Rahasia Kincir Hantu
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian
Tito
Bendera
kuning sampai di depan kaki si hati baja. Dia siap untuk melompat. Tapi
tiba-tiba di atas atap kakek kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan
dengan itu kincir hantu mengeluarkan suara dahsyat. Di antara suara gemuruh
yang menegakkan bulu roma itu terdengar suara aneh berkepanjangan. Clak….
Clak…. Clak…! Pantulan sinar putih membersit dari pinggiran roda kincir,
membuat dua mata hati baja sakit silau. Dia bermaksud mengusap matanya dengan
tangan kiri. Namun belum kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi langit
mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah kakinya kelihatan darah
menyembur.
*********************
1
GEMURUH
suara kincir raksasa itu terdengar tidak berkeputusan. Pada siang hari saja
suaranya begitu ngeri menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di atas atap
rumah kincir seorang kakek berkepala teleng, mengenakan caping bambu duduk
uncang-uncang kaki sambil menghisap pipa yang menebar bau serta asap aneh
berwarna merah. Sambil hembuskan asap merah dari mulut dan hidungnya kakek ini
memandang berkeliling. Dalam hati dia berkata. "Sudah tiga minggu berlalu
sepi-sepi saja. Apakah orang sakti dan pandai di negeri ini sudah habis semua?
Atau masih ada tapi tidak punya nyali untuk menjajal kincirku, takut menghadapi
tantanganku? Kalau begini naganaganya urusanku tidak bakal rampung!"
Di puncak
bangunan terpancang sebuah bendera dari jerami kering berwarna kuning,
melambai-lambai kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam pipanya.
"Sial! Lama-lama aku bisa mengantuk!" katanya setengah memaki. Kakek
ini lalu menatap kehalaman luas di depan rumah kincir. Seperti
menghitung-hitung dia berucap.
"Satu…
dua… sembilan… empat belas… ah! Sudah ampat belas orang sakti menemui kematian.
Sudah tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka membekal benda yang
kucari. Kalau sampai dua purnama lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka
diriku! Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku lebih dulu?!"
Caping di atas kepala kakek teleng bergerak-gerak tanda si kakek
menggeleng-geleng gelisah berulang kali.
Sementara
itu di atas satu pohon besar di seberang halaman rumah kincir, tiga sosok tubuh
mendekam di balik kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng bercaping.
Mereka bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, bocah konyol bernama Naga
Kuning dan si kakek berjuluk Setan Ngompol.
"
Keterangan saudara kita Lakasipo ternyata betul. Kita akhirnya menemukan benda
aneh yang disebut Kincir Hantu itu," berkata Naga Kuning dengan suara
sangat perlahan.
"Tengkukku
mengkirik, aku setengah mati berusaha menahan ngompol. Apa kalian tidak melihat
semua keanehan mengerikan yang ada di bawah sana?! Siapa adanya kakek teleng
bercaping itu? Tukang jaga atau pemilik Kincir Hantu itu…?" Yang bicara
adalah Si Setan Ngompol.
Wiro
garuk kepalanya. "Kincir itu berputar karena arus air yang datang dari
sebelah kanan. Air dicurahkan ke saluran di sebelah kiri. Kincir biasanya untuk
mengairi pesawahan. Tapi aku tidak melihat sawah atau ladang di sekitar sini.
Lalu ke mana air itu perginya, untuk apa…? Dan ini yang gila! Empat belas mayat
yang sudah jadi jerangkong bergeletakan di halaman rumah kincir. Semua
jerangkong tidak memiliki kaki. Putus seperti ditebas sesuatu…."
"Kurasa
kakek di atas atap itu yang membunuhi semua orang itu! Lihat saja dia sengaja
menancapkan bendera kuning di atas rumah kincir. Bukankah bendera kuning tanda
perkabungan, tanda kematian?!"
"Lebih
baik kita tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak bisa menahan kencing!"
kata Setan Ngompol sambil menepuk bahu Wiro.
"Tunggu
dulu!" kata Naga Kuning. "Dari sikapnya kakek itu seperti menunggu
seseorang…."
"Mungkin
menunggu korban berikutnya," menyahuti Wiro. "Semua korban berkaki
putus. Jika memang hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk dada atau perut
atau menabas lehernya? Sungguh aneh…. Kek, sebaiknya kita tunggu agar bisa
melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi di tempat angker Ini!"
"Kalau
begitu biar aku turun. Kalian mau menunggu sampai tujuh hari tujuh malam
silahkan saja! Aku tidak mau ikut-ikutan!" kata si kakek. Lalu dia
menggeser kakinya, siap hendak melompat turun. Namun niatnya ini jadi urung
ketika mendadak satu bayangan berkelebat disertai seruan keras.
"Lateleng!
Aku datang untuk menjajal kehebatan Kincir Hantumu!"
Sesaat
kemudian seorang lelaki gagah, berjanggut dan berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan
topi tinggi merah seperti tarbus tahu-tahu sudah tegak di halaman di depan
rumah kincir. Matanya menatap ke arah kakek bercaping lalu berpaling
memperhatikan kincir besar yang berputar dengan suara gemuruh.
Di atas
atap rumah kincir kakek teleng berdiri lalu buka capingnya dan menjura memberi
hormat pada orang yang tegak di halaman.
"Wahai
kerabat yang datang! Aku rasa-rasa mengenal dirimu! Tapi dari pada kesalahan
menduga sebaiknya kau suka memberi tahu siapa nama atau gelarmu!"
Orang di
depan rumah kincir usap janggutnya, permainkan sebentar ujung kiri kumis
lebatnya lalu menjawab.
"Aku
Lakerashati. Orang di Latanahsilam menyebutku Si Hati Baja! Apakah keteranganku
cukup bagimu wahai Lateleleng?"
"Lakerashati!
Bergelar Si Hati Baja! Sungguh satu kehormatan kau mau mendatangi tempat
burukku ini! Mendengar seruanmu tadi, apa benar kau berniat hendak menjajal
kehebatan Kincir Hantu milikku ini?"
Si Hati
Baja angkat tangan kanannya dan menjawab. "Itu yang aku inginkan! Tetapi
apakah imbalan seperti yang dikabarkan orang itu memang benar adanya? Aku tidak
mau tertipu! Aku tidak mau menjadi korban karena ketololan seperti orang-orang
ini!" Si Hati Baja memandang seputar halaman dimana berkaparan empat belas
jerangkong. Dalam hati dia berkata. "Jerangkongjerangkong ini sepertinya
tidak membusuk lebih dulu. Ada sesuatu yang membuat mereka bisa langsung jadi
tulang belulang seperti ini!"
Di atas
atap rumah kincir kakek bernama Lateleng tertawa mengekeh. "Aku Lateleng
seumur hidup tak pernah berdusta! Siapa saja yang sanggup berdiri selama tiga
kali putaran di atas Kincir Hantu akan menerima hadiah sebuah kitab berisi ilmu
kesaktian yang sanggup membuat seseorang memanggil dan memelihara tujuh macam
Jin. Inilah kitabnya!"
Dari
balik capingnya kakek teleng itu lalu keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun
yang sangat liat. Bagian depan kitab itu ada tulisan berbunyi "Kesaktian
Menguasai Tujuh Jin." Kitab itu diacungkannya ke arah Si Hati Baja lalu
dimasukkannya kembali ke balik
caping.
"Tetapi sesuai dengan syarat yang sudah kutentukan! Segala akibat menjajal
Kincir Hantu adalah menjadi tanggung jawab sendiri! Wahai Si Hati Baja, apakah
kau menerima syarat itu?"
"Aku
menerima!" jawab Si Hati Baja.
"Kuharapkan
kakimu benar-benar sekuat baja! Kudoakan agar kau bisa berdiri di atas Kincir
Hantu selama tiga kali putaran! Namun ada satu syarat lagi! Ketahuilah siapa
saja yang ingin menjajal kehebatannya di atas Kincir Hantu sedikitnya harus
berusia enam puluh tahun’. Berapakah usiamu wahai Hati Baja?"
"Hampir
delapan puluh tahun!"
Lateleng
tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Kejadian itu empat puluh tahun silam.
Berarti ada kemungkinan dia memiliki benda itu!"
"Aneh!
Mengapa kakek itu pakai menanya usia segala? Seperti sayembara saja!" kata
Naga Kuning yang mendekam di atas pohon bersama Wiro dan Si Setan Ngompol.
"Hati
Baja, apakah kau sudah siap?!" Dari atas atap terdengar suara Lateleng
bertanya.
"Aku
sudah siap dari tadi!" jawab Lakerashati alias Si Hati Baja.
"Bagus!"
Lateleng tertawa mengekeh. Dia sedot pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap
merah. Tanpa menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang menancap di atas
atap. Capingnya kembali diletakkan di atas kepala. Bendera kuning itu
diacungkannya ke atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas
kincir! Pada saat kincir berputar dan bendera kuning berada di bagian paling
atas, kau harus melompat ke atas kincir. Kau harus bertahan sampai bendera
kuning mencapai bagian atas kincir sebanyak tiga kali! Jika kau mampu melakukan
itu maka kau akan mendapatkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin!"
Si Hati
Baja tertawa jumawa. "Baru tiga kali putaran. Tiga puluh putaran pun aku
sanggup!"
Lateleng
tertawa lebar. "Ucapanmu membuat aku kagum wahai Hati Baja! Bisakah kita
mulai sekarang?!"
"Dengan
segala hormat!" jawab Si Hati Baja seraya sunggingkan senyum dan sedikit
tundukkan kepala.
"Lihat
bendera!" seru Lateleng dari atas atap.
Tangannya
yang memegang bendera bergerak. Bendera kuning melesat ke bawah lalu menancap
di pinggiran kayu yang merupakan roda kincir. Karena kincir berputar ke kiri
maka bendera ikut berputar ke jurusan yang sama. Sesaat kemudian bendera kuning
itu lenyap di sebelah kiri. Tak lama berselang muncul lagi di sebelah kanan dan
ikut naik ke atas sesuai putaran kincir. Sesaat sebelum putaran kincir
mengantar bendera kuning ke bagian paling tinggi, Lateleng berseru.
"Hati
Baja! Sekarang!"
*********************
2
LAKERASHATI
alias Si Hati Baja gentakkan kaki kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya
melesat enteng ke udara dan jatuh tegak tepat di belakang bendera kuning yang
menancap di roda kincir yang berputar. Karena roda berputar, agar dia tetap
bisa bertahan di atas kincir maka Si Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas
kepingankepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan mengantar air dan
sengaja menghadap ke jurusan berlawanan dari arah putaran kincir. Sambil
tertawa-tawa Si Hati Baja melakukan hal itu. "Pekerjaan begini mudah! Anak
kecil yang baru belajar ilmu silat kampunganpun sanggup melakukannya!"
katanya dalam hati.
Tak
selang berapa lama bendera kuning kelihatan muncul di hadapan lelaki bertopi
merah tinggi itu, borgerak di atas roda kincir, mendekati sepasang kaki Si Hati
Baja yang berlari-lari kecil.
"Satu!"
teriak Lateleng dari atas atap.
Si Hati
Baja mendongak ke atas dan menyeringai.
Lateleng
cabut pipanya dari sela bibir. Lalu dengan ujung pipa diketuknya pinggiran
kincir. Putaran kincir yang tadi bergerak tidak terlalu cepat kini berubah
kencang dan mengeluarkan suara bergemuruh. Untuk mengimbangi Hati Baja
mempercepat larinya, hingga walau kincir bergerak lebih cepat dia masih tetap
berada di atas kincir tanpa kesulitan apa-apa.
Di atas
pohon berdaun rimbun di seberang halaman rumah kincir Wiro, Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol memperhatikan semua kejadian itu tanpa bergerak tanpa bersuara.
Mereka masih terheran-heran apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Hanya untuk
mendapatkan sebuah buku aneh, seseorang diuji kepandaiannya begitu mudah. Lalu
kalau cuma itu yang dilakukan mengapa ada empat belas mayat berkaki buntung
berkaparan di halaman sana?! Keanehan apa sebenarnya yang tersembunyi di balik
kaki-kaki buntung itu?! Lalu mengapa kincir itu dinamakan Kincir Hantu?
Bendera
kuning muncul untuk ke dua kalinya disisi kanan kincir raksasa. Begitu sampai
di hadapannya, seperti tadi Lateleng sedot pipanya, kepulkan asap merah lalu
cabut pipa itu dan ketukkan ke pinggiran kincir begitu bendera kuning sampai di
putaran tertinggi.
"Dua!"
berseru kakek kepala teleng itu.
Kincir
raksasa bergemuruh lebih keras dan putarannya juga semakin cepat. Tanah halaman
bahkan sampai pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya berada bergetar
keras.
"Gila!
Apa yang terjadi!" Kakek berjuluk Si Setan Ngompol pegangi bagian bawah
perutnya yang mendadak basah karena tak dapat menahan kencing.
Di atas
kincir yang berputar Si Hati Baja tetap tenang. Masih tersenyum-senyum dia
percepat gerakan kakinya untuk mengimbangi dan menjaga agar dia tetap berada di
sebelah atas kincir.
"Kek,
kalau cuma begitu-begitu saja kukira kau bisa menjajal Kincir Hantu itu…."
kata Naga Kuning pada Si Setan Ngompol. "Cuma sayang, kau sudah keduluan
orang memakai tarbus merah itu!"
Setan
Ngompol diam saja karena masih tegang memegangi bagian bawah perutnya. Wiro
memperhatikan semua yang terjadi di depannya tanpa berkesip. Sudut matanya
melihat bendera kuning untuk ke tiga kalinya muncul di sisi kincir sebelah
kanan.
"Putaran
ke tiga…. Orang bertopi merah agaknya segera akan mendapatkan kitab sakti
itu!" Naga Kuning kembali berkata dengan suara perlahan.
Si Hati
Baja menyeruakkan senyum ketika dia melihat bendera kuning untuk kali ke tiga
berputar ke arah tempatnya berlari di tempat di atas roda kincir.
Dia
mempercepat larinya dan menjaga keseimbangan kaki serta tubuh.
"Lateleng!
Sebentar lagi kau harus menyerahkan kitab sakti itu padaku! Ternyata Kincir
Hantumu yang digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha… ha… ha!" Si
Hati Baja tertawa bergelak.
Kakek
bercaping di atas atap rumah ikut-ikutan tertawa lalu sedot pipanya
dalam-dalam.
"Aku
siap menyerahkan kitab sakti ini padamu wahai Hati Baja!" kata si kakek
seraya tepuk capingnya, di bawah mana dia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai
Tujuh Jin. "Tapi harap kau sedikit bersabar, menunggu sampai bendera
kuning mencapai putaran sebelah atas!"
SI Hati
Baja menyeringai. Hatinya girang sekali karena bendera kuning hanya tinggal
satu langkah didepannya. Begitu dia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu
lewat di bawahnya maka rampunglah putaran ke tiga. Diam-diam tangan kanannya
dialiri tenaga dalam sambil membatin. "Kalau kakek ini menipuku, akan
kuhantam dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."
Bendera
kuning sampai di depan kaki Si Hati Baja. Dia siap untuk melompat. Tapi
tiba-tiba di atas atap kakek kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan
dengan itu Kincir Hantu mengeluarkan suara dahsyat. Di antara gemuruh yang
menegakkan bulu roma itu terdengar suara aneh berkepanjangan.
"Clak…
clak… clak…!"
Pantulan
sinar putih membersit dari pinggiran roda kincir, membuat dua mata Hati Baja
sakti silau. Dia bermaksud mengusap matanya dengan tangan kiri. Namun belum
kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi langit mengumandang keluar dari mulutnya.
Dari bawah kakinya kelihatan darah menyembur! Saat itu juga sosok Si Hati Baja
seperti terlempar setinggi dua tombak ke udara lalu jatuh bergedebukan di tanah
halaman di depan rumah kincir. Dua potong benda menyusul jatuh ke tanah! Air
yang mengalir di sisi kiri kincir raksasa tampak berubah merah!
"Astaga!
Apa yang terjadi!" ujar Naga Kuning, lalu cepat-cepat tekap mulutnya
karena sadar kalau-kalau suaranya terdengar sampai ke atap sana.
Si Setan
Ngompol picingkan dua matanya yang belok jereng. Dua tangan langsung pegangi
bawah perutnya yang kembali mengucur tak karuan!
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk kepalanya. "Gusti Allah!" Dia mengucap.
"Sepasang kaki orang itu!"
Di atas
atap kakek bernama Lateleng tegak berdiri, membuka capingnya dan menjura ke
bawah, ke arah Si Hati Baja yang terkapar di tanah, mengerang sambil
menggeliat-geliat.
"Wahai
Hati Baja, ternyata kakimu tidak terbuat dari baja! Kau tidak mampu mencapai
tiga kali putaran. Sayang… sayang sekali!" "Manusia jahanam! Kau
menipuku!" teriak Si Hati Baja.
"Aku
menipumu katamu?Tipuan apa yang kulakukan padamu?!" tanya si kakek sambil
tenggerkan kembali capingnya di atas kepala.
"Apa
yang kau sembunyikan di permukaan kincir jahanam itu!" Si kakek
geleng-gelengkan kepala lalu berkata. "Jangan berpikir, apa lagi menuduh
yang bukan-bukan
wahai
Hati Baja! Seharusnya kau berhati polos. Mengakui kau tidak mampu berdiri
selama tiga kali putaran di atas kincirku!"
"Bangsat
tua?! Aku…."
Tubuh Si
Hati Baja mendadak menggigil lalu kelojotan. Dia coba kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di atas atap dengan
satu pukulan sakti. Namun dia tak punya kemampuan mengangkat tangan. Sementara
dua kakinya yang kini buntung sebatas pergelangan tersentaksentak.
Di atas
atap Lateleng tertawa mengekeh. Sekali dia mengenjot dua kaki maka seperti
seekor burung besar tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak tepat di
samping sosok Si Hati Baja.
"Hati
Baja… Hati Baja, wahai! Nasibmu malang amatl Akan kulihat apakah kaju memang
membekal benda yang aku cari?!"
Habis
berkata begitu si kakek sedot pipanya dalamdalam. Begitu mulutnya penuh dengan
asap merah, asap itu lalu disemburkannya ke sekujur tubuh si Hati Baja mulai
dari kepala sampai ke kaki yang buntung. Juga pada dua potong kaki Si Hati Baja
yang tergeletak tak jauh dari situ. Hal itu dilakukannya sampai tiga kali.
Di atas
pohon Wiro dan dua kawannya kembali tersentak kaget ketika menyaksikan apa yang
terjadi.
"Lihat!"
kata Wiro dengan muka pucat seraya menunjuk ke halaman sana. "Sosok lelaki
berjanggut itu berubah menjadi jerangkong putih!"
Naga
Kuning melongo seperti tak percaya. Kakek Si Setan Ngompol cepat-cepat
palingkan muka tak berani memandang. Namun tak urung kencingnya sudah mengucur!
Wiro dan
Naga Kuning terus memperhatikan. Kakek kepala teleng melangkah lebih dekat ke
sosok Si Hati Baja yang telah berubah menjadi tulang belulang. Lalu dia
membungkuk. Mengangkat kaki kiri orang itu. Si kakek tampak gelengkan kepala.
Kaki yang barusan dipegangnya dilepas begitu saja. Kini dia mengangkat kaki
kanan yang buntung. Seperti tadi dia kelihatan seperti memeriksa ke dalam
rongga tulang kaki itu lalu kembali mencampakkannya. Kini dia memungut dua
kutungan kaki Si Hati Baja. Memeriksa dan membalikbalikkannya.
"Kurang
ajar! Aku tidak menemukan benda yang kucari! Lagi-lagi sialan!" Dua kaki
buntung yang kin! hanya merupakan tulang putih itu dibantingkannya ke tanah
hingga menancap amblas sampai setengahnya!
Dengan
penuh perasaan jengkel Lateleng tegak berkacak pinggang. Di bawah caping
sepasang matanya memandang tajam ke arah pohon besar. Dia tidak melihat
apa-apa, kecuali tetesan-tetesan air yang jatuh dari sela-sela daun.
"Hemmmmm….
Tak ada hujan tak mungkin ada embun. Mengapa ada air menetes dari atas
pohon?" Si kakek bergumam. Dia putar badannya lalu melesat ke atas atap
rumah kincir. Dia menunggu sampai roda kincir yang berputar mengantar bendera
kuning ke atas. Begitu sampai di atas, bendera ini dicabutnya lalu
ditancapkannya di tempat semula yakni di atas atap. Sekali lagi matanya memandang
tajam ke arah pohon besar di seberang halaman.
Pendekar
212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan si kakek Setan Ngompol terkesiap kaget dan
serasa terbang nyawa masing-masing ketika mendadak dari atas atap si kakek
teleng berseru.
"Tiga
makhluk yang sembunyi di atas pohon! Sllahkan turun ke tanah perlihatkan diri!
Siang bolong begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!"
"Celaka!
Kakek itu sudah tahu kita sembunyi disini!" kata Naga Kuning.
"Bagaimana
dia bisa tahu…." kata Setan Ngompol masih tetap berpaling dan dengan suara
serta tubuh gemetaran.
Wiro
memandang berkeliling. Daun-daun pohon besar dimana mereka bersembunyi sangat
lebat. Sekalipun kakek itu tadi berada di halaman bawah sana sulit baginya
untuk melihat Namun! Pandangan Wiro membentur pada sehelai daun yang
bergoyang-goyang karena kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas. Wiro mengurut
pandangannya ke atas. Matanya sampai pada sosok Si Setan Ngompol yang basah di
bagian bawah.
"Sial!
Kek, kau yang membuat apes!" kata Wiro. "Eh, mengapa aku yang kau
salahkan?!" jawab Si Setan Ngompol seraya pelototkan matanya yang jereng.
Wiro tak sempat berdebat karena saat itu Naga Kuning berteriak. "Awas!
Kakek itu menyerang kita!"
*********************
3
PENDEKAR
212 dan Si Setan Ngompol palingkan kepala ke arah rumah kincir. Benar apa yang
diteriakkan Naga Kuning. Dari jurusan bangunan tersebut, sementara kincir hantu
masih terus berputar menggemuruh, kelihatan menyambar tiga buah benda sebesar
kepalan, berbentuk bulat merah. Selagi melayang di udara, tepat di atas halaman
di depan rumah kincir, tiga benda itu berpijar terang lalu meletus keras dan
berubah bentuk.
Kalau
tadi merupakan tiga buah bola-bola merah muka kini menjadi larikan asap
berwarna merah dan membeset ke arah tiga jurusan yang semuanya mengarah ke
pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya bersembunyi. Jelas tiga larikan
asap merah itu satu persatu di arahkan pada Pendekar 212, Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol.
"Lompat!"
teriak Wiro.
Tiga
sosok berkelebat jungkir balik dari atas pohon, melompat ke tanah. Begitu
injakkan kaki di tanah Wiro berguling sampai beberapa tombak, menjauh dari
pohon besar. Hal yang sama dilakukan pula oleh si Setan Ngompol dan Naga
Kuning.
"Wusss!"
"Wusss!"
"Wusss!"
Tiga larik asap merah melabrak pohon besar.
Semula
Wiro dan kawan-kawannya mengira pohon besar itu akan segera hancur berantakan
atau dilalap kobaran api. Ternyata tidak. Apa yang mereka saksikan membuat
mereka jadi merinding. Pohon besar itu kini berubah menjadi pohon mati yang
walau masih tegak tapi berada dalam keadaan memutih mulai dari ujung ranting
sampai ke akar yang tersembul di atas tanah! Dapat dibayangkan apa yang terjadi
dengan Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kalau sampai kena dihantam oleh
tiga larik asap merah itu! Mereka bisa berubah menjadi jerangkong seperti yang
tadi mereka saksikan apa yang terjadi dengan diri Si Hati Baja!
Setan
Ngompol megap-megap seperti orang mau tenggelam. Di atas matanya melotot besar
sedang di bawah kencingnya mancur tidak ketolongan!
"Tua
bangka kepala teleng itu! Dia hendak menjadikan kita tulang belulang alias
jerangkong! Aku nekad untuk menghajarnya!" Lalu kakek ini kerahkan seluruh
tenaga dalamnya ke tangan kanan, siap menghantam dengan pukulan bernama Setan
Ngompol Mengencingi Bumi. Padahal saat itu celananya sudah basah kuyup di
sebelah bawah!
"Aku
juga!" berseru Naga Kuning. Bocah yang sebenarnya adalah kakek berusia
seratus tahun lebih ini angkat tangan kanannya. Lima jari ditekuk seperti mau
mencengkeram. Tangannya perlahan-lahan berubah menjadi kebiruan. Naga Kuning
hendak melepas satu pukulan sakti bernama Naga Murka Merobek Langifl. Selama
ini jarang sekali bocah ini keluarkan pukulan sakti tersebut. Ini satu pertanda
bahwa dia benar-benar marah.
"Tahan!"
Pendekar 212 cepat berseru lalu cepat melompat ke hadapan dua orang itu,
menghalangi gerakan mereka.
"Apa-apaan
ini?!" teriak Naga Kuning.
"Kau
sudah gila? Mau mampus dimakan seranganku?!" membentak Si Setan Ngompol.
"Sahabatku,
harap kalian bersabar. Jangan berlaku nekad! Kalau diturutkan hawa amarah,
sudah tadi-tadi aku mendahului kalian menghajar kakek di atas atap itu! Kita
bertiga dia sendirian masakan kita bisa kalah! Tapi kalau sampai kakek itu bisa
lolos dari hantaman kita dan balas menyerang, kita bisa celaka. Kepandaiannya
sulit diukur! Biar aku bicara dulu! Kalian berdua berjaga-jaga! Naga Kuning,
kuharap kau mau mengeluarkan kesaktianmu yang bernama Naga Hantu Dari Langit Ke
Tujuh. Ingat dulu bagaimana Hantu Tangan Empat setengah mati ketakutan melihat
Ilmumu itu?"
Naga
Kuning mengangguk perlahan.
"Akan
aku lakukan Wiro," katanya. "Tapi jika kau keburu mati duluan
dihantam kakek teleng itu jangan salahkan diriku!"
Wiro
berbalik lalu melangkah ke tengah lapangan. Naga Kuning dan Setan Ngompol
mengikuti di kiri kanannya. Sampai di tengah lapangan murid Sinto Gendeng
hentikan langkah lalu lambaikan tangan kirinya ke arah kakek teleng di atas
atap. Tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam setiap saat siap melepaskan
Pukulan Sinar Matahari.
,
"Orang tua di atas atap!" Wiro berseru. "Kami bukan seterumu!
Kami datang bukan mencari permusuhan! Kami datang bersahabat! Kami tiga
perantau jauh yang tertarik dan ingin melihat sendiri kehebatan Kincir Hantumu!
Mohon maaf jika kehadiran kami terasa mengganggumu!"
Lateleng
tidak segera menjawab. Dari bawah capingnya dia pandangi tiga orang itu. Dia
hisap pipanya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap merah ke udara kakek ini
lalu tertawa mengekeh.
"Tiga
perantau asing! Datang dari jauh! Wahai! Sungguh hebat! Yang satu berambut
gondrong pandai bicara! Satunya lagi bocah ingusan berlagak orang gagah! Yang
terakhir kakek-kakek yang mengencingi pohon rindangku! Apa itu namanya
kedatangan yang bersahabat?"
"Mohon
maatmu orang tua! Kakek sahabatku ini punya penyakit suka ngompol!"
menjelaskan Wiro.
"Apa
itu ngompol?!" tanya Lateleng tidak mengerti.
"Suka
kencing tak karuan karena per di selangkangannya sudah dol!" menjawab
Naga Kuning.
Lateleng
geleng-gelengkan kepala. Dia menuding ke arah Pendekar 212. "Kau tadi
bilang ingin melihat sendiri Kincir Hantuku! Hemmm…. Berarti kalian hendak
mencoba menjajal kincirku. Rupanya masih ada makhluk yang lebih tolol dari pada
manusia berjuluk Hati Baja yang sudah mampus dan kini tinggal jerangkong
itu!"
Setan
Ngompol terus saja mengucur air kencingnya mendengar ucapan Lateleng itu.
"Maaf
Kek! Maksud kami bukan itu…!"
"Kau
gondrong, masih muda! Juga kawanmu yang belia itu. Belum cukup umur untuk
menjajal Kincir Hantu. Tinggal tua bangka yang satu itu. Harap kenalkan diri!
Apa kau sudah siap untuk menjajal Kincir Hantuku dan mengharap imbalan kitab
Kesaktian Menguasai Tujuh Jin?!"
Setan
Ngompol cepat gelengkan kepala dan goyanggoyangkan ke dua tangannya. Di
sebelah bawah semakin keras kucuran air kencingnya!
Sementara
itu Kincir Hantu mulai bergerak perlahan dan akhirnya berhenti.
"Orang
tua di atas atap," Wiro cepat menjawab. "Kami bertiga, apa lagi kakek
sahabatku ini mana berani bertindak congkak menjajal kehebatan kincirmu! Terus
terang kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada maksud untuk
menjajalnya!"
Kakek
teleng cuma menyeringai sinis mendengar ucapan Wiro.
"Kalau
kau tidak bermaksud, wahai! Bagaimana sekarang kalau aku yang
mengundang?!" ujar Lateleng pula lalu membuka capingnya dan menjura kearah
Si Setan Ngompol.
"Tidak….
Jangan! Maafkan aku! Maafkan kami bertiga!" kata Setan Ngompol dengan muka
pucat.
"Aku
tidak punya kepandaian apa-apa. Aku dan kawankawan akan segera meninggalkan
tempat ini. Kami mohon maafmu. Kami segera pergi…." Si Setan Ngompol cepat
balikkan diri.
"Tunggu!"
Lateleng membentak. "Dua kawanmu yang belum cukup umur itu boleh pergi.
Tapi kau yang bau kencing kuda harus tinggal di tempat! Jangan berani bergerak
apa lagi melangkah!"
"Celaka!
Mati aku!" keluh Si Setan Ngompol dan serrr…. Air kencingnya semakin
banyak tumpah membasahi celananya yang memang sudah kuyup!
"Orang
tua!" seru Wiro. "Kami tidak punya niat melayanimu. Kau bisa menunggu
lain orang saja. Mohon maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!"
"Pemuda
gondrong banyak cakap! Kalau begitu biar kau yang kuundang naik ke atas kincir
ini! Hari ini aku mencabut aturan bahwa hanya orang berusia paling rendah enam
puluh tahun saja yang boleh menjajal kehebatan Kincir Hantu!"
Wajah
murid SintoGendeng jadi berubah. Tangan kirinya pulang balik menggaruk kepala.
"Maaf Kek! Lain kali saja aku penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih
ada keperluan lain. Kami sudah cukup puas sudah melihat kincirmu yang
hebat!"
"Mana
bisa begitu!"Kakek diatas atap meradang "Berani kau bergerak satu langkah,
nyawamu tertolong! Kecuali jika kau mau mengaku kau adalah manusia paling
pengecut dan tidak berani menerima tantangan orang!"
Terbakarlah
darah Pendekar 212 mendengar ucapan si kakek. Namun masih bersabar dan sambil
menyeringai dia menjawab. "Terserah kau mau bilang apa! Aku tidak berminat
melayani undanganmu!"
"Wiro,"
kata Naga Kuning. "Biar aku saja yang melayani kakek sombong kepala teleng
itu! Kalau dia masih banyak mulut akan kuhantam dengan pukulan Naga Hantu dari
Langit Ke Tujuh!"
"Ha…
ha! Bocah ingusan itu ternyata lebih punya nyali dari padamu pemuda perantau
berambut gondrong! Sungguh memalukan!" Dari atas atap kakek bercaping
berteriak mengejek lalu tertawa mengekeh.
"Kakek
kepala teleng! Aku terima tantanganmu!" teriak Wiro. Kesabarannya buyar.
Dia terpancing. Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat memberi ingat tapi sang
pendekar sudah melesat ke atas dan di lain kejap sudah berdiri di atas roda
kincir.
Begitu
berada di atas kincir Wiro cepat perhatikan roda yang berputar. Memeriksa. Dia
tidak melihat hal-hal yang mencurigakan. Semua bagian roda itu seperti kincir
biasa adanya, terbuat dari kayu besi berwarna kehitaman. Tak ada sesuatu yang
berbentuk benda tajam terbuat dari logam. Lalu benda apa yang telah menabas
putus sepasang kaki Si Hati Baja?! Serta juga kaki-kaki empat belas orang
lainnya itu tentunya?! "Celaka! Aku punya firasat dia bakal mendapat
celaka besar!" kata Si Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.
Naga Kuning walau tidak menjawab tapi diam-diam bocah ini merasa sangat
khawatir. Dia memberi isyarat pada kakek bermata jereng itu. Ke dua orang ini
segera menyiapkan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi di tangan kanan
masing-masing. Jika terjadi sesuatu dengan Wiro mereka langsung akan menghantam
kakek bercaping di atas atap. Diatas atap Lateleng tegak berdiri, buka
capingnya membungkuk menjura."Orangmuda! Apakah kau sudah siap?!"
“Kau boleh mulai!" jawab Wiro. Tapi matanya masih memperhatikan roda
kincir. "Gila! Tidak ada apa-apanya “ kata Wiro dalam hati. "Aku yakin
keparat kepala teleng ini menyembunyikan sesuatu!"
Lateleng
tersenyum. Dia melirik ke tangan kanan wiro lalu sambil berkata. “Tangan
kananmu bergetar halus. Bukankah itu satu pertanda bahwa kau tengah mengerahkan
tenaga dalam?” “Matamu tajam! jawab Pendekar 212 sambil menahan rasa kaget
karena tidak menyangka kakek kepala teleng itu tahu apa yang tengah
dilakukannya. “Terus terang aku tidak percaya padamu! Aku harus menjaga segala
kemungkinan. Apa kau takut?!"
Lateleng
tertawa lebar. "Aku penguasa tunggal di tempat ini! Kincir Hantu adalah
milikku! Sebenarnya kau yang takut! Kalau tidak mengapa menyiapkan pukulan
sakti untuk menyerang?!"
"Orang
tua! Dari tadi kau bicara saja! Kapan akan mulai!" Menantang Pendekar 212
Wiro Sableng.
Si kakek
kembali menjura. "Dengan segala senang hati! Kita akan mulai sekarang!
Jika kau bisa bertahan di atas kincir sebanyak tiga kali putaran, kitab
Kesaktian Menguasai Tujuh Jin jadi milikmu!"
"Aku
tidak butuh segala kitab begituan!" jawab Wiro. "Aku ingin membuat
perjanjian denganmu!"
"Oohooo!
Apa yang ada dalam benakmu wahai pemuda dari rantau jauh?!" tanya si kakek
teleng. Untuk pertama kalinya sepasang matanya kelihatan membeliak.
"Jika
aku sanggup bertahan sampai tiga kali putaran, Kincir Hantu ini menjadi
milikku! Kau boleh angkat kaki dari sini!"
Orang tua
di atas atap tertawa bergelak. "Kau cerdik tapi licik!"
"Jadi
kau takut menerima permintaanku?!"
"Wahai!
Siapa bilang! Kau terlalu takabur anak muda! Itu berarti separuh dari nyawamu
sudah kau berikan padaku! Ha… ha… ha!" Lateleng cabut bendera kuning di
atas atap lalu ditancapkannya di kayu roda kincir. Bersamaan dengan itu kincir
raksasa itu keluarkan suara menderu dan mulai bergerak ke kiri! Di halaman di
bawah sana Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan dengan penuh tegang.
*********************
4
KETIKA
kincir mulai bergerak dan berputar ke kiri Pendekar 212 segera berlari-lari
kecil ke arah berlawanan. Setiap ke dua kakinya menjejak kayu roda, dia
kerahkan tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol kayu kincir untuk
melihat apa yang tersembunyi di sebelah bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu
atos sekali!
Selagi
Wiro mencari akal apa yang harus dilakukannya tiba-tiba kakek teleng ketukkan
pipanya kepinggiran kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir
bergetar lalu menggemuruh berputar lebih cepat.
Di
sebelah depannya Wiro melihat bendera kuning bergerak menuju ke arahnya lalu
lewat di bawah ke dua kakinya. Wiro melirik tajam pada si kakek, memandang ke
bawah ke arah dua temannya lalu kembali memperhatikan kincir yang berputar
semakin cepat, membuat dia harus berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian
bendera kuning muncul kembali untuk ke dua kalinya. Kincir berputar semakin
kencang. Dengan Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya Pendekar 212 tidak
perlu merasa khawatir akan kehilangan keseimbangan bagaimanapun cepatnya kincir
itu berputar. Malah seenaknya pemuda konyol ini berlari melompat-lompat di atas
kincir sambil bersiul-siul kecil. Namun karena dia masih belum dapat memecahkan
teka teki atau rahasia yang tersembunyi di balik keangkeran kincir itu tetap
saja hatinya merasa tidak enak.
"Pemuda
konyol sombong!" Kakek bercaping mendumal dalam hati. "Sekarang kau masih
bisa bersiul-siul. Sebentar lagi baru kau tahu rasa!"
"Dua!"
berteriak Lateleng. Seperti tadi kembali dia ketukkan pipanya ke pinggiran roda
kincir. Kincir itu sekali lagi bergetar keras diantara suara gemuruhnya. Si
kakek balikkan capingnya dan perlihatkan pada Wiro kitab Kesaktian Menguasai
Tujuh Jin. "Kurang dari satu putaran lagi anak muda! Kitab ini akan jadi
milikmu!"
Wiro
tidak perdulikan ucapan si kakek. Sambil berlari sepasang matanya terus
memperhatikan kincir yang berputar. Di langit sang surya bersinar terik. Di
sebelah depan bendera kuning muncul untuk kali ke tiga! Wiro mendadak merasa
tambah tegang. Di halaman rumah kincir Naga Kuning dan Setan Ngompol
memperhatikan tidak berkesip. Bergerak dari sisi kanan menuju ke kiri,
mendekati dua kaki Pendekar 212!
Lateleng
sedot pipanya dalam-dalam. Lalu pipa dicabut dan diketukkan ke pinggiran
kincir.
"Tiga!"
berseru kakek kepala teleng itu.
Kincir
Hantu menggemuruh dahsyat seolah di situ memang ada puluhan hantu yang tengah
menggereng marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak tegang. Mereka memandang
penuh tegang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Si kakek
sudah tidak memegangi bagian bawah perutnya lagi. Percuma saja. Dalam keadaan
sangat tegang seperti itu dipegangpun kencingnya tetap mengucur tak
berkeputusan. Wiro sendiri berusaha menguasai diri. Matanya memperhatikan
keadaan penuh waspada. Dadanya bergetar ketika kemudian dari bagian bawah roda
kincir sebelah kanan bendera kuning menyembul muncul dan bergerak cepat ke
arahnya!
Lateleng
kembali acungkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin sambil berseru.
"Wahai anak muda! Kau hebat sekali! Kitab ini agaknya memang berjodoh
denganmu!"
Wiro
tidak perdulikan seruan orang. "Kakek itu sepertinya sengaja hendak
mengalihkan perhatianku!" Membatin Pendekar 212.
Hanya
satu langkah lagi bendera kuning akan lewat di bawah dua kaki Wiro tiba-tiba
terdengar suara aneh berkepanjangan.
"Clak…
clak… clak!"
"Suara
aneh itu!" seru Naga Kuning tercekat. Dia Ingat betul. Suara seperti itu
terdengar sebelum dua kaki Si Hati Baja terpapas buntung! Berarti Wiro berada
dalam bahaya.
"Wiro!
Awas! Kakimu!" teriak Naga Kuning.
Murid
Eyang Sinto Gendeng memang sudah memasang telinga dan berlaku waspada sejak
tadi-tadi. Namun dia tidak tahu apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba
dari arah pinggiran roda kincir membersit sinar putih menyebabkan Pendekar 212
kesilauan dan untuk sesaat tidak dapat melihat apa-apa lagi. Sambaran sinar
putih menyilaukan ini juga melesat secara aneh ke arah Naga Kuning dan Setan
Ngompol. Ke dua orang ini berseru kaget dan terpaksa lindungi mata dengan
tangan masing-masing.
"Aku
tidak dapat melihat apa-apa!" seru Naga Kuning.
"Aku
juga! Aneh, sinar menyilaukan itu membuat kencingku terasa lebih panas! Anuku
sampai bergeletar!" menyahuti Setan Ngompol dengan mata terjereng-jereng.
Di atas
roda kincir Pendekar 212 berseru kaget ketika mendadak dua kakinya terasa
sangat berat. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga berusaha melompat, dia hanya
mampu mengangkat kakinya ke atas sejarak seujung kuku!
"Celaka!
Apa yang terjadi!" Wiro kerahkan tenaga dalam. Terbayang olehnya apa yang
terjadi dengan Si Hati Baja.
"Clakk!"
Tanpa
terlihat oleh Pendekar 212 yang masih kesilauan, sebuah benda putih menyilaukan
menderu memapas ke arah kaki kanannya.
Saat
itulah tiba-tiba terjadi satu keanehan yang berlangsung sangat cepat. Satu
tangan menyambar ke bawah, merangkul dada dan ketiak Wiro. Bersamaan dengan
itu tubuhnya terangkat ke atas. Wiro merasa seolah dibetot ke atas menembus
langit. Ketika dua matanya bisa melihat wajar kembali, dia dapatkan dirinya
tergolek dan berada di satu tempat di balik serumpunan semak belukar. Sepasang
mata sang pendekar terpentang lebar ketika melihat siapa yang tegak di
hadapannya.
Murid
Sinto Gendeng segera melompat bangkit.
"Luhrinjani…"
desis Pendekar 212. Belum lagi habis rasa tegangnya atas apa yang barusan
dialaminya di atas sana, kini tengkuknya jadi merinding. Karena dia tahu sosok
yang ada di hadapannya saat itu sebenarnya telah mati beberapa waktu yang silam!
"Kau…!"
"
Kita tidak banyak waktu. Lekas tinggalkan tempat Ini sebelum kakek di atas
rumah kincir turun ke tanah lancarkan serangan. Kawan-kawanmu juga harus cepat
angkat kaki dari sini!"
"Tapi
bagaimana…."
Sosok
perempuan berwajah ayu, mengenakan pakaian panjang terbuat dari sebentuk sutera
putih, rambut tergerai lepas dan melambai-lambai ditiup angin perlihatkan wajah
tidak sabaran. Dengan tangan kirinya makhluk ini mencekal leher baju
Pendekar212. Sekali dia bergerak Wiro seolah diajak melayang terbang. Di dekat
pohon besar perempuan itu menukik menyambar Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luar
biasa sekali. Seperti menenteng tiga anak kucing, perempuan berpakaian putih
bergerak cepat seolah melayang.
Di atas
atap kincir kakek kepala teleng tidak tinggal diam. Dia cepat kenakan capingnya
di atas kepala lalu menggembor marah menyaksikan apa yang terjadi.
Tangan
kanannya digoyangkan tiga kali berturut-turut.
Tiga
larik asap merah menyambar ke bawah.
"Kita
serang!" teriak Naga Kuning yang pertama kali melihat datangnya tiga larik
asap merah itu. Si setan Ngompol mancur air kencingnya. Wiro yang sudah
menyaksikan keganasan asap merah serangan Kakek teleng itu segera menghantam
lepaskan pukulan Sinar Matahari.
"Bummm!
Bummm! Bummm!"
Tiga
dentuman dahsyat menggetarkan seantero tempat. Sosok perempuan berpakaian putih
bergoyang keras lalu melayang jatuh ke tanah, tapi tetap dalam keadaan tegak.
Wiro merasakan sekujur tangan kanannya berdenyut sakit dan kaku.
DI atas
atap rumah kincir Lateleng delikkan mata.
"Wahai!
Aku hanya melihat selarik sinar putih menyilaukan. Lalu ada hawa panas
menyambar. Tiga larik asap merahku buyar walau cahaya putih itu berhasil
dihancurkan. Wahai! Siapa yang menghantam! Perempuan jejadian itu atau pemuda
berambut gondrong?! Jahanam betul! Aku harus menyelidik ke bawah. Mengejar dan
membantai mereka semua!" Lalu seperti seekor alap-alap kakek itu terjunkan
diri dan melayang ke bawah.
"Kita
dikejar!" kata Naga Kuning setengah berteriak.
Wiro
kembali siapkan pukulan Sinar Matahari.
Perempuan
berpakaian putih cepat berucap." Kalian bertiga lekas tegak lurus-lurus.
Jangan bergerak, jangan bersuara. Jika kalian mengikuti apa yang kukatakan,
niscaya kakek itu tidak akan melihat kita!"
"Kakek
itu tidak buta! Siang bolong begini masakan dia tidak bisa melihat kita!"
ujar Naga Kuning. Seperti Wiro dia juga siapkan satu pukulan sakti di tangan
kanan.
"Wahai!
Jangan berlaku bodoh! Jika mau selamat ikuti ucapanku!" kata Luhrinjani
pula, perempuan berpakaian putih itu.
"Ikuti
saja apa yang dikatakannya…" bisik Wiro karena dia tahu perempuan
berpakaian putih itu bukan makhluk sembarangan tapi mayat hidup yang memiliki
kepandaian tinggi berkat pertolongan Para Peri Dari Langit Ke Tujuh. Hal ini
diketahuinya dari Lakasipo beberapa waktu lalu.
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol lalu tegak lurus-lurus, tidak bergerak dan tidak
bersuara. Hanya mata mereka saja yang jeialatan memperhatikan Lateleng. Kakek
pemilik Kincir Hantu ini begitu menjejakkan kaki di halaman luas segera
berkelebat kian ke mari, mencari-cari sambil mulutnya terus menerus
mengeluarkan suara mengomel.
"Barusan
mereka ada di sekitar sini! Bagaimana mungkin bisa lenyap seperti ditelan
bumi!" Si kakek buka capingnya. Untuk beberapa lamanya dia berdiri diam.
Hanya kepalanya yang dipalingkan kian ke mari disertai mata membeliak.
"Kurang ajar betul! Mereka benar-benar lenyap!" Lateleng menggeram
marah.
Apa yang
terjadi? Berkat ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani si kakek tidak melihat
ke empat orang itu. Padahal saat itu Wiro dan dua kawannya norta perempuan
berpakaian putih hanya satu langkah saja di samping kirinya. Seandainya si
kakek menggerakkan tangannya ke samping pasti dia akan menyentuh sosok Si Setan
Ngompol yang saat itu tegak tak bergerak di bawah pohon tapi air kencingnya
mengucur jatuh.
Ilmu
kesaktian yang dimiliki Luhrinjani itu bernama Menutup Mata Memutus Pandang.
Konon itu Adalah salah satu dari beberapa ilmu kesaktian yang diturunkan Para
Peri Dari Negeri Atas Langit kepada perempuan bernasib malang itu. Namun
bagaimanapun hebatnya kesaktian tersebut celakanya kesaktian ini tidak membuat
Luhrinjani mampu melenyapkan kencing Si Setan Ngompol dari pandangan mata
Lateleng. Sambil dekapkan capingnya di depan dada sepasang mata’ kakek teleng
itu perhatikan tanah yang basah tepat di antara ke dua kaki Si Setan Ngompol.
Lateleng
mendekat lalu berjongkok di depan tanah yang basah. Si Setan Ngompol pejamkan
mata. Untung dia masih ingat ucapan Luhrinjani agar tidak bergerak. Padahal
tadi ketika melihat Lateleng mendekatinya, malah jongkok di depannya nyawanya
serasa terbang dan dia hampir saja gerakkan tangan hendak memegangi bagian
bawah perutnya! Naga Kuning berdiri laksana patung sambil menggigit bagian
bawah bibirnya. Berusaha menahan ketegangan.
Pendekar
212 berdiri menahan nafas. Kepalanya terasa gatal dan dia hampir tak dapat
menahan diri hendak menggaruk. Luhrinjani satu-satunya yang berdiri dengan
sikap tenang sambil memperhatikan gerak-gerik Lateleng.
Setelah
jongkok di depan Setan Ngompol, Lateleng ulurkan tangan, menepuk-nepuk tanah
yang basah oleh air kencing Si Setan Ngompol. Lalu jari-jarinya yang basah
didekatkannya ke hidungnya.
"Hue!"
Si kakek keluarkan suara seperti orang mau muntah. Dia meludah habis-habisan.
"Bau pesing jahanam!" Makinya. Dia mendongak ke atas. Saat itu
kebetulan di salah satu cabang pohon kelihatan seekor tupai besar sedang
kencing. Selesai kencing binatang ini melompat ke cabang pohon lainnya dan
lenyap dari pemandangan.
"Tupai
celaka! Kau rupanya!" Lateleng kembali memaki. Lalu dia berdiri dan
melesat kembali ke atas atap. Dari atas atap rumah kincir ini dia memeriksa
Kincir Hantunya dan merasa lega karena tidak ada bagian yang rusak akibat
bentrokan asap merah saktinya dengan pukulan Sinar Matahari tadi.
Setan
Ngompol menarik nafas lega. "Tupai kencing di atas pohon itu telah
menyelamatkanku dan kawan-kawan! Bagaimana aku membalas budi binatang
itu," kata si kakek jereng dalam hati.
"Kita
aman sekarang," Luhrinjani berkata dengan suara perlahan. "Ikuti
langkahku. Kita bergerak tiga tangkah lurus ke depan, lalu berbelok tiga
langkah ke kanan, berbelok lagi tiga langkah ke kiri. Lalu lurus lagi sampai
kita melewati pohon cempedak hutan di depan sana…."
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti apa yang dikatakan Luhrinjani. Setelah
melewati pohon cempedak hutan Luhrinjani hentikan langkah dan berpaling pada ke
tiga orang itu. "Saat ini kita berada cukup jauh dari kawasan Kincir
Hantu. Wahai, aku gembira bertemu dengan kalian bertiga. Gembira tapi juga
heran. Terakhir sekali aku melihat kalian, sosok kalian hanya sebesar jari.
Bagaimana sekarang bisa berubah sebesar ini?"
Wiro lalu
menceritakan pertemuannya dengan luhclnta serta Hantu Raja Obat.
"Kalian
beruntung!" kata Luhrinjani. Dia menatap Pendekar 212 sesaat lalu
meneruskan ucapannya. "Dan kau tiga kali beruntung…."
"Apa
maksudmu Luhrinjani?" tanya Wiro pula.
"Keuntungan
pertama, kau selamat dan diobati oleh Hantu Raja Obat. Keuntungan ke dua, kaki
kananmu tak sampai putus dibabat Kincir Hantu. Coba kau lihat apa yang telah
terjadi dengan kasutmu sebelah kanan…."
Wiro
angkat kaki kanannya sedikit lalu perhatikan kasut yang dikenakannya.
Berubahlah paras sang pendekar. Bagian tapak kasut yang terbuat dari kulit Itu
ternyata telah terbabat putus sampai setengahnya. Wiro memandang pada
Luhrinjani. "Kalau kau terlambat menolongku, berarti kakiku yang putus….
Aku dan Juga kawan-kawan sangat berterima kasih padamu Luhrinjani. Sekarang
apakah kau mau mengatakan keuntungan ketiga itu?"
Yang
ditanya tersenyum. "Tak mungkin kukatakan di depan dua sahabatmu ini.
Nanti saja aku ceritakan kalau ada kesempatan…."
"Antara
kami bertiga tidak ada rahasia. Mengapa tidak diceritakan sekarang saja?"
kata Wiro. Sementara Naga Kuning mendekati Si Setan Ngompol lalu membisiki
kakek ini. "Aku khawatir, jangan-jangan perempuan ini telah jatuh cinta
pada sang pangeran sableng sahabat kita ini!"
Setan
Ngompol menyeringai dan menyahuti. "Buruk nian nasib kita kalau begitu.
Semua perempuan cantik naksir padanya. Kita lalu kebagian apa?! Hik…hik…
hik…!"
Luhrinjani
menatap Pendekar 212 sesaat lalu menggeleng. "Ketahuilah, Hantu Raja Obat
adalah makhluk aneh yang hati dan jalan pikirannya bisa berubah dalam sekejapan
mata! Apa kalian pernah mendengar berapa banyak manusia yang tidak
disenanginya dijadikan Godokan obat lalu dijarang dalam periuk tanah di atas
kepalanya yang bersorban?"
Wiro
mengangguk. Naga Kuning jadi merinding. Setan Ngompol langsung mulas perutnya.
Apa yang dikatakan Luhrinjani memang benar adanya dan pernah ada orang yang
memberi tahu sebelumnya.
"Luhrinjani,
Lakasipo telah menganggap kami sebagai saudara angkat. Berarti kaupun adalah
saudara kami. Kami bertiga menghaturkan terima kasih. Kau telah menyelamatkan
kami dari tangan kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu…."
Luhrinjani
anggukkan kepalanya dengan perlahan. Parasnya yang cantik kemudian tampak
berubah sayu. Dia menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong.
"Luhrinjani,
kulihat perubahan pada wajahmu. Seolah ada satu ganjalan kesedihan di hatimu.
Apakah…."
Luhrinjani
menghela nafas panjang. "Langkahku jauh sampai ke sini karena menyirap
kabar bahwa suamiku Lakasipo ada bersama kalian. Namun wahai, aku tidak
menemukannya. Mungkin kau dan kawan-kawan mengetahui gerangan dimana Lakasipo
berada?"
Yang
menjawab Naga Kuning. "Terakhir kami bersamanya ketika bertemu dengan
Hantu Raja Obat. Saat Itu dia mengatakan hendak pergi menemui seseorang. Tapi
dia tidak menyebut siapa orangnya, hanya menyebut tempat di mana orang itu
berada…."
Luhrinjani
mendongak ke langit lalu pejamkan matanya sesaat. Dia berpaling pada Naga
Kuning. "Mungkin suamiku menyebut nama sebuah gunung…?"
"Betul
sekali!" sahut Naga Kuning.
Wiro
menyambung. "Aku ingat, kalau tidak salah Lakasipo menyebut nama gunung
itu. Gunung Labatuhitam…."
"Wahai!"
Wajah Luhrinjani tampak berubah. Suaranya bergetar ketika berkata. "Demi
Para Dewa dan Mara Peri. Demi segala Roh yang tergantung antara langit dan
bumi. Jangan-jangan memang benar firasatku. Dia menemui perempuan itu…."
"Perempuan
siapa maksudmu Luhrinjani?" tanya SI Betan Ngompol yang bersuara setelah
sejak tadi diam saja.
"Tak
bisa kukatakan. Wahai, aku harus pergi sekarang…. Tapi ada satu lagi
pertanyaanku. Apakah kalian pernah mendengar nama Hantu Santet Laknat?"
"Kami
pernah mendengar dari Lakasipo," jawab Wiro. "Menurut Lakasipo dukun
jahat itulah yang mencelakai dirinya atas permintaan Lahopeng…" (Baca:
"Bola Bola Iblis")
"Tahu
dimana dukun itu berada?"
Wiro dan
dua kawannya sama-sama gelengkan kepala.
"Karena
tak ada yang ingin kutanyakan lagi, aku harus pergi sekarang," kata
Luhrinjani pula.
"Kakak
sahabatku! Tunggu dulu!" berkata Naga Kuning. "Bolehkah aku
menanyakan ilmu apa yang kau pergunakan tadi hingga kakek teleng pemilik Kincir
Hantu itu tidak mampu melihat kita semua?"
"Aku
tidak dapat memberi tahu padamu. Tidak sekarang, entah nanti…" jawab
Luhrinjani. Perempuan ini segera balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Wiro
menunggu sampai Luhrinjani terpisah agak jauh dari Naga Kuning dan Si Setan
Ngompol, lalu dengan cepat dia menyusul,
"Luhrinjani,
aku terpaksa bersikap keras kepala. Aku ingin kau mengatakan apa
keberuntunganku yang ke tiga. Dua sahabatku itu tidak akan mendengar jika kau
mengatakannya sekarang…."
Luhrinjani
menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212. Membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini
menjadi agak tercekat, apa lagi kalau dia ingat yang di hadapannya itu
sebenarnya adalah roh halus dari orang yang sudah lama mati!
"Wahai!
Kau memaksa rupanya. Tapi baiklah. Akan kukatakan padamu. Keberuntunganmu yang
ke tiga ialah ada seorang gadis cantik berhati baik jatuh cinta padamu…."
"Siapa?!"
tanya Wiro kaget karena tidak menyangka hal itu yang akan diucapkan
Luhrinjani. "Kau terkalah sendiri…" jawab Luhrinjani sambil
tersenyum. "Peri Angsa Putih…?" tanya Wiro. Luhrinjani tidak menjawab
dan masih tetap mengulum senyum. "Luhjellta?" tanya Wiro lagi.
Luhrinjani masih tersenyum seperti tadi.
"Kami
kaum perempuan tidak ingin membuka rahasia pribadi isi hati sesama kami.
Cobalah kau Ingat-ingat! Ada seorang lain yang sebelumnya telah mengatakan
padamu," jawab Luhrinjani. Lalu perempuan berpakaian serba putih ini
melangkah pergi.
Wiro
kembali mengejar. Tapi aneh! Sekali ini wa laupun dia berjalan setengah berlari
tetap saja dia tak mampu mendekati perempuan itu. Ketika dia perhatikan bagian
bawah kaki Luhrinjani, serta merta Pendekar 212 hentikan langkahnya. Sepasang
kaki luhrlnjani ternyata tidak menginjaktanah! Ketika Wiro memandang lagi ke
depan, perempuan itu telah lenyap sepertl ditelan bumi! (Mengenai Luhrinjani
harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola Bola Iblis")
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya. "Ada seorang lain yang sebelumnya telah
mengatakan padamu…" katakata Luhrinjani itu terngiang kembali di telinga
Wiro. "Siapa..,?" Wiro coba mengingat-ingat. Namun sebelum dia mampu
mendapatkan jawaban tiba-tiba satu makhluk raksasa putih muncul di udara lalu
menukik ke bawah dan sesaat kemudian telah bersimpuh di tanah, beberapa langkah
di hadapan Pendekar 212. Tapi karena saat itu pikiran sang pendekar masih
dicekat oleh rasa menduga-duga maka dia seolah tidak melihat makhluk putih itu.
*********************
5
“WAHAI
sahabat bernama Wiro yang konon berjuluk Pendekar 212, gerangan apakah yang
meresapi pikiranmu hingga mata seolah tertutup kabut dan telinga seperti
terhalang angin?"
Wiro
tersentak kaget. "Peri Angsa Putih…" katanya begitu dia menyadari siapa
yang duduk di atas punggung angsa putih raksasa. "Maafkan, aku sampai
tidak…."
"Teka
teki hidup yang tidak terjawab memang membuat seseorang bisa bingung, jadi lupa
diri dan lupa keadaan sekelilingnya…."
Wiro coba
tersenyum dan garuk-garuk kepala. Dalam hati dia membatin. "Apakah Peri
cantik ini sempat mendengar percakapanku dengan Luhrinjani tadi?"
Saat itu
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol telah berada pula di tempat itu. Keduanya
menjura memberi penghormatan. "Sahabatku Peri cantik bermata biru, kami senang
bisa bertemu lagi denganmu," kata Naga Kuning.
"Aku
juga merasa gembira bisa melihat kalian semua," jawab Peri Angsa Putih
sambil tersenyum lalu melirik pada Wiro. "Kuharap kalian semua baik baik
saja…."
"Peri
Angsa Putih, apakah pertemuan ini suatu kebetulan saja atau memang kau sudah
kangen lalu punya niat menemui kami? Eh, maksudku kangen pada sahabatku
Wiro?" tanya Naga Kuning sambil senyum-senyum. Di lain pihak Wiro menduga
kemunculan sang Peri adalah untuk membicarakan masalah bunga mawar beracun
tempo hari.
Pertanyaan
Naga Kuning itu membuat wajah Peri Angsa Putih bersemu merah sedang Wiro
ulurkan tangan mencubit punggung Naga Kuning hingga bocah Ini melintir
kesakitan.
Sebenarnya
sejak beberapa waktu lalu Peri Angsa Mutlh memang berusaha mencari Wiro. Dia
ingin menemui sang pendekar untuk menjernihkan persoalan bunga mawar beracun
yang hampir merenggut nyawa Wiro dan yang menurut Luhjelita berasal dari
dirinya. (Mengenai perselisihan segi tiga antara Wiro, Peri Angsa Putih dan
Luhjelita harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Tangan
Empat" dan "Hantu Muka Dua") Namun niatnya untuk membicarakan
hal Mu menjadi sirna ketika tadi secara tidak sengaja dia sempat mendengar
ucapan-ucapan Luhrinjani yang menyebut tentang seorang gadis cantik berhati
baik yang jatuh cinta pada Wiro. Untuk menutupi rasa malu dan sekaligus
kekecewaannya untung Peri Angsa Putlh dapat mencari akal mengeluarkan jawaban.
"Wahai,
sebagai sahabat tentu saja aku selalu Ingin bertemu dengan kalian. Namun selain
itu memang aku ingin menemui Wiro…."
"Nah!
Apa kataku!" ujar Naga Kuning pula sambil menepuk bahu Si Setan Ngompol
hingga kakek ini tersentak kaget dan langsung terkencing.
Wiro
menatap wajah sang Peri. "Kau ingin membicarakan perihal bunga mawar
kuning itu…" tanya Pendekar212.
Peri
Angsa Putih goyangkan tangannya dan gelengkan kepala. "Kalau bukan itu
mungkin perihal kesalahanmu memukul diriku waktu bertengkar dengan
Luhjelita," kata Wiro pula.
"Bukan,
bukan itu," jawab Peri Angsa Putih. "Aku mencarimu untuk meminta kembali
selendang sutera biruku yang terjatuh sewaktu terjadi perkelahian dengan anak
buah Hantu Muka Dua beberapa waktu lalu." (Baca "Hantu Muka
Dua")
Sesaat
Wiro jadi terpana dan tatap Peri Angsa Putih dengan pandangan penuh tanda
tanya. "Aku punya firasat sebenarnya dia bukan mencari selendang
itu," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu dia berucap.
"Selendang itu memang ada padaku. Kau tentu ingat selendang itu terjatuh
di tanah. Sementara kau pergi begitu saja. Aku…." Wiro tidak melanjutkan
ucapannya. Sebenarnya dia ingin selendang milik Peri Angsa Putih itu tetap ada
padanya. Namun yang empunya datang meminta. Apapun alasannya dia harus
mengembalikan. "Sebenarnya aku…." Lagi-lagi Pendekar 212 tidak bisa
lanjutkan kata-katanya. Ketika dia berusaha menatap mata biru Peri Angsa Putih,
dia merasa seolah yang berada di hadapannya saat itu adalah Ratu Duyung,
penguasa kawasan samudera di tanah Jawa yang juga memiliki sepasang mata
berwarna biru.
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan selendang biru milik Peri Angsa Putih dalam
keadaan terlipat rapi serta menebar bau harum semerbak. "Selama selendang
ini ada padaku, aku merasakan satu kesejukan dalam diriku," kata Wiro
seraya meluruskan lipatan selendang biru.
"Dengan
selendang ini dulu kau menyelamatkan jiwaku. Sebenarnya… aku ingin selendang
ini tetap berada di tanganku…."
Peri
Angsa Putih terkejut karena tidak menyangka Wiro akan berkata seperti itu.
Sesaat dia jadi bingung sendirl karena sebenarnya dia memang bukan muncul untuk
mencari selendang itu.
"Wahai,
tidak kusangka dia akan mengatakan perasaan hatinya begitu polos. Menyesal aku
meminta selendang itu kembali…" kata Peri Angsa Putih dalam hati.
"Tapi
aku sadar selendang ini bukan milikku. Selama ini aku menyimpannya baik-baik.
Jika ada Iwylnnnya yang- rusak atau kotor aku mohon maaf. Kuaerahkan kembali
selendang ini padamu, Peri Angan Putih. Terimalah…."
"Ya…
ya! Selendang itu memang harus dikembalikan!" kata Naga Kuning menggoda
Wiro.
SI Setan
Ngompol sambil senyum-senyum dan terjereng-Jereng menyambungi. "Selendang
pakaiannya orang perempuan. Masak laki-laki ke mana-mana membawa selendang.
Milik orang lain pula! Hik… hik! sungguh tidak pantas!"
Wiro
delikkan mata pada ke dua kawannya itu. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang
memegang selendang. Sesaat Peri Angsa Putih hanya berdiam diri, Diam-diam dia
menyesali segala perbuatan dan ucapanya tadi. "Aku telah berlaku
tolol!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. "Seharusnya tidak perlu
kuminta kembali selendang itu. Jika selendang itu tetap ada padanya bukankah
berarti setiap saat dia akan selalu Ingat padaku!"
Setelah
berdiam diri cukup lama akhirnya dengan berat hati Peri Angsa Putih ulurkan
tangan menerima selendang biru tersebut. Kemudian untuk beberapa lamanya gadis
ini masih tegak berdiri menatap dengan pandangan sayu pada Pendekar 212
sementara Wiro sendiri menatap sang peri dengan pandangan kecewa.
Naga
Kuning dan Si Setan Ngompol kini diam-diam ikut merasakan ada sesuatu yang
saling mengganjal di antara ke dua orang itu.
"Wiro,"
Peri Angsa Putih berucap perlahan. "Mungkin kau masih mengira akulah yang
hendak meracuni dirimu dengan bunga mawar kuning itu. Saat ini aku bersumpah
demi Para Dewa dan Para Peri serta semua roh antara langit dan bumi. Aku tidak
melakukan hal itu. Aku ingin mendengar tanggapan langsung dari dirimu sendiri
saat Ini juga. Katakanlah sesuatu…."
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
Namun…."
"Namun
apa Wiro?" Peri Angsa Putih bertanya dengan nada tidak sabaran.
"Seandainya
Luhjelita juga mengucapkan sumpah seperti sumpahmu tadi, lalu siapa di atara
kalian yang bisa ku percaya?"
Mendengar
ucapan Wiro itu sepasang mata Peri Angsa Putih tampak berkaca-kaca.
"Wahai, kalau hal itu kau tanyakan padaku maka jawabku adalah ini.
Percayailah sumpahnya. Jangan percaya pada sumpah seorang Peri sepertiku!"
Habis
berkata begitu Peri Angsa Putih balikkan diri lalu tinggalkan tempat itu. Wiro
seperti tersadar dan hendak memanggil tapi yang dilakukannya hanya diam tak
bergerak.
"Anak
tolol! Mengapa kau berucap seperti itu pada Perl Angsa Putih!" Tiba-tiba
kakek Setan Ngompol berkata.
"Kok,
apa maksudmu?" tanya Wiro.
"Kau
tahu! Tidak ada satu gadispun di dunia ini yang mau dibanding-bandingkan dengan
gadis lain oleh seorang pemuda yang diam-diam disukainya…."
"Maksudmu
Peri Angsa Putih menyukaiku?" tanya Wiro.
Naga
Kuning pencongkan mulutnya. "Aku yang bocah saja bisa melihat. Kau yang
punya diri tidak tahu diri! Jika kau tidak suka pada gadis itu dan kebetulan
dia suka padaku, jangan nanti kau jadi menyesal!"
"Anak
muda," kata Setan Ngompol menyambung bicara. "Apa kau tidak melihat
bagaimana dua mata Putri Angsa Putih jadi berkaca-kaca ketika kau
membandingkannya dengan Luhjelita, perawan genit yang gentayangan ke mana-mana
memikat lelaki itu?"
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Aku…. Ah, sebenarnya aku juga menyukai Peri Angsa
Putih," kata Wiro pula,Dia diam sejenak. "Tapi…."
"Nah,
tapinya ini yang bikin brengsek! Suka tapi masih ada tapi!" kata Naga
Kuning lalu pasang muka merengut.
Sementara
itu tanpa setahu ke tiga orang itu, disatu tempat yang terlindung, seorang
perempuan berwajah putih jelita kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik ke
atas ketika mendengar ucapan Wiro yang mengatakan sebenarnya dia juga menyukai
Peri Angsa Putih, Dalam hati dia berkata lirih. "Kalau hati pemuda asing
Itu benar sudah tertambat pada Peri Angsa Putih, agaknya buruk nian nasib
diriku. Padahal aku sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan duniaku kalau
saja aku mendapatkan dirinya. Aku telah berusaha. Namun agaknya aku tidak
mendapat restu. Mungkin cara yang kutempuh salah. Ah…." Leher jenjang
perempuan cantik itu tampak bergerak turun naik. Dia menggigit bibirnya
kencang-kencang untuk menahan linangan air mata. Setelah mengusap bagian bawah
cuping hidungnya perempuan ini lalu berkelebat pergi ke arah sang surya yang
memancarkan sinar terik menyilaukan. Kalaupun Wiro dan Naga Kuning serta Setan
Ngompol melihat bayangannya maka mereka hanya akan melihat seberkas cahaya biru
yang serta merta lenyap tanpa mereka bisa melihat dengan jelas apa adanya.
"Aku
tidak bermaksud menyakiti hati Peri Angsa Putih. Kalian tahu, banyak hutang
budi kita padanya…."
"Dia
sudah pergi. Apa gunanya bicara begitu?"ujar Naga Kuning.
"Apa
yang kita lakukan sekarang?" tanya Setan Ngompol.
"Aku
akan menunggu sampai malam datang…’ kata Wiro.
"Eh,
apa yang ada di benakmu wahai Kakak Wiro?" tanya Naga Kuning sambil
miringkan kepalanya. Katakata dan gerakannya jelas meledek sang pendekar.
"Begitu
malam datang aku akan kembali ke tempat Kincir Hantu itu!"
"Gila!
Apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Naga Kuning.
"Aku
mau menyelidik. Rahasia apa sebenarnya yang ada di balik kincir itu…."
"Serrr!"
Kencing Si Setan Ngompol mengucur begitu mendengar kata-kata Wiro.
"Kakimu
hampir amblas! Kita semua hampir jadi jerangkong! Dan kau bilang mau pergi
kesana kembali! sungguh edan!"
"Terserah
kalian mau bilang apa! Niatku sudah tetap. Aku harus menyelidik. Belasan orang
mati mengerikan. Jika kalian tidak mau ikut jangan banyak omong!"
"Kami
memang tidak mau ikut! Akhir-akhir ini ucapan dan tindakanmu kami lihat banyak
anehnya!" kata Naga Kuning pula, bocah yang sesungguhnya adalah kakek
berusia lebih dari seratus tahun. (Mengenal Naga Kuning harap baca serial Wiro
Sableng berjudul "Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode)
Naga
Kuning berpaling pada Setan Ngompol. Sesaat kedua orang ini saling pandang. Si
kakek hanya diam saja.
*********************
TIGA
orang itu tegak di bawah pohon besar, memandang tak berkesip ke arah lapangan.
Sekeliling mereka dicekam kegelapan malam.
"Wiro,
apa kita tidak kesasar ke tempat yang salah?" Naga Kuning keluarkan suara.
Dari suaranya jelas bocah ini berada dalam keadaan tercekat.
"Ini
pohon besar yang dihantam kakek bercaping itu. Di depan kita terbentang halaman
luas. Tempatnya jelas sama! Tapi memang adalah aneh kalau rumah kincir dan
kincirnya tak kelihatan lagi di depan sana!" kata Wiro.
"Rumah
dan Kincir Hantu bisa lenyap! Ada yang tak beres. Aku khawatir ada bahaya
mengancam kita! Menyesal aku ikut bersama kalian!" kata Setan Ngompol dan
seperti biasa dua tangannya cepat pegangi bagian bawah perutnya.
"Aku
tidak mengerti. Rumah dan kincir sebesar itu tahutahu bisa lenyap! Mungkin
sengaja dipindah?" berucap Naga Kuning.
"Orang
sakti manapun tidak mungkin memindahkan bangunan sebesar itu!" kata Si
Setan Ngompol.
"Mungkin
ini salah satu rahasia Kincir Hantu yang harus kita pecahkan. Siang hari masih
nongkrong di depan sana. Malam hari tahu-tahu lenyap. Mungkin kakek itu punya
ilmu seperti yang dimiliki Luhrinjani? Aku perlu menyelidik lebih dekat ke
sana…."
Naga
Kuning pegang pinggang celana Wiro. "Jangan gegabah. Keanehan di dalam
kegelapan. Bagaimana kalau ini semua hanya merupakan satu jebakan. Sebelum kau
sampai ke ujung lapangan sana mungkin berbagai senjata rahasia akan bertabur
menembus tubuhmu. Bukan mustahil kakek kepala teleng itu mendekam di tempat
gelap sana. Lalu kalau ada yang datang, dalam jarak dekat dia akan semburkan
asap pipanya! Apa kita semua mau jadi jerangkong?"
"Kau
betul juga!" kata Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. "Lalu apa
yang harus kita lakukan?"
"Segera
pergi saja dari tempat celaka ini!" kata Si Setan Ngompol yang sejak tadi
sudah dilamun rasa takut dan berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning
mengatakan hal yang sama. Tapi Pendekar 212 masih penasaran. Dia dekati satu
pohon kecil setinggi kepalanya. Dengan sekali hantam saja pertengahan batang
pohon itu patah dua. Lalu Wiro lemparkan bagian atas pohon ke arah di mana
sebelumnya rumah dan kincir berada.
"Braaakk!"
Pohon
jatuh di ujung lapangan.Tidak ada gerakan. tak ada suara. Tidak terjadi
apa-apa. Wiro berpaling pada dua kawannya. Naga Kuning dan Setan Ngompol
unikkan apa arti pandangan itu.
"Kalau
kau tetap keras kepala, silakan saja menyelidik ke sana…" kata Naga Kuning
pula. "Aku dan kakak Ini menunggu di sini."
Wiro
anggukkan kepala. Dia mulai melangkah. Dia berjalan tidak langsung menempuh
lapangan terbuka dari arah depan, tapi bergerak dulu ke kanan, menyisi
sepanjang tepi lapangan lalu membelok ke kiri. Di ujung sana dia membelok lagi
ke kiri. Kini bergerak ke arah di mana sebelumnya rumah kincir dan Kincir Hantu
berada. Sebegitu jauh tak terjadi apa-apa. Namun ketika murid Sinto Gendeng
hanya tinggal satu tombak saja lagi dari perkiraan letak bangunan, mendadak
dalam kegelapan malam berkiblat dua buah sinar kebiru-biruan, menderu ke arah
Pendekar 212.
"Senjata
rahasia! Wiro awas!" teriak Naga Kuning memperingatkan.
Wiro
memang sudah mendengar kemudian mellhat gerakan dua benda bersinar biru itu.
Sambil jatuhkan diri Wiro hantamkan tangan kanannya melepas pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera. Dua benda biru terpental. Namun!
"Blaaarr!"
"Blnaarr!"
Dua
ledakan dahsyat menggema di udara malam. Dua buah benda biru hancur bertaburan
membentuk keping-keping aneh. Keping-keping ini kemudian berubah menjadi
larikan-larikan panjang. Lalu laksana tangantangan gurita, larikan-larikan
sinar biru itu menyambar mencengkeram ke arah Pendekar 212.
Wiro
gulingkan dirinya di tanah. Menyingkir kesisi lapangan sebelah kanan dari arah
mana tadi dia datang lalu kembali lepaskan satu pukulan sakti bernama Dewa
Topan Menggusur Gunung.
Sepuluh
larik sinar biru yang seperti tangan-tangan gurita yang tadi hendak mencengkeramnya
mencelat buyar ke udara. Namun luar biasanya, buyaran yang berjumlah dua puluh
empat ini berubah menjadi seperti dua benda biru yang pertama kali menyerang
Wiro, menderu dengan kecepatan setan dalam gelapnya malam, menyambar ke arah
sosok Pendekar 212!
"Celaka!"
ujar Setan Ngompol melihat apa yang terjadi. Kakek ini serta merta gerakkan
tangan kanannya. Serangkum angin menebar bau pesing menderu ke ujung lapangan.
Inilah pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit.
Naga
Kuning tidak tinggal diam. Begitu melihat Wiro berada dalam keadaan bahaya dia
segera menghantam tangan kanannya. Sinar biru panjang menderu dalam kegelapan
malam, memapaki gerakan dua puluh empat benda biru yang menyerbu Pendekar 212.
Wiro
kertakkan rahang. Tangan kanannya yang sudah disiapkan untuk melepas pukulan
Sinar Matahari berkelebat ke depan.
Selarik
sinar putih menyilaukan disertai hamparan hawa panas laksana sambaran kilat
menyambar ke depan. Tiga pukulan sakti menggempur dua puluh empat benda biru.
Letusan-letusan
seperti hendak mengoyak gendanggendang telinga berdentuman di tempat itu.
Tanah bergetar. Pepohonan berderak. Semak-semak berserabutan dan debu serta
pasir beterbangan ke udara.
Ketika
keadaan tenang kembali Wiro dan kawankawannya sudah menjauhkan diri dari tanah
lapang. Setan Ngompol terbatuk-batuk sambil pegangi bawah perutnya. Naga Kuning
tegak dengan tubuh gemetar karena tangannya yang tadi dipakai untuk menghantam
benda-benda biru itu kini terasa seperti kaku dan panas. Wiro sendiri yang
melepas pukulan Sinar Matahari dengan mengerahkan hampir sepertiga tenaga
dalamnya merasakan dadanya berdebar dan aliran darahnya tak karuan.
"Sebaiknya
kita tinggalkan tempat celaka ini! Kendali jika ada diantara kalian yang mau
mampus percuma!" kata Si Setan Ngompol pula yang kembali kuyup celananya.
Wiro dan
Naga Kuning sepakat untuk pergi dari tempat Itu. Namun baru sama bergerak satu
langkah tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dari balik gundukan tanah
tinggi disertai suara membentak.
"Kalian
bertiga memang sudah ditakdirkan mampus percuma!"
Belum
habis kejut Wiro dan kawan-kawannya melihat kelebatan bayangan hitam yang
disusul bentakan garang itu, mendadak tiga buah benda bercahaya merah
menyerupai bara api melesat ke arah mereka!
"Sialan!
Siapa lagi yang punya pekerjaan ini!" teriak Wiro. Dia cepat melompat
selamatkan diri sambil mendorong dua kawannya.
Tiga
benda merah melesat di samping mereka lalu amblas ke dalam sebuah batu besar di
dekat rerumpunan semak belukar. Batu itu serta merta dikobari api lalu
bergemeretak pecah menjadi empat bagian, hangus menghitam dan kepulkan asap.
Setan
Ngompol jatuh terduduk di tanah. Naga Kuning tertelungkup dengan muka pucat
Wiro memandang ke arah kegelapan, kejurusan datangnya serangan tadi. Dia melihat
sesosok tubuh tinggi besar. Salah satu tangannya buntung. Di bagian perut orang
ini sebelah dalam seolah ada sesuatu yang mengeluarkan cahaya kemerahan.
*********************
6
UNTUK
sementara waktu kita tinggalkan dulu Wiro dan dua sahabatnya yang tengah
mendapat serangan di malam gelap oleh seseorang yang belum diketahui siapa
adanya.
Dalam
Episode sebelumnya (Hantu Muka Dua) telah diceritakan bagaimana kakek utusan
Para Dewa bernama Lamanyala menemui putera bungsu Laselayu yang tengah bertapa
di sebuah pulau karang. Iamanyala memberi tahu, jika pemuda itu mengikuti apa
yang dikatakannya maka kelak dia akan menjadi seorang sakti mandraguna,
dijuluki Hantu Muka Dua karena nantinya dia akan menjalani hidup dengan
memiliki dua muka kembar. Selanjutnya dia akan menjadi pelambang Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu. Untuk mendapatkan semua itu maka pertapa muda Itu
harus pergi ke Negeri Latanahsilam. Dia harus menemui beberapa tokoh sakti di
negeri itu dan merampas ilmu kesaktian yang mereka miliki. Kemudian si pemuda
yang oleh Lamanyala diberi nama Labahala harus pergi ke Lembah Seribu Kabut.
Disitu bertapa seorang sakti yang bukan lain adalah Lasedayu dan sebenarnya
adalah ayah kandung Labahala sendiri. Konon pada masa itu Lasedayu adalah yang
paling sakti di seluruh negeri, melebihi kehebatan Hantu Tangan Empat yang
merupakan dedengkot para Hantu sakti yang ada. Untuk menundukkan Lasedayu,
Labahala harus mencungkil dan merampas pusar orang sakti itu. Lamanyala
kemudian membekali Labahala dengan sebuah benda yakni sendok aneh bergagang
pendek dan terbuat dari emas murni. Sendok ini merupakan satu benda sakti dan
diberi nama Sendok Pemasung Nasib.
Dengan
sendok inilah Labahala harus mencungkil pusar Lasedayu.
Labahala
tidak pernah tahu bahwa pertapa sakti di Lembah Seribu Kabut yang akan
didatanginya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Lamanyala sengaja mengatur
semua itu karena dendam kesumatnya terhadap Lasedayu. Bukan saja Lasedayu
telah mengambil Jimat Hati Dewa titipan Para Dewa, tetapi juga karena Lasedayu
telah membuat kakek itu menjadi mengerikan seumur hidup. Sosok tubuhnya sebelah
kanan hancur dan tinggal merupakan satu gerakan besar begitu rupa sehingga
tulang iga, sebagian isi dada dan isi perutnya terlihat dengan jelas, luar
biasa seram mengerikan! Selain itu antara Lamanyala dengan Para Dewa di Atas
Langit telah terjadi perselisihan hebat Para Dewa tidak menyukai cara yang
ditempuh Lamanyala dalam menjatuhkan hukuman atas diri Lasedayu yang dianggap
semata-mata hanya merupakan pelampiasan dendam pribadi. Dalam amarahnya
Lamanyala akhirnya menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Utusan Para Dewa di
Negeri Latanahsilam. Dengan demikian dia bebas melakukan apa saja menurut
kehendak hatinya.
LEMBAH
Seribu Kabut….
Saat itu
malam baru saja sampai ke ujungnya. Udara terasa dingin mencucuk dan kegelapan
masih mencekam di semua penjuru. Di kawasan selatan Negeri Latanahsilam satu
bayangan berkelebat cepat ke arah timur dimana terletak satu kawasan yang
disebut Lembah Seribu Kabut. Lembah ini diberi nama demikian karena jangankan
malam atau pagi hari, pada siang hari saja selagi matahari bersinar terik,
kabut menyungkup seantero lembah menutup pemandangan.
Bayangan
tadi berlari cepat menembus kegelapan dan udara dingin, langsung ke pusat
lembah. Di satu tempat dia hentikan langkah. Di kejauhan terdengar suara
lolongan binatang buas penghuni lembah. Orang ini memandang berkeliling. Dia
tidak melihat apa-apa, kecuali pepohonan, semak belukar, bebatuan. Semua
menghitam dalam kegelapan. Kabut dan kegelapan malam membuat pandangannya
sangat terbatas.
"Sunyi…
gelap dan dingin. Di mana aku harus mencari orang sakti bernama Lasedayu
itu…." Orang Ini berkata dan bertanya-tanya dalam hati. Sekali lagi dia
memandang berkeliling. Pandangannya membentur sebuah batu besar. Rasa letih
membuat dia melangkah mendekati batu lalu duduk di sana. "Mungkin aku
harus menunggu sampai matahari terbit. Jika hari sudah terang aku akan
memeriksa seluruh lembah ini. Bukan mustahil dia tinggal di dalam sebuah
goa…."
Karena
batu yang didudukinya itu agak datar maka orang ini baringkan dirinya.
Perjalanan jauh membuat sekujur tubuhnya letih. Sesaat antara tertidur dan jaga
tiba-tiba dia bangkit dan duduk di atas batu. Ada suara seperti langkah kaki di
sebelah kanan. Namun memandang ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-siapa.
Rasa tegang perlahan-lahan merayapi hati orang ini.
"Mungkin
berbahaya kalau aku sampai ketiduran…" pikir orang itu. Lalu dia duduk
bersila di atas batu. Sesaat terbayang di pelupuk matanya wajah kakek sakti
bernama Lamanyala itu. Dia coba membayangkan bagaimana kirakira sosok dan
tampang manusia bernama Lasedayu. Dalam keadaan seperti itu orang ini tidak
mengetahui kalau dari sebelah atas, sebuah benda besar perlahanlahan melayang
turun ke arah kepalanya. Dia baru menyadari ketika serangkum angin sangat halus
menyapu tengkuknya.
Saat itu
bibir lembah di sebelah timur kelihatan mulai terang pertanda sang surya siap
memperlihatkan dirinya kembali di muka bumi. Orang yang duduk di atas batu
dongakkan kepalanya ke atas. Tapi! Astaga! Sebuah benda tiba-tiba menekan dari
atas, membuat dia tidak bisa mendongak atau memutar kepala. Dia kerahkan tenaga
bahkan tenaga dalam, tetap saja dia tak sanggup melepaskan diri dari tindihan
benda di atas kepalanya itu.
"Makhluk
kurang ajar! Siapapun kau adanya pantas kubantai saat ini juga!" Orang di
atas batu membentak lalu secepat kilat tangan kanannya dipukulkan ke atas!
Selarik
sinar hijau berkiblat dalam keremangan di akhir malam yang segera berganti
siang itu.
Tindihan
di atas kepala orang ini mendadak lenyap. Satu bayangan berkelebat dua tombak
ke atas.
Serangan
yang dilancarkan orang di atas bahu cepat luar biasa. Tapi sasaran yang
diserang bergerak lebih cepat untuk selamatkan diri. Sinar hijau setelah
menembus kabut dan udara kosong menghantam satu pohon hcsar. Pohon ini langsung
berubah menjadi Hijau Ialu meleleh tumbang seolah berubah menjadi lumpur hijaui
Benar-benar luar biasa mengerikan.
"
Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!" Satu suara berseru di sebelah atas.
Orang
yang lepaskan pukulan melompat turun dari batu. Ketika dia memandang ke atas,
kakinya langsung tersurut. Sejarak tiga tombak di atas batu dia melihat seorang
tua dalam sikap duduk bersila, mengapung di udara sambil rangkapkan dua tangan
di muka dada. Sepasang matanya memandang tajam pada orang di bawahnya. Satu
tangan kemudian bergerak mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang warna
kelabu.
"Bukan
main! Orang tua itu memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa! Juga ilmu
meringankan tubuh yang sangat langka! Dia mampu mengapung di udara seperti
duduk enak-enakan di lantai yang lembut!"
"Anak
muda yang muncul di penghujung malam, Malam kabut dan udara dingin. Wahai,
siapa kau adanya. Apakah kau berpunya nama?"
Orang di
depan batu sesaat tegak diam tak menjawab. Apa perlu dia menjawab pertanyaan
orang itu. Tapi dia harus mengetahui jelas siapa adanya orang tersebut. Jadi
dia memang perlu membuka mulut untuk bicara.
"Guruku
yang pertama memberi aku nama Lajundai. Guruku yang ke dua menamakan aku
Labahala!. Terserah kau mau memanggil aku siapa! Tapi pantas kau ketahui aku
muncul menyandang satu gelar besar! sebelum kukatakan gelar itu harap beri tahu
apakah kau makhluknya yang bernama.Lasedayu, penghuni dan penguasa Lembah
Seribu Kabut ini?!"
Orang tua
di atas sana kerenyitkan kening. Alis matanya yang lebat tebal mencuat ke atas.
Lalu tampak dia menyeringai. Kembali dua tangannya disilangkan di atas dada.
"Kau
punya dua orang guru. Tentu kau adalah seorang pemuda sakti. Wahai anak muda,
coba kau beri tahu siapa nama gurumu yang pertama dan ke dua itu!"
"Kau
tak layak bertanya dan aku tak layak menjawab!"
Orang
yang mengapung di udara tertawa datar.
"Jangan
tertawa! Tak ada yang lucu, katakan saja apa kau orangnya yang bernama
Lasedayu?!" menghardik Lajundai alias Labahala.
"Kau
seperti orang yang kesusu. Ada sesuatu yang membuat kau tidak sabaran! Jangan
kau keliwat memaksa anak muda! Pukulan yang tadi kau lepaskan adalah Pukulan
Hantu Hijau Penjungkir Roh. Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh seorang tokoh
bernama Hantu Lumpur Hijau yang diam di Kubangan Lumpur. Bagaimana kau bisa
memilikinya. Apa kau murid atau punya hubungan tertentu dengan dirinya?!"
Labahala
tertawa lebar. Sambil angkat tangan acungkan tinju dia berkata. "Aku bukan
murid bukan kerabat Hantu Lumpur Hijau. Ilmu Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh
itu aku rampas dari Hantu Lumpur Hijau!"
"Kau
rampas dari Hantu Lumpur Hijau? Wahai! Kau tentu bergurau…."
"Siapa
bilang aku bergurau! Lihat! Aku juga telah merampas beberapa kesaktian yang
dimiliki Hantu Tangan Empat. Saksikan ini! Apa kau mengenali ilmu kesaktian
yang akan kuperlihatkan ini?!"
Begltu
berucap maka tubuh Labahala berubah menjadi asap berwarna merah lalu tanpa
mengeluarkan suara, bergulung berputar seperti gasing, membentuk kerucut
terbalik. Orang tua di atas sana buka dua tangannya yang disilangkan di depan
dada. Dia terkejut besar ketika merasakan tubuhnya mulai tersedot ke arah
kerucut asap itu! Buru-buru dia mengapung naik sampai setinggi tiga tombak!
‘Ilmu
Tangan Hantu Tanpa Suara!" seru orang diatas sana dengan air muka berubah.
Di
bawahnya Labahala hentikan putaran tubuhnya lalu dia kembali ke ujudnya semula.
"Sekarang kau percaya aku tidak berdusta wahai makhluk berjanggut kelabu?!
Dan apakah kau masih belum mau memberi tahu apakah kau ini Lasedayu atau
bukan?!"
"Aku
akan memberi tahu siapa diriku. Tapi aku perlu tahu dulu bagaimana kau bisa
mendapatkan semua Ilmu milik para Hantu di Tanahsilam itu?!"
"Sudah
kukatakan! Aku merampas semua ilmu itu" jawab Labahala.
*********************
7
PERLAHAN-LAHAN
orang yang duduk mengapung di udara bergerak turun hingga kini dia hanya lima
jengkal saja dari atas batu datar di hadapan Labahala.
"Aku
memang orang yang bernama Lasedayu. Penguasa Tujuh Penjuru Angin Negeri
Latanahsilam. Aku tidak membenarkan perbuatanmu merampas ilmu kesaktian para
Hantu yang berada di bawah kekuasaanku. Kau harus kembalikan semua ilmu
rampasan itu dengan cara menyerahkan dua tanganmu kiri kanan padaku! Lekas
ulurkan dua tanganmu!"
Labahala
tertawa bergelak mendengar kata-kata orang bernama Lasedayu yang bukan lain
adalah ayah kandungnya sendiri.
"Lasedayu,
aku memang sudah mendengar nama besarmu! Tapi bukan berarti aku harus tunduk
dan dapat kau perlakukan seperti Para Hantu lainnya! Aku justru datang untuk
memaklumkan bahwa mulai hari ini kau berada dalam kekuasaanku! Aku adalah Raja
Diraja Para Hantu di Negeri Latanahsilam! Aku pelambang Hantu Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu!"
"Siapapun
kau adanya aku tidak peduli! Lekas ulurkan dua tanganmu!" membentak
Lasedayu. Tubuhnya yang mengapung bergerak satu langkah mendekati Labahala.
"Lasedayu,
kau punya mata tapi tidak melihat tingginya Gunung Latinggimeru. Kau bisa
melihat tapi tidak menampak dan tidak tahu dalamnya lautan Lasamuderahijau!
Lihat wajahku baik-baik!"
Labahala
lalu usap wajahnya. Saat itu juga kepalanya berubah jadi memiliki dua muka
berbentuk muka raksasa berwarna merah! Hidung besar, bibir tebal dilengkapi
taring yang mencuat. Rambut panjang awutawutan dan sepasang mata melotot besar
berwarna merah seperti api!
Lasedayu
tersentak kaget, sampai-sampai melambung satu tombak ke atas.
"Makhluk
jejadian! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Lasedayu.
"Aku
bukan makhluk jejadian! Aku adalah Hantu Muka Dua! Raja Diraja Para Hantu Tujuh
Penjuru Angin Negeri Latanahsilam! Jangan kau berani bertingkah di
hadapanku!"
Dalam
kagetnya Lasedayu menyadari bahwa dia tidak boleh berlaku ayal. Dia maklum
kalau makhluk di hadapannya itu punya maksud jahat. Maka sebelum terjadi hal
yang tidak diingini dia memutuskan untuk menghantam Labahala lebih dulu! Tanpa
tunggu lebih lama dia segera lepaskan satu pukulan, mengantar Ilmu kesaktian
yang disebut Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Perut Bumi!.
Serangkum
angin sedahsyat puting beliung dan memancarkan sinar merah menderu ke bawah.
Labahala yang tidak menyangka bakal diserang secara mendadak begitu rupa
berteriak marah dalam kagetnya dan buru-buru selamatkan diri. Dia melesat ke
kiri lalu membuat gerakan berputar dan tahu-tahu sudah berada di belakang batu
besar! Di depan sana dia menyaksikan bagaimana pukulan Lasedayu yang tidak
mengenai sasarannya menghantam sebuah pohon besar. Pohon ini serta merta
terkelupas seluruh permukaan kulitnya hingga dalam waktu sekejapan mata hanya
tinggal bagiannya yang berwarna putih, lalu roboh tumbang dengan suara
bergemuruh!
Sesaat
bulu kuduk Labahala mau tak mau jadi merinding juga. Dalam hati dia membatin.
"Mungkin ini ilmu yang menurut Lamanyala bernama Mengelupas Puncak Langit
Mengeruk Kerak Bumil Luar biasa! Jika manusia sampai kena sasarannya pasti akan
menemui ajal dengan tubuh hanya tinggal tulang belulang saja! Aku harus
dapatkan ilmu kesaktian itu! Semua petunjuk Lamanyala ternyata benar
adanya!"
Kejut
Lasedayu bukan kepalang. Bukan saja ketika melihat lawan sanggup selamatkan
diri dari ilmu kesaktian yang sangat diandalkannya itu, tetapi juga ketika
menyaksikan bagaimana Labahala tahu-tahu sudah berada di sebelah belakangnya,
di balik batu besar. Cepat Lasedayu berbalik.
Saat itu
sinar sang surya yang baru terbit telah mencapai bibir sebelah timur Lembah
Seribu Kabut. Sinarterangnya jatuh ke pusat lembah, memantul pada sebuah benda
kuning yang berada dalam genggaman Labahala.
Lasedayu
lindungi dua matanya ketika sinar kuning itu menyapu mukanya dan membuat
pemandangannya sesaat menjadi gelap. Dalam keadaan masih mengapung di udara dia
melesat ke kiri. Ketika dia bisa melihat dengan jelas kembali kagetnya bukan
alang kepalang. Pemuda bernama Labahala dengan muka raksasa kembar mengerikan
itu sudah berada di depannya. Dalam jarak sedekat itu baru Lasedayu melihat
benda apa yang ada di tangan Labahala.
"Sendok
Emas Pemasung Nasib!" teriak Lasedayu. Kaki kanannya langsung dihantamkan
ke arah kepala Labahala. Namun gerakannya kalah cepat. Sendok emas di tangan
lawan menderu laksana kilat ke arah perutnya.
"Settttt….
Craaasss!" Lasedayu menjerit setinggi langit. Darah menyembur dari
pertengahan perutnya. Dia segera pergunakan dua telapak tangan untuk menutup
luka besar di perut, membendung muncratan darah. Dengan tubuh sempoyongan dia
melayang turun dan jejakkan kaki di tanah. Memandang ke depan Lasedayu melihat
pemuda bermuka raksasa kembar itu tegak sambil menyeringai. Di tangan kanannya,
di atas sendok emas {bergagang pendek melekat sebuah benda sebesar {ujung ibu
jari kaki, berbentuk daging merah hidup ‘bergerak-gerak! Itulah pusar Lasedayu
yang berhasil [dicungkil oleh Labahala dengan Sendok Pemasung Nasib yang
didapatnya dari kakek bernama Lamanyala!
Dengan
kesaktian yang dimilikinya Lasedayu mampu menutup luka besar di bagian
pertengahan perutnya. Namun sesaat kemudian tubuhnya mulai bergeletar. Dua
kakinya goyah. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah. Kesaktian yang
dimilikinya berangsur-angsur sirna. Pandangan matanya yang membeliak besar dan
galak kepada Labahala berubah kuyu dan sayu. Sekujur tubuhnya lemas seolah
tidak memiliki tulang, urat dan otot lagi. Mukanya berubah pucat dan menjadi
tiga kali lebih tua, seolah telah menjadi kakek-kakek!
Labahala
tertawa mengekeh sambil acungkan sendok yang ditempeli pusar Lasedayu. Daging
pusar yang tadi hidup berdenyut-denyut kini diam dan seolah berubah menjadi
batu, menyatu dengan sendok emas itu!
Labahala
tertawa bergefak. "Lasedayu! Pusarmu sudah berada di tanganku! Kesaktianmu
seluruhnya berpindah ke dalam tubuhku! Ha… ha… ha!"
Labahala
gerakkan tangan kanannya, siap untuk menyimpan sendok emas dan pusar Lasedayu
ke balik pakaian kulit kayu yang dikenakannya.
"Selamat
tinggal Lasedayu! Ha… ha… ha…!"
Sambil
memutar badan untuk berkelebat pergi Labahala masukkan sendok emas ke balik
pakaiannya. Namun mendadak terjadi hal yang tidak terduga.
Didahului
satu siuran angin serta satu gelombang kabut yang menutupi pemandangan, di udara
berkelebat satu bayangan serba putih. Lasedayu mencelat dan terbanting ke
tanah oleh sambaran angin itu sementara Labahala sempat terjajar sempoyongan
sampai beberapa langkah. Selagi dia berusaha mengimbangi diri tiba-tiba satu
tangan laksana kilat menyambar ke arah lehernya, seperti pedang yang hendak
membabat putus. Ketika dia berusaha mengelak sambil palangkan tangan kiri
tahu-tahu ada lagi satu tangan menyambar. Labahala tersentak kaget ketika
menyadari sendok emas yang masih ditempeli pusar Lasedayu tak ada lagi dalam
genggaman tangan kanannya!
"Jahanam
berani mati!" teriak Labahala marah sekali. Dia hantamkan tangan kiri
kanan. Yang kiri lepaskan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh sedang tangan
kanan menghantam pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Pukulan
ke dua ini baru saja dirampasnya dari Lasedayu. Walau belum mantap namun
kekuatannya sanggup membuat lawan berubah menjadi tulang belulang! Bayangan
putih yang diserang membuat gerakan
aneh.
Tubuhnya melesat ke atas namun di sebelah bawah, ujung pakaiannya yang
berbentuk seperti jubah memapas dahsyat, mengeluarkan angin deras, membuat
tanah laksana dilanda gempa.
"Plaakk…
plakkkk… plaakk!"
Dua larik
angin pukulan sakti yang dilepaskan Labahala terpental. Labahala sendiri terbanting
ke tanah. Begitu dia melompat bangkit bayangan putih tadi telah berkelebat ke
arah matahari terbit dan akhirnya lenyap dalam sinar menyilaukan yang
membutakan pemandangan!
Dua muka
raksasa Labahala menggeram. Dua pasang matanya seperti mau melompat keluar dan
taring-taring dalam mulutnya mencuat bergemeletakan!
"Jahanam!
Dia merampas sendok emas itu! Kurang ajar! Aku bersumpah mencari tahu siapa
adanya bangsat pencuri itu!" Labahala marah besar. Seperti orang kalap dia
menghantam kian ke mari, menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya! Lalu
tanpa pedulikan lagi Lasedayu yang tergeletak tak bergerak di tanah, Lajundai
alias Labahala segera tinggalkan tempat itu.
Matahari
pagi bergerak naik. Kabut melayang tu-run ke bagian paling bawah Lembah Seribu
Kabut. Lasedayu mengerang panjang. Sambil pegangi perutnya yang luka dia
berusaha bangkit dan duduk menjelepok di tanah. Selagi dia berusaha mengatur
jalan nafas dan peredaran darahnya lalu mencoba bangun berdiri tibatiba dari
arah barat bibir lembah kelihatan nyala api aneh bergerak cepat menuruni
lembah. Demikian cepatnya hingga dalam waktu dua kejapan mata benda ini sudah
berada di hadapan Lasedayu.
Lasedayu
terkesiap kaget ketika mengenali siapa adanya makhluk yang tubuhnya dikobari
api itu. Dia bukan lain adalah Lamanyala, kakek sakti yang dulu pernah menjadi
Utusan Para Dewa. Sisi kanan tubuhnya berlubang besar mengerikan. Kakek ini
tegak berkacak pinggang di hadapan Lasedayu yang megap-megap mencoba berdiri.
"Wahai
Lasedayu, apakah kau sadar bagaimana kutukanku beberapa puluh tahun silam kini
telah menjadi kenyataan?!"
"Tua
bangka jahanam. Kau rupanya! Apa maksud ucapanmu barusan?!" suara Lasedayu
masih keras dan garang.
"Hidup
keluargamu morat marit! Kau tak tahu dimana istrimu berada. Kau juga tidak tahu
dimana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh
besarmu! Kau telah kehilangan seluruh kesaktianmu! Kau sekarang tidak beda
dengan bangkai hidup tak ada gunanya! Ha… ha… ha… ha… ha! Dan sekarang kutukan
paling menyiksa akan kau alami!"
Kakek
bernama Lamanyala itu angkat tangan kirinya. Telapak tangan dibuka dikembangkan
dan diarahkan pada Lasedayu.
"Bangkit….
Tegak! Berdirilah Lasedayu. Tapi jangan berdiri dengan dua kakimu! Mulai hari
ini kau akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan
dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur! Ha… ha…ha!"
Lamanyala
gerakkan tangan kirinya. Secara aneh sosok Lasedayu yang tadi susah payah
berdiri kini bangkit tegak. Lalu perlahan-lahan tubuh itu naik ke atas,
berputar dengan kepala menghadap ke tanah.
Mau tak
mau Lasedayu harus ulurkan tangan menjaga agar bukan kepalanya yang menempel di
tanah.
"
Bagus Lasedayu! Wahai bagus sekali! Kau sudah mengerti rupanya! Ha… ha… ha!
Kaki ke atas kepala ke bawah. Dua tangan dijadikan pengganti kaki untuk
berjalan! Itulah kehidupan barumu Lasedayu! Ha…ha…ha!"
Lasedayu
keluarkan suara menggembor. Tiba-tiba dia mengejar ke arah si kakek. Seperti
yang dikatakan Lamanyala tadi, Lasedayu benar-benar pergunakan dua tangannya
sebagai kaki.
Lamanyala
tertawa terkekeh-kekeh. "Selamat tinggal Lasedayu! Ha… ha… ha!"
Sekali berkelebat si kakek lenyap ke balik kabut ‘yang menggantung di dasar
lembah.
*********************
8
ORANG TUA
berjubah putih itu melompat ke dalam perahu yang rupanya memang sudah
menunggunya di tikungan sungai. Walau tubuhnya tinggi besar dan jarak pinggiran
sungai ke perahu cukup jauh namun sedikit pun perahu itu tidak bergerak. Jelas
dia seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam sangat
tinggi. Selain itu ada satu hal sangat aneh dan sangat mengerikan pada orang
ini yakni bagian kepalanya. Otaknya tidak berada di dalam batok kepala
melainkan berada dan terlihat menyembul di luar kepala mulai dari atas kening
sampai ubun-ubun. Otak ini terbungkus oleh sejenis selubung bening seperti
lapisan kaca dan terlihat selalu bergerak hidup!
Pemilik
perahu, seorang lelaki muda bermuka hitam penuh ketakutan segera saja mengayuh
perahunya menuju ke hilir. Di satu tempat sebelum mencapai sebuah tikungan
perahu membelok menyeberang lalu merapat di tepian sungai di mana terdapat
sebuah gubuk kecil tak berdinding. Tanpa berkata apa-apa, orang tua berjubah
melompat ke daratan. Tubuhnya melayang laksana terbang melewati atap gubuk lalu
lenyap diantara kerapatan pepohonan. Waktu membuat gerakan melompat
meninggalkan perahu tadi lagi-lagi perahu itu tidak bergeming sedikitpun.
Pemilik
perahu yang kini merasa lega gelengkan kepala. "Manusia aneh mengerikan!
Seumur-umur baru kali ini aku melihat manusia otaknya berbungkah di luar
kepala! Manusia aneh! Tapi apa betul dia manusia sungguhan? Ihhh! Datang dan
pergi bicara.hanya dengan isyarat tangan dan gerakan mata! Wahai…. Bahkan dia
tidak memberi upah sama sekali!"
Orang ini
menghela nafas panjang. Mendadak pandangannya membentur sebuah benda berkilauan
yang menancap di pinggiran perahu. Diraba-rabanya benda Itu sesaat lalu
dicabutnya. Begitu memperhatikan satu seruan kecil keluar dari mulutnya.
"Orang
tua aneh. Benar-benar aneh! Aku telah berburuk sangka. Ternyata dia
meninggalkan lempengan perak ini sebagai sewa dan upah perahu! Siapa kah
gerangan. Aku pernah menyirap kabar dulu ada seorang tua tinggal di pedalaman
sana. Memiliki ilmu kesaktian yang hampir setingkat kesaktian Para Dewa. apa
dia orangnya?" Pemilik perahu itu timang-timang lempengan perak lalu
menciumnya berulang kali. Orang tua berjubah putih yang otaknya terletak diluar
batok kepala itu berlari laksana angin. Rambutnya yang panjang putih bukan saja
menutupi kepala bagian belakang sampai ke punggung, tapi juga menjulai di
sebelah depan menutupi wajahnya. Walau matanya terhalang namun dia mampu
berlari dengan kecepatan luar biasa. Sesekali dia sengaja menerjang pepohonan
yang menghadang di depannya seperti tidak sabar untuk menghindar. Saat itu dia
memang tengah berpacu dengan waktu. Dia sedang menghadapi urusan genting.
Kemampuannya untuk sampai di tujuan dalam waktu secepat mungkin akan
menyelamatkan nyawa seseorang. Sambil lari sesekali dia mendongak ke atas
memperhatikan matahari. Kalau dia sampai di tujuan pada saat matahari mencapai
titik tertingginya berarti dia akan gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.
Sambil
berlari dalam hati tiada putusnya dia mengucap. "Lawungu! Jangan kau mati
dulu! Wahai Para Dewa, Para Peri dan semua roh yang ada antara bumi dan langit!
Tolong sahabatku itu!" Otak di atas kepalanya berdenyut keras.
Berlari
sejauh lima ratus tombak orang tua ini sampai di satu kawasan hutan yang banyak
ditebari batu-batu besar. Di satu tempat dia membelok ke kiri dan sampai di
hadapan sebuah lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Tanpa ragu orang
tua ini masuk ke dalam goa itu.
Di dalam
goa yang hanya diterangi oleh sebuah obor kecil, tergolek sesosok tubuh. Kaki
kanannya mulai dari telapak sampai ke lutut diselimuti luka besar yang telah
memborok dan menebar bau sangat busuk.
"Sahabatku
Lawungu, aku merasa bahagia! Hari ini aku dapat melunasi hutang nyawa
itu!" Si orang tua berucap lalu membungkuk. Sosok di lantai goa tidak
bergerak. Orang tua ini sesaat menjadi kecut.
Jangan-jangan
dia terlambat! Orang yang hendak ditolongnya telah keburu menemui ajal. Celaka!
"Lawungu!"
Orang tua itu pegang dada Lawungu, orang yang tergolek di lantai. Dia menjadi
lega begitu merasakan masih ada denyutan jantung walau sangat perlahan dan
lemah. Lalu dia kerahkan tenaga dalam dan alirkan ke dalam tubuh orang itu.
Sesaat kemudian orang tua bernama Lawungu keluarkan suara mengerang.
"Lawungu!
Buka matamu! Aku datang!"
Lawungu
buka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Mengerikan sekali. Sepasang mata itu
tertutup genangan nanah! Orang tua berjubah putih tercekat kaget!
Walau
tidak melihat namun Lawungu masih bisa mengenali siapa yang ada di dekatnya
dari suaranya.
Mulutnya
terbuka. Suaranya bergetar.
"Wahai
sahabatku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, apakah kau berhasil mendapatkan
satu-satunya benda yang mampu menyembuhkan borok, membunuh racun ular dalam
darahku dan menyelamatkan jiwaku?!"
"AkU
berhasil sahabatku! Aku membawanya Lawungu!" Lalu orang tua berjubah putih
yang ternyata adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang sangat terkenal di
Negeri Latanahsilam sebagai makhluk berkepandaian sangat tinggi keluarkan
sendok emas dari balik jubahnya. Karena sahabatnya tidak bisa melihat maka
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menggenggamkan sendok emas itu ke tangan kanan
Lawungu.
Begitu
sendok emas sakti itu berada dalam genggaman Lawungu, satu hawa aneh menjalar
masuk kedalam tubuhnya lalu mengalir ke dua jurusan yakni kaki kanan dan
sepasang matanya. Seperti bara api kejatuhan tetesan air dua mata serta kaki
kanan busuk Berborok dari Lawungu keluarkan suara "cess…cess…cess!"
Lalu ada kepulan asap. Genangan nanah di duamata orang tua itu seperti
mendidih! Tubuh Lawungu menggeliat dan gerahamnya bergemeletakan menahan sakit
yang amat sangat. Namun penuh harapanLawungu genggam erat-erat sendok emas itu.
"Sendok
Pemasung Nasib…" desis orang tua ini yang usianya hampir seumur Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Sahabatku! Kau tahu apa yang harus kau
kerjakan. Cepat lakukan. Aku telah lama menunggu saat ini. Aku sudah siap!
Semoga Para Dewa memberkahimu wahai sahabatku!"
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab luruskan kaki kanan Lawungu yang telah membusuk. Dia
menekan urat besar di beberapa bagian kaki sebelah atas.
"Tabahkan
hatimu wahai sahabatku!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Aku
tahu sakitnya seperti ditusuk besi panas! Tapi wahai sahabatku, bertalianlah!
Kesembuhan akan menjadi bagianmu! Para Dewa akan menolongmu!"
"
Lakukan cepat! Aku sudah siap sahabatku!" kata Lawungu pula.
Dengan
menggigit bibir Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tusukkan Sendok Pemasung Nasib
ke telapak kaki kanan Lawungu.
"Crosss!"
Darah
bercampur nanah dan daging yang telah membusuk muncrat mengerikan dan
menjijikkan. Sendok emas yang ditusukkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan
mengerahkan tenaga dalam amblas ke dalam kaki kanan Lawungu, masuk menembus
tulang sampai sebatas pergelangan kaki! Lawungu menjerit setinggi langit.
Dinding dan langit-langit goa laksana mau runtuh. Lalu dia jatuh pingsan. Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab sendiri terduduk terkulai di lantai, tersandar ke
dinding goa. Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
"Hantu
Sejuta Tanya…. Sahabatku…." Lawungu berucap sambil putar kepalanya ke kiri
dan ke kanan.
"Mataku!
Aku bisa melihat kembali!"
Kakek
berjubah putih sibakkan rambut yang menjulai di depan mukanya lalu memperhatikan
dua mata Lawungu. Sepasang mata yang tadinya tertutup nanah. itu kini kelihatan
putih bening dengan dua bola mata hitam, menatap berseri ke arahnya.
"Terima
kasih Dewa!" seru Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Hantu
Sejuta Tanya! Lihat! Kaki kananku juga sembuh!" berseru Lawungu sambil
angkat kaki kanannya lalu melompat berdiri! Memang sungguh luar biasa. Berkat
Sendok Pemasung Nasib yang kini berada dalam kaki Lawungu, kaki kanan orang tua
itu yang tadinya hanya merupakan borok membusuk kini kembali utuh seperti
semula.
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab ikut berseru gembira lalu melompat dan memeluk
sahabatnya itu. Untuk beberapa lamanya dua orang tua ini saling berangkulan.
"Kau
telah menolongku. Kau menyelamatkanku dari kematian yang mengerikan!" Apa
yang diucapkan Lawungu memang benar. Kalau sampai Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab terlambat menolongnya maka dia akan menemui ajal secara tersiksa karena
sebelum menemui kematian tubuhnya akan membusuk dulu secara perlahan-lahan.
"Jangan
kau berkata begitu wahai sahabatku Lawungu! Kau pun pernah menyelamatkan
nyawaku. Kau sembuh berkat pertolongan Para Dewa. Sekarang, seumur hidupmu kau
akan ke mana-mana membawa sendok sakti itu di dalam kaki kananmu. Kecuali Para
Dewa menginginkan sendok itu keluar dari tubuhmu tanpa mengurangi kekuatan dan
melenyapkan kesembuhanmu! Aku yakin sendok itu akan melipatgandakan tenaga
dalam serta kesaktianmu!"
"Setelah
sengsara sekian lama kini aku jadi makhluk paling beruntung!" kata Lawungu
pula. Dia menggosok matanya dan goyang-goyangkan kaki kanannya berulang kali.
"Setelah
mendapat kesembuhan, apa yang akan kau lakukan wahai Lawungu?" tanya Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Apakah
aku perlu mengatakan? Lalu apa artinya kau dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab!"
Kakek
berjubah putih tertawa datar. "Aku tahu kau akan mencari nenek berjuluk
Hantu Santet Laknat itu!"
"Perempuan
celaka itu akan kuhajar habis-habisan sebelum nyawanya kubuat minggat dari
tubuh!" kata Lawungu dengan rahang menggembung dan mata membeliak besar.
"Aku tahu, dia yang mengirimkan ular hitam berbisa itu untuk mencelakaiku!
Dendam di masa muda dibalaskannya di usia tua! Perempuan gila! Tunggu
bagianmu!" Saking marahnya Lawungu tendangkan kaki kanannya.
"Braakkk!"
Dinding
goa yang terkena tendangan serta merta hancur, membentuk satu lobang besar.
Lawungu terbelalak dan terkejut sendiri melihat hal itu. Karena sebelumnya
walau ilmu kesaktiannya tinggi namun untuk menjebol dinding goa batu yang
sangat tebal itu dengan tendangan tak bakal mampu dilakukannya. Kini dia
sanggup membuat dinding goa itu berlobang besar hanya dengan satu tendangan
yang dilakukan secara tidak sengaja!
*********************
9
DI DALAM
bangunan batu di puncak bukit yang kelak di kemudian hari akan dibangun apa
yang dikenal sebagai Istana Kebahagiaan, Lajundai alias Labahala alias Hantu
Muka Dua tengah bermesra-mesraan dengan empat orang gadis jelita. Seorang
pembantu memberitahu bahwa tamu yang sejak lama ditunggu sudah berada di
halaman, menunggu izin untuk masuk.
Biasanya
dalam keadaan seperti itu Hantu Muka Dua akan marah besar jika diganggu. Namun
tamu yang datang memang seorang penting yang sudah ditunggunya sejak lama. Dia
telah menebar selusin orang suruhan untuk mencari dan menemukan orang Itu. Satu
tahun berlalu baru mereka berhasil. Dengan cepat Hantu Muka Dua mengenakan
pakaiannya, lalu bergegas keluar.
Saat itu
matahari yang baru tenggelam masih meninggalkan sinar kuning keemasan di langit
dan menyapu puncak bukit. Di bawah sinar kekuningan yang mulai pupus berubah
menjadi kegelapan, di bawah bayang-bayang satu batu besar berbentuk pilar tegak
berdiri seorang kakek berwajah tirus, berpakaian compang camping. Di tangan
kirinya ada sebuah tongkat terbuat dari batu yang memancarkan sinar biru redup.
"Hantu
Muka Dua," sang tamu menegur. "Sebelum pembicaraan dimulai, aku harap
jangan sekali-kali menyebut nama atau gelarku! Batu dan pohon bisa punya
telinga. Bumi dan langit bisa mendengar. Angin yang bertiup menebar kabar ke
delapan penjuru. Aku tak ingin ada orang di luar tahu kedatanganku ke tempat
ini!"
Hantu
Muka Dua yang saat itu berpenampilan dalam wajah lelaki separuh baya berkulit
kuning di sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang diam sejenak
mendengar kata-kata tamunya itu. Lalu perlahan-lahan dia mulai tertawa.
Lama-lama tawanya itu berubah menjadi kekehan panjang.
"Wahai!
Tertawa terkadang bisa menyehatkan tubuh. Tapi bukan mustahil suatu ketika
tertawa bisa membuat seseorang berumur pendek!" kata kakek berwajah tirus
yang rupanya tidak suka mendengar tawa Hantu Muka Dua.
Kalau
saja orang lain yang berkata seperti itu, mungkin Hantu Muka Dua sudah
melompatinya dan menghajarnya habis-habisan. Dia adalah Raja Diraja Segala
Hantu di Negeri Latanahsilam. Tidak bisa orang lain bicara seenaknya
terhadapnya. Tapi karena dia memerlukan orang itu maka Hantu Muka Dua menahan
luapan amarahnya. Wajahnya depan belakang tidak sempat berubah menjadi sepasang
wajah raksasa yang biasanya terjadi kalau dia sedang marah.
Hantu
Muka Dua hentikan tawanya. "Kau tak mau disebut namamu! Apa susahnya! Biar
aku memanggilmu dengan nama Kera Sakti Tak Bernama. Kau setuju?!"
Wajah
tirus si kakek yang memegang tongkat batu biru sesaat tampak berubah.
"Kalau kau menyebut aku Kera Sakti Tak Bernama maka mulai sekarang aku
akan memanggilmu Orang Hutan Tak Berekor. Kau setuju…?"
Amarah
Hantu Muka Dua hampir meledak. Dalam menahan didihan kemarahannya, dua kakinya
sampai melesak satu jengkal ke dalam tanah. Dalam hati dia berkata. "Kalau
urusan ini sudah selesai, akan kusuruh orang mencincang tubuh jahanam satu ini
sampai lumat!"
"Aku
setuju saja. Karena semua orang tahu Orang Hutan jauh lebih pandai dan cerdik
dari pada kera biasa!" Hantu Muka Dua akhirnya lontarkan ucapan Itu lalu
sunggingkan seringai mengejek.
Orang tua
yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama balas menyeringai lalu berkata.
"Sekarang katakan padaku apa keperluanmu meminta aku datang ke tempat ini.
Tapi! Sebelum kau memberitahu aku ingin agar kau lebih dulu membunuh dua belas
orang anak buahmu yang telah kau tugaskan untuk mencariku. Kau harus melakukannya
saat ini juga, di tempat ini di hadapanku!"
Kejut
Hantu Muka Dua bukan alang kepalang. Kemarahannya tidak tertahankan lagi.
Mukanya yang dua langsung berubah menjadi muka raksasa berwarna merah dan
garang!
"Hemmmm!"
Kakek yang disebut Kera Sakti Tak Bernama bergumam." Kau kulihat marah.
Tak ada satu orang pun boleh marah padaku! Itu aturanku sejak puluhan tahun
lalu. Aku tidak merasa perlu membuat urusan denganmu! Selamat tinggal Orang
Hutan Tak Berekor!"
"Wahai!
Tunggu! Jangan salah sangka! Jangan bercepat marah!" Hantu Muka Dua
berseru. Dua mukanya yang tadi berbentuk raksasa kini berubah kembali menjadi
wajah lelaki separuh baya.
Kakek
bermuka tirus hentikan gerakannya yang sempat hendak berbalik pergi itu. Dua
alisnya naik ke atas. Tatapannya seperti hendak menembus batok kepala Hantu
Muka Dua.
"Sahabatku,"
kata Hantu Muka Dua pula dengan suara bergetar karena terpaksa harus menindih
amarah. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala
Nafsu dia benar-benar merasa dikurang ajari dan direndahkan oleh si kakek di
hadapannya itu. "Kuharap kau mau bersabar untuk mendengar satu cerita
mengapa aku sampai memintamu datang ke mari."
"Saat
ini aku tidak butuh ceritamu! Aku ingin kau segera memenuhi permintaanku tadi.
Dua belas orang anak buahmu itu harus dilenyapkan! Kalau kau tidak melakukan,
pembicaraan kita cukup sampai di sini!"
"Mudah
saja memenuhi permintaanmu itu! Tapi apa perlunya?" Hantu Muka Dua jadi
penasaran.
"Tadi
sudah kukatakan! Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi dan langit bisa
mendengar! Angin bisa menebar kabar! Apalagi manusia! Punya telinga, mata dan
mulut! Dan jumlah mereka dua belas orang pula! Kau terima permintaanku atau kau
boleh masuk kembali ke sarangmu di bangunan batu itu!"
"Aku
bisa menerima permintaanmu!" jawab Hantu Muka Dua walau dalam hati dia
memaki habis-habisan. Setelah berucap begitu Hantu Muka Dua bertepuk tangan
tiga kali. Seorang gadis berambut panjang muncul. Dia menjura lalu tegak
menunduk menunggu perintah.
"Dua
belas orang yang berada di dalam kebun di belakang bangunan batu, lekas kau
suruh mereka segera ke sini!"
Si gadis
rundukkan tubuhnya sedikit, menjura lalu tinggalkan tempat itu. Tak lama
kemudian dua belas orang lelaki muncul di tempat itu. Hantu Muka Dua meminta
mereka tegak berjejer di depan satu dinding batu.
"Kalian
telah berjasa besar berhasil menemui dan meminta kakek ini datang ke sini. Hari
ini aku akan memberi hadiah besar pada kalian!"
Mendengar
ucapan Hantu Muka Dua tentu saja dua belas orang itu menjadi sangat gembira.
Sebelumnya mereka memang telah menerima hadiah dari Hantu Muka Dua karena bisa
menyelesaikan tugas dengan baik. Kini diberitahu bahwa mereka akan mendapat
hadiah besar, tentu saja semuanya merasa senang.
Maka ke
dua belas orang itu tegak berjejer dengan sikap gagah dan wajah berseri-seri.
Hantu
Muka Dua gerakkan ke dua tangannya seperti hendak mengambil sesuatu di balik
pakaian kulit kayu yang dikenakannya. Tapi sekonyong-konyong dua tangan itu
dipukulkannya ke depan. Dua larik sinar merah berkiblat disusul menderunya dua
gelombang angin dahsyat. Dua belas orang yang berjejer di depan dinding batu
keluarkan seruan kaget. Beberapa di antara mereka yang mengenali pukulan maut
itu segera melompat cari selamat. Namun tidak satu orang pun yang bisa meloloskan
diri. Dua belas anak buah Hantu Muka Dua itu terpental menghantam dinding batu
di belakang mereka lalu jatuh berkaparan. Tubuh mereka mengepulkan asap merah.
Begitu asap sirna kelihatanlah satu pemandangan mengerikan. Sosok dua belas
orang itu kini hanya tinggal tulang belulang berserakan!
Hantu
Muka Dua berpaling pada kakek di depannya. "Kera Sakti Tak Bernama, kau
saksikan sendiri kehebatan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak
Bumi. Aku sudah melakukan apa yang,kau minta! Apa kau puas?!"
Orang tua
itu silangkan tongkat birunya di depan dada, menyeringai sesaat lalu berkata.
"Kau sudah melaksanakan pinta. Sekarang silakan bicara. Apa yang hendak
kau ceritakan padaku. Apa yang kau tanyakan dan apa yang hendak kau suruh aku
melakukan!"
"Kau
pernah mendengar sebuah benda yang disebut Sendok Pemasung Nasib?"
bertanya Hantu Muka Dua.
Kakek
yang dipanggil dengan sebutan Kera Sakti Tak Bernama mendongak ke langit hitam
kelam. Sesaat kemudian terdengar dia berucap.
"Puluhan
tahun silam benda milik Para Dewa itu dibawa seseorang ke Negeri Latanahsilam.
Ada kabar yang mengatakan sendok tersebut sebelum lenyap dipergunakan untuk
mencelakai seorang sakti bernama Lasedayu hingga orang itu kini menjadi seorang
kakek pikun, berjalan dengan mempergunakan dua kakinya dan dijuluki Hantu
Langit Terjungkir…"
"Wahai,
pengetahuanmu ternyata cukup luas!" memuji Hantu Muka Dua.
Si kakek
menatap lekat-lekat ke wajah Hantu Muka Dua. "Di antara kabar yang kusirap
menyatakan kau adalah murid Lasedayu. Apa benar wahai Orang Hutan Tak
Berekor?!"
Hantu
Muka Dua meludah ke tanah. "Aku tidak berguru pada orang setolol Lasedayu!
Justru aku telah merampas semua ilmu yang dimilikinya karena makhluk tolol
seperti dia tidak layak memiliki berbagai ilmu kesaktian!" Hantu Muka Dua
berkata sambil busungkan dada. "Kau tadi mengatakan sendok sakti itu
lenyap. Kau tahu ke mana lenyapnya sendok itu? Siapa yang mencurinya atau di
mana beradanya sekarang?"
Kakek di
hadapan Hantu Muka Dua gelengkan kepala.
"Ketahuilah
wahai Kera Sakti Tak Bernama! Aku memintamu ke sini guna menugaskanmu mencari
Sendok Pemasung Nasib itu sampai dapat lalu menyerahkannya padaku! Aku mendapat
kabar bahwa Hantu Langit Terjungkir juga tengah berupaya mendapatkannya! Jadi
kau punya dua tugas. Mencari Sendok Emas Pemasung Nasib dan membunuh orang
bernama Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir itu! Terserah mana yang hendak
kau lakukan lebih dulu!"
"Apakah
Lasedayu masih diam di Lembah Seribu Kabut?" tanya si kakek.
"Setahuku
dia lenyap dari lembah itu sejak empat puluh tahun silam! Tugasmu untuk mencari
tahu di mana dia berada…."
Kera
Sakti Tak Bernama menyeringai lalu berkata. "Diriku adalah diriku! Aku
bukan bangsa manusia yang suka diperintah oleh orang lain. Aku tidak akan
mengerjakan apa-apa sebelum tahu apa imbalan balas yang kau berikan
padaku…."
Hantu
Muka Dua tersenyum walau dalam hati dia keluarkan rutukan. "Ketahuilah,
sejak aku mempermaklumkan diri sebagai Raja Diraja di Negeri Latanahsilam ini
segala sesuatunya berada dalam genggaman kekuasaanku, termasuk dirimu! Jika ada
orang merasa dan menganggap diri paling sakti di negeri ini, aku akan
menjungkir balikkannya dan melempar rohnya hingga tergantung antara langit dan
bumi semudah aku membalikkan telapak tangan! Tapi terhadap mereka yang mau
membantuku, tersedia imbalan yang luar biasa besarnya. Untukmu aku telah
menyiapkan satu jabatan tinggi dalam Istana Kebahagiaan. Selain itu kau akan
kuberikan kekuasaan penuh di wilayah Negeri Latanahsilam sebelah timur. Harta
kekayaan berlimpah ruah akan mengelilingimu. Lalu aku tidak lupa menyediakan
kesenangan hidup yang selalu didambakan setiap lelaki. Wahai Kera Sakti Tak
Bernama, harap kau suka mengikuti aku masuk ke dalam bangunan batu…."
Hantu
Muka Dua putar tubuhnya lalu berjalan ke arah bangunan batu. Si kakek mengikuti
dari belakang namun diam-diam dia siapkan satu pukulan sakti di tangan kiri
sedang ke tongkat batu biru yang ada di tangan kanannya dia alirkan tenaga
dalam. Bagaimanapun dia masih belum mempercayai manusia bermuka dua yang
dijuluki sebagai Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu ini.
Masuk ke
dalam bangunan mereka sampai ke sebuah ruangan di mana sebelumnya Hantu Muka
Dua bersenang-senang dengan empat orang gadis cantik. Saat itu ke empat gadis
tersebut masih ada di ruangan tersebut dalam keadaan nyaris tidak berpakaian.
Melihat kemunculan Hantu Muka Dua mereka menyangka lelaki itu hendak
melanjutkan bermesraan dengan mereka. Namun betapa terkejutnya ke empat gadis
ini ketika Hantu Muka Dua berkata.
"
Harap kalian suka melayani kakek sahabatku ini!"
Kakek
yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama itu sesaat diam tegak tak bergerak
seolah dia tidak tertarik pada ke empat gadis jelita itu. Tapi begitu Hantu
Muka Dua lenyap di balik sehelai tirai kayu si kakek segera melompati gadis
paling dekat, langsung memeluk dan menciuminya.
. Dari
balik tirai Hantu Muka Dua mengintai menyeringai. "Bandot tua, puaskan
nafsumu! Lain hari begitu kau dapatkan Sendok Pemasung Nasib, dirimu akan
kujadikan bangkai tak berguna!"
*********************
10
KITA
kembali kepada apa yang terjadi dengan tiga sekawan Pendekar 212 Wiro Sableng,
Naga Kuning serta kakek berjuluk Si Setan Ngompol (baca bagian akhir Bab Lima).
Ketika
orang itu memandang tak berkedip pada sosok tubuh dalam kegelapan yang barusan
menyerang mereka dengan tiga benda menyala seperti bara api.
"Astaga!"
kata Naga Kuning sambil menggamit Wiro. "Makhluk bertangan buntung itu,
bukankah dia yang bernama Latandai alias Hanfu Bara Kaliatus?!"
"Memang
dia," jawab Wiro.
Setan
Ngompol pegang erat-erat bagian bawah perutnya. "Bagaimana dia bisa muncul
di sini. Bukankah waktu itu dia sudah dikutuk Peri Bunda dan melarikan diri
bersama walet terbang…."
"Lihat
perutnya," balas berbisik Wiro. "Ada cahaya kemerahan. Berarti bara
api yang jadi senjata andalannya masih mendekam di situ. Luar biasa kalau dia
masih bisa hidup!"
Sosok
yang tegak dalam kegelapan itu memang Latandai yang berjuluk Hantu Bara
Kaliatus adanya. Seperti dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng
berjudul "Hantu Bara Kaliatus") karena melakukan siasat keji terhadap
istrinya yang bernama Luhsantini, Hantu Bara Kaliatus oleh Peri Bunda dikutuk.
Bara api yang ada di kepala dan tubuhnya dimasukkan sang Peri ke dalam
perutnya. Dalam keadaan menderita luar biasa Hantu Bara Kaliatus melarikan
diri, terbang bersama walet raksasa tunggangannya. Ternyata Hantu Bara Kaliatus
pergi memencilkan diri ke satu tempat. Di sini dia bersamadi siang malam di
bawah terik sinar matahari serta dinginnya udara malam. Tak kenal panas tak
peduli hujan. Samadinya yang luar biasa membuat Para Peri menjadi khawatir karena
bukan mustahil Hantu Bara Kaliatus akan mendapat satu kekuatan baru hingga
mampu memiliki kesaktian dan menjadikan bara menyala yang ada dalam perutnya
sebagai senjata dahsyat seperti sebelumnya.
Dugaan
Para Peri tidak meleset malah secara tidak terduga muncul Hantu Santet Laknat
Nenek sakti berhati jahat yang merupakan guru Latandai ini membantu muridnya
hingga Latandai berhasil mendapatkan kesaktian baru. Puluhan bara api yang
mendekam dalam perutnya mampu dilontarkannya keluar lewat mulutnya, dijadikan
senjata dahsyat! Berarti apa yang selama ini disebut ilmu "Bara Setan
Penghancur Jagat" akan muncul kembali di rimba persilatan Negeri
Latanahsilam. Bedanya kalau dulu bara itu berada dikepala dan bagian luar tubuh
Hantu Bara Kaliatus maka sekarang berada dalam perutnya!
Pada
pertemuan dengan muridnya Itu si nenek Hantu Santet Laknat tidak lupa
menegaskan kembali perintah yang pernah diberikannya pada Hantu Bara Kaliatus.
"Dari
beberapa tugas yang aku berikan padamu, baru satu yang kau laksanakan. Kau hanya
bisa membunuh Lasingar! Wahai! Bagaimana dengan tugas-tugas lainnya,
Latandai?!" tanya si nenek dengan pandangan mata tajam seperti memantek
batok kepala Latandai.
"Mohon
maafmu Nek. Aku memang belum melaksanakan dua tugas lainnya yaitu membunuh
Luhsantini istriku sendiri dan manusia bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu
itu…. Aku mendapat halangan besar ketika hendak melakukannya…."
"Peduli
setan segala macam halangan! Bagaimana pun juga kau harus membunuh mereka atau
kau yang akan kubuat meregang nyawa!"
"Aku
akan membunuh mereka sesuai perintah…."
"Harus
kau lakukan! Apalagi istrimu Luhsantini telah bercinta dengan Lakasipo!"
Berubahlah
paras Hantu Bara Kaliatus mendengar ucapan si nenek. Rahangnya menggembung,
gerahamnya bergemeletakan dan darahnya seperti mendidih.
"Mereka
berdua pasti kubunuh Nek. Pasti!" Hantu Bara Kaliatus menggeram dan
kepalkan dua tinjunya. Nyala bara api yang memancar di perutnya kelihatan lebih
terang.
"Jangan
lupa seorang pemuda asing dari negeri seribu dua ratus mendatang bernama Wiro
Sableng! Kau juga harus membunuhnya dan dua kawannya!"
"Akan
aku lakukan Nek," kata Hantu Bara Kaliatus. "Bagus, lebih cepat kau
melakukan lebih baik. Tapi awas dan ingat! Jika kau sampai tidak melaksanakan,
hukuman dariku lebih hebat dari kutukan Peri Bunda!"
"Aku
mengerti Nek, semua perintahmu akan aku laksanakan!" kata Hantu Bara
Kaliatus pula seraya membungkuk. Sambil meninggalkan tawa cekikikan Hantu
Santet Laknat tinggalkan Latandai….
Hantu
Bara Kaliatus pandangi tiga orang di hadapannya dengan mata berkilat-kilat dan
pelipis bergerak-gerak. Lalu dia membentak.
"Kalian
tiga makhluk yang dulu kerdil’. Sebelum kubunuh kalian bertiga lekas beritahu
di mana beradanya kawan kalian bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu!"
"Kami
tidak tahu!" Naga Kuning yang menjawab.
"Bagus!
Kalau begitu kau yang mati duluan!" Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya
lebar-lebar. Otot perutnya menyentak.
Cahaya
merah bergerak dari perutnya, meluncur ke dada terus ke tenggorokan. Di lain
kejap "wussss!"
Sebuah
bara api melesat ke arah kepala Naga Kuning. Bocah ini berseru keras, jatuhkan
diri ke tanah seraya hantamkan tangan kirinya, membalas serangan orang. Selarik
sinar biru menyambar ke arah perut Hantu Bara Kaliatus. Serangan Naga Kuning
mendarat telak di perut Hantu Bara Kaliatus.
"Deessss!"
Naga
Kuning, juga Wiro serta Setan Ngompol melengak kaget ketika melihat bukan saja
perut Hantu Bara Kaliatus tidak mempan dihantam pukulan sakti yang memancarkan
sinar biru itu, tetapi sinar biru itu sendiri malah berbalik menghantam ke arah
Setan Ngompol. Kakek ini berteriak kaget, selamatkan diri jungkir balik. Air
kencingnya muncrat ke mana-mana!
Melihat
ilmu kesaktian Hantu Bara Kaliatus seperti berlipat ganda dari sebelumnya,
Pendekar 212 tak mau berlaku ayal. Dia segera menyergap dan lancarkan serangan
tangan kosong. Hantu Bara Kaliatus menggeram berang. Dia balas menghantam.
Perkelahian seru berlangsung hebat Masing-masing pihak merasa asing dengan jurus-jurus
silat yang dimainkan lawan hingga ke duanya saling berhati-hati.
Lewat
tujuh jurus Hantu Bara Kaliatus yang hanya memiliki satu tangan itu karena
tangan kirinya buntung sebatas siku (akibat jotosan Luhsantini, istrinya
sendiri) mulai terdesak. Lebih-lebih sewaktu Wiro mulai keluarkan ilmu silat
"Orang Gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas.
Tubuhnya melesat aneh kian ke mari. Gerakannya seperti orang mabok. Seolah
mudah dipukul oleh lawan tapi ternyata setiap serangan Hantu Bara Kaliatus
selalu meleset Dada Hantu Bara Kaliatus mulai jadi bulan-bulanan pukulan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun lawan memiliki kekuatan luar biasa. Walau
tubuhnya sampai beberapa kali terpental oleh jotosan Wiro, namun dia sanggup
berdiri lagi, memasang kuda-kuda baru dan lancarkan serangan balasan.
Satu kali
Wiro sengaja menghantam bagian perut lawan yang memancarkan sinar merah.
Pendekar 212 berseru kaget karena begitu tangannya menyentuh kulit perut lawan,
hawa panas luar biasa menyengat. Ketika diperhatikan jari-jari dan sebagian
punggung telapak tangannya ternyata telah menjadi lecet merah seperti
terpanggang!
Hantu
Bara Kaliatus tertawa mengejek. Lalu dia buka lebar-lebar mulutnya.
"Wiro!
Awas!" teriak Naga Kuning.
Tanpa
diberitahu pun Wiro sudah maklum apa yang hendak dilakukan lawan. Dengan cepat
pemuda ini melompat ke kiri. Dari samping dia kemudian siap lepaskan satu
pukulan sakti. Namun saat itu Si Setan Ngompol sudah mendahului. Apa yang
dilakukan kakek ini sungguh gila! Pada saat air kencingnya mancur akibat
ketegangan luar biasa dia sengaja menampungnya dengan dua tangan. Lalu dengan
jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara air kencing itu
dicipratkannya ke arah Hantu Bara Kaliatus. Walau cuma air tapi karena diberi
kekuatan tenaga dalam maka tetesan-tetesan yang terkecil sekalipun akan sanggup
menembus batu!
Hantu
Bara Kaliatus tidak mau berlaku sembrono. Dia tahu ke tiga orang itu adalah
orang-orang yang datang dari negeri seribu dua ratus tahun lebih maju. Maka
begitu air kencing menyiprat dia segera berkelebat menjauhkan diri. Namun masih
ada air kencing yang sempat mengenai perutnya.
"Cesss…
cesss… cessss!"
Suara
seperti benda berapi terpercik air terdengar berkepanjangan. Asap mengepul dari
perut Hantu Bara Kaliatus. Ternyata air kencing Si Setan Ngompol tidak mampu
menciderai perut lawan, apalagi sampai menembusnya! Sebaliknya Hantu Bara
Kaliatus malah tertawa bergelak. Sekali dia membuka mulutnya, tiga bara api
sekaligus melesat keluar, melesat ke arah tiga bagian tubuh Si Setan Ngompol
yaitu kepala, dada dan bagian bawah perut! Mendapat serangan tak terduga dan
mengarah tiga bagian tubuhnya itu si kakek jadi kalang kabut. Walau dia
bergerak luar biasa cepat, dia hanya mampu menghindari serangan bara api yang
menyambar ke kepala dan dadanya. Bara api ke tiga, yang menyambar ke arah
bagian bawah perutnya tidak sanggup dielakannya.
"Celaka
perabotanku!" seru Si Setan Ngompol dengan muka pucat. Dia telah berusaha
melompat sambil kangkangkan ke dua kakinya mengharap bara api itu akan lewat di
bawah selangkangannya, tapi percuma saja!
Naga
Kuning dalam kagetnya tak sempat berbuat apa-apa. Pendekar 212 Wiro Sableng
sendiri berusaha mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya, namun
terlambat. Dia akhirnya memutuskan untuk menghantam lawan dengan Pukulan Sinar
Matahari. Masih tetap terlambat tak ada gunanya!
Dalam
keadaan luar biasa gentingnya itu tiba-tiba dari balik pohon besar berkelebat
mengapung satu bayangan besar disertai bentakan garang.
"Siapa
berani mencelakai tiga saudaraku!"
Satu
ringkikan keras menggelegar.
Lalu
"tranggg!"
Bara api
yang menyambar selangkangan Si Setan Ngompol terpental. Sebuah benda berbentuk
bola hitam somplak. Sosok yang mengapung di udara terdorong sampai setengah
tombak tapi masih bisa jatuhkan diri di tanah dan pasang kuda-kuda pertahanan
yang secepat kilat bisa berubah menjadi kuda-kuda menyerang!
Setan
Ngompol jatuh terduduk di tanah. Sambil usap-usap bagian bawah perutnya dia
berulang kali mengucap.
"Nasibmu
masih untung buyungl Ada orang yang menolongmu!"
"Serrrrrr."
Karena
diusap-usap dan masih dalam keadaan cemas tegang, sibuyung akhirnya kembali
memancur!
*********************
11
HANTU
Bara Kaliatus menggeram marah ketika melihat siapa yang berdiri di depannya.
Sebaliknya Wiro dan dua temannya sama-sama menunjukkan kegembiraan karena yang
muncul dan yang barusan menolong Si Setan Ngompol adalah Hantu Kaki Batu
Lakasipo. Dengan hantaman bola batu di kaki kanannya Lakasipo berhasil membuat
mental bara api yang hendak merenggut nyawa Si Setan Ngompol. Bola batu yang
disebut sebagai Bola
Iblis itu
kelihatan gompal besar di salah satu sisinya.
Sejak
bentrokan di Gunung Labatuhitam dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus telah
menaruh dendam kesumat terhadap Lakasipo. Apalagi dari gurunya Hantu Santet
Laknat dia mendapat kabar kalau Luhsantini, bekas istrinya telah bermain cinta
dengan musuh besarnya itu! Kemarahan Hantu Bara Kaliatus jadi berlipat ganda
ketika dia melihat siapa perempuan berpakaian merah yang tegak di samping
Lakasipo saat itu. Bukan lain adalah Luhsantini, bekas istrinya sendiri!
Bara api
dalam perut Hantu Bara Kaliatus pancarkan cahaya terang. Dari tenggorokan orang
ini keluar suara menggembor. Dia memandang membeliak pada Lakasipo."
Makhluk keparat! Aku memang sedang mencarimu! Sekarang kau datang sendiri
antarkan nyawa!"
Lakasipo
menyeringai lalu menjawab. "Kau salah menduga wahai makhluk bermuka
manusia tapi berhati iblis! Aku datang justru hendak menjemput nyawamu!"
"Jahanam
terkutuk!" maki Hantu Bara Kaliatus. Dia alihkan pandangannya pada
Luhsantini dan tumpahkan kemarahannya pada perempuan ini.
"Wahai!
Benar rupanya kabar yang kusirap! Kau telah menjadi gendak lelaki berkaki batu
ini! Istri yang dulu sangat kupuja ternyata tidak lebih dari seorang
pelacur!"
Wajah
cantik Luhsantini menjadi merah padam. Perempuan ini segera membuka mulut
menukas.
"Latandai!
Jangan bermimpi menganggap aku masih istrimu! Perbuatan kejimu telah
menyebabkan kita mencari jalan sendiri-sendiri! Ternyata bukan hanya hatimu
yang berbisa! Mulutmu juga penuh racun! Sungguh menjijikkan kau masih
menyebutku sebagai istri! Wahai! Apa kau lupa kau pernah hendak membunuhku
sampai dua kali? Apa kau lupa juga telah mencelakai anak kandung darah dagingmu
sendiri? Hingga Lamatahati menjadi cacat seumur hidupnya? Apa kau lupa
bagaimana para Peri mengutukmu?! Wahai! Dosamu selangit tembus sedalam dasar
samudera!"
"Masih
untung anak itu cuma cacat! Mauku dia harus mati! Karena dia adalah anak haram
jadah hasil hubunganmu dengan pemuda bernama Lasingar yang sudah kuhabisi itu!
Kau juga memberikan tubuhmu pada Hantu Muka Dua! Dan wahai! Kini kau menjadi
gendak peliharaan laki-laki berkaki batu itu!"
"Mulutmu
beracun! Hatimu berbisa! Otakmu kotor penuh pikiran keji! Dulu aku berharap
agar Lamatahati, anakmu sendiri yang kelak akan membunuhmu! Tapi saat ini aku
memutuskan biar tanganku sendiri menamatkan riwayatmu! Kekejianmu terhadap kami
ibu dan anak sudah melewati takaran! Semua roh yang tergantung antara langit
dan bumi sudah lama menunggu rohmu!"
Habis
berkata begitu Luhsantini lalu melompat kehadapan Hantu Bara Kaliatus seraya
lepaskan pukulan sakti bernama Di BalikLabukit Menghancur Lagunung. Kehebatan
pukulan ini, bagian depan sasaran yang kena dipukul tidak akan mengalami cidera
atau cacat sedikit pun. Namun bagian belakang sebaliknya akan mengalami
kehancuran mengerikan!
"Perempuan
jalang tak berguna! Mampuslah kau!” teriak Hantu Bara Kaliatus. Dia menganggap
enteng serangan bekas istrinya itu. Namun jadi tersentak kaget ketika merasakan
sambaran angin yang sangat dahsyat menghantam ke arahnya. Hantu Bara Kaliatus
segera maklum kalau ilmu kepandaian Luhsantini kini jauh lebih tinggi dari
sebelumnya! Maka tanpa berlak ayal dia segera balas menghantam dengan pukulan
Selusin Bianglala Hitam. Dua belas larik sinar hitam menggebubu ke arah
Luhsantini. Pukulan sakti inilah yang dulu mencelakai anaknya sendiri yang
masih bayi.
Lakasipo
cepat dorong Luhsantini ke samping hingga perempuan itu terjajar sampai satu
tombak.
Bersamaan
dengan itu Lakasipo hantamkan kaki kanannya. Bola batu membabat ke perut Hantu
Bara Kaliatus. Walau kesaktiannya berpusat pada bagian perut dan perut itu
seolah kebal atos namun Hantu Bara Kaliatus tidak mau cari penyakit. Bola batu
yang membungkus dua kaki Lakasipo bukan bola batu biasa. Itu adalah hasil
pekerjaan santet si dukun keji jahat bernama Hantu Santet Laknat yang juga
adalah gurunya sendiri.
Dua belas
larik sinar hitam menyambar udara kosong. Sementara itu tendangan Lakasipo
berhasil dielakkan oleh Hantu Bara Kaliatus. Begitu selamat dari hantaman bola
batu, Hantu Bara Kaliatus segera semburkan dua bara api. Dia membuat gerakan
seperti hendak menyerang Lakasipo. Tapi tiba-tiba dia membalik dan arahkan
semburan bara apinya pada Luhsantini.
"Luhsantini
awas!" teriak Lakasipo. Dia cepat melompat lalu hantamkan kaki batunya.
Namun dua bara api itu luput. Untung Wiro yang telah bersiap siaga cepat
bertindak. Murid Sinto Gendeng melompat sambil lepaskan pukulan Segulung Ombak
Menerpa Karang. Pukulan sakti yang mengerahkan dua pertiga tenaga dalam ini
berhasil membuat mental salah satu dari dua bara api. Celakanya, bara api yang
satu lagi masih terus melesat ke jurusan Luhsantini walau kini arahnya agak
meleset.
Didahului
teriakan keras Luhsantini melompat selamatkan diri. Namun seperti hidup dan
punya mata bara api yang satu ini mengejarnya. Si Setan Ngompol yang berada di
dekat situ segera ulurkan tangan membetot Luhsantini hingga perempuan ini
terpelanting jungkir balik.
"Wusssss!"
Bara
Setan penghancur Jagat itu masih sempat menyerempet bahu kiri pakaian merah
yang dikenakan Luhsantini hingga kejap itu juga bahu kiri pakaiannya dikobari
api. Luhsantini menjerit keras. Naga Kuning cepat menolong. Sambil melompat dia
kerahkan tenaga dalam ke mulutnya lalu meniup. Kobaran api yang membakar
pakaian Luhsantini serta meria padam.
"Luhsantini!
Kau tak apa-apa?!" teriak Lakasipo.
Perempuan
itu tidak menjawab, melainkan terus menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus,
lancarkan serangan bertubi-tubi. Lakasipo segera pula bergabung. Dikeroyok dua
Hantu Bara Kaliatus jadi kelabakan.
Lakasipo
bukan saja menggempur dengan serangan Kaki Roh Pengantar Mauf tapi juga
pergunakan tangan kosong, bertubi-tubi menghantamkan pukulan Lima Kutuk Dari
Langit. Luhsantini yang selama memencilkan diri di Gunung Labatuhitam ternyata
telah mendapat gemblengan dari seorang tokoh rahasia hingga kalau dulu dia
hanya seorang perempuan yang tidak tahu apa-apa kini berubah menjadi pendekar
berkepandaian tinggi dan menghujani Lakasipo dengan serangan-serangan gencar.
Membuat lawan tidak sempat melancarkan serangan dengan bara api yang ada dalam
perut.
Lama
kelamaan Hantu Bara Kaliatus tidak dapat lagi mengimbangi serbuan ke dua orang
itu. Dia hanya bisa melakukan gerakan mengelak atau mundur terusterusan. Kalau
sampai Wiro atau salah satu dari dua temannya ikut masuk ke dalam kalangan
pertempuran celakalah dirinya. Apalagi beberapa kali pukulan Luhsantini
menyerempet tubuhnya. Walau tidak mengalami cidera berarti namun tubuhnya
terasa sakitsakit terserempet pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung
itu. Sadar kalau bahaya besar bakal mengancamnya maka Hantu Bara Kaliatus
keluarkan satu suitan keras. Dalam gelapnya malam, di udara tiba-tiba melayang
satu makhluk besar menebar bau busuk. Ternyata makhluk ini adalah walet raksasa
tunggangan Hantu Bara Kaliatus.
Kepakan
sayap binatang ini menimbulkan angin luar biasa kerasnya. Selagi orang-orang
yang ada di bawah sana tergontai-gontai bertahan agar tidak jatuh terpelanting,
Hantu Bara Kaliatus melesat ke punggung walet raksasa. Luhsantini cepat
mengenjot tanah. Sebelum Hantu Bara Kaliatus melesat kabur dia masih sempat
daratkan satu pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung di paha kiri bekas
suaminya Itu. Karena dalam keadaan bergerak pukulan tersebut tidak berapa telak
namun masih sempat terdengar keluhan kesakitan keluar dari mulut Hantu Bara
Kaliatus. Walet hitam juga keluarkan pekik kesakitan pertanda pukulan yang
dilepaskan Luhsantini ikut mengenai tubuh binatang itu!
Luhsantini
melompat turun di tanah, tegak mendongak ke langit penuh gemas. Satu tangan
memegang bahu perempuan ini.
"Tak
usah kecewa. Satu saat pembalasan akan menjadi bagian makhluk durjana itu. Kau
tidak apa-apa wahai Luhsantini?" Yang bertanya adalah Lakasipo. Lelaki ini
cepat memeriksa bahu di balik pakaian yang terbakar. Dia merasa lega karena
kulit bahu itu hanya lecet saja.
Luhsantini
palingkan wajahnya. Dia tersenyum pada Lakasipo yang barusan bicara dan
mengkhawatirkan, keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di Gunung
Labatuhitam tempo hari (baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Bara
Kaliatus") walau mereka lama tidak bertemu namun antara ke dua orang ini
telah terjalin satu sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.
Melihat
keadaan ke dua kaki Lakasipo serta mengetahui riwayat lelaki itu di masa lalu
timbullah rasa hiba Luhsantini terhadap lelaki berkaki batu ini. Rasa hiba
berubah menjadi suka dan selanjutnya rasa suka itu berganti dengan perasaan
cinta kasih sayang.
Lakasipo
bukan tidak tahu kalau Luhsantini jatuh hati terhadapnya. Selain itu dia juga
mengetahui riwayat perkawinan Luhsantini dengan Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus. Nasib seolah mempersatukan mereka. Dia tidak bisa menipu diri bahwa
dia pun mengasihani dan menyukai Luhsantini. Namun dalam diri Lakasipo
terkadang muncul rasa kebimbangan. Luhsantini memiliki paras jelita. Namun hati
Lakasipo seolah bercabangcabang. Setiap rasa kasihnya menggelora terhadap
perempuan ini dan dia ingin menemuinya di Gunung Labatuhitam, ingatan dan
perasaan Lakasipo terbagi pada Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Malah belakangan
ini entah mengapa dia selalu terkenang pada dara cantik bernama Luhcinta.
Selain itu ada rasa khawatir kalau-kalau mendiang roh istrinya yakni Luhrinjani
muncul secara mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah diri
menyamak di hati Lakasipo mengingat keadaan kakinya yang terbungkus bola batu.
Walau bola-bola batu itu membuat dia menjadi seorang sakti mandraguna namun dia
merasa seolah-olah itu juga merupakan satu cacat pada dirinya. Dia telah
berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan bola-bola batu itu. Tapi
tidak ada satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah batu tersebut.
Satu-satunya jalan adalah mencari Hantu Santet Laknat dan meminta nenek jahat
itu untuk mengobati memusnahkan santetnya.
Wiro
walau gembira melihat kedatangan Lakasipo namun karena lelaki itu datang
bersama Luhsantini maka dia merasa khawatir kalau Luhrinjani yang belum lama
pergi akan muncul kembali di tempat itu secara tidak terduga. Ingin memberi
tahu pada saudara angkatnya itu Luhsantini berada terlalu dekat. Selagi dia mencari
akal bagaimana cara memberi tahu pada Lakasipo, Lakasipo bertanya padanya
bagaimana dia dan kawan-kawan bisa berada di tempat itu. Wiro lalu
menceritakan. Mulai dari kabar yang mereka dengar yang membuat mereka
berkeinginan untuk melihat dengan mata kepala sendiri Kincir Hantu itu, sampai
pengalaman pahit yang mereka alami sepanjang siang dan awal malam tadi.
"Katamu
kincir itu lenyap begitu malam datang. Wahai aku yakin kincir itu masih tetap
di tempatnya semula. Tak mungkin ada yang memindahkan…" kata Lakasipo.
Luhsantini
ikut bicara. "Mungkin sekali ada satu kekuatan sakti menyungkupi rumah dan
kincir itu, membuat mata kita tidak mampu melihatnya. Bukankah orang bernama
Lateleng itu memiliki semacam ilmu asap?"
Lakasipo
anggukkan kepala menyetujui pendapat Luhsantini. "Sejak beberapa waktu
lalu aku memang sudah mendengar cerita mengenai kincir itu. Kita tunggu sampai
pagi hari. Aku juga ingin menyelidik rahasia apa yang ada di balik kincir itu.
Aku punya firasat, jika terjadi satu peristiwa besar di negeri ini yang
berkaitan dengan keanehan dan keanehan itu berakhir pada kematian maka biasanya
di belakangnya Hantu Muka Dualah yang punya pekerjaan. Sekitar empat puluh
tahun silam pernah tersiar berita tentang lenyapnya seorang sakti bernama
Lasedayu yang diam di Lembah Seribu Kabut. Lalu muncul seorang kakek yang
digelari Hantu Langit Terjungkir. Ada yang mengatakan orang tua ini sebenarnya
adalah Lasedayu itu. Tapi bukti-bukti tak cukup menunjang. Kemudian setahun
lalu tersiar pula berita menghilangnya se-orang kakek sakti yang biasa
dipanggil dengan sebutan Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Kakek ini konon punya
kebiasaan mengelana ke berbagai pelosok negeri untuk melakukan pekerjaan
aneh-aneh. Mulai dari orang baik sampai yang jahat. Berita menarik paling akhir
yang kudengar ialah rencana seorang tokoh bernama Lawungu hendak membuat
perhitungan dengan Hantu Santet Laknat yang juga adalah musuh besarku! Di balik
semua itu tersiar pula kabar bahwa tentu Muka Dua mengaku-aku kalau Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah gurunya. Sementara Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab sendiri tidak pernah muncul seolah menyembunyikan diri. Lalu di balik
semua keanehan itu muncul Kincir Hantu dan pemiliknya seorang mengaku bernama
Lateleng. Siapa Lateleng ini adalah satu hal sangat menarik untuk diketahui.
bisa jadi dia sebenarnya adalah Lasedayu. Tapi bukan mustahil pula Lateleng ini
sebenarnya adalah Si Tongkat Biru Pengukir Bumi. Bagaimana memecahkan semua
rahasia ini sungguh soal yang pelik…."
"Kelihatannya
memang begitu, Lakasipo," kata Wiro. "Karenanya sebaiknya kita lebih
dulu mulai dengan menyingkap rahasia yang ada di balik Kincir Hantu itu. Dari
gerak gerik Lateleng yang kulihat siang tadi, dia seperti mencari sesuatu pada
diri orang-orang yang jadi korbannya. Aku curiga, kitab Kesaktian Menguasai
Tujuh Jin adalah cerita kosong belaka! Hanya dipakai untuk menarik perhatian
agar orang-orang berdatangan ke sini untuk menjajal Kincir Hantu itu. Mereka
dijebak dan menemui ajal dalam jebakan itu!"
"Tapi
setahuku kitab itu memang pernah ada.
Hanya
saja dikabarkan lenyap lima puluh tahun lalu. Bukan mustahil Lateleng memang
memilikinya…" kata Lakasipo pula.
"Lalu
apa sebenarnya yang dicari kakek teleng itu? Hingga tega membunuh orang-orang
yang datang ke tempatnya?!"
"Dia
sulit dituduh melakukan pembunuhan. Bukankah orang-orang itu datang sengaja
untuk menjajal kehebatan Kincir Hantu. Apalagi dengan janji akan diberikan
kitab sakti kepada siapa yang berhasil bertahan sampai tiga kali putaran di
atas roda kincir…" jawab Lakasipo pula. Sejenak dia berpikir lalu baru
melanjutkan ucapannya. "Menurutmu, seperti yang kau saksikan dan malah kau
alami sendiri, ada keanehan di atas roda kincir itu. Pertama kakimu mendadak
terasa berat, tak bisa melompat "
"Keanehan
itu bisa saja hasil perbuatan Lateleng dengan mengerahkan tenaga dalam membuat
siapa saja yang ada di atas roda kincir menjadi merasa berat ke dua kakinya.
Tak sanggup melompat, tak sanggup menghindari benda yang kemudian menabas dua
kakinya…" ujar Wiro.
"Benda
yang menabas kaki itu!" kata Lakasipo pula. "Kau coba menyelidiki apa
adanya. Tapi tidak berhasil. Waktu hal itu akan terjadi, lebih dulu sepasang
matamu silau oleh pantulan sinar matahari yang jatuh di atas roda
kincir…."
"Aku
curiga roda itu dipasangi sesuatu benda yang berkilauan saat kejatuhan sinar
sang surya. Sayang aku tak bisa mencari tahu benda apa itu adanya. Aku coba
menghancurkan kayu roda kincir dengan kakiku. Ternyata kayu itu seatos baja!
Tapi…."
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Pada saat korban terakhir, lelaki berjuluk Si Hati
Baja menemui ajal, sebelumnya kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda
kincir yang membuat dia kesilauan. Hal yang sama juga terjadi dengan diriku.
Jika sinar menyilaukan itu merupakan satu hal yang diandalkan maka aku bisa
menduga Lateleng hanya melayani orang-orang yang datang pada siang hari. Karena
pada malam hari tidak ada sang surya!" Wiro pandangi sepasang kakinya.
Sambil gelengkan kepala dia berkata. "Kalau saja Luhrinjani tidak muncul
secara tibatiba menolongku, mungkin saat ini aku sudah menjadi jerangkong
seperti yang lain-lainnya itu."
Lakasipo
melirik ke arah Luhsantini dan diam-diam menahan rasa kejut mendengar ucapan
Pendekar 212 tadi. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan karena
Luhsantini berada di dekat situ. Sebaliknya Luhsantini jadi merasa kurang enak.
Kalau sampai roh mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di
tempat itu secara tidak terduga, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan
terjadi.
Wiro
memandang pada dua kakinya yang hampir amblas di atas putaran roda Kincir
Hantu. Kemudian dia perhatikan sepasang kaki Lakasipo. Otaknya bekerja. Lalu
dia berkata. "Aku sepakat denganmu. Besok pagi kita lakukan penyelidikan.
Tapi hati-hati. Lateleng dan Kincir Hantunya bisa menebar maut secara tak
terduga…."
"Aku
mencari tempat untuk istirahat dulu. Kalian jangan ke mana-mana," berkata
Luhsantini lalu dia tinggalkan orang-orang itu.
Baru saja
perempuan itu lenyap di balik rerumpunan semak belukartiba-tiba di udara
terdengar suara menguik. Lalu satu makhluk besar melayang turun dalam kegelapan
malam.
Ketika
Wiro mengenali siapa yang datang, dia segera membisiki Lakasipo. "Hantu
Kaki Batu, kau punya tamu yang tidak terduga. Sungguh bahagia malam ini kau
bakal ditemani dua orang perempuan cantik…."
"Jangan
kau berkata begitu. Bisa saja dia muncul bukan mencariku, tapi mencarimu,"
sahut Lakasipo.
"Kita
lihat saja," kata Setan Ngompol pula. "Jika kalian tidak mau
menerimanya, aku tidak keberatan untuk menemaninya ngobrol sampai pagi hari!
Malah kalau perlu mengobrol sampai mengompol!" Setan Ngompol lalu tertawa
cekikikan.
"Tua
bangka gendeng tak tahu diri!" maki Naga Kuning.
*********************
12
MAKHLUK
besar yang melayang turun itu ternyata adalah seekor kura-kura terbang berwarna
coklat. Penunggangnya sudah bisa diterka. Yaitu bukan lain gadis cantik genit
Luhjelita.
Sambil
tertawa lebar gadis ini melompat turun dari atas punggung kura-kura coklat.
Sebelumnya secara diam-diam dia telah menguntit perjalanan Wiro. Gadis ini
merasa perlu menemui pemuda itu untuk menjernihkan perselisihan yang terjadi
antara dia dengan Peri Angsa Putih yang juga menyangkut diri Wiro. Dia berhasil
mengetahui kalau Wiro dan dua kawannya tengah dalam perjalanan menuju suatu
tempat di mana Kincir Hantu terletak. Maka dia segera mengejar ke sana. Namun
dia tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Lakasipo. Seperti telah
dituturkan sebelumnya (baca serial Wiro Sableng berjudul "Peri Angsa
Putih") sebenarnya Luhjelita pernah jatuh hati pada Lakasipo. Namun
setelah Pendekar 212 berubah sosok menjadi sebesar orang-orang di Negeri
Latanahsilam, kegagahan sang pendekar membuat hati si gadis kini jadi terpaut
pada pemuda itu.
Karena
tadi Luhsantini telah beranjak pergi, Luhjelita tidak tahu kalau perempuan itu
juga ada di tempat itu.
Selagi
Luhjelita tegak kikuk di bawah pandangan Wiro dan Lakasipo, Si Setan Ngompol
mendatangi gadis itu. "Sahabatku dara jelita berpakaian Jingga bernama
Luhjelita. Ini satu pertemuan tidak disangka. Banyak orang gagah di tempat ini.
Siapakah yang kau cari?"
"Jelas
bukan mencarimu! Karena kau tidak termasuk orang gagah!" menyahuti Naga
Kuning sambil monyongkan mulutnya pada si kakek lalu tekap hidung menahan tawa.
Setan Ngompol delikkan mata dan cubit pinggang si bocah hingga Naga Kuning
meringis kesakitan.
Luhjelita
tersenyum. "Aku gembira melihat banyak sahabat di sini. Aku…." Gadis
itu memandang pada Wiro. "Aku ingin bicara denganmu. Wahai…."
"Sebelum
kalian berdua bicara, aku perlu bicara denganmu lebih dulu, Luhjelita,"
kata Lakasipo.
Sementara
itu Luhsantini yang semula hendak beristirahat membaringkan badan telah berada
di tempat itu, terbangun oleh suara menguik dan deru sosok Laecoklat, kura-kura
raksasa tunggangan Luhjelita. Dia segera bangkit berdiri mendatangi. Begitu
melihat Luhjelita, Luhsantini ingin sekali menemui dan merangkul gadis itu.
Sewaktu dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus hendak membunuhnya di kawah
Gunung Latinggimeru, Luhjelitalah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada
dalam dukungannya akhirnya yang kena celaka. Dia berhutang budi dan nyawa pada
gadis berpakaian Jingga itu. Namun ketika mendengar percakapan Lakasipo dengan
Luhjelita, Luhsantini batalkan niatnya menemui gadis itu. Dadanya berdebar dan
rasa cemburu membuat parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya antara
Lakasipo dan Luhjelita ada hubungan yang agaknya bukan Cuma hubungan biasa.
"Wahai
Lakasipo, orang gagah dan sakti di Negeri Latanahsilam, gerangan apakah yang
hendak kau bicarakan dengan diriku!" Luhjelita bertanya.
"Peristiwa
ketika aku ikut bersamamu ke Goa Pualam Lamerah…" jawab Lakasipo.
"Ah,
celaka! Dia masih ingat peristiwa itu. Bagaimana aku harus bicara…."
Luhjelita jadi merasa tidak enak. Namun sambil lontarkan senyum genit dia
berkata.
"Kukira
hanya aku saja yang mengingat-ingat peristiwa itu. Ternyata kau tidak pernah
melupakan. Aku sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah saatnya aku harus ke
sana. Mungkin bersamamu…?"
Lakasipo
gembungkan rahangnya pertanda lelaki ini tidak senang dengan ucapan Luhjelita
barusan. "Aku ingin kau berterus terang wahai Luhjelita. Apa yang telah
kau lakukan terhadap diriku di Goa Pualam Lamerah itu?"
Wajah
Luhjelita kelihatan berubah. Sepasang matanya terbuka lebar dan dua alisnya
yang hitam naik ke atas. "Wahai, Lakasipo. Nada pernyataanmu seperti
menuduh! Memangnya apa yang telah aku lakukan terhadapmu? Kau datang dan pergi
tanpa cidera barang sedikit pun!"
"Bukan
mustahil kau sengaja memancing menjebakku ke goa itu. Karena sebelumnya kau
telah berserikat dengan Hantu Muka Dua. Buktinya Hantu Muka Dua tahutahu
muncul di tempat itu. Berniat jahat hendak membunuhku. Sementara kau sendiri
lenyap entah ke mana!"
"Terus
terang aku memang melarikan diri. Tapi aku tidak memancing atau menjebakmu. Kau
tertidur di dalam goa. Mungkin karena keletihan perjalanan jauh. Aku
meninggalkanmu di satu ruangan yang aman lalu melarikan diri karena Hantu Muka
Dua hendak membunuhku!"
"Hantu
Muka Dua hendak membunuhmu? Wahai! Tak percaya aku! Bukankah dia
kekasihmu?!"
Wajah
Luhjelita menjadi sangat merah. Dia menggigit bibir menahan gelora hatinya. Di
batinnya dia berkata. "Kalau kau tahu wahai Lakasipo, walau sekarang aku
tidak lagi tertarik padamu, tapi waktu itu aku benar-benar jatuh cinta
padamu…."
"Mungkin
aku bukan gadis baik-baik Lakasipo. Tapi untuk menjadikan Hantu Muka Dua sebagai
kekasihku, walau kiamat Negeri Latanahsilam ini sampai tujuh kali rasanya hal
itu tidak mungkin terjadi…."
"Lalu
apakah kau tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di goa
itu?!" tukas Lakasipo.
Luhjelita
melirik pada Pendekar212 Wiro Sableng. Gadis ini gelengkan kepala. "Tidak
ada…. Tidak ada terjadi apa-apa di dalam goa itu. Jangan kau berburuk sangka
terhadapku. Apa kau kira aku telah melakukan sesuatu yang tidak senonoh
terhadap dirimu?! Aku tahu di luaran orang menyebut aku sebagai gadis binal
tukang rayu dan tukang bujuk, menebar cinta palsu murahan. Aku tidak sehina
itu. Apalagi terhadap dirimu yang aku…." Luhjelita seolah tersadar. Cepat
dia putuskan ucapannya lalu tutupkan dua tangannya kemukanya.
Lakasipo
terdiam. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Lalu terdengar suara
Luhjelita menahan sesenggukan.
Di balik
semak belukar gelap, Luhsantini tegak tak bergerak walau ada gemuruh di
dadanya. Dari pembicaraan antara Lakasipo dan Luhjelita semakin keras dugaan
perempuan itu bahwa antara ke dua orang tersebut sebelumnya pernah terjalin
satu hubungan. "Goa Pualam Lamerah…" kata Luhsantini dalam hati.
"Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sikap dan cara bicara Lakasipo
tadi seolah menunjukkan ketidaksenangan terhadap gadis itu. Apakah ini
merupakan satu perubahan yang mendadak sejak dia berada di dekatku? Kasihan
gadis itu…. Aku merasa berdosa kalau mungkin aku merebut kekasihnya…."
Memikir sampai ke situ Luhsantini akhirnya balikkan diri, tinggalkan tempat
itu.
Wiro
garuk-garuk kepala. Naga Kuning saling bertukar pandang dengan Setan Ngompol.
Naga Kuning berbisik pada kakek ini. "Aku jadi kepingin tahu apa
kelanjutan ucapan gadis itu. Jangan-jangan dia telah jatuh cinta pada saudara
kita itu…."
"Hussss!
Jangan kau berlancang mulut! Melihat gerak-geriknya aku yakin bukan Lakasipo
yang disukainya tapi kawan kita si sableng satu ini!" ujar Si Setan
Ngompol.
"Masih
lega aku kalau dia mencintai Wiro, bukannya kau!" kata Naga Kuning kembali
menggoda lalu tundukkan kepala menahan tawa.
Merasa
tidak ada gunanya dia berada lebih lama lagi di tempat itu sementara dia tidak
mampu menahan gejolak hatinya, Luhjelita segera putar tubuh hendak berlalu.
Namun suara Wiro membuat langkahnya tertahan.
"Sahabatku
Luhjelita, tunggu dulu…."
Si gadis
turunkan dua tangannya, menatap ke arah Wiro. Dia diam menunggu apa yang hendak
dikatakan Wiro selanjutnya. Hatinya berdebar. Dia tahu sejak beberapa waktu
lalu pendekar itu menaruh syak wasangka besar terhadapnya. Apakah seperti
Lakasipo Wiro juga hendak membicarakan hal itu di depan orang banyak? Menambah
kekecewaan dan sakit hatinya?
"Ada
beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi tidak tepat waktunya kalau
dibicarakan sekarang…."
Luhjelita
jadi lega. "Pemuda ini jauh lebih punya perasaan dibanding dengan lelaki
berkaki batu bernama Lakasipo itu," kata si gadis dalam hati.
"Tongkat
biru itu," Pendekar 212 berkata seraya menunjuk ke sebuah tongkat batu
yang memancarkan warna biru redup dan terselip di pinggang Luhjelita.
"Setahuku kau tidak pernah membawa tongkat atau memiliki senjata seperti
itu. Kalau aku boleh bertanya, sejak kapan kau memiliki benda itu. Apa memang
itu milikmu?"
Pertanyaan
Pendekar 212 Wiro Sableng membuat terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja
Luhjelita sendiri dan yang ke dua adalah Lakasipo. Hantu Kaki Batu segera
berbisik pada Wiro.
"Wahai,
kalau kau tidak menyebut aku sampai tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat
ceritaku sebelumnya tentang seorang tokoh sakti berjuluk Si Tongkat Biru
Pengukur Bumi? Yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?"
Wiro
anggukkan kepala. Sepasang matanya tetap menatap Luhjelita. Dia menatap dengan
pandangan biasa-biasa saja, tidak menyorot apalagi menunjukkan hawa amarah atau
kebencian. Hal itu membuat Luhjelita agak lega sedikit Maka gadis cantik dengan
rambut tergulung di atas kepala itu menjawab polos.
"Tongkat
ini memang bukan milikku. Aku menemukannya di satu tempat "
"Apakah
kau tahu siapa pemiliknya?"
"Kalau
aku tak salah menduga tongkat batu biru ini adalah milik seorang bergelar
Tongkat Biru Pengukur Bumi…."
Wiro
melirik pada Lakasipo membuat Luhjelita menduga-duga apa arti lirikan itu.
"Kalau
aku boleh bertanya lagi, di manakah pemilik tongkat itu sekarang berada?"
ujar Wiro pula.
"Orang
tua itu kutemukan sudah jadi mayat. Tubuhnya" Luhjelita tidak meneruskan
ucapannya, dia cepat beralih kata. "Tongkat ini kutemukan tak jauh dari
jenazahnya."
"Terima
kasih atas keteranganmu," kata Wiro lalu tersenyum.
Senyuman
itu membuat hati Luhjelita seperti diguyur air yang sangat sejuk. Dia tidak
menyangka akan menerima senyuman itu dari pemuda yang dianggapnya telah
membenci dirinya.
"Aku…."
Luhjelita tidak tahu mau bicara apa. Lalu dicabutnya tongkat batu biru dari
pinggangnya. "Tongkat ini bukan milikku. Aku tidak membutuhkannya. Mungkin
lebih tepat jika berada di tangan kalian!" Walau Luhjelita menyebut
"kalian" namun tongkat biru itu dilemparkannya ke arah Wiro. Pendekar
212 cepat menangkapnya. Pada saat tongkat itu berada dalam genggaman Wiro, saat
itu pula Luhjelita lenyap dalam kegelapan. Yang terdengar kemudian adalah
gemuruh kepakan sayap kura-kura terbang tunggangannya.
*********************
13
LIMA
orang yang berlindung di balik semak belukar itu memandang tegang tak berkedip
ke arah Kincir Hantu yang mulai berputar menggemuruh begitu sang surya muncul
terang di ufuk timur.
"Kincir
sudah berputar, aku masih belum melihat kakek bernama Lateleng itu…" kata
Lakasipo. Sambil bicara dia melirik ke arah Luhsantini yang sejak pagi tadi tak
banyak bicara.
"Itu
muncul orangnya!" kata Naga Kuning tiba-tiba seraya menunjuk ke depan.
"Dia ada di atas atap rumah kincir!"
Semua
mata serta meria memandang ke atas rumah kincir. Menang benar. Di atas atap
kelihatan seorang yang wajah tuanya hanya sebagian kelihatan karena tertutup
caping. Di mulutnya terselip sebuah pipa mengepulkan asap merah. Di atas atap
di sebelah belakangnya menancap sebuah bendera berwarna kuning.
Wiro
memandang pada semua orang yang ada di situ. "Kalian sudah siap
semua?" Semua yang ditanya termasuk Luhsantini anggukan kepala.
Lima
orang itu lalu keluar dari balik semak belukar, menyeberangi lapangan. Bergerak
menuju Kincir Hantu. Sambil melangkah Lakasipo berkata pada Wiro. "Melihat
pipa dan warna asap yang mengepul, aku ingat pada seorang tokoh langka berjuluk
Si PenghembuRoh. Setahuku dia satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian sangat
ganas. Dengan cara meniup asap dia bisa merubah sosok manusia menjadi
jerangkong seperti yang berserakan di ujung lapangan sana…."
"Kalau
begitu bangsat tua di atas atap itu pastilah Si Penghembus Roh itu!" kata
Wiro pula.
"Aku
ragu. Ciri-cirinya tidak seperti tokoh langka itu…" jawab Lakasipo pula.
Lalu dia hentikan aliran tenaga dalamnya yang menuju ke kaki. Akibatnya
"duk… duukk… duukk!" Bola-bola batu yang membungkus kaki Lakasipo
mengeluarkan suara keras. Tanah bergetar dan membentuk lobang-lobang.
Tiba-tiba
kakek bercaping di atas atap rumah kincir bangkit berdiri. Lima orang itu yang
berjalan di tanah lapang serta merta hentikan langkah. Si Setan Ngompol belum
apa-apa sudah mulai basah bagian bawah celananya karena tegang.
Di atas
atap rumah kincir, kakek bernama Lateleng sedot pipanya lalu hembuskan asap
merah tinggitinggi ke udara. Setelah itu dia buka capingnya dan menjura ke
arah orang-orang yang berdiri di tanah lapang di depan Kincir Hantu.
"Ada
serombongan tamu datang berkunjung! Aku Lateleng sungguh mendapat kehormatan
besar! Tapi mataku belum lamur apalagi buta. Kalian ke sini bukan mencari kitab
Kesaktian Menguasai Tujuh Jin! Kau yang berambut gondrong dan kau kakek
berkuping lebar serta kau budak konyol berpakaian serba hitam berambut seperti
ijuk! Bukankah kalian bertiga perantau asing yang kemarin muncul di sini dan
sempat membuatku jengkel? Ada gerangan apa kalian masih berani kembali unjukkan
muka di tempat ini?! Kalau hari ini aku marah besar jangan harap kalian bertiga
bisa melihat matahari tenggelam sore nanti!"
Pendekar
212 angkat tangan kirinya lalu menjawab. "Aku datang membawa dua teman.
Mereka ingin mencoba kepandaian menjajal kehebatan Kincir Hantumu! Apa kau
berani menerima tantangan?!"
Kakek di
atas rumah kincir menatap tajam pada Lakasipo yang berkaki batu dan Luhsantini.
Dalam hati dia menggeram. "Jahanam berambut gondrong itu! Dia benar-benar
membuat kesulitan besar padaku! Si kaki batu itu mungkin saja dia
menyembunyikan benda yang aku cari di salah satu kakinya. Tapi aku tahu betul
kehebatan batu yang dijuluki Bola Bola Iblis itu. Apa aku sanggup
menghancurkannya? Lalu perempuan berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi
temanku bersenang-senang. Tapi kini malah bisa menimbulkan bahaya bagiku!"
Walau
hatinya merasa tidak enak namun kakek. kepala teleng umbar tawa bergelak.
"Wahai kalian berlima dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini aku masih merasa
segar dan berhati senang. Tapi dalam sekejap pikiranku bisa berubah. Sebelum
pikiranku berubah aku perintahkan pada kalian semua agar segera angkat kaki
tinggalkan tempat ini. Kecuali perempuan berpakaian merah! Dia boleh tetap
berada di sini menemaniku!"
Lakasipo
mendengus keras. Luhsantini perlihatkan muka geram sementara Naga Kuning
mencibir dan Si Setan Ngompol bersungut-sungut Wiro diam sesaat. Lalu sambil
menggaruk kepala dia membatin. "Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu
seperti pernah kudengar sebelumnya…."
"Lakasipo,
kakek teleng itu agaknya jerih melihat bola-bola iblis di ke dua kakimu,"
bisik Naga Kuning.
Wiro
menggaruk kepalanya kembali seraya berkata. "Dia mengincar Luhsantini.
Tapi bukan mustahil dia menyembunyikan sesuatu…. Kalau dugaanku betul…."
Sementara
itu Kincir Hantu berputar terus dengan suara menggemuruh menggetarkan tanah
lapangan.
"Kakek
di atas rumah kincir!" Pendekar 212 berteriak. "Perempuan cantik baju
merah ini menjadi milikmu jika kau mengizinkan kawanku yang berkaki batu ini
menjajal kehebatan kincirmu!"
"Wiro,
lancang sekali mulutmu!" teriak Luhsantini marah. Naga Kuning dan Setan
Ngompol melongo.
Lakasipo
pelototkan mata. Tangan kirinya langsung mencekal tengkuk baju Pendekar 212.
Suaranya menggeram marah ketika berkata setengah berteriak. "Jangan kau
berani menjual sahabat! Perlu apa memaksa kalau si kepala teleng itu takut
menerima tantangan kita?!"
Wiro
menyeringai. "Kalau dia memang takut lebih baik kita tinggalkan tempat
ini! Tapi apa tidak sebaiknya sebelum pergi kita hancurkan dulu Kincir Hantu
itu! Rumah kincirnya sekaligus! Kalau perlu si teleng pengecut di atas atap itu
sekalian!"
"Weehh!
Kemarin garang amat! Sekarang kecut seperti banci!" mengejek Naga Kuning
lalu tertawa gelak-gelak.
"Mungkin
dia perlu diberi semangat! Diberi minum air kencingku!" menyambung Si
Setan Ngompol yang akhiri kata-katanya dengan tawa cekikikan.
Menggelegak
amarah Lateleng mendengar ucapanucapan Wiro dan kawan-kawannya. Tapi dia
pandai menutupi sikap. Dia sengaja mengumbar tawa bergelak.
Di bawah
sana Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi tawa penuh ejek. Lakasipo juga keluarkan
suara mengekeh. Naga Kuning, Setan Ngompol dan Luhsantini susul menyusul
keluarkan tawa.
"Sudah
teleng ternyata pengecut!" berteriak Naga Kuning.
"Kepala
atas teleng tapi kepala bawah tahu perempuan cantik! Hik… hik… hik!"
berseru Si Setan Ngompol.
"Rupanya
di sini tidak ada kaca! Membuat tua bangka itu tidak tahu dia buruk rupa!"
menyusul teriakan Luhsantini.
Ditertawai,
diejek dan dicaci maki seperti itu menggeletarlah sekujur tubuh Lateleng.
Amarahnya meluap. Darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah terbakar.
Berulang kali dia mengusap mukanya depan belakang seolah ada sesuatu yang
berusaha ditahannya.
"Manusia-manusia
jahanam! Siapa pengecut! Siapa penakut! Aku bukan makhluk banci! Manusia kaki
batu! Aku terima kesombonganmu! Silakan melompat ke atas kincir! Aku mau lihat
sampai di mana kehebatanmu!"
Orang tua
di atas atap rumah kincir akhirnya terpancing marah dan menerima tantangan.
Padahal semua ucapan dan ulah Wiro serta kawan-kawannya tadi hanya sandiwara
belaka yang sudah diatur demikian rupa memang untuk menjebak si kakek teleng
itu. Begitu pancingan mereka mengena tanpa tunggu lebih lama Lakasipo segera
melesat ke atas kincir! Dua kaki batunya hinggap di atas permukaan roda kincir
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, membuat Lateleng merasa jerih lalu
diam-diam alirkan tenaga dalam ke tangan kirinya.
Di saat
yang sama Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol serta Luhsantini telah melesat
pula ke atas atap rumah kincir.
"Kalian
mau apa?! Lekas turun!" teriak Lateleng marah.
"Kami
hanya mau menyaksikan permainan gila ini dilakukan tanpa kecurangan!"
jawab Wiro seenaknya tapi tangan kanannya meraba pinggang kiri di mana terselip
Kapak Maut Naga Geni 212. Sepasang matanya meneliti seputar atap rumah kincir.
Pandangannya membentur sebuah tonjolan kayu yang menyembul keluar dari
permukaan atap dan berada tak jauh dari kaki Lateleng. Murid Sinto Gendeng yang
cukup punya pengalaman tentang berbagai peralatan rahasia segera saja
mencurigai tonjolan kayu itu adalah satu peralatan yang ada hubungannya dengan
Kincir Hantu. Mulai saat itu gerak-gerik kaki Lateleng serta tonjolan kayu itu
tidak lepas dari perhatian Pendekar 212.
Si Setan
Ngompol tegak di atas atap sambil pegangi bawah perutnya yang mengucur
habis-habisan. Dia menyeringai kecut, ketika Lateleng melotot padanya.
"Aku tidak mau berbuat apa-apa. Bukankah aku sahabatmu yang akan memberimu
minuman penyegar jika kau kehausan? Lihat saja! Bukankah matahari pagi mulai
bersinar terik?" Sambil berucap kakek bermata jereng ini siapkan pukulan
sakti Sct.m Ngompol Mengencingi Pusara.
Kakek
teleng bantingkan capingnya di atas kepala dan memaki panjang pendek dalam
hati. Dia berpaling pada Naga Kuning. Anak ini tegak tak acuh sambil mengorek
hidungnya, begitu asyik hingga matanya meram melek. "Aku naik ke atap cuma
pingin tahu permainan sulap apa yang ada di tempat ini!" Naga Kuning
berucap sambil melirik pada Lateleng yang memelototinya. Padahal saat itu di
tangan kirinya dia sudah menyiapkan pukulan Naga Kuning Merobek Langit
Ketika
Lateleng berpaling ke arah Luhsantini, perempuan cantik ini lemparkan senyum
manis lalu berkata dengan suara merdu. "Wahai kakek gagah pemilik Kincir
Hantu. Bukankah kau minta aku menemanimu? Bukankah temanku si gondrong itu
menjanjikan diriku untukmu jika kau menerima tantangan si kaki batu itu?
Sekarang aku adalah milikmu."
Selagi si
kakek teleng kelihatan seperti terkesiap, Luhsantini cabut bendera kuning di
atas atap lalu serahkan pada si kakek. Mau tak mau Lateleng terima bendera itu
namun dalam hati dia membatin. "Orang-orang ini. Agaknya mereka
merencanakan sesuatu. Gila! Mungkin aku sudah terperangkap dalam jebakan
mereka! Jahanam betul! Untung sampai saat ini mereka masih belum tahu siapa diriku
sebenarnya. Awas kalian! Yang empat orang itu akan kuhabisi sebentar
lagi!"
"Kakek
gagah, apakah kita bisa mulai?" bertanya Luhsantini dengan suara merdu
serta layangkan senyum.
"Ya…
ya! Kita segera mulai!" jawab Lateleng. Lalu dia berpaling pada Lakasipo.
"Makhluk berkaki batu, aku belum tahu namamu. Harap suka memberitahu
karena aku tidak ingin kau menemui kematian tanpa aku tahu siapa dirimu
sebenarnya!"
"
Aku Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu!" jawab Lakasipo.
"Hemmmm…."
Lateleng bergumam. Dalam hati dia merutuk. "Hantu keparat, aku sudah tahu
siapa kau sebenarnya! Bersiaplah menerima Kematian!" Lateleng pindahkan
pipanya ke tangan kiri. Wiro memperhatikan tangan kanan kakek itu mengeluarkan
getaran, pertanda dia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan kanan
berada di hulu kapak, Pendekar 212 siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan
kiri.
Lateleng
tancapkan bendera kuning di roda kincir yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan
pipanya ke pinggiran roda kincir seraya berseru.
"Satu!"
Kincir
Hantu menggemuruh dan berputar kencang. Lakasipo mulai berlari-lari di atas
roda kincir. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi diam-diam
sama menyiapkan pukulan-pukulan sakti. Atap rumah kincir itu agaknya dalam
waktu tidak berapa lama lagi akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!
*********************
14
GEMURUH
suara Kincir Hantu seolah masuk menggelegar didalam tubuh orang-orang yang ada
di tempat itu, terutama Lakasipo yang berlari melawan putaran roda. Tak lama
kemudian bendera kuning muncul di sisi kanan kincir, bergerak mendekati kaki
Lakasipo. Dengan gerakan enteng Lakasipo melompat. Bendera kuning lewat di
bawahnya bersama kucuran air menuju ke sisi kiri.
Mulut
Lateleng tampak menyeringai namun dibawah caping yang melindungi sebagian
mukanya, sepasang mata kakek ini melirik tajam kian ke mari, memperhatikan
Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawannya.
"Dua!"
seru Lateleng sambil ketukkan pipa ke pinggiran roda kincir begitu bendera
kuning lewat di bawah kaki Lakasipo. Putaran kincir berubah tambah kencang.
Suara gemuruhnya menggetarkan rumah kincir serta lapangan di bawah sana.
Lakasipo mempercepat larinya. Setiap saat lelaki ini saling memberi isyarat
mata dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi semua gerak-gerik ke dua orang ini
tidak lepas dari perhatian si kakek teleng.
Tak
selang berapa lama bendera kuning muncul lagi di sisi kanan. Lateleng cabut
pipanya lalu kepulkan asap merah ke udara.
“Tiga!"
Kincir Hantu berderak keras lalu berputar lebih kencang. Gemuruh suaranya kali
ini seolah hendak meruntuhkan langit dan menjungkir balikkan rumah kincir,
membuat orang-orang yang ada di atas atap bangunan tergontaigontai dan
sesekali terlonjak ke atas.
"Lakasipo!
Kau harus bertahan! Putaran kincir hanya tinggal sedikit lagi! Kitab sakti itu
akan segera menjadi milikmu! Kau benar-benar luar biasa! Aku tidak kecewa
menyerahkan kitab langka itu kepadamu!"
Lakasipo
tidak acuhkan ucapan orang. Dia sudah mendapat peringatan dari Wiro bahwa kakek
itu berusaha mengalihkan perhatian dengan ucapan-ucapan serta gelak tawanya.
Lakasipo malah kerahkan tenaga dalam ke arah kaki. Terjadilah hal yang hebat.
Kaki-kaki batu itu menghantam kayu hitam roda kincir, mengeluarkan suara
dak-duk-dak-duk berkepanjangan diseling suara berderak seolah kincir itu siap
untuk runtuh hancur berantakan. Walau demikian, luar biasanya tidak ada bagian
kincir yang pecah atau rusak.
Lateleng
sesaat menjadi cemas. Namun seringai segera tersungging di mulutnya ketika
bendera kuning muncul kembali di sisi kanan sebagai penutup putaran yang akan
berakhir begitu mencapai sepasang kaki batu Lakasipo.
"Saatmu
akan segera sampai Lakasipo! Nyawamu tak akan tertolong!" kata Lateleng
dalam hati. Dia sedot pipanya dalam-dalam seraya melirik pada empat orang yang
ada di atas atap.
Walaupun
dua kaki batu itu tampak berat sekali menghunjam roda kincir namun dengan
kesaktiannya yang ditunjang tenaga dalam tinggi Lakasipo mampu berlari ringan.
Dia kelihatan tenang-tenang saja padahal dadanya menggemuruh dilanda kecemasan.
Wiro dan yang lain-lainnya saat itu telah berada di puncak ketegangan.
Bendera
kuning bergerak cepat. Hanya tinggal dua langkah dari sepasang kaki Lakasipo.
"Lakasipo!
Kau memang hebat! Aku tidak menyesal menyerahkan kitab Kesaktian Menguasai Jin
padamu!" berseru Lateleng. Lalu kakek ini keluarkan suitan keras dan
panjang. Bersamaan dengan itu secepat kilat kaki kirinya bergerak menginjak
tonjolan kayu yang menyembul di atas rumah. Kincir Hantu keluarkan suara
gemuruh dahsyat menyeramkan. Di antara suara gemuruh itu terdengar suara aneh.
"Clak…
clak… clak!"
Dari
pinggiran roda kereta mendadak mencuat sinar putih menyilaukan, menyambar wajah
Lakasipo, membutakan pemandangannya. Luar biasanya cuatan sinar menyilaukan itu
juga menyambar ke arah mata semua orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar
menyilaukan itu sempat membutakan pemandangan mereka keempat orang di atas atap
telah lebih dulu bergerak.
"Celaka!
Aku tidak bisa mengangkat dua kakiku!" teriak Lakasipo.
Lalu
"traannggg!" Kaki batunya sebelah kiri dihantam benda keras tajam
berkilat hingga terbelah dua. Lateleng buka mulutnya lebar-lebar lalu semburkan
asap merah ke arah Wiro dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut bergerak
menghantam. Selarik sinar hijau menderu ke arah tiga sasaran yakni, Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau
Penjungkir Roh. Siapa saja yang terkena akan menemui ajal dengan tubuh hijau
meleleh seperti lumpur!
Walau
semua itu terjadi dengan cepat namun Wiro sempat menyadari bahwa Lateleng sama
sekali tidak menyerang Luhsantini! Apakah ini karena dia memang tidak ingin
menciderai perempuan yang dijadikannya teman bersenang-senang itu atau ada
alasan lain.
Wiro dan
tiga orang lainnya yang sejak tadi sudah mengambil sikap penuh waspada, begitu
melihat Lateleng berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu, ke
empat orang ini segera menghantam ke arah Lateleng yang saat itu telah pula
melancarkan pukulan sakti Hantu Hijau Penjungkir Langit.
Wiro
lepaskan pukulan Sinar Matahari lalu jatuhkan diri dan bergulingan di atas atap.
Kapak Naga Geni 212 yang sudah ada di tangan kanannya dibacokkan ke arah
tonjolan kayu yang dipijak Lateleng. Bukan saja dia hendak menghancurkan alat
rahasia di atas atap itu tapi sekaligus dia juga ingin membabat putus kaki kiri
Lateleng. Namun si kakek bertindak cepat selamatkan kakinya. Ketika kakinya
hendak dipergunakan untuk menendang kepala Wiro, Si Setan Ngompol dan Naga
Kuning telah lebih dulu menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi kakek ini
terdorong jatuh ke bawah. Bahunya menghantam pinggiran roda kincir. Satu
jeritan dahsyat menggelegar dari mulut Lateleng. Darah tampak mengucurdari bahu
kirinya akibat benturan dengan lempengan benda tajam putih yang mencuat di
pinggiran roda kincir. Ketika jatuh ke tanah sialnya mukanya jatuh terhimpit
selangkangan Si Setan Ngompol hingga wajahnya dan kepalanya basah kuyup oleh
kucuran air kencing!
Di atas
atap rumah kincir letusan-letusan dahsyat menggelegar seperti mau meruntuhkan
langit. Pukulan sakti yang dilepaskan Lateleng serta semburan asap merahnya
yang bisa merontokkan daging tubuh Itu bentrokan dengan pukulan Sinar Matahari
yang dilepaskan Wiro, pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara yang dilepaskan
Setan Ngompol serta pukulan Naga Kuning Merobek Langit yang dihantamkan Naga
Kuning. Ditambah pula dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung yang
dilepaskan Luhsantini.
Atap
rumah kincir hancur berantakan dan beterbangan di udara. Rumah kincir roboh
bergemuruh. Kincir Hantu bergetar hebat lalu ambruk jadi tiga bagian,
menggelinding di tanah lapang.
Pada saat
letusan menggelegar Lakasipo cepat mencekal lengan Luhsantini. Lalu ke duanya
membuat gerakan jungkir balik di udara, melayang turun ke tanah dengan kaki
lebih dulu.Tubuh dan pakaian mereka kotor oleh hancuran atap dan bangunan rumah
kincir.
Di bagian
lapangan yang lain Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah lebih dulu melompat ke
tanah simpan Kapak Naga Geni 212-nya lalu lari ke arah Setan Ngompol dan Naga
Kuning yang sedang bergumul dengan Lateleng. Saat itu kakek ini tidak lagi
mengenakan capingnya yang telah mental hancur akibat tersambar letusan di atas
atap. Kitab yang ada di bawah caping itu ikut musnah dan tidak diketahui apakah
benar-benar kitab asli atau hanya tiruan belaka.
Digumul
berdua Lateleng menghantam kian kemari, membuat Setan Ngompol dan Naga Kuning
berpelantingan ke tanah. Ke dua orang ini cepat bangkit menyerang. Mereka tidak
mau kehilangan si kakek teleng yang jelas hendak coba melarikan diri. Naga
Kuning hanya sempat menarik celana panjang si kakek hingga Lateleng melarikan
diri cuma mengenakan baju dan celana dalam. Namun kakek ini tidak peduli. Dia
kelabakan dengan luka di bahu kirinya.
"Bahuku…
darah…. Aku terlukai Wahai!" Sambil lari Lateleng mengeluh tak berkeputusan.
Tangan kanannya memegangi bahu kiri sementara tangan kiri yang terluka itu
dicobanya untuk mengusapi kepalanya depan belakang.
Lakasipo
dan Wiro berusaha mengejar. Namun gerakan mereka mendadak tertahan ketika
memperhatikan ke depan, kepala Lateleng telah berubah. Kakek itu kini memiliki
satu kepala dengan dua muka. Berupa muka kakek-kakek berwajah pucat pasi!
"Astaga!
Hantu Muka Dua! Dia Hantu Muka Dua!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jahanam!
Kau mau lari ke mana!" teriak Lakasipo lalu lepaskan pukulan Lima Kutuk
Dari Langit. Lima larik sinar hitam menderu ganas. Tapi di depan sana Lateleng
yang memang sebenarnya adalah Hantu Muka Dua yang menyamar telah lenyap. Hanya
noda-noda kucuran darahnya yang masih tertinggal di tanah. Wiro dan Lakasipo
sama-sama terduduk di tanah. Selagi Lakasipo pandangi batu di kaki kanannya
yang kini hanya tinggal sebelah Pendekar 212 bangkit berdiri. Dia melangkah
menghampiri salah satu hancuran roda kincir. Ketika Wiro memeriksa ternyata di
sepanjang pinggiran roda sebelah atas penuh dipasangi lempengan baja putih
berbentuk empat persegi yang ujungnya sangat tajam. Dengan menekan alat rahasia
berupa tonjolan kayu di atas atap, baja-baja putih itu mencuat keluar dari
balik lapisan kayu, memantulkan sinar menyilaukan begitu kejatuhan sinar
matahari dan menabas kaki orang yang ada di atasnya!
"Cerdik
dan keji!" ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala. "Yang aku belum
mengerti mengapa Hantu Muka Dua melakukan kegilaan itu! Apa sebenarnya yang
dicari bangsat kepala dua itu? Senjata sakti mandraguna…?" Sambil
garuk-garuk kepala Pendekar 212 ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan
roda kincir lalu melangkah mendapatkan Lakasipo untuk memperlihatkan lempengan
benda maut itu. Namun langkah sang pendekar terhenti ketika tiba-tiba seorang
kakek berpakaian ungu gelap penuh debu. Entah dari mana munculnya tahu-tahu
sudah berada di tengah lapangan. Melangkah perlahan mendekati Lakasipo yang
masih terduduk di tanah, didampingi Naga Kuning, Luhsantini dan Si Setan
Ngompol.
Kakek tak
dikenal itu berhenti di hadapan Lakasipo, sesaat menatap wajah Hantu Kaki Batu
itu lalu setelah melirik pada sepasang kaki batu Lakasipo dia berkata.
"Puluhan
hari aku habisi untuk melakukan perjalanan ini. Ternyata tidak sia-sia. Wahai,
apakah kau orang yang bernama Lakasipo, bergelar Hantu Kaki Batu?"
Lakasipo
tidak segera menjawab. Dia menaruh curiga pada kakek tak dikenalnya itu.
Khawatir kalau-kalau si kakek adalah kaki tangan atau anak buah Hantu Muka Dua.
Wiro membuka mulut memberi jawaban.
"Dia
memang Lakasipo. Kau sendiri siapa adanya Kek?"
Yang
ditanya palingkan kepalanya ke arah Wiro, pandangi Pendekar 212 mulai dari
kepala sampai ke kaki lalu berkata. "Orang muda kau adalah manusia hebat
dalam kesederhanaan. Hidupmu penuh suka karena begitu banyak gadis yang jatuh
hati padamu. Penuh suka walau ujian dan bahaya mengancam di mana-mana. Aku
senang bertemu denganmu "
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Kek, apa mungkin kau seorang juru ramal?!"
tanya Wiro pula.
Kakek
berpakaian ungu itu tersenyum. "Aku datang dari jauh mencari Lakasipo
untuk menyerahkan satu benda sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana
selama beberapa tahun." Habis berkata begitu si kakek lalu duduk di
hadapan Lakasipo. Dia singsingkan bagian bawah pakaiannya yang berbentuk jubah
dan ulurkan kaki kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di situ, si
kakek hantamkan tangan kanannya ke pergelangan kaki kanan.
"Praaakk!"
Kaki
hancur dan tulangnya patah. Anehnya tak ada darah yang mengucur! Enak saja
kakek ini tarik kakinya yang patah itu lalu dari dalam rongga tulang kakinya
dia mengeluarkan sebuah benda berupa sendok bergagang pendek terbuat dari emas.
Pada bagian sendok yang ceguk ada sebuah benda kemerah-merahan yang sudah
membatu dan menempel erat kedasar sendok. Semua orang jadi merinding
menyaksikan apa yang dilakukan si kakek.
"Sendok
ini bukan benda sembarangan. Bernama Sendok Pemasung Nasib. Kau ambillah dan
serahkan pada seorang bernama Lasedayu yang dikenal dengan julukan Hantu Langit
Terjungkir. Dia pernah tinggal di Lembah Seribu Kabut. Di mana dia berada
sekarang tidak kuketahui…."
Tidak
peduli orang yang jadi kaget mendengar kata-katanya, dan tidak peduli apakah
orang mau memenuhi permintaannya si kakek masukkan sendok emas itu ke dalam
genggaman tangan kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri dalam terkesiapnya tidak
berusaha menolak. Malah dia memperhatikan apa yang kemudian dilakukan kakek
yang duduk di depannya itu. Enak saja si kakek sambung kembali kakinya yang
hancur patah. Lalu dia mengusap satu kali, meniup satu kali. Kaki yang hancur
patah itu utuh kembali!
Wiro
garuk-garuk kepala. Naga Kuning melongo monyong. Si Setan Ngompol mendelik
menahan kencing sedang Luhsantini tekap mulutnya dan menatap ke arah tangan
kanan Lakasipo.
"
Kek, siapa kau ini adanya?" tanya Lakasipo ketika dilihatnya kakek itu
bangkit berdiri. Dia segera pula bangun dari duduknya.
Si kakek
tersenyum. "Wahai! Namaku bukan satu hal yang penting. Selamat tinggal
orang-orang gagah…." Sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu kakek itu
sudah berada di ujung lapangan lalu lenyap.
"Gila!"
Pendekar 212 berkata setengah berseru.
"Eh,
siapa yang gila?!" tanya Naga Kuning.
"Hantu
Muka Dua! Untuk mendapatkan sendok butut itu saja dia sampai membunuh lima
belas orang. Aku dan Lakasipo hampir jadi korbannya!" Wiro garuk-garuk
kepala.
"Walau
Hantu Muka Dua gila atau edan tapi masih sempat meninggalkan satu
kenang-kenangan untuk sahabatnya Si Setan Ngompol ini!" berucap Naga
Kuning.
"Apa
maksudmu bocah geblek?!" kata Setan Ngompol sambil delikkan mata.
Dari
balik punggungnya Naga Kuning keluarkan celana milik Hantu Muka Dua yang
berhasil dibetotnya hingga lepas tertinggal.
"Kek,"
kata Naga Kuning pula sambil tersenyum pada Setan Ngompol. "Hantu Muka Dua
sengaja meninggalkan celana ini karena dia tahu kau tidak punya celana. Yang
sekarang kau pakai selain tak pantas disebut celana juga sudah leleh bau
pesing! Nah ambillah celana pemberiannya ini, segera pakai. Tak usah
malu-malu!" Habis berkata begitu Naga Kuning tertawa cekikikan dan
lemparkan celana Hantu Muka Dua hingga menyangkut di bahu kiri Si Setan
Ngompol.
"Anak
kurang ajar! Berani kau mempermainkan aku! Siapa sudi memakai celana makhluk
jahat itu!" kata Setan Ngompol dengan mata mendelik besar.
"Yang
jahat Hantu Muka Dua. Celananya ‘kan tidak Kek!" jawab Naga Kuning pula.
"Bocah
sialan!" mengomel si kakek tapi tangannya kemudian mengambil celana itu
dari bahunya. Lalu masih pelototkan mata pada Naga Kuning dia melangkah ke
balik semak-semak. Semua orang yang ada di tempat itu tertawa bergelak. Tak
lama kemudian sebuah benda melayang di udara dan jatuh menyungkup kepala Naga
Kuning. Bocah ini kelagapan kalang kabut dan memaki panjang pendek. Ternyata
yang menyungkup kepalanya itu adalah celana basah kuyup bau pesing milik Si
Setan Ngompol!
TAMAT
No comments:
Post a Comment