Serikat
Candu Iblis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
MUSIM
panas sekali ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun
turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus.
Pepohonan
banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama
menjadi pendataran liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering
kerontang dan alang-alang.
Di bawah
teriknya sinar matahari yang seperti membakar bumi menghanguskan jagat, di
sebelah selatan Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba belantara kelihatan
satu pemandangan yang bisa dikatakan luar biasa.
Delapan
orang lelaki bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh,
setengah berlari tampak mengusung sebuah tandu. Empat di depan, empat di
belakang. Di bagian tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi
beratap dan dinding serta pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam.
Karena
kayu jatinya merupakan kayu jati paling bagus dan tebal maka keseluruhan tandu
itu memiliki berat tidak kurang dari dua ratus kati! Belum lagi kalau di atas
tandu itu ada orangnya.
Di
samping itu, demikian rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa pun yang
ada di dalamnya tidak dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian
beratnya namun kedelapan lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah
berlari.
Sambil
bergerak, dari mulut empat orang pengusung di sebelah depan tidak
henti-hentinya menyerukan dengan bersemangat kata-kata hitungan
“Satu-dua-tiga-empat…! Satu-dua-tiga-empat!” Lalu empat teman mereka di sebelah
belakang pada akhir hitungan ke empat menyahuti dengan ucapan “Anjing gila
jilat pantat…! Anjing gila jilat pantat!”
Begitu
seterusnya sepanjang perjalanan selalu terdengar: “Satu-dua-tiga-empat…!
Anjing
gila jilat pantat! Satu-dua-tiga-empat…! Anjing gila jilat pantat!”
Tubuh,
muka dan kepala delapan lelaki pengusung tandu tampak basah oleh keringat.
Tetapi hebatnya, mereka tidak tampak letih.
Rombongan
pengusung tandu aneh itu berangkat sejak fajar menyingsing dari arah Magetan
menuju ke Barat. Ke delapan orang pengusung sama sekali tidak mengetahui ke
mana sebenarnya tujuan mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu yang
tertutup itu mereka mendengar suara ketukan. Ada kalanya dua ketukan, atau tiga
kali ketukan, kadang-kadang hanya satu kali.
Ketukan-ketukan
itu adalah tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu ketukan berarti
jalan terus ke depan. Dua ketukan membelok ke kanan. Kalau terdengar tiga kali
ketukan pada lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.
Dari
dalam tandu juga sesekali keluar asap tipis berwarna putih agak kelabu.
Anehnya, setiap asap putih itu keluar, ke delapan orang lelaki pengusung
seperti berebutan meninggikan hidung, serentak menghirup asap tersebut. Begitu
mereka dapat menghirup asap itu, wajah mereka kelihatan menjadi kemerahan. Rasa
letih di sekujur tubuh masing-masing menjadi lenyap!
Di suatu
tempat terdengar dua ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung segera
membelok ke kanan. Kini mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya hanya mereka
susuri sepanjang pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup
kerimbunan daun-daun pepohonan. Kini sejak dilanda musim kemarau panjang selama
delapan bulan, rimba belantara itu hanya tinggal pohon-pohon nyaris tak
berdaun, tidak mampu membendung teriknya sinar matahari. Di lantai tandu
terdengar suara ketukan satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh
adalah lurus ke depan.
Di salah
satu bagian hutan, ketukan satu kali-satu kali tiba-tiba berhenti. Lalu
berganti dengan ketukan tujuh kali-tujuh kali. Delapan orang lelaki pengusung
serta merta berhenti berlari. Suara seruan “Satu dua tiga empat! Anjing gila
jilat pantat!” langsung sirap. Semuanya memandang berkeliling dengan mata tidak
berkesip.
Sebenarnya
sejak memasuki rimba belantara tadi mereka diam-diam telah mengetahui ada
serombongan orang tengah menguntit mereka. Namun karena tidak mendapat
“petunjuk” dari dalam tandu maka mereka tidak berani melakukan sesuatu dan
dengan tenang sambil terus mengumandangkan ucapan-ucapan “Satu dua tiga empat!
Anjing gila jilat pantat!”, kedelapannya terus saja berlari.
Kini
tujuh ketukan tadi telah mereka dengar. Itulah satu perintah yang berarti
mereka harus berhenti berlari karena ada bahaya dan mereka harus menghancurkan
bahaya itu Delapan lelaki bertubuh tegap itu tidak menunggu lama. Semak belukar
di sekeliling mereka tersibak. Dua belas orang berpakaian merah dan berikat
kepala kain merah muncul. Tampang mereka rata-rata angker dan masing-masing
mencekal sebilah golok besar.
Seorang
dari mereka melangkah maju. Rupanya dia yang menjadi pimpinan dari sebelas
kawan-kawannya. Berewok dan kumisnya sangat lebat. “Kalian rombongan dari mana
dan mau ke mana!?”
“Kami
dari Magetan, dalam perjalanan menuju ke Barat.” Salah seorang dari delapan
lelaki pengusung tandu menjawab. Dia adalah yang berada di sebelah kanan depan.
“Barat
itu luas. Sebutkan tujuan kalian dengan jelas. Jangan memberi teka-teki
padaku!” bentak si berewok ini.
“Kami
tidak berteka-teki. Kami bicara apa adanya!” jawab si pengusung di kanan depan.
Rupanya dia tidak takut menghadapi rombongan orang-orang angker yang kini
mengurungnya di dalam rimba belantara itu. Ketujuh temannya juga tidak
menunjukkan rasa khawatir. Sikap mereka tenang tapi sepasang mata masing-masing
tidak berkesip mengawasi keadaan sekeliling mereka.
Lalu
kawannya di depan kiri menyusuli ucapan itu. “Kami sudah menjawab. Sekarang
beri jalan jangan menghalangi!”
Lelaki
berewok berpakaian merah sesaat menatap pengusung itu lalu menyeringai. Setelah
itu kembali dia membentak. “Turunkan usungan! Aku mau lihat apa yang kalian
bawa!”
Yang
menjawab kembali adalah pengusung di kiri depan. “Kami tidak membawa barang
atau benda berharga. Jadi tidak perlu tandu diturunkan.”
“Hemm…
Begitu kau bilang?” orang berpakaian merah dengan berewok lebat kembali
menyeringai. “Di rimba belantara Karangkukusan ini aku yang punya kuasa. Aku
yang memerintah. Hanya mereka yang ingin cepat mampus boleh unjuk lagak
coba-coba membangkang!”
“Kita
sesama teman, mengapa harus bicara keras? Apalagi sampai memeriksa isi tandu
ini!”
“Kita
sesama teman kau bilang! Aku Krincing Wungu tidak pernah punya teman
manusia-manusia dogol macammu dan kawan-kawanmu! Turunkan tandu atau kepala
kalian kubikin menggelinding satu demi satu!”
“Hah!
Rupanya kami berhadapan dengan gembong penjahat rimba Karangkukusan yang
terkenal itu!” kata si pengusung di depan sebelah kiri.
Dari
dalam tandu tiba-tiba keluar asap putih kelabu. Delapan orang lelaki pengusung
tandu meninggikan leher dan menghirup dalam-dalam. Tampang mereka serta merta
menjadi merah segar dan mereka seperti mendapat satu kekuatan dan keberanian.
Hal ini tidak lepas dari pemandangan dua belas orang berpakaian merah, termasuk
pimpinannya yang bernama Krincing Wungu itu.
“Tandu
tidak akan kami turunkan! Terserah kau mau berbuat apa! Adalah bodoh kalau kau
tidak melihat tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Samudra Selatan. Kau mencari
penyakit sobat!”
Krincing
Wungu mendengus. Dia berpaling pada sebelas anak buahnya lalu goyangkan
kepalanya. Melihat isyarat ini sebelas orang lelaki berpakaian merah segera
menyerbu ke arah usungan. Sebelas golok besar berkelebat mencari sasaran di
tubuh atau kepala delapan orang lelaki pengusung tandu. Dalam keadaan masih
memikul beban berat, serangan ganas itu pastilah akan membawa celaka bagi ke
delapan orang yang jadi sasaran. Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar
biasa. Satu orang lelaki pengusung di bagian depan dan satu lagi di bagian
belakang melesat keluar sedang enam lainnya tetap ditempat masing-masing. Lalu
tangan dan kaki mereka yang bebas bergerak cepat menyambut serangan.
Dua
anggota pengusung yang tadi keluar dari rombongan menyusup dan tahu-tahu sudah
berada di belakang sebelas orang yang menyerbu. Keduanya membuat
gerakan-gerakan cepat dan ganas.
Kesebelas
penyerang itu kini seolah-olah terjepit di tengah-tengah. Lalu terdengar jerit
pekik. Enam golok mental ke udara. Empat sosok berpakaian merah roboh dengan
kepala pecah. Tiga lainnya menggelepar-gelepar di tanah sambil pegangi batang
leher yang remuk lalu tak berkutik lagi, mati dengan mata mencelet.
Sisa
penyerang yang tinggal empat dan saat itu tidak lagi memegang senjata karena
telah mental atau jatuh. Mereka melompat mundur dengan muka pucat.
Di pihak
para pengusung tandu, salah seorang di antara mereka yang di bagian belakang
kelihatan masih tegak mengusung tandu tetapi pangkal bahu kirinya luka besar
kena hantaman golok.
Darah
mengucur deras membasahi dadanya yang telanjang dan juga celana hitamnya. Dari
air mukanya jelas orang ini menahan rasa sakit yang amat sangat.
Hebatnya,
dalam keadaan luka parah seperti itu dia tetap tegak menahan tandu dengan bahu
kanannya. Namun darah yang terlalu banyak keluar membuat orang ini mulai merasa
dirinya limbung dan pemandangannya mulai berkunang.
Krincing
Wungu sesaat masih tertegak dengan tubuh bergetar dan mata melotot. Dalam hati
dia menggeram. “Siapa orang-orang ini sebenarnya? Tujuh anak buahku mereka
bunuh dalam sekejapan!” Seberkas asap tiba-tiba keluar dari sela-sela lantai
tandu. Menyapu ke arah pengusung yang berada dalam keadaan luka parah tadi.
Orang ini
segera menghirup asap itu, kawan-kawannya di sebelah menyebelah ikut menghirup.
Begitu hawa dari asap aneh masuk ke saluran pernafasan dan paru-parunya, lalu
mengalir dalam saluran pembuluh darahnya, pengusung yang terluka ini merasa ada
perubahan dalam dirinya. Rasa sakit hilang sama sekali. Tubuhnya yang tadi
lemah kini menjadi segar dan kuat sedang pemandangan matanya yang sebelumnya
berkunang kini menjadi pulih dan terang kembali.
Di lantai
tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu pertanda bahwa rombongan pengusung
harus segera bergerak meninggalkan tempat itu, lurus ke depan.
Rombongan
ini segera bergerak. Namun baru maju dua langkah, dari samping didahului suara
bentakan garang, Krincing Wungu melompat setinggi dua tombak ke udara. Di lain
saat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas tandu.
*****************
2
BEGITU
kedua kakinya menginjak atas tandu. Krincing Wungu segera tusukan golok
besarnya ke atap itu. Delapan orang pengusung tetap tidak bergerak sedikitpun
padahal berat tubuh Krincing Wungu paling tidak sekitar 90 kati!
Sesaat
lagi golok Krincing Wungu akan menembus atap tandu, tiba-tiba atap tandu
terbuka dan dari dalam tandu melesat sebuah tombak, mencuat langsung menusuk
selangkangan Krincing Wungu.
Kepala
penjahat hutan Karangkukusan ini meraung keras. Golok besar terlepas dari
tangannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk memegangi bawah perutnya dari
bagian mana darah mengucur deras. Sekali lagi Krincing Wungu menjerit. Lalu
tubuhnya jatuh ke bawah. Tiga orang anak buahnya berseru tegang.
Mereka
serempak melompat ke arah di mana tubuh pimpinan mereka bakal jatuh, berusaha
menyahuti tubuh itu agar tidak jatuh ke tanah.
Namun
tubuh Krincing Wungu besar dan berat. Tiga anak buahnya tidak sanggup menahan.
Keempat penjahat ini akhirnya jatuh terkapar di tanah. Krincing Wungu tampak
menggeliat. Dari mulutnya tiada henti terdengar raungan. Suaranya menjadi
parau. Tubuhnya berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak bergeming lagi.
“Pemimpin!”
seru tiga anak buah Krincing Wungu lalu menubruk tubuh pemimpin mereka. Tapi
Krincing Wungu sudah jadi mayat.
Di lantai
tandu terdengar suara ketukan satu kali. Itu tanda perjalanan harus
dilanjutkan, lurus ke muka. Delapan lelaki pengusung tandu mendongak. Kaki
mereka bergerak. Tandu itu kembali mereka gotong dan larikan. Dari mulut mereka
kembali terdengar suara: “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Tiga orang
anak buah Krincing Wungu perhatikan kepergian rombongan pengusung tandu itu.
“Rombongan aneh. Siapa mereka sebenarnya?” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku tak
bisa menduga. Tapi jangan-jangan…” orang ini tidak meneruskan ucapannya.
Wajahnya kelihatan pucat mendadak. Dua temannya tampak ketakutan juga. Dia
cepat berdiri seraya berkata, “Kita tidak bisa mengurus semua mayat ini.
Jenazah pemimpin saja yang bisa kita bawa dari sini. Bantu aku menggotongnya!”
Masih di
dalam rimba belantara Karangkukusan, di arah barat yang bakal dilalui oleh
rombongan pengusung tandu tadi kelihatan gerakan-gerakan di balik semak belukar
dan di atas beberapa buah pohon besar. Lalu terdengar suara suitan-suitan
pendek dari arah kanan. Suitan ini disambut dengan suitan pula dari jurusan
kiri.
Ketika
suara suitan yang bersahut-sahutan itu lenyap, serumpun keladi hutan berdaun
tinggi dan lebar tampak bergoyang. Satu tangan muncul di antara daun-daun
keladi itu, menggaruk-garuk satu kepala berambut gondrong. Orang di balik pohon
keladi mendongak ke langit.
“Itu
bukan suitan biasa. Siapa yang tadi berbalas suitan?” orang yang berambut
gondrong ini yang ternyata seorang pemuda bertanya dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Tidak terlihat gerakan, tidak terlihat apa pun. Dia mendongak
lagi. Saat itulah dia melihat sebuah benda panjang menjulai di udara hampir
tersamar di antara cabang-cabang pepohonan.
Belum
sempat dia menduga benda apa adanya itu tiba-tiba telinganya menangkap
seruan-seruan tak berkeputusan di kejauhan di arah selatan. Makin lama
seruan-seruan itu semakin keras dan tambah jelas. “Satu dua tiga empat! Anjing
gila jilat pantat!”
“Satu dua
tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Edan!
Dalam rimba belantara begini siapa pula yang berteriak seperti itu! Anjing gila
mana yang jilat pantat!” pemuda berambut gondrong di balik pohon keladi besar
berkata dalam hati setengah memaki. Tapi diam-diam dia juga merasa heran dan
agak was-was.
“Jangan-jangan
itu bukan suara manusia. Tapi suara hantu rimba belantara!” katanya lagi dalam
hati. Dia memandang ke jurusan datangnya suara-suara seruan ramai itu. Lalu
terlihatlah rombongan pengusung tandu yang terdiri dari delapan lelaki bertubuh
besar, hanya mengenakan celana hitam panjang sebatas betis.
“Hemm…”
si gondrong bergumam. Kedua matanya memperhatikan kaki-kaki delapan orang yang
berlari itu. Semuanya menginjak tanah. “Manusia juga adanya mereka. Tapi jelas
berkepandaian tinggi. Bukan sembarang orang mampu menggotong tandu kayu jati
seberat itu. Malah sambil berseru-seru seperti itu! Dan berlari pula! Gila!”
Rombongan pengusung tandu itu lewat di depan si gondrong yang bersembunyi di
balik rumpun keladi.
“Siapa
adanya orang-orang itu. Apa yang ada di dalam tandu? Harta pusaka, perhiasan,
emas berlian, atau seorang putri cantik jelita?”
Tiba-tiba
delapan lelaki bertelanjang dada yang menjadi pengusung tandu mendengar suara
tujuh ketukan di lantai tandu. Tanda bahaya! Mereka baru saja lolos dari satu
bahaya, kini bahaya apa pula yang datang menghadang?
Mereka
memandang berkeliling. Saat itulah terdengar suara berdesir. Lalu sebuah jaring
raksasa, entah dari mana munculnya, laksana turun dari langit jatuh ke bawah,
tepat menimpa rombongan itu. Delapan lelaki pengusung berikut tandu yang
diusung kini terkurung dalam jaring besar.
Delapan
pengusung berseru kaget. Namun sebagai orang-orang yang telah banyak
pengalaman, cepat sekali kemudian mereka menguasai keadaan. Masih dalam keadaan
memanggul tandu yang berat, delapan pasang tangan mereka bergerak ke pinggang.
Delapan pasang tangan kemudian terpentang ke depan.
Kelihatan
setiap orang kini memegang sebilah pisau kecil yang sangat tajam di tangan kiri
kanan. Pisau-pisau kecil itu mereka babatkan ke depan untuk memutus jaring.
Namun jaring yang menjerat rupanya bukan jaring biasa. Atos tak mempan sayatan
pisau! Padahal pisau kecil itu bukan senjata sembarangan. Pernah diuji
kesanggupannya menusuk batu!
Delapan
lelaki pengusung tandu jadi terperangah dapatkan pisau-pisau mereka tidak
sanggup memutus jaring. Sesaat mereka saling pandang. Salah seorang di antara
mereka berkata, “Coba dengan pedang asap!”
Delapan
orang itu terdengar merapal lalu serentak sama-sama meniup. Dari mulut mereka
melesat aneh selarik sinar putih berbentuk pedang panjang.
“Wut…
wut… wut… wut… wut… wut… wut… wut…!”
Delapan
pedang asap menghantam jaring di delapan bagian. Jaring besar itu bergoyang
keras seperti mau ambrol. Tapi ternyata tidak! Benda berbentuk pedang panjang
malah tiba-tiba membalik ke arah mereka. Dalam keadaan kaget kembali ke delapan
lelaki pengusung tandu meniup. Pedang asap pupus lenyap tidak berbekas!
Di
kejauhan terdengar suara ringkikan. Lalu ada suara derap kaki kuda mendatangi.
Sebelum itu dari balik semak belukar dan pohon-pohon besar berlompatan hampir
dua lusin orang bersenjatakan tombak dan pedang.
Sepuluh
di antaranya memegang busur dan membidikkan anak panah ke arah orang-orang yang
terjerat itu. Sementara itu dari atas pohon-pohon di sekitar tempat itu
berserosoran turun sembilan orang berpakaian serba biru. Begitu sampai di tanah
mereka langsung menghunus senjata masing-masing dan menebar mengurung rombongan
yang barusan kena jerat. Berada dalam keadaan tak berdaya di bawah jala serta
dikurung rapat demikian rupa, delapan orang lelaki pengusung tandu kini tegak
tak bergerak. Mata mereka mengawasi para pengurung. Telinga mereka menunggu
aba-aba dari dalam tandu namun tanda yang ditunggu tidak kunjung terdengar.
Para pengurung sendiri kelihatan tidak bergerak dari tempat masing-masing
seakan ada yang ditunggu. Memang benar. Saat itu muncul tiga orang penunggang
kuda.
Pemuda
gondrong yang mendekam di balik kerapatan semak belukar dan pohon keladi besar
mengeryitkan kening. Salah satu di antara tiga penunggang kuda itu, yakni yang
berpakaian bagus dan berambut putih dikenalnya sebagai Lawunggeno, Adipati
Magetan. Di sebelahnya, seorang kakek berkulit hitam bermata sangat cekung
berambut panjang sebahu. Orang tua ini mengenakan baju hitam berbelang-belang putih
sehingga pakaiannya seperti bergambar jala atau jaring.
Si
gondrong garuk-garuk kepala di tempat persembunyiannya. Otaknya coba
mengingat-ingat. “Aku pernah tahu tua bangka berkulit hitam itu. Ah… sialan!
Masakan aku lupa. Padahal dua bulan lalu aku melihatnya di pantai selatan.
Siapa… Aku ingat! Dia adalah Jala Gandring! Tokoh silat yang dikenal memiliki
keahlian dalam soal jebak-menjebak! Punya hubungan dekat dengan pembesar di
Kotaraja. Betul, dia memang Jala Gandring!”
Lalu
pemuda ini memperhatikan penunggang kuda yang ketiga, yaitu seorang lelaki
separuh baya bertampang gagah dan berpembawaan tegang. Di pinggangnya bergelung
seuntai rantai besar yang terbuat dari perak berkilat. “Pasti itu senjata
andalannya,” pikir si pemuda. Dia coba menduga-duga tapi tidak berhasil
mengetahui siapa adanya orang ini.
Setelah
menatap orang-orang pengusung tandu yang terperangkap dalam jaring itu beberapa
ketika, orang tua berkulit hitam tertawa mengekeh. “Tidak percuma dua tahun aku
merancang jala itu. Kini terbukti memang luar biasa. Tak bisa dirobek apalagi
dijebol!”
Adipati
Lawunggeno majukan kudanya dua langkah lalu berkata dengan suara keras.
“Iblis-iblis perusak jagat! Hari ini habis riwayat kalian! Sebelum kusuruh
pancung lekas turunkan tandu!”
“Kami
tidak layak mengikuti perintah siapa pun kecuali pemimpin kami!” menjawab
lelaki pengusung di depan kanan.
Lawunggeno
menyeringai. “Kalau begitu aku perintahkan agar pimpinanmu lekas keluar dari
tandu!”
“Tandu
ini kosong! Kami tidak membawa barang atau manusia!”
“Jangan
berani dusta!” bentak orang berikat pinggang rantai perak.
“Siapa
yang dusta! Kalian lihat sendiri!” jawab lelaki pengusung tadi.
Lalu dia
memberi isyarat kepada kawannya yang berada di sebelah tengah kanan. Orang ini
segera ulurkan tangan membuka pintu tandu. Begitu pintu terbuka kelihatanlah
bagian dalam tandu. Ternyata memang tandu itu kosong!
Lawunggeno,
si rantai perak dan Jala Gandring melengak dan saling pandang.
“Aneh,”
bisik Adipati Magetan itu. “Aku berani bersumpah. Aku sendiri melihat iblis
terkutuk itu masuk ke dalam tandu sebelum rombongannya meninggalkan Magetan!”
“Mungkin
dia menyelinap di tengah jalan,” kata si rantai perak.
“Aneh…
Aku tidak bisa percaya hal ini,” berkata Jala Gandring. Matanya yang besar
dipelototkan melihat bagian dalam tandu. Tapi di dalam sana memang tidak ada
siapa-siapa. Kosong melompong!
Melihat
tiga penumpang kuda itu bingung, pengusung yang di tengah menutupkan pintu
tandu kembali. Lalu kawannya yang di sebelah depan berkata.
“Kalian
sudah melihat sendiri tidak ada apa-apa di dalam tandu. Sekarang izinkan kami
pergi!”
“Pergi?!”
Adipati Lawunggeno tertawa bergelak. “Kalian memang boleh pergi. Tapi pergi ke
neraka! Selama ini kalian jadi kaki tangan Serikat Candu Iblis.
Merusak
rakyat dan negeri. Setelah tertangkap begini apakah kami akan membebaskan
kalian begitu saja? Enak betul!”
“Kalian
salah sangka! Kami bukan orang-orang Serikat Candu Iblis!”
“Siapa
percaya pada mulut busuk penipu sepertimu!” bentak Jala Gandring.
“Bunuh
mereka! Tinggalkan satu hidup-hidup!” Lawunggeno berteriak lalu memberi isyarat
pada sembilan orang berseragam biru. Mereka prajurit-prajurit Kadipaten yang
ada di bawah perintahnya dan sengaja mengenakan pakaian seragam biru.
Sembilan
orang itu segera melompat sambil menghujamkan senjata masing-masing.
Melihat
hal ini Jala Gandring cepat berteriak, “Tunggu! Jangan dekati mereka!”
Namun
enam dari sembilan orang berseragam biru sudah terlanjur menyergap ke depan.
Senjata mereka berkelebatan menusuk di antara rongga-rongga jaring. Lalu
terjadilah hal yang mengejutkan. Enam buah tangan melesat keluar dari dalam
jala.
Tiga
menangkap lengan yang menusukkan senjata, dua menghantam ke arah dada dan satu
ke arah kepala pihak yang menyerang.
Terdengar
pekik keras. Dua dari penyerang langsung roboh terbanting ke tanah. Yang
pertama pecah kepalanya, yang satu lagi remuk tulang dadanya dan muntahkan
darah segar. Sesaat kemudian keduanya meregang nyawa. Di sebelah kiri, orang
berpakaian biru ketiga tampak terhuyung-huyung sambil pegangi golok miliknya
sendiri yang kini menancap diperutnya. Penyerang ke empat terduduk di tanah.
Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur membasahi pakaiannya. Sesaat kemudian
tubuhnya rebah ke tanah. Empat dari pihak penyerang menemui kematian secara
mengejutkan. Dua lainnya sempat melompat mundur menyelamatkan diri.
Paras
tiga orang penunggang kuda jadi berubah kaku membesi. Jala Gandring sangat
terpukul karena merasa terlambat memberi peringatan. Dia sudah tahu sebelumnya
bagaimana kehebatan ilmu orang-orang yang menamakan dirinya Serikat Candu
Iblis. Sangat berbahaya kalau diserang dalam jarak pendek. Orang tua ini
mengusap dagunya lalu membisikkan sesuatu pada Adipati Magetan. Lawunggeno lalu
mendekati sepuluh orang yang tegak dengan busur dengan panah terpentang.
“Ganti
panah kalian dengan panah-panah beracun! Bunuh pengusung tandu itu. Yang paling
depan sebelah kanan biarkan hidup. Dia pasti pimpinan dari tujuh kawannya!”
Sepuluh
orang yang tengah merentang dan membidikkan panah segera turunkan busur
masing-masing, lalu mengganti anak panah dengan anak panah baru yang ujungnya
terbuat dari besi dan berwarna hitam pekat. Seluruh ujung besi anak panah itu
mengandung racun yang amat jahat. Jangankan manusia, seekor gajah pun akan
menemui ajalnya dalam beberapa kejapan saja sekali terkena.
“Izinkan
aku membereskan mereka,” tiba-tiba lelaki gajah berpembawaan tenang loloskan
ikat pinggang peraknya. Tapi sebelum dia bergerak Jala Gandring cepat
menghalangi seraya berkata dengan suara perlahan.
“Dimas
Barataji, aku tahu kehebatan rantai perakmu. Tetapi kalau senjata itu menjebol
jala, aku kawatir delapan manusia iblis itu malah akan punya kesempatan
melarikan diri. Seperti usaha kita selama ini akan sia-sia belaka.”
Sebenarnya
Jala Gandring tidak yakin kalau senjata orang yang bernama Barataji mengalami
nasib seperti empat prajurit Kadipaten Magetan tadi. Hanya saja dia tidak mau
Barataji merasa tersinggung kalau hal itu dikatakannya secara terus terang.
Barataji angkat bahu kemudian anggukkan kepala.
Adipati
Lawunggeno lalu memberi tanda pada sepuluh orang yang telah siap dengan panah
beracun. Di dalam jala delapan lelaki bertelanjang dada tampak menatap angker
ke arah sepuluh orang itu. Seperti yang diperintahkan Lawunggeno kesepuluh
pembidik mengarahkan anak panah mereka pada tujuh orang lelaki pengusung tandu
karena yang seorang harus dibiarkan hidup-hidup. Berarti ada satu atau dua
orang yang akan menerima sambaran lebih dari satu anak panah!
“Hantam!”
teriak Lawunggeno. Dari dalam tandu keluar asap putih. Delapan lelaki pengusung
menengadah, meninggikan hidung dan menghirup. Sepuluh panah beracun melesat.
Dalam jarak yang begitu dekat kecepatan lesat anak-anak panah itu laksana
sambaran kilat!
*****************
3
Delapan
lelaki bertelanjang dada bercelana hitam mendengus lalu keluarkan bentakan
menggidikkan. Kemudian serentak mereka meniup ke arah datangnya sepuluh anak
panah maut.
Enam anak
panah mental ke udara. Dua di antaranya hancur dan satu patah.
Bagian
ujung besi yang lancip mencelat ke salah seorang yang tadi melepaskan panah.
Karena tidak menyangka orang ini tidak sempat menghindar. Mata panah menancap
di bahu kirinya. Suara jeritan menggidikkan. Bahunya tampak menghitam.
Warna
hitam ini menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Sekali lagi terdengar
jeritannya lalu tubuhnya terkapar di tanah!
Walaupun
delapan orang lelaki di bawah jala mengeluarkan kepandaian luar biasa, mengandalkan
tenaga dalam meniup anak panah beracun, namun hanya empat di antaranya masih
lolos. Dua panah beracun sekaligus menancap di dada pengusung tandu di depan
kiri. Satu panah menembus leher lelaki di depan kiri dan satu lagi menembus di
perut orang ketiga, yaitu yang tegak di bagian kanan tengah.
Ketiganya
menjerit keras. Tubuh atas mereka yang tanpa pakaian itu serta merta kelihatan
menghitam. Dari dalam tandu kembali tampak asap mengepul keluar.
Tapi
sekali ini apa pun kekuatan yang ada dalam asap aneh itu tidak sanggup
menyelamatkan nyawa tiga orang lelaki pengusung tandu. Mereka menjerit sekali
lagi. Lalu tiba-tiba, ketiganya mencabut panah yang menancap di tubuh
masing-masing.
Sebelum
meregang nyawa mereka masih sanggup melemparkan panah-panah beracun itu keluar
jaring.
Empat
batang panah kini berbalik menyerang empat anak buah Lawunggeno.
Luar
biasanya, walau anak-anak panah itu hanya dilemparkan dengan tangan telanjang,
tetapi daya lesatnya hampir tidak beda seperti dilepas dengan busur! Empat jeritan
terdengar dalam rimba belantara itu. Empat sosok anak buah Lawunggeno yang
tidak mampu selamatkan diri terguling di tanah. Tubuh mereka kelihatan hitam
sampai ke muka!
Di dalam
jala tiga orang lelaki pengusung tampak terguling di tanah. Ternyata mereka pun
tidak mampu melawan racun jahat panah yang tadi sempat menancap di tubuh
mereka. Lima kawan mereka kini mengerahkan kekuatan untuk tetap dapat memanggul
tandu. Ini bukan satu pekerjaan mudah, apalagi saat itu mereka tengah
menghadapi serangan.
“Kurang
ajar! Bakar mereka hidup-hidup!” teriak Lawunggeno marah sekali.
“Itu
memang sudah kurencanakan Dimas Adipati,” kata orang tua bermuka hitam bernama
Jala Gandring. “Agaknya hanya itu satu-satunya cara memusnahkan manusia-manusia
iblis ini!”
“Kumpulkan
kayu kering! Tebar di sekitar jala!” perintah Lawunggeno. Maka semua orang yang
ada di situ sibuk mencari kayu. Karena saat itu musim kering dengan mudah dan
cepat mereka berhasil mengumpulkan kayu lalu ditumpuk mengitari jala.
“Nyalakan
api!” teriak Lawunggeno.
Seseorang
segera menyalakan api membakar tumpukan kayu kering di tiga bagian. Untuk
pertama kalinya para pengusung tandu yang kini hanya tinggal lima orang itu
berubah paras mereka.
Jala
Gandring tertawa mengekeh. “Kalian mungkin punya seribu kehebatan! Tapi melawan
api kalian tidak akan sanggup! Aku melihat bayangan ketakutan pada
tampang-tampang kalian! Ha… ha…. Ha…!”
“Kangmas
Lawunggeno,” Barataji membuka mulut. “Kalau mereka dibakar, berarti tidak ada
yang bakal selamat untuk kita tanyai. Bukankah kau ingin salah seorang dari
mereka dibiarkan hidup?”
“Tadinya
memang aku menginginkan begitu Dimas. Tapi setelah mereka membunuh orang-orang
kita, sekarang aku lebih suka mereka mampus semua!”
Kobaran
api tampak semakin membesar. Lima lelaki di dalam jala berteriak teriak. Mereka
berusaha meloloskan diri namun sia-sia saja. Semula mereka mengira api akan
turut membakar jala sehingga mereka bisa menyusup keluar. Tetapi ternyata api
hanya membuat hitam jala, tidak sanggup membakarnya!
Sungguh
luar biasa jala ciptaan Jala Gandring ini. Teriakan kelima orang itu semakin
keras menggidikkan. Bau daging yang terbakar mulai memenuhi seantero rimba
belantara. Lalu satu demi satu kelimanya roboh tergelimpang. Bersamaan dengan
itu tandu kayu jati yang berusaha mereka pertahankan agar tetap dapat mereka
usung ikut pula roboh berbarengan dengan jatuhnya tubuh mereka ke tanah. Api
mulai menjilat kayu tandu yang keras.
Tidak
terduga sama sekali, tiba-tiba atap tandu terbuka dengan mengeluarkan suara
keras. Bersamaan dengan itu dari dalam tandu membumbung asap tebal yang menebar
bau aneh.
“Asap
candu iblis!” teriak Jala Gandring seraya menarik kudanya menjauhi tempat itu.
“Cepat menyingkir! Tutup penciuman kalian!”
Semua
orang segera menyingkir. Bau aneh yang keluar bersama asap itu membuat mereka
seperti melayang. Untung semuanya sudah menjauh. Kalau sempat mereka mencium
asap itu niscaya mereka akan jatuh pingsan. Keanehan ternyata tidak hanya
sampai di situ.
Laksana
batu terlempar keluar dari mulut gunung yang meletus, dari dalam tandu kayu
yang terbakar melesat keluar satu benda. Meskipun sangat samar-samar karena
tertutup oleh ketebalan asap namun semua orang masih sempat melihat serta
mengetahui bahwa benda itu adalah sesosok tubuh manusia. Sambil melesat orang
ini gerakan kedua tangannya. “Brett!!!”
Jala
Gandring terbeliak. Jala buatannya yang sangat kokoh itu ternyata sanggup
dibikin robek. Lewat jalan yang kini jebol itu, orang di atas sana loloskan
diri dengan cepat.
“Ada
orang keluar dari dalam tandu!” seru Barataji.
“Pasti
itu Ketua Serikat Candu Iblis!” teriak Jala Gandring.
“Kurung
cepat! Jangan sampai dia lolos!” teriak Adipati Lawunggeno.
Barataji
loloskan ikat pinggang peraknya. Dia menyentakkan tali kekang kuda.
Binatang
ini menghambur ke depan, Barataji sabatkan rantai peraknya ke arah mana tadi
dia melihat berkelebatnya bayangan sosok manusia. Sinar putih laksana kilat
menyambar menerangi tempat itu, dibarengi oleh suara menggelegar dahsyat. Tapi
sasaran yang dihantam telah lenyap!
Penasaran
Adipati Lawunggeno ikut menghantam. Dia lepaskan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Serangannyapun juga luput, hanya menghantam
sebatang pohon kayu kering di depan sana sehingga patah dan tumbang berantakan.
“Iblis
perusak! Kau tak bakal lolos dari tanganku!” teriak kakek berkulit hitam Jala
Gandring. Mata orang tua berkepandaian tinggi ini memang tak dapat ditipu.
Tubuhnya
yang langsing tinggi melesat ke udara. Pada ketinggian dua tombak dia membuat
gerakan membalik. Lalu laksana seekor rajawali dia menukik ke bawah dan lenyap
di balik kerapatan daun-daun keladi besar yang dikelilingi oleh semak belukar
lebat. Sesaat kemudian dari balik pohon keladi terdengar seruan orang tua itu
“Adipati Lawunggeno! Aku berhasil menangkap Ketua Serikat Candu Iblis!” Adipati
Lawunggeno, Barataji dan belasan orang lainnya segera melompat ke arah pohon
keladi.
*****************
4
Apa yang
dikatakan Jala Gandring ternyata benar. Di hadapan si orang tua, di antara
batang-batang keladi tampak meringkuk di tanah sesosok tubuh dalam keadaan
menungging, tak bergerak, tak berdaya, hanya kedua matanya saja yang tampak
berputar jelalatan. Rupanya Jala Gandring telah menotok orang ini dengan satu
totokan yang amat lihay.
Apa
sebenarnya yang telah terjadi?
Ketika
ada sosok tubuh melesat keluar dari tandu kayu yang terbakar dan tiga serangan
menghantam ke arah sosok tubuh itu susul menyusul, dengan kecepatan luar biasa
orang yang diserang membuat gerakan menyusup lalu menghilang ke arah kiri.
Di lain
kejap dia sudah mendekam di balik pohon keladi. Pemuda berambut gondrong yang
sebelumnya sudah berada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut ketika
tiba-tiba ada seseorang muncul dekat sekali di sebelahnya, mengeluarkan nafas
memburu. Dia berpaling. Pandangannya membentur sosok tubuh aneh. Di sampingnya
saat itu ada seorang lelaki pendek sekali, mungkin manusia katai, berpakaian
berbentuk jubah hitam penuh dengan hiasan renda-renda yang terbuat dari benang
emas. Orang ini memiliki muka berwarna abu-abu aneh. Kepalanya botak plontos.
Sepasang matanya sipit sedang daun telinganya sangat lebar.
“Eh, kau
ini tuyul atau cucunya tuyul?!” tanya si pemuda. Yang ditanya tersenyum sambil
melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. “Jangan bicara keras-keras, nanti
mereka dengar dan tahu aku di sini!”
“Kau
siapa?”
“Aku
bukan siapa-siapa!”
“Sialan!
Bukan siapa-siapa maksudmu?! Kau pasti orang yang melesat keluar dari dalam
tandu kayu. Kau yang disebut sebagai Ketua Serikat Candu Iblis?! Kau tak
mungkin lolos dari keputusan mereka. Karena kurasa kau memang orang jahat. Aku
akan membantu orang-orang itu meringkusmu!”
“Jangan
lakukan itu! Kita memang tidak saling kenal dan tidak bersahabat. Tapi itu
bukan berarti kita punya silang sengketa. Dengar, biarkan aku lolos dari tempat
ini. Aku titipkan kotak ini padamu!”
Habis
berkata begitu lelaki katai berkepala botak itu masukkan sebuah kotak kayu ke
balik pinggang pakaian pemuda di hadapannya.
“Eh,
apa-apaan ini?!” Si pemuda menolak menerima kotak itu dan berusaha menarik
jubah merah orang di sampingnya. Si katai meniup ke depan. Ada asap tipis
menyambar wajah pemuda berambut gondrong, membuatnya sesaat menjadi lemas.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh orang pendek berjubah merah untuk mendorong dada pemuda
di depannya hingga terduduk di tanah. Selagi pemuda ini berusaha berdiri
tiba-tiba semak belukar di sampingnya terkuak dan satu totokan hebat bersarang
di punggungnya hingga dia terdorong keras ke depan dan kaku sekujur tubuhnya.
Kepala menekan tanah, pantat menungging ke atas.
Lebih
sepuluh orang mengurung tempat itu. Tiga di antaranya adalah Jala
Gandring,
Barataji dan Adipati Lawunggeno. “Ha… ha… ha..! Kali ini kau tak bisa lolos
lagi Ketua Serikat Candu Iblis!” kata Jala Gandring.
“Hari ini
tamat riwayatmu! Manusia perusak ini baiknya kita cincang sekarang juga!” kata
Barataji. Dia mengambil sebilah golok dari tangan seorang prajurit Kadipaten
yang ada di dekatnya.
“Tunggu
dulu!” berkata Lawunggeno. “Aku mau lihat dulu tampang manusia ini!” Lalu
dengan tumitnya didorongnya tubuh yang masih berada dalam keadaan kaku dan
menungging itu hingga terguling.
“Hemmm…
Tidak dinyana sang ketua masih muda belia begini.” Lawunggeno jongkok di
hadapan sosok tubuh yang terguling. Dia jambak rambut gondrong si pemuda
kuat-kuat lalu membentak.
“Umurmu
hanya tinggal beberapa kejapan saja! Sebelum batang lehermu kutebas, lekas
katakan siapa kau sebenarnya! Di mana markasmu dan siapa saja yang melindungi
Serikat Candu Iblis pimpinanmu!”
“Manusia
iblis! Totokanku hanya membuat kau kaku! Kau tidak bisu! Kau bisa bicara!”
bentak Jala Gandring.
Si pemuda
kembali menyeringai. Barataji hilang sabarnya. Dia menggertak dengan
menghantamkan rantai peraknya ke tanah, hanya sejarak dua jengkal dari kepala
pemuda yang terguling di tanah. Tubuh pemuda itu terangkat sampai tiga jengkal
lalu terbanting kembali ke tanah. Tanah yang tadi dihantam ikat pinggang perak
berbentuk rantai itu tampak tenggelam berlobang panjang sedalam hampir dua
jengkal. Tanah kering bercampur debu dan pasir muncrat lalu jatuh kembali menutupi
si pemuda.
“Kalau
dia tak mau bicara tak ada gunanya menghabiskan waktu. Tapi dia tidak boleh
mati secara cepat. Terlalu enak baginya! Adipati kau tebas tangan kanannya. Aku
akan hancurkan paha kirinya! Dimas Barataji kau boleh mencari sasaranmu sendiri!”
kata Jala Gandring pula.
Lalu kaki
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tumitnya siap untuk menghancurkan paha kanan
pemuda berambut gondrong itu. Adipati Lawunggeno mengangkat tangan kanannya
yang memegang golok siap membacok, sedang Barataji sudah memutar rantai
peraknya. Sasarannya adalah kaki kiri si pemuda.
Sesaat
lagi tiga hantaman akan melabrak tubuh si pemuda, tiba-tiba pemuda itu masih
sambil menyeringai dan tenang saja mengeluarkan suara. “Kalian membunuh orang
yang salah!”
“Bangsat!
Apa maksudmu!” bentak Adipati Lawunggeno. Kaki kanannya ditendangkan ke pinggul
pemuda itu hingga orang ini terlempar beberapa langkah.
Pakaiannya
di bagian perut tersingkap. Di pinggang celananya kelihatan terselip sebuah
kotak kayu.
“Kotak
candu iblis!” teriak Lawunggeno, Barataji dan Jala Gandring hampir bersamaan.
Lawunggeno
mendahului membungkuk dan menyambar kotak kayu dari pinggang celana di pemuda.
“Lihat! Seru sang Adipati sambil menunjuk bagian atas kotak di mana terukir
tiga buah hurup besar yaitu SCI.”
“Bukti
cukup! Kau masih hendak berdusta. Kotak ini ada tanda tiga hurup singkatan
Serikat Candu Iblis!” teriak Lawunggeno.
“Mana aku
tahu segala macam huruf atau singkatan!” jawab si pemuda enak saja.
“Buk!”
satu tendangan dilayangkan Jala Gandring hingga pemuda itu terpental dan
meringkuk kesakitan di depan semak belukar.
“Orang
tua, aku tahu siapa kau adanya,” kata pemuda berambut gondrong sambil menahan
sakit pada perutnya yang tadi di tendang. “Kau bukan manusia penjahat dan
penjilat yang mencari nama dan upah dengan berbuat kebajikan. Kau dan
kawan-kawanmu menjatuhkan tuduhan keliru tidak terbukti!”
“Tutup
mulut busukmu!” dan “Plakk!!!” tamparan Adipati Lawunggeno mendarat di pipi si
pemuda hingga bibirnya mengucurkan darah. “Kotak ini lebih dari suatu bukti!”
Lalu
Adipati Magetan itu membuka kotak kayu tersebut. Begitu kotak dibukanya
terlihat lapisan benda coklat gelap. Hidungnya di dekatkan dan dia coba
mengendus. “Candu!” teriaknya lalu isi kotak itu diperlihatkannya pada Barataji
dan Gala Gandring.
“Sudah
tertangkap basah berikut barang bukti calon bangkai ini masih terus berdusta!”
radang Barataji.
“Kotak
ini bukan milikku. Seseorang menyelinapkannya ke pinggangku.”
Lawunggeno
dan Barataji serta Jala Gandring tertawa bergerak mendengarkan ucapan si
pemuda.
“Kau kira
kami ini manusia-manusia pandir yang bisa dikecoh. Di sini tidak ada seorang
lain pun kecuali kau!” bentak Lawunggeno.
“Mungkin
ada setan yang tiba-tiba muncul dan menyelinapkan kotak ini seperti katanya!”
kata Jala Gandring pula, lalu bersama dua orang lainnya kembali dia tertawa
gelak-gelak.
“Aku
mengerti. Lebih dari enam bulan kita mengejar manusia terkutuk itu. Puluhan
bahkan ratusan manusia menjadi korbannya, termasuk kerabat dekat kita. Tapi
sekali lagi, izinkan dulu aku menanyainya.”
Adipati
Lawunggeno tidak menjawab. Dia membuang muka sementara Barataji hanya bisa
tegak berdiam diri.
Jala
Gandring melangkah lebih dekat. Sesaat dia memperhatikan sosok tubuh pemuda
yang terguling di tanah itu. “Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Pendekar
212, murid nenek sakti dari Gunung Gede itu. Pendekar 212 yang kukenal adalah
manusia sakti mandraguna penegak keadilan pembela kebenaran. Sebaliknya kau
justru saat ini terbukti sebagai Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Aku sudah
bilang aku bukan Ketua Serikat Candu Iblis atau serikat apa pun!”
“Kau
muncul di dalam tandu yang digotong oleh delapan orang anggota Serikat, kau…”
“Kau juga
telah membunuh orang-orangku!” sambung Lawunggeno.
Lawunggeno
hendak menendang pemuda itu tapi Jala Gandring cepat mencegah.
“Setahuku,
Pendekar 212 selalu membekal sebilah senjata yang dalam dunia persilatan
dikenal dengan nama Kapak Maut Naga Geni 212. Bisa kau memperlihatkan padaku
senjata mustika itu?” bertanya Jala Gandring.
“Kapak
saktiku ada di balik pinggang. Kau bisa memeriksa, tapi kau jangan berani
menyentuh apalagi mengambilnya!,”
Mendengar
jawaban itu Jala Gandring, Barataji dan Lawunggeno bergerak ke samping kiri.
Jala Gandring singkapkan baju si pemuda di belakang. Tampaklah sebilah kapak
bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan. Pada setiap mata kapak tertera
angka 212.
“Hemmm…
Dia memang murid Sinto Gendeng. Ah, bagaimana urusan bisa jadi begini? Meski
selama ini dia dikenal sebagai seorang pendekar golongan putih tapi… rasanya
bukan mustahil kalau dia menempuh jalan sesat karena tergoda oleh keuntungan
besar.” Begitu batin jala Gandring mendua dalam keraguan.
Tiba-tiba
Lawunggeno ulurkan tangan dan menarik kapak itu dari pinggang si pemuda. Jala
Gandring terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kembalikan
senjataku! Kau tidak menghormati perjanjian kita!”
Lawunggeno
mendengus. “Perlu apa kau menghormati manusia jahat sepertimu? Manusia penyebar
candu perusak kehidupan umat! Senjata ini akan kutahan sampai nanti terbukti
kau memang bukan Ketua Serikat Candu Iblis! Atau mungkin dengan senjatamu ini
aku akan memenggal-menggal tubuhmu!”
“Anak
muda, jika kau memang benar Pendekar 212 coba kau terangkan bagaimana kau bisa
muncul disini. Bagaimana kotak candu ini bisa ditanganmu.”
“Dia bisa
mengarang seribu jawaban, kakang Jala!” kata Lawunggeno pula.
“Mungkin
begitu. Sebaiknya kita dengar dulu keterangannya,” jawab Jala Gandring. Lalu
dia berpaling pada si pemuda, “Bicaralah!”
“Orang
tua bernama Jala Gandring, kita sesama orang-orang dari dunia persilatan.
Apakah pantas kau bicara padaku dalam keadaan aku tertotok dan terguling di
tanah seperti ini?!”
“Kau
harus bersyukur sampai saat ini masih bisa bernafas!” bentak Lawunggeno.
“Seharusnya
sudah sejak tadi-tadi kau kami habisi!”
“Pendekar
212,” kata Jala Gandring. “Kau berada dalam kesulitan besar. Karena itu
bicaralah sejujurnya.”
“Aku tak
akan bicara sebelum kau melepaskan totokan di tubuhku dan mengembalikan Kapak
Naga Geni 212 padaku!”
“Kalau
begitu bersiaplah untuk mampus!” kata Adipati Lawunggeno. Tangan kanannya yang
memegang Kapak Maut Naga Geni 212 diayunkan sekuat-kuatnya ke arah kepala
pemuda yang masih tergeletak di tanah itu. Jala Gandring tak bisa mencegah,
apalagi Barataji. Nyawa si pemuda memang tidak tertolong lagi!
*****************
5
Hanya
sekejapan lagi kepala murid Eyang Sinto Gendeng akan terbelah oleh senjata
sakti miliknya sendiri, tiba-tiba terjadilah satu hal yang aneh. Secara
mendadak Adipati Lawunggeno merasakan bahunya kesemutan. Setelah itu sekujur
tangan kanannya menjadi kaku tak bisa digerakkan. Mukanya serta merta menjadi
pucat.
“Dimas
Lawunggeno. ada apa dengan dirimu?” bertanya Jala Gandring terheran.
“Tangan-tanganku…
Aku tak bisa menggerakkannya. Seseorang telah menotokku!” jawab Adipati Magetan
itu setengah berteriak.
Jala
Gandring dan Barataji memandang berkeliling. “Tidak ada seorang lain pun di
sini Dimas. Aku tidak mengerti…” Jala Gandring cepat mendekati Adipati itu.
Ketika
dia memegang lengan Lawunggeno, kagetlah dia. Tangan itu seolah-olah telah
berubah menjadi sebatang kayu.! Selagi semua orang yang ada di situ kaget heran
dan juga ada rasa-rasa ngeri, tiba-tiba tercium bau harum aneh. Bau ini santer
sekali, bau bunga Kenanga!
“Aku
mencium bau bunga Kenanga…,” bisik Jala Gandring.
“Aku
juga,” balas Barataji. “Itu bunga mayat.” Bulu kuduk jago tua ini mendadak jadi
merinding.
Terguling
di tempatnya Pendekar 212 Wiro Sableng menghirup bau bunga itu dalam-dalam. Dia
mulai menduga-duga tapi sulit untuk yakin. “Mungkinkah dia yang sedang
menolongku…?” pikir murid Eyang Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tidak
tampak orang lain ataupun satu bayangan muncul di tempat itu. Dia berpaling
ketika tiba-tiba didengarnya Lawunggeno menjerit. Apa yang terjadi?
Tubuh
Adipati Magetan itu tiba-tiba terangkat ke atas lalu terlempar di sebuah pohon.
Punggungnya menghantam batang kayu dengan keras. Tulang bahunya sebelah kiri
patah. Kapak Naga Geni 212 yang dipegangnya terlepas dan mental lalu menancap
pada sebatang pohon di atas kepalanya. Lawunggeno sendiri kemudian melosoh ke
tanah, jatuh duduk setengah sadar setengah tidak. Sementara itu bau bunga
Kenanga semakin menjadi-jadi.
“Dimas!
Apa yang terjadi!?” seru Jala Gandring, lalu melompat mendapatkan Adipati itu.
Barataji ikut memburu sementara para anak buah Adipati tampak keheranan melihat
keadaan pemimpin mereka. Di antara mereka mulai saling bisik-bisik.
“Jangan-jangan rimba belantara ini ada hantunya… Kalau bukan hantu masakan
Adipati bisa terlempar seperti itu?”
Lompatan
yang dibuat Jala Gandring tidak mencapai Lawunggeno. Dari tempatnya tergeletak,
Wiro Sableng samar-samar melihat ada satu sosok bayangan putih memotong gerakan
orang tua berkulit hitam itu. Bayangan tadi bukan hanya menghalangi lompatan
Jala Gandring, tetapi sekaligus menelikung pinggangnya.
Sesaat
kemudian tokoh silat itu dilemparkan dan melayang ke atas sebuah pohon besar
yang kering kerontang, tinggal cabang dan rerantingan saja!
Baju
hitam belang putih yang dikenakan Jala Gandring terkait pada ujung salah satu
cabang pohon. Untuk beberapa saat lamanya orang tua ini tergantung-gantung di
udara.
“Kurang
ajar! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku!?” damprat Jala Gandring dalam
hati. Dia tarik pakaiannya kuat-kuat hingga robek besar. Dengan cara begitu dia
berhasil melepaskan diri dari kaitan cabang pohon. Dengan mengerahkan
kepandaiannya Jala Gandring melayang turun ke tanah.
Tapi di
bawah sana rupanya dia sudah “ditunggu orang.” Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, bayangan putih tadi yang hanya Wiro yang dapat melihatnya kembali
menyergapnya. Kali ini dengan melancarkan satu tendangan ke arah tulang kering
kaki kiri si orang tua.
“Kraak!!”
Jala
Gandring memekik keras. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah.
Tulang
kaki kiri berderak patah. Dia tak sanggup berdiri lagi, menggeliat dan
melejang-lejang di tanah.
Barataji
tentu saja menjadi kecut melihat apa yang terjadi atas diri Lawunggeno dan Jala
Gandring. Khawatir kalau dirinya pun akan dapat bagian, maka diputar-putarkan
rantai peraknya di sekitar tubuhnya. Ikat pinggang yang merupakan senjata
andalan Barataji itu menderu-deru memancarkan sinar menyilaukan.
Namun
meskipun sudah memagar diri seperti itu nasib Barataji tidak lebih dari kedua
orang terdahulu. Rantai besi yang berputar-putar sebat itu tiba-tiba seperti
dibetot oleh satu tangan raksasa yang tak kelihatan. Selagi Barataji dilanda
keterkejutan dan belum sempat melakukan sesuatu tahu-tahu rantai perak itu
sudah menggelung di lehernya. Demikian kencangnya sehingga Barataji tercekik.
Lidahnya terjulur dan kedua matanya mendelik!
“Tolong…!
Aduh! Jangan…!” teriak Barataji. Dia berusaha melepaskan rantai yang menjerat
lehernya namun tak berhasil. Akhirnya orang ini hanya bisa lari sana lari sini
sambil berteriak tiada henti hingga kehabisan nafas lalu jatuh menggeletak
megap-megap di tanah!
Anak buah
Lawunggeno menjadi gempar. Mereka sebenarnya ingin lari dari tempat itu namun
takut pada atasan maka mereka berkumpul menjadi satu dan mendekam dekat sebuah
pohon besar dengan wajah-wajah yang membayangkan rasa takut amat sangat.
Wiro sendiri
saat melihat bayangan putih yang tadi samar-samar kini bergerak laksana
berjalan di atas awan menuju ke arahnya. “Kalau bukan dia, celaka aku!” pikir
Wiro. “Nasibku akan sama dengan ketiga orang yang berkaparan di sana!”
Makin
dekat ke arahnya bayangan putih yang samar-samar itu semakin jelas. Wiro kini
melihat satu sosok perempuan berpakaian kebaya panjang dan kain putih. Wajah
perempuan ini mula-mula kosong hampa. Perlahan-lahan wajah itu mulai berbentuk.
Ketika pada akhirnya wajah itu terlihat jelas, yaitu wajah seorang gadis
berparas cantik yang dikenalnya, Wiro merasa lega dan tak dapat lagi menahan
dirinya untuk berteriak.
“Suci!”
“Wiro..!”
sosok bayangan itu menjawab. Suaranya hanya Wiro saja yang bisa mendengar.
“Suci,
kau datang menolongku. Terima kasih Suci!”
Sosok
tubuh dan bayangan itu semakin jelas dan akhirnya sempurna seperti manusia
adanya. Namun inilah keanehannya, baik suara maupun sosok dan rupa hanya Wiro
yang bisa mendengar dan melihat. Orang-orang lain di tempat itu tidak.
Siapakah adanya
orang yang muncul secara aneh ini? Manusia atau hantukah dia? Apa hubungannya
dengan Pendekar 212?
Seperti
yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, yaitu Dewi Bunga Mayat,
seorang gadis bernama Suci telah diracun mati oleh kekasihnya. Sang kekasih
kemudian kawin dengan adik tiri Suci. Pengkhianatan dan kematian yang sangat
mengenaskan itu telah menyebabkan roh Suci muncul kembali ke dunia secara
menggegerkan. Bukan untuk berbuat jahat atau menakuti orang, tetapi justru
untuk membasmi manusia-manusia jahat terutama orang-orang sesat dari dunia
persilatan. Setiap kemunculannya pasti dibarengi oleh bau bunga Kenanga yang
menggidikkan orang-orang jahat.
Dewi
Bunga Mayat memiliki senjata aneh yaitu bunga Kenanga. Bunga lembut ini bisa
berubah laksana sebuah senjata rahasia sekeras besi. Bunga mayat telah menjadi
salah satu senjata rahasia yang paling ditakuti dalam dunia persilatan.
Pada saat
penjelmaannya itulah Pendekar 212 bertemu dengan Suci. Keduanya saling bercinta
dan sulit untuk berpisah. Namun Suci menyadari bahwa bagaimana pun dunianya
dengan dunia Wiro berlainan. Mereka tidak mungkin bersatu. Perpisahan tidak
mungkin dihindari. Suci kembali ke alamnya. Wiro mendapatkan sekuntum bunga
Kenanga yang tidak pernah layu.
Menurut
Suci, bilamana dia ingin bertemu, terutama pada saat-saat mengalami kesulitan
atau bahaya besar, Wiro harus menggenggam bunga itu dan membayangkan wajahnya.
Maka Suci akan menjelma dan muncul. Selama ini memang murid Sinto Gendeng belum
pernah melakukan hal itu.
Suci
mengusap punggung Pendekar 212 dengan tangan kirinya. Totokan Jala Gandring
yang bersarang di tubuhnya serta merta punah. Wiro cepat berdiri. Sesaat dia
tegak berhadap-hadapan dengan penjelmaan roh Dewi Bunga Mayat yang dilihatnya
seperti manusia biasa, tidak beda seperti saat dulu dia sering-sering
melihatnya. Untuk seketika keduanya saling berpandangan. Kemudian Wiro
mengembangkan tangannya. Suci melangkah masuk ke dalam pelukannya. “Aku… aku
kangen padamu Suci,” bisik Wiro dan membelai mesra rambut gadis itu.
“Aku
juga,” balas Suci. “Tapi kau tak pernah memanggil diriku.”
“Aku
ingin tapi aku takut akan membuatmu susah saja…”
“Apakah
selama ini kau pernah menyusahkan aku?”
Wiro
tersenyum. “Entahlah…,” jawabnya. “Yang jelas saat ini kau telah menyelamatkan
aku dari tangan orang-orang yang bertindak seenaknya itu. Kalau terlambat
sedikit saja pasti aku sudah menyusulmu ke alammu.” Suci tertawa. Wiro tak
tahan lagi. Langsung saja dia mencium kedua pipi, mata dan kening gadis itu.
Semua
orang yang ada di tempat itu meskipun dicekam rasa takut dan sakit akibat
cedera, tentu saja terheran-heran melihat Pendekar 212 berbicara seorang diri,
tertawa dan senyum-senyum, membuat gerakan-gerakan seperti tengah memeluk dan
menciumi seseorang.
“Apa yang
dilakukan pemuda itu?!” bisik Jala Gandring sambil menahan sakit kakinya yang
patah.
“Hantu
rimba belantara ini pasti telah masuk ke dalam dirinya!” sahut Lawunggeno.
Di depan
sana Wiro mengecup bibir Suci dengan lembut. “Mari kita tinggalkan tempat ini
Suci,” bisik Pendekar 212.
“Ya,
jangan lupa senjatamu!”
“Tentu!”
Wiro lepaskan pelukannya lalu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang saat itu masih
menancap di batang pohon di mana Adipati Lawunggeno duduk tersandar.
Selagi
Wiro mengulurkan tangan untuk mencabut senjata itu tiba-tiba Lawunggeno tampak
menggerakkan tangan kanannya. Meninju ke arah bagian bawah perut Pendekar 212.
Meskipun dalam keadaan cedera tulang belikat sebelah kirinya, namun pukulan
sang Adipati adalah pukulan berbahaya karena ditujukan ke bagian yang terlarang.
Sekali jotosan itu mengenai sasarannya Pendekar 212 pasti akan menemui ajal,
paling tidak cacat seumur hidup.
Dari
tempatnya berdiri Suci dapat melihat apa yang dilakukan Adipati Lawunggeno
secara licik itu. Dia berseru memberi peringatan pada Wiro. Sebetulnya Wiro
sendiri pun sudah tahu bahaya yang mengancamnya. Dengan cepat dia menggeser
tubuhnya ke samping kiri sambil melipat kaki.
“Buukkk!”
Lutut kanan Pendekar 212 bersarang di muka Lawunggeno. Hidungnya amblas ke
dalam, pipi kirinya remuk. Adipati menjerit. Bersamaan dengan jeritannya itu
darah muncrat dari hidung dan mulutnya. Tubuhnya kemudian terkulai lalu roboh
ke tanah.
Wiro
sisipkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Sebelum meninggalkan tempat
itu dia menghancurkan dulu kotak kayu berisi candu dengan Pukulan Sinar
Matahari. Kotak dan isinya leleh dan candu yang ada di dalam kotak itu tak
dapat dipergunakan lagi.
Jala
Gandring yang tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat Wiro meninggalkan
tempat itu, berteriak pada orang-orang Lawunggeno yang bergerombol di dekat
sebuah pohon besar.
“Bunuh
orang itu! Jangan biarkan dia lolos!”
Tapi
tidak satu pun dari mereka berani beranjak dari tempat masing-masing.
Kalau
ketiga orang berkepandaian tinggi itu bisa babak belur dihantam oleh orang yang
tidak kelihatan, nasib mereka bisa lebih jelek dari itu jika mereka berani
melakukan sesuatu.
“Keparat!
Kalian semua akan menerima hukuman dan dipecat!” teriak Jala Gandring marah
sekali. Dia coba berdiri. Tapi kakinya yang patah terasa sakit sekali.
Mau tak
mau terpaksa dia melosoh ke tanah kembali. Dia masih sempat melihat punggung
Pendekar 212 di antara dua batang pohon.
Orang tua
bermuka hitam itu mengambil sebilah golok yang tergeletak di tanah di
sampingnya. Senjata ini secepat kilat dilemparkannya ke arah Wiro. Hanya
beberapa jengkal sebelum golok itu mencapai sasarannya, tiba-tiba ada serangkum
angin menderu.
Golok
yang dilemparkan membalik lalu melesat ke arah pelemparnya. Jala Gandring
berteriak tegak. Kalau saja dia tidak cepat jatuhkan diri ke tanah, kepala atau
lehernya pasti sudah kena disambar golok itu.
“Pendekar
212! Kau boleh kabur saat ini. Tapi kau tak bakal lolos dari tanganku!” gertak
Jala Gandring dengan geram.
*****************
6
Udara di
tikungan sungai kecil yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohon-pohon besar
yang masih bisa tumbuh cukup subur karena dekat air memiliki dedaunan yang
rindang, membuat keadaan sekitar situ teduh dari sengatan sinar matahari musim
kemarau panjang. Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang
dilapisi batu-batu kecil terlihat dengan jelas. Di kejauhan terdengar suara
burung-burung berkicau.
Pendekar
212 Wiro Sableng duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar di tepi sungai.
Suci membaringkan tubuhnya berbantalkan pangkuan sang pendekar.
“Selama
ini kau baik-baik saja Suci…?” tanya Wiro seraya membelai pipi gadis itu. Yang
ditanya tersenyum.
“Ditanya
kenapa tertawa?”
“Duniaku
selalu berada dalam keadaan baik, aman dan tenteram Wiro. Tidak seperti
duniamu. Selalu dilanda keonaran, dikotori oleh manusia-manusia jahat.”
“Semua
orang menginginkan dunia seperti duniamu itu. Termasuk aku…”
“Kau
ingin ikut aku ke sana sekarang?”
“Tentu…”
Wiro kemudian sadar apa arti ucapannya itu.
Dia cepat
berkata, “Tidak sekarang Suci. Aku masih ingin hidup lebih lama di dunia ini.”
Suci
tertawa panjang lalu mencium jari-jari tangan si pemuda.
“Sebetulnya
aku ingin kau selalu berada di dekatku…”
“Yaah,
aku mengerti perasaanmu Wiro. Tapi kau harus menyadari, dunia kita berbeda.
Pertemuan sekali-kali seperti ini sudah merupakan satu hal yang luar biasa…”
“Dunia
ini memang aneh. Dan kekuasaan Tuhan juga kurasa aneh,” kata Pendekar 212.
“Kau
betul,” sahut Suci. “Kalau tidak dengan kekuasaan-Nya yang Maha Besar mana
mungkin aku bisa menemuimu. Mana mungkin kita bisa berdua-dua seperti ini…”
“Dan
saling mencintai…” sambung Wiro.
“Kau
masih mencintaiku Wiro?” tanya Suci. Matanya yang bening menatap wajah pemuda
itu.
Wiro
balas menatap sepasang mata yang indah itu, lalu menciumnya seraya berbisik,
“Kau tahu aku mencintaimu. Selalu mengingat-ingatmu. Namun setiap kerinduan
datang, aku sadari kau tidak ada di sampingku.” Suci memeluk Pendekar 212
erat-erat. Ada air mata mengambang di kedua matanya. “Kau masih menyimpan bunga
Kenanga itu, bukan?”
Wiro
mengangguk.
“Kau bisa
memanggilku setiap saat kau ingini. Sebaliknya sulit bagiku untuk muncul dengan
kemauan sendiri jika tidak ada sesuatu hal yang sangat besar dan penting.
Seperti kejadian ketika kau terancam bahaya tadi…”
“Aku akan
ingat hal itu,…”
“Wiro…”
“Hemmm…”
“Tadi kau
bilang mencintaiku. Apakah selama ini tidak ada gadis lain di hatimu?”
Wiro
tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia berkata “Rupanya roh bisa
juga cemburu!”
“Aku tahu
apa yang kau ucapkan di hatimu,” kata Suci tiba-tiba, membuat Pendekar 212 jadi
salah tingkah lalu tertawa gelak-gelak.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku Wiro.”
“Aku…
memang banyak bertemu dengan gadis-gadis. Kebanyakan mereka orang-orang dunia
persilatan. Sebagian dari mereka adalah sahabat-sahabatku. Tapi yang rasanya
mencintai… mereka terlalu tolol kalau mau mencintai pemuda sableng sepertiku
ini!”
“Bukan
mereka. Tapi bagaimana dengan kau. Apa kau tidak pernah mencintai salah seorang
dari mereka?”
“Kalau
kujawab pun mungkin kau tak bakal percaya,” ujar Wiro pula.
“Bilang
dulu jawabanmu.”
“Aku
pernah mencintai seseorang dari mereka. Sampai saat ini aku masih tetap
mencintainya. Juga sampai nanti…”
Paras
Suci kelihatan berubah. Suaranya bergetar ketika bertanya, “Siapa gadis yang
beruntung mendapatkan cintamu itu, Wiro?”
“Orangnya
sangat cantik. Melebihi kecantikan seorang bidadari…”
“Siapa
orangnya?” tanya suci lagi dengan suara tercekat dan air mukanya tidak mampu
menyembunyikan rasa cemburu.
“Saat ini
orangnya berada dalam pelukanku. Namanya Suci…” bisik Wiro ke telinga gadis
itu.
Suci
mengeluarkan desah panjang lalu memeluk Pendekar 212 ke dadanya sekuat yang
bisa dilakukannya. Keduanya berangkulan kencang seperti tidak mau dipisahkan
lagi…
“Aku harus
meninggalkanmu Wiro,” bisik Suci.
“Sekarang?”
Gadis itu
mengangguk.
“Secepat
itukah?”
“Kita
akan bertemu lagi…”
Wiro
mengangguk perlahan. “Sebelum kau pergi ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.
Mungkin kau bisa memberi penjelasan.”
“Tentang
apa?”
“Serikat
Candu Iblis. Siapa sebenarnya mereka? Aku telah dituduh sebagai ketua komplotan
itu. Dalam waktu dekat pasti ketiga orang tadi akan menyebarluaskan berita
bohong bahwa akulah ketua Serikat Candu Iblis. Berarti semua petugas kerajaan
akan memasukkan aku dalam daftar penjahat, menjadi orang yang dicari-cari dan
harus ditangkap hidup atau mati! Gila!”
“Serikat
Candu Iblis satu komplotan terkutuk. Mereka mulai bergerak sejak dua, mungkin
tiga tahun lalu. Mula-mula secara gelap. Sekarang bahkan berani terang-terangan.
Ratusan korban telah masuk dalam perangkapnya, menjadi pemadat keras. Sekali
jadi pemadat tidak akan bisa keluar lagi dari perangkap terkutuk itu. Untuk
mendapatkan secuil candu mereka harus membayar mahal. Kalau tidak ada uang
merampok dan membunuh pun mereka tidak segan. Aku mendapat kabar banyak
orang-orang kerajaan yang telah jadi pemadat.
Tapi yang
menyedihkan kabarnya ada beberapa di antara mereka yang terlibat sebagai kaki
tangan Serikat Candu Iblis. Beberapa bulan yang lalu aku pernah menumpas salah
satu kelompok komplotan itu.
Tapi
mereka seperti sudah berakar. Satu dibasmi, yang lainnya muncul di mana-mana.”
“Kau
sempat melihat orang pendek berkepala botak pakai jubah merah yang keluar dari
dalam tandu tadi?” tanya Wiro.
Suci
menggeleng.
“Keparat
itu yang membuat aku terjebak dan dituduh sebagai sang ketua. Sebelum kabur dia
meninggalkan kotak berisi candu. Aku tertangkap tangan pada saat kotak itu ada
padaku. Si katai botak itu, apakah dia memang Ketua Serikat Candu Iblis?”
“Mungkin
ya mungkin juga bukan. Jaringan kelompok itu luas sekali. Sampai-sampai ke
istana. Tapi siapa-siapa pimpinan utamanya masih sulit diketahui.”
“Aku
harus menumpas mereka. Kalau tidak bakal tambah banyak orang yang masuk
perangkap mereka.”
Suci mengangguk.
“Aku akan membantu jika kau perlukan. Mulailah pada sebuah rumah makan dan
rumah penginapan besar di perbatasan. Aku sudah lama mencurigai ada apa-apanya
di tempat itu. Nah Wiro, sekarang aku harus pergi.”
Wiro
mencium muka gadis itu dan memeluk tubuhnya lama sekali baru dilepaskan. “Aku
pergi Wiro…”
Pendekar
212 mengangguk. Sosok tubuh Suci perlahan-lahan kelihatan berubah menjadi
samar. Pakaiannya melambai-lambai tertiup angin pagi. Wajahnya berubah kosong.
Keseluruhan diri gadis itu berubah menjadi bayang-bayang lalu laksana asap
membumbung ke udara dan lenyap.
Pendekar
212 menarik nafas dalam. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak di tepi sungai
itu. “Dunia aneh,” bisik hatinya. “Dan aku bercinta dalam keanehan itu…” Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
Seperti
yang dikatakan Suci, rumah makan di perbatasan sebelah utara itu memang
merupakan rumah makan paling besar yang pernah dilihat dan dimasuki Pendekar
212 Wiro Sableng. Pengunjungnya ramai bukan main. Apalagi saat itu tepat tengah
hari. Wiro harus menunggu cukup lama baru pesanannya dihidangkan. Ternyata
makanannya juga enak.
Selain
bangunan besar itu dijadikan rumah makan, di sebelah belakang agak menyamping
ke kiri terdapat sebuah bangunan lain yang lebih besar. Inilah tempat
penginapan yang terbuat dari kayu dan bertingkat di sebelah atasnya.
Selesai
makan Wiro duduk pura-pura terkantuk-kantuk. Tapi sebenarnya matanya tengah
meneliti keadaan dan otaknya berpikir-pikir bagaimana dia mulai melakukan
penyelidikan.
Seorang
pelayan mendatangi. Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain. Dia sengaja
memperlihatkan kantong berisi banyak uang itu kepada pelayan. “Ini bayaranku,
kembalinya kau boleh ambil.”
Si
pelayan bukan saja gembira tapi juga hampir tidak percaya. Sisa kembalian yang
dihadiahkan tetamu itu hampir sama dengan upah nya bekerja satu bulan di rumah
makan itu. Si pelayan membungkuk dan berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Kau
boleh pergi, biarkan aku duduk dulu di sini. Aku mengantuk kekenyangan.”
“Tentu…
tentu! Raden boleh duduk di situ selama Raden suka,” kata si pelayan. Sekali
lagi dia membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Ketika
dia mengantongi uang kembalian, kebetulan pemilik rumah makan dan penginapan
melihatnya. Dia seorang gemuk bermata sipit, berambut dicukur pendek dan bermuka
berminyak. Hidungnya sangat merah dan mulutnya kecil. Sepintas tampang orang
ini tidak beda dengan muka seekor babi! Namanya Sentiko.
“Siapa
yang memberimu hadiah uang kembalian itu?” bertanya Sentiko. Si pelayan
menunjuk ke arah Wiro yang duduk di sudut rumah makan dengan setengah terpejam
dan kepala terangguk-angguk. “Uangnya satu kantong. Agaknya dia seorang
hartawan muda yang kaya raya,” menerangkan si pelayan.
Sentiko
memperhatikan tamunya itu sesaat. “Belum pernah dia kulihat sebelumnya. Mungkin
dia seorang pedagang keliling. Jika dia memang banyak uang, Hemmm…” Sentiko
melangkah menuju meja tempat Wiro Sableng berada. Dia mendehem beberapa kali.
Ketika dilihatnya Wiro membuka kedua matanya lebar-lebar, pemilik rumah makan
ini cepat membungkuk lalu duduk di kursi di hadapan Pendekar 212.
“Nama
saya Sentiko. Saya pemilik rumah makan ini. Saya berterima kasih raden mau
makan di sini. Apakah makanan kami cukup enak?”
“Ah..”
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Hidangan di sini sungguh lezat. Aku sampai mengantuk
kekenyangan.”
“Jika
raden memang butuh istirahat, di samping ada penginapan,” menawarkan Sentiko.
“Aku
dalam perjalanan jauh. Memang perlu istirahat. Mungkin aku perlu menginap
barang satu malam…”
Sentiko
tertawa lebar. “Saya akan berikan kamar yang paling bagus untuk raden serta
pelayanan paling istimewa!”
“Pelayanan
paling istimewa?” tanya Wiro seraya keluarkan kantong uangnya.
Dia
berpura-pura menghitung uang yang ada dalam kantong itu lalu menyelipkan
kantong kembali ke balik pinggangnya. Sepasang mata Sentiko berkilat-kilat
melirik kantong uang itu. “Pelayanan macam apa pula itu?”
Sentiko
tertawa lebar. “Tergantung raden maunya apa,” katanya. “Bersenang-senang sampai
pagi dengan gadis-gadis cantik selangit? Seorang atau dua orang sekaligus? Atau
cuma mau dipijat sambil ganti memijat? Atau mungkin raden hanya suka
menyaksikan pertunjukan khusus gadis-gadis di atas ranjang?”
“Ah, yang
terakhir itu aneh kedengarannya,” kata Wiro.
“Memang
aneh. Baru di tempat saya ini ada pertunjukan seperti itu. Raden mau melihat?
Saya bisa atur sekarang juga.”
Wiro
menguap. “Sebetulnya, tubuhku ini sangat letih. Kalau bermain dengan
gadis-gadismu aku pasti tambah ringsek..!”
“Kalau
begitu pijat saja raden. Pasti segala keletihan raden akan lenyap.”
“Itu
kalau aku tidak terangsang. Kalau aku sampai terangsang, berarti sama saja
celakanya. Aku ingin sesuatu yang bisa menyegarkan badan dan pikiran. Mungkin
aku hanya perlu tidur saja…”
Sentiko
mendekatkan kursinya ke kursi Wiro lalu dengan suara perlahan dia berkata.
“Jika kesegaran pikiran dan tubuh yang raden cari, saya ada obatnya. Kita
bicara di tempat lain. Raden mau mengikuti saya?”
“Obat apa
yang sampeyan maksudkan?” tanya Wiro.
“Lihat
saja nanti. Mari…!”
Wiro
berdiri dan melangkah mengikuti orang bertubuh gemuk itu.
*****************
7
DI BAGIAN
belakang penginapan terdapat sebuah pintu kayu yang dipalang dengan balok tebal
dan digembok dengan dua buah gembok besi besar. Dua orang lelaki bertubuh
tinggi kekar, bertampang sangar dan hanya mengenakan sehelai celana hitam
berdiri di kiri kanan pintu. Keadaan kedua orang ini mengingatkan Wiro pada
delapan orang pengusung tandu yang menemui ajal di hutan Karangkukusan.
“Betul
dugaan Suci. Penginapan ini menyembunyikan sesuatu. Sesuatu itu ditangani oleh
orang-orang Serikat Candu Iblis. Pasti di sini ada tempat pengisapan candu,”
kata Wiro dalam hati.
Dua orang
lelaki bertelanjang dada di samping pintu kayu bersikap hormat ketika Sentiko
muncul di hadapan mereka. “Buka pintu,” kata pemilik rumah makan dan penginapan
itu.
Salah
seorang dari lelaki tinggi besar segera mengambil kunci yang digantungkan di
pinggangnya. Kawannya memperhatikan Wiro lalu bertanya pada Sentiko. “Siapa
dia?”
“Langganan
baru,” jawab Sentiko pendek.
Pintu
terbuka. “Ikuti saya Raden,” kata pemilik penginapan.
Di balik
pintu itu terdapat sebuah lorong papan yang pada ujungnya membelok ke kiri
lurus, lalu membelok lagi ke kiri. Pada ujung lorong papan ini terdapat sebuah
tangga kayu menuju ke bawah. Wiro mencium bau aneh. Bau madat!
Di bawah
tangga terdapat sebuah ruangan besar yang redup dan pengap karena sama sekali
tidak ada lubang angin. Lantai, dinding dan atap ruangan terbuat dari batu.
Menurut dugaan Wiro, ruangan batu itu berada kira-kira di bawah halaman samping
kiri rumah makan. Di sini Wiro menyaksikan pemandangan yang membuat bulu
tengkuknya merinding. Satu-satunya penerangan di ruangan batu itu adalah
rambasan cahaya yang datang dari lorong papan.
Sekitar
seratus orang tampak bergeletakan di lantai ruangan, beralaskan sehelai tikar
dan bantal jerami. Semua mereka rata-rata berwajah pucat, bermata dan berpipi
cekung. Setiap orang memegang sebuah pipa yang setiap kali mereka sedot sambil
memejamkan mata dan menengadah seolah-olah menikmati sesuatu yang luar biasa.
Tidak
seorang pun yang mengacuhkan kedatangan Sentiko dan Wiro. Mereka semua asyik
dengan pipa candu masing-masing. Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan
mereka mendekam di situ. Minum dan makan sedikit, menghabiskan waktu hanya
untuk menghirup candu. Kata orang, sekali orang sudah terjeblos ke tempat
seperti itu sulit baginya akan keluar lagi.
Wiro
kemudian melihat ada seorang pengawal bercelana hitam di setiap sudut ruangan
batu. Masing-masing membekal sebuah pentungan dan sebuah kotak kecil yang
digantungkan di pinggang. Mereka duduk di atas sebuah bangku kayu.
“Bagaimana
pendapat Raden?” tanya Sentiko pada Wiro Sableng.
“Ini
rupanya yang dinamakan surga dunia,” jawab Wiro.
“Raden
boleh mencobanya. Secuil pertama tidak dipungut bayaran. Cuilan selanjutnya
baru dibayar tapi harus dibayar lebih dahulu sebelum menikmati cuilan pertama.”
“Yang aku
pikirkan saat ini justru bukan bersenang-senang mengisap candu, tapi…”
“Tapi apa
Raden?”
“Aku
tiba-tiba saja punya niat untuk membuka usaha penghisapan candu seperti ini!”
kata Wiro pula.
“Saya
tahu Raden punya banyak uang. Tapi tidak sembarang orang bisa membuka tempat
penghisapan candu seperti ini. Bahayanya besar dan harus ada perlindungan serta
kepercayaan dari orang-orang di atas,” menerangkan Sentiko.
“Tempatmu
ini sama sekali tidak ada perlindungan. Jika ada apa-apa kau dan anak buahmu
pasti kena bekuk secara mudah.”
Sentiko
tertawa. “Raden tidak melihat empat pengawal bertelanjang dada yang ada di
sudut-sudut ruangan?”
“Mereka
memang bertubuh besar tapi kulihat seperti tidak punya kekuatan,” jawab Wiro.
“Kalau
aku membuka usaha seperti ini manusia-manusia macam mereka tidak akan kupakai!”
“Raden
terlalu menganggap enteng orang,” kata Sentiko dengan air muka kurang senang.
“Dengan
tangan kosong mereka sanggup memukul hancur kepala kerbau bahkan menjebol
tembok! Atau mungkin Raden punya ilmu yang diandalkan dan hendak menjajal
mereka?”
Wiro
mengangkat bahu. Pengawal di sudut kanan berdiri dan mendekati mereka.
“Apakah
tamu ini sudah siap untuk diberikan satu cuil?” tanya pengawal itu.
“Bagaimana
Raden?” Tanya Sentiko. “Terima kasih, niatku semakin keras untuk membuka usaha
beginian. Untungnya pasti besar!”
Sentiko
tampak kecewa. “Jika Raden tidak mau bersenang-senang di sini tidak apa. Tapi
ada aturan yang harus dijalankan…”
“Hem…
aturan apakah?” tanya Wiro.
“Pertama
Raden harus menjaga kerahasiaan. Tidak boleh menceritakan kepada siapa pun apa
yang Raden telah lihat di sini.”
“Kalau
hanya aturan itu kau tidak perlu kawatir. Aku tidak akan menceritakan pada
siapa pun.”
“Bagus
kalau begitu. Sekarang aturan yang kedua. Raden harus membayarkan sejumlah uang
karena sudah masuk kemari.”
“Tapi aku
tidak menghisap candu,” kata Wiro pula.
“Menghisap
atau tidak Raden tetap harus dipungut bayaran. Tidak banyak. Hanya separuh dari
apa yang ada dalam kantong uang Raden itu.”
“Separuh
uang dalam kantong? Gila! Itu tidak sedikit!”
“Begitu
aturan kami agar tidak sembarang orang masuk kemari!” suara Sentiko yang tadi
lunak kini berubah keras.
“Aku
tidak akan membayar!” Wiro melangkah ke arah tangga. Di depan tangga ternyata
telah menghadang seorang pengawal. Sikapnya garang. Pengawal ini menyeringai.
“Kalau kau tidak mau membayar, tinggalkan lidahmu padaku!”
Tangannya
bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pisau kecil yang amat tajam. Pisau
ini sama dengan pisau delapan pengusung tandu yang dilihat Wiro di hutan
Karangkukusan.
“Kalau
kalian memaksa dengan kekerasan, kalian akan menyesal!”
Si
pengawal kembali menyeringai mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Dia melangkah
mendekati Wiro. “Uangmu atau lidahmu!” ancamnya.
Wiro
cepat menjauh. Dia telah menyaksikan cara berkelahi orang-orang Serikat Candu
Iblis di rimba Karangkukusan. Sekali lawan kena tertangkap pasti celaka. Wiro
mundur lagi ketika pengawal di depannya bergerak maju. Tiba-tiba dari belakang
ada yang menangkap bahunya. Sebelum dia bisa berbuat apa, tubuhnya sudah
dibaringkan ke lantai batu!
Pendekar
212 merasakan tulang belulangnya seperti remuk. Pemandangannya berkunang.
Ketika dia coba berdiri satu kaki menginjak lehernya dengan keras.
“Ayo
keluarkan lidahmu!” bentak pengawal yang menginjak lehernya demikian keras
sehingga lidahnya hampir terjulur. Di sampingnya tiba-tiba Sentiko membungkuk
dan menyambar kantong uang yang ada di pinggangnya. Tapi tangannya cepat
ditangkap Wiro lalu dipuntir hingga si gemuk ini terpekik kesakitan.
Pengawal
yang menginjak lehernya marah besar. “Kau minta mampus!” teriaknya. Kaki
kanannya dihujamkan kuat-kuat ke leher Wiro. Saat itu Pendekar 212 telah lebih
dahulu menghantamkan tangan kanannya ke tulang kering pengawal yang
menginjaknya.
“Kraak!!!”
Pukulan
yang disertai tenaga dalam itu mematahkan tulang kaki si pengawal hingga dia
menjerit keras. Selagi dia terbungkuk-bungkuk kesakitan, masih dalam keadaan
terbaring di lantai batu Wiro hantamkan tumit kirinya keselangkangan pengawal
itu. Orang ini meraung kesakitan. Tubuhnya mental lalu jatuh di lantai, menimpa
seorang yang sedang merem melek menghisap candu!
Tiga
orang pengawal melompat dan langsung menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro
berkelit dengan cepat sambil mengayunkan satu jotosan ke perut lawan yang
terdekat.
“Bukk!!”
Jotosan itu tepat menghantam perut. Tapi si pengawal hanya menyeringai. Wiro
kerahkan tenaga dalamnya. Dia kembali lancarkan pukulan. Kali ini ke arah batok
kepala si pengawal yang sama. Namun tiba-tiba ada dua tangan yang kukuh
mencekal tangan kanannya. Selagi dia berusaha melepaskan diri, dua tangan lagi
dari samping kiri melesat. Satu menjambak rambut gondrongnya satu lagi mencekal
lehernya.
Menyadari
bahaya besar ini Wiro cepat membuat gerakan “Kincir padi berputar”. Tangan dan
kakinya yang masih bebas menghantam. Dua orang pengawal menjerit kesakitan,
lepaskan cekalan mereka dan terhuyung-huyung sambil mundur.
Yang di
sebelah kanan tampak pecah mata kirinya. Yang satu lagi pegangi perutnya yang
kena tendang. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu muntahkan darah segar.
“Setan
alas! Kau berani mengacau di sini!” teriak pengawal ketiga. Tubuhnya paling
besar di antara semua pengawal yang bertugas di ruang pengisapan madat itu.
Dia
mendekati Wiro dengan tangan terpentang. Tiba-tiba dia meniup ke depan.
Serangkum
angin menderu lalu berubah menjadi sebilah pedang. Pedang asap!
Waktu di
hutan Karangkukusan beberapa hari yang lalu Wiro telah melihat ilmu kesaktian
aneh ini. Karenanya dia tidak merasa terkejut. Namun dia harus berhati-hati.
Cepat dia menyingkir selamatkan diri dari tusukan pedang asap. Si pengawal
menggeram melihat serangannya luput. Mulutnya dibuka lebar-lebar lalu dia
keluarkan suara menggerung. Pedang asap seolah berubah menjadi ular, bergelung
ke kiri, menyambar ke arah leher murid Sinto Gendeng!
“Gila!”
maki Pendekar 212 dalam hati. Dia rundukkan kepala untuk selamatkan leher tapi
dari depan lawannya menyambut dengan satu jotosan.
Penasaran
serta ingin menjajaki kehebatan-kehebatan lawan, Pendekar 212 balas menghantam
dengan tinju kanan. Dua jotosan saling beradu keras!
Murid
Sinto Gendeng keluarkan keluhan keras. Tubuhnya terlempar sampai lima langkah
dan jatuh duduk di lantai batu. Ketika diperhatikannya tangan kanannya tampak
jari-jarinya menggembung kemerahan!
“Bangsat
itu tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi dia mempunyai kekuatan aneh luar
biasa!” kata Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si pengawal
tersandar ke dinding ruangan. Mukanya mengernyit menahan sakit. Tangan kanannya
terkulai. Ketika Sentiko memperhatikan ternyata tangan pengawal itu telah remuk
sampai ke pergelangan. Sentiko berpaling pada Wiro.
“Kau
telah membunuh seorang pengawal dan mencederai tiga lainnya! Kau bakal menerima
hukuman berat! Jangan harap kau bisa lolos!” Sentiko lari ke arah tangga. Namun
Wiro cepat menyusul dan memegang leher bajunya.
“Jika kau
tidak membawa aku pada pemimpinmu, kupecahkan muka babimu saat ini juga!”
gertak Wiro.
Lelaki
gemuk itu tampak kecut. Tapi dalam hati dia menyumpah setengah mati. “Ikuti
aku,” katanya kemudian. Dia menaiki tangga dan melangkah cepat di sepanjang
lorong papan. Di pintu dia mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian pintu kayu
yang dipalang dan digembok dibukakan dua pengawal dari luar.
“Teman-teman
kalian mendapat cedera di dalam sana. Cepat kalian tolong!” berkata Sentiko
sebelum dia meninggalkan tempat itu.
Dua
pengawal tentu saja keheranan. Mereka hendak bertanya tapi Sentiko sudah
berlalu bersama Wiro. Yang satu akhirnya menyuruh kawannya untuk masuk ke
dalam. “Coba kau periksa apa sebenarnya yang terjadi.”
Pengawal
itu masuk. Tak lama kemudian dia keluar kembali setengah berlari.
“Jakadolok
mati! Tiga kawan lainnya cedera berat! Bantu aku menolong mereka!”
*****************
8
SENTIKO
membawa Wiro ke dalam sebuah kamar di tingkat atas penginapan.
“Kau
tidak membawa aku pada pimpinanmu?” tanya Wiro.
“Sebaiknya
kau melupakan saja niat untuk membuka usaha penghisapan candu. Kau telah
membunuh seorang di antara kami, mencederai tiga orang lainnya! Apakah
pimpinanku akan mengabulkan begitu saja permintaanmu?”
“Kau tak
perlu meributkan apakah dia mengabulkan atau tidak! Yang jelas kau harus
mengantarkan aku padanya!”
“Jika aku
tidak mau?” ujar Sentiko.
Wiro
melangkah mendekati pemilik rumah penginapan itu. Baru dua langkah dia maju,
tanpa diketahuinya Sentiko menginjak sebuah tombol kayu di bawah meja.
Lantai
yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi pemuda ini terperosok ke
bawah. Dia ternyata jatuh ke dalam sebuah ruangan batu sedalam empat tombak.
Tidak
mungkin baginya untuk dapat melompat setinggi itu.
“Keparat!”
teriak Wiro memaki. Di atas lobang Sentiko tertawa mengakak.
Dari
dalam lubang Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah Sentiko yang
tegak di pinggir lubang. Lelaki gemuk ini cepat menyingkir begitu dia mendengar
ada suara angin menggemuruh dari bawah lubang. Angin pukulan menghantam
langit-langit ruangan hingga jebol berantakan.
“Kau
boleh mengamuk di dalam lubang itu Raden! Sebentar lagi akan ada mahluk-mahluk
lucu yang bakal menemanimu !”
Habis
berkata begitu Sentiko melangkah ke sudat kamar. Di sini dia menarik sebuah
kawat. Di Dalam lubang Wiro mendengar suara mendesis. Tampak ada celah kecil di
dinding lobang sebelah kanan bawah. Lalu lima kepala pipih lebar berwarna hijau
kelihatan menjulur! Kepala lima ekor ular sendok!
Pendekar
212 melompat mundur. Tapi di lobang yang sempit itu tidak ada ruangan untuk
menghindar. Lima ular sendok melata di lantai lobang. Kepala masing-masing
bergerak naik ke atas. Mulut binatang ini terpentang mengerikan.
Wiro
segera siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tetapi dia sadar. Membunuh kelima ular
berbisa itu dengan pukulan sakti di ruangan yang begitu sempit sama saja dengan
bunuh diri. Pukulan saktinya akan berbalik menghantam dirinya sendiri.
Menurut
gurunya Eyang Sinto Gendeng, dia kebal terhadap segala macam racun.
Apakah
itu juga berarti kebal terhadap bisa ular?
********************
Kita
tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi bahaya terancam lima ekor
ular sendok berbisa. Kita ikuti rombongan Adipati Magetan yang bergerak menuju
Kotaraja. Karena Lawunggeno, Jala Gandring dan Barataji sama-sama menderita
cedera, maka rombongan itu tidak bisa bergerak cepat. Satu hari kemudian baru
mereka sampai di Kotaraja. Lawunggeno langsung memimpin rombongan menuju gedung
Kepatihan.
“Astaga,
apa yang terjadi dengan diri kalian?!” tanya Patih Sagara Wisamala
ketika
melihat kemunculan ketiga orang itu. Tangan kiri Adipati Lawunggeno dilihatnya
tergantung dalam kain penyanggah tanda ada bagian bahu atau pangkal lengannya
yang patah.
Tapi yang
paling menggidikkan ialah mukanya yang seperti hancur. Hidung melesak ke dalam
dan kelihatannya dia mengalami kesulitan bernafas. Di samping Adipati Magetan
itu tegak orang tua bermuka hitam Jala Gandring, bertopang pada sebuah tongkat.
Kaki kirinya dibalut dan diganjal dengan sepotong kayu. Patih Kerajaan
berpaling pada Barataji. Leher orang ini tampak bengkak membiru. Seperti Jala
dan Lawunggeno, dia pun kelihatan sulit bernafas.
Karena
tidak ada satu pun dari ketiga orang itu yang membuka mulut, Patih Sagara
Wisamala kembali bertanya, “Orang-orang Serikat Candu Iblis yang menghajar
kalian?”
Sentak
menarik nafas panjang dan dalam Jala Gandring menjawab. “Kami memang berhasil
menjebak rombongan orang-orang Serikat Candu Iblis di hutan Karangkukusan.
Pemimpinnya nyaris kami tangkap. Tetapi terjadi satu keanehan. Ada satu mahluk
yang tidak kelihatan menolong Ketua Serikat Candu Iblis sehingga dia berhasil
lolos.”
“Lolos
setelah menghajar kalian lebih dulu?” tanya Patih Kerajaan.
“Bukan
dia yang menghajar kami. Tapi mahluk yang tidak kelihatan itu. Mahluk tersebut
ternyata menjadi kawan sang ketua.” Barataji yang menjawab.
“Keteranganmu
sungguh tidak dapat kupercaya Dimas Barataji. Coba salah satu dari kalian
menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Yang lebih penting kalian
telah bertemu dengan Ketua Serikat Candu Iblis itu. Apakah kalian mengenal siapa
adanya dia?”
“Manusia
terkutuk itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid nenek sakti
bernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” kata Jala Gandring.
“Pendekar
212 Wiro sableng?! Dia katamu yang jadi Ketua Serikat Candu Iblis?”
Jala
Gandring dan Lawunggeno mengangguk sedang Barataji mengiyakan.
“Tidak
dapat kupercaya! Sungguh tidak aku duga! Bukankah Pendekar 212 seorang tokoh
silat muda yang sangat disegani dan berasal dari golongan putih?
Malah
setahuku dia telah berjasa banyak pada kerajaan. Beberapa kali dia pernah ikut
membantu menumpas pemberontakan.”
“Kakang
Patih, biar saya ceritakan agar jelas bagi kakang Patih,” kata Jala Gandring
pula. Lalu dia pun menuturkan apa yang telah terjadi yaitu sejak dia dan
rombongannya berhasil menjebak orang-orang Serikat candu Iblis di hutan
Karangkukusan sampai akhirnya mereka dibuat babak belur.
“Aneh…”
kata patih Sagara Wisamala sambil melangkah mondar-mandir.
“Hutan
Karangkukusan memang termasuk salah satu hutan angker di kawasan perbatasan.
Tapi jika ada satu mahluk tidak kelihatan menolong Pendekar 212 ini benar-benar
tidak masuk akal.”
“Turut
penglihatan saya,” kata Jala Gandring pula, “Agaknya antara Pendekar 212 dan
mahluk itu sudah saling kenal sebelumnya. Mereka akrab. Besar dugaan saya
mahluk itu adalah mahluk perempuan.” “Kuntilanak? Sebangsa peri atau gendaruwo
atau penghuni laut selatan? Atau jin peliharaannya?” ujar Patih Kerajaan sambil
memandang pada ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Lawunggeno
batuk-batuk beberapa kali. Dari hidungnya yang cedera masih mengalir darah.
Dengan sehelai sapu tangan basah dia menyeka mukanya lalu berkata. Suaranya
terdengar sangau akibat hidungnya yang rusak.
“Siapa
atau apa pun adanya mahluk itu tidak penting! Lebih penting saat ini ialah
menyebarkan pengumuman penangkapan atas diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita
sudah mengetahui kedoknya. Dia bukan lain adalah Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Apa yang
dikatakan Adipati Lawunggeno betul. Manusia itu harus ditangkap hidup atau
mati,” ikut bicara Barataji. “Kerajaan harus mengirimkan surat kepada gurunya
di Gunung Gede serta para sesepuh dunia persilatan. Mereka harus ikut
bertanggung jawab dan membantu menangkap pemuda itu!”
Pati
Sagara Wisamala tercenung sesaat. “Antara jasa dan kejahatan memang tidak dapat
dibanding-bandingkan,” katanya. “Walau pemuda itu telah banyak berjasa pada
Kerajaan dan dunia persilatan tetapi menjadi orang jahat, menjadi Ketua dari
komplotan perusak ummat tidak ada ampunnya. Hari ini juga aku akan mengeluarkan
surat penagkapan atas diri Pendekar 212! Berita ini harus diumumkan di seluruh
Kerajaan, sampai di pelosok-pelosok!”
Sehari
sebelum kedatangan rombongan Jala Gandring ke Keraton, pada suatu malam gelap
tanpa bulan, delapan orang lelaki bertubuh kekar hanya mengenakan celana hitam
berlari cepat di wilayah selatan luar Kotaraja. Mereka mengusung sebuah tandu.
Gerakan mereka laksana hantu malam. Dari mulut mereka selalu terdengar ucapan:
“Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Di sebuah
persimpangan sunyi rombongan ini membelok ke kiri. Tak lama kemudian mereka
memasuki halaman sebuah gedung yang berada dalam keadaan gelap gulita. Hanya
ada sebuah lampu minyak menyala dekat tangga depan. Delapan pengusung tandu
hentikan ucapan-ucapan mereka.
Lima
orang pengawal muncul menyongsong kedatangan orang-orang pemuda tandu itu. Dari
pihak yang disongsong, yang bertindak sebagai pemimpin segera berkata: “Beri
tahu Raden Haryo Adipuro kalau kami sudah datang.”
“Raden
Haryo memang sudah menantikan,” jawab pengawal itu. Dia mengangkat tangannya
seperti memberi tanda. Pintu besar gedung kelihatan terbuka.
Delapan
lelaki pengusung tandu segera bergerak. Mereka menaiki tangga gedung, terus
masuk ke dalam gedung bersama tandu yang mereka usung!
Bagian
dalam gedung ternyata berada dalam keadaan gelap. Sebuah lampu minyak terdapat
di atas sebuah meja di tengah ruangan. Nyala apinya yang sangat kecil dan redup
tidak dapat menerangi seluruh ruangan yang cukup besar. Segala yang ada di
tempat itu terlihat seperti bayang-bayang menghitam.
Di sudut
kiri ruangan ada sebuah kursi. Di atas kursi ini, dalam kegelapan tampak duduk
seorang lelaki berbadan kukuh. Sikapnya tenang tetapi air mukanya menunjukkan
rasa khawatir yang coba disembunyikannya.
Delapan
lelaki bertelanjang dada menurunkan tandu di tengah ruangan. Bagian depannya
sengaja membelakangi nyala lampu minyak di atas meja. Para pengusung kemudian
berdiri tak bergerak, empat di samping kiri dan empat lagi di samping kanan
tandu. Suasana di ruangan itu sunyi hening seperti di pekuburan. Kesunyian
kemudian dipecah oleh suara berkeretekan. Bagian depan tandu yang merupakan
sebuah pintu perlahan-lahan terbuka. Di dalam tandu, terbungkus oleh kegelapan
kelihatan duduk satu sosok tubuh anak-anak. Tapi ternyata dia adalah seorang
laki-laki katai. Menggunakan jubah hitam berumbai-umbai kuning emas. Kepalanya
botak dan mukanya berwarna kelabu!
Raden
Haryo Adipuro adalah Kepala Pasukan Pengawal Sri baginda, seorang pejabat
tinggi Kerajaan yang setingkat dengan Menteri. Namun adalah aneh ketika pintu
tandu terbuka, dia segera berdiri dan menjura memberikan hormat pada orang
pendek yang duduk di dalam tandu. Setelah menjura dia duduk kembali dengan
sikap hormat, menunggu.
“Raden
Haryo” orang di dalam tandu terdengar berkata. “Aku datang seperti biasa
mengantarkan uang perlindungan.” Lalu dari dalam tandu melesat sebuah kantong.
Kantong ini mengeluarkan suara berdering ketika jatuh di atas meja di samping
lampu minyak.
Raden
Haryo Adipuro memperhatikan kantong itu sesaat. Dilihatnya ada kelainan pada
ukuran kantong. Tapi dia diam saja. Tidak berani menanyakan.
Orang di
dalam tandu kembali membuka suara. “Jumlah yang aku sampaikan kali ini jauh
lebih kecil. Itu satu pertanda bahwa perlindungan yang Raden Haryo berikan
terhadap Serikat tidak memadai. Kami kebobolan! Kami sangat kecewa.”
“Ada
sesuatu yang terjadi?” tanya Raden Haryo Adipuro.
“Sebelumnya
aku sudah memberi bisikan. Aku mencurigai Patih Sagara Wisamala. Dia bisa
membahayakan Serikat. Karena itu Raden aku minta untuk menyelidik. Apa yang
telah Raden laku kan?”
“Saya
telah menyuruh beberapa orang kepercayaan untuk menyelidik…”
“Orang-orang
Raden tidak lebih dari kerbau-kerbau tolol!” kata si pendek dalam tandu yang
membuat Raden Haryo Adipuro jadi terdiam.
“Beberapa
hari lalu orang-orang Patih Sagara menyerang dan menjebak rombonganku di hutan
Karangkukusan. Delapan orang anggota Serikat tewas! Tiga dibunuh dengan panah
beracun. Lima dibakar hidup-hidup!”
Dalam
gelap paras Raden Haryo Adipuro jadi berubah dan memucat.
“Ini
adalah kealpaan yang tidak dapat dimaafkan Raden Haryo!”
“Saya…
saya mengerti Soltan Ramada,” jawab Kepala Pengawal Istana menyebut nama orang
kate yang duduk di dalam tandu. Kepalanya ditundukkan. Dia tak berani menatap
mata orang di hadapannya itu.
Lalu dia
berkata, “Mohon Soltan Ramada mau memberi tahu siapa pemimpin rombongan yang
melakukan penyergapan itu. Saya akan segera mengambil tindakan.”
“Ada tiga
orang. Jala Gandring, tokoh silat istana sahabat kental Patih kerajaan. Lalu
Adipati Lawunggeno dari Magetan. Yang ketiga Barataji, tokoh silat yang selama
ini menjadi guru para prajurit pengawal istana! Jadi orangmu sendiri!”
Paras
Raden Haryo berubah. Tiga nama yang disebutkan itu adalah tiga orang tokoh
berkepandaian tinggi. “Saya akan menghabiskan mereka! Saya bersumpah!” kata
Raden Haryo Adipuro akhirnya.
“Bagus!
Karena memang itulah satu-satunya jalan untuk mengampuni kelalaianmu! Sekarang
aku minta laporan perkembangan kegiatanmu!”
“Satu
tempat penghisapan baru mulai dijalankan di Kotaraja sebelah timur. Dua lainnya
di Sleman dan Klaten.”
“Bagaimana
dengan orang-orang penting yang jadi sasaran Serikat?”
“Tumenggung
Jarot Agasa masuk ke dalam bujukan kita. Salah seorang selir Sri Baginda
diam-diam sudah mulai menghisap. Lalu pangeran tua Dipa Alit dan seorang
keponakannya juga berhasil dibujuk…”
“Bagus,
sekarang tugas utamamu adalah berusaha agar Sri Baginda bisa dibujuk. Kau bisa
memperalat gundiknya yang telah jadi pemadat itu atau melalui pangeran Dipa
Alit.”
“Saya
siap melakukannya Soltan.”
“Aku
segera pergi. Ada pertanyaan yang ingin kau ajukan?”
“Tidak.
Kecuali permintaan agar jumlah kiriman candu diperbanyak,” jawab Raden Haryo
Adipuro.
“Tak usah
kau kawatirkan. Itu sudah ada dalam benakku!” jawab si botak muka kelabu yang
bernama Soltan Ramada. Tangan kirinya dilambaikan. Pintu tandu tertutup.
Delapan lelaki bertelanjang dada segera mengangkat tandu itu lalu mengusungnya
keluar gedung. Tak lama kemudian di dalam kegelapan malam kembali terdengar
suara mereka. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
*****************
9
GOA batu
itu terletak di kaki selatan Gunung Merapi, tersamar di balik kerapatan
pepohonan dan semak belukar. Suasana sunyi senyap yang sesekali ditandai oleh
kicau burung-burung hutan jadi terusik ketika dikejauhan terdengar seruan
berkepanjangan. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat…!”
Makin
lama suara itu semakin keras tanda tambah mendekati goa. Tak lama kemudian
terlihatlah rombongan yang tak asing lagi. Delapan lelaki bertelanjang dada,
hanya mengenakan celana panjang hitam sebetis mengusung sebuah tandu sambil
berlari.
Di depan
goa rombongan berhenti. Perlahan-lahan tandu diturunkan ke tanah.
Seorang
dari delapan pengusung melangkah ke sebuah pohon besar di samping goa.
Dengan
kedua tangannya yang kukuh dipeluknya batang pohon itu lalu diputarnya ke
kanan. Sesaat kemudian terdengar suara berderik, disusul dengan suara bersiur.
Lalu
terjadilah satu keanehan. Rerumputan pohon dan semak belukar yang menutupi
mulut goa perlahan-lahan turun ke bawah seolah-olah ditelan bumi. Mulut goa
kini kelihatan dengan jelas namun lima langkah ke sebelah dalam menghadang
sebuah batu besar.
Tiba-tiba
pintu tandu berkereketan dan terpentang lebar. Dari dalam tandu melesat keluar
satu sosok pendek berjubah hitam, langsung masuk ke dalam mulut goa.
Di depan
batu besar yang menyumpal mulut goa sebelah dalam, orang ini yang bukan lain
adalah manusia bernama Soltan Ramada mengetuk batu tiga kali berturut-turut.
Ketukan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggetarkan batu.
Getaran
ini menjalar sepanjang lorong goa dan sampai ke sebuah kursi batu yang terletak
di suatu ruangan agak ketinggian.
Di atas
kursi batu ini duduk seorang lelaki. Baik bentuk tubuh maupun wajahnya yang
terlihat samar-samar karena pada pertengahan ruangan, beberapa langkah di depan
kursi batu terdapat sebuah tirai berwarna merah dengan garis-garis kuning. Di
sebelah bawah ada gambar bulatan setengah lingkaran berwarna merah tua.
Begitu
merasakan getaran pada kursi batu yang didudukinya, orang di balik tirai
menekan ujung kanan lengan kursi. Bagian ini rupanya merupakan sebuah tombol dari
peralatan rahasia. Begitu lengan kursi ditekan, di mulut goa, batu besar yang
menutup bergeser ke kiri. Soltan Ramada segera melompat ke dalam goa. Di
belakangnya batu besar bergeser kembali, menutup mulut goa.
“Kau
membawa kabar baik untukku Soltan?”
Orang
yang duduk di atas kursi batu bertanya. Suaranya keras, bergema panjang di
dalam goa itu.
“Tentu,
tentu Pangeran!” jawab Soltan Ramada. Lalu manusia katai ini jatuhkan dirinya
dekat tiga alur tangga batu dan bersujud beberapa lamanya. Kalau tidak disuruh
bangkit dia tidak akan terus bersujud seperti itu.
Orang
yang disebut dengan panggilan Pangeran menyeringai. “Bangunlah Soltan. Berikan
laporanmu!”
Soltan
Ramada bangkit dari sujudnya lalu duduk bersila dengan khidmat.
“Sesuai
dengan petunjuk Pangeran saya telah berhasil membuat Pendekar 212 menjadi
bulan-bulanan pengejaran orang-orang Kerajaan dan orang-orang Persilatan. Kini
dia dianggap sebagai Ketua dari Serikat Candu Iblis. Perintah penangkapannya
hidup atau mati telah disebarluaskan di seluruh pelosok kerajaan.”
Mendengar
keterangan itu orang yang duduk di kursi batu tertawa gelak gelak.
“Kau
memang pembantuku paling hebat. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya.”
Lalu
Soltan menuturkan peristiwa di hutan Karangkukusan.
“Bagus…!
Bagus! Delapan korban tak jadi apa. Candu palsu dalam kotak yang kau selipkan
di pinggang Pendekar 212! Ha…ha…ha.!”
Soltan
Ramada ikut tertawa mengekeh.
“Sekarang
aku tidak susah-susah turun tangan sendiri mencari musuh besarku itu.
Orang-orang berkepandaian tinggi se-Tanah Jawa ini yang akan mengerjakannya.
Menurut
perkiraanku, paling lambat dalam waktu tiga puluh hari manusia sableng itu
pasti akan tertangkap! Kalau dia tidak mati dalam perlawanan maka Kerajaan akan
menggantungnya sampai mampus! Ha…ha…ha….!”
“Berita
lain yang menggembirakan, Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Saat ini
sudah banyak orang-orang yang dekat dengan Keraton masuk dalam perangkap candu
kita. Dua di antaranya adalah selir Sri Baginda dan Pangeran Alit.”
“Hebat!
Berarti kita sudah dekat dengan sasaran utama. Yaitu Sri Baginda!”
“Saya
sudah perintahkan Raden Haryo Adipuro untuk melakukan hal itu. Rasa-rasanya
segala rencana akan berjalan mulus. Katakanlah paling lambat kita harus
menunggu tiga purnama…”
“Ya,
paling lambat memang sekitar sembilan puluh hari.”
“Kalau
Sri Baginda sudah masuk dalam perangkap Serikat Candu Iblis… Ha… ha… ha… ha…!
Tanda kerajaan tak lama lagi akan lumpuh dan kita dengan mudah bisa merebut
tahta!”
“Tahta
memang adalah hak warismu yang sah Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Tapi
ingat Soltan. Dalam setiap langkah dan tindakan, dalam setiap saat dan waktu
semua orang-orang kita, terutama kau, harus berlaku hati-hati. Waspada! Aku
merisaukan beberapa orang yang bisa menjadi penghalang. Pertama Patih Sagara
Wisamala.”
“Saya memang
terus memata-matainya. Dia telah memberikan tugas khusus pada tiga orang tokoh.
Jala Gandring. Barataji dan Adipati Lawunggeno.”
“Mereka
orang-orang berkepandaian tinggi,” kata Sang Pangeran sambil pangkukan kaki
kirinya ke kaki kanan.
“Tidak
usah khawatir Pangeran. Saya telah membuat Raden Haryo bersumpah bahwa dia
harus membunuh ketiga orang itu. Mereka akan mati dan Raden Haryo saya
perintahkan untuk meninggalkan tanda pada setiap pembunuhan. Yaitu SCI,
singkatan dari nama serikat kita.”
“Otakmu
sungguh luar biasa Soltan! Dari siapa kau mendapatkan kepintaran itu?” tanya
sang Pangeran dari balik tirai sambil menyeringai.
“Saya
hanya belajar darimu Pangeran!” jawab Soltan Ramada lalu letakkan keningnya di
lantai goa, bersujud! Lalu sambil terus menempelkan keningnya di lantai Soltan
berkata penuh penjilatan, “Bukankah Pangeran yang ditunjuki orang Pendekar
segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak?!”
Orang di
atas kursi batu tertawa mengakak. “Kau ingat betul sifat-sifatku itu Soltan,”
katanya. “Dan aku tahu apa akibat dari perbuatan licikmu itu! Semua orang akan
menuduh Pendekar 212-lah yang telah membunuh ketiga orang itu. Bukan begitu?”
“Betul
sekali Pangeran!” jawab Soltan Ramada sambil duduk bersila kembali.
“Hemmmm…
Soltan, masih ada satu orang lagi yang berbahaya bagi Serikat Candu Iblis kita.
Raden Mas Kuntoro Abimanunggal, Kepala Pasukan Kerajaan…”
“Saat ini
dia masih berada di luar pulau. Ada kabar dia meneruskan perjalanan ke Tanah
Melayu. Dia tidak akan kembali dalam waktu empat atau lima bulan,” kata Soltan
Ramada.
Sang
Pangeran mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Lalu berkata, “Baiklah
Soltan, Kau tentu perlu istirahat. Apakah kau akan menemui kekasihmu saat ini?”
“Kalau
Pangeran mengizinkan. Sudah satu bulan lebih saya tidak melihatnya…”
Sang
Pangeran tertawa lalu menekan ujung lengan kursi sebelah kiri. Terdengar suara
menderu perlahan. Satu celah tampak di dinding sebelah kiri dekat lorong menuju
keluar.
Soltan
Ramada bersujud lebih dahulu, lalu tanpa menunggu lebih lama dia bangkit dan
berkelebat ke dalam celah batu. Di belakang celah itu ternyata terdapat sebuah
kamar yang bagus sekali. Di bagian tengah ada tempat tidur dari batu yang
dialas dengan kasur jerami serta seprai tebal seperti permadani.
Di atas
tempat tidur, berdiri satu sosok tubuh perempuan yang luar biasa buntak dan
gemuknya. Lehernya tidak kelihatan, karena dagunya seperti telah jadi satu
dengan dadanya. Wajahnya merah karena diberi pupur berlebihan. Gincunya tebal
bukan kepalang dan alis matanya yang seperti bulan sabit diberi alat penghitam.
Perempuan
gemuk ini tegak bertolak pinggang dan tersenyum lebar ketika melihat Soltan
Ramada masuk ke dalam kamar batu itu.
“Kanda
Ramada!” kata si perempuan dengan suara lembut dan gerakan mulut serta mata
penuh genit. “Kalau hari ini Kanda tidak sampai datang, dinda niscaya sudah
mati menelan kerinduan…”
“Kekasihku
Ramini!” seru Soltan Ramada seraya melompat naik ke atas tempat tidur. “Rindumu
adalah rinduku juga!” Berdiri berhadap-hadapan tinggi Soltan Ramada hanya
sampai sepusar perempuan gemuk itu. Mendengar ucapan Soltan tadi, perempuan itu
tersenyum lebar. Dia menggerakkan bahunya. Pakaian sebentuk jubah tipis yang
melekat di tubuhnya jatuh ke bawah. Kini perempuan itu berdiri tanpa mengenakan
sepotong pun kain pelindung. Di mata Soltan Ramada, tubuh yang gemuk buntak
penuh lemak itu seindah tubuh bidadari. Dia menjerit keras lalu melompat
merangkul leher si gemuk.
Dari
tempatnya duduk di kursi batu, orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran
dapat melihat ke dalam kamar melalui celah yang masih belum ditutupnya.
Dia
tertawa-tawa seorang diri.
“Apa yang
aku lihat ini? Seekor sapi betina bulat melawan seekor kadal sawah? Ha…ha…ha!”
dia menekan ujung lengan kiri kursi batu. Celah di dinding goa menutup kembali.
*****************
10
KOTARAJA
menjadi geger ketika dua hari kemudian, yaitu setelah Soltan Ramada menemui
Raden Haryo Adipuro, pagi-pagi sekali telah tersebar luas berita mengejutkan
kematian tiga orang penting. Mereka adalah Jala Gandring, Lawunggeno dan Barataji.
Jika tiga
orang penting menemui kematian secara bersamaan maka hal ini bukanlah suatu
peristiwa biasa. Kematian mereka tidak bisa disebut wajar. Dan memang ketiga
tokoh itu tewas akibat dibunuh!
Jala
Gandring dan Barataji ditemukan mayatnya dalam kamar masing-masing di perumahan
khusus untuk tamu-tamu istana, tak berapa jauh dari tembok Istana sebelah
timur. Sedang Adipati Lawunggeno ditemukan tewas di rumah adik iparnya di
kawasan pusat Kotaraja.
Ketiga
orang ini menemui ajal dengan cara yang sama. Sebatang kayu kecil berbentuk
sumpit menancap di tenggorokan masing-masing. Leher dan sebagian muka mereka
kelihatan membiru tanda kayu maut itu mengandung racun jahat. Pada bagian ujung
kayu terdapat bagian berbentuk bulat pipih. Pada bulatan ini tertera tiga huruf
SCI yang merupakan singkatan dari Serikat Candu Iblis.
Seperti
diketahui ketiga orang yang jadi korban pembunuhan itu memiliki kepandaian
silat tinggi serta kesaktian. Jika mereka bisa dibunuh begitu rupa berarti si
pembunuh memiliki kepandaian yang sangat luar biasa. Atau mungkin ketiganya
dibokong satu demi satu?! Dan siapa pun sang pembunuh, dia adalah anggota
Serikat Candu Iblis yang bahkan dengan sengaja berani meninggalkan tanda!
Pagi itu
juga Sri Baginda memanggil Patih Sagara Wisamala.
“Kita
kebobolan Patih,” kata Sri Baginda.
“Saya
mengerti Sri Baginda. Semua karena kelalaian saya,” jawab Patih Sagara
Wisamala. “Yang menjadi korban pembunuhan ketiganya adalah orang-orang yang
saya percayakan untuk menangani komplotan candu jahat itu.”
“Mereka
sekarang secara terang-terangan dan berani meninggalkan tanda dari Serikat
mereka,” kata Sri Baginda pula. “Aku merasa dipermalukan. Belum lagi rasa
tanggung jawab terhadap orang-orang yang sekarang telah menjadi pemadat. Patih,
katakan kalau benar bahwa ada orang-orang penting dalam Istana yang juga telah
masuk perangkap jahat menjadi penghisap candu!”
“Hal itu
memang menjadi kekhawatiran saya Sri Baginda. Saya akan segera melakukan
penyelidikan.” jawab sang Patih. Dia tidak berani mengatakan terus terang bahwa
dia memang sudah mendengar kabar kalau ada orang-orang yang dekat dengan Istana
telah masuk ke dalam perangkap Serikat Candu Iblis. “Bagaimana dengan Pendekar
212? Masih belum diketahui di mana dia berada?”
“Belum
Sri Baginda. Saya telah menambah jumlah mata-mata di seluruh pelosok Kerajaan.”
“Jangan
terlalu memperhatikan daerah pelosok. Nyatanya pendekar sesat itu berada di
Kotaraja dan sempat membunuh tiga orang kepercayaanmu!”
Ucapan
Sri Baginda itu membuat air muka Patih Kerajaan menjadi bersemu merah.
“Kuharap
kau bekerjasama dengan Raden Haryo Adipuro. Geledah setiap tempat yang
mencurigakan di Kotaraja. Kalau perlu tempat kediaman para pejabat
yang
mencurigakan jangan segan-segan digeledah. Aku punya dugaan Serikat Candu
Iblis
tidak mungkin berkembang secepat dan seberani itu kalau tidak mempunyai tulang
punggung yang mereka andalkan.”
“Petunjuk
Sri Baginda akan saya laksanakan. Saya mohon diri…”
“Tunggu!
Ada satu hal lagi Patih. Hubungi tokoh-tokoh dunia persilatan. Minta mereka
membantu menangkap atau membunuh Pendekar 212. Kita tidak bisa bekerja
sendirian. Kita perlu bantuan mereka. Kirimkan utusan khusus menemui Sinto
Gendeng. Perintahkan dia menghadapku dalam waktu dekat. Aku ada rencana yang
mungkin bisa memaksa muridnya keluar dari persembunyian.”
“Kalau
saya boleh tahu Sri Baginda, rencana apakah itu?”
Sri
Baginda menatap wajah patihnya itu beberapa saat. Sang Patih jadi merasa tidak
enak dipandang seperti itu. Maka dia cepat berkata, “Jika Sri Baginda tidak
percaya bahwa saya tidak dapat merahasiakan rencana itu, Sri Baginda tidak
perlu mengatakannya pada saya.” Sagara Wisamala menghaturkan sembah hendak
berlalu.
“Tunggu
Patih! Jangan salah menduga. Aku percaya padamu. Aku akan katakan rencana itu.
Tapi jangan sekali-kali kau ceritakan pada siapa pun!”
“Saya
berjanji tidak akan membuka rahasia,” kata Sagara Wisamala pula.
“Begitu
Sinto Gendeng masuk ke Istana ini, kita akan menangkapnya. Lalu jika dalam
waktu sepuluh hari setelah dia ditangkap Pendekar 212 yang Ketua Serikat Candu
Iblis itu tidak muncul menyerahkan diri, perempuan tua itu akan kusuruh gantung
sampai mati!”
Tersirap
darah Patih Sagara Wisamala mendengar ucapan Sri Baginda itu.
Dalam
hati dia membatin. “Nenek sakti Sinto Gendeng memang bisa dimintakan
pertanggungan jawab atas kejahatan yang dilakukan muridnya. Tapi kalau sampai
si nenek digantung, sama saja dengan menantang perang terhadap orang-orang
dunia persilatan!”
********************
SENTIKO
menggeliat beberapa kali lalu turun dari tempat tidur. Setelah meneguk air
putih dari dalam sebuah kendi dia naik ke kamar di tingkat atas penginapan.
“Keparat bermulut besar itu pasti sudah mampus dilalap lima ekor ular sendok!”
berucap Sentiko dalam hati.
Pintu
kamar dibukanya. Sebelum melihat ke dalam lobang dia membuka semua jendela
kamar agar cahaya terang masuk ke dalam. Lalu baru dia melangkah ke tepi lobang
dan memandang ke bawah. Dia membayangkan akan melihat sosok tubuh Pendekar 212
terkapar tak bernyawa.
Tetapi
alangkah terkejutnya pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini ketika yang
dilihatnya bukan sosok tubuh atau mayat Wiro, melainkan yang tampak adalah
bangkai lima ekor ular sendok bergeletakan menghitam seperti dipanggang!
Apakah
yang telah terjadi didalam lobang dimana sebelumnya Pendekar 212 Wiro Sableng
terjebak dan terperangkap?
Kita
kembali pada saat Wiro berada di dalam lobang dan mengurungkan untuk melepaskan
pukulan sinar matahari karena di ruang batu yang sempit itu pukulan sakti
tersebut bisa berbalik menghantam dan mencelakai dirinya sendiri.
Pada saat
lima ekor ular sendok semakin meninggikan tubuh dan siap mematuk, murid Sinto
Gendeng ini tidak terpikir lagi pada Suci atau Dewi Bunga Mayat yang setiap
saat bisa membantunya jika dipanggil.
Di
saat-saat genting seperti itu hatinya mendua bahwa dirinya juga kebal terhadap
bisa ular. Dengan sangat hati-hati agar gerakannya tidak menarik perhatian lima
ekor ular, Wiro merapat ke dinding di belakangnya sambil kedua tangannya
bergerak ke pinggang.
Yang kiri
mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tangan kanan mengeluarkan batu hitam
pasangan kapak sakti itu.
Tiba-tiba
ular paling kanan bergerak maju. Empat kawannya mendesis dan ikut bergerak.
Wiro jatuhkan diri ke lantai lobang batu. Serentak dengan itu batu hitam diadu
dan digeserkannya kuat-kuat ke mata kapak. Satu gelombang lidah api melesat ke
atas. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki pasangan kapak Naga Geni 212
dan batu hitam warisan Eyang Sinto Gendeng.
Empat
ekor ular sendok surutkan kepala ke belakang. Yang satu seperti nekad
meneruskan mematuk ke arah muka pendekar 212. Lidah api segera menyambar
binatang ini. Tubuhnya langsung terpanggang hangus lalu jatuh ke lantai lobang.
Wiro
gosokkan lagi batu saktinya ke mata kapak. Kembali lidah api menyembur. Dua
ekor ular sendok jatuh berkaparan dalam keadaan hangus hitam.
Udara di
dalam lobang itu menjadi panas bukan kepalang. Wiro merasa dirinya ikut
terpanggang.
Dua ekor
ular yang masih hidup bersurut mundur, memendekkan badan masing-masing,
kelihatannya hendak menyelinap lari lewat celah di bawah dinding.
Wiro
tidak mau membiarkan binatang-binatang itu lolos. Sekali lagi kapak mustika dan
batu sakti digosokannya. Dua ekor ular sendok bergelepakan di lantai.
Murid
Eyang Sinto Gendeng menarik nafas lega. Dadanya turun naik. Hidungnya kembang
kempis. Tubuhnya terasa letih sekali seperti kehabisan tenaga dan basah oleh
keringat. Salah satu lengan pakaiannya baru disadarinya hangus terbakar.
Pendekar
ini melosoh dan menjatuhkan diri ke lantai. Dia berhasil menyelamatkan diri.
Namun masih adakah bahaya baru yang bisa keluar dari celah di bawah dinding
itu? Sebelum malam tiba dia harus keluar dari dalam lobang celaka itu. Wiro
memutar akal sambil memandang berkeliling. Dia harus melakukan sesuatu. Tapi
apa dan bagaimana?
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Dia memukul-mukul dinding batu itu dengan tinjunya. Hampir tidak
terdengar bunyi keras ataupun gema pertanda dinding lobang itu tebal sekali.
Lalu dia coba mengukur-ukur jarak antara satu dinding dengan dinding di
depannya dengan kedua tangannya.
“Tolol!”
Wiro memaki sendiri. “Mengapa dengan tangan? Aku bukan monyet atau orang utan
yang bisa memanjat hanya mengandalkan tangan!”
Dikangkangkannya
kedua kakinya. Ternyata kaki kiri dan kaki kanan bisa menempel ke dinding kiri
dan kanan lobang. Hatinya berdebar. Jalan lolos dari dalam lobang itu sudah
terlihat. Tapi memperhatikan keadaan dinding lobang, murid Eyang Sinto Gendeng
kernyitkan kening dan garuk-garuk kepala.
Dinding lobang
yang terbuat dari batu itu ditebali oleh lumut. Jika kakinya menginjak, tidak
dapat tidak, dia pasti akan tergelincir dan jatuh ke bawah kembali.
Dia
memerlukan sesuatu untuk menjadi pegangan.
“Geblek!”
Tiba-tiba sang pendekar kembali memaki dirinya sendiri sambil menepuk jidatnya.
Dia keluarkan kembali Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Senjata
itu dibacokkannya ke dinding batu di hadapannya. Begitu menancap, gagang kapak
terus dipegangnya. Lalu kedua kakinya dikembangkan, diinjakkan pada dinding
lobang. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekali
dicoba gagal, kali kedua gagal. Kali keempat baru dia berhasil menekankan kedua
kakinya pada dinding lobang. Begitu mendapat kedudukan yang kukuh tubuhnya
berhasil bergerak ke atas. Ketika kepalanya mencapai gagang kapak, Wiro cabut
senjata itu dan sebelum tubuhnya terjatuh ke bawah secepatnya mata kapak
dibacokkannya ke dinding sebelah atas.
Sesaat
dia bergantungan pada gagang senjata ini. Lalu perlahan-lahan tubuhnya
beringsut naik ke atas. Mencapai pertengahan lobang ternyata dinding-dinding
lobang itu agak menyempit. Karenanya kedudukan kedua kakinya menjadi lebih
kuat. Tanpa kesulitan akhirnya Wiro memanjat ke atas dan keluar dari dalam
lobang, dengan tubuh serta pakaian basah mandi keringat.
Sentiko
masih tertegun bengong di tepi lobang ketika tiba-tiba dari atas langit-langit
kamar yang jebol melompat keluar seseorang yang langsung mencekal leher
pakaiannya. Sesaat kemudian manusia bertubuh gemuk ini merasakan tubuhnya
terangkat. Sebelum dia bisa berbuat apa tubuhnya sudah dilemparkan orang ke
dinding!
Dinding
ruangan yang terbuat dari kayu hancur berantakan. Sentiko menjerit kesakitan.
Badannya yang gemuk menyangsang di jebolan dinding. Selagi dia berusaha
meloloskan dirinya, Wiro tarik ke bawah celana yang dikenakan si gemuk ini.
Lalu dari atas meja dia menyambar segulung tali.
Ketika
Sentiko berhasil lolos dari dinding dan berusaha hendak berdiri matanya
mendelik dan dari mulutnya terdengar teriakan keras. Ternyata dengan tali tadi
Pendekar 212 telah mengikat anggota rahasia Sentiko, baik yang tunggal maupun
yang kembar! Ketika tali dibetot tentu saja pemilik penginapan dan rumah makan
yang juga menjalankan tempat pengisapan candu ini menjerit kesakitan setengah
mati!
Wiro
tarik tali yang dipegangnya. Mau tak mau Sentiko terpaksa mengikuti maju
seperti kerbau dicucuk hidung.
“Ampun…
jangan! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak Sentiko.
“Sakit?”
tanya Wiro.
“Sakit!
Tentu saja! Wadaw!”
“Dengar
babi gemuk!” kata Wiro seraya main-mainkan tali yang dipegangnya.
“Burung
perkututmu ini akan kubetot lepas jika kau tidak menjawab apa yang aku tanya!”
“Bangsat!
Setan! Adaw…!” Sentiko memaki lalu menjerit ketika Wiro sentakkan tali yang
dipegangnya. “Lepaskan tali celaka ini! Bangsat! Atau aku akan berteriak
memanggil pengawal!”
“Kalau
kau masih sayang pada perkututmu, sebaiknya jangan berbuat macam-macam! Lekas
katakan siapa pemimpin Serikat Candu Iblis dan di mana aku bisa menemuinya?”
“Demi Tuhan aku tidak tahu!”
“Jangan
dusta!” Bentak Wiro sambil membuat gerakan hendak menarik tali keras-keras.
“Jangan
ditarik! Ampun!”
“Kalau
begitu lekas bicara!”
“Sumpah!
Aku tidak tahu siapa pimpinan Serikat Candu Iblis…”
“Lalu
siapa yang mengirimkan candu-candu keparat itu padamu?”
“Seorang
penghubung. Aku tidak tahu siapa orangnya. Dia selalu datang pada malam hari
dan meletakkan kotak kecil berisi candu pada tempat tertentu.”
“Lalu
bagaimana caranya dia menerima uang pembayaran candu serta keuntungan hasil
perbuatan celakamu pada seratus orang-orang yang kini mendekam di kamar bawah
tanah itu?!”
“Aku… Aku
memasukkan uang di sebuah kotak. Lalu meletakkannya pada malam hari di satu
tempat. Besoknya kotak itu lenyap tanda sudah diambil oleh orang Serikat Candu
Iblis.”
“Aku
tidak bisa percaya begitu saja keteranganmu. Kau sendiri pasti anggota Serikat
itu…”
“Demi
tuhan aku…”
“Dalam
bahaya dan mau mampus kau menyebut nama Tuhan. Waktu kau menyeret orang-orang
itu jadi penghisap madat dan mendapat keuntungan besar, apakah kau juga ingat
Tuhan?!”
Dengan
geram Wiro sentakkan tali. Kembali Sentiko menjerit setinggi langit.
“Babi
gemuk, aku tahu kau tidak mungkin menjalankan pekerjaan terkutuk ini secara
bebas kalau tidak ada yang melindungimu. Katakan siapa pelindungmu!”
“Aku…
Tidak ada yang melindungi. Serikat Candu Iblis hanya menyediakan enam orang
pengawal di tempat ini. Kau sudah melihat mereka kemarin. Bahkan kau telah
membunuh seorang di antaranya…!”
“Aku
tidak percaya!” seringai Wiro. “Kau berdusta. Mukamu kulihat pucat. Kalau kau
tidak mau bilang, kupotes telor kodok dan lontong kumelmu!” Wiro gerakan
tangannya yang memegang tali.
“Ampun!
Jangan! Aku akan katakan, Aku akan katakan! Tapi lepaskan dulu ikatan tali
celaka itu. Aku bisa cacat seumur hidup Aku bisa lemah syahwat…!”
Wiro menyeringai.
“Ikatan akan kulepaskan kalau kau sudah mengatakan siapa yang jadi pelindung
komplotanmu. Kau dengar?”
“Ya… ya”
kata Sentiko sambil membungkuk terhuyung-huyung memperhatikan bagian bawah
perutnya. Seolah-olah memeriksa apakah sang burung berikut sarangnya masih
tersangkut di sana! Ketika dilihatnya keadaannya masih baik-baik saja walau
bentuknya tidak karuan rupa lagi maka dia cepat meneruskan ucapannya.
“Baik
akan aku katakan. Orangnya adalah…” Belum sempat Sentiko menyelesaikan
ucapannya tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di pangkal leher lelaki
gemuk itu. Sentiko menjerit. Pendekar 212 melompat ke jendela. Pohon di
seberang bangunan dilihatnya bergoyang. Seseorang melompat dari atas pohon ke
punggung seekor kuda. Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi kuda dan
penunggangnya sudah lenyap di balik tembok. Pukulan yang dilepaskan Wiro hanya
sempat merusak bagian atas tembok hingga runtuh berantakan.
“Kurang
ajar!” maki Wiro. Dia lari mendapatkan Sentiko yang saat itu menggeletak di lantai
dalam keadaan menelungkup. Sebatang kayu kecil berbentuk sumpit yang ujungnya
ada bundaran pipih dengan tulisan SCI menancap di lehernya.
Melihat
tengkuk Sentiko yang mulai menghitam Wiro maklum kalau kayu kecil itu
mengandung racun keras. Sentiko tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Wiro
berusaha menotok jalan darah sekitar kayu yang menancap.
“Dengar,
kau tak bakal apa-apa. Aku akan menolongmu. Tapi lekas katakan siapa pelindung
komplotanmu. Ayo Sentiko! Lekas bilang…”
Kedua
mata sipit lelaki gemuk itu membeliak. Mulutnya membuka.
Ketika
Wiro menuruni tangga dari tingkat atas menuju tingkat bawah penginapan dia
berpapasan dengan dua orang lelaki yang hanya mengenakan celana hitam. Keduanya
adalah dua dari enam pengawal baru yang ditempatkan di situ.
Mereka
sejak tadi curiga mendengar suara ribut-ribut di bangunan sebelah atas lalu
lari menaiki tangga, berpapasan dengan Wiro yang menuju turun.
“Hai!
Jangan lari! Kau pasti…!”
Wiro
tidak memberi kesempatan. Dia melompat dari anak tangga yang kesembilan. Kedua
kakinya menendang ke depan. Dua anggota Serikat Candu Iblis yang berbadan kekar
itu mencelat lalu tergelimpang. Yang satu pecah pelipisnya. Satu lagi hancur
mulut dan hidungnya!
*****************
11
SEPERTI
setiap kali datang, malam kali ini tidak beda dengan malam-malam sebelumnya.
Empat orang pengawal gedung di luar Kotaraja sebelah selatan itu menyongsong
kedatangan rombongan pengusung tandu. Pintu gedung dibuka dan tandu lalu
digotong ke dalam.
Juga
seperti dulu-dulu, ruangan di mana tandu diturunkan berada dalam keadaan suram
temaram. Hanya ada satu lampu minyak kecil di atas meja. Empat orang pengusung
di kiri dan empat lagi di sebelah kanan. Dengan suara berkereketan pintu tandu
terbuka. Raden Haryo Adipuro yang sejak tadi duduk dalam kegelapan berdiri dan
menjura memberi hormat pada si katai Soltan Ramada yang duduk di dalam tandu
dengan sikap seperti seorang raja diraja.
Tanpa
memulai pertemuan itu dengan pembicaraan terlebih dahulu Soltan Ramada langsung
melemparkan kantong uang ke atas meja.
“Kantongmu
makin lama makin kecil Raden Haryo…”
Raden
Haryo tampak seperti hendak membuka mulut. Tapi Soltan Ramada mengangkat tangan
dan berkata, “Waktumu untuk bicara akan kuberikan. Sekarang kau dengar dulu apa
yang akan aku katakan dan jawab jika aku ada pertanyaan!”
Raden
Haryo Adipuro anggukkan kepala.
“Pertama,
aku cukup gembira bahwa kau memang membereskan Jala Gandring, Barataji dan
Lawunggeno. Tetapi pahala yang kau buat itu terkubur bersama kejadian di
perbatasan!”
“Pusat
penghisapan candu di sana diobrak-abrik oleh orang tak dikenal. Beberapa orang
anggota serikat yang menjadi pelindung dan pengawal dibunuh. Beberapa lainnya
cedera berat. Bagaimana ini bisa terjadi!? Kau harus menjawabnya nanti!”
“Hal
kedua, orang kita di tempat itu, yakni Sentiko juga tewas. Ada keanehan pada
keadaan mayatnya. Kemaluannya dijirat! Gila betul! Tapi itu tidak membuatku
risau! Yang perlu diungkapkan ialah bahwa Sentiko mati akibat ditancap sumpit
beracun yang ada lambang singkatan Serikat Candu Iblis! Adalah aneh kalau orang
Serikat membunuh kawannya sendiri! Hal ketiga…”
Raden
Haryo Adipuro tampak berdiri dari kursinya. Terdengar dia berucap memotong
kata-kata Soltan Ramada. “Hal ketiga atau keempat atau kelima tidak penting
bagiku! Aku ingin bertanya! Apakah kau juga ingin mati dengan kemaluan dijirat
seperti yang terjadi dengan Sentiko?!”
“Eh!”
Soltan Ramada keluarkan seruan tertahan saking kagetnya mendengar ucapan itu.
Dia cepat berdiri. Delapan lelaki pengusung tandu juga terkesiap mendengar
kata-kata yang mereka anggap sangat berani, bahkan keterlaluan itu. Salah
seorang di antara mereka berbisik pada kawannya. “Kepala Pasukan Pengawal
Istana ini ingin cepat mampus rupanya…”
“Suaramu
lain Raden Haryo! Sejak tadi sebetulnya aku juga heran melihat tubuhmu yang
agak langsingan…”
Raden
Haryo Adipuro tertawa bergelak.
“Kurang
ajar! Berani kau tertawa seperti itu di depanku?!” bentak Soltan Ramada
melompat dari tandu.
Saat itu
tiba-tiba ruangan tersebut menjadi terang benderang. Lima puluh orang prajurit
Kerajaan, dua puluh di antaranya membawa obor, membanjiri ruangan itu.
Di luar
masih ada sekitar seratus orang prajurit lagi mengurung gedung. Si katai ini
memandang berkeliling dengan paras berubah. Lalu dia kembali berpaling pada
orang di depannya. Saat itu orang ini telah melepaskan ikatan pada rambutnya
hingga kini kelihatan rambutnya yang gondrong.
“Kau!”
seru Soltan Ramada. “Ternyata kau adalah Ketua Serikat Candu Iblis! Pemimpinku
sendiri! Sungguh satu pertemuan yang tidak diduga!” Lalu Soltan Ramada menjura
dalam-dalam. Delapan pengusung yang tidak tahu apa-apa ikut-ikutan menjura.
Sesaat suasana menjadi senyap di ruangan itu.
Suara
tawa seseorang kemudian memecah kesunyian yang mencekam itu.
Orang
yang tertawa menyeruak di antara deretan prajurit yang mengurung. Di sampingnya
mengapit dua orang perwira tinggi kerajaan. Orang yang barusan tertawa ini
bukan lain adalah Patih Sagara Wisamala.
“Soltan
Ramada alias Cula Singkir! Enam tahun kau menghilang tahu-tahu muncul lagi
menimbulkan malapetaka. Dirimu rupanya tidak pernah kering dari kejahatan!
Otakmu cerdik dan licin. Tapi kau tidak bisa menipu diriku dengan begitu cerdik
mengatakan bahwa pemuda berambut gondrong ini adalah Ketua Serikat Candu Iblis!
Dia adalah Pendekar 212, orang tak bersalah yang hendak kau libatkan dan cemarkan
namanya! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Raden Haryo Adipuro yang
jadi kaki tanganmu sudah ditangkap!”
Berubahlah
tampang kelabu manusia katai berkepala botak itu. Kedua matanya berputar liar.
“Aku masih bisa kabur. Masih bisa lolos…” katanya dalam hati. Matanya melirik
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Hai!”
ujar Wiro seraya tersenyum lebar dan angkat tangannya. “Apa saat ini ada lagi
kotak candu yang hendak kau berikan padaku?!”
Di balik
kulit mukanya yang kelabu, tampang Soltan Ramada alias Cula Singkir mengelam
membesi. Dia melangkah mundur menuju tandu. Wiro yang sudah maklum kalau tandu
itu memiliki berbagai senjata rahasia maju tiga langkah lalu hantamkan tangan
kanannya melepas pukulan sakti “Dewa Topan Menggusur Gunung”.
Tandu
kayu jati yang kokoh itu mencelat dan hancur berantakan. Soltan Ramada sendiri
kalau tidak cepat menyingkir pasti kena disambar mental. Dengan air muka geram
si katai ini berteriak pada delapan lelaki pengusung tandu.
“Bunuh
pemuda gondrong itu!” Delapan lelaki bertubuh kekar bergerak maju.
Melihat
hal ini Patih Sagara Wisamala cepat memberi perintah pada prajurit-prajurit
serta pimpinan mereka. “Habisi mereka semua!”
“Tunggu
dulu!” teriak Pendekar 212. “Paman Patih, mohon maafmu. Mengingat saya yang
punya hajat, biar saya yang mengurusi tetamu-tetamu terhormat itu! Harap yang
lain mengawasi si kate itu. Dia punya banyak akal untuk melarikan diri!”
Lalu Wiro
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu saktinya.
Sebelumnya
dia telah menyaksikan kalau manusia-manusia pengusung tandu itu tidak sanggup
bertahan terhadap api. Sebaliknya, delapan orang pengusung tampaknya seperti
menganggap remeh senjata di tangan Wiro. Mereka terus merangsak.
Didahului
bentakan nyaring, Wiro adu kapak dengan batu hitam. Lidah api menyembur. Kini
baru delapan orang itu kaget dan berusaha menyingkir. Namun tiga orang
terlambat. Tubuh mereka segera dilalap api. Ketiganya meraung dan bergulingan
di lantai.
Lima
temannya dalam marah seperti menjadi kalap. Dengan nekat mereka menyerbu Wiro.
Batu dan kapak mengeluarkan suara keras ketika saling beradu. Lidah api yang
lebih besar menyambar ke depan. Lima raungan menggema di ruangan itu!
Selagi
semua orang seperti terpukau melihat peristiwa dahsyat itu Soltan Ramada alias
Cula Singkir pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sengaja menyeruak
ke dalam barisan pasukan yang mengurung tempat itu. Tubuhnya yang kecil pendek
menyusup di antara kaki-kaki prajurit. Lalu dari dalam sakunya dia mengeluarkan
benda hitam sebesar ujung jari kelingking. Benda ini dimasukannya ke dalam
mulutnya.
Selagi
para prajurit itu sibuk berusaha menangkapnya, Soltan Ramada meniup
keras-keras. Asap kelabu menggebubu dari mulutnya disertai menyebarnya hawa
aneh. Begitu hawa itu terhirup ke dalam pernafasan, lebih dari duapuluh
prajurit langsung lemas keliangan. Dua perwira tinggi tertegun sesaat. Mereka
hampir ikut roboh kalau Patih Sagara Wisamala tidak menarik keduanya menjauhi
asap candu iblis.
“Celaka!
Manusia katai itu lenyap!” teriak Patih Sagara. Dia melompat ke pintu depan.
Wiro ikut mengejar. Belasan prajurit mengikuti dari belakang. Di luar terjadi
kegaduhan karena tidak seorang pun prajurit yang mengurung gedung melihat sosok
Soltan Ramada.
“Sialan!”
maki Wiro. Sementara Patih Sagara Wisamala terduduk di tangga gedung. Semua
orang terdiam seolah-olah habis daya. Kesunyian mencekam di dalam dan di luar
gedung. Namun tiba-tiba ada satu suara tertawa cekikikan dari arah persimpangan
jalan yang gelap di seberang sana.
“Siapa
yang tertawa?” tanya Patih Sagara pada Wiro.
“Tak
dapat saya pastikan. Tapi itu suara perempuan!” jawab Wiro. Lalu dia mendahului
melompati tangga dan lari ke arah persimpangan. Ketika Patih Sagara mengikuti,
semua orang langsung menghambur pula.
*****************
12
DI
persimpangan jalan yang tadinya gelap dan kini diterangi oleh sekian banyak
obor, kelihatan Soltan Ramada tegak tak bergerak. Di depannya berdiri seorang
nenek tinggi kurus. Demikian kurusnya seperti hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Kulitnya hitam pekat seperti jelaga. Pipi dan kedua matanya cekung.
Batok kepalanya ditumbuhi rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna
alisnya. Lima buah tusuk kundai perak menghiasi kepalanya. Kelima tusuk kundai
itu tidak disisipkan disela-sela rambut tapi ditusukan ke kulit kepala!
“Guru!
Eyang!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali bahwa nenek di tengah jalan
itu bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!
Patih
Sagara Wisamala terkesiap. Selama ini dia belum pernah bertemu muka dengan si
nenek sakti, hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam hatinya
tergetar juga melihat keangkeran Sinto Gendeng.
Wiro
jatuhkan dirinya di depan sang guru. Si nenek memandang padanya.
“Anak
sableng!” si nenek memaki. ”Apa yang kau lakukan hingga ada orang mengirim
kabar bahwa kau sekarang sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas kakap!
Katanya kau juga sudah jadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul
begitu?”
“Semua
dusta dan fitnah busuk dari orang-orang Serikat Candu Iblis,” jawab Wiro.
“Nenek
sakti, muridmu tidak bersalah. Dia memang korban fitnah,” berkata Patih Sagara
Wisamala.
Sinto
Gendeng melirik pada sang patih. Dia sebenarnya sudah tahu siapa adanya orang
yang barusan bicara itu namun dia bersikap acuh saja.
“Ah,
kalau begitu percuma saja aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan yang tidak
bisa mengurus negeri akibatnya aku dan muridku yang jadi korban. Malah aku
menyirap kabar bahwa diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak menyerahkan
diri maka aku akan digantung! Busyet!” si nenek cekikikan.
Paras
Patih Sagara Wisamala berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam hati dia
bertanya. “Bagaimana nenek ini tahu rencana Sri Baginda itu? Ah, aku
benar-benar jadi tidak punya muka.”
“Eyang,
bagaimana kau bisa muncul di sini?” bertanya Wiro.
“Tubuh
tua keropos ini tidak ubah seperti daun kering,” jawab Sinto Gendeng pula.
“Mudah ditiup angin dan melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang
melancong makan-makan angin di persimpangan sini, kulihat si kate botak ini
berlari seperti orang dikejar setan. Celananya basah. Rupanya dia sudah kencing
di celana! Hik…hik… hik!” si nenek tertawa cekikikan.
Patih
Sagara Wisamala dan orang-orang yang berada di tempat itu hampir-hampir tak
bisa menahan geli mendengar ucapan si nenek dengan gayanya waktu bicara. “Wiro!
Kowe tahu siapa adanya kecoak botak ini?!”
“Namanya
Soltan Ramada alias Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting Serikat Candu
Iblis,” menerangkan Wiro.
“Ah..ah…ah!
Jadi namanya Sultan bercula!” kata si nenek sengaja salah menyebut nama manusia
katai itu. “Karena curiga, begitu kepapasan aku totok tubuhnya. Ternyata dia
adalah bangsat yang harus dibekuk!”
“Kami
berterima kasih karena kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami laporkan kepada
Sri Baginda,” kata patih kerajaan.
Si nenek
tersenyum. Senyumnya itu justru membuat tampangnya tambah angker. “Hidup hampir
seratus tahun, tak pernah aku mencari nama meminta pamrih!” Sinto gendeng
berpaling pada muridnya. “Sableng! Kau bangkitlah! Aku bukan orang penting yang
patut kau hormati dengan berlutut!” Sinto Gendeng mengangkat tangannya. Wiro
merasakan bahunya yang dipegang seperti lengket dan ditarik oleh satu kekuatan
dahsyat. Dia ingin menjajal. Dia kerahkan tenaga dalam tubuhnya menjadi seberat
seekor gajah. Sinto Gendeng tampak mengerut tampangnya. Dia lipat gandakan
tenaganya menarik bahu muridnya.
“Brettt!!!”
Pakaian
Wiro robek sedang tubuhnya tetap saja berlutut.
“Anak
setan!” maki si nenek perlahan. “Ternyata kau sudah memiliki tenaga dalam luar
biasa…”
“Saya
tidak punya apa-apa eyang. Masih bodoh seperti dulu,” sahut Wiro.
Si nenek
melotot lalu mendongak dan tertawa gelak-gelak. Dia memberi isyarat agar Wiro
berdiri. Setelah muridnya berdiri maka Sinto Gendeng lantas berkata. “Aku tidak
punya kepentingan lama-lama di tempat ini. Sebelum aku berangkat ada satu
pegangan hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat baik-baik. Kau mau
mendengarnya anak sableng?!”
“Saya
mendengar Eyang…”
“Dalam
perjalanan hidup seseorang, jika dia berbuat satu kebenaran atau kebaikan,
tidak ada orang yang mengingatnya. Tapi bilamana dia berbuat kealpaan atau
kesalahan, tidak ada orang yang melupakannya. Nah, kau ingat hal itu baik-baik
agar kau hidup mawas diri dan mandiri!”
“Saya
akan mengingatnya baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih atas budi baik
Eyang menyampaikan pegangan hidup ini.”
“Bagus!
Tetaplah mengasah otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!” habis berkata
begitu Sinto Gendeng berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudah lenyap dari
persimpangan itu.
Untuk
beberapa lamanya tempat itu diselimuti kesunyian. Tak ada yang bergerak, tak
ada yang bersuara. Akhirnya Patih Sagara Wisamala melangkah mendekati Soltan
Ramada.
“Aku tahu
kau bukan Ketua Serikat Candu Iblis. Sekarang katakan pada kami siapa
pemimpinmu dan tunjukkan di mana markasnya!”
“Aku… aku
tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di mana
markasnya…” jawab si kate.
Pendekar
212 Wiro Sableng melangkah ke hadapan si katai. “Begitu katamu…?” Dia memandang
berkeliling lalu berteriak. “Tanggalkan seluruh pakaian kecoak ini! Cari tali!
Dia pantas diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!”
Mendengar
teriakan Wiro itu lumerlah nyali si katai. Dia segera meratap.
“Jangan…
jangan diikat anuku! Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua Serikat
Candu Iblis menyebut dirinya dengan Pangeran…”
“Pangeran?”
ujar Patih Sagara Wisamala.
Wiro
sendiri merasakan darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu.
“jangan-jangan si keparat itu…” katanya dalam hati.
“Betul.
Pangeran. Begitu aku memanggilnya. Aku akan tunjukkan tempat kediamannya… Tapi
jangan anuku diapa-apakan… Kalian boleh pukul aku sampai babak belur. Tapi
anuku itu… jangan…!”
Wiro
menyeringai. Dia tarik leher jubah hitam Soltan Ramada. Lalu orang yang masih
berada dalam keadaan tertotok ini dilemparkannya ke dalam sebuah gerobak.
Dengan
petunjuk Soltan Ramada, pepohonan dan semak belukar yang menutupi mulut goa
berhasil disingkirkan. Namun batu besar yang menghalang di sebelah dalam
menjadi persoalan karena Soltan tidak tahu bagaimana cara membukanya.
Patih
Sagara Wisamala sesaat meragu. Apakah dia terpaksa memperlihatkan kehebatannya
membobol batu itu. Bagaimana kalau ternyata kesaktiannya tidak mampu
menghancurkan batu. Atau akan dimintanya saja Pendekar 212 untuk melakukannya?
Wiro yang
melihat sang patih ragu-ragu segera angkat tangan kanannya.
Kedua
kakinya terpentang. Perutnya mengempis. Tangan kanannya bergetar hebat tanda
seluruh tenaga dalam yang ada di perut tengah dialirkannya ke tangan.
Perlahan-lahan
tangan itu mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.
Patih
Sagara Wisamala memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti apa yang
hendak dikeluarkan Wiro guna menghantam batu, “Pukulan Sinar Matahari.” Selama ini
dia hanya mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu. Kini dia akan
menyaksikannya sendiri. Orang-orang lainnya yang berjumlah hampir seratus,
menunggu dengan tegang.
Pendekar
212 membentak keras. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke depan.
Sinar putih menyilaukan membersit disertai menghamparnya hawa panas luar biasa,
membuat semua orang yang ada di situ cepat menjauh.
Terdengar
suara berdentum. Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah dalam hancur
berantakan. Jalan masuk ke dalam goa kini terbuka lebar. Semua orang leletkan
lidah. Patih kerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan sakti yang
tadi dilepaskan Wiro itu.
Pendekar
212 melompat masuk ke dalam goa. Untuk beberapa lamanya Pukulan Sinar Matahari
masih disiapkannya karena khawatir akan menemui hal-hal yang tak terduga di
dalam sana. Patih Sagara menyusul masuk sambil menyeret Soltan Ramada. Seluruh
ruangan dalam goa diperiksa, termasuk kamar di mana biasanya perempuan gemuk
bernama Ramini menunggu kedatangan kekasihnya yaitu Soltan Ramada.
Atas
petunjuk Soltan Ramada, semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu
diperiksa dan dilumpuhkan. Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemui
di tempat itu. Tidak juga orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.
“Goa ini
kosong! Jangan-jangan kau mengakali kami!” Patih Sagara Wisamala menggeram dan
memandang mendelik pada Soltan Ramada. Tangannya bergerak mencekik leher jubah
si katai ini.
“Saya
tidak berdusta. Sekali ini saya tidak berdusta. Pangeran itu pasti telah
melarikan diri…” kata Soltan Ramada dengan suara ketakutan.
“Awas ada
benda jatuh!” satu dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di dalam goa
berteriak memberi peringatan. Mengira ada senjata rahasia yang menyerang Wiro
dan Patih Sagara siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang jatuh adalah
sehelai kertas putih yang rupanya sebelumnya memang sengaja ditempelkan di
langit-langit goa lalu terlepas dan jatuh ke bawah.
Wiro
cepat menangkap kertas itu.
“Ada
tulisan di sebelah belakang!” seorang prajurit memberi tahu.
Wiro
membalikkan kertas itu. Keningnya mengernyit.
“Sialan
keparat!” maki Wiro kemudian. Kertas itu hendak dirobeknya tapi cepat diambil
oleh Patih Sagara lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.
Pendekar
212!
Jangan
kau merasa menang. Bagaimana pun juga aku sempat mempermainkanmu. Dan kau
sampai saat ini masih belum bisa menangkapku. Selama siang selalu berganti
dengan malam, selama itu pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu. Serikat
Candu Iblis boleh musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak bisa kau kalahkan!
Kita pasti akan bertemu lagi dan kau tetap berada di pihak yang kalah. Ingat
hal itu baik-baik. Ha..ha…ha…!
Pangeran
Matahari
“Pangeran
keparat!” terdengar Pendekar 212 memaki. “Dia rupanya yang jadi biang racun…!
Ketua Serikat Candu Iblis! Bangsat! Satu ketika kelak lehernya pasti akan
kupuntir!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment