Melati Tujuh Racun
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
Si kakek
botak pegangi perutnya. "cimung, mengapa aku harus menunggu sampai minggu
depan?" "karena bunga itu hanya muncul sekali seminggu. Setiap muncul
selalu berjumlah tiga …" "benar-benar aneh. Muncul sekali seminggu. Setiap
muncul selalu berjumlah tiga." kakek kepala botak bermata belok jereng
mengulangi ucapan sulantri, pandangi anak perempuan itu beberapa saat, lalu
bertanya. "dari mana munculnya tiga kuntum bunga itu?" sulantri
menunjuk ke arah timur dimana di kejauhan kelihatan gunung merapi. "tiga
bunga melati hitam itu selalu …" belum sempat anak perempuan delapan tahun
itu menyelesaikan ucapannya tiba-tiba satu benda putlh berdesing di udara. Sulantri
menjerit keras. Anak ini langsung roboh, terkapar di tanah. Matanya membeliak
menatap langit.
******************
1
KAKEK
botak berpakaian dekil dan basah kuyup di sebelah bawah itu duduk di tepi kali
dekat serumpunan belukar. Mulut senyum-senyum, dua tangan memegang bagian bawah
perut. Matanya yang belok juling sejak tadi memperhatikan seorang anak
perempuan seusia delapan tahun duduk di tepi kali di seberang sana. Dua kakinya
dicelupkan ke dalam air kali yang dangkal, bening dan sejuk.
Di
pangkuannya terlihat tiga kuntum bunga kecil. Di tangan kirinya anak ini
memegang sebuah lidi. Sambil menyanyi-nyayi kecil dengan tangan kanannya dia
menusukkan satu demi satu kuntum bunga yang ada di pangkuannya ke lidi di
tangan kiri.
Melati oh
Melati
Semerbak
harum mewangi
Kata
orang kau bunga suci
Berwarna
putih menarik hati
Tapi
mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah
kau mekar di malam kelam
Melati oh
Melati
Semerbak
harum mewangi
Kata
orang kau bunga suci
Berwarna
putih menarik hati
Tangan
kiri orang tua di balik semak belukar yang sejak tadi memegangi bagian bawah
perutnya diangkat ke atas. Tangan yang basah oleh air kencing itu enak saja
diusap-usapkan ke kepalanya yang botak. Sambil pandangi gadis cilik di seberang
kali dia berkata sendirian.
"Anak
manis sekecil itu pandai sekali menyanyi. Suaranya bagus. Kalau sudah besar
bisa-bisa jadi sinden cantik, dikagumi dimana-mana.
”Kalau
saja aku punya cucu seperti dia, hldupku pasti banyak bahagianya."
Orang tua
ini lalu tertawa cekikikan. "Punya cucu? Aku punya cucu? Ha … ha … ha!
lstri saja tidak punya bagaimana bisa punya cucu? Ha … ha.. ha!"
Tiba-tiba
orang tua berkepala botak ini hentikan tawa, tutup mulutnya dengan tangan
kanan. Di tepi kali di seberang sana si gadis kecil hentikan pula nyanyiannya,
memandang ke kiri-kanan.
"Aku
mendengar ada orang tertawa. Cuma suara. Orangnya tidak kelihatan. Ihh … Apakah
tempat ini kini sudah ada hantunya?"
Walau
keluarkan ucapan seperti itu namun tidak kelihatan bayangan rasa takut di wajah
anak perempuan itu. Malah sambil menusukkan kuntum bunga ke tiga ke lidi di
tangan kirinya dia kembali melantunkan nyanyian tadi.
Melati oh
Melati
Semerbak
harum mewangi
Kata
orang kau bunga suci
Berwarna
putih menarik hati
Tapi
mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah
kau mekar di malam kelam
Melati oh
Melati
Semerbak
harum mewangi
Kata
orang kau bunga suci
Berwarna
putih menarik hati
Orang tua
di balik semak belukar perlahan-lahan turunkan tangan kiri yang mengusap
kepala, juga tangan kanan yang dipakai menutup mulut. Sepasang matanya yang
besar dan juling sesaat memandang ke depan tak berkesip. Dadanya berdebar.
"Nyanyian
anak itu …. Tiga bunga hitam yang ditusukkan bersusun di lidi panjang, apa
benar bunga melati? Heh?!"
Mata yang
juling tambah juling, belok tambah belok. "Aku ingat cerita Pendekar 212,
jangan-jangan …" Orang tua ini tiba-tiba plaaakk! Dia tabok kepalanya
sendiri lalu bangkit berdiri. Dua kali berkelebat dia sudah berada di seberang
kali kecil di depan si anak perempuan. Anak yang sedang menyanyi tentu saja
terkejut, hentikan nyanyiannya dan dongakkan kepala. Memandang dari atas sampai
ke bawah, dari kepala botak sampai ke kaki. Kalau tadi dia terkejut tapi begitu
melihat orang yang berdiri di hadapannya, anak ini malah tersenyum.
"Oh,
jadi ini rupanya hantu yang tadi tertawa.
Hik … hik
… hik. Mata belok jereng. Kuping kanan aneh terbalik. Kepala botak. Mau
dibilang tuyul kenapa sudah tua keriput peot begini rupa? Hantu kenapa bau
pesing? Hk … hik … hik! hantu lucu-lucuan …"
"Gadis
cilik, aku bukan hantu bukan tuyul!
Tapi
hemm, aku memang bau pesing! Jelekjelek begini aku ingin bersahabat denganmu.
Kalau
boleh …" Orang tt;a kepaila botak keluarkan ucapan. Lalu dia duduk
menjelepok di samping anak perempuan itu. Malanya yang belok dibesarkan memperhatikan
tiga kuntum bunga kecil hitam yang ditusukkan. disusun memanjang di batangan
fidi.
"Anak
manis, siapa namamu?"
"Hantu
botak tanya namaku. Hik..hik.
Malu
…."
"Hik
.. hik … Hantu botak juga malu …" orang tua itu meniru tawa si anak
perempuan sambil pegangi bagian bawah perutnya. Anak perempuan di samping si
botak jereng ikutan tertawa.
Tempat
sunyi di tepi kali kecil jadi riuh oleh suara tawa kedua orang itu.
"Hantu
botak, nama saya Sulantri. Tapi orang-orang memanggil saya Cimung. Saya anak
kepala desa Maguwo." Si anak perempuan menerangkan sambil goyang-goyangkan
lidi di tangan kiri dan uncang-uncang dua kaki yang dicelup dalam air kali.
"Nama
bagus kenapa dipanggil Cimung?
Ada-ada
saja …" kata si botak. "Tadi aku dengar kau menyanyi. Suaramu bagus.
Kalau sudah besar apa mau jadi sinden?"
Anak
perempuan menjawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa
tidak mau jadi sinden? Kau pasti disukai banyak orang. Banyak uang …"
"Jadi
sinden lebih banyak susah dari senangnya."
"Begitu?
Anak manis, kau tahu dari mana sampai bisa berucap seperti itu?" tanya si
kakek
botak.
Dalam hati dia heran melihat anak sekecil itu bicara seperti orang dewasa saja.
"Dulu
ibu saya seorang sinden," jawab Sulantri pula.
"Serrr!"
Ada yang
mengalir dibawah perut orang tua berkepala botak itu. Cepat-cepat si botak ini
pegangi perutnya. Sulantri perhatikan tanah sekitar tempat si orang tua duduk
yang kelihatan berubah basah.
"Hantu
botak, kau kencing ya?!"
"Aku
… anu …" Si botak tak bisa menjawab akhirnya tertawa mengekeh. Setelah
usap mukanya beberapa kali orang tua ini menunjuk pada lidi di tangan kiri
Sulantri.
"Bunga
kecil hitam itu, apa itu bunga yang kau sebut dalam nyanyianmu tadi? Bunga
melati hitam?"
"Memangnya
kenapa?" si anak balik bertanya.
"Setahuku
yang namanya melati itu pasti putih. Heran, bagaimana mungkin ada melati
berwarna hitam …"
"Kenapa
musti heran? Melati hitam ini sudah ada dari dulu."
"Kau
yakin? Pasti kalau bunga ini bunga melati hitam?" Sambil bertanya orang
tua itu perhatikan tiga bunga melati yang menancap bersusun di lidi yang di
pegang anak perempuan itu. Bunga kecil itu mempunyai tujuh kelopak ganda
berwarna hitam pekat.
"Gusti
Allah …" orang tua itu mengucap dalam hati.
"Mudah-mudahan
memang ini bunga yang tengah dicari-cari itu."
"Bunganya
berbentuk bunga melati. Warnanya hitam. Apa ini bukan namanya bunga melati
hitam?" ujar Sulantri.
"Cimung
…." si orang tua berkata sambil dekatkan kepalanya ke wajah si anak.
"Kau barusan memegangnya, apa kau tidak takut keracunan? Atau mungkin kau
tidak tahu kalau bunga itu mengandung racun yang bisa membuatmu sakit, bahkan
bisa membunuhmu."
"Saya
sudah sering memegang bunga ini. Saya tidak pernah sakit …"
Si orang
tua perhatikan jari-jari tangan anak perempuan bernama Sulantri. Dia
menyaksikan bagaimana jari-jari mungil anak itu berwarna kehitam-hitaman. Lalu
si kakek membatin.
"Terlalu
sering memegang bunga beracun itu, mungkin dia jadi kebal dengan racun
bunga."
"Kakek
hantu botak, bunga ini memang mengandung racun jahat. Jika kau mau saya bisa
membuktikan."
"Ah
….. itu satu hal yang aku ingin sekali melihat, jawab si botak. Dalam hati dia
bertanya-tanya bagaimana anak kecil ini mampu membuktikan kalau bunga melati
hitam itu mengandung racun jahat.
Dengan
matanya yang lucu Sulantri memandang ke pinggir kali sebelah kiri. Dekat sebuah
batu pipih seekor kodok coklat mendekam diam, menunggu mangsa berupa nyamuk dan
serangga lainnya yang banyak beterbangan di sekitar situ.
"Kakek
botak, kau lihat kodok itu?" Bertanya Sulantri sambil menunjuk ke arah
batu. Mata jereng Kakek kepala botak bergerak berputar ke arah yang ditunjuk.
"Ya,
aku lihat."
Baru saja
si kakek menjawab. Sulantri cabut bunga hitam di ujung paling atas lidi lalu
dilemparkannya ke arah kodok coklat di samping batu. Dengan cepat binatang ini
melompat dan melahap bunga hitam itu. Sesaat kemudian begitu bunga hitam lewat
tenggorokan dan masuk ke dalam perutnya, kodok coklat kelihatan menggeliat
kejang dan keluarkan suara mengerang pendek lalu diam tak berkutik lagi. Dari
mulutnya yang terbuka meleleh cairan kental berwarna hitam. Kulitnya yang tadi
bewarna coklat ini berubah menjadi hitam seperti kayu gosong dimakan api!
Bergidik
tengkuk kakek botak dan ”serrr! ” Dari bawah perutnya terpancar air kencing.
"Racun
bunga itu mematikan kodok. Tapi tidak mematikan saya. Lihat …" Sulantri
dengan cepat ambil bunga hitam ke dua yang tertusuk pada batang lidi. Bunga itu
dimasukkan ke dalam mulutnya. Dikunyah lumat-lumat lalu ditelan. Seperti yang
dikatakannya, dia tidak mengalami nasib seperti kodok. Dia tidak keracunan, apa
lagi mati.
"Luar
biasa! Kau kebal racun bunga itu …" ucap kakek kepala botak, kepala
digeleng-gelengkan penuh kagum sedang tangan kiri menekap bagian perut, menahan
beser.
"Sekarang
coba kau makan bunga yang satu ini," tiba-tiba Sulantri berkata.
"Serrr!"
Air
kencing Kakek kepala botak langsung muncrat saking kagetnya mendengar ucapan si
anak perempuan.
"Cimung,
aku tidak punya kekebalan seperti dirimu. Tapi aku memang inginkan bunga itu.
Kau mau memberikan bunga hitam yang tinggal satu itu padaku?"
"Hantu
botak, kau inginkan bunga ini?” ambil saja," jawab Sulantri. Lalu bunga
hitam berikut lidi di tangan kirinya diserahkan pada orang yang minta.
Baru saja
orang tua itu ulurkan tangan hendak mengambil lidi dan bunga tiba-tiba satu
bayangan biru berkelebat. Si kecil Sulantri terpekik. Anak ini terpental
bergulingan di tepi kali sampai satu tombak. Kakek botak ikut keluarkan seruan
tertahan. Satu gelombang angin dahsyat menerpa dada dan bahu kanannya,
membuatnya jatuh terjengkang dan kucurkan air kencing. Terbungkuk-bungkuk,
sambil dua tangan pegangi bagian bawah perut dia bangkit Serdiri. Dia segera
mendatangi Sulantri.
"Anak,
kau tidak apa-apa?" Si orang tua bertanya lalu membantu anak perempuan itu
bangun dan duduk di tanah.
"Kakek
hantu botak, tadi aku diterpa angin kencang sekali. Dadaku sakit. Kepalaku
pusing. Apa yang terjadi?"
"Ada
orang jahat …" jawab si orang tua. Mata jerengnya memandang berkeliling.
Dia tidak melihat apa-apa. Lalu pandangannya kembali pada anak perempuan di
depannya.
"Bunga
hitam …" ujar si orang tua. Dia perhatikan tangan kiri Sulantri. Lidi dan
satu-satunya bunga hitam yang masih tinggal dan tadi dipegang anak perempuan
itu kini tak ada lagi. Dia memeriksa berkeliling.
"Bunga
itu lenyap. Bayangan biru tadi! Seseorang merampasnya sebelum sempat kuambil.
Kurang ajar!"
Serrr!
Si Kakek
kepala botak kencing lagi. Dia jongkok di samping Sulantri.
"Aneh
…"
"Apa
yang aneh?" tanya Sulantri sambil gosok-gosok dadanya yang terasa sakit.
"Ada
orang merampas bunga hitam dan lidi …" Si kakek memperhatikan lalu
melompat ke arah lenyapnya bayangan biru. Dia tidak melihat siapa-siapa.
"Kek,
bagi saya bunga beracun itu hanya barang mainan. Aneh juga kalau ada orang
merampasnya. Buat apa? Tadi kau memintanya. Bagimu apakah sangat berarti?"
"Sangat
berarti. Bunga melati hitam itu jika kuberikan pada seorang temanku, bisa
mengobati seorang penting di Kotaraja."
"Saya
mau pulang," Sulantri berdiri.
"Tunggu,"
kata si kakek dan ikut berdiri.
"Di
sekitar kali kecil ini kulihat tidak ada tanaman kembang. Dari mana kau
mendapatkan bunga melati hitam itu?"
"Bunga
langka itu memang tidak tumbuh disini. Jika kau mau, datanglah minggu depan ke
sini. Akan saya berikan tiga kuntum bunga rnelati hitam yang masih segar-segar
padamu."
Si kakek
botak pegangi perutnya. "Cimung, mengapa aku harus menunggu sampai minggu
depan?’
"Karena
bunga itu hanya muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga
…"
"Benar-benar
aneh. Muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga."
Kakek
botak bermata belok jereng mengulangi ucapan Sulantri, pandangi anak perempuan
itu berapa saat, lalu bertanya., "Dari mana munculnya tiga kuntum bunga
itu?"
Sulantri
menunjuk ke arah timur dimana di kejauhan kelihatan Gunung Merapi.
"Tiga
bunga Melati hitam itu selalu …."
Belum
sempat anak perempuan delapan tahun itu menyelesaikan ucapannya tiba-tiba satu
benda putih berdesing di udara.
"Cimung
awas!" teriak kakek botak. Dia berusaha mendorong anak perempuan itu tapi
jaraknya terlalu jauh. Maka cepat dia hantamkan tangan kanan untuk memukul
benda putih yang melesat. Namun terlambat!
Sulantri
keluarkan jeritan keras. Anak ini langsung roboh, terkapar di tanah. Matanya
membeliak menatap langit. Di lehernya menancap sebuah pisau kecil bergagang
perak. Darah mengucur membasahi leher dan badan gadis cilik yang malang ini.
Kakek
botak berteriak marah. Air kencingnya mengucur deras. Semula dia hendak
meng-hambur menubruk mayat anak perempuan malang itu. Namun sudut matanya
menangkap satu bayangan biru berkelebat dibalik pohon besar. Tidak menunggu
lebih lama kakek ini segera melesat ke arah pohon.
"Bangsat
pembunuh! Jangan kabur!"
Sambil
berkelebat dan berteriak kakek botak ini hantamkan tangan kanannya.
"Braakkk!"
"Traaakk!"
Semak
belukar di samping pohon hancur beterbangan ke udara. Batangan pohon gompal
besar, berderak miring lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
******************
2
KAKEK
berpakaian basah air kencing usap-usap kepala botaknya. Dia berdiri di Samping
pohon besar yang barusan dihantam-nya tumbang. Matanya yang jereng memandang
berkeliling. Orang yang dikejar tidak kelihatan. mulutnya memaki marah.
"Pembunuh
keparat! Pengecut! Apa dosa anak itu sampai kau membunuhnya begitu keji!"
"Serrr
… serrr!"
Setelah
kucurkan air kencing dua kali berturut-turut si kakek memutar tubuh, melangkah
ke arah Sulantri tergeletak. Baru dua langkah berjalan tiba-tiba cabang sebuah
pohon di Samping kirinya bergoyang. Sudut matanya melihat sesuatu bergerak di
atas sana. Lalu menyusul terdengar suara tawa mengekeh. Kakek botak angkat
kepalanya, memandang ke arah dahan pohon. Dua kaki memasang kuda-kuda, tangan
kanan waspada siap menghantam. Satu bayangan biru berkelebat cepat. Di lain
kejap bayangan itu telah berdiri di hadapan si kakek, berupa sosok seorang tua
berwajah jernih, mengenakan pakaian ringkas warna biru.
"Setan
alas satu ini, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya?" Kakek botak
membatin sambil usap kepala dengan satu tangan sementara tangan lain memegangi
bagian bawah perut.
"Tua
bangka bau pesing, kau inginkan bunga langka ini?" orang tua berbaju biru
ajukan pertanyaan sambil tangan kanannya acungkan lidi yang ditancapi bunga
melati hitam yang sebelumnya berada di tangan gadis cilik Sulantri.
Saking
geramnya kakek kepala botak kucurkan air kencing lalu membentak.
"Setan
tua, kalau tidak iblis pasti kau sebangsa dajal! Apa salah anak perempuan itu
sampai kau membunuhnya?!"
Si baju
biru menyeringai. "Aku bicara lain kau omong lain! Kau perlu bunga ini?
Ambillah!" Habis berkata begitu kakek di hadapan si botak gerakkan tangan
kanannya meremas. Lidi dan bunga hitam yang menancap di situ langsung amblas
hancur. Sambil tertawa bergelak si kakek jatuhkan hancuran bunga dan lidi ke
tanah.
"Jahanam
kurang ajar!" maki kakek kepala botak dengan mata mendelik besar. Habis
sudah harapannya untuk mendapatkan bunga melati hitam yang sangat langka itu.
Kencing menyembur tidak tertahankan.
"Manusia
keji kurang ajar! Sekarang aku ingat siapa kau adanya!"
"Tua
bangka botak! Aku juga tahu siapa kau sebenarnya. Dulu kau punya rambut!
Sekarang aneh, mengapa kepalamu jadi botak! walau botak tapi aku tidak lupa
dirimu! Matamu yang belok dan jereng! Kuping kananmu yang terbalik! Celanamu
yang selalu basah oleh air kencing! Kau adalah mahluk salah kaprah berjuluk
Setan Ngompol, sobat musuh besarku Naga Kuning! Dulu di kawasan air terjun
jurangmungkung kau pernah menantangku!
Waktu itu
aku tidak punya kesempatan melayani mulut besarmu! Sekarang aku muncul menerima
tantanganmu!"
"Rana
Suwarte …" ucap kakek kepala botak dengan rahang mengembung dan
tenggorokan keluarkan suara menggembor marah.
"Ha
… ha … ! Bagus! Kau ternyata masih ingat nama, kenal diriku! Berarti jalanmu ke
neraka akan jauh lebih mudah! Ha … ha … ha!"
"Setan
alas manusia keji busuk! Kau barusan membunuh anak kecil tak berdosa. Aku
bersumpah membunuhmu saat ini juga! Tapi sebelum mati aku ingin tahu. Mengapa
kau membunuh anak itu. Lalu sengaja meng-hancurkan bunga melati hitam!"
"Ah,
dua pertanyaanmu itu akan terjawab di satu tempat. Pasti! Di liang neraka
tempat kemana kau akan segera berangkat!"
"Tua
bangka jahanam! mulutmu keliwat takabur! Aku tidak keberatan kita sama-sama
berangkat menuju liang neraka!" teriak Setan Ngompol. Lalu tubuhnya
berkelebat ke arah Rana Suwarte dalam jurus serangan bernama Setan Ngompol
Mengencingi Bumi. Angin deras disertai cipratan air kencing lebih dulu
menghantam Rana Suwarte sebelum serangan yang berupa dua pukulan tangan kiri
kanan itu menderu ke arah sasaran.
(Mengenai
siapa adanya Rana Suwarte dan riwayat perselisihannya dengan Setan Ngompol
harap baca Episode terakhir dari serial "Kembali Ke Tanah Jawa"
berjudul "Senandung Kematian")
Rasa
Suwarte semburkan ludah saking jijiknya ketika air kencing yang menyiprat dari
celana lawan mengenai wajahnya. Dia tekuk dua lutut hingga tubuhnya sedikit
merunduk. Sesaat dia menunggu. Begitu sosok Setan ngompol yang melayang di
udara menukik ke arahnya disertai gempuran angin luar biasa deras, Rana Suwarte
pukulkan dua tangannya ke atas.
Dua
gelombang angin dahsyat menderu memapasi hantaman angin keras yang keluar dari
pukulan tangan kiri kanan Setan Ngompol.
"Dess!
Desss! "
Dua
letupan keras mengema di sepanjang kaki begitu tenaga dalam tinggi yang
memancar dari dua pasang tangan bentrokan di udara.
"Braaak!
Braaaak! "
Semak
belukar di tempat itu hancur beterbangan ke udara. Setan Ngompol terpental dua
tombak. Kencingnya bermuncratan kemana-mana. sepasang mata yang jereng mendelik
merah sedang dada mendenyut sakit. Tulang-tulang iganya serasa remuk. Tadi dia
telah mengerahkan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya. Tidak menyangka
lawan sanggup menahan serangan-nya bahkan daya balik tenaga dalamnya yang
menangkis begitu hebat memberi bekas di tubuh si kakek kepala botak.
Apa yang
terjadi dengan kakek berpakaian Ringkas biru tak kalah hebatnya. Kakek ini
Terbanting jatuh duduk di tanah. Mukanya yang Jernih kelihatan pucat pertanda
tekanan tenaga Dalam lawan yang tinggi telah menciderai tubuhnya di bagian
dalam.
"Rana
Suwarte!" bentak Setan Ngompol. Setahuku kau adalah tokoh silat abdi
Istana. mengapa berlaku keji membunuh anak perempuan tak berdosa itu?!"
"Setan
Ngompol! Simpan semua pertanyaanmu sampai kau minggat ke liang neraka!"
jawab Rana Suwarte dengan bentakan tak kalah kerasnya. Lalu dia berkelebat,
menyergap lawan dengan serangan berantai luar biasa keras dan cepat. Setan
Ngompol berjibaku menangkis dan menghantam dengan dua tangannya. Rupanya kakek
botak ini bukan cuma ingin menjajal kehebatan tenaga dalam lawan tapi juga
sekaligus mau menjajagi sampai dimana kedigjayaan tenaga luarnya.
Suara
bergedebukan terdengar berulang kali. Dua lengan Setan Ngompol yang kurus
kering kelihatan hitam kebiruan sedang sepasang lengan Rana Suwarte dipenuhi
bengkak-bengkak merah. Rana Suwarte merasa sakit lebih dulu. Ini membuat dia
terpaksa mundur.
Setan
Ngompol tidak memberi kesempatan. Walau sambil terkencing-kencing kakek ini
terus mendesak lawan. Lima jurus Rana Suwarte dibuat kalang kabut. Jurus ke
enam dia tak bisa bertahan lagi. Kakek ini mencari kesempatan untuk mundur guna
mengatur kuda-kuda dan siasat baru. Namun maksudnya belum kesampaian. Tiba-tiba
dengan jurus bernama Setan Ngompol Mengencingi Langit lawan berhasil menyusupkan
satu pukulan telak ke pertengahan dadanya.
"Bukkk!"
Rana
Suwarte meraung keras. Tubuhnya mencelat lima langkah, punggung terbanting
membentur batang pohon, sesaat terhenyak tegak lalu muntahkan darah segar!
"Keparat!"
rutuk Rana Suwarte sambil seka darah yang meleleh di bibir dan dagunya dengan
tangan kanan. Lalu meludah ke tanah. Tangan yang bernoda darah itu kemudian
bergerak mengeluarkan sesuatu dari balik pinggang pakaian birunya.
Satu
cahaya kuning memancar terang di bawah pohon dimana Rana Suwarte berdiri dengan
tampang kelam membesi.
"Senjata
di tangan jahanam itu…..” ujar Setan Ngompol dalam hati, memperhatikan dengan
mata jereng melotot.
"Astaga!
Itu Keris naga Kopek pusaka Kerajaan. bagaimana bisa berada di
tangannya?!"
"Setan
Ngompol!" Rana Suwarte membentak dengan wajah lontarkan seringai setan.
"Kau
lihat senjata ini?!"
"Aku
tidak buta! Aku lihat dan aku tahu! ltu adalah Keris Naga Kopek milik pusaka
Kerajaan! Pasti kau telah mencurinya!"
******************
3
RANA
SUWARTE tempelkan badan keris sakti pusaka Kerajaan di atas keningnya,
dongakkan kepala lalu tertawa bergelak.
"Tua
bangka bau pesing buronan Kerajaan! Dengar! Kau boleh punya ilmu setinggi
langit sedalam lautan. Tapi tak ada satu kekuatan pun sanggup menghadapi keris
sakti bertuah di tanganku ini! Bersiaplah untuk mampus!"
Setan
Ngompol memang sudah tahu kehebatan Keris Naga Kopek. Bahkan menyaksikan
sendiri bagaimana senjata sakti Itu mampu melindungi sahabatnya, Pendekar 212
Wiro Sableng dari serangan maut Kipas Pelangi yang dilancarkan Adimesa alias
Pendekar Kipas Pelangi sewaktu terjadi pertempuran hebat di kawasan air terjun
Jurangmungkung. Adisaka yang juga dikenal dengan nama Damar Wulung, yang tidak
terlindung oleh keris sakti itu menemui ajal secara mengenaskan di tangan
adiknya sendiri. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Senandung
Kematian")
Walau
tahu kehebatan senjata di tangan lawan tapi Setan Ngompol tidak unjukan sikap
jerih Sambil bertolak pinggang sementara air kencingnya mengucur terus dia
berkata.
Setahuku
senjata curian tidak pernah ampuh. Apa lagi dipakai untuk kejahatan!"
Rawa
Suwarte menyeringai. "Jangan terlalu
takabur!
Kita akan lihat bagaimana nasibmu sebentar lagi!"
Didahului
satu bentakan keras tokoh silat istana itu melompat ke hadapan Setan ngompol.
Keris di tangan kanan dibabatkan. Suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya
cahaya kuning tebal dan angker menyambar ke arah Setan Ngompol.
Setan
Ngompol berseru kaget ketika merasakan seperti ada tembok batu mendorong
dahsyat ke arahnya. Dengan cepat kakek ini melompat mundur sambil hantamkan dua
tangan sekaligus. Melepas pukulan sakti bernama "Setan Ngompol Meroboh
Gunung."
Selama
ini jarang ada lawan yang sanggup menerima pukulan tersebut. Kalau tidak
dihantam roboh, paling tidak lawan akan mencelat mental dan menderita luka
dalam parah! Namun untuk kedua kalinya Setan Ngompol berteriak tegang dan
terkencing-kencing ketika pukulan dua tangannya yang mengandung hawa sakti dan
tenaga dalam tinggi diterpa kiblatan cahaya kuning Keris Naga Kopek lau
berbalik meng-hantam dirinya sendiri.
Setan
Ngompol selamatkan diri dengan melompat setinggi satu tombak. Tapi lawan
rupanya dapat menduga gerakannya. Selagi sosok kakek botak itu masih melayang
setengah jalan di udara Rana Suwarte mendahului membuat lompatan lebih tinggi.
Lalu dengan tubuh masih menggantung di udara dia tusukkan Keris Naga Kopek ke
bawah. Laksana semburan api, cahaya kuning meluncur ganas ke arah Setan
Ngompol!
"Celaka!"
Setan Ngompol berseru tegang. Sambil pegang bagian bawah perutnya dia jungkir
balik di udara lalu jatuhkan diri ke kiri. Baru dua kakinya menginjak tanah,
satu tendangan menyapu kuda-kuda salah satu kakinya. Tak ampun lagi Setan
Ngompol jatuh terjengkang. Belum sempat bergerak bangun ujung runcing Keris Naga
Kopek sudah menempel di batok kepalanya yang gundul plontos!
Setan
Ngompol merasa ada hawa aneh menggidikkan memasuki kepalanya, membuat tubuhnya
bergetar dan tengkuknya merinding dingin. Kencingnya muncrat habis-habisan.
"Berani
bergerak, kutembus batok kepalamu!" Mengancam Rana Suwarte.
"Kau
mau membunuhku? Ha … ha! Teruskan niatmu! Siapa takut mati!" Ucap Setan
Ngompol setengah berteriak, membalas ancaman orang dengan tantangan.
Rana
Suwarte tertawa mengekeh. Dia tahu lawan saat itu dalam keadaan tidak berdaya.
Dia hanya menggerakkan tangan sedikit saja maka tamatlah riwayat Setan Ngompol.
"Orang
takut dan putus asa memang bisa nekat! Tua bangka bau! Aku tidak terlalu kesusu
ingin merampas nyawamu. Malah aku masih sudi memberi sedikit penundaan. Asal
kau mau memberi tahu dimana beradanya bocah sahabatmu si rambut jabrik dikenal
dengan nama Naga Kuning yang ujud aslinya adalah seorang kakek bernama Kiai
Paus Samudera Biru."
Mendengar
ucapan orang, Setan Ngompol putar sepasang matanya yang belok jereng lalu
tertawa gelak-gelak sampai air kencingnya berkucuran.
"Jahanam!
Mengapa kau tertawa seperti orang gila! Apa yang lucu!"
"Minum
kencingku duiu! Baru aku beritahu dimana bocah konyol itu berada! Ha … ha …
ha!"
Bergetar
sekujur tubuh Rana Suwarte. Keris Naga Kopek yang tergenggam di tangannya dan
ujungnya menempel di batok kepala Setan Ngompol tampak memancarkan cahaya
kuning lebih terang. Pertanda tokoh silat lstana itu tengah mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya. Dengan sekali tusuk saja dia ingin menembus
amblas kepala botak Setan Ngompol.
"Bangsat
kurang ajar! Mampus kau!" teriak
Rana
Suwarte. Tangannya bergerak. Namun sebelum Keris Naga Kopek dihujamkan ke batok
kepala Setan Ngompol mendadak satu suara kecil tapi nyaring terdengar di belakangnya.
"Tua
bangka sesat Rana Suwarte, apa betul kau mencari diriku?!"
Gerak
tangan yang hendak rnenusuk tembus Keris Naga Kopek ke batok kepala Setan
Ngompol
sesaat tertahan. Rana Suwarte palingkan kepala. Melihat siapa yang berdiri di
sebelah sana, sosok orang tua ini bergetar dilanda dendam kesumat. Mukanya yang
jernih kelam membesi. Rahang menggembung. Sepasang mata mendelik tak berkesip
meman-dangi anak lelaki berpakaian serba hitam berambut jabrik yang tegak
beberapa langkah di depannya. Naga Kuning! Bocah yang tengah dicari dan ingin
dihabisinya!
Pada saat
Rana Suwarte terkesiap melihat kemunculan Naga Kuning yang tidak terduga, Setan
Ngompol pergunakan kesempatan untuk selamatkan diri. Pertama sekali dia jauhkan
kepala botaknya dari ujung Keris Naga Kopek. Bersamaan dengan itu tangan
kirinya menepis lengan kanan Rana Suwarte. Lalu tangan kanan melesat ke depan,
menghantam selangkangan orang!
"Jebol
celenganmu!" teriak Setan Ngompol lalu tertawa bergelak.
"Bedebah
keparat!" maki Rana Suwarte. Keris Naga Kopek dibabatkannya ke bawah.
Suara tawa Setan Ngompol sirna. Tak mau putus kehilangan lengan dengan cepat
dia terpaksa tarik pulang tangannya yang dipukulkan ke bawah perut lawan lalu
jatuhkan diri di tanah, terkencing-kencing berguling menjauhi Rana Suwarte.
"Nyawamu
di tanganku! kau mau lari kemana!" kertak Rana Suwarte lalu melompat
memburu Setan Ngompol. Kaki kanannya menghamburkan tendangan berantai tapi tak
satupun berhasil mengenai tubuh Setan Ngompol. Dengan geram Rana Suwarte angkat
tangan kiri. Ketika tangan itu bergerak, dua buah benda putih berkilat melesat
ke arah perut dan dada Setan Ngompol.
”Pisau
terbang! ”
Dengan
pisau inilah Rana Suwarte sebelumnya menghabisi nyawa Sulantri, gadis cilik di
tepi kali.
Melihat
serangan dua pisau terbang Setan Ngompol liukkan tubuh. Dia berhasil
mengelakkan pisau yang mengarah ke perut. Namun kasip dan tak mampu menghindar
dari pisau yang mengincar dada.
Hanya
sekejapan lagi pisau putih itu akan menancap di dada Setan Ngompol tiba-tiba
tring! Sebuah batu kecil melesat di udara, menghantam ujung lancip pisau
terbang hingga senjata rahasia ini terpental gompal.
"Serrr!"
Sadar
kalau dirinya barusan terlepas dari bahaya maut, Setan Ngompol kucurkan air
kencing, lalu cepat berdiri sambil pegangi perut.
"Bocah
jahanam!" Rana Suwarte keluarkan makian. Dia tahu barusan Naga Kuninglah
yang menyambitkan sebuah batu kecil ke arah pisau maut yang dilemparkannya
menyerang Setan Ngompol.
"Kau
rupanya minta mampus lebih dulu dari kakek keparat itu!" Sekali lompat
Rana Suwarte sudah berdiri tiga langkah di hadapan Naga kuning. Keris Naga
Kopek dipegang melintang di depan dada.
"Rana
Suwarte. Usiamu sudah lanjut tapi masih saja bicara carut marut memalukan.
Jangan kau berani berlaku kurang ajar pada kakek sahabatku itu! Jika aku yang
kau cari, katakan apa urusanmu! apa masih urusan yang lama itu?!"
"Bocah
setan! Salah satu diantara kita harus mati saat ini juga!" hardik Rana
Suwarte. Naga Kuning goleng-golengkan kepala sambil keluarkan suara seperti
suara cecak.
"Cek
.. cek … cek! Luar biasa nekad!" kata anak berambut jabrik ini. Lalu dia
sambung ucapannya.
"Kalau
aku mati apa kau kira akan bisa mengawini Ning lntan Lestari? Aku tahu semua
perbuatan jahatmu ini adalah karena dendammu terhadapku gara-gara tidak bisa
mendapatkan perempuan itu!"
Seperti
dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Gondoruwo Patah Hati"
sejak semasa muda antara Naga Kuning yang berjuluk Kiai Paus Samudera biru
terjadi silang sengketa dengan Rana Suwarte gara-gara memperebutkan seorang
gadis cantik bernama Ning lntan Lestari. Sang gadis mencintai Naga Kuning, tapi
Naga Kuning sendiri menganggapnya sebagai saudara karena Ning lntan Lestari
adalah anak angkat orang yang sangat dihormatinya yakni Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
Gagal
mendapatkan cinta Ning lntan Lestari, Rana Suwarte meminta pertolongan Kiai
Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk Ning lntan Lestari agar mau nikah dengan
dirinya. Itu terjadi setelah puluhan tahun terpisah. Namun nyatanya si gadis
yang kini telah berubah menjadi nenek tetap saja menolak kehadiran Rana
Suwarte.
Dalam
amarahnya, Rana Suwarte menganggap Naga Kuninglah yang jadi biang racun semua
kegagalannya dalam mendapatkan Ning lntan Lestari. Padahal Naga Kuning sendiri
dilihatnya seperti tak acuh dan meninggalkan gadis itu sekian lama. Sebenarnya
setelah berpisah puluhan tahun begitu rupa, entah mengapa kini timbul rasa
sayang di hati Naga Kuning pada Ning lntan Lestari yang hidup menyamar sebagai
nenek muka setan dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Merasa
ditelanjangi orang, Rana Suwarte mendidih amarahnya. Kepala dan dadanya seperti
mau meledak mendengar ucapan Naga Kuning tadi. Sewaktu terjadi pertempuran
hebat di dekat air terjun Jurangmungkung dulu, dia memang merasa jerih terhadap
Naga Kuning, terutama ketika bocah itu memperlihatkan ujud aslinya berupa
seorang kakek sakti mandraguna yang dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera
Biru. Selain itu dia juga masih menaruh.rasa segan karena tahu Naga Kuning
adalah orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, ayah angkat Ning lntan
Lestari, mahluk setengah manusia setengah roh yang telah meninggal dunia
puluhan tahun silam.
Selain
itu Kiai Gede Tapa Pamungkas diketahui adalah guru Sinto Gendeng dan Tua Gila.
(Baca
serial Wiro Sableng berjudul "Pedang Naga Suci 212")
Tapi kini
bagi Rana Suwarte keadaan telah berubah. Memegang Keris Naga Kopek di tangan
kanan Rana Suwarte tidak memandang sebelah mata lagi pada Naga Kuning, juga
tidak perduli apapun hubungan anak aneh itu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Naga
Kuning, Kiai Paus Samudera Biru! Siapapun kau adanya! Hari ini adalah hari
nahasmu! Kematianmu sudah di depan mata. Jadi jangan bicara sombong tak
karuan!"
"Siapa
bicara sombong tak karuan!”
Bukankah
kau yang hidup salah kaprah tak karuan? Tergila-gila pada perempuan yang
jangankan mencintamu, melihatmupun dia muak! Bagaimana mungkin kau masih
bermimpi ingin mengawininya? Dan kesialan nasibmu itu kau jadikan bahan dendam
kesumat terhadapku! Sungguh tolol! Memalukan!"
Rana
Suwarte tak dapat menahan amarahnya lagi.
"Bocah
keparat! Berangkatlah ke neraka!"
Teriak
tokoh silat lstana itu. Sambil melompat kemuka dia kirimkan satu tusukan dan
dua babatan dengan Keris Naga Kopek. Sinar kuning berkiblat terang di udara
disertai deru membising telinga menggetarkan dada. Naga kuning menahan kejut.
Belum pernah dia melihat senjata yang mampu memancarkan cahaya demikian
angkernya. Tubuhnya yang kecil laksana diterpa angin puting beliung. Tanah yang
dipijaknya seperti diguncang lindu. Pantas saja tadi si Setan Ngompol kelabakan
menghadapi senjata sakti mandraguna itu.
"Edan!"
maki Naga kuning ketika dia dapatkan dirinya tidak bisa keluar dari gulungan
cahaya kuning. Setiap saat Keris Naga Kopek di tangan lawan datang menggempur
dalam bentuk tusukan atau babatan.
"Bukkk!"
Dalam
satu gebrakan Naga Kuning berhasil menghantam lengan kanan Rana Suwarte yang
memegang Keris Naga Kopek. Lengan itu hanya tergetar sedikit sebaliknya Naga
kuning terpental sampai tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Lawan tidak
sia-siakan kesempatan. Sambil rnerunduk Rana Suwarte hunjamkan senjata sakti di
tangannya ke dada si bocah.
"Settt
…. clep!"
Keris
Naga Kopek kelihatan menancap di dada Naga Kuning. Setan Ngompol berteriak
kaget. Kencingnya berburaian.
"Rana
Suwarte keparat! Kukorek jantungmu! Kuhisap darahmu!" teriak Setan
Ngompol.
Dia menerjang
ke depan ke arah tokoh silat lstana itu. Namun setengah jalan gerakannya
tertahan ketika menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga Kuning.
******************
4
KITA
tinggalkan dulu Naga Kuning yang menerima nasib kena ditikam Rana Suwarte dengan
Keris Naga Kopek, senjata sakti mandraguna yang merupakan salah satu benda
pusaka Kerajaan. Kita kembali ke sebuah muara sungai kecil di kawasan pantai
selatan.
Sejak
tengah malam udara terasa lebih dingin. Langit di laut menghitam dalam
kegelapan tanpa bulan tanpa bintang. suara tiupan angin sesekali mengencang
terdengar menggidikkan. Di batik sederetan pohon kelapa di tepi pantai, di
bawah sebuah gubuk tak berdinding, dua gadis duduk sating berdiam diri.
"Hujan
…" Gadis di samping kiri berucap sambil mengusap pipinya yang kejatuhan
hujan rintik-rintik. Gadis ini berambut pirang, berwajah cantik jelita dan
bukan lain adalah Bidadari Angin Timur. Di sebelahnya duduk Anggini, gadis
cantik murid tokoh silat terkenal berjuluk Dewa Tuak.
"Anggini,
apakah kita akan terus menunggu di sini? Ini malam kedua kita bergadang. Yang
aku khawatir mereka tidak muncul di kawasan muara ini."
Dua gadis
itu memang telah berada di tempat tersebut selama dua malam. Padahal di dasar
samudera waktu yang dua malam itu bagi Wiro kurang dari satu hari.
"Turut
keterangan orang-orang yang kita tanyai, mereka memang menuju ke sini. Lalu
menghilang begitu hari gelap. Kita tidak tahu kapan mereka akan muncul. Tapi
aku yakin tempatnya memang sekitar muara ini. Karena di sini pertemuan muara
sungai yang mengandung hawa hangat dengan air laut yang berhawa dingin.
Kalaupun kita beranjak dari sini, kita mau pergi kemana?, Pangeran Matahari
yang kita cari sama sekali tidak meninggalkan jejak."
Bidadari
Angin Timur dalam sesaat lalu melanjutkan kata-katanya. "Aku ingat
keterangan Eyang Sinto Gendeng tempo hari mengenai dua makam di puncak Gunung
Gede. Kita sama menyaksikan hanya satu makam yang kosong sedang makam satunya
adalah dimana Puti Anggini dimakamkan. Jelas-jelas kita yang menguburkan gadis
itu. Mengapa tahu-tahu makamnya kosong? Aku yakin ini semua Pangeran keparat
itu yang punya pekerjaan. Aku…. …."
Anggini
angkat tangannya, memberi isyarat dengan gerakan tangan memutus ucapan Bidadari
Angin Timur. Dia menunjuk ke arah timur. Di jurusan itu, dalam kegelapan
kelihatan seorang berlari menyusuri pantai. Demikian cepat larinya hingga dalam
waktu cepat sekali dia telah berada di muara sungai dekat deretan perahu-perahu
kosong. Dengan gesit orang ini melompat dari satu perahu ke perahu lainnya
tanpa perahu-perahu kosong itu bergerak barang sedikitpun. Di perahu ke tiga
pada deretan perahu diujung kiri, orang ini berhenti lalu merunduk dan dudukkan
diri di lantai perahu.
"Orang
itu memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Pasti orang dari rimba
persilatan," bisik Bidadari Angin Timur. Yang diperhatikan Anggini bukan
kehebatan ilmu lari atau ilmu meringankan tubuh orang.
"Sahabatku,
coba kau perhatikan. Di atas kepala
orang itu
ada asap aneka warna merah, berbentuk kerucut berbalik. Matanya juga merah. Aku
merasa pasti orang itu adalah nenek aneh yang menurut Wiro tersesat dari Negeri
Latanahsilam. Yang pernah bertempur dengan Wiro karena dia sebenarnya adalah
kakak kandung iblis Kepala batu Alis Empat alias lblis Kepala batu Pemasung
Roh."
"Aku
ingat," ujar Bidadari Angin Timur.
"Namanya
hantu Penjunjung Roh. Waktu Wiro mengerjainya, hampir membuat dirinya telanjang
bugil, kau memberikan sehelai pakaian padanya."
"Benar,
memang dia. Mengapa dia berada di sini?" Anggini menduga-duga.
"Kalau
dia adalah saudaranya lblis Kepala Batu Alis Empat, sudah bisa kuduga apa
maksudnya berada di sini. Mau mencegah Wiro. Membalas dendam karena telah
dipecundangi dan dipermalukan."
"Berarti
Pendekar 212 dalam bahaya."
"Apa
yang harus kita lakukan?"
"Tunggu
saja sampai Wiro muncul. Kalaupun nenek itu punya niat jahat terhadap Wiro,
rasanya dia tidak memiliki kemampuan mengalahkan Pendekar 212."
Hujan
rintik-rintik lenyap diterpa angin laut. Malam tambah dingin. Orang di dalam
perahu Hantu Penjunjung Roh duduk tak bergerak. Matanya selalu diarahkan ke
tengah laut, sesekali memandang berkeliling. Anggini dan Bidadari Angin Timur
mulai letih, kedinginan dan mengantuk. Tiba-tiba sayup-sayup di kejauhan
terdengar suara air laut bersibak. Anggini angkat kepalanya, memandang
lurus-lurus ke arah laut di ujung muara sungai.
"Bidadari,
lihat!" ucap Anggini.
Bidadari
Angin Timur yang tengah terkantuk-kantuk tersentak, berpaling pada sahabatnya
lalu memandang ke arah yang ditunjuk Anggini.
Saat itu
dari bawah permukaan air laut muncul dua kepala manusia, satu laki-laki,
satunya perempuan berambut panjang hitam. Setelah muncul kepala, menyusul
bagian dada lalu perut. Akhirnya kedua orang itu kelihatan melangkah mengarungi
air laut yang semakin dangkal, bergerak menuju ketepi pasir pantai.
"Dugaan
kita tidak meleset. Si mata biru itu ternyata memang mendampingi Wiro masuk ke
dalam lautan." Kata Bidadari Angin Timur setengah berbisik.
"Mungkin
Wiro telah mendapatkan ilmu Meraga Sukma itu" ujar Anggini. Belum sempat
Bidadari Angin Timur menjawab ucapan sahabatnya tiba-tiba sosok Hantu Pemasung
Roh yang sejak lama mendekam di salah satu perahu melesat ke udara lalu menukik
turun ke arah dua orang yang barusan saja keluar dari dalam laut.
Dalam
kejutnya Wiro dan Ratu Duyung cepat bersibak ke kiri dan ke kanan.
"Hantu
Penjunjung Roh!" seru Wiro begitu dia mengenali siapa yang berdiri di atas
pasir basah di hadapannya. Dia merasa tidak enak. Naga-naganya nenek satu ini
akan mencari lantaran lagi. Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung agar berlaku
waspada.
"Bagus!
Kau masih mengenali tua bangka jelek ini! Hik … hik … hik!"
"Nek,
kelihatannya kau sengaja menghadang kami." kata Wiro pula.
"Bukan
kelihatannya. Tapi memang benar aku sengaja menghadangmu. Aku punya satu
kepentingan denganmu anak muda! Aku datang untuk mengingatkanmu tentang urusan
dengan saudaraku lblis Kepala Batu Alis Empat Alis lblis Kepala Batu Penjunjung
Roh. Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku
lupa, urusan apa yang kau maksudkan?"
"Hemm
… Hik … hik! Kau lupa. Biar aku beritahu! Aku ingatkan padamu jangan sekali
lagi berani membuat urusan apa lagi sampai mencelakai lblis Kepala Batu Alis
Empat!"
"Tidak
ada orang yang ingin mencelakai saudaramu itu! Dia mencelakai dirinya
sendiri!" kata Wiro mulai gusar.
"Maksudmu?!"tanya
Hantu Penjunjung Roh. "Jangan berlagak tolol tidak tahu! Saudaramu
menculik gadis bernama Bunga, sahabat Pendekar 212. Menyekapnya dalam guci
tembaga!" Yang menjawab adalah Ratu Duyung.
Hantu
Penjunjung Roh yang bernama Luhniknik ini Jirikkan matanya pada Ratu Duyung,
lalu berkata. "Gadis berambut hitam panjang, bermata biru bertubuh bagus,
apa hubungamu dengan pemuda ini?"
"Kau
tak patut bertanya, jadi tak layak kujawab!" sahut Ratu Duyung pula.
Si nenek
tertawa panjang. "Aku tidak ada kepentingan dengan dirimu. Jadi jangan
berani campuri urusanku dengan pemuda itu!"
Wiro maju
satu langkah. "Hantu Penjunjung Roh aku juga merasa tidak ada urusan
dengan dirimu. Mengingat hubungan kita di Tanahsilam dulu, harap kau suka
meninggalkan tempat ini. Jangan menghalangi kami."
Wiro
memberi isyarat pada Ratu Duyung. Keduanya lalu melangkah maju melewati samping
kiri dan kanan si nenek.
"Pendekar
212 Wiro Sableng! Di Negeri Latanahsilam kita boleh bersahabat. Tapi di sini
saat ini aku terpaksa meminta sumpahmu bahwa kau tidak akan melakukan apa-apa
terhadap adikku lblis Kepala Batu Alis Empat."
"Aku
bisa saja bersumpah. Tapi apakah kau sanggup membebaskan Bunga dari dalam guci
tembaga?!"
"Aku
akan melakukan hal itu! Aku akan menemui adikku!"
"Mana
mungkin! Dimana dia berada saja kau tidak tahu!" tukas Wiro.
"Jangan
memandang remeh diriku! Aku tahu dimana dia berada!"
"Tempat
kediamannya di Jurangmungkung sudah aku hancurkan!"
"Dia
masih punya beberapa tempat kediaman. Diantaranya di Lembah Welirang, lalu di
…"
Hantu Penjunjung
Roh putus ucapan. Dia baru sadar kalau telah mengatakan sesuatu yang seharusnya
tidak boleh diungkapkan.
"Kurang
ajar! Aku kena terpancing pemuda jahanam ini!" rutuk si nenek dalam hati.
Wiro menyeringai.
"Maaf
Nek, aku tidak percaya kau mampu melakukan hal itu."
"Memang,
seharusnya kau jangan percaya padanya Wiro!"
"Betina
penghasut! Kau bakal menerima hajaran dariku!" kata Hantu Penjunjung Roh.
Dua matanya yang merah berbentuk kerucut menyembul keluar. Dia berpaling ke
arah Pendekar 212 lalu berkata. "Aku terpaksa minta jaminan secara paksa
bahwa kau tidak akan mencelakai saudaraku!"
Habis
berkata begitu Hantu Penjunjung Roh goyangkan kepalanya. Dari dua rnatanya yang
aneh, melesat dua larik sinar merah angker. Sinar pertama menderu ke arah bahu
kiri dan sinar kedua ke arah bahu kanan Wiro. Jika mengenai sasarannya maka dua
tangan sang pendekar akan buntung sebatas bahu!
Seperti
diketahui Hantu Penjunjung Roh telah beberapa kali berusaha membujuk agar Wiro tidak
mengambil tindakan terhadap lblis Kepala Batu Alis Empat. Si nenek tahu kalau
Wiao mengeluarkan ilmu kesaktian yang dimilikinya maka adiknya akan celaka
besar walau konon lblis Kepala Batu Alis Empat punya ilmu kebal.
Dari
membujuk si nenek sampai bertindak keras hingga terjadi perkelahian. Wiro yang
masih menaruh hormat terhadapnya tidak mau menjatuhkan tangan keras. Terakhir
sekali dia memberi pelajaran dengan cara merobek-robek pakaian perempuan tua
itu hingga keadaannya nyaris bugil.
Ternyata
hal ini tidak membuat Hantu Penjunjung Roh jera. Nenek satu ini tetap saja
ngotot membela saudaranya tanpa mau mengerti kalau lblis Kepala Batu telah
melakukan kejahatan keji, menculik Bunga, menyekapnya dalam guci tembaga dan
memaksanya untuk dijadikan gadis peliharaan.
Wiro
memburu lblis Kepala Batu ke sarangnya di dekat air terjun Jurangmungkung. Tapi
tidak menemui si penculik di tempat itu. Dalam marahnya Wiro hanya bisa
menghancurkan tempat kediaman lblis Kepala Batu.
(Baca
Episode Gondoruwo Patah Hati", "Senandung Kematian", "Mayat
Persembahan" dan "Si Cantik Dalam Guci")
Mendapat
serangan ganas begitu rupa lenyaplah kesabaran murid Sinto Gendeng. Kalau tidak
diberi hajaran berat nenek satu ini tdak akan jera seumur-umur dan dia akan
selalu mengalami kesulitan untuk membebaskan Bunga walau saat itu dia telah
memiliki ilmu Meraga Sukma. Tapi Ratu Duyung yang begitu besar cintanya
terhadap Wiro bertindak mendahului. Gadis ini keluarkan cermin bulat saktinya.
Sekali dia menggerakkan tangan memutar lengan, selarik cahaya menyilaukan
berkiblat di malam buta. rnelabrak dua larik sinar merah yang menyembur keluar
dari sepasang mata Hantu Penjunjung Roh.
"Bummm!
Bummm!"
******************
5
Letusan
keras mengge!egar dua kali di tempat itu. Air sungai bermuncratan.Pantai
bergetar dan ombak melambung ke udara. Sepasang kaki Ratu Duyung melesak ke
dalam pasir pantai sampai satu jengkal. Sebaliknya sosok Hantu penjunjung Roh
terpental satu tombak, terbanting jauh menelungkup hingga tubuhnya di bagian
depan termasuk wajahnya bercelemongan pasir basah.
Untung
pasir tidak memasuki kedua matanya. Sambil memakai panjang pendek nenek ini
bangkit berdiri, rnembersihkan mukanya yang dipenuhi pasir basah. Asap merah
berbentuk kerucut terbalik diatas kepalanya bergerak turun naik.
Tiba-tiba
didahului pekik keras seolah merobek langit malam, hantu penjunjung roh
melompat kearah ratu duyung. Asap merah kepalanya menebar membuntal menutupi
muara sungai seluas dua tombak.
Ratu
duyung berseru kaget ketika dia tidak lagi melihat sosok si nenek. Lalu dari
dalam kepekatan asap merah tiba-tiba mencuat satu tangan dan buukkkkk!
Ratu
duyung menjerit keras.tubuhnya mencelat satu tombak, jatuh terbanting dipasir.
Jotosan Hantu Penjunjung Roh tepat melanda dadanya.
"Tua
bangka kurang ajar! kau memang tidak bisa dikasih hati!" teriak Wiro
melihat apa yang terjadi dengan Ratu Duyung. Murid Sinto Gendeng ini segera
menerjang ke depan. Berkat hawa sakti yang didapatnya dari Naga Biru di dasar
samudera gerakan Wiro jadi enteng dan cepat sekali. Tangan kiri melepas pukulan
"Orang gila Mengebut Lalat" untuk rnembuyarkan asap merah yang masih
menyelubung sedang tangan kanan siap menghajar si nenek dalam jurus
"Kepala Naga Menyusup Awan".
Namun
gerakan sang pendekar mendadak tertahan ketika dua bayangan berkelebat dalam
gelapnya malam dan pekatnya asap merah.
"Bukk!
Buukk!"
Hantu
Penjunjung Roh menjerit setinggi langit. Dadanya laksana dipantek dari depan
dan belakang. Satu jotosan rnelanda dadanya. Lalu dalam waktu bersamaan satu
jotosan lagi menghantam punggungnya, Si nenek muntahkan darah segar. tubuhnya
Terseok lalu jatuh terduduk di pasir basah. Asap merah yang sebelumnya
menyelubungi tempat itu sirna dan asap merah yang ada di atas kepalanya, kini
hanya berbentuk bayang.bayang, naik turun mengikuti tarikan napas sesak. dua
bola matanya yang berbenruk kerucut merah, tenggelam ke dalam rongga mata yang
cekung dan menyembul keluar begitu dia melihat dua sosok gadis yang ada di
hadapannya yang bukan lain adalah Bidadari Angin Timur dan Anggini.
Pendekar
21 2 Wiro Sableng tidak perdulikan apa yang terjadi dengan si nenek. Dia
menghambur ke arah sosok Ratu Duyung, berlutut di sampingnya lalu mendudukkan
gadis itu di tanah, disandarkan ke badan sebuah perahu.
"Ratu
…."
"Wiro,
dadaku sakit sekali …" Suara Ratu duyung hampir tak kedengaran saking
perlahannya. Wiro hendak dekapkan dua telapak tangannya ke dada gadis itu, tapi
sadar kalau hal itu tak mungkin dilakukannya. Maka dari belakang dua tangannya
diletakkan di atas punggung Ratu Duyung lalu dia kerahkan tenaga dalam untuk
mengalirkan hawa sakti ke tubuh si gadis.
"Manusia-manusia
pengecut! Curang!"
Hantu
Penjunjung Roh merutuk. Dia berusaha bangkit berdiri tapi jatuh lagi terduduk.
"Nek,
maafkan kami," berkata Anggini.
"Sebelumnya
kami bersikap bersahabat terhadapmu. Tapi kalau kau mencelakai sahabat kami
Ratu Duyung, mana mungkin kami hanya berdiam diri."
Hantu
Penjunjung Roh semburkan ludah dan darah dalam mulutnya. Untuk kedua kalinya
dia coba berdiri. Lagi-lagi jatuh terduduk kembali seolah dua kakinya telah
menjadi lumpuh. Anggini yang merasa kasihan menolong perempuan tua ini berdiri.
"Nek,
pergilah dari sini. Jangan lagi menghalangi niat Pendekar Pendekar 212 untuk
membebaskan sahabatnya Bunga. Walau lblis Kepala Batu adalah saudaramu, tapi
dia telah melakukan satu kejahatan keji."
Luhniknik
alias Hantu Penjunjung Roh keluarkan
ucapan
yang tak jelas dari mulutnya yang penuh ludah bercampur darah. Terhuyung-huyung
nenek ini melangkah pergi tinggalkan muara sungai. Bidadari Angin Timur dan
Anggini segera menghampiri Ratu Duyung.
Saai itu
Ratu Duyung duduk bersandar ke badan perahu. Cermin sakti diletakkannya di atas
dadanya yang masih mendenyut sakit.
"Sahabat,
bagaimana keadaanmu?" tanya Anggini sambil memegang bahu Ratu Duyung.
"Dadaku
masih sakit. Aku menderita luka dalam. Mudah-mudahan tidak parah …" jawab
Ratu Duyung. Mulutnya berucap begitu tapi hatinya bertanya-tanya bagaimana dua
gadis tersebut tahu-tahu bisa muncul di tempat itu.
"Kami
berdua akan tolong memulihkan cideramu," kata Anggini lalu membungkuk di
hadapan Ratu Duyung. Dua tangannya hendak diletakkan di atas dada Ratu Duyung
tapi Wiro memberi isyarat agar Anggini tidak melakukan hal itu karena saat itu
dia telah mengeluarkan kapak sakti. Kapak ini kemudian ditempelkan diatas dada
Ratu Duyung.
Senjata
itu sebelumnya pernah ditelan oleh naga Biru di dasar samudera dan kini dibalut
oleh selarik sinar sakti kemerahan. Ketika kapak menindih dadanya Ratu Duyung
pejamkan mata. Aliran hawa aneh yang keluar dari dalam kapak sakti menimbulkan
rasa sejuk di sekujur tubuhnya, terutama di bagian dada. Denyutan sakit
perlahan-lahan mulai berkurang. Wiro kemudian berikan sisa obat pemberian
gurunya yang tinggal satu. Tanpa malu-malu obat itu di masukkannya ke dalam mulut
Ratu Duyung seraya mendekatkan wajahnya ke muka si gadis, lalu berbisik.
"Telan
…"
Sesaat
Ratu Duyung pegang tangan Wiro lalu menelan obat yang diberikan. Bidadari Angin
Timur dan Anggini hanya bisa berdiam diri. Walau jelas maksud Wiro menolong
Ratu duyung setulus hati, namun dua gadis ini melihat dibalik pertolongan itu
ada satu kemesraan.
Anggini
merasa perih di lubuk hatinya. Bidadari Angin Timur juga merasakan hal yang
sama malah dadanya menjadi sesak. Dua gadis ini layangkan pandangannya ke arah
laut gelap. Mereka seolah menyadari bahwa hati sanubari dan perasaan saat itu
jauh lebih kelam dari laut yang gelap itu. Ketika rasa sakit dan sesak di
dadanya lenyap Ratu Duyung buka sepasang matanya yang biru. Dia coba tersenyum
pada Anggini dan Bidadari Angin Timur. Lalu gadis ini palingkan kepalanya pada
Wiro.
"Wiro,
kau harus segera mencari lblis Kepala Batu Alis Empat …"
Wiro
mengangguk. "Aku tahu, tapi aku tidak akan meninggalkan kau dalam keadaan
seperti ini."
"Jangan
pikirkan diriku. Aku akan segera sembuh."
"Kita
akan mencari iblis keparat itu bersama-sama." Kata Pendekar 212 pula yang
membuat Ratu Duyung jadi terkejut, juga membuat heran Bidadari Angin Timur dan
Anggini. Sesuatu agaknya telah terjadi, membuat perubahan dalam diri Pendekar
212 terhadap Ratu Duyung. Bagi Wiro sendiri apa yang dilakukannya adalah satu
tindakan wajar belaka. Ratu Duyung telah mengantarkannya ke dasar semudera
untuk mendapatkan llmu Meraga Sukma. Kini si gadis dalam keadaan cidera. Apakah
layak dia meninggalkannya begitu saja? Wiro memandang pada dua gadis itu di
hadapannya.
"Aku
gembira rnelihat kalian berdua. Bagaimana kalian bisa berada di muara sungai
ini?"
Anggini
jadi kelagapan, tak bisa menjawab. Bidadari Angin Timur yang sebelumnya sudah
menduga kalau Wiro .bakal menanyakan hal itu telah menyiapkan jawaban.
"Kami
berada di kawasan ini secara kebetulan. Kami masih berusaha keras menjejajaki
dimana beradanya Pangeran Matahari. Karena agaknya dia satu-satunya orang yang
tahu .Kemana lenyapnya Pedang Naga Suci 212. Ketika sampai di sini malam tadi,
kami melihat Hantu Penjunjung Roh telah lebih dulu berada di sini. Mendekam
dalam perahu. Pasti dia fengah menunggu seseorang atau menantikan sesuatu. Kami
lantas ingat kalau kau tengah dalam perjalanan mencari seorang sakti yang diam
di dasar lautan. Aku dan Anggini memutuskan untuk mematai-matai nenek itu.
Bukan
mustahil dia punya satu rencana jahat. dugaan kami ternyata betul. Hanya sayang
kami kurang cepat bertindak hingga sahabat Ratu duyung mengalami cidera …"
"Kalian
bertindak dalam waktu yang tepat. aku berterima kasih pada kalian berdua. Kalau
kalian tidak muncul mungkin aku sudah membunuh nenek itu." Wiro pandangi
wajah dua gadis cantik itu. Yang dipandangi menduga-duga apa yang ada didalam
kati sang pemuda.
”’Aku dan
Ratu Duyung akan pergi ke Lembah Welirang. Hantu Penjunjung Roh telah
ketelepasan bicara. Agaknya lblis Kepala Batu Alis Empat meiarikan Bunga ke
tempat itu."
"Kami
siap ikut bersamamu," kata Bidadari Angin Timur.
"Aku
sangat berterima kasih. Tapi seperti yang sudah kita atur semula. Kita tetap
membagi tugas. Kalian berdua meneruskan mencari Pangeran Matahari sambil
menyirap kabar dimana beradanya tanaman bunga melati tujuh racun …"
Bidadari
Angin Timur dan Anggini jadi saling pandang mendengar ucapan Wiro itu. Kalau
Pendekar 212 memang tidak inginkan mereka ikut ke Lembah Welirang, buat apa
mereka berada lebih lama ditempat itu.
"Wiro,
kau benar. Kita harus membagi tugas. Kami akan meneruskan mencari Pedang Naga
Suci 212. Juga menyelidiki dimana beradanya bunga melati tujuh racun. Kami
pergi sekarang…"
Wiro
memegang lengan Bidadari Angin Timur. Memandang pada Anggini. "Pergilah
Jangan lupa selalu berhati-hati …"
Sesaat
setelah dua gadis itu pergi, Ratu Duyung berkata. "Kau telah mengecewakan
dua gadis cantik itu Wiro."
"Aku
mengecewakan dua gadis cantik?" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mereka
lebih suka ikut bersamamu ke Lembah Welirang. Tapi kau menolak dan memberi
mereka tugas yang lain …"
"Aku
sama sekali tidak punya niat mengecewakan mereka. Pembagian tugas itu sudah
ditetapkan sejak lama. Aku sendiri kebagian tugas paling banyak. Menyelamatkan
Bunga, mencari bunga melati tujuh racun. Mencari kitab pengobatan milik guru
yang hilang dicuri orang …."
"Kalau
kau sadar begitu banyak tugasmu, mengapa kau tidak mau dibantu oleh
mereka?"
"Mereka
telah membantu …." jawab Wiro.
Sang
pendekar pandangi wajah Ratu Duyung beberapa ketika. Lalu dia tersenyum. Sambil
mengusap-usap rambut hitam si gadis dia berkata.
"Kalian
gadis-gadis cantik! Memang sulit menduga apa yang ada dihati kalian!"
"Mungkin
begitu," jawab Ratu Duyung. Tapi dua gadis sahabatku itu mungkin pula
berpendapat betapa sulitnya menduga apa yang ada dihatimu."
"Kau
sendiri, apakah juga punya pendapat seperti itu?" tanya Pendekar 212.
Sesaat
Ratu Duyung kelihatan merah wajahnya. Kemudian sambil tersenyum dia menjawab.
"Aku tidak malu-malu mengatakan dan berterus terang. Saat ini aku lebih
beruntung dari mereka berdua. Karena kau memperhatikan keadaan diriku yang
cidera. Lebih dari itu kau juga menaruh percaya dan rnengajak diriku ke Lembah
Welirang mencari lblis Kepala Batu Alis Empat … ”
Wiro cuma
bisa tersenyum dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu.
******************
6
KEMBALI
ke kali kecil tempat terbunuhnya gadis cilik bernama Sulantri dan kejadian
ditikamnya Naga Kuning oleh Rana Suwarte dengan Keris Naga Kopek, pusaka
Kerajaan. Setan Ngompol berteriak keras menyaksikan kejadian itu. Dia menerjang
nekad kearah Rana Suwarte sambil berteriak.
"Rana
Suwarte keparat! Kukorek jantungmu! Kuhisap darahmu!"
Namun
gerakan kakek ini serta merta tertahan ketika dia menyaksikan apa yang terjadi
dengan sosok Naga Kuning. Walau jelas tadi Keris Naga Kopek menancap di
pertengahan dada anak itu, namun tak ada darah yang mengucur, tak ada jerit
kesakitan keluar dari mulut Naga Kuning. Malah pada saat itu Setan Ngompol
melihat bocah berpakaian hitam berambut jabrik itu putar-putar leher, goyangkan
kepala.
Asap
tipis mengepul dari ubun-ubun Naga Kuning. Ketika bocah ini mengusap wajahnya
satu kali, wajah itu berubah menjadi wajah seorang kakek berambut, berkumis dan
berjanggut putih. Sosoknya bukan lagi sosok anak-anak, melainkan sosok seorang
tua mengenakan jubah kelabu.
"Ah,
anak konyol itu tengah memamerkan wujudnya yang asli. Padahal keris masih
menancap di dadanya. Tapi, astaga!"
Bola mata
jereng Setan Ngompol membeliak. Ketika dia memperhatikan ternyata Keris naga
Kopek sama sekali tidak menancap di dada Naga Kuning yang kini telah berubah
wujud menjadi kakek dikenal dengan julukan kiai Paus Samudera Biru. Senjata
sakti itu berada daIam jepitan jari-jari tangan kirinya.
ketika
lawan menikam Naga Kuning cepat lindungi dirinya dengan jurus "Naga Sakti
menggenggam Rembulan." Begitu ujudnya berubah Keris Naga Kopek sudah
berada dalam jepitan lima jari tangannya. Tidak seperti yang diduga Setan
Ngompol, senjata sakti ini tidak sampai menusuk tubuh Naga Kuning alias Kiai
paus Samudera Biru. Dari samping tadi memang terlihat seolah-olah senjata sakti
itu telah menusuk tembus dada Naga Kuning.
Kejut
Rana Suwarte bukan olah-olah. Dia Cepat tarik Keris Naga Kopek. Tapi laksana
Ditahan jepitan baja senjata sakti itu tidak Bergeming dari genggaman Kiai Paus
Samudra Biru.
Keringat
dingin mengucur di kening Rana suwarte. dalam hati dia membatin. "Kalau
aku adu kekuatan, kerahkan tenaga dalam, keris sakti ini bisa patah. Urusanku
dengan orang lain bisa kapiran! Kalau aku mengalah berarti senjata ini jatuh ke
tangan manusia jahanam ini! Aku tambah lebih celaka!"
Kiai Paus
Samudera Biru menyeringai lalu berucap. "Walau besar dugaanku senjata
pusaka Kerajaan ini adalah hasil curian, aku bersedia meloloskan mengembalikan
padamu. Tapi dengan satu syarat. Mulai hari ini kau harus melupakan Ning lntan
Lestari dan tinggalkan tanah Jawa ini. Pergi kemana kau suka asal tidak di
tanah Jawa!"
Rahang
Rana Suwarte menggembung. Tanpa keluarkan ucap jawaban Keris Naga Kopek yang
tadi ditariknya kini malah didorong ditusukkan ke arah lawan. Lalu tangan kiri
laksana kilat bergerak melempar sebilah pisau terbang. Serangan senjata rahasia
ini masih disusul dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi.
"Rana
Suwarte, kau memang harus dibikin tobat seumur-umur!" kata Kiai Paus
Samudera Biru dengan sikap tenang. Bersamaan dengan keluarnya ucapan ttu tangan
kanannya bergerak ke atas. Lima jari tangan dijentikkan.
"Tring!"
Senjata
rahasia berupa sebilah pisau terbang patah tiga, mental lenyap di udara malam
yang gelap.
"Bukkk!"
Jotosan
tangan kiri Rana Suwarte beradu keras dengan jotosan tangan kanan Kiai Paus
Samudera Biru. Wajah sang Kiai masih sunggingkan seringai sebaliknya Rana
Suwarte mengerung keras. Tangan kanannya terlepas dari memegang Keris Naga
Kopek. Tubuhnya mencelat dua tombak. Lima jari tangan kirinya hancur.
Satu
bayangan biru berkelebat. Kiai Paus Samudera Biru terkesiap kaget ketika satu
kekuatan dahsyat mendorong tubuhnya. Selagi dia terjajar ke belakang, dia
merasa ada sambaran angin deras menyusul dan tahu-tahu keris Naga Kopek dibetot
lepas dari tangannya.
"Rana
Suwarte tua bangka tolol! Lekas tinggalkan tempat ini. Aku menunggu di bukit
perjanjian!"
Seseorang
berseru lalu dess!
Ada suara
letupan. Bersamaan dengan itu kabut aneh menyungkup kawasan kali kecil membuat
buta pemandangan. Kiai Paus Samudera Biru coba mengejar orang yang merampas
keris pusaka, tapi karena tidak bisa melihat apa-apa sosoknya malah beradu
dengan Setan ngompol.
Ketika
kabut aneh lenyap di tepi kali kelihatan Kiai Paus Samudera Biru yang telah
kembali ke ujud aslinya yaitu ujud seorang anak lelaki kecil berambut jabrik
bernama Naga Kuning tergeletak di tanah. Di sampingnya kakek botak Setan
Ngompol duduk menjelepok terkencing-kencing. Tangan kiri memegangi keningnya
yang benjut akibat beradu kepala dengan Kiai Paus Samudera Biru tadi sementara
tangan kanan memegangi bagian bawah perut yang terus ngocor. Rana Suwarte tak
ada lagi ditempat itu. Mayat si kecil Sulantri masih tergeletak di tepi kali.
"Bocah
konyol! Apa yang terjadi?!" Setan Ngompol ajukan pertanyaan. Naga Kuning
delikkan mata. "Kau yang menonton perkelahian. Kau pasti melihat lebih
jelas!"
"Aku
melihat satu bayangan biru. Ada orang berkelebat ke arahmu. Lalu muncul kabut!
Kau
menabrak diriku. Lihat keningku- sampai benjut!"
Tanpa
diketahui oleh kedua orang itu, tak jauh dari tumbangan pohon besar seorang
mendekam dibalik serumpun semak belukar. Matanya tak berkesip memperhatikan dua
orang yang tengah bercakap-cakap namun perhatiannya lebih banyak ditujukan pada
Naga
Kuning.
Orang ini berpakaian serba hitam, berujud seorang nenek bermuka seram, rambut
kelabu riap-riapan, kaku panjang hitam.
"Ada
orang merampas Keris Naga Kopek," jawab Naga Kuning dengan suara
penasaran. Ketika aku mengejar dia ledakkan benda yang menebar kabut tebal.
Turut apa yang diucapkan orang itu pasti dia adalah sobatnya Rana Suwarte.
Bukit perjanjian. Ada puluhan bukit di sekitar sini. Kemana aku mau
mengejar?!"
"Tak
perlu dikejar. Sia-sia saja," kata Setan ngompol. "Kau muncul di sini
sendirian?"
"Memangnya
kau kira aku datang dengan siapa? Setan? Dedemit atau jin" tukas Naga
Kuning.
"Mana
nenek kekasihmu bernama Ning lntan Lestari berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu
…"
"Ah,
dia yang kau maksudkan," Wajah si bocah tampak masgul, sedih.
"Hai,
kenapa tampangmu mendadak jadi seperti orang sedih?’
"Orang
satu itu, tak usah kau tanyakan dia.Dia sudah kabur entah kemana!" jawab
Naga Kuning.
"Setelah
berpisah puluhan tahun, bukankah belum lama ini kalian saling bertemu? Apa yang
terjadi sampai dia kabur meninggalkan dirimu?"
"Aku
tak bisa memastikan. Cuma menduga Mungkin dia cemburu pada nenek sial dari
Negeri Latanahsilam bernama Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh. Waktu dia
kabur, aku coba mengejar. Tapi dia lenyap entah kemana. Aku mencari ke tempat
kediamannya di Kali Lanang. Dia tak ada disitu. Sial amat nasibku!
Padahal
aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Hantu Penjunjung Roh. Puluhan tahun
berpisah, begitu bertemu berpisah lagi. Aku kawatir kesempatan ini dipergunakan
oleh Rana Suwarte untuk merayu Ning lntan Lestari. Tapi aku percaya, orang
seperti dia tidak mudah dirayu. Puluhan tahun dia bisa bertahan, masakan akan
runtuh karena gejolak satu hari saja …." (Baca serial Wiro Sableng dalam
Episode"Si Cantik Dalam Guci")
Di balik
semak-semak, nenek berwajah seram yang bukan lain adalah Ning intan Lestari
alias Gondoruwo Patah hati merasakan dadanya sesak. Perasaan kacau membuat dia
jadi bingung. Di dalam rasa bingung itu terselip rasa penyesalan.
"Kalau
aku, biar saja dia pergi pada Rana Suwarte. Buat apa kau merisaukan nenek jelek
itu!" Setan Ngompol berucap. Membuat Gondoruwo Patah Hati terperangah,
lalu menggigit bibir sendiri.
"Nenek
jelek! Enak saja kau bicara!" Naga Kuning bersungut. "Kau tidak tahu
siapa dan bagaimana keadaan dirinya sebenarnya. Cuma nasibku saja yang jelek.
Kemana aku harus mencarinya?’
"Apa
kau benar-benar mengasihinya?" tanya Setan Ngompol pula. Sepasang Mata
Gondoruwo Patah Hati memperhatikan Naga Kuning tak berkesip. Dadanya berdebar
menunggu apa yang bakal diucapkan anak itu sebagai jawaban.
Naga
Kuning mengangguk. "Dulu sebelum aku tahu bahwa Rana Suwarte menyukainya
aku seolah tidak acuh. Namun ketika tahu lelaki sialan itu mencintainya malah
minta tolong Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk agar rnau nikah dengan
dia, perasaanku jadi berubah. Aku tiba-tiba saja merasa takut kehilangannya.
Aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku mencintai gadis itu. Sejak lama …. Lama
sekali …"
Gondoruwo
Patah Hati pejamkan dua matanya. Dari balik kelopak mata yang terkatup itu
meleleh butiran-butiran bening air mata. Saat itu dia serasa ingin menghambur
keluar dari balik semak belukar, memeluk Naga Kuning. Tubuhnya bergetar menahan
perasaan yang seperti mau meledak. "Gunung …" hanya nama asli Naga
Kuningitu yang meluncur dalam ucapan kata hatinya.
"Gadis?"
terdengar suara Setan Ngompol.
"Nenek
peot muka seram bernama Gondoruwo
Patah
Hati ini kau sebut gadis? Ha .. ha … ha! Otakmu pasti sudah miring!"
"Justru
otakmu bisa jadi miring jika rnengetahui keadaan dirinya sebenarnya!"
jawab Naga Kuning. Dia pandangi kepala botak si kakek lalu berkata. "Aku
heran …"
"Apa
yang kau herankan?" tanya Setan Ngompol.
"Tadi
aku sempat hampir tidak mengenali dirimu. Kalau saja tidak melihat
selangkanganmu yang selalu basah oleh kucuran air kencing, aku mengira kau
adalah tuyul tua kejemur. Kau kemanakan rambutmu? Mengapa kepalamu jadi botak
begitu rupa?!"
Setan
Ngompol menyeringai. Tangan kirinya yang basah oleh air kenclng enak saja
diusapkannya ke atas kepalanya yang gundul plontos.
"Rambut
di kepalaku sengaja kucukur gara-gara kaulan." Menerangkan Setan Ngompol.
"Kaulan?
Kaulan sinting! Apa yang terjadi?" Naga Kuning ingin tahu.
"Kejadiannya
dimulai ketika aku dijebloskan di penjara Istana. Barang antikku dijapit dengan
besi dan digelantungi rantai! Aku kemudian berkaul. Kalau ada yang bisa
menolong dan diriku terlepas dari azab benda celaka itu, maka aku akan
melakukan kaul. Kaulku adalah mencukur semua rambut yang ada di tubuhku.
Wiro
berhasil menolongku. Kaul aku laksanakan. Tapi mengapa aku terus-terusan
ketimpa nasib sial …"
"Mungkin
kaulmu kau lakukan setengah hati …"
"Setengah
hati bagaimana?!" sungut si kakek. "Lihat, kepalaku gundul plontos.
Kumis, juga janggutku aku tabas semua. Rambut kakiku juga aku kikis habis! Bulu
ketek aku cabuti sampai gundul semua! Enak saja kau bilang aku melakukan dengan
setengah hati."
Naga
Kuning tersenyum.
"Kek,
benaran kau sudah mencukur seluruh rambut di tubuhmu?" tanya si bocah."
Apa kau buta? Kau menyaksikan sendiri. Kepalaku, kumisku …."
"Ya,
ya aku lihat Kek. Tapi apa rambut yang dibawah perutmu juga sudah kau cukur
habis?" tanya Naga Kuning pula.
Setan
Ngompol tersentak kaget. Matanya mendelik memandangi si bocah.
"Pertanyaan
edan!" semprot si kakek.
"Kau
belum menjawab pertanyaanku Kek. Apa rambut yang disitu itu sudah kau cukur
habis dan licin? Hik .. hik … hik!"
"Bocah
setan! Sesuai kaul tentu saja rambut di situ sudah aku cukur!" jawab Setan
Ngompol dengan mata jereng melotot dan mulut pencong geram.
"Boleh
aku lihat?!" kata Naga Kuning pula. Anak ini melangkah cepat mendekati si
kakek.
Dua
tangannya siap menarik kebawah celana Setan Ngompol yang basah bau pesing.
Setan Ngompol buru-buru menghindar pegangi bagian bawah perutnya sambil memaki
panjang pendek. Di balik semak belukar Gondoruwo Patah Hati yang tadi menangis
haru kini menutup rnulut dengan telapak tangan kiri menahan tawa.
"Kau
takut aku intip bagian bawah perutmu. Berarti kaulmu memang tidak sempurna!
Kalau belum mencukur seluruh rambut yang ada di tubuhmu!" Ucap Naga Kuning
pula. Setengah menggerendeng Setan Ngompol akhirnya berkata. "Rambut yang
disitu memang tidak dicukur!"
"Nah
mengaku kau akhirnya Kek! itulah salahnya kaulmu! Jadi benar kalau aku bilang
kau melakukan kaul setengah-setengah. Akibatnya kau selalu ketiban apes."
"Bocah
sinting! Yang dibawah perutku itu namanya bukan rambut! Jadi tak perlu aku
potong! Tak perlu aku cukur!"
"Kalau
bukan rambut lalu namanya apa kek?" tanya Naga Kuning dan kembali anak ini
tertawa cekikikan.
"Namanya
… namanya …." Setan Ngompol tak berani meneruskan ucapannya. Kakek ini
malah buru-buru menekapkan tangan ke bawah perut tapi serrr! Kencingnya ngocor
tidak tertahankan. Setelah berdiam diri cukup lama dan berpikir-pikir si kakek
akhirnya berkata.
"Mungkin
… mungkin kau benar bocah sinting.Mungkin memang kaulku tidak kulakukan
sempurna. Aku … aku segera akan mencukur habis rambut yang satu itu …"
"Salah
lagi Kek!" ujar Naga Kuning.
"Apa
yang salah?" pelotot Setan Ngompol.
"Tadi
kau bilang rambut yang satu. Kau yakin dibawah perutmu itu cuma ada satu, cuma
ada selembar rambut?!"
"Setan
alas! Maksudku! Sinting kau!" Tapi kemudian si kakek tertawa
terkekeh-kekeh. Akibatnya serr. ..serrrr. Air kencingnya mengucur tak
berkeputusan. Naga Kuning ikutan tertawa mengakak. Di balik belukar Gondoruwo
Patah Hati terguncang-guncang tubuhnya menahan tawa.
Puas
tertawa dan kencing habis-habisan Setan Ngompol gosok-gosok matanya yang belok
berair. Dia ingat pada jenazah Sulantri. Kakek ini segera melangkah ke tepi
kali kecil. Naga Kuning mengikuti langkah si kakek.
"Aku
harus membawa jenazah anak malang ini ke Maguwo. Sebelum mati dibunuh Rana
Suwarte dia sempat memberi tahu kalau dirinya adalah anak Kepala Desa Maguwo.
Maguwo tak jauh dari sini."
"Aku
ikut bersamamu," kata Naga Kuning pula. "Dalam perjalanan kau bisa
menceritakan apa yang telah terjadi."
"Aku
menaruh curiga. Ada satu rahasia besar dibalik kematian gadis cilik ini. Yang
mungkin ada sangkut pautnya dengan bunga melati berwana hitam."
"Maksudmu
bunga melati tujuh racun yang mampu …"
"Nanti
kita bicarakan dalam perjalanan ke Maguwo," kata Setan Ngompol pula. Lalu
jenazah Sulantri di panggulnya di bahu kiri. Si kakek diam sebentar.
"Maguwo memang tidak jauh dari sini. Tapi memanggul anak ini sampai ke
sana, walah! Aku tidak bisa membayangkan.Kencingku pasti akan mengucur
sepanjang jalan!"
"lni
termasuk salah satu kesialan akibat salah kaul itu Kek!" kata Naga Kuning
pula.
"Kau
yang sialan!" maki Setan Ngompol.
"Sudah
Kek, jangan ngomel terus. Ayo jaIan," ujar Naga Kuning sambil
senyum-senyum, Pada saat itulah Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi mendekam
dibalik semak belukar dan tak bisa lagi menahan hati, melompat keluar.
"Gunung,
apa aku boleh ikut dengan kalian ke Maguwo? Aku membawa seekor kuda. Bisa jadi
tumpangan jenazah anak perempuan itu."
******************
7
NAGA
KUNING terkejut mendengar orang menyebut nama aslinya. Dia mengenali suara itu.
Dugaannya tidak meleset. Seorang nenek berwajah seram tegak di hadapannya.
"lntan!"
ucap Naga Kuning setengah berseru.
"Kau
ada di sini!"
"Ha
.. ha … ha! Sudah sejak tadi dia ada di dekat sini sobatku bocah konyol!"
kata Setan Ngompol.
"Eh,
apa masudmu?" Naga Kuning jadi heran, berpaling pada Setan Ngompol.
"Aku
tahu kalau nenek ini sudah sejak tadi sembunyi di balik semak belukar sana
…." si kakek mengulangi ucapannya.
"Kau!
Jadi!" Naga Kuning memandang melotot pada Setan Ngompol. "Kenapa kau
tidak memberi tahu?"
Setan
Ngompol menyeringai.
"Kau
punya ilmu kepandaian. Tapi karena mengodaku terus-terusan ilmumu jadi
tumpul!"
Naga
Kuning berpaling pada Ning lntan Lestari alias Gondoruwo Patah Hati.
"lntan,
kau … kau mendengar semua pembicaraan kami?’
"Tentu
saja dia mendengar. Walau sudah tua nenek ini belum tuli, belum budek!"
"Kakek
bau pesing! Aku tidak tanya padamu!" semprot Naga Kuning marah.
Setan
Ngompol pencongkan mulut, berpaling pada Gondoruwo Patah Hati dan berkata.
"Sobatku
tua, kau jawablah sendiri pertanyaan sobatku muda yang konyol ini!"
Gondoruwo Patah Hati batuk-batuk beberapa kali.
"Aku
… aku tidak bermaksud menguping. Tapi jarak tempat aku berada begitu dekat. Aku
memang mendengar semua apa yang kalian bicarakan …"-
"Matek
aku!" kata Naga Kuning sambil tepuk jidatnya sendiri. Malunya bocah ini
bukan alang kepalang. Tadi dia sempat menyatakan pada Setan Ngompol bagaimana
isi hatinya terhadap si nenek.
"Kenapa
musti matek!" tukas Setan Ngompol.
"Selama
apa yang kau ucapkan memang jujur dan memang begitu adanya, yang kau dapat
bukan matek tapi matek enak! Bukan begitu? Ha … ha … ha! Atau semua ucapanmu
tadi cuma sandiwara belaka karena sebenarnya kau sudah tahu kalau nenek ini ada
di sekitar sini. Kau ingin merajuk hatinya"
"Tua
bangka edan! Kau yang memancing diriku hingga menemukan kata-kata itu. Dan tadi
kau mengaku sendiri, kalau kau sudah tahu dia ada di sini sejak lama!"
‘Aku
tidak membawa kail! Mana mungkin Aku memancing!" jawab Setan Ngompol
seenaknya lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perutnya yang
kembali mulai mengucur.
"Sudah!
Aku tidak suka kalian terus bertengkar." Kata Gondoruwo Patah Hati.
"Di tempat ini ada jenazah anak kecil yang harus kita urus. Kalau kalian
masih mau bertengkar, biar aku yang mengantar anak itu ke Maguwo. Aku membawa
kuda. Kita naikkan mayat anak ituu di atas kuda. Kita bertiga sama mengiringi.
maguwo tidak jauh dari sini. Aku juga ingin bicara tentang bunga melati hitam
itu dengan kalian."
Habis
berkata begitu nenek ini keluarkan suitan halus. Dari balik deretan beberapa
pohon besar di tepi kali melangkah keluar seekor kuda putih.
"Gondoruwo
Patah Hati," kata Setan Ngompol setelah membaringkan menelungkup jenazah
Sulantri di atas punggung kuda putih milik si nenek. "Sebelum kita
berangkat menuju Maguwo, ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu. lngat
pertemuan kita terakhir kali di dekat air terjun Jurangmungkung?" Si nenek
anggukkan kepala.
"Waktu
itu aku berjanji pada Wiro akan mencari tahu dimana beradanya bunga melati
hitam yang bisa dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit Patih Kerajaan."
"Bunga
melati hitam. Bunga Melati Tujuh Racun," kata Gondoruwo Patah Hati.
"Betul,"
sahut Setan Ngompol. "Waktu itu kau sendiri berkata pernah mengetahui
keberadaan bunga langka itu. Kau juga berjanji akan menyelidik."
"Tiga
puluh tahun lalu dari seorang sahabat yang kini sudah meninggal, aku pernah
mendengar cerita tentang bunga itu. Katanya bunga melati tersebut tumbuh di
satu tempat sejuk. Dia menyebutkan nama satu kawasan, aku lupa. Sampai saat ini
tak berhasil mengingatnya."
"Apa
yang akan aku ceritakan mungkin bisa menolong ingatanmu kembali," kata
Setan Ngompol. Lalu kakek ini ceritakan pertemuannya dengan gadis kecil bernama
Sulantri pagi tadi sampai akhirnya anak itu mati dibunuh Rana Suwarte.
"Rana
Suwarte? Dia yang membunuh anak ini?!" ujar Gondoruwo Patah Hati terkejut
sekali.
"Aku
yakin kematian Sulantri ada sangkut pautnya dengan Melati Tujuh Racun. Anak itu
dibunuh sewaktu hendak menyebutkan dari mana berasalnya bunga melati itu. Aku
punya dugaan …."
"Kek,
aku potong bicaramu," kata Naga Kuning yang sejak tadi diam saja.
"Menurut
ceritamu Rana Suwarte merampas sisa satu-satunya bunga melati hitam yang
ditancapkan Sulantri di lidi. Bunga ini kemudian dimusnahkannya. Lalu ketika
anak itu hendak mengatakan sumber berasalnya bunga tersebut, si jahanam Rana
Suwarte membunuhnya dengan pisau terbang. Berarti manusia itu tidak ingin kau
mengetahui asal-usul bunga tersebut. dia tidak ingin kau mendapatkan bunga itu.
mengapa? Kalian bisa menjawab?"
"Aku
tak bisa menduga," jawab si nenek.
Setan
Ngompol gelengkan kepala. "Aku tidak tahu," katanya.
"Aku
juga tidak bisa menduga. Tidak tahu!" kata Naga Kuning pula.
"Hal
ini merupakan satu rahasia yang harus kita ketahui apa adanya."
"Mengenai
asal usul bunga melati hitam itu." kata Gondoruwo Patah Hati.
"Kalau
anak itu menunjuk ke arah timur, itu adalah keadaan gunung Merapi. Sesuai
cerita sahabatku, bunga itu tumbuh disatu tempat sejuk. Pedataran tinggi di
kawasan Gunung Merapi adalah daerah sejuk. Besar kemungkinan bunga itu tumbuh
di sana. Tapi kawasan itu cukup luas. Tidak mudah mencarinya.
Lalu ada
satu hal lagi. Menurut Sulantri, bunga itu muncul sekali seminggu. Setiap
muncul selalu berjumlah tiga. Anak itu setiap minggu selalu berada di tepi kali
sini. berarti bunga itu datangnya dihanyutkan air kali dari sebelah timur sana
sampai ke sini, tempat si anak selalu menunggu. Berarti bunga itu memang
berasal dari kawasan gunung Merapi. Tumbuh di tepi kali. Gugur ke dalam sungai lalu
dihanyutkan air sungai dan satu minggu kemudian sampai ke sini. Kali kecil ini
hanya satu dari belasan anak Kali Opak yang berhulu di Gunung Merapi. Tidak
mudah untuk menyelusurinya …."
"Aku
sudah berjanji pada Wiro akan menolongnya. Walau tidak mudah, aku akan
menyusuri kali ini ke arah timur sampai akhirnya menemui tempat bunga itu
tumbuh."
"Pekerjaan
itu biar aku yang melakukan. Karena semua sumber bencana ini terjadi pada
keusilanku memasukkan ular ke dalam celana Patih Kerajaan sewaktu terjadi pertempuran
hebat tempo hari."
(Baca
serial Wiro Sableng Episode "Makam ke Tiga")
"Kau
tak bisa disalahkan Intan," kata Naga Kuning. "Pada saat pertempuran
berkecamuk, segala sesuatu bisa saja terjadi. Lagi pula orang-orang Kerajaan
dibawah patih Selo Kaliangan waktu itu bertindak ceroboh. Menekan habis-habisan
Wiro dan kita-kita semua."
"Kawan-kawan,
jika kalian setuju aku akan berangkat ke timur mencari Melati Tujuh Racun.
Kalian berdua tolong antarkan jenazah Sulantri ke rumah orang tuanya di
Maguwo."
"Ah
…." Naga Kuning . tertawa lebar.
"Sobatku
tua, kau memang paling pandai membuat aturan. Aku dan intan tidak keberatan
menerima usulmu …."
"Tentu
saja kau tidak bakal keberatan. Yarena ini memberi kesempatan pada kalian untuk
berdua-duaan. Bukan begitu? Ha …ha … ha!"
"Kek,
kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera pergi saja?" ujar Naga Kuning.
"Ya
…y a, aku pergi!" kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya
dan melangkah terrtawa-tawa.
"Kek!"
Tiba-tiba Naga Kuning berteriak.
"Walah!
Anak konyol! Ada apa lagi kau memang-gilku!" Setan Ngompol hentikan
langkah, menoleh ke arah Naga Kuning.
"Jangan
lupa Kek!" teriak si bocah.
"Jangan
lupa apa?"
"Mencukur
rambut dibawah perutmu! Biar kaulanmu sempurna dan tidak ketiban apes sialan
lagi!"
"Setan
kau!" rutuk Setan Ngompol. Lalu sambil melangkah pergi kakek ini
tertawa-tawa sendiri. Dua tangannya yang memegangi bagian bawah perut jadi
basah-basah hangat oleh air kencing yang mengucur.
******************
8
BUKIT
perjanjian yang dituju Rana Suwarte adalah sebuah bukit kecil di selatan
Imogiri. Ketika dia sampai di puncak bukit ini, orang yang dicarinya telah
berada di tempat itu. Orang ini seorang kakek berjubah tebal, berambut biru
berminyak. Lengan kirinya buntung. Sengaja dibuntunginya sendiri guna
menghindarkan racun senjata maut yang melukai tangannya. Di kening orang ini
terlihat cacat melingkar bekas goresan luka yang cukup dalam. Di tangan kanan
dia memegang sebilah keris memancarkan cahaya kuning, memantul menyilaukan
tertimpa sinar mentari terik. Di tanah bukit, dekat kakinya ada sebuah peti
kayu.
Kakek ini
bukan lain adalah Sarontang. Seorang Pangeran Kerajaan Pakuwon yang tengah
berusaha untuk mendapatkan tahta Kerajaan. Untuk itulah dia sengaja mengembara
ke tanah Bugis guna mendapatkan sebilah badik sakti bernama Badik Sumpah Darah.
Namun sebagaimana telah diceritakan sebelumnya badik sakti itu dibawa lari oleh
Adipati JatiLegowo yang tergila-gila pada janda Cantik Nyi Larasati dan punya
dendam setinggi gunung sedalam lautan terhadap pendekar 212 wiro sableng serta
bujang gila tapak sakti.
”Rana
suwarte, kalau aku tidak segera muncul, kelalaianmu terpaksa kau bayar mahal.
Mungking denga jiwamu sendiri! Bagaimana kejadiannya sampai kau terlibat
perkelahian dengan kakek berjuluk setan ngompol serta bocah yang bisa berubah
ujud menjadi kakekberkepandaian tinggi itu?”berucap sarontang begitu rana
suwarte sampai di hadapannya.
”Pangeran
aryo probo” kata Rana suwarte menyebut nama asli sarontang. Satu perkara besar
tak terduga terjadi di anak kali opak. Seorang gadis cilik hampir saja
menyerahkan melati tujuh racun pada setang ngompol. Malah anak gadis itu nyaris
memberitahu dari mana bunga itu berasalnya terus terang hati kecilku tidak tega
membunuhnya. Tapi terpaksa kulakukan agar rahasia bunga melati langka itu tidak
terbuka”
”seorang
tua bangka sepertimu membunuh seorang gadis cilik tak berdosa. Itu perbuatan
biadab tiada taranya, rana suwarte”
Tampang
rana suwarte berubah merah mengalami mendengar kata-kata sarontang alias
pangeran aryo probo. Salah satu sifatnya yang dianggap bejat adalah rasa
sukanya yang hanya bisa timbul terhadap sesama jenis, terutama para pemuda
gagah.
Sarontang
teruskan ucapannya. "Tapi apapun yang kau lakukan aku tidak perduli. yang
penting aku telah mendapatkan Keris Naga Kopek. Senjata sakti ini merupakan
satu-satunya senjata yang aku harap bisa menghadapi Badik Sumpah Darah, membuat
aku mampu merampas badik sakti yang kini berada di tangan Adipati Jatilegowo
keparat itu. Rana Suwarte, mana sarung keris? Serahkan padaku."
"Pangeran
Aryo," kata Rana Suwarte. "Tidak mudah bagiku untuk mendapatkan Keris
Naga Kopek. Penjagaan di lstana sangat ketat. Apa lagi senjata sakti tersebut
belum lama ini pernah hilang. Aku terpaksa membujuk juru kunci ruang
penyimpanan senjata pusaka. Sebagian dari hadiah yang kau janjikan sebagai
upayaku untuk mendapatkan keris pusaka itu untukmu, akan kuberikan pada juru
kunci itu. Aku berharap kau tidak lupa mengembalikan Keris Naga Kopek begitu
tujuanmu menguasai tahta Kerajaan Pakuwon berhasil."
Sarontang
tertawa lebar. Kau menolong aku mendapatkan keris sakti mandraguna ini. Aku
memberitahu padamu dimana tempat tumbuhnya bunga melati hitam. Tidak ada yang
rugi diantara kita. Mana sarung Keris Naga Kopek? Lekas serahkan padaku."
Dari
balik pinggang pakaian birunya Rana Suwarte mengeluarkan sarung asli Keris Naga
kopek yang terbuat dari emas lalu diserahkan pada Sarontang alias Pangeran Aryo
Probo. Sarontang kepit sarung senjata itu di ketiak kiri Ialu dengan tangan
kanan dia masukkan Keris Yaga Kopek yang telanjang ke dalam sarung.
"Kita
berpisah di sini, Rana Suwarte. Kalau aku boleh bertanya, dari sini kau mau
menuju ke mana dan mau melakukan apa?"
"Aku
akan segera berangkat ke tempat tumbuhnya bunga melati hitam. Memusnahkan
seluruh tanaman bunga itu dengan cara membakarnya."
"Bagus!
Memang itu yang seharusnya segera kau lakukan. Makin cepat makin baik. Sebelum
Pendekar 212 atau orang-orangnya yang ingin mengobati Patih Kerajaan menemukan
bunga itu. Kalau itu sampai terjadi sia-sialah semua usahamu. Jika mereka
berhasil menemukan sekuntum saja dari bunga Melati Tujuh Racun itu, lalu
dipakai untuk rnengobati dan menyembuhkan Patih Selo Kaliangan, maka sampai
mati jangan harap kau bakal bisa mendapatkan jabatan Patih Kerajaan. Selamat
tinggal Rana Suwarte."
"Pangeran
Aryo, jangan lupa. Kita telah berjanji. Seratus hari dari sekarang kita akan
bertemu lagi di bukit ini dan kau akan mengembalikan Keris Naga Kopek padaku
untuk disimpan kembali di Istana."
"Sahabatku
Rana Suwarte, jangan takut. Aku akan datang menepati janji. Malah aku punya
rencana. Seandainya kau tidak bisa menjadi Patih di sini, aku akan menawarkan
jabatan itu di Kerajaan Pakuwon." Habis berkata begitu dengan tumit
kirinya Sarontang dorong peti kayu jati yang ada di tanah. Peti berat ini
meluncur ke arah Rana Suwarte. Tokoh silat lstana ini tahan luncuran peti
dengan kaki kirinya.
"ltu
hadiah yang aku janjikan sebagai imbalan kau mendapatkan Keris Naga Kopek
untukku. Uang dan harta perhiasan. Semua dari emas!"
Begitu
Sarontang tinggalkan bukit, Rana Suwarte membuka penutup peti. Kakinya
tersurut. Mata membeliak dan mulut keluarkan seruan tertahan. Di dalam peai itu
yang dilihatnya bukan uang emas dan harta
perhiasan
emas seperti yang dikatakan Sarontang. Melainkan batu kerikil!
"Jahanam
kurang ajar! Penipu busuk!" Sekali tendang saja peti kayu itu hancur
berantakan. Batu kerikil yang ada di dalamnya mental beterbangan ke udara. Rana
Suwarte berkelebat mengejar ke arah lenyapnya kakek bertangan buntung itu. tapi
Sarontang telah lama lenyap. Rana Suwarte terperangah, dan terduduk di tanah.
"Kalau
jahanam itu menipuku seperti ini, alamat Keris Naga Kopek tidak bakal
dikembalikannya. Dia tidak akan muncul di bukit ini!
Aku harus
mencari mengejar keparat penipu itu!"
Rana
Suwarte segera bangkit berdiri. Namun begitu dia ingat pada bunga Melati Tujuh
Racun, maksudnya hendak mengejar jadi bimbang. Saat itu yang jauh lebih penting
baginya adalah memusnahkan tanaman bunga melati hitam itu. Agar tidak satupun
dari bunga itu sampai jatuh ke tangan orang yang berusaha menyernbuhkan sakit
berat yang tengah dialami Patih Kerajaan. Tanpa menunggu lebih lama Rana
Suwarte segera lari ke arah timur. Dia membutuhkan waktu satu hari satu malam
untuk sampai ke tempat dimana tumbuhnya bunga tersebut.
******************
PAGl itu
udara masih terasa dingin. Di pinggir satu kali kecil yang merupakan anak Kali
Opak, Setan Ngompol asyik menikmati singkong yang dibakarnya sendiri. Tiba-tba
dia mencium sesuatu. Bau kekayuan atau tanaman terbakar. Bau itu bukan berasal
dari kayu pembakar singkong. Setan Ngompol berdiri. Berjalan beberapa langkah.
Memandang berkeliling. Ketika matanya menatap ke arah utara dia melihat kepulan
asap hitam di udara.
"Kebakaran.
Hutan terbakar?" Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya.
"Aneh,
sekarang bukan musim panas. Kawasan ini selalu diselimuti hawa sejuk. Dan
sepagi ini. Mana mungkin rimba belantara bisa terbakar." Si kakek
geleng-gelengkan kepalanya. Dia kembali ke tempat membakar singkong.Kembali
menikmati makanan itu. Sambil makan dia memandang ke arah kepulan asap.
"Kelihatannya
tidak berapa jauh dari sini. Mungkin dilurusan aliran kali kecil ini. Di tempat
yang lebih tinggi." Di kejauhan, di balik kepulan asap Setan Ngompol
melihat Gunung merapi menjulang. Tiba-tiba kakek ini lemparkan potongan
singkong bakar yang tengah disantapnya.
"Hatiku
merasa tidak enak. Aku ingat pada bangsat bernama Rana Suwarte itu. Dia
menghancurkan bunga di lidi. Tidak ingin aku memiliki bunga itu. Dia membunuh
Sulantri. Tidak ingin aku mengetahui dimana bunga itu tumbuh!" Si kakek
pandangi aliran air jernih di kali kecil di depannya. Kepala diusap-usap dengan
tangannya yang basah. "Ada sesuatu yang tidak beres. Aku harus menyelidik
ke atas sana! Aku harus tahu apa yang terbakar. Gubuk …. rumah. Pepohonan ….
Atau …"
Setan
Ngompol tarik celana basahnya tinggi-tinggi ke atas. Lalu tidak menunggu lebih
lama lagi dia lari ke arah utara. Karena makin ke atas kawasan itu semakin
tinggi dan si kakek berlari sambil salah satu tangan tetap pegangi bagian bawah
perutnya maka dia tidak bisa berlari cepat. Sebentar saja nafasnya sudah
mengengah-engah. Kepalanya yang botak basah oleh keringat. Di sebelah bawah
kencingnya mengucur tidak ketolongan. Walau dada sudah sesak dan nafas
satu-satu tapi semangat si kakek tidak leleh. Dia terus lari ke arah kawasan
tinggi di depannya. Sesekali kakinya terpeleset dan dia jatuh bergedebukan di
tanah. Mengomel sendiri terkencing-kencing.
Ketika
untuk kesekian kalinya Setan Ngompol jatuh tertelungkup di tanah, tempat
terjadinya kebakaran itu hanya tiga tombak saja di sebelah depannya. Si kakek
terduduk di tanah, mata belok memandang memperhatikan. Dia berada di tebing
sebuah kali. Di banding dengan kali di sebelah bawah kali lebih besar dan arus
airnya lebih deras. Kecuali di tepi kali, maka di sekitar tempat itu tumbuh
pohon-pohon besar berderet demikian rupa membentuk setengah lingkaran.
Kebakaran justru terjadi di pedataran miring yang dilingkungi oleh deretan
pohon besar berbentuk setengah lingkaran. Dari sisa tanaman yang terbakar Setan
Ngompol hanya melihat pohon-pohon rendah bercampur semak belukar.
"Kembang
melati …. Seumur hidup aku belum pernah melihat pohonnya! Tapi pasti tidak
setinggi pohon keiapa! Tidak serendah rerumputan!"
Setan
Ngompol terus memperhatikan tanah yang menghitam. Sebagian tertutup bekas pohon-pohon
kecil yang terbakar. Dia melangkah ke tepi kali. Dari sini dia berbalik,
memperhatikan pedataran yang hangus dalam deretan pohon-pohon besar setengah
lingkaran.
"Serrr!"
Setan Ngompol pancurkan air kencing.
Kakek ini
melihat sesuatu. Tadi sewaktu dekat pohon-pohon besar dia tidak melihat. Tapi
kini berdiri di tebing kali dia bisa melihat walaupun agak samar. Di tanah yang
menghitarn dan sebagian tertutup pohon-pohon kecil yang telah hangus terbakar,
kakek ini melihat jejak-jejak kaki.
"lni
bukan kebakaran alam … Ada orang membakar pohon-pohon di sini. Tapi hanya
po-hon-pohon kecil. Sengaja dibakar? Mengapa?"
Setan
Ngompol usap-usap kepaia gundulnya. Dia melangkah sepanjang tebing kali. Lalu
menyusuri deretan pohon-pohon besar. Kakek mata belok ini tidak menyadari kalau
sejak tadi di balik sebatang pohon besar ada orang memperhatikan gerak
geriknya.
"
Kraaak! "
Mendadak
kaki kanan Setan Ngompol mengijak sesuatu. Ketika dia memandang ke bawah
mulutnya menjadi pencong, kening berkerenyit dan mata tambah belok. Kakek ini
membungkuk. Mengambil benda yang barusan dipijaknya. Benda Itu adalah sebatang
bambu hijau yang bagian ujungnya ada sisa-sisa kain berwarna hitam. Setan
Ngompol dekatkan bagian bambu yang patah terpijak ke hidungnya. Dia juga
mencium ujung bambu yang ada kain hangus hitam. Kakek ini mencium bau minyak.
"Seseorang
membakar tempat ini dengan obor. Mungkin lebih dulu mengguyur minyak atau
cairan tertentu yang mudah terbakar. Lalu menyulut dengan api obor."
Dari
deretan poho-pohon besar Setan Ngompol kembali melangkah ke tebing kali. Saat
inilah tiba-tiba telinga kanannya yang berdaun terbalik menangkap jelas dua
suara berdesing di belakangnya. Setan Ngompol jatuhkan diri ke depan sambil
tangan kanannya yang memegang bambu dibabatkan ke belakang. Sebuah benda putih
melesat di atas ubun-ubun Setan Ngompol, membuat si kakek langsung terkencing.
Benda kedua menancap di batangan bambu. Ketika diteliti ternyata benda itu
adalah sebilah pisau kecil berwarna putih. Melihat bentuk dan warna pisau Setan
Ngompol segera tahu siapa pemiliknya. Dengan senjata rahasia inilah dua hari
sebelumnya Sulantri dihabisi riwayatnya.
"Rana
Suwarte jahanam!" kertak Setan Ngompol. Dia bantingkan batangan bambu ke
tanah lalu melompat ke arah deretan pohonpohon besar. Namun dia tidak menemukan
siapa-siapa di tempat itu.
"Jahanam
keparat itu pasti sudah kabur! Aku bersumpah akan membunuhnya! Aku
bersum-pah!"
"Serrr!
Serrr!" Setan Ngomnol pancarkan air kencing. Kembali ke tebing kali, lama
kakek ini duduk menjelepok di tanah. Matanya menatapi air kali yang bening dan
deras arusnya.
"Melati
Tujuh Racun …. Sulantri … Rana Suwarte. Tempat yang terbakar ini …. Aku yakin
ada hubungannya satu dengan yang lain. Aku yakin di tempat inilah tumbuhnya
bunga melati hitam itu. Dari tempat ini pula bunga melati itu dihanyutkan air
sungai ke hilir. Dari sini ke tempat anak itu biasa menunggu dan bermain
memakan waktu tujuh hari. Itu sebabnya Sulantri menyuruh aku datang lagi satu
minggu kemudian …. Melati Tujuh Racun …." Setan Ngompol memandang
berkeiiling.
"Tidak
ada sekuntumpun kulihat. Pasti sudah dibakar semua oleh jahanam Rana Suwarte
itu. Tapi kenapa? Apa alasannya membakar? Mungkin dia tahu kalau bunga langka
itu bisa menjadi obat penyembuh sakitnya Patih Kerajaan? Dia berusaha mencegah
agar sang patih tidak bisa disembuhkan? Gila! Bukankah dia tokoh silat Istana?
Seharusnya dia membantu untuk dapat menyembuhkan Patih Selo Kaliangan. Tapi dia
justru jadi biang racun penghalang …" Setan Ngompol geleng-geleng kepala.
Sambil berpikir-pikir matanya terus juga memandang air kali yang jernih yang
mengalir deras ke arah hilir.
Tiba-tiba
kakek ini ingat sesuatu. "Kalau anak perempuan itu bilang sekali seminggu
dia menunggu kedatangan bunga melati, berarti bunga itu dihanyutkan air kali
dari tempat ini. Apakah sudah ada bunga yang gugur dan dihanyutkan air?"
"Serrr!"
Setan Ngompol bangkit berdiri Sambil terkencing. "Aku harus segera kembali
ke tempat anak itu biasa menunggu tiga kuntum bunga melati hitam setiap minggu
ditepi kali. Atau lebih baik kalau aku menyusuri kali kecil ini terus ke arah
hilir. Mungkin aku bisa menemui bunga-bunga itu selagi dihanyutkan air kali.
Tapi …. kali kecil itu tidak selau melewati kawasan yang gampang ditelusuri.
Ada jurang, lembah, rimba belantara berbahaya. Ah, perduli setan! Aku harus
melakukan apa yang bisa aku lakukan! Mudah-mudahan memang ada bunga melati
hitam yang gugur dan dihanyutkan air kali ke hilir!"
Tidak
menunggu lebih lama kakek mata iereng kepala botak ini segera menghambur
meninggalkan tempat itu.
******************
9
SEPERTI
telah diduga Setan Ngompol, tidak mudah mengikutii aliran kali kecil cabang
Kali Opak. Di beberapa tempat dia terhalang oleh lembah dalam, kawasan
berbatu-batu, jurang dan hutan lebat. Selain itu Kali Opak memiliki banyak
sekali cabang atau anak kali. Setelah beberapa kali terhalang dan terpaksa
mencari jalan lain, ketika dia menemui kembali anak kali, Setan Ngompol tidak
dapat memastikan apakah itu masih anak kali yang sejak mula pertama diikutinya.
Selain itu si kakek juga merasa heran. Kawasan yang dilewatinya ke arah hilir
tidak sama dengan yang dilaluinya sebelumnya sewaktu menuju ke hulu.
Sambil
berlari di sisi kali kecil Setan Ngompol selalu memperhatikan air kali. Banyak
benda mengapung dihanyutkan air, namun dia tIdak melihat benda yang dicarinya
yakni bunga melati hitam.
Dua hari
kemudian kakek itu akhirnya sampai kembali ke kali kecil di tempat mana gadis
cilik bernama Sulantri sekali seminggu selalu duduk menunggu kemunculan bunga
melati hitam yang dihanyutkan air kali. Si kakek sengaja duduk ditepi kali,
tepat di tempat sulantri biasa duduk. Dia ingat akan lagu yang dinyanyikan
gadis cilik yang mati dibunuh Rana Suwarte itu. Sesaat dia merasa sedih. Lalu
kakek ini menghitung-hitung. Dia telah menghabiskan hampir empat hari untuk
pergi ke arah utara lalu kembali lagi ke tempat itu.
"Kalau
bunga melati hitam itu memang muncul sekali seminggu, berarti aku haurus
menunggu selama tiga hari di tempat ini," kata Setan Ngornpol dalam hati.
"Tapi setelah terjadi kebakaran di utara sana: apakah masih ada bunga
melati hitam yang jatuh ke kali lalu dihanyutkan air ke sini? Jangan-jangan
Rana Suwarte telah membakar habis seluruh bunga melati hitam yang tumbuh di
tepi kali itu. Apa masih perlu aku menghabiskan waktu sampai tiga hari,
menunggu di tempat ini? Sialan! Agaknya tak ada yang bisa aku lakukan. Aku
terpaksa menunggu! Edan!"
Memang
menunggu sesuatu bukan pekerjaan menyenangkan. Apalagi menunggu di tepi kali
seperti itu. Hari demi hari terasa berlalu sangat lama. Keadaan Setan Ngompol
kacau balau tak karuan. Di sebelah bawah pakaiannya basah kuyup oleh air
kencing membuat sedapnya bau yang keluar dari badannya tidak usah ditanya lagi.
Mukanya tampak tambah cekung.
Sepasang
matanya yang belok merah karena tidak tidur-tidur dan setiap saat selalu
menatap memperhatikan ke arah air kali di hadapannya. Yang sangat
mengkhawatirkan si kakek jika malam tiba dan kali itu diselimuti kegelapan.
Walau kali Cuma kecil dan dangkal tapi dia tidak bisa melihat jelas benda apa
saja yang lewat dihanyutkan aliran air.
Hari itu
hari ketiga Setan Ngompol duduk di tepi kali mengawasi setiap benda yang
hanyut. Fajar menyingsing disusul munculnya sang surya. Bunga melati hitam yang
ditunggutunggu tak kunjung muncul.
Semakin
tinggi matahari naik, semakin gelisah Setan Ngompol dan semakin sering
kencingnya mengucur. Tepat tengah hari, ketika sang surya mencapai titik
tertingginya Setan Ngompol habis sabarnya. Dia menghela nafas panjang dan
kesal.
"Nasib
buruk Patih Kerajaan. Melati Tujuh Racun tidak bakal aku dapat. Berarti tidak
ada obat penyembuh. Seumur hidup Patih Selo Kaliangan akan terbaring lumpuh di
atas tempat tidur."
Habis
berkata begitu Setan Ngompol bangkit dari duduknya. Sambil berdiri matanya
masih terus saja menatap memandang ke arah aliran air kali. Sebuah sabut kelapa
disusul potongan daun pisang dihanyutkan air sepanjang tepi kali sebelah kanan
di arah mana Setan Ngompol berdiri.
"Hanya
sampah sialan!" maki si kakek. Dia tarik celananya yang basah kuyup
tinggi-tinggi ke atas. Tiba-tiba!
"Serrr!"
Setan
Ngompol pancarkan air kencing. Di belakang potongan daun pisang sebuah benda
berwarna hitam kelihatan dipermukaan air. Hanyut ke arah Setan Ngompol berdiri.
Sekali tenggelam, sekali muncul di atas air. Setan Ngompol delikkan matanya
yang belok. Dua tangan menekap bagian bawah perut kencang-kencang. Di belakang
benda hitam itu, ada satu benda hitam lagi, lalu satu lagi. Tiga semuanya.
"Melati
Tujuh Racun!" seru Setan Ngompol.
"Serrr!"
Air kencing si kakek mengucur. Saking girangnya Setan Ngompol hendak mencebur
masuk ke dalam kali dangkal itu. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba satu
bayangan berkelebat dari sebkrang kali kecil. Bersamaan dengan itu satu
tendangan dahsyat menderu ke arah kepala Setan Ngompol.
"Kurang
ajar! Siapa berani main gila menyerangku tengah hari bolong begini!"
teriak Setan Ngompol marah. Dia mengira yang menyerang adalah Rana Suwarte.
Dengan cepat kakek ini jatuhkan diri, berguling di tepi kali, begitu berbalik
dia lepaskan pukulan "Setan Ngompol Mengencingi Langit." Yang dia
arah langsung selangkangan orang.
Walau
kaget mendapat serangan balasan secepat dan sehebat itu namun si penyerang
masih ampu menghindar selamatkan diri. Berdiri di tepi kali, sambil bertolak
pinggang dia keluarkan ucapan lantang.
"Tua
bangka bau! Aku tahu siapa kau! Kau dikenal dengan panggilan Setan Ngompol,
sahabat dari seorang bocah kurang ajar bernama Naga Kuning. Lekas kau beritahu
dimana anak jahanam itu berada! Atau akan kuhabisi kau duluan saat ni juga!’
Orang itu ternyata bukan Rana Suwarte seperti semula diduga Setan Ngompol.
Orang ini bertubuh tinggi besar. Tidak mengenakan pakaian biru ringkas
melainkan sehelai jubah tebal terusan berwarna putih, menjela tanah. Di atas
kepalanya ada sebuah songkok atau tudung tinggi dilapisi kain hitam. Kain ini
menjulai demikian rupa hjngga baik kepala maupun sebagian wajahnya tidak
terlihat.
"Serrr!"
Setan Ngompol pancarkan air kencing. "Manusia ini ….." si kakek
membatin.
"Aku
jadi ingat pada cerita Naga Kuning. Dia pernah diserang orang ini. Hendak
dibunuh. Untung ditolong seorang nenek muka setan yang kemudian dikenal dengan
julukan Gondoruwo Patah Hati yang bukan lain adalah kekasih Naga Kuning dimasa
muda, bernama lntan Ning Lestari." (Baca Episode berjudul "Gondoruwo
Patah Hati")
"Mahluk
bersongkok, tidak kelihatan jidat tidak kelihatan tampang! Aku tidak kenal
siapa dirimu! Perlu apa mencari Naga Kuning bocah sahabatku! Dari nada suaramu
agaknya kau punya silang sengketa dengan anak itu. Jika punya urusan dengan
Naga Kuning mengapa kalap menyerang diriku?! Malah mengancam hendak membunuhku!
Aneh, mahluk sepertimu punya urusan nyawa dengan anak kecil dan aku tua bangka
yang tidak tahu apa-apa!"
Dari
balik songkok hitam, orang berjubah putih keluarkan suara mendengus.
"Manusia
bau! Apa kau masih bisa berkata tidak tahu apa-apa! Apa kau masih bisa berkata
aku gila mencari urusan dengan seorang anak kecil! Lihat! Buka matamu
besar-besar! Lihat siapa diriku!"
Habis
berkata begitu orang tinggi besar berjubah putih tanggalkan songkok hitam yang
menutup kepala dan mukanya.
"Serrr!’
Air
kencing Setan Ngompol langsung muncrat begitu dia melihat dia mengenali siapa
adanya orang itu.
******************
10
ORANG
berjubah putih ternyata memiliki kepala dahsyat. Otaknya tidak terletak dalam
batok kepala tapi berada di luar kepala, terbungkus sejenis lapisan atau
selubung bening atos. Angker sekali. Apa lagi dalam keadaaan marah otak itu
terlihat jelas bergerak-gerak hidup!
"Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab!" ucap Setan Ngompol dengan suara tercekat.
Wajah berubah dan kencing mengucur. Si tinggi besar berjubah putih menyeringai
buruk. Dia kenakan kembali songkok hitam ke atas kepalanya.
"Kau
tahu siapa aku. Berarti kau tahu apa urusanku dengan sobatmu anak bernama Naga
Kuning! Aku akan menggantung nyawamu di awang-awang sampai kau menunjukkan
dimana anak itu berada!"
"Serrr!"
Kencing Setan Ngompol kembali mengucur. Dalam hati dia mengeluh. "Rambut
dibawah perutku sudah kucukur habis! Mengapa aku masih saja ditimpa sial begini
rupa? Berarti bukan rambut ini yang membawa sial!’
Setan
Ngompol tahu riwayat mengapa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, mahluk dari
Negeri Latanahsilam itu mencari Naga Kuning. Seperti diceritakan dalam Episode
terakhir petualangan Wiro di Negeri Latanasilam berjudul "Istana
Kebahagiaan", sebelum lstana meledak terjadi kekacuan hebat. Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab pergunakan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya yang
sudah lama terhadap Naga Kuning. Tapi dia kalah cepat. Naga Kuning berhasil
lebih dulu mengerjai dedengkot Negeri Latanahsilam itu. Dengan ilmu
"Menahan Darah Memindah Jazad" yang dipelajarinya secara mencuri dari
Hantu Selaksa Angin (Luhkentut) dia mengambil barang paling berharga yang
terletak di bawah perut Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tidak heran selain
dendam ingin membunuh Naga Kuning, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ingin
mendapatkan kembali barangnya itu.
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab melangkah dekati Setan Ngompol. Kakek ini mundur satu
langkah seraya berkata.
"Tunggu!
Apa urusanmu dengan Naga Kuning aku tidak ada sangkut pautnya. Aku tidak tahu
dimana anak itu berada!"
"Dua
kalimat kau berucap. Dua kali kau berdusta!" tukas Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. "Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang telah dilakukan
anak jahanam itu terhadapmu!"
Setan
Ngompol d elikkan matanya "Perlu apa aku berpura-pura! Memangnya anak itu
telah berbuat apa terhadapmu?!" Setan Ngompol pura-pura bertanya dan
unjukkan wajah prihatin.
"Anak
jahanam itu telah mengambil barangku!" Menjawab Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab.
"Mengambil
barangmu? Barang apa?!" tanya Setan Ngompol lagi-lagi berpura-pura. Rahang
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menggembung. Dibawah songkok otaknya
bergerak-gerak.
"Tua
bangka jahanam! Kurobek mulutmu yang selalu bicara dusta itu!"
"Dengar
…" kata Setan Ngompol pula sambil pegang bagian bawah perutnya.
"Kalau kau mau memberi tahu apa barangmu yang diambil anak itu, mungkin
aku bisa tolong mencarikan …"
Saking
marahnya mendengar ucapan Setan Ngompol, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
menjawab setengah berteriak. "Anak jahanam itu telah mengambil kemaluanku!
Dan mempergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad. Setahuku ilmu itu hanya
dimiliki Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin.
Aku tidak
tahu bagaimana anak keparat itu bisa memilikinya!"
Setan
Ngompol kelihatan terkejut padahal sudah tahu kejadiannya. Kakek ini dongakkan
kepala ialu tertawa gelak-gelak. Di sebelah bawah air kencingnya mancur lagi.
"Tua
bangka botak bau pesing! Apa yang lucu! Mengapa kau tertawa!" Membentak
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Aku
tidak habis pikir! Kalau Naga Kuning bocah sahabatku itu memang punya ilmu
Menahan Darah Memindah Jazad, buat apa dia mengambil barangmu? Buat dijadikan
mainan?!
Kurang
kerjaan saja! Ha … ha … ha!" Si kakek hentikan tawanya sesaat. Dua matanya
yang belok menatap wajah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Lalu Setan Ngompol
membuka mulut kembali. "Aku tetap tidak percaya kalau Naga Kuning telah
mengambil barangmu itu. Coba kau buktikan. Coba angkat tinggi-tinggi jubah
putihmu! Aku mau lihat sendiri, apa benar tidak ada lagi burung gagak hitam
yang nangkring di bawah perutmu itu. Ha … ha … ha!"
"Tua
bangka bau kurang ajar!" Amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab meledak.
Dia maju dua langkah. Setan Ngompol mundur tiga langkah. Dia angkat tangan
kirinya lalu berkata. "Kalaupun kau bertemu bocah sahabatku itu, apa kau
kira dia masih nienyimpan barang butut milikmu itu? Mungkin saja barang itu
sudah dibuangnya ke comberan. Atau diberi makan pada anjing!
Ha … ha …
ha!"
Sambil
tertawa Setan Ngompol palingkan kepala ke arah kali kecil. Sabut kelapa dan
daun pisang yang dihanyutkan aii kali sesaat lagi akan sampai di dekatnya. Di
belakang sabut kelapa dan daun pisang menyusul tiga kuntum bunga melati hitam.
Tiga bunga beracun itu jauh lebih penting dari pada melayani mahluk yang
otaknya menggelembung di luar kepala itu.
Tidak
menunggu lebih lama Setan Ngompol putar tubuh, melompat ke dalam kali. Selagi
sosok Setan Ngompol melayang di udara terjadi dua hal hebat.
Pertama,
ketika melihat Setan Ngompol memutar tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
mengira kakek itu hendak melarikan diri. Dedengkot dari Negeri Latanahsilam ini
segera lancarkan serangan "Memeluk Bumi Menghantam Matahari". Dua
tangannya mendadak berubah panjang. Yang kiri menelikung menyambar pinggang
Setan Ngompol sedang tangan kanan mengemplang ke arah batok kepala si kakek
botak!
Setan
Ngompol merasa ada angin deras menyambar pinggang dan kepalanya. Kekek ini
segera maklum kalau ada orang membokong dari belakang. Dia tengah menghadapi
bahaya besar. Sambil berteriak keras dan pancarkan air kencing Setan Ngompol
liukkan pinggang lalu menendang ke belakang dalam jurus "Setan Ngompol
Meroboh Gunung."
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersentak kaget ketika ada muncratan air kencing bau
menyambar deras ke arahnya disusul satu tendangan dahsyat ke kepala!
Dengan
cepat tokoh dari negeri 1200 tahun silam ini sentakkan kepalanya ke belakang
lalu melompat kesamping. Tendangan maut berhasil dielakkan namun muncratan air
kencing sempat mengenai bahu kiri jubah putihnya.
"Tesss!
Tesss! Tesss!"
Jubah
putih Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bolong di tiga tempat. Dia sendiri merasa
perih sakit seperti ditusuk jarum di bahu kiri.
"
Jahanam minta mampus!’
Amarah
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab meledak sudah! Didahului suara seperti binatang
buas mengaum kakek ini tekuk sepasang lutut. Dari perut tenaga dalamnya dialirkan
penuh ke tangan kanan. Ketika tangan kanan itu dihantamkan ke arah Setan
Ngompol yang tengah menukik turun ke kali, siap untuk menyambar tiga bunga
melati hitam, dari tangan itu menderu selarik sinar putih sebesar batang
kelapa. lnilah pukulan sakti yang disebut "Menara Mayat Meminta
Nyawa" yang paling ditakuti semua orang di negeri Latanahsilam!
Sekitar
satu jangkauan dari sasaran tiba-tiba sinar putih itu memecah menjadi tiga.
Satu menghantam ke arah kepala, satu menyambar ke jurusan pinggang yang terakhir
membabat ke arah sepasang kaki Setan Ngompol! Tak ada kemungkinan bagi Setan
Ngompol untuk selamatkan diri dari tiga serangan yang datang dari belakang itu.
ltulah hal atau kejadian hebat yang pertama.
Hal hebat
kedua terjadi dalam waktu hampir bersamaan. Seperti diceritakan sebelumnya,
Rana Suwarte berusaha membunuh Setan Ngompol dengan cara membokong kakek tukang
kencing itu dengan lemparan dua pisau terbang, namun menemui kegagalan. Rana
Suwarte yang kini tidak lagi memiliki Keris Naga Kopek sakti mandraguna itu
tidak punya nyali menghadapi Setan Ngompol secara terbuka satu lawan satu. Dia
sengaja menghindar
menjauhkan
diri. Namun kemudian diam-diam dia memata-matai Setan Ngompol. Ketika Setan
Ngompol kembali ke cabang Kali Kopek di kawasan selatan, dia segera melakukan
penguntitan. Dia menaruh curiga Setan Ngompol tengah menyelidiki sesuatu.
Siang itu
ketika Setan Ngompol melihat tiga kuntum bunga melati hitam dihanyutkan air
kali, Rana Suwarte yang bersembunyi diatas satu pohon besar di tepi kali segera
bersiap-siap memusnahkan bunga-bunga itu. Maksudnya tertunda ketika Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab muncul. Namun sewaktu dia melihat Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab justru menggempur Setan Ngompol dengan pukulan yang memancarkan
cahaya putih sebesar batangan pohon kelapa, Rana Suwarte pergunakan kesempatan.
Dia melesat turun dari atas pohon lalu lepaskan pukulan tangan kosong jarak
jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan ganas ini dilakukan hampir
berbarengan dengan pukulan yang dilancarkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Hanya saja yang diarah Rana Suwarte bukan Setan Ngompol, tapi tiga bunga melati
hitam yang hanyut terapung di permukaan air kali.
Pada saat
luar biasa tegangnya itu, tiba-tiba dari seberang kali berkelebat cepat satu
sosok yang dengan gerakan kilat melepas dua pukulan dahsyat memancar cahaya
terang berwarna kuning pekat.
"Bummm!"
"Bummm!"
Dua
letusan keras menggelepar menggetarkan seantero tempat, menenggelamkan jeritan
Setan Ngompol. Air kali muncrat sampai dua tombak. Pasir dan bebatuan yang ada
di dasar kali dangkal itu terbongkar, berhamburan ke udara. Di dasar kali
sebelum air menutup kelihatan menganga sebuah lobang besar.
Ketika
air kali muncrat ke atas semua sampah yang dihanyutkan termasuk tiga kuntum
bunga melati hitam ikut mencelat mental ke udara.
Tebing
kali di tempat mana tadi Setan Ngompol berada sebelum melompat, hancur
berantakan. Sosok Setan Ngompol sendiri selamat dari serangan yang diiancarkan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Namun letusan dahsyat dan terpaan cahaya
kuning membuat kakek ini terlempar ke udara setinggi lebih dari dua tombak,
lalu tergelimpang jatuh di seberang kali, tak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya
mulai dari kepala yang botak sampai ke ujung kaki kelihatan berwarna kuning!
Di tepi
kali Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ja!uh berlutut. Tubuhnya bergetar hebat.
cangkok di kepalanya terlepas tanggal, terguling ditanah, hampir jatuh ke dalam
kali. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa tertegun berlutut begitu rupa
dengan muka pucat, dua tangan terkulai lemas. Otak di iuar kepalanya berdenyut
cepat, dadanya terasa sakit, nafas menyengal. Rasa sesak turun ke perut. Ketika
perutnya mendadak menjadi mual, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tak bisa
menahan muntah.
Begitu
muntah menyembur, yang keluar adalah cairan kuning. Dia beruntung karena
seandainya tidak muntah maka racun kuning akan mendekam dalam tubuhnya. Dilain
tempat Rana Suwarte yang tadi melayang turun dari atas pohon sambil lepaskan
dua pukulan sakti ke arah kali berhasil membuat mental tiga bunga melati hitam.
Namun
sambaran cahaya kuning rnembuat tubuhnya sesaat tertahan. menggantung di udara
lalu terbanting jatuh ke tanah. Muntah darah tapi tak sampai pingsan.
Di
seberang kali, seorang pemuda berpakaian ringkas warna coklat berdiri
terheran-heran. Dia seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Dia masih
tegak terrmangu ketika Rana Suwarte bangkit berdiri. Rana Suwarte yang merasa
telah berhasil rnemusnahkan tiga kuntum bunga melati hitam dan saat itu berada
dalam keadaan cidera, merasa tidak ada gunanya, malah bisa berbahaya jika dia
berlama-lama di tempat itu. Maka dengan lari terhuyung-huyung dia segera
tinggalkan tempai itu.
pemuda di
seberang kali masih berdiri di tempatnya sewaktu Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab merangkak mengambil songkoknya. Lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Sesekali dia rnenoleh ke belakang, ke arah pemuda di tepi kali. dia coba
mengingat-ingat.
"Aku
seperti pernah melihat orang itu.
Mungkinkah
dia …. ?" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab usap-usap dagunya. Lalu kembali
dia membatin. "Pukulan cahaya kuning yang dilepaskannya tadi aku yakin
adaIah PukuIan Mega Kuning Liang Batu. Tapi kalau memang dia meragapa wajahnya
berubah? Alisnya tidak setebal dulu. Kumisnya tidak ada. Dia kelihatan jauh
lebih muda. Dia menyelamatkan nyawa kakek bau pesing itu. Apa hubungannya
dengan Setan Ngompol?"
******************
11
DI TEPl
kali pemuda berpakaian coklat untuk beberapa saat lamanya masih tegak berdiri.
Dia seperti tidak acuh dengan kepergian Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan
Rana Suwarte. Ada keanehan pada diri orang ini. Wajahnya yang cukup gagah itu
memiliki kulit muka berwarna kuning. Begitu juga auratnya yang tersembul di
balik pakaian yakni dua tangan dan sepasang kaki, semua berwarna kuning. Malah
bagian putih pada kedua matanya juga berwarna kuning.
Perlahan-lahan
pemuda ini palingkan kepala ke arah sosok Setan Ngompol yang tergeletak di
tanah.
"Kasihan
…." si pemuda berucap perlahan.
"Aku
bermaksud menolongnya, tapi mengapa malah jadi celaka begini rupa? Kalau dia
sampai menemui ajal, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan?" Pemuda
ini melangkah mendekati sosok Setan Ngompol. Hidungnya bergerak-gerak ketika
dia mencium bau pesing yang santer. Sambil menekap hidung dia berjongkok di
samping tubuh Setan Ngompol lalu letakkan telinga kirinya di atas dada si kakek
Wajah kuning si pernuda kelihatan memancarkan perasaan Iega ketika . dia
mendengar suara detakan jantung.
"Syukur,
tidak mati. Cuma pingsan," Baru saja pemuda muka kuning ini berucap dalarn
hati tiba-tiba dua bayangan biru dan ungu berkelebat di hadapanriya.
"Manusia
muka kuning! Bersiaplah menerima kematian!" Seseorarig berteriak, Suara
perempuan!
"Kau
membunuh sahabat kami!",satu suara lagi berseru. Juga.suara perempuan.
Begitu
dua bentakan sirap, dua orang telah berdiri di hadapan si pemuda. Bau harum
semerbak memasuki rongga pernafasannya..
Di wajahnya
jelas ada bayangan rasa kaget. Bukan kaget oleh dua bentakan tadi, tapi kaget
ketika melihat siapa adanya dua .orang yang berdiri di hadapannya. Mereka
adalah dua gadis berwajah cantik je!ita. Satu berpakaian ungu berambut hitam
pekat, satunya berpakaian biru berambut pirang. Seumur hidup belum pernah dia
melihat dua gadis begini cantik.
"Ah,
aku …." Si pemuda muka kuning jadi salah tingkah.
"Jangan
cengengesan!" bentak gadis berambut. pirang berpakaian biru yang bukan
lain ada!ah Bidadari Angin. Timur.
”Apa
maumu?!"..Anggini Ikut mendamprat.
"Setan
alas? Apa.itu? Aku bukan setan …." Si pemuda usap muka kuningnya.
"Ah, mungkin wajahku seram seperti setan? Buruk sekali nasibku …"
Dua gadis
kembali terkesiap mendengar ucapan si pemuda.
"Dua
gadis, aku tidak kenal padamu. Tapi aku tahu kalian berhati baik. Dengar, aku
tidak membunuh kakek botak itu. Dia tidak mati. Cuma pingsan. Tadi aku sudah
memeriksa …"
"Siapa
percaya ucapan manusia sepertimu! Kulit kepala, muka, tangan serta kaki sahabat
kami itu kuning. Pertanda dia terkena racun pukulan."
"Kakek
itu sahabatmu? Dia juga sahabatku." Ucap si pemuda.
"
Jangan berani mengaku-aku!" bentak Bidadari AngIn Timur. Merasa
dipermainkan Bidadari Angin Timur memberi isyarat pada Anggini. Tanpa banyak
bicara lagi dua gadis ini segera menyerang pemuda muka kuning.
"Celaka!
Aku sudah katakan aku sahabat kakek itu. Mau menolongnya. Malah dituduh
membunuh. Bagaimana ini? Atau mungkin dia bukan Setan Ngompol yang di
latanahsilam dulu? Eh, dulu dia punya rambut panjang. Sekarang botak. Ah,
siapapun kakek ini adanya
yang
jelas aku tidak membunuhnya. Dia tidak mati."
Karena
tenggelam dalam jalan pikirannya sendiri pemuda berkulit kuning itu seperti
tidak menyadari kalau dua gadis di depannya telah melancarkan serangan. Atau
karena merasa dirinya tidak bersalah dia mengira dua gadis cantik itu tidak
berniat menurunkan tangankeras terhadapnya.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Dua
jotosan keras melanda dada dan perut pemuda muka kuning . Dua gadis sama
terpekik. Ketika memperhatikan tangan masing-masing, keduanya terkejut.
Jari-jari tangan mereka kelihatan lecet dan merah. Sementara itu orang yang
dipukul terpental satu tombak.
Tapi
begitu jatuh di tanah tetap berdiri tegak, mata terbeliak karena kaget tak
percaya, mulut mengerenyit tanda menahan sakit dan dua tangan pegangi dada
serta perutnya yang terkena jotosan. Suara si pemuda perlahan lirih ketika dia
berucap.
"Aku
tidak bersalah. Mengapa dipukuli … ?" Aneh, habis digebuk orang suara
bertanya pemuda muka kuning ini terdengar lembut. Matanya membeliak besar tapi
tidak rnemancarkan rasa dendarn, hanya rnenyatakan perasan heran
bertanya-tanya. kemudian mata itu mengecil. me-mandang sayu pada dua gadis.
Dibalik
pandangan sayu itu jelas terbayang rasa kesedihan yang mengganjal. Membuat
Bidadari Angin Timur dan Anggini terkesima dan diam-diam merasa menyesal atas
tindakan mereka barusan.
”siapa
pemuda ini sebenarnya?" bisik Bidadari Angin Timur bertanya pada Anggini.
"Aku
tak pernah melihatnya sebelumnya. Juga tak pernah tersirap kabar tentang
seorang pemuda rimba persilatan berpenampilan seperti dia." Menjawab
Anggini.
"Bia
punya kekuatan luar biasa," bisik Bidadari Angin Timur lagi.
"Orang
lain jika kita pukul seperti tadi paling tidak akan muntah darah!"
Anggini
memandang ke arah kakek botak yang tergeletak di tanah. "Jangan-jangan
kita salah menduga. Kakek itu bukan Setan Ngompol. Kita tahu betul Setan
Ngompol kepalanya tidak botak."
"Aku
tidak sependapat denganmu. Lihat celana si kakek yang basah dan menebar bau
pesing. Lalu, tadi pemuda muka kuning itu menyebut nama Setan Ngompol."
"Kalau
begitu mari kita tanyai dia," kata Anggini pula. Dua gadis dekati pemuda
berpakaian coklat berwajah kuning. Yang didekati masih tegak tak bergerak.
Matanya juga mash memandang sayu pada dua gadis.
"Biar
aku yang menanyai," kata Bidadari Angin Timur. Namun sebelum si gadis
sempat membuka mulut, pemuda muka kuning sudah mendahului. "Dulu para
sahabat dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang pernah bilang. Gadis gadis
dIi tanah jawa cantik-cantik. Ramah dan murah senyum. Tapi rnereka tidak pernah
bilang kalau senyum dan keramahan itu berupa jotosan pukulan."
Bidadari
Angin timur dan Anggini kelihatan merah wajah masing-masing. Namum mereka tidak
menjadi Kesal atau marah karena si pemuda mengucapkan kata-katanya sambil
tersenyum.
"Kau
siapa sebenarnya?" tanya Anggini.
"Siapa
para sahabat yang kau sebutkan dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang
itu?" Bidadari Angin Timur menyambungi pertanyaan Anggini.
"Mereka
ada tiga orang. Pertama seorang anak bernama naga Kuning. lalu seorang pemuda
berambut panjang bernama Wiro sableng Yang ketiga kakek itu. dulu rambutnya
panjang heran, mengapa-sekarang jadi botak. Mungkin dimakan rayap." dalam
keadaan lain Anggini dan bidadari Angin timur mungkin akan tertawa cekikikan
mendengar ucapan si pemuda muka kuning itu.
"Kau
belum-menjawab pertanyaanku,"kata Anggini.
"Terangkan
siapa kau sebenarnya."
"Namaku
hantu jatilandak…"
"Apa?"
ujar Anggini
”Kau
hantu? hik …hik,.hik!" Bidadari Angin timur. Tertawa geli tidak pedulikan
ucapan dan sikap dua gadis, pemuda itu meneruskan memberi keterangan.
"Aku
berasal dari negeri Latanahsilam. Satu negeri seribu dua ratus tahun
silam." Anggini memegang lengan Bidadari Angin Timur lalu berbisik.
"Wiro
pernah menerangkan tentang negeri itu. lngat ketika dia rnenghilang dua tahun
lalu tanpa rimba tanpa berita?"
Bidadari
Angin Timur anggukkan kepala. Dia pandangi sesaat pemuda dihadapannya itu.
"Kalau kau benar dari negeri seaibu dua ratus tahun silam, lalu bagaimana
kau bisa berada di tanah Jawa ini?"
"Panjang
ceritanya. Tapi singkatnya begini. Ada satu kejadian besar di sana. Saat itu
semua orang berkumpul di lstana Kebakagiaan, termasuk tiga sahabatku dari tanah
Jawa.
Terjadilah
kekacauan lalu tiba-tiba istana meledak. Semua orang yang ada di dalamnya
laksana dilontarkan kekuatan dahsyai ke angkasa. Aku terlempar dan tersesat ke
sini. Mungkin juga yang lain-lainnya. Yang jelas aku telah menemukan salah
seorang dari mereka. Kakek botak itu …"
"Ceritamu
sulit dipercaya," ucap Bidadari Angin Timur.
"Ya,
seperti dongeng saja," menyambungi Anggini.
"Kalian
tadi bertanya. Aku menerangkan apa adanya. Kalau kalian tidak percaya, aku
tidak memaksa. Tapi aku jauh dari dusta. Kalau kakek sahabatku ini siuman ,
nanti kalian bisa bertanya padanya. Lalu kalian akan tahu apa aku berdusta atau
tidak."
Habis
berkata begitu Hantu Jatilandak melangkah mendekari sosok Setan ngompol. Dua
gadis mengikuti. ingin tahu apa yang hendak diperbuatnya.
"walau
kami tidak melihat, tapi kami yakin kakek ini celaka karena pukulah yang kau
lancarkan. Buktinya muka dan anggota badannya kuning semua. Pasti keracunan
hawa jahat pukulanmu." berkata Bidadari Angin Timur.
"Aku
memang melepaskan pukulan tapi bukan untuk mencelakai kakek ini, Ada-dua orang
bermaksud membunuhnya. Aku melepas pukulan untuk menangkis serangan orang-orang
itu."
"Siapa
mereka?" tanya Anggini.
"Yang
pertama orang berjubah putih. Tinggi besar, memakai- penutup kepala hitam. Dia
adalah Hantu .Sejuta Tanya Sejuta jawab. Seorang tokoh dari Negeri latanah
silam. Orang kedua seorang kakeik berpakaian ringkas warna biru yang aku tidak
kenal."
"mungkin
itu Rana Suwarte," kata Bidadari Angin timur sambil berpaling pada
Anggini. Hantu Jatiladak duduk ditanah, lurus-lurus di belakang kepala Setan
Ngompol. Dua tangannya diletakkan di atas kepala si kakek.
"kau
mau melakukan apa?!" bentak Bidadari Angin timur curiga.
******************
12
AKU MAU
memusnahkan racun kuning dari dalam tubuhnya," jawab Jatilandak. Lalu
pemuda muka kuning ini mulai kerahkan tenaga dalam. Yang kemudian dilakukannya
bukan mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh si kakek, tapi sebaliknya menyedot
hawa jahat beracun yang ada dalam tubuh orang tua itu. Bidadari Angin Timur dan
Anggini memperhatikan dengan pandangan mata tak berkesip penuh tegang. Mereka
melihat bagaimana dua tangan Jatilandak yang memegang kepala Setan Ngompol
bergetar.
Butiran-butiran
keringat memercik di kening si pemuda. Tiba-tiba dari ubun-ubun Setan Ngompol
mengepul asap kuning menebar bau amis. Sesaat kemudian begitu asap sirna,
perlahan-lahan warna kuning pada kulit kaki Setan Ngompol lenyap. Menyusul
warna kuning di kulit tangan juga hilang. Setelah itu wajah dan kepala si kakek
yang tadi berwarna kuning kini kembali ke bentuk wajarnya.
"Luar
biasa," bisik Angglni. "Dia punya ilmu menyedot racun. Biasanya hanya
senjata sakti
yang bisa
melakukan penyedotan. Paling tidak harus ada benda sakti perantara yang
dipergunakan untuk me!akukan hal seperti ini salah salah bisa membahayakan jiwa
si penyedot sendiri!"
Jatilandak
terduduk di tanah, mandi keringat. Berulang kali dia menghembus melepaskan
nafas lega "Selamat ….. selamat," katanya sambil mengusap mukanya
yang kuning keringatan.
Tiba-tiba
sosok Setan Ngompoi yang sejak tadi diam tak berkutik keluarkan suara mengerang
pendek. tubuh menggeliat, pinggul terangkat ke atas. Lalu "Serrr!"
Air
kencingnya mancur, mencuat dari sela sela celana. Bidadari Angin Timur dan
Anggini sama terpekik, cepat melompat menghindar dari cipratan air kencing.
Dalam keadaan seperti itu sosok Setan ngompol kemudian duduk di tanah. Seperti
orang baru bangun tidur dan habis bermimpi dia gosok-gosok mata beloknya,
memandang Sekeliling. Sesaat dia pandangi dua gadis cantik di hadapannya.
Kakek ini
kedip-kedipkan mata, menyeringai lalu berpaling pada Jatilandak. Pemuda muka
kuning monyongkan mulutnya. Setan Ngompel tertawa lebar. Saat itulah dia ingat
sesuatu. Dia palingkan kepala ke arah kali.
"Melati
Tujuk Racun, … Bunga itu …" Setan Ngompol keluarkan ucapan.
"Kek,
kau bicara apa?" tanya Bidadari Angin Timur terkejut.
"Kek,
kau barusan menyebut apa?!" Anggini ikut bertanya.
Si kakek
usap-usap telinga kirinya. "Anehnya, mengapa pendengaranku jadi kurang
jelas?"
"Setan
Ngompol," ujar Bidadari Angin Timur.
"Tadi
kau menyebut Melati Tujuh Racun. Itu bunga sakti yang disuruh cari Pendekar 212
untuk mengobati Patih Kerajaan. Agaknya kau melihat atau mengetahui
sesuatu?" Setan Ngompol usap lagi telinga kirinya.
"Kek!
Bicaralah! kami yakin kau tahu sesuatu!" kata Bidadari Angin Timur
setengah berteriak. Si kakek menunjuk lagi ke arah kali. "Tadi aku melihat
tiga kuntum bunga Melati Tujuh Racun dihanyutkan air di kali itu. Aku melompat
ke dalam kali, mau mengambil. Tapi mendadak ada orang menyerangku dari
belakang. Lalu dari samping ada sambaran angin deras sekali seperti mau memutus
pinggangku. Kemudian dari sebelah depan ada dua cahaya kuning menyilaukan
datang menyambar. Selanjutnya menggelegar dua ledakan dahsyat. Aku tidak ingat
apa-apa lagi …"
"
Air kali muncrat tinggi. Dasar kali berlobang besar. pasir, bebatuan dan semua
benda yang ada di dalam kali mencelat mental ke udara."
hantu
Jatilandak ikut memberi keterangan. Setan Ngompol unjukkan wajah kaget, menatap
pemuda muka kuning lekat-lekat.
"berarti
… Walah! Berarti tiga bunga melati hitam itu lkut amblas! Celakai" Si
kakek lalu pukul jidatnya sendiri berulang kali. Air kencingnya tidak
terbendung, langsung ngocor.
"Kasihan
…. kasikan …" kata Setan Ngompol berulang kali.
"Siapa
yang kasihan kek?" bertanya Jatilandak.
Setan
Ngompol menoleh ke arah- si pemuda. Seolah baru sadar kalau ada orang berkulit
aneh itu dihadapannya, si kakek bertanya. "Eh, pemuda muka kuning, kau ini
siapa?’
Jatilandak
tertawa lebar. "Apa kau lupa Kek? Aku Hantu Jatilandak. Sahabatmu waktu di
Negeri Latanahsilam."
"Serrr"
Air
kencing Setan Ngompo! terpancar. ”Hantu Jatilandak? Ya …y a…ya! Aku ingat.
Waktu kesasar di Negeri Latanahsilam aku memang punya sahabat sorang anak muda
bernama Hantu Jatilandak. Kulitnya kuning seperti kulitmu.Tapi kepala, wajah
dan sekujur Tubuhnya dipenuhi duri-duri kaku panjang seperti bulu landak.
Tampangmu kulihat kuning mulus. Aku meragukan. Apa kau benar Si Hantu Jatilandak
sahabatku dulu, atau cuma mahluk jadi-jadian yang kesasar ke tempat in!!"
Jatilandak
tertawa mendengar kata-kata Setan Ngompol itu. "Sesuatu terjadi atas
diriku, Kek," katanya. "Sewaktu istana Kebahagiaan milik Hantu Muka
dua meledak dan kita semua terlontar ke angkasa, gesekan udara yang keras dan
panas membuat rontok habis semua duri landak yang ada di kepala, muka, dua
tangan dan dua kakiku. TapI duri landak yang terlindung di balik pakaianku
hanya terkikis sebagian. Kalau kau tidak percaya lihat sendiri …" Si
pemuda lalu singkapkan bajunya di bagian dada. Kulit tubuhnya di bagian dada
dan perut ternyata menyerupai kulit durian, atos berwarna kuning.
Bidadari
Angin Timur dan Anggini unjukkan wajah ngeri tapi juga ada rasa kasihan.
Anggini berbisik. "Pantas waktu tadi dia kita jotos, tangan kita sakit dan
lecet."
"Seumur
hidup baru sekali ini aku melihat ada manusia macam begini," balas
berbisik Bidadari Angin Timur.
"Sepertinya
…. sepertinya dia …"
"Sepertinya
dia apa?" tanya Bidadari Angin Timur.
Anggini
gelengkan kepala.
"Kek,
tadi kau berucap kasihan berutang kali. Apa maksud ucapanmu itu, Siapa yang
dikasihani?" Bertanya Jatilandak.
"Selo
Kaliangan. Patih Kerajaan. Harapannya untuk sembuh pupus sudah. Seumur hidup
dia akan tergeletak lumpuh di atas tempat tidur." Jawab Setan Ngompol.
"Kenapa.begitu?"
tanya Jatilandak lagi.
"karena
satu-satunya obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakitnya adalah bunga
melati hitam berkelopak tujuh yang disebut Melati Tujuh Racun," Yang
menjawab Bidadari Angin Timur.
Anggini
menyambung "hanya sayang, tiga bunga melati sakti itu telah mental entah
kemana, mungkin juga telah hancur musnah"
"Ah,
aku merasa bersaIah. kalau aku tadi Tidak lepaskan pukulan sakti yang menebar
cahaya kuning itu, mungkin kakek ini masih bisa mendapatkan bunga itu …"
Jatllandak bicara menyesali diri.
”Kau
tidak usah bicara begitu," ujar anggini.
"kalau
kau tak turun tangan, kakek sahabat kami ini mungkin sudah menemui ajal
dikeroyok Rana Suwarte dan Hantu Sejuta tanya sejuta jawab." Bidadari
angin Timur pandangi sahabatnya yang barusan bicara itu Hatinya membatin.
"Sahabatku Ini seperti punya pandangan dan perasaan baru terhadap pemuda
muka kuning. itu. Hemm …"
"Sekarang
mau bikin apa lagi? Mau dicari kemana lagi bunga sakti itu? Rana Suwarte telah
membakar seluruh tanaman melati hitam di kawasan utara." Setan Ngompol usap-usap
kepala botaknya.
"Mungkin
tiga kuntum bunga melati itu hancur. Tapi hancurannya mungkin saja bertebaran
di sekitar sini. Bagaimana kalau kita berempat mencarinya?" Mengusulkan
Anggini.
Jatilandak
menanggapi. "Kalau air kali muncrat ke udara, berarti tiga kuntum bunga
melati hitam itu ikut mencelat ke udara. Berarti bunga-bunga itu kemudian jatuh
kembali ke tanah, atau terkait di antara daun pepohonan. Bisa juga terselip
dalam semak belukar. Kita harus memeriksa tempat sekitar sini.
Dan
sebaiknya segera kita lakukan sekarang juga! Tunggu, kita! Maksudku bukan kita.
Aku yang bersalah biar aku yang melakukan sendiri. Ini hukuman bagi orang tolol
seperti aku. Aku manusia tolol tidak tahu diri. Berada di negeri orang malah
membuat kekacauan dan membuat susah orang lain!" Setan Ngompol melongo.
Bidadari Angin Timur dan Anggini saling pandang.
Selagi
ketiga orang ini masih diselimuti rasa heran dan tidak mengerti apa sebenarnya
maksud si pemuda, tiba-tiba pemuda itu telah lenyap dari hadapan mereka.
"Serrr!"
Setan
Ngompol kucurkan air kencing. "Kemana lenyapnya anak itu? Jangan-jangan
dia mahluk jejadian yang pura-pura berbuat baik karena terpikat pada kalian
berdua! Ha … ha..ha!"
"Kek!
Dalam keadaan seperti ini kau masih sempat-sempatnya bergurau!" kata Bidadari
angin Timur sementara anggini kelihatan senyum-senyum.
Di udara
tiba- tiba kelihatan berkelebat bayangan kuning. Bergerak dari satu pohon ke
pohon lain, lalu menukik turun, mengelilingi beberapa semak belukar yang ada di
tempat itu. Di lain saat bayangan ini ini berkelebat sepanjang dua tepi kali
lalu lenyap. Tak lama kemudian sosok pemuda muka kuning telah berdiri di
samping kanan setan Ngompol, di hadapan dua gadis cantik. Warna kuning pada
wajahnya kelihatan memucat. Kepalanya digelengkan perlahan.
"Aku
sudah mencari, tidak satupun dari Tiga bunga-melati hitam itu ada di pepohonan
semak belukar dan sepanjang tepian kali..
"Pasti
sudah harcur semua " kata Setan Ngompol sambil pegangi Perut. Anggini
pegangi lengan Bidadari Angin Timur. "Sahabatku, aku .tahu. kau memiliki.
kemampuan bergerak laksana kilat yarng tidak tertandingi, Tapi kau saksikan
sendiri Gerakan. pemuda itu sunggus luar biasa.. Selain. Itu sambil bergerak
dia mampu melihat segala sesuatu dengan cepat. ..Buktinya dia bisa mengatakan
tidak menemukan bunga melati hitam itu.
”Menurut
cerita Wiro, orang orang di negeri latanah silam memang memiliki ilmu langka
yang terkadang sulit. dipercaya,” jawab Bidadari angin timur.
Jatilandak
pandangi si kakek yang tingginya hanya sepundaknya. Sesaat dia perhatikan
telinga kanan Setan Ngompoi yang lebar terbalik. Dia melihat sesuatu dalam
telinga kakek ini.
"Kek,
sesuatu menyumpal lobang telingamu. Mungkin kotoran, mungkin kau tak pernah
ngorek kuping." Berkata Jatilandak.
"Apa?
Ada kotoran rnenyumpal lobang telingaku? Pantas sejak tadi pendengaranku rada
rada budek,.." Setan Ngompol korek lobang telinganya sebelah kiri."
bukan yang kiri Kek. Yang sebelah kanan. Kotorannya besar sekali Kek. Sampai
hitam …" Kata Jatilandak memberitahu.
"Ah
…" Si kakek miringkan kepalanya ke kanan. Lalu jari kelingkingnya
dimasukkan kelobang telinga. Dia menyentuh satu benda lembut, membuat dia
kegelian dan kucurkan air kencing.
"Sudah,
biar sini aku yang mengeluarkan kotoran itu," kata Jatilandak. Dia membungkuk
mencabu! sebatang rumput liar. Dengan batangan rumput ini dia mengeluarkan
kotoran hitam yang rnenyumpal di telinga Setan Ngompol. Si kakek
tersentak-sentak kegelian dan kucurkan air kencing.
"Eh,
apa ini?" ujar Jatilandak sambil memperhatikan benda hitam di ujung
batangan rumput. Anggini dan Bidadari Angin timur melangkah lebih dekat, ingin
melihat benda apa adanya yang barusan dikeluarkan dari kuping si kakek. Setan
ngompol sendiri delikkan mata, memperhatikan benda di tangan pemuda muka kuning.
”astaga
!"Setan Ngompol berseru.
"Serrr!"
Kencingnya
langsung muncrat.
"
itu Melati Tujuh Racun!" Dengan cepat kakek ini mengambil benda yang ada
di ujung batangan rumput.Memperhatikan sekaIi lagi dengan mata belok
dibesarkan.
“Benar!
Tidak salah lagi memang Melati Tujuh Racun aku sudah melihatnya
sebelumnya!"
Bidadari
Angin Timur dan Anggini maju lebih dekat , memperhatikan bunga hitam di tangan
si kakek lekat-lekat.
"Kalau-memang
Melati Tujuh Racun, tunggu apa lagi. Kita harus segera mengantarkan ke gedung
Kadipaten” kata Bidadari angin Timur pula.
"Benar,
tapi kita harus mencari wiro. Kita tidak tahu bagaimana cara mengobati patih
Kerajaan dengan Bungan ini” kata Anggini pula. Saat itu setan ngompol tiba2
berkata:
"Hai!
Kemana perginya pemuda muka kuning Itu?”
semua
mata memandang berkeliling. Mencari-cari. Tapi Jatilandak tidak kelihatan. Si
pemuda memang telah meninggalkan tempat itu. Bidadari Angin Timur keluarkan
sehelai sapu tangan lalu berkata pada Setan Ngompol.
"Kek,
berikan bunga itu padaku. Baru aku simpan dalam lipatan sapu tangan."
"Ya,
simpan saja. Memang harus hati-hati. Bunga ini mengandung racun jahat." Si
kakek lalu berikan bunga melati hitam pada Bidadari Angin Timur yang oleh si
gadis dimasukkannya ke dalam lipatan sapu tangan, lalu disimpan di balik baju
birunya.
"Kita
harus segera ke Kotaraja sambil menyirap kabar dimana beradanya Pendekar
212." kata Anggini.
"Setahuku
dia dalam perjalanan menuju Lembah Welirang bersama Ratu Duyung. Mendatangi
sarangnya lblis Kepala Batu Alis Empat. Mungkin kita harus menyusulnya ke sana
…"
"Kek,
bagaimana menurutmu?" tanya Anggini. "Kita harus bertindak cepat. Aku
setuju pada ucapan gadis berambut pirang sahabatmu ini. Kita harus segera
mencari Pendekar 212 di Lembah Welirang. Aku tahu jalan ke sana …"
"Para
sahabatku!" Tiba-tiba satu suara menggema di seberang kali. "Kalian
tidak perlu susah-susah mencariku! Aku telah berada di sini!"
Satu
bayangan putih berkelebat melompat kali kecil. Di lain saat seorang pernuda
gondrong berpakaian putih telah berdiri di hadapan Setan Ngompol, Bidadari
Angin Timur dan Anggini.
"Kau!"
seru Setan Ngompol lalu serr! Kencingnya kumat, kembali.
"Wiro!"
pekik Bidadari Angin dan Anggini berbarengan penuh gembira.
******************
13
PENDEKAR
Wiro Sableng tertawa lebar, garuk-garuk kepala lalu berkata. "Aku gembira
bertemu dengan kalian semua. Apakah kalian baik-baik saja?’
"Kami
baik-baik saja. Cuma penyakit ngompolku makin parah!" kata Setan Ngompol
pula lalu tertawa mengekeh dan tentu saja sambil terkencing.
"Setahu
kami kau dalam perjalanan menuju Lembah Welirang. Apa kau telah berhasil
menemukan lblis Kepala Batu Alis Empat?" bertanya Bidadari Angin Timur.
"Ya
…y a, aku telah menemuinya." Wiro diam sesaat. Lalu menyambung ucapannya.
"Aku berhasil membunuhnya."
"Berarti
kau berhasil rnembebaskan Bunga" ujar Anggini.
"Bunga?"
Wiro garuk kepala lalu tertawa.
"Oh
ya …. Aku telah membebaskan gadis itu. Kami berpisah di Kotaraja."
Bidadari
Angin Timur melirik pada Anggini. Saat itu Anggini juga berpaling ke arahnya.
Dua gadis ini merasa ada yang tidak seperti biasanya dengan sikap dan cara
bicara Wiro.
"Jangan-jangan
sesuatu terjadi antara Wiro dengan Bunga. mungkin setelah dibebaskan Bunga
menaruh cemburu pada Ratu Duyung. Terjadi perasaan saling tidak enak. Dua orang
itu mungkin meninggalkan Wiro begitu saja," berbisik bidadari angin timur.
"Dugaanmu
mungkin saja-benar. tapi aku tidak yakin setelah ditolong bunga akan berlaku
sepertl itu. Biar aku tanyakan perihal Ratu Duyung padanya," kata Anggini
pula. Lalu pada Wiro murid Dewa Tuak ini berkata. "Setahu kami kau ke
Lembah Welirang bersama Ratu Duyung. Kau muncul seorang diri.. Mana gadis
sahabatmu itu?"
"Ratu
Duyung pergi bersama Bunga, Aku tidak tahu mereka pergi ke mana …."
"Aneh,
membatin Anggini. "Tadi dia bilang berpisah dengan dua orang itu di kota
raja. Kini dia berkata tidak tahu kemana perginya Bunga dan Ratu Duyung.”
"Lalu
bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?" Bertanya Bidadari angin timur.
"Hai,
kalian seperti tengah menyelidiki diriku." Kata Wiro garuk-garuk kepala
tapi sambil tersenyum. "masih untung aku bisa sampai ke sini. Waktu aku
membebaskan bunga iblis kepala batu alis empat hampir membunuhku.
kalian
sendiri bagaimana bisa berkumpuil ditempat ini ?“ Wiro balik bertanya. “Panjang
ceritanya “ yang menjawab setan ngompol.
“tapi
jelas berkat pertolongan sahabat kita Hantu Jatilandak, kami berhasil
mendapatkan bunga Melati Tujuh Racun walau cuma sekuntum." Wiro tampak
terkejut tapi juga gembira.
"Tuhan
memang Maha Besar Maha Kuasa! Tuhan memberi berkah pada kalian yang telah susah
payah mencari bunga itu. Patih Kerajaan pasti bisa disembuhkan. Kek, mana bunga
Melati Tujuh Racun itu? Aku harus segera membawanya ke Kotaraja untuk dipakai
mengobati Patih Selo Kaliangan." Setan Ngompol berpaling pada Bidadari
Angin Timur.
"Berikan
bunga itu pada W iro."
Gadis
cantik berambut pirang itu diam sejenak. Seperti ada sesuatu yang terlintas
dalam benaknya.
"Sahabatku
Bidadari Angin Timur," kata Wiro. "Kau tahu kita tak bisa berlaku
ayal. Makin cepat bunga keramat itu dibawa ke Kotaraja. makin cepat kita bisa
menolong Patih Kerajaan."
Mendengar
kata-kata Wiro akhirnya Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan yang
terlipat rapi.
"Bunga
itu ada dalam lipatan sapu tangan," menjelaskan Bidadari Angin Timur. Lalu
sapu tangan diserahkannya pada Wiro.
"Kek,
kau telah berjasa besar karena berhasil mendapatkan bunga melati ini,
"kata Wiro pada Setan Ngompol.
"Semua
berkat bantuan Hantu Jatilandak," kata Setan ngompol.
"Kawan-kawan,"
kata Pendekar 212. "Aku terpaksa mendahului kalian berangkat ke Kotaraja.
Temui aku nanti di pintu gerbang sebelah timur" habis berkata begitu murid
Sinto Gendeng segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Aku
merasa aneh!" kata Setan Ngompol sambil pegangi perut, sesaat setelah Wiro
pergi. "Kami juga merasa anek!" jawab Bidadari Angin Timur.
"Kek, harap kau jelaskan apa keanehan yang kau rasakan?."
"Anak
sableng itu. Dua kali aku menyebut.Hantu Jatilandak. Kali terakhir malah aku
.Jelaskan. Kalau pemuda muka kuning itulah yang menolong menemukan melati Tujuh
Racun. Tapi si gondrong itu .tidak acuh seperti Tidak mendengar apa yang aku
katakan.”
"Dia
mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal pada Hantu Jatilandak,"
ujar anggini pula.
"Di
situIah letak-keanehannya .Seharusnya Dia terkejut mendengar hantu jatilandak
ada ditanah jawa ini. Waktu di negeri Latanahsiiam,dia pernah menolong hantu
jatilandak. Masakan dia lupa pada pemuda itu?"
”Keanehan
yang kami lihat lain lagi kek,” ucap Bidadari Angin Timur.
"Pertama
dia pergi bersama ratu duyung. Muncul seorang diri. Kedua jika memang dia telah
membebaskan Bunga, masakan mereka berpisah begitu saja di Kotaraja. Ketiga
mengapa dia memaksa diri pergi lebih dulu, meninggalkan kita ke Kotaraja
membawa Melati Tujuh Racun. Apa salahnya kita pergi sama-sama. Keanehan ke
empat, seingatku Wiro tak pernah memanggil kami dengan kata kawan-kawan."
"Sesuatu
telah terjadi dengan anak sableng ‘ itu. Mungkin ini akibat ilmu baru yang
dimilikinya. llmu Meraga Sukma. Ah, aku menyesal menyuruh kau memberikan bunga
sakti itu padanya," kata Setan Ngompol pula sambil menahan kencing.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Aku
ingin sekali kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab Bidadari Angin Timur.
"Aku
setuju." Kata Setan Ngompol. "blah,kita tunggu apa lagi?!"
Sambil pegangi perutnya kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya Pendekar 212.
Bidadari Angin Timur dan Anggini segera mengikuti.
Belum
lama mereka menempuh jalan menuju Kotaraja, disatu pedataran tinggi yang banyak
ditumbuhi pohon jati serta tebaran batu-batu besar bekas tembok sebuah candi
yang telah rusak, terdengar suara orang saling bentak.
"Serrr!"
Setan
Ngompol kucurkan air kencing lalu hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah
pedataran tinggi yang dirapati deretan pohon-pohon jati.
”ada
orang berkelahi diatas pedataran sana, aku ingin menyelidik”
”perlu
apa menyelidiki membuang waktu kek?” Kata bidadari angin timur. ”kita punya urusan
lebih penting”
”aku
tahu” jawab setan ngompol.
”kita
sudah tahu kemana perginya wiro, ke kota raja berarti kita sudah tahu arah yang
dituju. Soal menyelidiki siapa yang berkelahi itu hanya urusan sesaat saja. Aku
punya firasat apa yang terjadi di pedataran tinggi itu ada sangkut pautnya
dengan semua keanehan yang tadi kita bicarakan”
Begitu
setan ngompol berkelebat kearah pedataran tinggi. Dua gadis tak bisa berbuat
lain selain berlari mengikuti.
Ketika
mereka melewati deretan pohon2 jati dan sampai di puncak pedataran. Mereka
semua keluarkan seruan tertahan. Di puncak pedataran mereka menyaksikan ada dua
sosok pendekar 212 wiro sableng saling bertempur satu sama lain. Tak jauh dari
situ ratu duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua kakek . kakek pertama yang
berpakaian ringkas biru bukan lain Rana Suwarte,kawannya seorang kakek berwajah
pucat seperti mayat yang sekali lihat saja segera diketahui ialah si muka
bangkai adanya.
Setan
ngompol gosok-gosok matanya. ”gila! ” bagaimana anak sableng itu bisa jadi ada
dua? Berkelahi satu sama lain!" Bidadari Angin Timur dan Anggini tak kalah
herannya.
"Ada
yang tidak beres," kata Bidadari Angin Timur. "Anggini, kits harus
segera mencari tahu yang mana Wiro asli mana yang palsu." "Yang palsu
mungkin sekali yang tadi membawa bunga melati hitam itu. Tapi yang mana
orangnya? Sulit membedakan!" jawab Anggini.
"Jangan
kawatir. Kita segera mengetahui. lkuti aku," kata Bidadari Angin Timur
pula. "Jangan lupa mengawasi Ratu Duyung. Kalau dia terdesak lekas kau
ajak Setan Ngompol membantunya." Habis berkata begitu gadis cantik
berambut pirang itu bersama Anggini segera melompat ke dalam kalangan
pertempuran.
Dua sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berkelahi sama-sama terkejut melihat
kemunculan dua gadis cantik ke tengah gelanggang perkelahian.
TAMAT
No comments:
Post a Comment