Pernikahan Dengan Mayat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian
Tito
**********************
1
DALAM
episode sebelumnya, “Bendera Darah” dan “Aksara Batu Bernyawa”, diceritakan
bagaimana Sinto Gendeng muncul di malam buta ketika Wiro Sableng secara tidak
terduga dibokong oleh salah seorang anggota komplotan manusia pocong. Sebuah
bendera darah menancap di dada Wiro. Di tempat itu hadir Wulan Srindi murid
Perguruan Silat Lawu Putih yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak dan tengah
mencari Pendekar 212 sehubungan dengan ikatan jodoh di antara mereka. Selain
Wulan Srindi, di situ juga ada Jatilandak dan Loh Gatra yang istrinya diculik
komplotan manusia pocong. Sementara itu, tanpa diketahui orang-orang tersebut,
Bidadari Angin Timur dan Setan Ngompol bersembunyi dalam gelapnya malam, di
balik kerimbunan semak belukar lebat. Diam-diam kedua orang ini mengikuti semua
apa yang terjadi di tempat itu.
Walau
Sinto Gendeng tertawa cekikikan sehabis mengerjai muridnya dengan berpura-pura
hendak mencekoki Wiro dengan air kencing yang diperas dari ujung kain, tak
seorangpun mau ikutan tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja tak ada yang
berani. Mereka semua tahu kalau si nenek punya adat dan sifat aneh. Sekali
marah Sinto Gendeng bisa melabrak semua orang yang ada di tempat itu. Apa lagi
tadi dia sudah marah-marah dan menganggap ada tiga orang gila di tempat itu.
Orang
gila pertama menurut Sinto Gendeng adalah muridnya sendiri, karena dilihatnya
berdandan aneh memakai bendera merah basah di dada. Sinto Gendeng kemudian
pergunakan kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghancurkan Bendera Darah
sampai ke gagangnya.
Orang
gila kedua di mata si nenek sakti dari puncak Gunung Gede itu adalah
Jatilandak, pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berkulit kuning mulai dari
kepala– nya yang botak sampai ke ujung kaki. Lalu orang gila ketiga yang
dituding si nenek bukan lain Wulan Srindi, gadis cantik berkulit hitam manis
yang berlutut di hadapannya dan mengaku sebagai calon menantu.
Setelah
puas tertawa, Sinto Gendeng memandang ke arah Pendekar 212, pelototkan mata
lalu membentak.
“Anak
Setan! Dua tugas yang aku berikan padamu, apakah sudah kau kerjakan?!”
Wiro yang
sedang usap-usap bekas luka di dadanya yang barusan disembuhkan sang guru
terlonjak kaget dibentak begitu rupa. Sambil garuk kepala dia balik bertanya.
“Anu Nek,
dua tugas yang mana maksudmu?”
Sejak
beberapa waktu belakangan ini memang banyak hal yang ditangani Pendekar 212.
Lalu yang paling membuat kacau balau pikiran pemuda ini ialah melihat hubungan
tak terduga antara Jatilandak dengan Bidadari Angin Timur. Wiro memergoki
sendiri mereka berdua-duaan di satu tempat sunyi. Lalu sekali lagi Wiro melihat
kedua orang itu. Bidadari Angin Timur seperti habis menangis dan Jatilandak
mendukungnya. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Bendera Darah”)
“Setan
geblek! Aku bertanya malah kau balik bertanya. Apa otakmu sudah jadi batu? Atau
mungkin kerjamu selama ini hanya mencari gadis-gadis cantik sampai lupa tugas!”
Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik seperti mau melompat dari rongganya yang
cekung. “Eh, mungkin juga betul kata gadis sinting bernama Wulan Srindi itu.
Kau kini punya ilmu yang bisa membuat seorang gadis jadi bunting dari jarak
jauh!” Kalau sebelumnya ketika meng– ucapkan kata-kata itu si nenek tertawa
cekikikan, kini tidak. Tampangnya yang hitam hanya tinggal kulit pembalut
tengkorak kelihatan angker sekali.
“Tidak
Nek, aku… aku tidak punya ilmu begituan,” jawab Wiro sambil garuk kepala.
“Mengenai dua tugas itu aku mohon maaf. Aku…”
Belum
habis Wiro berucap Sinto Gendeng sudah mendamprat.
“Benar-benar
anak setan! Jadi jangankan mencari, menjajaki di mana beradanya Pedang Naga
Suci 212 dan Kitab Seribu Pengobatan yang raib itu sama sekali belum kau
lakukan…”
Wiro
garuk-garuk kepala. Coba tersenyum dan berkata. “Begini Nek. Anu, aku…”
“Tutup
mulutmu sebelum aku robek dengan tongkat ini!” Jengkel si nenek rupanya sudah
naik ke ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak.
Wutt!
Tongkat
kayu butut di tangan kiri si nenek melesat di depan muka Wiro. Kalau tidak
cepat sang murid menarik kepalanya ke belakang bukan mustahil mulut Wiro
benarbenar dirobek ujung tongkat.
Wiro
usap-usap mulut. Muka pucat. Tak berani cengengesan lagi.
“Anak
setan! Ingat, dulu kau pernah bicara akan mencari kitab itu bersama gadis
berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur. Kau malah berkata gadis itu punya
dugaan di mana beradanya atau siapa pencuri kitab itu…”
“Memang
benar Nek,” kata Wiro menjawab ucapan sang guru. “Namun sebelum hal itu sempat
dilakukan kami keburu berpisah. Aku janji Nek, akan mencari dua benda pusaka
itu. Hanya saja saat ini aku dan kawan-kawan tengah menghadapi satu perkara
besar…”
“Kentut
busuk! Aku tidak perduli perkara besar apa yang kalian hadapi!” Hardik Sinto
Gendeng. Lalu dia berbalik ke arah Wulan Srindi. “Gadis geblek! Bagaimana kau
bisa jadi sinting mengaku sebagai calon laki anak setan itu! Calon menantuku!
Gelo!”
Wulan
Srindi jatuhkan diri berlutut. Dia tundukkan kepala sesaat. Sebenarnya dulu
ketika berselisih dan kesal melihat sikap Bidadari Angin Timur yang cemburu
keter– laluan, Wulan Srindi hanya ingin bergurau untuk memper– mainkan gadis
berambut pirang itu. Ternyata kini jadi keterusan. Kepalang basah, biar mandi sekalian,
Wulan Srindi akhirnya teruskan sandiwara yang dilakukannya.
“Nenek
Sinto, harap dimaafkan kalau aku membuatmu terkejut dan marah dengan semua
ucapanku tadi. Tapi ketahuilah, sebelumnya Dewa Tuak telah mengangkatku jadi
murid. Dia kemudian menyuruhku mencari muridmu. Katanya antara aku dan muridmu
ada ikatan perjodohan…”
“Hah!
Apa?!” Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik besar. Mulutnya seperti mau menelan
bulat-bulat kepala Wulan Srindi. “Tambah gila urusan ini! Tambah sinting kau
rupanya!” Teriak Sinto Gendeng. Mulutnya komat kamit menahan carut marut.
“Siapa percaya ucapanmu! Kalau aku bertemu bangsat tua bernama Dewa Tuak itu
akan aku hajar dia sampai pengkor!” Sinto Gendeng bantingkan tongkatnya ke
tanah hingga amblas dan hanya tinggal setengah jengkal saja yang tersembul.
Sambil mulutnya menggerendeng panjang pendek, Sinto Gendeng kem– bangkan
telapak tangan. Sekali tangan ditarik ke atas, tongkat yang tenggelam di tanah
melesat ke atas dan tahutahu sudah berada dalam genggaman tangan kirinya kembali.
Namun kekuatah tenaga dalam yang dikerahkan Sinto Gendeng sewaktu menarik
tongkat dari dalam tanah terlalu berlebihan. Ujung kainnya ikut terbetot ke
atas sampai ke pinggul! Auratnya sebelah bawah tersingkap lebar!
Wulan
Srindi yang berada paling dekat dengan si nenek cepat palingkan muka.
Jatilandak pura-pura melihat ke langit dan Loh Gatra menunduk sambil
garuk-garuk kening.
Wiro
pejamkan mata lalu melengos. “Gila, sudah dua kali aku melihat aurat
terlarangnya. Dulu waktu dia terpendam di tanah. Kata orang melihat yang
beginian bisa apes!” (Baca Episode pertama “113 Lorong Kematian”)
Sinto
Gendeng terpekik begitu sadar apa yang terjadi dengan dirinya. Dua tangannya
cepat menurunkan kain panjang yang basah hingga auratnya sebelah bawah tertutup
kembali.
Di balik
semak belukar sepasang mata Setan Ngompol terpentang lebar.
“Uhh!
Gelap sialan. Aku hanya melihat hitam semua!…” Matanya yang jereng diusap-usap.
Air kencingnya sudah dari tadi mengucur. “Betul kata orang. Nenek tua ini tidak
suka pakai celana dalam! Kalau saja dia masih seorang gadis, hik… hik… hik
pasti bagus punya!”
Di
sampingnya Bidadari Angin Timur hanya bisa diam dengan wajah merah.
Sinto
Gendeng dengan tampang membesi memandang berkeliling, mencari-cari.
“Siapa
yang kau cari Eyang?” Wiro beranikan diri bertanya.
“Bocah
geblek bernama Naga Kuning itu tidak ada di sini?”
“Tidak
Nek, dia tidak ada di sini.” Menerangkan Wiro sambil bertanya-tanya mengapa
gurunya menanyakan Naga Kuning. Wiro kemudian ingat, dulu ketika Sinto Gendeng
dipendam di tepi telaga oleh Sepasang Naga Kembar Naga Nini dan Naga Nina,
bersama Gondoruwo Patah Hati Naga Kuning menolong mengeluarkan si nenek dari
jepitan tanah. Ketika Sinto Gendeng berhasil diselamatkan ternyata kain
panjangnya masih terjepit di tanah hingga aurat sebelah bawah si nenek
tersingkap lebar, sama dengan apa yang barusan kejadian. “Hemm…” Wiro membatin.
“Rupanya mungkin Eyang Sinto merasa jengah dan malu sekali kalau Naga Kuning
sempat melihat dirinya setengah bugil sampai dua kali.” (Baca Episode “113
Lorong Kematian”)
Sementara
semua orang mulai tenang setelah menyak– sikan pemandangan yang mengejutkan
tadi, Wiro berpaling pada Wulan Srindi. Ingat pada apa yang sebelumnya
diucapkan si gadis bahwa dirinya telah diangkat jadi murid oleh Dewa Tuak dan
disuruh si kakek mencari dirinya karena ada ikatan jodoh. Ingin sekali Wiro
menampar Wulan Srindi. Namun yang dilakukannya hanya meman– dang melotot pada
si gadis sementara Wulan Srindi sendiri tenang-tenang saja malah senyum-senyum
simpul.
“Nenek
Sinto, kalau kau tidak percaya semua ucapanku silahkan mencari guruku Dewa
Tuak. Tapi…” Wulan Srindi lalu berpura-pura unjukkan wajah sedih. Seperti mau
menangis ada, seperti khawatir juga ada.
“Tampangmu
berubah! Apa yang ada dalam otakmu! Jangan kau berani main-main padaku!” Bentak
Sinto Gendeng.
Wulan
Srindi gelengkan kepala berulang kali.
“Siapa
berani mempermainkanmu Nek. Aku sangat menghormatimu. Apalagi kau adalah calon
mertuaku…”
“Gadis
setan! Kalau kau berani ucapkan kata-kata itu sekali lagi kubuat rengkah batok
kepalamu!” teriak Sinto Gendeng.
“Maafkan
diriku Nenek Sinto. Tapi mengenai guruku Dewa Tuak, aku tidak tahu apa dia
masih hidup atau sudah waras…”
“Memangnya
apa yang terjadi dengan tua bangka rongsokan itu?!” tanya Sinto Gendeng pula
dengan mata masih mendelik dan tampang angker. “Aku punya firasat dia yang
mencuri Kitab Seribu Pengobatan. Karena dia satu-satunya mahluk yang berada di
puncak Gunung Gede pada hari lenyapnya kitab pusaka itu!”
“Perihal
kitab itu, aku tidak tahu apa-apa Nek. Guruku orang baik. Dia tidak mungkin mau
mencuri. Apalagi mencuri barang berharga milik calon besan sendiri,” kata Wulan
Srindi pula.
Mendengar
ucapan Wulan Srindi yang menyebut dirinya sebagai calon besan, Sinto Gendeng
kembali memaki panjang pendek. Wiro lagi-lagi hanya bisa delikkan mata.
Tanpa
perdulikan sikap orang Wulan Srindi lanjutkan ucapan. “Sehabis menolongku dari
seorang manusia pocong yang hendak merusak kehormatanku, Dewa Tuak memasuki 113
Lorong Kematian. Sampai saat ini dia tidak muncul lagi. Semua orang tahu Nek,
sekali masuk ke dalam lorong, jangan harap bisa keluar hidup-hidup! Aku
khawatir telah terjadi sesuatu dengan guruku itu.” Wulan Srindi usap matanya
seperti orang mengusut air mata.
“Cerita
kentut busuk!” tukas Sinto Gendeng tidak terpengaruh dengan mimik dan sikap
Wulan Srindi. Dia melangkah mondar-mandir lalu kembali berdiri di hadapan si
gadis. “Gadis sinting! Kau harus buktikan semua kebe– naran ceritamu! Kau harus
menyelidik masuk ke dalam lorong. Mencari Dewa Tuak. Membuktikan di hadapan
semua orang ini bahwa dia benar sudah mengangkatmu jadi murid…”
“Dan
bahwa dia benar telah menjodohkan diriku dengan muridmu,” sambung Wulan Srindi
pula.
“Setan
alas! Itu memang harus dibuktikan! Aku mau dengar langsung dari mulut tua
bangka itu!” teriak Sinto Gendeng sementara Wiro garuk-garuk kepala dan yang
lain-lain berusaha menahan senyum melihat keras kepala– nya gadis bernama Wulan
Srindi itu. “Tunggu apa lagi! Ayo cari lorong jahanam itu! Masuk ke sana!”
Sinto Gendeng kembali berteriak.
“Nek…,”
wajah Wulan Srindi jadi pucat, “Kalau aku masuk ke dalam lorong, mungkin tidak
bisa keluar lagi…”
“Aku
tidak perduli kau mau keluar atau tidak. Aku tidak perduli apa kau mati di
dalam lorong lalu berubah jadi hantu lorong!” Jawab Sinto Gendeng.
Wulan
Srindi jadi tercekat. “Nenek Sinto, sebenarnya ketika kau datang kami siap
untuk berunding. Tapi men– dadak ada dua kejadian hebat…”
“Jangan
berkilah mengarang cerita!” bentak Sinto Gendeng.
“Tidak
Nek, dia tidak mengarang cerita,” Wiro menya– huti, “Ceritakan pada guruku apa
yang terjadi.”
**********************
2
DI BALIK
semak belukar, Setan Ngompol berulang kali kucurkan air kencing men-dengar
semua percaka– pan orang yang serba mengejutkan. Di sampingnya Bidadari Angin
Timur terdengar menggerutu. “Huh! Apaapaan pemuda itu. Mengapa dia malah
memberi peluang pada si gadis untuk menjual kebohongan?!”
“Sebelum
mendengar ceritanya, kita tidak tahu apa dia bohong atau bicara benar,” kata
Setan Ngompol pula.
“Kau!
Kedengarannya kau mau membelanya. Keluar saja, pergi ke sana!”
“Oala!
Aku yang jadi bahan dampratan!” ucap Setan Ngompol seraya pegang perut menahan
kucuran air kencing. Diam-diam kakek bermata juling ini mulai tahu kalau gadis
cantik di sebelahnya sangat tidak menyukai dara bernama Wulan Srindi itu. Apa
di antara keduanya sudah saling mengenal sebelumnya? Setan Ngompol
bertanya-tanya siapa sebenarnya dan dari mana muncul– nya si cantik hitam manis
itu. Setelah diam sesaat Setan Ngompol berkata. “Turut apa yang dibicarakan
orang-orang itu, aku memang sudah mendengar lenyapnya Pedang Naga Suci 212.
Tapi mengenai Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan milik nenek bau pesing itu
baru saat ini aku tahu. Tadi Wiro memberitahu gurunya, kalau kau dan dia punya
rencana sama-sama menyelidiki perkara itu. Malah bilang kau sudah punya dugaan
siapa pencurinya.”
“Semua
orang bisa saja bikin rencana, bisa punya dugaan,” jawab Bidadari Angin Timur dengan
suara datar dan wajah dingin. Sikapnya seperti tidak acuh. Gadis ini memandang
ke arah orang-orang di depan sana.
“Sandiwara
busuk! Apa Sinto Gendeng tidak sadar kalau dirinya tengah ditipu gadis centil
itu?” Bidadari Angin Timur kepalkan tinju.
“Sahabatku
cantik,” ujar Setan Ngompol pula. “Kalau kau mau ikut menyelesaikan keruwetan,
agar nenek bau pesing itu tidak tertipu lebih jauh, ayo kita sama-sama keluar.
Kita damprat gadis bernama Wulan Srindi itu. Tapi, apa kita punya bukti bahwa
dia benar berdusta mengarang cerita?”
Sedang
jengkel hati, Bidadari Angin Timur tambah kesal mendengar ucapan Setan Ngompol.
“Kakek tolol! Kau membela pemuda itu. Kau juga membela gadis centil itu! Aku
tidak suka bicara lagi denganmu!”
Habis
berkata begitu Bidadari Angin Timur berkelebat ke balik semak belukar yang
lain. Setan Ngompol berusaha menahan gerakan si gadis dengan ulurkan tangan,
mak– sudnya hendak memegang bahu Bidadari Angin Timur. Tapi gerakan si gadis
lebih cepat. Jari-jari tangan Setan Ngompol hanya sempat meraba sekilas bahu
dan samping punggung sebelah kiri Bidadari Angin Timur. Si kakek goleng-goleng
kepala. Pandangi tangan kanan sambil hatinya berkata. “Aku meraba sesuatu di
kepitan tangan kiri gadis itu. Senjata? Ah, mengapa harus aku pikirkan. Perempuan
memang banyak perabotan yang selalu dibawa ke mana-mana. Kecuali si Sinto
Gendeng itu. Yang ke mana-mana kalau polos-polos saja. Celana dalam saja tidak
gablek…” Setan Ngompol lalu tertawa sendiri.
*************************
Sinto
Gendeng pelototi muridnya. Lalu berpaling pada Wulan Srindi. “Gadis sinting,
apa yang mau kau ceritakan! Kalau ngawur kupecahkan kepalamu dengan tongkat
ini!”
Wulan
Srindi mengerling dulu pada Wiro baru membuka mulut berikan penuturan. Dia
memulai ceritanya dari kematian Surablandong Ketua Perguruan Silat Lawu Putih
yang sudah lengser dan kabarnya dibunuh oleh makhluk aneh berbentuk manusia
pocong. Untuk menyelidik kematian Surablandong, bersama saudara seperguruannya
yaitu Parit Juwana, yang merupakan ketua baru Perguruan, Wulan Srindi menyamar
sebagai sepasang suami istri muda. Dalam penyamaran itu Wulan Srindi
berpura-pura sedang dalam keadaan mengandung tujuh bulan memakai nama Nyi
Ningrum, sedang Parit Juwana mengganti nama sebagai Raden Kuncorobanu. Hal ini
dilakukan karena kabarnya komplotan manusia pocong yang sangat ganas itu sering
berkeliaran menculik perempuan-perempuan muda yang tengah hamil tujuh bulan.
Di satu
malam menjelang fajar, Wulan Srindi dan Parit Juwana pergi ke satu tempat dekat
Telaga Sarangan. Mereka ingin melihat bunga mawar hitam langka yang hanya
tumbuh di sekitar air terjun. Sebenarnya semua ini adalah siasat dua murid
Perguruan Silat Lawu Putih itu untuk menjebak manusia pocong. Mereka diantar
oleh Kepala Desa Sarangan, Ki Sena Pamungkur berikut beberapa pengawal pamong
desa.
Kenyataannya
manusia pocong yang ditunggu-tunggu memang muncul. Perkelahian hebat terjadi.
Ki Sena Pamungkur dan beberapa anak buahnya tewas. Menyusul Parit Juwana. Wulan
Srindi sendiri kemudian ditotok dan dilarikan manusia pocong berkepandaian tinggi.
Wulan Srindi dibawa memasuki lorong panjang berliku-liku. Dia dihadapkan pada
seorang manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua.
Sebaliknya Sang Ketua memanggil manusia pocong yang menculik Wulan dengan
sebutan Wakil Ketua. Sang Ketua menanyakan apakah tugas mencari Pendekar 212
telah dilakukan. Ternyata tugas itu belum terlaksana, tapi sudah disirap kabar
di mana beradanya Wiro Sableng. Kepada Sang Ketua, Wakil Ketua minta agar dia
diperbolehkan membawa Wulan Srindi. Atas izin Sang Ketua, Wakil Ketua komplotan
manu– sia pocong membawa Wulan Srindi ke dalam kamarnya. Tapi ketika ditinggal
sebentar, dengan merayu seorang manusia pocong lainnya gadis ini berhasil
keluar dari Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Ternyata dirinya lepas dari
mulut harimau masuk ke mulut buaya. Manusia pocong yang menolong membawanya ke
sebuah pondok dalam satu rimba belantara membekal niat mesum. Ham– pir dirinya
hendak digagahi muncul Dewa Tuak menolong. Manusia pocong itu dibunuh dan
ternyata adalah Ki Sepuh Dalem Kawung seorang sahabat lama Dewa Tuak. Dewa Tuak
tidak sempat menanyai kenapa sahabatnya itu berubah menjadi orang jahat karena
Ki Sepuh Dalem Kawung keburu menghembuskan nafas terakhir. (Baca Episode
sebelumnya “Nyawa Kedua” dan “Rumah Tanpa Dosa”)
“Setelah
menyelamatkan diriku, sebelum masuk ke dalam lorong, Dewa Tuak berkenan
menyatakan diriku sebagai muridnya…” Wulan Srindi mengerling pada Sinto Gendeng
lalu melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aku
masih tidak percaya. Apa alasannya mengambil dirinya jadi muridnya? Tidak
semudah itu Dewa Tuak mengangkat seseorang jadi murid…” Ucap Sinto Gendeng.
“Nek,
keadaan saat itu sulit dilukiskan. Perasaan Dewa Tuak entah bagaimana…”
“Tunggu,”
memotong Wiro. “Kau belum menceritakan dua kejadian hebat yang kau maksudkan
pada guruku.”
Wulan
Srindi mengangguk. Lalu mulai bercerita.
“Kejadian
hebat pertama adalah munculnya Adipati Sidik Mangkurat yang hendak menangkap
Pendekar 212…”
“Tunggu!
Kenapa Sidik Mangkurat mau menangkap anak setan itu?!” potong Sinto Gendeng
seraya melirik ke arah Wiro.
“Kami,
aku dan Wiro dituduh membunuh Aji Warangan, kepala pasukan Kadipaten Magetan,”
yang menjawab Loh Gatra. “Padahal pembunuhnya sudah dapat dipastikan ada–Zlah
anggota komplotan manusia pocong dari Lorong Kematian.”
“Juga
karena dendam lama, Nek,” menyambung Wiro. “Satu kali Adipati berusaha
menangkap kakek berjuluk Setan Ngompol. Dia dituduh sebagai anggota komplotan
manusia pocong dan hendak dihabisi. Aku menolong kakek itu. Sidik Mangkurat
terpaksa angkat kaki kembali ke Magetan bersama anak buahnya. Dia malu dan
dendam besar terhadapku.”
“Hemmm…”
Sinto Gendeng hanya keluarkan suara bergumam mendengar keterangan Loh Gatra dan
Wiro Sableng.
Wiro garuk-garuk
kepala, mendekati gurunya lalu setengah berbisik berkata. “Nek, kalau aku tidak
salah ingat, pada pertemuan terakhir kau menceritakan pernah dihadang manusia
pocong. Terjadi perkelahian. Kau menghantamnya dengan Pukulan Sinar Matahari.
Manusia pocong kabur, jubahnya hangus separoh. Aku heran, sekarang mengapa kau
seperti tidak percaya adanya makhluk aneh ganas itu?”
Sinto
Gendeng pencongkan mulut lalu menjawab. “Anak setan, kalau aku cerita
terus-terang, semua orang disini akan lumer nyalinya. Siapa yang bakal berani
menembus lorong kematian? Siapa yang masih punya nyali menyelidik, mengejar dan
menghancurkan mahluk-mahluk keparat itu? Aku sendiri tidak mau ikut campur
urusan beginian. Aku ada urusan lain lebih penting.”
“Tapi
Nek, rimba persilatan sedang terancam. Di balik semua penculikan perempuan
hamil dan pembunuhan ini pasti ada apa-apanya…”
“Rimba
persilatan katamu? Hik… hik… hik.” Si nenek tertawa. “Aku sudah lama tidak
mengurusi yang namanya rimba persilatan. Kalian yang muda-muda, rimba persilatan
ada di tangan kalian. Jadi uruslah sendiri!”
Wiro
hanya bisa terdiam dan garuk-garuk kepala. Dalam hati pendekar ini berkata.
“Kalau tidak mengurusi rimba persilatan mengapa sekarang dia gentayangan di
tempat ini? Nenek aneh, sulit dibaca hati dan jalan pikirannya.”
“Apa yang
ada di benakmu?” Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan.
“Ti…
tidak Nek,” Wiro terganggu. “Terus-terang, biar kau marah Nek, aku cuma heran.
Kalau kau memang tidak perduli rimba persilatan lagi, lalu mengapa muncul di
sana, muncul di sini. Mungkin tengah mencari seorang kekasih lama?”
Plaaakkk!
Tamparan
tangan kanan Sinto Gendeng mendarat keras di pipi Pendekar 212 Wiro Sableng,
membuat sang murid berdiri sempoyongan. Di sudut bibirnya kelihatan ada darah
mengucur. Sementara semua orang heran melihat apa yang terjadi karena tadi
mereka melihat guru dan murid saling bicara berbisik-bisik. Lalu tahu-tahu
Sinto Gendeng layangkan tamparan ke muka Wiro. Di balik semak belukar gelap
terpisah sekitar sepuluh langkah dari tempat Setan Ngompol berlindung, Bidadari
Angin Timur senyum-senyum seolah mensyukuri Wiro kena tampar tadi.
Lain hati
dan perasaan Bidadari Angin Timur, lain pula perasaan dan sikap Wulan Srindi.
Mungkin saja ada maksud untuk menarik keuntungan dari apa yang terjadi. Namun
saat itu yang jelas memang ada rasa kasihan di lubuk hatinya. Dengan cepat dia
dekati Wiro, keluarkan sehelai sapu tangan biru muda lalu menyeka darah di
sudut bibir Wiro yang luka akibat tamparan. Sehabis menyeka darah, sapu tangan
diselipkannya ke pinggang Wiro.
Di balik
semak belukar Bidadari Angin Timur seperti dipanggang.
Melihat
muridnya terluka akibat tamparannya, bagaimanapun juga Sinto Gendeng jadi
terkesiap sendiri. Namun dia cepat tutupi perasaannya dengan berpaling pada
Wulan Srindi dan berkata.
“Gadis
sinting! Teruskan ceritamu.”
Sang dara
berkulit hitam manis telan ludahnya, melirik ke arah Wiro sesaat lalu teruskan
ceritanya.
“Terjadi
perkelahian hebat antara muridmu dengan Adipati. Sewaktu terdesak Adipati itu
keluarkan sebuah senjata berupa cambuk yang bisa mengeluarkan puluhan lidah
api…”
“Apa?!”
Sinto Gendeng kelihatan seperti berjingkrak mendengar cerita si gadis. Wajahnya
berubah. Mata men– delik, pelipis bergerak-gerak dan susur dalam mulutnya
disemburkan. “Kau bilang Adipati Sidik Mangkurat memiliki senjata berbentuk
cambuk. Yang bisa mengeluarkan puluhan lidah api?! Hah?!”
“Benar
Nek!” jawab Wulan Srindi yang menjadi tegang melihat perubahan wajah si nenek.
**********************
3
SINTO
Gendeng mendongak ke langit. Dua mata dipejamkan. “Nek, kalau aku tidak salah
ingat, kakek bersorban putih menyebut senjata itu sebagai Pecut Sewu Geni…”
Sinto Gendeng langsung tersentak. Dua mata mem– belalak.
“Apa
katamu?” ucapnya sambil menatap tajam ke wajah Wulan Srindi. “Si kakek menyebut
pecut itu Pecut Sewu Geni?”
“Benar
Nek,” Loh Gatra ikut meyakinkan.
Kembali
si nenek mendongak ke langit gelap.
“Kalau
itu betul Pecut Sewu Geni… Aku tidak bisa membayangkan. Jangan-jangan… Tapi
bagaimana asal usulnya senjata sakti mandraguna itu sampai ada di tangan
Adipati itu? Aku sendiri sudah belasan tahun mencari. Keburu orang lain
mendapatkan. Heran, mengapa dalam kemunculan terakhir kali Kiai tidak pernah
menceritakan apa-apa menyangkut pecut itu. Apakah… ah, pasti aku akan kena
damprat lagi…”
Untuk
beberapa lama Sinto Gendeng tegak termangu mendongak langit seperti itu hingga
semua orang bertanyatanya ada apa dengan nenek ini.
“Nenek
Sinto…” Wulan Srindi menegur. “Ceritaku belum selesai. Apa aku boleh
meneruskan?”
Si nenek
turunkan kepala, menatap tajam ke arah Wulan Srindi lalu anggukkan kepala.
“Ketika
Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan cambuknya, orang itu…,” Wulan Srindi
menunjuk pada Loh Gatra. “Berusaha menangkis serangan. Maksudnya sekaligus mau
melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena hantam. Tubuhnya cidera dikobari api.
Wiro sendiri kemu– dian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak ditolong
oleh seorang kakek aneh. Kakek ini berkepan– daian tinggi sekali. Dia merampas
cambuk api dari tangan Adipati Sidik Mangkurat dalam satu gerakan yang hampir
tidak kelihatan.”
“Kakek
aneh itu!” ujar Sinto Gendeng hampir berteriak. “Bagaimana ciri-cirinya?” Sinto
Gendeng memandang lekat-lekat ke arah Wulan Srindi, melirik ke arah Wiro.
Wulan
Srindi sebagai salah seorang yang memang melihat kakek aneh itu menjawab. “Dia
melayang di antara pepohonan. Gerakannya cepat luar biasa. Berkelebat dari satu
pohon ke pohon lain seperti seekor elang raksasa…”
“Aku
ingin kau menerangkan ciri-cirinya. Bukan segala macam kehebatannya.” kata
Sinto Gendeng pula.
“Kakek
itu mengenakan jubah dan sorban putih berkilat. Dalam gelapnya malam pakaian
serta sorbannya tampak seperti nyala api. Dia memelihara janggut dan kumis
putih seperti kapas. Wajah putih klimis. Ketika bicara, walaupun berteriak dan
membentak tapi ada kelembutan.”
“Ketika
bicara walau berteriak dan membentak tapi ada kelembutan…” Sinto Gendeng ulangi
ucapan Wulan Srindi. Lalu kelihatan nenek ini usap wajahnya yang hitam berulang
kali.
“Kakek
berwajah klimis itu, apakah ada guratan kecil bekas luka di dagu kirinya?”
Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.
“Matam
begitu gelap, dia berada di atas pohon. Aku tidak begitu memperhatikan…” jawab
Wulan Srindi.
Wiro dan
Loh Gatra yang sempat berada cukup dekat dengan si kakek juga tidak ingat dan
tidak sempat mem– perhatikan apakah ada tanda guratan luka di dagu kiri orang
tua itu. Karenanya, keduanya diam saja.
Sinto Gendeng
sendiri membatin dalam hati, “Kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
Memelihara janggut dan kumis putih, berwajah kelimis. Ada kelembutan di balik
suaranya sekalipun ketika berteriak atau membentak. Mungkinkah dia…? Empatpuluh
tahun tidak bertemu…” Sinto Gendeng tarik nafas dalam berulang kali.
“Nek,
boleh saya meneruskan cerita saya?” tanya Wulan Srindi.
Sinto
Gendeng mengangguk perlahan. Sebagian dari pikirannya berada di tempat lain,
jauh menerawang.
“Ketika
Adipati Sidik Mangkurat menghantamkan cambuknya, orang itu…,” Wulan Srindi
menunjuk pada Loh Gatra. “Berusaha menangkis serangan. Maksudnya sekali– gus
mau melindungi Wiro. Akibatnya dia yang kena han– tam. Tubuhnya cidera dikobari
api. Wiro sendiri kemudian hampir celaka oleh cambuk api itu kalau tidak
ditolong oleh si kakek. Dia merampas cambuk dari tangan Adipati Sidik
Mangkurat.”
“Ah…”
Sinto Gendeng lepas nafas panjang.
“Berat
dugaanku, dia mengenal siapa adanya si kakek.” Wiro membatin sambil perhatikan
gerak-gerik gurunya tapi kapok keluarkan ucapan. “Aku punya dugaan kakek itu
salah seorang kekasihnya di masa muda. Jadi ini rupanya alasan yang membuat dia
masih mau muncul di rimba persilatan.”
“Hai,
kenapa kau tidak meneruskan cerita. Apa yang terjadi kemudian?” Sinto Gendeng
bertanya pada Wulan Srindi.
“Adipati
Sidik Mangkurat minta agar si kakek yang berdiri di atas pohon menyerahkan
kembali pecut sakti kepadanya. Si kakek mempersilahkan Adipati itu mengam– bil
sendiri. Ketika Sidik Mangkurat melesat ke atas pohon, si kakek kipas-kipaskan
tangan di depan wajah seraya berkata mengapa malam begitu panas. Tahu-tahu
Sidik Mangkurat terpental, jatuh bergedebuk di tanah…”
“Pukulan
Tangan Dewa Mengipas Bumi…”
Ucapan
Sinto Gendeng walau perlahan tapi sempat terdengar Wiro.
“Ah, kau
tahu nama pukulan yang dilepas si kakek.
Pasti kau
memang kenal dengan dirinya, Nek…”
“Lalu,
bagaimana kelanjutannya. Apa yang terjadi?” Sinto Gendeng kembali bertanya pada
Wulan Srindi.
“Sebelum
pergi kakek itu mengobati luka bakar di tubuh pemuda itu,” Wulan Srindi
menunjuk ke arah Loh Gatra. “Dia gelantungkan cambuk di depan pemuda itu, lalu
meniup. Ajaibnya, seluruh luka bakar di tubuh dan wajah pemuda itu lenyap.
Sembuh…”
“Mulut
Dewa Menghembus Kesembuhan… Pasti dia… memang dia…” ucap Sinto Gendeng.
Lagi-lagi membuat Wiro terkesima tapi tidak berani keluarkan ucapan. Takut
salah dan kena tampar lagi.
“Setelah
menyembuhkan pemuda ini, si kakek lantas berbuat apa? Pergi…?”
Wulan
Srindi mengangguk.
Tadinya
Wiro hendak menceritakan bagaimana sebe– lum pergi si kakek tersenyum dan
kedipkan mata kiri satu kali padanya. Namun Wiro memutuskan lebih baik diam
saja, tidak perlu bicara apa-apa.
“Waktu
dia tinggalkan tempat ini, ke arah mana dia menuju…”
Wulan
Srindi menunjuk ke jurusan lenyapnya kakek berjubah dan bersorban putih
berkilat.
“Aku
yakin pasti nenek satu ini akan mengejar ke arah sana,” membatin Wiro.
Sinto
Gendeng memang siap gerakkan kaki hendak berkelebat pergi. Tapi dia urungkan
niat, memandang berkeliling.
“Coba
kalian ingat-ingat. Setelah dapatkan cambuk, apakah kakek itu ada keluarkan
perkataan. Perkataan apa saja…”
“Memang
ada, tapi kami tidak ingat satu persatu…” jawab Wulan Srindi sementara yang
lain-lain diam saja.
Tiba-tiba
Jatilandak membuka mulut. “Ada di antara ucapannya yang aku masih ingat. Dia
bicara pada Adipati Sidik Mangkurat. Katanya Adipati itu harus sudah cukup puas
dengan beradanya senjata sakti itu di tangannya selama lima puluh dua purnama.
Saatnya senjata itu dikembalikan ke tempat asalnya…”
“Manusia
muka kuning, benar kakek itu berucap begitu?” Sinto Gendeng ingin menegaskan.
Ada rasa tak percaya tapi dadanya berdebar.
Jatilandak
anggukkan kepala. Si nenek pencongkan mulutnya yang kempot beberapa kali. Tanpa
keluarkan ucapan apa-apa lagi dia langsung berkelebat pergi tapi Wulan Srindi
cepat memburu seraya berseru. “Nek! Tunggu!”
Sinto
Gendeng berhenti dan balikkan badan. Wajahnya yang angker tampak kesal. “Gadis
centil! Kau hanya membuang-buang waktuku saja. Ada apa?!”
“Nek,
menghadapi urusan besar dengan manusiamanusia pocong yang bermarkas di lorong
kematian, kami semua mohon petunjukmu. Apalagi guruku Dewa Tuak ada di dalam
sana.”
“Gadis
tolol! Kalian punya ilmu kepandaian, punya senjata! Apa lagi?! Sekarang bukan
jamannya minta petunjuk! Segala sesuatu harus dipikir dan dikerjakan sendiri
lalu punya rasa tanggung jawab sendiri!” jawab Sinto Gendeng sambil pelototkan
mata.
“Nek,
kami yang muda-muda ini hanya menang semangat. Pengalaman hanya secupak, ilmu
kepandaian hanya semata kaki. Mana mungkin kami bersombong diri dapat
menghadapi semua persoalan rimba persilatan. Lagi pula kau adalah satu-satunya
tokoh panutan kepada siapa kami bergantung dan berharap.”
Pandai
sekali Wulan Srindi mengucapkan kata-kata itu dan mengatur raut wajah unjukkan
mimik penuh memelas.
“Hemmm…”
Sinto Gendeng bergumam. Mulutnya yang perot komat kamit. Sesaat hatinya masih
keras. Namun setelah pandangi wajah-wajah yang ada di tempat itu satu persatu
terlebih wajah Si Anak Setan muridnya sendiri yang tadi ditamparnya, kekerasan
hati si nenek jadi leleh juga.
“Baik!
Dalam kalian menghadapi perkara besar ini, aku akan berikan satu petunjuk,
hanya satu petunjuk. Tinggal bagaimana kalian mencernanya. Dengar baik-baik.
Ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar.
Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar.
Coba kalian ulangi kata-kataku barusan…”
Semua
orang yang ada di situ dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan Sinto
Gendeng. Mereka samasama mengucap.
“Ilmu
rotan jangan dipakai. Karena tak ada lobang masuk tak ada lobang keluar. Ilmu
bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang masuk ada lobang keluar…”
Belum
habis gema ucapan semua orang, Sinto Gendeng sudah berkelebat lenyap dari
tempat itu. Hanya bau pesingnya saja yang masih tertinggal menyekat di rongga
hidung,
Wiro
garuk-garuk kepala. “Apa maksud tua bangka aneh itu. Urusan menghadapi
manusia-manusia pocong pembunuh dan penculik perempuan-perempuan bunting
mengapa membawa segala macam rotan dan bambu?”
Di balik
semak belukar lebat dan gelap Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.
“Rotan
dan bambu. Hik… hik… Aku juga punya rotan dan bambu. Tak ada lobang masuk tapi
ada lobang keluar. Ngocor terus-terusan! Ah, pasti ilmu rotan dan bambu milikku
ini tidak bisa dipergunakan…”
Di balik
semak belukar lain, tak jauh dari tempat Setan Ngompol mendekam, Bidadari Angin
Timur tengah berpikir keras menimbang-nimbang. Apakah saat itu sebaiknya dia
keluar saja dari tempat persembunyian dan bergabung dengan Wiro. Rasa benci
yang dibalut rasa kecemburuan terhadap Wulan Srindi membuat dadanya terasa
sesak dan panas. Ketika gadis cantik berambut pirang berkepandaian tinggi ini
akhirnya memutuskan untuk segera keluar dari balik semak belukar, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda mendatangi. Setan Ngompol terkencing saking kaget.
Bidadari Angin Timur sibakkan semak-semak dan mem– perhatikan ke arah
kegelapan. Ketika melihat siapa adanya si penunggang kuda, bibir si gadis
seruakkan senyum. Lesung pipit muncul di pipi kiri kanan.
“Wulan
Srindi, sekarang kena batunya kau!”
**********************
4
DALAM
Episode “Aksara Batu Bernyawa” dituturkan bagaimana setelah mendapatkan batu
mustika (kala itu masih berupa dan bernama Batu Bernyawa) Raja Setan Tersenyum
segera berangkat ke Kotaraja untuk menemui Tumenggung Abdi Tunggul di Keraton.
Namun untuk kedua kalinya tokoh silat yang dulu pernah menjadi pentolan Istana
ini ditimpa nasib sial. Kesialan pertama adalah kematian kekasihnya Ratu Setan
Tersenyum. Sial kedua justru terjadi di Keraton. Dia kena ditipu oleh seorang
yang mengaku mewakili Tumenggung. Orang ini yang ternyata memiliki kepandaian
tinggi berhasil menotok Raja Setan, menyumpal mulutnya dengan patung kayu lalu
mengambil Batu Bernyawa yang ada di balik jubah hijaunya. Walaupun Raja Setan
berhasil menyemburkan patung kayu yang menyumpal mulut dan berteriak keras,
namun pengawal yang kemudian datang tidak bisa berbuat apa. Orang tinggi besar
yang menyamar sebagai seorang kakek berambut putih telah lenyap dari tempat
itu.
Tak
selang berapa lama sewaktu Tumenggung Abdi Tunggul keluar menemui Raja Setan
Tersenyum. Walau berusia hampir enam puluh tahun namun wajah tampak masih segar
dan sosok sang Tumenggung tinggi besar masih tegap kekar. Raja Setan Tersenyum
menceritakan apa yang terjadi. Untuk beberapa lama Tumenggung terdiam, wajah
berubah kaku dan mata menatap tak berkesip ke arah Raja Setan. Saat itu dia
bukan cuma terkejut mendengar keterangan Raja Setan, tetapi juga bertanya-tanya
apa yang terjadi dengan seorang lain yang juga ditugaskannya untuk mendapatkan
Batu Bernyawa itu. Jika masih hidup apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau
sudah mati siapa yang membunuhnya.
“Seorang
yang pernah menjadi tokoh silat Istana kelas satu, bisa diperdaya dan dirampok
orang! Sungguh aku tak bisa percaya…”
“Tumenggung,
aku mohon maafmu. Jahanam peram– pok itu berkepandaian luar biasa tinggi.
Tumenggung, apakah kau tidak akan membantu melepaskan totokan– ku?”
Tumenggung
Abdi Tunggul maju mendekat lalu tepuk ubun-ubun Raja Setan. Sungguh luar biasa.
Sekali menepuk totokan di tubuh Raja Setan punah. Biasanya orang berkepandaian
tinggi selalu melepas totokan di tempat di mana korban terkena totokan. Tapi
Tumenggung Abdi Tunggul rupanya memiliki ilmu pelepas totok yang langka dan
jarang orang lain memilikinya.
“Raja
Setan, apakah kau mengenal siapa perampok itu?” tanya Tumenggung.
“Dia
berdandan sebagai seorang kakek rambut putih. Aku yakin dia seorang yang ahli
menyamar…”
“Ceritakan
bagaimana kau mendapatkan Batu Bernya– wa sebelum dirampas oleh orang
berpenampilan kakek berambut putih.”
“Aku
menemukan peti hitam yang dibawa makhluk luar kepala manusia dari dasar
samudera, tergeletak dalam keadaan terbuka di satu tempat. Batu Bernyawa
menancap di kening kutungan kepala manusia yang ada dalam peti…”
“Peti tak
mungkin berada di situ dengan sendirinya. Pasti ada beberapa kejadian
sebelumnya…” ucap Tumeng– gung pula.
“Sesuai
perintahmu, aku melakukan pengintaian di selatan Parangteritis. Ternyata di
situ telah dipenuhi oleh beberapa orang tokoh silat dan serombongan orang ber–
cadar mengaku sebagai orang-orang Kerajaan. Beberapa tokoh mati terbunuh
sebelum salah seorang bercadar ber– hasil melarikan peti berisi batu mustika.
Orang bercadar ini berat dugaanku adalah Pangeran Haryo…”
Raja
Setan Tersenyum hentikan cerita menatap tajam pada Tumenggung Abdi Tunggul. Dia
tidak melihat peruba– han pada wajah pejabat Keraton itu.
Raja
Setan teruskan ucapannya. “Kalau ada orang lain dari Istana yang ikut mencari
batu mustika itu, seperti diriku apakah dia juga atas perintah Tumenggung?”
“Jangan
bertanya dulu. Teruskan saja ceritamu,” jawab Tumenggung Abdi Tunggul.
“Orang
yang kuduga Pangeran Haryo ini kemudian cidera berat akibat hantaman satu
pukulan sakti yang dilepaskan seorang lelaki tinggi besar.”
“Kau tahu
siapa orang tinggi besar ini?”
“Tidak,”
jawab Raja Setan. Walau sudah bisa menduga siapa adanya lelaki tinggi besar itu
namun Raja Setan sengaja berdusta, tidak mau memberitahu. Dia punya rencana
untuk menyelidik. “Aku sendiri kemudian terlibat perkelahian dengan orang
tinggi besar itu dan kena ditotok. Kemudian dia lari mengejar Pangeran Haryo.”
“Jika
orang tinggi besar inginkan Batu Bernyawa, adalah aneh dia tidak membunuhmu,”
kata Tumenggung Abdi Tunggul sambil usap-usap dagu.
“Mungkin
dia lebih mementingkan mengejar Pangeran Haryo,” jawab Raja Setan. “Apa yang
terjadi kemudian, tidak aku ketahui. Menjelang pagi aku berhasil melepaskan
diri dari totokan. Lalu aku temui peti kayu itu…”
“Pangeran
Haryo sendiri berada di mana?” tanya Tumenggung pula.
“Tidak
aku ketahui berada di mana atau bagaimana nasibnya.” jawab Raja Setan.
“Aku
punya firasat, Pangeran itu telah menemui ajal.”
“Kalau
begitu, agaknya benar dugaanku bahwa Tumenggung juga menugaskan Pangeran Haryo
selain diriku dalam mencari Batu Bernyawa itu.”
“Rasanya
hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Ada satu tugas baru yang harus segera
kau laksanakan.”
Raja
Setan Tersenyum diam saja. Dia merasa ada siasat busuk dalam tugas yang
diberikan sang tumenggung kepadanya.
“Sekarang
juga kau berangkat ke kaki Gunung Kukusan. Di sebelah timur ada dua sungai
saling bertemu pada tikungan berbentuk tapal kuda. Jika kau datang tepat waktu,
di situ kau akan menemui seorang kakek aneh bertampang sedih dan
sebentar-sebentar menangis. Temui kakek itu, begitu berhadapan langsung kau
bunuh. Kau boleh pergunakan kuda terbaik yang ada di kandang kuda Keraton.”
“Kakek
aneh ini, apakah dia punya nama atau memiliki gelar?” tanya Raja Setan
Tersenyum sambil sunggingkan senyum.
“Dia
dikenal dengan julukan Dewa Sedih.”
Senyum langsung
lenyap dari wajah Raja Setan Terse– nyum. Tubuhnya hampir terangkat dari kursi
yang diduduki. Sesaat kakek ini terdiam, baru kemudian membuka mulut.
“Soal
bunuh membunuh sudah jadi pekerjaanku sejak aku berusia lima belas tahun. Tapi
membunuh manusia yang berjuluk Dewa Sedih itu bukan satu pekerjaan mudah,
Tumenggung. Selain itu aku harus menyelidik dan mencari pembunuh kekasihku.
Orang tinggi besar itu. Besar duga– anku dia adalah orang yang merampas Batu
Bernyawa.”
“Aku
tidak mau mendengar alasan apapun keluar dari mulutmu. Apa kau masih inginkan
hadiah ini, atau kita tutup pembicaraan sampai di sini!”
Habis
keluarkan ucapan begitu Tumenggung Abdi Tunggal bertepuk dua kali. Saat itu
juga muncul lima orang lelaki bertubuh tinggi tegap, berwajah angker.
Masingmasing mencekal golok besar. Cepat sekali gerakan mereka tahu-tahu telah
mengurung Raja Setan Tersenyum.
Melihat
ancaman, Raja Setan Tersenyum sunggingkan senyum. Tapi dia tidak diam saja.
Secepat kilat dia ambil lima anak panah hitam dari kantong di punggungnya.
“Aku
tahu, kau punya ilmu hebatan melempar panah. Kau sanggup membunuh mereka dalam
satu kali kejapan mata. Tapi kau tidak akan punya peluang untuk menghin– dari
serangan maut dariku! Bagaimana?” Tumenggung Abdi Tunggul angkat tangannya yang
dikepal. Kepalan itu tampak memancarkan cahaya hitam.
“Pukulan
Jelaga Besi!” membatin Raja Setan Terse– nyum yang mengenali pukulan sakti yang
siap dilepaskan sang Tumenggung. Jangankan tubuh manusia, dinding besipun mampu
ditembus pukulan itu. Orang yang terkena pukulan tidak akan langsung tewas,
tapi sakit sengsara dulu selama beberapa hari sebelum menemui ajal karena
saluran darah, isi perut termasuk jantungnya telah dirambas bubuk besi
mengandung racun jahat luar biasa.
Di dalam
hati Raja Setan Tersenyum menyumpah habishabisan. “Tumenggung keparat ini
rupanya memang sudah menyusun rencana keji dari dulu-dulu.” Namun tanpa
perlihatkan rasa benci pada air mukanya terhadap sang Tumenggung, malah sambil
tersenyum Raja Setan Tersenyum berkata. “Aku memilih hadiah itu.”
Tumenggung
Abdi Tunggul lemparkan kantong kain. Raja Setan Tersenyum cepat menangkap
kantong berisi beberapa kepingan emas itu. Tumenggung bertepuk tangan dua kali.
Lima lelaki tinggi besar bertampang angker serta merta tinggalkan tempat itu.
Tumenggung
Abdi Tunggul usap dagunya. “Aku ragu, hatiku menduga dia akan terlambat. Orang
tinggi besar yang merampas Batu Bernyawa itu mungkin sekali mendahului sampai
di tempat itu…” Sang Tumenggung geleng-geleng kepala. “Aku punya dugaan Raja
Setan Tersenyum tahu siapa adanya orang tinggi besar itu. Ada apa dia tidak mau
menerangkan padaku.”
*************************
Kaki
Gunung Kukusan sebelah timur. Saat itu menjelang tengah hari. Udara tidak
begitu baik. Di arah selatan tampak awan tebal menutupi sebagian langit.
Sesekali ada sambaran kilat membelah udara. Di tikungan sungai berbentuk tapal
kuda pada pertemuan sebuah sungai dengan sungai lain seorang penunggang kuda
berhenti di satu lamping batu. Matanya memandang berkeliling, lalu kembali
diarahkan pada batu-batu besar yang bertebaran di bawah sana.
“Tumenggung
itu menyuruhku ke sini. Tidak ada manusia, tidak ada hantu di tempat ini.
Apalagi kakek berjuluk Dewa Sedih itu. Atau… hemmm, apakah ini siasat, satu
jebakan yang dirancang oleh Tumenggung keparat itu?! Kalau aku lihat sosok
tinggi besarnya, mengapa ada persamaan dengan orang tinggi besar yang membunuh
kekasihku, dan kakek berambut putih si penyamar dalam keraton?” Raja Setan
Tersenyum geleng-geleng kepala. “Aku tidak akan mencari. Lebih baik menunggu.
Kalau sampai matahari tenggelam Dewa Sedih tidak muncul, perduli setan! Aku
akan tinggalkan tempat ini. Tidak membunuhnya tidak jadi apa. Aku sudah
dapatkan hadiah.”
Raja
Setan Tersenyum turun dari kudanya. Binatang itu dituntun ke tebing sungai yang
tidak begitu terjal, lalu diturunkan ke dalam sungai untuk diberi minum. Raja
Setan Tersenyum sendiri kemudian mencari bagian sungai yang airnya lebih
bersih, singsingkan jubah hijau, ujungnya diikat di pinggang lalu turun ke air,
membasahi muka dan kepalanya yang botak serta minum air sungai beberapa teguk.
Mendadak
Raja Setan Tersenyum dikagetkan oleh satu keanehan. Arus air sungai yang
mengalir melewati kedua kakinya ke arah hilir, tiba-tiba berputar-putar di
sekitar tempat dia berada. Putaran yang mula-mula lambat saat demi saat menjadi
keras. Akibatnya tubuhnya yang berada di dalam air mulai ikut berputar.
Perlahan-lahan, lalu men– deru seperti gasing dan satu saat melesat ke udara.
Raja
Setan Tersenyum berseru kaget. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Namun mengapa air sungai mampu membuat dia berputar
dan terpental ke udara? Kekuatan dahsyat apa yang ter– sembunyi di balik
kejadian aneh itu?
Di udara
setelah lepas dari kekuatan dahsyat yang membuat dirinya terpental. Raja Setan
Tersenyum mem– buat gerakan jungkir balik lalu melayang turun ke batu hitam
berbentuk rata empat persegi di tengah sungai. Sepasang mata Raja Setan
Tersenyum berputar liar, memandang berkeliling. Dia adalah seorang kakek luas pengalaman
dan tinggi ilmu kepandaian. Tidak sembarang orang bisa mempermainkannya. Lalu
apa yang barusan terjadi? Kekuatan apa yang bisa membuat air sungai berputar
begitu rupa hingga dia ikut berputar dan terpental ke udara. Tidak satu
manusiapun yang kelihatan. Lalu apakah semua itu tadi pekerjaan hantu, dedemit
sungai?
Selagi
Raja Setan Tersenyum kibas-kibaskan ujung jubahnya yang basah, tiba-tiba
alisnya mencuat. Mata mendelik diarahkan ke air sungai satu tombak di depan
batu persegi di atas mana dia berdiri. Air sungai dilihatnya mengeluarkan
gelembung-gelembung serta suara aneh. Lalu di balik suara aneh itu dia seperti
mendengar suara orang sesenggukan.
“Dia ada
di sini…” ucap Raja Setan Tersenyum dengan suara bergetar. Matanya tak mau
berkedip. Lengah sedikit saja bisa merenggut nyawa. Suara sesenggukan terdengar
semakin keras. Orangnya sendiri tidak kelihatan. Lalu meledak satu suara orang
menangis meratap! Batu yang dipijak Raja Setan Tersenyum bergetar hebat!
“Dewa
Sedih… Di mana dia?” ujar Raja Setan Terse– nyum sambil memandang berkeliling.
Matanya menyapu seantero tempat. Dia tidak melihat siapa-siapa. Kembali
pandangannya diarahkan ke sungai yang mengeluarkan gelembung air. “Apakah dia
berada di dalam situ? Apa ada manusia yang bisa menangis di dalam air?”
Baru saja
Raja Setan Tersenyum berkata seperti itu sekonyong-konyong gelembungan di
sungai lenyap. Air sungai muncrat ke udara, disusul melesatnya satu sosok
berselempang kain putih dalam keadaan basah kuyup! Saat itu juga kawasan sungai
dibuncah oleh gelegar suara orang menangis.
**********************
5
DALAM
keterkejutannya Raja Setan Tersenyum cepat tekuk dua lutut, tangan bergerak ke
punggung mengambil lima buah anak panah hitam. Jika dilempar dengan kehebatan
ilmu yang dimilikinya, Raja Setan Tersenyum mampu menghantam lima sasaran
sekaligus. Apa lagi kalau lima anak panah maut hanya ditujukan pada satu
sasaran. Sulit korban bisa lolos selamatkan diri. Namun saat itu Raja Setan
Tersenyum menghadapi sesuatu yang membuat dirinya tergetar.
Memandang
ke depan, di atas sebuah batu bulat, sejarak dua tombak dari batu persegi di
mana Raja Setan Tersenyum berada, tampak seorang berambut putih basah
awut-awutan, berkulit hitam, berselempang kain putih kuyup, duduk dengan kepala
dibenamkan di atas lutut yang dilipat. Dari mulutnya menangis keluar ratapan
yang membuat Raja Setan Tersenyum tambah terkesiap.
“Aku
sedih, hik… hik… hik. Dua hari berendam di dalam sungai, rasanya diriku belum
juga bersih. Hik… hik. Apakah dosa kesalahan bisa dihapus dengan berendam dalam
air? Ampun biyung, tobat dewa… Mengapa aku harus selalu menerima nasib sial
begini? Aku menangis sengsara, orang lain tertawa bahagia. Hik… hik… hik. Kalau
saja bukan karena biji celaka ini, tidak akan jatuh malapetaka atas diriku.
Hik… hik… hik.”
Sesaat
orang di atas batu bulat hentikan tangisnya. Dia kembangkan kedua lutut lalu
tarik ke depan kain putih yang dikenakan. Sambil sesenggukan dia perhatikan
bagian bawah perutnya. “Ah… Tidak kambuh… untung tidak bengkak lagi. Hik… hik.
Biji celaka, apa kau tahu malapetaka besar yang akan menimpa rimba persilatan
gara-gara tingkahmu menggelembungkan diri? Semua orang akan mengutuk diriku.
Semua orang akan menya– lahkan diriku! Tapi mereka tidak tahu apa kesengsaraan
diriku! Hik… hik… hik.” Habis meratap panjang orang ini kembali sembunyikan
wajahnya di antara dua lutut. Namun tadi waktu sesaat orang itu mengangkat
kepala, Raja Setan Tersenyum sempat memperhatikan wajahnya. Seorang kakek
berwajah hitam aneh menunjukkan kesedihan abadi dengan sepasang alis hitam
menjulai panjang ke bawah.
“Dewa
Sedih, memang dia…” ucap Raja Setan Terse– nyum.
Mula-mula
Raja Setan Tersenyum tercekat juga melihat kehadiran serta mendengar ratap
tangis orang di atas batu. Tapi lama-lama dia jadi bosan dan sebal mendengar oceh
ratapan yang tidak dimengertinya. Mulutnya sung– gingkan senyum. Tangan kiri
mengusap kepala botak.
“Biar
cepat selesai, biar aku habisi sekarang juga,” kata Raja Setan Tersenyum.
Tangan kanannya yang memegang lima anak panah bergerak. Namun gerakannya tertahan
ketika tiba-tiba orang di atas batu bundar menggerung keras lalu keluarkan
ratap tangis.
“Aku
sedih, aku kecewa. Hik… hik. Ada orang hendak membunuhku. Dia menyangka diri
sudah jadi kaya raya karena punya sekantong emas. Tapi hik… hik… hik. Aku sedih,
apa yang punya tidak tahu kalau emas itu palsu belaka adanya? Hik… hik… Aku
sedih…”
Kejut
Raja Setan Tersenyum bukan alang kepalang. Dia meraba dada jubah hijau di balik
mana dia menyimpan kantong kain berisi emas yang diberikan Tumenggung Abdi
Tunggul.
“Dia tahu
aku membekal sekantong emas. Apa iya emas itu palsu?” Semula ragu akhirnya
dengan tangan kiri Raja Setan Tersenyum keluarkan kantong emas. Dengan bantuan
beberapa giginya yang masih utuh sementara tangan kanan tetap memegang lima
anak panah hitam, kakek kepala gundul itu buka ikatan kantong. Dia membungkuk
lalu tuang isi kantong di atas batu persegi. Mata mendelik. Satu persatu tujuh
kepingan emas yang bergeletakan di batu diteliti. Lalu menyembur kutuk serapah
dari mulutnya.
“Jahanam
keparat! Adipati kurang ajar! Kau benarbenar mencari perkara! Aku bersumpah
akan menembus batok kepalamu dengan tujuh keping emas ini!” Dengan cepat Raja
Setan Tersenyum masukkan potonganpotongan emas itu ke dalam kantong kain lalu
kantong disusupkan ke balik jubah.
Di atas
batu besar Dewa Sedih kembali meratap. “Aku sedih, ada orang pandai kena tipu.
Hik… hik… hik… Apakah ini akhir perjalanan dirinya atau akhir riwayat diriku?”
Raja
Setan bangkit berdiri lalu berteriak.
“Dewa
Sedih! Dengar baik-baik! Saat ini adalah akhir riwayat dirimu!”
“Hik…
hik… hik. Buruknya nasibku! Mati di tengah sungai, jauh dari sanak, jauh dari
kadang. Tak ada sahabat yang tahu. Adikku Dewa Ketawa kau tak akan bisa tertawa
mengiringi kematian diriku karena kau tak tahu kalau kakakmu ini sebentar lagi
akan jadi bangkai. Hik… hik… hik.” (Seperti diketahui Dewa Sedih mempunyai
seorang adik berjuluk Dewa Ketawa. Dari julukan saja jelas sudah bahwa dua
bersaudara ini memiliki dua sifat yang bertolak belakang. Satu selalu sedih dan
menangis, satunya selalu senang tertawa-tawa)
“Dewa
Sedih, cukup sampai di situ kau meratap! Seka– rang terima kematianmu!” Bentak
Raja Setan Tersenyum. Tangan kanannya yang memegang lima anak panah hitam
diangkat lebih tinggi.
Dibentak
orang, Dewa Sedih bukannya hentikan tangis malah menggerung lebih keras.
“Tidak
disangka tidak dinyana dalam sedih masih ada sekelumit rasa bahagia. Kematianku
tidak sia-sia. Hik… hik… hik. Ada seseorang yang kebetulan lewat, akan menjadi
saksi kematian diriku. Hik… hik… hik. Mungkin juga aku bisa menyampaikan pesan
terakhir padanya.
Hik… hik…
hik.”
Ucap
ratap Dewa Sedih membuat Raja Setan Terse– nyum terkejut dan untuk kedua
kalinya dia hentikan gerakan tangan kanan yang hendak melempar lima panah maut.
Telinga dipentang, mata dibuka lebar.
Pertama
sekali dia mendengar suara derak derik aneh. Lalu ada langkah-langkah kaki
mendatangi. Semakin dekat langkah-langkah kaki itu semakin terasa adanya
getaran di atas batu sungai tempat dia berdiri. Lalu hidungnya mencium bau
aneh. Belum sempat Raja Setan Tersenyum mengira-ngira, tiba-tiba di tebing
sungai muncul satu pemandangan luar biasa!
Empat
orang lelaki bertubuh kekar penuh otot, menge– nakan celana gombrong hitam
berdiri di tebing sungai. Dua di depan, dua di belakang, mereka memanggul tiga buah
batang kelapa yang diikat jadi satu. Di atas jejeran batang kelapa ini ada
sebentuk sandaran menyerupai sandaran kursi. Di sini duduk seorang kakek
bermuka berminyak, bertubuh luar biasa gemuknya dan mengenakan pakaian yang
kekecilan. Tiga batang kelapa kelihatan melengkung saking beratnya tubuh kakek
gemuk ini yang diperkirakan lebih dari dua setengah kwintal. Sambil usap-usap
dadanya yang berbulu, mata kelihatan seperti mengantuk, si gemuk ini
asyik-asyikan menghisap sebuah cangklong atau pipa yang menebar asap berbau
tidak sedap. Jika pipa dilepas dari mulutnya maka mulut itu menguap lebar-lebar
dan sepasang mata jadi berair. Sambil mengusap mata, si gemuk ini kembali
masukkan pipa ke dalam mulut.
Dada Raja
Setan Tersenyum jadi bergetar. “Seumur hidup aku belum pernah melihat orangnya.
Jika aku tidak salah menduga, apakah ini manusianya yang dijuluki Raja Penidur,
tokoh paling tua dalam rimba persilatan. Punya segudang ilmu yang dianggap
setingkat kehebatan para dewa? Ada apa dia tahu-tahu muncul di tempat ini?”
Kalau
Raja Setan cuma bisa membatin dalam hati, lain halnya dengan Dewa Sedih. Kakek
ini langsung keluarkan ratapan.
“Kedatangan
seorang sahabat pada saat aku tengah bersedih, sungguh membuat diriku malu.
Hik… hik… hik. Raja Penidur, harap maafkan kalau aku tidak bisa mem– berikan
penyambutan sewajarnya padamu. Ketahuilah… hik… hik, kuharap kau jangan tidur.
Saksikan akhir riwayat diriku. Hari ini aku akan menerima kematian sesuai
dengan segala kesalahanku. Aku sedih… Selamat tinggal sahabatku Raja Penidur.
Sebelum kau pergi, bolehkah aku menitipkan sebuah pesan padamu? Hik… hik… hik.”
“Waktuku
tidak lama, mataku sangat mengantuk. Aku ingin tidur…” Raja Penidur berucap
lalu kembali menguap lebar-lebar. “Jika kau ingin menitipkan pesan harap segera
mengatakan. Ketahuilah aku sendiri tengah dalam perjala– nan terakhir
mengelilingi rimba persilatan. Sebelum diriku menghadap Yang Maha Kuasa, Maha
Pencipta aku ingin melihat rimba persilatan untuk terakhir kali. Seratus enam
puluh lima tahun hidup di dunia terasa sangat memalukan. Karena lebih dari dua
pertiga hidupku hanya kuhabiskan untuk menghisap cangklong dan tidur pulas…”
“Hik…
hik. Aku ikut sedih mendengar penuturanmu. Sebagian dari pesan yang akan aku
titipkan padamu ada dalam telapak tangan kiriku. Akan kulihat dan segera
kukatakan padamu. Hik… hik.” Habis berkata begitu Dewa Sedih kembangkan telapak
tangan kirinya. Kakek sakti ini memang punya kemampuan melihat sesuatu melalui
telapak tangan kiri itu.
“Lekaslah,
aku sudah sangat mengantuk. Aku mau tidur…” Raja Penidur berseru dari atas
batang kelapa.
“Aku
melihat… Hik… hik… Betapa menyedihkan. Rimba persilatan tanah Jawa akan dilanda
malapetaka besar kalau ilmu terkutuk itu tidak segera dihentikan… hik… hik…
hik.”
“Ilmu
terkutuk? Ilmu terkutuk apa? Huah…” Raja Penidur mengucap. “Saatnya aku tidur…”
“Tunggu!
Hik… hik. Jangan tidur dulu!” Teriak Dewa Sedih. Kakek ini gerakkan telapak
tangan kirinya. Sebuah bola api melesat keluar lalu menderu ke arah Raja
Penidur.
Empat
orang bertubuh kekar yang memanggul batang kelapa berteriak marah tapi tak
berani berbuat apa-apa ketika mendengar Raja Penidur berkata.
“Tidak
apa, dia tidak berbuat jahat. Dia hanya mencegah agar aku tidak tidur. Tapi
kepandaiannya hanya mampu menahan kantukku dua kali kejapan mata saja…”
Bola api
yang keluar dari tangan kiri Dewa Sedih melesat membungkus sekujur tubuh gemuk
Raja Penidur. Tokoh silat aneh ini batuk-batuk beberapa kali. Sekali dia
mengibaskan pipa, sinar merah yang membungkus tubuhnya lenyap.
“Sahabatku
di sungai, mataku mulai mengantuk lagi. Aku mohon diri. Harap segera katakan
pesanmu itu.”
Dewa
Sedih tahan sesenggukan dan tangisnya. Dia usap-usap matanya yang basah lalu
berkata.
“Ilmu
terkutuk itu adalah… hik… hik… hik. Memberikan nyawa kedua pada orang yang
sudah mati. Orang yang kemudian dihidupkan ini akan memiliki hik… hik… ilmu
kesaktian luar biasa hebat tiada tandingan. Jika tidak dicegah malapetaka besar
akan menimpa rimba persila– tan. Karena si pemberi kehidupan berkuasa penuh dan
bisa memerintahkan apa saja atas diri orang yang dihidup– kan. Hik… hik… hik…
Semua tokoh rimba persilatan bisa menjadi hamba sahaya si pemberi kehidupan
atau dibunuh begitu saja secara keji. Mengerikan sekali. Hik… hik… hik.”
“Jadi itu
pesan yang hendak kau sampaikan padaku?” tanya Raja Penidur sambil hembuskan
asap pipa. Matanya mulai redup.
“Bukan…
hik… hik! Jangan tidur dulu! Aku mohon… Pesanku, harap kau sampaikan kepada
para tokoh yang bisa dipercaya. Malapetaka yang akan menghancurkan rimba
persilatan bisa dicegah bilamana manusia pertama yang diberi kehidupan…”
Raja
Penidur hembuskan asap pipanya.
“Aku
tidak tertarik pada penuturanmu. Aku tidak tertarik apapun bunyi pesanmu. Pesan
gila tak masuk akal. Mana ada orang yang sudah mati bisa dihidupkan dengan
memberikan nyawa kedua. Nyawa siapa? Nyawa dari mana? Aku tidak tertarik pada
ceritamu sahabatku.”
“Aku
sedih mendengar ucapanmu. Hik… hik… Aku orang tolol. Tapi ternyata kau lebih
tolol lagi. Akibat tidur seumurumur, kau tidak tahu apa yang saat ini terjadi
di dalam rimba persilatan. Padahal hik… hik… hik. Jika benar kau tengah dalam
akhir perjalanan hidupmu, maka ini adalah satu kebajikan besar yang bisa kau
buat sebelum meng– hadap Yang Maha kuasa. Aku mohon agar kau mencari seorang
tokoh silat bernama…”
“Saatnya
aku tidur sahabatku…” Di atas jajaran batang kelapa Raja Penidur berkata. Lalu
kepalanya terkulai di atas kayu sandaran, tangan yang memegang pipa jatuh ke
samping.
Melihat
hal ini Dewa Sedih menangis keras. Dia miringkan kepalanya ke kanan. Lalu
kepala dipukul-pukul berulangkali. Aneh! Dari telinga kanan si kakek meluncur
keluar sebuah gulungan kain berwarna putih. Dewa Sedih cabut gulungan kain ini
lalu dengan cepat dilemparkan ke arah Raja Penidur dan jatuh tepat di
pangkuannya. Namun saat itu sepasang mata Raja Penidur mulai terpejam dan dari
mulutnya keluar suara mendengkur.
Dewa
Sedih menggerung keras. Dia tidak bisa berbuat apa selain memperhatikan
kepergian Raja Penidur yang digotong oleh empat orang bertubuh kekar bercelana
hitam gombrong.
Setelah
puas menangis, Dewa Sedih baru ingat pada Raja Setan Tersenyum yang hendak
membunuhnya. Tanpa berpaling dia berucap.
“Orang
yang memegang lima anak panah hitam, tunggu apa lagi. Aku siap menerima
kematian di tanganmu. Aku hanya sedih si gemuk itu tidak mau menyampaikan
pesan– ku. Kalau dia bangun mudah-mudahan dia melihat gulungan kain putih itu.
Tapi kapan dia akan bangun dari tidur pulasnya. Dua bulan, lima bulan atau satu
tahun di muka? Malapetaka? Malapetaka! Hik… hik… hik. Mengapa hidup ini selalu
susah dan menyedihkan bagi diriku?”
Dewa
Sedih usap matanya, sesenggukan dan menghela nafas berulang kali. Yang ditunggu
tidak terjadi. Raja Setan Tersenyum tidak melemparkan panah-panah maut, tidak
membunuhnya. Perlahan-lahan Dewa Sedih angkat kepala dan berpaling ke arah batu
persegi di tengah sungai tempat Raja Setan Tersenyum berada. Astaga! Dewa Sedih
menggerung keras.
“Nasib
peruntungan anak manusia tidak bisa ditentukan kecuali oleh Yang Maha Kuasa.
Aku, mengapa bukan diriku yang pergi lebih dulu? Hik… hik… hik. Mengapa aku tak
melihat kapan dia merampas panah itu. Mengapa aku tidak tahu kapan dia melempar
anak panah itu! Hik… hik… hik!”
Di atas
batu hitam persegi di tengah sungai sosok Raja Setan Tersenyum terkapar
berlumuran darah. Lima anak panah yang sebelumnya dipegangnya dan akan
dijadikan sebagai senjata membunuh Dewa Sedih, kelihatan me– nancap di tubuh
kakek kepala gundul itu. Dua menancap di kening, dua di leher dan satunya di
dada kiri.
“Raja
Penidur, hik… hik… hik. Aku tahu pasti kau yang punya pekerjaan. Aku tahu, kau
tak suka orang itu membunuhku. Lalu kau bunuh duluan. Tapi ketahuilah. Hatiku
jadi sangat sedih. Tindakanmu hanya menunda kematian bagi diriku. Hik… hik…
hik.” Dewa Sedih menangis keras lalu luncurkan diri dari atas batu bulat, masuk
ke dalam air sungai.
**********************
6
DUA
purnama setelah pertemuan Dewa Sedih dengan Raja Penidur. Di satu petang
menjelang matahari tenggelam, dua sosok putih berlari cepat membe– lakangi sang
surya. Dari gerak lari keduanya serta jarak yang tak pernah terpaut jauh
menunjukkan mereka samasama memiliki ilmu lari yang setara. Dua sosok putih
ini bukan lain adalah dua anggota komplotan ganas yang dikenal dengan nama
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Mereka sanggup berbuat sadis
semudah mengedipkan mata karena telah dicuci otaknya, dibuat beku perasaan
hatinya dan hanya tunduk pada pimpinan mereka yang dipanggil dengan sebutan
Yang Mulia Ketua.
Sambil
berlari manusia pocong di sebelah kanan berkata. “Heran, mengapa kita berdua
yang ditugaskan Yang Mulia Ketua. Belakangan ini ada beberapa anggota baru.
Kabarnya mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah aku mendengar kabar
selentingan di dalam lorong. Salah seorang yang kena dijerat adalah dedengkot
rimba persilatan dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Seharusnya dia dan seorang
lain yang diberi tugas, bukan kita. Hal itu sekaligus untuk menguji kemampuan
serta kesetiaan mereka pada kelompok kita.”
“Mula-mula
aku juga berpikir seperti itu,” jawab manusia pocong kedua. “Tapi kemudian aku
merasa, ini bukan cuma soal uji menguji. Tetapi soal kepercayaan dan kemampuan
pasti bahwa tugas harus bisa dilaksanakan. Mengenai tokoh bernama Dewa Tuak,
aku tidak heran mengapa Yang Mulia Ketua tidak memberi tugas sebagai ujian
padanya. Aku menyirap kabar, minuman pencuci otak yang diberikan padanya tidak
mempan. Dia pernah mencoba kabur. Membunuh dan menciderai kawan-kawan kita.
Terpaksa dia dicekoki sampai dua kali. Itupun masih ada kekhawatiran manusia
sakti satu itu belum dapat dikuasai perasaan dan jalan pikirannya. Sekarang
Yang Mulia Ketua memberikan perintah pada kita berdua. Berarti dia mempercayai
kita dan ini bukan tugas main-main. Kalau kita berhasil, kedudukan kita dalam
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian akan dinaikkan ke tingkat lebih
tinggi. Tapi jika gagal tahu sendiri akibatnya. Jadi ini bukan tugas
main-main.”
“Ini
memang bukan tugas main-main. Maut hadangan– nya,” jawab manusia pocong
pertama. “Kau tahu siapa orang yang bakal kita hadapi?”
“Aku
pernah mendengar nama julukannya. Tapi belum pernah melihat orangnya. Aku tidak
yakin apakah dia memang punya kepandaian seperti yang disohorkan dunia
persilatan. Orang kerjanya selalu tidur punya kemampuan apa?”
Manusia
pocong kedua tersenyum di balik kain putih penutup kepala. “Jangan sekali-kali
bersikap memandang rendah orang. Kau tahu, sebelum kita berdua dilahirkan,
manusia itu sudah hidup lebih dari seratus dua puluh tahun dan dianggap sebagai
salah satu tokoh paling hebat dalam rimba persilatan.”
Sampai
saat sang surya tenggelam, tak satupun dari dua manusia pocong itu bicara.
Begitu hari mulai menjadi gelap manusia pocong pertama baru membuka mulut.
“Sebelum
bintang pertama muncul di langit, kita akan sampai di Candi Cemorosewu. Aku
harap dugaan Yang Mulia Ketua tidak meleset. Kalau tidak kita harus mencari ke
mana? Kita hanya diberi waktu sampai tengah malam nanti. Berhasil atau tidak
kita sudah harus kembali ke markas. Kau tahu apa yang bakal kejadian jika kita
tidak berhasil?”
“Darah
kita akan dikuras. Jantung kita akan dicopot! Mati!” jawab manusia pocong
kedua. Tengkuknya terasa dingin. “Setahuku selama ini Yang Mulia Ketua selalu
matang dan tepat setiap perhitungannya. Lagi pula temanteman yang bertindak
sebagai mata-mata tentunya sudah menjajagi sebelumnya dan melapor pada Yang
Mutia Ketua. Keberhasilan kita tergantung pada hasil kerja matamata. Bagaimana
kalau mereka berdusta mengatakan bahwa benda yang harus kita dapatkan itu
benar-benar berada di tangan Raja Penidur padahal kenyataannya tidak.”
“Di
antara para anggota, siapa yang berani dusta dan mengkhianati Yang Mulia
Ketua?” menyahuti manusia pocong pertama.
Kawannya
terdiam. Sesaat kemudian baru membuka mulut.
“Aku
pikir-pikir sungguh aneh. Kita ditugaskan untuk mendapatkan segulung kecil kain
putih yang konon berada di tangan Raja Penidur. Sepotong kain putih yang
digulung! Apa tidak gila! Mending kalau kain itu merupakan satu senjata atau
benda sakti mandraguna?”
“Aku
tidak pernah berpikir terlalu jauh atau coba-coba menyelidik. Aku punya firasat
benda itu sama berharganya dengan nyawa seluruh penghuni 113 Lorong Kematian.
Kita hanya diberi tugas untuk mendapatkan gulungan kain itu. Apakah berani
membantah? Ingat ucapan Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua Seorang yang wajib dicintai.”
“Aku
tidak membantah,” sahut manusia pocong kedua. Ada rasa ngeri dan rasa tunduk di
dalam hatinya.
Manusia
pocong pertama lanjutkan ucapan. “Tak sengaja aku pernah mendengar pembicaraan
antara Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua. Benda berupa gulungan kecil kain putih
itu agaknya merupakan satu rahasia dahsyat. Yang bakal menentukan apakah 113
Lorong Kematian akan sanggup menguasai rimba persilatan atau tidak. Ada anggota
yang melihat Yang Mulia Ketua bicara dengan semacam roh gaib. Roh gaib yang
menjadi penguasa batu aneh yang sanggup memberikan nyawa baru pada orang yang
sudah mati. Lalu ada kabar lain yaitu bahwa Yang
Mulia
Ketua akan membentuk satu partai.”
“Partai?”
“Ya, satu
kelompok yang jauh lebih besar dari sebuah perguruan silat. Partai itu
mempunyai cabang di manamana. Kelak akan merajai rimba persilatan tanah Jawa,
bahkan sampai ke seberang lautan.”
Semakin
gelap malam semakin angker kelihatan bayangan dua manusia pocong yang
berkelebat sangat cepat itu.
“Bintang
pertama sudah kelihatan di langit!” manusia pocong pertama memberitahu
temannya.
“Aku
sudah melihat bagian atas candi,” kata manusia pocong kedua.
Hanya
beberapa kejapan mata berlalu, dua manusia pocong itu telah sampai di sebelah
timur Candi Cemoro– sewu. Di bawah sebatang pohon besar berdaun rimbun keduanya
berhenti. Masing-masing memasang mata, pentang telinga.
“Sepi,
aku tidak melihat apa-apa. Juga tidak terdengar suara apapun.” Manusia pocong
kedua berkata.
“Tapi aku
mencium bau sesuatu,” kata manusia pocong pertama.
Kawannya
lalu tinggikan hidung dan menghisap udara malam dalam-dalam.
“Kau
betul. Raja Penidur ada di candi. Bau yang kita cium adalah bau asap
cangklongnya,”
“Berarti
dia dalam keadaan bangun.”
“Belum
tentu. Sekian puluh hari dia tidur, pipanya bisa saja tetap menyala. Kabarnya
dia punya empat anak buah. Rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka
bergan– tian menambah tembakau pipa dan menyalakan apinya. Eh, apakah kau tidak
mendengar suara sesuatu? Tadi memang belum kedengaran. Sekarang jelas sekali.
Suara orang mendengkur?”
“Astaga!
Aku juga mendengar. Tanah terasa bergetar. Luar biasa hawa sakti tenaga dalam
orang itu. Raja Penidur yang kita cari memang ada di candi.”
Manusia
pocong pertama pegang bahu temannya lalu berbisik. “Aku melihat bayangan asap
tipis dari bagian kanan candi. Itu asap pipa Raja Penidur. Berarti dia memang
ada di sana. Di balik tembok.”
“Kita
menyerbu berbarengan atau dari arah terpisah?” tanya manusia pocong kedua.
“Kau
lompati tembok sebelah kiri dan coba menarik perhatian empat pembantu Raja
Penidur. Begitu mereka lengah aku akan merampas gulungan kain putih. Menurut
penjelasan mata-mata yang diterima Yang Mulia Ketua, sejak Raja Penidur tidur
dua bulan lalu, gulungan kain itu tidak bergerak dari pangkuannya.”
Tanpa
tunggu lebih lama manusia pocong kedua segera keluar dari balik pohon besar.
Dua kali bergerak cepat dia sudah berada di atas reruntuhan tembok candi
sebelah kiri. Memandang ke bawah walau hanya sesaat, dadanya terasa bergetar.
Di bawah sana, di lantai batu halaman candi, empat orang lelaki bertubuh besar
kekar, bertelan– jang dada dan mengenakan celana hitam gombrong, duduk berpencaran,
bersila tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Tidak dapat diduga
apakah mereka tengah bersamadi atau beristirahat atau tertidur lelap.
Di antara
keempat orang itu, di lantai batu terletak tiga batang kelapa yang diikat jadi
satu. Di atas jajaran batang kelapa ini berbaring sesosok tubuh luar biasa
gemuk. Sebuah pipa besar dan panjang berada di genggaman tangan kirinya dalam
keadaan menyala dan mengepulkan asap berbau sangat tidak sedap. Dua mata
terpejam. Mulut, rongga hidung dan tenggorokan jadi satu menge– luarkan suara
grookk… grookk. Suara mendengkur.
Begitu
injakkan kaki di atas reruntuhan tembok candi, manusia pocong kedua keluarkan
suara suitan dua kali berturut-turut. Seperti yang diduga, empat lelaki yang
bergerak mengelilingi jajaran batang kelapa, saat itu juga melompat bangkit.
Kepala dan mata diarahkan ke tembok di mana manusia pocong kedua berdiri
seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan.
“Mahluk
di atas tembok!” Orang bertubuh kekar besar di ujung kanan menegur. “Kami hanya
memberi ingat satu kali! Tinggalkan tempat ini atau mati!”
Manusia
pocong di atas tembok keluarkan suara mendengus. “Kalian bangsa manusia. Aku
mahluk pengu– asa kawasan Candi Cemorosewu. Ancaman itu lebih pantas aku
tujukan pada kalian! Tinggalkan candi atau mampus!”
“Kami
memilih mampus!” Teriak empat lelaki bercelana komprang hitam.
“Kalau
begitu majulah berempat sekaligus. Biar cepat aku menghabisi kalian!”
Empat
lelaki bertelanjang dada keluarkan suara menggeram. Saat itu juga keempatnya
melesat ke arah tembok. Manusia pocong kedua berlaku sigap. Sesuai siasat yang
sudah diatur, begitu empat lawan melayang setengah jalan, dia segera melompat
turun dari atas tembok, lenyapkan diri ke bagian gelap di samping candi. Empat
pembantu Raja Penidur segera mengejar. Walau tubuh mereka besar dan kekar namun
gerakan masingmasing sangat enteng dan luar biasa gesit. Dalam waktu sangat
cepat mereka telah berada di halaman samping Candi Cemorosewu, mengurung
manusia pocong yang tegak dengan sikap sombong berkacak pinggang.
Pembantu
Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tengah dan ibu jari tangan kanan
hingga mengeluarkan suara klik! Saat itu juga kawannya di sebelah depan melesat
menerjang ke arah manusia pocong. Namun beberapa langkah sebelum serangan sampai,
manusia pocong kibaskan lengan jubah kiri kanan. Dua gelombang angin menderu
menyambut datangnya serangan. Sesaat sosok pembantu Raja Penidur
tergontai-gontai. Di lain kejap begitu berhasil mengimbangi diri dia cepat
menyerbu kembali. Namun lawan yang diserang membuat gerakan kilat. Sekali
berkelebat manusia pocong lenyap dari pemandangan.
Klik!
Sekali
lagi pembantu Raja Penidur di ujung kanan jentikkan jari tangan.
Orang
tinggi besar di sebelah kiri melesat ke udara. Lenyap di balik bangunan candi.
Karena berada di tempat yang agak jauh di mana dia bisa memandang lebih jelas,
pembantu Raja Penidur ini tadi dapat melihat ke arah mana lenyapnya si manusia
pocong. Namun begitu men– jejakkan kaki di lantai candi, dari balik dinding
bangunan berkelebat sebuah kaki.
Bukkk!
Satu
tendangan keras mendarat di pipi kanan pembantu Raja Penidur!
Kepala
orang ini seperti terpental. Tubuhnya bergetar hebat namun dua kakinya tidak bergeser!
Mulut keluarkan suara menggerang, kepala dimiringkan dan tangan kanan
ditepuk-tepukkan ke pipi yang barusan kena tendangan lalu kepala kembali
diluruskan. Dari mulut keluar suara menggembor. Dengusan nafas terasa panas
dalam dingin– nya udara malam.
Di balik
dinding candi, manusia pocong yang barusan hantamkan tendangan melengak kaget
pelototkan mata. Tembok batu saja akan hancur berantakan kena tendangan
kakinya. Seatos apa kepala manusia satu ini hingga tidak cidera barang
sedikitpun? Tidak menunggu lebih lama, sambil melompat keluar dari balik
dinding dia hantamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti bertenaga dalam
tinggi. Namun selagi tangan kanan masih terangkat di udara, belum sempat
dipukulkan ke arah pembantu Raja Penidur, tiba-tiba satu tangan kukuh mencekal
lengan kanannya. Berpaling ke belakang seorang tinggi besar bertelanjang dada
menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap dan bersamaan tubuh si manusia
pocong dipuntir ke depan lalu, bukkk! Satu jotosan keras melanda dada manusia pocong.
Walau tubuh terpental hampir sepuluh langkah dan tertahan di dinding candi,
namun tak ada suara keluhan apa lagi jeritan terdengar keluar dari mulut si
manusia pocong. Hanya saja, pada kain putih penutup kepala, di bagian mulut
kelihatan warna merah. Pertand aada lelehan darah keluar dari mulut mahluk ini,
pertanda tubuhnya menderita luka dalam hebat akibat jotosan. Saat itu di kiri
kanan dan sebelah belakang si manusia pocong mendengar suara dengusan. Meman–
dang berkeliling dilihatnya empat pembantu Raja Penidur sudah mengurung! Sosok
tinggi besar, dada telanjang celana gombrong hitam dan tampang sama-sama sung–
gingkan seringai angker. Walau hatinya bergetar namun dengan cepat si manusia
pocong pulihkan rasa percaya diri. Dua lutut dilipat, tubuh merunduk, dua
tangan dikembang dengan ujung-ujung jari menukik ke lantai candi. Tiba-tiba
tubuh itu diayun ke bawah. Ujung-ujung jari menotok lantai candi. Seperti
sebuah bola karet tubuh manusia pocong melenting ke udara. Tepat pada saat kaki
mencapai ketinggian kepala, sosok manusia pocong berputar. Ujung jubah
menghambur angin deras, terangkat ke atas. Dua kaki menyembul dari balik bagian
bawah jubah. Begitu tubuhnya berputar, dua kaki juga ikut berputar dan, bukk…
bukk… bukk… bukk! Empat kepala pembantu Raja Penidur dimakan tendangan dahsyat!
Sebelumnya,
ketika menendang seorang pembantu Raja Penidur dari balik bangunan candi,
manusia pocong hanya kerahkan sepertiga tenaga dalamnya. Kini mengha– dapi
empat lawan yang siap membantai dan diketahui memiliki tenaga dalam tinggi, dia
kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya hingga perutnya menjadi cekung
gembos dan dada seperti terbakar.
“Mampus
semua!” teriak manusia pocong lalu hamburkan tawa bergelak.
**********************
7
TENDANGAN
yang sangat cepat disertai kekuatan tenaga dalam tinggi membuat empat orang
pembantu Raja Penidur terpental dan jatuh terjengkang di lantai candi. Satu di
antaranya malah membelintang di atas reruntuhan tembok. Orang pertama kelihatan
hancur hidungnya, separuh muka bergelimang darah. Pembantu kedua lebam memar
pipi kiri. Yang ketiga pergunakan tangan kiri untuk menekap mata yang melesak
ke dalam rongga dan kucurkan darah, ketika tangannya diturunkan tampangnya
kelihatan menggidikkan. Sementara pemban– tu keempat pegangi keningnya yang
benjut hampir sebesar kepalan!
Setelah
keluarkan keluh kesakitan serta menggembor pendek penuh geram, tiga pembantu
Raja Penidur itu yang terjengkang di lantai candi perlahan-lahan bangkit
berdiri. Yang hidungnya hancur dan wajah bercelemongan darah, usap mukanya
mulai dari kening sampai ke dagu. Saat itu juga celemongan darah lenyap dan
hidungnya yang hancur kembali ke bentuk semula tanpa cacat.
Orang
kedua yang lebam memar pipi kiri seperti temannya setelah berkomat-kamit usap
pipi yang cidera, begitu selesai diusap, pipi yang bengkak merah kebiruan itu
serta merta sembuh tak berbekas. Lalu pembantu ketiga lakukan hal yang sama,
usap-usap matanya yang melesak merah berdarah. Kucuran darah berhenti dan noda
yang ada di mata serta pipi kiri pulih lenyap. Di atas tembok candi, pembantu
keempat menggeliat sebentar lalu turun sambil usap-usap keningnya yang benjut
seperti tinju. Di bawah benjutan itu ada luka menganga mengeluarkan darah
kental. Luar biasa, setelah diusap cidera besar itupun hilang. Noda darah tak
kelihatan lagi.
Manusia
pocong yang menyaksikan semua kejadian itu mau tak mau jadi leleh nyalinya.
Tendangan yang dilancarkannya tadi yang sanggup mengenai telak empat sasaran
adalah jurus tendangan bernama Empat Dewa Membagi Pahala. Jarang sekali ada
lawan mampu selamatkan diri dari tendangan tersebut. Kenyataannya memang
begitu. Namun yang membuat manusia pocong jadi mengkirik tercekat ialah sewaktu
melihat bagaimana empat tendangan yang sanggup menghancur leburkan batu besar
itu hanya menimbulkan cidera berat. Dan gilanya semua cidera itu sembuh lenyap
begitu diusap! Manusia pocong tidak bisa membayangkan sampai di mana tingkat
ketinggian ilmu empat pembantu Raja Penidur ini. Kalau pembantu saja sudah
demikian luar biasanya, bagaimana dengan si Raja Penidur sendiri?!
Mengharap
kawannya berhasil melaksanakan tugas dan merasa hanya mencari penyakit saja
jika dia mene– ruskan perkelahian dengan empat orang tinggi besar itu, manusia
pocong keluarkan suitan keras memberi tanda pada temannya lalu melesat ke
udara, berkelebat ke atas samping candi sebelah timur. Namun kecepatan daya
lenting tubuhnya kali ini tidak bisa menipu empat pembantu Raja Penidur. Begitu
tubuhnya bergerak ke atas, empat orang tinggi besar sama-sama keluarkan suitan
keras. Tubuh mereka melesat ke udara. Di lain kejap manusia pocong merasakan
kedua pergelangan tangan dan kaki kiri kanan telah dicekal orang. Dia berusaha
berontak. Tapi malah tubuhnya dibanting hingga tersandar ke dinding. Dia coba
kerahkan tenaga dalam. Tetap sia-sia. Tenaga dalam empat orang yang mencekalnya
itu tak bisa ditembus!
“Setan
jejadian! Perlihatkan tampangmu!”
Orang
tinggi besar di sebelah kiri bawah yang mencekal kaki kiri membentak. Kawannya
yang mencekal tangan kanan manusia pocong ulurkan tangan kiri ke arah kepala.
Sreet!
Kain putih penutup kepala manusia pocong tersing– kap. Kelihatanlah satu kepala
terbungkus rambut kelabu dan wajah tua berpipi cekung dengan kumis serta
janggut dan cambang tidak terurus.
“Dewa
Berkaki Iblis!” Dua orang pembantu Raja Penidur yang mengenali siapa adanya
orang itu berbarengan keluarkan seruan.
Dewa
Berkaki Iblis telah membuat nama besar. Sebagai seorang tokoh silat
berkepandaian tinggi yang terkadang berbuat kebaikan tapi terkadang tidak
segan-segan pula berbuat keji jika dia merasa ada kepentingan dan keun– tungan.
Karena sifatnya yang munafik inilah mungkin rimba persilatan memberi julukan
Dewa Berkaki Iblis kepadanya. Pertama karena sifatnya tersebut, kedua
kehebatannya memang ada pada sepasang kaki. Puluhan lawan mene– mui ajal bukan
dengan tangan atau senjata tapi dimangsa sepasang kaki.
Orang tua
yang disebut julukannya itu walau muka kelihatan pucat tapi tenang-tenang saja,
malah masih bisa sunggingkan senyum dan membuka mulut. “Apalagi yang kalian
tunggu?!”
“Eh, apa
maksudmu?!” hardik pembantu Raja Penidur yang mencekal tangan kanan manusia
pocong.
“Kalian
inginkan kematianku! Mengapa tidak langsung membunuh?!”
Dua orang
tinggi besar bercelana komprang hitam tertawa lebar. “Soal nyawamu siapa yang
memikirkan. Kami bisa membunuhmu secepat kilat menyambar. Tapi kami lebih dulu
perlu beberapa keterangan!”
“Kalau
kau tidak mau bicara, akan kubetot lidahmu sampai ke akarnya!” Mengancam orang
yang memegangi kaki kiri manusia pocong.
“Hemmm…
begitu? Keterangan apa yang kalian inginkan?” Si kakek berpipi cekung berjuluk
Dewa Berkaki Iblis menyeringai.
“Siapa
yang menyuruh kau dan temanmu datang menyerang kami! Lalu apa maksud kalian
melakukan serangan! Pertanyaan ketiga, jika kalian merupakan satu
komplotan
di mana sarang kalian?!”
Dewa
Berkaki Iblis tersenyum.
“Kalau
cuma itu yang kalian ingin tahu, tidak sulit bagiku memberi keterangan. Aku
tahu setelah aku mem– beri keterangan, kalian akan menghabisi diriku. Agar aku
bisa mati dengan tenang, biarkan aku bicara dengan tenang pula. Harap kalian
sudi melepas cekalan pada dua tangan dan kakiku. Dalam keadaan terkurung serta
mengalami luka dalam seperti ini apa kalian kira aku mau menipu dan masih
sanggup melarikan diri?”
Empat
pembantu Raja Penidur saling berpandangan. Yang dua anggukkan kepala. Temannya
yang dua lagi ikut menyetujui. Keempat pembantu Raja Penidur lepaskan cekalan
di kedua tangan dan kaki Dewa Berkaki Iblis. Orang tua ini menarik nafas lega
berulang kali, lalu menatap empat orang tinggi besar di depannya dan berkata.
“Sebelum
aku menjawab tiga pertanyaan tadi, apakah kalian pernah mendengar ucapan
seperti ini? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya
Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.”
“Omongan
ngacok apa itu?” hardik orang tinggi besar di samping kiri.
“Kalau
kalian tidak mengerti biar aku beritahu.” Kata Dewa Berkaki Iblis pula. Sikap
tenang wajah tersenyum. Lalu di luar dugaan dia balikkan badan dan secepat
kilat membenturkan kepalanya ke dinding candi.
Praakkk!
Nyawanya
tak tertolong lagi. Dewa Berkaki Iblis yang jadi anggota Barisan Manusia Pocong
113 Lorong Kema– tian ini tewas dengan kepala pecah!
*************************
Ketika
manusia pocong kedua melompat tinggalkan tembok candi dan dikejar oleh empat
orang pembantu Raja Penidur, manusia pocong pertama telah melesat ke atas
tembok sebelah kanan. Dia menyeringai di balik kain putih penutup kepala karena
merasa siasat yang dirancang ternyata mengena. Dia tidak menyadari malapetaka
apa yang bakal menimpa dirinya sebentar lagi.
Tanpa
tunggu lebih lama dia cepat berkelebat ke arah Raja Penidur yang terbaring
ngorok. Walaupun malam gelap, namun matanya yang tajam sudah dapat melihat
benda yang dicari, yakni satu gulungan kecil kain putih. Sesuai penjelasan Yang
Mulia Ketua benda itu ada di atas pangkuan, dekat lekuk paha celana. Secepat
kilat manusia pocong pertama ini ulurkan tangan kanan menyambar gulungan kain
putih kecil. Dia berhasil mendapatkan! Namun sebelum sempat berkelebat kabur,
tahu-tahu, clek! Satu tangan besar laksana jepitan besi mencekal lengan
kanannya. Lalu ada asap berbau sangat tidak enak berhembus ke arah mukanya.
Membuat dia gelagapan, sulit bernafas dan batuk-batuk.
Manusia
pocong ini berusaha menarik tangannya yang dicekal. Sampai keluarkan seluruh
tenaga luar dan dalam dan tubuh keringatan tetap saja dia tak mampu bebaskan
lengan. Karenanya tidak menunggu lebih lama lagi tangan kiri segera dihantamkan
ke perut gendut Raja Penidur.
Buuukkk!
Desss!
Tiga
jajar batang kelapa yang menjadi alas ketiduran Raja Penidur sampai bergetar
hebat. Tapi anehnya tubuh Raja Penidur sendiri tidak ikut cidera dihantam
pukulan keras itu. Perut gendutnya yang kena hantam melesak ke bawah sampai
satu jengkal, lalu perlahan-lahan melenting naik kembali.
“Gila!
Ilmu apa yang dimiliki orang ini? Aku seperti memukul tumpukan kapas!” ucap
manusia pocong dalam hati sambil melotot.
Sementara
itu si gemuk yang kena dipukul anehnya malah menggeliat, menguap lebar-lebar.
Tanpa membuka kedua matanya yang terpejam dia berkata.
“Enak-enakan
tidur siapa yang barusan jahil menggelitik perutku…”
Walau
kaget mendengar ucapan orang, si manusia pocong merasa dipermainkan. Kini dia
kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan kiri lalu secepat kilat menghantam ke
arah batok kepala Raja Penidur.
“Uuhhh…
ada nyamuk nakal mau menghisap darahku.” Raja Penidur acuh tak acuh kibaskan
pipa di tangan kanan. Mata masih terpejam.
Manusia
pocong terlambat tarik tangannya.
Kraaakk!
Lengan
kanan manusia pocong hancur. Bagian sebelah bawah bergelayutan, tidak sampai
tanggal karena masih tertahan daging, urat dan otot. Jeritan setinggi langit
keluar dari mulut si manusia pocong. Sementara tangan kanan– nya yang hendak
merampas gulungan kain putih masih berada dalam cekalan Raja Penidur. Saat
itulah empat pembantu Raja Penidur muncul. Mereka segera menarik tubuh manusia
pocong dan siap hendak dibantai. Namun terpaksa urungkan niat ketika Raja
Penidur terdengar berkata.
“Biarkan
dia hidup. Biarkan dia kembali ke majikan yang menyuruhnya…”
“Raja
Penidur, kami patuh apa yang kau perintahkan. Tapi sebaiknya manusia satu ini
kita tanyai dulu. Siapa dirinya, siapa majikannya dan di mana tempat kediaman–
nya…”
“Mengapa
susah-susah? Biar saja. Nanti ada orang lain yang bakal mengurusi. Lepaskan
dia. Kalau dia kembaii ke majikannya aku rasa dia bakalan jadi setan pocong
betulan.”
Mendengar
ucapan Raja Penidur, empat pembantu ayun tubuh manusia pocong lalu dilempar ke
arah semak belukar.
Braaakkk!
Manusia
pocong terkapar di atas semak-semak. Tangan kiri tergontai-gontai. Sambil
menahan sakit dia cepat turun dan kabur tinggalkan tempat itu. Ternyata dia
tidak terus kembali ke 113 Lorong Kematian. Di satu tempat dia berhenti di tepi
sebuah jurang batu. Hatinya berkata, “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilak– sanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai. Tapi
kalau aku kembali, apakah Yang Mulia Ketua akan memberi pengampunan? Kalau aku
melarikan diri apakah Yang Mulia Ketua dan kaki tangannya tidak bakal menemukan
diriku?”
Manusia
pocong menatap ke dalam jurang dalam dan gelap. Terngiang ucapan Raja Penidur
yang mengatakan kalau dia kembali ke majikannya, mungkin dia akan dijadikan
setan pocong betulan alias dibunuh! Orang ini coba berpikir keras namun otaknya
yang sudah dicuci tak banyak menolong. Putus asa dan juga ada rasa takut
akhirnya didahului satu jeritan keras dan panjang dia memilih menghambur diri
terjun ke dalam jurang batu.
*************************
Kembali
ke Candi Cemorosewu.
Raja
Penidur, tokoh aneh rimba persilatan ini usap-usap perutnya. Mulut menguap
lebar. Ketika mendengar suara jeritan di kejauhan, tanpa membuka mata dia
berkata.
“Mahluk
tadi, dia ingin lebih cepat jadi setan pocong betulan. Hik… hik… hik.” Raja
Penidur sedot lagi pipanya, hembuskan asap lalu menguap. “Aku mau tidur. Kalian
gotong diriku. Kita meneruskan perjalanan.”
“Raja,”
salah seorang pembantu beranikan diri berkata. “Ada sesuatu yang perlu kami
beritahukan pada Raja.”
Tanpa
membuka mata Raja Penidur hanya keluarkan suara berdehem serak.
Sang
pembantu kembali membuka mulut. “Sewaktu pertemuan dengan kakek berjuluk Dewa
Sedih, sebelum Raja tidur, kakek itu melemparkan sesuatu ke pangkuan Raja.”
“Siapa
bilang aku tidak tahu?” sahut Raja Penidur lalu menguap. “Benda itu sebuah
gulungan kain putih kecil. Mungkin bekas pengorek kuping tua bangka cengeng
itu. Benda itu sampai sekarang masih ada di atas pangkuanku. Betul?” Raja
Penidur menguap.
“Betul
sekali Raja. Menurut kami benda itu bukan korek kuping. Tapi sesuatu yang
sangat penting…”
“Bagaimana
kau tahu benda itu penting?” tanya Raja Penidur.
“Kalau
tidak penting mengapa dua manusia pocong itu menyatroni kita. Salah seorang
dari mereka jelas-jelas hendak merampas gulungan kain itu.”
Raja
Penidur diam saja lalu menguap.
“Raja,”
pembantu di sisi kiri kini yang keluarkan ucapan. “Dengan izinmu apakah kami
boleh mengambil gulungan kain putih di atas pangkuanmu lalu membuka– nya? Siapa
tahu kita akan menemukan sesuatu benda di dalam gulungan atau pesan berupa tulisan…”
“Mengapa
mau bersusah payah, mengapa mau mengada-ada?”
“Maaf
Raja, kami tidak bermaksud begitu. Kami tidak merasa susah apa lagi berani
mengada-ada.” Pembantu yang tadi bicara berkata sambil membungkuk berulang
kali.
“Sudahlah,
kantukku tidak tertahan. Gotong diriku. Jangan sekali-kali berani mengambil apa
lagi membuka gulungan kain putih. Berjalan ke arah matahari terbit. Menjelang
fajar kalian akan menemukan seorang yang mengeluarkan suara berisik. Aku tidak
akan bangun, jadi tidak akan menemuinya. Serahkan gulungan kain itu padanya.
Berikan pesan begini. Minta dia pergi ke arah utara Telaga Sarangan, itu saja…”
“Perintah
Raja kami lakukan. Seandainya kami…” Pembantu Raja Penidur tidak teruskan
ucapannya karena saat itu manusia luar biasa gemuk berusia seratus enam puluh
lima tahun itu telah keluarkan suara mendengkur alias sudah lelap tidur. Jangan
harap akan bisa bicara lagi.
“Heran,
Raja menyuruh menyampaikan pesan. Bunyi– nya begitu pendek. Apa orang yang
keterimaan pesan akan mengerti. Pergi ke utara Telaga Sarangan? Mengapa? Untuk
apa? Menemui siapa?”
“Sebaiknya
kita tak usah banyak bertanya dan berpikir. Raja lebih tahu dari kita. Mari
kita gotong batang kelapa tempat ketidurannya,” kata pembantu Raja Penidur yang
waktu perkelahian di candi melesak matanya dihajar manusia pocong.
**********************
8
UDARA
menjelang pagi terasa dingin. Empat pembantu Raja Penidur berjalan cepat tanpa
ada yang bicara. Keadaan masih gelap dan udara dingin luar biasa. Tidak heran
walau memanggul beban sangat berat ditam– bah dengan berjalan cepat keempat
orang itu tidak keluar– kan keringat.
Lapat-lapat
di kejauhan terdengar suara sesuatu. Raja Penidur sudah mendengar sejak tadi
namun tak ada yang mau bicara. Sesuai perintah, mereka bergerak terus ke arah
timur, arah terbitnya sang surya. Tak selang berapa lama salah seorang dari
mereka akhirnya tidak tahan juga untuk membuka mulut.
“Aku
mendengar suara curahan air terjun…”
“Aku
juga,” teman di sebelah depan menyahuti.
Pembantu
pertama kembali berkata. “Turut arah datangnya suara pasti itu air terjun
Ngadiloyo. Sudah tiga hari kita tidak mandi. Bagaimana kalau mampir dulu ke
sana membersihkan diri mencari kesegaran.”
“Air
terjun lurus di sebelah kanan. Tujuan kita lurus tidak membelok. Aku khawatir
kalau sampai tidak tepat waktu…” Yang berkata orang tinggi besar di belakang
kanan,
“Aku
mau-mau saja,” ujar pembantu di sebelah belakang kiri. “Tapi siapa berani
menyalahi perintah Raja. Kita disuruh mencari orang yang mengeluarkan suara
berisik dan menyerahkan gulungan kain putih.”
“Orang
yang selalu berisik itu, terus terang tidak jelas siapa dia adanya. Lelaki,
perempuan, masih muda atau sudah tua. Lalu berisik bagaimana? Apa setiap saat
dia berteriak-teriak terus… Aku khawatir kita kesalahan menyerahkan pada orang
lain.”
“Sudahlah,
tak perlu terlalu memikirkan siapa orang itu, apa lagi pergi mandi ke
Ngadiloyo. Percepat langkah kalian. Lihat ke depan, apa tidak melihat langit
sebelah sana sudah mulai terang? Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kita
harus menemukan orang itu. Siapapun dia adanya.”
Mendengar
ucapan temannya itu dan melihat langit di kejauhan memang mulai terang, tiga
pembantu yang mengusung Raja Penidur serta merta mempercepat langkah. Keempat
mereka kini kelihatan setengah berlari.
Di ufuk
timur kemunculan sang surya membuat langit yang sepanjang malam gelap menghitam
perlahan-lahan mulai kelihatan terang.
Tiba-tiba
empat pasang kaki memperlambat lari. Lalu berhenti sama sekali. Empat pembantu
Raja Penidur mendengar suara aneh. Dua kali berturut-turut.
“Aku tak
bisa menduga suara apa itu. Datangnya tepat di arah terbitnya sang surya.”
Pembantu di sebelah depan kanan keluarkan ucapan.
“Jalan
saja terus. Aku kira kita akan segera menemu– kan petunjuk sesuai perintah
Raja,” kawan pengusung di sebelah kiri depan berkata.
“Kalau
petunjuk yang kita temui memang bagus. Tapi kalau bahaya?”
“Apa
selama ini kita pernah takut menghadapi bahaya?” teman orang yang barusan
bicara menyahuti.
Empat
orang tinggi besar itu segera lanjutkan perja– lanan. Tapi kali ini mereka
tidak berlari lagi, hanya melang– kah cepat karena hati masing-masing dirasuki
oleh rasa was-was yang membuat mereka harus bersikap waspada.
Berjalan
sejauh tiga puluh langkah mendadak meng– hadang sebuah parit. Sebagian sisi
parit ditumbuhi semak belukar lebat setinggi pinggul. Empat pembantu Raja Peni–
dur terpaksa hentikan langkah. Jika tetap mempertahan– kan arah lurus ke timur,
mereka harus berputar ke kanan atau ke kiri parit baru bisa meneruskan
perjalanan. Namun apa yang membuat mereka tidak segera melanjutkan langkah
ialah melihat kehadiran seseorang di seberang parit.
Seorang
mengenakan caping duduk menjelepok di bawah sebatang pisang yang tengah berbuah
matang. Di pangkuannya terletak satu tongkat berwarna putih terbuat dari
tulang. Di belakang punggung tergantung sebuah buntalan. Tangan kanan orang ini
memegang sebuah benda yang kurang jelas apa adanya. Pakaiannya rombeng penuh
tambalan. Tak seorangpun dari empat pembantu Raja Penidur dapat melihat wajah
orang itu karena tertutup caping lebar. Cuma terlihat sedikit bagian dagu yang
bergerak-gerak tiada henti, tanda dia tengah makan atau mengunyah sesuatu.
Tangan
kanan orang bercaping bergerak. Benda yang ada dalam genggamannya keluarkan
suara aneh. Suara berkerontangan. Keras dan berisik, membuat telinga empat
pembantu Raja Penidur mengiang sakit. Sehabis membuat suara berisik, dengan
benda di tangan kanan orang itu angkat tangan kiri. Telapak di buka menampung
ke atas. Aneh luar biasa. Sebutir pisang di atas pohon jatuh ke bawah. Di
tangkap dengan tangan kiri lalu dikupas dan dimakan oleh orang bercaping sambil
kepalanya dimang– gut-manggut. Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam
parit. Ternyata di parit sudah sembilan kulit pisang bergeletakan.
Orang
bercaping usap perutnya sebentar. “Masih kem– pes…” katanya lalu tertawa,
gerakkan tangan kanan yang memegang benda yang bisa mengeluarkan suara berisik.
Tangan
kiri diangkat kembali. Ditampung sedemikian rupa. Pisang jatuh lagi secara
aneh, dimakan, kulit dilem– par dan tangan kanan kembali menggoyang benda
berisik.
Empat
pengusung Raja Penidur saling pandang semen– tara lagit semakin terang.
“Aku rasa
ini orangnya,” ucap lelaki tinggi besar di depan kanan. “Yang dimaksud Raja
sebagai orang yang selalu berisik adalah benda yang tadi digoyangkan di tangan
kanan.”
“Mari
kita datangi dia. Bicara dan kalau memang dia orangnya serahkan saja gulungan
kain putih dan sampai– kan pesan sesuai perintah Raja.”
Empat
lelaki tinggi besar bertelanjang dada dan mengenakan celana gombrong hitam
berjalan memutar parit ke sebelah kanan, begitu sampai di hadapan orang
bercaping yang duduk di bawah pohon pisang mereka segera turunkan batang kelapa
ke tanah.
Seperti
tidak acuh orang bercaping kembali gerakkan tangan kanan. Suara berisik luar
biasa membuat luruh beberapa daun pepohonan di sekitar tempat itu. Selain itu
suara berisik seperti mau merobek gendang-gendang teli– nga membuat empat
pembantu Raja Penidur tekap telinga masing-masing.
Selagi
orang kebisingan, orang bercaping tampungkan lagi tangan kirinya. Ketika pisang
jatuh, pembantu di sebelah depan cepat gerakan tangan hendak mendahului
mengambil pisang. Orang bercaping golengkan kepalanya sedikit. Seperti hidup
pisang itu melejit ke atas meng– hantam mata kiri sang pembantu hingga dia
mengeluh kesakitan. Sebelum sampai ke tangan orang bercaping, pisang mental
dulu ke bagian bawah perut orang tinggi besar hingga dia kesakitan
terbungkuk-bungkuk. Ketika dia mengusap mata dan memandang ke depan dilihatnya
orang bercaping telah menyantap pisang yang tadi hendak diambilnya sambil
tertawa haha-hehe! Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Lalu
benda di tangan kanan digoyang kembali. Empat pembantu Raja Penidur lagi-lagi
dibuat gelagapan dan cepat-cepat tutup telinga mereka.
Hari
semakin terang. Orang bercaping yang masih belum kelihatan jelas wajahnya
keluarkan suara tawa bergelak. Lalu mulutnya berucap.
“Kedatangan
tamu dari jauh sungguh menyenangkan. Apa lagi sudah berminggu-minggu aku tidak
bertemu dengan yang namanya manusia!”
Orang
bercaping goyangkan tangan kanannya. Kembali suara berisik menggema di udara
saat fajar menyingsing itu. Empat pembantu Raja Penidur ingin sekali merampas
benda di tangan kanan orang bercaping. Tapi mereka tidak berani berlaku
ceroboh. Mereka maklum yang duduk menjelepok di tanah sambii terus-terusan
makan pisang itu adalah seorang aneh berkepandaian tinggi. Apalagi mereka sudah
menduga, orang inilah si manusia berisik yang dimaksud oleh Raja Penidur.
Sementara
itu Raja Penidur sendiri terus saja men– dengkur dalam kelelapan tidurnya, sama
sekali tidak terganggu oleh suara berisik yang keluar dari benda yang digoyang
orang bercaping.
“Cuma
sayang. Ha… ha… ha.” Orang bercaping teruskan ucapannya dan tertawa. “Aku
mencium bau tidak enak. Bau ketek, bau selangkangan, bau daki, baru keringat,
bau apaknya pakaian, bau busuknya rambut. Semua jadi satu! Hai, udah berapa
hari kalian berempat tidak ketemu air, tidak madi?”
Empat
pembantu Raja Penidur saling pandang. Yang satu hendak bicara tapi kedahuluan
orang bercaping.
“Kalau
ingin menyegarkan diri, mengapa tidak mandi dulu? Air parit itu cukup bersih,
jernih dan sejuk!”
Empat
lelaki tinggi besar kembali saling pandang satu sama lain dan delikkan mata.
Orang bercaping itu jelas mempermainkan mereka. Menyuruh mandi di parit yang
katanya berair bersih, jernih dan sejuk. Padahal jelas-jelas air parit itu
kotor berlumpur, penuh lumut dan sampah termasuk kulit pisang yang dilemparkan
seenaknya. Lalu air parit itu juga mengeluarkan bau tidak sedap.
“Kalian
tidak mau mandi? Tidak apa. Ha… ha… ha. Berjalan jauh, membawa beban berat
pasti kalian haus dan juga lapar. Sayang tidak ada air di sini. Tapi untuk
mengganjal perut lapar dan haus dahaga mengapa tidak makan pisang saja? Rasanya
manis dan banyak airnya. Aku persilahkan kalian mencicipi.”
Habis
berkata begitu orang bercaping ambil tongkat putih di atas pangkuan. Tongkat
diangkat dan dikibaskan empat kali berturut-turut ke arah pisang di atas pohon.
Empat buah pisang secara aneh melesat dan masuk ke dalam mulut empat pembantu
Raja Penidur. Pelipis bergerak, rahang menggembung, mata mendelik. Jelas
keempat orang ini menjadi marah besar diperlakukan seperti itu.
“Oho!
Jangan marah! Makan saja pisangnya. Aku tidak akan minta bayaran! Ha… ha… ha!”
Saking
marah dan karena pisang sudah masuk hampir setengahnya ke mulut mereka, dengan
gemas geram empat lelaki tinggi besar itu akhirnya kunyah dan telan pisang
dengan kulit-kulitnya.
Orang
bercaping kembali tertawa.
“Kalau
lagi lapar, pisang dilahap dengan kulitnya memang sedap juga. Ha… ha… ha!”
Orang bercaping goyangkan tangan kanan. Kembali suara berisik menggema di
seantero tempat.
Tadinya
keempat orang yang masih dalam keadaan marah itu hendak melakukan sesuatu untuk
memberi pelajaran pada orang bercaping yang sudah keterlaluan kurang ajarnya.
Tapi mereka merasa aneh, pisang dengan kulit itu terasa sangat sedap dan walau
cuma makan sebuah saat itu mereka merasa perut masing-masing kenyang sekali.
Dahagapun hilang, tubuh terasa segar dan kuat. Segala keletihan menempuh
perjalanan jauh dan membawa beban berat lenyap!
“Orang
bercaping, jelaskan siapa dirimu!” Pembantu paling depan berkata. Suaranya
tidak berani keras lagi. Dia menyadari orang yang duduk di tanah itu
benar-benar bukan manusia sembarangan.
“Sudi
membuka caping. Bolehkah Kami melihat wajahmu?” kawannya di samping kiri ikut
keluarkan ucapan.
Orang
bercaping melintangkan tongkat putih di atas dada. Benda yang selalu
digenggamnya di tangan kanan diletakkan di tanah. Perlahan-lahan bagian depan
caping bambunya didorong ke atas hingga wajahnya tersingkap sampai ke kening.
Ternyata dia adalah seorang kakek. Dan astaga! Sepasang matanya kelihatan
putih, tidak ada bola mata hitam sama sekali!
**********************
9
EMPAT
pembantu Raja Penidur tersentak kaget. Manusia buta begini rupa bagaimana bisa
tahu kehadiran mereka, membawa beban berat dan bisa melakukan hal-hal aneh.
Padahal orang tidak buta sekalipun belum tentu bisa mengerjakan!
Setelah
tertawa panjang kakek ini berkata.
“Pakaian
rombeng banyak tambalan. Membekal tongkat putih dari tulang. Mengenakan caping.
Ke manamana membawa kaleng rombeng berisi batu. Mata hanya tinggal putihnya
saja. Apa kalian masih tidak mengenali diriku? Ha… ha… ha…!”
“Kakek
Segala Tahu!”
Empat
pembantu Raja Penidur keluarkan ucapan hampir berbarengan. Lalu sama-sama
bungkukkan tubuh memberi hormat.
“Setahu
kami kau adalah sahabat sangat dekat dengan Raja Penidur…”
“Kami
memang bersahabat. Tapi dia seorang sahabat yang sombong!” kata si kakek pula.
“Buktinya, menemuiku dia terus-terusan tidur. Tapi aku mau tahu apakah dia cuma
berpura-pura.”
Kakek
bercaping yang memang Kakek Segala Tahu adanya, orang yang merupakan salah satu
dedengkot rimba persilatan tanah Jawa beringsut mendekati jejeran tiga batang
kelapa di atas mana Raja Penidur tidur dengan mengeluarkan suara mendengkur
keras.
Kakek itu
kerahkan tenaga dalam lalu kaleng rombeng yang didekatkan ke telinga kiri Raja
Penidur digoyang kuatkuat. Empat pembantu Raja Penidur tersurut sampai empat
langkah. Satu di antaranya hampir terpeleset masuk ke dalam parit. Mereka semua
menutup telinga masingmasing karena tidak sanggup mendengar kerasnya suara kaleng
rombeng berisi batu yang digoncang.
Di atas
jejeran batang kelapa, Raja Penidur tidak bergerak, tidak pula berhenti
dengkurnya. Sepasang mata terus terpejam. Dahsyatnya suara kerontangan kaleng
yang digoyang di telinga kirinya sama sekali tidak membuatnya bangun dari lelap
tidur.
Kakek
Segala Tahu belum mau menyerah. Tenaga dalamnya ditambah lagi hingga capingnya
beberapa kali berjingkrak ke atas. Kaleng rombeng dipindah, kini digoyang di
dekat telinga kanan Raja Penidur. Seperti tadi Raja Penidur tidak bergeming,
tidak terpengaruh sedikit– pun.
“Kakek
Segala Tahu,” ucap salah seorang pembantu. “Kau saksikan sendiri, Raja Penidur
tidak sombong, dia tidak berpura-pura. Dia memang tidur nyeyak. Kalau belum
saatnya, apapun yang terjadi, sekalipun gunung meletus di depan hidung dan
dunia ini mau kiamat, dia pasti tetap saja tidak akan terjaga bangun. Harap kau
tidak meng– ganggunya lebih jauh.”
Kakek
Segala Tahu menyeringai.
“Siapa
percaya ocehanmu!?” katanya. “Kalau gunung meletus di depan hidungnya, majikanmu
ini sudah jadi debu. Kalau dunia kiamat dia sudah jadi bara puntung neraka! Ha…
ha… ha! Kalian semua tenang saja. Lihat saja. Masih ada cara lain untuk
membuktikan apakah dia memang benar-benar tidur atau bohongan belaka!”
“Asal kau
jangan menyakiti dirinya saja Kek,” kata salah seorang pembantu Raja Penidur.
“Jangan
takut, jangan khawatir. Hik… hik. Aku tidak akan menyakiti dirinya. Malah aku
mau memberinya satu kenikmatan.” Jawab Kakek Segala Tahu. Lalu orang tua ini
ambil tongkatnya. Ujung tongkat diletakkan di atas tubuh Raja Penidur, tepat di
bagian bawah perut manusia gemuk itu. Perlahan-lahan sambil kedip-kedipkan
matanya yang putih, Kakek Segala Tahu mulai usap-usapkan ujung tongkatnya.
“Kakek,
apa yang kau lakukan?” tanya seorang pembantu Raja Penidur.
“Ssst…
Lihat saja. Tak usah khawatir…” Jawab Kakek Segala Tahu dan terus saja
mengusapi bagian tubuh di antara dua paha Raja Penidur. Lama kelamaan,
perlahanlahan celana di bagian bawah perut itu membengkak, naik ke atas, makin
tinggi dan makin tinggi.
Kakek
Segala Tahu tertawa cekikikan. Dia tarik tongkatnya lalu berkata.
“Kalian
lihat sendiri. Barusan aku telah membuktikan majikanmu ini tidak tidur benaran.
Dia hanya pura-pura. Kalau dia memang tidur mengapa anunya bisa munjung, bisa
naik diusap-usap. Padahal cuma diusap dengan tongkat. Bagaimana kalau yang
mengusap jari-jari tangan gadis cantik? Huh! Pasti meledak robek celananya! Ha…
ha… ha…”
Empat
pembantu Raja Penidur sesaat terdiam lalu serentak sama-sama menutup mulut
menahan tawa. Salah seorang di antara mereka kemudian berbisik pada
temantemannya.
“Lekas
saja beritahu pada kakek itu maksud keda– tangan kita. Lama-lama melayani
dirinya kita semua bisa sinting.”
“Kek,”
salah seorang dari empat pembantu dekati Kakek Segala Tahu. “Raja Penidur
memberi tugas pada kami berempat untuk menemuimu. Soal apakah dia tidur benaran
atau pura-pura mohon jangan diambil hati. Kami diperintahkan untuk
menyerahkan…”
“Aku
sudah tahu. Kalian diperintahkan untuk menye– rahkan satu barang butut padaku
disertai satu pesan. Bukan begitu?!”
Empat
pembantu Raja Penidur jadi tersirap kaget. Bagaimana kakek buta ini bisa
mengetahui tugas yang mereka jalankan?
Kakek
Segala Tahu masih senyum-senyum dan ber– tanya. “Sudah, jangan pada bingung.
Serahkan benda itu dan sampaikan pesannya.”
Salah
seorang dari empat lelaki tinggi besar ambil gulungan kain putih kecil di atas
lipatan paha celana Raja Penidur. Benda ini kemudian diserahkannya pada Kakek
Segala Tahu.
Si kakek
usap-usap benda yang diterimanya. Sesaat tercengang. Seperti melihat padahal
buta dia bertanya. “Si gendut ini menyuruh kalian menyerahkan benda ini
padaku?”
“Benar
Kek. Harap kau mau menerima…”
“Benar-benar
menghina!”
“Kek,
buruk bagusnya benda ini harap kau sudi mene– rima. Kami berempat hanya
menjalankan perintah. Harap jangan marah.”
“Siapa
bilang aku marah!”
“Kalau
begitu tolong diterima saja Kek.”
“Sekarang
coba katakan apa pesan dari si gendut majikanmu ini?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Raja
berpesan agar Kakek pergi ke utara Telaga Sarangan.”
“Hemmmm…”
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya. “Mau apa dia menyuruh aku ke
sana? Mencari apa menemui siapa?”
“Maaf
Kek, Raja tidak menjelaskan apa-apa.”
Kakek
Segala Tahu kerontangkan lagi kaleng rombeng– nya. Gulungan kain putih kecil
kembali diusap-usap. Lalu perlahan-Iahan dibuka. Begitu gulungan kain terbuka
si kakek meraba-raba kain itu. Ternyata di atas kain ada serangkaian tulisan
tertera dengan tinta kuning. Kakek Segala Tahu perlihatkan kain putih itu pada
orang tinggi besar yang berdiri di depannya lalu berkata. “Beritahu, aksara apa
yang tertera di kain ini. Aksara Jawa kuno, Arab atau Cina?”
Orang
tinggi besar memperhatikan kain putih di tangan si kakek sebentar. Lalu menjawab.
“Tulisan Jawa Kuno Kek.”
“Begitu?”
Si kakek manggut-manggut. Atur caping di atas kepala. Betulkan letak buntalan
di punggungnya lalu selipkan tongkat di pinggang. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri.
“Kakek,
boleh kami membaca apa yang tertulis di atas kain putih itu?”
“Apakah
guru kalian memerintahkan begitu?”
Pembantu
yang barusan bicara jadi terdiam lalu gelengkan kepala.
“Barang
sudah kalian serahkan, pesanan sudah kalian sampaikan. Saatnya aku pergi ke
mana aku mau menuju dan kalian silahkan berangkat melanjutkan perjalanan?”
“Tapi
Kek, sesuai pesanan Raja, kau harus pergi ke utara Telaga Sarangan.”
“Ke mana
aku mau pergi itu adalah urusanku,” jawab Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan
kaleng rombengnya.
Empat
orang pembantu Raja Penidur tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah membungkuk
memberi hormat mereka angkat batang kelapa lalu mengusung pergi Raja Penidur
yang terus saja ngorok tiada henti.
Setelah
orang-orang itu pergi Kakek Segala Tahu kembali duduk menjelepok ke tanah.
Caping didorong ke atas. Kepala mendongak ke langit. Jari-jari tangan meng–
usap rangkaian tulisan di atas kain putih kecil. Begitulah caranya kakek aneh
ini membaca. Dalam membaca dia tertawa-tawa sendiri.
“Curang!
Kenapa cuma anak perjaka yang boleh nikah? Huh! Apa tua bangka seperti aku ini
tidak boleh mendapat kesempatan? Tapi… ha… ha… ha!”
Setelah
mengomel si kakek tertawa sendiri. “Apa yang bisa dilakukan kakek keropos
seperti aku jika nikah dengan perawan? Modalku cuma terong keriput, mungkin
sudah karatan lagi! Ha… ha… ha!”
Kakek
Segala Tahu sekali lagi usap rangkaian tulisan di atas kain putih dengan
jari-jari tangannya. Lalu dia kelihatan seperti menggigil. “Huh… nikah dengan
mayat! Siapa sudi! Lebih baik gempor seumur-umur! Hik… hik…
hik!”
*************************
Semalaman
suntuk Kakek Segala Tahu berjalan sambil sesekali kerontangkan kaleng bututnya.
Ketika sang surya muncul baru dia berhenti, duduk di pinggiran sebuah hutan
kecil. Dari kemunculan matahari kini dia tahu mana arah utara.
“Apakah
aku harus pergi ke utara sesuai pesan si gendut itu?” Kakek Segala Tahu
bertanya dalam hati. “Urusanku banyak yang lain. Kalau tidak melihat kesulitan
yang bakal dihadapi anak-anak itu aku lebih suka tidak perduli dengan pesan si
gendut!” Si kakek kerontangkan kaleng berisi batu kerikil. Setelah merasa
letihnya hilang dia lanjutkan perjalanan kembali. Namun baru bertindak enam
langkah dua bayangan putih berkelebat mengha– dang. Satu di kiri satu di kanan.
“Ah,
manusia-manusia pocong itu rupanya benar-benar ada,” Membatin si kakek. Caping
di dorong ke atas. Dua manusia pocong jadi melengak ketika menyaksikan orang
yang mereka hadang ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta.
Manusia
pocong di sebelah kanan membentak.
“Kakek
buta! Kami tahu kau membekal segulung kecil kain putih! Serahkan benda itu pada
kami!”
Kakek
Segala Tahu dongakkan kepala ke atas, keron– tangkan kalengnya lalu tertawa
mengekeh.
“Yang
namanya pocong itu tak pernah ada yang bisa bicara. Dan kalau muncul selalu
membawa bau menyan. Kalian ini pocong apa? Masih punya nyawa berbadan seperti
mayat! Benar-benar tolol. Atau sinting?!”
Dua
manusia pocong jadi terkesiap. Bagaimana kakek buta itu tahu keadaan diri
mereka?
“Kalian
ini makhluk jejadian apa sebenarnya? Datang dari mana?!”
“Kau tak
layak bertanya!” bentak manusia pocong di samping kiri. Temannya di sebelah
kanan menyambung.
“Kakek
buta, kami tahu kau punya kepandaian. Tapi jangan harap dengan kepandaianmu itu
kau bisa selamatkan diri dari kematian! Lekas serahkan barang yang kami minta!
Atau kau akan mampus percuma di tangan kami orang-orang 113 Lorong Kematian!”
“Wah…
wah… wah! Kalau kalian mengancam mau membunuhku, aku yang tua bau tanah ini
mana berani melawan. Apalagi kalian berdua aku cuma sendiri. Apalagi kudengar
kalian menyebut-nyebut 113 lorong. Bisa-bisa aku kalian cincang jadi 113
potong!” Seperti orang keta– kutan Kakek Segala Tahu lalu bongkar buntalannya
sambil mulutnya berucap. “Heran, heran. Bagaimana kalian tahu kalau aku
membekal segulung kain putih?” Dari dalam buntalan Kakek Segala Tahu kemudian
keluarkan barang yang diminta. Segulung kecil kain putih.
“Bagus!
Kau cukup tahu diri!” Manusia pocong sebelah kanan cepat ambil gulungan kain
putih kecil lalu memberi isyarat pada temannya untuk segera pergi.
Sang
teman berbisik. “Kita bunuh saja tua bangka ini.”
“Kurasa
tidak perlu. Kita sudah mendapatkan apa yang dicari.” Jawab manusia pocong
satunya. Justru ini adalah satu kesalahan besar yang kelak akan menimbulkan
malapetaka atas pimpinan serta seluruh anggota Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian.
Dua
manusia pocong itu akhirnya tinggalkan si kakek.
*************************
Di dalam
113 Lorong Kematian.
Yang
Mulia Ketua melangkah mundar-mandir dalam Ruang Bendera Darah. Wakilnya tegak
tak bergerak. Kedua orang ini berada dalam keadaan risau. Sang ketua hen– tikan
langkah. Memandang pada wakilnya dan berkata.
“Aku
tahu, saat ini matahari sudah naik tinggi. Menurutmu apakah dua anggota kita
akan berhasil mendapatkan benda itu?”
“Mudah-mudahan.
Saya berharap begitu…”
“Kalau
hanya mudah-mudahan berarti masih ada rasa was-was dalam hatimu! Kita sudah
kehilangan Dewa Berkaki Iblis dan temannya Datuk Liang Akhirat. Kalau sampai
dua anggota yang kita kirim menghadang kakek buta ini gagal lagi, celaka besar
menghadang. Gila! Mengapa roh gaib penghuni Aksara Batu Bernyawa tidak pernah
memberitahu kain penangkal celaka itu dari duludulu! Bisikan roh baru aku
terima tiga malam lalu. Terlambat! Mungkin ini ada sebabnya. Ada kaitan dengan
Yang Mulia Sri Paduka Ratu yang selalu menyanyikan lagu keparat itu!”
“Yang Mulia
Ketua harap bersabar. Saya yakin dua orang kita itu akan segera kembali sebelum
tengah hari. Kalaupun terjadi hal yang buruk, biar saya sendiri yang turun
tangan.”
“Untuk
sementara aku tidak mengizinkan kepergianmu dari tempat ini. Apa kau tidak ingat
laporan mata-mata yang mengatakan beberapa orang terlihat di sekitar selatan
Telaga Sarangan. Dari ciri-ciri yang disebutkan, salah seorang di antara mereka
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saatnya kita menjebak dan menghabisi manusia
satu itu. Apa kau tidak ingin membalaskan dendam kesumat sakit hatimu terhadap
musuh bebuyutanmu itu?”
“Saya
menurut perintah Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”
Baru saja
Wakil Ketua menyelesaikan ucapannya tibatiba di pintu ruangan ada ketukan.
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong cepat melangkah ke arah pintu batu. Yang
Mulia Ketua menekan sebuah tombol rahasia di lengan kanan kursi batu yang biasa
didudukinya. Dinding batu di ujung ruangan bergerak turun ke bawah membentuk
pintu terbuka.
Di depan
pintu dua orang manusia pocong menjura ke arah Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua
baru melangkah masuk ke dalam Ruang Bendera Darah.
“Kalian
berhasil?!” tanya Yang Mulia Ketua dengan suara keras lantang.
Manusia
pocong di sebelah kanan menjura. “Berkat petunjuk Yang Mulia. Kami berhasil.”
Lalu dari balik jubah putihnya manusia pocong ini keluarkan sebuah benda.
Gulungan kecil kain putih. Benda ini diserahkan kepada Yang Mulia Ketua.
“Ah…”
Yang Mulia Ketua lepaskan nafas lega. Gulungan kain cepat dibuka. Secepat kain
terkembang secepat itu pula teriakan keras menggeledek dari mulutnya. “Jahanam!
Palsu! Apa ini?! Kalian berani menipuku!”
Dua
manusia pocong tersentak kaget dan tersurut tiga tangkah. Di balik kain putih
penutup kepala wajah mereka menjadi pucat pasi. Wakil Ketua maju mendekat
berusaha melihat apa yang ada di atas kain putih kecil. Seharusnya di atas kain
itu tertera serangkaian tulisan. Tapi yang dilihatnya adalah gambar muka orang
dengan lidah menjulur mencibir.
Yang
Mulia Ketua menyambar dua buah Bendera Darah dari meja batu dan siap
dilemparkan ke arah dua anak buahnya. Wakil Ketua cepat mencegah.
“Yang
Mulia Ketua. Harap sudi bersabar! Kita tanyai dulu mereka. Apa yang telah
terjadi. Lagi pula, kalau keduanya kita habisi, jumlah anggota kita semakin
sedikit. Di saat-saat seperti ini kita perlu banyak anggota. Sudah cukup lama
kita tidak ketambahan anggota baru. Yang sudah ada jangan sampai berkurang…”
“Setan
alas!” Yang Mulia Ketua bantingkan dua bendera darah hingga menancap amblas di
lantai batu! Di balik lobang kecil kain putih penutup kepala sepasang mata Yang
Mulia Ketua berapi-api.
“Kalian
berhasil ditipu tua bangka ini! Sungguh mema– lukan! Sebelum pergi apakah
kalian sudah membunuh– nya?!”
Dua
anggota Barisan Manusia Pocong tak segera menjawab. Salah satu di antaranya
malah tundukkan kepala.
“Jahanam!
Apa kalian berdua sudah jadi bisu? Jawab!
Kalian
membunuh kakek buta itu atau tidak?”
Manusia
pocong di sebelah kanan membungkuk ketakutan lalu berkata. “Sebelum pergi, saya
sudah mengingatkan dia untuk membunuh orang tua itu. Tapi katanya tak perlu
karena kami sudah mendapatkan apa yang dicari.”
“Jahanam
keparat!”
Yang
Mulia Ketua hantamkan tangan kanannya ke arah manusia pocong di samping kiri
yang tegak tertegun tundukkan kepala. Satu gelombang angin panas menebar
cahaya-cahaya menggidikkan melabrak tubuh manusia pocong. Orang ini menjerit
keras. Tubuhnya mencelat ke luar ruangan, melayang sepanjang lorong lalu jatuh
berge– debuk dalam keadaan hangus mengerikan.
Ketika
Yang Mulia Ketua palingkan kepala ke arah manusia pocong satunya, sang wakil
cepat menghalangi. “Yang Mulia Ketua, jangan…” Lalu dia berkata pada manusia
pocong di depannya. “Manusia tolol. Lekas keluar dari tempat ini. Atau aku
sendiri yang akan mewakili Yang Mulia Ketua memecahkan batok kepalamu!”
Tidak
tunggu lebih lama, manusia pocong satunya yang pucat pasi wajah serta kucurkan
keringat dingin di seluruh tubuh serta merta keluar dari Ruangan Bendera Darah.
*************************
TIDAK
lama setelah dua manusia pocong tinggalkan dirinya, Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh. “Dasar pocong jejadian. Kalau pocong sungguhan pasti kalian tidak
termakan tipuku! Ha… ha… ha.”
Si kakek
angkat capingya. Dari sela-sela rambutnya yang putih dia keluarkan sebuah benda
yang bukan lain adalah gulungan kain putih. Tangan kanan kerontangkan kaleng
rombeng dua kali, lalu dia mulai mengusap rangkaian tulisan di kain putih
dengan ujung-ujung jari. Begitulah cara dia membaca apa yang tertulis di kain
tersebut.
Batas
antara kebaikan dan kejahata
adalah
kebijaksanaan. Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa, akan menimbulkan
bencana malapetaka di mana-mana. Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
rimba
persilatan akan kiamat. Dalam kiamat, tangan-tangan jahat akan jadi penguasa.
Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan. Nyawa tiada artinya lagi.
Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat. Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan, nikahkan dia dengan seorang
perjaka. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang lelaki, nikahkan dia dengan
seorang perawan. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dalam kesakralan ada
kesucian. Dalam kesucian ada jalan untuk selamat. Maka kematian abadi akan
menjadi jalan keselamatan.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Kain putih digulung kembali lalu
disusupkan di sela rambut putih di atas kepala.
**********************
10
KEMBALI
ke tempat bertemunya Pendekar 212 Wiro Sableng, Wulan Srindi, Jatilandak dan
Loh Gatra. Seperti diketahui di tempat itu juga ada Bidadari Angin Timur dan
kakek berjuluk Setan Ngompol. Kedua orang ini bersembunyi di balik semak
belukar dalam gelapnya malam sementara berpikir-pikir apakah akan keluar
bergabung dengan orang-orang itu atau tetap saja sembunyi dulu mendengarkan
segala pembicaraan mereka.
Tak lama
setelah Sinto Gendeng pergi meninggalkan orang-orang itu muncul seorang
penunggang kuda. Bida– dari Angin Timur yang berada paling dekat dengan arah
datangnya orang, begitu melihat siapa adanya si penung– gang kuda segera saja
mengambil keputusan untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
Orang
yang datang dan kemudian turun dari kuda adalah seorang gadis cantik berpakaian
ringkas warna ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu diikat– kan di
pinggang membuat penampilannya menjadi tambah gagah. Rambut yang digulung ke
belakang, diikat dengan sehelai pita ungu. Kemunculan gadis ini membuat semua
orang di tempat itu sesaat jadi terdiam namun setelah itu mereka segera
mengelilinginya dan suasana berubah jadi gembira.
“Anggini,”
tegur Wiro menyebut nama gadis yang baru turun dari kuda yang bukan lain adalah
Anggini, murid Dewa Tuak yang konon memang sejak lama diinginkan untuk
dijodohkan dengan Wiro. “Kau datang sendirian. Mana para sahabat yang lain. Ratu
Duyung, Sutri Kaliangan…” Entah lupa entah memang tidak sengaja Wiro tidak
menyebut nama Bidadari Angin Timur.
“Malam
pertemuan di Gedung Kepatihan,” menyahuti Anggini. “Kami menunggu. Kau tidak
muncul. Kami akhir– nya berpencaran mencari jalan sendiri-sendiri. Aku tidak
tahu di mana beradanya Sutri Kaliangan dan Ratu Duyung. Juga Bidadari Angin
Timur. Aku…”
Belum
sempat Anggini menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba satu suara berseru menggema
di kegelapan malam.
“Anggini!
Aku ada di sini!”
Begitu
suara lenyap, di tempat itu berkelebat satu bayangan biru menebar bau harum.
Tahu-tahu Bidadari Angin timur telah berdiri di antara orang-orang itu. Anggini
langsung merangkul Bidadari Angin Timur. Saat saling berangkulan Bidadari Angin
Timur pergunakan kesempatan untuk berbisik.
“Anggini,
dengar baik-baik. Tapi jangan melihat pada orangnya. Kau lihat gadis hitam
manis yang berdiri di samping pemuda berkulit kuning?”
Anggini
melirik. “Ya, aku lihat. Siapa dia?”
“Namanya
Wulan Srindi. Soal asal usulnya nanti akan kau ketahui sendiri. Tapi sebagai
sahabatmu ada satu hal membuat aku sakit hati pada gadis itu. Dia mengaku pada
semua orang, juga pada Eyang Sinto Gendeng…”
“Eyang
Sinto Gendeng ada di sini?” tanya Anggini.
“Tadi,
sekarang sudah pergi.” Menerangkan Bidadari Angin timur.
“Gadis
itu, dia mengaku apa?”
“Dia
mengaku sebagai murid Dewa Tuak…”
Anggini
terkejut.
“Setahuku
guru tak punya murid lain selain diriku.” Kata Anggini sambil sekali lagi
melirik ke arah Wulan Srindi.
“Semua
orang tahu. Gadis itu berdusta. Malah lebih jahat dari kedustaan itu, dia
membuat kedustaan kedua. Dia mengaku Dewa Tuak menjodohkan dirinya dengan
Wiro…”
Ada
tarikan nafas di tenggorokan Angini. Dalam pelukannya, Bidadari Angin Timur
merasa tubuh Anggini bergetar dan degup jantungnya mengencang.
“Aku
merasa tidak terusik kalau gadis itu berjodoh dengan Wiro,” bisik Anggini.
Membuat sekilas wajah Bidadari Angin Timur jadi berseri.
“Aku tak
pernah lagi memikirkan soal itu. Kurasa Wiro juga demikian. Tapi soal dia
adalah murid Dewa Tuak, itu perlu diselidiki. Biar aku bicara dengan gadis
itu…”
“Tenang,
kuharap kau tenang. Jangan dulu mengacaukan suasana. Nanti mereka tahu kalau
aku yang membuka rahasia.”
“Apakah
gadis itu tahu siapa diriku?” tanya Anggini.
“Kurasa
tidak. Tak ada perubahan di wajahnya ketika kau muncul.”
“Kalau
begitu aku harus mencari guru. Cukup lama kami tak pernah bertemu…”
“Mungkinkah
karena lama tak bertemu gurumu kemudian dalam rindunya mengangkat gadis itu
jadi murid?” Pertanyaan Bidadari Angin Timur sebenarnya sekadar memancing.
“Guruku
punya hak melakukan apa saja. Tapi dia bukan seorang yang tega berkhianat…”
Perlahan-lahan
Bidadari Angin Timur lepaskan pelukannya di tubuh Anggini.
“Anggini,
bagaimana kau tahu kalau kami berada di sini?” Wiro bertanya pada Anggini
dengan sikap seolah Bidadari Angin Timur tak ada di situ. Rupaya sakit hati
atas beberapa hal yang dilakukan Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak belum
bisa dilenyapkan sang pendekar.
“Ratu
Duyung,” jawab Anggini.
“Di mana
gadis bermata biru itu?” tanya Wiro pula.
Mendengar
disebutnya nama itu, dan dalam bertanya kenangan Pendekar 212 kembali pada
pertemuannya dengan Bunga atau Suci, gadis dari alam roh, beberapa waktu lalu.
Saat itu Bunga mengatakan agar jika dia di kemudian hari mencari kawan hidup
maka pilihlah Ratu Duyung, jangan gadis lain. Kemudian Wiro tersadar, mendengar
suara Anggini.
“Melalui
cermin saktinya aku dan kawan-kawan mengetahui ancar-ancar keberadaanmu. Dia
berangkat lebih dulu bersama Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan. Aneh kalau
dia belum bergabung dengan kalian.”
“Mungkin
mereka mampir dulu di satu tempat. Kau tahu Sutri Kaliangan adalah seorang
putera Patih Kerajaan. Di mana-mana dia dikenal dan dihormati orang. Pasti
banyak yang ingin mengundangnya…” Yang bicara adalah Bidadari Angin Timur.
Wiro
tidak memberi tanggapan. Dia hanya melirik sebentar pada gadis berambut pirang
itu lalu memandang pada Anggini dan berkata.
“Ada
kabar tidak enak. Menurut gadis ini…” Wiro memalingkan kepala pada Wulan Srindi
lalu meneruskan ucapannya, “gurumu Dewa Tuak ditahan oleh komplotan manusia
pocong…”
“Kami
tengah mengatur rencana penyerbuan ke 113 Lorong Kematian, markas manusia
pocong. Mereka menculik istriku yang sedang hamil,” berkata Loh Gatra.
“Aku
bersumpah akan membantai pimpinan dan semua anggota manusia pocong kalau guruku
dibikin cidera, apalagi kalau sampai tewas.” Kata Anggini pula. Lalu dia
sambung ucapannya. “Wiro, aku perlu bicara dengan gadis hitam manis bernama
Wulan Srindi ini. Kau kenal di mana dia?”
Wiro tak
bisa menjawab hanya garuk-garuk kepala, melirik pada Bidadari Angin Timur.
“Pasti dia yang memberitahu saat berpelukan tadi.” Murid Sinto Gendeng
membatin.
“Kalau
kau ingin bicara padanya silahkan. Aku tidak melarang. Tapi kita tengah
menghadapi perkara besar. Jangan sampai terjadi silang selisih dan kekacauan di
antara kita sebelum masalah besar terpecahkan.”
“Dia
mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Yang aku tahu selama ini aku adalah murid
tunggal Dewa Tuak. Apa tidak layak kalau aku menanyai gadis itu karena dia
mengaku sebagai murid Dewa Tuak pula?”
“Layak-layak
saja…” sahut Wiro. Lalu dengan suara agak dikeraskan agar terdengar Bidadari
Angin Timur sang pendekar berkata. “Dia juga bicara soal gurumu telah
menjodohkan dirinya dengan diriku. Bukankah itu yang sudah diceritakan Bidadari
Angin Timur padamu tadi sewaktu kalian saling berpelukan?”
Wajah
Bidadari Angin Timur langsung berubah merah.
Anggini
cepat menolong sahabatnya itu dengan berkata. “Hal satu itu tidak perlu
kuselidiki. Gadis itu mau kawin dengan siapa saja silahkan saja. Antara guru
kita memang ada usaha untuk mengikat kita dalam perjo– dohan. Tapi tidak ada
keterusan dan aku sudah melupakan semua itu.”
Wiro
manggut-manggut. “Ah, pandai sekali Bidadari Angin timur mengipas bara api
dalam dada gadis ini,” kata Wiro dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dan
tersenyum dia berkata. “Memang gadis sekarang boleh-boleh saja memilih siapa
kekasih dan calon suaminya. Kalau aku boleh bertanya apakah kau suka pada
pemuda berkepala botak berwarna serba kuning itu?”
Anggini
menoleh ke arah Jatilandak lalu memandang mendelik kearah Wiro. “Apa-apaan ini?
Kau bicara apa?! Bukankah…”
Wiro
tertawa lebar.
“Untung
kau tidak menyukainya. Karena ketahuilah pemuda itu adalah kekasih dan milik
sahabatmu ini.”
Habis
berkata begitu tanpa perdulikan bagaimana wajah Bidadari Angin Timur menjadi
merah kelam dan tubuhnya bergetar, murid Sinto Gendeng melangkah tinggalkan dua
gadis.
“Sahabatku,
apa yang terjadi antara kau dan Wiro?” tanya Anggini sambil memegang lengan
Bidadari Angin Timur.
Yang
ditanya hanya gelengkan kepala. Wajah masih kelihatan merah dengan mimik
seperti menahan tangis.
“Kita
semua tengah menghadapi satu urusan besar. Tapi agaknya urusan pribadi tidak
bisa dilupakan. Saha– batku, jika ada kesempatan di lain waktu aku ingin kau
menceritakan apa yang terjadi antara kalian berdua. Kalau aku tidak bisa
mendapatkan pemuda itu sebagai teman hidup, kuharap kaulah penggantinya. Jangan
dia sampai jatuh ke tangan gadis lain. Mari kita bergabung dengan mereka…”
Bidadari
Angin Timur telan ludahnya sendiri. Tenggo– rokannya bergerak-gerak. “Terima
kasih, aku memilih lebih baik pergi saja.” Jawab Bidadari Angin Timur.
“Apakah
itu akan menyelesaikan persoalan?” Tanya Anggini.
“Aku
tidak tahu. Aku tidak perduli. Gadis bernama Wulan Srindi itu, dialah biang
racun semua ini…”
“Tetapi
apa yang terjadi antara kau dengan pemuda kuning itu? Wiro tidak mungkin
berkata seperti tadi jika tidak ada apa-apa…”
“Dia
salah sangka. Keliru menduga. Aku…” Bidadari Angin Timur akhirnya melangkah
pergi. Melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Anggini dan tanpa dapat
dicegah tinggalkan tempat itu.
Semua
orang jadi melongo. Loh Gatra mendatangi, hendak bertanya pada Anggini. Tapi
Anggini justru melang– kah mendekati Wulan Srindi. Jatilandak tampak bingung.
Tapi hanya sesaat. Di lain kejap pemuda dari Negeri Lahtanasilam ini segera
berkelebat ke arah lenyapnya Bidadari Angin Timur. Melihat hal ini Anggini
merasa seolah apa yang diucapkan Wiro tadi benar adanya. Antara Bidadari Angin
Timur dengan Jatilandak ada jalinan hubungan yang lebih dari hanya berupa
persahabatan.
Anggini
meneruskan langkah menemui Wulan Srindi. Wiro garuk-garuk kepala ketika Loh
Gatra mendekatinya dan berkata.
“Aku
sangat mengawatirkan keselamatan istriku. Aku tak bisa berada lebih lama di
tempat ini. Aku akan mencari mulut terowongan dan menerobos masuk ke dalam 113
Lorong Kematian.”
“Sahabat,
harap kau bersabar. Kita harus mengatur siasat. Dua orang yang mabuk bercinta
tadi pergi begitu saja. Kekuatan kita hanya sedikit. Apa kita bisa menghan–
curkan orang-orang jahat itu kalau hanya mengandalkan kekuatan? Kita harus
memutar otak. Aku tengah berusaha memecahkan petunjuk yang diberikan Eyang
Sinto Gendeng.”
“Kita
berdua akan bekerja keras. Sementara para gadis itu akan membuat silang
selisih!” sahut Loh Gatra.
Wiro
hanya bisa garuk kepala lalu tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu.
Di
hadapan Wulan Srindi, Anggini berdiri memandangi si gadis mulai dari rambut
sampai ke ujung kaki. Di mata Wulan Srindi sikap Anggini begitu congkak dan
nada suaranya terdengar kasar ketika dia bertanya.
“Namamu
Wulan Srindi?!”
“Betul
sekali,” jawab Wulan Srindi dengan suara lembut dan sambil tundukkan kepala
sedikit sebagai penghorma– tan. “Ah, tentunya gadis berambut pirang tadi yang
memberitahu padamu siapa namaku.”
“Dari
mana aku tahu namamu itu urusanku sendiri,” tukas Anggini. “Kau mengaku pada
orang-orang di tempat ini sebagai murid Dewa Tuak.”
“Itu juga
betul. Kalau aku boleh bertanya, sahabat berpakaian ringkas serba ungu ini
siapakah adanya?”
“Namaku
Anggini. Dan kalau kau mau tahu aku adalah satu-satunya murid Dewa Tuak!”
“Ah,
tidak disangka akan bertemu saudara satu guru,” ujar Wulan Srindi. Gadis ini
membungkuk dalam-dalam tanda hormat.
Anggini
menjadi panas. “Aku tahu kau berdusta! Kau cuma mengada-ada!”
“Semua
orang di sini tidak percaya. Siapa menyalahkan mereka? Apalagi kalau kau juga
tahu bahwa Dewa Tuak menjodohkan diriku dengan pemuda berjuluk Pendekar 212
Wiro Sableng itu.”
“Soal
perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan siapa bukan perduliku! Tapi jangan kau
berani menipu mengaku sebagai murid Dewa Tuak!”
“Buat apa
berdebat tidak karuan di tempat ini semen– tara Dewa Tuak ditahan orang di
dalam lorong? Kau bicara tidak karuan sementara nyawa gurumu terancam. Bukan–
kah lebih baik mencari jalan bagaimana menyerbu ke dalam lorong, menyelamatkan
Dewa Tuak. Menyelamatkan perempuan-perempuan muda hamil yang diculik komplotan
manusia pocong!”
“Aku
tidak perlu nasihatmu! Aku juga tidak perlu bantuanmu! Aku bisa masuk sendiri
ke dalam lorong!”
“Sombongnya!
Silahkan masuk ke dalam lorong! Sekali masuk jangan harap kau bisa keluar!”
Setelah sunggingkan seringai mengejek Wulan Srindi tinggalkan Anggini. Di depan
Wiro dia berhenti sebentar. “Hanya aku yang tahu seluk beluk lorong kematian.
Itupun sedikit sekali. Tidak menjamin bisa masuk dan keluar hidup-hidup.”
“Aku
harap tidak ada perselisihan di antara kita. Lebih baik memecahkan masalah.
Apapun yang terjadi kita harus menyerbu ke dalam markas manusia pocong. Apa
yang kau ketahui tentang mereka. Kuharap kau mau membantu…”
“Tanpa
dimintapun aku akan membantu karena guruku ada di dalam sana!” jawab Wulan
Srindi sambil pegang lengan Wiro. “Tapi jika ada yang bicara sombong dan mau
mempengaruhi orang lain, silahkan pergi sendiri!”
Kata-kata
Wulan Srindi itu membuat panas telinga dan merah wajah Anggini. Apa lagi
sewaktu melihat bagaimana Wulan Srindi memegang lengan Pendekar 212. Walau
perasaannya terhadap pemuda ini boleh dikatakan sudah hampa namun mau tak mau
ada goresan perih di lubuk hatinya. Anggini membatin, “Jangan-jangan karena
ulahnya bermain api dengan gadis ini sampai-sampai Bidadari Angin Timur beralih
perhatian pada pemuda muka kuning itu. Dasar mata keranjang!”
“Sahabat,
kau mau ke mana?” tanya Anggini ketika dilihatnya Loh Gatra melangkah cepat
meninggalkan tempat itu.
“Aku tak
mau terlibat dengan segala silang selisih di antara kalian. Istriku terancam.
Keselamatannya lebih penting bagiku! Aku akan mencari jalan masuk ke dalam
lorong kematian.” Menjawab Loh Gatra.
“Kalau
begitu, aku bergabung bersamamu!” kata Ang– gini pula.
“Kalian!
Jangan pergi dulu. Kita harus mencari siasat!” seru Wiro. Tapi Loh Gatra dan
Anggini terus saja berkelebat pergi.
Wiro
kebingungan. Garuk-garuk kepala. Ketika sadar tangannya masih dipegang Wulan
Srindi cepat-cepat ditariknya.
“Aku
tidak dapat menyalahkan dirimu…” kata murid Sinto Gendeng pula.
“Aku
memang tidak punya salah apa-apa. Heran, kenapa semua gadis itu, cantik-cantik
tapi bicara ketus dan kasar. Mulutnya saja sudah begitu, bagaimana hatinya…”
“Aku
ingin bertanya, apa benar Dewa Tuak meng– angkatmu jadi muridnya?”
“Kalau ya
kenapa? Kalau tidak kenapa?”
Wiro
tertawa. “Jangan berteka teki.”
Wulan
Srindi menggeleng. “Aku tidak berteka-teki. Kalau ingin tahu, nanti tanyakan
sendiri pada Dewa Tuak.”
“Kalau
dia masih hidup.”
“Jaman
sekarang rohpun masih bisa diajak bicara!” jawab Wulan Srindi pula sambil
tertawa. Ketika dia hendak melangkah pergi Wiro memegang bahunya. “Menurut
ceritamu kau sebelumnya sudah pernah masuk ke tempat ini. Tahu jalan masuk ke
lorong kematian. Kuharap kau mau membantu…”
“Aku
pernah masuk ke dalam lorong kematian itu. Sewaktu diculik manusia pocong yang
pangkatnya Wakil Ketua. Namun dengan memperdayai seorang anggota komplotan aku
berhasil keluar dari lorong. Yang jelas aku tidak akan masuk ke dalam lorong
lewat mulut terowongan di kawasan bukit batu. Pasti kesasar dan maut
tantangannya.”
“Lalu,
apa kau tahu jalan lain?” tanya Wiro.
“Tidak.
Maksudku belum. Aku ingat petunjuk Eyang Sinto Gendeng sebelum pergi. Kau masih
ingat kata-kata gurumu?” tanya Wulan Srindi.
“Ya. Dia
bilang ilmu rotan jangan dipakai karena tidak ada lobang masuk tidak ada lobang
keluar. Ilmu bambu bisa menolong karena ada lobang masuk ada lobang keluar. Aku
masih belum bisa memecahkan petunjuknya itu.”
“Bagus
kau masih ingat, tapi sayang tidak bisa memecahkan maksudnya.”
“Apa kau
bisa memecahkan?” tanya Wiro.
Wulan
Srindi tersenyum. “Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Di perguruan kami
bukan hanya belajar silat dan ilmu agama. Tapi juga mendalami rahasia hidup dan
kehidupan manusia. Mempelajari setiap ujar-ujar yang merupakan kembang rahasia
hidup manusia.”
“Katakan
saja, apa kau sudah tahu arti petunjuk yang diucapkan guruku itu?” Wiro tidak
sabaran.
“Kau
pernah punya rumah?” tanya Wulan Srindi.
Wiro
menggaruk kepala, lalu menggeleng. “Tidak.”
“Tapi
pernah melihat rumah kan?”
“Gila!
Tentu saja pernah! Banyak, sering! Apa maksudmu?”
“Kalau
rotan diibaratkan rumah tidak masuk akal. Karena tidak punya jalan masuk tidak
punya jalan keluar. Tidak ada pintu depan tidak ada pintu belakang. Lalu bambu.
Kalau ada lobang masuk pasti ada lobang keluar…”
“Seperti
mulut manusia.” kata Wiro menyambung. “Ada lobang masuk yaitu mulut untuk makan
dan ada lobang keluar untuk kentut!”
“Itu
pengertian orang sableng macammu dan tidak lucu!” potong Wulan Srindi tapi tak
dapat menahan tawa.
“Lalu…”
“113
Lorong Kematian. Ada jalan masuk di sebelah depan, ada jalan masuk di sebelah
belakang.”
“Kalau
memang begitu, di mana jalan masuk sebelah belakang?”
“Itulah
yang harus kita cari! Bukan terus-terusan ngobrol di sini!” kata gadis berkulit
hitam manis itu sambil menarik lengan Wiro.
Sesaat
setelah Wiro dan Wulan Srindi tinggalkan tempat itu, Setan Ngompol kini tinggal
sendirian di balik semak belukar.
“Gila,
apa yang harus aku lakukan?” si kakek usap-usap bagian bawah perut lalu
bergerak bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya.
**********************
11
DI RUANG
Bendera Darah menjelang pagi. Yang Mulia Ketua duduk di kursi batu. Sebuah
seloki besar terbuat dari kayu dipegang di tangan kiri sudah sejak lama kosong.
Wakil Ketua yang berdiri di sampingnya beberapa kali mencoba mengisi seloki itu
dengan sejenis minuman keras yang ada di dalam sebuah guci tanah liat tetapi
ditolak. Wakil Ketua tidak bisa menduga apa yang ada di benak pimpinannya saat
itu.
Setelah
beberapa waktu berlalu Wakil Ketua membe– ranikan membuka mulut.
“Yang
Mulia Ketua, saya tadi baru saja memberitahu laporan dua mata-mata yang
bertugas di utara dan selatan lorong. Mohon petunjuk Yang Mulia Ketua apa yang
harus kita lakukan. Saya rasa kita harus bertindak cepat.”
Yang
Mulia Ketua masih diam. Sesaat kemudian baru dia berkata. “Aku tidak
mengawatirkan orang-orang itu. Mereka boleh datang. Semua sesuai dengan apa
yang kita rencanakan selama ini. Yang menjadi pikiranku adalah Yang Mulia Sri
Paduka Ratu. Aku telah meniduri hampir semua perempuan hamil yang ada di tempat
ini. Hanya dia seorang yang aku belum mendapat kesempatan. Dulu ketika hampir
aku membawanya ke kamarku, muncul tua bangka Dewa Tuak menganggu membuat ulah.”
“Yang
Mulia Ketua, jika memang itu yang dikehendaki saya bisa mengatur Yang Mulia Sri
paduka Ratu mening– galkan Rumah Tanpa Dosa dan membawanya ke kamar Yang Mulia
Ketua. Tapi mohon maafmu Yang Mulia Ketua, saya tahu Sri paduka Ratu memiliki
kecantikan yang sulit dicari bandingannya. Namun di balik kecantikan itu ada
sesuatu yang membuat saya khawatir. Mengapa Yang Mulia tidak mengalihkan
perhatian pada perempuanperempuan lainnya saja?”
“Seperti
aku katakan tadi. Semua mereka sudah kutiduri! Tapi Sri Paduka Ratu memiliki
kelainan dan kehe– batan sendiri. Dia memiliki kekuatan tenaga dalam yang
dahsyat. Hawa sakti luar biasa. Aku ingin mengambil semua kehebatan itu. Ingin
menyedot menguras dari tubuhnya. Kalau aku bisa mendapatkan semua kehebatan
yang dimilikinya itu, rimba persilatan di tanah Jawa ini, bahkan di seluruh
jagat raya ini akan berada dalam geng– gamanku!”
“Yang
Mulia Ketua, mohon maafmu. Turut ilmu persilatan dan ilmu kesaktian, bukankah
Yang Mulia bisa menyedot lewat ubun-ubun?”
“Cara
kuno yang bisa membahayakan Sri Paduka Ratu. Mungkin otaknya lebih dulu hancur
sebelum aku dapat menguras seluruh kehebatannya. Kau tahu, dia dalam keadaan
tidak punya perasaan, tidak punya pikiran.”
“Tapi dia
tunduk pada Yang Mulia dan dia kuat!”
“Itulah
sebabnya aku ingin menidurinya. Cara paling mudah untuk mendapatkan semua
kehebatan yang dimi– likinya. Di samping aku sekaligus bisa merasakan kenik–
matan tiada tara.”
Wakil
Ketua jadi terdiam.
“Ada satu
hal lagi yang aku khawatirkan.” Yang Mulia Ketua kembali keluarkan ucapan.
“Kain putih berisi penangkal kehidupan bagi nyawa kedua belum kita dapatkan.
Aku yakin benda itu masih ada di tangan kakek keparat berjuluk Kakek Segala
Tahu itu.”
“Terus
terang kita memang kekurangan orang untuk menangkapnya. Tapi seperti saya
laporkan tadi, mata-mata memberitahu ada tanda seorang kakek dengan ciri-ciri
Kakek Segala Tahu tengah bergerak ke tempat ini. Kemungkinan besar dia datang
dari arah selatan lorong.”
Di balik
kain penutup kepala Yang Mulia Ketua menye– ringai. “Siapapun yang datang dari
arah itu akan menemu– kan jurang batu dan jalan buntu. Kecuali jika dia
mengetahui pintu rahasia menuju tangga seratus undakan yang akan membawanya ke
lorong seratus dekat Ruang Kayu Hitam. Jika di selatan mereka tidak menemukan
jalan masuk, mereka pasti akan kembali ke utara, lewat lobang terowongan menuju
lorong kematian.”
“Untuk
berjaga-jaga saya telah menyuruh seorang anggota bersiap-siap menabur asap
beracun di kawasan itu. Saya hanya tinggal menunggu persetujuan Yang Mulia
kapan asap itu mulai ditaburkan.”
“Semua
aku serahkan pada kebijaksanaanmu Wakil Ketua. Aku hanya minta satu hal untuk
diperhatikan. Aku harus tahu dari arah mana Pendekar 212 Wiro Sableng mencoba
masuk ke tempat ini. Harap kau beritahu matamata agar bekerja dan mengawasi
manusia satu itu siang malam.”
“Akan
saya lakukan Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”
“Sekarang
kau jemputlah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kurasa waktu kita tidak terlalu
banyak sebelum tamu-tamu pengantar nyawa itu datang ke tempat ini.”
Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian bungkukkan badan memberi
hormat lalu melangkah ke dinding di ujung ruangan. Di sini terletak sebuah
pintu rahasia yang hanya bisa dibuka dengan menekan tombol yang ada di lengan
kursi kedudukan Yang Mulia. Wakil Ketua berdiri di depan dinding menunggu
sampai pintu dibuka.
“Wakil
Ketua,” tiba-tiba terdengar suara Yang Mulia Ketua. “Bulan sabit hari ketiga
tinggal sepuluh hari di muka. Siapa ibu dari bayi yang darahnya akan menjadi
usapan ubun-ubun Sri Paduka Ratu?”
“Seorang
perempuan muda bernama Larasati, janda mendiang Adipati Jalapergola dari
Temanggung. Suaminya bernama Loh Gatra. Diduga ikut bersama rombongan
orang-orang yang hendak menyerbu ke tempat ini.” (Mengenai riwayat Larasati dan
Loh Gatra baca serial Wiro Sableng Episode Badik Sumpah Darah dan seterusnya)
“Orang
bernama Loh Gatra itu punya nyali. Berarti dia punya ilmu yang diandalkan.
Tangkap dia hidup-hidup. Kita akan jadikan dia anggota Barisan Manusia Pocong.”
“Bagaimana
dengan yang lain-lain, Yang Mulia Ketua?”
“Sampai
kita tahu siapa-siapa mereka adanya, untuk sementara kita tangkap hidup-hidup.
Aku rasa beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis cantik berkepandaian
tinggi pemuja pendekar keparat Wiro Sableng. Selain bisa kita jadikan penghibur
dan penghias Lorong Kematian, mereka mungkin bisa dimanfaatkan. Kecuali Kakek
Segala Tahu. Manusia satu itu harus dibunuh. Karena dia tahu apa yang ada di
kain putih. Kita akan meminta banyak bantuan dari Sri Paduka Ratu.”
“Tapi
Yang Mulia Paduka, jika Yang Mulia merencana– kan tidur dengan Sri Paduka Ratu,
dan menguras serta menyedot seluruh kesaktiannya, bagaimana mungkin dia kita
andalkan untuk menghadapi orang-orang itu? Dia tidak akan lebih dari mayat
hidup yang tak punya daya apa-apa.”
“Ah, kau
betul…” ujar Yang Mulia Ketua. “Aku bisa menunda rencana bersenang-senang
dengan dia sampai selesai urusan dengan orang-orang itu. Terutama Pendekar 212
Wiro Sableng! Sebagai pengganti, bawa Larasati ke kamarku.”
“Perintah
Yang Mulia akan saya laksanakan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.”
Sang
Ketua tekan tombol batu di lengan kanan kursi. Pintu batu terbuka. Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong menjura memberi hormat lalu tinggalkan Ruang Bendera
Darah.
*************************
Beberapa
lama sebelum fajar menyingsing.
Udara
gelap dan terasa dingin sekali. Wulan Srindi berlari cepat melewati satu rimba
kecil di sebelah timur kawasan 113 Lorong Kematian. Wiro mengikuti dari
belakang. Dari gerakan kaki dan kecepatan larinya murid Sinto Gendeng bisa
menduga-duga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian si gadis. Baik ilmu tenaga
dalam maupun ilmu meringankan tubuh Wulan Srindi belum mencapai tingkatan cukup
tinggi. Namun ada satu hal yang diper– hatikan Wiro. Ketika berlari, dua tangan
gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan suara atau sambaran angin. Agaknya di
sinilah letak kehebatan Wulan Srindi, pikir Wiro.
Dingin,
gelap dan sunyi. Tak ada satupun yang bicara di antara kedua orang itu.
Tiba-tiba kesunyian malam dirobek oleh suara suitan dua kali berturut-turut,
datang dari arah timur. Sesaat kemudian dari arah barat terdengar pula dua kali
suitan.
“Kehadiran
kita sudah diketahui orang-orang Lorong Kematian,” kata Wiro.
“Kita
harus berhati-hati. Mereka suka membokong dengan Bendera Darah.” Menjawab Wulan
Srindi.
“Aku
sudah merasa bokongan mereka,” kata Wiro pula. Lalu dia bertanya. “Kau
mendengar suara sesuatu?”
“Di
sebelah depan atau belakang?” balik bertanya Wulan Srindi.
“Belakang,”
jawab murid Sinto Gendeng.
“Kalau
begitu kau yang tahu, kau yang mendengar. Pentang telinga lebar-lebar.
Nyalangkan matamu. Jangan kita berdua sampai mati konyol sebelum sampai di Lorong
Kematian. Jangan kita sampai gagal sebelum aku berhasil menyelamatkan guruku….”
Sambil
lari Wiro membatin. Dari setiap ucapannya gadis bernama Wulan Srindi ini
ternyata punya daya pikir cepat dan cerdik. Selain itu dari ucapannya tadi Wiro
jadi menduga-duga jangan-jangan Wulan Srindi memang benar murid Dewa Tuak.
Kalau tidak mengapa dia begitu berse– mangat dan mau bersusah payah untuk
menyelamatkan orang tua itu?
“Ada
suara orang berlari di belakang kita,” Wiro memberi tahu.
“Berarti
ada yang mengejar atau menguntit. Dugaanku manusia pocong.”
“Di depan
kiri ada pohon besar dan semak belukar lebat. Membelok ke balik pohon!” kata
Wiro.
Begitu
sampai di dekat pohon besar, ke dua orang itu segera membelok lalu mendekam di
balik semak belukar. Tak lama kemudian satu bayangan putih berkelebat lewat.
Tapi di depan sana makhluk ini berhenti. Tegak meman– dang berkeliling
mencari-cari. Ternyata dia memang seorang manusia pocong.
“Berani
mengejar berani menerima kematian. Aku akan bunuh manusia pocong itu!” kata
Wulan Srindi pula.
“Jangan
main bunuh saja. Lebih baik ditangkap hiduphidup, lalu kita paksa dia
menunjukkan jalan masuk ke Lorong Kematian lewat belakang.”
Wulan
Srindi tersenyum.
“Kenapa
kau tersenyum?” tanya Wiro.
“Terus
terang sebenarnya barusan aku hanya ingin menguji kecerdasan otak dan jalan
pikiranmu. Ternyata apa yang aku rencanakan sama dengan yang kau kata– kan.”
Wiro
garuk kepala. “Kau pandai mencari dalih. Mana aku tahu kau punya pikiran
seperti itu. Bisa saja kau hanya bicara pura-pura untuk menyatakan bahwa kau
gadis hebat.”
“Aku
memang gadis hebat karena aku murid Dewa Tuak!”
“Kalau
begitu cepat kau serang manusia pocong itu. Pergunakan jurus-jurus ilmu silat
Dewa Tuak.”
“Kau mau
menguji? Apa lupa keteranganku bahwa orang tua itu belum lama mengangkatku jadi
murid. Mana sempat menurunkan ilmu silat barang sejurus dua jurus!”
“Jangan
mencari alasan. Kalau kau takut biar aku yang turun tangan!”
“Enak
saja menuduh aku takut!”
Tiba-tiba
dari depan sana si manusia pocong berteriak.
“Dua
orang yang sembunyi di balik belukar lekas keluar unjukkan diri! Berani datang
ke kawasan Lorong Kematian berarti berani menerima ajal!”
“Pocong
keparat!” teriak Wulan Srindi. Lalu gadis itu melesat keluar dari balik semak
belukar sambil menerjang manusia pocong dengan jurus Membelah Ombak Menembus
Gunung. Dalam gelap, tangan kanan gadis ini berkelebat menghantam ke arah
kepala manusia pocong dalam gerakan sangat cepat dan hampir tak kelihatan.
Tapi si
manusia pocong bukan orang sembarangan. Sekali dia mengangkat lengan jubahnya
terdengar suara buukkk! Wulan Srindi terpekik. Tubuhnya terpental setengah
melintir. Manusia pocong tertawa mengekeh lalu menyerbu ke arah si gadis.
Melihat hal ini Wiro segera melesat keluar dari balik pohon. Tangan kanan
lepaskan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang didapatnya dari Tua Gila.
Menyaksikan serangan kilat dan ganas ini manusia pocong cepat berkelit ke
samping tapi kurang cepat. Pinggulnya kena digebuk. Tubuhnya terjengkang di
tanah. Wulan Srindi cepat injak dada orang. Wiro angkat kaki kanan, siap
menendang kepala manusia pocong.
Tiba-tiba
si manusia pocong keluarkan seruan.
“Anak
sableng! Jangan! Ini aku!”
Habis
berteriak manusia pocong itu cepat-cepat tarik lepas kain putih penutup kepala.
Kelihatan satu kepala berambut tipis, sepasang mata jereng dan kuping kanan
yang terbalik.
“Tua
bangka sialan!” maki Wiro. “Kau rupanya!”
“Siapa si
jereng sinting ini?!” tanya Wulan Srindi.
“Perkenalkan,
namaku Setan Ngompol! Aku tidak sinting cuma sering ngompol!” kata si kakek
lalu tertawa mengekeh.
“Pantas
dari tadi aku mencium bau pesing. Kau minta mati berdandan seperti itu!” ujar
Wiro.
“Justru
tadinya dengan dandanan ini aku ingin menyu– sup ke dalam lorong. Tapi tidak
tahu jalan.”
“Untung
kepalamu tidak keburu kutendang rengkah, Kek.” Wulan Srindi angkat kakinya yang
dipakai menginjak Setan Ngompol.
Si kakek
cepat duduk tapi tidak segera berdiri. Dalam duduk dia usap-usap tubuhnya di sebelah
bawah perut.
“Mengapa
dia? Apa yang dilakukan?” Tanya Wulan Srindi.
Wiro
tersenyum. “Apalagi kalau bukannya ngompol alias beser alias kencing!”
“Aneh,
kenapa ada manusia macam begini di atas dunia?!” kata Wulan Srindi pula.
Setan
Ngompol tertawa mengekeh lalu bangkit berdiri. Jubah putih yang dikenakannya
kelihatan kuyup di sebelah bawah!
TAMAT
No comments:
Post a Comment