Sepasang Arwah Bisu
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
1
PADA
MALAM menjelang dini hari itu beberapa orang mendatangi Bukit Batu Hangus
dimana Sri Maharaja Mataram berada bersama ratusan orang pengungsi,
menyelamatkan diri dari Kotaraja yang tengah dilanda malapetaka.
Selagi
Raja menunggu kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng yang di kalangan orang-orang
Kerajaan disebut dengan nama Kesatria Panggilan, ternyata Sinuhun Muda Ghama
Karadipa sampai lebih dulu. Dia datang dengan menyamar sebagai Pendekar 212
Wiro Sableng, membawa batu segi tiga putih palsu dengan niat sebenarnya bukan
lain adalah untuk dapat menghabisi Raja Mataram secepat mungkin.
Namun
niat jahat tersebut gagal dilaksanakan karena dihalangi oleh Sri Padmi
Kameswari yang muncul dalam bentuk seekor anjing betina, bersama anaknya seekor
anjing jantan. Kalau sang ibu berhasil menyelamatkan Raja Mataram dari serangan
delapan sinar merah yang keluar dari batu segi tiga Putih di tangan Sinuhun
Muda, maka anaknya, seekor anjing kecil jantan mampu pula menyelamatkan Ni
Gatri.
Seperti
diceritakan dalam “Rob Jemputan”, meski Sri Padmi Kameswari berniat jahat
terhadapnya, Raja Mataram bukan saja tidak membunuh perempuan itu, malah
sewaktu sosok Sri Padmi Kameswari berubah menjadi seekor anjing betina yang
bunting besar dan kesulitan dalam melahirkan anaknya, Raja bertindak menolong.
Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas.
Ternyata
kini Sri Padmi Kameswari muncul kembali dalam ujud anjing betina dan
menyelamatkan Raja Mataram dari serangan maut Sinuhun Muda walau dia sendiri
menderita cidera cukup parah. Sekujur tubuh melepuh merah dan mengepulkan asap
panas.
Sementara
itu anaknya, anjing kecil jantan menolong Ni Gatri.
Sinuhun
Muda juga batal menghabisi Sri Padmi Kameswari dengan Pukulan Delapan Sukma
Merah. Ini terjadi setelah mendapat peringatan dan seorang anak lelaki yang
tidak terlihat ujudnya karena muncul dalam bayangan cahaya kuning kemerahan,
yang oleh Sinuhun Muda dipanggil dengan nama Sang Junjungan.
Setelah
diperingatkan Sinuhun Muda baru menyadari kalau saat itu di leher anjing betina
yang hendak dibunuhnya melingkar seuntai kalung emas besar. Emas merupakan
benda pantangan bagi Sinuhun Muda Ghama Karadipa, juga bagi nyawa kembarannya
yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Sebenarnya hanya sangat sedikit orang yang
mengetahui kelemahan dua mahluk bernyawa kembar itu. Ini yang membuat Sinuhun
Muda tersentak heran. Bagaimana mungkin Sri Padmi Kameswari yang kini berujud
seekor anjing betina itu bisa mengetahui kelemahannya tersebut! Namun Sinuhun
Muda saat itu tidak bisa berpikir panjang. Meski dia tidak merasa gentar tapi
karena masih banyak urusan besar yang harus diselesaikan maka dia segera harus
meninggalkan Bukit Batu Hangus. Dia bermaksud hendak menemui Sang Junjungan.
Dia juga berharap nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah
bertemu dengan Kesatria Roh Jemputan dan siap dengan rencana semula yaitu
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Pada saat
Sinuhun Muda hendak bertindak pergi terjadilah satu kegemparan. Dari dalam
gelap seorang perempuan melempar mayat Swara Pancala ke atas sebuah batu besar.
********************
SRI
MAHARAJA Mataram Rakai Kayuwangi melompat ke arah batu di atas mana mayat Swara
Pancala tergeletak. Sekujur tubuh penuh puluhan lubang luka dan bergelimang
darah.
“Swara
Pancala! Hyang Jagat Bathara, mengapa satu lagi orang kepercayaanku harus
menemui ajal!”
Baru saja
Raja Mataram keluarkan ucapan tiba-tiba ada suara perempuan berteriak.
“Yang
Mulia Raja Mataram! Manusia satu itu memang pantas mati! Ketahuilah, dia telah
berkhianat terhadap diri Yang Mulia! Dia adalah kaki tangan Sinuhun Muda Gharna
Karadipa. Manusia keji penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram!
Pemuda berpakaian dan berikat kepala hijau itu!”
Kegemparan
di lereng Bukit Batu Hangus jadi semakin bertambah setelah terdengarnya suara
teriakan perempuan tadi. Sinuhun Muda maupun Raja Mataram sama-sama tercekat.
Yang
jelas perempuan yang barusan berteriak bukanlah perempuan yang tadi melemparkan
mayat Swara Pancala. Berarti ada dua orang perempuan di tempat itu. Dan
keduanya sama-sama belum memperlihatkan diri!
Selagi
Raja Mataram mengalihkan pandangan ke arah pemuda berpakaian dan berikat kepala
hijau yang tadi menyaru sebagai Kesatria Panggilan Pendekar 212 Wiro Sableng,
tiba-tiba di dalam gelap ada satu bayangan hijau berkelebat sangat cepat. Bau
harum menebar.
Sinuhun
Muda merasakan satu tepukan di punggungnya disertai suara perempuan berkata.
“Sinuhun,
cepat tinggalkantempat ini! Sebentar lagi keadaan akan sangat tidak
menguntungkan bagimu!”
Sinuhun
Muda yang sedang terkesiap dan juga marah melihat kematian Swara Pancala
tersentak.
“Dewi
Ular! Pasti dia yang barusan menepuk punggungku! Jahanam! Aku punya dugaan dia
yang membunuh Swara Pancala! Sekarang mengapa dia berbaik-baik terhadapku!
Perempuan keparat! Aku akan memecahkan kepalamu Jilka terbukti memang kau yang
telah membunuh anak buahku itu!” Sinuhun Muda menggeram marah dalam hati. Lalu
dia ingat.
“Perempuan
kedua yang tadi berteriak, suaranya seperti suara Ratu Randang Sinuhun Muda
membatin.
Walau
sebenarnya dia ingin membuktikan dugaan namun tidak menunggu lebih lama lagi
Sinuhun Muda segera berkelebat tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya bayangan
perempuan yang tadi menepuk punggungnya.
Tak lama
setelah berada di kaki bukit sebelah selatan, Sinuhun Muda melihat ada seorang
perempuan duduk di atas batu sambil bernyanyi-nyanyi perlahan.
********************
2
RAHANG
Sinuhun Muda menggembung. Sepuluh jari tangan diremas hingga mengeluarkan suara
bergemeletakan.
“Benar-benar
mahluk jahanam!
Habis
membunuh masih bisa bernyanyi nyanyi!” Sinuhun Muda menyumpah.
Sekejapan
saja dia sudah berada di depan perempuan yang duduk di atas batu. Dan ternyata
perempuan ini memang Dewi Ular!
Berpakaian
sutera hijau, lengkap dengan mahkota perak di atas kepala!
“Perempuan
iblis!” Sinuhun Muda langsung mendamprat.
Orang
yang dibentak hentikan nyanyian, berpaling ke arah Sinuhun Muda lalu tersenyum.
Dia menunjuk ke langit.
“Malam
begini indah. Di langit ada rembulan walau setengah lingkaran. Rasanya kurang
pantas merusak keindahan dan dengan ucapan kotor bentakan kasar.
Apakah…”
“Tutup
mulutmu!” Hardik Sinuhun Muda. Delapan benjolan di kepalanya memancarkan cahaya
terang. “Apa matamu buta tidak melihat Bhumi Mataram dilanda malapetaka? Dan
aku yang menciptakan malapetaka itu!”
Delapan
cahaya merah mulai memancar keluar dari delapan benjolan di kening.
Di atas
batu Dewi Ular kembali mengulum senyum.
“Sinuhun,
kau kelihatan begitu bangga dan merasa hebat karena telah menimbulkan bencana
di Bhumi Mataram. Apa yang sesungguhnya kau cari? Hik … hik.
Sekarang
aku melihat kau hendak membunuhku dengan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit … Apa salahku?!”
“Kurang
ajar! Bagaimana perempuan iblis ini tahu nama ilmu yang aku miliki?!” Sinuhun
Muda menggeram dalam hati.
“Sinuhun,
membunuhku tidak ada untungnya bagi dirimu. Bukankah aku pernah berucap. Kalau
kita berdua bisa sating berbagi ilmu atau berbagi cinta.
Bagaimanapun
juga bersahabat adalah jauh lebih baik dari saling bermusuhan.”
“Aku
tidak tertarik pada ilmu kepandaianmu! Kau tidak punya kemampuan apa-apa.
Buktinya kau tidak sanggup membunuh pemuda bernama Wiro Sableng itu!”
“Hari
selalu berubah. Hari kemarintidak sama dengan hari ini. Hari ini tidak sama
dengan hari besok. Besok tidak sama dengan lusa….”
“Perempuan
setan! Mengaku kalau kau yang telah membunuh anak buahku Swara Pancala!”
Sinuhun Muda menghardik keras.
Dewi Ular
dongakkan kepala ke langit malam yang diterangi bulan setengah lingkaran lalu
berkata. “Kalau Sinuhun sudah tahu mengapa mesti bertanya lagi? Lagi pula
sebenarnya lelaki itu yang minta dibunuh dan memang harus dibunuh. Seharusnya
Sinuhun berterima kasih karena aku telah membunuh seorang musuh dalam selimut.
Lebih baik Sinuhun menanyakan bagaimana cara aku membunuhnya!”
Sinuhun
Muda tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Kaki
kanan menendang ke depan, Lima jari kaki memancarkan cahaya merah.
“Braaakkk!”
Batu yang
diduduki Dewi Ular hancur membentuk keping-keping menyala merah. Sosok Dewi
Ular sendiri telah lebih dulu melesat ke udara selamatkan diri.
Perempuan
ini pindah berdiri ke atas batu lain. Lalu tanpa perdulikan kemarahan Sinuhun
Muda dia tertawa panjang. Puas tertawa perempuan ini berkata.
“Di dalam
gua dibelakang air terjun. Hik…hik… hik.
Sinuhun,
dengar ceritaku. Mula-mula Swara Pancala menanggalkan pakaian yang melekat di
tubuhku. Seperti ini…” Dewi Ular memperagakan dengan membuka baju hijaunya di
bagian dada. “Lalu dia memeluk menghangatkan tubuhku. Setelah itu dia membuka
pakaiannya pula. Lalu dia membuyarkan ilmu penyirap tubuh milik Sinuhun yang
membuat diriku kaku tak bisa bergerak. Ketika kami bercumbu dia bicara banyak
tentang dirimu. Perihal dua nyawa kembar yang kau miliki. Perihal pantangan Sinuhun
yang tidak boleh bersentuhan dengan emas. Ah …. aku ingat. Itu sebabnya Sinuhun
meminta mahkota emas kepala ular milikku lalu ditukar dengan mahkota perak
bertabur batu permata yang ada di kepalaku saat ini. Sayang Swara Pancala tidak
berumur panjang. Takdir menentukan dia mati di tanganku. Oh bukan …. bukan
tanganku yang membunuhnya. Tapi Nyi Jeneng Inten, ular hitam kepala putih yang
ada dalam perutku. Apa Sinuhun sempat melihat puluhan lubang luka bekas patukan
ular di tubuh lelaki itu? Hik … hik! Sinuhun, ini dia ular yang membunuh Swara
Pancala. Sinuhun pernah melihat sebelumnya.
Pada
pertemuan kita yang pertama …”
Dewi Ular
menahan nafas sambil perut digembungkan. Saat itu juga dari perut yang
tersingkap, dari arah pusar melesat keluar seekor ular besar hitam berkepala
putih. Binatang ini tegakkan kepala lalu mendesis panjang. Dewi Ular usap-usap
kepala binatang itu beberapa kali. Setelah mendesis sekali lagi ular hitam
kepala putih masuk lenyap ke dalam perut Dewi Ular.
Walau
saat itu boleh dikatakan sosok Dewi Ular sebelah depan tersingkap polos namun
Sinuhun Muda sama sekali tidak menaruh perhatian. Yang jadi ingatan serta
kekawatirannya adalah apa yang tadi dikatakan perempuan dari alam roh delapan
ratus tahun mendatang itu.
Terutama
perihal Swara Pancala memberi tahu kelemahannya terhadap emas.
“Aku
harus segera menemui nyawa kembaranku Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jika orang
luar sudah mengetahui perihal pantangan emas itu, aku berdua harus segera
menerapkan ilmu penangkal. Tapi apakah masih ada waktu untuk meminta bantuan
Sang Junjungan dan pergi ke Gunung Mahameru?”
Sinuhun
Muda menatap ke arah Dewi Ular.
“Aku
harus mengambil keputusan! Perempuan iblis ini harus dihabisi sekarang juga!
Kalau tidak bisa dibunuh aku harus mampu melemparnya kembali ke alam roh asal
kedatangannya!”
“Sinuhun!
Apa yang ada di benakmu?” Tiba-tiba Dewi Ular berseru. “Kau hendak membuat
tubuhku kaku lagi hingga tidak berdaya? Hik … hik! Kau tidak mampu lagi
melakukan. Swara Pancala telah memberi tahu cara menangkal ilmu murahanmu itu!
Kalau tidak percaya silahkan mencoba! Hik … hik … hik!”
Tampang
Sinuhun Muda tampak berubah. Terlebih ketika dilihatnya Dewi Ular menusukkan
telunjuk tangan kiri dan kanan di atas pelipis. Ini memang adalah salah satu
cara menangkal ilmu kesaktian yang dimiliki Sinuhun Muda. Dalam keadaan
seseorang bersikap seperti itu ilmu kesaktiannya memang tidak akan mampu
membuat orang itu menjadi kaku tak berdaya.
“Kurang
ajar! Perempuan iblis ini benar-benar telah mengetahui penangkal ilmu Hawa Bumi
Menutup Jalan Darah Mencekal Urat. Swara Pancala! Syukur kau sudah mampus!
Kalau tidak aku yang akan membongkar otak dalam batok kepalamu! Tapi aku tidak
mau percaya kalau tidak membuktikan sendiri! Bisa saja perempuan celaka ini
tahu sedikit lalu membual selangit!”
Sinuhun
Muda Ghama Karadipa lalu bantingkan kaki kanan. Satu getaran hebat menggerus
tanah, menjalar ke arah sepasang kaki Dewi Ular. Namun tinggal dua jengkal hawa
aneh itu akan memasuki tubuh Dewi Ular tiba-tiba dess…. desss! Hawa sakti
berbalik, menyerang ke arah Sinuhun Muda.
“Jahanam
Kurang ajar! Perempuan celaka ini ternyata benar menguasai ilmu penangkal!.
Sinuhun Muda, memaki keras. Tubuhnya terpental ke udara sampai satu tombak. Ada
hawa aneh membuat pori-pori di sekujur permukaan kulit tubuhnya menguap.
Celaka! ilmu yang dilepaskannya untuk membuat Dewi Ular tak berdaya kini
menyerang dirinya sendiri! Karenanya begitu melayang turun dia cepat lepaskan
dua pukulan tangan kosong ke arah tanah. Dua dentuman keras menggelegar. Tanah
terbongkar membentuk dua lobang besar. Sinuhun Muda melayang turun. Jejakkan kaki
di tepi lobang. Memang hanya dengan dua pukulan mengandung tenaga dalam tinggi
tadi itulah satu satunya cara dia bisa menyelamatkan diri dari serangan ilmu
miliknya sendiri!
Ketika
Sinuhun Muda berpaling ke arah batu tempat Dewi Ular tadi berdiri dalam keadaan
setengah telanjang, ternyata perempuan itu tidak ada lagi di tempat itu.
“Perempuan
iblis jahanam! Apa kau kira aku tidak bisa mengejar kemana kau pergi?!”
Sinuhun
Muda melompat ke atas batu. Dua telapak tangan di letakkan di bekas Dewi Ular
menjejakkan dua kakinya. Mulut komat kamit merapal mantera. Lalu dia berteriak
keras.
“Arwah
Menebar Racun Kelumpuhan! Lumpuh! Lumpuh”
Bekas
injakan kaki Dewi Ular di atas batu yang ditempeli telapak tangan kepulkan asap
merah. Asap ini kemudian bergulung dan siap melesat di udara ke arah lenyapnya
Dewi Ular. Jika asap merah sampai menyentuh tubuh yang jadi sasaran maka kejap
itu juga Dewi Ular akan menjadi lumpuh seperti yang dialami orang-orang di
Bhumi Mataram! Namun apa yang dilakukan Sinuhun Muda jadi terganggu dan
terhenti ketika dari arah kegelapan di sebelah kiri kaki bukit batu tiba-tiba
terdengar suara tiupan seruling ditimpali tabuhan tambur yang luar biasa keras
hingga Sinuhun Muda merasa kedua liang telinganya seperti hendak pecah meledak!
Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam. Begitu rasa sakit di telinga, hilang
Sinuhun Muda segera berkelebat ke balik sebuah batu besar, memandang ke lereng
bukit. Sepasang mata terpentang lebar. Tak berkesip, tak percaya apa yang
disaksikan!
“Kakek …
Nenek, mengapa menyiksa diri? Bukannya Eyang berdua telah tentram di alam
arwah? Dewa Bathara Agung, saya mohon …”
Suara
tambur ditabuh dan suling ditiup semakin menjadi-jadi. Namun sampai saat itu
Sinuhun Muda masih belum melihat siapa adanya orang-orang yang menabuh tambur
dan meniup suling itu.
“Kalau
bukan orang-orang berkepandaian tinggi mustahil suara tambur dan tiupan suling
bisa seperti hendak membongkar bumi menembus langit! Aku punya dugaan. Tapi
bukankah mereka….”
Merasa
tidak enak Sinuhun Muda berniat hendak tinggalkan Bukit Batu Hangus. Namun
sepasang mahluk yang melayang di lereng bukit menatap dengan pandangan mata
menyorotkan amarah. Lalu dua mahluk ini secara bergantian menggoyang-goyang dua
tangan, jari-jemari digerak-gerakkan membentuk isyarat atau tanda-tanda yang
hanya bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui. Melihat gerakan dua tangan
dan sepuluh jari-jemari Itu Sinuhun Muda jadi berubah tampangnya.
Muka yang
ditumbuhi kumis, janggut dan cambang bawuk meranggas diusap berulang kali.
“Aku
harus segera menemui Sang Junjungan! Dua orang tua ini agaknya tidak berpihak
padaku! Eyang berdua kalau kalian sampai mencelakai cucumu ini, aku bersumpah
bersama nyawa kembarku akan membongkar dan menghancurkan makam kalian! Mengapa
dulu ketika mati kalian dikubur di tanah, tidak dibakar saja! Sekarang kalian
muncul hendak mencelakai diriku!”
********************
3
Pendekar
212 Wiro Sableng, hentikan lari dan duduk di atas tumbangan batang kayu.
Kepala
digaruk-garuk lalu memandang ke arah Ratu Randang yang masih berlari
berputar-putar.
“Ratu
Randang, bagaimana ini. Dari tadi sudah tiga kali kita berputar-putar di
sini-sini juga!”
“Aku tahu
… aku tahu!” Jawab Ratu Randang sambil mengusap dagunya yang keringatan. “Aku
rasa sebenarnya kita sudah dekat ke tujuan. Bukit Batu Hangus pasti ada disekitar
sini. Tapi ada orang yang menghalangi langkah dan pandangan kita. Pasti Sinuhun
Muda sialan itu! Ilmunya dan ilmu nyawa kembarannya memang tinggi dan
aneh-aneh. Itu sebabnya orang-orang pandai di Istana tidak berdaya. Itu pula
sebabnya aku menyusup pura-pura bercinta dengannya agar bisa mengetahui
kelemahannya…”
“Aku
mendengar suara orang-orang berteriak. Ado suara perempuan. Sepertinya ada satu
kejadian hebat di sekitar sini …” Berkata Wiro.
“Kita
memang tidak bisa melihat, mereka, tapi masih mampu mendengar suara. Walau
sayup-sayup tadi aku mendengar suara Raja Mataram. Sesuatu telah terjadi dengan
Swara Pancala. Orang itu telah menemui ajal. Itu sebabnya tadi aku berteriak.
Pengkhianat itu memang pantas mati. Ilmu kesaktian Sinuhun Muda membendung perasaan,
menghambat penglihatan serta langkah kita tapi tidak menutup keseluruhan
Pendengaran. Satu hal yang aku yakini, sebenarnya kita sudah berada dekat
dengan Bukit Batu Hangus.”
Ratu
Rundang meneruskan lari satu kali lagi lalu mendudukkan diri di atas batang
kayu di samping Wiro.
“Sinuhun
Muda. Dia punya ilmu yang disebut Langit Turun Ke Bumi. Pengaruh ilmu itu
membuat kita tidak mengetahui jalan yang ditempuh. Itu sebabnya kita hanya
berputar putar disini. Aku bisa membuyarkan kekuatan ilmu itu. Tapi aku merasa
saat ini Sinuhun Muda tidak hanya menerapkan ilmu kesaktian itu, agaknya dia
juga menerapkan ilmu lain yang kalau aku tidak salah bernama Di Bumi Ada Enam
Kesesatan. Di Langit Ada Tujuh Kesesatan. Dalam Air Ada Delapan Kesesatan…”
“Panjang
amat nama ilmunya. Aku jadi keburu pingin kencing mendengarnya!” Kata Pendekar
212 pula. Lalu dia menambahkan. “Namanya saja ilmu sesat-sesatan.
Jelas
sesat. Padahal kesesatan terbanyak ada dalam diri manusta! Bukan cuma enam,
tujuh atau delapan. Mungkin ribuan!”
Ratu
Randang tertawa mendengar kata-kata sang pendekar.
“Aku
pernah membujuk Sinuhun untuk memberikan ilmu penyesat itu padaku. ilmu itu
lebih hebat dari yang kumiliki yaitu ilmu bernama Sang Pencipta Berbuat Penuh
Kuasa…”
“Ilmu
yang tadi bisa menciptakan telaga penyesat itu?” Tanya Wiro.
Ratu
Randang mengangguk.
“Kau
akhirnya berhasil mendapatkan ilmu sesatsesatan itu dari Sinuhun Muda?”
Ratu
Randang mencibir lalu menggeleng, “Kalau begitu kau harus mencoba pada, Sinuhun
yang satunya…”
“Mereka
sama cerdiknya. Sinuhun Muda menjanjikan ilmu itu baru akan diberikan padaku
asal aku bisa mencari tahu dimana letak kelemahan Sri Maharaja Mataram Rakai
Kayuwangi. Aku berpura-pura akan melakukan apa yang dimintanya. Tentu saja aku
tidak mau mengkhianati Rajaku. Sementara itu dalam waktu singkat segala
sesuatunya berubah.
Terutama
sejak kau dan dua orang lainnya itu berada di Bhumi Mataram ini…”
“Kurasa
saat berduaan dengan Sinuhun Muda kau kurang hebat mencumbunya hingga dia tidak
mau memberikan ilmu sesat-sesat itu. Menurutku dengan kecantikan dan kebagusan
tubuhmu kau bisa membuat dia menyembah kakimu…”
“Oh, jadi
aku ini cantik dan tubuhku bogus? Hik … hik … hik. Rupanya kau memperhatikan
juga. Hik … hik … hik. Aku merasa, kau pasti cemburu kalau aku bilang bercumbu
dengan Sinuhun Muda. Nanti aku jelaskan siapa yang sebenarnya bercumbu dengan
pemuda keparat itu….”
“Ketika
di telaga kau berteriak pada Sinuhun Muda kalau waktu bercinta yang kau berikan
padanya bukan tubuhmu tapi tubuh bangkai anjing. Bagaimana kejadiannya?”
“Aku
punya ilmu bisa merubah benda hidup atau setengah hidup menyerupai diriku …”
Wiro
tertegun lalu cepat-cepat berdiri. Dia memperhatikan bagian belakang tubuh Ratu
Randang.
“Saat
ini, apakah kau ujud beneran atau jejadian … ?” Bertanya Pendekar 212.
Ratu
Randang tertawa.
“Ada apa
kau memperhatikan punggungku? Biasanya lelaki lebih suka memperhatikan dada
perempuan. Kau terbalik! Hik…hik”
“Aku mau
tahu apakah punggungmu ada bolongnya atau tidak. Di negeriku jika perempuan
cantik punggungnya geroak berarti dia adalah hantu perempuan yang di sebut
Kuntil Anak …”
“Apakah
kau lihat punggungku bolong?” Tanya Ratu Randang sambil kedipkan sepasang
matanya yang juling bagus.
“Tidak,
mungkin belum,” jawab Wiro sambi1 tertawa.
“Mengenai
tubuh anjing yang kau berikan pada Sinuhun Muda…”
“Nanti
saja aku ceritakan.” Kata Ratu Randang. “Aku ingat sesuatu. Ketika di telaga
kau lebih dulu mampu melihat Sinuhun Muda dan Swara Pancala. Katamu kau punya
sedikit ilmu. Coba kau pergunakan ilmu itu untuk memperhatikan keadaan sekitar
sini. Siapa tahu kau bisa membuat buyar ilmu Sinuhun Muda.”
Wiro
mengikuti ape yang dikatakan Ratu Randang.
Tenaga
dalam dialirkan ke arah sepasang mata. Ilmu Menembus Pandang diterapkan. Namun
sampai tiga kali dicoba dia tidak mampu menembus kegelapan, tidak bisa melihat
apa-apa.
“Tidak
bisa kutembus…” Wiro memberi tahu.
“Kalau
begitu ya sudah. Sekarang ayo duduk lagi di sebelahku…”
Begitu
Wiro duduk kembali di atas batang kayu di sampingnya Ratu Randang bertanya.
“Sudah, sekarang katakan tinggal berapa?”
“Apanya
yang tinggal berapa?” Balik bertanya Wiro.
Ratu
Randang menggeser duduknya lebih dekat.
Tiba-tiba
perempuan ini merangkul leher song pendekar.
Sesaat
kemudian cuuppp …. cuuppp! Dia sudah mengecup bibir Wiro sampai due kali.
Habis
mencium Ratu Randang melompat berdiri dan tertawa-tawa geli. “Tinggal empat
ratus sembilan puluh enam …. Empat ratus sembilan puluh enam kecupan!
Masih
banyak! Hik … hik … hik….”
Wiro
geleng-geleng kepala. Belakang telapak tangan kiri di dekatkan ke bibir yang
barusan dikecup.
“Hai!
Awas kau hapus! Awas kalau kau usap bekas kecupanku!” Kata Ratu Randang pula.
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Hanya bisa tertawa cengengesan.
“Aku rasa
kau berpura pura sesat. Sebenarnya memang sengaja membawaku ke tempat sunyi
ini.
Maksudmu
mau…”
Ratu
Randang cubit paha Pendekar 212. Tiba-tiba perempuan ini berkata. “Astaga …”
“Eh, ada
apa? Mau menciumku lagi?” Tanya Wiro sambil buru-buru menekap mulutnya.
“Tadi kau
menyebut-nyebut soal kencing. Aku jadi ingat. Aku pernah mendengar cerita Eyang
Dukun Umbut Watukara. Kurasa Eyang Dukun kini berada di Bukit Batu Hangus dalam
keadaan lumpuh. Konon ilmu sesat-sesat Sinuhun Muda itu memiliki satu pantangan.
Kawasan, yang dilindungi oleh ilmu tidak boleh sampai terkena air kencing
manusia. Kalau sampai ada yang kencing ilmu itu akan buyar…”
“Hemm ….
Kencing laki-laki atau perempuan?” Tanya Wiro yang mencurigai kalau Ratu
Randang hendak mengerjainya.
“Itu
tidak aku ketahui. Tapi mengapa tidak kau coba saja? Agar kita bisa sampai ke
bukit itu. Aku kawatir kalau terlambat…”
“Bagusnya
kau saja yang kencing. Kencing perempuan mancurnya lebih lebar dan baunya lebih
mantap!” Kata Wiro pula dengan senyum-senyum.
Ratu
Randang terdiam lalu ikutan tersenyum.
“Kau
pasti mau melakukannya.”
“Nanti
kau mengintip.”
“Husss!
Jangan berpikir seperti itu. Ayo kencing saja.
Aku akan
berpaling ke tempat gelap sana…” Kata Wiro.
Ratu
Randang tampak ragu-ragu.
“Sudah
belum?” Tanya Wiro.
“Kau
belum membalikkan badan!”
“Ah!”
Wiro menahan tawa. Lalu balikkan tubuh, memandang ke arah kegelapan.
Ratu
Randang melangkah mendekati satu pohon besar sambil menyingsingkan ke atas
bagian bawah pakaiannya. Betisnya yang putih bagus tersingkap.
“Kencingnya
biar banyak Ratu!”
Di depan
pohon besar Ratu Randang berhenti.
“Kencingnya
jongkok! Jangan berdiri seperti laki-laki!”
Wiro
kembali keluarkan ucapan sambil senyum-senyum.
Tak lama
kemudian terdengar langkah Ratu Randang mendekati.
Wiro
berpaling.
“Sudah?”
Wiro bertanya sambil tertawa. “Banyak kencingnya? Mengapa aku tidak mendengar
suara merdu semburannya?”
Ratu
Randang turunkan pakaian yang disingsingkan.
Dengan
wajah cemberut dia gelengkan kepala.
“Aku
tidak jadi kencing …”
“Wah,
kenapa?”
“Tidak
mau saja…
“Tidak
mau karena apa?”
“Aku
takut…”
“Takut
sama apa? Takut sama siapa? Apa di dekat pohon besar itu banyak semut rangrang?
Atau ada ular atau mungkin kalajengking? Kau takut diantuk?”
Ratu
Randang goyangkan bahu. “Aku mendengar kabar. Di kawasan ini banyak gentayangan
mahluk halus.
Siapa
yang berbuat ulah yang tidak disenangi bisa celaka. Aku kawatir kalau kencing
dianggap mengotori tempat kediaman mahluk halus gentayangan. Lalu anuku
disumbat dipangpet. Celaka kalau aku tidak bisa kencing seumur umur…”
Wiro
tercengang mendengar ucapan Ratu Randang namun kemudian tertawa gelak-gelak.
“Jangan
tertawa! Kau saja yang kencing agar kita bisa segera menemui Raja Mataram.”
Wiro
menggeliat, senyum-senyum.
“Aku ….
Maksudku anuku….”
“Kenapa
anumu? Sebelumnya kau menantang mau memperlihatkan cara kencing di depanku. Ayo
lakukan sekarang, Atau mungkin kau minta aku yang membuka celanamu? Begitu … ?”
Ratu
Randang lalu melangkah mendekati Wiro sambil dua tangan diulurkan ke arah
pinggang sang pendekar.
“Eehhh….”
Wiro
goyangkan tangan sambil mundur.
“Anu,
maksudku bagaimana kalau mahluk halus juga memencet anuku hingga medel dan aku
tidak bisa kencing seumur-umur seperti yang tadi kau bilang!” Ratu Randang
mencibir.
“Mahluk
halus hanya mengincar perempuan. Bukan laki-laki. Ayo kencing cepat!”
“Aduh,
bagaimana ini? Aku mana bisa kencing kalau dipaksa!”
Selagi
murid Sinto Gendeng kebingungan tiba-tiba terdengar suara orang menabuh tambur
dan suara tiupan suling luar biasa keras. Tanah bergetar dan kuping mengiang
sakit seperti mau pecah! Wiro dan Ratu Randang cepat menutupkan tangan
masing-masing ke telinga.
“Ratu,
jangan-jangan kau membawaku ke tempat yang salah. Ada orang pesta hajatan di
sekitar sini. Kalau tidak mengapa ada segala suara tambur dan suling…?”
“Mana
mungkin! Kalau orang hajatan yang kedengaran pasti suara sinden dan gamelan!”
Jawab Ratu Randang. Lalu perempuan ini memberi isyarat dengan gerakan tangan
agar Wiro jangan bicara dulu.
Ketika
Ratu Randang memandang ke depan, perempuan ini berseru. “Wiro lihat!”
********************
4
DALAM
kegelapan malam Ratu Randang dan Wiro dapatkan diri mereka berada di lereng
sebuah bukit batu. Udara dingin mencucuk jangat, tembus sampai ke tulang,
Perlahan-lahan mereka mulai mencium bau busuk.
Memandang
berkeliling Ratu Randang berbisik.
“Wiro,
apa kataku! Kita sudah berada di Bukit Batu Hangus. Ada satu kekuatan yang
membuyarkan sirapan Sinuhun Muda. Lihat ke sana…”
Wiro
menatap ke arah yang ditunjuk Ratu Randang. Samar-samar dia melihat bagian
lereng yang lain dari bukit dimana mereka berada. Dalam gelap tampak ratusan
orang berkaparan. Di samping sebuah batu besar dimana tergeletak sosok manusia
berdiri seorang lelaki. Di tanah di sampingnya berbaring seekor anjing betina
yang tubuhnya tampak hangus kemerahan, lidah terjulur basah oleh lelehan darah.
Lelaki tadi berulang kali membungkuk mengusap kepala anjing betina.
Semakin
keras suara tambur dan suling, semakin jelas terlihat pemandangan di lereng
bukit. Sepertinya kekuatan hentakan suara tambur dan tiupan suling itulah yang
mengendurkan kekuatan ilmu Sinuhun Muda yang membungkus kawasan Bukit Batu
Hangus.
Wiro
kerahkan ilmu Menembus Pandang. Memperhatikan ke arah batu besar.
“Ratu,
aku mengenali orang yang terkapar di atas batu. Seperti yang kau teriaki tadi
dia memang Swara Pancala. Lelaki gagah tapi kelihatan letih yang berdiri di
samping batu, siapakah dia?”
“Dia Rakai
Kayuwangi, Sri Maharaja Mataram. Yang Maha Kuasa melindungi hingga Raja tidak
terserang ilmu jahat dua Sinuhun yang melumpuhkan.”
“Seperti
yang lain-lain aku lihat ada empat benjolan merah di kening Raja.”
“Tadinya
ada delapan benjolan! Itu perbuatan keji Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Aku
pernah menerangkan padamu. Beberapa waktu lalu ada satu kejadian hebat. Atas
kehendak Para Dewa delapan benjolan berkurang menjadi empat.” (Peristiwa yang
dimaksudkan Ratu Randang adalah kejadian sewaktu Sri Maharaja Mataram menolong
anjing betina perujudan Sri Padmi Kameswari melahirkan anaknya. Atas budi
kebajikan sang Raja yang luar biasa besar itu Sri Padmi Kameswari dengan
pertolongan Yang Maha Kuasa berhasil menghancurkan empat dari delapan benjolan
merah yang ada di kening mereka. Baca serial sebelumnya berjudul “Roh
Jemputan”)
“Ratusan
orang yang berkaparan di bukit sana. Mereka lumpuh semua. Orang- orang tua,
anak-anak. Sungguh mengerikan. Aku tidak tega melihat mereka…”
“Selain
lumpuh mereka diserang demam panas. Kelaparan, pasti juga kehausan. Lalu hawa
dingin dikala malam seperti ini dan panas terik diwaktu siang. Jika tidak ada
pertolongan, begitu siang datang akan banyak yang menemui ajal …”
Wiro
meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin. “Seumur hidup baru kali ini aku
melihat kejadian seperti ini. Aku tidak habis pikir mengapa ada orangorang
jahat yang tega berbuat sekejam dan sekeji ini?
Apa yang
mereka inginkan?”
“Setelah
melihat beberapa kejadian, walauaku tidak berhasil mencari tahu dari Sinuhun
Muda, aku hanya punya satu dugaan. Sinuhun Muda dan nyawa kembarnya Sinuhun
Merah Penghisap Arwah menginginkan tahta Kerajaan. Dia ingin berkuasa dan
menjadi Raja “
“Kalau
cuma tahta dan kekuasaan mengapa sampai menyengsarakan seluruh rakyat Mataram?
Mengapa tidak berlaku jantan. Melakukan perang atau bertarung satu lawan satu?”
“Wiro,
kau berpikir menurut asal alammu. Delapan ratus tahun mendatang. Orang-orang di
sini berpikir delapan ratus tahun terbelakang. Mereka lebih mengandalkan ilmu
kesaktian hitam dari pada kejantanan…”
Wiro
hanya bisa mengangguk perlahan Lalu bertanya.
“Siapa
sebenarnya dua Sinuhun bernyawa kembar itu?”
“Itulah
yang sampai saat ini menjadi satu teka-teki besar. Namun cepat atau lambat kami
orang-orang Kerajaan akan mengetahui siapa adanya mereka.”
Wiro
memandang ke arah timur Bukit Batu Hangus.
“Aku
melihat seorang anak perempuan. Berjalan diantara sekelompok orang tua dan
anak-anak yang terbujur di depan cegukan batu bukit. Ada seekor anjing kecil
mengikuti kemana dia pergi. Astaga! Ni Gatri! Anak itu yang datang bersamaku.
Aku tidak melihat guruku Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia juga berada di sini…”
“Aku
meragukan kalau gurumu ada di sini,” menyahuti Ratu Randang.
Wiro
meraba batu putih segi tiga yang ada dibalik dada pakaiannya.
“Ratu,
saatnya kita segera menemui Raja. Bukankah aku harus memperlihatkan batu segi
tiga putih pada beliau. Lalu seperti yang pernah diterangkan oleh Swara Pancala
sewaktu datang ke alam asalku, Raja akan bicara denganku melalui anak perempuan
bernama Ni Gatri itu,” kata Wiro pula.
“Kita
akan segera menemui Raja. Tapi aku ingin kau lebih dulu melihat sesuatu,” jawab
Ratu Randang. Lalu dia menunjuk ke arah selatan.
“Perempuan
di dalam gelap sana. Lelaki yang bicara membentak-bentak di hadapannya …”
“Dewi
Ular dan Sinuhun Muda!”
“Benar
sekali. Lihat, mereka berkelahi! Sinuhun Muda agaknya marah besar atas kematian
Swara Pancala. Aku mendengar teriakan Dewi Ular, mungkin sewaktu melempar mayat
lelaki itu. Berarti Sinuhun tahu kalau Dewi Ular yang telah membunuh anak
buahnya.”
Dari
tempatnya berada Wiro dan Ratu Randang melihat bagaimana Dewi Ular akhirnya
berkelebat pergi.
Sinuhun
Muda hendak mengejar tapi tidak jadi. Dia sembunyi di balik batu besar. Menatap
ke atas bukit.
“Aku
lihat tampang Sinuhun Muda seperti ketakutan,”
Wiro
memberi tahu Ratu Randang. “Apa yang dilihatnya?!”
“Suara
tambur dan suling agaknya mempengaruhi manusia jahanam itu.”
“Ada
sesuatu yang lain,” menyahuti Ratu Randang.
Lalu dia
memegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Lihat ke lereng, bukit sebelah kanan.”
Wiro
alihkan pandangan ke arah yang dikataken Ratu Randang.
Di lereng
bukit tampak satu pemandangan menakjubkan bercampur aneh. Seorang lelaki gemuk
pendek bermuka bopeng berjalan mendaki bukit. Di tangan kiri orang ini memegang
sebuah tambur. Tangan kanan memukul tambur tiada henti dalam irama yang
teratur. Suara tambur yang dipukul bukan saja membahana di udara malam, tapi
menggetarkan lereng Bukit Batu Hangus.
Semua orang
yang ada di atas bukit termasuk Sri Maharaja Rakai Kayuwangi sama palingkan
kepala dan bertanya-tanya dalam hati, ada apa. Apa yang terjadi.
Mereka
semua tengah menunggu kedatangan Kesatria Panggilan yang katanya akan menolong
menyelamatkan Raja dan rakyat Mataram. Kenapa kini yang muncul suara tambur.
Rasa heran itu masih belum berakhir.
Di
belakang si gemuk pendek bopeng yang memukul tambur berjalan mengikuti seorang
lelaki berbadan tinggi kurus. Wajah penuh dengan bintik-bintik putih. Dia
memegang suling dan meniup suling begitu asyik dengan mata sesekali terpejam
pejam. Suara suling yang ditiup melengking keras di udara malam yang dingin,
mencucuk ke bumi dan menggetar bukit batu. Semua orang yang ada di bukit batu
untuk beberapa lama terpaksa menekap telinga masing-masing. Untung saja tangan
mereka bebas dari kelumpuhan. Kalau tidak berarti akan bertambah pula
penderitaan orang-orang itu. Namun belasan orang yang tidak tahan oleh hebatnya
suara tambur dan suling merasakan kepala mereka pening.
Lalu satu
demi satu mereka terbaring jatuh dalam keadaan setengah sadar.
Siapakah
adanya dua orang aneh itu. Seperti diceritakan dalam serial Mimba Purana Satria
Lonceng Dewa (baca “Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”, “Pangeran Bunga
Bangkai”, “Dewi Tangan Jarangkong” dst. karangan Bastian Tito) kedua orang ini
dikenal dengan name Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
Walau
mereka sebenarnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi namun berpenampilan
lugu polos, terkadang lucu dan sesekali bisa konyol menjengkelkan orang.
Hebatnya
di depan Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik, saat itu di udara malam yang
dingin, tampak seorang kakek dan seorang nenek yang sama-sama mengenakan
pakaian selempang kain putih. Mereka melangkah melayang seolah mengikuti alun
suara tambur dan suling. Rambut putih disanggul di atas kepala. Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik di sebelah belakang bertindak seperti dua orang
pengiring. Di satu tempat hanya beberapa tombak dari beradanya Raja Mataram
Rakai Kayuwangi, due kakek nenek berhenti berjalan tapi tubuh masih tetap
mengambang di udara malam.
Sepasang
mate menatap menyorotkan amarah ke lereng bukit sebelah bawah tempat Sinuhun
Muda mengintai di balik batu. Bergantian sepasang kakek nenek aneh ini
menggerakkan tangan, membuat Isyarat bahasa yang hanya dimengerti oleh orang
yang mengetahui.
Walau
Sinuhun Muda tidak mengetahui isyarat apa yang dimaksudkan oleh sepasang kakek
nenek yang dipangglinya Eyang itu, namun dia maklum kalau keduanya tengah
melontarkan hawa amarah besar.
Karenanya
setelah menyumpah-nyumpah sendiri Sinuhun Muda tinggalkan tempat itu.
Memutuskan untuk menemui nyawa kembarannya yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sesaat
setelah Sinuhun Muda meninggalkan Bukit Batu Hangus, Sri Maharaja Mataram
menjadi terkesiap ketika sepasang kakek nenek berselempang kain putih yang
masih melayang di udara memalingkan dirt ke arahnya lalu sama-sama membungkuk
memberikan penghormatan. Sementara itu Si Tambur Bopeng hentikan menabuh tambur
dan Si Suling Burik turunkan suling yang ditiup.
Rakai
Kayuwangi segera pula membungkuk membalas penghormatan orang. Raja Mataram
berusaha mendekat namun gerakannya seperti terhalang tembok yang tidak
kelihatan. Akhirnya Raja menyapa dari tempatnya berdiri.
“Orang
tua berdua, saya yakin kedatangan kalian merupakan rahmat Para Dewa atas diri
saya dan rakyat Mataram. Kalau saya boleh tahu siapakah gerangan orang tua
berdua adanya?”
Atas
pertanyaan Raja, kakek berselempang kain putih segera gerakkan dua tangan dan
jari-jarinya!. Setelah itu nenek di sebelahnya bergantian melakukan hal yang
sama.
Melihat
hat ini semua orang yang ada di situ termasuk Raja Mataram segera maklum kalau
sepasang kakek nenek itu tidak bisa bicara alias bisu. Raja mendekati beberapa
orang tokoh Istana, bicara dengan Garung Parawata lalu Panglima Pasukan
Kerajaan ini berseru menanyakan siapa diantara semua orang yang ada di Bukit
Batu Hangus tahu bahasa tangan dan isyarat orang bisu. Tidak ada seorangpun
yang menjawab.
“Yang
Mulia, kita harus mencari seorang bisu. Hanya orang bisu Mau gagu yang tahu
bahasa isyarat tangan itu…” Berkata Soka Kandawa sambil batuk-batuk. Orang tua
ini dialah salah seorang tokoh Istana yang dikenal dengan gelaran Tabib Sakti
Sepuluh Jari Dewa yang seperti semua orang yang ada di situ berada dalam keadaan
lumpuh serta menderita demam panas.
“Tidak
mungkin kita menemukan orang bisu dalam keadaan seperti ini,” jawab Raja
Mataram.
Eyang
Dukun Umbut Watukura setengah berbisik berkata pada Raja Mataram. “Yang Mulia,
saya menduga dua kakek nenek itu bukan dari alam kita. Mereka datang dari alam
arwah, alam roh. Lihat, sampai saat ini dua kaki mereka tidak menginjak tanah
atau batu bukit…”
********************
5
RAKAI
KAYUWANGI DYAH LOKAPALA terperangah menyadari kebenaran ucapan Eyang Dukun.
“Saya
sependapat dengan Eyang Dukun. Mereka tidak mungkin muncul begitu saja. Ini
semua pasti kehendak Para Dewa yang hendak menyelamatkan Mataram,” ucap Raja
Mataram. Lalu dia mengangkat tangan ke arah dua kakek nenek. “Orang tua berdua,
saya tahu kalian datang dengan membawa maksud baik, hendak menyampaikan sesuatu
yang baik.
Namun
sayang sekali antara kita tidak bisa bertutur kata. Bahasa gerakan tangan orang
tua berdua tidak kami ketahui artinya. Kami mohon maaf. Kami mohon petunjuk
bagaimana caranya ..”
Belum
habis Raja berucap tiba-tiba si nenek berselempang kain putih membalikkan tubuh
dan meluruskan jari telunjuk tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ditunjuk
begitu rupa Wiro yang baru saja datang bersama Ratu Randang tentu saja
terkejut. Sementara Raja dan semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus
bertanya-tanya siapakah pemuda berambut panjang disamping Ratu Randang, dari
atas bukit Ni Gatri berlari mendatangi Wiro sambil berseru, “Kakak!”
Raja dan
orang-orang yang ada di Bukit Batu Hangus segera maklum kalau pemuda yang
datang bersama Ratu Randang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mereka sebut
sebagai Kesatria Panggilan. Walau dalam keadaan lemah dan sakit hampir semua
orang bersorak girang. Banyak pula yang menampungkan tangan mengucapkan doa
terima kasih pada Yang Maha Kuasa.
Harapan
mereka atas datangnya pertolongan sungguh sangat besar.
Saat itu
Sri Maharaja Mataram Ingin segera menemui sang pendekar namun Raja merasa tidak
enak kalau meninggalkan kedua orang tua dari alam arwah itu begitu saja. Apa
lagi saat itu si nenek tengah menunjuk-nunjuk ke arah Wiro. Sekali menunjuk dia
usapkan tangan ke kening, tangan dikepretkan lalu menunjuk lagi dan mengusap
lagi, mengepret lagi. Melihat ini Wiro sendiri jadi ikut ikutan mengusap
keningnya sambil berpikir pikir apa yang dimaksud si nenek.
“Aku
ditunjuk-tunjuk. Memangnya ada apa di jidatku…” pikir Wiro.
Ketika Ni
Gatri berdiri di hadapannya Wiro mengusap kepala anak perempuan ini. Di
belakang Ni Gatri, anjing jantan kecil yang selalu mengikuti anak perempuan
ini, tidak berhenti menyalak. Ni Gatri mendukung binatang ini, membelai
tengkuknya agar tidak menyalak lagi. Namun anak anjing ini hanya diam dan tenang
sebentar lalu kembali menyalak.
“Wiro,
anak anjing terus menyalak. Ada pertanda yang tidak baik,” bisik Ratu Randang.
Pendekar
212 maklum dan anggukkan kepala. “Kita harus waspada. Awasi semua orang yang
ada di sini termasuk pemukul tambur dan meniup suling. Juga kakek nenek aneh
itu.” Wiro lalu bertanya pada Ni Gatri.
“Kau
baik-baik saja Ni Gatri?”
Si anak
perempuan mengangguk. Lalu dia menunjuk ke arah nenek berjubah biru, bermuka
bundar tak memiliki alis yang duduk di tanah, tersandar pada sebuah batu. Nenek
ini bukan lain adalah Rauh Kalidathi.
“Nenek
itu yang telah menyelamatkan Gatri ketika ada orang jahat hendak menculik
Gatri…” Si anak perempuan memberi tahu.
Wiro
hendak bertanya perihal gurunya, Eyang Sinto Gendeng. Namun Ni Gatri mendahului
berkata “Kakak, sewaktu tadi ada orang bertanya siapa yang tahu bahasa gerak
tangan Isyarat orang bisu sebenarnya Gatri mau menjawab kalau Gatri tahu
sedikit bahasa orang bisu. Dulu Gatri punya teman anak lelaki gagu.
Kalau
bicara dia memakai bahasa gerakan tangan…”
Mendengar
ucapan Ni Gatri Ratu Randang berkata.
“Kalau
begitu lekas kita menemui Raja. Aku akan beritahu kalau kau mengerti bahasa
gerakan tangan orang bisu.
Nanti kau
bisa bicara dalam bahasa isyarat langsung pada sepasang kakek nenek itu…” Ratu
Randang cepat pegang lengan Ni Gatri.
Namun
Wiro berkata.
“Gatri,
kau tadi melihat nenek yang melayang itu menunjuk-nunjuk ke arahku. Lalu dia
membuat gerakan tangan mengusap kening dan mengepret beberapa kali.
Kau tahu
apa yang dikatakannnya…”
“Kalau tidak
salah Gatri mengira, nenek itu hendak memberi tahu bahwa Kakak …”
Belum
sempat Ni Gatri menyelesaikan ucapan tibatiba terjadi dua hal hebat. Yang
pertama dari lereng bukit sebelah selatan muncul getaran aneh. Ketika dengan
cepat getaran menyentuh tubuh Ni Gatri, tak ampun lagi anak ini langsung
terhuyung dan rubuh di atas bebatuan.
Wajah
pucat, mata nyalang tapi pandangan kosong.
Hal kedua
sebelum tubuh Ni Gatri jatuh menyentuh bebatuan, dari langit kelam berkelebat
selarik sinar hijau.
Sinar
menyapu bagian alas kepala Ni Gatri. Saat itu juga tubuh Ni Gatri yang berada
dalam keadaan kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara kini seolah berubah
menjadi batu, kulit berubah kehijau-hijauan! Anjing kecil yang ada dalam
gendongannya meraung keras lalu melompat.
Turun ke
tanah dan berlari berputar putar mengelilingi sosok Ni Gatri.
“Celaka!
Apa yang terjadi! Ni Gatri!” Wiro berteriak.
Raja
Mataram cepat mendatangi. Namun saat itu anjing betina yang cidera berat
perujudan dari Sri Padmi Kameswari berteriak.
“Tahan!
Jangan sentuh tubuh anak itu sebelum memiliki benda penangkal. Dia terkena ilmu
pembungkam tubuh yang dilepas Sinuhun Muda! Yang Mulia cepat tanggalkan kalung
emas di leher saya. Patahkan jadi dua.
Yang
pertama Yang Mulia simpan di saku pakaian.
Patahan
kedua berikan pada pemuda berambut gondrong yang barusan datang bersama Ratu
Randang….”
Sri
Maharaja Mataram terkesiap. Ratu Randang tercengang. Anjing betina telah
membuka rahasia penangkal atau kelemahan Sinuhun Muda! Wiro sendiri delikkan
mata dan nekad hendak memegang tubuh Ni Gatri. Namun begitu tangan diulurkan
hendak menyentuh Ni Gatri tiba-tiba dari tubuh anak perempuan itu melesat
keluar selarik sinar merah, menyambar ke arah Pendekar 212.Wiro kertakkan
rahang, melompat mundur sambil lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar. Sambaran
sinar merah yang menyerang dalam bentuk garis lurus bukan saja berhasil di
tahan namun kemudian dibuntal bergelung membentuk lingkaran berputar seperti
kincir padi. Begitu Wiro pukulkan tangannya ke bawah maka ujung lingkaran merah
ikut menghunjam ke tanah, amblas masuk ke dalam celah-celah batu bukit dan
buummm!
Satu
letusan keras menggelegar. Sebagian batu-batu besar yang ada di tempat itu
hancur berkeping-keping.
Wiro
sendiri jatuh terduduk di tanah. Mukanya tampak pucat. Tubuh bergetar
tergontai-gontai. Lengan baju sebelah kanan dikobari api!
Ratu
Randang berteriak. Dengan cepat perempuan ini pergunakan ke dua tangannya untuk
memadamkan api!
“Wiro ….
!”
“Aku tak
apa-apa…” Berkata Pendekar 212 sambil berdiri. Tapi keningnya mengernyit tanda
dia tengah menahan sakit. Ratu Randang yang masih kawatir robek salah satu
bagian lengan baju yang terbakar. Di balik robekan tampak kulit lengan
mengelupas kehitamhitaman.
“Sinuhun
Muda. Tadi aku lihat dia sudah pergi. Pasti mahluk jahanam itu kembali lagi.
Dia menyerang anak perempuan itu dengan ilmu pembungkam Hawa Bumi Menutup Jalan
Darah Mencekal Urat. Celaka! Aku tidak mampu memusnahkan ilmu itu. Tapi … Ni
Gatri tidak hanya diserang ilmu Sinuhun Muda. Ada ilmu lain yang tadi
memancarkan cahaya kehijauan menyerang anak itu hingga tubuhnya berubah sekeras
batu!” Berkata Ratu Randang.
“Aku
tahu,” jawab Wiro. Dia menatap ke arah Ni Gatri.
Wiro
lebih mengawatirkan anak perempuan itu dari dirinya sendiri. Di tanah tempat
tubuhnya terkapar anjing betina perujudan Sri Padmi Kameswari kembali
berteriak.
“Yang
Mulia! Cepat tanggalkan kalung di leher saya!”
Kali ini,
tidak menunggu lebih lama Raja Mataram Rakai Kayuwangi segera mendatangi,
membuka kalung emas besar yang melingkar di leher anjing betina. Lalu kraakk!
Kalung emas yang berbentuk lempengan cukup tebal itu patah dua. Raja Mataram
menyimpan satu patahan di dalam saku celananya. Patahan yang lain diberikan
kepada Wiro. Begitu Wiro memegang patahan kalung emas saat itu juga cidera di
lengan kanannya pupus lenyap!
Sesaat
setelah kalung emas besar tanggal dari lehernya tiba-tiba anjing betina yang
tergeletak di tanah meraung perlahan. Kepala diangkat, sepasang mata menatap ke
arah Raja Mataram lalu jatuh terkulai. Secara aneh tubuh anjing betina ini
berubah jadi kepulan asap lalu lenyap dari pemandangan.
“Sri
Padmi Kameswari!” Raja berseru. Dia mengusap kepala binatang itu namun si
anjing betina sudah tidak bernafas lagi. Anjing kecil tahu kalau ibunya sudah
mati menyalak panjang berhiba-hiba lalu menjilati tanah bekas tubuh induknya
tadi tergeletak.
Wiro
cepat menggendong tubuh Ni Gatri, dibaringkan di atas sebuah batu rata. Raja
Mataram keluarkan potongan kalung yang ada padanya. Benda itu kemudian
diusapkan di tubuh Ni Gatri, mulai dari kepala, kening, wajah terus turun ke
dada dan sampai ke ujung kaki.
Melihat
hal ini Wiro keluarkan pula patahan kalung emas yang ada padanya dan melakukan
hal yang sama.
“Desss!
Desss! Desss!”
Asap
merah mengepul keluar dari delapan bagian tubuh Ni Gatri namun anak perempuan
ini tetap dalam keadaan diam kaku tidak bergerak tidak bersuara.
“Ilmu
Sinuhun Muda sudah musnah…” bisik Ratu Randang pada Wiro. Ilmu satunya masih
membungkam anak perempuan itu. Siapa gerangan yang telah menyerangnya…”
Tiba-tiba
suara tambur dan tiupan suling kembali terdengar di Bukit Batu Hangus. Si
Tambur Bopeng dan Si Suling Burik mulai berjalan menuruni lereng bukit.
Sepasang
kakek nenek ikut pula bergerak. Seperti tadi keduanya melangkah melayang dalam
udara malam yang dingin. Si nenek kembali menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
Usapkan
tangan kanan di atas kening lalu dikepretkan.
Di
samping si nenek, kakek arwah bisu berulang kali menggerakkan tangan dari
pinggang ke atas Seperti gerakan orang mencabut senjata yang tersisip di pinggang.
Lalu kakek ini menunjuk-nunjuk ke arah Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.
Wiro
cepat mengejar. Dia menghampiri si gemuk pendek si Tambur Bopeng.
“Sababat!
Nenek alam arwah itu berulang kali menunjuk ke arahku. Mengusap kening lalu
tangan dikibaskan. Jika kau tahu apa arti tanda gerakan tangan yang dilakukan
nenek itu harap kau mau mengatakan!”
“Tam!
Tam! Tam!”
Si Tambur
Bopeng lalu membuka mulut.
“Aku Si
Tambur Bopeng. Bersama temanku Si Suling Burik kami hanya berlaku sebagai
pengantar. Kami tidak tahu apa arti gerakan tangan…”
“Kalian
mau memberi tahu siapa adanya dua kakek nenek itu?” Wiro bertanya.
“Sepasang
Arwah Bisu!” Berkata Si Tambur Bopeng.
“Sepasang
Arwah Bisu!” Menirukan temannya Si Suling Burik.
“Kalian
membawa Sepasang Arwah Bisu dari mana, mau di antar dipulangkan kemana? Kalau
kami ingin menemui mereka harus mencari dimana?!” Ratu Randang kini yang
mengajukan pertanyaan.
Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik hentikan langkah sebentar. Keduanya memandang pada
Ratu Randang. Lalu kedip kedipkan mata.
“Cantik
sekali … Cantik sekali! Ha…ha…ha!” Si Tambur Bopeng lalu kembali tabuh
tamburnya dan mulai melangkah lagi menuruni lereng bukit.
“Dadanya
bagus … Dadanya montok. Aku bisa melihat celah putihnya. Ha … ha … ha!” Si
Suling Burik kini yang bicara lalu tertawa gelak-gelak.
“Matanya
juling bagus! Sungguh mempesona!” Si Tambur Bopeng kembali keluarkan ucapan.
“Bukan
mempesona. Tapi menggairahkan!” Menyahuti Si Suling Burik. Lalu kedua orang
aneh ini tertawa gelakgelak.
“Sialan!”
maki Ratu Randang. “Kalian belum menjawab pertanyaanku!”
“Memaki
saja suaranya begitu merdu. Apa lagi merayu! Ha … ha … ha!” Si Tambur Bopeng
berucap lalu pukul tamburnya.
“Tam!
Tam! Tam!”
Si Suling
Burik tiup sulingnya kencang. kencang hingga Wiro dan Ratu Randang terpaksa
hentikan langkah dan tekap telinga musing-masing.
“Hai
jangan pergi! Jawab dulu pertanyaanku! Di mana kami bisa menemui Sepasang Arwah
Bisu. Kami butuh keterangannya!”
“Alam
arwah begitu luas. Datang dan pergi sulit diketuhui. Sepasang, Arwah Bisu
laksana dua buah jarum di tengah padang pasir. Bagaimana kami bisa tahu.
Bagaimana
kami bisa menjawab!”
“Kalau
begitu kalian saja memberi tahu dimana kami bisa menemui kalian!” Ratu Randang
masih berusaha, “Tam! Tam! Tam!”
Si Tambur
Bopeng lalu menjawab.
“Kami dua
sahabat yang tidak punya juntrungan, berarti tidak punya rumah kediaman. Kalau
mau mencari kami dimana banyak mayat disitu kami biasa berkeliaran.
Dunia
mayat sejuk dan rukun tenteram tidak seperti dunia manusia yang selalu hidup
dalam pertengkaran dan permusuhan, keserakahan, iri dengki, sombong dan
kebencian serta kejahatan penuh tipu muslihat!”
Wiro dan
Ratu Randang sating berpandangan mendengar ucapan kedua orang itu. Ratu Randang
pegang tangan Wiro.
“Sudah,
tidak perlu diikuti lagi. Percuma saja. Hidup di Bhumi Mataram tapi tidak mau
menolong. Sudah buruk rupa bertingkah pula!”
“Oala!
Kita dibilang buruk rupa. Berarti kita ini orangorang jelek ya?” Si Suling
Burik berkata.
“Kasihan
kita berdua! Ha… ha… ha!” Si Tambur Bopeng menyahuti lalu tertawa mengekeh.
“Ratu,
Kau tabu siapa sebenarnya dua kakek nenek dari alam arwah tadi itu?”
Ratu
Randang menggeleng.
“Kita
akan tanyakan pada para tokoh di Bukit Batu Hangus. Mungkin diantara mereka ada
yang bisa memberi jawaban…”
“Aku
sempat melihat wajah Sinuhun Muda yang ketakutan ketika menatap ke arah
sepasang kakek nenek.”
“Aku juga
memperhatikan,” jawab Ratu Randang.
“Kita
harus menolong Ni Gatri. Kalau anak itu bisa di sadarkan pasti dia akan memberi
tahu apa arti semua gerak tangan Sepasang Arwah Bisu.”
Baru saja
Wiro selesai berkata tiba-tiba di lereng bukit sebelah kanan terdengar suara
tawa cekikikan.
“Tidak
ada yang mampu menolong anak perempuan itu! Kecuali Sinuhun Merah Penghisap
Arwah! Kepadanya semua orang di muka Bhumi Mataram ini harus tunduk!”
“Dewi
Ular …!” Bisik Ratu Randang.
“Bukan,
bukan Dewi Ular,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
********************
6
BEGITU pandangan
mata Pendekar 212 Wiro Sableng membentur sosok tinggi kurus hitam yang
kepalanya ditancapi empat tusuk konde perak, dia langsung berteriak.
“Nek!
Eyang Sinto”
Sinto
Gendeng berdiri di atas sebuah batu besar, berkacak pinggang. Wajah yang hanya
ditutupi kulit tipis dan sorotan mata tampak galak. Mendadak sang murid
tersentak heran ketika lebih memperhatikan ternyata Eyang Sinto Gendeng muncul
dengan beberapa keanehan.
Di kening
nenek kelihatan ada delapan benjolan merah. Lalu tidak tampak tongkat kayu
butut yang selalu dibawa kemanamana.
Keanehan
ke tiga Wiro tidak mencium bau pesing.
Malah
kini dia mencium bau harum begitu santar keluar dari tubuh dan pakaian sang
guru!
“Nek!”
Ratu
Randang mendekati Pendekar 212 lalu berbisik.
“Aku
dengar kau menyebut memanggil Nenek. Nenek siapa?”
“Nenek
guruku. Eyang Sinto Gendeng. Dia berdiri di atas batu sana. Bukankah aku pernah
bercerita ketika dalang ke Bhumi Mataram aku ditemani guruku dan anak perempuan
bernama Ni Gatri.”
Ratu
Randang kerenyitkan kening. Mata julingnya menatap ke arah batu besar di
seberang sana. Mata diusap beberapa kali lalu sambil geleng kepala perempuan
ini berkata.
“Aku
belum buta.Yang berdiri di atas batu besar itu bukan seorang nenek. Tapi
seorang gadis. Di kepalanya memang ada empat tusuk konde perak. Ngeri juga
karena tusuk konde itu sepertinya ditancap. Gadis ini berkulit hitam manis.
Wajahnya memang cantik tapi dandanannya seronok. Pupur tebal, alis mata mencong
dan bibir berselomotan cairan warna merah!”
“Ratu,
kau jangan bergurau. Aku juga tidak buta! Aku sudah bilang guruku seorang
nenek-nenek jelek seram.
Dan saat
ini sosoknya aku lihat berdiri di atas batu sana.
Cuma satu
kelainan yang aku lihat pada dirinya. Biasanya tubuh dan pakaiannya bau pesing.
Kini dia wangi sekali…”
“Aku juga
mencium bau wangi itu!” menyahuti Ratu Randang. “Kau ingat sewaktu aku bersama
si katai Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut bertemu dirimu pertama kali
di tepi telaga? Waktu itu Raja Dukun mengatakan tidak ada nenek-nenek muncul di
Bhumi Mataram. Yang ada seorang gadis cantik berkulit hitam manis yang tubuh
serta pakaiannya harum selangit. Di kepalanya ada empat tusuk kundai! Nah,
gadis di atas batu itulah orangnya!”
Wiro
menggaruk kepala. Mulut melongo.
“Bagaimana
ini? Tidak mungkin! Mana mungkin aku punya guru seorang gadis yang mungkin
seusiaku. Aku melihat nenek-nenek. Kau melihat gadis. Ada yang tidak beres! Ada
yang tidak nyambung! Lalu mengapa ada delapan benjolan aneh di kepalanya….”
“Wiro,
aku punya dugaan siapapun perempuan yang berdiri di atas batu dia sudah berada
di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Delapan benjolan itu tanda
yang tidak bisa disangsikan lagi! Jangan-jangan gurumu sudah kena disirap
benaknya dengan ilmu yang disebut Delapan Jalur Arwah, Pencuci Otak!”
“Celaka
guruku! Celaka Eyang Sinto Gendeng….”
“Eyang
Sinto Gendeng … ? Itu berati Sinto gila atau sinting. Hik … hik. Nama aneh.
Setahu kabar yang aku dengar dia mengaku bernama Sinto Weni…”
“Itu nama
aslinya.” Jawab Wiro.
Sementara
itu semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk Raja Mataram bertanya
tanya siapa gerangan adanya gadis cantik berdandan celemongan yang berdiri di
atas batu. Kelihatannya gadis itu mengenal Kesatria Panggilan Wiro Sableng.
Namun sikapnya jelas kurang bersahabat.
Selagi
Wiro kebingungan tiba-tiba terdengar bentakan.
“Anak
Setan! Lekas datang ke sini! Siapa perempuan di sampingmu? Rupanya kau sudah
punya kekasih baru di negeri ini? Dasar pemuda mata bongsang!”
“Wiro,
kau dengar gadis di atas batu itu bicara padamu? Mengapa kau dipanggilnya
dengan sebutan Anak Setan? Kau juga disebut pemuda mata bongsang!
Aku
dikatakannya kekasih barumu. Aku sih mau-mau dan senang saja. Hik … hik … hik!”
Ratu Randang tertawa cekikikan.
“Anak
Setan! Apa telingamu tuli tidak mendengar aku menyuruhmu datang ke sini?!”
“Wiro,
kalau gadis di atas batu memang gurumu, sebaiknya kau lekas mendatangi. Jangan
perdulikan perbedaan penglihatanmu dengan apa yang aku lihat.
Mulut
gadis itu seperti ember! Kita berdua bisa dibikin malu!”
Mendengar
ucapan Ratu Randang Wiro akhirnya beranjak. Namun sebelum melompat ke atas batu
dimana gurunya berdiri diam-diam Wiro selipkan batu segi tiga pipih.
“Ratu,
kalau terjadi apa-apa dengan diriku, berikan batu itu pada Raja.”
Ratu
Randang jadi merasa tidak enak. Batu cepatcepat dimasukkan ke balik pakaian.
Wiro
melompat ke atas batu besar, berdiri di samping sang guru. Sambil membungkuk
Wiro menyapa.
“Nek, aku
sudah di sini. Anu, bajumu baru, bagus Nek. Kau dapat dari mana? Bau tubuh dan
pakaianmu harum sekali Nek, seperti wangi bidadari turun dari kahyangan. Aku …”
Sinto
Gendeng delikkan mata.
“Apa?!
Semua orang memanggil aku anak gadis cantik! Kau menyebut aku Nenek! Kau mau
memberi malu diriku! Dasar murid kurang ajar!”
“Plaakk!”
Satu
tamparan melanda keras pipi Wiro hingga sudut bibirnya luka berdarah. Semua
orang yang menyaksikan terutama Ratu Randang tentu saja jadi terkejut.
Sambil
usap darah di pinggir mulut sementara telinganya masih berdenging saking kerasnya
tamparan Wiro bertanya.
“Nek, eh
Eyang Sinto, kenapa kau jadi galak begini.
Aku
melihat ada delapan benjolan di keningmu. Aku kawatir…”
“Diami”
Hardik Sinto Gendeng. “Mau delapan mau seratus benjolan di keningku bukan
urusanmu! Sinuhun Merah Penghisap Darah telah memberi ilmu kesaktian padaku!
Dan aku tahu kau menempatkan dirimu sebagai musuh Sinuhun Merah Penghisap
Darah! Kau bersekutu dengan Raja Mataram.”
“Eyang,
sewaktu kita masih berada di alam delapan ratus tahun mendatang kau sudah tahu
kalau kita datang ke sini memang untuk menolong serta membela Raja dan rakyat
Mataram. Aku heran kalau Eyang tiba-tiba berubah. Apa yang terjadi dengan diri
Eyang?”
Sinto
Gendeng yang dimata Wiro ujudnya tetap terlihat seperti nenek tiba-tiba ulurkan
tangan jambak rambut gondrong sang murid.
“Anak
Setan! Kau dengar baik-baik! Yang pantas dibela adalah Sinuhun Merah Penghisap
Arwah! Bukan Raja Mataram! Kau dengar?!”
Hardikan
keras Sinto Gendeng terdengar oleh semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus.
Membuat mereka jadi terkejut.
“Eyang,
mahluk yang namanya Sinuhun Penghisap Arwah justru biang racun semua malapetaka
di negeri ini.
Dia pasti
telah menyirapmu dengan ilmu hitam. Otakmu sudah dicuci. Eyang harus segera
sadar…”
Sinto
Gendeng tertawa panjang.
“Kau dari
dulu memang anak badung! Tidak mau mendengar apa yang aku bilang! Sekarang
mewakili Sinuhun Marah Penghisap Arwah sebaiknya otakmu aku cuci juga!”
Habis
berkata begitu Sinto Gendeng arahkan keningnya ke kepala sang murid. Delapan
benjolan merah pancarkan cahaya terang.
“Delapan
jalur Arwah Pencuci Otak!”
Ratu
Randang berteriak begitu menyadari serangan ilmu apa yang hendak dilancarkan
Sinto Gendeng terhadap Wiro.
“Wiro!
Lekas melompat dari atas batu! Selamatkan dirimu!” Teriak Ratu Randang.
Sementara
itu di telinga Sinto Gendeng tiba-tiba mengiang suara memperingatkan.
“Sinto
Weni! Jangan kau serang pemuda itu! Dia membekal emas pantangan!”
Namun
terlambat. Wiro terlambat melompat selamatkan diri. Sinto Gendeng terlambat
mendengar suara ngiangan. Delapan benjolan merah telah keburu menyemburkan
delapan larik sinar merah yang langsung menyambar ke arah kening Pendekar 212
********************
7
DARI
balik pakaian di bagian mana Wiro menyimpan sebagian patahan kalung emas yang
diberikan Sri Padmi Kameswari menderu sinar kuning bergemerlap yang dengan
cepat membungkus seluruh kepala sang pendekar. Dari bagian bawah dada di atas
perut memancar cahaya putih menyilaukan. ltulah cahaya hawa sakti yang keluar
dari senjata sakti mandraguna Kapak Maut Naga Geni 212!
“Blaaarrr!”
Delapan
larik cahaya merah menghantam kening sang pendekar!
Wiro
berteriak keras. Kepalanya laksana meledak. Tubuh terpental dari atas batu lalu
jatuh terkapar di atas batu yang lain. Tubuhnya mulai dari dada sampai kepala
tidak kelihatan karena tertutup buntalan asap merah.
Ratu
Randang terpekik. Lalu menghambur memeluk tubuh Pendekar 212. Kedua tangan
mengusap ke dada, terus ke atas ke arah kepala. Perempuan ini merasa lega
karena dia masih meraba dada dan kepala Wiro utuh walau ada hawa panas seperti
bara. Tadinya dia menyangka tubuh Wiro sudah hancur hanya tinggal bagian perut
ke bawah! Semua orang di Bukit Batu Hangus termasuk Sri Maharaja Mataram
keluarkan seruan tertahan. Mereka sepertinya tidak memperdulikan apa yang
terjadi dengan gadis cantik bertusuk konde empat tapi lebih menaruh kawatir
pada Wiro.
Ketika
kepulan asap hitam membuntal ke atas dan lenyap dalam kegelapan udara malam
menjelang dini hari yang dingin Ratu Randang melihat kepala Pendekar 212 merah
seperti saga!
“Dewa
Agung, Jagat Bathara!” Teriak Ratu Randang setengah meratap. Dua tangan
ditekapkan ke pipi Wiro.
“Aku
tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa…” Wiro keluarkan ucapan.
“Jangan
bicara! Ada racun jahat dalam tubuhmu!”
“Tidak,
tidak ada racun. Kalaupun ada semoga Yang Maha Kuasa melindungi diriku…” Wiro
mencoba bangun.
Dibantu
oleh Ratu Randang. Saat itu warna merah di kepala dan wajahnya perlahan-lahan
mulai memudar dan akhirnya lenyap.
“Guruku
…. Eyang Sinto Gendeng, aku kawatir.
Bagaimana
keadaannya?”
Ratu
Randang jadi marah besar mendengar ucapan Wiro. “Guru atau siapapun iblis
perempuan itu! Dia hendak membunuhmu! Paling tidak hendak mencelakaimu hingga
menjadi budak Sinuhun Merah Penghisap Arwah seumurumur!
Dan kau
masih menanyakan bagaimana keadaannya! Oala betapa setia dan berbaktinya murid
yang teraniaya!”
“Guruku
tidak sejahat itu! Dia berbuat karena otaknya sudah keracunan. Dia tidak sadar
apa yang dilakukannya.
Aku harus
menolongnya.”
“Gurumu
edan! Kau gila! Sama saja!” teriak Ratu Randang. Lalu dia ambil tangan Wiro dan
tempatkan di bagian mana terletak patahan kalung emas. Wiro merasa denyutan
sakit di kepalanya perlahan-lahan lenyap.
Penglihatannya
yang tadi agak buram kini mulai jelas kembali. Hawa panas jauh berkurang.
Raja
Mataram berlari menghampiri Wiro bermaksud hendak menolong. Wiro sendiri saat
itu sudah berdiri. Dia memandang ke arah batu besar di atas mana tadi Sinto
Gendeng berada. Dia melihat gurunya duduk terjengkang di atas batu. Seluruh
tubuh dan pakaian tampak diselimuti jelaga hitam!
Mata
mendelik besar. Kepala menggembung dan berdenyut-denyut seperti mau meledak.
Dari telinga dan sela bibir darah mengucur.
“Nek!
Eyang!” Teriak Wiro begitu melihat keadaan gurunya. “Eyang, maafkan aku!”
“Edan!
Kenapa minta maaf segala?!” teriak Ratu Randang. Bukan kau yang menyerang
gurumu! Dia dihantam balik oleh serangannya sendiri yang tadi ditujukan padamu
karena di tubuhmu ada lempengan kalung emas!”
Wiro
tidak perdulikan ucapan Ratu Randang. Dia melompat hendak menolong sang guru.
Tapi tiba-tiba si nenek meraung dahsyat lalu kaki kanannya melesat ke atas.
“Duukk!”
Tendangan
keras berkekuatan tenaga dalam tinggi menghantam dada Pendekar 212 hingga terpental.
Selagi Wiro masih melayang di udara dilanda kesakitan luar biasa, dada serasa
jebol dan darah mengucur dari sela bibir, Sinto Gendeng bangkit berdiri. Dua
tangan dipentang ke atas. Kepala digoyang. Mata dikedipi “Wuuutt! Wuuutt!”
Dari mata
Sinto Gendeng berkiblat dua larik cahaya biru menyilaukan hingga seluruh lereng
Bukit Batu Hangus menjadi terang benderang. Dua larik sinar ini menyambar
laksana kilat ke arah Pendekar 212. Suara derunya menggidikkan bulu roma! Dalam
penguasaan dan kendali ilmu hitam Sinuhun Merah Penghisap Darah, diluar
sadarnya si nenek benar-benar hendak menghabisi sang murid!
Bukannya
bergerak selamatkan diri, Wiro malah tegak tak bergerak. Sikap seperti orang
terkesima, mulut berucap menyebut nama ilmu yang dipergunakan Sinto Gendeng
untuk menghabisinya! “Sepasang Sinar Inti Roh. Eyang Sinto tidak pernah mau
memberikan ilmu itu padaku. Dia hendak membunuhku. Apa salahku ….”
Ketika
Sinto Gendeng menyerang pertama kali, dia mempergunakan ilmu dahsyat yang
didapat dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi ketika menendang dan
menghantamkan serangan Sepasang Sinar Inti Roh, dia mengandalkan ilmu kesaktian
yang dimilikinya sendiri!
ilmu
kesaktian ini memang tidak diwariskannya kepada sang murid walau Wiro pernah
menanyakan. Dan ilmu kesaktian ini tidak bisa ditangkal oleh patahan kalung
emas besar masih yang ada pada Wiro!
Ratu
Randang cepat dorong Pendekar 212 hingga jatuh ke tanah dan menggelinding di
lereng bukit batu.
Sementara
dua larik sinar biru menderu di udara malam dengan cepat Ratu Randang
selamatkan diri dengan melompat ke kiri sambil lepaskan pukulan bernama Di
Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat guna menangkis sambaran dua larik
cahaya biru yang luar biasa ganas. Dengan pukulan inilah dalam jarak dekat Ratu
Randang memecahkan kepala si katai Raja Dukun Batu Berlumut, dukun kepercayaan
Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah.
Ternyata
Ratu Randang tidak bertindak sendirian.
Dari
jurusan lain Sri Maharaja Mataram, Eyang Dukun Umbut Watukura, Garung Parawata
dan Soka Kandawa alias Tabib Sakti Sepuluh Jari Dewa serta beberapa tokoh silat
Istana lainnya yang ada di Bukit Batu Hangus ikut melancarkan serangan ke arah
dua larik cahaya biru yang keluar dari sepasang mata Sinto Gendeng dan saat itu
siap membelah tubuh Kesatria Panggilan alias Wiro Sableng yang adalah muridnya
sendiri!
Gabungan
pukulan sakti orang-orang di Bukit Batu Hangus yang memancarkan berbagai warna
cahaya serta bermacam deru menggidikkan membuat bukit batu bergetar hebat.
Meski terluka parah namun Wiro yang melihat apa yang terjadi dan maklum kalau
gurunya tidak akan sanggup menghadapi sekian banyak serangan balasan serta
merta berteriak.
“Tidak!
Jangan! Tahan serangan! Eyang Sinto lekas nienyingkir!”
Namun apa
yang sudah diduga akan terjadi tidak dapat dihindarkan. Dentuman dahsyat
menggelegar ketika dua cahaya biru bentrokan di udara dengan gabungan cahaya
pukulan beberapa orang sakti! Bukit Batu Hangus laksana dilanda gempa. Bebatuan
besar longsor menggelinding dari lereng ke kaki bukit menimbulkan suara bergemuruh.
Dua larik sinar biru serangan Sinto Gendeng bukan saja musnah berantakan, tapi
taburan cahaya berbalik ke arahnya begitu gabungan cahaya pukulan sakti lawan
datang menghantam!
“Eyang!”
Wiro
kembali berteriak. Dibawah kecamuk pukulan sakti yang laksana badai dia hendak
menghambur menolong sang guru namun Ratu Randang lebih cepat memegang
lengannya. Perempuan ini lalu menarik Wiro kuat-kuat hingga keduanya jatuh ke
tanah dan bergulingan di antara bebatuan.
Hanya
sekejapan mata lagi Sinto Gendeng akan dihajar oleh ilmu kesaktiannya sendiri
dan cahaya gabungan pukulan sakti orang-orang di Bukit Batu Hangus, tiba-tiba
dari atas langit yang diterangi rembulan setengah lingkaran ada cahaya kuning
memancar terang dan melayang ke bawah. Jauh di atas langit terdengar genta
lonceng membahana tiga kali berturut turut.
Dari
dalam cahaya kuning terdengar suara anak kecil.
Kematian
bagian semua insan. Nyawa manusia adalah semata milik Yang Maha Pencipta dan
Maha Kuasa yang patut dihormati. Mengapa manusia terkadang bertindak
mendahului-Nya, membunuh manusia lain seolah dia yang menciptakan dan
menghidupkannya?
Jangan
membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sungguh besar
tanggung jawabnya di dunia dan juga di akhirat.”
Suara
anak kecil lenyap. Cahaya kuning melesat ke langit.
Pada saat
yang hampir bersamaan satu dentuman dahsyat menggelegar. Separuh lereng Bukit
Batu Hangus amblas. Ratusan keping batu sebesar-besar kepala mencelat ke udara
yang berubah gelap pekat. Ketika keadaan kembali terang, Wiro berteriak keras.
“Nek!
Eyang Sinto!”
Batu di
atas mana tadi Sinto Gendeng terkapar tak kelihatan lagi, sudah hancur bertabur
ke udara. Di bekas batu besar itu kini menganga sebuah lobang besar.
Tanah
berwarna merah tidak beda seperti kubangan tapi isinya bukan air atau lumpur
melainkan tanah yang telah berubah menjadi bara panas!
Pendekar
212 menjerit sekali lagi. Melompat dan jatuh berlutut di tepi lobang.
“Eyang,
kau sudah mati atau bagaimana?! Eyang Sinto!”
Tangan
kanan ditutupkan ke wajah, tangan kiri menggaruk kepala.
Suara
Wiro setengah sesenggukan. Ketika ada satu tangan memegang bahunya, perasaan
sedih itu berubah menjadi ledakan amarah. Mulut berteriak. Tangan kanan
dipentang ke atas. Tangan itu mulai dari ujung jari sampai ke siku serta merta
kelihatan berubah seperti perak menyilaukan! Pukulan Sinar Matahari!
********************
8
WIRO
balikkan tubuh.
Tangan
kanan yang sudah dialiri tenaga dalam dan hawa sakti Pukulan Sinar Matahari
siap dihantamkan ke arah orang yang barusan memegang bahunya.
“Wiro!
Ini aku! Kau mau membunuhku?!”
Ratu
Randang berteriak sambil cepat pergunakan ke dua tangan mencekal lengan kanan
Wiro. Namun begitu menyentuh lengan sang pendekar perempuan ini menjerit keras
sambil kibas-kibaskan kedua tangannya. Dia laksana memegang sepotong besi
panas! Kawatir Wiro akan tetap melepas pukulan sakti, dalam menahan sakit Ratu
Randang ganti merangkul pinggang sang pendekar lalu jatuhkan diri ke tanah.
Keduanya bergulingan sebentar di lereng bukit sebelum tertahan oleh satu
gundukan batu besar.
Wiro
berusaha lepaskan diri dari rangkulan Ratu Randang.
“Wiro!
Kau mau melakukan apa?!”
“Kalian
orang-orang Mataram telah membunuh guruku Eyang Sinto Gendeng!”
Sepasang
mata Pendekar 212 membeliak tak berkesip, berkilat kilat laksana dikobari api.
Rahang menggembung. Wiro jadi tambah beringas ketika Sri Maharaja Mataram
mendatangi dan berdiri di sampingnya.
“Wiro,
dengar aku!” Kata Ratu Randang pula sambil menyeka noda darah di sudut bibir
dan dagu Wiro. “Tidak ada yang membunuh gurumu! Gurumu tidak mati!”
“Tidak
mati?! Mayatnya memang tidak ada! Karena pasti sudah hancur lebur jadi bubuk
dihajar sekian banyak pukulan sakti ditambah dua larik cahaya biru yang
berbalik menghantam dirinya sendiri.”
“Tidak
Wiro. Percaya apa yang aku katakan. Gurumu sekarang pasti berada di satu tempat
aman.
Telah
diselamatkan oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, anak keramat pilihan Para
Dewa.” (Mengenai siapa adanya Mimba Purana harap baca serial Satria Lonceng
Dewa, Pendekar Bhumi Mataram karangan Bastian Tito)
Pendekar
212 menyeringai.
“Anak
keramat pilihan Para Dewa? Aneh kedengarannya. Apakah anak itu yang pernah
masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara padaku sewaktu aku tidak mau mengambil
batu putih segi tiga dari tangan Mayat Aneh Keempat … ?” (Baca serial sebelumnya
Roh Jemputan”)
“Aku
mendengar kejadian itu dari Raja Dukun …. “ kata Ratu Randang pula. Diam-diam
dia merasa lega karena amarah Wiro kini tampak mengendur dan cahaya putih perak
yang membungkus tangan kanan sang pendekar perlahan lahan sirna.
“Kalau di
Bhumi Mataram ini memang ada anak keramat yang punya kesaktian hebat, mengapa
aku jauhjauh harus didatangkan ke sini? Suruh saja anak keramat itu menghabisi
semua mahluk jahat terkutuk yang ada di Bhumi Mataram ini! Yang katanya telah
menimbulkan bencana Malam Jahanam! Air banjir merah busuk!
Demam
panas! Benjolan …. apa lagi?!”
Sri
Maharaja Mataram dan Ratu Randang saling pandang mendengar ucapan Wiro.
“Kesatria
Panggilan. Ketahuilah, Satria Lonceng Dewa punya pantangan. Anak keramat itu
tidak boleh membunuh mahluk bernyawa. Binatang ataupun manusia…!”
Wiro
berdiri, memandang Raja Mataram dan Ratu Randang sejenak lalu sambil tertawa
dia berkata.
“Di
negeri ini rupanya ada hukum aneh. Seseorang boleh mencelakai bahkan membunuh
puluhan sampai ratusan rakyat Mataram. Tapi yang namanya anak keramat yang
konon sakti hanya berpangku tangan membiarkan semua itu terjadi dengan berucap
: Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan! Jika
itu hukum yang berlaku di negeri ini sampai kiamat mahluk- mahluk jahat akan
terus menebar malapetaka seenaknya! Tak ada rasa takut. Soalnya pembunuhan
sudah seperti dihalalkan!”
Ratu
Randang sampai pucat wajahnya mendengar kata-kata Wiro. Raja Mataram
cepat-cepat berkata.
“Kesatria
Panggilan. Jangan kau salah menduga.
Tanggung
jawab semua kejadian yang ada di Bhumi Mataram tidak di tangan Satria Lonceng
Dewa yang bernama Mimba Purana itu. Tapi berada di atas pundakku. Aku tidak
malu mengatakan bahwa aku dan semua orang pandai di negeri ini tidak sanggup
menumpas mahluk-mahluk jahat itu. Sesuai petunjuk Para Dewa itu sebabnya kami
mendatangkanmu ke sini guna dimintakan bantuan. Kuharap kau tidak merasa
menyesal atas semua kejadian yang tidak terduga ini.
Kami
minta maaf…”
“Yang
Mulia, saat ini saya lebih mementingkan mencari guru saya lebih dulu! Jika
memang beliau masih hidup bagaimana dan dimana keberadaannya. Kalau sudah
menemui ajal maka kewajiban bagi saya mengubur jenazahnya secara layak. Guru
saya sebagai manusia bisa saja bersifat dan bertindak jahat. Tapi sebagai
seorang murid saya tetap punya kewajiban untuk mengurus jenazahnya. Kalau
memang dia masih hidup…”
Habis
berkata begitu Wiro melompat ke tempat Ni Gatri tergeletak. Dengan mendukung
anak perempuan ini di bahu kirinya dia tinggalkan tempat itu.
Anjing
kecil yang kelahirannya ditolong oleh Raja Mataram menyalak panjang lalu
melompat ke bahu kanan Pendekar 212,
Raja
Mataram terkesiap.
Ratu
Randang berteriak sambil coba mengejar.
“Wirol
Tunggu!”
Namun
sekali berkelebat sang pendekar sudah lenyap di kegelapan lereng timur Bukit
Batu Hangus bersama Ni Gatri dan anjing kecil berbulu hitam anak Sri Padmi
Kameswari!
“Dewa
Agung, bagaimana ini?!” Ratu Randang tampak bingung. Rakai Kayuwangi masih
tertegun di tempatnya berdiri.
Ratu
Randang lalu keluarkan batu putih segi tiga yang diberikan Wiro padanya.
Maksudnya segera hendak diserahkan pada Raja Mataram. Namun Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala berkata.
“Aku
tidak memerlukan batu itu lagi. Simpan saja.
Mungkin
lebih berarti jika kau yang Memiliki…”
Paras
Ratu Randang agak berubah. Dalam hati dia menduga-duga jangan- jangan sang Raja
sudah maklum bagaimana hubungannya dengan Pendekar 212 walau baru mengenal
belum satu harian!
“Aku
yakin pemuda tadi adalah Kesatria Panggilan yang asli. Pendekar Dua Satu Dua
Wiro Sableng yang berasal dari negeri delapan ratus tahun mendatang.
Sekarang
tugasmu adalah mengejar pendekar itu sampai dapat. Jangan berani kembali
sebelum kau berhasil mendapatkannya! Dari sikap dan gerak-gerik kalian berdua
aku bisa menduga kalau kalian saling menyukai satu sama lain…”
Paras
Ratu Randang tampak bersemu merah. Dia tidak ingin Raja Mataram ini bicara
lebih banyak lagi tentang dirinya dan Wiro. Maka buru-buru dia berkata.
“Yang
Mulia, sesuai perintah saya pergi sekarang.”
“Tunggu.
Ada satu hal yang aku ingin tanyakan.
Waktu
meninggalkan Kotaraja sebelum bencana Malam Jahanam terjadi, kau mengatakan
akan pergi menemui Arwah Ketua di Candi Miring. Apakah kau telah menemuinya?”
“Saya
mohon maafmu Yang Mulia. Saya memang belum menemui Arwah Ketua. Saya melakukan
satu hal lain yang menurut hemat saya lebih penting. Maafkan kalau saya
melangkahi Yang Mulia dan bertindak seorang diri. Saya menjalin hubungan dengan
Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Saya
berhasil membuat dia tertarik dan berpura pura berkhianat pada Yang Mulia.
Bersama Raja Dukun Batu Berlumut saya ditugaskan untuk menghadang dan membunuh
Kesatria Panggilan. Kemudian tidak terduga saya menemui Kesatria Panggilan
selagi dikeroyok oleh Seratus Jin Perut Bumi. Kalau tidak salah saya menghitung
dia berhasil membunuh sekitar dua puluh Jin Perut Bumi. Saat saya datang
Kesatria Panggilan telah dililit Jin Ketua dengan lidah panjangnya…”
“Ketika
aku tersentuh lidah itu, tubuhku seperti terpanggang. Cairan yang di lidah
mengandung racun.
Nyawaku
hampir melayang kalau tidak ditolong oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana.
Kesatria Panggilan sendiri tidak mengalami cidera? Tidak keracunan?”
“Tidak
Yang Mulia. Saya rasa dia memiliki darah kebal racun atau ada ilmu kesaktian
yang membendung hawa panas serta racun lidah…”
“Senjata
mustika sakti yang konon ada di dalam tubuhnya. Aku rasa senjata itu yang
menyelamatkan dirinya.” Kata Raja Mataram pula, Raru Randang lanjutkan
ceritanya.
“Saya
memerintahkan Jin Ketua untuk tidak membunuh Kesatria Panggilan. Jin Ketua
menurut dan tampak takut. Mungkin karena mengetahui kalau saya adalah kekasih
Sinuhun Merah. Hik…hik … hik! Saya sendiri kemudian berhasil menghabisi Raja
Dukun Batu Berlumut.”
“Aku akan
menceritakan pada para tokoh yang ada di sini kalau Raja Dukun Batu Berlumut
telah terbunuh.
Mudah-mudahan
kematiannya akan mengurangi kekuatan sirap ilmu hitamnya. Sekarang pergilah.
Waktu kita semakin sempit. Tak lama lagi fajar akan menyingsing.”
Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala melangkah mendekati Ratu Randang. Dia memperhatikan
sejenak noda darah di lari-jari perempuan ini. Yaitu darah Pendekar 212 Wiro
Sableng yang menempel di tangannya ketika dia menyeka darah itu dari wajah
Wiro.
“Ratu,
tidak sulit bagimu untuk mencari dan mengejar Kesatria Panggilan. Darahnya
masih melekat di tanganmu. Lebih mudah bagimu menjajagi kemana dia pergi.
Bukankah kau memiliki ilmu pencari jejak bernama Kaki Mengejar tangan Mencekal”
“Saya
tidak akan mempergunakan ilmu itu Yang Mulia.” Menyahuti RatuRandang.
Raja
Mataram kerenyitkan kening, tampak heran.
“Lalu?
Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Rakai Kayuwangi pula.
“Saya
akan pergunakan ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman.” Jawab Ratu Randang.
“Astaga!
Bukankah itu ilmu kesaktian yang dimiliki mahluk Sinuhun Merah Penghisap
Arwah?” Raja bertanya heran dari tidak percaya.
Ratu
Randang tersenyum.
“Saya
berhasil menyiasati Sinuhun goblok itu. Dia memberikan ilmu itu pada saya.”
Raja
pegang keningnya, Dia ingat sesuatu.
“Kalau
begitu, sewaktu masih di Istana kau memperlihatkan tanda dun telapak tangan
berjari empat di dadamu. Berarti …”
“Itu
pertanda dari Sinuhun Merah bahwa dia sangat menantikan kedatanganku”
“Ratu,
kau benar-benar luar biasa. Tapi kalau Sinuhun memberikan ilmu kesaktiannya
padamu lalu kau memberikan apa padanya?”
“Bangkai
anjing! Hik … hik … hik!” Jawab Ratu Randang lalu tertawa panjang cekikikan.
Perempuan ini dekatkan tanganya yang bernoda darah Pendekar 212 ke hidung lalu
pejamkan mata dan mencium dalam-dalam.
Sekali
berkelebat sosok Ratu Randang lenyap kearah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Raja
Mataram menarik nafas Panjang. Dia menatap ke arah rembulan setengah lingkaran
di langit malam yang semakin mendekati ujungnya. Perlahan-lahan mulutnya
berucap.
“Ananda
Kesatria Lonceng Dewa, saya merasa sangat perlu bertemu dengan Ananda. Rencana
yang tengah dijalankan mendadak menyimpang dari yang diharapkan. Saya
benar-benar kawatir ……”
Baru saja
Raja Mataram selesai berucap tiba-tiba ada suara mengiang di kedua telinganya.
Suara anak kecil laki-laki.
“Yang
Mulia Raja Mataram. Jangan ada kekawatiran dalam diri Yang Mulia. Berdoalah
bersama semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus. Yang Maha Kuasa pasti akan
menolong kita semua.”
“Terima
kasih Ananda. Ada satu hal yang terasa mengganjal di hati saya,..”
“Hal
apakah itu Yang Mulia?” Tanya suara mengiang.
“Apakah …
apakah Ananda mendengar semua ucapan Kesatria Panggilan yang tadi berada di
bukit ini?”
“Saya
mendengar semua Yang Mulia.”
“Saya mohon
maafmu. Mungkin pemuda itu bicara terlalu lancang mengenai diri Ananda. Saya
harap Ananda tidak marah.”
Suara
mengiang terdengar tertawa.
“Kemarahan
jauh dari dalam diri saya wahai Yang Mulia. Mudah-mudahan begitu seterusnya.
Justru saya suka pada pemuda itu. Dia bicara polos pertanda hatinya putih. Dia
bicara apa adanya, tidak ada yang dikarang tidak ada pula yang disembunyikan.
Kita tidak salah memilihnya untuk datang ke Bhumi Mataram. Saya akan menemui
Kesatria Panggilan melalui seseorang. Kalau kelak nanti Yang Mulia bertemu lagi
dengan Kesatria Panggilan, Yang Mulia tidak perlu meminta pertolongan Kakek
Kumara Gandamayana sebagai perantara untuk masuk ke dalam tubuh anak perempuan
bernama Ni Gatri.”
“Ananda
Mimba Purana, saya merasa sangat lega mendengar semua kata-kata Ananda.”
“Yang
Maha Kuasa menciptakan langit, daratan dan lautan begitu luas. Penuh kelegaan.
Mengapa kita umat manusia yang diciptakannya tidak bisa berhati lega?”
“Terima
kasih Ananda. Terima kasih… Mengenai Kakek Kumara Gandamayana, apakah Ananda
mengetahui dimana keberadaannya?”
“Orang
yang ditanyakan telah berada di samping Yang Mulia”, Jawab suara mengiang.
Ada suara
terpaan angin. Raja Mataram berpaling ke kiri. Betul seperti yang dikatakan
suara mengiang. Saat itu di samping Rakai Kayuwangi telah berdiri kakek
bersorban dan berjubah kelabu Kumara Gandamayana.
Orang tua
ini tersenyum sedikit lalu membungkuk.
“Maafkan
kalau saya datang terlambat wahai Yang Mulia. Satria Lonceng Dewa meminta saya
mengantarkan gadis dari alam delapan ratus tahun itu ke satu tempat.” Raja
terkejut.
“Maksud
Kakek gadis bernama Sinto Weni itu?”
“Betul
sekali Yang Mulia.”
“Berarti
waktu tadi cahaya kuning turun dari langit, Kakek menyertai Satria Lonceng
Dewa?”
Kumara
Gandamayana mengangguk.
“Kalau
begitu sekarang berada dimana gadis itu?” Tanya Raja Mataram pula.
“Mohon
maafmu Yang Mulia. Satria Lonceng Dewa berpesan untuk sementara jangan memberi
tahu kepada siapapun.”
Rakai
Kayuwangi terdiam. Meski hatinya kurang enak mendengar ucapan Kumara
Gandamayana namun dengan tersenyum dia berkata.
“Saya
Raja Mataram, apa Kakek tidak menaruh rasa percaya, pada, diriku? Kita
menghadapi malapetaka ini secara bersama, Mengapa ada sesuatu yang
disembunyikan … ?”
Si kakek
membungkuk dalam-dalam.
“Mohon
maaf Yang Mulia beribu maaf. Saya hanya melakukan apa yang dipesankan Satria
Lonceng Dewa.
Tapi
terhadap Sri Maharaja mana saya berani menolak permintaan. Gadis cantik bernama
Sinto Weni, guru Kesatria panggilan itu berada di…” Lalu Kumara Gandamayana
menyebutkan nama satu tempat.
Raja
Mataram anggukkan kepala. “Kakek Kumara, mari kita temui para sahabat di atas
bukit sana.”
Ketika
hendak melangkah pergi Raja Mataram mencium sesuatu. Dia bertanya pada kakek di
sebelahnya.
“Kakek
Kumara, apa kau barusan mencium bau harum …. ?”
Kumara
Gandamayana dongakkan kepala, hirup udara malam dalam-dalam lalu gelengkan
kepala.
“Saya
tidak mencium bau apa-apa, Yang Mulia.” Raja Mataram memandang berkeliling.
Memperhatikan
terutama bagian-bagian lereng bukit yang gelap. Kedua orang itu kemudian
melanjutkan melangkah mendaki lereng bukit.
Di balik
satu batu besar tak jauh dari tempat dimana Raja dan pembantunya tadi
bercakap-cakap, seseorang yang sejak tadi mendekam bersembunyi sunggingkan
senyum. Mulut berucap perlahan.
“Mahluk
dun nyawa kembar Sinuhun Muda Sinuhun Merah. Aku tahu dimana nenek perot yang
kalian lihat sebagai gadis cantik itu berada. Jika kalian mau bersahabat dan
menurut apa mauku, aku akan beritahu tempatnya. Tapi kalau tidak silahkan cari
sendiri. Dan sampai kiamat kalian tidak bakal menemukan!” Lalu dengan gerakan
cepat tanpa suara orang ini segera berkelebat pergi.
********************
9
SETELAH
cukup lama berlari Wiro menyadari kalau dia lari tanpa tujuan mau pergi kemana.
Sang
pendekar hentikan langkah.
Anjing
kecil di bahu kanan menyalak perlahan. Sosok Ni Gatri di bahu kiri terasa
hangat tapi diam tak bergerak.
Memandang
berkeliling Wiro dapatkan dirinya berada dalam satu rimba belantara kecil yang
cukup rapat pepohonannya. Hampir semua kulit pohon di sekitar situ tampak berwarna
hijau, diselimuti lumut. Di sebelah kanan, tanah hutan kelihatan mendaki
membentuk bukit dan dipenuhi batu-batu besar yang juga berwarna hijau karena
tertutup lumut.
“Agaknya
hutan ini jarang dimasuki orang. Perasaanku tidak enak. Janganjangan aku sudah
kesasar. Aku harus segera keluar dari sini.”
Agar
tidak tersesat Wiro balik ke arah jalan yang ditempuh sebelumnya. Namun sampai
tiga kali dicoba kembali lagi ke tempat semula, di bawah bukit kecil yang
banyak batunya.
“Celaka,
aku benar-benar tersesat. Hutan aneh….”
Tiba-tiba
anak anjing di bahu kanan Wiro menyalak keras berulang kali. Wiro Usap punggung
binatang ini.
Tapi
anjing berbulu hitam masih terus menyalak.
“Sobat
kecil. Kau mau-mauan ikut bersamaku. Ada apa, kau melihat sesuatu saat ini?”
Anjing
kecil menggereng halus, jilat bahu pakaian Wiro lalu melompat turun ke tanah.
Saat itulah Wiro melihat kalau sebagian dari tanah digenangi cairan merah.
“Malapetaka
Malam Jahanam rupanya sampai juga ke sini. Tapi tidak seperti di tempat lain,
cairan merah di sini tidak menebar bau busuk.”
Anjing
kecil menyalak sekali lagi lalu lari ke arah bukit berbatu-batu.
“Hai! Kau
mau kemana! Kalau kau tersesat aku tidak akan mencarimu!”
Seperti
tahu kalau orang bicara padanya, anak anjing berhenti berlari. Dia memandang
pada Wiro, menyalak sebentar lalu lari lag1 ke atas bukit.
“Mungkin
binatang itu tahu jalan keluar dari hutan ini.
Baiknya
aku ikuti saja.” Kata Wiro dalam hati.
Ketika
Wiro mencapai pertengahan bukit tiba-tiba telinganya menangkap suara perempuan
menangis, tidak terlalu keras tapi cukup jelas dan berhiba-hiba. Wiro hentikan
langkah. Perasaan yang sejak tadi tidak enak kini berkembang menjadi perasaan bargidik!.
“Perempuan
menangis di dalam rimba belantara. Di malam buta menjelang pagi. Jangan-jangan
hutan ini dihuni demit perempuan.” Berpikir sampai di situ Wiro memutuskan
untuk kembali turun ke kaki bukit. Namun anak anjing malah terus lari ke atas
bukit yang bebatuannya semakin banyak dan tambah besar-besar.
Wiro
keluarkan suara bersiul. Anjing hitam berhenti, menoleh sebentar, menatap ke
arah sang pendekar. Wiro cepat lambaikan tangan memberi tanda agar binatang itu
turun dari pertengahan bukit. Namun anjing hitam malah membalikkan badan dan
kembali lari ke atas bukit.
“Anjing
kecil! Kalau kau mau naik ke atas bukit silahkan saja. Aku memilih turun
kembali! Aku harus mencari pertolongan untuk anak perempuan ini!” Wiro berkata
lalu balikkan badan, siap menuruni bukit ke arah tadi dia datang. Mendadak di
atas bukit, di antara suara tangisan perempuan kini terdengar suara ratapan
sedih.
“Wahai
insan kepada siapa aku berharap. Langkah lurusmu telah benar. Mengapa mendadak
berbalik arah?
Dua Puluh
satu hari tersiksa di atas bukit dalam hutan larangan. Ketika sebutir harapan
dan setetes budi muncul berharap akan datangnya cahaya pertolongan, mengapa
harapan kau pupus begitu saja? Padahal setiap budi ada balasannya. Setiap
kebajikan ada pahalanya. Aku telah berkaul siapa saja yang menolong diriku.
Jika dia seorang perempuan ….”
Anak
anjing hitam tiba-tiba menyalak panjang. Begitu kerasnya hingga Wiro tidak
mendengar kelanjutan suara perempuan yang meratap di antara tangisnya. Lalu
suara itu kembali berulang. Wahai insan kepada siapa aku berharap …”
Wiro usap
punggung dan membelai rambut Ni Gatri.
Dia
memandang ke atas bukit. Ke arah batu-batu besar berlapis lumut hijau. Anjing
kecil hitam tak kelihatan lagi.
“Hutan
larangan …. Perempuan yang menangis menyebut hutan ini hutan larangan.
Jangan-jangan dia demit atau jin perempuan yang hendak menjebakku. Atau bisa
saja kaki tangan atau ujud samaran mahluk celaka bernama Sinuhun Muda atau
Sinuhun Merah Penghisap Arwah!”
Wiro
merenung berpikir pikir sejenak. Lalu berbisik ke telinga Ni Gatri karena dia
tahu walau dalam keadaan kaku tak mampu bergerak anak itu masih tetap bisa
mendengar.
“Ni
Gatri, kita tidak akan lama. Kita sudah kepalang tersesat. Ada baiknya kita
naik ke atas bukit sebentar.
Melihat
siapa perempuan yang barusan bicara. Yang jelas dari suaranya dia bukan guruku
Eyang Sinto Gendeng yang menurut penglihatan orang di sini telah berubah
menjadi seorang gadis cantik berdandan celemongan!”
Setelah
berucap, Wiro tepuk-tepuk punggung Ni Gatri lalu lari ke atas bukit. Dia
sengaja kerahkan ilmu lari serta terapkan ilmu meringankan tubuh. Laksana
terbang dia melompat dari satu batu ke batu lainnya yang licin berlumut. Tak
selang berapa lama Wiro telah berada di atas bukit, berdiri di atas satu batu
besar yang paling tinggi dari batu-batu lain di sekitarnya.
Cahaya
rembulan setengah lingkaran lumayan terang, Ketika dia memandang ke bawah Wiro
melihat sepetak tanah rata. Di tengah tanah rata anjing kecil hitam tampak
menggeser-geserkan tubuh pada sebuah batu besar sambil terus-terusan menyalak.
Wiro
melompat turun. Begitu dua kaki menginjak tanah dan dia berdiri di sisi lain
dari batu besar, kejut murid Sinto Gendeng bukan alang kepalang! Di samping
batu, tergeletak sosok seorang gadis yang rambut panjang hitamnya tergerai
lepas menutupi tanah.
Sepasang
mata tertutup. Dua tangan terkembang ke samping tiada daya. Walau wajah pucat
namun kecantikan yang dimilikinya jelas kentara dibawah temaram cahaya
rembulan. Di pelipis dan pipi yang kotor terlihat alur air mata. Bibir tampak
hijau. Yang membuat Wiro terkesiap adalah ketika menyaksikan bagaimana tubuh
gadis itu mulai dari pinggang ke bawah tenggelam dan terhimpit di bawah sebuah
batu sangat besar dan berlumut tebal!
Mengetahui
ada seseorang berdiri di dekatnya, gadis yang tergeletak di tanah dan ternyata
dalam keadaan siuman keluarkan ucapan.
“Terima
kasih Yang Maha Kuasa. Terima kasih Dewa Bathara Agung. Setelah dua puluh satu
hari tersiksa begini rupa, akhirnya Kau mengirimkan seorang insan ke tempat
ini. Tempat yang tidak pernah didatangi dan dijamah manusia. Wahai insan yang
datang. Aku juga sangat berterima kasih padamu. Juga pada anjing yang menuntun
jalan dan datang bersamamu. Di atas semua kesengsaraan ini aku mohon, tolong
singkirkan batu besar yang menghimpit tubuhku dari pinggang ke bawah.
Semoga
Yang Maha Kuasa memberi kekuatan dan kemampuan serta berkat atas dirimu…”
Walau tak
habis pikir bagaimana bisa ada kejadian yang seperti ini namun Wiro cepat
turunkan tubuh Ni Gatri dari bahu dan dibaringkan di atas sebuah batu.
Meskipun
kedua niatanya terpejam namun gadis yang terjepit di bawah batu seperti
mengetahui lalu berkata.
“Wahai
insan, kau membawa satu beban dalam perjalanan. Agaknya ada satu perkara besar
yang tengah kau hadapi. Sungguh budimu luhur sekali, masih mau memberi
perhatian pada nasib diriku.”
Wire
berdiri di depan batu besar, menggaruk kepala berulang kali, mengelilingi batu
satu kali lalu kembali berdiri meneliti. Batu dipukul-pukul. Perkiraannya
paling tidak batu besar berlumut itu memiliki bobot seribu kati.
Dia
berpikir-pikir bagaimana cara menyingkirkan batu besar itu tanpa orang yang
terjepit dibawahnya tambah mengalami cidera.
“Kalau
aku dorong kawatir batu bergerak lamban.
Tubuh
gadis yang terhimpit akan tambah hancur.
Kasihan,
agaknya dia akan cacat seumur hidup.”
Wiro
perhatikan bagian bawah batu besar. Berpikir lagi. “Kalau dihantam dengan
pukulan sakti, salah-salah gadis dibawah batu tubuhnya akan ikut
tercabik-cabik.”
Wiro
garuk-garuk kepala lagi. Dia membungkuk, berusaha melihat bagian bawah batu.
Dia tak dapat melihat tubuh sebelah bawah si gadis yang terhimpit karena sudah
amblas masuk ke dalam tanah!
********************
10
Pendekar
212 Wiro Sableng berpaling pada gadis yang terhimpit di bawah batu.
Sebenarnya
dia merasa heran bagaimana hal ini bisa terjadi.
Namun dia
menolong lebih cepat adalah lebih baik dari pada bertanya membuang waktu. Wiro
lantas berkata.
“Gadis
malang, bertahanlah. Aku akan coba menolongmu melepas dari himpitan batu besar.
Tapi jika aku tidak berhasil, mohon aku dimaafkan…”
Tanpa
membuka sepasang matanya, gadis di bawah batu menjawab “Aku akan berdoa pada
Yang maha Kuasa, untuk keselamatan diriku dan keberhasilan pertolonganmu.
Lakukanlah apa yang kau bisa lakukan. Sesungguhnya aku sudah membuat kau…”
Tanpa
perhatian yang diucapkan orang Wiro mengangkat tangan memberi tanda agar si
gadis di bawah batu berhenti bicara. Lalu dia mundur sampai sejarak tiga
langkah dari batu besar. Dua kaki menjejak tanah di samping kanan kepala si
gadis. Perlahan-lahan Wiro membuat gerakan setengah berlutut. Kaki kiri di
sebelah depan lutut ke atas. Lutut kanan menempel ke tanah. Lalu mulut berucap.
“Gusti
Allah, mohon saya diberi kemampuan untuk menolong, Eyang Sinto dimanapun kau
berada, bagaimanapun keadaanmu saat ini saya mohon keikhlasanmu. Juga Kakek Tua
Gila, saya sangat mengharap bantuanmu. Tanpa pertolonganmu ya Gusti Allah dan
dua guru yang saya hormati, sesungguhnya saya tidak punya daya untuk
menyelamatkan gadis ini.”
Sambil
mengerahkan tenaga dalam penuh dan alirkan hawa sakti perlahan-lahan Wiro
angkat tangan kiri. Hanya dalam bilangan sekejapan mata saja tangan kiri itu
tampak bergetar dan mulai mengeluarkan hembusan angin, kedengarannya perlahan
saja namun bersiur terusmenerus.
Batu
besar di depan sana tampak bergoyang dan terangkat sampaisetengah jengkal dari
tubuh gadis yang terhimpit. Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Itulah
ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Pendekar 212 yang didapat dari Eyang
Sinto Gendeng.
Seandainya
Wiro pukulkan tangan kiri ke depan dalam gerakan cepat maka batu besar yang
beratnya sekitar seribu kati itu akan terpental. Namun Wiro tidak melakukan hal
itu karena dalam kehati-hatiannya dia akan mengandalkan ilmu pukulan kesaktian
lain yaitu Dewa Topan Menggusur Gunung yang dipelajari dari Tua Gila, kakek
sakti dart pulau Andalas yang semasa muda dikenal dengan nama Sukat Tandika dan
merupakan salah seorang kekasih Sinto Gendeng. (Mengenai riwayat lengkap Tua
Gila baca serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”, “Asmara Darah
Tua Gila” sampai “Gerhana Di Gajah Mungkur” terdiri dari 11 Episode)
Begitu
melihat batu besar bergetar dan terangkat ke atas Wiro berteriak.
“Tahan!”
Telapak
tangan kanan dikembang, lalu secepat kilat dipukulkan kebagian bawah batu
besar.
“Dess!”
Batu
seberat seribu kati itu mencelat mental ke udara sejauh belasan tombak. Di satu
tempat jauh di udara batu meledak dengan mengeluarkan suara berdentum keras.
“Terima
kasih Gusti Allah, terima kasih Eyang Sinto.
Terima
kasih Kakek Tua Gila!” Wiro mengucap lalu berseru gembira. Sosok gadis yang
ditolong tidak tersentuh angin pukulan atau batu. Tidak mengalami cidera
sedikitpun. Untuk mengeluarkan bagian bawah tubuh yang berada di dalam tanah
murid Sinto Gendeng cepat menarik bahu si gadis. Dentuman pecahnya batu besar
di udara tadi telah membuat sepasang matanya yang sejak lama terpejam kini
terpentang membuka.
Begitu
bagian bawah tubuh si gadis terangkat keluar dari dalam tanah murid Sinto
Gendeng tersentak dan berseru kaget. Mata terbelalak, mulut ternganga. Di bawah
pakaian yang tersingkap Wiro melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya!
Bagian
bawah tubuh gadis itu tidak cidera sedikitpun.
Tapi! Ini
yang membuat murid Sinto Gendeng sampai keluarkan seruan. Dua paha putih gadis
yang barusan ditolongnya saling berdempet rapat satu sama lain, tidak ada celah
sedikitpun. Lalu di bawah dua paha yang dempet menyatu itu terlihat hanya satu
tempurung lutut.
Selanjutnya
di bawah lutut hanya ada satu betis, satu pergelangan kaki dan sebuah kaki
lengkap dengan telapak dan lime jari. Namun jari ini sama panjang dan rata
hingga tidak jelas apakah itu kaki kanan atau kaki kiri!
“Oaia !
Yang aku tolong ini manusia atau mahluk
jejadian
?” Pikir Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu dia bertanya.
“Sahabat
malang, apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kakimu seperti ini?”
Gadis
yang ditanya bungkukkan tubuh, lipat kakinya yang hanya satu lalu berlutut di
tanah. Rambut yang panjang hitam disentak ke belakang hingga tergerai di
punggung. Wajahnya yang tadi pucat kini tampak berdarah dan kecantikannya
kelihatan lebih jelas.
Sepuluh
jari disusun di atas kepala lalu dia berkata.
“Kakak
berambut panjang, aku sangat berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan
diriku dari azab sengsara himpitan batu. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah
selebar bumi, seluas langit dan seluas lautan padamu.”
“Aku
tidak mengharapkan semua ucapan itu, tapi aku berterima kasih atas kata
katamu.” Menjawab Wiro.
“Kalau
aku boleh tahu bagaimana kejadiannya sampai dirimu dihimpit batu besar. Tubuhmu
sedikitpun tidak cidera. Tapi kenapa kakimu seperti itu. Bagaimana kau
berjalan? Ape keadaanmu seperti ini akibat himpitan batu atau sejak kau
dilahirkan?”
“Aku
senang kau bertanya dan aku gembira kau memperhatikan keadaan diriku. Aku telah
menjadi korban kutukan ilmu jahat seseorang. Belum puas dengan merubah ujud
kedua kakiku, dua puluh satu hari yang lalu, dalam keadaan kaki seperti ini aku
dibawa ke tempat ini, lalu tubuhku dihimpit dengan batu besar. Aku tidak ada
daya untuk menyelamatkan diri, tidak pernah ada orang yang lewat di sekitar
sini. Sampai kau datang.
Kalau
bulan di langit sempat mencapai bulat penuh, dan aku masih terhimpit batu besar
itu, nyawaku tidak akan tertolong lagi karena konon itu akan berubah menjadi
bola api raksasa yang akan membuat lumat leleh seluruh tubuhku.”
“Selama
dua puluh satu hari bagaimana kau bisa bertahan hidup tidak makan tidak minum
?” Tanya Wiro pula. “Para Dewa masih menolongku. Untung tanganku cukup panjang
hingga aku bisa menggapai batu dan mencungkil lumut. Lumut hijau itu mengandung
banyak air. Itu makanan dan minumanku selama dua puluh satu hari ….”
“Gusti
Allah maha kuasa…” Ucap Wiro.
“Gusti
Allah? Siapa itu Gusti Allah? Raja mana dia ?” tanya si gadis.
Wiro jadi
tersenyum.
Perlahan
lahan gadis berkaki tunggal berdiri.
Wiro
hendak bertanya lagi. Saat itu si gadis telah memalingkan kepala ke arah batu
dimana Ni Gatri terbaring dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak dapat
bersuara.
“Gadis di
alas batu itu, apamukah?”
“Dia
sahabatku…”
Si gadis
menatap Wiro cukup lama.
“Logat
bicaramu. Kau bukan penduduk di negeri ini.
Kau bukan
orang Bhumi Mataram.”
“Kau
betul. Aku datang dari negeri jauh.”
“Dari
negeri mana ? Kerajaan mana Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab kalau dirinya
datang dari alam delapan ratus tahun mendatang.
“Alam
delapan ratus tahun mendatang? Sulit aku membayangkan.” Si gadis lalu kembali
memandang ke arah Ni Gatri. “Sahabatmu itu, ada sesuatu yang tidak beres dengan
dirinya. Die menanggung kesengsaraan yang membuat dia tidak mampu bergerak,
tidak sanggup bicara.”
“Bagaimana
kau tahu ?” tanya Wiro heran.
Yang
ditanya tidak menjawab. Melainkan membuat satu gerakan aneh. Kaki tunggalnya
yang menginjak tanah menekuk sedikit lalu saat itu juga tubuhnya laksana bola
membal ke udara dan di lain kejap dia sudah berada di dekat batu besar dimana
Ni Gatri tergeletak. Wiro cepat-cepat mendatangi!. Ketika dia sampai di samping
si gadis berkaki tunggal gadis ini tengah memperhatikan sosok Ni Gatri tanpa
berkedip sementara sepuluh jari tangan saling diusap dirangkum-rangkum satu
sama lain.
“Mudah-mudahan
aku tidak keliru. Anak perempuan sahabatmu ini mengalami dua kali serangan
jarak jauh yang hebat. Serangan pertama datang melalui alur tanah, membuat
tubuhnya kaku tak bisa bicara tak mampu bergerak. Serangan kedua berupa sinar
hijau yang datang dari langit, membuat tubuh anak ini seolah berubah menjadi
batu! Serangan pertama telah musnah oleh munculnya satu kekuatan hebat. Namun
serangan kedua masih menguasai gadis ini. Lihat saja tubuhnya berwarna
kehijauan seperti batu berlumut…”
Wiro
terkejut karena dia tahu kalau memang itulah yang dialami Ni Gatri.
“Sahabat,
kau tidak melihat kejadiannya. Bagaimana kau bisa mengetahui?” Atas pertanyaan
itu gadis berkaki tunggal hanya mengangkat bahu.
Wiro jadi
penasaran. Dia bertanya lagi.
“Kau tabu
siapa yang melakukan dua perbuatan jahat itu?”
“Aku
tidak mungkin menyebut nama. Namun aku tahu, serangan pertama dilakukan oleh
seorang yang berasal dari negeri ini. Serangan kedua dilakukan oleh orang lain,
berasal dari negeri jauh. Mungkin sama dengan negeri dari mana kau berasal.
Katamu negeri delapan ratus tahun mendatang!”
Pendekar
212 luar biasa kaget. Dalam hati dia membatin. “Aku yakin serangan pertama
dilakukan oleh mahluk bernama Sinuhun Muda itu. Tapi kalau serangan kedua …. ?
Siapa pelakunya? Di Mataram hanya ada tiga orang yang datang dari negeri
delapan ratus tahun mendatang. Aku, Ni Gatri yang jadi korban dan Wiro merasa
tangkuknya dingin. “Apa mungkin Eyang Sinto yang melakukan? Aku tidak percaya.
Tapi lalu siapa lagi ? Atau mungkin mahluk alam roh delapan ratus tahun
mendatang yang disebut Kesatria Jemputan itu…”
“Sahabat,
bagaimanapun aku harus membalas budi besarmu telah menyelamatkan diriku dari
himpitan batu… “
“Dalam
menolong aku tidak pernah minta balasan,”
jawab
Wiro pula. “Semua langkah dan tindakan manusia sudah ditentukan oleh Gusti
Allah.”
“Kau
lagi-lagi menyebut nama Gusti Allah. Satu ketika aku ingin kau menjelaskan
siapa yang disebut Gusti Allah itu.”
Wiro
hanya angguk-anggukan kepala.
Dari
belakang kepalanya yang tertutup rambut hitam panjang, gadis berkaki tunggal
mengeluarkan sebuah benda lalu diserahkan pada Wiro. Ketika Wiro menerima dan
memperhatikan ternyata benda itu adalah sekuntum Bunga Matahari yang masih
sangat segar.
Sebelum
Wiro sempat bertanya untuk apa bunga itu, si gadis di hadapannya telah lebih
dulu berkata.
“Pergilah
ke Prambanan. Bawa anak perempuan sahabatmu itu. Masuk ke dalam Candi Siwa. Di
dalam candi ada sebuah ruangan dimana terdapat patung Loro Jonggrang. Berikan
Bunga Matahari itu padanya. Niscaya kau dan anak perempuan itu akan mendapat
berkahnya…”
“Terima
kasih. Ini kembang bagus. Tapi bagaimana mungkin aku memberikannya pada sebuah
patung?
Tangan
patung tak mungkin akan mengambilnya seperti manusia hidup. Atau bunga ini aku
letakkan di atas batu di kaki patung ?”
Si gadis
tersenyum. Dengan suara sabar dia berkata.
“Pergilah
ke candi itu. Kau akan melihat kekuasaan Para Dewa yang mengasihi orang-orang
yang teraniaya.”
Wiro
terdiam. Si gadis menatap ke langit. Dia seperti melihat sesuatu di atas sana.
Lalu dia berkata pada Wiro.
“Sahabat,
aku harus meninggalkanmu sekarang….”
Sambil
berkata gadis itu menggerak-gerakkan dua tangannya membuat tanda atau isyarat.
Wiro kaget.
“Astaga !
Kau mempergunakan bahasa tangan, bahasa orang bisu!”
Si gadis terus
saja menatap langit dan menggerakgerakkan jari-jari tangan. Begitu gerakan
dihentikan, dia berpaling pada Wiro dan berkata.
“Sahabat,
kau bicara dengan siapa?”
Si gadis
berpaling, menatap Wiro sebentar tapi tidak menjawab. Dua tangan dan sepuluh
jari kembali digerakgerakkan.
“Gadis
ini. Dia tengah bicara dengan seseorang lewat tanda gerakan tangan,” pikir
Pendekar 212. Make Wiro lantas bertanya.
“Kau …
Apa hubunganmu dengan dua kakek nenek yang dipanggil dengan sebutan Sepasang
Arwah Bisu!”
Gadis
berkaki tunggal bukannya menjawab pertanyaan Wiro malah berkata.
“Tadi aku
hendak mengatakan sesuatu, tapi selalu terpotong. Ketahuilah, ketika diriku
terhimpit di bawah batu besar, dalam doaku kepada Yang Maha Kuasa, aku telah
mengucapkan kaul. Jika ada seseorang yang menolong melepaskan diriku dari
himpitan batu, jika dia perempuan akan aku angkat sebagai saudara kandung.
Kalau dia
seorang lelaki maka kepadanya aku akan mengambilnya sebagai suami, menyerahkan
diri dan berbakti sebagai Istri!”
Kejut
Pendekar 212 bukan alang kepalang.
“Apa?!”
Katanya tergagau.
“Kalau
aku pergi sekarang berarti aku akan datang lagi mencarimu. Kalau kita berpisah
sekarang berarti akan ada saat kita saling bertemu kembali dan bersatu untuk
selama-lamanya. Yang Maha Kuasa telah menjawab doaku. Bukankah itu satu
kenyataan, satu berkah rahmat yang agung?”
Lalu
gadis itu pegang tangan Wiro yang memegang Bunga matahari. Dengan sangat khusuk
dan penuh perasaan dia mencium belakang tangan sang pendekar.
Wiro tak
kuasa menarik tangan itu agar tidak sampai dicium. Namun entah mengapa dia tidak
mampu. Malah dari tiupan hembusan nafas si gadis dia merasa ada hawa sejuk
nyaman masuk ke dalam tangan dan menjalar keseluruh tubuhnya.
“Aku
pergi…” ucap si gadis setengah berbisik disertai senyuman. Lalu sekali
membalikkan badan, tubuhnya membal ke udara.
“Tunggu!
Ini tidak mungkin! Kau belum memberi tahu siapa namamu!” Wiro berseru.
Dalam
kegelapan terdengar gema suara jawaban.
“Kalau
Yang Kuasa memberikan jalan bagi segala kemungkinan, mengapa kita sepasang
insan bisa masih menaruh kebimbangan? Sahabat, kalau kita bertemu lagi, saat
itulah kita akan saling memberi tahu nama. Memang kurang pantas rasanya kalau
sepasang calon suami istri tidak tahu nama satu sama lainnya.”
Wiro
geleng-geleng kepala dan tegak tersandar ke pinggiran batu dimana Ni Gatri terbujur.
Kepala digaruk pulang balik. Tiba-tiba anjing hitam kecil yang sejak tadi entah
berada dimana tahu-tahun muncul, menyalak pendek dan melompat ke atas bahu.
Beberapa lama binatang ini menjilati kedua kaki anak perempuan itu lalu
melompat ke bahu kanan Wiro.
Selagi
Wiro mengingat-ingat peristiwa yang baru saja dialaminya mendadak dari arah
kiri ada suara perempuan berkata.
“Malam
penuh berkah. Seorang sahabat telah mendapatkan calon Istri. Wahai, apakah aku
masih boleh memberikan empat ratus sembilan puluh enam ciuman yang masih
bersisa? Tidakkah sang calon istri akan menaruh rasa cemburu? Tidakkah diriku
akan merasa bersalah?”
Walau
tahu siapa yang bicara namun tetap saja Wiro melengak kaget.
********************
11
RATU
RANDANG berdiri tersenyum di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sepasang mata
yang juling bagus dikedipkan.
“Ratu,
apakah kau sudah lama berada tempat ini?” Bertanya Wiro.
“Cukup
lama. Aku mendengar semua dengan gadis barkaki satu itu. Sebenarnya aku tidak
ingin menguping pembicaraan orang. Namun begitu sampai disini, sepasang kakiku
seolah tidak mau beranjak dari balik pohon sana. Maafkan diriku kalau telah
berbuat lancang.”
“Tidak
apa-apa. Malah aku senang kau mendengar semua pembicaraan.”
“Aku juga
senang mengetahui kau secara tak terduga menemukan seorang calon istri”.
“Ratu,
maksudku bukan begitu. Aku ke negeri ini bukan untuk mencari istri.”
“Tapi
bukankah soal langkah dan jodoh itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Oleh
Gusti Allahmu?
Kurasa
tak ada pemuda yang menolak mendapat istri seorang gadis cantik.”
Wiro
garuk kepala.
“Kau
menolak menjadi suami gadis itu karena cacat di tubuhnya?”
Wiro
menggeleng. “Orang cacat dan tidak cacat bagiku sama saja. Tapi perkawinan
tidak bisa terjadi hanya karena seseorang telah mengucapkan kaul.”
“Lalu
mengapa kau tidak terang-terangan mengatakan pada gadis berkaki tunggal itu
kalau kau tidak mau menjadi suaminya? Sekarang sudah kepalang dia menganggap
dirimu sebagai calon suami.”
“Kuharap
saja dia nanti mengerti kalau mengambil suami tidak semudah itu. Kalau aku datang
bersama sembilan teman lelaki menolongnya dari himpitan batu, lantas apakah dia
harus kawin dengan sepuluh suami sekaligus ?!” Wiro tertawa gelak-gelak.
Berhenti tertawa Wiro menatap wajah Ratu Randang. “Atau jangan-jangan kau
memang maunya aku kawin dengan gadis tadi.”
Ratu
Randang tersenyum tapi membuang muka memandang ke arah lain.
“Ratu,
apakah kau kenal dengan gadis itu. Atau pernah melihat dia sebelumnya?” Wiro
kemudian bertanya.
Rate
Randang menjawab dengan gelengan kepala.
“Tadi aku
lihat dia memakai bahasa gerakan tangan.
Bahasa
orang bisu. Ketika melakukan hal itu dia menatap ke langit. Agaknya dia tengah
bicara dengan seseorang atau beberapa orang yang aku tidak mampu melihat.
Mungkinkah gadis itu bicara dengan dua kakek nenek Sepasang Arwah Bisu yang
tadi muncul melayang di atas Bukit Batu Hangus?”
“Aku
tidak tahu Wiro. Rasanya ada hal lain yang harus segera kau lakukan. Kau ingat
Bunga Matahari yang diberikan gadis tadi? Kau ingat apa yang dikatakannya?
Kau harus
segera membawa Ni Gatri ke Candi Siwa menemui patung Nyi Loro Jonggrang. Aku
yakin paling tidak sebagian dari rahasia yang ada akan segera terjawab. Aku
akan mengantarmu ke sana”. Lalu Ratu Randang mengangkat tubuh Ni Gatri yang
terbaring di atas batu.
“Ratu,
biar aku saja yang memanggul Ni Gatri.” Kata Wiro sambil mendekat dan hendak
mengambil sosok Ni Gatri dari gendongan Ratu Randang. Namun perempuan itu bukan
menyerahkan Ni Gatri malah dia gelungkan tangan kiri ke leher Wiro lalu
berbisik.
“Wiro,
aku tidak mau mengatakan. Mungkin hatiku sudah tidak karuan rasa terhadapmu.
Kita berpisah hanya sebentar saja. Tapi mengapa hatiku sangat rindu padamu. Aku
mengejarmu ke sini. Wiro maafkan kalau aku berucap lancang. Mudah-mudahan gadis
berkaki satu itu tidak melihat apa yang aku lakukan ini.” Lalu cuupp. Ratu
Randang kecup bibir Pendekar 212 penuh mesra dan lama.
“Ratu,
kau bilang kita harus segera ke Candi Siwa,” ucap Wiro agak kelagapan bernafas.
“Aku tahu
… aku tahu,” bisik Ratu Randang. Lalu sekali lagi dia mencium mesra sang
pendekar. Kemudian sambil, mengulum senyum dan balikkan badan perempuan ini
berkata.
“Tinggal
empat ratus sembilan puluh empat. Hik … hik. Masih banyak!”
Begitu
Ratu Randang berkelebat menuruni bukit, Wiro dengan anjing kecil hitam masih
berada di bahu kanannya segera mengikuti. Sambil berlari murid Sinto Gendeng
berkata dalam hati.
“Ratu
Randang, pengakuanmu bahwa kau mengajarku karena rindu terhadapku kurasa tidak
seluruhnya benar. Pasti kau diperintah oleh Raja Mataram.”
********************
DI
SEBELAH timur sekilas cahaya terang tampak di langit. Pertanda tak lama lagi
fajar akan segera menyingsing. Ratu Randang hentikan lari tepat di tangga besar
yang menuju ke atas Candi Siwa. Dia menyerahkan tubuh Ni Gatri pada Wiro.
“Kau
tidak ikut masuk ke dalam candi ?” tanya Wiro.
“Aku
tidak diamanatkan. Aku tidak mau menyalahi apa yang sudah diatur. Pergilah
cepat. Sebentar lagi fajar menyingsing. Aku berharap semuanya bisa selesai
sebelum sang surya terbit. Aku sangat kawatir. Semoga Par Dewa menolongmu.”
Seolah
mengerti kalau dia juga tidak diperlukan ikut masuk ke dalam candi, anjing
hitam kecil melompat dari bahu kanan Wiro, turun ke tanah lalu duduk di undakan
pertama tangga menuju ke atas candi.
Sambil
mendukung Ni Gatri, Wiro menaiki tangga batu. Di dalam candi terdapat beberapa
ruangan berisi patung. Akhirnya Wiro menemukan ruangan yang agak temaram tapi
bersih dimana terletak sebuah patung perempuan cantik tinggi besar bernama
Batari Durga yang lebih dikenal dengan sebutan Loro Jonggrang.
Demikian
pandainya para pemahat yang membuat, patung itu seolah- olah hidup dan
memandang tersenyum kepada siapa saja yang berada dalam ruangan itu.
Wiro
menatap wajah patung sebentar lalu dia meletakkan tubuh Ni Gatri di kaki patung
yang menginjak palung seekor Banteng yang konon bernama Nandi dan telah dibunuh
oleh Batari Durga karena hendak mencelakai dirinya dan mengacau negeri. Seperti
yang diceritakan, dalam serial Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, Loro Jonggrang
adalah patung yang didatangi Ananthawuri anak perawan Desa Sorogedug untuk
diminta pertolongan. Oleh sang patung yang dipanggil dengan sebutan Dewi oleh
Ananthawuri, Loro Jonggrang memberikan sebuah jimat berupa sebuah batu sakti
bernama Batu Kaladungga. (Baca serial Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa
karangan Bastian Tito berjudul “Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”,
“Pangeran Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jerangkong” dst.)
Setelah
membaringkan Ni Giatri, Wiro luruskan badan. Untuk beberapa lama dia hanya
memandangi wajah patung dan menggaruk kepala satu kali.
“Aku
harus bicara bagaimana?” Pikir Wiro.
Diluar
dugaan, yang membuat Pendeker 212 terkejut tiba-tiba dia mendengar suara
perempuan menyapa.
“Orang
muda berambut panjang, yang berasal dari negeri terpaut jauh dari masa
sekarang, yang datang membawa seorang anak perempuan dalam keadaan kaku tidak
bergerak tidak bersuara. Mengapa berlamalama dan seperti bingung. Sebentar lagi
fajar akan menyingsing, matahari akan terbit dan malam akan berganti dengan
siang. Katakan apa maksud kedatanganmu. Katakan apa yang bisa aku lakukan.”
Wiro
tercengang. Bagaimana patung itu bisa mengetahui mengenai dirinya serta keadaan
Ni Gatri.
Lebih
dari itu baru sekali ini dia melihat ada patung bisa bicara. Akibatnya, patung
itu tersenyum ke arahnya. Dan bukan cuma tersenyum. Mulut dan bibir patung yang
terbuat dari batu itu jelas-jelas bergerak pertanda patung inilah yang memang
barusan bicara padanya! Wiro cepatcepat membungkuk.
“Patung
cantik sakti ….”
Mendengar
kata-kata Wiro, patung Loro Jonggrang, tertawa.
“Maafkan
saya. Saya harus memanggil apa?” Wiro bertanya.
“Kau mau
memanggil diriku apa terserah saja.” Patung menjawab.
“Saya….”
Wiro menggaruk kepala. “Saya akan memanggilmu Dewi saja. Boleh …?” Sang patung
cantik tersenyum.
“Panggilan
itu mengingatkan aku pada seorang perawan desa yang pernah datang menemuiku
beberapa tahun lalu. Namanya Ananthawuri. Entah dimana dia sekarang. Dia juga
memanggilku dengan sebutan Dewi”
“Patung
Dewi … Maksudku Dewi Loro Jonggrang, saya bernama Wiro Sableng….”
Sepasang
alis mata patung Loro Jonggrang berkerenyit naik.
“Apa?
Coba ulangi. Siapa namamu?”
“Nama
saya Wiro Sableng…”
“Oohh…
Tadi kurasa aku salah mendengar.” Loro Jonggrang tersenyum.
Wiro
menggaruk kepala.
“Nama
saya memang kedengaran aneh.”
“Banyak
orang bernama aneh. Misal Kebo Panaran.
Tapi
orang itu bukan kebo atau kerbau benaran. Kau bernama Wiro Sableng. Aku yakin
kau juga tidak sableng benaran.”
Wiro
tertawa dan menggaruk kepala.
“Dewi,
saya datang ke sini, membawa anak perempuan bernama Ni Gatri yang saya anggap
adik itu untuk minta pertolonganmu. Sesuatu telah terjadi atas dirinya.
Tubuhnya keras seperti batu dan berwarna hijau.
Semua ini
terjadi ada hubungannya dengan malapetaka Malam Jahanam yang menimpa Bhumi
Mataram.”
Sesaat wajah
cantik patung Loro Jonggrang tampak muram.
“Selama
dunia terkembang orang-orang jahat selalu berada dimana-mana. Itu sebabnya Para
Dewa meminta agar kita berlaku waspada. Wiro, kau datang atas kemauan sendiri
atau ada yang menyuruh?”
“Ada
seorang sahabat baik yang memberi nasihat.” Jawab Wiro.
“Laki-laki
atau perempuan? Adakah dia mempunyai nama ?”
“Perempuan.
Maaf, saya tidak menanyakan siapa namanya.”
“Bagaimana
aku bisa yakin kalau kau memang datang atas petunjuk perempuan itu?”
Wiro
ingat pada Bunga Matahari yang diberikan gadis berkaki tunggal. Dengan cepat
bunga itu dikeluarkan lalu diperlihatkan seraya berkata.
“Sahabat
itu memberikan Bunga Matahari ini pada saya. Disertai pesan saya harus
menyerahkannya pada Dewi”
Mendengar
ucapan Wiro tiba-tiba yang membuat Pendekar 212 terkejut setengah mati, tangan
kanan patung Loro Jonggrang bergerak. Diulurkan mengambil Bunga Matahari yang
dipegang sang pendekar.
Setelah
memperhatikan bunga sebentar, Nyi Loro Jonggrang bertanya. “Aku tahu siapa
perempuan itu.
Seorang
gadis yang terkena tenung guna-guna ilmu hitam. Wiro, sekarang beritahu.
Pertolongan apa yang ingin kau dapatkan dariku. Apakah kau percaya aku bisa
menolong?”
“Dewi,
kalau Yang Maha Kuasa telah menuntun saya datang kesini, berarti Dewilah memang
orangnya tempat saya minta tolong.” Wiro menunjuk pada sosok Ni Gatri yang
terbaring di lantai ruangan batu.
Loro
Jonggrang menatap Ni Gatri agak lama. Lalu perhatiannya kembali pada Bunga
Matahari yang dipegang di tangan kanan. Perlahan-lahan bunga di dekatkan ke
wajahnya lalu ditiup. Bagian kuning bundar Bunga Matahari berubah menjadi putih
berkilau. Loro Jonggrang ulurkan tangan, mengembalikan Bunga Matahari yang
telah berubah kepada Wiro.
“Usapkan
bagian putih bunga di ubun-ubun, kening, dada, perut dan telapak kaki anak
perempuan itu. Mudahmudahan Yang Maha Kuasa menolong menyembuhkannya.”
Wiro
cepat mengambil Bunga Matahari dan melakukan apa yang dikatakan Patung Dewi
Loro jonggrang. Begitu selesai mengusapkan bagian putih Bunga Matahari di kedua
kaki Ni Gatri, tiba-tiba anak perempuan itu mengerang pendek, menggeliat lalu
bergerak bangun dan duduk di atas batu. Wajah dan sekujur tubuh yang tadi
kehijauan kini kembali ke warna asli. Dua matanya menatap ke arah Wiro tapi
tampak pandangannya kosong. Ni Gatri berpaling pada Loro Jonggrang. Anak ini
tersenyum namun senyumnya hampa.
“Ni
Gatri, kau sudah sembuh?” Ni Gatri mengangguk.
“Ni
Gatri, bicaralah. Jangan diam saja.” Kata Wiro.
Anak
perempuan itu menggerakkan mulut berulang kali. Tapi tidak ada suara yang
keluar. Wajahnya seperti mau menangis.
“Ni
Gatri! Kau tidak bisa bicara? Kau bisu ?!” Tanya Wiro.
Yang
ditanya mengangguk.
Wiro
pejamkan mata. Peluk anak perempuan itu lalu berpaling ke arah patung Loro
Jonggrang.
“Wiro,
kau tak usah kawatir. Bila besok matahari terbit dan mulai meninggi, anak itu
akan bisa bicara dengan sendirinya.”
“Tapi
Dewi, Ni Gatri harus bisa bicara sekarang. Ada hal sangat penting yang harus
diterangkannya. Kalau dia baru bicara besok, sudah sangat terlambat. Dari
keterangan anak ini saya akan melakukan sesuatu…”
“Wiro,
aku tidak bisa melangkahi ketentuan yang dibuat Para Dewa. Kalau anak itu tidak
bisa bicara sebelum waktunya, aku tidak mungkin membuat dia mampu bicara
sekarang juga.”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.
“Hal
sangat penting apa yang harus diterangkan anak itu padamu?”
“Malam
tadi ada dua kakek nenek aneh yang konon bernama Sepasang Arwah Bisu. Mereka
datang ke Bukit Batu Hangus tempat Raja dan keluarga serta ratusan pengungsi
lainnya berada. Sepasang kakek nenek memberi petunjuk dalam bahasa gerak tangan
orang bisu. Hanya Ni Gatri yang tahu arti gerak tangan itu.
Namun
sebelum sempat bicara dia telah diserang hebat hingga kaku dan tak bisa
bersuara.”
“Bahasa
gerak tangan orang bisu…” Loro Jonggrang mengulang. Dua tangannya diangkat,
sepuluh jari tangan bergerak gerak. Sambil menatap ke arah Ni Gatri, Loro
Jonggrang bertanya. “Kau mengerti isyarat-isyarat yang aku buat?” Anak yang
ditanya anggukkan kepala.
Mendadak
sebagian tubuh patung Loro Jonggrang sebelah atas membuat gerakan membungkuk.
Dua tangan yang terus bergerak-gerak memancarkan cahaya putih. Lalu sama sekali
tidak diduga oleh Wiro, dua tangan itu dipukulkan ke arahnya.
Sepuluh
larik cahaya putih berkiblat dalam ruangan batu. Lima larikan menghantam tepat
di kepala sang pendekar. Lima larikan lagi menyapu di kedua tangannya.
Walau
Wiro tidak merasakan sakit namun tubuhnya terpental hingga dia jatuh terduduk
di lantai ruangan. Ni Gatri terduduk di pangkuannya. Di luar candi terdengar
suara anjing kecil menggonggong.
“Dewi,
mengapa kau menyerangku…”
“Siapa
bilang aku menyerangmu!” jawab Loro Jonggrang sambil mengulum senyum.
********************
12
WIRO
berdiri. Dua tangan diperhatikan. Kepala yang barusan dihantam lima larik
cahaya putih diusap-usap. Kepala dan dua tangannya memang tidak cidera sama
sekali.
“Dewi,
maafkan kalau saya salah menduga. Tapi sepuluh sinar putih tadi…”
“Wiro,
ambil kembali Bunga Matahari yang ada di lantai. Sekarang kau boleh membawa
anak perempuan itu meninggalkan candi.
Sesampai
di luar jika ada orang bicara atau bertanya padamu jangan dijawab sebelum kau
berjalan ke arah timur sejauh empat puluh langkah. Pada langkah yang ke empat
puluh lemparkan Bunga Matahari ke udara. Sesuatu akan terjadi.
Semoga
Yang Maha Kuasa menolongmu.”
“Dewi,
kau memberi tahu maksud sepuluh cahaya Loro Jonggrang tersenyum lalu menjawab.
“Tadi aku
hanya memberikan sedikit ilmu padamu.
Agar kau
bisa mengerti bahasa isyarat tangan orang bisu dan mampu pula balas bicara
dengan membuat gerakan yang sama pada kedua tanganmu.”
Pendekar
212 terkesiap. Dia seperti mau berteriak saking girangnya. Tapi tahu diri sang
Wiro buru-buru membungkukkan tubuh mengucap terima kasih berulang kali. Di
sampingnya Ni Gatri ikut-ikutan membungkuk namun tidak bisa mengeluarkan suara.
“Dewi,
rasa terima kasih kami berdua tidak terhingga.
Kami
tidak bisa memba1as budi baikmu…”
“Wiro,
jika kalian berdua bahagia, aku juga merasa bahagia. Jika kau bisa menolong
Raja dan rakyat Mataram aku sungguh sangat bersyukur…”
“Dewi,
apakah saya boleh pergi sekarang?”
Kepala
patung Loro Jonggrang mengangguk. Mulut tersenyum.
Wiro
membungkuk sekali lagi. Ketika dia melangkah ke pintu dia ingat sesuatu.
“Dewi,
apakah saya boleh menjabat tanganmu?”
Wajah
patung Loro Jonggrang tampak tercengang.
Namun
kemudian kepala patung tampak mengangguk.
Wiro
ulurkan tangan. Dalam waktu yang bersamaan Loro Jonggrang juga mengulurkan
tangan. Wiro menyalami tangan kanan patung lalu menciumnya penuh hormat.
Astaga!
Murid Sinto Gendeng tersentak dia merasakan tangan patung itu tidak beda dengan
tangan manusia atau gadis biasa. Halus dan juga harum!
“Dewi,
saya minta diri. Harap maafkan kalau ada ucapan dan tindakan saya yang lancang.
Saya sangat menghormati dirimu.” Diam-diam Wiro jadi ngeri sendiri.
Sebelum
Wiro meninggalkan ruangan patung Loro Jonggrang berkata.
“Wiro kau
lupa membawa Bunga Matahari di lantai.”
Wiro
terkejut dan cepat berbalik. Seat itu Bunga Matahari yang ada di lantai dekat
kepala patung Banteng telah melayang ke udara. Wiro cepat menangkapnya.
“Wiro,
satu hal sebelum kau pergi. Jaga baik-baik senjata mustika sakti berbentuk
kapak yang ada dalam rongga dadamu. Ada orang jahat yang ingin merampasnya!”
Murid
Sinto Gendeng terkejut lalu cepat-cepat membungkuk dan mengucapkan terima
kasih.
“Dewi,
kalau semua urusan ini sudah selesai, saya akan menyambangimu lagi di sin!.
Bolehkah?”
“Aku
senang mendengar kata katamu itu Wiro. Kau bisa menemuiku kapan saja. Selagi
masih ada di Bhumi Mataram ini. Atau kelak setelah kau sampai dan kembali lagi
ke negeri asalmu delapan ratus tahun mendatang.
Aku akan
selalu ada di dalam candi yang sama.”
“Di alam
delapan ratus tahun mendatang apakah nanti kau juga bisa bicara dan tersenyum
seperti saat ini?” Tanya Wiro pula.
Loro
Jonggrang tertawa merdu. Kepala diangguk dan mata kiri dikedipkan.
********************
BEGITU
Wiro keluar dari dalam candi bersama Ni Gatri yang kini tidak digendong lagi
tapi bisa jalan sendiri, anjing kecil di tangga candi menyalak panjang dan lari
berjingkrak-jingkrak seolah senang.
Ratu
Randang cepat mendatangi di kaki tangga dan bertanya.
“Wiro,
kau sudah menemui Nyi Loro Jonggrang? Kau bicara padanya ? Apa yang
dikatakannya?”
Wiro
tidak menjawab. Pada seat menginjakkan kaki di tanah dia langsung berjalan ke
arah timur. Di sebelahnya melangkah Ni Gatri. Karena Wiro tak menjawab Ratu
Randang segera mengikutinya dengan perasaan terheran-heran.
“Wiro,
aku bertanya. Apakah kau sudah bertemu dengan Nyi Loro Jonggrang? Apakah kau
sudah mendapat petunjuk?”
Sesuai
pesan Loro Jonggrang, Wiro tetap tidak menjawab dan berjalan terus.
“Wiro!
Hai! Kau tuli atau bagaimana! Aku bertanya kau tak mau menjawab. Kau seperti
orang mimpi melek berjalan di malam buta ! Hantu mana yang menemanimu ?!”
Wiro
tetap diam. Sementara itu sambil melangkah di samping Wiro, Ni Gatri palingkan
kepala dan letakkan jari telunjuknya di atas bibir. Melihat isyarat ini Ratu
Randang menjadi terkejut.
“Apa ?
Kau memberi tahu kalau Wiro sekarang menjadi bisu ?!”
Ni Gatri
tidak menjawab karena memang tidak bisa bersuara.
“Astaga!
Kau ini diapakan sama Loro Jonggrang?
Atau apa
ada setan jahat kesasar didalam candi masuk ke dalam dirimu hingga kau kesambet
tidak bisa mendengar tidak bisa bicara ?! Atau mungkin kau bicara dan
bertingkah kurang ajar membuat Loro Jonggrang marah !”
Ratu
Randang berucap setengah ketakutan dan seperti mau menangis. Ketika dia hendak
merangkul pemuda itu tiba-tiba Wiro hentikan langkah. Itulah langkah yang ke
empat puluh !
Wiro
perhatikan Bunga Matahari di tangan kanan.
Lalu
menatap ke langit yang diterangi bulan setengah lingkaran. Tangan kanan
bergerak dan dengan kekuatan tenaga luar yang dimiliki Wiro lempar bunga itu
tinggitinggi ke udara.
Di udara
malam Bunga Matahari pijarkan cahaya putih. Sesaat udara tampak terang. Justru
dalam terang itulah mendadak ada delapan larik cahaya merah datang menyambar
dart arah selatan!
“Sinuhun
Muda!” Teriak Ratu Randang.
Perempuan
ini segera pukulkan tangan kanan ke etas, melepas Sang Pencipta Berbuat Penuh
Kuasa.
Selarik
cahaya putih yang mengembang membentuk kipas terbuka berkiblat, menyambar
menghadang delapan larik cahaya merah.
“Blarrrr!”
“Bummm!”
Bentrokan
hebat membuat delapan cahaya merah dan cahaya putih berpijar seperti bunga api
raksasa.
Menyusul
suara dentuman dahsyat yang seperti menggoyang langit malam dan menggetarkan
kawasan Prambanan. Bunga Matahari yang tadi dilempar Wiro melayang jatuh ke
bawah dan cepat ditangkap Wiro sebelum menyentuh tanah. Anjing kecil menyalak
tiada henti.
Ratu
Randang terpekik. Tubuhnya terguling di tanah.
Wiro dan
Ni Gatri cepat mendatangi perempuan itu. Air muka Ratu Randang tampak pucat .
Dd sela bibirnya kelihatan darah meleleh.
“Wiro,
dadaku sakit…” Ucap Ratu Randang setengah berbisik.
Wiro jadi
bingung. Tapi cuma sebentar.
“Kau tak
apa-apa. Mudah-mudahan ini bisa mengobati luka dalammu.”
Wiro
usapkan ke dada Ratu Randang Bunga Matahari pemberian gadis berkaki tunggal
yang telah diberi kekuatan sakti oleh Loro Jonggrang. Ajaib ! Saat itu juga
rasa sakit didada Ratu Randang lenyap. Malah perempuan ini seolah mendapatkan
satu kekuatan dahsyat di dalam tubuhnya. Dia hendak mengarahkan sesuatu namun
saat itu dari langit malam datang menyapu gulungan cahaya merah, membuntal
menghunjam ke tanah dimana Wiro, Ni Gatri, Ratu Randang dan anjing kecil
berada.
Dari
warna cahaya yang menyerang dan ingat teriakan Ratu Randang tadi Wiro merasa
yakin serangan dahsyat itu pasti dilancarkan oleh orang yang sama yakni Sinuhun
Muda ! Tidak menunggu lebih lama Wiro segera keluarkan potongan kalung emas
yang diberikan Sri Padmi Kameswari. Seperti diketahui emas adalah pantangan
bagi diri dan semua ilmu kesaktian yang dimiliki Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.
Namun
saat itu di udara malam tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak.
“Kesatria
Panggilan! Kau boleh punya satu gunung emas! Jangan mengira saat ini kau bisa
selamat dari seranganku ! He … he … he !”
Anjing
kecil meraung panjang. Ni Gatri tercekat. Ratu Randang terkesiap. Ratu Randang
berteriak.
“Wiro !
Jangan-jangan mahluk keparat itu telah memiliki ilmu penolak penangkal yang
kita miliki. Celaka !
Kita bisa
mati semua!”
Hawa
panas yang berasal dari gulungan cahaya merah menerpa tiga orang dan anjing
kecil yang ada di halaman kawasan candi. Wiro dengan nekad segera siap melepas
pukulan Sinar Matahari. Namun terlambat!
Hanya
sekejapan lagi semua mereka itu akan disapu lumat dan leleh oleh gulungan
cahaya merah yang luar biasa panasnya tiba-tiba!
“Tam!
Tam! Tam!”
Di
kejauhan terdengar suara, orang menabuh tambur.
Udara
malam laksana tercabik cabik. Tanah bergeletar.
Lalu menyusul
suara, tiupan suling yang membuncah liang telinga!
Saat itu
pula gulungan cahaya merah bergoyang keras. Seperti ada kekuatan dahsyat
menghantam dari dalam tanah gulungan cahaya merah terpental ke atas.
Setiap
terdengar suara tambur dan suling, gulungan cahaya merah kembali terlempar ke
atas hingga akhirnya seolah amblas lenyap di atas langit!
“Suara
tambur dan tiupan suling itu! Menolong kita!” Ucap Ratu Randang.
“Dua
manusia aneh bernama Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik!” Kata Wiro pula.
Semua orang memandang ke arah kejauhan dari mana, datangnya suara tambur dan
suling. Namun mereka tidak melihat apa-apa.
Wiro
segera hendak terapkan Ilmu Menembus Pandang namun tidak jadi karena tiba-tiba
di langit muncul melayang dua kakek nenek berselempang kain putih yang tidak
asing lagi!
“Kakek
nenek Sepasang Arwah Bisu!” Wiro setengah berseru. “Berarti bukan hanya suara
tambur dan suling yang menolong kita.
Tapi
kehadiran dua kakek nenek itu juga sangat mempengaruhi orang yang menyerang
kita. Ratu, kau ingat bagaimana tampang Sinuhun Muda ketakutan: ketika melihat
dua kakek nenek itu di Bukit Batu Hangus?”
Tanpa
menunggu jawaban Ratu Randang Wiro melambaikan tangan sambil berteriak.
“Kakek
nenek Sepasang Arwah Bisu, kami butuh bantuanmu!”
Dua kakek
nenek yang melangkah mengambang di udara tukikkan pandangan kebawah. Ketika
melihat Wiro dan kawan-kawan keduanya segera melayang turun namun tidak sampai
menjejakkan kaki di tanah.
Dua kakek
nenek itu melayang tak jauh dari hadapan Candi Wisnu.
Wiro
segera mendatangi. Ratu Randang, dan anjing kecil yang kini digendong oleh Ni
Gatri mengikuti dari belakang.
Begitu
sampai di hadapan Sepasang Arwah Bisu, Wiro membungkuk hormat. Setelah
meluruskan tubuh kembali dengan cepat dia menggerak gerikkan tangan dan sepuluh
jari. Lalu tangan kanan diusapkan ke kening dan dikepretkan.
Ratu
Randang terkejut. Juga Ni Gatri.
“Hai !
Wiro ! Dari mana kau belajar dan tahu bahasa tangan orang bisu itu ?!” Bertanya
Ratu Randang.
“Dari
Dewi Loro Jonggrang. Nanti akan aku ceritakan.
Aku menunggu
jawaban dua kakek nenek itu. Aku barusan menanyakan pada mereka apa arti
gerakan sepuluh jari tangannya dan usapan di kening serta kepretan tangan yang
pernah dilakukannya di Bukit Batu Hangus. Nah, mereka tengah bersiap-siap
menjawab. Yang akan bicara agaknya si kakek.”
Bukan
saja Ratu Randang dan Ni Gatri yang terkejut melihat Wiro mampu melakukan
pembicaraan orang bisu dengan bahasa gerakan tangan, sepasang kakek nenek yang
melayang di depan Candi Wisnu tampak tercengang dan sesaat keduanya saling
pandang lalu sama-sama tersenyum. Si kakek kemudian menunjuk ke arah Wiro
dengan telunjuk tangan kanan. Lalu dia mulai menggerak gerakkan sepuluh jari
tangan, meletakkan tangan kanan di atas kening lalu seperti sebelumnya yang
dilakukan kakek ini kepretkan tangan itu ke bawah.
“Astaga!”
Wiro berseru tertahan melihat gerakan si kakek.
“Apa
katanya?” Tanya Ratu Randang yang jadi tidak sabaran.
“Kakek
itu bilang. Aku datang membawa segudang ilmu. Tetapi mengapa tidak
dipergunakan.” Wiro menjelaskan.
“Lalu kening
yang diusap dan tangan yang dikepretkan, apa artinya?”
“Si kakek
berkata, aku punya ilmu yang bisa membersihkan benjolan di kening. Ratu, harap
kau diam dulu. Aku akan bertanya pada mereka.”
Lalu Wiro
gerakkan jari-jari tangannya.
Melihat
gerakan jari-jari tangan yang dibuat Wiro, Sepasarg Arwah Bisu saling pandang,
lalu si nenek menggerakkan tangan memberi jawaban.
“Luar
biasa ! Bagaimana mereka tahu ilmu yang aku miliki !”
“Tanyakan
siapa mereka sesungguhnya.” Ratu Randang berbisik.
Wiro
melakukan apa yang dikatakan Ratu Randang.
Sepuluh
jari tangan bergerak lincah. Yang segera dibalas oleh kakek berselempang kain
Putih dan langsung diartikan Wiro, diberi tahu pada Ratu Randang.
“Ketika
negeri bersimbah darah, orang-orang jahat hendak merebut tahta. Anak dan
menantuku menemui ajal di dalam dosa. Satu setunya cucuku yang masih hidup
ternyata tidak berbakti pada kami berdua…”
“Tanyakan
siapa cucunya yang masih hidup itu !” Bisik Ratu Randang.
Wiro
menggerakkan jari-jari kedua tangan.
Di atas
sana Sepasang Arwah Bisu sama-sama gelengkan kepala. Si nenek berkata melalui
gerakan tangan. Yang diartikan Wiro pada Ratu Randang.
“Kami
tidak akan memberi tahu. Karena kami berharap dia masih bisa keluar dari
kesesatan…”
Tiba-tiba
suara tambur dan suling bergema kembali.
Tak lama
kemudian Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik muncul dari balik Candi Wisnu.
Sepasang Arwah Bisu memutar tubuh. Seperti sebelumnya mereka siap melangkah
mengambang mengikuti kedua orang itu.
“Wiro,
kau ingat. Waktu di Bukit Batu Hangus si kakek beberapa kali menunjuk-nunjuk
pada penabuh tambur dan suling itu. Lalu tangan kanannya digerakkan ke
pinggang, ditayangkan ke atas. Lekas tanyakan pada si kakek sebelum mereka
pergi apa arti gerakannya itu!”
“Kek!
Tunggu! Jangan pergi dulu!” Wiro berteriak.
Sambil
berlari mengikuti gerakan melayang Sepasang Arwah Bisu Wiro gerak-gerakkan
tangan ke pinggang lalu dilayangkan ke atas. Sepuluh jari tangan digerakkan
terus menerus.
Setelah
berdiam diri dan melayang terus, akhirnya si kakek berhenti sebentar lalu
menjawab apa yang ditanyakan Wiro melalui isyarat gerakan tangan. Di lain kejap
kedua kakek nenek itu lenyap dalam temaram malam.
“Apa
katanya?” Ratu Randang bertanya begitu berada di sebelah Wiro.
“Kakek
itu memberitahu ada sebuah senjata. Aku kurang jelas apakah sebilah keris atau
sebilah pedang.
Jika
ingin tahu dimana beradanya senjata itu maka harus mengikuti si penabuh tambur
dan meniup seruling.”
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” Tanya Ratu Randang pula.
“Saat ini
kita tidakmungkin mengikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Kita harus
segera menemui Raja di Bukit Batu Hangus. Sebelum matahari terbit aku harus
sudah berhasil melakukan sesuatu…”
“Melakukan
sesuatu apa ?” Tanya Ratu Randang ingin tahu.
Wiro tak
menjawab. Dia cepat mendukung Ni Gatri.
Memberi
tanda pada anak anjing hitam agar naik ke bahunya. Lalu ke tiga orang itu
segera berlari cepat laksana terbang menuju Sukit Batu Hangus.
Namun
sebelum mencapai tujuan, di tengah jalan tiba-tiba seorang berpakaian dan
bermantel hitam, mengenakan ikat kepala kain merah tiba-tiba berkelebat
menghadang. Orang ini berdiri di tengah jalan sambil berkacak pinggang lalu
tertawa bergelak. Dari sepasang mata dan dari dalam mulut memancar cahaya merah
seolah ada kobaran api menggidikkan. Wiro dan juga Ratu Randang punya dugaan
orang ini tidak muncul seorang diri. Mungkin ada satu atau dua orang lain yang
ikut bersamanya tapi saat itu sengaja bersembunyi.
Mula-mula
Wiro tidak mengenali siapa adanya orang ini. Tapi begitu mendekat dan melihat
wajah orang lebih jelas, terkejutlah Pendekar 212 !
T A M A T
No comments:
Post a Comment