Kepala
Iblis Nyi Gandasuri
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
SATU
Penunggang
kuda berpakaian putih memacu tunggangannya secepat setan berkelebat. Menembus
kegelapan malam dalam cuaca buruk di penghujung bulan ke sebelas. Terpaan angin
kencang dari depan membuat rambutnya yang gondrong melambai deras ke belakang.
Di puncak sebuah bukit kecil kuda coklat mandi keringat itu berhenti berlari
lalu meringkik keras tak mau maju lagi walau selangkahpun!
“Mmmmmm….”
Penunggangnya bergumam lalu mengusap leher bintang itu berulang-ulang.
“Perasaan binatang ini tajam sekali….” Katanya dalam hati. Dia terus mengusap
leher kuda lalu berkata. “Tenang kudaku…. Tenang…. Tak ada yang perlu ditakutkan.
Kau dan aku membawa tugas agung! Menyelamatkan nyawa seorang pangeran. Gusti
Allah pasti menolong kita!”
Orang di
atas kuda memandang ke bawah bukit. Di sebuah pedataran di bawah sana,
samar-samar dalam kegelapan malam kelihatan sebuah bangunan yang atapnya
bertingkat dua. Nyala lampu minyak di langkan depan dari kejauhan terlihat
seperti titik merah.
Angin
bertiup kencang di puncak bukit. Hujan rintik-rintik mulai turun.
“Kita
harus melanjutkan perjalanan kudaku. Kau sudah siap….?” Si penunggang kuda
bicara lagi. Tangan kanannya terus mengusap leher kuda. Binatang ini angkat
kaki kirinya. Ekornya dikibaskan berulang kali. Dari mulut dan hidungnya
terdengar dengusan halus. “Kita berangkat sekarang!” kata si penunggang kuda
lalu menepuk pinggul binatang itu dengan keras.
Kuda
coklat meringkik satu kali lalu seperti anak panah lepas dari busurnya binatang
ini melesat menuruni bukit. Kurang dari sepeminuman teh kuda dan penunggangnya
akhirnya sampai di depan rumah besar yang sebelumnya terlihat dari atas bukit.
Selain besar rumah itu ternyata dikelilingi oleh tembok tinggi berbentuk
benteng, dikawal oleh belasan penjaga bersenjata pedang dan tombak serta
membawa tameng.
Begitu
kuda dan penunggangnya muncul di pintu gerbang rumah besar enam pengawal segera
menyongsong. Empat menutup jalan masuk dan dua orang mendatangi tamu tak
dikenal itu dengan tombak terhunus. Enam pasang mata memandang tak berkesip
penuh curiga.
“Anak
muda! Siapa kau! Ini kawasan terlarang! Tidak satu orangpun boleh berada di
tempat ini!” satu dari dua pengawal yang memegang tombak bertanya. Suaranya
garang.
“Namaku
Wiro Sableng. Seseorang mengutusku untuk menemui Pangeran Sampurno!” jawab
orang di atas kuda.
“Sableng…..”
pengawal satunya berucap. “Kau tahu kalau sableng itu artinya gendeng?! sama
dengan gelo alias gila!”
Pemuda di
atas kuda menyeringai, garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
“Kalau
sudah tahu lekas kau angkat kaki dari tempat ini! Di sini bukan tematnya
orang-orang gila keluyuran!”
“Namaku
memang begitu. Tapi aku belum gila….”
“Mungkin
baru setengah gila!” teriak pengawal dekat pintu masuk. Tiga kawan di
sebelahnya tertawa gelak-gelak.
“Dengar
aku tidak main-main. Aku harus menemui Pangeran Sampurno….” Kata Wiro.
“Kurang
ajar! Dasar gila disuruh pergi malah bandel!”
“Aku mau
tahu apa keperluanmu menemui Pangeran malam-malam buta begini. Kulihat kau
orang asing. Bagaimana bisa tahu kalau ini tempat kediaman Pangeran Sampurno?!”
pengawal satunya bertanya.
“Dari
mana aku tahu ini rumahnya Pangeran Sampurno buat apa dipersoalkan. Yang
penting lekas kalian bangunkan Pangeran. Aku harus menemuinya untuk memberi
tahu kalau nyawanya terancam!”
“Terancam….?”
“Nyawa
Pangeran Sampurno terancam?! Kawan-kawan kalian dengar ucapan pemuda sinting
ini?!”
Enam
pengawal di pintu gerbang itu lalu tertawa mengejek. Salah seorang dari mereka
berkata “Di sini ada puluhan pengawal. Jangankan manusia, angin sekalipun tak
bisa tembus!”
“Aku
tidak main-main….”
“Aku juga
tidak!” bentak si pengawal. Kawan di sebelahnya rupanya sudah tidak sabar. Dia
maju mendekat.
“Hanya
ada satu cara mengusir orang gila ini!” lalu tombak di tangannya diayunkan
untuk menggebuk kepala penunggang kuda.
Tapi dia
jadi terperangah ketika dengan kecepatan luar biasa si penunggang kuda menarik
dan merampas tombaknya. Lima kawannya tak kalah kaget. Salah seorang dari
mereka melompat dan langsung saja tusukkan tombaknya ke perut kuda. Melihat hal
ini tentu saja Wiro tidak tinggal diam. Tombak rampasannya diayunkan ke bawah
memukul tombak si pengawal.
Tranggg!
Tombak di
tangan pengawal itu terlepas mental dalam keadaan patah dua! Selagi dia kaget
dan marah ujung tumpul tombak di tanagn Wiro sudha menempel di keningnya.
Sekali Wiro mendorong, pengawal itu terjajar keras dan jatuh terjengkang di
tanah. Lima kawannya berteriak marah. Serta merta mereka menyerbu. Tiga dengan
tombak, dua dengan pedang. Tapi serentak kelimanya berseru kaget. Orang yang
hendak mereka serang tidak kelihatan lagi di atas punggung kuda.
“Hai!
Pemuda itu lenyap!”
“Jangan-jangan
dia mahluk jejadian! Setan!”
“Astaga!
Lihat!” teriak salah seorang pengawal tiba-tiba. “Pemuda edan itu ada di sana!”
Empat
pengawal cepat menoleh ke arah yang ditunjuk. Ternyata saat itu pemuda
berpakaian putih berambut gondrong tengah melangkah cepat menaiki tangga
bangunan. Lima pengawal serta merta mengejar. Mereka berhasil menghadang Wiro
di anak tangga teratas. Tanpa banyak bicara lagi kelimanya terus saja
menyerang. Maka di malam buta itu terdengar suara riuh dentrangan senjata
saling beradu. Dua jurus berlalu dengan cepat. Lima pengawal berkaparan di
sekitar tangga. Dua mengerang karena kepalanya benjut di hantam tombak lawan.
Satu terbungkukbungkuk kesakitan akibat sodokan ujung tombak di perutnya.
Pengawal keempat terjengkang di tangga sambil urut-urut dadanya yang kena tendangan.
Lalu pengawal kelima pegangi hidungnya yang mengucurkan darah. Untung saja
hidungnya tidak remuk dihantam tombak.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara menegur disertai berkelebat satu
bayangan.
“Anak-anak,
ada apa di sini…..?!”
Wiro
berpaling. Tak jauh di ujung tangga tegak seorang kakek berbaju dan bercelana
hitam. Dia menyandang sehelai kain sarung. Pandangan matanya tajam ke arah
Wiro. Tak satupun dari pengawal sanggup bersuara berikan jawaban. Orang tua itu
kembali menatap Wiro yang saat itu tengah berkata sendiri dalam hati. “Orang
tua jelek ini pasti bukan Pangeran Sampurno. Jika dia memanggil para pengawal
dengan sebutan anak-anak berarti dia punya kedudukan tinggi di tempat ini.”
Maka Murid Eyang Sinto Gendeng cepat berkata.
“Aku
datang untuk menemui Pangeran Sampurno. Enam pengawal itu malah menganggap aku
pemuda gila. Mereka bukan saja mengusir tapi juga menyerangku…..”
“Lalu kau
menghajar mereka!”
“Terpaksa
karena aku tentu saja tak mau digebuk….”
“Katakan
siapa dirimu dan ada keperluan apa hendak menemui Pangeran Sampurno. Melihat
pada keadaan dirimu kau bukan utusan dari Kotaraja, bukan pula seorang
perajurit…..”
“Namaku
Wiro Sableng. Aku ke sini memang bukan di utus penguasa di Kotaraja. Aku juga
bukan seorang perajurit. Aku diutus oleh seseorang….”
“Siapa?!”
memotong orang tua berselempang kain sarung.
“Maaf,
aku tak dapat mengatakan pada siapapun kecuali Pangeran……”
“Pemuda
edan kurang ajar! Pada pimpinan kamipun kau berani menghina! Teriak pengawal
yang terkapar di tangga.
“Ah, rupanya
aku berhadapan dengan pimpinan pengawal di empat ini!” kata Wiro. Dia menjura
pada orang tua di hadapannya lalu berkata. “Kuharap kau bisa berlaku lebih
bijaksana….. Aku datang untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran Sampurno
terancam. Ada yang ingin membunuhnya!”
Orang tua
di hadapan Wiro tersenyum. Dia berkata “Namaku Ki Ageng Bantoro. Aku sudah
menjadi pengawal Pangeran Sampurno sejak beliau masih bayi! Selama itu aku tahu
betul tak ada satu mahlukpun yang akan tega menyakitinya, apa lagi membunuhnya!
Beliau tidak pernah punya musuh! Jadi ceritamu bahwa ada seseorang yang
mengutus untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran terancam, ada yang ingin
membunuh beliau, itu adalah omong kosong belaka! Bukan mustahil kau sendiri
punya maksud jahat! Buktinya enam anak buahku kau buat babak belur…..”
“Aku
menyesalkan kejadian itu. tapi bukan aku punya mau, mereka minta sendiri!”
jawab Wiro. “Sekarang apakah kau tetap tidak mengizinkan aku menemui Pangeran?
Aku harap kau mau membantu menjagakan Pangeran dari tidurnya. Waktu untuk
mencari selamat sempit sekali. Malaikat maut bisa datang lebih dulu dari pada
pertolongan…..”
Orang tua
bernama Ki Ageng Bantoro tersenyum sinis.
“Soal
keselamatan Pangeran serahkan saja pada kami….”
“Salah
seorang anak buahmupun tadi juga bicara takabur seperti itu. katanaya jangankan
manusia, anginpun tidak bisa tembus, kau saksikan sendiri kenyataan kini.
Mereka berkaparan di sana-sini….”
“Anak
muda,” kata Ki Ageng Bantoro pula. “Aku maklum kau punya ilmu. Tapi kalau
dengan sedikit ilmu saja kau sudah bicara dan bertindak pongah, berarti kau
tidak labih baik dari anak-anak buahku. Dan saat ini coba kau memandang
berkeliling. Lihat apa yang ada di sekitarmu!”
Wiro agak
heran mendengar ucapan terakhir orang tua itu. perlahan-lahan dia memandang
berkeliling. Kagetlah murid Sinto Gendeng ini. ternata tempat itu telah
dikurung oleh lebih dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap. Sepuluh di
antaranya memegang busur dan anak panah di arahkan tepat-tepat pada dirinya!
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. Dia berpaling pada Ki Ageng Bantoro.
“Jika kau
dan orang-orangmu mau membunuhku, kelihatannya memang mudah saja. Tapi apakah
itu akan menolong menyelamatkan Pangeran Sampurno?”
Ki Ageng
Bantoro kembali sunggingkan senyum sinis. “Saat ini yang ingin kukatakan padamu
apakah kau mau menyerah secara baik-baik atau ingin mati terkutung-kutung!”
“Dunia
ini memang aneh!” menyahuti Pendekar 212. “Maksud baik mau menolong malah
diterima salah! Kalau memang sulit berbuat kebajikan, biar aku pergi saja!
Kuharap kau tidak menyesal, orang tua….”
Wiro
putar tubuhnya untuk menurni tangga.
“Tetap di
tempatmu!” bentak Ki Ageng Bantoro. Sepuluh perajurit pemegang busur
merentangkan anak panah, siap untuk di lepas. “Kau telah menciderai enam
pengawal Pangeran. Apa kau kira bisa pergi seenaknya?!”
Wiro cuma
menyeringai. “Aku datang dengan tujuan baik dan pergi juga dengan maksud baik.
Kalau kalian keliwat memaksa, jangan salahkan diriku!”
Baru saja
Wiro berkata begitu Ki Ageng Bantoro jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan
kanannya. Clekkk!
Sepuluh
busur bergerak, sepuluh anak panah melesat! Sasaran tertuju ke satu arah.
Kepala dan badan Pandekar 212 Wiro Sableng!
********************
DUA
Secepat
kilat Pendekar 212 jatuhkan diri ke tangga lalu erguling ke bawah. Ki Ageng
Bantoro berseru kaget karena baru menyadari paa yang bakal terjadi. Dia cepat
menyambar sebatang tombak dari seorang pengawal yang ada di dekatnya lalu
melompat ke depan sambil babatkan tombak dalam gerakan setengah lingkaran.
Terdengar suara berdentrangan berulang kali ketika tombak menghantam anak-anak
panah yang melesat di udara. Namun tak semua anak panah bisa diruntuhkan oleh
si orang tua, empat di antaranya terus melesat menyambar. Inilah sebenarnya
yang dikawatirkan Ki Ageng Bantoro. Empat anak panah yang lolos itu menancap di
tubuh empat orang anak buahnya yang tidak keburu mengelak karena tidak menduga
dan masih berada dalam keadaan terkesiap. Keempatnya langsung rubuh.
Ki Ageng
Bantoro berteriak marah. Dengan tombak masih di tangan dia menyerbu Pendekar
212 Wiro Sableng tepat pada saat pemuda ini baru saja berusaha bangkit.
Wuttt!
Ujung
runcing tongkat menyambar seujung jari di depan mata murid Sinto Gendeng.
Jantungnya serasa tanggal. Cepat dia jatuhkan diri lagi begitu dilihatnya Ki Ageng
Bantoro memburu. Kali ini si orang tua kirimkan tusukan deras ke arah kepala
Wiro.
Wuuuutt!
Claaap!
Terlambat
saja Wiro menjatuhkan diri pasti tembus batok kepalanya. Tombak di tangan Ki
Ageng Bantoro menancap di tanah sampai sepertiga panjang.
“Gila!”
maki Wiro. Kakinya dikibaskan coba menendang tulang kering lawan. Dengan sigap
Ki Ageng Bantoro melompat sampai setengah tombak lalu dari atas kembali dia
tusukkan senjatanya. Kali ini Wairo bergerak lebih cepat. Tangan kiri
berkelebat menepis bagian bawah mata tombak. Bersamaan dengan itu dia bangkit
dan membuat lompatan pendek sambil hantamkan tangan kanannya ke atas. Inilah
jurus yang disebut “membuka jendela memanah matahari.”
Ki Ageng
Bantoro merasakan kepalanya seperti copot ketika tekukan telapak tangan Wiro
Sableng menghantam dagunya dengan keras. Pukulan ini bukan saja membuat tulan
gdagunya retak dan rahangnya tergeser tetapi juga secara tidak sengaja membuat
dia menggigit lidahnya senidir hingga ujungnya hampir putus dan darah mengucur.
Orang tua ini meraung kesakitan. Tapi karena lidahnya luka parah suaranya
terdengar aneh menggidikkan di malam buta!
Sesaat
seluruh anak buah Ki Ageng Bantoro yang ada di tempat itu terkesiap tak
percaya. Belum pernah mereka melihat pimpinan mereka dirobohkan lawan seperti
itu. Apa lagi lawan seorang pemuda tak dikenal pula! Begitu sadar apa yang
terjadi lebih selusin senjata diantara mereka tiba-tiba menyerbu sambil
berteriak beringas. Mendadak pintu depan bangunan besar terbuka. Sinar terang
merambas ke luar halaman. Sesaat kemudian seorang lelaki paruh baya mengenakan
baju putih lengan panjang dan sehelai kain sarung serta bersandal kulit keluar
diiringi seorang pelayan membawa lampu minyak besar.
“Ada
kejadian apa di sini….?” Orang ini menegur seraya memandang berkeliling. Dia
hendak berucap kembali akan tetapi mulutnya serta merta terkancing ketika
melihat sekian banyak perajurit pengawal bergeletakan di sekitar tangga dan
halaman rumah besar. Salah ssatu diantara mereka adalah Ki Ageng Bantoro yang
mengerang sambil menutupkan kedua tangannya ke mulut yang mengucurkan darah.
Karena
tak ada yang berani menjawab, Wiro pergunakan kesempatan untuk maju ke hadapan
oran gitu.
“Apakah
saya berhadapak dengan Pangeran Sampurno?” Wiro ajukan pertanyaan.
“Aku
memang orang yang kau sebutkan itu Anak muda, aku tak kenal kau dan tak pernah
melihat sebelumnya. Apakah kau yang telah menimbulkan malapetaka di tempat
ini?!”
“Saya
mohon dimaafkan. Saya tidak bermaksud mencelakai siapapun. Tapi mereka
menyerang, mengeroyok bahkan bermaksud membunuh saya,” Wiro coba menerangkan.
“Para
pengawal di sini terlatih dengan baik dan punya kepatuhan tinggi. Jika mereka
tidak punya alasan mana mungkin hendak mencelakai dirimu?! Kau pemuda asing,
datang dan muncul malam buta begini! Orang mana yang tak akan curiga?”
“Saya
sudah memberitahu maksud kedatangan. Namun para pengawal di sini menganggap
saya orang gila. Lalu ada yang menyerang. Dalam keadaan terpaksa bagaimana
mungkin saya hanya beridam diri…..?”
“Kalau
begitu coba kau katakan apa maksud kedatanganmu!” ujar Pangeran Sampurno pula
sambil terus memperhatikan Wiro.
Wiro agak
ragu untuk bicara di depan orang banyak. “Pengeran, kalau boleh saya ingin
bicara di tempat lain saja. Hanya kita berdua….”
Pangeran
Sampurno gelengkan kepala. “Jika kau memang punya maksud baik, bicara
terang-terangan! Hanya manusia culas yang suka sembunyi-sembunyi…..”
“Kalau
begitua mau Pangeran, saya mengikuti saja. Saya datang diutus oleh guru saya.
Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede.”
“Hemmmm
cukup jauh perjalananmu. Dari barat ke timur sini.” Kata Pangeran Sampurno
pula. Aku hampir lupa pada nenek sakti itu. gerangan apa yang membuatnya
mengutusmu. Pamrih apa yang gurumu inginkan….?”
“Guru
saya tidak punya pamrih apa-apa. Niat menolong dilakuannya dengan ikhlas mengingat
beberapa tahun silam Kerajaan pernah membantunya.” Suara Pendekar 212 agak
meradang karena dia mulai jengkel dengan ucapan-ucapan sang Pangeran yang
menghina gurunya. “Beliau meminta saya untuk menyampaikan pesan bahwa
keselamatan Pangeran sangat terancam…..”
“Keselamatanku
terancam?” ujar Pangeran Sampurno sesaat menatap Wiro lalu memandang
berkeliling pada orang-orangnya dengan senyum dikulum. “Ah! Gurumu baik sekali
mau memperhatikanku dan mengirimmu jauh-jauh sampai ke sini. Ketahuilah, selama
ini aku tak punya musuh. Tak ada orang beritikad jahat yang mengancam
keselamatan diri ataupun keleuargaku. Tempat kediamanku terjaga siang dan
malam. Semua aman tentram sampai saat kemunculanmu menimbulkan keobaran,
melakukan tindak kekerasan malah membunuh!”
“Maaf
Pangeran, tidak satu orangpun saya bunuh di tempat ini. Yang menemui ajal itu
adalah akibat kena panah para pengawal Pangeran sendiri!”
Tiba-tiba
seseorang melompat. Ternyata Ki Ageng Bantoro. Dengan darah masih mengucur dari
mulutnya dia berkata. Ucapannya agak sulit dimengerti.
“Pangeran!
Manusia jahat ini pandai berdalih! Dia telah membunuh empat orang anak buahku!
Izinkan aku meringkusnya hidup atau mati!” habis berkata begitu kepala pengawal
Pangeran Sampurno ini loloskan kain sarungnya. Benda itu diputarnya dua kali di
atas kepala. Kali ketiga tiba-tiba kain sarung itu melesat ke arah kepala
Pendekar 212. Sebelum Wiro sempat berbuat sesuatu kain sarung telah menjirat
lehernya. Dia berusaha meloloskan diri sambil menghantam dengan tangan kanan.
Tapi Ki Ageng Bantoro berlaku cerdik. Dengan cepat dia bergeak ke belakang
punggung Wiro. Dari sini dipuntirnya kain sarung kencang-kencang hingga jiratan
kain itu siap mematahkan tulang lehernya!
“Kain
sarung jahanam! Senjata macam apa ini?” rutuk Wiro dalam hati. Ketika mulutnya
mulai terjulur dan dia sulit bernafas Wiro yang tak mau mati konyol langsung
salurkan tenaga dalam ke tangan kanan sambil merapal aji kesaktian untuk
melepas pukulan “sinar matahari” dia tak mau kepalang tanggung. Kalau bukan dia
yang putus nyawa maka Ki Ageng Bantoro terpaksa harus dibunuhnya!
Ketika
tangan kanan Wiro berubah putih seperti perak dan mengeluarkan sinar
menyilaukan Pengeran Sampurno terkejut besar. Cepat dia mengangkat tangan dan
berseru pada kepala pengawalnya. “Ki Ageng! Lekas lepaskan pemuda itu!”
Sepasang
mata Ki Ageng Bantoro mendelik. Dengan kesal kain sarung diputar balik
mengendur lalu dibetotnya ke atas hingga lepas dari leher Wiro. Masih dengan
sikap meradang orang tua ini mundur beberapa langkah. Sementara Wiro berdiri
sambil pegangi lehernya dengan tangan kiri kanan.
Pangeran
Sampurno mendatangi Wiro, mencekal ke arah pakaian pemuda ini lalu berkata.
“Sekarang jelaskan bahaya apa yang mengancam diriku! Siapa yang ingin
membunuhku!”
“Seorang
perempuan, Pangeran. Dia dekat sekali dengan dirimu. Karena berada di dalam
rumahmu…..”
“Apa?”
suara Pangeran Sampurno menggeledek.
“Seorang
perempuan bernama Nyi Gandasuri. Dia yang ingin membunuhmu! Malam ini!” kata
Wiro.
“Kurang
ajar! Nyi Gandasuri adalah istriku sendiri!” teriak Pangeran Sampurno dengan
sepasang mata membeliak seperti hendak keluar dari sarangnya.
“Memang
dialah yang akan membunuhmu Pangeran. Membunuh dan menghisap darahmu…..”
“Jahanam!
Istriku sedang tidur….”
“Memang
dia kelihatan tidur. Tapi itu hanya sosok kasarnya. Sosok halus atau jiwa raga,
rohnya berada di tempat lain. Di bawah kekuasaan jahat!”
“Pemuda
keparat! Otakmu jelas sinting dan mulutmu lancang kurang ajar!”
Pangeran
Sampurno berteriak keras lalu plaaakkkk!
Tangan
kirinya melayang menampar pipi kanan Wiro hingga bibir pemuda ini luka dan
berdarah.Wiro merasakan tubuhnya bergetar karena berusaha menindih gelagak
amarah. Tangan kanannya melesat ke atas mencekal pergelangan tanagn Pangeran
Sampurno.
Pangeran
Sampurno adalah salah soerang pewaris tahta Kerajaan yang memiliki kepandaian
silat serta tenaga dalam dan kesaktian bukan sembarangan. Dia mengibaskan
tangannya. Disangkanya sekali sentak saja cekalan Wiro bisa dilepaskan. Tapi
alangkah terkejutnya dia ketika justru cekalan pemuda itu semakin kuat.
“Kerahkan
seluruh tenagamu. Luar dalam! Kesaktianmu sekalian! Dan akan kupatahkan tulang
lenganmu dalam sekejap!” kertak Wiro dalam hati. Pandangan matanya menembus ke
dalam sepasang mata sang Pangeran, membuat tergetar hati Pangeran Sampurno.
Butir-butir keringat memercik di kening sedang punggung pakaiannya juga basah
oleh peluh.
“Pangeran,
memang sulit mempercayai apa yang tadi saya katakan. Tapi saya tidak bicara
dusta. Istrimu akan membunuhmu malam ini. Karena begitu perjanjiannya dengan
dua mahluk iblis Maharaja dan Maharatu Langit Darah yang menguasainya!”
“Keparat!
Biar kupecahkan kepalamu!” senak Pangeran Sampurno yang tentu saja tidak mau
mempercayai ucapan pemuda yang tidak dikenalnya itu. Malah dalam marahnya
dengan cepat tangan kirinya dihantamkan ke batok kepala Pendekar 212. Namun
serangan maut itu tidak dapat mencapai sasaran karena saat itu juga Wiro
mendahului memuntir pergelangan tangan kanan Pangeran Sampurno hingga terdengar
suara berkeretak tanda sambungan sikunya terlepas. Pangeran Sampurno menjerit
setinggi langit. Wiro dorong tubuh orang itu hingga terjelapak di depan pintu.
“Bunuh
pemuda itu! Cincang sampai lumat!” teriak sang Pangeran.
Ki Ageng
Bantoro yang pertama sekali melompat ke hadapan Wiro. Tangan kiri mencekal
sarung sedang tangan kanan memegang sebilah golok panjang. Sambil melompat
kepala pengawal itu berteriak pada puluhan anak buahnya agar ikut menyerbu.
Maka lebih dari dua puluh pengawal menyernag dengan berbagai macam senjata.
“Tewas
diriku!” keluh murid Sinto Gendeng. Otaknya cepat bekerja, tubuhnya cepat
membuat gerakan menyelamatkan diri. Yang pertama sekali dilakukan Wiro adalah
menghantam ke kiri dan ke kanan dengan pukulan “tameng sakti menerpa hujan” Dia
sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam keras, cukup membuat hampir selusin
pengawal berjungkalan morat marit. Gerakan kedua menyusul. Wiro jatuhkan diri
di lantai. Bukan saja untuk mengelakkan sambaran golok di tangan Ki Ageng
Bantoro tapi sekaligus untuk dapat menggulingkan diri ke arah Pangeran Sampurno
yang masih terkapar di lantai sambil pegangi tangan kanannya yang keple
tergontaigontai karerna tanggal sambungan sikunya.
Ki Ageng
bantoro dan sekitar sepuluh pengawal jadi tertegun begitu melihat Wiro mencekal
leher pakaian Pangeran mereka seperti membembeng seekor kucing.
“Yang
berani boleh maju! Kalian akan lihat bagaimana kepala Pangeran kalian akan
kubantingkan ke lantai hingga pecah!”
Ki Ageng
Bantoro meradang tapi tidak bergerak. Begitu juga semua anak buahnya. Keadaan
di tempat itu sunyi sesaat kecuali suara erangan pangeran Sampurno yang
terdengar tidak berkeputusan.
Sambil
menyeret sang Pangeran Wiro melangkah mundur ke ujung langkan depan rumah
besar. Ki Ageng Bantoro bergerak hendak mengejar.
“Eit!”
seru Wiro seraya angkat tubuh Pangeran Sampurno tinggi-tinggi, siap untuk
membanting.
“Keparat!”
maki Ki Ageng Bantoro. “Aku bersumpah akan mencincangmu!”
Murid
Sinto Gendeng menyeringai. Jaraknya sudah cukup jauh. Tiba-tiba tangan kanannya
digerakkan. Tubuh Pangeran Sampurno melayang di udara, melesat ke arah Ki Ageng
Sampurno.
“Pangeran!”
seru Ki Ageng bantoro seraya memburu coba menangkap tubuh Pangeran Sampurno.
Sebaliknya sang Pangeran sendiri terdengar mendamprat.
“Pemuda
keparat! Makan jariku!” teriak Pangeran Sampurno marah. Sambil menahan sakit
pada tangan kanan dalam keadaan tubuh terlempar seperti itu dia tusukkan dua
jari tangan kirinya ke arah Wiro.
Wiro
melengak kaget melihat dua jari tangan sang Pangeran tiba-tiba berubah panjang
dan menusuk ke arah kedua matanya! Inilah ilmu kesaktian yang disebut “dua jari
akhirat”. Jangankan mata manusia, batupun sanggup dibuat bolong!
Murid
Sinto Gendeng cepat menghindar dengan melompat ke samping. Justru dari arah ini
tiba-tiba seorang pengawal datang menyongsong dengan sebilah kelewang.
“Kebetulan
sekali!” seru Wiro. Dengan gerakan kilat ditangkapnya lengan si penyerang lalu
ditariknya demikian rupa hingga kepala dan tubuhnya terlindung dari serangan
“dua jari akhirat” Akibatnya terjadilah hal yang tidak disangka oleh Pangeran
maupun semua orang yang ada di situ.
Pengawal
yang menyerang Wiro menjerit keras. Dua tuskan jari Pangeran Sampurno bersarang
di keningnya.
Crosss!
Dua
lobang terlihat di kening pengawal. Darah mengucur mengerikan. Di saat itu pula
tubuh Pangeran Sampurno jatuh ke bawah. Kalau tidak lekas ditangkap oleh Ki
Ageng Bantoro, Pangeran ini pasti jatuh berdebam ke lantai batu! Celakanya
karena tubuh Pangeran Sampurno lebih tinggi dan besar sedang Ki Ageng Bantoro
kecil, di samping itu kaki kepala pengawal ini terpeleset pula di lantai yang
licn oleh darah maka tak ampun lagi dia terrsungkur. Tumpang tindih dengan
Pangeran Sampurno.
“Pangeran
maafkan saya….” Kata Ki Ageng Bantoro. Bersama beberapa orang pengawal dia
menolong Pangeran itu bangkit berdiri. Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tak
kelihatan lagi di tempat itu. Pangean Sampurno merasa sekujur tubuhnya dingin
oleh keringa. Di antara rintih kesakitan dia berkata.
“Papah
aku ke dalam kamar…..”
********************
TIGA
Suatu
malam, empat puluh hari sebelum kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng ke tempat
kediaman Pangeran Sampurno.
Langit
malam yang redup sejak senja menjadi tambah suram dan kelam ketika bulan
purnama ditutup awan hitam yang dihembuskan angin dari arah Selatan. Di sekitar
pohon beringin besar yang memayungi bekas reruntuhan candi serta merta berubah
gelap gulita. Desau angin tak kuasa memecah kesunyian yang mencekam. Tak
sanggup mengibas daun-daun apalagi akar gantung pepohonan yang menjulai
panjang.
Tiba-tiba
di kejauhan ada suara derap kaki kuda ramai sekali. Semakin lama semakin keras
mendekati reruntuhan candi. Tapi anehnya baik kuda maupun para penunggangnya
tak satupun kelihatan. Suara derap kaki binatang-binatang itu menggemuruh
seolah menerjang batu-batu berlumut bangunan candi, lalu bergerak kencang melewati
arah kanan pohon beringin. Ketika suara derap kaki kuda itu melewati reruntuhan
candi, sebuah stupa tanpa kepala kelihatan bergoyang-goyang dalam gelapnya
malam. Lalu ketika suara tanpa ujud itu melewati pohon beringin, akar-akar
gantung pohon tampak bergoyang-goyang! Mahluk apakah yang sebenarnya barusan
lewat ditempat itu? Serombongan hantu berkuda? Begitu gemuruh suara lenyap
suasana kembali sunyi dan gelap. Namun tidak lama. Sesaat kemudian seolah-olah
datang dari langit yang kelam, di arah Timur terdengar suitan nyaring sekali,
tiga kali berturut-turut. Senyap seketika. Lalu seperti menyahuti suitan yang
datang dari Timur tadi, dari jurusan Barat berkumandang pula suitan keras tiga
kali berturur-turut.
Begitu
suara suitan lenyap, tepat di puncak pohon beringin besar terdengar
suara
orang bertanya tapi sosoknya sama sekali tidak kelihatan. “Siapa yang datang?!”
“Kami dua orang anggot dari kawasan Selatan!” Ada suara jawaban.
Terdengar
juga di sekitar puncak pohon beringin. “Sebutkan angka kalian!” “Aku 114!” “Dan
aku 129!” “Sebutkan keperluan kalian!” “Kami ingin menghadap Maharaja dan
Maharatu Langit Darah!” “Membawa urusan apa?!” “Kami mengantar seorang tamu.
Calon anggota baru!” “Lelaki atau perempuan? Sebutkan usianya!” “Perempuan.
Sekitar dua puluh lima tahun!” “Masih gadis atau janda atau punya suami?!”
“Punya suami!” “Cantikkan dia?!” “Hanya bidadari yang dapat menandingi
kecantikannya!” Sunyi sesaat. “Kalian berdua tunggu di pintu gerbang Timur!
Kami akan menanyakan
apakah
Maharaja dan Maharatu Langit Darah bersedia menerima kalian!” Tak selang berapa
lama terdengar suara suitan tiga kali berturu-turut. “Kalian diperkenankan
menghadap Maharaja dan Maharatu langit Darah!” “Kalau begitu harap bukakan
pintu!”
“Pintu
segera kami buka. Ingat peraturan! Kalian tidak diperkenankan memandang ke
atas! Atas adalah langit dan langit adalah bagian jagat yang berada dalam
kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Apa jawab kalian?!”
“Kami
akan mentaati peraturan!”
“Kalau
kalian mendengar ketentuan, kalian sudah tahu hukuman yang bakal dijatuhkan?”
“Sudah!”
“Sebutkan!”
“Kepala
kami akan dijadikan batu ganjalan tiang Istana Langit Darah selama seratus
hari! Sekarang harap buka pintu gerbang! Tamu yang kami bawa sangat keletihan!”
Terdengar
suara berdesir halus. Lalu suara benda berat bergeser menggetarkan pohon
beringin sampai ke akar-akarnya yang berada jauh dalam tanah.
“Pintu
sudah dibuka! Lekas masuk!”
Terdengar
lagkah-langkah kaki kuda yang kemudian disusul suara benda berat bergeser
seperti tadi. Lalu malam kembali dibungkus kesunyian.
Menjelang
dini hari, ketika udara semakin dingin dan kegelapan malam masih pekat
menghitam tiga ekor kuda dalam keadaan tubuh berlapis debu dan keringat
berhenti di depan serumpunan bambu kuning. Penunggang di kiri kanan turun
dengan cepat. Mereka adalah dua orang lelaki berpakaian hitam, mengenakan topi
kain hitam berkerucut yang sebelah depannya ada gambar kepala kelelawar bermata
besar. Pada dada dan punggung baju mereka tertera angka 114 dan 129. Keudanya
membantu turun penunggang kuda ketiga yang ternyata adalah seorang perempuan
muda berwajah sangat cantik, berambut hitam dikonde dan ditancapi sebuah tusuk
konde terbuat dari emas berhias tiga buah berlian. Walau keliahtan mengenakan
pakaian putih ringkas namun sebenarnya di bawah pakaian itu dia memakai kebaya
beludru hijau serta kain panjang yang disingsingkan ke atas demikian rupa
hingga memudahkannya menunggang kuda.
“Nyi
Gandasuri, kita segera akan memasuki tempat bersemayam Maharaja dan Maharatu
Langit Darah. Ingat pantangan utama. Jangan sekali-sekali berani memandang ke
atas. Jangan salah bertindak, jangan keliru berucap. Sekali mereka tidak suka
padamu bukan saja maksudmu akan menjadi batal tetapi mungkin kau juga akan
menjadi tumbal untuk nenek moyang mereka. Jka kau untung mungkin kepalamu
dijadikan ganjalan tempat tidur atau almari pakaian Maharatu Langit Darah….”
Perempuan
muda yang dipanggil dengan nama Nyi Gandasuri itu diam saja. Wajahnya agak
pucat karena kecapaian melakukan perjalanan jauh. Dia melangkah mengikuti dua
orang berpakaian hitam yang meegang lengannya kiri kanan. Ketika dilihatnya
dirinya dibawa seperti hendak menabrak rerumpunan pohon bambu kuning, dia
hentikan langkah. Tapi dua orang lelaki di kiri kanannya terus bergerak dan
settt…..settt….sett. Dua orang lelaki itu dan juga dirinya menembus rumpunan
bambu. Tak ada halangan, tak ada yang menahan. Mereka masuk seperti melewati
sebuah pintu terbuka. Lalu tiba-tiba saja di hadapannya Nyi Gandasuri melihat
sebuah istana yang keseluruhan bangunannya berwarna merah basah. Perempuan
berusia 25 tahun ini perhatikan warna merah basah itu. hatinya berdebar. Dia
kurang percaya. Diulurkannya tangan memegang. Diperhatikannya jari-jari
tangannya yang basah dan merah sambil digosok-gosokkan satu sama lain.
“Darah….!”
Desis Nyi Gandasuri dengan tangan bergetar. Dia memandang berkeliling lalu
membatin.
“Aneh….
Di luar sana tadi keadaanya malam dan gelap. Mengapa tiba-tiba di sini
keadaanya siang terang benderang.”
“Nyi
Gandasuri,” bisik lelaki yang di bajunya ada angka 114. “Jaga segala
tindakanmu. Semoga saja Maharaja dan Maharatu tida melihat waktu tadi kau
meraba dinding darah itu.”
Ketiganya
mulai melangkah menaiki tangga depan istana yang terdiri dari dua puluh satu
anak tangga.
Walau
agak tercekat oleh ucapan 114 tadi Nyi Gandasuri terus melangkah menaiki
tangga. Di undakan ke 16 dia berkata.
“Saya
lihat keadaan di sini sunyi-sunyi saja. Tak ada satu orangpun. Siapa yang
melihat perbuatan saya tadi? Kecuali kalian melaporkannya nanti…..”
“Jangan
tolol Nyi Gandasuri!” bisik 129. “Kita bukan berada di dunia biasa seperti di
luar sana. Ini adalah dunia magis wilayah kekuasaan Maharaja dan Maharatu
Langit Darah! Seribu mata bisa saja memperhatikan tindak tanduk kita saat
ini….!”
“Seribu
mata…..?” ujar Nyi Gandasuri sambil melirik berkeliling.
Tiba-tiba
terdengar suara menggema keras sekali. Tiga orang itu merasakan jantung mereka
berdenyut keras, kaki bergetar dan gendang-gendang telinga mendenging sakit.
“Suara
apa itu…..?” tanya Nyi Gandasuri pucat.
“Gong Keramat
pertanda ruangan ke tempat di maan Maharaja dan Maharatu Langit Darah berada
akan segera dibuka. Ingat, jangan sekali-sekali melihat ke atas!”
Nyi
Gandasuri, 114 dan 129 melangkah terus. Mereka telah melewati langkan istana
yang merupakan pintu besar. Tujuh langkan di depan pintu terbuka ini membentang
sebuah tirai hijau muda tak tembus pandang. Sayup-sayup dari belakang tirai
terdengar suara seperti air memancur deras sekali.
“Suara
apa itu?” tanya Nyi Gandasuri. Hatinya mendadak saja menjadi sangat tidak enak.
Baik 114
maupun 129 tidak menjawab. Nyi Gandasuri palingkan kepalanya pada114. Lelaki
ini akhirnya membuka mulut. “Aku tak berani menerangkan. Kau lihat saja sendiri
nanti….”
Terdengar
suara mendesir. Tirai hijau terbuka ke kiri dan ke kanan. Nyi Gandasuri hampir
tersurut sedang 114 dan 129 cepat-cepat tundukkan kepala. Setelah darahnya yang
tersirap tenang kembali Nyi Gandasuri coba memandang ke depan walau mukanya
menjadi sangat merah.
Sekitar
dua puluh langakh di hadapannya terpampang tembok batu lebar dan tinggi
berbentuk tebing-tebing kecil diselang seling oleh pohon-pohon bunga. Di bagian
tengah ada patung batu sangat hidup dari seorang lelaki dan seorang perempuan
dalam keadaan tanpa pakaian tengah melakukan hubungan badan dengan muka menghadap
ke depan. Dari mulut mereka yang terbuka lebar, dari sepasang liang telinga,
lobang hidung, mata, dubur, serta kemaluan mereka mengucur keluar cairan merah
pekat disertai menyambarnya bau amisnya darah! Seluruh cairan mengucur ke
bawah, masuk ke dalam sebuah kolam besar. Dalam cairan darah di kolam Nyi
Gandasuri melihat ada ikan-ikan aneh berkeliaran, tetapi yang menyeramkan
adalah bahwa juga di dalam kolam itu penuh dengan tengkorak kepala serta tulang
belulang manusia! Secara aneh cairan darah dalam kolam terus naik ke atas lalu
turun kembali ke dalam kolam lewat lobang-lobang di kepala dan aurat dua patung
batu manusia tadi hingga cairan darah dalam kolam tidak pernah penuh atau
luber.
Berdiri
bulu tengkuk Nyi Gandasuri menyakdikan pemandangan itu. kemudian didengarnya
129 berkata. “Arah sini Nyi Gandasuri….” Lelaki itu melangkah mendahului ke
samping kanan dinding batu. Kawannya mengikuti, Nyi Gandasuri cepat-cepat
membuntuti keduanya.
Di
samping kanan dinding batu itu terdapat sebuah tangga menurun. Ketika sampai di
anak tangga terakhir Nyi Gandasuri terkesiap oleh satu pemandangan taman yang
indah luar biasa. Di mana-mana bunga-bunga kelihatan warna-warni menebar bau
wangi. Beberapa ekor burung bertengger di cabang rendah pohon-pohon sambil
berkicau-kicau. Lalu ada sebuah pedataran rumput.
Di
pertengahan pedataran ada sebuah bangunan tanpa dinding berbentuk joglo tiga
tingkat. Tiang-tiang bangunan dan keseluruhan atau berwarna merah darah. Di
bawah atap ada dua buah kursi panjang beralas kain beludru merah dilengkapi
bantalan-bantalan empuk.
Pada
kursi panjang sebelah kanan berbaring bermalas-malas satu sosok memiliki wajah
nenek keriput beralis merah mencuat ke atas, bermata merah menggidikkan.
Rambutnya yang panjang awut-awutan juga berwarna merah. Perempuan tua ini
memelihara kuku panjang melengkung juga berwarna merah. Tubuhnya ditutupi
sehelai kain berbentuk selendang dan panjang, berwarna merah. Begitu tipisnya
selendang lebar ini sehingga si nenek nyaris terlihat telanjang bulat. Pada
kening si nenek menempel sebuah permata merah sebesar kuku ibu jari tangan yang
memancarkan sinar gemerlapan.
Di kursi
panjang sebelah kanan berbaring seorang kakek berambut merah menjulai bahu.
Seperti si nenek dia juga memiliki alis mencuat ke atas, sepasang mata dan kuku
panjang berwarna merah. Di keningnya menempel sebuah permata yang memancarkan
sinar merah. Ketika menyeringai kelihatan deretan gigi-giginya berbentuk
runcing-runcing dan merah. Auratnya juga hanya dilindungi sehelai selendang
tipis merah hingga dirinya tak beda seperti telanjang saja. Bulu-bulu dadanya
kelihatan lebat berwarna merah. Sambil berbaring-baring si nenek melahap
buah-buahan sedang si kakek asyik menggeragot paha kambing panggang.
Sepasang
kakek nenek aneh angker inilah yang dikenal sebagai Maharaja dan Maharatu
Langit Darah. Keduanya sama memalingkan kepala ketika melihat kedatangan anak
buah mereka 114 dan 129 membawa seorang perempuan muda berwajah sangat cantik.
Si nenek
langsung campakkan buah yang tengah di makannya sedang si kakek buang begitu
saja paha kambing panggang. Keduanya bergerak bangkit dan duduk di pinggiran
kursi panjang. Sepasang mata masing-masing berkilat-kilat memancarkan sinar
merah memperhatikan wajah dan tubuh Nyi Gandasuri.
“Maharatu,
hari ini kita mendapat rejeki besar rupanya!” kata Maharaja langit Darah.
Si nenek
menyeringai. Dari mulutnya keluar air liur. Berwarna merah. Air liur darah!
“Kau diam
saja, aku yang bakal menanyai!” kata si nenek.
Maharaja
Langit Darah basahi bibirnya dengan lidah merah berdarah. “Kau menanyai boleh
saja. Tapi ingat, aku yang mendapat bagian lebih dulu!”
“Enak
saja! Apa kau lupa perjanjian?! Jika yang datang perempuan maka dia jadi
bagianku! Kau boleh dapat sisa! Hikkkk…..hik….. hik…..!”
********************
EMPAT
Ketika
bangkit dari berbaring dan duduk di tepi tempat tidur, selendang yang menutupi
tubuh kakek nenek itu merosot jatuh ke pangkuan hingga aurat mereka sebelah
atas terbuka lepas. Nyi Gandasuri yang memang berotak cerdik langsung saja
melihat keanehab pada dua sosok tubuh ini. Sebagai orang-orang yang lanjut usia
seharusnya si nenek akan memiliki dada rata, payudara leper bergelayutan samapi
ke pinggang. Tapi yang terlihat saat itu justru satu tubuh perempuan yang putih
bagus dan masih kencang. Begitu juga dengan keadaan tubuh si kakek. Di usia
seperti itu dadanya akan kelihatan tipis dan tulang-tulang iganya akan
bersembulan keluar. Tapi yang terlihat justru satu sosok tubuh kokoh tertutup
bulu-bulu lebat berwarna merah di bagian dada.
Dua
lelaki yang membawa Nyi Gandasuri berlutut di hadapan kakek nenek itu. salah
seorang dari mereka kemudian berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas
diikuti oleh teman di sebelahnya.
“Salam
darah untuk Yang Mulia Maharaja dan Maharau Langit Darah!”
Maharaja
Langit Darah angkat tangan kirinya sedikit. Telapak tangannya ternyata berwarna
merah. Kedua matanya tak berkesip memandang wajah dan tubuh Nyi Gandasuri.
Sementara sang Ratu menyeringai sambil cibirkan bibir.
“Lekas
sampaikan laporan kalian! Tenggorokanku mendadak kering. Hik….hik….hik!” kata
Maharatu Langit Darah pula. Dia menggeliatkan hingga payudaranya membusung
kencang ke depan dan mencuat tegang ke atas. 114 dan 129 cepat menunduk tak
berani menikmati pemandangan yang merangsang itu.
114
membuka mulut. “Kami datang membawa seorang calon anggota. Namanya Nyi
Gandasuri, usia 25 tahun…..”
Maharaja
Langit Darah angkat tangannya. “Sudah….. sudah! Kalian berdua boleh pergi.
Hasil pekerjaan kalian akan kucatat dalam Buku Daftar Kabajikan Darah. Kalau
sudah banyak kelak kalian akan dapatkan hadiah besar!”
“Terima
kasih Maharaja Langit Darah,” kata114 dan 129 berbarengan. Kedua orang ini
menjura lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu.
Maharaja
Langit Darah gulungkan selendang merahnya untuk menutupi aurat sebelah bawah.
Lalu dia berdiri.
“Perempuan
muda, namamu Nyi Gandasuri. Betul…..?”
Nyi
Gandasuri mengangguk.
Sepasang
mata yang merah dari Maharaja Langit Darah merayapi wajah dan sekujur tubuh Nyi
Gandasuri. Ujung lidahnya berkali-kali diulurkan untuk membasahi bibir.
“Banyak
orang datang ke istana ini, membawa seribu satu macam maksud dan rencana. Harap
katakan apa maksud kedatanganmu ke tempat ini. dan juga apakah kau sudah diberi
tahu oleh dua orang anak buahku tadi segala tata aturan di tempat ini, segala
tata aturan untuk menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah?”
“Mereka
memang sudah memberi tahu,” jawab Nyi Gandasuri. “Hanya saja saya pikir
tentunya saya akan mendapat keterangan lebih jelas dan lebih banyak dari
Maharaja dan Maharatu….”
“Bagus,
kau bukan saja cantik jelita, memiliki tubuh bagus tapi juga punya otak pandai
dan cerdik. Sekarang…..”
Sampai di
situ Maharatu langit Darah tiba-tiba berdiri. “Cukup! Kau boleh duduk Maharaja.
Pertanyaan selanjutnya aku yang akan mengajukan!”
Waktu
berdiri tadi, tidak seperti Maharaja, sang ratu terus saja berdiri tanpa
memperhatikan keadaan dirinya. Atau mungkin saja dia memang sengaja berbuat
begitu. Selendang merah yang menutupi tubuhnya merosot jatuh ke tanah hingga
dia berdiri dala keadaan bugil. Mau tak mau Nyi Gandasuri jadi jengah juga
melihat keadaan sang Ratu itu.
“Nyi
Gandasuri, sebelum kau katakan apa maksud tujuan kedatanganmu ke sini, ada satu
hal yang harus kau ketahui. Siapa saja yang datang ke Istana Langit Darah,
lelaki atau perempuan, tua atau muda, cantik atau buruk, kaya atau miskin akan
punya beberapa pilihan. Pertama kecil sekali kemungkinan bahkan hampir tak
pernah dia akan keluar dari sini hidup-hidup sempurna seperti layak
kedatangannya pertama kali. Kedua dia harus meninggalkan badan kasarnya sampai
kiamat di tempat ini dan hanya tubuh halusnya yang kaan keluar dari sini.
Ketiga bisa juga hanya tubuh kasarnya yang meninggalkan tampat ini tetapi roh
halusnya mendekam sampai kiamat di tempat ini.”
“Saya
sudah mendengar hal itu dari dua orang anak buahmu Maharatu,” menjelaskan Nyi
Gandasuri.
“Bagus,
berarti kita bisa mempersingkat waktu. Pilihan mana yang akan nanti menjadi
hanya aku dan Maharaja yang memutuskan, bukan dirimu. Sekarang harap kau
katakan apa maksud datang ke sini yang berarti siap menjadi anggota keluarga
Istana Langit Darah….. Turut penglihatanku, karena kau sudah bersuami maka
tentu maksudmu ada sangkut pautnya dengan diri suamimu….”
“Benar
sekali Maharatu.”
“Siapa
nama suamimu Nyi Gandasuri?” tnaya Maharatu Langit Darah pula.
“Suami
saya Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat…..”
Maharatu
Langit Darah keluarkan seruan tertahan sedang Maharaja Langit Darah saking
kagetnya sampai-sampai selendang tipis merah yang menutupi aurat sebelah bawah
jatuh ke tanah. Dan dia tidak berusaha mengambilnya kembali! Dia tegak dengan
mata melotot, menatap perempuan di hadapannya sambil membayangkan bagaimana
kira-kira kalau perempuan muda cantik jelita di hadapannya itu berada dalam
keadaan telanjang bulat. Kini dua orang bugil berdiri di hadapan Nyi Gandasuri,
membuat perempua muda ini jadi merah mukanya dan cepatcepat tundukkan kepala.
“Pangeran
Sampurno, salah seorang pewaris syah tahta Kerajaan!” ujar
Maharatu
Langit Darah. “Betul Maharatu, memang dia orangnya. Namun…….” “Namun apa Nyi
Gandasuri?” tanya Maharaja Langit Darah. “Suami saya tak akan pernah jadi
Raja.” “Eh! Mengapa kau berkata begitu?” tanya Maharatu Langit Darah.
“Dia
hanya pewaris ketiga. Sebelum dia masih ada dua orang kakak satu darah. Satu
lelaki satu perempuan. Selain itu suami saya tidak disukai oleh orang-orang
dalan Keraton….”
“Hemmmm
…… aku tahu sekarang,” kata Maharatu Langit Darah. “Kedatanganmu ke mari musti
ada sangkut pautnya dengan diri suamimu dan tahta Kerajaan….”
“Betul
Maharatu.”
“Kalau
begitu sebutkan saja apa maumu!” ujar sang Ratu pula.
“Sejak
lama saya menginginkan untuk menjadi istri seorang Raja. Menjadi istri pertama
tentu saja tidak mungkin. Menjadi selir saya tidak mau. Sri Baginda saat ini
telah punya dua istri. Saya ingin menduduki tempat sebagai istri ketiga. Tapi
itu tahap pertama saja……”
“Maksudmu?”
bertanya Maharaja Langit Darah.
“Setelah
saya jadi istri ketiga, satu persatu dua istri Sri Baginda harus disingkirkan.
Hingga saya akhirnya menjadi istri pertama…..”
Maharaja
dan Maharatu Langit Darah saling berpandangan. Lalu kedua manusia aneh ini
tertawa gelak-gelak.
Sambil
usap-usap dadanya sendiri Maharatu Langit Darah berkata. “Kecantikan dan
kebagusan potongan tubuhmu memang bisa kau jadikan bekal pertama untuk
mendampingi Sri Baginda sebagai Permaisuri. Lalu kepandaian dan kecerdikan
otakmu adalah modal kedua yang tak kalah pentingnya. Namun semua modal itu
tidak ada artinya jika kau tidak punya kemampuan untuk mewujudkan
citacitamu….”
“Itu
sebabnya saya datang kemari, siap menjadi anggota dan minta pertolongan serta
petunjuk bagaimana supaya saya bisa mencapai maksud itu.”
Maharatu
Langit Darah tiba-tiba tertawa panjang.
“Kau
datang ke tempat yang tepat Nyi Gandasuri! Jika segala syarat bisa kau penuhi,
urusan selanjutnya hanya soal mudah.”
“Saya
mohon Maharatu mau mengatakan syarat itu,” kata Nyi Gandasuri pula.
Maharatu
langit Darah tidak menajwab melainkan melangkah mendekati Nyi Gandasuri. Di
hadapan istri Pangeran Sampurno itu dia berhenti sesaat guna menatap kecantikan
wajahnya lalu mengulurkan tangan mengusap pipi dan dagu Nyi Gandasuri. Mendadak
saja Nyi Gandasuri merasa bulu kuduknya merinding. Tapi saat itu dia hanya bisa
tegak berdiam diri sambil tundukkan kepala. Kemudian Maharatu Langit Darah
melangkah berputar mengelilingi dirinya sampai tiga kali.
“Sempurna……sempurna
sekali,” kat asang Ratu dalam hati dengan pandangan mata merah berkilat-kilat.
“Belum pernah aku melihat perempuan dengan kecantikan dan kemulusan kulit
sesempurna dirinya. Tapi aku harus memeriksa dulu sampai ke dalam-dalam….”
Tiba-tiba
Maharatu Langit Darah hentikan langkah tepat di hadapan Nyi Gandasuri.
“Nyi
Gandasuri, di tempat ini terdapat banyak pantangan. Satu di antaranya para
calon anggota tidak diperkenankan memakai perhiasan dalam bentuk apapun.
Kulihat kau memakai kalung emas bermata berlian, gelang, dan tiga cincin. Harap
semua perhiasan itu dibuka dan serahkan padaku!”
Nyi
Gandasuri tak segera melakukan apa yang diperintahkan Maharatu Langit Darah.
Kepalanya diangkat. Pandangannya bertemu dengan pandangan sang Ratu. Tiba-tiba saja
ada rasa takut dan patuh dalam diri istri Pangeran Sampurno itu. semua
perhiasan yang melekat di badannya segera ditanggalkan lalu diserahkan pada
Maharatu Langit Darah. Sang Ratu langsung saja mengenakan semua perhiasan itu
ke leher, pergelangan tangan, telinga dan jari-jarinya. Lalu sambil melangkah
mundar mandir dia berkata.
“Nyi
Gandasuri harap kau mendengar baik-baik. Aku hanya bicara satu kali saja. Kau
tidak diperkenankan menolak atau membantah. Jika itu kau lakukan bukan saja apa
yang kau inginkan tidak akan kesampaian, tetapi kau juga akan terpaksa
meninggalkan tempat ini secara tidak sempurna. Entah tubuh kasarmu yang pergi
entah hanya roh halusmu. Sekali lagi dengarkan baik-baik. Kau siap?”
“Saya
siap Maharatu,” kata Nyi Gandasuri.
“Untuk
mencapai maksud besarmu menjadi permaisuri Sri baginda, pertama sekali kau
harus menyingkirkan penghalang paling dekat dalam kehidupanmu. Si penghalang
adalah suamimu sendiri. Kau harus menyingkirkan Pangeran Sampurno. Dengan kata
lain kau harus membunuhnya!” Sampai di situ Maharatu Langit Darah hentikan
ucapannya dan juga langkah kakinya. Dia melirik pada Nyi Gandasuri dan melihat
wajah perempuan muda itu menjadi pucat.
“Kau
hendak mengatakan sesuatu Nyi Gandasuri?”
“Bisakah
pembunuhan itu diserahkan dan dilakukan oleh orang lain?”
Maharatu
menyeringai. “Tang punya keinginan untuk jadi istri Raja adalah kau, bukan
orang lain! Jadi pertanyaanmu adalah pertanyaan tolol!” si nenek cemberut
sesaat. Lalu dia meneruskan. “Kematian suamimu akan menjadi berita besar di
seantero Kerajaan. Akan sampai ke telinga Sri Baginda. Kau akan mendapatkan
perhatian dari padanya. Bukan saja karena kau janda dari adiknya tetapi juga
karena kau memiliki kecantikan dan kebagusan tubuh yang tidak ada tandingnya di
Kerajaan. Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?”
Nyi
Gandasuri menggeleng.
“Selanjutnya
kau harus menyingkirkan penghalang kedua dan ketiga. Yaitu kakak lelaki dan
kakak perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu kau lakukan, giliranmu untuk
menyingkirkan penghalang berikutnya yakni Permaisuri dan istri kedua Sri
baginda. Kau bersedia melakukan hal itu?”
“Saya
bersedia Maharatu. Hanya saja saya ingin petunjuk bagaimana saya dapat
melakukannya. Mereka semua calon korban itu adalah orang-orang penting yang
dikelilingi oleh banyak pengawal…..”
“Dengan
ilmu yang akan kami berikan padamu, kau sangat mudah bisa membunuh semua orang
itu. kau tidak memerlukan senjata apapun. Tidak pisau, golok atau pedang,
bahkan racunpun tidak! Kau akan membunuh mereka dengan jelan menyedot darah
mereka dari ubun-ubun masing-masing!”
Terkejutlah
Nyi Gandasuri mendengar hal itu.
Sang Ratu
dan Maharaja Langit Darah justru tertawa mengekeh.
“Bagaimana
mungkin saya melakukan hal itu Maharatu?”
“Mengapa
kau harus bertanya begitu? Bukankah aku sudah bilang tadi. Dengan ilmu yang
akan kami berikan padamu, kau bisa melakukan pembunuhan itu dengan mudah…..”
“Kalau
begitu saya siap menunggu petunjuk selanjutnya,” kata Nyi Gandasuri pula dengan
suara bergetar.
“Syarat
berikutnya marupakan pelengkap yang tidak boleh kau lalaikan,” Maharatu
meneruskan ucapannya. “Selama kau menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah,
setiap tiga bulan sekali kau harus mencari darah segar yang harus kau dapatkan
dari korbanmu yaitu anak kecil berusia tujuh bulan ke bawah. Ketentuan itu berlaku
seumur hidupmu ke anak cucu dan cicit, sampai kiamat! Jika kau atau anak
keturunanmu lalai melakukannya maka kau atau mereka akan dipergunakan sebagai
pengganjal tiang Istana atau penupang pohon-pohon besar di kawasan ini selama
empat puluh malam! Ada yang hendak kau tanyakan Nyi Gandasuri?”
Yang
ditanya saat itu berada dalam keadaan terkesiap. Dia tak mampu berpikir panjang
dan langsung saja gelengkan kepala.
“Syarat
selanjutnya Nyi Gandasuri….. Setiap calon anggota keluarga Istana Langit Darah
harus diteliti keadaan tubuhnyaoleh kami berdua. Untuk itu pertama sekali kau
harus ikut ke kamarku. Aku sudah tua. Mataku kurang awas. Jadi perlu waktu lama
untuk melakukan pemeriksaan. Kau harus melayaniku selama satu hari satu
malam…..” habis berkata begitu si nenek tertawa cekikikan.
********************
LIMA
Maharaja
Langit Darah tak mau ketinggalan. Cepat-cepat dia menimpali. “Selesai dia
melakukan pemeriksaan, kau akan kubawa ke tempat ku. Mungkin aku butuh waktu
lebih lama dari dia. Paling tidak sekitar tiga hari tiga malam….”
Nyi
Gandasuri tidak berkata apa-apa. Dia memang sudah mendengar hal atau aturan itu
dari dua lelaki yaitu 114 dan 129 yang membawanya ke tempat itu. Istri Pangeran
Sampurno ini kemudain digandeng tangannya oleh sang Ratu meninggalkan tempat
itu. ternyata dia dibawa melewati sebuah jalan kecil yang di kiri kanannya
membentuk jurang-jurang batu tak seberapa dalam. Lapat-lapat Nyi Gandasuri
mendengar suara orang melolong, menjerit-jerit. Laalu ada juga suara erangan.
“Buka
matamu lebar-lebar. Perhatikan kiri kaan jalan!” kata Maharatu Langit Darah.
Ketika
Nyi Gandasuri melakukan apa yang dikatakan si nenek, parasnya menjadi pucat.
Kuduknya merinding dan langkahnya jadi terhuyung-huyung.
Di
sepanjang jurang sebelah kanan dilihatnya enam orang lelaki menggeletak dengan
kepala ditindih batu besar. Walau kepala mereka sudah gepeng, otak dan darah
berbusai keluar namun mereka tidak mati. Dari muut keenam orang ini keluar
jeritan kesakitan tiada henti. Lalu di bagian lain jurang empat lelaki tampak
terbaring menelentang. Kaki masing-masing terkangkang lebar. Sebuah batu besar
berwarna merah seolah-olah menyala menindih kemaluan mereka. Jerit keempat
lelaki ini paling keras di antara jeritan-jeritan manusia yang tersiksa
lainnya.
Karena
tak kuasa menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu Nyi Gandasuri berpaling
ke kiri. Tetapi apa lacur. Justru di sepanjang jurang sebelah kiri dia melihat
pemandangan yang tak kalah seramnya.
Tiga
orang perempuan dalam keadaan bugil diikat ke sebuah tiang. Puluhan ular
menjilati sekujur tubuh mereka. Mematuk muka dan kepala serta sekujur aurat.
Bahkan ada di antara binatang-binatang itu menembus masuk ke dalam mulut,
lubang dubur dan lubang kemaluan mereka. Nyi Gandasuri pejamkan kedua matanya.
Kalau tidak dipegang oleh Maharatu Langit Darah, perempuan ini pasti sudah
roboh pingsan karena ketakutan. Kemudian didengarnya si nenek tertawa panjang.
“Mahluk
apa dia sebenarnya……” kata Nyi Gandasuri dalam hati. “Di tempat seperti ini
masih bisa tertawa…..”
“Buka matamu
Nyi Gandasuri. Kalau kau pejamkan hanya akan menambah rasa takut….”
Perlahan-lahan
sambil melangkah mengikuti si nenek yang terus memegang tangannya Nyi Gandasuri
membuka kedua matanya. Dia tak dapat menahan jeritan ketika dua matanya terbuka
di depannya terpampang satu sosok tubuh perempuna, dipancung pada sebuah tombak
besi, mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur, kepala ke bawah kaki ke atas! Darah
mengucur dari batok kepalanya membasahi tambut lalu mengucur jatuh ke dasar
jurang batu. Darah juga mengucur dari dubur dan kemaluannya. Dari mulutnya yang
juga mengeluarkan darah perempuan ini mengerang perlahan, mungkin sedang
sekarat.
“Semua
orang yang kau lihat tengah menjalani hukuman karena kesalahan. Mereka semua
adalah anggota keluarga Istana Langit Darah. Mereka disiksa demikian rupa tidak
sampai menemui ajal. Berjalan terus, kau akan melihat cara kami menyiksa
orang-orang bersalah lainnya…..”
Nyi
Gandasuri tak bisa berbuat lain. Dia melangkah terus tetapi kedua matanya tak
mau lagi dibukanya. Si nenek tertawa cekikikan. Nyi Gandasuri tidak tahu entah
berapa lama dia melangkahkan kakinya, seolah berhari-hari rasanya hingga
akhirnya terdengar kembali suara Maharatu Langit Darah yang memegang lengannya
itu.
“Kita
sudah sampai di ujung jalan. Kalau tadi kau tak mau melihat manusiamanusia
disiksa itu, tak jadi apa. Sekarang buka matamu…..”
Perlahan-lahan
Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia memandang berkeliling dengan
terheran-heran.
“Aneh,
bagaimana tahu-tahu aku berada di tempat ini?” Istri Pangeran Sampurno itu
bertanya dalam hati. Saat itu didapatinya dirinya bersama maharatu Langit Darah
berada dalam sebuah kamar sangat bagus. Sebuah ranjang tinggi terbuat dari besi
berlapis kuningan berkilat terletak di tengah ruangan yang lantainya diberi
alas permadani. Nyi Gandasuri tidak melihat jendela ataupun lampu namun anehnya
ruangan besar itu berada dalam keadaan terang benderang.
Maharatu
Langit Darah duduk di tepi ranjang. Sesaat dia menatap wajah Nyi Gandasuri
lekat-lekat lalu setengah berbisik dia berkata. “Buka pakaianmu Nyi
Gandasuri…..”
“Saya…..”
“Jangan
sampai aku yang melakukannya!” Maharatu langit Darah berkata dengan senyum
dikulum tetapi sepasang matanya membersit sinar merah mengancam.
Mau tak
mau perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka baju luarnya.
“Terus….terus….
mengapa berhenti?! Buka semua pakaian yang menempel di tubuhmu! Jangan ada yang
tersisa….”
Ny
Gandasuri merasakan dadanya sesak dan tenggorokannya kering. Tangannya
bergetar. Si nenek jadi tidak sabaran. Dia melompat ke hadapan Nyi Gandasuri.
Dua tangannya bergerak. Sepuluh jari yang berkuku-kuku panjang merah
berkelebat.
Brettt…..bretttt!
Pakain
Nyi Gandasuri robek hampir di setiap bagian hingga akhirnya jatuh ke atas
permadani. Perempuan muda ini menutupkan kedua tangannya ke mulut aga tidak
berteriak ketika dia menyadari bahwa saat itu seluruh pakaiannya telah tanggal
dari auratnya!
Maharatu
Langit Darah mundur dua langkah. Kedua matanya jelalatan ke wajah dan sekujur
tubuh Nyi Gandasuri. Dua orang perempuan yang sama-sama bugil itu untuk
beberapa lama saling pandang.
“Wajahmu
cantik….. tubuhmu benar-benar sempurna. Kau memang layak jadi Permaisuri Sri
Baginda. Tapi melayani diriku lebih dulu adalah kewajiban ang tak bisa kau
tolak….” Si nenek bergerak mendekati Nyi Gandasuri. Kedua tangannya
dikembangkan. Lalu dia merangkul tubuh istri Pangeran Sampurno itu dengan penuh
nafsu. Nyi Gandasuri jadi bergidik ketika manusia itu menempelkan wajahnya ke
dadanya dengan penuh nafsu. Bibirnya bergerak liar, lidahnya menjilat-menjilat.
Sebentar saja dada Nyi Gandasuri telah basah oleh darah yang keluar dari mulut
Maharatu Langit Darah itu!
Nyi
Gandasuri terbaring letih dan pucat di atas tempat tidur. Matanya terpejam,
kepalanya terasa berat.
“Nyi
Gandasuri….. hari ini kau bebas. Kau boelh pergi untuk mengatur segala apa yang
menjadi niatmu….”
Perlahan-lahan
dua mata perempuan muda itu terbuka. Ditatapnya langitlangit kamar beberapa
lama. Tiba-tiba dia seperti melihat dua buah wajah di atas kamar itu. mula-mula
samar. Perlahan-lahan mulai jelas. Lalu mendadak terdengar suara membentak
marah.
“Kau
berani melanggar pantangan! Berani memandang ke atas!”
Bayangan
dua wajah di langit-langit kamar serta merta lenyap.
Nyi
Gandasuri cepat bangkit lalu duduk nanar di tepi ranjang.
“Maafkan
saya Maharatu. Sekujur badan saya terasa sakit. Kepala saya berat dan pusing.
Pemandangan seperti berkunang…..”
“Hemmmmm…..
biarlah sekali ini aku berbaik hati padamu! Seharusnya sebagai hukuman kepalamu
dijadikan ganjalan salah satu tiang Istana! Lekas kenakan pakaianmu dan pergi
dari sini!”
Nyi
Gandasuri terkejut. Baru dia sadar kalau saat itu tubuhnya tidak tertutup
selembar benangpun! Dipandanginya tubuhnya. Dia jadi merinding sendiri. Hampir
seluruh badannya berwarna merah oleh darah dan luka-luka seperti bekas gigitan.
Dia memandang berkeliling. Pakaiannya bergeletakan di mana-mana dalam keadaan
robek. Dari pada tidak berpakaian sama sekali lebih baik mengenakan baju dan
kain robek.
Sebelum
dia mengenakan pakaian yang robek-robek iu Maharatu Langit Darah mengulurkan sebuah
tabung kecil dari bambu. “Kau tak usah kawatir dengan darah dan gigitan di
sekujur tubuhmu! Oleskan minyak ini, kau akan kembali mulus.”
Mula-mula
Nyi Gandasuri agak ragu-ragu. Namun akhirnya diambilny juga tabung bambu itu.
minyak berbau harum yang ada di dalam tabung dioleskannya ke seluruh bagian
tubuhnya yang bernoda darah serta ada bekas gigitan. Sungguh ajaib. Semua noda
dan bekas gigitan itu lenyap seketika! Nyi Gandasuri kembalikan tabung minyak
aneh itu lalu cepat-cepat mengenakan pakaiannya.
Sambil
mengenakan pakaiannya perempuan muda ini mengingat-ingat apa yang telah terjadi
atas dirinya. Bulu kuduknya merinding. Dalam hati dia merutuk habis-habisan.
“Manusia iblis! Bagaimana mungkin ada perempuan seperti dia?! Wajah dan keadaan
tubuh berlainan. Menggauli diriku yang sama perempuannya seperti dia….. Mahluk
jahanam! Terkutuk kau sampai hari kiamat! Kalau tidak ingat pada tujuan semula
mau rasanya aku bunuh diri saat ini juga!”
Begitu
selesai berpakaian Nyi Gandasuri cepat melangkah ke pintu.
“Eitt!
Tunggu dulu!”
Nyi
Gandasuri hentikan langkahnya seraya berpaling. “Ada apa lagi Maharatu?
Bukankah kau tadi memperbolehkan saya pergi…..?” “Betul. Tapi dengan muka pucat
dan rambut awut-awutan seperti itu apa kau
kira
Maharaja Langit Darah akan suka melihatmu?” “Apa maksudmu Maharatu?” tanya Nyi
Gandasuri. Manusia berwajah nenek tapi berbadan seperti gadis yang sedang mekar
itu
tertawa
panjang. Dililitkannya selendang merahnya ke badan lalu berkata. “Apa kau lupa
perjanjian? Setelah melayani diriku kau harus melayani Maharaja Langit Darah?!”
Langsung
Nyi Gandasuri merasakan tubuhnya bergetar. Lututnya goyah. Kalau tidak
berpegangan pada tiang di kepala tempat tidur mungkin dia sudah jatuh terduduk.
“Sisir
rambutmu, bedaki wajahmu! Kalau Maharaja Langit Darah puas dengan pelayananmu,
pasti dia bisa memepercepat semua yang menjadi keinginanmu….” “Rasanya aku
lebih baik mati saja saat ini!” batin istri Pangeran Sampurno ini menugucap
seperti itu. dia memandang ke pintu.
“Kau
telah melanggar peraturan satu kali Nyi Gandasuri! Ingat, aku tidak akan
mengampuni dirimu sampai dua kali!”
Mau tak
mau Nyi Gandasuri akhirnya berdandan juga. Selesai menyisir rambutnya
didapatinya Maharatu Langit Darah tak ada lagi di tempat itu. bergegas dia
menuju ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka perempuan ini hampir
menjerit karena kagetnya. Di hadapannya berdiri Maharaja Langit Darah berkacak
pinggang sambil sunggingkan seringai menggidikkan. Sepasang matanya menatap Nyi
Gandasuri berkilat-kilat.
“Dua hari
dua malam aku menunggumu! Kalau pagi ini kau tidak juga keluar pasti sudah
kudobrak pintu dan kulempar keluar Maharatu itu….”
“Maharaja……
Saya sangat letih. Mungkin sakit. Izinkan saya….”
Maharaja
Langit Darah tertawa gelak-gelak. Air liurnya yang berwarna merah sampai
bercucuran.
“Jangan
kawatir. Aku tahu bagaimana caranya melenyapkan keletihanmu. Bagaimana
menyembuhkan penyakitmu….” Tiba-tiba Maharaja Langit Darah memeluk Nyi
Gandasuri lalu penuh nafsu dikecupnya bibir perempuan itu hingga Nyi Gandasuri
menggeliat ngeri dan jijik!
Maharaja
Langit Darah kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba ditangkapnya tubuh Nyi
Gandasuri, digotongnya lalu dilarikannya memasuki sebuah kamar.
********************
ENAM
Kuda
coklat yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng berlari tersendatsendat.
Saat itu dia berada di satu pedataran yang penuh ditumbuhi alang-alang setinggi
dada. Tak jauh di sebelah Timur tempat kediaman Pangeran Sampurno. Jalan kecil
berbatu-batu yang membujur dari timur ke arah barat memang sulit untuk
dilewati. Namun murid Sinto Gendeng ini segera maklum kalau larinya kuda yang
tersendat-sendat bukan karena jalan yang kecil dan berbatu-batu.
“Kuda…..
jika kau mencium bahaya, hentikan larimu,” kata Wiro sambil usap leher kuda
itu.
Seperti
mengerti ucapan penunggangnya kuda coklat hentikan lari. Kepalanya ditundukkan
menusup alang-alang. Dari mulutnya keluar suara menggembor sedang ekornya
berputar-putar tak bisa diam.
Wiro
memandang berkeliling. Sunyi dan kelam. Ujung alang-alang kelihatan
bergerak-gerak seperti ombak oleh tiupan angin. Di empat tempat gerakan
alangalang itu seperti terbelah. Murid Sinto Gendeng serta merta berlaku
waspada. Telinganya tak dapat menangkap suara apa-apa namun matanya tak bisa
ditipu. Belahan alang-alang di empat tempat hanya bisa terjadi kalau ada
sesuatu yang bergerak.
“Mungkin
binatang, mungkin juga manusia,” membatin Wiro.
“Jika
manusia berarti memiliki kepandaian tinggi. Suara gerakannya tidak kedengaran.
Ada empat orang. Hemmmm……”
“Kuda,
ada empat mahluk hendak mencari kenal. Sebaiknya kau jangan iktu campur! Cepat
lari dari sini. Ikuti terus jalan di depanmu. Tunggu aku di ujung jalan!” habis
berbisik di telinga kuda, Wiro melompat turun lalu menepuk pinggul kanan
binatang itu. Kuda coklat dongakkan kepalanya sesaat. Setelah itu binatang ini
menghambur sepanjang jalan kecil berbatu-batu.
Dari
tempat berdiri Wiro bisa melihat bahwa empat belahan di pedataran
beralang-alang itu semakin menyempit dan membentuk kotak. Dan dirinya di
tengahtengah kotak itu!
“Jelas
ini pekerjaan manusia-manusia bermaksud jahat!” pikir Wiro. “Mereka hendak
memantekku di tengah pedataran alang-alang lalu menghantam. Cerdik juga tapi
masih ada tololnya!” Wiro segera tinggalkan jalan kecil, menyelinap ke dalam
kawasan alang-alang. Di satu tempat dia berhenti dan merunduk serendah mungkin.
Tenaga dalam disalurkan ke tangan yang diluruskan. Perlahan-lahan Wiro gerakkan
tangan kanannya seperi orang melambai. Dari ujung-ujung jarinya melesat keluar
serangkum angin. Membelah dan menggoyang alang-alang. Gerakan alang-alang
seolah ada seseorang melewati mengendap-endap. Wiro melambai terus sambil
memasang telinga dan mata. Dalam hati dia berharap tipuannya ini akan berhasil.
Tiba-tiba
dari balik alang-alang di empat penjuru melesat keluar empat sosok hitam. Dari
ketinggian sepuluh kaki empat sosok ini kemudian menukiki ke bawah, kearah
ujung alang-alang yang bersibak oleh lambaian tangan Wiro. Sambil menukik
mereka menghantam dengan pukulan tangan kosong.
“Mati!”
Empat mulut berteriak bersamaan.
Bummmmm!
Empat
pukulan mengandung tenaga dalam tinggi mendarat di tanah secara berbarengan.
Tanah muncrat ke atas. Alang-alang terbongkar dan berhamburan ke udara. Empat
sosok yang barussan melepaskan pukulan melayang turun. Mereka tersentak kaget
dan saling pandang.
“Tidak
ada!” salah seorang di antara mereka berteriak keheranan. Tiga temannya juga
merasa aneh. Apapun yang mereka hantam pasti mahluk bergerak dan hidup. Tapi
mengapa mereka tidak menemukan apa-apa di tempat itu selain tanah dan
alang-alang yang terbongkar?
Empat orang
yang ada di tempat itu mengenakan pakaian berbentuk jubah berwarna hitam. Pada
bagian dada dan punggung jubah tertera angka-angka putih yaitu 15, 16, 17 dan
18. Keempatnya memakai topi berbentuk kerucut. Pada sebelah depan topi ada
gambar kelelawar bermata besar merentangkan sayap. Tampang keempat orang ini
tampak ganas garang. Apalagi semuanya memelihara cambang bawuk lebat dan kumis
tebal melintang. Tak dapat memecahkan keanehan di tempat itu keempat orang ini
sama-sama alihkan pandangan ke kiri dari jurusan mana tadi tampak mulai
bergerak dan bersibaknya alang-alang.
“Lihat!”
teriak orang yang berdiri paling depan seraya menunjuk.
“Dia
masih hidup!”
“Di
sana!”
“Lekas
buat gerakan Jala Darah!”
Empat
lelaki berjubah lalu keluarkan suitan keras. Selagi suara suitan itu masih
menggema dalam udara malam, tubuh mereka sudah lebih dulu berkelebat lenyap.
Di depan
sana Wiro Sableng yang tadi sempat terlihat cepat bergerak. Berkelebat ke kiri
lalu lenyap dalam kerapatan alang-alang. Dia jongkok mendekam sambil memasang
telinga. Tidak terdengar suara apa-apa kecuali kerisik alang-alang tertiup
angin malam.
“Mungkin
mereka sudah pergi….” Pikir Wiro. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Tiba-tiba
empat bayangan berkelebat. Tahu-tahu empat orang berpakaian hitam berada di
depan belakang kiri dan kanannya. Masing-masing orang ini ulurkan tangan ke
arah teman di hadapan mereka. Murid Sinto Gendeng jadi terkejut ketika
menyadari bahwa saat itu empat pasang lengan berwarna merah dan basah yang
saling bersilangan dengan kokoh telah menjerat lehernya.
“Berani
begerak patah lehermu”
“Tanggal
kepalamu!”
Dua
bentakan berturut-turut menggeledek di telinga Wiro. Wiro sadar bahaya yang
dihadapinya. Empat pasang lengan itu demikian kokoh menjepit lehernya hingga
jika keempat orang itu serempak menggerakkan lengan mereka, lehernya bisa
remuk, kepalanya benar-benar bisa copot!
Inilah
yang disebut gerakan Jala Darah!
Untuk
beberapa lamanya Wiro hanya bisa tertegak diam. Bahkan bernafaspun dia seperti
hati-hati.
Sebenarnya
dua tangannya bisa digerakkan untuk menghantam lawan. Tapi kalau dia tidak
dapat mendahului keempat lawan yang tengah menjepit lehernya maka dia bisa
celaka sendiri
Salah
seorang dari empat manusia berjubah hitam berkata. “Maharaja meminta kita
membawa orang ini hidup atau mati! Dari pada repot-repot mengurusi lebih baik
kita tanggalkan saja kepalanya saat ini juga!”
“Tunggu
dulu! Ingat pesan khusus Maharatu padaku!” kata orang berjubah di sebelah
belakang. “Beliau ingin manusia satu ini dibawa hidup-hidup!”
“Di
Istana Langit Darah yang berkuasa adalah Maharaja Langit Darah! Kenapa kalian
harus bertengkar?! Aku setuju kita habiskan saja bangsat ini saat ini juga.
Kalau tidak besok-besok dia bisa membuat kita celaka!” Orang di sebelah kanan
membuka mulut. Wiro melirik ke kanan memperhatikan orang ini sambil menyumpah
dalam hati.
“Kalau
begitu cepat kita lakukan sekarang!” kata orang di sebelah kiri Wiro.
“Tunggu
dulu!” Wiro tiba-tiba berucap kereas. “Siapa kalian?! Siapa Maharaja dan
Maharatu itu?!”
“Keparat!
Kau tak layak bicara atau minta apapun pada kami!”
“Aku
tidak meminta. Malah mau memberi!” jawab Wiro.
“Mau
memberi apa?!” bentak orang di sebelah depan.
“Jika
kalian mau membebaskan diriku, kalian boleh mengambil empat tail emas yang ada
di kantong bajuku sebelah kiri dan sebelah kanan.”
Empat
orang yang mengurung Pendekar 212 terdiam. Tapi antara mereka tampak saling
pandang.
“Pemuda
miskin sepertimu mengaku membawa empat tail emas di saku pakaian! Puah! Kau
kira bisa menipu kami?!”
“Kalau
tidak percaya silahkan periksa kedua kantong bajuku!”
Empat
orang bertampang garang itu jadi meragu. Mereka tidak dapat melihat kedua saku
pakaian Wiro karena terlindung oleh ketinggian alang-alang. Namun mereka sudah
bisa menduga-duga di sebelah mana kira-kira letak kedua kantong itu. selain itu
terhadap kawan masing-masing ada rasa kurang percaya hingga saling curiga
mengawasi. Masing-masing merasa kawatir ada yang berlaku curang lalu bertindak
labih dulu hingga nanti ada yang tidak kebagian.
“Kenapa
jadi tolol!” tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata. “Kalaupun dia kita
bunuh, emas itu tak akan kemana. Kita bagi empat. Masing-masing dapat satu
tail!”
Namun
keserakahan diam-diam mempengaruhi lelaki di sebelah kiri yaitu yang pada
pakaiannya tertera angka 15 dan bertindak selaku pimpinan dalam rombongan yang
menyergap Wiro itu. dia turunkan tangannya ke bawah. Tangan yang turun ini lalu
meluncur cepat ke saku baju sebelah kiri si pemuda.
Inilah
yang ditunggu Wiro. Turunnya satu lengan berarti kurangnya daya menjepit sisa
lengan-lengan lainnya. Apa lagi ketiga orang itu jadi tersita perhatian mereka
pada gerakan tangan teman mereka. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan untuk selamat
murid Sinto Gendeng membentak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya dijatuhkan ke
bawah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak memukul. Dua orang
berjubah hitam terpental lalu jatuh di antara alang-alang. Tapi segera bangkit
seolah jotosan-jotosan Wiro tadi yang mengenai dada masing-masing tidak terasa
apa-apa.
Sementara
itu leher dan kepala Wiro walaupun selamat namun kening serta pelipisnya masih
sempat terkikis dua buah lengan hingga waktu menjatuhkan diri ke bawah
kepalanya sempat terpuntir dan lecet di kening serta pelipisnya!
Dua orang
yang masih berada di dekat Wiro yakni yang berangka 16 dan 17 pada jubahnya
hujamkan kaki untuk menendang perut serta muka sang pendekar. Tendangan
mengarah perut berhasil dihindarkan Wiro dengan berguling ke samping. Sedang
kaki yang menendang ke jurusan kepalanya dapat ditangkap lalu dipuntirnya
kuat-kuat hingga si penendang terbanting ke tanah dan untuk beberapa lamanya
terkapar nanar.
Dua orang
berjubah yang tadi dipukul mental saat itu telah bangkit berdiri dan kembali
menyerbu.
“Gila!
Pukulan tadi telak sekali! Tapi keduanya seperti tidak cidera sedikitpun! Siapa
semua keparat-keparat berjubah dan bertopi aneh ini? Mengapa mereka ingin
membunuhku?!”
Sementara
itu tiga orang lawan kembali menyerbu. Bahkan satu lagi yang tadi terkapar
nanar akibat bantingan kini sudah bangun dan ikut menyerang kembali.
Lima
jurus berlalu dengan cepat. Walau dikeroyok empat namun murid Sinto Gendeng
masih bisa menghadapi dan berkali-kali tendangan atau jotosannya berhasil
mendarat di tubuh atau muka lawan.
Akan
tetapi keempat orang itu seperti memiliki ilmu kebal. Walupun muka dan tubuh
juga pakaian mereka tampak babak belur sementara topi-topi mereka yang
berbentuk kerucut bercampakan di tanah tetap saja mereka menyerbu kembali.
“Manusia-manusia
aneh!” pikir Wiro. “Makin digebuk makin kuat!” Dia mulai berpikir untuk
mengerahkan tenaga dalam dan lepaskan salah satu dari pukulan saktinya.
“Siapkan
serangan Lidah Darah!” tiba-tiba orang dengan jubah berangka 15 berteriak.
Murid
Sinto Gendeng cepat mengawasi. “Serangan Lidah Darah! Ilmu apa pula ini!”
pikirnya.
Empat
orang berjubah secara berbarengan keluarkan suitan keras. Di balik alang-alang
mereka tegak rentangkan kaki. Kedua tangan diangkat ke atas. Dari mulut mereka
keluar suara meracau.
“Eh,
empat setan alas ini tengah meracau mantera atau mulai kesurupan…..” pikir
Wiro. Lalu dilihatnya dari mulut orang-orang itu mengucur keluar cairan merah.
Darah! Murid Sinto Gendeng tak mau berlaku ayal. Dia segera alirkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Dia yakin keempat orang itu akan menyerangnya dengan
ilmu siluman.
Empat
tenggorokan keluarkan suara seperti orang mendengkur. Lalu empat mulut
tiba-tiba terbuka lebar dan! Astaga! Dari keempat mulut orang itu melesat
keluar lidah berbentuk aneh. Selain panjang dan berlumuran darah juga
membersitkan hawa panas!
Wiro
segera angkat tangannya untuk menghantam lebih dulu. Tapi cepat sekali empat
lidah panjang datang menyambar. Dua lidah menyambar ke arah tenggorokan Wiro,
satu menderu ke arah perut dan lidah keempat melesat ke tangan kanannya.
Sebelum Wiro sempat memukul, lengannya sudah lebih dahulu digelung lidah
berdarah dan panas itu! lengannya seperti disengat bara panas! Wiro berteriak
keras karena kesakitan dan juga marah! Tangan kanannya diputar demikian rupa.
Sambil menahan sakit dia berhasil mencengkeram lidah yang menggelung lalu
dengan cepat menyentakkannya kuat-kuat. Orang yang lidahnya dibetot tersungkur
amblas masuk ke dalam alang-alang.
Dessss!
Lidah
berdarah putus! Wiro bantingkan lidah itu ke dalam alang-alang degnan tengkuk
merinding. Pada saat itulah serangan tiga buah lidah sampai. Dua mencekik
lehernya dan satu menyambar perutnya.
Hantaman
lidah berdarah pada perutnya membuat tubuhnya terpental tapi tertahan oleh
cekikan dua lidah pada lehernya. Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Lehernya
serasa remuk dan kepalanya seolah tanggal.
“Tamat
riwayatku!” keluh Wiro. Matanya mendelik dan lidahnya mulai terjulur. Dia coba
pergunakan tangan kanannya untuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 tapi tak
berhasil karena potongan lidah panjang tadi sempat menggulung lengannya telah
membuat lengan itu menjadi berat dan kaku. Di samping itu perutnya yang kena
dihantam lidah berdarah terasa sakit bukan kepalang. Tak ada jalan lain. Dia
segera merapal ilmu kesaktian “pukulan sinar matahari” Hawa panas menjalar ke
tangan kirinya. Tangan sampai ke lengan tampak menjadi seputih perak
menyilaukan. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera menghantam ke arah dua orang
berjubah yang dua lidah mereka menjerat lehernya.
Wussss!
Sinar
putih menyambar dahsyat. Sebelum menghantam dua orang berjubah sinar putih
panas pukulan sinar matahari merambas alang-alang dan serta merta terbakar
menjadi kobaran api!
Dua lidah
darah yang menjerat leher Wiro meleleh musnah. Namun bekas jeratan meninggalkan
tanda merah berdarah pada leher sang pendekar.
Dua
suitan keras melengking di udara malam. Di bawah terangnya kobaran api Wiro
melihat dua sosok hitam berterbangan seperti burung raksasa di permukaan
alang-alang! Ternyata adalah dua orang berjubah hitam lainnya. Yang satu sambil
melayang melesatkan lidahnya ke arah kepala Wiro. Satunya lagi tiba-tiba
membuat gerakan jurngkir balik di atas alang-alang lalu tidak terduga sama
sekali dia sudah berada di atas kepala Wiro. Dia adalah orang yang tadi
lidahnya dibetot lepas. Ternyata kini dalam mulutnya ada lidah baru. Lidah ini
menyambar ke ubun-ubun Pendekar 212. Jadi dua lidah menyerang kepala Pendekar
212 sekaligus!
Murid
Sinto Gendeng tenggelamkan tubuhnya ke dalan alang-alang. Serangan lidah yang
menyambar dari depan lewat di atas kepalanya. Namun yang menghantam dari atas
ke arah ubun-ubunnya tak bisa dikelit. Karenanya untuk kedua kalinya Wiro
lepaskan pukulan sinar matahari.
Jeritan
orang berjubah di sebelah atas sana terdengar keras menggidikkan ketika
tubuhnya dihantam pukulan sakti tiu. Tubuh itu tampak mencelat tinggi sekali
dalam keadaan hangus!
Wiro
cepat putar tubuhnya untuk menghantam lawan keempat. Namun orang ini sudah
menyelinap ke dalam alang-alang lalu kabur cari selamat.
Wiro
tarik nafas lega. Dirabanya lehernya. Terasa basah. Ketika diperhatikannya
tangannya, tangan itu bergelimang darah, membuatnya jadi bergidik dan juga
memaki. Kobaran api semakin besar membakar alang-alang. Wiro bergerak ke arah
jalan kecil berbatu-batu. Dia segera menuju ke ujung jalan kecil di mana
kudanya menunggu. Di satu tempat dia melihat dia buah benda hitam mengepulkan
asap menyangsrang di alang-alang. Ketika didekati dan ditelitinya ternyata dua
buah jubah hitam masing-masing berangka 16 dan 18.
“Aneh….
Kenapa cuma ada pakaiannya? Mana tubuhnya?!” pikir Wiro. “tak mungkin dua
keparat itu masih hidup! Kalaupun kabur mengapa jubahnya ketinggalan di sini?!”
Murid Sinto Gendeng garuk-garukkepala karena tak dapat memecahkan keanehan itu.
dia kembali ke pertengahan alang-alang tempat jatuhnya lawan ketiga yang tadi
juga dihantamnya dengan pukulan sinar matahari. Di sini, di antara alang-alang
lagi-lagi dia hanya menemukan sehelai jubah berangka 17! Murid Sinto Gendeng
gelengkan kepala. “Empat orang tadi jangan-jangan mahluk siluman. Mereka
menyebut Maharaja dan Maharatu. Agaknya mereka adalah kaki tangan Maharaja dan
Maharatu itu….. Mereka menginginkan nyawaku. Mengapa? Mungkin ada sangkut
pautnya dengan kedatanganku ke tempat Pangeran Sampurno? Janganjangan mereka
mahluk-mahluk peliharaan sang Pangeran!”
Wiro
segera tinggalkan tempat itu. di kejauhan terdengar suara kentongan di beberapa
tempat. Pertanda penduduk di sekitar situ telah melihat kobaran api yang
membakar pedataran alang-alang.
Ketika
sampai di ujung jalan Wiro tidak menemukan kuda coklatnya. “Sialan! Binatang
itu pasti sudah kabur entah kamana!” katanya. Dia memandang berkeliing masih
berusaha mencari-cari. Di bawah sebatang pohon besar tiba-tiba dia melihat
sebuah benda besar hitam. Dia segera mendekati. Wiro jadi tertegun. Benda besar
hitam yang dilihatnya tadi ternyata adalah sosok kuda coklatnya. Binatang ini
terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Pada kepalanya kelihatan sebuah lobang
besar yang masih mengucurkan darah!
“apa yang
terjadi dengan binatang ini?!” pikir Wiro. Tengkuknya tiba-tiba menjadi dingin.
Saat itulah telinganya mendengar suara mendesir di atasnya. Dia mendongak.
Sebuah benda aneh dilihatnya melayang turun dari atas pohon dengan deras. Dalam
kegelapan malam sulit untuk melihat jelas benda apa itu adanya. Namun ketika
benda itu hanya tinggal sepuluh jengkal dari kepalanya murid Sinto Gendeng jadi
melengak kaget dan berseru keras!
********************
TUJUH
Ki Ageng
Bantoro mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. “Kalian tunggu di sini,”
katanya pada dua orang pengawal yang memapah Pangeran Sampurno Tjokro
Adiningrat. Lalu dia memegang lengan kiri sang Pangeran dan membantunya masuk
ke dalam kamar.
Saat itu
di atas tempat tidur besar tampak terbaring tidur sesosok tubuh perempuan,
membelakangi menghadap dinding. Walau nyala lampu di ruangan tidak seberapa
terang namun Ki Ageng Bantoro masih bisa melihat jelas bahwa perempuan yang ada
di atas tempat itdur tidak mengenakan apa-apa kecuali sehelai kain panjang yang
merosot ke bawah dan hanya menutupi auratnya sampai setinggi betis.
Ki Ageng
Bantoro telah sering melihat kebagusan tubuh perempuan cantik istri Pangeran
Sampurno itu. Namun baru sekali ini dia melihat perempuan itu dalam keadaan
polos seperti itu walaupun hanya dari belakang. Jantung orang tua ini seolah
berhenti berdetak. Otak kotornya muncul membuat hatinya bicara. “Sayang hanya
dari belakang. Kalau aku bisa melihat dari depan…..”
Baru saja
Ki Ageng Bantoro membatin begitu tiba-tiba sosok telanjang di atas tempat tidur
menggeliat lalu berbalik.
“Ki
Ageng, lekas berlalu dari sini!”
Kepala
pengawal itu tersentak oleh suara keras Pangeran Sampurno yang mendadak menjadi
marah ketika melihat bagaimana sepsang mata orang tua yang memapahnya itu
membeliak tak berkesip memperhatikan tubuh istrinya.
“Maafkan
saya Pangeran,” kata Ki Ageng Bantoro pula. Pegangannya pada lengan Pangeran
Sampurno dilepaskan lalu memutar tubuh dan cepat-cepat melangkah ke pintu. Di
ambang pintu si orang tua berhenti. Dia coba berpaling sedikit lalu berkata.
“Cidera pada siku kanan Pangeran perlu segera mendapat perawatan. Saya akan
panggilkan ahli urut dari Krasak…..”
“Keluar
dari kamar ini Ki Ageng! Dan jangan lupa tutup pintu itu! Aku tahu mengobati
cidera sialan ini!”
Begitu
didengarnya suara pitu ditutup Pangeran ini melangkah terhuyunghuyung lalu
jatuhkan diri di atas tempat tidur. Perempuan yang barusan menggeliat dan
membalikkan tubuh, dalam keadaan setengah tidur setengah jaga membuka kedua
matanya.
“Mas
Sampurno…..” Perempuan itu hendak bertanya gerangan dari mana barusan adanya
sang Pangeran dan mengapa menjatuhkan diri ke atas tempat tidur seperti itu.
Pertanyaannya tertahan ketika dia mendengar erangan keluar dari mulut Pangeran
Sampurno. Serta merta dia bangkit dan duduk di atas tempat tidur. “Mas Sampurno
ada apa dengan dirimu….? Kau demam Mas?” dengan telak tangan kirinya perempuan
itu memegang kening sang Pangeran. Dia menyangka lelaki itu tiba-tiba diserang
demam. Tapi kening itu bukan terasa panas melainkan dingin dan berkeringat.
“Mas…..”
Pangeran
Sampurno berteriak kesakitan ketika perempuan itu memegang lengan kanannya.
“Gusti
Allah! Apa yang terjadi mas?!”
“Tangan
kananku Nyi Ganda! Jangan dipegang!”
Istri
Pangeran Sampurno itu memperhatikan tangan kanan suaminya dengan mata
dibesarkan. “Memangnya ada apa dengan tangan kananmu Mas?”
“Seorang
pemuda sinting muncul malam-malam buta ke tempat kita! Ketika aku keluar
ternyata dia sudah betrokan dengan para pengawal. Bahkan ada yang mati akibat
ulahnya!”
“Siapa
pemuda itu? Perampok? Garong….?”
“Namanya
Wiro Sableng. Murid seorang nenek sakti di Gunung Gede yang pernah bersahabat
dengan Kerajaan……”
“Wiro
Sableng….?” Mengulang sang istri dengan suara bergetar.
“Kau
kenal pemuda sinting itu?” tanya Pangeran Sampurno pula.
Nyi
Gandasuri menggeleng. Lalu dia berkata.
“Kalau
gurunya bersahabat dengan Kerajaan berarti muridnya juga menjadi sahabat
Kerajaan. Lalu mengapa bentrokan dengan para pegawal, sampai membunuh segala?!”
“Manusia
edan itu memuntir sambungan siku tangan kananku sampai lepas! Jahanam betul!”
Paras Nyi
Gandasuri, istri Pangeran Sampurno, jadi berubah.
“Sejak
sore tadi sebenarnya saya sudah punya firasat kurang baik,” kata Nyi Gandasuri
pula. “Rupanya inilah kejadiannya. Tapi Mas Sampurno, pasal lantaran apa pemuda
yang katamu sinting itu berani mencideraimu?”
“Aku
menjadi kalap ketika mulut busuknya berani memfitnah dirimu….”
“Memfitnah
diri saya….? Sungguh luar biasa! Katakan apa yang diucapkannya padamu Mas
Sampurno. Bahwa saya main gila dengan lelaki lain? Saya berani bersumpah…..”
Nyi Gandasuri tidak meneruskan ucapannya. Sang Pangeran melihat seperti ada
kilatan sinar aneh dalam mata istrinya itu. kemudian digelengkan kepalanya
perlahan.
“Katakan
Mas…. Fitnah apa yang diucapkan pemuda bernama Wiro Sableng itu padamu.”
“Sudahlah….
Ucapan seorang gila apa perlunya dipercaya.”
“Tapi
Mas, saya merasa risih bahkan tidak senang kalau Mas tidak mengatakan. Orang
gila tidak mungkin memfitnah sekaligus menciderai Mas Sampurno dan membunuh
para pengawal…. Saya minta Mas Sampurno tidak menyembunyikan apapun pada saya.
Atau saya akan keluar dan menanyakan pada para pengawal. Pada Ki Ageng Bantoro.
Meerka pasti ikut mendengar fitnah yang diucapkan pemuda itu….”
“Jangan.
Kau tak usah keluar. Jika kau memang mau mendengar dari mulutku sendiri, baik.
Akan kukatakan. Pemuda gila itu mengatakan ada seorang perempuan hendak
membunuhku….”
“Seorang
perempuan hendak membunuhmu?!” belalak Nyi Gandasuri. Lalu senyum lebar
menyeruak di mulutnya, disusul oleh suara tertawa bergelak.
“Kalau
itu dikatakannya memang benar pemuda itu sinting edan! Perempuan mana pula yang
akan membunuhmu! Mungkin bekas kekasihmu di masa muda yang cemburu dan dendam
karena Mas Sampurno mengambil saya jadi istri dan bukannya dia. Sungguh
lucu….!”
Pangeran
Sampurno terdiam sesaat. Sambungan sikunya yang tanggal mendenyut sakit hingga
dia mengeluh tinggi. Nyi Gandasuri rupanya tidak lagi memperhatikan cidera yang
didera suaminya melainkan ajukan pertanyaan. “Apa lagi yang dikatakan pemuda
gila itu?”
“Mmmmmmmm…..
katanya perempuan itu seorang yang sangat dekat dengan diriku….”
“Siapa?
Ibu Mas Sampurno yang sudah lumpuh itu? Nah, nah, nah! Bagaimana mungkin….”
“Dia
menyebutkan sebuah nama Nyi Ganda…..”
“Kalau
begitu Mas Sampurno sudah tahu…..”
Pangeran
itu mengangguk perlahan. “Katanya perempuan itu berada dalam rumah ini. Lalu
dia menyebut sebuah nama. Namamu. Jelas-jelas dia berkata bahwa seorang bernama
Nyi Gandasuri yang akan membunuhku….”
Nyi
Gandasuri terpekik. Tubuhnya melejang. Pangeran Sampurno melihat satu kejadian
aneh. Tubuh istrinya seperti terangkat ke atas da hampir menyentuh
langitlangit kamar. Lelaki ini sampai berseru melihat kejadian itu.
Perlahan-lahan tubuh itu turun kembali.
“Istriku,
apa yang terjadi dengan dirimu? Barusan kulihat tubuhmu melayang. Kau seperti
seorang memiliki kesaktian….”
“Saya
tidak memiliki ilmu kesaktian apapun Mas Sampurno. Apa yang saya dengar dari
mulutmu membuat saya seperti mau meledak! Saya akan cari pemuda kurang ajar
itu….”
“Ki Ageng
Bantoro dananak buahku yang lain pasti tidak tinggal diam. Biarkan mereka yang
mencari manusia itu. Sekarang yang penting adalah mencari tabib atau tukang
urut untuk menyambung tulang siku-ku….”
“Tidak
perlu….”
“Eh, apa
maksudmu tidak perlu?” tanya Pangeran Sampurno yang serta merta menjadi
beringas dan hendak bangkit. Dia lupa keadaan tangan kanannya. Langsung saja
jeritan keluar dari mulutnya ketika dia coba mempergunakan kedua tangan untuk
bertopang pada permukaan tempat tidur.
“Tidak
perlu memanggil tabib atau tukang urut! Saya sanggup menolong cidera Mas
Sampurno,” kata Nyi Gandasuri pula.
“Kau?”
kening sang Pangeran jadi berkerut dan kedua matanya mengecil. “Kau bisa
menyembuhkan tanganku yang sakit? Eh, sejak kapan kau memiliki ilmu kepandaian
dalam pengobatan?”
Nyi
Gandasuri tidak menjawab. Tubuhnya yang telanjang bergerak mendekati suaminya.
Tangan kirinya diulurkan ke arah bahu kanan Pangeran Sampurno. Tibatiba tangan
itu mendorong dengan keras hingga Pangeran Sampurno seperti dihenyakkan ke
tempat tidur. Bersamaan dengan itu, dalam keadaan tangan kiri masih menekan
bahu kanan suaminya, Nyi Gandasuri pergunakan tangan kanan untuk menarik tangan
kanan Pangeran Sampurno sekuat-kuatnya.
Trakkkkk!
Pangeran
Sampurno menjerit keras lalu tergeletak tak bergerak lagi di atas tempat tidur.
Pingsan! Perlahan-lahan Nyi Gandasuri bangkit berdiri. Dia turun dari atas
tempat tidur dan tegak di samping sosok suaminya. Kedua tangannya diangkat ke
atas dikembangkan. Lehernya ditegakkan lalu mulutnya dibuka sedikit demi
sedikit.
Tiba-tiba
ada satu suara mengiang di telinganya. Nyi Gandasuri, ingat apa yang sudah kami
atur. Setiap korban harus berada dalam keadaan sadar. Setiap korban harus
melihat apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan! Perhatikan
wajah korbanmu pada saat-saat terakhirnya menuju kematian. Darah orang yang
mati dalam keadaan ketakutan lebih nikmat dari pada segala macam darah!
Perlahan-lahan
Nyi Gandasuri tundukkan kepala lalu turunkan kedua tangannya. Sesaat dia
menatap sosok suaminya. Lalu diambilnya sehelai baju malam berbentuk aneh
berwarna hitam. Kerah jubah ini mencuat tegak ke atas, menutupi seluruh kepala
bagian belakang. Tanpa suara dia melangkah ke pintu. Di pintu dia tegak sesaat.
Perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Tanpa suara dia membuka pintu itu lalu
melangkah keluar. Jika ada yang melihat pasti akan terheran-heran karena saat
itu Nyi Gandasuri berjalan dengan mata tertutup tidak beda seperti orang
berjalan dalam tidur!
Setelah
apa yang terjadi di rumah besar itu sebelumnya maka Ki Ageng Bantoro telah
memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjaggan ketat. Pada saat-saat
tertentu dia sendiri ikut berkeliling guna memeriksa keadaan. Pengawal
bertebaran di mana-mana. Namun anehnya mereka sama sekali tidak melihat sosok
Nyi Gandasuri yang berjalan tidur itu. Perempuan ini melangkah sepanjang teras
samping kiri bangunan. Turun dari teras lalu melangkah di tanah berumput. Baru
berhenti begitu diasampai di bawah sebatang pohon berdaun sangat rindang.
“Maharaja
dan Maharatu, saya Nyi Gandasuri siap untuk mencari pemuda bernama Wiro Sableng
itu! Kalau dia tidak segera dibunuh bisa-bisa mendatangkan bencana bagi kita!
Lagi pula bukankah itu tugas yang Maharaja dan Maharatu berikan pada saat saya
dilepas pergi dari Istana Langit Darah……?”
Ada
sesiur angin menyambar puncak pohon di bawah mana Nyi Gandasuri berada. Lalu
terdengar satu suara laki-laki.
“Nyi
Gandasuri, kau seorang anggota yang baik. Penuh tanggung jawab. Pemuda yang kau
sebutkan namanya tadi memang sudah ditakdirkan mati di tanganmu! Menurut
penglihatanku dia belum pergi jauh. Bunuh dia, bawa mayatnya ke hadapanku!”
“Ah,
Maharaja sudah hadir dan mendengar rupanya,” ujar Nyi Gandasuri.
“Jika kau
berhasil membawa mayatnya ke hadapanku tabungan kebajikanmu akan menjadi luar
biasa besar. Kejadian itu kelak harus kita rayakan. Kau akan kuundang
bersenang-senang di dalam kamarku selama satu minggu. Setelah itu aku akan membantu
dengan segala cara agar kau dapat mencapai tujuanmu. Menjadi permaisuri Sri
Baginda.”
“Saya
menghaturkan terima kasih Maharaja. Saya minta izin untuk bertindak sekarang
juga. Mencari pemuda itu, membunuhnya lalu membawanya ke hadapan Maharaja
Langit Darah.”
“Bagus.
Namun kau tidak perlu buru-buru. Pemuda itu tak akan lari jauh. Ketahuilah
sudah sejak beberapa hari belakangan ini aku ingat dan rindu padamu. Ingin
melihat wajah dan tubuhmu. Darahku menjadi panas jika mengingat-ingat saatsaat
kau berada di atas ranjang bersamaku tempo hari. Sekarang, sebelum menjalankan
tugas itu, aku ingin kau menghibur diriku dulu. Tanggalkan jubah hitam yang kau
pakai itu. Aku bisa melihat dirimu dari tempatku berada. Biar mataku melihat
auratmu yang bagus. Dengan begitu nafsu birahiku bisa terlipur…..”
Nyi
Gandasuri memandang berkeliling. Hatinya bimbang. Tapi akhirnya apa yang
diperintahkan dilakukannya juga. Jubah hitam berleher tinggi dibukanya,
dijatuhkan ke tanah.
Terdengar
suara orang menarik nafas panjang.
Lalu ada
suara tawa cekikikan. Menyusul suara perempuan. “Nyi Gandasuri, kecantikan
wajah dan tubuhmu bukan cuma untuk Maharaja Langit Darah. Tapi juga menjadi
bagian Maharatu Langit darah. Kalau urusanmu dalam kamar Maharaja Langit Darah
selesai kau harus mampir ke kamarku. Kau dengar itu Nyi Gandasuri?’
“Saya
dengar Maharatu,” jawab Nyi Gandasuri pula. “Sekarang bolehkah saya mengenakan
pakaian kembali?’
“Kau
boleh pergi. Bawa mayat pemuda bernama Wiro Sableng itu ke hadapanku!” jawab
suara tanpa ujud.
Nyi Gandasuri
membungkuk. Terdengar suara nafas memburu. Selesai mengenakan jubah hitam
berleher tinggi perempuan itu jingkatkan kedua kakinya. Sepasang tangannya
diangkat ke atas. Mulutnya dibuka. Lalu dia menghembus.
Settttt!
Terdengar seperti suara angin berdesir. Sosok tubuh Nyi Gandasuri lenyap
ditelan malam seolah amblas ke dalam tanah!
Di balik
serumpunan semak belukar dua orang yang sejak tadi merasakan sesak dada mereka
menyaksikan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya saling pandang tanpa bisa
mengeluarkan suara. Yang satu akhirnya berkata dengan suara bergetar. “Ki Ageng
Bantoro apa yang barusan kita saksikan adalah hal luar biasa. Aneh di atas
aneh. Kita harus memberi tahu Pangeran Sampurno.”
Yang
diajak bicara yaitu Ki Ageng Bantoro kepala pengawal gedung kediaman Pangeran
Sampurno menggeleng. “Mungkin kita harus merahasiakannya dulu sampai beberapa
waktu. Aku mencium dibalik keanehan ini ada hal yang mengerikan…..”
Baru saja
Ki Ageng Bantoro berkata begitu tiba-tiba dari atas pohon melesat sebuah benda.
Benda ini bergerak cepat sekali hingga kedua orang itu tidak bisa memastikan
benda apa adanya. Kemudian terdengar dua jeritan keras. Pengawal yang ada di
tempat kediaman Pangeran Sampurno jadi tercekat. Mereka masih berada di bawah
pengaruh kejadian munculnya Wiro tadi. Kini terdengar dua suara jeritan yang
menggidikkan. Beramai-ramai para pengawal ini menuju pintu gerbang gedung,
terus keluar ke arah sebatang pohon besar dari arah mana tadi terdengar suara
jeritan.
Hanya
beberapa langkah dari pohon besar itu semua pengawal tersurut menggigil. Di
tanah mereka melihat dua sosok tubuh terkapar dengan kepala berlumuran darah.
Ubun-ubun kedua orang itu tampak berlobang besar! Jelas keduanya sudah jadi
mayat. Mulut menganga mata mencelet!
********************
DELAPAN
Benda
yang melayang turun dari atas pohon besar itu ternyata adalah potongan kepala
seorang perempuan tua. Rambutnya yang panjang hitam riap-riapan menebar bau
kembang di pekuburan! Wajahnya sangat putih. Sepasang alisnya mencuat tebal dan
hitam. Kedua matanya memancarkan sinar kemerahan. Di sudut-sudut bibirnya
tersembul taring terbungkus cairan darah! Dari mulutnya yang terbuka dan
melelehkan darah kelihatan menjorok keluar lidahnya yang berbentuk aneh. Lidah
ini seolah terbuat dari besi hitam, berbentuk corong lancip dan pada ujungnya
ada lobang seujung jari kelingking.
“Gusti
Allah! Mahluk apa ini!” ujar Pendekar 212 dalam hati.
Kepala
perempuan dengan rambut awut-awutan dan wajah mengerikan itu melesat ke arah
kepala Wiro. Lidah besinya bergerak, mencari sasaran di ubun-ubun. Murid Sinto
Gendeng cepat berkelebat menyingkir sambil memukul.
Brerttt!
Potongan
kepala berputar aneh. Pukulan Wiro mengenai tempat kosong. Sebaliknya walau dia
sudah berusaha menghindar dengan cepat namun lidah besi masih sempat menggaruk
bahu bajunya hingga robek besar. Wiro merasakan tubuhnya jadi dingin. Dia ingat
pada kudanya yang ditemuinya telah jadi mayat dengan kepala bolong.
“Jangan-jangan mahluk jahanam ini juga yang membunuh kuda itu!” pikir Wiro. Dia
merasa belum sempat menarik tangannya yang terdorong ke depan tahu-tahu
potongan kepala itu membalik lalu melesat ke atas. Dari ketinggian satu tombak
kepala itu menukik ke bawah. Lidah besi kembali mencari sasaran di batok kepala
murid Sinto Gendeng. Gerakan serangan kepala ini sungguh luar biasa cepatnya.
Untuk
kedua kalinya Wiro dipaksa harus melompat mencari selamat. Setelah melompat dia
jatuhkan diri di tanah lalu berguling.
Potongan
kepala perempuan menyeringai. Darah berlelehan dari mulutnya. Lidah besinya bergerak-gerak.
Tiba-tiba didahului oleh suara pekikan menggidikkan kepala ini kembali
menyerang. Kali ini karena bukan datang dari atas, Wior punya kesempatan untuk
menghantam langsung dengan jotosan tangan kanan.
Bukkk!
Potongan
kepala itu mencelat mental begitu jotosan tangan kanan Wiro menghantam pipi
kirinya dengan telak.
“Pecah
kepalamu! Tamat riwayatmu!” ujar Wiro seraya melompat bangkit. Tapi dia jadi
melongo ketika pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam itu ternyata
jangankan memecahkan potongan kepala, cidera sedikitpun tidak!
Sambil
keluarkan suara pekik panjang potongan kepala berputar-putar di udara.
Rambutnya riap-riapan menebar cairan merah. Darah juga menyembur-nyembur dari
mulutnya. Lidah besinya bergerak tiada henti. Ketika potongan kepala ini
kembali melesat Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan
pukulan sakti “kunyuk melempar buah”
Satu
gelombang angin yang amat keras, laksana batu raksasa menggelinding, menderu
dahsyat kearah potongan kepala. Meski tahu dirinya terancam serangan mematikan
tapi potongan kepala tak berusaha menghindar. Malah menyeringai dan memekik
tinggi.
Sesaat
kemudian tak ampun lagi kepala tanpa badan itu dilabrak pukulan sakti yang
dilepaskan Pendekar 212. Sinar terang aneh berkiblat sewaktu potongan kepala
kena ditumbuk pukulan “kunyuk melempar buah” kepala mencelat tinggi seolah
hendak menembus langit.
“Astaga!”
Pendekar 212 berseru kaget dan mendadak saja tengkuknya menjadi dingin ketika
sesaat kemudian seolah meluncur turun dari langit potongan kepala tahu-tahu
hanya tinggal satu tombak saja di atas kepalanya.
Wusss!
Lidah
besi mahluk kepala tanpa badan menderu tipis di samping kepala Pendekar 212.
Terdengar jerit sang pendekar ketika tambut hitam yang riap-riapan mendera pipi
kirinya. Murid Sinto Gendeng terbanting ke tanah. Empat buah guratan panjang
disertai lelehan darah kelihatan di pipi Wiro.
“Kepala
pelesit jahanam!” maki Wiro sambil mengusap pipinya yang luka.
Dia
berusaha bangkit. Tapi baru pantatnya lepas dari tanah potongan kepala kembali
menyerangnya.
“Setan
alas! Makan pencarianmu!” teriak Wiro. Kini tidak kepalang tanggung dia
lepaskan pukulan sakti yang paling menggegerkan dunia persilatan yaitu “pukulan
sinar matahari”
Sinar
putih menyilaukan seolah membelah langit malam. Sinar sangat panas menerpa ke
arah potongan kepala. Seperti waktu dihantam dengan pukulan “kunyuk melempar
buah” tadi, mahluk ini sama sekali tidak berusaha menghindar. Malah lidah
besinya kelihatan dijulurkan lebih panjang. Lalu mulut itu meniup.
Werrrrrr!
Darah
merah dan kental menyembur dari mulut dan lobang lidah besi, menembus sinar
putih pukulan sinar matahari.
Bummmmm!
Ledakan
keras menggetarkan udara dan tanah.
Wiro
berseru kaget ketika darah yang disemburkan potongan kepala mampu menembus
sinar pukulan saktinya. Semburan darah terus menyambar ke arah kepalanya. Kalau
tidak cepat mengelak semburandarah yang kemudian berubah menjadi
tetesan-tetesan darah itu amblas menembus batang pohon di dekatnya!
Begitu
menyemburkan darah potongan kepala melesat lurus ke atas. Lalu selagi Wiro
masih terkesiap melihat tetesan-tetesan darah menghantam pohon, potongan kepala
didahului jeritan melengking melesat ke bawah. Lagi-lagi mahluk ini coba
menusukkan lidah besinya di kepala Wiro. Yang diarah selalu bagian ubun-ubun.
“Edan!”
maki Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut Kapak Maut Naga
Geni 212. Cahaya sakti yang keluar dari dua mata kapak mustika ini menerangi
tempat angker itu. Tapi potongan kepala tidak takut. Malah pekiknya semakin
keras.
Wiro menghantam.
Wuttt!
Sinar
terang berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk berkumandang. Kali ini
kepala tanpa badan itu seperti agak jerih untuk melakukan bentrokan.
Cepatcepat dia melenceng lurus ke kiri, membelok ke kanan lalu tahu-tahu sudha
berada di belakang kepala Wiro.
Pendekar
212 babatkan kapaknya seputar kepala. Sinat terang membuntalbuntal. Potongan
kepala keluarkan jeritan berulang-ulang. Wiro menyangka mahluk itu ketakutan
dan mungkin hendak kabur. Tapi sangkaannya meleset. Karena tiba-tiba saja
potongan kepala itu membuat gerakan-gerakan aneh yaitu membeset lurus ke kiri,
lalu melesat ke kanan, membalik lurus ke depan, berputar lalu meluncu lagi
lurus ke kanan, naik ke atas dan diakhiri dengan menukik ke bawah, berusaha
menusukkan lidah besinya ke batok kepala sang pendekar.
“Celaka!
Aku tak bia mengelak erus-terusan! Kapak Naga Geni 212 seolah tidak mampu
menghadapi mahluk jahanam itu! Apalagi pukulan-pukulan sakti! Apa yang harus
kulakukan!” dalam hatinya terniat untuk segera mengeluarkan batu hitam pasangan
kapak mustika. Dia hendak menggempur potongan kepala dengan semburan api sakti.
Tapi pukulan matahari yang begitu panas sanggup ditahan oleh lawan, hatinya
merasa ragu apakah api sakti akan sanggup menciderai. Dalam keadaan bimbang seperti
itu, tidak sengaja salah satu jarinya menekan salah satu dari dua mata ukiran
kepala naga yang merupakan bagian gagang dari Kapak Maut Naga Geni 212. Mata
ukiran kepala naga itu justru adalah picu untuk mengeluarkan jarum-jarum putih
halus yang ada dalam rongga gagang dan merupakan senjata rahasia yang sangat
berbahaya. Selama ini jarang sekali Wiro mempergunakan senjata rahasia dalam
badan kapak mustika itu. Tapi ketidak sengajaan itu justru membuatnya
terheranheran karena begitu selusin jarum bertabur berkilauan di dalam
gelapnya udara malam, dari mulut potongan kepala terdengar suara menggeru.
Potongan kepala ini berputar sebentar lalu melesat ke kiri. Wiro memburu. Dia
acungkan senjata sakti itu sambil menekan lagi mata kepala naga. Selusin jarum
putih kembali melesat keluar dari gagang kapak yaitu dari bagian mulut ukiran
naga. Di sebelah sana terdengar mahluk potongan kepala menjerit aneh.
Tampangnya yang angker kelihatan seperti sangat takut.
Lalu
potongan kepala ini berputar keras sambil melesat ke arah timur dan dalam waktu
sangat cepat lenyap di kegelapan malam.
“Aneh….”
Kata Wiro sambil memperhatikan senjata mustikanya. “Mahluk jahanam itu
sepertinya takut pada jarum-jarum putihku. Tapi apa yang ditakutinya? Pukulan
sakti dan Kapak Maut Naga Geni 212 sanggup dihadangnya. Masakan dengan
jarum-jarum halus malah dia ketakutan dan kabur. Pasti ada rahasinya. Aku harus
mencari kelemahannya. Bukan mustahil mahluk tadi ada sangkut pautnya dengan
manusia-manusia berpeci kerucut yang menyerangku di pedataran alangalang…..”
Wiro tarik nafas panjang. Otak dan suara hatinya masih terus berkerja.
“Potongan kepala itu, bisa berputar. Rambutnya dan darah yang keluar dari
mulutnya merupakan senjata berbahaya. Bergerak lurus-lurus…. Hemmmmm, mungkin
itu salah satu kelemahannya. Aku harus berhati-hati. Bukan mustahil dia akan
muncul lagi….. Ah, kenapa jadi banyak mahluk aneh muncul mau membunuhku? Apa
ini ada sangkut pautnya dengan tugas yang diberikan Eyang Sinto Gendeng?
Memberi ingat Pangeran Sampurno bahwa istrinya akan membunuhnya? Pangeran
sialan! Kalau sudah diberi tahu tidak percaya perlu apa aku susah-sush memberi
ingat!” Wiro garuk-garuk kepala dan tinggalkan tempat itu dengan mata dan
telinga dipasang untuk mewaspadai keadaan sekitarnya.
********************
SEMBILAN
Di luar
gedung besar kediaman Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat udara malam terasa
dingin. Hujan turun rintik-rintik dan angin beritup kencang. Kalau para
pengawal yang bertugas di luar saat itu merasa kedinginan maka di dalam kamar sang
Pangeran dan istrinya saling rangkul di atas ranjang, asyik berhangat-hangat.
“Bagaimana
keadaan tangan kananmu Mas Sampurno?” tanya sang istri.
“Aku
sungguh tak percaya. Kau ternyata seorang ahli uut. Memang masih terasa linu
sedikit tapi aku sudah bisa menggerakkannya tanpa rasa sakit lagi….” Jawab
Pangeran Sampurno lalu mencium leher istrinya. Dia mendengar perempuan tu
mengeluarkan suara lirih.
Nyi
Gandasuri menggeliat lalu berkata. “Tolong lampunya dibesarkan….”
“Eh, aneh
sekali ini. biasanya kau selalu ilang tak bisa tidur kalau lampu terang. Kau
tak bisa terangsang kalau lampu menyala besar. Sekarang malah minta lampu
dibesarkan. Memangnya ada apa istriku?” ujar Pangeran Sampurno pula.
Nyi
Gandasuri tersenyum lebar. Dengan tanagn kanannya ditariknya tubuh suaminya
hingga berada di atas badannya. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Kau
sering-sering berkata saya seperti perempuan dingin. Kau lihat saja sebentar
lagi. Saya akan melayani dan membahagiakan dirimu Mas Sampurno. Kau akan
merasakan nikmat mulai dari kapala sampai ujung kaki….”
Pangeran
Sampurno hampir tertawa membahak. Tapi ketika dilihatnya wajah istrinya yang
cantik penuh kesungguhan, sambil turun dari atas tempat tidur dia berkata.
“Luar biasa sekali kau malam ini Nyi Ganda. Biasanya kau selalu malu-malu walau
hemmmmmm aku tahu sebenarnya hasratmu manyala-nyala….”
Sang
istri tertawa perlahan lalu bangkit dari berbaringnya.
Pangeran
sampurno melangkah ke tengah kamar di mana tergantung lampu minyak. Dia
berjingkat untuk mencapai putaran lampu. Api lampu membesar. Kamar kini menjadi
terang benderang. Lelaki itu membalik ke arah tempat tidur.
Di atas
tempat tidur dilihatnya Nyi Gandasuri duduk bersandar ke dinding. Saat itu dia
tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya polos putih dan seperti memantulkan
cahaya berkilat terkena sinar lampu. Dia duduk dengan kaki terkembang. Membuat
semakin panas darah di tubuh sang Pangeran dan semakin membakar hasratnya yang
sejak tadi mendadak jadi berkobar-kobar karena sikap dan ucapan-ucapan sang istri
yang tidak seperti biasanya. Rupanya ketika dia membesarkan nyala lampu minyak
tadi dengan cepat Nyi Gandasuri telah membuka seluruh pakaian di tubuhnya.
Padahal biasanya kalau tidak dia yang menanggalkan pakaian sang istri, Nyi
Gandasuri lebih banyak bersikap diam saja.
Dengan
nafas memburu Pangeran Sampurno segera saja hendak melompat ke atas tempat
tidur. Namun tiba-tiba saja gerakannya tertahan.
Di atas
tempat tidur dilhatnya sang istri tersenyu aneh padanya. Bukan hal ini yang
membuat Pangeran Sampurno berhenti melangkah. Melainkan oleh satu tanda merah
yang tiba-tiba saja dilihatnya melingkari leher istrinya. Tanda itu semakin
lama semakin besar. Lalu tanda itu berubah menjadi sebuah koyakan luka yang
aneh mengerikan. Dari luka melingkar mulai mengucur darah. Kucuran darah
mengalir turun pada kedua bahunya terus membasahi sepasang payudaranya yang
putih dan kencang. Dari sini darah terus mengalir ke perutnya yang polos hingga
akhinya membasahi alas tempat tidur.
“Nyi
Ganda!” seru Pangeran Sampurno terbelalak. “Lehermu!”
Kalau
sang suami demikian kagetnya melihat apa yang terjadi tapi sang istri justru
tenang-tenang saja. Malah senyum Nyi Gandasuri semakin lebar. Kedua matanya
dikedip-kedipkan sedang mulutnya perlahan-lahan dibuka. Mulut itu bergerak-gerak
seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi dari mulut itu sama sekali tidak keluar
sepotong suarapun. Malah kini yang keluar adalah lidah merahnya. Lidah itu
dijulur-julurkan dan diputar-putarnya demikian rupa. Kalau saja tidak ada luka
aneh di selingkar lehernya pastilah Pangeran Sampurno akan terangsang hebat dan
mengecup mulut serta lidah istrinya itu.
“Nyi
Ganda, apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi? Lehermu! Ada luka melingkar.
Ada darah menetes…..! Pegang lehermu, lihat dada dan perutmu!”
Nyi Gandasuri
tidak menjawab. Matanya memandang tak berkesip pada suaminya. Sang Pangeran
tiba-tiba saja menyadari bahwa dua mata istrinya telah berubah kemerah-merahan.
Lalu wajahnya yang cantik menjadi sangat pucat.
“Istriku,
apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu! Ya Tuhan! Nyi Ganda!” Pangeran
Sampurno maju dua langkah. Tapi tepat di pinggiran tempat tidur kembali
langkahnya tertahan dan matanya membelalak. Sang istri menyeringai. Lalu.
Astaga!
Sedikit
demi sedikit dari sudut bibir Nyi Gandasuri sebelah atas muncul keluar sepasang
taring besar runcing mengerikan.
“Gusti
Allah!” seru Pangeran Sampurno. Dia mundur dengan sekujur tubuh bergidik. Lidah
istrinya yang terjulur merah tiba-tiba berubah warna dan bentuk. Lidah yang
tadinya bergerak-gerak lentur sekarang tampak kaku keras seprti besi. Bagian
ujungnya meruncing. Dan pada ujung yang runcing itu ada sebuah lobang!
“Nyi
Ganda….!” Suara Pangeran Sampurno bergetar. Kembali dia membuat langkah mundur.
Di atas
tempat tidur Nyi Gandasuri menyeringai. Mulutnya seperti menghembus. Dari lidah
besi berbentuk corong yang keluar bukannya angin tetapi darah merah kental!
“Pangeran
suamiku….. Mengapa takut? Bukankah kita akan bersenang-senang. Aku akan
membahagiakanmu Mas Sampurno….”
Tubuh
polos di atas tempat tidur kini berjongkok lalu beringsut ke pinggir.
“Mas
Sampurno…..”
“Nyi
Ganda. Jadi …..sebenarnya kau manusia jejadian…..!”
“Aku
manusia biasa. Istrimu…. Hik…hik….hik!” Nyi Gandasuri tertawa tinggi. Tiba-tiba
bagian leher di bawah dagu tepat di bagian luka melingkar, melesat ke atas!
Pangeran
Sampurno berteriak melihat kepala yang tanggal dari leher itu melayan ke atas
sementara bagian tubuh yang telanjang masih berjongkok di epi tempat tidur.
“Demi
Tuhan Nyi Ganda! Mengapa kau bisa jadi begini?!” teriak Pangeran Sampurno. Lalu
ketakutannya jadi berlipat ganda sewaktu dilihatnya bagaimana muka cantik tapi
pucat itu perlahan-lahan berubah menjadi wajah tua keriputan. Wajah seorang
nenek yang menyeramkan.
Pangeran
Sampurno putus nyalinya. Dia lari ke pintu. Tapi kalah cepat. Potongan kepala
iblis Nyi Gandasuri menukik ke arah batok kepalanya. Teriak sang Pangeran
terpotong.
Crasss!
Ubun-ubun
Pangeran Sampurno jebol. Sepasang mata merah membelalak besar. Muka nenek yang
menyeramkan itu menyeringai. Lalu terdengar suara seperti air menggelegak
ketika potongan kepala itu menyedot dengan lidah besinya. Darah membasahi
kepala dan muka Pangeran Sampurno.
Di pintu
tiba-tiba terdengar suara ketukan-ketukan keras. Disertai suara orang berseru.
“Pangeran! Pangeran Sampurno! Ada apa di dalam sana?! Kami mendengar suara
jeritan!”
Itu
adalah suara seorang pengawal yang bertugas di bagian dalam ruah besar kediaman
sang Pangeran. Karena tak ada jawaban dari dalam kawan di sebelahnya berkata.
“Buka paksa saja….”
Pintu
dibuka paksa. Dua pengawal melompat masuk ke dalam kamar yang terang benderang
itu. Satu memegang tombak, satunya menghunus golok. Lalu mendadak saja keduanya
menjadi kaku ketakutan ketika menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar besar
itu.
Pangeran
Sampurno terkapar di lantai kamar. Mukanya tertutup darah dan di kepalanya ada
sebuah lobang besar mengerikan. Di atas tempat tidur ada satu sosok tubuh
perempuan telanjang tapi tanpa kepala. Dari lehernya yang kutung ada cairan
darah seperti mendidih lalu mengalir membasahi tubuhnya. Lalu di mana
kepalanya, pikir kedua pengawal di dalam kamar.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa cekikikan. Nyawa dua pengawal seperti terbang ketika
mereka mendongak ke atas. Di salah satu sudut langit-langit kamar mereka
melihat potongan kepala berambut riap-riapan, bermuka nenek menyeramkan dan
mulutnya memiliki lidah aneh berlumuran darah.
“Setan
kepala!” teriak pengawal yng memegang tombak.
“Pelesit
kudung!” seru temannya dengan muka pucat.
Serentak
kedua orang ini menghambur ke arah pintu yang terbuka. Namun seperti ada tangan
yang mendorong pintu kayu jati itu terbating keras dan tertutup. Dua pengawal
tak mampu dan kelabakan berusaha membukanya. Dari sudut kamar suara cekikikan
semakin mengumbar. Lalu potongan kepala itu menukik ke arah pengawal yang
memegang tombak. Orang ini hanya keluarkan pekikan pendek. Tombaknya terlepas,
tubuhnya roboh ke tanah. Ada lobang besar di kepalanya.
Pengawal
satunya sambil menjerit ketakutan berusaha membabatkan goloknya ke arah kepala
iblis Nyi Gandasuri yang datang menyerangnya. Tapi bacokannya meleset. Di lain
saat terdengar jerit kematiannya.
Ketika
malam itu selusin pengawal masuk ke dalam kamar mereka melihat Nyi Gandasuri
menaangis menjerit-jerit di sudut kamar.
“Tolong….tolong….”
teriaknya memelas. Lalu tubuhnya yang kini sudah tertutup pakaian itu roboh
pingsan ke lantai.
********************
SEPULUH
Di puncak
Gunung Gede seorang nenek bermuka jelek bertubuh kurus seperti jerangkong
tersentak dari tidurnya. Dia duduk di tepi balai-balai kayu beralas tikar
jerami kering. Di kepalanya yang berambut jarang ada lima buah tusuk kundai
terbuat dari perak. Tusuk kundai itu tidak disisipkan pada rambutnya melainkan
ditancapkan di kulit kepalanya!
Sepasang
amta di nenek yang cekung menatap ke arah pintu gubuk kayu yang terbuka. Di
luar sana kelam bukan main angin malam berhembus dingin.
“Mimpi
buruk….” Si nenek berkata pada dirinya sendiri. “Jangan-jangan anak setan itu
gagal menjalankan tugasnya!” Si nenek berdiri. Sebelum keluar dari gubuk kayu
diambilnya sebatang tongkat kayu yang tersandar dekat pintu.
Di luar
udara dinginnya bukan main. Tapi si nenek tenang saja seolah tidak merasa
apa-apa. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.
“Di mana
tua bangka itu?” dia kembali bicara sendirian. “Aku mendengar suara ngoroknya
tapi sosok bobroknya tidak kelihatan!”
Walaupun
memegang tongkat dan tubuhnya bungkuk sekali, tapi nenek berwajah seram itu
tidak pergunakan tongkat kayunya untuk membantunya berjalan. Malah tongkat kayu
itu dibolang-balingkannya kian kemari. Dia melangkah ke arah sebuah batu besar
dari arah mana terdengar suara orang mendengkur. Tapi begitu sampai di belakang
batu dia sama sekali tidak menemukan orang yang dicarinya itu.
“Ah!
Keparat sialan tua bangka itu! Dia menipuku dengan ilmu memindahkan suara! Wong
edan! Suara ngoroknyapun dipindah-pindah! Rupanya dia takut dibokong orang!”
saking kesalnya si nenek ketok batu itu dengan ujung tongkat. Braakk! Batu
hitam atos itu gompal dan murak pada bagian yang terkena pukulan.
Si nenek
keluar dari balik batu. Dia memandang lagi berkeliling. Matanya membentur sosok
pohon besar sejarak dua puluh langkah di sebelah kirinya. Memandang ke pohon
yang menghitam dalam kegelapan itu si nenek ingat pada masa belasan tahun lalu.
Ketika dia masih menggembleng muridnya di puncak Gunung Gede itu. Sang murid
sering dilemparkannya ke atas pohon itu. Mukanya yang seram dan mulutnya yang
perot tampak tersenyum. Lalu dia mulai melangkah ke arah pohon.
Sampai di
bawah pohon dia tegak berdiam sebentar. Seluruh pohon sehening di pekuburan.
Malah lagi-lagi dari arah balik batu besar kembali terdengar suara orang
mendengkur. Si nenek menyeringai.
“Sekali
ini kau tak bisa menipuku tua bangka rongsokan!” lalu si nenek tempelkan
tongkat kayunya ke batang pohon. Sesaat kemudian tongkat itu bergetar aneh.
Getaran merambat ke batang pohon, menjalar ke atas. Di atas pohon , di sebuah
cabang besar satu sosok tubuh yang sedang tidur nyenyak tampak
terguncangguncang.
“Hai!
Gempa bumi atau sudah kiamat dunia ini?! Sialan betul!” orang yang tidur
terbangun langsung menyumpah.
Kepalanya
ditukikkan ke bawah. Lalu dia berseru. “Sinto Gendeng! Pasti kau yang usil
mengganggu tidurku!”
“Tua
bangka rongsokan! Kau turunlah sebentar! Aku mau bicara!” Si nenek di bawah
pohon berteriak. Ternyata dia adalah si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng, guru
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, satu dari sedikit tokoh utama
dunia persilatan pada masa itu.
“Bicara
malam-malam begini?! Uh! Ada-ada saja kau ini! Apa tidak bisa menunggu sampai
besok pagi?” “Kerjamu selama satu minggu di sini tidur melulu. Apa kau kira
tempatku ini tempat orang mendengkur dari pagi sampai malam sampai pagi lagi?!”
“Eh Sinto
kau tahu sendiri. Kerjaku jalan melulu. Sepanjang tahun kalau dikumpulkan
tidurku mungkin hanya belasan hari saja! Apa salahnya kalau sekali ini aku
berleha-leha molor terus di tempat teman….. Itu gunannya teman. Lagi pula aku
tidur di pohon. Kau mana mungkin menyediakan ranjang bagus dan bantal empuk
untukku! Ha…ha….ha….!”
“Sudah!
Jangan bicara ngaco! Lekas turun! Atau aku yang naik ke atas sana. Menjewer
telingamu dan menyeretmu ke bawah sini?!”
“Huahhhh!”
Orang di atas pohon menguap lebar-lebar. Lalu dala kegelapan malam dari atas
pohon melayang turun sebuah benda. Mula-mula kelihatan sebuah caping lebar
terbuat dari bambu. Di atas caping ini menyusul tampak sepasang kaki jelek
keriput duduk bersila. Setelah itu baru kelihatan sosok badan dan kepala. Orang
yang melayang turun sambil duduk di atas caaping bambu itu ternyata seorang
kakek berpakaian rombeng penuh tambalan seperti seorang pengemis. Rambutnya
sudah putih semua. Kedua matanya dipejamkan seperti tidur. Di ketiak kirinya
terkepit sebatang tongkat kayu. Di bahunya ada sebuah bantalan. Di tangan
kanannya dia memegang sebuah kaleng rombeng. Sambil melayang turun dia
menggoyanggoyangkan kaleng bututnya itu. maka terdengarlah suara
berkerontangan yang menusuk telinga di malam buta itu.
“Berisik!
Hentikan perbuatan edanmu itu atau kurampas kaleng rombengmu dan kubuang ke
jurang!” si nenek mengancam sambil tekap kedua telinganya yang terasa seperti
dicucuk oleh suara kerontangan kaleng.
Kakek
yang melayang turun tertawa gelak-gelak. Beberapa saat lagi capingnya akan
menyentuh tanah dia melompat turun. Caping disambarnya langsung diletakkan di
atas kepala. Kini si kakek berhadap-hadapan dengan si nenek.
“Kau
masih tidur atau bagaimana? Mengapa kedua matamu masih terus dipicingkan?” si
nenek menegur.
Wajah tua
di bawah caping tersenyum. “Membuka mata atau tidak apa bedanya. Tetap saja aku
tidak melihat apa-apa……” jawab si kakek. Namun kedua matanya dibuka juga. Yang
kelihatan hanya sepasang mata berwarna putih. Ternyata kakek ini buta kedua
matanya! Sudah bisa kita duga kakek aneh ini bukan lain adalah orang sakti yang
dikenal dengan nama Kakek Segala Tahu.
“Uh…..!
Malam-malam buta pakai pamer ilmu segala!” si nenek menceloteh kembali.
“Eh, apa
maksudmu Sinto?” tanya Kakek Segala Tahu. Tangan kanannya hendak digoyangkan
kembali. Tapi tidak jadi karena dia kawatir si nenek akan marah lagi.
“Tadi
waktu kau turun dari atas pohon. Melompat saja kan bisa. Kenapa pakai duduk
segala di atas caping! Supaya aku tahu bahwa tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuhmu sudah selangit tembus ya?!”
Si kakek
tertawa gelak-gelak. “Tua bangka tolol rongsokan sepertiku ini mau pamer ilmu
kepandaian di depan tokoh dunia persilatan sepertimu mana aku berani Sinto?
Tadi itu aku hanya sekedar melampiaskan rasa jengkel karena kau bangunkan
sewaktu aku enak-enak tidur dan bermimpi!”
“Kau
bermimpi? Sama, aku justru memanggilmu turun karena aku juga bermimpi. Apa
mimpimu?” tanya Sinto Gendeng.
“Rasanya
aku berada di satu puncak gunung yang indah. Ada sebuah rumah bagus seperti
istana kecil. Di depan istana ada seorang cantik jelita. Berpakaian sangat
tipis yang tersingkap kian kemari karena dihembuskan angin. Dia
melambailambaikan tangannya padaku. Aku segera mendatangi. Kupikir rejeki
besar nih! Eh, begitu sampai di hadapannya tiba-tiba saja gadis cantik jelita
itu berubah menjadi seorang nenek-nenek peot. Dan nenek itu adalah kau!”
“Sialan
keparat! Jahanam kau!” maki Sinto Gendeng panjang pendek. Sementara Kakek
Segala Tahu tertawa terkekeh-kekeh. Sambil mengusap matanya yang basah oleh air
mata si kakek kemudian berkata. “Nah, malam-malam buta begini mengapa kau
menyuruh aku turun dari pohon. Tadi katamu ada yang hendak kau bicarakan.”
“Betul,”
jawab Sinto Gendeng walau dengan wajah masih merengut. “Aku sudah cerita padamu
bahwa aku mengutus muridku si sableng bernama Wiro itu guna menemui Pangeran
Sampurno Tjokro Adiningrat! Dia kutugaskan menemui Pangeran itu untuk memberi
peringatan bahwa istrinya sendiri yang bernama Nyi Gandasuri ingin
membunuhnya…..”
“”Ya, ya
aku sudah dengar kau cerita begitu,” kata Kakek Segala Tahu. “Ini sebagai
akibat istrinya memiliki ilmu iblis dan ingin menjadi permaisuri Sri Baginda.”
Sinto
Gendeng mengangguk. “Ternyata anak setan itu gagal menyelamatkan Pangeran
Sampurno….”
“Dari
mana kau tahu dia gagal?” bertanya Kakek Segala Tahu.
“Barusan
aku mimpi. Aku melihat anak itu jatuh ke jurang dihantam ekor buaya jadi-jadian…..”
“Mati?”
“Mati sih
belum. Cuma babak belur….”
“Lalu
mengapa itu jadi persoalan?”
“Sialan
kau! Kau tahu bagaimana hubunganku dengan Keraton. Pangeran Sampurno banyak
membantu dan aku banyak berhutang budi padanya! Apa kau merasa aku tidak punya
kewajiban untuk menolongnya dari bahaya maut?”
“Sinto,
kalau kau sudah berusaha dan gagal itu bukan kesalahanmu. Itu berarti sudah
takdir! Nah kenapa musti dipikirkan?!”
“Bukan
aku memikirkan itu saja. Tapi aku juga kesal mangapa anak setan itu bisa gagal?!”
ujar Sinto Gendeng.
“Tunggu
dulu Sinto. Sekarang ini banyak bermunculan tokoh-tokoh aneh dalam dunia
persilatan. Selain aneh tentu saja mereka membekal ilmu kepandaian tinggi.
Setiap ilmu baru, apalagi ilmu hitam yang mengerahkan mahluk-mahluk halus tidak
gampang menghadapinya. Mungkin ini yang terjadi dengan muridmu.”
“Hemmmm,
kalau begitu tidak salah aku minta bantuanmu saat ini juga.”
“Sebagai
teman yang sudah kenal puluhan tahun bantu membantu adalah jamak-jamak saja.
Pertolongan apa yang bisa aku berikan?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Kau
carilah muridku itu. Dia pasti tidak jauh dari Kotaraja. Periksa apa yang
terjadi. Lakukan sesuatu jika kau memang bisa menolongnya. Aku sebenarnya sudah
lama bercuriga. Jangan-jangan ini semua pekerjaan seorang yang sangat membenci
dan mendendam muridku itu.”
“Siapa?”
tanya Kakek Segala Tahu.
“Wah, dia
punya puluhan bahkan mungkin ratusan orang yang tidak suka padanya. Jika kau
selidiki sendirilah!”
Kakek
Segala Tahu geleng-gelengkan kepala. “Jika seorang teman meminta, maskan aku
tega menampik. Apalagi teman secantikmu ini!”
“Kurang
ajar kau! Pasti kau bermaksud mengejekku!” damprat si nenek.
Kakek
Segala Tahu tertawa lebar.
“Besok
pagi aku tinggalkan tempat ini. Sekarang biar kuteruskan dulu tidurku!” habis
berkata begitu si kakek gerakkan kedua kakinya. Wuttt! Tubuhnya melesat ke atas
pohon. Lenyap dalam kegelapan. Tak lama kemudian terdengar suara orang
mendengkur di balik batu besar sebelah sana. Eyang Sinto Gendeng cuma bisa
geleng-geleng kepala lalu beranjak pula dari tempat itu.
********************
SEBELAS
Kematian
Pangeran Sampurno tentu saja merupakan satu peristiwa mengerikan dan
menggegerkan. Beberapa hari setelah jenazahnya dimakamkan, seorang utusan dari
Keraton dataang menemui Nyi Gandasuri. Orang ini membawa pesan agar sang janda
menghadap Sri Baginda.
Pada hari
yang telah ditentukan maka datanglah Nyi Gandasuri menemui Raja. Karena ini
adalah pertemuan keluarga maka para pengawal diminta pergi dan di tempat itu
hanya ada Sri Baginda bersama permaisuri dan Nyi Gandasuri.
Menurut
Raja kematian Pangeran Sampurno yang adalah adik kandungnya sendiri bukan
kematian biasa. Dia dibunuh secara kejam. Tapi dibalik kekejaman iu ada suatu
keanehan.
“Pada
saat suami Nyi Ajeng dibunuh, Nyi Ajeng sendiri ada dalam kamar. Mungkin Nyi
Ajeng bisa menceritakan bagaimana kejadiannya atau melihat siapa pembunuhnya.”
“Saya
memang berada di dalam kamar, Sri Baginda. Tapi saya sama sekali tidak melihat
manusia keji pembunuh suami saya itu. semua terjadi sangat cepat. Ketika saya
terbangun dari tidur saya dapati Pangeran Sampurno sudah menggeletak di lantai
kamar. Di dekatnya ada dua mayat pengawal.” Begitu keterangan Nyi Ageng
Gandasuri yang tentu saja dusta belaka.
“Ada
laporan mengatakan bahwa Ki Ageng Bantoro, kepala pengawal gedung kediaman
Dimas Sampurno serta beberapa pengawal lainnya beberapa waktu lalu juga
terbunuh dengan cara sama. Kepalanya berlobang. Semua mayat putih pucat seolah
darahnya sudah dikuras habis dari tubuh masing-masing!”
“Semuanya
memang serba mengerikan Sri Baginda. Saya sendiri terus terang saja merasa
takut sepanjang saat. Bukan mustahil saya akan menjadi korban pembunuhan
pula….”
“Sri
Baginda memang telah memikirkan hal itu Nyi Ageng Ganda,” kata permaisuri
Wiriapujiarti dengan suara ramah tapi jelas wajahnya masam. “Karena itu Baginda
juga telah memutuskan agar Nyi Ageng bisa tinggal di lingkungan Keraton…..
Bukan begitu Sri Baginda?” ujar permaisuri pula seraya melirik penuh arti pada
Sri Baginda.
Raja
bukan tidak tahu kalau permaisuri mengidap rasa cemburu. Selain jauh lebih muda
Nyi Gandasuri juga berwajah lebih cantik dan berkulit lebih putih serta mulus.
Setelah
batuk-batuk beberapa kali Sri Baginda berkata. “Apa yang dikatakan permaisuri
memang betul. Demi keselamatanmu sebaiknya Nyi Ajeng tinggal di lingkungan
Keraton. Di sini pengawalan lebih sempurna. Sebegitu jauh memang korban
pembunuhan aneh ini adalah orang laki-laki semua. Tapi kami tidak mau berlaku
lengah. Karena itu kami minta Nyi Ajeng tinggal di sini…..”
“Saya
hanya akan merepotkan keluarga Keraton saja. Rupanya memang sudah suratan nasib
saya begitu. Saya menghaturkan ribuan terima kasih karena Sri Baginda dan
permasiduri begitu memperhatikan saya. Jika itu titah dari Sri Baginda mana
mungkin saya menolak….”
“Nyi
Ajeng boleh pindah secepatnya kemari.” Kata sang Raja pula.
Keluar
dari Keraton Nyi Gandasuri tersenyum-senyum seorang diri. Dia tidak menyangka
bahwa segala rencaanya kelak akan berjalan lebih cepat karena Sri Baginda
sendiri yang membuka peluang. Waktu bicara tadi Nyi Gandasuri bukannya tidak
melihat beberapa kali Sri Baginda melemparkan senyum serta lirikan mengandung
arti.
Begitu
Nyi Gandasuri keluar dari ruangan pertemuan permaisuri cepat berdiri. Raja
memegang lengan istrinya dan berkata “Mengapa cepat-cepat pergi. Kita harus
membicarakan dimana Nyi Gandasuri tadi layak ditempatkan…..”
Permaisuri
tersenyum. “Semua kamar layak baginya kecuali kamar saya. Saya ada keperluan
lain jadi mohon dimaafkan tidak dapat mendampingi Baginda. Semoga Sri Baginda
puas bisa menolong janda itu. Bukankah dia adik ipar Sri Baginda sendiri?”
Sri
Baginda tersenyum “Ucapan nada bicara dan raut wajahmu menyatakan kau merasa
tidak senang pada adik iparku itu. Kau cemburu padanya?’
“Kalau
tubuh sekuntum bunga bagus di taman yang telah penuh bunga, apakah bunga-bunga
lainnya tidak akan merasa seperti itu? Sri Baginda tanyakan saja pada kumbang
di taman…..” jawab permaisuri Wiriapujiarti. Lalu permaisuri ini memutar
tubuhnya dan tinggalkan ruangan itu. Sri Baginda geleng-gelengkan kepala.
“Memang benar kata orang. Perempuan berhati dan bermata tajam terhadap
perempuan di sekitarnya. Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang ada di
batinku…..”
Tiga hari
kemudian Nyi Gandasuri pindah ke dalam lingkungan Keraton. Padanya diberikan
sebuah ruangan di sayap kanan bangunan utama. Demikian besarnya ruangan ini
hingga hampir merupakan satu rumah tersendiri. Memandang berkeliling Nyi
Gandasuri melihat di ruangan itu ada empat buah pintu. Maka diapun berkata pada
pelayan lelaki yang tegak di sebelahnya. “Itu pintu kita masuk tadi. Lalu untuk
apa ada tiga pintu lainnya?”
“Yang di
sebelah kanan ujung pintu menuju serambi bangunan. Yang di sebelah kiri pintu
menuju taman Keraton. Lalu pintu ketiga nanti Nyi Ajeng akan mengetahui sendiri
pintu apa…..”
“Pelayan,
aku tak mau berteka-teki. Pikiranku sudah cukup kusut karena kematian Pangeran
Sampurno. Aku minta kau mengatakan sekarang juga. Pintu apa itu!” tanya Nyi
Gandasuri.
Karena
tahu siapa adanya janda muda itu sang pelayan jadi takut juga. Maka diapun
menerangkan. “Pintu itu khusus Nyi Ajeng. Tidak bisa dibuka dari dalam. Pada
saat-saat tertentu Sri Baginda bisa saja muncul dan masuk ke sini….”
“Oh…..”
Nyi Gandasuri mengangguk perlahan.
“Semua
kamar istri dan gundik Sri Baginda ada pintu seperti itu….”
“Berapa
kamar semuanya?” tanya Nyi Gandasuri pula.
“Sembilan,
sepuluh dengan ini,” jawab si pelayan.
“Berarti
selama ini Sri Baginda punya seorang permasuri, istri kedua dan tujuh selir,”
membatin Nyi Gandasuri. “Aku tidak mau dijadikan selir yang kedelapan!”
“Saya
mohon diri Nyi Ajeng Gandasuri….”
“Ya, ya….
Pergilah. Kau pelayan baik. Nanti akan kusiapkan hadiah untukmu….”
“Terima
kasih Nyi Ganda….” Pelayan itu lalu cepat-cepat keluar dari ruangan besar
tersebut.
Dari
ruangan bangunan Keraton yan gbakal jadi tempat kediaman Nyi Gandasuri pelayan
lelaki tadi melangkah cepat memasuki bangunan utama. Di satu lorong dia
membelok ke kanan hingga mencapai satu ruangan besar yang penuh dengan berbagai
barang–barang antik pusaka Keraton. Dari sini dia melangkah lurus menuju ke kanan,
memasuki sebuah ruangan kecil dan melangkah ke arah sebuah pintu yang tertutup.
Dia mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut. Begitu mendengar suara
seseorang di dalam dia segera mendorong pintu dan masuk.
Yang
menunggunya di ruangan itu ternyata adalah permaisuri Wiriapujiarti. Setelah
memberi penghormatan si pelayan memberitahu bahwa Nyi Gandasuri telah menempati
ruangan kediamannya.
“Malam
ini harus kau jalankan tugasmu dengan segera. Aku tidak suka berbuat begini.
Tapi Ni Loro Goalidra dukun istana telah memberi tahu dan memberi ingat bahaya
besar yang dibawa janda Pangeran Sampurno itu. Salah satu dari kami harus
tersingkir.”
“Saya
tahu hal itu karena saya ikut mendengar sendiri dari mulut Nyi Loro Goalidra.
Kesetiaan saya terhadap permasuri membuat saya akan melakukan apa saja yang
permaisuri perintahkan….”
Permaisuri
Wiriapujiarti melangkah ke sebuah lemari kayu besar. Dari dalam lemari ini
dikeluarkannya sebuah peti. Tiga dindingnya terbuat dari kayu. Dinding sebelah
depan terbuat dari kawat berbetnuk jaring sehingga isinya bisa terlihat dengan
jelas. Di dalam peti itu melingkar seekor ular sendok berwarna hijau gelap.
Binatang berbisa ini membuka gelungannya dan mengangkat kepalanya begitu peti
disentuh.
“Malam
ini juga kau pergi ke kamar Nyi Gandasuri. Ambil jalan khusus yang dipergunakan
Sri Baginda. Lepaskan ular ini ke dalam kamarnya. Kau tak usah kawatir bakal
ketahuan. Para pengawal yang bertugas malam ini adalah orangorangku.”
“Perintah
permaisuri akan saya jalankan.” Kata si pelayan pula.
Permaisuri
anggukkan kepalanya sedikit. Ke dalam saku pakaian pelayang itu dimasukkannya
sebuah kantong kain berisi uang. Lalu dengan cepat permaisuri tinggalkan tempat
itu.
Kamar
tidur baru biasanya membuat seseorang tidak dapat memejamkan mata dengan
segera. Begitu yang terjadi dengan Nyi Gandasuri. Namun di samping hal itu ada
pula hal lain yang membuatnya tidak dapat segera memicingkan mata. Tujuannya
untuk meminta pertolongan pada Maharaja dan Maharatu Langit Darah ialah agar
dapat menjadi permaisuri Raja. Kini setelah berada di dalam Keraton dia jadi
bingung sendiri. Menurut rencana yang akan dibunuhnya selanjutnya adalah kakak
lelaki dan kakak perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu istri kedua Sri
Baginda dan yang terakhir baru sang permaisuri. Tapi kini dia berada demikian
dekat dengan sang permaisuri. Mengapa tidak mengambil jalan pintas saja
langsung membunuh permaisuri Wiriapujiarti?
Karena
memikirkan hal ini lewat tengah malam baru Nyi Gandasuri bisa memicingkan mata.
Itupun setelah dia mengambil keputusan untuk menghadap Maharaja dan Maharatu
Langit Darah lebih dulu sebelum bertindak.
Menjelang
dini hari Keraton kelihatan tenggelam dalam kesunyian. Udara terasa dingin
mencucuk. Dari dalam kamar tempat penyimpanan ular sendok, pelayan suruhan
permaisuri keluar membawa peti berisi binatang maut itu. walau sudah diberi
tahu bahwa semua pengawal yang bertugas malam itu adalah orang-orang permaisuri
namun si pelayan tetap saja berlaku hati-hati.
Dia
berhasil mencapai pintu khusus tanpa halangan apapun. Dengan hati-hati,
mempergunakan kunci rahasia dia membuka pintu tanpa suara sama sekali. Namun
bagaimanapun juga Nyi Gandasuri yang kini telah berubah menjadi satu mahluk
tajam indera segera terbangun dari tidurnya ketika pintu didorong si pelayan dari
luar.
Mula-mula
Nyi Gandasuri melihat sebuah peti menyembul dari balik pintu yang terbuka itu.
lalu muncul sosok si pelayan mengendap-endap. Orang ini memandang berkeliling
sejenak lalu memperhatikan tempat tidur di mana Nyi Ageng terbaring tidur di
balik kelambu putih berbunga-bunga. Pintu ditutupnya kembali lalu dia melangkah
mendekati tempat tidur. Setelah membuka penutup peti perlahan-lahan peti
dinaikkan sejajar tepi tempat tidur. Lalu dengan hati-hati disingkapnya kelambu
putih. Ketika memandang ke dalam terkejutlah pelayan ini. di atas tempat tidur
sama sekali tidak ada sosok tubuh Nyi Gandasuri. Dia jadi bingung dan
berpikir-pikir apakah dia telah masuk ke dalam kamar yang salah. Maka dia
berbalik sedikit sambil memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat satu
pemandangan yang mengerikan.
Di sudut
kamar sebelah kiri tegak sosok tubuh Nyi Gandasuri mengenakan pakaian tidur
yang sangat tipis. Kedua kakinya terkembang. Kepalanya mendongak. Di lehernya
kelihatan ada gurutan luka berdarah. Tiba-tiba dari bawah bibir sebelah atas
mencuat keluar sebuah taring. Bersamaan dengan itu leher Nyi Gandasuri
tersentak putus. Wajahnya yang cantik berubah menjadi putih, berganti dengan
wajah seorang nenek-nenek menyeramkan. Melihat kepala Nyi Gandasuri mencelat ke
atas begitu rupa sementara dari bagian leher yang kutung dan masih menyatu
dengan badan keluar suara seperti air mendidih, takutnya si pelayan tentu saja
bukan alang kepalang. Terlebih ketika dilihatnya kepala iblis Nyi Gandasuri ang
melayang di atas langit-langit kamar tiba-tiba menukik lurus ke arahnya. Di
dahului oleh pekik ketakutan si pelayan lemparkan peti ular ke lantai padahal
tadi sudah sempat membuka kaitan penutup pintu peti.
Ular
sendok hijau meluncu keluar. Pelayan lari ke pintu. Dari atas kepala iblis Nyi
Gandasuri melesat ke atas batok kepala si pelayan. Terdengar jeritan pendek.
Tubuh pelayan terbanting ke lantai. Ubun-ubunnya berlobang besar. Nyawanya
putus. Ular sendok yang melihat mangsa segera menyerbu mematuk tubuh si
pelayan. Tapi sadar rupanya bahwa mangsanya itu sudah jadi mayat maka dia
membalikkan kepala, memandang ke jurusan tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri yang
ada di sudut kamar sebelah kiri. Binatang ini tegakkan kepalanya. Masih dengan
kepala tegak ular berbisa ini melesat ke arah tubuh di sudut kamar itu.
Hanya
sesaat lagi patukan ular sendok akan menghujam di paha Nyi Gandasuri tiba-tiba
dari atas potongan kepala janda Pangeran Sampurno itu membeset ke bawah sambil
menyemburkan darah dari lidah besinya yang berlobang.
Kepala ular
sendok seperti terpuntir. Mata kirinya hancur dan beberapa bagian kepalanya
tampak berlobang. Binatang ini menggeliat beberapa kali. Kesempatan ini cepat
dipergunakan oleh kepala iblis Nyi Gandasuri untuk kembali ke tempat asalnya
yaitu potongan leher yang masih menyatu dengan badan. Begitu kepala dan
lehernya bersatu dan wajahnya kembali ke bentuk semula, maka menjeritlah Nyi
Gandasuri melihat sosok ular yang menggeliat-geliat di lantai kamarnya.
Pintu
kamar dari mana si pelayan menyelinap masuk terbuka lebar. Yang masuk ke dalam
ternyata adalah Sri Baginda Raja sendiri. Dengn cepat dia menyambar peti yang
menggeletak dekat kaki tempat tidur. Lalu dengan peti ini dihantamnya kepala
binatang yang sedang menggeliat itu hingga hancur.
“Nyi
Ajeng! Tenang…. Tak usah menjerit lagi. Kau aman sekarang. Ceritakan apa yang
terjadi….” Kata Sri Baginda begitu sampai di hadapan Nyi Gandasuri. Dalam
takutnya janda itu langsung menyusupkan kepala ke dada Sri Baginda dan
merangkulnya Raja balas memeluk sambil berkata. “Aku melihat mayat seorang
pelayan. Mengapa dia berada di sini….”
“Dia yang
membawa ular berbisa itu. Dia bermaksud membunuh saya dengan melepas binatang
itu di atas tempat tidur. Untung saya terbangun dan menghindar dengan melompat
turun…..”
Tanpa
berpaling Raja bertanya. “Siapa yang membunuh pelayan itu?”
“Kepalanya
berlobang besar. Dia menemui ajal seperti kematian aneh yang dialami Pangeran
Sampurno…..” Satu suara menjawab di belakang Sri Baginda yang saat itu tegak
membelakangi pintu dan masih memeluki Nyi Gandasuri yang ketakutan.
Perlahan-lahan
Sri Baginda lepaskan pelukannya lalu memutar tubuh.
“Ni Loro
Gondria,” ujar Sri Baginda ketika dia mengenali perempuan tua bungkuk yang
berdiri dekat mayat si pelayan. Dia adalah dukun istana yang terkenal dengan
berbagai ilmu selain ilmu pengobatan.
Sang
dukun tua membunguku. “Maafkan saya karena telah berani masuk ke kamar ini.
Saya mendengar suara jeritan Nyi Ajeng. Bersama beberapa pengawal langsung
mendatangi kamar ini. Saya bersyukur Sri Baginda sudah berada di sini dan Nyi
Ajeng terlepas dari bahaya maut…..”
“Panggilkan
Patih Kerajaan. Ada persekongkolan orang-orang jahat hendak membunuh adik
iparku dalam Keraton! Siapa pelakunya harus dicari dan ditangkap…..”
Dukun tua
itu mengiyakan sambil membungkuk. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan kamar itu.
********************
DUA BELAS
Di
kawasan berbukit-bukit di sebelah timur menjelang memasuki Kotaraja hujan mulai
turun. Walau cuma rintik-rintik tapi lama-lama bisa membuat basah pakaian.
Memikir sampai di sini Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya membawa kudanya
menempuh jalan sepanjang selatan sebuah hutan belantara yang kabarnya sering
dijadikan sarang bagi para penjahat yang hendak melakukan penjarahan di daerah
pinggiran Kotaraja.
Di sebuah
tikungan menurun Wiro memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh penuh
dengan batu-batu besar. Di sebelah kanan gelap menghitam rimba belantara. Di
sisi kiri ada sungai kecil yang telah mengering sejak musim kemarau silam.
Ketika
hampir melewati tikungan menurun itu tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar
melayang turun sebuah benda. Menyambar ke arah Pendekar 212. Kuda yang
ditunggangi Wiro meringkik keras. Murid Sinto Gendeng cepat melompat turun dan
membiarkan binatang itu lari sendirian lalu berhenti di kejauhan.
Wuutttt!
Benda
dari atas pohon kembali melesat. Wiro melompat cari selamat karena dia sudah
bisa menduga apa adanya benda itu. Potongan kepala manusia dengan rambut
riap-riapan yang dulu pernah menyerangnya. Karena sudah tahu kalau potongan
kepala itu tidak mempan dikapak tidak mempan dihantam dengan pukulan sakti maka
Wiro segera mengeluarkan Kapak Naga Geni 212. Bukan untuk dipergunakan sebagai
senjata pembacok atau pembabat melainkan untuk dipergunakan jarum rahasia yang
ada di dalamnya menyerang potongan kepala!
Kali
ketiga potongan kepala menyerang, Wiro angkat Kapak Maut Naga Geni 212 sambil
menekan salah satu dari dua mata ukiran naga yang menjadi gagang senjata.
Selusin
jarum putih halus menyembur dari mulut kepala naga.
Clepp….clep…..clepp!
Sembilan dari dua belas senjata rahasia berbentuk jarum itu menancap di wajah
potongan kepala. Sampai di sini baru Wiro melihat adanya keanehan. Dulu
potongan kepala itu begitu takut melihat jarum-jrumnya dan lari terbirit-birit.
Kini jangankan lari, malah enak saja pentang tampang. Dan semudah itukah kini
dia mampu menyarangkan jarum-jarumnya hingga menancap di muka potongan kepala
iblis?
“Ada yang
tidak beres!” pikir murid Sinto Gendeng. “Dulu kepala ini selalu menyerang
lurus-lurus, menukik mengincar batok kepala. Kini hanya bergerak mudar mandir
ke depan ke belakang. Tidak pernah menukik! Akan kucoba dengan satu pukulan
sakti!”
Tidak
menunggu lebih lamaWiro segera kerahkan tenaga dalam lalu menghantam potongan
kepala yang masih melayang-layang di udara dengan pukulan “segulung ombak
menerpa karang.”
Wuurrrr!
Angin
deras menghampar menghantam potongan kepala.
Prakkk!
Byaarrr!
Potongan
kepala hancur berantakan. Tambutnya yang riap-riapan melayang putus dan lenyap
entah kemana.
“Kayu!”
seru Wiro ketika meliaht kenyataan bahwa potongan kepala itu ternyata hanya
sebuah boneka terbuat dari kayu!. “Bangsat sial dangkalan! Siapa yang berani
main-main!” Wiro memaki geram.
Sebagai
jawaban terdengar suara orang tertawa gelak-gelak. Lalu ada suara kaleng
berkerontangan.
“Walah! Tua
bangka sialan itu rupanya!” Wiro memaki tapi tidak berani keras-keras. Sesaat
kemudian dia berseru. “Kakek Segala Tahu! Buat apa masih bersembunyi! Ayo
tunjukkan tampangmu!”
Sambil
tersenyum-senyum dan kerontangkan kaleng rombengnya orang tua yang disebut
dengan julukan Kakek Segala Tahu itu melayang turun dari atas pohon.
“Gerakanmu
sudah mulai lamban anak muda! Kalau potongan kepala iblis sungguhan yang tadi
menyerangmu pasti kau sudah celaka! Hemmmm…..” Si kakek ulurkan kepalanya.
“Kulihat ada bekas guratan-guratan luka di wajahmu. Siapa yang punya
pekerjaan?”
“Siapa
lagi kalau bukan kawanmu itu….!” jawab Wiro.
“Kawanku
siapa?!” tanya Kakek Segala Tahu heran.
“Potongan
kepala iblis!” menyahut Wiro.
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Kek,
coba kau katakan. Apa juntrunganmu muncul di sini dan berbuat seperti
anak-anak. Perlu-perlunya membuat boneka kayu segala!” “Gurumu minta aku
menemuimu.” “Eyang Sinto Gendeng?” Si kakek mengangguk. “Orang tua itu punya
firasat kau menghadapi kesulitan.” “Kalau kesulitan siapa yang tidak pernah
menemui…..” “Gurumu tahu kau gagal menyelamatkan nyawa Pangeran Sampurno…..”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Lalu apa yang bisa kau bantu Kek?” “Aku sendiri
tidak tahu sebelum aku mendapat keterangan darimu.” “Seperti guru pernah mengatakan
yang jdai biang bahalanya adalah
perempuan
bernama Nyi Gandasuri, bekas istri Pangeran Sampurno sendiri. Dia yang membunuh
suaminya itu. Tapi sulit diketahui apa alasannya. Lalu beberapa waktu lalu
kakak lealki Pangeran Sampurno, adik Sri Baginda juga menemui ajal dengan cara
sama seperti yang dialami Pangeran Sampurno. Setelah kejadian itu
berturutturut terbunuh pula istri kedua Sri Baginda dan adik perempuan Sri
Baginda hampir menjadi korban pula jika tidak tiba-tiba pelakunya dipergoki
para tokoh silat istana. Setelah itu dua tokoh silat istana jadi korban…..”
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Dia mendongak ke langit. Matanya
yang buta berputar-putar. Lalu dia berkata. “Kita tahu Nyi Gandasuri berniat
membunuh suaminya. Tapi kita tidak tahu apa benar dia yang melakukannya.
Jangan-jangan dia hanya kedahuluan oleh seseorang yang punya permusuhan dengan
Pangeran itu…..”
“Tapi
Kek….”
“Tunggu
dulu! Ucapanku belum selesai!” ujar Kakek Segala Tahu. Setelah
menggoyang-gotangkan kalengnya beberapa kali dia melanjutkan. “Baik Pangeran
Sampurno maupun korban-korban lainnya menemui ajal secara mengerikan dalam cara
yang sama. Batok kepala berlobang besar, tepat di ubun-ubun. Darah disedot
habis! Berarti pelakunya siapapun dia adanya adalah satu orang yang sama. Atau
dari satu kelompok manusia-manusia iblis yang memiliki ilmu hitam yang sama!”
“Saya
curiga sekali si pembunuh adalah Nyi Gandasuri,” ujar Wiro pula. “Kita bisa
menuduh tapi harus membuktikan. Apa kau pernah melihatnya?”
“Potongan
kepala itu pernah menyerangku….”
“Kau
lihat tampangnya?”
“Sekilas…..”
“Wajahnya
seperti wajah Nyi Gandasuri?”
Wiro
menggeleng. “Yang kulihat justru wajah seorang nenek seram. Mulutnya ada
taringnya. Lidahnya berbentuk corong. Seperti dari besi……”
“Pelesit kudung!
Ada yang menamakan begitu berarti kelak dia akan mencari korban bayi-bayi di
bawah umur satu tahun. Gila betul! Kau harus melakukan sesuatu anak muda!”
“Itu
sebabnya sekarang aku tengah dalam perjalanan ke Kotaraja Keraton.”
“Untuk
apa?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Nyi
Gandasuri diketahui kini tinggal dalam lingkungan Keraton.”
“Apa?!”
si kakek terkejut besar.
“Sri
Baginda mempunyai itikad baik untuk melindunginya. Namun ada kabar bahwa
permaisuri sangat tidak berkenan. Lalu ada kabar usil bahwa Sri Baginda ingin
mengambilnya menjadi istri kedua pendamping permaisuri….”
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit. Sepasang matanya yang putih berputar-putar.
Lalu dia kerontangkan kaleng bututnya. “Aku melihat sesuatu di langit. Ada
bulan dilingkar awan berbentuk gelang hitam. Kerajaan dalan bahaya! Kalau
sampai Sri Baginda mengambil Nyi Gandasuri menjadi istri kedua aku yakin
besokbesok permaisuri akan menemui ajal pula! Penglihatanku mungkin salah.
Tapi kalau begini jalan ceritanya, naga-naganya memang Nyi Gandasuri yang jadi
pangkal bahala biang racun segala racun!”
“Kalau
begitu adanya kau ikut aku ke Kotaraja Kek,” kata Wiro meminta.
Si kakek
menyeringai. “Aku ke Kotaraja?” katanya. “Huh, aku paling benci tempat-tempat
ramai seperti itu. Lagi pula aku tahu kau sanggup mengatasi semua persoalan…..”
“Kau lupa
kek! Kalau aku sanggup mana mungkin Eyang Sinto Gendeng memintamu mencariku!”
Kakek
Segala Tahu yang merasa tersudut malah tertawa.
“Siapa
yang kau temui nanti di Kotaraja? Apa kau sudah punya penghubung?”
Pendekar
212 mengangguk. “Ni Loro Goalidra,” katanya menjawab.
“Hemmm…..
Dukun perempuan itu. Ilmu pengobatannya memang boleh. Aku tak tahu ilmu silat
dan kesaktiannya. Tapi siapapun yang akan kau temui berhatihatilah. Dalam
keadaan seperti ini kau tidak tahu siapa teman siapa lawan. Siapa musuh
jelas-jelasan siapa musuh dalam selimut!”
“Aku
harus pergi sekarang. Aku cuma mau memberikan ini untukmu jika nanti kau
berhadapan dengan musuh yang berupa potongan kepala itu!”
Dari
balik pakaian rombengnya Kakek Segala Tahu mengeluarkan sesuatu lalu
disodorkannya pada Wiro. Pendekar 212 segera ulurkan tangan hendak menerima
benda yang diberikan namun tangannya ditarik kembali ketika dilihatnya benda
apa yang hendak diberikan oleh si kakek.
“Kau
bergurau atau bagaimana Kek?!” murid Sinto Gendeng jadi marah dalam jengkelnya.
“Memang
kenapa? Kau tak mau menerima senjata sangat berharga ini?”
Wiro
hendak memaki lagi tapi akhirnya hanya bisa tertawa gelak-gelak. “Seikat lidi
tusuk satai buat apa! Kapak mustikaku saja tidak mampu menghadapinya! Pukulan
saktiku juga tidak mempan! Apalagi kalau cuma lidi butut tusuk satai! Maafkan
aku Kek, aku harus pergi sekarang.”
Kakek
Segala Tahu gelengkan kepala. Wajahnya kelihatan sayu. Lalu terdengar dia
berkata. “Terserah padamu. Mau menerima atau tidak. Tapi jika saat ini kau mau
berpikir sedikit saja kelak kau tidak akan menyesal menerima tujuh batang lidi
buruk ini!”
Lalu
Kakek Segala Ttahu mencampakkan ikatan tujuh batang lidi itu ke tanah. Dia
goyangkan kalengnya. Begitu suara berkerontangan lenyap sosoknyapun berkelebat
lenyap laksana gaib.
Murid
Sinto Gendeng gauk-garuk kepalanya. “Aku tak ada waktu untuk berpikir. Tapi
biarlah kuambil saja tujuh batang lidi itu!” Setelah mengambil ikatan lidi
berjumlah tujuh yang panjangnya cuma sejengkal Wiro lanjutkna perjalanan.
Kudanya ditemuinya tidak berapa jauh di ujung jalan dekat serumpun pohon bambu.
********************
TIGA BELAS
Hari
masih pagi ketika Wiro sampai di pintu gerbang timur Keraton. Di saat bersamaan
Nyi Gandasuri sedang berjalan-jalan di taman. Dari tempat ini dia dapat melihat
bagian timur Keraton termasuk pintu gerbang. Ketika dia memandang ke jurusan
pintu gerbang, tak sengaja pandangannya membentur Wiro yang baru turun dari
kudanya lalu menemui seorang pengawal. Pengawal ini mengatakan sesuatu pada
temannya lalu si teman memberi tanda pada Wiro agar pemuda ini menunggu. Dia
sendiri melangkah masuk menuju bangunan Keraton.
“Pemuda
berbahaya itu. ada apa dia datang ke Keraton?” pikir Nyi Gandasuri. “Aku harus
dapat membunuhnya. Kalau tidak semua urusan bisa kapiran!” Lalu cepat-cepat dia
menyelinap di balik jambangan-jambangan besar, memintas jalan pengawal tadi. Di
satu tempat dia memanggil si pengawal. Meliaht siapa yang memanggil pengawal
ini cepat mendatangi dan menjura hormat begitu sampai di hadapan Nyi Gandasuri.
“Ada apa
Den Ayu memanggil saya?”
“Saya
lihat ada seorang penunggang kuda di pintu gerbang Keraton. Siapa dia dan apa
keperluannya?”
“Oh,
pemuda itu maksud Den Ayu. Dia mengaku bernama Wiro. Ingin bertemu dengan dukun
sakti Ni Loro Goalidra. Katanya dia sudah ada janji dengan dukun Keraton itu.”
“Hemmm…..”
sambil bergumam Nyi Gandasuri memutar otaknya. “Memang benar. Ni Loro kemarin
berpesan padaku. Jika pemuda itu datang katakan padanya bahwa Ni Loro akan
menemuinya tengah malam nanti di selatan Kotaraja, di persimpangan tiga dekat
Candi Somapalo. Katakan pada pemuda itu agar dia datang saja ke sana tengah
malam nanti.”
“Kalau
begitu kata Den Ayu akan saya sampaikan tamu muda tadi. Jadi saya tidak perlu
memberi tahu Ni Loro Goalidra?”
“Tidak
usah, biar aku saja nanti menemuinya. Memberi tahu tamunya pemuda bernama Wiro
itu telah datang dan menunggu di tempat perjanjian tengah malam nanti,” kata
Nyi Gandasuri pula sambil tersenyum manis sekali hingga si pengawal merasa
berbunga-bunga hatinya. Setelah menjura hormat dia cepat-cepat kembali ke pintu
gerbang timur. Pada Pendekar 212 Wiro Sableng disampaikannya apa yang dikatakan
Nyi Gandasuri. Percaya bahwa pesan yang diterimanya berasal langsung dari Ni
Loro Goalidra si dukun sakti maka Pendekar 212 segera tinggalkan pintu gerbang
Keraton.
Candi
Somapalo walaupun tidak terawat namun bangunannya msih tampak kukuh dan lima
buah stupanya belum ada yang rusak. Seperti yang dipesankan oleh dukun Keraton
padanya, sebelum tengah malam Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berada di tempat
itu. Namun semakin dekat pada saat pertemuan semakin muncul rasa was-was dalam
diri murid Sinto Gendeng itu.
“Jangan-jangan
ini jebakan saja. Gila! Bagaimana aku bisa begitu bodoh! Melihat Ni Loro
Goalidra itupun aku belum pernah. Tahu-tahu nanti ada yang datang mengaku Ni
Loro padahal maksudnya henak membunuhku! Aku benar-benar harus waspada…..”
Wiro
memandang ke langit. Bulan sabit kelihatan bagus menerangi sebagian langit
malam. Angin sesekali bertiup kencang membuat bergoyang-goyang ranting dan
dedaunan beberapa pohon yang tumbuh di sekitar candi. Kemudian lapat-lapat
terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Tak selang berapa lama kelihatan
kdau dan penunggangnya muncul. Seorang berjubah kuning, berambut putih turun
dari punggung binatang itu. dia melangkah terbungkuk-bungku menuju candi. Murid
Sinto Gendeng tidak segera keluar dari balik stupa besar di mana dia
berlindung. Di tangga candi perempuan tua bungkuk berhenti. Dia memandang
berkeliling. Lalu terdengar dia berucap.
“Pendekar
212 Wiro Sableng. Sesuai janji aku sudah datang. Mengapa kau masih bersembunyi?
Aku tidak punya waktu banyak….”
Penuh
waspada Wiro keluar dari balik stupa. Dia berhenti lima langkah di hadapan si
nenek lalu berkata.
“Orang tua,
sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Bagaimana aku tahu bahwa kau memang Ni
Loro Goalidra, dukun istana?”
Si nenek
tertawa lepas. Wiro memperhatikan.
“Kepercayaan
adalah modal keselamatan. Jika kau tidak percaya bahwa aku adalah Ni Loro
Goalidra mengapa kau masih berdiri di hadapanku? Pergi saja sana! Ternyata aku
kemari hanya membuang waktu percuma saja!”
Wiro diam
saja. Kedua matanya memperhatikan nenek dari kepala sampai ke kaki.
“Kalau
kau tak pergi biar aku yang pergi!” Ni Loro Goalidra seperti mengancam.
“Nek,
tunggu dulu…..” ujar Wiro cepat. “Kau betul. Kepercayaan adalah modal
keselamatan. Tapi bisa juga sebaliknya. Kepercayaan bisa jadi sumber
malapetaka!”
“Eh, apa
maksudmu anak muda? Kita datang ke sini mau bicara apa sebenarnya? Bicara
mengenai maksudmu hendak menyingkap tabir pembunuhan oleh mahluk potongan
kepala itu atau membicarakan hal yang lain?!”
Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa lebar. Dia maju dua langkah. “Seumur hidup aku belum
pernah melihat nenek-nenenk memiliki deretan gigi rapi bagus dan berkilat
sepertimu! Kau Nyi Loro Goalidra palsu!”
Habis
berkata begitu Wiro Sableng langsung menghantam, lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Namun sebelum serangan maut itu mencapai
sasaran tiba-tiba lima bayangan hitam berkelebat memapasi. Kelimanya secara
serentak sama gerakkan tangan memukul ke arah Wiro. Satu persatu gelombang
pukulan orang-orang ini mungkin tidak ada artinya. Tapi bergabung lima
kekuatannya menjadi sangat dahsyat.
Murid
Sinto Gendeng berteriak keras lalu melompat ke atas sebuah stupa. Lima
penyerang memburu. Salah satu di antaranya berteriak. “Kau telah membunuh
beberapa orang teman-teman kami anggota istana Langit Darah! Apa mengira saat
ini bisa lolos dari kematian?!”
Karena
berada di tempat yang lebih tinggi, Wiro segera mengenali siapa lima penyerang.
“Mereka lagi…..!” katanya dalam hati.
Lima
orang itu mengenakan seragam jubah hitam yang ada angka-angkanya di punggung
dan dada. Mereka mengenakan topi berbntuk kerucut bergambar kelelawar merentangkan
sayap. Mahluk-mahluk sepertiinilah yang dulu hendak membunuhnya. Wiro masih
sempat mengingat salah seorang penyerangnya dulu berangka 15. Kini orang yang
sama juga ada di tempat itu. Berarti dialah yang membawa empat temannya untuk
menghadang. Mereka berangka 8, 9, 11 dan 12. Lalu apa hubungan kelima orang ini
dengan dukun Ni Loro Goalidra palsu?”. “Mereka menyebut Istana Langit Darah.
Istana apa itu? di mana letaknya?” Namun Wiro tak bisa berpikir panjang. Saat
itu lima manusia berjubah telah menyerbunya kembali. Lima gelombang tenaga
dalam jadi satu menghantam ke arahnya.
Braakkkk!
Byaarrrr!!
Stupa di
bawah Wiro Sableng hancur berkeping-keping. Kalau tidak cepat dia melompat
paling tidak kedua kakinya akan ikut hancur. Keluarkan keringat dingin Wiro melompat
ke balik stupa lima langkah di sebelah kanan dan segera seja mengeluarkan Kapak
Maut Naga Geni 212. Wiro maklum kalau orang berangka 15 pada jubahnya memiliki
ilmu demikian tingginya, yang berangka 8, 9, 11 dan 12 tentu memiliki
kepandaian lebih tinggi.
Lima
manusia berjubah segera mengurung Wiro. Tapi mereka tidak memperdekat jarak
karena rupanya diam-diam mereka jerih melihat senjata yang memancarkan sinar
aneh di tangan lawan. Apalagi sebelumnya si angka 15 sudah memberi tahu akan
kehebatan senjata itu.
Pada saat
itu dukun palsu Ni Loro Goalidra yang berdiri di belakang lima pengurung
berjubah berkata. “Anak muda! Jika kau mau serahkan senjatamu itu padaku, aku
akan meminta lima kawanku ini memberi ampunan pada dirimu!”
“Bangsat!
Jelas aku memang sudah kena jebak! Mereka satu komplotan rupanya! Komplotan
manusia-manusia dari Istana Langit Darah! Keparat!” maki Pendekar 212 dalam
hati, marah dan jengkel pada kebodohannya sendiri.
Wiro lalu
menyeringai dan menjawab ucapan si nenek.
“Aku akan
serahkan senjata ini padamu kalau kau mau membuka kedok dan memberi tahu siapa
kau sebenarnya!”
Si nenek
tertawa tinggi. Lalu tangan kirinya bergerak ke wajahnya. Sekali tangan itu
bergerak maka tanggallah topeng tipis dan rambut palsu yang menutupi kepalanya.
Sambil tertawa panjang orang ini campakkan topeng itu ke lantai candi. Lalu
tubuhnya diluruskan, tidak bungkuk lagi seperti tadi. Wiro sendiri saat itu
jadi tertegun tak percaya. Si nenek dukun palsu itu ternyata adalah seorang
perempuan muda berwajah luar biasa cantiknya!
“Siapa
kau sebenarnya?!” tanya Wiro.
“Akulah
Nyi Gandasuri orang yang kau cari-cari!”
“Ah…..!”
Wiro hanya bisa keluarkan suara mendesah saking kagetnya.
Nyi
Gandasuri ulurkan tanganya. Sesuai ucapanmu, kau akan serahkan senjata itu jika
aku membuka kedok dan mengatakan siapa diriku! Nah tunggu apa lagi?! Serahkan
senjata itu padaku…..!”
Wiro
gerak-gerakkan Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya. “Memang tadi aku berucap
seperti itu. Tapi setelah tahu kalau kau adalah Nyi Gandasuri perempuan bejat
pembunuh suami mana mungkin aku memberikan senjata ini padamu! Enaknya! Aku
yakin kau juga pembunuh yang lain-lainnya!”
“Dasar
lidah tak bertulang! Manusia curang! Kau memang layak dibunuh saat ini juga!”
Nyi
Gandasuri jentikkan jari-jari tangan kanannya.
Lima
manusia berjubah bergerak maju. Mereka tidak menghantam dengan pukulan tangan
kosong. Tapi serentak kelimanya membuka mulut dan wutt….wutt…..wutt…..wutt!
Lima lidah mereka melesat keluar, panjang dan basah bergelimang darah.
Sebelumnya Wiro sudah pernah kena gebuk lidah-lidah aneh dan berbahaya ini.
Maka segera saja dia babatkan Kapak Maut Naga Geni 212.
Sinar
terang berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk menderu. Lalu hawa panas
membuat kelima penyerang tertegun sesaat. Tiga melompat menjauhi tapi yang dua
berhasil menyusup. Dua lidah basah berdarah menyambar ke arah Wiro. Satu
menghantam ke arah leher, satunya lagi melesat ke arah pergelangan tangannya,
rupanya sengaja hendak merampas kapak.
Wir
merunduk cepat untuk hindari serangan lidah yang mengarah leher. Begitu
lehernya terhindar dari jeratan lidah dia segera membabatkan senjatanya ke arah
lidah yang coba menggelung gagang kapak. Namun di saat yang bersamaan tiga
lidah lainnya ikut menyerbu. Dua di antaranya ke arah mata Pendekar 212. Yang
ketiga menusuk laksana tombak ke bagian perutnya.
“Celaka!”
seru Wiro. Walau sadar dia tidak mungkin mengelakkan semua serangan itu murid
Sinto Gendeng kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tangan kirinya lepaskan
pukulan “sinar matahari”. Di saat yang sama dia membuat gerakan jurus “Silat
orang gila”. Tubuhnya bergoyang keras, condong menghuyung aneh. Berturut-turut
dia keluarkan jurus “ular gila membelit pohon menarik gendewa”, “dewa topan
menggusur gunung” lalu “kilat menyambar puncak gunung”. Sungguh dahsyat
perlawanan mati hidup murid Sinto Gendeng kali ini. Seumur hidupnya belum
pernah dia mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya seperti itu.
Manusia
berjubah dengan angka 12 mencelat terjengkang. Pinggul dan paha kirinya tampak
hangus! Pakaiannya mengepulkan asap. Pukulan sinar matahri menghantam telak
badannya sebelah kiri. Di berteriak keras, bergulingan di lantai candi lalu
tergelimpang tak berkutik. Mati!
Satu
lawan roboh. Namun Pendekar 212 harus membayar mahal. Tusukan lidah yang
menghantam perutnya bisa dikelit tapi secara tak terduga lidah yang sekerras
bsei itu menghajar dadanya dengan telak. Wiro merasakan dadanya seperti
meledak. Dari mulutnya keluar teriakan setinggi langit. Bersamaan dengan
teriakan itu ikut menyembur darah. Dalam keadaan terhuyung nanar sambil menahan
sakit yang bukan kepalang, Wiro harus menghidarkan kepalanya pula dari semburan
darah dua orang lawan. Ketika dia berusaha menyelamatkan diri dari serangan
ini, lidah yang lain telah sempat menjerat pergelangan tangannya. Lalu menyusul
lidah darah keempat menempel di badan Kapak Naga Geni 212.
Brettt!
Kapak
Maut Naga Geni 212 terlepas dari pegangan tangan kanan Pendekar
212.
Murid Sinto Gendeng berteriak marah. Dadanya mendenyut sakit. Ditahannya sebisa
mungkin. Kaki kanannya menderu ke arah selangkangan manusia berjubah berangka 9
yang barusan berhasil merampas senjata itu. orang ini meraung keras ketika
anggota rahasianya hancur dimakan tendangan Wiro. Namun sebelum roboh menemui
ajalnya dia masih sempat melemparkan kapak yang berhasil dirampasnya pada
temannya yaitu si jubah berangka 8, anak buah Istana Langit Darah yang paling
tinggi ilmu kepandaiannya di antara mereka berlima.
“Dapat”
teriak si jubah berangka 8 “Lekas tinggalkan tempat ini!” berteriak yang
berangka 15 lalu berkelebat pergi. “Kita bertemu di Istana Langit Darah!” seru
orang berjubah dengan angka 11 lalu menyusul kawannya si angka 15.
Pendekar
212 melompat bangkit. Siap mengejar orang berjubah yang melarikan senjata
mustikanya yaitu yang berangka 8. Namun tiba-tiba sekali seseorang
menghadangnya.
********************
EMPAT BELAS
Pendekar
212 jadi tertegun ketika melihat yang tegak di depannya adalah Nyi Gandasuri,
perempuan cantik pembunuh suami itu. Sambil mengusap dadanya yang sakit
sementara darah masih meleleh dari mulutnya pemuda ini berkata. Suaranya
bergetar.
“Kecantikanmu
setinggi langit. Sayang kejahatanmu sedalam lautan…..”
Nyi
Gandasuri tertawa tinggi. “Aku juga menyayangkan. Kalau saja kau tadi mau
menyerahkan senjata secara baik-baik kau tak bakal mengalami nasib seperti ini.
Hantaman lidah berdarah itu hanya sanggup kau tahan selama tiga hari. Setelah
itu kau akan menghadap penguasa akhirat. Hik…. hik…..hik!”
“Perempuan
iblis!” teriak Wiro. Kedua tangannya kiri kanan segera diangkat untuk
melepaskan pukulan “sinar matahari”
Nyi
Gandasuri mengangkat tangannya. “Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?”
“Perempuan
jahanam! Siapa sudi membuat janji denganmu!”
“Kau
belum tahu apa perjanjian itu, mengapa terlalu cepat menolak?” kata sang janda
jelita pula. “Dengar, dalam waktu tidak berapa lama aku pasti akan menjadi
permaisuri Sri Baginda. Aku akan mintakan jabatan tinggi untukmu di Keraton. Di
samping itu secara diam-diam kita bisa menjalin hubungan sebagai kekasih. Raja
tua itu apa yang bisa dibuatnya untuk menyenangkan batinku!”
“Perempuan
bejat!” teriak Wiro. “Jadi itu rupanya rencana busukmu selama ini! Ingin jadi
permaisuri sampai tega membunuh suami sendiri dan menjatuhkan korban pada
orang-orang lain tidak berdosa!”
Nyi
Gandasuri cuma tertawa. “Jadi kau menolak?”
“Kau
boleh membuat perjanjian dengan setan neraka! Di sana tempatmu kelak!”
Nyi
Gandasuri mendengus. Dia goyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian yang melekat di
tubuhnya serta merta merosot ke bawah. Di lain kejap perempuan muda yang cantik
jelita dan memiliki keindahan tubuh tiada duanya ini berdiri di depan Pendekar
212 dalam keadaan tidak selembar benangpun menutupi auratnya.
Murid
Sinto Gendeng merasakan dadanya mendenyut sakit dan nafasnya menjadi sesak.
Kedua matanya terbelalak. Lalu segala sesuatunya terjadi sangat cepat. Di leher
Nyi Gandasuri kelihatan luka melingkar mengucurkan darah. Bersamaan dengan itu
dari sudut-sudut mulutnya mencuat keluar sepasang taring panjang dan tajam.
Desss!
Kepala Nyi Gandasuri terlepas dari lehernya lalu mencelat ke udara mengeluarkan
suara menggidikkan. Sementara itu bagian tubuh tanpa kepala yang telanjang
tegak tak bergerak. Darah pada permukaan lehernya tampak bergejolak seperti
mendidih.
Sambil
melayang di udara potonga kepala itu umbar tawa menggidikkan. Lalu wajahnya
yang tadi cantik berubah seputih kafan untuk meudian berubah pula menjadi wajah
seram seorang nenek.
“Anak
muda, sudah sejak satu bulan ini aku berhasrat menyedot darah dari ubun-ubun
kepalamu! Kau tak bisa lolos lagi kali ini. Tak bisa lari…..!”
Potongan
kepala itu membuka mulutnya leba-lebar. Lalu mencuatlah lidah aneh itu.
Berbentuk corong dengan lobang di bagian runcingnya, berkekuatan sekeras besi!
Di dahului suara tawa panjang potongan kepala iblis Nyi Gandasuri melayang
tinggi-tinggi ke udara lalu menukik menyambar ke arah batok kepala Pendekar
212. Wiro yang berada dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam cepat
jatuhkan diri, berguling ke balik stupa. Potongan kepala agaknya tidak mau
mundur. Walaupun sasaran sudah terlindung di balik stupa batu tetap saja dia
meneruskan serangan.
Braakkk!!
Stupa
batu hancur berantakan dihantam lidah besi kepala iblis Nyi Gandasuri. Begitu
hancur potongan kepala membumbung kembali ke atas lalu dari jurusan lain
menukik lagi ke bawah, kearah kepala Wiro. Ketika Wiro mencoba menghindar untuk
cari selamat saat itulah dua bayangan berkelebat melompat tembok candi
Somapalo. Bersamaan dengan itu terdengar suara berkerontangan.
“Kakek
itu! untung dia datang!” ujar Wiro. Dia menoleh ke kiri. Memang benar. Di situ
dilihatnya Kakek Segala Tahu tegak sambil melintangkan tongkat di depan dada.
Di sebelahnya ada seorang nenek bungkuk yang tangan kirinya memegang sebuah
pendupaan yang selalu mengepulkan asap dan menebar harumnya bau setanggi. Di
bahu si nenek ada sebuah buntalan besar.
“Ah,
nenek antik ini pasti si dukun Ni Loro Goalidra….” Menduga Wiro Sableng.
Wuuuutt!
Kepala
iblis Nyi Gandasuri datang menyambar. Wiro tersentak kaget. Kembali jatuhkan
diri seraya lepaskan pukulan sinar matahari.
Buummmm!
Potongan
kepala mencelat kena hantaman pukulan sakti itu. namun sesaat kemudian melayang
turun kembali tanpa cidera sedikitpun malah terdengar tawanya mengekeh.
Rambutnya
berputar seperti baling-baling lalu mulai menukik lagi untuk menyerang kepala
Wiro.
“Anak
tolol! Apakah kau masih menyimpan lidi tusuk satai yang kuberikan tempo hari?!”
Salah
satu dari dua orang yang barusan datang bertanya. Itu suara Kakek Segala Tahu.
Wiro
meraba ke balik pakaiannya. Benda yang ditanyakan memang masih disimpannya.
Buru-buru dikeluarkan. “Masih ada Kek. Ini!”
“Lekas
lemparkan padaku!” teriak Kakek Segala Tahu tidak sabaran dan sambil
menggoyang-goyangkan kaleng rombengnya.
Wiro
menurut saja dan lemparkan ikatan tujuh buah lidi ke arah si kakek. Di atas
sana potongan kepala iblis Nyi Gandasuri berteriak keras ketika melihat ikatan
lidi itu. Kalau tadi dia bermaksud hendak menyerang Wiro maka kini kepala itu
berputar lalu melenceng dan menyambar ke arah Kakek Segala Tahu yang tengah
memegang ikatan tujuh lidi. Namun kepala iblis Nyi Gandasuri terpaksa melesat
ke atas ketika tiba-tiba nenek di samping Kakek Segala Tahu meniupkan
pendupaannya ke arah kepala itu. Asap dan butir-butir setanggi yang membara
menderu ke arah sepasang mata kepala iblis!
Selagi
potongan kepala melesat ke atas Kakek Segala Tahu melompat ke hadapan tubuh
telanjang tanpa kepala Nyi Gandasuri. Dengan kecepatan kilat tiga buah lidi
ditusukkannya ke kutungan leher. Si kakek menusuk demikian rupa hingga tiga
bagian lancip lidi mencuat di permukaan leher.
Di atas
sana kepala iblis Nyi Gandasuri terdengar meraung keras. Si kakek tusukkan lagi
empat lidi yang masih tersisa ke kutungan leher. Raungan kepala iblis semakin
menjadi-jadi. Beberapa lamanya kepal ini melayang berputar-putar lalu turun
mendekati lehernya. Tapi segera naik lagi. Begitu sampai beberapa kali. Merasa
kepalanya tak mungkin disambungkan lagi ke leher yang ditancapi tujuh lidi
runcing itu, setelah keluarkan jeritan panjang mengerikan potongan kepala iblis
Nyi Gandasuri melesat terbang ke arah bulan sabit yang mulai redup dan akhirnya
lenyap tak kelihatan lagi di batas titik pandang.
“Hai!
Kalian mau ke mana!” tana Wiro ketika melihat Kakek Segala Tahu dan si nenek
sambil bergandengan tangan hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. “Kawanku
ini sudah tidak sabar lagi!” jawab si kakek seraya kerontangkan kaleng
rombengnya. “Tak sabar mau apa? Hendak bercumbuan?!” tanya Wiro seenknya.
“Huss! Mulutmu usil amat!” semprot Ni Loro Goalindra. “Apa kau kira tua
bangka
seperti kami masih pantas bercumbuan? Eh kau tahu apa yang ada dalam
buntalan
besar ini?” Wiro gelengkan kepalanya. “Bubuk bahan peledak!” “Dia tak sabaran
mau meledakkan Istana Langit Darah, sumber segala
malapetaka
itu!” Wiro hanya bisa tertegak terheran-heran. “Kau tetap di sini. Jaga tubuh
tanpa kepala itu. Aku kawatir kepalanya akan
kembali
coba menyatukan diri!”
Si nenek
dukun gelengkan kepalanya. “Sampai kiamat kepala itu tak bakal kembali. Dia tak
mampu menyatukan diri dengan tubuhnya lagi karena adanya tujuh lidi yang
menancap di pangkal leher!”
“Kalau begitu
buat apa aku menjaganya!” kata Wiro pula.
“Sudah!
Ini obat untukmu! Lekas telan supaya kau tidak mati akibat gebukan lidah darah
itu!” Si nenek lemparkan sebuah benda berbentuk bulat hitam. Wiro cepat
menyambuti dan langsung menelannya tanpa ragu. Ketika dia berpaling kembali dua
tua bangka itu sudah lenyap dari tempat tersebut.
Wiro
pegangi dadanya yang sakit. Tertatih-tatih dia melangkah mendekati sosok
telanjang tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri.
“Tubuh
begini bagus. Mulus tak ada segores cacatpun! Ah, betapa sayangnya….” Entah
sadar entah tidak Wiro pergunakan tangan kanannya menusapi bagian dada tubuh
polos itu. Ketika jari-jarinya hendak meluncur ke bagian perut tibatiba satu
ledakan keras menggoncangkan candi. Dua buah stupa roboh . Dinding candi di
sebelah selatan rontok. Wiro sendiri jatuh terlentang. Bersamaan degnan itu
sosok tanpa kepala Nyi Gandasuri ikut jatuh menimpa dirinya.
Bagian
dada yang membusung jatuh tepat di wajah Pendekar 212.
“Enak ya
menciumi buah dada mayat!”
Wiro
tersentak. Tubuh tanpa kepala itu dilemparkannya ke samping lalu dia cepat
berdiri. Di hadapannya tegak Kakek Segala Tahu sambil memegang Kapak Maut Naga
Geni 212. Di samping si kakek berdiri Ni Loro Goalidra. Saking gembiranya Wiro
sampai berteriak dan memeluk si kakek.
“Terima
kasih Kek. Kau telah menolong mendapatkan senjata mustika ini kembali. Aku
mendengar suara ledakan seperti gunung meletus. Apa yang terjadi?” Si kakek
tersenyum dan menjawab sambil tudingkan ibu jarinya pada Ni Loro Goalidra.
“Tanyakan saja padanya.”
“Ah, aku
cuma main-main dengan bubuk peledak. Aku sudah mengira-ngira di maan letak
kawasan Istana Langit Darah. Lalu aku pasang bubuk peledak di empat penjuru.
Sebelum diledakkan kuasapi dan kujampai-jampai dulu. Kutebari dengan bunga
tujuh rupa. Kubacakan satu ayat suci dan aku mohon kepada Gusti Allah. Karena
bagaimanapun hebat dan pandainya manusia kalau tidak ada ridho Yang Kuasa
segala rencana dan perbuatannya bisa saja menemui kegagalan! Gusti Allah
rupanya mendengar doaku. Aku meledakkan di dua sudut. Kakek ini dua sudut
lainnya! Buummmm! Istana Langit Darah yang gaib itu benar-benar hancur
berantakan. Puluhan anak buahnya bertebaran jadi bangkai. Termasuk seorang
gadis yang dijadikan gendak, dipanggil dengan sebutan Maharatu Langit Darah dan
memakai topeng wajah seorang nenek. Cuma sayang, Maharaja Langit Darah berhasil
melarikan diri! Kurang ajar betul….” Setelah menyumpah beitu si nenek keluarkan
sebuah jubah hitam dari buntalannya. Pakaian itu ditebarnya di tanah serarya
bertanya “Kau kenal jubah ini?”
Wiro
terbelalak besar ketika melihat pakaian itu. Sehelai jubah hitam bergambar
gunung Merapi berwarna biru dengan latar belakang matahari berwarna merah.
“Pangeran
Matahari….” Desis Wiro. “Jadi manusia jahanam itu rupanya di belakang semua kejadian
ini!”
Bretttt!
Wiro
robek jubah hitam itu saking marahnya.
“Kami
berdua harus pergi,” kata Ni Loro Goalidra. Lalu enaknya saja pendupaan dari
tanah itu diletakkannya di atas kepalanya. Dia berpaling pada Kakek Segala Tahu
dan tanpa malu-malu memegang tangan si kakek lalu menariknya pergi.
Wiro
campakkan jubah hitam ke tanah. Rahangnya menggembung. Tiba-tiba ada sebuah
benda melayang dari langit. Di atas tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri benda ini
melayang. Ternyata potongan kepala perempuan iblis itu!
“Potongan
kepala celaka ini kembali lagi!” kata Wiro tercekat sambil bersiapsiap dengan
Kapak Maut Naga Geni 212. Dalam gelapnya malam potongan kepala masih
berputar-putar. Tampaknya hendak berusaha menyatukan diri dengan lehernya.
Namun tidak mungkin karena terhalang oleh tujuh buah lidi yang seolah menjadi
tujuh benda sakti penangkal, keramat.
Lalu
entah dari mana datangnya mendadak ada ngiangan suara di telinga Wiro.
“Pendekar 212….. Kalau kau mau mencabut tujuh buah lidi itu hingga kepalaku
bisa menyatu dengan badan kembali, seumur hidup aku bersedia menjadi hamba
sahayamu……”
“Eh,
siapa yang bicara?!” tanya Wiro sambil memandang berkeliling.
“Aku, roh
Nyi Gandasuri…..” terdengar ngiangan menjawab.
“Kalau
kau bisa hidup lagi memang enak melihat tubuhmu yang telanjang,” kata Wiro
sambil tersenyum. “Hanya sayang mahluk iblis sepertimu mana bisa dipercaya.
Suamimu yang Pangeran saja kau bunuh. Apalagi diriku seorang pemuda luntang
lantung tak karuan juntrungan……!”
Wiro
masukkan senjata mustikanya ke balik pakaian lalu tinggalkan tempat itu.
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara perempuan meratap aneh. Wiro percepat
langkahnya. Potongan kepala iblis Nyi Gandasuri berputar tiga kali lagi di atas
sosok tubuhnya lalu melesat lenyap di kegelapan malam.
TAMAT
No comments:
Post a Comment