Ki
Ageng Tunggul Akhirat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
PANGKAL BAHALA
Hujan
rintik-rintik turun sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam
udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan
blangkon bergerak di antara batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat.
Mukanya yang hitam boleh dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan
sebagai wajah setan. Di pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari
ujung bibir sempai ke mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak
bawah membeliak merah dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut
orang ini tertarik ke atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke
luar!
Sebenarnya
kuda coklat dan penunggangnya sudah sama-sama sangat letih saat itu. Beberapa
kali kaki-kaki kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan licin. Si penunggang sendiri
dengan segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba membawa kudanya ke
jurusan Timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang solah membentuk dinding
panjang dari Timur ke Selatan. Di salah satu bagian dinding batu, orang ini
hentikan kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan rintikrintik telah
berhenti. Namun kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Orang
ini menunggu dan berusaha untuk sabar. Ketika sang surya muncul kabut di tempat
itu perlahan-lahan mulai terkikis habis. Dalam terangnya udara orang tadi
kembali memperhatikan keadaan di sekitarnya. Apa yang dicarinya terlihat di
kejauhan.
Tepat di
pertengahan dinding batu ada satu lobang besar. Sesaat ada rasa tegang dalam
diri orang ini. Setelah menabahkan hatinya dia lalu bergerak kea rah lobang
tadi yang merupakan mulut sebuah goa. Di depan goa dia hentikan kudanya lalu
turun dengan terhuyung-huyung. Dari kantong perbekalan yang tergantung di leher
kuda dia mengambil sebuah bungkusan lalu melangkah hendak memasuki goa. Namun
belum sempat kakinya menginjak mulut goa, tiba-tiba dari dalam menggelegar
suara bentakan.
“Siapa
yang mengantar nyawa berani datang ke tempatku tanpa diundang?!”
Manusia
bermuka cacat itu terkejut. Setelah reda kejutnya dia memberanikan diri
menjawab.
“Aku Ki
Ageng Tunggul. Kepala desa Pasirginting. Ingin bertemu dengan orang tua sakti
bernama Supit Jagal. Kabarnya beliau adalah penghuni goa ini!”
“Begitu?
Katakan apa keperluanmu!” orang di dalam goa bertanya.
“Aku
dating untuk mohon diambil jadi murid!”
“Bah!
Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat kau punya tampang! Lekas masuk dalam
goa!”
Ki Ageng
Tunggul cepat melangkah masuk. Ternyata bagian dalam goa batu itu tidak
seberapa besar. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian sangat kotor
dan penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pipinya sebelah kana
nada cacat bekas luka yang amat dalam. Daun telinganya sebelah kanan sumplung
sedang sepasang matanya sangat sipit sehingga dia seperti sedang memejam.
“Mukamu
seperti setan! Apa kau benar manusia atau makhluk jejadian?!”
“Aku
manusia biasa, tak lebih tak kurang….”
Si kakek
menyeringai mendengar ucapan itu. “Duduk!” bentaknya kasar.
Ki Ageng
Tunggul duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di pangkuan.
“Aku
memang Supit Jagal, orang yang kau cari!” berkata si kakek. “Kau bilang minta
diambil jadi murid! Sudah tua bangka begini apa kau sinting?!”
“ Soalnya
aku terpaksa….. "
“Terpaksa
?! Siapa yang memaksa ?! " Ki Ageng Tunggul lalu menerangkan. “Tiga orang
jahat berilmu tinggi hendak membunuhku"
“Kau
ketakutan lalu minta dijadikan murid agar dapat ilmu ! " Supit Jagal
tertawa mengekeh. “Anak manusia berwajah setan, coba kau katakan padaku mengapa
tiga orang itu hendak membunuhmu ?! "
“ Dulu
mereka adalah kawan-kawanku. Masing-masing bernama Kunto Handoko, Lor Paregreg
dan Rah Gludak. Mereka kukhianati hingga dijebloskan masuk penjara. Entah
bagaimana ketiganya bisa melarikan diri. Kini mereka mencariku dengan tujuan
membunuh. Aku tidak berdaya menghadapi meraka. Ketiganya memiliki kepandaian
silat tinggi serta kesaktian. "
Mulut
Supit Jagal sesaat tampak komat kamit. “ Berkhianat sesama kawan adalah
perbuatan paling keji. Kini kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tidak bisa
mengambilmu jadi murid ! Sekarang lekas minggat dari hadapanku ! "
Ki Ageng
Tunggul ambil bungkusan di pangkuannya. Bungkusan ini diletakkannya di lantai
goa di hadapan si kakek. Ketika bungkusan dibuka tampaklan puluhan mata uang
perak dan beberapa mata uang emas serta seperangkat perhiasan. “Semua ini
untukmu. Asal saja kau mau mengambilku jadi murid dan mangajarkan ilmu silat
dan kesaktian,” kata KI Ageng Tunggul pula. Si kakek bermata sipit tampak agak
terkesiap.
“Anak
manusia berwaah setan, pemberianmu membuat aku tergiur. Tapi tetap saja aku
tidak akan mengambilmu jadi murid. Hanya mungkin ada cara lain untuk
menolongmui. Yang jadi soal kini, apakah kau bakal sanggup memenuhi syarat yang
akan kutetapkan!”
“Syarat
apapun akan kulaksanakan,” jawab Ki Ageng Tunggul tanpa tedeng aling-aling.
“Bagus.
Pertanyaanku, apa kau bisa mengatur ketiga musuhmu itu datang kemari? Urusan
selanjutnya biar aku yang membereskan!”
“Begitupun
aku setuju. Yang penting mereka harus mampus semua! Harap kau mau mengatakan
syarat tadi…..”
“Kau
harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakan.”
“Demi
Tuhan saya bersumpah akan melaksanakan…..”
“Tolol!
Bukan demi Tuhan! Tapi demi aku! Demi Supit Jagal ! " membentak si kakek.
Matanya membesar. Ia menyangka sudah melotot padahal kedua matanya itu tetap
masih sipit-sipit saja.
“ Demi
Supit Jagal…… Aku bersumpah !" ucap Ki Ageng Tunggul.
“ Bagus.
Kau sudah bersumpah. Sekarang coba telan dulu benda ini ! " Supit Jagal
melemparkan sebuah benda hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul. Lelaki ini cepat
mengambilnya.
“ Benda
apa ini ? "
“ Telan
saja ! Tak perlu banyak tanya ! " sentak Supit Jagal.
Mau tak
mau Ki Ageng Tunggul segera menelan benda hitam itu yang terasa kesat di mulut
dan tenggorokannya.
“Sudah
kau telan?!” tanya Supit Jagal.
Ki Ageng
Tunggul mengangguk. Si kakek tertawa panjang.
Kenapa
kau tertawa?” tanya Ki Ageng Tunggul.
"Benda
hitam yang barusan kau telan adalah racun penghancur usus!”
Pucatlah
wajah hitam Ki Ageng Tunggul.
“Racun
itu akan bekerja setelah dua hari dari sekarang. Jika kau berhasil melaksanakan
syarat yang akan ku katakan, kau boleh kembali ke mari membawa tiga orang musuh
besarmu itu. Aku akan memberikan obat penawar racun padamu. Teteapi ingat!
Kalau ingkar kau akan mampus dengan usus berantakan!” Supit Jagal kembali
tertawa mengekeh. Ki Ageng Tungul merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.
“Sekarang
akan kukatakan syarat itu!” kata Supit Jagal pula. Ki Ageng Tunggul jadi
tegang. “Tepat tengah malam besok yaitu hari Kamis malam Jum’at Kliwon kau
harus menggorok leher seorang bayi lalu memandikan ke kepala dan tubuhmu.
Upacara ini harus kau lakukan di puncak tertinggi bukit batu ini, kira-kira
seratus langkah ke arah Timur!”
Sepasang
mata Ki Ageng Tunggul, terutama mata kiri yang dalam keadaan mencelet kini
tampak membeliak besar. Jantungnya seperti mau copot dan nyawanya serasa
terbang mendengar syarat yang dikatakan Supit Jagal tadi. “Kalau syarat itu
tidak kau lakukan, jangan harap umurmu bisa lebih panjang dari dua hari!”
“Kakek,
apakah syarat itu bisa diganti? Aku kawatir tidak sanggup melaksanakannya.”
“Kalau
begitu cepat angkat kaki dari hadapanku. Tapi tinggalkan bungkusan ini di
sini!”
Ki Ageng
Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh sangat
keji dan mengerikan. Tak sanggup dia melakukan. Namun kalau dia menolak, racun
yang mengidap di perutnya akan merengut nyawanya! Tak ada pilihan lain kini.
Dia terpaksa memenuhi apa yang dikatakan Supit Jagal tadi.
SUMPAH IBLIS PENUMPAH DARAH
Laksana
terbang kuda coklat itu berlari kencang di bawah panas terinya matahari. Dalam
waktu singkat kuda dan penunggangnya sudah sampai di kaki bukit terus bergerak
menuju lembah sepanjang kaki bukit. Si penunggang yang berwajah seperti setan
bukan lain adalah Ki Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting yang tengah
menjalankan syarat seperti yang ditetapkan manusia iblis Supit Jagal. Lelaki
ini mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Muka
setannya langsung berubah.
“Celaka!
Aku hanya punya waktu setengah harian lagi. Kalau yang kucari tidak kutemui
mampuslah diriku!” Ki Ageng Tunggul membetulkan letak blangkonnya lalu kemabli
memacu kudanya. Dari satu tempat ketinggian dia melihat atap-atap rumah yang
terletak di sebuah desa kecil. Segera saja dia mengarahkan kudanya menuju ke
sana.
Angin
dari Timur bertiup kencang merontokkan daun-daun pepohonan ketika Ki Ageng
Tunggul memasuki jalan teduh di mulut desa. Dia mulai memperlambat lari
kudanya. Kedua matanya yang merah, satu di antaranya membeliak mengerikan,
memandang liar kian kemari.Sepasang telingnya dibuka tajam-tajam. Dia
berpapasan dengan beberapa penduduk desa. Orang-orang itu jelas ketakutan
ketika melihat tampangnya. Mereka melangkah pergi dengan cepat. Sampai di
tengah desa Ki Ageng Tunggul hentikan kudanya. Dia seperti putus asa. Tiba-tiba
daun telinganya bergetar. Kedua matanya berputar ke arah kanan. Di sebelah
sana, di antara beberapa pohon besar kelihatan sebuah rumah gedek. Di rumah
gedek ini terdengar suara tangisan bayi. Inilah yang dicari Ki Ageng Tunggul!
Tanpa menunggu lebih lama orang ini segera menghambur menuju rumah gedek itu.
Begitu sampai dia langsung melompat ke pintu lalu menggedor dengan keras.
Terdengar
langkah-langkah kaki di dalam rumah. Sesaat kemudian pintu terbuka. Perempuan
yang menggendong seorang orok lelaki yang masih merah tersurut pucat ketika
melihat tampang manusia yang berdiri di hadapannya.
Ki Ageng
Tunggul memandang bayi dalam gendongan ibunya itu. Tenggorokannya turun naik
dan mulutnya komat kamit. Sesaat dia bingung. Hendak mengatakan sesuatu dulu
atau langsung saja merampas bayi dalam gendongan itu.
“Sam….sampeyan
siapa….?” perempuan muda yang menggendong bayi bertanya dengan suara gemetar
dan siap-siap hendak menutupkan pintu.
“Aku mencari
suamimu.”
“Dia
sedang ke sawah. Nanti siang baru kembali….”
Mata Ki
Ageng Tunggul menatap bayi dalam dukungan. “Ini anakmu?’
Ynag
ditanya mengangguk. Tangannya bergerak lagi hendak menutup pintu. Ki Ageng
Tunggul cepat manahan daun pintu.
“Dengar,”
katanya. “Kemarin aku sudah bicara degnan suamimu. Dia bersedia menjual bayi
ini.” Lalu Ki Ageng Tunggul keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang.
Perempuan
yang menggendong bayi tampak terkejut mendengar kata-kata tamu bermuka seram
yang tidka dikenalnya itu. “Apa? Suamiku…..? Tidak! Aku tidak percaya! Kau
pasti berdusta! Suamiku tidak bakalan mau menjual anak ini!”
“Ini
ambillah…!” kata Ki Ageng Tunggul seraya mengulurkan kantong uang.
“Tidak!”
dengan tangan kanannya perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat. Tapu Ki Ageng
Tunggu lebih kuat menahan.
“Kalau
kau tidak mau menjual tidak apa-apa…… Berarti kau akan rugi dua kali!”
“Apa
maksud sampeyan….?”
Ki Ageng
Tunggul menyeringai. Sekali dia bergerak, bayi dalam dukungan si ibu berhasil
dirampasnya. Secepat kilat lelaki ini lalu meloncat ke atas punggung kudanya
dan menghambur lenyap.
Ibu si
bayi menjerit keras. “Bayiku! Tolong! Bayiku dilarikan orang! Tolong!”
Beberapa
orang tetangga berlarian keluar dari rumah masing-masing. Tapi tak seorangpun
bisa berbuat sesuatu. Si ibu masih menjerit beberapa kali lalu roboh tak
sadarkan diri di depan rumahnya.
Hari
Kamis malam Jum’at Kliwon.
Hujan
gerimis menambah dingin dan angkernya suasana malam. Kuda coklat yang
ditunggangi Ki Ageng Tunggul mendaki di lereng bukit, bergerak menuju ke
puncak. Dalam kegelapan malam kuda dan penunggangnya ini tidak beda seperti
setan yang sedang gentayangan!
Puncak
bukit batu yang hendak dicapai tingi sekali. Jalan yang menuju ke situ Sangat
sulit. Beberapa kali kuda coklat itu tersandung dan hampir roboh. Lidahnya
terjulur, tubuhnya basah oleh keringat bercampur air hujan. Di satu tempat
binatang ini tersandung kembali. Sekali ini langsung roboh dan tak mau bangkit
lagi. Kutuk serapah keluar dari mulut Ki Ageng Tunggul. Ketika jatuh tadi
untung dia cepat melompat dan menyelamatkan benda yang dibawanya yaitu bukan
lain sosok bayi rampasan yang dibuntal dengan sehelai kain. Sambil menggendong
bayi itu Ki Ageng Tunggul melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu dengan
jalan kaki. Gerakannya cekup sebat. Dia melompat dari satu batu ke batu lain.
Tak selang berapa lama lelaki ini sampai di puncak bukit batu paling tinggi. Di
sini angin terasa kencang dan dingin sekali.
Ki Ageng
Tunggul memandang berkeliling. Mulutnya berkomat kamit. Di kejauhan kilat
menyambar. Suasana terang sexta lalu gelap kembali. Bayi dalam buntalan kain
menangis dan mengagetkan Ki Ageng Tungul. Cepat-cepat dia membuka buntalan.
Sesaat tubuhnya terasa bergeletar. Mulutnya kembali komat kamit seperti merapal
sesuatu. Lalu dia mendongak ke langit. Seringai iblis menyeruak di tampangnya
yang angker. Bayi di tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Tangisan si
bayi semakin keras. Dari mulut Ki Ageng Tunggul kemudian terdengar ucapan.
“Orang
sakti dalam goa!
Demi
sumpah yang kupatuhi!
Bersaksi
lepada langit di atas keepala!
Bersaksi
pada batu di bawah kaki!
Saat ini
aku Siap untuk mandi!”
Habis
berseru seperti itu Ki Ageng Tunggul mencabut sebilah golok pendek dari
pinggangnya. Saking tajamnya, walaupun malam sensata ini berkilauan dalam
kegelapan. Seperti kemasukan setan yang haus darah golok di tangan kanan
berkelebat membabat. Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi serta merta
lenyap. Darah mengucur.
Dengan
darah yang mengucur Ki Ageng Tunggul menyirami kepala, muka dan tubuhnya.
Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan gerahamnya terdengar
bergemeletukan. Kedua matanya berputar liar sedang sekujur tubuhnya bergeletar.
Darah
berhenti memancur tanda sudah terkuras habis. Kembali KI Ageng Tunggul
mendongak ke langit dan berucap.
“Orang
sakti dalam goa!
Sumpah
sudah dilaksanakan!
Aku mohon
diri!”
Lalu
dalam keadaan basah kuyup oleh darah, keringat dan air hujan Ki Ageng Tunggul
mulai menuruni bukit. Di satu tempat golok dibuang ke bawah bukit. Suara
senjata ini berkerontangan dalam kesunyian malam. Ki Ageng Tunggul merasakan
satu keanehan. Saat itu tubuhnya terasa ringan luar biasa hinggá dengan gerakan
yang sebat dalam waktu singkat dia sudah sampai di tempat tadi dia meninggalkan
kudanya.
Begitu
sampai di goa, Ki Ageng Tunggul duduk dengan hormat di hadapan Supit Jagal
memberitahu kalau dia sudah melaksanakan apa yang diperintahkan.
“Bagus!”
kata si kakek dengan seringai iblis di mulutnya. “Sekarang kau harus mencari
tiga manusia yang kau bilang mau membunuhmu itu. Bawa dia kemari! Tapi jangan
lupa! Begitu urusan selesai kau harus berikan padaku dua kantong berisi uang
dan harta perhiasan. Bukan cuma satu kantong! Mengerti?!”
“Aku
mengerti kek.”
“Nah
Sekarang lekas pergi dari hadapanku!” kata Supit Jagal dengan mimik seolah
jijik melihat tampang Ki Ageng Tunggul yang buruk dan seram itu.
“Aku akan
pergi. Tapi sebelum munta diri mohon kakek memberikan obat pemusnah racun yang
sudah kutelan dua hari lalu. Bukankah begitu sesuai perjanjian?!”
Supit
Jagal usap-usap kuping kirinya yang sumplung. Lalu dia tertawa mengekeh. Ki
Ageng Tunggul diam-diam jadi merinding ngeri kalau-kalau orang tua aneh ini
tidak menepati janjinya. Sesaat kemudian Supit Jagal mengeluarkan sebuah benda
putih dari dalam saku bajunya lalu dilemparkannya ke pangkuan Ki Ageng Tunggul.
“Telan dan pergi cepat!”
Ki Ageng
Tunggul segera menelan obat pemusnah yang ada dalam perutnya, steelah menjura
dia cepat-cepat meninggalkan goa itu.
PERMULAAN SEBUAH DENDAM
Keempat
penunggang kuda berhenti di ujung dinding batu di kaki bukit yang terletak di
Teluk Burung. Angin laut bertiup keras. Ombak mendebur menggelegar di pantai.
Di antara deru angin dan suara deburan ombak penunggang kuda paling depan yaitu
Lor Paregreg bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
“Mana
goanya?!”
“Di
sebelah sana. Tepat di pertengahan dinding batu.”
Lelaki
bernama Rak Gludak membuka mulut. “Kawan-kawan, aku punya firasat buruk. Si
Tunggul keparat ini jangan-jangan menipu kita!”
“Kalau
nanti terbukti begitu, tidak akan susah memisahkan tubuh dan kepalanya!” jawab
Lor Paregreg.
“Golokku
masih cukup tajam!” menyahuti Kunto handoko seraya mencabut goloknya dan
memutar-mutar senjata ini di depan hidungnya.
Atas
perintah Lor Paregreg, Ki Ageng Tunggul kini berjalan di sebelah depan. Mereka
akhirnya sampai di sebuah lobang yang merupakan mulut goa.
“Ini
goanya,” kata Ki Ageng Tunggul. “Peti berisi uang dan harta perhiasan itu
kusembunyikan di dalam. Belum sepotongpun sempat kuambil. Kalian ambil saja
semuanya, bagi tiga. Asalkan diriku diampuni.” Habis berkata begitu Ki Ageng
Tunggul hendak turun dari kudanya. Tapu Lor Paregreg mencegah.
“Tetap di
punggung kudamu Ki Ageng!” kata Lor Paregreg seraya mendekat. Lalu dengan
sangat tiba-tiba dia menusuk punggung Ki Ageng Tunggul. Kejap itu juga Ki Ageng
Tunggul tak bisa bergerak lagi. Kaku tertotok! Lor Paregreg berpaling pada kedua
kawannya. “Kalian berdua masuk ke dalam memeriksa goa. Aku mengunggu di sini.
Beri tahu kalau peti itu memang ada di dalam!”
“Sret!”
Kunto
handoko kembali cabut goloknya. Bagian tajam itu dengan gerakan cepat
ditempelkan ke batang leher Ki Ageng Tunggul hingga orang bermuka setan ini
merasa nyawanya seperti terbang saat itu. “Paregreg, kita sudah sampai di
tempat peti itu disembunyikan. Mengapa manusia keparat ini tidak kita bereskan
sekarang juga?!”
“Nyawa
anjingnya soal mudah Kunto. Lebih penting kau dan Rah Gludak memeriksa dulu.
Jika bengsat pengkhianat ini kita habisi dan ternyataa peti itu tidak ada dalam
goa, kita bertiga tidak bakal dapat menemukan uang dan harta benda itu untuk
selama-selamanya!”
“Kalian
harus percaya padaku! Aku tidak menipu!” kta Ki Ageng Tunggul. “Empat perti itu
ada di dalam goa! Kalian masuk saja lihat sendiri!” Diam-diam Ki Ageng Tunggul
merasa ngeri sekali kalau-kalau Kunto Handoko akan menebas batang lehernya saat
itu juga.
Lor
Paregreg memberi isyarat pada Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua orang ini
melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah cepat menuju mulut goa.
Belum sempat kaki mereka menginjak bagian dalam goa, tiba-tiba terdengar suara
menderu. Bersamaan dengan itu selarik angin panas menerpa ke arah Rah Gludak
dan Kunto Handoko. Kedua orang ini berseru kaget dan serentak melompat ke
samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu, menghantam kuda yang
ditungggangi Lor Paregreg. Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah
dengan kepala hangus. Setelah melejang-lejang beberapa kali kuda ini akhirnya
tewas.
Ketika
mendengar deru angin yang keluar dari dalam goa, Lor Paregreg seudah bersiaga.
Begitu angin panas menyambar keluar dan menghantam kudanya, dengan cepat dia
melompat. Walau selamat tapi wajahnya tampak agak pucat.
“Ki Ageng
Tunggul! Kau benar-benar menipu kami!” teriak Lor Paregreg marah. Dia melompat
marah. Kedua tangannya dipentangkan menyambar leher Ki Ageng Tunggul yang
berada dalam keadaan tertotok kaku di atas kudanya. Namun saat itu dari dalam
goa melesat satu sosok tubuh seorang kakek berbaju tambalan berambut keriting,
berkuping sumplung dan mukanya ada guratan cacat sangat dalam. Sekali orang ini
mendorong kedua tangannya, Lor Paregreg terhempas ke belakang.
“Ki Ageng
Tunggul, apa ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama dan
harus seera disingkirkan dari muka bumi ini?!” si kakek yang bukan lain adalah
Supit Jagal bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
“Betul!”
jawab Ki Ageng Tunggul cepat. “Bunuh ketiganya cepat! Aku akan memberikan satu
kantong uang lagi padamu!”
Supit
Jagal tertawa bergelak. “Rejekiku sedang besar-besar rupanya,” katanya. Lalu
sepasang matanya yang sipit menyapu tampang ketiga orang itu. “Hemmm, wajah
mereka memang tidak sedap dipandang. Kehadiran mereka di muka bumi hanya
mengotori saja. Mereka memang pantas disingkirkan!” masih tertawa mengekeh
Supit Jagal melangkah mendekati Lor Paregreg.
“Apa
kataku Paregreg!” Kunto Handoko berteriak. “Keparat ini memang menipu kita!”
Lalu Kunto Handoko hantamkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul. Namun
sebelum hantaman itu mengenai sasarannya, selarik angin dahsyat menyambar dari
samping. Mau tak mau Kunto Handoko terpaksa melompat cari selamat.
“Tua
Bangka sialan! Kau yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini lebih dulu!”
teriak Lor Paregreg marah. Tangan kanannya mengemplang ke arah kepala si kakek.
Kunto Handoko juga tidak tinggal diam. Dari jarak beberapa kaki dia lemparkan
segenggam paku hitam beracun yang merupakan senjata andalannya. Rah Gludak ikut
pula beraksi. Goloknya berkelebat ke arah supit Jagal.
Walau
jelas tiga serangan itu merupakan serangan maut namun si kakek ganda tertawa.
Didahului dengan bentakan garang dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Rah
Guldak, Lor Paregreg dan Kunto Handoko melihat dua larik sinar hitam bergulung
membuntal lalu dengan kecepatan luar biasa menghantam ke arah mereka. Tentu
saja ketiga oran ini berserabutan selamatkan nyawa. Namun agaknya mereka tidak
punya kesempatan lagi. Sambaran dua larik sinar hitam itu lebih cepat dari
gerakan mereka untuk cari selamat. Tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan
dari pada menjerit menunggu ajal!
Di saat
yang kritis itu tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
“Supit
Jagal! Apa kowe sudah edan hendak membunuh murid-muridku?!”
Satu
larik angin yang mengeluarkan cahaya biru menyambar. Terdengar suara letupan
beberapa kali dan buyarlah asap hitam yang dilepaskan Supit Jagal tadi dan
hampir membunuh Lor Paregreg, Kunto Handoko serta Rah Gludak.
Supit
Jagal terkesiap. Bukan saja karena serangannya dapat dimusnahkan orang, tapi
juga dia mengenali suara orang yang barusan membentak. Dia melompat satu
langkah ke samping lalu berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat turun dari
tebing batu. Yang muncul ternyata seorang kakek bertubuh sangat tinggi,
berkulit sangat hitam. Mata kirinya hanya merupakan rongga menganga yang
mengerikan.
Supit
Jagal segera mengenali orang ini yang ternyata adalah adiknya sendiri. Dia
balas berteriak. “Supit Ireng! Apa-apaan kau ini?!”
“Kowe
yang apa-apaan!” balas menyemprot Supti Ireng. “Kau hendak membunuh tiga
muridku! Sungguh gila!”
“Bah!”
Supit Jagal delikkan matanya yang sipit. “Mereka muridmu….? Kalau begitu….”
Supit Jagal berpaling pada Ki Ageng Tunggul. “Kalau begitu si keparat ini
hendak mengadu domba kita kakak dan adik. Bangsat kurang ajar!” Sekali lompat
saja Supit Jagal sudah menjambak rambut Ki Ageng Tunggul lalu menyentakkannya
dari atas kuda hingga jatuh terbanting di tanah, masih dalam keadaan tertotok.
Manusia muka setan ini tempak ketakutan setengah mati.
“Guru…..”
“Anjing
kurap! Jangan sebut aku guru! Aku tidak pernah jadi gurumu dan kau tidak pernah
jadi muridku!”
“De….dengar.
Berjanjilah kau tidak akan mengap-apakan diriku. Aku berjanji untuk memberikan
uang serta harta berlimpah-limpah padamu!”
“Supit
Jagal, lepaskan totokannya,” berkata Supit Ireng.
Supit
Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul. Begitu totokannya lepas Ki
Ageng Tunggul jatuhkan diri berlutut. “Ampuni diriku. Ampuni diriku…..” kata Ki
Ageng Tunggul setengah meratap sementara Supit Ireng dan Lor Paregreg melangkah
ke arahnya.
Sampai di
hadapan Ki Ageng Tunggul, Lor Paregreg berkata sambil memegang bahu lelaki itu.
“Nyawamu akan kami ampuni. Asal saja kau mau menerangkan di mana empat peti
besar berisi uang dan harta benda itu kau sembunyikan!”
“Terima
kasih! Terima kasih…..” kata Ki Ageng Tunggul sambil manggutmanggut berulang
kali.
“Lekas
katakan!” teriak Lor Paregreg.
“Peti-peti
itu….aku sembunyikan, aku kubur di halaman belakang rumahku di Pasirginting,”
kata Ki Ageng Tunggul akhirnya menerangkan.
“Kau
dusta!” bentak Kunto Handoko.
“Demi
Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak dusta!”
“Jangan
percaya keterangannya itu Paregreg!” Rah Gludak berkata.
Lor
Paregreg angakt tangannya. “Sekali ini kita harus percaya kawankawan….”
“Betul
Paregreg, sekali ini aku benar-benar tidak menipu kalian! Cincang tubuhku jika
ketahuan aku berdusta!”
Lor
Paregreg menyeringai. “aku percaya padamu Ki Ageng Tunggul. Nyawamu diampuni.
Kau sekarang bebas pergi. Pergi ke neraka!” Kaki kanan Lor Paregereg menendang
ke arah perut Ki Ageng Tunggul hingga orang ini mencelat dan terjungkal di
tanah. Belum lagi dia sempat bangun, masih dalam keadaan merintih sambil
pegangi perutnya yang laksana pecah, tendangan Kunto Handoko mendarat di
kepalanya. Ki Ageng Tunggul terlempar ke kiri. Kepalanya serasa terbang
meninggalkan tubuhnya. Hidungnya yang tepat kena tendangan melesak patah dan
mengucurkan darah. Dari mulutnya terdengar suara lolong kesakitan. Rah Gludak
tak mau ketinggalan. Tendangannya mematahkan tiga buah tulang-tulang iga Ki
Ageng.
“Jangan….Ampuni
nyawaku. Kawan-kawan…..”
“Kami
bukan kawan-kawanmu manusia busuk! Pengkhianat keji! Penipu keparat!” teriak
Lor Paregreg. Tendangannya menghantam dada KI Ageng Tunggul hingga kembali
orang ini terlempar. Karena jatuhnya tepat di hadapan Supit Jagal, maka Ki
Ageng Tunggul jatuhkan dirinya seraya memohon. “Tolong….kau yang bisa
menolongku dari orang-orang ini….”
“Tolong….?
Baik, aku akan tolong,” kata Supit Jagal sambil menganggukangguk dan seringai
bermain di mulut. “Nah, ini pertolongan dariku!” Kaki kiri Supit Jagal melesat
mengeluarkan suara berdesing.
“Bukk!”
Tendangan
itu menghantam telak lambung kiri Ki Ageng Tunggul. Orang ini terpekik, mental
dan roboh tergelimpang di tanah. Baru saja jatuh bergedebukan begitu rupa, yang
lain ikut pula menendang. Begitu terus bergantian hingga akhirnya Ki Ageng
Tunggul menemui ajal dengan muka dan kepala hancur bergelimang darah. Tulang
belulangnya berpatahan!
Supit
Jagal berpaling pada adiknya. “Supit Ireng, untung kau muncul pada waktunya.
Kalau tidak ketiga muridmu pasti sudah kugebuk mati konyol!”
Supit
Ireng tertawa pendek. Dia hendak mengatakan sesuatu menjawab ucapan kakaknya
tadi. Namun tiba-tiba dia melihat ada serombongan orang muncul di depan sana.
“Lihat!” serunya memberi tahu seraya menunjuk.
Semua
orang berpaling pada arah yang ditunjuk. Saat itu di sebelah atas dinding batu
dan sepanjang pantai Teluk Burung muncul hampir seratur perajurit bersenjata
lengkap termasuk tombak dan tameng. Dari cara mengatur kedudukan jelas mereka
tengah melakukan pengurungan.
“Ada
keperluan apa monyet-monyet Kerajaan itu jual tampang di sini?!” ujar Supit
Jagal sementara Lor Paregreg dan dua kawannya tampak gelisah sedang Supit Ireng
tenang-tenang saja.
Baru
Supit Jagal berucap, tiba-tiba dari lamping dinding batu sebelah kiri terdengar
seruan keras.
“Lima
orang di depan goa lekas menyerah! Kalian sudah terkurung!”
“Itu
suara si keparat Brajaseta! Kepala Pasukan Kerajaan!: kata Lor Paregreg yang
mengenali suara orang.
Rahang
Supit Ireng menggembung. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala begitu
ingat bahwa Kepala Pasukan Kerajaan itulah yang tempo hari memenjarakan dan
menyiksa ketiga muridnya. Dia mendongak dan berteriak.
“Brajaseta!
Kalau kau punya nyali turun ke bawah sini! Jangan jual lagak dari jauh!”
Supit
Ireng tutup teriakannya dengan menghantamkan tangan kanannya ke atas. Sesaat
kemudian terdengar suara menggelegar. Salah satu bagian dinding batu sebelah
atas hancur berantakan. Tiga orang perajurit jatuh bersama kuda tunggangan
mereka. Brajaseta yang diarah sudah dulu melompat selamatkan diri. Tubuhnya
jatuh ke bawah seperti bola tapi sampai di tanah kedua kakinya sampai lebih
dulu. Begitu berdiri dia berteriak memberi aba-aba menyerbu. Seorang tokoh
silat Istana berjuluk Si Kipas Besi ikut melompat turun sambil kebutkan kipas
saktinya. Terdengar suara menderu. Debu dan pasir pantai beterbangan menutupi
udara beberapa ketika.
Sewaktu
udara terang kembali maka kelihatan puluhan perajurit Kerajaan bergerak cepat
ke arah sasaran yaitu lima orang di depan goa. Di depan sekali berjejer lima
orang Perwira Tinggi. Penyerangan dipimpin langsung oleh Brajaseta dan Si Kipas
Besi.
Melihat
muduh begitu banyak mulai mendekati untuk menggempur dua bersaudara Supit Jagal
dan Supit Ireng masih tenang-tenang saja, malah kelihatan mereka tertawa-tawa.
Pada
jarak sepuluh langkah Brajaseta kembali berseru. “Kalian sudah terkurung! Tidak
mungkin meloloskan diri! Lekas menyerah kalau sayang nyawa!”
Supit
Jagal dan Supit Ireng tertawa bergelak. “Menyerah? Siapa yang sayang nyawa?!”
teriak Supit Ireng. Matanya yang cuma satu mulai merah tanda kemarahan mulai
menguasai dirinya. “Bangsat bernama Brajaseta! Dengar baik-baik ucapanku! Kau
telah memenjarakan dan menyiksa tiga orang muridku ini! Apa yang telah kau
lakukan harir ini bakal kau terima balasannya berikut bunganya! Dan kau juga
Kipas Besi! Berapa kau dibayar untuk menjadi cecunguk Istana?! Dosamu cukup
besar. Kau layak mampus saat ini juga!” Supit Ireng melompat ke arah Brajaseta.
Supit Jagal, Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak tak tinggal diam.
Keempatnya ikut menyongsong datangnya gempuran.
Pukulan-pukulan
sakti yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng memang luar biasa. Sekelompok
para perajrit yang menyerbu roboh mati bergelimpangan. Tiga orang Perwira
Tinggi yang secara nekad coba balas menghantam ikut jadi korban. Duanya lagi
jadi terkesiap kalau tak mau dikatakan leleh nyalinya. Brajaseta sendiri
diam-diam jadi tercekat. Dia sama sekali tidak menyangka dua tokoh silat
golongan hitam itu demikian hebat kepandaiannya. Amukan kedua orang itu tak
bisa dibiarkan begitu saja. Brajaseta melompat ke hadapan Supti Jagal dan Supit
Ireng yang saat itu tengah mengeroyok Si Kipas Besi. Namun gerakannya dihadang
oleh Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak.
“Keparat!
Biar kalian kubunuh lebih dulu!” bentak Brajaseta. Baru saja dia membentak
begitu tiba-tiba dia mendengar seruan Si Kipas Besi. Brajaseta berusaha melirik
dan sempat melihat bagaimana dua bersaudara Supit berhasil merampas kipas besi
di tangan tokoh silat Istana. Lalu dengan senjata itu Supit Ireng mengepruk
batok kepala Si Kipas Besi. Tokoh silat ini meraung keras dan roboh ke tanah
tanpa nyawa lagi!
Brajaseta
merasa seperti berada di neraka. Dia cabut pedangnya setelah terlebih dahulu
melancarkan satu pukulan tangan kosong keras ke arah tiga pengurungnya. Namun
gerakannya terlalu lamban akibat pengaruh menyaksikan kematian Si Kipas Besi
tadi. Golok di tangan Lor Paregreg menyambar bahu kanannya lebih cepat. Darah
muncrat, pedang yang digenggamnya terlepas jatuh. Bersamaan dengan itu Supit
Ireng sudah melompat ke hadapannya dengan tangan terpentang siap untuk
menghantam.
“Saatnya
kau membayar hutang berikut bunganya Brajaseta!” teriak Supit Ireng.
“Guru!”
seru Lor Paregreg. “Sebagai murid tertua biar aku yang menabas batang leher
manusia satu itu!”
Supti
Ireng menyeringai. “Tentu! Kau dan dua muridku lainnya bakal dapat bagian. Beri
aku kesempatan hanya untuk mencungkil salah satu matanya agar tampangnya
mirip-mirip aku!” Supit Ireng tertawa mengekeh. Tubuhnya berkelebat. Dua jari
tangan kirinya membeset ke depan, ke arah mata kiri Brajaseta sedang tangan
kanan dipentang ke depan untuk menjaga kalau-kalau Kepala Pasukan Kerajaan itu
mengirimkan serangan atau berusaha menangkis. Brajaseta sendiri saat itu boleh
dikatakan tidak berdaya. Darahnya terlalu banyak keluar dari luka besar di
bahunya. Dia masih berusaha untuk merundukkan kepala menghindar cungkilan dua
jari tangan Supit Ireng. Tapi itupun tidak ada artinya. Karena seperti kepala
ular, dua jari tangan Supti Ireng bergerak mengikuti gerakan kepala Brajaseta.
Di saat
menegangkan itu terjadilah hal yang luar biasa. Seolah-olah muncul dari dasar
laut terdengar suara menderu dahsyat dan aneh. Teluk Burung laksana dilanda
topan prahara. Pasir pantai beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Deru
ombak tertindih lenyap. Belasan perajurit yang tidak mampu bertahan jatuh
terduduk behkan banyak yang berpelantingan. Dua orang Perwira Tinggi Kerajaan
coba bertahan tapi keduanya akhirnya jatuh berlutut. Supit Ireng dan Supit
Jagal berdiri tergontai-gontai. Saat itu suara menderu tadi semakin jelas.
Laksana suara ratusan tawon mengamuk dan kini malah disertai hamparan hawa
panas.
Supti
Jagal cepat melompat menjauh dan bersandar ke dinding batu. Sebaliknya Supit
Ireng yang sudah siap mencungkil mata kiri Brajaseta dengan nekad meneruskan
serangannya.
Satu
cahaya menyilaukan beriblat.
“Craass!”
Supit
Ireng menjerit setingi langit. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan! Darah
mengucur deras. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi panas. Dia menjerit
sekali lagi lalu jatuh terduduk di atas pasir!
Seorang
pemuda berambut gondrong, mengenakan baju putih tak terkancing tegak di
tengah-tengah kalangan pertempuran. Di dadanya kelihatan rajahan angka 212.
Tangan kirinya berkacak pinggang sedang tangan kanan memegang sebilah kapak
bermata dua yang kelihatan merah oleh darah Supit Ireng.
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede memandang berkeliling.
Pandangannya sesaat melekat pada Supit Ireng dan Supit Jagal. “Siapa di antara
kalian bernama Supit Jagal?!” Murid sinto Gendeng ini ajukan pertanyaan. Baik
Supit jagal maupun Supit Ireng sama sekali tidak mengetahui siapa adanya pemuda
ini. Sebaliknya Brajaseta walaupun barusan telah diselamatkan nyawanya oleh
Wiro namun masih mendekam dendam kesumat. Karena ulah Pendekar 212lah beberapa
waktu lalu seorang tokoh silat bergelar Malaikat Tak Bernama beserta Jakaeulung
muridnya berhasil meloloskan diri dari sergapan Pasukan Kerajaan. Dalam pada
itu yang paling membuat Kepala Pasukan Kerajaan ini menjadi sangat sakit hati
ialah Wiro pula yang menyebabkan Ning Larasati, puteri Sultan yang dicintainya
sempat menghilang lalu ikut bersama Jakawulung dan menjalin cinta dengan
pendekar muda ini!
Supit
Jagal batuk-batuk beberapa kali. Dia menyeringai memandang pada Pendekar 212
dan berkata. “Kacungku jelek! Ada apa kau mencari majikanmu ini? Aku Supit
Jagal orang yang kau cari!”
Pendekar
212 balas menyeringai. “Jadi begini tampang manusia bernama Supit Jagal.
Tadinya kukira masih muda dan ganteng, Tidak tahunya mirip-mirip kodok bengkak
bermata sipit! Pakaianmu bagus amat banyak tambalan. Dekil dan bau. Paling
tidak kau tak pernah mandi selama dua tahun! Betul?”
Tampang
hitam Supit Jagal jadi berubah merah. Sebaliknya murid Sinto Gendeng tertawa
gelak-gelak.
“Bangsat
bosan hidup! Katakan apa keperluanmu mencariku?! Atau kau ingin mati saat ini
juga?!” hardik Supit Jagal.
“Aku
mewakili seorang tua bernama Empu Pamenang dari Danau Merak Biru. Kau telah
membunuh tiga orang muridnya tanpa sebab dan secara keji!”
“Hemm….begitu?
jadi kau kacung Empu Pamenang rupanya. Berapa upah yang diberikan tua bangka
itu padamu? Jika kau mau jadi kacungku, aku bersedia membayar dua kali lipat!”
Wiro
menyengir. “Membeli baju yang bagus saja kau tidak punya. Mau membayar aku
pula! Tua bangka keblinger!” ejek Wiro.
“Keparat
haram jadah! Si Pamenang itu nyatanya tidak punya nyali untuk datang sendiri!”
“Orang
tua itu telah memilih hidup suci. Tak mau lagi mengotori tangannya dengan darah
dan nyawa. Baliau punya pntangan membunuh. Itu sebabnya aku datang mewakili
beliau!”
Supit
Jagal menyeringai. “Dusta kentut busuk!” makinya.
Saat itu
tiba-tiba terdengar suara jeritan Brajaseta. Tubuhnya jatuh menelungkup ke
tanah. Di punggungnya menancap sebilah golok yang menghujam menembus sempai ke
dadanya. Begitu jatuh Kepala Pasukan Kerajaan ini langsung tewas. Apa yang
telah terjadi?!
Selagi
perhatian semua orang tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal, kesempatan
licik ini tidak disia-siakan oleh Lor Paregreg. Dengan licik, dari belakng dia
menusukkan goloknya ke punggung Kepala Pasukan Kerajaan itu!
Meskipun
sebenarnya tidak begitu senang terhadap Brajaseta, namun melihat kematian orang
mengenaskan begitu rupa Pendekar 212 Wiro Sableng melompat sambil menyergap Lor
Paregreg dengan satu tabasan. Kapak Naga Geni 212 berkiblat menyambar batok
kepala Lor Paregreg. Namun saat itu pula dari samping kiri kana dua pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi menyerangnya dalam waktu yang bersamaan.
Wiro
bersuit keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Kini yang terlihat hanya kilauan
cahaya senjata mustikanya disertai deru keras dan tebaran hawa panas. Melihat
guru mereka sudah mulai menyerang, Lor Paregreg, Rah Gludak dan Kunto Handoko
tidak tinggal diam. Mereka ikut menyerbu mengeroyok Wiro. Murid Sinto Gendeng
kini jadi dikeroyok lima orang. Mereka memiliki kepandaian tinggi namun yang
paling berbahaya adalah Supit Jagal dan Supit Ireng.
Sisa-sisa
pasukan Kerajaan begitu menyaksikan kematian pimpinan mereka serta merta jadi
putus nyali. Di bawah pimpinan dua orang Perwira Tinggi mereka segera
bersiap-siap meninggalkan tempat itu dengan membawa mayat Brajaseta yang masih
ditancap golok!
Sementara
itu di atas dinding batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan apa yang
terjadi di bawah sana. Mereka adalah Empu Pamenang, Jakawulung dan Ning
Larasati. Sang Empu sengaja datang untuk menyaksikan sendiri kematian musuh
besarnya Supit Jagal.
“Empu,
kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus segera turun tangan membantu sahabat
Wiro.”
Empu
Pamenang mengusap dagunya dan menjawab penuh keyakinan. “Tidak perlu Jaka.
Pendekar 212 bukan manusia sembarangan. Jika Kapak Naga Geni berada dalam
genggamannya, tidak ada musuh yang tidak dapat dimusnahkannya!”
“Tapi
satu lawan lima benar-benar perkelahian yang idak adil! Saya kawatir para
pengeroyok berlaku curang!” kata Ning Larasati puteri Sultan yang jatuh cinta
pada Jakawulung.
“Larasati
betul sekali Empu. Biar saya membantu Wiro!” kata Jakawulung. Ketika dia hendak
melompat ke bawah Empu Pamenang memegang bahunya. “Lihat apa yang terjadi di
bawah sana Jaka!”
Jakawulung
dan Ning Larasati sama memandang ke bawah dinding batu. Saat itu tampak dua
dari lima pengeroyok roboh bersimbah darah dimakan Kapak Naga Geni 212. Mereka
adalah Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Dua jurus
kemudian terdengar jeritan Supit Ireng. Darah menyembur dari luka di lehernya
yang kena dibabat Kapak Naga Geni 212 hampir putus. Tubuhnya terbanting ke
pasir. Menggeliat sedikit lalu diam tak berkutik lagi. Supit Jagal meraung
menyaksikan apa yang terjadi dengan adiknya itu dan menyangka Supit Ireng telah
tewas. Amarah membuat dia mengamuk seperti setan.
Pukulan-pukulan
sakti mengandung enaga dalam tinggi dilepaskan tiada henti ke arah Wiro. Lor
Paregreg, satu-satunya kawan yang masih mendampinginya saat itu berkelahi
dengan setengah hati karena nyalinya sudah leleh. Manusia satu ini melolong
kesakitan dan lari meninggalkan kalangan perempuran ketika senjata di tangan
Wio membabat tangan kirinya sebatas bahu hingga buntung. Wiro tidak perdulikan
orang itu karena yang ingin dibereskannya saat itu adalah Supit Jagal.
Sebaliknya begitu Lor Paregreg melarikan diri, Ning Larasati yang punya dendam
luar biasa terhadap lelaki ini. Dulu hampir saja dia jadi korban perkosaan Lor
Paregreg. Larasati segera mengejar setelah lebih dulu menyambar pedang milik
Jakawulung dari sarungnya.
“Manusia
iblis! Kau mau lari kemana?!” bentak Ning Larasati.
Melihat
si gadis menghadang dengan pedang di tanagn, Lor Paregreg berteriak ketakutan.
“Jangan….jangan bunuh! Ampuni diriku….”
Pedang di
tangan Ning Larasati berkelebat menabas ke arah perut Lor Paregreg. Lelaki ini
melolong kesakitan, jatuh terduduk sambil pegangi perutnya yang robek besar.
Ususnya menyembul keluar. Tubuhnya menggigil melihat isi perutnya sendiri yang
berbusaian. Antara sadar dan tiada tubuhnya jatuh ke tanah. Pedang di tangan
Larasati berkelebat sekali lagi. Kali ini menetak lehernya hingga nyaris putus!
Sehabis
membunuh Lor Paregreg, Ning Larasati merasakan sekujur tubuhnya mnggigil
dingin. Seumur hidup baru sekali ini dia membunuh yang namanya manusia. Untung
Jakawulung da Empu Pamenang muncul di tempat itu dan menolongnya. Kalau tidak niscaya
gadis ini akan terhantar pingsan di tanah.
Perkelahian
antara Supit Jagal dan Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan seru. Namun kakek
bermata sipit itu mana sanggup menahan hantaman-hantaman Kapak Naga Geni 212.
Setelah bertahan mati-matian selama sembilan jurus akhirnya satu tendangan yang
dilepaskan Wiro secara tidak terduga membuat dirinya mencelat mental. Malang
baginya tubuhnya jatuh tepat di depan Empu Pamenang. Tanpa pikir panjang orang
tua ini kirimkan pula tendangan ke punggung Supit Jagal. Untuk kedua kalinya
tubuh Supit Jagal mencelat, kembali melayang ke arah Wiro.Seperti sebuah bola,
tubuh melayang itu disambut oleh murid Sinto Gendeng dengan tendangan kaki
kanan.
“Bukkk!”
Sosok
Supit Jagal mencelat ke arah laut amblas ditelan ombak. Sesaat kelihatan kedua
tangannya menggapai-gapai udara kosong. Kakek jahat ini akhirnya lenyap dari
pemandangan.
Empu
Pamenang pejamkan kedua matanya. Terbayang murid-muridnya yang telah menemui
ajal dibunuh oleh Supit Jagal. Dalam hati orang tua ini berkata. “
Murid-muridku pembunuh kailan sudah menemui ajal. Sekarang kuharap kalian semua
bisa beristirahat dengan tenang di alam baka….”
Ketika
membuka mata kembali pandangan Empu Pamenang tertuju pada Wiro. Dia melangkah
mendekati pemuda ini. “Pendekar 212. Aku sangat berterima kasih atas semua
bantuanmu….”
Wiro
hanya tersenyum dan garuk-garuk kepala. “Tolong menolong dalam dunia persilatan
sudah lumrah Empu. Lagi pula apa yang saya lakukan bukan sesuatu yang patut
dibesar-besarkan…. Kalau boleh saya mohon diri sekarang. Saya ingin melanjutkan
perjalanan.”
Empu
Pamenang menarik nafas panjang lalu perlahan-lahan menganggukkan kepalanya.
Ning Larasati mendekati seorang Perwira Tinggi yang tengah bersiapsiap membawa
jenazah Brajaseta. “Jika kalian kembali ke Kotaraj, beritahu Sultan bahwa aku
telah diambil murid oleh Empu Pamenang di Danau Merak Biru. Katakan agar ayahanda
tidak usah kawatir. Jika aku sudah mewarisi ilmu kepandaian pasti aku akan
kembali ke Istana.”
Perwira
Tinggi itu tak bisa menjawab apa-apa hanya menjura dalam-dalam lalu tinggalkan
tempat itu.
Empu
Pamenang memandang pada Jakawulung dan Ning Larasati. Dia lalu celingukan ke
kiri dan ke kanan. “Eh, kemana lenyapnya pemuda itu?!”
Jakawulung
dan Ning Larasati baru sadar. Memandang berkeliling Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu. Sang Empu geleng-gelengkan
kepala. Dia memegang lengan sepasang muda mudi itu lalu mengajaknya pergi dari
situ.
Belasan
mayat bertebaran di tepi pantai Teluk Burung. Deburan ombak dan tiupan angin
terdengar aneh seolah menambah keangkeran keadaan tempat itu. Tibatiba
kesunyian itu dirobek oleh suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian muncullah
seorang penunggang kuda berpakaian biru. Di bawah blangkon yang terletak di
atas kepalanya kelihatan tampangnya yang seram. Astaga! Manusia ini memiliki
wajah yang sangat sama dengan KI Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul.
Keparat yang satu itu mayatnya masih terkapar di antara tebaran mayat-mayat
lainnya. Bahkan orang ini juga memiliki cacat bekas luka di pipi kirinya!
Kulitnya sama hitamnya dengan Ki Ageng Tungul. Aneh, bagaimana ada dua manusia
begini mirip satu sama lain?
Orang ini
hentikan kudanya di antara tebaran mayat. Dia memandang berkeliling. Dia tidak
melihat sosok tubuh yang dicarinya. “Tunggul….?!” desisinya. Untuk memastikan
dia turun dari kuda. Satu demi satu ditelitinya mayat-mayat yang berkaparan
itu. Dari mulutnya kemudian terdengar suara meraung sewaktu dia menemukan mayat
Ki Ageng Tunggul terkapar di tanah, terhimpit oleh sosok mayat seorang
perajurit Kerajaan. Orang ini tendang mayat perajurit itu lalu jatuhkan diri
sambil merangkul mayat Ki Ageng Tunggul. “Adikku, mari kita tinggalkan tempat
ini. Aku akan menguburkan dirimu. Istirahatlah dengan tenang. Kalau
manusia-manusia yang membunuhmu masih hidup aku akan cari mereka sampai dapat!
Bahkan aku bersumpah akan membasmi semua orang yang ada sangkut pautnya dengan
mereka!”
Dengan
susah payah orang yang berwajah sangat mirip dengan Ki Ageng Tunggul ini
mendukung tubuh Ki Ageng Tunggul dan meletakkannya di atas kuda. Sesaat
kemudian dia segera tinggalkan tempat itu.
Bersamaan
dengan menggelincirnya sang surya menuju ke Barat, di permukaan laut Teluk
Burung tampak sesosok tubuh berusaha berenang dengan susah payah menuju ke tepi
pasir. Sekujur tubuhnya penuh luka, bengkak-bengkak bahkan tulang-tulang iga
serta tangannya ada yang patah. Dia berenang seperti tengah berenang dalam
neraka! Keadaannya hampir sekarat ketika dia akhirnya berhasil mencapai pasir
pantai lalu merangkak menjauhi ombak. Sungguh luar biasa! Manuisa ini bukan
lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang disangka sudah menemui ajal tenggelam
di dasar laut. Ternyata dia masih hidup dan berhasil menyelamatkan diri dengan
berenang ke tepi pantai.
Di bagian
lain dari pantai, di antara tebaran mayat yang berkaparan di sana sini,
lapat-lapat terdengar suara erangan. Lalu ada satu sosok tubuh yang bergelimang
darah tampak menggeliat dan mencoba bangkit. Manusia ini ternyata adalah Supit
Ireng yang disangka telah menemui ajal akibat bacokan Kapak Maut Naga Geni 212
pada bagian lehernya. Sungguh luar biasa dia masih bisa hidup walau sebagian
tubuhnya telah menjadi hangus! Samar-samar Supit Ireng melihat ada seseorang
yang merangkak di atas pasir. Begitu pandangannya agak menjelas dia segera
mengenali orang itu.
“Supit
Jagal…. Kau masih hidup…..?” Supit Ireng berusaha berdiri. Tapi kedua lututnya
goyah dan tubuhnya terbanting ke tanah, menggeletak pingsan!
*******************
SATU
Gubuk
reyot itu terletak tak jauh dari Teluk Burung. Ruangan di dalamnya terbuka
begitu saja, tak ada sekat tak ada dinding, apalagi yang disebut kamar. Sebuah
obor kecil tergantung di tiang bambu, menerangi dua sosok tubuh kakek-kakek
yang tergeletak di atas sebuah balai-balai kayu. Keadaan dua sosok tubuh ini
sangguh mengerikan. Kakek pertama buntung kuping kirinya. Mukanya hancur
mengerikan. Pakaiannya yang banyak tambalan kelihatan basah oleh air laut dan
darah. Beberapa tulang iganya patah. Tidak jelas apakah manusia ini masih hidup
atau sudah jadi mayat. Dia bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang diam
di sebuah goa di Teluk Burung.
Di
sebelah Supit Jagal menggeletak tubuh kakek kedua yaitu Supit Ireng. Kakek
bertubuh jangkung dan berkulit hitam ini kini hanya punya satu tangan yaitu
tangan kanan. Tangan kirinya buntung sebatas pergelangan akibat tebasan Kapak
Maut Naga Geni 212. Lengan yang buntung itu tampak menghitam hangus sampai ke
siku. Selain pakaiannya yang kuyup oleh darah, di lehernya kelihatan ada sebuah
luka terbuka mengerikan. Luka ini juga adalah akibat sambaran senjata mustika
Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti kakknya, saat itu tidka jelas apakah Supit
Ireng masih hidup atau sudah mati pula.
Pintu
gubuk tiba-tiba terbuka disertai suara berkereketan. Seorang tua melangkah
terbungkuk-bungkuk diiringi dua orang pemuda. Di depan balai-balai kayu, orang
tua ini berhenti lalu berpaling pada dua pemuda. “Ini dua orang yang
kuceritakan itu. Mereka kutemui di antara tebaran mayat di Teluk. Hanya mereka
yang masih hidup. Coba kalian periksa keadaannya.”
Dua orang
pemuda memperhatikan sosok-sosok manusia yang tergeletak di atas balai-balai
kayu itu dengan pandangan penuh ngeri.
“Mereka
sudah jadi mayat kek. Buat apa diperiksa lagi,” kata pemuda yang tegak tepat di
samping orang tua itu. Namanya Kudo Aru. Dia adalah cucu pertama dari si orang
tua yang disebutnya dengan panggilan kakek.
“Aku
tidak sependapat!” menjawab si kakek. “Aku yakin dua manusia ini masih hidup.
Mereka orang-orang sakti. Karena itu mereka sanggup bertahan hidup. Orang lain
pasti sudah tewas menemui ajal!”
“Kakek
Pungku,” giliran pemuda yang satu membuka mulut. “Sebenarnya mengapa kau mau
bersusah payah mengurusi dua orang ini? Sanak bukan saudara bukan! Biar saja
mereka tergeletak di Teluk sampai jadi tengkorak digerogoti elang laut pemakan
daging manusia!”
Si orang
tua bernama Pungku menghela nafas dalam. “Aku sudah menduga kau bakal berkata
begitu Sindak Bumi. Terus terang aku sudah lama kenal dengan yang sebelah kiri
ini. Dia tinggal di sebuah goa di teluk. Dia seorang sakti mandraguna.Kalau
tidak salah namanya Supit Jagal.”
“Kalau
dia orang sakti mengapa bisa babak belur seperti ini?” tanya Sindak Bumi.
“Aku
tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Namun keras degaanku dia telah
berkelahi melawan orang yang jauh lebih sakti. Karena kenal itu sebabnya aku
menolong. Kalaupun dia sudah mati apa salahnya aku mengurusi mayatnya. Kalian
hanya kuminta membantu…..”
“Lalu
kek, apa kau juga kenal dengan mayat yang satu ini?” bertanya Kudo Aru.
“Kalau
tidak salah, dia adalah adik dari yang satu ini. Dia juga bukan manusia
sembarangan. Tapi kalah perkasa dengan lawannya. Lihat saja tangannya dibikin
buntung. Lehernya terluka dalam….”
“Kek,
kedua orang ini sudah mati. Lebih baik mereka diseret keluar lalu dibuang ke
jurang!” kata Sindak Bumi pula yang tidak mau repot.
“Aku
setuju dengan Sindak! Kata Kudo Aru menyambuti.
Kakek
Pungku diam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Jika itu mau kalian apa boelh buat.”
Orang tua ini mengambil obor kecil yang tergantung di dinding lalu berpaling
pada kedua cucunya. “Seperti mau kalian, ayo seret satu-satu mayat itu lalu
kita buang ke jurang malam ini juga.”
“Kek,
Kakek….” kata Sindak Bumi. “Kau ini ada-ada saja. Saya tahu kau ingin berbuat
baik. Tapi mengapa harus menyengsarakan diri sendiri?” Sindak berpaling pada
Kudo Aru lel keduanya melangkah mendekati sosok tubuh di atas balai-balai kayu
yang di sebelah kanan. Sosok Supit Ireng. Masing-masing mereka sudah siap unuk
mencekal kaki Supit Ireng dan menyeretnya ke luar gubuk, terus dibawa ke jurang
yang tak berapa jauh dari sana. Namun belum sempat kedua pemuda ini memegang
pergelangan kaki Supit Ireng tiba-tiba menerobos masuk satu bayangan yang
mengeluarkan suara deru angin.
“Hai!
Siapa ini?!” seru kakek Pungku.
Orang
yang masuk ternyata adalah seorang tua berambut putih yang disisir rapi dan
berwajah klimis. Dia mengenakan baju hitam yang di bagian dadanya ada lukisan
telapak tangan berkuku panjang dalam warna putih. Ketika Pungku dan dua cucunya
memperhatikan sepasang jarinya yang memiliki kuku-kuku sangat panjang.
“Orang
berambut putih,kau belum menjawab pertanyaanku. Harap jelaskan siapa dirimu dan
apa keperluanmu datang ke mari,” berucap Pungku.
“Siapa
aku apa perdulimu. Aku ada urusan dengan dua orang ini. Aku mau memeriksa dan
menanyai!”
“Eh, kau
tentu tidak gila mau menanyai orang yang sudah mati!” ujar Sindak Bumi.
“Sudah!
Jangan banyak mulut. Menjauh ke dinding sana! Lihat saja apa yang aku lakukan.
Berani membuka mulut aku kepruk mulut kalian!” Lalu orang berkuku panjang itu
melangkah ke arah balai-balai kayu.
“Hai! Kau
tidak bisa berbuat sesukamu di gubukku!” seru orang tua bungkuk bernama
Pungku.seraya menghalangi langkah orang.
Paras
orang berpakaian hitam itu tampak berubah menyeramkan. “Jangan buat aku marah!
Atau kau ingin kubuat seperti ini?!” Kakek berambut putih ini pentang tangan
kanannya. Tiba-tiba tangan itu berkelebat ke arah dinding papan. Terdenga suara
seperti orang menggergaji! Ketika Pungku dan dua cucunya memandang ke dinding,
wajah ketiganya jadi pucat. Dinding kayu itu kelihatan berlubang dalam
berbentuk guratan panjang! Orang tua ini menyeringai. “Apa kalian masih mau
bicara rewel denganku?!”
“Maafkan
kami,” kata Sindak Bumi cepat-cepat.”Kami tidak tahu kalau berhadapan dengan
orang pandai. Kami memang tidak berkepentingan dengan dua mayat itu. Kau mau
mengapakannya silahkan saja. Kami menunggu di luar…..”
“Tak usah
pakai keluar segala. Kalian boleh lihat sendiri apa yang bakal aku lakukan!”
Orang tua
berambut putih rapi dan berwajah klimis itu melangkah mendekati tubuh Supit
Ireng yang tergeletak di atas balai-balai kayu sebelah kanan. Dia memperhatikan
keadaan orang ini beberapa lama. Tiba-tiba bret….bret! Dia merobek baju yang
dikenakan Supit Ireng hingga dadanya terpentang lebar. Dengan hati-hati orang
ini kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Supit Ireng. Lalu
dia mulai mengerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. Wajahnya yang klimis
tampak menjadi kemerahan. Tubuh dan terutama kedua tangannya kelihatan
bergetar. Keringat memrcik di keningnya.
Kaki
kanan Supit Ireng tampak bergerak. Menyusul kaki kirinya. Perlahanlahan kedua
matanya terbuka. Merah mengerikan. Tiba-tiba tubuh Supit Ireng bergerak bangkit
seperti mau duduk. Kakek Pungku dan dua cucunya tersirap ngeri dan mundur ke
dinding gubuk. Tapi Supit Ireng hanya tertegak sesaat lalu tubuhnya jatuh lagi
terbanting ke balai-balai kayu. Kedua matanya terpejam kembali. Dia pingsan
lagi!
Kakek
berambut putih geleng-gelengkan kepala. Sambil menarik nafas panjang dia
lepaskan kedua tangannya dari dada Supit Ireng. “Keadaannya parah sekali……”
kata orang tua ini dalam hati. “Lika di lengan dan di lehernya yang jadi
penyebab. Orang lain mungkin sudah menemui ajal. Benda apa yang telah
menghantamnya sampai keadaannya parah seperti ini?”
Dia
melirik pada sosok Supit Jagal. “Kalau yang satu inipun tidak bisa kubuat
sadar, sia-sia saja aku datang jauh-jauh ke sini….!” Lalu orang tua ini
berpindah ke samping kiri balai-balai. Seperti tadi, kali ini dia juga merobnek
baju yang dikenakan Supit Jagal. Dia menyeka keningnya yang basah keringatan
lalu kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada Supit Jagal. Perlahan-lahan
dia mengeluarkan tenaga dalamnya menghangati peredaran darah dan sekujur tubuh
Supit Jagal. Hatinya mulai cemas setelah menunggu beberapa saat tidak tampak
tanda-tanda Supit Jagal akan siuman dari pingsannya.
“Celaka!”
keluh orang tua berambut putih itu. Digesernya sedikit telapak tangan kanannya
hinnga kini tepat berada di arah jantung Supit Jagal. Lalu dia mulai
mengerahkan lagi tenaga dalamnya dengan segala daya yang dimilikinya.
Tiba-tiba
terdengar suara erangan halus. Yang mengerang adalah Supit Jagal. Si orang tua
kerahkan seluruh sisa tenaganya. Suara erangan itu semakin keras dan jelas.
“Air….air?”
“Ambilkan
air! Cepat!” perintah orang tua rambut putih pada Pungku. Pungku memberi
isyarat pada salah satu cucunya. Kudo Aru keluar dari dalam gubuk. Tak lama
kemudian dia muncul lagi membawa air dalam mengkok tanah yang pecah salah satu
pinggirannya. Air dalam mangkok tanah itu dikucurkan ke mulut Supit Jagal.
Orang tua
berambut putih salurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya lalu dia lepaskan
tempelan dua telapak tangannya dan tertegak dengan nafas memburu. Di atas
balai-balai kayu Supit Jagal tampak telah membuka mata. Pandangannya mengerikan
apalagi mukanya sendiri saat itu hancur babak belur.
“Tol…..tolong.
Di mana aku….” Supit Jagal berucap di antara erangannya.
Melihat
hal ini si orang tua segera letakkan tangan kanannya di atas kening Supit
Jagal. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa panas,
kini dia ganti dengan tenaga dalam yang memancarkan hawa sejuk. Supit Jagal
merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya berkurang sedikit. Pemandangannya
lebuh jelas tapi tetap saja dia tidak mengenali orang tua yang tegak di
sampingnya.
“Kau
siapa…. DI mana aku saat ini?” tanyanya. Suaranya lebih keras dan lebih jelas.
“Siapa
aku tidak penting. Paling penting adalah menyelamatkan nyawamu saat inijuga.
Kau masinh ingin hidup…..?”
“Aku…..”
Supit Jagal merasakan lehernya seperti tercekik. Orang tua tadi cepat-cepat
kerahkan lagi tanaga dalam yang mengandung hawa sejuk.
“Dengar…..”
Si orang tua kini berlutut di samping balai-balai kayu. Mulutnya didekatkan ke
telinga kanan Supit Jagal. “Aku akan menyelamatkan nyawamu. Juga saudaramu.
Tapi dengan satu perjanjian! Dengan satu syarat!”
“Keparat…..”
terdengar serapah Supit Jagal. “Kau menolong karena mengharapkan sesuatu!
Bangsat!”
Orang tua
tak dikenal berambut putih itu menyeringai. “Jaman sekarang mana ada
pertolongan diberikan Cuma-Cuma. Apalagi pertolongan menyangkut nyawa!”
“Apa yang
kau harapkan dariku?” tanya Supit Jagal.
“Aku
yakin kau mengetahui di mana bekas sobatmu Tunggul Bayana alias Ki Ageng
Tunggul menyembunyikan empat buah peti berisi uang dan harta perhiasan itu!”
“Setan
alas! Jadi itu yang ingin kau ketahui…..” kembali Supit Jagal merutuk. “Kau
tanyakan saja pada setan dan dedemit!”
“Kau
lebih sayang uang dan harta dari pada nyawamu sendiri dan nyawa saudaramu!”
“Aku
tidak perlu pertolongan manusia macam kau! Aku lebih suka mampus dari pada
memberi tahu!”
“Bagus
sekali kalau begitu!” kata si orang tua lalu berdiri. “Selamat mampus!
Sampaikan salamku pada iblis-iblis akhirat!” Lalu dia membalik dan melangkah
cepat menuju pintu.
“Tunggu!”
Supit Jagal memanggil.
Orang tau
itu berhenti di ambang pintu dan membalik. Lalu bertanya “kau belum pasrah
untuk mampus?!”
“Aku mau
membuat perjanjian denganmu. Tapi jangan serakah!”
Si orang
tua mendekati balai-balai kayu. “Apa perjanjianmu?” tanyanya.
“Kau
selamatkan nyawaku dan nyawa saudaraku. Empat peti itu kita bagi dua. Kau dapat
dua, aku dapat dua….”
Orang tua
itu tampak seperti berpikir-pikir. Sesaat kemudian dia berkata. “Baik. Aku
setuju. Sekarang lekas katakan di mana beradanya empat peti itu!”
“Sabar
dulu. Bagaimana aku tahu kau tidak akan menipuku?” tenya Supit Jagal pula.
Si orang
tua tersenyum. “Kalau kau memang tidak percaya, buat apa mengadakan
perjanjian?!” tukasnya. Dia seperti hendak bergerak pergi.
Supit
Jagal masih diam beberapa ketika. Akhirnya dia berkata. “Mendekatlah, aku akan
beritahu….”
Si orang
tua mendekat. Seperti tadi dia berlutut di samping balai-balai kayu dimana
Supit Jagal tergeletak menelentang.
“Empat
peti berharga itu ditanam di….”
Belum
sempat Supit Jagal menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba di dalam gubuk melesat
satu sosok tubuh. Sambil melesat ke dalam dia melepaskan satu pukulan jarak
jauh yang ampuh. Orang tua yang sedang berlutut di samping balaibalai kayu
berseru kaget. Tubuhnya terpental begitu angin pukulan menghantamnya!
“Penyerang
gelap kurang ajar! Siapa kau!” teriak orang tua berambut putih sambil pegangi
dadanya yang masih berdenyut sakit.
Terdengar
suara tawa mengekeh.
*******************
DUA
Di tengah
gubuk, di ujung kanan balai-balai kayu kini tampak berdiri seorang lelaki muda
bertubuh tinggi tegap. Rambutnya sangat hitam, keningnya menonjol sedang dagu
dan rahangnya tampak kukuh. Walaupun parasnya gagah tapi jelas membayangkan
sifat sombong angkuh dan kecongkakan. Sehelai ikat kepala warna merah melintang
di atas keningnya. Dia mengenakan pakaian hitam atas bawah. Dengan adanya orang
ini di tempat itu, gubuk kecil itu jadi semakin sempit. Kini ada lima orangdi
situ, ditambah dengan Supit Jagal dan Supit Irang yang masih tergeletak di atas
balai-balai.
Kakek
Pungku yang memegang obor berbisik pada dua cucunya, bertanya kalau-kalau
mereka mengenali siapa adanya pemuda itu. Tapi Sindak Bumi dan Kudo Aru sama
menggelengkan kepala.
“Siapa
kau?!” bentak orang tua berambut putih dengan geram karena barusan telah
diserang secara mendadak.
Pemuda
yang ditanya mendongak lalu kembali keluarkan tawa mengekeh.
“Dunia
ini terlalu luas rupanya hingga kau tidak tahu siapa tuan besarmu ini!”
“Kurang
ajar! Jawab pertanyaanku, jangan bicara bertele-tele!”
“Orang
tua jelek bergelar Sepuluh Cakar Setan, apakah kau tidak mengenali gambar di
bajuku ini?!”
Orang tua
bermbut putih terkejut mendengar orang mengenali dan menyebut namanya. Namun
dia lebih terkejut lagi sewaktu melihat gambar yang terpampang di baju hitam
yang dikenakan si pemuda. Yaitu gambar Gunung Merapi berwarna kebiruan dengan
latar belakang sang surya berwarna merah lengkap dengan garisgaris cahaya juga
berwarna merah.
“Pangeran
Matahari!” seru si orang tua dengan wajah berubah. Siapa adanya orang di dunia
persilatan yang tidak kenal dengan Pangeran Matahari, tokoh silat sakti
madraguna yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal,
Segala Ilmu, Segala Licik dan Segala Congkak.
Pemuda di
tengah gubuk kembali tertawa. Kepalanya yang sejak tadi mendongak kini
diturunkan. Kedua matanya memandang lekat-lekat pada orang tua yang bergelar
Sepuluh Cakar Setan itu.
“Aku
menganggap kau tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini. Karenanya lekas
angkat kaki dari sini!” kata Pangeran Matahari dengan suara keras membentak.
“Siapa
bilang aku tidak punya kepentingan! Apa pula kepentinganmu berada di sini?!”
membentak Sepuluh Cakar Setan.
“Aku
datang untuk mengambil dua orang di atas balai-balai kayu iotu!” jawab Pangeran
Matahari. “Itu kepentingan pertama. Kepentingan kedua ialah membunuhmu jika kau
terlalu banyak tingkah di depan tuan besarmu ini!”
“Manusia
sombong! Namamu memang besar. Tapi apa kau kira aku takut padamu?!” hardik
Sepuluh Cakar Setan. Jari-jari tangannya tampak bergetar tanda diam-diam dia
telah bersiap-siap mengerahkan tenaga dalamnya.
Hal ini
bukan tidak diketahui oleh Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia menjawab.
“Soal takut atau tidak takut tidak menjadi masalah. Yang aku ingin tanya apakah
kau punya nyawa rangkap atau nyawa cadangan hingga berani-beranian menentang
tuan besarmu ini?!”
“Manusia
congkak! Ternyata kau juga punya maksud hendak merampas uang dan harta yang
tersembunyi itu! Kau tidak lebih dari seorang maling. Pencuri!”
“Lalu
apakah kau lebih baik dariku?!” bentak Pangeran Matahari. Pelipisnya tampak
bergerak-gerak sedang rahangnya menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai
kehilangan kesabarannya. “Dengar tua bangka buruk. Kau mau angkat kaki dari
sini atau ingin mampus dalam gubuk ini?!”
Sepuluh
Cakar Setan mendengus. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. “Kau akan
jadi mayat lebih dulu!” katanya. Dua tangannya yang bersilang bergerak ke
samping. Terdengar siuran angin. Sepuluh cahaya putih berkiblat. Sepuluh kuku
panjang tiba-tiba menyambar ke arah wajah Pangeran Matahari!
Pangeran
Matahari yang sudah cukup lama mendengar kehebatan Sepuluh Cakar Setan degnan
sigap melompat hindarkan serangan. Begitu berhasil berkelit dia bukannya balas
menyerang tapi tiba-tiba menyambar obor yang dipegang kakek Pungku. Sekali dia
meniup, obor kecil itupun padam. Gubuk serta merta berada dalam keadaan gelap
gulita. Lalu terdengar suara bergedebukan disusul seperti suara tulangtulang
berpatahan, dibarengi oleh suara pekik kakek rambut putih berjuluk Sepuluh
Cakar Setan. Tak lama kemudian menyusul suara jebolnya dinding gubuk di sebelah
belakang. Lalu sunyi.
Kakek
Pungku dan dua cucunya saat itu terpuruk di sudut gubuk setengah mati
ketakutan. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi karena keadaan dalam gubuk
sangat gelap. Setelah menunggu beberapa saat Sindak Bumi memberanikan berbisik.
“Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Melangkah hati-hati ke arah pintu….”
Perlahan-lahan
kakek dan dua cucunya itu bangkit berdiri. Dalam gelap mereka berusaha mencari
pintu. Kudo Aru menginjak sesuatu. Dia berbisik pada saudaranya. “Aku menginjak
sesuatu. Seperti bambu obor….”
“Ambil,
nyalakan cepat,” menyahuti Sindak Bumi.
Kudo Aru
lalu membungkuk. Benda yang diinjaknya itu memang ternyata obor yang rupanya
telah dicampakkan oleh Pangeran Matahari. Benda itu segera dinyalakannya.
Begitu keadaan gubuk menjadi terang, kakek dan dua cucunya itu sama-sama
melengak kaget.
Kakek
berambut putih bergelar Sepuluh Cakar Setan kelihatan tergelimpang di lantai
gubuk. Mukanya hancur. Sepuluh jari tangannya tampak patah-patah!
“Dia
sudah jadi mayat….” kata kakek Pungku.
Kudo Aru
mangangkat obornya lebih tinggi. Balai-balai di atas mana sebelumnya Supit
Jagal dan Supit Ireng tergeletak kini terbalik kosong melompong. Lalu di
sebelah sana, dinding gubuk tampak jenol.
“Orang
yang dipanggil dengan nama Pageran Matahari itu, pasti dia yang melarikan dua
sosok tubuh di atas balai-balai!” kata Sindak Bumi.
“Aku
kawatir akan terjadi lagi hal-hal yang mengerikan. Mari kita tinggalkan tempat
celaka ini!” kata Kudo Aru. Dia memandang pada kakeknya lalu berkata. “Ini
gara-garamu kek. Kalau kau tidak membawa dua orang tak dikenal itu ke sini,
tidak akan terjadi segala keanehan yang mengerikan ini!”
Kakek
Pungku diam saja. Dia mendahului melangkah ke luar gubuk yang nyaris porak
poranda itu.
Manusia
bermuka setan, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Bayana tegak di depan makam
adiknya. Saat itu matahari telah redup tanda sebentar lagi akan segera
tenggelam.
“Tunggul
sekarang kau bisa istirahat dengan tenang. Aku telah bersumpah untuk menuntut
balas kematianmu. Semua orang yang menjadi pangkal sebab kematianmu akan
menerima balasan!” Habis berkata begitu orang ini lalu mundur tiga langkah dari
hadapan kuburan. Mulutnya berkomat kamit sedang kedua tangannya diletakkan di
atas kepala. Sepasang matanya dipejamkan. Tiba-tiba terjadi hal yang aneh.
Sekujur tubuh itu bergetar keras dan dari mulutnya terdengar suara seperti
menggereng terus menerus.
“Eyang…..
di alam gaib. Aku mohon kehadiranmu. Aku butuh petunjuk….” orang ini berucap.
Sayup-sayup
terdengar suara seperti tiupan angin. Lalu laksana datang dari sebuah lobang
yang dalam dan bergema, terdengar suara jawaban.
“Aku
sudah ada di hadapanmu Tunggul, apa keperluanmu?!”
“Eyang,
aku mohon petunjuk. Dari mana aku harus memulai mencari para pembunuh adikku Ki
Ageng Tunggul Bayana….” Saat itu sekujur tubuhnya masih terus bergetar.
“Katakan
dulu apa tujuanmu?!” tanya suara yang orangnya tak kelihatan itu.
“Dengan
izinmu aku hendak menuntut balas kematian adikku, Eyang….”
“Bagus!
Kau memang saudara kembar yang baik. Petunjukku, kembalilah ke Teluk Burung.
Cari sebuah gubuk. Di sana kau akan menemukan jawabannya. Tapi kau harus
bertindak cepat. Aku kawatir ada orang lain yang bakal mendahuluimu.”
“Kalau
begitu aku pergi sekarang juga Eyang….”
“Baik,
kau boleh pergi. Tapi dengar dulu ucapanku. Kini kau yang mewakili rohnya di
atas dunia ini. Kau layak memakai nama yang menyerupai namanya….. Kau
bersedia?”
“Tentu
aku bersedia Eyang.”
“Mulai
saat ini namamu adalah Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tugasmu mengirim ke akhirat
orang-orang yang menjadi sebab kematian adikmu. Kau dengar dan mengerti?”
“Aku
dengar dan mengerti Eyang.”
“Bagus.
Satu hal aku ingatkan. Saat untuk memberikan tumbal hanya tinggal lima belas
hari saja. Jangan kau sampai lupa melaksanakannya.”
“Hal itu
tidak akan aku lupakan Eyang.”
“Aku
pergi sekarang!”
Orang itu
cepat menjura.
Terdengar
suara aingin bersiur. Untuk sesaat lamanya sekujur tubuh orang itu masih
bergetar. Lalu perlahan-lahan getaran itu berhenti. Dia buka kembali kedua
matanya dan turunkan kedua tangan yang diletakkan di atas kepala. Disekanya
keringat yang memercik di keningnya. Lalu dia melangkah ke tempat di mana dia
menambatkan kudanya. Binatang ini dipacunya ke arah Teluk Burung secepat yang
bisa dilakukannya sementara matahari mulai tenggelam dan malam akan segera
datang.
Karena
gubuk yang dikatakan suara gaib itu merupakan satu-satunya bangunan di Teluk
Burung, tidak sulit bagi Ki Ageng Tunggul Akhirat untuk menemukannya. Namun
seperti yang dikawatirkan oleh suara gaib, dia datang terlambat. Ketika dia
sampai di depan gubuk dilihatnya tiga orang tengah melangkah ke luar. Satu di
antaranya membawa obor. Ki Ageng Tunggul Akhirat melompat dari kudanya dan
menghadang.
“Berhenti!”
hardiknya yang membuat kakek Pungku dan dua cucunya menjadi terkejut dan kecut
begitu menyaksikan mengerikannya tampang manusia yang tibatiba muncul melompat
dari kudanya itu. “Kalian bertiga siapa?! Kulihat kalian barusan keluar dari
dalam gubuk!”
“Kau….kau
sendiri siapa?” Kudo Aru beranikan diri bertanya.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat langsung membentak marah. “Haram jadah! Ditanya malah bertanya.
Apa aku harus menggebuk dlu salah satu dari kalian sampai mampus dan baru
kalian memberi tahu?!”
Kakek
Pungku cepat berkata. “”Maafkan cucuku. Kami baru saja mengalami satu peristiwa
yang mengerikan. Sesuatu terjadi di dalam sana…..” Orang tua itu menunjuk ke
arah gubuk.
“Aku akan
memeriksa ke dalam gubuk itu. Kalian bertiga tetap di sini. Berani lari akan
kubunuh kalian semua!” Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat menyambar obor di tangan
Kudo Aru dan lari ke arah gubuk. Begitu masuk ke dalam gubuk yang salah satu
dindingnya sudah jebol itu, sesaat dia jadi tercekat. Di balik balai-balai kayu
dia menemukan sesosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat. Mukanya hancur tak
mungkin dikenali. Namun dari jari-jarinya yang panjang serta gambar telapak
tangan berkuku panjang di dada bajunya Ki Ageng Tunggul Akhirat dapat menduga
siapa adanya orang itu.
“Sepuluh
Cakar Setan. Siapa gerangan yang membunuhnya….?” Ki Ageng Tunggul Akhirat
membatin. Dia memandang seputar gubuk, akhirnya keluar dan menemui tiga orang
yang tetap berada di tempatnya, tak berani beranjak saking takutnya. “Ceritakan
apa yang terjadi di gubuk sana sebelumnya!” membentak Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Kakek
Pungku menerangkan walaupun dengan ucapan terputus-putus.
“Orang
yang dipanggil dengan nama Pangeran Matahari itu, apakah dia mengenakan pakaian
hitam, berikat kepala kain merah dan bertubuh tinggi kekar?”
Kakek
Pungku mengangguk. “Kalian tahu mengapa dia menginginkan dua orang yang berada
dalam keadaan pingsan itu?”
“Kami
tidak tahu,” jawab kakek Pungku.
“Juga
tidak tahu mengapa orang berjuluk Sepuluh Cakar Setan itu berusaha menolong
orang-orang pingsan?!”
“Kami
mendengar dia menanyakan sesuatu. Tapi tidak begitu jelas….” kata Sindak Bumi.
“Apa yang
ditanyakannya? Pada siapa?!”
“Pada
salah seorang yang pingsan. Dia berusaha membuatnya sadar lalu menanyakan
sesuatu. Kalau tidak salah menyangkut uang dan harta perhiasan….”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat tampak berubah dan tegang wajah setannya. “Apa dia mendapatkan
jawaban?!” tanyanya pada Sindak Bumi.
“Orang
yang pingsan hendak mengatakan sesuatu. Tapi terputus sewaktu Pangeran Matahari
menerobos masuk…..”
Ki Ageng
Tungul Akhirat terdiam.
“Kalau
tak ada pertanyaan lagi, izinkan kami pergi…..” kata Kudo Aru pula.
“Tunggu!
Kalian tahu kemana Pangeran Matahari membawa kedua orang yang diculiknya itu?!”
Kakek
Pungku dan dua cucunya menggeleng.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat memandang pada kakek Pungku yang membuat orang tua ini seperti
terbang nyawanya saking ngerinya. “Orang tua…. Tadi kau bilang kau menemukan
dua manusia yang masih hidup itu di antara tebaran mayat di pantai Teluk
Burung…..?”
“Betul…..
Tapi aku tidak tahu siapa mereka. Aku menolong karena meliohat hanya mereka
berdua yang masih hidup…..”
“Kalian
boleh pergi.” Kata Ki Ageng Tungul Akhirat pula. Lalu dia melompat ke punggung
kudanya, memacu binatang itu menuju Teluk Burung. Di pantai dia menunggu sampai
hari siang. Begitu paginya sang surya muncul dan pantai menjadi terang dia
memeriksa tebaran mayat yang malang melintang di tempat itu. Setelah memastikan
bahwa yang lenyap dari tempat itu adalah sosok tubuh Supit Jagal dan Supit
Ireng, Ki Ageng Tunggul Akhirat segera tinggalkan tempat itu. Sementara
burung-burung pemakan mayat mulai tampak terbang berputar-putar di atas teluk.
*******************
TIGA
Malam
gelap sekali. Langit hitam pekat tanpa bintang tanpa rembulan. Gerobak
itu
meluncur melewati jalan yang mendaki hingga akhirnya sampai di puncak sebuah
bukit terjal. Di bawah bukit terbentang sebuah jurang batu. Lapat-lapat dari
dasar jurang yang gelap terdengar suara aliran air tanda di situ terdapat
sebuah sungai. Orang yang menjadi sais gerobak hentikan kendaraannya di tepi
jurang. Wajahnya yang seram seperti setan menjadi pertanda bahwa dia bukan lain
adalah Ki Ageng Tunggul Akhirat, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Keparat yang
mati dibunuh Supit Jagal dan Supit Ireng.
Di tepi
jurang Ki Ageng Tunggul Akhirat sesaat tegak berdiam diri. Kedua matanya, yang
satu menyembul merah mengerikan memandang ke dalam jurang yang gelap hitam.
Lalu dia mendongak. Mulutnya komat kamit. Kedua tangannya di letakkan di atas
kepala. Tak lama kemudian tubuh itu mulai tampak bergetar. Dalam kesunyian
malam lalu terdenagr suara Ki Ageng Tunggul Akhirat.
“Eyang,
mohon kau segera muncul. Aku datang untuk melaksanakan perjanjian. Membawa
tumbal yang kau minta……”
Sunyi
sesaat. Suara Ki Ageng Tunggul seperti bergema, memantul dari dasar jurang.
Lalu ada suara siurang angin. Tak lama kemudian terdengar suara seolah keluar
dari dalam jurang dan bergaung angker.
“Aku
sudah berada di hadapanmu. Jika kau memang sudah membawa tumbal, lekas
laksanakan perjanjian!”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat menjura. Lalu dia memutar tubuh, melangkah ke arah gerobak.
Dari atas kendaraan ini dikeluarkannya sesosok tubuh perempuan muda dalam
keadaan hamil besar dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh itu
dipanggulnya dibawa ke tepi jurang.
“Eyang,
satu tubuh dua nyawa siap dijadikan tumbal!” berseru Ki Ageng Tunggul Akhirat.
“Apakah Eyang sudah siap emnerima?”
“Aku siap
menerima. Lemparkan tumbal itu ke dalam jurang!”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat pegang tubuh perempuan hamil pada bagian pinggang dan lehernya.
Ketika dia hendak melemparkan sosok tubuh itu ke dalam jurang yang gelap,
tiba-tiba dari kiri kanan terdengar bentakan-bentakan keras.
“Manusia
keparat! Kali ini kami menangkap basah kamu!”
“Turunkan
tubuh perempuan itu ke tanah! Kalau tidak kutabas batang lehermu!” Sebuah benda
tajam tiba-tiba menempel dingin di tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Bentakan
ketiga menyusul. “Nyawa anjingmu tidak tertolong lagi! Bebaskan perempuan hamil
itu! Letakkan perlahan-lahan di tanah!”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat memandang ke bawah. Sebuah celurit besar menempel di lambungnya.
Sekujur tubuhnya yang gemeteran langsung tertegun kaku. Mulutnya berkomat
kamit, siap untuk memanggil sang Eyang. Tapi makhluk gaib itu telah lenayp
bersamaan dengan putusnya getaran di tubuh Ki Ageng Tunggul.
“Kalian
siapa?! Mengapa mencampuri urusanku?!” Ki Ageng Tunggul Akhirat membentak.
Rupanya dia memang bukan jenis manusia penakut.
“Aku
Jelamat Kuru Seta, dari Kotaraja mewakili Kerajaan!” Orang yang menekankan
golok ke tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat menjawab.
“Aku
Tubagus Gamyang, berjuluk Clurit Hantu dari Barat!” Orang kedua perkenalkan
diri. Dialah yang menyorongkan clurit besar ke perut Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Orang
ketiga menyusul membuka mulut. Aku Gambir Seloka dari Timur. Kami bertiga
mewakili orang-orang persilatan untuk menamatkan riwayatmu! Menamatkan
pekerjaan iblismu!”
“Jika
kalian orang-orang persilatan mengapa kalian mengeroyok kawan sendiri?!” tukas
Ki Ageng Tunggul Akhirat.
“Cis!
Siapa menganggapmu sebagai kawan! Pekerjaanmu terkutuk sepanjang usiamu! Kau
mengandalkan ilmu hitam dengan mengorbankan perempuan hamil sebagai tumbal! Kau
tidak beda dengan binatang berhati iblis! Budak ilmu hitam terkutuk!” kata
Jelamat Kuru Seta.
“Kalian
tidak bijaksana! Menuntut ilmu bisa dengan berbagai cara! Lekas kalian pergi
dari sini!”
“Dengan
manusia laknat macam kalain tidak perlu segala kebijaksanaan!” jawab Tubagus
Gamyang.
“Bersiaplah
untuk mampus. Tapi turunkan dulu perempuan hamil itu!” berkata Gambir Seloka.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat tertawa perlahan.
“Kalau
kalian mau perempuan hamil ini silahkan ambil sendiri! Tapi dengar! Sedikit
saja kalian berani bergerak, kupatahkan batang leher perempuan ini!”
“Tubagus
Gamyang, bagaimana pendapatmu?!” bertanya Gambir Seloka.
“Sekali
ini biar kita mengepit kepala harimau. Satu korban tidak jadi apa. Sekali
bengsat keparat ini mampus berarti kita menyelamatkan puluhan perempuan hamil
lainnya!” jawab Tubagus Gamyang sambil mempererat pegangannya pada hulu Clurut
Hantunya.
“Kau
dengar sendiri manusia iblis! Kematian sudah di depan mata!” kata Gambir Seloka
pula.
Dua
senjata bergerak. Satu jotosan keras menderu ke arah jantung. Namun sesaat
sebelum semua gerakan itu terjadi, dengan nekad Ki Ageng Tunggul Akhirat
membuang dirinya ke dalam jurang. Kedua tangannya yang memegang tubuh perempuan
hamil itu secara serentak melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
“Brett!”
Clurit
Tubagus Gamyang masih sempat merobek pakaian dan melukai perut Ki Ageng Tunggul
Akhirat. Darah mengucur. Tapi dia selamat dari tabasan golok dan jotosan maut.
Dalam gelap tubuhnya jatuh ke bawah jurang.
Dalam
keadaan seperti itu Ki Ageng Tunggul Akhirat letakkan kedua tangannya di atas
kepala. Matanya dipejamkan dan mulutnya komat kamit dengan cepat.
“Eyang,
aku dalam bahaya! Aku butuh pertolonganmu!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Sekujur tubuhnya kini bergetar keras.
Sesiur
angin menerpa. Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat merasa ada dua tangan yang tidak
kelihatan yang menangkap tubuhnya. Seperti diajak melayang, tubuh lelaki ini
meluncur ke bagian Timur jurang sementara tubuh perempuan hamil tadi jatuh
terhempas di dasar jurang, disambut oleh batu-batu besar.
Ki Ageng
Tunggul merasakan dua tangan yang tidak kelihatan membaringkannya di tanah, di
tepi jurang.
“Terima
kasih Eyang, kau menyelamatkanku…..” kata Ki Ageng Tunggul Akhirat, lalu dia
cepat bangkit dan menjura dalam.
“Tugasmu
sekarang adalah membunuh ketiga orang itu Ki Ageng! Lakukan cepat!
Manusia-manusia pengacau seperti itu bisa menyusahkanmu dan aku jika tidak
segera dihabisi!”
“Akan
saya lakukan Eyang. Mohon Eyang menolong luka di perutku ini. Darahnya masih
mengucur!”
“Hanya
luka kecil saja mengapa harus ditakutkan!”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat merasakan satu tangan yang tidak kelihatan mengusap luka bekas
sambaran clurit di lambungnya. Aneh! Begitu diusap luka itu sembuh bahkan
hampir tanpa bekas sama sekali!
Ki Ageng
Tunggul Akhirat menjura kembali seraya mengucapkan terima kasih. Lalu dia
berdiri dan bepaling ke arah Barat jurang di mana tiga orang yang tadi hendak
membunuhnya berada.
Sementara
itu di tepi jurang sebelah Barat, Jelamat Kuru Seta dan dua orang kawannya
sama-sama kaget dan tak menduga. Mereka memandang ke arah jurang yang dalam
gelap. Mereka tidak mampu menembus kegelapan malam dan tak dapat melihat apa
yang terjadi di bawah sana.
“Iblis
nekad!” kata Jelamat Kuru Seta bergumam.
“Keparat
itu pasti sudah hancur di dasar jurang!” kata Tubagus Gamyang pula yang merasa
agak puas karena sebelumnya masih sempat menorehkan cluritnya.
“Aku
yakin dia sudah mampus di dasar jurang. Hanya sayang kita tidak sempat
menyelamatkan perempuan hamil yang dijadikan tumbal ilmu hitamnya!”
Ketiganya
diam sejenak.Akhirnya Tubagus Gamyang mengajak kedua kawannya meninggalkan
tampat itu. Mereka hendak menyelinap ke tempat sebelumnya mereka menyembunyikan
kuda masing-masing. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba satu sosok tubuh
menghadang. Laksana melihat setan begitulah kagetnya tiga orang ini.
“Kau!”
seru Gambir Seloka.
“Jadi kau
belum mampus di dasar jurang sana!” ujar Jelamat Kuru Seta.
Tubagus
Gamyang maju selangkah untuk memastikan. “Kalau kau punya nyawa setan, saat ini
juga aku akan mengakhiri kebejatanmu!” Dia cabut cluritnya yang masih berdarah
lalu menerjang sambil menabaskan senjata itu ke leher Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Dua kawannya tidak tinggal diam. Ikut menyerbu!
*******************
EMPAT
Begitu
clurit bedar di tangan Tubagus Gamyang menyambar ke leher, golok dalam
genggaman Jelamat Kuru Seta menyusul menderu ke arah dada. Dari jurusan lain
Gambir Seloka yang mengandalkan tangan kosong, menghantamkan satu jotosan ke
batok kepala Ki Ageng Tunggul Akhirat!
Yang
diserang keluarkan tawa bergelak. Dia letakkan kedua tangan di atas kepala.
Mulutnya berkomat kamit. Dalam hatinya dia membatin. “Eyang tolong diriku
menghadapi tiga manusia keparat ini!” Sekujur tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat
bergetar. Lalu tubuh itu membuat gerakan luar biasa cepatnya hingga tiga
penyerang hanya seperti melihat bayang-bayang dalam kegelapan malam. Tiga
serangan mengenai tempat kosong. Golok dan clurit malah sempat saling bentrokan.
Ketiga orang itu terkejut dan sama bersurut. Saat itulah terjadi neraka bagi
ketiganya.
Gambir
Seloka menjerit keras sewaktu satu tendangan menghantam perutnya. Tubuhnya
mencelat sejauh dua tombak lalu terkapar di tanah. Anggota badannya tersentak-sentak.
Tubhnya di bagian dalam terluka parah.
Tubagus
Gamyang berusaha membabatkan cluritnya ke arah bayang-bayang Ki Ageng Tunggul
Akhirat yang dilhatnya di sebelah depan. Namun saat itu terasa ada sambaran
angin di samping kanannya. Lalu tahu-tahu tangan kanannya ditelikung orang ke
belakang. Bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja.
“Kraakk!”
Sambungan
bahu Tubagus Gamyang berdrak tanggal. Tokoh silat dari barat ini menjerit
setinggi langit. Suara jeritannya menggema sampai ke dasar jurang. Clurit besar
lepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung-huyung kesakitan setengah mati
tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat orang lalu dilemparkan ke depan, tepat pada
saat mana golok di tangan Jelamat Kuru Seta berkelebat!
Tubagus
Gamyang berteriak keras. Jelamat Kuru Seta berseru tegang dan berusaha menarik
tangannya namun serangannya terlalu deras. Goloknya tanpa bisa ditahan membacok
tepat di pangkal leher teman sendiri. Raungan Tubagus Gamyang mengerikan. Darah
muncrat dari lehernya yang nyaris putus. Tubuhnya terhuyung sesaat lalu roboh.
“Jahanam!”
teriak Jelamat Kuru Seta. Dengan golok berdarah dia membacok ke arah sosok
tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat. “Mampus kau!” teriak orang Kerajaan ini. Dia
yakin goloknya akan membuat luka dalam pinggang lawan. Tetapi astaga! Kejutnya
bukan alang kepalang. Dia seperti membacok air atau membabat bayang-bayang.
Goloknya lewat dengan suara menderu. Bayangan Ki Ageng Tunggultampak berputar
dalam gelap. Lalu terdengar tawa bergelak. Di lain kejap tahu-tahu batang
lehernya dicengkeram keras. Dengan kalap Jelamat Kuru Seta membacokkan goloknya
pulang balik. Dia hanya membabat angin. Cekikan di lehernya mengencang hingga
lidahnya terjulur dan sepasang matanya mencelat ke luar. Tubuhnya tiba-tiba
terangkat lalu, “Kreeeekkkk!” Dalam keadaan terangkat batang lehernya dipuntir.
Tulang lehernya berderak patah. Jelamat Kuru Seta sudah lepas nyawanya sebelum
tubuhnya roboh tergelimpang di tanah.
Bayangan
tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat kelihatan utuh dan nyata kembali. Dia bergerak
menghampiri mayat Tubagus Gamyang dan Jelamat Kuru Seta. Satu demi datu sosok
tanpa nyawa itu ditendangnya hingga terjungkal masuk kedalam jurang. Sewaktu
dia menghampiri sosok Gambir Seloka, terdengar orang ini berteriak.
“Jangan!
Jangan tendang diriku!”
Dalam
gelap tampang Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak menyeringai. “Belum mampus kau
rupanya!” Dia melangkah lebih dekat.
“Jangan
bunuh diriku Ki Ageng! Jangan…..!” teriak Gambir Seloka ketakutan setengah
mati.
“Jangan
takut. Kau memang kubiarkan hidup! Untuk menjaga dua mayat temanmu dalam jurang
sana! Nah kau susullah mereka!”
Kaki
kanan Ki Ageng Tunggul Akhirat menendang.
“Dukk!”
Tubuh
Gambir Seloka mencelat dalam gelap. Suara jeritannya menggidikkan ketika
tubuhnya melayang ke dasar jurang yang kelam pekat!
“Eyang…..”
desis Ki Ageng Tunggul Akhirat “Terima kasih kau telah menolongku!” Tubuhnya
yang keringatan tampak berhenti bergetar. Seperti orang yang baru sadar apa
yang telah dilakukannya dia memandang berkeliling, mengusap mukanya beberapa
kali lalu melangkah menuju gerobak yang ditinggalkannya tak jauh dari tepi
jurang.
*******************
LIMA
Dua orang
kakek berwajah cacat mengerikan itu bersujud di depan Pangeran Matahari yang
duduk di atas sebuah gundukan batu berwarna merah kecoklatan dalam goa di pantai
Selatan.
“Kalian
boleh duduk kembali!” berkata Pangeran Matahari.
Supit
Jagal dan Supit Ireng lantas bangkit dan duduk bersila di depan sang Pangeran.
“Kalian
sudah tahu berada di mana, sudah tahu siapa aku, sudah mendengar ceritaku apa
yang telah terjadi dengan diri kalian kakak adik. Sebelum aku melanjutkan
bicara apakah kalian ingin bertanya atau mengatakan sesuatu?”
Supit
Ireng berpaling pada kakaknya yaitu Supit Jagal. “Kau saja yang bicara,”
katanya perlahan.
Supit
Jagal mendehem beberapa kali lalu membuka mulut. “Kami sudah mendengar apa yang
terjadi. Sudah tahu apa yang Pangeran lakukan terhadap kami. Kami tentu saja
merasa berhutang budi dan nyawa. Karena itu kami berdua kakak dan adik pantas
tunduk menyerahkan diri pada Pangeran….”
“Bagus,
kalian adalah tua bangka yang tahu diri!” kata Pangeran Matahari pula.
Pada
keadaan yang berbeda, disebut sebagai tua bangka dua kakek berwajah setan itu
pasti akan marah, mungkin mengamuk. Namun terhadap sang Pangeran yang telah
menyelamatkan nyawa mereka, keduanya bersikap tunduk.
“Penyerahan
diri dan sikap tunduk kalian sudah sepantasnya. Aku menerima hal itu. Namun aku
tak ingin hanya sampai di situ!” kata Pangeran Matahari pula.
“Apapun
yang Pangeran minta dari kami akan kami berikan. Nyawa sekalipun!” kata Supit
Ireng.
Pangeran
Matahari mendongak lalu terdengar tawanya bergema dalam goa batu itu.
“Aku
menolong kalian agar bisa hidup. Sesudah hidup masakan aku akan meminta nyawa
kalian kembali? Jangan bersikap dan bicara tolol. Aku tidak suka pada
manusia-manusia tolol!”
“Maafkan
kami Pangeran,” kata Supit Jagal dan Supit Ireng hampir berbarengan .
“Aku
menyirap kabar bahwa seorang penjahat bernama Ki Ageng Tunggul menyembunyikan
bebrapa peti hasil rampasan berisi harta perhiasan dan uang emas tak ternilai
harganya. Kalian pernah tahu siapa adanya manusia itu?”
Dalam
hati Supit Jagal dan Supit Ireng merasa heran bagaimana sang Pangeran tahu
tentang empat peti yang berisi barang serta uang itu.
“Kami
memang kenal orang itu, Pangeran,” menjawab Supit Ireng. “Manusia itu sudah
menemui ajal. Tewas di tangan kami berdua….”
“Sayang…..sayang
sekali,” ujar sang Pangeran. “Tetapi apakah kalian tahu di mana dia menyembunyikan
harta kekayaan itu?”
“Harap
dimaafkan. Kalau soal harta perhiasan dan uang emas sebanyak empat peti itu
kami tidak tahu menahu,” jawab Supit Jagal.
“Hemmm…..”
Pengeran Matahari usap-usap dagunya yang kokoh. “Kalian tidak berdusta padaku?”
Pandangan mata Pangeran Matahari yang tajam seperti menusuk membuat dua kakek
itu diam-diam jadi berdebat juga. Akhirnya Supit Irang membuka mulut menjawab.
“Pangeran
telah menyelamatkan kami. Masakan kami berani berbohong?”
Pangeran
Matahari mengangguk-angguk. “Kalian sebentar lagi boleh pergi dengan bebas.
Namun ada satu tugas yang harus kalian lakukan untukku!”
“Kami
berdua siap menerima dan menjalankan tugas itu. Pangeran tinggal menyebutkan
saja,” kata Supit Jagal pula.
“Tugasmu
cukup berat. Karena itu aku akan memberikan kekuatan tenaga dalam tambahan paa
kalian serta ilmu pukulan Telapak Merapi. Walau kalian hanya mempelajari dalam
satu minggu namun dengan pengalaman serta tambahan tenaga dalam kalian pasti
bisa mempergunakannya.”
“Terima
kasih Pangeran mau dan percaya memberikan tugas pada kami. Kami menunggu….”
kata Supit Jagal.
“Kalian
berdua aku tugaskan untuk mencari dan membunuh seorang pemuda bernama Wiro
Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid seorang nenek sakti
dari Gunung Gede…..”
Supit
Jagal dan Supit Ireng sama-sama saling pandang.
“Ada
apa?!” menegur Pangeran Matahari.
Yang
menjawab Supit Jagal. “Justru pemuda satu itu adlah musuh besar yang memang
hendak kami singkirkan dari muka bumi. Lihat luka di leher adikku, juga tangan
kirinya yang buntung. Pemuda edan itulah yang jadi pangkal bahala!”
Pangeran
Matahari tersenyum lebar.
“Apa
kalian punya musuh-musuh lain?”
“Betul,
memang ada Pangeran. Seorang kakek sakti bernama Empu Pamenang. Degnan izin
Pangeran kami berniat untuk membunuhnya! Kakek ini punya hubungan cukup dekat
dengan Wiro. Wiro sendiri tidak mudah untuk dicari karena selalu gentayangan
kian ke mari. Kami mohon petunjuk Pangeran lebih lanjut.”
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 memang sulit dicari karena tidak pernah diam di satu
tempat. Tetapi dengan sedikit akal kita bisa memancingnya keluar. Kau bunuh
dulu Empu Pamenang. Dalam waktu singkat dia pasti akan muncul!”
Supit
Jagal dan Supit Ireng mengangguk-angguk. Mereka menyatakan pujian atas
kecerdikan sang Pangeran.
“Kalian
berdua boleh pergi,” kata Pangeran Matahri pula seraya berdiri. Supit Jagal dan
Supit Ireng bersujud di depan kaki Pangeran Matahari. Ketika mereka mengangkat
kepala kembali tenyata Pangeran itu tidak ada lagi di dalam goa!
“Dulu aku
sering merasa sebagai orang paling jago di dunia. Ternyat di depan Pangeran
Matahari aku merasa kecil sekali.”
Supit
Jagal tertawa mendengar ucapan adiknya itu. Sambil memegang bahu Supit Jagal
dia berkata “Ada satu ujar-ujar yang mengatakan bahwa di atas langit ada langit
lagi!”
Keduanya
sampai di luar goa.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” tanya Supit Ireng.
“Berjalan
saja terus. Kalau sudah jauh dari goa baru kita bicara lagi,” jawab Supit
Jagal.
“Hemmm…..
kau mengkhawatirkan sesuatu, Jagal?”
“Setan!
Kataku nanti saja kita bicara kalau sudah jauh dari goa!” Supit Jagal
mendamprat marah lalu mulai berlari. Sang adik jadi diam. Dia segera berlari
pula menysul kakaknya.
Setelah
meninggalkan goa cukup jauh, begitu memasuki rimba belantara Supit Ireng ajukan
pertanyaan. “Apa di sini kau rasa masih kurang aman untuk bicara?”
Supit
Jagal hentikan larinya. Sambil melangkah dia berkata.
“Ingat
ucapan Pangeran Matahri tadi? Dia tidak suka pada orang-orang tolol! Apa dia
menyangka kita ini memang tolol?!”
“Apa
maksudmu Supit Jagal?”
“Tentang
empat buah peti berisi harta perhiasan dan uang itu,” jawab Supit Jagal. “Kita
berhasil mengelabuhinya dengan mengatakan tidak tahu menahu tentang
barang-barang itu. Dan dia percaya saja. Siapa yang tolol. Dia atau kita?!” Dua
kakek muka setan kakak beradik itu tertawa gelak-gelak.
Tapi
Supit Ireng segera hentikan tawanya dan berkata. “Apa bisa dijamin bahwa
Pangeran Matahari benar-benar percaya pada keterangan kita. Bahwa kita tidak
tahu menahu tentang empat peti itu?”
“Eh, apa
maksudmu?” tanya Supit Jagal.
“Manusia
satu itu berotak cerdik, licin, berilmu tinggi dan panjang akal. Kita harus
hati-hati. Wajahnya bisa saja tampak tersenyum tetapi hatinya menjanjikan
kematian!”
“Kalau
begitu berarti kita harus segera ke Pasirginting,” kata Supit Jagal.
Supit
Ireng menggeleng.
“Sialan!
Apa maksudmu dengan gelengan itu?”
“Aku
kawatir Pangeran Matahri sengaja melepas kita pergi. Lalu diam-diam menguntit.
Kalau kita langusng menuju Pasirginting dan mengambil peti-peti berharga itu
lalau dia memergoki, tamatlah riwayat kita!”
Supit
Jagal terdiam sesaat. “Kupikir-pikir kita berdua dia sendiri. Ilmunya malah
diberikannya pada kita. Apa kau kira kita tidak bisa mengalahkannya?”
“Bagaimanpun
kita berhutang nyawa padanya Jagal. Jangan lupakan hal itu!”
“Hutang
nyawa itu tentu tidak kita lupakan. Itu sebab kita berdua mau menjalankan tugas
yang diberikannya. Membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Nah itu balasan
dari kita. Kurasa sudah lebih dari cukup. Lalu apakah kita juga harus
menyerahkan empat peti harta itu padanya? Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!”
“Aku
tetap tidak setuju kalau kita langsung ke Pasirginting. Empat peti itu aman di
sana karena tidak ada yang tahu. Aku ingin kita mencari Empu Pamenang lebih
dulu! Ingat gadis cantik yang ikut bersamanya?” Supit Ireng membasahi bibirnya
dengan ujung lidah.
“Aku
lebih tua.Aku kakakmu. Jika gadis itu kita temui, aku yang harus menikmati
tubuhnya lebih dulu! Ingat itu Supit Ireng!”
“Kau
kakak sialan!” maki Supit Ireng lalu lari meninggalkan Supit Jagal di belakang.
*******************
ENAM
Di dalam
pondok di pinggir danau Merak Biru Pendekar 212 menyerahkan surat yang
dibawanya pada Empu Pamenang disaksikan oleh dua muridnya yaitu Ning Larasati
dan Jakawulung.
“Seorang
kepercayaan Sultan meminta saya menyampaikan ini pada Empu,” menerangkan Wiro.
Orang tua
bungkuk berpakaian selempang kain putih itu menerima surat dengan tenang.
Justru Ning Larasati yang puteri Sultan itu tampak tegang sementara Jakawulung
bersikap menunggu.
Empu
Pamenang membaca isi surat dengan cepat. Selesai membaca surat itu dilipatnya
kembali lalu dia berpaling pada Ning Larasati.
“Muridku,
ayahandamu sedang sakit. Sakitnya sakit biasa saja. Namun kerinduannya padamu
bisa-bisa membuat sakitnya jadi berat. Kuminta kau segera berangkat ke
Kotaraja. Tunggui dan rawat ayahandamu. Bila beliau sudah sembuh baru kau boleh
kembali ke mari lagi melanjutkan ilmu pelajaran.”
Ning
Larasati berpaling pada Jakawulung, saudara seperguruan dan juga kekasihnya.
Jakawulung yang maklum akan arti pandangan ini cepat berkata “Dengan izin Empu
saya akan mengantarkan Larasati ke Kotaraja.”
Empu
Pamenang mengangguk.
“Kalau
begitu saya akan segera bersiap-siap,” kata Larasati seraya berdiri. Dia masuk
ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian dia keluar lagi mengenakan pakaian
ringkas baju dan celana putih. Rambutnya yang panjang telah disanggul dan
ditutup dengan sehelai kain hitam. Sepintas lalu orang akan menyangkanya
sebagai seorang pemuda berwajah tampan dan halus.
“Kalau
para sahabat di sini sudah siap berangkat sayapun ingin minta diri. Tugas saya
sudah selesai….” kata Wiro pula.
Empu
Pamenang tersenyum. “Sebetulnya ada hal-hal dalam dunia persilatan yang ingin
aku bicarakan denganmu anak muda. Namun tidak terlalu penting. Lain hari saja
kalau kita bertemu kita ngobrol panjang lebar. Aku tahu orang sepertimu tentu
banyak urusan di luar sana.”
Empu
Pamenang mengantarkan ketiga orang muda itu sampai di pintu. Mereka
meninggalkan Danau Merak Biru dengan menunggang kuda. Setelah ketiganya lenyap
di kejauhan Empu Pamenang melangkah ke tepi danau. Saat itu matahari baru saja
menggelincir ke arah Barat. Udara siang yang tadi terasa panas kini agak sejuk
sedikit. Apalagi angin bertiup cukup banyak.
Di tengah
danau saat itu ada sebuah perahu terapung-apung dimainkan ombak-ombak kecil.
Jarak antara tepian tempat Empu Pamenang berdiri sampai ke perahu sekitar dua
puluh tombak. Di samping Empu Pamenang berdiri terdapat serumpun pohon bambu.
Orang tua bungkuk ini memilih salah satu batang bambu yang paling lentur lalu
digoyang-goyangkan. Makin lama makin kencang. Pada puncaknya kekencangan Empu
Pamenang angkat kedua kakinya. Bersamaan dengan itu dia mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Sekejap kemudian kelihatan sosok bungkuk berselempang
kain putih itu melesat ke tengah danau lalu jatuh tepat di atas perahu yang
terapung-apung di air. Sesaat perahu tampak agak oleng sedikit lalu diam tak
bergerak lagi.
Perlahan-lahan
Empu Pamenang mendudukkan dirinya di atas perahu. Kedua tangannya dirangkapkan
di atas dada. Dia mendongak ke atas. Ketika kepalanya diturunkan kedua matanya
telah terpejam. Lalu orang tua inipun tenggelam dalam semedi yang khusuk. Semua
panca inderanya berhenti bekerja. Bagi Empu Pamenang danau yang sunyi, udara yang
segar adalah tempat yang baik untuk melakukan semedi di tengah alam terbuka.
Tidak seperti orang pandai lainnya yang suka melakuka semedi dalam goa
tertutup. Biasanya kalau bersemedi di atas perahu seperti itu Empu Pamenang
bisa tahan samapi berhari-hari. Selesai bersemedi dia merasakan tubuhnya lebih
segar, pendengaran dan penglihatannya lebih tajam.
Kita
kembali pada tiga orang pemuda yang tengah melakukan perjalanan menuju
Kotaraja.di satu tempat, dekat sebuah simpang tiga di dataran rendah di bawah
lamping sebiah bukit. Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan kudanya. Dia berpaling
pada Ning Larasati dan Jakawulung lalu berkata.
“Para
sahabat, kita seiring sampai di sini. Untuk ke Kotaraja kalian berdua harus
membelok ke kanan. Aku akan mengambil jalan ke kiri. Bila umur sama panjang
kita pasti akan bertemu lagi.”
“Wiro,
aku mengucapkan terima kasih. Kau telah bersusah payah mengantarkan surat dari
ayahanda…..” kata Ning Larasati.
Wiro
tertawa lebar. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi urung. Saat itu di sebuah
jalan yang terletak di atas lereng bukit kelihatan dua orang penunggang kuda.
Selain jarak mereka terpisah cukup jauh, kedua orang itu tampak menutupi wajah
masing-masing dengan sehelai kain sampai sebatas mata hingga sulit dikenali
siapa mereka adanya. Entah mengapa Pendekar 212 mendadak saja merasa tidak enak
melihat kemunculan kedua orang itu. Dua penunggang kuda tersebut tampak
hentikan kuda masign-masing dan saling bicara beberapa lamanya. Karena tempat
Wiro dan dua kawannya berhenti berada di bawah lindungan sebatang pohon besar
berdaun rimbun, dua penunggang kuda di lereng bukit tak dapat melihat mereka.
Larasati
dan Jakawulung rupanya juga telah melihat dua penunggang kuda di atas sana.
“Siapa
mereka…..?” tanya Larasati.
“Tampaknya
bukan orang baik-baik. Kalau tidak mengapa mereka sengaja menutupi wajah dengan
kain?” ujar Jakawulung pula.
“Kalian
berdua teruskan saja perjalanan. Tidak usah memperdulikan dua orang di atas
bukit sana,” kata Wiro.
Jakawulung
mengangguk lalu memberi isyarat pada Larasati. Kedua orang ini segera
melanjutkan perjalanan menuju Kotaraja. Setelah Larasati dan Jakawulung lenyap
di kejauhan Wiro kembail memandang ke arah lereng bukit. Dua penunggang kuda
bertopeng tadi ternyata tidak ada lagi di situ. Pendekar 212 berpikir sejenak.
Akhirnya diarahkannya kudanya menuju lereng bukit itu. Sampai di atas dia
memandang berkeliling. Di kejauhan di sebelah Timur tampak sepintas sosok
Larasati dan Jakawulung. Tapi dua penunggang kuda tadi sama sekali tidak
kelihatan. Wiro memperhatikan tanah di lereng bukit. Jejak-jejak kaki kuda
tunggangan kedua orang tak dikenal tadi jelas kelihatan. Wiro bergerak
mengikuti jejak ini. Namun di satu tempat jejak-jejak itu lenyap.
Dua
penunggang kuda yang wajahnya ditutup kain hitam sampai di tepi Timur Danau
Merak Biru. Perhatian mereka serta merta tertuju pada satu-satunya bangunan
yang ada di situ.
“Pasti
ini tempat kediaman tua bangka bernama Empu Pamenang itu,” kata penunggang kuda
di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Supit Jagal kakek iblis berbaju
tambalan, berkuping sumplung dan memiliki cacat panjang serta dalam di
wajahnya. Dia melompat turun dari kudanya. Orang kedua mengikuti gerakannya.
Dia tentu saja adalah adik Supit Jagal yaitu Supit Ireng, manusia yang memiliki
wajah seangker setan karena tampangnya yang cekung itu dihias dengan rongga
bolong besar pada mata kiri sedang mata kanan membeliak merah dan besar.
Karena
pintu pondok tidak terkunci mereka masuk dengan mudah. Setelah menggeledah
seisi pondok dan tidak menemukan seorang di situ, Supit Ireng berkata.
“Kosong,
Tak satu orangpun ada di sini. Tidak si tua bangka itu, tidak pula gadis jelita
yang membakar mafsuku itu! Bagaimana? Kita tunggu saja sampai mereka kembali?”
“Agar
mereka lekas muncul, biar bangunan ini kita bakar saja!” jawab Supit Jagal. Dia
keluar untuk mencari kayu pembakar. Namun sewaktu sampai di pintu dan matanya
tak sengaja memandang ke arah danau, langkahnya tertahan.
“Ireng!
Lekas ke mari!” serunya.
Supit
Ireng melompat ke samping kakaknya lalu memandang ke arah yang ditunjuk Supti
Jagal yaitu perahu di tengah danau. “Memang dia! Apa yang dikerjakannya di
sana!”
“Tampaknya
seperti tengah bersemedi….. Tak ada perahu lain. Kita harus berenang untuk
mendatanginya.”
“Terlalu
berbahaya. Aku dengar tua bangka itu raja diraja dalam air. Dia sanggup
menyelam dan mendekam dalam air seperti ikan. Satu-satunya jalan ialah
menghancurkan perahunya, memancing kemarahan dan membuat dia datang ke daratan
sini.”
“Kau
benar!” kata Supit Jagal. Dia melangkah ke arah rumunan pohon bambu.
“Bambu-bambu ini bisa menolong!” Lalu dia mengeluarkan sebilah golok. Dengan
senjata ini dia memotong empat batang bambu yang kemudian dipotong-potong
dibuat runcing salah satu ujungnya. Kedua kakak beradik itu kembali ke tepi
danau. Masing-masing mereka memasukkan sebatang potongan bambu ke dalam air.
Bagian yang runcing di arahkan ke perahu di tengah danau.
“Kau
duluan Jagal!” kata Supit Ireng.
Supit
Jagal menyeringai. Dengan tangan kanannya dia menepuk bagian belakang potongan
bambu. Karena pukulan itu disertai tenaga dalam yang tinggi maka laksana anak
panah, potongan bambu yang runcing menghantam tepat di lambung perahu sebelah
kanan, menghancurkan papan dan menimbulkan lobang besar. Sesaat perahu tampak
bergoyang lalu diam kembali. Namun air mulai mengucur masuk ke lantai perahu.
Di atas perahu orang tua bungkuk tetap saja duduk tenang seolah apa yang
terjadi tidak mengganggu semedinya.
Supit
Ireng tak mau kalah. Dia mengarahkan bambu runcingnya ke bagian kiri perahu.
Sekali menggubuk potongan bambu itu melesat. Sesaat kemudian tedengar suara
braak! Lambung perahu sebelah kiri hancur berkeping-keping, menimbulkan lubang
yang lebih besar dari yang di sebelah kanan. Air danau masuk dengan cepat. Separuh
dari lantai perahu telah terisi air dan merendam kedua kaki Empu Pamenang yang
duduk bersila. Baigan depan perahu mulai tenggelam ke bawah. Tetapi aneh dan
hebatnya si orang tua bungkuk masih saja tampak duduk tak bergerak. Kedua
tangan masih dirangkapkan di atas dada bahkan sepasang matanya tidak bergeming
apa lagi terbuka sedikitpun!
“Tua
bangka itu kebal juga rupanya!” kata Supit Jagal. Dia menurunkan sebatang bambu
ke dalam air danau. Kali ini bambu diarahkannya ke bagian depan perahu. Tangan
kanannya bergetar tanda dia mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Lalu tangan
itu menghantam dengan keras. Batangan bambu melesat di permukaan air danau dan
menghantam bagian depan perahu.
“Braak!”
Kali ini
bagian depan perahu tanggal berantakan. Air danau menggebubu masuk. Perahu
menungging ke depan, lalu prlahan-lahan tenggelam ke dalam air danau. Empu
Pamenang yang masih duduk bersemedi ikut tenggelam. Air mencapai pinggul, naik
ke pinggang, terus ke dada. Perahu semakin dalam amblasnya. Air kini mencapai
leher si orang tua. Hebatnya orang tua ini masih saja tetap tidak bergerak.
Kedua matanya masih terus terpejam. Air kini mencapai dagunya. Lalu cepat
sekali seluruh kepalanya amblas. Perahu dan sosok tubuh si orang tua tenggelam,
lenyap dari pemukaan air danau yang hanya meninggalkan riak-riak berbentuk
lingkaran!
“Manusia
gila!” teriak Supit Jagal.
“Seharusnya
tadi bambu itu kita arahkan ke tubuh atau kepalanya biar dia langusng mampus!”
kta Supit Ireng sambil kepalkan tinju kanannya. “Apa yang harus kita lakukan
sekarang?!”
“Tunggu
saja sampai dia muncul di permukaan air. Langsung kita hantam dengan bambu
runcing!” kata Supit Jagal pula.
“Tapi tua
bangka itu punya ilmu yang membuat dia mampu mendekam dalam air sampai lama!”
ujar Supit Ireng dengan gemas dan pelipis bergerak-gerak.
“Tak ada
jalan lain. Bagaimanapun kita harus menunggu sampai dia muncul. Kalau dia masih
hidup langsung kita bunuh. Kalau dia sudah jadi mayat itu lebih baik!”
Saat itu
sang surya sudah sangat condong ke Barat tanda sebentar lagi akan tenggelam.
Keadaan di sekitar danau mulai redup dan meremang gelap. Di tengah danau sama
sekali tak ada gerakan. Tak ada suara!
“Setan!
Pekerjaan gila macam apa yang kita lakukan ini!” rutuk Supit Ireng sambil
mengusap-usap mata kain penutup wajahnya di bagian mata kirinya yang hanya
merupakan rongga bolong.
Baru saja
dia merutuk seperti itu, Supit Jagal tiba-tiba memegang lengan kirinya yang
buntung.
“Ada
apa….?” tanya Supit Ireng.
“Sssst…..
Jangan bicara keliwat keras. Apa kau tidak mendengar suara kakikaki kuda
mendatangi tempat ini?” bisik Supit Jagal. “Lihat ke sana….”
Supit
Jagal menunjuk ke depan. Supit Ireng mengikuti arah yang ditunjuk kakaknya itu.
Di antara pepohonan tampak seorang penunggang kuda berpakaian dan berikat
kepala putih muncul. Orang ini menghentikan kudanya di antara dua batang pohon
sambil memandang tajam ke arah pondok. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke
danau Merak Biru.
“Aneh,
semua serba sepi. Seharusnya di danau ada sebuah perahu….” Orang di atas kuda
membatin Lalu perlahan-lahan dia majukan kudanya sampai sejarak dua tombak dari
pondok kayu. Di sini dia melompat turun dan melangkah ke pintu.
Dari
balik rerumpunan pohon bambu, Supit Jagal dan Supti Ireng saling pandang.
“Rejeki
kita ternyata besar sekali hari ini. Kita tidak perlu bersusah payah! Orang
yang kita cari ternyata datang sendiri!” kata Supit Jagal.
“Tunggu
apalagi! Ayo kita cabut nyawanya! Aku ingin mencoba pukulan sakti Telapak
Merapi yang diberikan Pangeran Matahari itu!” kata Supit Ireng. Tenaga dalamnya
segera dialirkan ke tangan kanan.
*******************
TUJUH
Pemuda
berpakaian putih mendorong pintu pondok yang tidak terkunci. Bagian
dalam
diselimuti kegelapan. “Empu Pamenang, kau ada di dalam….?”
Baru saja
dia bertanya begitu tiba-tiba ada suara mendesisi disertai menggebubunya hawa
panas luar biasa. Pemuda di depan pintu serta merta menjatuhkan dirinya ke
tanah dan berguling menjauhi pondok. Ketika dia bangki kembali dilihatnya
pondok Empu Pamenang telah disabung asap dan ada api menyala di balik asap itu.
Memandang ke kiri dilihatnya dua sosok tubuh bercadar tegak di bawah kegelapan
rerumpunan pohon bambu.
“Pembokong
pengecut! Siapa kalian?!” bentak si pemuda. Meskipun dia tidak dapat memastikan
namun dari potongan tubuh kedua orang itu dia bisa menduga-duga siapa adanya.
“Aneh, kalau memang mereka, bukankah keduanya sudah mampus? Satu dibantai di
tepi pantai satunya lagi tenggelam di dalam laut Teluk Burung?”
Dua orang
di depan sana keluarkan tawa mengekeh.
Yang di
sebelah kanan berkata. “Agar kau tambah terkejut biar kubuka kain penutup
wajahku!” Lalu orang ini pergunakan tangan kanannya untuk menanggalkan kain
hitam yang menutupi mukanya.
“Supit
Ireng! Memang kau rupanya atau setanmu yang sedang gentayangan!”
Supit
Ireng tertawa. Sambil tangan kanan bertolak pinggang dia berkata “Yang kau
lihat memang setan Supit Ireng! Aku gentayangan untuk mencarimu. Sebentar lagi
nyawamu akan kutarik amblas dari tubuhmu! Roh busukmu bisa bertemu dengan roh
busuk Empu Pamenang di alam baka!”
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede jadi terkejut.
“Apa
maksudmu manusia muka setan?!” bentak Wiro.
“Tua
bangka sahabatmu itu sudah kami bunuh! Mayatnya bisa nanti kau temui di dasar
danau!” Yang menjawab adalah Supit Jagal.
“Bedebah
kurang ajar….!” Wiro melompat ke muka.
“Tunggu
dulu!” teriak Supit Jagal. “Kami membawa tugas untuk membunuhmu! Tetapi jika
kita bisa berunding mungkin selembar nyawa anjingmu akan kuampuni!”
“Setan
alas! Kalian sudah membunuh Empu Pamenang, berarti hanya kematian bagi kalian
berdua!”
“Jangan
bicara takabur dulu….”
“Keparat!
Siapa yang menyuruh kalian membunuhku?!” hardik Wiro.
“Siapa
orangnya tak perlu kami katakan cepat-cepat. Kami ingin berunding dulu mengenai
pengampunan jiwamu! Jika kau mau mengatakan di mana gadis bernama Ning Larasati
itu berada, kau akan kami selamatkan. Hanya gadis itu yang bisa menyelamatkan
kau dari kematian!”
“Kalian
dua tua bangka tidak tahu diri! Setan neraka sekalipun tidak akan mau bergaul
dengan kalian. Apalagi seorang puteri raja secantik Larasati! Manusiamanusia
edan!”
“Ah,
kalau begitu biar tubuhmu kami panggang sampai matang! Diberi pengampunan minta
mampus!” kata Supit Jagal. Dia melirik pada adiknya, memberi isyarat.
Supit
Ireng angkat tangan kanannya ke atas. Supit Jagal mengangkat kedua tangannya
sekaligus. Masing0masing telapak tangan tampak bergetar dan diarahkan pada Wiro
Sableng. Lalu terdengar suara mendesis tajam. Angin panas menyambar ganas.
“Pukulan
Telapak Merapi!” teriak Wiro kaget luar biasa lalu membuang diri ke samping
sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian Benteng Topan
Melanda Samudra. Segulung angin dahsyat menderu ke depan memapas tiga pukulan
Telapak Merapi yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng. Tiga larik pukulan
sakti yang dilepaskan dua bersaudara Supit saling bertabrakan dengan pukulan
sakti yang dilepaskan Wiro. Akibatnya bentrokan dahsyat ini terdengar suara
letusan keras. Debu dan pasir beterbangan. Air danau bergelombang keras.
Pendekar 212 terpental sampai satu tombak. Tubuhnya bergetar keras dan ada hawa
panas menyengat jangatnya. Ini satu pertanda bahwa kekuatan serangan lawan
berada di atas tingkat kekuatan pukulan saktinya!
“Celaka!
Bagaimana dua manusia keparat ini menguasai dan membekal ilmu pukulan yang
dimiliki Pangeran Matahari itu?!” membatin Wiro dengan perasaan tegang. DI
depannya dilihatnya Supit Jagal dan Supit Ireng hanya terpental beberapa
langkah lalu bangkit dengan cepat dan tampang garang! Keduanya maklum kalau
pukulan Telapak Merapi yang tadi mereka lepaskan telah menggetarkan pemuda
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu.
“Kematian
sudah di depan mata! Tapi kami masih bersedia memberi pengampunan. Lekas beri
tahu di mana Ning Larasati berada!” kata Supit Jagal seraya maju satu langkah.
Tiba-tiba
terdengar suara mencuatnya air danau. Dalam udara yang mulai gelap itu melesat
keluar sesosok tubuh dalam selempang kain putih yang basah kuyup. Seorang kakek
bungkuk sesaat kemudian sudah tegak di depan Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Edan!
Bukankah kau sudah mampus dan jadi mayat pendekam dasar danau?!” teriak Supit
Jagal kaget ketika mengenali kakek bungkuk di depannya ternyata adalah Empu
Pamenang.
Orang tua
itu mendongak ke langit lalu berucap. “Jika kalian berdua masih hidup, seharusnya
bisa menyadari kebesaran Tuhan dan bertobat untuk jadi orang baik! Sekarang
malah kalian berdua muncul membawa dosa baru!”
“Tua
bangka buruk! Jangan berkhotbah di hadapanku!” hardik Supit Ireng. Tangan
kanannya bergerak. Untuk kesekian kalinya dia lepaskan pukulan Telapak Merapi.
“Empu
awas!” teriak Wiro memberi ingat.
Empu
Pamenang menyambar ujung kain putih basah yang menyelempang dadanya. Kain ini
dikibaskan ke arah datangnya angin pukulan. Terdengar suara dess…! Asap putih
menggebubu ke udara. Orang tua itu tampak terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut
di tanah. Ujung pakaian putihnya kelihatan hangus. Mukanya yag klimis merah
menggelap. Dadanya berdenyut.
“Aneh,
bagaimana dua manusia iblis ini masih hidup. Dari mana pula mereka mendapatkan
kesaktian sehebat ini?” ujar Empu Pamenang dalam hati. Perlahanlahan dia
mencoba bangkit.
Di
depannya Supit Jagal dan Supit Ireng saling berbisik. “Kalau satu pukulan saja
sanggup menjatuhkannya, mari kita menghantam berbarengan. Pasti dia mampus!”
Lalu Supit Jagal segera angkat kedua tangannya.
Melihat
hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Lengannya sampai ke ujung jari serta merta berubah putih seperti perak dan
memijarkan cahaya angker. Ini satu pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar
Matahari.
Di depan
sana Supit Jagal dan Supit Ireng sudah lebih dulu menggerakkan tangan
menghantam. Serangan balasan yang dilancarkan Pendekar 212 dan Empu Pamenang
terlambat. Sinar silau panas pukulan Sinar Matahari terpukul membalik ke arah
Wiro dan sang Empu. Ditambah dengan tiga larik pukulan Telapak Merapi maka
tempat itu berubah bagai neraka bagi Wiro dan Empu Pamenang!
Sekejap
lagi Pendekar 212 dan Empu Pamenang akan disapu lumat oleh pukulan-pukulan
lawan tiba-tiba satu sinar merah menjulang laksana jatuh dari langit,
menghantam ke bawah!
Keadaan
di tepi danau itu seperti dihantam goncangan gempa maha dahsyat disertai
letupan-letupan keras seolah merobek langit dan dibarengi pula dengan
cahaya-cahaya menyilaukan.
Empat
orang berjatuhan ke tanah. Dada masing-masing terasa berdenyut sakit. Telinga
laksana tuli beberapa saat lamanya.
Pendekar
212 jatuh terduduk. Nafasnya mendadak menyesak dan dadanya terasa sakit. Di
sebelah depannya Empu Pamenang berlutut tergontai-gontai. Ada cairan darah
kelihatan di sela bibirnya. Di bgian lain dua bersaudara Supit Jagal dan Supit
Ireng terkapar saling tindih. Muka setan mereka sesaat tampak pucat seperti
tidak berdarah. Tangan masing-masing bergetar kaku dan sakit seperti
ditusuk-tusuk.
Di antara
empat orang yang berkaparan di tanah itu tampak tegak seorang lelaki berpakaian
biru gelap mengenakan blangkon. Dalam udara yang samakin gelap wajahnya masih
bisa terlihat jelas. Dan tampang manusia ini ternyata tidak kalah seram dengan
tampang Supit Jagal ataupun Supit Ireng. Pada pipi kirinya ada cacat panjang
sampai ke mata yang membuat mata kirinya mencuat keluar merah mengerikan dan
selalu basah. Mulutnya pencong akibat tarikan daging muka yang cacat.
Supit
Jagal dan Supit Ireng sama-sama melompat kaget.
*******************
DELAPAN
Supit
Jagal sempat maju dua langkah lalu berhenti. “Kau!” katanya dengan suara agak
kelu karena rasa tak percaya. “Kau Ki Ageng Tunggul Keparat! Jadi kau masih
hidup?! Bedebah!”
Orang
berpakaian biru dan mengenakan blangkon itu tertawa bergelak. Baik Wiro maupun
Empu Pamenang ikut heran. Sebelumnya mereka telah menyaksikan bahwa manusia
bernama Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat itu telah tewas.
Mayatnya terkapar di antara belasan mayat di Teluk Burung tempo hari. Bagaimana
mungkin kini dia bisa hidup dan muncul di sini. Bahkan lebih mengherankan lagi,
dia pula tadi yang membuat kejutan dengan menerobos jalur-jalur pukulan sakti
yang saling bentrokaan sehingga sempat menyelamatkan Wiro dan Empu Pamenang
dari malapetaka. Bagaimana dia tiba-tiba bisa sehebat ini dan berhasil
memusnahkan semua pukulan sakti tanpa diri sendiri cidera sedikitpun?!”
“HA…ha!
Kalian masih ingat wajah ini! Ketahuilah aku bukan Ki Ageng Tunggul Keparat…..”
kata orang berblangkon itu.
“Lalu kau
siapa? Setannya?! Rohnya yang gentayangan?!” tanya Supit Ireng.
“Aku
saudara kembarnya. Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Kalian berdua telah membunuh
saudara kembarku itu! Sekarang saatnya kalian menebus dosa dengan nyawa
masing-masing!”
“Lagakmu
keren amat! Manusia sombong memang harus lekas-lekas disingkirkan!”
Habis
berkata begitu Supit Jagal hantamkan kedua tangannya. Supit Ireng ikut memukul
dengan tangan kanan. Masing-masing mereka kembali lepaskan pukulan sakti
Telapak Merapi.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat membentak garang. Kedua tangannya dipalangkan di depan kepala.
Sekujur badannya bergetar. Dari sela bibirnya terdengar suara. “Eyang, hajar
kedua manusia ini!”
Kedua
tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat tiba-tiba menyentak ke depan. Baik Supit Jagal
maupun adiknya sama-sama terkejut katika mereka tiba-tiba melihat sepasang
tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat berubah menjadi dua bauh tangan raksasa yang
memiliki kuku panjang dan hitam runcing. Mereka lanjutkan menghantam karena
yakin pukulan Telapak Merapi yang mereka lepaskan tak akan sanggup di tahan
oleh lawan. Namun keduanya salah sangka. Sebelum pukulan Telapak Merapi sempat
mereka lepaskan, tangan-tangan berkuku panjang itu telah menyambar lebih dulu.
“Breet….breet….breetttt!”
Sepasang
lengan pakaian Supit Jagal robek besar. Daging lengannya terkelupas berbusaian.
Orang ini menjerit setinggi langit. Hal yang sama terjadi dengan Supit Ireng.
Tangan kanannya mengucurkan darah dari luka-luka yang mencabik dagingnya. Orang
ini meraung sambil muncur.
“Jagal,
manusia satu ini bukan lawan kita. Berat dugaanku dia punya ilmu hitam. Lebih
baik kita segera melarikan diri!” bisik Supit Ireng. Supit Jagal yang berada
dalam keadaan kesakitan setengah mati dan juga diam-diam merasa takut keluarkan
sebuah benda hitam bulat sebesar tinju dari balik pinggangnya.
“Bangsat!
Kalian mau lari ke mana?!” kertak Ki Ageng Tunggul Akhirat yang sudah tahu
gelagat orang lalu melompat hendak menyergap. Supit Jagal bergerak lebih cepat.
Benda di tangannya dilemparkan ke tanah. Terdengar satu letusan keras.
Disusul
dengan menggebubunya asap hitam menutup pemandangan sampai sejarak beberapa
tombak. Ketika asap itu sirna dua bersaudara Supit sudah lenyap dari tempat
itu.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat menggembor marah. “Kalian berdua boleh lari ke ujung dunia. Tak
akan kalian bisa lolos dari kematian di tanganku!” Dia hendak berkelebat
mengejar namun ingat pada dua orang di sebelah sana. Dia berpaling dan
memandang tajam pada Wiro serta Empu Pamenang.
Saat itu
Wiro dan si orang tua sudah berdiri. Sambil terbungkuk-bungkuk Empu Pamenang
berkata.”Terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari serangan maut dua
manusia keparat itu!”
“Aku juga
berterima kasih dan berhutang nyawa padamu,” kata Wiro pula.
“Kalian
punya sangkut paut apa dengan kedua orang itu?” Ki Ageng Tunggul Akhirat ajukan
pertanyaan.
“Yang
bernama Supit Jagal pernah membunuh tiga orang muridku,” menerangkan Empu
Pamenang. “Beberapa waktu lalu kami telah membantai mereka tapi adalah aneh
tahu-tahu mereka masih hidup dan muncul hendak membalaskan dendam! Ternyata
mereka kini memiliki satu pukulan sakti luar biasa!”
“Hemmm….
Untung kalian berdua bukan sahabat mereka. Kalau tidak nyawa kalian tak bakal
aku ampuni….”
“Apa
betul kau saudara kembarnya Ki Ageng Tunggul?” bertanya Empu Pamenang.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat tidak menjawab. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkelebat
lenyap dari tempat itu. Empu Pamenang termangu sedang Pendekar 212 hanya bisa
garuk-garuk kepala.
“Dunia
persilatan semakin kusut rupanya….” kata Empu Pamenang.
“Tang saya
tidak habis pikir,” menyahuti Wiro. “Bagaimana dua manusia setan itu bisa
memiliki ilmu pukulan Telapak Merapi. Pukulan sakti itu hanya dimiliki oleh
Pangeran Matahari!”
“Ada
hal-hal saling terkait….” ujar Empu Pamenang. “Siapa tahu Pangeran Matahari kini
talh membentuk satu komplotan terdiri dari manusia-manusia jahat seperti dua
bersaudara Supit itu. Merka sengaja dibekali satu dua macam ilmu kepandaian
yang sulit ditandingi…..”
“Mungkin
kau benar Empu.Supit Jagal tadi sesumbar mengatakan bahwa dia membawa tugas
untuk membunuhku. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa yan gmenyuruhnya…..”
“Aku
punya dugaan berat si penyuruh adalah Pangeran Matahari sendiri. Itu sebabna
dia membekali kedua setan itu dengan pukulan sakti. Agaknya kau ada silang
sengketa dendam kesumat dengan Pangeran Matahari gila itu?”
“Orang
jahat seprti Pangeran Matahari memang banyak musuhnya. Salah satu di antaranya
adalah saya. Kami pernah bentrokan beberapa kali. Dia selalu gagal membunuh
saya. Saya sendiri sampai saat ini belum dapat menundukkannya,” kata Wiro pula.
“Saya
ingat akan maksud bejat dua bersaudara Supit. Mereka datang dengan dua maksud.
Pertama hendak membunuh Empu. Kedua hendak menculik Ning Larasati. Mungkin saya
akan ke Kotaraja. Gadis itu harus diberi tahu bahwa ada bahaya mengancam
dirinya…..”
Empu
Pamenang mengangguk. “Itu memang hal yang terbaik yang harus kau lakukan. Ada
satu hal yang harus kau perhatikan. Manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat
itu. Meski dia telah menyelamatkan kita dari serangan maut dua bersaudara
Supit, namun jangan mengharap bahwa dia adalah jenis manusia yang bisa
dijadikan sahabat. Saudara kembarnya memiliki ilmu hitam. Dia aku yakin sekali
pasti
juga memiliki ilmu hitam. Kau harus berhati-hati terhadapnya Wiro.”
“Terima
kasih atas peringatan Empu,” kata Pendekar 212.
Empu
Pamenang membetulkan letak selempang kainnya yan gmasih basah. Sekali dia
berkelebat tubuhnya melayang lalu laksana seekor burung dia hinggap di cabang
sebuah pohon besar.
*******************
SEMBILAN
Sepanjang
malam itu Supit Jagal dan Supit Ireng lari terus ke arah Timur. Menjelang dini
hari baru keduanya berhenti dan menggulingkan diri di dalam sebuah dangau yang
terletak di tepi daerah pesawahan.
“Tubuhku
terasa panas. Jangan-jangan cakar manusia setan itu mengandung racun…..” kata
Supit Jagal.
“Tubuhku
juga panas,” menyahuti Supit Ireng. Dia merogoh ke dalam saku pakaiannya. Tak
lama kemudian dikeluarkannya sebuah kantong kecil. Dalam kentong ini terdapat
sejenis bubuk yang merupakan obat luka ampuh.
“Bubuk
obat ini akan menyelamatkan kita kalau cakar si iblis itu memang mengandung
racun. Kau bisa usapkan bubuk ini di kedua lenganmu. Tapi tolong dulu aku…..”
Setelah
menggosokkan bubuk obat pada luka di lengan masing-masing kedua orang ini
merasa agak tenang. Apalagi jelas mereka rasakan hawa panas di tubuh mereka
kini mulai berkurang.
“Apa yang
akan kita lakukan sekarang Jagal?” tanya Supit Ireng.
“Kita
telah gagal membunuh Pendekar 212. Jika Pangeran Matahari sempat mengetahui
pasti dia akan marah besar….”
“Sekali
memang kita gagal. Itupun gara-gara munculnya jahanam yangmengaku bernama Ki
Ageng Tunggul Akhirat. Kalau dia tidak ada pasti kita sudah menghabisi pemuda
itu dan si tua bangka Empu Pamenang. Kita harus mencari kedua orang itu
kembali. Aku yakin Empu Pamenang tidak akan berada jauh dari danau Merak Biru.
Soal Pendekar 212 kita pasti akan menemuinya. Jika bertemu untuk kedua kali,
nyawanya tak akan tertolong lagi!” Supit Ireng mengusap mukanya beberapa kali.
“Aku
berpikir-pikir, buat apa kita bersusuah payah mencari dan membunuh kedua orang
itu. Bagaimana kalau sementara mereka kita lupakan saja. Yang penting adalah
mengambil peti berisi harta dan uang yang ada di belakang rumah Ki Ageng
Tunggul Bayana alias Tunggul Keparat di Pasirginting. Bila empat peti itu sudah
kita dapat, kita bawa pergi jauh-jauh ke Timur atau ke Barat. Lupakan dunia
kita yang sekarang ini. Kita hidup mewah sebagai orang kaya raya….”
“Apa kau
kira Pangeran Matahari tidak akan menyatroni kita? Sekali dia menemui kita
tamatlah riwayat kita.” Supit Ireng berkata dengan nada meragu.
“Kalau
kau takut tinggal di tanah jawa ini kau boleh pergi ke seberang di mana tidak
seorangpun tahu siapa dirimu.”
“Tapi
jangan lupa Jagal. Tampang-tampang kita ini akan mudah menarik perhatian
orang,” kata Supit Ireng pula.
“Terserah
padamu Supit Ireng. Aku akan ke Pasirginting. Aku akan mengambil dua dari empat
peti itu lalu memlenyapkan diri. Persetan dengan Pangeran Matahari. Persetan
dengan Empu Pamenang serta Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku ingin hidup senang
sebelum masuk liang kubur!” Habis berkata begitu Supit Jagal bangkit dari
tidurnya.
“Heh, kau
mau ke mana?” tanya sang adik.
“Aku akan
ke Pasirginting sekarang juga. Jika aku bisa mendapatkan kuda paling tidak dua
hari di muka aku sudah sampai di sana!” Supit Jagal melompat turun dari atas
dangau. “Kau ikut?” tanyanya pada adiknya.
Supit
Ireng tampak bimbang. Tapi ketika kakaknya melangkah pergi, dia bergerak pula
mengikuti. Hanya sesaat setelah kedua orang itu lenyap, dari balik sebatang
pohon besar tak berapa jauh dari dangau keluar satu sosok tinggi besar. Dia
memandang ke jurusan perginya Supit Jagal dan Supit Ireng. Seringai bermain di
mulutnya. Rambutnya yang menjulai gondrong di belakang tengkuk melambai-lambai
ditiup angin. Sekali berkelebatt orang ini lenyap ke arah yang sama yang dituju
Supit Jagal danSupit Ireng.
Tidak
sulit mencari rumah bekas kediaman Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng
Tunggul Keparat yang pernah menjadi Kepala Desa Pasirginting itu. Rumah besar
di tengah desa itu kelihatan gelap. Biasanya selalu ada beberapa pengawal
berjaga-jaga di sana. Tapi sejak jabatan Kepala Desa diambil alih oleh orang lain
rumah itu menjadi sunyi sepi. Penghuninya yaitu istri muda Ki Ageng Tunggul
Bayana yang kini menjadi janda saat itu tertidur lelap dalam pelukan seorang
pemuda desa yang diam-diam dijadikannya teman hidupnya. Pemuda ini selalu
datang pada malam hari. Menjelang dini hari dia meninggalkan rumah kembali ke
tempat kediamannya di pinggir desa sebelah Selatan.
Dua buah
gerobak memasuki desa hampir tanpa suara lalu berhenti di depan rumah besar
itu.
“Kita
langsung saja ke halaman belakang,” bisik kusir gerobak yang sebelah kanan
yaitu Supit Jagal. Dua buah gerobak bergerak ke halaman belakang rumah besar.
Supit Jagal melompat dari gerobak lalu dengan cepat mengambil sebuah pacul dan
linggis. Linggis diberikannya pada Supit Ireng seraya berkata.” Aku akan macul,
kau bantu dengan linggis. Kita harus bekaerja cepat sebelum pagi tiba.”
Supit
Ireng mengangguk. Lalu dia turun pula dari atas gerobaknya. Supit Jagal sesaat
memandangi halaman belakang yang cukup luas itu. Lalu dia mulai memacul.
Adiknya memegang linggis dengan tangan kanannya. Dengan benda ini dia menusuk
tanah yang dipaculi kakaknya. Setelah memacul cukup lama dan hampir sebagian
halaman belakang itu terkikis, benda yang mereka cari masih belum ditemukan.
“Aku
kawatir, ucapan tunggul Bayana pada Lor Paregreg yang sempat kau dengar tempo
hari hanya dusta belaka,” kata Supit Ireng.
Supit
Jagal berhenti memacul. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. Dia
memandang berkeliling. “Orang yang mati ketakutan dan ingin hidup tak mungkin
berdusta!” jawab Supit Jagal. Tapi hatinya mulai mendua. Dia memandang
berkeliling. Pandangannya membentur pada sederetan pohon-pohon pisang yang
tumbuh dekat pagar batas halaman di sebelah kiri. Supit Jagal memberi isyarat.
Lalu dia melangkah ke arah pohon-pohon pisang itu. Di sini dia mulai menggali.
Dan Supit Ireng kembali menusuk-menusuk tanah bekas galian dengan linggis.
“Dukkk!”
Terdengar
suara keras tanda ujung linggis membentur sebuah benda. Abang dan adik itu
saling berpandangan sesaat. “Gali lagi! Pacul! Cepat Jagal……” bisik Supit Ireng
seraya memegang erat-erat linggis yang menancap di tanah.
Seperti
mendapat tenaga baru, penuh semangat Supit Jagal memacul tanah di sekitar
linggis. Pada jarak tiga jengkal kedalam paculnya tertahan oleh sebuah benda
keras. Supit Jagal lepaskan pacul. Dia berlutut dan pergunakan kedua tangannya
untuk mengangkat tanah. Sesaat kemudian dalam gelap dia melihat sebuah papan
melintang.
“Ireng…..!”
desis Supit Jagal. “Kita menemukan peti-peti itu!” Seperti kesetanan kedua
kakak beradik itu memacul dan menggali sampai akhirnya sosok sebuah peti muncul
dalam lobang di tanah. Dengan susah payah peti besar itu dikeluarkan dari dalam
tanah. Lalu dengan ujung linggis Supit Jagal mendongkel papan penutupnya.
Begitu papan terkuak kelihatanlah isinya. Supit Jagal dan Supit Ireng seperti
hendak bersorak ketika mereka melihat isi peti itu. Sejumlah perhiasan, uang
emas dan perak serta ukiran-ukiran perunggu yang tak terkira nilainya.
“Bantu
aku menaikkannya ke gerobak….” kata Supit Jagal. Karena Supit Ireng hanya punya
satu tangan, cukup susah juga bagi keduanya menaikkan peti besar itu ke atas
gerobak.
“Baru
satu peti Ireng. Masih ada tiga lagi!” bisik Supit Jagal.
Kedua
kakak beradik ini kembali bekerja keras. Dalam waktu singkat mereka berhasil
menemukan peti yang kedua. Peti ini lalu dinaikkan pula ke atas gerobak pertama
yaitu gerobak yang tadi di bawa oleh Supit Jagal. Kini kedua orang itu menggali
peti yang ketiga.
Di dalam
rumah, Suniarsih jada Ki Ageng Tunggl Bayana menggeliat dan terbangun dari tidurnya.
Gerakan kaki perempuan ini membuat terbangun pula sang kekasih, pemuda bernama
Pintoro.
“Aku
tidak tahu kalau ketiduran….” kata Suniarsih seraya merangkul Pintoro dengan
tangan dan kakinya.
“Sebenarnya
aku ingin membangunkanmu, tapi aku kawatir kau keletihan,” jawab si pemuda dan
tangannya mengusapi punggung telanjang Suniarsih, membuat janda ini terangsang
dan menyelinapkan tangannya. Gerakan tangan sang janda membuat Pintoro tesentak
dan terbakar kejantanannya.
“Kau
selalu membuat aku seperti kesetanan Arsih….” bisik Pintoro.
“Justru
aku suka kalau kau sudah kesetanan. Ayo Pintoro…..lakukanlah…..!” Suniarsih
menarik tubuh kuat pemuda itu. Sesaat ketika gerakan pemuda ini seperti
tertahan.
“Ada
apa….?” tanya sang janda.
“Aku
mendengar suara….”
“Suara
apa?”
“Entahlah.
Tak dapat kupastikan….”
“Ah itu
mungkin hanya suara angin. Atau suara binatang malam. Mungkin juga tikus atau
kucing. Mengapa diperdulikan? Ayolah Pintoro. Jangan siksa aku…..” Lalu
Suniarsih tekan pinggang pemuda itu. Tapi Pintoro yang elisah justru turun dari
tempat tidur.
“Kau mau
kemana?”
“Aku
kawatir orang-orang desa melakukan pengintaian. Kalau mereka menangkap basah
kita di kamar ini….”
Mendengar
ucapan si pemuda Suniarsih jadi kecut. “Kalau begitu coba kita intai…..” Kini
janda itu yang mengajak.
“Suara
itu datangnya dari halaman belakang. Seperti suara orang menggali tanah,” bisik
Pintoro.Pemuda ini cepat mengenakan celana panjangnya sedang Suniarsih
melangkah mengikuti sambil menggelungkan kain panjang ke tubuhnya. Kedua orang
ini setengah berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang rumah. Karena dinding
belakang rumah terbuat dari gedek dengan mudah Pintoro membuat sebuah lobang
lalu mengintai.
“Ada dua
buah gerobak. Yang satu berisi dua peti besar. Satunya lagi satu peti besar.
Ada dua orang tengah menggali tanah dekat pohon-pohon pisang….” Pintoro
menceritakan apa yang dilihatnya, lalu menyuruh Suniarsih mengintai sendiri.
“Astaga,
siapa orang-orang itu…..” bisik sang janda. “Apa isi peti-peti itu. Mereka
pasti pencuri. Maling! Kau harus melakukan sesuatu Pintoro. Ambil parang!”
“Tidak,
mereka bukan pencuri atau maling. Mereka bukan penjahat biasa,” jawab Pintoro.
“Apa yang mereka lakukan adalah satu pekerjaan rahasia….”
“Jangan-jangan
peti-peti itu berisi barang-barang berharga. Mungkin sekali kepunyaan mendiang
suamiku…. Lekas ambil parang, Pintoro. Atau aku akan berteriak maling saja?”
“Jangan….”
“Kau
pengecut!”
Kedua
orang itu jadi terlibat dalam pertengkaran. Di halaman belakang Supit Jagal dan
Supit Ireng sedang menggotong peti keempat. Di dalam rumah karena bertengkar,
tak sengaja tangan Suniarsih menyentuh sebuah kendi yang terletak di meja.
Kendi ini jatuh ke lantai mengeluarkan suara berisik.
“Supit
Jagal dan Supit Ireng terkejut dan sama memandang ke arah rumah. Pada saat itu
mereka melihat pintu rumah terbuka dan dua orang keluar.
“Kita
ketahuan Ireng. Habisi kedua orang itu!” kata Supit Jagal.
Supit
Ireng segera melompat ke hadapan dua orang yang barusan keluar dari dalam rumah
yakni Pintoro dan Suniarsih.
“Siapa
kalian?!” bentak Pintoro. Parang di tangannya diangkat tinggi-tinggi, siap
untuk membacok. Tapi nyalinya jadi meleleh ketika melihat wajah setan Supit
Ireng.
“Kau….kau
hantu….?!”
Ucapan
Pintoro hanya sampai di situ. Tangan kiri Supit Ireng bergerak. Praaakk!
Pintoro terpental sampai lima langkah. Tubuhnya tergelimpang di dekat roda
gerobak, mati dengan muka rengkah.
Suniarsih
menjerit keras. Tapi Supit Jagal yang sudah ada di dekat situ segera menutup
mulut perempuan ini. Suniarsih coba meronta berusaha melepaskan diri. Namun yang
lepas justru kain panjang yang menutupi tubuhnya. Tak ampun lagi perempuan ini
kini berada dalam keadaan bugil. Melihat tubuh putih telanjang seperti itu
terbakarlah bafsu Supit Jagal. Supit Irengpun tampak terkesiap. Mata kanannya
membeliak besar. Nafasnya langsung memburu.
“Heh, kau
mau bawa ke mana perempuan itu?!” seru Supti Ireng ketika dilihatnya kakaknya
menggotong Suniarsih ke arah pintu balakang rumah.
“Berminggu-minggu
aku tak pernah menyentuh tubuh perempuan Ireng! Pantas kalau aku pergunakan kesempatan
untuk bersenang-senang. Kau tunggu saja. Aku tak akan lama. Kalau aku sduah
selesai kau bakal dapat giliran!” Supit Jagal tertawa mengekeh.
“Kau
gila! Tolol! Jangan cari penyakit! Kalau kau mau bawa saja! Naikkan ke atas
gerobak!” kata Supit Ireng.
Supit
Jagal tidak menajwab. Dia melangkah terus menuju pintu.
Justru
saat itu ada suara lain yang menyahuti ucapan Supit Ireng tadi.
*******************
SEPULUH
Kau benar
Supit Ireng! Kakakmu itu bukan saja cari penyakit tapi juga tolol dan gila!”
Supit
Jagal serta merta hentikan langkahnya ketika mendengar suara itu lalu
berpaling. Supit Ireng telah lebih dulu memutar kepala ke arah datangnya suara
tadi. Wajah setan kedua orang ini mendadak sontak berubah. Lutut masing-masing
terasa bergetar.
“Pangeran
Matahari….!” desis Supit Jagal.
Pemuda
tinggi besar berjubah hitam itu mendongak ke langit gelap lalu terdengar suara
tawanya mengekeh. Kekehan ini perlahan saja namun seperti mencucuk liang
telinga terasa oleh Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Perempuan
itu tak pantas berada dalam dukunganmu Supit Jagal. Lepaskan tekapanmu pada
mulutnya. Turunkan tubuhnya dan suruh dia melangkah ke hadapanku!”
“Akan…..akan
saya lakukan Pangeran….” kata Supit Jagal pula. Degnan hatihati diturunkannya
tubuh tanpa pakaian itu ke tanah. Berdiri di samping Supit Jagal janda muda itu
kini dapat melihat pemuda yang tegak beberapa langkah di depannya. Seorang
pemuda bertubuh tinggi kekar, bertampang gagah, jauh lebih gagah dari Pintoro
yang sudah jadi mayat itu.
“Lepaskan
tekapanmu dari mulutnya!” perintah Pangeran Matahari ketika dilihatnya Supit
Jagal masih menekap mulut perempuan itu dengan tangan kirinya.
“Saya
kawatir dia akan berteriak, Pangeran. Orang sedesa bisa bangun dan mendatangi
tempat ini….”
Pangeran
Matahari menyeringai mendengar kata-kata Supit Jagal itu.
“Kau
takut perempuan itu berteriak. Kau takut orang satu desa datang ke mari. Tapi
kau tidak takut mendustai dan menipu aku. Menipu Pangeran Matahari yang telah
menyelamatkan kau dari kematian!” Pangeran Matahari melirik pada Supit Ireng.
“Kau juga tidak takut bukan?”
Baik
Supit Jagal dan Supit Ireng tak ada yang menjawab. Pangeran Matahari kembali
tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap. Dia memandang dengan tersenyum pada
Suniarsih lalu membentak pada Supit Jagal.
“Lepaskan
tekapanmu! Perempua itu tidak akan menjerit!”
Perlahan-lahan
Supit Jagal lepaskan tekapannya pada mulut Suniarsih. Ternyata sang janda
memang tidak berteriak. Pangeran Matahari melambaikan tangannya.
“Mari,
melangkahlah dan datang ke dekatku. Kau tak pantas dekat-dekat dengan setan
itu!” kata sang Pangeran pula.
Ternyata
Suniarsih mengikuti ucapan Pangeran Matahari. Memang kalau dilihat tampang dan
perawakan tentu saja setiap perempuan akan memilih atau lebih suka berada di
dekat sang Pangeran dari pada Supit Jagal. Suniarsih lalu melangkah ke dekat
Pangeran Matahari. Bagitu perempuan ini berada di hadapannya, sang Pangeran
langsung merangkul dan mencium lehernya. Tubuh Suniarsih diputarnya hingga
punggung perempuan ini menempel ke dadanya. Tangan kiri Pangeran Matahari
menyelinap ke bawah ketiak kiri Suniarsih. Pemandangan ini membuat tenggorokan
Supit Jagal dan Supit Ireng jadi turun naik .
“Tak usah
takut. Kau aman bersamaku…..” bisik Pangeran Matahari yang mulai terangsang
merangkulinya, sedang wajah Suniarsih walaupun hanya seorang perempuan desa
tetapi kecantikannya sanggup memikat lelaki manapun, termasuk sang Pangeran.
Sang Pangeran kembali mencium kuduk jada itu. “Siapa namamu….?”
“Suni….Suniarsih.
Saya…..saya takut pada dua orang itu. Tolong saya bawa saya ke tempat yang
aman….”
“Tak usah
takut. Dua setan itu akan segera kuhabisi,” bisik Pangeran Matahari, sedang dua
matanya memandang berkeliling. Dia memperhatikan dua buah gerobak yang
masing-masing berisi dua buah peti besar itu. Lalu pandangannya kembali di
arahkan pada Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Kalian
berdua memang manusia setan! Terlalu serakah. Terlalu ingin kaya sendiri! Untuk
itu kalian sengaja mendustaiku. Menipuku! Mengatakan tidak tahu menahu tentang
empat peti itu! Dulu kutolong nyawamu dari kematian, kini biar aku sendiri yang
akan membetot nyawa busuk kalian dari tubuh-tubuh anjing kalian!”
“Pangeran,”
kataSupit Jagal cepat. “Jangan salah duga. Waktu di goa tempo hari, ketika kau
menanyakan tentang empat peti itu, kami memang belum tahu apaapa. Tapi
beberapa hari lalu kami berhasil mendapatkan rahasia peti-peti ini dari Empu
Pamenang sebelum kami membunuhnya dan membuang mayatnya ke dalam danau Merak
Biru……”
“Hemm….Betul
begitu?” tanya Pangeran Matahari.
“Apa yang
dikatakan Supit Jagal memang betul Pangeran!” berkata Supit Ireng.
“Apakah
kalian juga sudah menjalankan tugas, membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng?!” tanya Pangeran Matahari pula dengan seringai di bibir.
“Tugas
dari Pangeran memang sudah kami laksanakan. Kebetulan Wiro Sableng muncul di
danau Merak Biru. Tetapi sebelum dia sempat kami bunuh, seorang berkepandaian
tinggi yang menguasai ilmu hitam tiba-tiba muncul! Dia mengaku sebagai saudara
kembar Ki Ageng Tunggul Keparat. Dia mengaku bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat!”
Sampai di
sini Supit Ireng meneruskan keterangan kakaknya. “Kami menghantam mereka dengan
pukulan Telapak Merapi. Tapi pukulan yang dilepaskan manusia bernama Ki Ageng
Tunggul Akhirat itu membuyarkan pukulan-pukulan kami. Bahkan kalau kami tidak
segera membuang bola asap mungkin kami berdua sudah celaka!”
“Hebat
sekali cerita kalian!” kata Pangeran Matahari pula. “Lalu empat buah peti ini
hendak kalian bawa ke mana?”
“Tentu
saja hendak kami serahkan pada Pangeran!” jawab Supit Jagal.
Pangeran
Matahari tertawa tergelak-gelak. “Kalian sungguh setan-setan yang mencoba
berbudi seperti manusia. Untuk itu kalian akan kuberi pengampunan….”
“Terima
kasih Pangeran….” kata Supit Jagal.
“Diam!
Ucapanku belum selesai!” bentak Pangeran Matahari. “Tadinya aku sudah
merencanakan hendak membunh kalian sampai daging dan tulang belulang kalian
cerai berai. Tapi mendengar ucapan kalian tadi, aku beri pengampunan dan kalian
bisa meregang nyawa dengan tubuh tetap utuh!”
Berubahlan
paras Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Pangeran…..”kata
Supit Ireng dengan suara bergetar.
“Tutup
mulutmu bangsat! Bersiap saja menerima kematian!” hardik Pangeran Matahari.
Lalu tangannya kiri kanan diangkat ke atas.
Melihat
hal itu Supit Jagal dan Supit Ireng tak bisa berbuat apa-apa selain melompat ke
samping seraya mendahului menyerang. Keduanya sengaja melepaskan pukulan sakti
Telapak Merapi yang didapatnya dari sang Pangeran. Dua pukulan ini dilakukan
dengan mengandalkan tenaga dalam penuh! Didahului dua desisan keras, dua larik
angin panas menyambar ke arah Pangeran Matahari yang di depannya masih tegak
berdiri Suniarsih dalam keadaan tanpa pakaian itu!
Tampang
Pangeran Matahari tampak membesi. Rahangnya menggebung. Pelipisnya
bergerak-gerak. Cuping hidungnya mengembang. Kedua tangannya didorongkan ke
depan.
“Wuss!
Wuss!”
Dua
gelombang angin sedahsyat topan prahara menyambar dari telapak tangan kiri
kanan Pangeran Matahari. Dau larik angin pukulan Supit Jagal dan Supit Ireng
serta merta terbabat musnah. Dua kakak beradik ini berteriak keras.
“Pangeran!
Ampuni kami!” teriak Supit Jagal.
“Pangeran!
Jangan bunuh diriku!” jerit Supit Ireng.
Namun
pekik jerit itu tak ada gunanya lagi. Dua pukulan Telapak Merapii yang
dilepaskan sang Pangeran datang menyambar dengan ganas!
*******************
SEBELAS
Sesaat
lagi sosok tubuh Supit Jagal dan Supit Ireng akan terpanggang hangus oleh
pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Pangeran Matahari, tiba-tiba mencuat
satu sinar merah, merambas ke bawah menghantam pukulan sakti sang Pangeran.
Tanah bergoncang laksana dilanda gempa bumi. Hawa panas menyungkup dan dentuman
keras terdengar sampai dua kali berturut-turut.
Dua ekor
kuda penarik gerobak meringkik keras lalu lari manjauh ke halaman samping.
Seruan
keras keluar dari mulut Pangeran Matahari. Bukan saja karena kaget menyaksikan
bagaimana dua larik pukulan saktinya musnah tetapi juga karena saat itu dia
merasakan kedua tangannya bergetar keras sedang dadanya berdenyut sakit.
Wajahnya jelas agak pucat.
Bersamaan
dengan seruan Pangeran Matahari tadi, Suniarsih juga menjerit ketakutan.
Pangeran Matahari cepat merangkul janda muda itu lalu melompat jauh ke
belakang.
“Berlindung
di balik pohon sana,” kata Pangeran Matahari lalu mendorong Suniarsih ke arah
sebuah pohon besar. Setelah getaran di dadanya lenyap dengan mengatur aliran
darah serta nafasnya Pangeran Matahari maju tiga langkah. Dia tidak
memperdulikan Supit Jagal dan Supit Ireng yang jatuh bergelimpangan di tanah
sambil mengeluh kesakitan. Kedua matanya memandang tak berkesip dan membeliak
pada seorang kakek berpakaian serba biru, mengenakan blangkon dan bertampang
seangker setan!
Saat itu
beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ tersentak bangun dari tidur
masing-masing. Mereka berlarian ke luar. Mereka mendatangi rumah bekas Kepala
Desa itu. Namun ketika mereka melihat wajah-wajah setan yang ada di situ,
semuanya serta merta melarikan diri karena menyangka setan betulan sedang
mengamuk di malam buta itu!
“Iblis
siapa kau?!” hardik Pangeran Matahari.
“Pangeran!”
Tiba-tiba Supit Jagal berkata sambil berdiri. “Ini makhluk yang menghalangi
kami membunuh Pendekar 212!”
“Hemmm….Siapa
namamu? Apa kau menusia betulan atau sebangsa dedemit jejadian?!”
Orang
yang ditanya, yang tentunya sudah dapat diterka yaitu Ki Ageng Tunggul Akhirat
tertawa bergelak.
“Aku Ki
Ageng Tunggul Akhirat! Apakah aku manusia betulan atau sebangsa dedemit
terserah kau menilai sendiri!”
“Lagakmu
sombong amat!” tukas Pangeran Matahari merasa tersinggung. “Kau tahu berhadapan
dengan siapa saat ini?!”
“Siapa
dirimu aku tidak merasa ingin mengetahui. Aku hanya tahu satu hal! Dua bangsat
bermuka iblis itu nyawanya adalah milikku. Kalau dia mampus maka aku yang
berhak membunuhnya! Tidak percuma aku bernama Tunggul Akhirat!”
Ucapan Ki
Ageng Tunggul Akhirat itu benar-benar membuat marah Pangeran Matahari. Tapi dia
bukan sang Pangeran namanya kalau tidak bisa menahan diri dan berlaku cerdik.
Akalnya berjalan, kelicikannya muncul. Dia dapat melihat adanya getaran yang
menyungkup sekujur tubuh orang di depannya itu. Satu pertanda bahwa orang ini
memang meiliki ilmu hitam seperti yang dikatakan Supit Jagal. Sambil
menyeringai Pangeran Matahari berkata.
“Kalau
kau memang ada sangkut paut dendam kesumat dengan dua keparat itu , silakan kau
selesaikan dulu urusan dengan mereka. Aku bisa sabar menunggu! Aku tidak merasa
rugi kalau kau memang mampu membunuh mereka!”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat membalas seringai Pangeran Matahari dengan tawa dingin. Dia
memutar tubuh berpaling pada Supit Jagal dan Supit Ireng yang saat itu berada
dalam keadaan setengah mati.
“Pangean!
Tolong kami!” teriak Supit Jagal.
“Setan
keparat! Tak satu orangpun bisa menolong dirimu dan saudaramu!” bentak Ki Ageng
Tunggul Akhirat. Tubuhnya bergetar keras.
Supit
Jagal dan Supit Ireng yang sudah putus nyali melompat ke jurusan yang
berlainan. Masing-masing berusaha melarikan diri.
“Mana
bisa kalian lari dariku!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kedua tangannya
diangkat ke atas. Selagi dia siap untuk menghantam, tanpa diketahuinya dari
belakang dengan licik Pangeran Matahari melepaskan satu pukulan mau bernama
Gerhana Matahari. Pukulan sakti ini memancarkan sinar kuning, hitam dan merah!
Sekalipun Ki Ageng Tunggul Akhirat memiliki ilmu hitam, namun dibokong dari
belakang seperti itu tipis harapan nyawanya akan selamat.
Pada saat
itulah tiba-tiba ada suara orang berseru menggelegar dalam kegelapan malam.
“Ki
Ageng! Awas serangan di belakangmu!”
Ki Ageng
Tunggul Akhirat menggembor marah. Dia membalikkan tubuh dan masih sempat
melihat tiga larik sinar pukulan maut yang dilepaskan Pangeran Matahari menderu
ke arahnya!
“Eyang,
bunuh manusia itu!” Mulut Ki Ageng Tunggul Akhirat berucap. Kedua tangannya
dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah berkiblat. Halaman belakang itu
laksana dihantam halilintar. Tiga letusan menggeletarkan bumi dan seperti
merobek langit. Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan kedua kakinya seperti disapu
dari tanah yang dipijaknya. Atubuhnya mengapung sampai setengah tombak. Ketika
dia jatuh ke tanah kembali sekujur tubuhnya bergelegar keras. Dia masih sanggup
berdiri meski kedua kakinya terasa goyah.
Di depan
sana Pangeran Matahari tampak terhuyung-huyung. Mukanya pucat seperti kain
kafan. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Tiba-tiba seperti ada
kekuatan baru masuk ke dalam tubuhnya, dia maju sampai tiga langkah ke hadapan
Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tangan kanannya yang membentuk tinju diangkat
tinggi-tinggi ke atas. Dia siap melepaskan pukulan sakti paling diandalkannya
yaitu pukulan Merapi Meletus. Namun belum sempat tangan itu bergeak lebih jauh
dari arah kegelapan terdengar suara bersiur, disusul dengan berkiblatnya sinar
berwarna perak menyilaukan disertai hawa panas luar biasa.
Pangeran
Matahari tersentak kaget. “Pukulan Sinar Matahari,” desisnya tegang. Dalam
saat-saat sangat menegangkan dan menentukan begitu rupa saat pangeran masih
sempat memutar otaknya. Dia melompat empat tombak ke belakang, sebatas jarak
jangkauan pukulan sakti Sinar Matahari. Dari tempatnya berdiri dengan
pengerahan tenaga dalam penuh Pangeran Matahari membuat gerakan seperti
mendorong. Terjadilah hal yang hebat. Pukulan Sinar Matahari laksana terbendung
lalu ketika dia memukulkan kedua telapak tangannya dengan keras, pukulan Sinar
Matahari dan sekaligus pukulan Merapi Meletus miliknya sendiri membalik
menghantam ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat yang tengah berkomatkamit memanggil
Eyang di alam gaib. Namun sekali ini sang Eyang tidak mampu melawan serangan
balik yang datang sangat cepat dan tidak terduga.
Ki Ageng
Tunggul Akhirat menjerit keras. Tubuhnya terlempar sampai bebrapa tombak.
Ketika tubuh itu berhenti menggelinding kelihatan sekujur dagingnya merah
laksana dipanggang bahkan di beberapa bagian tulang belulangnya menguak putih
mengerikan.
Dari
dalam gelap satu bayangan melompat, memburu ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Sungguh luar biasa. Walau keadaan tubuhnya leleh mengerikan ternyata dia tidak
segera mati. Bahkan salah satu matanya masih bisa melihat sosok tubuh orang
yang berdiri di sampingnya.
“Pendekar
212…..” suara Ki Ageng Tunggul Akhirat sember dalam sekarat. “Terima kasih kau
berusaha menolongku. Aku….” Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat terputus sampai di
situ. Kepalanya sesaat seperti hendak bergerak bangkit. Namun terhempas kembali
ke tanah. Bersamaan dengan itu nyawanya pun melayang.
Wiro
palingkan kepala ketika telinga kirinya menangkap suara mengerang di samping
kiri. Dilihatnya Pangeran Matahari melangkah tertatih-tatih. Murid Eyang Sinto
Gendeng segera mengjar dan menghadang musuh besarnya itu. Sekujur tubuh dan
pakaian sang Pangeran tampak hangus. Dari mulutnya masih terus mengucur darah. Tubuhnya
di sebelah dalam terluka parah.
Pangeran
Matahari hentikan langkahnya. Kedua matanya tampak membersit sinar ganas. Tapi
hanya sebentar. Sesaat kemudian terdengar dia berkata.
“Antara
kita memang ada jurang permusuhan yang dalam. Saat ini aku dalam keadaan tak
berdaya! Sebagai orang persilatan apakah kau akan membunuh diriku?!”
“Manusia
licik! Kau pergunakan keadaanmu yang tak berdaya untuk belas kasihan!”
Sang
Pangeran tertawa dingin. “Siapa minta belas kasihanmu Pendekar 212! Jika kau
ingin membunuhku silahkan! Aku tidak akan melawan!”
“Sialan!”
maki Wiro dalam hati. “Keparat busuk licik ini tahu betul kalau aku tidak akan
mau membunuhnya dalam keadaan seprti ini!”
“Ayo, kau
tunggu apa lagi?! Lekas bunuh diriku! Hantam dengan pukulan mataharimu! Atau
cabut Kapak Naga Genimu!” teriak Pangeran Matahari.
Saking
geramnya murid Eyang Snito Gendeng maju lebih dekat lalu “Plaak!” Tamparannya
mendarat di pipi kiri Pangeran Mtahari. Sang Pangeran terpuntir keras lalu
jatuh berlutut. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya apalagi tamparan Wiro
tadi telah merobek pinggiran bibirnya. Wiro cekal leher pakaian Pangeran
Matahari yang hangus lalu meraiknya ke atas dengan satu sentakan hingga orang
ini tertegak. Begitu berdiri Wiro dorong tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke
depan.
“Kau
boleh pergi membawa nyawa busukmu. Lain kali jangan harap aku mau membiarkanmua
pergi dengan nyawa masih di badan!”
Sepasang
mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip pada Wiro. “Pendekar 212…..”
katanya dengan suara bergetar. “Kelak kau akan menyesal seumur hidup karena
tidak membunuhku saat ini!”
“Setan!
Tak perlu bicara ngaco!” hardik Wiro. Kaki kirinya bergerak dan “Bukk!” Dia
tendang pantat sang Pangeran. Terbungkuk-bungkuk menahan sakit akibat luka
dalam yang parah Pangeran Matahari akhirnya tinggalkan tempat itu.
Wiro
seperti tersentak ketika sudut matanya melihat dua bayangan melompat ke atas
dua buah gerobak yang masing-masing berisi dua peti besar. Kedua orang ini siap
menggebrak kuda-kuda penarik gerobak.
“Setan-setan
edan!” teriak Wiro. “Sebenarnya tadi kalian bisa melarikan diri cari selamat!
Tapi kalian lebih sayang harta dari pada nyawa!”
Wiro
melompat ke atas gerobak di sebelah kanan. Kaki kirinya bergerak menghantam
dada Supit Jagal yang berusaha mencabut golok dan menusukkan senjata ini ke
perut Pendekar 212. Supit Jagal terlempar ke tanah. Malang baginya, saat itu
pula gerobak yang dilarikan Supit Ireng lewat dan menggilas lehernya! Tubuh
Supit Jagal tampak menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
“Keparat
haram jadah! Terma kematianmu!”teriak Supit Ireng. Dengan tangan kanannya dia
lepaskan pukulan Telapak Merapi yang dipelajarinya dari Pangeran Matahari. Wiro
sudah maklum kehebatan ilmu pukulan itu. Dia tak mau menunggu lebih lama dan
segera mendahului serangan lawan. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Sesaat
kemudian satu sinar menyilaukan membelah kegelapan malam disertai suara seperti
ribuan tawon mengamuk.
“Crass!”
Tangan
kanan Supit Ireng yang hendak melepaskan pukulan sakti putus! Jeritan manusia
muka setan ini setinggi langit. Tapi suara jeritan itu tertahan ketika untuk
kedua kalinya Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat dan kali ini menetak tepat di
ubun-ubunnya.
Tidak
mudah bagi Wiro untuk menenangkan dua ekor kuda penarik gerobak. Dengan susah
payah akhirnya dia berhasil menggandengkan kuda yang satu dengan bagian
belakang gerobak. Wiro tahu pasti bahwa empat bau peti berisi barang-barang
berharga serta uang itu adalah milik Kerajaan yaitu yang dirampok komplotan Lor
Paregreg beberapa waktu lalu. Berarti dia punya kewajiban untuk mengembalikan
keempat peti itu ke Istana Sultan di Kotaraja. Wiro siap menggebrak kuda
penarik gerobak sebelah depan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan
memanggil.
“Saudara!
Hai! Jangan tinggalkan diriku! Tolong!”
Murid
Eyang Sinto Gendeng tertegun sesaat. Dia hentikan kudanya.”Ah, mungkin aku
salah pendengaran. Suara angin kukira suara orang memanggil…..” Wiro tarik tali
kekang kuda.
“Saudara!
Tunggu….! Tolong aku… Aku takut!”
“Eh…. Itu
suara manusia beneran…” ujar Wiro. Dia memandang ke belakang, ke arah sebatang
pohon besar. Suara perempuan yang memanggil itu datang dari balik pohon.
Meskipun hatinya agak meragu dia turun juga dari atas gerobak lalu melangkah
mendekati pohon besar dari mana datangnya suara yang memanggil tadi. Begitu dia
sampai di balik pohon, sang pendekar kita jadi tergagau kaget dan mundur
beberapa langkah. Bagaimana kan tidak. Tak pernah dia menduga bakal melihat
satu sosok tubuh perempuan dalam keadaan bugil dengan muka pucat dan rambut riapriapan.
“Kau….kau
setan….” Wiro tergagap-gagap.
“Bukan….Bukan!
Aku Suniarsih! Janda Kepala Desa Pasirginting! Tolong….aku takut. Orang-orang
yang kau bunuh itu sebelumnya hendak menculik diriku….”
“Aku
tidak percaya,” kata Wiro dengan mata membelalak memandang mulai dari atas
sampai ke bawah, :Jangan-jangan kau kuntil anak….”
“Aku
bukan kuntil anak! Kalau tidak percaya lihat! Punggungku tidak bolong!” Lalu
perempuan bugil itu membalikkan tubuhnya memperlihatkan punggungnya, Tapi mata
murid Sinto Gendeng bukannya melihat ke punggung melainkan ke bagian bawah
pinggang!
Suniarsih
membalikkan tubuhnya kembali. Kali ini seperti baru sadar akan keadaannya
perempuan ini berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya
sedapat-dapatnya.
“Aku…aku
percaya kau memang bukan setan. Bukan kuntil anak. Tapi dalam keadaan begini
pertolongan apa yang bisa kulakukan…”
“Itu
rumahku… Tolong antarkan aku mau mengambil pakaianku. Setelah itu aku akan ikut
ke mana kau pergi. Aku tak akan mau lagi tinggal di rumah ini! Aku takut!”
Belum
sempat Wiro mengatakan atau berbuat sesuatu tiba-tiba Suniarsih melompat dan
merangkul tubuhnya. Kedua kakinya digelungkan ke pinggang Wiro seperti anak
kecil minta dukung. Pendekar 212 merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak.
Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian tubuhnya terasa panas. Sambil melangkah
tidak karuan dalam hatinya pendekar ini berkata. “Mungkin ini pahala bagiku
karena tidak punya maksud jahat melarikan empat peti berharga milik Kerajaan
itu!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment