Episode
Tua Gila Dari Andalas
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
SATU
SEORANG
bertubuh tinggi besar berkelebat dalam gelapnya malam menuju lereng timur
Gunung Singgalang. Di bahu kiri dia memanggul sesosok tubuh kurus bersimbah
darah mulai dari kepala sampai ke badan. Di sebelah belakang dua orang berlari
cepat mengikuti si tinggi besar.
Di satu
pedataran sempit di timer gunung, orang di sebelah depan hentikan larinya. Lalu
seperti melemparkan batangan kayu tidak berguna orang ini bantingkan sosok
tubuh yang dipanggulnya ke tanah. Dari mulutnya kemudian keluar seruan.
"Sabai!
Kami datang!"
Belum
habis gema seruan orang bertubuh tinggi ini tiba-tiba dari arah depan di mana
terdapat sebuah goa batu melesat satu bayangan hitam putih! Yang hitam adalah
pakaiannya yang berbentuk jubah dalam, seorang yang putih adalah rambutnya yang
sepanjang pinggang. Berdiri di hadapan tiga orang yang bare datang di tempat
itu, ternyata adalah seorang nenek bermuka putih. Walau wajahnya sudah keriput
namun masih kentara tanda-tanda bahwa di masa mudanya perempuan tua ini adalah
seorang gadis cantik jelita. Karenanya tidak salah orang menyebutnya Sabai Nan
Rancak yang berarti Sabai Yang Cantik.
Si nenek
pandangi tiga orang lelaki di hadapannya seolah hendak menelan mereka. Tanpa
memandang pada sosok tubuh yang melingkar di tanah tak jauh dari tempatnya
berdiri si nenek bertanya.
"Kalian
berhasil?"
"Apakah
kami masih perlu menerangkan Sabai?" tanya letaki tinggi besar berusia
lebih dari setengah abad. "Kau lihat sendiri apa yang barusan aku
lemparkan ke tanah!"
"Hemmm….
Begitu…?" Si nenek elus-elus rambutnya yang putih panjang. Dia melirik
pada sosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang tergeletak enam
langkah di samping kirinya. Lalu dia menyeringai.
"Kau
tidak mempercayai kami?" Lelaki di sebelah kanan si tinggi besar ikut
bicara. Orang ini bertubuh cebol memiliki cambang bawuk begitu tebat hingga
dari wajahnya yang terlihat hanya ujung hidung, sepasang mata dan sedikit
bagian keningnya.
"Dari
bau anyir darahnya saja aku tahu kalau mayat yang menggeletak di depan situ
memang bukan orangnya!"
"Sabai…"
lelaki ketiga, yang paling muda di antara tiga orang yang barusan datang itu
maju dua tangkah ke arah mayat. "Malam begini gelap, muka mayat tertutup
darah. Agaknya sulit bagimu untuk mengenalinya…."
Si nenek
tertawa. Dia pandangi lagi tiga orang di depannya seperti tadi seolah mau
menelan mereka butat-bulat.
"Katian
bertiga hendak mendustaiku atau bagaimana?" Si nenek bertanya. Suaranya
perlahan saja tapi mengandung ancaman.
"Sabai!
Kau tahu kami siapa! Setelah menerima hadiah darimu masakan kami berani menipu?
Kau kira siapa yang kami bunuh? Kau sangka mayat siapa yang kami bawa ke
hadapanmu?" Berkata si tinggi besar.
"Bagus
kalau kalian memang tidak punya maksud begitu!" Si nenek lalu berpaling
pada telaki bertubuh cebol. "Alam Babegah! Coba kau bersihkan muka mayat
dari noda darah yang menutupinya!"
Si cebol
memandang pada kawannya si tinggi besar. Setelah orang ini mengangguk si cebol
mendekati mayat yang tergeletak di tanah. Dengan telapak kaki kirinya
dibersihkannya muka mayat yang penuh luka dari selubung darah.
"Sudah
aku lakukan Sabai! Nah apa sekarang kau mengenali dan memastikan bahwa dia
memang orang yang kau suruh bunuh?" ujar si cebol Alam Babegah.
Nenek
berambut putih panjang itu pandangi wajah mayat. "Mata cekung dan lebar
memang sama dengan matanya. Hidung seperti burung kakak tua juga sama dengan si
keparat itu. Muka tak berdaging seperti tengkorak juga sama. Mmmm…."
"Bagaimana
Sabai?" bertanya lelaki tinggi besar. "Sudah jelas bagimu sekarang
bahwa itu adalah mayat Tua Gila? Tidak sia-sia kami melakukan permintaanmu
sampai-sampai dua sahabat kami menemui ajal dalam melaksanakannya!"
Si nenek
rambut putih menyeringai.
"Tampang
boleh sama tapi belum tentu dia orangnya!" Sabai Nan Rancak patahkan
sebatang ranting kering lalu dekati mayat yang terkapar di tanah itu. Dengan
ujung ranting ditorehnya punggung pakaian mayat sebelah kiri. Lalu dia
memperhatikan dengan mata tak berkesip! Sesaat kemudian terdengar suaranya
keras dan marah.
"Kalian
benar-benar telah menipuku! Bangsat ini bukan orang yang kumaksud! Tua Gila
punya tanda sebuah tahi lalat di punggung kirinya. Orang ini tidak punya tanda
itu!"
Tiga
orang di depan Sabai Nan Rancak jadi terkesiap. Si tinggi besar masih berusaha
membela diri. "Setelah puluhan tahun berlalu bisa saja tahi lalat itu lenyap
dengan sendirinya…."
"Traakkk!"
Sabai Nak
Rancak hantamkan ranting kayu di tangan kanannya ke mulut orang yang bicara
hingga ranting patah. Darah mengucur dari luka besar di bibir si tinggi besar.
"Marang
Tongga! Aku tak suka pada orang yang banyak mulut pandai berdalih macammu! Aku
sudah katakan orang ini bukan Tua Gila! Kau masih mau berbanyak mulut?"
Marang
Tongga si tinggi besar dan dua kawannya yaitu si cebol Alam Babegah serta Sidi
Kumango sesaat jadi terdiam. Lalu dengan suara merendah Marang Tongga berkata.
"Kalau
memang kami telah kesalahan tangan, itu hanya satu kebetulan saja Sabai. Kami
tidak ada niat buruk untuk menipumu…."
"Lalu?!"
"Kami
akan turun gunung kembali dan mencari musuh besarmu itu sampai dapat. Lalu
membawa mayatnya ke hadapanmu!"
"Tiga
bulan lalu kau juga berkata begitu. Apa hasilnya?!"
"Sekali
ini kami akan bekerja hati-hati, penuh selidik." Sabai Nan Rancak tertawa
panjang membuat tiga lelaki di hadapannya jadi tidak enak.
"Kepercayaanku
pada kalian putus sudah. Kalian boleh turun gunung. Aku tidak akan meminta
kalian untuk mengulangi mencari keparat itu. Marang Tongga, sebelum pergi harap
kau kembalikan dulu kantong emas yang aku berikan tempo hari!"
"Tapi
Sabai…."
Si nenek
pelototkan matanya pada Marang Tongga. Air mukanya menjadi sangat menggidikkan.
Kepalanya digelengkan beberapa kali. "Tidak ada tapi-tapian Marang. Lekas
kembalikan emas itu!" Si nenek lalu ulurkan tangannya.
Sambil
gigit-gigit bibirnya sebelah bawah tanda kesal Marang Tongga keluarkan satu
kantong kecil dari balik pakaiannya. Kantong berisi emas ini dilemparkannya ke
arah Sabai Nan Rancak. Si nenek cepat menyambutnya dan cepat pula berkata.
"Aku
belum pikun. Seingatku dulu aku memberikan dua kantong emas padamu. Mengapa kau
mengembalikan cuma satu?"
Marang
Tongga menyeringai. "Sabai harap kau maklum. Tugas yang kau berikan pada
kami bukan saja menghabiskan biaya, waktu tapi juga tenaga dan pikiran. Dua
orang sahabat kami bahkan menemui ajal. Jadi aku rasa pantas kalau cuma satu
kantong yang aku kembalikan padamu!"
Sepasang
mata si nenek tampak memancarkan einar aneh. "Kita tidak pernah membuat
perjanjian seperti itu! Bayaran kalian dua kantong emas kalau berhasil membunuh
Tua Gila dan membawa mayatnya ke hadapanku! Yang kau bunuh ternyata bukan Tua
Gila! Jelas perjanjian menjadi batal! Ayo, cepat serahkan padaku emas yang satu
kantong!"
"Emas
itu tidak ada lagi padaku. Aku tinggalkan di satu tempat!"
"Jangan
berani dusta!" bentak Sabai Nan Rancak. Wajahnya yang putih merah membesi.
"Kalau
tidak percaya silahkan geledah!" jawab Marang Tongga.
"Kalau
begitu sekantong emas itu terpaksa kau ganti dengan nyawamu sendiri!" kata
Sabai Nan Rancak pula. Lalu masih memegang ranting kayu di tangan kanan dia
melangkah mendekati Marang Tongga.
Lelaki
tinggi besar ini segera mencium bahaya. Maka dia cepat berkata. "Tunggu
dulu Sabai! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Apa
kau tuli? Tidak dapat kau kembalikan sekantong emas itu, berarti kematian
bagimu!"
"Jangan
begitu Sabai. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian baru? Kami bertiga
bersumpah akan mencari Tua Gila sampai dapat membunuhnya dan menyerahkan
mayatnya padamu!"
"Janji
dan sumpah hari ini tidak laku lagi Marang Tongga! Sekali aku bilang kau harus
mati tak dapat ditawar-tawar lagi. Atau mungkin dua kawanmu itu bisa mewakili
kematianmu?!"
Berubahlah
paras si cebol Alam Babegah dan Sidi Kumango mendengar ucapan si nenek.
Sebaliknya Marang Tongga menyeringai la!u berkata.
"Jika
kau memang suka nyawa mereka silahkan ambil!"
"Marang
Tongga! Kau sudah gila!" teriak Sidi Kumango.
"Dia
yang memimpin! Dia yang bertanggung jawab! Dia yang harus kau bunuh!"
menimpali
Alam
Babegah. Si nenek tertawa panjang. "Daripada susah-susah menentukan siapa
yang harus kubunuh bagusnya kalian bertiga aku habisi saja!"
Sabai Nan
Rancak melesat ke depan. Ranting di tangan kanannya menyambar, berubah menjadi
tebaran bayangan hitam mengeluarkan suara menderu. Tiga lelaki berseru kaget.
Marang Tongga melihat ujung ranting menyambar ke arah keningnya. Cepat dia
melompat mundur. Alam Babegah membuang diri ke samping begitu ujung ranting di
tangan si nenek membabat ke perutnya. Yang terlambat menyelamatkan diri adalah
Sidi Kumango. Ranting kayu menancap telak di batang lehernya sebelah kiri,
tembus sampai ke kanan. Dari tenggorokannya terdengar suara seperti ayam
dipotong. Ketika Sabai Nan Rancak menarik ranting, darah pun memancur dari
lobang luka di leher Sidi Kumango! Tubuhnya terhuyung beberapa kali sebelum
roboh dan menggeletak di tanah tanpa nyawa lagi!
Si nenek
tertawa mengekeh. "Kalian sudah tahu! Sabai Nan Rancak tidak bisa dibuat
main-main! Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" La!u sepasang mata
perempuan tua ini melirik tajam pada Marang Tongga.
"Kalau
kulawan tak ada gunanya! Aku masih ingin hidup!" membatin Marang Tongga.
Sebelum si nenek kembali menyerbu dia segera berseru. "Sabai! Kita sudahi
urusan sampai di sini! Kantong emas yang satu lagi segera aku kembalikan
padamu! Ini ambillah!"
Dari
balik bajunya Marang Tongga keluarkan sebuah kantong kain lalu dilemparkannya
ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek gerakkan tangan kanannya yang memegang
ranting. Kantong kain serta merta terkait di ujung ranting.
"Kau
sudah mendapatkan kantong emasmu! Jadi tak perlu kami berlama-lama di tempat
ini!" Marang Tongga memberi isyarat pada Alam Babegah. Tanpa tunggu lebih
lama kedua orang ini segera berkelebat pergi.
Sabai Nan
Rancak segera ambil kantong kain dari ujung ranting. Begitu diperiksanya
keluarlah caci maki dari mulut perempuan tua ini.
"Batu!
Jahanam betul! Berani menipu!"
Sabai Nan
Rancak bantingkan kantong kain berisi kerikil itu ke tanah. Sekali dia
berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu.
*********************
DUA
MARANG
Tongga dan si cebol Alam Babegah lari menuruni lereng Gunung Singgalang seperti
dikejar setan. Mereka sengaja menempuh bagian gunung yang ditumbuhi pepohonan
dan semak belukar lebat. Jika si nenek mengejar mereka pandangannya akan
terhalang oleh semak dan pohon serta kegelapan malam.
"Rasanya
sudah aman! Kita berhenti dulu untuk istirahat!" kata si cebol Alam
Babegah lalu berhenti berlari dan megap-megap seperti kehabisan napas.
"Jangan
mencari mampus! Kita belum berada di tempat aman! Ayo lari lagi!" bentak
Marang Tongga.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa bergelak. Nyawa Marang Tongga dan Alam Babegah seolah
terbang.
"Manusia-manusia
tak berguna! Kalian mau lari ke mana?!"
Itu
adalah bentakan si nenek Sabai Nan Rancak. Dua lelaki di balik semak belukar
serta merta menghambur. Namun gerakan mereka tertahan karena tahu-tahu di depan
sudah menghadang nenek berwajah putih itu!
Tak ada
jalan lain. Kalau lari tidak bisa terpaksa mengadu nyawa. Maka Marang Tongga
dan Alam Babegah sama-sama lepaskan pukulan tangan kotong.
"Kraaaakk!"
"Braaak!"
Sebatang
pohon besar tumbang. Semak belukar rambas berhamburan. Si nenek lenyap dari
pemandangan. Lalu terdengar suara kekehannya di belakang. Lelaki tinggi besar
dan kawannya si cebol segera memutar tubuh dan kembali hantamkan serangan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun yang diserang telah lenyap.
Kembali terdengar suara tawanya. Marang Tongga dan Alam Babegah menghantam ke
arah datangnya suara tawa itu. Tapi lagi-lagi mereka menyerang tempat kosong. Ketika
mereka berusaha mencari tahu di mana beradanya si nenek tibatiba "Bukk!
Bukkk!"
Jeritan
kaget dan kesakitan keluar dari mulut Marang Tongga dan Alam Babegah. Tubuh
keduanya mencelat sampai satu tombak. Marang Tongga mengurut rusuk kirinya. Dua
tulang iganya patah. Rasa sakit seolah menusuk ke seluruh tubuh. Menahan sakit
dan berpegangan pada sebatang pohon dia bangkit berdiri. Di samping kirinya
dilihatnya Alam Babegah menyangsrang di atas serumpunans semak belukar.
Kepalanya berlumuran darah. Sepasang matanya membeliak.
"Alam…"
bisik Marang Tongga memanggil. Kepala orang yang dipanggil terkulai ke samping.
Tubuhnya kemudian rebah, jatuh tepat di depan kaki Marang Tongga.
Saat itu
pula terdengar suara tawa panjang nenek muka putih. Tengkuk Marang Tongga
menjadi dingin. Dia memandang berkeliling mencari tempat untuk lari. Namun
jangankan lari, menindak satu langkah saja rusuknya yang cidera sakit bukan
main.
"Marang
Tongga manusia penipu! Apa kau sudah siap menyusul teman-temanmu?!" Suara
Sabai Nak Rancak menggema dalam rimba belantara. Di lain saat sosoknya muncul
dari dalam kegelapan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan lelaki tinggi besar
itu.
"Sreettt!"
Marang
Tongga keluarkan sebilah golok bermata dua. Walau suasana gelap, senjata ini
mengeluarkan cahaya berkilauan tanda bukan senjata sembarangan.
"Golok
Iblis Bermata Dua!" ujar si nenek begitu melihat senjata di tangan Marang
Tongga. "Hebat namanya tapi hanya pantas untuk menjagal ayam! Hik… hik…
hik!"
"Tua
bangka keparat! Kalaupun aku mati di tanganmu, setanku akan gentayangan
mencarimu! Kau akan kucekik sampai mampus!"
"Hebat!"
seru si nenek mengejek.
"Rasakan
golokku!" teriak Marang Tongga.
Dia
lancarkan gerakan setengah melompat. Golok di tangannya membabat dari atas ke
bawah, membuat gerakan membelah.
"Craaasss!"
Yang
terbelah bukannya kepala nenek Sabai Nan Rancak melainkan sebatang cabang pohon
yang diangsurkan perempuan tua itu. Lalu terjadilah hal yang tidak diduga
Marang Tongga. Batang kayu yang terbelah dan ujungnya masih berada dalam genggaman
Sabai Nan Rancak tibatiba berputar menjepit golok iblis Bermata Dua.
Marang
Tongga tidak mau kehilangan senjatanya karena itu satu-satunya harapan untuk
menyelamatkan jiwanya. Didahului bentakan keras lelaki itu membuat gerakan aneh
sambil kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sabai Nan Rancak terhuyung sesaat.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Marang Tongga untuk melepaskan senjatanya dari
jepitan belahan kayu. Begitu golok terlepas dengan gerakan kilat dia membabat
ke depan. Cahaya golok berkilauan di kegelapan malam.
"Breettt!"
Si nenek muka putih terpekik dan cepat melompat mundur. Baju hitamnya di
sebelah bahu robek besar. Dia merasa perih pertanda ada bagian tubuhnya yang
terluka.
"Jahanam!"
rutuk Sabai Nan Rancak. Belahan batang kayu di tangan kanannya dihantamkannya
ke tubuh Marang Tongga. Yang diserang cepat mengelak sambil melintangkan golok
menangkis serangan lawan. Ujung batang kayu terbabat putus. Tangan Marang Tongga
tergetar keras. Goloknya hampir terlepas. Pada saat itulah si nenek muka putih
melesat ke depan. Batang kayu di tangan kanannya menderu dan berubah laksana
puluhan banyaknya. Lalu, "braaakkk!"
Marang
Tongga hanya sempat keluarkan pekikan pendek. Tubuhnya terpental sampai tiga
tombak. Mukanya hancur akibat hantaman batang kayu. Nyawanya tidak tertolong
lagi. Satu bayangan berkelebat di belakang si nenek. Secepat kilat Sabai Nan
Rancak membalik dan hantamkan batang kayu yang masih ada dalam genggamannya.
"Guru!
Tahan! Ini aku! Puti Andini!" Orang yang hendak diserang berteriak lalu
melompat jauh menghindari serangan maut si nenek. Saat itu si nenek sendiri
sudah tarik serangannya. Matanya dibesarkan untuk melihat lebih jelas di dalam
gelap.
"Hemmm….
Benar dia adanya…. Kembali malarn-malam buta begini. Agaknya anak ini datang
tidak membawa kabar baik bagiku…" kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Lalu
dia berkata. "Ikuti aku!"
Habis
berkata begitu, si nenek berkelebat ke atas gunung. Puti Andini, gadis yang
tadi hendak diserang si nenek terpaksa lari mengikuti.
Sampai di
pedataran di lereng gunung, Sabai Nan Rancak duduk di atas sebuah batu di depan
mnlut goa.
"Aku
menaruh firasat kau kembali dengan tangan hampa! Lekas ceritakan padaku apa
yang telah terjadi selama beberapa bulan kau berada di tanah Jawa!" Si
nenek langsung ajukan pertanyaannya begitu gadis berbaju putih itu duduk
bersi!a di hndapannya dan memberi hormat berulang kali.
"Dugaan
guru tidak meleset! Untuk itu, aku murid yang tolol mohon maaf dan
ampunanmu!"
"Sudah!
Jangan bicara berbasa-basi pakai peradatan segala! Katakan saja apa kau
berhasil mendepatkan Kitab Putih Wasiat Dewa? Apa kau juga berhasil membunuh
Tua Gila dan Pendekar 212 Wiro Sableng?!"
Sang
murid tidak segera menjawab karena perhatiannya tiba-tiba saja tertuju pada
sesosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang menggeletak di
pedataran itu. Ketika dia melihat wajah orang itu tanpa disadarinya dia
keluarkan seruan tertahan. Mukanya dipalingkan ke arah Sabai Nan Rancak.
"Guru….
Bagaimana Tua Gila berada di sini dan sudah jadi mayat? Padahal aku…."
"Buka
matamu lebar-lebar. Keparat yang sudah jadi bangkai itu bukan Tua Gila!"
kata si nenek dengan suara menyentak. "Dari ucapanmu jelas sudah kau tidak
berhasil membunuh tua bangka berotak miring itu! Benar begitu?"
"Murid
mohon maaf dan ampun beribu ampun…."
"Kau
juga tidak berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng!"
Si gadis
mengangguk.
"Kau
juga tidak berhasil mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa!"
Kembali
Puti Andini mengangguk.
Saking marahnya
tubuh si nenek sampai terlompat. Sambil berkacak pinggang di depan muridnya dia
mendamprat! "Lalu apa saja kerjamu berbulan-bulan di tanah Jawa? Hanya
berjalan-jalan mencari kesenangan sendiri?!"
"Maaf
guru. Biarkan aku menerangkan apa yang telah kualami…" jawab Puti Andini.
"Tanah Jawa terlalu keras bagiku! Terlalu banyak orang berkepandaian
tinggi. Bukan saja aku telah menemui kegagalan tapi bahkan hampir menemui ajal
secara keji kalau tidak diselamatkan oleh Tua Gila musuh besarmu itu…"
Sabai Nan
Rancak memandang dengan mata mendelik tak berkesip. Hampir tidak percaya dia
atas apa yang dijelaskan muridnya.
"Otakmu
rupanya sudah dicuci orang. Sampai-sampai kau kini merasa menaruh hutang budi
dan nyawa pada musuh besarku!"
"Guru,
jangan kau bersalah sangka. Aku telah berusaha membunuhnya tapi gagal. Ilmu
kepandaiannya jauh dari yang aku miliki. Jika saja guru berada di Teluk
Penanjung di Pangandaran menyaksikan sendiri kegegeran besar yang terjadi di
sana, mungkin guru akan berpikir lain. Dalam pada itu aku sempat mencuri dengar
percakapan antara Tua Gila dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan mustahil
orang terlalu banyak salah duga akan tindak tanduknya dimasa lalu. Bukan
mustahil tuduhan terhadap dirinya telah bercampur dengan fitnah yang dilancarkan
oleh orang-orang yang iri dan sakit hati. Karena kalau murid berpikir-pikir
mana mungkin satu orang bisa membunuh sampai tiga ratus orang seperti yang
dituduhkan padanya?"
Sabai Nan
Rancak mendengus. "Otakmu benar-benar sudah dicuci orang Andini! Lidahmu
sudah dibalik! Hingga jalan pikiranmu kini jadi berbeda dan ucapanmu berubah!
Aku merasa menyesal telah mengutusmu ke tanah Jawa. Yang kau hasilkan hanya
menambah sakit hati dendam kesumatku terhadap Tua Gila!"
"Guru,
aku hanya mengatakan apa yang aku lihat dan aku dengar…."
"Ketika
peristiwa itu terjadi kau lahir pun belum! Bungguh menyakitkan kalau seorang
murid lebih mempercayai kenyataan di luar daripada apa yang dlkatakan
gurunya…."
Puti
Andini tundukkan kepala mendengar ucapan gurunya itu. "Guru, sebenarnya…."
"Diam!
Jangan terlalu banyak bicara! Pikiranku sedang kusut! Saat ini aku ingin
membunuh siapa saja! Temasuk kau!"
"Guru,
aku menyadari kesalahanku. Aku siap menerima hukuman. Dibunuh sekalipun rasanya
aku lkhlas. Atau mungkin guru ingin aku bunuh diri saja untuk menebus
kesalahanku?"
Walau
dirinya diselimuti kemarahan namun mendengar kata-kata sang murid Sabai Nan
Rancak jadi terperangah juga. Lama dia terdiam. Lalu dengan nada sedih dia
bertutur.
"Puluhan
tahun lalu ketika aku seusiamu, aku berkenalan dengan seorang pendekar muda
bernama Sukat Tandika. Kami sama-sama jatuh cinta dan membina cinta sambil
menambah ilmu kepandaian. Suatu ketika pemuda itu berangkat meninggalkan pulau
Andalas menuju tanah Jawa guna menambah iimu kepandaian. Sebelum pergi dia
telah berjanji akan segera kembali dan kami akan melangsungkan perkawinan. Aku
sangat mempercayai dirinya. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang.
Aku mendapat kabar selama berguru pada seorang sakti di tanah Jawa dia menjalin
hubungan cinta dengan seorang gadis saudara satu gurunya bernama Sinto Weni
yang sekarang dikenal dengan nama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212. Seperti,
aku, Sinto Weni tentu juga mengharapkan kelak dikemudian hari bisa hidup
sebagai suami istri dengan Sukat Tandika. Tapi pemuda itu kembali berlaku
culas. Sinto Weni ditinggalkannya mentah-mentah setelah terpikat dengan seorang
janda kembang, cantik jelita, puteri Adipati Plered…. "
Sabai Nan
Rancak hentikan penuturannya sesaat. Dia memandang ke arah kejauhan seola
mencoba menembus kegelapan malam. Kemudia dia melanjutkan.
"Akibat
hubunganku dengan Sukat, aku mengandung. Lambat laun kandunganku semakin besar.
Aku tidak ingin hal memalukan itu diketahu orang-orang dunia persilatan. Aku
mengucilkan diri di satu tempat rahasia sambil meminta bantuan beberapa orang
teman agar memberitahu keadaan diriku. Dua diantara mereka berhasil menemui
Sukat Tandika. Tapi pemuda itu tidak mempercayai kalau aku sudah berbadan dua.
Malah dia menuduh aku main gila dengan lelaki lain! Jahanam betul! Bagaimanapun
dibujuk dan diberi pengertian namun Sukat Tandika tetap tidak perduli. Apalagi
saat itu dia sedang mabuk asmara menjalin cinta dengan puteri Adipati Plered
itu. Mereka akhirnya kawin. Ternyata rumah tangga mereka kacau balau. Kabarnya
Adipati Plered dan puterinya hanya menginginkan ilmu kepandaian Sukat Tandika.
Begitu dapat maka mereka tidak memerlukan pemuda itu lagi. Sukat Tandika
diperlakukan secara hina. Bukan itu saja, ada yang mengatakan bahwa istri Sukat
Tandika berbuat serong dengan seorang pemuda dari Blambangan. Tiga bulan
berselang sang istri jatuh sakit terus meninggal dunia. Ada yang menduga Sukat
Tandika telah meracuni istrinya hingga menemui ajal.
Yang
jelas sejak istrinya meninggal terjadi kelainan dengan diri Sukat. Dia sering
melamun, bicara sendiri, kadang-kadang tertawa tak tahu juntrungan. Lambat laun
perilaku menantunya itu membuat muak Adipati Plered. Sukat Tandika diusir dari
gedung besar kediaman sang Adipati. Terjadi perkelahian hebat. Sang Adipati
yang telah memiliki hampir seluruh ilmu kepandaian Sukat Tandika tidak mudah
dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus akhirnya Adipati itu tewas! Ini
adalah korban pertama dari puluhan bahkan ratusan korban lainnya.
Selama
belasan tahun Sukat Tandika menghilang. Tidak diketahui apakah dia berada di
pulau Andalas ini atau masih mengembara di tanah Jawa. Kemudian ada kabar yang
mengatakan bahwa suatu ketika Sukat Tandika muncul di tempat kediaman Sinto
Weni di puncak Gunung Gede. Dia mencoba berbaik-baik dan meminta Sinto Weni
bersedia dijadikan istrinya. Namun Sinto Weni sudah terlanjur kecewa dan
bersumpah tidak akan kawin dengan siapapun termasuk Sukat Tandika yang pernah
dicintainya itu. Walau mereka berpisah secara baik-baik tapi Sukat Tandika
mengalami goncangan batin yang hebat. Kelainan jiwanya semakin parah. Dalam
keadaan seperti itu dia kembali ke pulau Andalas. Beberapa kali dia coba
menemuiku. Mengajak menjalin hubungan kembali. Tapi cintaku telah berubah menjadi
sakit hati dan dendam kesumat yang hanya bisa pupus kalau dia terbunuh oleh
tanganku atau orang suruhanku!
Untuk
kedua kalinya Sukat Tandika melenyapkan diri dalam dunia persilatan. Belasan
tahun tagii berlalu. Aku dan juga tokoh-tokoh silat yang dulu pernah muda telah
menjadi tua bangka lapuk tak berguna. Sementara itu aku menyirap kabar bahwa
Sukat Tandika menetap di sebuah pulau di pantai barat Andalas. Aku tidak
meminta tapi ada kawan-kawan yang coba menyelidik. Namun setelah menyelidik ke
beberapa pulau Sukat Tandika tidak ditemukan. Di pantai barat pulau Andalas
banyak sekali bertebaran pulau-pulau kecil. Untuk mendatangi dan menyelidikinya
satu persatu bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun…."
"Guru,
harap maafkan kalau aku memotong dengan satu pertanyaan. Kau belum menerangkan
kelanjutan dari kandunganmu…."
"Kita
akan sampai ke sana," jawab Sabai Nan Rancak dengan suara perlahan.
"Ada beberapa peristiwa yang perlu aku beritahu dulu padamu. Hampir
bersamaan dengan lenyapnya Sukat Tandika, dalam dunia persilatan muncul seorang
tokoh aneh berotak miring. Dia membuat kekacauan dimana-mana dan melakukan
pembunuhan semudah dia membalik telapak tangan. Selama belasan tahun dia malang
melintang dalam dunia persilatan menebar maut. Orang-orang persilatan golongan
putih merasa tidak senang walau kebanyakan korban yang mati di tangan tokoh
ganas berotak tidak waras itu adalah mereka dari golongan hitam atau pejabat
penjahat sesat. Ketika orang mengetahui siapa dirinya sebenarnya maka manusia
itu dijuluki Pendekar Gila Patah Hati. Ada juga yang menyebutnya Iblis Gila
Pencabut Jiwa. Aku lebih mengenalnya dengan sebutan Tua Gila!"
Berubahlah
paras Puti Andini mendengar ucapan terakhir gurunya itu. Waktu gurunya
menyuruhnya berangkat ke tanah Jawa dengan tugas mencari Kitab Putih Wasiat
Dewa, membunuh Pendekar 212 dan mencari serta membunuh Tua Gila, sebenarnya
gadis itu telah menduga-duga adanya silang sengketa antara gurunya dengan Tua
Gila. Namun dia tidak mengira sehebat itu kejadian di masa lampau. Tidak salah
kalau gurunya mendendam luar biasa terhadap Tua Gila.
"Guru
harap maafkan kalau aku berlaku kurang ajar. Tapi aku ingin menanyakan sekali
lagi mengenai kejadian dirimu setelah kau ditinggal Sukat Tandika dalam keadaan
hamil."
"Aku
melahirkan seorang anak perempuan. Karena tak sanggup memelihara bayi itu aku
serahkan pada penduduk di kaki gunung untuk dirawat ba-k-baik. Aku setuju saja
orang memberinya nama Andam Suri. Setelah dewasa ternyata dia tumbuh menjadi
seorang gadis cantik. Dia kemudian menikah dengan seorang yang aku tidak pernah
mengenal. Namanya juga tidak aku ketahui. Aku hanya tahu gelarnya. Datuk Paduko
Intan. Tak lama seteiah kawin anakku melahirkan seorang bayi perempuan. Hanya
malang karena sakit-sakitan dan juga mungkin kurang perawatan dan perhatian
dari suaminya Andam Suri meninggal dunia sewaktu melahirkan bayinya…."
"Kalau
anak itu masih hidup…" ujar Puti Andini.
"Dia
memang masih hidup," kata Sabai Nan Rancak.
"Kira-kira
sebesar siapakah dia sekarang? Siapa pula namanya?" tanya sang murid.
"Kira-kira
seusiamu. Namanya Puti Andini…" jawab si nenek muka putih.
Sang
murid seperti mendengar halilintar di depan hidungnya. Wajahnya memucat dan
dadanya mendadak saja sesak menggemuruh.
"Guru…."
"Kau
memang cucuku, Andini," kata si nenek Sepasang matanya berkaca-kaca.
Dalam
hati Puti Andini berkata. "Kalau aku cucu mu berarti juga cucu Tua Gila.
Pantas setiap bertemu dia selalu memanggil aku cucu. Tak tahunya…."
Melihat
mata si nenek berkaca-kaca, Puti Andini ikut basah kedua matanya. Entah sadar
entah tidak meluncur saja ucapan dari mulut si gadis. "Kalau antara kita
memang ada pertalian darah mengapa semua hal di masa lampau itu tidak dilupakan
saja…?"
Sabai Nan
Rancak usap kedua matanya. Lalu dia memandang melotot pada muridnya.
"Kalau kau mampu mengeluarkan suara hatimu seperti itu kurasa kau tidak
layak jadi muridku! Kau sudah tahu dan mendengar dariku bagaimana derita
sengsara diriku akibat perbuatan Tua Gila! Kesengsaraan itu jatuh pula menimpa
dirimu. Kau tak pernah melihat ibumu! Juga tidak pernah mengenal ayahmu! Semua
gara-gara Tua Gila keparat! Pantaskah aku berbaik-baik dengan jahanam itu? Jika
kau merasa dekat dengan dia pergilah menemuinya. Tinggal bersamanya, Bukankah
dia kakekmu juga? Jika itu sampai kau lakukan maka mulai sekarang putus
hubungan kita sebagai guru dan murid!"
"Mohon
dimaafkan guru. Maksudku bukan begitu. Aku melihat sendiri antara Tua Gila dan
Sinto Gendeng telah berbaik-baik…."
"Kau
lihat dimana?" tanya si nenek muka putih dengan mimik dan nada suara jelas
menunjukkan kecemburuan.
"Waktu
di Pangandaran. Mereka bahkan meninggalkan tempat itu berdua-duaan…."
Paras si
nenek mengelam. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Di kejauhan langit sebelah timur
tampak terang kekuningan tanda sebentar lagi sang surya akan segera terbit.
"Guru, kau mau ke mana?!" tanya Puti Andini. "Tampaknya aku
terpaksa turun tangan sendiri. Mungkin perlu bantuan dari beberapa orang. Entah
kawan entah lawan aku tidak perduli. Tujuanku hanya satu! Tua Gila harus
mampus!"
"Kalau
begitu aku ikut denganmu," kata Puti Andini pula.
"Tidak,
kau tetap di gunung Singgalang ini. Kulihat kau kembali tanpa satu payung pun
dalam buntalanmu! Berarti kau memang belum layak berada dalam rimba
persilatan!"
Puti
Andini sedih sekali mendengar kata-kata gurunya itu. Dalam hati gadis ini
berkata. "Dia bisa saja berkata seperti itu. Sejak lima tahun terakhir dia
tidak pernah meninggalkan gunung Singgalang. Dia tidak tahu perubahan-perubahan
yang telah terjadi dalam rimba persilatan. Kalau saja dia sempat menjejakkan
kaki di tanah Jawa baru dia tahu tingkat ilmu silat dan kesaktian orang!
Pikirannya sempit hanya terbatas seputar gunung ini saja. Kalaupun ada yang
hebat dalam dirinya, itu adalah dendam kesumatnya terhadap Tua Gila!Langit di
sebelah timur semakin terang. Sabai Nan Rancak telah lama meninggalkan tempat
itu. Perlahan-lahan Puti Andini ayunkan kaki, melangkah gontai mendaki lereng
gunung. Tubuhnya serasa bayang-bayang. Pikirannya kosong. Namun anehnyaa di
pelupuk matanya tiba-tiba saja muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
*********************
TIGA
PENDEKAR
212 Wiro Sableng melangkah sepanjang lorong mengikuti Ratu Duyung hingga
akhirnya sampai di sebuah ruangan berbentuk bundar. Di dalam ruangan itu ada
sebuah benda setinggi manusia ditutup dengan sehelai kain berwarna biru gelap.
Ratu Duyung memandang sesaat pada Wiro lalu melangkah mendekati benda itu.
Dengan tangan kanannya ditariknya kain selubung. Begitu kain biru tersingkap
dan jatuh ke lantai Wiro melihat sosok tubuhnya sendiri tegak di hadapannya.
Walau sosok itu hanya merupakan patung namun buatannya begitu halus dan rapi
hingga hampir tidak berbeda dengan keadaan dirinya sebenarnya.
Ratu
Duyung berpaling pada Wiro. "Kau kulihat mengagumi patung dirimu ini. Tapi
sama sekali tidak ada tanda-tanda terkejut. Berarti kau sudah mengetahui atau
melihat patung ini sebelumnya?"
Wiro
mpngangguk. "Melalui ilmu menembus pandang yang kau berikan padaku dulu.
Bedanya sekarang aku melihat lebih jelas. Benar-benar hebat sekali buatannya.
Aku sangat kagum. Tapi…. Kalau aku boleh bertanya Ratu, mengapa patung diriku
sampai ada di sini. Lalu sejak kapan…?"
Gadis
bermata biru itu tersenyum. Ada bayangan rasa keperihan dibalik senyuman itu.
"Dirimu muncul pertama kali ketika aku mengetahui dari seseorang tokoh
bahwa hanya kau satusatunya orang yang dapat menolongku dan anak buahku dari
kutukan yang telah dijatuhkan oleh penguasa laut di kawasan ini. Sejak itu
setiap ada kesempatan dan jaraknya memungkinkan yaitu bila kau berada di
sekitar kawasan ini, aku pergunakan ilmu menembus pandang untuk melihat dirimu,
memperhatikan gerak gerikmu. Itu kulakukan selama hampir dua tahun. Hingga aku
tahu betul setiap sudut dan liku tubuhmu sebelah luar. Aku lalu memanggil
seorang ahli pemahat batu untuk membuat patungmu. Kemudian seorang ahli lainnya
melapisi patung itu dengan sejenis mata hingga kulit muka dan tubuhmu
benar-benar hidup, menyerupai dirimu. Seorang ahli lainnya menambahkan alis dan
rambut buatan serta pakaian. Kau lihat sendiri hasilnya…."
Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar keterangan Ratu Duyung itu.
"Lambat
laun aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta dengan patungmu. Lebih jauh dari
itu ada perasaan yang setiap saat mendorongku untuk dapat bertemu dengan
dirimu. Bukan saja karena aku tela jatuh cinta tapi karena hanya engkau seorang
yang bisa membebaskan diriku dan anak buah dari kutukan. Hingga kami semua
terlepas dari wujud kehidupan aneh. Tubuh setengah ikan setengah manusia….
(Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat
Sang Ratu).
Lama sang
Ratu terdiam sebelum dia kembal berkata. "Sekarang dengan kemauanmu
sendiri kau datang ke sini. Aku sangat berterima kasih. Mungkinkah tak lama
lagi kutukan atas diriku dan anak buahku benar-benar akan musnah?"
Wiro tak
menjawab. Tengkuknya tiba-tiba saja terasa dingin dan degup jantungnya
mengeras.
Dia lalu
ingat pada pertemuannya dengan Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu waktu
berada di Pangandaran tempo hari.
Saat itu
dia mengajukan pertanyaan. "Eyang, menurutmu apakah aku harus memenuhi
permintaannya. Tidur dengan dia agar dia bisa bebas dari kutukan itu…? Aku
berhutang budi dan nyawa padanya. Tapi aku juga takut berdosa…!"
Sinto
Gendeng menjawab. "Urusan dosa adalah urusan manusia dengan Tuhannya.
Urusanmu adalah antara manusia dengan manusia. Aku tidak akan mengatakan ya
atau tidak. Semua terserah padamu."
Karena
belum puas Wiro lantas bertanya lagi pada Kakek Segala Tahu. Tokoh aneh ini
belum dItanya malah sudah membuka mulut. "Kau tak usah bertanya. Aku siap
memberikan jawaban. Terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu untuk
sesuatu yang sudah didapatnya." (Baca serial Wiro Sableng berjudul Kiamat
di Pangandaran).
"Apa
yang ada di benakmu, Wiro?"
Pendekar
212 tersentak dari alam pikirannya oleh teguran Ratu Duyung itu. Dalam hatinya
sang Ratu sangat khawatir kalau pemuda itu akan berubah pikiran. Dia tidak
berani menatap ke wajah sang pendekar. Sebagai gantinya dia hanya memandang ke
wajah patung. Wiro maklum apa yang ada di lubuk hati gadis cantik bermata biru
itu. Maka sambil memegang tangan sang ratu dia berkata. "Mungkin semua ini
sudah suratan takdir kita sebagai makhluk lemah. Saling membutuhkan satu sama
lain sesuai kodrat-Nya…."
"Aku
gembira mendengar kata-katamu itu. Aku juga bersyukur pada Tuhan." Ratu
Duyung membalas pegangan Pendekar 212. Lalu diambilnya kain biru d1 lantai dan
diselubungkannya kembali ke patung Pendekar 212.
"Ratu
Duyung…" kata Wiro. "Kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan yang
memberi tahu padamu bahwa hanya diriku yang bisa membebaskan dirimu dari
kutukan itu?" "Aku tidak pantas memberi tahu. Tapi juga tak ada
larangan mengatakannya. Orangnya sahabat yang kau anggap seperti kakek sendiri.
Si Raja Penidur!" "Ah!" Wiro keluarkan seruan tertahan. Sambil
garuk-garuk kepala dia berkata, "Si gendut itu! Kerjanya sepanjang tahun
tidur melulu. Bagaimana dia bisa tahu aku orangnya?!"
Ratu
Duyung tersenyum. "Kau lupa akan kesaktian tokoh nomor satu dunia
persilatan itu? Matanya memang tidur. Namun telinga dan pikirannya bekerja
seperti biasa…." Habis berkata begitu Ratu Duyung bertepuk dua kali. Dua
orang gadis cantik anak buah sang Ratu muncul.
"Antarkan
tamu kita ke tempat bersiram. Berikan pakaian yang baik. Hidangkan segelas
minuman. Setelah itu antarkan dia ke Puri Pelebur Kutuk."
Dua orang
anak buah Ratu Duyung membungkuk. Lalu dengan sikap hormat memberi tanda pada
Pendekar 212 untuk mengikuti mereka.
Yang
dinamakan Puri Pelebur Kutuk adalah sebuah bangunan putih beratap merah
terletak di puncak sebuah bukit kecil berumput hijau. Di sekeliling puri
bertumbuhan berbagai pohon bunga. Karena bunga-bunga sedang berkembang maka
pemandangan di tempat itu sungguh sangat indah.
"Kami
hanya mengantarmu sampai di sini. Kami dilarang keras masuk ke dalam Puri
Pelebur Kutuk," Berkata salah seorang dari dua gadis cantik yang mengawal
Wiro sampai di pintu bangunan.
"Dilarang
keras? Memangnya ada apa di dalam sana?" tanya Pendekar 212 heran. Saat
itu dia telah mengenakan seperangkat pakaian bagus berwarna biru dan memakai
ikat kepala kain merah. Tubuhnya terasa segar sehabis mandi. Apalagi anak buah
Ratu Duyung memberikan sejenis wewangian pengharum tubuhnya. Dia merasa seperti
seorang Pangeran saja saat itu.
"Kami
tidak tahu. Kami tidak pernah masuk ke dalam. Kami tidak diperbolehkan masuk ke
dalam Puri Pelebur Kutuk ini. Kami harus pergi sekarang. Kami berdoa semoga kau
berhasil…."
"Berhasil
apa?" tanya Wiro pula.
"Membebaskan
kami dari kutukan yang menyiksa itu," jawab si gadis di sebelah kiri. Lalu
bersama kawannya cepat-cepat dia meninggalkan lempat itu. Wiro perhatikan dua
gadis itu hingga lenyap di kejauhan. Dia membalikkan badan. Di depannya ada
arbuah pintu kayu berwarna merah dalam keadaan lertutup.
"Warna
merah biasanya menyembunyikan bahaya…" kata murid Sinto Gendeng dalam
hati. Dengan hati-hati daun pintu didorongnya. Perlahan-lahan pintu merah itu
bergerak membuka ke arah dalam. Pada saat yang sama terdengar suara berdesir.
Telinga Wiro yang tajam dan pendengarannya yang sudah terlatih mendengar
berbagai macam suara membuat dia segera mengetahui ada senjata rahasia melesat
dari dalam bangunan. Secepat kilat dia jatuhkan diri lalu berguling menjauhi
amban pintu.
DugaanWiro
tidak meleset. Dari dalam bangunan melesat dua buah benda. Yang pertama lenyap
dan jatuh di kejauhan. Satunya lagi menancap di batang pohon sejauh tiga tombak
dari pintu. Benda itu ternyata adalah sebilah pisau besar, hampir menyerupai
golok kecil. Badan dan gagang golok terbuat dari besi merah.
"Ratu
Duyung rupanya menjebakku!" kata Wiro dalam hati lalu dengan cepat bangkit
berdiri. Sepasang matanya memandang berkeliling, khawatir kalau tempat itu
dipasangi peralatan rahasia lainnya. "Tapi kalau dia ingin membunuhku
bukankah sama saja dia mencari celaka sendiri? Kutukan yang menguasai dirinya
tidak akan pernah lenyap! Urusan gila macam apa yang aku hadapi saat ini!"
Wiro
memandang ke arah pintu yang terbuka. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat
jelas bagian dalam bangunan. Berlantai merah lalu ada perm dani panjang
berwarna biru di sebelah tengah. Ujung permadani ini berakhir pada sebuah
tempat tidu tembaga berlapis emas yang bagus sekali. Di kanan tempat tidur
terletak sebuah kursi juga terbuat dari tembaga berlapis emas. Bau harum
semerbak menghambur keluar dari dalam ruangan. Murid Si Gendeng jadi tercekat.
"Jadi ini tempatnya? Dan Ranjang Pelebur Kutuk…?! Apakah aku harus masuk
ke dalam ruangan itu atau lebih baik tetap di sini dulu? Jangan-jangan tempat
tidur itu dipasangi alat rahasia. Begitu aku nangkring di atasnya putus
anuku!" Wiro garuk-garuk kepala. Saat itulah tiba-tiba dinding sebelah
kiri ruangan seperti bergeser. Lalu tampak Rutu Duyung melangkah anggun
mengenakan jubah merah darah. Mahkota kerang warna biru yang biasanya bertengger
di kepalanya kini berganti dengan sebuah mahkota besar terbuat dari emas
bertabur intan berlian.
Di tangan
kanannya Ratu Duyung memegang sebuah piala terbuat dari perak. Wiro tak tahu
apa isinya. Dari dalam piala ini keluar kepulan asap merah kekuningan.
"Pendekar
212 Wiro Sableng, aku mengundangmu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk…."
Ratu Duyung berkata. Suaranya menggema di dalam ruangan itu.
Wiro tak
bergerak. Belum pernah dia melihat sang Ratu seanggun dan secantik seperti saat
ini.
"Tidak
usah ragu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Silahkan masuk Wiro."
"Ratu,
barusan dua golok yang digerakkan oleh senjata rahasia hampir saja menembus
tubuhku! Aku tidak mengerti…."
"Itu
hanya satu ujian kecil Wiro. Dan kau berhasil lolos."
"Kalau
aku gagal berarti apa yang kau inginkan tak akan pernah terkabul!" ujar
Wiro.
Ratu
Duyung tersenyum. "Apakah kau telah menemui kegagalan?"
Wiro
tertawa lebar. "Memang tidak," katanya sambil garuk-garuk kepala.
"Kalau aku bertanya apa maksud ujian itu?"
"Untuk
membuktikan bahwa kau betul-betul masih perjaka."
"Apa?!"
seru Wiro kaget dan mukanya menjad merah.
"Seorang
yang tidak perjaka lagi tidak akan mampu menyelamatkan diri dari due golok
terbang tadi. Kau berhasil menyelamatkan diri. Berarti apa yang pernah kau
katakan dulu padaku bukan kedustaan."
Wiro
hanya bisa menarik napas dalam da garuk-garuk kepala lagi.
"Kalau
tidak ada yang kau khawatirkan lagi silahkan masuk ke dalam sini. Duduklah di
kursi sebelah kiri. Aku memilih kursi sebelah kanan."
Wiro
langkahkan kaki melewati ambang pintu. Dia merasa lega begitu masuk ke dalam
ruangan tanpa terjadi apa-apa. Seperti yang dikatakan Ratu Duyung dia duduk di
kursi sebelah kiri tempat tidu Ratu Duyung menyusul duduk di kursi sebelah
kanan. Pada saat itu pintu merah yang tadi terbuka perlahan-lahan menutup.
"Sebelum
datang ke tempat ini aku telah mengumpulkan semua anak buahku. Kukatakan pada
mereka apa yang akan segera terjadi. Mereka menyambut penjelasanku dengan mata
berkacakaca. Banyak yang menangis. Begitu aku meninggalkan mereka, semuanya
mulai berdoa memohon pada Yang Kuasa agar kita berhsil…."
"Gila!
Urusan begitu masakan harus diberitahu pada anak buahnya segala!" kata
Wiro dalam hati.
"Wiro,
di dalam piala perak ini ada cairan beras dari tetesan embun murni yang
dikumpulkan selama tiga tahun. Selama tiga tahun pula piala dan isinya
diletakkan di satu tempat dan dikeluarkan pada setiap kali sang surya keluar
dari ufuk terbitnya. Sentuhan sinar merah kekuningan sang mentari telah membuat
tetesan embun di dalam piala secara wneh bergejolak lembut seperti mendidih dan
mengepulkan asap merah kekuningan. Air dalam piala sendiri terasa sejuk dalam
peganganku dan akan lebih sejuk begitu masuk ke dalam tubuh kita…."
Setelah
berkata begitu Ratu Duyung lalu meminum air tetesan embun dalam piala sampai
setengahnya. Lalu tangan yang memegang piala diengkatnya ke atas. Ketika
jari-jari tangannya dilepas piala perak itu tampak seperti menggantung di
udara. Ratu Duyung dorongkan dua jari tangannya. Perlahan-lahan piala perak
bergerak di udara, melewati sebelah atas tempat tidur dan sampai di hadapan
Wiro.
"Aku
telah menghabiskan setengah air sejuk itu. Silahkan kau menghabiskan setengah
sisanya…."
"Ratu,
mengapa kita harus minum air embun ini segala?" tanya Pendekar 212.
"Air
embun murni itu akan menyejukan hati, darah dan tubuh kite, sehingga segala
nafas kotor dan keji akan lenyap, yang ada hanyalah hasrat untuk saling
menolong, rasa cinta kasih murni yang tidak tercemar oleh nafsu kotor. Sehingga
kita berbuat sesuai dengan yang dikehendaki, bukan sekedar pemuas nafsu
belaka."
"Aneh…
aneh… aneh!" kata Pendekar 212 berulang kali dalam hati. Dia memandang ke
dalam piala perak. Dilihatnya air embun bening putih bergejolak perlahan seolah
mendidih. Dia berpaling pada sang Ratu. Ratu Duyung anggukkan kepala dan
tersenyum. Wiro dekatkan piaia perak ke mulutnya lalu meneguk habis isi piala
itu. Dia merasakan satu kesejukan luar biasa dalam tubuhnya. Ruangan itu
dilihatnya lebih terang. Tubuhnya terasa ringan. Dia berpaling pada Ratu
Duyung.
"Angkat
ke atas piala perak itu. Lepaskan peganganmu. Biarkan piala melayang ke
udara…." Terdengar Ratu Duyung berkata.
Wiro
ikuti apa yang dikatakan orang. Begitu piala perak dilepaskannya, benda itu
melayang sendiri ke atas. Tepat ketika piala berada di pertengahan ruangan
yaitu di atas tempat tidur, Ratu Duyung jentikkan jari tangan kanannya.
Terdengar satu letupan halus. Piala perak berubah menjadi asap dan lenyap dari
pemandangan.
Wiro
berpaling kembali ke arah sang Ratu. Gadis cantik bermata biru itu balas menatap
ke arahnya. "Mulai saat ini diriku adalah milikmu, Wiro…" kata Ratu
Duyung perlahan hampir berbisik.
Ruangan
harum semerbak itu tiba-tiba menjadi suram. Suasana di tempat itu laksana di
bawah langit cerah malam hari diterangi sinar rembulan empat belas hari dan
taburan bintang gumintang. Ketika Wiro menoleh lagi ke arah Ratu Duyung, gadis
itu, ternyata telah membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Sepasang matanya
terpejam. Dadanya tampak berdegup turun naik.
Wiro
garuk-garuk kepala. "Apakah ini saatnya aku harus melakukan…?" pikir
Wiro. Semakin dipandangnya wajah sang Ratu semakin cantik paras itu
kelihatannya. Wiro bangkit dari kursi. Lututnya bergetar ketika dia melangkah
mendekati tempat tidur. Dia menjadi semakin tegang ketika duduk di tepi tempat
tidur dan berada demikian dekat dengan Ratu Duyung.
"Ratu…
apakah…."
"Wiro!
Jangan memikirkan apa-apa selain diri kita berdua. Jangan pikiran menguasai
hatimu! Kita sudah masuk di dalam takdir. Tak satu pun diantara kita boleh
mundur."
Ratu
Duyung memegang bahu Wiro. Sang pendekar merasakan satu getaran hangat
menjalari tubuhnya. Perlahan-lahan dia membungkuk merangkul tubuh gadis itu.
Sang Ratu balas memeluk erat. Demikian eratnya dua insan ini berangkulan hingga
mereka dapat merasakan kerasnya denyutan jantung masing-masing.
Pada saat
itulah di luar Puri Pelebur Kutuk tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti
suara halilintar. Bersamaan dengan itu pintu merah terpentang lebar. Lalu satu
cahaya kuning melesat masuk ke dalam ruangan.
*********************
EMPAT
DUA INSAN
yang tengah berpelukan mesra tersentak kaget dan lepaskan rangkulan
masingmasing. Wiro melompat ke tepi tempat tidur. Ratu Duyung dalam keadaan
masih terbaring cepat menutupi auratnya dengan pakaian lalu bersurut ke kepala
tempat tidur. Satu bau aneh menggidikkan memenuhi ruangan, seolah menelan bau
harum semerbak yang ada di situ sebelumnya.
"Bau
kembang kenanga!" desis Wiro. Lalu dilihatnya wajah Ratu Duyung pucat
seperti ketakutan. Sepasang matanya yang biru membelalak besar ke arah pintu.
Dari mulutnya keluar bentak keras.
"Siapa
kau?"
Wiro
memandang ke arah pintu. Dia tidak melihat siapa di situ. Tetapi mengapa Ratu
Duyung seolah melihat seseorang di sana?
"Ratu….
Ada apa! Apa yang terjadi? Siapa yang barusan kau bentak…?"
Ratu
Duyung menunjuk ke arah pintu. "Gadis berbaju kebaya putih panjang
itu!" teriaknya.
Wiro
kembali berpaling ke arah pintu.
"Aku
tidak melihat siapa-siapa!"
"Wiro!
Awas! Dia bergerak mendekatimu!" jerit Ratu Duyung. Lalu dia pukulkan tangan
kanan ke arah pintu. Selarik sinar biru berkiblat. Sebalik dari arah pintu
melesat sebuah benda kuning kehijauan, berbentuk bintang, menebar bau
mengidikkan. Sinar pukulan sakti yang dilepaskara Ratu Duyung menghantam benda
kuning kehijauan tadi. Terdengar letusan keras menggeledek di tempat itu. Pintu
Pui Pelebur Kutuk hancur berantakan. Beberapa bagian dinding ruangan bobol.
Di atas
ranjang Ratu Duyung duduk tersandar dengan mata melotot. Dari sela bibirnya
mengucur darah kental. Wiro sendiri saat itu tergeletak di lantai dalam keadaan
tak sadarkan diri. Benda kuning hijau yang hancur akibat pukulan sakti Ratu
Duyung tadi bertabur ke arah mukanya. Begitu tersedot jalan pernapasannya tak
ampun lagi Wiro oboh pingsan.
"Jangan!"
tiba-tiba Ratu Duyung berteriak. Darah menyembur dari mulutnya. "Jangan
bawa dia! Demi Tuhan jangan bawa dia!"
Sang Ratu
tak mampu berbuat lebih dari itu. Sekujur badannya seolah terikat ke tempat
tidur sehingga dia tak bisa bangkit ataupun bergerak. Di depannya sosok makhluk
berwajah gadis cantik tapi bermuka pucat dan mengenakan kebaya panjang putih
berkelebat lenyap setelah sebelumnya meyambar tubuh Pendekar 212.
"Kembalikan
dia! Jangan! Kembalikan dia!" teak Ratu Duyung lagi. Napasnya sesak. Darah
makin banyak keluar dari mulutnya. Matanya yang membeliak perlahan-lahan
mengecil.
Enam anak
buah Ratu Duyung menghambur masuk ke dalam ruangan. Mereka terpekik ketika
melihat keadaan pemimpin mereka.
"Kejar!"
teriak Ratu Duyung. Lalu kepalanya terkulai ke samping.
Tiga
orang anak buahnya segera keluar dari Puri Pelebur Kutuk itu. Yang tiga lagi
cepat menutupi tubuh Ratu Duyung, melakukan beberapa kali totokan lalu
cepat-cepat membawa sang Ratu kelua, dari tempat itu.
************************
Pendekar
212 Wiro Sableng membuka kedua matanya. Memandang berkeliling dia dapatkan
dirinya berada dalam sebuah goa. Udara dalam goa it g sejuk pertanda berada di
satu tempat ketinggian. Mungkin gunung atau bukit. Di kejauhan terdenga suara
kicau burung.
"Apa
yang terjadi dengan diriku? Di mana aku berada saat ini?" pikir Wiro. Dia
bangkit dan duduk sambil memandang berkeliling. Penglihatannya tak kurang suatu
apa, begitu juga pendengarannya. Namun sosok tubuhnya terasa lemas. Mulutnya
terasa kering. Tenggorokannya sakit. Dirabanya bibirnya. Kering. Dengan
beringsut Wiro bergerak menuju cahaya terang yaitu dimana mulut goa terletak.
Begitu
sampai di ambang mulut goa Wiro menyaksikan satu pemandangan yang sangat indah.
Saat itu masih pagi. Sang surya baru saja menyingsing. Titik-titik embun masih
menempel di dedaunan. Seperti diduganya goa itu memang berada di satu tempat
ketinggian, menghadap ke sebuah lembah subur di bawah mana terbentang sebuah
sungai. Jauh di sebelah barat kelihatan menjulang sebuah gunung hijau kebiruan.
Melihat
titik-titik embun yang melekat di dedaunan Wiro ingat pada piala perak berisi
air embun murni.
"Ratu
Duyung…" desis Wiro. "Sebelumnya aku berada di tempat Ratu Duyung.
Bagaimana tahu-tahu aku berada di sini? Apakah aku telah berhasil menolongnya?
Apakah dia telah terbebas dari kutukan Itu?" Wiro memandangi dirinya. Tak
ada luka atau cidera. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian bagus pemberian
Ratu Duyung. "Aku ingat betul…. Waktu aku jatuh pingsan aku sama sekali
tidak berpakaian. Siapa yang telah mengenakan pakaian ini ke tubuhku?"
Wiro
berusaha mengingat lebih jauh tapi mendadak perutnya terasa perih.
"Lapar….
Perutku keroncongan. Mungkin sudah berhari-hari aku tidak makan. Berarti aku
pingsan lama sekali. Siapa yang membawaku ke sini…? Waktu itu aku ingat…. Ya,
aku ingat." Ratu Duyung berteriak memperingatkan ada seseorang
mendekatinya. Lalu ada suara letusan dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Gila!
Aku tak bisa mengingat cepat. Perutku lapar sekali!" Sambil berpegangan
pada batang pohon di sampingnya Wiro bangkit berdiri. Dia coba menarik napas
dalam-dalam, menghirup udara pagi yang segar. Tiba-tiba dia memegang tubuhnya
di bagian pinggang kiri kanan. Hatinya lega. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu
hitam pasangannya ternyata masih ada padanya.
"Seseorang
telah menolongku. Mungkin bukan menolong. Yang jelas orang itu yang telah
membawaku ke tempat ini. Aku dibawanya ke sini. Untuk apa? Jika dia berniat
jahat pasti aku saat ini suda jadi mayat. Kalau dia berniat baik mengapa aku
ditinggalkan sendirian di tempat ini? Di mana orang nya sekarang? Sakit
kepalaku memikirkan semua ini! Usus dalam perutku mungkin sudah lengket tak
pernah disentuh makanan atau air." Memandang ke arah sungai di bawah sana
rasa haus membuat Wiro seperti mau gila. Dengan langkah tertatih-tatih dia
tinggalkan goa, berjalan menuruni lembah. Namun baru bergerak sekitar sepuluh
tombak, telinganya mendengar sesuatu berkelebat di belakangnya. Bau harum
kembang kenanga memenuhi tempat sekitar situ. Dengan cepat murid Sinto Gendeng
ini menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Dari balik semak belukar dia
memperhatikan ke arah mulut goa. Dia yakin barusan ada seseorang menyelinap
masuk ke dalam goa itu.
Dugaan
Wiro benar. Dia tidak menunggu lama. Satu sosok putih keluar dari dalam goa.
"Astaga!"
ujar Wiro. "Aku cuma melihat baying-bayang. Belum sempat memperhatikan
dengan baik tahu-tahu sudah lenyap! Atau mungkin pandanga, mata menipuku?
Karena lemah dan lapar?" Wiro menghirup dalam-dalam. "Bau itu bau
kembang kenanga. Mengingatkan aku pada seseorang…." Wajah Pendekar 212
mendadak sontak berubah. Dia memandang berkeliling. Lalu berseru. "Bunga!
Kau ada di sini…?"
"Wuuttt..!"
Satu
bayangan berkelebat. Harumnya kemba kenanga semakin menjadi-jadi. Wiro tersurut
beberapa langkah ketika bayangan itu tahu-tahu muncul di hadapannya. Mula-mula
sangat samarsamar.
Kemudian
perlahan-lahan berubah membentuk sosok seorang gadis cantik berpakaian kebaya
putih panjang berenda-renda. Celananya juga putih. Rambutnya yang panjang
setengah digulung dan dibentang di depan dada. Sesaat wajah itu masih tampak
pucat. Perlahan-lahan baru berubah kemerahan.
"Bunga,
benar kau rupanya…!" ujar Wiro seperti mau menghambur ke depan. Tapi
kekuatannya tidak menunjang. Tak ampun tubuhnya jatuh terperosok ke depan. Sebelum
dia jatuh tersungkur di tanah, dua tangan halus memegang bahunya.
"Bunga…."
"Wiro…."
Pendekar
212 peluk erat-erat gadis di hadapanya. Ketika hendak diciumnya gadis itu
jauhkan wajahnya lalu melepas pelukannya.
"Mungkin
dia malu karena lama sekali tidak bertemu tapi mungkin ada sesuatu yang
mengganjal dalam hatinya," pikir Wiro. Lalu dengan tunjukkan wajah ceria
Pendekar 212 bertanya.
"Lama
sekali kita tidak bertemu, Bunga. Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?
Apakah kau yang membawa aku ke sini?"
"Memang
lama sekali kita tidak pernah bertemu Wiro. Kau di alam duniamu yang serba
mudah. Aku di alam gaibku yang serba kelam. Kau tak pernah mengingat diriku
lagi…. Waktu dan pikiranmu tersita oleh segala macam urusan dunia. Agaknya kau
merupakan orang paling bahagia dalam duniamu. Disukai dan dicintai banyak
gadis…."
"Jangan-jangan
gadis ini cemburu pada Ratu Duyung," pikir Wiro. Untuk menggembirakan
hatinya, Wiro lalu berkata.
"Ah,
memang aku merasa bersalah. Tapi aku selalu dan sering ingat padamu…."
"Hanya
sekedar ingat apa artinya. Kau ingat terakhir kali kita bertemu? Lebih dari
setahun lalu. Agaknya kau tidak pernah menginginkan pertemuan lagi
denganku…."
"Bunga,
aku mungkin bersalah. Tapi dengan jujur aku katakan jangan kau bersalah duga.
Setiap aku ingin bertemu denganmu aku merasa aku hanya akan menyusahkanmu saja.
Karenanya kalau tidak perlu benar aku tidak ingin mengganggumu."
"Apakah
saat ini kehadiranku mengganggumu Wiro?"
"Ah!
Ada apa sebenarnya dengan gadis cantik dari alam gaib ini," membatin Pendekar
212. "Dia seperti tidak suka padaku. Tapi mengapa membawaku ke sini? Dia
seperti…."
"Aku
senang bertemu denganmu Bunga. Benar-benar senang. Lebih dari itu aku berterima
kasih kau telah membawaku ke sini. Kau telah menolongku…."
Bunga
gelengkan kepalanya. "Aku tidak menolongmu Wiro. Aku hanya menolong diriku
sendiri…,
"Aku
tidak mengerti maksudmu," kata Wiro pula.
"Aku
menolong diriku sendiri dari himpitan perasaan yang membuatku seperti mau gila.
Setiap aku mengingat dirimu aku ingin keluar dari alam gaibku menemuimu. Tapi
aku khawatir kau tidak menerima kehadiranku dengan senang. Kalaupun kau
memperlihatkan sikap suka mungkin hanya karena terpaksa…."
"Semua
dugaanmu itu salah belaka Bunga…."
"Mungkin
Wiro, tapi aku melihat dengan mata kenyataan. Seorang makhluk gaib sepertiku
ini yang oleh orang banyak disebut makhluk jejadian apa menguntungkannya bagimu
dibanding dengan seorang gadis dalam sosok asli manusia sejati?"
Wiro
mendekati Bunga, memeluk gadis itu dan berbisik. "Kau tahu perasaanku
terhadapmu Bunga. Sejak dulu aku ingin selalu dekat denganmu. Banyak jasa dan
budi yang telah kau tanam dan tak mungkin aku balas. Kalau aku boleh bertanya,
perasaan apa yang selama ini menghimpitmu?"
"Kau
sudah tahu jawabannya Wiro. Kau tahu isi hatiku terhadapmu…" jawab Bunga
alias Suci yang dalam dunia persilatan dijuluki Dewi Bunga Mayat. (baca serial
Wiro Sableng berjudul Misteri Dewi Bunga Mayat).
Wiro
pejamkan kedua matanya. "Aku tahu kau mencintai diriku Bunga…."
"Kau
juga tahu selama dunia terkembang, selama alam gaib dan duniawi tidak bisa
bersatu, aku tak akan pernah bisa memiliki dirimu…."
"Kau
telah memiliki diriku sejak pertama kali kita bertemu…" bisik Wiro sambil
membelai rambut panjang hitam si gadis.
"Berlakulah
jujur Wiro. Hal itu tidak akan pernah terjadi," kata Bunga pula. "Aku
hanya bisa berusaha ke arah itu walau aku sadar tak akan pernah menjadi
kenyataan. Itu sebabnya aku menyerbu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk. Di alam
gaib aku tidak tahan melihat dirimu berdua-dua dengan Ratu Duung. Aku tak ingin
ada seseorang memilikimu. Aku…"
"Ratu
Duyung tidak memilikiku. Kalau kau arif, kau tentu tahu apa sesungguhnya yang
ada di balik hubunganku dengan Ratu Duyung. Aku memang bingung menghadapi
kejadian itu. Itu sebabnya aku bertanya pada beberapa tokoh dunia persilatan,
Termasuk guruku sendiri…."
"Aku
tahu hal itu. Dan mereka membenarkan apa yang hendak kau lakukan. Itulah
duniamu Wiro. Jauh berbeda dengan duniaku.." kata Bunga pula. Wiro menarik
napas dalam. "Apapun yang telah terjadi kau telah membuat aku tidak dapat
menolong gadis itu. Aku tidak sempat membebaskannya dari sumpah kutukan…."
"Kau
telah melakukannya. Kau telah menolong dirinya bebas dari alam kutukan."
Wiro
memandang lekat-lekat pada gadis cantik berwajah pucat di hadapannya.
"Tidak, aku belum sempat melakukan apa-apa!" kata Pendekar 212.
Bunga
tersenyum.
"Kau
tidak percaya? Aku berani bersumpah!"
"Baiklah
jika kau berkata begitu. Tapi satu waktu kau akan melihat kenyataan bahwa kau
benar-benar telah menolong gadis yang malang itu…."
"Maksudmu
kelak… kelak jika dia nanti hamil?"
*********************
LIMA
BUNGA
tersenyum. "Hal yang satu itu sulit aku jawab."
Wiro jadi
garuk-garuk kepala. Dalam hati dia bertanya-tanya. "Apa betul yang
dikatakan Bunga barusan? Aku yakin aku belum sempat memenuhi permintaan Ratu
Duyung. Aku belum melakukan esuatu untuk menolongnya. Tetapi mengapa Bunga
begitu yakin…."
"Kau
masih memikirkan hal itu Wiro?" Teguran Bunga menyadarkan Wiro.
Ketika
Pendekar 212 diam saja Bunga lalu mengngsurkan sebuah bungkusan.
"Apa
ini…?" tanya Wiro.
"Buah-buahan
hutan untuk makanmu. Juga ada beberapa potong tebu untuk kau minum airnya. Kau
telah pingsan selama enam hari. Kau tentu lapar dan haus sekali…."
"Pingsan
enam hari? Aku pingsan selama enam hari?" ujar Wiro dengan mata mendelik.
"Pantas perutku perih keroncongan, tenggorokan dan mulutku kering. Sekujur
tubuhku lemah."
Wiro
segera melahap beberapa jenis buah-buahan yang dibawakan Bunga. Sebentar saja
semua buah itu termasuk potongan tebu amblas masuk ke dalam perut Wiro.
"Masih
lapar?" tanya Bunga.
"Kalau
belum ketemu nasi rasanya belum kenyang!" jawab Wiro lalu tertawa
tergelak-gelak. Tiba-tiba ia hentikan tawanya.
"Ada
apa?" tanya gadis dari alam gaib itu.
"Kau
bilang enam hari aku pingsan. Berarti enam hari aku tidak pernah mandi! Celaka!
Pantas bau badanku sedap amat! Aku terpaksa meninggalkanmu Bunga. Di lembah
sana aku lihat ada sungai. Aku mau mandi dulu, kau tunggu di sini. Jangan
kemana mana. Jangan mencoba mengintip!"
Bunga
tertawa. "Mana ada ceritanya perempuan mengintip lelaki. Justru lelaki
yang suka mengintai perempuan!"
"Aku
pergi!" ujar Wiro.
"Pergilah.
Selesai mandi segera kembali ke sini. Ada hal penting yang akan kubicarakan
denganmu." kata Bunga.
"Eh,
hal apa?" tanya Wiro.
"Nanti
saja. Sekarang mandilah sepuasmu. Kalau kau sudah bersih dan segar cepat
kembali sini…."
Wiro
hendak melangkah pergi tapi mendadak dia hentikan langkah dan memandang pada si
gadis."
"’Ada
apa?"
"Sepertinya
percuma saja aku mandi. Sudah bersih dan segar seperti katamu, aku tetap saja
memakai baju bagus tapi sudah bau ini!"
"Ah!
Aku lupa!" ujar bunga. Dia masuk ke data goa lalu keluar lagi membawa
seperangkat pakaian putih. "Selesai mandi kau boleh mengenakan baju dan celana
ini."
Wiro
menyambuti pakaian yang diserahkan Bunga dengan perasaan haru. "Lama
sekali aku tidak pernah mengenakan pakaian serba putih. Terima kasih
Bunga."
Cukup
lama menunggu akhirnya. Wiro muncul di depan goa. Pakaian putih yang dikenakan,
tampak basah oleh keringat. Dadanya turun naik tanda napasnya sesak sehabis
menaiki lembah.
"Kau
sudah bersih dan segar sekarang!" sambut Bunga.
Wiro
menarik napas panjang.
"Ada
sesuatu yang tidak beres dengan diriku!" kata Wiro sambil duduk bersila di
tanah mengambil sikap siap untuk mengatur jalan napas dan peredaran darah.
Bunga
pandangi pemuda itu dengan perasaan tedih. "Dia mulai mengetahui perubahan
yang terjadi atas dirinya. Kasihan dia. Rasanya tidak tega untuk
memberitahu," kata gadis ini dalam hati.
"Apa
maksudmu Wiro. Apa yang tidak beres?" bertanya Bunga kemudian.
"Waktu
mendaki bukit ini aku tak mampu berlari. Berjalan cepat saja membuat napasku
sesak. Aku cepat berkeringat. Sekujur tubuhku letih begitu sampai di atas sini.
Tubuhku seolah tidak bertulang lagi…."
"Wiro,
itu sebabnya aku tadi memintamu agar lekas datang ke sini begitu selesai
mandi."
"Aku
sudah duduk di sini. Kau mengatakan ada sesuatu hal penting yang ingin kau
bicarakan dengan diriku." "Atur dulu jalan napasmu. Kalau kau sudah
agak tenang baru nanti kita bicara." Wiro melakukan apa yang dikatakan
Bunga. Besaat kemudian dia berkata, "Aku sudah siap Bunga. Ayo
bicaralah…."
"Kau
menyadari ada suatu kelainan dalam dirimu pat ini Wiro?"
"Hemmm….
Kalau perasaan lemah aku rasa wajar-wajar saja karena enam hari aku pingsan.
Begitu sadar cuma makan buah dan tebu," jawab Wiro sambil tersenyum.
"Tubuhmu terasa lemah, napasmu sesak. Kau telah mengatur peredaran darah
serta jalan pernapasanmu. Apakah kau merasa kekuatanmu sudah kembali?"
"Aku tidak mengerti apa maksud semua ucapanmu itu Bunga. Kalau malam nanti
aku bisa tidur nyenyak besok pagi pasti aku sudah pulih seperti semula."
"Wiro, aku segan mengatakan hal ini padamu. Tapi kalau tidak aku jelaskan
aku khawatir kau bisa mengalami malapetaka yang bisa merenggut jiwamu."
"Bunga, apa sebenarnya yang kau bicarakan ini?!" tanya Wiro. Tambah
tidak mengerti tambah terbayang rasa jengkelnya. "Wiro, ketahuilah. Akibat
apa yang kau lakukan dengan Ratu Duyung kau telah kehilangan kekuatan luar dan
dalam, juga semua kesaktian yang kau miliki. Itu akan berlangsung selama
seratus hari."
Wiro
tidak tampak terkejut malah tertawa lebar. "Kau ini ada-ada saja!
Memangnya aku telah berbuat apa dengan Ratu Duyung? Tadi sudah kujelaskan
bahkan sampai bersumpah! Aku belum memenuhi apa yang dimintanya! Aku memang
senang kau bergurau. Tapi jangan yang anehaneh…."
"Aku
tidak bergurau Wiro. Jika kau tidak percaya coba kau pukul dan patahkan cabang
pohon ini."
Sosok
gadis dari alam gaib itu berkelebat ke atas. Terdengar suara
"Kraakk!" Begitu turun ada sebatang cabang pohon sebesar betis
sepanjang lima jengkal. Bunga pegang patahan cabang pohon itu pada
ujung-ujungnya.
"Kerahkan
tenaga luarmu. Hantam cabang ini dengan tangan kosong."
"Ini
namanya permainan anak-anak," kata Wiro pula. Dengan sikap acuh tak acuh
dia pukulkan pinggiran telapak tangan kanannya. "Kraaakk!" Cabang
pohon itu patah. "Kau lihat sendiri!" ujar Wiro sambil mengusap
dengan kanannya. "Cabang pohon itu dengan mudah dapat kupatahkan!"
"Kenyataannya
begitu. Tapi aku melihat kerenyit kesakitan pada wajahmu. Lihat tangan kananmu.
Merah! Sebentar lagi pasti membengkak! Hal itu tidak akan terjadi jika kau
masih memiliki ilmu kesakItlan…."
Pendekar
212 jadi terdiam. "Jangan-jangan apa yang dikatakan gadis ini benar…"
pikir Wiro sambil perhatikan tangan kanannya yang kemerahan dan berdenyut
sakit.
"Sekarang
kerahkan tenaga dalammu, pukul batlang pohon itu! Kau boleh mengeluarkan ilmu
pukulan apa saja! Jika kau memang masih memiliki kesaktian dan tenaga dalam
tinggi, batang pohon yang tak seberapa besar itu pasti dapat kau hancurkan
hingga tumbang!"
Merasa
diperlakukan seperti orang bodoh atau seolah seorang yang baru belajar ilmu
silat Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dia siap untuk
menghantam batang kayu itu dengan pukulan segulung ombak menerpa karang! Saat
itulah dia menyadari bahwa dia tidak bisa menghimpun tenaga dalamnya di bagian
pusar, apalagi mengalirkannya ke tangan yang hendak melepas pukulan sakti itu.
"Gila!
Aku tidak percaya!" kertak Wiro dalam hati. Dia melompat sambil hantamkan
tangan kanannyal ke batang pohon.
Pukulannya
menghantam telak. Batang kayu itu, tidak bergeming sedikit pun. Hanya kulit
kayunya yang sudah lapuk pecah berjatuhan. Wiro berteriak kaget dan kesakitan.
Tubuhnya terlempar beberapa langkah. Untung tidak sampai terbanting jatuh
punggung. Terbungkukbungkuk menahan sakit dia pegangi tangan kanannya. Dalam
keadaan seperti itu dia memandang tak percaya pada tangan kanannya. Tangannya
pecah dan mengucurkan darah. Wiro berpaling pada Bunga, hendak bertanya tapi
tak kuasa membuka mulut. Dengan kain pengikat kepalanya Wiro membalut luka di
tangan kanannya.
"Sulit
kupercaya…" kata Pendekar 212 perlahan. Diam-diam dia coba mengerahkan
tenaga dalamnya ke perut. Seperti tadi tidak terjadi apa-apa. Dia ticlak mampu
melakukan.
"Coba
kau kerahkan aji kesaktian menyiapkan pukulan sinar matahari," kata Bunga.
Wiro
segera melakukan apa yang dikatakan si gadis. Beberapa saat berlalu. Tangan
kanannya bergetar. Namun tidak terjadi apa-apa. Biasanya jika dia siap
mengeluarkan pukulan sinar matahari maka tangannya sebatas siku sampai ke ujung
jari akan berubah menjadi seputih perak. "Aku tidak mampu melakukannya!"
kata Wwo setengah berteriak. Mukanya tampak sangat pucat Bunga masih belum puas
menguji dan membuktikan apa yang terjadi dengan Pendekar 212. Maka dia pun
berkata. "Cabut kapak saktimu. Tebas batang pohon di depan sana!"
Kembali
Wiro melakukan apa yang dikatakan Bunga.
Ketika
Kapak Maut Naga Geni 212 dicabutnya dari balik pinggang dia merasa heran dan
berkata, Aneh, kenapa senjata ini yang biasanya ringan kini terasa begitu
berat…
Wiro
mulai kerahkan tenaga dalamnya. Biasanya begitu tenaga dalam mengalir ke tangan
sepasang mata kapak akan mengeluarkan sinar terang menyilaukan disertai
membersitnya hawa panas. Tapi kini hal itu sama sekali tidak terjadi. Wiro
memaksakan dengan segala daya. Tetap sia-sia malah tubuh dan mukanya jadi mandi
keringat sedang senjata yang dipegang terasa bertambah berat.
Dalam
keadaan seperti itu Wiro masih belum dapat menerima kenyataan yang terjadi atas
dirinya. Didahului teriakan keras yang kini tidak memiliki gema hebat karena
tidak disertai aliran tenaga dalam dia melompat dan hantamkan Kapak Maut Naga
Geni 212 ke batang pohon di hadapannya.
"Kraaakk!"
Kepingan
kayu berpelantingan. Kapak amblas ke batang pohon sedalam seperempat jengkal
tapi tidak terduga senjata itu terlepas dari pegangan Wiro dan mental lalu
membalik dan menghantam ke arah kepalanya.
"Gila!"
maki Pendekar 212. Dia cepat jatuhkan diri untuk menghindari senjata makan tuan
yang bisa membunuhnya. Tapi astaga! Gerakannya begitu lamban. Kapak Maut Naga
Geni 212 menyambar lebih cepat daripada gerakannya mengelak. "Aku tak
mampu mengelak! Kepalaku…!"
Sesaat
lagi salah satu mata kapak akan menancap di keningnya tiba-tiba dari samping
bea kelebat satu bayangan putih. Wiro merasakan sambaran angin yang sangat
keras. Sebenarnya sambaran angin itu biasa-biasa saja dan tidak ditujukan ke
arahnya. Namun karena dia kini tidak memiliki kekuatan dan kesaktian apa-apa
maka sambaran angin tadi sempat membuatnya terpelanting da jatuh duduk di
tanah. Ketika dia memandang ke depan dilihatnya Bunga tegak sambil memegang
senjata mustikanya. Gadis ini lalu melangkah mendekati Wiro dan mengembalikan
kapak itu. Wiro meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pangkuannya. Untuk
beberapa lamanya kedua matanya memandangi senjata mustika itu tanpa berkedip.
"Apa
yang terjadi dengan diriku…" desisnya perlahan. Matanya dipejamkan.
Tubuhnya bergetar mnahan goncangan perasaan. "Eyang guru! Tuhan! Apa yang
terjadi dengan diriku!" teriak Wiro sambil mengangkat kedua tangannya.
Lalu kedua tangan itu terkulai lemah ke bawah. "Apa semua ini karena
dosaku menggauli Ratu Duyung?! Tuhan, Kau tahu apa yang aku lakukan hanya
dengan niat menolong semata. Tidak ada nafsu keji dan kotor! Lagipula bukankah
aku belum melakukan apa-apa…."
"Wiro."
Satu suara menegurnya dan satu tanga yang lembut membelai rambut di belakang
kepalnya.
"Bunga….
Aku tidak mengerti semua ini! Mengapa aku jadi begini? Tenaga luarku lenyap.
Tenaga dalam musnah! Kesaktian hilang! Aku merasa seolah seperti mati
saja!"
"Wiro,
dengar ucapanku. Aku akan memberitahu apa yang aku ketahui," kata Bunga pula.
"Kau tahu, aku tahu dan Tuhan pun tahu maksud baikmu menolong Ratu Duyung
yang telah menanam budi dan jasa serta menyelamatkanmu dari maut. Namun dalam
dunia Ratu Duyung berada, bersentuhan badan tanpa terhalang oleh pakaian akan
membuat orang luar mengalami malapetaka. Jika dia seorang biasa saja yaitu
tidak memiliki tenaga luar yang kuat, tidak mempunyai tenaga dalam serta
kesaktian maka malapetaka itu bisa membuat dirinya menemui ajal. Jika dia tidak
tewas maka dia akan menjadi lumpuh seumur hidupnya. Sebaliknya jika orang luar
itu keadaan seperti dirimu yakni memiliki tenaga dalam dan tenaga luar yang
tinggi serta berbagai kesaktian maka semua apa yang dimilikinya itu akan
lenyap…."
"Ya
Tuhan!" seru Wiro. Pemandangannya menjadi kelam. Tubuhnya menghuyung.
Bunga cepat enahan bahu Pendekar 212. "Tenang Wiro, keteranganku belum
selesai."
"Aku
saat ini tak lebih dari seorang manusia tidak berguna. Apa gunanya
hidup…?"
"Dengar
Wiro, semua yang kau miliki itu akan lenyap. Tapi tidak untuk
selama-lamanya…."
Wiro
seperti tidak mau mendengarkan lagi. Kealanya digeleng-gelengkan.
"Tenaga
luar dan dafam serta kesaktianmu haya lenyap selama seratus hari Wiro. Setelah
itu pn1ua itu akan kemba!i dengan sendirinya. Hanya saja mungkin kau perlu
untuk melatihnya kembali barang sebulan dua bulan…."
"Apakah
Ratu Duyung mengetahui akibat yang bakal terjadi atas diriku?"
"Tentu
saja dia mengetahui," jawab Bunga.
"Gadis
setan! Dia tidak memberitahu padaku!"
Bunga
terdiam sesaat lalu berkata dengan suara perlahan. "Terus terang aku
cemburu terhadapnya.Cemburu terhadap hubunganmu dengan dia. Tapi dalam hal ini
jangan kau salahkan dirinya. Dia tidak mungkin mengatakan hal itu padamu.
Karena kalau dikatakannya kau pasti tidak akan mau menolongnya…."
"Tapi…."
Wiro menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya dikepalkan. "Aku merasa
ditipu!"
"Tidak
ada yang menipumu Wiro. Apa yang terjadi memang pahit. Mungkin sudah begitu
jalan nasibmu…."
"Ini
bukan jalan nasib! Ini gila!" kata Pendekar 212 pula.
"Wiro,
dalam keadaanmu seperti ini kau harus segera menghilang dari dunia persilatan.
Paling tidak selama seratus hari sebelum kekuatan luar dalam serta kesaktianmu
kembali pulih…."
"Aku
harus menghilang dari dunia persilatan? Apa maksudmu Bunga?"
"Apa
kau tidak menyadari? Tanpa kemampuan apa-apa kau berada dalam bahaya besar.
Jika satu saja dari sekian banyak musuhmu mengetahui apa yang terjadi dengan
dirimu maka kau pasti akan dicarinya dan dibunuh dengan mudah! Kau tak mungkin
menyelamatkan diri!"
Berubahlah
paras murid Sinto Gendeng. Lama dia terdiam, sebelum bertanya dengan nada putus
asa. "Bunga, apakah tidak ada satu cara untuk dapat mengembalikan kekuatan
dan kesaktianku tanpa harus menunggu sampai seratus hari?"
Bunga
menggeleng. "Aku ikut sedih atas apa yang kau alami. Tidak seorang pun
bisa menolongmu Wiro. Juga aku…."
Apa yang
harus aku lakukan sekarang? Otakku sepertinya tak bisa berpikir lagi.’
"Aku
sarankan kau pergi ke tempat kediaman gurumu di Gunung Gede. Itu tempat paling
aman bagimu…."
"Kau
benar. Tapi dalam keadaanku seperti ini tidak mudah bagiku mengadakan
perjalanan sejauh itu…." Wiro memandang berkeliling. "Kita berada
dimana saat ini? Apa nama tempat ini."
"Kita
berada di Bukit Jatianom. Jauh di sebelah tenggara Gunung Merapi. Jika kau
mengira tempat ini aman bagimu, aku tidak bisa menjamin…."
"Apapun
yang akan terjadi dengan diriku di tempat ini, rasanya aku tidak akan mau pergi
ke mana-mana. Kalaupun aku harus mati biar saja aku menemui ajal di
sini…."
Jika itu
keputusanmu dan tak bisa dirubah aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini aku
harus kembali ke duniaku…."
Wiro
terdiam. Dia merasa lebih aman jika Bunga berada bersamanya di tempat itu.
"Aku
tahu apa yang kau pikirkan. Sayang aku tidak bisa melakukan. Aku sudah terlalu
lama berada dalam duniamu. Aku harus pergi Wiro…. Jaga dirimu baik-baik."
Wiro
mengangguk.
"Apakah
kau masih menyimpan kembang kenanga yang pernah aku berikan dulu?" tanya
Bunga. Wiro seperti tersentak. Dia meraba pakaian putihnya.
"Kau
tak bakal menemui bunga itu di sana. Aku juga telah memeriksa pakaian yang kau
kenakan sebelumnya. Bunga itu pasti tertinggal di tempat Ratu Duyung…."
"Berarti
jika aku memerlukanmu aku tidak bisa memanggilmu. Apakah kau bisa memberikan
satu lagi padaku?"
"Bunga
sakti yang mampu memanggilku itu hanya muncul sekuntum dalam tujuh
tahun…."
Wiro
seperti dihenyakkan. Jelas kalau terjadi apa-apa dengan dirinya dia tidak
mungkin memanggil gadis dari alam gaib itu untuk menolongnya.
"Aku
akan berusaha memperhatikan dirimu dari alamku. Mudah-mudahan saja tidak
terjadi apa-apa selama seratus had mendatang. Aku harus pergi sekarang
Wiro…."
Pendekar
212 Wiro Sableng berdiri. Dia melangkah mendekati si gadis dan ulurkan
tangannya untuk merangkul. Namun dia seperti lenyap dari pemandangan.
Untuk
beberapa lamanya Wiro tegak tertegun. Lalu dia ingat sesuatu dan sekaligus
mengorrael menyesali diri.
"Mengapa
tadi aku tidak meminta tolong pada Bunga agar menemui Eyang Sinto Gendeng.
Memberitahu keadaanku saat ini. Ah, otakku seolah tidak bisa bekerja lagi!
Untung Pangeran Matahari sudah tewas di Pangandaran. Kalau dia masih hidup dan
mengetahui apa yang terjadi dengan diriku, niscaya aku akan menemui ajal secara
mudah di tangannya!"
Wiro
menghela napas dalam berkali-kali. Dia balikkan tubuhnya dan memandang ke arah
goa. Apa aku harus mendekam bersembunyi selama seratus hari di goa itu? Belum
apa-apa rasanya sudah seperti mau mati! Daripada mati di dalam goa ini lebih
mati di tempat lain!" Wiro alihkan pandangannya ke lembah.
"Astaga!" Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini ingat akan ilmu
"Pukulan Harimau Dewa". "Bukankah ilmu kesaktian itu bisa
dikeluarkan tanpa mengandalkan tenaga dalam?" pikir Wiro. Tanpa tunggu
lebih lama dia segera tiup tangan karannya.
Lalu
telapak tangan dikembangkan lebar-lebar. Matanya membeliak dan tengkuknya
menjadi dingin ketika pada telapak tangan kanannya sama sekali tidak muncul
gambar kepala harimau putih bermata hijau. "Datuk Rao Bamato Hijau,… Datuk
Rao Basaluang Ameh. Apakah kalian juga telah meninggalkan diriku?" ujar
Wiro dengan suara bergetar. Dia tidak ingat kapan terakhir sekali mengeluarkan
air mata. Yang jelas saat itu dirasakannya kedua matanya berkaca-kaca.
"Sebesar apakatt dosa yang telah aku perbuat hingga jatuh kutuk begini
hebat terhadapku?" Perlahanlahan Wiro duduk di tanah. Sekujur tubuhnya
terasa lemah. Terbayang olehnya wajah Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala
Tahu. Setengah mengumpat dia berkata. ‘Kalian berdua memberi dorongan agar aku
menolong Ratu Duyung. Kalian seharusnya tahu apa akibatnya! Kalian menipuku! Menipuku!"
Kata terakhir diucapkan Niro dengan berteriak dan tubuh bergetar!
*********************
ENAM
LANGIT
biru disaput awan kelabu di sana-sini. Walau purnama memancarkan sinarnya yang
putih terang namun tiupan angin membuat sebentar-sebentar awan kelabu
menutupinya. Walau sesekali angin bertiup kencang namun air laut tampak
setenang air danau. Sebuah perahu kayu yang layarnya baru saja digulung
kelihatan meluncur perlahan memasuki Teluk Siburu. Penumpangnya seorang kakek
berambut putih duduk melunjur, enak-enakan menyandarkan punggung dan kepalanya
ke bagian haluan. Sulit untuk diketahui apakah orang tua ini tengah terlelap
tidur atau bagaimana. Sepasang matanya membentuk lobang dalam di atas pipinya
yang cekung. Wajahnya yang tidak berdaging seolah sebuah tengkorak hidup.
Sayup-sayup
di kejauhan terdengar suara ombak memecah. Suaranya agak aneh karena bukan
memecah di pasir pantai tetapi memecah setelahmenghantam gugusan batu-batu
karang tinggi runcing laksana barisan raksasa penjaga pulau.
"Terima
kasih Tuhan! Akhirnya kau selamatkan aku sampai ke pulauku kembali!" Orang
tua muka tengkorak usap wajahnya yang ditumbuhi kumis dan janggut putih.
Perlahan-lahan dia bangkit dan duduk di lantai perahu. Dia menyeringai ketika
melihat deretan batu-batu karang tinggi itu. Apa yang dilihatnya itu membuat
dia teringat pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini jauh berada di tanah.
Beberapa
tahun yang lalu dia telah menggembleng Wiro di salah satu puncak batu karang
itu hingga si pemuda memiliki daya tahan yang hebat pada kedua kakinya,
bertambah tinggi ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalamnya.
"Anak
setan itu rejekinya besar sekali. Setelah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa
sulit dicari manusia yang bisa menandinginya. Siapa menyangka semudah itu dia
bakal menjadi dedengkot nomor satu menguasai dunia persilatan… Tapi lain sang
murid lain sang guru. Sinto Gendeng tua bangka konyol. Tak kuikuti kemauannya
pergi ke Gunung Gede dia merajuk marah! Tua bangka masih seperti anak-anak!
Jangan harap aku akan menjejakkan kaki lagi di tanah Jawa. Jangan harap aku mau
ketemu dia lagi!"
Sepasang
mata si orang tua yang cekung lebar tampak tambah lebar dan menggidikkan ketika
dia memandang jauh-jauh ke arah deretan batu-batu karang di pantai. Sementara
angin kembali meniup awan kelabu menutupi bulan. Keadaan di sekitar pantai
menjadi redup gelap.
"Air
laut pasang besar. Tak sedap rasanya mendarat di tempat itu. Kalau dulu mungkin
aku masih suka berbuat gila. Bermain-main dengan ombak dan batu karang!
Sekarang aku harus tahu diri. Tenaga sudah banyak terkuras oleh usia. Hik… hik!
Biar aku mencari tempat mendarat yang empuk. Di bagian pantai sebelah timur. Di
antara pohon-pohon bakau…."
Seperti
tak acuh kakek ini dorongkan tangan kanannya ke samping perahu. Air laut tampak
bergelombang. Perahu kayu itu bergerak ke kiri lalu meluncur menuju bagian
pantai di sebelah kiri barisan batu-batu karang.
Semakin
dekat ke pantai yang ditumbuhi pohon-pohon bakau semakin gembira orang tua itu.
Dari mulutnya melengking tinggi suara nyanyian.
Jauh
berjalan ke tanah Jawa
Kembalinya
ke Andalas juga
Bertemu
kekasih di masa muda
Sudah tua
tapi masih mau bermanja
Ha… ha…
ha! Hik… hik… hik!
Di tepi
pantai, di antara kerimbunan pohon bakau dan kegelapan malam seorang perempuan
tua bermuka putih keluarkan ucapan merutuk dalam hati.
"Tidak
meleset dugaanku! Lelaki bangsat itu pergi ke tanah Jawa untuk menemui gendaknya
si Sinto Gendeng!"
Baru saja
perempuan ini menggerendeng begitu rupa tiba-tiba ada seseorang mendatanginya
dan berbisik. "Sabai, kau lebih mengenali suara musuh! besar kita. Aku
yakin yang datang naik perahu itu memang orang yang kita tunggu-tunggu!"
"Keyakinanmu
tidak keliru. Siapkan teman-teman. Tunggu sampai aku memberikan tanda baru
menyerbu!"
"Agaknya
dia datang hanya sendirian. Tidak membawa muridnya yang jadi musuh besar
kami?!"
Sabai Nan
Rancak, si nenek muka putih berjubah hitam yang adalah guru Puti Andini si Dewi
Payung Tujuh menjawab. "Itu lebih memudahkan bagi kita untuk membantainya.
Setelah dia mampus baru kita cari muridnya. Sekarang lekas pergi. Atur siasat
dengan teman-teman seperti yang sudah kita bicarakan! Jangan sampai setan tua itu
lolos!"
Orang
yang berdiri di samping si nenek anggukkan kepala. Tanpa banyak bicara lagi dia
segera meninggalkan tempat itu dan lenyap di kegelapan malam.
Di atas
perahu, kakek berpakaian dan berambut putih kembali menyanyi.
Bagus
cantik negeri orang
Buruk
kusut negeri sendiri
Lebih
baik negeri orang…. Eh! Salah! Hik… hik… hik!
Lebih
baik negeri sendiri!
Berlayar
kepalang jauh
Tubuh dan
tulang yang akan mengumpat
Bercinta
dengan orang jauh
Walau
sakit terasa nikmat Ha… ha… ha…!
Air
pasang di keliling pulau
Air
terjun di tengah rimba
Senang
sungguh pulang ke pulau
Walau
rindu menanggung cinta Siapuh! Ha… ha… ha!
Perahu
kecil itu meluncur perpahan, berkelok mencari jalan di antara akar-akar pohon
bakau yang bertumbuhan sepanjang pantai.
"Tek…
tek… trek… tek… tek."
Tiba-tiba
ada sesuatu menyentuh badan perahu, mengeluarkan suara aneh. Semakin jauh
perahu kayu itu masuk mendekati tepi pasir semakin sering suara itu terdengar.
Orang tua di atas perahu buka matanya lebar-lebar, perhatikan air laut di
sekitarnya. Tampangnya yang angker tampak tercekat ketika melihat benda apa
yang telah menyentuh badan perahunya hingga mengeluarkan suara berkepanjangan.
"Tengkarak
manusia…! Begini banyak! Darimana asalnya kata orang tua tadi. Dia memandang
berkeliling. Perasaan heran berubah menjadi galau tidak enak. Puluhan tengkorak
kepala manusia mengambang di permukaan air laut. Bergerak kian kemari lalu
membentur badan perahu. Ada juga yang terapung-apung di sela-sela akar pohon
bakau.
"Tampaknya
ini satu penyambutan yang direncanakan. Siapa yang punya pekerjaan…."
Orang tua di atas perahu lalu ingat peristiwa hampir setahun silam. Dadanya
berdebar keras. "Janganjangan ini ulah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Tapi
bukankah dia sudah dipendam dalam makam tanpa nisan itu? Mana mungkin dia bisa
lolos dan masih hidup…!" (Siapa adanya Datuk Tinggi Raja Di Langit harap
baca serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan).
"Tua
Gila! Selamat kembali ke pulaumu! Malam ini pulau ini akan menjadi pulau
kematianmu!" Satu teriakan menggema di tempat itu.
Orang tua
di atas perahu terkesiap. "Itu bukan suara Datuk Tinggi Raja Di
Langit…" katanya dalam hati.
"Jahanam!
Siapa berani berbuat gila di pulau kediamanku!" bentak orang tua di atas
perahu yang ternyata adalah tokoh silat si Tua Gila yang paling ditakuti di
seantero pulau Andalas, menyandang beberapa julukan. Diantaranya Pendekar Gila
Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Bentakan Tua Gila begitu kerasnya
hingga air laut tampak beriak dan daun-daun pohon bakau terdengar berdesir.
Sebagai
jawaban dari sepanjang tepi pasir yang gelap terdengar suara tertawa.
"Kami
malaikat maut utusan dari neraka yang ngin mencabut nyawamu!"
"Mengorek
jantungmu!"
"Membedol
isi perutmu!"
"Cacing-cacing
malam! Tanganku jadi gatal! Jangan bertindak pengecut! Perlihatkan diri kalian!
Atau aku si Tua Gila akan memecahkan kepala kalian satu persatu!"
Kembali
dari arah daratan terdengar suara tertawa. Lalu ada seseorang berseru.
"Kami belum merasa perlu memperlihatkan diri. Kehadiran kami audah
diwakili oleh puluhan tengkorak yang mengapung di permukaan air laut! Itu
adalah tengkorak orang-orang yang kau bunuh dimasa lalu!"
Tua Gila
sempat terkesiap tapi segera pula dia tertawa gelak-gelak. "Kalau yang
menyambutku sudah jadi tengkorak, kalian rupanya adalah setan-setan kesasar
yang gentayangan minta mati dua kali! Ha… ha… ha!"
"Sudah
mau jadi bangkai masih saja bicara sombong!"
Suara
orang kali ini datang dari sebelah atas. Tua Gila cepat mendongak ke atas pohon
bakau. Sesosok tubuh berpakaian hitam yang mendekam di atas pohon itu secepat
kilat melompat ke pohon bakau lainnya. Tua Glla angkat tangan kanannya, siap
untuk melepas satu pukulan sakti. Tapi niatnya dibatalkan. Malah seperti orang
tidak beres ingatan dia kembali bernyanyi.
Malam gelap
malam gulita
Pulang ke
pulau disambut bala
Boleh
saja main gila bersama
Asal siap
serahkan nyawa
Ha… ha…
ha…!
Tiba-tiba
terdengar satu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu laksana ketelawar-kelelawar
ganas dari atas pohon-pohon bakau melayang turun enam sosok tubuh. Tiga
senjata berkiblat dalam kegelapan malam. Tiga pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi menderu melepas hawa panas. Dari arah tepi pasir tiga macam
senjata rahasia berbentuk paku, pisau terbang dan jarum hitam menggebubu.
Tua Gila
berteriak kaget dan marah.
"Pengecut-pengecut
jahanam!"
Tubuh
berpakaian putih itu melesat ke udara lalu jungkir balik, mencelat ke arah
rumpunan pohon bakau lebat di sebelah kiri. Dua pekikkan menggelegar. Dua orang
yang barusan menyerang dari atas pohon bakau terpental satu tombak lalu
tercebur ke dalam laut. Tak muncul lagi karena amblas dengan kepala pecah!
*********************
TUJUH
KESUNYIAN
seperti menghantu di tempat itu walau di kejauhan suara ombak yang menghantam
batu karang terdengar tidak putus-putusnya. Kematian dua kawan mereka dalam
gebrakan pertama mau tak mau membuat para penyerang yang berada di tempat itu
jadi terkesiap walau hanya seketika.
Di atas
pohon bakau yang gelap Tua Gila bergelantungan tak bergerak. Sebilah pisau
terbang menancap di lengan kirinya. Darah mengucur. Beberapa buah jarum hitam
berhasil menyusup di pakaian putihnya. Walau tak sempat melukai tubuhnya tapi
cukup membuat dedengkot rimba persilatan Andalas ini jadi dingin kuduknya
karena dia tahu betul jarumjarum itu pasti beracun.
Dengan
mendengus sambil menahan sakit Tua Gila cabut pisau terbang yang menancap di
lengan kirinya. Matanya yang cekung lebar memandang beringas memandang liar ke
arah kegelapan. Dia tidak dapat melihat penyerang gelap yang berada di tepi
pasir namun dia ingat betul kalau tadi ada enam orang yang menyerang dari atas
pohon bakau. Dua berhasil dibunuhnya. Empat lagi lenyap selamatkan diri.
"Yang
empat itu tidak terjun ke dalam laut. Mereka pasti mendekam di pepohonan bakau
sekitar sini!" Tua Gila memperhatikan terus kegelapan di sekelilingnya
lalu mulut kakek bermuka tengkorak ini kelihatan menyeringai. Dia berhasil
melihat salah seorang penyerangnya. Bergelantung di balik rerumpunan pohon
bakau. Tangan kanan Tua Gila yang memegang pisau bergerak.
Orang
yang diserang baru sadar kalau maut mengancamnya ketika pisau terbang itu hanya
tinggal sejengkal di depan matanya. Dia berteriak keras. Coba menghindar sambil
memukul ke depan. Namun pisau terbang lebih dulu menancap di tenggorokannya.
"Hekkk!"
Dua
tangan yang bergelantungan di pohon bakau terlepas. Tubuh orang ini jatuh ke
dalamila menggelepar-gelepar beberapa kali lalu lenyap da permukaan air.
Saat itu
pula kembali terdengar suara suita keras. Dari arah pantai menderu tiga gelomba
pukulan sakti. Di bawah kakinya Tua Gila melihat tiga senjata tajam berkilauan
membabat ke ata mengarah kaki, paha dan pinggangnya. pisau terbang dan
jarum-jarum hitam tak ketinggalan mencari sasaran di tubuh kakek muka tengkorak
inil
"Jahanam!
Dendam apa yang membuat mereka benar-benar hendak membantaiku?!" kertak
Tua Gila.
Batang-batang
pohon bakau tiba-tiba berputa berserabutan. Secara aneh melindungi sosok Tua
Gila dari serangan yang datang dari arah pantai. Batang pepohonan itu hancur
berantakan begitu terkena tabrakan angin pukulan sakti. Tua Gila sendiri
tergontai-gontai. Mungkin dia sanggup bertahan dan tetap bergelantungan namun bahayanya
terlalu besar. Dia harus menyelamatkan diri dari serangan senjata rahasia
berupa pisau terbang dan jarum hitam. Belum lagi tiga senjata yang membabat
sebelah bawahi.
"Benar-benar
Jahanam." maki Tua Gila. Dia kerahkan tenaga dalam dan terpaksa biarkan
tubuhnya tersapu salah satu angin pukulan lawan. Meski bisa selamatkan nyawa
namun orang tua ini tidak dapat menghindari cidera akibat pukulan jarak jauh
itu. Tubuhnya terpental dua tombak ke kiri. Pinggul kirinya serasa memar.
Sekujur kaki kiri laksana lumpuh. Pisau terbang dan jarum hitam berkesiuran di
atas kepala dan kiri kanannya. Dua tebasan senjata tajam di sebelah bawah
berhasil dielakkannya. Sen-iata ketiga membabat ke kaki kanan. Tua Gila cepat
angkat kakinya yang diserang namun, "Breet!" Ujung lubah putihnya
masih sempat dimakan ujung senjata lawan hingga robek besar.
"Edan!
Kalian main gila! Apa kalian kira aku tidak bisa main gila?"
Tubuh Tua
Gila melesat ke kiri. Bergelantungan di serumpunan pohon bakau lalu melesat ke
kanan, setelah itu melesat lagi ke jurusan lain. Setiap tubuhnya berkelebat
terdengar jeritan-jeritan mengerikan. Dua dari tiga penyerang bersenjata
menemui ajal dimakan tendangan kaki kanannya. Yang ketiga disergapnya dari
atas. Selagi dia memuntir kepala orang ini dari arah pantai melesat enam buah
pisau terbang. Tua Gila cepat balikkan tubuh dan pergunakan badan orang yang
dipuntir kepalanya sebagai tameng. Empat pisau menancap telak di kepala, dada
dan perut orang. Dua lainnya melesat menghantam udara kosong!
Tua Gila
cepat kerahkan tenaga dalamnya ke lubuh sebelah kiri yang terasa lumpuh. Baru
saja rasa sakit hendak sirna tiba-tiba dari arah tepi pasir menyambar satu
sinar merah.
"Wuuuss!"
Mula-mula
sinar itu membentuk garis lurus. Setengah jalan melebar seperti kipas, terus menggebu
ke arah mana Tua Gila berada.
"Brakkk!"
Dua batu
besar yang ada di tepi pasir hancur berentakan dan mengepulkan asap dihantam
sinar merah.
"Kraaaakkk….
Wuuusss…."
Pohon
bakau di balik mana Tua Gila berusaha selamatkan diri hancur lebur, langsung dikobari
api. Kalau Tua Gila tidak cepat jatuhkan diri ke laut niscaya dia ikut lumat
dimakan sinar merah yang luar biasa panasnya itu. Terbakarnya daun dan pohon
bakau membuat laut di mana Tua Gila berada menjadi terang benderang hingga para
penyerang gelap lebih mudah melihatnya. Kembali dari arah tepi pasir sinar
merah menderu.
Pukulan
Kipas Neraka!" seru Tua Gila yang sejak hantaman pertama sudah mengenali.
"Tak bisa kupercaya! Apa benar dia ikut hendak menjarah nyawaku? Oooo
benar-benar gila! Dendamnya di masa lalu tak kunjung habis! Tebaran sinar merah
menderu. Di laut dangkal sedada Tua Gila terpaksa menyusup menyelam ke dalam
air, berlindung di balik perahu kayu. "Hancurkan perahu itu!"
Seseorang berteriak. Lalu, "Wuuuut!" Satu gelombang angin melesat di
atas permukaan air laut. "Braaakkk!" Perahu kayu milik Tua Gila
hancur berkeping-keping. Air laut muncrat setinggi dua tombak. Tua Gila lenyap
dari pemandangan. "Lenyap! Dia lenyap!" Ada orang berteriak.
"Dia belum tentu mati! Lekas ke muara!" Seseorang berseru berikan
perintah.
Baru saja
seruan itu lenyap dari arah laut tampak melesat benda-benda bulat. Dalam
kegelapan terdengar suara mengekeh.
"Dajal-dajal
tolol! Aku kembalikan hadiah penyambutan pada kalian!"
"Awas
serangan tengkorak! Saat itu di udara yang gelap berlesatan benda-benda bulat
putih yang bukan lain adalah tengkorak-tengkorak yang sebelumnya bertebaran di
permukaan laut, sengaja disebar oleh orang-orang yang hendak membunuh Tua Gila.
Kini si kakek pergunakan tengkorak itu sebagai alat penyerang yang berbahaya
hingga orang-orang yang ada di tepi pantai sesaat jadi kalang kabut. Satu orang
roboh muntah darah begitu dadanya dihantam sebuah tengkorak.
"Brakk..
brakkk… braakkk."
Beberapa
rangkum angin pukulan menderu ke udara. Belasan tengkorak hancur bermentalan.
"Lepaskan
buaya di muara! Seseorang berteriak dalam kegelapan malam.
Dua sosok
berkelebat ke arah timur dimana terdapat sebuah sungai kecil. Dengan cepat
mereka menarik sebuah jaring lebar terbuat dari bambu yang sengaja dipasang di
mulut muara. Di belakang jaring bambu ini mendekam lebih dari selusin buaya laut
yang lebih dari sepuluh hari tak pernah mendapat makan. Begitu jaring
penghalang dibuka binatang-binatang yang kelaparan dan telah mencium bau
bangkai segera meluncur ke laut.
Tua Gila
melengak kaget ketika melihat munculnya begitu banyak buaya di permukaan laut.
Binatang-binatang ini dengan ganas melahap mayat-mayat para penyerang yang
telah dibunuh Tua Gila sebelumnya. Namun beberapa ekor di antara mereka segera
melesat ke arah si kakek.
"Aku
pemilik pulaul Aku penguasa pulau’ Kembali ke tempat kalian!" teriak Tua
Gila.
Dua ekor
buaya tampak seperti menahan gerakan mereka mendengar bentakan Tua Gila. Namun
yang tiga ekor lagi tidak mau perduli. Mereka terus saja menyerbu ke arah orang
tua itu.
"Makhluk
tolol!" teriak Tua Gila. Tangan kanannya ditepukkan ke atas permukaan air
laut. Air laut menggelombang muncrat. Tiga ekor buaya terhempas ke belakang.
Tapi segera pula menyerbu kembali dengan lebih ganas. Dua menyusup ke dalam
air. Yang ketiga melesat di permukaan. Tua Gila kerahkan tenaga dalam dan melesat
ke udara setinggi satu tombak. Dia selamat dari serangan dua buaya yang hendak
membantainya di bawah permukaan air. Namun buaya ketiga datang menyerbu dengan
mulut terbuka dan hantaman ekor. Disaat yang sama dari arah tepi pasir melesat
sinar merah. Pukulan Kipas Neraka!
"Oo
ladalah! Celaka diri tua keropos ini!" keluh Tua Gila. Salah satu dari dua
serangan yaitu serangan buaya atau Kipas Neraka tak dapat tidak akan melabrak
tubuh kurus si kakek.
"Bukkk!"
Tua Gila
memutuskan lebih baik dia menerima hantaman ekor buaya. Kakek ini terpental
sampai enam tombak. Dari keningnya mengucur darah. Tulang pipinya sebelah kiri
retak dan terluka dalam akibat hantaman ekor buaya. Sesaat tubuhnya terkapar di
atas pasir.
"Lekas
ringkus manusia jahanam itu!” Seseorang berseru berikan perintah.
Empat
sosok tubuh tinggi besar melompat menyergap ke arah Tua Gila yang saat itu
tengah mengusap darah yang menutupi pemandangan mata kirinya. Tiba-tiba Tua
Gila dorongkan kedua tangannya ke depan.
Empat
lelaki yang hendak meringkusnya menjerit keras. Tubuh mereka terpental dan
berguling-guling di atas pasir pantai. Dua orang langsung tak berkutik lagi,
putus nyawa. Dua lainnya dengan megap-megap mencoba bangkit berdiri. Namun
muntahkan darah segar lalu terjungkal roboh.
Tua Gila
dengan cepat meneliti wajah keempat orang itu. "Tak satu pun aku kenal.
Pasti mereka hanya cecere-cecere yang dijadikan umpan dan korban!"
membatin Tua Gila. "Siapa yang jadi dedengkot mereka? Satu aku sudah bisa
menerka, tapi di ujung sana kulihat lebih dari sepuluh keparat mendekam dalam
kegelapan. Menginginkan kematian diriku! Gila betul! Hik… hik… hik!
"Tua
Gila! Jalan lolos tidak ada bagimu! Jika kau mau serahkan diri, kami berjanji
akan mengurus mayatmu secara baik-baik!" Ada seseorang yang berteriak dari
arah pantai. Tua Gila tidak mengenali siapakah yang barusan bicara. Sambil
mengusap darah di mukanya yang cekung dia tertawa mengekeh. "Bagaimana
mungkin kalian akan mengurusi mayatku! Kalian akan mampus lebih dulu darikul
Ha…h a… ha! Hik… hik… hik!" Beberapa orang terdengar menyumpah dalam
kegelapan. Lalu, "Wuuut!" Sinar merah melesat dari arah pantai.
Bersamaan dengan itu Tua Gila melihat beberapa orang berkelebat ke arahnya.
Masing-masing
lepaskan pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam tinggi. Pantai laksana
disapu topan, pasir beterbangan. Air laut bergelombang dan batu-batu yang ada
di tepi pantai bergetar keras. Beberapa diantaranya terbongkar dan
menggelinding jauh.
Tua Gila
jatuhkan diri sama rata dengan pasir pantai. Sambil menelentang di pasir dia
balas menghantam ke depan. Tenaga dalamnya yang tinggi bentrokan dengan
gabungan beberapa tenaga dalam yang serempak menggempurnya. Terjadilah hal yang
hebat. Tubuh Tua Gila laksana sehelai daun dihantam angin puting beliung
melesat ke udara. Pakaian putihnya robek hampir di setiap sudut. Dari mata,
telinga, hidung dan mulutnya mengucur darah, dalam keadaan seperti itu tubuhnya
jatuh terhantar di balik lamping batu karang.
Di arah
pantai delapan orang terjengkang di pasir. Dua tak bangun lagi, dua bangkit
terhuyung-huyung. Yang empat cepat melompat berdiri seolah-olah tidak menderita
atau cidera apa-apa.
Di balik
batu karang Tua Gila cepat mengatur jalan darah, pernapasan dan tenaga dalam.
Dia hanya sanggup menghentikan kucuran darah. Namun rasa sakit seperti
menguliti sekujur badannya. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah tertatih-tatih,
masuk lebih dalam ke balik batu karang. Denyutan luka akibat hantaman ekor
buaya di kepalanya seolah palu godam yang hendak menghancurkan batok kepalanya.
Di satu tempat yang dirasakannya aman, di antara celah dua batu karang orang
tua ini jatuhkan diri. Dia cepat duduk bersila. Kembali mengatur jalan napas,
peredaran darah dan tenaga dalam.
"Ada
yang tak beres dengan diriku. Tenaga dalamku sulit dialirkan. Seolah urat-urat
besarku terbendung di beberapa bagian. Pukulan Pembendung Tenaga! Kalau bukan
karena itu tak mungkin aku begini! Celaka! Apa benar ada pukulan sehebat itu?
Siapa diantara mereka yang memiliki? Perempuan celaka itu pasti bukan! Sialan
gila! Kalau tahu bakalan begini lebih baik aku mengikuti kata-kata Sinto
Gendeng. Jangan buru-buru kembali ke Andalas ini."
"Tua
Gila! Kami tahu kau mengalami cidera berat! Apa masih belum mau serahkan
diri?" Dari arah pantai terdengar teriakan orang.
"Jahanam!"
Tua Gila merutuk. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan mengintai dari balik
batu karang. Baru saja kepalanya muncul sedikit dari arah pantai menyembur
sinar merah Pukulan Kipas Neraka!
"Wuusss!"
Sinar itu
dengan dahsyatnya menyebar laksana kipas satu tombak di depan batu karang.
"Braakkk!
Byuumr!"
Batu
karang setinggi empat tombak itu laksana ditebas petir. Bagian atasnya yang
terkutung mencelat masuk ke dalam laut! Tua Gila merasakan kakinya bergetar dan
cepat menjauh dari batu karang yang kini menyerap panas sinar Pukulan Kipas
Neraka hingga tak ubahnya seperti bara api.
Tua Gila
cepat menyingkir ke balik gugusan batu karang lainnya. Dalam kegelapan dia
keluarkan senjata yang paling diandalkana yakni segulung benang yang disebut
Benang Kayangan.
"Tua
Gila! Kami memberi kesempatan sampai tiga hitungan! Jika kau tidak keluar dari
balik batu karang menyerahkan diri! Kami akan menyerbu dan membunuhmu!"
"Masuki
Silahkan masuk! Pintu neraka sudah kubuka lebar-lebar untuk kalian!"
teriak Tua Gila lalu masih bisa tertawa gelak-gelak.
Di tepi
pandai dalam kegelapan beberapa orang segera berunding. Kebanyakan mereka tidak
setuju untuk menyerbu ke balik balu karang dimana musuh bersembunyi. Walau
lawan diketahui sudah terluka tetapi terlalu besar bahayanya untuk menyerbu.
"Saatnya
kita menjalankan siasat yang sudah diatur!" berkata seseorang di antara
mereka.
"Aku
setuju!" jawab orang di sebelahnya. Mereka yang ada di situ sama memandang
pada nenek bermuka putih mengenakan jubah hitam seolah menunggu putusan.
"Kurasa
memang sudah saatnya kita menjalankan siasat." nenek muka putih Sabai Nan
Rancak akhirnya angkat bicara. Matanya melirik ke arah gugusan batu karang.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu. Serta merta perempuan tua ini berteriak,
"Awas serangan Benang Kayangan!"
*********************
DELAPAN
SATU
benda halus berkilat melesat dalam kegelapan malam. Sabai Nan Rancak cepat
berkelebat menyingkir. Tiga orang di sebelahnya melakukan hal yang sama,
berpencar mencari selamat. Dua orang lagi yang tadi cidera akibat bentrokan
tenaga dalam dengan Tua Gila bernasib sial. Cidera yang mereka alami membuat
mereka bertindak agak lamban. Ujung Benang Kayangan laksana kawat baja menusuk
ke tenggorokan orang di sebelah kanan. Lehernya kemudian terpuntir melintir dan
robek besar. Dari mulutnya terdengar suara seperti ayam dipotong. Sebelum tubuhnya
roboh ke tanah Benang Kayangan berkelebat ke kanan. Korban ke dua menyusul.
Benang sakti itu menusuk kepalanya. Masuk dari pelipis kiri tembus sampai ke
pelipis kanan! Tua Gila sentakkan gulungan benang kayangan. Sentakan ini seolah
tebasan senjata tajam yang membuat kepala orang hampir terbelah.
Empat
orang yang ada di tempat itu termasuk Sabai Nan Rancak berteriak marah. Tua
Gila tertawa mengekeh. Gulungan Benang Kayangan kembali disentakkannya. Benang
sakti ini menderu ke arah nenek muka putih.
"Tua
Gila! Jangan berani menjajal diriku!" teriak Sabai Nan Rancak, Sambil
dorongkan tangan kanannya perempuan tua ini melesat setinggi dua tombak. Dua
sinar merah menderu. Tua Gila cepal tarik benang saktinya. Ujung senjata ini
kemudian meluncur ke arah kedua pergelangan kaki Sabai Nan Rancak. Tapi si
nenek tak kalah cepat. Berlaku cerdik, sambil melipat kakinya ke atas dia
kirimkan serangan Kipas Neraka ke arah batu karang dibalik mana lawan berada.
Tua Gila
terpaksa sentakkan benang saktinya dan cepat-cepat menyingkir dia gerakkan
senjatanya demikian rupa hingga benang sakti itu melibat ke arah pinggang si
nenek muka putih. "Wusss! Braakkk!"
Batu
karang di depan sana hancur berantakan dihantam Pukulan Kipas Neraka. Tua Gila
jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Tangannya digerakkan. Ujung benang sakti
yang tadi menyambar ke arah pinggang si nenek kini membeset ke dadanya.
"Siapa takutkan benang keparat ini!" teriak Sabal Nan Rancak. Aji
pukulan sakti di tangannya menyambar ke ujung Benang Kayangan. "Wuss… wussss!"
Benang Kayangan yang putih berkilat berubah menjadi merah lalu berubah menjadi
jalur apit Tua Gila tersentak kaget ketika melihat senjata saktinya terbakar.
Cepat dia menarik gulungan benang lalu memutusnya sebelum api menjalar lebih
jauh. Di sebelah sana si nenek muka putih keluarkan pekikan keras ketika
dapatkan lengan jubah hitamnya robek dan putus sedang tangannya sendiri
tersayat mengucurkan darah. Saking geramnya perempuan ini keluarkan bentakan
keras lalu hantamkan Pukulan Kipas Neraka dengan tangan kiri kanan sekaligus!
Pantai itu laksana dilanda badai dan gempa. Tiga ujung batu karang hancur
lebur. Pasir dan air laut muncrat ke udara. Di balik batu karang Tua Gila
gulingkan diri cari selamat. Darah kembali mengucur dari hidung dan telinganya sedang
kedua matanya mendenyut sakit. Dalam keadaan tubuh kuyup oleh air laut dan
kotor oleh pasir Tua Gila bangkit berdiri. Saat itulah di atas hancuran tiga
batu karang tampak berdiri tiga sosok tubuh manusia. Sosok pertama
yang
sangat dikenali oleh Tua Gila adalah sosok si nenek muka putih Sabai Nan Rancak
yang tegak dengan kedua telapak tangan terkembang dan memancarkan sinar merah
pertanda dia kembali siap melepaskan dua Pukulan Kipas Neraka sekaligus!
"Jadi
memang kau rupanya yang punya pekerjaan Sabai!" ujar Tua Gila seraya tegak
dan bersandar ke dinding karang. Si nenek tertawa panjang. "Untung kedua
matamu tidak kuhancurkan hingga kau masih bisa mengenali diriku, mengetahui
siapa yang membunuhmu sebelum nyawamu kukirim ke neraka!"
Tua Gila
ganda tertawa. "Mati di usia setua ini bukan lagi satu hal yang menakutkan
bagi diriku!" jawab orang tua itu sambil meludahkan darah yang memenuhi
mulutnya. "Kau sendiri apa yang membuatmu masih betah hidup di dunia ini
berlama-lama?!’
"Saat
penantian memang aku butuhkan. Aku akan tenteram berada di liang kubur kalau
kau sudah mampus di tanganku dengan jantung terbongkar, otak berceceran dan isi
perut berbusaian!"
Tua Gila
tertawa gelak-gelak. "Kukira kau sengaja hidup menanti berlama-lama
menunggu kehadiranku untuk melamarmu! Ha… ha… ha…!
Paras
putih Sabai Nan Rancak berubah menjadi merah. Lelaki tinggi besar yang tegak di
atas hancuran batu karang sebelah kanan keluarkan suara menggembor lalu
berkata.
"Sabai
Nan Rancak, jangan terlalu serakah. Kalau kau membongkar jantungnya, menjebol
isi perut dan membuat berantakan otaknya lalu aku dapat apa?! Hanya kebagian
tahinya? Ha… ha… hal Sabai Nan Rancak sahabatku, kau bahkan belum memberi
kesempatan padaku untuk mengeluarkan Ilmu Hawa Neraka?
"Perlu
apa kau bersusah payah kalau Pukulan Kipas Nerakaku sudah cukup membuatnya
terkencing darah!" jawab Sabai Nan Rancak, membuat dua lelaki yang tegak
di dua gugusan batu karang tertawa gelak-gelak. Tua Gila melirik ke arah orang
yang barusan bicara. "Hemmm…. Tubuh tua bangka tinggi besar, berkulit
hitam seperti arang. Berdestar tinggi merah. Mengenakan pakaian gombrong serba
hitam. Janggut dan kumis selebat hutan. Aku tidak kenal siapa adanya keparat
ini!" "Anjing hitam kau siapa?!" Tua Gila membentak. Orang tua di
atas runtuhan batu karang menggereng keras. Kedua tangannya segera digosokkan.
Sabai Nan Rancak cepat mengangkat tangan sambil; berseru. "Sobatku, jangan
terpancing oleh ucapani tua bangka keparat ini! Bukankah kita sudah berjanji]
untuk tidak membunuhnya secepat membalikkan telapak tangan? Nyawanya akan kita
korek sedikit demi sedikit! Sebelum dia mampus ada baiknya kau terangkan siapa
dirimu dan mengapa kau juga menginginkan kematiannya!" Walau hatinya panas
dan geram bukan main, si tinggi besar berdestar tinggi merah ini ikuti juga
kata-kata Sabai Nan Rancak. "Tua bangka calon bangkai tak berguna! Kau
dengar baik-baik penuturanku! Beberapa tahun lalu kau dan muridmu bernama Wiro
Sableng Pendekar 212 menyerbu Istana Sipatoka di Tambun Tulang. Kalian membunuh
Datuk Sipatoka dan mencuri harta kekayaan yang ada di tempat itu termasuk empat
puluh gadis muda dan cantik! Kabarnya kau juga telah mengubur hidup-hidup di
satu tempat Datuk Tinggi Raja Di Langit. Mereka berdua adalah adik-adikku yang
malang. Berdasarkan apa yang telah kau lakukan itu apakah aku Datuk Angek
Garang tidak punya cukup alasan untuk membunuhmu? Sayang muridmu pendekar
sableng itu tidak ada di sini! Tapi dia tak bakal lolos. Cepat atau lambat aku
akan memburu nyawanya!"
Tua Gila
tertawa lebar. "Ceritamu hebat amat. Sebelum aku bicara lebih banyak aku
ingin bertanya. Siapa yang membuatkan pakaian hitam itu untukmu? Orangnya pasti
tolol membuatnya kegombrongan seperti itu hingga kau juga tampak tolol seperti
pohon hangus diberi pakaian! Ha… ha… ha!"
"Tua
bangka sinting! Kalau kau masih hendak terus bicara keluarkan isi perutmu
cepat! Kematianmu tidak mungkin ditunda-tunda lebih lama!" bentak Datuk
Angek Garang dengan darah mendidih.
"Soal
kematian Datuk Sipatoka dan Datuk Tinggi Raja Di Langit memang aku yang punya
pekerjaan. Manusia-manusia bejat seperti mereka pantas cepat-cepat disingkirkan
dari muka bumi…." Si kakek ulurkan tangannya. Lalu memandang ke kuku ibu
jari. Setelah itu dia mendongak pada Datuk Angek Garang. "Dari gambar yang
kulihat dalam kukuku, rasanya kaupun bakal tak lama lagi menyusul kedua orang
itu! Ha… ha… ha! (Mengenal Datuk Sipatoka harap baca serial Wiro Sableng
berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang sedang mengenal Datuk Tinggi Raja Di
Langit baca Makam Tanpa Nisan)
"Sabai!
Aku akan melumat tua bangka keparat ini sekarang juga!" teriak Datuk Angek
Garang tak dapat lagi menahan amarahnya.
"Sabar
sedikit lagi sobatku!" kata Sabai Nan Rancak dengan cepat. "Kawan
kita yang satunya ini belum diberi kesempatan untuk bicara!" Nenek muka
putih berpaling ke arah lelaki yang tegak di atas runtuhan batu karang di
samping kirinya.
Di sini
tegak seorang lelaki berusia enam puluh tahun mengenakan pakaian sangat bagus
terbuat dari beludru merah campur hitam diberi umbai-umbai benang emas. Di
pinggangnya melingkar sebuah ikat pinggang dari rantai berwarna kuning. Pada
ikat pinggang ini terselip sepasang rencong terbuat dari besi berwarna biru
pertanda mengandung racun amat jahat. Di atas kepala orang ini bertengger
sebuah topi kuning. Satu batu permata hitam yang memancarkan sinar angker
menempel di pertengahan topi sebelah depan. Orang ini memiliki kumis panjang
menjulai. Pada keningnya ada dua benjolan besar berwarna coklat.
Tua Gila
tiba-tiba keluarkan tawa bergelak begitu dia melihat orang berpakaian mewah
Ini.
"Sabai
Nan Rancak, sobatmu yang satu ini memang hebat. Siapa yang kerbau atau sapi
diantara kedua orang tuanya? Bapaknya atau ibunya?! Ha… ha… ha?!"
"Jahanam
Tua Bangkai Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?" bentak si nenek muka
putih.
Tua Gila
tertawa mengekeh. Lelaki yang keningnya ada dua benjolan tampak mendelik.
Pelipisnya bergerak-gerak. Kumisnya yang panjang menjulai berjingkrak ke atas.
Tua Gila hentikan tawanya. Sambil menunjuk pada orang di samping si nenek dia
berkata. "Kulihat ada dua benjolan seperti tanduk tumpul di keningnya.
Orang yang ibu bapaknya manusia biasa mana mungkin bertanduk seperti dia. Pasti
kalau tidak ibunya ya bapaknya yang sapi atau kerbau!"
"Tua
bangka bermulut keji! Terima kematianmu saat ini juga!" teriak lelaki
bertopi kuning.
"Magek
Bagak Baculo Duo!" teriak Sabai Nan Rancak. "Tahan!" Si nenek
berusaha mencegah tapi orang itu tidak perduli lagi. Dari atas gugusan batu
karang dia melompat ke bawah. Dua sinar biru membersit angker dalam kegelapan
malam pertanda dia telah mencabut sepasang keris sakti beracunnya.
Melihat
hal ini, takut bakal keduluan maka Sabai Nan Rancak lak mau tinggal diam. Dia
jejakkan kedua kakinya ke atas batu karang. Tubuhnya melesat ke bawah laksana
tombak melesat di kegelapan malam. Dari tangan kanannya menderu cahaya merah.
Orang
bernama Datuk Angek Garang tersentak kaget. "Hai! Bangsat tua itu jangan
kalian libas berdua!" teriaknya lalu diapun melesat turun ke bawah sambil
gosokkan kedua tangannya. Sinar hitam menderu ke arah Tua Gila. Serta merta di
tempat itu menghampar bau busuknya mayat membuat Tua Gila menjadi sesak
bernafas. Inilah yang disebut Hawa Neraka.
Tua Gila
berteriak keras lalu jatuhkan diri berguling ke batik batu karang terdekat.
Tangan kanannya cepat membedal gulungan Benang Kayangan sementara sementara
tangan kiri dihantamkan menahan serangan tiga lawan.
Ketika
ujung benang sakti melibat puncak runcing salah satu batu karang di tempat itu,
Tua Gila menyentakkan tangannya, tiga serangan lawan sampai dengan dahsyatnya.
Hanya terpisah oleh kejapan mata saja tubuh Tua Gila melesat membal ke udara.
Untuk kesekian kalinya hancuran batu pasir dan batu karang serta air laut
muncrat ke udara. Lalu terdengar suara "brettt!"
Walau dia
selamat dari serangan Hawa Neraka Datuk Angek Garang dan hanya terkena sambaran
tipis pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak, namun pakaian putih Tua Gila yang
sudah penuh dengan robekan-robekan kini kembali robek ditoreh salah satu keris
biru di tangan Magek Bagak Baculo Duo.
"Jangan
biarkan dia lolos!" teriak Sabai Nan Rancak begitu sosok Tua Gila lenyap
laksana terbang dan raib di langit malam. Namun orang tua itu benar-benar
lenyap setelah menyelamatkan diri dengan melentingkan diri mengandalkan benang
saktinya.
"Jahanam
kurang ajar! Dia tak bakal bisa hidup tamat Kerisku telah melukai
tubuhnya!" kata Magek Bagak Baculo Duo sambil perhatikan ujung keris di
tangan kirinya yang bernoda darah.
Di pantai
sebetah timur teluk Siburu, Tua Gila melayang turun. Dengan cepat dia
menggulung benang saktinya. Saat itulah dia merasakan perih di perutnya sebelah
kanan. Ketika baju putihnya yang robek disibakkan terkejutlah kakek Ini. Di
situ ada luka memanjang. Walau luka itu tampaknya tipis saja seolah hanya luka
di permukaan kulit namun Tua Gila maklum bahaya apa yang akan dihadapinya.
Dengan cepat dia meremas bagian perut yang luka hingga darah merah kehitaman
mengucur keluar. Lalu dia menotok badannya di beberapa bagian. Setelah itu
dengan cepat dia menelan sebutir obat.
Dengan
dada turun naik dan nafas memburu Tua Gila memandang berkeliling.
"Jahanam!
Tiga manusia keparat itu memiliki kepandaian bukan main-main! Sulit bagiku
untuk menghadapi mereka bertiga sekaligus. Aku harus mencari akal! Atau mungkin
untuk sementara aku menyelinap kabur saja…. Mencari kesempatan sampai aku dapat
menghajar mereka satu persatu!" Lama Tua Gila termenung. "Sabai Nan
Rancak…. Kau benar-benar gila! Otakmu lebih miring dari aku! Kalau mau
membunuhku mengapa tidak dari dulu-dulu? Apa kau lupa aku ini bapak dari anak
yang pernah kau lahirkan?!"
Tiba-tiba
di udara terdengar suara teriakan di kejauhan.
"Tua
Gila! Kau boleh kabur atau sembunyikan diri! Tapi harap lihat dulu apa yang
akan terjadi dengan muridmu!"
Tua Gila
tersentak kaget.
"Itu
suara si Sabait Setan, apa yang hendak dilakukannya! Muridku…. Muridku yang
mana?! Astaga! Jangan-jangan! Otakku benar-benar sudah sinting! Bagaimana aku
bisa lupa dengan anak itu!" Serta merta Tua Gila keluar dari tempat
persembunyiannya.
Ketika
dia kembali ke bagian pantai dimana Sabai Nan Rancak beserta Datuk Angek Garang
dan Magek Bagak Baculo Duo berada terkejutlah Tua Gila menyaksikan pemandangan
di hadapannya.
*********************
SEMBILAN
DATUK
Angek Garang tegak dengan kaki terkembang, tangan kanan terkepal sedang tangan
kiri menjambak rambut seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Anak
ini merintih kesakitan. Kedua matanya terpejam dan mukanya lebam babak belur
tanda telah dianiaya sebelumnya.
"Jahanaml
Apa yang telah kalian lakukan pada muridku!" teriak Tua Gila dan melompat
ke hadapan ketiga orang itu.
Mendengar
suara Tua Gila si anak paksakan membuka kedua matanya yang bengkak.
"Guru…" hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan si anak.
"Malin
Sati! Aku bersumpah akan membunuh ketiga jahanam ini!" teriak Tua Gila.
Dia maju beberapa langkah tapi Magek Bagak Baculo Duo bergerak lebih cepat.
"Silahkan
maju satu langkah lagi tua bangka keparat! Kutembus leher muridmu!" kertak
Magek Bagak dan keris beracun di tangan kanannya ditempelkan ke leher Malin
Sati murid Tua Gila.
"Apa
salah anak itu! Jangan kaitkan urusan kalian dengan dirinya!" teriak Tua
Gila. "Lepaskan dia! Hadapi diriku! Bangsat pengecut! Beraninya menganiaya
anak kecil!"
"Tua
Gila! Kau tidak berada dalam kedudukan mengatur! Kami yang menentukan
semuanya!" kata Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek bermain di
bibirnya.
"Sabai!
Aku mungkin manusia paling jahat di dunia Inlt Tapi aku tidak menyangka kalau
begini busuk perilakumu!" Mendamprat Tua Gila.
Si nenek
muka putih dongakkan kepala dan tertawa panjang. "Aneh, baru hari ini kau
menyadari bahwa dirimu manusia paling jahat di dunia. Hari ini pula kau
menuduhku berperilaku busuk. Hik… hik…hik! Pernahkah kau menyadari bahwa
kebusukan yang telah kau lakukan terhadapku, terhadap puluhan perempuan
lainnya, terhadap orang-orang yang kau bunuh tanpa pasal, tanpa lantaran adalah
sejuta lebih busuk daripada apa yang aku lakukan saat ini!"
"Aku
memang berbuat jahil terhadap beberapa perempuan. Termasuk dirimu. Aku memang
membunuh manusia-manusia seenakku. Tapi itu semua bukan tanpa alasan.
Musuh-musuhku membuat fitnah, menuduh aku membunuh ratusan manusia] tidak
berdosa! Mereka semua gila!"
"Kau
yang gila tua bangka keparat!" teriak Datuk Angek Garang sambil hentakkan
Jambakannya di rambut Malin Satl hingga anak ini kembali merintih kesakitan.
Tua Gila
hendak merangsek menghantam orang ini tapi terpaksa membatalkan niatnya ketika
dilihatnya Magek Bagak Baculo Duo menggerakkan tangan kanannya yang menempelkan
keris beracun ke leher si anak.
Saat itu
sesosok bayangan merah berkelebat muncul di tempat itu. Melihat siapa yang
datang Sabai Nan Rancak membentak marah.
"Puti
Andini! Aku sudah bilang jangan datang ke sini!"
Puti
Andini, murid Sabai Nan Rancak yang bergelar Dewi Payung Tujuh melangkah
mundur. "Kalau guru memang tidak suka saya kemari, harap maafkan. Saya
akan menunggu di tempat yang guru katakan…."
"Cucuku,
jangan pergi dulu!" Tua Gila berseru.
Puti
Andini hentikan langkahnya dan berpaling ke arah Tua Gila. Sabai Nan Rancak
kembali membentak. "Kau berani mendengarkan ucapannya Puti? Lekas pergi
dari sini!" Lalu pada Tua Gila dia menghardik. "Jangan kau berani
bicara dengan muridku. Dia bukan cucumu!"
Tua Gila
menyeringai. "Siapapun adanya diriku, kau tak bisa mengingkari kenyataan.
Gadis itu adalah cucuku. Cucumu juga. Di tubuhnya mengalir darah kita
berdua…."
"Bangsat!
Jangan bicara yang bukan-bukan!" bentak Sabai Nan Rancak dengan muka kelam
membesi.
"Cucuku,
aku tidak meminta balas jasa karena lelah menyelamatkan dirimu waktu di
Pangandaran dulu. Tapi tolong kau beri pengertian pada gurumu agar membebaskan
anak tidak berdosa itu. Setelah itu dia boleh membunuhku!"
Puti
Andini pandangi wajah Tua Gila sesaat. Tiba-tiba dari mulutnya dia keluarkan
ludah lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak tertawa
mengekeh. Tua Gila, betul tadi itu cucu darah dagingmu? Hik… hik… hik! Mengapa
dia malah meludahimu, bukan menolongmu?! Hi… hik… hik!" "Sabai.
sebaiknya kita mulai saja. Tak lama lagi matahari akan terbit. Aku ingin
menyelesaikan urusan ini lalu istirahat, lalu pergi dari sini!" Sabai Nan
Rancak memandang pada Magek Bagak Baculo Duo lalu anggukkan kepala. "Tua
Gila, pertama sekali lekas kau serahkan Benang Kayangan itu padaku!"
"Apa
maksudmu?" tanya Tua Gila dengan mata mendelik.
"Apa
kau tuli tidak mendengar apa yang diucapkan Sabai?" bentak Datuk Angek
Garang. Tangannya berputar memperkeras jambakannya. Kembali Malin Sati merintih
kesakitan. "Aku akan berikan apa yang kau minta. Bahkan nyawaku! Asal anak
itu kau lepaskan!" teriak Tua Gila.
Si nenek
tertawa. Magek Bagak dan Datuk Angek Garang mendengus.
"Berikan
benang sakti itu lebih dulu. Soal nyawamu bisa diatur kemudian!" kata si
nenek muka putih pula. Tua Gila menggeram dalam hati. Dia terpaksa mengeluarkan
gulungan Benang Kayangan dari balik pakaiannya yang robek. Sabai Nan Rancak
cepat menyambar benda itu.
"Sekarang
kalian harus lepaskan muridku!"
"Sabar
Tua Gila. Tenang saja. Permainan belum selesai!" jawab Sabai Nan Rancak
sambil buka gulungan Benang Kayangan, "Ingat baik-baik, kalau kau berani
bergerak nyawa muridmu tak akan tertolong!"
"Jahanam!
Apa yang ada di otak kotormu?!" teriak Tua Gila.
Sabai Nan
Rancak tertawa panjang. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya. "Settt…
settt… sett…!" Tua Gila memandang ke depan. Magek Bagak Baculo Duo
tekankan mata keris ke leher Malin Sati.
Mau tak
mau terpaksa dia tak berani bergerak. Sabai Nan Rancak melibat sekujur tubuhnya
dengan Benang Kayangan miliknya sendiri hingga dia berada dalam keadaan tidak
berdaya sama sekali!
Magek
Bagak Baculo Duo tertawa gelak-gelak. Dengan tumit kirinya didorongnya tubuh
bungkuk Tua Gila hingga kakek ini jatuh terguling di tanah. Datuk Angek Garang
bantingkan tubuh Malin Sati ke tanah.
"Sesuai
rencana kita menunggu sampai matahari terbit," kata Sabai Nan Rancak.
"Bagaimana
kalau orang yang kita tunggu tidak muncul?" bertanya Datuk Angek Garang.
"Apa
susahnya? Bangkai tua itu langsung kita pesiangi. Hukum picis akan dimulai
terhadap dirinya! Hik… hik… hik!"
"Kalau
begitu kita bertiga bisa mencari tempat yang baik untuk istirahat sekedar
melunjurkan kaki." kata Magek Bagak pula.
"Hemmm….
Terserah kalian saja," jawab Sabai Nan Rancak. Sebelumnya mereka telah
menunggu delapan hari delapan malam sampai Tua Gila muncul. Tidak heran kalau
sebenarnya saat itu mereka merasa sangat letih.
************************
LANGIT di
teluk Siburu mendadak gelap berat padahal kedatangan pagi masih lama. Hujan
lebat mengguyur teluk. Angin dari tengah laut menderu kencang. Gelapnya malam
dan lebatnya hujan menutup pemandangan. Ketika terakhir sekali Sabai Nan Rancak
memandang ke tepi pasir sosok Tua Gila yang terikat dalam keadaan tidak berdaya
masih terlihat menggeletak di kejauhan. Muridnya juga tampak terkapar tak jauh
dari situ. Namun ketika hujan mulai reda dan pemandangan mulai terang dua sosok
tubuh guru dan murid itu tidak kelihatan lagi di tempat itu.
Sabai Nan
Rancak berteriak keras membuat Datuk Angek Garang dan Magek Bagak Baculo Duo
tersentak dari tidur-tidur ayam mereka.
"Ada
apa Sabai?" tanya Magek Bagak sambil keluar dari tempat keteduhan dan
mengusap mukahnya yang segera basah oleh air hujan.
"Bangsat
tua itu melarikan diri! Muridnya juga lenyap!" teriak Sabai Nan Rancak.
Mana mungkin Tua Gila bisa kabur! Kita telah mengikatnya dengan Benang
Kayangan!" kata Datuk Angek Garang.
Keparat
itu punya seribu akal! Kita bertiga telah berlaku ayal!" ujar si nenek
muka putih. Lekat lakukan penyelidikan. Kita berpencar. Beri tanda dengan
suitan jika salah satu dari kita melihat mereka! Kalaupun keduanya lari pasti
belum jauh! Jika kita bergerak sekarang pasti keduanya bisa terkejar!"
Tiga
orang itu segera berkelebat di bawah hujan dan gelapnya malam menjelang pagi.
Apakah
yang terjadi?
*********************
SEPULUH
KETIKA
hujan mulai turun, dari arah pantai yang gelap tampak sesosok tubuh bertiarap
beringsut-ingsut mendekati Tua Gila yang terguling di atas pasir dalam keadaan
terikat tidak berdaya. Orang tua ini tengah menggigil menahan sakit dan dingin
serta deraan air hujan ketika tiba-tiba di sampingnya ada satu suara perlahan.
"Kek…
kau pingsan atau bagaimana…?"
"Setan
dari mana yang bertanya!" desis Tua Gila sambil buka matanya lebar-lebar.
Hanya terpisah satu jengkal di depannya dia melihat wajah cantik bercelemong
pasir dan basah oleh air hujan. "Hemmm. cucu kualat. Kau rupanya…."
kata Tua Gila begitu dia mengenali yang ada di dekatnya adalah Puti Andini
murid Sabai Nan Rancak. "Ada apa kau kemari?!"
"Jangan
bicara keliwat keras. Aku datang untuk menolongmu…."
"Aku
tidak butuh pertolongan. Aku sudah siap untuk mati. Kalau hatimu memang baik
tolong saja muridku…."
"Kalau
aku menolong dia apa yang kemudian dia bisa lakukan? Jangan tolol Kek!”
"Sialan!
Tadi kau meludahiku! Sekarang memakiku tolol!"
"Itu
namanya akal Kek! Agar apapun yang terjadi guruku tidak curiga padaku!"
jawab si gadis.
"Bagus.
Kalau begitu lekas kau buka ikatanku!"
"Aku
tidak tahu bagaimana caranya. Ini bukan benang biasa dan ikatannya juga bukan
sembarang ikatan!" kata Puti Andini pula.
"Kau
telusuri salah satu ujungnya. Begitu bertemu kedut tiga kali. Setelah itu kau
tarik perlahan-lahan. Benang akan meluncur lepas dari tubuhku!"
Puli
Andini membuka matanya lebar-lebar memperhatikan ikatan benang sakti di tubuh
si kakek.
"Kau
tak bakal menemukan ujung benang kalau hanya mempergunakan mata. Urut dengan
tanganmu. Ayo lekas sebelum setan-setan itu ada yang melihat ke sini!"
Andini
lakukan apa yang dikatakan si kakek.
"Lama
betul kau mencari! Sudah ketemu belum…?"
"Su…
sudah Kek…."
"Kalau
begitu kenapa tidak kau betot?"
"Aku
tak bisa Kek!"
"Ujung
benang yang kau maksud berada bawah pusarmu. Masuk ke balik celanamu…."
Menerangkan Puti Andini.
Tua Gila
terkesiap lalu hampir saja dia hendak tertawa bergolak. "Bilang saja kau
takut tanganmu menyentuh anuku hah?"
"Bu…
bukan begitu Kek." jawab Puti Andini bingung sendiri.
"Sudah,
mengapa kau jadi tolol. Tarik bagian yang menyembul di atas bajuku. Ujung
benang pasti akan keluar! Kalau sudah dapat baru kau sentakkan tiga kali.
Mengerti?"
"Mengerti
Kek." Lalu Puti Andini lakukan apa yang dikatakan Tua Gila. Perlahan-lahan
benang putih ditariknya ke atas sampai dia berhasil menyentuh ujung benang
sakti itu. Seperti dikatakan si kakek, Puti Andini segera menyentakkan ujung
benang tiga kali berturut-turut. Benar saja, setelah ditarik begitu benang
sakti itu meluncur lepas secara mudah.
"Cucu
pintar, kau lekas pergi dari sini! Aku akan menarik muridku ke tempat yang
aman…."
"Aku
sudah menyiapkan sebuah perahu untuk kalian di pantai sebelah barat. Aku
menunggumu di sana. Ini aku kembalikan benang sakti bekas ikatanmu…."
Tua Gila
cepat menggulung Benang Kayangan itu. Setelah Puti Andini meninggalkan tempat
itu dengan cepat dia menarik tubuh Malin Sati. Anak sepuluh tahun yang jadi
muridnya itu.
Ketika
sampai di pantai sebelah barat Puti Andini telah menunggu sambil memegangi
sebuah perahu yang siap diluncurkan ke laut.
"Aku
sangat berterima kasih dan berhutang nyawa padamu. Andini!’ kata Tua Gila
sambil meletakkan tubuh Malin Sati ke atas lantai perahu.
"Jangan
sebut hal itu. Kau pernah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku! Apa kau kira
aku tidak memikirkan untuk membalasnya?"
"Tapi
kalau gurumu tahu kau akan dibunuhnya!" kata Tua Gila mengingatkan.
"Akal
Kek. Kita harus pakai akal!" jawab si gadis pula.
"Apa
maksudmu?"
Lekas kau
pukuli beberapa bagian mukaku. Lalu totok hingga aku tak bisa bersuara, tak
bisa bergerak Setelah itu lekas naik ke atas perahu dan pergi dari sini.’
"Siapa
tega memukuli mukamu. Aku tahu akalmu. Biar kucubit saja! Kau hanya akan merasa
sakit sedikit. Tapi bengkaknya seperti bekas digebuki! Hi… hik… hik…!’ Tua Gila
lantas mencubit wajah Puti Andini di bagian pipi, kening serta dagu. Sesaat
kemudian bagian-bagian wajah yang dicubit itu kelihatan biru membengkak.
"Hik… hik… hik! Wajahmu jadi tambah cantik! Aku pergi sekarang! Kalau
kelak terjadi bentrokan lagi antara aku dan gurumu kuharap kau jangan memihak
siapapun!"
"Itu
urusan nanti saja Kek. Tapi satu hal aku peringatkan padamu. Kau tak bakal
dapat menghadapi ilmu Pukulan Kipas Neraka yang dimiliki guruku Sabai Nan
Rancak…." "Aku tahu hal itu. Itu sebabnya sekarang lebih baik aku
mengalah saja. Aku pergi sekarang. Terima kasihku untukmu… "
"Hati-hati
Kek!"
Tua Gila
acungkan dua jari tangannya untuk menotok si gadis. Namun tiba-tiba dia ingat
sesuatu. "Cucuku, apakah kau tidak berkirim salam pada seseorang?"
"Seseorang
siapa maksudmu?" tanya Puti Andini agak heran.
"Muridku
si geblek Wiro Sableng itu!" jawab Tua Gila.
"Kau
ini ada-ada saja!"
"Hai,
kau mau berkirim salam atau tidak?"
"Apa
dia mau menerima salamku?’ ujar Andini.
"Kalau
kau yang berkirim tentu dia akan menerima dan gembira! Jadi kusampaikan salammu
padanya?"
"Baiklah
kalau kau mau menyampaikan…."
"Akan
kusampaikan. Salamnya salam apa cucuku?"
Maksudmu?”
tanya Puti Andini tidak mengerti.
"Salam
itu banyak macamnya. Salam rindu, salam kangen, salam mesra, salam…."
"Kek.
pantas kau disebut orang Tua Gila. Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa
bersenda gurau!"
Tua Gila
tertawa mengekeh. "Hidup musti begitu cucuku. Gembira setiap saat di kala
duka, kesusahan apa lagi di waktu senang! Hik… hik… hik!"
Tua Gila
menotok tubuh Puti Andini dua kali berturut-turut. Gadis ini roboh ke atas
pasir tanpa bisa bersuara maupun bergerak. Sepasang matanya yang bening
memperhatikan Tua Gila mengayuh perahu menjauhi pantai di bawah hujan yang
mulai mereda.
Ketika
perahu yang ditumpangi Tua Gila hampir lenyap di kejauhan tiba-tiba terdengar
suara menegur kerat.
"Anak
gadis murid Sabai Nan Rancak! Apa yang terjadi dengan dirimu?!"
"Hemmm….
Salah seorang dari mereka berhasil menemuiku. Untung Tua Gila sudah berada jauh
di lengah lautan."
Sesosok
tubuh membungkuk di samping tubuh Puti Andini yang terbujur di atas pasir dalam
keadaan lertotok tak bisa bersuara tak bisa bergerak.
"Anak
cantik…. Apa yang terjadi dengan dirimu?"
"Itu
suara si Magek Bagak Baculo Duo…" pikir Puti Andini yang mengenali suara
orang. Tubuh si gadis bergeletar ketika tiba-tiba betisnya yang tersingkap
diusap orang. Usapan itu naik sampai ke paha.
"Bangsat
jahanam! Apa yang kau lakukan ini." teriak si gadis. Namun teriakan itu
hanya menggema di tenggorokannya.
*********************
SEBELAS
RANGSANGAN
nafsu bejat membuat Magek Bagak Baculo Duo semakin berani. Dia memang sudah
lama mendendam selera terhadap murid Sabai Nan Rancak ini. Tangannya menjalar
ke balik pakaian Puti Andini. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah si gadis.
Tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat. "Manusia jahanam! Apa yang kau lakukan
terhadap muridku?!"
"Bukkk!"
"Krakkk!"
Tulang
bahu sebelah kanan Magek Bagak Baculo Duo remuk. Tubuhnya mencelat masuk ke
dalam air laut. Termiring-miring dia keluar dari dalam air dan memandang
mendelik pada Sabai Nan Rancak, Pakaian bagusnya basah kuyup.
"Kau
sudah gila menyerang teman sendiri?" sentak lelaki yang keningnya ada dua
benjolan itu.
"Kau
belum menjawab pertanyaanku manusia culasi Apa yang kau lakukan terhadap
muridku?" hardik si nenek muka putih.
"Apa
yang aku lakukan? Memangnya aku melakukan apa?"
"Jahanam!
Jangan berani dusta!"
"Aku
menemukannya dalam keadaan seperti itu. Aku berusaha menelitinya…."
"Menelitinya
dengan jalan menciumi? Setan!"
"Aku
tidak menciuminya. Aku mendekatkan kepala karena Ingin melihat mengapa wajahnya
bengkak. Hari masih gelap! Kalau kepalaku tidak aku dekatkan mana mungkin aku
bisa menyelidik!"
"Begitu?!
Bukankah sudah ada kata sepakat? Siapa saja yang menemukan sesuatu harus
memberi tanda dengan suara suitan!"
"Itu
betul! Tapi aku mementingkan keselamatan muridmu. Memeriksa keadaannya lebih
dulu.
Setelah itu baru aku bermaksud memberi tanda." "Begitu?" Si
nenek menyeringai angker. "Baik, kita dengar apa yang bakal dikatakan
muridku!" Paras Magek Bagak Baculo Duo jadi berubah. "Tunggu dulu
Sabai!" katanya. Tapi si nenek telah melepaskan totokan di tubuh muridnya.
Begitu dirinya bebas Puti Andini
langsung
melompat dan menyerang Magek Bagak. Dari mulutnya keluar kutuk serapah.
"Tua bangka busuk! Kau berserikat dengan guruku! Tapi berbuat keji
menggunting dalam lipatan!" Sabai Nan Rancak cepat menyelak diantara kedua
orang itu. Mukanya yang putih kelihatan
merah
sekail. "Sekarang apakah kau masih bisa berdalih manusia sundal?"
bentak Sabai Nan Rancak. "Tunggu dulu Sabai!" "Nasibmu
menyedihkan sekali Magek. Aku sudah terlanjur bersumpah akan membunuh
semua
lelaki yang melakukan kekejian terhadap kaum perempuan!" "Sabai!
Urusan besar kita belum selesai! Biar aku memberi keterangan lebih dulu!"
Sabai Nan
Rancak
menyeringai. "Keteranganmu itu bisa kau berikan nanti pada malaikat
maut!" jawab si nenek muka putih. "Kalau kau beritikad jahat padaku,
terpaksa aku menghabisimu!" mengancam Magek Bagak
Baculo
Duo.
"Keluarkan
semua ilmumu. Cabut sepasang keris saktimu itu. Aku cuma mengandalkan
ini!" kala si nenek pula. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik
sinar merah menderu lalu menebar menjadi dua kipas api mengerikan.
"Pukulan
Kipas Neraka!" teriak Magek Bagak. Dia cepat menyingkir. Tapi terlambat.
Tubuhnya terkutung putus pada dua bagian. Dua potongan mencelat ke dalam laut.
Potongan ketiga yaitu pinggang ke bawah terbanting di atas pasir.
Melejang-lejang beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi. Puti Andini berbalik
dan memeluk gurunya lalu menangis sesenggukan.
"Hentikan
tangismu! Ceritakan apa yang terjadi!" kata Sabai Nan Rancak setengah
membentak.
Sebelum
Puti Andini membuka mulut. Datuk Angek Garang berkelebat muncul di tempat itu.
"Apa
yang terjadi? Apa Tua Gila sudah ditemukan…."
Ucapannya
terhenti ketika sepasang matanya melihat potongan tubuh Magek Bagak yang
terkapar di pasir. Seperti tak percaya dia mendekati potongan tubuh itu. Lalu
tersurut sendiri karena bergidik ngeri. Tubuh Magek Bagak laksana disayat
gergaji raksasa namun bagian yang terpotong gosong hitam seperti dipanggangl
"Sobat
kita telah berlaku culas! Dia berusaha menggerayangi muridku!" Menerangkan
Sabai Nan Rancak.
"Bagaimana
hal itu bisa terjadi?" tanya Datuk Angek Garang.
"Puti,
ceritakan apa yang terjadi!" perintah si nenek muka putih pada muridnya.
"Seperti
yang diperintahkan, aku menunggu di sini. Tiba-tiba kakek keparat itu muncul
sambil menggendong muridnya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa lolos. Lantas
saja aku menyerangnya. Tapi dia terlalu kuat bagiku…." Puti Andini
memperlihatkan mukanya yang babak belur seperti kena hantaman.
"Aku
tidak mengira! Walau sudah diketahuinya kau adalah cucunya mengapa dia setega
itu memukulimu! Apa yang terjadi selanjutnya Puti?" ujar Sabai Nan Rancak.
"Mungkin
takut hari keburu siang atau kawatir guru dan kawan-kawan muncul di sini maka
dia menotok tubuhku. Kakek keparat itu kemudian melarikan diri dengan perahu
bersama muridnya…"
"Jahanam
betul!" rutuk Datuk Angek Garang. "Lalu bagaimana sampai Magek Bagak
mengalami nasib seperti ini?" tanyanya. "Dia pertama sekali muncul di
tempat ini! Menemui diriku dalam keadaan tidak berdaya, bukannya menolong tapi
malah pergunakan kesempatan menggerayangi tubuhku!" "Kalau aku tidak
keburu datang mungkin muridku ini sudah dirusaknya!" kata Sabai Nan Rancak
pula.
"Jika
memang begitu ceritanya pantas orang gila satu ini dihabisi dengan pukulan
Kipas Neraka!" kata Datuk Angek Garang pula. Hanya satu hal yang aku tidak
mengerti, bagaimana Tua Gila bisa meloloskan diri dari ikatan Benang
Kayangan…?"
"Itu
juga yang aku rasa aneh," menyahuti Sabai Nan Rancak. "Tapi jangan
lupa, bangsat tua itu punya seribu satu pengalaman dan seribu satu akal. Dia
pura-pura tak berdaya. Begitu kita lengah dia melarikan diri. Membawa serta
muridnya!"
"Tua
bangka itu tidak tahu. Ketika muridnya kubantingkan ke tanah, anak itu
sebenarnya sudah tidak bernafas lagi!"
Sabai Nan
Rancak tenang saja mendengar ucapan orang itu seolah nyawa si anak tidak lebih
berharga dari nyawa binatang. Sebaliknya Puti Andini terpaksa palingkan
kepalanya ke jurusan lain untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya.
"Apa
yang harus kita lakukan sekarang Sabai?" tanya Datuk Angek Garang.
"Aku
dapat menduga ke mana kaburnya tua bangka keparat itu. Pasti dia kembali ke
tanah Jawa. Datuk Angek Garang, harap kau segera melakukan pengejaran! Aku dan
muridku akan melakukan suatu di pulau ini!"
"Hemmm,
apakah yang hendak kalian laku kalau aku boleh bertanya!"
"Kau
ingat kisah setahun silam ketika Datuk Tinggi Raja Langit saudaramu itu
berusaha menjebak Tua, Gila dan Pendekar 212 Wiro Sableng di pulau ini?’
"Tentu
saja aku ingat. Terlebih karena adikku tak pernah kembali ke utara. Aku yakin
dia memang sudah menemui k e matian di tangan tua bangka jahanam itu!"
"Itulah
yang akan kuselidiki Datuk. Biar ada kejelasan. Aku tak tahu berapa lama akan
berada di pulau ini. Itu sebabnya kuminta bantuanmu untuk mengejar Tua Gila.
Aku dan Andini akan menyusul kemudian…."
"Kalau
cuma hendak menyelidik apa perlunya? Datuk Tinggi jelas-jelas sudah jadi mayat.
Setelah setahun tak pernah muncul setelah berhadapan dengan seorang sakti
seperti Tua Gila, apakah seseorang masih bisa dikatakan hidup? Aku menaruh
curiga, jangan-jangan ada sesuatu yang lain yang ingin dicari perempuan bermuka
putih ini!"
"Apa
jawabanmu Datuk Angek Garang? Kau seperti memikirkan sesuatu!"
Datuk
Angek Garang anggukkan kepala. "Aku akan menuruti apa kemauanmu. Apapun
yang terjadi aku akan menunggumu hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo di
timur Candi Mendut. Jika sampai hari ke lima belas kau tidak muncul aku tak
akan menunggu. Berarti kita mencari jalan sendiri-sendiri."
"Setuju!"
kata Sabai Nan Rancak. Kedua orang itu saling menjura. Datuk Angek Garang
melangkah cepat ke balik kerumpunan semak belukar di mana tersembunyi dua
perahu layar cukup besar. Dibantu oleh si nenek dan muridnya sang Datuk menarik
satu dari dua perahu itu menuju ke laut.
*********************
DUA BELAS
TUA GILA
bersimpuh di depan gundukan tanah merah makam Malin Sati. Dia berada di sebuah
pulau yang tidak diketahuinya pulau apa. Ketika dia menyadari muridnya itu
ternyata tidak bernafas lagi Tua Gila meraung keras. Setengah harian dia
meratap seperti anak kecil. Kemudian dia sadar sekalipun dia menangis sampai
keluar air mata darah, sang murid tidak akan bisa hidup lagi. Di saat matahari
bersinar terik di puncak kepalanya Tua Gila putar perahunya ke arah timur
dimana dilihatnya sebuah pulau di kejauhan. Di pulau inilah kemudian jenazah
Malin Sati dikuburnya.
"Muridku,
aku bersumpah akan membunuh manusia-manusia celaka penyebab kcmatianmu! kata
Tua Gila. Perjalananku masih jauh. Aku terpaksa meninggalkanmu Malin. Aku harus
pergi sekarang…."
Dengan
mata berkaca-kaca si kakek bangkit berdiri. Pada saat itulah baru diketahuinya
kalau tempatnya berada itu telah dikurung oleh dua lusin orang bersenjata
tombak, berpakaian dari kulit kayu. Di kepala masing-masing mereka mengenakan
topi berbentuk mahkota terbuat dari daun nangka hutan. Mata mereka rata-rata
berwarna merah dan selalu bergerak liar kian kemari. Hak… huk… hak… huk!
Salah
seorang dari penduduk pulau maju mendekati Tua Gila. Mengeluarkan ucapan
hak-huk hak-huk yang tidak dimengerti Tua Gila sambil menunjuk-nunjuk ke arah
puncak sebuah bukit di kejauhan.
"Aku
tidak mengerti apa yang kalian ucapkan!" -Hak… huk… hak… huk!" Orang
tadi kembali berhak-huk hak-huk sambil menunjuk ke arah bukit. Lalu dia ulurkan
tangan memegang lengan Tua Gila dan menarik si kakek.
Saat itu
Tua Gila sedang kalut pikiran. Ditambah dengan bara dendam kesumat yang
membakar dirinya. Kalau saja dia tdak menyadari tengah berhadapan dengan
penduduk pulau yang bahasa dan adat sikapnya berlainan mungkin orang yang menarik
lengannya itu sudah ditendang atau dipukulnya sampai terjengkang.
Tiba-tiba
ada derap kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian seorang pemuda berkulit sawo
matang bertampang gagah muncul di tempat itu. Dia juga mengenakan pakaian dari
kulit kayu. Memakai topi daun berbentuk mahkota. Bedanya pemuda ini bertubuh
bersih penuh otot, tidak dicoreng moreng. Dia segera melompat turun dari
tunggangannya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak diketahui Tua
Gila. Mendengar ucapan anak muda itu orang yang memegang tangan Tua Gila segera
melepaskan pegangannya lalu melangkah mundur. Si anak muda cepat menemui Tua
Gila. Orang tua harap maafkan sikap para perajurit Kerajaan. Mereka selalu
bersikap seperti itu terhadap orang luar yang tidak dikenal…
Tua Gila
mengangguk. "Untung dia bisa bicara yang aku mengerti. Kalau tidak apa
jadinya." Dalam hati dia merasa heran. "Perajurit Kerajaan…?
Memangnya di sini ada Kerajaan? Kerajaan apa? Namaku Datuk Pangeran Rajo Mudo.
Aku Putera Mahkota di pulau ini dan pulau sekitarnya. Kedua orang tuaku Raja
dan Permaisuri Kerajaan sedang sakit keras. Dukun Kerajaan telah coba mengobati
tapi tidak berhasil. Apakah kau tahu ilmu pengobatan, orang tua?" Tua Gila
menggeleng.
"Maukah
kau melihat dan memeriksa Raja serta Permaisurinya?"
Tua Gila
berpikir sejenak baru menjawab. "Aku akan penuhi permintaanmu. Tapi jika
aku tidak bisa menyembuhkan penyakit mereka apakah aku diperbolehkan pergi
dengan bebas dari pulau ini?”
"Tentu
saja orang tua…. Jadi kau mau ikut bersama kami ke Istana?"
"Ya…
ya…. Aku mau!"
"Istana
kami sangat besar. Kau pasti akan mengaguminya."
"Apa
Istanamu punya nama?"
‘Tentu.
Raja memberinya nama Istana Sipatoka…."
Terkejutlah
Tua Gila mendengar nama yang disebutkan itu. Si pemuda sendiri tampak heran
melihat perubahan wajah si kakek. "Apakah Raja ayahandamu itu punya
hubungan dengan Datuk Sipatoka yang pernah menjadi Raja di Raja di Tambun
Tulang beberapa tahun silam?" "Nama mungkin bisa sama. Tapi Kerajaan
kami tidak ada sangkut pautnya dengan Datuk Sipatoka yang kau sebutkan
itu."
Tua Gila
menjadi lega. "Aku siap mengikutimu."
"Sebelum
kita menuju ke Istana Sipatoka aku harus tahu lebih dulu, siapa yang kau
kuburkan di tempat ini?" "Muridku. Dia meninggal dunia di tengah
laut. Aku terpaksa membawa dan menguburnya di sini. Ini adalah pulau terdekat
dalam perjalananku…." "Sebetulnya ada larangan keras bagi seseorang
untuk menginjakkan kaki di pulau ini. Apalagi menggali tanah menanam
bangkai…." "Jangan kau sebut muridku bangkai. Dia manusia! Namanya
jenazah bukan bangkai!" kata Tua Gila setengah berteriak.
Si pemuda
yang mengaku Putera Mahkota bernama Datuk Pangeran Rajo Mudo tersenyum.
"Bagi kami manusia atau binatang kalau sudah mati sama saja. Kami sebut
bangkai. Itu sebabnya semasa hidupnya manusia harus berperilaku benar-benar
seperti manusia, karena kalau sudah mati dia bukan manusia lagi! Orang tua, kau
telah berbuat dua kali pelanggaran. Memasuki pulau kami secara diam-diam.
Menggali tanah menguburkan muridmu secara diam-diam…."
Tua Gila
tertawa mengekeh. Yang disebut para perajurit Kerajaan di sekelilingnya berseru
hak-huk hak-huk. "Rupanya begitu menginjakkan kaki di pulau ini aku harus
berteriak-teriak. Ketika menggali kubur juga harus berteriak-teriak! Edan! Bumi
dan langit serta laut adalah milik Tuhan! Siapa saja boleh pergi kemana dia
suka! Anak muda, kau mulai bicara dengan lidah berkait. Tadi kau bilang jika
aku tidak bisa menyembuhkan Raja dan Permaisuri aku boleh pergi dengan bebas.
Tapi aku punya firasat kau dan orang-orangmu akan melakukan sesuatu padaku!
Dengar baik-baik anak muda. Jika hal itu kau lakukan terhadapku kau dan semua
yang ada di pulau ini akan kujadikan bangkai! Lalu aku akan berteriak-teriak
menguburkan bangkai kalian!"
Habis
berkata begitu Tua Gila dekati sebatang pohon kelapa. Dengan tangan kirinya
batang pohon itu dihantamnya.
"Kraaak!"
Perajurit-perajurit
Kerajaan berteriak kaget dan lari menjauh berserabutan, takut tertimpa
tumbangan pohon kelapa yang jatuh bergemuruh. Datuk Pangeran Rajo Mudo sendiri
tetap tak bergerak dari tempatnya. Padahal tumbangan pohon kelapa itu jatuh
tepat ke atas kepalanya. Dua jengkal lagi batang kelapa akan menghantam
kepalanya, Datuk Pangeran Rajo Mudo melompat ke atas sambil angkat tangan
kirinya. Dengan tangan kirinya itu dia menahan batang kelapa lalu
perlahan-lahan dia melayang turun dan lemparkan batang kelapa itu ke tanah.
"Hak…
huk… hak… huk!" Para prajurit Kerajaan Sipatoka berseru dan bertepuk
tangan melihat kehebatan Putera Mahkota mereka.
Tua Gila
diam-diam merasa kagum melihat kekuatan tenaga si pemuda walau dia tahu yang
diperlihatkannya tadi adalah kekuatan tenaga luar atau kekuatan otot, bukan
kekuatan tenaga dalam.
"Orang
tua, kau berada di tempat kami. Jadi harap kau mengikuti segala aturan di sini.
Kalau kau macam-macam aku akan buat lehermu seperti ini!" Datuk Pangeran
Rajo Mudo lalu hantamkan tumit kirinya ke batang kelapa yang tergeletak di
tanah.
"Kraakk!"
Batang
kelapa itu hancur putus berkeping-keping.
Tua Gila
tersenyum-senyum. "Katamu Raja dan Permaisuri sedang sakit keras. Apakah
kau akan terus pamer kekuatan di tempat ini dan membiarkan mereka lebih cepat
menemui kematian?"
"Orang
tua, kau boleh naik kudaku. Aku akan berlari di depanmu! Kha segera berangkat
menuju Istana Sipatoka!"
"Bagaimana
kalau kau yang naik kuda di sebelah depan dan aku yang mengikuti di sebelah
belakang?" ujar Tua Gila pula.
"Orang
tua sombong, jika kau menantang jangan-jangan kau yang harus diobati
sesampainya di istana. Bukan Raja dan Permaisuri!"
Tua Gila
tertawa mengekeh. Begitu Datuk Pangeran Rajo Mudo naik ke atas punggung kuda,
digebraknya pinggul binatang itu keras-keras. Kuda melompat dan menghambur lari
laksana dikejar setan.
"Hak…
huk… hak… huk!" Para perajurit berteriak-teriak.
Datuk
Pangeran memandang ke belakang karena menyangka si kakek sudah jauh tertinggal.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika dapatkan Tua Gila berada persis di ekor
kudanya. Berlari enak-enakan sambil bernyanyi-nyanyi kecil!
*********************
TIGA BELAS
YANG
disebut Istana itu ternyata adalah satu bangunan kayu besar sepanjang puluhan
tombak dan dibangun bertopang pada pohon-pohon besar yang tumbuh di
sekelilingnya.
"Ini
Istana kami. Semua rakyat tinggal jadi satu di sini. Di paling ujung sana ruang
kediaman Raja dan Permaisuri, menerangkan Datuk Pangeran Rajo Mudo. Lalu dia
mempersllahkan Tua Gila menaiki tangga aneh, terbuat dari kayu lentur semacam
rotan setinggi belasan tombak tanpa pegangan. Di bangunan Istana Sipatoka
terdapat sepuluh tangga seperti itu.
Tua Gila
kernyitkan kening melihat bentuk tangga Hu. Dia lebih terperangah ketika
melihat para penghuni Istana Sipatoka enak saja turun naik tangga seperti beruk
memanjat dengan lincah dan cepat
Melihat
si kakek ragu mau menaiki tangga, Datuk Pangeran Rajo Mudo tertawa lebar.
"Orang
tua, biar aku membantumu naik ke atas sana!" lalu pemuda itu menangkap
pinggang Tua Gila dan siap hendak mendukungnya. Ketika dia hendak dilarikan
menaiki tangga, Tua Gila cepat meronta dan melompat ke tanah.
"Datuk
Pangeran, kau saja duluan naik ke alat. Aku akan memperhatikan dan nanti
menyusul," kata si kakek pula. "Kalau kau naik sendiri setengah jalan
mungkin kau sudah terkencing-kencing! Tapi kalau kau keras kepala aku tidak
memaksa!" Pemuda itu melompat ke arah tangga. Cekatan sekail dia menaiki
tangga hingga dalam waktu singkat sudah berada di ambang pintu bangunan rumah
kayu di atas tana. "Orang tua, ayo lekat naik ke atas!" berseru Datuk
Pangeran Rajo Mudo karena menyangka Tua Gila masih berada di bawah.
"Aku
sudah berada di sini, Pangeran…" Satu suara terdengar di belakang Datuk
Pangeran Rajo Mudo. Dia cepat berpaling dan jadi ternganga ketika melihat Tua
Gila sudah tegak di depannya.
"Orang
tua, bagaimana kau tahu-tahu sudah ada di sini?"
"Tadi
aku mengikutimu dari belakang. Cuma waktu hendak melewatimu aku jadi bingung.
Lantas aku melompat saja di sebelah atasmu…." Tua Gila tertawa mengekeh.
Si pemuda
jadi bingung sendiri. "Orang tua ini seorang saktikah atau dia tengah
mempermainkanku?" pikir Datuk Pangeran,
"Waktuku
tidak lama. Lekas antarkan aku ke tempat Raja dan Permaisuri…"
Datuk
Pangeran mengangguk. Dia memberi isyarat pada si kakek untuk mengikuti.
Berjalan di bangunan tinggi dan sangat panjang itu Tua Gila melihat kamar
berderet-deret di kiri kanan. Akhirnya dia sampai di ujung bangunan. Ruangan di
sini jauh lebih besar dan bertingkat dua. Menaiki sebuah tangga kayu Tua Gila
sampai di tingkat atas. Di sini terletak dua buah pembaringan besar. Di sebelah
kanan terbaring seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. Keseluruhan
rambutnya sudah putih dan mukanya pucat cekung. Bibirnya kelihatan kebiruan.
Begitu juga cekungan yang melingkari sepasang matanya yang lerpejam. Tubuhnya
tertutup sehelai kain berwarna hijau. Hanya kepalanya saja yang tersembul.
Inilah Raja Kerajaan Sipatoka yang sedang menderita sakit.
Di
pembaringan sebelah kiri terbaring sang Permaisuri. Seperti raja tubuhnya juga
tertutup kain hijau. Kepalanya tersembul tampak pucat walau telah diberi hiasan
mencolok. Bibirnya tampak biru. Warna biru juga kelihatan selingkar ke dua
matanya.
"Lekas
kau periksa kedua orang tuaku. Jika kau sudah tahu penyakitnya lekas kau
carikan obati." berbisik sang Putera Mahkota.
Tua Gila
masih tetap berdiri di tempatnya. Hidungnya mencium berbagai macam bau. Yang
pertama adalah bau aneh yang keluar dari kepulan asap pendupaan yang terletak
di sudut ruangan. Dekat pendupaan itu duduk sesosok tubuh berjubah hitam.
Rambutnya putih panjang menjulai sampai ke dada dan menutupi sebagian wajahnya
yang penuh corengan-corengan hitam. Kedua matanya terpejam, sedang dari
mulutnya tiada henti keluar suara meracau seperti orang membaca mantera.
Tua Gila
tidak dapat menerka apakah orang berjubah hitam ini lelaki atau perempuan. Dia
mendekati Datuk Pangeran dan berbisik. "Siapa orang yang duduk dekat
pendupaan itu?"
"Dukun
Sakti Langit Takambangl Dia adalah wakil raja dalam segala perkara merangkap
tabib atau dukun Kerajaan…"
"Kalau
kalian sudah punya dukun mengapa masih meminta bantuan orang lain?" ujar
Tua Gila.
"Sekali
ini Dukun Sakti Langit Takambang tidak mampu mengobati Raja dan Permaisuri. Itu
sebabnya kami mencari siapa saja yang sanggup menyembuhkan."
Tua Gila
melirik ke sudut ruangan sebelah kiri. Dia melihat sebuah gentong besar
berwarna coklat. Dari dalam gentong ini mengepul keluar asap tipis dan bau yang
tidak sedap.
"Apa
isi gentong tanah itu Pangeran?" tanya Tua Gila.
"Ramuan
obat yang dibuat Dukun Sakti untuk diminumkan pada Raja dan Permaisuri, jawab
Datuk Pangeran Rajo Mudo.
Tua Gila
usap-usap janggut putihnya.
"Kau
masih belum hendak memeriksa ke dua orang tuaku?" Si pemuda bertanya
dengan suara agak keras.
"Apakah
Dukun Sakti tidak akan tersinggung kalau aku melangkahinya?"
"Lakukan
apa yang aku suruh! Jangan perdulikan siapapun!"
Tua Gila
lalu melangkah ke pembaringan sebelah kanan. Tangannya ditempelkan di atas
kening Raja. Terasa hawa panas sekali. Lalu dia membungkuk memperhatikan wajah
Raja.
Suara
meracau si Dukun Sakti Langit Takambang mendadak berhenti. Tua Gila melirik.
Orang tua itu mendongak ke atas. Matanya masih terpejam dan rambutnya
riap-riapan menutupi wajahnya. "Ada yang tidak beres dengan makhluk satu
ini! Aku akan segera mengetahuinya!" kata Tua Gila dalam hati. Dia kembali
memeriksa keadaan wajah Raja.
"Aku
bukan tabib bukan dukun, bukan ahli pengobatan. Tapi aku hampir yakin orang ini
menderita sakit akibat racun ular!"
Tua Gila
berpaling pada Datuk Pangeran dan bertanya dengan sangat perlahan. "Apakah
Raja pernah dipatuk ular berbisa?"
"Dipatuk
ular?" Si pemuda gelengkan kepala.
"Kau
pasti?"
"Tentu
saja aku pasti karena aku tahu betul."
"Kalau
begitu izinkan aku memeriksa sekujur tubuhnya. Harap kau membantu meneliti.
Maklum mata tua ini tidak setajam mata orang seusiamu…" Maka Tua Gila lalu
memeriksa setiap sudut tubuh, tangan dan kaki Raja. Dia sama sekali tidak
menemukan luka sekecil apapun bekas gigitan atau patukan ular.
"Kau
tidak akan memeriksa Permaisuri?" tanya Datuk Pangeran sang Putera
Mahkota.
"Tidak
perlu. Aku sudah tahu penyakitnya. Sama-sama terkena racun ular…. Antar aku
memeriksa isi gentong tanah itu."
Kedua
orang itu melangkah mendekati gentong tanah di sudut ruangan. Tiba-tiba dari
mulut Dukun Sakti Langit Takambang kembali terdengar suara meracau seperti
membaca jampal-jampal. Ketika Tua Gila hanya tinggal beberapa langkah saja lagi
dari gentong besar, sang dukun mendadak melompat dan tegak menghadang.
Kepalanya ditundukkan. Wajahnya tidak kelihatan. Lalu terdengar suaranya
melengking tinggi.
"Pelanggaran
telah terjadi di Kerajaan dan Istana Sipatoka! Orang luar menginjakkan kaki di
pulau, masuk ke dalam Istana tanpa izin aku penguasa Kerajaan setelah Raja.
Orang luar telah diminta untuk mengobati Raja dan Permaisuri tanpa persetujuan
aku Dukun Sakti Langit Takambang! Pantangan telah dilanggar. Hukuman akan
segera jatuh! Mati bagi orang luar!"
"Dukun
Sakti Langit Takambang!" Datuk Pangeran membuka mulut. "Angkat
kepalamu dan lihat padaku!"
Perlahan-lahan
Dukun Sakti itu angkat kepalanya. Wajahnya tetap saja tidak terlihat jelas
karena penuh corengan hitam dan tertutup rambut putih. Hanya sepasang matanya
kelihatan memandang menyorot ke depan.
"Aku
Putera Mahkota Kerajaan Sipatoka. Yang sakit adalah ayah dan ibukul Aku punya
tanggung jawab dan kekuasaan untuk mencari jalan penyembuhan bagi mereka. Orang
luar ini aku yang membawanya ke sini…."
"Orang
luar tidak berhak mengobati Raja! Itu sudah jadi ketentuan!"
"Persetan
dengan ketentuan! Kau sendiri selama dua bulan tidak mampu mengobati Raja dan
Permaisuri. Penyakit mereka semakin parah hari demi hari!"
Dukun
Sakti berpaling pada Tua Gila lalu berkata. "Orang luar, lekas tinggalkan
pulau ini sebelum kutuk jatuh atas dirimu!"
"Jangan
perdulikan orang ini!’ kata Datuk Pangeran pada Tua Gila. Lalu dengan tangan
kirinya pemuda itu mendorong Dukun Sakti hingga terjajar ke samping.
Tua Gila
melangkah cepat mendekati gentong. Di dinding tergantung sebuah gayung. Dengan
gayung ini dia menciduk cairan dalam gentong lalu diperhatikan dan diciumnya
berulang kali. Cairan itu berwarna coklat butak kehitaman. Baunya anyir sekali.
Ketika dia berpaling ke kanan Dukun Sakti itu tak ada lagi di tempat itu.
Kemana
perginya orang tadi?" tanya Tua Gila. "Jangan perdutikan dia. Yang
penting apakah kau sudah tahu apa adanya cairan dalam gentong itu."
"Sebelum
aku katakan apa adanya cairan ini, lebih baik kau memberi perintah pada
perajurit Kerajaan untuk mengawasi Dukun Sakti itu. Jangan sampai dia melarikan
diri…"
"Eh.
apa maksudmu orang tua?"
"Cairan
obat ini mengandung racun ular mematikan. Takarannya sengaja dibuat encer
hingga orang yang meminumnya akan menemui ajal dalam jangka waktu lama secara
perlahan-lahan!"
Berubahlah
paras Datuk Pangeran. Dari saku celananya dikeluarkannya sepotong bambu. Lalu
ditiupnya kuat-kuat berulang kali. Belasan perajurit Kerajaan menghambur masuk
ke atas bangunan. Datuk Pangeran mengatakan sesuatu. Mereka cepat tinggalkan
tempat itu sambil berteriak hak …huk…hak ..huk dan acung-acungkan tombak di
tangan masing-masing.
"Orang
tua, kau harus membuktikan bahwa cairan dalam gentong ini benar-benar
mengandung racun mematikan. Kalau tidak terbukti dan ternyata kau menebar
fitnah, kau akan kupancung sebelum matahari tenggelam!"
"Dalam
perjalanan ke sini aku banyak melihat tikus hutan berkeliaran di tengah jalan.
Harap perintahkan orang-orangmu menangkapnya barang seekor dan bawa ke
sini!" Datuk Pangeran kembali meniup peluit bambunya. Belasan perajurit
berdatangan dengan cepat. Setelah mendengar ucapan sang Putera Mahkota mereka
segera pergi. Tak berapa lama kemudian lima orang muncul membawa masing-masing
seekor tikus hutan.
"Dasar
manusia-manusia geblek! Diminta seekor dibawa sampai lima tikus!" kata Tua
Gila mengomel dalam hati.
Tua Gila
mengambil seekor tikus yang paling besar. Dia memegang binatang ini pada bagian
lehernya lalu dipencetnya kuat-kuat. Begitu tikus mencicil dan membuka mulutnya
lebar-lebar Tua Gila segera guyurkan cairan dalam gayung ke dalam mulut
binatang itu. Tikus hutan menggelepar-gelepar beberapa kali. Tua Gila meletakkan
binatang ini di lantai. Tikus ini berlari kencang. Tapi cuma setengah jalan.
Dekat tangga menuju ke tingkat bawah tikus hutan ini menggelepar dan terkapar
tak berkutik lagi! Tua Gila berpaling pada Datuk Pangeran.
"Dukun
Sakti Langit Takambang! Manusia jahanam! Dia meracuni Raja dan
Permaisuri!" teriak Datuk Pangeran marah. Dia kembali tiup peluit
bambunya. Ketika sembilan perajurit muncul dia segara memberi perintah agar
mencari Dukun Sakti itu dan menangkapnya hiduphidup.
"Orang
tua, kau sudah tahu obat yang diberikan Dukun Sakti itu ternyata adalah racun
untuk dipakai membunuh kedua orang tuaku! Yang aku perlukan sekarang adalah
ramuan obat untuk menyembuhkan mereka!"
Dari
balik pakaian putihnya yang robek Tua Gila keluarkan sebuah kantong kecil lalu menyerahkannya
pada si pemuda.
"Di
dalam kantong kain Ini ada enam butir obat penangkal segala macam racun.
Minumkan pada Raja dan Permaisuri masing-masing satu butir selama tiga
hari."
"Aku
berterima kasih. Tapi kalau kau berhasrat hendak meninggalkan pulau saat ini
aku terpaksa menahanmu sampai tiga hari. Sampai hari terakhir obat ini
diberikan pada kedua orang tuaku!"
"Kau
sengaja menahanku karena tidak percaya aku benar-benar memberikan obat
penyembuh?" Tua Gila melotot. "Kalau begitu berikan enam butir obat
itu. Biar aku tenggak semua sekaligus!"
"Orang
tua. Jangan kau salah sangka. Aku menahanmu karena begitu Raja dan Permaisuri
sembuh kami akan mengadakan pesta besar tanda bersyukur!"
"Memanjatkan syukur dan terima kasih pada Tuhan tidak perlu pakai segala
macam pesta. Cukup bersujud padanya dan mengucapkan terima kasih dengan hati
yang suci!"
"Aku
sangat terkesan pada ucapanmu itu orang tua! Tapi aku tetap tidak mengizinkanmu
pergi. Aku ingin agar Raja dan Permaisuri mengucapkan terima kasih mereka langsung
padamu begitu mereka sembuh."
"Ah,
Aku mau cepat ternyata malah jadi berlama-lama di tempat ini!" gerutu Tua
Gila dalam hati.
*********************
EMPAT BELAS
DATUK
Pangeran Rajo Mudo melangkah di samping Tua Gila. "Pesta besar akan
dilangsungkan besok. Apa salahnya kau menunggu satu hari lagi. Sulit diduga
kapan kau akan kembali ke pulau ini."
Tua Gila
tersenyum. "Bukan aku, tapi kau yang harus keluar dari pulau ini Pangeran.
Kau masih muda. Sebelum menjadi raja kau harus melihat dunia dan mencari
pengalaman hidup…."
Sang
Putera Mahkota terdiam mendengar kata-kata Tua Gila itu. Sebelum dia sempat
menyahuti mereka sudah sampai di hadapan Raja dan Permaisuri yang duduk di
sebuah kursi panjang besar. Di hadapan mereka ada sebuah meja kecil. Di atas
meja ini terletak satu kotak kayu dalam keadaan tertutup.
Raja
Kerajaan Sipatoka memeluk Tua Gila erat-erat. Kami ingin kau tinggal lebih lama
di tempat ini. Permaisuri bahkan mengusulkan sejak Dukun Sakti Langit Takambang
tidak diketahui ke mana raibnya, kau diharapkan akan jadi penggantinya…."
Tuga Gila
tertawa mengekeh. "Kalian Raja dan Permaisuri serta Putra Mahkota sama
baiknya. Aku mengucapkan terima kasih…."
"Tidak…
Tidak, bukan kau yang mengatakan hal itu. Kami yang telah ditolong yang harus
menghaturkan ribuan terima kasih. Sebagai tanda terima kasih yang harap jangan
dilihat dari pemberiannya, kami ingin menyampaikan satu bingkisan kecil
untukmu. Ini bingkisan tanda persaudaraan dari aku, Raja dan rakyat Kerajaan
pulau Sipatoka. Aku Rajo Tuo Datuk Paduko Intan menyerahkan dengan takzim,
harap kau sudi menerima…." Lalu Raja yang baru sembuh dari sakit akibat
obat yang diberikan Tua Gila Ku mengambil kotak kayu yang terletak di atas
meja, membuka tutupnya dan menyodorkannya pada Tua Gila.
Si Kakek
bungkuk berpakaian putih itu tampak terkesiap. Semua orang menyangka dia
terkesiap melihat isi kotak yaitu dua potong besar emas dan sebutir berlian
sebesar Ibu jari kaki. Padahal Tua gila terkesiap mendengar nama yang
disebutkan sang Raja.
"Raja
Tuo Datuk Paduko Intan…. Datuk Paduko Intan. Aku pernah mendengar nama itu.
Tapi lupa dimana dan kapan…."
"Raja
Tuo Datuk Paduko Intan, aku tidak berani menerima hadiahmu. Aku menolong tanpa
pamrih. Bahkan sebelumnya aku telah berbuat kesalahan karena menginjakkan kaki
ke pulau ini tanpa izin…."
Raja
Sipatoka tertawa gelak-gelak. "Kejadian itu membuat aku lebih membuka mata
bahwa kehidupan manusia ini saling berkaitan satu sama lain. Segala aturan dan
larangan yang keliru akan ku-pupus habis dari Kerajaan Sipatoka. Kau tahu.
Putra Mahkota malam tadi datang menghadapku meminta ijin untuk mengembara
barang setahun dua tahun di luar pulau. Nah, terimalah bingkisan ini…"
"Terima
kasih Rajo Tuo. Tapi aku tak dapat menerimanya. Aku hanya bisa menyampaikan
rasa terima kasih besar atas kebaikanmu…."
Raja
Sipatoka geleng-gelengkan kepala. Semua orang yang ada di situ tentu saja tak
dapat mempercayai kalau si kakek menolak hadiah yang begitu besar.
"Orang
tua, aku jadi ingat pada cerita yang pernah kudengar dari istri pertamaku dulu
sebelum dia meninggal dunia waktu melahirkan. Dia sering menceritakan kehebatan
seorang jago tua berkepandaian tinggi yang adalah ayahnya sendiri. Orang tua
itu punya sifat aneh yaitu sering menolong tapi selalu menolak apa saja yang
diberikan orang padanya. Dia begitu mengagumi sang ayah tapi sekaligus juga
sangat membencinya. Menurut istriku karena ayahnya itulah maka ibunya menderita
seumur hidup. Dan kau percaya atau tidak, istriku itu seumur hidupnya tidak
pernah melihat atau mengenal ayahnya!"
Tua Gila
mendadak merasakan lututnya bergetar. Dia punya firasat aneh. Maka dia
memberanikan diri bertanya. "Kalau aku boleh tahu siapakah nama mendiang
istrimu itu Rajo Tuo?"
"Andam
Suri."
Getaran
di lutut Tua Gila menjalar naik ke dada. Tengkuknya terasa dingin. Dia kembali
bertanya. "Apa kau tahu siapa nama ayah istrimu itu Rajo Tuo?"
"Kalau aku tidak salah istriku pernah menyebut namanya. Aku hanya ingat
nama depannya, lupa nama belakangnya. Namanya Sukat…." Dada Tua Gila
berguncang keras. Parasnya yang pucat seperti mayat itu tampak bertambah pucat.
"Sukat
apa aku lupa…" menyambung Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. "Tapi aku
ingat benar beberapa gelar yang diberikan orang padanya. Ada yang menyebutnya
Pendekar Gila Patah Hati. Ada yang menggelarinya Iblis Gila Pencabut Jiwa. Tapi
dia lebih dikenal dengan Julukan Tua Gila."
Keringat
memercik di kening Tua Gila. "Ya Tuhan apa betul saat ini aku berhadapan
dengan menantuku sendiri?! Suami dari anak yang tidak pernah aku lihat seumur
hidupku?" Menggemuruh suara hati Tua Gila.
"Agaknya
kau kurang senang mendengar kisah hidupku di masa lalu." kata Rajo Tuo.
"Biar kita lupakan si Tua Gila itu. Sekarang aku mohon kau menerima hadiah
ini." "Maafkan aku Rajo Tuo. Aku benar-benar tidak bisa menerima
pemberianmu ini. Biarlah kebaikanmu tetap menjadi pahala yang besar di hari
kemudian."
Rajo Tuo
menghela napas dalam. Kotak kayu itu ditutupnya kembali dan diletakkannya di
atas meja. Dia memandang pada Tua Gila lama sekali hingga si kakek menjadi
kecut kalau-kalau sang raja tahu bahwa dialah Tua Gila yang disebut-sebutnya
tadi.
"Orang
tua. Jika kau tidak mau menerima hadiah itu, kuharap kau jangan menampik
pemberianku yang satu ini," Rajo Tuo berkata sambil berpaling pada
istrinya. Permaisuri Kerajaan Sipatoka menanggalkan sebuah kantong kecil yang
tergantung di pinggangnya lalu diserahkannya pada suaminya. Rajo Tuo membuka
kantong itu. Dari dalam kantong dikeluarkannya sebuah kotak kecil terbuat dari
perak. Dia membuka kotak sambil melangkah mendekati Tua Gila.
Dari
dalam kotak diambilnya seuntai kalung perak bermata sebuah batu hijau yang
redup dan buruk bentuknya.
Barang
ini bernama Kalung Permata Kejora. Bentuknya buruk tapi mengandung kekuatan dan
khasiat kesaktian luar biasa. Kalung ini diberikan oleh ibu Andam Suri kepada
puterinya itu melalui seseorang disertai pesan bahwa dia harus mencari Tua Gila
dan membunuhnya dengan kalung ini. Hanya kalung ini yang bisa menewaskan orang
tua penyebab segala derita dan penimbul segala bala itu!"
Tua Gila
ternganga. Sepasang matanya yang tebar memandang tak berkesip. Dalam hati dia
berkata, "Aku pernah mendengar riwayat kalung ini. Kukira hanya cerita
kosong belaka tetapi kini aku berhadapan dengan kenyataan…."
"Orang
tua, kulihat kau diam saja. Apa kau juga menolak menerima barang pusaka sakti
ini?"
Tua Gila
mendehem beberapa kali. "Aku orang tolol. Bagaimana membuktikan kalung ini
memiliki kekuatan dan khasiat serta kesaktian seperti yang kau katakan itu Rajo
Tuo?"
"Aku
memang tidak pernah membuktikannya. Tapi aku percaya pada kesaktian yang
dimilikinya. Jika kau tidak percaya silahkan kaupegang kalung Ini!" Rajo
Tuo lalu menyerahkan kalung perak bermata batu hijau itu kepada Tua Gila. Si
orang tua segara mengambilnya. Tapi dia berseru kaget. Begitu kalung dan
matanya berada dalam genggamannya dia merasa seolah memegang sebuah batu
raksasa. Tak ampun lagi tubuhnya tertarik daya berat luar biasa dan terbanting
ke lantai. Kalung Permata Kejora jatuh di depan kakinya.
Tua Gila
mengerenyit menahan sakit. Telapak tangannya terasa pedas seperti terbakar. Kedua
lututnya seolah remuk.
"Sekarang
apakah kau percaya pada kesaktian yang terkandung dalam kalung itu?" Tua
Gila meringis dan mengangguk.
"Kalau
begitu harap kau ambil kalung itu kembali!"
Dengan
tangan gemetar Tua Gila mengambil kalung yang tercampak di lantai. Astaga!
Kalung itu kini ternyata ringan sekali dan dengan mudah diangkatnya. Lalu dia
berdiri. Rajo Tuo mengambil kalung itu dari tangan Tua Gila, memasukkannya ke
dalam kotak perak. Setelah itu kotak perak dimasukkannya lagi ke dalam kantong
kain dan akhirnya kantong kain diserahkannya pada Tua Gila.
"Orang
tua, dengar baik-baik. Aku meminta bantuanmu untuk mengembalikan Kalung Permata
Kejora itu pada ibu mendiang istriku…." Tua Gila jadi terbelalak. Tapi
karena matanya memang sudah lebar maka tidak ada yang memperhatikan kelainan
wajahnya. "Perempuan itu sekarang sudah menjadi seorang nenek-nenek
kira-kira seusiamu. Namanya Sabai Nan Rancak. Aku menylrap kabar selama
bertahun-tahun mertuaku itu berusaha mencari dan membunuh Tua Gila, ayah dari
anaknya sendiri yang kini jadi musuh besarnya. Setahuku dia punya satu kendala
besar. Tua Gila demikian saktinya hingga tidak bisa dibunuh kalau tidak dengan
kalung sakti Ini. Walau kemudian aku menylrap kabar bahwa Sabai Nan Rancak
telah memiliki satu ilmu kesaktian yang disebut pukulan Kipas Neraka yang akan
sanggup menghabisi Tua Gila, namun aku merasa mempunyai kewajiban untuk
mengembalikan Kalung Permata Kejora kepadanya. Nah, maukah kau menolong aku
mencari perempuan itu dan menyerahkan kalung ini padanya?"
Tua Gila
tak bisa menjawab. Bernapaspun rasanya dia jadi merasa kecut! Sabai Nan Rancak
telah menjadi musuh besarnya yang kini tengah mengejarnya dan ingin membunuhnya
dengan segala cara! Sekarang Rajo Tuo meminta dia menemui si nenek untuk
menyerahkan Kalung Permata Kejora itu!
"Urusan
gila! Apa aku jelaskan saja terus terang padanya bahwa aku adalah si Tua Gila
itu?"
"Sobatku
orang tua, kau belum menjawab permintaanku. Bersediakah kau menolongku mencari
Sabai Nan Rancak lalu menyerahkan benda pusaka sakti ini padanya?’
"Rajo
Tuo. Kau adalah menantu Sabai Nan Rancak. Mengapa tidak kau saja yang pergi
mencari dan menyerahkan benda ini?" ujar Tua Gila berusaha mencari jalan
untuk melepas diri dari tugas gila itu.
"Di
Kerajaan pulau Sipatoka ini kami punya aturan yang tak boleh dilanggar.
Siapapun yang jadi Raja tidak boleh meninggalkan pulau dengan alasan
apapun."
"Kalau
begitu mengapa tidak puteramu yang gagah ini yang melakukan?"
Rajo Tuo
Datuk Paduko Intan tersenyum dan gelengkan kepala. Dia masih terlalu muda.
Dunia luar apalagi yang disebut rimba persilatan penuh dengan seribu satu macam
tipu daya yang bisa menimbulkan bencana. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan
Putera Mahkota Kerajaan Sipatoka…. Lain dengan kau. Kau tentu manusia penuh
pengalaman dan sanggup menghadapi segala macam tangkal."
Tua Gila
menarik napas dalam. "Bagaimana lagi caraku menolak?" pikirnya.
Tiba-tiba Datuk Pangeran Rajo Mudo mengambil kantong kain berisi kotak perak
dari tangan Raja lalu memasukkannya ke dalam genggaman tangan kanan Tua Gila.
Lalu pada ayahnya pemuda ini berkata. "Raja, sahabat kita telah bersedia
membawa kalung itu. Tak ada yang perlu kita risaukan lagi…."
"Terima
kasihku orang tua…" kata Rajo Tuo pula.
"Mampus
akui" keluh Tua Gila dalam hati. "Rajo Tuo. Bagaimana kalau aku tidak
berhasil menemukan Sabai Nan Rancak atau siapa tahu dia sudah meninggal?"
"Jika
dalam tiga ratus hari kau tidak berhasil menemui perempuan tua itu, Kalung
Permata Kejora menjadi milikmu," jawab Rajo Tuo yang disambut Tua Gila
tanpa rasa gembira sama sekali.
Setelah
menghela napas panjang sekali lagi, Tua Gila lalu meminta diri.
"Rajo
Tuo Datuk Paduko Intan dan Permaisuri, jika diizinkan selagi hari masih pagi
aku ingin minta diri untuk meneruskan perjalanan."
"Kami
melepas kepergianmu dengan rasa sedih tapi juga suka cita. Selamat jalan
sahabatku. Setiap saat kausuka kau boleh datang ke pulau kami ini…. Putera
Mahkota dengan segala kebesaran akan mengantarkanmu sampai naik perahu. Kami
telah menyediakan satu perahu yang lebih besar untukmu. Lengkap dengan pakaian
untuk bersalin dan makanan."
‘Terima
kasih, terima kasih…" kata Tua Gila dengan tersenyum walau hatinya sangat
galau dan pikirannya sangat kacau. Setelah menjura dua kali dia memutar tubuh.
Baru tiga langkah berjalan tiba-tiba terdengar Rajo Tuo berseru.
"Orang
tua sahabatku, kau belum mem berilahu kami siapa namamu!"
Tua Gila
tercekat hentikan langkah. "Celaka, bagaimana aku harus menjawab?"
Dia batukbatuk beberapa kali.
"Sahabatku…?"
"Ah….
Ooooh harap maafkan sampai aku lupa memberitahu nama. Namaku Wiro
Sableng…" jawab Tua Gila seenaknya. Entah pikiran apa maka meluncur saja
lidahnya menyebutkan nama murid Sinto Gendeng itu.
"Wiro
Sableng…" mengulang Rajo Tuo. "Kami akan mengenang namamu selama
hayat dikandung badan…."
Tua Gila menjura
sekali lagi lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu diiringi oleh Datuk
Pangeran Rajo Mudo.
************************
HAMPIR
seluruh penghuni pulau itu memenuhi pantai melepas kepergian Tua Gila yang
mereka kini kenal dengan nama Wiro Sableng. Semua mereka membawa
ranting-ranting berdaun dan melambai-lambaikan daun itu begitu perahu yang
ditumpangi Tua Gila bergerak menjauhi pantai.
"Hak…
huk… hak… huh!"
"Wiro!
Wiro! Wiro Sableng!" Seruan itu menggema di tepi pantai tiada
henti-hentinya sampai akhirnya perahu lenyap. Beberapa kali ditepuknya
keningnya. Bekas luka hantaman ekor buaya di pelipis dan pipinya terasa
mendenyut kembali.
"Bagaimana
aku harus menghadapi urusan gila ini?" pikirnya. Lalu menarik napas
panjang berulang-ulang. Angin bertiup menghembus layar perahu. Perahu meluncur
lancar di permukaan laut berombak tenang.
Tanpa
setahu Tua Gila, di dalam laut, sesosok tubuh yang sejak tadi bergelantungan di
dasar perahu perlahan-lahan bergerak ke arah haluan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment