WIRO
SABLENG
PENDEKAR
KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya :
BASTIAN TITO
BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG
**************
1
Kiai
Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun tubuh itu
tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh!
Orang tua
itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga
perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah
bercucuran menutupi seluruh wajahnya.
Dalam
jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat
persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai
batu tergurat tulisan:
TAMBUN TULANG
Pendekar
212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak
mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang
telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya
ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat
menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih
terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua.
Diam-diam
Wiro Sableng memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa
Belerang itu sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua.
Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi
pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan
hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan
pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya
kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan.
Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu
tertulis:
SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Wiro
Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi
dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui kematiannya
dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah
sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah
mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai
Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua
itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang
mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang
menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung
racun jahat karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya
belum tentu, menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam
itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah dan melihat pada keanehan
bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh
Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan
siapakah kira-kira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk
beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa
dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa
itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan
ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya
membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh
tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya.
Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau.
Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan
telah bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan
dua buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit
Itu kering dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau
hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu ke dalam
saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di
ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari yang
hendak ke luar dari peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan
jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana hamparan permadani yang
indah sekali. Kemudian mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu
merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luasi
Sepasang
mata Pendekar 212 tiada berkedip memandang ke arah timur itu. Telah lima kali
dia melihat kemunculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya. Sukar
dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan keindahan alam
ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan
keahliannya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup menuang segala
keindahan yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya.
Perahu
besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke manapun
mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan
penglihatan manusia yang menandakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk
lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan alarn!
Angin
dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar perahu besar menggembung dan
perahu meluncur lebih pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang
di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun
demikian daratan itu agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa
menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro
Sableng memutar tubuh. Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju
hitam berdiri di buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di
sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang tengah diperhatikan laki-laki pemilik
perahu ini.
”Ada
apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa
alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab. "Orang muda, perhatikan
baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan
sana…?"
"Awan
semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik."
"Tidak
baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran
ataupun keadaan di laut.
"Akan
timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula. Latu dia pergi kehaluan dan
menyuruh anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro
Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka
bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi
angin ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka karena, segala
sesuatunya dianggap tak perlu dikhawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan
itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai membayangi
hati pemuda ini.
Di
sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan
bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok
saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di manamana. Pemandangan
yang serba indah kini menjadi diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras
dan tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin lebaL
Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu.
Jalannya perahu tersendatsendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan
perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi.
Jauh di
sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke
barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul
oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah menjadi
hujan lebat yang mendera seluruh perahu! Angin seperti suara ribuan seruling
yang ditiup bersama karena derasnya, laut marah menyabung gelombang,
menghempaskan perahu kian ke mari sementara udara telah berubah laksana malam
hari, gelap pekat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini
hanya menambah rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung
layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun
baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!"
,
Tiang
layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya bagian
atas tiang layar. Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang
luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di
antara deru angin dan deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara
menggeledeknya suara guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit
pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja
karena sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu
perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan
kepingan-kepingan papan dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk
kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.
Setiap
manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala, daya yang ada berusaha
menyelamatkan diri. Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang
maha dahsyat itu?!
Pendekar
212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga untuk ke iuar dari bencana maut yang
mengerikan itu. Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu
namun mana mungkin berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru
saja kepalanya muncul telah disapu kembali oleh air laut!
Wiro
mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar
kira-kira dua belas tombak dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir
pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah
gelombang mendera tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu
kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap!
"Celaka!
Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh
begitu sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam dengan
cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap saja tubuhnya diterpa
sampai puluhan tombak membuat pemandangannya menjadi gelap!
Ketika
dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan setengah
hidup setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan’keras. Kulit keningnya
robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar
keningnya itu karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya
masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk
menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran darah
dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk menangkap benda itu.
Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma menampar air
laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa namun kali yang
keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.
Beberapa
saat kemudian ketika kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah
sebuah balok pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.
Wiro
Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa mempertahankan diri agar tidak
tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda
ini berpegang pada papan itu, terombang ambing dipermainkan ombak, satu benda
meluncur dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan
ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak
laki-laki yang dibawa oleh seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya.
Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung.
Wiro
Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya tidak cukup besar untuk menolong
mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti
meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212.
Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang
pingsan pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan
kau selamat anak," kata Wiro dalam hati.
Dia
memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut
yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya
sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan! Berdiri bulu
kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri menghadapi
kematiannya sendiri! Ingin dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa
yang akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa
terkancing. Dicobanya berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas
terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi
sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum
kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu
jauh dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu
benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia berjubah putih, tapi mungkin juga
malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut nama Tuhan
dan memanggil nama gurunya pada detik itupula tubuh pendekar 212 lenyap
keseluruhannya dari permukaan air laut.
**************
2
Ketika
dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya berat
sekali untuk dapat dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam
akhirat, berada di neraka?!
Wiro
Sableng membuka kedua matanya dengan perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya
ialah atap rumbia. Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang berkeliling.
Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya
merayap pada saat dia berada di atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda,
meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas! Kemudian datang angin topan
dan hujan lebat. Perahunya amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan
seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan
tak tahu apa-apa lagi!
Tapi kini
dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok
kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia
tidak bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada dihadapannya
saat itu. Untuk memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu
dimana dia terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas
kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia pingsan lagi.
Kedua
kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah berkurang
tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat
didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang meniup
telinganya. Rasa haus menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta
air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup?
Didengarnya
suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak tahu
suara apa itu. Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu
sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit
kepalanya kelihatan jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik
rambut maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat
Wiro jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak
dikenal ini!
Manusia
ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan
tengkorak karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi
parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung kakak tua.
Dia tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada
parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau
setankah yang berdiri dihadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia
menyaksikan yang seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang
lebar luar biasa dan menyeringai.
"Sudah
sadar hah?!" bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya
balai-balai di mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan
suara berkereketan.
"Empat
hari empat malam mendengkur terus-terusan. Enak betul!" orang tua bermuka
angker itu berkata lagi.
Wiro
membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup
dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus berpikir
siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah
orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya
demikian keras serta menunjukkan hati jahat?!
"Apa
yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai
serta pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.
Wiro buka
lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan; "Air…"
"Apa?!"
"Air.:."
desis Wiro.
"Air?!
Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul!" Kedua mata
si orang kelihatan tambah lebar.
Wiro
terkesiap mendengar jawaban,orang tua bertampang angker itu. Diam-diam dia
menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang tua
mendampratnya.
Tiba-tiba
seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu.
"Ah…
anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro
terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil
yang tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin
jelas bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak
laki-laki itu. Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak?
"Anakku,
apakah kau dengar si tukang tidur ini minta air…? Gila betul dia! Disangkanya
bapakmu ini budaknya!" Habis berkata begitu si orang tua tertawa
gelak-gelak. Tibatiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak: "Hai!
Kau dengar apa tidak?!"
Dibentak
keras begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari
dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali
tertawa gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro.
"Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil
sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung!" Lalu dia ke luar
dari pondok. !
"Edan!"
desis Wiro.
"Eh,
apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan!" Tiba-tiba si orang tua
bertampang angker masuk kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi
telah didengarnya.
"Braak!"
Orang tua
aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi
balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang
tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu.
Pagi itu
Wiro merasakan badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila
mengatur jalan nafas serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke
bagian-bagian tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja
reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini
beberapa kali. Terasa dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya.
Kemudian sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi
Wiro segera menyambarnya.
Mendadak
di luar didengarnya suara si orang tua.
"Ah…
salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah. Eee… itu tangan kananmu musti
begini. Bagus…. Sekarang coba memukul ke muka… ah salah! Salah! Dasar bocah
geblek!"
Sedang
mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok.
Langkahnya berat dan pemandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di
pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan memandang ke halaman. Orang tua
berwajah angker itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang
berumur dua tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah
bahwa dia tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro
Sableng tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung
disuruh memukul! Dan si anak sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa
seperti itu. Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?!"
bentak si orang tua, "Kau tak mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar
kau mau jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci pengecut?!"
Si anak
menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis.
Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan
memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh sekali orang tua ini," katanya
dalam hati. "Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya
tinggi sekali. Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng.
Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini.
"Bocah
tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah sana main-main! Nanti kalau ada
yang mengatakan kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis berkata
demikian si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil membalikkan badan
dan melangkah ke pondok.
Mendadak
dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok.
"Orang
edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ?!" bentak si orang
tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua
kakinya di tanah. Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat
bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah
jengkal!
Tiba-tiba
Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah
orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura
dalam-dalam.
"Betut-betut
kau sudah gila!" sentak si orang tua.
"Apa-apaan
menjura segala?!"
"Orang
tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku…."
"Hutang
nyawa?! Hutang budi…?! Kau gila!"
"Bukankah
kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di tautan?
Kemudian merawatku di sini?!"
Orang tua
itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir
atau mengingat-ingat.
"Tidak!"
katanya kemudian dengan keras. "Aku tak pernah menolong orang gila macam
kau!"
Meski
Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga:
"Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?"
"Maha
aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti orang tua bertampang angKer.
"Meski
kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah
menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Di
lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu.
Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua…."
"Buat
apa?!"
"Agar
dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula.
"Hanya
sekedar diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak
tahu harus berkata apa. Orang tua itu kemudian dilihatnya duduk di bawah
sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya,
bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak
ubahnya seperti suara orang mengigau!
Tiba-tiba
orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon
kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata pukulan
tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak lagi kelapa itu akan
jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil
dan melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun! Buah kelapa itu
berlubang dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya.
Air kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis!
Wiro
sampai ternganga dan, melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang
disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan
sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu terkatung-katung di udara
seperti ada tangan yang tak terlihat memegangnya!
Orang tua
itu gerakkan tangan kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa
itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang luar
biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah.
Dan di
dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam
kendi air terus membobolkan dinding pondok!
Wiro
memaki dalam hati habis-habisan.
Sebaliknya
orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata!
"Orang
gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata
sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga
memandang tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si tampang angker
ini. "Bah, kau berani menantangku nah?!" Dari balik pakaiannya orang
tua ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu
dan tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya. Untuk kedua kalinya
Pendekar 212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali
ini dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu
lewat di atas kepalanya namun tubuhnya tersungkur di tanah dan keningnya yang
baru saja sembuh lukanya kini berdarah kembali!
Pendekar
212 kaget sekali karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang dilemparkan
orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212!
Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu
menancap di tiang pondok sebelah kiri.
Sambil
menyeka darah yang mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah
untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan dari
samping datang serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah
benang aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro
cepatcepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah
melibat! lengannya!
Si orang
tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka Wiro
tertarik keras ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot! Dia
memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan
jiwanya maulah dia mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa!
"Ha…
ha! Orang, gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku?!" ejek
orang tua itu begitu Wiro sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan
benang tapi sukar sekali.
"Orang
gila siapa namamu?!"
"Orang
tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terus-terusan!" kata Wiro
dengan kesal.
"Ah…
kau memang gila!" tukas si muka angker.
"Ayo
katakan siapa namamu!"
"Wiro,"
sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar.
"Wiro
apa?!" bertanya lagi si muka angker.
Pendekar
212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal.
"Hai!
Apa kau tuli?! Wiro apa?!"
"Wiro
Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya.
"Wiro
Sableng?! Nah… itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang gila mana
ada manusia yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya dengan edan
alias gila!"
"Tapi
itu bukan mauku memakai nama demikian…."
"Aku
tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu…."
"Bukan,
tapi guruku!" potong Wiro Sableng.
"Ah…
kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias keblinger!"
Marahlah
Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan si muka angker dan menghardik:
"Orang tua, jangan hina guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan
menyentak dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat
lengannya kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh sentakan itu!
Si muka
angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan Wiro dan berkata: "Jangankan
kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang
kayangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu
kau punya gelar!"
“Aku tak
punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk
melepaskan libatan benang kayangan terasa sakit dan pedas.
"Jangan
berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus
Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"
"Kalau
hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?!" tukas
Wiro Sableng menantang.
Orang tua
itu mendelikkan matanya sehingga kelopaknya yang merah membuka lebar dan
tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak.
"Orang
gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada. Tapi
sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama gurumu!"
"Aku
bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.,"
"Jadi
kau tidak mau beri tahu?!"
"Tidak,"
jawab Wiro Sableng tegas.
Si muka
angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua
yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!"
Habis
berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan benang
kayangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya
mencelat ke atas sampai beberapa tombak!
**************
3
Tua Gila
tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik yang dibuat
Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ah
gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna hendak dipamerkan di depan
hidungku!" ejek Tua Gila lalu tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro
Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang mengenali gerakan yang
dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan
yang dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya dari Eyang Sinto
Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan
tersebut sudah dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan
ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna.
Jika sekiranya Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar
212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya
terus duduk dan tertawa gelakgelak.
Wiro
berdjri dengan nafas sesak dan muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si
Orang tua. Jika dia diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang
dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya?
Sampai berapa lama dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya?
Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau
masih mau membangkang?!"
Wiro tak
menjawab.
Tua Gila
berkata: "Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan seorang anak laki-laki
yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang
tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan…."
"Perlakuanku
apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila marah sekali. "Manusia tidak
tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama
gurumu!"
"Kau
buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
"Apa
kau tidak takut mati?!"
"Kenapa
musti takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila
tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang
tidak takut mati?!"
"Semua
manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"
Tua Gila
tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup tak pernah
dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia
lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan hati dan mengingatkan
pikirannya pada hal kematian itu. Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada
terasa dua butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes
pipinya yang cekung!
Wiro
Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua yang begitu keras adat,
galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan
air mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba
Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya
ke dada
kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apa
arti angka 212 di dadamu itu?!" ‘
Wiro baru
sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja sedang tubuhnya
bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah
mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki yang ditolongnya.
"Guruku
yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar
tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya.
Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli!"
"Tak
bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua
Gila tampak kembali menjadi marah.
"Pembangkanganmu
sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau
akan kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang dipegangnya,
ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk mati, orang gila!"
Dan Tua
Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak dipukulkan, tiba-tiba
djtariknya kembali. Dia menyeringai. "Ah… sebetulnya aku sudah muak
melihat kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah pertanyaanku aku
akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh
juga!"
Wiro
Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua
Gila-lanfas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu
oang tua manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?!"
Wiro
terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar
ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. ,
"Kalau
kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!" Tua Gila menyeringai. Dia lalu
menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah
kelapa. Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab pertanyaanku
tadi!"
Tua Gila
memukul ke atas.
Wiro
kerutkan kening.
Terdengar
suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun
dengan cepat!
"Bumm!"
Buah
kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila
menghela nafas panjang dan tertawa rawan. "Jiwamu kuampuni, orang
gila," katanya. "Jawabanmu memang betul." Kemudian dari balik
pakaian putihnya Tua Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya dihadapan
Wiro. ”Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat anak
laki-laki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"
Ketika
diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang tempo hari
ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh.
Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa keterangan kepada Tua
Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa
terbunuhnya orang lua itu.
"Jadi
perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro
mengangguk.
"Kalau
kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai milikmu?!
Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku
itu akan diwariskannya kepadamu!"
"Aku
tidak mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya
kewajiban untuk mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang telah
mencuri buku itu"
"Kau
tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai
Bangkalan!"
"Sekalipun
demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan
pemiliknya."
"Lalu
kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan buku itu?"
"Aku
akan pelajart isinya,…",
"Berarti
kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"
potong
Tua Gila.
"Mana
mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan ilmu
pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu
pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian orang
lain!"
Tua Gila
tertawa.
"Apapun
alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari buku tulisannya, tanpa izin orang
itu sama saja dengan mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran
ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan
mengada-ada, orang gila!"
Wiro
Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam
pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak usah teruskan
perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja. Kau akan sia-sia mengerjakan
apa-apa yang bukan jadi hakmu!"
"Apakah
menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro.
Tua Gila
usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.
"Perjalananku
semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus mencari
manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau
bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?!"
"Tapi
aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas sebelum
aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh!"
"Kau
mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan…?" ejek Tua Gila. ‘
"Kalau
keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak
betul-betul akan membunuh manusia itu.
"Dasar
gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh
seenaknya?!"
Wiro
sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:
"Tadi
kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milikmu?!"
Tua Gila
tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau meskipun gila nyatanya pintar
bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi muak
melihat tampangmu!"
Wiro
mehggerendeng.
Tua Gila
gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh menjalar di
benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat! Laksana
sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh Pendekar 212 mencelat masuk ke
dalam pondok!
**************
4
Dari Tua
Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di mana letaknya bukit Tambun Tulang.
Dulu sewaktu berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut dia
mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama sebuah bukit yang terletak di
Pulau Andalas.
Namun Tua
Gila mengejeknya, malah mendamprat dan memaki-makinya.
"Orang
gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke
sana, kau cuma datang mengantar nyawa…."
"Setiap
bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi," kata Wiro
pula.
Tua Gila tertawa
sinis. "Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu artinya Tambun
Tulang? Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan
pasti kau terkencing-kencing karena ketakutan.
"Kalau
aku begitu pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk mengadakan
perjalanan," sahut Wiro karena merasa dihina sekali.
Tua Gila
membelai janggutnya sebentar lalu berkata: "Nyalimu memangbesar, orang
gila. Tapi percuma Saja keberanian yang luar biasa kalau kau tidak punya ilmu
yang diandalkanl"
Wiro
Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan
mendampratnya, namun Wiro mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh
berwajah angker itu dan minta diri.
"Apa?!
Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap berada dipulau ini sampai kau ada
kemampuan untuk membuat urusan di Tambun Tulang."
Dua hal
membuat Wiro Sableng terkejut.
Yang
pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan bahwa dia tak boleh meninggalkan pulau
itu. Selama berhari-hari bersama si orang tua aneh, baru hari itu dia tahu
kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali didengarnya suara
menderu seperti ombak sedang angin keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan
Pendekar 212 ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada
kemampuan untuk ini, berarti bahwa Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu
hendak memberinya pelajaran ilmu silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya
agaknya Tua Gila mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang!
Tengah
Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba Tua Gila
membentaknya: "Coba perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau
anggap paling hebat!"
"Apa
maksudmu sebenarnya, orang tua?" tanya Wiro Sableng dengan hati meragu.
“Tak usah
banyak tanya! Lekas perlihatkan!" bentak Tua Gila.
Wiro
Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal seperti
sedia kala segera maklum bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu
terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu silat tangan kosong
yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng!
Mula-mula
dikeluarkannya jurus yang dinamakan "Segulung Ombak Menerpa Karang",
menyusul "Ular Naga Menggelung Bukit", lalu Wiro balikkan badan dan
lancarkan jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar" dan yang keempat
kalinya jurus yang dinamai "Membuka Jendela Memanah Rembulan". Semua
gerakan itu dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah
menyelesaikannya.
Tua Gila
tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk kemudian dia berkata: "Coba kau
ulangi lagi keempat jurus itu." Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan
berdiri empat langkah dihadapan Wiro Sableng.
Tahu
kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak kembali Wiro Sableng sengaja
lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh yang
sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap
ditelan oleh gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang!
Pada
waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang"
maka kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin
yang deras,, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang. Debu dan pasir
serta batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar bergoyang-goyang!
Anehnya
Si Tua Gila menyerangnya, Wiro Sableng lipat gandakan daya gerakannya. Jurus
yang dinamai “Segulung Ombak Menerpa Karang" itu mengeluarkan angin
pukulan yang laksana ganas mencari sasaran di kepala dan dada Tua Gila.
Tua Gila
mendengus. Ranting di tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang
tubuhnya sendiri jingkrakjingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor!
Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker jingkrak-jingkrakkan tak
karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir mengejek namun jurus "Segulung
Ombak Menerpa Karang" secara aneh dapat dielakkannya dengan mudah!
Wiro
Sableng penasaran sekali. Tak pernah selama ini jurus yang dikeluarkannya itu
sanggup dielakkan lawan demikian mudahnya! Karena dengan satu bentakan keras
Wiro susul dengan jurus "Ular Naga Menggelung Bukit". Jurus ini
didahului oleh satu tendangan dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini hanyalah
gerak tipu belaka. Bila lawan menangkis atau mengelak akan menyusul sambaran
sepasang lengan ke al-ah leher atau pinggang. Sekali leher atau pinggang kena
digelung oleh lengan yang berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa itu, tak
ampun lagi pasti akan putus dan orangnya akan konyol!
Dengan
gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan tendangan,ke arah bawah perutnya.
Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia berhasil pula mengelakkan gelungan
tangan lawan yang mengincar leher lalu turun ke arah pinggang!
"Edan!"
maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan lancarkan
jurus "Membuka Jendela Memanah Rembulan".
Tapi dia
cuma menyerang tempat kosong karena si orang tua sudah lenyap dihadapannya dan
terdengar suara dengus mengejeknya di belakang!
Wiro
bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat sambil lancarkan serangan dalam
jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar!"
Tapi
lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si orang tua
berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng itu!
Wiro
melompat mundur.
"Orang
tua, aku mengaku kalah!" kata Wiro sejujurnya. Dia kagum sekali melihat kelihayan
orang tua ini.
Tua Gila
tertawa mengekeh dan sambit membuang ranting kering yang ditangannya dia
berkata: "Aku tidak memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukangtukang
judilah yang memikirkan kalah menang!"
Kemudian
dia duduk di bawah pohon kelapa dengan masih tertawa mengekeh. "Dengan
ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke Tambun Tulang…? He… he… he… he…. Belum
sampai mungkin kau sudah kojor!"
Wiro
Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang
selama ini dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat
picisan! Betulbetul Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah
satu kenyataan bahwa dia tak sanggup menghadapi si orang tua dalam keempat
jurus tadi! Ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia, masih ada manusia
lain yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar langit ada langit lagi!
Diam-diam Wiro menggerendeng sambil tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya
ditundukkan, astaga, membeliaklah matanya karena terkejut!
Betapakah
tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata robek besar diempat bagian! Wiro
angkat kepala dan memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja benda di
tangan Tua Gila tadi adalah sebatang pedang dan benar-benar dipakai untuk
mencelakai dirinya, pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat!
Betul-betul bahwa di luar langit ada langit lagi!
Tua Gila
sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang putih
panjang.
"Sia-sia
orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang iri i kau hendak
pergi ke Tambun Tulang! Kau akan mampus percuma!"
"Kalau
begitu aku mohon petunjukmu, orang tua,"
kata Wiro
Sableng pula.
"Apa?
Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam kau!" damprat Tua Gila
membuat Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam hati!
"Aku
sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu!" bicara lagi Tua
Gila. "Sekarang coba keluarkan ilmuilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat
apakah juga tak ada artinya?!"
Penasaran
sekali Wira menyurut mundur delapan langkah. Kedua kakinya direnggangkan.
Tenaga dalam segera dialirkan ke lengan kanan.
"Orang
tua! Berdirilah)" seru Wiro Sableng ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk
di bawah pohon kelapa sambil cengar cengir seenaknya.
"Ah,
untuk menerima.pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala?!
Silahkan memukul, orang gila!"
Wiro
kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga dalamnya. "Kalau kau mendapat
celaka, jangan salahkan aku!" gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat
tinggitinggi ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka kelima jari
membuka dan satu gumpalan angin keras menderu ke arah Tua Gila yang masih saja
duduk tertawatawa.
"Ah!
Cuma pukulan kunyuk melempar buah! Tak ada gunanya bagiku!" ejek tua Gila.
Tangan kirinya dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya.
Terdengar suara berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah ke belakang! Ketika dia
memandang ke muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap
duduk di bawah pohon kelapa itu! .
Wiro
merutuk setengah mati.
Kedua
tangan diangkat ke atas.
"Tua
Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!" Kemudian tanpa tunggu lebih lama
Wiro putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara
dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batubatu kerikil mental. Semak
belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan
rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan berkibar-kibar!
Tapi anehnya dia tetap saja duduk di tempatnya, malah berkata’ "Ah,
sejuknya pukulan angin puyuh ini. Mataku sampai-sampai mengantuk!" Dia
menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti sikap orang yang hendak
tidur mencangkung!
"Edan!"
maki Wiro Sableng. Pukulan angin puyuh segera diganti dengan pukulan angin es.
Udara di atas pulau itu mendadak sontak menjadi dingin tiada terperikan.
Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si
orang tua mendongak ke langit dan berkata seakan-akan pada dirinya sendiri;
"Ah, panas sekali hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu Tua Gila
kibaskibaskan pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan
angin es yang telah dilepaskan oleh Wiro Sableng!
"Orang
gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan yang lain?!" seru Tua Gila
dengan nada mengejek!
Wiro
jambak-jambak rambutnya saking gemas.
"Ayo!
Pukulan sinar matahari belum kau keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat
pukulan itu!"
Sebenarnya
susah sejak tadi Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui setiap jurus
pukulan yang hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah lagi
sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan pukulan sinar matahari!1 Siapa
sesungguhnya orang tua aneh ini, pikir Wiro tiada henti!
"Ayo!
Kenapa jadi macam orang pikun?! Keluarkan pukulan sinar matahari!" berseru
lagi Tua Gila.
Penasaran
sekati Wiro alirkan seluruh tenga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya
komat-kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai dari siku sampai ke
ujung-ujung jari berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya memijar
menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari!
Tua Gila
untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat. Matanya yang lebar memandang ke
muka tak berkedip. Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya Wiro
memukulkan tangan kanan ke muka, orang tua ini dorongkah telapak tangan
kanannya ke depan!
Dari
tangan Wiro Sableng menderu satu larik besar sinar putih yang tiada terkirakan
panasnya! Sebaliknya dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang
menderu ganas-dan memapasi sinar putih berkilau!
Terdengar
suara berdentum yang teramat dahsyat!
Langit
laksana robek!
Pulau itu
laksana tenggelam ke dasar laut!
Dunia
seperti mau kiamat!
Wiro
Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi badan,
dadanya terasa sakit. Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk lapi darah yang
menyembur! Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur jalan darah dan
nafasnya! Di seberangnya dilihat sepasang kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah
sedalam betis! Sambil batuk-batuk dan tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua
kakinya.
"Ah…
baru pukulanmu yang satu itu yang agak berguna dimataku!" kata Tua Gila.
Perlahan-lahan dia duduk kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling
ke kiri dan mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan
orang! Pergi!"
Ternyata
yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak kecil yang tempo hari ditolong oleh
Wiro di tengah lautan. Si anak dengari takut segera lari meninggalkan tempat
itu.
Tua Gila
mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah barat.
"Hem…
sudah rembang pelang. Tentu pasang sudah naik”
Dia
berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya:
"Mari
ikut aku ke pantai!"
Mula-mula
Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua Gila
membentaknya dengan mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa yang
hendak diperbuat orarig tua aneh itu akhirnya Wiro mengikut juga!
**************
5
Seperti
yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi pantai.
Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang
penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas hitam. Wiro memperhatikan
bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa
meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya ketika dia memandang ke belakang,
meski tak begitu kentara namun tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas
telapak kedua kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan
sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk
sempit itu terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi
dari batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang
itu tidak terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang sebesar-besar
rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang naik, setiap hari, entah sudah
berapa ratus tahun, entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu
karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap berdiri dengan kukuh dan
megah laksana dua raksasa yang tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan
gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawakan lagu tak menentu Tua Gila
melompat-lompat di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak
salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak
pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!"
"Kau
gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan
terpelanting ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh
tombak!"
Dan baru
saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan
menerpa ke arah puncak batu karang!
Wiro
berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua
Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di atas puncak karang itu seperti
seorang anak yang gembira sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu
ombak mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya menyongsong ke
muka!
"Byuur!"
Ombak
menerpa, Batu karang bergoyang keras. Tapi Tua Gila masin berdiri di atas
puncak karang itu, Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira;
"Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih besari"
"Manusia
aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia kagum sekali! Sedangkan batu
karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya
seorang manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar
tak bisa dipercaya kalau dia tak menyaksikannya sendiri.
"Hai!
Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!" teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya
Wiro Sableng masih berdiri bengong melompong di bawah sana.
"Tobat!
Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila
memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
Wiro tak
tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu tahu sebuah benda halus putih yang
berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat Wiro
berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan melesat ke atas puncak
karang yang kedua.
Dengan
kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak
karang yang sempit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia
memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah
kedua puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi
dua tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak Tua Gila. "Begitu
ombak datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan!"
Karena
khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempaskan ombak ke batu-batu cadas di
teluk yang sempit itu, dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila!
Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat mental!
"Tobat!
Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu tombak lagi tubuhnya akan
menghantam sebuah batu cadas Tiba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal
dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah menyentakkan benang kayangan
yang menjerat pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu
karang itu!
"Ayo
orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak.
"Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah!"
”Byuuur!"
Ombak
menggulung menerpa bagian atas puncakpuncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh
Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batubatu
cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya ke puncak karang!
Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana
tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila itu masih juga
melemparkannya ke atas batu karang setiap ombak menerjangnya jatuh!
Tiada
terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti dengan malam. Entah sudah
berapa puluh kali Wiro disapu ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila.
‘ Lambat laut timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan menguatkan
diri dap menabahkan hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak dalang lagi
menderu maka pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian
tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak
datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan didorongkan ke
muka!
"Byuur!"
Wiro
mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal
itu dicobanya lagi berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro
sanggup juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun
tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis,
akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar
darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan tenaga untuk
melakukan pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila
tertawa gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di tangannya. Sekali
menyentakkan kemudian tubuh Wiro Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila
mendongak ke langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan
tertawa-tawa dia berkata: "Tidak percuma… tidak percuma Si Sinto Gendeng
itu punya murid macam ini! Tidak percuma!"
Kalau
saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan
Gila itu, pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto
Gendeng adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama
tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede!
Ternyata
Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit
itu, telah mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda.
Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu pukulan
sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan
tertawatawa Tua Gila berkata:
"Meski
kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku
telah jadi guru dan kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apaapa…!"
"Terima
kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro, "Tapi mengapakah kau
sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila
tertawa gelak-gelak.
"Pertama
sebagai ucapan terima kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang
anak yang bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat… ah…. Agaknya tak perlu
kuteruskan…."
Wiro
Sableng merasa tak enak.
"Karena
mengingat apa, orang tua…?"
"Sudah!
Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang
telah kau pelajar! itu bernama "Dewa Topan Menggusur Gunung".
Merupakan satu diantara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan!
Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan padamu
beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah
sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus," kata Tua Gila.
Wiro
segera menyerang orang tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan cepat
gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia
kena didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan pada
dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila kelihatannya
gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru disitulah letak kehebatan ilmu silat
orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro Sableng
telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Meskipun
belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan
mencapai tingkat kesempurnaan.
Di pagi
hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil
Wiro Sableng.
"Hari
ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!"
kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah
menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah berlalulah
sebelum aku betul-betul muntah melihatmu!"
Wiro
berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk dihadapan Tua Gila. Dia
tahu orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau
angkat kaki dari situ.
"Sebelum
pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan terima kasih sekali lagi,
Terima-kasih karena kau juga telah mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan
ilmu silat yang hebat padaku…."
"Lalu
apa lagi?" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku sudah mual
melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila lambaikan tangannya. Angin yang
hebat mendorong Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku
butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila," kata Wiro.
"Eh,
petunjuk apa?!"
"Kau
sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang."
"Dan
aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum
cukup?!"
"Maksudku
bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan."
"Keterangan
apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar.
"Aku
tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu…."
"Dan
juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ?!" Tua Gila tertawa
mengekeh.
"Ajal
menunggu manusia di mana-mana, orang tua," sahut Wiro.
"Betul!
Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan mengecewakan
ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita rasakan
sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi seperti sebelumnya. Setelah
memijit-mijit kedua pipinya yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat
tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira diperlengahan Pulau Andalas.
Cukup jauh dari sini! Tapi kau pasti bisa sampai di situ karena bukankah
kuburmu memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu
meneruskan lagi: ‘Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang
binatang tapi timbunan tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak
hingga merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati,
pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya
Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki anak buah
dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara puluhan harimau!
Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup,
orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan saja niatmu pergi ke
situ?!"
Wiro
gelengkan kepalanya.
"Kau
masih muda, orang gila. Mati muda mati yang siasia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak
menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia bertanya: "Menurutmu, apakah
mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan
mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar
orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun
tahu belum tentu kuberi tahu padamu!"
"Wiro
mendumel dalam hati”.
"Orang
bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?"
"Itu
urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai
bukit tulang manusia itu… apakah itu manusia-manusia korban keganasan Datuk
Sipatoka dan
orang-orangnya?"
tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a
tertawa dingin. "Kau akan melihat dan mengetahuinya sendiri nanti, orang
gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu
akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku! Nah sekarang kau tunggu
apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali
lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali
pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu.
"Orang
gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro
Sableng membalikkan badan.
"Sampai
hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung
Gede?!"
Kagetlah
Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau
dia berasal dari Gunung Gede?!
"Jawab
sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang
lain itu!"
"Orang
lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu
si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan
Wiro Sableng makin bertambah-tambah.
"Kau…
kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab
dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!"
Wiro
berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya. "Ada apakah
orang tua?"
"Sejak
satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?!"
Melihat
Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah
bahwa Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak,"
Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi. "Sebetulnya ada hubungan apakah kau
dengan guruku, Tua Gila?"
Orang tua
itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa
lampau kini terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba
Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung
si orang tua. Aneh, pikir Wiro.
Lalu
tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis
macam anak kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya
aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru…."
Tentu
saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah!
Tapi begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul
aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto
Gendeng. Ah… pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali
Tua Gila tertawa rawan.
"Aku
lima tahun lebih tua dari dia, orang gila….". Dan dia memandang lagi
jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan
buruk keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali! Dan aku yang
kini begini buruk macam mayat hidup dulupun punya tampang keren, tegap gagah!
Tapi itu dulu…! Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk
kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam. Lalu meneruskan, penuturannya.
"Orang gila, aku naksir pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga
senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami
merestui kalau benar-benar kami hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi
celakanya sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku
terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di
Plered! Aku kawin dengan janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul
gila perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri!
"Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku cari gurumu dan
bertemu. Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah,
dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah hati, orang gila!
Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran
di manamana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan takut padaku!
Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia persilatan! Orang-orang menjulukiku
berbagai rupa. Ada yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada
pula yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi
gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran itu! Di akhir hayatku
ini aku memakai gelar yang kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang
gila! Kurasa itu cocok bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu
tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di tanganku?"
Wiro
angkat bahu.
Tua Gila
hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya mendesis. ‘Tiga ratus
lebih nyawa manusia yang harus kupertanggung jawabkan di akhirat nanti!
Betul-betul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian
kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah penyesalan. Tapi,apa
gunanya lagi? Sudah nasib!"
”Apakah
selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan guruku?" tanya Wiro
ingin tahu..
"Pernah…
memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian
compangcamping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong darimu dan
acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan kalau aku tak
salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur
kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga melihat aku! Lalu
dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran, kembali ke jalan yang
benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk kawin
denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun mendatang aku dan dia sudah jadi
kakek nenek tua renta keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini,
betulbetul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantaskah orang setuaku
dan setua gurumu itu, melangsungkan perkawinan?!".
Wiro
Sableng garuk-garuk’kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku
tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya…”
Tua Gila
tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata. "Memang tak ada halangan dan
tak ada yang melarangl Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan menganggap
kami berdua pada gila dan memang aku dan gurumu itu memang sudah gila! Sesudah
bertemu dengan gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan
tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, mendalami ilmu silat ciplaanku
dan memperyakin beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum
mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau
orang gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi
murid!"
Lama
kedua orang itu sama berdiam diri. "Kalau kelak kau mengunjungi gurumu,
jangan lupa sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila. Wiro
mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang
menyambanginya…." "Ah… hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau
tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!" "Liku
hidup ini banyak ragam dan keanehannya," kata Wiro.
Dan Tua
Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni
kematian…. Nah, Wiro sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku
muntah!"
Wiro
Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap kau sudi menyambangi
guruku di puncak Gunung Gede!"
Paras tua
itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak: "Sialan! Aku tak butuh
nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro
Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepat-cepat dia tinggalkan
tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu
pendayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam salah satu perahu itu
dan mulai mendayung menuju ke utara!
**************
6
Di tengah
pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam bentuk
lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki
separuh baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah dan senyum
senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua seorang dara yang juga berbaju
dan berikat kepala hitam. Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung
dan parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar juga selalu
mengulum senyum yang diberikan pada orang ramai di sekelilingnya.
Laki-laki
berpakaian hitam, melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling lalu
menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia bicara.
"Saudara-saudara
sekalian! Banyak terima kasih yang saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di
sini. Kita bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali
aku dan anakku berkunjung ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna
untuk mencari uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudarasaudara
tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati
memberi beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima
kasih…."
Sampai di
situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang menghentikannya ialah karena
dua buah matanya melihat kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap,
berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Dibagian dada
pakaiannya kelihatan lukisan kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda
itu berhenti dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh
baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya
kelihatan berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda
berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu mengetahui
kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan muka yang
membayangkan ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat lagi untuk
meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki
separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara
sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu
kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk mencari Uang
guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir
disini tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang jauh lebih tinggi,
karenanya kami minta maaf terlebih dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras
terhadap kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang
kami akan mulai…."
Laki-laki
itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya. Senjata itu dibawanya
berkeliling, diperlihatkannya dekatdekat pada penonton. Lalu diambilnya
sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun
berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betulbetul senjata tajam
bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebali
Kemudian
laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis itu
mengambjl sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju.
Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama pukulan
gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan
kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk kulit daging
tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka, tergorespun tidak! Semakin cepat
irama pukulan gendang semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin
gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat
sepeminum teh maka irama gendang kembali perlahan dan akhirnya berhenti.
Laki-laki itu hentikan pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak
yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara
sekalian, pertunjukan, berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah
anak saya sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok
tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu
sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati
terbelah dua!
Gendang
mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara baju hitam menuju tengah lingkaran.
Dia tersenyum berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya
bagus sekali dan lemah gemulai membuat, semua orang terpesona. Ketika ayah
sang dara melangkah mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa
ngeri meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki
itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut,"
goloknya dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara "buuk!"
Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak
melukai punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan
dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi apa-apa
sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas tubuhnya dan suara
"Buuk… buuk… buuk." Terdengar tak kunjung henti! Kengerian orang
banyak berubah menjadi tempik sorak kagum!
Lewat
sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang banyak
bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada yang
melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan oleh anak
laki-laki lalu dimasukkan ke dalam kotak.
"Sekarang
pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara," kata laki-laki berpakaian
hitam. Dia melirik sekilas pada penumpang kuda berkumis melintang yang sampai
saat itu masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.
"Saudara-saudara
sekalian," kata laki-laki itu selanjutnya. "Saudara lihat kuati
besardibela kang itu? Kuali
itu
berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudarasaudara akan melihat
bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!"
Lalu
laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang besar sekali. Bagian bawah
kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang
ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan asap panas.
"Tapi!"
berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke segala penjuru. "Mungkin
saudara-saudara mengira air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah
tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam bukanlah seorang
penipu!"
Dari
dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu mengeluarkan
seekor tikus. Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu
mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas
hidung! ", Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu dicemplungkannya
ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar
lalu mati matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali Pagar Alam
berkata:."Sekarang saudara-saudara saksikan sendiri bahwa aku tidak
menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua
penonton menahan nafas penuh tegang sebaliknya disudut bibir-penunggang kuda
berkumis melintang tersungging senyum penuh arti!
Pagar
Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki
kirinya. Dan kini dia berdiri di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya
berkobar api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di
dalam kuali itu adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya
berkeliling sambil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!
"Saudara
saudara sekarang aku akan duduk dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama
badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur
tubuhku!"
Semua
orang tertawa gelak-gelak. Mata masingmasing dibentangkan lebih lebar.
Kemudian
Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja dia
bergerak sedikit tiba-tiba lakilaki ini menjerit keras dan melompat ke luar
dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut kelihatan
putih matang laksana daging direbus! Semua orang menjerit dan terbeliak kaget!
Anak gadis Pagar Alam memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya
dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang
merintih kesakitan di tanah! Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam
telah "menahan" dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam
dan akibatnya kedua kaki itu terebus matang!
Setelah
mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala
penjuru.
"Saudara-saudara
siapakah diantara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya
permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual lagak atau
memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari makan! Sungguh keterlaluan
kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali
lagi gadis itu memandang beringas berkeliling.
Sepasang
matanya-beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang! Hatinya
berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis, ini
berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah silahkan maju
kehadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa
padanya!"
Orang
banyak memandang pula berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada
satu sasaran yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda!
"Bangsat
yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut
terkutuk!" teriak Mayang lantang!
Sementara
itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah
peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang berkeliling. Bila
matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun
membuka mulut dengan suara bergetar:
"Gempar
Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!"
Si
penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka .tubuhnya
ringan sekalj melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang
duduk di tanah bersandar ke peti!
Dengan
bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata: "Sudah
berulang kali kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan
minta sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan
pajak yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau
serahkan!"
"Penghasilan
kami tak ada artinya!" teriak Mayang.
"Dan
pajak yang kau minta melewati batas besarnya!
Lagi pula
hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas mencari
penghasilan’. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan penguasa
negeri ini!" "Aha…. Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau Datuk
mendengarnya pasti kau akan celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku
tidak takut pada Datukmu itu!"
Gempar
Bumi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.
"Aku
tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata. "Kau mencelakai
diriku bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan
anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Gempar
Bumi tertawa dingin.
"Di
negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak coba-coba
menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi
babaran baru menyesal!"
"Aku
tidak menyesal telah menolak lamaran manusia macammu!" sentak Pagar Alam.
Kalau saja dia bisa berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
Gempar
Bumi memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa
yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya sama saja
dengan mencari mati!"
"Bangsal
terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik mampus daripada jadi
isirimu. Aku lebih baik mati berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk
keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar
sebilah golok dan menyerang Gempar Bumi!
**************
7
Suasana
di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari dengan
suara menderu. Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana Gempar Bumi
terbungkus sambaran golok yang menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar
Bumi sendiri tiada menyangka kalau si gadis memiliki kehebatan begitu rupa.
Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis
dengan tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan lewat di depan
pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini dengan jurus serangan. Tangan kanan
dengan cepat menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah dadanya yang
padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap
darah Gempar Bumi sewaktu golok di tangan sang dara membatik laksana kilat!
Kalau saja dia tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan
terbabat putus!
Mayang
sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaransambaran goloknya laksana hujan
mencurah! Gempar Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si
gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau jelas sekali ilmu
silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari ayahnya sendiri! Tentu dia telah
berguru pada seorang jago silat, pikir Gempar Bumi.
Dalam
waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan Gempar Bumi masih berada di bawah
angin. Laki-laki ini mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap saja
berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya berkelebat kian ke mari membuat
bayang-bayang hitam. Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.
Lengan
kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu pula,
dara ini merasakan tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu
memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang dengan
jari-jari tangan kirinya!
"Manusia
haram jadah! Beranimu hanya sama perempuan!" bentak Pagar Alam yang
tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti.
Gempar
Bumi tertawa mengekeh!
"Anakmu
hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi saat ini
terpaksa kau harus menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!" Laki-laki
berpakaian hitam ini tertawa lagi
"Keparat!
Kau mau bikin apa?!" hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi
tubuhnya terduduk kembali. Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk
ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung!
"Bikin
apa lagi kalau bukan mau membawanya ketempatku!" jawab. Gempar Bumi seraya
melangkah ke arah Mayang.
"Anjing
baju hitami Kalau kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
Gempar
Bumi menyeringai!
"Berdiripun
kau tak mampu! Bagaimana mau membunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi
mendekati Mayang.
Tapi
begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba
"buuk!" Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup
membuat Gempar Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling dengan
cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya! Ternyata yang meninju punggungnya
tadi bukan lain anak laki-laki kecil adik Mayang!
"Buyung!
Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin kena tempelak!" bentak Gempar
Bumi. "Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku
akan…." "Akan apa?!" tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang.
Si anak
menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras
dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan
si buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu dipuntirnya ke belakang
hingga si anak menjerit-jerit kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi
dengan tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke muka hingga hampir saja dia jatuh
menyungkur tanah!
Tiba-tiba
si anak melihat golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan
cepat dia membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik menyerang Gempar
Bumi kembali!
"Tikus
cilik tak tahu diunlung!" maki Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai
ke dekat tubuhnya, tangan kanannya sudah bergerak.
"Plaak!
Si anak
terpekik.
Bibirnya
pecah dan berdarah. Dua buah giginya mencelat mental Tubuhnya terpelanting satu
tombak dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat
rendah! Terima ini!" teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih.
Dijangkaunya keris yang terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah
Gempar Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang leher Gempar Bumi!
Yang
diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi ujung keris akan menembus
tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian
kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu dijepit di antara jari
tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu menjepit senjata yang lihay! Semua orang
yang menyaksikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat
siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman itu mendadak sontak berubah menjadi
kebencian!
Gempar
Bumi timang-timang beberapa kali keris itu. Tiba-tiba tangannya itu digerakkan
dan "cup!" Senjata itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk
bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya!
Gempar
Bumi tertawa gelak-gelak!
"Jika
tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu dengan
senjata itu!" katanya. Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika
kau masih tidak tahu tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai Sianok, aku
tak akan ampuni jiwamu!"
Habis
berkala demikian Gempar Bumi melompat kehadapan Mayang. Dan kini tak satu
orangpun yang bisa atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan
kanan bergerak meraih pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu
terlepas kembali. Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat sebuah
benda kecil menghantam sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu
lecet. Sekujur lengan kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia
melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang mengetahui kejadian itu
selain Gempar Bumi sendiri! Laki laki ini memandang berkeliling dengan geram,
mencari-cari siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang
hendak diduga diantara orang sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya ternyata
benda kecil yang dipakai untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir
kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang
pandai yang telah turun tangan.
Sementara
itu semua orang, termasuk Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran kenapa
Gempar Bumi tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi berdiri
bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan
dengan cepat membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar Bumi
menepuk pinggul binatang itu. Rasanya
sekali
tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu
jangankan melompat dan lari, bergerakpun tidak!
Gempar
Bumi menepuk sekali lagi lebih keras.
"Ayo!
Larilah!"
Tapi
binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser
sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya saja yang digerak-gerakkan. Kemudian
binatang ini meringkik beberapa kali!
"Ayo
lari!" bentak Gempar Bumi.
Tetap
saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran kekejutan
juga timbul di hati Gempar Bumi Ketika diperiksanya dengan cepat ternyata
keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir kerikil kelihatan tak jauh
dari kaki-kaki binatang Ini! Tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi melompat dari
punggung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu lari jauh karena
sebutir kerikil lagi menyelusup menembus kaki pakaiannya terus menghantam belakang
lutut kaki kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke semutan dan lemas
sukar digerakkan!
Gempar
Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar benar berhadapan dengan seorang lihay
yang tersem bunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu perlahan-lahan
turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi.
Sementara itu sepasang mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir
kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu
yang cukup tinggi ini untuk pertama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya
telah terjadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat berubah!
Gempar
Bumi menyadari kalau diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti orang
pandai yang ter sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan turun tangan
dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan lemparan batu kerikil tadi bukan lain
merupakan peringatan keras terhadapnya!
Perlahan-lahan
Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara lantang:
"Pagar Alam, biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan!
Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya!"
Gempar
Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung binatang
itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian cepat-cepat
menghilang dari tempat itu.
Di jalan
yang buruk penuh dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat
berjalan cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada
Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang. Karena
nasib buruk yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati
memberi, sumbangan uang lebih banyak kepadanya hingga pendapatannya hari itu
tiga kali lipat lebih besar dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak
tidak menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar
Bumi keparat itu. Cepat atau lambat pasti dia akan datang kembali untuk
mengambil Mayang dengan paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi
bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok
laki-kaki itu tetap saja mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama
yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan kakinya itu. Meski
sudah diobati oleh anak gadisnya tapi dalam seminggu dua minggu pasti tak akan
sembuh! Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga menempuh jalan
buruk dan sunyi Kedua tepi jalan ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang
semak belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi.
Bendi
bergerak terus dan mereka bicara-bicara juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak
mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipegangnya
dengan terkantuk-kantuk. Hembusan angin yang sejuk ditengah hari itu memang
menimbulkan rasa kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pembicaraan
mereka.
Di
kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik tikungan
dihadapan mereka muncul seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada
bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau berwarna kuning. Ketika
penunggang kuda itu tambah dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam
meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya.
Mayang
mengeluarkan golok dari dalam peti sedang kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang
besi yang tergeletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan
lain dari Gempar Bumi adanya!
Gempar
Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun telah pula menghentikan kendaraannya.
"Sekarang
kuharap kau tak usah banyak rewel Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan
nada keren.
"Anakmu
akan kuambil!"
"Kau
manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini. Gempar Bumi! Pinanganmu
ditolak! Aku kau celakai dan kini kembali kau memaksa untuk melarikan
anakku!"
Gempar
Bumi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap besar! Aku hargai nyalimu! Tapi
agar tidak lebih celaka kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau
tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras padamu!"
"Kau
boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar Alam. "Tapi… langkahi
dulu mayatku!" Dan Pagar Alam menghunus kerisnya!
Gempar
Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat kemudian
kuda dan bendipun telah bersisi-sisian.
"Turun
dari bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi.
Pagar
Alam beringsut ke samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup dekat
itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat cepat
ke muka Gempar Bumi!
"Manusia
tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul lengan
Pagar Alam, mentallah keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul
kelihatan bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.
Dalam
pada itu dari samping menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala Gempar
Bumi. Ternyata Mayang telah melancarkan serangan yang pertama sambil melompat
dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. Dengan sebatang kayu anak laki-laki
ini mengemplang ke arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam mengambil
sebuah lembing dari dalam peti. Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut
dalam urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci terhadap Gempar Bumi
tak ayal lagi segera mengambil batang besi dari lantai bendi dan menyerang
Gempar Bumi dari belakang!
Diserang
begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main! Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau
kalian kuhajar babak belur!" Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan
kedua tangannya.
Dua orang
terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu
mental. Tangannya yang kecil laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya
mencelat dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan!
Orang
kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi. Gempar Bumi yang merasakan
sambaran angin di belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan dari
arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung kuda Gempar Bumi laksana
kilat hantamkan sikut kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara
"Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik
setinggi
langit yang ke luar dari tenggorokan Malin! Tulang iganya sebetah kanan patah
dua buah. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak
sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari kereta. Meskipun Pagar
Alam memegang sebuah lem bing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia
tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta. Otomatis pertempuran
itu kini hanya berjalan satu lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang.
Tingkat kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya. Maka dalam setengah
jurus saja gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila
itu terdesak hebat.
"Gadis
cantik!" kata Gempar Bumi dengan senyum mengejek. "Kalau saja kau
serahkan dirimu secara baikbaik, pastilah…."
"Wuuut!"
Gempar
Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing ke
arahnya. Ternyata lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam dari
atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala.
Lembing
itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang sama kaki kanan Mayang menderu ke
arah dadanya.
"Mayang!
Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya ini!” kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki
kanan dara itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar Bumi angkat kaki
sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa tarik pulang bacokan goloknya karena kalau
diteruskan pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu serangan ditarik,
begitu Gempar Bumi gerakkan tangan kiri. Maka terampaslah golok di tangan
Mayang. Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera
hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si gadis jatuhkan diri di tanah
lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya sudah tergenggam lembing yang
tadi dilemparkan ayahnya!
"Batang
lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!" jawab Mayang lalu kirimkan
satu tusukan kilat ke leher lawannya!
Gempar
Bumi bergerak untuk merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini berubah
menjadi satu kemplangan yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran Gempar
Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan lengan kiri. Lembing patah dua!
Bagian yang runcing mental ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di
tangan Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan mati-matian.
Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat mempertahankan diri
**************
8
Wiro
Sableng Si Pendekar 212 murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede
tengah menempuh rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih lekas
sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang.
Lapat-lapat didengarinya suara orang membentak beberapa kali yang diselingi
suara seseorang yang tertawa gelak-gelak. Wiro yang sudah banyak pengalaman
segera mengetahui bahwa biasanya bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut
seseorang yang marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar dari mulut
orang yang mengejek kemarahan dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana
seperti itu hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya akan
berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran!
Karena
pohon-pohon sangat rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro
untuk bergerak. Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro
mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaiannya yang cabik robek dikait
ranting semak belukar! Dia yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu
telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah karena satu dari dua
jeritan itu kedengarannya seperti jeritan anak kecil!
Ketika
dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat buruk terkejutlah pendekar ini
menyaksikan pemandangan yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak
dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang lakilaki tegap melawan seorang
dara jelita. Keduanya sama berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju
laki-laki terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan
Wiro Sableng ialah karena laki-laki ftu bukan lain manusia berkumis melintang
yang tadi di pasar hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah
orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si
kumis melintang yang bernama Gempar Bumi flu sudah nefcad untuk membawa lari si
jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis telah dihadang!
Di tengah
jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang anak kecil menggeletak dekat roda
bendi Kemudian seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia adalah
kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk lakilaki bernama Pagar Alam.
Mukanya pucat dan cemas sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah
bertempur mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak
melarikannya, sedang dia sendiri Pagar Alam -tak dapat berbuat suatu apa!
Diatas bendi tak ada lagi bendabenda yang bisa dijadikan senjata untuk
dilemparkan kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya
terdesak hebat itu dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri maka
tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata yang
muncul adalah se-orang pemuda bertubuh tegap, bertampang seperti anak-anak dan
berambut gondrong!
"Hentikan
pertempuran!" teriak Wiro Sableng.
Suara
teriakannya yang menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan orang-orang yang
ada di situ, terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam merasakan dadanya
bergetar karena kerasnya teriakan itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian
tinggi pasti hal itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya menenangkan
dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini memberikan sekelumit harapan padanya.
Tapi apakah pemuda ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat
kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk
setempat!
Akan
Gempar Bumi begitu mendengar bentakan yang menggeledek tadi dengan cepat
melompat mundur padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus Mayang.
Ketika dia berpaling di depan semak belukar dilihatnya seorang pemuda tak
dikenal berdiri dengan bertolak pinggang!
"Orang
sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar Bumi.
"Siapa
aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang
lehermu!"
Paras
Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung.
"Sepuluh
tahun malang melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing dapur
yang bicara hendak menekuk batang leherku!"
Mengetahui
bahwa si pemuda menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam
dan Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia memiliki ilmu yang
diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat tinggi, akan
sanggupkah pemuda belia yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam
kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas!
"Manusia
kumis melintang! Aku tidak main-main. Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku
bersedia mengampuni kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah pikiran!"
Gempar
Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala
sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Kucing
dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku
ini?!"
"Itu
bukan gambar kepala harimau!" sahut Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata. Dan
Wiro menyambung : "Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing
dapur!" Lalu Pendekar 212 tertawa gelak-gelak.
Marahlah
Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan demikian
rupa!
"Anak
setan! Tidak tahukah kau dengan siapa berhadapan?”
"Buset
kau bisa memaki aku anak setani" jawab Wiro dengan sunggingkan senyum,,
"Kalau aku anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya
setan?!"
Mayang
dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan itu namun terheran-heran melihat
sikap dan tindak tanduk si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti orang
mainmainan saja!
Sebaliknya
dengan nada mendesis karena mendidih
hawa
amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar .Bumi berkata: "Melihat kepada
tampangmu agaknya kau bukah orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan mana
tikus dan mana singa jantan…."
"Oh…
jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas!
Pantas!
Kau memang punya tampang seperti singa jantan!" kata Wiro pula memotong
ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak!
Kemarahan
Gempar Bumi tak dapat dikendalikan lagi. Dia melompat kehadapan Wiro dan
hantamkan tinju kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia berharap
akan menghancurkan kepala si pemudal Karena itu sengaja dikeluarkannya jurus
ilmu silatnya yang hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"!
Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala Pendekar 212 Pada saat
serangan lawan baru bergerak setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan
dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan sambungan sikut lawan!
Terkejutlah
Gempar Bumi. Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi
malah kebalikannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua kakinya
dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro Sableng
lewat. Dengan cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke perut lawan
sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun menghantam batok kepala Wiro
Sableng!
Pendekar
212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat Gempar Bumi agak aneh lapi dasarnya
tiada beda dengan ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa!
Begitu bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi
dibikin kaget. Dia tak mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup
mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu
tahu-tahu tangan kirinya sudah menyelinap menampar ke arah dada dalam satu
gerakan kilat yang mendatangkan angin keras!
Penuh
penasaran Gempar Bumi pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan lawan.
Kalau ilmu silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si pemuda tak
akan menang, begitulah pikiran Gempar Bumi!
Wiro
sendiri yang melihat datangnya serangan memapas ini, meski tamparannya pada
dada tadi pasti akan mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga
dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya!
"Buuk!"
Maka beradulah kedua lengan itu!
Gempar
Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah ke
belakang sedang lengannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja tergetar
hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika ditelitinya lengan itu tampak
kemerah-merahan! Menciutlah hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya
tenaga dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi
tenaga dalam lawan berada dua atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan
Gempar Bumi ini meleset Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya maka Wiro Sableng cuma mengandalkan tiga perlima
bagian saja dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya
tergontai nanar beberapa detik lamanya.
Menyadari
bahwa lawan lebih unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera
mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang paling diandalkan, yang telah diyakininya
selama, delapan tahun yaitu "Ilmu Silat Harimau", Kedua kakinya
menjejak bumi laksana batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang, kedua
tangan terpentang ke muka dengan jari-jari membuka. Pendekar 212 Wiro Sableng
memperhatikan bahwa ke sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang. Tubuh
Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya ke luar suara menggerang
macam harimau hendak menerkam mangsanya dan kedua matanya menyorot ganas!
Keseluruhan paras manusia ini membayangkan maut!
Tiba-tiba
gerangan dimulutnya berubah keras menyeramkan! Dan dikejap itu pula tubuhnya
melesat ke muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam mangsanya! Dua
tangan yang tadi terpentang berkelebat tak kelihatan saking cepatnya. Hanya
suara siurannya yang terdengar menyambar!
Wiro
dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka menyambut
dengan Jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang". Jurus ini mengeluarkan
sambaran angin laksana topan prahara. Kedua lengan Wiro menghantam ke depan
sekaligus!
Melihat
lawan memapaki serangannya dengan cara begitu rupa dan Sudah tahu kalau Wiro
memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani bentrokan
untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia membuyarkan Jurus serangannya tadi dan
laksana kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan "Harimau
Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai"! Tubuhnya mencelat ke udara. Kedua
kaki mencari sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan
saja karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi berada dua tombak di
udara tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk
mencengkeram kepala Wiro Sableng!
Wiro
bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk Melehipar Buah
ke arah lawan diatasnya! Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihaian
Gempar Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan Kunyuk Melempar Buah lewat di
sebelahnya dan sedetik kemudian tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki
meluncur deras ke dada serta kepala Wiro Sableng!
"Gerakanmu
hebat juga, Gempar Bumi!" seru Wiro. Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat
di dada dan kepalanya, Pendekar 212 membentak keras. Tangan kanannya
didorongkan ke atas!
Angin
sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah pukulan "Benteng Topan Melanda Samudera"
yang dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalami Mula-mula
Gempar Bumi merasakan serangannya laksana ditahan oleh tembok baja yang tak
kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya ini mendadak tubuhnya
terdorong keras ke udara, mencelat sampai beberapa tombak! Sambil jungkir
batik tiga kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya. Sebelum kedua
kakinya menginjak tanah maka dari tangan kanannya melesat puluhan benda hitam
yang berdesing mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain senjata
rahasia jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang kena
dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam
nyawanya akan lepas ke akhirat!
Oari
bunyi yang mendesing dan warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah
senjata rahasia yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan
tangan kanannya ke depan yang disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin
deras menderu susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan "Dinding
Angin Berhembus Tindih Menindih"! Bukan saja puluhan jarum-jarum itu
mental dan luruh ke tanah tapi beberapa diantaranya kembali melesat menyerang
tuannya sendiri! Dengan kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya!
Jarum-jarum yang menyerangnya luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling
pandang memandang. Yang satu dengan mata membeliak beringas sedang yang lain
dengan cengar cengir seenaknya!
"Orang
muda!" kata Gempar Bumi. "Antara aku dan kau tidak saling mengenal!
Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Mengapa kau mau
mencampurinya?”
Wiro
tertawa dingin.
"Bagiku
terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti diperhitungkan!
Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini sekarang juga!"
Gempar
Bumi mendengus.
"Apakah
bukan lebih baik kau saja yang cepat-cepat berlalu dari hadapanku sebelum aku
betul-betul menghajarmu? Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus dalam
usia muda begini rupa!"
Wiro
keluarkan satu siulan.
"Terima
kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah!"
Sikap
tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya. "Kau
orang rantau, sungguh mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula
angin akan membawa pulang namamu ke kampung halaman!"
"Ah,
jangan bersajak sobat!" tukas Wiro Sableng.
"Aku
tidak bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku hanya akan mengukir nyawamu
di pintu akhirat!" Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari
pinggangnya! Senjata itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat
hitami Sinar yang memancar dari keris ini menggidikkan sekalil’
"Manusia
yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan puluh dua
jiwa telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban yang ke delapan
puluh tiga…?!"
Wiro
tertawa gelak-gelak.
"Apapun
nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli! Juga berapa korban yang
dimakannya aku tidak tanya! Sebaliknya bagaimana kalau keris Hu kurebut, lantas
kupergunakan untuk membuat konyol kau sendiri…?!"
"Boleh,
boleh kau coba untuk merebutnya!" jawab Gempar Bumi dengan hati geram.
"Nah ini, kau rebutlah!" Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata
itu ke dada Wiro Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada sang
pendekar.
"Awas
orang muda!" seru Pagar Alam dari atas kereta. "Keris itu mengandung
racun jahat!" Diam-diam laki laki ini merasa cemas. Jika Gempar Bumi sudah
mengeluarkan senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup bertahan lama Sekali
saja tergores kulit, dalam tempo dua puluh empat jam pasti menemui kematian.
"Terima
kasih atas nasihatmu, bapak!" kata Wiro sambit cepat-cepat berkelit.
Ketika kelihatannya serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba
Keris Si Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga
meliuk pula ke perut dan tiba-tiba haik laksana kilat, menusuk ke arah lekuk
dagu dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si
Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum, membuat darah
Pendekar 212 laksana beku dan berhenti mengaliri Untuk mencegah agar dirinya
tidak terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepat-cepat Wiro Sableng
alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh bagian tubuh! Sesudah itu diapun
menghadapi serangan lawan tanpa main-main lagi.
Tiga
jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat apa-apa selain bertahan dengan gigih.
Keris di tangan lawan laksana curahan hujan dan berubah jadi puluhan banyaknya.
Menusuk, menyambar dan memapak ke pelbagai bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke
empat dan ke lima Sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk. Bagaimanapun
dia berkelebat cepat tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata lawan laksana
Jaring atos yang tak sanggup ditembusnya!
Pagar
Alam yang menyaksikan pertempuran Hu menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan
gerakan-gerakan mereka yang bertempur saking cepatnya! Mayang sendiri yang
lebih tinggi ilmu kepandaiannya mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-diam
gadis ini leletkan lidah melihat hebatnya pertempuran yang berjalan! Siapakah
pemuda berambut gondrong yang bersedia mengorbankan keselamatan dan Jiwanya itu
untuk menolong dia bersama ayahnya?! Ilmunya tinggi, tapi apakah sanggup
bertahan menghadapi Gempar Bumi yang ganas dari bertubi-tubi itu? Setahunya tak
satu orang pun yang sanggup menghadapi Gempar Bumi bila Keris Si Penyingkir
Jiwa itu sudah berada dalam tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si
pemuda terdesak hebat maka mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri kembali
menjadi cemas!
"Saudara!
Ambil golok ini sebagai senjatamu!" seru Mayang sambil melemparkan
goloknya yang tadi telah dirampas oleh Gempar Bumi tapi kemudian oleh Gempar
Bumi dibuang begitu saja ke tanah.
"Terima
kasih saudari, aku tak perlu senjata menghadapi tikus berkumis melintang
ini!" jawab Wiro.
"Tapi
kau terdesak saudara!! seru Pagar Alam dari atas kereta.
"Dan
pertempuran ini tidak adil!" menyambungi Mayang. "Dia pakai senjata,
kau bertangan kosong!" Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun
sang dara melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro Sableng mau tak mau segera
menyambut senjata itu.
Tapi:
"Traang!"
Keris Si
Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok yang dilemparkan mental ke udara dalam
keadaan patah dua!
"Sialan!"
maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya pasti senjata lawan
menyambar tangan itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran seru dan Wiro
makin kepepet!
Tiba-tiba
Pendekar 212 bersuit nyaring! Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang sukar
dilihat mata. Dengan merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka
serangan. Dari sela bibirnya terus menerus melesat suara siulan yang nyaring
tak menentu dan menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak mengendur
sedikit akibat pengaruh siulan Pendekar
212. Tapi
begitu dia tutup jalan pendengarannya maka pengaruh yang mengacaukan itupun
lenyap dan kembali dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya!
Di
samping memaki habis-habisan Wiro juga mengagumi keampuhan senjata sakti di
tangan lawan. Setiap serangannya selalu kandas laksana menghadang tembok kukuh
yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti terbungkus oleh satu kekuatan yang
tidak nampak! Dan Pendekar 212 dalam keadaan kepepet itu mulai pikirpikir
untuk keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212!
Tapi
sebelum maksudnya itu kesampaian tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau dia mengeluarkan
jurusjurus silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?! Ah, benar-benar tolol
sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia mengeluarkan "Ilmu Silat Orang
Gila" dan sekaligus untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat
yang diajarkan oleh Tua Gila itu?!
Pendekar
212 membentak nyaring. Tubuhnya lenyap.
Gempar
bumi mengiringi gerakan lawan itu dengan tawa mengejek. "Keluarkan seluruh
ilmu kepandaianmu! Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa diselamatkan lagi
tikus busuk!" Dan sebelum Wiro bergerak dia telah menyerang lebih dulu
dengan satu tusukan yang ganas cepat!
Wiro
Sableng gerakan kedua kakinya dalam gerakan yang aneh dan tak teratur
kelihatannya. Tubuhnya diliukkan ke samping laksana batang padi dihembus angin
sedang kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga dalam gerakan yang tak
teratur! Tapi justru gerakan yang acakacakan ini berhasil melewatkan tusukan
senjata lawan! Dengan gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu serangan yang lebih
cepat dan lebih ganas! Suara keris menderu. Sinar hitam berkiblat! Wiro
mencak-mencak kian ke mari! Wuut! Ujung keris di tangan Gempar Bumi menderu ke
muka pemuda itu dan kelihatannya dalam kejap itu juga akan menghunjam di
wajahnya!
Pagar
Alam mengeluarkan seruan tertahan.
Mayang
menutup wajahnya, tak berani menyaksikan bagaimana keris itu akan menancap di
muka pemuda yang diharapkan bakal menolong dirinya!
Tapi
aneh!
Sedetik
lagi ujung senjata Gempar Bumi akan menemui sasarannya, dalam satu gerakan tak
menentu kelihatan kepala Pendekar 212 seperti disentakkan oleh satu tenaga
besar ke belakang. Dan ini membuat tusukan keris Gempar Bumi hanya menghantam
tempat kosong!
Gempar
Bumi kertakkan rahang. Segera dia lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan
seluruh tipu-tipu serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri
lompat kanan. Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana babi celeng! Tangan dan
kaki menyambar tiada menentu dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bomi
percepat serangan dan keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu silatnya,
tetap saja dia tak sanggup mendesak lawan seperti yang sudah-sudah. Beberapa
kali dia menusuk dengan seluruh tenaga tapi Cuma menghantam tempat kosong
hingga tubuhnya tersaruk ke muka dan beberapa kali hampir membuatnya kena
dihantam kaki dan tangan tawan!
Diam-diam
sambil mundur Gempar Bumi perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda.
"Buuk!"
Gempar
Bumi tertatih-tatih sampai sembilan langkah ke belakang diusapnya dadanya yang
kena dipukul lawan dengan tangan kiri dan pada sela bibirnya kelihatan darah
kental berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu dengan ujung lengan baju.
Nafasnya sesak, cepat-cepat diaturnya jalan darah dan pernafasan. Kedua matanya
menyorot ganas.
“Tikus
busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau telah memainkan jurus-jurus silat orang
gila. Apakah kau muridnya Tua Gila!"
"Kau
tak ada hak bertanya, monyet berkumis!" jawab Wiro Sableng!"
"Keparat!
kau dengarlah! Hari ini kuampuni jiwamu! Tapi jika kau berani muncul lagi di
depan hidungku jangan harap ada ampunan yang kedua kalinya!"
Wiro
tertawa mengejek.
Gempar
Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata:
"Pada
tanggal tiga bulan mendatang kudengar kau akan meresmikan berdirinya perguruan
Kejora! Hari itu aku akan datang Untuk mengambil anakmu! Dan jangan harap belas
kasihan dariku kalau kau berani berlaku seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau
akan mampus berdarah!"
"Manusia
anjing tidak bermaki! Apakah hajaran yang kau terima hari ini tidak membuat kau
insyaf?!’ hardik Pagar Alam.
Gempar
Bumi tidak menyahuti hardikan itu tapi berpaling pada Wiro Sableng dan
berkata: "Apa yang kuterima hari ini kelak akan kubayar berikut bunganya
dalam waktu singkat! Sekarang katakan kau punya nama agar tidak susah aku
mencarimu!"
"Mau
tahu namaku? Baiklah. Ini…’ Tiba-tiba Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke
muka.
Karena
tiada menduga. Gempar Bumi tak sempat berkelit Tapi anehnya pukulan jarak jauh
lawan itu tidak mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin itu menyambar
dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada
dada kiri baju hitamnya terpampang tiga buah angka. Angka : 212!
Gempar
Bumi tidak tahu apa artinya tiga deretan angka tersebut. Namun kepandaian untuk
membuat angkaangka seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian
sembarangen. Nyali Gempar Bumi menciut lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia
segera berkelebat meninggalkan tempat itu!
**************
9
Begitu
Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera menjura di hadapan Wiro Sableng dan
mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu kemudian
menganggukkan kepala pada Pagar Alam.
"Orang
muda," kata Pagar Alam, "Pertolonganmu sangat besar terhadap kami
ayah dan anak! Kami mengucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari
mana kau datang?"
"Namaku
Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa."
"Ah…
ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan silatmu hebat! Tapi melihat kau
tadi mengeluarkan ilmu silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu
silat itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di sebelah barat
Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau Jawa."
Wiro
Sableng menuturkan riwayat perjalanannya secara singkat.
Pagar
Alam angguk-anggukkan kepala.
"Kau
beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi anugerah ilmu kepandaian seperti
itu oleh Tua Gila si orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan diri,
dicaripun sukar!"
Wiro
Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang terebus air mendidih sewaktu
mengadakan pertunjukan mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir
pil dan diberikannya pada laki-laki itu.
"Telanlah,
mungkin bisa menolong lukamu itu."
Pagar
Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar lalu menelannya tanpa ragu-ragu.
Setengah menit kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama sekali,
meskipun keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak ada perubahan apa-apa.
"Terima
kasih Wiro," kata Pagar Alam sementara Mayang mengangkat adiknya yang
mulai siuman ke atas kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan
duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang iganya yang patah dan
merintih kesakitan. Wiro memeriksa keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di
beberapa bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu sudah
mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu yang
singkat dia sanggup mengobati penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.
‘Kalau
aku boleh tanya, urusan apakah yang telah membuatmu sampai menginjakkan kaki di
Pulau Andalas ini?" tanya Pagar Alam.
"Hanya
sekedar ingin berkelana saja," jawab Wiro tak mau menerangkan maksud
perjalanannya. Tapi kemudian dia ingat tanpa mencari keterangan dan penduduk
setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh Kiai Bangkalan akan mudah
dilakukan. Maka bertanyalah Pendekar 212: "Aku berniat pergi ke bukit
Tambun Tulang. Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti kutempuh
agar bisa lekas sampai disitu?!"
Pagar
Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama terkejut.
"Kau
mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro…?"
"Ya.
Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari mungkin berada di situ…"
tanpa disadari oleh Wiro walau tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya
tapi kini diungkapkannya sendiri.
"Siapakah
orang yang kau cari itu?" tanya Pagar Alam.
"Aku
sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah membunuh seseorang dan mencuri
sebuah kitab penting!"
"Tambun
Tulang adalah bukit maut bagi penduduk sekitar sini," kata Malin.
Dan Pagar
Alam menyambungi: "Tak ada seorangpun yang berani berada dekat-dekat ke
bukit itu. Bukit Tambun Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk
Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis! Sejak usia belasan tahun
dia telah menebar kejahatan dan membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap
manusia yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan di satu tempat
hingga lambat laun, bertahun-tahun kemudian tempat itu telah menjadi sebuah
bukit putih yang terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!"
“Tua Gila
ada menerangkan hal itu padaku," ujar Wiro.
"Dan
manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan pembantu utama Datuk Sipatoka.
Di samping dia Datuk Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu berkepandaian
tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah yang kerja mereka bukan lain daripada
merampok dan memeras penduduk, melarikan perempuan-perempuan desa tak perduli
apakah istri orang, apalagi anak-anak gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka
memelihara pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada segala
perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun tangan dan datang ke
sana. Sampai saat ini mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui.
Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah partai
silat belum tiga bulan yang lalu, secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya?
Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan sendiri kehebatan keparat
bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu
tinggi ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya sudah lewat batas,
tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi siapa manusianya yang sanggup
menghadapi dia dan anakanak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?!
Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan setiap
hari!"
Wiro
Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di atas dunia sudah demikian
besarnya, mengapa tokoh utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau
mungkin pernah tapi tidak membawa hasil?
Tengah
Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata: "Kurasa memang ada
kemungkinan bahwa Datuk Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan. Dan
sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak meneruskan niat pergi ke
Tambun Tulang?".
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Sekali
pergi pantang bagiku untuk kembali pulang."
Pagar
Alam mengagumi keberanian pemuda ini.
"Kami
hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan mampir di
rumahku. Kita bisa bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu dalam
usahamu pergi ke Tambun Tulang."
Wiro
menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum pergi
tadi yaitu bahwa laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka
pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka diapun menerima
permintaan Pagar Alam lalu naik ke atas bendi. Karena Maljn masih sakit,
terpaksa Wiro yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur hidupnya baru
kafi itulah Pendekar 212 menjadi kusir bendi!
Ketika
hari menjelang pelang, Wiro minta diri pada Pagar Alam dan keluarganya untuk
meneruskan perjalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda ini sampai
tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia meresmikan berdirinya Perguruan
Kejora yang dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati jantan yang
tidak ingin memaksakan diri untuk mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan
niatnya itu.
Pendekar
212 pun meneruskan perjalanan. Belum lagi seratusan meter dia meninggalkan
rumah Pagar Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya yang tajam
telah sejak lama mendengar suara orang mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi.
Karena khawatir orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak membokongnya
maka Wiro pun berhenti dan memutar tubuh seraya berseru: "Manusia tukang
kuntit, tak usah sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!"
Suara
Pendekar 212 bergema di seanfero rimba belantara. Tapi tak satu orang pun yang
muncul! Wiro jadi penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si
penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati yang besarnya tiga
pemeluk tangan.
"Ayo
lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesali"
Tetap
saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak mau keluar.
Tanpa
menunggu lebih lama Wiro segera hantamkan tangan kanannya ke pohon jati itu.
Satu gelombang angin besar menderu laksana topan"
"Kraak!"
Batang
jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia itu patah lalu tumbang dengan
mengeluarkan suara dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok
tubuh melompat sebat!
"Ah…
kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa adanya orang itu. "Untung
saja kau tidak kena celaka!"
Nyatanya
dia bukan lain dari Mayang, anak gadis Pagar Alam.
"Kenapa
kau ikuti aku?!" tanya Wiro.
Paras
sang dara memerah jengah.
"Aku
tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata Mayang.
"Lalu?!"
tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta “Aku ingin balas dendam pada si
keparat Gempar Bumi!"
Wiro
angguk-anggukkan kepala macam orang tua.
"Kau
memang seorang gadis berhati jantan! Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam
keadaan ayahmu masih sakit begitu rupa…?"
"Ibu
bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula lukanya tidak berat…" , ‘
"Soalnya
bukan adanya ibumu atau luka ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa
bahwa walau bagaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan Gempar Bumi?
Sekali kau mencarinya bukankah itu sama saja dengan sengaja mengantarkan diri?!
Apalagi se: minggu dimuka ayahmu akan meresmikan Perguruan Kejora! Kau tentu
sangat dibutuhkannya…!"
"Tapi…
tapi…."
Wiro
tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu
"Kembalilah
pulang…."
"Tapi
apakah… apakah kau tidak akan kembali lagi… maksudku tidak akan mampir lagi ke
rumah?"
Wiro
kembali tertawa.
"Tentu
aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia maklum akan perasaan gadis ini. Dan
gadis yang diamuk perasaan seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh
Pendekar
212.
Soalnya apakah dia bersedia melayani dan menurutkan kata hatinya. Diam-diam
Wiro Sableng ingat pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan
Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui gadis-gadis cantik tapi
entah mengapa dia tak bisa melupakan Permani!
"Aku
berjanji akan kembali," kata Wiro meyakinkan Mayang. Tapi dara itu tak
beranjak dari hadapannya. Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri
berhadap-hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang
seraya berkata: "Pulanglah. Di lain hari aku akan mampir
menyambangimu." Habis berkala begitu Wiro berkelebat dan lenyap dari
hadapan Mayang. Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini berubah
menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan
**************
10
Mulutnya
terkatup rapat-rapat sehingga kedua rahangnya menonjol dan pelipisnya
menggembung. Sepasang matanya memandang menyorot tak berkedip ke bawah bukit
kecil, ke arah sebuah kampung yang kini hanya tinggal musnahannya saja berupa
reruntuhan rumah-rumah yang telah jadi debu! Jelas dilihatnya mayat-mayat
yang bergelimpangan di sana sini, mayat-mayat manusia dan binatang-binatang
yang mati tertambus hidup-hidup di dalam api! Dan yang paling menusuk matanya
ialah mayat anak-anak yang menemui kematian mereka secara mengenaskan dalam
pelukan ibu mereka!
Tak ada
lagi tanda-tanda kehidupan dalam landasan kemusnahan itu! Kemusnahan yang telah
dilakukan oleh manusia-manusia jahat tanpa rasa belas kasihan sama sekali!
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng ingat akan kampung-kampung yang
dimusnahkan Dewi Siluman di Pulau Madura tempo hari. Dan kemusnahan kampung
yang hari ini disaksikannya tidak ada beda, malah lebih membuat luapan amarah
menggejolak, darahnya laksana api disiram dengan minyak!
"Siapakah
manusia-manusia keparat yang membuat kebiadaban begini rupa?!" tanya Wiro
Sableng padadirinya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemuda ini segera
menuruni bukit dan memasuki kampung yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak
membawa ‘ hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia untuk menggali
beberapa buah lubang lalu menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di sana
sini. Ratarata semua menemui kematian akibat tusukan atau bacokan senjata
tajam!
Wiro
melanjutkan perjalanan sewaktu matahari tergelincir ke Barat. Kalau daerah
sekitar situ berada di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat
ganas itu Datuk Sipatoka atau anak-anak buahnya! Dan ini mendorong Wiro Sableng
untuk mempercepat perjalanannya Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak
sungai dangkal berair jernih. Wiro membuka pakaian dan langsung masuk ke dalam
sungai. Betapa sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-asyik mandi mendadak
sepasang telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik manusia banyak sekali di
kejauhan! Ketika dia memandang ke arah datangnya suara itu maka tampaklah
langit di arah itu kemerahan-merahan!
"Kebakaran,"
pikir Wiro. Disudahinya mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian dengan
cepat. Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang angin ke jurusan langit
malam yang merah menyala!
Ketika
Pendekar 212 sampai ke tempat kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma
kebakaran! Beberapa orang berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kampung.
Perempuan dan anak-anak berpekikkan dan lari menyelamatkan diri. Kira-kira
setengah lusin mayat telah bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa yang
terjadi. Kebakaran itu adalah kebakaran yang disengaja dan pelakunya adalah
manusia-manusia berseragam hitam. Mereka bukan saja membakar rumah-rumah
penduduk dan membunuh sewenang-wenang tetapi juga merampok! Dan ketika Wiro
memandang berkeliling, dari dalam sebuah rumah yang telah setengahnya dimakan
api kelihatan seorang laki-laki berpakaian hitam tengah menyeret seorang
perempuan muda yang meronta dan menjerit-jerit!
Mendidihlah
amarah Pendekar 212!
"Keparat
betul!" bentak Wiro. Dia melompat dan menghantam dengan tinju kanan!
Laki-lakt
berpakian hitam yang tengah menyeret perempuan muda tiada menyangka akan
mendapat serangan begitu rupa! Karenanya dia tak sanggup mengelak, sama sekali!
Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi tangit! Begitu jatuh di tanah dia tak
berkutik lagi sebab.
kepalanya
yang kena hantam rengkah bermandikan darah dan air otak!
Wiro
menyerbu ke tengah-tengah manusia-manusia berseragam pakaian hitam lainnya yang
tengah menempur habis-habisan penduduk yang coba mempertahankan hak dan harta
serta nyawa dan keselamatan pribadi serta keluarga mereka! Dua orang
tergelimpang dihantam tendangan dan tinju kirinya. Yang lima orang lainnya
terkejut!
"Bedebah!
Siapa kau?!" teriak salah seorang dari! mereka.
Begitu
habis berteriak orang ini melihat sesuatu menyambar di hadapannya.
"Awas!"
teriak kawan-kawannya.
Tapi
orang itu tak keburu berkelit ataupun menangkis. Yang dilihatnya berkelebat
ialah pukulan tangan kanan Wiro Sableng yang melayang tepat-tepat ke keningnya!
"Praak!"
Orang itu
menjerit!
Keningnya
pecah! Nyawanya lepas!
Bukan
saja empat kawannya menjadi kaget tapi juga tergetar hati masing-masing!
Setelah memberi tanda serempak mereka menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng
diserang dari empat penjuru!
"Setan-setan
kesasar! Keganasan kalian cukup sampai hari ini! Makan ini!"
Wiro
kirimkan dua pukulan dua tendangan!
"Wutt…
wutt… wutt… wutt!" Keempat serangannya hanya mengenai tempat kosong! Wiro
terkejut! "Bangsat, apakah mereka ini punya ilmu melenyapkan diri?!"
maki Wiro dan memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat angin pukulan
tahu-tahu melanda ke arahnya dengan ganas!
Pendekar
212 menggereng macam harimau lapar!
Kedua
tangannya kiri kanan menghantam berkeliling! Dua gelombang angin pukulan yang
dahsyat membadai berputar! Dua orang pengeroyok terpekik! Tubuh mereka
berpelantingan. Satu menghantam pohon, pinggangnya patah, nyawanya lepas! Yang
satu lagi begitu jatuh di tanah coba berdiri tapi terus muntah darah dan kojor
di situ juga! Dua orang lainnya seputih kertas pucat paras mereka. Yang satu
tanpa pikir panjang segera ambil langkah seribu. Kawannya melompat ke balik
sebatang pohon dan keluarkan satu suitan nyaringi
"Monyet
hitam! Tempat larimu adalah ke akhirat!" teriak Wiro seraya hantamkan
tangan kanannya ke arah laki-laki yang ambil langkah seribu!
Belum
lagi angin pukulan Wiro sampai orang itu telah memekik macam dihadang setan!
Kemudian pekiknya lenyap dan tubuhnya mencelat beberapa tombak. Terguling di
tanah tanpa nyawa lagi!
Wiro
Sableng segera pula hendak kirimkan pukulan maut ke arah laki-laki yang
bersembunyi di balik pohon. Sekaligus dia hendak hantam pohon dan orangnya!
Tapi baru tangan kanan diangkat, tahu-tahu empat bayangan hitam melompat di
hadapannya dan serentak mengurungnya.
Wiro
memandang berkeliling dengan cepat. Keempat manusia berpakaian dan berdestar
serba hitam itu rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas. Keempatnya
memelihara kumis melintang. Dan pada dada pakaian masing-masing terpampang
gambar kepala harimau warna kuningi Wiro teringat pada .manusia bernama
Gempar Bumi, pembantu utama Datuk Sipatoka. Ada perbedaan gambar harimau yang
terpampang di dada pakaian keempat orang ini dengan yang dilihatnya pada dada
pakaian yang dikenakan Gampar Bumi. Perbedaannya ialah pada besar kecilnya.
Gambar kepala harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada keempat manusia
ini agak kecil! Ini mungkin berarti bahwa keempatnya adalah pembantu-pembantu
Datuk Sipatoka juga tapi dari tingkat yang lebih rendah dari Gempar Bumi!
”Pemuda
keparat! Melihat tampangmu nyata kau bu-kan penduduk sini! Lekas katakan siapa
kau?!" membentak salah seorang dari empat manusia berkumis melintang.
Wiro
mendengus.
"Kau
tak layak bertanya! Lebih bagus kau tanyakan bagaimana caranya cepat-cepat
pergi ke neraka!" Dan habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kanannya
dalam jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang diperbawa dua perlima tenaga
dalamnya!
Yang
diserang terkejut melihat datangnya angin keras ke arahnya dan dengan serta
merta pukulkan pula tangan kanannya ke depan memapasi serangan lawan!
Dalam
pada itu ketiga kawannya tidak tinggal diam.
Serentak
ketiganya menyerbu Pendekar 212 dari tiga jurusan! Seorang diantaranya
mencengkeram dengan kedua tangan dari belakang!
Sekali
melihat bagaimana pukulan kunyuk melempar buahnya sanggup dipapasi lawan dan
melihat pula gerakan tiga orang lainnya dalam melancarkan serangan itu Wiro
segera maklum bahwa keempatnya berkepandaian tinggi yang tak bisa dianggap
remeh! Kalau dinilai masing-masing setiap dua manusia yang mengeroyoknya itu
sebanding dengan kepandaian Gempar Bumi. Dengan kata lain saat itu dia menghadapi
dua. lawan berkepandaian setinggi Gempar Bumi.
Pertempuran
hebat berkecamuk!
Wiro
andalkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengelit serangan-serangan lawan yang
sangat ganas dan bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih yang
coba didesak oleh keempat manusia berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah
pernah bertempur melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya Wiro mengerti,
gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak menolongnya Meski pada empat jurus
pertamanya dia kena didesak namun jurus-jurus selanjutnya dia mulai berada di
atas angin. Serangan-serangannya membuat keempat pengeroyok mundur
terus-terusan dan dalam jurus ke delapan salah seorang dari mereka terjungkal
ke luar kalangan pertempuran dengan tulang dada dan beberapa tulang iga ringsek
dilanda tendangan kaki kanan Wiro Sableng! Nafasnya sesak, mulutnya
megap-megap. Dari kerongkongannya terdengar suara seperti orang tercekik dan
sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak lagi!
Kematian
seorang kawan mereka membuat tiga manusia baju hitam lainnya menjadi tergetar.
Apalagi sesudah dalam jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan
matimatian dalam desakan hebat serangan berantai Pendekar 212!
Salah
seorang berseru memberi tanda. Wiro menyangka mereka hendak melarikan diri
maka dia siapkan pukulan jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila mereka
benar-benar hendak kabur! Tapi dugaannya meleset! Ketiga anak buah Datuk
Sipatoka itu dalam gerakan yang aneh yaitu lompatan-lompatan macam katak
menyerbunya dari tiga jurusan! Wiro pukulan kedua tangannya berkeliling! Tiga
lawan gerakkan kedua kaki dan dalam keadaan tubuh melayang di udara mereka
membuat satu lompatan lagi, begitu-Wiro hendak menghantam ke atas, ketiganya
tahu-tahu sudah melesat ke bawah dan entah kapan mereka menggerakkan tangan
mereka tahutahu tiga bilah keris hitam menderu ke arahnya! Satu menusuk ke
kepala, yang dua lainnya membabat dari dua jurusan yang berlawanan!
Wiro
terkesiap kaget melihat serangan yang hebat ini! Dengan cepat segera dia
keluarkan jurus pertahanan yang terlihay dari "Ilmu Silat Orang Gila"
yaitu yang dinamakan jurus "Orang Gila Melenggang ke Awan!"
Kedua
tangannya dikembangkan ke atas sedang kedua kakinya menjejak ke tanah
mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh! Laksana panah lepas dari
busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat melenggang lenggok ke atas dua kembangan
tangan yang mendatangkan angin bukan saja sanggup menangkis tusukan keris yang
datang dari atas tapi sekaligus membuat lawan terpelanting laksana daun kering
dihembus angin!
Meskipun
tubuhnya selamat namun tak urung pakaiannya masih sempat dirobek oleh ujung
keris salah seorang lawan yang menyerang dari samping!
"Edan!"
maki Wiro. Segera dia siapkan jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang
mengandalkan sete-, ngah bagian tenaga dalamnya!
Sementara
itu salah seorang dari lawan-lawannya yang bermata awas berseru:
"Kawan-kawan! Kulihat bangsat Ini mengeluarkan Jurus ilmu Silat Orang
Gila! Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat bahwa Datuk kita punya dendam
kesumat terhadap Tua Gila pada empat puluh tabun yang lalu?! Kalau kita
musnahkan muridnya ini pasti kita mendapat pahala besar dari Datuk! Mari!"
Serentak
dengan itu dan diikuti oleh kedua kawannya maka menyeranglah dia! Tapi kali
ini ketiganya dibikin terkejut. Karena begitu mereka bergerak Wiro hantamkan
tangan kanannya ke depan! Dua orang berseru keras dan melompat ke samping! Yang
seorang lagi terlambat untuk selamatkan diri. Kedua tangannya ditelakkan ke
muka dada laksana seorang yang berusaha menahan tindihan benda berat yang tak
kelihatan di depan dadanyal Wiroputar sedikit telapak tangannya! Laki-laki di
depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ketika menggeletak di tanah
kelihatan bagaimana seluruh tubuh laki-laki ini terutama dari bagian dada ke
atas hancur memar laksana buah pepaya dibantingkan ke batu!
Pucat
pasilah wajah dua anak buah Datuk Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi
isyarat. Lalu mengeruk satu. pakaian masing-masing dan sedetik kemudian enam
puluh batang jarum hitam yang mengandung bisa jahat beterbangan ke arah
Pendekar 212! Jarum-jarum ini bentuknya sama dengan senjata rahasia milik
Gem-par Bumi. .Wiro gerakkan tangan kanannya! Sebagian dari jarum-jarum itu
mental yang sebagian lagi berbalik ke arah pemiliknya! Salah seorang dari
mereka tiada menduga hal ini hingga terlambat untuk selamatkan diri!
"Akhhh…."
Jerit maut ke luar dari mulutnya. Belasan jarum menembus tubuh dan jantungnya.
Nyawanya le-pas saat itu juga! Yang seorang lagi masih untung! Begitu lolos
dari bahaya maut segera putar tubuh untuk ambil langkah seribu! Tapi
perbuatannya ini sia-sia saja karena lebih cepat dari itu satu totokan telah
menyambar punggungnya, membuat dirinya tegak kaku kejap itu juga!
"Monyet
hitam, sekarang kau akan jadi penunjuk Jalanku! Kau musti antarkan aku ke
sarang majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka Itu!"
Mendadak
terdengar jerHan perempuan yang disusul oleh teriakan seorang laki-laki.
"Tolong! Anakku… anakku!"
Wiro
berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya sesosok bayangan hitam memboyong lari
seorang gadis dan lenyap dikegelapan malam!
Wiro
kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya memaki. Dia berpaling pada laki-laki.
di hadapannya dan berkata: "Monyet hitam! Keadaan memaksaku membuat
nasibmu lebih baik dari kambrat-kambratmu yang lain! Kau kulepaskan
hidup-hidup! Tapi jangan lupa sampaikan pesanku pada Datukmu bahwa disatu hari
dalam waktu yang singkat aku akan membuat perhitungan dengan dia! Bila dia
menanyakan siapa aku, ini kutuliskan namaku di keningmu!" Kemudian dengan
ujung jarinya Wiro menggurat angka 212 di kuIH kening laki-laki itu! Lalu tanpa
tunggu lebih lama dia berkelebat ke jurusan lenyapnya laki-laki yang memboyong
gadis tadi!
Namun
satu teriakan memanggil membuat dia hentikan lari!
“Wiro!"
**************
11
Wiro
Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil namanya
bukan lain daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhuyung-huyung dengan
sebatang pedang pendek menancap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat
membopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah. Darah membasahi pakaian
hitam Pagar Alam dan menodai pakaian Wiro sendiri!
Melihat
kepada keadaannya tak mungkin tertolong lagi. Nafas Pagar Alam tinggal
satu-satu. Parasnya pucat tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana
kau bisa sampai di sini, bapak??" tanya Wiro. Kemudian pendekar ini
mengutuki dirinya sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan
demikian rupa.
"Wiro,
tolonglah selamatkan anakku…. Mayang dilarikan oleh…. Gempar Bu… mi…."
"Bedebah
itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan!
"Kej…
kejar dia, Wiro…."
"Tapi
kau sendiri, pak…."
Pagar
Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan
mengeluarkan suara.
"Diriku
tak… usah kau pikirkan nak. Tak ada harapan…. Yang perlu Mayang. Nasib dan…
dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian…."’
Pagar
Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Kepalanya terkulai. Kedua matanya
terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro
membaringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipandanginya tubuh tanpa
nafas itu beberapa ketika. "Nasib dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap
kalian…." Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapannya, tapi Wiro
tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak disampaikan laki-laki itu. Tanpa
menunggu lebih lama pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan cepat,
lenyap di jurusan perginya manusia yang telah melarikan Mayang!
Hampir
satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran. Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap
begitu rupa mana mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak diketahui ke
mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan
larinya. Di sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali
ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara burung
hantu mengerikan sementara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke
tulang-tulang sumsum.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas kesal. Ke-mana dia harus meneruskan
pengejaran? Jika menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan
tak ada artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang
langsung ke Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas melakukan
pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk membuat perhitungan dengan Datuk
Sipatoka. Tapi bagaimana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke sana?
Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?! Pendekar 212 banting-banting
kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia tahu
gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini juga! Dirusak kehormatannya oleh
Gempar Bumi! Pan apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan
kehormatannya?!
Wiro
Sableng memandang ke langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada
satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia
membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar’ Bumi terhadap Mayang. Atau
apakah kebejatan itu telah dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau
betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan batang lehernya! Akan ku patah k
ani" kata Wiro dengan hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan
"Brak!" sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah tumbang ke
bumi!
Di malam
sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu
kanannya terpanggul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya.
Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu
adalah Gempar Bumi!
Beberapa
jam berlari, menjelang tengah malam baru dia berhenti hanya sekedar untuk
beristirahat kemudian dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah yang
dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak sungai ini penuh dengan pohon
tembakau. Di salah satu bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari
dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai,
ditopang oleh dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi
membawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai pondok, pintu
pondok tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam
pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di am-bang pintu
dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada. Ketika melihat orang yang datang
dengan membawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening.
"Gempar
Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!" orang itu bertanya begitu Gempar Bumi
sampai di hadapannya.
Gempar
Bumi menyeringai.
"Sati!
Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!"
Ketika
mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara berparas
jelita, laki-laki bernama Sati menelan ludahnya.
”Dari
mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan
paras Mayang penuh arti.
"Semprul!
Dari mana aku dapat bukan urusanmu! Lekas pergi!"
Mata Satj
tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak diperdulikannya
malah dia melangkah lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga
Gempar B,umi,
Marahlah
Gempar Bumi mendengar bisikan Sati.
"Kalau
kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu!"
Sati
menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu.
Gempar
Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai ditutup
dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu
dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di hadapan Mayang lalu membuka
jalan suara gadis ini. Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah Mayang.
"Manusia
keparat! Lepaskan totokan ku…!"
"Ah,
kau masih saja bersikap galak," kata Gempar Bumi.
"Bedebah!
Lepaskan totokan ku!"
"Kalau
kau masih keras kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali!" mengancam
Gempar Bumi dan diulurkannya tangan kanannya.
"Jangan
sentuh!" teriak Mayang.
Gempar
Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki habis-habisan
sampai suaranya serak. "Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku
akan kawini kati secara baik-baik, tapi…’ "Siapa sudi kawin dengan manusia
anjing macammu!" potong Mayang. "Tapi kalau kau berkeras kepala macam
ini jangan menyesal akan kuperlakukan Secara kasar!" "Manusia anjing,
lebih bagus kau bunuh aku siang siang! Saat ini juga…."
"Eh,
apakah kau tidak takut mati?!"
"Lebih
baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!"
Gempar
Bumi tertawa mengekeh.
"Mati
muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah nanti
terserah pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku….
Kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa nikmatnya…
betapa…."
"Tutup
mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya
sampai kelautan api pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar
Bumi tertawa gelak-gelak.
"Kurasa
nanti itu kau mencariku bukan untuk membunuh tapi untuk mengajak kembali
menikmati segala keindahan hidup itu! Ha… ha… ha… ha!"
"Keparat!
Kalau aku betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang
seluruh tubuhmu sampai lumat!"
"Ilmu
silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar Bumi: "Menghadapiku
beberapa jurus saja sudah tak sanggup, bagaimana mungkin kau hendak
mencincangku?!"
"Kalau
tidak aku ada orang lain yang akan melenyapkanmu dari muka bumi ini!"
"Aha…
siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung
kumisnya yang tebal melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!"
Gempar Bumi tertawa membabak. "Perempuan tua renta yang bernama Inyak
Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau! Dalam
sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau berani berhadapan
denganku!"
Mayang
mendengus.
"Kalaupun
guruku kalah masih banyak orang-orang. sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu
sanggup membunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka
itu!"
"Begitu?
Aku ingin tahu siapa saja orang-orang sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di
antaranya pemuda berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari!" sahut
Mayang.
Berubahlah
paras Gempar Bumi. Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi
pembantu utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru angin Pulau Andalas
belum pernah dia menghadapi lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk
mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu.
"Ah,
kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan dia? Tempo hari aku sengaja
menghentikan pertempuran karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan
niscaya tidak kuampunkan jiwanya…."
"Justru
pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah
seribu!"
Gempar
Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba tangannya diulurkan kembali dan kali ini
dengan cepat menyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang! Gadis ini
berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan seringai nafsu yang mengembang
kempiskan cuping hidungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas dada
sang dara!
Bagaimana
Mayang dan ayahnya sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah
Datuk Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil melaksanakan niatnya
melarikan si gadis?
Seperti
telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam hendak meresmikan berdirinya satu
perguruan yang dinamakannya Perguruan Kejora, Tapi karena adanya maksud Gempar
Bumi untuk datang pada hari peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta
terutama sekali hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan
peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat
diandalkan yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawannya. Karena itu
sesudah luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang laki-laki ini dengan
mengendarai dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat kediaman Inyak
Ninik, guru Mayang.
Di tengah
jalan mereka berhenti dan menginap di sebuah kampung. Justru pada malam itu
pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi mendatangi
kampung itu, merampok dan membakar serta melarikan gadis-gadis dan istri
penduduk kam pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu terdapat pula
Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah penduduk. Tentu saja ini sangat
menggembirakan Gempar Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu
dia menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak
didengarnya suara suitan nyaring di sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget,
demikian juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama
keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke Barat kampung. Mayang bisa
diringkusnya nanti. Itu soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah
dihadapi anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia sampai di
bagian Barat kampung, berubahlah parasnya. Untung saja malam itu gelap hingga
keempat anak buahnya tak dapat melihat perobahan parasnya itu!
Seorang
pemuda berpakaian putih, berambut gondrong tengah mengamuk dengan hebat. Dan
pemuda ini bukan lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari! Meski dia
membawa anak-anak buah yang berkepandaian tinggi namun untuk menghadapi Wiro
Sableng saat itu Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia
melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan kesampaian lagi sekali ini
niatnya untuk melarikan Mayang.
Maka
tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya
untuk menyerang Wiro Sableng.
"Bunuh
bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia
memperhatikan jalannya pertempuran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi
ketika dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak buahnya
satu demi satu! Padahal keempat anak buahnya itu berkepandaian hanya dua
tingkat saja di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tambah mencair!
Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu
lebih lama saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang
dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur melawan beberapa anak buahnya dari
tingkatan yang lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemunculan Gempar
Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan
sebilah pedang pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan
menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat!
Walau
bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok
dan lawan bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena
didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan
bantuan! Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gem-par Bumi berhasil
merampas pedang di tangan Pagar Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua
beranak!
Dalam
satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi berhasil menyelundupkan pedangnya dan
menancap dengan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Mayang berhasil
ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang.
Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam keadaan tak
berdaya dan bergumul dengan maut hanya bisa berteriak minta tolong! Dan
teriakannya ini terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang kemudian segera
melakukan pengejaran….
Darah di
tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di
sekujur tubuh Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan
menangis.
Sementara
itu Sati yang disuruh meninggalkan pondoknya berlari di kegelapan malam tanpa
tujuan. Ingatannya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakannya
parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya
yang montok padati Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang
tertegun-tegun. Hatinya mendorong-dorong agar kembali ke pondok itu. Siapa
tahu Gempar Bumi berubah haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian
kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun jadilah. Dan semakin besar
rasa yang mendorong-dorong di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar
tubuhnya, dan kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah ditempuhnya.
Kembali ke pondok di tepi sungai itu!
Ketika
sampai di pondok itu segera Sati mencari sebuah lobang tempat mengintip dengan
hati-hati sekali.
Sekujur
tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti menyungsang
mengalirnya ketika dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan pemandangan
yang terpampang di depan matanya, di bawah penerangan pelita.
Gadis itu
terhampar di atas tikar, menangis serak. Sebagian tubuhnya tak kelihatan,
tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa
selembar pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak
diterjangnya saja dinding pondok di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam,
menggulung tubuh gadis itu.
"Ah,
tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati. "Keparat betul si
Gempar Bumi ini!"
Mendadak
Gempar Bumi menghentikan segala gerak yang dibuatnya laki membalik dengan cepat
Sepasang matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan kanannya
dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding
itu berlobang besar.
Di luar
pondok seseorang terdengar berteriak: "Keterlaluan kau Gempar Bumi! Kawan
sendiri diserang!"
"Sati
keparat! Kau berani kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman berat
dariku!" teriak Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan
pakaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum pintu itu sempat
dibukanya, di atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar
Bumi memandang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun dan satu sinar
putih berkiblat melanda ke arahnya!
**************
12
Terkejut
Gempar Bumi bukan alang kepalang! Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua
renta berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang di tangan kanannya
tergenggam sebilah pedang yang terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar
pelita.
Begitu melihat
perempuan ini, Mayang berseru:
"Guru!"
Si
perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk menutupi tubuh Mayang.
Mendengar
seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum kini bahwa perempuan tua di hadapannya
bukan lain Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehormatannya!
Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya, tapi baru kali ini dia berhadapan.
Tak bisa dia menduga sampai di mana kehebatan perempuan ini walau sebelumnya
di hadapan Mayang dia telah menganggap Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa
dirobohkannya di bawah sepuluh jurus!
"Manusia
bejat!" suara Inyak Nini bergelar.
"Kau
harus bayar dengan kau punya jiwa atas perbuatan yang kau telah lakukan
terhadap muridku!"
Gempar
Bumi tertawa sedingin angin malam.
"Apa
kau masih belum tahu berhadapan dengan siapa, nenek-nenek bongkok?!"
Inyak
Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah karena susur yang senantiasa menyumpal
di mulutnya.
"Nama
Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Terlalu memuakkan untuk didengar! Dan
malam ini aku akan menumpas segala kemuakan itu!"
Tanpa
banyak cakap lagi, Inyak Nini melompat ke muka. Pedang perak di tangan kanannya
berkiblat. Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak dengan sebat lalu
selipkan satu serangan balasan, tapi senjata lawan membalik ganas membuat dia
melompat mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak Nini bukan lawan
yang bisa dibuat main-main.
Tiba-tiba
sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu.
"Gempar
Bumi, biaraku yang hadapi setan tua ini!" kata orang yang di ambang pintu.
Dia bukan lain daripada Sati.
"Sati
keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di tempatmu dan awas kalau
berani lari! Kau akan terima hukuman dariku!"
Menciut
hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi Inyak Nini adalah sebagai penebus
kesalahannya. Ternyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap akan
menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikirpikir untuk Jari tapi itu tentu
membuat Gempar Bumi akan bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati berdiri
di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan serba salah!,
Pondok
itu tidak seberapa besar karenanya tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar
Bumi menghadapi amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari, memapas
dan membacok, sedang tusukan-tusukan ganas meluncur berulang kali! Namun mata
Gempar Bumi yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus ilmu pedang
yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia menggempur tempat-tempat pertahanan
yang lemah ini hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lamanya!
"Tua
renta sialan! Makan ini!" teriak Gempar Bumi. Tangannya mengetuk saku,
sedelik kemudian puluhan jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah
Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar per dangnya. Belasan
jarum hitam mental dan luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya tak sanggup
dipapasinya dengan pedang, dan terus menembus dagingnya!
Inyak
Nini menggerung macam serigala dan menyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu
keganasan racun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah kerahkan
tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan darah yang penting agar racun
jahat itu tidak merambas ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum
bermembobolkan jalan darah, terus mengalir menuju jantung! Inyak Nini sadar
bahaya besar yang mengidap dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika
tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang!
Gempar
Bg#i tertawa sewaktu mengetahui senjata rahasianya berbasil menemui sasaran di
beberapa bagian tubuh lawan.
"Perempuan
tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum racun jarum itu menghancurkan kau punya
jantung!"
"Manusia
dajal kau musti menyertaiku ke akhirat!" teriak Inyak Nini lalu menggembor
dan menyerang dengan dahsyat.
"Braak!"
Sambaran
pedang Inyak Nini mengenai tempat kosong dan menghantam dinding pondok hingga
hancur bobol! Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk menyerang dari
samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu tendangan kaki kanan Inyak Nini
bersarang di bahunya! Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahunya
sakit bukan main!
"Perempuan
bedebah!" maki Gempar Bumi. Mulutnya komat kamit, tubuhnya membungkuk
hampir sebungkuk Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka dengan
sepuluh jari-jari menekuk!
Inyak
Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus ilmu silat yang hebat. Maka
tidak menunggu lebih lama dia mendahului menyerang dengan pedang di tangan!
Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara keras macam harimau meraung
dan tubuhnya berkelebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing seka» bagi
Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang ke luar dari mulut Gempar Bumi
membuat perempuan tua itu terkesiap dan bergidik!
Kemudian
terdengarlah pekik perempuan tua itu!
Dan
menyusul pula pekik Mayang yang melihat paras gurunya berlumuran darah
mengerikan!
Inyak
Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Kulit mukanya terkelupas
dalam lima guratan yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang pedang
perak di tangan kanannya sudah berpindah ke dalam tangan kanan Gempar Bumi!
Sungguh dahsyat jurus "Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur
Pemanah", yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus itu adalah salah
satu jurus terhebat dari "Ilmu Silat Harimau".
"Apakah
masih belum mau bunuh diri?!" ejek Gem-par Bumi.
Inyak
Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan tubuhnya perlahan-lahan turun ke
bawah macam orang hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan dahsyat
perempuan ini melompat ke muka, hantamkan kedua tinju kiri kanan dan lancarkan
dua tendangan susul menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja. Rasa
marah, dendam kebencian yang bertumpuk di hati Inyak Nini membuat dia lupa
memperhitungkan bahwa lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi
menggenggam pedang perak miliknya sendiri!
Sekali
Gempar Bumi memutar pedang, maka terdengarlah raungan Inyak Nini. Kedua
lengannya terbabat putus, salah satu kakinya luka parah!
Mayang
menjerit lalu menangis tersedu-sedu!
Inyak
Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya berkelojotan beberapa detik kemudian
diam tak berkutik lagi
Gempar
Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis yang
telah hilang keperawanannya itu.
"Bunuh
aku! Bunuh aku keparat!"
"Kau
terlalu banyak rewel!" hardik Gempar Bumi dan menotok jalan darah di leher
Mayang hingga Mayang di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat
keluarkan suara!
Di ambang
pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya dan memandang dengan sorot mata melotot
pada Sati yang berdiri dengan paras pucat.
"Kesalahanmu
terlalu besar Sati…!"
Sati
menjatuhkan dirinya dan menangis macam anak kecil. "Harap kau sudi
mengampuni aku. Gempar Bumi," pintanya.
"Aku
ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu matamu yang suka mengintip itu!
Lekas!"
"Gempar
Bumi!" Sati menggerung dan bersujud.
"Keparat!
Lekas korek matamu," bentak Gempar Bumi. "Atau aku sendiri yang akan
mengorek keduaduanya sekaligus?!"
Sati
maklum tak ada lagi keringanan baginya. Daripada hilang dua mata atau hilang
jiwa lebih baik dia cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jarijari
tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya.
"Craas!"
Biji mata
itu mencelat ke luar bersama busaian darah. Sati terduduk di ambang pintu;
merintih-rintih menahan sakit yang tiada taranya!
"Itu
lebih bagus bagimu daripada mampus!" kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan
tubuh Mayang di bahunya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun
langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan ke tanah! Di Timur pondok
terdengar suara orang membentak. "Manusia jahanam! Berani bergerak satu
langkah saja kupecahkan batok kepalamu!"
Waktu
suara teriakan orang di malam buta itu belum habis gemanya ketika tahu-tahu
sesosok tubuh sudah berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi!
Paras
Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat putih laksana kain kafan! Mayang
dengan susah payah coba putar mata memandang ke muka! Satu harapan muncul di
hatinya sewaktu melihat bahwa yang datang itu benarlah orang yang diduganya.
Kalau saja mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru memanggil nama
orang itu!
"Turunkan
gadis itu…! Cepat!"
"Bangsat!
Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silahkan ambil sendiri!" jawab Gempar
Bumi. Lalu tak ayal lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir Jiwa".
"Dajal
bermuka manusia, kali ini jangan harap ada
ampun
bagimu!" Orang ini hantamkan tangan kanannya ke arah kaki Gempar Bumi.
Satu gumpalan angin yang bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambarde ngan
cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Tengkuknya terasa dingin ketika
memandang ke bawah dan melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir ber
muncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itu lah akibat pukulan
"Kunyuk Melempar Buah" yang telah dilepaskan oleh si pendatang tadi
yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya!
Menghadapi
lawan tangguh berkepandaian tinggi dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja
sangat berbahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali lancarkan
serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan tubuh Mayang di tanah.
Sesaat
kemudian terjadilah pertempuran yang hebat! Kalau dalam pertempuran pertama
dulu kelihatannya agak seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati
terhadap Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi segala macam belas kasihan di
hati Pendekar 212 Wiro Sableng. Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup
sehelai mantel dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap gadis
itu!
Sebenarnya,
di satu tempat pada malam itu Wiro sudah berniat menghentikan pengejarannya
terhadap Gempar Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur tapi
lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara pekik raungan. Suara itu
didengarnya sampai berulang kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga, Wiro
laksana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia berada beberapa puluh
tombak, di satu pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang
diterangi oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam,
memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak sejauh itu Wiro tak dapat melihat
jelas tampang manusia itu namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi!
Keris
hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya
mencurah seperti hujan deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa
buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun
segala kehebatannya Hu hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya.
Jurusjurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh permainan silat
"Orang Gila" yang mulai dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak
Gempar Bumi lepaskan… senjata rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan
telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum hitam itu bermentalan kian ke mari!
"Aku
minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!" kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke
muka dalam gerakan yang terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi
merupakan suatu gerakan yang sangat mudah untuk diserang! Segera dia tusukkan
Keris Penyingkir Jiwa ke dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala!
Namun dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit tusukan itu.
Dan
Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahutahu tangan lawan telah mencengkeram
lengan kirinya!
Gempar
Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan
"Kraak!"
"Suara
"kraak" itu disusul dengan suara pekikan setinggi langit dari mulut
Gempar Bumi! Lengan kirinya sebatang bahu tanggal, daging dan urat-urat
berbusaian! Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan!
"Berteriaklah
memanggil majikanmu Datuk Sipatoka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya
menyusup ke depan.
"Kraak!"
Untuk
kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang
sebelah kanan patah!
"Kau
akan mampus dengan menderita lebih dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan terima
imbalan atas dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan jurus-jurus
silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari
tangan kanannya.
"Craas!"
, Gempar
Bumi melolong.
Biji
matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar. Tubuhnya terhuyung nanar.
"Sati!
Bantu aku!" teriak Gempar Bumi.
Tapi Sati
sudah sejak lama terhampar di muka pintu pondok dalam keadaan pingsan!
"Kenapa
tidak minta bantuan pada setan-setan penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau
manusia turunan iblis juga hah?!" bentak Wiro dan melangkah mendekati
Gempar Bumi.
Gempar
Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan tak ani pun lagi
tubuhnya tergelimpang jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya
disangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tubuh Sati tapi ketika
ditolehnya ternyata tubuh Mayang. Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi.
Meski bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup!
"Pemuda
keparat! Kau inginkan perempuan ini! Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan
serentak dengan itu dihunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!
Laksana
orang kemasukan setan Wiro Sableng meraung! Seantero bergetar! Sinar putih
melesat menyambar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang diri ke
samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Matahari itu tapi sia-sia saja!
Sebagian dari tubuhnya kena tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit.
Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang kesakitan. Meski dalam beberapa
kejap mata lagi Gem-par Bumi akan segera menghembuskan nafas penghabisan namun
Wiro masih belum puas. Dia melompat ke muka, mencengkeram rambut dan dada
Gempar Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia terkutuk itu!
Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar Bumi!
Wiro
Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangkunya gadis ini. Darah telah membasahi
dada yang tiada tertutup apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang membasahi
pula pakaiannya.
"Mayang…"
bisiknya.
"Mayang,"
panggil Wiro lebih keras. Diusapnya kening dan rambut perempuan itu. Sepasang
mata Mayang membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya daripada
hitamnya.
"Wi…
ro…." Mata yang sudah mengabur itu masih sanggup juga mengenali wajah di
depannya. "Sakit sekali rasa… nya…."
"Kau…
kau akan kuobati. Kau akan sembuh," kata Pendekar 212 tersendat-sendat
karena dia tahu katakatanya itu tak bakal menjadi kenyataan.
Mayang
juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap
matanya ditutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah mengambil
nyawanya. Dia mati dengan senyum masih membayang di bibirnya yang mungil dan
agak membuka sedikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merangkuli
tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu. Dia baru sadar ketika di
ufuk Timur kelihatan sinar terang. Ternyata fajar telah menyingsing.
Dipandanginya lagi wajah Mayang dikeheningan pagi yang segar. Perlahan-lahan
ditundukkannya kepalanya dan diciumnya bibir yang membuka itu dengan segala
rasa kasih dan mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya ke pondok.
Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro
gerakkan kaki kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau
tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan maka kali ini tubuh itu tak berkutik
lagi tanpa nafas!
Di dalam
pondok Wiro menemui mayat seorang perempuan tua: Dia tak tahu siapa perempuan
tua ini adanya tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan tua
itu seorang yang berilmu tinggi dan dari go-longan putih. Karenanya sesudah
menggali kubur untuk Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perempuan
tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi jagad raya maka di muka pondok
di tepi sungai itu kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan….
**************
13
Matahari
berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin dari barat
bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan
hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri
di satu pedataran tinggi. Tak d i perdu I ikannya keterjkan sinar matahari. Tak
diacuhkannya butirbutir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal.
Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di
telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. .
Sepasang
mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya
menjulang sebuah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tampak sebuah
bangunan besar yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar tinggi putih.
Wiro memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan
lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia yang jadi korban Datuk
Sipatoka dan anak buahnya! Berapa ribukah manusia yang telah menjadi korban
keganasan itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak manusia ditumpuk
demikian rupa hingga kemudian menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit
Tambun Tulang?!
Wiro
memperhatikan baik-baik rumah besar dan sekitarnya. Rumah besar ini beratap
seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga sedang
di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga yang menghubungkan tanah
dengan pintu rumah besar.
Yang
membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah karena matanya tidak melihat seorang
manusia pun baik di dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa
suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan
membawa maut?! Atau mungkin itu bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!
Wiro tak
mau membuang waktu lebih lama untuk tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu
rupa. Diperbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip di pingang di
balik baju putihnya. Kemudian diambilnya buntalan yaag terletak dekat kakinya
dan sekali berkelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, terus lari
laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran tinggi.
Ketika
dia sampai ke pagar putih itu suasana masih tenang-tenang saja seperti
sediakala. Dan waktu memandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih
itu terbuat dari susunan tulang belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekaakaa
telapak tangan kirinya ke pagar tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar
itu kokoh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap saja pagar
itu tak bergerak apalagi bobol!
Wiro
memandang berkeliling lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu
setinggi dua puluh tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan tengkorak
kepala manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat
di atas cabang itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang lalu dengah
satu gerakan yang lebih keras maka tubuhnya terlempar melesat ke atas susunan
tengkorak. Setelah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro melayang turun ke halaman
dalam Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya.
Rasa ngeri menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar
yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang sampai
ke atapnya terbuat dari tulang belulang dan tengkorak manusia!
Belum
lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu dan
jendela-jendela rumah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum dahsyat
laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sableng bergetar hebat! Sekejap
kemudian dari pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar
puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan taringnya yang besar runcing
lalu serempak menyerbu ke arah Wiro Sableng!
Wiro
sadar kalau dia lelah masuk ke dalam perangkap kematian! Segera dia songsong
serangan harimau itu sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar
Buah!" Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi sesaat kemudian
dengan serempak mereka telah menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro
memandang berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh
dengan harimau! Dia merasa laksana berada di tengah lautan harimau! Dan
kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek atau
menerkam tubuhnya!
Melihat
gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan
dan Pukulan Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak
menghadapi puluhan harimau!
Melihat
kilauan dan angin deras ganas yang keluar dari Kapak Naga Geni 212,
binatang-binatang itu tampak tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa
ketika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung dan menyerbu kembali.
Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau
mengaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena di-sambar Kapak Naga Geni
212. Kira-kira selusin lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika
dia menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah bertempur seratus jurus
lebih! Puluhan ekor harimau telah dttewaskannya! Namun yang masih tinggal
menyerang lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena melihat genangan
darah kawan-kawan mereka!
Wiro
putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan
atau ke belakang. Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang
menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama
menggerung kesemuanya melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula
semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu bahwa
seseorang telah menggerakkan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!
Tapi di
mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan agaknya Wiro tidak memperdulikan
lagi hal itu. Tubuhnya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya.
Tulang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Kejurusan mana saja dia
memandang hanya bangkaibangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang
diliputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi bergidik! Keletihan
membuat dia duduk terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah
serta mengembalikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah
perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya!
Bila
dirasakannya kekuatannya sudah putih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah
besar tempat sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya
manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi orang
dari tempat yang tersembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh
genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat darah
binatang-binatang itu!
Wiro
Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan
tenaga dalam dia berteriak:
"Datuk
Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk menyelesaikan
urusan? Harap ke luar perlihatkan dirimu…!"
Baru saja
Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang dipijaknya
bergetar. Kedua kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga
rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang kepalang. Halaman di
mana bergelimpangan puluhan harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari
Utara ke Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang besar. Telinganya
menangkap suara berkereketan. Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit
demi sedikit amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat
cekungan.
"Gendeng
betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang
berbentuk tanduk ker bau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak!
Sewaktu dia sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah, seperti mimpi
dia rasanya. Rumah besar dan bangkaibangkai harimaa lenyap! Yang kelihatan
kini ialah sebuah halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok
matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana
keanehan ini bisa terjadi?!
Dalam
selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba dia melihat sebuah pintu di
kaki pagar sebelah Timur. Tadi sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini
kenapa tahu-tahu sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak
bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu terbuka. Wira cepat raba
Kapak Naga Geni 212-nya. Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya
tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar
matahari. Keduanya melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di
tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro berdirj dengan
bantalan di tangan kiri lalu salah seorang di antaranya berseru.
‘Tamu berpakaian
putih-putih silahkan turun!"
"Kalian
siapa?!" tanya Wiro.
"Kami
adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"
"Kalau
begitu katakah padanya bahwa aku hendak
bertemu
dengan dia."
‘Turunlah!
Kami antarkan kau padanya!"
Wiro
berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya bukan main, menggetarkan
pagar tulang belulang di mana dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan
kedua dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang perangkap baru baginya!
"Suruh
saja Datuk Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro. Jelas kelihatan pembahan
pada wajah kedua dara berpakaian kuning. "Nyalimu besar sekali! Tapi
mengapa disuruh turun untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak mempunyai
keberanian sama sekali?!"
"Sialan!
Kalau aku tak punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas panggil
Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh bagus untuknya!"
Kedua
dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi berdiam
diri saja tiba-tiba buka mulut keluarkan suara:
"Sekali
kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup ke luar hidup-hidup!"
Wiro
Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk
musti ada keluar!"
Si dara
baju kuning mendengus.
"Apa
matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!"
Wiro
tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan yang
dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di
sekujur tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar. Ditelitinya
lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini terkejutlah dia! Sekeliling pagar
tinggi itu terselimut semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak
diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa
yang tercium oleh Wiro.
Di
bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju kuning.
"Sekali
kau berani melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh
cacat seumur hidup! Lekas turun!"
Wiro tahu
bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk menakut-nakutinya. Dia telah rasakan
sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang sedang
debaran jantungnya bertambah keras! Heran, padahal dia telah digembleng
demikian rupa hingga kebal terhadap segala macam racun tapi mengapa asap seribu
tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?!
Dengan
kertakkan rahang Wiro Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik lamanya dia
saling pandang memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam hatinya Wiro
berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik jadi pesuruh Datuk Sipatoka!
Geblek betul!" Agaknya kedua gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan
tam-pang Pendekar 212. Namun yang seorang segera membentak:
"Lekas
ikut kami!"
"Awas!
Kalau kalian menjebakku, kalian akan mampus percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua
gadis tak berkata apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah Umur, Wiro
mengikuti di belakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa siap dekat
hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-gala kemungkinan yang ada! Mereka
memasuki pintu di sebelah Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk begitu
pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat gandakan kewaspadaannya.
Sepuluh langkah meninggalkan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke
bawah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu
kemudian bercabang dua. Kedua dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro
mengikuti. Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini
baik bagian lantai maupun atas serta samping dilapisi dengan tulang-tulang
manusia, dihias dengan beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa
hingga seperti bunga!
Lewat
sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak enak.
"Ini
ke mana?!" tanyanya.
"Jangan
banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara baju kuning paling muka.
Tak lama
kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang kelihatan di
depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang
luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang telah dihadapi
Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang
belulang ilu, di situ terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari
tulangtulang iga manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu
gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua gadis
menyibakkan gabagaba ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng.
Pendekar
212 tak segera masuk. Dia memandang ke dalam dengan mata menyelidik dan
terkesiap. Di hadapan pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput yang
dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang belulang! Di seberang halaman
berumput kelihatan bagian depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya
berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari tulang putih,
diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu dibayangi kengerian bagi
Pendekar 212.
"Ayo
masuk!" seru dara baju kuning.
Wiro
menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat untuk
kembali. Dengan kuatkan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar
212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.
**************
14
Sampai di
hadapan tangga gedung besar dari tulang belulang kedua gadis baju kuning
hentikan langkahnya.
‘Terus
masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu!" kata
salah seorang dari daradara baju kuning.
"Kalian
sendiri mau ke mana?"
"Apa
urusanmu?!"
Wiro
memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu menaiki
tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di satu
ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh orang kelihatan duduk di
ujung dalam ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki,
tulang iga dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian hitam, hanya
seorang yang berpakaian lain dari yang lain.
Orang
yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk di deretan terdepan sebelah
tengah. Tubuhnya cebol sekali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak
mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tubuhnya yang cebol itu,
kepalanya amat besar sekali, demikian juga telinganya. Rambutnya panjang
menjulai bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut kambing!
Sepasang matanya yang merah menyorot tajam, keseluruhan air muka manusia ini
membayangkan kebengisan!
Inikah
Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya. Sebelumnya
dia menduga manusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar, tapi
nyatanya cebol begitu rupa.
Di
samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang
menjadi perhatian Wiro Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini.
Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat dari kulit
harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan
keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan panjangnya kira-kira tiga
perempat jengkal! Itulah hal kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga
ialah kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam tanda dia memiliki
semacam ilmu pukulan yang hebat dan mengandung racun jahat!
Wiro
berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi
terdepan. Suasana sesunyi di pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang
buka suara. Hanya pandangan-pandangan mata yang saling bentrokan dengan
pandangan mata Wiro Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih
sunyi juga, Wiro akhirnya berkata:
"Apakah
aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh
cebol kepala besar memandang lekat-lekat pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan
tertawa gelakgelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga menggetarkan
sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendatnyendat jalan darahnya. Buntalan di
tangan kirinya kalau saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro
kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam
untuk menolak gempuran suara tawa yang dahsyat itu.
"Istana
Sipatoka di bawah bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa
pulang!" si cebol kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata
yang diucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pendengaran Wiro
Sableng hingga kembali pendekar ini merasa tergetar sekujur tubuhnya.
Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya kembali.
Dan di
hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana
bait-bait pantun.
"Delapan
puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar banjir
darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat demikian
rupa?!"
Wiro
kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung
sejenak maka dia pun menjawab dengan ucapan berpantun pula!
"Jauh
berjalan menyeberangi samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada
pangkal sebabnya. Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"
Semua
orang kelihatan saling berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan
sepasang alis matanya. Dan saat itu Wiro berkata pula:
"Delapan
puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu
tak dikenal berbuat begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang
sengketa?!"
Datuk
Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab:
"Silang
sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah bosan
hidup katakan saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?!"
Wiro
tertawa mengekeh.
"Datuk
Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara tapi
untuk mengusut urusan yang telah kau buat di Pulau Madura!"
"Urusan
apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah
mukanya karena ucapan Wiro tadi.
"Di
Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri
sebuah kitab miliknya!"
Paras
Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan
perubahan paras itu!
"Jangan
bicara tak karuan di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua
buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris yang
bergelantungan dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.
"Ocehanmu
bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka.
Wiro
menyeringai.
"Kita
akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang berkicau macam burung kehilangan
sarang!" Habis berkata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan
kanan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki Datuk Sipatoka. Benda itu
adalah robekan kulit harimau yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di
Pulau Madura tempo hari.
"Itu
adalah robekan pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih
mau mungkir? Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk mungkir!"
Air muka
Datuk Sipatoka membesi.
"Katakan
siapa namamu dan apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku
telah kusampaikan beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu,"
sahut Wiro seraya memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang lakilaki
yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Lakilaki inilah yang memiliki
pondok di tepi sungai yang telah dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa
Mayang."
Datuk
Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang telah mendapat laporan dari anak
buahnya itu tapi tidak menyangka kalau inilah pemudanya yang telah
"mengukir" tiga buah huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan
tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk
menanyakan!"
"Pemuda
nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam tangan?!
Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang ke mari
hanya untuk mencari mati!"
Wiro
tertawa dingin.
Ini
membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling. Namun
sebelum dia memerintah anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang
jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh
untukmu!"
Setelah
berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan
kiri.
"Apa
ini?!".sentak Datuk Sipatoka.
"Silahkan
buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya.
Meski
hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang anak buahnya.
Anak buahnya ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk membuka
ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki Datuk Sipatoka.
Begitu
buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan!
Yang
terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya sebelah
kanan hanya merupakan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan
urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang mengering! Meski kepala itu
sudah demikian rusak dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan tersebut
yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama
Datuk Sipatoka!
Datuk
Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa lagi!
Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu utamanya
yang berkepandaian sangat tinggi di antara anak buahnya! Tapi tokh dia mati
demikian rupa! Dan siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang telah
membunuh Gempar Bumi!
"Bedebah
bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat!" Datuk
Sipatoka memandang berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek:
"Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya hingga
jadi debu!"
Maka dua
puluh orang laki-laki berseragam hitam berlompatan dari kursi masing-masing.
Enam orang di antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu dengan gambar
kepala harimau kuning besar di dada pakaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu
biasa tetapi yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!
Ketika
menyerbu pembantu-pembantu biasa dan pembantu-pembantu kelas dua langsung
mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan kosong!
Melihat
serbuan yang laksana air bah ini Wiro Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak
Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji Pukulan
Sinar Matahari!
Begitu
tawan menyerbu Wiro segera bergerak.
Terdengar
suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah darah dan
rubuh! Tiga orang pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak berkutik
lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa mencelat mental dan jatuh
bergelimpangan di lantai tanpa nafas!
Datuk
Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya demikian juga bahkan Pendekar 212
Wiro Sableng ikut terkejut!
Waktu
lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama sekali
belum menghantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa dahsyatnya di
atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh!
Datuk
Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan menggoyang-goyang nya beberapa kali.
Empat puluh daradara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di tangan.
Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang sekaligus merangkap peliharaan
Datuk Sipatoka!
"Lepaskan
asap seribu tulang! Tutup semua jalan keluar!" perinlah Datuk Sipatoka
pada dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu
lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Datuk
Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak:
"Orang yang sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"
Wiro
Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara tertawa
bergelak. Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa
menduga dengan pasti siapa orangnya!
"Sipatoka,
kau belum layak melihat diriku!" kata orang yang di atas loteng.
Datuk
Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat jago kelas satu dan memberi
isyarat! Keempat anak buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan
kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam. Empat larik angin pukulan
yang dahsyat menderu ke atas! Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol
hancur berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulang-tulang itu,
keempat jago kelas satu itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang laki
muntah darah dan konyol!
Geraham-geraham
Datuk Sipatoka bergeme Makan. Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka
pucat! Dan di loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka kembali terdengar
suara tertawa bergelak!
"Kurang
ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan kanannya bergerak mencabut sepuluh
keris emas kecil yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap kemudian
senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke loteng di atas kepalanya!
**************
15
Tapi
betapa terkejutnya Datuk Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu laksana
ranting-ranting kering dilanda angin puting beliung ke sepuluh keris itu
berpelantingan ke bawah. Dua buah melesat ke arah Datuk Sipatoka, selebihnya
bermentalan ke arah pembantu-pembantunya yang duduk di kursi! Sekali mengebut
kan jubah kulit harimaunya maka mentallah kedua keris yang menyerang Datuk
Sipatoka. Tapi tidak demikian dengan pembantupembantunya! Suara pekik
melengking raungan laksana hendak meruntuhkan langit-langit. Delapan orang
terkulai di kursi masing-masing tanpa bisa bergerak lagi. Mereka adalah dua
orang pembantu kelas satu, empat orang pembantu kelas dua dan dua orang
pembantu biasa! Tubuhtubuh mereka ditancapi keris kuning milik Datuk mereka
sendiri! Ada yang menancap tepat di ubun-ubun, ada yang di muka, di dada dan di
perut!
Paras
Datuk Sipatoka kelam membesi. Mulutnya berkomat kamit. Janggut dan kumisnya
laksana kawat meranggas karena amarah! Kedua tangannya yang hitam saling
digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian dari kedua tangannya itu
mengepullah asap hitam yang berbau busuk!
"Manusia
di atas loteng tahukah kau pukulan apa yang sebentar lagi hendak kulepaskan
jika kau tetap berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?!"
Orang di
atas loteng tertawa gelak-gelak.
"Dari
tempatku ini aku dapat melihat jelas, Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka
siapa yang takutkan? Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling hebat yang
terakhir kau miliki Sayang…" dan orang itu tertawa lagi gelak-gelak lalu
menyambungi: “Tapi jika kau mau mengadakan perjanjian aku bersedia muncul
unjukkan diri!"
"Perjanjian
macam mana?!" tanya Datuk Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok kedua
telapak tangannya. Sampai saat itu dia masih tetap duduk di kursi
kebesarannya!
"Kau
bertempur sampai seratus jurus melawan pemuda pakaian putih rambut gondrong
itu…!"
Wiro
Sableng tersentak kaget.
"Lalu?!"
bentak Datuk Sipatoka.
"Jika
pemuda itu menang, kau harus bunuh diri! Sebelum bunuh diri kau harus pesankan
pada anak-anak buahmu, pada seluruh isi Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan
semua bangunan yang ada di sini dan agar mereka semua kembali ke jalan yang
benar!"
"Jika
dia yang kalah apa imbalannya?" tanya Datuk Sipatoka.
"Pertama
kau boleh bunuh pemuda itu, juga boleh tamatkan riwayatku. Kedua buku Seribu
Macam Ilmu Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki untuk
selama-lamanya!"
Berubahlah
paras Datuk Sipatoka. Dia tidak terkejut pada syarat-syarat perjanjian yang
dikatakan. Tapi begitu mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan
berada di tangan orang yang di atas loteng itu kagetlah dia! Wiro Sableng
sendiri terkesiap karena justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk
mencari buku itu!
"Kurang
ajar!" terdengar makian Datuk Sipatoka menggeledek. "Darimana kau
ambil buku itu?!"
"Dari
dalam kamarmu tentu!" sahut orang di atas loteng dan tertawa mengekeh.
"Bagaimana?!"
Dalam
hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-habisan. Jika orang itu dapat masuk ke dalam
Istana Sipatoka dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam
kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa sekali dan dia telah saksikan
sendiri tadi! Menurut pandangan Datuk Sipatoka kalau bertempur melawannya belum
tentu dia bisa dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk mengalahkan lawan
bukan hal yang mudah pula bagi Datuk Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro
Sableng seorang pemuda yang tak perlu begitu ditakutkan maka dia pun mendongak
ke loteng dan berseru:
"Aku
terima perjanjianmu!"
"Bagus!
Tapi harap kau sampaikan dulu pesanmu pada seluruh isi istana ini!" sahut
orang yang masih bersembunyi di balik loteng.
"Kentut
apa kati kira pemuda tengik itu pasti akan mengalahkah aku?!" teriak Datuk
Sipatoka marah.
"Belum
tentu memang! Tapi kalau kau tak bersedia menerima persyaratan berarti
perjanjian balai. Dan terpaksa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan kubawa
pergi!"
"Kurang
ajar!" maki Patuk Sipatoka geram. Tapi dia kerahkan juga tenaga dalam dan
berteriak hingga mengumandang ke seluruh pelosok Istana Sipatoka.
"Seluruh
isi Istana Sipatoka. kalian dengarlah pesan Datukmu ini! Aku akan bertempur
melawan seorang pemuda tengik yang kesasar datang ke tempat kita! Jika aku
kalah maka kalian harus memusnahkan segala apa yang ada di sini dan kalian
kembali ke dunia luar, ke dalam jalan yang benar. Sekian!" Datuk Sipatoka
memandang ke atas dan berseru: "Nah orang di atas loteng, puaskah kati
sekarang?!"
"Puas…
puasi" sahut orang itu. Sekejap kemudian diiringi dengan suara tertawa
gelak-gelak maka bobollah langitlangit ruangan dan sesosok tubuh berpakaian
putih berkelebat dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata saking cepatnya
tahu-tahu orang ini sudah duduk menjelepok seenaknya di sudut ruangan! Di
pangkuannya ada sebuah kitab. Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai ternganga dan
garuk-garuk kepala:
"Tua
Gila-.." desis Pendekar 212 laki cepat-cepat menjura hormat.
"Ah!
Kau masih saja pakai segala macam peradatan yang membikin muak perutku!"
kata orang yang duduk di sudut ruangan yang memang Tua Gila adanya!
"Hadapi
si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau menang tapi kalau tidak kau akan mampus,
aku akan konyol!" Sehabis berkata keras begitu Tua Gila pergunakan ilmu
menyusupkan suara memberi bisikan pada Wiro. "Kapak di tangan kanan.
Pukulan Sinar Matahari di tangan kiri! Sekalikali jangan pukul bagian
tubuhnya! Jika dia pergunakan Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan
Sinar Matahari dan hantam dengan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang
kuajarkan padamu!"
"Ayo
Sipatoka kau tunggu apa lagi?!" Tua Gila membentak.
Dan Datuk
Sipatoka melompat turun dari kursinya.
Gerakannya
seringan kapas! Setelah meneliti Wiro sejenak dia bertanya: "Maumu dengan
tangan kosong atau pakai senjata?!"
Wiro
ingat nasihat Tua Gila. Maka dia pun menjawab: "Kalau kau punya senjata
silahkan dikeluarkan!"
Datuk
Sipatoka tertawa sinis dan cabut sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar
senjata ini hitam menggidikkan!
"Mulailah!"
kata Datuk Sipatoka.
Wiro
tertawa. "Kau tuan rumah silahkan mulai lebih dulu!" Lalu Wiro cabut
Kapak Naga Geni 212.
Datuk
Sipatoka sunggingkan seringai mengejek. Meski dia belum bisa mengukur
ketinggian ilmu lawannya namun dia merasa yakin akan membereskan si pemuda di
bawah dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan hingga makin tambah cebol
kelihatannya. Dari mulutnya terdengar suara menggoreng macam suara harimau.
Mula-mula perlahan lalu mendadak sontak keras menggedetek, menggetarkan
seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah kerahkan tiga perempat dari tenaga
dalamnya hingga suara bentakan dahsyat itu tidak mempengaruhinya!
Tiba-tiba
tubuh Datuk Sipatoka berkelebat lenyap! Tahutahu keris hitam bercabang tiga
sudah berkelebat hanya tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng!
Wiro
terkejut lekas-lekas melompat ke samping. Meski tangan kirinya mempunyai
kesempatan leluasa menjotos tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila
tadi maka hal itu tidak dilakukannya!
Hampir
keris bercabang tiga itu lewat di sampingnya tiba-tiba dengan sebal Datuk
Sipatoka menusuk ke perut sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat!
Wiro geser kaki kanan. Sambit miringkan badan Kapak Naga Geni 212 dibabatkan ke
bawah! Meski senjatanya adalah senjata mustika sakti namun melihat Kapak lawan
yang agaknya bukan sembarang senjata pula maka Datuk Sipatoka tak berani ambil
keputusan untuk adu senjata! Tarik pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat
gandakan pukulan tangan kirinya hingga angin pukulan yang ke luar laksana topan
prahara! Di lain pihak Wiropun sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar
Buah yang mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya!
Terdengar
suara seperti letusan sewaktu kedua angin pukulan itu saling beradu dengan
segala kehebatannya. Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung
sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas pergunakan ilmu
mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat terhuyung ke belakang namun mungkin
akan terhenyak jatuh duduk di lantai tulang!
Terkejutlah
manusia cebol ini. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu hebat, lebih
tinggi sekitar satu dua tingkat dari tenaga dalamnya sendiri! Dan diam-diam dia
mulai menyangsikan apakah dia akan sanggup mengalahkan pemuda itu di bawah dua
puluh jurus sebagaimana yang dipastikan semula!
Jurus
kedua dibuka kembali oleh Datuk Sipatoka dengan serangan yang lebih ganas dari
pertama tadi. Dia meraung macam harimau ketika serangannya yang sekali ini pun
berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga, Datuk Sipatoka keluarkan ilmu silat
yang pating diandaikannya yaitu ilmu Silat Harimau! Wiro telah pernah
menghadapi ilmu Silat Harimau yang dimainkan Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia
tidak mengeluarkan ilmu Silat Orang Gila yang diajarkan Tua Gila pastilah dia
kena dicelakai. Dan kini Datuk Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang
jurusjurusnya aneh berbahaya dan lima kali lebih hebat dari yang dimainkan
Gempar Bumi!
Dan dari
mulut Pendekar 212 Wiro Sableng keluar suara suitan keras yang disusul dengan
siulan tinggi tak menentu luar biasa Wiro mulai keluarkah jurus-jurus
pertahanan dari ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang singkat lima belas
jurus sudah berlalu. Datuk Sipatoka merutuk dalam hati dan perhebat
serangannya!
Tiba-tiba
mengiang suara halus laksana suara nyamuk di telinga Wiro Sableng.
"Goblok!
Mengapa cuma bertahan? Apa tidak mampu menyerang?!" Itulah dampratan yang
dilontarkan Tua Gila yang duduk enak-enak di sudut ruangan.
Wiro juga
sadar. Meski dia bisa bertahan tapi kalau tak membalas serangan tawan lama-lama
dirinya bisa dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga Geni 212 di tangan
kanan lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam belas untuk pertama kalinya dia
menyerang dengan mempergunakan Jurus Kepala Naga Menyusup Awan.
Kapak
Naga Geni 212 mendengus laksana suara ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat.
Kepala kapak menderu ke bawah lalu laksana seekor naga yang memunculkan
kepalanya dari dalam lautan sen jala itu melesat ke arah batang leher Datuk
Sipatoka!
Sang
Datuk sengaja tidak berkelit. Keris cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke arah
bawah ketiak tawan karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya akan lebih
cepat menemui sasarannya daripada senjata lawan!
Pendekar
212 tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan kerugian posisinya bila dia
meneruskan serangannya. Karenanya dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan
berkelit. Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus serangan baru yang
dinamakan Kincir Padi Memutari Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan
berkiblat dalam bentuk putaran yang sangat kecil!
Datuk
Sipatoka berseru keras dan tundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari
sambaran senjata lawan. Tapi sedetik kemudian mata kapak telah menyambar ke
bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan dan dia memaki keras sewaktu sesaat
kemudian senjata lawan telah memapas ke pinggul terus ke arah kedua kakinya!
Satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan yang berputar itu ialah melompat
ke luar dari kalangan pertempuran. Meskipun ini akan memberi pandangan pada
orang-orangnya bahwa dia mulai kewalahan menghadapi si pemuda berambut gondrong
tapi Datuk Sipatoka terpaksa melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Bila
dia sudah lepas dari serangan yang berputar itu dia akan segera balas
menyerang. Tapi kejutnya bukan alang kepalang karena ketika baru saja dia
keluar dari kalangan pertempuran tahu-tahu senjata lawan memburu dalam jarak
yang sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak pasti kasip! Tiada jalan lain
daripada menangkis. Datuk Sipatoka palangkan keris mustikanya
‘Traang!"
Bunga api
memercik.
Datuk
Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah satu cabang kerisnya patah dan mental!
Tangannya tergelar hebat! Wiro sendiri merasakan tangan kanannya yang memegang
gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedal sakti. Dia tidak perduli, malah dengan
mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar
Matahari!
Beberapa
orang anak buah Datuk Sipatoka menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih
yang silau dan luar biasa panasnya menderu di depan mereka!
Meski
dalam keadaan kepepet, Datuk Sipatoka tidak kehilangan akal! Serta merta dia
jatuhkan diri sama rata dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya
cabut sepuluh keris-keris emas yang; bergantungan di pakaiannya lalu
dilemparkan ke muka!
Pukulan
Sinar Matahari menyambar ke atas tubuh Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di
bawah sinar pukulan yang dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke arah
sepuluh bagian tubuh Pendekar 212.
Wiro
Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan.
"Trang…
trang… trang!"
Suara itu
terdengar berturut-turut sampai sepuluh kali. Dan ke sepuluh senjata mustika
yang dilemparkan Datuk Sipatoka mental patah tersambar Kapak Naga Geni 212!
Oikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar Matahari yang tak berhasil menerpa
tubuh Datuk Sipatoka terus melanda dinding Istana Sipatoka. Dinding yang
terbuat dari tulang yang kokoh itu bobol berkepingkeping. Atap istana turun ke bawah
hampir runtuh!
"Kurang
ajar!" rutuk Datuk Sipatoka seraya melompat bangun. Seluruh ilmu
simpanannya telah dikeluarkannya. Mereka telah bertempur hampir enam puluh
jurus dan ternyala dia tak sanggup menumbangkan lawannya malah nyawanya hampir
saja dilalap mentah-mentah!
"Kematianmu
dalam saat ini juga, keparat!" desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan
ke balik pinggang. Kedua tandannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain.
Sedetik kemudian asap hitam mengepul dari kedua tangan itu. Asap hitam yang
berbau busuknya bangkai manusia! Wiro tutup indera penciumannya. Sesuai dengan
ucapan Datuk Sipatoka. Kapak Naga Geni 212 dimasukkan kembali ke dalam
pakaiannya. Pukulan Sinar Matahari disiapkan di tangan kiri sedang telapak
tangan kanan sudah terisi aji pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung".
Kepulan
asap hitam yang busuk luar biasa itu semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-anak
buah Datuk Sipatoka yang ada di tempat itu sudah sejak tadi menyingkir karena
mereka maklum akan kedahsyatan Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan
pemimpin mereka. Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu tapi tubuhnya
akan berbau busuk seumur hidup!
"Orang
muda, sekalipun kau punya seribu macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini
kau bisa larikan diri dari liang neraka!"
"Wiro
berdiri dengan siap saja. Meski kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak teratur
dari sela bibirnya sampai saat itu masih mengumandang, membuat Datuk Sipaloka
merasa dirinya dianggap sepi saja!
Suasana
sehening di pekuburan sewaktu perlahanlahan Datuk Sipatoka angkat kedua
tangannya ke atasi Kemudian suara menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak
dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka, dua larik sinar hitam pekat yang
busuk, menggidikkan menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sewaktu
Datuk Sipatoka memukul ke depan, Wiro juga telah memukulkan tangan kirinya ke
muka. Sinar putih menyilaukan melesat ke depan, sekaligus memapasi dua sinar
hitam. Terdengar letupan yang dahsyat!
Masing-masing
pihak tersurut lima langkah ke belakang. Sinar putih dan sinar hitam masih
kelihatan di udara karena kedua orang yang bertempur masih belum turunkan
tangan masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga ekor naga yang
berpalun-paiun, berkelahi dan saling gempur dengan dahsyat! Masing-masing sudah
keluarkan keringat dingin dan urat-uraft leher menegang biru!
Wiro
membentak dam dorongkan lagi tangan kirinya. Tubuh Datuk Sipatoka
tergontai-gontai. Wiro membentak lagi sampai beberapa kali. Datuk Sipatoka
laksana ditekan dinding baja. Dia mundur terus menerus dan bertahan dengan
sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima kalinya Wiro membentak lagi dan dorongkan
kembali tangan kirinya Datuk Sipatoka tak sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya
terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu Pukulan Hawa Nerakanya buyar dan lenyap
sedang Pukulan Sinar Matahari Wiro terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk
Sipaloka meraung terguling-guling. Wiro tidak memberi hati. Tangan kanan
didorongkan kini. Dan satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya menyapu
tubuh Datuk Sipatoka membuat tubuh itu terguling-guling di halaman berumput
Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal dari persendiannya sedang kepala
hancur memar! Itulah kehebatan ilmu Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang
telah dilepaskan Wiro Sableng tadi!
Suasana
yang hening menggidikkan itu dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang tua ini
berdiri dari duduknya dan berkata: "Pertempuran hebat! Luar biasa sekali
untuk disaksikan!" Kemudian Tua Gila memandang berkeliling dan berseru:
"Empat puluh perempuan-perempuan muda yang ada di luar Istana harap segera
masuk!"
Sesaat
kemudian ke empat puluh, pesuruh Datuk Sipatoka yang terdiri dari
perempuan-perempuan muda belia itu masuk ke dalam, istana. Melihat
kolega-kolega mereka yang ada di dalam istana, yaitu sisa-sisa pembantu Datuk
Sipatoka pada berlutut di lantai maka ke empat puluh perempuan-perempuan ini
pun berlutut pula di hadapan Tua Gila dan Wiro Sableng.
"Berdiri
semua!" bentak Tua Gila.
Serempak
semua orang itu berdiri.
“Kalian
semua sudah dengar pesan perjanjian Datuk keparat itu, . ?
Semua
orang mengiyakan.
"Begitu
kami pergi, kalian segera memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan semua yang
ada rata dengan tanah..Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana kalian rnau
asal saja menempuh jalan kehidupan yang benar! Kalau kelak kutemui atau
kudengar ada di antara kalian. Yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat
atau memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada ampunan bagi
kalian!"
Tua Gila
berpaling pada Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan,
yang kulitnya sudah robek.
"Ambillah.
Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab ini,..”
Wiro
menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata "Banyak terima kasih atas
segala bantuan mu, Tua Gila “ Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang
tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumadang suara tertawapya yang terdenga
di kejauhan! Wiro Sableng, hela nafas dalam dan garuk-garuk kepala.
TAMAT
No comments:
Post a Comment