Betina
Penghisap Darah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
DUA ORANG
penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah depan
adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar
40 tahun. Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di
kepalanya ada topi tinggi berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas,
pertanda dia adalah seorang berpangkat. Dua kuda tunggangan melewati sebuah
telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan sebuah rumah berdinding kayu
beratap rumbia.
"Ini
tempatnya," kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia
melompat turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas
punggung kudanya. Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong
daun pintu yang ternyata tidak dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu
masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi.
"Rumah
ini kosong. Dia masih belum datang rupanya."
Orang
berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling.
"Kalau memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa
istirahat. Yang aku kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku
tertipu!"
"Saya
yakin dia pasti datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk
ke dalam. Menunggu sambil istirahat."
Orang
yang dipanggil dengan sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah
ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu
di bibir lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan Turangga
berpaling, memandang ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan
seekor kuda putih berlari menuruni lembah. Penunggarignya seorang berpakaian
ungu.
"Ia datang
Tumenggung." kata Turangga gembira.
"Hemm…"
bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia menepati
janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di sini."
"Tadipun
saya sudah bilang. Dia pasti datang."
"Sekali
lagi aku ingatkan padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu
orangpun boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi tunangan
dan calon mertuaku! Kalau kejadiari ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh
satu orang. Kau!"
Turangga
menyeringai. "Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga
Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulupun saya pernah muda
Tumenggung."
Penunggang
kuda yang datang dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung Purboyo
mengangkat kepalanya sedikit. "Hemm… Orangnya masih jauh. Tapi bau
wewangiannya sudah tercium sampai ke sini."
Turangga
ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar. Dia
juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu. Kuda putih akhirnya
sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu. Tumenggung
Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya. "Turangga tidak berdusta.
Gadis ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah,
kalau saja aku belum bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai
istri!" begitu Tumenggung ini membatin.
Di sana,
di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang
putih mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang
berhias sebuah pita juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai
selendang lagi-lagi berwarna ungu. Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip
memperhatikan dara itu mulai dari kepala sampai ke kaki. Sadar kalau dia
membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya dan memberi
penghormatan dengan menganggukkan kepala.
"Maafkan,
saya sampai lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah."
Dara di
atas kuda tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar
membuat Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil
membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat
membuka pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh
Tumenggung Purboyo.
"Perjalanan
yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini.
Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti… Ah,
maafkan saya. Saya belum tahu namanya."
Dara itu
kembali tersenyum.
"Saya
datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama…"
Dalam
herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya
panggil Dewi saja? Boleh…?"
"Kalau
itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah bulu
perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas
darah di tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di ambang
pintu si gadis berhenti dan memandang ke dalam. Rumah papan itu berlantai kayu
hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja diapit dua buah kursi.
Di atas meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah terletak
sebuah ranjang dengan tilamnya yang indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua
ini telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya.
"Maafkan
kalau keadaan dan isi rumafi ini tidak berkenan di hall Dewi," kata
Tumenggung Purboyo. Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian
si gadis membuatnya ingin menerkam gadis itu saat itu juga.
"Saya
suka semua yang ada di sini…" kata si gadis seraya melangkah masuk ke
dalam.
"Saya
gembira mendengar hal itu," kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk.
Gadis
berbaju ungu sesaat masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di tepi
ranjang. Jantung Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak.
"Dewi
tentu haus. Biar saya ambilkan minuman."
"Tidak
usah. Saya tidak punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan
kepuasan pada Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu
dengan saya…"
"Melihat
keadaan Dewi, terus terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja keadaan
memaksa saya harus mengatur waktu sebaik-baiknya.
"Saya
mengerti," kata Dewi. "Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan
pintu?"
"Ah,
saya lupa." Tumenggung Purboyo cepatcepat menutup pintu.
"Apakah
pembantu Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?"
"Dewi
tak usah takut. Turangga bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat setia…"
"Sekarang
hanya kita berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk saya?"
tanya
gadis berpakaian serba ungu. Senyumnya membuat sang Tumenggung seperti dibuai
ayunan sorga. Segera saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua tangannya
merangkul erat punggung gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya yang putih
jenjang dan harum.
"Saya
tidak menyangka kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih begini
muda dan gagah. Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih genit dan
suka daun muda…" Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas merangkul
tubuh lelaki itu.
"Saya
tidak cukup pantas untuk gadis secantik Dewi," kata Tumenggung Purboyo
pula.
"Tolong
bukakan pakaian saya," bisik si gadis.
Tumenggung
Purboyo merasakan sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua tangannya
meluncur ke bagian depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh Tumenggung
Purboyo gadis itu tampak tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang merangkul
perlahan-lahan bergerak ke atas. Bersarnaan dengan itu terjadi perubahan aneh
pada sepuluh jari tangannya yang halus bersih. Dari ujung-ujung jari mencuat
keluar kuku-kuku panjang berwarna merah. Pada ujungujung kuku terdapat sebuah
lobang kecil sebesar lobang jarum.
Sepuluh
jari tangan itu terus bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser ke arah
leher Tumenggung Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancing-kancing
pakaian ungu sang dara. Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan
tangan Tumenggung Purboyo tiba-tiba terhenti. Bukan oleh suara tawa itu. Tapi
oleh sepuluh kuku panjang berlubang yang mencengkeram dan menusuk dalam di
batang lehernya. Darah muncrat! Kedua mata sang Tumenggung mendelik. Dia merasa
darah di sekujur tubuhnya seperti disedot. Satu jeritan keras menggeledek
keluar dari mulut Tumenggmg ini. Lalu tubuhnya mendadak sontak lemas seperti
tidak bertulang lagi. Ketika cengkeraman pada lehernya lepas, tubuhnya tak
ampun lagi jatuh terbanting ke lantai kayu hitam!
Di luar
rumah, begitu mendengar teriakan tumenggung Purboyo kagetnya Turangga bukan
kepalang. Tanpa pikir panjang lagi dia segera melabrak dan menjebol pintu.
Begitu pintu terpentang segera dia melompat masuk. Begitu masuk begitu kedua
kakinya seperti dipantek ke lantai. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Mata
melotot dan muka seputih kertas.
Di lantai
di hadapannya tergeletak sosok tubuh Tumenggung Purboyo. Pada lehernya yang
berlumuran darah kelihatan lobang-lobang mengerikan. Kedua matanya terbeliak.
Di dekat ranjang tegak gadis cantik berbaju ungu itu yang sekarang di mata
Turangga seperti telah berobah menjadi setan yang mengerikan!
Gadis itu
tegak dengan baju tersingkap hingga payudaranya kelihatan menyembul. Dia
berdiri sambil menyeringai dan menjilati jari-jari tangannya kanan kiri yang
bersimbah darah. Wajahnya yang cantik penuh noda darah terutama di bagian
mulut. Ketika menyeringai gigigiginya yang sebelumnya putih kini tampak merah
oleh lapisan darah! "Ya Tuhan, apa yang terjadi! Manusia atau ibliskah
yang berdiri di depanku ini?" kata Turangga dalam hati.
"Kacung
Tumenggung yang setia. Apa yang kau saksikan?"
Tentu
saja Turangga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Ketika dilihatnya gadis
berbaju ungu itu bergerak mendekatinya tanpa pikir panjang lagi Turangga segera
putar tubuh dan menghambur ke luar kamar. Di belakangnya terdengar sang dara
keluarkan suara tertawa melengking lalu melompat mengejar.
Turangga
lari ke kudanya. Dia berlaku cerdik. Dia tidak lari mendaki ke arah tebing
lembah yang terbuka melainkan menyusup ke bagian lembah yang ditumbuhi
pepohonan dan semak belukar lebat yaitu di sebelah belakang rumah kayu.
"Lolos…"
desis berbaju ungu. Walaupun bisa tapi dia tidak berusaha mengejar. Dia
melangkah ke arah kuda putihnya. Dari mulutnya masih terdengar suara tertawa
melengking tinggi mengerikan.
*****************
2
MINUM air
jahe hangat dan manis malam-malam dingin begitu terasa nikmat sekali. Sementara
menunggu datangnya minuman itu Wiro menyantap singkong rebus. Sambil mengunyah
dia memandang berkeliling. Saat itu di kedai kecil di pinggiran desa itu hanya
ada tiga orang tamu. Pertama dirinya sendiri lalu seorang lelaki separuh baya
yang duduk sambil mengangkat kaki seenaknya, lalu seorang tamu lagi yang duduk
menunduk, mengenakan pakaian seperti jubah. Di kepalanya ada semacam kerudung
hingga wajahnya tidak kelihatan.
Pemilik
kedai yang merangkap pelayan datang membawakan air jahe hangat dan meletakkan
minuman itu di atas meja di depan Wiro. Tak sabar menunggu dinginnya minuman
Wiro menuangkan air jahe itu di atas tadah. Ketika dia hendak memegang tadah
murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi kaget. Tadah itu bergerak dan bergeser ke
kiri hingga tak terpegang.
"Ah,
mungkin mataku yang sudah lamur!" kata Wiro menyalahi dirinya sendiri.
Diulurkannya
tangannya kembali untuk memegang tadah berisi jahe itu. Hampir tersentuh tibatiba
kembali tadah itu bergerak. Kali ini berpindah ke kanan. Gerakan tadah ini
berpindah cukup cepat namun air jahe di atasnya sama sekali tidak bergoyang
apalagi tumpah!
Wiro
mernandang berkeliling. Pandangannya kemudian tertuju pada pemilik kedai.
"Ada
apa ‘Den?" tanya pemilik kedai itu melihat tamunya seperti bingung.
"Tidak.
Tidak ada apa-apa…" jawab Wiro. Dia memandang lagi berkeliling.
Diperhatikannya
tamu yang duduk angkat kaki di sebelahnya. Orang ini asyik menghirup kopi dan
mengunyah pisang goreng. Wiro berpaling ke kanan. Tamu berkerudung itu juga
tampak asyik menyantap makanannya lalu menghirup kopinya kuat-kuat hingga
mengeluarkan suara.
"Brengsek!
Apa sebenarnya yang terjadi di tempat ini? Ada setan yang jahil mengganggu
tamu?" Karena jengkel merasa dipermainkan Wiro keluarkan ucapan.
"Setan konyol, aku makan dan minum membayar. Jadi jangan berani
mempermainkan. Jika mau ikut minum silahkan duduk unjukkan diri. Jangan
mengganggu seperti ini!"
"Eh,
Raden bicara apa dan sama siapa?" tanya pemilik kedai.
Wiro
garuk-garuk kepala. "Tidak… Saya tidak bicara apa-apa…" jawab Wiro.
Pemilik
kedai jadi heran. "Jangan-jangan tamu satu ini otaknya kurang beres. Sejak
masuk tadi dia sudah cengar-cengir cengengesan. Sebentar-sebentar garuk-garuk
kepala. Kini malah ngomong sendirian!"
Wiro
duduk tak berkesip memandangi tadah berisi air jahe itu. Dia melirik pada
minuman dalam gelas. "Coba kupegang gelasnya. Apa bisa bergerak
juga," kata pemuda ini dalam hati. Lalu tangan kanannya diulurkan. Hanya
sedikit saja lagi jari-jarinya akan menyentuh badan gelas, tibatiba gelas
berisi air jahe hangat itu bergerak menjauh! Berubahlah paras Pendekar 212.
"Ada
orang pandai mempermainkanku. Tapi siapa…?" Dua tamu yang ada di situ
jelas tidak bergerak asyik dengan makanan dan minuman masing-masing. Si pemilik
kedai juga tengah mengangkat gorengan pisang dari kuali besar. "Setan…
Jangan-jangan benar-benar ada setan di kedai ini!" Wiro gigit bibirnya.
Dia memandang lagi pada air jahe di atas tadah. "Coba kutipu,"
katanya
dalam hati. Kedua tangannya pura-pura diturunkan ke bawah. Tapi baru sampai di
pinggang dengan cepat diangkatnya kembali. Sekaligus bergerak ke arah tadah di
atas meja. "Biar kupecahkan sekalian!" kata Wiro dalam hati saking
jengkelnya.
Namun
tiba-tiba sekali tadah itu melayang ke atas mengarah muka Wiro. Air jahe hangat
di atasnya menyiprat membasahi seluruh wajah sang pendekarl Mata disiram air
jahe hangat tentu saja sakitnya bukan kepalang! Wiro sampai terpekik dan
terlompat dari duduknya. Dua tamu di samping kirinya sampai ternganga karena
kaget sedang tamu satunya lagi hanya menoleh sedikit lalu meneruskan meneguk
kopinya.
"Ada
apa Raden?" tanya pemilik kedai. Ketika dilihatnya muka Wiro basah dan
pemuda ini menggosok-gosok kedua matanya tiada henti. Sedang di lantai tadah
gelas pecah berantakan. "Ah, itulah Raden. Minuman masih panas sudah mau
diminum. Mbok ya sabar ditunggu sampai dingin…"
"Mbok
sabar… Mbok sabar!" gerutu Wiro dalam hati. "Mukaku serasa tebal,
mataku pedas enak saja bicara mbok… mbok."
Pemilik kedai
itu tidak memperhatikan Wiro karena salah satu tamunya telah berdiri dan
membayar. Selesai melayani tamunya pemilik kedai bertanya. "Mau tadah baru
lagi Den"
"Tidak
usah!" jawab Wiro. "Biar panas-panas aku sanggup menenggak air jahe
ini!" Lalu saking jengkelnya Wiro teguk air jahe dalam gelas yang masih
panas. Mulutnya sampai ternganga kepedasan dan lidahnya terjulur-julur. Dari
dalam sakunya dikeluarkannya uang pembayar makanan dan minuman lalu
diulurkannya. Tapi orang kedai tidak mau menerimanya. Wiro jadi tambah mengkal.
"Tidak
mau dibayar?" bentaknye sambil mengusap mata kirinya yang masih terasa
perih.
"Anu
Den…"
"Anu…
anu! Anumu nanti aku guyur sama air jahe panas baru tahu! Ayo ambil
uangnya!"
"Anu
Den. Tidak perlu. Sudah dibayar."
"Sudah
dibayar? Siapa yang membayar? Jangan main-main!" kata Wiro dengan keras.
"Itu,
tamu berjubah tadi…" menjawab pemilik kedai.
Wiro
berpaling ke kanan. Tamu yang duduk di situ sudah tidak ada lagi.
"Berjubah dan pakai kerudung itu?"
"Betul
Den."
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Wajahnya tak sempat kulihat. Kenalpun rasanya aku
tidak. Mengapa dia membayarkan makanan dan minumanku? Aneh!"
"Tamu
tadi, kau kenal padanya? Sering mampir ke kedai ini?" tanya Wiro.
Orang
kedai menggeleng. "Baru sekali ini saya melihatnya Den."
"Situ
tadi sempat lihat wajahnya?" tanya Wiro pula.
"Hanya
sekilas. Wajahnya seram amat…"
"Seram
bagaimana?"
"Mukanya
seperti tengkorak dan sangat hitam. Kedua matanya sangat cekung…"
"Jangan-jangan
dia memang setan!" kata Wiro.
"Apa
kata Raden, Setan? Puluhan tahun berjualan di sini belum pernah ada setan di
sekitar sini Den. Tapi… Raden mungkin betul. Orang tadi mungkin setan… atau
hantu…"
"Coba
perlihatkan uang bayarannya tadi," kata Wiro.
Orang
kedai keruk saku pakaiannya. Ketika tangannya diulurkan dan genggamannya
dibuka, pucatlah wajahnya melihat apa yang ada ditangannya. Bukan sekeping uang
logam. Tapi sebuah batu kecil!
Tubuh
pemilik kedai itu kini tampak gemetaran.
Jelas dia
sangat ketakutan. Dengan suara terputus-putus dia berkata. "Maafkan, saya tidak
menerima tamu lagi. Saya harus menutup kedai ini cepatcepat sebelum setan tadi
kembali lagi!"
Wiro
geleng-geleng kepala. "Kalau begitu ambil saja uang ini. Sekalian bayaran
makanan dan minuman orang berjubaah tadi. Sialan! Malah kini aku yang membayarkan!
Dasar setan!"
Wiro
meletakkan uangnya di atas meja lalu cepat-cepat setengah berlari dia
berkelebat ke jurusan perginya orang berjubah tadi. Tak lama berlari Wiro
berhasil mengejar orang berjubah itu. Tapi aneh, tinggal dalam jarak sekitar
lima tombak, bagaimanapun dia mempercepat larinya mengejar tetap saja dia tidak
dapat mendekati orang itu. Wiro kerahkan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh
serta ilmu larinya. Dia hanya mampu maju mendekat sekitar empat tombak setelah
itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Saudara
berjubah! Hai! Tunggu dulu! Berhenti!" Wiro berteriak memanggil. Matanya
memperhatikan kedua kaki orang di depannya. Ternyata kedua kaki itu menjejak
tanah. Bergerak seperti melangkah tapi memiliki kecepatan seperti orang
berlari! "Ah dia manusia biasa juga. Bukan setan!" kata Wiro melihat
kenyataan itu.
Orang
yang dipanggil acuh saja. Jangankan berhenti, berpalingpun tidak.
"Sialan!"
maki Wiro dalam hati. Dia mempercepat larinya. Tetap saja dia tidak dapat
memperpendek jarak. Dia mencari akal. "Biar kubuat marah dia!" Lalu
kembali Wiro berteriak.
"Manusia
jahat penipu! Membayar dengan batu! Mengapa pergunakan ilmu untuk menipu orang
kecil!"
Orang di
depan Wiro keluarkan suara tawa mengekeh. Lalu tubuhnya lenyap. Wiro hentikan
lari. Memandang berkeliling. Hatinya mulai was-was. "Kalau benar tadi itu
bukan manusia tapi setan, mati aku dicekiknya di tempat sunyi ini!" Lalu
Wiro bersiap membentengi diri dengan pukulan sakti.
Baru saja
kumandang suara tawa itu lenyap dalam kegelapan malam, tiba-tiba satu benda
melayang turun dari atas cabang sebuah pohon. Wiro menyingkir namun benda yang
jatuh itu cepat sekali mendekap leher dan dagunya. Dia merasa seperti ada satu
sosok tubuh yang menduduki bahunya. Wiro membungkuk, berusaha membantingkan
sosok tubuh yang menduduki bahu dan memagut lehernya itu. Namun tubuh itu
laksana lengket jadi satu dengan tubuhnya.
"Keparat
sialan!" maki Pendekar 212. Dia kerahkan tenaga dalam lalu menggebuk ke
belakang. Dia sengaja lepaskan pukulan sakti dalam jurus yang bernama
"dibalik gunung memukul halilintar.”
*****************
3
PUKULAN
ukulan yang bisa menghancurkan tembok batu itu mengeluarkan suara menderu.
Namun bukan saja pukulan itu tidak mengenai sasaran orang yang mendekam
dibahunya, malah lengan kanannya kena ditangkap. Belum sempat Wiro, membuat
gerakan susulan untuk melepaskan cekalan orang samb,il menghantam dengan tangan
kiri, mendadak lengannya ditarik keras ke depan. Tubuhnya ikut terseret. Kalau
dia tidak ikuti daya tarik seretan itu dan jatuhkan diri di tanah lalu bergulingan,
niscaya Wiro akan terbanting dada atau muka lebih dulu mencium tanah!
Dengan
cepat Wiro bangkit berdiri. Begitu berdiri satu sosok tubuh tahu-tahu sudah
tegak di depannya. Serta merta dia hendak menghantam. Orang didepannya
keluarkan suara tertawa mengekeh. Seperti mengenali suara tawa itu, Wiro tarik
pulang tangannya yang barusan hendak memukul. Kakinya menyurut satu langkah.
"Siapa
kau!" bentak Pendekar 212.
"Anak
goblok! Kalau musuh beneran yang membokongmu, pasti kau sudah mampus dari
tadi!" Orang di depannya menanggalkan jubah di tubuhnya. Di balik jubah
itu kini kelihatan satu tubuh kurus tinggi mengenakan kebaya dalam dan panjang
dekil. Wiro keluarkan seruan tertahan. Tapi dia belum pasti. Tempat itu gelap
sekali. Ketika orang di hadapannya melemparkan kerudung yang menutupi wajahnya
baru sang pendekar benarbenar mengenali dan berteriak.
"Eyang
Sinto Gendeng!"
Ternyata
orang itu adalah guru Pendekar 212 sendiri. Nenek sakti dari Gunung Gede
bernama Sinto Gendeng. Wiro cepat hendak jatuhkan diri memberi penghormatan. Si
nenek tertawa dan tarik pemuda itu hingga dia kembali berdiri.
"Guru,
maafkan murid. Says tidak tahu kalau…"
"Anak
setan! Dirimu sudah kumaafkan!"
"Jadi
Eyang rupanya yang tadi mempermainkan tadah minuman di kedai itu!" Si
nenek menyeringai.
"Nek,
kau muncul secara mendadak lengkap dengan segala keanehanmu. Tentu ada
sesuatu…"
"Nah
otakmu ternyata masih jalan. Dengar, memang ads satu hal penting yang ingin
kubicarakan denganmu. Kau sudah dengar kegegeran yang terjadi dalam rimba
persilatan sejak tiga bulan terakhir ini?"
"Banyak
yang terjadi Eyang. Kegegeran yang mans maksud Eyang?" tanya Wiro.
"Sompret!
Kau masih bisa bertanya. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Bertualang
mencari anak perempuan orang?!" Sepasang mata Sinto Gendeng tampak
berkilat-kilat. Wiro garuk-garuk kapalanya. Kalau tidak benarbenar ads satu
peristiwa besar pasti gurunya tidak semarah itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda
ini hanya bisa tertegak dengan mulut terkancing.
"Kau
masih ingat kakek konyol peminum tuak yang bergelar Dewa Tuak?"
"Tentu
saya ingat kakek satu Itu Eyang. Ada apa dengan dirinya. Apakah dia sudah
mendahului kita?" tanya Wiro.
"Anak
setan! Enak saja kau menyebut orang sudah mati!" bentak Eyang Sinto
Gendeng marah.
"Orang
tua itu bakal mengalami kesulitan dan malu besar. Gara-gara perbuatan murid
tunggalnya. Gadis Anggini itu!"
Pares
Wiro jadi berubah. "Kesulitan dan malu besar. Ah… Agaknya sesuatu sudah
terjadi atas diri gadis itu. Eyang, maafkan saya … Apakah, maksud Eyang apakah
gadis itu tahu-tahu bunting?’
Hampir si
nenek hendak menampar muka muridnya itu.
"Kau
benar-benar anak setan! Dari mana kau punya pikiran murid Dewa Tuak bunting!
Kau yang membuatnya bunting? Edan!"
"Lalu,
lalu apa yang sebenarnya telah terjadi Eyang?’
"Anggini
telah menjadi iblis doyan darah! Dia membunuh dimana-mana lalu menghisap darah
korbannya!"
"Ya
Tuhan!" mengucap Wiro. "Saya memang mendengar tentang munculnya
seorang gadis yang dijuluki Betina Penghisap Darah. Saya tengah menyelidiki
manusia satu itu. Murid tidak tahu kalau Betina penghisap Darah adalah Anggini,
murid Dewa Tuak! Bagaimana saya bisa mempercayai hal ini?!"
"Kau
tak perlu mempercayainya. Bukti-bukti sudah lebih dari cukup. Banyak orang yang
mengenali dirinya. Sekarang yang kau lakukan adalah mencarinya lalu menyeretnya
ke hadapan Dewa Tuak untuk menerima hukuman. Kalau sampai orang-orang rimba
persilatan yang turun tangan kau tahu sendiri akibatnya. Mereka akan membunuh
gadis itu sampai lumat daging dan tulang-tulangnya.
Sesaat
Wiro terdiam. "Saya tidak habis pikir. Gadis yang begitu baik. Murid yang
sangat cerdas dan periang. Bagaimana tahu-tahu berubah menjadi mahluk haus
darah?
"Banyak
hal yang bisa membuat manusia berubah. Aku akan menemui Dewa Tuak. Kau pergi
mencari gadis itu…"
Wiro
tegak termangu-mangu.
"Anak
setan! Kau dengar ucapanku tidak?"
"Saya
dengar Eyang. Saya akan mencarinya sampai dapat." Jawab Wiro.
"Tapi
ingat satu hal! Jangan kau main gila!"
"Main
gila bagaimana maksud Eyang?" tanya Wiro pula.
"Aku
tahu gadis itu punya hati terhadapmu dan cantik. Dan kau sendiri… He… he…
he…Coba katakan bagaimana perasaanmu terhadapnya!"
Wiro jadi
salah tingkah.
"Saya
sudah sangat lama tidak bertemu. Dia memang cantik. Saya sangat menghormat Dewa
Tuak. Bagaimana mungkin…"
"Anak
pandir! Selama laut masih biru dan gunung masih hijau tak ada yang tidak
mungkin di dunia ini! Karena itu aku ingatkan padamu. Jika kau mengambil
keputusan terhadap gadis itu jangan sampal hatimu mendua. Apalagi sampai kau
sempat dirayunya. Sekali kau bisa dikuasainya berarti ajalmu sudah di mata. Kau
dengar itu!"
"Saya
dengar Eyang," jawab Wiro.
"Sudah!
Aku pergi sekarang. Aku akan menemui tua bangka peminum tuak itu!"
"Eyang,
saya ada usul…" Wiro berkata cepat ketika dilihatnya si nenek hendak
berkelebat pergi.
"Kalau
usulmu masuk akal coba katakana!"
"Bagaimana
kalau saya yang pergi menemul Dewa Tuak dan Eyang yang mencari Anggini."
Kedua
mata Sinto Gendeng membeliak seperti hendak melompat dari rongga matanya yang
sangat cekung. Wajahnya yang angker seperti tengkorak itu kelihatan tambah
menggidikkan.
"Usulmu
usul kurang ajar!" kata si nenek. Tangannya bergerak hendak menampar muka
muridnya itu.
Wiro tak
berusaha menghindari tamparan itu. Dia tetap tegak tak bergerak, hanya air
mukanya saja yang kelihatan tersenyum.
"Maafkan
saya Eyang. Bukan maksud saya mengajari…" katanya.
Si nenek
tarik tangannya, tak jadi menampar. "Sudah, pergi sana! Makin lama kau
petatangpeteteng di hadapanku, makin gatal tanganku hendak menamparmu!"
"Saya
pergi Eyang…" kata Wiro sambil membungkuk.
Ketika
dia hendak melangkah pergi terdengar si nenek memanggil.
"Ada
apa Eyang…?"
"Kau
punya duit?"
"Maksud
Eyang?"
"Maksudku
kau punya bekal uang…?"
"Engg…
ada Eyang."
"Anak
sombong! kalau kau tak punya uang bilang saja! Jangan sok!" Dari balik
pakaian dekilnya si nenek keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain.
Kantong itu dilemparkannya ke arah Wiro. Terdengar suara berdering. Mau tak mau
Wiro segera menanggapi kantong itu.
Ketika
kantong berada dalam genggamannya, sang guru sudah tak ada lagi di tempat itu!
"Mulutnya
konyol, tapi hatinya baik dan polos…" kata Wiro. Sambil menimang-nimang
kantong berisi uang itu pendekar 212 berpikir. Apa betul Anggini murid Dewa
Tuak yang cantik dan yang dikenalnya sangat baik itu tiba-tiba telah berubah
menjadi makhluk doyan darah hingga dijuluki Betina Penghisap Darah? Kalau bukan
gurunya yang memberi tahu, sulit baginya mempercayai. Wiro menarik nafas panjang.
Malam mulai dingin. Pendekar ini akhirnya tinggalkan tempat itu.
*****************
4
RIMBA
belantara itu sunyi senyap, redup menggidikkan. Mencari seorang manusia di
tempat seperti itu sama saja dengan mencari seekor semut di rerumputan. Setelah
setengah harian berkeliaran dalam rimba akhirnya wajah seram Eyang Sinto
Gendeng yang tegang menggidikkan kelihatan menyeringai. Dia mendongakkan kepala
beberapa lama, mencium dalam-dalam lalu tertawa mengekeh.
"Dewa
Tuak! Aku sudah dapat mencium harumnya bau tuakmu. Buat apa masih bersembunyi?
Hik…hik…. hik!"
Belum
habis si nenek tertawa tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang jatuh
sebuah benda bulat panjang. Ternyata benda ini adalah sebuah tabung bambu
sepanjang tiga kaki. Tabung bambu ini jatuh demikian rupa dengan bagian
bawahnya melesat ke arah batok kepala si nenek. Jelas ini merupakan satu
serangan yang mematikan!
Di dalam
tabung bambu itu menebar bau sangat harum dari tuak yang memenuhi tabung sampai
ujung teratas. Walau penuh tapi ketika melayang jatuh isinya tidak sedikitpun
muncrat atau tumpah ke luar. Berarti orang yang melemparkan tabung bambu berisi
tuak itu benar-benar memiliki kepandaian luar biasa!
"Walah!
Belasan tahun tidak bertemu malah kini mau menghancurkan kepalaku! Sungguh
keterlaluan!" berteriak Sinto Gendeng. Dia miringkan kepala serta bahunya
sedikit. Begitu tabung lewat disampingnya segera ditangkapnya. Kepala
ditengadahkan sambil menempel ujung bambu sebelah atas ke bibirnya. Lalu
cegluk… cegluk si nenek meneguk tuak dalam bambu berlelehan membasahi dagu dan
pakalannya.
"Ah,
tuak setan ini makin nikmat saja dari tahun ke tahun! Pasti diramu dengan daun
ganja!"
Sinto
Gendeng teguk lagi tuak dalam bambu sampai mukanya yang menyeramkan seperti
tengkorak itu kelihatan menjadi merah. Tubuhnya terasa panas dan kedua lututnya
mulai bergetar.
"Gila!
Masakan aku bisa mabuk hanya minum beberapa teguk minuman setan ini?!"
kata si nenek. Lalu dia memandang berkeliling. "Dewa Tuak! Kalau belum
juga kau menampakkan diri kupecahkan tabung bambu keparat ini!" Sinto
Gendeng berteriak mengancam.
Saat itu
di atas pohon meledak suara tawa bergelak.
"Tua
bangka bodoh! Sudah tahu tidak tahan minuman keras mengapa kau meneguknya
dengan rakus?!"
Suara itu
juga datang dari atas pohon. Lalu terdengar suara dedaunan pohon berkeresek.
Bersamaan dengan itu sesosok tubuh melayang turun sambil terus mengumbar suara
tawa. Di lain kejab sosok tubuh itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan
Sinto Gendeng. Dia ternyata seorang kakek-kakek berjanggut putih sepanjang
dada. Pakaiannya kain biru yang diselempangkan seperti pakaian seorang Biksu.
Dipunggungnya tergantung sebuah tabung bambu berisi tuak yang bentuknya sama
dengan tabung bambu yang saat itu dipegang Sinto Gendeng.
"Sinto,
lama tidak bertemu ternyata kau tambah jelek saja!" si kakek yang bukan
lain adalah tokoh sakti bergelar Dewa Tuak itu angkat bicara lalu tertawa
mengekeh.
"Nasibmu
tidak lebih baik, Dewa Tuak!" menyahuti Sinto Gendeng. "Tubuhmu
semakin reot dan tampangmu tambah peot! Tua bangka sepertimu ini seharusnya
sudah dijadikan umpan cacing di liang kubur! Hik…hik….hik…."
Kakek
nenek tokoh dunia persilatan itu sama-sama tertawa. Si kakek hentikan tawanya
lebih dulu. "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum tuak kayangan itu.
Aku tidak kawatir kalau kau sampai mabuk Sinto. Tapi yang aku takutkan nanti
kau bisa ngompol terus-terusan tujuh hari tujuh malam!" Dewa Tuak ulurkan
tangannya mengambil tabung bambu.
"Ala,
minuman busuk begini saja, siapa yang mau minum terlalu banyak!" Sinto
Gendeng lemparkan tabung bambu yang dipegangnya. Tabung itu melesat melintang
ke arah si kakek, kedua kakinya agak tersurut sedikit. Tapi dadanya selamat
dari hantaman tabung bambu miliknya sendiri.
Kalau ada
orang pandai ke tiga yang menyaksikan kejadian itu, maka dia akan segera
memaklumi bahwa tenaga dalam dan kepandaian si nenek tidak berada di bawah Dewa
Tuak, malah mungkin sedikit lebih tinggi. Kalau sebelumnya Dewa Tuak
melemparkan tabung bambu dari atas pohon dalam keadaan membujur ke bawah maka
tadi si nenek melemparkan tabung bambu yang sama dalam keadaan melintang dan
tuak di dalamnya sedikipun tidak tumpah!
Dewa Tuak
tancapkan ujung tabung bambu sebelah bawah ke tanah, lalu dia melompat dan
duduk di ujung tabung bambu sebelah atas. Begitu duduk terdengar bagian bawah
perutnya berbunyi! Buuttttt! Si kakek kentut!
"Sekarang
mari kita bicara. Ada keperluan apa kau mencariku Sinto?" bertanya Dewa
Tuak.
"Tunggu!"
Sepasang mata Sinto Gendeng melotot tak berkesip memandang Dewa Tuak.
Kakek ini
seperti hendak ditelannya. "Kau barusan kentut di mulut tabung berisi tuak
itu. Sebelumnya aku sudah meneguk minuman celaka itu. Apakah sebelumnya kau
juga sering kentut di mulut tabung?!"
Dewa Tuak
tertawa bergelak. "Apa perlu kujawab?!" katanya menyahuti.
"Kurang
ajar! Kakek setan! Kau memberi aku minum tuak yang sudah kau kentuti!"
Marah Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Dia menyumpah-nyumpah sambil meludah
berulang kali. Lalu tubuhnya berkelebat seraya kirimkan satu hantaman ke arah
Dewa Tuak. Angin hantaman itu dahsyatnya bukan main. Dewa Tuak tahu betul kalau
si nenek kini benar-benar marah. Dia cepat menyingkir sambil cepat-cepat
mencabut tabung bambu menyambut serangan Sinto Gendeng. Si nenek ternyata hanya
melakukan serangan tipuan. Karena begitu lawan berkelit, serangannya berubah
dan kini menjarah ke arah perut Dewa Tuak.
Bukkk!
Byuuur!
Dewa Tuak
terpental dan jatuh duduk di tanah, tersandar ke sebatang pohon. Sebaliknya
Sinto Gendeng tegak terhuyung-huyung sambil mengusapi muka tengkoraknya yang
basah kuyup oleh semburan tuak kayangan yang tadi disemburkan si kakek. Dewa
Tuak tahu betul. Jika tadi si nenek benar-benar menyerangnya saat itu pasti
perutnya sudah bobol dihantam pukulan dan nyawanya tak akan tertolong.
Sebaliknya Sinto Gendeng juga menyadari. Kalau si kakek sungguhan membalas
serangannya dengan semburan tuak, saat itu pasti mukanya sudah hancur dan
nyawanya putus!
Dewa Tuak
tarik nafas panjang lalu tertawa gelak-gelak. Sehabis tertawa dia teguk tuaknya
dan memandang pada Sinto Gendeng. "Dua tua bangka edan bercanda dalam
rimba belantara. Padahal mungkin ada satu perkara besar yang harus
dihadapi!"
"Syukur
kita sama-sama tahu diri!" kata Sinto Gendeng sambil terus mengeringkan
mukanya yang basah kuyup. "Apa yang kau ucapkan tadi memang betul. Ada
satu perkara besar yang sedang aku hadapi!"
"Ah!"
Dewa Tuak menggeser duduknya hingga lebih enak bersandar ke batang pohon di
belakangnya. "Katakan apa perkara besar itu sahabatku!"
"Sebelum
aku menyampaikan aku ingin bertanya lebih dulu. Aku tidak melihat Anggini
muridmu. Bagaimana keadaannya dan dimana dia saat ini?"
"Anak
itu, dia kuharap baik-baik saja…"
"Kuharap
katamu? Berarti dia tidak ada bersamamu?"
"Betul
Sinto, dia pergi sekitar empat bulan lalu…."
"Kau
tahu pergi ke mana?"
"Katanya
ingin menyambangi beberapa sahabatnya. Siapa tahu mungkin juga dia tengah
mencari muridmu yang sableng itu!"
"Tidak…
Dia tidak mencari Wiro. Tapi tengah melakukan sesuatu yang telah menggegerkan
rimba persilatan. Empat bulan lalu dia meninggalkanmu. Jika dihitung-hitung
memang cocok waktunya dengan semua apa yang terjadi!"
"Eh,
kau bicara apa ini Sinto? Apa yang telah dilakukan muridku Anggini?"
"Kau
pernah mendengar manusia berjuluk Betina Penghisap Darah yang gentayangan sejak
tiga bulan lalu di mana-mana? Melakukan pembunuhan lalu menghisap darah
korbannya secara keji!"
"Aku
memang sudah mendengar kemunculan manusia biadab itu. Lalu apa hubungan keparat
itu dengan muridku Anggini?" bertanya Dewa Tuak.
"Betina
Penghisap Darah ternyata adalah Anggini! Muridmu sendiri!"
Terbeliak
mata Dewa Tuak. Kalau saat itu ada petir menyambar di depan hidungnya mungkin
tidak akan seperti itu dia terkejut.
"Kau
tidak sedang sinting Sinto?"
"Sialan!
Siapa yang sinting!"
"Kau
juga tidak ngaco atau bicara dusta?!"
"Edan!
Aku tidak mabok! Mana mungkin ngaco dan dusta!"
"Kau
tidak memfitnah?!"
"Sompret
kau Dewa Tuak!"
"Lalu
bagaimana kau bisa mengatakan Betina Penghisap Darah itu adalah muridku?"
"Beberapa
tokoh silat mengatakan begitu. Dua diantaranya melihat sendiri. Yang terakhir
seorang pembantu Tumenggung di Kotaraja menceritakan ciri-ciri Betina Penghisap
Darah itu. Semua cocok dengan ciri-ciri muridmu. Wajahnya, pakaiannya.
Semuanya! Nah kau mau bilang apa lagi?!"
Dewa Tuak
seperti dihenyakkan ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia duduk terdiam.
"Kalau
bukan kau sendiri yang datang membawa berita ini dan mengatakannya padaku, aku
tak bakalan percaya," berucap Dewa Tuak. Suaranya perlahan dan bergetar.
"Apa yang terjadi dengan anak itu…?"
"Aku
kawatir dia telah terperangkap dalam satu ilmu sesat. Ilmu yang mewajibkannya
harus membunuh dan menghisap darah manusia. Setahuku korban-korbannya hanya
orang-orang tertentu. Para bangsawan, para pejabat, tokoh-tokoh silat. Umumnya
semua mereka itu masih muda-muda. Lelaki atau perempuan…"
"Gusti
Allah…" Dewa Tuak mengucap. Dia memandang pada Sinto Gendeng. "Apa
yang harus kulakukan Sinto? Dunia persilatan pasti mengutukku habis-habisan.
Maluku hendak disembunyikan kemana?"
"Kau
harus mencari anak itu. Membuatnya bertobat lalu menghukumnya. Kalau tidak kau
sendiri yang turun tangan, maka pembalasan orang-orang persilatan akan sangat
mengerikan. Aku tak bisa membantumu Dewa Tuak."
"Apakah
dia demikian saktinya hingga tak seorangpun selama tiga bulan ini sanggup
mengalahkannya?"
"Bekal
ilmu silat dan kesaktian yang kau berikan padanya sudah cukup membuat dia
menjadi seorang tokoh muda yang disegani. Apalagi kalau dia mendapat tambahan
ilmu setan yang sulit dipercaya kehebatannya! Lihat saja, mengapa dia harus
minum darah setiap korban yang dibunuhnya? Pasti itu menjadi salah satu
keharusan jika dia ingin menguasai terus ilmu yang climilikinya!"
"Anggini…"
Dewa Tuak menyenut nama murianya dengan nada penuh penyesalan.
Perlahan-lahan
kakek ini berdiri. Dari balik pakaian birunya dikeluarkannya sebuah benda lalu
dia berkata pada Sinto Gendeng.
"Sahabatku,
kau menjadi saksi tunggal. Aku bersumpah akan mencari anak itu dan membunuhnya.
Jika dalam tempo empat puluh hari aku tidak berhasil melakukannya atau aku
sampai dikalahkannya, aku lebih baik memilih mati dari pada harus menanggung
malu yang menyengsarakan!"
Habis
berkata begitu Dewa Tuak masukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut. Sinto
Gendeng hendak mencegah tapi terlambat.
"Dewa
Tuak! Apa yang kau telan itu?!"
"Racun
kematian!" jawab Dewa Tuak dengan tegar, "Racun itu akan bekerja pada
hari ke empat puluh satu dari sekarang. Jika aku tidak berhasil mencari anak
itu. Atau berhasil tapi tak sanggup meringkus dan membunuhnya, maka pada hari
ke empat puluh satu aku sudah pasrah menemui kematian."
"Jangan
tolol! Aku tahu kau pasti memiliki obat penangkal racun itu di balik pakaianmu.
Ayo lekas kau telan obat penangkal itu!"
Dewa Tuak
menggeleng.
"Aku
sudah memutuskan lebih baik mati di hari ke empat puluh satu itu. Dari pada
menanggung malu besar!"
"Tua
bangka bodoh! Mengapa kau jadi begini tolol dan ikut-ikutan sesat?"
"Terus
terang aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini. Usiaku sudah lebih dari
delapan puluh tahun. Buat apa menghabiskan sisa hidup dengan menanggung malu?
Lebih baik mati berkalang tanah!"
Sinto
Gendeng terdiam. Dia tidak bisa menyalahkan Dewa Tuak kalau sampai berbuat
seperti itu.
"Kau
sendiri apa yang hendak kau lakukan Sinto? Sebagai salah seorang sesepuh dunia
persilatan yang ikut menentukan hitam putihnya masa depan dunia persilatan,
apakah kau tidak akan turun tangan?"
"Aku
lebih banyak memandang pada persahabatan kita. Lagi pula tua bangka sepertiku
ini sepantasnya tidak boleh terlalu banyak mengurusi masalah dunia. Aku sudah
minta muridku Wiro Sableng untuk mencarinya lalu membawanya padamu. Hanya itu
yang bisa kulakukan…"
"Terima
kasih sahabat…." kata Dewa Tuak. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Di ujung usiaku ini, sebetulnya aku ingin menghabiskan sisa hidupku
dengan tinggal di satu tempat yang sunyi dan tenang. Namun nasibku mengatakan
lain…" Dewa Tuak menarik nafas dalam. Sinto Gendeng mengangguk-angguk. "Kita
memang hidup di dunia ini," katanya. "Tapi kehendak Tuhan lebih
banyak menentukan dari kemauan kita sendiri!"
Dewa Tuak
ambil tabung bambu yang dipangkuannya. Isi tabung itu diteguknya sampai habis.
Seperti belum puas diambilnya tabung satu lagi yang tergantung di punggungnya.
Lalu isi tabung inipun ditenggaknya sampai habis. Perutnya tampak melembung.
Sekujur tubuh terutama mukanya kelihatan merah seperti udang rebus. Kedua
matanya juga tampak merah sekali. Perlahan-lahan kakek ini berdiri.
"Kita
berpisah di sini Sinto. Kalau umur sama panjang aku merasa senang dapat bertemu
denganmu lagi…"
"Itu
juga menjadi keinginanku. Selesaikan urusanmu dengan baik."
Dewa Tuak
mengangguk. Sekali dia berkelebat dirinyapun lenyap dari tempat itu.
*****************
5
ROMBONGAN
orang-orang yang berburu itu memacu kuda masing-masing menuju ke Timur. Di satu
tempat, sebelum memasuki hutan sasaran, Kepik Kuntolo hentikan kuda seraya
mengangkat tangan memberi tanda. Pangeran Panji Kenanga dan orang-orang yang
ada di belakang penunjuk jalan itu segera hentikan kuda.
"Ada
apa Kepik?" tanya Pangeran Panji Kenanga seraya membetulkan letak busur
dan kantong panah di pinggangnya.
"Saya
mengusulkan sebaiknya kita tidak memasuki hutan ini. Tapi mencari hutan lain
saja Pangeran."
"Heh?!"
Pangeran Panji merasa heran mendengar ucapan pembantunya itu. "Alasan apa
kau berkata begitu Kepik?"
"Saya
baru ingat Pangeran. Pihak Istana telah menetapkan kawasan hutan Kemikir ini
sebagai daerah berbahaya tingkat tiga."
"Daerah
berbahaya tingkat tiga. Hemm…Aku baru mendengarnya. Apa yang telah terjadi? Ada
bahaya apa dalam rimba belantara ini yang membuat wajahmu kulihat jadi berubah
pucat!"
"Hutan
Kemikir diketahui sebagai salah satu daerah gentayangannya mahluk yang dijuluki
Betina Penghisap Darah!"
"Ah…!
Itu rupanya yang ada dalam benakmu! Cerita isapan jempol begitu siapa yang mau
percaya?" Pangeran Panji lalu tertawa gelak-gelak. Anggota rombongan lain
yang terdiri dari tiga orang pengawal dan tiga orang kawan-kawan sebaya sang
Pangeran ikut-ikutan tertawa. Salah seorang kawan Pangeran Panji berkata.
"Akan kita lihat! Kalau benar ada mahluk itu dalam hutan sana, apakah dia
sanggup menahan panah dan tombak Pangeran Panji Kenanga!"
"Kudengar…"
kata salah seorang kawan sang Pangeran yang lain, "Makhluk berjuluk seram
itu adalahseorang gadis cantik jelita. Nah, kita muda-muda dan gagah semua.
Masakan tidak satupun yang akan ditaksirnya?"
Kembali
tempat itu menjadi ramai oleh gelak tawa semua orang kecuali Kepik Kuntolo yang
kelihatan tetap tegang.
"Kepik,"
kata Pangeran Panji Kenanga pula. "Hutan Kemikir diketahui paling banyak
babi hutannya. Nah apa bukan ini hanya siasat para pejabat tertentu di Istana
yang tidak mau orang lain masuk kemari dan menghabisi babi-babi hutan itu
hingga mereka takut nanti tidak kebagian lagi?!"
Kepik
Kuntolo tidak menjawab. Yang menyahuti malah Jaka Dolok, salah seorang pemuda
sahabat sang Pangeran. "Apa yang Pangeran katakan itu mungkin benar.
Sudahlah, mengapa kita harus berlama-lama di tempat ini. Biar aku yang duluan
masuk ke dalam hutan. Kalau bertemu gadis jelita itu akan aku suruh dia tolong
memasakkan hasil buruan kita!"
Pangeran
Panji tertawa. Digebraknya kudanya mengikuti Jaka Dolok. Yang lain-lain segera
pula bergerak. Kepik Kuntolo sesaat merasa bimbang. Akhirnya diapun mengikuti
rombongan itu masuk ke dalam hutan.
Setelah
beberapa lama jauh masuk ke dalam hutan dan masih belum menemui binatang
buruan, Pangeran Panji berkata. "Aneh, pada kemana semua babi di hutan
ini? Satupun tak kelihatan mata hidungnya…"
Baru saja
sang Pangeran berkata begitu tibatiba lapat-lapat terdengar suara perempuan
menyanyikan pantun.
Hutan
Kemikir banyak babinya
Babi
diburu diambil dagingnya
Kasihan
babi mahluk tak berdosa
Hendak
melawan tak punya daya
Kalau
dibiarkan pemburu bersuka-suka
Pesta
mereka tak akan pernah berhenti
Kutolong
babi dari derita
Biarlah
pemburu kuhukum mati
"Eh,
nyanyian itu seperti ditujukan pada kita?" ujar Pangeran Panji seraya
memandang pada orang-orang dalam rombongannya. Yang dipandangi tenang-tenang
saja malah ada yang tersenyum sementara Kepik Kuntolo tampak gelisah.
"Kita harus mencari tahu siapa perempuan yang menyanyi itu."
"Suaranya
merdu. Orangnya pasti ayu!" kata Jaka Dolok. "Ayo kita
mencarinya."
Joko
Dolok kembali memimpin rombongan memasuki hutan lebih jauh ke dalam. Kini
rombongan itu bergerak ke arah datangnya suara nyanyian tadi. Kepik Kuntolo
yang mati ketakutan menunggangi kudanya paling belakang. Sekali-sekali dia
menoleh ke belakang, merasa seolah-olah ada orang atau pandangan mata yang
mengikuti gerak gerik rombongan itu. Tujuh ekor kuda tunggangan mendadak
menunjukkan sikap aneh. Binatang-binatang ini seperti tak mau melangkah maju.
Dari mulut mereka keluar suara mendesis. Lalu. satu demi satu mereka mulai
meringkik.
"Tenang!
Tenang…!" kata Pangeran Panji menenangkan kudanya sambil mengusap leher
binatang Itu. Yang lain-lain melakukan hal yang sama hingga tujuh ekor kuda
tunggangan itu kembali tenang dan berhenti meringkik tetapi tetap saja tak mau
bergerak. Tiba-tiba terdengar Jaka Dolok berseru sambil menunjuk ke depan dan
hentikan kudanya.
"Lihat!"
Semua
anggota rombongan sama hentikan kuda dan memandang ke arah yang ditunjuk. Di
atas cabang terpendek sebatang pohon kelihatan duduk seorang gadis berwajah
cantik sekali mengenakan pakaian ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna
ungu tergelung di lehernya. Dia duduk bersandar ke batang pohon sedang kedua
kakinya dilunjurkan sepanjang cabang yang didudukinya. Suara nyanyiannya sirap
dan kedua matanya memandang ke arah lain seolah tidak mau memperhatikan ke
datangan rombongan Pangeran Panji. Yang mengherankan Pangeran Panji dan
kawan-kawannya ialah ketika melihat di bawah cabang pohon di mana sang dara
duduk, berkeliaran lebih dari selusin babi hutan dan anak-anaknya yang
gemukgemuk. Binatang ini berkerumun di bawah pohon seolah-olah binatang
peliharaan yang menunggu tuannya.
"Kepik
Kuntolo!" kata Pangeran Panji pada penunjuk jalan. "Ini orangnya yang
kau sebut Betina Penghisap Darah itu?"
"Saya…
Saya tidak dapat memastikan Pangeran." jawab Kepik Kuntolo karena melihat
kecantikan si gadis seperti itu hatinya tentu saja bimbang untuk memastikan
bahwa gadis itu adalah mahluk jahat penghisap darah yang selama ini dikabarkan
gentayangan di hutan Kemikir. Pangeran Panji tersenyum. Dia memandang pada Jaka
Dolok dan berkata dengan suara perlahan.
"Memang
terasa aneh kalau ada gadis secantik ini berada dalam rimba belantara. Lalu
babibabi hutan itu seperti binatang peliharaannya. Berkeliaran di bawah pohon
tempat dia duduk. Apa pendapatmu Jaka?"
"Saat
ini yang ingin kulakukan ialah menyapa dirinya lalu berkenalan. Setelah itu…
He….he… he. Kalau aku yang mendapatkannya lebih dulu jangan kalian
mengiri." Jaka Dolok kedipkan matanya. Kudanya dimajukan sampai ke bawah
pohon. Binatang ini tidak mau bergerak. Dengan susah payah akhirnya Jaka Dolok
berhasil juga membuat kuda ini maju beberapa langkah. Kini kepala Jaka Dolok
tepat berada di depan cabang pohon tempat dara berbaju ungu duduk.
"Gadis
cantik di atas pohon. Namaku Jaka Dolok. Katakan siapa namamu, mengapa berada
di rimba ini. Apakah babi-babi hutan ini peliharaanmu. Lalu yang paling penting
apakah aku boleh berkenalan denganmu?"
Si gadis
yang sejak tadi memandang ke arah kejauhan palingkan kepalanya. Dia memandang
ke bawah. Jaka Dolok kini dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Benar-benar
cantik sekali hingga dia jadi terkesiap. Namun dalam terpesona begitu pemuda
ini melihat ada kilatan sinar aneh pada sepasang mata sang dara.
"Hai…!"
kata Jaka Dolok. Dia coba tersenyum. Tangan kanannya diulurkan ke atas hendak
meraba betis si gadis yang tersembul putih dan mulus. Si gadis angkat kakinya
hingga tangan Jaka Dolok hanya meraba cabang pohon.
"Para
pemburu telah tiba. Saat hukuman dijatuhkan!" Gadis di atas pohon
terdengar berkata.
"Eh,
aku bertanya. Kau malah bicara apa?" kembali Jaka Dolok membuka mulut.
"Pertanyaanmu
banyak sekali! Gerakan tanganmu tidak sopan! Pergilah!" kata gadis
berpakaian ungu di atas cabang pohon. Tiba- tiba kaki kanannya borgerak cepat
sekali.
Wuuut!
"Jaka
awas!"teriakPanji Kenanga yang melihat apa yang terjadi dari kejauhan.
Bukkk!
Teriakan
itu terlambat sebagaimana terlambatnya Jaka Dolok menghindarkan kepalanya dari
tendangan kaki gadis di atas pohon. Tubuhnya terpental sewaktu kepalanya
dihantam tendangan dan terkapar jatuh satu langkah dari hadapan rombongan
Pangeran Panji. Tujuh ekor kuda meringkik keras. Tubuh Jaka Dolok tidak
berkutik lagi. Kepalanya sebelah kanan hancur mengerikan!
"Gadis
keparat! Apa yang kau lakukan terhadap temanku?!" teriak Panji Kenanga
marah.
"Kau
sudah melihat sendiri, mengapa masih bertanya?" menyahuti si gadis di atas
pohon.
Mendengar
jawaban itu kemarahan Pangeran Panji jadi menggelegak. Dicabutnya tombak besi
yang tersisip di kantong pada leher kudanya. Seniata ini kemudian digebukkannya
ke arah si gadis.
Traakk!
Hantaman
tombak besi hanya mengenai cabang pohon hingga berderak patah. Sedang si gadis
sendiri saat itu sudah melompat dari duduknya. Tubuhnya melayang ke atas.
Begitu turun kakinya menendang lagi. Kali ini tombak di tangan Pangeran Panji
yang jadi sasaran hingga senjata itu mental. Selagi sang Pangeran merasakan
pedas pada telapak dan jari-jari tangan kanannya, dari atas tiba-tiba dara
berbaju ungu itu melayang turun. Kedua tangannya meluncur ke arah batang leher
Pangeran Panji.
"Pangeran
awas!" teriak tiga pengawal dan dua temannya berbarengan.
"Astaga!
Lihat! Sepuluh jarinya mengeluarkan kuku panjang merah!" salah seorang
anggota rombongan kembali berteriak.
Saat itu
Pangeran Panji telah siap mencabut golok yang tersisip di pinggangnya. Namun
dia hanya sempat memegang gagang senjata ini. Sepuluh kuku merah yang ada
lobang-lobangnya menancap di tenggorokannya. Tubuhnya terangkat ke atas.
Pangeran Panji berteriak keras.
Matanya
membeliak. Lidahnya terjulur. Darah mengucur deras dari sepuluh lobang pada
lehernya yang ditembus sepuluh kuku merah. Tapi lebih banyak lagi darah yang
tersedot lewat ujungujung kuku berlubang itu!
Pangeran
Panji hanya mampu menggeliat-geliat beberapa saat. Tubuh itu kemudian tampak
terkulai. Ketika cengkeraman dilepas, tubuh Pangeran Panji jatuh ke bawah dan
menyangsang diatas serumpunan semak belukar. Untuk kesekian kalinya kuda-kuda
yang ada disitu mengeluarkan suara ringkikan keras.
"Dia…
dia benar-benar mahluk berjuluk Betina Penghisap Darah itu…" kata Kepik
Kuntolo, dengan suara gemetar dan muka pucat. Karena tidak dapat lagi menahan
rasa takutnya penunjuk jalan ini putar kudanya dan menghambur lari dari tempat
itu.
Dua orang
pemuda kawan Pangeran Panji yang ada dalam rombongan sebenarnya juga sudah dilanda
rasa takut. Namun salah seorang dari mereka masih berusaha berteriak pada tiga
orang pengawal agar segera membunuh gadis berpakaian ungu itu. Tiga pengawal
segera menghunus senjata. Dua mencabut golok, satu menyiapkan tombak. Mereka
melompat turun dari kuda masing-masing. Gadis berbaju ungu berdiri dengan kaki
terkembang. Mulutnya dan lidahnya sibuk menjilaiti kedua tangannya yang
berlumuran darah.
Dua golok
dan satu tombak berkelebat. Si gadis keluarkan suara tertawa panjang. Tubuhnya
berputar membelakangi ke tiga penyerang. Tiga orang pengawal menyangka gadis
itu hendak melarikan diri. Tapi mereka tersentak kaget begitu laksana kilat
kaki kanan lawan melesat menghantam kepala mereka satu persatu. Ketiganya
mencelat dan terhempas di tanah saling tindih. Masing-masing mengeluarkan suara
erangan pendek. Tangan atau kaki mereka menggeliat sesaat setelah itu ketiganya
tak bergeming lagi!
Dua orang
pemuda yang ada di tempat itu putus nyali mereka. Tidak tunggu lebih lama
keduanya sepera memutar kuda untuk melarikan diri. Gadis berpakaian ungu
tertawa melengking.
"Kalian
mau lari kemana?!" teriaknya. Tubuhnya melesat ke atas cabang pohon. Tepat
pada saat dua pemuda berkuda lewat di bawahnya, dia melompat turun. Kaki kanan
menendang, tangan kiri memukul.
Bukkk!
Pemuda di
sebelah kanan hancur dadanya dan remuk jantungnya. Darah membersit keluar dari
tubuhnya yang melayang terpental. Pemuda kedua siap menerima kematian begitu
jotosan tangan kanan gadis berbaju ungu menderu ke arah batok kepalanya.
Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
"Anggini!
Jangan!"
Sebutan
nama itu tidak mengejutkan si gadis. Yang membuat dia kaget adalah keras dan
membahananya suara teriakan tadi pertanda orang yang berteriak memiliki tenaga
dalam sangat tinggi. Suara teriakan itu membuat gadis berpakaian ungu tarik
pulang serangannya. Pemuda di atas kuda sadar kalau dirinya diselamatkan oleh
teriakan yang tiba-tiba tadi, secepat kilat menggebrak kudanya dan lari dari
tempat itu.
Seorang
pemuda berpakaian dan berikat kepala putih berkelebat muncul di antara tebaran
mayat. Dia memandang pada gadis berbaju ungu dengan rasa tidak percaya.
Tengkuknya bergidik ketika melihat kedua tangan gadis itu berlumuran darah.
Darah juga kelihatan menempel di mulut dan wajahnya
"Anggini!
Kenapa kau lakukan ini semua?!"
"Siapa
kau!" bentak gadis berbaju ungu. Kedua matanya memandang tak berkesip.
"Ah,
kau tak mengenali diriku lagi? Aku Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede. Gurumu Dewa Tuak dan guruku saling bersahabat. Kita memang sudah sangat
lama tidak pemah bertemu!"
Mulut
yang berlumuran darah itu kelihatan menyeringai. "Untung kau datang
sekarang. Kalau tadi-tadi selagi aku masih haus pasti darahmu akan kuminum!
Tapi lain kali, jika kau berani muncul lagi di hadapanku akan kuhisap seluruh
darah yang ada ditubuhmu!"
Habis
berkata begitu gadis berbaju ungu ini berpaling pada belasan ekor babi hutan
dan anak-anaknya yang masih berkerumun di bawah pohon, Aneh, binatang-binatang
itu sama sekali seperti tidak terusik oleh apa yang terjadi di tempat itu.
"Kalian
sudah selamat! Pergilah!" berkata gadis berbaju ungu lalu lambaikan
tangannya. Ada satu gelombang angin menyapu tubuh babi-babi hutan itu.
Serentak, seperti tersadar binatangbinatang itu keluarkan suara melenguh lalu
lari beriringan masuk ke dalam bagian hutan yang lebih lebat.
Si gadis
melirik ke arah pemuda di sampingnya. Tubuhnya bergerak dan tahu-tahu dia sudah
berkelebat dari tempat itu.
"Anggini!
Tunggu!" teriak Wiro sambil mengejar.
Satu
gelombang angin sedingin es menghantam Pendekar 212. Wiro berseru kaget dan
cepat menyingkir. Sambaran angin dingin yang masih sempat menyapu tubuhnya
sebelah kanan membuat dia menjadi kaku beberapa saat dan tidak mampu meneruskan
mengejar!
*****************
6
PENDEKAR
212 kerahkan tenaga dalam yang mengandung hawa panas ke bagian tubuhnya yang
kaku dilanda pukulan hawa dingin tadi.
"Luar
biasa!" katanya dalam hati. "Eyang mewariskan pukulan angin es
padaku. Tapi untuk menundukkan musuh dengan pukulan itu membutuhkan waktu.
Sebaliknya Anggini mampu melakukannya dengan sangat cepat. Dewa Tuak setahuku
tidak memiliki ilmu pukulan hawa dingin seperti itu. Pasti gadis ini
mempelajarinya dari orang lain!" Wiro garuk-garuk kepala. Dia menghela
nafas ketika memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. "Heran,
kenapa gadis itu berubah menjadi ganas dan jahat? Apa yang dialaminya?"
Wiro melangkah mendekati mayat pengawal yang saling tumpang tindih.Kembali dia
memperhatikan mayat sang Pangeran. "Yang satu ini kelihatannya bukan
pemuda sembarangan." Wiro membungkuk dan menarik kalung yang masih
melingkar di leher yang hancur mengerikan itu. Ketika diperhatikannya kalung
itu terkejutlah murid Sinto Gendeng. Dia mengenali kalung seperti itu hanya
dimiliki dan dipakai oleh putera-putera Istana.
"Pemuda
satu ini pasti seorang Pangeran…." kata Wiro. "Sri Baginda tentu
tidak akan tinggal diam. Anggini pasti akan dikejar sampai ke ujung dunia
sekalipun. Dan Dewa Tuak akan terseretseret….
Apa yang
yang sekarang harus kulakukan? Mengurusi mayat-mayat sebegini banyak? Biar
setan-setan hutan saja yang mengurus mereka!" kata Wiro lalu tinggalkan
tempat itu. Rasa penasaran membuat dia bergerak ke arah lenyapnya Anggini tadi.
Dia mencoba untuk mengejar gadis itu walau sadar kalau saat itu si gadis sudah
berada jauh.
********************
BERITA
yang disampaikan Kepik Kuntolo dan pemuda kawan Pangeran Panji yang selamat
membuat geger Istana. Sri Baginda langsung memanggil beberapa Perwira Tinggi.
Dua orang tokoh silat Istana yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan di
Istana ikut mendampingi para Perwira Itu. Mereka adalah Ki Ageng Timur yang
dikenal dengan gelar Si Gelang Setan dan Ki Sambar Tringpali berjuluk Si
Cangklong Maut. Kedua tokoh silat Istana ini sama berusia di atas 70 tahun dan
telah mengabdi lebih dari 40 tahun hingga mereka sangat disegani baik di dalam
maupun di luar Istana.
Abdi
Jalakdiri, pemuda teman Pangeran Panji yang berhasil lolos dari tangan Betina
Penghisap Darah, melaporkan bahwa dia sempat menyaksikan munculnya seorang
pemuda berambut gondrong, berpakaian dan berikat kepala putih. Pemuda ini
memanggil Betina Penghisap Darah dengan nama Anggini. Sedang si pemuda sempat
didengarnya memperkenalkan diri sebagai Wiro. Jelas kedua orang itu saling
mengenal.
"Satu
bernama Anggini. Satunya lagi Wiro," mengulang Sri baginda lalu berpaling
pada dua orang tokoh silat Istana. "Kalian pernah mendengar nama-nama
itu?"
"Dalam
dunia persilatan hanya ada satu orang bernama Wiro," kata Ki Sambar
Tringgali.
Dia
digelari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid tunggal seorang nenek sakti
di Gunung. Gede. Setahu saya dia tidak termasuk kelompok orang jahat. Tapi
manusia bisa saja berubah."
"Aku
minta kalian menangkap orang itu. Tangkap hidup-hidup. Seret ke hadapanku.
Bunuh di tempat kalau dia melawan!"
"Akan
kami lakukan Sri Baginda," kata Ki Sambar Tringgali alias Si Cangklong
Maut. Lalu disedotnya cangklongnya (pipa) dalam-dalam.
"Bagaimana
dengan si pembunuh sendiri. Gadis dajal berjuluk Betina Penghisap Darah itu!
Namanya sudah diketahui. Anggini. Apa diantara kalian ada yang kenal atau tahu
menahu tentang dirinya?"
"Saya
tidak berani memastikan. Tapi dari ciri-ciri warna pakaian yang dikenakannya
saya bisa menduga. Saya harap tidak meleset," menjawab Ki Ageng Timur
alias Si Gelang Setan. Di pinggangnya tergantung lima buah besi pipih tajam
berbentuk gelang yang menjadi andalannya dan membuat dia menyandang gelar yang
angker itu. "Sri Baginda ingat pada seorang tokoh silat disegani bernama
Dewa Tuak?"
"Tentu
saja. Orang tua itu pernah beberapa kali membantu Kerajaan menghadapi kaum
pemberontak dan para penyerang dari seberang. Apa hubungan Dewa Tuak dengan
Anggini?"
"Gadis
penghisap darah itu adalah murid Dewa Tuak," jawab Ki Ageng Timur.
Terkejutlah
Sri Baginda mendengar hal itu. "Dunia benar-benar telah berubah!"
katanya.
"Yang
putih dan baik bisa berubah menjadi hitam dan jahatl Kalian harus mencari gadis
itu. Memandang diri Dewa Tuak kita seharusnya tidak boleh bertindak keras. Tapi
mengingat nyawa puteraku telah direnggutnya secara keji, aku perintahkan kalian
mencari dan membunuh gadis itu! Kemudian cari Dewa Tuak dan perintahkan dia
menghadapku!"
Atas
kehendak Sri baginda tiga kelompok besar dibentuk. Kelompok pertama yang
ditugaskan untuk mengambil mayat Pangeran Panji Kenanga dan kawan-kawannya
serta pengawal hutan Kemikir. Kelompok ini cukup dipimpin oleh seorang Perwira
Muda. Kelompok kedua dipimpin oleh Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali.
Mereka ditugaskan untuk mencari Anggini dan Pendekar 212. Dalam kelompok ini
ikut serta Kepik Kuntolo si penunjuk jalan dan abdi Jalakdiri kawan Pangeran
Panji. Kelompok ke tiga dikepalai oleh seorang Perwira Tinggi dengan tugas
mencari Dewa Tuak.
Karena
Anggini dan Pendekar 212 sebelumnya diketahui berada di hutan Kemikir maka
Kelompok pertama dan kelompok kedua secara bersamaan segera berangkat menuju
rimba belantara itu.
Setelah
mayat-mayat yang ditemukan dalam hutan dimasukkan ke dalam beberapa peti mati,
rombongan yang dipimpin Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur segera
melanjutkan perjalanan menembus lebih jauh ke dalam hutan Kemikir. Kepik
Kuntolo, menunjuk jalan yang sebelumnya menemani Pangeran Panji berburu ikut
dalam rombongan ini ditunjuk sebagai petunjuk jalan karena dia yang mengetahui
seluk beluk hutan tersebut.
Saat itu
matahari mulai menggelincir ke titik tenggelamnya. Setelah berunding beberapa
ketika rombongan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan baru berhenti kalau
kegelapan benar-benar tidak memungkinkan untuk ditembus pandangan mata. Tepat
ketika matahari lenyap di ufuk Barat, rombongan mendengar suara gemercik air di
kejauhan.
"Kita
berada dekat aliran anak sungai Opak Kemikir," menerangkan Kepik Kuntolo.
"Kalau
begitu kita berkemah di dekat anak sungai itu," kata Ki Sambar Tringgali.
Kepik
Kuntolo mengangguk dan meneruskan bergerak di depan rombongan. Tak berapa lama
kemudian di kegelapan yang temaram kelihatan sebuah jeram pendek. Air sungai
yang jatuh dari bagian atas jeram inilah yang tadi mereka dengar suara
gemericiknya.
"Ah,
ternyata kita sudah keduluan orang," kata Kepik Kuntolo.
"Betul,
memang kelihatan ada seseorang di dekat jeram sana," berkata Ki Ageng
Timur sambil menatap jauh ke arah jeram anak sungai Opak Kemikir yang mulai
gelap.
"Astaga!"
terdengar Abdi Jalakdiri berucap.
"Ada
apa?" tanya Ki Sambar Tringgali cepat.
"Orang
di dekat jeram itu! Dia adalah pemuda yang saya terangkan. Yang mengaku bernama
Wiro dan memanggil gadis berpakaian ungu itu sebagai Anggini!"
"Kau
tidak salah lihat anak muda?" tanya Ki Ageng Timur.
"Tidak.
Itu memang dia. Saya mengenali rambutnya yang gondrong!" jawab Abdi
Jalakdiri.
"Kalau
begitu lekas kurung daerah sekitar jeram!" perintah Ki Ageng Timur.
Dua puluh
orang perajurit yang ikut dalam rombongan itu, dibawah seorang Perwira Muda
segera bergerak dalam kegelapan. Mereka sudah terlatih baik hingga dalam waktu
singkat, tanpa mengeluarkan suara daerah sekitar jeram dimana pemuda berambut
gondrong itu berada sudah dikurung rapat. Masing-masing perajurit mencekal
golok panjang atau pedang berkeluk. Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali
melompat turun dari kuda masing-masing. Kepik Kunolo dan Abdi Jalakdiri juga
turun dari tunggangan mereka. Namun kedua orang ini tetap di tempat, tidak
bergerak mengikuti langkah dua tokoh silat Istana yang berjalan cepat menuju
jeram anak sungai Opak Kemikir.
*****************
7
PENDEKAR
212 bukan tidak tahu kalau saat itu dia tidak sendiri lagi di sekitar jeram.
Semula dia menyangka gerakan-gerakan yang didengarnya didalam gelap adalah
gerakan Anggini yang tengah dikejarnya dan mungkin kembali menemuinya. Namun
ketika diketahuinya bahwa tidak hanya ada satu orang berada di tempat itu,
melainkan lebih dari dari dua puluh orang, murid Sinto Gendeng segera
bersiap-siap penuh waspada. Dia membatalkan membasuh mukanya dengan air sungai.
"Harap
berikan jawaban. Apakah kami berhadapan dengan Pendekar 212 murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede?!" Satu suara menegur. Wiro berpaling. Diam-diam dia terkejut
karena ternyata orang yang bertanya itu sudah berada demikian dekat dengan dia.
Hanya terpisah sekitar tujuh langkah dan ternyata seorang tua berjubah kelabu,
berikat pinggang merah. Pada ikat pinggangnya mencantel lima buah gelang pipih
terbuat dari besi. Orang tua ini tidak sendirian.
Disampingnya
tegak pula seorang tua lainnya, mengenakan baju hitam. Kedua tangan
dirangkapkan di depan dada sedang dimulutnya terselip sebuah cangklong yang
mengepulkan asap terus-terusan. Wiro melirik. Paling tidak sekitar dua puluh
orang dilihatnya mendekam dalam gelap, mengurung tempat itu.
"Orang
tua, harap beri tahu dulu siapa yang bertanya dan ada keperluan apa mengajukan
pertanyaan?"
Semula Ki
Ageng Timur hendak marah melihat orang tidak menjawab pertanyaannya tapi malah
balik mengajukan pertanyaan. Namun kawan di sebelahnya cepat menyahuti.
"Kawanku
ini bernama Ki Ageng Timur, bergelar Si Gelang Setan. Aku sendiri Ki Sambar
Tringgali berjuluk Si Cangklong Maut. Kami adalah utusan Istana dengan tugas
menangkap dirimu jika kau benar Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Saya
memang bernama Wiro. Mengenai gelaran Pendekar 212 itu tidak perlu dibesar
besarkan. Ada persoalan apa Istana mengutus kalian orang-orang tua yang gagah
menangkap diriku? Kesalahan apa yang telah saya lakukan terhadap
kerajaan?"
"Kawanmu
gadis berbaju ungu bernama Anggini itu telah membunuh Pangeran Panji Kenanga,
putera Sri baginda!" Terdengar jawaban dari belakang kedua orang tua itu.
Yang bicara ternyata adalah Abdi Jalakdiri, sahabat Pangeran Panji.
"Hemmmm…
Begitu!" Wiro garuk-garuk kepala sambil memandangi dua wajah orang tua di
depannya. "Kalau memang kawanku yang membunuh Pangeran Panji, kenapa aku
yang hendak kalian tangkap?"
"Satu
orang berbuat jahat, kawannya patut diamankan!" sahut Ki Ageng Timur.
Wiro
menyeringai. "Aturan dari mana yang menogatakan begitu Ki Ageng Timur.
Jika kawanmu Ki Sambar Tringgali berbuat jahat, apakah kau mau juga ikut-ikutan
ditangkap?!"
Paras Ki
Ageng Timur menjadi merah dalam gelapnya malam. "Sudah! Kau jangan banyak
mulut. Sebelum kami tangkap katakan dulu di mana teman perempuanmu yang telah
membunuh putera Sri Baginda itu?!"
"Mana
saya tahu! Sayapun sedang dalam mengejarnya!"
"Kalau
kau mengejarnya, kau pasti tahu kemana dia melarikan diri!" sentak Ki
Ageng Timur.
Wiro
kembali menyeringai. "Saya seperti bertanya jawab dengan anak kecil. Saya
tahu sahabat saya itu telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Sayapun
mendapat tugas untuk menangkapnya. Tapi tidak untuk menghadapkannya pada Sri
baginda, melainkan membawanya ke hadapan gurunya!"
"Kau
tidak akan berhasil melakukan hal itu, Pendekar 212. Karena saat ini juga kau
harus menyerahkan diri. Jika kau mau menyerah secara tanpa perlawanan, aku
berjanji tidak akan ada segores lukapun diderita tubuhmu!"
"Kalau
saya melawan?" tanya Wiro pada Ki Ageng Timur.
"Tubuhmu
akan kami cincang sampai lumat!"
"Ah!
Mengerikan sekali!" ujar Wiro sambil sunggingkan senyum dan garuk-garuk
kepalanya. "Kalau kalian minta keterangan tentang sahabat saya itu, saya
rasa itu adalah satu hal yang wajar.
Tapi
kalau kalian menyuruh saya menyerah dan mencincang jika melawan…" Wiro
hentikan ucapannya lalu tertawa gelak-gelak. "Hutan ini memang banyak
hantu dan setannya. Saya kawatir kalian semua sudah pada kena kesambat hingga
meracau dan hendak melakukan tindakan yang bukan-bukan!"
"Pendekar
bermulut lancang!" bentak Ki Ageng Timur. "Rupanya kau memang minta
dicincang!" Lalu orang tua bergelar Si Gelang Setan ini loloskan lima
gelang besi pipih dari ikat pinggangnya. Tanpa banyak cerita lagi sebuah dari
senjata itu dilemparkannya ke arah Pendekar 212!
Besi
hitam pipih berbentuk gelang itu menoeru dalam gelapnya malam, hampir tak
terlihat. Suaranya menderu seperti angin punting beliung dan mengarah ke leher
Wiro.
Pendekar
212 jatuhkan diri. Karena dia berada di bagian anak sungai yang dangkal maka
waktu jatuh sekaligus dia memukulkan telapak tangan kanannya ke atas air. Air
sungai muncrat melesat ke arah Ki Ageng Timur. Orang tua ini tak menyangka akan
diberi perlawanan seperti itu tidak sempat menghindar. Akibatnya muka dan jubah
kelabunya basah terkena cipratan air. Ki Ageng Timur memaki habis-habisan. Dia
mengangkat tangan kanannya. Gelang besi yang tadi tidak mengenai sasarannya
secara aneh berputar membalik ke arah Wiro, kini menyerang dari belakang.
Inilah kshebatan senjata gelang besi pipih itu hingga tidak percuma Ki Ageng
Timur dijuluki Si Gelang Setan. Sulit bagi lawan untuk mencari selamat dari
senjata anehnya ini. Selagi gelang besi pertama menderu dari belakang, Ki Ageng
Timur lepaskan gelang kedua. Kini Pendekar 212 diserang dari belakang dan dari
depan. Saat itu Wiro tengah bangkit berdiri. Gelang besi pertama yaitu yang
datang dari belakang melesat ke arah batok kepalanya. Sedang yang di sebelah
depan menyambaf ke arah perutnya.
Satu-satunya
jalan bagi Wiro untuk mencari selamat adalah dengan membuang diri ke samping.
Akibataya tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungail Tapi adalah lebih baik basah
kuyup dari pada ditambus gelang besi pipih itu dari belakang dan dari depan.
Begitu
serangannya lagi-lagi luput, Ki Ageng Timur angkat kedua tangannya. Seperti
tadi secara aneh dua gelang maut itu membalik kembali dan untuk beberapa
lamanya berputar-putar diatas permukaan air. Hal ini membuat Pendekar 212 tidak
bisa mengeluarkan dirinya dari dalam air sungai! Kecuali kalau dia mau ditabas
oleh dua gelang pipih yang luar biasa tajamnya itu.
"Sialan!"
maki Wiro. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu dalam keadaan
menelentang di dalam air dia lepaskan pukulan "Segulung ombak menerpa
karang" dengan pengerahan tenaga dalem tinggi!
Byuur!
Air
sungai muncrat disambar angin pukulan.
Dua buah
gelang di atas permukaan air tampak bergetar keras lalu terpental. Wiro cepat
melompat ke luar dari dalam air. Masih dalam keadaan setengah membungkuk dia
lepaskan lagi satu pukulan tangan kosong yaitu pukulan ‘kilat menyambar puncak
gunung."
Ki Ageng
Timur berseru kaget ketika melihat dua buah gelang besi pipihnya sanggup dibuat
mental. Tapi dia tidak kawatir karena begitu mental, dua buah gelang maut itu
berputar di udara laiu melesat ke arah Wiro kembali! Yang membuat dia terkejut
adalah ketika menerima pukulan kedua yang laksana petir menyambar panas ke arah
dirinya. Oranq tua ini lekas melompat setinggi dua tombak untuk selamatkan
diri.
Wiro
sendiri terkejut bukan kepalang ketika dilihatnya dua buah senjata lawan dengan
dahsyat kembali menyerang dirinya.
"Setan!"
maki Wro. Terpaksa dia jatuhkan diri dan kembali tercebur ke dalam air. Tidak
menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera cabut Kapak Maut Naga Geni
212 dari pinggangnya. Begitu senjata mustika sakti ini dibabatkan ke atas, semua
orang yang ada di tempat itu jadi terkejut ketika mendengar suara menderu
seperti ribuan tawon mengamuk. Air sungai kembali muncrat dan kali ini
membasahi hampir semua orang yang ada di tempat itu.
Traang!
Traang!
Kapak
Maut Naga Geni 212 membentur dua gelang maut. Wiro merasakan tangannya yang
memegang kapak tergetar keras. Gagang senjata itu hampir terlepas dari
tangannya. Sebaliknya dua buah gelang besi milik Ki Ageng Timur patah dua dan
bermentalan di udara!
Ki Ageng
Timur sendiri sampai berseru kaget saking tidak percaya melihat apa yang
terjadi dengan kedua senjata yang sangat diandalkannya itu. Selama ini kalaupun
ada lawan yang sanggup menangkis serangan gelang mautnya maka senjata itu hanya
bisa dibuat mental tapi tidak dapat dibuat patah berantakan seperti yang kini
disaksikannya , sendiri. Selain marah; tokoh silat Istana itu juga merasa malu.
Maka sekaligus dia loloskan tiga gelang maut yang masih mencantel di
pinggangnya. Tiga gelang ini kemudian dilemparkan ke arah Wiro yang saat itu
sudah melompat ke tepi anak sungai. Suara deru tiga buah gelang maut itu
laksana topan yang datang menggila dari laut.
Ternyata
saat itu Wiro bukan hanya menghadapi serangan tiga buah gelang maut, tetapi Ki
Sambar Tringgali rupanya telah mulai turun tangan membantu kawannya. Orang tua
satu ini berpandangan tajam. Melihat apa yang barusan terjadi dia cukup sadar
kalau Ki Ageng Timur tidak akan begitu mudah untuk mengalahkan Pendekar 212.
Maka dia sedot cangklongnya dalam-dalam. Asap yang terkumpul di mulut dan leher
serta dadanya dihembuskan ke depan, ke arah Wiro. Terjadilah hal yang luar
biasa.
Asap
berwarna kelabu itu bergulung membuntal-buntal, menyungkup ke arah kepalanya
hingga pemandangannya tertutup padahal saat itu pula tiga buah gelang besi
pipih yang dilepaskan Ki Ageng Timur melesat ke arah kepala, dada dan kakinya!
Di samping itu asap ini mengeluarkan hawa aneh yang bukan saja memerihkan mata
dan kulit tetapi jika sempat memasuki jalan napas akan menyerbu masuk ke dalam
paru-paru dan membuat tubuh menjadi lemas dengan seketika!
Wiro yang
sudah maklum kalau asap caklong orang tua berbaju hitam itu sama berbahayanya
dengan serangan tiga buah gelang besi dengan cepat putar Kapak Maut Geni 212 di
sekeliling tubuhnya.
Ki Ageng
Timur yang tadi sudah melihat kedahsyatan senjata di tangan Pendekar 212 tentu
saja tidak mau kehilangan gelang besinya yang kini hanya tinggal tiga. Segera
orang tua ini angkat ke dua tangannya. Tiga buah gelang besi yang melesat di
udara bergeser bertebaran hingga selamat dari sapuan Kapak Maut Naga Geni 212
di tangan Wiro. Walau Wiro terhindar dari serangan gelanggelang besi itu namun
asap cangklong yang dihembuskan Ki Sambar Tringgali ternyata berhasil menyusup
lolos dari terpaan senjata saktinya. Matanya terasa perih. Kulit muka dan kulit
tubuhnya laksana dicucuki oleh puluhan jarum-jarum halus.
"Celaka!"
keluh murid Eyang Sinto Gendeng. Dia melompat menjauhi serangan asap. Namun
terlambat. Walaupun hanya sedikit dia telah sempat menghirup hawa aneh asap
kelabu itu. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Dengan nekad dia kerahkan tenaga
dalamnya sebaryak mungkin ke tangan kiri lalu lepaskan pukulan "sinar
matahari" ke arah Ki Sambar Tringgali.
Orang tua
ini berseru kaget. Karena menyangka asap cangklongnya pasti akan merobohkan
lawan maka dia berlaku sedikit ayal dan wuutt! Sinar menyilaukan dan panas luar
biasa menyambar ke arahnya. Ki Sambar Tringgali cabut cangklongnya dari mulut.
Sambil melompat ke belakang dia pukulkan pipanya itu. Angin keras menggebubu
dari mulut cangklong disertai melesatnya ratusan serpihan-serpihan tembakau
bernyala. Benda-benda panas yang sanggup menembus daging tubuh dan menyusup
sampai ke tulang ini musnah berantakan dihantam gelombang putih panas pukulan
sinar matahari. Tangan Ki Sambar Tringgali yang memegang cangklong tergetar
keras. Sambil berteriak marah orang tua itu melompat tinggi-tinggi. Dia seperti
melayang di atas jalur panas pukulan sinar matahari danhantamkan kepala
cangklongnya ke arah kepala Pendekar 212. Saat itu Wiro sendiri pandangannya
masih terhalang oleh kepulan asap kelabu sedang tubuhnya terasa semakin lemas.
Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah saat itu pula
hantaman cangklong datang. Di saat yang sama tiga buah gelang besi maut milik
Ki Ageng Timur kembali gentayangan mencari sasaran di tiga bagian tubuhnya!
"Celaka! Mati aku sekarang!" jerit Wiro dalam hati. Dengan sisa
tenaganya yang ada diangkatnya Kapak Naga Geni 212 ke atas lalu disapukannya.
Bersamaan dengan itu dia rundukkan kepala berusaha menghindari hantaman
cangklong di tangan ki Sambar Tringgali.
Trang!
Sebuah
dari tiga gelang besi berhasil ditangkis, dibuat mental berpatahan. Tapi yang
dua lagi terus melesat ke arah kepala dan kakinya. Pada saat Wiro kehabisan
daya untuk menyelamatkan jiwanya tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat
satu bayangan ungu. Lalu terdengar suara pekik dahsyat seolah membelah gelapnya
langit malam. Bersamaan dengan itu di udara melesat banyak sekali benda-benda
panjang berwarna hitam disertai menebarnya bau amis. Di lain kejap terdengar jeritan
Ki Ageng Timur disusul oleh leritan Ki Sambar Tringgali, menyusul pula
jeritanjeritan lainnya hingga tempat itu hiruk pikuk oleh suara jeritan.
Ringkikan kudapun kemudian terdeiiyar tiada henti!
Wiro
jatuh terduduk di tanah. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di pangkuannya. Kedua
matanya terbuka besar-besar untuk dapat menyaksikan apa gerangan yang terjadi.
Tengkuk murid Sinto Gendeng ini menjadi sedingin es ketika diketahuinya bahwa
benda-benda panjang yang tadi lewat di atas kepala dan di kiri kanannya adalah
ular-ular berwarna hitam sepanjang satu tombak, Binatang-binatang yang tidak
diketahui dari mana datangnya ini melesat menyerang dan mematuk semua
lawan-lawannya. Tak satu orangpun bisa lolos dari patukan berbisa ular-ular
itu.
Ki Ageng
Timur dan Ki Sambar Tringgali dipagut dan dipatuk oleh lima ekor ular. Keduanya
menjerit-jerit tiada henti sam pai akhirnya roboh ke tanah dan tewas! Puluhan
perajurit yang ikut dalam rombongan itu juga termasuk Kepik Kuntolo serta Abdi
Jalakdiri ikut menjadi korban serangan ular. Tak satupun yang lolos dari maut
yang datang secara mendadak tidak terduga ini. "Ya Tuhan, apapun yang
terjadi seseorang telah menolongku!" kata Wiro. Dia berpaling ke belakang
dan masih sempat melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian ungu.
"Anggini!"
seru Wiro. Namun sosok tubuh itu telah lenyap di kegelapan. Ketika Wiro
memandang ke depan kembali matanya jadi mendelak. Puluhan ular yang tadi
menyerbu lawanlawannya kini tidak kelihatan iagi sementara dua puluh lima mayat
manusia bergeletak di hadapannya penuh mengerikan! Saking lemasnya Wiro
rebahkan diri menelentang. Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di depan hidungnya
guna menyedot hawa jahat atau racun yang sempat masuk ke,dalam tubuhnya.
*****************
8
SUARA-SUARA
jeritan kematian yang terdengar susul menyusul serta suara ringkikan kuda yang
menggetarkan rimba belantara di permulaan malam yang gelap itu membuat seorang
tua berjanggut putih dan membawa dua buah tabung bambu berisi tuak terkesiap
sesaat. Dia berada di pinggiran hutan Kemikir.
"Kalau
tidak kuselidiki tidak puas hatiku!" kata orang tua ini dalam hati. Dia
berkelebat masuk ke dalam hutan. Meskipun gelapnya hutan bukan alang kepalang,
ditambah beban dua buah tabung tuak yang dibawanya, namun orang tua ini sanggup
bergerak cepat diantara pepohonan dan semak belukar hingga akhirnya dia sampai
di dekat jeram anak sungai Opak Kemikir.
Dalam
kegelapan dilihatnya banyak sekali sosok tubuh berkaparan di tanah. Ketika dia
hendak mendekati, telinganya menangkap suara hembusan angin. Orang tua ini
berpaling.
Darahnya
tersirap. Dia melihat berkelebat dan lenyapnya cepat sekali satu sosok tubuh.
Namun meskipun hanya sesaat matanya yang tajam masih sempat mengenali sosok
tubuh dan warna pakaian orang itu.
"Anggini!"
seru si orang tua yang bukan lain adalah Dewa Tuak. Dia mengejar ke arah
lenyapnya sosok tubuh tadi. Mengejar kira-kira hampir sepeminuman teh di dalam
rimba belantara yang gelap itu akhirnya Dewa Tuak berhasil mengejar orang di
depannya.
"Ah!
Benar kau rupanya Anggini!" kata Dewa Tuak begitu berdiri menghadang di
depan gadis berbaju ungu dengan nafas terengah-engah.
"Orang
tua buruk! Kau bicara dengan siapa?" gadis di depannya membentak, membuat
si orang tua tersirap. Dengan mata mendelik Dewa Tua berkata.
"Muridku,
hutan ini memang gelap. Tapi mustahil kau tidak mengenali aku gurumu sendiri!’
Anggini
tertawa tinggi.
"Di
dunia ini memang banyak orang gila. Tapi tidak ada yang segilamu. Muncul dan
mengigau mengatakan aku muridmu!. Hik… hik…hik… Pergilah, jangan membuat aku
marah. Biar kuanggap saja kau sudah pikun dan matamu sudah lamur. Hingga tidak
mengenali dan menganggap aku muridmu!"
Dewa Tuak
jadi penasaran. Dia melangkah mendekati muridnya. Si gadis justru bersurut
mundur menjauhi orang tua itu. Dalam jarak terpisah delapan langkah dia
membentak. "Kalau kau berani datang lebih dekat, kuputus nyawamu!’
Dewa Tuak
hentikan langkahnya.
"Anggini,
apa yang terjadi denganmu muridku? Setan mana yang masuk dan menguasai dirimu!’
"Tua
bangka keparat! Kau minta mati roasih belum beranjak dari hadapanku!"
"Anggini!
Aku yakin ada sesuatu yang t:dak beres dalam dirimu! Di dekat jeram aku menemus
puluhan manusia berkaparan jadi mayat! Pasti kau yang membunuh mereka! Kau juga
yang membunuhi beberapa tokoh silat dan menghisap darahnya. Kau juga yang
membunuh Tumenggung Purboyo. Di Kotaraja aku menyirap kabar kematian Pangeran
Panji. Pasti kau yang punya pekerjaan!"
"Tua
bangka buruk! Kalau kau sudah tahu apa yang hendak kau lakukan?!"
"Kau
layak menerima hukuman atas dosa-dosa beratmu itu!"
Anggini
kembali perdengarkan suara tertawa panjang.
"Orang
tual Aku tidak kenal siapa kau…"
"Setan
membalikkan matamu dan iblis mengacaukan otakmu!" sergah Dewa Tuak.
"Dengar
tua bangka keparat! Kalau kau segera menyingkir dari hadapanku kuampuni
selembar jiwa busukmu. Tapi kalau kau masih berdiri di depanku sampai hitungan
ketiga, terpaksa akan kuhisap darahmu sampai habis!"
"Ah!
Jadi benar rupanya apa yang aku dengar. Kau telah berubah menjadi seorang gadis
iblis penghisap darah!"
"Satu!"
teriak Anggini.
Dewa Tuak
tidak bergerak di tempatnya.
"Dua!"
"Dewa
Tuak menyeringai, masih tak beranjak.
"Tiga!"
Anggini meneriakkan hitungan terakhir.
Orang tua
itu mendelik dan menggembor.
Anggini
berkelebat ke arah Dewa Tuak. Tangan kanannya dipukulkan. Angin sedingin es
menyapu tubuh orang tua itu dan terkejutlah Dewa Tuak. Sekujur tubuhnya
mendadak menjadi dingin kaku!
Cepat-cepat
orang tua ini ambil salah satu bumbung bambunya dan teguk tuak di dalamnya
sampai tubuhnya terasa panas dan dia bisa mengusir hawa dingin yang membungkus
dirinya. Rasa kaku yang menguasai dirinya serta merta lenyap.
"Eh,
tua bangka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Kalau kuhisap darahnya
pasti tenaga dalamku akan berlipat ganda!" Anggini membatin dalam hati.
Lalu didahului teriakan nyaring gadis ini kembali menyerbu.
Dewa Tuak
tidak tinggal diam. Tuak yang masih bersisa di dalam mulutnya disemburkan ke
arah muridnya. Anggini terkejut dan cepat menghindar. Salah satu lengan bajunya
masih sempat tersambar beberapa tetes tuak hingga kelihatan berlubang-lubang.
"Tua
bangka kurang ajar! Terima kematianmu!" teriak Anggini marah. Sepuluh jari
tangannya dipentang ke depan dan sepuluh kuku merah panjang mencuat keluar dari
ujungujung jarinya. Menyambar ke arah batang leher Dewa Tuak. Karena keliwat
bernafsu untuk membunuh dan menyedot darah orang tua itu, Anggini tidak sempat
melihat bagaimana Dewa Tuak memutar tabung bambunya lalu menyodokkan benda itu
ke perutnya!
Dukkk!
Anggini
menjerit. Tubuhnya terpental dan jatuh duduk di tanah. Tapi didahului oleh
suara bentakan menggidikkan dia melompat bangkit dan menyerang ke arah orang
tua itu kembali. Dewa Tuak terkejut bukan main. Hantaman ujung bumbung bambunya
tadi seharusnya membuat Anggini luka parah dan patah tulang serta menjadikannya
tidak berdaya. Tapi nyatanya gadis itu sanggup melompat bangkit dan
menyerangnya dengan ganas kembali. Dewa tuak cepat melompat ketika lima jari
tangan Anggini menyambar ke arah lehernya. Tapi gerakannya agak terlambat.
Brett!
Pakaian
birunya sempat terenggut dan robek besar di bagian leher. Kulit lehernya bahkan
ikut tergaris luka dan mengucurkan darah. Sepasang mata Anggini berkilat-kilat
melihat cucuran darah itu. Lidahnya terjulur beberapa kali membasahi bibir.
Tenggorokannya terasa kering. Hasrat untuk meneguk darah orang tua itu jadi
berkobar-kobar. Didahului oleh suara jeritan keras kembali gadis ini menyerang
dengan kedua tangan dipentang ke depan.
"Sepasang
tangan anak ini sangat berbahaya!" kata Dewa Tuak dalam hati. Tangannya
bergerak ke pinggang. Ketika tangan itu digerakkan untuk kedua kalinya, didalam
gelap meluncur selarik benda aneh, membuntal dan bergulung menyambar ke arah ke
dua tangan Anggini. Benda ini bukan lain adalah benang sutera halus yang
merupakan salah satu senjata andalan si orang tua. Benang ini melesat dalam
kecepatan luar biasa dan segera menggulung mengikat kedua pergeiangan tangan
Anggini. Dewa Tuak menggerakkan lagi tangannya. Benang sutera terulur semakin
panjang dan terus melibat sampai ke bahu, terus lagi sampai ke tubuh Anggini.
Membuat gadis itu terikat tak berdaya!
Dewa Tuak
menarik nafas lega. Akhirnya berhasil juga dia meringkus murid yang telah
menebarkan mala petaka besar itu. Dia melangkah maju. Tapi tiba-tiba di
depannya Anggini keluarkan suara tertawa panjang. Di saat yang sama sebuah
benda panjang hitam melesat seolaholah melayang jatuh dari langit. Anggini
tertawa lagi. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Benda yang melayang ke bawah itu
masuk ke dalam mulutnya dan lenyap!
Uewa tuak
tidak dapat memastikan benda apa yang masuk ke dalam mulut muridnya itu. Dia
juga tidak bisa menduga ilmu apa sebenarnya kini yang dimiliki Anggini. Lalu
dilihatnya sang murid membuka mulutnya lebar-lebar. Dari dalam mulut itu
menyeruak keluar kepala dan tubuh seekor ular hitam.
"Ya
Tuhan! Jadi ular rupanya yang masuk ke dalam mulutnya tadi!" kata Dewa
Tuak dengan mata melotot!
Anggini
tertawa. Ketika tawanya lenyap terdengar dia berkata. "Dewi lepaskan
ikatanku!"
Ular
hitam didalam mulut meluncur keluar lalu kepalanya bergerak cepat. Mulutnya
mematuk kian kemari. Dalam waktu cepat sekali seluruh ikatan benang sutera
sakti yang membuat Anggini tidak berdaya berputusan. Kedua tangan dan sekujur
badannya kini bebas dari ikatan benang sutera itu.
Dewa Tuak
sampai ternganga dan mendelik besar saking tidak percayanya melihat apa yang
terjadi. Kedua kakinya menyurut mundur.
"Saatmu
untuk mati tua bangka keparat!" kata Anggini. Dia mengusap tubuh ular
hitam yang sebagian badannya masih berada di dalam mulut dan lehernya. "Dewi!
Bunuh orang tua itu!" perintahnya pada sang ular. Binatang ini menegakkan
kepalanya. Dari mulutnya terdengar suara mendesis. Lidahnya yang berwarna merah
berkelebatan mengerikan. "Dewi! Kau tunggu apa lagi?!" bentak
Anggini.
Ular
dalam mulutnya meluncur keluar.
"Anggini!
Jangan!" tiba-tiba ada satu teriakkan menggeledek.
Mulut si
gadis terkancing, menahan gerakan tubuh ular hitam yang hendak melesat ke arah
Dewa Tuak. Gadis ini berpaling ke arah datangnya suara teriakan tadi., Dari
dalam gelap dilihatnya muncul pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong
itu.
"Kurang
ajar! Dia muncul lagi!" kata Anggini dalam hati. Dia memutar tubuh
menghadapi pemuda itu. Dielusnya tubuh ular yang ada dalam m,ilutnya.
"Dewi! Sasaranmu berubah. Bunuh pemuda itu!"
Ular
hitam didalam mulut kembali tegakkan kepalanya. Begitu dia melesat, pemuda
berambut gondrong mendahului menghantam. Dari tangan kanannya berkiblat sinar
putih menyilaukan. Hawa panas seperti hendak membakar tempat itu.
Bummm!
Rimba
berlantara berguncang keras.
Si pemuda
cepat menyambar tubuh Dewa tuak dan melarikinnya dalam gelap. Orang tua ini
berusaha melepaskan diri sambil memaki panjang pendek.
"Aku
belum mau jadi pengecut! Mengapa kau larikan aku?!"
"Jangan
jadi orang tolol Dewa Tuak!"
"Murid
sesat itu harus diringkus dan dihukum!" teriak Dewa Tuak.
"Saat
ini kita belum sanggup melawannya! Dia memiliki senjata ular-ular hitam yang
lebih ganas dari iblis!"
"Sialan!
Tuak murniku pasti akan menghancurkan binatang-binatang celaka itu"
"Bagaimana
kalau tidak? Tubuhmu yang tua rongsokan ini akan dipatuknya—jadi
saringan!"
"Sialan!
Enak saja kau mengatakan aku orang tua rongsokan!" Dewa Tuak memukul bahu
pemuda yang melarikannya itu. "Heh, kau mau melarikan aku sampai sejauh
mana Pendekar 212?"
"Sabar
saja. Kita harus mencari tempat yang aman. Jauh dari muridmu yang doyan darah
itu!"
"Aku
tidak mengerti bagaimana Anggini bisa jadi begitu!"
"Sama.
Sayapun tidak mengerti. Sebelumnya dia juga hendak membunuh saya … "
"Ya
Tuhan…" mengucap Dewa Tuak. "Semoga kau mengampuni dosa muridku
itu."
"Tuhan
pasti mehgampuni dosa muridmu Dewa Tuak. Tapi dunia persilatan dan Raja tidak
akan mengampuninya. Anggini telah membunuh Pangeran Panji, salah seorang putera
Sri baginda yang paling dikasihi!"
"Celaka
muridku. Celaka tua bangka ini. Ah, mungkin umpama tadi betul, Wiro. Aku memang
tua bangka rongsokan yang lebih bagus mampus saja saat ini!"
Wiro
tertawa bergelak. Dia turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya.
"Walau
rongsokan tubuhmu ternyata berat juga Dewa Tuak. Berlari jauh memanggulmu
membuat saya haus. Saya minta tuakmu!" Lalu tanpa banyak cerita lagi Wiro
ambil salah satu tabung berisi tuak milik orang tua itu. Cegluk… cegluk…
cegluk. Tuak itu disikatnya sampai mukanya jadi merah. Tangannya gemetaran
ketika mengembalikan bumbung bambu.
Dewa Tuak
mengekeh. "Anak sok jago! Aku saja tidak berani meneguk tuak sekaligus
sebanyak yang kau lakukan!"
"Aku
mabok!" kata Wiro seraya menyandarkan diri ke sebatang pohon. "Kau
bukan cuma mabok! Kau juga sudah ngompol terkencing- kencing!"
"Apa?!"
Wiro turunkan tangannya dan meraba ke bawah perutnya. Bagian bawah celananya
ternyata memang terasa hangat dan basah! "Sialan!" makinya.
"Dewa
Tuak kembali tertawa mengekeh.
"Dewa
Tuak! Jangan tertawa keliwat keras. Kalau muridmu sempat mendengar pasti dia
akan muncul di sini membawa ularnya dan mernbunuh kita berdua!"
Cup! Dewa
Tuak tutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Suara tawanya serta merta
lenyap. Rimba belantara itu kini tenggelam dalam kegelapan dan kesunyisenyapan.
Sesaat kemudian terdengar suara Dewa Tuak berbisik.
"Pendekar
212, aku tidak betah di tempat gelap begini. Rasanya seperti tikus dalam tanah
saja. Aku harus pergi dari sini. Akan kucari lagi anak itu."
"Jangan
tolol. Sebelum tahu kelemahannya kau tak bakal bisa meringkusnya," kata
Wiro.
"Jika
ditunggu sampai kita tahu kelemahannya dan baru turun tangan, rasanya sampai
kiamat belum tentu diketahui rahasia kelemahannya. Modalku sekarang hanya nekad
saja. Mukaku sudah dicelemongnya dengan lumpur busuk. Aku malu besar menghadapi
dunia persilatan. Aku harus pergi, tapi sebelum pergi ada satu hal yang hendak
kutanyakan padamu."
"Hal
apa?" tanya Wiro.
"Kau
tahu, hal ini dulu pernah aku bicarakan dengan gurumu Sinto Gendeng. Tapi nenek
konyol itu tidak mau menjawab secara terus terang. Katanya terserah pada
dirimu…"
Wiro
merasa dadanya berdebar. Diam-diam dia sudah dapat menduga hal apa yang hendak
dikatakan oleh Dewa Tuak.
"Dengar,
ini menyangkut perjodohanmu dengan Anggini. Setelah kejadian ini rasanya aku
tidak terlalu mau mendesak. Bagaimana dengan dirimu? Apakah kau masih menyukai
muridku yang telah sesat itu?"
Wiro
garuk-garuk kepalanya.
"Kalaupun
suka atau tidak suka, rasanya hal itu tidak pada tempatnya kita bicarakan
sekarang Dewa Tuak. Usaha kita paling penting adalah menyelamatkan dunia
persilatan. Lalu kalau masih ada kesempatan mungkin kita masih bisa menolong
Anggini. Jika dia selamat ada satu hal yang bakal jadi hukumannya seumur-umur.
Dia harus menyendiri. Dia akan dikucilkan oleh dunia persilatan. Lalu bahaya
balas dendam dari keluarga atau karib kerabat orang-orang yang pernah
dibunuhnya akan membayanginya seumur hidup. Belum terpikirkan apa yang bakal
dilakukan pihak Kerajaan!"
Dewa Tuak
menarik nafas dalam. Akhirnya dia berkata. "Aku harus pergi
sekarang…"
Karena
tak mungkin mencegah, Pendekar 212 terpaksa diam saja. Dewa Tuak menepuk bahu
Wiro. Sekali dia berkelebat sosok :tbuhnyapun lenyap dalam kegelapan. Beberapa
lamanya Pendekar 212 masih duduk tersandar di batang pohon itu. Bayangan wajah
Anggini menyeruak dipelupuk matanya. Dalam hati dia berkata. "Memang sulit
mencari gadis secantik dirinya. Tapi apa lagi artinya kecantikan itu kalau
dirinya tiba-tiba telah berubah menjadi mahluk ibis penghisap darah!" Wiro
terdiam sesaat. "Heh, kalau mencari kelemahannya tidak mungkin, apakah
juga tidak mungkin mencari penyebab mengapa Anggini berubah menjadi manusia
jahat penghisap darah? Rasanya mungkin penyelidikan bisa dimulai dari situ.
Tapi berapa lama baru bisa diketahui sementara banyak korban lagi yang jatuh
ditangannya!" Wiro garuk-garuk kepala kembali. Dengan Wiro huyung-huyung
dia bangkit berdiri.
*****************
9
PERTUNJUKAN
reog Ponorogo itu selesai. Semua penonton satu demi satu meninggalkan tanah
lapang luas. Saat itu hari telah rembang petang. Sinar sang surya tidak lagi
terik panas seperti sebelumnya. Pendekar 212 masih duduk dibangku kecil penjual
kopi manis pikulan. Dia hendak mengulurkan tangan mengambil sebuah pisang rebus
ketika tiba-tiba pandangannya membentur sosok tubuh seorang gadis berpakaian
ungu yang berada di ujung lapangan sana. Gadis ini tengah melepaskan ikatan
seekor kuda yang ditambatkan pada sebatang pohon. "Anggini," desis
Wiro.
Dia
segera berdiri. Meletakkan uang di atas bangku yang tadi didudukinya lalu lari
ke ujung lapangan. Dia sampai di tempat itu sesaat setelah gadis berbaju ungu
itu memacu kudanya. Wiro memandang berkeliling. Seorang pemuda dilihatnya
tengah mengiring seekor kuda. Cepat Wiro mendekati orang ini. Dia langsung
melompat ke atas punggung kuda itu.
"Hai!
Apa-apaan ini?!" teriak pemuda pemilik kuda.
"Kupinjam
sebentar kudamu! Nanti juga aku kembalikan!" Lalu Wiro menepuk tangan si
pemuda yang memegang tali kekang. Begitu tali kekang terlepas murid Sinto
Gendeng segera memacu binatang ini ke jurusan lenyapnya gadis berbaju ungu
tadi. Di belakangnya pemuda pemilik kuda berteriak tiada henti.
"Pencuri
kuda!! Pencuri kuda!"
Di
pinggiran kota Pendekar 212 kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Terpaksa
dia memacu kudanya ke tempat ketinggian. Di sebuah lereng bukit Wiro memandang
berkeliling. Jauh di sebelah Timur kelihatan seorang penunggang kuda bergerak
menyusuri sebuah kali kecil. Wiro segera menuruni bukit, mengambil jalan
memotong hingga akhirnya dia berhasil berada di belakang si gadis.
"Anggini!"
teriak Wiro.
Penunggang
kuda berpakaian ungu di sebelah depan berpaling lalu hentikan kudanya. Wiro
sampai di hadapan gadis itu.
"Wiro…"
si gadis menyebut nama pemuda itu.
Pendekar
212 tersenyum. Dipandanginya wajah sang dara sesaat. Mata yang selama ini
dilihatnya selalu menyorotkan sinar menggidikkan kini tampak memandang lembut
kepadanya.
"Anggini,
kita harus bicara. Turun dari kudamu. Kita cari tempat yang baik untuk
bicara."
Anggini
gelengkan kepalanya.
"Aku
tidak mau bicara…"
"Kenapa?
Kau tahu bahaya yang mengancam dirimu?"
"Bahaya
apa?" tanya si gadis.
"Jangan
pura-pura. Semua orang sudah tahu siapa dirimu sejak tiga bulan terakhir ini!
Semua orang ingin membunuhmu! Gurumu Dewa Tuak mencarimu ingin menghukummu.
Orangorang Kerajaan juga mencarimu dan mungkin akan menggantungmu!"
Anggini
menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212 hingga membuat pemuda itu sesaat jadi
terdiam.
"Lama
tidak bertemu, kukira tadinya kau ingin membicarakan urusan perjodohan itu.
Tahutahu kini kau membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti!"
"Kau
ini benar-benar aneh Anggini…"
"Kau
yang aneh Wiro!"
"Dengar,
kita harus bicara!’
"Tidak!"
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Ditatapnya wajah gadis itu. Dipandanginya sekujur tubuh
Anggini. Dia tidak melihat selendang ungu tergulung di leher si gadis. Dulu,
pada salah satu ujung selendang cutera ungu itu, Wiro telah menggurat dengan
ujung jarinya angka 212 sebelum mereka berpisah.
"Mana
selendang ungumu Anggini?" tanya Wiro.
Si gadis
meraba dadanya. "Hilang," jawab si gadis.
"Hilang?
Berarti kau tidak menjaganya baikbaik…"
"Buat
apa menjaga selendang itu? Orang yang pernah mengguratkan angka kenangan tidak
pernah memperdulikan aku!"
Wiro jadi
ternganga. "Ah, rupanya dia memang ada hati terhadapku. Dan kini kelihatan
marahnya.
"Anggini,
dengar. Hal itu bisa kita bicarakan kemudian. Sekarang ketahuilah. Aku mendapat
tugas untuk membawamu pada gurumu Dewa Tuak!"
"Membawaku
pada guruku? Memangnya ada apa?!"
"Anggini,
jangan berpura-pura terus-terusan. Dirimu dalam bahaya! Kembali pada gurumu
berarti kau masih bisa selamat…"
"Diriku
dalam bahaya…?" Anggini bertanya sambil tertawa.
"Ada
banyak orang-orang persilatan yang ingin membunuhmu! Pihak Kerajaan juga
mencarimu! Apa kau masih hendak berpura-pura?!"
"Kasihan…"
tiba-tiba Anggini berkata.
"Kasihan…
Apa yang kasihan." tanya Wiro heran.
"Aku
tidak menyangka, lama tidak bertemu begitu bertemu kulihat ada sesuatu yang
tidak beres dengan otakmu! Bicaramu tidak karuan!"
Tampang
Pendekar 212 tampak menjadi merah. "Aku…" Dia tidak bisa meneruskan
ucapannya. Dalam hatinya berkata. "Mungkin benar ada ajaran ilmu sesat
yang merasuk dalam tubuh gadis ini. Pada saat dia kumat dia berubah menjadi
gadis iblis penghisap darah. Pada saat dia kembali pada dirinya yang asli, dia
akan jadi seperti ini."
"Aku
akan pergi dan jangan coba mengejarku! Kalau kau bertemu dengan guruku, katakan
pada orang tua itu tidak perlu mencariku! Bukankah dulu aku pergi dengan
seizinnya?"
"Betul!
Mungkin itu betul! Tetapi sesuatu telah terjadi dengan dirimu. Kau telah
terjerumus… Kau telah melakukan satu perbuatan sesat yang memalukan!"
"Wiro!
Kau menuduhku telah berbuat aib?!" bentak Anggini. Dalam marahnya gadis
ini tangsung menampar Wiro hingga pinggiran bibir Pendekar 212 luka dan
berdarah!
Dari air
muka Anggini yang kelihatan berubah jelas terlihat ada tanda penyesalan atas
apa yang telah dilakukannya. Namun sesaat kemudian gadis ini telah menyentakkan
tali kekang kudanya dan menghambur pergi dari tempat itu. Wiro mana mau tinggal
diam. Dia segera mengejar. Keduanya memacu kuda masing-masing saling bersisian.
Di sebuah jembatan bambu yang melintasi sungai, Wiro terpaksa memberi jalan
lebih dulu pada kuda Anggini, karena jembatan yang kecil itu tidak mungkin
dilalui secara berdampingan.
"Aku
sudah bilang jangan mengejarku Wiro!" teriak Anggini.
"Aku
juga sudah bilang akan membawamu ke pada gurumu Anggini! Aku tidak ingin
sesuatu terjadi atas dirimu!"
"Pemuda
keras kepala!" teriak si gadis marah. Tangan kanannya mengeruk ke saku
pakaian ungunya. Dari tangan itu kemudian melesat dua buah senjata rahasia
berupa paku perak sepanjang setengah jengkal. Senjata rahasia ini mendarat
tepat pada lutut depan kiri kanan kuda yang ditunggangi Wiro. Binatang ini
meringkik keras lalu jatuh terjerambab ke depan. Pendekar 212 cepat melompat.
Dia jungkir balik di udara. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah kembali
Anggini sudah lenyap!
Wiro
hanya bisa geleng-geleng kepala. Digaruknya rambutnya dengan kesal berulang
kali.
"Masih
untung kudaku yang dihantamnya dergan senjata rahasia itu. Kalau dia sempat
mengeluarkan ular-ular peliharaannya itu celakalah diriku!"
*****************
10
LEBIH
dari tiga bulan sebelumnya, suatu peristiwa aneh telah terjadi. Saat itu hujan
turun luar biasa lebatnya. Sesekali kilat menyambar dan guntur menggelegar. Air
sungai menimbulkan arus deras. Bagianbagian tanah yang leguk terendam air.
Beberapa rumah yang terlalu dekat dengan sungai tak ampun lagi roboh dan
diseret arus ke hilir. Dalam derasnya curahan hujan dan gelapnya cuaca malam
serta dinginnya udara yang seperti mencucuk sampai ke tulang sungsum, sebuah
benda bulat dan panjang berwarna hitam berkilat meluncur sepanjang sungai yang
tengah banjir. Sulit untuk memastikan benda apa adanya ini. Tetapi ketika kilat
menyambar sekali lagi dan tanah menjadi terang benderang, walaupun sekilas
telah terlihat apa adanya benda yang meluncur itu. Ternyata seekor ular besar
berwarna hitam. Namun ada keanehan luar biasa yang membuat orang akan bergidik
dan lari ketakutan setengah mati jika melihat kepala ular ini. Ternyata
binatang ini tidak memiliki kepala sebagai seekor ular melainkan berbentuk
kepala manusia! Kepala seorang nenek tua berwajah cekung keriput dengan rambut
putih riapriapan basah oleh air hujan!
Di sebuah
tikungan binatang aneh ini berhenti melata. Kepalanya ditegakkan. Dia memandang
ke tengah sungai seperti menembus pemandangan yang gelap dan tertutup curahan
hujan lebat. Sesaat kemudian binatang ini meluncur ke tepi sungai yang banjir
besar lalu masuk ke dalam sungal dan meluncur menuju ke seberang. Luar biasa!
Tubuhnya yang besar berat itu tidak tenggelam ke dalam air. Kepalanya tegak dan
arus air sungai yang deras tidak mampu menyeretnya ke hilir.
Sampai di
seberang sungai ular berkepala manusia ini melata cepat memasuki sebuah hutan
belantara dan menghilang di kegelapan. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara
lolongan srigala hutan. Serombongan srigala hutan yang terdiri dan tiga srigala
jantan dan seekor srigala betina lari dalam kegelapan malam. Tujuan mereka
adalah arah sungai, berlawanan dengan arah yang dilalui oleh ular berkepala
manusia tadi. Di suatu tempat srigala-srigala hutan ini saling bertemu dengan
ular berkepala manusia tadi. Keempat srigala itu segera menyalak terus menerus
dan mengelilingi ular berkepala manusia. Tiba-tiba serentak keempat srigala itu
menerkam ke depan. Kepala ular yang berbentuk kepala nenek angker itu keluarkan
suara berdesis. Lidahnya terjulur. Bersamaan dengan itu ekornya melesat
berputar.
Plaak!
Plaak! Plaak! Plaak!
Empat
ekor srigala hutan meraung panjang. Tubuh mereka terlempar jauh berkaparan
jatuh di tanah yang becek. Tak satupun diantara mereka yang masih bergerak atau
berkutik. Keempat binatang ini mati dengan kepala hancur dihantam ekor ular
berkepala manusia itu. Seperti tidak ada kejadian apa-apa, ular hitam besar itu
kembali melata cepat memasuki rimba belantara sementara hujan perlahan-lahan
mulai mereda. Di sebuah lobang dekat akar sebatang pohon besar ular berkepala
manusia ini meluncur masuk dan lenyap. Tak lama kemudian dia sudah berada di
sebuah goa tanah yang besar dan ter letak di bagian hutan yang tanahnya agak
tinggi. Di lantai goa bertebaran banyak sekali berbagai macam bunga-bungaan dan
ruangan dalam goa itu berbau harum semerbak. Ular hitam berkepala nenek
berambut putih meluncur ke dinding sebelah kiri lalu meluncur dengan sebagian
tubuhnya tersandar ke dinding goa. Mulut si nenek tampak komat-kamit entah
melafatkan apa. Kemudian perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Lalu
terdengar mulutnya berkata.
"Maha
Ratu, saya sudah siap…"
Di luar
goa kilat kembali menyambar dan guntur menggelegar: Dinding-dinding dan lantai
goa bergetar. Beberapa bagian tanah berjatuhan ke bawah. Pada saat itulah ada
cahaya terang datang dari arah mulut goa. Si nenek buka kedua matanya. Dia
mengernyit silau. Dia tidak dapat melihat dengan jelas. Apa yang kemudian
muncul dilihatnya secara samar-samar.
Yang
muncul adalah seekor ular yang luar biasa besarnya. Lingkaran tubuhnya lebih
dari sepemelukan tangan. Binatang ini berwarna hitam pekat berbintik-bintik
kuning. Ada beberapa keanehan pada diri binatang ini. Dia tidak melata atau
meluncur di tanah melainkan berjalan karena dia memiliki sebentuk anggota
seperti sepasang kaki kecil. Di bagian dadanya ada dua anggota tubuh serupa
sepasang tangan. Pada tangan sebelah kanan mahluk ini memegang sebuah tongkat
kaca yang mengeluarkan cahaya. Cahaya inilah yang menerangi goa dan menyilaukan
pandangan mata si nenek ular. Bagian kepala dari ular besar hitam berbintik
kuning ternyata juga berupa kepala seorang perempuan. Kalau ular hitam yang
tersandar ke dinding goa memiliki kepala berupa seorang nenek buruk berambut
hitam riap-riapan maka ular yang datang membawa tongkat kaca bercahaya itu
memiliki kepala berupa seorang perempuan muda cantik luar biasa. Kulit wajahnya
putih halus. Sepasang alisnya hitam melengkung seperti bulan sabit. Hidungnya
mancung, pipinya kemerah-merahan sedang bibirnya merah seperti delima merekah.
Di atas kepalanya yang berambut hitam, terletak sebuah mahkota kecil. Pada
wajah yang cantik itu juga terlihat bayangan wibawa dan keagungan yang tinggi.
Kalau tidak melihat pada bentuk tubuhnya setiap lelaki yang memandang pastilah
akan terperangah dan bisa jatuh cinta! Inilah mahluk yang dipanggil si nenek
bertubuh ular dengan nama Maha Ratu.
"Gintani
Aruranti, benar kau sudah siap?"
Nenek
bertubuh ular bungkukkan kepalanya hingga dagunya menempel ke dada ularnya.
"Saya
sudah siap Maha Ratu," katanya.
"Aku
gembira mendengar hal itu. Tapi aku juga bersedih karena sebentar lagi kita
akan berpisah. Selama empat puluh tahun lebih kau mengabdi padaku tanpa cacat
dan kesalahan. Aku menjanjikan padamu bahwa dihari kemudian kau akan kuberikan
tempat yang baik…"
"Terima
kasih Maha Ratu…" kata Gintani Aruranti lalu kembali dia membungkuk.
"Sebelum
kita berpisah, sesuai ketentuan dan sumpah yang mengikat dirimu sejak empat
puluh tahun silam, kau harus memberi tahu dan menyebut nama seorang gadis yang
kelak akan meneruskan pengabdianmu. Kau tahu sesuai ketentuan gadis itu
haruslah anak atau orang yang ada pertalian darahnya dengan dirimu."
Di luar
kilat menyambar dan geledek menggetarkan goa itu. Tanah di bagian atas goa
kembali berguguran!
"Mengenai
hal yang satu ini Maha Ratu, harap maafkan saya. Maha Ratu tahu sendiri kalau
saya tidak pernah bersuami, tidak mempunyai anak. Maha Ratu juga tahu kalau
saya tidak punya sanak tidak punya kadang dan saudara. Saya hidup sebatang
kara…" Goa itu sunyi sesaat.
"Aku
memang tahu semua keadaan diri dan pribadimu Gintani Aruranti. Kalau memang
sudah begitu keadaannya terpaksa aku menurut ketentuan para sesepuh untuk
mencari sendiri seorang gadis yang pantas meneruskan pengabdianmu. Mungkin kau
bisa memberi suatu nama atau mengatakan siapa gadisnya?"
"Maafkan
saya Maha Ratu. Saya serahkan bagaimana baiknya saja pada Maha Ratu…"
Maha Ratu
bertubuh ular tetapi berwajah cantik selangit itu pejamkan kedua matanya dan
merenung sejenak. Dalam sikap seperti itu wajahnya kelihatan tambah cantik.
Perlahan-lahan kedua mata yang dipejamkan terbuka kembali.
"Kita
mendapat petunjuk dari para sesepuh, Gintani. Kau hanya menyebutkan, satu warna
yang sangat kau sukai. Urusan selanjutnya para sesepuh dan aku yang akan
mengatur."
"Sebuah
warna, Maha Ratu?"
"Ya,
kau katakan sebuah warna yang sangat kau sukai. Mungkin merah, biru, atau
mungkin putih…"
"Saya…
Sejak kecil saya suka dengan warna ungu Maha Ratu," kata Gintani Aruranti,
si nenek bertubuh ular.
"Bagus.
Itu sudah cukup. Sekarang bersiaplah untuk berpisah. Pejamkan matamu."
Sesuai
perintah Maha Ratu nenek bertubuh ular itu pejamkan kedua matanya.
Perlahanlahan Maha Ratu angkat tangan kanannya yang memegang tongkat kaca.
Bibirnya yang merah bagus bergetar. Sepertinya dia tengah melafatkan sesuatu.
Lalu tangan yang memegang tongkat kaca itu diputar secara tiba-tiba ke kanan.
Saat itu juga satu larik sinar putih dan sangat panas melesat ke arah tubuh
nenek Gintani Aruranti. Dimulai dari kepala terus ke bagian badan dan terus ke
perut lalu terus lagi ke bagian ekor, sosok si nenek perlahan-lahan mencair
leleh. Sesaat kemudian kepala dan tubuh itu berubah menjadi seonggok debu.
Memanjang membujur dilantai goa. Lalu perlahan-lahan onggokan debu kelabu itu
saling bergeser dan menyatu hingga menjadi satu tumpukan di tengah goa. Setelah
bersatu onggokan debu kelabu itu kemudian mengepul menjadi asap untuk kemudian
semuanya lenyap tidak berbekas. Maha Ratu putar tongkat kacanya ke kiri. Sinar
putih panas meredup lalu sirna. Perlahanlahan pula Maha Ratu memutar tubuhnya.
Sosok tubuhnya kemudian lenyap tanpa bekas.
********************
GADIS
berwajah cantik itu merasa heran. Menurut perhitungannya sudah cukup lama dia
berjalan tetapi aneh mengapa belum sampai-sampai juga ke rumahnya. Akhirnya dia
berhenti di tepi jalan dan memandang berkeliling.
"Heran,
dimana aku berada saat ini. Segaia sesuatunya serba asing…"
Selagi
dia kebingungan di tepi jalan seperti itu sementara sebentar lagi hari akan
segera malam di kejauhan terlihat sebuah kereta. Begitu dekat ternyata saisnya
adalah seorang gadis berwajah luar biasa cantiknya dan mengenakan pakaian warna
ungu. Pada lehernya tergelung sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Sais
kereta hentikan kudanya di depan gadis yang duduk di tepi jalan.
"Gadis
bunga desa yang cantik, kau kelihatan seperti orang bingung. Ada apakah maka
duduk termenung di tepi jalan. Sebentar lagi hari akan malam. Tidakkah kau
takut berada sendirian di tempat yang sepi ini?"
Gadis di
tepi jalan berdiri. Sesaat dipandanginya gadis di atas kereta dengan penuh rasa
kagum. "Kau cantik sekali… Pakaianmu sangat bagus. Juga selendangmu.
Siapakah kau ini sahabat?"
Gadis di
atas kereta tertawa lebar. "Kau memanggilku sahabat. Aku gembira
mendengarnya. Kau juga seorang gadis cantik. Kau suka pakaianku ini?"
"Tentu
saja suka. Tapi orang miskin sepertiku ini entah kapan bakal bisa punya pakaian
sebagusmu itu. Mungkin hanya tinggal mimpi seumur hidup …"
Sais
cantik jelita itu tersenyum.
"Kau
akan mendapatkan baju seperti ini. Jika kau memang mau naiklah ke alas kereta.
Dudun di sampingku. Aku akan mengantarkan kau pulang ke rumahmu…"
"Terima
kasih. Kau baik sokali." Ditawari sebaik itu si gadis di tepi jalan segera
naik ke atas kereta dan duduk di samping sais yang cantik itu. Tanpa
disadarinya gadis ini duduk tersandar dan akhirnya pejamkan mata tertidur. Dia
tidak tahu berapa lama dia telah tertidur. Ketika dia bangun didapatinya
dirinya berada disebuah lembah sunyi, tergeletak diatas lantai reruntuhan
sebuah candi tua. Di sekitarnya bertebaran berbagai macam bunga yang menebar
bau harum. Saat itu sang surya baru saja terbit di sebelah Timur.
"Di
mana aku ini…?" tanya si gadis pada dirinya sendiri sambil memandang
berkeliling. Ketika dia mencoba bangkit terkejutlah dia. Kedua tangannya cepat
menutupi auratnya di.bagian dada. Astaga! Ternyata dia dapatkan dirinya berada
dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali!
"Ya
Tuhan! Apa yang terjadi dengan diriku!" kata si gadis setengah menjerit
dan juga kelabakan.
"Bagaimana
aku akan pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini?!" Tiba-tiba satu suara
terdengar seolah menjawab ucapan gadis itu.
"Tidak,
kau tidak akan pernah pulang ke rumah seumur hidupmu Anggini!"
*****************
11
GADIS di
bekas reruntuhan candi itu terkejut dan memandang berkeliling. Tidak dilihatnya
seorang lainpun di tempat itu. Tapi jelas tadi dia mendengar suara. Suara
perempuan!
"Siapa
yang bicara…" tanya si gadis ketakutan.
"Aku
Maha Ratu. Aku sahabat dan pemimpinmu. Hanya padaku kau harus menurut perintah.
Hanya padaku kau harus mengabdi… Kau mengerti Anggini?"
Si gadis
tidak menjawab. Lalu ada satu sambaran angin menyapu wajahnya. Sesaat
pemandangannya berkunang lalu mendadak dia merasakan satu kesegaran luar biasa
dalam dirinya.
"Kau
sekarang mengerti Anggini?"
"Saya
mengerti Maha Ratu," jawab gadis itu.
"Kalau
begitu sebagai tanda tunduk dan pengabdian membungkuklah tiga kali!" kata
suara tanpa rupa.
Anggini
membungkuk tiga kali. Ketika berdiri lurus-lurus kembali dia ingat sesuatu.
Suara itu!
"Maha
Ratu… Saya mengenali suararrtu. Bukankah kau gadis yang mengajakku naik kereta
bersama?"
Terdengar
suara tertawa perlahan. "Kau cerdik dan daya ingatmu tajam. Yang kau lihat
sebagai sais kereta itu memang penjelmaan diriku. Sekarang kita bersahabat.
Tapi sebagai pemimpin ada jarak antara kita. Kau harus tunduk pada diriku.
Karena kau hanya bisa hidup sesuai dengan petunjuk dan perintahku!"
Angin di
penghujung sore memasuki malam itu bertiup keras. Anggini tampak gemetaran
kedinginan.
"Kau
kedinginan Anggini. Sudah saatnya mengenakan pakaian…"
"Tapi
saya mengalami hal aneh Maha Ratu. Sebelumnya saya yakin sekali saya mengenakan
pakaian. Tahu-tahu kini mengapa saya berada dalam keadaan seperti ini!"
"Tak
usah kawatir… Melangkahlah ke reruntuhan tangga depan candi. Di undakan sebelah
tengah kau akan menemukan sehelai baju dan celana ungu. Juga sebuah selendang
berwarna ungu…"
"Baju,
celana dan selendang. Terima kasih. Tapi Maha Ratu…"
"Tetapi
apa Anggini?’°
"Apakah
tidak ada pakaian dalamnya…?"
Maha Ratu
yang tidak kelihatan terdengar tertawa panjang. "Aku juga perempuan sepertimu
Anggini. Jadi tahu apa kebutuhanmu. Jangan takut. Dalam lipatan pakaian itu kau
akan menemukan pakaian dalam…"
"Terima
kasih kalau begitu Maha Ratu."
"Nah
sekarang pergilah ke reruntuhan tangga. Kenakan pakaian ungu itu cepat."
Mengendap-endap
sambil menutupi auratnya dengan kedua tangan Anggini melangkah ke tempat yang
dikatakan.
Betul
saja. Di undakan tangga ke lima dia melihat pakaian ungu terlipat rapi. Ketika
lipatan dibuka memang ditemuinya pula pakaian dalam seperti yang dikatakan Maha
Ratu. Cepat-cepat Anggini mengenakan semuanya itu. Selesai berpakaian dia tegak
sambil memegangi selendang.
"Cantik
sekali kau dalam pakaian ungu itu Anggini. Lingkarkan selendang itu di lehermu.
Jangan dipegang saja…"
Anggini
melingkarkan selendang ungu dilehernya.
"Dengar
baik-baik Anggini. Pakaian ungu itu bukan pakaian biasa. Kau tidak perlu
mencuci atau menggantinya seumur hidup. Pakaian itu akan selalu berbau wangi.
Wewangian itu akan melekat pula pada dirimu. Kau akan mampu hidup tanpa makan
atau minum selama kau kehendaki…"
Anggini
terheran-heran mendengar kata-kata itu. "Maha Ratu, setahu saya setiap
yang hidup harus dan butuh makan atau minum."
"Kau
benar Anggini. Tapi dirimu sekarang mahluk hidup yang luar biasa. Kau hanya
akan hidup dengan minum darah manusia lainnya. Kau mampu hidup lebih dari
seratus tahun! Tanpa minum darah manusia kau akan menjadi tua keriputan dan
akan menemui kematian!"
"Maha
Ratu, mana mungkin says melakukan hal itu. Mana mungkin saya minum darah
manusia!"
"Ingat
Anggini. Jika kau mau hidup terus hal itu harus kau lakukan. Di samping itu
jangan lupa aku adalah pemimpinmu yang harus kau ikuti tanpa berani membantah!
Kau dengar hal itu Anggini?!"
"Saya
dengar Maha Ratu… Tapi bagaimana caranya saya minum darah manusia?" tanya
Anggini dengan suara gemetar.
"Mudah
saja sahabatku. Coba kau luruskan sepuluh jari tanganmu!"
Anggini
luruskan sepuluh jari tangannya.
”Perhatikan
baik-baik ke sepuluh jari tanganmu itu!"
Anggini
memperhatikan jari-jarinya sendiri dengan dada berdebar. Tiba-tiba dia melihat
hal yang aneh. Dari ujung-ujung jarinya seperti tumbuh mencuat keluar kuku yang
lancip itu kelihatan sebentuk lobang sebesar lobang jarum.
"Maha
Ratu… Apa yang terjadi?" Anggini bertanya ketakutan.
"Aku
akan terangkan sahabatku. Setiap kau meluruskan semua jari-jari tanganmu, maka
kukukuku merah panjang itu akan tumbuh keluar. Orang yang akan kau hisap
darahnya tinggal kau cengkeram saja bagian tubuhnya. Yang paling cepat adalah
di bagian leher. Begitu kukukukumu menancap, darah orang itu akan terhisap
dengan sendirinya sampai akhirnya dia menggelepar mati!"
"Saya
merasa ngeri Maha Ratu. Saya takut!"
"Kau
sahabatku! Kau tidak boleh takut…"
"Maha
Ratu, bagaimana says melenyapkan kuku-kuku merah ini?"
"Sangat
mudah Anggini. Kau cukup menekukkan jari-jari tanganmu sedikit saja. Sepuluh
kuku itu akan menghilang. Kau cobalah!"
Anggini
menekukkan jari-jari tangannya. Benar saja. Kesepuluh kuku merah panjang
runcing yang ada di ujung jarinya serta merta lenyap!
"Ada
satu hal yang harus kau ingat Anggini. Korban yang harus kau hisap darahnya
hanya terdiri dari dua jenis manusia, laki atau perempuan. Jenis pertama adalah
orang-orang muda berwajah gagah. Dengan minum darahnya kau akan menjadi kuat
dan awet muda sepanjang usiamu. Jenis kedua ialah orang-orang atau tokoh-tokoh
persilatan. Jika kau berhasil menyedot darah mereka maka kau akan menjadi
seorang berkekuatan luar biasa, memiliki tenaga dalam tinggi yang tidak bisa
dikalahkan oleh siapapun. Selain itu selendang yang ada di lehermu bisa kau
pergunakan sebagai satu senjata yang hebat. Kau bisa menggebuk hancur kepala
seekor kerbau atau membobolkan tembok dengan selendang itu. Selain itu dalam
tubuhmu saat ini sudah ada satu ilmu kesaktian bernama salju pusaka dewa.
Dengan ilmu itu sekali kau memukul lawanmu akan menjadi kaku tegang dan
akhirnya mati kedinginan. Jika kau ingin mengeluarkan ilmu itu, kau cukup hanya
mengucapkan kata-kata "salju pusaka dewa."
"Terima
kasih Maha Ratu. Saya berterima kasih kau telah memberi saya ilmu yang
hebat…"
"Masih
ada ilmu lain yang jauh lebih hebat sahabatku. Dan kau akan memilikinya!"
"Ilmu
apakah itu Maha Ratu?" tanya Anggini.
"Kau
lihat saja dan jangan merasa takut!" Maha Ratu mengangkat tangannya yang
memegang tongkat kaca lalu meniup ke depan. Terdengar suara berdesir ramai
sekali. Sesaat kemudian Anggini melihat belasan ekor ular hitam gentayangan
laksana terbang berputar-putar disertai bau amis di dalam goa itu. Tubuh gadis
ini mulai menggigil dan wajahnya sepucat kertas.
"Kataku
tidak usah takut. Ular-ular itu adalah sahabat-sahabatmu…"
"Sahabat-saha…bat
saya Maha Ratu?"
"Betul!
Mereka akan muncul jika kau memanggil. Memanggilnya cukup dalam hati saja
dengan berucap. Para Dewi datanglah! Maka mereka akan datang. Sekarang coba kau
ucapkan panggilan itu dalam hati."
Anggini
ragu sesaat. Kemudian dalam hati dia berkata juga. "Para Dewi
datanglah!"
Kembali
terdengar riuh. Ular-ular yang melayang di dalam goa itu tiba-tiba melesat dan
menempel ke tubuh Anggini. Tak ampun lagi gadis ini menjerit ketakutan dan
berusaha melemparkan binatang-binatang yang bergayut di sekujur tubuhnya mulai
di leher, dada, pinggang dan sampai ke kaki. Malah ada satu yang bertengger dan
bergelung di atas kepalanya!
"Jangan
lakukan itu Anggini. Tenang saja. Mereka tidak akan menyakitimu!"
Anggini
berdiri dengan tubuh gemetaran.
"Sekarang
dengar baik-baik," kata Maha Ratu pula. "Jika kau berada dalam bahaya
yang tidak bisa kau hadapi, panggil para Dewi itu. Jika kau menyebut para Dewi
maka mereka akan datang dalam jumlah banyak. Jika kau memanggil Dewi saja maka
yang muncul adalah salah seekor dari mereka. Begitu mereka dipanggil, ular-ular
itu akan melesat dan bergayutan ditubuhmu. Kemudian jika kau suruh mereka
menyerang musuhmusuhmu maka mereka akan melesat mematuk siapa saja sampai mati!
Kau mengerti Anggini?"
"Saya
mengerti Maha Ratu. Tapi bagaimana caranya menyuruh mereka pergi saat ini? Saya
masih takut. Sangat takut."
"Katakan
begini: Para Dewi silahkan pergi! Cukup dalam hati saja."
"Para
Dewi silahkan pergi…" kata Anggini dalam hati.
Belasan
ular yang bergelung di tubuh gadis berpakaian ungu itu serta merta menggeliat
lalu melesat lenyap entah kemana!
Anggini
menarik nafas lega. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat.
"Anggini
aku segera akan pergi. Ada yang ingin kau katakan atau kau tanyakan?"
”Saat ini
saya ingin melihat wajah Maha Ratu," jawab Anggini.
Sang Maha
Ratu tertawa. "Kita akan sering bertemu seperti ini Anggini. Namun untuk
melihatku kau hanya punya kesempatan sekali dalam sepuluh tahun! Kalau tidak
ada pertanyaan lain aku akan pergi sekarang juga!"
"Tunggu,
ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu. Mengapa saya harus hidup dengan cara
seperti ini? Membunuh orang lalu menghisap darahnya!"
"Jawabannya
adalah bahwa kau sudah ditakdirkan menerima nasib seperti itu!"
"Masih
ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu…"
"Katakan
lekas!"
"Apakah
saya boleh berumah tangga? Maksud saya mempunyai seorang suami?!"
"Tentu
saja Anggini. Tapi ada satu perjanjian. Pertama kau tidak boleh punya anak.
sebelum
kau
mempunyai tiga suami. Kedua pada tahun ketiga setiap perkawinanmu kau harus
membunuh
suamimu
dan menghisap darahnya! Jika kau ingin kau boleh kawin lagi sesukamu. Tapi
harus selalu ingat akan perjanjian yang sudah ditentukan itu!"
"Maha
Ratu…"
"Aku
tidak ingin mendengar pertanyaanmu lagi. Membungkuk tiga kali jika aku pergi.
Nah aku pergi sekarang!"
Anggini
membungkuk tiga kali berturut-turut. Di kejauhan terdengar suara lolongan
anjing panjang menggidikkan. Perlahan-lahan gadis itu melangkah. Astaga. Dia
merasakan gerakan tubuh dan langkahnya ringan sekali!
*****************
12
PERTEMUAN
rahasia itu berlangsung di kaki Gunung Merbabu. Dihadiri oleh sepuluh tokoh
silat termasuk Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ikut hadir utusan
Kerajaan dari kotaraja.
"Sri
Baginda memerintahkan agar kita melakukan segala daya untuk dapat menangkap
gadis iblis berjuluk Betina Penghisap Darah itu, hidup atau mati!" kata
utusan Istana dalam pertemuan itu.
"Aku
mengiusulkan agar dibuat jebakan-jebakan hingga gadis iblis itu terpancing dan
keluar. Selama ini kita memburunya di mana-mana tapi ia lenyap tanpa jejak.
Tahu-tahu dia sudah muncul di tempat lain melakukan pembunuhan!" kata
seorang tokoh silat dari Selatan. Dia melirik pada Dewa Tuak dengan pandangan
penuh kebencian.
"Aku
setuju. Tapi harus diingat. Bahayanya sangat besar," kata Dewa Tuak lalu
meneguk tuaknya dari dalam tabung bambu hingga berlelehan di dagunya.
"Kau
gurunya! Kau yang bertanggung jawab! Kau sendiri yang harus menghadapi muridmu
celaka itu!"
Dewa Tuak
mengelus janggutnya dan tidak berkata apa-apa. Maka mereka yang hadir kemudian
sibuk mengatur cara-cara menjebak penjahat tunggal berjuluk Betina Penghisap
Darah itu. Ketika pertemuan rahasia berakhir dan mereka yang hadir siap
meninggalkan tempat itu setelah menerima tugas masing-masing, tiba-tiba di luar
terdengar suara berkerontangan beberapa kali berturut-turut.
"Suara
apa itu?" tanya seorang tokoh silat.
"Aku
curiga. Jangan-jangan itu tipu daya yang dilakukan oleh Betina Penghisap
Darah!" kata utusan Kerajaan. Semua yang hadir saling berpandangan.
Langsung tempat itu menjadi sunyi. Ketegangan menggantung di udara.
Dewa Tuak
memandang pada Wiro. Orang tua ini kedipkan matanya. Wiro balas mengedip. Di
luar sana kembali terdengar suara berkerontangan. Suasana dalam ruangan itu
semakin tegang. Ketegangan ini tiba-tiba dirobek oleh suara Dewa Tuak dan Wiro
Sableng. Keduanya sudah tahu siapa yang ada di luar sana. Tawa Dewa Tuak dan
Wiro Sableng karuan saja membuat semua orang menjadi gusar dan mendelik
memandang ke arah kedua orang ini!
Utusan
dari Istana menggebrak meja seraya membentak. "Apa yang lucu! Sebetulnya
kalian berdua tidak pantas berada di tempat ini! Aku curiga kalian berkomplot
dengan gadis iblis itu!"
Dewa Tuak
dan Wiro bangkit dari kursi masing-masing. Dewa Tuak memandang pada utusan
Kerajaan itu lalu berkata perlahan. "Kau hanya seorang utusan. Kita semua
disini berunding mencari cara untuk dapat menangkap muridku hidup atau
mati!"
"Betul!
Jika kau tidak pernan mengambil gadis itu jadi murid, bencana seperti ini tidak
akan pernah terjadi!" ujar utusan kerajaan pula dengan mata mendelik.
Dewa Tuak
tersehyum. Dia teguk tuaknya beberapa kali sebelum menjawrab. "Kau merasa
tidak perlu kehadiran kami berdua tidak jadi apa!" Lalu Dewa Tuak memberi
isyarat pada Pendekar 212. Kedua orang itu melangkah ke pintu. Saat itu di luar
sana kembali terdengar-suara berkerontangan. Keras sekali tanda suara itu
blerada tepat di depan pintu.
Sewaktu
pintu dibuka, di luar kelihatan tegak seorang tua berpakaian compang-camping.
Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup caping bambu yang lebar. Di tangan
kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu. Kaleng inilah yang mengeluarkan
suara berkerontang berisik ketika si orang tua menggoyang-goyangkannya. Di
tangan kirinya orang bercaping ini memegang sebatang tongkat kayu sedang
dibahunya dia menyandan? sebuah kantong butut.
"Sahabatku
Kakek Segala Tahu, kau datang di waktu yang sangat tepat!" berkata Dewa
Tuak.
"Tapi
saat ini kau tidak beruntung. Di dalam sana tidak ada yang akan menyediakan
kopi hangat untukmu! Mari kita cari kedai saja. Kita minum di sana sambil
ngobrol!"
"Sahabatku
Dewa Tuak! Belasan tahun kita tidak bertemu! Apa kau baik-baik saja?"
bertanya si caping lebar. Ternyata uia auaiah tokoh silat tingkat tinggi yang
memiliki segala macam ilmu pengetahuan dan punya keahlian meramal yang biasa
dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu.
"Aku
sedang ditimpa musibah!"
"Musibah
apa gerangan?"
"Sudah
nantilah aku ceritakan." Jawab Dewa Tuak.
"Aku
kemari memang tidak mencari kopi hangat. Harumnya bau tuakmu menyambar hidungku
dari jauh. Itu sebabnya aku kemari! Aku minta tuakmu barang sedikit!"
Kakek
Segala Tahu pergunakan tongkat kecilnya untuk memukul bumbung bambu yang
dipegang Dewa Tuak di tangan kiri. Luar biasa sekali. Bumbung bambu itu
melayang ke atas dengan bagian mulutnya menungging ke bawah. Dengan ujung tongkatnya
Kakek Segala Tahu menahan bibir tabung. Sementara tuak mengucur ke bawah Dewa
Tuak berseru keget. Tentu saja dia tak mau tuaknya tumpah percuma. Tapi apa
yang terjadi kemudian membuat dia tertawa gelak-gelak!
Bagitu
tuak mengucur jatuh Kakek Segala Tahu tanggalkan caping bambunya. Curahan tuak
ditampungnya dengan caping bambu itu. Setelah penuh, ujung tongkat ditangan
kirinya disentakkan. Bumbung bambu melayang ke arah Dewa Tuak. Kakek berjanggut
putih ini cepat menyambuti tabungnya. Memandang ke depan dilihatnya Kakek
Segala Tahu asyik meneguk tuak harum itu dari pinggiran caping. Karena kepala
dan mukanya tidak terlindung lagi dari caping lebar, semua orang yang ada
disitu kecuali Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkesiap kaget.
Ternyata si kakek berpakaian compang camping itu bermata buta!
"Sahabat,
sudah habis hausmu?!" tanya Dewa Tuak ketika dilihatnya tuak secaping
sudah habis diteguknya.
"Sudah…
sudah. Enak sekali rasanya!" jawab Kakek Segala Tahu lalu enak saja
capingnya yang masih basah itu disungkupkannya kembali ke atas kepalanya.
Kemudian dipegangnya lengan Dewa Tuak seraya berkata.
"Aku
mendengar kau dan anak sableng ini tidak dibutuhkan kehadirannya disini.
Apalagi aku kakek-kakek berbaju rombeng, bau dan buta! Ah, lebih baik aku buru-buru
pergi sebelum kena usir pula."
Wiro
garuk-garuk kepala lalu memegang lengan Kakek Segala Tahu. "Kita pergi
sama-sama, Kek!" kata sang pendekar.
"Ya,
ya kita, ngobrol di kedai saja. Akan kuramalkan pada kalian di mana bisa
menemui Betina Penghisap Dajah itu. Lalu akan kuceritakan pada kalian siapa dia
sebenarnyal Ayo, mari kita berangkat!"
Ketigar
orang itu, Dewa Tuak, Wiro dan si Kakek Segala Tahu segera tinggalkan tempat
itu. Kakek Segala Tahu melangkah sambil menggoyang-goyangkan kalengnya.
"Tunggu!"
Utusan
dari Istana berseru lalu mengejar. Dia menghadang langkah Kakek Segala Tahu.
"Orang
tua, aku minta kau mengatakan semua apa yang kau ketahui tentang gadis iblis
itu sekarang jugal Sekaligus harap terangkan apa maksudmu dengan ucapan hendak
menerangkan siapa dia sebenarnya!"
Kakek
Segala Tahu menyeringai. Dengan ujung tongkatnya dia naikkan pinggiran depan
caping di kepalanya. Lalu ujung tongkat itu ditudingkannya tepat-tepat ke muka
Utusan Kerajaan itu hingga hampir menyentuh hidungnya.
"Kau
tidak membutuhkan dua orang sahabatku ini. Berarti kau tidak membutuhkan aku
sahabat mereka! Menyingkirlah! Masakan tega menghadang langkah orang buta
sepertiku!"
"Kalau
kau tidak mau memberi keterangan, aku anggap kau berserikat dengan gadis iblis
itu! teriak sang utusan.
"Baik,
aku akan bicara. Tapi kau bicara duluan. Aku mau dengar!" kata Kakek
Segala Tahu seraya menggoyangkan tongkatnya sedikit. Sang utusan membuka
mulutnya. Tapi tak ada suara yang keluar. Astaga! Dia tiba-tiba saja menjadi
gagu. Dia coba gerakkan kedua tangannya. Kedua Kakinya. Gila sekujur tubuhnya
ternyata telah kaku. Ternyata Kakek Segala Tahu telah menotoknya dengan satu
gerakan kilat yang tidak terlihat!
"Anak
sableng!" kata Kakek Segala Tahu pada Wiro. "Sebutkan siapa nama
orang sombong ini biar aku ingat kesombongannya seumur hidup!"
"Namanya
Raden Mas Pertolo Sembito, Kek!" jawab Wiro.
"Oooo…
Raden Mas rupanya dia. Kukira Ikan Mas…!" Kakek Segala Tahu tertawa
gelakgelak lalu melangkah pergi digandeng oleh Wiro dan Dewa Tuak. Orang-orang
yang ada di situ tidak berani menghalangi. Mereka hanya menyesali mengapa hal
yang tidak enak itu terjadi. Dan mereka semua diam-diam menyalahi utusan
Kerajaan, yang bertindak terlalu gegabah terhadap tokoh-tokoh silat tingkat
tinggi yang biasanya memang suka bersifat aneh!
*****************
13
KAKEK
Segala Tahu berjalan di tengah diapit oleh Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Si Kakek goyang-goyangkan terus kaleng rombengnya sedang Dewa Tuak
tidak habis-habisnya tertawa dan sesekali sambil jalan dia meneguk tuaknya.
Pendekar 212 melangkah mengiringi dua orang tua itu sambit cengar-cengir.
Tiba-tiba Kakek Segala Tahu hentikan menggoyang kelengnya.
"Ada
apa sahabatku?" tanya Dewa Tuak sementara Wiro juga memasang telinga.
"Aku
mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Mungkin masih di sebelah Utara
sana, di kaki bukit," menerangkan Kakek Segala Tahu.
Saat itu
Wiro dan Dewa Tuak memang sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun
antara terdengar dan tidak. Berarti jelas bahwa kakek berpakaian
compang-camping itu mempunyai pendengaran jauh lebih tajam dari kedua orang
tersebut.
"Sebaiknya
kita bersembunyi di balik semak-semak. Mengintai siapa yang bakal lewat di
tempat in!" kata Wiro.
"Aku
setuju usul anak sableng ini," menyahuti Kakek Segala Tahu. "Sambil
menunggu yang lewat mungkin aku bisa menerangkan sedikit apa yang ku ketahui
mengenai diri gadis berjuluk Betina Penghisap Darah itu."
Dewa Tuak
dan Wiro lalu membimbing Kakek Segala Tahu ke balik semak belukar rapat di tepi
jalan.
"Kek,
sekarang coba kau ceritakan apa yang kau ketahui tentang Betina Penghisap Darah
itu." kata Wiro begitu mereka duduk menjelepok di tanah, mendekam di balik
semak belukar.
"Yang
aku ingin tahu apa betul gadis iblis itu adalah muridku si Anggini!" kata
Dewa Tuak yang duduk bersila sambil memangku tabung bambu berisi tuak.
"Tenang,
jangan kesusu bertanya," jawab Kakek Segala Tahu. "Sebetulnya gadis
itu bukan manusia jahat…"
"Heh!!"
Dewa Tuak dan Wiro sama-sama keluarkan seruan heran. "Apa katamu?"
bertanya Dewa Tuak.
"Tunggu
dulu. Bicaraku belum habis kalian sudah memotong!"
"Kami
heran. Nyata-nyata gadis itu menebar maut. Membunuh dan menghisap darah
korbannya. Bagaimana kau bisa bilang dia bukan manusia jahat?!" ujar Dewa
Tuak.
"Dengar
dulu. Dia memang bukan manusia jahat. Dia hanya kejatuhan nasib sengsara.
Terkena sumpah turunan yang dibuat oleh orang lain…"
Wiro
garuk-garuk kepala dan menyeringai. "Ini baru cerita!" katanya.
"Teruskan Kek!"
"Kejahatan
seperti itu biasanya dilakukan oleh orang yang makan sumpah. Mungkin dulu kakek
atau neneknya memiliki semacam ilmu hitam. Untuk memelihara ilmu itu biasanya
ada ketentuan berupa sumpah yaitu dia harus membunuh dan menghisap darah
manusia tertentu. Kemudian jika batas waktu kehidupannya habis maka dia harus
menurunkan ilmu tersebut pada anaknya. Jika dia tidak punya anak pada
saudaranya. Jika dia tidak punya saudara maka harus ada seorang lain yang
dijadikan pewaris…"
"Aku
mengerti sekarang!" kata Dewa Tuak dengan nada masgul. "Orang yang
punya ilmu itu tidak punya anak tidak punya saudara. Sumpahnya dijatuhkan pada
diri muridku Anggini yang tidak tahu apa-apa! Kurang ajar! Setan keparat!"
Dewa Tuak tampak marah sekali. "Dewa Tuak," kata Wiro. "Sekarang
baru saya mau bicara denganmu. Sebenarnya beberapa waktu lalu saya telah
bertemu dengan muridmu itu. Memang saya melihat keanehan pada dirinya. Tapi sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia benar-benar telah menjadi gadis momok
penghisap darah. Dia kelihatannya seperti tidak sadar siapa dirinya. Dia malah
tidak tahu apa yang terjadi dalam rimba persilatan. Dia seolah-olah tidak
merasa pernah melakukan kejahatan yang sangat mengerikan itu. Saya coba bicara
dengannya tapi dia malah mendamprat saya.
Mengatakan
otak saya tidak beres. Ketika dia begitu saja hendak pergi, saya berusaha
mencegah. Tapi dia menciderai-kaki-kaki kuda tunggangan saya dengan senjata
rahasianya dan lenyap!"
"Aneh,
apa sebenarnya yang terjadi dengan muridku itu!" kata Dewa Tuak sambil
geleng geleng kepala.
"Ada
satu hat lagi. Saya tidak melihat dia membawa selendang ungu yang merupakan
salah satu senjata andalannya. Menurut Anggini selendang itu hilang. Aneh!
Sebelumnya saya melihat selendang itu ada padanya. Yaitu sehabis dia melakukan
pembantaian terhadap Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur. Kau sendiri juga
ada di situ dan sempat hendak dibunuhnya, Dewa Tuak!"
"Bukan
main. Keanehan apa yang tengah menyengsarakan diriku ini sebenarnya…"
keluh Dewa Tuak.
"Kalian
akan segera mendapat jawabnya sobat-sobatku!" kata Kakek Segala Tahu
sambil membuka capingnya dan mengibas-kipaskan topi bambu lebar itu kemukanya.
"Dugaanmu hampir betul. Sebelum aku sampai pada diri muridmu akan
kukatakan dulu bahwa yang jadi biang kerok semua ini adalah seorang manusia
yang sudah sejak lama mati tetapi hidup dalam penjelmaan seekor ular berkepala
manusia. Dia dikenal dengan papggilan Maha Ratu. Sebenarnya dia adalah bekas
kekasihmu di masa muda yang pernah kau kecewakan! Rohnya muncul untuk
membalaskan sakit hati terhadapmu, sahabatku Dewa Tuak."
Dewa Tuak
terlonjak melihat mendengar katakata Kakek Segala Tahu itu. Sementara Wiro
ternganga dan memandang berganti-ganti pada kedua orang tua yang duduk di
hadapannya.
"Bekas
kekasihku…?" ujar Dewa Tuak. "Yang mana? Yang namanya siapa? Aku
punya banyak kekasih di masa muda!" kata Dewa Tuak blak-blakan.
"Yang
aku maksud adalah Juminten Dorojalu," jawab Kakek Segala Tahu.
"Juminten
Dorojalu!" seru Dewa Tuak. Kembali tubuhnya terlonjak.
"Maha
Ratu memang berusaha mencari muridmu. Tapi yang didapatnya gadis lain. Gadis
itu kemudian…" Ucapan Kakek Segala Tahu terpotong. Suara derap kaki kuda
yang tadi terdengar di kejauhan kini menderu keras tanda sudah dekat. Tak lama
kemudian serombongan orang berkuda berjumlah lebih dua puluh orang muncul. Di
depan sekali adalah seorang yang mengenakan topi tinggi berwajah garang dengan
kumis melintang dan janggut meranggas. Dia adalah Tumage Jarandiku seorang
pembantu Patih Kerajaan yang sangat dipercaya dan memiliki kepandaian tinggi.
Konon dikabarkan dialah kelak yang bakal dipercayai menduduki jabatan Patih
jika Patih yang sekarang mengundurkan diri dari jabatannya karena uzur. Di
sebelah belakang bergerak empat orang tokoh silat Istana. Lalu menyusul
beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda Kerajaan. Di sebelah belakang
mengikuti sekitar selusin perajurit bersenjata lengkap. Masingmasing anggota
rombongan ini membawa peluit yang digantungkan di leher.
Beberapa
puluh langkah dari tempat Dewa Tuak dan dua orang lainnya itu bersembunyi
Tumage Jarandiku hentikan kudanya. Lalu terdengar dia berkata. "Kita akan
segera sampai di tempat sasaran. Mata-mata sudah meyakinkan bahwa gadis itu
berada di. kawasan ini. Aku menduga berat dia hendak mencari korban di kalangan
orang-orang yang menghadiri pertemuan rahasia itu. Aku kawatir akan keselamatan
Dimas Pertolo Sembito. Saat kita menebar melakukan pengurungan. Beri tanda
dengan tiupan peluit jika kalian melihatnya!" Lalu seusai dengan yang
sudah diatur sebelumnya rombongan itu meninggalkan tempat itu, menebar jadi
beberapa kelompok yang masingmasing terdiri dari dua orang.
Dibalik
semak belukar. "Tokoh-tokoh penting dari Istana muncul secara tiba-tiba.
Padahal sebelumnya sudah ada utusan Kerajaan di sekitar sini. Hemm…" Kakek
Segala Tahu diam sejenak baru menyambung ucapannya. Tadi mereka bicara tentang
seorang gadis. Besar dugaanku gadis yang dimaksudkan adalah Betina Penghisap
Darah itu!"
"Muridku
Anggini!" kata Dewa Tuak pula.
"Bukan,"
menyahuti Kakek Segala Tahu. "kau lihat saja nanti. Mari kita kembali ke
tempat pertemuan tadi! Kurasa di sana semua keanehan berdarah ini akan
berakhir… " Si kakek bangkit berdiri. Diikuti oleh Dewa Tuak dan Wiro
Sableng.
Ketika
mulai melangkah Dewa Tuak sesaat tertegun dan pegangi dada kirinya. "Ada
apa Dewa Tuak?" tanya Wiro.
"Ini
adalah hari ke 39. Berarti umurku hanya tinggal sehari lagi!" sahut Dewa
Tuak.
"Eh,
kenapa kau bicara begitu? Apa yang telah kau lakukan sahabatku?" tanya
Kakek Segala Tahu sambil hentikan langkah pula.
"Aku
telah bersumpah untuk dapat menangkap muridku yang sesat itu dalam waktu 40
hari. Kalau tidak aku sudah siap untuk mati. Aku telah menelan racun yang akan
membunuhku pada akhir hari ke 40!"
"Kau
nekad! Gila!" semprot Kakek Segala Tahu sementara Wiro juga tampak
terkejut bukan main.
"Aku
belum gila atau nekad. Hanya tak bakal tahan menanggung malu jika anak itu
tidak aku bunuh!"
"Kau
bilang umurmu hanya tinggal satu hari. Apakah kau juga membawa obat
penawarnya?"
Dewa Tuak
mengangguk. "Ada," katanya. "Yang penting sekarang kita segera
ke tempat pertemuan itu!"
Ke tiga
orang itu segera bergegas meninggalkan tempat itu.
*****************
14
BEGITU Kakek
Segala Tahu, Wiro dan Dewa Tuak berlalu, mereka yang tadi menghadiri pertemuan
rahasia bertindak cepat untuk membebaskan Pertolo Sembito dari totokannya. Yang
paling dekat adalah seorang tokoh silat dari Selatan berjuluk Si Kaki Besi.
Orang ini berusia sekitar setengah abad. Ke~!ua kakinya mulai dari pangkal paha
berwarna hitam, memiliki kekuatan seperti besi. Tembok bisa dihantamnya sampai
jebol. Pohon dapat ditumbangkannya dengan sekali tendang saja. Apalagi jika dia
menghantam tubuh manusia!
Baru saja
Si Kaki Besi mengulurkan tangan hendak melepaskan totokan di tubuh utusan dari
Istana itu, tiba-tiba satu bayangan ungu berkelebat. Tahu-tahu tubuh Pertolo
Sembito seperti disambar burung besar dan kelihatan dibawa terbang ke atas
sebatang pohon dan ditegakkan pada salah satu cabangnya. Di sebelahnya berdiri
seorang gadis berpakaian serba ungu dan sehelai selendang ungu melingkar di
lehernya.
"Gadis
iblis! Betina Penghisap Darah!" seru beberapa orang hampir bersamaan.
Karuan saja tempat itu jadi diliputi suasana tegang. Semua orang yang ada di
sana jadi tercekat. Lalu terdengar suara tiupan peluit panjang, disusul oleh
tiupan peluit lainnya dari berbagai penjuru. Dalam waktu singkat belasan
kelompok masing-masing terdiri dari dua orang bermunculan di tempat itu.
"Kangmas
Tumage Jarandiku!" seru Si Kaki Besi. "Syukur kau datang. Lihat! Kita
sudah menemukan dan mengurung gadis iblis pembunuh Pangeran Panji itu! Dia di
atas sana!"
Rombongan
yang baru datang sama melihat ke atas pohon.
Di atas
pohon gadis berbaju ungu memandang dengan dingin pada orang-orang di bawahnya.
Lalu dia tertawa cekikikan. Di kejauhan seperti menyambuti terdengar suara
lolongan anjing. Tangan kanan Betina Penghisap Darah yang memegang bahu utusan
Kerajaan dan seperti orang merangkul tiba-tiba bergerak ke leher Pertolo
Sembito.
"Lihat
jari-jari tangannya!" Seseorang di bawah pohon berteriak.
Di atas
pohon lima jari tangan kanan gadis berbaju ungu tampak mengeluarkan kuku-kuku
panjang runcing berwarna merah. Ketika lima kuku itu dihunjamkan ke leher
utusan Kerajaan yang masih dalam keadaan tertotok itu, darah kelihatan muncrat!
Semua orang yang ada di bawah pohon tertegun bergidik. Tubuh Pertolo Sembito
tampak bergetar keras. Betina Penghisap darah telah menyedot seluruh darah yang
ada dalam tubuh lelaki itu. Tubuh orang ini kelihatan seperti terkulai. Ketika
cengkeraman kuku dilepaskan Pertolo Sembito tak ampun lagi melayang ke bawah,
jatuh bergedebukan di tanah!
Serta
merta tempat itu dilanda kegegeran. Di atas pohon Betina Penghisap Darah tampak
menyeringai sambil menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah. Kedua matanya
memandang ke bawah siap mencari dan menentukan korban berikutnya. Matanya
memperhatikan Tumage Jarandiku. "Hemm… Manusia satu ini kelihatan seperti
orang berpangkat. Kepandaiannya tentu tidak rendah. Tapi aku lebih suka pada
yang memiliki kaki hitam itu. Ilmunya pasti lebih tinggi. Jika kusedot darahnya
ilmu kesaktianku pasti akan berlipat ganda." Begitu Iblis Penghisap Darah
berpikir. Maka diapun siap-siap melompat turun untuk menyambar Si Kaki Besi.
Tapi saat itu dibawah pohon Tumage Jarandiku justru telah memberi isyarat pada
orang-orang berkepandaian tinggi di sekitarnya.
"Gadis
iblis! Dosamu sudah lewat takaran!" Sudah saatnya kau harus dibunuh!
Mayatmu akan kami cincang lalu kami bakar!" Teriak Tumage Jarandiku.
Sekali
lagi dia memberi isyarat maka bersama dua orang tokoh silat ditambah dua orang
Perwira Tinggi dia melesat ke atas, ke arah cabang pohon di mana Betina
Penghisap Darah tegak berdiri, siap-siap hendak melompat turun menyambar Si
Kaki Besi!
"Bagus!
Kalian punya nyali rupanya! Tentu darah kalian sedap kuteguk!?"teriak
Betina Penghisap Darah. Gadis ini lepaskan gulungan setendang ungu yang
melingkar di lehernya. Sekali dia mengebutkan selendang yangsalah satu ujungnya
itu ada guratan angka 212, maka angin laksana topan prahara menderu. Dua orang
Perwira yang ikut melompat ke atas pohon berseru kaget. Tubuh mereka mencelat
ke bawah begitu kena tamparan angin pukulan. Yang satu terkapar patah pinggang,
meregang nyawa sambil mengerang tiada henti. Satunya lagi langsung tak berkutik
karena kepalanya pecah sewaktu jatuh menghantam tanah. Hanya Tumage Jarandiku
serta dua orang tokoh silat lainnya masih mampu menerobos terpaan angin pukulan
yang dahsyat itu. Namun tetap saja mereka agak terhuyung-huyung walau berhasil
mencapai cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah berdiri sambil
tertawa-tawa.
Luar
biasanya begitu mereka sampai di cabang pohon, semuanya jadi terkejut karena
dapatkan gadis iblis itu tidak ada lagi di tempat itu! Memandang ke bawah
terkejutlah mereka semua. Saat itu si gadis telah berada di bawah sana tengah
menyerang Si Kaki Besi yang dibantu oleh dua orang tokoh silat Istana dan
selusin perajurit Kerajaan!
Gerakan-gerakan
silat Betina Penghisap Darah sungguh luar biasa. Dalam beberapa gebrakan saja
tiga orang perajurit tersungkur roboh kena hantamannya. Seorang Perwira Muda
kemudian terpental disambar ujung selendang ungunya. Mata kirinya pecah.
Raungan Perwira Muda ini membuat susana jadi tambah tegang.
Melihat
orang-orang si pihaknya menemui ajal bergelimpangan Si Kaki Besi jadi marah dan
mengamuk. Tubuhnya melayang dan melompat sebat. Kedua kakinya kirimkan
tendangan susul menyusul. Yang diarah adalah bagian-bagian kematian lawan yaitu
kepala, tenggorokan dan dada!
Mendapat
serangan dahsyat itu Betina Penghisap Darah jadi terkesiap juga. Dia hantamkan
selendangnya ke arah perut Si Kaki Besi. Yang diserang cepat melompat dan balas
menghantam dengan tendangan kaki kanan. Ujung selendang tak ampun lagi saling
beradu dengan tendangan itu.
Bukk!
Betina
Penghisap Darah keluarkan seruan pendek. Tangan kanannya bergetar dan ujung
selendangnya terpental ke samping. Di lain pihak Si Kaki Besi tampak
terhuyung-huyung hampir jatuh. Kaki kanannya sakit bukan kepalang hingga dia
tegak terpincang-pincang. Masih untung dilihatnya kakinya tidak cidera.
Mendapat
perlawanan keras begitu rupa Betina Penghisap Darah berteriak keras. Selendang
ungu kembali dikebutnya sedang tangannya sebelah kiri melepaskan pukulan-pukulan
aneh yang menebar hawa dingin.
Beberapa
orang perajurit dan seorang Perwira Tinggi menjerit keras kena hantaman
selendang. Yang lain-lain termasuk Si Kaki Besi terkejut besar ketika mereka
merasakan hawa tibatiba menjadi sangat dingin hingga tubuh mereka serasa kaku.
Perajurit- perajurit Kerajaan yang ilmu kepandaian mereka paling rendah
langsung tak bisa bergerak.
Semuanya
tertegak tegang kaku. Sekujur tubuh bergetar, rahang menggembung dan gigi-gigi
bergemeletukan. Gadis berbaju ungu itu telah lepas kan pukulan sakti bernama
"salju pusaka dewa".
Si Kaki
Iblis dan beberapa tokoh silat lainnya maklum kalau lawan memiliki ilmu aneh
yang menimbulkan hawa dingin dan bisa membuat kaku sekujur tubuh serta anggota
badan, cepatcepat alirkan darah dan tenaga dalam hawa panas. Begitu mereka
terbebas dari kekakuan kembali mereka menyerbu si gadis. Kali ini beberapa di
antaranya sudah menghunus senjata sakti yang mereka miliki. Hanya Si Kaki Besi
saja yang masih tetap mengandalkan kedua kakinya.
Di atas
pohon sementara itu Tumage Jarandiku keluarkan teriakan keras yang merupakan
syarat. Diikuti oleh tokoh-tokoh silat yang ada di cabang pohon dia segera
melesat ke bawah. Di bawah sana, beberapa orang tokoh silat Istana yang tadi
tidak sempat ikut melesat ke atas pohon kini telah ikut mengurung Betina Penghisap
Darah. Gadis ini sekarang dikeroyok hampir oleh dua puluh orang. Beberapa
diantaranya adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Serta merta dirinya
terdesak. Nyawanya terancam. Namun gadis itu tampak tenang-tenang saja malah
terus menghadapi para pengeroyoknya sambil tersenyum-senyum tapi tetap saja
wajahnya seram mengerikan karena bercelemongan darah Pertolo Sembito yang tadi
telah jadi korbannya pertama kali. Dalam keadaan perkelahian berkecamuk hebat
demikian rupa itulah rombongan Dewa Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212
Wiro Sableng sampai di tempat itu. Ketiganya masih sempat merasakan hawa dingin
aneh yang mencucuk sampai ke tulang sumsum.
"Anak
sesat! Itu dia!" kata Dewa Tuak dengan sangat marah. "Sebentar lagi
dia akan menemui ajal di tangan para pengeroyok! Kalau aku tidak segera turun
tangan bisa-bisa aku keduluan orangorang itu. Anggini harus mati di
tanganku!"
Dewa Tuak
hendak melompat ke arah kalangan pertempuran. Tapi Kakek Segala Tahu cepat
memegang lengannya lalu berpaling pada pendekar 212.
"Anak
Sableng, coba kau katakan dulu padaku apa yang terjadi!" kata Kakek Segala
Tahu.
*****************
15
WIRO
menggaruk kepalanya. "Anggini, murid Dewa Tuak di keroyok hampir oleh dua
puluh orang. Dia mempertahankan diri hanya mengandalkan selendang ungu dan
pukulan-pukulan sakti di tangan kanan. Agaknya…"
"Tunggu
dulu!" potong Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya kau mengatakan bahwa
ketika kau
bertemu
dengan Anggini, gadis itu bilang selendang yang pernah kau berikan padanya
hilang.
Mengapa
tahu-tahu kini selendang itu ada di tangannya?"
"Ini
memang satu hal yang saya tidak mengerti Kek," jawab Wiro.
"Dia
pasti berdusta! Mungkin takut kau akan memintanya kembali!" Dewa Tuak ikut
bicara.
"Aku
tak bisa menunggu lebih lama! Aku harus segera turun tangan. Anak itu harus
kuhukum mati dengan tanganku sendiri. Lepaskan peganganmu!" Dewa Tuak
menepiskan tangan Kakek Segala Tahu yang memegang tengannya. Pada saat itu pula
terdengar satu suara bentakan keras disusul dengan berkelebatnya satu bayangan
ungu.
"Gadis
durjana! Kau mencemarkan namaku! Terima kematianmu!"
Lalu
sepuluh buah senjata rahasia berbentuk paku perak dengan kepanjangan setengah
jengkal melesat di udara, menghantam ke arah sepuluh bagian tubuh Betina
Penghisap Darah!
"Hai!
Aku mengenali suara orang yang barusan berteriak itu!" seru Dewa Tuak dan
cepat berpaling. "Astaga! Kenapa jadi begini!"
"Saya
juga mengenali suara itu! Lihat! Gila!" seru Wiro. "Kenapa bisa jadi
dua? Apa kembar!?"
"Sialan!
Aku tak bisa melihat! Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi? Apa yang jadi
dua?!"
berseru
Kakek Segala Tahu. Kalau sejak tadi mendiamkan saja kaleng rombengnya kini dia
kini dia goyang-goyangkan benda itu hingga mengeluarkan suara berkerontangan!
"Ada
dua dara berpakaian serba ungu, berwajah hampir mirip satu sama lain. Cuma satu
memegang selendang, satunya tidak!" Wiro menerangkan dengan cepat. Kakek
Segala Tahu angkat bagian depan caping bambunya sedikit lalu berkata. "Apa
kataku! Aku memang sudah duga! Dewa Tuak! Salah satu dari gadis berpakaian ungu
itu adalah muridmu! Kau harus tahu mana muridmu yang sebenarnya dan mana gadis
yang kejatuhan sumpah turun temurun lewat Maha Ratu!"
Dewa Tuak
terbelalak. "Aku bisa pusing!" katanya. "Keduanya hampir tidak
berbeda satu sama lain. Biar aku teguk dulu tuakku!" Habis berkata begitu
Dewa Tuak teguk tuak dalam bambu sampai wajahnya menjadi merah.
Di depan
sana gadis berbaju ungu yang mendapat serangan senjata rahasia dari gadis
berpakaian ungu lainnya pukulkan tangan kirinya serta sebatkan selendang
ungunya. Delapan senjata rahasia berbentuk paku mental. Tiga diantaranya
menghantam para pengeroyoknya. Satu tertembus tepat di keningnya hingga roboh
saat itu juga. Dua menjerit ketika paku-paku perak itu menembus dada dan perut
masing-masing. Dua paku perak lainnya sempat merobek ujung selendang di tangan
kanan si dara berbaju ungu dan satunya lagi menyambar bahu pakaiannya hingga
robek besar. Marahlah gadis ini! Di dahului dengan teriakan melengking keras
dia membuat gerakan demikian rupa untuk dapat membebaskan diri dari para
pengeroyoknya. Tujuannya kini adalah menyerang gadis berbaju ungu yang barusan
datang dan membunuhnya!
Tetapi
celakanya para pengeroyok tidak memberi kesempatan. Sepasang mata gadis berbaju
ungu itu tampak berapi-api. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Dewa
Tuak! Apa kau masih belum dapat mengenali mana gadis berbaju ungu
muridmu?" bertanya Kakek Segala Tahu.
"Sulit
kalau aku tidak bisa mendekat!"
"Barusan
aku mendengar ada yang melepas senjata rahasia. Kau lihat siapa yang
melakukan?!" bertanya Kakek Segala Tahu.
"Astaga!"
seru Wiro. "Bukankah Anggini memiliki senjata rahasia berupa paku perak
seperti yang tadi dilepaskan gadis baju ungu yang barusan datang? Berarti gadis
ini adalah muridmu Dewa Tuak!"
Dewa Tuak
berseru kaget. "Aku sudah pikun. Mustinya aku bisa menerka sendiri tadi!
Wiro, kau betul! Yang barusan datang ini adalah muridku Anggini!"
"Apa
kataku!" ujar Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya aku sudah menduga kalau
muridmu tidak melakukan kejahatan biadab itu. Bukan dia yang jadi Betina
Penghisap Darah. Hanya saja buktinya belum di dapat. Kini rahasia besar itu
sudah mulai tersingkap. Gadis yang memegang selendang harus dibunuh. Dialah
Betina Penghisap Darah yang sebenarnya. Maha Ratu sengaja menyarukan dirinya
sebagai anak muridmu. Namamu tercemar lalu kau akan membunuh muridmu sendiri
atau si betina itu yang akan membunuh kalian berdua, guru dan murid! Kalau itu
terjadi berarti terbalas dendam kesumat Maha Ratu alias Juminten Dorojalu
kekasihmu di masa muda dulu!"
Bergetar
sekujur tubub. De.wa Tuak mendengar hal itu. Tiba-tiba di kalangan pertempuran
terdengar suara jeritan-jeritan mengerikan. Benda-benda aneh berlesatan di
udara.
"Ada
apa lagi ini!?" tanya Kakek Segala Tahu.
Sementara
itu orang-orang yang sejak tadi mengeroyok gadis berbaju ungu itu menjadi heran
ketika mereka melihat munculnya gadis berbaju ungu lain yang memiliki wajah
mirip. Siapa gadis satu ini, lalu yang mana di antara mereka sebenarnya adalah
Betina Penghisap Darah?
"Kangmas
Jarandiku, bagaimana ini?" tanya Si Kaki Besi.
"Jangan
tolol! Jangan tertipu. Orang yang kita keroyok ini adalah Betina Penghisap
Darah sebenarnya! Kita sudah saksikan dia membunuh Pertolo Sembito dan
menghisap darahnya! Rapatkan kurungan!"
Mendengar
teriakan Tumage Jarandiku itu, Si Kaki Besi dan yang lain-lainnya segera
memperketat kurungan dan menempur lawan tunggal mereka mati-matian!
Wiro
menggaruk kepalanya. Selintas pikiran muncul si benaknya. "Dua gadis
berwajah mirip berpakaian sama. Bisa muncul bahaya besar pada did murid Dewa
Tuak!" Wiro lalu buka baju putihnya dan berkelebat ke arah gadis baju ungu
yang barusan datang. "Anggini! Lekas kau pakai bajuku ini! Jika nanti
orang-orang tidak bisa lagi membedakan mana dirimu dan mana gadis iblis itu,
nyawamu pasti terancam!"
Gadis
berbaju ungu di hadapan Wiro yang memang adalah Anggini murid Dewa Tuak adanya
mengerti jalan pikiran pemuda itu. Cepat-cepat dia mengenakan baju putih yang
diberikan Pendekar 212 lalu mengikuti Wiro bergabung dengan Dewa Tuak dan Kakek
Segala Tahu.
"Guru,
maafkan muridmu ini. Saya…"
"Sudah,
sudah! Lupakan segala macam peradatan. Aku merasa ada sesuatu yang hebat tengah
terjadi di kalangan pertempuran. Aku mencium bau amis! Wiro lekas katakan apa
yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu pula.
Saat itu
gadis berjuluk Betina Penghisap Darah berada dalam keadaan terdesak dan
terkurung rapat oleh para pengeroyok. Beberapa kali dia mencoba menerobos guna
dapat menyerang Anggini yang asli namun selalu gagal. Maka dalam marahnya dia
lalu merapal ajian memanggil ular-ular peliharaannya.
"Para
Dewi, datanglah!"
Begitu
rapal diucapkan maka terdengar suara bersiur riuh sekali disertai bau amis.
Seolaholah datang dari langit, belasan ekor ular hitam melesat ke arah si gadis
lalu menempel dan bergelantungan di badannya. Ada yang bergelung di leher,
dada, pinggang atau kaki. Dua ekor ular malah mendekam di atas kepalanya.
Melihat hal ini tentu saja para pengeroyok menjadi bergidik. Dengan ketakutan
mereka melangkah mundur. Yang tadinya belum menghunus senjata kini mencabut
senjata masing-masing.
"Sahabat-sahabatku,
serang dan bunuh mereka!" perintah Betina Penghisap Darah pada ular ular
itu. Semua binatang ini lepaskan gelungannya, mendesis keras dan tiba-tiba
mereka berlesatan ke arah para pengeroyok. Terjadilah hal yang mengerikan.
Puluhan pengeroyok yang berusaha melarikan diri diserang oleh ular-ular
jejadian itu. Ada yang digelung hingga hancur luluh tulang leher atau dadanya.
Namun kebanyakan menemui ajal karena langsung dipatuk! Beberapa tokoh silat
seperti Tumage Jarandiku dan Si Kaki Besi berusaha membunuh binatang-binatang
yang menyerang mereka dengan senjata. Ternyata ular-ular itu tidak mempan di
bacok apalagi pukulan! Keduanyapun mati berkaparan dengan belasan patukan
berbisa melanda kepala dan tubuh mereka!
"Maut!
Ganas! Aku mencium bau maut! Aku merasakan adanya kematian yang ganas! Wiro
lekas ceritakan apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu tak tahan lagi.
Ketika
kemudian Wiro menerangkan, orang tua ini berubah wajahnya. "Itu adalah ular-ular
jejadian milik Maha Ratu. Pada gilirannya ular-ular iblis itu pasti akan
menyerang kita!"
Wiro
terkejut. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Pendekar 212 sementara
Anggini juga mulai jadi bergidik dan cepat berjaga-jaga. Dewa Tuak tampak
tegang. Dia siapkan tabung tuaknya. Di depan sana pedataran pertempuran telah
menjadi rata. Puluhan mayat bergelimpangan. Ada yang saling tumpang tindih.
Gadis berpakaian ungu tegak berkacak pinggang sementara ular-ular yang tadi
disuruh menyerang dan membunuh kini kembali bergayutan di tubuhnya.
"Sayang,
para tokoh silat itu ikut mati semua hingga aku tak dapat menghisap darah
mereka!" kata si gadis dalam hati. Mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan
dia berpaling ke arah Dewa Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro
Sableng serta Anggini yang tegak di kejauhan.
"Gadis
itu memandang ke arah kita." bisik wiro.
"Ah…
Giliran kita hendak dijadikannya korban!" kata Kakek Segala Tahu.
"Ular-ular jahanam itu! Kita harus dapat melawannya. Tapi bagaimana…?
Bagaimana!?"
Sementara
itu si gadis mulai berjalan melangkahi tumpukan mayat. Bergerak ke arah empat
orang itu. Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212 dan memegangnya erat-erat di
tangan kanan. Sedang tangan kiri sudah bergetar dengan aliran tenaga dalam yang
tinggi. Dia sudah menyiapkan pukulan "sinar matahari" di tangan itu.
Anggini sudah menggenggam selusin senjata rahasia paku peraknya.
Kakek
Segala Tahu gelengkan kepala. "Ular-ular itu tidak bakal mempan dengan
segala macam senjata yang saat ini kalian pegang…" katanya.
"Lalu
apakah kita akan mampus percuma tanpa perlawanan?" tukas Dewa Tuak.
Betina
Penghisap Darah melangkah terus sambil menyeringai. Ular-ular di tubuhnya
mengeluarkan suara berdesis-desis dan menebar bau amis.
"Kalian
semua sudah siap mampus?" tanya gadis iblis itu lalu hentikan langkah.
Wajahnya yang cantik jelita telah berubah jadi seseram setan, apalagi masih
bercelemongan darah!
"Celaka!
Aku masih belum menemukan cara untuk menghadapi ular-ular itu." kata Kakek
Segala Tahu. "Otakku seperti buntu!"
"Kek!
Goyangkan kaleng rombengmu! Siapa tahu kau bisa segera dapat petunjuk."
bisik Wiro.
Kakek
Segala Tahu mendongak. Lalu diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dan
goyangkan kaleng yang dipegangnya. Gadis berbaju ungu di hadapan mereka tertawa
bergelak.
"Rupanya
kau ingin mengantar kematian diri dan teman-temanmu dengan nyanyian kaleng
rombeng begitu rupa. Hik.., hik… hik…"
"Sialan!
Dia menghina kalengku!" kata Kakek Segala Tahu. Tiba-tiba dia susul
ucapannya.
"Ular!
Binatang itu paling takut dengan api! Kita bisa membunuhnya dengan api!"
Paras
Dewa Tuak berubah. "Tuak murniku bisa kujadikan api! Sahabat, kupinjam
dulu tongkat bututmu!"
Tanpa
menunggu jawaban orang Dewa Tuak, segera mengambil tongkat kayu di tangan kiri
Kakek Segala Tahu. Lalu dirobeknya ujung pakaiannya sendiri dan digulungkannya
pada ujung tongkat. Ujung tongkat itu kemudian dicelupkannya ke dalam tuak
dalam tabung bambu.
"Api,
kita butuh api!" kata Dewa Tuak. Matanya membentur Kapak Naga Geni 212 di
tangan Wiro. "Heh, apa kau membawa batu hitam pasangan senjata mustika
itu?"
Wiro
segera mengerti dan cepat keluarkan batu hitam yang tersimpan di pinggangnya.
Tanpa disuruh dia segera menghantamkan batu hitam ke salah satu mata kapak.
Bunga api memercik terang. Dewa Tuak dekatkan ujung tongkat yang telah digulung
kain dan dicelup tuak. Serta merta api menyambar dan membakar ujung tongkat
seperti sebuah obor!
Di depan
sana Betina Penghisap Darah tertawa tergelak. "Kalian kira api itu bisa
menakuti ular-ularku? Bisa membunuh binatang-binatang ini?"
Dewa Tuak
dan Kakek Segala Tahu tercekat. "Iblis itu betul. Bagaimana kalau binatang
jejadian itu tidak mempan api?" bisik Kakek Segala Tahu.
"Berarti
kita semua akan mati di tempat ini!" jawab Wiro dengan muka mulai pucat.
Dewa Tuak
teguk tuaknya sampai mulutnya penuh. Minuman itu tidak terus ditelannya
melainkan tetap dibiarkannya di dalam mulut. Tangan kirinya memegang tongkat
yang ujungnya dikobari api.
Betina
Penghisap Darah keluarkan suara lengkingan.
"Semua
lekas berlindung di belakangku!" perintah Dewa Tuak. Kakek Segala Tahu dan
Anggini segera melakukan apa yang diperintahkan. Hanya Wiro yang masih tegak di
sebelah kanannya. "Kau sudah ingin segera mampus?" bentak Dewa Tuak.
"Mungkin
api kapak dan batu bisa menolong seperti api tuakmu!" jawab Pendekar 212.
"Kau
coba saja. Kalau gagal kau tanggung sendiri akibatnya!"
"Sahabat-sahabatku!
Serang dan bunuh keempat orang itu!" tiba- tiba gadis berpakaian ungu
berikan perintah.
Ular-ular
yang bergelayutan di tubuhnya tegakkan kepala dan mendesis keras. Tiba-tiba
binatang ini melesat ke depan. Dewa Tuak segera semburkan tuaknya. Begitu
menyambar api di ujung tongkat, tuak yang disemburkan itu berubah menjadi
buntalan api yang bergulung-gulung menyambut serangan belasan ekor ular hitam.
Di sebelah Dewa Tuak Pendekar 212 segera pula gosokkan batu hitam sakti dengan
mata Kapak Maut Naga Geni 212. Gelombang api yang sangat panas menderu dan
menyambar ke arah ular-ular yang datang menyerang!
Ular-ular
hitam Itu seperti tahu datangnya bahaya dengan cepat merubah gerakan serangan
mereka. Ada yang melesat ke atas lalu menukik meneruskan serangan. Ada pula
yang membelok ke kiri atau ke kanan lalu kembali menyerang.
Wiro dan
Dewa Tuak menjadi sibuk. Kakek Segala Tahu coba menghantam dengan kekuatan
tenaga dalam yang dahsyat sementara Anggini mulai melepaskan senjata
rahasianya. Untuk sementara serangan-serangan ular itu masih dapat ditahan oleh
kobaran api sedang pukulan sakti Kakek Segala Tahu dan senjata rahasia Anggini
tidak mempan. Lalu sampai seberapa lama Dewa Tuak dan Wiro bisa bertahan?
Bagaimana kalau tuak dalam dua buah tabung itu akhirnya habis dan Wiro
keletihan menghantamkan kapak dan batu hitam terus menerus?
Ular-ular
hitam dengan cerdik melayang-layang di udara, berputar-putar mencari
kesempatan. Suatu ketika binatang ini kembali menyerbu. Dewa Tuak dan Wiro
semburkan api tapi celakanya salah seekor masih sempat menerobos. gelombang api
lalu mematuk paha kiri Kakek Segala Tahu. Orang tua ini berteriak kesakitan dan
roboh ke tanah. Wiro tendang tubuh ular yang tadi mematuk. Binatang ini hanya
mencelat mental tapi sama sekali tidak cidera! Begitu mental binatang ini
menyerang kembali. Dewa Tuak terpaksa menyemburkan lagi dengan tuak berapi.
"Celaka!
Tuakku tinggal sedikit." kata Dewa Tuak.
Betina
Penghisap Darah tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Sementara itu ketika
tubuhnya tergelimpangan roboh, sepasang mata Kakek Segala Tahu seolah-olah
diberi penglihatan aneh lewat daya ingatnya yang luar biasa. Dalam kebutaannya
dia membayangkan Pendekar 212 memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Dia
seolah-olah melihat adanya lobang-lobang pada gagang senjata mustika itu.
"Pendekar
212! Suling! Ular-ular itu… Senjatamu… Senjatamu…senjatamu…" Ucapan Kakek
Segala Tahu hanya sampai di situ. Orang tua ini jatuh terkulai dan pingsan.
Namun murid Eyang Sinto Gendeng sudah maklum apa yang ingin dikatakan oleh si
kakek. Segera dia melompat ke cabang sebatang pohon. Di sini dia duduk bersila
dan dekatkan gagang kapak yang berbentuk kepala naga itu ke mukanya. Ketika
Wiro mendekatkan bibir naga ke bibirnya sendiri, ular-ular hitam yang melayang
di udara menunggu kesempatan tiba-tiba melesat ke arahnya. Melihat sang
pendekar dalam bahaya Dewa Tuak cepat semburkan tuaknya sambil meletakkan
tongkat berapi di depan mulut. Tuak murni menyembur membentuk gelombang api
yang dahsyat membuat ular-ular hitam Itu terpaksa mundur. Anggini lepaskan lagi
sepuluh senjata rahasia. Tapi paku- paku perak itu mental berjatuhan ke tanah
begitu mengenai tubuh ular-ular hitam.
Di atas
pohon Wiro susun jari-jari tangannya pada enam buah lobang di gagang Kapak Maut
Naga geni
212. Senjata mustika ini memang bisa dijadikan sebagai sebuah seruling sakti.
Begitu dia meniup dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, menggeledeklah
suara melengking yang membuat semua telinga menjadi sakit. Dewa Tuak dan
Anggini cepat tutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Betina Penghisap
Darah coba bertahan tapi akhirnya terpaksa juga menutup jalan pendengarannya
dengan menusukkan ujung-ujung jari ke dalam liang telinganya kiri kanan.
Ular-ular hitam yang melayang-layang di udara tampak terlonjak lalu dongakkan
kepala. Makin keras suara tiupan "Seruling" yang dimainkan Wiro
semakin kacau gerakan-gerakan binatang ini di udara. Daun-daun pepohonan tampak
bergerak-gerak. Beberapa di antaranya mulai luruh berjatuhan ke tanah!
Perlahan-lahan
Wiro rubah tiupan serulingnya. Kalau tadi melengking tinggi rendah tidak
karuan, kini nadanya tetap tinggi tetapi membawakan lagu aneh. Ular-ular hitam
yang melayanglayang dl udara tampak melenggak-lenggok jinak mengikuti irama
seruling yang ditiup Wiro. Tetapi dari telinga dan mulut mata mereka kelihatan
keluar tetesan tetesan darah tanda binatangbinatang ini tidak bisa bertahan
terhadap getaran-getaran tiupan suling yang memang dahsyat itu. Satu demi satu
ular-ular hitam itu melayang turun ke bawah dan akhirnya berjatuhan di tanah.
Tampaknya binatang ini seperti mabok. Namun sesaat kemudian mereka melata di
tanah menuju pohon di mana Wiro duduk meniup Kapak Maut Naga Geni 212. Belasan ular
kemudian merayap di batang pohon naik mendekati cabang di mana murid Sinto
Gendeng berada. Tentu saja Dewa Tuak dan Anggini menjadi cemas. Apalagi
Pendekar 212 sendiri. Kuduknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya mandi keringat.
Tapi dia terus saja meniup serulingnya malah menarribah kekuatan tenaga
dalamnya. Kini belasan ular hitam itu telah mencapai cabang tempat Wiro duduk.
Mereka meniti cabang naik ke atas pangkuan Wiro, bergelung ke berbagai bagian
tubuh pemuda itu. Walau tidak satupun yang menggigit atau mematuk namun Wiro
yang sudah tidak sanggup menahan rasa takut akhirnya terkencingkencing. Di
bawah pohon Dewa Tuak dan Anggini terheran-heran melihat apa yang terjadi.
Belasan ular hitam besar itu hanya bergelung-gelung dan berputar-putar di sekitar
tubuh Wiro. Mereka kelihatan menjadi jinak. Di bagian lain di bawah pohon
Betina Penghisap Darah menjadi marah melihat kejadian itu. Dia berteriak pada
ular-ular memberi perintah.
"Para
Dewi! Bunuh pemuda yang meniup suling itu!"
Kalau
sebelumnya begitu mendengar perintah binatang jejadian itu langsung menyerbu
dan mematuk korbannya maka kali ini perintah itu seperti tidak mereka dengar.
Ular-ular ini terus saja bergayut menggelungi tubuh Wiro. Malah ada yang
menjilati tubuhnya yang bertelanjang dada itu!
Melihat
hal ini Betina Penghisap Darah menjadi tambah marah. Dia turunkan kedua
tangannya yang dipakai menutupi telinga. Justru ini adalah satu kesalahan yang
mencelakakannya. Begitu liang telinganya tidak terlindung lagi, suara lengkingan
seruling yang ditiup Wiro langsung menusuk ke dalam telinganya. Dess! Dess!
Gendang-gendang telinganya kiri kanan pecah! Darah mengalir ke luar. Gadis ini
berteriak kesakitan dan berusaha menekap kedua telinganya kembali. Tentu saja
sudah terlambat. Kedua matanyapun kini tampak kelihatan berubah merah.
Pemandangannya seperti tertutup kabut. Lalu darah kelihatan pula menetes dari
dua lobang hidungnya. Sesaat sebelum dia roboh Betina Penghisap Darah pukulkan
ke dua tangannya ke arah Wiro.
Dua
gelombang angin dingin menderu. Pukulan salju pusaka dewa menggebubu. Udara
menjadi sangat dingin. Wiro merasakan tenggorokannya tercekik. Tiupan sulingnya
sesaat terhenti oleh pengaruh hawa dingin luar biasa itu. Jika hal ini terjadi
berlama-lama, ular-ular hitam itu akan terbebas dari pengaruh tiupan seruling
dan pasti akan menyerbu serta membunuh siapa saja yang ads di situl Namun saat
itu dari samping Dewa Tuak dan Anggini sama-sama lancarkan serangan. Dewa Tuak
semburkan minumannya melewati kobaran api di ujung tongkat. Satu gelombang api
menderu ke arah Betina Penghisap Darah. Selagi dia berusaha melompat
menghindari sambaran api, sepuluh senjata rahasia paku perak yang dilepaskan
Anggini melesat menghantam tubuhnya. Hanya tiga yang bisa dielakkannya. Tujuh lainnya
menancap tepat di berbagai bagian tubuhnya. Saat yang sama gelombang api
kembali menyambar.
Wuss!
Betina
Penghisap Darah menjerit keras. Tubuhnya sesaat tampak melayang ke atas kobaran
api. Ketika tubuh itu terhempas ke tanah keadaannya sudah jadi gosong
menghitam.
"Selendangku!"
seru Anggini seraya memburu. Tapi selendang pemberian Wiro itu telah ikut jadi
abu!
Di atas
pohon Wiro merasakan rasa tercekik pada tenggorokannya lenyap. Serta merta dia
meniup sulingnya kembali. Hal ini membuat Dewa Tuak dan Anggini terpaksa
menutup liang telinga mereka kembali. Satu demi satu ular-ular hitam yang
meliliti tubuh Pendekar 212 berjatuhan ke tanah. Binatang ini menggeliat-geliat
beberapa lamanya lalu terjadilah hal yang aneh. Belasan ular itu berubah
menjadi jejeran debu hitam memanjang, lalu debu hitam ini berubah menjadi asap
putih yang perlahan-lahan naik ke udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan!
Wiro
turunkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari bibirnya. Dia memandang ke bawah.
Senjata mustika itu disisipkannya ke pinggangnya. Due kali dia menggaruk kepala
baru pendekar ini melompat turun ke tanah. Wiro melangkah cepat mendekati Dewa
Tuak dan Anggini yang tengah memeriksa keadaan Kakek Segala Tahu yang seat itu
masih berada dalam keadaan pingsan.
Luka
bekas patukan di paha kiri kakek kelihatan telah membengkak dan berwarna
kebiruan. Wiro segera keluarkan Kapak saktinya kembali. Salah satu mata kapak
di letakkannya di bagian paha yang kena patuk. Lalu murid Sinto Gendeng ini
mulai kerahkan tenaga dalamnya untuk menyedot racun yang ads deism tubuh orang
tua itu. Perlahan-lahan darah kental keluar dari lobang luka. Mula-mula
warnanya tampak hitam, lalu berubah agak kebiru-biruan. Setelah beberapa lama
darah itu berubah lagi menjadi merah. Wiro menarik nafas lega. Dia hentikan
pengerahan tenaga dalam. Racun di tubuh kakek Segala Tahu telah dikuras keluar.
Begitu dirinya bebas dari pengaruh racun yang bisa membunuhnya, Kakek Segala
Tahu tampak menggeliat. Kedua matanya terbuka. Lalu dia bangkit dan duduk di
tanah.
"Heh,
habis jalan-jalan kemana aku ini…?" katanya sambil memandang berkeliling.
Lagaknya seperti orang yang tidak buta saja!
"Lagakmu
keren amat!" kata Dewa Tuak. Dia angsurkan bumbung bambunya. "Ini
tuakku masih ada sedikit. Minumlah agar darah di tubuhmu benar-benar segar. Kau
tahu, kau hampir saja jalan-jalan ke neraka!"
Kakek
Segala Tahu ambil tabung bambu itu lalu meneguk isinya sampai habis! Hal ini
tentu saja membuat Dewa Tuak jadi jengkel penasaran tapi hanya bisa
geleng-geleng kepala! "Apakah semuanya sudah berakhir?" tanya Kakek
Segala Tahu sambil berdiri. "Aku tidak lagi mendengar suara ular-ular itu
gentayangan di udara. Juga tidak ada bau amis…"
"Semuanya
memang sudah berakhir Kek…" kata Wiro.
"Eh,
mana kaleng rombengku!" berseru Kakek Segala Tahu. "Aku boleh tidak
makan seratus hari! Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kaleng itu!"
"Ini
kalengmu Kek," kata Anggini seraya menyorongkan kaleng milik si kakek ke
dalam genggaman orang tua itu.
"Ah…
Terima kasih…" Kakek Segala Tahu lalu goyang-goyangkan kalengnya hingga
mengeluarkan suara berisik. Lalu dia berpaling pada Dewa Tuak dan berkata.
"Kau sudah bertemu dengan muridmu. Kau sudah tahu kalau bukan dia yang
jadi Betina Penghisap darah itu. Apakah kau sudah menelan obat penghancur racun
dalam tubuhmu?"
Dewa Tuak
berseru kaget.
"Astaga!
Kalau tidak kau ingatkan aku hampir terlupa!" Dewa Tuak cepat meraba saku
pakaiannya. Sebelah kiri, lalu sebelah kanan. "Celaka! Obat itu
hilang!" serunya dengan muka pucat. "Matilah diriku!"
"Hilang
atau kau lupa meletakkannya di mana…" kata Kakek Segala Tahu pula.
"Kau
menyembunyikannya?!" menuduh Dewa Tuak.
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh. "Buat apa aku menyembunyikan obat tak
berguna bagiku itu?"
Dewa Tuak
jadi kelabakan. Ketika dia tidak juga menemukan obat penangkal racun yang telah
ditelannya itu, orang tua ini akhirnya duduk terhenyak di tanah.
"Kalian
pergi saja. Biar aku menunggu ajal di sini!" kata Dewa Tuak dengan suara
lemas. Dia memperhatikan dua tabung bambu tuaknya yang telah kosong dengan
tatapan mata sedih. Tibatiba pada salah satu pantat tabung dia melihat sebuah
benda menempel.
"Sialan!
Memang aku yang lupa!" kata Dewa Tuak sambil menepuk keningnya. Dia
melompat dan mengambil benda yang menempel pada bagian bawah tabung bambu.
Benda ini adalah segumpal lilin lembut. Begitu gumpalan lilin dibuka, di
dalamnya kelihatan sebuah benda hitam bulat sebesar ujung jari kelingking. Dewa
Tuak segera menelan benda hitam itu yang bukan lain adalah obat untuk penangkal
racun yang telah ditelannya empat puluh hari yang lalu.
"Dewa
Tuak, kau yakin benda yang barusan kau telan benar-benar obat pemusnah racun
yang ada dalam tubuhmu?" bertanya Wiro.
"Eh,
apa maksudmu?" tanya Dewa Tuak dengan wajah berubah. Diam-diam dia jadi
merasa takut kalau-kalau yang barusan di telannya memang bukan obat itu.
"Tidak,
saya tidak ada maksud apa-apa," sahut Wiro. "Saya hanya kawatir
kalau-kalau yang kau telan tadi bukannya obat tapi tahi kambing bulat
bulat!"
"Sialan!
Anak kurang ajar!" maki Dewa Tuak.
Wiro,
Anggini dan Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment