Harimau Singgalang
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
SATU
Hari itu
hari ketiga di bulan kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk Pagaralam dan
sekitarnya. Suara talempong, rabab dan saluang terdengar tiada putusputusnya.
Sejak
pagi halaman rumah gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam telah dipenuhi oleh
para tetamu yang berdatangan dari berbagai penjuru.
Di
barisan kursi sebelah depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna warni
duduklah sang Datuk didampingi keempat istrinya di sebelah kiri sedang di
sebelah kanan duduk seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam, bernama
Andana.
Begitu
banyaknya tamu yang datang hingga di antara mereka ada yang tidak kebagian
tempat duduk. Namun semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling halaman
menunggu dimulainya acara perhelatan besar itu.
Perhelatan
besar ini diadakan sebgaai ungkapan rasa syukur atas kembalinya sang kemenakan
setelah beberapa tahu menghilang di negeri orang. Pada kesempatan yang sama
perhelatan ini juga sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang
berpulangnya Datuk Bandaro Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Daruk Gampo
Alam. Sesuai dengan berita yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk
Bandaro Sati mati dibunuh orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu.
Siapa pembunuhnya masih belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro
Sati telah dimakamkan di puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak
perempuan almarhum bernama Uning Ramalah. Kabarnya perempuan yang sudah tua ini
merupakan seorang nenek sakti mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh.
Itu
sebabnya dia tidak turun gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya.
Andana
selain tampan dan bertubuh kekar diketahui orang sebagai seorang pandeka
(pendekar) berilmu silat tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan kesaktian
yang sulit dicari tandingannya.
Belakangan
tersiar kabar bahwa konon pemuda itu telah dijuluki orang sebagai Harimau
Singgalang.
Di
belakang deretan kursi yang diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya, duduk
orang-orang terpandang yang datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta Bukittinggi.
Bahkan ada yang datang dari pesisir Pariaman.
Tumenggung
Rajo Langit, tokoh besar di Pagaruyung sebenarnya juga diundang tetapi tidak
kelihatan hadir. Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua kejadian di Pagaralam
beberapa waktu lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan orang-orangnya di satu
pihak dengan Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain pihak.
Di antara
orang banyak yang tegak mengelilingi halan rumah gadang kelihatan seorang
pemuda mengenakan saluak (kopiah khas Minang), berpakaian bagus berwarna biru.
Dia tegak sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Memandang
berkeliling. Jika pandangannya bertemu dengan Andana maka diapun tersenyu lebar
dan mengacungkan jari jempolnya. Orang-orang di sekitar tempat dia berdiri
terheran-heran melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan
anehnya pemuda ini memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana
kemenakan Datuk Gampo Alam itu.
“Tak
mungkin saudaranya Andana,” kata seorang tamu setengah berbisik.
“Setahu
waden si Andana itu tak punya kakak tak punya adik….” (waden = aku)
Sementara
itu di salah satu bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani oleh seorang juru
solek. Di ruangan sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai hordeng terletak
brebagai perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat carano berisi sirih
yang akan dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam perhelatan
itu.
Sewaktu
juru rias tengah membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak sengaja gadis
ini mengerling ke arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang perempuan tinggi
besar mengenakan baju kurung kuning dan berselendang melangkah mendekati cerana
berisi susunan daun sirih yang sudah diisi gambir dan kapur. Karena tidak
pernah melihat perempuan sebesar dan setinggi itu sebelumnya, diam-diam Bunga
memperhatikan terus orang ini. Dalam hati dia merasa aneh mengapa justru
orang-orang di sekitarnya seolah tidak memperhatikan perempuan tinggi besar
ini?
Dari
dalam sehelai sapu tangan orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi botol
kecil ini berbentuk cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis
mengepul.
Lalu
orang ini cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa bunga sempat melihat
wajahnya.
Selesai
didandani dengan penuh rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan sebelah.
Diperhatikannya tiga susunan sirih yang ada di atas cerana. Warnanya yang
seharusnya hijau segar telah berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan
hidungnya ke susunan sirih itu. Gadis ini merasa hidungnya seperti hendak
tanggal. Dia batukbatuk berulang kali. Wajahnya tampak agak pucat. Racun kala
hutan….. kata Bunga dalam hati. Mengapa perempuan tinggi besar tak dikenal tadi
meracuni daun-daun sirih itu? Siapa yang hendak diracuninya? Andana? Pasti
Andana karena sesuai kebiasaan sirih itu nanti akan dipersembahkan pada pemuda
tersebut.
Andana
akan mengunyahnya! Apa yang harus dilakukannya? Membuang semua sirih itu lalu
menggantikannya dengan yang baru? Tak ada jalan lain. Memang hanya itu yang
segera dan harus dilakukannya. Karena kalau Andana sampai mengunyah dan memakan
daun sirih persembahan yang telah disiram dengan racun kala hutan itu maka
nyawanya tidak akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah racun paling jahat
yang tidak ada obat pemusnahnya.
Seorang
perempuan separuh baya muncul dari balik hordeng. “Bunga, saatmu keluar. Lekas
bawa cerana dan turun ke bawah. Para penari lainnya sudah menunggu.”
Dengan
agak gugup gadis itu berdiri lalu mengambil cerana di atas meja.
Bersamaan
dengan itu dia cepat mengambil selembar daun sirih yang masih segar dari atas
meja, lalu diberinya gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum diletakkan
di atas cerana Bunga mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini
dipergunakan sabagai alas untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya.
Meskipun
sirih yang satu itu terlindung dari racun yang sudah melekat pada sirih-sirih
lainnya namun hati Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun kala hutan
bisa merambas menembus daun sirih yang dijadikan alas.
“Hai
cepatlah Bunga! Apa yang kau lakukan itu?!” tegur perempuan tadi.
“Saya
segera turun, Etek….” kata Bunga pula. (Etek = panggilan terhadap perempuan
lebih tua dan biasanya telah bersuami).
Perhelatan
besar dan meriah itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa dibumbui
dengan pepatah pepitih di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan
kemenakannya.
Selesai
sambutan perhelatan dilanjutkan dengan pergelaran Tari Piring. Tarian ini
dibawakan oleh dua pasang muda mudi diiringi bunyi-bunyian. Masing-masing
penari membawa sebuah piring kaca di tangan kiri kanan. Mereka menari
meliuk-liuk
terkadang
bergerak cepat menghnetak-hentak. Kemudian keempat menari bergerak mengelilingi
tumpukan pecahan kaca yang ditebarkan di atas tanah. Pada puncaknya keempar
penari itu menari dengan menjejakkan kaki mereka di atas pecahan kaca tersebut.
Kemudain mereka menari sambil bergulingan beberapa kali di atas kaca!
Setelah
Tari Piring selesai masuklah rombongan debus memperlihatkan kebolehan mereka dalam
ilmu kebal. Ada yang menusuk perut dan dadanya dengan berbagai senjata tajam.
Mulai dari pisau sampai keris dan golok bahkan tombak. Ada pula yang
mencelupkan kedua tangannya dalam minyak mendidih kemudian membasuh wajahnya
dengan minyak panas itu. Seorang perempuan memperlihatkan kemampuannya memakan
kaca dan minum air mendidih. Pertunjukan diakhiri dengan pergaan seorang lelaki
muda melompat-lompat dia atas paku sambil memotongmotong lidahnya dengan
sebilah pisau. Pertunjukan debus ini disaksikan orang banyak dengan perasaan
berdebar. Orang-orang perempuan acap kali terpaksa memalingkan muka mereka
karena ngeri.
Pertunjukan
puncak adalah penampilan rombongan muda mudi membawakan Tari Gelombang. Di
sebelah depan bergerak sembilan orang pemuda berpakaian galembong dan destar
hitam. Di sebelah belakang bergerak lima orang penari perempuan yang kesemuanya
adalah gadis-gadis cantik berbaju kurung berkain songket. Rambut mereka dihias
dengan sunting berwarna kuning emas. Yang paling cantik di antara semua gadis
penari itu adalah yang di depan sebelah tengah. Dia memakai tengkuluk tanduk
kerbau di atas kepalanya serta membawa cerana berisi sirih. Gadis ini tentu
saja adalah Bunga.
Sejak
rombongan penari muncul sepasang mata Datuk Gampo Alam boleh dikatakan tidak
berkesip dari memperhatikan wajah dan tubuh Bunga. Duduknya tampak tidak
tenang. Lehernya berulang kali disentakkan. Tenggorokannya tampak turun naik
beberapa kali kelihatan dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sesekali
dia memandang berkeliling seperti mencari-cari seseorang. Zainab istri tua sang
Datuk sampai berkata “Dari tadi saya perhatikan Datuk seperti gelisah, Siapa
yang Datuk cari…. ?”
Datuk
Gampo Alam tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya
membentur sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di tepi halaman di antara
orang banyak.
Datuk
Gampo alam berpaling pada Andana. “Itu pemuda sahabatmu bernama Wiro….?”
“Betul
Paman…”
“Perlu
apa dia berada di sini?”
“Dia
orang asing di sini. Perhelatan ini tentu saja sangat menarik perhatiannya.
Sebagai
seorang sahabat apa salahnya dia berada di sini menonton pesta. Saya yang
mengundangnya datang.”
“Dari
mana dia dapat saluak dan pakaian bagus itu?” tanya Datuk Gampo Alam lagi.
“Saya
yang meminjamkannya,” jawab Andana.
Tampang
Datuk Gampo Alam tampak berkerut dan masam. Dia memandang berkeliling. Orang
yang dicarinya akhirnya dilihatnya juga. Palindih. Sang Datuk memberi isyarat
agar Palindih mendekatinya. Begitu Palindih sampai di hadapannya Datuk Gampo
Alam segera berbisik. “Gadis yang membawa cerana itu, siapa dia?”
Astaga
sudah bangkit pula gatal urang gaek ini! Kata Palindih dalam hati.
“Namanya
Bunga,” memberi tahu Palindih juga dengan berbisik. Lelaki ini melihat harapan
mencari untung. Untuk urusan beginian dia pasti akan mendapat upah atau hadiah
besar.
“Agaknya
Datuk berhasrat ?” tanya Palindih kembali berbisik.
“Hemmm….”
Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Kedua matanya tak lepas dari memandang
wajah dan gerakan tubuh Bunga yang tengah menari. Lehernya disentak-sentakkan
berulang kali. “Nama bagus, orangnya cantik secantik bidadari….”
kata
Datuk Gampo Alam agak keras diluar sadar. Tiba-tiba saja satu cubitan menyambar
pahanya hinga sang Datuk terlonjak di tempat duduknya.
Yang
mencubit adalah Rukiah, istri Datuk Gampo Alam yang paling muda dan duduk tepat
di samping sang Datuk.
“Di
saat-saat seperti ini sepantasnya Datuk menjaga mata dan mulut!” hardik Rukiah
tapi dengan suara sangat perlahan.
“Ah kau
orang perempuan mau tahu saja urusan lelaki!” kata Datuk Gampo Alam dengan muka
cemberut.
Rukiah
tak kalah cemberutnya malah dengan membelalakkan mata pada Palindih dia berkata
“Pergi kau dari sini! Berani kau menjadi comblang, kusuruh potong burung
tekukurmu!”
Palindih
memandang pada Datuk Gampo Alam. Dia ragu sesaat. Akhirnya Datuk berkata,
“Sudah, pergi sajalah. Aku hanya sekedar bertanya, tak ada maksud apa-apa.
Lekas pergi Palindih. Kalau tidak habis aku bengkak-bengkak. Ada kalajengking
betina di sini! Aduah….!” Paha Datuk Gampo Alam kembali disambar cubitan. Sakit
dan pedas bukan main.
“Ada apa
Mamak…..” tanya Andana terheran-heran.
“Tak ada
apa-apa. Si Rukiah sudah tak sabar mau segera bersantap siang makan besar!
Dasar perempuan urusan perut saja yang diingatnya!” jawab Datuk Gamp Alam
berdusta.
Para
pemuda yang menarikan Tari Gelombang yang berada di sebelah depan bersibak ke
kiri dan ke kanan memberi jalan pada gadis pembawa cerana. Dengan lemah gemulai
Bunga maju ke arah Andana selangkah demi selangkah. Kalau Andana mengagumi
kepandaian gadis itu menari, maka sebaliknya saat itu Bunga berada dalam
keadaan bingung serta takut. Kalau dia bergerak lebih dekat dan memberi tahu
bahaya yang mengancam pada si pemuda, jelas Datuk Gampo Alam dan orang-orang di
sekitarnya akan mendengar.
Maka
sebisa-bisa yang dilakukan Bunga adalah membuat gerakan-gerakan berupa isyarat
tangan dan goyangan kepala agar Andana bangkit berdiri lalu melangkah
menghampirinya. Hal ini sebenarnya tidak pernah kejadian karena seharusnya sang
penarilah yang menghaturkan dan mempersembahkan sirih persembahan kepada orang
yang dihormati. Namun agaknya Bunga tak punya jalan atau cara lain.
Sambil
terus menari Bunga menggoyangkan kepalanya ke belakang. Kedua matanya menatap
lurus pada pemuda itu. Lalu tangan kanannya digerak-gerakkan agar lebih jelas
bagi Andana akan isyarat yang diberikannya. Mula-mula Andana tidak
memperhatikan. Namun setelah berulang kali Bunga membuat gerakan yang sama dan
menatap padanya, pemuda ini mulai menduga-duga agaknya ada sesuatu yang hendak
disampaikan gadis ini lewat isyarat goyangan kepala, tatapan mata dan gerakan
tanagn itu.
*****************
DUA
Datuk
Gampo Alam yang duduk di sebelah Andana dan banyak orang lainnya juga sama
merasa heran mengapa gadis pembawa sirih persembahan itu belum juga bergerak
maju mendekati tamu kehormatan guna memberikan persembahan sekapur sirih. Bunga
jadi tambah bingung. Keringat mengucur di kening dan kuduknya.
Andana
sendiri perlahan-lahan mulai menangkap isyarat yang dibuat Bunga. Namun hatinya
masih meragu. Dia melirik pada Datuk Gampo Alam. Tampaknya sang Paman mulai
mencium adanya sesuatu yang tidak beres. Andana kemudian memandang ke jurusan
di mana sahabatnya Wiro Sableng berdiri. Sebenarnya Wiropun berharap Andana
melihat kepadanya karena sejak tadi dia sudah maklum ada sesuatu. Dia ingin
pula memberikan isyarat pada Andana agar mengikuti apa yang diinginkan Bunga di
balik isyarat yang diberikannya. Bagitu Andana memandang ke padanya, Wiro serta
merta menengadahkan telapak tangan kanannya lalu menggerakgerakkan tangan itu
ke atas. Sehabis membuat gerakan itu Wiro susul dengan gerakan tudingan ibu
jari berulang kali.
Akhirnya
Andana menangkap juga apa maksud Bunga dengan isyarat goyangan kepala serta
gerakan tangan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Datuk Gampo Alam hendak
menegur tapi sang kemenakan sudah melangkah mendekati penari yang membawa
cerana berisi sirih persembahan. Bunga cepat menyongsong.
Cerana
dipegangnya dengan kedua tangannya. Kedua kakinya ditekuk sedikit dan kepalanya
ditengadahkan. Dia memandang tersenyum pada si pemuda. Gemas sekali Datuk Gampo
Alam melihat apa yang dilakukan Bunga itu. Rasa cemburu membakar dadanya.
“Ambil
sirih paling atas. Yang lainnya mengandung racun!” bisik Bunga seraya
mengangsurkan cerana lebih tinggi.
Andana
tentu saja terkesiap kaget mendengat bisikan gadis itu. Namun dia cepat
menguasai keadaan. Wajahnya yang tadi tampak berubah dihiasnya dengan senyum
yang dibalas pula dengan senyum oleh Bunga. Pemuda ini ulurkan tangannya ke
arah cerana. Sesuai dengan apa yang tadi dibisikkan Bunga dia mengambil lipatan
sirih segar hijau yang paling atas yang terletak begitu rupa di atas selembar
daun sirih.
Sepintas
dia dapat melihat bagaimana sirih-sirih lainnya berwarna aneh, hijau kehitaman.
Dengan
sirih di tangan kanannya Andana melangkah mundur, kembali ke tempat duduknya.
“Makanlah
sirih persembahan itu, Andana. Sengaja diberikan bukan saja sebagai
penghormatan tapi juga sebagai ungakapan syukur bahwa kau akhirnya kembali ke
Pagaralam dengan selamat.” Yang berkata adalah Datuk Gampo Alam dengan senyum
aneh bermain di mulutnya.
Andana
memperhatikan sejenak sirih di tangannya.
“Apa lagi
yang kau tunggu Andana? Makanlah….”
Andana
menganggukkan kepalanya. Tanpa ragu-ragu sirih itu dimasukkannya ke dalam
mulutnya. Perlahan-lahan mulai dikunyahnya. Dia berpaling pada Datuk Gampo
Alam. Sang Paman dilihatnya angguk-anggukkan kepala dan masih tersenyum.
Orang
banyak bertepuk tangan dan ada yang bersorak sorai. Sementara itu muda mudi
yang menarikan Tari Gelombang tampak terus melenggang meliuk-liuk mengikuti
alunan tetabuhan. Datuk Gampo Alam yang tidak habis-habisnya memperhatikan
Bunga berkata pada istri mudanya “Rukiah, aku lihat tadi mulut penari pembawa
cerana itu bergerak seperti mengatakn sesuatu. Kau dengar apa yang
diucapkannya?’
“Mana
mungkin telinga saya mendengar. Suara talempong keras sekali. Suara gendang tak
kalah kerasnya. Gadis itu mungkin suka pada kemenakan Datuk.
Barangkali
mereka sudah saling kenal sebelumnya. Lagi pula perduli apa saya akan segala yang
diucapkannya?”
Datuk
Gampo Alam terdiam. Ingatannya melayang pada beberapa kejadian di masa lalu.
Hemmmm…. dulu kedua anak ini memang pernah digunjingkan orang.
Pernah
terlihat bercinta-cintaan di tengah jalan. Kalau begini aku harus bertindak
cepat!
Datuk
Gampo Alam berpaling ke samping. Dilihatnya kemenakannya itu mengunyah sirih
dengan tenang. Sementara itu di atas rumah gadang sepi karena semua orang turun
ke bawah untuk melihat dari dekat keramaian itu. Seorang perempuan tinggi besar
berbaju kurung kuning dengan selendang yang hampir menutupi seluruh wajah
hingga mata kanannya seja yang kelihatan, mengintai dari balik jendela. Anehnya
mata orang ini besar dan merah tidak pantas untuk mata seorang wanita. Satu
kali angin bertiup agak kencang. Selendang yang menutupi wajah itu tersingkap
lebar hingga kelihatanlah begian besar wajah perempuan ini.
Astaga!
Wajah ini ternyata wajah seorang lelaki yang menyeramkan. Mata kirinya buta
picak. Kumis dan cambang baeuknya meranggas kasar! Tangan kanannya yang memegang
pinggiran selendang tampak merah kehitaman seperti pernah terbakar.
Orang
yang menyamar sebagai perempuan inilah tadi yang telah mengguyurkan racun kala
hutan di atas daun-daun sirih dalam cerana. Wajahnya yang angker tampak tegang
sewaktu menyaksikan bagaimana Andana masih tetap duduk dengan tenang di
kursinya, malah beberapa kali melayangkan senyum pada penari pembawa cerana.
Apa yang
terjadi. Orang di balik jendela bertanya pada diri sendiri. Jelas dia sudah
memakan sirih beracun itu. Mengapa masih belum mati terjengkang?! Apa benar dia
memiliki kesaktian luar biasa hingga tak mempan racun? Celaka!
Orang ini
pergunakan kedua tangannya untuk memegang selendang. Dengan bergegas dia segera
meninggalkan tempat itu.
Di bawah
rumah gerak gerik orang yang tadi mengintai di balik jendela ternyata sempat
terlihat oleh Andana. Dia berbisik pada Datuk Gampo Alam.
“Mamak,
ada seseorang di atas rumah gadang. Gerak geriknya mencurigakan.
Saya akan
coba menyelidik dan mengejar!” (Mamak di sini artinya Paman)
Datuk
Gampo Alam menoleh ke arah rumah gadang. Dia masih sempat melihat punggung
orang yang dikatakan Andana itu. Sesaat parasnya berubah. Lalu cepat dia
berkata. “Tetap saja di sini Andana. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Orang
berbaju kurung kuning tadi kurasa pastilah salah satu dari juru masak. Lupakan
hal itu Andana. Tak sedap pula makan kita nanti.”
Hati
Andana tetap tidak tentram. Dia tidak pernah melihat perempuan dengan ukuran
badan sebesar dan setinggi orang tadi. Maka diapun berpaling ke arah Wiro
berdiri. Namun sahabatnya itu dilihatnya tak ada lagi di situ.
Kemana
pula sahabatku orang Jawa itu? Pikir Andana.
Dari
tempatnya berdiri Wiro Sableng dapat melihat orang yang ada di jendela rumah
gadang. Walau wajahnya tidak jelas karena terus-terusan ditutup dengan
selendang namun bentuk tubuhnya yang tinggi besar menarik perhatian murid Eyang
Sinto Gendeng ini.
Bukan
main! Kata Wiro dalam hati. Baru kali ini aku melihat perempuan begini besar
dan tinggi. Gerak geriknya terasa aneh. Sebaiknya aku menyelidik ke atas rumah
sana. Siapa tahu nasibku mujur. Bertemu perawan cantik….. Selagi dia berpikir
seperti itu, perempuan berbaju kurung kuning di jendela rumah sudah lenyap.
Tanpa
pikir panjang lagi Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu, menyeruak di
antara orang banyak. Dia terpaksa mengambil jalan berputar untuk dapat sampai
ke tangga di sisi kiri rumah gadang. Ketika Wiro sampai di dekat bangunan
lumbung padi, perempuan berbaju kurung kuning itu dilihatnya menuruni anak
tangga terakhir lalu berkelebat ke arah barisan pohon-pohon pisang.
Cepat
sekali langkah perempuan itu. Eh, malah dia sekarang berlari.
Nah…..nah,
dia berpaling ke arahku. Tak jelas wajahnya. Tapi astaga! Mengapa dia melepas
kain panjangnya.
Dua mata
Wiro membesar ketika melihat di balik kain panjang yang dibuka olrh perempuan
tinggi besar itu sambil berlari ternyata dia mengenakan celana galembong hitam.
Kedua kakinya kini terlihat jelas.Besar berbulu dan dililiti gelang akar bahar!
Laki-laki!
Ternyata dia laki-laki! Eh, banci atau bagaimana?! Janganjangan…. Kalau dia
bukan orang jahat apa perlunya menyelinap ke atas rumah gadang, menyamar
seperti perempuan!
Wiro
berteriak. Tahu kalau dirinya sudah terlihat dan dikejar orang “perempuan”
berbaju kurung kuning itu mempercepat larinya. Wiro segera mengejar.
Yang
dikejar lenyap di jalan kecil menurun. Lalu terdengar suara kuda digebrak orang
ke arah Timur.
Sialan!
Gerutu Wiro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari kalau-kalau ada kuda di
sekitar situ. Pendekar ini hanya bisa banting-banting kaki karena tak seekor
kudapun yang kelihatan. Tiba-tiba telinganya menangkap derap kaki kuda.
Yang satu
ini justru mendatangi ke arahnya. Wiro cepat menyongsong. Seorang lelaki tua
muncul di atas punggung seekor kuda. Orang ini berpakaian dan berdestar putih.
Di tangan
kirinya dia memegang sebuah saluang. Kedua mata Wiro jadi terbelalak ketika dia
mengenali orang ini (Saluang = suling khas Minang terbuat dari bambu)
Astaga!
Si kakek ini adalah orang tua aneh berilmu tinggi yang dulu menghadang jalanku
sewaktu bersama Andana. Dia mencelakai diriku hingga selangkangan celanaku
robek besar. Lalu kutelanjangi dirinya, kurampas celananya!
Sesaat
Wiro agak bimbang. Tapi dia perlu kuda tunggangan orang tua itu.
Dlam
keadaan seperti itu si orang tua hentikan kudanya. Kedua matanya menatap tajam
ke arah Pendekar 212. Suling di tangan kanan dimelintangkan di depan dada.
Ah, pasti
dia marah sekali padaku!
“Pencuri
calana! Hari ini kita bertemu lagi! Mana celanaku yang kau rampas tempo hari?!”
orang tua itu membentak.
“Sabar,
tenang…..”
“Sabar!
Tenang! Enak betul cakapmu! Kau telanjangi diriku! Kau permalukan aku! Apa
sekarang kau hendak menelanjangi aku lagi huh?! Apa kau kira kini aku bisa
sabar dan tenang melihat tampangmu?!”
“Saya minta
maaf atas kejadian tempo hari! Saya terpaksa melakukannya.
Itupun
gara-gara kau membuat robek celanaku….”
“Apapun
alasanmu kau tetap maling perampas calana! Dan kau tidak bisa mengembalikan
celana itu!”
“Akan aku
kembalikan nanti. Aku berjanji!”
Orang tua
di atas kuda tertawa sinis. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkata.
“Kulihat kau berpakai dan mengenakan saluak bagus! Hemmm…. Pasti hasil rampasan
pula! Siapa pula yang telah kau telanjangi? Kali ini pasti tidak
tanggungtanggung.
Kau
rampas seluruh pakaiannya! Kau telanjangi orang sampai bugil!”
“Orang
tua dengar….”
“Kau yang
harus mendengar padaku! Bukan aku!” hardik si orang tua. “Dan kali ini aku
tidak Cuma bicara dengan mulut ! Tapi juga dengan ini !”
Wiro
hendak menggaruk kepalanya karena tak tahu mau bicara apa lagi.
Selain
itu dia merasa sangat risau karena orang yang dikejarnya tentu sudah semakin
jauh. Di hadapannya saat itu sehabis berkata begitu si orang tua lantas ayunkan
suling bambunya ke arah kepala Pendekar 212.
Wuuuttt!!
“Pecah
kepalamu!” teriak si orang tua.
Wiro
berseru keras. Tengkuknya menjadi dingin sewaktu suling bambu di tangan orang
tua itu memapas topi kain songket di kepalanya. Padahal dia sudah merunduk
dengan gerakan cepat. Topi itu mental dan robek menjadi beberapa potongan!
Ketika
orang tua itu membelikkan kudanya dan kembali hendak menghantamkan suling
bambunya Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Dia menyusup ke bawah perut kuda
tunggangan lawan. Tadi dia telah memperhatikan kalau kuda itu adalah seekor
kuda jantan. Begitu berada di bawah perut kuda murid Sinto Gendeng ini dengan
cepat menyodok biji kemaluan binatang itu. Tidak terlalu keras tapi cukup
membuat kuda ini meringkik tinggi, emngangkat kedua kaki depannya ke atas
setelah itu menghentak-hentakkan kedua kaki belakangnya!
“Kurang
ajar! Kau apakan kudaku!” teriak si orang tua kaget dan cepat berusaha
mengimbangi diri. Namun terlambat. Kuda yang kesakitan itu kembali melejangkan
kaki belakangnya. Tak ampun lagi penunggangnya terperosok ke samping lalu jatuh
ke tanah. Di saat yang sama dengan kecepata kilat Wiro melompat ke atas
punggung kuda lalu menggebrak binatang ini hingga dalam sakitnya menghambur
lebih kencang dari selama ini bisa dilakukannya.
Pendekar
212 hanya senyum-senyum mendengar di belakangnya orang tua itu memaki panjang
pendek. Lalu dia mendengar ada suara pepohonan tumbang dan semak belukar rambas
di belakangnya. Pasti orang tua itu telah melepaskan satu pukulan sakti. Wiro
menelungkup serata mungkin di atas punggung kuda.
Sekeluarnya
dari jalan kecil yang berkelok-kelok Wiro sampai ke sebuah lembah kecil
menurun. Sesaat dia dapat melihat keadaan di depannya. Di kejauhan dia melihat
seorang penunggang kuda berbaju kuning.
Jarakku
begitu jauh. Tak mungkin mengejarnya jika terus menempuh jalan kecil ini pikir
Wiro. Di sebelah kanannya ada sebuah hutan kecil. Jika dia memasuki hutan itu
mungkin dia masih mampu memotong jalan orang yang dikejarnya. Tanpa berpikir
panjang lagi Wiro segera memasuki hutan itu. Tak lama kemudian dia berhasil
mencapai lereng lembah. Di satu tempat dia berhenti. Orang yang dikejarnya
tidak kelihatan tapi telinganya lapat-lapat dapat menangkap suara derap kaki
kuda di arah Selatan lembah. Secepat kilat Wiro mengerahkan kudanya ke jurusan
itu. Namun anehnya suara derap kuda yang dikejarnya lenyap dengan tiba-tiba.
Tak
mungkin orang itu lenyap begitu saja. Wiro memandang berkeliling. Eh!
Di
sebelah sana dia melihat sehelai pakaian berwarna kuning menyangsang di antara
semak belukar. Wiro segera mendatangi. Dipegangnya ujung pakaian itu. Ini baju
kurung si manusia banci itu! Pasti dia beraa di sekitar sini! Wiro memandang
berkeliling. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan.
Tiba-tiba
suara tawa bergelak menggeledek di belakang Pendekar 212 sampai sang pendekar
tergagau karena terkejut.
“Orang
asing! Berani kau mengejarku?! Ini ada hadiah untukmu! Keparat!” Wiro berpaling
dengan cepat.
Saat itu
pula dua buah pisau terbang melesat ke arahnya. Satu mengarah ke dada, satunya
mengarah perut!
“Banci
edan!” teriak Wiro marah. Dia tidak sempat melihat jelas orang yang
menyerangnya dengan dua bilah pisau terbang itu. Sambil melompat turun dari
kuda Wiro lepaskan pukulan “Tameng Sakti Menerpa Hujan”.
Pisau
yang mengarah dada mencelat mental, patah dua. Salah satu patahannya menancap
di sebatang pohon. Pisau kedua siap dibikin mental oleh pukulan sakti itu namun
tiba-tiba terjadi hal luar biasa. Pisau satu ini membuat gerakan aneh. Meliuk
ke kiri
dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ular!
“Ha….ha….ha….!”
Orang di depan sana tertawa bergelak lalu berkelebat lenyap.
“Kurang
ajar!” damprat Wiro. Dia cepat menyingkir sambil lepaskan lagi satu pukulan
sakti ke arah pisau yang kini berubah menjadi ular dan mematuk secepat setan
berkelebat! Bagaimanapun cepatnya Wiro menghindar, serangan tak terduga itu tak
dapat dielakkannya. Ular mematuk dan menancap di bahu kirinya! Sehabis mematuk
binatang jejadian ini menggelepar lalu jatuh ke tanah, berubah menjadi bubuk
hitam yang mengepulkan asap.
Pendekar
212 cepat menotok beberapa bagian tubuhnya begitu dia merasa ada hawa panas
menjalar. Selain panas bahunya seperti ditusuk puluhan jarum.
Dirobeknya
bajung pada bagian bahu kiri. Dengan tangan kanannya dia memencet bagian bahu
sekitar patukan ular. Darah mengucur keluar. Bukan berwarna merah tetapi hitam!
Paras sang pendekar menjadi pucat! Cepat-cepat dia keluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212 dari balik pakaian merahnya. Setelah merapal satu mantera pendek dalam
keadaan tubuh panas dingin salah satu mata kapak ditempelkannya pada luka bekas
patukan ular di bahu kirinya.
Wiro
menjerit keras sewaktu asap kelabu mengepul keluar dari bahu yang ditempel
senjata mustika sakti itu. Sekujur tubuhnya laksana dirajam. Sesaat mata kapak
yang tadinya berwarna putih perak menyilaukan berubah manjadi sangat hitam lalu
perlahan-lahan puith kembali ke warna asalnya. Ketika senjata itu diangkat dari
bahunya darah hitam masih mengucur terus malah tambah banyak.
Celaka!
Racun jahat sekali. Lukaku tak mau berhenti ! Murid Sinto Gendeng jadi bingung
dan takut. Namun sesaat kemudian hawa panas yang menyungkup tubuhnya mulai
reda. Darah yang tersedot keluar oleh kekuatan Kapak Maut Naga Geni 212
perlahan-lahan tampak berubah dari hitam menjadi merah segar.
Murid
Eyang Snito Gendeng menarik nafas lega. Dia terduduk di tanah. Dia baru saja
selamat dari satu racun maha jahat. Ketika dia teringat pada orang tadi serta
merta Wiro melompat bangkit. Dia memandang berkeliling.
Bagaimanapun
saktinya manusia tadi tak mungkin dia lenyap amblas ke dalam bumi! Pikir Wiro.
Lalu bagaimana dia bisa raib begitu rupa?! Pendekar ini segera memeriksa semak
belukan di tempat itu. Hemmmm….. ini rahasianya! Kata Wiro. Di balik serumpunan
semak belukar lebat, di belakang dua pokok keladi hutan berdaun lebar tampak
sebuah lobang besar. Dengan membungkuk Wiro memasuki lobang itu. Hati-hati dia
bergerak maju. Kapak Naga Geni 212 tetap berada dalam genggamannya. Baru
berjalan sekitar sepuluh langkah, lobang itu bercabang dua.
Setelah
meragu sejenak Wiro memasuki lobang sebelah kanan. Sepuluh lobang lagi bergerak
ke dapan kembali lobang itu bercabang. Kini bukan Cuma dua tapi tiga.
Wiro
memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu semakin gelap. Bau busuk menusuk
hidung. Sadar akan bahaya tak terduga yang mungkin bisa membokongnya
sewaktu-waktu secara tidak terduga murid Eyang Sinto Gendeng akhirnya memutar
tubuh, keluar dari lobang itu.
Di
belakangnya mendadak terdengar suara tawa bergelak. Lalu satu suara mengejek.
“Orang asing! Ternyata nyalimu rendah! Kalau jiwamu pengecut mengapa berani
merantau sejauh ini? Ha…ha…ha…!”
“Bangsat!”
maki Wiro. Bagitu keluar dari lobang dengan penuh kemarahan murid Sinto Gendeng
ini menghantamkan pukulan “dewa topan menggusur gunung” kearah lobang itu tiga kali
berturut-turut. Lembah itu laksana mau amblas ke perut bumi. Bukit kecil di
mana lobang tadi berada longsor dengan suara bergemuruh.
Lobang
jalan masuk tertimbun tanah tak kelihatan lagi.
Wiro
memasukkan Kapak Mau Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Manusia banci! Aku mau
lihat apa kau bisa keluar hidup-hidup dari dalam lobang celaka itu!
Habis
berkata begitu Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu dengan berjalan kaki
karena kuda si orang tua yang tadi dirampasnya tak ada lagi di tempat itu.
Meskipun dirinya telah selamat dari racun ular yang sangat jahat tadi namun
saat itu dia merasa tubuhnya lemas sekali.
Hanya
beberapa saat Wiro teinggalkan tempat itu satu bayangan putih berkelebat. Orang
ini memandang berkeliling. Sambil gelengkan kepala dia berkata.
Pukulan
“dewa topan menggusur gunung.” Hemm…. anak itu rupanya masih terus mengamalkan
ilmu kesktian itu. Kekuatan tenaga dalamnya sudah jauh lebih tinggi.
Gunung
Merapipun bisa dibobolnya! Orang ini yang ternyata seorang tua usap mukanya
beberapa kali. Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik pada bagian belakang
kepalanya. Selembar topeng tipis dan rambut palsu tanggal dari kepalanya.
Astaga!
Di balik topeng itu kelihatan wajahnya yang asli. Cekung hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Rambut putih di kepalanya tampak jarang. Tapi kumis dan
janggutnya kelihatan tebal seputih kapas.
Ketika
Wiro sampai ke tempat perhelatan kembali tidak mudah baginya menemui Andana
karena saat itu Andana sedang bercakap-cakap dengan Datuk Gampo Alam dana
keduanya berada dalam rumah gadang tengah makan. Kali ini Andana berlaku
cerdik. Setiap gulai atau ikan dan daging yang dimakan sang Datuk itu pula yang
diambilnya. Paling tidak dia berusaha menghindari akan diracuni orang untuk
kedua kalinya.
Ketika
Atun, datang membawakan minuman tambahan untuk Andana, pembantu itu membisikkan
sesuatu padanya.
“Eh,
kenapa kau jadi makan terburu-buru Andana?” tanya Datuk Gampo Alam ketika
dilihatnya kemenakannya itu menyuap dan mengunyah makanannya lebih cepat dari
sebelumnya.
“Perut
saya tiba-tiba saja tidak enak. Mungkin saya masuk angin karena kurang tidur
malam tadi…. Paman, izinkan saya ke belakang dulu….” Andana membasuh tangan
kanannya lalu cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu menuju ke pancuran di
belakang rumah gadang. Namun di satu tempat dia membelok ke jurusan lain,
melangkah cepat hingga akhirnya sampai di balik barisan pohon-pohon pisang tak
jauh dari lumbung padi.
Di situ
menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Ada apa
Wiro? Mengapa kau meminta aku datang kemari. Eh, pakainmu robek di bahu.
Kulihat mukamu agak pucat…..”
Dengan
cepat Wiro menceritakan apa yang telah dialaminya.
“Saya
memang sudah curiga melihat orang itu waktu dia muncul di jendela rumah gadang.
Tapi saya tak mungkin melakukan sesuatu. Ternyata kau bertindak cepat. Kau
sempat melihat wajahnya? Yang penting kau benar-benar sudah aman dari racun
jahat itu?”
“Saya
aman, tak usah kawatir. Mengapa tampang orang itu saya hanya sempat melihatnya
sekilas sebelum dia menyelinap masuk ke dalam lobang. Orangnya berkumis dan berewokan.
Salah satu matanya kalau aku tak salah ingat yang sebelah kiri buta…..”
Andana
berpikir-pikir. Lalu pemuda ini gelengkan kepala. “Kau tahu, sekitar tiga tahu
aku meninggalkan Pagaralam. Orang jahat datang dan pergi berganti-ganti.
Aku tak
tahu siapa yang satu ini. Ilmunya tak bisa dibuat main. Nanti akan kutanyakan
pada Datuk. Aku merasa yakin ini masih pekerjaannya Tumenggung Rajo Langit….”
Wiro
usap-usap dagunya lalu berkata. “Untuk sementara sebaiknya kejadian ini
dirahasiakan antara kita berdua…..”
“Hem….
Kelihatannya kau kurang percaya pada Pamanku Datuk Gampo Alam?”
“Saya
tidak mengatakan begitu, sahabat.” Jawab Wiro. “Tapi coba kau pikirkan sendiri
dalam-dalam.”
“Aku
harus meninggalkan tempat ini sekarang….”
“Kau
harus makan dulu. Gulai kambing, rendang pedas menunggumu….”
Wiro
tertawa. “Seleraku jadi hilang dengan kejadian ini,” katanya.
Ketika
Pendekar 212 meninggalkan tempat itu, di sebuah jendela dekat anjungan rumah
gadang Datuk Gampo Alam yang sempat menyaksikan pertemuan antara kemenakannya
dengan Wiro bergerak menjauhi jendela. Lehernya disentaksentakkan dua kali lalu
dia kembali ke tempat duduknya semula. Menggulung sebatang rokok dan
menghisapnya dalam-dalam.
*****************
TIGA
Palindih
masuk ke dalam rumah itu sambil tersenyum-senyum. Sesaat dia memandang pada
Mamak Rabiah dan Bunga. Lalu bungkusan yang dibawanya diletakkannya di atas
meja.
“Apa itu
Palindih?” tanya Mak Rabiah.
“Hadiah
dari Datuk Gampo Alam buat anak Etek,,Bunga. Cita halus dari negeri Cina, kain
songket berbenang emas dari Palembang, sehelai selendang sutera lalu sejumlah
uang! Besar nian rejeki abak Etek.”
Mamak
Rabiah sesaat saling pandang dengan Bunga.
“Kami
tidak meminta. Mengapa Datuk memberikan?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Itu
tandanya beliau puas. Datuk memuji kepandaian Bunga menari. Bukan itu saja,
kecantikan anak Etek itupun disebut-sebutnya terus menerus.”
“Kalau
Datuk Gampo Alam memberikan dengan ikhlas, kami menerima dengan ikhlas pula.
Sampaikan ucapan terima kasih kami pada Datuk….” Mamak Rabiah mengira Palindih
akan segera pergi namun lelaki itu masih tegak di hadapannya. Mamak Rabiah lalu
membuka bungkus yang dibawa Palindih. Di situ memang ada cita, kain songket
serta sehelai selendang dan uang dalam kantong kain.
“Banyak
sekali uang yang diberikan Datuk Gampo Alam. Kau ambillah sebagian Palindih.”
Mamak Rabiah mengangsurkan sejumlah uang pada pembantu Datuk Gampo Alam itu.
“Ah tak
usahlah Etek. Saya menolong juga dengan ikhlas…..” katanya tapi kedua matanya
melirik ke tangan kanan Mamak Rubiah.
“Ambillah….”
“Etek ini
ada-ada saja,” kata Palindih. Lalu diambilnya juga uang dan dimasukkan ke dalam
sakunya. “Etek Rabiah, ketahuilah selain disuruh menyampaikan hadiah ini, saya
juga membawa pesan dari Datuk Gampo Alam.”
“Pesan
apa geranagn?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Datuk
mengundang Etek datang ke rumahnya sore ini juga setelah ba’dal Asar. Kalau
Etek suka kita bisa pergi bersama-sama.
“Datukmu
mengundang saya datang ke rumah gadang? Agak aneh kedengarannya Palindih. Baru
sekali ini kejadain begini. Apa gerangan maksudanya?”
tanya
Mamak Rabiah pula seraya memandang pada Bunga.
“Saya
tidak tahu Etek. Tentu maksud baik semata. Karena itu jangan ditolak
undangannya.”
Mamak
Rabiah berpikir sejenak lalu berkata. “Kau pergilah lebih dahulu. Biar aku
menyusul sendiri kemudian.” Kata perempuan itu seraya membetulkan letak
selendangnya.
Begitu
Palindih pergi Mamak Rabiah cepat menutupkan pintu lalu dia tegak bersandar
pada daun pintu seraya memejamkan matanya.
Bunga
segera mendekati perempuan ini. “Ada apa Mak? Mamak kurang sehat?”
Tanpa
membuka matanya perempuan itu menjawab. “Mamak rasa telah membuat kesalahan
besar anakku. Menyetujuimu menjadi gadis penari pembawa sirih persembahan
itu….”
“Kalau
begitu Mamak tak usah saja datang….” kata Bunga tanpa mau bertanya apa yang
membuat Mamak Rabiah berkata begitu.
“Kalau
tidak datang salah pula nanti…..” jawab Mamak Rabiah lalu menarik nafas
panjang.
Datuk
Gampo Alam menyambut kedatangan Mamak Rabiah dengan tawa lebar penuh gembira.
Perempuan itu dibawanya ke anjungan rumah gadang lalu mereka duduk
berhadap-hadapan.
“Istri-istri
Datuk kemana….?” tanya Mamak Rabiah ketika melihat hanya sang Datuk saja
sebagai tuan rumah yang menemaninya hingga mau tak mau dia merasa kikuk.
“Mereka
sibuk semua Mak Rabiah. Terima kasih kau mau datang…..”
“Datuk,
saya dan Bunga mengucapkan terima kasih atas pemberian Datuk tadi siang….”
“Ah, itu
hanya hadiah kecil saja. Tak usah disebut-sebut,” kata Datuk Gampo Alam.
Setelah menyentakkan lehernya beberapa kali sang Datuk berkata. “Aku tak pernah
tahu kalau kau menyimpan burung bagus luar biasa di sangkar emas….”
“Saya
tidak paham maksud Datuk…”
Lelaki
itu tertawa lebar. “Maksudku anakmu yang cantik dan pandai menari itu. Bunga…..
Betul itu namanya?”
“Bunga
gadis buruk, keturunan orang tak punya. Maklum saja gadis kampung.
Apa yang
Datuk kagumi?”
Datuk
Gampo Alam kembali tertawa dan menyentak-nyentakkan lehernya.
“Kau
pandai merendah Rabiah. Kalau Bunga tak jadi penari siang tadi tak pernah aku
tahu bahwa ada seorang bidadari di Pagaralam ini!” Mamak Rabiah terdiam.
Datuk
Gampo Alam menggeser duduknya. Dengar Rabiah, gadis secantik Bunga tidak pantas
tinggal di rumahmu yang sekarang…..”
“Mengapa
Datuk berkata begitu? Lalu kemana kami hendak pergi? Kami orang miskin…..”
“Aku
punya beberapa rumah di Pagaralam ini, juga di Pagaruyung. Kau boleh memilih
mana yang kau suka. Atau di sini di rumah gadang ini. Masih ada satu kamar
tersisa…..”
Berdebarlah
dada Mamak Rabiah mendengar kata-kata Datuk Gampo Alam itu. Sudah terbayang
olehnya kini apa tujuan laki-laki ini menyuruhnya datang.
“Rabiah….
Kau faham maksudku bukan?”
“Maafkan,
saya tidak mengerti Daruk.” Jawab Rubiah dan dadanya tambah menggemuruh.
Mukanya tampak memucat.
“Begini,
maksudku anakmu itu. Aku ingin mengambilnya jadi istri….”
Ya Tuhan,
benar rupanya dugaanku! Kata Mamak Rabiah dalam hati.
“Datuk,
saya….”
“Kau
setuju? Bagus!”
“Maksud
saya bukan begitu Datuk. Bunga masih kecil. Belum pantas bersuami. Lagi pula,
maakan saya Datuk. Bukankah Datuk sudah punya empat orang istri? Agama dan adat
tidak mengijinkan lebih dari itu….”
Datuk
Gampo Alam tertawa lebar. “Kalau itu yang kau takutkan, setiap saat aku bisa
menceraikan salah seorang dari istriku. Kau sebut saja yang mana. Empat kurang
satu ditambah satu kan empat juga jadinya. Ha….ha…..ha…..!”
Mamak
Rubiah tundukkan kepala. Dadanya seperti siap untuk meledak.
“Datuk,
saya kurang sehat. Izinkan saya pulang…..”
“Tentu,
tentu. Palindih akan saya suruh mengantar dengan kereta…..”
“Terima
kasih. Saya masih mampu berjalan.”
“Baik
kalau begitu.Tapi dengar. Besok Jum’at. Pagi-pagi sekali kau harus datang
memberikan jawaban. Dan kau tahu jawaban apa yang aku ingin bukan?”
Rabiah
tidak menyahut. Dituruninya tangga rumah besar bergonjong itu dengan langkah
gontai sempoyongan. Dunia seperti berputar di matanya. Dalam hatinya dia
berseru pada Yang Kuasa. Tuhan, beri saya kekuatan. Sampaikan langkah saya ke
rumah. Yang lebih penting janganlah semua ini terjadi menurut keinginan manusia
yang satu itu……
Begitu
Bunga membukakan pintu, Mamak Rabiah langsung memeluk dan menciumi anak itu.
Kedua matanya basah.
Mamak,
ada apakah? Tanya Bunga heran seraya membimbing perempuan itu duduk ke sebuah
tempat tidur kayu.
Nasib
kita memang belum lepas dari sengsara Nak. Datuk Gampo alam…..” Mamak Rabiah
tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Datuk
Gampo Alam? Mengapa dia Amak?”
“Tak
sampai hati Mamak mengatakannya padamu Bunga.”
“Saya
sudah bisa menduga walau Mamak tak mau mengatakannya. Tua bangka tak tahu
diuntung itu pasti meminta saya jadi istrinya. Bukan begitu Mak?”
Mamak
Rabiah mengangguk dan tangisnya mengeras.
“Apa yang
Mamak katakan padanya?”
“Tidak
ada. Mamak tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia meminta Mamak datang lagi memberi
kabar. Besok hari Jum’at pagi.”
Bunga
berdiri, melangkah ke meja dimana masih terletak bungkusan hadiah dari Datuk
Gampo Alam.
“Jadi itu
sebabnya dia memberi hadiah sebanyak ini! Tua bangka gila! Tak sudi aku
menerima pemberiannya ini!” Bunga lalu melemparkan bungkusan itu ke dinding.
Bunga sendiri seprti tak kuasa lagi berdiri, jatuh berlutut dan menutupi
wajahnya dengan kedua tangan. Lalu terdengar isak tangisnya.
*****************
EMPAT
Di rumah
gadang sesaat setelah Mamak Rabiah pergi, Rukiah istri termuda Daruk Gampo Alam
keluar dari balik pintu. Dia melangkah menemui suaminya dengan muka cemberut.
“Eh,
termakan nasi basi atau kacang busuk sampai mukamu asam seperti itu Rukiah!
Atau ada hantu gunung Sitoli merasuk ke dalam tubuhmu!”
Rukiah
tersenyum pencong. “Saya sudah dengar semua pembiacaraan Datuk dengan Mamak
Rabiah tadi….”
Tampang
Datuk Gampo Alam berubah. Merah membesi. “Perempuan kurang ajar! Jadi berani
kau mencuri dengar pembicaraanku! Setan kau!” Datuk Gampo Alam sentakkan
lehernya sempai empat kali sedang kedua matanya memandang membeliak pada istri
mudanya itu. Kalau saja yang ada di hadapannya itu bukan Rukiah yang memang
sangat disayanginya tetapi salah satu dari tiga istrinya yang lain, pasti sang
Datuk sudah menjambak rambutnya.
“Bukan
saya yang setan!” menjawab Rukiah dengan beraninya. “Tapi Datuk!”
Ucapan
itu membuat Datuk Gampo Alam bergeletar selurh tubuhnya. “Ku tampar mulutmu
nanti Rukiah!” mengancam sang Datuk.
Sang
istri muda tenang-tenang saja. Malah menyahuti. “Saya sudah bicara dengan
kakak-kakak di sini. Kalau Datuk memang mau mengawini Bunga, silahkan.
Datuk
boleh menceraikan salah satu dari kami berempat. Tapi saya minta Datuk menceraikan
saya!”
“Aha! Kau
cemburu Rukiah!” kata Datuk sambil tertawa. Diantara keempat istrinya Rukiah
sebagai istri muda tentu saja merupakan istri yang paling disayanginya. “Aku
tidak akan menceraikan mu apapun yang terjadi!”
“Kalau
Datuk tidak mau menceraikan saya, biar saya yang minta cerai dan pergi dari
sini! Kami semua tidak suka Datuk mengambil gadis itu sebagai istri. Gadis yang
pantas jadi anak Datuk itu akan bernasib buruk dan menderita batin seperti
kami-kami di sini!”
“Perempuan
setan! Cakapmu benar-benar membuatku marah! Menyingkir dari hadapanku!” kata
Datuk Gampo Alam setengah berteriak lalu menyentakkan lehernya.
“Jadi
Datuk tetap mau mengawini Bunga?” tanya Rukiah dengan beraninya.
“Setan
manapun tak bisa menghalangiku!” jawab Datuk Gampo Alam.
“Kalau
begitu saya minta cerai sekarang juga!”
Plaak!
Tamparan
Datuk Gampo Alam membuat Rukiah terpekik. Perempuan muda ini hampir terjatuh
nanar. Sambil pegangi pipinya menahan sakit dia berkata. “Lakilaki gila! Umur
hanya tinggal sejengkal dari liang kubur masih saja ingin kawin!
Kambing
tua tidak tahu diri. Kerjanya melahap daun muda saja!”
Datuk
Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali. Pipinya yang cekung tampak
menggembung sampai ke rahang.
“Perempuan
tak tahu diuntung! Kau minta cerai! Baik! Kujatuhkan talak satu padamu!
Sekarang angkat kaki dari rumah gadang ini!”
“Talak
satu?! Huh! Kenapa Cuma talak satu? Kenapa tidak sekalian talak tiga?!” sentak
Rukiah.
“Kalau
itu maumu Baik! Kujatuhkan talag tiga! Nah, puas kau sekarang? Ayo cepat
lindang dari rumahku ini!” Suata Datuk Gampo Alam demikian kerasnya hingga
terdengar oleh orang-orang yang ada di halaman, termasuk Andana. (lindang =
angkat kaki). Kau datang ke sini hanya membawa sehelai pakaian buruk lekat di
badan! Kalau kau pergi jangan harap akan kuperbolehkan membawa lebih dari pada
baju yang melekat di tubuhmu itu!”
“Saya
tidak tamak harta! Saya tidak akan membawa apa-apa kecuali pakaian ini!” jawab
Rukiah. Lalu ditanggalkannya cincin, gelang dan kalung emasnya.
Perhiasan
ini kemudian dilemparkannya ke muka Datuk Gampo Alam hingga sang Datuk tersurut
kaget tapi juga marah sekali. Sebelum dia sempat menyemprotkan caci maki atau
melayangkan tangannya, Rukiah sudah melangkah ke pintu lalu menuruni tangga
rumah gadang dengan cepat. Di halaman rumah gadang Andana detang
menyongsongnya.
“Saya
mendengar suara ribut-ribut tadi. Kini saya lihat Etek seperti terburuburu.
Etek mau
kemana?” Sambil bertanya Andana memperhatikan wajah istri
Pamannya
yang usidanya jauh lebih muda dari dirinya. “Astaga, ada apa pipi Etek
kelihatan merah?”
Rukiah
coba tersenyum. “Andana, jika kau punya kesempatan aku harap kau mau menemuiku
di simpang tiga jalan ke sawah. Ada sesuatu yang sangat penting ingin
kukatakan.” Setelah berkata begitu Rukiah cepat-cepat berlalu.
Sementara
itu dari atas rumah Datuk Gampo Alam menuruni tangga dengan cepat. “Apa yang
dikatakan perempuan setan itu padamu?!” tanya Datuk Gampo Alam pada Andana.
“Tidak
begitu jelas. Dia bicara terburu-buru. Katanya dia mau pergi…..”
“Pergi
kemana?!” tanya sang Datuk lagi.
“Saya
tidak tahu Paman. Dia hanya bicara sebentar lalu cepat-cepat pergi.”
Andana
diam sejenak sambil mengusap-usap dagunya. “Mamak, saya sudah menginap malam
tadi di rumah gadang. Saya sudah pula menerima kehormatan besar yaitu sebgai
penerima sirih persembahan. Samua itu tidak mungkin terjadi kalau bukan Paman
yang mempersiapkan dan mengaturnya. Saya mengucapkan ribuan terima kasih Paman.
Tiba saatnya hari ini saya minta diri. Mulai hari ini saya akan tinggal di
surau.”
“Kau
tidak berbasa-basi, Andana?” Pemuda itu menggeleng.
“Bagaimana
kalau Tumenggung Rajo Langit mengirimkan orang-orangnya untuk menangkapmu. Kau
tidak takut? Jika kau tidak ada di dekatku, aku tak bisa melindungimu.”
“Saya
tidak takut pada siapapun Paman. Kecuali pada Yang Satu di atas sana,” jawab
Andana sambil menunjuk ke langit. “Lagi pula sebelumnya Tumenggung itu memang
sudah mengirim orang-orangnya untuk menangkap saya.
Tuhan
masih melindungi saya. Pemuda sahabat saya yang menghajar habis semua
monyet-monyet Tumenggung Rajo Langit. Tumenggung itu sendiri kalau tidak
cepatcepat lari pasti babak belur untuk kedua kalinya…..”
“Untuk
kedua kalinya katamu? Jadi sebelumnya dia pernah menghajar Rajo Langit?’
“Betul.
Waktu tua bangka itu mencoba mengganggu anak gadis orang…”
Eh,
jangan-jangan anak ini menyindirku, pikir Datuk Gampo Alam.
“Andana,
pemuda kawanmu yang bernama Wiro itu, apa dia memang seorang pendekar
berkepandaian tinggi?” bertanya Datuk Gampo Alam.
Yang
ditanya mengangguk. “Bagi saya kalau seorang bisa menghadapi lebih dari tiga
orang lawan hanya dengan tangan kosong, apalagi lawan bersenjata pula, dia
sudah saya anggap sebagai seorang pendeka besar….”
Datuk
Gampo Alam terdiam. Dalam hati dia berkata. Orang Jawa ini jelas akan membuatku
susah dan rencanaku berantakan. Kalau tidak diambil tindakan dari sekarang
urusan bisa tidak karuan. Lalu anak yang di hadapanku ini sendiri sampai dimana
pula kehebatannya. Dia sempat berguru dengan Datuk Alis Merah.
“Andana
aku yakin kau bisa menghadapi semua kesukaran ini. Sekalipun tanpa pertolongan
sahabatmu bernama Wiro itu. Kabarnya kau sudah diberi orang gelar Harimau
Singgalang.”
Andana
coba tersenyum dan berkata. “Itu hanya cakap gurau orang saja Paman. Mana
berani saya memakai gelar sehebat itu….”
“Jadi,
kau sungguhan hendak pergi?”
Andana
mengangguk.
Datuk
Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Baiklah, aku tak bisa melarang.
Namun sebelum pergi naiklah dulu ke atas. Ada beberapa hal yang perlu
kubicarakan denganmu.”
“Perihal
apakah Paman?” tanya Andana.
“Perihal
rumah gadang dan segala isinya. Aku bermaksud menjualnya.”
Terkejut
Andana mendengar kata-kata Pamannya itu. Dengan perasaan tidak enak dia menaiki
tangga mengikuti Datuk Gampo Alam naik ke atas rumah gadang.
Begitu
sampai di atas rumah gadang Datuk Gampo Alam masuk ke dalam kamarnya. Ketika
keluar dia membawa segulung kertas. Setelah duduk di hadapan kemenakannya
dibukanya gulungan kertas itu seraya berkata. “Andana ini adalah Surat Wasiat
peninggalan Ayahmu. Isinya bisa kau lihat sendiri nanti. Sekarang biar
kubacakan dulu.”
Surat
Wasit. Hari Kamis hari ke dua belas bulan Muharram. Saya Datuk Bandaro Sati,
dengan ini berwasiat. Jika terjadi sesuatu apa dengan diri saya yang
menyebabkan kematian saya, maka semua harta kekayaan yang tertinggal termasuk
rumah gadang yang di Pagaralam dan segala harta pusaka yang ada di dalamnya,
ternak dan sawah ladang akan saya wariskan pada dan menjadi hak syah Datuk
Gampo Alam, satu-satunya adik kandung saya. Segala urusan selanjutnya dialah
yang bertanggung jawab penuh untuk menentukan. Tertanda Datuk Bandaro Sati.
Mengetahui
Penguasa di Pagaruyung Tumenggung Rajo Langit.
Sehabis
membacakan Surat Wasiat itu Datuk Gampo Alam menatap wajah kemenakannya. Anak
ini kelihatan tenang saja membatin sang Datuk. Tak ada perubahan pada air
mukanya. Datuk Gampo Alam akhirnya menyerahkan Surat Wasiat itu pada Andana.
“Kau baca sendirilah,” katanya.
Andana
membaca Surat Wasiat itu. Sesaat kemudian diserahkannya kembali pada pamannya.
“Kau
tidak akan mengatakan atau menanyakan sesuatu Andana?”
“Memang
ada Paman,” jawab si pemuda. “Pertama kapan Surat Wasiat itu Paman terima dari
almarhum Ayahanda?”
“Beberapa
waktu lalu. Kalau aku tak salah ingat hanya sekitar tida empat minggu sebelum
dia meninggal. Itulah, seperti yang aku katakan tempo hari. Dia seolah-olah
sudah mendapat firasat. Membuat Surat Wasiat ini lalu memberikannya padaku.
Bisa kufahami. Kau tak ada di Pagaralam, entah berada dimana. Lalu kakak kami
Uning Ramalah seperti kau ketahui tidak mau mengurusi hal-hal seperti ini
lagi.”
“Paman,
pengetahuan saya sangat dangkal tentang hal-hal yang menyangkut warisan. Tetapi
ada sesuatu yang saya ketahui dengan jelas sekali.”
“Hemmm,
apakah itu Andana?” tanya Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan lehernya dua
kali.
“Warisan
yang ditinggalkan Ayah saya bukanlah termasuk Pusaka Tinggi.
Yaitu
pusaka turun temurun dari nenek moyang kita yang tidak boleh dijual atau
dibagi-bagikan. Tetapi tetap akan menjadi pusaka untuk bisa dimanfaatkan oleh
keturunan sedarah sedaging. Contoh Pusaka Tinggi itu ialah rumah gadang yang di
Batusangkar. Tetapi rumah gadang yang ini adalah Pusaka Rendah. Rumah dan
segala isinya adalah milik Ayahanda langsung. Hasil pencaharian dan
pembeliannya sendiri.
Dari
keringatnya sendiri. Bukan harta turun temurun. Dengan kata lain sebagai anak
kandung satu-satunya maka sayalah yang secara syah menerimanya sebagai warisan,
wajib menjaga dan memeliharanya. Secara hukum dan secara adat Surat Wasiat itu
adalah keliru….. Mungkin yang dimaksudkan Ayahanda adalah rumah gadang pusaka
keluarga di Batusangkar.”
“Mana
mungkin keliru Andana. Di sini jelas disebutkan rumah gadang di Pagaralam.
Rumah gadang dimana aku dan kau saat ini duduk berhadap-hadapan.
Jelas di
sini dikatakan aku yang ditunjuknya sebagai pewaris dengan segala isi di
dalamnya.”
“Paman ,
saya yakin ada sesuatu yang keliru…..” kata Andana lagi.
Datuk
Gampo Alam tersenyum. “Andana, kau lihat sendiri tanda tangan Tumenggung Rajo
Langit yang mengesahkan SuratWasiat ini. Apakah kau ingin mengatakan aku
memalsukan dan membuat-buat Surat Warisan ini?”
“Saya
tidak mengatakan begitu Paman. Jangan Paman salah sangka. Apa yang saya
maksudkan cukup jelas. Semua harta pusaka milik Ayah adalah hasil pembelian
ayah dari keringatnya sendiri. Bukan berasal dai kakek atau nenek moyangnya.
Bukan berasal dari pusaka turun-temurun.Hanya itu saja yang ingin saya katakan.
Apa artinya terserah Paman untuk mengkajinya.”
“Ah, aku
mengerti sekarang! Jelas kau tidak suka rumah dan harta Ayahmu diberikan
kepadaku! Walau jelas-jelas di dalam Surat Wasiat ini Ayahmu mengatakan begitu.
Jelas dan ikhlas. Ada saksinya pula. Saksi bukan orang sembarangan. Tapi
seorang berpangkat. Seorang Tumenggung penguasa negeri!” Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya dulu baru meneruskan. “Andana, jika aku pikir-pikir
mengapa Ayahmu membuat Surat Waisat begini rupa pasti ada sebab musababnya.
Mungkin
ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya atas dirimu hingga Surat Wasiat ini
ditujukannya padaku bukan padamu. Mungkin kau dianggapnya melakukan satu
kesalahan besar karena telah meninggalkan Pagaralam sampai bertahun-tahun tanpa
kabar berita. Ini rupanya sangat menyakitkan hatinya….”
“Paman
biar saya katakan terus terang sekarang. Saya kembali ke Pagaralam ini
mengikuti pesan Ayahanda yang saya terima secara gaib. Pesan beliau selamatkan
rumah gadang dan harta pusaka di dalamnya…..”
“Aneh
sekali kedengarannya,” kata Datuk Gampo Alam sambil memandang ke halaman lewat
pintu rumah gadang.
“Betul
Paman, memang aneh kedengarannya kalau tidak melihat sendiri. Tapi kejadian itu
saya alami sendiri, disaksikan oleh guru saya Datuk Alis Merah. Waktu itu kami
berada di dekat air terjun kecil di kawasan tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Ayah tiba-tiba saja muncul dikawal oleh seekor harimau besar. Ayah tegak di
atas batu. Berpakaian hijau yang penuh lubang-lubang bekas tusukan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah. Saat itulah Ayah memberi tahu agar saya segera
pulang ke Pagaralam. Rumah gadang dalam bahaya…..”
Untuk
beberapa lamanya Datuk Gampo Alam berdiam diri. Terbayang kembali olehnya
kejadian di Ngarai Sianok. Ketika dia bersama Hantu Mata Picak mengeroyok Datuk
Bandaro Sati lalu membunuh kakanknya itu dengan cara menikamnya bertubi-tubi
dengan keris miliknya sendiri yaitu Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Anak ini
mengatakan keris sakti bertuah itu tak ada padanya. Dia berdusta. Keris itu
kutemukan di bawah bantal dalam kamarnya. Kalau dia banyak ulah dengan senjata
itu pula akan kuhabiskan riwayatnya!
“Paman,
saya minta diri. Kalau memang Paman yakin Ayah benar-benar mewariskan rumah
gadang beserta isinya, termasuk sawah ladang dan ternak peliharaan,
berbahagialah Datuk. Saya tidak akan mengungkit atau menuntut. Saya malah
berterima kasih Paman mau merawat rumah serta semua peninggalan Ayah….”
Mulutnya
berkata begitu tapi siapa tahu isi hatinya, pikir Datuk Gampo Alam.
“Begini
sajalah Andana. Urusanku akan terlalu banyak nanti. Bagaimana kalau semua sawah
ladang dan ternak kuberikan saja padamu.”
“Terima
kasih Paman. Ketahuilah, saya datang ke Pagaralam ini bukan untuk mendapatkan
segala macam harta warisan. Tujuan saya Cuma satu…..”
Andana
bangkit dari duduknya. Sebelum menuruni tangga diteruskanna dulu ucapannya yang
tergantung tadi. “Tujuan saya ke Pagaralam ini adalah mencari pembunuh Ayah
saya. Dan saya yakin saya akan menemukan orangnya!”
Tampang
Datuk Gampo Alam berubah. Andana tidak lagi memperdulikan Pamannya itu.
Dibalikkannya tubuhnya lalu dia menuruni tangga rumah gadang dengan cepat. Dari
jendela Datuk Gampo Alam dapat melihat kemenakannya itu menunggangi kuda ke
arah Timur yaitu arah yang ditempuh Rukiah waktu pergi tadi.
Sang
Datuk menyentakkan lehernya lalu berteriak memanggil tiga orang pengawalnya.
“Ikuti dan selidiki kemana perginya anak itu. Laporkan padaku apa yang kau
ketahui!”
*****************
LIMA
Simpang
tiga itu terletak di kaki bukit kecil yang menurun. Tak jauh dari sana terbentang
daerah pesawahan. Sore itu suasana di sekitar tempat itu tampak sepi.
Sesekali
terdengar kicau burung. Ketika Andana sampai di simpang tiga itu dia tidak
melihat Rukiah atau siapapun di situ.
Jangan-jangan
perempuan itu mendustaiku. Pikir Andana. Baru saja dia berpikir begitu
telinganya menangkap detak suara roda. Dari balik pepohonan dan semak belukar
muncul sebuah pedati ditarik dua ekor sapi. Di depannya di sebelah seorang sais
tua duduk Rukiah. Perempuan ini menyuruh sais menghentikan pedati lalu dia
turun. Dia melambaikan tangan pada Andana agar pemuda itu masuk ke kawasan
pepohonan, terlindung dari pemandangan orang yang mungkin lewat di tempat itu.
“Etek,
hal penting apakah yang hendak Etek sampaikan pada saya?” tanya Andanan begitu
turun dari kudanya.
“Jangan
panggil saya dengan sebutan Etek itu. Sudah saya katakan saya muak
mendengarnya. Panggil saja nama saya. Rukiah. Bukankah usia kita tak jauh beda?
Kau pasti
lebih tua dari saya.”
“Baiklah.
Nah sekarang saya ingin dengar apa yang hendak kau sampaikan,” kata Andana
pula.
“Saya
tahu Datuk Gampo Alam talah membuat Surat Wasiat palsu. Dia ingin menguasai
rumah gadang serta semua harta pusaka peninggalan mendiang Ayahmu….”
“Saya
tidak terkejut…..” kata Andana. “Tadi Datuk memperlihatkan pada saya Surat
Wasiat itu. Surat itu ditanda tangani oleh Tumenggung Rajo Langit. Tanda tangan
itu tidak palsu….”
“Memang
tidak palsu. Karena Datuk Gampo Alam berkomplot dengan Tumenggung Rajo Langit.
Saya dengar rumah gadang itu berikut isinya akan dijualnya pada si Tumenggung.
Lalu tumenggung Rajo Langit kabarnya akan menjual lagi pada seorang utusan yang
datang dari tanah Jawa…”
“Ini hal
baru bagi saya Rukiah,” kata Andana. “Tidak seberapa aneh kalau Datuk Gampo
Alam mau menjual rumah gadang guna mendapatkan uang.
Belakangan
ini dagangnya merugi terus. Hutangnya di mana-mana. Biaya rumah tangganya
dengan empat istri….”
“Sekarang
tinggal tiga. Karena saya sudah minta cerai. Tapi segera akan menjadi empat
lagi.”
“Maksudmu?”
“Gaek
busuk itu hendak mengambil Bunga menjadi istrinya!”
“Apa?”
kejut Andana dengan wajah berubah tegang.
“Mamak
Rabiah datang dipanggil Datuk. Saya dengar dia meminta Bunga pada perempuan
itu…..”
“Apa
jawab Mamak Rabiah?”
“Saya
intip dan saya lihat air muka perempuan itu. Dia jelas tergoncang. Dia tak bisa
memberikan jawaban apa-apa. Datuk minta dia datang hari Jum’at besok untuk
memberikan jawaban….”
“Kambing
tua bangka yang sudah bau tanah itu masih saja ingin menyantap daun muda!”
kertak Andana sambil mengepalkan tinju kanannya. Dia menatap wajah Rukiah
sesaat lalu bertanya. “Dari mana kau tahu ihwal rencana penjualan rumah itu?”
“Dari
seorang tangan kanan Tumenggung Rajo Langit. Orang ini tergila-gila pada saya
sebelum saya diambil istri oleh Datuk Gampo Alam. Dia menceritakannya waktu
merayu saya agar mau jadi istrinya. Ketika saya kawin dengan Datuk Gampo alam,
orang ini sangat marah. Dia pergi dari Pagaruyung, tak tahu entah berada di
mana sekarang. Namanya Rusli…..”
Andana
tegak termangu beberapa saat lamanya.
“Kau
harus menolong Bunga, Andana. Selamatkan dia dari cengkeraman Datuk Gampo Alam.
Saya tahu dia mencintaimu. Saya dapat melihat dari sinar matanya sewaktu dia
membawakan Tari Gelombang. Saya juga tahu dia telah menyelamatkan dirimu dari
sirih yang diracun orang.”
“Saya
tahu hal itu Rukiah. Saya akan segera menemuinya untuk mengucapkan terima
kasih. Jelas saya berhutang nyawa padanya. Lebih dari itu saya tentu akan
menyelamatkannya dari tangan Paman saya yang gila istri itu. Tapi Rukiah,
apakah kau tahu siapa yang menaruh racun di sirih dalam cerana itu?”
“Hanya
satu orang dugaan saya Andana. Manusia jahat bergelar Hantu Mata Picak. Dia
adalah orang kepercayaan Datuk Gampo Alam. Saya yakin dia juga atau anak
buahnya yang berusaha membunuhmu dengan ular berbisa tempo hari!”
“Kurang
ajar benar!” kata Andana sambil meninju-ninju tapak tangan kirinya dengan
tangan kanan. “Berarti Datuk Gampo Alam ada di belakang semua ini!”
“Saya
kira begitu! Tapi kau harus menyelidiki dan membuktikannya dulu….”
“Mengenai
orang yang berjuluk Hantu Mata Picak ini, di mana sarangnya.
Kau tahu
di mana saya bisa mencarinya?”
“Mencarinya
sama dengan mencari hantu. Dicari susah. Tidak dicari kadangkadang dia muncul
begitu saja. Saya hanya bisa memberitahu ciri-cirinya. Orangnya tinggi besar.
Berkumis dan berjanggut tebal. Mata kirinya buta. Kulitnya hitam, dia berkalung
dan bergelang akar bahar….”
“Terima
kasih. Saya sangat berterima kasih padamu Rukiah. Sekarang kau hendak ke mana?”
“Saya
akan kembali ke gubuk orang tua saya di Bonjol.”
“Mau saya
antarkan?”
Rukiah
tertawa. Dipegangnya jari-jari tangan pemuda itu. “Saya tidak bisa berdusta
bahwa saya menyukai dirimu. Tapi saya sendiri saat ini tak lebih dari seorang
janda. Jangan kecewakan Bunga. Jangan buat dia cemburu…..”
Paras
Andana sesaat menjadi merah.
Rukiah
tertawa lebar. “Ingat peristiwa malam lalu, ketika saya mengajakmu tidur di
kamar?”
Wajah
Andana semakin memerah.
“Saya
masih berharap kau mau memenuhinya. Kalau begitu carilah nanti saya di
Bonjol….” Rukiah berjingkat lalu diciumnya pipi kiri pemuda itu.
Andana
merangkul punggung janda itu dan bertanya. “Ada sesuatu yang ingin saya
tanyakan. Ayah saya mati dibunuh orang. Kau mungkin pernah menyirap kabar apa
sesungguhnya yang terjadi. Siapa pelaku pemubunhnya.”
“Sayang
sekali yang satu ini saya tidak tahu apa-apa Andana.” Jawab Rukiah.
“Tapi
mungkin kau bisa bertanya pada Sati.”
“Siapa
Sati?”
“Dia
pedagang cita keliling. Banyak punya hubungan dengan siapa saja.
Terakhir
sekali saya dengar dia digebuk setengah mati oleh tukang-tukang pukul Datuk
Gampo Alam. Dia pasti mendendam dan mencari seribu cara untuk membalaskan sakit
hatinya.”
“Di mana
saya bisa menemukan orang itu?”
“Pergi
saja ke Pasar Gombak. Orang sepasar pasti tahu di mana bisa mencarinya.”
“Saya
akan cari orang itu. Sekali lagi saya sangat berterima kasih padamu Rukiah.”
Janda
Datuk Gampo Alam mengangguk. Sekali lagi diciumnya pemuda itu lalu bergegas dia
kembali ke pedati yang menunggunya.
Ketika
pedati mulai bergerak mendadak di belakangnya Andana mendengar suara
bergemerisik. Dia cepat membalik dan sempat melihat tiga orang berpakaian
seragam hitam berlari menuju tiga ekor kuda yang ditambatkan di kejauhan.
“Anak
buah Datuk Gampo Alam….” desis Andana. “Mereka tidak melakukan apa-apap
terhadapku tapi mungkin akan mencelakai Rukiah…..” Pasti mereka telah mendengar
apa yang dikatakan Rukiah tadi. Ada dua jiwa terancam. Rukiah dan Sati!” Andana
cepat melompat ke atas kudanya dan mengejar pedati yang ditumpangi Rukiah.
“Ada
apa?” tanya Rukiah ketika dilihatnya Andana memacu kudanya mendatangi.
“Tiga
orang anak buah Datuk Gampo Alam ternyata menyelinap mendengar pembicaraan
kita. Keselamatanmu terancam Rukiah…. Apa ada jalan lain menuju Bonjol? Atau
sebaiknya kau jangan ke Bonjol. Mereka pasti mengejarmu. Tidak ditemuinya di
jalan akan dicarinya ke rumahmu di Bonjol!”
Rukiah
tampak berpikir. Dia berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Putar arah.
Kita ke
Koto Tangah saja. Batal ke Bonjol!” Lalu Rukiah berpaling pada Andana.
“Terima
kasih. Kau telah menyelamatkan orang buruk ini. Walau sekarang hanya seorang
janda tapi saya tetap ingin hidup lebih lama…. Punya suami lagi. Tapi tidak
dengan lelaki seperti Datuk itu. Tobat rasanya!”
Andana
geleng-gelengkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya membalas lambaian Rukiah.
Tiga
orang anak buah Datuk Gampo Alam yang sempat terlihat Andana memang
meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun di satu tempat lelaki sebelah depan
membelok ke kiri lalu menghentikan kudanya di antara kelebatan pepohonan.
“Kenapa
kau berhenti di sini Luhak?” tanya salah satu temannya.
Orang
yang bernama Luhak yang bergigi tonggos dan mulutnya tak pernah terkatup itu
memberi isyarat agar kawan-kawannya jangan bicara. Dia juga memberi isyarat
agar mereka segera turun dari atas kuda masing-masing lalu bersembunyi di balik
semak-semak. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Andana lewat di depan
mereka.
“Apa yang
ada di benakmu Luhak? Bukankah kita harus segera melapor pada Datuk? Dia pasti
senang mendengar laporan hebat dari kita. Kita bakal diberinya hadiah besar!”
“Dari
dulu otakmu tetap saja bodoh Ayub!” jawab Luhak. “Soal lapor melapor bisa
menyusul kemudian. Soal hadiah tak akan kemana larinya. Ada rezeki besar di
depan mata apa akan dibiarkan lewat begitu saja?”
“Eh
kawan, apa pula maksudmu?” tanya orang ketiga yang bernama Kairudin.
Luhak si
tonggos tertawa lebar hingga seluruh giginya atas bawah seperti hendak keluar
dari mulutnya. “Yang kumaksud dengan rejeki itu adalah si Rukiah itu.
Kini dia
bukan lagi istri Datuk. Sudah minta cerai dan sudah lari. Dia hanya berteman
sais tua itu. Daerah sekitar sini sunyi senyap. Nah, apakah perlu lagi aku
jelaskan pada kalian yang bodoh-bodoh ini?”
Sepasang
mata kedua orang itu sama-sama membesar. “Kau benar-benar cerdik Luhak!” memuji
Kairudin sementara Ayub tampak berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung
lidah tanda dia juga sudah menangkap apa yang dimaksudkan oleh Luhak tadi.
Tanpa banyak cerita lagi ketiga orang ini segera melompat ke atas punggung kuda
masing-masing. Mereka bergerak ke arah simpang tiga di mana mereka sebelumnya
mengintai pertemuan Andana dengan janda Datuk Gampo alam itu. Dari sini
ketiganya mengambil jalan yang menuju ke Bonjol. Tapi belum jauh meninggalkan
simpang tiga Luhak yang berada di depan melihat jejak-jejak roda pedati di
tanah. Dia segera menghentikan kudanya.
“Jelas
pedati yang ditumpangi janda Datuk itu berbalik arah di sini….” kata Luhak.
“Tidak
sulit mengetahui kemana mereka pergi. Jejak roda pedati yang begini jelas akan
menjadi petunjuk bagi kita. Ayo….” Luhak sentakkan tali kekang kudanya.
Pedati
yang ditarik dua ekor sapi itu bergerak kencang karena menempuh jalan yang
menurun. Namun tiga orang penunggang kuda di belakang mereka bergerak jauh
lebih cepat hingga ketika pedati sampai di ujung penurunan, ketiganya sampai
pula di sana, langsung mengurung pedati.
Sais tua
di samping Rukiah berbisik, “Agaknya mereka muncul bukan dengan maksud baik.
Kalau terjadi apa-apa lekas turun dari pedati dan lari selamatkan diri….”
Rukiah
memandang pada ketiga orang itu lalu menegur. “Luhak, ada apa kau menyusul
kemari.”
“Begini,
saya dan kawan-kawan….” Luhak tidak meneruskan kata-katanya melainkan tertawa
lebar hingga Rukiah jijik melihat berisan gigi-giginya yang besarbesar kuning
dan menjorok ke depan itu. “Tadinya kami kira Etek pergi ke Bonjol, ternyata
kini berubah arah….”
“Kemana
aku mau pergi apa urusan kalian? Apa Datukmu yang menyuruh memata-mataiku?
Katakan padanya aku tidak akan mau kembali ke rumahnya!”
Rukiah
berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Jalankan pedati….”
“Bapak
tua, tak perlu cepat-cepat pergi. Perjalananmu cukup sampai di sini.
Kami yang
akan mengantarkan janda Datuk Gampo Alam ini ke tujuannya…..” Luhak mendekati
sais tua itu. Sekali dia merengutkan leher pakaiannya, orang tua ini jatuh dari
pedati dan terhantar di tanah. Anak buah Datuk Gampo Alam yang bernama Ayub
langsung melompat ke atas pedati dan memegang tali kekang dua ekor sapi.
“Saya
tidak percaya padamu. Kalian pasti akan berbuat jahat terhadap perempuan muda
ini!” kata sais tua seraya mencoba bangkit. “Lari…..! Larilah rangkayo!”
(Rangkayo = panggilan kehormatan).
Bukkk!
Satu
tendangan yang keras mendarat di dada sais tua itu. Tak ampun lagi tubuhnya
rebah ke tanah. Tak berkutik. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur.
“Manusia
jahat! Di mana peri kemanusiaanmu!” teriak Rukiah marah sekali.
Dia
melompat dari atas pedati. Bukan untuk melarikan diri tapi memukuli pinggang
Luhak dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menarik pakaian laki-laki
itu. Karena kehilangan keseimbangan Luhak jatuh ke bawah. Tapi sambil jatuh
lelaki ini merangkul bahu Rukiah hingga keduanya jatuh bersamaan ke tanah dan
saling tindih!
Kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Luhak. Langsung saja dia merangkul dan menciumi janda
muda itu dengan penuh nafsu hingga Rukiah menjerit-jerit dan berusaha
melepaskan dirinya.
“Luhak!
Jangan kau makan sendiri!” berseru Kairudin. Lalu diapun melompat turun daru
kudanya. Ikut bergulingan di tanah sambil tangannya meraba kian kemari.
Ayub tak
mau ketinggalan. Tiga lelaki itu berebutan menggagahi Rukiah. Yang satu meraba
dan menciumi. Yang lain meraba sambil berusaha menanggalkan kain yang dikenakan
Rukiah. Lalu yang ketiga seperti kemasukan setan merobeki kebaya janda muda
itu. Dalam waktu singkat keadaan Rukiah boleh dikatakan hampir bugil. Dia
menjerit tiada henti sambil berusaha memukul dan menendang. Namun mana sanggup
dia menghadapi tiga lelaki sekaligus. Semakin keras jerit, pukulan dan
tendangannya semakin bernafsu Luhak dan kawan-kawannya. Jelas Rukiah tak akan
dapat mempertahankan kehormatannya.
“Manusia-manusia
bajingan! Hebat juga kelakuan kalian!” tiba-tiba satu bentakan menggeledek di
tempat itu.
*****************
ENAM
Luhak dan
dua kawannya tentu saja terkejut. Ketiga orang ini cepat berpaling.
“Andana…..!”
desis Luhak tapi kini keterkejutannya bercampur dengan rasa heran. Sebelumnya
dia telah melihat pemuda itu meninggalkan kawasan simpang tiga.
Kini
mengapa tiba-tiba muncul dan berganti pakaian.
“Bukan
dia Luhak…..” bisik Ayub. “Kalau tak salah aku dia adalah pemuda Jawa kawan
kemenakan Datuk….”
“Hendak
kalian apakan perempuan itu?!” pemuda yang datang bertanya sambil bertolak
pinggang.
“Hendak
kami apakan bukan urusanmu?!” kata Luhak seraya melompat tapi dia lupa kalau
tadi dia telah sempat membuka celana hitamnya hingga pakaian itu hampir jatuh
ke bawah menelanjangi dirinya sendiri.
“Jangan-jangan
dia hendak minta bagian pula Luhak,” berkata Kairudin seraya berdiri lalu tegak
di samping kawannya.
Ayub yang
masih menindih Rukiah agaknya masih belum mau melepaskan perempuan tiu. Dia
merasa lebih banyak mendapat kesempatan tanpa menyadari bahwa sesungguhnya
bahaya besar mengancam dirinya saat itu.
“Ah,
kalau kalian memang berbaik hati mau membagi-bagi rejeki denganku, itu bagus
sekali. Coba kusingkirkan dulu orang hutan yang satu ini!”
Habis
berkata begitu pemuda berpakaian serba putih yang tahu-tahu saja muncul di
tempat itu melompat ke arah Ayub. Sesaat kemudian terdengar suara bergedebuk
menyusul raungan Ayub. Tubuh lelaki ini terpental jauh. Dalam keadaan nungging
tadi tendangan pemuda berpakaian putih mendarat telak di selangkangannya.
Kantong
kemaluannya remuk. Untuk beberapa lamanya Ayub berguling-guling di tanah,
melejang-lejangkan kedua kakinya dan memegang bawah perutnya sambil tiada hentinya
berteriak. Dia berusaha berdiri tapi jatuh dan jatuh lagi. Tiba-tiba
teriakannya lenyap. Tubuhnya terlentang di tanah. Kedua matanya mendelik.
Kairudin
mendekati kawannya ini.
“Dia
mati! Luhak, Ayub mati!” teriak Kariaudin pada Luhak.
“Bedebah
jahanam! Berani kau membunuh kawanku!” teriak Luhak marah besar. Dihunusnya
golok yang terletak di tanah. Kairudin juga tidak tinggal diam. Dia melakukan
hal yang sama. Keduanya lalu mendekati si pemuda dari samping kiri dan kanan.
Sementara Rukiah dengan cepat berusaha bangkit. Sambil membenahi pakaiannya
yang robek di sana sini janda ini lari ke balik sebatang pohon besar.
“Bagus!
Kalian punya nyali! Majulah!”
“Nyali!
Apa itu nyali!” sentak Kairudin yang tak mengerti kata yang barusan diucapkan
pemuda berambut gondrong di hadapannya.
Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa geli. “Kalau kau mau tahu artinya nyali majulah!
Ayunkan golokmu!”
“Manusia
sombong! Laidangku ini akan memisahkan kepalamu dari badan!”
teriak
Kairudin. Lalu anak buah Datuk Gampo Alam ini melompat sambil membabatkan
goloknya ke leher Wiro. (ladiang = golok)
Serangan
orang ini boleh juga. Deru sambaran senjatanya deras dan gerakannya cepat
sekali. Namun yang dilawannya bukan sembarang pendekar.
Akan
halnya Luhak melihat kawannya berulang kali hanya membacok tempat kosong, tidak
menunggu lebih lama segera pula melompat membantu. Dua golok berkelebat kian
kemari dalam gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah dilihat Wiro.
Sepasang senjata lawan bergulung-gulung menyerang tubuhnya dari kepala sampai
ke pinggang.
Hemmmm…..Ilmu
silat mereka cuma main atas. Pinggang ke bawah terbuka.
Murid
Sinto Gendeng tiba-tiba keluarkan bentakan keras. Tubuhnya dijatuhkan ke tanah.
Sambil bergulingan dia menendang ke arah kedua kaki Kairudin.
Yang
ditendang cepat melompat tinggi-tinggi. Ini yang dimaui Wiro. Dari bawah dia
lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah” dengan mengandalkan
sedikit saja dari tenaga dalamnya. Apa yang terjadi kemudain membuat Luhak
terkejut. Kairudin menjerit keras. Selagi tubuhnya melayang di udara, satu
gelombang angin laksana sebuah batu besar melesat ke arah selangkangannya.
“Astaga!
Apa ini?!” kata Kairudin. Di lain kejap terdengar jeritannya.
Tubuhnya
terlempar sampai dua tombak. Ketika jatuh ke tanah, tubuh itu tidak berkutik
lagi. Selangkangannya kelihatan robek dan ada genangan darah mengalir sampai ke
tanah.
Putuslah
nyali Luhak. Dia mengambil keputusan untuk kabur melarikan diri.
Sebelum kabur
dia lebih dulu mendesak Wiro dengan dua serangan berantai.
“Tonggos!
Aku pinjam dulu golokmu!” seru Wiro. Lalu dengan gerakan cepat dia menyelinap
di bawah bacokan senjata lawan. Tangan kanannya menyambar ke atas.
Kraaak!!
Sambungan
siku tangan kanan Luhak tanggal dan remuk. Jerit orang ini setinggi langit.
Wiro cepat menangkap goloknya yang terlepas dan mental ke udara.
“Ampun!
Jangan dibunuh waden! Jangan dibunuh waden!” teriak Luhak berulang kali seraya
mundur. Mukanya pucat. Tangan kirinya diangkat sambil digoyang-goyangkan.
“Siapa
mau membunuhmu. Nyawamu cukup diwakili kedua orang kawanmu itu….” kata Wiro.
Golok di tangan kanannya bergerak. Gagangnya menghantam keras ke mulut Luhak.
Luhak
menjerit keras sekali. Darah muncrat dari mulutnya. Lima giginya yang tonggos
di bagian atas dan empat di sebelah bawah rontok. Sebagian terlempar masuk ke
dalam mulutnya. Sebagian lagi mental keluar. Luhak terus meraung kesakitan
sambil pegangi mulutnya yang berdarah dengan tangan kiri. Lututnya goyah. Dia
berlutut terbungkuk-bungkuk. Darah masih terus mengucur dari mulutnya yang
pecah serta gusinya yang hancur.
Wiro
melangkah ke balik pohon di mana Rukiah bersembunyi ketakutan.
Sesaat
Wiro terkesiap juga melihat tubuh yang hampir bugil itu.
“Maafkan
saya,” kata Wiro. “Adik tak apa-apa…..”
“Saya…..saya
tidak apa-apa. Terima kasih kakak sudah menolong saya….”
Wiro
mengangguk lalu dia membalik.
“Tunggu,
jangan tinggalkan saya….” kata Rukiah menyangka Wiro hendak pergi.
“Tetap
saja di situ. Saya akan menyelesaikan urusan dengan anak buah Datuk Gampo Alam
ini….” kata Wiro pula. Lalu mayat Ayub dan Kairudin dinaikkannnya ke atas kuda
masing-masing. Kini dia mendekati Luhak. Sekali menarik leher pakaian lelaki
ini Luhak tertegak dan ketakutan setengah mati.
“Kau
boleh kembali ke Pagaralam. Bawa kedua mayat kawanmu itu. Katakan semua yang
terjadi di sini pada Datukmu. Sebelum kau naik ke atas kudamu, tanggalkan dulu
celanamu!”
“A…..apa
maksudmu….?” tanya Luhak tergagap dalam ketakutannya.
“Maksudku
begini setan!” kata Wiro. Lalu direnggutnya celana hitam laki-laki itu. Tubuh
Luhak kemudian ditunggingkannya kepala di bawah kaki di atas. Celana Luhak
ditariknya sampai tanggal. Ketika lelaki ini ditegakkannya kembali dengan
sendirinya Luhak hanya mengenakan baju saja alias telanjang di sebelah bawah!
Barang
antiknya gundal-gandil kian kemari!”
“Naik ke
kudamu!” perintah Wiro.
“Onde
mak! Jangan! Jangan diperlakukan saya seperti ini! Berikan celana saya…..!”
“Boleh!
Kau memilih celana atau nyawa?” ujar Wiro pula seraya pura-pura hendak mencekik
leher Luhak. Orang ini kembali ketakutan setengah mati.
“Sa…..saya
memilih hidup saya…..” katanya. Lalu naik ke atas kudanya. Wiro memukul pinggul
dua ekor kuda lainnya yang membawa mayat Ayub dan Kairudin.
Sesaat
setelah orang-orang itu lenyap di kejauhan Wiro kembali ke balik pohon.
“Mereka
sudah pergi. Kau aman sekarang….”
“Terima
kasih. Pertolonganmu tidak akan saya lupakan. Bukankah kau sahabat Andana?”
kata Rukiah dari balik pohon.
“Betul….
Nama saya Wiro.”
“Wajah
kalian hampir mirip satu sama lain,” kata Rukiah pula. “Tapi kau lebih….” Janda
ini tidak meneruskan ucapannya.
“Lebih
apa? Lebih kurang ajar?!”
“Maksud
saya buka begitu…..” jawab Rukiah. Dalam hati dia berkata. Kau lebih jantan
dari Andana.
“Apalagi
yang bisa saya tolong sekarang?” bertanya Wiro.
“Di atas
pedati ada sebuah peti kayu. Dalam peti itu ada beberapa potong pakaian. Tolong
ambilkan petinya kemari. Saya nyaris telanjang. Saya harus berganti pakaian….”
“Saya
lebih suka melihat adik seperti sekarang ini…..”
“A….apa
kata kakak?!” tanya Rukiah hampir tak percaya dengan pendengarannya. Wiro hanya
tertawa sambil garuk-garuk kepala. “tak pernah saya mendengar orang baik-baik
seperti kakak tega-teganya berkata seperti itu.”
“Saya
bukan orang baik-baik,” jawab Wiro pula.
“Ah!
Tolonglah ambilkan peti itu. Kalau tidak ambilkan sehelai kain dan sehelai
kebaya yang ada di dalamnya.”
Wiro
tersenyum. Dia melangkah juga ke pedati. Di dalam sebuah peti kayu di
temukannya beberapa potong pakaian. Wiro mengambil sehelai kebaya dan sehelai
kain lalu membawanya ke balik pohon.
“Ulurkan
saja dari belakang pohon. Jangan melangkah ke sini!” kata Rukiah.
Wiro
tertawa. Dilemparkannya kain panjang yang diambilnya dari dalam peti.
Tidak ke
belakang pohon tetapi beberapa langkah di sebelah depan.
“Mana
pakaiannya?” tanya Rukiah.
“Sudah
saya lemparkan di depan pohon….”
Rukiah
menjulurkan kepalanya dari balik pohon. Lalu terdengar dia mengomel. “Ini bukan
saatnya bergurau!”
Wiro
membungkuk mengambil kain. Bersama-sama dengan kebaya kain itu dilemparkannya
ke belakang pohon. Rukiah segera sibuk berpakaian. Tak lama kemudian janda muda
ini keluar dari pohon itu. Yang dilakukannya pertama sekali adalah melihat
keadaan sais tua yang menggeletak di tanah.
“Jangan
kawatir, orang tua itu belum mati. Cuma pingsan. Tapi dia tidak akan mungkin
membawa pedati meneruskan perjalanan….”
“Saya
bisa pergi sendiri. Tolong naikkan dia ke atas pedati.”
Wiro
menaikkan sais yang masih pingsan dan cidera cukup berat itu ke atas pedati.
“Senja
hampir datang. Sebentar lagi malam akan turun. Apakah adik berani melakukan
perjalanan sorang diri?” bertanya Wiro.
Rukiah
tidak menjawab. Dalam hatinya dia bertanya-tanya apakah pemuda itu hanya
sekedar bertanya atau bermaksud mengantarkannya.
“Koto
Tangah tidak seberapa jauh dari sini….”
“Saya
tidak tahu jauh dekatnya,” kata Wiro pula lalu mengikatkan kudanya di belakang
pedati.
“Eh,
mengapa pula kakak mengikatkan kuda itu ke pedati?” tanya Rukiah.
Wiro
tidak menjawab melainkan naik ke atas pedati dan duduk di samping Rukiah.
“Saya
senang kakak mau mengantarkan. Tapi apakah saya bisa mempercayai kakak?”
Wiro
tertawa lebar. “Sudah saya bilang tadi. Saya bukan orang baik-baik. Tapi
dibandingkan dengan Datuk Gampo Alam saya sedikit lebih baik. Dan jauh lebih
muda….”
Pemuda
satu ini konyol. Sepertinya juga keras kepala. Tapi apa yang dikatakannya
betul. Kalau aku tidak bisa mendapatkan Andana, tak ada ruginya mendapatkan
yang satu ini. Lagi pula wajah mereka begitu mirip. Dan dia lebih berani, lebih
jantan.
Rukiah
meletakkan tangan kanannya di atas ribaan Pendekar 212.
“Saya
percaya pada kakak,” katanya.
Wiro
mengambil tali kekang dua ekor sapi penarik pedati. Sesaat kemudian pedati
itupun bergerak meninggalkan tempat itu. Di Barat sang surya mulai tenggelam.
Di atas
pedati Rukiah masih meletakkan tangan kanannya di atas paha Wiro.
Tak dapat
dibayangkan begaimana kehebohan yang terjadi di Pagaralam ketika Luhak yang
setengah telanjang itu muncul membawa mayat dua orang kawannya. Datuk Gampo
Alam seperti orang kemasukan setan saking marahnya.
Bukannya
dicarikan kain atau apa saja untuk menutupi aurat anak buahnya itu malah sambil
menyentak-nyentakkan lehernya dia berteriak.
“Setan
bodoh kau Luhak! Biar kutelanjangi sekalian dirimu!” Lalu breet….brettt! Tangan
kirinya merobek baju hitam Luhak dengan tangan kanannya menampari muka anak
buahnya itu dengan kalap.
*****************
TUJUH
Pasar
sudah agak lenggang ketika Andana sampai di situ. Tapi di tempat orang main Kim
suasana masih ramai. (Kim = semacam permainan judi memakai nomornomor. Siapa
yang nomornya paling banyak keluar jadi pemenang) Setelah bertanya beberapa
kali akhirnya seseorang menunjuk pada lelaki berkopiah hitam dan berpakaian
putih yang sedang asyik main Kim sambil menggoyang-goyangkan kepalanya
mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh pemberi tahu nomor. Di sela bibirnya
terselip sebatang rokok yang apinya sering mati dan sebentar-sebentar
dinyalakannya.
Angku
mudo pai ka pasa
Mambao
itiak duo-duo
Barangkek
kapa di muaro
Maratok
suliang limo kali
(Engku
muda pergi ke pasar
Membawa
itik dua-dua
Berangkat
kapal di muara
Meratap
suling lima kali)
Mendengar
pantun yang dinyanyikan dengan iringan tetabuhan itu lelaki berkopiah hitam
mencoret angka 22 dan angka 5 yang ada di kertas Kimnya dengan arang. Kemudaian
dia menyedot rokoknya dalam-dalam. Ternyata api rokok itu sudah mati pula.
Ketika dia sibuk mencari korek api di saku pakaiannya, tahu-tahu seseorang yang
tegak di sebelahnya membantu menyalakan rokok itu. Orang berkopiah menghisap
rokoknya dalam-dalam lalu sekilas melirik pada orang yang tegak di sampingnya.
“Sati….?”
tanya orang tadi yang bukan lain adalah Andana seraya duduk di sebelah si
kopiah hitam.
Yang
ditegur memang Sati. Pedagang cita keliling ini melirik kembali. Kedua matanya
membesar. Dia menatap lekat-lekat. “Kau siapa? Astaga bukankah kau kemenakan
Datuk Gampo Alam yang baru kembali ke Pagaralam? Yang kabarnya sudah digelari
orang dengan julukan Harimau Singgalang? Yang dinobatkan sebagai tamu terhormat
dan dipersembahkan sekapur sirih oleh gadis tercantik di Pagaralam?”
Andana
tersenyum. “Perlahan kalau bicara. Karena mungkin tidak semua yang kau katakan
itu benar sobat.” Lalu Andana mengambil potongan arang dan mencoret angka di
kertas Kim milik Sati yang kebetulan keluar. “Ada yang ingin saya tanya Sati.
Saya sangat memerlukan bantuanmu.”
“Saya
sudah maklum. Sebenarnya saya pernah mencari Angku Mudo. Tapi sekarang Angku
Mudo sendiri yang datang. Saya sedang asyik main Kim. Bisa Angku Mudo datang
malam nanti ke rumah saya?” (Angku Mudo = Angku Muda, panggilan kehormatan)
Sebenarnya
Andana ingin mendapat keterangan saat itu juga. Tapi dia tidak mau memaksa.
Apalagi dilihatnya hari segera memasuki senja. Jadi dia tak akan lama menunggu.
“Beri
tahu saya letak rumahmu….”
Sati
memberi tahu letak rumahnya. Lalu berkata “Saya orang dagang. Berarti mata
duitan. Segala urusan dengan saya harus ada uangnya…..” Sati lalu tertawa
mengekeh tapi hampir tanpa suara.
“Jangan
takut Sati. Setiap kata yang kau sebutkan, jika memang merupakan keterangan
berharga pasti akan saya bayar,” jawab Andana pula.
“Jangan
kawatir Angku Mudo. Sekali ini saya keluar dari aturan itu. Angku Mudo tak
perlu membayar sepeserpun. Sampai nanti malam. Saya tunggu di rumah.
“Dengar
sobat,” bisik Andana seraya memegang bahu pedagang cita keliling itu. “Saya
punya firasat nyawamu terancam.”
Paras
Sati berubah. “Apa maksud Angku Mudo?”
“Jangan
terus pulang ke rumah. Tunggu saya sampai datang di tempat gelap di ujung Utara
jembatan batang kelapa.”
Andan
berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mencoret angka ke lima yang ada di
kertas Kim di depan Sati.
“Sudah
lima angka Sati. Kau menang.”
“Hah,
apa?!” Sati memperhatikan kertasnya lalu berteriak gembira. Dia setengah
berlari membawa kertas itu ke tempat juru bayar Kim duduk.
Lelaki
tinggi besar berwajah seram itu berdiri gelisah di bawah bayangbayang pohon.
Suasananya sekitarnya gelap dan sunyi. Sesekali terdengar suara binatang hutan
di kejauhan. Orang ini memelihara kumis dan cambang bawuk lebat menutupi lebih
dari sebagian wajahnya. Mata kirinya picak buta sedang telinga kanannya
sumplung. Tampangnya yang seram itu dalam kegelapan kelihatan lebih angker.
Pakaiannya serba hitam. Keningnya dililit dengan kain hitam dan rambutnya yang
kasar acak-acakan menjulur gondrong sampai ke bahu. Leher dan setiap
pergelangan kaki serta tangannya dilingkari kalung dan gelang terbuat dari akar
bahar.
Agaknya
orang ini yang bukan lain adalah Hantu Mata Picak tengah menunggu kedatangan
seseorang. Dalam gelap beberapa kali dia terdengar menggerutu sambil menepuki
nyamuk yang banyak berkeliaran dan menyengat kulitnya.
Tak
selang berapa lama terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi. Hantu
Mata Picak mengusap mukanya beberapa kali. Seorang penunggang kuda muncul dari
kegelapan.
“Sudah
lama saya menunggu Datuk di sini…” kata orang tinggi besar di bawah pohon
dengan nada seperti mengomel.
“Setan!
Tutup mulutmu!” hardik penunggang kuda. “Bukan kau yang harus bicara lebih dulu
tapi aku!”
“Kalau begitu
saya menunggu apa yang hendak Datuk katakan….”
“Kau
sadar telah beberapa kali membuat kesalahan?!”
“Saya
tahu. Tapi semua itu terjadi secara tidak terduga Datuk…”
“Setan
kau Daud! Jangan banyak mulut! Jangan mencari-cari alasan! Kurobek mulutmu
nanti baru tahu dirasa!”
Orang
tinggi besar bertampang angker terpaksa berdiam diri.
“Pertama!
Kau memang berhasil membunuh Udin Burik. Tapi tololnya kau meninggalkan bukti!
Mengapa kau bunuh orang itu dengan pisau terbang yang hulunya ada ukiran
tengkorak?! Apa kau tidak sadar itu berarti meninggalkan jejak?!”
“Saya
terpaksa Datuk. Saya bersumpah! Waktu itu Udin Burik siap membuka mulut hendak
memberi tahu siapa yang menyogoknya untuk memberi kesaksian palsu di depan
Tumenggung Rajo Langit. Jarak saya dengan dia terpaut jauh! Tak ada jalan lain.
Dia saya habisi dengan pisau terbang….”
Orang di
atas kuda meludah ke tanah. “Untung aku bisa mencuri pisau bergagang tengkorak
itu dari Andana. Walaupun begitu dia sudah terlanjur melihat, menyimpan dan
mengetahui!”
Daud
alias Hantu Mata Picak masih berdiam diri. Orang yang dipanggil Datuk kembali
mengeluarkan kemarahannya.
“Ketololanmu
yang kedua setan! Kau tidak berhasil membunuh anak itu dengan racun kala hutan.
Lekas kau terangkan kenapa sampai bisa begitu. Atau kupuntir kepalamu sampai
tanggal sekarang juga!”
“Terus
terang saya juga heran Datuk. Saya yakin betul dia telah mengunyah sirih
beracun dalam cerana. Hanya ada satu kemungkinan? Pemuda yang bergelar Harimau
Singgalang itu kebal racun?”
“Kanciang
kau Daud!” maki orang di atas kuda. “Sudah gagal pandai pula kau mencari dalih
hendak cuci tangan! Dari jaman nenek moyangku sampai sekarang belum pernah
kudengar ada anak manusia yang kebal racun kala hutan! Jangankan manusia, setan
sekalipun akan mampus oleh racun jaha itu!” (kanciang = makian kotor seperti
sundal, pantat) “Kalau kau merasa tidak mampu menjadi pembantuku, katakn saja!
Biar saat ini juga kau kupecat! Tapi mukamu akan kutendang lebih dulu.
Hidungmu
akan kubikin melesak dan matamu yang satu lagi kubikin picak!”
Sepasang
mata Datuk Gampo Alam membeliak seperti hendak keluar dari rongganya saking
marahnya. “Ingat baik-baik Daud! Jangan sekali lagi kau berani menyebut anak
itu dengan gelar keparat sialan itu! Dia tidak punya gelar! Dia tidak berhak
menyandang julukan Harimau Singgalang!”
“Tapi di
luaran orang banyak kini menyebutnya dengan gelar itu Datuk….”
“Persetan!
Kau rupanya memang minta kupecat Daud!”
“Datuk,
saya rasa saya sudah berusaha menjalankan tugas yang Datuk berikan
sebaik-baiknya. Hanya saja kita tidak mengira bahwa keadaan lain dari yang
diduga.
Dimulai
waktu kita menghadang Datuk Bandaro Sati di tepi Ngarai Sianok. Tiga tulang iga
saya sempat patah dan kini agaknya masih belum bertaut utuh. Kalau saya
bernafas panjang-panjang ngilu rasanya dada ini. Lalu lihat tangan kanan saya.
Masih gembung merah. Akibat pukulan sakti telunjuk penembus raga yang
dilepaskan Datuk itu….”
Orang di
atas kuda yang bukan lain adalah Datuk Gampo Alam adanya menyeringai. “Menjadi
pembantuku berarti siap mengorbankan raga bahkan jiwa!
Jika kau
tidak suka menyingkirlah dari hadapanku!”
“Saya
tidak berkata tidak suka, Datuk. Kalau saja Datuk jauh-jauh hari dulu sudah
mengajarkan ilmu belut putih itu pada saya mungkin sudah saya bereskan anak
itu. Paling tidak saya tidak akan mengalami nasib sengsara seperti ini….”
Datuk
Gampo Alam meludah ke tanah. Lalu menyentakkan lehernya tiga kali.
“Kau
manusia tidak tahu diri! Jasa baru seujung kuku sudah meminta imbalan sebesar
gunung Merapi!”
Daud
alias Hantu Mata Picak terdiam sebentar lalu dia berkata. “Ada satu lagi yang
ingin saya katakan Datuk. Waktu saya turun dari rumah gadang pada hari
perhelatan itu, pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu mengikuti saya. Di satu
tempat saya menghadangnya. Menghantamnya dengan dua pisau terbang sekaligus.
Serangan
saya gagal. Saya susul dengan ilmu hitam ular Bira Satu dai dua pisau itu
berubah menjadi ular dan berhasil mematuknya. Tapi pemuda itu juga berhasil
membuat musnah ular jejadian itu. Untung saya masih sempat melarikan diri masuk
ke dalam terowongan Si Nago-Nago. Celakanya, entah dengan ilmu pukulan apa dia
menghantam selah satu bagian lorong hingga amblas dan menutup jalan masuk.
Untung
saya bisa menyelamatkan diri lewat lorong rahasia di sebelah Timur. Pemuda itu
berbahaya Datuk. Mungkin lebih bahaya dari kemenakan Datuk sendiri……”
“Berbahaya
atau tidak, itu termasuk salah satu tugasmu untuk menyingkirkannya.”
“Baik
kalau begitu kata Datuk. Apa saya boleh minta diri sekarang.?”
“Setan!
Aku belum menyuruhmu pergi. Ada satu tugas untukmu….?’
“Saya
tahu. Datuk akan memerintahkan saya untuk mencari dan membunuh Andana
kembali….”
“Orang
tolol macammu tak akan bisa menjalankan tugas itu. Kau sudah membuktikan
ketidak mampuanmu. Biar orang lain yang melaksanakan hal itu. Kau cukup kusuruh
menjalankan tugas mudah saja…..”
Meski dai
merasa kini disepelekan dan dianggap randah namun Hantu Mata Picak masih
bertanya. “Tugas apa itu Datuk?”
“Cari
Sati. Datangi rumahnya dan bunuh dia pada kejap pertama kau melihatnya.
Mengerti?”
“Maksud
Datuk Sati pedagang cita keliling itu?”
“Setan!
Apa ada dua orang bernama Sati di Pagaralam ini?! Dasar tolol!
Dungu!
Pandir!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya lalu membedal tali kekang kuda
tunggangannya.
*****************
DELAPAN
Seorang
tamu berpakaian bagus, didampingi oleh seorang pengawal menunggu Datuk Gampo
Alam di rumah gadang. Dia ternyata adalah Tumenggung Rajo Langit penguasa di
wilayah Batusangkar yang membawahi Pagaruyung, Pagaralam dan sekitarnya.
“Harap
maafkan saya Tumenggung. Kebetulan ada urusan penting di waktu hampir
bersamaan. Sudah lama Tumenggung datang?”
Tumenggung
Rajo Langit menekuk mukanya yang sejak tadi tampak asam. Dia senyum terpaksa
lalu menjawab berbasa basi. “Belum berapa lama….”
“Rencana
Tumenggung jadi dijalankan?”
“Orang-orang
sudah saya kirim, mereka tahu di mana mencari anak itu.
Sekarang
kalau Datuk tidak keberatan saya akan membicarakan hal lain….”
“Tentu
saja. Kita bisa bicara panjang lebar sambil menunggu kabar. Namun sebaiknya
saya menyuruh orang di dalam menghidangkan kopi panas. Juga penganan kesukaan
Tumenggung.”
Tumenggung
Rajo Langit mengangguk lalu dia memberi isyarat pada pengawal yang duduk di
sebelahnya dan berkata “kau boleh pergi. Tunggu aku di bawah tangga….”
Tak lama
kemudian dua cangkir besar kopi dihidangkan bersama sepiring pisang goreng yang
masih panas. Setelah meneguk kopi dan mencicipi goreng pisang Tumenggung Rajo
Langit membuka pembicaraan.
“Apakah
masih ada persoalan yang menghambat rencana jual beli rumah gadang ini
Datuk……?”
“Dari
pihak saya tidak. Tapi bagaimana dengan rencana Tumenggung tempo hari?”
“Malam
ini saya sudah mengirim selusin orang untuk menangkapnya. Mereka bukan orang
sembarangan. Empat diantaranya adalah pasukan dari Bukittinggi. Dua dari mereka
membawa senjata panjang bernama bedil yang didatangkan dari Jawa….
Selain
itu ada seorang gagah berkepandaian tinggi dari Selatan yang dikenal dengan
julukan Anduang Mata Api.”
“Saya
yakin sekali ini kita bisa menangkapnya. Begitu tertangkap malam ini juga dia
akan dibawa ke Batusangkar.”
“Penjara
yang kuat sudah disiapkan untuknya. Dia tidak akan bisa lolos lagi!”
“Saya
merasa lega Tumenggung mau bersusah payah….” kata Datuk Gampo Alam pula. “Namun
ada satu hal yang mungkin sudah Tumenggung ketahui….” kata Datuk Gampo Alam
pula. “Kemenakan saya itu darang kemari membawa seorang teman dari Jawa. Ilmu
silatnya tinggi. Salah seorang pembantu kepercayaan saya hampir menemui ajal di
tangannya.”
Mulut
Tumenggung Rajo Langit tampak komat-kamit. “Pemuda keparat
itu….”
katanya. “Dua kali dia berani mencari perkara dengan saya. Saya bersumpah untuk
menangkapnya juga! Membunuhnyapun tidak ada urusan!”
“Ah, jadi
benar rupanya kabar yang saya dengar. Dia berani menyerang Tumenggung….”
“Sampai
dua kali. Pertama tak jauh dari telaga. Yang kedua di pekuburan.
Sewaktu
saya menangkap tangan kemenakan Datuk bercinta-cinta dengan anak gadis Mamak
Rabiah…. Habis anak buah saya dihajarinya. Kalau tidak lekas saya menyingkir……”
“Maksud
Tumenggung Bunga?” tanya Datuk Gampo Alam memotong katakata sang Tumenggung
dengan wajah berubah.
“Betul…
Eh, saya lihat wajah Datuk berubah mendengar ucapan saya….”
“Sebetulnya
saya sudah bertemu dengan Mamak Rabiah. Saya meminta agar anaknya itu saya
jadikan istri…. Dulu memang ada pergunjingan mengenai hubungan gelap antara
Bunga dan Andana. Tapi waktu itu mereka masih bisa dianggap anakanak.
Kini
Bunga sudah dewasa. Saya tidak ingin ada laki-laki berani mengganggu calon istri
saya itu….”
Kini
paras Tumenggung Rajo Langitlah yang berubah. Dalam hati Tumenggung ini berkata
Gila! Siapa menyangka tua bangka yang sudah punya empat istri ini menginginkan
gadis itu. Kalau aku tidak lekas bertindak, salah-salah aku bisa kedahuluan!
Setelah
mendehem beberapa kali sang Tumenggung berkata. “Rupanya kita terpaut pada
kembang yang sama Datuk.”
“Apa
maksud Tumenggung?”
“Saya
tidak tahu kalau Datuk jatuh hati pada gadis itu. Saya sendiri sebenarnya sudah
lama tertarik padanya. Tapi kini setelah tahu Datuk suka padanya , saya tidak
berani bersaing. Saya hanya ingin mengajukan penawaran….”
Lama
Datuk Gampo Alam menatap wajah Tumenggung Rajo Langit dengan mulut setengah
ternganga. Seperti orang yang di hadapannya tadi, sang Datuk juga membatin. Mentang-mentang
orang berpangkat enak saja dia berkata terangterangan tertarik pada gadis itu.
Apa dia menyangka kekuasaannya bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya?
Berbunuhanpun aku tak segan dengan kambing buruk ini.
“Datuk,
saya katakan saya ingin mengajukan penawaran,” mengulang Tumenggung Rajo
Langit.
“Penawaran
apa?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Biarkan
saya mengawini Bunga. Sebagai ganti rugi akan saya tambah harga jual beli rumah
gadang berikut isinya ini…..”
Datuk
Gampo Alam tersenyum pencong. Tumenggung setan! Kau mencari perkara!
Datuk
Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali lalu berkata. “Kita sudah lama
bersahabat. Apalagi mengingat Tumenggung penguasa tertinggi di wilayah ini.
Saya tidak berani menolak keinginan Tumenggung memperistri Bunga.
Itu
adalah urusan pribadi Tumenggung. Saya berterima kasih Tumenggung mau membeli
lebih dari yang sudah kita setujui…..” Manusia tak tahu diuntung. Habis kau
bayar harga rumah gadang ini akan kau rasakan apa yang bakal terjadi atas
dirimu.
Tumenggung
Rajo Langit angguk-anggukkan kepalanya. Lalu diteguknya kopi sampai habis. Dia
tidak menolak sewaktu Datuk Gampo Alam menawarkan secangkir kopi lagi.
“Saya
akan mempersiapkan uang pembayarang itu. Paling lambat dalam waktu dua tiga
hari di muka Datuk sudah mendengar kabar dari saya.”
Datuk
Gampo Alam mengangguk.
Andana
tengah melakukan sujud akhir sembahyang Maghrib ketika di luar tiba-tiba
menggemuruh suara kaki-kaki kuda. Ada tiga belas orang membanjiri halaman di
samping kiri surau. Dua belas orang turun dengan cepat. Sebagian dari mereka
langusng menuju pintu surau. Dua diantaranya membawa senjata panjang yakini
bedil kocok yang sudah diisi sebutir peluru. Beberapa lainnya mengurung
bangunan itu. Hanya satu orang saja yang turun dari kudanya dengan gerakan
tidak terburu-buru. Sikapnya tenang tapi kedua matanya mengawasi setiap sudut
dengan penuh waspada. Orang ketiga belas ini ternyata adalah seorang nenek
berpakaian galembong hitam yang biasanya dikenakan laki-laki. Mukanya lancip,
kedua matanya menonjol merah keluar. Sepintas tampang si nenek tiada beda dengan
seekor binyawak! Dialah orang yang dijuluki Anduang Mata Api itu! Sementara
yang lainlain bergerak sibuk, si nenek hanya tegak di bawah sebatang pohon
seraya merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
Lima
orang memasuki surau dengan cepat. Di saat itu Andana tengah melakukan duduk
tahajud akhir. Kekhusukannya bersembahyang membuat dia tidak perduli dengan
langkah-langkah berat yang menginjak lantai papan surau. Seolah tidak apa-apa
dia terus saja sembahyang. Lalu dia merasakan ada dua buah benda keras dan
dingin ditempelkan pada pelipisnya kiri kanan.
“Asyhadu
Allah illa ha illallah….” Andana terus dengan sembahyangnya.
Telunjuk
kanannya yang terletak di paha kanan diluruskannya. Ketika dia mengucapkan
salam dia tidak bisa memutar kepalanya ke arah kanan ataupun kiri karena kepala
itu tertahan oleh dua pucuk moncong bedil! Andana hanya bisa mengucapkan salam
tanpa dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dengan tangan kirinya diusapnya
wajahnya. Kedua matanya dengan cepat membaca situasi. Lalu dia menegur dengan
sikap tenang.
“Manusia-manusia
dari mana yang telah berubah menjadi iblis durhaka!
Mengganggu
orang dalam sembahyang?!”
“Jangan
banyak mulut! Kami mendapat perintah menangkapmu hidup atau mati!” Orang yang
memegang bedil di sebelah kanan membentak. Kawannya yang sebelah kiri
mengeluarkan sebuah rantai besi yang ada gemboknya. Benda itu dilepmparkannya
ke lantai di depan Andana lalu memerintahkan pada selah seorang di dekatnya.
“Ikat kedua tangannya! Kalau dia berani bergerak kutabur otak dalam kepalanya!”
Orang
yang diperintah masukkan goloknya ke sarung lalu cepat mengambil rantai besi
itu. Andana belum pernah melihat orang ditembak bedil. Namun dia pernah
mendengar bahwa senjata panjang itu bisa mengoyak dada, merobek perut dan
merengkahkan kepala! Dalam keadaan seperti itu yaitu dua moncong bedil
sekaligus menempel di kepalanya kiri kanan Andana tak berani berlaku ceroboh.
“Kalian
orang-orang Tumenggung Rajo Langit?” bertanya Andana.
“Kambui
wa-ang! Kalau sudah tahu siapa kami mengapa masih bertanya!”
bentak
orang yang memegang bedil di sebelah kanan.
“Jangan
banyak cakap. Ulurkan saja kedua tanganmu. Atau otakmu akan bertaburan di
lantai surau ini!”
Andana
tampak seperti tersenyum. “Rupanya Tumenggung kalian itu masih belum puas.
Semua orang di Pagaralam ini tahu bahwa tuduhan pembunuhan atas diriku dulu
hanya fitnah busuk belaka….”
Dengan
tenang Andana mengulurkan kedua tangannya. Sewaktu rantai besi hendak diikatkan
pada kedua lengannya, dalam hati Andana berkata. Kalian hanya menjalankan
perintah. Tapi kalau aku tidak memberi pelajaran pada kalian, kalian bisa jadi
keras kepala dan sewenang-wenang!
Rantai
besi mulai dilingkarkan di kedua tangan Andana. Pada saat itulah tibatiba
terdengar suara siulan.
Menyusul
bentakan keras.
“Manusia-manusia
gila! Kalian seperti tidak ber-Tuhan! Menangkap orang di rumah suci!”
Atap
surau yang terbuat dari ijuk berderik halus. Lalu tiba-tiba sekali lampu minyak
yang tergantung dekat pintu surau padam. Dalam keadaan yang gelap gulita itu
Andana serta merta jatuhkan tubuhnya ke lantai papan. Dua letusan menggelegar.
Andana
merasakan sesuatu yang panas robek bahu kirinya. Dia menghantam sambil menahan
sakit. Terdengar suara orang menjerit di susul suara bergedebuk jatuhnya satu
dodok tubuh. Di sebelah atas suara seseorang menerobos masuk lewat celah antara
atap dan dinding lalu melayang ke bawah.
Setelah
itu terlihat satu bayangan putih berkelebat kian kemari. Setiap kaki atau
tangannya bergerak satu korban roboh ke lantai.
Meski
tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang masuk ke dalam surau itu
nemun dari gerakannya yang sebat dan mengeluarkan suara menderu serta bentuk
potongan tubuhnya Andana sudah dapat menduga siapa adanya orang ini. Dia segera
menyambar sebuah bedil yang tercampak di lantai. Senjata ini dipegangnya di
bagian selongosng besinya. Dengan popor senapan itu lalu dia menghantam para
penyerang dalam kegelapan.
Tak lama
kemudian suara hiruk pikuk perkelahian di dalam surau itu berhenti.
Kesunyian
mencengkam. Di luar surau nenek berjuluk Anduang Mata Api pencongkan mulutnya
beberapa kali. Kedua tangannya masih dilipat di depan dada.
Tiba-tiba
dari pintu surau melayang keluar satu sosok tubuh. Lalu satu lagi, satu lagi
sampai akhirnya kelihatan lima orang bergeletakan di halaman surau tanpa
berkutik lagi. Tiga orang pingsan berat. Satu mengerang dengan kening
berlumuran darah.
Yang
kelima agaknya tengah meregang nyawa. Di dalam surau tadi ketika dia
membabatkan goloknya menyerang orang berpakaian putih, tiba-tiba orang itu
mendahului dengan satu tendangan yang tepat mengenai lengannya. Golok yang
digenggamnya berbalik menghantam perutnya sendiri. Ususnya berbusaian!
Tujuh
orang ang berada di halaman surau cepat mendatangi kelima kawan mereka yang
dalam keadaan babak belur itu. Mereka bergidik melihat kawan yang tengah
meregang nyawa dengan usus menjela-jela.
Sementara
itu perempuan berjuluk Anduang Mata Api masih tetap tak bergerak di tempatnya
di bawah pohon. Hanya kedua alis matanya saja yang tampak bergerak-gerak naik
ke atas. Lalu dia berkata dengan suara keras.
“Apakah
kalian ingin menjadi kucing buta dan bisu? Empat kawan kalian dihajar orang
sampai tak sadarkan diri. Yang satu malah dibunuhi! Kalian hanya berdiri
menonton! Jika kalian tidak berbuat sesuatu rasanya lebih baik aku mengepruk
kepala kalian satu persatu!”
Mendengar
kata-kata si nenek, tujuh orang yang berada di halaman surau serta merta
bergerak. Mereka berserabutan menuju pintu surau. Siap menyerang Andana yang
ada di dalam sana. Namun tiba-tiba sekali dari dalam surau terdengar suara
menderu. Si nenek Anduang Mata Api mengerenyit. Tujuh orang yang coba memasuki
surau terlempar ke hadapannya sebelum mereka sempat mencapai pintu seolah-olah
disambar angin topan dahsyat! Ketujuhnya kemudian malang melintang berkaparan
di tanah. Meskipun banyak diantara mereka yang cidera namun nasib mereka jauh
lebih baik dari lima kawan mereka terdahulu. Yang tujuh ini hanya babak belur
tapi tak ada yang sampai menemui ajal!
Anduang
Mata Api batuk-batuk beberapa kali ketika dari dalam surau dilihatnya Andana
keluar sambil memegang bahu kirinya. Bajunya nampak sobek di bahu dan ada warna
merah tanda tubuhnya terluka. Sewaktu menjatuhkan diri menyelamatkan kepalanya
dari ancaman dua buah bedil kocok, peluru salah satu bedil itu masih sempat
menghajar bahu kirinya. Walaupun meleset tapi peluru senjata itu telah merobek
baju dan daging bahunya.
Anduang
Mata Api menggigit-gigit bibirnya sendiri sewaktu melihat ternyata ada dua
orang pemuda yang keluar dari dalam surau. Sebelumnya dia tidak pernah melihat
Andana. Sesaat dia jadi bingung sendiri.
Eh, dua
pemuda itu punya wajah mirip satu sama lain. Perawakan mereka juga serupa.
Sialan kenapa Tumenggung tidak mengatakan kalau ada dua lawan bukan cuma satu!
Aku harus minta bayaran lebih besar kalau begini. Tapi…..ada juga senangnya aku
ikut campur urusan ini. Dua pemuda di hadapanku ini samasama punya tampang
gagah. Badan mereka sama-sama kukuh.
“Hemmmm……
hasrat mudaku kembali berkobar. Kalau aku dapat salah satu saja di antara
mereka….” Begitu si nenek membatin.
Sementara
itu Wiro berbisik pada Andana. “Ada perempuan tua bermuka binyawak di depan
kita. Hati-hati sahabat. Gerak geriknya menyataka dia seorang berkepandaian
tinggi. Dia pasti dedengkot penyerangan ini!”
“Firasatmu
sama denganku. Cuma belum jelas apa dia kaki tangan Tumenggung Rajo Langit atau
Pamanku Datuk Gampo Alam.”
“Mungkin
dua-duanya,” kata Wiro pula.
Si nenek
maju beberapa langkah. Andana dan Wiro lakukan hal yang sama.
Mereka
sama-sama tegak saling tatap terpisah dalam jarak lebih dari sepuluh langkah.
Untuk
beberapa saat lamanya suasana di halaman surau yang agak gelap itu dicengkram
kesunyian. Tapi ini tidak berjalan lama. Setelah puas memperhatikan dua pemuda
gagah itu si nenek tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
“Yang
mana di antara kalian bernama Andana, kemenakan Datuk Gampo Alam?! Dan punya
gelar sombong, menganggap diri bergelar Harimau Singgalang!”
Belum
sempat Andana menjawab, Wiro sudah angkat tangan kirinya.
“Menurutmu
siapa di antara kami yang pantas jadi Harimau Singgalang?!”
Anduang
Mata Api melirik pada Wiro lalu tersenyum. “Kau pasti bukan sang kemenakan.
Lidahmu seolah terbuat dari seng. Logat bicaramu seperti orang yang tengah
makan galamai!” (galamai = dodol)
Wiro
tertawa. “Nenek, mulutmu pandai bicara dan ternyata otakmu cerdik juga. Kau
yang berwajah saperti galamai, jadi kau orangnya yang bertindak sebagai
pemimpin dari baruak-baruak yang dua belas orang ini! Siapa yang membayarmu
melakukan perbuatan keji ini?!” (baruak = monyet)
Anduang
Mata Api tentu saja marah sekali wajahnya dikatakan seperti dodol.
Tapi si
nenek tidak segera mendamprat melainkan mendongakkan kepalanya.
Dari
mulutnya keluat suara tawa mengekeh disusul ucapan “Orang banyak mulut kabarnya
lama matinya. Tapi sekali lagi kau berani bicara kurang ajar, umurmu kulipat
jadi pendek! Kau dengar itu anak muda?!”
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan balas tertawa. Ketika dia hendak
membuka mulut di sampingnya Andana mendatangi dan berbisik.
“Sahabat,
saya ada urusan sangata penting yang harus dikerjakan.” Rupanya Andana baru ingat
akan perjanjiannya dengan Sati. “Saya harap kau tidak keberatan mengurus
binyawak perempuan ini. Saya harus pergi sekarang….. Hati-hati. Tua bangka ini
agaknya bukan galamai atau dodol yang empuk.”
Bisikan
Andana itu rupanya terdengar oleh Anduang Mata Api. “Kemenakan Datuk Gampo
Alam!” katanya cepat. “Aku mendapat perintah untuk menagkapmu hidup atau mati!
Aku masih punya rasa belas kasihan menangkapmu hidup-hidup!
Tapi jika
kau berani bergerak satu langkah saja, kuhabisi kau kejap ini juga!”
“Siapa yang
memberimu perintah?!” tanya Andana tenang.
“Berapa
kau dibayar nenek galamai?!” ikut menukas Wiro Sableng sambil menyeringai.
Rahang
dan pipi si nenek tampak menggelembung. Kedua matanya menjadi merah laksana
bara api di malam gelap.
“Siapa
memberiku perintah atau berapa aku dibayar bukan urusan kalian! Kau kemenakan
Datuk Gampo Alam jelas-jelas manusia buronan yang harus ditangkap dan
dijebloskan dalam penjara!”
Wiro
keluarkan suara berdecak berulang kali. “Nek, lagakmu sudah keterlaluan. Kau
hanya disuruh orang. Tidak mengetahui apakah sahabatku ini benar pembunuh atau
bukan!”
Murid
Sinto Gendeng ini kemudian berpaling pada Andana.
“Pergilah
cepat. Jika dia berani menghalangi akan kita lihat apa yang hendak
dilakukannya!”
Mendengar
ucapan sahabatnya itu tanpa menunggu lagi Andana segera berkelebat namun si
nenek dengan kecepatan luar biasa melesat memotong gerakan pendekar bergelar
Harimau Singgalang itu.
Wiro tak
tinggal diam. Dia segera melompat memapas gerakan si nenek sambil mendorongkan
dua tangannya ke depan, Anduang Mata Api mendengar deru halus. Dia berseru
kaget ketika satu gelombang angin melanda dirinya, membuat dia sempoyongan.
Astaga,
anak celaka ini ternyata memiliki tenaga dalam luar biasa! Keluh Anduang Mata Api.
Sebelum tubuhnya tersapu pukulan “benteng topan melanda samudera” yang
dilepaskan Wiro perempuan tua ini cepat menyingkir dengan membuat lompatan ke
samping. Dari samping dengan gerakan kilat dia kirimkan satu serangan ke arah
Pendekar 212. Tapi sewaktu dilihatnya Andana berkelebat pergi, dia memutuskan
membereskan pemuda buruannya itu lebih dulu. Dari tenggorokannya terdengar
suara menggembor. Kedua matanya yang merah membara diarahkan pada Andana.
Kepalanya digoyangkan.
Wuuuttttt!
Wuuuuuuut!
Dua buah
cahaya lurus berwarna merah kebiruan melesat dari sepasang mata si nenek,
menyambar ke arah punggung Anadana.
“Andana!
Awas! Teriak Wiro.
Tanpa
diperingatkanpun sebenarnya putera Datuk Bandaro Sati itu sudah mengetahui
bahaya yang mengancam.
Sambil
melompat ke balik sebatang pohon besar Andana tusukkan telunjuk tangan kanannya
ke depan. Dalam gelap terdengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya
satu sinar biru.
Sinar
biru ini melesat menyongsong dua larik sinar merah yang keluar dari sepasang
mata Anduang Mata Api.
Wiro yang
sudah gatal tangan tak tinggal diam. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah
titik pertemuan sinar-sinar sakti itu. Cahaya putih menyilaukan yang disertai
hawa panas menderu menggidikkan. Itulah pukulan “sinar matahari”!
Dentuman
dahsyat laksana kepundan meledak menggelegar di tempat itu.
Andana
terdengar berseru keras lalu tubuhnya lenyap dari balik batang pohon besar.
Anduang
Mata Api menekapkan kedua tangannya pada kedua matanya yang terasa
ditusuk-tusuk. Wiro sendiri berdiri tergontai-gontai.
Daun-daun
pepohonan runtuhan berguguran. Ranting dan cabang pohon patah berjatuhan. Pada
batang pohon di balik mana tadi Andana berlindung kelihatan dua buah lobang
hitam.
Lobang-lobang
itu terjadi akibat hantaman dua larik sinar merah kebiruan yang keluar dari
mata Anduang Mata Api. Dapat dibayangkan kalau sinar itu mendarat di tubuh
manusia!
Sadar
kalau Andana tak dapat dihalanginya lagi, si nenek menumpahkan seluruh
kemarahannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
*****************
SEMBILAN
Kita
tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi kemarahan nenek bermuka
binyawak bernama Anduang Mata Api itu. Mari kita ikuti kepergian Andana menemui
pedagang cita keliling bernama Sati dari siapa dia mengharap dapat mengetahui
orang yang telah membunuh Ayahnya.
Begitu
Andana muncul di ujung jembatan batang kelapa, Sati segera keluar dari tempat
gelap. “Sudah habis saya dimakan nyamuk. Mengapa lama benar Angku Mudo datang?”
“Orang-orang
suruhan Tumenggung Rajo Langit menyerbu saya di surau.
Mereka
berusaha menangkap saya. Tak perduli hidup atau mati!”
Sati
tempak terkejut. “Keji sekali tindakan mereka. Berani berbuat huru hara dalam
rumah suci! Astaga, saya lihat bahumu terlukan Angku Mudo….”
“Disambar
pelor……”
“Pelor?
Hampir tak percaya saya…..!”
“Ada dua
penyerbu membawa bedil yang kabarnya didatangkan dari Jawa.”
Andana
terdiam sebentar. “Sudahlah, sekarang kita segera ke rumahmu. Saya akan
buktikan bahwa benar-benar ada orang yang menginginkan kematianmu.”
Malam
merayap perlahan. Dingin dan sunyi. Dalam kegelapan yang menghitam, diantar
oleh hembusan angin malam, empat bayangan berkelebat menuju sebuah rumah yang
terletak di lembah kelam sunyi. Empat orang ini bergerak tanpa suara seolah
menyatu dengan kegelapan malam. Di depan sekali bergerak orang tinggi besar bermuka
garang dan hanya puna satu mata serta satu daun telinga. Dia bukan lain adalah
Daud alias Hantu Mata Picak, tangan kanan dan kepercayaan Eatuk Gampo Alam.
Tiga orang di belakangnya adalah anak buahnya.
Beberapa
belas langkah dari rumah di dalam lembah Hantu Mata Picak memberi isyarat. Tiga
anak buahnya berhenti. Dia cepat berbisik “Ada nyala lampu minyak di dalam
rumah. Berarti ada orangnya. Kelian bertiga lekas menyebar. Aku akan masuk dan
menabas leher manusia itu. Beri tanda dengan suitan jika ada orang yang
datang…..”
Tiga anak
buah Hantu Mata Picak mengangguk lalu mereka cepat menyebar.
Hantu
Mata Picak melangkah ke pintu belakang rumah. Lewat celah-celah dinding dia
melihat lampu minyak menyala di ruangan tengah. Selain dari itu rumah di tengah
lembah itu berada dalam keadaan sunyi senyap. Hantu Mata Picak terus mengintai.
Di salah satu sudut rumah ada sebuah balai-balai. Di atas balai-balai ini
samar-samar tampak sesosok tubuh tengah tidur nyenyak.
Hantu
Mata Picak tak menunggu lebih lama. Dikeluarkannya sebilah golok dari balik
pinggangnya. Dengan benda ini, tanpa suara sama sekali dia mencongkel pintu
belakang lalu menyelinap masuk dengan cepat. Dia langusng menuju balai-balai
dimana terbujur sosok tubuh berselubung selimut. Tangan kanannya yang memegang
golok diangkat tinggi-tinggi. Senjata itu lalu dibacokkan dengan deras. Yang
diarah adalah bagian batang leher.
Crassss!
Tubuh di
bawah selimut tak bergerak. Tak ada darah yang muncrat membasahi selimut atau
mengucuri tempat tidur. Hantu Mata Picak mengeluarkan seruan heran. Dengan
tangan kirinya diangkatnya selimut itu. Yang dilihatnya bukan leher manusia
yang luka parah apa lagi terbabat putus, melainkan hanya sebuah bantal guling
yang robek besar dan ketika diangkat kapuknya berhamburan kian kemari.
“Kurang
ajar! Aku kena tertipu!” Hantu Mata Picak memaki marah.
Digeledahnya
seluruh rumah. Namun di rumah itu memang tidak ada siapapun.
Saking
marahnya Hantu Mata Picak menghantami apa saja yang ada di dalam rumah dengan
goloknya. Mendengar ribut-ribut tiga orang anak buahnya segera masuk dan
bertanya apa yang terjadi.
“Bangsat
itu tidak ada di sini! Dia menipu dengan guling yang diselimuti!”
“Berarti
dia sudah tahu bahaya mengancam dirinya Daud,” kata salah seorang anak buah
Hantu Mata Picak menyebut nama pimpinan mereka itu.
“Kelihatannya
ini bukan kerja satu orang,” berkata teman di sebelahnya.
“Aku
tidak yakin Sati punya akal dan keberanian berbuat begini! Kita bakar saja
rumah ini!”kata yang satunya lagi. Lalu diambilnya lampu minyak yang tergantugn
di dinding. Ketika minyak hendak diguyurkan ke lantai papan, tiba-tiba entah
dari mana munculnya satu tangan yang kokoh menarik lengannya. Di lain kejap
anak buah Hantu Mata Picak merasakan tubuhnya dibetot ke samping baru terlempar
ke luar rumah lewat jendela yang jebol dan hancur berantakan. Lampu minyak yang
tadi dipegangnya, sebelum terlempar jatuh mengguyur pakaiannya. Celakanya
ketika lampu kemudaian terlepas nyala apinya jatuh di bagian pakaian yang telah
basah oleh minyak itu. Tak ampun lagi apipun berkobar menyulut pakaian dan
tubuh orang itu.
Dia
berteriak-teriak sambil bergulingan di tanah coba memadamkan api. Namun perut,
dada dan pangkal lehernya sedah keburu terbakar sebelum api padam!
Hantu Mata
Picak dan dua orang anak buahnya yang masih ada di dalam rumah dan kini dalam
keadaan gelap gulita tentu saja terkejut bukan alang kepalang.
Sang
pemimpin cepat menyadari bahayanya kalau berada di tempat gelap sementara ada
seorang musuh mengintai di tempat yang sama serta merta dia menghambur keluar
rumah lewat pintu belakang, diikuti salah seorang anak buahnya. Anak buahnya
yang satu lagi melompat lewat jendela. Ketiganya sampai di halaman samping
berbarengan. Kaget ketiga orang ini semakin memuncak ketika di halaman itu
tahu-tahu mereka berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih,
berambut gondrong dan tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di
mulutnya tersungging senyum mengejek.
“Harimau
Singgalang!” kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak.
Hantu
Mata Picak tertawa mengejek. “Anak-anak, gelar tidak pantas bagi seorang
pembunuh dan buronan penjara Batusangkar seperti dia!”
Andana
menyeringai. “Jadi kau rupanya yang selama ini gentayangan berusaha hendak
membunuhku. Mulai dari ular berbisa, picau beracun, lalu sirih yang diberi
racun kala hutan! Siapa yang memperbudakmu?!”
“Bangsat!
Aku tidak merasa diperbudak siapapun! Manusia seprtimu patut dilenyapkan dari
muka bumi. Kehadiranmu di Pagaralam hanya mendatangkan keonaran!”
Andana
tertawa pendek mendengar kata-kata Hantu Mata Picak itu. “Dulu kabarnya kau
pernah berdandan seperti perempuan, memakai selendang dan baju kurung warna
kuning. Apa sekarang kau sudah berhenti jadi banci? Masih untung kau selamat
dari tanah bukit yang diruntuhkan kawanku tempo hari. Tapi dasar manusia tak
tahu diri. Diberi selamat oleh Tuhan malah kini makin semena-mena! Aku tahu kau
adalah kaki tangan Datuk Gampo Alam!”
Hantu
Mata Picak mendengus. “Apa yang kau ketahui cukup hanya sampai malam ini Andana!
Besok kau boleh bicara banyak di alam barzah!” Habis berkata begitu Hantu Mata
Picak lalu melompat sembari membabatkan goloknya.
Serangannya
memiliki kuda-kuda yang kuat dan ayunan goloknya mengeluarkan suara menderus
serta tebaran angin dingin. Terlambat saja Andana mengelak niscaya bahi kirinya
bisa putus dihantam sambaran senjata itu.
Geram
melihat serangannya bisa dielakkan lawan, didahului dengan bentakan garang
untuk kedua kalinya Hantu Mata Picak melancarkan serangan. Dua orang anak
buahnya kini juga tak tinggal diam.
Yang satu
menghunus sebilah parang berkeluk, yang kedua mengeluarkan sebatang tongkat
besi yang ujungnya bercabang dua berbentuk pipih seperti mata pisau. Tiga
serangan yang datang dari tiga jurusan menggempur Harimau Singgalang laksana
curahan air hujan. Dua orang lelaki yang iktu mengeroyok memang merupakan
orang-orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara sekian banyak anak
buah Hantu Mata Picak. Disamping itu Hantu Mata Picak sendiri juga menguasai
ilmu golok tingkat tinggi dan gerakannya sangat sebat. Mau tak mau murid Datuk
Alis Merah dari Asahan ini dipaksa harus berhati-hati. Pakaian bahkan rambut di
kepalanya sesekali berkibar-kibar disapu angin tiga senjata lawan.
Breettt!
Breettt!
Memasuki
jurus ke tujuh golok di tangan Hantu Mata Picak merobek baju putih Andana di
bagian lambung. Robekan kedua terjadi di dekat ketiak kirinya akibat tusukan
tongkat besi bermata dua anak buah Hantu Mata Picak.
Andana
merasa tengkuknya dingin. Terlambat saja dia membuat gerakan mengelak, salah
satu serangan itu pasti sudah merobek tubuhnya! Menyadari keadaan yang sangat
berbahaya ini Andana segera keluarkan ilmu silat yang dipelajari dari gurunya
Datuk Alis Merah di tanah Asahan. Ilmu silat ini bernama ilmu silat Kumango
Tujuh Serangkai. Ilmu silat Kumango merupakan ilmu silat yang mendasar dan
banyak dikuasai para pendekar di tanah Minang bahkan sampai ke pesisir Selatan
dan Timur. Demikian mendasarnya ilmu silat Kumango hingga segala kekuatan
maupun kelemahannya banyak diketahui orang. Akibatnya ilmu silat ini dianggap
tak banyak berguna dan kemampuannya lagi hingga jarang yang mau mempelajarinya.
Tetapi
seorang Datuk di Utara yaitu Datuk Alis Merah justru berusaha menegakkan
kehebatan ilmu silat ini dengan menciptakan ilmu silat baru yang mendasarkan
gerakannya pada ilmu silat Kumango lama. Dia menyusun tujuh jurus aneh. Dari
tujuh jurus ini bisa dikembangkan masing-masing tiga jurus baru hingga
keseluruhan jurus berjumlah dua puluh satu. Setiap jurus diolah begitu rupa
hingga dasar gerakannya berlawanan dengan dasar gerakan ilmu silat Kumango
lama, diberi tambahan dasar kuda-kuda yang kokoh serta gerakan tangan yang
disertai tenaga dalam.
Andana
memainkan jurus demi jurus menghadapi tiga lawannya yang bersenjata sementara
dia sendiri masih mengandalkan tangan kosong. Memasuki jurus keenam belas
pemuda ini merasakan serangan lawan mulai dapat ditahannya. Dua anak buah Hantu
Mata Picak kelihatan seperti berlomba untuk dapat menyarangkan senjata mereka
di tubuh atau kepala Andana. Namun gerakan mereka sudah dipengaruhi kemarahan
berlebihan hingga tidak memakai perhitungan lagi. Hal ini terjadi karena sekian
lama menggempur mereka tak sanggup untuk mendekati lawan, apalagi melukainya.
Sebaliknya kaki dan tangan Andana acap kali menyusup menembus pertahanan mereka
hingga serangan mereka sering menjadi mentah dan gerakan keduanya menjadi
kacau. Hantu Mata Picak yang juga merasakan mengendurnya daya serangannya
akibat ilmu silat si pemuda yang sulit diterkanya kini mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya hingga tubuhnya yang besar itu laksana seekor alap-alap,
berkelebat kian kemari. Golok di tangannya menyambar menderu-deru. Kelihatannya
dia mulai dapat menggoyahkan pertahanan Andana.
Namun
Hantu Mata Picak salah menduga.
Putera
Almarhum Datuk Bandaro Sati itu dengan cerdik mengarahkan serangan-serangan
gencarnya pada anak buah Hantu Mata Picak yang memegang tongkat besi bercabang
dua. Senjata ini merupakan senjata terpanjang diantara tiga senjata para
pengeroyok, jadi merupakan senjata paling berbahaya karena mampu mencapai
dirinya dari jarak jauh sekalipun. Begitu lawan terdesak hebat, Andana susupkan
satu tendangan ke perutnya. Selagi lawan terjajar ke belakang sambil meraung
kesakitan dan tak berani lagi memasuki kalangan perkelahian, Andana merampas
tongkat besinya. Dengan senjata ini kini Andana menghadapi Hantu Mata Picak dan
seorang anak buahnya. Pemuda ini mengamuk laksana kesetanan. Dua jurus
menggempur parang berkeluk di tangan anak buah Hantu Mata Picak mentak ke
udara. Selagi lawan tampak kebingungan Andana hujamkan ujung tongkat yang
berbentuk dua bilah pisau itu ke arah perutnya! Orang ini membuka mulutnya
lebarlebar seperti hendak berteriak. Kedua matanya mendelik. Mimik mukanya
mengerikan. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ketika tusukan
tongkat besi dilepaskan tubuhnya langsung roboh. Perutnya robek besar dan usus
besarnya tampak menggelembung mengerikan.
Anak buah
Hantu Mata Picak yang tongkat besinya kena dirampas kini berada di tangan
Andana terbungkuk-bungkuk berusaha memungut parang berkeluk milik kawannya yang
terlepas mental dan tergeletak di tanah. Tapi gerakannya tidak lepas dari
perhatian Andana. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang parang, tumit kaki kanan
Harimau Singgalang menghantam keningnya dengan telak. Orang ini terjengkang ke
tanah. Sesaat kedua tangannya melejang-lejang lalu tubuhnya tak berkutik lagi.
Kepalanya rengkah. Darah menggelimangi wajah bercampur lelehan cairan otak!
Harimau
Singgalang putar tubuhnya dengan cepat sambil melintangkan tongkat besi di atas
kepalanya ketika dia mendengar di belakangnya ada suara menderu. Betul seperti
dugaannya. Hantu Mata Picak kirimkan serangan membokong dengan golok besarnya.
Dua senjata yang sama-sama terbuat dari besi itu saling bentrokan di udara,
mengleluarkan suara keras serta percikan bunga api yang terang di dalam
kegelapan malam.
Golok di
tangan Hantu Mata Picak patah dua dan terlepas mental dari genggamannya.
Sebaliknya tongkat besi yang dipegang Andana hanya gompal sedikit.
Andana
adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan tidak lagi bersenjata dia segera
membuang tongkat besi berujung sepasang pisau itu. Namun ayunan dari bentrokan
tadi masih sempat menghantam ke bawah sesaat setelah dia melepaskan senjata
ini.
Hantaman
ini justru mengarah kepala Hantu Mata Picak. Andana jadi terkesiap dan tidak
sempat berbuat apa-apa. Namun di hadapannya Hantu Mata Picak tampak tenang
saja. Kedua tangannya diangkat ke atas untuk menangkap tongkat besi itu.
Astaga!
Ilmu apa yang dimiliki manusia jahat ini! Kedua tangannya merah membara sampai
sebatas pergelangan! Andana menyaksikan perubahan kedua tangan manusia bermata
satu itu dengan terkejut. Ketika tongkat besi itu ditangkapnya terdengar suara
mendesis panjang. Hantu Mata Picak menyeringai. Tongkat besi yang dipegangnya
ikut membara mengepulkan asap. Sekali dia menggerakkan kedua tangannya yang
merah membara itu, tongkat besi melengkung membentuk setengah lingkaran.
Hantu
Mata Picak tertawa mengekeh. Tongkat besi dicampakkannya ke tanah.
Lalu dia
melompat menyerang Andana. Kedua tangannya yang telah berubah menjadi bara
panas itu berkelebat ke arah leher Harimau Singgalang.
*****************
SEPULUH
Kalau
besi saja bisa dibuat membara dan leleh, dapat dibayangkan apa yang terjadi
dengan batang leher Andana kalau sampai kena cengkeram sepasang tangan Hantu
Mata Picak!
Ilmu Bara
Neraka! Kata Andana dalam hati. Kedua tangan lawannya berubah menjadi merah
membara dan panas luar biasa. Dari mana manusia celaka ini mendapatkan ilmu
itu? Namun Harimau Singgalang tidak dapat berpikir panjang. Dia harus
menyelamatkan diri. Dua tangan Hantu Mata Picak berkelebat ganas. Andana cepat
melompat mundur ke dekat sebatang pohon. Lawan memburu dengan menebas telapak
tangan kanannya. Sekali lagi Andana mengelak. Tabasan tangan melabrak pohon.
Wusss!
Kraaak!
Batang
pohon itu bukan saja terbakar dikobari api tapi juga patah lalu tumbang dengan
suara menggemuruh.
“Pemuda
keparat!” maki Hantu Mata Picak penuh geram karena lawan untuk kedua kalinya
berhasil mengelakkan serangannya. “Apa kau kira bakal bisa lolos dari tanganku?
Kau akan mampus dengan tubuh lumat sampai ke tulang belulangmu!”
Hantu
Mata Picak menutup makiannya sambil mendorongkan kedua tangannya yang membara
ke depan.
Wusss!
Wusss!
Dua larik
sinar merah menderu ke arah Andana.
Di
seberang sana Andana memasang kuda-kuda. Lututnya membengkok sedang tubuhnya
agak membungkuk. Tiba-tiba pemuda ini tusukkan jari tangan kiri kanan ke arah
datangnya serangan dua larik sinar merah. Dua gelombang lidah api menderu
dahsyat mengjutkan Hantu Mata Picak. Matanya yang Cuma satu mendelik besar
ketika melihat bagaimana dua gelombang lidah api dari pukulan sakti Inti Api
yang dilepaskan Andana menghantam buyar dua larik sinar merah panas pukulan
Bara Neraka yang dihantamkannya pada pemuda itu. Hantu Mata Picak kerahkan
habis-habisan seluruh tenaga dalamnya agar pukulan Bara Nerakanya bisa bertahan
dan menghantam lawan kembali. Namun dia kalah kekuatan. Ketika Andana
mendorongkan dua jari telunjuknya ke depan, dua lidah api menggemuruh.
Hantu
Mata Picak menjerit keras. Sekujur tubuhnya dikobari api. Dia berusaha
memadamkan api yang membakar badannya itu dengan menjatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan. Namsibnya masih untung karena di dekat sana ada sebuah parit
dangkal.
Tanpa
pikir panjang Hantu Mata Picak mencemplungkan dirinya ke dalam parit.
Begitu
api oadam dia cepat berdiri lalu melarikan diri dari tempat itu. Andana
mengejar. Telunjuk tangan kanannya di arahkan ke punggung orang. Namun pukulan
Inti Api tak jadi dilepaskannya. Dia merasa tidak enak membokong seperti itu.
Dia pasti mati! Dia tidak bakal bisa selamat dari luka bakar yang dahsyat itu!
Kata Andana dalam hati. Dia membungkuk memungut sebuah benda yang tadi jatuh ke
tanah sewaktu Hantu Mata Picak bergulingan sambil menjerit-jerit. Benda itu
ternyata adalah sebilah pisau yang gagangnya berbentuk ukiran tengkoran
manusia.
Hemmm……
Kini kudapatkan buktinya. Jadi memang dia yang membunuh Udin Burik orang yang
bersaksi palsu di hadapan Tumenggung bahwa akulah yang telah membunuh Sarkam!
Dia juga yang memasang senjata rahasia ini di rumah gadang untuk membunuhku!
“Angku
Mudo,” tiba-tiba terdengar suara Sati si pedagang cita keliling di samping
Andana. “Kenapa tidak Angku Mudo bunuh sekalian manusia setan itu!
Membiarkannya
hidup sangat berbahaya!”
“Luka
bakar yang parah itu akan merengut nyawanya. Kalaupun dia bisa hidup dia akan
cacat seumur-umur. Siksaan itu lebih ganas dari kematian…..”
“Tapi
Angku Mudo, justru manusia jahanam itulah yang ikut membantu membunuh Ayah
Angku Mudo!” kata Sati pula.
Andana
membalikkan tubuhnya. Dia seperti mendengar petir di liang telinganya.
“Apa
katamu Sati?! Saya mencarimu justru untuk meminta keterangan menyangkut rahasia
kematian Ayah saya! Kalau barusan kau katakan Hantu Mata Picak ikut membantu
membunuh Ayah saya, lalu siapa yang dibantunya? Siapa sebenarnya yang membunuh
Ayah saya? Tumenggung Rajo Langit?!”
Andana
terbeliak heran ketika melihat Sati gelengkan kepalanya. Tidak sabaran
dipegangnya kedua bahu Sati, digoyang-goyangkannya hingga Sati berteriak kesakitan.
“Lekas
katakan siapa pembunuh Ayah saya!”
“Datuk
Gampo Alam. Mamak Angku Mudo sendiri!” jawab Sati.
Mulut
Andana tampak ternganga. “Saya sudah menduganya tapi saya berusaha untuk tidak
mempercayainya! Ternyata kini…. Sati, kau melihat sendiri kejadian itu? Ceritak
pada saya!” kata Harimau Singgalan hampir berteriak. Kembali tubuh pedagang
cita keliling yang kerempeng itu diguncangnya.
“Saya
menyaksikan sendiri Angku Mudo. Saat itu saya dalam perjalanan ke Bukittinggi.
Terjadinya di tepi Ngarai Sianok. Saya saksikan Ayah Angku Mudo dikeroyok oleh
Hantu Mata Picak dan Datuk Gampo Alam. Satu saat Hantu Mata Picak berhasil
menyergap Ayah Angku Mudo dari belakang. Dalam keadaan tidak berdaya seperti
itu Datuk Gampo alam datang dari depan. Diambilnya keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang. Dengan senjata itu ditikamnya tubuh Ayah Angku Mudo bertubi-tubi
secara biadab. Darah mengucur mengerikan dari belasan luka menganga.
Saya
lihat Ayah Angku Mudo roboh ke tanah dengan keris masih menancap di dada Datuk
Bandaro Sati…. Sementara itu Datuk Gampo Alam dan Hantu Mata Picak sudah
melarikan diri.”
“Jahanam!
Manusia-manusia biadab itu akan kuhabisi! Tak ada ampunan bagi mereka! Aku
bersedia masuk neraka atas dosa membunuh keduanya!” Suara Andana bergetar
keras. Tubuhnya seperti menggigil dan wajahnya yang tampan tampak mengelam.
Sati
untuk beberapa lamanya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
“Setelah
itu saya melihat satu kejadian aneh Angku Mudo,” katanya kemudian.
“Kejadian
aneh? Kejadian aneh macam mana maksudmu?” tanya Andana.
“Dari
dasar Ngarai Sianok tiba-tiba saya melihat berkelebat satu sosok berpakaian
putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Tak dapat saya
pastikan siapa adanya sosok tubuh ini. Entah malaikan entah setan.
Mahluk
ini membelakangi saya. Sesaat kemudia dia memandangi tubuh Ayah Angku Mudo.
Lalu saya lihat dia membungkuk, mencabut keris yang menancap di dada Ayah Angku
Mudo. Juga memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Setelah itu seperti
terbang dia melesat ke langit. Ke arah matahari. Saya berusaha mengikuti
gerakannya. Tapi sinar matahari menyilaukan mata saya. Orang itu lenyap entah
kemana. Saya sendiri sudah tidak dapat lagi menahan takut lalu lari dari tempat
itu….”
Kedua
rahang Andana tampak menggembung. Terbayang kembali di matanya kejadian sewaktu
ayahnya muncul di atas batu besar di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
“Sati,
ada satu hal yang ingin saya tanyakan,” kata Andana setelah berdiam diri
beberapa ketika. “Soal rumah gadang. Saya mendapat keterangan bahwa Mamak saya
akan menjual rumah itu pada Tumenggung Rajo Langit….”
“Saya
tahu hal itu. Semua orang di Pagaralam ini tahu.”
“Menurut
Rukiah, istri termuda Datuk Gampo Alam, rumah itu kabarnya akan dijual pada
seseorang dari Jawa. Kau tahu juga hal itu Sati?” Sati mengangguk.
“Saya
tidak mengerti. Mengapa Mamak saya tidak langsung saja menjualnya pada orang
Jawa itu.”
“Karena
Paman Angku Mudo itu tidak tahu tahasia yang ada di balik semua itu,” kata Sati
pula.
“Rahasia?
Rahasia apa maksudmu Sati?” tanya Andana heran.
“Saya
mendengar kabar angin. Betul tidaknya walahualam. Kabar itu mengatakan bahwa
tepat di bawah rumah gadang, terkubur dalam tanah, terdapat sejumlah harta
karun berupa potongan-potongan emas….”
“Sulit
saya mempercayainya!” ujar Andana.
“Orang
dari Jawa itu kabarnya memiliki sebuah peta mengenai letak kuburan harta karun
itu. Dalam peta ternyata letaknya tepat pada titik dimana rumah gadang
berdiri.”
Andana
hampir tertawa mendengar keterangan itu. “Dari mana pula asal muasalnya harta
karun berupa emas itu Sati?”
“Kabarnya,
beberapa puluh tahun yang silam ada keluarga Istana di tanah Jawa yang
melarikan diri dari pengejaran kaum pemberontak. Mereka datang ke pulau ini,
tersesat di Pagaralam dengan membawa berbagai harta kekayaan yang bisa mereka
bawa. Diantaranya potonga-potongan emas itu yang kemudian mereka kubur.
Orang-orang
dari tanah Jawa itu kemudain lenyap satu persatu secara aneh. Ketika rumah
gadang milik Ayah Angku Mudo didirikan, rumah itu dibangun tepat di atas kubur
harta karun.”
Andana
ternganga dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sulit
saya percaya Sati. Benar-benar tidak masuk akal….”
“Dunia
jaman sekarang ini Angku Mudo, banyak yang tidak masuk akal. Tapi justru itulah
kenyataan…..” jawab Sati pula.
Tumenggung
Rajo Langit bersiap-siap hendak berpamitan ketika tiba-tiba dari arah halaman
terdengar suara gaduh. Menyusul pekik perempuan. Lalu ada seseorang berlari
menaiki tangga leksana terbang. Orang ini adalah pengawal sang Tumenggung yang
sebelumnya disuruh menunggu di bawah tanga rumah gadang. Mukanya pucat dan
dadanya turun naik.
“Astaga!
Ada apa pengawal?!” tanya Tumenggung pula sambil berdiri, diikuti oleh Datuk
Gampo Alam. Sang Datuk langsung melompat ke arah tangga lalu tergesa-gesa
menuruninya. Pekik perempuan tadi dikenalinya sebagai suara salah seorang
istrinya. Begitu dia sampai di bawah tangga dilihatnya Zainab, istri tuanya
tegak gemetaran dengan muka seputih kafan. Di halaman, tepat di bawah tangga
kelihatan tertelungkup sesosok tubuh yang bentuk dan keadaannya sangat
mengerikan.
Pakaian
hitam yang sebelumnya melekat di tubuhnya kini tak berbentuk pakaian lagi.
Robek dan
hangus. Lalu kulit dan daging tubuhnya tampak merah mengerikan serta
membersitkan bau daging yang terpanggang. Mukanya tidak beda dengan muka setan.
Rudak
mengerikan. Salah satu matanya mencelet ke luar dan mengucurkan darah.
Hidungnya
hampir gerumpung!
“Astaghfirullah!”
mengucap Datuk Gampo Alam. “Kau Daud? Benar kau Daud?!”
Saat itu
Tumenggung Rajo Langit sudah berada pula di tempat itu, memandang penuh ngeri
pada sosok tubuh orang yang penuh luka bakar.
Orang
yang disebut dengan nama Daud alias hantu Mata Picak berusaha bangkit hendak
merangkang. Tapi begitu tegak seperti binatang kaki empat langsung ambruk ke
tanah.
“Demi
Tuhan! Katakan apa yang terjadi denganmu Daud?!” tanya Datuk Gampo Alam
setengah berteriak. Lehernya disentak-sentakkan sampai tiga kali.
“Sa….saya
ti….tidak berhasil…..” ucapan itu terpotong oleh suara seperti tercekik. Orang
yang berkelukuran luka bakar itu tak bergerak lagi.
“Daud!”
teriak Datuk Gampo Alam.
“Saya
yakin dia sudah mati Datuk,” kata Tumenggung Rajo Langit. Dia menarik nafas
panjang. “Buruk sekali pengalaman saya hari ini. Lebih baik saya minta diri
saja.” Lalu sang Tumenggung memberi isyarat pada pengawalnya.
Keduanya
segera meninggalkan halaman rumah gadang.
*****************
SEBELAS
Kita
kembali ke halaman surau di mana Wiro dan nenek bernama Anduang Mata Api saling
berhadap-hadapan.
Perginya
Andana dari tempat itu membuat si nenek bernama Anduang Mata Api menjadi marah
luar biasa. Sepasang matanya yang merah menyala seperti bara api. Kini seluruh
kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau
membuat dia lolos dari tanganku! Sekarang kau yang bertanggung jawab! Aku minta
nyawamu! Dengar?!”
Wiro
tersenyum sinis. “Nyawaku Cuma satu! Buat apa nyawaku untukmu?
Lagi pula
kalau kau minta nyawaku, pasti aku akan mati! Kalau aku mati di tempat ini
pasti kau tidak mau menguburku. Lalu karena jenazahku tidak terurus, rohku akan
gentayangan jadi setan. Kalau sudah begitu kau yang akan kucari pertama
sekali!”
Habis
berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
“Anak
kanciang! Jangan kau berani bergurau padaku!” bentak Anduang Mata Api marah
sekali.
“Siapa
suka bergurau dengan perempuan tua bangka bermuka seperti binyawak kali!” jawab
Wiro. “Kau lihat sendiri apa yang terjadi dengan semua anak buahmu. Apa kau mau
menyusul mereka?!”
“Mandeang!
Kau keliwat menghina! Sombong! Kau bakal tahu rasa dan tahu siapa diriku!”
bentak Anduang Mata Api. Kedua matanya menatap garang ke arah Wiro. Lalu kepalanya
digoyangkan. Dua larik sinar merah menderu ke arah Wiro.
Yang satu
ke jurusan kepala, satunya lagi mengarah dada. Murid Eyang Sinto Gendeng sudah
menyaksikan kehebatan kesaktian si nenek.Karenanya segera saja dia balas
menghantam dengan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan den pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera di tangan kiri.
Dentuman
keras untuk kesekian kalinya melanda tempat itu. Daun-daun pepohonan luruh
kering, banyak yang terbakar. Begitu juga ranting-rantingnya. Atap surau
seperti terbongkar. Salah satu dindingnya jebol dan hangus. Pendekar 212 Wiro
Sableng tersurut sampai empat langkah. Sedang si nenek hampir terjengkang kalau
tidak lekas membuat lompatan. Namun waktu dia berdiri kembali tubuhnya tampak
terhuyung. Saat itulah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera menerpanya. Tak
ampu lagi perempuan tua ini terpental sampai dua tombak. Tubuhnya menyangsrang
di serumpunan semak belukar. Dari mulutnya kelihatan darah mengucur. Walau dia
jelas-jelas menderita luka di dalam namun tidak kelihatan bayangan rasa sakit
di wajahnya. Malah dia tampak bertambah garang.
Perlahan-lahan
dia membebaskan dirinya dari semak belukar. Sepasang matanya yang merah
memandang tak berkesiap.
“Cukup
aku melayani orang gila seperti kau! Saatnya kau harus mendekam di penjara
kembali. Kau harus bersyukur aku tidak membunuhmu, tapi menyerahkanmu
hidup-hidup pada penguasa negeri di Batusangkar!”
Ucapan si
nenek itu ditanggapi dengan seringai oleh Wiro bahkan sambil garuk-garuk
kepala. Namun seringainya mendadak lenyap dan tangannya yang menggaruk kepala
cepat diturunkan. Di tangan si nenek kelihatan sebuah gulungan benda berwarna
putih halus.
Eh, aku
seperti pernah melihat benda ini, pikir Wiro.
Di
hadapannya tiba-tiba si nenek berseru. “Lihat benang!”
Benda
yang dipegangnya di tangan kanan melesat ke depan. Ternyata segulungan benang
yang dengan cepat melesat dan sebelum murid Eyang Sinto Gendeng bisa berbuat
apa-apa, benang putih halus itu telah melibat sekujur tubuhnya mulai dari dada
sampai ke pergelangan kaki! Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga untuk memutus
atau lolos dari gulungan benang itu tetap saja sia-sia.
“Benang
Kayangan!” seru Wiro ketika dia tiba-tiba ingat dan mengenali benda yang
menggulung sekujur tubuhnya, membuatnya tak berdaya. Kalau ini benar Benang
Kayangan jangan-jangan…..
“Nenek
muka binyawak! Apa hubunganmu dengan Tua Gila!” Wiro ajukan pertanyaan.
Eh,
bagaimana anak celaka ini kenal dengan si tua bangka itu? Membatin Anduang Mata
Api. Lalu dia berkata. “Dengar anak muda. Kau cukup berharga untuk membuatku
bersenang-senang. Sebelum aku serahkan kau pada penguasa negeri di Batusangkar,
apa salahnya aku menikmati kehebatan dirimu. Kulihat tubuhmu tegap, ototmu
kukuh. Kau tentu dapat menyenangkan diriku. Hik….hik….hik!
“Tua
bangka sinting! Apa yang hendak kau lakukan padaku?!” bentak Wiro.
“Apa yang
ada dalam otakmu?!”
Si nenek
semakin keras tawanya. “Lihat saja nanti. Lihat saja nanti….!”
katanya.
“Jika kau memang hebat, mungkin kau akan kubiarkan hidup. Mungkin juga tidak
akan kuserahkan pada penguasa di Batusangkar. Hik…hik…hik. mudahmudahan
rejekiku benar-benar besar kali ini. Hilang harimau singa gantinya!
Hik…hik…hik!
aku senang engkau nikmat!” Si nenek mengumbar tawa panjang.
Kedua
matanya merah berkilat-kilat. Kilatan itu terasa aneh di mata Wiro. Bukan
kilatan karena marah tapi oleh sesuatu yang lain. Rangsangan nafsu!
Setelah
tertawa panjang dan puas Anduang MataApi memanggul tubuh Pendekar 212 di bahu
kirinya. Lalu dengan cepat dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
Udara
malam terasa semakin dingin walau saat itu tubuh Wiro hampir kuyup oleh
keringat. Apa yang hendak dilakukan manusia ini. Dia punya satu maksud kotor.
Dia tidak
akan segera membunuhku tapi….
Si nenek
berlari kencang sekali. Dalam waktu singkat dia sudah berada di tepi sebuah
hutan kecil. Di satu tempat dia membelok ke kiri. Walau dalam hutan sangat
gelap namun perempuan tua itu mampu berlari cepat seolah matanya bisa melihat
dalam gelap. Tak lama memasuki hutan si nenek berhenti. Wiro merasakan tubuhnya
diturunkan. Memandang berkeliling ternyata dia dibaringkan di lantai papan
sebuah gubuk tanpa dinding.
“Kita
sudah sampai anak muda!” berkata Anduang Mata Api. “Saatnya kau menunjukkan
kejantananmu!” Si nenek susupkan tangannya kian kemari di sela-sela benang yang
menggulung dan mengikat sekujur tubuh Wiro. Nafasnya memburu.
Warna
merah pada kedua matanya semakin berkilat.
“Hai! Tua
bangka gila! Apa-apaan ini?!” teriak Wiro ketika dilihatnya si nenek membuka
celananya lalu menariknya sampai ke lutut. “Kurang ajar! Tua bangka mesum!”
Anduang
Mata Api tertawa perlahan. “Memakilah terus! Berteriaklah! Makian dan
teriakanmu membuat aku tambah terangsang!” kata perempuan tua itu.
“Aku
bersumpah akan membunuhmu kalau kau berani berlaku keji!”
“Ssssstttt….soal
mati biar kita atur kemudian. Yang penting sekarang kita bersenang-senang
dulu….” kata si nenek pula. Lalu dengan cepat ditanggalkannya semua pakaian
yang melekat di badannya. Pendekar 212 kini seolah-olah benar-benar melihat
seekor binyawak hitam tegak di depannya. Dia berteriak dan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya tapi sia-sia saja. Ikatan Benang Kayangan tak mampu diputusnya,
dibuat kendurpun tidak bisa.
“Anak
muda….” si nenek duduk di atas paha Wiro. “Aku tahu kau tidak akan bernafsu.
Tidak akan terangsang melihat wajahku yang buruk dan tubuhku yang kurus peot.
Jangan kawatir anak muda. Aku akan membuatmu bernafsu dan terangsang!
Lihat
saja….!” Anduang Mata Api terdengar seperti merapal sesuatu. Lalu kedua telapk
tangannya disapukan ke wajah serta sekujur badannya sampai ke kaki.
Astaga!
Bagaimana mungkin dia bisa berubah seperti ini?! Ujar Wiro sewaktu dilihatnya
muka buruk si nenek telah berubah menjadi wajah seorang perempuan muda yang
cantik. Lalu tubuh yang tadi kurus kering dan hitam bugil itu kini berganti
dengan sebentuk tubuh bagus, putih berisi. Dua buah payudara besar dan kencang
terpentang di depan mata Pendekar 212.
“Kekasihku,
bagaimana sekarang…..?” tanya si nenek yang telah berubah menjadi seorang
perempuan muda cantik jelita, bertubuh bagus mulus dan dalam keadaan bugil!
Kedua tangannya merayap ke bawah perut Pendekar 212.
“Hik….hik…hik
apa kataku. Kau mulai terangsang! Bagus!” Anduang Mata Api menggeser duduknya
ke atas.
“Kurang
ajar, kurang ajar kau!”
“Sudahlah,
jangan pura-pura memaki. Jangan pura-pura tidak suka. Buktinya kulihat kau
sudah siap….!”
Wiro tak
berdaya menolak. Bagaimanapun dia harus mengakui bahwa dalam keadaan sepreti
itu dirinya telah dibuat terangsang oelh nenek-nenek yang kini berubah menjadi
perempuan muda cantik itu. Nafas Anduang Mata Api semakin keras laksana orang
mengorok. Tubuh bagus itu bergoyang-goyang di atas tubuh Wiro.
“Seharusnya
aku lepaskan kedua tanganmu.” Berkata Anduang Mata Api.
“Agar kau
bisa memelukku, meraba sekujur tubuhku. Tapi aku kawatir kalau kulepaskan kau
akan memukulku dan melarikan diri….”
Pendekar
212 pejamkan kedua matanya.
Anduang
Mata Api tertawa. “Ah, kau memejamkan mata. Berarti kau juga merasa enak.
Nikmat….Kau suka ini. Kau suka!”
Tiba-tiba
suara tawa Anduang Mata Api ada yang menimpali. Suara tawa lakilaki!
“Dajal
perempuan! Berpuas-puaslah sekenyangmu. Aku bisa menunggu. Kali ini kau tak
bakal bisa kabur lagi!”
Kagetnya
Anduang Mata Api bukan alang kepalang. Keadaan ini membuat keampuhan ilmunya
merubah diri menjadi rontok. Saat itu juga sekujur tubuhnya berubah kembali
menjadi satu sosok kurus kering menjijikkan. Sedang mukanya kembali pada ujud
aslinya yakni seperti muka binyawak! Wiro kerenyitkan kening bergidik dan
berteriak melihat keadaan orang yang duduk di atas perutnya itu.
“Tua
bangka jahanam! Berani kau membuntuti aku sampai ke sini!” bentak Anduang Mata
Api. Tanpa berusaha mengambil pakaiannya untuk menutupi auratnya perempuan tua
ini melompat. Sambil membentak dia putar kepalanya ke arah datangnya suara
tadi. Sekali dia menggoyangkan kepalanya dua larik sinar merah menderu dahsyat.
“Ilmu
Sepasang Mata Api apa hebatnya!” terdengar suara berseru disertai berkelebatnya
satu bayangan putih.
Dua larik
sinar merah api menghantam sebuah pohon besar. Tak ampun lagi pohon itu hancur
berlobang lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
“Apa
kataku!” orang tadi kembali berseru. Wiro masih belum dapat melihat wajahnya
dan sosok tubuhnya karena baik si nenek maupun orang yang bicara berada di
belakang kepalanya sementara dia tetap tak berdaya terlentang di tanah dalam
keadaan terikat dan celananya merosot sampai ke bawah!. “Ilmumu tidak berguna.
Buktinya
tidak mau menyentuh diriku! Ha….ha….ha….!”
“Manusia
sombong! Lihat serangan!” teriak Anduang Mata Api merah sekali.kepalanya
digoyangnya berulang kali. Larikan sinar merah melesat bertubi-tubi seolah
tidak putus-putusnya. Orang yang diserang mengelak dengan berkelebat cepat kian
kemari. Si nenek berputar-putar tanda dia mengikuti ke arah mana lawannya
berada. Saat itu akhirnya Wiro dapat melihat siapa adanya orang itu.
Astaga!
Dia rupanya!
*****************
DUA BELAS
Pendekar
212 Wiro Sableng kini dapat melihat siapa adanya orang yang berkelahi melawan
si nenek bermuka binyawak yang saat itu berada dalam keadaan bugil. Dia bukan
lain adalah kakek aneh yang dulu pernah menghadang perjalannya dengan Andana.
Dan kakek ini pula yang pernah ditelanjangi dicurinya celananya.
Serangn
api yang menyembur keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api dielakkan oleh si
kakek dengan gerakan-gerakan aneh. Kedua kakinya terkadang tampak melompat,
sesekali seperti menendang ke kiri dan ke kanan. Di lain saat kedua kakinya itu
seperti menari lalu berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya gerabakgerubuk,
terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabok sementara kedua tangannya
digerakkan demikian rupa seolah-olah orang yang berusaha bertahan agar tidak
jatuh.
Ya Tuhan!
Aku tidak buta! Gerakan orang tua itu adalah jurus-jurus ilmu silat Orang Gila.
Hanya kakek sakti Tua Gila yang memilikinya dan pernah mengajarkannya padaku.
Tapi dia jelas bukan Tua Gila!
Wiro
seperti mendapat semangat. Dia percaya orang tua itu akan menolongnya.
Sementara
pertolongan belum datang dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Benang
Kayangan. Tapi tetap tidak berhasil.
Sambil
menghadapi serangan maut si nenek , sesekali si kakek berpaling pada Wiro yang
tergeletak di tanah dalam keadaan terikat dan juga setengah talanjang karena
celananya masih seperti tadi yaitu merosot sampai ke paha! Setiap kali dia
berpaling pada Wiro, setiap kali pula dia menyeringai lali mencibir.
Ah,
jangan-jangan dia masih mendendam padaku atas kejadian tempo hari.
Kutelanjangi
dirinya lalu pernah pula kurampas kudanya!
“Anak
muda, kau tenang-tenang saja di situ. Giliranmu untuk menerima hukuman bakal
datang!” si kakek berseru lalu kembali menghadapi lawannya.
Gerakannya
yang gerabak gerubuk kini sambil melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh
membuat si nenek tampak bergoyang-goyang tanda sang kakek memiliki tenaga dalam
luar biasa.
“Betina
mesum, saatnya kau mengembalikan barang yang kau curi dariku! Di mana barang
itu kau sembunyikan?!” si kakek berseru.
Anduang
Mata Api menyeringai. “Kau mau barangmu, cari sendiri!”
“Ah! Kau
memang kurang ajar!” si kakek berpaling sebentar pada Wiro, mencibir lalu
kembali dia menghadapi si nenek. “aku terpaksa tak akan memberi ampun padamu!
Kau bukan cuma pembunuh keji tapi juga pencuri tengik!”
“Ah, aku
juga memberikan kenikmatan pada setiap lelaki….. hik….hik….hik. pemuda itu
barusan merasakannya! Hik…..hik….hik!”
“Tua
bangka sialan!” teriak Wiro.
“Anak
muda! Kau bisa jadi kekasihku! Jadi tutup mulut dan tunggu sampai nanti kita
bersenang-senang lagi. Biar kubereskan dulu kurcaci rongsokan ini!” kata
Anduang Mata Api pula. Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Serangannya
kini bukan saja api yang keluar dari kedua matanya, tetapi juga pukulanpukulan
tangan kosong yang tak kalah hebatnya dengan yang dilancarkan lawannya,.
Walaupun
demikian si nenek tetap saja tidak mampu menyentuh atau membuat cidera si
kakek. Malah ketika lawannya membuat gerakan-gerakan cepat dan berputar-putar,
dia seperti kena sirap ikut pula berputar-putar. Si kakek keluarkan suara
tertawa panjang. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke udara. Lawan berusaha menghantam
tapi luput. Kedua kaki si kakek dengan kecepatan luar biasa, dua kaki itu
menendang ke arah pipi si nenek dengan keras.
Raungan
setinggi langit melesat keluar dari mulut perempuan tua itu.
Tubuhnya
terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut. Daun telinganya hancur dan darah mengucur
dari kedua liangnya. Rahangnya rengkah kiri kanan, tulang pelipisnya remuk! Dia
megap-megap beberapa kali lalu tersungkur dan menggeletak di tanah tak berkutik
lagi!
“Kek….
Hai!” Wiro memanggil. Tapi yang dipanggil seperti tidak mendengar.
Kedua
mata kakek itu memperhatikan ujung benang yang mengikat tubuh Pendekar 212.
Benang ini lenyap di balik seonggok pakaian, yaitu pakaian milik Anduang Mata
Api.
Dengan
ujung kakinya si kakek mengungkit dan melemparkan pakaian itu. Di tanah,
sebelumnya tertutup oleh pakaian kelihatan sebuah benda. Inilah yang dicarinya.
Dengan cepat si kakek mengambilnya. Lalu dia berpaling ke arah Wiro.
“Kek,
tolong lepaskan libatan benang ini!” kata Wiro.
Si kakek
mendengus. Tiba-tiba dia gerakkan tangannya menyentakkan benang yang menjulai
di tanah. Dua kali sentak tubuh Pendekar 212 terbetot keras. Lalu tubuh itu
berputar laksana gasing. Benang putih yang menggulung di tubuh Wiro terbuka
lepas. Begitu lepas tak ampun lagi Wiro berdebam ke tanah. Hidungnya menyentuh
tanah lebih dulu. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Hidungnya serasa
remuk. Darah mengucur.
Dalam
keadaan sakit dan mengomel Wiro masih bisa ingat diri. Cepat-cepat dia berdiri
sambil menarik celananya.
Lalu dia
mendekati orang tua itu. “Kek, walau kau menyakitiku aku berterima kasih. Kau
telah menolongku membebaskan ikatan benang keparat itu….”
“Benang
keparat katamu? Sialan! Enak saja kau bicara! Lagi pula siapa yang menolongmu!
Aku hanya mengambil benang milikku! Perempuan jahat itu mencurinya dariku
beberapa waktu yang lalu….”
“Hemmmmm……”
Wiro garuk-garukkan kepalanya. “Kek, kau bilang benang itu milikmu? Mana
mungkin?!”
“Apa yang
mana mungkin?!” hardik si kakek.
“Aku tahu
betul, benang itu adalah Benang Kayangan. Cuma ada satu pemiliknya. Seorang
kakek sakti menyandang dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis
Gila Pencabut Jiwa. Namun dia lebih dikenal dengan sebutan Tua Gila!”
“Kau bisa
bicara begitu tentu kau kenal padanya!”
“Aku…..aku
adalah….” Wiro tak meneruskan kata-katanya.
Si kakek
menyeringai. “Kau bicara terlalu banyak. Aku tahu itu hanya untuk mengalihkan
perhatianku! Kau kira aku sudah lupa perbuatan kurang ajarmu tempo hari?! Kau
telanjangi diriku. Kau curi celanaku. Lalu kau juga merampas kudaku!
Malam ini
setelah kau bersenang-senang dengan betina busuk itu, tiba saatnya kau menerima
hukuman dariku! Aku akan mematahkan lima jari tangan kananmu karena mencuri
celana dan menelanjangi diriku. Lalu aku akan mencopot satu kakimu karena telah
merampas kudaku….”
“Kek,dengar!
Aku akan ganti celana dan kudamu itu!” si kakek menyeringai.
“Celana
dan kuda itu tidak seberapa nilainya. Tapi sakit hatiku atas kekurang ajaranmu
tak bisa impas dengan apapun!”
Habis
berkata begitu si orang tua melompat ke arah Pendekar 212. Tangan kanannya
membuat gerakan mencengkeram ke arah jari-jari tangan kanan Wiro sedang kaki
kirinya menndang ke pangkal paha!
Tentu
saja murid Sinto Gendeng tidak mau menjadi bulan-bulanan serangan.
Secepat
kilat dia mengelak. Diluar sadar tak sengaja dia mengeluarkan jurus-jurus ilmu
silat Orang Gila. Sekali bergerak dia berhasil mengelakkan dua serangan itu.
“Eh! Anak
setan! Kau memainkan ilmu silat apa?! Siapa yang mengajarkan gerakan itu
padamu?!” bertanya si kakek.
“Aku akan
katakan. Jawabannya ada di telapak tangan kananku,” jawab Wiro.
Si orang
tua mengernyit lalu mendekat. “Coba kulihat telapak tanganmu itu!”
Wiro
ulurkan tangan kanannya. Si kakek tundukkan kepala. Tiba-tiba tangan Wiro
bergerak laksana kilat ke arah wajah si orang tua. Sebelum kakek ini sempat
menjauhkan kepalanya, Wiro telah berhasil menarik lepas topeng tipis yang
dikenakan orang tua itu. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Mukanya pucat.
Pipi dan mata cekung besar, memelihara kumis serta janggut putih. Kepalanya
nyaris botak karena rambutnya sangat jarang. Begitu mengenali wajah orang itu
pucatlah paras Pendekar 212. buru-buru dia jatuhkan diri, berlutut di tanah
seraya berseru.
“Kek!
Maafkan muridmu ini! Aku terlanjur berlaku kurang ajar padamu karena tidak tahu
kau adalah guru sendiri! Sekarang aku siap menerima hukuman!”
Orang tua
di hadapan Wiro menatap tak berkesip. Wajahnya semakin pucat.
Wiro
menjadi tegang.
“Kek….”
Orang
bermuka pucat itu yang bukan lain adalah Tua Gila si kakek sakti paling
ditakuti di Pulau Andalas sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum.
“Anak
setan! Kelakuanmu seharusnya memang tidak bisa diampuni. Kalau saja kau bukan
muridku…. Hemmm, mau kuapakan kau ini!” tangan kiri Tua Gila hinggap di telinga
Pendekar 212 lalu diputar-putarnya ke depan dan ke belakang sambil tertawa
mengekeh. Walau sakitnya jeweran itu setengah mati Wiro tak berani bersuara. Si
kakek menarik tangannya ke atas hingga Wiro terangkat dan berdiri.
“Ada apa
kau jauh-jauh datang kemari?!” bertanya Tua Gila.
“Saya
kangen padamu kek. Ingin menyambangimu. Sekalian membawa pesan dan salam Eyang
Sinto Gendeng di Gunung Gede….”
“Hemmm…
apakah gurumu di nenek bawel itu ada baik-baik saja!”
“Beliau
ada baik-baik dan sehat-sehat.”
“Perjalananmu
sekali ini agaknya menemui banyak hal yang tidak menyenangkan, kecuali tadi
waktu kau diajak bersuka-suka oleh si nenek itu…..” Si kakek lalu terkekeh.
Paras
Pendekar 212 jadi merah. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata.
“Tak
sengaja saya terlibat dalam satu persoalan yang menimpa sahabat saya bernama
Andana. Dia keponakan Datuk Gampo Alam…. Yang punya hubungan dekat dengan
Tumenggung Rajo Langit di Batusangkar.”
“Tumenggung
Rajo Langit punya kekausaan tapi tak punya ilmu kepandaian berarti. Tak usah
takut padanya. Yang harus diperhitungkan justru Datuk Gampo Alam. Dia punya
beberapa ilmu kesaktian. Dia memiliki ilmu kepandaian yang disebut ilmu Belut
Putih. Lalu ilmu Raja Sebumi. Ilmu ini membuat dia tidak bisa mati selama
tubuhnya masih menginjak bumi. Di samping itu dia juga masih punya satu ilmu
yang hebat. Dalam keadaan terdesak dia sanggup masuk ke perut bumi….
Beri tahu
hal itu pada sahabatmu Andana….”
Wiro
mengangguk. “Terima kasih atas petunjukmu Kek…. Apakah kau mau memaafkan
perlakuan saya tempo hari?” Wiro bertanya karena merasa masih ada ganjalan.
“Sudahlah!
Malam begini larut. Tubuh rongsokan ini tak sanggup lama-lama berada di luaran.
Kalau urusanmu sudah selesai datang ke tempatku….”
“Saya
pasti datang Kek….”
Tua Gila
memasukkan gulungan Benang Kayangannya ke balik pakaian. Dia hendak melangkah
pergi. Tapi tiba-tiba berbalik kembali sambil tersenyum.
“Bagaimana
pendapatmu tentang janda Datuk Gampo Alam itu….?”
Paras
Pendekar 212 untuk kesekian kalinya menjadi merah. Sambil garukgaruk kepala dia
berkata. “Saya….saya baru satu kali menemuinya Kek….”
Tua Gila
mengekeh. “Baru satu kali menemuinya atau baru sekali menidurinya……?!”
Wiro
menahan nafas. “Anak setan hati-hati kalau berbuat. Sampai anak orang kau
hamili, kau tak bakal kembali ke tanah Jawa…….”
Tua Gila
tertawa lagi lalu berkelebat pergi. Murid Eyang Sinto Gendeng kembali hanya
bisa garuk-garuk kepala. “Untung orang tua itu tidak marah. Kalau tidak pasti
habis aku dikerjainya!”
*****************
TIGA BELAS
Malam itu
Datuk Gampo Alam hampir tak bisa memicingkan mata. Kematian Daud alias Hantu
Mata Picak yang diandalkannya benar-benar mengenaskan dan merusak semua
rencananya. Agaknya kini dia memang harus turun tangan sendiri, tak mungkin
meminjam tangan orang lain. Ditambah dengan ucapan Tumenggung Rajo Langit bahwa
dia ingin mengambil Bunga jadi istrinya membuat sang Datuk jadi tambah gelisah,
mengkal, benci dan marah.
Kalau
selesai pembayaran penjualan rumah gadang akan kuhabisi tua bangka keparat itu!
Lalu sang Datuk teringat pada Sati. Manusia itu tak bisa dibiarkan hidup lebih
lama. Tentu dia akan berceloteh menebar cerita yang bukanbukan!
Mungkin
dia mendendam padaku gara-gara dihajar para pembantuku sampai babak belur di
Batusangkar tempo hari. Setan!
Hanya ada
satu hal yang membuat sang datuk agak terhibur. Yaitu besok pagi dia akan
mendengar kabar dari Mamak Rabiah mengenai lamarannya untuk memperistrikan
Bunga. Dia tersenyum-senyum seniri di atas tempat tidur.
Tak ada
yang pernah menolak lamaran Datuk Gampo Alam. Semua gadis di Pagaralam ini
ingin kuperistrikan! Termasuk Bunga tentunya.
Menjelang
pagi akhirnya Datuk Gampo Alam tertidur juga walau Cuma sebentar. Paginya dia
sudah duduk di ruang tengah rumah gadang. Tak lama kemudian perempuan itu
tampak di ujung halaman, melangkah menuju rumah gadang, menaiki tangga dan
samapi di atasnya.
“Rabiah,
kau benar-benar memenuhi janji. Duduklah. Aku ingin sekali cepatcepat mendengar
kabar baik darimu….”
Saat itu
Rabiah merasakan tubuhnya lemah dan gontai. Kalau saja dia tidak menguatkan
hati mungkin watu menaiki tangga tadi dia sudah terguling ke bawah.
“Kau
ingin minum apa Rabiah? Teh manis? Kopi hangat?”
“Terima
kasih Datuk. Saya baru saja minum,” jawab Mamak Rabiah.
“Hemmm….
kalau begitu kita segera bisa bicara. Kau membawa kabar baik pasti. Bunga
bersedia menjadi istriku bukan?”
Sesaat
Rabiah tertunduk tak bisa membuka mulut.
“Eh,
Rabiah. Ada sesuatu yang perlu kukatakan padamu. Kau maupun Bunga tidak perlu
merasa takut akan melanggar adat atau agama. Rukiah telah kuceraikan.
Jadi
kalau Bunga menjadi istriku, jumlah istriku tetap empat. Tidak lima seperti
yang mungkin kalian takutkan. Ha …..ha…..ha…..!”
“Datuk,
sebenarnya saya….”
“Apakah
kau sudah mereka-reka hari dan tanggal serta bulan baik perkawinan anakmu
dengan aku Datuk Gampo Alam, bengsawan terpandang di Pagaralam ini?”
“Datuk,
sebenarnya….. Sebenarnya saya ini bukan Ibu kandung Bunga,” ucapan itu keluar
dari mulut Mamak Rabiah.
“Ah, kau
ini hendak bergurau atau bagaimana. Semua orang di Pagaralam ini tahu kalau kau
adalah ibunya Bunga. Ibu kandung. Aneh kalau sekarang kau tidak mengakuinya.”
“Saya
tidak berdusta Datuk. Saya memang bukan Ibunya. Saya tidak pernah
melahirkannya.”
Datuk
Gampo Alam menatap wajah perempuan itu beberapa saat. “Sudahlah Rabiah. Apakah
kau Ibunya atau bukan tidak penting bagiku. Yang penting Bunga sudah setuju
kujadikan istri. Begitu?”
“Tidak
Datuk. Maafkan saya. Saya sudah menyampaikan maksud Datuk pada gadis itu. Tapi
maaf sekali lagi. Bunga menolak karena dia merasa belum cukup umur…..”
“Belum
cukup umur? Alasan buta!” belalak Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan lehernya
dua kali. Coba kau katakan berapa umur anak itu sekarang?”
“Belum
lagi dua puluh…..”
“Belum
lagi dua puluh. Anak orang lain umur sembilan belas sudah jadi janda! Rabiah,
apa aku harus menunggu sampai gadis itu jadi seorang nenek?!” Datuk Gampo Alam
sentakkan lehernya.
Mamak
Rabiah tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk namun dadanya seperti
menggemuruh.
“Dengar
Rabiah. Penghulu sudah kuhubungi. Pasumandan pengiring pengantin sudah
disiapkan. Juru masak dan juru rias sudah diberi tahu. Kau dan Bunga tinggal
tahu beres saja! Apa lagi? Apa tidak senang menjadi istri Datuk Gampo Alam?!”
Perlahan-lahan
Rabiah mengangkat kepalanya. Kedua matanya tampak basah.
Air mata
bercucuran di kedua pipinya.
“Gila!
Apa pula ini Rabiah?! Mengapa kau menangis?!” Datuk Gampo Alam terheran-heran
tapi juga mulai jengkel.
“Datuk….
Ingin saya menyampaikan satu rahasia yang selama ini mungkin tidak Datuk
ketahui. Sebenarnya Bunga itu adalah…..”
Ucapan
Mamak Rabiah terputus ketika di tengah halaman rumah gadang terdengar suara
orang berteriak.
“Datuk
Gampo Alam! Turunlah ke halaman! Aku ingin bicara denganmu!”
Eh, itu
suara si Andana, ada apa dia berteriak seperti itu. Kurang ajar! Setan!
Datuk
Gampo Alam menyentakkan lehernya lalu berdiri dan melangkah cepat ke jendela.
Dari jendela dia melihat Andana duduk di atas seekor kuda. Mukanya tampak
sangar. Di sebelahnya juga duduk di atas kuda adalah pemuda Jawa bernama Wiro
Sableng itu. Sesuatu telah terjadi. Jangan-jangan Sati sudah membuka mulut!
Rahang Datuk Gampo Alam menggembung. Dadanya berdebar keras. Namun dia cepat
menguasai diri.
“Kemenakanku
Andana, mengapa tidak naik ke atas rumah gadang kalau ingin bicara denganku?”
“Aku
ingin kau datang kemari. Kita bicara di halaman sini!” jawab Andana.
Kurang
ajar. Berani dia bicara beraku-aku denganku!
Datuk
Gampo Alam tidak dapat menahan amarahnya. Dia melompat menuruni tangga. Begitu
sampai di hadapan Andana dia membentak.
“Apapun
yang ada di benakmu aku tidak suka melihat kau bicara kurang ajar padaku! Turun
dari kuda dan bicara di dalam rumah! Setan apa yang tiba-tiba merasuk dirimu
hingga adat sopan santunmu menjadi hilang lenyap?!”
Andana
menyeringai sementara Wiro tampak cengar-cengir. “Datuk setan!”
bentak
Andana tak kalak keras. “Apa masih pantas aku bicara hormat dengan manusia yang
telah membunuh Ayahku? Ayo jawab!”
Tampang
Datuk Gampo Alam sesaat tampak memutih namun di lain saat berubah menjadi kelam
merah. Dia merasa seolah kepalanya menjadi dua. Rahangnya menggembung. Nafasnya
seperti meledak-ledak.
“Anak
setan! Ayahmu mati jauh dari sini! Dikubur jauh di puncak Singgalang.
Sungguh
kurang ajar kalau kau berani menuduh aku sebagai pembunuh Ayahmu!
Kemenakan
keparat! Kau sudah gila rupanya!”
“Kau yang
gila!” teriak Andana.
Sang
Datuk tersentak seperti dihenyakkan.
“Kau
bukan saja membunuh Ayahku. Tapi juga berusaha membunuh diriku dengan menyuruh
kaki tanganmu. Aku tahu semua perbuatanmu. Mulai dari pisau terbang beracun
itu. Ular berbisa dan sirih dalam cerana! Semua kau yang merencanakan! Kau
membunuh Ayahku! Kini giliranmu sudah tiba! Kau ingat dimana kau membunuh
Ayahku, Datuk?!”
“Otakmu
benar-benar tidak waras! Bicara gila apa ini?!” teriak Datuk Gampo Alam. “Kalau
tidak memandang kau anak kakak kandungku, sudah kupecahkan kepalamu sejak
tadi-tadi!”
Wiro
Sableng batuk-batuk beberapa kali. Suaranya membuat Datuk Gampo alam berpaling
padanya dan lantas saja berteriak marah. “Kau juga bangsat! Kau pasti sudah
mempengaruhi kemenakanku dengan hasutan-hasutan gila! Kau bakal dapat bagian
dariku!”
Wiro
tertawa lebar. “Boleh saja kau bilang aku bangsat. Jika aku bangsat maka kau
adalah bapak moyangnya bangsat. Kan begitu! Jangan berlagak yang tidaktidak
Datuk! Sahabatku ini ada bukti, ada saksi hidup yang mengatakan bahwa kaulah
yang telah membunuh Ayahnya!”
“Anak
setan! Kau berani mencampuri urusan aku dan kemenakanku! Rasakan tanganku!”
Datuk Gampo Alam melompat dan melancarkan satu jotosan ke arah pinggang
Pendekar 212. Wiro cepat geser kuda tunggangannya lalu palangkan lengan
kanannya menangkis serangan Datuk Gampo Alam.
Dua
lengan beradu. Wiro serasa seperti dihantam pentungan keras sebaliknya sang
Datuk seolah digebuk dengan besi. Lengan masing-masing kelihatan merah.
Kalau
Wiro terhuyung ke kiri maka Datuk Gampo Alam terpental sampai dua langkah!
Ketika sang Datuk dengan penasaran hendak menyerang kembali, Andana cepat
menyorongkan kudanya hingga gerakan Datuk Gampo Alam terhalang.
“Kau
masih ingat dimana kau membunuh Ayahku?!” ujar Andana sambil menatap tajam pada
Mamak atau Pamannya itu. “Di situ pula nyawamu akan kau lepas. Kutunggu kau
besok di Ngarai Sianok! Jangan mencoba lari! Selama Merapi dan Singgalang masih
tegak menjaga nagari, selama Batang Anai masih mengalir ke laut dan selama air
Danau Singkarak masih tetap biru, selama itu pula aku akan mencarimu!”
“Andana!
Jangan kau terpancing hasutan orang! Otakmu sedang kacau. Setan mana yang
mengatakan padamu bahwa aku yang membunuh Ayahmu! Gila! Aku Datuk Gampo Alam
tega membunuh kakak kandung sendiri!”
“Datuk
culas! Hatimu lebih jahat dari iblis! Tak ada setan, tak ada hasutan!
Tapi ada
seorang saksi hidup yang melihat kejadian waktu kau dan Hantu Mata Picak
membunuh Ayahku!”
“Ah! Mana
mungkin! Ini pasti fitnah belaka! Jangan sampai kau terjebak Andana!” ujar
Datuk Gampo Alam sambil mengurut-urut lengannya yang masih terasa sakit.
Rahang
Andana menggembung. Dia berpaling ke arah sebatang pohon besar di ujung
halaman. Lalu berteriak. “Sati! Keluarlah! Berikan kesaksianmu pada Mamak
jahanam ini!”
Dari
balik pohon keluarlah Sati sambil mengangkat tangannya. Sejarak sepuluh langkah
dari orang-orang itu dia berkata keras-keras.
“Demi
Allah aku bersumpah! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri Hantu Mata
Picak mencekal Datuk Bandaro Sati dari belakang. Lalu Datuk Gampo Alam merampas
keris milik kakaknya. Dengan keris itu dia kemudian menusuk sekujur tubuh Datuk
Bandaro Sati bertubi-tubi sampai akhirnya menemui ajal di tepi Ngarai Sianok!”
Datuk
Gampo Alam seperti mendengar halilintar.
Saat itu
terdengar pula dampratan Andana.
“Hanya
untuk mendapatkan dan menjual rumah gadang milik Ayahku, kau membuat Surat
Wasiat palsu! Kau bunuh Ayahku, kau coba membunuh aku! Datuk keparat! Kelak kau
akan jadi puntung neraka!”
“Dusta!
Fitnah! Kubunuh kau Sati! Kau mendendam padaku karena pernah dihajar oleh anak
buahku! Dan kau Andana menjatuhkan tuduhan palsu karena kau tidak suka aku
memperistri Bunga! Kalau kau merasa benar mengapa tidak melapor dan mengadu
pada Tumenggung di Batusangkar?!”
Wiro
keluarkan suara tertawa. “Tumenggung itu sama saja bengsatnya dengan kau!
Bukankah dia yang memenjarakan sahabatku ini sesuai dengan rencana kalian
berdua?! Seharusnya kau tidak perlu banyak bicara Datuk. Makin banyak kau
bicara makin terungkap kelicikanmu!”
Pelipis
Datuk Gampo Alam bergerak-gerak. Dia memandang pada Andana dan berkata. “Andana
kemenakanku….”
“Jangan
sebut aku kemenekanmu!” sergah Harimau Singgalang. “Hari ini putus hubungan
mamak dengan kemenakan! Ingat! Aku tunggu kau di Ngarai Sianok petang ini
sebelum matahari tenggelam. Arwah Ayahku akan menyaksikan kematianmu di tempat
kau membunuhnya dulu!”
“Anak
keparat! Setan haram jadah!” carut Datuk Gampo Alam lalu menyentakkan lehernya
dan meludah ke tanah.
Andana
memberi isyarat pada Wiro. Keduanya segera meninggalkan tempat itu.
Ketika
Datuk Gampo Alam naik kembali ke atas rumah gadang, Mamak Rabiah tak ada lagi
di situ. Meledaklah kemarahan sang Datuk. Apa saja yang ada di dekatnya
langsung ditendang dan dipukulnya!
Tiga
orang istrinya tentu saja terkejut dan keluar dari kamar masing-masing.
“Ada apa
Datuk? Mengapa mengamuk seperti ini?” tanya Zainab istri paling tua.
Plaakkk!
Jawaban berupa tamparan keras yang dilayangkan Datuk Gampo Alam ke pipi
istrinya itu membuat Zaenab terpekik dan tersandar ke dinding.
*****************
EMPAT BELAS
Mamak
Rabiah tidak lagi hanya melangkah tetapi kini berlari secepat yang bisa
dilakukannya. Bunga yang sedang menyisir rambut di dalam rumah sangat terkejut
ketika di pintu terdengar ketukan beruntun disertai suara memanggil-manggil.
“Bunga!
Bunga! Lekas buka pintu Naaakk!”
Bunga
melemparkan sisir ke atas sebuar rak lalu bergegas membuka pintu.
“Ada apa
Mak? Orang Datuk Gampo Alam menyakiti Mamak karena menolak pinangannya?!”
“Tidak
Bunga. Bukan….. Ada hal lain yang lebih gawat dari itu. Malapetaka besar akan
terjadi kau harus mencegahnya Nak. Hanya kau yang bisa mencegahnya….!”
“Apa yang
harus saya cegah Mak? Malapetaka apa maksud Mamak?” tanya Bunga tak mengerti.
“Minum dulu Mak, biar Mamak bisa tenang dan bicara jelas….”
lalu
gadis itu mengambil segelas air putih. Setelah meneguk sampai setengahnya dia
berkata. “Nah, sekarang Mamak bisa bicara lebih jelas. Apa melapetaka yang
Mamak katakan tadi itu. Lalu apa pula yang harus saya cegah….”
“Kakakmu…..
Harimau Singgalang… Datuk Gampo Alam….” ucapan perempuan itu tersendat dan
terputus-putus.
“Harimau
Singgalang? Maksud Mamak Andana? Datuk Gampo Alam? Ada apa dengan mereka Mak?”
“Mereka
akan saling berbunuhan. Sore ini! Di Ngarai Sianok. Di situ mereka akan saling
berbunuhan sampai salah satu dari mereka mati! Kau harus mencegah hal itu
Bunga!”
“Aneh,
apa pasal Mamak dan Kemenakan itu saling berbunuhan? Kalau itu betul lalu
bagaimana pula saya bisa mencegahnya?”
“Datuk
Gampo Alam…. Ternyata dia yang membunuh Datuk Bandaro Sati Ayah Andana. Adiknya
itu dibunuhnya di Ngarai Sianok. Kini Andana akan menuntut balas. Saat ini
mereka tentu sudah berada dalam perjalanan….”
Bunga
termenung beberapa lamanya. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Jika
mereka memang maunya saling bunuh membunuh biarkan saja Mak.
Bukan
urusan kita. Lagi pula saya yakin kakak Andana akan menang karena dia berada di
pihak yang benar….”
“Justru
karena itulah Bunga. Kau harus mencegah agar mereka tidak saling bunuh. Kau
harus mencegah kakakmu itu tidak membunuh Datuk Gampo Alam.
Karena
Datuk itu adalah….”
“Karena
Datuk itu adalah apa Mak?” tanya Bunga ketika Mamak Rabiah tidak meneruskan
kata-katanya.
Mamak
Rabiah tersengguk-sengguk. Air mata bercucuran deras ke pipinya.
Diulurkannya
kedua tangannya merangkul Bunga. Lalu diantara sedu sedannya dia berkata.
“Karena Datuk Gampo Alam sebenarnya Ayah kandungmu sendiri Bunga….”
Si gadis
meronta melepaskan diri. Melangkah mundur dan memekik keras.
Gelas
yang masih dipegangnya lepas terjatuh, pecah berantakan di lantai. Wajahnya
tampak pucat sekali.bahunya bergetar menahan goncangan. Dia memandang pada
Mamak Rabiah seperti melihat hantu.
“Mamak…..
Mamak tidak bicara dusta?”
Mamak
Rabiah menggelengkan kepala. “Datuk Gampo Alam memang sebenarnya Ayah kandungmu
Nak…..”
Bunga
merasakan seperti tulang belulangnya menjadi luluh. Gadis ini jatuh terduduk di
lantai. Mamak Rabiah duduk pula di hadapannya.
“Maafkan
Mamak Bunga. Selama ini Mamak selalu merahasiakan hal itu karena Mamak patuh
pada pesan Ibumu….”
“Pesan
Ibu saya?” kedua mata Bunga membesar. “Pesan apa Mak?” Bunga mengulurkan kedua
tangannya lalu menggocang bahu Mamak Rabiah. Tangis Mamak Rabiah semakin keras.
Tidak tahan akhirnya dia memeluk Bunga erat-erat.
“Kejadiannya
sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu itu Datuk Gampo Alam sedang berburu di
rimba. Dia tersesat dan terpisah dari teman-temannya. Saat itu dalam keadaan
terluka di salah satu kakinya, dia terpesat ke pondok tempat kediaman Ibumu.
Selama Datuk sakit terserang demam panas. Ibumulah yang merawatnya.
Ketika
dia sembuh, Datuk Gampo Alam merasa berhutang budi. Lalu dia mengawini Ibumu.
Selama Ibumu mengandung Datuk Gampo Alam tak pernah datang lagi.
Ibumu
melahirkanmu dalam keadaan sangat menderita. Mamak yang waktu itu bertindak
sebagai dukun beranak menolong Ibumu. Hanya sayang Ibumu telah kehabisan daya.
Dia banyak mengeluarkan darah dan menghembuskan nafas ketika kau keluar dari
rahimnya. Namun sebelum meninggal Ibumu sempat berpesan agar Mamak jangan
memberi tahu kepadamu siapa Ayahmu. Juga dia berpesan agar aku mengambilmu
sebagai anak sendiri dan merawatmu baik-baik….”
Bunga
menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Mamak Rabiah dan menangis keras-keras.
Ketika tangisnya mulai reda, dengan suara parau gadis ini berkata.
“Seharusnya
saya ikut mati bersama Ibu saat itu…”
“Jangan
berkata seperti itu Nak….”
“Mamak,
orang seperti Datuk Gampo Alam itu sepantasnya dibiarkan mati dibunuh orang….”
“Jangan
berpikiran seperti itu Bunga. Baik atau buruknya dia, bagaimanapun dia adalah
Ayah kandungmu. Kau berasal dari tetesan darahnya Nak….”
Bunga
menjerit lalu meratap. “Saya tidak perduli pada Datuk Gampo Alam.
Saya kini
menangisi nasib diri yang hina ini. Kalau Datuk Gampo Alam ayah saya dan Datuk
Bandaro Sati Ayah Andana berarti kami saudara sebapak. Berarti kami tidak akan
pernah bisa…..” Bunga meraung keras.
“Bunga,
Mamak dapat merasakan apa yang ada di hatimu. Kini kau menyadari bahwa kau tak
akan pernah bisa bersatu dengan pemuda yang kau cintai itu. Pertalian darah
antara Ayahmu dan Ayah Andana terlalu kuat….. Sekarang kau tahu mengapa Mamak
meminta agar kau mencegah mereka saling bunuh. Lakukan sesuatu Bunga…..
Selamatkan Ayahmu dan juga pemuda yang kau kasihi itu….”
Harimau
Singgalang dan Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bodoh untuk meninggalkan Datuk
Gampo Alam begitu saja. Bukan mustahil Datuk yang licik itu akan melarikan
diri. Karena itu kedua pemuda ini bersembunyi di satu tempat kelindungan,
memperhatikan rumah gadang dari kejauhan. Dua pendekar ini tidak menunggu lama.
Seorang pelayan kelihatan menuntun seekor kuda hitam ke dekat tangga rumah
gadang. Tak lama kemudian kelihatan Datuk Gampo Alam menuruni rumah. Dia
mengenakan pakaian galembong serba hitam. Keninngnya diikat dengan sehelai kain
hitam pula. Di pinggangsebilah keris terselip sebilah keris emas yang bukan
lain adalah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang dicurinya dari Andana. Di
pinggang kanan terselip sebuah saluang (suling khas Minang)
“Datuk
keparat itu sudah siap hendak berangkat. Tapi aneh mengapa dia membawa saluang
segala?” membuka mulut Andana di tempat yang kelindungan.
“Bukan
mustahil itu bukan suling biasa Andana. Pasti ada tuah kesaktiannya….”
menyahuti Wiro.
Saat
Datuk Gampo Alam naik ke atas kuda hitamnya, tiga istrinya berada di belakang
jendela tengah rumah gadang. Zainab istri tua berkata pada dua madunya.
“Saya
punya firasat, Datuk Gampo Alam tak akan pernah kembali lagi ke rumah gadang
ini.”
Begitu
Datuk Gampo Alam memacu kudanya meninggalkan Pagaralam, Andana dan Wiro segera
menguntit dari kejauhan. Sementara itu dari jurusan lain sebuah kereta tua
ditarik oleh seekor kuda besar meluncur kencang ke arah Barat Laut di mana berdiri
tegak Gunung Merapi. Saisnya seorang pemuda berkopiah hitam kupluk sedang di
sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang menutupi wajahnya dengan sehelai
selendang. Dia bukan lain adalah Bunga anak kandung Datuk Gampo Alam.
Ngarai
Sianok diselimuti kesunyian. Sesekali angin bertiup kencang. Di Timur langit
tampak kemerahan tanda sang surya berisap-siap untuk masuk ke ufuk
tenggelamnya. Datuk Gampo Alam turun dari kudanya, membiarkan binatang itu
merumput. Dia memandang berkeliling lalu melangkah ke tepi Ngarai. Sunyi, tak
ada siapa-siapa di tempat itu. Sesaat dia memeprhatikan keadaan di
sekelilingnya dengan rasa tegang.
Anak
keparat itu masih belum muncul rupanya. Atau dia memang tak akan muncul?!
Baru saja
dia membatin begitu tiba-tiba dari balik tanah yang ketinggian muncul dua orang
penunggang kuda yang sama-sama mengenakan pakaian putih.
“Kurang
ajar!” rutuk Datuk Gampo Alam. “Pemuda Jawa itu apa-apaan dia ikut bersama anak
setan ini!”
Begitu
Andana dan Wiro sampai di hadapannya Datuk Gampo Alam langsung menegur sinis
sambil bertolak pinggang.
“Rupanya
kau tidak punya nyali untuk datang sendirian!”
Andana
hendak menjawab. Tapi Wiro cepat mendahului. “Kami memang datang berdua, tapi
yang punya urusan dengan manusia jelek licik sepertimu ini Cuma satu.
Kemenakanmu sendiri. Apa kau merasa ngeri menghadapainya….?”
Tampang
Datuk Gampo Alam kelihatan kelam kemerahan. Dia berpaling pada Andana. “Kau
inginkan nyawaku. Mengapa masih ongkang-ongkang di atas kuda?
Turunlah
untuk membuktikan mulut besarmu bahwa kau memang punya kemampuan membunuhku
Andana tersenyum. Dia melirik pada Wiro. Murid Sinto Gendeng langsung membuka
mulut. “Rupanya Datuk kita ini ingin cepat-cepat menemui kematiannya.
Apa
pendapatmu sobat?”
“Aku
masih mau memberi kesempatan padanya untuk bertobat dan minta ampun pada Tuhan
sebelum meregang nyawa menghadap Penguasa Akhirat!”
Muka
Datuk Gampo Alam seperti udang direbus. Lehernya disentakkan.
“Anak
setan! Kau yang akan jadi cacing tanah lebih dulu!” hardik Datuk Gampo Alam.
Begitu Andana meloncat turun dari kudanya langsung saja dia menyerang dengan
jotosan keras ke arah pinggang. Andana tidak tinggal diam. Masih melayang di
udara kaki kanannya melesat ke arah kepala Pamannya itu. Mau tak mau Datuk
Gampo Alam terpaksa tarik pulang serangannya. Dia membalik ke kiri dengan
cepat.
Begitu
tendangan Andana lewat sang Datuk balas menghantam dengan kaki kanan.
Andana
berseru kaget. Kaki sang Datuk menyambar begitu cepat dan tak terduga.
Sedang
dari mulutnya terdengar suara aneh seperti binatang mencicit. Selanjutnya
tubuhnya tampak bergerak kian kemari, melenting-lenting seperti bola, tangan
dan kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga, menggapai
merobek ganas. Inilah ilmu silat “tupai pesisir” yang sangat berbahaya. Baru
dua jurus mengeluarkan ilmu silat aneh itu terdengar suara pakaian robek.
Andana melompat mundur. Pakaian putihnya robek di bagian dada dan kulit dadanya
kelihatan tergurat cukup dalam hingga tampak darah mengambang.
“Anak
setan! Itu peringatan pertama untukmu!” kata Datuk Gampo Alam.
“Sebentar
lagi akan kuputus urat lehermu! Kini aku yang memberi kesempatan padamu untuk
bertobat sebelum mampus!”
Andana
ganda tertawa. Tubuhnya membuat gerakan seperti merunduk. Tibatiba kakinya
melest ke atas lalu menderu ke bawah. Datul Gampo Alam tersentak kaget melihat
gerakan silat yang aneh ini. Namun dia tidak berkesempatan memperhatikan lebih
lama karena saat itu serangan-serangan si pemuda datang bertubi-tubi. Inilah
ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai yang dipelajari Andana dari gurunya Datuk
Alis Merah di Asahan.
Dalam
ilmu silat Datuk Gampo Alam punya pengetahuan dan pengalaman luas. Dia tahu
betul kehebtan dan kelemahan masing-masing ilmu silat. Namun sekali ini dia
dibuat tak berdaya dan tak mampu menerka ilmu silat apa yang dimainkan Andana
untuk menyerangnya. Saat demi saat dia merasa tekanan yang berat dan membuatnya
terdesak. Satu kali ketika dia terlambat mengelak, pukulan tepi telapak tangan
kanan Andana bersarang di bahunya. Sang Datu mengeluh tinggi. Tulang bahunya
seperti remuk. Dalam keadaan termiring-miring Datuk Gampo Alam cabut saluang di
pinggangnnya.
“Sobatku,
jika saluang itu ditiupnya kau boleh menyanyi dan aku akan menari!” Pendekar
212 yang berada di tepi kalangan perkelahian. Sementara itu udara di atas
Ngarai Sianok tiba-tiba saja berubah mendung.
“Anak-anak
setan!” kata Datuk Gampo Alam. “Kalian boleh menegjek! Lihat saja apa yang akan
terjadi dengan diri kalian! Aku sudah mencium kematian kalian!”
Lalu
Datuk Gampo Alammeniup saluangya kuat-kuat. Bersamaan dengan terdengarnya suara
lengkingan saluang tiba-tiba dari lobang sebelah bawah seruling bambu itu
keluar dua buah gelembung yang saat demi saat semakin besar, semakin besar dan
akhirnya berubah bentuk menjadi dua mahluk katai berkulit merah dan hanya
mengenakan cawat. Kepala botak sedang gigi-gigi serta taring-taring yang
runcing panjang kelihatan mengerikan. Jari-jari tangannya pendek-pendek tetapi
berkuku panjang berwarna hitam legam!
“Anak-anak,
kalian sudah lama tidak menghisap darah. Lekas serang pemuda yang sebelah
depan. Jika kawannya berusaha membantu, bunuh keduanya!”
Mahluk
katai aneh itu berteriak hingar bingar lalu melesat ke depan, mengeroyok
Andana. Gerakan dua mahluk katai ini cepat bukan main. Sepuluh kuku jari mereka
berkelebat ganas. Setiap menyerang, mereka berusaha mendekatkan mulut pada
perut atau dada dan leher Andana. Jelas mahluk ini memang ingin menyedot darah
si pemuda. Dikeroyok dua begitu rupa Andana kembali mainkan jurus-jurus ilmu
silat Kumango Tujuh Serangkai.
Dengan
ilmu silatnya ini Andana berhasil menggebuk, menjotos dan menendang dua mahluk
itu. Tapi anehnya seperti tidak merasa, keduanya tertawatawa dan
berjingkrak-jingkrak setiap kali kena hantaman!
Ilmu
iblis! Rutuk Andana dalam hati. Jari tangannya diarahkan lurus-lurus pada dua
mahluk katai itu. Ketika didorongkan ke depan, satu larik sinar merah panas
menderu ganas ke arah mahluk katai di sebelah kanan. Pohon bahkan batu
sekalipun akan hancur berantakan terkena pukulan “inti api” yang barusan
dilepaskan Andana.
Namun
yang diserang kelihatan tertawa-tawa. Begitu sinar merah menyambar di depan
mukanya, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu seperti seorang melahap makanan
yang enak begitulah dia menelan sinar api panas pukulan sakti itu.
Sementara
itu kawannya sambil berjingkrak-jingkrak sesekali bergelantungan pada jalus
sinar merah panas seolah benda itu adalah seutas tali! Di sebelah sana Datuk
Gampo Alam terus saja tiup saluangnya.
Celaka,
aku tak bisa bertahan lebih lama! Keluh Andana dalam hati. Berarti bahaya besar
mengancamnya kini. Pemuda ini melirik ke arah Wiro seolah minta dibantu. Dalam
keadaan seperti itu Pendekar 212 tidak mau turun tangan dan melakukan
pengeroyokan. Setelah berpikir keras murid Sinto Gendeng ini berkata.
“Sobatku
Harimau Singgalang. Jika ekornya tak bisa dihancurkan, mengapa tidak kembali ke
asalnya?”
Mula-mula
Andana tidak mengerti ucapan itu. Namun begitu dia paham maka langsung saja dia
melompat ke udara. Dua mahluk katai ikut melompat. Dari atas Andana lepaskan
lagi pukulan sakti “inti api” Sekali ini bukan diarahkan pada dua mahluk katai
berkepala botak yang matian-matian berusaha menancapkan taringtaringnya ke
bagian tubuh Andana untuk kemudian disedot darahnya. Kini yang menjadi sasaran
Andana adalah saluang yang ditiup Datuk Gampo Alam, sari mana dua mahluk tadi
keluar secara aneh.
Wussss!!!
Braaak!!
Saluang
yang ditiup sang Datuk hancur berantakan. Datuk Gampo Alam sendiri terlempar
dua langkah dan terduduk di tanah. Salah satu jarinya tampak mengucurkan darah!
*****************
LIMA BELAS
Bersamaan
dengan hancurnya saluang di tangan Datuk Gampo Alam dua mahluk katai terdengar
menjerit keras. Tubuh mereka perlahan-lahan menciut hingga akhirnya hanya
tinggal seujung jari kelingking untuk kemudian lenyap tanpa bekas!
Datuk
Gampo Alam cepat bangkit berdiri. Mukanya kelam membesi sementara huja mulai
turun rintik-rintik di kawasan itu. Dari arah Timur saat itu sebuah kereta
meluncur cepat menuju Ngarai Sianok.
“Anak
setan!” tiba-tiba Datuk Gampo Alam membentak, tangan kanannya bergerak mencabut
keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. “Dulu dengan keris sakti bertuah ini kuhabisi
Bapakmu! Rupanya sudah menjadi takdir, kaupun akan menemui ajal di tanganku,
dengan keris ini!” begitu senjata itu digerakkan sinar kuning berkiblat. Andana
merasa ada hawa dingin menyambar. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam dan
lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sang Datuk merasa seolah didorong oleh
satu tembok besar. Karenanya dia kerahkan tenaga dalamnya sampai tangannya yang
memegang keris bergetar hebat. Pada puncak bentrokan tenaga dalam dengan cerdik
Datuk Gampo Alam membuat gerakan menyusup dari samping. Sinar kuning kembali
berkiblat. Andana merasakan ada hawa dingin menyambar wajahnya. Secepat kilat
dia melomapt ke kiri dan balas menyerang.
Seperti
sudah diketahui dalam ilmu silat meskipun memiliki pengalaman luas, namun Datuk
Gampo Alam masih kalah jauh dengan kemenakannya itu. Karena untuk mempergunakan
keris sebagai senjata harus didasari dengan ilmu silat juga maka walau senjata
itu sakti bertuah tetap saja Datuk Gampo Alam tak bakal mampu mempecundangi
lawannya. Malah dalam satu gebrakan hebat Andana berhasil mennendang lengan
kanan Datuk Gampo Alam. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang mencelat ke udara.
Andana melompat menyambuti selagi keris itu jatuh ke bawah.
“Saatmu
menerima kematian Datuk keparat!” teriak Andana. Smbil melayang turun dia
tusukkan keris di tangan kanannya ke arah Datuk Gampo Alam. Keris menyambar
dari arah kiri. Datuk Gampo Alam mengelak ke kanan. Mendadak Andana menggebrak
ke kanan. Keris sakti bertuah kembali menusuk.
Breettt!
Baju
Datuk Gampo Alam di bagian bahu kanan robek besar. Namun tubuhnya lolos dari
tusukan keris emas itu. Tiba-tiba Datuk Gampo Alam keluarkan suara seperti
anjing melolong. Bersamaan dengan itu kedua tangannya mencekal pergelangan
tangan kanan Andana lalu ditarik kuat-kuat. Terjadilah satu hal yang tidak bisa
diterima akal. Tubuh Datuk Gampo Alam lenyap amblas ke dalam tanah.
Andana
berteriak kesakitan sewaktu tangannya yang memegang keris terseret di atas
permukaan tanah. Tubuhnya berguling jungkir balik. Dia berusaha melepaskan
tangannya namun sia-sia.
Pendekar
212 berseru kaget melihat kejadian itu. Ilmu iblis apa yang dimiliki Datuk
keparat itu. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam tanah dan menarik tangan Andana.
Pekik
Andana semakin keras. Dengan tangan kirinya dia berusaha memukul gunjulan tanah
yang bergerak yang rupanya adalah tubuh atau kepala Datuk Gampo Alam. Tapi
tidak ada hasilnya. Sementara itu jari-jari tangan dan daging di bagian
belakang telapak tangannya telah mengelupas. Dari langit hujan turun mulai
lebat.
Anak
Datuk Bandaro Sati itu tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya guna
melepaskan tangannya.
Wiro yang
juga dalam keadaan bingung karena tidak tahu harus menolong bagaimana, untuk
beberapa saat hanya bisa berlari di samping Andana. Sambil lari akhirnya Wiro
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan senjata ini dihantamnya bagian tanah
yang menggunjul dan bergerak. Cahaya putih menyilaukan yang disertai hamparan
hawa panas luar biasa dan dibarengi suara seperti tawon mengamuk menggema di
tempat itu.
Tanah dan
pasir serta batu-batu kerikil muncrat berterbangan. Di tanah kelihatan lobang
sedalam satu jengkal. Ternyata hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 tidak menolong
walau sudah dipukulkan beberapa kali. Tangan kanan Andana semakin parah. Darah
mulai mengucur sedang lapisan kulit dan daging sudah terkelupas dalam. Satu hal
yang masih bisa dilakukannya, keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak mau
dilepaskannya dari genggamannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
mengaum dahsyat. Dalam udara yang semakin gelap itu sementara hujan bertambah
lebat tiba-tiba muncul seekor harimau besar.
Pendekar
212 sampai tersurut saking kagetnya. Andana tidak kalah kejutnya.
Namun
entah mengapa pemuda ini tiba-tiba saja menjadi tenang. Saling bertatapan
begitu dekat Andana membatin.
Binatang
ini, aku yakin adalah harimau yang muncul mengawal Ayahku waktu di Asahan dulu.
Ayah, apakah kau mengirimkannya untuk menolongku?
Binatang
jejadian itu mengaum sekali lagi. Lalu tubuhnya menukik ke bawah dan astaga!
Harimau besar amblas lenyap ke dalam tanah.
Saat itu
pula cekalan pada lengan Andana terlepas. Lalu terjadilah hal luar biasa. Di
dalam perut bumi terdengar bentakan-bentakan manusia dan auman harimau berulang
kali. Seolah tengah terjadi perkelahian antara manusia dengan seekor harimau.
Hal itu tidak berlangsung lama. Didahului oleh satu lolongan panjang dan auman
yang menggetarkan tanah, tiba-tiba dari dalam tanah melesat sosok tubuh Datuk
Gampo Alam. Tubuh dan kepalanya sampai ke muka penuh berselomotan tanah hingga
kelihatan menyeramkan. Di samping itu pada bahu kiri, pangkal leher dan bawah
dagu ada luka panjang seperti dicakar.
Untuk
kedua kalinya dari dalam tanah melesat keluar harimau besar itu.
Telinga
kirinya kelihatan mengucurkan darah. Binatang ini memandang Datuk Gampo Alam
sesaat, mengaum keras membuat sang datuk tersurut gentar lalu berputar-putar
beberapa kali mengelilingi Andana, mengaum sekali lagi dan lenyap!
Pendekar
212 gelengkan kepala dan leletkan lidah.
Kawatir
kalau musuh besar pembunuh Ayahnya itu akan masuk kembali ke perut bumi Andana
yang masih memegang keris Tuanku Ameh Nan Sabatang cepat menyerbu dan kirimkan
satu tikaman ke arah batang leher Datuk Gampo Alam.
Perkelahian
seru terjadi sampai delapan jurus. Walaupun belum dapat melukai lawannya dengan
senjata sakti bertuah itu namun Andana lagi-lagi membuat sang Datuk terdesak
hebat.
Jahanam,
ilmu silat apa yang dimiliki anak setan ini hingga aku tidak bisa memecahkan
kelemahannya! Maki sang Datuk. Sebelum Andana menyerbunya kembali dia melompat
mundur.
“Kau kira
kau bisa lari dari kematianmu Datuk celaka!” teriak Andana.
Datuk
Gampo Alam menyeringai. “Siapa yang lari,” jawab Datuk Gampo Alam sambil
menyentakkan leher dua kali. Kedua tangannya disilangkan di depan dada.
Mulutnya berkomat-kamit. Kedua matanya dikejapkan. Wutt….wuuuttt! Dari kedua
mata itu tiba-tiba melesat sebuah benda putih panjang, meliuk-liuk seperti
ular.
Selagi
Andana dan Wiro terperangah melihat hal itu sang Datuk goyangkan kepalanya.
Dua
binatang putih lagi melesat keluar. Kini dari telinga kiri kanan. Ketika dia
mendengus, maka sepasang berikutnya melesat keluar dari hidung. Datuk Gampo
Alam membuka mulutnya lebar-lebar. Benda yang sama dalam ukuran lebih besar
menderu keluar dari mulutnya. Benar-benar mengerikan!
“Gila!
Ilmu apa ini?!” ujar Wiro sementara Andana memasang kuda-kuda dan menyiapkan
pukulan “inti api” di tangan kiri.
Ternyata
masih ada lagi dua benda putih panjang keluar dari tubuh sangDatuk.
Satu dari
anusnya dan satu lagi dari lobang kemaluannya. Ternyata binatang-binatang itu
keluar dari setiap lobang yang ada di tubuhnya!
“Kau
takut anak setan?!” ujar Datuk Gampo Alam seraya melangkah mendekati Andana.
“Ilmu Belut Putih hanya aku yang memiliki di dunia! Kau merupakan korbannya
yang pertama!” Habis berkata begitu Datuk Gampo Alam
keluarkan
suara mendengus dari hidungnya. Dua ekor belut putih yang ada di dua lobang
hidungnya melesat ke arah Andana.
Harimau
Singgalang berteriak keras. Tangan kirinya dihantamkan. Pukulan “inti api”
menyambar belut putih yang di kiri tapi luput. Belut putih yang kedua
dibabatnya dengan keris Tuank Ameh Nan Sabatang.
Crasss!
Belut itu terkutung dua. Tapi begitu jatuh ke tanah hidup kembali dan menjadi
dua ekor, terus menyerang Andana. Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Belut
putih besar dimulutnya meluncur semakin panjang dengan kepala tegak siap untuk
mematuk.
Belut
putih pertama yang lolos dari pukulan “inti api” melesat ke muka Andana.
Sebelum pemuda ini sempat mengelak binatang ini telah menyusup masuk ke dalam
lobang hidung kiri Andana! Pemuda ini jadi gelagapan dan berusaha menarik
keluar belut yang masuk ke dalam hidungnya itu. Tapi semakin ditarik semakin
dalam masuknya binatang ini. Darah mulai mengucur.
“Celaka!”
seru Pendekar 212. tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut Kapak Maut Naga
Geni 212 dan melompat ke hadapan Andana. Sinar terang menyilaukan berkiblat di
bawah udara gelap dan curahan hujan.
Crass!
Belut putih di hidung Andana putus dua, jatuh ke tanah dan hidup lagi!
Dua
binatang ini kini menyerang Wiro!
“Keparat
sialan! Apa yang harus kulakukan!” saat itu salah seekor dari belut putih itu
berhasil menancapkan mulutnya di betis kiri Pendekar 212. Wiro hendak
merambasnya dengan senjata mustikanya. Tapi percuma saja pikirnya karena itu
hanya akan menambah banyaknya jumlah binatang-binatang jejadian itu! Dengan
menggeram Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam. Dia ingat sesuatu. Hatinya
meragu. Tadi Andana telah menghantam belut putih itu dengan pukulan “inti api”.
Jika dia
menghantam dengan batu apinya, apakah akan mempan? Tak ada jalan lain.
Dia harus
mencoba. Kalau tidak dia akan menemui ajal bersama Andana di tempat itu!
Dari
balik pakaiannya murid Sinto Gendeng keluarkan sebuah batu hitam empat persegi
yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212. Batu ini digosokkannya
kuat-kuat ke mata kapak dan diarahkan pada Datuk Gampo Alam.
Disaat
yang sama sang Datuk buka mulutnya lebar-lebar. Belut putih paling besar yang
bergelantungan di mulutnya melesat menyambar ke leher Pendekar 212.
Wusss!
Lidah api
yang luar biasa panasnya menyambar. Belut putih besar yang menyerang Wiro
mencelat mental, hancur cerai berai di udara. Ketika jatuh ke tanah ternyata
binatang jejadian ini tidak berkembang biak menjadi banyak. Potonganpotongan
tubuhnya berubah menjadi asap dan akhirnya sirna.
Datuk
Gampo Alam tersentak kaget. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk
menghantam lagi dengan gosokan kapak dan batu. Sekali ini dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya sementara andana berusaha melepaskan diri dari gigitan
dua ekor belut putih yang menancap di pahanya kiri kanan!
Datuk
Gampo Alam berteriak keras ketika satu gelombang api sebesar rumah mengggebubu
ke arahnya. Di lain kejap tubuhnya tenggelam dalam kobaran api.
Semua
belut putih yang ada di tubuhnya hancur cerai berai. Anehnya yang ada di tempat
lain seperti yang menancap di kaki Wiro dan Andana ikut-ikutan leleh, berubah
jadi asap lalu lenyap!
Dalam
kobaran api kelihatan sosok Datuk Gampo Alam melesat ke atas.
Begitu
kobaran api lenyap kelihatan orang ini tegak menyeringai sambil bertolak
pinggang. Tubuhnya tidak cidera sedikitpun. Bahkan pakaiannya sama sekali tidak
hangus! Sarung keris emas bertuah yang ada di pinggangnya juga kelihatan tidak
mengalami kerusakan. Hanya ilmu “belut putih”-nya saja yang musnah!
Luar
biasa! Bagaimana ada manusia sehebat bangsat satu ini! Kertak Wiro. Di
sampingnya Andana keluarkan suara menggeram.
“Anak
setan! Kau telah ikut campur urusanku! Berarti kau memilih mampus bersama
kemenakan durhaka itu!” Datuk Gampo Alam berkata dengan mimik bengis.
“Kalian
berdua silahkan maju bersamaan agar waktuku tidak terbuang percuma!”
Wiro
tertawa gelak-gelak. “Lagakmu hebat amat Datuk! Kau akan mati jadi setan
penasaran karena tak dapat mengawini Bunga! Ha….ha…..ha…..!”
Mendengar
kata-kata Wiro itu mendidihlah amarah Datuk Gampo Alam.
Kepalanya
disentakkan dua kali lalu didahului bentakan keras dia melompat ke arah Wiro
dan Andana.
“Sahabat,”
kata Wiro pada Andana. “Kau pergunakan kapak ini. Kerahkan tenaga dalammu
setiap kau melakukan serangan!”
Wiro
melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andana.
*****************
ENAM BELAS
Harimau
Singgalang ini tak sempat berpikir banyak dan cepat menyambuti senjata mustika
itu. Ketika Datuk Gampo Alam melompat ke hadapannya sambil melancarkan satu
pukulan tangan kosong, Andana segera menyambut dengan salah satu jurus terhebat
ilmu silat Kumango Tujuh Sarangkai, membuat sang Datuk terpaksa bersurut.
Dua jurus
menggebrak Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil membabat bahu kiri lawan. Datuk
Gampo Alam berteriak setinggi langit. Darah muncrat. Bahu kirinya putus dan
jatuh ke tanah. Tapi begitu potongan tangan itu menyentuh tanah, tiba-tiba
potongan itu melesat kembali ke tempatnya semula di pangkal bahu sang Datuk.
Bersamaan
dengan itu Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
“Kalian
bermimpi kalau menduga bisa membunuh Datuk Gampo Alam!”
Habis
berkata begitu sang Datuk sorongkan kepalanya ke depan. “Kau boleh menabas
batang leherku! Aku tidak akan melawan! Ha…ha….ha….”
“Kurang
ajar!” kertak Andana. Sekali berkelebat dia babatkan Kapak Maut Naga Geni 212.
sinar putih menyilaukan berkiblat panas disertai suara keras seperti ratusan
tawon mengamuk. Yang dituju Andana benar-benar batang leher Pamannya itu.
Craaaas!
Lagi-lagi
darah menyembur begitu leher Datuk Gampo Alam putus.
Kepalanya
jatuh dan menggelinding ke tanah. Dan pada saat kepala itu pula kepala ini
melesat kembali ke tempatnya semula! Leher yang putus bersambung kembali tanpa
kelihatan sedikit ciderapun!
Datuk
Gampo Alam tertawa bergealk sementara Andana dan Wiro Sableng tertegun saling
pandang dengan muka pucat. Wiro tiba-tiba ingat pada keterangan kakek sakti Tua
Gila. Yaitu bahwa walau ditabas jadi berapa potonganpun Datuk Gampo Alam tidak
akan bisa mati selama tubuhnya atau kedua kakinya masih menginjak bumi!
Hujan
turun makin lebat. Udara mulai gelap karena di Barat sang surya siapi
tenggelam. Sementara itu dari arah Selatan Ngarai Sianok sebuah kereta meluncur
cepat ke arah tempat di mana Andana dan Wiro serta Datuk Gampo Alam berada.
“Apa yang
harus kita lakukan?” Andana mendekati Wiro dan berbisik.
Murid
Eyang Sinto Gendeng usap mukanya yang basah oleh air hujan.
“Seseorang
pernah memberi tahu kelemahan ilmu manusia iblis ini. Kita harus memancingnya….”
Lalu Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam.
“Datuk
ilmumu memang tinggi. Tapi sayang cuma sulapan belaka. Apa kau berani untuk
ditabas lehernya sekali lagi?!”
Datuk
Gampo Alam menyeringai. “Kalian akan segera mampus di tanganku.
Tak ada
salahnya mengikuti apa kemauan kalian barang sebentar. Silahkan kau mau
membacok dan menabas di bagian mana saja yang kau sukai!” Sambil tertawa
memandang enteng dengan sombongnya Datuk Gampo Alam sorongkan kepalanya ke
depan. Wiro berpaling pada Andana dan anggukkan kepalanya.
Tangan
kanan Harimau Singgalang bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat. Sinar
menyilaukan berkiblat disertai deru keras dab hawa panas.
Crassss!
Untuk
kedua kalinya leher Datuk Gampo Alam putus. Darah muncrat dan kepalanya
menggelinding jatuh di tanah. Saat itu pula Wiro melompat dan menyambar
pinggang sang Datuk. Tubuh orang ini kemudian dipanggulnya hingga
kedua
kakinya tidak menginjak bumi!
Dari
kepala yang tercampak di tanah terdengar suara Datuk Gampo Alam.
“Turunkan
tubuhku! Turunkan aku ke tanah!” Tubuh yang dipanggul Wiro melejanglejangkan
kaki dan tangannya namun tidak berdaya untuk melancarkan serangan karena
gerakannya makin lama makin lemah.
Dalam
ngeri dan tidak percayanya melihat apa yang terjadi Andana hanya bisa tertegak
diam. Suara teriakan Datuk Gampo Alam semakin perlahan dan mendelik.
Pada saat
itulah sebuah kereta meluncur cepat dan berhenti di tempat itu. Dari atas
kereta terdengar jeritan perempuan.
“Bunga!”
seru Andana.
Wiro
berpaling. Bunga hampir pingsan melihat kepala ayahnya menggeletak di tanah
sedang tubuhnya yang lain dipanggul oleh Wiro. Dari kutungan leher kelihatan
darah mengucur.
“Demi
Tuhan! Ya Allah! Apa yang terjadi! Jangan bunuh! Jangan bunuh dia!
Dia Ayah
saya…..” Habis berteriak begitu Bunga tersungkur jatuh di tanah yang becek.
Dua mata
Datuk Gampo Alam yang mendelik berputar ke arah Bunga dan menatap gadis itu
dengan pandangan aneh. Mulutnya terbuka. Tapi tak terdengar apa yang
diucapkannya.
Akan
halnya Wiro, begitu melihat Bunga dan mendengar ucapan gadis tiu, tubuh Datuk
Gampo Alam yang dipanggulnya terjatuh lepas. Pada saat dua kaki sang Datuk
menyentuh tanah, tiba-tiba kutungan kepalanya melesat menuju lehernya! Sang
Datuk hidup kembali!
“Celaka!”
seru Wiro. Andana bersurut mundur. Datuk Gampo Alam memandang berkeliling lalu
melangkah ke arah Bunga.
“Jangan
dekati gadis itu!” teriak Andana.
Datuk
Gampo Alam tidak perduli. Dia melangkah terus. Ada rasa takut di hati Bunga
ketika melihat Datuk Gampo Alam mendekatinya. Dia cepat berdiri.
“Bunga…..
Tadi kau mengatakan aku…..aku….ini Ayahmu…..? Atau telingaku salah mendengar?”
Ucapan itu keluar dari mulut Datuk Gampo Alam.
“Manusia
jahat sepertimu tidak mungkin menjadi Ayah gadis itu!” teriak Andana seraya
mendatangi. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang ditusukkannya ke dada sang Datuk.
“Kakak….
Demi Tuhan! Jangan bunuh dia! Sudahi semua permusuhan ini!
Datuk
Gampo Alam adalah Ayah kandung saya……”
Pendekar
212 jadi garuk-garuk kepala. Andana ternganga dan membeliak tak berkesip. Datuk
Gampo Alam keluarkan jeritan keras. Lalu putar tubuhnya dan lari ke arah sebuah
bukit kecil di ujung Ngarai Sianok.
“Ayah!
Kau mau kemana?!” teriak Bunga memanggil. Ketika dia hendak mengejar Andana
cepat memegang lengan gadis itu. “Ayah…..!”
Datuk
Gampo Alam tidak perdulikan teriakan Bunga. Dia lari terus sampai akhirnya tiba
di atas bukit kecil. Pada saat itu terdengar guntur menggelegar. Langit terang
benderang. Petir tampak menyambar di puncak bukit. Bunga terpekik keras ketika
melihat bagaimana petir menghantam tubuh Ayahnya. Tubuh Datuk Gampo Alam
kelihatan mengepulkan asap lalu terbanting roboh ke tanah bukit.
“Ayah!”
teriak Bunga. Kali ini Andana tak kuasa lagi menahan gadis itu. Dia mengikuti
lari Bunga dari belakang. Begitu juga Wiro. Mereka menuju ke puncak bukit.
“Jangan!”
kata Andana ketika Bunga hendak menjatuhkan diri memeluk tubuh Datuk Gampo Alam
yang masih sangat panas dan mengepulkan asap serta tak karuan bentuknya itu.
Anehnya sarung keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tampak tergeletak tak jauh dari
mayat Datuk Gampo Alam. Ketika Bunga mendudukkan dirinya di tanah dan menangis
keras. Andana melangkah mengambil sarung keris itu. Lalu dia kembali mendekati Bunga.
Beberapa lamanya dipandanginya gadis itu. Lalu terdengar dia berkata.
“Bunga….”
Bunga
menurunkan kedua tangannya yang dipakai menutupi wajahnya.
“Saya
harus pergi sekarang. Sahabat saya Wiro akan mengantarkanmu pulang.
Dia juga
akan mengurusi jenazah Datuk Gampo Alam kalau dia memang Ayahmu….”
“Kakak
hendak kemana?” tanya Bunga dengan lidah kelu.
“Saya
belum tahu mau pergi kemana. Saya titipkan rumah gadang dan isinya padamu…..”
Gadis itu
berusaha berdiri hendak merangkul tubuh Andana. Tapi Harimau Singgalang memutar
tubuh dengan cepat dan meninggalkan bukit di tepi Ngarai Sianok itu menuju ke
Timur.
Tak ada
perubahan pada telaga di Asahan itu. Suasana sejuk terasa menyegarkan. Tiupan
angin seolah memberikan kekuatan yang ajaib. Di ujung jalan yang menurun
Harimau Singgalang sudah dapat melihat gadis itu duduk membelakanginya,
menghadap ke telaga yang jernih. Seperti punya firasat kalau ada seseorang
tegak memperhatikannya dari kejauhan, Halidah berpaling.
Sesaat
gadis itu tercengang. Bibirnya yang merah segar terbuka dan terdengar suaranya
berkata antara percaya dan tidak.
“Betul
Abang yang saya lihat ini….?”
Andana
tertawa lebar. Dia melangkah cepat-cepat sambil mengembangkan kedua tangannya.
Halidah tak dapat menahan hatinya lagi. Gadis ini berteriak lalu tenggelam ke
dalam pelukan hangat Andana.
“Jangan
pergi lagi Bang. Jangan tinggalkan saya lagi untuk selamaselamanya….” bisik
Halidah. Air matanya terasa hangat di dada Andana.
“Abang
tak akan pergi lagi Halidah. Tak akan Abang tinggalkan lagi kau untuk
selama-lamanya,” bisik Andana lalu mencium dalam-dalam rambut hitam Halidah.
TAMAT
No comments:
Post a Comment