Muslihat Cinta Iblis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
SATU
Di ujung
malam di mana cuaca masih gelap dan hawa dingin membungkus serta angin
berhembus kencang, laut selatan bergelombang dahsyat tidak seperti biasanya.
Dalam keadaan seperti itu sebuah perahu berpenumpang dua orang -seolah tak bisa
dipercaya- meluncur pesat membelah ombak. Bertindak sebagai juru mudi adalah
seorang gadis berparas cantik mengenakan pakaian biru tipis. Rambutnya yang
panjang melambai lambai ditiup angin. Di sebelah depan perahu tegak seorang
pmuda bertubuh tinggi kokoh. Keningnya diikat dengan sehelai kain merah. Dia
mengenakan sebuah mantel hitam. Dengan cara aneh yakni berdiri dan
mempergunakan dua batang bambu panjang besarnya tidak melebihi ibu jari orang
ini mendayung perahu. Setiap bambu-bambu itu dicucukkan ke dalam air laut,
perahu melesat ke depan.
“Aku
melihat satu gundukan benda hitam di depan sebelah kiri. Mungkin itu pulau yang
kita cari!” berkata lelaki muda di depan perahu seraya arahkan matanya ang
tidak berkedip jauh ke depan.
“Bukannya
mungkin, tapi itu memang pulau tujuan kita!”, menjawab juru mudi si gadis
cantik.
“Bagus!
Kita sampai lebih cepat dari dugaan!” ujar pemuda bermantel hitam. “Namun aku
menangkap isyarat-isyarat aneh!”
“Isyarat
aneh apa?” tanya si gadis
“Sebelumnya
aku dan juga kau pernah menyiasati dan menyelidik keadaan pulau itu. Setiap hal
itu dilakukan selalu ada kekuatan-kekuatan yang membuyarkan pemusatan pikiran.
Sekarang getaran-getaran itu masih terasa. Tapi halus sekali bahkan nyaris
sirna…”
“Aku
tidak heran,” menjawab si gadis. “Kekuatan dan kesaktian yang kau miliki saat
ini mana ada yang bisa menandingi” Pemuda yang berdiri di depan perahu
menyeringai. Cuping hidungnya tampak mengembang oleh pujian itu. Dua bambu
panjang di kiri kanan kembali ditusukkan ke dalam air laut. Perahu kecil itu
melesat pesat ke depan. Tak selang berapa lama perahu sampai di pulau batu. Dua
penumpangnya melompat ke luar sebelum perahu sempat menyentuh dasar pulau.
“Hati-hati”,
kata si pemuda. “Di tempat seperti ini bahaya bisa muncul tak terduga. Maut
bisa menyambar sebelum kita sempat melihat!”
Sambil
memegang tangan pemuda bermantel hitam, gadis berkata. “Kalau aku sendirian di
pulau ini mungkin aku merasa khawatir. Tapi bersama pendekar yang menjadi raja
diraja di dunia persilatan siapa takut?!”
“Kau
pandai memuji. Kalau urusan di pulau ini sudah selesai aku akan membawamu
bersenang-senang selama tiga hari tiga malam. Kau suka….?”
sebagai
jawaban si gadis memeluk tubuh pemuda lalu mengecup bibirnya.
Kalau
saja berada di tempat lain mungkin pemuda itu sudah terangsang dan ikut terbuai
dalam gelegak nafsu.
“Jangan
gila…! si pemuda berbisik dengan suara bergetar. “Urusan dulu baru
bersenang-senang!”
“Di
tempat sesunyi dan dingin begini, apa yang perlu dikhawatirkan?”
Gadis
berbaju tipis berkata dan sepertinya tidak mau menghentikan peluk ciumnya. Dia
baru terperangah ketika si pemuda menjambak rambutnya lalu mendorong tubuhnya.
“Kekasihku
kalau kau tidak mau menuruti kemauanku, sebaiknya kau menyingkir dulu!” Atau
mungkin kau lupa pernah menyaksikan bagaimana aku menggebuk babak belur dua
gadis cantik kurang ajar tempo hari?”
Mendengar
ancaman orang, gadis cantik ini lepaskan rangkulannya. Nafasnya mengengah dan
dadanya yang besar tampak turun naik tanda dia berusaha menekan gejolak nafsu
yang menguasai dirinya. Dalam udara yang masih gelap dan angin kencang laksana
bayangbayang dua orang itu berkelebat di pulau batu. Di salah satu puncak
bebukitan batu mereka berhenti dan memandang berkeliling.
"Jangan-jangan
kita terlambat. Aku hampir yakin pulau ini kosong … !" berkata lelaki
bermantel.
"Hari
masih gelap. Penglihatan kita terbatas. Sebentar lagi pagi segera datang.
Bagusnya kita tunggu sampai hari terang, menjawab gadis berbaju biru tipis.
Lalu dia mencari tempat yang rata dan merebahkan tubuhnya. Dari caranya
menggolekkan badan serta gayanya memandang jelas dia kembali berusaha memikat
si pemuda. Tapi yang hendak dipikat tak bergerak di tempatnya malah bertanya.
"Kekasihku.
apa yang membuatmu sampai bertingkah aneh seperti ini?"
"Apa
ini salahku? Ingat berapa lama sudah kita tidak bersenang-senang? Sekarang ada
kesempatan. Mengapa tidak dipergunakan?"
Pemuda
itu membungkuk. mendekatkan kepalanya ke wajah si gadis. Mengira dirinya hendak
dicium, si gadis itu gerakkan tangan untuk merangkul. Tapi dengan cepat pemuda
di atasnya mengi baskan tangan itu seraya berkata. "Sekali lagi kau berani
melakukan sesuatu yang mengganggu urusanku, kupecahkan kepalamu. Aku tidak
main-main"
Si gadis
terbelalak. Rahang si pemuda menggembung, pelipisnya bergerak-gerak dan pandangan
matanya menyengat angker. Perlahanlahan dia bangkit dan duduk di alas batu
tidak bergerak juga tidak berani keluarkan suara.
Perlahan-lahan
langit dan ujung laut di sebelah timur kelihatan mulai terang tanda sang surya
akan segera muncul menerangi jagat. Tak lama kemudian pulau itu menjadi terang
benderang. Kemanapun mata dilayangkan hanya bebatuan merah yang tampak. Pemuda
bermantel memberi isyarat agar gadis yang duduk di alas batu segera bangkit.
“Kita
salah menduga. Agaknya bukan cuma kita berdua yang ada di pulau batu merah ini”
Gadis
berbaju biru bangkit berdiri. Dalam udara seterang itu jelas terlihat bagaimana
tipisnya pakaian yang membalut tubuhnya hingga setiap lekuk auratnya terlihat
dengan jelas.
“Bagaimana
kau bisa bilang begitu? Kau melihat sesuatu?" bertanya si gadis.
Yang
ditanya menggoyangkan kepala ke arah barat. Di tepi pantai pulau batu sebelah
barat tampak dua buah perahu terapung-apung di sela-sela batu karang merah.
“Kalau
begitu kita harus bertindak cepat mencari orang itu!” kata si gadis pula. Belum
selesai dia berucap pemuda bermantel sudah berkelebat Mula mula kedua orang itu
mengitari pinggiran pulau. Mereka tidak menemukan siapa-siapa kecuali
tanda-tanda di sebelah timur bahwa sebelumnya memang ada orang di tempat itu
“Sebaiknya
kita menyelidiki ke bagian tengah pulau”, kata orang bermantel pada gadis
temannya.
Si gadis
mengangguk. Kedua orang itu lalu berkelebat ke pusat pulau. apa yang mereka
temukan di pertengahan pulau itu membuat keduanya terkesiap. Di sini mereka
menemukan bagian pulau yang hancur porakporanda.
“Ada
orang di bawah sana!” si gadis menunjuk.
Lelaki
bermantel mengangguk. “Aku melihat tanda-tanda sebelumnya ada sebuah… mungkin
dua buah terowongan di bawah sana, batu-batu yang sangat atos ini… Bagaimana
dan siapa yang telah menghancurkannya? Ini bukan perbuatan alam. tapi pekerjaan
tangan manusia!" Orang ini terdiam sesaat sementara sepasang matanya lurus
memeriksa dengan tajam "Hemmm…. Ada keanehan. Tempat ini hancur
berantakan. Batubatu merah pecah dan rengkah. Tapi aku sama sekali tidak
melihat puing atau pecahan batul"
Paras si
mantel hitam mendadak berubah.
“Keparat!"
keluar kutukan dan mulutnya. “Jangan-jangan kita sudah kedahuluan…. Kau tunggu
di sini. Aku akan turun menyelidik!"
"Aku
ikut!” ujar si gadis. Lalu begitu pemuda bermantel masuk ke dalam lobang dia
langsung saja ikut terjun.
“Hemm!….
ini terowongan pertama…" kata si pemuda begitu menjejakkan kakinya di
dalam lobang dan melihat mulut sebuah terowongan. dia masuk ke dalam terowongan
sampai beberapa belas langkah. "Agaknya terowongan ini berhubungan dengan
pantai. Ada angin bertiup ke arah sini…. Tak ada apa-apa di sini."
Kedua
orang itu segera keluar dari dalam terowongan. Di mulut terowongan mereka
perhatikan terusan lobang di sebelah bawah. Keadaan di tempat ini lebih parah
dibandingkan dengan lobang sebelah atas.
Tanya
berkata apa-apa dia melompat turun. Sesaat kemudian dia sudah menginjakkan kaki
di atas lantai lobang batu merah yang pecah dan rengkah. Tidak seperti di atas.
Di sini dia melihat ada dinding batu yang jebol dan pecahan-pecahan batu
bertebaran di mana-mana. Otaknya yang cerdik serta merta bisa menduga. Ada dua
orang menjebol tempat ini. Yang pertama menjebol tanpa menebar pecahan batu.
Yang kedua daya hantamnya mungkin lebih dahsyat tapi tidak mampu menghindarkan
pecahan batu bertebaran ke mana-mana..:"
Pemuda
ini mengatakan apa yang ada dalam benaknya pada si gadis. Lalu bertanya.
"Kau bisa menduga siapa kira-kira dua orang penjebol tempat ini?"
"Sulit
menduga” Jawab si gadis lalu menatap wajah pemuda berdagu kukuh itu. “Aku
melihat parasmu berubah. Agaknya ada sesualu yang mendadak menjadi
ganjalan?"
Ini
akibat penipuan yang dilakukan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan Aku
bersumpah akan menguliti tubuh mereka lalu mencincangnya sampal lumat! Pendekar
212 Wiro Sableng belum mati! Aku yakin salah satu dan dua penjebol tempat ini
adalah dial"
"Manusia
satu itu bisa kita urus nanti. Sekarang baiknya kita menyelidik ke dalam
terowongan sana," kata si gadis pula.
Dengan
hati-hati kedua orang ini masuk ke dalam terowongan kedua. Belum jauh masuk
tiba tiba pemuda bermantel hentikan langkahnya sementara si gadis keluarkan
seruan tertahan dan tersurut sampai dua langkah. Di lantai terbujur sesosok
jerangkong manusia.
"Lagi-lagi
aku melihat keanehan. Batu-batu atos di luar sana bisa hancur dan rengkah. Tapi
jerangkong lapuk ini seolah tidak tersentuh sedikit pun. Tetap utuh. Tak ada
satu tulang pun yang tanggal dari persendiannya!”
Pemuda
itu membatin dan memandang dengan mata tak berkedip Rahangnya menggembung,
dagunya seolah membatu.
"Tengkorak
siapa itu…" terdengar si gadis bertanya.
“Aku
yakin itu tengkorak orang Cina yang dikabarkan melarikan diri dari Tiongkok
sekitar tujuh puluh tahun silam. Tapi siapa pun jerangkong keparat ini adanya
bagiku tidak penting! Jauh lebih penting mencari di mana beradanya kitab itu!”
Nada kesal jelas terdengar pada suara orang bermantel hitam. Beberapa kali dia
menjambak dan menyisir-nyisir rambutnya yang hitam dan basah oleh keringat. Si
gadis sendiri saat itu pakaiannya telah basah oleh peluh hingga membungkus
ketat tubuhnya yang bagus.
“Aku akan
menyelidik ke dalam sana. Kau tunggu di sini!” Si pemuda lalu melangkah
melewati jerangkong di lantai terowongan. Tak selang berapa lama dia muncul
kembali dengan paras membesi.
"Benda
yang kita cari tidak ada di sini. kita telah kedahuluan orang. Pasti
manusia-manusia yang telah menjebol tempat ini yang mendapatkannya! Keparat!”
"Belum
tentu mereka …"
Lantas
siapa? Setan pulau atau jin laut?! si pemuda membentak Dibentak seperti itu
gadis berpakaian tipis geleng-gelengkan kepata "Kau telah memiliki satu
kitab sakti. Itu adalah kenyataan. Tapi tentang Kitab Dewa itu. Dari jalinan
kisahnya sulit dipercaya kalau kitab itu benar-benar ada. Jangan-jangan hanya
cerita kosong yang sengala disebar untuk mengacaukan dunia persilatan!”
Pemuda di
hadapan si gadis menyeringai lalu tertawa. Tawanya seolah dipaksakan.
"Kalau begitu banyak tokoh dan dedengkot dunia persilatan merebutkan kitab
yang satu itu, kalau Ratu Duyung dikabarkan ikut campur urusan ini dan kalau
Pendekar 212 sampai menyabung nyawa, bagiku Kitab Putih Wasiat Dewa bukan
cerita kosong!" Si pemuda memandang ke arah jerangkong di depannya.
“Keparat
jahanam! Sayang kau tidak bisa bicara! Biar kuhancurkan sekalian!"
Habis
berkata begitu pemuda ini hentamkan kaki kanannya ke arah jerangkong Karena
tendangan itu bukan tendangan bisa maka sekali tendang saja pastilah jerangkong
yang sudah sangat lapuk itu akan mental den hancur berantakan. Pada saat
tendangan akan mendarat di sosok jerangkong sekonyongkonyong di kejauhan
melengking suara tiupan seruling menusuk telinga. Bersamaan dengan itu
terdengar suara dahsyst auman harimau menggetarkan seantero tempat itu. Lalu
udara di dalam terowongan yang tadinya panas mendadak berubah menjadi sangat
dingin.
*****************
DUA
GADIS
berbaju biru berteriak agar mereka segera keluar dari dalam terowongan. Tapi
pemuda bermantel tidak mengacuhkan. Tendangannya tetap diteruskan. Sejengkal
lagi kaki kanannya akan menghantam bagian kepala Jerangkong tiba-tiba entah
dari mana datangnya, satu tabir kabut putih menutupi terowongan itu. Dua orang
di dalam terowongan tak dapat melihat apa-apa lagi. Tendangan kaki kanan si
pemuda melenceng ke samping, menghantam dinding terowongan. Bagian batu yang
terkena tendangan langsung hancur berkeping-keping
"Melangkah
mundur. Keluar dari tempat ini cepat. Ada kekuatan gaib menguasai tempat ini!”
teriak pemuda bermantel. Dia sama sekali tidak merasa takut namun menghadapi
musuh atau kekuatan yang tidak terlihat mau tak mau dia merasa kawatir juga
lalu melangkah mundur sambil menarik tangan si gadis.
Di dalam
lobang di luar terowongan kedua, mereka menunggu namun kabut yang menutupi
pemandangan tidak kunjung sirna. Si pemuda meraba baju hitamnya dl bagian dada.
"Aneh….
Ketika ada kekuatan menghalangi kenapa dia tidak membalas dengan sinar kematian…?
Ah! Sekarang semakin jelas bagiku, kesaktian yang kumiliki dari benda di balik
pakaianku ini tidak akan keluar kecuali aku mendapat serangan secara
langsung!" memikir sampai di situ semakin tidak enak hati si pemuda. Lalu
sambil memberi isyarat pada si gadis dia mendahului melesat keluar dari lobang.
Baru saja
mereka menginjakkan kaki masing-masing di luar lobang di permukaan bukit batu
merah, kedua orang ini dikejutkan oleh empat sosok tubuh yang berkelebat muncul
dan langsung mengurung mereka.
"Siapa
kalian?! Jangan berani berniat jahat kecuali ingin jadi bangkai tak berkubur di
pulau batu merah ini!" teriak si gadis yang segera melihat gelagat tidak
baik.
Sebaliknya
lelaki bermantel tetap tenang saja. memandang satu persatu pada keempat orang
yang ada di sekelilingnya sambil menyeringai. Dia hanya mengenaI satu saja dari
keempat orang itu, yang agaknya sengaja memilih tempat berdiri menjauh dari
tiga orang lainnya. Orang ini bertubuh gemuk pendek, wajahnya merah seram
seperti dedemit. Pada cuping hidungnya sebelah kin melingkar anting aneh
terbuat dari akar bahar. Dia hanya mengenakan sehelai celana gombrong pulih
dekil. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup kelihatan merah seperti udang rebus.
Sekujur tubuhnya menebar bau minuman keras. Di pinggangnya melingkar sebuah
ikat pinggang besar. Pada ikat pinggang ini bergelantungan selusin kendi
terbuat dari tanah, masing-masing penuh berisi tuak keras. Di tangan kirinya
ada lagi sebuah kendi yang setiap selang beberapa saat disorongkannya ke
mulutnya lalu dengan lahap tuak keras yang ada dalam kendi itu diteguknya.
Kalau
berdiri kepalanya tak bisa diam, bergerak kian kemari. Tubuhnya
bergoyang-goyang seolah mau rubuh. Dari mulutnya terdengar suara
berkepanjangan. Entah meracau entah menyanyi.
"Sobat
tua yang aku hormati dan kupanggil dengan gelar besar lblis Pemabuk! Ada
apakah! kau muncul membawa tega gembel jelek ini?!
Mendengar
pemuda bermantel munyebut gelar si gemuk pendek bertelanjang dada yang membawa
kendi-kendi tuak terkejutlah gadis di sebelahnya Alamat urusan menjadi runyam.
Kalau tidak ditangani bisa berabe. Aku dengar Iblis Pemabuk me miliki
kepandaian tinggi luar biasa begitu si gadis membatin.
Tiga
orang yang disebut sebagai gembel jelek kelihatan menjadi merah seperti melepuh
tampang masing-masing Dari pakaian dan dekilnya tubuh mereka memang tidak salah
ketiganya disebut gembel jelek. Mereka mengenakan pakaian rombeng banyak
tambalan. Yang di sebelah kanan seorang kakek tegak memegang sepotong tongkat
butut. Di sampingnya seorang nenek berdiri sambil berkipas-kipas dengan kipas
bambu yang selalu dibawanya ke mana-mana. Di sebelah nenek ini berdiri seorang
kakek memegang satu batok kelapa yang selalu diulurkan seperti sikap seorang
minta sedekah.
Anehnya
walau tadi muka mereka menjadi merah diejek namun sesaat kemudian ketiga orang
tua aneh ini dongakkan kepala lalu sama keluarkan suara tertawa mangekeh.
Begitu kekehan mereka berhenti kakek yang memegang batok kelapa yang rupanya
menjadi pimpinan diri tiga manusia aneh itu berpaling pada pemuda bermantel
lalu membentak.
“Si
gendut pemabuk itu tidak ada sangkut pautnya dengan kami bertiga Kami datang
sendiri dia datang sendiri”
"Oh!
Begitu?!” lelaki bermantel kerenyitkan kening. menyeringai lalu
angguk-anggukkan kepala.
“Di
tempat lain si gemuk pendek berjuluk lblis Pemabuk tertawa melengkung lalu
berkata. Terima kasih. sudah ada yang menerangkan jadi aku tak perlu memberi
tahu!”
“Kalau
terhadap lblis Pemabuk pemuda bermantel bersikap dan blcara hormat rnaka tidak
begitu halnya dengan tiga tua bangka yang tegak di depannya.”
“Monyet-monyet
rombeng! Kalau kalian memang tidak datang berbarengan dengan sobatku Iblis
Pemabuk dan tidak ada sangkut pautnya dengan sobat tuaku itu, maka lekas beri
tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian bersikap menghadang mengurung diriku
dan kekasihku ini.”
“Kekasih
cantik! Huah! Kapan aku bisa punya kekasih secantik itu!" tiba-tiba lblis
Pemabuk berteriak lalu buka mulutnya lebar-lebar dan glukgluk-gluk dia tenggak
tuak dalam kendi yang dipegangnya. Eh, dia kenal aku, tapi aku tidak kenal
dia…! Anak muda bermantel! Menyebutku sobat tua adalah satu penghinaan! Sekali
lagi kau berani memanggilku begitu ambles nyawamu!”,
Lelaki
bermantel cepat menjura. "Orang gagah. harap maafkan kalau panggilan itu
tidak berkenan di hatimu!” Lalu dia berpaling pada tiga orang tua di
hadapannya.
"Jika
kalian bertiga tidak mau mengatakan siapa kalian dan apa tujuan muncul di pulau
ini menyingkirlah sebelum kepala kalian aku potes satu demi satu!"
Mendengar
kata-kata itu karuan tiga orang tua itu tertawa gelak-gelak. Yang satu
bolang-baling kan tongkatnya. Si nenek terus berkipas-kipas sedang kakek
satunya lagi ulur tarik tangannya yang memegang batok berulang kali.
Pemuda
bermantel habis kesabarannya. Dia maju selangkah tapi kakek yang memegang batok
cepat menghadang sambil berkata.
"Masih
muda jangan cepat mengibas amarah! Orang pemarah bisa mati berdiri! Bukankah
begitu leman-teman?"
"Betul!"
tenak si nenek sambil berkipas. Kali ini kipasnya mengeluarkan suara
menderu-deru seperti kobaran api ditiup angin deras.
"Betul!"
seru si kakek satunya sambil goyang-goyangkon tongkatnya di udara hingga
mengeluarkan suara seperti cambuk.
“Hemmm….
Monyet-monyet tua ini sengaja unjukkan kehebatan.
Dikiranya
aku takut!" Lalu dia berseru. "Aku memberi kesempatan sekali lagi.
Jika kalian bertiga tidak lekas merat dari hadapanku, jangan salahkan kalau
kekasihku yang cantik ini akan memberi pelajaran pada kalian!"
"Pelajaran
apa?!" tanya kakek yang memegang tongkat dengan nada dan sikap mengejek.
"Mungkin
pelajaran bagaimana caranya berciuman! Ha… ha… ha … !" menimpali kakek
yang memegang batok kelapa.
"Kalau
memang itu pelajarannya, apa aku boleh pula meminta pelajaran berciuman darimu,
anak muda?! Hik… hik … hikkk!" Si nenek tertawa cekikikan.
Batas
kesabaran pemuda bermantel habis sudah. Dia angkat tangan kanannya untuk
menghantam tapi kakek yang memegang batok kelapa cepat berseru.
"Tahan!
Biar kita blcara baik-baik dulu! Urusan baik kalau memakai cara baik hasilnya
tentu baik pula!"
“Tua
bangka keparat! Kau masih belum memberi tahu apa kau punya urusan! Kau juga
tidak memberi tahu siapa dirimu dan dua kawanmu itu adanya!"
“Wuuuut!"
Si kakek
lambaikan batok kelapanya hingga serangkum angin keras menderu namun hal ini
bukan merupakan serangan yang ditujukan pada pemuda bermantel.
“Hari
sudah siang! Tak ada gunanya blcara bertele-tele. Apa maumu akan kupenuhi.
Baik! Aku segera memberi tahu siapa aku dan dua sahabatku. Kami bertiga selalu
sungkan memberi tahu nama. Biar kuberi tahu saja julukan kami bertiga. Harap
kau memasang telinga dan mendengar baik-baik. Kami adalah Tiga Pengemis Dari
Akhirat!”
Gadis
berbaju biru jadi ternganga sedang pemuda bermantel hitam walau agak bergetar
tapi tetap berlaku terang. Siapa yang tidak mengenal tiga manusia berjuluk Tiga
Pengemis Dari Akhirat ini! Sesuai dengan gelaran yang mereka sandang, ketiganya
memang merupakan pengemispengemis yang hidup dari sedekah orang lain. Namun
mereka bukan pengemis biasa. Selain memiliki kepandaian tinggi mereka terkenal
ganas dan kejam. Soal membunuh bagi mereka sama mudahnya dengan membalikkan
telapak tangan. Bahkan pernah tersiar kabar bahwa ketiganya menerobos masuk ke
dalam Keraton dan mengamuk habishabisan sebelum beberapa perwira tinggi yang
dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana datang mengusir.
Sambil
menyeringai pemuda bermantel berkata “Aku gembira bisa bertemu muka dengan
orang-orang hebat macam kalian. Tapi ada gerangan apa Tiga Pengemis jauh-jauh
datang dari Akhirat ke pulau batu merah yang serba gersang ini “
Kakek
yang memegang batok kelapa batuk-baluk beberapa kali lalu menjawab. “Seperti
tadi aku bilang. Hari sudah siang. Urusan harus diselesaikan cepat. Tak usah
bicara panjang lebar bertele-tele. Dengar baik-baik anak muda. Aku datang ke
pulau ini untuk mendapatkan Kitab Pulih Wasiat Dewa. Kalian berdua kulihat
keluar dari dalam lobang sana. Salah satu dari kalian pasti telah mendapatkan
kitab sakti itu saat ini. Lekas serahkan padaku, lalu kalian boleh pergi dengan
aman!"
Di
sebelah belakang terdengar suara gelegukan berulang kali. Iblis Pemabuk meneguk
habis tuak dalam kendi tanah. Begitu seluruh isi ambles ke dalam perut dia
tidak segera membuang kendi tanah itu melainkan seperti makan kerupuk garing
kendi tanah itu dikunyahnya sampai habis. Kalau tidak terpaku pada urusan Kitab
Pulih Wasit Dewa semua orang yang ada di situ pasti akan melengak terkesiap
melihat apa yang barusan dilakukan Iblis Pemabuk.
"Aku
sudah berkata apakah kalian berdua tuli hingga tidak segera menyerahkan benda
yang aku minta?!" Pengemis tua yang memegang batok kelapa membentak
"Pengemis
tua! Kau dan dua kawanmu jauh-jauh datang dari akhirat hanya membuat ketololan
besar Kau datang ke tempat yang salah. Bicara pada orang yang salah! Berarti
kalian kalau mati pun secara salah!"
“Apa
maksudmu?!" bentak pengemis tua yang perempuan seraya melotot dan sesaat
berhenti berkipas-kipas. Lelaki bermantel menyeringai. Dia berpaling pada gadis
di sebelahnya.
“Kekasihku,
perlihatkan pada mereka kita bukan bangsa kecoak yang bisa diancam dan
ditakut-takuti!"
Gadis
berbaju biru tipis tersenyum. Gigi-giginya kelihatan rata putih bercahaya.
Bibirnya dikulum. Mulutnya dibuka sedikit. Lidahnya yang basah dijulurkan ke
kiri dan ke kanan sedang sepasang matanya terpejam. Selagi Tiga Pengemis Dari
Akhirat terpesona melihat sikap yang seolah mengundang ltu tiba-tiba tubuh si
gadis berkelebat lenyap. Seruan tertahan terdengar tiga kali berturut-turut. Di
lain kejap si gadis telah kembali tegak di samping pemuda bermantel. Dia berdiri
sambil memegang batok kelapa. tongkat dan kipas bambu milik Tiga Pengemis Dari
Akhirat.
Lelaki
bermantel tertawa bergetak melihat dua kakek dan satu nenek pengemis di
depannya berdiri dengan muka pucat.
"Ah…
ah… ah! Kekasihmu, memang telah memberikan pelajaran yang sangat berguna.
Kuharap tidak mengecewakan dibanding dengan pelajaran yang barusan kami berikan
padanya!"
Tentu
saja pemuda bermantel dan gadis di sampingnya Jadi heran mendengar ucapan itu
sementara Iblis Pemabuk terus saja meneguk minuman keras dari dalam kendi tanah
seolah tidak perduli apa yang terjadi di depan hidungnya.
Pemuda
bermantel berpaling pada gadis di sebelahnya. Si gadis sendiri seperti bingung
menunduk memperhatikan dirinya. Astaga! Dua orang itu sama-sama terperangah. Si
gadis seputih kertas wajahnya. Saat itu ternyata pakaiannya di bagian dada
tepat di arah jantung telah berlubang Lalu pada pergelangan tangan sebelah kiri
tampak guratan panjang. Lebih dari itu pada pakaian biru di bagian bawah pusat
kelihatan robekan memanjang. Jika ketiga orang itu berniat jahat terhadapnya
maka tadi-tadi waktu dia merampas tongkat, batok kelapa dan kipas, dirinya pun
sebenarnya sudah diancam bahaya maut. Tiga Pengemis Dari Akhirat bisa menusuk
hancur jantungnya memutus urat besar di pergelangan tangannya atau menjebol isi
perutnya!
Bagaimana
pun tabahnya si gadis namun diam-diam dia jadi keluarkan keringat dingin juga.
Ketika ketiga orang tua itu mengulurkan tangan, entah sadar entah tidak si
gadis menyerahkan kembali tongkat, batok kelapa dan kipas yang tadi dirampasnya
dengan kecepatan kilat.
"Kita
sudah saling memberikan pelajaran berucap kakek yang memegang batok kelapa.
"Sekarang apakah kalian masih belum mau menyerahkan kitab yang kami
minta?!"
"
Kami memang masuk ke dalam lobang batu, terus ke dalam terowongan sebelah
bawah. Kami hanya menemukan satu sosok jerangkong. Kitab yang kalian inginkan
tidak kami temui!" menjawab lelaki bermantel hitam
“Dusta!"
bentak kakek yang memegang batok
“Beraninya
kau bicara bohong setelah nyawa kekasihmu kami ampuni!” teriak pengemis
neneknenek.
“Penipu
busuk!” hardik kakek yang memegang tongkat. Ketiganya serentak maju ke depan
tapi pemuda bermantel cepat menyongsong Begitu sampai di hadapan ketiga
pengemis, berkepandaian tinggi itu dia kibaskan mantel hitamnya ke belakang.
Kini terlihat pakaiannya sebelah dalam. Yakni sehelai baju dan celana hitam.
Pada dada baju hitamnya terpampang lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru,
berlatar belakang sang surya yang memancarkan sinar merah dan kuning.
“Pangeran
Matahari” seru Tiga Pengemis Dari Akhirat dengan tenggorokan mendadak kelu dan
lidah tercekat. Tampang keriput mereka berubah pucat sedang sepasang kaki
masing-masing bersurut mundur. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa orang
dengan siapa saat itu mereka membuat urusan adalah momok nomor satu dalam rimba
persilatan yaitu pemuda berjuluk Pangeran Matahari yang dikenal sebagai
pendekar ganas segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik segala
congkak!
Di
seberang sana Iblis Pemabuk terus saja rnenenggak minuman keras dari dalam
kendi tanah walau kini beberapa kali sepasang matanya mengerling tajam ke arah
si pemuda.
“Tiga
Pengemis Dari Akhirat! Buka mata kalian baik-baik! Apa sudah tahu dengan siapa
saat ini kalian tengah berhadapan?!"
Dua kakek
dan satu nenek saling bertukar pandang. Lalu kakek yang memegang batok kelapa
menjura dan mengumbar tawa.
“Sungguh
tidak disangka. Dan kami bertiga sungguh sangat bersyukur ternyata kami
berhadapan dengan tokoh besar rimba persilatan yang kami kenal dengan gelar
dahsyatnya yaitu Pangeran Matahari! Kami gembira ternyata kami berhadapan
dengan sobat satu golongan!”
“Manusia-manusia
haram jadah! Siapa bilang aku sobat kalian!"
Pangeran
Matahari membentak lalu meludah. Sikap sombong congkak dan ganasnya yang sejak
tadi disembunyikan kini keluar.
"Kami
tidak menyalahkan kalau Pangeran tidak merasa bersobat dengan kami bertiga. Itu
disebabkan kita tak pernah saling jumpa sebelumnya. Karena kita sama-sama satu
golongan tentu Pangeran tidak akan terlalu berat hati menyerahkan Kitab Putih
Wasiat Dewa itu pada kami, Paling tidak meminjamkannya barang beberapa
lama!"
Pangeran
Matahari tertawa gelak-gelak. Lalu dengan mata angker melotot dia berkata.
"Kalian
bertiga lekas angkat kaki dari sini. Kalau tidak aku akan mengirim kalian ke
kampung halaman kalian di Akhirat sana!"
“Pangeran,
mengapa bersikap sekasar itu dengan kawan-kawan satu golongan?!" Nenek
pengemis kini angkat bicara.
"Perempuan
sundall Biar kau kubuat mampus duluan!" bentak Pangeran Matahari. Lalu
telapak tangan kanannya didorong ke depan. Perlahan saja. Satu gelombang angin
panas mengeluarkan suara desis tajam menyambar. Nenek pengemis cepat kibaskan
kipas bambunya. Bersamaan dengan itu dia menyingkir ke samping. Dari samping
perempuan tua ini batas menggempur dengan menusukkan ujung kipasnya ke
tenggorokan Pangeran Matahari.
Pada saat
itu juga Pangeran Matahari merasakan ada hawa ganas di dadanya di mana terikat
Kitab Wasiat Iblis. DI lain kejap selarik sinar hitam disertai aliran angin
dahsyat menyapu ke arah nenek pengemis. Satu jeritan menggoncang tempat itu.
Tubuh si nenek mencelat beberapa tombak. Ketika tubuh Itu jatuh ke atas batu
merah keadaannya mengerikan untuk disaksikan Sosok tubuh si nenek kini telah
berubah menjadi tulang belulang berwarna hitam mengepulkan asap! Sementara dua
kakek pengemis menjerit keras menyaksikan kematian sobat mereka. Iblis Pemabuk
masih terus asyik dengan tuaknya. Dari mulutnya tiada henti keluar
ucapan-ucapan yang tidak jelas sedang tubuhnya terhuyung kian kemari dan sepasang
kakinya digesek-gesekkan di atas batu merah.
“Pangeran
keparat! Kau telah membunuh salah satu dari kami! Tak ada jalan lain! Serahkan
nyawa anjingmu pada kami!” teriak kakek pengemis disebelah kanan. Batok di
tangannya digoyangkan. Serangkum sinar kelabu berkiblat, menyambar ke arah
Pangeran Matahari. Kakek pengemis satunya tidak menunggu lebih lama. Tongkatnya
ditusukkan ke dada sang Pangeran tepat di arah jantung. ini merupakan dua
serangan yang sebelumnya sukar dikelit atau ditangkis lawan karena gerakan dua
kakek itu besar-besar cepat luar biasa.
Namun apa
yang terjadi kemudian sungguh luar biasa dan mengerikan. Didahului oleh suara
menderu keras, dari dada Pangeran Matahari melesat keluar dua larik sinar
hitam. Dua kakek membentak nyaring Meski mereka telah menyaksikan kematian si
nenek namun mereka tidak mau menyingkir. Malah keduanya lipat gandakan tenaga
serangan. Sinar kelabu yang keluar dari batok kelapa menggelegar Tusukan
tongkat menderu siap untuk menembus dada sampai ke jantung. Sang Pangeran
berdiri tak bergeTak. Di wajahnya menyeruak seringai mengejek. Sesaat kemudian
terdengarlah jeritan dua kakek pengemis itu. Tubuh mereka yang kurus mengapung
di udara lalu jatuh bergedebukan di atas batu merah tak jauh dari kerangka
hitam si nenek Keduanya menemui ajal dalam keadaan tidak berbeda. Berubah
menjadi tulangtulang hangus menghitam. Sesaat kesunyian yang mengandung maut
menggantung di udara. Pangeran Matahari melirik ke arah lblis Pemabuk. Manusia
gemuk pendek ini tampak duduk menjelepok di atas sebuah gundukan batu merah dan
masih terus sibuk dengan kendi tuaknya. Sang Pangeran melangkah mendekati.
Tiba-tiba Iblis Pemabuk melompat dan berteriak. Satu langkah lagi kau maju akan
kubunuh! Jangan harap aku mau membagi minuman enak ini padamu!"
Pangeran
Matahari hentikan langkahnya. Dia menunggu dan berharap agar Iblis Pemabuk
menyerangnya. Ternyata orang itu kembali sibuk dengan minumannya.
"Aku
harus memancingnya agar dia benar-benar menyerang!" kata Pangeran Matahari
dalam hati. Lalu dia berseru.
"Iblis
Pemabuk, aku yakin kau yang membawa tiga tua bangka itu kemari. Kau membuat aku
tidak senang. Hatiku tidak tenteram kalau aku tidak membunuhmu!"
"Ah
… !" lblis Pemabuk seolah terkejut mendengar ucapan lantang Pangeran
Matahari Itu. Setelah meneguk tuaknya beberapa kali sampai mukanya bertambah merah,
kendi diturunkannya lalu dia memandang pada pemuda di depannya. Sambil
geleng-gelengkan kepala dia mulai tertawa. "Anak manusia! llmumu memang
tinggi! Setan sekalipun bisa kau bunuh sampai tujuh kali! Tapi Jangan mimpl
hendak membunuhku! Aku tidak akan terpancing untuk menyerangmu! Ha… ha…
ha!"
Pangeran
Matahari jadi terkejut besar. "Apakah manusia pantat botol ini tahu
rahasia kesaktian Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik dada pakalanku? membatin
Pangeran Matahari. Otak cerdiknya segera diputar lalu berkata. "Harap kau
beri maaf. Tadi memang aku sengaja memancing. Tapi setelah tahu kau sebenarnya
tidak berniat jahat akupun tak akan memendam maksud tidak baik terhadapmu Aku
malah berniat mengundangmu datang ke puncak Merapi untuk hadir dalam pesta mabuk-mabukan
tujuh hari tujuh malam. Kalau kau suka tujuh perempuan cantik akan kusediakan
untukmu!"
"Ah
undangan bagus! Aku suka minum sampai satu malam suntuk. Apalagi kalau sampai
tujuh malam. Tapi aku tidak doyan perempuan! Aku yakin perempuan yang kau berikan
padaku adalah bangsa pelacur yang bisa membuat aku ketularan penyakit kotor!
Huh!"
"Untukmu
kupilihkan para gadis yang masih perawan."
Iblis
Pemabuk terdiam dan tampak setengah melongo. Bagaimana? Kau terima undanganku?
Yang
ditanya menggeleng lalu tertawa panjang. "Aku harus mengakui kehebatanmu
Pangeran. Kalau kau bisa memberikan tujuh perawan padaku, hitung-hitung sudah
berapa puluh perawan yang kau lalap sendiri?"
Tampang
Pangeran Matahari tampak merah mengelam. Namun dia cepat menekan amarahnya. "Kalau
kau tak suka pelacur atau perawan masih banyak perempuan lain. Sebutkan saja
yang bagaimana yang kau suka""
Iblis
Pemabuk hentikan tawanya. Dia meneguk tuak dalam kendi. Tubuhnya kembali
terhuyung-huyung. Lalu dia melangkah terseok-seok ke arah gadis baju biru. Tiga
langkah di hadapan si gadis dia berhenti. Matanya berputar-putar jelalatan
memandang gadis ltu.
"Kau
suka padanya? Kalau suka kau boleh menjemputnya di gunung Merapi TapI kalau kau
mau memberitahu di mana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa kau boleh
mengarnbilnya saat ini juga!"
Si gadis
berpaling marah dan berteriak. "Jangan Kau berani memperlakukan diriku
serendah itu!,
Setengah
berbisik Pangeran Matahari berkata. Kekasihku, jangan kawatir. Si gendut
pemabuk ini tidak akan mengiyakan pertanyaanku Betul…. Memang betul! Aku tidak
suka padanya!" Iblis Pemabuk berucap. "Dia memang cantik Wangi
tubuhnya mampu mengalahkan harumnya tuakku. Tapi maaf saja. Aku tidak tahu
dimana beradanya kitab yang kau tanyakan itu Lagipula aku tidak suka bersenang
senang dengan perempuan bekasmu!"
Wajah si
gadis menjadi merah seperti saga mendengar kata-kata itu Sambil tertawa panjang
Iblis Pemabuk balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Kau
biarkan bangsat yang menghina diriku dan ilmumu itu pergi begitu saja…?!- teriak
si gadis.
Aku
memang ingin membunuhnya. Tapi sengaja., kutunda. Siapa tahu kelak dia ada
gunanya bagi Si gadis merengut dan membuang muka ke jurusan lain. Pada saat
itulah pandangannya membentur sesuatu di atas batu merah di hadapannya.
Iihat!"
teriak si gadis seraya menunjuk ke depan.
Pangeran
Matahari maju beberapa langkah dan rnemperhatikan batu merah yang barusan
ditunjuk Di situ tertera tulisan buruk tak karuan tapi masih bisa dibaca,
berbunyi: Aku mengundangmu datang ke Pangandaran hari 10 bulan 10. Kalau kau
tidak berani datang lebih baik bunuh diri dari sekarang.
Pangeran
Matahari dan kekasihnya saling pandang.
"Pasti
Iblis Pemabuk yang membuat tulisan itu. Mempergunakan kuku kakinya…" desis
si gadis
"Jelas
undangan ltu ditujukan padaku. Ada apa harl sepuluh bulan sepuluh di
Pangandaran?" Sang Pangeran coba berpikir
"Soal
undangan gila itu mengapa musti dipikirkan sekarang. Lagipula hari sepuluh
bulan sepuluh masih lama…" berkata si gadis.
Kau betul
kekasihku Mari kita tinggalkan pulau ini. Ada tugas yang harus benar-benar kau
laksanakan kata Pangeran Matahari pula sambil melingkar-kan tangannya di
pinggul gadis cantik itu.
*****************
TIGA
GEROBAK
sapi yang sarat dengan padi kering itu meluncur perlahan di jalan mendaki
menu-ju Kotaraja. Kusir gerobak seorang pemuda kurus sesekali melirik ke
samping di mana duduk terkantuk-kantuk seorang kakek berjubah putih. Orang ini
mengenakan caping lebar hingga sebagian wajahnya tertutup. Dia ikut menumpang
dari desa Tambak Lor di kaki sebuah bukit jauh di sebelah Selatan Kotaraja.
Sepanjang perjalanan dia tak banyak bicara. Beberapa kali kusir gerobak mencoba
mengajaknya bercakap-cakap namun jawabnya pendek-pendek saja. Agaknya dia
memang tak mau bicara atau mungkin juga keletihan.
Anak muda
kusir gerobak itu sama sekali tidak mengetahui kalau mata orang tua yang
terpejam itu sebenarnya tidak mengantuk. Sebaliknya sepasang mata itu tiada
hentinya memperhatikan keadaan tempat-tempat yang dilalui.
“Banyak
perubahan kulihat. ini saja masih Jauh dari Kotaraja. Kalau sudah masuk ke
Kotaraja keadaannya tentu lebih banyak berubah. Salahsalah aku bisa kesasar
kalau berjalan sendiri. Tujuh puluh tahun memang bukan waktu singkat.
Orang-orang seusiaku di Keraton pasti sudah banyak yang mati. aku masih
bersyukur diberi umur panjang. Namun apa gunanya hidup sampai seusia tua renta,
begini kalau hanya mendekam dan menahan beban batin.” Lakek bercaping itu
bicara sendiri dalam hati lalu menarik nafas panjang "Orang tua, kukira
kau sudah tertidur pulas." pemuda kusir kereta menegur.
Kepala
yang memakai caping itu bergerak sedikit. Dengan tangan kirinya si orang tua
mengangkat bagian depan capingnya Dia melihat sesuatu di kejauhan. Untuk
pertama kalinya orang tua ini ajukan pertanyaan. Bukankah itu pintu gerbang
menuju Kotaraja?"
"Betul
Kek. Bukankah ke sana tujuanmu? Anak muda, maukah kau berbalk hati sekali lagi
menolongku?"
"Menolong
apa Kek? tanya kusir gerobak
"Aku
tak ingin memasuki Kotaraja. Ambil jalan berputar, membelok ke kanan. Melewati
pinggiran timur."
"Wah,
berarti kita menyimpang jauh sekali. Aku harus buru-buru sampai di Kotaraja
majikanku pemilik padi akan marah besar kalau aku kemalaman dan terlambat
sampai di gudangnya”
“Aku
mengerti … “ kata orang tua bercaping.
Anak muda
kusir gerobak Itu merasa hiba juga rupanya Lalu dia berkata "Bagaimana
kalau kau aku turunkan di pintu gerbang lalu kau meneruskan perjalanan dengan
jalan kaki atau mencari tumpangan lain?”
“Begitupun
tak tadi apa. Tapi aku menumpang gerobak sapimu ini tidak cuma cuma.”
"Maksudmu
Kek?
Dari
balik jubah putihnya orang tua itu mengeluarkan sebuah benda bulat berwarna
kuning yang berkilauan terkena sinar matahari petang Benda itu diletakkannya di
atas pangkuan kusir gerobak. Begitu melihat benda tersebut, kusir gerobak segera
mengarnbilnya.
"Uang
emas…" katanya lalu berpaling pada si orang tua yang wajahnya selalu
terlindung caping lebar itu. "Tak pernah kulihat uang seperti ini
sebelumnya. Agaknya ini mata uang lama Apa betul-betul emas Kek?"
"Itu
emas murni Untukmu, kalau kau mau membawaku ke jurusan timur…."
“Kau
tidak bergurau Kek?"
“Apa kau
kira aku bergurau?"
"Wah
. wahl Untuk uang emas ini aku tidak kawatir dimarahl majikanku Dipecatpun aku
tidak takutl! kata pemuda penarik gerobak. Lalu pecutnya diangkat tinggi-tinggi.
Dihantamkan ke punggung Sapi penarik gerobak. Bersamaan dengan itu dia menarik
tali kekang. Gerobak berderik keras dan membelok ke arah timur.
Si kakek
kembali berdiam diri dan duduk terkantuk-kantuk. Sementara itu sang surya
perlahan-lahan merayap ke ufuk tenggelamnya Di satu tempat si kakek angkat
bagian depan caping bambunya dan bertanya pada pemuda kusir gerobak.
“Anak
muda, tembok panjang dan tinggi di sisi jalan sebelah kiri ini tembok apakah?”
si kakek ajukan pertanyaan.
"Orang
tua, kau tentunya sudah puluhan tahun tak pernah datang ke Kotaraja, tak pernah
melewati jalan ini. Tidak heran kalau kau tidak tahu tembok apa yang ada di
sisi kiri jalan. Itu tembok pembatas kawasan makam istana…."
Mendadak
saja dada kakek bercaping itu jadi berdebar. Dia berpikir sesaat lalu bertanya
lagi. "Di mana pintu masuknya?"
Masih
jauh di depan sana…."
“Kalau
begitu turunkan aku selewatnya pintu masuk."
Kusir
gerobak itu jadi heran. Kalau kau hendak menyambangi makam seseorang mengapa
tidak turun tepat di depan pintu masuk? Yang ditanya tidak menjawab.
"Lagipula
sudah petang begini aku kawatir kau tidak akan diizinkan masuk kawasan makam.
Baik oleh juru kunci maupun para pengawal."
Orang tua
itu diam saja. Gerobak meluncur terus sampai melewati pintu masuk kawasan makam
istana.
"Berhenti
di sini." kata si kakek. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia turun dari
gerobak. Sesaat dia masih tegak di tepi jalan memperhatikan gerobak sapi
berputar. Setelah gerobak itu lenyap di kejauhan baru dia berbalik.
Pandangannya segera tertuju pada sebatang pohon besar yang tumbuh di dekat
tembok sebelah sana dengan cabang-cabangnya menjuntai masuk melewati tembok
kawasan makam.
Meskipun
usianya sudah sangat lanjut ternyata orang tua itu masih cukup cekatan untuk
memanjat pohon. Dalam waktu singkat dia sudah berada di bagian dalam kawasan
makam istana. Dia bergerak cepat dari satu makam ke makam lainnya. Setiap dia
berdiri di depan sebuah makam hatinya berdebar. Dengan cepat dia memperhatikan
nama ahli kubur yang dimakamkan di situ. Saking perhatiannya tercurah pada apa
yang dilakukannya orang tua ini sampai tidak menyadari bahwa saat itu seorang
pengawal bersenjata tombak tahu-tahu muncul di depannya bersama juru kunci
makam.
“Orang
tua, kau tahu berada di mana saat ini?" juru kunci makam yang berusia enam
puluh tahun Itu menegur dengan ramah.
Sebaliknya
sang pengawal langsung saja membentak. "Buka capingmu! Aku ingin melihat
tampangmul Jangan-jangan kau seorang gembong pemberontak yang hendak merusak
makam Kerajaannya!”
“Kalian
petugas-petugas yang cekatan. Aku menurut perintah … " kata si orang tua
lalu perlahan-lahan dibukanya caping lebar di atas kepala yang sejak tadi
menutupi mukanya. Begitu caping terbuka juru kunci makam dan si pengawal
tersurut sampai tiga langkah. Mereka melihat satu wajah tua berkumis, berambut
dan berjanggut putih Mulutnya komatkamit mengunyah sirih dan tembakau. Wajah
Itu wajah tua biasa saja, namun yang membuat kedua orang itu jadi tercekat
adalah begitu melihat muka si orang tua belang sebelah. Bagian sebelah kanan
berwarna biru. Saat itu petang hari menjelang matahari hendak tenggelam.
Suasana di kawasan makam yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar lebih gelap dan
mendatangkan suasana angker “Orang tua. siapa kau adanya? Mengapa masuk ke dalam
kawasan makam istana tanpa izin?, Orang tua juru kunci makam bertanya. Suaranya
bergetar tanda dia berusaha menahan rasa takut.
“Saudara,
kau tentu saja tidak mengenali siapa diriku. Aku lahir empat puluh tahun lebih
dulu dari kamu Harap maafkan kalau aku masuk tanpa izin dari kalian berdua. Aku
mencari makam seseorang…"
"Orang
tua kami harus membawamu ke gardu untuk ditanyai!” pengawal bertombak membuka
mulut.
Orang tua
bermuka belang yang bukan lain adalah Raja Obat Delapan Penjuru Angin alias
Pangeran Soma tidak perdulikan ucapan si prajurit. Dia terus bicara dengan sang
juru kunci.
"Raja
Tua, ayahanda dari Raja yang bertahta sekarang pernah mempunyai seorang istri
bernama Siti Layangsari. Seperti Raja Tua perempuan itu juga telah meninggal
dunia. Aku melihat makam besar Raja Tua di sebelah sana. Apakah Siti Layangsari
juga dimakamkan di tempat ini?"
"Orang
tua!" bentak pengawal makam."Sungguh lancang kau berani menanyakan
peri kehidupan Raja Tua dan istrinya! Aku harus menangkapmu sekarang juga!”
"Pengawal
kau rupanya tak bisa diajak bicara secara baik-baik. Terpaksa aku membuatmu
jadi patung!”, Habis berkata begitu Raja Obat Delapan Penjuru Angin kebutkan
caping bambunya
"Hekkk!"
Terdengar
suara seperti tercekik di tenggorokan pengawal makam. Saat itu juga dia tak
sanggup bersuara dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi.
“Juru
kunci makam, apakah kau Ingin kujadikan patung seperti dia?”
Orang tua
penjaga makam itu tentu saja menjadi ketakutan.
“Kau
kulihat ketakutan. Kalau kau tak mau kuubah jadi patung hidup lekas beri
jawaban atas pertanyaanku tadi"
Juru
kunci itu menggelengkan kepala berulang kali "Aku sudah bekerja lebih dari
tiga puluh tahun Aku tahu betul tak ada perempuan bernama Siti Layangsari
dimakamkan di tempat ini."
Raja Obat
alias Pangeran Soma jadi terdiam mendengar keterangan orang di hadapannya. “Kau
yakin sekali hal itu?"
“Yakin
sekali. Aku berani bersumpah aku tidak berrdusta !"
"Kau
juga tidak pernah mengetahui di mana Siti Layangsari dikebumikan?"
Yang
ditanya menggeleng.
“Kau juga
tidak pernah mendengar cerita satu peristiwa besar sekitar seratus tahun lalu
tentang istri Raja Tua yang dibuang karena melahirkan anak bermuka cacat?"
“Aku
tidak tahu banyak tapi aku memang pernah mendengar cerita itu dari
seseorang…"
“Siapa
orangnya?" tanya Raja 0bat.
“Aku
tidak ingat. Sudah lama sekali. Mungkin sekitar tiga puluh tahun lalu cerita
itu kudengar. Orang yang menceritakan mungkin sudah meninggal….. "
"Coba
kau ingat siapa orangnya…."
Juru
kunci makam lstana itu memutar otaknya, berusaha keras mengingat. Akhirnya
sambil menggeleng dia berkata “Tak bisa kuingat…."
"Akan
kusebutkan sebuah nama. MungkIn dia orangnya. Lawunggeni?"
"Astagal
Betul! Dia yang pernah menceritakan hal itu padak!" Tapi dia telah
meninggal dunia dua puluh tahun silam. Dikebumikan di kampung halamannya."
Sang juru kunci mengangkat kepalanya dan menatap wajah orang tua di hadapannya.
Ketika dia melihat wajah yang cacat belang itu tiba-tiba saja dia ingat.
"Kau … Seruan sang juru kunci lenyap karena Raja Obat cepat menekap mulutnya.
“Jangan
berteriak. Lekas katakan dimana letak kawasan pemakaman rakyat…."
"Ada
dua. Satu di selatan. satu lagi tak jauh dar sini. Hanya terpisah oleh satu
sungai kecil….!".
"Terima
kasih." Orang tua itu menurunkan tangannya yang menutup mulut juru kunci
makam" Lalu sekali berkelebat sosoknyapun lenyap.
*****************
EMPAT
MATAHARI
semakin menggelincir jauh ke titik tenggelamnya. Raja Obat berjalan setengah
berlari. Di satu tempat dia menyelinap ke balik serumpunan semak belukar.
Menunggu sambil memasang mata dan telinga.
“Mataku
mungkin sudah lamur, apa lagi hari mulaI gelap. Tapi telingaku tak mungkin
ditipu. Perasaanku tak bisa dikelabui. Ada seseorang mengikutiku…. Tapi dia
mendadak lenyap…." Raja Obat menunggu sesaat lagi. Akhirnya dia keluar
dari balik semak belukar, sengaja mengambil jalan berputar dan kembali ke jurusan
dari mana tadi dia datang dan menyelidik. Namun tetap saja dia tidak melihat
atau menemukan siapa-siapa.
“Jangan-jangan
aku sudah pikun!" kata Raja Obat dalam hati. Dengan menenteramkan hatinya
dia melanjutkan perjalanan.
Ketika
Raja Obat sampai di daerah pemakaman di seberang kali kecil itu sang surya
hampir tenggelam dan udara bertambah gelap. Kawasan pemakaman tanpa pagar ini
tidak terpelihara. Dia segera berkeliling menyelidik, memperhatikan setiap
kuburan yang ada satu persatu. Hampir tidak ada papan nisan yang masih utuh.
Agaknya sia-sia aku menyelidik. Apa lagi sebentar malam segera datang. Mungkin
sampai ajalku aku tak akan pernah menemukan di mana kubur Ibuku…." Raja
Obat tegak termenung dekat serumpun pohon bambu. Berulang kali terdengar dia
menarik nafas dalam. Akhirnya orang tua ini memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu. Langkahnya tertahan ketika sayup-sayup dia mendengar suara seperti
seorang perempuan menangis sendu terisak-isak.
"Eh,
menjelang malam seperti ini, di tengah pekuburan siapa gerangan yang menangis?
Raja Obat memandang berkeliling. "Mungkin ada jenazah yang bangkit lalu
menangis? Atau setan kuburan hendak mengganggu diriku…?" Orang tua berusia
seratus tahun lebih itu tegak terdiam. Suara isak tangis itu semakin keras.
Datangnya dari pinggiran pekuburan sebelah timur. Raja Obat berpikir sejenak
lalu akhirnya melangkah ke jurusan datangnya suara orang menangis. Tak lama
kemudian, di balik deretan tiga pohon Kemboja besar dia melihat sebuah makam
yang masih merah. Di sebelah kiri badan makam bersimpuh membelakangi sosok
seorang perempuan berambut panjang, berpakaian merah. Dua tangannya ditekapkan
ke wajahnya. Perempuan inilah yang sedang menangis.
Kubur
baru masih merah. Ada perempuan menangis menjelang malam begini. Harum tubuhnya
tercium sampai ke sini. Pasti yang dimakamkan di situ seorang sangat
dicintainya. Tapi…. Apa yang kulihat ini benar-benar seorang anak manusia?
Jangan-jangan…
Raja Obat
melangkah melewati tiga pohon Kemboja besar. Lalu bergerak ke seberang kanan
makam. Di sini dia diam sesaat sambil memperhatikan orang yang menangis.
"Masih
muda…. Mungkin masih gadis…" membatin Raja Obat.
Tangis
orang di samping makam semakin keras. Bahu dan dadanya tampak
berguncang-guncang. Raja Obat gelengkan kepala. Dia jadi bingung. Dalam keadaan
seperti itu apakah langsung mengusir saja Mau menunggu sampai tangis orang
mereda. Karena ditunggu perempuan itu tak kunjung hentikan tangisnya sedang
sepasang tangannya terus saja menekap wajahnya akhirnya si orang tua
mengeluarkan suara mendehem beberapa kali. Suara tangisan serta merta berhenti.
Dua tangan yang menutupi wajah diturunkan.
Raja Obat
terkesiap. Orang yang menangis itu ternyata adalah seorang dara berparas cantik
sekali. Sebaliknya si gadis tampak terkejut. Seperti ketakutan dia beringsut
mundur. Dua matanya yang bagus tapi sembab memandang besar-besar. Seumur
hidupnya Raja Obat alias Pangeran Soma belum pernah melihat gadis secantik ini.
Apalagi selama tujuh puluh tahun dia hidup menyendiri di pulau batu merah.
Sekalipun usianya sudah seratus tahun lebih namun kewajaran dirinya sebagai
seorang lelaki melihat gadis yang begitu jelita tak bisa disembunyikannya.
Untuk sesaat orang tua ini terpana. Anak gadis, kau tak usah takut. Walau
tampangku seram dan belang sebelah tapi aku bukan orang jahat. Bukan juga setan
yang hendak mengganggumu…."
“Kau…
kau.. si… siapa?!" tanya sang dara dengan suara gagap.
Bayangan
ketakutan masih melekat di wajahnya. "Mengapa malammalam begini berada di
tempat ini?!"
Aku hanya
seorang tua yang malang. Nasib diri membawaku ke tempat ini. Aku mencari makam,
seseorang tapi tidak kutemukan. "Makam siapa? Istrimu…? Anakmu atau cucu
mu?"
Raja Obat
tersenyum rawan. "Aku tak pernah, punya istri. Jadi tak punya anak apalagi
cucu…." Lalu Raja Obat bertanya.
"Kau
sendiri siapa? Mengapa, malam-malam begini berada di pekuburan? Makam siapa
yang kau tangisi ini? Dan tanahnya yang masih merah serta bunga-bunga segar
yang bertaburan atasnya agaknya makam ini masih baru. Mungkin sekali jenazahnya
baru dikuburkan siang tadi …. "
"Siapa
diriku kau tak perlu tahu. Makam siapa yang aku tangisi ini kau juga tak perlu
tahu. Kuharap kau segera saja pergi dari sini. Tinggalkan aku sendirian. Biar
aku menangis sampai air mataku kering !"
"Anak
gadis, mendengar ucapanmu aku bisa me duga kau adalah seorang gadis yang tabah
berhati keras. Kedukaan dan kesedihan cepat atau lambat adalah bagian setiap
manusia. Kehilangan seorang yang kita kasihi merupakan takdir yang tak bisa
dihindari. Namun apakah kedukaan dan kesedihan itu kita inginkan membuat diri
kita menjadi sakit dan sengsara… Rumahmu tentu di sekitar sini Sebaiknya kau
pulang saja. Jika hatimu belum puas besok pagi-pagi kau bisa menyambangi lagi
makam ini…"
"Orang
tua, aku tidak perlu nasihatmu. Kalau aku sakit atau sengsara apa pedulimu?!
Jangankan sakit atau sengsara, matipun aku mau saat ini juga. Biar aku segera
bisa menyusul dirinya!"
“Hemm….
Jika begitu nada ucapanmu mengertilah aku sekarang. Aku bisa menduga siapa yang
dimakamkan di tempat ini…."
"Jangan
kau berani berlaku lancang orang tua! "Aku tidak bermaksud lancang.
Maafkan kalau kau menduga seperti itu. Pada dasarnya nasib kita mungkin sama.
Sama-sama kehilangan orang yang kita kasihi. Namun kau masih jauh beruntung.
Kau masih memiliki makam orang yang kau kasihi. Aku tidak. Sekali lagi
kunasihati. pulanglah. Jangan sampai kesedihan yang berlarut-larut membualmu
sengsara. Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Selamat tinggal anak dara
… "
Raja Obat
alias Pangeran Soma memutar tubuhnya. Langkahnya tertahan ketika di belakangnya
si gadis memanggil. “Orang tua, tunggu!"
Sewaktu
orang tua itu berbalik didapatkannya si gadis telah berdiri di samping kuburan.
"Kupikir
semua ucapanmu ada benarnya. Kau adalah orang terakhir yang bersikap baik
terhadapku. Kalau aku boleh bertanya makam siapakah yang lengah kau cari di
tempat ini?"
Aku
mencari kubur ibuku. Tapi seperti tadi kukatakan, aku bernasib malang. Aku
tidak menemui makam beliau di tempat ini…. Hari sudah malam, aku harus
pergi…."
“Kemanakah
tujuanmu dari sini?" tanya si gadis.
“Aku
sendiri tidak tahu. Aku tak punya kadang tidak punya sanak. Mungkin aku akan
mencari tum-pangan untuk tidur malam ini. Kalau terpaksa aku bisa tidur di mana
saja…. "
"Rumahku
di atas bukit di sebelah timur sana. Tak jauh dari sini. Kalau kau suka kau
boleh bermalam di tempatku. Aku tinggal sendirian…."
"Terima
kasih atas kebaikanmu. Tapi bagaimanapun juga tidak baik kita berada di satu
rumah berduaan sementara kita tidak punya hubungan keluarga…."
“Tak usah
merisaukan hal itu. Aku sudah menganggap dirimu sebagai orang tua atau kakek
sendiri….”
Raja Obat
terdiam sejenak. Paras cantik di depannya tersenyum. Semerbak harum bau baju
dan, tubuh sang dara menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ketika si gadis
memegang lengannya akhirnya Raja Obat berkata. Baiklah, aku mengucapkan, terima
kasih atas budi baikmu. Lalu dia melangkah mengikuti gadis berbaju merah itu.
Ternyata
gadis cantik itu memiliki kepandaian berlari cepat. Kalau saja lengannya tidak
dicekal terus sudah sejak tadi-tadi Raja Obat tertinggal di belakang. Seumur
hidupnya batu sekali ini Raja Obat alias Pangeran Soma berjalan seiring dengan
seorang gadis cantik. Apalagi sepanjang jalan si gadis selalu memegang
lengannya erat-erat. Ditambah wanginya bau tubuh si gadis orang tua ini merasa
seribu bahagia dalam hatinya. Sampai-sampai dalam hatI dia menyesali diri
sendiri dan membatin.
“Kalau
saja aku dilahirkan tujuh puluh tahun lebih cepat dan usiaku saat ini hanya
tiga puluh tahun hemm…."
*****************
LIMA
GUA BATU
kecil itu terletak di lereng selatan Gunung Merbabu. Meskipun terlindung oleh
pepohonan besar berusia ratusan tahun serta semak belukar lebat, namun jika
seseorang berdiri di sebuah batu tinggi yang ada di depan gua maka dia dengan
jelas akan dapat melihat keindahan kawasan lereng selatan. Nun jauh di sana
menjulang Gunung Merapi dengan puncak tertutup awan kelabu.
Pendekar
212 Wiro Sableng untuk beberapa saat lamanya masih berdiri di atas batu tinggi,
memandang ke arah Gunung Merapi. “Saat bagiku untuk menyelidik apakah dia
berada di sana” membatin murid Sinto Gendeng ini. Lalu dia kerahkan tenaga
dalam, dialirkan ke kepala. Sepasang matanya yang tidak berkedip dikedipkan dua
kali. Ternyata saat itu dia lengah mengerahkan ilmu kesaktian yang disebut "Menembus
Pandang. Mula-mula dia melihat bayangan gelap kelabu. Perlahan-lahan
samar-samar muncul warna putih. Dia sanggup menembus deretan pohon-pohon, semak
belukar. bebatuan. Lalu dia melihat sebuah telaga kecil. Pandangannya diarahkan
lebih jauh. Samar-samar tampak sebuah bangunan. Lama dia memandang dengan mata
tak berkedip. Ternyata bangunan itu kosong.
“Pangeran
keparat itu tak ada di sana…" kata Wiro dalam hati. Hatinya agak tega
namun hanya sesaat. Dia segera ingat.
Sejak dia
berpisah dengan Raja Obat Delapan Penjuru Angin tempo hari dia merasa ada
seseorang mengikuti perjalanannya. Sebelum menuju langsung ke lereng Gunung
Merbabu dia sengaja mengambil jalan berputar-putar. Namun si penguntit masih
tetap saja berada di belakangnya. Celakanya setiap dia berusaha menjebak atau
memergoki, orang itu selalu lenyap seolah ditelan bumi.
"Dia
memlliki kepandaian tinggi. Aku harus waspada." membatin Wiro.
Murid
Sinto Gendeng merasa curiga yang menguntitnya saat itu ada ah si nenek genit
berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek, saudara kembar Iblis Tua Ratu Pesolek yang
menemui ajal dibunuh Pangeran Matahari di bukit di luar Kartosuro. Sebelumnya
si nenek telah muncul di pulau batu merah Walau saat itu dia tidak menunjukkan
niat jahat namun siapa tahu diamdiam dia menunggu sampat Wiro berhasil
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa
Wiro
sengaja tegak berlama-lama di depan mulut goa Menunggu sampai kakinya pegal dan
tak satu makhluk pun yang muncul. Akhirnya dia balikkan diri melangkah menuju
mulut gua. Saat itulah terdengar suara “kraaaakk!"
"Seseorang
menginjak ranting kering” kata Wiro dalam hati. Serta merta Pendekar 212
siapkan pukulan sakti Sinar Matahari seraya cepat berbalik Serta merta dia
kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia tidak mau ambil risiko. Kitab Putih
Wasiat Dewa yang saat itu ada padanya harus dijaga balk-baik, diselamatkan
sebagaimana dia mengamankan nyawanya sendiri
"Aku
yakin siapapun adanya penguntit itu pasti mengincar kitab sakti ini. Aku harus
melakukan sesuatu. Kalau tidak diriku bisa celaka dan Kitab Putih Wasiat Dewa
bisa jatuh ke tangan orang lain yang tidak bertanggung jawab."
"Orang
yang bersembunyi, tidak perlu bertaku pengecut! Unjukkan dirimu! Aku sudah tahu
kalau kau sejak lama menguntit perjalananku” Wiro tiba-tiba keluarkan seruan lantang.
Sunyi
sejenak. Hanya gema seruannya yang bergaung di lereng gunung itu Namun sesaat
kemudian terdengar suara aneh seperti suara sapi atau binatang digorok.
“Kraaakk!”
Kembali
terdengar suara ranting kering terpijak. Di lain kejap semak belukar delapan
langkah di hadapan Wiro tersibak. Lalu muncullah satu sosok makhluk yang luar
biasa mengerikan. Sekujur tubuhnya yang hanya mengenakan sehelai cawat rombeng
penuh dengan koreng masih bernanah dan menebar bau busuk. Sebagian dari tubuh
itu hangus kemerahan laksana dipanggang Bagian perutnya robek besar, usus
campur darah membusai menjela-jela. Dua kakinya tidak beda seperti kayu hangus
dan hancur di beberapa bagian. Tubuhnya laksana disambung di bagian dada tapi
tidak begitu pas hingga keadaannya termiring-miring. Tangan kirinya buntung
sebatas bahu. Kepalanya paling mengerikan. Wajahnya tidak karuan. Hidung mulut
dan pipi serta kening hancur Dua telinga sumplung. Salah satu dari matanya
melesak ke dalam sedang satunya tagi memberojol ke luar!
Tengkuk
murid Eyang Sinto Gendeng menjadi dingin. "Mustahil siang bolong begini
ada setan atau hantu gunung muncul. Makhluk apa sesungguhnya yang ada di
hadapanku ini?”
"Gila!
Bukankah jahanam ini sudah mampus? Tubuhnya cerai berai ke dalam laut kena
hantaman pukulan Sinar Matahariku tempo hari! Janganjangan arwahnya yang
menjelma jadi setan dan gentayangan hendak menuntut balas!"
Mendadak
Wiro ingat bau busuk itu. Juga bekas-bekas koreng yang sudah hangus.
"Pendekar
212, kalau Kitab Putih Wasiat Dewa kau serahkan padaku, aku akan mengampuni
selembar nyawamu!" Suara makhluk ini sember parau. Ketika Wiro
memperhatikan lagi ternyata tenggorokannya robek besar dan hangus. Ada cairan
meleleh dari luka di leher itu.
"Makhluk
Pembawa Bala" Bukankah tempo hari kau sudah mampus dengan tubuh dan kepala
ter-kutung-kutung!
Makhluk
menyeramkan yang memang adalah Makhluk Pembawa Bala adanya menyeringai
mengerikan Mulutnya yang hancur bergoyanggoyang sedang bola matanya yang
memberojol bergerak gundal-gandil. Dia keluarkan suara tertawa menggidikkan.
"Jangan
mengira dengan kesaktianmu kau bisa membunuh siapa saja! Di luar langit masih
ada langit lain! Buktinya kau saksikan sendiri aku masih hidup, berhasil
mengejarmu sampai ke lereng Merbabu ini dan meminta kau menyerahkan Kitab Putih
Wasiat Dewa itu! Ha.., ha… hak…hakkkk!" Suara tawa Makhluk Pembawa Bala
tercekik. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang penuh luka koreng dan luka
bakar serta hangus.
“Kitab
itu! Lekas serahkan! Aku tahu kitab itu ada padamu!" Makhluk Pembawa Bala
menyentak.
"Sayang
kau datang terlambat!" menjawab Wiro.
"Apa
maksudmu?!"
“Setan
gunung lebih dulu merampas kitab sakti itu dan melarikannya ke langit. Kalau
kau benar mempunyai Kemampuan di atas langit masih ada langit, silahkan susul
ke langit sana!"
"Jahanam!
Kau berani mempermainkan diriku! Putus nyawamu!”,
Teriak
Makhluk Pembawa Bala marah sekali. Tangan: kanannya yang hangus hancur
tiba-tiba berkelebat cepat ke arah dada Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng yang
sejak tadi memang sudah berwaspada melompat mundur tiga langkah sambil
hantamkan tangan kanannya Sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Inilah kali
kedua Pendekar 212 Wiro Sableng lepaskan pukulan sakti “Sinar Matahari"
untuk menghantam Makhluk Pembawa Bala Kali pertama dulu waktu di pulau batu
merah. Tubuh Makhluk Pembawa Bala mencelat hancur berantakan. Wiro Masih belum
bisa mengerti bagaimana makhluk itu masih hidup dan muncul kembali walau dalam
keadaan morat-marit mengerikan!
"Pukulan
Sinar Matahari! Apa hebatnya!" teriak Makhluk Pembawa Bala mengejek.
"Kurang
ajar! Jangan harap tubuhmu bisa bersambung kembali!" teriak murid Sinto
Gendeng dan lipat gandakan tenaga dalamnya. Sehingga keadaan di depan gua itu
menjadi terang benderang, panas dan menyilaukan. Beberapa pohon patah
bertumbangan dan hangus. Semak belukar dan dua gundukan batu gunung hancur
lebur. Semua berubah hitam hangus! Namun Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan.
"Gila!
Sudah mampus atau bagaimana dia?!" pikir Wiro sambil memandang
berkeliling. Kalau mampus mengapa tak terdengar jeritannya. Hancuran tubuhnya
juga tidak kelihatan!"
Ketika
Wiro memandang ke bawah hatinya tercekat. Enam langkah di hadapannya terlihat
sebuah lobang sebesar pemelukan tangan.
"Lobang
itu tadi tidak ada!"
Wiro
mendekati sambil siapkan lagi pukulan "Sinar Matahari" di tangan
kanannya.
“Mendadak
dari dalam lobang terdengar suara tawa bergetak. Lalu sekonyong-konyong muncul
satu kepala! Kepala Makhluk Pembawa Bala!
“Jahanam!
Belum mampus dia rupanya!" Secepat kilat Pendekar 212 lepaskan pukulan
Sinar Matahari. Cahaya panas terang menyilaukan kembali berkiblat di tempat
itu.
Tanah
terbongkar dalam menghitam. Kepala Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan. Wiro
melompat ke arah lobang yang kini telah tertutup oleh timbunan hancuran tanah
dan bebatuan.
Sekonyong-konyong
di belakangnya terdengar satu suara tertawa keras tapi sember. Suara tawa
Makhluk Pembawa Bala! Wiro berpaling dan jadi melengak. Dari sebuah lobang di
tanah perlahan lahan tampak muncul ke atas kepala Makhluk Pembawa Bala! Tanpa
menunggu lebih lama Wiro segera nyergap dan hantamkan satu tendangan.
“Bukkk!"
Tendangan
keras murid Sinto Gendeng tepat menghantam kepala Makhluk Pembawa Bala. Pipi
sebelah kiri rengkah. Bola matanya yang mem-rojol mencelat mental entah kemana.
Namun makhluk itu masih belum menemui ajal. Untuk beberapa saat kepala yang
muncul dari lobang di tanah bergoyang-goyang sedang dari mulutnya yang hancur
mengumbar suara tawa sember.
"Jahanam!"
maki Pendekar 212. Walau ada rasa ngeri namun amarah lebih menguasai dirinya.
Sekali himpat saja kepala Makhluk Pembawa Bala itu siap untuk dicengkeram lalu
dipuntir. Namun sesosok tubuh berkelebat mendahului. Angin yang keluar dari
tubuh orang ini membuat gerakan Wiro agak tertahan . Dalam waktu bersamaan satu
tangan putih halus dan mulus meleset menusukkan sepotong kayu panjang.
“Crasss!"
Batangan
kayu itu menancap ambles sampai setengahnya ke batok kepala Makhluk Pembawa
Bala. Darah muncrat dari hidungnya yang gerumpung, telinganya yang sumplung,
sepasang matanya yang hanya tinggat rongga dan juga dari mulutnya yang hancur
serta tenggorokannya yang robekl
Dalam
keadaan tersentak kaget Wiro cepat palingkan kepala. Saat itulah dia mendengar
satu suara tertawa merdu.
"Ah.
kukira gadis yang aku rindukan selama ini.”
“Ternyata
dia!" ujar Wiro Dengan mulut ternganga dan masih belum surut kagetnya
murid Sinto Gendeng pulang balik garuk-garuk kepala.
*****************
ENAM
DUA
langkah di hadapan Wiro berdiri berkacak pinggang seorang gadis jelita
mengenakan baju panjang hitam berbunga-bunga putih. Sikapnya genit sekali.
Sebentar-sebentar pinggulnya digoyangkan dan lidahnya yang merah dipermainkan
membasahi bibirnya Wiro segera mengenali siapa adanya gadis ini. Yakni nenek
aneh berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek yang tempo harl muncul di pulau batu
merah Pendekar 212 keluarkan siulan. Sang dara tersenyum lebar Sobatku cantik
jelita! tegur Wiro. Kalau kemunculanmu menolong diriku dari Makhluk Pembawa
Bala itu, sungguh aku sangat berterima kasih…."
"Hik…
hik… hik!" Si gadis yang bentuk aslinya sebenarnya adalah seorang nenek
keriput berdandan mencorong tertawa cekikikan lalu berkata “Pertolonganku belum
tuntas! Nyawamu masih terancam! Lihat ke lobang!"
Wiro
cepat putar kepalanya ke arah lobang. Saat itu dilihatnya kepala yang ditancapi
batang kayu dari Makhluk Pembawa Bala tiba-tiba melesat keluar dari lobang
Didahului raungan keras sekujur tubuhnya menyusul meleset keluar dari dalam
lobang. Sesaat makhluk mengerikan ini tegak sempoyongan Dari tenggorokannya
yang robek keluar suara menggembor berkepanjangan. Setindak demi setindak dia
melangkah mendekati Pendekar 212 sambil tangan kanannya menggapai-gapai
berusaha memegang dan mencabut batang kayu yang menancap di batok kepalanya
Makhluk Pembawa Bala berhasil menyentuh batangan kayu. Namun sebelum dia sempat
mencabut kayu itu dari samping kiri gadis itu berkelebat menyambar tangan
kanannya. Lalu terdengar suara "kraakkk!"
Makhluk
Pembawa Bala meraung keras sewaktu tangan kanannya dipuntir patah lalu dibetot
lepas dari persendian bahunya. Kini makhluk ini tidak lagi memiliki tangan baik
kanan maupun kiri! "Perempuan lblis…. Hati-hati kaul Kematianmu sudah
kugurat di neraka!”
"Hik…
hik… hik!" Si gadis tertawa panjang mendengar ucapan Makhluk Pembawa Bala
itu. "Belum mampus rupanya kau sudah jalan-jalan ke neraka! Lebih bagus
kau cepat minggat dari sini. Mencari pertolongan agar ada yang mau mencabut
kayu yang menancap di kepalamu itu!"
"Perempuan-jahanam!
Tunggu pembalasanku! Habis berteriak keras dan sember Makhluk Pembawa Bala
putar tubuhnya dan berkelebat lenyap.
"Sobatku
cantik, aku berterima kasih atas perlolonganmu," berkata Wiro sambil
menjura. Namun dia sengaja menjaga jarak karena belum dapat menerka apa maksud
kehadiran lblis Putih Ratu Pesolek kali ini. Si gadis dilihatnya membuka mulut
hendak mengatakan sesuatu. Pendekar 212 cepat mendahului. "Ada satu hal
yang tidak aku mengerti. Sebagai orang rimba persilatan yang jauh berpengalaman
mungkin kau bisa menerangkan…."
"Hemm….
Yang kau tanyakan menyangkut diriku atau apa?" balik bertanya Iblis Pulih
Ratu Pesolek.
"Menyangkut
makhluk jahanam tadi," sahut Wiro
“Hemmm….
Apa yang ingin kau ketahui. Jika aku bisa menjawab lantas apa imbalan yang bisa
kau penuhi!"
Mendengar
ucapan orang Pendekar 212 jadi merinding. "Gila! Kalau dia minta imbalan
agar aku melayaninya celaka diriku! Walau diluar kelihatan dia gadis cantik
mulus begini rupa tapi di dalam aku kan sudah tahu!" kata Wiro dalam hati.
Mau tak mau dia jadi urungkan niat untuk bertanya. Melihat si pemuda terdiam,
gadis itu tertawa panjang. “Baiklah, kau boleh bertanya. Aku tidak akan minta
imbalan apa-apa!"
Murid
Eyang Sinto Gendeng jadi lega. “Waktu di pulau batu merah tempo han aku telah
menghajar orang itu dengan satu pukulan sakti. Tubuhnya mencelat ke udara dalam
keadaan cerai berai dan masuk ke laut. Jelas-jelas pasti riwayatnya sudah tamat
saat itu. Tapi bagaimana tahu-tahu dia muncul iagi. Apa yang tadi itu bukan
sosok lahirnya tapi jelmaan arwahnya yang gentayangan jadi setan?!"
"Kau
pernah mendengar orang yang punya ilmu kesaktian disebut kebal tanah?" tanya
Iblis Pulih Ratu Pesolek yang menjelma sebagai seorang gadis cantik itu. Wiro
gelengkan kepala.
“Aku
pernah mendengar ilmu kebal tanah itu namun belum pernah menyaksikan sendiri.
Katanya. orang yang memiliki ilmu kebal tanah walau tubuhnya hancur berkeping-keping,
kepalanya putus, anggota badannya tanggal tapi begitu salah satu bagian
tubuhnya yang hancur jatuh dan bersentuhan dengan tanah, secara ajaib tubuhnya
akan kembali bersatu. Dia akan hidup lagi walau sambungan tubuhnya tidak karuan
dan mengerikan…."
"Jadi
Makhluk Pembawa Bala tadi memiliki ilmu kebal tanah itu?"tanya Wiro pula.
Si gadis
gelengkan kepala "Dia memiliki sejenis ilmu kesaktian lain. Disebut ilmu
kebal air. Kalau tubuhnya hancur lalu ada yang tersentuh air, tubuh ltu akan
bergabung dan dia hidup kembali. Ingat waktu kau memukulnya sampai hancur di
pulau batu merah?!"
Wiro
mengangguk. “Aku mengerti sekarang. Begitu potongan tubuhnya menyentuh air laut
dia hidup kembali. Muncul dalam keadaan lebih mengerikan! Ilmu gila! Tapi
kurasa dia masih punya Ilmu lain yang hebat. Kalau tidak bagaimana mungkin dia
masih bisa hidup padahal kepalanya sudah kau pantek dengan kayu!
"Dugaanmu
tidak meleset. Kalau tadi tangannya tidak aku betot lepas, segala ilmu
kesaktian yang dimilikinya pasti akan dipergunakannya kembali untuk menyerangmu
Kecuali ada yang menolongnya mencabut batang kayu itu dari kepalanya maka
umurnya hanya sepanjang seratus hari dari sekarang!"
"Sekali
lagi aku mengucapkan terima kasih," kata Pendekar 212 pula.
"Sekarang
apakah masih ada hal lain yang hendak kau tanyakan padaku?"
“Tidak”,
jawab Wiro cepat. Dia menjawab begitu agar si gadis lekaslekas meninggalkan
tempat itu. Tapi dia justru kecele. Si gadis rapikan sanggulnya yang bagus.
"Waktu di pulau batu merah tempo hari, kau berkata soal bercumbu-cumbuan
antara kau dan aku bisa dibicarakan nanti. Apakah yang kau maksud dengan nanti
itu sudah bisa kutagih sekarang?”
Wiro
mendadak saja merasa tengkuknya menjadi dingin. "Benar apa yang
diperingatkan Raja Obat tempo hari. Saat itu aku bicara ngaco. Kini dia
bertanya menagih!”
"Heh.
apa mendadak mulutmu jadi gagu, Pendekar 212?!"
Anu .
Begini…." Wiro jadi gugup dan garuk-garuk kepala. "Terus terang aku
mengagumi kecantikanmu …. "
"Nah
… nah . nah! Berarti harapanku akan terkabul!" ujar si gadis pula Dia
melangkah mendekati.
"Tunggu
dulu!" ujar Wiro cepat Maksudku bukan begitu. Aku masih banyak menghadapi
urusan besar. Semua menyangkut nyawaku dan masa depan rimba persilatan. Kalau
belum apa-apa aku melakukan sesuatu yang tidak betul aku bisa kualat. .."
"Siapa
bilang! Kita melakukannya dalam suaana suka sama suka. Betul kan?!
“Dengar
sobatku cantik.." kata Wiro yang mulai merinding. "Aku ini cuma
seorang pemuda rendah. Kau seorang tokoh dunia persilatan yang harus kuhormati.
Mana mungkin aku bisa menjadi pasanganmu Bagaimana kalau aku carikan seorang
tokoh yang sama tingkat kehebatannya dengan dirimu?"
Si gadis
tertawa panjang. “Sejak kapan kau jadi Mak Comblang tukang menjodohkan
orang?!"
“Percayalah,
aku punya banyak teman dan kenalan para dedengkot dunia persilatan. Salah satu
di antara mereka pasti ada yang menyukaimu…."
"Ah,
aku tidak janji mau-mauan dengan mereka. Tapi aku ingin tahu. Coba kau sebutkan
siapa saja tua bangka yang kau maksudkan itu?"
"Ada
Si Raja Penidur…"
Si gadis
tertawa cekikikan. “Manusia sebesar gajah itu! Dalam setahun belum tentu dia
satu kali melek! Duduk saja dia sulit, bagaimana mau bersuka-suka
denganku?" (Mengenai Si Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Siluman Teluk Gonggo")
“Jangan
kawatir. Masih ada yang lain. Pernah dengar nama Tua Gila dari Andalas?"
"Hemmm…
orang gila berjuluk Pendekar Gila Patah Hati itu? Dia memang orang hebat. Tapi
apa enaknya bercumbu dengan orang gila? Hik… hik.., hikkk." (Mengenai Tua
Gila dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun
Tulang").
"Bagaimana
dengan tokoh aneh berjuluk Kakek Segala Tahu?" ujar Wiro pula
"Bisa
sengsara aku berteman dengan dia. Mencarinya sesulit kutu dalam comberan!"
Kalau
dengan Dewa Ketawa bagaimana?!" Wiro mencoba lagi.
Si gadis
mesem-mesem. "yang satu ltu potongannya memang masih keren. Tapi sayang
aku punya dugaan kuat syarafnya ada yang putus. Buang hajat besar saja dia
masih bisa tertawa-tawa macam orang sinting!
(Dewa
Ketawa adalah paman sekaligus guru Bujang Gila Tapak Sakti. Harap baca serial
Wiro Sableng berjudul "Bujang Gila Tapak Sakti" ). Dia punya saudara
berjuluk Dewa Sedih….
“Lebih
celaka lagi! Apa enaknya berhubungan dengan orang yang pagi sore sepasang
matanya torus ngompol alias nangis terus-terusan…."
Wiro
garuk-garuk kepala "Bagaimana kalau dengan Iblis Pemabuk?"
"
Wah berat urusannya! Dia lebih senang memegang pantat botol dari pada. . Hik…
hik., hik…!" Si gadis tertawa cekikikan sampai keluar air mata. Mau tak
mau murid Sinto Gendeng jadi ikut tertawa terpingkalpingkal.
"Sudah?
Tak ada lagi teman atau kenalanmu yang hendak kau jodohkan dengan
diriku?!" Si gadis bertanya seolah menantang.
Murid
Sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala. “Kau sudah bertemu dengan Raja Obat.
Kau tidak suka padanya. Hemm… siapa lagi ya?" Wiro berusaha
mengingat-ingat. “Hai! Kau pernah dengar nama bssar seorang dedengkot
persilatan. berjuluk Dewa Tuak?!”
Gadis di
hadapan Wiro tertegun dan menatap lekat-lekat ke wajah sang pendekar. Wiro
mellhat sesaat wajahnya yang cantik berubah ke bentuk aslinya yakni paras
seorang nenek yang tertutup dandanan tebal medok! Hanya sesaat. Di lain kejap
kembali wajah itu pada bentuk palsunya yakni wajah gadis cantik jelita.
"Apa
yang terjadi dengan tua bangka ini? Apa yang ada dalam benaknya? Dia seperti
menerawang ke masa lalu," kata Wiro dalam hati.
"Pendekar
212…" kata si gadis. Suaranya perlahan dan bernada rawan."Apakah dia
masih hidup…?"
"Dewa
Tuak? Tentu saja dia masih hidup. Masih bernafas. Masakan aku mau
memperkenalkan dirimu dengan orang yang sudah ada dalam kubur. Belum selang
beberapa lama aku bertemu dengan dia. Ah….Rupanya usulanku kali ini tepat kena
batunya…. Berkenan di hatimu. Kau suka padanya. Paling tidak pernah
mengenalnya. Atau mungkin juga dulu pernah bercinta…."
"Diam!”
teriak si gadis menggeledek. Mukanya tampak merah mengelam.
Wiro
sampai tersurut satu langkah dibentak seperti itu. “Harap maafkan kalau aku
kesalahan bicara. Tapi aku kenal betul orang tua satu itu. Dia sudah seperti
kakekku sendiri. Aku banyak berhutang budi bahkan berhutang nyawa
padanya…."
"Aku
bukan tidak suka pada ucapanmu. Tapi…." Si gadis menarik nafas panjang.
Wiro
semakin syak bahwa orang di hadapannya itu pernah kenal dengan Dewa Tuak bahkan
pernah menjalin hubungan di masa lalu. Lalu murid Sinto Gendeng melihat
sepasang mata si gadis berkacakaca.
"Eh.
dulu waktu di pulau batu merah dia menangis. Karena saudara kembarnya dibunuh
orang. Sekarang lagi-lagi kulihat dia menangis. Apa ada lagi saudara kembarnya
yang dibunuh orang?!
Rasa hiba
yang mendadak muncul di hati Pendekar 212 membuat pemuda ini mengeluarkan
sehelai selampai dan menyerahkannya pada si gadis.
"Terima
kasih … !" kata si gadis sambil menerima sapu tangan itu lalu menyusut
wajah menyeka kedua matanya. "Puluhan tahun lalu aku menyirap kabar Dewa
Tuak tewas dalam satu bentrokan besar dengan enam tokoh silat golongan hitam.
Bagaimana aku bisa percaya ucapanmu yang mengatakan dia masih hidup…."
"Masakan
aku berdusta pada orang sebaikmu?!" kata Wiro pula. "Atau kau ingin
aku bersumpah?!"
Si gadis
menatap dalam-dalam ke mata Wiro. “Aku percaya padamu…"katanya sambil
memegang Irigan Pendekar 212. "Mungkin sengaja ada yang menebar kabar
palsu…."
"Kalau
itu terjadi puluhan tahun lalu, aku masih belum lahir. Memangnya antara
kau…."
"Dengar
Wiro, kalau kau bertemu dengan si Suro Lesmono itu katakan padanya mulai
matahari terbit hari sepuluh bulan sepuluh aku akan menunggunya di Pangandaran
…. "
“Suro
Lesmono? Siapa Suro Lesmono?" Wiro bertanya terheran- heran.
“Ah. kau
tidak terlalu mengenaI si kakek rupanya. Suro Lesmono adalah nama sebenamya
Dewa Tuak"
“Ah!"
Wiro keluarkan seruan tertahan.
"Jika
begitu pesanmu aku akan berusaha mentaatinya."
“Aku
berterima kasih atas kebaikanmu." kata si gadis pula lalu sepasang matanya
memandang tajam ke arah dada Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng Jadi berdebar.
Dalam hati dia bertanya-tanya apakah gadis itu mengetahui apa yang tersembunyi
di balik dada pakaiannya?
“Pendekar
212…. Mulai hari ini kemana kau pergi berlakulah hatihati…."
"Apa
maksudmu? Wiro pura-pura bertanya.
"Maksudku
bukan cuma nyawamu yang harus kau selamatkan, tapi belasan bahkan puluhan nyawa
orang-orang persilatan akan tergantung atas keselamatan dirimu…."
"Ah!
Dia tahu! Pasti dia sudah tahu aku telah memiliki kitab itu! kata Wiro dan dia
tidak dapat menyembunyikan perubahan wajahnya.
Selagi
Pendekar 212 terperangah begitu rupa, tiba-tiba "cup!" Satu kecupan
mendarat di bibirnya "Hai!" teriak murid Sinto Gendeng seraya raba
bibirnya dengan ujung jari. “Perempuan brengsek! Lagi- lagi aku kecolongan!
Gila! Gerakannya seperti waktu di pulau batu merah dulu hampir tak terlihat.
Tahu- tahu ciumannya sudah mendarat!” Sambil menggruk kepala murid Sinto
Gendeng menarik nafas panjang berulang kali. “Masih untung dia menciumku dalam
ujud seorang gadis cantik. Kalau seperti dulu dalam ujud nenek-nenek. puah!
Sial sekali nasibku!"
Wiro
memandang ke arah lenyapnya si gadis. "Tapi satu hal aku ketahui. Dia
tidak menginginkan kitab sakti ini. Dia tidak bermaksud jahat padaku….!".
*****************
TUJUH
RUMAH
kayu di puncak bukit itu berada dalam keadaan gelap. Si gadis segera menyalakan
sebuah lampu minyak hingga bangunan yang tidak seberapa besar itu kini menjadi
terang. Di situ hanya terdapat perabotan berupa sebuah kursi kayu, tempat tidur
beralaskan jerami kering dan sebuah meja di atas mana terletak sebuah kendi
berikut dua cangkir dari tanah. Karena cuaca di bukit itu selalu diselimuti
kesejukan dan tidak berdebu maka bagian dalam bangunan kayu termasuk semua
perabotan yang ada berada dalam keadaan bersih.
Si gadis
menuangkan air bening dari kendi ke dalam dua cangkir. Dia meneguk habis air
dalam cangkir pertama lalu menyerahkan cangkir satunya pada Raja Obat seraya
berkata. “Orang tua, kau tentu sangat letih. Sebaiknya kau segera tidur saja…”
Saat itu sekujur tubuh Raja Obat alias Pangeran Soma memang tak karuan rasa
saking letihnya. Namun mengingat di situ cuma ada satu tempat tidur, walaupun
dia sudah tua renta tetap saja dia merasa bagai seorang lelaki yang harus
mendahulukan pihak perempuan. “Tubuhku memang letih, namun keletihan batinku
rnelebihi segala-galanya. Aku akan bersemedi dulu di serambi rumah. Kau saja
yang tidur…."
Si gadis
tersenyum mendengar ucapan Raja Obat. "Orang-orang tua berkata, yang muda
jangan sekali-kali berlaku tidak hormat terhadap yang lebih tua. Jadi, dengan
kata lain kau lebih pantas tidur di atas ranjang jerami itu. Aku bisa mencari
tempat lain .Di kursi pun aku bisa tidur…”
Raja Obat
geleng-geleng kepala. "Selama ini ak banyak mendengar tentang kehebatan
gadis-gadis pesilat. Tidak sangka han ini aku akan bertemu dengan salah satu di
antaranya. Anak gadis, kata aku boleh bertanya siapa namamu. Apakah kau tinggal
menyendiri di tempat ini? Lalu makam siapa yang kau tangisi malam tadi?"
“Pertanyaanmu
banyak amat, orang tua. Biarlah aku berlaku lancang sedikit dan menanyaimu
lebih dulu. Kau bilang mencari makam ibumu.
Melihat
usiamu yang sudah lanjut pasti ibumu telah berpulang belasan tahun lalu. Tidak
heran kalau kau sulit mencari makamnya di pekuburan yang tida terpelihara itu.
Tapi bagaimana kejadiannya sampai kau sendiri tidak tahu di mana pastinya letak
makam lbumu"
"Ah,
pertanyaan gadis ini tak mungkin kujawab. Atau apakah sudah saatnya aku
berterus terang?” Setelah berpikir sejenak akhimya Raja Obat berkata “Seperti
aku katakan waktu di pekuburan tadi aku hanya seorang tua malang …. "
Banyak
manusia malang di atas dunia ini. Bahkan yang jauh lebih malang dariku ataupun
darimu Kau bilang tidak punya istri. Apakah kau seorang pemuka agama atau apa.
Sulit bagiku membayangkan cara dan jalan hidupmu. Bahasamu halus tan kau
keturunan ningrat atau bangsawan. Sikapmu di perjalanan tadi menunjukkan kau
pernah berada di sekitar daerah ini tapi banyak lupanya. Mengapa kau tidak
menerangkan siapa dirimu sebenarnya orang tua?"
"Gadis
ini bukan saja bermata tajam tapi juga berotak cerdik," membatin Raja
Obat.
“Apakah
aku berterus terang saja mengatakan siapa diriku. Mungkin dia bisa membantu.
Tapi…. Bagaimana mungkin. Usianya saja paling tidak seperlima usiaku. Mana dia
tahu segala kejadian puluhan tahun silam …" Orang tua itu sesaat menjadi
bimbang.
Si gadis
menarik nafas dalam. Rambutnya yang bagus panjang dilepasnya ke bahu hingga
wajahnya kelihatan tambah cantik. "Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa
dirimu, aku tidak memaksa. Biar aku menerangkan siapa adanya diriku sendiri.
Aku dilahirkan sekitar sembilan belas tahun lalu di satu desa di timur
Kotagede. Ketika aku ditahirkan kedua orang luaku sudah tiada. Menurut paman
mereka menjadi korban keganasan penyakit sampar yang berjangkit pada masa itu.
Paman memeliharaku dan memberi aku nama Andini. Aku dibesarkan tanpa saudara,
tanpa teman bermain, lanpa kasih sayang sama sekali. Sepertimu, pamanku tidak punya
istri. Beliau lebih banyak mengabdikan diri sebagai prajurit Kerajaan. Empat
tahun lalu beliau tewas ketika menumpas sekelompok pemberontak di kaki Gunung
Merapi…."
Andini
hentikan penuturannya sejenak. Kedua matanya dipejamkan. Raja Obat melihat betapa
cantik jelita dan anggunnya wajah gadis itu. Kemudian dilihatnya bahu Andini
bergoyang-goyang tanda dia berusaha menahan diri agar tidak sesenggukan.
Agaknya
musibah kematian pamannya merupakan cobaan yang paling berat baginya. Ketika
kedua matanya dibuka kelihatan mata itu berkacakaca. Lalu si gadis meneruskan.
"Sewaktu usiaku mencapai enam belas tahun aku berkenalan dengan seorang
pemuda. Namanya Handoko Dari perkenalan biasa lama-lama hubungan kami berubah
menjadi jalinan cinta. Ketika kami tidak bisa lagi dipisahkan baru aku ketahui
bahwa Handoko adalah putra seorang pejabat tinggi pembantu Sultan. Dia putra
seorang Tumenggung bernama Caroko Sindu Winoto…. “
"Kau
beruntung sekali kalau begitu…" kata Raja Obat.
Si gadis
menggeleng. Air matanya bercucuran "Jauh dari beruntung. Malah malapetaka
yang datang. Sang Tumenggung marah besar ketika mengetahui hubungan putera
tunggalnya dengan diriku yang hanya rakyat jelata dan tidak tahu asal usul, tak
punya orang tua, tak punya siapasiapa. Dia memerintahkan Handoko memutuskan
hubungan. Tapi kami telah terlanjur jauh dalam bercinta. Kekasihku nekad.
Walaupun ada ancaman dia akan diusir dan tidak diakui sebagai anak lagi dia
nekad. Ayahnya berusaha membujuk akan memintakan satu jabatan tinggi pada
Sultan bagi putranya itu. Mungkin jabatan Adipati. Asalkan Handoko memutuskan
hubungan dengan diriku, lalu segera melangsungkan perkawinan dengan seorang
gadis turunan ningrat pilihan kedua orang tuanya. Handoko menolak. Dia memilih
yang terburuk. Suatu malam sekitar satu minggu lalu dia lenyap meninggalkan
gedung kediamannya.
Seorang
kepercayaannya memberi tahu bahwa dua hari di muka ini dia akan menemuiku di
rumah kayu ini. tapi kemarin pagi dia ditemukan telah jadi mayat di hutan
Watuireng. Lehernya hampir putus akibat gorokan senjata tajam. Tumenggung Sindo
Winoto yang sudah tidak mau tahu terhadap puteranya itu bahkan sampai-sampai
tega tidak mau mengurus jenazahnya. Beberapa orang kawan dan keluarga
terdekatnya lalu menguburkannya di sini. Aku dengar ibunya saat ini sedang
sakit keras. Lalu ada kabar lain mengatakan bahwa mungkin jenazah Handoko akan
dipindahkan ke makam yang lebih pantas di samping kawasan makam istana.."
"Aku
sangat sedih mendengar nasib riwayatmu. tapi kau masih muda. Masa depan masih
menunggumu…-"
“Masa
depanku sudah dibawa Handoko ke da kuburnya…" kata Andini pula dan kini
gadis itu tak dapat menahan sesenggukannya. Dia menangis sambil duduk di kursi
dan membenamkan wajahnya di balik sepasang telapak tangan.
Raja Obat
melangkah mendekatinya dan membelai rambut gadis itu.
"Aku
tahu kau seorang gadis tabah. Kau harus kuat menghadapi cobaancobaan besar itu
Andini."
“Aku akan
berusaha tapi mampukah aku menghadapinya seorang diri. Aku merasa diriku
seolah-olah dalam bahaya…."
"Kau
akan mampu. Pasti mampu," kata Raja Obat pula sambil terus membelai rambut
si gadis. Perlahan-lahan Andini angkat kepalanya. Kedua tangannya
digelungkannya ke pinggang Raja Obat orang tua itu dipeluknya erat-erat.
"Jika
kau tidak keberatan aku… aku akan menganggap dirimu sebagai pengganti semua
orang yang kukasihi itu. Ayahku…. lbuku…. Paman….Handoko."
Terharu
oleh cerita nasib diri gadis cantik itu dan mulut Raja Obat lantas saja
meluncur kata kata mengenai dirinya. Seratus tahun hidup tanpa mengenai ayah
maupun ibu, apalagi yang din makan kasih sayang dari kedua orang tua. Karena
tidak punya saudara, dia tidak mengenai kasih mengasihi antara sesama saudara.
Karena hidup dikucilkan dirinya tidak mengenal kebahagiaan hidup berteman. Masa
kecilnya hanya merupakan lembaran hitam. Lalu karena hidup membujang
seumur-umur dia tidak pula mengenal kebahagiaan sebagai seorang suami. seorang
ayah. Apa yang dinamakan kekasih dia buta sama sekali. Semua itu kini bercampur
aduk menjadi satu, membuat dadanya sesak dan tenggorokannya turun naik.
Perlahan-lahan sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Siapa
diriku tidak banyak kuketahui…" kata Raja Obat pada akhir penuturannya.
Dia tetap merahasiakan jati dirinya sebagai seorang pangeran. "Orang-orang
memanggilku Soma. Aku tidak ingat siapa yang memberi nama itu…."
Andini
angkat kepalanya. "Siapapun dirimu bagiku kau adalah orang gagah yang
telah menempuh kehidupan sulit dengan segala ke-tabahan. Setelah tahu namamu
aku tidak akan memanggilmu lagi dengan sebutan orang tua atau kakek. Bolehkah
aku memanggilmu Paman Soma … ?" Raja Obat tersenyum dalam kerawanan
wajahnya
"Melihat
kepada umur kau pantas menjadi cucu-ku …. "
Si gadis
merengut dan menyentakkan tangan Raja Obat. “Aku tidak suka panggilan itu. Biar
kau marah aku akan memanggilmu Paman Soma. Dan aku tidak suka melihat lelaki
menangis …. " Pangeran Soma semakin lebar tawanya. Tangannya yang membelai
kepala turun memegang bahu Andini. Lalu dia berkata. "Kau anak baik….”
"Aku
belum seperti yang kau katakan itu. Malam ini aku tidak mampu menyediakan
makanan apa-apa untukmu. Kau tentu lapar…."
"Aku
sudah biasa hidup dengan perut kosong selama berharl-hari … " jawab Raja
Obat.
"Nah,
apa kataku Bukankah itu menunjukkan kau seorang hebat?!"
kata si
gadis pula seraya melirik ke arah bungkusan milik Raja Obat yang terletak di
ujung tempat tidur. Dia berdiri dari kursi lalu mengambil bungkusan itu. Si
orang tua memperhatikan. Ternyata Andini hanya memindahkan bungkusan dari kaki
tempat tidur kayu ke bagian kepala.
"Paman
Soma, kau pasti letih, perlu istirahat. Nah sekarang tldurlah. Besok pagi-pagi
sekali aku akan membangunkan dirimu dan kita blcara lagi mengenai riwayat kita
masing-masing. Jika memang masih ada yang dibicarakan…."
"Bukan
aku, tapi kaulah yang harus beristirahat. Seperti tadi kataku, aku akan
bersemedi di luar sana …"
Andini
tertawa. Tangannya digelungkan ke pinggang Raja Obat lalu sekali dorong saja
maka rebahlah orang tua itu di atas ranjang beralaskan jerami kering.
“Hai. Apa
yang hendak kau lakukan?” tanya Raja Obat Sesaat si gadis masih terus tertawa.
Kemudian dia berkata "Aku yang muda harus mengalah pada kau yang lebih tua
dan kuhormati Tidur sajalah. Pejamkan matamu. Aku akan memijiti kakimu,
punggung dan kepala agar lekas pulas…."
"Tidak
usah… Tidak perlu! Jangan! Andini…."
Bagaimanapun
orang tua itu menolak namun si gadis terus saja melakukan apa yang
dikatakannya. Kedua tangannya dengan cekatan memijat kaki Raja Obat Mula-mula
betis kanan, ketika naik ke lutut orang tua ini menggeliat kegelian. Tapi
tubuhnya sebelah bawah tidak bisa digerakkan karena saat itu Andini sudah
menduduki sepasang kakinya terus memijiti punggungnya.
Seumur
hidupnya orang tua itu tidak pernah dipijiti orang. Juga tidak pernah ada
tangan perempuan yang pernah menyentuh auratnya. Kini diperlakukan seperti itu,
dalam kegeliannya bagaimanapun juga ada hawa aneh menjalari sekujur tubuh sang
pangeran. Apa lagi yang memijat tubuhnya adalah seorang gadis berwajah begitu
cantik, memiliki kulit dan potongan tubuh bagus. Sampai-sampai Raja Obat
berulang kali beristigfar menyebut nama Tuhan dalam hatinya karena tengkuknya
mendadak merinding dan rasa takut mulai menjalari dirinya.
"Andini,
cukup! Aku sudah tidak letih lagi Kau boleh pergi, aku sudah bisa tidur…"
berkata Raja Obat.
“Tenang
dan diam sajalah Paman Soma. Kalau kau mau tidur silahkan saja Tidurlah, ngorok
yang keras"" jawab si gadis. Tangannya menyelinap ke balik jubah si
orang tua.
Lelaki
berusia seratus tahun yang terbaring menelungkup itu laksana disengat
kalajengking Darahnya mendadak panas dan mengalir lebih cepat. Tubuhnya membara
seperti dipanggang Degup jantungnya menggelegar
“Andini…
Apa yang kau lakukan terhadapku?!" Suara Raja Obat tenggelam dalam desau
nafasnya sendiri. Dia segera membalikkan tubuh Sepasang matanya membelalak. Dia
tidak tahu kapan gadis itu menanggalkan pakaiannya. Dilihatnya saat itu tubuh
Andini tidak tertutup sehelai benang pun. Orang tua ini cepat tutupkan kedua
matanya sementara getaran aneh yang tak pernah dialaminya sebelumnya semakin
menjadi-jadi Ternyata walau matanya terpejam namun Raja Obat seolah melihat
sosok Andini lebih jelas. Tak ada jalan lain. Dia harus melepaskan diri secara
paksa. Raja Obat bergerak bangkit. Namun di sebelah atas tubuh polos si gadis
menekan dan mendorongnya. Di telinganya terdengar satu bisikan disertai
hembusan nafas harum, "Paman Soma, jangan takut. Aku tidak akan mencelakai
dirimu. Malam ini adalah malam bahagia kita berdua. Kau adalah kekasihku. Aku
adalah kekasihmu…. Tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya bercinta?"
*****************
DELAPAN
PADA saat
perhatian dan pikiran seseorang tertuju penuh pada sesuatu, selalu ada
kemungkinan dia akan bertindak kurang waspada terhadap hal-hal lain di
sekitarnya. Hal ini disadari sekali oleh murid Sinto Gendeng. Setelah
meninggalkan pulau batu merah di pantai selatan tempo hari. baru saat itulah
dia merasa tepat waktu dan aman untuk mengeluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa,
guna membaca, mendalami dan mempelajari isinya. Sejak kitab sakti itu berada di
tangannya dia merasakan satu ketenangan dalam dirinya. Namun di balik
ketenangan itu sikap waspada tak pernah dilupakannya. Cepat atau lambat riwayat
kitab itu akan diketahui orang-orang di dalam maupun di luar rimba persilatan.
Pada saat itu terjadi maka dirinya akan menjadi orang buruan. Bahaya maut akan
mengancam dari mana-mana. Karenanya bahkan terhadap Raja Obat yang telah
membantunya memberi tahu dan mendapatkan kitab itu secara halus dia tidak
memberi tahu bahwa kelak dia akan pergi ke tempat itu. Satu tempat yang
dianggapnya paling aman untuk menyelami dan mempelajari keseluruhan isi kitab
sakti tersebut. Bagaimanapun dia berhati-hati ternyata dua orang telah muncul
secara tidak diduga. Yakni nenek sakti berjuluk lblis Putih Ratu Pesolek dan
Makhluk Pembawa Bala.
“Aku
harus mempelajari isi kitab sakti ini dengan cepat. Kalau perlu besok sebeium
mataharl terbit aku harus mencari tempat lain yang lebih aman … "kata Wiro
dalam hati.
Wiro
duduk bersila di lantai gua dengan punggung menghadap ke dinding sebelah dalam
Di hadapannya ada sebuah lampu minyak. Nyala api lampu minyak tak bisa diam
akibat hembusan angin malam yang datang dari mulut gua.
"Jika
nyala api berhenti bergoyang, berarti ada sesuatu yang menutupi pintu gua.
Sesuatu Itu bisa saja binatang hutan, tapi bisa juga seseorang yang muncul
untuk mendapatkan kitab sakti. Aku benar-benar harus berhati-hati…."
Saat itu
murid Sinto Gendeng masih mengenakan baju hitam pemberian Ratu Duyung dulu.
Dari balik pakaian ini dengan tangan agak bergetar dan degup jantung mengeras
dia keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesaat kitab itu diletakkannya di atas
keningnya seraya hatinya berucap "Tuhan, hanya dengan kehendak dan ridhoMu
aku berhasil mendapatkan kitab ini. Karenanya hanya kepadaMu aku meminta
perlindungan agar diriku selamat dari segala marabahaya selama kitab sakti ini
berada di tanganku. Semoga aku bisa berbakti pada dunia persilatan dalam menegakkan
kebenaran dan menghancurkan kejahatan …. "
Perlahan-lahan
Wiro turunkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu lalu diletakkannya di
atas pangkuannya. Sesaat dia memperhatikan nyala api lampu minyak. Api lampu
seperti tadi masih bergoyang-goyang oleh tiupan angin.
Wiro
mengusap lambat permukaan kulit depan buka di mana tertera tulisan besar dalam
aksara Jawa Kuno berbunyi Kitab Putih Wasiat Dewa Kulit lontar dibukanya,
terpampang kini di hadapannya halaman pertama. Melihat apa yang tertulis di halaman
pertama itu pikiran Wiro melayang pada kejadian beberapa waktu lalu ketika dia
secara aneh masuk ke dalam alam gaib masa lampau. Dia seolah berada di satu
masa, menjadi bagian dari waktu lampau dan segala apa yang terjadi. Termasuk
melihat Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Secara aneh dia memiliki kemampuan
mengingat hampir setiap baris rangkaian kalimat pada beberapa halaman kitab.
Walau demikian, dengan suara perlahan dia merasa perlu mengulang dan membaca
lagi apa yang tersurat di halaman pertama ltu."
Bilamana
datang kebenaran maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan
mungkin bisa berjaya
Tapi pada
saat kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu
membendungnya.
Kejahatan
membakar dan merusak laksana api.
Tetapi
api itu sendiri sebenarnya adalah kekuatan dahsyat
Yang
diarahkan para Dewa untuk membakar mereka.
Bilamana
api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna.
Wiro
membalik halaman kedua. Di sini, di dalam sebuah lingkaran putih tertera gambar
kepala seekor harimau putih -Datuk Rao Bamato Hijau.." desis Wiro. Baru
saja dia menyebut nama ltu tiba-tiba entah dari arah mana, di kejauhan menggema
suara auman harimau. Di saat yang bersamaan dari sepasang mata harimau pada
gambar di halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa itu melesat keluar dua larik
cahaya hijau menyilaukan Wiro merasa kepalanya seolah tanggal dari persendian
dan mencelat lepas. Dua matanya panas dan pemandangannya menjadi gelap walau
saat itu dalam keadaan nyalang.
Celakal
Apa yang terjadi dengan diriku. Aku mendadak buta!" ujar Wiro. Sepasang
matanya digosok berulang kali. Semakin digosok semakin panas kedua matanya dan
semakin menghitam pemandangannya. " Mati aku!" keluh Pendekar 212
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara alunan seruling. Lembut dan sangat menawan Selembut
terdengarnya suara itu, selembut itu pula rasa panas dan pandangan gelap yang
dialami Wiro menjadi sirap Ketika keadaannya pulih kembali dan dia dapat
melihat segala sesuatunya seperti tadi bahkan kini lebih jelas seolah di dalam
gua itu bukan cuma ada satu lampu minyak tapi belasan banyaknya!
Tuhan….
Mukjizat atau apakah yang barusan aku alami ini!" ujar Wiro lalu diusapnya
KiItab Putih Wasiat Dewa di pangkuannya. Kembali sepasang matanya berbenturan
dengan dua mata hijau gambar harimau putih pada daun lontar halaman kedua Kitab
Putih Wasiat Dewa. Saat itulah ada suara mengiang di telinganya. Semula
disangkanya suara Raja Obat yang memang mempunyai kesaktian mengirimkan suara
dari jarak jauh. Namun setelah didengarnya baik-baik dia segera maklum suara
mengiang itu adalah suara Datuk Rao Basaluang Ameh, orang tua aneh yang muncul
membentuk diri dari kabut atau asap putIh.
"Anak
manusIa bernama Wiro Sableng. terlahir bernama Wiro Saksana, bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212. Ketahuilah waktu berada di pulau batu merah dulu. kau
telah menerima ilmu kesaktian bernama Pukulan Harimau Dewa. Barusan saja kau
telah mendapatkan ilmu kedua yang terkandung di dalam Kitab Putih Wasiat Dewa
bernama Sepasang Pedang Dewa. Bilamana keselamatanmu terancam dalam menghadapi
senjata lawan yang tak dapat kau hancurkan, kau hanya tinggal menyebut nama
ilmu itu maka dari matamu akan melesat keluar dua larik sinar hijau laksana
sepasang pedang yang luar biasa tajamnya dan seperti kilat sambarannya. Namun karena
ilmu kesaktian ini sangat berbahaya maka penggunaannya sangat terbatas Dalam
waktu 360 hari kau hanya boleh mengeluarkannya sebanyak dua kali. Ingat, hanya
dua kali!"
Suara
yang mengiang lenyap dari pendengar an Pendekar 212 Untuk beberapa lamanya pemuda
dari Gunung Gede ini duduk terpana dengan mulut ternganga. Lalu dia ingat, dia
harus berbuat dan melakukan sesuatu. Cepat Wiro membungkuk seraya berkata.
"Datuk Rao Basaluang Ameh aku sangat berterima kasih padamu…." Tak
ada jawaban.
Perlahan-lahan
Wiro luruskan duduknya lalu mendongak ke atap gua seraya berkata. "Tuhan,
sungguh maha besar berkahMu atas diriku. Aku akan menjaga semua kepandaian yang
diberikan padaku..” api lampu minyak terus bergoyang Wiro kembali menatap
halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa. Di bawah gambar harimau dan lingkaran
pputi tertera tulisan berbunyi:
Putih
lambang kesucian dan kebenaran.
Harimau
lambang keberanian dan kejantanan
Barang
siapa berjodoh dengan kitab ini
maka
kemanapun dia pergi
harimau
putih akan menjadi kekuatan,
menjaga
dirinya dari segala musuh
ilmu
hitam dan iblis jahat
Wiro
terus membalik halaman berikutnya. Di halaman ketiga seperti yang pernah
dilihatnya dalam alam arus waktu masa lampau di situ termuat apa yang disebut
Delapan Sabda Dewa yang secara aneh satu persatu sanggup diingatnya walau hanya
dibaca seolah dalam mimpi.
Delapan
Sabda Dewa
Barang
siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat
maupun yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia
mencamkan apa-apa yang telah disabdakan.
Delapan
Sabda Dewa adalah delapan jalur keselamatan.
Tanah….
Air…. Api…. Udara…. Bulan._ Matahari…. Kayu…. Batu.
Rangkaian
tulisan Delapan Sabda Dewa ini menghabiskan dua halaman sendiri hingga kini
Wiro akan sampai ke halaman kelima. Murid Sinto Gendeng lantas ingat. Waktu
berada dalam arus waktu masa lampau dia melihat bagaimana Kanjeng Sri Ageng
Musalamat tidak mampu menggerakkan tangan untuk membalik halaman kelima. Pada
waktu itu muncul Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa dia tidak berjodoh
dengan kitab sakti itu. Karenanya dia tidak diperkenankan membuka halaman
berikutnya yakni halaman kelima.
"Bagaimana
dengan diriku.. ?" pertanyaan itu muncul di hati Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Apakah aku mampu membalikkan halaman keempat ini dan melihat ke
halaman kelima?"
Dadanya
berdebar. Jari-jari tangannya bergetar ketika digerakkan untuk membalik halaman
keempat. Hampir halaman kelima tersingkap tiba-tiba kembali terdengar suara
auman harimau yang menggetarkan gua batu di lereng Gunung Merbabu itu. Menyusul
tiupan saluang. Sesaat Wiro jadi terkesiap. Apakah ini satu pertanda bahwa
diapun tidak akan mendapat perkenan melihat halaman kelima?
Pendekar
212 menatap ke depan dan bertanya-tanya dalam hati apakah Datuk Rao Basaluang
Ameh dan harimau putihnya akan muncul saat ini? Namun tak ada kabut atau asap
putih muncul di tempat itu. Wiro teruskan membalik halaman keempat. Halaman
lima Kitab Putih Wasiat Dewa kini terpampang di depan mata Pendekar 212
Ternyata di situ hanya ada serangkaian kalimat berbunyi:
Musuh
umat manusia hanya ada dua. Pertama yang datang dari luar. Kedua yang datang
dari dalam dirinya sendiri. Kalau Delapan Sabda Dewa dipelajari, dimengerti dan
diamalkan Niscaya manusia akan terlindung dari segala mara bahaya. Mana ada
jalan selamat kalau bukan JalanNya Tuhan?
Wiro
mengulangi membaca tiga baris kalimat itu sampai beberapa kali. Dalam hati
kembali dia melafal satu persatu Delapan Sabda Dewa yang ada di halaman
sebelumnya. Kemudian kembali dia tundukkan kepala memperhatikan kitab yang ada
di pangkuannya. Menurut apa yang dilihatnya kitab itu hanya memiliki dua
halaman yang belum dibuka "Hanya tinggal dua halaman…"desis Wiro
Apakah semua inti ilmu kesaktian terpendam pada dua halaman terakhir kitab
ini?"" Pikir murid Sinto Gendeng selanjutnya. Tiba-tiba terdengar
suara Datuk Rao Basaluang Ameh di telinganya
“Anak
muda jangan ragu Kitab yang ada padamu hanyalah alat pembimbing menuju satu
kesaktian. Kesaktian itu sendiri adalah satu kekuatan gaib yang tidak satu
manusiapun sanggup menjelaskan karena semua datang dari Yang Maha Kuasa. Antara
kitab itu sebagai benda nyala dan kesaktian sebagai yang gaib ada satu sambung
rasa yang hanya kau yang akan menguasainya karena kaulah yang berjodoh dengan
kitab itu…."
Keraguan
yang tadi memang sempat menyeruak di dalam hati Pendekar 212 serta merta sirna.
"Terima kasih Datuk Rao Basaluang Ameh," kata sang pendekar lalu
dengan terang dibalikkannya halaman kelima.
Pada
halaman keenam yang kini terpampang di depan matanya Wiro melihat enam lukisan
orang lengah melakukan gerakan silat Masingmasing lukisan diberi nomor mulai
dari 1 sampai 6. Bagian halaman yang tersisa penuh dengan tulisan-tulisan kecil
hingga untuk membacanya Wiro harus mengangsurkan kitab itu lebih dekat ke lampu
minyak yang ada di hadapannya. Dia lalu mulai membaca tulisan demi tulisan:
Menyerang
adalah awal kekuatan sedang bertahan adalah akhir kekuatan Ilmu silat.
Dalam
menghadapi musuh jahat, lebih dahulu bertindak adalah tindakan sempurna dari
pada bertahan menunggu datangnya bencana Musuh pertama manusia adalah yang
datang dari luar.
Bilamana
mereka datang maka mereka akan menyerang dari enam arah, yaitu: atas (1) depan
(2), belakang (3), samping kiri (4), samping kanan (5) dan dari sebelah bawah
(6).
Sampai di
sini Wiro memperhatikan dengan seksama keenam lukisan dan masing-masing arah
serangan yang disebutkan Enam lukisan ini menggambarkan enam gerakan serangan
menurut enam arah yang disebut….Serangan dengan telapak tangan kanan
terkembang, tidak mengepal Tulisan selanjutnya mungkin… hem…. Mungkin ini
nama-nama jurusnya…." Wiro memperhatikan kelanjutan rangkaian tulisan yang
telah dibacanya.
Enam inti
Kekuatan Dewa
1. Tangan
Dewa Menghantam Matahari
2. Tangan
Dewa Menghantam Batu Karang
3. Tangan
Dewa Menghantam Rembulan
4. Tangan
Dewa Menghantam Air Bah
5. Tangan
Dewa Menghantam Api
6. Tangan
Dewa Menghantam Tanah
"Hemmm…"
Wiro jadi bergumam sendiri. "Benar, ini enam jurus serangan. Namanya
disesuaikan dengan enam dari delapan unsur Sabda Dewa. Penampilan
lukisan-lukisannya sederhana sekali tapi seumur hidup baru kali ini aku melihat
jurus-jurus begini aneh. Kudakuda sepasang kaki lain dari yang lain. Juga gerakan
tangan terlihat janggal. Lalu mengapa setiap tangan kanan pada lukisan
kelihatan lebih besar…? Tidak mungkin pelukis kitab ini melakukan kesalahan.
Pasti ada artinya…."
Wiro coba
memecahkan arti telapak tangan kanan yang lebih besar dari tangan kiri ttu Tapi
tidak mampu mengartikannya. Akhirnya untuk beberapa lama dia hanya duduk sambil
memandangi telapak tangan kanannya yang sebentar-sebentar dikembangkan, lalu
dikepal Dikembangkan lagi, dikepal lagi. Demikian berulang-ulang.
"Mungkin
aku harus minta petunjuk dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Tapi bagaimana cara
memanggil orang sakti dari alam gaib itu? Lagi pula sebaiknya blar aku pecahkan
sendiri. Kalau semua minta petunjuk bisa-bisa aku dikatakan tak punya otak
untuk berpikir…."
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala dengan tangan kiri. Matanya masih memandangi
telapak tangan kanannya yang terkembang Sekonyong-konyong dia ingat. Telapak
tangan yang terkembang itu ditiupnya satu kali. Serta merta muncullah gambar
kepala harimau putih bermata hijau inilah gambar kepala Datuk Rao Bamato Hijau,
binatang sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah dikatakan sebagai
sahabat yang akan melindungi Wiro.
"Aku
mengerti sekarang…," membatin murid Sinto Gendeng. Dia mulai dapat
memecahkan teka teki dalam lukisan. "Telapak tangan kanan yang terkembang
dan lebih lebar melambangkan pukulan yang dilancarkan tidak dengan cara
mengepal tapi seolah mendorongkan telapak tangan! Lalu sebelum telapak tangan
itu dipakai untuk menyerang tentunya sudah ditiup lebih dulu, diisi dengan
kesaktian berlambang kepala harimau putih!"
Wiro
menarik nafas lega. Agaknya kehebatan Kitab Putih Wasiat Dewa ini bersumber
pada enam jurus serangan yang disebut Enam Inti Kekuatan Dewa itu. Namun apa
yang ada di dalam kitab itu tidak akan ada artinya jika dirinya tidak lebih
dulu menerima kekuatan dari dua Datuk berupa pukulan sakti yang dapat
dilancarkan tanpa pengerahan tenaga dalam sama sekali! Berarti ada kanan antara
benda mati yakni sang kitab yang kini dimilikinya dengan dirinya sendiri selaku
pemilik kitab. Ada kaitan antara yang nyala yaitu petunjuk dalam kitab dengan
yang gaib yakni kekuatan sakti yang kini tersImpan dalam tubuhnya.
"Cerdik
sekali orang yang membuat kitab ini. Seseorang tidak akan menguasai ilmu yang
ada dalam kitab tanpa memiliki lebih dulu kesaktiannya. Kesaktian tidak ada
artinya jika tidak mengikuti setiap petunjuk di dalam kitab…"
Pada saat
itu entah bagaimana Wiro lantas ingat akan Kitab Wasiat Iblis yang kini berada
di tangan Pangeran Matahari musuh besarnya. Mau tidak mau dia jadi ingin tahu
dan ingin membuktikan mana yang paling hebat di antara dua kekuatan sakti yang
mereka miliki.
"Cepat
atau lambat saatnya akan datang. Tapi kapan…. Di mana…?" Wiro bertanya
sendiri dalam hati.
Perlahan-lahan
Wiro membalik halaman keenam hingga kini dia sampai pada halaman terakhir dari
Kitab Putih Wasiat Dewa yakni halaman ketujuh. Pada halaman ini tertera
tulisan:
Musuh
manusia yang kedua adalah yang datang dari dalam, yaitu dirinya sendiri.
Musuh ini
lebih ganas dan lebih berbahaya dari musuh yang datang dari luar.
Dia bisa
muncul dalam berbagai bentuk. Namun semuanya berpangkal pada lupa diri.
Hanya
manusia yang bertakwa dan kokoh iman yang sanggup lolos dari malapetaka ini.
Renungkan
Delapan Sabda Dewa.
Minta
tolong dan minta ampun hanya pada Yang Satu.
“Kitab
luar biasa…" kata Pendekar 212 sambil mengusap daun lontar halaman
terakhir Kitab Putih Wasiat Dewa berulang kali. Tiba-tiba nyala api lampu
minyak di hadapannya tidak bergoyang lagi.
"Ada
yang datang. Sosok tubuhnya menutup mulut gua, menghalangi tiupan angin!"
Pendekar
212 cepat tutup Kitab Putih Wasiat Dewa dan masukkan ke balik baju hitamnya.
Dia bangkit berdiri dan menyelinap ke balik legukan gua di dinding kiri.
Matanya membelalak sewaktu yang dilihatnya muncul di mulut gua adalah kepulan
asap putih yang serta merta membentuk sosok Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk
Rao Bamato Hijau.
“Aneh,
keduanya muncul tanpa didahului auman dan tiupan seruling," kata Wiro
dalam hati tapi dia cepat-cepat keluar dari balik legukan dinding gua dan
membungkuk menghormati kedatangan kedua makhluk dari alam gaib itu.
"Datuk…."
Datuk Rao
Basaluang Ameh angkat tongkatnya memberi isyarat agar Wiro tidak meneruskan
ucapannya.
"Kami
datang hanya sesaat. Lekas tinggalkan gua ini. Di satu bukit yang terletak di
sebelah tImur Kutogede ada sebuah rumah kayu. Raja Obat alias Pangeran Soma
berada di situ Dia berada dalam cengkeraman bahaya besar Kalau kau tidak lekas
datang ke sana menolongnya, aku kawatir nyawanya tidak akan terselamatkan ….”
Wiro
masih terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan itu sementara Datuk Rao
Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau sudah lenyap dari hadapannya, tanpa
auman, tanpa tiupan saluang.
*****************
SEMBILAN
BERKAT
ilmu "menembus pandang" yang didapatnya dari Ratu Duyung, begitu
berada di kaki bukit sebelah timur Kutogede dia segera bisa menjajagi di mana
letaknya rumah kayu itu. Tubuhnya bergetar ketika samar-samar di dalam rumah
kayu dia melihat sosok Raja Obat tergeletak nyaris tanpa pakaian dalam keadaan
sekarat. "Apa yang terjadi dengan orang tua itu!" pikir Wiro. Laksana
terbang dia lari menuju ke atas bukit. Begitu sampai di depan rumah kayu
Pendekar 212 melabrak pintu dan melompat masuk. Sepasang kakinya laksana
dipantek di lantai rumah. Dua matanya membeliak. Raja Obat tergeletak di atas
ranjang beralas jerami kering tanpa pakaian. Jubah putih yang biasa
dikenakannya berkerimuk di bagian bawah perut. basah oleh darah. Erangan
kematian keluar dari mulutnya. Dadanya turun naik dan nafasnya hanya tinggal
satu-satu.
"Raja
Obatl teriak Wiro seraya melompat mendekati ranjang. "Aku Wiro! Apa yang
terjadi?!
Sepasang
mata Raja Obat yang terkatup hanya bergerak sedikit. Pendekar 212 segera
tempelkan dua telapak tangannya ke dada orang tua itu lalu alirkan tenaga
dalam. "Raja Obatl Jangan mati sebelum kau mengatakan apa yang
terjadi!" kata Pendekar 212 pula seraya berlutut di samping tempat tidur
dan mendekatkan mukanya ke wajah si orang tua. Suara erangan Raja Obat terhenti
sesaat. Wiro memandang pada jubah yang menutupi bagian bawah perut orang tua
itu. Diulurkannya tangannya. Kerimukan jubah diangkat.
"Jahanam!"
teriak Pendekar 212.
Aurat
Raja Obat di bagian bawah perut hancur mengerikan Darah masih mengalir. Wiro
tutup bagian itu kembali dengan jubah berdarah. Dia memandang berkeliling.
Ketika dilihatnya sebuah bungkusan yang diketahuinya adalah milik orang tua itu
segera diambilnya. Dia tahu betul. Sewaktu meninggalkan pulau merah, Raja Obat
telah membekali dirinya dengan beberapa keping batu merah yang menurutnya jika
diperlukan dapat dipergunakan sebagai obat. Wiro ambil satu kepIng batu merah
lalu meletakkannya ke dalam tangan Raja Obat.
"Raja
Obat, Pangeran Soma…. Kau bisa mendengar suaraku? Aku Wiro…."
Sepasang
mata si orang tua bergerak kembali. Dia seperti berusaha membukanya tapi tidak
mampu. "Raja Obat…."
Wiro…."
Suaranya hampir tidak terdengar kalau Wiro tidak mendekatkan telinganya ke
mulut si orang tua. "Aku… aku telah melakukan dosa besar. Terhadap diriku…
juga terhadap dirimu…."
"Dosa
besar…. Dosa besar apa?!" tanya Wiro
"Gadis
itu…. Andini! Dosa besar… Aku tertipu. Di… dia mengajakku bercinta. Imanku
runtuh…. Aku tak mampu menolak. Ternyata dia hanya menipu. Dia hanya mencari
keterangan tentang dirimu dan Kitab Putih Wasiat Dewa…."
"Andini…?
Puti Andini…?" desis Wiro. Matanya membelalak memandangi wajah belang si
orang tua. Raja Obat…. Nyawamu harus diselamatkan dulu…. Aku meletakkan
sekeping batu merah dalam tangan kananmu. Kau merasakan…”
"Aku
merasakan…. Aku tahu maksudmu. Tak ada gunanya Wiro Nyawaku tidak mungkin
ditolong.,.."
"Kau
harus mencoba hancurkan batu itu. Nanti aku akan menaburkan di lukamu…"
"Keadaanku
sudah sangat parah. Malaikat maut sudah di depan mata. Aku mohon maafmu Wiro.
Di luar sadar aku telah menceritakan pada gadis itu bahwa Kitab Putih Wasiat
Dewa ada di tanganmu. Hati-hatilah….Dia pasti akan mencari dan membunuhmu untuk
mendapatkan kitab sakti itu…."
"Tapi…."
Wiro terdiam. Ada kebimbangan dalam hatinya. "Raja Obat, kau bisa
mengatakan ciri-ciri gadis itu yang katamu bernama Andini itu?”
"Putih….
Cantik…. Berambut panjang. Mengenakan baju merah…."
"Apakah….
Apa dia membawa…."
"Dia
kekasih seorang pemuda bernama Handoko, putera seorang Tumenggung bernama
Caroko Sindu Winoto…. Tapi kurasa dia berdusta…." Dengan susah payah Raja
Obat menuturkan riwayat si gadis.
"Raja
Obat, aku bersumpah akan mencari gadis itu. Tapi saat ini kau harus
kuselamatkan dulu. Remas batu merah itu. Atau tunjukkan padaku bagaimana cara
aku menolongmu … ?"
Wajah
belang Raja Obat alias Pangeran Soma tersenyum aneh. "Aku sudah terlalu
lama hidup di dunia ini Wiro. Nasibku buruk. Di saat-saat akhir menjelang
kematianku justru aku telah berbuat dosa besar. Aku pantas menerima kematian
dengan cara begini…."
"Tidak!"
teriak Pendekar 212 Lalu dia tempelk kedua telapak tangannya kembali ke atas
dada orang tua. Tapi sebelum dia mengalirkan tenaga dalam untuk kali yang kedua
Raja Obat telah menghembuskan nafas terakhir.
Murid
Sinto Gendeng memukul dinding rumah sampai hancur lalu terhenyak duduk di
lantai .
"Andini
… Dewi Payung Tujuh … ! Gadis itu yang memunuh Raja Obat?!" Wiro kepalkan
kedua tangannya. "Dia memang membekal tugas dari gurunya untuk mencariku
dalam menjejaki Kitab Putih Wasiat Dewa.
Aku juga tahu
bahwa dia akan membunuhku jika aku menolak menyerahkan kitab sak itu Tapi kalau
dia tega membunuh orang tua ini.. Kalau memang dia yang melakukan aku tak bak
mengingat segala hutang budi dan nyawa terhadapnya. Bagus! Bagus Andini! Kini
kau memberi alasan untuk membunuhmu!"
*****************
KUDA
tunggangan dua prajurit Kerajaan itu meringkik keras begitu memasuki hutan jati
Seperti melihat setan binatang-binatang itu mengangkat sepasang kaki depan
masing-masing tinggi-tinggi ke atas mencampakkan penunggang mereka hingga jatuh
terbanting di tanah lalu menghambur lari. Sambil merintih kesakitan dua
prajurit itu mencoba bangkit berdiri. Salah seorang dari mereka menyumpah.
“Binatang
jahanam! Setan apa yang merasuki mereka hingga kita dilemparkan begini
rupa!"
"Jangan
memaki bermulut kotor! ini bukan tempat sembarangan Kalau mau copot lidahmu
ditarik setan rimba belantara!" teriak prajurit satunya sambil memijati
pinggulnya yang memar.
"Dasar
orang udik! Percaya tahayul!" damprat temannya seraya mencoba berdiri Pada
saat inilah dia tidak sengaja memandang ke alas dan berteriak keras.
"Lihat! Ada orang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah!
Temannya
yang selang kesakitan mendongak ke arah yang ditunjuk dan ikut-ikulan kaget.
"Apa kataku! Itu akibat mulutmu bicara kotor seenaknya! Yang tergantung di
pohon itu pasti setan jejadian!"
"Aku
tidak buta! Buka matamu lebar-lebar! Itu sosok perempuan!
Apa kau
tidak bisa melihat tubuhnya yang tersingkap telanjang karena pakaiannya jatuh
terjulai ke bawah?!"
"Terserah
kau mau bilang apa! Bagiku itu tetap setan rimba belantara yang hendak
mengganggu kita!" Habis berkata begitu prajurit satu ini dengan
terpincang-pincang segera melarikan diri. Temannya sesaat menjadi bingung.
Ketika dia hendak kabur pada satu tangan memegang bahunya hingga dia menjerit
kaget setengah mati.
"
Apa yang terjadi di tempat ini?!" Ada suara orang bertanya.
Ketika
dia membalikkan badan prajurit itu melihat seorang pemuda berambut gondrong
berpakaian hitam tegak di hadapannya. "Kau…. kau bukan setan … ?!"
"Prajurit
sialan! Orang bertanya malah disangka setan! Kalau aku setan sudah dari
tadi-tadi kupencet bijimu!" bentak si pemuda yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
"Ka…
kalau begitu !! … lihat di atas sana…" Prajurit itu menunjuk ke atas, arah
sebelah belakang Wiro.
Pendekar
212 cepat berpaling. Wajahnya berubah, sepasang matanya mendelik! Pada cabang
sebatang pohon yang cukup tinggi, tergantung sesosok tubuh perempuan kaki ke
atas kepala ke bawah. Pakaiannya yang berwarna biru terjulai menutupi kepalanya
hingga wajahnya tidak kelihatan. Tetapi mulai dari ujung kaki sampai ke lekukan
dada tubuh yang mulus elok ltu nyaris telanjang, hanya tertutup
potongan-potongan pakaian dalam.
“Baju
tipis warna biru…." Wiro coba menghirup udara di tempat itu dalam-dalam
"Dari sini aku mencium bau tubuhnya. Jangan-jangan…."Wiro berpaling
pada prajurit yang masih ketakutan di depannya lalu berkata. "Kau tetap di
sini. Aku akan naik ke atas pohon, coba menurunkan perempuan yang tergantung
ltu. Waktu aku menurunkan bantu aku menanggapi. Pegang bahunya…."
Tanpa
menunggu jawaban orang Pendekar 212 cepat memanjat pohon besar dan naik ke
bagian cabang di mana sosok tubuh perempuan itu tergantung.
“Kraaakkk!"
Wiro
hantam cabang pohon pada bagian yang terikat tali. Cabang patah dan talinya
putus. Dengan cepat Wiro menyambar ujung tali lalu perlahan-lahan menurunkan
sosok tubuh yang tergantung.
DI
sebelah bawah prajurit yang dimintal bantuannya cepat memegang bahu perempuan
yang diturunkan. Sesaat dia menahan nafas melihat tubuh setengah telanjang ltu.
Lalu perlahan-lahan tubuh itu dibaringkannya di tanah. Dia mendongak kaget ke
atas dan tidak percaya ketika melihat pemuda yang tadi naik ke pohon kini
turunnya tidak meluncur melalui batang tapi langsung melompat, jungkir balik di
udara dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depannya.
Wiro
cepat memeriksa perempuan yang terbujur di tanah. Ketika pakaian biru yang
menutupi kepalanya disingkapkan dan ditutupkan ke tubuhnya, Wiro merasa seperti
dihenyakkan oleh rasa terkejut. "Ya Tuhan! Bidadari Angin Timur! Memang
dia rupanya!" Wiro tekap wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Dadanya
sesak dan dia seperti hendak menangis. Sekian lama dia mencari dan merindukan,
begitu bertemu ternyata gadis yang diam-diam dicintainya ini telah jadi mayat.
Tidak! Kau tidak boleh mati! Tuhan, jangan cabut nyawanya … !"
*****************
SEPULUH
WAJAH itu
ternyata adalah wajah cantik seorang gadis. Rambutnya coklat pirang, panjang
sebahu. Anehnya di mulutnya ada secarik robekan kain berwarna merah. Wiro
berteriak memerintah prajurit yang tegak bengong agar segera melepaskan lkatan
tali pada sepasang kaki si gadis. Lalu dia sendiri meraba denyutan urat besar
di pergetangan tangan kiri. Merasa kurang yakin dia letakkan telinganya di atas
dada Bidadari Angin Timur.
"Masih
ada suara detakan jantung. Nadinya Juga Masih berdenyut! Dia masih hidup!
Terima kasih Tuhan !" Pendekar 212 cepat salurkan tenaga dalamnya ke tubuh
gadis itu melalui lengah dan dada. Dengan hati-hati dia menarik cabikan kain
merah dari mulut si gadis. Wiro tidak menunggu lama. Mula-mula dia melihat kaki
kanan gadis itu bergerak. Lalu dan sela bibirnya keluar suara erangan halus.
Wiro usap wajah gadis itu berulang kali, mendekatkan wajahnya seraya berbisik
"Bangun…. Bangun…. Jangan buat aku jadi ketakutan kehilanganmu!"
Sepasang
mata Bidadari Angin TImur terbuka Mula-mula mata itu menatap lurus-lurus ke
langit biru di atasnya. Wiro membelai kening dan rambut pirang si gadis lalu
berbisik. "Bidadari Angin Timur…. Lihat ke sini. Tidakkah kau mengenali
diriku?"
Dua bola
mata yang tadi redup itu kini kelihatan bercahaya bagus, berputar memandang ke
arah wajah yang ada di sampingnya. Sesaat mata itu menyipit sedikit lalu
membuka lebar-lebar. Satu seruan keluar dari bibirnya yang merah,
"Wiro?!"
"Ini
memang aku, Bidadari Angin Timur! Apa yang terjadi dengan dirimu!"
Si gadis
tersenyum. Dua lesung pipit muncul di pipinya. Sepasang tangannya tiba-tiba
merangkul ke atas memeluk Pendekar 212 erat-erat ke dadanya. Mereka sama-sama
dapat merasakan delak jantung masing masing Pendekar 212 merasa seribu bahagia.
,.Aku…
aku tidak tahu harus mengatakan apa. Pasti kau yang telah menolong
diriku…" bisik Bidadari Angin Timur seraya membelai rambut gondrong
Pendekar 212
Wiro
hendak menjawab tapi dia mendadak ingat pada prajurit yang masih berada di
tempat itu. "Kau boleh pergi. Aku berterima kasih kau telah memberikan
pertolongan…."
Si
prajurit masih tertegak bingung menyaksikan apa yang terjadi. Lalu dia
angguk-angukkan kepala dan sesaat kemudian tinggalkan tempat itu Sambil
melangkah pergi sesekali dia menoleh ke belakang Seperti menyesali diri dia
mengomeli temannya yang tadi lari duluan. Kalau kawanku itu tidak lari dan aku
sempat menolong si gadis, pasti aku yang akan dipeluk dan diciumi gadis itu!
Ah, nasibku masih jelek!"
Wiro
mendukung Bidadari Angin Timur ke bawah pohon yang rindang. Kalau kau sudah
merasa tenangan, maukah kau menceritakan apa yang terjadi?"
Sesaat
wajah si gadis tampak kemerahan. Mungkin dia sadar apa yang tadi dilakukannya.
Memeluk dan menciumi pemuda itu terdorong rasa terima kasih karena telah
diselamatkan.
"Kalau
kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa," ujar Wiro. "Tapi kalau
ada orang yang hendak membunuhmu dengan cara keji seperti tadi ini bukan urusan
main-main. Jika dia tahu kau masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan
mengulangi kembali…"
Bidadari
Angin Timur terdiam.
"Apa
kau punya musuh besar? Ada yang mendendam terhadapmu? Si gadis masih diam Namun
sesaat kemudian dia berusaha mulai.
“Terus
terang aku merasa malu…. "
"Hemm…
Mengingat hubungan kita di masa lalu. apa lagi yang harus kau malukan? Ingat
peristiwa di telaga tempo hari? Aku tidak pemah bisa melupakan saat-saat penuh
bahagia itu." (Baca Episode ll "Wasiat Dewa").
Wajah
Bidadari Angin Timur bersemu merah. Wiro tertawa lebar dan berkata. "Aku
tahu kau akan menceritakannya padaku. Aku harus tahu siapa yang melakukan
perbuatan kurang ajar dan keji ini padamu!"
“Semua
ini terjadi karena salahku sendiri!”
"Salahmu
sendiri?" ulang Wiro. "Aku jadi tidak mengerti!" Lalu pemuda ini
garuk-garuk kepalanya.
"Semua
terjadi karena hasratku yang selalu ingin berada dekat denganmu…."
Murid
Sinto Gendeng jadi ternganga mendengar ucapan jujur si gadis.
"Kalau
begitu apa yang terasa di hatiku juga terasa di hatinya. Ah….Gayung bersambut
kata berjawab. Aku tidak bertepuk sebelah tangan!" Wiro pandangi wajah
jelita itu sejenak.
"Aku
tidak menyangka. Kalau begitu pemuda jelek ini rupanya yang jadi pangkal
bahala!" kata Wiro pula seraya tepuk keningnya sendiri Bidadari Angin
Timur tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan menambah
kecantikannya. Membuat Pendekar 212 ingin mendekap wajah itu dalam kedua
tangannya lalu menciumnya hablshabisan.
"Aku
tidak mengatakan demikian Wiro. Maksudku… Kita sudah berhubungan sejak lama.
Namun bertemu sekali-sekali. Itupun tanpa rencana, tidak terduga. Seperti yang
kau akui tadi, sejak pertemuan kita di telaga tempo hari aku…. Aku tidak bisa
melupakanmu .. Tapi aku merasa kawatir, Karena aku tahu banyak gadis yang jauh
lebih cantik dari pada diriku menyukai dirimu." Habis berkata begitu
Bidadari Angin Timur tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang kemerahan.
“Bidadari
Angin Timur, mendengar ucapanmu barusan apakah aku bisa mengatakan bahwa kau
mencintai diriku?" Murid Sinto Gendeng langsung bicara blak-blakan hingga
kembali wajah si gadis bersemu merah.
“Ada
ujar-ujar mengatakan begini," kata Bidadari Angin Timur pula.
Seorang
gadis jika dia mengatakan tidak berarti mungkin. Jika dia bilang mungkin bisa
berarti ya. Kalau dia mengatakan ya maka dia bukan seorang gadis lagi!"
Wiro
tertawa gelak-gelak. "Sekarang aku ingin tahu. Kau ini termasuk gadis yang
tidak, yang mungkin atau si iya tadi?!"
Satu
cubitan keras pada lengannya membuat Wiro Sableng terpekik kesakitan.
"Bidadari
Angin Timur sebelum kita terus bicara soal hubungan kita dan tertawa ha-ha
hi-hi di rimba belantara ini, aku ingin kau menuturkan lebih dulu apa yang
terjadi dengan dirimu…."
"Baik,
memang kupikir aku harus memberi tahu padamu," jawab Bidadari Angin Timur
pula. "Setelah kita berpisah di telaga, aku berusaha menyirap kabar
tentang dirimu Entah mengapa aku selalu mengawatirkan keselamatanmu ini mungkin
karena kau pernah berkata bahwa ada tugas penting yang harus kau laksanakan.
Dalam dunia persilatan tersiar kabar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab
Wasiat Iblis. Aku menduga mungkin kau ikut-ikutan mencari kitab itu agar dapat
menjadi tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Aku mencarimu sampai di pantai
selatan. Ada yang melihatmu naik perahu menuju ke tengah laut. Aku semakin
kawatir Pantai selatan akhir-akhir ini tidak aman. Ada momok jahat di sana, dipanggil
dengan julukan Makhluk Pembawa Bala. Dia akan membunuh siapa saja yang lewat di
kawasan itu…."
"Aku
memang telah bertemu dengan dia. Makhluk keparat itu telah coba membunuhku
beberapa kali!” Terkejutlah Bidadari Angin Timur mendengar ucapan Wiro itu.
"Bagaimana
kejadiannya?"
"Sewaktu
berada di atas perahu, dia berusaha membunuhku secara membokong. Aku
disepitkannya ke lantai perahu yang mulai bocor. Aku tak bisa berteriak, tak
bisa bergerak. Padahal saat itu aku memang melihat kau berada di atas perahu,
tak berapa jauh dari perahuku. Sayang kau tidak melihat…."
Si gadis
sampai menarik nafas panjang saking tercekat mendengar keterangan Wiro.
"Belum
lama ini dia muncul kembali hendak membunuhku! Untung aku masih bisa
selamat!"
“Kalau
dia berniat membunuhmu, pasti ada dendamnya terhadapmu Atau mungkin ada sesuatu
yang diinginkannya darimu…"
Murid
Sinto Gendeng berpikir sejenak. “Apakah akan kukatakan terus terang padanya…?”
"Eh
kenapa kau terdiam?" bertanya Bidadari Angin Timur.
“Makhluk
Pembawa Bala memang menginginkan sesuatu dariku.” kata Wiro akhirnya
“Apa?
Senjata saktimu…? Bukankah Kapak Maut Naga Geni 212 dan pasangannya batu hitam
sakti milikmu telah dicuri orang?!"
"Eh,
bagaimana kau bisa tahu hal itu?" tanya Wiro terkejut Lalu menatap tajam
ke mata si gadis.
*****************
SEBELAS
BIDADARI
Angin TImur memandang ke langit. "Jika senjata hebat seperti senjata
mustika milikmu lenyap dicuri orang apa kau kira dunia persilatan tidak punya
telinga menylrap dan memperbincangkannya?!"
Wiro
menarik nafas dalam. "Ya. kapak dan batu sakti itu dicuri oleh dua manusia
keparat yaitu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan…."
"Manusia-manusia
jahanam itu! Aku akan membunuhnyal Mereka hampir mencelakai diriku!”
“Astaga!
Aku baru ingat kejadian di sumur tua di luar Kartosuro! Setelah dua senjataku
mereka curi, rupanya mereka juga hendak mencelakai dirimu. Apa yang terjadi?
Bagaimana kau bisa lolos dari tangan manusia-manusia jahanam itu?”
“Aku
berpura-pura pingsan. Waktu mereka lengah kuhantam keduanya lalu melarikan
diri..” jawab si gadis.
"Semakin
besar dendam kesumatku pada dua manusia setan itu. Kau tahu kepada siapa
senjata-senjata saktiku mereka berikan?"
"Tak
bisa kuduga…" kata Bidadari Angin Timur pula."
“Mereka
menyerahkan kapak dan batu sakti itu pada Pangeran Matahari di puncak Gunung
Merapi!"
"Astaga!
Gila!" seru Bidadari Angin Timur dengan mata terbelalak.
"Jangan-jangan
mereka adalah kaki tangan suruhan Pangeran Laknat itu!"
"Bukan
hanya jangan-jangan. Ada bukti yang engatakan mereka memang kaki tangan suruhan
Pangeran Matahari! Antara kita dan mereka sudah ada kaitan silang sengketa
dendam kesumat. Berarti kita berdua harus mencari dan membereskan mereka!”
"Aku
ingin mengelupas kulit mereka hidup–hidup!” kata Bidadari Angin Timur dengan
nada geram.
"Kita
akan menemukan mereka. Pasti! Dunia ini terlalu sempit untuk bangsat durjana
seperti mereka!” Lalu Wiro bertanya. "Setelah kau tidak menemukan diriku
di laut selatan, apa yang kau lakukan? Aku terpaksa kembali ke pantai walau
dengan selangit perasaan kawatir. Selain Makhluk Pembawa Bala, pantai selatan
juga berada di bawah kekuasaan Ratu Duyung…."
"Justru
orang-orang Ratu Duyung yang menyelamatkan diriku dari tangan maut Makhluk
Pembawa Bala…."
“Wajah Bidadari
Angin Timur menunjukkan keterkejutan "Kau.. orangorang Ratu Duyung
menyelamatkan dirimu?" Ketika Wiro mengangguk si gadis bertanya lagi.
"Mereka membawamu ke tempat kediaman Ratu Duyung? Kau bertemu dengan sang
Ratu?"
Wiro
mengangguk lagi.
"Berarti…,
Apakah Ratu Duyung memintamu melakukan sesuatu untuk memusnahkan kutukan atas
dirinya dan anak buahnya?
"Jadi
kau tahu juga cerita yang satu itu…" ujar Wiro. Dia hendak tersenyum namun
urung sewaktu dilihatnya paras gadis di sebelahnya berubah.
“Kau telah
melakukan hubungan….”
"Sampai
saat ini aku masih…."
"Sulit
kupercaya. Jika Ratu Duyung menginginkan seseorang untuk melakukan hal itu,
orang itu tidak mudah menampiknya."
"Tapi
aku berhasil menolak permintaannya ……
"Dan
kau dibiarkannya pergi hidup-hidup begitu saja?”
"Kalau
aku dibunuhnya apa kau kira aku bisa berada bersamamu saat ini?" ujar Wiro
pula.
"Ah,
aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya…."
"Jika
ada hal yang tidak kau senangi katakan saja, biar ada kejelasan.”
"Kalau
kelak aku punya suami aku ingin dia hanya milikku seorang sejak nikah sampai
mati. Aku akan memberikan sesuatu yang suci padanya dan aku harapkan dia juga
masih suci…"
Wiro
terdiam mendengar kata-kata Bidadari Angin Timur itu Si gadis memandang
lekat-lekat padanya seolah menyelidik. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala
lalu tersenyum. Sambil membelai rambut pirang si gadis dia berkata. "Kau
akan mendapatkan apa yang kau harapkan itu."
"Darimu?"
"Dariku!"
jawab Wiro. "Kau percaya?
Bidadari
Angin Timur tersenyum manis dan angkat bahunya Kalau begitu lanjutkan ceritamu
yang tadi terpotong
"Lama
aku menyirap kabar mencari tahu di mana kau berada namun tak banyak yang
kudapat. Hal itu membuat aku berpikir mungkin sekali kau masih berada di
kawasan laut selatan. Kemungkinan telah dijadikan sandera oleh Ratu
Duyung…."
"Orang
sepertiku tidak ada harganya dijadikan sandera. Untuk ditukar dengan apa … ?!”
ujar Wiro pula sambil terus membelai rambut si gadis.
“Akhir-akhir
ini banyak kejadian aneh dalam rimba persilatan. Beritaberita aneh juga
bersimpang siur…."
"Misalnya?”
tanya Pendekar 212 pula.
"Misalnya
ya seperti dicurinya dua senjata mustikamu itu. Lalu seorang nenek sakti yang
selama ini menghilang tahu-tahu muncul gentayangan kian kemari gara-gara
saudara kembarnya mati dibunuh orang….”
"Hemmm….
Maksudmu Iblis Putih Ratu Pesolek?"
Jadi kau
sudah tahu dan kenal padanya?" balik bertanya Wiro Pendekar 212 gelengkan
kepala berdusta
"Kau
pernah cerita padaku tentang seorang kakek sakti berjuluk Kakek Segala Tahu.
Aku berusaha mencarinya guna mendapatkan keterangan tentang di mana beradanya
dirimu. Tapi mencari orang tua itu sama saja sulitnya dengan mencarimu.
Akhirnya aku tersesat kembali ke sekitar Kotaraja. Pagi tadi waktu berada di
kawasan hutan jati ini tiba-tiba seseorang menyerangku secara pengecut.
Ternyata dia seorang gadis cantik berpakaian merah yang aku tidak pernah kenal
sebelumnya. Aku coba menanyakan mengapa tidak ada pangkal tidak ada sebab dia
menyerangku. Gadis itu tldak menjawab Sepertinya dia habis melakukan sesuatu
dan kawatir ada orang lain mengetahui, itu sebabnya dia berniat hendak
membunuhku! Namun sekali ini dia ketemu batu, Aku berhasil mendaratkan beberapa
pukulan ke tubuhnya. Waktu dia mulai terdesak, dari bungkusan yang dibawanya
dia mengeluarkan sebuah benda. Ternyata sebuah payung berwarna merah! Dengan
payung di tangan dipergunakan sebagai senjata aku dibuat tak berdaya.
Serangan-serangan payungnya membuat kepalaku pening. Akhirnya aku roboh Dalam
keadaan setengah sadar gadis itu mengikat kedua kakiku dengan seutas tali Lalu
tubuhku digantungnya di cabang pohon sana kaki ke atas kepala ke bawah Sewaktu
dia melakukan perbuatan gila itu dia tidak hentinya mengeluarkan tawa
cekikikan. Mulutnya kudengar berucap.
Jangan
mimpi
kau bakal
mendapatkan pemuda itu! Sampai matipun kau tak akan memilikinya! Aku telah
meng-ikatnya dengan hutang budi dan nyawa! Kau masih berusaha merampasnya
dariku! Sekarang ini hukuman bagimu! Kematian!
Apa yang
terjadi selanjutnya kau tahu sendiri. Kalau kau datang terlambat mungkin aku
sudah jadi mayat dan masih tergantung di pohon sana! Sesaat sebelum dia
mengikatku, aku masih sanggup mengumpulkan tenaga dan menggigit bahunya. Tapi
luput Aku hanya sempat menggigit robek pakaian merahnya… Itu sebabnya ketika
kau menemui dan menolongku, cabikan pakaian merahnya masih ada dalam
gigitanku!”
Wiro
memeluk Bidadari Angin Timur erat-erat. Wajahnya mengarah ke depan seolah
memandang sesuatu di kejauhan.
"Kau
seperti memikirkan sesuatu kata Bidadari Angin Timur sambil memegang jari-jari
tangan Wiro dan menciumnya dengan mesra. "Tuhan Maha Besar. Masih
mempertemukan kita. Ceritamu kurasa ada sanakut pautnya dengan apa yang kualami
malam tadi di bukit sana. Seorang tua mati dibunuh secara keji di sebuah rumah
kayu di bukit itu…."Siapa?"
"Raja
Obat Delapan Penjuru Angin…."
"Astaga!
Mana mungkin! Bukankah orang itu kabarnya tinggal di satu pulau terpencil di
kawasan laut selatan?"
"Betul.
Panjang ceritanya bagaimana dia kemudian meninggalkan pulau itu. Yang jelas aku
yakin pembunuh Raja Obat adalah sama dengan gadis yang menggantungmu. Namanya
Andini. Bergelar Dewi Payung Tujuh. Seorang gadis sakti berasal dari Pulau
Andalas!”
Bidadari
Angin Timur lepaskan dirinya dari pelukan Wiro. "Jadi kau kenal gadis
pembunuh itu?!"
Pendekar
212 anggukkan kepala. "Dia pernah menolongku menyelamatkan jiwaku sewaktu
hampir mati akibat keroyokan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan …. "
Si gadis
seperti tersentak dan berdiri tegak. Dua matanya memandang tajam seolah hendak
menembus batok kepala Pendekar 212. "Berarti dirimulah yang dimaksudkannya
dengan ucapan-ucapannya waktu menggantung diriku. Berarti hubungan kalian
berdua sudah sangat jauh. Dia mencintaimu, tak ingin kehilanganmu, tak ingin
aku mengambil dirimu Itu sebabnya dia hendak membunuhku secara keji…"
Wiro
ikut-ikutan berdiri. " Segala hutang budi dan nyawa Itu tidak aku pikirkan
lagi saat aku mengetahui dia telah membunuh Raja Obat Apa lagi sekarang aku
ketahui bahwa dia juga hendak membunuhmu! Dia telah menentukan kematiannya
sendiri!" Wiro angkat kedua tangannya Dengan tanganku sendiri aku akan
menghabisi gadis keparat ltu…."
Wajah
Bidadari Angin Timur tiba-tiba saja menjadi sayu redup. Setengah terpejam dia menggelengkan
kepala "Dugaanku tidak meleset. Banyak gadis cantik berkepandaian tinggi
mencintaimu dan ingin memiliki dirimu. Satu diantaranya yang bernama Andini
itu. Diriku yang malang mungkin cuma akan bermimpi seumur hidup Jangan kau
bunuh gadis itu. Dia mencintai dirimu. Aku….!” Si gadis tekap wajahnya dengan
kedua tangan, berusaha menahan tangis.
Bidadari
Angin Timur. “Aku bersumpah hanya kau satu-satunya gadis yang aku
cintai.." Wiro ulurkan tangan hendak memeluk tapi si gadis cepat bersurut
mundur.
“Jangan
sentuh diriku Wiro. Aku akan pergi dan jangan coba mencari…”
Apa
maksudmu?! Kau…." Wiro terkejut mendengar kata-kata itu.
"Kalau
kita memang berjodoh, kita pasti bertemu. Tapi dengan satu syarat Wiro…."
“Apa?!
Katakan!"
“Kau
harus membunuh gadis bernama Andini bergelar Dewi Payung Tujuh ltu!"
"Aku
bersumpah akan melakukannya! Tapi selama aku belum melakukan dan kau tidak
memperbolehkan aku menemuimu… Itu satu hal yang aku tidak sanggup Aku aku
benar-benar mencintaimu…."
Bidadari
Angin Timur tersenyum. “Sudah berapa kali kata-kata seperti itu kau ucapkan
pada gadis lain Pada gadis keparat itu.. Pada Ratu Duyung mungkin … ?!"
Wajah
Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi merah.
"Jangan
berkata seperti itu Bidadari Angin Timur Aku sadar aku bukan pemuda baik-baik.
Tapi menyangkut soal yang satu itu tidak berdusta. Hanya kau yang ada dalam
hatiku…."
“Baik.."
kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum. "Tetapi kau harus membuktikan
lebih dulu. Membunuh gadis itu!"
“Aku akan
lakukan!” jawab Wiro dengan suara keras bergetar.
"Sebelum
kita berpisah ada satu hal yang ingin aku tanyakan Dan kau harus menjawab
dengan jujur!"
"Apa
yang ingin kau ketahui ?tanya Pendekar 212.
“Menurutmu
Raja Obat dibunuh di sebuah rumah di satu bukit malam tadi…”
Setelah
dia dijebak melakukan perbuatan mesum!"
"Aku
tidak tanyakan hal yang satu itu! Yang aku ingin tahu mengapa gadis itu
membunuhnya?!"
"Andini
memerlukan beberapa keterangan," jawab Wiro.
"Keterangan
apa?" tanya si gadis lagi. "Mengenai Kitab Putih Wasiat Dewa…."
"Ada
apa dengan kitab itu? Si gadis mengejar terus dengan pertanyaan gencar.
"Dia
ingin tahu di mana kitab itu beradanya. Di luar sadar Raja Obat memberitahu
kitab itu ada padaku…. Betul begitu?!"
Murid
Sinto Gendeng gelengkan kepala. Bidadari Angin Timur tersenyum. Kau berdusta
padaku Wiro. Aku tahu kitab itu memang ada padamu… Paras murid Sinto Gendeng
jadi berobah pucat.
"Dengar
Wiro. Syarat percintaan kita sekarang bertambah satu. Pertama aku harus bunuh
Andini. Kedua kalau kau memang mencintai diriku, aku ingin kau menyerahkan
Kitab Putih Wasiat Dewa padaku…." Habis berkata begitu si gadis balikkan
tubuhnya dan berkelebat pergi.
"Bidadari
Angin Timur! Jangan pergi! Tunggu!" teriak Wiro. Sambil berusaha mengejar
dia buka baju hitamnya di balik mana dia menyimpan Kitab Putih Wasiat Dewa
“Bidadari Angin Timur! Tunggu" Demi cintaku aku akan berikan apa yang kau
minta! Bidadari Angin Timur!" Wiro keluarkan kitab sakti terbuat dari daun
lontar itu dari balik pakaiannya dan terus mengejar ke arah lenyapnya si gadis.
Di cabang sebatang pohon besar seorang tua renta berkata pada teman di
sampingnya. "Anak setan itu! Cinta membuat dia jadi buta dan mata sampai
ke pantat! Lekas kenakan penyamaranmu! Kita harus segera merampas Kitab Putih
Wasiat Dewa sebelum diserahkannya bulat-bulat pada gadis itu!"
Sang
teman di sebelahnya menyeringai dan menjawab. "Jangan keliwat keras
memakil Di masa muda kitapun mengalami hal seperti itu … !"
“Sialan!
Kau juga anak setan rupanya!"
Yang
didamprat tertawa terbatuk-batuk.
“Sudah!
Jangan tertawa saja! Lekas serahkan wewangian itu padaku! Aku kawatir dia
mengenali diriku dari bau badanku!"
"Hik…
hik… hik!" Sang teman tertawa lalu keluarkan sebuah tabung kecil terbuat
dari bambu berisi minyak wangi. Begitu menerima penutup tabung segera dibuka.
Minyak wangi yang ada di dalam tabung langsung diguyurkan ke tubuhnya!
“Ini
ambil kembali tabungmu!"
Ketika
menerima tabung bambunya kembali, yang empunya segera memeriksa. Wajahnya
langsung cemberut. Sial! Kau habiskan semua minyak wangiku!" Orang ini
memaki dan mencampakkan tabung bambu itu ke tanah.
"Ala…!
Minyak wangi butut saja sampai marah begitu! Nanti aku ganti dengan sebakul
tahi kerbau! Hik… hik… hik!"
Tabung
bambu kecil yang dilemparkan dari atas pohon ternyata bukan hanya lemparan
biasa. Benda itu melayang ke arah Pendekar 212 yang berlari mengejar Bidadari
Angin Timur sambil memanggil-manggil.
*****************
DUA BELAS
TABUNG
bambu kecil bekas tempat minyak wangi yang besarnya hanya sejari kelingking Itu
melayang jatuh mengenai pinggang sebelah belakang Pendekar 212 Saat itu juga
Wiro merasa sekujur tubuhnya sebelah bawah terutama kedua kakinya menjadi
!emas. Dia tak mampu berlari se-cepat sebelumnya Terseok-seok pemuda ini
akhirnya hentikan larinya dan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya
yang entah apa sebabnya tiba-tiba saja menjadi mulas. Lalu "brutt… buttt…
buttt!"
Angin
keras berulang kali keluar dari tubuhnya sebelah bawah.
"Setan
alas" Apa yang terjadi dengan diriku?!walau mengeluh Wiro masih bisa
memaki. Dia ingat ada sesuatu barusan jatuh mengenai pinggangnya. Mungkin benda
itu penyebabnya Wiro memperhatikan tanah sekitarnya. Matanya membentur tabung
bambu kecil itu. Ketika dia melangkah menghampiri untuk mengambil pada saat
itulah dari atas sebuah pohon besar melayang turun dua makhluk yang membuat
murid Sinto Gendeng jadi tercekat.
"Makhluk-makhluk
apa ini? Dibilang pocong bukan! Dibilang hantu mengapa berbentuk aneh begini
rupa?!"
Di
hadapan Wiro saat itu berdiri dua sosok tubuh berselubung kain putih. Di
sebelah bawah kain putih menjulai tidak beda seperti jubah. Sebaliknya di
bagian atas yaitu di kepala. kain itu diikat demikian rupa seperti lkatan
jenazah. Dari keseluruhan makhluk-makhluk ini hanya sepasang mata mereka saja
yang kelihatan karena ada dua lobang kecil yang sengaja dibuat di bagian
kepala.
"Kalian
siapa?!" bentak Wiro
Dua
makhluk menjawab dengan tawa cekikikan.
Sialan!"
maki murid Sinto Gendeng Cuping hidungnya kembang kempis. Dia mencium bau harum
dari sosok makhluk di sebelah kanan “Kalian bukan setan bukan pula hantu
kesiangan!"
“Juga
bukan dedemit kesasar!" menyahuti makhluk di sebelah kiri. Lalu bersama
temannya dia kembali tertawa ha-ha hi-hi!”
"Kalau
kalian memang masih bisa disebut manusia tentunya punya niat jahat! Hanya
orang-orang berhati busuk yang Sengaja menutupi tubuh menyembunyikan
wajah!"
"Hik…
hik! Wajah kami memang jelek Apa lagi kalau dibanding dengan si baju biru tadi!
Jadi pantas saja kalau kami menutup wajah! Bukan begitu Sobatku?!"
“Betul!
Hik… hik… hik!" Makhluk satunya menjawab sambil tertawa pula cekikikan.
Lalu dia menyambung. Bagus juga sandiwara pendek yang tadi kita lihat! Hik…
hik!" Anak muda kau ada bakal Jadi pemain ludruk! Hik…hik… hik!"
"Edan!
Apa maksudmu?!" bentak Pendekar 212
"Tadi
kami melihat kau dan gadis itu bercumbu mesra. Lalu sepertinya ada yang kurang
beres. Gadismu mengajuk akhirnya lari. Kau mengejar sambil memanggil-manggil….,”
"Iya..
mengejar setengah menangis. Mengeluarkan benda itu dan mau diberikan gadIsnya
untuk membujuk! Hik… hik… hik!"
Paras
Wiro menjadi merah gelap. Dia ingat saat itu dia masih memegang Kitab Putih
Wasiat Dewa. Cepat-cepat kitab sakti ini dimasukkannya ke balik baju hitamnya.
Urusanku
dengan gadis itu perlu apa kalian ikut campu?!" bentak Wiro.
"Walah!"
Makhluk berselubung kain putih di sebelah kanan berucap setengah berseru. Siapa
bilang kami mau ikut campur urusan begituan!"
Kami cuma
bilang tadi telah menyaksikan satu sandiwara pendek! Tidak lebih tidak kurang!
Bukan begitu kawanku?!" Makhluk di sebelah kiri menggoyangkan kepalanya
lalu mengiyakan dan tertawa panjang.
“Hemm. .
Kalian menyembunyikan sosok tubuh dan wajah dibalik kain. Aku juga tahu kalian
bicara dengan suara-suara dipalsukan! Jangan-jangan aku mengenaI kalian!"
Dua
makhluk berselubung kain putih kembali tertawa ha-ha hi-hi membuat Pendekar 212
menjadi jengkel.
"Jangan
membuat aku kehilangan kesabaran! Aku ada urusan yang lebih penting dari pada
melayani kalian makhluk-makhluk sial kesasar!"
"Ah,
kami juga tahu apa urusan pentingmu itu. Tak lain mengejar gadis cantik tadi.
Eh, apa kau memang betulan mencintainya….? Hik-hik!"
"Jahanam!"
hardik Wiro. “Menyingkir dari hadapanku!"
"Kalau
kami tidak mau menyingkir lalu bagaimana?!" Makhluk yang sebelah kanan
bertanya seperti sengaja menantang.
"Tubuh
kalian berdua akan kubuat cerai-berai!" jawab Wiro seraya siapkan pukulan
Sinar Matahari. Salah satu dari kalian tadi melempar aku dengan potongan bambu
itu! Jelas kalian punya niat jahat!"
"Ah.
orang-orang seperti kami ini selalu ketiban tuduhan jelek. Tidak seperti gadis
cantik tadi. Menerima cinta mesra tapi pakai syarat segala! Hik… hik… hik!”
Untuk
kesekian kalinya wajah murid Sinto Gendeng menjadi merah padam. Kesabarannya
hilang. Lagi pula dia menaruh curiga besar dua makhluk yang bersembunyi di
balik selubung kain putih itu punya niat hendak merampas Kitab Putih Wasiat
Dewa dari tangannya.
"Tidak
perduli siapapun mereka harus kuhabisi saat ini juga!" kata Wiro. Niatnya
semula hendak menghantam dua orang itu dengan pukulan Sinar Matahari
dibatalkan. "Ini saat terbaik aku menjajal kehebatan Pukulan Harimau Dewa.
Dua musuh ada di depan Berarti aku harus menghantam dengan jurus kedua: Tangan
Dewa Menghantam Batu Karang!"
Berpikir
sampai di situ Pendekar 212 segera dekatkan tangan kanannya ke mulut. Ketika
dia siap untuk meniup, makhluk di sebelah kanan berseru. "Tunggu!"
"Bangsat!
Apa maumu?!" bentak Wiro.
"Jika
kami berdua menyingkapkan kain putih ini dan memperlihatkan siapa kami
sebenarnya, apakah kau mau menganggap urusan yang tidak anak ini selesai sampai
di sini?!"
Hemmm.."
Wiro bergumam lalu berkata dalam hati. "Kalian kira bisa menipuku? Walau
aku sudah melihat tampang kalian tetap saja aku akan menghajar kalian sampai
modar!" Lalu pada orang yang barusan bicara Wiro berkata. "Baik,
silakan saja memperlihatkan diri. Mudah-mudah tampang kalian tidak jelek-jelek
amat!"
Dua orang
berselubung kain putih tertawa cekikikan. Keduanya membungkuk untuk menarik ke
atas bagian terbawah kain putih masingmasing. Begitu bagian kaki tersingkap
pada saat itu pula terdengar dua letupan halus.
"Setan
alas! Kalian mengerjai diriku!" teriak Wiro marah ketika dia melihat ada
kepulan asap kelabu mencuat keluar dari balik kain putih yang menyelubungi dua
orang tak dikenal itu. Wiro cepat melompat mundur sambil meniup tangan kanannya
Tapi perbuatannya ini membuat dia lalai untuk menutup jalan nafas. Begitu hawa
aneh yang membersit dari kepulan asap kelabu menyentuh hidungnya tak ampun lagi
murid Sinto Gendeng ini terhuyung jatuh dan terkapar di tanah!
"Tidak
susah memperdayai anak tolol ini" kata orang berselubung di sebelah kanan.
Bersama temannya dia tidak terlihat lagi karena tertutup oleh kepulan asap kelabu
yang semakin lama semakin melebar menyungkup tempat itu Tak selang berapa lama
terdengar salah satu dari mereka berkata.
"Aku
mendengar ada yang datang. Lekas kita pergi… !"
“Hemmm….
Aku sudah bisa menduga siapa yang akan muncul di sini! Bagaimana kalau kita
berikan sedikit pelajaran padanya?!" sang teman bertanya.
“Buat apa
membuang waktu percuma. Teman-teman sudah menunggu kita. Persiapan untuk hari
sepuluh bulan sepuluh harus segera dirampungkan . . . . ”
"Baik,
aku mengikut saja! Ayo kita pergi!"
*****************
TIGA BELAS
GADIS
berpakain biru tipis itu lari terus sampai di satu tempat dia menyadari bahwa
si pemuda tidak ada lagi di belakangnya. "Janganjangan dia kesal dan tak
mau mengejar aku lagi." membatin Bidadari Angin Timur. Ah. mengapa aku
tadi tega memperlakukannya seperti itu? Padahal tadi jelas kudengar dia
bersedia menyerahkan kitab yang aku minta."
Gadis ini
merenung sejenak. "Sebaiknya aku kembali menemuinya agar urusan ini bisa
selesai." Lalu dibalikkannya tubuhnya dan kembali ke arah mana tadi dia
datang. Sewaktu Bidadari Angin Timur sampai di tempat dia meninggalkan Wiro
didapatinya pemuda itu tergeletak di tanah.
"Celaka!
Apa yang terjadi? Jangan-jangan ada orang jahat menciderainya. Aku mencium bau
aneh di tempat ini. Semacam hawa beracun yang membuat orang pingsan tak
sadarkan diri…."
Si gadis
cepat membungkuk di samping tubuh Wiro. Dia memeriksa. Tangan kanannya meraba
ke dada. Saat itulah Pendekar 212 siuman dari pingsannya. Dia batuk-batuk
beberapa kali lalu bergerak duduk.
"Bidadari
Angin Timur…" desis Pendekar 212 begitu pandangannya membentur si gadis.
Kau kembali….? Tak jadi pergi meninggalkan aku?"
Si gadis
tersenyum lalu gelengkan kepala. Kedua orang ini langsung saja saling
berpelukan. "Apa yang terjadi kekasihku…?” bisik Bidadari Angin Timur.
Ucapan itu terdengar seperti bebunyian yang datang dari sorga di telinga murid
Sinto Gendeng.
Sambil
terus mendekap si gadis Wiro menerangkan. "Tak lama setelah kau pergi ada
dua orang melompat dan atas pohon. Mereka sengaja meng-hadangku”
“Siapa
mereka?!"
"Tidak
bisa kuduga Mereka menyelubungi sekujur badan sampai ke kepala dengan kain
putih…." "Hemmm…. jelas mereka mempunyai maksud jahat!"
"Betul!
kata Wiro pula. “Mereka pasti kabur melarikan diri ketika kau datang ke
sini." Wiro tiba-tiba ingat pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan cepat meraba
dadanya.
“Ada
apa?" tanya Bidadari Angin Timur. "Dadamu terkena pukulan?! Mari
kuperiksa…!"
Wiro
gelengkan kepala dan menarik nafas lega. Ternyata kitab sakti itu masih ada di
balik baju hitamnya. Dia tanggalkan kancing pakaiannya lalu keluarkan Kitab
Putih Wasiat Dewa.
“Kau
menginginkan kitab ini, bukan? Ambillah."
Wiro
mengangsurkan kitab sakti itu pada si gadis. Bidadari Angin Timur tidak segera
mengambilnya.
“Eh. apa
yang ada dalam pikiranmu. Bukankah sebelumnya kau inginkan kitab ini? Sebagai
salah satu dari dua syarat yang mernbuktikan bahwa aku mencintaimu?"
Si gadis
tertawa lebar. Barisan giginya kelihatan rata bagus dan bercahaya. Pendekar 212
tak dapat menahan hatinya lagi Segera saja bibir yang merah menawan ltu
dikecupnya dengan bernafsu. Bidadari Angin Timur membalas kecupan tak kalah
bergairah hingga sepasang muda mudi ini tersendat-sendat nafas masing-masing.
"Sebenarnya
tadi aku hanya bergurau tentang kitab ini," kata Bidadari Angin Timur.
"Bergurau
bagaimana?"
"Aku
tidak sungguhan mengatakan ini sebagai syarat. Tapi untuk kematian gadis
bernama Andini itu aku tidak main-main Wiro….”
"Hemm….
Jadi kau tidak mau menerima kitab ini?"
“Bukan
begitu …”
"Dengar,
aku telah menghabiskan waktu panjang dan menyabung nyawa untuk mendapatkan
kitab ini. Aku telah membaca seluruh isinya. Jika kau memang menginginkan aku
menyerahkan dengan ikhlas..”
"Kau
sungguhan?”
"Ya,
sungguhan!"
"Tidak
menganggap aku macam-macam?”
"Aku
mencintaimu Jangankan kitab ini. Nyawakupun kalau kau minta aku berikan…!"
"Aku
terharu mendengar kata-katamu itu,” kata si gadis pula lalu kembali memeluk
Pendekar 212 erat-erat dan menciumi wajahnya. "Aku bahagia aku tidak salah
mencintai dirimu …. "
Lalu
Bidadari Angin Timur mengambil Kitab Putih Wasiat Dewa yang diserahkan Wiro
kepadanya. Kitab sakti ini diletakkannya di pangkuannya. Jari-jari tangannya
kemudian bergerak ke dada Wiro. Si pemuda mengira gadis itu hendak
mengancingkan kembali bajunya. Tapi ternyata malah membuka kancing-kancing yang
lain. Ketika baju itu hendak ditanggalkannya Wiro memegang lengaH si gadis dan
bertanya.
"Ada
apa Bidadari…?
"Kau
menyerahkan kitab ini padaku padahal kitab ini tidak mudah kau dapat. Kau
bahkan rela menyerahkan nyawa jika aku minta. Wiro…. Aku merasa bukan manusia
yang punya perasaan kalau semua pengorbananmu itu tidak aku balas…"
"Maksudmu?"
"Aku
akan menyerahkan tubuh dan kehormatanku padamu. Untukmu seorang…."
Darah Pendekar
212 menjadi panas dan sekujur tubuhnya bergetar mendengar ucapan itu. Dia ingat
kejadian di telaga dulu. Sebenarnya pada saat itupun agaknya Bidadari Angin
Timur ikhlas menyerahkan tubuhnya namun Wiro tidak sampai lupa daratan. Kini
malah si gadis mengatakan secara terbuka dan berani.
"Jangan
jangan kau hendak menguji diriku.." bisik Wiro sambil menyelipkan
tangannya ke bawah rambut di kuduk si gadis.
"Kekasihku,
tidak ada uji menguji saat ini. Aku rela menyerahkan diriku. Kalau kau tidak
percaya lihat..! "
Tangan
kanan Bidadari Angin Timur bergerak. Lalu "brett! Breettt! Dia merobek
pakaiannya sendiri hingga dadanya yang putih kencang terpentang menantang.
Murid
Sinto Gendeng seperti kesilauan melihat sepasanq payudara yang begitu bagus.
Yang agaknya belum pernah tersentuh tangan lelaki Wiro gerakkan kedua tangannya
ke dada. Bidadari Angin Timur pejamkan kedua matanya. Namun dia tidak merasakan
sentuhan apalagi remasan Dua tangan Wiro menarik dan merapatkan dada pakaiannya
yang robek. Si gadis seperti tersentak dari buka kedua matanya.Ada apa Wiro?
Kau tiba-tiba benci padaku? Mungkin menganggapku sebagai gadis murahan…?"
Wiro menggeleng.
Dengar
kekasihku, tak pernah ada tangan lelaki yang menyentuh tubuhku sebelumnya. Aku
ingin hanya kau yang melakukannya …. "
Wiro
kembali menggeleng. Lalu berkata. Saat untuk sampai ke situ akan datang juga.
Yang aku inginkan saat ini adalah kita bersama-sama mengadakan perjalanan
mencari gadis bernama Andini itu. Setelah itu kau akan kuajak ke Gunung
Gede…"
"Gunung
Gede? Jauh amat? Buat apa kesana segala?" tanya Bidadari Angin Timur
Itu
tempat kediaman guruku. Aku akan memberitahu dan minta izin pada beliau sebelum
kita melangsungkan pernikahan."
"Wiro!"
Bidadari Angin Timur terpekik. “Kau tidak main-main!"
Siapa
berani main-main dengan gadis secantikmu ini?!"
Sang dara
tertawa panjang. Lalu berbisik. “Tak jauh dari sini ada satu anak sungai berair
jernih. Agak ke timur ada sebuah air terjun kecil. Tempatnya rindang dan sejuk
Aku ingin mandi di sana. Kau mau menemani?"
"Tentu
saja!" jawab Wiro lalu keduanya sama-sama bangkit berdiri.
Ternyata
memang besar tak jauh dari situ ada sebuah anak sungai. Mereka menyusuri sungai
kecil ini ke arah tImur. Sayup-sayup terdengar suara curahan air diselingi
suara kicau burung-burung.
“Luar
biasa indahnya!" kata Wiro ketika dia sampai di tebing sungai yang
ketinggian dan melihat sebuan air terjun kecil di bawah sana. Dia berpaling
pada Bidadari Angin Timur yang tegak di sampingnya Sambil memeluk pinggang
gadis ini dia berkata. "Kau tadi bilang ingin mandi. Nah pergilah mandi.
Aku akan menunggu dan berjaga-jaga di sebelah sana. Di atas batu besar
itu.!"
"Kau
tidak ikut mandi?" tanya si gadis.
Maunya ya
mau. Tapi aku kawatir lupa diri dan melanggar sendiri apa yang aku katakan
tadi!"
Bidadari
Angin Timur berjingkat lalu mencium leher pemuda itu. "Baiklah, aku akan
turun ke air terjun sana. Kau boleh melihat aku mandi sepuasmu dengan matamu
yang nakal! Tolong kau pegangkan pakaianku!"
Tanpa
malu-malu Bidadari Angin Timur tanggalkan baju birunya Lalu sambil tertawa
panjang dia berlari menuruni tebing sungai kecil. Sesaat kemudian dia sudah ada
di bawah air mancur, melambai-kan tangan pada Wiro.
Pendekar212
balas melambai Dia melangkah ke batu besar pada saat Bidadari Angin Timur masuk
ke bawah air terjun dan tubuhnya yang bagus dibasahi oleh air jernih dan sejuk.
Di atas batu besar Wiro melihat pakaian biru Bidadari Angin Timur lalu duduk
dan memandang ke arah air terjun kecil. Dia tidak melihat si gadis.
"Eh,
ke mana gadis itu?" tanya Wiro dalam hati. Dia memperhatikan terus dan
menunggu. Kalaupun dia mandi di belakang air terjun pasti masih bisa terlihat.
Air terjun itu tidak seberapa besar. Dari sini saja aku bisa melihat bebatuan
di sebelah belakangnya. “Hemm… Pasti dia hendak berbuat nakal. Bersembunyi
memperdayaiku …!" Wiro tersenyum. Namun setelah agak lama menunggu dan
Bidadari Angin Timur tidak juga kelihatan Wiro segera berdiri. Dia memandang
berkeliling. Kembali arahkan matanya ke air terjun lalu berseru.
"Bidadari!
Di mana kau?!”
Tak ada
jawaban. Wiro berseru lagi lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Sosok si gadis
tetap tidak kelihatan Dengan melompat dari satu batu ke batu lain yang ada di
tengah sungai kecil itu Wiro akhirnya sampai di depan air terjun.
"Bidadari
Angin Timur…?!" Dia memanggil Ketika tidak didapat jawaban dia menyelinap
ke bawah air terjun. Di balik air terjun ternyata ada sebuah telah. Kekasihku!
Kau hendak mempermainkan aku? Awas jika kudapat akan kucium kau habis-habisan!"
seru Wiro Dia melompat memasuki celah batu.
Di balik
celah yang seperti pintu itu dia menemukan satu jurang tertutup kerimbunan
tanaman liar serta bebatuan Dalam keadaan basah kuyup dia memandang
berkeliling.
“Bidadari!”
Wiro berteriak sekuat yang bisa dilakukannya. Suara teriakannya menggema di
dalam jurang lalu sirna "Apa yang terjadi? Apa sebenarnya yang lengah
dilakukan gadis itu?! Tak mungkin dia bergurau…!" Wiro pandangi pakaian
biru basah milik si gadis yang ada dalam pegangannya. Dia ingat. Waktu gadis itu
melangkah pergi menuju air terjun aku tidak melihat dia memegang kitab itu.
Tentunya kitab itu ada dalam pakaian ini! Tapi rasa-rasanya tadi aku tidak
melihat dan dia tidak menyerahkan kitab itu!"
Wiro buka
lipatan pakaian biru milik Bidadari Angin Timur. Pakaian yang basah ltu
dikembang kannya. Seolah ada yang menyambar sekujur tubuhnya ketika dia memang
tidak menemukan Kitab Putih Wasiat Dewa! Selagi dia terkesiap seperti itu
tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tawa perempuan. Pendekar 212…. Jika kau
masih mencintai diriku kau boleh meniduri pakaianku! Hik… hik… hik! “
“Bidadari
Angin Timur!" teriak Wiro.
Suara
tawa lenyap di kejauhan.
"Jahanam"
hanya makian itu yang bisa dikeluarkan oleh Pendekar 212. Tubuhnya terasa
gontai. Dia terduduk lemas di atas sebuah batu. Pakaian biru basah
dibantingkannya ke tanah Dua tangannya dikepalkan. Murid Sinto Gendeng sadar
kalau orang telah mempunyai "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kitab
Putih Wasiat Dewa amblas dilarikan gadis jahanam itu! Dunia persilatan akan
ditimpa malapetaka hebat! Bagaimana aku harus mempertanggungkan hal ini pada
guru dan para tokoh silat lainnya?! Tololnya diriku! Wiro memukul keningnya
sendiri berulang kali. Dia ingat pada kemampuannya melihat jauh. Segera dia
kerahkan ilmu Menembus Pandang" Namun tak ada gunanya Orang yang hendak
dijejaki sudah berada terlalu jauh dan kawasan itu penuh dengan jurang serta
tebing dan dinding batu tebal.
SOSOK
tubuh tinggi kekar yang duduk di atas kursi dalam bayangbayang kegelapan itu
memalingkan kepalanya ke arah pintu. Cangkir tanah berisi minuman keras di
tangan kanannya diangkatnya ke bibir lalu isinya diteguk sampai habis. Mukanya
yang berdagu kokoh serta merta menjadi kemerahan. Sepasang matanya berputar
liar Sesaat kemudian telinganya mendengar suara langkah-langkah halus. Dia
berpaling ke pintu dan berkata.
"Aku
sudah punya firasat kau akan datang saat ini! Pintu tidak dikunci!
Masuklah!"
Pintu
besar yang terbuat dari kayu jati itu bergeser ke samping_ Sinar terang
merambas masuk ke dalam ruangan. Dari tempatnya berdiri orang yang duduk di
atas kursi melihat seorang gadis berpakaian merah tipis tegak di ambang pintu
yang terang hingga auratnya terlihat kentara sekali seolah tidak mengenakan
apa-apa. Rambutnya yang panjang pirang melambailambai ditiup angin yang
berhembus dari arah selatan puncak Gunung Merapi.
"Pangeran!
Aku berhasil mendapatkan kitab itu!" Gadis di ambang pintu berucap
Pangeran
Matahari, orang yang duduk di atas kursi seperti hendak melonjak saking
girangnya mendengar kata-kata ltu Tapi kecongkakan yang mendarah daging di
dalam dirinya hanya membuat dia memberi tanggapan biasa-biasa saja Dengan
sedikit memuji dia berkata. Bagus! Kekasihku, kau memang hebat! Kau memang
pantas menjadi Ratu pendampingku dalam merajai dunia persilatan. Melangkahlah
ke hadapanku dan perlihatkan kitab itu…."
Si gadis
melangkah ke hadapan Pangeran Matahari. "Mana kitabnya?"
"Di
balik pakaian merahku. Silahkan Pangeran membuka dan mengambilnya
sendiri," jawab si gadis
Dua
tangan Pangeran Matahari melesat ke depan. Bukan membuka kancing pakaian dan
menanggalkan ikat pinggang yang melilit di pinggang si gadis secara wajar, tapi
dua tangan itu merobek kian kemari. Hingga dalam waktu singkat pakaian merah
yang tadi melekat di tubuh si gadis kini terkapar di lantai dalam keadaan
cabik-cabik tak karuan.
Di bawah
sepasang payudara yang putih membusung di situlah terikat sebuah kitab. Kali
ini Pangeran Matahari berlaku lebih lambat Tali pengikat kitab sakti itu
dibukanya dengan hati-hati dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyambut kitab
yang kemudian terlepas Jatuh dari tubuh si gadis.
"Kitab
Putih Wasiat Dewa!" Pangeran Matahari membaca tulisan besar dalam aksara
dewa Kuna yang terpampang di sampul kitab. –Luar biasa! Benar-benar luar biasa!
Aku akan menjadi raja di raja dunia persilatan! Kitab Wasiat Iblis ada di
tangankul Ditambah dengan Kitab Putih Wasiat Dewa! Siapa mampu menundukkan
diriku! Ha… ha… ha!"
Pangeran
Matahari menyeringai memandangi gadis yang tegak di depannya. " Kekasihku
sebelum kau duduk kepangakuanku. sebelum kau kubawa ke dalam kamar tolong kau
nyalakan empat lampu besar dalam ruangan ini!"
Gadis
yang disuruh segera menyalakan empat Lampu minyak yang ada di dalam ruangan itu
hingga keadaannya kini menjadi terang-benderang. Pangeran Matahari tidak
perdulikan tubuh polos yang bagus itu sepasang matanya memperhatikan Kitab
Putih Wasiat Dewa yang ada dalam pegangan tangannya yang gemetar. Sampul kitab
dibukanya. Halaman pertama terpentang. Kosong!
Hemmm…
" Walau mereka agak heran sang Pangeran membalik membuka halaman kedua.
Kosong! Eh, bagaimana ini?!" Pangeran Matahari memandang melotot pada
gadis di depannya. Si gadis melangkah mendekat Pangeran Matahari kembali
membalik halaman berikutnya. Berikutnya dan seterusnya! Semua halaman yang ada hanya
merupakan halaman putih kosong, tidak ada apa-apanya!
"Jahanam!
Palsu! Kitab ini palsu! Lihat! Tak ada isinya! Semua halaman kosong!"
Saking
marahnya Pangeran Matahari bantingkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu
hingga salah satu ujungnya menancap di lantai batu!
TAMAT
No comments:
Post a Comment