Si Cantik Dalam Guci
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
“Wiro,
dengar baik-baik.” Si kakek kini bicara sungguhan. “petunjuk mengatakan,
seperti gambar yang kau lihat di tanah. Untuk membebaskan gadis dalam guc1
berarti kau harus masuk sendiri ke dalam guci itu.” “gila! Tidak masuk akal!”
Ujar murid sinto gendeng. “jangankan tubuhku! Buahku saja tidak mungkin bisa
masuk ke dalam guci sekecil itu!” Kakek segala tahu tertawa bergelak dan
kerontangkan kaleng rombengnya. “anak muda,” katanya. “sekarang kau yang bergurau!
Ha.. Ha. Ha!” Si orang tua letakkan ujung tongkatnya di bahu kiri murid sinto
gendeng. Ujudnya mem.ang tongkat kayu butut, kecil dan enteng. Tapi wiro merasa
bahunya seperti ditiban batu sangat besar hingga tak ampun lagi tubuh sang
pendekar miring ke kiri!
*********************
1
DALAM
Episode sebelumnya (Mayat Persembahan) diceritakan bagaimana Iblis Kepala Batu
Alis Empat aIias Iblis Kepala Batu Pemasung menculik Sutri Kaliangan puteri
Patih Kerajaan. Sementara itu gadis cantik dan alam roh yang dikenal dengan
julukan Dewi Bunga Mayat yang aslinya bernama Suci dan panggilan Bunga, masih
berada dalam kekuasaannya. Bunga disekap di dalam sebuah guci tembaga. Pendekar
212 Wiro Sableng yang berusaha rnenyelamatkan gadis yang mencintainya itu malah
secara licik kena dijebak oleh Iblis Kepala Batu, dipendam dan terkubur
hidup-hidup di bawah tanah dalam satu ruangan batu.
Dalam
ruang gelap pengap dan sunyi Pendekar 212 Wiro Sableng dudukkan diri di lantai.
Tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. Wiro coba menenangkan diri, atur
jalan darah dan pernafasan agar mampu bertahan dan tidak segera kehabisan
tenaga. Lalu pemuda ini coba kerahkan ilmu Menembus Pandang untuk melihat
keadaan sekitarnya. Tapi entah mengapa ilmu tersebut tidak bekerja.
“Celaka…
tempat apa ini. Mengapa Ilmu Menembus Pandang tidak bisa kuterapkan…” Wiro lalu
ingat, setelah kepalanya ditelan oleh harimau putih peliharaan Datuk Rao
Basaluang Ameh, menurut orang tua sakti itu sepasang matanya akan mampu melihat
lebih terang di dalam gelap. Namun saat itu Wiro sama sekali tak bisa melihat
apapun. Bahkan tidak mampu melihat tangan sendiri yang diletakkan di depan
mata. Dalam gelap Wiro akhirnya pejamkan mata.
“Pasti
ada jalan rahasia di tempat ini,” pikir murid Sinto Gendeng. “Kalau tidak,
mustahil mahluk keparat berkepala batu itu bisa masuk, keluar lagi dari sini
dan menghilang. Jalan rahasia… pintu rahasia. Bagaimana aku bisa mencari, bisa
menemukan. Tangan saja tidak kelihatan!”
Pendekar
212 berpikir. “Satu-satunya jalan keluar adalah meniebol dinding ruangan. Kalau
aku bisa menghancurkan salah satu dinding, pasti bisa menerobos keluar
selamatkan diri. Tinggal
memilih
pukulan sakti yang mana harus aku pergunakan.” Wiro diam sejenak, mata masih
terpejam.
“Pukulan
Sinar Matahari. Jika aku hantam salah satu dinding ruangan mungkin bisa Jebol….”
Wiro membatin. “Tapi kalau dinding bisa bertahan dan sebagian pukulan sakti itu
membalik menghantam diriku sendiri..” Murid Sinto Gendeng jadi bimbang. Dalam
gelap dia masih bisa garuk-garuk kepala. “Mungkin dapat juga kujebol dengan
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung, atau Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Tapi….” Lagi-lagi Wiro bimbang. “Dinding bisa jebol, bagaimana kalau bagian
atas runtuh dan aku benar-benar terkubur
hidup-hidup
di tempat celaka ini. Iblis Kepala Batu Keparat!”
Wiro
kembali garuk-garuk kepala. Otaknya berpikir terus mencari jalan selamat.
“Mungkin dinding bisa kujebol dengan ilmu Sepasang Pedang Dewa….” Ilmu Sepasang
Pedang Dewa didapat Wiro dan Datuk Rao Basuluang Ameh. Ilmu ini berupa sepasang
sinar hijau menyerupai pedang luar biasa tajam yang keluar bersilang dari dua
matanya. Selama ini tidak ada satu kekuatan lawanpun sanggup bertahan terhadap
Sepasang Pedang Dewa. Ilmu ini hanya boleh dikeluarkan sebanyak dua kali selama
12 purnama. Seingat Wiro terakhir sekali dia mempergunakan ilmu tersebut adatah
ketika masih berada di negeri Latanahsilam.
Namun
lagi-lagi Wiro merasa ragu. Sebelum keadaan menjadi gelap, Wiro sempat
memperhatikan. Ruangan di mana dia berada tidak seberapa besar. Lantai dinding
dan atap terbuat dan batu. Sambaran dua larik sinar pedang, keras dan panjang.
Bagaimana kalau larikan sinar berbelok patah hegitu menghantam dinding. Lalu
salah satu patahan berbalik rnenghantam dirinya sendiri. Mungkin pula sinar
hijau Sepasang Dewa berbalik menembus dua matanya!
Saat itu
udara dalam ruangan gelap semakin pengap dan hawa panas terasa seperti bakaran
bara api. Wiro masih belum bisa mengambil keputusan. Kemudian dia ingat pada
Kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di balik pinggang baju putihnya yang
telah kuyup dengan keringat.
“Mungkin
senjata ini satu-satunya penyelamat paling aman,” pikir Wiro.
Wiro
berdiri. Keluarkan kapak sakti lalu melangkah sampai tangan kirinya menyentuh
salah satu dinding ruangan. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan yang
memegang kapak sakti. Saat itu juga dua mata kapak memancarkan sinar
berkilauan, menerangi seantero tempat, membuat Wiro dapat melihat cukup jelas
keadaan ruangan di maria dia berada. Di samping kiri ada sebuah batu berbentuk
tempat tidur. Belum sempat dia, memperhatikan dengan jelas, tiba-tiba cahaya
terang yang keluar dan dua mata kapak sakti berubah redup.
“Apa yang
terjadi?!” pikir Wiro. Dia cepat kerahkan tenaga dalam kembali, dialirkan ke
seniata yang dipegangnya. Namun kekuatan tenaga dalam itu tidak menambah
terangnya pancaran cahaya malah sebaliknya semakin redup. “Tenaga dalamku tidak
bekeria. Kapak sakti tidak punya daya. Celaka. Jangan-jangan umurku memang
habis di tempat in!” Masih kurang percaya akan kenyataan yang dihadapinya Wiro
bahkan kerahkan tenaga luar lalu hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke depan. Tak
ada kilauan sinar. Tak ada suara seperti tawon mengamuk.
Kapak
menghantam dinding.
“Traangg!”
Murid
Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Kapak hampir terlepas dan
genggamannya. Di dalam ruangan itu, senjata sakti ini kehilangan kehebatannya.
Jangankan menjebol dinding batu, membuat gompal saja tidak mampu! Wiro gigit
bibir sendiri, rasa takut makin mencekam dirinya. Dengan tangan gemetar dia
sisipkan kapak di pinggang sebelah kiri. Tengkuknya tidak terasa tengkuk lagi,
dingin sekali seolah telah berubah menjadi gundukan es!
Perlahan-lahan
Wiro jatuhkan diri, berlutut di lanitai batu lalu duduk bersila. Udara terasa
semakiri panas dan pengap. Pori-pori di sekujur permukaan tubuhnya didera rasa
sakit amat sangat seolah ditusuk oleh ratusan jarum. Untuk bernafas Wiro mulai
kesulitan pengap sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar. Bernafas melalui mulut.
Tapi sia-sia. Dadanya mendenyut sakit, berat seperti ditindih batu besar dan
berat. Dia memaksa menarik nafas dalam-dalam. Ada cairan
hangat
mengucur keluar dan hidungnya. Wiro meraba. Cairan hangat, kental dan lengket.
Walau tidak mampu melihat tapi Wiro bisa menduga.
“Darah…
Hidungku mengeluarkan darah.”
Bagaimanapun
juga, sebagai manusia biasa rasa takut semakin hebat menyusupi hatinya. Harapan
untuk hidup agaknya semakin tipis. Tubuhnya bukan saja basah oleh keringat juga
dengan darah yang ikut membersit dan poni-pori di permukaan kulit. Sosok sang
pendekar mulai terhuyung. Wiro berusaha bertahan. Tapi gagal. Seluruh tenaganya
seperti terkuras.
“Blukkk!”
Tubuh
Pendekar 212 terbanting ke belakang, terkapar di lantai batu. Tapi kesadarannya
belum punah. Batinnya berucap.
“Tuhan,
saya pasrah kalau memang sudah takdirMu harus mati begini rupa di tempat ini.
Tapi Tuhan, apakah Kau tidak hendak menolong diri saya? Saya tahu saya orang
banyak dosa. Ampuni semua dosa saya ya Tuhan. Sekali ini Tuhan, saya mohon
pertolonganMu. Keluarkan
saya dan
tempat ini. Selamatkan diri saya. Eyang… Eyang Sinto Gendeng, di mana kau saat
ini Eyang. Saya juga banyak dosa padamu Eyang. Mohon maafmu agar saya bisa
menghadap Gusti Allah dengan tenang….”
Mungkin
begitulah sifat dan harkat semua manusia. Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di kala tak ada lagi daya untuk bisa bertahan hidup baru ingat akan segala
dosa, mohon ampun dan minta diselamatkan. Karena memang hanya kepada Tuhan Yang
Maha Kuasalah tempat terakhir dan satu-satunya manusia minta tolong.
Wiro
terkapar di lantai batu, mata terpejam, tubuh tak bergerak. Dia sendiri tidak
tahu apa masih hidup atau tengah memasuki alam maut atau memang sudah mati! Dalam
keadaan seperti itu sekonyong-konyong, lapat-lapat seolah datang dan arah
kejauhan, terdengar suara memanggil.
“Wiro…
Pendekar 212! Wiro… Wiro Sableng!”
Alis mata
kiri Pendekar 212 bergerak sedikit.
“Wiro!
Wiro Sableng! Pendekar 212!”
Kembali
suara memanggil itu terdengar, sayup-sayup di kejauhan. Walau cuma halus hampir
menyerupai ngiangan nyamuk namun Wiro dapat mendengar cukup jelas.
“Siapa
yang memanggil? Malaikat maut? Setan neraka…?” Pertanyaan itu muncul di benak
murid Sinto Gendeng.
“Wiro!
Wiro Sableng!”
Perlahan-lahan
Wiro buka matanya yang sejak tadi terpejam.
“Wiro!
Kau dengar suaraku?!”
Wiro
kerahkan seluruh tenaga. Berusaha bangkit. Dengan susah payah dia berhasil
duduk di lantai. Nafas megap-megap. Tubuh terhuyung gontai seolah tidak punya
tulang. Kalau salah satu tangannya tidak segera bersitekan ke lantai niscaya
sosoknya kembali tergelimpang.
“Wiro!
Wiro Sableng! Kau dengar suaraku?!”
Wiro
membuka mulut. Berusaha menjawab panggilan orang. Tapi dia tidak mampu
keluarkan suara.
“Wiro!
Aku tahu kau ada di dalam sana! Aku tahu kau pasti bisa mendengar. Tapi mungkin
tak bisa menjawab! Dengar, aku akan menolongmu keluar dan tempat dirimu
terpendam. Tapi dengan satu syarat! Apapun yang terjadi kau tidak akan
menjatuhkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu Pemasung Roh!”
“Mahluk
celaka! Siapa kau?! Menolóng pakai syarat segala!” Wiro ingin berteriak tapi
dia cuma mampu memaki dalam hati.
“Wiro!
Wiro Sableng!”
“Setan
alas!” damprat Wiro dalam hati.SUNYI sesaat. Lalu kembali mengiang suara dan kejauhan
itu.
“Wiro!
Dengar! Dalam ruangan tempat kau terperangkap ada satu tempat tidur batu!
Wiro!”
“Aku
sudah melihat benda yang dikatakan. Apa tempat tidur batu itu bisa menolongku?!
Mahluk sialan! Jangan berani menipu diriku!” Lalu dia menggerendeng sendiri.
“Sialan! Kenapa aku tidak bisa bicara. Kenapa suaraku tidak keluar!”
“Wiro!
Dengar baik-baik! Segera ikuti petunjukku! Di salah satu sudut atas tempat
tidur batu ada satu alat rahasia. Juga terbuat dan batu. Putar alat itu ke
kanan atau ke kiri. Tempat tidur batu akan bergeser. Di bawahnya ada satu
lubang besar membentuk tangga pendek. Masuk ke dalam lubang, ikuti tangga. Kau
pasti selamat! Wiro.!”
Wiro
membuka mulut lebar-lebar untuk bisa bernafas. Suara seperti mengorok keluar
dan tenggorokannya. “Mungkin nafasku sudah habis….” pikir Wiro. Lalu kembali
terdengar suara dari luar
“Wiro!
Aku tahu kau mendengar semua ucapanku! Aku harus pergi sekarang! Terserah apa
kau mau mengikuti cari selamat atau tidak!” Suara teriakan lenyap. Keadaan di
dalam dan di luar tempat Wiro terkubur sunyi senyap. Wiro kembali membuka mulut
lebat-lebar. Berusaha menarik nafas panjang-panjang tapi malah dia
terbatuk-batuk beberapa kali. Ludah campur darah meleleh di sela bibirnya.
Berbagai perasaan kirii menggerayangi Pendekar 212. Terutama rasa takut.
“Siapa
yang tadi berteriak. Suaranya aneh…. Jangan-jangan setan yang hendak
ikut-ikutan menjebakku.” Wiro membatin. Otaknya dipacu untuk bisa bekerja. Dia
coba bangkit berdiri tapi gagal. Akhirnya dia hanya mampu merangkak. Untung
sewaktu tadi ruangan diterangi cahaya kapak sakti dia sempat melihat tempat tidur
dan batu yang ada di ruangan itu. Wiro merangkak mengira-ngira ke arah tempat
tidur. Bahunya membentur sesuatu. Ternyata samping kiri tempat tidur. Tangan
kanan diangkat, mengggapai ke atas lalu perlahan-lahan dan tersendat-sendat
digerakkan sepanjang sisi atas.
Dadanya
berdebar ketika jari-jarinya menyentuh sesuatu yang menoniol di salah satu
sudut tempat tidur batu.
“Alat
rahasia….” pikir Wiro. Dia ingat ucapan orang. Dadanya tambah berdebar.
Jari-jari tangan ikut bergetar. Sesuai petuniuk ucapan orang Wiro putar
toniolan batu itu ke kanan. Tidak teriadi apa-apa. Wiro teruskan memutar
tonioan batu sampai benda itu tak bisa lagi diputar. Tidak ada benda bergeser,
tidak terdengar selarik suarapun. Wiro jadi gelisah. “Jangan-jangan orang itu
memang menipuku..” pikirnya. Dia diam sesaat, berpikir.
Lalu
jari-jari tangannya bergerak, memutar tonjolan batu ke arah berlawanan, ke arah
kiri. Mendadak terdengar suara berdesir halus. Lantai ruangan bergetar. Semakin
jauh tombol batu diputar ke kiri semakin keras suara desiran serta getaran di
lantai. Wiro tercekat. Terlebih ketika dia merasa dan mendengar ada sesuatu
bergerak bergeser. Wiro lepaskan jari-jarinya yang memegang alat rahasia. Kini,
setengah berjongkok dia pegangi tempat tidur batu dengan dua tangannya. Astaga!
Yang bergerak dan bergeser ternyata adalah tempat tidur batu itu!
Seberkas
cahaya sangat suram menyeruak keluar dan Iantai di mana sebelumnya tempat tidur
batu terletak. Ketika Wiro memperhatikan apa yang dilihatnya sesuai dengan
ucapan orang. Sebuah lubang berbentuk empat persegi panjang menganga di lantai
ruangan. Bagian dalamnya menyerupai tangga. Wiro terkesiap, tapi hanya sesaat.
Di lain kejap Pendekar 212 gulingkan diri masuk ke dalam lubang. Tubuhnya
menggelindirig ke bawah lalu terbanting di lantai satu lorong batu. Wiro
merasakan tubuhnya seolah ringsak. Tapi anehnya saat itu dia bisa bernafas lega
kembail. Rasa sesak dan berat di bagian dada lenyap. Tusukan yang menyengat
sekujur permukaan kulitnya sirna.
Walau
lutut, tulang pinggul dan tulang bahunya terasa sakit akibat terguling jatuh
tadi namun saat itu Wiro merasakan tenaganya luar dalam pulih kembali. Dengar,
cepat dia bangkit berdiri. Ternyata lorong di mana dia berada walau cükup lebar
tapi pendek hingga untuk berdiri Wiro terpaksa membungkuk rundukkan kepala.
Sementara
itu di sebelah atas, dalam ruangan batu, cepat sekali tempat tidur batu
bergeser kembali menutupi lubang empat persegi. Wiro melangkah merunduk
sepanjang lorong batu. Matanya menatap tak berkesip ke arah depan di mana terlihat
satu cahaya terang. Lorong batu itu
ternyata
cukup panjang. Ketika Wiro sampai di ujung lorong, jalan keluar ternyata
tertutup dan terhalang oleh sederetan pohon bambu kuning.
Begitu
hendak menyeruak dan lewat di antara batang-batang bambu, sang pendekar jadi
terperangah dan bersurut beberapa Iangkah. Tiga ekor ular besar hitam berbintik
putih bergelung pada tiga batang bambu. Kepala tegak terpentang, mulut terbuka
menjulurkan lidah bercabang merah laksana kobaran api, siap mematuk ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Hebatnya tiga ular ini memiliki kepala berbentuk
empat persegi, berwarna abu-abu menyerupai kepala Iblis Kepala Batu Ails Empat.
Dan masing-masing kepala mengepulkan asap tipis kemerah-merahan.
“Ular
kepala batu. Binatang jadi-jadian. Pasti bangsat beralis empat itu yang punya
pekerjaan!” pikir murid Sinto Gendeng.
Tiga ekor
ular keluarkan suara mendesis garang. Dengan kepala tetap terpentang ketiganya
luncurkan badan ke bawah sambil mengulur sosok, siap mematuk secara berbarengan
ke arah orang di depan lorong batu.
Wiro tak
punya waktu untuk berpikir lebih lama. Pada saat tiga ekor ular melesat lepas
dari batang bambu, menyerang ke arahnya dia segera lepaskan pukulan “Sinar
Matahari”
Cahaya
putih berkiblat. Hawa panas menghampar. Tiga ekor ular besar serta pohon-pohon
bambu laksana dilabrak topan hancur bermentalan melesat bertaburan di udara.
Tiga
raungan aneh merobek langit berbarengan. Wiro terkesiap. Ketika memandang ke
depan dia lebih kaget lagi. Di belakang pohon-pohon bambu itu ternyata ada satu
telaga. Hancuran tubuh tiga ekor ular dan hancuran batang-batang bambu melayang
berjatuhan ke bawah dan mengambang di atas permukaan air telaga. Sosok tiga
ekor ular yang telah hancur mengepulkan asap secara aneh tiba-tiba bergerak,
menyatu kembali satu sama lainnya. Begitu sosok masing-masing utuh membentuk
tubuh ular, perlahan-lahan tubuh mereka berubah menjadi sosok manusia berkepala
botak plontos tanpa pakaian. Kulit dan daging, mulai dan kepala sampai ujung
kaki melepuh hangus mengerikan. Sepuluh kuku jari mereka berubah panjang, merah
runcing berkeluk. Ketiganya tampak megap-megap di permukaan telaga. Lalu
keluarkan suara mengorok. Dan mulut, mata, hidung dan telinga tiga mahluk aneh
ini mengucur darah. Lalu didahului raungan panjang menggidikkan perlahan-lahan
sosok tiga mahluk botak telanjang itu meluncur amblas ke bawah, tenggelam dan
akhirnya lenyap dan permukaan telaga seperti tengah sekarat. Air telaga
kelihatan kemerah-merahañ. Wiro usap tengkuknya yang terasa dirigin dan
keringatan. Suara desau angin yang menggesek daun-daun pepohonan terdengar
seperti suara bisikan setan.
“Gila…!”
Rutuk Pendekar 212 dalam hati. Dia memandang berkeliling. Seputar telaga sunyi
sepi seolah tak ada kejadian apa-apa. Tak berkesip Wiro perhatikan deretan
pohon-pohon besar, semak belukar dan satu lamping batu di sebelah kiri telaga.
Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh dan Sutri
Kaliangan tidak kelihatan. Juga orang yang telah menolong dirinya. Tak ada
siapa-siapa di tempat itu.
“Orang
yang menolongku….” kata Wiro dalam hati. “Dia menolong dengan syarat agar aku
tidak menjatuhkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Apa
hubungan orang itu dengan jahanam beralis empat. Jangan-jangan….” Wiro
menggaruk kepala. “Bukan janganjangan. Tapi aku yakin dia pasti adalah
Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, nenek sakti bermata kerucut dari
Latanahsilam! Ketika dia menghadangku beberapa waktu lalu bukankah dia
mengatakan kalau Iblis Kepala Batu Pemasung Roh adalah adik kandungnya. Hemmm…
Nenek keparat, sekalipun kau banyak menanam budi sewaktu aku berada di Negeri
Latanahsilam. tapi jika kau berkomplot dengan saudaramu untuk mencelakai Bunga,
apapun yang terjadi kau akan kuhabisi! (Mengenai “Hantu Ponjunjung Roh” harap
baca riwayat Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam mulai dan “Bola-Bola Iblis”
sampai “Istana Kebahagiaan” terdiri dari 18 Episode)
Wiro
berpikir keras. Ketika dia mengejar Iblis Kepala Batu Alis Empat, selain masih
menyekap Bunga dalam guci tembaga, manusia satu itu juga telah menculik Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Kini ketiga orang itu yakni Iblis Kepala
Batu, Sutri Kaliangan dan si nenek Hantu Penjunjung Roh lenyap entah ke mana.
“Aku
harus mencari ke mana?” pikir Wiro. Sambil menggaruk-garuk kepala dia melangkah
sepanjang tepian telaga. Hanya beberapa tombak lagi dia akan mendekati
lampingan batu tibatiba ada suara berdesir di alas pohon besar di samping
kanannya. Wiro berpaling. Memandang mendongak ke alas pohon Wiro terpedaya.
Karena suara desiran di alas pohon hanyalah tipuan belaka untuk mengalihkan
perhatian. Saat itu, tiba-tiba sekali, tanpa Wiro dapat menduga, tanah yang
dipijaknya amblas. Sebatas leher ke bawah tubuh Pendekar 212 meluncur masuk ke
dalam satu lubang sempit. Tangannya terjepit tak bisa digerakkan. Sosoknya
tersembul hanya sebatas leher ke atas.
Pendekar
212 berusaha keluarkan diri dan lubang itu tapi tak berhasil. Dia kerahkan
tenaga dalam. Dua pukulan sakti dialirkan ke tangan kiri dan kanan yakni
pukulan “Benteng Melanda Samudera” dan “Dewa Topan Meriggusur Gunung”. Sambil
huniamkan dua kakiriya ke dasar lobang, Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Kaget
murid Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Ternyata dia tidak bisa melesat
keluar dan dalam lubang dan dua tangannya tidak mampu disentakkan untuk
melancarkan pukulan guna menghancurkan tanah lubang yang menjepit tubuhnya.
Rasa
kaget sang pendekar jadi bertambah ketika tiba-tiba di tempat itu menggelegar
suara tawa bergelak. Satu sosok bertelanjang dada penuh bulu, hanya mengenakan
celana komprang hitam, berkulit muka kebiru-biruan muncul di hadapan Wiro. Di
pinggang kirinya terikat sebuah guci terbuat dari tembaga. Di bahu kirinya dia
memanggul sosok seorang gadis berpakaian ringkas kuning dalam keadaan tertotok.
Rambutnya yang hitam panjang tergerai ke mana-mana.
“Sutri
Kaliangan….” desis Pendekar 212 menyebut nama puteri Adipati Kerajaan Selo
Kaliangan itu.
Mahluk di
depan Wiro menyeringai. Taring di ujung bibir kiri kanan mencuat mengerikan.
Empat buah alis berwarna merah menghias angker sepasang matanya yang besar
merah. Tampangnya tambah mengerikan karena sebatas kening ke atas, batok
kepalanya berbentuk empat persegi, berwarna kolabu kehitaman, keras atos
seperti batu. Inilah Iblis Kepala Batu Ails Empat alias Iblis Kepala Batu Pomasung
Roh.
“Mahluk
keparat jahanam! Lepaskan gadis itu’ Lepaskan gadis yang kau sekap di dalam
guci tembaga! Aku bersumpah membunuhmu, mencincang bangkaimu sampai lumat kalau
kau berani menciderai sedikit saja salah satu dan keduanya!”
Iblis
Kepala Batu tertawa tergelak-gelak.
“Dasar
pemuda sombong! Congkak! Kau tidak mampu membebaskan diri keluar dan lubang
itu! Masih bisa bicara ngelantur hendak mencincang diriku! Ha… ha… ha! Apa
tidak sadar kalau ajal sudah di depan mata?!”
Habis
berkata begitu Iblis Kepala Batu keluarkan suitan keras. Teriadi satu hal yang
tidak disangka-sangka. Dan dalam telaga melesat tiga sosok botak telanjang yang
kulit dan dagingnya melepuh hangus terkelupas. Darah mengucur dan hidung, mata,
mulut dan telinga. Seperti diketahui sebelumnya tiga mahluk dahsyat ini adalah
perubahan bentuk dan tiga ekor ular yang telah dihantam hancur dengan Pukulan
Sinar matahari. Tadi ketiganya amblas ke dalam telaga seperti mati. Kini
bagaimana bisa hidup dan muncul kembali?
Tiga
mahluk botak mendongak ke langit lalu sama-sama keluarkan suara meraung keras.
Darah bermuncratan dan mata, hidung, telinga dan mulutnya. Luar biasa
mengerikan. Iblis Kepala Batu keluarkan suitan keras.
Tiga
mahluk angker hentikan raungan mereka, lalu tegak berjejer dengan tubuh
setengah membungkuk. Mata yang tertutup genangan darah diarahkan pada Pendekar
212 Wiro Sableng yang terpendam dalam tanah mulai dan leher ke bawah. Dua
tangan diangkat ke atas. Sepuluh jan berkuku panjang merah terpentang ke depan.
“Anak
Ketiga! Tunjukkan pada pemuda sombong ini kedahsyatan kuku merah di ujung jari
kalian!” Iblis Kepala Batu berteriak.
Tiga
mahluk botak telanjang keluarkan suara meraung panjang. Salah seorang dan
mereka yang dipanggil dengan nama Anak Ketiga tiba-tiba melesat ke arah lamping
batu di tepi telaga sebelah kiri. Tangan kirinya berkelebat. Lima sinar merah
membersit dan ujung kuku tangan. Sesaat kemudian terdengar suara kreekkkk…!
Pada
lamping batu di tepi telaga kelihatan guratan panjang sedalam setengah jengkal,
mengepulkan asap merah!
Mau tak
mau Pendekar 212 jadi bergidik melihat apa yang dilakukan mahluk kepala botak
dan apa yang terjadi dengan batu besar di tepi telaga. Batu demikian kerasnya
sanggup dibuat hancur demikian rupa, apalagi kalau hanya tubuh manusia.
“Agaknya
aku yang akan dijadikan sasaran berikutnya,” pikir murid Sinto Gendeng.
Tengkuknya mengkirik, dadanya berdegup keras. Dia kerahkan seluruh tenaga luar
dalam untuk bisa keluar dari lubang, tapi sia-sia saja.
Sambil
menyeringai Anak Ketiga kembali ke tempatnya semula di samping dua kawannya.
Tiba-tiba Iblis Kepala Batu berteriak menggelegek.
Bunuh!”
Tiga
mahluk botak telanjang memekik keras dan garang. Ketiganya melompat ke arah
Wiro. Enam trniçjnnangan berkelebat ke depan. Tiga puluh kuku keluarkan cahaya
merah mengerikan, membeset ke arah kepala dan leher Wiro! Iblis Kepala Batu
iringi serangan itu dengan suara tawa bekakakan.
Sesaat
lagi tiga puluh kuku maut akan merobek menghancurkan batok kepala, muka dan
leher Pendekar 212 Wiro Sableng, tiba-tiba dua larik sinar hijau melesat keluar
dan sepasang mata Wiro, laksana dua bilah pedang luar biasa tajam dengan
kecepatan kilat membabat bersilangan. lnilah Ilmu “Sepasang pedang Dewa” yang
didapat Wiro dan Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Craass!”
“Craass!”
“Craass!”
Tiga lolongan dahsyat terdengar berbarengan merobek langit. Tiga tubuh
telanjang bermentalan jauh ke udara dalam keadaan terkutung-kutung, berubah
menjadi hijau dan mengepulkan asap berbau busuk lalu melayang jatuh ke arah
telaga.
Sambaran
Sepasang Pedang Dewa tidak hanya menghantam tiga mahluk kepala botak, tapi juga
menghajar dua pohon besar dan lamping batu di tepi telaga. Dua pohon tertabas
rata, bagian atas roboh menggemuruh. Ranting-ranting sampai ke daun hangus
berubah hijau. Lampingan batu di tepi telaga hancur berkeping-keping, juga
hangus kehijauan. Di mana-mana asap hijau bertebaran menutup udara.
Sepasang
mata merah Iblis Kepala Batu seakan mau melompat dari rongganya melihat apa
yang terjadi. Dari mulutnya keluar suara seperti meratap. Ketika Wiro memutar
kepala ke arahnya Iblis Kepala Batu mengira dia akan diserang dengan sepasang
sinar hijau itu. Nyalinya bergetar. Tidak tunggu lebih lama, Iblis Kepala Batu
segera putar tubuh, membuat tiga kali lompatan dan di lain kejap lenyap dan
tempat itu.
“Iblis
jahanam! Jangan lari!” teriak Wiro. Dia membuat gerakan hendak mengejar. Lupa
kalau sosoknya tak bisa bergerak, terjepit di dalam lubang!
*********************
2
KITA
tinggalkan dulu Pendekar 212 yang bernasib malang, terjepit di dalam lobang
tanpa mampu berbuat suatu apa. Kita kembali pada Dewi Bunga Mayat yang bernasib
lebih celaka dari Wiro.
Di dalam
guci tembaga tempat dirinya disekap yang terus bergoyang karena dibawa berlari
oleh
Iblis Kepala Batu, Bunga gadis alam roh duduk bersila, mata terpejam, dua
tangan diletakkan di atas paha. Gadis ini tengah mengheningkan cipta,
mengerahkan segala akal dan daya, berusaha bagaimaria caranya agar dia dapat
keluar dari dalam guci. Seperti diketahui Bunga yang bernama asli Suci dan mendapat
juhukan Dewi Bunga Mayat meinihiki ilmu kesaktian tinggi. Namun di dalam guci
dia sama sekali tidak mampu mengerahkan kesaktiannya untuk membebaskan diri.
Jangankan keluar dari dalam guci tembaga, mengerahkan tenaga dalam saja dia
tidak mampu. Dia sadar cepat atau lambat bahaya besar akan menimpa dirinya.
Dari
dalam guci tembaga dia tahu kalau beberapa waktu lalu telah teriadi perkelahian
antara Iblis Kepala Batu dengan Pendekar 212. Dia tak mampu melihat, hanya
mendengar suara dan membayangkan kira-kira apa yang teriadi. Ada mahluk-mahhuk
aneh di bawah kekuasaan Iblis Kepala Batu. Mereka diperintahkan untuk membunuh
Pendekar 212. Dari ucapan Iblis Kepala Batu saat itu Bunga mengetahui kalau
Wiro berada dalam keadaan tak berdaya, terpendam dalam lobang.
“Aku
mendengar suara Iblis Kepala Batu berteriak bunuh!” Bunga membatin, masih dalam
keadaan duduk bersiha dan pejamkan mata. “Lalu ada raungan dahsyat. Menyusul
suara tubuh seperti dicabik-cabik. Gemuruh pohon tumbang. Getaran suara
hancurnya bebatuan. Kemudian aku mendengar suara Pendekar 212 berteriak : Iblis
jahanam! Jangan lari! Agaknya mahlukmahluk yang diperintah Iblis Kepala Batu
bukan saja tidak mampu rnelaksanakan perintah membunuh Wiro. Malah mereka
menjadi korban. Dibantai Pendekar 212 entah bagaimana caranya, entah dengan
apa. Iblis Kepala Batu malarikan diri. Dari ucapan Wiro sebelumnya, rupanya
Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan masih berada di tangannya….” Bunga
menarik nafas dalam. “Apa yang sekarang terjadi dengan Wiro. Lalu bagaimana
dengan nasib diriku sendiri. Aku tak mampu keluar dari sekapan. Di luar sana
tidak seorangpun bisa menolongku. Bahkan para mahluk alam rohpun tidak punya
daya berbuat sesuatu…” Kembali Bunga menarik nafas dalam. Tubuhnya diam tak
bergerak. Alam pikirannya membubung keluar dari guci
tembaga.
Tiba-tiba sepasang alis dan mata gadis ini bergerak. Ada sesuatu masuk ke dalam
benaknya, muncul dalam pikirannya. (Kisah bagaimana bunga sampai kena disekap
dalam guci tembaga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat bisa dibaca dalam serial
Wiro Sableng berjudul “Gondoruwo Patah Hati")
“Beberapa
waktu lalu aku pernah menitipkan sekuntum kembang kenanga sakti pada Anggini.
Jelas kupesankan padanya agar kembang itu diserahkan pada Wiro. Sebagal
pengganti kembang kenanga yang katanya hilang. Kalau Wiro memegang kembang itu
sambil pikirannya ditujukan padaku, aku akan mendapat satu kekuatan maha
dahsyat, bisa keluar dan dalam guci laknat ini. Wiro sendiri tahu kalau aku
disekap lblis Kepala Batu di sini. Mengapa dia tidak berusaha mengambil kembang
itu, melakukan sambung rasa terhadapku….” Lama Bunga merenung. Kemudian hati
dan jalan pikirannya bersuara kembali. “Mungkin Anggini belum bertemu dengan
Wiro. Mungkin juga mereka telah bertemu tapi Anggini lupa memberikan kembang
kenanga itu. Atau “ Gelisah dan prasangka buruk muncul dalam hati gadis alam
roh itu.
“Jangan-jangan….bisa
saja Anggini sengaja tidak mau memberikan kembang kenanga sakti pada Wiro. Dia
tidak ingin aku meneruskan menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bodohnya aku
ini! Memberi amanat pada orang yang sebenarnya meniadi sainganku. Bukankah Dewa
Tuak ingin sekali menjodohkan muridnya itu dengan Pendekar 212? Tapi kabarnya
Eyang Sinto Gendeng guru Wiro tidak begitu suka dengan niat Dewa Tuak itu. Wiro
sendiri konon bersikap biasa-biasa saja, menganggap Anggini seperti adik
sendiri. Tetapi jika diriku dibandirig dengan Anggini… Gadis itu memiliki
segala-galanya. Bukan cuma kecantikan dan kasih sayang sejati terhadap Wiro,
tapi dia adalah insan nyata alam kehidupan manusia. Sedang aku hanya mahluk
alam roh. Mana rnungkin bisa bersatu dalam kehidupan manusia. Kalau saja aku
bisa kembali menjadi anak manusia seutuhnya….”
Untuk
beberapa lamanya Bunga larut dalam kesedihan, lupa kalau saat itu dirinya
berada dalam sekapan mahluk jahat Iblis Kepala Batu.
“Aku
harus melakukan sesuatu. Aku harus mencoba mengadakan hubungan dengan Pendekar
212.” Bunga rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang mata dipejamkan.
Seluruh cita dan rasa ditujukan pada satu orang diluar sana yakni Pendekar 212
Wiro Sableng. Tapi dia hanya menemul kesia-siaan. Dia tidak mampu memasuki
aliran gaib yang bisa membuka tabir hubungan tali rasa dengan orang yang
dituju. Guci tembaga dimana dia disekap memiliki satu kekuatan dahsyat yang
bukan saja melumpuhkan semua kepandaian yang diinilikinya, tapi juga tak mampu
ditembus.
Mendadak
goyangan guci bertambah keras. Snyup-sayup Bunga mendengar suara berderakderak.
“Anak
tangga. Iblis keparat itu menaiki tangga kayu. Berarti dia tengah menuju satu
bangunan tinggi.
Terdengar
suara pintu terkuak, lalu suara benda herni duletakkan di satu tempat. “Jahanam
itu agaknya membaringkan gadis culikannya dilantai kayu, mungkin juga di atas
sebuah ranjang,” pikir Bunga.
Untuk
kesekian kalinya guci bergoyang keras kemudian diam, tidak bergerak tidak
bergeming. Bunga menduga guci tempat dirinya disekap diletakkan di satu tempat
rata. Mungkiri sebuah meja. Keheningan hanya sesaat. Tiba-tiba terdengar suara
Iblis Kepala Batu.
“Dewi
Bunga, gadis alam roh. Aku mau bicara denganmu. ini untuk terakhir kalinya.
Jika kau masih menunjukkan sikap keras kepala, menolak kemauanku, kau akan
celaka sampai kiamat!”
Di dalam
guci Bunga keluarkan suara mendengus. Lalu terdengar suaranya, kecil seolah
datang dari kejauhan.
“Aku
sudah tahu apa yang hendak kau ucapkan! Kau pernah mengatakan sebelumnya.
Jangan membuat aku muntah mendengar ucapanmu untuk kedua kali!”
Iblis
Kepala Batu walau marah mendengar kata-kata Bunga, tapi malah umbar tawa bergeIak.”Jangan
berlaku tolol Bunga. Apa kau lupa aku masih membawa tabung bambu berisi asap
penyiksa roh..”
“Kau
boleh menakut-nakuti diriku! Tapi siapa perduli! Kau pernah mengancam akan
menyiksaku dengan asap jahanam itu sampai kiamat! Mengapa tidak kau lakukan?!”
“Kau
memang gadis hebat. Itu yang menimbulkan salah satu kekaguman diriku padamu!
Maksudku balk. Aku ingin menjadikan dirimu sebagai teman hidupku. Karena aku
hanya bisa berhubungan dengan gadis alam roh sepertirnu. Aku tak bisa
berhubungan dengan perempuan manusia biasa.
Apa
salahnya kau kujadikan mahluk peliharaanku? Selama ini kau hanya menempati alam
kehidupan mati tidak hidup pun tidak. Bersamaku aku mampu memberikan
kebahagiaan yang selama ini tidak pernah kau rasakan.”
Di dalam
guci kembali Bunga keluarkan suara mendengus.
“Di
neraka banyak setan, iblis dan jin. Mengapa kau tidak pergi kesana mencari
pasangan yang kau inginkan?!”
“Bunga,
jangan membuat aku kehilangan kesabaran….”
“Kau
bukan hanya kehilangan kesabàran. Sebentar lagi kau akan kehilangan nyawamu!”
sahut Bunga dan dalam guci.
“Aku tahu
kau tidak takut segala macam ancaman. Tapi dengar. Di tempat ini ada seorang
gadis bernama Sutri Kaliangan. Puteri Patih Kerajaan. Aku telah menggeledah
tubuhnya….”
“Iblis
jahanam! Perbuatanmu keji dan mesum!”
“Aku bisa
seribu kali Iebih keji dan mesum!” kata Iblis Kepala Batu pula. “Jika kau tidak
mau memenuhi permintaanku, gadis ini akan kuperkosa lalu kubunuh!”
Dajal
jahanam! aku bersumpah membunuhmu!” teriak Bunga. Gadis alam roh ini tidak kawatir
dengan ancaman Iblis Kepala Batu yang pertama karena sesuai pengakuan Iblis
Kepala Batu sendiri diri tidak mampu berhubungan dengan perempuan lain kecuali
mahluk alam roh seperti dirinya. Yang dikawatirkan Bunga ialah ancaman kedua
yakni niat jahat Iblis Kepala Batu hendak membunuh Sutri Kaliangan.
Di dalam
ruangan, di atas rumah panggung terbuat dan kayu yang terletak di satu kawasan
rimba belantara, Iblis Kepala Batu yang hanya mengenakan cawat dan tubuh penuh
bulu itu menyeringai. Dia lepaskan totokan yang menutup jalan suara di leher
Sutri Kaliangan yang saat itu terbaring kaku tak bisa bergerak tak mampu
bersuara. Begitu jalan suaranya terbuka dan dia bisa bicara puteri Patih
Kerajaan itu langsung menghardik dan mencaci maki Iblis Kepala Batu.
“Iblis
keparat! Kau telah dapatkan dan merampas benda yang kau cari! Mengapa masih
hendak mencelakai diriku?!”
Sambil
terus menyeringai mahluk berwajah kebiru-biruan yang memiliki empat alis
berwarna merah ini keluarkan sebilah keris yang mulai dan sarung sampai gagang
dan badannya berlapiskan emas. ltulah Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan yang
pernah dijarah komplotan perampok kemudian berhasil dirampas oleh Damar Wulung.
Ketika Damar Wulung menyerahkan keris itu pada seorang Tumenggung di Kotaraja
ternyata dia telah lebih dulu menukar keris dengan yang palsu, hanya sarungnya
saja yang masih asli, (Harap baca serial Wiro Sableng beriudul “Roh Dalam
Keraton”) Keris yang kini berada di tangan Iblis Kepala batu adalah senjata
yang berhasil diselamatkan dari tangan Damar Wuhung (baca serial Wiro Sableng
berjudul “Senandung Kematian”) Seperti diketahui keris ini adalah keris asli
sebaliknya sarungnya palsu karena sarung yang asli sudah berada di tangan Sri
Baginda di Kotaraja. Iblis Kepala batu tertawa bergumam.
“Aku memang
sudah dapatkan Keris Naga Kopek. Tapi ada yang tidak beres. Aku tahu sekali.
Sarung seniata ini tidak asli…”
“Perduli
setan sarungnya asli atau tidak! Lekas bebaskan diriku!” teriak Sutri
Kaliangan.
“Gadis
cantik. Tenang… aku masih ingin bersenang-senang dengan dirimu.”
Habis
berkata begitu mahluk berwajah biru dan memiliki dua taring ini simpan Kenis
Naga Kopek dibalik cawatnya lalu melangkah mendekat Sutri Kaliangan yang bisa
bersuara tapi tetap terbaring kaku diatas balai-bahai kayu beralaskan kasur
jerami kering.
“Brett!”
Putri
Kaliangan memekik keras.
“Jahanam!
Apa yang kau lakukan?!” teriak Bunga dan dalam guci. Suara robeknya pakaian
membuat gadis alam roh ini terkejut. Walau mungkiri Iblis Kepala Batu memang
tidak bisa memperkosa Puteri Patih Kerajaan itu tapi dia bisa saja melakukan
seribu satu kekejian dan kemesuman lain sebelum membunuh Sutri.
lblis
Kepala Batu Alis Empat tertawa panjang.
Dewi
Bunga, aku memberi kesempatan sekali lagi padamu. Kau bersedia menjadi gundik
peliharaanku atau tidak?!”
DI dalam
guci tembaga Bunga terdiam. Dirinya memang dalam bahaya besar. Tapi keselamatan
dan kehormatan Sutri Kaliangan yang masih gadis itu diatas segala-galanya.
Haruskah dia mengorbankan diri demi keselamatan gadis yang masih suci bersih
itu? Agaknya tak ada jalan lain. Apapun yang akan teriadi atas diriinya yang
penting Sutri Kaliangan perlu diselamatkan lebih duu. Apa yang bakal kejadian
dengan dirinya sendiri itu urusan nanti, pikir gadis alam roh itu.
“Iblis
jahanam! Baik, aku bersedia memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat! Kau
harus membebaskan puteri Patih Selo Kaliangan lebih dulu!”
lblis
Kepala Batu tertawa mengekeh. “Ha…ha! Akhirnya kau mengalah juga! Tapi siapa
percaya ucapanmu!”
“Brettt!”
Kembali terdengar suara robeknya pakaian. Disusül jeritan dan caci maki Sutri
Kaliangan.
“Mahluk
dajal! aku sudah bersedia memenuhi permintaan kejimu! Mengapa kau masih hendak
mencelakai gadis itu!” teriak Bunga. “Keluarkan aku dan dalam guci celaka ini!”
Gelak tawa Iblis Kepaja Batu semakin menjadi.. jadi.
“Dajal
terkutuk apa maumu sebenarnya?!” “Aku merubah keputusan!” jawab Iblis Kepala
“Apa
maksudmu?!”
“Aku
ingin bersenang-senang lebih dulu memandangi dan menggerayangj tubuh molek
puteri Patih Kerajaan ini. Jika sudah puas, baru kubunuh. Mengenai dirimu,
kupikir untuk sementara kau akan kubiarkan dalam guci. Sampai akhirnya kau mau
menyerahkan diri tanpa syarat apapun’’
“Benar-benar
jahanam terkutuk!” Didalam guci Bunga yang tubuhnya secara aneh berubah kecil
mengikuti bentuk guci melompat dari duduknya. Gadis alam roh ini menghantam
kian kemari, memukul dan menendang. Guci tembaga yang diletakkan di atas meja
kayu itu bergoyang-goyang tiada henti.
“Keluarkan
semua kehebatan dan kesaktianmu! Habiskan seluruh tenagamu! Sampai kiamat kau
tidak akan mampu keluar dan dalam guci!”
Di dalam
guci seperti orang kemasukan setan, Bunga mengamuk hingga akhirnya dia capai
sendiri kehabisan tenaga dan duduk terkapar di dasar guci. Di luar sana
terdengar gelak tawa Iblis Kepala Batu. Lalu terdengar jeritan-jeritan Sutri
Kaliangan. Hampir separuh pakaian kuningnya terutama disekitar dada telah
tersingkap akibat robekan jari-jari tangan Iblis Kepala Batu. Ketika Iblis
Kepala Batu hendak merobek bagian pinggang pakaian, tiba-tiba satu kilatan
panas dan menyilaukan berkiblat disusul letupan keras mengeledek. Dinding kanan
bangunan kayu hancur tenggelam dalam kobaran api. Enam tiang besar penyanggah
bangunan patah. Selagi bangunan panggung itu siap menggemuruh roboh, satu
bentakan menggelegar.
“Dajal
Kepala Batu! Jangan harap kali ini kau bisa lolos dari kematian!”
Dua
letusan terdengar berturut-turut. Bangunan panggung hancur berantakan sebelum
robohannya menyentuh tanah.
Ketika
tiga bayangan berkelebat dalam kepulan asap tebal dan kobaran api, Iblis Kepala
Batu cepat menangkap guci tembaga yang terpental dari atas meja. Lalu secepat
kilat dia berkelebat ke arah balai-balai kayu, siap untuk menyambar sosok Sutri
Kaliangan yang nyaris bagian atas tubuhnya tidak tertutup pakaian lagi. Namun
sebelum maksudnya kesampaian satu tendangan melanda tangan kiri diatas sikunya.
“Kraaak!”
Tulang
tangan kiri hancur. Iblis Kepala Batu terpental keluar bangunan lewat dinding
yang telah roboh. Jatuh ke tanah dia masih sanggup berdiri di atas dua kaki.
Walau tánahnya hancur tapi mahluk satu ini tidak mengeluh apa lagi menierit
kesakitan. Malah Iblis Kepala Batu sunggingkan seringai mengejek. Dengan
telapak tangan kanan dia usap tangan kiri yang hancur. Saat itu juga tangan
yang cidera sembuh kembali seperti tidak terjadi apa-apa!
Setengah
membungkuk, dengan beban tubuh Sutri Kaliangan di bahu kanan, Iblis Kepala Batu
siap hendak menghantam. Namun begitu melihat keadaan di depannya serta merta
dia batalkan niat. Lebih baik selamatkan diri lebih dulu selagi dia masih bisa
menguasai Bunga yang disekap dalam guci tembaga dan puteri Patih Kerajaan.
“Pendekar
212 jahanam…” rutuk Iblis Kepala Batu. Dia melirik ke kiri sambil keluarkan
suara menggeram. “Aku kenali bocah berambut jabrik yang muncul bersamanya. Tapi
siapa nenek berwajah setan di sebelah sana. Apakah aku pernah melihatnya
sebelumnya. Mungkin dia yang dijuluki….”
Iblis
Kepala Batu tidak bisa berpikir lebih panjang. Ketika dilihatnya tiga orang itu
menerjang ke arahnya dia segera keluarkan sebuah benda bulat berwarna hijau
sebesar kepalan lalu dilempar ke udara. Begitu melayang di udara benda itu
meledak keras. Saat itu juga asap hijau pekat dan tebal menutupi pemandangan.
Dalam.
keadaan seperti itu, dari balik kepulan asap hitam terdengar suara teriakan
perempuan.
“Wiro!
Alis kiri sebelah bawah! Alis kiri sebelah bawah….! Hkk!”
Suara
teriakan mendadak lenyap karena orang yang berteriak yaitu Sutri Kaliangan
dicekik lehernya oleh Iblis Kepala Batu. Saat itu Wiro tidak begitu
memperhatikan teriakan itu. Pada dua temannya dia berteriak.
“Kurang ajar!
Cepat tutup jalan pernapasan!” Pendekar 212 memaki dan berteriak. Dia kawatir
asap hijau itu mengandung racun mematikan. Lalu murid Sinto Gendeng berseru.
“Naga
Kuning, kejar ke kiri. Nenek, kau ke jurusan kanan!” Wiro sendiri kemudian
menghambur lurus. Jauh di balik asap hijau tiga orang itu bertemu kembali,
sama-sama berbatukbatuk. Wajah masingmasing kelihatan kemerahan. Ketiganya
saling pandang dan uniukkan wajah kesal. Orang yang mereka kejar, Iblis Kepala
Batu telah lenyap!
“Kabur
lagi! Dia berhasil kabur lagi!” kata Pendekar 212 sambil hentakkan kaki dan
garukgaruk kepala.
“Tadi aku
mendengar ada perempuan berteriak padamu. Dia menyebut-nyebut alis mata kiri
sebelah bawah. Apa maksudnya…” Naga Kuning yang berdiri di samping Wiro
keluarkan ucapan. “Suara yang berteriak kukenali. Itu suara Sutri Kaliangan,
puteri Patih Kerajaan. Tapi apa maksudnya tak dapat kuduga,” jawab Wiro Sang
pendekar berpaling pada nenek berpakaian serba hitam, berambut kelabu di
sebelahnya. Lalu bertanya. “Nek, mungkiri kau bisa menduga….”
“Gadis
itu berusaha memberi tahukan sesuatu. Namun saat ini aku tak bisa berpikir
panjang..”
“Aku
mengerti,” sahut Wiro pula. “Saat ini kau sedang kasmaran sama anak geblek satu
ini! Mana bisa memikirkan hal lain!”
Wajah si
nenek yang aslinya bernama Ning Intan Lestari namun lebih dikenal dengan
julukan Gondoruwo Patah Hati berubah merah cemberut sementara Naga Kuning hanya
senyumsenyum. Dalam keadaan seperti itu, selagi ketiganya tidak tahu mau
mengejar Iblis Kepala Batu ke mana, tiba-tiba satu bayangan berkelebat.
Tahu-tahu seorang nenek berpakaian coklat yang di atas kepalanya ada kepulan
asap merah berbentuk kerucut terbalik, berdiri di hadapan ke tiga orang itu.
Sepasang bola matanya berbentuk segitiga merah, menatap keluar masuk ke arah
Wiro dan kawan-kawan. Siapa gerangàn adanya nenek aneh ini dan bagaimana
ceritanya sampai Wiro bisa berada di tempat itu bersama Naga Kuning serta
Gondoruwo Patah Hati, padahal sebelumnya dia dikenal terjebak dalam jepitan
lobang?
*********************
3
KEMBALI
pada kejadian sewaktu Pendekar 212 Wiro Sableng masih terjebak dalam lobang
tanah. Murid Sinto Gendeng ini tak tahu mau berbuat apa. Dia tidak bisa
mengerahan tenaga luar apa lagi tenaga dalam. Dia tidak mampu menggerakkan dua
tangan. Hanya sepasang bola matanya yang bisa digerakkan kian kemari. Dan dua
mata itu dia bisa mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang
Dewa. Dengan ilmu itu dia berhasil selamatkan diri dan serangan tiga mahluk
jejadian peliharaan Iblis Kepala Batu. Tetapi ilmu pedang sakti itu tidak
mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri dan dalam jepitan lobang.
Salah-salah dia sendiri bisa cidera karèna’ jarak terlalu dekat dengan tubuhnya
bila ilmu itu dipergunakan untuk membelah tanah di hadapannya.
Wiro
mengeluh dan memaki dalam hati. Kalau saja dia bisa mengeluarkan tangan kanan
dan jepitan lobang maka dengan satu pukulan sakti dia bisa menghancurkan tanah
di sekeliling nya. Dengan ilmu Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dan Datuk
Rao Basaluang Ameh dia bisa mendorong jebol tanah di depannya. Ingat pada
Pukulan Hanimau Dewa, Wiro jadi ingat pada Datuk Rao Bamato Hijau yakni harimau
putih bermata hijau yang menurut Datuk Rao Basaluang Ameh akan meniadi penjaga
dan penolong dirinya dalam kesulitan. Dalam hati Wiro segera membatin memanggil
harimau sakti itu. Namun sampai berulang kali tidak teriadi apa-apa. Dan hanya
membatin Wiro keluarkan ucapan perlahan. Lalu makin keras. Akhirnya pendekar
ini berteriak keras-keras. Tetapi tetap saja tidak teriadi apa-apa. Harimau
yang dipanggil tak kunjung menampakkan diri. Wiro tidak menyadari bahwa ada
sejenis hawa aneh di dalam lobang yang bukan saja membuat dia tidak mampu
menggerakkan tangan atau kaki, juga tidak dapat mengerahkan tenaga kasar luar
dan dalam, tetapi juga menghambat setiap usaha untuk berhubungan dengan mahluk
apa saja yang berada di alam lain. Malah selagi dia berteniak-teriak seperti
itu tiba-tiba pluuk!.
Sebuah
benda menghantam bagian belakang kepalanya. Sakit memang tidak tapi kaget serta
jengkelnya sang pendekar bukan kepalang. Dalam keadaan, dirinya seperti itu
siapa orang yang mau berlaku kurang ajar berani mempermainkan, menimpuk
kepalanya. Wiro berusaha menoleh ke belakang tapi dia tak bisa melihat benda
apa yang barusan dilemparkan ke kepalanya selagi dia menoleh ke kiri dan ke
kanan, untuk kedua kalinya tiba-tiba ada lagi yang menimpuk. Benda yang
ditimpukkan tepat mengenai keningnya lalu jatuh menggelinding di tanah. Wiro
delikkan mata. Benda yang dipakai melempar kepalanya ternyata buah jambu yang masih
muda.
“Keparat!
Setan dari mana berani main-main menyambit kepalaku?!” Membentak Wiro sambil
matanya memandang berkeliling.
Terdengar
suara orang tertawa cekikikan. Ada dua orang.
“Bangsat!
Siapa kalian?!” Wiro kembali membentak.
“Plukk!”
Lemparan
ke tiga, juga dengan buah jambu mendarat tepat dipuncak hidung. Kalau dua
lemparan pertama dia tidak merasa sakit maka lemparan ke tiga ini membut
hidungnya terasa pedas dan rasa sakit menjalar sampai ke pipi. Apa lagi buah
jambunya lebih besar dan lebih keras. Dalam marahnya Wiro tak dapat menahan
diri. Hampir saja dia melepas Sepasang Pedang Dewa dari ke dua matanya,
diarahkan ke sederetan pohon jambu hutan di depan sana di balik mana diduganya
salah satu dari dua orang yang melempar bersembunyi.
“Bangsat-bangsat
pengecut setan pohon jambu! Unjukkan diri kalian! Berani melempar tapi
sembunyikan tampang!”
Kembali
terdengar suara tawa cekikikan. Kali ini Wiro bisa mendengar jelas. Orangnya
ada dua, satu di sebelah depan satu lagi di sebelah belakang.
“Keparat sialan!
Kusumpahi kalian agar dicekik setan telaga!”
Baru saja
Wiro memaki sekonyong-konyong braakkk!
Sebuah
benda melayang dan balik pohon besar di depan sana. Ternyata sebuah ketiding
hitam lebar berisi air, jatuh di tanah, hanya dua langkah di hadapan kepala
Wiro. Ketidirig seperti ini biasanya dipergunakan oleh pedagang ikan. Air yang
muncrat dan dalam ketiding membasahi rambut dan muka Pendekar 212. Celakanya
air ini kotor, berwarna kehitam-hitaman, berbau busuk sekali. Mungkiri air
comberan.
Tawa cekikikan
kembali terdengar di sebelah depan dan belakang. Wiro tidak dapat menahan diri
lagi. Kesabarannya habis. Dua matanya segera di arahan ke pohon jambu besar
sebelah tengah di depan sana. Ilmu’ Sepasang Pedang Dewa siap dihantamkan. Tapi
tiba-tiba sesuatu membuat murid Sinto Gendeng ini jadi mengkeret, mendeljk
kaget.
Dan dalam
bakul berair busuk, keluar mahluk panianig hitam berkilat. Mengeliat-geliat
lalu meluncur turun ke tanah. Bukan cuma satu dua tapi puluhan banyaknya!
“Gila!
Belut penghisap darah!” Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Dia tercekat
setengah mati. Apa lagi ketika dilihatnya belut-belut hitam itu meluncur ke
arahnya. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Wiro. Kali ini dia memang harus
mengeluarkan llmu Sepasang Pedang Dewa. Siapa mau darahnya disedot habis oleh
puluhan belut yang tubuhnya tipis-tipis pertanda binatang-binatang itu sedang
haus darah! Tapi terlambat.”deeppp!”
Belut
pertama tancapkan mulutnya ke leher kiri Wiro. Sang pendekar meniérit setinggi
langit. Rasa takut ngeri, sakit dan jijik jadi satu. Terlebih lagi ketika dia
merasa darahnya mengalir tersedot Belasan belut hitam meluncur tambah dekat.
Dua diantaranya segera tempelkan mulut di sasaran. Satu di bawah tulang
belikat, satu lagi pipi kanan. Wiro kembali menjerit. Tubuhnya seperti mau
meledak di dalam lobang tapi dia tak mampu berbuat apa selain menggoyangkan
kepala dan leher, berusaha menjatuhkan tiga belut yang menghisap darahnya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Pendekar 212 ingat sesuatu. Puluhan belut
siap menyedot habis darah yang ada di dalam tubuhnya. Belut! Belut! Dimana-mana
di hadapannya saat itu yang kelihatan hanya belut hitam!
“Gusti
Allah!” Wiro berucap setengah berseru. “Aku memiliki limu Belut Menyusup Tanah.
Mengapa tidak aku pergunakan untuk selamatkan diri keluar dari dalam lobang?
Bodohnya aku ini!”
Tidak
tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng segera merapal ajian ilmu kesaktian Betut
Menyusup Tanah. Dalam lobang itu dia memang tidak bisa mengerahkan tenaga dalam
tetapi aji kesaktian yang dirapalnya membuat tubuhnya agak menciut dan
permukaan kulitnya seolah berubah licin. Dia mempunyai ruang untuk bergerak
kini. Sementara itu dua belut lagi telah menggigit lehernya. Didahului teriakan
menggelegar munid Sinto Gendeng dorongkan dua tangan ke depan. Tidak kepalang
tanggung. Dia hantamkan pukulan sakti yang didapatkan dan Datuk Rao Basaluang
Ameh dan dipelajarinya dari “Kitab Putih Wasiat Dewa” dengan tangan kiri kanan
sekaligus yakni pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang
Terjadilah
hal yang hebat.
Tanah di
depan Wiro bergetar menggemuruh lalu terbongkar, berhamburan ke udara.
Bersamaan dengan lepasnya dia dari jepitan lobang, tenaga luar dan dalam yang
dimilikinya kembali bekerja. Hawa sakti mengalir di seantero tubuhnya. Wiro
melesat sampai dua tombak. Sambil melayang di udara dua tangannya bergerak
menyambar dan membetot lima belut hitam yang melekat di leher dan wajahnya lalu
diremas hingga hancur.
Ketika
melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Wiro terperangah sendiri, melihat
akibat pukulannya. Satu lobang luas hampir menyerupai kolam sedalam satu tombak
menganga di hadapannya. Tiba-tiba ada suara menderu keras dari samping kiri.
Wiro palingkan kepala. Ternyata air dan telaga di sebelah sana mengalir deras
mencurah memasuki lobang besar. Tak lama kemudian kolam itu menjadi satu dengan
telaga, membentuk satu telaga baru yang hampir satu setengah kali lebih besar
dari aslinya.
Wiro
tidak berdiri berlama-lama. Sesaat dia usap leher dan mukanya yang bekas
ditancapi lima belut penghisap darah. Lalu begitu dia ingat akan ketiding
berisi belut yang dilemparkan dari balik pohon jambu besar, tanpa tunggu lebih
lama dia segera melompat ke balik pohon. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa
di tempat itu. Sebaliknya dia mendengar suara orang tertawa dan
belakang
hancuran lampingan batu. Wiro melesat ke arah lamping batu sambil mendahului
gerakannya dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tak ampun lagi lamping batu
yang memang sudah hancur itu kini tambah porak poranda. Seluruh dinding batu
terbongkar berhamburan. Yang kelihatan kini hanya tanah merah kecoklatan.
“Hai!
Kami di sini!”
Tiba-tiba
ada suara berseru di sebelah belakang, dan balik serumpunan semak belukar.
Dalam amarah yang meledak karena dipermainkan dan dicelakai orang, tidak pikir
panjang murid Sinto Gendeng balikkan badan, langsung gerakkan tangan kanan
untuk melepaskan Pukulan Sinar Matahari, pukulan sakti yang selama ini paling
ditakuti golongan hitam rimba persilatan. Tetapi ketika pukulan maut itu hampir
melesat dan tangan kanannya yang telah berubah meniadi putih perak menyitaukan,
mendadak Wiro keluarkan suara memaki dan batalkan serangan.
“Jahanam
kurang ajar! Kalian rupanya!”
Di depan
sana terdengar suara dua orang tertawa gelak-gelak.
“Bercanda
jangan keterlaluan! Kalau kuturuti kemarahan hatiku, sudah kulebur leleh kalian
berdua dengan Pukulan Sinar Matahari.”
Di depan
sana sambil tertawa-tawa berdiri seorang anak berambut jabrik berpakaian serba
hitam yang bukan lain adalah si bocah konyol Naga Kuning. Disampingnya tegak
nenek bermuka seram, juga berpakalan serba hitam, rambut kelabu awut-awutan
yang dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati, kekasih Naga Kuning di masa
muda.
“Saudaraku
Wiro, jangan kau salah menduga. Aku dan juga Ning Intan Lestari tidak bercanda.
Kami….” Ning Intan Lestari adalah nama sebenarnya nenek seram Gondoruwo Patah
Hati.
Wiro
melangkah besar-besar ke hadapan Naga Kuning. Dipilihnya telinga kiri anak ini
hingga dua kaki Naga Kuning berjingkat-jingkat, mulut meringis kesakitan.
“Apa
katamu? Tidak bercanda? Kau dengan si nenek kekasihmu itu melempar aku dengan
jambu. Itu masih bisa kumaafkan. Tapi kalian juga melemparkan puluhan belut
padaku. Lihat!” Wiro menunjuk ke leher dan mukanya. “Lima belut celaka itu mematuk
dan menyedot darahku! Itu bukan lagi bercanda tapi punya niat membunuhku!
Padahal aku dalam keadaan tak berdaya. Seharusnya kalian menolongku!”
“Justru
itulah yang kami lakukan! Menolongmu!” Untuk pertama kalinya Gondoruwo Patah
Hati keluarkan ucapan.
“Menolongku?”
Pendekar 212 delikkan mata lalu keluarkan suara mendengus. “Mulai saat ini aku
tidak mau melihat tampang kalian lagi!”
“Tidak
mau melihat tampang kami tak jadi apa,” jawab Naga Kuning sambil senyum
cengengesan. “Tapi lihat pantat kami masih mau kan?” Naga Kuning lantas tertawa
gelak-gelak. Gondoruwo Patah Hati tekap mulutnya menahan cekikikan. Wiro
cemberut kesal.
“Wiro,
turunkan amarahmu, buang jauh-jauh dugaan yang bukan-bukan. Maksud kami
melemparkan ketidirig berisi air comberan dan belut Itu adalah agar kau mampu
selamatkan diri keluar dan dalam lobang. Dengan ilmu kepandaian yang kau
iniliki sendirl..”
“Nenek
peot…” ujar Wiro.
“Jangan
menghina dirinya!” Naga Kuning menukas. “Kalau kau melihat wajah aslinya kau
ekan…”
“Akan
apa?!” sentak Wiro. “Akan mules perutku, etau ingin kencing atau cuma ingin
kentut?!” Naga Kuning monyongkan mulutnya lalu gelengkan kepala. “Kami sengaja
melemparkan satu ketiding belut ke hadapanmu, agar kau ingat bahwa kau memiliki
ilmu kesaktian bernama Belut Menyusup Tanah. Hanya ilmu itulah satu-satunya
yang mampu membebaskan dirimu dari jepitan lobang. Kenyataannya bukankah itu
yang terjadi? Kau ingat kau punya ilmu itu. Lalu merapal ajiannya. Dan kau
berhasil selamatkan diri, keluar dari dalam lobang. Malah membuat telaga jadi
tambah besar! Apa tidak hebat? Ha… ha… ha!”
“Eh…”
Wiro menatap Naga Kuning sambil garuk-garuk kepala, berpaling pada Gondoruwo
Patah Hati lalu menoleh kembali pada si bocah. Senyum terkulum di mulut sang
pendekar.
“Sekarang
aku mengerti…” katanya. Senyumnya berubah jadi tawa bergelak. Tiba-tiba Wiro
hentikan tawanya. “Tunggu, kelau memang kalian benaran ingin menolongku,
mengapa tidak langsung saja mendatangiku. Lalu mengingatkan ilmu yang kumiliki
itu dengan ucapan, bukan dengan puluhan belut keparat! Berarti kalian memang
juga punya niat jahil! Lihat, di wajah dan leherku pasti ada lima luka bekas
gigitan belut celaka yang kalian lemparkan itu!”
“Wiro..,”
kata Gondoruwo Patah Hati sambit pegang bahu Pendekar 212. “Cara memberi tahu
seseorang tidak selamanya dengan ucapan. Kadang-kadang perbuatan lebih dan
seribu kata…”
“Seribu
kata apa seribu belut!” tukas Wiro. “Kalau dirimu yang digigit belut baru tahu
rasa! Tapi, belut mana yang mau menggigit tubuh peot sepertimu. Mau disedot
darahnya juga kurasa sudah tinggal ampas!”
Gondoruwo
Patah Hati tersenyum sebaliknya Naga Kuning acungkan tinjunya.
“Pendekar
212, dengar dulu…” si nenek berucap.
“Nek, aku
tak mau berdebat denganmu. Sudah barang tentu kau membeta si jabrik ini. Karena
dia kekasihmu!” kata Wiro dengan unjukkan wajah tetap jengkel.
“Wiro,
walau bagaimana pun Naga Kuning itu usianya jauh Iebih tua darimu. Dia pantas
menjadi kakekmu, aku pantas kau sebut nenek…”
“Siapa
sudi!” jawab Pendekar 212.
“Dengar
dulu,” kata Gondoruwo Patah Hati dengan suara tetap sabar. “Selain menolongmu,
kami yang tua-tua ini juga ingin memberi pelajaran…”
“Pelajaran?
Pelajaran apa?! Pelajaran konyol keblinger!” semprot murid Sinto Gendeng.
“Pelajaran
bahwa ketika dicekam bahaya seorang yang namanya pendekar itu tidak boleh
kehilangan akal sehatnya, apalagi kalau sampat terjebak dalam kemarahan. Aku
percaya, kalau kau tetap tenang menghadapi kesulitanmu tadi, mendayakan setiap
akal yang bisa kau lakukan, tanpa kami melemparkan seketiding belut kau pasti
mampu mengingat bahwa kau memiliki ilmu Belut Menyusup Tanah. Apa gunanya
belasan tahun digembleng Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede kalau kau sampai
melupakan ilmu yang sudah diwarisi. Hanya karena jalan pikiran tertutup rasa
galau dan hawa amarah…”
“Soalnya,
aku… aku jarang mempergunakan Ilmu itu,” Wiro garuk-garuk kepala. Dia ingat
tempo hart waktu terdesak hebat dan hampir celaka di tangan para pengeroyok
orang-orang Kotaraja, seseorang juga memberitahu agar dia mempergunakan ilmu
itu untuk selamatkan diri. Ketika dia mengikuti ucapan orang ternyata dia
memang bisa meloloskan diri. “Sudahlah, aku tak mau berdebat dengan kalian yang
mengaku kakek dan nenek. Aku mengucapkan terima kasih Kek, terima kasih Nek.”
Waktu menyebut kata Kek dan Nek Wiro memencongkan mulut dan hidungnya. “Aku
tahu, kalian memang telah menolongku walau caranya gila kebangetan!” Habis
berkata begitu Wiro lantas balikkan badan hendak tinggalkan tempat itu.
“Eh, kau
mau ke mana?” tanya Naga Kuning.
“Mengejar
Iblis Kepala Batu. Bangsat itu bukan saja telah menyekap Bunga dalam guci
tembaga dan menculik Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan. Tapi dia juga yang
telah menjebak dan hampir menguburku hidup-hidup di liang batu. Lalu dia pula
yang barusan menjebloskan aku dalam lobang keparat itu!”
“Iblis
Kepala Batu bukan saja punya ilmu kesaktian tinggi. Tapi juga licik akal busuk
hati. Kabarnya dia juga punya ilmu kebal. Tidak gampang menciderainya. Walau
bisa dilukai tapi tak bisa dibuat mati!” Memberi tahu Naga Kuning.
“Dari
mana kau tahu hal itu?” tanya Wiro. Naga Kuning menunjuk dengan ibu jarinya
pada Gondoruwo Patah Hati. “Dia yang memberitahu…” “Apa benar iblis itu tidak
bisa dibuat mati?” tanya Wiro.
Si nenek
menghela nafas dalam baru menjawab. “Setiap yang hidup pasti bisa mengalami
kematian. Setiap ilmu kesaktian pasti ada kelemahannya. Atau ada pamungkas
untuk menumpasnya. Jika kita tahu kelemahan manusia jahat itu, tidak akan sulit
membereskannya…”
“Lalu
apakah kau tahu di mana letak kelemahan Iblis Kepàla Batu?” tanya Wiro.
Gondoruwo Patah Hati gelengkan kepala. “Itu satu hal yang harus kita selidiki.”
“Kawan-kawan,
aku harus pergi…” Wiro tak mau berlama-lama. Dia harus segera mengejar Iblis
Kepala Batu.
Si nenek
angkat tangannya. “Tunggu. Katamu kau akan mengejar Iblis Kepala Batu. Kawasan
ini cukup luas, liar dan buas. Apakah kau tahu ke mana kaburnya Iblis Kepala
Batu?” Wiro tak menjawab. “Iblis Kepala Batu punya banyak tempat kediaman atau
sarang rahasia. Salah satu diantaranya terletak di kawasan ini, dalam satu
rimba belantara. Aku tahu tempàtnya. Kurasa pasti dia membawa gadis culikannya
ke tempat itu. Iblis Kepala Batu suka tinggal di rumah panggung yang biasanya
terletak di tempat ketinggian seperti sarangnya yang kau hancurkam di dekat air
terjun Jurangmungkung.”
“Kalau
begitu…” Wiro garuk-garuk kepala. “Ah, sudahlah. Kalian belum berapa lama
bertemu setelah saling berpisah puluhan tahun. Kalian pasti masih sama-sama
sangat kangen. Aku tidak mau mengganggu kebahagiaan kalian…”
“Wiro,
apa maksudmu?” tanya Naga Kuning.
“Aku
tahu,” Gondoruwo Patah Hati yang menyahuti. “Wiro ingin meininta bantuanku
menunjukkan sarang Iblis Kepala Batu. Tapi merasa segan karena alasan yang
disebutkannya tadi. Bukan begitu?”
Wiro
hanya menyeringai.
Si nenek
tersenyum. Dia memandang pada Naga Kuning seolah minta pertimbangan. Dipandang
begitu rupa oleh si nenek dan Wiro, bocah konyol ini berkata. “Wiro, seperti
katamu, puluhan tahun kami berdua tidak pernah bertemu. Rasa kangen belum
pulih. Keinginan untuk berduadua behum terpuaskan. Namun kami tahu. Urusan yang
kau hadapi adalah urusan nyawa dan kehormatan manusia. Apalagi puteri Patih
Kerajaan ikut menjadi korban. Tak ada pertimbangan lain. Kita harus segera
mengejar mahluk keparat itu. Tapi sebelum pergi aku perlu tanya dulu padamu.”
“Kau mau
bertanya apa?” tanya Pendekar 212. Naga Kuning berpaling pada Wiro. “Saat ml,
apakah kau masih tidak suka melihat tampang kami? Hanya mau melihat pantat
kami?” “Bocah geblek!” hardik Wiro. Dia memberi isyarat pada si nenek agar
segera meninggalkan tempat itu. Ketiga orang tersebut segera berkelebat dengan
Si nenek berlari di sebelah depan, Naga Kuning dan Wiro mengikuti di belakang.
*********************
4
DENGAN
Gondoruwo Patah Hati bertindak sebagai penuniuk jalan Wiro dan Naga Kuning
berhasil menemui sarang kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat yang terletak di
satu rumah panggung kayu dalam sebuah rimba belantara kecil. Wiro dan
kawan-kawannya datang pada waktu yang tepat ketika Iblis Kepala Batu tengah
melakukan perbuatan keji terhadap Sutri Kaliangan. Mereka bahkan menghancurkan
sarang mahluk jahanam Itu. Namun sayangnya Iblis Kepala Batu masih dapat
melarikan diri membawa Sutri Kaliangan dan juga guci tembaga di mana Bunga
alias Suci disekap.
Selagi
ketiga orang itu berunding mau berbuat apa dan hendak mengejar Iblis Kepala
Batu ke mana, tiba-tiba muncul seorang nenek aneh berpakaian coklat. Di atas
kepalanya ada kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik. Dua bola mata
menyerupai segitiga merah. Wiro dan Naga Kuning segera kenali si nenek yang
bukan lain adalah Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, yang tersesat dan
Negeri Latanahsilam sewaktu meledaknya Istana Kebahagiaan. Wiro diam dan tenang
saja. Sebaliknya Naga Kuning langsung berseru. “Hai Nek, kau ada di sini!”
Sepasang
mata Hantu Penjunjung Roh menatap ke arah si bocah berambut jabrik, lalu mata
itu dikedip-kedipkan. Bola matanya yang berbentuk segitiga merah bergerak
keluar masuk. Naga Kuning tertawa lebar. Melihat sikap ke dua orang ini Si
nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati jadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan
cemburu. Dipegangnya lengan Naga Kuning lalu berbisik ajukan pertanyaan.
“Gunung,
kau kenal nenek aneh genit menjijikkan ini?”
“Dia
sahabat kami sewaktu di Negeri Latanahsilam,” jawab Naga Kuning yang membuat
Gondoruwo Patah Hati jadi tambah tidak enak dan berpikir yang bukan-bukan. Si
nenek kembali nyatakan kecemburuannya dengan pertanyaan. “Dua tahun kau
tersesat di negeri gila itu, apa yang telah kau lakukan dengan nenek bermata
aneh ini? Sikapnya genit tapi aku tahu hatinya busuk….”
“Aku
tidak punya hubungan apa-apa. Tanyakan saja pada orangnya,” jawab Naga Kuning.
“Siapa
sudi. Kau yang harus mengaku!” jawab Gondoruwo Patah Hati.
“Tidak
ada yang harus kuakui!” sahut Naga Kuning mulai jengkel.
“Kalau
kau tidak mengaku, jangan harap aku mau pergi ke mana-mana bersamamu….”
Naga
Kuning hendak menjawab tapi saat itu Hantu Penjunjung Roh telah bicara Iebih
dulu. Ditujukan pada Pendekar 212.
“Wiro,
kau telah menyalahi perjanjian!”
“Perjanjian?
Perjanjian mana yang telah aku salahi, Nek?” tanya Wiro.
“Sewaktu
dirimu tertimbun di lubang batu. Aku menolongmu dengan satu perjanjian. Satu
syarat. Yaitu kau tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala
Batu. Ternyata kau masih mengejarnya, menghancurkan rumahnya mungkin juga telah
menciderainya.”
“Memangnya
aku pernah berjanji begitu? Menyahutipun aku tidak. Karena sewaktu di dalam
timbunan batu, aku tidak bisa keluarkan suara. Tidak bisa bicara.” Kata Wiro
pula.
“Betul,
tapi kau bisa mendengar suaraku! Bagiku itu sudah Iebih dari cukup. Dan aku
telah menolongmu keluar dari timbunan batu dengan menunjukkan alat rahasia di
ranjang batu….”
“Aku
berterima kasih atas pertolonganmu itu. Tapi urusan dengan Iblis Kepala Batu
tidak ada sangkut pautnya….”
“Mengapa
tidak. Seperti yang aku pernah bilang, Iblis Kepala Batu adalah adik kandungku.
Sejak dia keluar dan Negeri Latanahsilam, aku belum sempat bertatap muka dan
bicara dengan dirinya. Saat ini aku terus mengejarnya tetapi selalu selangkah
terlambat. Aku berjanji, jika berhasil menemuinya akan kubujuk dia agar
melepaskan gadis culikan serta membebaskan gadis di dalam guci tembaga. Karena
itu aku minta padamu agar kau tidak melakukan sesuatu atas dirinya. Apalagi
sampai membunuhnya
“Setahuku
Iblis Kepala Batu memiliki ilmu kebal, tak mempan pukulan dan senjata, tidak
bisa dibikin mati. Kalau memang benar apa yang perlu kau takutkan? Malah
kami-kami ini merasa kawatir akán keselamatan kawan kami pendekar muda ini.
Atau mungkin aku punya dugaan. Saudaramu itu punya satu kelemahan. Sahabatku
ini punya satu ilmu yang dapat mencelakainya.” Yang bicara adalah Gondoruwo
Patah Hati.
Hantu
Pemasung Roh putar kepala memandang ke arah Gondoruwo Patah Hati Dua mata
saling beradu pandang. Hantu dan Gondoruwo sama-sama saling bersorot mata.
“Kau
siapa? Aku menduga wajahmu yang kulihat bukan wajah asli!”
Naga
Kuning dan Wiro sama-sama terkejut mendengar ucapan Hantu Penjunjung Roh alias
Luhniknik. Terlebih lagi Gondoruwo Patah Hati yang punya diri. Nenek satu ini
sampai tersurut satu langkah dan wajah aslinya yang memang terlindung di balik
satu topeng tipis jadi berubah.
“Heran,
mengapa nenek jelek dan Negeri Latanahsilam ini bisa mengetahui rahasia wajah
Intan? Membatin si bocah Naga Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek
berusia lebih dan seratus tahun, bernama Gunung, berjuluk Kiai Paus Samudera
Biru.
“Aku
merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Mengenai wajahku itu bukan urusanmu!”
Gondoruwo Patah Hati keluarkan ucapan unjukkan rasa tidak senangnya. Dua bola
mata segitiga merah Hantu Penjunjung Roh bergerak keluar masuk. Nenek ini
keluarkan tawa perlahan. Dia berpaling pada Wiro lalu berkata.
“Aku akan
pergi sekarang, kalau kau mau menepati janji, rasanya banyak pihak yang akan
selamat. Tapi kalau tidak, semua bisa celaka….” Habis berkata begitu Hantu
Penjunjung Roh mengerling ke arah Naga Kuning dan kedipkan matanya. Naga kuning
walau diam tapi mengulum senyum menjawab sikap si nenek. Hal ini membuat
Gondoruwo Patah Hati tambah jengkel karena cemburu. Maka dia segera keluarkan
ucapan.
“Jangan
kau berani mengancam! Kalau adikmu jahat, mungkiri kau tidak seberapa beda. Kau
cuma mahluk kesasar ke negeri kami. Harusnya kau segera menyadarkan adikmu
sebelum kami menjatuhkan hukuman atas dirinya. Malah kau berani hendak berbuat
macam-macam!” Hantu Pemasung Roh hanya tertawa mendengar semprotan Gondoruwo
Patah Hati. Dan ucapan dan sikap cemburu si nenek berpakaian serba hitam ini
dia sudah bisa menduga kalau antara si nenek dengan Naga Kuning ada jalinan
hubungan tertentu. Maka dia sengaja kembali berpaling pada Naga Kuning dan
keluarkan ucapan.
“Sobat
lamaku, ada beberapa hal semasa di Negeri Latanahsilam yang masih belum tuntas
kita bicarakan. Kuharap saat ini kau mau ikut aku untuk membicarakan hal itu.”
Naga Kuning jadi melengak dan berubah wajahnya. “Eh, kurasa….”
“Sudahlah,
ikut saja….” kata Hantu Penjunjung Roh sambil tarik lengan Naga Kuning. Si
bocah betot lepas tangannya. Hantu Penjunjung Roh tertawa cekikikan lalu
tinggalkan tempat itu.
“Kenapa
kau tidak ikut bersamanya?!” tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati semburkan
pertanyaan pada Naga Kuning.
“Perlu
apa aku mengikuti nenek geblek itu?!” jawab Naga Kuning.
“Di sini
di hadapanku kau berani menyebutnya nenek geblek. Tapi waktu di Negeri
Latanahsilam, apa yang teriadi antara kau dengan dia? Tadi dia berkata ada
hal-hal yang belum tuntas. Perlu dibicarakan….”
“Nenek
itu ngacok! Otaknya pasti miring!” jawab Naga Kuning. “Kalau kau tidak percaya
tanya saja pada Wiro. Memangnya aku pernah bikin apa dengan dia?” Gondoruwo Patah
Hati berpaling pada Wiro. Sang pendekar hanya bisa diam sambil garuk-garuk
kepala.
“Temanmu
tak bisa bicara, tak bisa menjawab. Berarti memang sudah teriadi apa-apa antara
kau denan dia!”
“Bagaimana
bisa bicara, bisa menjawab? Dia sendiri selama di Latanahsilarn banyak bermain
dengan para gadis bahkan pada janda!” Satu suara menyahuti di balik semak
belukar. Yang bicara ternyata Hantu Penjunjung Roh.
“Nenek
setan! Mulutmu usil sekali!” teriak Wiro sambil angkat tangan hendak menghantam
dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam besar. Tapi si nenek
keburu berkelebat lenyap sambil tertawa cekikikan.
“Nah,
dugaanku ternyata tidak meleset!” kata
Gondoruwo
Patah Hati sambil delikkan mata pada Naga Kuning.
“Sumpah!
Aku tidak pernah berbuat apa-apa!” kata Naga Kuning pula.
“Bersumpah
saja sama setan telaga!” tukas si nenek lalu memutar tubuh hendak berkelebat
pergi. Naga Kuning cepat menghalangi sambil pegang lengan si nenek. Di balik
pohon besar tak jauh dan situ Hantu Penjunjung Roh tertawa cekikikan
memperhatikan dua orang yang bertengkar itu.
“Rasakan…
rasakan….” katanya berulang kali lalu tinggalkan tempat itu. Karena
pertengkaran antara si nenek dan Naga Kuning semakin menjadi-jadi, Wiro segera
mendatangi mereka untuk melerai.
“Nek,
tadi kau menasihati diriku. Sekarang giliranku. Mengapa ucapan nenek gila tadi
kau masukkan dalam hati? Bukan mustahil dia sengaja mengadu domba dirimu dengan
Naga Kuning. Pergunakan akal sehat, kerahkan segala daya dan pikiran. Jangan
terjebak dalam kemarahan. Bukan begitu katamu tadi?”
“Nasihatmu
boleh kau telan sendiri, anak muda. Aku sudah tidak percaya pada kalian berdua.
Puluhan tahun aku menyiksa diri hanya untuk menunggu orang yang kukasihi.
Ternyata orang itu hanya seorang manusia rongsokan berhati culas, mengobral
cinta di mana-mana….”
“Intan,
jangan kau menuduhku seperti itu. Aku….”
Gondoruwo
Patah Hati sentakkan lengannya yang dipegang Naga Kuning lalu tinggalkan tempat
itu. Si bocah segera mengejar tapi tangannya cepat dipegang Wiro.
“Sialan!
Apa-apaan ini?” teriak Naga Kuning. “Lepaskan tanganku! Jangan ikut campur
urusan“Tenang manusia rongsokan,” Wiro tirukan ucapan Gondoruwo Patah hati.
“Percuma kau mengejar. Nenek itu sedang sewot setengah mati. Biarkan dulu
sampai hatinya tenang dan jalan pikirannya jernih nanti juga sadar sendiri…”
“Kau juga
manusia rongsokan. Mengapa tadi diam saja, tidak mau membantuku?! Awas! Nanti
aku beri tahu pada Anggini, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung siapa-siapa saja
pacarmu di Latanahsilam!”
“Weeehhh?!
Kenapa kau jadi punya otak kotor begitu?” tanya Wiro.
“Habis,
kau tidak punya rasa setia teman. Tidak mau menolong teman sendiri!” jawab Naga
Kuning gemas lalu tarik tangannya dan mengejar ke arah Ienyapnya Gondoruwo
Patah Hati. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa berdiri melongo sambil
garuk-garuk kepala.
*********************
5
DI
TENGGARA Samigaluh terdapat sátu hutan belantara kecil. Walau letaknya tidak
jauh dan Kotaraja dan di dekat situ ada sebuah jalan tanah menuju Purworejo
namun hampir tidak ada orang yang berani masuk ke dalam hutan tersebut.
Jangankan masuk, berada di sekitar pinggiran hutan saja tidak ada yang mau.
Konon di tempat itu bersarang satu komplotan rampok ganas yang telah
berkali-kali dikejar untuk ditumpas oleh pasukan Kerajaan namun selalu berhasil
lolos. Memang dalam dua tiga kali penggerebekan beberapa anggota rampok dapat
dibunuh namun pimpinannnya, seorang yang dipanggil sebutan Warok Jangkrik
selalu dapat meloloskan diri. Bila keadaan telah aman, kembali dia malang
melmntang melakukan kejahatan dan menjadikan hutan Samigaluh sebagai sarangnya.
Pimpinan
rampok itu dipanggil Warok Jangkrik ada sebabnya. Pertama kulit muka dan
tampangnya berwarna hitam pekat seperti jangkrik keliongan. Kedua setiap sedang
marah dia selalu keluarkan kata-kata makian “Jangkrik!”
Selain
keberadaan komplotan rampok pimpinan Warok Jangkrik di hutan belantara
Sarnigaluh juga terdapat binatang buas. Kabarnya di situ berkeliaran tiga ekor
harimau besar. Satu jantan, dua betina dengan beberapa ekor anaknya. Tidak
heran kalau keadaan rimba Samigaluh dan sekitarnya selalu diselimuti kesunyian.
Bahkan kicau unggaspun nyaris tidak pernah terdengar seolah burung-burung tak
ada yang berani datang ke tempat itu. Namun pagi itu suara kesunyian dipecahkan
oleh gemeretak derak roda gerobak.
Kendaraan
yang sudah reyot ini dikemudikan oleh seorang lelaki berpakaian hitam berloreng
putih, celana komprang hitam. Di bawah destar hitam yang ada di atas kepalanya
kelihatan tampangnya yang seram, mata besar merah, kumis melintang, cambang
bawuk meranggas kasar tak terpelihara.
Tiga
orang berkuda bergerak mengelilingi gerobak itu. Dua di kiri kanan, yang ke
tiga di sebeIah belakang. Baik pakaian maupun tampang ke tiga orang ini tidak
beda dengan tampang lelaki yang bertindak sebagai sais gerobak. Malah yang
berkuda di sebelah belakang selain tampak paling garang juga berdandanan aneh.
Di lehernya melingkar sebuah kalung. Mata kalung berbentuk benda empat persegi
pipih warna hitam, mungkin ini sebangsa jimat. Lalu dua telinganya dicanteli
anting-anting besar bulat warna kuning, terbuat dan emas. Anting-ànting yang
sama juga meñcantel di cuping hidungnya sebelah kiri yang tebal mekar. Inilah
Warok Jangkrik, pimpinan rampok hutan Samigalih.
Seekor
kuda tanpa penunggang, diikatkan ke gerobak mengikuti rombongan.
Di atas
gerobak ada dua orang penumpang. Yang pertama seorang kakek berambut putih,
duduk menielepok di lantai gerobak. Wajahnya yang keriputan kelihatan pucat
pasi pertanda orang tua ini tengah dilanda satu rasa takut yang amat sangat.
Bibirnya bergetar tanda dia tidak henti-hentinya melafalkan sesuatu, memohon
perlindungan dan keselamatan dan Yang Maha Kuasa. Agaknya ada satu bahaya besar
yang tengah mengancam dan menakutkan orang tua ini. Di samping si orang tua, di
atas gerobak ada seorang anak le!aki berkulit kuning, berwajah cakap. Walau
baru berusia sepuluh tahun tapi sosoknya kelihatan tinggi tegap melebihi
anak-anak seusianya. Berlainan dengan si kakek, anak ini unjukkan wajah tenang.
Mata menatap lurus ke depan, tangan kanan memegang pinggiran gerobak. Walau
gerobak itu berialan kencang dan sesekali kejeblos masuk ke dalam lobang si
bocah tetap saja tenang. Tubuhnya hanya bergoyang sedikit seperti dia memiliki
ilmu meringankan tubuh. Berulang kali si kakek menyuruhnya duduk tapi si anak
tetap saja berdiri.
Sampai di
pinggiran hutan Sarnigaluh lelaki yang berkuda di belakang gerobak angkat
tangan dan berseru memerintahkan berhenti. Dua penunggang kuda segera hentikan
kuda masingmasing Sais hentikan kuda penarik gerobak.
“Lemparkan
dua kunyuk itu keluar gerobak!” Warok Jangkrik berikan perintah.
Dua
anggota rampok segera mendatangi gerobak. Satu mencekal si orang tua, satu lagi
mencekal Si bocah. Tapi si bocah cepat berkelit hingga dia tak sampai dicekal.
Anak ini memegang tangan rampok yang mencekal si orang tua“Lepaskan! Jangan
sakiti kakekku’ Kalau dia harus turun biar saya yang menolong!”
“Bocah
setan! Makan tamparanku!” hardik anggota rampok yang mencekal si kakek.
Tangannya bergerak. Sesaat lagi tamparan keras itu akan mendarat di si bocah
tiba-tiba Warok Jangkrik angkat tangan memberi isyarat.
“Turuti
katanya. Biar bocah itu membantu kakeknya turun dan gerobak!” Kata Warok
Jangkrik sambil matanya menatap si bocah dan tangan kiri mengusap-usap janggut
kasar di dagunya. Ada. sesuatu yang terpikir di benak pimpinan rampok ini saat
itu. Dua anak buah Warok Jangkrik, terutama yang barusan hendak menampar jadi
heran. Tidak biasanya pimpinan mereka berlaku seperti itu. Warok Jangkrik yang
ditakuti di delapan penjuru angin kawasan rimba belantara Sarnigaluh, hari itu
tunduk pada ucapan seorang bocah ingusan!
“Warok….”
anggota yang tadi hendak menampar, berjuluk Si Comot keluarkan ucapan. Julukan
ini diberikan karena dalam merampok apapun yang kelihatan di matanya mesti
dicopot (disikat). Selain itu dia juga suka mencomot (memegangi) tubuh
orang-orang perempuan yang menjadi korbannya. Anggota rampok yang satu lagi
dipanggil dengan sebutan Si Codet, karena di keningnya ada cacat besar dan
panjang bekas hantaman senjàta tajam.
“Comot,
ikuti saja kemauan anak itu,” Warok Jangkrik memotong ucapan anak buahnya.
Comot tidak berani bicara lagi. Rampok yang mencekal si kakek lepaskan
cekalannya. “Kek, mari kita turun. Ayo saya tolong….” Si bocah berkata seraya
memegang dua bahu kakeknya. Perlahan-lahan si kakek bangkit berdiri dari lantai
gérobak lalu dengan ditolong Si bocah dia turun dan kendaraan itu.
Setelah
kakek dan cucunya turun, Warok Jangkrik segera melompat turun dari kudanya. Dua
anak buahnya, Si Comot dan Si Codet sudah lebih dulu berdiri di kiri kanan
kakek dan cucunya.
Setelah
memandang. kedua orang itu beberapa ketika, Warok Jangkrik membuka mulut.
“Orang
tua, kau punya nama Kalimanah, betul?” Dengan wajah takut-takut Si kakek
membungkuk, membenarkan ucapan kepala rampok itu.
“Ki
Kalimanah,” Warok Jangkrik bicara agak sopan. Menyebut si kakek dengan
panggilan Ki kependekan Aki yang berarti Pak atau Bapak. Kembali dua anak buah
Warok Jangkrik terheran-heran melihat sikap pimpinan’ mereka. Warok Jangkrik
meneruskan ucapannya.
“Setahuku
kau bekerja di Keraton. Betul?”
Kembali
si kakek mengiyakan sambil membungkuk. “Apa tugasmu di Keraton?”
“Saya,
saya cuma seorang perawat kuda Sri Baginda.”
“Hemmm….
Sudah berapa lama Ki Kalimanah bertugas sebagai perawat kuda Sri Baginda?”
“Sudah lama sekali. Sejak mulai dan almarhum Raja Tua, ayahanda Raja yang
sekarang. Sekira lima puluh tahunan….” jawab Ki Kalimanah. Karena orang
mengajaknya bicara secara baik-baik, rasa takutnya agak surut. Wajahnya yang
tadi pucat kirii mulai berdarah. Warok Jangkrik tertawa lebar. Dia memandang
pada dua anak buahnya. “Ketika Ki Kalimanah mulai bertugas jadi perawat kuda
Keraton,kalian berdua masih belum lahir. Aku sendiri baru jadi bayi berumur
satu tahun! Ha… ha… ha! Orang tua, sungguh luar biasa pengabdianmu pada
Kerajaan….”
“Saya
cuma orang kecil Den,” jawab Si orang tua, memanggil si kepala rampok dengan
sebutan Raden.
Dipanggil
raden Warok Jangkrik jadi senyum-senyum.
“Bocah
ini, apamu Ki Kalimanah?” tanya Warok Jangkrik.
“Dia
cucuku satu-satunya.”
“Bocah,
siapa namamu? Berapa usiamu?”
Ditanya
orang, dengan sikap tegak Si bocah menjawab. “Nama saya Boma Wanareja Usia
sepuluh tahun.”
Warok
Jangkrik tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya. “Bocah berani,” katanya
dalam
hati. Sejak tadi dia memang sudah merasa kagum akan sikap dan gerak-gerik anak
ini.
“Ki
Kalimanah dan kau bocah bernama Boma Wanareja. Kalian tahu hutan apa yang ada
di belakang kalian?” tiba-tiba Warok Jangkrik bertanya sambil melangkah
mengelilingi ke dua orang itu.
Kalimanah
memang sudah tahu kalau saat itu mereka berada di mana. Sebaliknya Boma
Wanareja sama sekali tidak tahu apa-apa. Karena itu kalau kakeknya kelihatan
mengkerut kecut, si anak malah celingak celinguk melihat-lihat ke dalam hutan.
“Ki
Kalimanah, kalau kau tahu harap menjawab!” Suara Warok Jangkrik berubah keras.
Agak gemetar dan terbungkuk-bungkuk si kakek menjawab. “Kalau… kalau saya tidak
salah menduga, ini adalah hutan Sarnigaluh….” Mata Warok Jangkrik membesar.
Lalu kepala rampok ini tertawa bergelak. “Bagus, kau sudah tahu berada di mana.
Tidak percuma lima puluh tahun jadi perawat kuda Istana kalau tidak tahu apa
nama hutan iñi!”
Lain
halnya dengan Si bocah. Selama ini Boma Wanareja hanya mendengar cerita
berbagai cerita seram tentang hutan itu. Benar tidaknya dia tidak pernah tahu.
Biasanya anak ini punya sikap yang tidak akan percaya akan sesuatu sebelum
menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Itu sebabnya saat itu dalam dirinya
tidak ada rasa takut dan dia berdiri acuh-acuh saja. “Ki Kalimanah, beberapa
wakti lalu tersiar kabar bahwa Sri Baginda ketika selesai berkuda telah
ketinggalan sebuah benda di kantong perbekalan yang tergantung di leher kuda.
Sewaktu kantong itu kau ambil dengan maksud mau diserahkan pada Sri Baginda,
tak sengaja kàntong terjatuh. Sebagian isinya keluar dan jatuh di Iantai
kandang. Salah satu dan benda yang jatuh itu adalah satu lipatan kulit kambing.
Kau membukanya. Kau masih ingat kejadian itu Ki Kalimanah…?” Wajah si orang tua
yang baru saja mulal berseri dan rasa takutnya yang perlahan sirna, mendadak
sontak kambuh kembàli. Ki Kalimanah kelihatan pucat. Degup jantungnya berdetak
keras. Tubuh gemetar. Apa yang ditanyakan kepala rampok di hadapannya itu
merupakan satu rahasia besar menyangkut Kerajaan.
“Ki Kalimanah,
jawab pertanyaanku! Kau masih ingat?” Si orang tua tak segera menjawab. Dia
melirik sebentar pada cucunya. Lirikan ini mempunyai arti bagi Warok Jangkrik.
“Ki
Kalimanah, aku sudah tidak sabar menunggu jawabanmu. Jangan bikin aku marah!”
“Saya…
saya memang ingat, Den,” Ki Kalimanah akhirnya bicara.
“Bagus,
apa yang kau lihat Ki Kalimanah?” Tubuh si orang tua makiri bergetar. Wajahnya
tambah pucat. Bibirnya bergetar.
“Apa yang
kau lihat Ki Kalimanah?” bentak si kepata rampok.
“Kek!”
tiba-tiba Boma Wanareja berseru. “Jangan kau menjawab! Jangan ceritakan apa
yang kau lihat!”
“Jangkrik!”
Warok Jangkrik berteriak marah. Beginilah kalau dia sedang marah. Selalu
menyemprotkan kata-kata “jangkrik” yang membuat dia dijuluki Warok Jangkrik.
Saat itu sang warok bukan cuma berteriak marah tapi juga melangkah ke hadapan
si bocah lalu menjambak rambut Boma Wanareja. Karena anak ini berambut panjang
maka jambakan yang keras oleh tangan yang besar kukuh pasti sakit sekali. Tapi
Boma cuma pencongkan hidung, bukan meringis malah kelihatan seperti mengejek!
“Bocah
jangkrik! Aku bicara pada kakekmu! Sekali lagi kau berani membuka mulut
kupecàhkan kepalamu!”
Warok
Jangkrik lalu bantingkan tubuh anak itu hingga Boma terhenyak ke tanah. Sibocah
menggeliat menahan sakit. Kepalanya digeleng-geleng, mungkinuntuk menghilangkan
rasa sakit dan pusing.
Warok
Jangkrik dekati si kakek lalu kembali ulangi pertanyaannya tadi.
“Apa yang
kau lihat Ki Kalimanah? Apa yang kau lihat dalam lipatan kulit kambing itu….”
“Saya…
saya….”
“Kek!”
seru Boma.
“Ki
Kalimanah!” bentak Warok Jangkrik.
“Saya…
saya melihat gambar….”
“Hanya
gambar?”
“A… ada
tulisan….”
“Jelaskan
gambar apa, tulisan apa?!” bentak Warok Jangkrik.
“Sa… saya
tidak tahu, Den….”
“Jangkrik
kurang ajar! Jelas tadi kau bilang kau melihat gambar dan tulisan. Sekarang
ditanya
bilang tidak tahu!”
“Plaakkk!”
Warok
Jangkrik tayangkan satu tamparan ke muka Kalimanah hingga kakek ini menierit
kesakitan.
Tubuhnya melintir lalu jatuh ke tanah dengan bibir pecah brerdarah. “Manusia
jahat! Kau apakan kakekku!” teriak Boma Wanareja. Tidak menunggu lebih
larna
bocah usia seputuh tahun ini. melompat meneriang ke arah Warok Jangkrik. Tangan
kanannya
menderu ke kepala pimpinan rampok hutan Sarnigaluh ini.
*********************
6
JANGANKAN
bocah sepuluh tahun seperti Boma Wanareja, cucu Ki Kalimanah, seorang
berkepandaian silat tinggi sekalipun tidak bakal mudah menyerang dan
menjatuhkan pukulan, apa lagi ke arah kepala Warok Jangkrik. Melihat Si bocah
menyerangnya marahlah pimpinan rampok hutan Sarnigaluh ini.
“Bocah
jangkrik edan!” maki Warok Jangkrik.
Sekali
tangan kirinya bergerak dia berhasil menangkap lengan kanan Boma Wanareja.
Tetapi satu hal tak terduga teriadi. Kepala rampok itu memang berhasil
menangkap tangan yang memukul, namun begitu tangannya kena dicekal Boma
Wanareja hantamkan tangan kirinya ke muka Warok Jangkrik.
“Bukkk!”
Jotosan
Boma tidak keras dibanding pukulan orang dewasa. Tapi karena yang kena dihajar
adalah bagian hidung Warok Jangkrik yang besar lunak, maka rasa sakit cukup
menyengat. Malah bagian daging cuping hidung yang diganduli anting-anting
bundar terbuat dan emas kelihatan luka serta kucurkan darah.
“Juuaaangkrikkkk!”
teriak Warok Jangkrik menggeledek, menahan sakit dan marah. Sekali tanganhya
bergerak, jotosannya mendarat di dada Boma. Anak lelaki usia sepuluh tahun ini
mencelat sampal tiga tombak, terbanting jatuh di tanah. Itupun masih
terguling-guling sampai beberapa langkah. Sambil pegangi dada dan mengerang
menahan sakit Boma Wanareja terhuyung-huyung bangkit berdiri. Dia merasa ada
sesuatu yang hangat dan agak asin di bibirnya. Ketika diusap dengan belakang
telapak tangan ternyata darah. Anak ini jadi merinding. Seumur hidup baru
sekali itu dia melihat darahnya sendiri.
Boma coba
berdiri, maju tiga langkah ke arah Warok Jangkrik. Megap-megap dia berkata.
“Manusia
jahat! Beraninya hanya pada orang-orang lemah seperti kami! Kau boleh bunuh
diriku! Tapi jangan sakiti kakekku!”
“Bocah
edan! Warok, biar kuhabisi anak keparat ini!” teriak Si Codet. Dia bergegas
handak menghantam batok kepala Boma Wanareja dengan tangan kanannya. ini bukan
pukulan biasa Sekali mengenai sasaran, batok kepala anak itu pasti rengkah!
“Codet!
Biarkan dia!” Warok Jangkrik berkata sambil usap hidungnya yang berdarah.
Kepala rampok ini lalu dekati si kakek.
“Ki
Kalimanah!” bentak sang Warok. “Gambar dan tulisan apa yang kau lihat di
lipatan kulit kambing itu? Jawab! Jangan berani dusta!”
“Sa… saya
tidak tahu Den. Benar-benar tidak tahu. Saya ini buta huruf. Tidak bisa
membaca, ora iso nulis….”
“Jangkrik!”
Warok Jangkrik hentakkan kaki kiriya ke tanah hingga tanah amblas seperempat
jengkal. Dia melangkah mundar-mandir beberapa lamanya lalu berhenti di hadapan
Kalimanah….”
“Menurut
cerita, setelah melihat lipatan kulit kambing, sebelum kau serahkan pada Sri
Baginda, benda itu káu berikan dan kau perlihatkan lebih dulu pada cucumu itu,
yang biasa menolongmu di tempat perawatan kuda Istana. Benar?”
“Benar,
Den…. Tapi dia juga tidak tahu apaapa….” jawab Ki Kalimanah.
“Akan aku
lihat!” kata sang Warok pula. Lalu dia melangkah mendekati Boma Wanareja.
Langsung menjambak rambut si anak. “Lekas bilang, gambar apa dan tulisan apa
yang tertera di kulit kambing itu?!”
Boma
gelengkan kepala. “Saya tidak tahu….”
“Plaakkk!”
Satu
tamparan menghajar mukanya membuat Boma melihat segala sesuatu di sekelilingnya
termasuk si kepala rampok seperti berputar. Kalau sebelumnya jotosan Warok
Jangkrik telah
menimbulkan
luka dalam yang mengucurkan darah dan mulutnya, maka kirii tamparan menambah
banyaknya darah yang mengucur karena salah satu sudut bibirnya tampak pecah.
Boma megap-megap menahan sakit sampai air mata membersit dan ke dua matanya.
“Katakan
apa yang kau lihat! Gambar apa?! Tulisan apa?!” Warok Jangkrik membentak. Boma
geleng-gelengkan kepala. Malah seenaknya dia meludah ke tanah. Entah disengaja
entah tidak yang jelas sebagian semburan Iudah itu membasahi celana hitam dan
kaki Warok Jangkrik.
“Benar-benar
bocah jangkrik kurang ajar! Biar kubunuh kau sekarang juga!”
“Aku
tidak takut mati! Bunuh saja!” sahut Boma dengan beraninya. Lalu dia berpaling
pada Ki Kalimanah yang masih terkapar di tanah. “Kek! Lari kek! Selamatkan
dirimu!” Tapi Ki Kalimanah tidak beranjak dari tempatnya. Malah kakek ini
membalas ucapan cucunya dengan berkata pada Warok Jangkrik.
“Warok,
anak itu tidak punya salah tidak punya dosa! Jika kau ingin membunuh, bunuh
saja aku yang sudah tua dan tak ada guna hidup Iebih lama. Tapi aku mohon
bebaskan cucuku. Aku berjanji tidak akan mendendam sampai ke liang kubur
sekalipun!”
Warok
Jangkrik mendengus. “Bangkai tua sepertimu tidak dibunuhpun akan mati sendiri!”
Sang
Warok kemudiari dekati Boma. Dia letakkan kaki kirinya di atas dada anak ini.
Sekali dorong saja Boma jatuh tertelentang. Belum sempat Boma bergerak, kaki
kanan Warok Jangkrik sudah menginjak dadanya.
“Bocah
sialan! Sekali aku menggerakkan kakiku dadamu akan ambrol! Tulang dadamu akan
amblas, jantungmu hancur! Kau akan mampus’ Tahu?!” Boma Wanareja bukannya takut
malah dia menyeringai.
“Teruskan
niat jahatmu! Aku bersumpah jika mati akan jadi setan dan mengejarmu sampai ke
nerakan sekalipun!”
“Bocah
sombong!” maki Si Codet.
“Biar
kucabut lidahnya agar tahu rasa!” ucap Si Comot.
Warok
Jangkrik tertawa bekakakan mendengar ucapan Boma Wnareja. Diam-diam dalam
hatinya rasa yang tadi sudah mampir di pikiran serta hatinya, kembali
membayang.
“Bocah
jangkrik! Kau boleh saja tidak takut mati! Tapi apa kau tidak kasihan pada
kakekmu
ini? Aku akan menyuruh dua anak buahku menyiksanya sampai tubuhnya jadi lumat.
Dagingnya kemudian akan kujejalkan ke dalam mulutmu!”
Bagaimanapun
hebatnya keberanian Boma, bagaimanapun tabahnya hati anak ini namun mendengar
maksud Warok. Jangkrik hendak menyiksa dan membunuh kakek yang sangat
disayanginya itu, bergetar juga nyali dan hatinya. Tapi karena satu keyakinan
sudah sejak lama tertanam dalam dirinya yakni tidak percaya begitu saja akan
sesuatu sebelum melihat dengan mata kepala sendiri maka anak ini menjawab
ucapan Warok Jangkrik.
“Terserah
padamu. Kau mau menyiksa dan membunuh kakekku, aku tidak perduli. Tapi sampai
kiamat dariku kau tidak bakal mendapat keterangan apa-apa!”
“Bocah
gendeng!” maki Si Codet seraya dorong bagian belakang kepala Boma dengan tangan
kanannya kuat-kuat hingga anak ini tersungkur ke depan.
“Bocah
jangkrik! Kau bilang begitu hah? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana nyalimu!”
Warok Jangkrik berkata.
Tiba-tiba
srettt! Sang Warok hunus golok besar yang selalu disiapkan secara aneh, yakni
di bagian belakarig pinggangnya. Senjata ini di!emparkannya pada Si Codet.
“Tabas leher tua bangka tak berguna itu!” perintah sang Warok.
Anggota
rampok yang bernama Si Codet sambuti golok yang melayang di udara. Lalu sekali
lompat saja dia.sudah berada di hadapan Kalimanah. Tak banyak bicara Si Codet
lantas saja babatkan golok besar berkilat ke arah batang leher Ki Kalimanah.
“Tunggu!
Jangan bunuh kakekku! Saya mau bicarar’ Tiba-tiba Boma Wanareja berteriak.
“Tahan
golok!” berseru Warok Jangkrik.
Walau
kesal Si Codet terpaksa tahan tabasan golok di tangan kanannya. Tubuhnya sampal
terhuyung sakirig derasnya sabatan yang harus ditahannya.
“Bocah
jangkrikt Apa yang hendak kau katakan!” Warok Jangkrik melangkah ke hadapan
Boma Wanareja.
“Saya
akan katakan gambar dan tulisan apa yang ada pada kulit kambing itu. Tapi saya
hanya mau memberi tahu dengan satu syarat!”
“Bocah
sinting!” maki Si Comot.
“Katakan
apa syaratmu?!” Warok Jangkrik bertanya.
“Bebaskan
kakek Kalimanah. Setelah itu baru saya akan memberi tahu.” Jawab Boma.
“Baik.
Saat ini juga kakekmu kunyatakan bebas. Dia tidak akan kami apa-apakan!” kata
Warok Jarigkrik püIa.
Boma
tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
“Jangkrik!
Mengapa kau menggeleng-geleng?!” bentak pimpinan rampok.
“Caranya
tidak seperti katamu. Siapa percaya ucapanmu!”
“Anak
sial! Berani kau menghina pimpinan kami!” Si Comot angkat kaki kanannya. Hendak
ditendangkan ke rusuk Boma.
-“Comot!
Tahan dulu! Aku mau tahu apa maunya bocah jangkrik sialan ini ! Ayo katakan apa
maumu!”
“Naikkan
kakek Kalimanah ke atas kuda yang tertambat di gerobak itu
“Bocah
sial! Enak saja kau bicara! Itu kudaku!” kata sais gerobak yang juga adalah
anak buah Warok Jangkrik. Dia biasa dipanggil dengan sebutan Si Galah Cekirig
karena tubuhnya kurus tapi jangkung.
“Aku akan
turuti perinintaanrnu. Masih ada kemauanmu yang lain?!” tanya Warok Jangkrik
pada Boma Wanareja.
“Warok….”
Si Galah Cekirig hendak menyatakan keberatannya. Tapi di bawah pelototan mata
Warok Jangkrik, sang anak buab akhirnya hanya bisa bungkam walau hatinya
mendumal panjang pendek.
“Naikkan
kakek Kalimanah ke atas kuda sekarang juga. Biarkan dia pergi dan sini….”
“Codet!
Naikkan tua bangka itu ke atas kuda!” perintah Warok Jangkrik.
Si Codet
yang diam-diam jugasemakiri kesal melihat perbuatan pimpmnannYa yang mau saja
tunduk dan ikuti perintah bocah ingusan itu lakukan apa yang diperintah.
Sebelum naik ke atas kuda Ki Kalimanah memandang pada cucunya- lalu berkata.
“Boma, nyawaku tidak ada artinya. Mengapa kau berbuat senekad itu.
PerampokPeramP0k jahat ini akan tetap membunuhmu setelah kau menerangkan gambar
dan tulisan yang kau lihat. Satu hal yang aku tidak suka Bóma. Apa yang kau
lakukan adalah satu pengkhianatan besar terhadap Sri Baginda dan Kerajaan.”
“Kek,
naiklah ke atas kuda. Pergi selagi ada kesempatan,” kata Boma pula. Tanpa ada
lain orang melihat anak ini kedipkan matanya memberi isyarat.
Ki
Kalimanah tetap merasa kawatir. Ditolong oleh Si Codet dia akhirnya naik juga
ke atas kuda. Si Codet menepuk pinggul kuda. Binatang itu melompat dan
menghambur pergi.
“Apa
kemauanmu sudah aku penuhi! Kakekmu sudah pergi! Sekarang lekas terangkan
mengenai gambar dan tulisan yang kau lihat di kulit kambing.” Boma mundur
beberapa langkah lalu bersandar ke roda gerobak di belakangnya. Dia pejamkan
mata seperti tengah rnengingat-ingat. sebenarnya dia tengah mengulur waktu agar
kakeknya bisa pergi jauh dan tak mungkin terkejar oleh para perampok itu.
“Bocah
jangkrik’ Kau mau tidur atau bagaimana?! Jangan berani mempermainkan aku!”
tiba-tiba Warok Jangkrik membentak.
“Kau
telah memenuhi permintaan saya. Kakek Ki Kalimanah dalam perjalanan kembali
pulang dengan selamat. Saya berterima kasih pada kebaikanmu. Jika kau berbaik
hati seperti itu masakan saya tidak akan membalas budimu…?”
“Bocah setan!”
hardik Si Comot. “Tak perlu bicara panjang lebar! Katakan saja gambar dan
tulisan apa yang kau lihat. Cepat!”
“Harap
kalian mau bersabar,” jawab Boma.
“Saya
harus mengingat-ingat dulu. Saya tidak mau keliru memberi tahu.”
“Aku beri
kau waktu, tapi tidak terlalu lama! Dan ingat! Awas kalau kau menipu! Kucincang
tubuhmu sampai lumat!”
Boma
mengangguk. Punggungnya disandarkan lagi di roda gerobak. Matanya kembali
dipejamkan. Setelah merasa kakeknya sudah cukup jauh maka diapun membuka mata
lalu berkata.
“Gambar
dan tulisan itu. Kecil tapi cukup jelas. Saya sempat melihat walau cuma
sebentar karena Kakek cepat-cepat mengambilnya. Di atas kulit kambing kering
itu ada empat gambar. Kalian mungkin tidak percaya. Empat gambar yang saya
lihat adalah gambar kalian….”
“Hah!
Jangkrik’ Apa?!” Warok Jangkrik terkejut. Keluarkan suara setengah berseru.
“Warok,
bocah ini mengada-ada!” kata Si Comot.
“Dia
tengah mempermainkan kita!” ujar Si Galah Jangkung.
“Sejak
tadi aku tidak percaya padanya. Lebih baik dihajar sampai dia bercerita apa
adanya….”
“Saya
memang bercerita apa adanya!” kata Boma pula. “Empat orang dalam gambar itu
wajahnya sama dengan kalian. Apa kalian mau saya berdusta mengatakan empat
orang Itu bukan kalian?!”
Warok
Jangkrik dan tiga anak buahnya saling pandang sesaat.
“Sudah,
teruskan keteranganmu. Kau melihat gambar empat orang, dengan wajah seperti
kami. Lalu apa yang tertulis di bawah empat gambar?” tanya Warok Jangkrik.
“Yang
saya baca waktu itu berbunyi begini Empat rampok jahat terkutuk. Calon puntung
api neraka!”
“Jangkrik
jahanam!” teriak Warok Jangkrik marah bukan main.
“Apa
kataku! Kita terlalu mempercayai bocah setan ini!” kata Si Comot.
“Kita
sudah kena ditipu!” sambung Si Galah Jangkung.
“Biar aku
cincang dia saat ini juga!” kata Si Codet yang masih memegang golok milik Warok
Jangkrik.
Saat itu
Boma Wanareja yang sejak tadi mengintai kelengahan orang untuk melarikan diri,
melihat kesempatan. Segera saja anak ini melompat ke kiri, menghambur lari.
Tapi baru kabur empat Iangkah pundaknya sudah dicekal si Galah Jangkung. Begitu
kena dicekal rampok ceking jangkung ini lemparkan Si bocah ke arah Si Codet.
Selagi Boma terhuyung-huyung, Si Codet bacokkan goloknya.
“Wuttt!”
Yang
diarah tepat pertengahan kening dan batok kepala Boma.
SESAAT
kepala Boma Wanareja nyaris akan terbelah oleh bacokan golok di tangan Si Codet
tiba-tiba Warok Jangkrik berteriak.
“Codet!
Tahan dulu!”
Seperti
tadi untuk ke dua kalinya anggota rampok ini terpaksa tahan bacokannya, itupun
hampir melesat. Bagian tajam golok besar di tangannya masih sempat mengikis
putus rambut di kening kanan Boma. Anak ini merasa tengkuknya sedirigin es.
Lututnya
go ah. Muka pucat tubuh bergetar.
“Warok!
ini kali kedua kau memberi perintah seperti itu! Apa yang ada di pikiranmu?” Si
Codet ajukan pertanyaan yang jelas menuniukkan rasa tidak senangnya.
“Aku tak
ingin bocah ini mampus terlalu cepat! Siksa dia lebih dulu sampai tidak tahan
dan akhirnya memberi tahu kita gambar dan tulisan apa sebenarnya yang tertera
di kulit kambing
milik Sri
Baginda itu!” Warok Jangkrik melangkah mendekati Si Codet. Setelah dekat dia
berbisik.
“Terus
terang aku kagum dengan keberanian bocah satu ini. Usianya kira-kira dua tiga
tahun di atas anakku Si Praptimadasari. Aku berniat menjodohkan mereka berdua.”
–
Si Codet
sampai menganga karena tidak percaya mendengar apa yang baru dikatakan
pimpinannya secara berbisik-bisik. Sementara dua kawannya yang lain ingin tahu
apa yang barusan dibisikkan Warok Jangkrik pada Si Codet.
“Warok,
aku tidak tahu mau berbuat apa. Harap kau saja yang menangani bocah ini….” kata
Si Codet.
“Kau
lihat pohon besar itu?” Warok Jangkrik menuniuk pada sebuah pohon besar yang
banyak dahannya. “Di gerobak ada tali. Cukup panjang. Gantung anak itu kaki ke
atas kepala ke bawah! Biarkan dia tergantung seperti itu sampai akhirnya dia
mau bicara!”
“Mencari
pekeriaan yang tidak-tidak saja Warok. Padahal tanpa susah-susah sekali tabas
saja beres sudah!” kata Si Comot. Si Galah Jangkung membenarkan. Si Codet yang
memegang golok diam saja. Akhirnya dia berikan golok pada Warok Jangkrik lalu
melangkah mendekati gerobak. Di dalam gerobak dia memang menemukan seutas tali
kasar dan panjang. Dengan cepat Si Codet membuat buhulan pada salah satu ujung
tali. Lalu ujung satunya dilemparkan ke salah satu cabang pohon besar. Pada
saat itu teriadilah satu hal yang benar-benar tidak terduga dan hampir tidak
dapat dipercaya!
Ujung
tali yang telah dibuatkan buhul dan tergeletak di tanah tiba-tiba seperti
hidup, laksana seekor ular melibat pergelangan kaki kanan Si Codet.
“Hai!” Si
Codet berteriak kaget. Kaki kirinya ditendang-tendangkan agar libatan tali
terlepas. Baik Warok Jangkrik maupun anggota rampok yang lain menyangka Si
Codet tengah bergurau. Tapi mereka semua jadi berseru terkejut ketika tiba-tiba
ujung tali yang lain seperti ada yang menarik, membuat kaki Si Codet yang
dilibat tali pada ujung satunya tersentak hingga anggota rampok ini terjengkang
lalu jatuh terbanting. Dalam keadaan seperti itu ujung tali di atas pohon
kembali bergerak dengan cepat hingga tubuh Si Codet kirii terbetot naik lalu
tergantung di udara kaki ke atas kepala ke bawah. Ujung tali seperti ada tangan
yang tak kelihatan dilibat kencang di atas cabang.
“Tolong!
Hai! Tolong!”
Si Codet
menjerit tiada henti. Dia berusaha menyambar tali yang mengikat pergelangan
kakiriya. Tapi tidak berhasil malah kini tubuhnya bergoyang-goyang kian ke
mari, membuat ikatan pada kaki kiriya bertambah kuat. Sakitnya bukan main.
Jerit Si Codet semakin keras. Para perampok kirii sadar kalau teman mereka
tidak bergurau atau main sulap.
“Jangkrik!
Apa-apaan ini?!” teriak Warok Jangkrik. Golok di tangan kanannya dilemparkan ke
udara. Senjata itu melesat lalu trasss! Menebas tali sejarak lima jengkal di
atas kaki kanan Si Codet. Begitu tali putus tubuh Si Codet jatuh deras ke
bawah. Si çodet berusaha jungkir balik agar jatuh ke tanah kaki lebih dulu.
Tapi karena terlalu bingung gerakannya salah. Malah memperderas jatuhnya.
Ketika kepalanya menghantam tanah yang keras terdengar suara seperti berderak.
Warok Jangkrik dan dua anak buahnya sama-sama palingkan kepala, tidak berani
melihat apa yang terjadi. Lalu seperti diberi aba-aba ke tiganya menjauh, takut
kalau-kalau tali yang masih menjulai di sebelah sana tibatiba berubah hidup dan
melibat kaki mereka!
Si Codet
terkapar di tanah. Kepala rengkah! Darah mengucur membuat alur merah panjang di
tanah. Boma keluarkan suara seperti mau muntah dan tutupkan lengan kirinya di
depan mata. Saat itu tiba-tiba lapat-lapat mengumandang satu tawa mengekeh
seolah datang dari rimba belantara Sarnigaluh. Makin lama suara tawa itu makin
keras membuat tengkuk merinding. Jangankan Boma si bocah kecil, Warok Jangkrik
dan anak buahnya saja jadi tercekat pucat. Di bawah pohon di mana tali maut
masih menjulai muncul satu bayangan putih. Mula-mula berbentuk samar seperti
asap. Saat demi saat berubah jelas. Maka tampaklah satu sosok orang
sangat
tua berpakaian selempang kain putih. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup
rambut putih panjang yang menjulai, kumis serta janggut juga berwarna putih
laksana kapas.
Warok
Jangkrik tersurut mundur. Si Comot dan Si Galah Jangkung bergerak ke balik
gerobak lalu bergabung dengan pimpinan mereka. Dalam terkesiap tiga penjahat
ini mengira tengah berhadapan dengan hantu penghuni hutan Sarnigaluh. Boma
Wanareja yang lututnya goyah berusaha gerakkan kaki. Tapi dua kaki kirinya
laksana diganduli batu hingga bocah ini tetap berdiri di tempatnya dengan lutut
bergoyang dan tubuh gemetar.
Sesaat
berlalu. Suara tawa sirap. Warok Jañgkrik muncul keberanian. Mulutnya
membentak.
“Mahluk
putih di bawah pohon. Siapa kau? Apa kau yang barusan membunuh anak buahku?!”
Mahluk di
bawah pohon tertawa bergetak.
“Warok
Jangkrik, aku tidak membunuh siapa-siapa. Kau sendiri yang membunuh anak
buahmu! Semua orang di tempat ini sama menyaksikan. Kau menabas tali dengan
golok hingga orang itu jatuh. Kepaa pecah menghantam tanah. Mati! Bukan begitu
kejadiannya? Ha… ha… ha!”
“Jangkrik!”
maki sang Warok.
“Jangkrik?”
ucap mahluk di bawah pohon besar lalu kembali tertawa bergelak.
“Ya
jangkrik! Kau pasti jangkrik hantu rimba belantara Sarnigaluh!” jawab Warok
Jangkrik.
Mahluk di
bawah pohon makin keras suara tawanya hingga tanah terasa bergetar. Ranting
pepohonan bergoyang, daun-daun berdesir saling gesek.
Tiba-tiba
mahluk ini gerakkan tangan. Tali yang masih menjulai panjang di atas pohon
mendadak sontak bergerak hidup lalu melesat ke arah Warok Jangkrik dan dua anak
buahnya. Demikian cepatnya sehingga sebelum sadar apa yang terjadi, sosok Warok
Jangkrik, Si Comot dan Si Galah telah terikat erat. Lalu dari arah pohon besar
terdengar si mahluk serba putih berucap.
“Sekarang
giliran kalian bertiga! Aku tidak punya waktu banyak untuk ményelesaikan kalian
satu persatu! Jadi kalian biar mati bersama. Agar ada teman dalam perjalanan
menuju neraka!” Terdengar suara dan arah pohon besar. Lalu sett… sett… sett!
Sosok tiga orang yang terikat jadi satu itu perlahan-lahan naik ke udara, kaki
ke atas kepala ke bawah!
“Jangkrik!
Jangan!” teriak Warok Jangkrik ketakutan setengah mati. Dua anak buahnya juga
ikut berjeritan. Keringat dirigin membasahi sekujur tubuh dan pakaian. Seumur
hidup mungkin baru kali ini mereka dilanda rasa takut begitu rupa.
“Tobat!
Turunkan! Turunkan!”
“Ampunnnn…!”
-.
Boma
Wanareja yang melihat kejadian itu tanpa sadar tiba-tiba keluarkan teriakan.
“Kek!
Jangan! Jangan mereka dibunuh! Lepaskan! Lepaskan saja!”
Aneh.
Suara tawa mahluk di bawah pohon mendadak berhenti. Lebih aneh lagi tiga sosók
rampok yang tadi sudah naik ke udara setinggi setengah tombak kini
perlahan-lahan turun kembali ke bawah hingga Warok Jangkrik dan kawan-kawañnya
menjejakkan kaki masing-masing di tanah tapi masih dalam keadaan dilibat
terikat tali.
“Tiga
manusia sesat dan jahat!” Dan arah pohon terdengar suara mahluk serba putih.
“Bocah
yang hendak kalian bunuh justru meminta pengampunan bagi diri kalian! Ini satu
pelajaran berharga bagi kalian. Ingat hal itu baik-baik. Saat ini kulepaskan
kalian. Tapi ingat, jika kalian masih menempuh hidup jahat, aku akan muncul
kembali untuk menghukum kalian!”
“Sreettt!”
Tali yang
melibat Warok Jangkrik dan anak buahnya tiba-tiba bergerak membuka. Ketiga
orang ini serta merta melompat, siap untuk kabur. Tapi di hadapan Boma
tiba-tiba Warok Jangkrik jatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut berulang
kali. Dua anak buahnya meniru apa yang diperbuat pimpinan mereka.
“Bocah
jangkrik! Terima kasih… terima kasih! Kau telah menyelamatkan selembar nyawa
kami….”
Habis
berlutut ke tiga orang itu melompat bangkit. Melirik ke arah pohon besar.
Sementara Boma terbengong-bengong Warok Jangkrik dan dua anak buahnya tanpa
tunggu lama segera melompat ke atas tiga ekor kuda yang ada lalu menggebrak
kabur dan tempat itu.
Tertinggal
seorang diri di dekat mayat Si Codet yang pecah kepala dan masih mengucurkan
darah dan
pecahan kepalanya membuat Boma Wanareja —walau bagaimanapun tabahnya anak ini,
malah tadi mampu membuka mulut meininta agar tiga perampok jangan dibunuh— kali
ini nyalinya hampir putus. Lebih-lebih ketika dilihatnya mahluk serba putih di
bawah pohon besar bergerak melangkah ke arahnya, dengan langkah yang bukan
seperti orang biasa berjalan. Mahluk ini melangkah seolah tidak menginjak
tanah. –
Sesaat
kemudian mahluk serba putih itu sudah berdiri di hadapan Boma.
“Kek….”
si bocah keluarkan ucapan. Suaranya terdengar tercekat karena lidahnya serasa
kelu. “Saya… saya bukan anak jahat. Jangan… jangan saya diapa-apakan Kek. Aduh,
saya pingin kencing….”
Dan balik
rambut putih yang menjulai panjang menutupi kepala dan muka mahluk serba putih
terdengar suara tawa perlahan. Mahluk ini kemudian gerakkan kepala. Rambut
putih yang tadi menutupi wajahnya tersingkap ke samping. Boma kini dapat
melihat jelas wajah orang itu. Tadinya dia menyangka akan melihat satu wajah
menyeramkan. Ternyata yang disaksikannya adalah wajah seorang tua jernih
klimis, dihias sepasang mata bening tajam di bawah dua alis mata putih.
Keseluruhan wajah melukiskan sifat arif bijaksana penuh wibawa.
“Kek…
kau… kau ini siapa…?” tanya Boma Wanareja.
“Boma Wanareja….”
Ternyata si orang tua tahu nama si bocah yang membuat Boma terkejut dan heran.
“Aku sudah lama mengikuti dirimu. Memperhatikan tindak tandukmu. Sayang
kita
tidak bisa bicara banyak dan panjang di tempat ini. Karena itu aku akan
mengajak kau ke satu tempat….” Sambil bicara orang tua itu letakkan tangan
kirinya di bahu kanan Boma. Si bocah merasa ada hawa sejuk mengalir memasuki
tubuhnya, berkumpul di dada. Saat itu juga rasa sakit akibat pukulan Warok
Jangkrik serta merta lenyap.
Mengerti
kalau orang telah menyembuhkannya secara luar biasa Boma rundukkan tubuh dan
berkata. “Orang tua, terima kasih….”
“Eh, kau
berterima kasih untuk apa?”
Boma
tersenyum. “Bukankah Kakek barusan telah menyembuhkan cidera luka dalam saya
akibat pukulan kepala rampok itu?”
Si orang
tua tertawa lebar. Dia angguk-anggukkan kepala. Lalu berkata.
“Saatnya
aku pergi membawamu, Boma.’
“Kek, kau
mau mengajak saya ke mana? Saya… saya ingin cepat-cepat pulang ke Kotaraja….”
“Kau
nanti akan pulang ke Kotaraja. Tapi tidak sekarang….”
“Kek,
saya tidak mau ikut bersamamu. Saya punya kakek yang harus saya bantu….”
Wajah
jernih si orang tua tersenyum.
“Kakekmu
itu. Bukankah dia Kalimanah, perawat kuda Raja di Keraton?”
“Kau… kau
kenal kakek saya?”
Si orang
tua mengangguk. “Aku juga telah mendapatkan izin dan dia untuk membawamu.”
Boma
unjukkan wajah tidak percaya.
“Kau
tidak percaya?” tanya si orang tua. “Coba kau lihat ke arah kiri sana….”
Boma
palingkan kepala ke arah yang dikatakan si orang tua. Di ujung sana, di dekat
serumpunan semak belukar Boma melihat kakeknya duduk di alas seekor kuda, kuda
milik anggota rampok yang tadi dipergunakannya sewaktu pergi kembali ke
kotaraja. Kalimanah angguk-anggukkan kepala lalu lambaikan tangan pada Boma.
“Aneh,”
membatin Si bocah. “Mengapa Kakek masih ada di sini. Padahal seharusnya dia
sudah jauh menuju Kotaraja.”
“Apa
sekarang kau sudah percaya? Kau saksikan sendiri. Bukankah anggukan kepala dan
lambaian tangan kakekmu itu pertanda dia menyetujui dan memberi izin?”
“Saya,
saya tidak berpendapat seperti itu.” Jawab Boma yang dalam setiap hal selalu
ingin meyakinkan diri lebih dulu. “Saya harus bicara dulu dengan kakek….”
“Tidak
perlu, kakekmu sudah pergi,” kata orang tua serba putih. Boma memandang lagi ke
arah di mana tadi kakeknya berada di atas kuda. Memang benar. Sang kakek dan
kudanya tak ada lagi di tempat semula.
“Kalau
begitu saya harus menyusulnya….” kata Boma seraya hendak tinggalkan tempat itu.
Tapi
tiba-tiba si orang tua menyambarnya. Sesaat kemudian anak ini merasa dirinya
dibawa melayang. Selagi Boma kebingungan atas apa yang terjadi orang tua yang
memanggulnya keluarkan suara.
“Boma,
sebenarnya aku sudah berada di tempat tadi sejak kau dan kakekmu diturunkan dan
atas gerobak. Aku ingin bertanya, mengapa para penjahat itu ingin mencelakaimu
dan Kalimanah?”
“Mereka
menanyakan sesuatu,” jawab Boma.
“Sesuatu
apa?”
“Gambar
dan tulisan yang terdapat di selembar kulit kambing kering.”
“Hemmm…
Rupanya gambar dan tulisan itu sangat besar artinya bagi Warok Jangkrik dan
komplotannya. Kalau aku boleh tahu, apa gambar dan tuilsan yang tertera di
kulit kambing itu?”
“Orang
tua, tadi kau bilang sudah berada di tempat itu sejak saya dan kakek diturunkan
dan gerobak. Kalau benar, berarti kau mendengar semua ucapan kami. Sekarang
mengapa masih bertanya?”
Si orang
tua tertawa lebar. “Anak, kau ternyata cerdik juga. Aku cuma ingin menguji.”
“Begitu?
Jadi kakek juga ingin tahu gambar dan tulisan di kulit kambing?”
“Kalau
kau mau mengatakan.”
“Baik. Di
kulit kambing itu ada gambar Warok Jangkrik dan tiga anak buahnya. Lalu ada
tulisan di bawah gambar….”
Si orang
tua tertawa gelak-gelak.
“Sudah-sudah!
Aku sudah tahu itu semua karena sempat mendengar apa yang kau katakan pada para
perampok. Tapi apakah betul gambar dan tulisan itu yang sebenarnya kau lihat di
kulit kambing?”
Boma
Wanareja terdiam mendengar pertanyaan orang tua yang membawanya berlari laksana
terbang.
“Kau
tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya padaku?”
“Kek, kau
telah menolong saya. Sepantasnya saya membalas budi. Tapi kalau balasan yang
kau pinta adalah keterangan tentang gambar dan tulisan yang sebenarnya, saya
tidak dapat memberi tahu.”
“Mengapa?”
“lni
menyangkut satu rahasia besar dan Kerajaan.”
“Kalau
kau mengatakan tidak ada yang tahu. Saat ini hanya kita berdua.”
“Kek, kau
mungkiri lupa. Tuhan melihat dan mendengar segala perbuatan kita.”
Kini si
kakek yang jadi terdiam.
“Jadi kau
tidak mau mengatakan barang sedikitpun rahasia itu?”
“Saya
tidak mau berkhianat pada Sri Baginda dan Kerajaan.” Jàwab Boma.
“Kau anak
baik, kau anak baik. Sudahlah, aku tidak akan menanyakan tentang gambar dan
tulisan itu lagi.” Si kakek mempercepat larinya. Boma merasa seperti terbang.
Dinginnya angin membungkus ubun-ubun dan daun telinganya.
“Kek….”
tiba-tiba Boma berkata.
“Hemm….
Ada apa?”
“Saya
jadi tidak enak….”
“Apa yang
membuatmu tidak enak?” “Karena saya tidak mau memberitahu tentang gambar dan
tulisan di kulit kambing itu.”
“Kau
berubah pikiran, bocah cerdik?”
“Berubah
tidak tapi…. Maksud saya mungkiri saya bisa memberitahukan tapi secara
tersamar….”
“Kalau
begitu coba kau katakan.”
“Gambar
dan tulisan di kulit kambing itu merupakan petunjuk di mana harta karun milik
Kerajaan disimpan….”
“Aahhh….”
Si kakek keluarkan suara tercekat. “Pantas para perampok inginkan keteranganmu.
Pantas pula kau merahasiakan hal itu.”
“Kek….”
“Apalagi?”
“Saya
meinilih pulang ke Kotaraja daripada ikut denganmu.”
“Baiklah,
aku akan membawamu pulang,” jawab Si kakek.
Boma
merasakan ada usapan jan-jan lembut di tengkuknya. Entah mengapa sesaat
kemudian Boma merasa matanya jadi berat mengantuk. Bocah ini menguap
lebar-lebar. Di lain saat Boma sudah tertidur pulas di atas bahu kanan si orang
tua.
*********************
7
KIAI GEDE
TAPA PAMUNGKAS menatap wajah anak usia lima belas tahun itu, yang dibalas pula
dengan tatapan mata bening oleh si anak. Pada wajah masing-masing jelas
kelihatan ada rasa haru. Setelah mengusap janggutnya yang putih menjulai
pahanya yang duduk bersila, orang tua itu berucap.
“Boma,
usiamu sekarang lima belas tahun. Berarti kau sudah berada di puncak Gunung
Bismo ini selama jima tahun. Waktu lima tahun berlalu singkat untuk
menggembleng seseorang meniadi pendekar sakti mandraguna. Karena itu pada hari
pelepasanmu ini aku ingin menyampaikan satu pesan, jika tak mau kau anggap
sebagal perintah. Jauh di sebelah barat ada sebuah gunung bernama Gunung Gede.
Di puncaknya diam seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Weni, berjuluk
Sinto Gendeng. Pergilah ke sana. Aku akan membekalimu dengan sepucuk surat yang
sudah sejak lama aku siapkan. Cari dan temui Sinto Gendeng sampai dapat. Kalau
dia tidak ada di tempat kediamannya, kau harus menunggu sampai dia kembali.
Walau kau harus menunggu sampai kiamat sekalipun, jangan pergi dan tempat itu
sebelum kau menemui Si nenek”
“Kakek,
orang sakti di puncak Gunung Gede bernama Sinto Gendeng itu, siapakah dia
sebenarnya? Mengapa saya harus ke sana menemuinya?” Boma Wanareja yang kini
telah jadi seorang pemuda tanggung ajukan pertanyaan.
“Dia
adalah salah seorang muridku. Kau menemuinya karena aku hanya memberikan ilmu
tenaga dalam dan hawa sakti padamu. Sebaliknya sesual permintaan yang aku
tuliskan di dalam surat, dan Sinto Gendeng kau akan mendapat pelajaran ilmu silat
tingkat tinggi serta beberapa pukulan sakti. Salah satu di antaranya adalah
Pukulan Sinar Matahari. Jika kau rajin melatih diri, paling cepat kau baru bisa
menguasai ilmu pukulan sakti itu dalam waktu empat tahun.” “Lumayan lama kek.
Saya masih ada satu pertanyaan. Nenek sakti di puncak Gunung Gede itu berjuluk
Sinto Gendeng. Apakah dia benar-benar gendeng alias sinting? Kalau betul,
apakah Kakek tidak keliru mengirim saya pada orang seperti itu?” Kiai Gede Tapa
Pamungkas tersenyum.
“Sinto
Gendeng bukan manusia gendeng atau sinting. Tapi jangan heran, sifat dan
kelakuannya sewaktu-waktu bisa lebih dan gendeng dari orang gendeng dan lebih
sinting dari orang sinting.”
“Saya
tidak mengerti,” kata Boma pula.
“Kau akan
mengerti setelah bertemu dengan dia….”
‘Setelah
saya menemui nenek itu, dan berjodoh mendapatkan ilmu silat serta pukulan sakti
Sinar Matahari, apakah saya harus kembali ke sini menemuimu Kek?” tanya Boma.
“Tidak
usah. Aku akan menyusulmu ke Gunung Gede. Sebenarnya aku ingin mengadakan
perjalanan bersamamu tapi ada satu hal penting yang segera harus aku lakukan.
Lagi pula puncak Gunung Bismo di mana lima tahun pernah kau diami ini hanya
akan tinggal sebagai kenangan.
“Maksud
Kakek?” tanya Boma.
“Aku tak
pernah menetap selama-lamanya di satu tempat. Kediamanku yang sebenarnya adalah
di sebuah telaga yang juga terletak di puncak Gunung Gede, tapi berada jauh
dari kediaman Sinto Gendeng.” Kiai Gede Tapa Pamungkas diam sesaat lalu.
melaniutkan. “Boma, Gunung Gede jauh dan sini. Sebaiknya kau usahakan mencari
kuda tunggangan di desa di kaki gunung. Berjalan sejauh itu seorang diri,
apakah kau tidak takut?”
Boma
Wanareja tersenyum. “Selama masih berada di bumi Tuhan, ke manapun pergi saya
tidak akan merasa takut, Kek.”
Kini si
kakek yang tersenyum. “Anak ini luar biasa….” katanya dalam hati. “Ada satu hal
yang Sejak lama ingin kutanyakan. Ingat peristiwa lima tahun lalu di hutan
Sarnigaluh? Waktu aku hendak menghukum Warok Jangkrik dan dua anak buahnya, kau
mencegah aku menghabisi
mereka.
Padahal mereka telah berlaku jahat dan ganas terhadap kau dan kakekmu. Mengapa
kau berbuat begitu?”
“Saat
itu…. Saya merasa apa gunanyamembunuh orang. Mungkin bukan pahala yang didapat
malah sebaliknya mungkin kemurkaan dan Gusti Allah. Lagi pula, kalau mereka
bisa dibuat sadar bukankah itu satu pekerjaan sahabat baik? Menghukum seseorang
belum tentu membuatnya sadar. Tapi mengampuninya mungkin bisa menyentuh
kesadaran yang selama ini jauh di lubuk hatinya, membuat mata hatinya terbuka
lalu menempuh hidup di jalan yang lurus dan benar.”
Dua alis
putih di atas sepasang mata jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas berjingkat ke atas.
Hatinya membatin “Ucapan seperti ini belum tentu aku dengar dan seorang dewasa
sekalipun. Anak ini benar-benan luar biasa. Aku tidak salah memilihnya sebagai
murid walau untuk waktu begitu singkat.”
“Boma,
aku senang sekali mendengar semua ucapanmu tadi. Namun satu hal harus kau
ingat. Dalam hidup ini kepercayaan bukan segala-galanya. Kelak kau akan menemui
kedustaan dan keculasan serta pengkhianatan datang dari orang-orang di dekat
kita yang same sekali tidak pernah kita duga.”
“Karena
itu Kek,” kata Boma pula, “kepercayaan itu harus kita iringi dengan doa képada
Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, agar orang yang kita harapkan bisa sadar itu
ditolong Gusti Allah agar benar-benar keluar dan kesesatan”
Kial Gede
Tapa Pamungkas terdiam sesaat. Berbagai, perasaan nuncul dalam lubuk hatinya.
Rasa senang, kagum bahkan tidak bisa percaya kalau anak seusia Boma bisa
mengeluarkan kata kata seperti itu. Untuk beberapa lamanya onang tua ini duduk
bersila dan usap-usap janggutnya yang panjang sambil tak puas-puasnya menatap
wajah bocah yang duduk di hadapannya.
“Kek,
nenek sakti di puncak Gunung Gede yang harus saya temui itu, seberapakah
usianya. Pasti sudah tua sekali ya Kek?”
‘Aku tak
bisa menyebut pasti,” jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. “Rasa-rasanya jauh di
atas delapan puluh. Mungkin saja sudah seratusan…. Mengapa kau tanyakan umur
nenek itu, Boma?” “Maaf Kek, saya hanya menghitung-hitung. Kalau nenek Sinto
Gerideng yang jadi murid Kakek saja usianya sudah lebih delapan puluh tahun,
talu kakek sendiri sebagai gurunya berusia berapa?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum lebar. Dipegangnya kepada Boma Wanareja seraya berkata
“Buat apa menghitung-hitung usia orang lain? Lebih bermanfaat menghitung usia
diri sendiri. Menghitung sambil bertanya dalam hati. Kebajikan dan ibadah apa
saja yang telah kita lakukan selama usia itu….”
Boma ikut
tertawa dan anggukkan kepala. “Terima kasih untuk nasihat itu, Kek,” kata bocah
lima belas tahun itu.
Dan balik
selempang kain putih yang jadi pakaiannya Kiai Gede Tapa Pamungkas mengeluarkan
dua helai daun lontar kering yang telah dibubuhi tulisan. Benda itu
diberikannya pada Boma seraya berkata. “Serahkan surat ini pada Sinto Gendeng.
Pergilah sekarang juga. Aku akan menyusulmu begitu urusanku selesai. Begitu kau
berangkat pergi, lupakan tempat ini. Anggap tempat di puncak Gunung Bismo di
mana kau pernah tinggal bersamaku selama lima tahun sebagai sesuatu yang tak
pernah ada.”
Boma
mengambil dua helai daun lontar yang diberikan sang guru. Meletakkan di
pangkuannya lalu menyalami dan mencium tangan Krai Gede Tapa Pamungkas.
Kepalanya dirundukkan setengah diletakkan di atas pangkuan Si orang tua.
“Anak
baik, murid baik. Bocah luar biasa..” kata si orang tua dalam hati berulang
kali. (Mengenai riwayat lengkap Kiai Gede Tapa Pamungkas silahkan baca serial
Wiro Sableng beriudul “Pedang Naga Suci 212”.)
CAHAYA
fajar yang menyingsing jatuh di atas telaga, membuat tatanan warna indah. Kicau
burung-burung masih terdengar di sekitar situ. Lalu, di bawah satu pohon besar
ada suara orang berucap.
“Malam
Jum’at Kliwon sudah berakhir. Orang yang kita tunggu tidak muncul.”
Yang
bicara ini adalah seorang kakek bungkuk berpakaian rombeng, memiliki muka
sepucat mayat, angker membayangkan kelicikan dan maut. lnilah manusia berjuluk
Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, dedengkot rimba persilatan golongan hitam
yang diketahui sebagai guru Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212
Wiro Sableng.
Di
sebelahnya berdiri seorang nenek bertubuh tinggi semampai yang walaupun sudah
begitu lanjut usia tapi masih berdandan menor. Bibir diberi gincu merah
menyala, alis kerang hitam, bedak tebal, pipi yang keriput diberi warna merah.
Di tangan kanannya nenek ini memegang sebilah golok bersarung perak. Si nenek
memandang dulu sekeliling telaga baru membuka mulut menjawab ucapan Si Muka
Bangkai.
“Kita
sudah menunggu di pondoknya selama dua pekan. Malam Jum’at Kliwon kita mendekam
di sini sampai pagi begini. Karena biasanya jika nenek keparat itu berada di
sekitar sini pasti dia akan muncul di salah satu tepian telaga üntuk bersamadi.
Ternyata dia tidak munculmuncul. Berarti si keparat itu memang tidak sedang
beradà di sekitar kawasan Gunung Gede….”
“Lalu
perlu apa kita berlama-lama di tempat ini? Lebih baik segera saja angkat kaki
dan sini. Bukankah katamu kau masih banyak urusan yang lain?” ujar Si Muka
Bangkai pula. Dia memandang ke langit. “Ada awan mendung di langit sebelah barat.
Pertanda lebih baik kita meninggalkan tempat ini sekarang juga sebelum hujan
turun.”
Tapi si
nenek menor gelengkan kepala.
“Tunggu
sampai tengah han. Jika dia tidak datang baru kita pergi. Aku Nyi Ragil
Tawangalu percuma dijuluki Si Manis Penyebar Maut kalau tidak bisa membunuh
manusia satu itu. Dendam kesumat sudah karatan dalam badanku ingin membantai
Sinto Gendeng….”
“Gara-gara
di masa muda dia pernah merampas kekasihmu lalu meninggalkannya begitu saja…?”
Tampang
si nenek kelihatan sengit. Hidungnya keluarkan suara mendengus. “Kejadian Sinto
Gendeng merampas kekasihku memang menyakitkan. Tapi bukan itu saja kesalahan
tua bangka setan itu.
Dia
pernah mengobrak-abrik dua perkumpulan rahasia yang aku bentuk untuk
meruntuhkan kerajaan. Semua orang-orangku habis dibunuhinya.Yang masih hidup
diserahkan pada Kerajaan lalu digantung. Aku sendiri kalau tidak sempat
sembunyikan diri di kawasan selatan selama dua tahun tak bakal selamat….”
Si Muka
Bangkai perhatikan golok besar di tangan si nenek. “Golok di tanganmu itu, yang
kau ben nama Si Penjarah Nyawa, apa betul itu satu-satunya seniata yang mampu
menghabisi Sinto Gendeng?”
“Aku
punya puluhan, bahkan bisa membuat ratusan golok seperti ini. Kesaktian dan
kehebatannya sama. Setiap golok hanya dipergunakan satu kali. Untuk menghabisi
satu nyawa. Golok yang satu ini memiliki daya bunuh dua tiga kali lipat dan
yang sudah-sudah. Karena itu sengaja kupersiapkan untuk menghabisi Sinto
Gendeng. Akan kutancapkan dalam-dalam di jantungnya agar dia tahu rasa
bagaimana sakitnya kalau kekasihnya dirampas orang….”
“Setahuku
bukankah dia juga pernah ditinggal mentah-mentah oleh salah seorarig
kekasihnya? Kalau tidak salah oleh Tua Gila Dan Andalas….”
Nenek
berdandan menor berjuluk Si Manis Penyebar Maut menyeringai. “Itu salah satu
hukum karma baginya. Tapi manusia seperti dia mana ada jeranya. Laki-laki hanya
sebagai permainan baginya. Buktinya sampai saat ini dia tidak pernah
kawin-kawin! Lagi pula….” Si Muka Mayat angkat tangannya memberi isyarat.
“Tahan
bicaramu. Aku mendengar ada suara orang datang….”
Baru saja
Si Muka Bangkai berucap tiba-tiba dan arah telaga sebelah timur berkelebat satu
bayangan putih.
“Astaga!”
seru Si Muka Bangkai. “Kata orang kalau baru disebut orangnya muncul berarti
orang itu akan panjang umur! Nyi Ragil, lihat siapa yang muncul di seberang
telaga sana.” Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut memandang ke
seberang telaga sebelah timur. Saat itu awan mendung di langit barat telah
menebar hingga keadaan di telaga dan sekitarnya menjadi agak redup.
“Kata
orang memang begitu. Tapi kata aku Nyi Ragil malah sebaliknya. Sinto Gendeng
tidak muncul. Orang itu pengganti nyawanya. Bukankah dia Si Tua Gila alias
Sukat Tandika kekasih di masa muda yang ditinggal mentah-mentah oleh Sinto
Gendeng?”
Saat itu
di seberang telaga sebelah timur kelihatan seorang kakek berpakaian serba
putih, bermuka cekung, berambut putih, kumis dan janggut panjang juga warna
putih. Ciri-ciri dan pakaiannya memang menunjukkan bahwa dia adalah Tua Gila,
tokoh silat golongan putih yang punya nama besar dalam rimba persilatan Pulau
Andalas dan juga menggegerkan Tanah Jawa.
Kakek di
seberang telaga mendongak ke langit.
“Mendung….
Bakal turun hujan….” katanya. “Sial perialananku sekali ini. Membuang waktu
tapi orang yang dicari tidak bertemu.”
Di
tempatnya berdiri Nyi Ragil Tawangalu menyeringai.
“Kematian
Tua Gila walau bagaimanapun juga pasti akan membuat Sinto Gendeng sakit hati
setengah mati. Dia akan sengsara seumur-umur! Muka Bangkai, apa kataku. Jika
aku turuti ucapanmu tadi buru-buru pergi dan sini, kita tidak akan dapat rejeki
besar ini! Membunuh orang yang pernah mencintai dan dicintai musuh besarku si
Sinto Gendeng! Ha… ha… ha!” Si nenek berdandan menor timang-timang Golok Si
Penjarah Nyawa di tangan kanan. Mukanya yang berselemot dandanan medok
membersitkan hawa maut.
Di
seberang telaga kakek berpakaian putih angkat kepala sedikit. Telinganya
dipasang baik-baik.
“Aku
seperti mendengar suara orang tertawa di kejauhan. Tapi tak ada siapa-siapa
sekitar sini. Ah, mungkiri hanya suara siuran angin. telinga tua ini agaknya
mudah tertipu segala macam pendengaran….” Si kakek tertawa sendiri. Lalu dia
mencari tempat yang baik di tepi telaga. Di atas sebuah batu dia duduk. Dan
balik pinggang dia keluarkan sebuah seruling. Dengan mata setengah terpejam si
kakek mulai meniup serulingnya. Alunan suara seruling turun naik berhibahiba.
Rupanya Si kakek tengah membawakan lagu sedih. Mungkin lagu yang menceritakan
tentang seorang gadis ditinggal kekasih.
Tiba-tiba
satu bentakan menggeledek di samping kiri si kakek yang tengah asyik meniup
seruling.
“Tua Gila
Dari Andalas! Kekasih nenek keparat Sinto Gendeng, kau tak akan pemah bisa
menyelesaikan nyanyianmu! Karena aku Nyi Ragil Tawangalu minta nyawamu lebih
dulu!”
“Aku Si
Muka Bangkai juga minta bagian!” Satu suara lain menghardik dan samping kanan.
Kaget
orang tua yang tengah meniup seruling bukan olah-olah. Dia segera cabut
serulingnya, melompat mundur sambil tangan kiri kanan dipukulkan ke atas
menangkis dua serangan ganas mengarah batok kepalanya!
“Bukkk!”
“Traakk!”
Kakek
berpakaian putih terpental setengah tombak, terbanting ke tanah. Suling yang
dipakainya untuk menangkis patah sedang lengan kiri menggembung bengkak.
“Kalian
siapa? Mengapa menyerangku?” Si kakek berteriak seraya berusaha berdiri.
“Tua
Gila! Nasibmu apes! Kau muncul di sini hanya untuk menggantikan nyawa busuk
kekasihmu Sinto Gendeng!” kata Nyi Ragil Tawangalu lalu srett! Si nenek cabut
golok Si Penjarah Nyawa. Di sebelahnya Si Muka Bangkai menyeringai.
“Tua
Gila?!” kakek berambut putih yang barusan kena hantaman kiri kanan berdiri
termiring-miring dan berseru keras. “Aku bukan tua gila! Aku Datuk Muda Carano
Ameh dari Lima Koto, saudara sepupu Tua Gila!”
Nyi Ragil
dan Si Muka Bangkai sama-sarna terkejut dan saling pandang. Saat itu langit di
atas telaga semakin gelap karena awan mendung bergulung rendah.
“Nyi
Ragil, orang mau menipu kita. Jangan percaya mulutnya!” kata Si Muka Bangkai.
“Kakek
setan! Sudah mau mampus masih berani menipuku!” bentak Nyi Ragil. Dia maju
selangkah.
“Astagfirullah!
Kalian salah sangka! Aku benarbenar bukan Tua Gila. Aku Datuk Muda….”
“Tutup
mulutmu! Siapapun kau adanya, selagi ada pertalian darah dengan Tua Gila tetap
akan aku jadikan bangkai!” Nyi Ragil berteriak keras lalu bacokkan goloknya ke
arah si kakek. Si Muka Bangkai tak tinggal diam. Lancarkan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan ini bukan lain adalah pukulan
Gerhana Matahari, Satu pukulan yang bukan saja menebar cahaya tiga warna yaitu
kuning, hitam dan merah, tetapi juga membuat udara menjadi tambah kelam.
Seperti
yang dikatakan si kakek berpakaian putih, dirinya memang bukan tua gila. Dia
adalah saudara sepupu Tua Gila, bergelar Datuk Muda Carano Ameh, seorang ulama
di Lima Koto Andalas yang sepintas lalu memang memiliki ciri-ciri sama dengan
Tua Gila. Kakek ini sama sekali tidak tahu segala macam ilmu silat. Karenanya
mendapat serangan seperti itu dia tidak mampu menangkis ataupun berkelit
selamatkan diri.
Pukulan
Gerhana Matahari menghantam Datuk Muda Iebih dulu. Kakek ini menjerit setinggi
langit. Tubuhnya mencelat dua tombak, terpental menghantam pohon. Perutnya
hancur seperti dikoyak binatang buas. Pakaiannya hangus mengepulkan asap.
Terkapar di bawah pohon Datuk Muda masih keluarkan suara erangan. Selagi
manusia malang ini melejang-lejang, Nyi Ragil datang dengan goloknya. Si
Peniarah Nyawa ditusukkan tepat di arah jantung. Datuk Muda
Carano
Ameh keluarkan jeritan sekali lagi. Tapi jeritannya sekali ini terputus
mendadak bersamaan dengan melayangnya nyawanya. Datuk Muda menemui ajal dengan
tubuh dan pakaian hangus, mata mendelik dan golok besar menancap di dada.
Bersamaan dengan putusnya nyawa si kakek, hujan mulai turun di atas kawasan
telaga.
Nyi Ragil
mendongak, keluarkan suara tawa panjang. Air hujan yang melebat membasahi dan
melunturkan dandanan di wajahnya.
“Sinto
Gendeng! Kalau kau datang ke tempat ini kau akan saksikan kematian manusia ini!
Kalau kau sadar, nyawamu hanya tinggal beberapa langkah dan hang kubur! Ha… ha…
ha! Aku akan datang kembali mencarimu! Ha… ha… ha!”
Nyi Ragil
memberl isyarat pada Si Muka Bangkai. Di bawah hujan lebat ke dua orang itu
lalu tinggalkan tempat tersebut.
*********************
8
TAK
SELANG berapa lama setelah Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai tinggalkan puncak
Gunung Gede, di bawah hujan lebat dan arah tenggara muncul seorang anak lelaki
menunggang seekor kuda cokLat. Melihat ada sebuah pohon besar di tepi telaga
anak ini yang bukan lain Boma Wanareja adanya, yang tengah dalam perJalanan mencari
nenek sakti Sinto Gendeng segera arahkan kudanya ke sana. Maksudnya untuk
berhenti dan berteduh. Tapi alangkah kagetnya dia ketika tak berapa jauh dan
pohon besar itu tergeletak sosok seorang tua yang pakaian putihnya bersimbah
darah. Sebuah golok menancap di dadanya. Kuda tunggangan Boma meringkik keras.
Anak ini cepat me!uncur turun. Setengah berlari dia dekati sosok yang
tergeletak di tanah. Seumur hidup baru kali Boma melihat orang dadanya
ditancapi golok besar seperti itu. Dia tak bisa menduga apakah orang tua itu
sudah mati atau masih hidup. Rasa takut membuat bulu kuduknya merindiNg dan
lututnya bergetar. Tapi rasa kasihan juga muncul dalam hati Boma. Anak ini
taRIk dua tangan mayat lau menyeretnya ke bawah pohon agar tidak kehujanan.
Golok yang menancap di dada bergoyang-goyang. Merasa tidak tega, Boma lalu
cabut golok besar itu dari dada mayat. Dia jadi ngeri sendiri karena dan luka
besar di dada kiri mengalir lebih banyak darah. Saat itu kilat menyambar
menerangi kawasan telaga, disusul gelegar suàra halilintar.
Ketika
keadaan terang sekilas tiba-tiba terdengar jeritan membelah langit, menindih
kerasnya suara curahan air hujan dan deru angin.
“Bocah
setan! Kau membunuh Tua Gila!”
Dalam
kagetnya Boma palingkan kepala. Tangannya masih memegang golok Si Penjarah
Nyawa yang bergelimang darah. Di depan sana, sejarak tiga tombak dia melihat
seorang nenek berwajah seram hitam, dengan kepala ditancapi lima tusuk konde
perak, melompat ke arahnya. Tarigan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan
yang hitam itu kelihatan berubah meniadi putih perak menyilaukan.
Sadar
orang hendak menghantamnya dengan satu pukulan sakti, Boma cepat berteriak.
“Nek,
tahan! Bukan aku yang membunuh orang tua ini!”
“Dajal
pendusta! Aku lihat sendiri kau mencabut senjata pembunuh itu dari dada Tua
Gila!
Mampus!
Kau harus mampus!”
“Nek!
Tunggu!”
Boma
melihat ada kilatan cahaya itu menyambar ke arahnya dengan mengeluarkan suara
menggelegar disertai hamparan hawa panas luar biasa! Boma melompat selamatkan
diri. Tapi terlambat.
“Sinto
Weni! Tahan serangan!”
Tiba-tiba
ada suara orang berteriak, keras menggelegar.
Satu
bayangan putih menyambar. Selarik sinar kebiru-biruan melesat ke arah Pukulan
Sinar Matahari yang barusan dilepaskan Sinto Gendeng, coba menangkis
memapakirinya tapi kalah cepat.
Tubuh
Boma Wanareja terpental jauh, bergulingan di tanah. Golok besar di tangannya
mencelat lepas jatuh menghunjam tanah. Sebatas pinggang ke bawah tubuh anak
usia lima belas tahun itu hitam melepuh kepulkan asap. Dan mulutnya mengucur
darah kental disertai erangan tidak berkeputusan. Dua tangannya bergetar,
bergerak-gerak menggapai udara kosong.
Bayangan
putih yang tadi lepaskan pukulan tangkisan jatuhkan diri di samping tubuh si
anak sambjl berteriak “Boma!”
Si
bayangan putih yang bukan lain adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas peluk tubuh Boma
Wanareja.
“Kek….”
nafas Boma Wanareja megap-megap. Kedua matanya terbuka besar tapi bola matanya
mulai memudar. Pandangannya kabur. Masih terdengar suaranya perlahan, tinggal
menyerupai desah. “Maafkan saya…. Saya tidak dapat menjalankan tugas darimu.
Saya belum dapat menemui nenek Sinto Gendeng….”
Ucapan
Boma hanya sampai di situ. Nyawanya putus sudah. Kiai gede Tapa Pamungkas
rangkul tubuh Boma erat-erat. Air matanya jatuh bercucuran.
Di
Samping kiri, tegak tertegun seorang nenek berkulit hitam, berwajah cekung
keriput. Matanya membeliak besar. Mulutnya ternganga ingin mengeluarkan ucapan
tapi tak sepotong katapun bisa keluar. Dua mata yang terpuruk dalam rongga
cekung itu tidak mengenali siapa adanya bocah yang ditangisi Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Si nenek alihkan pandangannya pada orang tua berambut putih.
Tengkuknya mendadak terapa dingin. Dadanya serasa mau meledak oleh debaran
jantung yang tiba-tiba meletup dahsyat. Dua matanya yang berada dalam rongga
dalam seperti mau melompat keluar.
Dia
mengenali siapa adanya si orang tua yang telah jadi mayat karena sebelumnya
pernah bertemu sampai dua kali.
“Datuk
Muda…. Bukan Tua Gila…. Bukan Sukat Tandika….” desis Si nenek. “Ya Tuhan, apa
sebenarnya yang telah teriadi. Siapa anak yang barusan kübunuh ini! Mengapa
Kiai memeluk dan meratapi kematiannya. Seumur hidup baru kali ini aku melihat
Kiai menangis….”
Si nenek
yang bukan lain Sinto Gendeng adanya merasakan Sekujur tubuhnya lemas. Sosoknya
jatuh berlutut. Gemuruh di dadanya semakiri menjadi-jadi. Dia berusaha menahan
seperti mau meledak sendiri. Saat itu dia sadar kalau telah melakukan satu
kesalahan besan. Tapi apa yang dilihatnya tadi apakah keliru? Dia melihat
sendiri anak lelaki itu mencabut golok besar dari dada si orangtua yang
disangkanya Tua Gila. Sinto Gendeng pejamkan matanya. Saat itu dia mendengar
suara orang menegur. Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Sinto!
Apa kau sadar kalau udah kesalahan menjatuhkan tangan? Kau melakukan satu
kesalahan besar Sinto!”
“Kiai..
Mohon ampunmu. Saya Sinto Gendeng sulit meneruskan ucapannya. “Saya tidak
Sengaja melakukannya. Saya mengira anak ini membunuh Tua Gila. Semua teriadi
secara cepat tanpa saya bisa berpikir. Kiai saya mengaku telah melakukan satu
kesalahan besar. Anak ini mungkin tidak punya dosa apa-apa. Saya ingin mati
saat ini. Bunuh saya Kiai, bunuh! Hukum diriku ini!”
“Anak ini
kuangkat murid lima tahun lalu. Namanya Boma Wanareja. Cucu seorang perawat
kuda Sri Baginda di Kotaraja. Aku menyuruh dia menemuimu di puncak Gunung Gede
ini. Untuk belajar sejurus dua jurus ilmu silat dan satu dua pukulan sakti.
Ternyata kedatangannya ke sini hanya untuk mengantar nyawa. Aku merasa
bersalah. Kalau saja aku mendampinginya dalam perjalanan, mengantar sampai ke
sini
“Saya
mengaku bersalah Kiai. Saya yang bersalah. Bukan siapa-siapa terlalu
terburu-buru. Saya mengira….” Sinto Gendeng tekap mukanya.
Lama
kedua orang itu saling berdiam diri. Sementara hujan masih terus mencurah
lebat. Sesekali petir menyambar, guntur menggelegar.
Perlahan-lahan
sambil menggendong jenazah Boma Wanareja, Kiai Gede Tapa Pamungkas bangkit
berdiri. Sesaat dipandanginya Sinto Gendeng dengan pandangan yang menyatakan
penyesalan.
Lalu
peniahan-lahan orang tua ini memutar tubuh, mengayun langkah.
“Kiai,
jangan tinggalkan saya dalam keadaan seperti ini. Saya ingin kau menjatuhkan
hukuman atas diri saya. Bagaimanapun beratnya akan saya terima. Bahkan saya
ikhlas Kiai menjatuhkan hukuman mati!”
‘Hukuman
bagaimanapun bentuknya ticiak akan mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.
Yang terjadi tetap terjadi. Yang mati tak akan mungkin dihidupkan lagi
Sinto
Gendeng jadi terisak mendengar kata-kata gurunya itu.
“Dengar
Sinto, “ kata sang Kiai pula. “Dengan izin Allah mungkin ada satu cara dan
jalan bagimu untuk mengobati keperihan hati atas kekeliruan yang telah kau
buat….”
“Mohon
Kiai sudi mengatakan. Apapun yang Kiai perintah akan saya lakukan, walau
menyabung nyawa di lautan api sekalipun.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mendongak ke langit. Mata dipejamkan, bibir bergetar melafalkan
beberapa ayat-ayat suci. Masih dengan mata terpejam orang tua ini kemudian
berucap.
“Sinto,
meski teramat samar namun aku masih bisa melihat. Di suatu waktu di masa depan,
entah sepuluh tahun mendatang entah seratus tahun lagi, di muka bumi ini akan
lahir seorang anak manusia yang oleh kedua orang tuanya dibeni nama Boma.
Dengan izin dan kuasa Yang Maha Kuasa kau akan mewariskan ilmu silat dan
kesaktianmu kepadanya. Entah bagaimana caranya apakah dia akan merupakan
titisanmu, atau apa namanya semua masih menjadi rahasia Yang Maha Kuasa.” Sinto
Gendeng terdiam sesaat mendengar katakata gurunya itu. Lalu dia berkata.
“Kiai,
agar saya tidak membuat kekeliruan lagi, mengenai anak itu apakah dia memiliki
tanda-tanda tertentu?”
Masih
dalam keadaan mata terpejam Kiai Gecie Tapa Pamungkas menjawab. “Bagus kau
bertanya begitu. Dengar baik-baik. Anak itu memiliki dua tanda yang bisa kau
jadikan pegangan. Tanda pertama. Di telapak tangan kirinya ada tangan garis
bersilang menyerupai tanda kali. Tanda kedua tedapat di telapak kaki kanannya.
Di bagian tumit. Di situ ada satu tahi lalat besar. Sinto kau harus mengingat
dua tanda itu baik-baik…”
“Akan
saya ingat Kiai,” jawab Sinto Gendeng.
Perlahan-lahan
Kiai Gede Tapa Pamungkas membuka matanya. “Aku akan pergi membawa jenazah anak
ini. Akan kumakamkan di satu tempat. Kau uruslah mayat saudara Tua Gila itu.
Kedukaan dan penyesalan serta kekeliruan adalah bagian dan setiap kehidupan
manusia. Dan situ kita banyak mendapat bahan kajian dan pelajaran. Selamat
tinggal Sinto….”
Sinto
Gendeng angkat kepalanya. Tapi cepat sekali sang Kiai sudah tak ada lagi di
tempat itu.
Si nenek
tarik nafas panjang dan dalam. Mengusap wajahnya yang keriput berulang kali
lalu bangkit berdiri. Tak sengaja matanya membentur golok yang tergeletak di
tanah becek. Tak jauh dan golok tergeletak pula sarungnya. Sinto Gendeng
melangkah dekati senjata itu. Matanya menyipit memperhatikan, lalu mendeilk
besar berkilat-kilat spperti ada nyala api di dalam rongganya yang cékung. Dia
bisa mengenali karena pernah melihat golok dan sarung serupa beberapa kali
sebelumnya.
“Golok Si
Penjarah Nyawa! Nyi Ragil keparat! Kau tunggu pembalasanku!” Saking geramnya
Sinto Gendeng tendang golok dan sarungnya hingga mencelat mental ke udara,
lenyap dan pemandangan.
* Kisah
Boma ini dapat pembaca ikuti dalam serial “BOMA GENDENK” yang telah terbit
yaitu
- Episode
1 : Suka Suka Cinta
- Episode
2 : ABG (Anak Baru Gendenk)
- Episode
3 : Tripping
*********************
9
BUKIT
MENOREH. Di selatan Kotaraja, pada suatu malam purnama, tiga minggu sejak
pertemuan terakhir antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tiga gadis cantik
yaitu Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung.
Malam itu
adalah malam perianiian bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat itu. Namun
menunggu sampai larut malam, tiga gadis belum jâga muncul. Wiro mulai merasa
kawatir. Satu orang bisa saja lupa akan han perianjian. Tapi mustahil kalau ke
tiganya sama-sama lupa. Dinginnya udara dan angin malam mulai terasa mencucuk.
Bulan purnama empat belas han tepat berada di atas kepala. Namun mata sang
pendekar agaknya tak mau lagi diajak melihat keindahan sang rembulan. Dia
menguap berulang kah dan mulai mencari-cari tempat yang baik untuk merebahkan
diri. Sewaktu beranjak hendak mendekati sebuah pohon tiba-tiba dia disentakkan
oleh suara sesuatu berkerontang di kejauhan.
“Suara
itu. Aku mengenali sekali. Tidak bisa tidak pasti dia!” Wiro membatin lalu
memandang kejurusan datangnya suara kerontangan. Sunyi. Tak kelihatan apa-apa.
Tak terdengar lagi suara kerontangan. “Celaka, jangan-jangan dia sudah berada
jauh di jurusan lain. Bukan menuju ke sini!”
Wiro segera
mengejar. Berlari belasan tombak tetap saja dia tidak menemukan siapa-siapa.
Dengan perasaan penuh kecewa pernuda ini akhirnya kembali ke puncak bukit
Menoreh, dudukkan diri di atas satu gundukan batu. Báru saja diã duduk di atas
batu sekonyong-konyong suara berkerontang menggeledek di samping kirinya.
Pendekar 212 sampai tenlonjak saking kagetnya. Gelak tawa membahana memenuhi
puncak Bukit Menoreh.
“Sahabatku
sedang kebingungan! Aku datang sampai tidak melihat! Sungguh keterlaluan! Ha…
ha… ha…! Pendekar 212. Apa kabarmu?”
Wiro
palingkan kepala. Astaga! Orang yang tadi dicari dan dikejarnya tahu-tahu kini
hanya dua langkah di hadapannya!
“Kakek
Segala Tahu!” seru Wiro lalu memeluk sosok orang tua di hadapannya sampai
caping yang ada di atas kepala orang tua itu tersingkap jatuh ke tanah. “Kau
datang tepat pada waktunya. Pasti Tuhan yang mengirimkan kau ke sini!”
Si kakek
yang berpakaian seperti pengemis, compang-camping bahkan banyak tambalannya,
dongakkan kepala ke langit. Tangan kanan memegang tongkat. Tangan kiri memegang
sebuah kaleng rombeng berisi batu. Di punggungnya ada satu kantong perbekalan.
Bola matanya yang putih buta berputar beberapa kali.
“Purnama
begitu indah. Sahabat muda menyambut dengan pelukan segala. Pasti ada maunya!
Ha… ha… ha!”
Wiro
menyeringai, garuk-garuk kepala. “Kek, lama tidak bertemu. Sekali bertemu
memang banyak pertanyaan untukmu. Aku tidak malu-malu mau minta tolong.” Wiro
membungkuk mengambil caping yang jatuh di tanah lalu meletakkannya di atas
kepala si kakek.
“Pertanyaan
pertama Kek, apakah selama ini kau ada balk-balk saja?” ujar Wiro. Kakek Segala
Tahu tertawa lebar. Goyangkan kalengnya hingga keluarkan suara berisik
menyakitkan telinga di malam buta begitu rupa.
“Ah, itu
hanya pertanyaan basa-basi. Buat apa kujawab!”
“Kalau
begitu aku muiai saja dengan pertanyan yang bukan basa basi,” kata Wiro pula.
“Pertanyaan
pertama menyangkut seorang sahabatku yang disekap dalam sebuah guci tembaga
oleh seorang kakek jahat beriuiuk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Aku berusaha
membebaskannya tapi selalu gagal. Mungkin kau tahu apa yang harus aku lakukan
untuk dapat membebaskan sahabatku itu.”
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
“Yang kau
sebut sahabat itu, lelaki atau perempuan.”
“Perempuan,
seorang gadis….”
“Sudah
kuduga!” ujar Kakek Segala Tahu. “Tapi aku merasa kau seperti mau menipuku.
Bagaimana mungkiri seorang gadis bisa disekap dalam sebuah guci tembaga. Kurasa
tangannya saja tak mungkin masuk ke dalam guci itu!”
“Dia
bukan gadis manusia biasa. Dia gadis dari alam roh,” menjelaskan Wiro.
“Ah…. Aku
ingat sekarang. Bukankah gadis itu bernama Suci, berjuluk Dewi Bunga Mayat?”
“Syukur
kalau kau sudah tahu.”
Si kakek
goyangkan kalengnya. Lalu mendongak ke langit seolah menatap rembulan dengan
sepasang matanya yang putih buta.
“Coba kau
ingat. apakah kau pernah menerima sesuatu dan gadis alam roh itu Wiro
mengingat-ingat. Tapi otak dan daya ingatnya seperti tak mau bekerja.
“Dia
pernah menyerahkan sesuatu padamu. Sesuatu yang bisa membuat engkau mampu
memanggilnya dari alam roh ke alam nyata. Pendekar 212 apa otakmu sudah jadi
tumpul?” Dada Wiro berdebar. “Kek!” serunya. “Aku ingat. Dia memang pernah
menyerahkan sekuntum bunga kenanga. Tapi bunga itu hilang ketika aku berada di
negeri Latanahsiiam. Tapi astaga! Tunggu dulu!”
Pendekar
212 mengeruk saku celana putihnya. Tangannya menyentuh sesuatu. ketika
dikeluarkan ternyata itulah sekuntum bunga kenanga kuning yang tak pernah layu.
“Kek,
bunga yang kau maksudkan itu memang ada padaku. Aku ingat, bunga ini dititipkannya
pada seorang sahabat bernama Anggini. Jauh sebelum dia masuk dalam sekapan guci
tembaga Iblis Kepala Batu!” Wiro pukul-pukul keningnya sendiri.
Tololnya
aku ini! Mengapa selama ini tidak pernah ingat kalau aku punya kembang kenanga
sakti yang bisa memanggil gadis alam roh itu!”
Kakek
Segala Tahu tertawa lebar lalu goyangkan kaleng rombengnya.
“Kembang
itu bukan kembang biasa….”
“Aku tahu
Kek, aku tahu. Akan segera kucoba mengadakan sambung rasa dengan gadis itu.
Mudah-mudahan kita bisa menolongnya. Mudah-mudahan dia bisa keluar dan sekapan
guci tembaga.”
Murid
Sinto Gendeng lalu genggam kembang kenanga dalam jari-jari tangan kanannya.
Dalam pandangan mata dan alam pikirannya dia membayangkan wajah Dewi Bunga
Mayat atau Suci. Wiro seridiri lebih suka menyebutnya Bunga. Dalam. hati da
berkata.
“Bunga
datanglah. Keluar dan dalam guci, datanglah kepadaku. Bunga Sunyi. Yang
terdengar hanya suara desau angin. Biasanya jika dipanggil sekali saja dengan
cara seperti yang dilakukan Wiro tadi, di hadapan Wiro akan segera terlihat
bayangan samar seperti asap. Bayangan ini perlahan-lahan lalu berubah membentuk
sosok Bunga hingga akhirnya menyerupai manusia seutuhnya. Tapi sekali ini tidak
teriadi hal seperti itu.
“Bunga,
aku Wiro memanggilmu. Keluar dan dalam guci. Datanglah kembali Wiro mengulang
malah sambil mengerahkan tenaga dalam. Padahal biasanya tanpa pengerahan tenaga
dalam dia mampu memanggil dan mendatangkan gadis alam roh itu.
Di satu
tempat jauh, di dalam guci tembaga tempat dirinya disekap Bunga mendengar suara
Pendekar 212 seperti ngiangan nyamuk di kedua telinganya. Gadis ini tersentak,
berseru gembira. “Wiro memanggilku. Bunga kenanga. Bunga itu pasti berada di
tangannya Bunga lalu pusatkan rasa dan jalan pikirannya. Ditujukan pada Wiro.
Biasanya begitu sambung rasa saling bersentuhan, sosok gadis ini akan melayang
laksana kilat ke tempat di maria Wiro yang memanggilnya berada. Namun sekali
ini tubuhnya hanya niengalaini getaran-getaran halus. Dia tak mampu melesatkan
badan. Setiap dia mengerahkan segala daya, seolah ada satu kekuatan menindih.
“Aku tak
sanggup menembus guci ini. Ada satu kekuatan dahsyat sulit kutembus. Kalau cuma
lapisan tembaga apalah artinya….”
Di
tempatnya berada Wiro kembali berucap. “Bunga, datanglah. Keluar dan dalam
guci. Temui aku di tempat in Bunga datanglah….”
“Wiro!
Aku tak mampu keluar dan guci! Aku tak bisa menemuimu! Aku hanya terkurung oleh
ujud kasar guci tembaga. Ada satu kekuatan menyungkup diriku! Tak bisa
kutembus! Wiro…!”
Kalau
Suci bisa mendengar suara batin Wiro sebaliknya Wiro hanya mendengar suara
gadis alam roh itu berupa ngiangan sangat tidak jelas. Ini disebabkan antara
keduanya terpisah dalam jarak yang jauh.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Suara berisik batu-batu dalam
kaleng rombeng memecah kesunyian, membuat Wiro tersentak kaget.
“Kek, kau
tahu aku tengah memusatkan daya dan pikiran untuk memanggil gadis itu. Mengapa
kau mengganggu dengan suara kaleng rombeng butut sialan itu!” kata Wiro kesal.
Saat itu ingin Sekali dia merampas kaleng si kakek lalu melemparkannya ke dalam
telaga. Si kakek malah senyum. Dengan tenang dia menjawab.
“Gadis
itu mungkin bisa mendengar suara batinmu memanggil. Tapi kau tidak bisa
mendengar. Berarti jarak kalian terpisah sangat jauh. Aku menduga dia tidak
mampu membebaskan diri dan dalam guci sekalipun kau bantu dengan kekuatan sakti
bunga kenanga itu. Guci tempat dia disekap memiliki satu kekuatan magis
dahsyat. Yang ada di dalam tidak selamanya bisa tembus keluar. Tapi yang dan
luar masih ada kemungkirian tembus ke dalam.” Murid Sinto Gendeng tank nafas
kesal. Garuk-garuk kepala beberapa kali. Lalu bertanya.
“Apa yang
bisa aku lakukan menolong gadis itu Kek?” Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit. Saat itu rembulan tertutup sekelompok awan kelabu hingga sinarnya
menjadi redup.
Seolah
matanya tidak buta si kakek berkata. “Tunggu dulu bulan purnama lepas dari
halangan awan gelap….” Tak lama kemudian kelompok awan kelabu bergerak menjauh
hingga bulan purnama kembali terlihat jelas, bulat dan terang. Kakek Segala Tahu
kerontangkan kaleng rombengnya. Sementara ujung tongkat dicorat-coret ke atas
tanah secara sembarangan. Walau sembarangan tapi Wiro melihat guratan ujung
tongkat itu membentuk jelas gambar sebuah guci. Bentuknya sama dengan guci
milik Ibils Kepala Batu tempat Bunga disekap.
“Anak
muda, gambar apa yang kau lihat di tanah?” si kakek bertanya. Matanya masih
menatap ke arah rembutan di langit.
“Aku
melihat gambar guci,” jawab Wiro.
“Kentut!”
dengus si kakek. “Hanya gambar guci? Buka matamu lebar-lebar. Lihat lagi!”
Dimaki
kentut Wiro jadi menggerendeng. Tapi dia melakukan juga apa yang dikatakan si
kakek, melihat ke tanah kembali.
“Astaga,
di dalam gambar guci aku seperti melihat bayangan diriku!”
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh. “Aku sudah mendapat petunjuk. Berarti untuk dapat
membebaskan gadis sahabatmu itu…. Eh, tunggu, gadis itu sahabatmu atau
kekasihmu?”
“Jangan
bergurau Kek!”
“Aku
tanya sungguhan. Siapa bergurau!”
“Terserah
kau mau bilang apa!”
“Soalnya
aku jadi bingung!”
“Bingung
kenapa?” tanya Wiro heran.
“Kalau
dia benar sekedar sahabat tak jadi apa. Tapi kalau dia kekasihmu dan satu
ketika kau kawin dengan dia. Lalu dia bunting, melahirkan anak. Nah! Anakmu itu
bagaimana jadi dan bentuknya? Seperti manusia biasa? Mahluk jejadian,
menyerupai batu, atau hanya berupa angin seperti kentut!”
“Kakek
geblek!” maki Wiro.
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Wiro,
dengar baik-baik.” Si kakek kini bicara sungguhan. “Petunjuk menyatakan,
seperti gambar yang kau lihat di tanah. Untuk membebaskan gadis dalam guci
berarti kau harus masuk sendiri ke dalam guci itu!”
“Gila!
Tidak masuk akal!” ujar murid Sinto Gendeng. “Jangankan tubuhku! Buahku saja
tidak mungkin bisa masuk ke dalam guci sekecil itu!”
Kakek
Segala Tahu tertawa bergelak dan kerontangkan kaleng rombengnya. “Anak muda,”
katanya. “Sekarang kau yang bergurau! Ha… ha… ha!” Si orang tua letakkan ujung
tongkatnya di bahu kiri murid Sinto Gendeng. Ujudnya memang tongkat kayu butut,
kecil dan enteng. Tapi Wiro merasa bahunya seperti ditiban satu batu sangat
besar hingga tak ampun lagi tubuh sang pendekar miring ke kiri.
“Sialan!
Dalam keadaan seperti ini tua bangka geblek ini masih sempat-sempatnya meniajal
tenaga dalamku. Akan kubalas biar dia tahu rasa!”
Diam-diam
Wiro mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya yang berpusat di bagian pusar lalu
dialirkan ke bahu. Begitu tenaga dalam sampai di bahu dia sentakkan bahu
kirinya untuk memberi daya dorong berlipat ganda. Aliran tenaga dalam yang
dahsyat masuk ke dalam tongkat kayu, bergerak cepat memasuki tubuh Si kakek,
berkumpul di bagian perut.
“Aduh
biyung!” si kakek mengeluh. “Mengapa perutku terasa kembung! Mulas! Walaah….”
“Buuttt…
buutttt….” Kakek Segala Tahu pancarkan kentut bertalu-talu.
Pendekar
212 Wiro Sableng pura-pura tidak tahu. Rangkapkan tangan di depan dada,
memandarig ke langit pura-pura melihat bulan Tapi ia tak bisa menahan ketawa.
“Anak
sial! Kau membalas! Kau mengerjai aku, hah!” Si kakek cepat turunkan tongkatnya
dari atas bahu kiri Wiro. Dia meniup perlahan. Goyangkan kaleng butut. Rasa
kembung dan mulas yang ada di perutnya serta merta lenyap.
“Anak
muda, saatnya kita bicara sungguhan….”
“Dari
tadi aku bicara sungguhan. Kau yang mulai jahil,” jawab Wiro.
“Kalau
kau tidak menyebut-nyebut soal buah aku tidak terpancing!” kata Kakek Segala
Tahu sambil mesam-mesém. “Eh, sampai di mana pembicaraan kita tadi?”
Wiro
menggaruk kepala. “Kau bilang untuk bisa membebaskan gadis alam roh aku harus
masuk sendiri ke dalam guci.”
“Betul.
Memang begitu yang aku lihat.”
“Caranya
bagaimana Kek?” tanya Wiro.
“Kau
harus jadi kentut!”
“Nah, kau
bergurau lagi!” Wiro jadi kesal.
“Tidak,
aku bicara sungguhan. Kau harus jadi kentut. Eh, maksudku bukan kentut. Tapi
kau harus jadi angin. Kau harus masuk ke dalam alam gaib dengan jalan merubah
dirimu. Sukmamu harus mampu meninggalkan tubuh kasar agar bisa masuk ke dalam
guci sementara tubuh kasarmu tetap berada di luaran.”
“Sukma
itu apa Kek?” tanya Wiro. “Apa tukang dawet di pasar pon?” Dibercandai si kakek
membalas dengan bercanda pula. “Sukma itu si kentut tadi. Angin itu….” katanya
lalu tertawa mengekeh.
“Sukma
adalah ujud halusmu. Katakan saja rohmu.”
“Bagaimana
mungkin? Kalau rohku keluar dan tubuh berarti aku sudah mati. Tidak masuk akal.
Tidak mungkin.”
“Mungkiri
saja. Jika kau menguasai ilmu Meraga Sukma.” Jawab Kakek Segala Tahu.
“Ilmu
Meraga Sukma? Baru sekali ini aku dengar. Kau punya ilmu itu?”
Si kakek
menggeleng. “Aku kenal seorang sakti yang diam di dasar laut pantai selatan.
Lurusannya Parangtritis. Namanya Nyi Roro Manggut. Orangriya cantik sekali.
Masih muda, mungkin juga masih gadis.” Si kakek hentikan ucapannya, melirik
sebentar pada Wiro. Lalu tertawa.
“Kenapa
kau tertawa Kek?” tanya murid Sinto Gendeng.
“Begitu
aku bilang orangnya cantik sekali, masih muda, masih gadis, aku. lihat dua bola
matamu langsung bercahaya mengekerelap! Dasar pemuda buaya! Ha… ha… ha!”
Wiro hanya
bisa senyum-senyum sambil garuk kepala. Si kakek melaniutkan keterangannya.
Konon
kabarnya dia selah seorang pembantu kepercayaan Nyi Roro Kidul yang sakti itu.
Kau harus menemuinya, minta diberikan ilmu itu. Kalau sudah dapat kau pasti
bisa menolong gadis alam roh yang disekap dalam guci.”
Wiro diam
seperti merenung.
“Ada dua
hal yang perlu aku tanyakan Kek.” Kata Pendekar 212 kemudian. “Pertama aku ini
hanya manusia biasa. Bukan ikan. Bagaimana bisa menyelam masuk ke dasar laut.”
“Tololnya
otakmu!” jawab si kakek. “Bukankah kau punya sahabat, eh atau juga mungkin
kekasih si Ratu Duyung itu? Minta tolong padanya. Apa susahnya?”
“Ah, kau
betul,” Wiro garuk-garuk kepala. “Lalu hal kedua. Aku tidak kenal dengan Nyi
Roro Marmut…
“Manggut!
Nyi Roro Manggut! Enak saja kau bilang Marmut!” tukas Kakek Segala Tahu.
Wiro
tertawa cengengesan. “Ya… ya, Nyi Roro Manggut; Aku tidak kenal padanya. Jika
bertemu apa dia mau memberikan ilmu kesaktian langka bernama Meraga Sukma itu?”
“Kau tak
usah kawatir. Jangan takut. Serahkan kaleng ini padanya. Pasti dia akan mau
menolongmu. Pasti dia akan berikan ilmu itu padamu. Dan kau pasti akan bisa
menolong gadis alam roh itu!” Habis berkata begitu si kakek lalu sodorkan
kaleng rombengnya pada Wiro.
Tentu
saja Pendekar 212 ragu-ragu menerimanya
“Ayo
ambil!” ucap.Kakek Segala Tahu.
“Kek,
bagaimana mungkin. Hanya dengan memberikan kaleng butut dan bau ini Nyi Roro
Manggut akan mau memberikan ilmu kesaktian hebat padaku?”
“Tak usah
banyak tanya, tak usah banyak kawatir. Lakukan saja apa yang aku katakan!”
Wiro
garuk-garuk kepala pulang balik.
“Kalau
kaleng itu aku ambil, lantas kau tak punya kaleng itu lagi nantinya.”
“Aku
punya banyak kaleng seperti ini. Kau mau berapa?”
Murid
Sinto Gendeng jadi tertawa. Akhirnya diambilnya juga kaleng rombeng itu dan
tangan si kakek.
“Kek, ada
satu pertanyaan lagi. Kalau sukmaku keluar dan tubuh kasar lalu tak bisa
kembali lagi, apakah nantinya aku bukannya bisa jadi setan penasaran
gentayangan tak karuan ujud dan tujuan?”
Si kakek
tak menjawab.
“Kek…?!”
Wiro
angkat kepalanya. Astaga! Ternyata Kakek Segala Tahu tak ada lagi di depannya.
Di kejauhan, mungkin sudah di kaki bukit, terdengar suará kérontangan kaleng.
Wiro
hanya bisa menyengir dan geleng-gelengkan kepala. Tangannya yang memegang
kaleng rombeng digoyangkan. Batu-batu kerikil yang berbenturan dengan dinding
kaleng keluarkan suara keras berisik, membuat Wiro pegang sendiri dan tekap
salah satu telinganya. Ketika tangannya yang dipakai menutup telinga diturunkan
tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan.
“Hari ini
ada lagi seorang pendekar mendadak sinting. Kerjanya menggoyang-goyang kaleng
rombeng! Hik… hik… hik!” Satu suara berucap disusul tawa cekikikan.
“Mungkin
baginya suara berisik kaleng itu semerdu alunan bebunyian yang bakal mengantar
nyawanya ke neraka. Hik… hik… hik!” Suara lain menimpali.
Murid
Sinto Gendeng palingkan kepala.
“Sial!
Lain yang ditunggu lain yang datang!” maki Wiro.
TAMAT
No comments:
Post a Comment