Wasiat Sang Ratu
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
SATU
PENDEKAR
212 Wiro Sableng garuk garuk kepala. Lalu pada Dewa Ketawa yang duduk di
hadapannya dia berkata. “Aku tetap tidak bisa percaya kalau saat ini kita
berada di awang awang. Kau lihat sendiri Sobatku Gendut. Bangunan, taman,
pedataran, lalu di sebelah sana malah ada bukit! Mana mungkin semua ini
menggantung di udara. Mana mungkin ada dunia di atas dunia?!”
Kakek
gendut berbobot 200 kati itu elus elus dadanya yang gemberot. Lalu penyakitnya
kambuh. Dia mulai tertawa. Mula mula perlahan. Tambah lama makin keras hingga
Wiro terpaksa tekap kedua telinganya.
“Anak
tolol! Aku sudah bilang mengapa meributi segala hal yang tidak bisa sampai
dalam akal kita manusia biasa? Tempat ini, termasuk para penghuninya, jadi
termasuk Ratu Duyung bukanlah makhluk biasa. Mereka mampu hidup di dua alam.
Darat dan
air….”
“Berarti
mereka sebangsa kodok?” ujar Wiro sambil menyengir. Membuat tawa si gendut
semakin keras. “Ada satu hal lagi yang aku tidak mengerti. Kulihat Sang Ratu
maupun gadis gadis yang ada di sini tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Mengapa Sang Ratu disebut Ratu Duyung? Bukankah duyung sejenis makhluk bertubuh
sebagian manusia sebagian lagi ikan?”
“Memang
begitulah keadaan asli tubuh mereka…” jawab Dewa Ketawa. “Kau tidak percaya?
Ha…ha…ha…?!
“Kau
sendiri melihat. Mereka bicara seperti kita. Memiliki kecantikan seperti
bidadari. Berjalan dengan dua kaki yang mulus mulus. Bukan dengan ekor ikan….”
“Jika kau
suka, kau bisa membuktikan sendiri!” kata Dewa Ketawa pula sambil senyum
senyum. “Eh, membuktikan bagaimana maksudmu? Kau tahu caranya? Atau punya ajian
yang bisa dirapal hingga mampu melihat bentuk asli mereka?!”
“Tak
perlu ajian. Tak perlu segala macam rapalan. Cukup dengan mata telanjang.
Asal tahu
rahasianya….”
“Kalau
begitu tunjukkan padaku rahasia itu!” ujar Wiro.
Dewa
Ketawa tak segera memberitahu tapi seperti biasanya dia tertawa dulu, membuat
murid Sinto Gendeng jadi tidak sabaran.
“Kau
lihat pohon besar itu, Sobatku Muda?!” tanya si kakek gendut sambil menunjuk
pada sebatang pohon besar yang tumbuh miring di kejauhan. Wiro mengangguk. “Di
balik pohon itu ada satu jalan kecil menurun. Di ujung penurunan ada sebuah
telaga berair biru. Nah telaga ini tempat mandi gadis gadis anak buah Ratu
Duyung. Terkadang mereka pergi ke sana untuk istirahat sambil bercengkrama….”
“Jadi kau
menyuruh aku mengintip anak gadis mandi?”
“Terserah
padamu. Kau bilang mau melihat bentuk asli gadis gadis itu….”
Wiro
garuk garuk kepala. “Kalau ketahuan aku mengintip bagaimana??”
“Wah,
akibatnya memang berat. Tapi itu urusanmulah!” jawab Dewa Ketawa dan orang tua
bertubuh gemuk luar biasa ini kembali tertawa. Setelah tawanya reda dia berkata.
“Kau tahu, cuma itu satu satunya cara kalau mau mengetahui keadaan sebenarnya
para gadis di sini. Ujud asli mereka akan kelihatan bila tubuh mereka basah
atau mereka masuk ke dalam air. Baik air tawar maupun air laut….”
“Bagaimana
kalau mereka misalnya terguyur air hujan?” tanya Wiro pula.
“Anak
setan! Macam macam saja pertanyaanmu! Mengapa tidak kau tanya bagaimana kalau
terguyur air kencing?! Ha… ha… ha…! sambil usap usap dua matanya yang sipit
kakek gemuk ini kemudian berkata dengan suara sengaja diperlahan lahankan. “Ada
satu hal yang mau kubilang padamu….”
“Hemmm….
Apa? Kelihatannya seperti kau mau menceritakan satu rahasia besar saja!”
“Betul!
Kau rupanya punya firasat!” jawab si kakek. Wiro cepat menekap mulut orang tua
ini ketika dia mulai menunjukkan hendak tertawa kembali.
“Ayo
cepat, kau mau bilang apa?” tanya Wiro.
“Ratu
Duyung itu sebenarnya suka padamu…” bisik Dewa Ketawa.
“Jangan
ngaco! Kau mengada ada saja!”
“Sobatku
Muda, aku tidak bicara bohong…!”
“Bagaimana
kau bisa tahu? Memangnya dia bilang padamu?!”
“Aku
segera tahu pada pertama kali bertemu dengannya. Beberapa hari lalu.
Memang
dia tidak mengatakan terus terang. Tapi dari sikap dan ucapannya cukup tersirat
dia menyukai dirimu….”
Wiro
memandang dengan mata membesar pada si gendut tua itu.
“Agaknya
dia sudah lama mendengar tentang kau. Dia menjadi salah seorang dari banyak
gadis yang mengagumi dirimu. Namun….” “Namun apa?”
“Rasa
sukanya kurasa serta merta lenyap ketika melihat keadaan dirimu.
Ternyata
kau seorang pemuda hitam gosong bermuka macam pantat kuali! Ha… ha… ha…”
“Orang
tua sialan…! Maki Wiro dalam hati.
Si kakek
gendut geleng gelengkan kepala. “Memang aku suka bergurau Sobatku Muda. Tapi
percayalah, aku yakin betul Ratu Duyung diam diam jatuh hati padamu!”
Wiro
memandang ke arah pohon besar. Di sampingnya Dewa Ketawa berkata.
“Tadi
kulihat ada serombongan gadis menuju ke sana. Pasti mereka pergi mandi.
Sebaiknya
kau lekas menyelidik….”
“Kau tak
mau ikut mengintip?!” tanya Wiro.
“Aku
sudah terlalu tua untuk pekerjaan macam begini. Itu bagian yang muda muda
sepertimu….”
Wiro
menyeringai. “Aku tidak percaya pada tua bangka berminyak sepertimu ini.
Jangan
jangan kau sudah duluan mengintip. Kalau tidak dari mana kau bisa tahu.” “Ha… ha…
ha…! tawa si kakek gendut membahak lepas.
Wiro
tinggalkan orang tua itu. Dengan cepat dia melangkah menuju pohon besar.
Seperti yang dikatakan Dewa Ketawa, di balik pohon itu memang ada sebuah jalan
kecil. Jalan ini terbuat dari batu batu hitam, berupa tangga tangga kecil
menurun.
Keadaan
di tempat itu sunyi. Angin bertiup sepoi sepoi. Wiro menuruni jalan kecil
dengan hati hati. Setengah panjangnya jalan yang menurun Wiro menangkap suara
gelak tawa di bawah sana.
“Si
gendut tidak dusta. Memang ada serombongan gadis di bawah sana…” kata Wiro
dalam hati. Dia belum dapat melihat apa yang ada di bawahnya karena tertutup
oleh rerumpunan pohon pohon setinggi kepala. Dengan dada berdebar murid Sinto
Gendeng melangkah terus menuruni jalan batu. Debaran dadanya mencapai puncak
sewaktu dia sampai di ujung jalan. “Pemandangan luar biasa…” kata sang pendekar
dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik sebuah batu besar dan mengintai di
balik kerapatan semak belukar berbunga aneh.
Di bawah
sana kelihatan sebuah telaga berair biru. Di salah satu tepiannya, terdapat
gundukan batu batu hitam tersusun rapi seolah ditata oleh tangan manusia.
Dari
celah susunan batu batu hitam itu mengucur air jernih yang kemudian jatuh masuk
ke dalam telaga.
Mata
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berkesip memperhatikan empat orang gadis yang
ada di dalam telaga, berenang sambil bercanda satu sama lain. Dari tempatnya
mengintai jelas empat gadis itu mandi bertelanjang dada. Di tepi telaga tiga
orang gadis lainnya duduk bermalas malas. Yang satu menyisir nyisir rambutnya
dengan sebuah sisir berbentuk tulang ikan. Dua lainnya asyik mengobrol.
Salah
seorang dari gadis yang mandi keluar dari telaga lalu bergabung dengan tiga
temannya.
“Astaga!”
murid Sinto Gendeng keluarkan seruan kaget ketika melihat keadaan tubuh gadis
yang barusan keluar dari dalam telaga itu. Bagian atas auratnya berada dalam
keadaan polos tanpa penutup sama sekali. Lalu tubuh sebelah bawah, inilah yang
membuat Wiro jadi tercengang, mata melotot mulut ternganga. Tubuh bagian bawah
gadis itu berbentuk ekor ikan besar berwarna perak berkilat. Ujungnya bergerak
gerak kian kemari. Masih tak percaya Wiro gosok gosok kedua matanya. “Tak bisa
kupercaya kalau tidak kulihat sendiri. Berarti keadaan Ratu Duyung tidak beda
dengan keadaan anak buahnya itu…” kata Wiro dalam hati.
Selagi
gadis yang barusan keluar dari telaga bercakap cakap dengan teman temannya,
salah seorang gadis di tepi telaga tampak bangkit. Sesaat dia berdiri di atas
sebuah batu lalu “byurrr”! Gadis itu terjun ke dalam telaga.
“Aneh,
dia masuk ke dalam telaga. Kenapa tidak membuka pakaian hitamnya dulu…? pikir
Wiro. Dia terus memperhatikan. Lalu pemuda ini kembali melengak keheranan.
Ternyata begitu tubuhnya masuk ke dalam air, pakaian hitam yang melekat di
tubuhnya lenyap secara aneh. Di saat yang sama sepasang kakinya berubah menjadi
ekor ikan besar, bergerak gerak kian kemari.
“Baru
sekali ini aku melihat keanehan gila macam begini!” ujar Wiro seraya geleng
geleng kepala.
Baru saja
dia berkata seperti itu tiba tiba terdengar suara suitan suitan keras dari
beberapa penjuru. Tujuh gadis di telaga kelihatan kaget. Wiro sendiri tak kalah
kejutnya karena tahu tahu tempat dimana dia berada telah dikurung oleh enam
orang gadis lain anak buah Ratu Duyung. Keenam gadis ini menunjukkan wajah
galak. Masing masing mengangkat tangan kanan seraya tudingkan jari telunjuk
mereka lurus lurus kearah Wiro. Ujung ujung jari mereka memancarkan sinar biru
pertanda mengandung satu kekuatan dahsyat.
Sadar
kalau dirinya tertangkap basah Wiro jadi salah tingkah. Dia melangkah mundur
namun cepat kembali ke tempat semula ketika dari ujung jari salah seorang gadis
melesat keluar sinar biru yang menghancurkan batu di belakang kaki Wiro.
“Tetap di
tempatmu! Jangan berani bergerak sampai Ratu datang!” salah seorang dari enam
gadis membentak.
Rerumputan
pohon bunga di sebelah kiri tiba tiba tersibak. Ratu Duyung muncul diiringi dua
orang anak buahnya. Sesaat dia menatap pada Wiro dengan pandangan dingin. Lalu
dia memberi isyarat. Empat orang anak buahnya segera mendekati Wiro.
Dua orang
menarik tangan Wiro ke depan.
“Ratu,
tunggu dulu!” seru Wiro. “Jangan salah mengerti. Aku tidak bermaksud jahat….”
“Kau
sudah tertangkap basah melakukan perbuatan kurang ajar. Masih hendak
mengelak?!” bentak Ratu Duyung. “Ikat tangannya!”
Dua gadis
anak buah Ratu Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan.
Lengannya
disilang satu sama lain lalu gadis ketiga maju mendekat. Ujung jarinya yang
memancarkan sinar biru digerakkan.
“Rrrttttttt!”
Terjadilah
satu hal luar biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis
berputar menjerat kedua pergelangan tangan Wiro, tidak beda seperti ikatan
seutas tali.
Hanya
saja tali yang mengikat erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa
lingkaran mengeluarkan sinar biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu
ternyata dia tak mampu menggerakkan tangannya sedikit pun.
“Bawa dia
ke bukit Batu Putih!” Ratu Duyung berikan perintah.
Dua orang
anak buahnya segera mendorong tubuh Pendekar 212.
“Ratu,”
kata Wiro begitu dia sampai di hadapan Ratu Duyung. “Aku tidak bermaksud
berbuat yang bukan bukan. Apa lagi berani berlaku kurang ajar. Apa yang
kulakukan terdorong dari rasa ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar
kemampuan akalku untuk mencerna. Aku…”
Ratu
Duyung goyangkan kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa Wiro
meninggalkan tempat itu. Setelah melalui jalan cukup jauh dan berliku liku
mereka sampai di satu pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna
putih. Di langit sang surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal
saja di atas kepala.
Wiro
merasa tubunya seperti dipanggang. Dia ditarik kebalik sebuah batu besar.
Ketika sampai di balik batu itu terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu
terpentang sosok tubuh gendut Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk tali
mengikat tubuhnya ke batu besar itu hingga dia tidak mampu bergerak sedikit
pun. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh
teriknya sinar matahari.
“Walah…!
Sobatku gendut! Kau sudah duluan rupanya!” ujar Wiro.
“Hemmmm….”
Dewa Ketawa menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia mulai tertawa tawa.
“Dasar
manusia kurang waras. Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!” kata
Wiro dalam hati setengah merutuk.
Wiro
sandarkan pada sebuah batu besar di samping Dewa Ketawa diikat.
Seorang
gadis tudingkan ujung jarinya ke tubuh Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan
maka larikan sinar biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu
di belakangnya. Keadaan ini tidak beda dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua
tangannya masih tetap terikat tali bersinar biru.
“Ratu,
kami menunggu perintahmu selanjutnya!” Seorang gadis anak buah Ratu Duyung
berkata.
******************
DUA
BARU saja
salah sorang gadis berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak sepuluh
langkah di hadapan Wiro dan Dewa Ketawa. Dia memandang pada kedua orang itu
beganti ganti lalu berkata.
“Menyesal
aku telah menganggap kalian sebagai tamu tamu terhormat.
Ternyata
kalian sama tak dapat dipercaya!”
Wiro
menatap wajah cantik Ratu Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa Ketawa dan
berbisik. “Sobatku Kerbau Bunting! Kau bilang dia menaruh hati padaku.
Kau lihat
sendiri! Buktinya aku diikatnya seperti ini!”
Dewa
Ketawa balas memandang Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian dia tertawa
gelak gelak.
“Gendut
gila! Bagaimana dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!” damprat
Wiro.
“Sssst….
Jangan memaki bicara tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita tidak tahu
hukuman apa yang bakal dijatuhkan orang orang itu. Yang jelas kalau aku mati
pasti masuk sorga, kau jelas minggat ke neraka! Ha… ha… ha!”
“Enak
saja kau bicara!” tukas Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu kalau
aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi sobatku si gendut ini mengapa harus
ikut menerima hukuman? Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka
membebaskannya….”
Para
gadis anak buah Ratu Duyung menatap pimpinan mereka menunggu apa yang harus
mereka lakukan selanjutnya. Sebaliknya Sang Ratu memandang pada Pendekar 212.
Dalam hati dia berkata. “Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika aku
tidak menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini….”
“Ratu,
kami menunggu perintahmu!” seorang gadis berkata ketika dilihatnya Ratu Duyung
hanya tegak tak bergerak, menatap ke arah Wiro. “Hukuman apa yang harus kami
jatuhkan terhadap dua orang ini?!”
Ratu
Duyung mendehem beberapa kali. Lalu berucap. “Orang bernama Dewa Ketawa telah
berbuat dosa, melakukan kesalahan. Kalau bukan karena mulutnya maka kawannya
ini tidak akan berbuat dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman cabut
lidah selama tiga hari!”
Dewa
Ketawa…!” Wiro keluarkan seruan saking terkejutnya mendengar apa yang dikatakan
Ratu Duyung. Dia berkata dengan suara keras pada Sang Ratu. “Ratu Duyung!
Sudah kubilang
kawanku ini tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya biar
aku yang menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur hidup
belum pernah aku melihat perempuan sepertimu. Cantik selangit tapi kejam
selangit tembus!”
Ucapan
Pendekar 212 itu membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun sikapnya tetap
tenang. Sebaliknya di samping terdengar suara Dewa Ketawa tertawa gelak gelak.
“Kerbau
Bunting!” teriak Wiro. “Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah tertawa gelak
gelak!” Kau benar benar sudah gila!”
“Ah,
hukuman cabut lidah itu Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!” jawab Dewa
Ketawa lalu kembali tertawa terbahak bahak.
“Lakukan
hukuman!” Ratu Duyung memberi perintah.
Seorang
gadis maju mendekati Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih saja terus
tertawa.
“Dewa
Ketawa! Selamatkan dirimu! Lekas lari dari tempat ini!” Wiro kembali berteriak.
Kakek
gendut itu berpaling padanya. “Kau sendiri apa sudah mencoba untuk bebaskan
diri?!” balik bertanya Dewa Ketawa.
Wiro jadi
penasaran. Dia kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Sampai tubuhnya basah
oleh keringat ternyata dia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tali aneh
yang mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi
lemah.
“He… he…!
Bagaimana? Apa kau mampu?” Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa dan pencongkan
hidungnya mengejek Wiro. “Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak ada gunanya.
Mereka memiliki ilmu aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang masih bau
pesing! Ha…ha…ha!”
“Gendut
sialan!” maki Wiro.
“Lakukan
hukuman!” Tiba tiba Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk kedua kalinya.
Dua orang
gadis maju ke hadapan Dewa Ketawa.
“Dewa
Ketawa, sebelum hukuman dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk tertawa
sepuasmu!” kata Ratu Duyung pula.
Kakek
gendut itu pandangi sang Ratu sesaat. “Kau mau berbaik hati memberi kesempatan.
Aku berterima kasih untuk itu,” kata Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai tertawa.
Mulutnya makin lebar dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping kanan
tiba tiba jentikkan jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku.
Suara tawanya lenyap dan mulutnya dalam keadaan terbuka lebar.
“Cabut
lidahnya!” perintah Ratu Duyung.
Gadis di
sebelah kiri kini yang maju. Tangannya bergerak cepat ke arah mulut Dewa Ketawa
yang terbuka lebar. Wiro merasa ngeri untuk menyaksikan. Dia membuang muka.
“Kreeeeekk!”
Tenguk
Pendekar 212 merinding dingin mendengar suara itu. “Pasti lidahnya sudah
dicabut….! Manusia manusia ganas!” Perlahan lahan Wiro palingkan kepalanya.
Dilihatnya
Dewa Ketawa masih dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah.
Wiro
memperhatikan. Ternyata dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah!
Sewaktu
Wiro berpaling ke kanan dia melihat seorang gadis anak buah Ratu Duyung tengah
meletakkan sebuah benda merah panjang bergerak gerak di atas baki kecil terbuat
dari kerang. Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti mau
muntah.
“Sekarang
giliran pemuda berkulit hitam!” Tiba tiba terdengar suara Ratu Duyung. Murid
Sinto Gendeng tersentak.
“Ratu…!”
serunya.
“Kesalahan
ada pada kedua matanya yang berani mengintip orang mandi.
Butakan
dua mata itu selama tiga hari!”
“Ratu!
Apa yang hendak kau lakukan?! Aku mohon!”
Teriakan
Wiro itu tak ada gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu Duyung yang
bertubuh jangkung mendatanginya lalu menjentikkan tangannya. Serta merta
sekujur tubuh Wiro menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis
yang barusan menotok Wiro secara aneh maju lebih dekat. Dua tangannya bergerak
cepat sekali ke arah matanya kiri kanan. Wiro merasa sepasang matanya dingin
sekali.
Tapi
hanya sesaat. Di lain kejap rasa dingin itu berubah dengan sengatan panas yang
sakitnya bukan main. Wiro hendak berteriak namun mulutnya terkancing gagu! Pada
saat itu juga dia tidak melihat apa apa lagi selain gelap mengelam dan
menggidikkan.
“Ya
Tuhan! Apa yang dilakukan mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka
mencungkil kedua mataku! Aku benar benar buta!”
Darah
mengucur dari kedua mata Pendekar 212 yang kini hanya merupakan rongga dalam
dan besar mengerikan. Darah mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa yang
menyaksikan kejadian itu cuma mampu kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak
bisa keluarkan suara. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok, setelah
menyaksikan kengerian itu sudah pasti dia akan tertawa gelak gelak. Ketika
berpaling ke samping dilihatnya gadis jangkung tadi tengah meletakkan dua buah
benda bulat putih hitam di atas sebuah baki kecil dari kerang laut.
“Gila!
Apa betul dua benda itu sepasang mata anak setan itu…?” pikir Dewa Ketawa.
Perutnya terasa mual. Tenggorokkannya seperti mau muntah. Tengkuk orang tua
gendut ini jadi merinding. “Benar benar gila! Seumur hidup rasa rasanya baru
sekali ini aku merinding ngeri!” Lebih lebih ketika dia coba melirik
memperhatikan ke samping, melihat bagaimana keadaan muka Pendekar 212 sekarang!
Muka pemuda ini kini terpentang tanpa sepasang mata!
“Dunia
aneh…Bagaimana mereka bisa melakukan keganasan ini?! Tapi…eh, apakah aku merasa
sakit sewaktu lidahku dicabut? Memang aku melihat ada darah mengucur dari
mulut. Tapi mengapa aku taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap Sobatku Muda
itu juga tidak merasa sakit walau kedua matanya dicungkil begitu rupa!
Hukuman
gila macam apa ini! Aku kepingin tertawa, tapi mengapa tidak bisa? Celaka!
Kalau aku
nanti tak mampu tertawa lagi selama lamanya akan kuobrak abrik tempat ini!
Akan
kuhajar mereka semua! Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis
yang cantik cantik itu? Ratu Duyung kau membuat aku betul betul sengsara. Hidup
tanpa tawa…. Rasanya lebih baik mati saja!”
******************
TIGA
Malam
terasa lebih dingin dari malam malam sebelumnya. Ini adalah malam ketiga atau
malam terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng dan kakek gendut berjuluk Dewa Ketawa
menjalani hukuman, diikat secara aneh ke batu putih besar. Wiro dalam keadaan
tanpa mata dan dilanda sakit terus menerus. Dewa Ketawa masih untung. Walau
lidahnya dicabut namun tidak mengalami rasa sakit sedikitpun. Malah saat itu
dia tengah tertidur nyenyak. Dari tenggorokkannya terdengar suara mengorok aneh
padahal dia dalam keadaan tertotok hingga tak mampu bergerak dan seharusnya
juga tak mampu bersuara.
Sepasang
telinga murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede tiba tiba mendengar sesuatu.
Bersamaan dengan itu dia merasakan adanya tekanan tekanan halus yang
menggetarkan batu yang dipijaknya.
“Dewa
Ketawa, bangunlah!” ujar Wiro. Tapi suaranya tidak keluar. Pemuda ini lupa
kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok hingga tak mampu bersuara. Ketika
dia tidak mampu mendengar suaranya sendiri baru dia sadar. Dalam hati dia
berkata.
“Ada
seseorang mendekati tempat ini. Pasti Ratu Duyung…Hemmm… Mau apa dia kemari?
Menambah siksaan lagi?! Sialan! Kalau saja mereka tidak mencungkil mataku pasti
aku dapat melihat tampang makhluk cantik tapi kejam itu! Kalau saja mulutku
bisa berucap pasti sudah kusemprot dia saat ini!”
Langkah
langkah orang yang mendatangi lenyap. Namun Wiro dapat menduga kalau orang itu
berhenti dan tegak sekitar beberapa langkah di hadapannya. Dia dapat mendengar
hembusan napas orang ini dan hidungnya mencium bau tubuhnya yang harum.
“Saudara…”
satu suara perempuan menegur.
“Hemmm…
bukan Ratu Duyung,” membatin Pendekar 212.
Lalu ada
jari jari tangan mengelus pangkal lehernya. Serta merta jalan suara Wiro
terbuka dan dia mampu berbicara namun yang keluar saat itu adalah suara
mengeluh setengah mengerang.
“Kau
pasti tersiksa dalam hukumanmu…” perempuan di hadapan Wiro kembali berkata.
“Namanya
saja dihukum. Siang dipanggang sinar matahari, malam diguyur embun dan udara
dingin! Dan kedua mataku yang dicungkil sakitnya bukan kepalang.
Uh…!
Katakan siapa kau adanya?! Kau bukan Ratu Duyung. Apa kau disuruh perempuan itu
datang tanpa setahunya…”
“Uh…”
Wiro mengeluh lagi. “Lalu apa maksud kedatanganmu diam diam kemari?”
“Kami…Maksudku
anak buah sang Ratu yang melakukan hukuman telah kesalahan tangan. Sebelum dia
menjatuhkan hukuman, dia lupa mematikan indera perasaan luarmu hingga selama
ini kau pasti sangat tersiksa….”
“Kau ini
bicara gila atau bagaimana? Setelah dua hari dua malam dipentang di sini kau
datang dan bicara segala hal yang membuat aku jengkel! Dengar baik baik… Kalau
aku nanti dilepas aku akan membalas semua ini! Bilang sama Ratumu dan pergi
dari sini!”
“Jangan salah
sangka. Aku datang untuk menolongmu…”
Wiro
menyeringai. “Kau mampu membebaskanku?!”
“Tidak….”
“Kalau
begitu lekas minggat dari hadapanku!” bentak Pendekar 212.
“Dengar
dulu. Sebenarnya aku memang bisa membebaskanmu. Tapi aku tak akan melakukan
ketololan itu!”
“Mengapa
tidak mau? Ketololan apa maksudmu?!”
“Kami di
sini hidup di bawah perintah Ratu Duyung dan kami semua harus patuh.
Jika
sampai salah dan dijatuhi hukuman, nasib kami akan celaka seumur hidup. Tak ada
jalan kembali….”
“Tak ada
jalan kembali? Apa maksudmu?” bertanya murid Sinto Gendeng.
“Aku tak
bisa memberi penjelasan. Kuharap saja kelak kau bisa tahu sendiri.
Sekalipun
aku mendorong membebaskan dirimu…”
“Dan
mengembalikan dua mataku!” ujar Wiro pula.
“Ya…. Ya…
membebaskan dan mengembalikan dua matamu….”
“Tunggu
dulu… Jika dua mataku dikembalikan apa penglihatanku bisa wajar seperti semula?
Kau tahu bola mata itu punya ribuan urat kecil kecil. Apa bisa bertaut lagi ke
asalnya?”
“Jika dua
matamu dipasang kembali penglihatanmu akan wajar seperti semula.
Malah…”
Anak buah Ratu Duyung hentikan ucaapannya.
“Malah
apa….?”
“Maafkan
aku. Aku tak bisa memberi keterangan lebih jauh…. Seperti kataku tadi sekalipun
kau bebaskan dan dua matamu kupasang lagi kau tak mungkin lolos dari tempat
ini. Jangankan manusia biasa, setan atau jin pun tidak bisa keluar dari tempat
ini jika tidak dikehendaki oleh Ratu Duyung….”
“Tobat,
tempat celaka macam apa ini!” kata Wiro mengumpat dan memaki.
“Dengar,
aku hanya bisa menolong melenyapkan rasa sakit yang kau rasakan saat ini…”
“Percuma….!
Setelah dua hari dua malam aku dipentang tersiksa seperti ini kau baru datang!
Aku yakin kau hanya hendak menyiasati diriku….”
“Kau
salah sangka….” Kata anak buah Ratu Duyung lalu ujung jari tangan kirinya
ditusukkan ke dada Wiro. Saat itu juga segala rasa sakit yang diderita Pendekar
212 serta merta lenyap.
“Hmmm….”Murid
Sinto Gendeng bergumam.”Ternyata kau tidak dusta….Aku menghaturkan terima
kasih.”
“Sekarang
aklu harus pergi. Sebelum pergi aku terpaksa menutup jalan suaramu kembali…”
“Tunggu!”
ujar Wiro. “Dua mataku itu, kau tahu dimana disimpannya?”
“Sang
Ratu sendiri yang menyimpan. Kurasa di kamar tidurnya….”
“Sudah….Aku
pergi sekarang…..”
“Sebentar,
katakan siapa namamu….”
“Di
tempat ini tidak satu pun dari kami mempunyai nama….”
“Benar
benar edan! Masakan orang tidak punya nama….?!”
”Aku
tidak bisa menerangkan . Aku harus pergi….”
“Wiro
berpikir, mengingat ingat. “Aku tahu…. Kau pasti gadis jangkung yang menotok
dan mencungkil kedua mataku….” Si gadis tercekat.
“Gadis
jangkung, aku ingin tahu mengapa kau mau menolongku?” bertanya Wiro.
“Mengapa
kau mau bersusah susah menolongku?”
“Sebenarnya
aku akan menolong sejak hari pertama kau dibawa dan diikat di tempat ini. Tapi
penjagaan ketat sekali. Temanmu si gemuk itu lebih beruntung karena perasaannya
dihilangkan lebih dulu hingga walau lidahnya dicopot dia tidak merasa apa apa…”
“Kau
belum menjawab mengapa kau menolongku!” kata Wiro kembali.
“Tak bosa
kuterangkan. Aku mendengar ada yang datang….” Lalu cepat sekali gadis di
hadapan Wiro pergunakan telunjuk tangan kanannya menggurat leher pemuda itu.
Saat itu juga Pendekar 212 tak bisa bicara lagi.
******************
SIANG
hari ketiga. Matahari bersinar terik. Panasnya bukan kepalang seolah berada
tepat di atas kepala. Baik Dewa Ketawa maupun Wiro saat itu tiba tiba mendengar
langkah langkah kaki mendatangi. Lebih dari satu orang. Lalu terdengar suara
seseorang yang dikenalinya bukan lain suara Ratu Duyung.
“Hukuman
telah berakhir. Kembalikan lidah tamu bernama Dewa Ketawa itu ke dalam
mulutnya!”
Sepi
sesaat. Lalu Wiro mendengar langkah langkah kaki mendekati sosok Dewa Ketawa
yang terpentang dalam keadaan terikat di batu putih. Sepasang mata kakek sakti
ini perhatikan gadis jangkung melangkah ke hadapannya. Di sebelahnya ada gadis
lain yang melangkah sambil membawa baki dari kerang. Di atas baki kelihatan
sebuah benda merah berdarah bergerak gerak.
“Gila!
Itu lidahku sendiri!” Dia merasa ngeri melihat lidahnya sendiri yang lenyap
selama tiga hari.
Gadis
jangkung ambil benda di atas baki kerang. Tangannya bergerak cepat.
“Cleeppp!”
Wiro
sempat mendengar suara itu. Sunyi sesaat . Dewa Ketawa berusaha menggerakkan
mulutnya tapi tak mampu karena masih dalam keadaan tertotok.
“Lidah
sudah dipasang kembali Ratu. Kami menunggu perintah lebih lanjut!” anak buah
sang Ratu yang bertubuh jangkung memberi tahu.
“Lepaskan
ikatan tali sakti biru!” Ratu Duyung menjawab.
Gadis
jangkung acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Ujung jari membersitkan sinar
biru. Ketika ujung jari itu diarahkan pada tali yang melibat tubuh Dewa Ketawa,
terdengar suara letupan berkepanjangan. Tali itu serta merta lenyap tanpa
bekas. Dewa Ketawa merasa lega namun dia masih tak mampu bersuara dan bergerak.
“Lepaskan
totokannya. Buka jalan darah dan pengunci uratnya!” Terdengar kembali suara
Ratu Duyung.
Anak buah
Sang Ratu yang bertubuh jangkung usapkan tangan kanannya di atas leher Dewa
Ketawa lalu menekan bagian dada orang tua itu dengan ujung jarinya.
“Eh…eh…eh!”
terdengar suara Dewa Ketawa. Dia gerakkan kedua tangannya.
Mulutnya
dubuka lebar lebar. Lalu terdengar suara tawanya menggelegar. “Tiga hari tiga
malam tak bisa ketawa! Sekarang aku mau tertawa sepuas puasnya!” katanya sambil
pukul pukulkan tangan kanannya ke dada!
Semua orang
yang ada di tempat itu, termasuk Ratu Duyung yang berkepandaian paling tinggi
diantara mereka getaran hebat pada gendang telinga masing masing.
Mereka
terpaksa tutup jalan pendengaran dengan telapak tangan. Malang bagi Penekar 212
karena dia masih dalam keadaan terikat dan tertotok tak bisa pergunakan dua
tangan untuk menekap telinga. Dua lobang telinganya seperti ditusuk paku!
Kepalanya seperti meledak ledak.
“Kalau
setan alas Kerbau Bunting ini tidak hentikan tawanya, telingaku bisa pecah!”
ujar Wiro dalam hati.
Mendadak
Dewa Ketawa memang hentikan tawanya. Sambil menatap kearah Ratu Duyung dalam
hati dia berkata. “Aneh, mengapa suara tertawaku jadi begitu dahsyat? Seolah
olah ada satu kekuatan hebat dalam tubuhku. Bukan… bukan di tubuhku, tapi di
mulutku! Tepatnya di lidahku! Hemmm…. Apa sebenarnya yang telah dilakukan
perempuan cantik ini padaku? Ada satu keanehan, satu rahasia dibalik hukuman
yang dijatuhkannya padaku. Jangan jangan…
Setelah
menatap sejurus lagi pada Ratu Duyung Dewa Ketawa lalu berkata. “Ratu… Aku yang
tua ingin bertanya….”
Ratu
Duyung angkat tangan kanannya dan memotong ucapan Dewa Ketawa.
“Hukumanmu
sudah diakhiri. Kau kini bebas pergi. Sebenarnya sesuai undangan masih ada dua
hari waktu tersisa bagimu di tempat kami. Namun dengan berat hati aku terpaksa
memintamu untuk pergi sekarang juga… Di lain waktu mungkin kami akan
melayangkan undangan lagi untukmu berkunjung ke sini….”
Ratu
Duyung berpaling pada empat orang anak buah yang ada di dekatnya lalu berkata.
“Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan….”
Dewa
Ketawa hendak mengatakan sesuatu namun sadar kalau tak ada kemungkinan lagi
baginya untuk membuka mulut, apalagi membantah putusan sang Ratu maka diapun
menjura lalu berkata. “Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas segala
kebaikanmu…” habis berkata begitu Dewa Ketawa berpaling pada Wiro.
“anak
ini… kalau aku pergi nasib apa yang bakal menimpanya. Mudah mudahan saja dia
mendapatkan sesuatu yang tidak lebih buruk dari aku…” Sekali lagi Dewa Ketawa
menjura pada Ratu Duyung lalu dia melangkah mengikuti empat orang anak buah
Ratu Duyung yang mengapitnya meninggalkan tempat itu.
“Heran
tua Bangka gendut itu!” Pendekar 212 berkata dalam hati. “Sudah dijatuhi
hukuman malah masih mau bilang terima kasih. Dasar gendut geblek!”
“Ratu,
kami siap menjalankan perintah selanjutnya!” Gadis jangkung anak buah Ratu
Duyung memberi tahu sesaat kemudian.
Sang Ratu
mengangguk. Seorang anak buahnya yang lain muncul sambil membawa sebuah baki
kerang. Di atas baki itu terletak dua buah benda yang bukan lain adalah
sepasang mata Pendekar 212.
“Kembalikan
kedua matanya!” ujar sang Ratu.
Gadis
bertubuh jangkung melangkah ke hadapan Wiro. Gadis yang membawa baki kerang
juga ikut mendekat. Saat itu Wiro mencium bau harum memasuki jalan
pernapasannya. “Hemmm….pasti dia ini gadis yang kemarin mendatangiku….” Selagi
Wiro berpikir seperti itu tiba tiba dia mendengar suara “Cleppp! Clepp!”
Bersamaan dengan itu dia merasa ada dua benda berhawa sejuk masuk ke dalam
rongga matanya kiri kanan. Di saat yang sama kegelapan selama tiga hari tiga
malam menyungkup pemandangannya kini lenyap.
“Astaga!
Aku bisa melihat lagi!” Wiro berteriak dalam hati. Yang pertama sekali
dilihatnya adalah satu wajah cantik berada dekat di depannya. Wajah gadis
jangkung anak buah Ratu Duyung. “Ah, si penolongku ternyata berwajah paling
cantik diantara semua gadis di tempat ini…” ujar Wiro. Walau tidak mengerti
bagaimana semua ini bisa terjadi, namun disamping bersyukur sifat usilnya
kembali muncul. Wiro kedipkan mata kirinya pada gadis jangkung di hadapannya,
membuat gadis ini menjadi merah wajahnya dan cepat cepat melangkah mundur. Tapi
langkahnya tertahan ketika sang Ratu memberi perintah.
“Lepaskan
ikatan. Bebaskan dirinya dari totokan!”
Gadis
jangkung kembali maju mendekati Wiro. Tangan kanannya diangkat.
Telunjuk
diacungkan. Begitu ujung jarinya mengeluarkan sinar biru segera dia arahkan
ujung jari itu pada tali biru sakti yang mengikat sekujur tubuh Wiro ke batu
putih.
Seperti
waktu tadi membebaskan Dewa Ketawa tali sakti itu keluarkan suara letupan
berkepanjangan dan baru berhenti setelah seluruh tali gaib secara aneh.
Dengan
ujung jari yang sama gadis jangkung itu kemudian mengusap leher Wiro dan
menotok dadanya. Serta merta jalan suara yang membuat sang pendekar menjadi
gagu musnah. Begitu dia bisa kedipkan mata kirinya pada si gadis jangkung
seraya berkata. “Terima kasih…”
Wiro usap
kedua matanya dan memandang berkeliling. Pemandanganku benar benar pulih
seperti semula. Malah… eh… Apa benar ini? Dua mataku malah lebih tajam dari
sebelumnya. Aku seperti mampu melihat…. Pendekar 212 berpaling pada Ratu Duyung
dan menatap perempuan cantik jelita ini lekat lekat.
“Ratu,
kami menunggu perintahmu selanjutnya. Apakah tamu yang satu ini akan kami antar
juga ke Pintu Gerbang Perbatasan?”
“Dia
tidak akan meninggalkan tempat ini!” jawab sang Ratu yang membuat Pendekar 212
jadi terkejut.
“Ratu,
menurutmu hukumanku telah berakhir. Kau telah membebaskan kawanku si gendut
Dewa Ketawa itu. Mengapa kau masih menahan diriku di sini…?” Tanya Murid Sinto
Gendeng.
Ratu
Duyung tidak menjawab. Menolehpun tidak pada Wiro. Sebaliknya sambil memutar
tubuh meniggalkan tempat itu dia berkata pada anak buahnya. “Antarkan tamu ini
ke Ruang Penantian!”
******************
EMPAT
Yang
disebut Ruang Penantian ternyata sebuah ruangan kecil berbentuk segitiga.
Dua
dinding terbuat dari batu berwarna merah sedang bagian depan terbuka merupakan
jalan masuk. Empat orang anak buah Ratu Duyung memberi isyarat agar Wiro duduk
di sebuah batu rata pada sudut segi tiga sebelah dalam. Setelah Wiro duduk di
atas batu itu salah seorang anak buah Ratu Duyung berkata.
“Tetap di
tempatmu sampai Ratu kami datang. Jangan coba coba meninggalkan ruangan ini
walau satu langkahpun!”
Pendekar
212 garuk garuk kepala. “Rupanya aku masih sebagai tawanan di tempat ini…”
katanya.
Gadis
yang tadi berkata menjawab. “Hanya Ratu yang layak memberi tahu peri keadaan
dirimu di tempat ini1”
Wiro
melirik pada belahan baju hitam di bagian dada si gadis yang begitu lebar
hingga buah dadanya tersembul menantang. “Kalau kau bersedia menemaniku di
ruangan ini sampai seribu haripun aku bisa betah berada di sini…”
“Plakkk!”
Satu
tamparan mendarat di pipi Wiro. Tidak terasa tapi cukup membuat Murid Sinto
Gendeng ini jadi tersentak. Ketika dia bangkit berdiri hendak memegang tangan
si gadis yang menampar, sambil mundur dua langkah gadis itu acungkan jari
telunjuk tangan kanannya kearah Wiro. Melihat ujung jari yang memancarkan
cahaya biru itu Pendekar 212 menjadi bimbang dan perlahan lahan dia duduk
kembali ke atas batu rata di sudut ruangan.
Gadis
yang barusan menampar putar tubuhnya. Tiga temannya mengikuti. Wiro hanya bisa
usap usap pipi. Namun mendadak dia terlonjak karena dari atas bagian yang
terbuka dari mana dia digiring masuk tiba tiba tujuh buah tiang besi sebesar
betis menderu turun. Tujuh tiang ini berwarna merah membara dan memancarkan
hawa panas! Sadarlah kini Wiro kalau dia memang masih tetap menjadi tawanan!
“Kurang
ajar!” maki murid Sinto Gendeng. Dia melangkah ke arah tujuh besi tapi terpaksa
mundur oleh hawa panas tang membersit. “Aku punya dugaan diriku akan
diperlakukan semena mena. Sebaiknya aku mencari jalan lolos!” Maka murid Sinto
Gendeng segera siapkan satu pukulan sakti. Setelah mengerahkan tenaga dalam dia
hantamkan tangan kanannya ke arah deretan besi besi panas membara.
“Wutttt!”
Pukulan
“segulung ombak menerpa karang” menghantam empat jeruji besi dengan telak.
Empat tiang besi itu memancarkan sinar merah menyilaukan dan panas luar biasa
hingga Wiro melompat mundur ke sudut ruangan. Ketika dia memandang ke depan
ternyata empat tiang besi itu jangankan ambrol, cacat sedikit pun tidak!
Penasaran
Pendekar 212 segera siapkan pukulan “sinar matahari” Tangan kanannya serta
merta berubah menjadi putih laksana perak berkilauan. Pada saat dia hendak
menghantam ke depan tiba tiba sesosok tubuh muncul diseberang tiang tiang besi
itu. Satu suara menggema di Ruang Penantian.
“Mengapa
menghabiskan tenaga? Tidak ada satu pukulan saktipun yang sanggup menembus
pagar besi panas itu!”
Wiro
turunkan tangannya. Memandang ke depan dilihatnya Ratu Duyung tegak seorang
diri di seberang ruangan.
“Ratu,
apa maksudmu menahan diriku di sini?!” tanya Wiro.
Sang Ratu
tidak segera menjawab tapi melangkah mendekati tiang tiang besi.
Lalu enak
saja kedua tangannya memegang dua tiang yang panas dan merah membara itu.
Padahal jangankan tangan manusia, sepotong besipun jika ditempelkan ke tiang
yang membara itu pasti akan leleh! Sebaliknya sang Ratu tenang tenang saja
seolah memegang tiang besi yang dingin!
“Aku
tidak menahanmu. Aku hanya ingin kepastian!” Rati Duyung menjawab.
Wiro
megerenyit tak mengerti. “Kepastian apa?”
“Bahwa
kau dan kawanmu Dewa Ketawa itu tidak menipuku!”
“Eh,
memangnya aku sudah berbuat apa? Aku memang mengaku salah telah mengintip anak
anak gadismu mandi di telaga. Tapi aku sudah menerima hukuman!
Sekarang
sepertinya kau sengaja mencari cari kesalahan lain…Apa sebenarnya yang ada
dalam pikiranmu Ratu? Mengapa kau tidak membebaskan diriku seperti kau
membebaskan Dewa Ketawa?”
Ratu
Duyung menjawab. “Pada saatnya kaupun akan kubebaskan. Tapi aku perlu
membuktikan satu hal bahwa kau benar benar Pendekar 212 dan bahwa kulitmu yang
hitam itu benar benar akibat sejenis obat…”
“Astaga!
Bukankah Dewa Ketawa sudah meyakinimu bahwa aku adalah Pendekar 212 dan kau
telah mempercayainya….”
“Betul,
tapi dalam hidup keyakinan itu bisa berubah. Karenanya aku perlu membuktikan.
Kau berkata bahwa kulitmu yang hitam akibat obat yang kau telan.
Diberikan
oleh seseorang untuk menyelamatkan nyawamu. Kau juga menerangkan warna kulitmu
yang hitam itu bisa hilang bila tersentuh sinar bulan purnama. Nah itu yang harus
kita buktikan. Jika ternyata kelak sentuhan sinar rembulan tidak merubah
kulitmu, berarti kau telah menipuku. Kau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Sesaat
Wiro jadi terdiam. “Apa yang aku lakukan padamu adalah sesuai dengan yang
diucapkan penolongku. Kalau dia berdusta apakah aku bisa disalahkan?”
“Mungkin
si penolong yang berdusta, mungkin juga kau!” Kita akan buktikan.
Dua malam
lagi bulan purnama empat belas akan muncul. Itu saatnya kau akan membuktikan
siapa dirimu…”
“Dua
malam lagi….?” Mengulang Wiro. “Menurut perhitunganku bulan purnama baru muncul
di langit sekitar dua belas hari lagi!”
Ratu
Duyung tertawa. “Di tempat ini waktu berputar sepuluh hari lebih cepat dari
duniamu sana. Kau tenang tenang saja menunggu di ruangan ini. Jika memang kau
Pendekar 212 sejati dan apa yang dikatakan penolongmu benar, mengapa harus
takut…?”
“Siapa
bilang aku takut?!” tukas Wiro yang tidak dapat lagi menahan jengkelnya.
Ratu
Duyung membalikkan tubuhnya. Waktu membalik belahan bajunya di bagian pinggul
tersingkap lebar. Jantung Wiro jadi berdegup keras malihat paha, pinggul dan
bahkan bagian pinggul sebelah atas sang Ratu. Sesaat kemarahannya menjadi
kendur. Tanpa banyak bicara dia duduk di atas batu datar.
“Kau
tentu lapar. Aku akan suruh anak buahku mengantarkan buah buahan,” kata Ratu
Duyung pula sebelum berlalu dari tempat itu. Murid Sinto Gendeng tak menjawab.
Matanya masih memandangi sosok tubuh bagian bawah sang Ratu sampai akhirnya
perempuan cantik itu lenyap di balik kelokan lorong batu.
Berada
sendirian karena tak tahu apa yang harus dilakukannya Wiro duduk bersandar ke
dinding batu merah. Dia ingat pada gurunya Eyang Sinto Gendeng. Lalu pada si
Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Dia seperti menyesali karena menganggap
gara gara tiga orang sakti itulah dia sampai tersesat dan kini mendekam di
ruangan ini.
Dia ingat
pula pada kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih belum jelas dimana
beradanya. Lalu muncul tampang buruk orang bercaping dan berpenyakit cacar
dengan perahu putihnya itu. Wiro menarik napas panjang. Tiba tiba dia ingat
pada Bidadari Angin Timur. Sejak peristiwa mereka mencebur masuk ke dalam
telaga beberapa waktu lalu dia merasa ingin selalu dekat dengan gadis itu. “Di
mana dia sekarang…? Ah, waktu di atas perahu putih…Kalau saja dia melihatku…Lalu
bila aku bisa selamat keluar dari sini kurasa lebih baik mencari gadis itu
lebih dulu dari pada mencari Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku merindukannya! Gila!
Apa ini yang dinamakan jatuh cinta?!” Murid Sinto Gendeng garuk garuk kepala.
Ketika ingatannya sampai pada senjata mustikanya, Wiro jadi menarik napas dalam
lagi. “Tiga Bayangan Setan, Elang Setan…. Dua bangsat itu akan kupecahkan
kepala mereka!”
Wiro
bangkit berdiri lalu melangkah mundar mandir di ruangan yang tak seberapa besar
itu. Tiba tiba dia mendengar langkah langkah kaki di ujung lorong. Tak Lama
kemudian muncul seorang gadis berpakaian hitam. Di tangannya dia membawa sebuah
baki berisi beberapa macam buah buahan. Pada pinggangnya tergantung sebuah
kendi kecil. Sesaat kemudian gadis ini sampai di depan tujuh tiang besi merah
panas. Dia menatap Wiro sebentar lalu baki dimiringkannya. Aneh!” Walau baki
dimiringkan, buah buahan yang ada di atasnya sama sekali tidak berjatuhan!
Lewat celah kecil antara dua buah tiang besi si gadis meloloskan baki berikut
buah buahan itu.
Baik baju
hitam maupun tangannya sama sekali tidak cedera ketika bersentuhan dengan dua
tiang besi.
“Lekas
ambil…” kata si gadis pada Wiro.
“Aku
tidak lapar.!” Jawab Pendekar 212.
“Jangan
tolol!” si gadis membentak halus. Karena Wiro tak mau mengulurkan tangan untuk
mengambil baki berisi buah buahan itu si gadis lalu melemparkan baki ke dalam
ruangan. Baki jatuh tepat di atas batu datar, tidak bersuara dan tak satupun
buah buahan di atasnya menggelinding jatuh!
“Ini…!”
si gadis ulurkan kendi kecil.
“Apa isi
kendi itu?” tanya Wiro.
“Air!”
jawab si gadis. “Itu diberikan atas perintah Ratu. Dan aku menambahkan sejenis
bubuk ke dalamnya agar kau mampu bertahan selama dua hari…”
“Hemmm….
Kau bermaksud baik padaku. Aku mengucapkan terima kasih,” kata Wiro seraya
ulurkan tangan kirinya untuk menerima kendi kecil itu. Begitu Wiro memegang
kendi, si gadis cepat ulurkan jari jarinya memegang lengan Pendekar 212 dan
berbisik.
“Dengar,
aku bisa menolongmu keluar dari tempat ini. Kau bisa bebas kembali ke duniamu.
Tapi dengan satu perjanjian…”
Wiro
pandangi wajah si gadis. Dia memang cantik namun dibandingkan dengan gadis
jangkung serta sang Ratu kecantikannya belum bisa menyamai.
“Perjanjian
apa?” tanya Pendekar 212.
“Kau harus
ganti menolongku.”
Wiro
garuk garuk kepalanya.” Setahuku tak seorangpun di tempat ini bisa membebaskan
diriku. Ratumu sangat sakti dan para pengawaknya, teman temanmu itu menjaga
setiap sudut dengan ketat.”
Gadis itu
tersenyum. “Mereka semua memang tidak bisa berbuat apa apa karena mereka tidak
tahu apa yang aku tahu.”
Eh, apa
yang kau ketahui!”
“Aku tahu
rahasia membuka tujuh tiang besi panas itu. Aku juga tahu rahasia yang mereka
tidak tahu…”
Wiro
tersenyum. “Kau gadis baik. Tapi pertolonganmu mungkin akan sia sia belaka. Kau
bisa celaka kalau sang Ratu mengetahui pengkhianatanmu…”
“Aku
tidak berkhianat pada siapapun, juga terhadap sang Ratu. Aku hanya ingin
membebaskan diri keluar dari tempat ini. Dan cuma kau yang bisa menolongku!”
“Aku tak
mampu menolong diriku sendiri. Bagaimana aku bisa menolongmu?” tanya Wiro.
“Kau
pasti bisa. Dengar, aku akan segera membuka tujuh tiang besi panas ini.
Setelah
itu kau akan menyebadaniku di situ…”
“A…Apa?!”
tanya Wiro dengan bola mata membesar lalu melirik ke belahan dada si gadis
dengan jantung berdebar. “Mengapa aku harus menyebadanimu?!”
“Itu satu
satunya jalan. Dengar, kita tidak punya waktu banyak. Nanti akan kuterangkan…”
Wiro
geleng gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Waktu aku ketahuan mengintip
mereka mandi, mataku dicopot tiga hari. Kalau aku tertangkap basah menyebadani
gadis satu ini pasti anuku akan ditanggalkan. Bukan cuma tiga hari! Bisa bisa
selama lamanya! Celaka diriku!”
Selagi
Wiro berpikir begitu tiba tiba dia mendengar suara berdesir. Astaga! Wiro
melihat tujuh jalur tiang besi panas membara perlahan lahan naik ke atas! Makin
lama makin tinggi. Pada saat ketinggian mencapai sepinggul tiba tiba satu
bayangan berkelebat menyusul bentakan keras.
“Tidak
kusangka! Ada pengkhianat di tempat ini!”
Gadis di
depan Wiro menjadi pucat pasi. Keluarkan suara tertahan lalu jatuhkan diri
ketakutan setengah mati!
******************
LIMA
Ratu
Duyung tegak dengan tangan kiri diletakkan di pinggang. Dia lambaikan tangan
kanannya. Tujuh tiang besi yang tida naik ke atas perlahan lahan kembali turun
menutup ruangan segi tiga itu.
“Berdiri!”
bentak sang Ratu.
Gadis
baju hitam yang mendekam di lantai perlahan lahan berdiri. Tubuhnya bergetar
hebat dan wajahnya seputih kain kafan.
“Kau tahu
kesalahanmu?!” bentak sang Ratu.
“Sa…Saya
tahu Ratu….”
“Katakan!”
“Saya ….
Saya berkhianat. Saya hendak membebaskan pemuda ini. Saya tahu saya salah…”
“Itu
kesalahan pertama dan bisa kuanggap kecil. Tapi lekas katakan kesalahanmu yang
kedua yang sangat besar dan tak ada ampunannya!”
“Saya…..
saya hendak membuka satu rahasia pada pemuda ini. Saya mengajaknya……”
“Cukup!”
bentak sang Ratu. “Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima?!”
Si gadis
mengangguk dan jatuhkan diri ke lantai. Kelihatannya dia pasrah menerima
hukuman karena tak mungkin mengelak tak mungkin minta ampun.
Ratu
Duyung angkat tangan kanannya. Jari telunjuk tiba tiba mengeluarkan cahaya biru
angker. Perlahan lahan jari itu ditudingkan, turun ke arah sosok tubuh anak
buahnya yang berlutut di lantai.
Ujung
jari bergerak tiga kali berturut turut. “Wuttt! Wuttt! Wuttt!”
Cahaya
biru berkiblat. Gadis di lantai keluarkan pekikan panjang. Lalu terputus!
Ketika
Wiro menatap ke depan, dinginlah tengkuk murid Sinto Gendeng ini!
Diantara
kepulan asap yang menebar bau sangit seperti daging dipanggang Wiro melihat
sisa tubuh si gadis kini hanya tinggal jerangkong alias tulang belulang
berwarna biru!
“Ilmu
kesaktian apa yang barusan dilancarkan perempuan ini hingga dalam sekejapan
bukan saja membunuh anak buahnya tapi juga merubahnya menjadi jerangkong!”
Murid Sinto Gendeng membatin. Lalu pandangannya dialihkan pada wajah Ratu
Duyung yang tampak dingin, tenang seolah tak ada terjadi apa apa di tempat itu.
Dia
membunuh gadis cantik anak buahnya seperti membalikan telapak tangan saja! Saat
dia memandangi Ratu Duyung seperti itu, sang Ratu tiba tiba palingkan mukanya
ke arahnya. Pandangan mereka saling beradu. Untuk beberapa lamanya tak ada yang
mau menghindar ataupun berkesip. Pendekar 212 tak mau menghindar ataupun
berkesip.
Pendekar
212 tak mau mengalah. Dia memandang terus hingga diam diam Ratu Duyung merasa
getaran aneh menjalari tubuhnya. Perempuan ini masih berusaha terus menantang
pandangan Wiro namun akhirnya sambil menjentikan dua jari tangan kanannya dia
memandang ke langit langit di atasnya. Tak lama setelah suara jentikannya
menggema di sepanjang lorong batu, empat orang gadis berpakaian hitam muncul.
“Singkirkan
sampah tak berguna ini!” kata sang Ratu sambil menggoyangkan kepalanya ke arah
tulang belulang yang bergeletakan di lantai.
Empat
anak buah Ratu Duyung segera melakukan apa yang diperintahkan. Tak lama setelah
jerangkong biru diangkat dari tempat itu Ratu Duyung balikkan tubuhnya Sebelum
mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
******************
Berselang
dua hari empat orang anak buah Ratu Duyung muncul di depan Ruang Penantian.
Keempatnya langsung menekap hidung karena penciuman mereka disengat oleh bau
pesing.
Wiro
Sableng tertawa lebar. “Masih untung aku hanya kencing di tempat ini. Kalau aku
buang air besar baru kalian rasa! Dua hari disekap tanpa diperkenankan keluar
apa tidak gila?!”
“Tak usah
banyak bicara. Lekas keluar dan ikuti kami!”kata salah seorang dari empat
gadis.
Kawannya
menambahkan. “Jangan coba coba melarikan diri. Selain tak bakal bisa lolos dari
tempat ini, salah salah kau bisa menemui ajal seperti gadis yang coba
berkhianat dua hari lalu!”
Wiro
keluar dari Ruang Penantian. Sambil melangkah dia menjawab. “Empat orang gadis
cantik minta aku mengikuti. Tolol kalau aku melarikan diri. Mau kalian bawa
kemana aku ini?!”
“Pertama
kau harus membersihkan diri di Pancuran Putih. Setelah itu kau akan kami bawa
ke Bukit Awan Putih…” menerangkan salah seorang gadis.
Sesuai
keterangan yang dikatakan tadi Wiro di bawa ke sebuah tempat dimana terdapat
sebuah pancuran yang airnya berwarna aneh yaitu bening putih. Di tempat itu
telah tersedia seperangkat pakaian hitam bersih lengkap dengan destar hitam.
Wiro
memandang pada empat gadis pengawalnya lalu bertanya. “Kalian mau ikut mandi
sama sama?”
“Jangan
berani bicara kurang ajar!” sentak gadis di sebelah kanan. Dia memberi isyarat
pada tiga kawannya lalu Wiro selesai mandi dan berpakaian ke empat gadis tadi
tahu tahu sudah muncul lagi di tempat itu.
“Kalian
pengawal pengawalku yang setia!” memuji Wiro sambil tersenyum.
“Cuma aku
sangsi jangan jangan ketika aku mandi ada di antara kalian yang mengintip!”
“Pemuda
bermulut lancang! Kalau tidak ingat perintah Ratu membawamu segera ke Bukit
Awan Putih mau rasanya kami menghajarmu lebih dulu di tempat in!”
Wiro
tertawa gelak gelak. “Sobatku cantik, aku hanya bergurau. Jangan diambil hati.
Setiap hari kalian selalu menghadapi suasana yang mencengkam. Apa salahnya
sekali sekali bergurau?!”
Empat
orang gadis itu tidak menjawab. Mereka membawa Wiro memasuki sebuah lorong.
Ketika keluar dari lorong itu Murid Sinto Gendeng jadi terheran heran. Di
depannya dia melihat sebuah dataran tinggi. Ada empat jalur tangga batu menuju
ke puncak pedataran di atas mana terdapat sebuah batu besar bulat berwarna
hitam legam. Sekitar sepuluh tombak di atas batu kelihatan seperti ada awan
putih menggantung. Memandang berkeliling yang membuat Wiro merasa heran ialah
tempat itu berada dalam keadaan malam hari. Padahal sebelumnya, ketika dia
mandi di pancuran hari masih siang!
Agak jauh
di sebelah kanan batu hitam budar dan rata tampak di sebelah kanan batu hitam.
Meskipun agak jauh namun Wiro segera bisa mengenali. Orang itu bukan lain
adalah Ratu Duyung.
“Naiki
tangga sebelah kanan, langsung tegak di atas batu batu bundar hitam.” Seorang
gadis berpakaian hitam bicara pada Wiro.
Wiro
memandang sekali lagi ke puncak pedataran tinggi.”Malam hari… Apa benar ucapan
Ratu Duyung bahwa malam ini bulan purnama empat belas hari akan muncul? Aku
sama sekali tidak melihat langit malam. Tak ada bintang bintang. Tempat apa
sebenarnya ini…?!”
Satu
tangan mendorong punggung Wiro seolah memaksanya agar segera menaiki anak
tangga batu yang berundak undak sebanyak 77 buah itu. Kakinya terasa pegal dan
napasnya agak memburu ketika dia akhirnya sampai di puncak pedataran tinggi dan
naik ke atas batu rata hitam. Dari tempatnya berdiri dia memandang berkeliling.
Di bawah sana semuanya kelihatan serba hitam. Di sebelah atas pemandangan
tertutup oleh awan putih aneh. Wiro palingkan kepalanya ke kiri, ke tempat
dimana Ratu Duyung berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
Angin
malam bertiup kencang dan dingin menyibakkan belahan bajunya di bagian pinggul
hingga auratnya tampak lebih putih dalam gelapnya udara.
“Ratu
Duyung, aku tak tahu apa rencanamu! Apakah bulan purnama benar benar akan
muncul di tempat ini?!” Wiro berseru pada Ratu Duyung.
Perempuan
cantik itu diam tak bergerak seperti patung, juga tidak menjawab pertanyaan
Wiro tadi.
“Ratu
Duyung! Sebelum sampai di tempat ini hari masih siang! Bagaimana bisa tahu tahu
kini hari berubah malam?!”
Ratu
Duyung tetap tidak mau memberi dan tidak mau menjawab. Wiro lalu mengancam.
“Kalau
sang Ratu masih tidak bergerak maupun menjawab Wiro segera gerakkan kakinya
untuk melompat turun dari atas batu hitam. Namun gerakkannya tertahan ketika
mendadak ada hembusan angin luar biasa kencangnya sehingga tubuhnya seperti mau
terseret mental dari atas batu hitam. Di sebelah sana dilihatnya pakaian dan
rambut Ratu Duyung berkibar kibar tapi tubuhnya tidak bergeming sedikitpun
padahal Wiro setengah mati mempertahankan diri agar tidak diseret hembusan
angin. Sadar tenaga luar tak mungkin membuatnya bertahan terhadap hembusan
angin maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera kerahkan tenaga dalam, salurkan
pada ke dua kakinya hingga sepasang telapak kaki Wiro laksana di pantek ke atas
batu hitam itu!
Perlahan
lahan angin keras surut. Bersamaan dengan itu keadaan di tempat itu berubah
dari gelap menjadi terang temaram. Ketika dia mengangkat kepalanya Wiro jadi
tertegun. Awan putih setinggi sepuluh tombak di atasnya perlahan lahan bergerak
ke arah timur. Dari bagian yang tidak terhalang lagi merambas cahaya putih
redup.
Makin
jauh awan bergerak ke timur makin terang cahaya putih itu. Sepasang mata
pendekar 212 mulai melihat langit jauh tinggi di atasnya. Bintang bintang
bertaburan.
“Astaga!
Itu langit betulan…” kata Wiro hampir tak percaya.
Lalu
Pendekar 212 berdegup keras. Sedikit demi sedikit, dari balik sekelompok awan
kelabu menyeruak mnuncul bulan purnama empat belas hari. Wiro melirik ke arah
Ratu Duyung. “Perempuan itu tidak berdusta…” katanya. Langit dan pedataran
tinggi bertambah terang begitu bulan purnama muncul semakin besar dan bulat.
Cahayanya yang putih jernih jatuh di setiap benda di pedataran tinggi itu
termasuk sosok tubuh Pendekar 212 yang tegak di atas batu hitam. Tiba tiba Wiro
merasa sekujur permukaan kulit tubuhnya menjadi panas. Demikian panasnya hingga
bukan saja mandi keringat tapi badannya bergetar keras. Kedua kakinya menjadi
goyah. Dia kumpulkan seluruh tenaga agar tidak roboh.
Lalu
entah apa yang terjadi tiba tiba ada letupan letupan kecil disertai kilatan
kilatan cahaya putih di sekujur muka dan tubuhnya. Begitu letupan sirna hawa
panas lenyap berganti dengan hawa dingin. Demikian dinginya hingga gerahamnya
bergemeletukan. Tak sengaja Wiro memperhatikan ke dua tangannya. Dia hampir tak
percaya. Kulit tangannya yang selama ini berwarna hitam pekat perlahan lahan
berubah menjadi putih.
“Kulitku
berubah… kembali ke warna semula…!” ujar Wiro gembira. Meskipun tubuhnya saat
itu di selimuti rasa dingin luar biasa tapi kegembiraan membuat dia membuka
baju hitamnya agar auratnya lebih sempurna terkena siraman cahaya bulan
purnama!
“Aku
sembuh! Aku sembuh! Terima kasih Tuhan…!”kata Wiro angkat kedua tangannya
tinggi tinggi.Saat itu terbayang wajah Puti Andini, gadis baju merah
berkepandaian tinggi yang muncul dengan payung tujuhnya. “Puti, dimanapun kau
berada aku juga menghaturkan terima kasih padamu. Kau tidak berdusta. Kalau
tidak berkat obat yang kau berikan aku sudah lama menjadi kerak tanah!”
Udara
dingin berangsur angsur lenyap. Pada saat itulah empat sosok tubuh berkelebat
di sampingnya. Mereka ternyata empat orang anak buah Ratu Duyung.
“Ratu
meminta kami membawamu ke Ruang Pertemuan… Beliau siap memberikan wasiatnya
padamu…” memberi tahu salah seorang dari empat gadis.
“Wasiat…Wasiat
apa….?” Tanya Wiro. “Maksudmu Kitab Wasiat…?”
“Kau akan
bertemu langsung dengan Ratu. Tanyakan saja secara langsung….”
Gadis di
sebelah kanan mengambil baju hitam yang tercampak di atas batu lalu menyerahkannya
pada Wiro sambil memberi isyarat agar dia segera mengenakan pakaian itu.
Sambil
mengenakan pakaiannya Wiro perhatikan dadanya. Rajah tiga angka 212 yang selama
ini lenyap tertindih warna hitam kulitnya kini muncul jelas kembali. Wiro
tersenyum sambil usap usap dadanya. Dia melirik ke arah kiri tempat Ratu Duyung
sebelumnya berdiri. Ternyata perempuan itu tak ada lagi di situ.
“Hai!
Kenapa belum berjalan?! Tunggu apa lagi?!” Gadis di belakang Wiro bertanya
sementara tiga kawannya di sebelah depan tampak tak sabaran ketika mereka
melihat Wiro tegak di atas batu hitam datar.
“Tunggu
dulu… Mengapa terburu buru? Aku tak akan kabur…!” jawab Pendekar 212. Lalu
seperti dia hanya seorang diri saja saat itu murid Sinto Gendeng ini bukan ikat
pinggang celana hitamnya. Empat gadis anak buah Ratu Duyung jadi berubah wajah
mereka dan ada yang melangkah mundur.
“Apa yang
hendak kau lakukan?!” salah seorang membentak.
“Jangan
berani buat kurang ajar di hadapan kami!” satunya lagi menghardik.
“Siapa
mau berbuat kurang ajar!” jawab Wiro tidak acuh. Begitu ikat pinggang terbuka
dan celananya menjadi longgar, dia meneliti ke bagian aurat di balik celana.
Lalu sambil mengangkat kepala dan merapikan ikat pinggangnya kembali pemuda ini
senyum senyum sendiri.
“Pemuda
aneh, dia seperti orang kurang waras tertawa sendiri!” bisik gadis sebelah
kanan pada kawannya.
“Apa
sebenarnya yang dilakukan orang ini?” balik bertanya kawannya.
Pertanyaan
itu sempat terdengar oleh murid Sinto Gendeng. Tenang saja dia menjawab.
“Kalian lihat sendiri keajaiban kulitku tadi. Cahaya bulan purnama membuat
kulitku yang hitam kembali ke warna aslinya. Tapi aku masih meragu apakah aurat
yang terlindung di balik celana ikut berubah warna. Makanya aku perlu
menyelidik. Aku tidak mau jadi manusia belang. Putih di atas hitam di bawah.
Ternyata….”
Wiro
tidak teruskan ucapannya malah memandang pada empat gadis itu sambil tertawa
lebar. Tentu saja mereka sama ingin tahu apa yang terjadi. Apakah perubahan
warna kulit Wiro memang menyeluruh atau hanya setengah setengah. Tapi untuk
bertanya tentu saja mereka tidak berani. Sebaliknya Wiro malah menggantung
keterangan hingga empat orang anak buah Ratu Duyung itu menunggu sambil saling
pandang.
“Ternyata…”
kata Wiro pula. “Ternyata memang seluruh kulit tubuhku kembali ke warna asal.
Termasuk…” Wiro tidak teruskan ucapannya tapi keluarkan suara tawa bergelak.
Empat
gadis berpakaian hitam ketat tampak bersemu merah wajah masing masing.
******************
ENAM
Kita
tinggalkan dulu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah diantar menuju Ruang
Pertemuan guna menemui Ratu Duyung. Kita ikuti perjalanan Tiga Bayangan Setan
dan kawannya yang bernama Elang Setan. Seperti dituturkan dalam Episode II
(Wasiat Dewa) dua orang manusia berhati setan itu setelah merasa berhasil
membunuh Pendekar 212 di bukit dekat sumur batu di luar Kartosuro lalu
berangkat menuju puncak Gunung Merapi tempat salah satu kediaman Pangeran
Matahari. Kapak Maut Naga Geni 212 serta batu sakti hitam pasangan senjata
sakti itu mereka rampas. Di puncak Gunung Merapi dua senjata mustika itu mereka
serahkan pada Pangeran Matahari.
Tentu
saja sang Pangeran gembira bukan main. Selain sudah memiliki Kitab Iblis kini
dia juga menguasai dua senjata sakti milik musuh bebuyutannya itu. Dengan Kitab
Iblis berada di tangannya dia merasa yakin walau dua senjata mustika itu masih
berada di tangan Wiro dia akan sanggup menamatkan riwayat Pendekar 212. Apalagi
kini Wiro tanpa dua senjata yang diandalkan itu!
Pertemuan
dengan Pangeran Matahari, apalagi dapat menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212
serta batu sakti hitam di pihak lain juga menggembirakan Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan. Mereka bukan saja menyenangkan hati Pangeran Matahari, tapi
sekaligus juga bermaksud menagih janji mendapatkan obat penawar racun seratus
hari yang dulu dicekokan sang Pangeran pada mereka.
Celakanya
Pangeran Matahari tidak percaya begitu saja bahwa dua orang itu benar benar
telah membunuh Pendekar 212. Karena itu dia menyuruh Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan untuk membawa potongan kepala murid Sinto Gendeng itu. Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan tidak bisa berbuat apa apa karena kembali
Pangeran Matahari menipunya dengan berpura pura memberikan obat penawar racun
padahal yang mereka telan adalah racun tiga ratus hari!
Melewati
perjalanan yang jauh dan sulit akhirnya Tiga Bayangan Setan dan Elang Setang
sampai di bukit di mana terletak sumur batu itu. Namun mereka sama sekali tidak
menemukan mayat Pendekar 212. Tulang belulang atau jerangkongnya pun tidak!
“Celaka!
Mayat pemuda itu tidak ada lagi di sini! Bekasnya pun tidak kelihatan!” kata
Elang Setan.
Tiga
Bayangan Setan memandang berkeliling. “Bangkai bangkai lainnya masih berserakan
di sekitar sini…” katanya memperhatikan tulang belulang beberapa tokoh silat
yang menemui ajalnya di tempat itu beberapa waktu lalu.
“Jangan
janganwaktu kita tinggalkan manusia itu belum benar benar mati…” kata Elang
Setan.
Tiga
Bayangan Setan jadi tak enak mendengar kata kata sahabatnya itu.
“Pukulan
Raksasa Tiga Bayangan yang keluar dari batok kepalaku bukan pukulan
sembarangan! Sekalipun dia punya tiga nyawa, kematian tak bakal lolos dari
dirinya!
Aku
menduga mayatnya dilarikan binatang buas yang menemukannya masih dalam keadaan
segar…”
“Mudah
mudahan saja begitu,”kata Elang Setan, lalu menambahkan, “Tapi jika dilihat
mayat mayat lain yang ada di sini, tak satu pun ada yang disentuh binatang
buas…” Elang Setan menepuk nepuk baju tebal dekilnya hingga debu yang menempel
beterbangan ke udara.
“Kita
harus mencari akal. Kalau kepala Pendekar 212 tidak bisa kita serahkan pada
Pangeran Matahari, berarti nyawa kita berdua tidak ketolongan!” kata Tiga
Bayangan Setan pula.
Untuk
beberapa lamanya dua orang itu duduk di lereng bukit saling berdiam diri.
“Kau
ingat kejadian waktu kita baru saja membunuh Pendekar 212…..?” Elang Setan tiba
tiba membuka mulut.
“Kejadian
yang mana?” tanya Tiga Bayangan Setan seraya coba mengingat ingat.
“Waktu
itu di langit ada tujuh buah payung melayang. Seorang perempuan bergantung pada
salah satu payung itu…”
“Aku
ingat sekarang!” kata Tiga Bayangan Setan seraya bangkit berdiri.
“Siapapun
makhluk yang terbang memakai payung itu pastilah dia seorang berkepandaian
sangat tinggi. Pasti dia yang telah mengambil mayat Pendekar 212.
“Kita
harus menyelidik! Mencari tahu siapa adanya perempuan berpayung itu!”
kata
Elang Setan pula. “Setahuku tak pernah mendengar tentang seorang sakti
berpayung. Kita harus menyebar orang untuk menyirap berita. Bagaimanapun
mahalnya urusan ini nyawa kita jauh lebih mahal!”
“Apa
rencanamu…? Mendatangi Kotaraja mencari berita?” tanya Tiga Bayangan Setan.
Elang
Setan menggeleng. “Orang berkepandaian tinggi jarang mau berada di tempat ramai
seperti Kotaraja. Aku yakin orang berpayung itu bukan tokoh silat berasal dari
tanah Jawa ini. Besar kemungkinan dia datang dari seberang. Jika dia orang
seberang kemunculannya di sini pastilah membawa satu maksud atau keperluan
besar.
Mungkin
dia juga mencari Kitab Iblis itu!”
Tiga
Bayangan Setan angguk anggukkan kepala tanda setuju dengan jalan pikiran
sahabat atau saudara angkatnya itu. “Kalau dia mencari Kitab Iblis berarti dia
akan berhadapan dengan Pangeran Matahari! Tapi mungkin dugaan kita salah.
Mungkin dia bukan mencari Kitab Iblis….”
“Sebaiknya
kita membicarakan persoalan ini sambil meneruskan perjalanan…”
“Aku
setuju. Tapi kemana tujuan kita dari sini?” tanya Tiga Bayangan Setan pula.
“Di
Sleman ada dua orang yang perlu kita temui. Pertama seorang bekas juru ramal
Kraton berasal dari Blambangan. Orang ini bisa diminta bantuan untuk melihat
lihat secara gaib. Orang kedua seorang bekas gembong penjahat bernama Warok Timbul
Ireng. Ratusan anak buahnya bertebaran di mana mana. Jika kita bayar cukup
tinggi dia bisa mengerahkan orang untuk mencari tahu perempuan berpayung tujuh
itu…”
Tiga
Bayangan Setan tepuk bahu saudara Elang Setan seraya berkata. “Tidak percuma
aku punya saudara sepertimu! Otakmu ternyata encer juga! Ha…ha….! Kita akan
mengadakan perjalanan jauh. Kita harus mencari kuda tunggangan!”
Kedua
orang bermuka seram itu segera tinggalkan lereng bukit, berlari cepat menuju ke
arah timur.
******************
ORANG
mengenakan blangkon kuning itu mendera kudanya bertubi tubi agar tunggangannya
berlari lebih kencang. Saat itu tempat tengah hari dan sang surya bersinar
sangat terik. Disatu persimpangan dia membelok ke kiri memasuki jalan menuju
Wates. Dia merasa lega ketika akhirnya sampai di tempat tujuannya, yaitu sebuah
rumah minum yang merangkap tempat perjudian gelap. Kabarnya banyak orang orang
penting dari Kotaraja yang datang ke tempat ini untuk berjudi. Setelah
menambatkan kudanya lelaki berblangkon kuning ini cepat masuk ke dalam rumah
minum, langsung menuju ke belakang, terus menaiki tangga ke tingkat atas di
mana terletak dua buah ruangan besar perjudian.
Bau
minuman keras bercampur asap rokok menyambut hidung orang ini begitu dia
menyelinap masuk ke dalam ruangan judi di sebelah kiri. Seorang lelaki berbadan
tinggi besar, berewokan serta membekal sebilah golok cepat mendatanginya dan
mendorong dadanya. Dia adalah salah satu dari empat orang yang bertugas sebagai
penjaga di rumah judi itu.
“Blangkon
kuning, aku tak pernah melihat kowe sebelumnya. Dari tampangmu aku tahu kowe
kemari bukan untuk berjudi! Apa mau kowe datang ke sini….?!”
“Aku
mencari seseorang….”
“Ini
bukan tempat mencari orang. Tapi tempat judi. Lekas minggat dari sini atau
kupuntir rupanya tidak mau tinggalkan tempat itu. Dia segera bertindak masuk
kembali.
“Manusia
sompret! Memang kau minta digebuk!” Pengawal rumah judi itu lalu hantamkan
tinju kanannya ke muka si blangkon kuning. Sesaat lagi tinju itu akan
meremukkan rahangnya tiba tiba satu tangan berbulu menahan tinjunya. Pengawal
ini hendak berteriak marah. Tapi begitu dia berpaling dan melihat siapa adanya
orang yang menahan tinjunya cepat cepat melangkah mundur lalu membungkuk.
“Dia
memang mencariku, kau boleh pergi…”
Pengawal
tinggi besar itu menyeringai, membungkuk sekali lagi ketika orang yang barusan
bicara menyelipkan sekeping uang ke dalam genggamannya. Orang yang memberikan
uang ini kepalanya sulah alias botak di sebelah kiri sedang bagian kanan
ditumbuhi rambut sangat lebat dan awut awutan. Tampangnya tampak angker karena
selain ditutupi kumis dan brewok lebat, mata kanannya mendelik besar sedang
mata kiri senantiasa seperti terpejam. Di keningnya ada tiga buah guratan aneh.
Orang ini bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan.
“Kau
membawa kabar bagus…?” tanya Tiga Bayangan Setan sambil memegang bahu si
blangkon kuning. Orang yang ditanya mengangguk. “Kau berhasil mengetahui dimana
perempuan itu berada….?” Yang ditanya kembali mengangguk. Tiga Bayangan Setan
berpaling lalu mengangkat tangannya pada Elang Setan yang sedang asyik berjudi.
Melihat
tanda yang diberikan Tiga Bayangan Setan, Elang Setan segera teguk habis
minuman keras dalam kendi kecil lalu tinggalkan meja judi. Ketiga orang itu
turun ke bawah. Di satu tempat si blangkon kuning berikan keterangan.
“Perempuan
itu ada di pesisir selatan. Di sekitar muara Kali Opak… Beberapa kali dia
terlihat di pantai. Sepertinya dia tengah mencari atau menunggu kedatangan
seseorang…”
“Berpakaian
merah….?” Tanya Elang Setan.
Si
Blangkon Kuning mengangguk.
“Membawa
tujuh payung?” ujar Elang Setan.
“Saya
melihat dia membawa bungkusan besar pada punggungnya. Ada gagang gagang
menyembul. Bukan gagang senjata. Mungkin sekali memang gagang payung….”
“Bagus!
Ini bagian yang kujanjikan!” kata Tiga Bayangan Setan seraya mengeruk saku
jubah hitamnya. Ketika si Blangkon kuning hendak menerima, Tiga Bayangan Setan
tidak segera melepaskan uang dalam genggamannya tapi mencekal tangan orang.”
Kalau kau
memberi keterangan dusta, ingat baik baik!Kami berdua akan datang mencarimu.
Kau akan mampus dengan kepala terbelah! Mengerti?!”
Orang itu
mengangguk. Begitu tangannya dilepaskan dia cepat cepat tinggalkan tempat itu.
Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan. “Baiknya kita berangkat
sekarang juga!” katanya.
******************
TUJUH
MENJELANG
matahari terbenam, di balik sebuah bukit terkembang melayang di udara. Pada
gagang payung berwarna merah kelihatan bergantung seorang gadis berpakaian
merah. Dia bukan lain adalah Puti Andini, gadis dari tanah seberang yang telah
menolong Wiro dari bahaya maut akibat pukulan makhluk raksasa jejadian yang
keluar kepala Tiga Bayangan Setan.
Begitu
mendarat di lereng bukit gadis itu tancapkan payung merahnya di tanah sementara
payung payung lain melayang turun lalu menancap sendiri sendiri di tanah bukit
itu. Wajahnya tampak napas panjang seolah ada yang disesalinya.
Sejak
beberapa waktu lalu sebenarnya dia telah menguntit Pendekar 212 Wiro Sableng
terus menerus secara diam diam. Sesuai tugas yang diberikan guru gurunya dia
harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut sang guru hanya Wiro yang
akan mengetahui dimana beradanya kitab sakti itu. Begitu kitab berada di tangan
Wito dia harus merampasnya, bahkan sesuai perintah sang guru dia harus membunuh
pemuda itu jika Wiro tidak mau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Ketika Wiro
mendapat celaka dihantam Tiga Bayangan Setan di bukit di luar Kartosuro itu
sebabnya dia tolong menyelamatkan sang pendekar agar kelak Wiro bisa membawanya
ke tempat dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Namun pertemuan dengan
Wiro Sableng telah membawa kesan mendalam pada diri si gadis ini. Dia memang
harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu, tapi apakah dia harus membunuh
Wiro? Hati kecilnya secara jujur mengatakan bahwa dia tidak akan memiliki rasa
tega untuk melaksanakan hal itu.
Penguntitan
yang dilakukan Puti Andini membawanya ke muara Kali Opak.
Namun dia
tidak segera dapat mengikuti Wiro ketika pemuda ini memasuki perahu putih
bersama nelayan aneh bercaping dan mengenakan cadar penutup wajah. Dia mengalami
kesulitan mendapatkan perahu. Untuk terbang di laut terbuka seperti itu tidak
bisa dilakukannya karena pasti Wiro akan melihatnya. Dia menunggu sampai perahu
putih tumpangan Wiro berada agak jauh di tengah laut. Ketika akhirnya dia
meninggalkan pantai bersama payung payungnya di tengah laut hanya ditemuinya
pecahan papan perahu putih, terombang ambing kian kemari dipermainkan ombak.
Wiro dan
juga pemilik perahu putih itu tidak kelihatan sama sekali.
“Apa yang
terjadi dengan dirinya?” membatin Puti Andini. “Perahunya
tenggelam?
Tapi tak ada badai di laut. Atau hancur dihantam ikan buas….? Mungkin ditelan
pusaran ombak seperti yang pernah dijelaskan seorang nelayan itu?” Puti Andini
menarik napas panjang. “Aku harus berkemah di sini. Aku akan menunggunya sampai
dia muncul lagi. Aku tidak yakin dia telah menemui ajal. Pendekar cerdik
seperti dia punya seribu satu akal untuk menyelamatkan diri….”
Lebih
dari seminggu menunggu Wiro tak kunjung muncul. Puti Andini kini benar benar
gelisah. “Kalau aku sampai kehilangan jejaknya berarti aku tak bakal
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu untuk selama lamanya…..Lebih baik aku
bersiap menyelidik. Aku harus mencari perahu sewaan. Kalau tak ada yang mau
menyewakan terpaksa aku mencuri. Di tengah laut aku bisa menyelidik lebih
seksama dengan menggunakan payung terbang….”
Berpikir
sampai disitu si gadis segera melipat tujuh payungnya. Ketika dia hendak
memasukkan payung payung itu ke dalam kantong perbekalan besar tiba tiba dia
mendengar suara derap kaki kuda mendatangi.
“Ada dua
penunggang kuda…” kata Puti Andini dalam hati yang bertelinga tajam dan segera
tahu berapa orang yang mendatanginya. Dia tak menunggu lama. Dua penunggang
kuda itu segera muncul dari balik lereng bukit di depannya. Kejut si gadis
bukan alang kepalang. Dia memang belum pernah bertemu muka dengan kedua orang
itu. Tapi dari tampang dan dandanan keduanya dia segera tahu tengah berhadapan
dengan siapa. Puti Andini bersikap tenang namun penuh waspada.
“Amboi!
Dara cantik yang kita cari rupanya tengah bersiap pergi. Sobatku, untung kita
tidak terlambat!” kata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah
Tiga Bayangan Setan tang begitu selesai bicara terus malompat turun dari
punggung kudanya. Saudara angkatnya yaitu Elang Setan menyusul turun dari kuda.
Begitu
menjejak tanah Elang Setan cepat mendekati Tiga Bayangan Setan dan berbisik.
“Aku
tidak menyangka orang yang kita cari ini ternyata seorang gadis cantik rupawan!
Dengar Tiga Bayangan Setan kalau urusan dengan dia selesai aku tidak akan melepaskannya
begitu saja. Dia perlu menghibur diriku barang dua tiga hari!”
“Pikiran
kotormu sama dengan otak iblisku!” jawab Tiga Bayangan Setan dengan berbisik
pula. “Malah aku ada rencana. Kalau kita tidak dapatkan kepala Pendekar 212,
gadis ini kita bawa dan serahkan pada Pangeran Matahari. Dia pasti senang dan
syukur syukur mau menganggap gadis ini sebagai pengganti kepala Pendekar 212!”
“Rencana
bagus…!” kata Elang Setan lalu mendahului melangkah mendekati Puti Andini.
“Kalian
siapa dan ada keperluan apa?” menegur Puti Andini dengan sikap tenang walau
hatinya berdebar. Sebagai gadis persilatan yang belum lama dilepas turun gunung
oleh gurunya tampang tampang angker dua manusia di depannya mau tak mau membuat
hatinya berdebar juga. Apalagi dia sudah tahu sebelumnya tentang tindak tanduk
dan segala keganasan mereka.
“Dengan
senang hati kami memperkenalkan diri,” kata Elang Setan pula. “ Aku yang buruk
rupa tapi berhati emas ini biasa disebut dengan panggilan Elang Setan!”
Habis
berkata begitu Elang Setan membungkuk seraya melambaikan tangan kanannya dari
kiri ke kanan. Sinar hitam kemerahan membersit keluar dari kuku kuku jarinya
yang panjang panjang. Lalu dia menuding dengan ibu jarinya ke arah Tiga
Bayangan Setan.
Tiga
Bayangan Setan tertawa lebar. Setelah kedip kedipkan mata kanannya yang besar
dia pun membungkuk sambil berkata. “Aku yang jelek ini dikenal dengan julukan
Tiga Bayangan Setan! Kami berdua adalah saudara angkat. Kalau kami boleh
bersombong diri seantero daratan sekitar sini dari utara sampai selatan adalah
dibawah kekuasaan dan pengawasan kami. Itu sebabnya begitu tahu ada seorang
dara cantik berkepandaian tinggi berada di tempat ini, sebagai tuan rumah yang
baik kami layak menyambut mengucapkan selamat datang….”
“Hemmmm…
pasti mereka melihat aku waktu turun di bukit di luar Kartosuro tempo hari.
Kalau dulu mereka sengaja melarikan diri dan kini sengaja mendatangi berarti
mereka mengandung maksud tertentu…” kata Puti Andini dalam hati.
“Terima
kasih atas budi baik kalian yang mau mencariku. Terima kasih untuk ucapan
selamat datang…” kata si gadis seraya tersenyum manis yang membuat Elang Setan
dan Tiga Bayangan Setan jadi blingsatan mabuk kepayang.
“Kami
lihat kau tengah bersiap untuk pergi. Kami harap tak usah terburu buru.
Kami
ingin menanyakan sesuatu padamu. Jika urusan bisa selesai dengan cepat kami
akan mengundangmu ke puncak Gunung Merapi,” ujar Elang Setan pula dan dia maju
lagi dua langkah hingga jaraknya dengan Puti Andini hanya terpisah lima langkah
kini.
“Ah,
kalian benar benar tuan rumah yang baik. Pertanyaan apa yang hendak kalian
ajukan?” bertanya Puti Andini seraya menyusun tujuh buah payung yang ada dalam
kantong perbekalan sebelum dipikulnya di punggung.
“Beberapa
waktu lalu terjadi satu peristiwa besar di satu lereng bukit di luar Kartosuro.
Pendekar kawakan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng menemui kematian di tempat itu…”
Puti
Andini menunjukkan wajah pura pura terkejut. “Pasti matinya bukan karena sakit.
Seseorang telah membunuhnya!”
Elang
Setan anggukan kepala.
“Jika
seseorang sehebat Pendekar 212 dibunuh orang, pasti yang membunuhnya seorang
berkepandaian sangat tinggi. Kalian tahu siapa yang membunuh tokoh silat muda
itu?”
“Itulah
yang kami ingin tahu!” jawab Elang Setan.
“Selain
itu,” menyambung Tiga Bayangan Setan, “Kami mendapat tugas dari seorang yang
sangant dekat dengan Pendekar 212 untuk mencari jenazahnya guna diurus lalu
disemayamkan sebaik baiknya.”
Puti
Andini angguk anggukkan kepalanya beberapa kali lalu bertanya.”Lantas hal apa
yang kalian harapkan dariku?”
“Kalau
kami tidak salah, pada waktu kejadian itu kau terlihat berada di sekitar bukit.
Mungkin bisa memberi keterangan apa yang terjadi dengan mayat Pendekar 212…”
“Hemm…
Aku memang turun ke bukit itu. Memang kulihat banyak mayat bertebaran di
sekitar sumur batu. Kebanyakan sudah pada busuk. Namun aku tidak melihat mayat
Pendekar 212 atau yang punya ciri ciri seperti dia. Mungkin…Hemmm…” Puti Andini
pura pura berpikir pikir.
“Mungkin
apa?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Waktu
masih melayang di udara, aku melihat ada dua orang terburu buru meninggalkan
lereng bukit. Salah satu diantara mereka memanggul sesosok tubuh.
Mungkin
sekali dua orang itu yang membawa mayat Pendekar 212. Sayang aku tidak menyelidik
lebih jauh…”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang mendengar kata kata Puti
Andini itu. Tentu saja mereka tidak mau menceritakan bahwa dua orang yang
terlihat lari itu adalah mereka sendiri yang tengah membawa sosok Bidadari
Angin Timur.
“Baiklah,
kalau kau memang tidak tahu apa apa menyangkut mayat Pendekar 212,” kata Tiga
Bayangan Setan pula. “Sekarang bagaimana dengan undangan kami untuk membawamu
ke puncak Gunung Merapi?”
“Gunung
Merapi cukup jauh dari sini. Memangnya ada pesta apa di sana hingga mengundang
segala?”
Elang
Setan dan Tiga Bayangan Setan tertawa gelak gelak. “Sama sekali tidak ada pesta
atau hajat apa pun di sana!” jawab Elang Setan. “Kami membawamu ke sana karena
ingin memperkenalkan dirimu dengan seorang tokoh luar biasa dunia persilatan!”
Sambil bicara Elang Setan maju dua langkah.
“Hemmm…
siapakah gerangan tokoh luar biasa yang kau maksudkan itu?” tanya Puti Andini.
“Pernah
mendengar nama Pangeran Matahari?” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Pangeran
Matahari!” seru Puti Andini. “Siapa tidak kenal dengan raja diraja dunia
persilatan itu! Namanya tembus sampai ke pulau kediamanku di tanah seberang!”
“Nah
kepadanyalah kami akan mempertemukan dirimu….”
“Sungguh
menyenangkan dapat bertemu denga tokoh seperti Pangeran Matahari. Tapi apakah
rencana itu tidak bisa ditunda dulu? Untuk bertemu dengan orang sehebat dia aku
yang tolol ini tentu perlu persiapan agar tidak kikuk jika berhadapan!”
Tiga
Bayangan Setan mengulum senyum. “Pangeran Matahari orangnya sangat baik. Dia
tidak pernah memandang rendah siapa pun. Sekali kau bertemu dia pasti akan
tertarik. Dia mudah bersahabat dengan siapa saja. Disamping itu wajahnya sangat
gagah. Dia gagah kau cantik. Sungguh cocok!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan tertawa gelak gelak. Puti Andini tersipu sipu
lalu berkata, “Harap dimaafkan, saat ini aku punya tugas yang harus dijalankan.
Bagaimana
kalau kita bertemu lagi di sini selang tiga puluh hari di muka. Aku pasti akan
mengikuti kalian. Jangankan ke puncak Gunung Merapi, ke Puncak Mahameru pun aku
mau pergi. Apalagi bersama orang orang gagah seperti kalian berdua….”
“Ah,
sayang sekali….” Kata Tiga Bayangan Setan.
“Ya…
sayang sekali kalau kami terpaksa memaksa!” ujar Elang Setan pula seraya maju
lagi dua langkah. Pada jarak hanya tinggal satu langkah dari hadapan Puti
Andini orang ini melompat sambil susupkan satu totokan ke dada si gadis!
******************
DELAPAN
Puti
Andini yang sejak tadi tadi memang telah berwaspada begitu melihat gerakan
orang cepat segera berkelit ke samping sambil angkat kantong perbekalannya dan
meletakkannya di punggung. Melihat gerakan si gadis mau tak mau Tiga Bayangan
Setan jadi terkesiap. Mengelakkan serangan saudara angkatnya saja merupakan
satu hal yang tidak mudah. Tapi si gadis melakukannya sambil mengangkat barang
yang kelihatannya cukup berat. Dan dia jadi lebih terkejut sewaktu Puti Andini
membuat gerakan berputar dan tahu tahu kaki kanannya menyambar ke muka Elang
Setan. Kalau lelaki ini tidak lekas mengelak pasti rahangnya sudah dimakan
tendangan Putiu Andini!
Tiga
Bayangan Setan cepat melompat pegangi pundak saudara angkatnya yang saat itu
hendak kembali menyerang. Bukan hanya sekedar menotok tapi akan pergunakan jari
jari tangannya yang berkuku panjang.
“Sabar
sedikit Elang Setan. Sobat cantik ini masih bisa kita atur…” Lalu sambil
berdehem dan cengar cengir Tiga Bayangan Setan berkata. “Harap maafkan
saudaraku yang memang punya sifat tidak sabaran dan lekas naik pitam….”
Puti
Andini tertawa. “Aku sudah tahu sandiwara kalian. Mengapa musti berpura
pura…?!”
“Gadis
cantik, kami tidak berpura pura. Kami memang ingin mempertemukanmu dengan
Pangeran Matahari untuk maksud baik! Kalau kalian berjodoh dengan dia, kami
tentu dapat pahala juga. Ha…ha….ha…!”
“Kalian
tidak lebih daripada iblis bermuka setan! Pangeranmu itu tidak lebih baik dari
kalian! Dengar…. Aku melihat warna aneh pada bibir kalian! Di dalam tubuh
kalian pasti ada sejenis racun jahat yang perlahan lahan tetapi pasti akan
membunuh kalian berdua. Mungkin ada hubungannya dengan maksud kalian mencari
mayat Pendekar 212 dan mengajakku ke puncak Gunung Merapi?!”
Dua orang
di hadapan Puti Andini sama sama terkesiap mendengar ucapan si gadis. Keduanya
tak habis pikir bagaimana gadis itu bisa mengetahui keadaan diri dan maksud
mereka.
“Selagi
hari masih siang sebaiknya kalian lekas angkat kaki dari hadapanku!”
“Ah,
gadis cantik ini rupanya tak bisa diatur!” kata Tiga Bayangan Setan.
“Kalau
begitu biar kita gebuk dan pegangi di tempat ini juga!” ujar Elang Setan sambil
menyeringai lebar.
“Kau
betul, tapi jangan terlalu keras memberi pelajaran padanya. Bagaimana kalau kau
pergunakan kuku kuku jarimu untuk merobek pakaian dan menelanjangi tubuhnya terlebih
dulu! Aku ingin menyaksikan satu pemandangan bagus agar mataku tidak keburu
lamur! Ha…ha…ha…!”
Puti
Andini sudah lama mendengar riwayat dua manusia jahat ini. Karenanya selain
berhati hati dia tak mau memberi kesempatan. Sebelum Elang Setan menyerbu gadis
ini berkelebat hantamkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Selarik angin
dingin menyambar. Elang Setan terkejut besar sewaktu tubuhnya menjadi huyung.
Cepat dia
dorongkan tangan kanannya ke depan. Lima larik sinar hitam kemerahan bertabur
dari kuku kukujarinya membuat angin serangan Puti Andini bersibak ke samping.
Selagi gadis ini memasang kuda kuda menyiapkan serangan baru, Elang Setan
mendahului.
Puti
Andini melihat sepuluh sinar hitam kemerahan berkiblat di depan matanya. Si
Gadis tak berani menangkis ataupun membalas. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah.
Seperti
anak panah tubuhnya melesat ke udara. Elang Setan yang tak mau melepaskan lawan
begitu saja cepat memburu. Kembali sepuluh sinar hitam merah melesat ke arah
Puti Andini.
Sambil
melompat tadi Puti Andini gerakkan tangan kanannya ke punggung mencabut satu
dari tujuh payung yang ada dalam buntalan perbekalannya. Lalu terdengar suara
“blepp!”
Elang
Setan dan Tiga Bayangan Setan terkejut ketika melihat di udara, di depan tubuh
gadis berbaju merah itu berputar sebuah benda bulat berwarna hijau. Ternyata
Puti Andini telah mengambil payung hijau dan sekaligus mengembangkannya. Begitu
payung terkembang jari jaritangannya disentakkan. Payung hijau berputar deras
mengeluarkan deru dahsyat.
Elang
Setan berseru kaget ketika melihat bagaimana putaran payung hijau menggulung
serangan sepuluh kukunya dan ketika si gadis mendorongkan payungnya ke depan
sepuluh cahaya hitam yang keluar dari kukunya itu membalik menghantam arahnya!
Sambil
berteriak keras Elang Setan jatuhkan diri ke tanah, berguling selamatkan diri.
Begitu dia berguling di bawah sosok Puti Andini secepat kilat dia melompat
seraya lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Pada saat
Elang Setan jatuhkan diri Puti Andini lepaskan payung hijaunya.
Payung
itu kini melayang berputar putar du udara. Payung itu kini melayang berputar
putar di udara. Ketika lawan lewat di bawahnya si gadis cabut payung kedua
yakni payung putih. Begitu Elang Setan menyerang, payung putih menukik laksana
kilat.
Payung
mengembang dengan bagian runcing menusuk ke arah bahu Elang Setan. Dalam
keadaan marah karena kedua kalinya serangannya gagal Elang Setan menjadi nekad.
Dia kerahkan tenaga dalam lebih banyak lalu menggebuk ke arah payung putih.
Jotosannya yang laksana palu godam masakan tidak sanggup menjebol payung putih
yang hanya terbuat dari kertas pikirnya. Tapi alangkah kagetnya Elang Setan
ketika satu gelombang angin yang keluar dari putaran payung putih membuat
tangan kanannya seperti dipuntir. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu,
pinggiran payung putih yang berputar laksana gerinda raksasa itu menyambar ke
arah pergelangan tangannya.
“Craaasss!”
“Breett!”
Elang
Setan berteriak kesakitan. Lengan pakaiannya yanga terbuat dari kain tebal
robek besar. Pada ujung robekan kelihatan cairan merah tanda daging lengannya
ikut tersambar. Sakitnya bukan main. Dengan muka sepucat mayat Elang Setan
melompat mundur. Melihat lawan terluka Puti Andini tidak mau memberi
kesempatan. Gadis ini putar payung putihnya dengan sebat. Bagian runcing di
pertengahan payung laksana ujung tombak yang berputar menusuk ke arah kening
Elang Setan. Yang diserang cepat menghindar. Tapi dia kecele. Serangan berupa
tusukan itu ternyata hanya tipuan belaka karena begitu Puti Andini menyentakkan
gagang payung, laksana kilat pinggiran payung putih menderu ke arah bahu tepat
di pangkal leher Elang Setan!
“Celaka!”
jerit Elang Setan. Seumur hidup manusia satu ini membunuh lawan lawannya yang
berkepandaian tinggi dengan cepat dan mudah. Tapi hari ini dia berhadapan
dengan seorang gadis cantik jelita, bersenjatakan payung dan dia tak mampu
menghadapinya! Dalam keadaan seperti itu tiba tiba datang lagi serangan Puti
Andini. Si gadis pergunakan payung hijaunya seolah tali gantungan. Tubuhnya
diayun ke bawah. Kakinya menyambar. “Bukkk!”
Elang
Setan terhempas ke tanah. Darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan telak
yang mendarat di dadanya.
“Saatnya
aku menghabisi manusia setan satu ini!” ujar Puti Andini. Dengan kertakan
rahang si gadis sentakkan tangannya yang memegang payung hijau. Tubuhnya
berputar membal. Lalu dia membuat gerakan menukik. Ujung payung hijau
dihujamkan ke batok kepala Elang Setan.
“Tiga
Bayangan! Tolong!” teriak Elang Setan karena saat diserang dia tak mampu
berbuat apa apa!
Tiga
Bayangan Setan yang memang sejak tadi memperhatikan jalannya mperkelahian dan
tahu saudara angkatnya berada dalam bahaya besar secepat kilat melompat. Dua tangannya
diulurkan untuk mencekal sepasang kaki Puti Andini yang masih mengapung di
udara. Serangan Tiga Bayangan Setan bukan serangan biasa. Sekali dia sempat
mencekal salah satu kaki si gadis, dia mampu menanggalkan kaki itu dari
persendiannya! Puti Andini bukan tidak maklum bahayanya serangan lawan kedua
itu. Dia terpaksa mencari selamat lebih dahulu. Serangan maut yang ditujukan
pada Elang Setan hanya merobek leher baju tebal lawan dan menggurat sedikit
daging bahunya.
Masih
berada di udara Puti Andini lipat ke dua kakinya lalu mencekal gagang payung
hijau. Bersamaan dengan itu payung putih dihantamkan ke arah kepala Tiga
Bayangan Setan. Lawan yang diserang keluarkan suara mendengus lalu menyusup ke
balik putaran payung putih.
Puti
Andini tersentak kaget ketika melihat tahu tahu Tiga Bayangan Setan berada di
balik putaran payung putihnya dan menggempurnya dengan dua jotosan sekaligus!
Puti
Andini tersentak tangan kanannya.
“Cleeppp!”
Payung
putih menguncup kencang. Karena kepala Tiga Bayangan Setan berada di belakang
payung tak ampun lagi kepalanya amblas dalam kuncupan payung. Seperti diketahui
manusia ini memiliki kesaktian kebal segala macam pukulan sakti dan senjata
tajam. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menerima pukulan ataupun tusukan
senjata.
Yang
mendapat serangan adalah jalan pernapasannya karena kepalanya tersangkup
payung. Dalam waktu singkat kakinya melejang lejang kian kemari. Tangannya
menggapai gapai coba memukul. Namun saat itu Puti Andini telah melepaskan
pegangannya pada payung hingga sosok Tiga Bayangan Setan melayang berputar
putar di udara.
“Jahanam!
Kurang ajar! “ teriak Tiga Bayangan Setan terpengap pengap. Saat itu dia telah
merapal aji kesaktian ilmu paling diandalkannya yakni mengeluarkan tiga raksasa
jejadian dari batok kepalanya. Bersamaan dengan itu dia adukan tinjunya kiri
kanan satu sama lain seraya berteriak. “Hancurkan payung!”
Tiga
guratan di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan sinar berkilauan.
Bersamaan
dengan itu dari kepalanya keluar kepulan asap!
Sebelumnya
Puti Andini tidak pernah berhadapan dengan Tiga Bayangan Setan.
Namun dia
banyak tahu mengenai ilmu iblis yang dimiliki manusia ini berdasarkan
keterangan guru dan beberapa tokoh silat di pulau Andalas. Dia sendiri tidak
dapat memastikan apakah payung yang menjadi senjata andalannya mampu menghadapi
kesaktian lawan. Karenanya begitu melihat ada kepulan asap keluar dari bawah
payung serta merta dia gerakkan tangan menarik gagang payung. Bersamaan dengan
itu payung hijau tempatnya bergantung digerakkan demikian rupa. “Clepp!” begitu
payung hijau menguncup si gadis tusukkan benda itu ke arah perut lawan.
Sementara tangan kirinya bergerak mengembangkan payung putih! Semua dilakukan
dengan gerakan secepat kilat.
Ketika
tiga kepulan asap di kepala Tiga Bayangan Setan mulai membentuk sosok tiga
raksasa bermuka seram, rambut riap riapan, taring mencuat sedang dada yang
telanjang penuh bulu, Puti Andini lipat gandakan tenaga dalam di tangan kanan
dalam menusukkan payung.
“Wuttt!”
“Bukkk!”
“Kraaak!”
Ujung
runcing payung hijau mendarat di ulu hati Tiga Bayangan Setan dengan telak.
Jubah hitamnya robek besar. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tapi tusukan payung
itu tak mampu menembus perutnya. Sebaliknya ujung runcing payung hijau patah,
membuat Puti Andini terbeliak kaget!
“Setan
alas ini benar benar memiliki ilmu kebal luar biasa! Terpaksa aku menghindari
perkelahian lebih jauh. Aku harus cepat cepat memperbaiki ujung payung yang
patah. Urusan besar menghadang di depanku!” Puti Andini cepat tarik tangan
kanannya yang memegang payung hijau. Lalu tangan kirinya disentakkan. Payung
hijau berputar deras. Tubuhnya melesat ke atas.
Di bawah
sana Tiga Bayangan Setan berteriak marah. “Kejar! Bunuh!”
Tiga
sosok raksasa jejadian melesat ke atas. Tiga pasang tangan mereka menghantam.
Namun Puti Andini yang bergantungan pada payung putih sudah terlalu tinggi
untuk dikejar. Apalagi saat itu dia telah sempat membuka tiga payung lagi untuk
melindungi dirinya. Ilmu kesaktian tiga raksasa angker yang keluar dari batok
kepala Tiga Bayangan Setan walaupun hebat luar biasa tapi mempunyai
keterbatasan untuk menjangkau sasaran yang terlalu jauh.
Tiga
Bayangan Setan usap usap perutnya yang tadi kena tusukan ujung payung hijau.
Memandang ke udara dia menggeram dan memaki pajang pendek. Saat itu dilihatnya
Puti Andini tengah mengembangkan payung merah lalu berpindah ke payung itu
melayang makin jauh.
“Kita
gagal besar!” kata Elang Setan yang tegak di samping saudara angkatnya itu
sambil mengepalkan tinju. “Kita tak dapat mencari tahu apa yang terjadi atas mayat
Pendekar 212. Kita juga tak berhasil mendapatkan gadis itu! Apa akal
sekarang?!”
Tiga
Bayangan Setan usap bagian kepalanya yang sulah. Mata kanannya yang besar
dipejamkan. Dari lereng bukit itu dia memandang ke tengah lautan. “Hanya ada
satu cara untuk cari selamat. Kau ingat Ki Ageng Unggulmulyo bekas juru rias
Istana yang ahli membuat topeng di Bantul itu…?”
Elang
Setan tidak mengerti. “Apa hubungan orang tua itu dengan urusan kita…?”
tanyanya.
“Justru
erat sekali!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ayo kita ke sana sekarang juga!”
Ke dua
orang itu segera melangkah ke tempat mereka meninggalkan kuda masing masing.
******************
SEMBILAN
Dalam
ruangan pertemuan yang besar itu hanya terdapat dua buah kursi dari batu,
terletak berhadapa hadapan mengapit sebuah meja batu pualam yang di atasnya ada
jambangan bunga. Baik jambangan maupun bunganya terbuat dari sejenis kerang.
Yang membuat bunga dari kerang kelihatan menyerupai bunga hidup sungguhan.
Kursi
batu sebelah kanan selain lebih besar dan tinggi juga sebelah kanan selain
besar dan tinggi juga memiliki ukiran bagus berupa ikan lumba lumba besar yang
tegak agak melengkung. Bila seseorang duduk di atas kursi batu ini maka
kepalanya seolah ditudungi oleh kepala ikan. Wiro telah melihat kursi seperti
itu di ruangan besar pada pertama kali dia memasuki tempat itu. Kursi satunya
yang di sebelah kiri memiliki bentuk sama dengan sebelah kanan hanya saja kecil
dan lebih rendah.
Seluruh
ruangan tertutup tirai tebal berwarna biru. Di langit langit ruangan sebelah
tengah ada sebuah batu putih aneh yang memancarkan cahaya berkilau. Cahaya dari
batu inilah yang menerangi seantero ruangan besar itu. Wiro menghirup napas
dalam dalam. Ruangan itu berbau wangi semerbak. Udaranya pun sejuk nyaman.
“Silahkan
mengambil tempat duduk di kursi sebelah kiri,” memberi tahu salah seorang dari
empat gadis berpakaian hitam ketat yang membawa Wiro ke ruangan itu.
“Ratu
akan segera datang ke tempat ini.”
Pendekar
212 anggukan kepala. Emapt gadis kemudian menyelinap ke balik tirai biru dan
lenyap. Wiro memandang berkeliling lalu melangkah seputar ruangan. Setiap sudut
diperiksanya. “Aneh, dari mana jalan aku masuk tadi? Di mana pula bagian tempat
empat gadis tadi menyelinap pergi?” Setiap bagian tirai dibaliknya tapi dia
hanya menemukan dinding batu hitam. “Jangan janganaku telah kena jebak!
Dijebloskan dalam penjara yang keadaannya lebih lumayan dari Ruang Penantian
terkutuk itu!
Hemmm….
Kalau benar aku dipenjarakan lagi di tempat ini aku tak segan segan
mengencinginya. Kalau perlu aku akan buang hajat besar di sini! Biar tahu
rasa!” Begitu murid Sinto Gendeng berkata dalam hati sambil senyum senyum
sendiri. Lalu dia berusaha mengingat ingat telah berapa lama dia berada di
tempat itu. Namun otaknya tak mampu menduga. “Tempat celaka ini punya hitungan
hari aneh dengan dunia luar sana….” Lalu tiba tiba saja murid Sinto Gendeng
menjadi kecut. “Bagaimana kalau aku tidak pernah keluar selama lamanya dari
tempat ini?” Wiro garuk garukkepalanya berulang kali. Teringat dia pada tugas
penting mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih gelap
dimana beradanya. “Nelayan berpenyakit cacar sialan itu…” maki Wiro. “Hampir
putus tanganku disambar ikan hiu!” Wiro perhatikan lengan kanannya yang pernah
luka. Tiba tiba terbayang wajah cantik Bidadari Angin Timur di pelupuk matanya.
“Gadis itu…Akutak dapat melupakannya. Waktu berdua duaan di dalam telaga….
Bidadari, dimana kau saat ini? Aku kangen sekali padamu….”
Tiba tiba
tirai biru di dinding sebelah kanan tersingkap.
“Bidadari
Angin Timur, kaukah itu….?” Karena tengah mengenang gadis yang dirindukannya
itu, ucapan itu lepas begitu saja tanpa disadari Pendekar 212. Ketika dia
berpaling ke kanan yang tegak di tempat itu memang seorang perempuan secantik
bidadari. Mengenakan pakaian sangat ketat terbuat dari manik manik berwarna
merah berkilauan yang pada bagian dada serta pinggulnya terbelah. Di tangan
kanannya dia mendadak bertambah harum oleh bau Ratu Duyung yang baru masuk.
“Kau
menyebut nama seseorang….” Ujar Ratu Duyung.
“Ah,
maafkan aku…” kata Wiro garuk garuk kepala.
“Kau
tengah melamuni seseorang….”
Wiro
tertawa lebar. Kembali dia garuk garuk kepala.
Ratu
Duyung melangkah mundar mandir di hadapan Wiro beberapa lamanya.
Sesekali
dia melirik ke arah pemuda itu dan diam diam mengakui walau sepintas pemuda ini
seperti orang tolol suka cengengesan tapi wajahnya ternyata tampan.
Apalagi
kini kulitnya telah kembali ke bentuk asli. Wiro sendiri diam diam
memperhatikan kebagusan tubuh sang Ratu dengan mata tak berkesip.
Walau
mengagumi Pendekar 212, Ratu Duyung tidak menyembunyikan rasa sukanya melihat
sikap seenaknya murid Sinto Gendeng. Dalam hati dia menggerendeng.
“Pemuda
satu ini benar benar kurang ajar. Dia duduk di kursi batu dimana seharusnya aku
duduk. Aku harus menegurnya. Mengingat dia sekarang merupakan sebagai tamu yang
kuhormati, bagaimana caranya menyuruhnya berdiri dari kursi itu tanpa merasa
tersinggung. Hemmm….”
Sambil
terus melangkah Ratu Duyung bertanya. “Mungkin anak buahku yang mengantar kau
ke sini lupa memberi tahu dimana kau harus duduk….”
“Astaga!”
Wiro pura pura terkejut. “Maafkan aku! Anak buahmu memang memberi tahu. Tapi
aku sedang kacau pikiran hingga lupa….”
Wiro
berdiri dari kursi batu besar. Sandaran dan bagian kursi yang barusan
didudukinya dibersihkannya dengan tangan. Lalu dia membungkuk mempersilahkan
sang Ratu duduk. Ratu Duyung jengkel ada geli juga ada melihat kelakuan pemuda
itu.
Wiro
menunggu sampai sang Ratu duduk di kursi batu besar dia kemudian ddudk di
kursai batu yang kecil.
“Kau
mengatakan sedang kacau pikiran….” Ratu Duyung membuka pembicaraan.
“Betul
sekali….” Jawab Wiro polos.
“Pikiran
kacau adalah salah satu sumber kelemahan manusia yang bisa membawa kelengahan,
mengundang datangnya malapetaka….”
“Aku
memang telah berlaku lengah dan menghadapi malapetaka…. Aku tidak tahu apa
artinya aku berada di ruangan ini. Mungkin ini salah satu bentuk lain dari
penjaramu….?”
Ratu
Duyung tersenyum. “Kau pernah berbuat salah, ditawan dan dihukum. Tapi sekarang
kau kembali sebagai tamu yang kami hormati…..”
“Kalau
begitu aku mengucapkan terima kasih. Terima kasihku banyak sekali untukmu Ratu.
Kau telah menyelamatkan aku waktu tenggelam di laut. Mengobati luka sambaran
ikan hiu di lenganku. Mengembalikan sepasang mataku. Entah kebaikan apa lagi
yang akan kuterima darimu. Jangan terlalu banyak membagi kebaikan padaku Ratu
Duyung. Aku khawatir tak dapat membalas semua budi baikmu itu…”
Ratu
Duyung berpura pura mengusap hidung dan mulutnya. Padahal dia tengah berusaha menyembunyikan
tawa mendengar semua ucapan Wiro tadi.
“Ratu,
aku mendapat penjelasan dari anak buahmu bahwa kau hendak memberikan wasiat
padaku. Jika ini benar tentu saja aku ingin tahu wasiat apa. Namun jika itu
tidak betul, aku mohon bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Selama berada
di sini banyak pelajaran baik yang telah kudapat. Aku sekali lagi mengucapkan
terima kasih….”
Ratu
Duyung letakkan cermin bulatnya di pangkuan lalu berkata. “Sewaktu sobatmu Dewa
Ketawa berada di sini, kami sudah mengetahui kalau kau membekal satu tugas
besar dan berat. Mencari sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro
mengangguk. “Bagaimana Ratu bisa mengetahui. Padahal Ratu jarang sekali
meninggalkan tempat ini….”
Ratu
Duyung mengambil cermin bundar di pangkuannya. “Hampir semua yang terjadi di
luaran, dalam kejauhan tertentu bisa kupantau lewat cermin sakti ini. Waktu kau
masih di pantai, sibuk mencari perahu tumpangan, aku dan Dewa Ketawa sudah
melihat gerak gerikmu lewat cermin ini….”
Pendekar
212 Wiro Sableng jadi ternganga saking herannya mendengar keterangan itu.
Matanya memandang tak berkesip pada cermin yang ada di tangan sang Ratu.
“Kalau
begitu….” Wiro garuk garuk kepalanya.
“Aku tahu
apa lanjutan ucapanmu Pendekar 212. Kau pasti menduga aku mengetahui dimana
beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…..”
“Betul
sekali! Dapatkah kau melihat ke dalam cermin dan memberi tahu padaku?”
“Banyak
hal bisa dilihat lewat cermin ini. Tapi betapapun hebatnya sebagai benda fana
cermin ini tetap memiliki keterbatasan. Cermin ini tidak mampu mengetahui
dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro
Sableng menarik napas dalam. Wajahnya tampak kecewa.
“Jangan
lekas putus asa Pendekar 212. Cerminku memang tidak bisa mengetahui langsung.
Ini disebabkan karena Kitab Putih Wasiat Dewa itu bukan sembarangan.
Kekuatannya
yang dahsyat membuat cermin saktiku tidak mampu melakukan sambung getar secara
sempurna. Namun secara tersamar dimana kemungkinan beradanya kitab itu. Selain
itu jauh sebelum kau dan kawanmu Dewa Ketawa datang kemari aku sudah mengetahui
sedikit cerita tentang asal muasal kitab itu….”
Wiro
ingat pada penjelasan Ratu Duyung pada hari pertama dia berada di tempat itu.
“Aku ingat, pada hari pertama aku di sini Dewa Ketawa mengatakan kalau Kitab
Putih Wasiat Dewa itu berasal dari daratan Tiongkok. Apa betul….?” Ratu Duyung
mengangguk.
“Berarti
apapun yang tertulis dalam kitab itu dalm huruf cina? Wah… Bagaimana mungkin
aku bisa membacanya!” ujar Wiro seraya garuk garuk kepala.
“Pendekar
212, melihat kitab itu saja kau belum. Tahupun beradanya dimana kau belum!
Mengapa sudah memikir segala macam isinya?” ujar Ratu Duyung pula.
“Kalau
tidak dipikirkan dari sekarang, seandainya aku nanti dapatkan kitab itu percuma
saja. Atau kau mungkin bisa membaca menjadi juru bahasaku?” Ratu Duyung
tersenyum.
“Hemmm…senyum
itu membuat wajahnya tambah cantik. Tapi menurutku Bidadari Angin Timur jauh
lebih cantik….”
“Pendekar
212, agar jelas bagimu biar aku ceritakan asal usul yang kuketahui mengenai
buku itu,” kata Ratu Duyung. Lalu sang Ratu menuturkan.
Sekitar
satu abad yang silam seorang sakti di tanah Jawa diundang oleh Raja Tiongkok
untuk berkunjung ke daratan Cina. Selain menjalin persahabatan juga
direncanakan untuk saling tukar ilmu kepandaian. Orang sakti itu konon
dipanggil dengan sebutan Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Entah apa sebabnya Sri
Ageng Musalamat dan rombongan tak pernah ke tanah Jawa. Kabarnya dia bermukim
di Tiongkok, kawin dengan penduduk setempat dan menjadi salah seorang tokoh
silat sangat disegani.
Karena
ilmunya yang tinggi maka Kaisar sering meminta bantuan Sri Ageng Musalamat
termasuk para anak buah perguruannya, terutama dalam menumpas gerombolan
penjahat yang bertebaran hampir di setiap pelosok pada masa itu.
Hubungannya
yang dekat dengan Kaisar membuat banyak pejabat tinggi merasa iri dengki
terhadap Sri Ageng Musalamat. Maka disusunlah satu rencana busuk. Dengan
menggunakan surat surat palsu Sri Ageng Musalamat difitnah berkomplot membantu
kaum pemberontak bangsa Mongol untuk menumbangkan Kaisar Tiongkok yang
berkuasa. Kaisar marah besar. Sri Ageng Musalamat ditangkap dan dijatuhi
hukuman pancung. Anak buah dan murid muridnya ditumpas habis.
“Namun
ada seorang yang selamat,” kata Ratu Duyung melanjutkan penuturannya. “Orang
ini bernama Ki Hok Kui. Pada waktu itu meski baru berusia sekitar tiga puluh
tapi boleh dikatakan dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kanjeng Sri
Ageng Musalamat. Rimba persilatan Tiongkok memberinya gelar hebat yaitu Tiat
Thow Houw yang berarti Harimau Kepala Besi. Pada waktu Sri Ageng Musalamat dan
para murid serta anak buahnya yang ratusan jumlahnya dibantai, Ki Kok Kui
sedang mengadakan perjalanan di daratan timur Tiongkok. Ketika orang orang yang
dengki itu mengetahui Ki Kok Kui masih hidup, mereka merasa sangat khawatir kalau
kalau satu satunya anak murid Sri Ageng Musalamat ini akan melakukan balas
dendam. Selain itu orang orang tersebut juga kasak kusuk mencari sebuah kitab
sakti milik Sri Ageng Musalamat yang tidak berhasil ditemukan. Kitab itu adalah
Kitab Putih Wasiat Dewa, sebuah kitab berisi ilmu langka hampir tanpa
tandingan. Orang orang itu sama memastikan bahwa kitab itu berada di tangan Ki
Hok Kui. Maka satu rombongan besar dikirim ke timur untuk mencarinya. Ki Hok
Kui alias Harimau Kepala Besi dihadang di dekat Nanchang. Namun berkat
pertolongan seorang sahabat dia berhasil meloloskan diri lewat anak sungai Yang
Tse Kiang dan menghilang di pantai timur Tiongkok sekitar Seochow….”
“Berarti
kitab ilmu sakti masih berada di daratan Tiongkok,” ujar Wiro sambil manatap tajam
pada Ratu Duyung.
Sang Ratu
menggeleng.
“Seperti
aku ceritakan tadi Harimau Kepala Besi Ki Hok Kui adalah murid kesayangan Sri
Ageng Musalamat, merupakan murid paling pandai dan mewarisi hampir semua
ilmunya. Disamping itu dari sang guru di juga belajar bahasa Jawa kuno. Karena
itu dia mampu membaca isi Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Jadi,
kitab sakti itu ditulis dalam bahasa Jawa kuno?” tanya Wiro ingin menegaskan.
“Betul
sekali,” jawab Ratu Duyung.
“Lalu apa
betul kitab itu ada di tangan si Harimau Kepala besi?” tanya Wiro lagi.
“Rupanya
Kanjeng Sri Ageng Musalamat seolah punya firasat bahwa satu malapetaka besar
akan terjadi atas dirinya, keluarga serta anak buah dan anak murid
perguruannya. Maka tanpa ada orang lain yang tahu Kitab Putih Wasiat Dewa
diserahkannya pada Tiat Thow Houw alias Harimau Kepala Besi….”
“Berarti
orang ini sudah membaca isinya dan mempelajarinya!” ujar Wiro.
“Hal itu
tidak bisa dipastikan. Yang jelas selama dia memegang kitab sakti itu dia
selalu diburu oleh orang orang Kaisar yang jahat….” jawab Ratu Duyung, lalu
meneruskan . “Suatu hari sahabat yang pernah menolong Ki Hok Kui melarikan diri
tertangkap. Setelah disiksa akhirnya dia memberi tahu dimana bersembunyinya
murid Sri Ageng Musalamat itu. Si sahabat kemudian dibunuh secara keji. Tempat
persembunyian Ki Hok Kui digerebek. Terjadi pertempuran hebat. Kabarnya sebelum
berhasil meloloskan diri Harimau Kepala Besi berhasil membunuh perwira tinggi
pemimpin pasukan pengejar itu. Ikut tewas dua orang tokoh silat serta beberapa
orang prajurit. Orang orang Kaisar marah besar. Bala bantuan didatangkan.
Sementara Ki Hok Kui melarikan diri menuju muara sungai. Dari sini dengan
sebuah jukung dia mengarungi lautan luas. Tujuannya hanya satu menuju tanah
Jawa. Sulit dipercaya hanya dengan sebuah perahu kecil Ki Hok Kui mampu mengarungi
samudera luas dengan membawa satu benda sangat berharga. Rupanya orang orang
Kaisar berhati culas masih belum puas. Mereka terus menyelidik. Beberapa hari
kemudian mereka berhasil mengetahui bahwa Ki Hok Kui telah kabur dengan sebuah
jukung. Satu kapal kayu besar disiapkan untuk mengejar. Karena dia bukan
seorang pelaut maka Ki Hok Kui tidak pernah mencapai pantai utara pulau Jawa
tempat kelahiran gurunya tapi justru tersesat ke pantai selatan. Dekat sebuah
pulau orang orang Kaisar berhasil mengejarnya. Setelah terjadi perkelahian
hebat dan perahu kecilnya tenggelam Ki Hok Kui berenang ke daratan pulau
terdekat. Orang orang Kaisar terus memburu. Entah apa yang terjadi Ki Hok Kui
kemudian lenyap di pulau itu….”
Mungkin
dia terbunuh dan Kitab Wasiat itu dirampas oleh orang orang Kaisar?” ujar Wiro.
“Tidak
ada petunjuk yang menunjang dugaan itu. Kabarnya orang orang Kaisar kembali
dengan kecewa besar. Mereka tidak menemukan Ki Hok Kui, juga kitab sakti yang
diburu buru. Ki Hok Kui sendiri tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi….”
Wiro termenung sesaat. Dia ingat pada buku lilin yang ada di ruangan besar.
“Lalu apa
hubungan buku lilin yang ada di tempatmu ini dengan kitab yang asli?” bertanya
Wiro.
“Aku
pernah mendapat mimpi, melihat kitab itu. Walaupun samar samar aku berusaha
membuatnya. Siapa tahu aku berjodoh dengan kitab itu walau aku tidak
menginginkannya….”
“Susah
juga mencari kitab wasiat itu…” kata Wiro sambil garuk garuk kepala.
“Ratu,
apa kau tidak punya petunjuk lain yang bisa menolong? Aku ditugaskan oleh tiga
tokoh silat tanah Jawa untuk mendapatkan buku itu karena kabarnya ada satu
kitab tandingan bernama Kitab Wasiat iblis yang jika jatuh ke tangan orang
jahat pasti dia akan menguasai dunia persilatan dengan semena mena. Hanya Kitab
Putih Wasiat Dewa yang agaknya mampu menghadapi Kitab Wasiat Iblis itu….”
“Aku akan
coba melihat mundur pada hari hari sebelum kau muncul dan menjelang
kedatanganmu ke sini,” jawab Ratu Duyung. Lalu diambilnya cermin sakti yang ada
di pangkuannya.
******************
SEPULUH
Ratu
Duyung menatap paras Pnedekar 212 sesaat lalu berkata. “Aku akan melihat ke
dalam kaca sakti dan mengatakan apa yang aku lihat. Selama aku melakukan itu
jangan sekali kali mengeluarkan suara atau bertanya. Kau mengerti Pendekar
212?” Wiro anggukkan kepala.
Sang Ratu
memandang ke dalam cermin bulat. Perlahan lahan sepasang matanya yang biru
bagus dipejamkan.
“Ini aneh
lagi…” membatin Wiro yang memperhatikan. “Yang namanya melihat itu dua mata
mustinya dibuka lebar lebar, dia justru pejamkan ke dua matanya!”
“Aku
melihat sebuah bukit di luar Kartosuro…” mulut sang Ratu terbuka dan ucapan itu
meluncur dari mulutnya. “Ada dua orang bermuka iblis di dekat sumur.
Tampaknya
mereka sengaja berjaga jaga….”
“Itu
pasti Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan!” kata Wiro dalam hati.
“Orang ke
tiga muncul. Tinggi tegap, berwajah gagah tapi congkak. Dia mengenakan mantel
hitam. Mereka bercakap cakap…. Ah, terjadi perkelahian. Dua lawan satu….”
“Orang
tinggi tegap… berwajah congkak. Mengenakan mantel hitam…. Siapa lagi kalau bukan….”
“Orang
yang barusan datang menyibakkan bagian depan mantelnya. Aku melihat… aku
melihat ada gambar gunung dan matahari pada bagian dada bajunya….”
Dugaanku
tidak meleset! Manusia itu ternyata memang benar anjing jahanam berjuluk
Pangeran Matahari!” Wiro kepalkan ke dua tinjunya lalu pasang telinga
mendengarkan kelanjutan keterangan Ratu Duyung.
“Ada
kepulan asap. Ada tiga sosok raksasa keluar dari kepala salah seorang
pengeroyok. Orang bermantel terdesak hebat. Hampir celaka…. Tapi tidak. Dia
berhasil menotok tubuh lawan. Lalu…. Orang bermantel masuk ke dalam sumur….”
Sampai di sini Ratu Duyung berhenti berucap. Lama Wiro menunggu hampir hampir
dia tak sabaran membuka mulut hendak bertanya. Namun sesaat kemudian tampak
bibir merah sang Ratu membuka.
“Muncul
seorang nenek berjubah kuning yang mukanya dirias tak karuan.
Perempuan
ini melepaskan totokan dua orang di tepi sumur. Sekarang muncul kembali orang
bermantel. Dia keluar dari dalam sumur. Terjadi keributan. Si nenek menyerang
orang bermantel. Dari dada orang bermantel melesat satu cahaya angker berwarna
hitam. Tubuh si nenek mencelat. Tergelimpang di tanah. Tewas mengerikan dengan
tubuh jadi tulang belulang hangus gosong!”
“Tidak
salah dugaan para tokoh!” kata Pendekar 212 dalam hati. “Kitab Wasiat Iblis
telah dikuasai oleh Pangeran Matahari!” Wiro menarik napas dalam dan melihat
sepasang mata biru Ratu Duyung terbuka. Wajahnya yang cantik keringatan. Dia
mengeluarkan sehelai sapu tangan lalu menyeka keringat pada bagian kening bawah
mata serta dagu.
“Ratu,
turut keteranganmu Kitab Wasiat Iblis sudah dikuasai oleh Pangeran Matahari
dari Gunung Merapi….”
Ratu
Duyung mengangguk. “Apa yang bisa kulihat dalam cermin sakti masih berlanjut.
Kau masih ingin mendengarkan?”
“Tentu
saja Ratu. Tapi jika kau merasa capai silahkan istirahat. Aku akan menunggu….”
Ratu
Dutung tersenyum. Dia pejamkan ke dua matanya kembali. “Tampak sebuah telaga.
Ada seorang dara berpakaian biru. Aku juga melihat kau berada di tempat itu
Pendekar 212….”
Murid
Sinto Gendeng sampai bangkit dari kursinya saking terkejutnya. “Celaka….
Jika dia
melihat semuanya dan membeberkan….” Wajah murid Sinto Gendeng ini berubah dan
tangannya menggaruk kepala berkali kali!
“Ada yang
tidak beres…. Cermin sakti mengalami kesulitan. Keadaan sekitar telaga terlihat
sangat samar….”
Wiro
merasa lega dan duduk kembali ke kursi batu. Ratu Duyung membuka ke dua
matanya, menatap ke arah Wiro. Sepertinya ada seberkas cahaya keluar dari dua
bola mata biru perempuan muda yang cantik jelita itu. “Gadis berbaju biru di
telaga….’ ujar sang Ratu. “Apakah dia yang kau panggil dengan sebutan Bidadari
Angin Timur waktu kau melamun tadi…?”
Wiro tak
menjawab. Kalau sang Ratu sudah tahu apa gunanya menjawab, begitu murid Sinto
Gendeng berfikir.
“Apa
hubunganmu dengan gadis itu Pendekar 212?” bertanya Ratu Duyung.
“Eh nada
suaranya seperti cemburu…” membatin Pendekar 212.
“Kalau
kau tak mau menjawab tak jadi apa. Aku akan meneruskan melihat ke dalam cermin
sakti.” Ratu Duyung arahkan pandangannya pada cermin yang dipegangnya. Begitu
dia memejamkan mata maka kembali mulutnya menutur.
“Pendekar
212, kau terlihat di dekat sumur di lereng bukit bersama gadis cantik
berpakaian biru itu.. Seseuatu terjadi. Dalam keadaan tertotok….”
Apa yang
dikatakan Ratu Duyung selanjutnya tidak begitu diperhatikan Wiro karena dia
yang mengalami dan tahu sendiri apa yang terjadi selanjutnya. Dia baru
tersentak ketike mendengar ucapan sang Ratu selanjutnya. “Aku melihat puncak
sebuah gunung. Ada bayangan seseorang di pintu sebuah bangunan. Ternyata lelaki
bermantel itu. Dua orang mendatanginya. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan.
Dua orang ini menyerahkan sesuatu pada orang bermantel. Yang satu berbentuk
hitam pekat, tak jelas apa adanya. Namun yang satu lagi sebuah senjata bermata
dua yang memancarkan sinar berkilauan. Ah…. Sebuah kapak…….”
Pendekar
212 setengah terlompat dari duduknya. Kalau tidak lekas menguasai dirinya
hampir saja dia memukul lengan kursi batu yang didudukinya. Sambil mengepalkan
tinju murid Sinto Gendeng menyumpah dengan suara ditekan. “Jahanam!
Dua
senjata mustika milikku diserahkannya pada manusia keparat itu! Kapak Maut Naga
Geni 212 dan pasangannya batu hitam ternyata berada di tangan Pangeran Matahari
musuh besarku! Benar benar kurang ajar!” Wiro melangkah mundar mandir di
ruangan itu sampai dia mendengar suara Ratu Duyung menegur.
“Pendekar
212, apakah kau masih ingin mengetahui kelanjutan penglihatanku lewat cermin
atau kita sudahi saja semua ini?”
“Maafkan
aku Ratu Duyung! Aku sangat terkejut dan tidak mnenyangka kalau dua senjata
mustika milikku kini jatuh ke tangan Pangeran Matahari musuh besarku sejak
bertahun tahun silam… Dua manusia setan alas itu ternyata adalah kaki tangan
Pangeran Matahari!” Wiro mengusap wajahnya. Setelah dia duduk ke kursi batu
baru Ratu Duyung pejamkan mata dan melihat kembali ke dalam cermin saktinya.
“Gadis
berbaju biru tawanan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berhasil meloloskan
diri setelah menghajar Elang Setan sampai babak belur….Hemmmm….. cerminku
kehilangan sambungan getar. Aku tak dapat melihat apa apa. Tunggu dulu…. Aku
melihat laut. Ada sebuah perahu putih. Kau berada di atasnya bersama seorang
lelaki korengan, pakai caping dan mukanya ditutup dengan cadar. Kurasa tak
perlu kulanjutkan karena kau tahu sendiri apa yang kemudian terjadi. Tapi
tunggu….Aku melihat ada sebuah perahu lagi. Melesat mendampingi perahu putihmu.
Kau dalam keadaan tak berdaya, terjepit tangan kanan pada lantai perahu.
Hemmm….. Penumpang perahu yang satu itu ternyata adalah gadismu si baju biru
itu. Dia seperti mencari carimu. Tapi wajahnya menunjukkan kegelisahan. Sayang
dia tidak sempat mengetahui kalau kau berada di perahu putih itu. Perahunya
membelok dan menghilang di kejauhan…”
Ratu
Duyung membuka kedua matanya. Menatap Pendekar 212 sesaat lalu berkata. “Hanya
itu yang bisa kulihat melalui cermin saktiku……”
“Ratu…
Apa yang kau lihat sama sekali tidak memberi petunjuk dimana beradanya Kitab
Putih Wasiat Dewa itu.” Kata Wiro pula.
“Pendekar
212, perlu kau ketahui apa yang terlihat di dalam cermin bisa saja keliru
karena betapapun saktinya benda ini selalu ada keterbatasan. Karenanya kita
perlu mengkaji ulang apa apa yang terlihat. Apakah kau mengenal oarang
bercaping yang berpenyakit kulit itu?”
“Orang
itu berkepandaian sangat tinggi. Sikapnya aneh penuh rahasia tapi jahat sekali.
Nelayan di pantai menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala. Sulit
kuduga siapa dia adanya. Jangan jangan salah seorang kaki tangan Pangeran
Matahari pula. Tadinya aku mengharapkan dia akan membawa aku ke pulau tujuan
dimana aku bisa bertemu dengan seorang sakti bergelar Raja Obat Delapan Penjuru
Angin. Ternyata dia mencelakai diriku di tengah laut. Aku berterima kasih
padamu yang telah menolong…”
“Selama
ini sering terlihat di cermin manusia itu malang melintang di lautan.
Anak
buahku berulang kali melakukan penyelidikan namun masih belum bisa mengetahui
siapa adanya makhluk satu itu. Katamu kau mencari Raja Obat Delapan Penjuru
Angin. Mengapa…?”
“Menurut
para tokoh yang memberi tugas padaku, dia mengetahui dimana beradanya Kitab
Putih Wasiat Dewa itu…. Dia diam di salah satu pulau sekitar sini.”
“Dugaan
itu mungkin betul. Aku pernah bertemu satu kali dengannya. Singkat sekali. Dia
berusaha mengobatiku tapi tidak mampu….”
“Hemmm….
Memangnya kau punya penyakit apa?” tanya Wiro.
Lama Ratu
Duyung berdiam diri, tidak menjawab.
“Kalau
kau tak mau menjawab tak apa. Tapi apa kau bisa memberi petunjuk dimana kira
kira letak pulau kediaman Raja Obat itu…?”
Ratu
Duyung memandang ke langit langit ruangan. Lalu dia berpaling pada cermin yang
dipegangnya. “Akan kucoba…” katanya seraya memejamkan mata. Lama sekali baru
perempuan bermata biru ini berkata.
“Aku
melihat samudera luas. Kosong… Ada satu titik hitam di sebelah tenggara…” Ratu
Duyung membayangkan wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Titik hitam dalam
cermin berkedap kedip. Matanya dipejamkan lebih rapat. “Ada warna merah. Buki…
gunung… batu… batu….” Dada sang Ratu kelihatan berguncang. Dia seperti berusaha
menahan satu kekuatan yang menghadang pandangannya. Tapi tak sanggup. Perlahan
lahan perempuan ini buka sepasang matanya dan menatap Wiro.
“Tak bisa
kulihat lebih rinci…. Ada satu daya tolak yang hebat. Bukan berasal dari si
Raja Obat, tapi dari beberapa kekuatan yang datang dari luar. Ada kekuatan yang
tak ingin aku mengetahui letak pasti pulau itu. Namun dari penglihatan yang
terbatas aku bisa menduga duga. Pulau itu terletak jauh di sebelah tenggara
muara Kali Opak. Berarti di sebelah timur dari tempat kita berada saat ini.
Pulau itu tidak berpenghuni karena tak ada yang tumbuh di sana kecuali bukit
dan gunung batu berwarna merah…..Hanya itu yang bisa kuberi tahu…..”
“Terima
kasih Ratu Duyung. Terima kasih banyak. Apa yang kau jelaskan bisa kujadikan
pegangan untuk mengarungi laut selatan mencari pulau tempat kediaman Raja Obat
itu….” Wiro diam sebentar.
“Apa yang
ada dalam pikiranmu Pendekar 212?” tanya sang Ratu.
“Sebenarnya
ada beberapa pertanyaan ingin aku sampaikan. Entah apakah kau mau menjawab atau
tidak…”
“Katakanlah…”
ujar Ratu Duyung pula.
“Walau
kau memberi penuturan tadi, sebagian tidak begitu kuperhatikan, mohon dimaafkan.
Kau pasti menuturkan tentang seorang gadis berpayung merah….”
“Ya, apa
yang ingin kau ketahui…”
“Gadis
itu berasal dari tanah seberang. Punya tugas yang sama dengan tugasku yakni
mencari Kitab Putih Wasiat Dewa…”
“Kau
merasa bersahabat dengan dia?” tanya Ratu Duyung.
“Aku
berhutang budi dan berhutang nyawa padanya. Tapi cepat atau lambat dia akan
membunuhku…”
“Bagaimana
kau tahu?” tanya Ratu Duyung.
Wiro lalu
ceritakan tentang surat aneh yang dibawa Puti Andini. Mendengar itu Ratu Duyung
termenung. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Dia bisa jadi sahabat
sejati tapi juga bisa jadi musuhmu paling berbahaya kelak. Yang jelas saat ini
aku punya firasat dia salah satu yang menimbulkan kekuatan penolak hingga tadi
aku tidak mampu melihat lebih jelas dalam cermin sakti…. Tapi sekali lagi
kukatakan apa yang kuberitahu bisa saja salah….Karena….” Ratu Duyung tidak
meneruskan ucapannya.
“Karena
apa Ratu?” tanya Wiro.
“Karena
aku juga punya firasat dia telah jatuh cinta padamu pada pandangan pertama….
Tapi kau kurang perhatian karena hatimu telah direbut oleh gadis bernama
Bidadari Angin Timur itu….”
******************
SEBELAS
Wajah
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede menjadi merah seperti saga.
Dalam
duduk diam di atas kursi batu dan memandang dengan mata besar pada wajah cantik
Ratu Duyung di hadapannya.
“Apakah
ada pertanyaan lain yang ingin kau ajukan?” Ratu Duyung tiba tiba bertanya..
Wiro
merasa lega sedikit. Sang Ratu rupanya tidak ingin memperpanjang pembicaraan
tadi. “Memang ada Ratu,” jawab Wiro. “Seperti kau ketahui Tiga Bayangan Setan
memiliki ilmu kebal yang tak memungkinkan dia dibunuh dengan cara apa pun…”
“Dia
memang tidak mempan pukulan sakti dan senjata tajam. Semua itu datang dari
luar. Tapi kematian yang datang dari dalam tetap tak bisa diledakkannya. Dia
tidak kebal terhadap racun. Turut penglihatanku lewat cermin tadi, baik Tiga
Bayangan Setan maupun temannya Elang Setan mengidap sejenis racun mematikan
secara perlahan dalam tubuh masing masing. Mereka akan menemui ajal sekitar dua
ratus hari dimuka jika tak berhasil mendapatkan obat penawar…”
“Ratu,
aku benar benar kagum dengan kemampuanmu melihat sejauh itu,”
memuji
Wiro. “Tapi rasanya aku tak bisa menunggu sampai sekian lama, membiarkan mereka
mati sendiri. Mereka merampas dua senjata mustikaku. Mereka diketahui pula kai
tangan Pengeran Matahari. Mereka akan membunuhku begitu bertemu! Elang Setan
tidak aku khawatirkan,. Tapi Tiga Bayangan Setan jadi momok nomor satu saat
ini. Aku harus mengetahui kelemahan ilmunya. Gadis berpayung tujuh itu pernah memberi
tahu bahwa seorang pemabuk bernama Iblis Pemabuk mengetahui pasti kelemahan
Tiga Bayangan Setan….. Apakah kau bisa melihat ke dalam cermin untuk mengetahui
dimana aku bisa menemui orang ini?”
“Kau
percaya begitu saja pada keterangan gadis itu?” tanya Ratu Duyung.
Pendekar
212 tidak bisa menjawab.
Ratu
Duyung tersenyum lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya ke ibu jari.
Suara
jentikan menggema keras dalam ruangan itu. Tirai biru di sebelah kanan
tersingkap. Seorang anak buah Ratu Duyung muncul.
“Aneh,
tadi aku setangh mati mencari jalan atau pintu keluar ruangan ini.
Ternyata
ada di sebelah sana….”
“Saya
menunggu perintah…” kata gadis yang baru muncul seraya membungkuk.
“Bawa
kemari tamu kita yang datang malam tadi…” berkata Ratu Duyung.
Gadis
berpakaian hitam mengangguk lalu menyelinap ke balik tirai biru kembali.
Saking
percayanya Wiro berdiri dari kursi batu lalu membuka tirai di bagian tadi si
gadis menghilang. Tembok batu! Dia sama sekali tidak melihat pintu atau apa
kecuali tembok batu! Wiro kembali ke kursinya sambil garuk garuk kepala.
Ratu
Duyung tertawa perlahan. “Apa yang kau lihat, Wiro?” tanya sang Ratu.
“Dinding
batu!” jawab murid Sinto Gendeng.
“Kau
pernah mendengar ujar ujaratau petuah yang mengatakan bahwa apa yang terlihat
mata telanjang belum tentu seperti itu kenyataannya?”
“Ya, aku
pernah mendengar orang pandai berkata seperti itu…”
“Kau
melihat batu tapi apakah kau pernah membuktikan kalau itu pernah membuktikan
kalau itu benar benar batu? Coba kau singkapkan lagi tirai biru di bagian mana
saja kau suka. Jika kau melihat batu coba kau sorongkan tubuhmu ke depan. Lihat
nanti apa yang terjadi….”
Wiro
pandangi wajah sang Ratu dengan mimik tak percaya. Lalu dia berdiri, melangkah
ke dinding ruangan sebelah kiri. Dengan tangan kanannya dia menyingkapkan tirai
biru tebal. Dinding batu kelihatan di depannya. Seperti dikatakan Ratu Duyung
Wiro selalu maju menabrak dinding batu itu.
Astaga!
Ternyata tubuhnya lewat begitu saja seperti menerobos udara kosong.
Sesaat
kemudian tahu tahu dia sudah berada di depan satu pedataran berumput.
“Aneh!
Benar benar aneh!” kata Wiro sambil memutar tubuh. Kembali dia melangkah
menabrakkan diri ke dinding batu. Tubuhnya lewat dan kini dia sampai kembali ke
dalam rauang semula!
“Bagaimana…?”
tanya Ratu Duyung.
“Aku
banyak mendapat pelajaran bagus darimu Ratu Duyung…” jawab Wiro seraya duduk
kembali ke kurai batu. Tiba tiba dia mendongakkan kepala. Hidungnya bergerak
gerak.
“Ada
apa?” tanya Ratu Duyung.
“Aku
mencium bau minuman keras. Keras Sekali. Mungkin tuak atau air ketan….”
Ratu
Duyung cuma tersenyum mendengar kata kata itu. Sesaat kemudian tirai biru di
samping kanan terbuka. Empat orang gadis berpakaian ketat hitam muncul
mendampingi seorang laki lakigemuk pendek berwajah seperti dedemit. Pada cuping
hidungnya sebelah kiri melingkar sebuah anting bulat terbuat dari akar bahar.
Orang ini hanya mengenakan celana komprang hitam. Muka dan tubuhnya berwarna
merah.
Sekujur
badannya mulai dari kepala sampai ke kaki yang tak berkasut menghamparkan bau
minuman keras. Pada ikat pinggang besarnya tergantung selusin kendi. Di tangan
kanan dia memegang sebuah kendi yang setiap saat disorongkannya ke mulutnya.
“Gluk…gluk…
gluk!” Dia meneguk lahap minuman keras yang ada dalam kendi itu. Lalu dari
mulutnya keluar suara antara orang menyanyi dan orang meracau. Tubuhnya
bergoyang goyang seperti mau rubuh! Wiro memperhatikan empat gadis yang datang
bersama si gemuk muka setan ini membawa masing masing enam buah kendi berisi
tuak.
“Sobatku
tamuku agung, coba terangkan siapa dirimu pada tamu muda ini…” berkata Ratu
Duyung.
Seolah
sadar si gemuk itu turunkan kendi dari mulutnya.”Astaga, kukira aku masih
berada di sorga! Rupanya sudah turun ke bumi! Ha..ha..ha…!” Sepasang mata si
gemuk berputar putar. Tubuhnya oleng ke kiri, menghuyung ke kanan.
“Tuan
rumah Ratu Duyung, siapa yang kepingin tahu diriku yang jelek ini?” Ratu Duyung
anggukan kepala pada Wiro.
Murid
Sinto Gendeng segera membuka mulut.”Namaku Wiro Sableng. Aku yang ingin tahu
siapa adanya dirimu kalau kau tidak keberatan…”
“Ha… ha…
ha….! Wiro Sableng! Tak pernah ku dengar nama itu sebelumnya.
Kalau
Cuma pada seorang kurcaci jalek mengapa aku harus menyembunyikan siapa diriku.
Tapi tunggu dulu! Aku mau mabok dulu!” Si gemuk lalu tenggak lagi minuman keras
dalam kendi yang dipegangnya sampai habis. Begitu habis dia memaki. “Sialan!
Bagaimana
aku bisa mabok kalau Cuma minum sedikit?!” Lalu! Wiro ternganga. Seperti
menyantap kerupuk enak saja si gendut itu melahap kendi tanah itu, mengunyah
dan menelannya sampai habis! Wiro jadi leletkan lidah dibuatnya.
Selesai
menghabiskan kendi tanah itu si gemuk bermuka setan ambil sebuah kendi yang
tergantung di pinggangnya lalu meneguk isinya sampai setengah.”Nah, ini baru
sedap. Aku sudah mabok! Ha… ha… ha….!” Tubuhnya kembali menghuyung tak karuan.
“Ratu
Duyung, apakah kurcaci jelek yang tadi menanyakan siapa diriku masih ada di
tempat ini?” Sepasang mata si gemuk pendek berputar putar liar. Tangan kirinya
mengusap usap perutnya yang buncit.
“Benar
tamuku agung! Kurcaci jelek itu masih ada di sini!” menjawab Ratu Duyung.
Wiro
pencongkan mulutnya karena dari tadi dia disebut sebagai kurcaci jelek.
“Kalau
dia masih ada di sini tanyakan padanya apakah dia membawa nyawa cadangan karena
aku ingin meminta satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak ingin meminta satu dari
dua nyawanya itu. Aku tidak serakah! Aku hanya minta satu saja… Biar enak
mabokku! Ha… ha… ha!”
Berubah paras
Pendekar 212. Dia memandang pada Ratu Duyung tapi perempuan cantik itu diam
saja.
“Ratu
Duyung, tuan rumahku mengapa kau tidak menjawab?!” Si gemuk bertanya lalu teguk
minuman keras dalam kendi.
Ratu
Duyung memandang pada Wiro dan berkata. “Jawab pertanyaannya.
Nyawamu
tergantung pada bagaimana jawabanmu! Salah menjawab berarti mati!
Jangan
berharap bisa lolos!”
Wiro
merasa tengkuknya sedingin es. Keringat memercik di keningnya. Dalam hati dia
berkata. “Orang gila harus dilayani gila. Orang mabok harus dilayani secara
mabok!”
Wiro
melompat, menyambar sebuah kendi minuman keras yang dipegang salah seorang anak
buah Ratu Duyung lalu meneguknya hingga mengeluarkan suara keras.
Minuman
keras itu menyengat mulut membakar tenggorokkannya.
“Tuanku
besar raja kurcaci! Aku kurcaci jelek menemanimu mabok bersama!
Mabok
barengan lebih asyik dari sendirian! Ha… ha… ha…!” teriak Wiro seraya acungkan
kendi minuman keras lalu huyungkan dirinya ke kiri dan ke kanan.
“Ah…. Apa
aku yak salah dengar? Ada kurcaci jelek yang memanggilku tuan besar raja
kurcaci! Asyikk! Ayo teguk! Tenggak sampai ludas! Mabok bersama memang bagus!
Tapi mana
nyawa cadanganmu yang aku minta!” teriak si gendut pendek bermuka seram!
Wiro jadi
tercekat. Tapi dasar gendeng dia tak kurang akal. Sambil tertawa haha hihi
kendi di tangan kanan dikocok hingga minuman keras muncrat ke udara. Begitu
minuman itu melayang jatuh Wiro buka mulutnya lebar lebar. “Gluk…gluk…gluk!”
Minuman
keras amblas masuk ke dalam tenggorokannya. Melihat apa yang dilakukan Wiro itu
si gemuk pendek tertawa bergelak. Tapi sesaat kemudian tetap saja dia berkata.
“Ayo, jangan berani menipuku! Mana nyawa cadanganmu!”
“Tuanku
besar raja kurcaci! Kau mabok asyik. Pasti lupa. Bukankah nyawa cadanganku
sudah kuberikan padamu malam tadi di pintu gerbang. Kau menyimpannya di dalam
kantong kulit ikat pinggang besar.”Mungkin benar aku lupa. Mungkin benar sudah
kusimpan….Eh, kurcaci jelek. Coba kau ambil dan perlihatkan nyawa cadanganmu
itu padaku!”
“Mampus
aku!” ujar Wiro. “Apa yang harus aku lakukan?” Dia melirik pada Ratu Duyung.
Sang Ratu angkat bahu tak bisa menolong. Wiro garuk garuk kepalanya. Sambil
berpura pura terhuyung huyung Wiromelangkah mendekati si gemuk pendek. Dengan
tangan kirinya dibukakannya kantong kulit besar di ikat pinggang lalu tangan
kiri itu dikepalkan dan dimasukkan ke dalam kantong. Ketika tangan dikeluarkan
masih dalam keadaan terkepal.
“Tuanku
besar raja diraja kurcaci! Nyawa cadangan sudah kuambil, ada dalam genggamanku!
Silahkan kau melihat sendiri!” Wiro lalu acungkan tangannya yang mengepal
seperti menggenggam sesuatu.
Dengan
kepala bergoyang goyang tak karuan si gemuk ini perhatikan kepalan tangan Wiro
yang menggenggam. Lalu dia tertawa gelak gelak.
“Kurcaci
jelek! Kau Betul! Aku sudah lihat nyawa itu. Hai! Lekas kau masukkan kembali ke
dalam kantong kulit! Aku khawatir nyawa itu nanti terbang!”
“Perintah
tuanku besar raja diraja kurcaci aku ikuti!” kata Wiro lalu kepalannya
dimasukkan ke dalam kantong kulit.
“Bagus…
bagus! Sekarang mari kita mabok lagi sama sama!” kata si gemuk sambil teguk
sisa minuman keras yang ada dalam kendi. Lalu seperti tadi kendi kosong dari
tanah itu dilahapnya seperti melahap krupuk garing!
Wiro
menunggu sampai si pendek gemuk ini meneguk kendi ke tiga. Lalu diapun
bertanya. “Tuanku besar raja diraja kurcaci, aku kurcaci jelek minta budi
baikmu untuk memberi tahu siapa kau adanya!”
“Tentu…
tentu, bukankah kita sekarang sudah jadi teman satu pemabokan?!
Ha…. Ha….
Ha…! Dengar baik baik, dekatkan ditelingamu padaku! Aku akan memberi tahu siapa
aku adanya!”
Wiro
cepat cepat angsurkan kepalanya dan dekatkan telinga kanannya ke mulut si gemuk
pendek. Dia mendengar suara mendesis halus.
“Sudah
kau dengar kurcaci jelek?!” tanya si gemuk lalu meneguk minuman dalam kendi
sampai berlelehan di dagu dan jatuh ke perutnya yang telanjang.
“Aku
tidak mendengar apa apa!” kata Wiro.
“Kurcaci
tolol! Aku memang belum mengatakan apa apa!” kata si gemuk lalu tertawa
mengekeh.
“Sial
dangkalan!” maki Wiro dalam hati tapi terus pula tertawa gelak gelak.
“Kurcaci
jelek, mari dekatkan lagi telingamu. Yang sebelah kiri saja. Yang kanan baunya
membuat aku mau muntah! Ha… ha… ha!” kata si gemuk pendek. “Setan! Maki Wiro.
Tapi dia angsurkan juga telinga kirinya.
“Namaku
Iblis Pemabuk!” teriak si gemuk pendek.
Teriakan
itu bukanj teriakan biasa. Demikian kerasnya hingga Wiro terpental dua tombak.
Kepalanya seperti meledak dan dari liang telinganya kelihatan darah mengucur.
Untuk
beberapa lamanya Wiro terkapar di lantai ruangan, tak mampu bergerak.
Pendengarannya
seolah tuli, bukan saja pada telinga kiri tapi juga pada telinga kanan!
“Eh,
kurcaci jelek! Kau dimana…?!” teriak si gemuk pendek yang ternyata adalah Iblis
Pemabuk.
Walau
pendegarannya terganggu tapi dari gerak mulut si gemuk Wiro dapat menduga apa
yang diucapkannya. Maka diapun menyahut. “Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku
kurcaci jelek ada di sini, mengeletak di lantai!”
“Walah!
Lagi apa kau di sana?!” teriak Iblis Pemabuk.
“Lagi
mabok!” teriak Wiro.
Iblis Pemabuk
tertawa gelak gelak mendengar jawaban itu. Lalu dia melompat ke hadapan Wiro.
Minuman keras di dalam kendi diguyurkannya ke telinga kiri murid Sinto Dendeng.
“Minumlah yang banyak biar tambah asyik mabokmu!” katanya.
Wiro
merasa telinganya sperti disengat kalajengking. Dia cepat berdiri. Karena
berdiri minuman keras yang masuk ke dalam telinga kiri kini mengalir keuar. Dan
terjadilah hal yang aneh. Telinga yang sakit tuli itu sembuh kembali!
Darahnyapun lenyap tidak berbekas. Pendegaran Wiro pulih kiri kanan.
“Manusia
gila aneh tapi punya kepandaian yang sulit kujajagi!” kata Wiro memaki dalam
hati tapi juga kagum.
“Ratu
Duyung tuan rumahku, panas sekali udara di sini. Apa aku bisa minta tolong agar
anak buahmu mengantarkan aku keluar?” tiba tiba Iblis Pemabuk berkata setelah
meneguk sampai sepertiga isi kendi yang dipegangnya.
“Tuanku
besar raja diraja kurcaci, tunggu dulu! Aku kurcaci jelek masih ada satu
pertanyaan. Kalau kau tak menjawab besok besok aku tak akan menemanimu mabok
mabokan lagi!”
“Dasar
kurcaci geblek! Lekas bilang apa kau mau tanya!” bentak Iblis Pemabuk lalu
bantingkan kendi yang masih banyak isinya itu ke lantai hingga pecah dan
minuman keras di dalamnya membasahi lantai.” Astaga! Apa yang aku lakukan?!”
seru Iblis Pemabuk seolah sadar dan menyesal. Lalu dia membuka mulutnya lebar
lebar.
Minuman
keras yang tergenang di lantai laksana disedot melesat ke dalam mulutnya hingga
lantai menjadi kering!
Wiro
leletkan lidah melihat kejadian itu.
“Tuanku
besar raja diraja kurcaci! Aku mau tanya begini! Ada manusia jahat berjuluk
Tiga Bayangan Setan. Kebal pukulan sakti kebal senjata tajam! Dia memiliki ilmu
hitam yang dapat mengeluarkan tiga raksasa jejadian! Kalau dia dibiarkan hidup
dunia persilatan bisa kacau balau! Aku minta petunjukmu. Tolong beri tahu aku
dimana letak kelemahannya!”
“Tiga
Bayangan Setan….?” Sepasang mata Iblis Pemabuk berputar liar. Lalu dia tertawa
gelak gelak. “Gelas angker tapi tak masuk akal. Yang ada bayangannya itu cuma
manusia! Setan mana ada bayangannya! Tiga sekaligus! Buset sompret! Tidak masuk
akal!” Iblis Pemabuk tertawa mengekeh sampai kedua matanya basah. “Tapi dengar,
aku akan menjawab pertanyaanmu. Dengar baik baik apa yang aku ucapkan. Tepat
tengah hari bolong! Pilih yang di tengah!”
Habis
berkata begitu Iblis Pemabuk membungkuk di hadapan Ratu Duyung yang dibalas
dengan menjura dalam oleh Ratu Duyung. Anak buah sang Ratu menyibakkan tirai
biru. Iblis Pemabuk melangkah terhuyung huyung. Tiba tiba dia berbalik pada
Wiro dan tudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah murid Sinto Gendeng
itu.
Astaga!
Wiro sampai tergagau. Jarak antara dia dan si gemuk Iblis Pemabuk terpisah
sekitar tiga tombak. Tapi saat itu Wiro merasa ujung jari telunjuk itu telah
menyentuh dan menekan hidungnya!
“Kurcaci
jelek! Dengar baik baik! Aku tunggu kau pada matahari terbit hari
sepuluh
bulan sepuluh di Pangandaran!
Wiro
terkejut dan tak mengerti maksud ucapan Iblis Pemabuk itu. Namun waktu dia
hendak bertanya si gemuk pendek ini telah lenyap di balik tirai biru.
“Pangandaran…”
desis Wiro. “Teka teki apa pula ini? Ada apa di sana? Mau mengajak aku
mabokan?!” Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung. Dia tidak
menemukan jawaban di wajah yang cantik jelita itu. Akhirnya sambil menggaruk
kepala Wiro bertanya. “Ratu Duyung lewat cermin saktimu apakah kau bisa
mengetahui apa yang akan terjadi pada hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran
pada saat matahari terbit seperti dikatakan Iblis Pemabuk tadi?”
Perlahan
lahan Ratu Duyung ambil cermin sakti di pangkuannya lalu memandang ke dalam
kaca dengan sepasang mata terpejam.
Wiro
melihat paras cantik itu berubah. Ketika kedua matanya dibuka Ratu Duyung
berucap dengan suara bergetar. “Aku melihat darah di seluruh pantai
Pangandaran….”
******************
DUA BELAS
Pendekar
212, apakah masih ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ujar Ratu Duyung.
“Kurasa semua sudah kutanyakan. Banyak yang belum sempat kutanyakan kau sudah
memberi penjelasan…. Hanya ada satu hal, kalau aku memang bukan lagi sebagai
tawanan apakah aku bisa meninggalkan tempat ini?
Ratu
Duyung mengangguk. “Pada saatnya kau bisa pergi dari sini dan pada saat yang
kau suka kau bisa kembali ke sini…”
Wiro
hendak berdiri tapi Ratu Duyung memberi tanda dengan mengangkat tangan.
“Sebelum
kau pergi, jika memang tak ada pertanyaan lain, kini giliranku untuk mengajukan
satu pertanyaan. Hanya satu, tak lebih dan tak kurang….”
“Silahkan
saja Ratu,” jawab Wiro Sableng seraya kembali duduk di kursi batu di hadapan
sang Ratu.
“Apakah
kau masih perjaka?”
Pertanyaaan
itu diucapkan Ratu Duyung dengan tenang, wajah lembut dan perlahan. Tapi
sampainya ke telinga Wiro seperti satu ledakan keras. Dipandanginya wajah sang
Ratu. Lalu dia tertawa gelak gelak. Namun ketika dilihatnya paras sang Ratu
tidak berubah menandakan bahwa dia memang tidak ada maksud bersenda gurau
dengan ucapannya itu maka Wiro serta merta hentikan tawanya.
“Ratu
Duyung, kau barusan menanyakan apa….?”
“Kau
mendengar dengan jelas, aku tak akan mengulang pertanyaanku…” jawab Ratu
Duyung.
“Ah,
mungkin dia merasa tersinggung,” pikir Wiro. Dia mendehem beberapa kali.
Lalu
dengan polos dia berkata. “Ratu Duyung, mengingat apa yang telah kau perbuat
padaku aku menghormatimu…”
“Betul?”
Wiro mengangguk.
“Tak ada
dendam mengingat hukuman yang telah aku jatuhkan padamu?”
Wiro
menggeleng. “Kuharap kau jangan tersinggung dengan sikapku barusan.
Pertanyaanmu
sangat mengejutkan. Kau mau menerangkan apa maksudmu…?”
“Aku akan
terangkan setelah kau menjawab pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung pula.
Wiro
garuk kepalanya. Lalu dia berucap.”Sampai saat ini aku memang belum pernah
kawin. Maksudku menikah….”
“Bukan
itu yang aku tanyakan. Kau masih perjaka artinya apakah kau pernah melakukan
hubungan badan dengan perempuan?”
Wiro
merasa kulit mukanya menjadi panas. “Aku tak pernah berzina…” katanya perlahan.
“Berzina
ada beberapa macam. Zina mata, zina telinga, zina tangan dan zina badaniah…”
“Hemmm…Anu…Zina
mata atau tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku lakukan. Aku bukan
manusia tanpa rasa. Aku pernah melihat wajah wajah cantik, aku pernah melihat
hal hal yang dianggap terlarang, aku juga pernah mendengar sesuatu yang kotor,
aku pernah memeluk dan mencium gadis gadis. Tapi jika zina yang kau maksudkan,
itu belum pernah melakukan. Tuhan masih memeliharakanku dari yang satu itu….”
“Aku
melihat di cermin sakti. Kau dan Bidadari Angin Timur bersatu badan berpeluk
pelukan di dalam telaga. Hanya sayang yang terlihat di cermin tidak begitu
jelas. Apakah kau tidak mau mengakui bahwa kau telah melakukan…”
Wiro
bangkit dari kursi batu. Dia geleng gelengkan kepalanya. “Waktu itu keadaan
memang benar benar penuh kesempatan. Kalau aku mau mungkin gadis itu pasrah
saja mengikuti nafsuku. Tapi aku tidak melakukan hal yang satu itu. Bukan
karena aku pemuda baik baik, tapi karena aku sadar aku mencintainya dan tak
akan merusak dirinya….”
“Apakah
hal itu akan kau lakukan pada gadis yang tidak kau cintai…?”
“Ratu
Duyung, kau lebih baik memberikan seribu teka teki padaku.
Pertanyaanmu
sulit kujawab…” kata Wiro pula.
Ratu
Duyung terdiam sesaat. “Kalau ada seseorang menderita sakit. Tak ada obat
penyembuhannya kecuali melakukan hubungan badan. Jika diminta apakah kau akan
melakukannya?”
“Ratu,
bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu…” kata Wiro pula lalu dia memandang
lekat lekat pada perempuan cantik bermata biru itu. “Ratu”… kata Wiro setengah
berbisik. “Apakah kau menderita sakit? Apakah pertanyaanmu ada sangkut pautnya
dengan dirimu?”
“Aku
tidak menderita sakit. Tapi hidupku dalam kutukan. Kutukan itu hanya bisa
dimusnahkan jika ada seseorang melakukan hubungan badan denganku dan dengan
cinta kasih yang murni, semata mata tulus untuk menolong…”
“Kutukan….
Kutukan bagaimana Ratu…?” tanya Wiro.
“Aku akan
coba menerangkan walau kau mungkin tidak mengerti… Aku dan juga semua anak
buahku yang ada di sini dulunya adalah para gadis kepercayaan seorang sakti
penguasa laut selatan. Hidup kami penuh bahagia walau dalam alam yang tidak
sama dengan alam manusia. Namun dalam kehidupan iut terdapat larangan larangan
yang tak boleh dilanggar. Satu ketika kami tertipu oleh serombongan pemuda
gagah yang tengah mengadakan pesta di pantai. Kami tergoda turun mengikuti
pesta itu. Tidak sampai di sana saja. Kami sampai melakukan hubungan badan
walau sebenarnya tidak ada bagian tubuh kami yang cacat. Namun kami telah
melanggar larangan. Penguasa mengusir kami, mengutuk kami menjadi setengah
manusia setengah ikan. Jika badan kami tersentuh air tawar atau air laut bagian
sebelah bawah tubuh kami akan menjadi ikan. Kami tidak akan bisa kembali ke
dalam keadaan semula kecuali ada seorang pemuda yang mengasihiku, melakukan
hubungan badan dengan tulus semata mata mau menolong…”
Wiro
ternganga mendengar keterangan Ratu Duyung itu. “Jumlah kalian belasan mungkin
puluhan. Apakah aku harus melakukan hubungan itu dengan semua kalian?”
tanya
Wiro lalu dia menggerendeng sendiri karena merasa pertanyaannya itu adalah
pertanyaan tolol.
Tapi Ratu
Duyung mau menjawab. “Waktu hukuman dijatuhkan dan disumpahkan, aku mengatakan
pada penguasa laut selatan bahwa aku yang bertanggung jawab atas semua kejadian
itu. Karenanya jika ada yang menolong diriku dari beban kutukan maka semua
gadis di sini akan terbebas dari kutukan yang sama….”
“Aku
ingat anak buah yang kau bunuh di Ruang Penantian. Agaknya dia bermaksud hendak
mengatakan hal yang sama padaku. Tapi kau membunuhnya…”
“Aku
menyesal melakukan hal itu. Tapi tak bisa kuhindari karena bahaya yang
menghadang kepada Wiro selama ini Ratu Duyung selalu memandang kepada Wiro
dengan mata tak berkesip dan sikap gagah maka kini dia duduk dengan menundukkan
kepala. Diam diam Wiro merasa iba terhadap perempuan cantik bermata biru ini.
Tapi bagaimana mungkin dia bisa menolong?” Aku bukan orang alim. Melakukan hal
itu pasti hemm…” Wiro garuk garuk kepala.
“Ratu,
aku yakin ada cara lain untuk menghilangkan kutukan itu…”
“Kalau
kau tahu katakanlah…”
Murid
Sinto Gendeng kembali garuk garuk kepala.
“Ratu,
maafkan pertanyaanku ini. Apakah pernah meminta hal yang sama pada pemuda
lain…?”
Paras
sang Ratu berubah merah. Bola matanya yang biru menyorotkan sinar aneh walau
tak kehilangan pesonanya. Dia seperti hendak meledak marah namun perlahan
akhirnya dia tundukkan kepala. Kepala itu kemudian digelengkan.
“Betapapun
dosa dan kesalahan telah kubuat, tapi aku dan semua anak buahku bukanlah gadis
gadis rendah, bukan perempuanp perempuan nakal. Aku tak pernah meminta pada
siapapun. Aku tak akan pernah melakukannya kecuali jika aku menyadari bahwa aku
menyukai dan merasa cinta terhadap orang itu….”
Wiro
mengusap wajahnya. Dalam hati dia berkata. “Jadi… dia mencintaiku… Ah,
bagaimana ini! Aku ingin menolongnya tapi…” Dipandanginya wajah sang ratu
dengan perasaan semakin iba. Perlahan lahan dia berdiri menghampiri. “Ratu…
Kalau ada cara lain yang bisa kulakukan, aku pasti akan menolongmu. Maafkan
diriku….”
Sambil
menundukkan kepala menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca kaca Ratu
Duyung mengangguk. “Aku kecewa besar. Bukan terhadap dirimu, tapi terhadap
nasib diriku dan kawan kawan. Namun walaupun kecewa ada rasa bahagia.
Bahagia
bahwa aku pernah bertemu dengan seorang pemuda berhati jujur, berjiwa besar.
Hanya satu kupinta, jika kelak kau berubah pikiran hendak menolongku, datanglah
kemari. Kayuhlah perahu dari muara Kali Opak. Kayuh ke tengah lautan. Di satu
tempat orang orangku akan menjemputmu…”
“Mudah
mudahan kita akan mendapat satu petunjuk memecahkan persoalan ini…” kata Wiro.
“Kalau
tidak aku akan terjerat di tempat ini. Untuk masa yang tidak satu makhlukpun
dapat menghitungnya!” sahut Ratu Duyung. Lalu ditanggalkannya cincin kerang
warna biru di jari manis tangan kirinya. “Ambillah benda tak berharga ini.
Mudah
mudahan ada gunanya….”
Wiro tak
berani menolak. Khawatir Ratu Duyung akan tambah berduka. “Terima kasih,”
katanya seraya menerima cincin itu. “Aku akan menyimpannya baik baik….”
“Terima
kasihku untuk itu,” ujar Ratu Duyung pula. Lalu dia menatap dalam dalam ke arah
sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro merasa satu getaran aneh masuk ke
dalam dua rongga matanya, terus menjalar ke rongga dada. “Pendekar 212, aku
minta maaf atas hukuman yang aku jatuhkan terhadapmu tempo hari. Tapi
percayalah semua itu dengan maksud baik….”
“Terus
terang aku sudah melupakan hal itu. Lagi pula aku memang pantas menerima
hukuman. Lalu kaupun telah mengembalikan kedua mataku.”
“Apakah
kau merasakan suatu kelainan setelah matamu dimasukkan kembali ke rongganya?”
Wiro usap
usap dagunya. Dia ingat lalu menjawab.”Aku merasa penglihatanku lebih terang,
lebih bersih….”
“Coba
atur jalan darahmu menuju kepala. Lalu salurkan tenaga dalammu pada kedua mata.
Setelah itu kedipkan matamu dua kali. Dan lihat apa yang terjadi….”
Wiro
pandangi paras Ratu Duyung sesaat. Lalu diikutinya apa yang dikatakan.
Begitu
dia selesai mengedipkan kedua matanya murid Sinto Gendeng tersurut beberapa
langkah. Matanya diusap berulang kali. Lalu memandang ke kiri, ke kanan,
berkeliling.
“Ratu
Duyung…” kata Wiro tersendat. “Walau samar samar aku mampu melihat benda benda
di luar ruangan ini….”
“Katakan
apa saja yang kau lihat…” kata Ratu Duyung.
“Aku
melihat beberapa orang anak buahmu di sebuah taman. Lalu di sebelah sana ada
pedataran rumput. Di kejauhan aku lihat Bukit Batu Putih…. Bagaimana ini bisa
terjadi…?!”
“Kedipkan
lagi kedua matamu dua kali,” kata Ratu Duyung.
Wiro
mengikut. Penglihatannya kembali seperti semula. Penuh rasa tak percaya dia
kerahkan lagi tenaga dalam dan kedipkan dua matanya dua kali. Seperti tadi dia
mampu melihat benda benda di luar ruangan.
“Ratu…”
“Pendekar
212, kini kau mempunyai ilmu baru. Kau mampu melihat satu benda yang terhalang
oleh benda lain. Ilmu itu bernama Menembus Pandang…Mudah mudahan saja ada
manfaat bagi dirimu.”
Terkejutlah
Wiro mendengar kata kata Ratu Duyung. Dia melangkah mendekat.
“Ratu…..
Jadi hukuman mencabut mata tempo hari itu sebenarnya….. Aku telah kesalahan
menilai…. Sekarang aku sadar betapa tololnya diriku1”
Ratu
Duyung tersenyum. “Aku punya sedikit ilmu yang bisa kubagi. Siapa tahu ada
gunanya…”
Wiro
Sableng geleng geleng kepala. Kedua tangannya diulurkan memegang bahu Ratu
Duyung. Lalu dengan setulus hati diciumnya kening perempuan itu seraya
berbisik.
“Aku
banyak menerima budimu. Aku tak akan melupakan….” Lalu Wiro memeluk sang ratu
erat erat.
Ratu
Duyung hanyut dalam kebahagaiaan yang belum pernah dirasakannya.
Namun dia
cepat sadar diri. Pelahan lahan dia melangkah mundur. Jari jari tangan kirinya
dijentikkannya. Tirai biru di sebelah kanan bergerak.
Empat
orang gadis berpakaian hitam ketat memasuki ruangan. Salah seorang di antaranya
adalah gadis bertubuh jangkung yang tempo hari menemui Wiro sewaktu diikat ke
batu putih dalam menjalani hukuman.
“Antarkan
tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan.”
Empat
gadis menjura lalu memberi isyarat pada Pendekar 212 untuk mengikuti.
Namun
sebelum berlalu Wiro berkata. “Ratu waktu pertama datang kemari aku mengenakan
pakaian lain. Walau jelek dan dekil aku mohon pakaian itu dikembalikan padaku.”
“Kau akan
mendapatkannya. Seorang anak buahku akan memberikan padamu sebelum meninggalkan
tempat ini. Aku tahu pakaian itu kotor namun yang sangat berarti bagimu adalah
sekuntum bunga kenanga sakti yang tak pernah layu di salah satu kantongnya,
bukan begitu?”
Selagi
Wiro terkejut mendengar ucapan Ratu Duyung, perempuan ini berkata lagi. “Jika
kau bertemu dengan gadis dari alam gaib bernama Suci berjuluk Dewi Bunga Mayat
itu, sampaikan salam hormatku padanya…”
Wiro
hanya bis mengangguk. Dalam hati dia mengagumi betapa luasnya ilmu pengetahuan
Ratu Duyung sampai sampai dia juga mengenal Dewi Bunga Mayat. (Untuk jelasnya
siapa adanya Suci atau Dewi Bunga Mayat silahkan baca serial Wiro Sableng
berjudul “Dewi Bunga Mayat”)
“Satu
lagi Ratu, pakaian hitam yang melekat di tubuhku saat ini apakah aku boleh
memakainya terus. Atau harus kutanggalkan di hadapan anak buahmu seperti
kejadian dulu…?”
Empat
orang anak buah Ratu Duyung tampak terkesiap mendengar kata kata Wiro itu. Mereka
khawatir mendengar kata kata Wiro itu. Mereka khawatir sang Ratu marah. Tapi
ternyata Ratu Duyung tersenyum. “Kau boleh memakainya selama kau suka…”
“Terima
kasih, aku minta diri sekarang.” Wiro membungkuk dalam dalam lalu melangkah
mengikuti empat gadis anak buah sang Ratu.
******************
HANYA sesaat
setelah Pendekar 212 meninggalkan ruangan itu, Ratu Duyung duduk terhenyak di
atas kursi batu. Dia tak sanggup lagi menahan runtuhnya air mata.
Dia
menangis hampir tanpa suara. Sambil bersandar tangannya bergerak menekan sebuah
tombol di lengan kanan kursi batu. Terdengar suara berdesing. Tirai biru di
hadapannya menggulung ke atas. Lalu tampak sebuah celah yang merupakan pintu
sebuah lorong pendek. Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Setengah berlari
dia memasuki lorong itu hingga sebuah ruangan berbentuk bundar. Di bagian
tengah ruangan ini ada sebuah benda setinggi manusia tertutup kain beluderu
merah muda.
Ratu
Duyung menarik lepas kain beluderu itu. Begitu kain tersingkap kelihatan sebuah
patung seukuran tinggi manusia yang sangat halus buatannya. Patung itu memiliki
wajah dan sosok tubuh menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di
hadapan patung Ratu Duyung jatuhkan diri. Bahunya kelihatan berguncang. Kedua
tangannya memegangi bagian kaki patung. Tangis yang sejak tadi ditahan dan
disembunyikannya kali ini tak dapat dibendung lagi. Ratapannya terdengar
mengharukan.
“Wiro…
Lima tahun aku menunggumu. Setelah kau hadir di sini ternyata aku tak mampu
berharap dan meminta…. Kalau saja hidup di tempat ini mengenal mati, aku lebih
rela menghembuskan napas penghabisan saat ini juga….”
Tekanan
batin dan keputusasaan membuat Ratu Duyung tak sadar lagi apa yang
diperbuatnya. Patung batu Pendekar 212 Wiro Sableng dipeluk diciumnya dengan
berurai air mata.
******************
TIGA BELAS
Yang
disebut Pintu Gerbang Perbatasan adalah tumpukan batu batu besar berbagai
bentuk yang disusun demikian rupa membentuk sebuah pintu gerbang. Saat itu
udara terasa dingin dan malam sangat gelap karena bulan purnama dan bintang
bintang tak satupun menghiasi langit.
Tiga
orang gadis berpakaian hitam ketat berjalan di depan Wiro. Mereka melangkah
cepat menuju pintu gerbang batu. Wiro mengikuti dengan buntalan kecil berisi
pakaiannya tergantung di punggung. Di samping kanannya berjalan anak buah Ratu
Duyung, gadis cantik bertubuh jangkung.
Sejarak
sepuluh tombak sebelum mencapai pintu gerbang gadis ini berbisik pada Wiro.
“Pada
saat mencapai pintu gerbang batu, aku akan melompat melewatinya. Jika aku
selamat maukah kau mengantarkan aku ke satu tempat….?”
Tentu saja
Wiro terkejut mendengar kata kata gadis itu. Dia ingat pada gadis yang menemui
ajalnya di tangan Ratu Duyung di Ruang Penantian.
“Aku
tidak bisa memastikan. Tapi apakah rencanamu itu tidak akan mencelakai dirimu
sendiri?”
“Hidupku
dan kawan kawan sudah lama dirundung celaka. Kalaupun muncul celaka besar yang
bisa membunuh diriku, aku malah akan merasa lebih tenteram…” jawab si gadis.
“Kau
masih muda, mengapa sengaja mencari bencana?” mengingatkan Wiro.
“Aku tahu
masalah yang kalian hadapi. Suatu ketika semua akan mencapai akhirnya.
Kalian
bisa kembali ke alam sebelum kalian berada di tempat ini…”
“Hemmmm…Kau
pasti tahu itu dari Ratu kami. Tapi akhir yang kau katakan itu datangnya
mungkin lama sekali. Bahkan bisa saja tak pernah terjadi.” Jawab si gadis. Air
mukanya agak berubah. Lalu dia berkata setengah menyesali.
“Tadinya
aku mengira bisa menggantungkan secuil harapan padamu. Ternyata aku keliru.
Jika kau tidak bersedia menolong tak jadi apa. Tapi ketahuilah apapun yang
terjadi aku tetap akan berusaha menembus keluar dari kungkungan kehidupan penuh
tekanan batin ini. Sejak lama aku sudah tak tahan. Kurasa kawan kawan yang lain
begitu juga. Termasuk Ratu kami sendiri….”
Pintu
Gerbang Perbatasan semakin dekat juga. Satu tombak dari hadapan pintu batu ini
tiga gadis di depan Wiro hentikan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro
hentikan langkahnya. Mereka berpaling pada Pendekar 212. Wiro sendiri coba
meneliti apa sebenarnya yang ada di seberang pintu gerbang batu itu. Dia hanya
melihat tebaran awan putih bercampur kelabu.
“Kami
hanya mengantar sampai di sini,” kata gadis yang di tengah. Dia kawan kawannya
tidak memperhatikan kawan mereka yang satu si jangkung.
Wiro yang
sudah tahu gelagat cepat melangkah ke bagian tengah pintu gerbang batu,
maksudnya hendak menghadang perbuatan nekat yang hendak dilakukan gadis
jangkung itu. Tapi dia lupa kalau saat itu dia masih berada di alam aneh
kekuasaan Ratu Duyung. Lebih cepat dari langkah yang dibuat Pendekar 212 si
gadis jangkung berkelebat.
Murid
Sinto Gendeng hanya merasa ada sambaran angin. Ketika dia berpaling ke kiri
gadis jangkung itu telah melesat di atas kepalanya!
Tiga anak
buah Ratu Duyung berseru kaget melihat kejadian itu. Mereka memburu tapi sadar
lalu cepat bersurut.
Di depan
sana mereka semua melihat gadis jangkung yang tadi melesat di udara kini
melayang turun. Lalu terjadilah hal yang membuat tiga gadis terpekik sedang
Wiro keluarkan seruan tertahan.
Begitu
tubuh gadis jangkung menyentuh tebaran awan, terdengar letupan keras lalu
wusss! Satu kobaran api yang besar dan garang tahu tahu menyelimuti tubuh gadis
jangkung itu. Si gadis menggeliat kian kemari. Tanpa jeritan sama sekali
tubuhnya musnah tanpa bekas. Bersamaan dengan itu kobaran apipun padam.
“Kalau
aku melewati pintu gerbang batu ini, lalu tubuhku bersentuhan dengan awan putih
kelabu, apakah nasibku bakalan sama dengan gadis nekat tadi….”
Apa yang
ada dalam pikiran Pendekar 212 rupanya diketahui oleh tiga gadis di dekatnya.
Salah seorang dari mereka lalu berkata.
“Keadaan
dirimu tidak sama dengan kami. Tak usah ragu. Lewati Pintu Gerbang Perbatasan
tanpa rasa takut tanpa ragu. Kau akan kembali ke duniamu dengan aman….”
Wiro
pandangi tiga gadis di hadapannya sambil garuk garuk kepala. Hatinya meragu dan
kebimbangan terlihat di wajahnya. Tiga gadis di hadapannya anggukkan kepala
satu persatu untuk pertama kalinya mereka tersenyum pada pemuda itu.
“Selamat
jalan….” Kata ketiga gadis hampir bersamaan.
Wiro
lambaikan tangan kanannya. Dia melangkah menaiki tangga Pintu Gerbang
Perbatasan sebelah dalam. Pada pertengahan tangga batu, tepat di bawah pintu
gerbang dia berpaling pada tiga gadis itu. Yang dipandangi kembali mengucapkan
selamat jalan. Wiro geleng geleng kepala. Kakinya kini menuruni tangga batu
sebelah luar pintu gerbang. Dia melangkah lagi. Sesaat dia merasa seperti
melayang di udara.
Lalu kaki
dan tubuhnya menyentuh awan putih kelabu. Pada saat itu juga terjadi satu hal
yang tidak bisa dipercayainya. Memandang ke bawah dia melihat kedua kakinya
kini menginjak pasir pantai. Memandang ke depan dia dapatkan laut luas
terbentang ditebari pulau pulau di kejauhan. Ombak berdebur tiada henti di tepi
pantai. Dua buah perahu lengkap dengan pendayung terapung apung dipermainkan
ombak.
“Aneh,
bagaimana ini bisa terjadi…?” pikir Pendekar 212. Dia menoleh ke belakang.
Astaga!
Pintu Gerbang Perbatasan lenyap. Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tak kelihatan
lagi.
Selagi
Wiro tercengang cengan seperti itu tiba tiba satu tangan besar memegang
pundaknya. Murid Sinto Gendeng tergagau keras saking kagetnya. Dia cepat
membalik sambil bersiap menghantam. Saat itu juga meledak suara tawa keras
sekali.
“Kerbau
Bunting sialan!” maki Wiro lalu tarik pulang tangan kanannya yang siap
menjotos.
“Selamat
datang di dunia kita Sobatku Muda!” kata Dewa Ketawa. “Betapapun bagusnya dunia
orang lain, jauh masih lebih bagus dunia kita yang serba gila ini! Ha… ha…
ha…..”
Mau tak
mau Wiro jadi ikut ikutan tertawa.
Mendadak
Dewa Ketawa hentikan gelaknya. “Eh, apakah kau sempat diajak tidur oleh Ratu
Duyung bermata biru itu…?” Dewa Ketawa bertanya.
“Bagaimana
kau tahu….?” Balik bertanya Wiro dengan mata mendelik.
“Ha…ha…Sebelumnya
dia pernah minta pendapatku. Kukatakan padanya agar menanyakan sendiri. Jadi
sudah ya…?”Wiro gelengkan kepala.
Dewa
Ketawa pukul jidatnya sendiri. “Sayang aku sudah tua! Kalau saja masih muda dan
segagahmu pasti aku yang duluan diminta sang Ratu untuk masuk ke kamarnya!
Ha…ha…ha!”
Dewa
Ketawa menunjuk pada dua buah perahu yang ada di pasir pantai. “Pasti Ratu
Duyung yang mengatur. Aku ambil satu kau ambil satu. Kita tinggalkan tempat ini
dan berpisah di sini. Kalau umur sama panjang pasti bisa bertemu lagi….”
Tubuh
Dewa Ketawa melesat di udara lalu mendarat masuk ke dalam salah satu perahu.
Walau nyata nyata tubuhnya yang gendut itu berbobot lebih dari dua ratus kati
perahu sama sekali tidak bergoyang!
Wiro juga
tak mau menunggu lebih lama. Sekali berkelebat tubuhnya melayang di udara,
berputar putar seperti bola. Di lain kejap kedua kakinya menyentuh lantai
perahu. Salah satu kakinya sengaja dipakai menginjak ujung kayu pendayung.
Pendayung
melesat ke udara, sebelum jatuh murid Sinto Gendeng cepat melompat dan
menyambar gagang pendayung selagi masih berada di udara. Ketika turun lagi ke
dalam perahu, perahu itu tetap tidak bergoyang!
“Ha…ha….ha!
Pertunjukan hebat!” memuji Dewa Ketawa.
“Sobatku
Gendut!” teriak Wiro. “Kalau ada undangan besar apakah kau mau datang ke satu
tempat?”
“Tergantung
siapa yang mengundang, kapan dan dimana!” jawab Dewa Ketawa seraya mulai
mengayuh perahunya.
“Yang
mengundang Iblis Pemabuk! Waktunya hari sepuluh bulan sepuluh! Saat matahari
terbit. Tempatnya Pengandaran” jawab Wiro.
“Waktunya
cocok! Tempatnya sesuai! Si Pengundang tepat! Kita bisa mabuk sama sama di sana
nanti!” Dewa Ketawa tertawa panjang. Sekali dia menggerakkan tangan mengayuh,
perahu yang ditumpanginya melesat menembus ombak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment