersenyum.
Dengan
anak panah hitam di tangan kanan Raja Selan Tersenyum menunjuk ke arah peti
yang dipegang orang bercadar hitam di tangan kiri. "Kami ingin kau membagi
peti itu."
"Maksudmu?"
tukas orang bercadar.
"Kau
boleh ambil petinya. Isi serahkan pada kami berdua!"
Habis
berkata begitu si kakek botak tertawa gelak-gelak. Si nenek tertawa cekikikan.
"Enak
saja mulutmu bicara!" hardik orang bercadar. "Tiga puluh enam
rembulan aku menunggu kesempatan, mencari benda di dalam peti ini. Korbankan
tenaga, uang, waktu bahkan darah dan nyawa orang-orangku! Sesudah dapat
alangkah enaknya kau meminta! Persetan dengan kalian!"
Orang
bercadar langsung melompat ke atas kuda perwira kedua. Namun belum sempat
menggebrak binatang itu lari, sebuah panah hitam melesat dalam kegelapan malam
dan menancap tepat di kaki kiri depan kuda. Binatang ini tersungkur lalu
menghambur lari. Meninggalkan orang bercadar jatuh tergelimpang di tanah!
Raja dan
Ratu Setan Tersenyum tertawa gelakgelak.
"Kuda
mana lagi yang akan kau pilih untuk kabur?" bertanya si nenek. Lalu dia
membuat gerakan cepat tiga kali berturut-turut. Tiga ekor kuda yang ada di
tempat itu langsung meringkik roboh.
"Ha…ha…ha!"
tawa kakek botak. "Kekasihku membuat kau tidak punya seekor kudapun lagi
untuk dipakai kabur!" "Jahanam keparat!" rutuk orang bercadar.
Dia cepat berdiri. Si nenek membuka mulut. "Pangeran Haryo…" Nenek
setan! Aku bukan Pangeran Haryo! Apn kau tuli?!" "Terserah siapa kau
adanya." Sahut Ratu Betan Tersenyum. "Aku hanya ingin membantu agar
kau bisa pulang ke Kotaraja tidak kurang suatu apa. Dengar, jika kau serahkan
peti itu pada kekasihku,
segala
dosamu di masa lalu tidak akan kami ungkit-ungkit!"
"Keparat
rendah! Apa dosaku terhadap kalian!" hardik orang bercadar.
Kakek
nenek botak saling melirik lalu tertawa gelak-gelak. Lalu si kakek berkata.
"Sudah lama kau diketahui sebagai pangeran temahak, rakus dan pandai
memfitnah orang-orang yang tidak Behaluan denganmu. Ketika kau dan
koncokoncomu menyusun rencana untuk menggulingkan tahta Sri Baginda dan kami
menolak ikut, kau dan teman-teman menjatuhkan fitnah bahwa kami berdualah yang
jadi dedengkot biang kejahatan Itu. Kami berdua siap digantung. Untung masih
ada teman-teman yang menolong hingga bisa kabur selamatkan diri…"
"Kalian
mengakui kalau kalian berdua sebenarnya adalah manusia-manusia buronan! Kalian
berdua harus ditangkap! Menyerahlah!"
"Hik…hiik…hik!"
Si nenek tertawa cekikikan. "Kami dalang kesini bukan bicara soal tangkap
menangkap. Tapi minta agar kau menyerahkan bulat-bulat peti itu kepada kami!
Mengerti? Dengar? Atau kupingmu torek?!"
‘Tidak
ada jalan lain. Pemberontak-pemberontak busuk macam kalian berdua memang harus
disingkirkan!"
Habis
berkata begitu orang bercadar lemparkan peti kayu ke atas pohon di dekatnya.
Peti melesat di udara dan jatuh tepat dilekuk cabang pohon besar. Maksudnya
berbuat begitu adalah agar dia lebih leluasa menghadapi dua lawan berat si
nenek dan kakek kepala botak. Namun dia tidak sadar kalau di tempat itu telah
muncul orang lain. Hanya sesaat setelah peti bertengger di cabang pohon
tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari tempat gelap. Berkelebat ke arah
peti di atas pohon.
"Jahanam!
Ada pengacau baru!" Maki orang bercadar. Dia segera hendak lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga sakti ke arah orang yang bermaksud
mengambil peti" itu namun tiba-tiba dari jurusan lain berkiblat tiga
cahaya terang.
"Wuss!"
Orang
berpakaian putih yang tengah melesat untuk mengambil peti kayu di cabang pohon
menjerit keras. Tubuhnya berubah menjadi kobaran api. Ketika tubuh itu
tercampak jatuh ke tanah keadaannya mengerikan sekali. Sekujur badan mulai dari
kepala sampai kaki hanya tinggal tulang-belulang gosong menghitam! Tak mungkin
untuk mengenali siapa adanya manusia malang satu ini!
SEWAKTU
orang tinggi besar yang mendekam di balik semak belukar pertama kali sampai di
tempat itu sebenarnya sudah ada orang lain berpakaian serba putih sembunyi di
satu tempat. Orang ini rupanya datang untuk tujuan yang sama yaitu mendapatkan
peti kayu hitam. Melihat kenyataan bahwa orang bercadar mungkin benar Pangeran
Haryo adanya, orang yang mendekam di balik semak-semak tidak mau bertindak
gegabah. Nama Pangeran Haryo cukup dikenal di kalangan Keraton di Kotaraja.
Seorang lelaki berusia setengah abad memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi.
Selain itu di tempat tersebut dia Juga melihat Sepasang Setan Tersenyum yang merupakan
tokoh-tokoh silat yang tak bisa dipandang enteng. Mereka memang sangat cekatan
dalam memainkan panah. Tapi panah dan busur itu juga bisa berubah menjadi
pedang, golok, pentungan atau tombak.
Begitu
orang bercadar hitam lemparkan peti kayu ke cabang pohon dan siap menghadapi
Sepasang Setan Tersenyum, orang berpakaian putih melihat kesempatan baik.
Secepat kilat dia melesat ke cabang pohon. Namun sebelum berhasil menyentuh
peti kayu hitam tiba-tiba or ang tinggi besar yang mendekam di belakang semak belukar
hantamkan tangan kanannya. Sinar terang berkiblat. Tak ampun lagi orang
berpakaian serba putih menemui ajal dengan tubuh terbakar gosong.
************************
ORANG
yang diduga sebagai Pangeran Haryo sesaat terdiam. Matanya cepat mengawasi
keadaan. Kalau ada orang lain yang barusan membunuh orang berpakaian serba
putih itu, apakah orang ini bertindak sebagai teman atau bagaimana. Dia melirik
ke atas cabang pohon. Peti kayu hitam masih ada di situ. Dia perhatikan
Sepasang Setan Tersenyum. Dia tahu kakek nenek ini tidak bermaksud untuk segera
mengambil peti karena terlalu besar bahayanya. Untuk sementara peti kayu aman
di atas cabang pohon.
Orang
bercadar hitam manfaatkan situasi yang mencekam. Dia menyeringai, menatap ke
arah Sepasang Setan Tersenyum.
"Kalian
saksikan sendiri! Siapa saja yang inginkan peti kayu hitam itu, pasti akan
tewas di tangan anak buahku!"
Ratu
Setan Tersenyum hampir termakan ucapan orang. Tapi si kakek kekasihnya cepat
mendekati dan berisik.
"Dia
mau menipu kita. Yang membunuh orang berpakaian serba putih tadi bukan anak
buah atau temannya. Dengar…aku akan melompat mengambil peti di atas
pohon…"
"Kau
gila!" sahut Ratu Setan Tersenyum.
"Selagi
kau melayang ke atas dirimu tidak terlindung. Nasibmu bisa sama dengan bangkai
gosong itu!"
"Kekasihku,"
ujar Raja Setan. "Percuma kau ada di sini kalau tidak bisa membantu.
Dengar, waktu aku melesat ke udara berondong dengan panah orang yang mendekam
di balik semak belukar. Aku akan menghujani Pangeran Haryo dengan panah. Aku
tidak akan mempergunakan gendewa. Tapi lebih dulu akan pergunakan Asap Setan
untuk mengecoh Pangeran itu."
"Terserah
jika itu maumu."
"Kau
siap Ratuku?"
"Tentu
saja!" jawab Ratu Setan Tersenyum. Lalu tangan kanannya berkelebat ke
punggung mengambil setengah lusin anak panah sekaligus. Cepat sekali dia
merentang gendewa dan menghantam orang yang bersembunyi dibalik semak belukar
dengan enam anak panah, lalu menyusul enam anak panah lagi. Orang di balik
semak belukar memaki habis-habisan namun dengan gerakan cepat luar biasa dia
mampu lolos dari serangan dua belas anak panah.
Begitu
kekasihnya mulai menghujani orang yang sembunyi dibalik semak-semak dengan
serangan panah, dari dalam kantong jubah Raja Setan Tersenyum keluarkan sebuah
benda bulat berwarna hijau. Ketika dilempar ke udara benda bulat itu meletus
pecah dan menghamburkan asap tebal berwarna hijau, menutupi seantero tempat
terutama sekitar pohon besar dimana beradanya, peti kayu hitam.
Dalam
pandangan mata yang terhalang orang bercadar hitam hantamkan tangan kiri ke
udara untuk menangkis serangan anak panah.
Sementara
tangan kanan mengeluarkan sehelai tambang hitam yang ujungnya ada besi berkait.
Peti kayu hitam serta merta terikat oleh tambang yang ada pengaitnya itu.
Sekali tarik, sambil melayang ke jurusan yang tidak terduga, lelaki bercadar
berhasil mendapatkan peti kayu. Lalu dia meniup ke depan. Asap hijau secara
aneh membuntal lebih lebar, menutupi pandangan mata lebih luas. Raja Setan
Tersenyum terkurung oleh asap buatannya sendiri. Bersamaan dengan meniup orang
bercadar jatuhkan diri lalu gelindingkan diri di tanah, ke balik deretan semak
belukar gelap.
"Kurang
ajar! Bangsat itu menipu kita!" teriak Ratu Setan Tersenyum yang
terbungkus dalam kepekatan asap hijau. Justru inilah kesalahan besar yang harus
dibayar mahal. Dari suara ucapannya orang tinggi besar yang mendekam
dalam
gelap segera mengetahui dimana beradanya si nenek. Sekali tangannya menghantam,
satu gelombang angin laksana sebuah batu raksasa menderu. Ratu Setan Tersenyum
sempat mendengar deru dahsyat tapi tidak bisa
selamatkan
diri. Di dalam buntalan asap terdengar jeritnya setinggi langit. Tubuhnya
terpental, jatuh di atas pasir pantai dalam keadaan hancur memar mulai dari
kepala sampai ke kaki.
Raja
Setan Tersenyum berteriak keras. Dia sambitkan delapan anak panah ke arah orang
bercadar hitam. Tapi orang ini telah lebih dulu Jatuhkan diri ke tanah.
"Ratu!
Kekasihku!" teriak Raja Setan Tersenyum kalang kabut. Seperti gila dia
menghantam kian kemari. Dua pohon besar tumbang dihantam gendewa. Tiga semak
belukar lebat berserabutan ke udara. Dia baru berhenti ketika ingat akan sosok
kekasihnya si nenek botak menggeletak di tanah.
"Hancur…"
ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar dada membara. "Pangeran
Haryo tidak punya ilmu pukulan yang bisa membunuh seperti ini. Jahanam mana
yang punya pekerjaan?" Raja Setan Tersenyum pandangi monyet kekasihnya
dengan mata melotot. Lalu seperti orang kemasukan setan, kepalanya
dibentur-benturkan ke tanah.
"Kekasihku….kekasihku…"
kata si kakek berulang kali sambil memeluk tubuh hancur Ratu Setan Tersenyum.
Tiba-tiba dia angkat kepala. Tampangnya angker luar biasa seperti setan
sungguhan.
"Pangeran
keparat! Kau mau kabur kemana!" teriak Raja Setan Tersenyum. Lalu secepat
kilat kakek botak ini berkelebat ke jurusan dimana tadi dia sempat melihat
bayangan orang bercadar melesat kabur.
*********************
6
ORANG
bercadar hitam memang memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Namun dalam
ilmu lari kemampuannya masih satu tingkat dibawah orang yang mengejar yaitu
kakek botak berjuluk Raja Setan Tersenyum. Saat demi saat jarak mereka semakin
terpaut dekat. Sementara itu Raja Setan Tersenyum yang melakukan pengejaran
mendadak dibayangi rasa was-was karena menyadari kalau di sebelah belakang ada
orang lain menguntit mengejarnya.
"Jahanam!
Dia pasti pembunuh orang berpakaian putih. Pasti dia juga yang membunuh
kekasihku!"
Raja
Setan Tersenyum kertakkan rahang. Di depan sana sosok lelaki bercadar tiba-tiba
lenyap. Kakek botak hentikan lari. Mata mengawasi ke arah kegelapan di sebelah
depan. Pada saat itulah dari balik sebatang pohon besar sekonyongkonyong
menderu selarik angin luar biasa dingin memancarkan sinar biru. Raja Setan
Tersenyum cepat melompat ke kiri selamatkan diri. Walau tidak sempat dihantam
serangan namun dia merasakan sekujur tubuh seperti beku. Cepat dia kerahkan
hawa sakti ke pembuluh darah.
"Pukulan
Kutub Es!" SI kakek kenali pukulan Itu. "Hanya beberapa orang saja
yang memiliki Ilmu kesaktian itu! Satu diantaranya Pangeran Haryo! Tidak salah
lagi, bangsat itu memang Pangeran Haryo adanya!"
Begitu
Raja Setan Tersenyum berhasil memusnahkan hawa dingin yang membuat tubuhnya
kaku, kakek ini kembali melakukan pengejaran. Di depan sana orang bercadar
merutuk habishabisan karena tidak mampu loloskan diri. Saat demi saat jarak
keduanya semakin dekat. Di satu tempat sambil terus memburu, Raja Setan
Tersenyum mulai lemparkan panah hitam, membuat orang bercadar jadi tak karuan
larinya karena berulang kali harus melompat kian kemari selamatkan diri dari
hantaman panah yang datang dari belakang. Sesekali orang bercadar pukulkan
tangan kanan ke belakang. Beberapa anak panah yang dilemparkan Raja Setan
Tersenyum mencelat mental dan hancur. Beberapa lainnya malah terpental berbalik
menyerang si kakek, membuat orang tua ini ganti kalang kabut selamatkan diri.
"Manusia-manusia
tolol! Aku bosan mengikuti permainan kalian!"
Mendadak
ada suara orang berteriak di belakang sana. Belum lenyap gema teriakan itu
menyusul berkiblatnya cahaya terang. Raja Setan Tersenyum menoleh lalu berseru
keras. Dia kenali cahaya itu. Secepat kilat si kakek jatuhkan diri sama rata
dengan tanah. Tubuhnya laksana terpanggang ketika cahaya terang menggebu
melewati punggung. Lalu dia mendengar suara jeritan di depan sana.
Sosok
orang bercadar kelihatan mencelat ke udara. Sisi kanan tubuhnya dikobari api.
Raja Setan Tersenyum berusaha bangkit untuk melihat lebih jelas apa yang telah
terjadi. Namun tubuhnya jatuh terbanting menelungkup di tanah ketika satu kaki
dengan kekuatan puluhan kati menindih punggungnya.
Raja
Setan Tersenyum hantamkan gendewa di tangan kiri untuk memukul orang yang
menginjaknya.
"Kraaakkk!"
Gendewa
patah dua, terlepas mental dari tangan si kakek. Si kakek sendiri mengeluh
kesakitan karena tangan kirinya serasa tanggal.
"Raja
Setan, cukup sampai disini kau ikut bermain. Benda sakti mandraguna yang kau
kejarkejar itu tidak berjodoh dengan dirimu!"
Orang
yang menginjak punggung si kakek keluarkan ucapan.
"Jahanam!
Kau pasti orang yang membunuh kekasihku! Siapa kau!"
Kaki yang
menginjak bergerak. Dengan kaki yang sama tubuh Raja Setan Tersenyum dibalikkan
hingga tertelentang. Kini ganti bagian dada yang dipijak.
Orang
tinggi besar yang menginjak dada Raja Setan menyeringai.
"Apakah
kau mengenali diriku?"
Sepasang
mata Raja Setan Tersenyum mendelik. Bukan saja untuk melihat lekat-lekat wajah
orang yang menginjaknya tapi juga karena kesakitan akibat injakan. Si kakek
melihat satu wajah buruk.
"Kau…."
Raja Setan Tersenyum tidak dapat memastikan apakah dia mengenali orang itu.
Namun rasa-rasanya memang dia pernah melihat wajah itu. Tapi sekarang mengapa
berubah bentuk begini rupa?
"Kau
tidak mengenali diriku?" si tinggi besar menyeringai.
"Setan
keparat! Aku tidak perduli siapa kau adanya! Yang jelas kau adalah pembunuh
kekasihku! Kau harus mampus di tanganku!" Bentak si kakek lalu dua panah
hitam yang ada di tangan kanannya dilemparkan ke arah si tinggi besar. Hanya
dengan menggerakkan tangan kiri sedikit, si tinggi besar berhasil memukul
mental dua anak panah.
"Kakek
botak, seharusnya aku juga sudah membunuhmu saat ini. Namun mengingat kau
banyak berlaku baik di masa kanak-kanakku, aku mengampuni selembar nyawamu.
Cukup adil bukan?"
"Apa
katamu…?" Dua mata Raja Setan Tersenyum tambah membeliak. Otaknya bekerja
koras mengingat-ingat. Matanya menatap tajam ke wajah orang tinggi besar.
"Kalau…kalau begitu kau adalah putera….Kau adalah…."
Belum sempat
menyebut nama satu totokan mendarat di leher si kakek. Saat itu juga sekujur
tubuhnya menjadi kaku. tak bisa bergerak tak mampu bersuara.
************************
SOSOK tua
kurus kering itu terbaring hampir sama rata dengan balai-balai kayu. Mata
terpejam, tak ada gerakan pada perut ataupun dada seolah keadaannya sudah tidak
bernafas lagi. Di dalam kamar yang diterangi lampu templok, seorang anak lelaki
seusia dua belas tahun duduk di samping tempat tidur. Anak ini duduk dengan
menahan kantuk yang amat sangat. Sesekali bila kepalanya terdohok kemuka,
cepat-cepat dia mengusap muka, menarik nafas panjang dan duduk diam pandangi
sosok kakeknya yang terbaring sakit di atas balai-balai kayu. Namun segera saja
kepalanya kembali tertunduk diserang kantuk.
"Jantra
cucuku….’
Anak lelaki
yang duduk di samping tempat tidur angkat kepala, buka mata. Serasa tidak
percaya dia mendengar orang tua itu bicara memanggil namanya.
"Kek…."
‘Kau
tidak tidur?"
"Belum
Kek. Saya menjaga Kakek."
"Tidurlah.
Sudah larut malam. Mungkin menjelang pagi. Nanti kau sakit….
"Saya
belum mengantuk Kek,” jawab si anak,
"Kakek
mau minum?" Lalu anak ini ambil kendi tanah berisi air putih sejuk di kaki
tempat tidur. Sedikit demi sedikit air putih itu dituangkannya di atas bibir
si kakek. Dia baru berhenti ketika orang tua itu tersedak dan batukbatuk.
"Kek, besok pagi saya akan ke hutan mencari daun obat. Kalau minum obat
Kakek pasti cepat sembuh…"
‘Kau cucu
baik. Sekarang turuti kataku. Tidurlah…"
"Baik
Kek," si bocah akhirnya mengalah. Dia mengambil sehelai tikar yang
tergulung di sudut pondok kajang itu. Baru setengah tikar sempat digelar di
lantai tanah, tiba-tiba braaakk!
Pintu
pondok jebol. Jantra menjerit kaget. Si kakek di atas balai-balai buka sepasang
mata. Seorang yang mukanya ditutupi kain hitam terkapar di lantai pondok. Tubuh
sebelah kanan hancur hangus mengerikan. Di tangan kiri dia mengepit sebuah peti
kayu berwarna hitam.
Mengira
yang muncul adalah setan atau hantu, mungkin juga orang jahat Jantra ketakutan
setengah mati. Dia sampai melompat naik ke atas balai-balai.
"Bocah,
jangan takut," orang bercadar berkata. Nafasnya megap-megap. Aku Pangeran
Haryo dari Kotaraja. Aku butuh pertolonganmu. Ambil peti ini. Tinggalkan
pondok. Lari sejauh bisa kau lakukan. Sembunyikan peti di satu tempat. Jangan
kembali ke pondok. Tunggu sampai dua hari. Kalau keadaan sudah aman pergi ke
Kotaraja. Temui seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton. Serahkan peti ini
padanya."
Si bocah
hanya melongo lalu geleng-gelengkan kepala berulang kali.
"Ambil
cepat! Pergilah. Hidupku tak lama lagi." Kakek di atas balai-balai angkat
kepalanya sedikit, menatap pada orang bercadar lalu berkata. "Cucuku, jika
memang Pangeran Haryo dari Kotaraja yang minta tolong lekas lakukan apa yang
dikatakannya."
"Tapi
Kek…"
"Bocah,
lekas! Kita tak punya waktu banyak! Sebentar lagi akan ada orang jahat datang
ke sini untuk merampas peti itu! Ayo ambil cepat!"
Jantra
memandang pada kakeknya. Orang tua ini gerakkan kepala sedikit lalu berkata.
"Ambil peti itu. Pergilah…"
"Tapi
kau sakit Kek, aku harus menjagamu…"
"Aku
akan segera sembuh."
Meski
agak ragu Jantra akhirnya, mengambil peti lalu melompat ke pintu.
"Jangan
lewat situ!" orang bercadar memberitahu. Dengan tangan kiri dijebolnya
dinding pondok sebelah belakang. "Lewat sini!" Jantra loloskan diri
lewat lobang di dinding. Di luar pondok bocah ini lari tanpa arah, sekencang
yang bisa dilakukannya. Sesekali dia berhenti dan berpaling ke belakang, ke
arah pondok.
Begitu
Jantra keluar dari dalam pondok, orang bercadar mendekati si kakek yang
terbaring di atas balai-balai.
"Orang
tua, aku terpaksa melakukan ini! Satusatunya jalan untuk menjaga kerahasiaan
benda mustika itu."
Si kakek
melihat orang ulurkan tangan kiri. Matanya mendelik.
"A…aku
dan cucuku telah menolongmu. Mengapa
kau masih
berhati jahat mau membunuhku…?"
"Kreeek!"
Ucapan si
kakek terputus. Tulang leher remuk. Nyawanya lepas saat itu juga. Sehabis
membunuh si kakek, orang bercadar kepalkan tinju kiri lalu hantam kepalanya
sendiri.
"Praaaak!"
ORANG
bertubuh tinggi besar sesaat tegak tak bergerak di depan pintu pondok.
Rahangnya menggembung. Pelipis bergerak-gerak. Mata memandang dingin pada mayat
kakek dan orang bercadar. Kemudian dia memperhatikan berkeliling.
Mencari-cari.
Kurang puas dia menggeledah mengobrak-abrik isi pondok. Benda yang dicari tidak
ditemukan. Lalu dia perhatikan dinding pondok yang jebol.
"Kurang
ajar! Pasti ada orang ke tiga sebelumnya di tempat ini!" Orang ini
menggeram. Otaknya bekerja. "Kakek ini pasti dihabisi bangsat bercadar.
Lalu dia bunuh diri. Lalu orang ke tiga yang sangat pasti melarikan peti, siapa
dia…?"
Sambil
kembali meneliti seisi pondok karena masih berharap peti kayu hitam ada di
tempat itu, si tinggi besar melangkah mendekati sosok orang bercadar yang
tergelimpang di lantai. Dengan tangan kirinya dia tarik cadar hitam yang
menutupi wajah orang.
Hemmm….Pangeran
Haryo. Jadi memang kau rupanya." Orang tinggi besar merenung sesaat.
"Mungkin pondok ini merupakan tempat pertemuan rahasia antara Pangeran
Haryo dengan orang ke tiga. Untuk mengetahui siapa adanya orang ke tiga, aku
harus mencari tahu dulu siapa adanya kakek yang mati dicekik ini."
Orang
tinggi besar tinggalkan pondok. Malam itu juga dia berusaha mencari keterangan
dari penduduk sekitar situ. Tidak mudah untuk mendapatkan keterangan. Selain
rumah penduduk berada jauh, juga tak ada orang yang mau membuka pintu di malam
buta untuk tamu yang tidak dikenal. Tidak putus asa, menjelang fajar akhirnya
orang itu berhasil mendapat keterangan dari penduduk yang tinggal di kaki
bukit. Kakek yang tewas dibunuh diketahui bernama Mangunsuarso. Dia tinggal di
pondok hanya berdua dengan cucunya, seorang anak lelaki berusia dua belas tahun
bernama Jantra. Si tinggi besar tidak pernah menduga kalau orang ketiga yang
tengah dilacaknya adalah seorang bocah.
"Kalau
anak-anak, pasti dia belum lari terlalu jauh. Aku pasti menemukannya."
Kata si tinggi besar dalam hati.
*********************
7
KELETIHAN
karena berlari hampir sepertiga malam membuat Jantra tidur cukup nyenyak walau
beratap langit, berkasur tanah dan berselimut embun. Ketika sapuan mentari pagi
membangunkannya, yang pertama sekali dilihatnya adalah langit luas kebiruan.
Lalu dia ingat kakeknya. Anak ini bangkit dari tidurnya, duduk, menggosok mata
dan memandang berkeliling. Dia menduga-duga kira-kira sejauh mana dia dari
pondok saat itu. Kemudian pandangannya ditujukan pada peti kayu yang terletak
di tanah di ujung kakinya.
‘Orang bercadar
mengaku Pangeran Haryo itu….’ Jantra ingat peristiwa malam tadi.
"Mengapa
dia menyuruh aku melarikan peti sejauh mungkin. Menyembunyikan di satu tempat.
Harus menunggu sampai dua hari. Lalu pergi ke Kotaraja. Menyerahkan peti pada
seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton. Apa yang ada dalam peti ini? Emas?
Harta karun? Barang pusaka? Kalau memang emas atau harta karun perlu apa aku
susah-susah mengantar ke Kotaraja. Ambil saja, serahkan pada kakek. Kami akan
jadi kaya raya." Jantra permainkan peti kayu dengan ujung kaki. Dia berada
dalam kebimbangan. Melaksanakan pesan orang bercadar atau mengikuti suara
hatinya.
Jantra
memandang berkeliling. Tak jauh dari tempatnya duduk ada satu lobang besar
bekas bongkaran akar pohon kelapa yang telah tumbang. Sesuai pesan Pangeran
Haryo, peti itu bisa dikubur disembunyikannya di lobang itu.
Namun
suara hati dan rasa ingin tahu si bocah ternyata lebih keras. Jantra beringsut.
Peti kayu hitam diperhatikan dengan seksama. Penutup peti hanya dikunci dengan
sebuah pasak kayu. Berarti tidak susah membuka peti. Maka bocah itu ulurkan
tangan menarik pasak. Ternyata tidak semudah yang diduga Pasak itu sangat kuat.
Jantra harus mengetuk bagian bawah pasak dengan sebuah batu berulang kali, baru
pasak bergerak ke atas. Sekali tarik pasak kayupun akhirnya lepas.
"Kek,
kita akan jadi orang kaya," kata bocah usia dua belas tahun itu karena
yakin peti kayu berisi emas atau barang berharga. Penutup peti diangkat. Begitu
penutup peti terbuka bau busuk membersit keluar. Jantra seperti mau muntah.
Walau tak tahan oleh bau busuk itu, Jantra masih berusaha memperhatikan,
memandang ke dalam peti. Saat itu juga si bocah keluarkan jeritan keras. Muka
pucat ketakutan. Seperti disengat kalajengking anak ini melompat lalu lari
tunggang langgang tinggalkan tempat itu sambil terus menjerit.
Di dalam
peti yang diharapkan berisi emas atau harta karun itu ternyata ada satu
kutungan kepala manusia. Kutungan kepala ini memiliki rambut putih yang berubah
kaku merah oleh darah yang telah mengering. Dua mata mencelet menggidikkan.
Darah kering menutupi hampir keseluruhan wajah. Pada pertengahan kening yang
terbelah, menancap satu benda hitam. Benda ini adalah sebuah batu tipis
berukuran satu jengkal persegi.
Jantra
tidak perduli kemana arah larinya. Yang penting menjauhkan diri dari peti
mengerikan itu. Selagi dia lari sambil menjerit begitu rupa tibatiba satu
tangan kukuh memagut pinggang si bocah.
"Tidak!
Jangan! Lepaskan!" teriak Jantra sambil memukuli dada orang yang
memegangnya.
"Bocah,
tak usah takut! Aku akan melindungimu. Apapun bahaya yang mengancam."
Jantra mendengar suara, merasakan punggungnya dielus-elus. Jantra menarik nafas
panjang lalu menangis. Orang tinggi besar usap-usap kepala Jantra, menunggu
sampai anak itu tenang dan berhenti menangis.
"Sahabatku
kecil, aku tahu namamu Jantra. Benar?"
Anak ini
anggukkan kepala walau merasa heran bagaimana orang tahu namanya. Untuk pertama
kali dia angkat kepala guna melihat wajah orang. Si bocah langsung mengkeret
ketakutan. Dia melihat satu wajah dengan beberapa cacat menyeramkan!
Cepat-cepat Jantra tundukkan kepala.
"Tampangku
memang angker. Tapi terhadapmu hatiku baik." Berkata orang tinggi besar.
"Sekarang katakan. Apa yang terjadi. Apa yang membuatmu lari dan
menjerit."
Jantra
tak bisa segera menjawab.
Sesenggukan
masih memenuhi mulut dan tenggorokannya. Selain itu rasa takut terhadap orang
tak dikenalnya ini masih belum lenyap. Orang tinggi besar kembali mengusap
kepala anak itu. Berucap dengan suara lembut membujuk.
"Ceritakan
apa yang terjadi. Apa yang membuatmu ketakutan…"
"Di…
didalam peti…" Jantra coba menerangkan. Tapi masih tersendat.
"Di
dalam peti. Peti apa? Dimana?"
"Ada…ada
potongan kepala manusia di dalam peti. Kening terbelah. Ditancapi batu…."
Wajah si
tinggi besar berubah. Rahang mengembung, sepasang alis berjingkrak. "Peti
itu, dimana?" Tunjukkan padaku."
Jantra
menunjuk ke arah kejauhan. Lalu berkata. "Aku tidak mau kesana. Aku
takut…"
"Kita
sama-sama kesana. Biar kudukung agar cepat."
Jantra
didudukkan di bahu kiri lalu orang tinggi besar membawa anak ini lari ke arah
dari mana tadi Jantra datang.
"Disana,
dekat lobang besar. Itu petinya…" ucap Jantra sambil menunjuk.
Si tinggi
besar telah melihat peti kayu hitam itu. Tergeletak di tanah dalam keadaan
terbuka. Jantra cepat diturunkan ke tanah. Anak ini tak berani memandang ke
arah peti. Si tinggi besar membungkuk, memperhatikan isi peti. Mula-mula kening
mengerenyit, lalu mata terbelalak. Dada berdebar panas.
"Bocah!
Kau bilang ada batu menancap di kening orang. Mana?!" Si tinggi besar
tarik tubuh Jantra lalu diputar ke arah peti. Jantra yang ketakutan, pejamkan
mata tak berani melihat.
"Bocah
setan! Kau menipuku!" Si tinggi besar jambak rambut Jantra.
"Di
kening itu. Ada batu….Hitam…"
"Buka
matamu! Libat sendiri!" bentak si tinggi besar.
Jantra
menggeleng. Tak berani buka mata.
"Kalau
kau tidak mau buka mata, biar kukorek!"
Ketakutan
setengah mati matanya mau dikorek, Jantra akhirnya buka kedua mata. Di kening
kutungan kepala di daiam peti ternyata memang tidak ada lagi batu hitam itu.
"Tadi
batu itu ada di situ. Menancap di kening." Ucap Jantra.
"Kau
yakin?"
Jantra
mengangguk.
"Kau
tidak mendustai diriku atau salah lihat?"
Si bocah
menggeleng.
Si tinggi
besar seperti kehilangan tenaga. Dia dudukkan diri menjelepok di tanah. Dalam
hati mengeluh geram. "Puluhan minggu bekerja keras. Peti kayu berhasil
ditemukan. Tapi Batu Bernyawa yang ada di dalamnya lenyap dijarah orang! Kurang
ajar!" Saking geramnya si tinggi besar tendang peti kayu hitam hingga peti
dan isinya mencelat mental ke udara sampai setinggi lima tombak.
Setelah
amarahnya agak mengendur si tinggi besar menatap Jantra dan berkata dalam hati.
"Anak
ini memang tidak berdusta. Tapi bagaimana batu bisa lenyap dalam waktu begitu
singkat? Ada seseorang muncul di tempat ini? Siapa? Orang yang tidak tahu
menahu perihal batu mustika itu pasti akan pergi begitu saja. Atau mungkin
salah seorang kepercayaan penguasa pantai selatan muncul menyelamatkan batu
mustika itu setelah kena dirampas dari tangan nenek ular?"
"Jantra,"
kata si tinggi besar. "Kau menemukan peti di tempat ini. Bagaimana
ceritanya?"
"Bukan,
bukan menemukan. Aku yang membawa peti itu kesini…" menjelaskan si bocah.
"Hemmm….Ka!au
begitu bagaimana kejadiannya? Sehabis kau menjelaskan, aku akan beri hadiah dan
antar kau ke pondok kakekmu."
Jantra
lalu menuturkan apayang terjadi malam tadi sampai saat dia lari melalui dinding
kajang yang dijebol, anak ini tidak tahu peristiwa selanjutnya yaitu kematian
kakeknya serta bunuh dirinya orang bercadar. Setelah mendengar cerita si bocah
orang tinggi besar memutar otak, berpikir-pikir.
"Jantra,
kau tunggu di sini. Kalau aku tidak menemuimu sampai tengah hari, tinggalkan
tempat ini. Jangan kembali ke pondok." Dari dalam saku pakaiannya orang
tinggi besar keluarkan kepingan emas. Logam sangat berharga ini digenggamkannya
ke tangan kanan si bocah seraya berkata. "Ingat, kau tak usah kembali ke
rumah kakekmu. Kalau kakekmu punya saudara temui dia. Tinggal bersamanya. Emas
itu cukup untuk bekal masa depanmu."
Habis
berkata begitu orang tinggi besar usap kepala si bocah lalu berkelebat pergi.
Berada sendirian Jantra merasa heran. Dia pandangi potongan emas di telapak
tangan kanan.
"Mukanya
seram. Anehnya hatinya baik. Aku diberi emas. Tapi tidak boleh kembali ke
rumah. Mungkin dia tidak tahu kalau kakekku sedang sakit."
Laksana
kilat orang tinggi besar lari ke tempat dimana malam tadi dia meninggalkan Raja
Setan Tersenyum dalam keadaan tertotok. Ternyata kakek kepala botak itu tak ada
lagi di situ.
"Secepat
itukah dia mampu memusnahkan totokanku? Kurang ajar! Seharusnya kubunuh saja
dia malam tadi!" Si tinggi besar melangkah bulak balik dengan tangan
terkepal.
"Jantra
menyebut nama Abdi Tunggul. Aku pernah mendengar nama orang itu. Kalau tidak
salah dia adalah seorang Tumenggung. Kalau Pangeran Haryo menyuruh Jantra
menyerahkan Batu Bernyawa pada Abdi Tunggul, berarti Tumenggung itu tahu seluk
beluk batu sakti. Berarti Raja Setan Tersenyum akan menemuinya. Atau mungkin,
jangan-jangan rahasia besar itu sudah bocor? Apa yang harus aku lakukan?
Mengejar Raja Setan Tersenyum? Dia pasti dalam perjalanan ke Kotaraja. Atau aku
harus mengamankan Dewa Sedih lebih dulu?" Cukup lama orang ini berpikir.
Akhirnya dia keluarkan secarik robekan kertas yang sudah sangat lusuh. Disitu
tertera tulisan yang tinggal samar-samar. Pada saat seseorang berhasil
mengetahui keberadaan Batu Bernyawa, sebelum batu sakti berubah menjadi Aksara
Batu Bernyawa, orang itu berpantang membunuh, satu nyawa sebelumnya dan satu
nyawa sesudahnya.
"Walau
dia telah melihat wajahku, berarti aku tidak boleh membunuh bocah itu. Juga
tidak boleh membunuh Abdi Tunggul atau Raja Setan Tersenyum. Lalu setelah
dapatkan batu, aku tidak boleh membunuh kakek berjuluk Dewa Sedih…"
Setelah berpikir dan menimbang-nimbang cukup lama orang tinggi besar itu
akhirnya memutuskan untuk segera ke Kotaraja. Sambil berlari dia mengusap muka
berulang kali. Lalu dari balik pakaian dia keluarkan sebuah topeng karet tipis
dan segera dilekatkan ke wajahnya.
RAJA
Setan Tersenyum menunggu cukup lama sebelum Tumenggung Abdi Tunggul datang
menemuinya di salah satu ruang sunyi di bagian belakang Keraton. Walau hatinya
agak kesal namun wajahnya tetap saja senyum-senyum. Tak lama kemudian tirai
tebal tersibak. Seorang kakek berambut, berjanggut dan berkumis putih keluar.
Sesaat Raja Setan pandangi orang yang tegak di depannya.
"Ada
keanehan pada tua bangka satu ini. Usia lanjut tapi tubuh kekar tegap."
kata raja Setan dalam hati. Dia coba perhatikan tangan dan kaki orang. Namun
tak berhasil karena orang itu mengenakan jubah gombrong menutupi kedua tangan
serta kaki. "Sudah tahunan aku tidak datang ke sini, agaknya banyak tokoh
baru yang aku tidak kenal. Terhadap yang satu ini aku harus berlaku
waspada." Setelah sunggingkan senyum, kakek kepala botak ini berkata.
"Sayang
sahabat lama Keraton. Saya ingin menemui Tumenggung Abdi Tunggul…."
"Aha,
siapa yang tidak kenal Raja Setan Tersenyum. Aku mewakili Tumenggung, memberi
tahu bahwa beliau masih tidur. Pagi ini Tumenggung agak kurang sehat….’
"Dia
tahu siapa diriku. Aku tidak kenal dia. Semakin aneh!" Membatin Raja
Setan.
"Saya
sudah meminta seorang pengawal untuk memberi tahu."
"Pengawal
sudah menjalankan tugas. Aku mewakili Tumenggung menerima kehadiranmu. Jika ada
urusan harap diberitahu padaku."
"Ada
urusan penting. Sangat penting. Aku hanya akan bicara pada Tumenggung."
Jawab Raja Setan sambil tersenyum.
"Kalau
begitu silakan menunggu. Tapi kurasa kau akan membuang wantu sia-sia. Kalau
Tumenggung bangun lalu menolak bertemu denganmu…"
"Jika
beliau tahu siapa yang datang. Tumenggung tidak akan menolak." Jawab Raja
Setan Tersenyum.
Kakek
rambut putih angguk-anggukkan kepala.
"Aku
ada keperluan lain. Tak bisa menemanimu.
Pengawal
nanti akan memberitahu kalau Tumenggung siap menemuimu."
"Kalau
boleh bertanya, saya berhadapan dengan siapa?" tanya Raja Setan Tersenyum.
"Aku
hanya tua renta pembantu Keraton. Namaku tak enak didengar. Lagi pula tak akan
ada arti apa-apa bagimu…"
Lalu
kakek rambut putih itu acuh saja melangkah melewati kursi yang diduduki Raja
Setan, berjalan menuju pintu. Raja Setan memperhatikan. Ketika melangkah kaki
orang itu tidak mengeluarkan suara. Demikian juga ujung pakaian gombrong yang
dikenakan, padahal jelas pakaian itu menjela dan bergeser dengan lantai. Raja
Setan semakin berlaku waspada.
Kecurigaannya
ternyata betul.
Begitu
satu langkah berada di belakang Raja Setan Tersenyum tiba-tiba kakek rambut
putih berbalik. Dua jari tangan kiri laksana kilat menusuk ke arah leher Raja
Setan Tersenyum.
Raja
Setan Tersenyum yang memang sudah curiga dan berjaga-jaga melompat dari kursi.
Tusukan yang berupa totokan dahsyat melesat mengenai sandaran kursi hingga
sandaran kursi itu hancur berantakan. Raja Setan membentak marah, cepat
berbalik dan hantamkan satu tendangan. Serangan kaki diikuti dengan lemparan
sebatang panah hitam mengarah ke tenggorokan. Dengan melompat ke belakang kakek
rambut putih berhasil hindari tendangan lawan. Sementara dengan mengibaskan
tangan kirinya, anak panah yang menderu ke arah dada dibuat terpental.
Perkelahian hebat segera berlangsung. Tapi cuma tiga jurus. Yang dihadapi Raja
Setan Tersenyum bukan lawan sembarangan karena gerakan, daya hantam dan
kepandaian silatnya tinggi sekali. Selain itu Raja Setan mulai menyadari bahwa
lawannya sebenarnya bukanlah seorang kakek seusianya. Si rambut putih
berpakaian gombrong itu mungkin puluhan tahun jauh dibawah umurnya. Semua penampilannya
jelas-jelas hanya merupakan satu penyamaran!
Memasuki
jurus keempat dengan mainkan jurus Tangan Setan Menyusup Langit Raja Setan
Tersenyum berhasil menggebuk dada lawan. Kakek rambut putih hanya bergoncang
sedikit, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit. Padahal orang lain
yang kena hantaman itu paling tidak akan terpental dan cidera berat! Malah
dalam jurus ke empat inilah Raja Setan mengalami nasib sial. Selagi dia
setengah bengong melihat pukulannya tidak menimbulkan akibat apa-apa pada diri
lawan tahu-tahu kakek rambut putih kirimkan satu jotosan yang menjelang akan
sampai ke sasaran berubah menjadi satu sodokan siku. Serangan ini mendarat di
pinggang Raja Setan, membuat si kakek melintir. Belum sempat mengimbangi diri,
satu totokan melanda pangkal lehernya.
"Jahanam!
Siapa kau sebenarnya!" hardik Raja Setan.
Orang
yang dihardik ambil sebuah patung kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas
meja lalu disumpalkan ke dalam mulut Raja Setan hingga kakek botak ini kini
hanya bisa keluarkan suara ha-ha-hu-hu.
Dengan
cepat kakek rambut putih geledah pakaian Raja Setan. Benda yang dicarinya
sebuah batu hitam tipis empat persegi ditemukan di dalam sebuah kantong di
balik jubah hijau Raja Setan.
"Batu
Bernyawa."
Suara
kakek rambut putih bergetar ketika menyebut nama batu itu. Takut tertipu kakek
rambut putih teliti batu dengan seksama. Dadanya berdebar, sesaat nafasnya
tertahan ketika melihat bagaimana batu itu mengeluarkan gerakangerakan halus
dan jari-jari tangannya merasakan ada denyutan aneh seolah batu itu makhluk
bernyawa, bukan benda mati. Batu dimasukkan ke balik pakaian gombrong. Lalu
sekali bergerak tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.
Melihat
gerak dan cara orang melenyapkan diri Raja Setan jadi terkesima. Dia melirik ke
atas. Astaga! Baru saat itu dia melihat Ternyata ada satu lobang besar di
langit-langit ruangan. Raja Setan kerahkan tenaga dalam lalu meniup
keraskeras. Beberapa kali dicoba baru patung kayu yang menyumpal mulutnya
melesat mental.
"Jahanam!"
Maki raja Setan. "Bangsat itu! Aku kini ingat. Aku rasa-rasa pernah
mendengar suaranya sebelumnya! Kurang ajar! Dia adalah orang yang menotokku
malam tadi! Dia juga yang telah membunuh kekasihku Ratu Setan!" Untuk
beberapa lamanya sekujur tubuh Raja Setan bergetar hebat dan keluarkan lelehan
keringat. "Batu sakti itu. Tobat! Agaknya memang bukan milikku! Bukan
jodohku!" Raja Setan kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan totokan. Tapi
tak berhasil. Akhirnya dia berteriak memanggil pengawal.
Ketika
pengawal datang disusul kemudian dengan kemunculan Tumenggung Abdi Tunggul,
kakek rambut putih berjubah gombrong telah melompat melewati tembok Keraton
sebelah timur. Dengan cepat dia melesat memasuki satu hutan kecil. Di dalam
hutan dia tanggalkan pakaian gombrangnya, copot rambut, kumis, dan janggut
putih. Dugaan Raja Setan Tersenyum tidak meleset. Orang ini ternyata telah
melakukan penyamaran. Kini kelihatan wajahnya yang asli serta sosoknya yang
tinggi besar. Sambil tertawa gelak-gelak dia pegang Batu Bernyawa di tangan kiri
dan percepat larinya.
"Raja
Setan. Kau boleh merasa sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi! Tapi kau
tidak pernah menyadari kau adalah tokoh silat paling tolol di dunia ini!
Ha…ha…ha!"
Dua ratus
tombak memasuki hutan kecil, orang itu membelok ke utara.
"Aku
harus cepat. Sebelum mentari tenggelam sudah tiba di tempat perjanjian. Kalau
kakek itu
nekad
sampai bunuh diri, sia-sialah semua rencana."
*********************
8
DI SATU
tikungan berbentuk hampir menyerupai tapal kuda, sungai berair bening itu
bertemu dengan aliran sungai lain yang bersumber dari sebuah gunung didaerah
utara. Kawasan ini penuh dengan batu-batu besar berbentuk aneh betebaran
dimana-mana. Ada yang bulat besar seperti bola raksasa. Ada tegak lurus
menyerupai tiang setinggi dada manusia. Banyak pula menyerupai bukit-bukit
kecil. Lalu ada beberapa berbentuk rata seperti ranjang tidur atau meja besar.
Sejak
alam diciptakan, kawasan berhawa sejuk itu boleh dikatakan selalu diselimuti
kesunyian abadi. Bahkan kicau burung atau deru aliran suara air sungai tidak terdengar.
Suara desau angin tak pernah mampir ke telinga siapa saja yang berada di tempat
itu. Tapi saat itu, entah sejak kapan kejadiannya ada satu suara aneh. Suara
aneh yang terdengar di tempat itu, tatkala sang surya akan segera tenggelam
beberapa saat lagi adalah suara isak tangis. Siapa pula makhluk yang
susahsusah datang ke tempat terpencil itu hanya untuk menangis? Benar
manusiakah atau hantu yang tersesat ketika gentayangan, tak mampu mencari jalan
pulang sebelum malam datang?
Di atas
sebuah batu besar berbentuk panjang rata, menggeletak satu sosok tua renta
berkulit hitam berpakaian selempang kain putih. Rambut yang semula di gelung di
atas kepala kini menjulai lepas di atas batu. Kalau rambutnya putih hampir
seperti kapas, sepasang alisnya masih hitam, tebal menjulai. Orang tua ini
terbujur diatas batu rata demikian rupa sementara dua kaki terjulur kebawah,
masuk kedalam air sungai sebatas betis. Dua kaki itu tak bisa diam. Sebentar
dikuakkan lebar-lebar hingga membersitkan deru angin luar biasa deras. Sesekali
ditendangkan ke udara hingga ranting-ranting dan daun pepohonan di sekitar
tempat itu luruh berguguran. Sering pula dua kaki itu yaitu ketika rasa sakit
tidak tertahankan dihunjamkan ke dalam air membuat air sungai muncrat setinggi
beberapa tombak, jatuh ke bawah mengguyur kuyup sosok si kakek. Kalau sudah
begitu si kakek aneh semakin keras tangisnya, semakin menyayat hati suara
ratapannya.
Dalam
keadaan terlentang dan menangis kakek berkulit hitam pergunakan tangan kiri
untuk mengangkat tinggi-tinggi bagian bawah kain putih sementara tangan kanan
yang memegang setangkai daun keladi hutan besar tiada hentinya mengipas-ngipas
bagian bawah auratnya yang tersingkap lebar.
"Wutt…wuuuuttt…wuutttt."
"Werrr…weerrr….weerrrrr."
"Kroooookkkk…kroooookkkk….kroookkkkk."
Sambil
berkipas-kipas dari mulut si kakek tiada henti terdengar suara isak tangis
sedih berhibahiba disertai ratapan tidak berkeputusan. Suara tangisan itu
ditimpai suara aneh "krockk……. krooookkkk… krookkkk…" yang keluar
dari balik kain putih yang tersingkap lebar. Seolah ada seekor kodok besar
mendekam di bawah perut si kakek dan keluarkan suara mengorek terusterusan.
Kaiau saja ada orang lain di tempat itu dan berani mengintip bagian bawah kain
putih yang tersingkap lebar maka dia akan melengak besar. Takut, ngeri. Tidak
percaya. Betapa tidak, sepasang buah sakti si kakek yang wajarnya hanya sebesar
biji salak kini kelihatan menggembung raksasa .sebesar buah kelapa. Setiap
saat seolah hidup, dua buah sakti itu mengembung kembang kempis dan
mengeluarkan suara seperti kodok mengorek.
Krokkkk:..krooook…
krokkkkk!
"Kantong
menyanku sialan. Hik…hik." Si kakek meratap. "Aku rela kalau kalian pecah
saja! Biar terbebas aku dari azab celaka ini. Hik…hik."
Suara
tangis dan ratapan si kakek terhenti sebentar lalu bersambung kembali.
"Hik…. enggg… hik…hik. Oala, apa dosaku hingga ketiban malapetaka begini
rupa. Hik…hik…hik. Diseduh air cabe rasanya mungkin tidak sepanas ini!
Ditemploki bara menyalapun mungkin tidak sesakit ini! Hik…hik…hik. Enggg…enggg…
Direndam dalam air sungai, ademnya cuma sebentar. Lama-lama malah tambah panas!
Oala… Tobat aku. Bagusnya mati saja saat ini! Tapi manusia yang punya perjanjian
itu. Apa aku harus menunggunya atau aku bunuh diri saja?
Enggg…Hik…hik…hik."
Tak tahan
oleh sengatan rasa sakit si kakek hunjamkan kedua kakinya ke dalam air. Air
sungai muncrat ke udara setinggi dua tombak, lalu jatuh mengguyur sekujur tubuh
si kakek.
Dari
keadaan si kakek, jika ada orang lain melihat, selain menduga kakek itu adalah
seorang berkepandaian dan punya kesaktian tinggi, orang itu juga akan mengira,
akibat tidak tahan oleh penyakit aneh yang dideritanya, si kakek telah berubah
ingatan. Menjadi gila! Sebenarnya kakek ini tidak gila. Sejak dulu dia memang
berperangai dan bertingkah laku aneh. Hanya saja rasa sakit yang diderita
akibat membengkaknya sepasang buah zakar memang luar biasa dan menambah aneh
perbuatan serta ucapannya.
Dalam rimba
persilatan tanah Jawa kakek berkulit hitam mengenakan pakaian selempang kain
putih yang sudah kuyup ini dikenal dengan julukan Dewa Sedih. Selain ilmu
kesaktiannya yang tinggi, dia juga memiliki keanehan tersendiri. Mukanya yang
hitam dengan alis panjang menjulai selalu menunjukkan wajah sedih. Sekalipun
tertawa tampangnya tetap saja sedih. Apa lagi kalau penyakit menangisnya
kambuh. Apapun yang dirasa, atau dilihat, apapun yang didengarnya
bisa
menjadi sumber tangis tiada henti. Walau banyak yang menganggap kakek ini
kurang waras namun tidak ada orang berani main-main padanya.
Diketahui
pula bahwa Dewa Sedih punya seorang adik yang dikenal dengan julukan Dewa
Ketawa. Bertolak belakang dengan keadaan diri dan sifat Dewa Sedih, sang adik
selalu unjukkan wajah ceria, sedikit bicara banyak ketawa. Melihat sesuatu saja
bisa jadi bahan ledakan tawa. Sekali tertawa suaranya membahana, menggetarkan
tanah dan seperti mau memecah gendanggendang telinga. (Mengenai dua kakak
beradik aneh berjuluk Dewa Sedih dan Dewa Katawa bisa dibaca dalam serial Wiro
Sableng berjudul "Halilintar Di Singosari" dan pasangannya berjudul
"Pelangi Di Majapahit.")
Setelah
menangis sesengguk isak-isakan Dewa Sedih kembali meratap.
"Mana
orang itu! Ini adalah hari terakhir saat perjanjian. Apa dia jadi datang atau
dia hanya menipu diriku. Kalau matahari tenggelam, tenggelam pula diriku! Hik..
hik. Kantong menyanku akan besar seperti kelapa selamalamanya. Hik…hik…hik.
Bagaimana aku bisa berjalan! Perempuan mana lagi yang akan sudi mengusap anuku
ini kalau melihat saja sudah menakutkan. Hik .hiik…hik. Oala… lebih baik aku
gebuk saja biar pecah! Tak tahan sakitnya. Panas sampai ke ubun-ubun. Sakit
sampai ke jempol kaki. Hik..hik…hik. Eh, apa aku masih punya jempol kaki? Oala,
aku tidak bisa melihat. Tiga hari menunggu aku tidak makan. Aku tidak sengsara!
Tapi tiga hari kantong menyan membengkak kembang-kempis enyut-enyutan rasanya
seperti di neraka! Bunyi lagi!
Hik..hik…hik."
Si kakek lalu menangis panjangpanjang. Tangan kanannya kembali sibuk
mengipas-ngipas auratnya yang salah kaprah itu dengan daun keladi hutan.
"Lumayan, lumayan adem. Hik…hik. Seharusnya ada perempuan mengipasi anuku
ini. Tidak usah perempuan beneran. Dedemit atau setan jejadianpun tak jadi apa.
Malah-malah yang namanya bancipun tidak aku tolak. Tapi mengapa tidak
seorangpun yang datang? Engg…hik…hik."
Sambil
menangis berkipas-kipas kakek di atas batu melirik kelangit. Sebentar lagi
matahari akan tenggelam. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Oala,
matilah diriku! Ini semua gara-gara selembar kain bersurat itu. Kalau saja aku
menolak menerimanya, tidak akan kejadian celaka yang seperti ini. Sebentar lagi
tamatlah riwayatku. Mati di tempat sunyi seperti ini. Hik…hik…hik. Tidak ada
sanak tidak ada kadang tidak ada sahabat yang melihat. Adikku Dewa Ketawa, aku
banyak dosa kesalahan padamu. Kita jarang bertemu. Tapi kalau bertemu kau
tertawa aku menangis. Kita lebih banyak bertengkar. Kau memaki, aku
menyumpahimu. Kalau memang aku mati duluan, maafkan diriku ya? Hik…hik…hik."
Selagi
menangis meratap-ratap begitu rupa tiba-tiba di bawah kemerahan langit oleh
saputan cahaya sang surya yang hendak tenggelam berkelebat satu bayangan. Orang
ini datang berlari dari arah timur. Untuk memintas jalan agar lebih cepat,
kawasan sungai dilewati dengan cara melompat dari satu batu ke batu lain.
Bebatuan yang telah ratusan tahun berada di tempat itu sangat licin karena
ditebali lumut. Jarak batu satu dengan lainnya paling dekat dua atau tiga
tombak. Tapi orang ini mampu melompat sambil berlari seperti bocah tengah
bermain dampu.
"Dewa
Sedih! Aku datang!"
Suara
gelegar teriakan orang membuat Dewa Sedih tergagap, lalu hentikan tangisnya.
Namun hanya sebentar. Dilain saat dia kembali meratap. "Dia datang… Orang
itu datang. Aku tahu dia menipuku! Aku tahu semua ini pekerjaannya.
Hik…hik…hik. Asal dia memang bisa mengobati kantong menyanku! Asal saja dia
bisa mengembalikan ke bentuk semula, tidak ada yang mencong, tidak ada yang
penyok atau berubah burik, hik…hik…hik. Akan lupakan semua derita sengsara ini.
Ini sudah suratan nasib, sudah takdir. Engg…hik…hik…hik."
Suara
ratap Dewa Sedih berhenti. Gema suara orang masih menggetari seantero tempat.
Tahutahu seorang bertubuh tinggi besar telah berdiri di atas batu kali rata,
di samping sosok Dewa Sedih. Orang ini perhatikan keadaan. Dewa Sedih mulai
dari kepala sampai kaki. Si kakek pelototkan mata balas menatap, lalu
sesenggukan dan akhirnya menangis keras-keras.
"Dewa
Sedih, hentikan tangismu! Kau masih mengenali diriku?"
"Ya…
yang Enggg….hik…hik…hik. Aku kenali tampangmu. Hampir tiga penyakit celaka yang
bersarang di bawah perutku! Aku tahu semua ini ulah buatanmu sendiri. Kau
memanfaatkan diriku karena aku memiliki…."
"Kalau
mau sembuh kau tidak perlu bicara panjang lebar!" bentak si tinggi besar.
"Ingin sembuh dengar apa kataku!"
"Engg…hik…hik…hik."
Si kakek kembali menangis.
"Keluarkan
Kain Bersurat. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Saatnya kita mulai
bekerja."
Dewa
Sedih tidak lakukan apa yang diminta orang, malah balik bertanya. "Apakah
kau berhasil mendapatkan Baru Bernyawa.?"
*********************
9
SEBAGAI
jawaban orang tinggi besar keluarkan sebuah benda hitam tipis berukuran satu
jengkal persegi. Inilah batu mustika sakti yang pertama kali muncul dibawa oleh
makhluk ular berkepala nenek, di dalam peti yang ada kutungan kepala manusia.
Peti itu kemudian dirampas oleh Putu Arka orang pertama dari Tiga Hantu
Buleleng. Batu tersebut yang masih berada di dalam peti kayu hitam kemudian
direbut dan dilarikan oleh Pangeran Haryo. Namun Pangeran Haryo sendiri menemui
ajal. Batu sakti berpindah tangan pada Raja Setan Tersenyum. Seperti dituturkan
sebelumnya, selanjutnya batu itu dibawa Raja Setan Tersenyum ke Keraton untuk
diserahkan pada Tumenggung Abdi Tunggul. Tapi sebelum hal itu sempat
dilaksanakan, batu mustika dirampas oleh seorang yang menyamar sebagai kakek
rambut putih. Si kakek ini adalah kini orang tinggi besar yang menemui Dewa
Sedih di kawasan tempat bertemunya dua sungai.
Si tinggi
besar perlihatkan batu hitam tipis dan dekatkan ke muka Dewa Sedih. Si kakek
menatap, kerenyutkan alis, lalu menangis sesenggukkan.
"Hik…hik…
tunggu, aku harus memastikan batu itu asli atau tidak."
"Dewa
Sedih, aku melihat batu ini bergerak. Aku merasakan ada denyutan seperti
tarikan nafas. Ini pasti batu asli. Mengapa kau harus menyelidik menghabiskan
waktu saja. Bagaimana caranya?!" Orang tinggi besar mulai jengkel. Apalagi
saat itu waktu hanya tinggal sedikit sebelum sang surya tenggelam.
"Hik…hik…
Enggg… Orang yang aku kenal muka tapi tidak kenal nama, kau tenang saja. Turuti
apa yang aku katakan, salah sedikit saja akan celaka seumur-umur.
Hik…hik…"
Si tinggi
besar menggeram menahan marah. "Kalau begitu lekas lakukan apa yang mau
kau kerjakan!" ucapannya setengah membentak.
"Jangan
bicara membentak. Aku jadi sedih…" Dewa Sedih terisak-isak lalu menangis.
"Sial!"
maki si tinggi besar dalam hati. "Mengapa tua bangka keparat ini yang
memiliki Kain Bersurat itu. Mengapa bukan orang lain yang tidak banyak
cingcong!" Kalau tidak punya kepentingan luar biasa, mungkin sudah sejak
tadi kakek satu ini digebuknya sampai ambruk.
Sambil
sesenggukan Dewa Sedih tatap sesaat batu hitam yang dipegang orang tinggi
besar. Lalu diangkat tangan kiri, telapak dikembangkan lebar-lebar. Setelah
merenung sesaat, pada telapak tangannya itu Dewa Sedih melihat bayangan jelas
sebuah benda yang bukan lain adalah Batu Bernyawa. Si kakek letakkan telapak
tangan di atas kening, pejamkan mata lalu sesenggukan kembali dan menangis
panjang.
Tidak
sabaran orang tinggi besar bertanya.
"Kek,
apa yang kau lihat? Bagaimana keadaan batu ini?"
"Hik…hiik.
Aku melihat… Kau … kau beruntung. Batu ini memang batu mustika asli. Berasal
dari dasar ke tujuh samudera pantai selatan. Tapi dibalik keberuntungan itu aku
hik..hik.. aku melihat juga ada petaka besar menunggu dikejauhan…."
"Aku
tidak perduli hal lain yang kau lihat. Sekarang lekas keluarkan Kain
Bersurat…."
"Hik….
hik…Enggg…. Kau sudah membawa paku berujung emas?" tanya si kakek.
"Semua
sudah kusiapkan. Kau saja yang banyak tanya ini itu. Menangis tidak karuan. Aku
mulai tidak sabaran…."
"Hik…hik…hik.
Jangan bicara begitu. Aku jadi sedih. Kalau kau tidak sabar kau tidak bakal
mendapatkan apa yang kau ingin…." jawab Dewa Sedih lalu usap air matanya.
"Mana
Kain Bersurat itu?!" hardik si tinggi besar.
"Serahkan
dulu paku berujung emas," jawab si kakek lalu menangis panjang.
Meski
kesal si tinggi besar keluarkan sebuah benda yakni sebatang paku panjang
sejengkal. Ujung lancipnya berkilau kuning karena dilapisi emas murni.
"Ambil
paku ini! Lekas kerjakan apa yang menjadi tugasmu sesuai perjanjian. Jika Kau
menipu kau akan kondor sampai mati! Setiap hari barangmu akan tambah besar
tambah berat!"
Dewa
Sedih menggerung. "Jangan mengancam menakuti aku seperti itu. Aku sedih.
Hik…hik…hik." Si kakek ambil paku berujung emas. Lalu paku dimasukkan ke
liang telinga sebelah kiri. Perlahanlahan tapi sedikit demi sedikit paku
lenyap masuk ke dalam liang telinganya. Bersamaan dengan lenyapnya paku di
dalam telinga kiri, dari telinga kanan si kakek menyembul keluar sebuah benda
yang ternyata adalah segulung kecil kain berwarna hitam. Si tinggi besar
memperhatikan semua apa yang terjadi dengan mata tak berkesip.
Dewa
Sedih gerakkan tangan kiri kanan. Yang kiri mencabut paku di telinga kiri. Paku
lalu diselipkan disudut mulut. Tangan kanan menarik keluar gulungan kain hitam
yang menyembul di telinga kanan. Perlahan-lahan gulungan kain dibuka. Ternyata
pada kain hitam itu tertera sederetan tulisan panjang, dibuat dengan tinta
berwarna kuning emas. Tulisan itu berbunyi :
Aksara
Batu Bernyawa
Mula
kehidupan anak manusia adalah dari setetes air mani yang tenggelam ke dalam
rahim ibunya dan berubah menjadi jabang bayi
Di dalam
rahim sang ibu tali pusar menjadi sumber kehidupan
Jika
seorang yang sakarat inginkan kehidupan
Jika
seorang telah menghembuskan nafas lalu terkubur sampai sebelum sang surya
tenggelam
Dan
mereka inginkan kehidupan duniawi kembali
Bagi
mereka yang beruntung dan berjodoh akan didapat nyawa kedua
Asalkan
dilakukan semua syarat yang diminta
Pertama,
upacara mendapatkan nyawa kedua harus dilakukan pada menjelang tengah malam
ditempat terbuka dan dibawah cahaya bulan sabit hari ketiga
Kedua,
insan tersebut sebelumnya harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa
Ketiga,
yang memandikan haruslah kaum sejenisnya :
Lelaki
dimandikan oleh lelaki, perempuan dimandikan oleh perempuan
Keempat,
yang hadir dalam upacara mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari dua
orang
Kelima,
letakkan tali pusar bayi yang baru dilahirkan diatas pusar insan yang bakal
mendapatkan nyawa kedua
Keenam,
kucurkan darah suci bayi yang baru lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung
kaki sampai kepala dan rambut
Ketujuh,
sabarlah menunggu sampai kicau burung atau kokok ayam pertama terdengar sebelum
fajar menyingsing
Jika itu
terjadi maka nyawa kedua telah tersimpan di dalam tubuh insan
Dia akan
bernyawa, akan hidup seperti manusia adanya, namun akan ditemui beberapa
kelainan
Insan
nyawa kedua tidak akan mengenal siapa diri sendiri dan orang-orang
disekitarnya.
Insan
nyawa kedua akan memiliki satu kekuatan luar biasa
Insan
nyawa kedua berada dibawah kekuasaan dan hanya tunduk pada orang yang
memberikan kehidupan kedua padanya
Karenanya
syarat kedelapan adalah, insan nyawa kedua harus ditempatkan secara baik-baik
di satu tempat dimana mulai kehidupan kedua datang padanya, tidak satu dosa
kejahatanpun baik berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di tempat tersebut.
Syarat ke
sembilan dan terakhir, setiap bulan sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus
diusap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi yang baru dilahirkan
Bilamana
syarat ke delapan dan kesembilan itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan
kembali ke asalnya semula
Dan yang
berbuat dosa kejahatan akan kejatuhan bencana malapetaka.
"Hik…hik….
Letakkan tanganmu yang memegang batu tujuh jengkal di atas perutku.!.."
Dewa Sedih keluarkan ucapan.
Orang
tinggi besar lakukan apa yang dikatakan si kakek.
"Pegang
terus sampai aku memberi perintah selanjutnya," kata Dewa Sedih sambil
terisakisak. Kain bersurat dikembangkan di tangan kanan, dihadapkan ke arah
batu yang dipegang di atas perut. Perlahan-lahan si kakek angkat tangan
kirinya. Lama tak terjadi apa-apa. Mendadak tangan kiri itu memancarkan cahaya
merah. Cahaya merah keluar dari tangan, membuntal di udara membentuk sebuah
bola besar. Bola merah ini kemudian bergerak menyelubungi batu hitam yang
dipegang orang tinggi besar.
"Lepaskan
batu!" Dewa Sedih memerintah. Lalu tenggorokannya sesenggukan. Dari
mulutnya keluar suara meratap panjang.
Agak
ragu-ragu orang tinggi besar lepaskan tangannya yang memegang batu. Luar biasa!
Batu yang tidak dipegang itu kini mengapung di udara, masih dalam buntalan
cahaya merah. Si kakek angkat tangan kirinya yang memegang paku berujung emas.
Paku diusap-usapkan diatas Kain Bersurat tujuh kali berturut-turut. Selesai
mengusap kaki yang ke tujuh paku dilepas. Seperti batu, paku ini juga tidak
jatuh, mengapung di udara. Malah kini paku bergerak melayang ke arah batu dalam
buntalan cahaya merah. Lalu terdengar suara greet-greet…greet berkepanjangan.
Ujung
paku yang lancip dan berlapis emas bergerak ke bagian kiri atas batu. Lalu
bergerak menggurat dari kiri ke kanan, pindah ke bawah, kembali dari kiri ke
kanan demikian seterusnya. Dalam waktu singkat, apa yang tertulis di atas Kain
Bersurat kini telah pindah dan tertera di atas Batu Bernyawa. Begitu semua
tertulis lengkap, tulisan yang ada di atas kain hitam Kain Bersurat lenyap
secara aneh. Bedanya kalau tulisan di atas Kain Bersurat berwarna kuning emas,
maka tulisan yang tergurat di atas Batu Bernyawa berwarna putih terang.
Dewa
Sedih menangis panjang.
"Pegang
batu," katanya.
Orang
tinggi besar cepat ulurkan tangan memegang batu. Cahaya berbentuk buntalan
merah bergerak menjauhi batu, melayang dan masuk kembali ke tangan kiri Dewa
Sedih. Lapisan emas yang menutupi ujung paku lenyap. Paku ini kini tiada beda
bentuknya dengan paku hitam besi biasa. Paku besi jatuh berdentringan di atas
batu tempat si kakek terbaring, terpental masuk ke dalam air sungai.
"Enggg….hik….hikkkkk."
Dewa Sedih kembali menangis. "Pekerjaanku telah selesai…. Batu ini kini
bertukar nama. Dari Batu Bernyawa menjadi Aksara Batu Bernyawa. Hik…hik…hik.
Orang yang aku kenal tampang tapi tidak kenal nama, sekarang giliranmu. Kau
harus memberi kesembuhan yang kau janjikan padaku!"
Si tinggi
besar menyeringai.
"Bagaimana
kalau aku tidak menepati janji." "Apa….?" Dewa Sedih meraung
keras lalu menangis sejadi-jadinya. "Kau akan kualat. Apa yang menjadi
segala rencanamu akan menemui kegagalan. Malapetaka besar akan menimpamu.
Hik…hik…hik. Kalau kau memang mau ingkar janji aku minta kau membunuhku saat
ini juga. Sesudah itu akan kau lihat, penyakitku akan pindah ke dirimu! Kantong
menyanmu akan bengkak besar lalu meledak. Enggg…Hik…hik…hik."
Si tinggi
besar tertawa gelak-gelak. Dia alihkan pandangan ke arah batu yang dipegang.
Mendadak
tawanya lenyap.
"Tua
bangka jahanam! Kau menipuku!"
"Hik…hik,
memangnya ada apa?" Dewa Sedih kaget lalu menangis.
"Tulisan
di atas batu lenyap!"
Dewa
sedih tersenyum. Ini pertama kali si tinggi besar melihat orang tua itu
tersenyum. Tapi begitu senyum lenyap tangisnya muncul kembali.
"Tulisan
tidak hilang. Masih ada diatas batu. Hanya mata biasa tidak bisa melihat. Pada
saat kau akan melakukan upacara nyawa kedua, kau harus lebih dulu mencelup batu
itu dalam darah segar bayi yang baru lahir. Tulisan di atas batu akan muncul
kembali…."
"Kalau
kau menipuku, aku akan mencarimu sampai diujung neraka sekalipun…."
Si kakek
hanya bisa manggut-manggut sambil kucurkan air mata.
"Sekarang
kau tunggu apa lagi? Kempeskan kantong menyanku! Tapi awas, jangan sampai ada
yang salah bentuk, ukuran dan mengkilapnya.
Hik…hik,..hik."
Si Tinggi
besar menyeringai. Dia bungkukkan tubuh, tarik ujung selempang kain putih
pakaian si kakek disebelah bawah, lalu susupkan tangan yang memegang Aksara
Batu Bernyawa. Batu itu ditempelkan di atas kantong menyan si kakek beberapa
lamanya.
"Hik…hik….."
Si kakek masih menangis tapi matanya kini kelihatan meram melek. "Adem….
hik…hik. Enaknya… aduh hik…hik. Sedap sekali.
Asyikkk…
Hemmmm….Hik…hiik." Si kakek leletkan lidah berulang kali. Dalam tangisnya
dia kelihatan senyum-senyum. "Enteng…hik…hik.. tubuhku sebelah bawah jadi
enteng. Engg… sudah sembuhkah diriku?"
"Silahkan
kau lihat sendiri Kek…" jawab si tinggi besar.
Kalau
selama ini dia sulit baginya untuk bergerak, tapi kini Dewa Sedih dengan mudah
bisa bangkit dan duduk sambil buka dua kaki di atas batu. Kain putih ditarik
tinggi-tinggi ke atas. Dia memandang ke bawah. Mata mendelik berkilat. Ratapan
panjang keluar dari mulutnya. "Aku sembuh! Bijiku yang bengkak sebesar kelapa
sudah kempes. Kantong menyanku sudah ciut bagus. Oala…" Dengan dua
tangannya Dewa Sedih usap-usap auratnya di sebelah bawah perut itu. Lalu tangan
yang mengusap disekakannya ke sekujur muka. Setelah itu kembali dia mengusap
bagian bawah perutnya, ganti mengusap wajah. Demikian sampai berulang kali.
"Dewa
Sedih" si tinggi besar berkata. "Aku akan tinggalkan tempat ini.
Dengar baik-baik beberapa hal penting yang akan aku beritahu…."
"Kau
,yang harus lebih dulu mendengarkan ucapanku!" memotong Dewa Sedih.
Wajahnya tampak serius tapi hanya sebentar lalu kembali berubah sedih.
"Apa
yang hendak kau katakan?" tanya orang tinggi besar.
"Hik…hik.
Petunjuk yang tertulis di atas Aksara Batu Bernyawa tidak keseluruhannya
lengkap. Kelak akan ada makhluk gaib mendatangimu, mungkin menampakkan diri,
mungkin hanya suara. Makhluk itu kelak akan muncul menyampaikan beberapa
petunjuk penting berkaitan dengan batu mustika pemberi kehidupan itu."
Orang
tinggi besar usap-usap dagunya. Dia menatap ke arah langit yang tadi merah kini
mulai dibayangi kegelapan. Dia merasa lega, semua berjalan sesuai rencana dan
sesuai waktu.
"Sekarang
giliranku bicara."
"Hik…hik…"
Si kakek mendengar tanpa angkat kepala.
"Ada
beberapa hal penting. Kau tidak pernah melihat diriku, tidak pernah mengenali
tampangku!"
Dewa
Sedih anggukkan kepala. Sesenggukan.
"Kejadian
hari-hari dulu dan hari-hari ini tidak pernah ada!"
"Dewa
sedih anggukkan kepala sambil terisak.
"Kau
tidak pernah tahu tentang Batu Bernyawa. Juga tidak pernah tahu atau pernah
melihat tentang Aksara Batu Bernyawa."
"Ya,
ya. Hik…hik…hik. Dewa Sedih masih tundukkan kepala. Sibuk mainkan kantong
menyannya.
Dalam
hati si tinggi besar berkata.
"Kalau
saja tidak ada pantangan membunuh satu kali sebelum dan satu kali sesudah
mendapatkan Aksara Batu Bernyawa, pasti sudah dari tadi-tadi kuhabisi tua
bangka sinting ini."
Baru saja
orang tinggi besar membatin begitu, Dewa Sedih langsung meratap panjang.
"Ada
orang mau membunuhku. Apa salahku, apa dosaku? Engg…hik…hik…hik."
Orang
tinggi besar terkesiap mendengar ucapan si kakek. "Manusia satu ini apa
dia punya kesaktian mendengar suara hati orang?" Tidak menunggu lebih lama
orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Ketika
akhirnya Dewa Sedih angkat kepala orang tinggi besar tak ada lagi di tempat
itu. Si kakek langsung meratap.
"Teganya
dia meninggalkan diriku.
Hik…hik…hik."
Lalu kembali dua tangannya sibuk mengusapi perabotan di bawah perutnya sambil
sepasang mata terpejam-pejam meram melek. Dengan suara sesenggukan dia berucap.
"Untung masih utuh. Untung masih mengkilap. Tidak ada bagian yang penyok,
tidak ada yang bentol-bentol, tak ada yang burik. Hik…hik…hik."
*********************
10
DALAM
akhir Episode sebelumnya (Bendera Darah) diceritakan perkelahian hebat yang
terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Adipati Sidik Mangkurat dari
Magetan.
Murid
Sinto Gendeng tidak berdaya menghadapi Adipati yang bersenjatakan Pecut Sewu
Geni, sebuah cambuk sakti yang mampu menyemburkan puluhan lidah api.
Sebelumnya Loh Gatra telah cidera terkena hantaman cambuk itu. Kini Wiro siap
menerima giliran mendapat celaka dipanggang hidup-hidup.
Puluhan
lidah api menyambar ke arah Pendekar 212. Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan
dan Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro untuk membentengi diri
sekaligus melancarkan serangan balasan ternyata tidak berdaya menghadapi
puluhan lidah api yang menyembur dari Pecut Sewu Geni. Empat belas lidah api
berkiblat dan berhasil tembus, siap menggulung hangus sosok sang pendekar.
Pada saat
yang sangat menentukan itu dalam kegelapan malam mendadak muncul seorang kakek
berjubah dan bersorban putih berkilat. Wajahnya dihiasi janggut dan kumis putih
lebat terpelihara rapi. Laksana seekor elang orang tua ini menukik kearah Sidik
Mangkurat. Dua lengan jubah dikebutkan. Dua gelombang cahaya berwarna biru
disertai hamparan angin luar biasa dinginnya menerpa hebat. Puluhan kobaran
lidah api serta merta padam. Wiro lolos dari malapetaka dahsyat yang bisa
membuat dirinya tinggal tulang belulang gosong hitam.
Dalam
keadaan terpental, Sidik Mangkurat terkejut besar karena dapatkan pecut sakti
tak ada lagi di tangan kanannya. Siapa yang telah merampas? Ketika dia
mendongak, memandang ke atas sebuah pohon, dia melihat sosok seorang kakek
berjubah dan bersorban putih berkilat. Pecut Sewu Geni berada pada si kakek,
digulung sepanjang lengan kanannya. Orang tua ini sendiri saat itu tahu-tahu
telah berdiri enak-enakan di atas cabang pohon yang besarnya hanya
sepergelangan tangan. Cukup membuktikan bahwa dia memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sangat tinggi.
Adipati
Sidik Mangkurat berteriak marah. Minta agar si orang tua yang tak dikenal
mengembalikan pecut sakti. Tapi sambil tertawa orang tua itu malah membuka
kedok Sidik Mangkurat. Ternyata pecut itu adalah milik seseorang di negeri
seberang dan selama lima puluh dua purnama sang Adipati telah menguasai senjata
itu secara tidak syah. Terjadi perang mulut. Si orang tua menantang. Kalau
Sidik Mangkurat memang inginkan Pecut Sewu Geni maka dia dipersilahkan
mengambil sendiri ke atas pohon.
Dalam
keadaan marah besar dan ditantang begitu rupa di hadapan sekian banyak anak
buahnya Sidik Mangkurat jadi nekad. Dia melesat ke atas pohon. Namun sekali si
orang tua mengibaskan tangan, sosok Sidik Mangkurat terpental keras lalu jatuh
bergedebuk di tanah. Sadar kalau dia tidak bakal mampu menghadapi lawan yang
begitu tangguh, apa lagi mengharapkan dapat merebut Pecut Sewu Geni kembali,
terbungkuk-bungkuk menahan sakit, Sidik Mangkurat bersama anak buahnya segera
tinggalkan tempat itu.
Sebelum
pergi kakek berjubah dan bersorban putih berkilat sempatkan diri menolong Loh
Gatra yang mengalami luka bakar di sekujur tubuh akibat hantaman cambuk sakti.
Pecut Sewu Geni digantung di depan tubuh Loh Gatra. Lalu si kakek meniup. Saat
itu juga seluruh luka bakar lenyap. Tubuh Loh Gatra kelihatan seperti tidak
pernah mengalami apa-apa!
"Luar
biasa! Kek, kau hebat sekali!" Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan
menatap si orang tua.
Yang
ditatap balas memandang, sunggingkan senyum dan kedipkan mata kiri pada murid
Sinto Gendeng. Di lain kejap sekali berkelebat sosoknya lenyap dalam kegelapan
malam.
Wiro
leletkan lidah, geleng-gelengkan kepala.
"Aku
tak kenai siapa adanya kakek hebat itu.:"
"Aku
malah tak sempat mengucapkan terima kasih…." Ucap Loh Gatra sambil
usap-usap wajahnya yang kembali mulus setengah tidak percaya.
Kegembiraan
dua pendekar itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba muncul seorang penunggang
kuda berjubah bertutup kepala putih. Luar biasanya sosok putih di atas kuda itu
sebentar kelihatan sebentar lenyap. Wulan Srindi yang ada di tempat itu
berteriak kaget.
"Manusia
pocong!"
Sosok
manusia pocong lenyap. Ketika Wulan Srindi berpaling ke kiri, gadis ini kembali
berteriak.
"Awas
serangan membokong! Wiro!"
Wiro
berbalik, putar tubuh dengan cepat.
Tapi
terlambat Pendekar 212 Wiro Sableng hanya sempat melihat sebuah benda melesat
di kegelapan malam disertai cipratan cairan. Lalu dia mengerang pendek,
merasakan perih amat sangat di bagian dada. Ketika dia memperhatikan ternyata
di dadanya telah menancap sebuah bendera aneh.’Berbentuk segi tiga, basah oleh
cairan berwarna merah.
"Bendera
Darah…" desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.
Wiro
menggigit bibir menahan sakit.
"Kurang
ajar! Siapa yang punya pekerjaan…."
"Pasti
makhluk serba putih tadi. Manusia pocong! Tetap disini. Aku akan mengejar
bangsat itu!" Kata Loh Gatra.
"Tunggu,
jangan kemana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan
belaka." Ujar Wiro lalu pejamkan mata, menjajaki mencari tahu apakah
tangkai bendera yang menancap di badannya mengandung racun atau tidak. Tidak
ada hawa panas, tidak ada kekacauan dalam aliran darah. Berarti tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan kayu bendera mengandung racun. Kalaupun ada
mungkin kesaktian Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya telah
memusnahkan racun itu.
Wiro
perhatikan Bendera Darah yang menancap di dadanya. Sambil keluarkan suara
mengeram murid Sinto Gendeng gerakkan tangan hendak mencabut gagang bendera.
Saat itu mendadak ada orang berseru.
"Jangan
dicabut! Berbahaya!"
Wulan Srindi,
Loh Gatra dan lebih-lebih Wiro tentu saja tersentak kaget.
Di lain
kejap, dari kegelapan malam muncullah seorang pemuda berpakaian coklat,
berkepala gundul, berwajah dan berkulit tubuh kuning. Dia adalah pemuda dari
Negeri Latanahsilam yang dikenal dengan nama Jatilandak.
Wiro
mendengus, tidak perdulikan kehadiran pemuda itu. Hatinya masih sangat terluka
atas kejadian beberapa waktu lalu. Dia menyaksikan Jatilandak bermesraan dengan
Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa benci sekali melihat pemuda dari Negeri
Latanahsilam ini.
Wulan
Srindi menatap Jatilandak sesaat lalu memandang berkeliling. Sebelumnya pemuda
muka kuning itu bersama-sama dengan Bidadari Angin Timur. Si pemuda datang
sendirian, lalu dimana si gadis?
"Hemm…
mungkin dia sengaja sembunyikan diri." kata Wulan Srindi dalam hati.
"Lihat saja, akan aku kerjain lagi si pencemburu ini!"
Jatilandak
melangkah mendekati Wiro dan mengulangi lagi peringatannya tadi agar Wiro
jangan mencabut gagang bendera yang menancap di dadanya.
Tanpa
memandang pada pemuda bermuka kuning itu Wiro bertanya. "Kalau dicabut
memangnya kenapa?" Wiro bertanya acuh sambil arahkan pandangan keberbagai
sudut gelap, mencari-cari. Namun dia tidak melihat sosok Bidadari Angin Timur.
Padahal sebelumnya dia tahu betul kalau gadis itu berdua-duaan dengan
Jatilandak. Apakah mereka berpisah di tengah jalan atau mungkin si gadis
bersembunyi di satu tempat?
"Aku
pernah.melihat bendera ini sebelumnya," menerangkan Jatilandak.
"Ujung lancip yang menancap di dalam daging tubuhmu berbentuk gerigi
runcing menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut, daging sekitarnya akan
ikut terbongkar. Bisa sebesar ini." Jatilandak membuat lingkaran dengan
dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.
"Gila!
Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya. Kalau tidak dicabut, biar aku
patahkan saja!"
Nekad
Wiro kembali gerakkan tangan hendak mematahkan gagang Bendera Darah. Tapi satu
tangan halus cepat memegang lengannya, mencegah.
"Orang
sudah memberi nasihat, mengapa berbuat nekad?!"
Wiro
putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis.
"Kau
yang tadi mengaku murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya?!" tanya Pendekar
212.
"Tadi
waktu Adipati itu masih di sini aku sudah menjelaskan. Apa kau tidak mendengar?
Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu, selama ini aku
mencarimu…."
"Aku
tidak percaya kau murid Dewa Tuak. Perlu apa kau mencariku?"
"Tidak
heran kalau kau tidak percaya. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan
lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru, aku berjodoh dengan
dirimu."
"Eee…apa?!"
Wiro sampai tersentak dan rasa sakit di dadanya terasa berlipat ganda.
Wulan
Srindi tersenyum.
"Nanti
saja kita bicarakan hal yang satu itu. Tak jauh dari sini ada tempat yang baik.
Kau bisa berbaring di sana sementara kami-kami berusaha membantu mengeluarkan
Bendera Darah dari tubuhmu."
Baru saja
Wulan Srindi selesai berucap tibatiba dikejauhan ada orang berteriak.
"Pendekar
212 Wiro Sableng! Jika ingin selamat dari Bendera Darah, jika kau masih punya
nyali silahkan datang ke Seratus Tiga belas Lorong Kematian!"
"Manusia
pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam!" Wiro segera
angkat tangan kanannya. Begitu tangan berubah putih seperti perak mulai dari
siku sampai ujung jari dia langsung menghantam.
"Wusss!"
Selarik
cahaya putih panas menyilaukan berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke
arah datangnya suara orang berteriak tadi. Pohonpohon yang terkena sambaran
Pukulan Sinar Matahari berderak patah, mental dalam keadaan hangus. Kobaran api
bertebaran di beberapa tempat. Suasana di tempat itu menjadi terang untuk
beberapa lamanya. Namun manusia pocong yang jadi sasaran pukulan tidak
kelihatan. Tidak ada suara jeritan atau ringkik kuda pertanda makhluk tersebut
berhasil lolos dan tinggalkan tempat itu.
Murid
Sinto Gendeng menggeram marah, kepalkan jari-jari tangan kanan. "Manusia
pocong jahanam! Saat ini kau bisa lolos. Aku bersumpah akan mengejarmu
sekalipun sampai ke neraka!"
Sementara
itu di satu tempat gelap dibalik sebatang pohon besar, seseorang yang sejak
tadi mendekam menyembunyikan diri mengeluarkan umpatan. Walau diucapkan
perlahan tapi karena tempat itu sunyi, jika ada orang lain di dekat situ,
suaranya cukup jelas terdengar.
"Gadis
tak tahu diri. Tak tahu diuntung!
Beraninya
mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Aku tahu
kau berdusta! Huh! Lihat saja, aku bersumpah satu saat akan menampar
mulutmu!"
Tidak
dinyana, tiba-tiba satu suara bertanya.
"Sahabat
lama, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu?
Mudah-mudahan
bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum
apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik…hik…hik."
Orang
yang sembunyi dibalik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing. Hatinya
membatin. "Seingatku hanya ada satu manusia yang tubuh dan pakaiannya
melebar bau pesing.
Nenek
itu… Tapi yang barusan bicara suara lakilaki. Dia mengaku sahabat lama."
Orang dibalik pohon cepat palingkan kepala sambil tangan kanan berlaku waspada
siap melancarkan pukulan. Sepasang mata membesar.
Pandangannya
membentur satu kepala botak yang baru ditumbuhi rambut, dua telinga berdaun
lebar yang salah satunya terbalik. Lalu ada sepasang mata belok balas menatap
ke arahnya sambil dikedap-kedipkan.
"Kau!
Menjauh! Jangan dekat-dekat. Aku tak mau celanamu yang basah penuh air kencing
menyentuh pakaian, apa lagi tubuhku!"
Orang
yang dibentak cuma senyum-senyum. "Aku tahu diri. Aku juga takut
bersentuhan denganmu. Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air yang
lain. Hik…hik…hik!"
"Tua
bangka sinting kurang ajar! Jangan kau berani bicara jorok padaku! Saat ini aku
sedang kesal! Jangan salahkan kalau aku sampai merobek mulutmu!"
"Serrrr!"
"Nah,
nah! Ancamanmu menakutkan sekali. Membuat aku tidak dapat menahan beser!"
"Sudah!
Jangan banyak mulut! Pergi sana!" "Amboi, gerangan apa yang membuat
dirimu kesal? Putus bercinta, ditinggal kekasih atau…."
"Kakek
brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Buka matamu yang belok! Lihat ke depan
sana.!"
Kakek
berkuping lebar bermata belok putar kepala ke arah yang dikatakan orang.
Mulutnya terbuka melongo.
"Astaga!
Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng! Eh, anak sableng
itu dia memakai hiasan apa di dadanya?"
"Bukan
memakai hiasan apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah.
"Astaga!"
si kakek kembali mengucap. "Siapa yang membokongnya?"
"Manusia
pocong!"
"Serrr!"
Mendengar
disebutnya nama itu kakek yang celananya kuyup bau pesing yang bukan lain
adalah kakek konyol Setan Ngompol adanya, untuk kedua kalinya langsung kucurkan
air kencing.
"Makhluk
jahanam itu, rupanya benar-benar sudah gentayangan kemana-mana. Biasanya muncul
menculik perempuan bunting. Kini mengapa mencelakai sahabatku si anak sableng
itu?"
"Huh!
Kau tahu apa tentang manusia pocong?"
"Bidadari
Angin Timur," Setan Ngompol sebut nama si gadis. "Aku pernah hendak
dibunuh orang gara-gara mengenakan jubah putih milik seorang manusia pocong
yang sengaja ditinggalkan di sebuah rumah untuk menjebakku."
"Bagaimana
ceritanya?" bertanya gadis cantik yang memang Bidadari Angin Timur adanya.
"Panjang.
Nanti saja kalau ada kesempatan akan aku ceritakan padamu."
"Hemmm…
Baiklah. Sekarang jelaskan bagaimana kau bisa berada di tempat ini. Ingat,
seusai perjanjian kau menemui aku dan dua gadis lain di gedung kepatihan. Kau
tidak datang, tahutahu sekarang muncul disini! Celana kuyup air kencing, bau
pesing!"
Setan
Ngompol tertawa lebar, usap-usap kepalanya yang baru ditumbuhi sedikit rambut.
"Kalau celana tidak kuyup air kencing namaku bukan Setan Ngompol.
Ha…ha…ha!"
"Husss!"
Tertawa seenaknya! Kau kira tempat apa ini!"
Setan
Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri.
"Ayo
bilang mengapa kau tidak memenuhi janji pertemuan di gedung Kepatihan."
Setan
Ngompol usap-usap kepalanya. "Waktu itu aku melantur sedikit. Ada janda
montok di Bantul yang membuat aku tergila-gila. Tapi gara-gara urusan itu aku
hampir dibunuh orang…."
"Kapok!
Biar tahu rasa!" tukas Bidadari Angin Timur.
"Saat
itu aku memang kapok. Tapi sekarang, apalagi malam-malam dingin begini, kalau
ingat sang janda, rasanya aku mau buru-buru balik ke Bantul lagi
menemui…."
"Ssssttt!"
Bidadari Angin Timur memberi isyarat. Jari telunjuk tangan kanan dipalangkan
diatas bibir. "Lihat, ada orang datang!" Bisik gadis berambut pirang
panjang ini.
Setan
Ngompol ikut-ikutan letakkan jari telunjuk tangan kanan di atas bibir,
pelototkan mata lalu berpaling ke depan sana.
"Astaga!"
Si kakek terkejut dan serr! Dia kucurkan air kencing. "Nenek gendeng itu!
Setiap muncul selalu bikin geger. Pasti sebentar lagi akan heboh tempat
ini!" Setan Ngompol berpaling lalu bertanya. "Menurutmu apa kita
keluar saja dan bergabung dengan mereka?"
"Kau
barusan bilang sebentar lagi tempat ini bakalan heboh. Kalau kau mau ikutan
heboh silahkan saja bergabung sendiri. Aku tetap di sini, jadi penonton saja.
Mentang-mentang kalian sama bau pesingnya. Eh, jangan-jangan kau sudah lama
gatal sama nenek itu. Naksir…?"
Si kakek
pencongkan mulut, lalu cepat-cepat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.
"Bercinta dengan perempuan yang sama bau pesingnya apa enaknya? Tidak ada
penghijauan dan penyegaran bebauan. Hik…hik…hik."
"Sudah!
Pergi sana. Temui nenek itu."
Setan
Ngompol usap-usap kepala. "Aku ikut kamu. Kita sama-sama jadi penonton
saja. Lagi pula lama-lama bersamamu kurasa hidungmu sudah jadi terbiasa dengan
bau pesingku. Bagaimana, sedap juga ‘kan? He…he…he."
"Kakek
geblek!" maki Bidadari Angin Timur.
Di depan
sana, diantara Loh Gatra, Wulan Srindi, Wiro Sableng dan Jatilandak tegak agak
terbungkuk seorang nenek tinggi, kurus kering, berkulit hitam. Di kepalanya
menancap lima tusuk konde perak. Di tangan kiri ada sebuah tongkat kayu butut.
Tubuhnya, terutama kain yang dikenakannya menebar bau pesing. .Sepasang matanya
yang seperti ada apinya memandang berputar liar. Nenek angker ini bukan lain
adalah dedengkot rimba persilatan tanah Jawa, guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede.
Melihat
siapa yang berdiri di depannya Wiro cepat mendatangi lalu membungkuk hormat.
"Nek, salam hormat dari muridmu" sapa sang pendekar pada sang guru.
Sinto
Gendeng hanya melirik sekilas, lalu memandang berkeliling ke arah Jatilandak,
Loh Gatra, dan Wulan Srindi.
Melihat
si nenek memandang ke arahnya dan tadi dia mendengar Wiro menyebut guru pada
sisi nenek, Wulan Srindi buru-buru mendatangi si nenek. Jatuhkan diri berlutut
seraya berkata.
"Nenek
Sinto, terima salam hormat dariku. Wulan Srindi. Calon menantumu…"
Sepasang
mata Sinto Gendeng seperti terpacak pada wajah gadis cantik hitam manis yang
berlutut di depannya. Lima tusuk konde di kulit kepalanya seperti berpijar dan
bergoyanggoyang. Di dalam hati gadis ini jadi punya rasa takut kalau-kalau
akan disemprot si nenek angker. Namun diam-diam dia juga merasa lega. Jika
Bidadari Angin Timur ada disitu pasti dia mendengar ucapannya tadi."
Rasakan,
biar terbakar telinga, hangus dadanya mendengar kata-kataku! Lain dari itu aku
juga untung-untungan. Siapa tahu benaran diterima jadi menantu!" Wulan
Srindi senyumsenyum sendiri.
Sinto
Gendeng mendongak ke langit. Lalu nenek ini tertawa cekikikan.
"Tidak
disangka banyak orang gila ditempat ini! Hik…hik…hik.!"
*********************
11
DI BALIK
semak belukar Setan Ngompol ingin ikut-ikutan tertawa. Karena ditahantahan
akhirnya dia jadi terkencing sendiri. Sebaliknya Bidadari Angin Timur berkata.
"Dasar
gadis lancang! Berani-beraninya mengaku calon menantu pada nenek itu…."
"Nah,
nah. Sekarang aku tahu mengapa kau kesal. Pada siapa kau kesal. Kau kesal pada
gadis hitam manis mengaku bernama Wulan Srindi itu. Kau kesal karena dia
mengaku calon menantu si nenek. Berarti calon suami Wiro si anak sableng."
"Kau
percaya ucapan gadis itu?"
"Tentu
saja tidak."
"Alasanmu?"
"Seingatku
Wiro cuma suka pada gadis cantik berkulit putih dan mulus. Seperti…."
"Seperti
apa?"
"Sepertimu
inilah," jawab Setan Ngompol.
"Banyak
gadis lain yang juga berkulit putih…."
"Tapi
dia tidak memiliki rambut pirang yang
menakjubkan
sepertimu."
"Memangnya
rambutku bagus?"
"Buaguss
uaammmmaaattt…" jawab Setan Ngompol lalu tertawa sendiri dan ngompol
sendiri.
Kata-kata
Setan Ngompol itu bagaimanapun juga sedikit menghibur hati Bidadari Angin Timur
yang sejak beberapa waktu belakangan ini selalu kesal.
Di depan
sana Sinto Gendeng hentikan tawa, ketuk-ketukkan tongkat lalu membuka mulutnya
yang perot.
"Orang
gila pertama adalah kau!" Si nenek tudingkan ujung tongkatnya ke jidat
Wiro Sableng.
"Dandanan
gila apa yang kau pakai ini? Menancapkan bendera basah bau amis di dada!
Uuahhh!" Si nenek semburkan ludah merah ke tanah. Merah karena di mulutnya
dia selalu membekal susur yaitu tembako, daun sirih dan pinang yang
dikunyah-kunyah.
"Nek,
ini bukan dandanan. Aku dibokong orang…." Menjelaskan Pendekar 212.
"Apa?
Kau dibokong orang? Astaga naga. Untung bukan bokongmu yang dibokong!
Hik…hik…hik…
Untung bukan anumu yang ditancapi! Hik…hik’…hik…." Sinto Gendeng tertawa
cekikikan.
"Seorang
anggota komplotan Barisan Manusia Pocong muncul. Melakukan serangan dari tempat
gelap ketika kami tengah bicara di tempat ini."
Wulan
Srindi ikut memberi keterangan seraya bangkit berdir’.
"Aku
sempat menghantamnya dengan pukulan Sinar Matahari. Tapi dia berhasil
lolos." Menambahkan Wiro.
"Manusia
pocong? Makhluk apa itu? Kalau manusia ya manusia. Kalau pocong ya pocong Mana
bisa jadi satu. Atau mungkin ada manusia sungguhan yang kawin sama pocong.
Bunting, anaknya mbrojol lalu disebut manusia pocong. Begitu?"
"Bukan
Nek," Yang menyahuti adalah Loh Gatra. "Manusia Pocong itu adalah
kelompok orang-orang jahat penculik perempuan-perempuan hamil. Salah satu
korbannya adalah istri saya sendiri."
Sinto
Gendeng pencongkan mulut. Golenggoleng kepala.
"Nek,"
kembali Wulan Srindi membuka mulut. "Markas komplotan Manusia Pocong itu
tidak jauh dari sini. Di sebelah utara sana. Mereka diam di dalam Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian. Kami tengah berunding untuk menyerbu markas itu. Lorong
itu bukan lorong sembarangan. Siapa berani masuk akan tersesat, tak bisa keluar
lagi dan akan melepas nyawa di tempat itu!"
"Manusia
Pocong, Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Aneh-aneh saja. Tapi aku belum
selesai dengan urusan manusia-manusia gila yang ada di tempat ini. Kau!"
kata si nenek pula sambil ketukkan tongkatnya ke kepala Wiro. "Kalau kau
benar dibokong dengan benda itu. Lalu mengapa bendera itu tidak kau
cabut?"
"Kalau
dicabut daging dada Wiro akan ikut terbongkar. Gagang bendera berbentuk gerigi
lancip menghadap keluar…."
Sinto
Gendeng melirik ke arah Jatilandak yang barusan bicara. Lalu dia tertawa
panjang. "Kau orang gila kedua di tempat ini. Kulit kuning, kepala botak
kuning, mata kuning, gigi pasti kuning. Yang tidak kuning pada dirimu apa?
Kotoranmu?!"
Wulan
Srindi senyum-senyum. Wiro mesemmesem. Loh Gatra palingkan muka sembunyikan
tawa. Jatilandak sendiri hanya diam dan komatkamitkan mulut. Dia sudah mendengar
sifat nenek satu ini.
"Orang
gila ke tiga! Jangan kau senyumsenyum! Kau yang kumaksud orang gila ke
tiga!" Tongkat di tangan kiri Sinto Gendeng bergerak, kini menuding ke
arah Wulan Srindi.
Si gadis
kaget bukan main.
Di balik
semak Bidadari Angin Timur berbisik.
"Nah
sekarang rasakan. Kena batunya gadis gatal itu!"
Sesaat
kaget, Wulan Srindi kembali senyum.
"Aku
orang gila ketiga di tempat ini?
Memangnya
aku gila bagaimana Nek?
Dandananku
apik dan rapi. Rasanya otakku biasa-biasa saja." Wulan Srindi bicara
sambil usap-usap wajah dan rambutnya.
"Kau
gila karena mengaku-aku sebagai calon menantuku! Kenal baru hari ini. Melihat
jidatmu baru sekarang! Bagaimana kau bisa bilang calon menantuku?!" Sinto
gendeng melirik ke arah muridnya. Lalu menatap kembali pada Wulan Srindi.
"Atau memang tanpa setahuku kalian berdua memang sudah sejak lama
bercinta? Hemmmm…" Mata si nenek menatap tajam ke perut Wulan Srindi yang
sedikit agak gemuk. "Eh, jangan-jangan kau bunting ya?"
"Astaga,
kau yang gila Nek!" ucap Wulan Srindi tanpa takut. "Berpegangan
tangan saja belum, bagaimana aku bisa bunting? Memangnya muridmu punya
kesaktian yang bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh? Wow! Oala! Hebat
sekali dia!"
Wiro
melengak kaget mendengar ucapan Wulan Srindi yang begitu berani. Yang lain-lain
juga terkesima. Dibalik semak belukar Bidadari Angin Timur kembali keluarkan
ucapan. "Belum jadi menantu sudah berani memaki si nenek. Uh…. gadis edan!
Kurang ajar!"
Semua
orang mengira si nenek angker akan mendamprat Wulan Srindi. Tapi justru terjadi
sebaliknya. Setelah menatap wajah si gadis sesaat, nenek ini dongakkan kepala
lalu tertawa panjang. Yang lain-lain merasa lega. Si nenek gendeng itu ternyata
tidak marah. Wulan Srindi juga merasa lega. Dia sadar telah keterlepasan bicara.
"Ilmu
kesaktian yang bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh! Hik…hik…hik."
Setelah
puas tertawa Sinto Gendeng memandang berkeliling. Pandangannya’ berakhir kearah
muridnya sendiri.
"Anak
Setan! Memalukan jadi muridku kalau bendera itu tak sanggup kau cabut! Mungkin
kau terlalu banyak main perempuan, hingga lupa kemampuan sendiri! Mendekat ke
sini!"
Wiro
melangkah mendekat. Agak takut-takut. Jatilandak dan Wulan Srindi serta Loh
Gatra ikutan cemas. Kalau si nenek nekad mencabut bendera yang menancap di dada
Wiro, bisa celaka pendekar itu.
Begitu
Wiro berada dekat di depannya, sinenek bertanya.
"Kapak
Naga Geni 212 masih ada padamu? Atau sudah kau jual?" Kau gadaikan
mungkin? Atau kau berikan pada seorang gadis cantik….?"
"Nek,
kapak itu masih ada padaku," jawab Wiro.
"Keluarkan,
berikan padaku!"
Wiro
ambil kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggang dibalik pakaian
putihnya lalu diserahkan pada si nenek. Sinto Gendeng timangtimang benda itu
beberapa lama. Sepasang matanya yang angker kelihatan berkilat-kilat.
"Nenek
bau pesing itu, apakah dia akan memenggal leher muridnya sendiri?" tanya
Setan Ngompol di balik semak belukar lalu seerrr. Dia kucurkan air kencing.
Perlahan-lahan
Sinto Gendeng arahkan pertengahan mata kapak sakti ke ujung gagang Bendera
Darah yang menancap di dada muridnya. Kapak menempel dengan ujung kayu bendera.
Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam hawa sakti. Mata kapak sakti serta merta
memancarkan sinar terang benderang.
Kain
bendera yang basah oleh darah terbakai Gagang bendera kelihatan membara. Lalu
ada suara letupan kecil.
"Dessss!"
Asap
mengepul.
Wiro
menjerit keras, tubuhnya terpental jatuh terlentang di tanah. Bendera Darah dan
gagangnya tidak kelihatan lagi. Dibagian dada yang sebelumnya ditancapi gagang
bendera, kini kelihatan satu lubang kecil hitam, mengucurkan darah.
"Nek…."
Wiro
berusaha bangkit berdiri. Dadanya seperti ditempeli bara menyala. Tapi si nenek
membentak.
"Jangan
bergerak!"
Lalu
Sinto Gendeng dekati muridnya,
membungkuk.
Dia singsingkan ujung kainnya yang basah oleh air kencing. Wiro tutup jalan
pernafasan. Tak tahan santarnya bau air kencing ditubuh dan pakaian si nenek.
Sinto Gendeng peras ujung kainnya. Air kencing jatuh menetes tepat di arah
lubang kecil didada sang murid.
"Ces…ces…ces!"
Terdengar
suara seperti air jatuh di atas bara api. Wiro mengerenyit menahan sakit.
"Cukup
tiga tetes!" Kata si nenek pula. Lalu dengan tangan kirinya dia usap dada
Wiro. Tanda hitam lenyap. Lubang kecil juga lenyap. Lelehan darah tak kelihatan
lagi. Tak ada cacat bekas luka. Dada itu mulus seperti tidak pernah ditancapi
apa-apa.
"Nek,
kau punya ilmu baru!" Ujar Pendekar 212 sambil pandangi dadanya, kagum
akan kehebatan sang guru.
"Hemmmm…."
Si nenek bergumam. "Namanya Ilmu Pengobatan Kencing Sakti. Sekarang biar
penyakitmu tuntas air kencing akan aku peraskan ke dalam mulutmu. Siapa tahu
gagang bendera itu ada racunnya. Ayo ngangakan mulutmu!"
Wiro
tersentak kaget.
"Tidak
Nek, ampun! Aku sudah sembuh! Terima kasih Nek, terima kasih!" Wiro tekap
mulutnya, buru-buru berdiri dan menjauh dari si nenek.
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. "Seperti anak kecil saja.. Belum dicekoki obat
sudah mewek, mau kabur! Hik…hik…hik."
TAMAT
No comments:
Post a Comment