Ninja Merah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*************************
ARTI
KATA-KATA JEPANG DALAM KISAH INI :
Ninjato =
Pedang khas yang biasa menjadi senjata ninja
Kusarigama
= senjaja berupa rantai dengan uiung pisau bentuk ganco, ujung lain diberi
bandulan besi
Tatami =
alas lantai berbentuk persegi empat
Shinobi =
sebutan asli untuk ninja
Shuriken
= senjata rahasia yang dilemparkan, kebanyakan berbentuk bintang, ada yang
beracun
Shakuhachi
= suling dari bambu
Shamisen = instrumen musik memiliki tiga buah senar
Seppuku = bunuh diri secara terhormat
Sake =
minuman keras khas Jepang (sejenis anggur dari beras)
Donburi = nasi dalam mangkok
Gaijin = orang asing
Geisha = wanita pelayan pada tempat-tempat tertentu
terkadang juga menjadi penghibur)
Katana = pedang panjang
Ninjutsu = ilmu bela diri
Hai…! = Ya!, siap!, baik!
Doyo / Dojo
= tempat berlatih silat (ruang tertutup)
Inezumi =
rajah atau tato
Sensei =
guru
*************************
SATU
SAAT itu
telah memasuki musim semi. Namun udara dingin masih terasa mencucuk
dimana-mana.
Salju
tipis masih tampak menyapu puncak-puncak pepohonan, juga pada kuntum-kuntum
bunga Sakura Yang pucuk-pucuknya mulai mengembang.
Jauh di
sebelah Timur Kioto terdapat sebuah bukit kecil.
Saat itu
baru taja lewat tengah malam. Dalam gelap dan dinginnya udara tiga sosok berpakaian
dan bertutup kepala serba hitam bergerak cepat menuju puncak bukit.
Di
punggung masing-masing menyembul hulu ninjato.
Lalu pada
pinggang mereka tergantung kusarigama.
Mereka
tidak mengikuti jalan batu Yang berliku-liku melainkan mengendap dan berkelebat
di balik semak belukar dan pepohonan.
Puncak
bukit merupakan kawasan perumahan Perguruan Emerarudo atau Perguruan Zamrud. Ke
tempat inilah agaknya tiga orang itu tengah menuju.
Di dalam
salah satu ruangan pada sebuah bangunan di puncak bukit seorang lelaki berusia
setengah abad duduk di lantai sedang tekun membaca sebuah kitab tebal.
Kantuknya yang tadi sempat menyerang terpupus sirna oleh daya tarik kitab yang
tengah dibacanya.
Orang ini
mengenakan kimono tebal berwarna biru tua. Pada bagian dada kimono sebelah
kanan tersulam gambar batu permata zamrud bewarna kuning terang, lengkap dengan
garis-garis kilauan cahaya sekeliling permata. Orang ini adalah Noboru Kasai
pimpinan tertinggi atau Ketua Utama Perguruan Emerarudo.
Saat itu
terdengar perlahan suaranya membaca.
Kebersihan
aurat adalah sangat penting dalam ilmu Pengobatan. Bagaimana seseorang bisa
mengobati orang lain kalau tubuhnya tidak bersih.
akan
tetapi di atas semua itu kebersihan jiwa atau kebersihan batin adalah yang
paling utama.
Dengan batin
yang bersih seseorang akan berada dalam keadaan lebih andal untuk menyalurkan
hawa sakti yang dimilikinya ke dalam badan orang yang akan diobatinya. Karena
itu …
Suara
Noboru Kasai membaca terhenti oleh suara pintu bergesek di belakangnya.
"Hisao
… Kaukah itu? tanya Noboru Kasai tanpa berpaling. Tak ada jawaban..
Se tttt…
settt… setttt! Teppp … tepppp … tepppp!
Malah
Ketua Perguruan Emerarudo ini mendengar suara berkelebat tiga kali
berturut-turut dibarengi oleh siuran angin halus.
Noboru
Kasai letakkan kitab di pangkuannya ke atas tatami. Lalu perlahan-lahan
palingkan kepala.
Sepasang
mata sang Ketua terbuka lebar melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.
"Shinobi…!"
Shinobi
adalah panggilan asli untuk ninja. Dan memang saat itu di dalam kamarnya tegak
tiga sosok ninja, muncul dalam penampilan mereka yang angker.
Bertubuh
tinggi kukuh dibungkus pakaian serba hitam mulai dari ujung kaki sampai ke
kepala. Di bagian muka hanya sepasang mata mereka yang kelihatan, memandang tak
berkesip ke arah Noboru Kasai dengan pandangan sedingin salju di puncak gunung
Fuji.
Di
belakang punggung mereka tersembul gagang ninjato yang juga dikenal sebagai
katana pendek, pedang khas para ninja. Lalu seuntai rantai yang salah satu
ujungnya merupakan senjata berbentuk ganco dan ujung satu lagi diberi gandulan
pemberat kelihatan melilit di pinggang. Noboru Kasai perhatikan tangan ke tiga
ninja ini. Masing-masing memakai shuko yaitu cakar pemanjat yang sekaligus
merupakan senjata sangat berbahaya.
Dalam
hati Noboru Kasai membatin "Pasti ke tiganya menerobos masuk dengan
memanjat tembok. Jika tidak satu murid perguruan pun memergoki mereka, berarti
ke tiganya adalah ninja-ninja dari tingkat sangat tinggi …"
Perlahan-lahan
Noboru Kasai berdiri. Sreettt! Sreetttt!
Dua kali
terdengar suara berdesir ketika dua orang ninja yang berdiri dekat pintu dan di
sebelah kanan Noboru Kasai mencabut ninjato pedang pendek masing-masing.
Ninja
berbadan paling tinggi di sebelah tengah memberi isyarat dengan tangan kiri.
Dua orang temannya yang hendak mendekati Noboru Kasai hentikan langkah. Ninja
yang di tengah maju dua langkah.
"Sahabat-sahabat
tak diundang. Kalian masuk secara tidak sopan …"
Ninja di
dekat pintu mendengus. Mulut dibalik penutup wajahnya berucap.
"Ninja
tidak kenal sopan santun. Ninja hanya kenal darah dan nyawa!"
Daun
telinga kiri Noboru Kasai bergerak.
"Hemmm..
aku tidak mengenali suaranya. Berarti dia memang ninja asli. Bukan orang dalam
.. ."
"Katakan
apa maksud kalian masuk ke tempatku!"
bentak
Noboru Kasai. Sekilas matanya melirik ke arah lantai di sebelah kiri di mana
tergeletak katana miliknya.
Ninja
bertubuh paling tinggi dapat membaca apa yang ada dalam benak Ketua Perguruan
Emerarudo itu. Dia cepat melangkah dan menginjak katana di lantai dengan kaki
kanannya.
"Aku
memberi waktu lima detik pada kalian agar segera keluar dari tempat ini!"
Noboru Kasai beri peringatan.
Ke dua
tangannya diturunkan ke sisi sedang sepasang kaki tegak merenggang cepat.
Apa yang
terjadi kemudian berlangung sangat Ninja di sebelah tengah hunus ninjatonya.
Melihat ini dua temannya segera menggebrak maju. Tiga pedang maut berkelebat ke
arah Noboru Kasai. Ketua Perguruan Emerarudo ini keluarkan suara menggembor.
Dengan
tangan kosong dia hadapi tiga penyerangnya.
Noboru
membuat gerakan yang disebut "dewa tanah mengebor bumi." Tubuhnya
menukik , jatuh ke atas lantai tatami. Tiga pedang lewat di atasnya. Lalu dia
susul dengan jurus "penguasa langit membelah angkasa" Tangan kanannya
menghantam ke atas disusul dengan tendangan kaki kiri kanan.
Wuuuutt!
Wuuuut!
Pukulan
dan tendangan kaki kiri Noboru Kasai hanya mengenai tempat kosong. Tapi bukkkk!
Tendangan
kaki kanannya mampir dengan telak di dada salah seorang penyerang hingga ninja
satu ini mencelat ke dinding. Dinding yang hanya terbuat dari kertas itu
langsung jebol dan ninja itu sendiri terlempar ke luar. Untuk sesaat dia tak
kuasa bangun, hanya mengerang sambil pegangi dada.
Dua orang
ninja yang ada di dalam ruangan mendengus marah. Serangan pedang mereka
membuntal-buntal ganas. .Walau Ketua Perguruan Emerarudo menyandang nama besar
dan berkepandaian tinggi namun para ninja bukanlah lawan yang mudah dihadapi.
Gerakan
mereka secepat setan, serangan pedang mereka seganas iblis. Apalagi saat itu
Noboru Kasai bertangan kosong pula.
Setelah
mengelak dua kali berturut-turut Noboru melejit ke arah kanan. Maksudnya hendak
mengambil hanbo, yaitu tongkat kayu yang biasa dipakai untuk melatih
murid-murid. Namun gerakannya berhasil di papas oleh ninja di sebelah kiri.
Selagi dia coba menghantam penyerang ini dengan pukulan tangan kosong
mengandung hawa sakti, dari samping ninja bertubuh tinggi kiblatkan ninjatonya.
Breetttttl
Bahu
kimono Noboru Kasai robek besar. Dia merasakan perih pada bahu kanannya lalu
ada cairan panas mengucur. Darah! Meski menderita sakit bukan main dan
kemarahan mendidih namun Ketua Perguruan Emerarudo ini tampak bersikap tenang.
Tapi sebaliknya dua ninja tak mau memberi kesempatan. Pedang pendek mereka
kembali menggempur dengan ganas hingga Noboru Kasai terdesak ke sudut sebelah
kanan.
Breeetttt!
Breetttt!
Kimono
sang Ketua robek lagi. Kali ini di bagian dada dan perut. Noboru Kasai terjajar
ke belakang. Dia berusaha berpegangan pada sebuah rak tapi tidak terjangkau.
Selagi tubuhnya tersandar ke dinding, ninja berbadan tinggi tusukkan pedangnya
ke lambung Noboru Kasai. Ketua Perguruan ini keluarkan keluhan pendek lalu
roboh ke lantai. Sebagian dari badannya yaitu bagian dada ke atas berada di
luar kamar.
Ninja
berbadan tinggi mendatangi dengan cepat dan membungkuk seraya bertanya.
"Lekas
katakan! Di laci nomor berapa kau simpan surat-surat penting Perguruan!"
Dalam
keadaan sekarat Nobora Kasai membuka mulutnva. Suaranya tersendat perlahan.
"Aku
… aku seperti mengenali suaramu … Bukan kah kau..”
"Kurang
ajar!" bentak ninja bertubuh tinggi. Pedang di tangan kanannya dihunjamkan
ke tenggorokan Noboru Kasai. Sebelum maut menyergap Ketua Perguruan Emerarudo
itu tiba-tiba angkat tangan kanannya.
Lima jari
tangannya terpentang. Tulang- tulang jari keluarkan suara berderak.
Cleeeppp!
Pedang menembus
tenggorokan Noboru Kasai.
Dalam
saat yang bersamaan lima ujung jari sang Ketua menghunjam di dada kiri ninja
yang membunuhnya.
Pakaian
hitam tebal yang dikenakan ninja tembus di lima bagian. Ninja itu sendiri
terjajar ke belakang. Dadanya serasa ditusuk lima paku panas! Wajahnya di balik
penutup kepala sesaat jadi pucat.
"Lima
jari dewa… Jadi dia memang benar-benar memiliki ilmu kepandaian itu..!” katanya
dengan mata melotot memandang pada Noboru Kasai yang sudah tak bernyawa lagi.
Sambil pegangi dada kirinya ninja ini melangkah mundur. Dia memberi isyarat
pada ninja yang ada di dekatnya.
”Tolong
kawanmu. Lari ke tembok sebelah timur.
Tunggu
aku di tempat pertemuan!" Sehabis berkata begitu ninja berbadan tinggl ini
melesat ke pintu. Dia berlari cepat sepanjang lorong pendek lalu menerobos
masuk ke dalam sebuah ruangan sangat rahasia yang tidak sembarang orang boleh
masuk ke tempat ini. Di pintu masuk ruangan berjaga-jaga seorang murid
Perguruan dalam keadaan terkantuk-kantuk. Pedang di tangan ninja berkelebat
menghantam pertengahan kening murid penjaga. Murid ini tak pernah tahu apa yang
menyebabkan kematiannya. Tubuhnya roboh mandi darah dengan kepala hampir
terbelah.
Ninja
pembunuh melompat masuk ke dalam ruangan rahasia. Sesaat dia tegak tertegun. Di
dalam ruangan itu ada dua buah lemari besar merapat ke dinding. Di situ
terdapat dua ratus laci-laci kecil yang diberi nomor mulai dari 1 sampai 200.
"Aku
tak mungkin memeriksa semua laci celaka itu! Aku harus bisa mengingat! Harus
bisa!” Ninja itu lalu menarik laci-laci pada derstan angka mulai dari 150
sampai 160.
Sementara
itu diluar sana ninja yang diperintahkan menolong temannya yang terluka
bertindak cepat.
Sang
teman rupanya menderita luka dalam yang sangat parah akibat tendangan Noboru
Kasai tadi. Darah tampak mengucur dari mulutnya. Begitu tahu kawannya tak
sanggup berdiri, dengan cepat di segera memanggulnya.
Akan
tetapi sebelum dia sempat berkelebat pergi di sekelilingnya terdengar suara
langkah-langkah kaki.
Sesaat
kemudian sekitar dua puluh orang murid perguruan muncul mengurung tempat itu.
Di depan sekali seorang lelaki berkimono merah darah berambut pendek berwajah
beringas. Mukanya merah. Gerakannya cepat dan enteng tetapi langkah kakinya
tidak tetap.
Sesekali
tubuhnya tampak seperti terhuyung.
Bagaimanapun
tinggi ilmu yang dimilikinya tapi ninja itu segera menyadari bahwa dia tak
mungkin lolos dari sekian banyak orang yang mengurung. Apalagi si kimono merah
berwajah merah beringas di sebelah depan dikenalinya adalah Shigero Momochi
salah seorang dari dua Wakil Ketua Perguruan. Begitu Shigero Momochl mendekat
ninja jatuhkan kawan yang dipanggulnya ke lantai. Sekali menusukkan pedangnya
ke dada kawannya sendiri, ninja yang sudah terluka parah itu langsung meregang
nyawa.
"Tangkap
dia hidup-hidup!" teriak Shigero Momochi.
Tapi mana
mungkin menangkap seorang ninja hidup-hidup. Apalagi dalam keadaan terperangkap
seperti itu. Sang ninja keluarkan suara mendegus dari balik kain hitam penutup
wajahnya. Dua tangan memegang gagang pedang erat-erat. Begitu kelompok anak
murid Perguruan Emerarudo menyerbu dibawah pimpinan Shigero Momochi dengan
berbagai macam senjata ninja ini cepat menyongsong dengan ninjatonya.
Beberapa
kali terdengar suara berdentrangan beradunya senjata. Gelombang serangan anak
murid Perguruan Emerarudo tidak bisa dibendung. Shigero Momochi yang masih
berusaha menangkap hidup-hidup ninja itu untuk dimintai keterangan tak mampu
berbuat banyak. Setelah memukul lepas pedang ditangan ninja dia hanya bisa
menyaksikan bagaimana puluhan anak muridnya membantai sang ninja hingga
akhirnya menemui ajal dengan keadaan tubuh hancur lumat mengerikan.
Shigero
Momochi seperti mau muntah. Dia palingkan kepala, memandang ke ruangan dalam
bangunan.
"Ketua
Noboru Kasai …" bisiknya. Secepat kilat dia lari masuk ke dalam rumah.
Lututnya goyah ketika dia menemukan Noboru Kasai telah jadi mayat, tergeletak
di atas tatami dengan tubuh bergelimang darah.
"Ketua
…" kata Shigero Momochi sambil jatuhkan diri, berlutut di samping mayat
Noboru Kasai. Dia merasa seperti ingin berteriak, tapi juga ingin menangis.
Tiba-tiba
telinganya mendengar suara dari arah ujung lorong pendek di luar sana dimana
terletak ruangan rahasia. Sambil menggenggam pedangnya Shigero Momochi cepat
berdiri.
*************************
DUA
Di dalam
ruangan rahasia ninja memeriksa deretan laci bernomor 150 sampai 160. Tapi dia
tidak menemukan apa yang dicarinya. Dalam hati dia memaki setengah mati.
"Aku
harus ingat! Harus ingat!" katanya berulangulang.
Pada saat
itu dia mendengar suara orang berlari dari ujung lorong. Sebelumnya dia juga
telah mendengar suara ramai di luar ruangan tempat Noboru Kasai terbunuh.
"Orang-orang
Perguruan sudah tahu apa yang terjadi …" desis ninja. Matanya kembali
memandang deretan laci-laci. Dia seperti hendak memukul kepalanya sendiri
ketika tiba-tiba dia ingat.
"Laci
168 katanya setengah berseru.
Segera
laci nomor 166 dibukanya. Sepasang mata ninja membesar. Apa yang dicarinya
akhirnya ditemui juga. Dalam laci itu kelihatan sebuah amplop besar berwarna
kuning. Secepat kilat ninja menyambar amplop itu. Lalu melompat membobol
dinding kiri ruangan rahasia. Ternyata dinding ruangan ini tidak terbuat dari
kertas biasa melainkan dari sejenis papan alot. Ninja terpaksa pergunakan
jotosannya untuk menjebol. Baru saja dia hendak berkelebat kabur lewat lobang
di dinding tiba-tiba pintu kamar rahasia terbuka.
Satu
bentakan menggeledek di belakangnya.
"Jangan
lari!"
Yang
berteriak adalah Shigero Momochi. Wakil Ketua Perguruan ini cepat mengejar
dengan pedang terhunus. Gerakannya mengejar tertahan ketika di sebelah depan
ninja dilihatnya gerakkan tangan kiri. Dua buah benda berbentuk bintang melesat
ke arahnya.
Shigero
memaki setengah mati.
"Shuriken!"
teriaknya.
Pedangnya
di putar ke depan.
Trang …
trang …!
Dua
senjata rahasia bintang besi beracun yang dilepaskan ninja mental dan menancap
di dinding ruangan. Begitu Shigero memandang ke depan sang ninja sudah lenyap.
"Mahluk
iblis! Kau kira kau bisa lolos dari tanganku…!"
bentak
Shigero Momochi lalu mengejar. Larinya tidak tetap, agak menghuyung. Sampai di
taman gelap di belakang bangunan besar orang yang dikejarnya tak kelihatan
lagi. Belasan murid Perguruan muncul mendatangi.
"Percuma…
Ninja keparat itu berhasil melarikan diri!" kata Shigero Momochi sambil
menghentakkan kakinya.
"Aku
bersumpah akan membalaskan kematian Ketua. Kalian lekas mengatur hubungan
dengan para Ketua Ninja! Beri tahu apa yang telah terjadi. Minta mereka
menyelidik dan memberi tahu siapa anggotaanggota mereka yang terlibat kejahatan
keji ini! Mereka harus berani mengakui! Kalau tidak aku bersumpah akan menumpas
semua ninja di negeri ini! Sejak dulu mereka hanya menimbulkan keonaran dan
bencana saja! Melakukan kejahatan hanya untuk sejumlah uang! Mahlukmahluk
durjana! Pembunuh bayaran!"
"Wakil
Ketua Momochi!" seorang murid Perguruan berkata sambil maju mendekati
Shigero Momochi.
"Ninja
bukan cuma membunuh tapi juga mencuri surat-surat penting dari ruangan rahasia.
"Aku
sudah tahu! Kalian periksa surat apa yang hilang! Aku akan mengurus jenazah
Ketua …" Shigero Momochi memandang berkeliling.
"Siapa
diantara kalian yang membawa minuman….?" Tak ada satupun yang menjawab.
"Kalau
begitu satu orang dari kalian lekas pergi kekamarku, ambil botol sake dan
antarkan padaku …"
"Tapi
Wakil Ketua Momochi …" kata seorang murid kepala.
"Dalam
keadaan seperti ini tidak sepantasnya Wakil Ketua meneguk minuman keras itu
lagi …"
"Kurang
ajarl Kau memerintah aku atau bagaimana … ?!" bentak Shigero Momochi
dengan mata membelalang.
Semua
murid Perguruan yang ada di situ unjukkan wajah tidak seneng. Satu persatu
mereka tinggalkan tempat itu. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya.
"Seharusnya
dia yang dibunuh ninja, bukan Ketua Noboru Kasai … Pimpinan tak berguna,
Pemabuk, pemarah … semua yang jelek ada padanya. Mau jadi apa Perguruan kita
ini kelak … !"
"Aku
kawatir setelah Ketua tiada, dia yang akan menjabat jadi Ketua. Celakalah kita
semua!" sahut temannya.
"Hal
itu tak mungkin terjadi. Para Dewa tak bakal merestui!" kata seorang murid
Perguruan lain yang ikut mendengar percakapan dua temannya tadi.
DALAM
dinginnya udara menjelang pagi itu sayup sayup terdengar suara shakuhachi ditiup
dalam senandung yang menyayat hati. Tiupan seruling bambu ini diikuti dengan
petikan shamisen yang menghiba-hiba.
Suara
bebunyian ini datang dari serambi bangunan besar Perguruan Emerarudo di puncak
bukit.
Di
serambi rumah besar, di bawah penerangan lampu minyak redup, diatas tatami
duduk dua orang perempuan. Seorang sudah agak lanjut, satunya masih gadis.
Perempuan yang lebih tua duduk meramkan mata sambil meniup shakuchaki. Gadis di
sebelahnya memetik shamisen. Masing-masing memainkan bebunyian itu penuh
perasaan. Sepasang mata perempuan yang lebih tua tampak berkaca-kaca sedang si
gadis tak dapat menahan larutnya kesedihan hingga air mata yang tak terbendung
menetes jatuh kepipinya.
Di dalam
rumah besar hampir seratus anak murid Perguruan Emerarudo tegak rangkapkan
tangan di atas dada. Sikap berdiri mereka tampak gagah. Namun dari
kepala-kepala yang ditundukkan serta sepasang mata.
yang
dipejamkan jelas seperti dua perempuan tadi merekapun sedang tenggelam dalam
rasa duka yang mendalam.
Rasa
dukacita atas tewasnya Noboru Kasai Ketua Perguruan Emerarudo membuat puncak
bukit itu tenggelam dalam kesedihan. Gadis pemetik shamisen tak sanggup menahan
kesedihannya akhirnya berhenti memetik bebunyian itu lalu bersujud dan menangis
tersedu-sedu. Perempuan peniup seruling ikut tergugah dan tiupan sakuhachinya
jadi tersendat-sendat.
Menjelang
malam memasuki pagi, selagi udara terang-terang tanah tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian seorang lelaki separuh baya berwajah
gagah muncul menunggang kuda putih.
Di atas
punggung kuda dia memandang seperti tidak percaya pada keadaan yang dilihatnya.
Matanya menyipit ketika dia berpaling ke serambi dan melihat gadis pemetik
shamisen jatuhkan diri lalu menangis keras. Orang ini melompat dari kudanya.
"Apa
yang terjadi …. ?!" Dia bertanya sambil melangkah cepat melewati berisan
para murid Perguruan.
Dadanya
mendadak bergejolak, tapi sikap dan suaranya kelihatan lembut.
Seorang
murid kepala mendatangi dan berkata.
"Wakil
Ketua Hisao Matsunaga syukur kau cepat kembali. Wakil Ketua Shigero Momochi ada
di dalam bangunan utama. Sudah lama menunggu …."
"Tiupan
shakuhachi dan petikan shamisen tadi. .. membawakan lagu pengantar jenazah.
Katakan apa yang terjadi?!" tanya orang yang barusan turun dari kuda. Ternyata
dia adalah salah seorang dari Wakil Ketua Perguruan.
"Saya
tidak berani menerangkan. Lebih baik Wakil Ketua menemui Wakil Ketua Shigero
Momochi saja …."
Mendengar
jawab murid kepala itu, seperti terbang Hisao Matsunaga melompat dan masuk ke
dalam rumah besar. Di dalam ruangan dimana jenazah Noboru Kasai dibaringkan di
atas selembar kasur tipis yang diberi alas kain wool tebal, Hisao Matsunaga
jatuhkan diri berlutut. Sesaat dia menatap wajah Ketua Perguruan yang sudah
jadi mayat itu. Kain putih yang menutupi tubuh jenazah tampak basah oleh darah
di beberapa bagian. Lalu ke dua matanya dipejamkan.
Ketika
mata itu dibuka kembali pandangan Hisao Matsunaga tertuju pada Shigero Momochi.
Baru disadari nya kalau saat itu di ruangan itu terdapat juga beberapa orang
pengurus dan tua-tua perguruan. Lalu seorang anak lelaki berusia empat belas
tahun yang duduk dengan kepala tertunduk dekat kepala jenazah.
Wajah
Hisao Matsunaga jelas menunjukkan keperihan ketika dia memperhatikan anak ini.
Karena si anak adalah Akira Kasai, putera dan anak tunggal mendiang Ketua
Noboru Kasai. Ibu Akira meninggal dunia pada saat anak ini dilahirkan. Sejak
itu Noboru Kasai tak mengambil perempuan lain pengganti istrinya ataupun
memelihara gundik. Agaknya Ketua Perguruan Emerarudo ini sengaja menjauhi
kehidupan duniawi sampai akhirnya kematian datang menjemput.
Hisao
Matsunaga berpaling kembali pada Shigero Momochi lalu berkata dengan suara
perlahan.
"Shigero,
ceritakan padaku bagaimana semua ini terjadi!”
"Kita
bicara di kamar sebelah saja.." bisik Shigero.
Waktu
bicara Hisao Matsunaga dapat mencium nafas Shigero yang berbau minuman keras.
Perlahan-lahan dia bangkit mengikuti Shigero menuju sebuah ruangan yang
terletak bersebelahan dengan ruangan dimana jenazah Ketua Perguruan disemayamkan.
"Aku
tidak melihat sendiri bagaimana kejadiannya.
Ketika
aku masuk ke kamar Ketua, beliau sudah menggeletak di atas tatami dalam keadaan
berlumuran darah. Sudah tidak bernafas lagi ….." Lalu Shigero Momochi
menuturkan apa yang diketahuinya.
"Sebelum
peristiwa itu terjadi, kau berada di mana Shigero? Selama ini jangankan
manusia, lalat seekorpun jika menyusup ke tempat ini pasti kau ketahui …"
"Kau
betul Hisao …" jawab Shigero Momochi dengan wajah merah.
"Malam
tadi entah mengapa nyenyak sekali tidurku.
Sampai
tidak mendengar suam apa-apa. Bahkan para muridpun tidak sempat mengetahui ….
!”
"Aku
yakin kau pasti minum banyak lagi malam tadi. Kalau tidak, mungkin peristiwa
ini bisa dihindari….
Harap
maafkan aku Shigero. Bukan maksudku menyalahkanmu.
Kalau
Dewa sudah menakdirkan hal ini akan terjadi, pasti terjadi tanpa bisa
dihalangi. Aku sendiri merasa menyesal pergi ke Kioto walau aku kesana
ditugaskan secara pribadi oleh Ketua untuk menemui seorang Shogun …."
"Sampai
saat ini aku memang belum bisa menghilangkan kebiasaan minum sake keras itu ..
."
"Kudengar
kini malah kau mencampurnya dengan wiski yang dibawa pelaut-pelaut kulit putih
…" memotong Hisao Matsunaga tetap dengan suara lembut.
"Kuharap
saja kau bisa mawas diri dan menghenti kan kebiasaan minum."
Tampang
Shigero Momochi tampak jadi beringas.
Dia
hendak menyemprotkan ucapan. Tapi dengan lembut Hisao Matsunaga berkata.
"Siapa
diantara kita yang tidak suka meneguk sake. Tapi minum secara berlebihan bisa
membawa hal-hal tak diingin bagi seseorang. Musibah ini kiranya bisa dijadikan
hikmah ….."
Wajah
Shigero Momochi nampak menjadi merah.
Sambil
berdiri dia berkata. "Kalau Perguruan menganggap hal ini terjadi karena
kesalahanku, aku bersedia menerima hukuman dan melakukan seppuku!"
Shigero
Momochi segera hendak mencabut pedangnya.
Hisao
Matsunaga cepat memegang bahu Shigero dan berkata. "Bagi kita orang-orang
Jepang melakukan seppuku atau harakiri adalah kematian paling terhormat.
Tapi
tidak jika kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih terhormat ..
."
"Katakan
apa yang harus aku lakukan!" kata Shigero beringas.
"Bukan
kau, saja Shigero. Tapi kita. Semua yang ada di Perguruan ini …”
"Ya..
ya, katakan saja apa yang harus kita lakukan?"
"Pertama,
kita harus mengurus jenazah Ketua …."
"ltu
memang menjadi kewajiban kita para pengurus dan murid Perguruanl Lalu ….?"
"Selanjutnya
.kita harus menyelidik siapa pelaku pembunuhan ini…."
"Dan
pelaku pencurian!" sambung Shigero Momochi.
Hisao
Matsunaga tampak terkejut. "Pencurian? Apa maksudmu?’
"Ada
sebuah amplop rahasia berisi surat-surat penting lenyap dari laci di ruang
rahasia …." Paras Hisao Matsunaga jadi berubah.
"Berarti
ini bukan pembunuhan biasa. Pasti banyak kaitannya pada hal-hal lain yang tidak
terduga ….."
"Aku
sudah meminta beberapa orang untuk menghubungi para Ketua Ninja guna ikut
menyelidik.
Aku juga
telah bersumpah jika mereka tidak bisa memberikan jawaban atau tidak dapat
membuktikan bahwa kelompok masing-masing tidak terlibat, maka aku akan menumpas
semua Ninja di negeri ini sampai habis!"
"Kesetiaanmu
untuk membela kematian Ketua sangat aku hargakan Shigero. Tapi kita harus
hati-hati menghadapi para ninja. Jika mereka bergabung kekuatan mereka jauh
lebih besar dari kita …"
"Kita
bisa memakai tangan kelompok Oda Nobunaga untuk membasmi mereka …"
"Betul,
tapi ingat … Perguruan punya ketentuan untuk tidak terlibat dan melibatkan diri
dengan orangorang Pemerintahan …"
"Lalu
mengapa kau sendiri pergi menemui Shogun, walau katamu itu atas perintah Ketua
….."
Hisao
Matsunaga mengangguk pendek. "Justru hal itu diperintahkannya agar aku
memberi tahu bahwa Perguruan kita menghormati pihak angkatan perang, para
Jenderal, tapi tidak mau melibatkan diri dalam urusan pemerintahan …"
"Kalau
begitu kita harus punya cara sendiri untuk menghajar para ninja itu …"
"Jika
benar mereka yang membunuh Ketua..:” Shigero Momochi menatap tajam dengan
matanya yang merah pada Hisao Matsunaga.
"Apa
maksudmu dengan ucapan itu Hisao? Jelas mereka muncul di sini mengenakan
seragam ninja.
Membawa
senjata ninja. Bahkan ada dua ninja yang sudah lumat di luar sana bisa kau
lihat sendiri keadaan mereka. Dan tampaknya kau hendak meragukan bahwa kematian
guru bukan disebabkan oleh para ninja keparat itu!"
"Tenang
Saudaraku …" kata Hisao Matsunaga dengan suara lembut.
"Sebagai
perguruan besar, tidak semua orang di luar sana suka terhadap kita. Mungkin
saja memang ada yang memakai tangan ninja untuk menghancurkan kita.
Mungkin
juga ada para tokoh silat kaki tangan pemerintah yang melakukannya karena tidak
ingin melihat kita sebagai satu kekuatan yang membahayakan mereka …"
"Ah,
aku orang bodoh yang tidak bisa mencerna dan berpikir sepintarmu …."
"Kau
orang pandai. Otakmu cerdik. Aku tahu hal itu. Jangan terlalu merendah Shigero.
Sekarang mari temani aku untuk memeriksa ruangan rahasia. Surat penting apa
yang telah dicuri ninja …."
Memeriksa
200 laci di ruangan rahasia Perguruan Emerarudo bukan pekerjaan mudah dan
memakan waktu lama. Mereka memang menemui sebuah laci dalam keadaan kosong
yaitu laci nomor 166. Tapi baik Hisao maupun Shigero tidak dapat memastikan
surat atau benda apa yang telah lenyap dicuri dari laci tersebut.
Menjelang
pagi ke dua pucuk pimpinan Perguruan tersebut keluar dari ruangan rahasia,
bergabung dengan pengurus Perguruan lainnya untuk mengatur persiapan upacara
perabuah jenarah Noboru Kasai.
Sementara
itu beberapa tamu yang sudah diberi tahu atas musibah yang menimpa Perguruan
telah mulai kelihatan berdatangan.
Kita
kembali dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya setelah ninja memasuki
ruangan rahasia Perguruan Emerarudo, mencuri sebuah amplop kuning lalu
melarikan diri setelah lebih dulu mementahkan pengejaran yang dilakukan Shigero
Momochi.
Kelihatan
seorang ninja melarikan diri dan menghilang bersama kepekatan malam boleh
dikatakan tak dapat ditandingi oleh siapapun. Di lereng bukit sebelah Selatan
ninja yang telah membunuh Ketua Perguruan Emerarudo itu menyelinap ke balik
sebatang pohon besar.
dia tegak
bersandar ke batang pohon. Tangan kanannya mendekap dada kirinya yang terasa
mendenyut saki. Dada itulah yang sebelumnya mendapat serangan "Lima Jari
Dewa" yang sempat dilakukan oleh Noboru Kasai. Dalam gelap ninja membuka
pakaian hitamnya.
Jantungnya
berdenyut keras ketika dilihatnya ada lima bintik hitam membekas di dada kirinya.
"Celaka
….. ! Tanda ini tidak bisa hilang sekalipun kulitku dikelupas!" Sesaat
sang ninja nampak masgul.
Namun
bila dia ingat pada amplop kuning itu, rasa kawatirnya segera lenyap. Dengan
cepat amplop kuning dikeluarkannya dari balik pakaiannya. Bagian depan amplop
ada tulisan dalam huruf kanji berbunyi : "Sangat Rahasia. Risalah
Pewarisan Pimpinan Perguruan." Amplop dibalikkan. Bagian penutup amplop di
sebelah belakang selain diikat dengan benang juga disegel dengan lak tebal
berwarna merah.
Dengan
tangan agak gemetar ninja merobek penutup amplop. Dari dalam amplop
dikeluarkannya lembaran tebal kertas berwarna merah.
"Hah?!”
Sang
ninja berseru kaget. Sepuluh lembar kertas merah yang barusan dikeluarkannya
dari dalam amplop dibolak-baliknya.
"Aneh!
Mengapa semua kertas ini kosong? Tak ada tulisan, tak ada apa-apanya!
Jangan-jangan aku tertipu! Siapa yang menipu? Sang Ketua ….?" Tak mungkin
…. !" Seolah-olah tak percaya ninja memeriksa kembali kertas-kertas merah
itu, melihat ke dalam amplop kalau-kalau ada kertas lain yang tertinggal.
Kemudian
dengan kesal amplop dan kertas merah itu diremasnya sampai lumat. Setelah itu
sambil memaki panjang pendek amplop dan kertas merah itu dibantingkannya ke
tanah! "Kurang ajar Benar-benar sialan!"
*************************
TIGA
PENDEKAR
212 Wiro Sableng tarik kerah baju tebal-nya tinggi- tinggi. Sesaat
dipandanginya air sungai kecil di hadapannya yang dalam kegelapan malam
seolah-olah diam tidak mengalir. Barusan dengan susah payah dia mengumpulkan
beberapa potong kayu. Dalam udara lembab dan dingin begitu rupa hampir tak
mungkin mendapatkan kayu kering. Dia telah menghabiskan sekotak geretan untuk
membakar kayu menyalakan api.
Namun
sia-sia saja. Sesekali matanya melirik ke arah sebuah batu di atas mana
terbaring seekor kelinci dalam keadaan terikat keempat kakinya..
Dari saku
baju tebalnya Wiro keluarkan botol kaleng berisi sake. Setelah meneguk minuman
keras ini dua kali dia merasa tubuhnya menjadi hangat.
"Badanku
hangat tapi perutku tetap saja keroncongan." Dia memandang lagi pada
kelinci di atas batu.
"lngin
sekali aku cepat-cepat merasakan bagaimana lezatnya daging kelinci Jepang. Tapi
api sialan tak mau hidup …" Apa aku harus mempergunakan senjata mustika
itu hanya untuk menyalakan api?" Wiro garukgaruk kepala.
"Kelihatannya
memang tak ada jalan lain …." Murid Sinto gendeng akhirnya keluarkan Kapak
Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia juga mengeluarkan batu hitam
pasangan senjata sakti itu.
Ketika
cahaya yang memancar,dari dua mata kapak menerangi tempat itu, sepasang mata
yang sejak tadi mengintip dibalik kerapatan serumpunan batangbatang bambu
membesar karena terkejut dan juga kagum. Dalam hati orang yang bersembunyi itu
berkata.
"Belum
pernah aku melihat senjata seperti itu.
Dari
sinarnya saja jelas senjata itu memiliki hawa sakti luar biasa. Pasti inilah
senjata yang dipakainya untuk membunuh Arashi si Nenek Badai. Pemuda dari
negeri ribuan pulau itu … Aku harus merampas senjata itu. Batu hitamnya
sekalian … !"
Di depan
tumpukan kayu yang disilang-silang di tanah Wiro gosokkan keras-keras salah
satu mata kapak dengan batu hitam di tangan kanannya. Bersamaan dengan itu dia
kerahkan tenaga dalamnya.
Wussss!
Lidah api
menyambar ke arah tumpukan kayu.
Krekkkk …
Terdengar suara berkeretakan. Kayu-kayu lembab itu berubah menjadi merah.
Sesaat kemudian apipun berkobar. Ketika api padam, kayu-kayu yang tadinya basah
telah berubah menjadi arang merah.
Di balik
batang-batang bambu, orang yang sejak tadi mengintip berdecak dalam hati.
"Benar-benar
luar biasa. Bagaimanapun aku harus dapatkan senjata itu. Batu hitamnya
juga….." Lalu tanpa suara dia bergeser dari balik batang-batang bambu itu.
Wiro
simpan kembali kapak sakti dan batu hitam.
Lalu dia
melangkah ke arah kelinci. Binatang ini mencicit keras seolah tahu kalau
dirinya sebentar lagi akan dipesiangi.
"Ya
… ya sekarang kau boleh mencicit, berteriak sesukamu. Asal saja jangan sudah
masuk ke perutku kau nanti masih mencicit!"
Wiro
mulai membuka ikatan pada keempat kaki binatang itu. Kalau tadi kelinci ini
mencicit keras terus menerus, kini tiba-tiba diam.
"Eh,
kenapa diam … ? ujar Wiro. Dilihatnya sepasang mata kelinci itu memandang sayu
dan sesekali berkedip-kedip. Telinganya bergerak-gerak, begitu juga cuping
hidungnya. Dari mulutnya yang bergigi-gigi putih kecil terdengar suara desah
halus.
Tiba-tiba
saja ada perasaan tidak enak dalam diri Pendekar 212. "Aneh, mengapa
mendadak aku jadi tidak tega membunuh binatang ini …." Wiro perhatikan
lagi kelinci itu. Masih memandang padanya dengan mata sayu dan berkedip.
"Semakin
kupandang semakin kasihan aku jadinya … Ah sudahlah. Biar kulepas saja …"
Wiro membungkuk, letakkan kelinci itu di tanah lalu berkata.
"Kelinci,
kau tentu punya emak, punya bapak.
Punya
saudara punya teman dan hutan belantara. Kau boleh pergi. Aku tak jadi menyantanmu.
Walau perutku keroncongan kurasa aku masih bisa menahan lapar..Kau bebas.
Pergilah …."
Setelah
dilepas, kelinci itu tidak segera lari.
Seolah-olah
berterima kasih dia berpaling ke arah Wiro, mencicit beberapa kali sambil
mengedipkan kedua matanya.
"Ya
… ya.. . Pergi sana. .." kata Wiro pula.
Binatang
itu mencicit lagi dan mengedip dua kali lalu membuat lompatan tinggi. Namun dia
tak pernah masuk lagi ke dalam hutan, bahkan setelah melompat tak sempat lagi
menginjakkan kaki-kakinya di tanah.
Sebuah benda
melesat dari kegelapan, menyambar ke kepala kelinci itu. Binatang ini mencicit
keras lalu jatuh terhempas ke tanah.
"Astaga!"
Wiro berseru dan cepat melompat.
Kelinci
diambilnya dari tanah. Sepasang mata Pendekar 212 melotot besar. Sebuah besi
lancip lebih besar dari lidi . menancap tepat di kening kelinci. Pada besi ini
menempel sebuah bendera berbentuk segi tiga berwarna merah. Di bagian tengah
bendera, ada tulisan Kanji warna hitam berbunyi "Bendera Darah."
"Binatang
malang …." desis Wiro. "Aku segaja melepaskanmu. Sekarang ternyata
ada orang jahat membunuhmu. Kalau memang nasibmu seperti ini kan lebih baik kau
kupanggang dan kusantap saja tadi …"
Wiro
garuk-garuk kepalanya dengan tangan kiri. Lalu diusapnya kepala kelinci itu
beberapa kali. Darah yang mengucur dari kepala kelinci mengotori jari-jari
tangannya. Perlahan-lahan Wiro letakkan binatang itu di tanah lalu dia tegak
kembali, memandang berkeliling.
"Orang
jahat! Siapa kau yang tega-teganya membunuh kelinciku?!” Aku tahu kau masih
berada di sekitar sini! Perlihatkan dirimu!"
Dalam
keheningan dan dinginnya udara malam tiba-tiba terdengar suara tertawa. Suara
tawa ini melengking keras tapi pendek.
"Kurang
ajar …" kertak Pendekar 212. Dia jelas mendegar suara tertawa itu. Keras
dan dekat tapi anehnya dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datangnya.
"Orang
itu sepertinya memiliki ilmu memindahkan suara!" pikir Wiro.
"Hemmm
…. Kau tidak berani unjukkan diri ya?!
Apa kau
seorang pengecut atau mungkin tampangmu jelek seperti donburi basi?!"
Tetap
hening. Kali ini sepertinya juga tak ada suara jawaban. Tapi tidak. Karena
tiba-tiba jawaban yang diterima Wiro adalah melesatnya sebuah benda merah ke
arah kaki kirinya. Sang pendekar cepat melompat.
Seeettttl
Cleeeppp!
Breettt!
Sebuah
bendera merah menancap di tanah, tepat di atas mana tadi kaki Wiro meminjak.
Gerakan Wiro mengelak tadi cepat sekali. Namun sebelum menancap di tanah besi
bendera masih sempat merobek ujung kaki celana putihnya!
"Bendera
aneh itu lagi!" desis Wiro dengan mata mendelik.
"Si
pelempar jelas sengaja mencari tantaran.
Bukan
cuma mau membunuh kelinci tapi juga mau membunuh diriku!"
Sambil
mundur mendekati sebuah pohon besar Wiro memandang berkeliling. Dia sengaja
berdiri di depan pohon untuk mempersempit ruang serang musuh yang tersembunyi.
"Pembokong
gelap! Apa kau masih tidak mau memperlihatkan diri?!" teriak Wiro.
Baru saja
dia berteriak begitu tiba-tiba setttt…. setttt Dua buah Bendera Darah melesat
dalam gelapnya malam den menancap di batang pohon, hanya seujung kuku jari dari
telinga kiri kanan sang pendekar! Walau udara dingin tapi murid Sinto Gendeng
sempat keluarkan keringat dan tengkuknya jadi merinding.
Dia sadar
kalau pun dia masih berdiri di sekitar situ, cepat atau lambat dirinya bakal
jadi tancapan bendera aneh itu. Walau besi bendera tidak mengandung racun tapi
daya bunuhnya tidak bisa dibuat main.
Memikir
sampai di situ Wiro keluarkan seruan keras.
Kedua
kakinya menjejak tanah sambil kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya
melesat ke atas.
Settttt
…. setttt …. setttt …. sefflt!
Empat
Bendera Darah dengan sebat mengikuti gerakan Wiro. Satu mengarah perut, satu
mencari sasaran di basian dada dan dua menyambar ke arah kepala.
"Kurang
ajar!" rutuk Pendekar 212.
"Si
pembokong benar-benar inginkan nyawaku!
Siapa dia
… Kaki tangan orang-orang lembah Hozu?’ (Mengenai silang sengketa Pendekar 212
dengan orangorang Lembah Hozu, ikuti serial Wiro Sableng berjudul
"Pendekar Gunung Fuji")
Masih
melayang di udara Wiro membuat gerakan jungkir balik. Ke dua tangannya serentak
lepaskan pukulan tangan kosong yang menghamburkan angin deras.
Empat
Beqaera Darah bukan saja berhasil dihindar tap!
malah
dibuat mental. Tetapi murid Sinto Gendeng jadi tersentak kaget ketika melihat
apa yang terjadi. Empat buah Bendera Darah yang kena hantaman pukulan tangan
kosongnya tadi tiba-tiba berbalik. Dua diantaranya kelihatan robek. Empat
bendera merah Empat bendera merah ini berkibar aneh. Lalu seperti didorong oleh
kekuatan hebat, empat bendera itu melesat berpencaran dan kembali menyerang
Wiro di empat sasaran!.
"Kurang
ajar! ini bukan main-main!” Wiro Cepat melompat kebalik serumpun semak belukar.
Sambil melomat dia lepaskan pukulan ”Tameng Sakti Menerpa Hujan”.
Dua buah
Bendera Darah robek dan menancap pada rerumpunan semak belukar. Satu
diantaranya malah tepat di depan hidung Pendekar 212 hingga kembali murid Sinto
Gendeng keluarkan keringat dingin.
Yang dua
lagi berhsrsil dihantam luruh ke tanah.
Hebatnya
meski jatuh namun dua bendera ini tidak tergeletak begitu saja melainkan jatuh
dengan tetap menancap di tanah!.
Di balik
kerapatan batang-batang bambu di tepi sungai terdengar suara orang berdesah.
Sepasang telinga Wiro menangkap suara desah itu. Tanpa Pikir panjang dia segera
menghantam ke arah Pohon bambu.
Pukulan
yang dilepaskannya kali ini adalah dalam jurus "segulung ombak menerpa
karang." Terdengar suara seperti ombak besar bergulung di Pantai. Lalu wusss….
braaakkkk ….. ! Rumpunan batang bambu di depan sana laksana dihantam topan,
hancur rambas berantakan.
"Kosong!
Tak ada siapa-siapa di tempat itu!” seru Wiro dengan pandangan kaget.
Baru saja
dia berseru demikian dan belum habis rasa kagetnya tiba-tiba dari atas
terdengar Suara seekor berkesiuran.
"Bendera
keparat!" teriak Wiro.
Tiga buah
Bendera Darah melesat dengan kecepatan setan dari atas pohon besar. Membuat dia
lagi-lagi dipaksa jungkir balik selamatkan diri.
Cleeppp!
Bendera
Darah pertama menancap amblas ke dalam tanah.
Kraakkkk!
Bendera
Darah ke dua menghantam batu kali dan menancap di batu itu!.
“Gila!
Kalau benar benda itu bisa menancap di batu, kekuatannya benar-benar luar
biasa! Batok kepala pasti tembus!”
Namun
Wiro tidak sempat berpikir panjang. Dia merasa lututnya goyah ketika menyadari
Bendera Darah ketiga menyusup di bahunya, merobek baju tebalnya lalu ada rasa
sakit dikulit bahu sebelah kiri. Pertanda ada daging bahunya yang kena ditembus
besi bendera.
Rasa
sakit mula-mula tidak terasa karena saking cepatnya gerakan besi itu menembus.
Wiro ulurkan tangan kanannya ke bahu kiri dan cabut bendera yang menancap di
bahunya itu sementara baju tebalnya kelihatan merah oleh darah yang keluar dari
luka.
Sambil
menggenggam bendera merah yang dicabutnya dari bahu kiri Wiro mendongak ke
atas. Dalam kegelapan samar-samar dilihatnya satu sosok aneh tegak di cabang
terendah.
"Mahluk
apa di atas pohon pikir Wiro.
"Sosoknya
seperti manusia…. tapi tak jelas kepala tak kelihatan mukanya …."
"Setan
alas di atas pohon! Apa kau tak berani turun ke tanah?!"
Sosok di
atas pohon keluarkan tawa melengking keras tapi pendek. Tubuhnya kemudian
tampak melesat ke atas lalu berputar jungkir balik. Di lain kejap dia melompat
ke bawah, menukik laksana seekor alap-alap menyambar mangsanya.
"Makan
benderamu sendiri!" bentak Wiro.
Tangan
kanannya yang memegang bendera merah melempar ke atas. Bendera Darah menderu ke
arah Ubun-ubun kepala sosok yang saat itu melayang sebat ke bawah.
"Huh!"
Orang
yang melayang turun keluarkan suara terkejut ketika melihat bendera miliknya
sendiri kini dilempar orang ke arah batok kepalanya. Dalam kejutnya dia
bertindak tenang sekali. Sambil miringkan tubuh ke kiri dia malah sengaja
menyambut Serangan bendera dengan dada kirinya. Cleppp! Bendera itu menyusup
dan lenyap di tubuhnya seolah seekor burung yang melesat masuk ke sarangnya!
Rasa
heran Pendekar 212 berubah jadi terkejut besar ketika sesaat kemudian dia
melihat sosok Yang tegak di hadapannya. "Gila! Seumur hidup baru sekali
ini aku melihat mahluk macam begini!"
*************************
EMPAT
Di
hadapan Wiro saat itu tegak sesosok tubuh yang mulai dari kaki sampai ke kepala
tertutup oleh puluhan, mungkin ratusan bendera-bendera kecil berwarna merah.
Dari wajahnya hanya sepasang matanya saja yang kelihatan. Memandang tajam tak
berkesip pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Aneh,
mahluk ini terbungkus bendem kaki tangan, badan sampai kepala. Apakah dia
tidakmengenakan pakaian? Tak bisa kuterka apa dia lelaki atau perempuan
…."
Diam-diam
Wiro mencium seperti ada bau harum muncul di tempat itu bersamaan dengan
kemunculan mahluk aneh ini.
Untuk
sesaat lamanya dua orang itu hanya berdiri . tegak saling pandang tanpa bicara.
"Hemmm
…" Murid Sinto Gendeng akhirnya bergumam.
"Rupanya
aku berhadapan dengan hantu penjual bendera!"
Diejek
seperti itu sepasang mata orang yang bekujur tubuh dan mukanya tertutup
bendera-bendera merah kelihatan membesar. Walau jelas marah namun dia tetap
diam, tak membuat gerakan apa-apa.
"Tukang
bendera! Kau membunuh kelinci itu, Kau juga menyerang dengan maksud membunuh.
Padahal antara kita tidak ada silang sengketa. Bertemu pun baru kali ini!
Bahkan tampangmu yang tersembunyi dibalik kain-kain popok merah itu tak pernah
kulihat!"
Dari
tenggorokan orang dl hadapan Wiro terdengar suara menggeru. Lalu dia membentak.
"Orang
asing! Lagakmu sombong! Penghinaanmu keliwatan. Kau boleh menghina diriku! Tapi
menghina bendera-benderaku sebagai kain popok tak dapat kuterima! Penghinaan
atas Bendera Darah berarti mati!"
Wiro
segara saja maklum kalau mahluk yang ada dihadapannya itu tidak bicara dengan
suara aslinya tapi mempergunakan suara perut. Dia lantas ingat Akiko Bessho,
murid mendiang Hiroto Yamazaki dari Gunung Fuji yang juga ahli mempergunakan
ilmu suara dari perut. Wiro sendiri sempat belajar cara bicara dengan perut itu
dari Akiko walaupun belum tuntas. Maka diapun rubah suaranya. kerahkan tenaga
dalam ke perut dan bicara menirukan suara seperti kambing.
"Oh,
jadi yang kukira kain popok itu adalah Bendera Darah! Pantas ganas amat!"
Mahluk yang terbungkus bendera jadi marah dan juga kaget. Marah karena
lagi-lagi Wiro menghina Bendera Darahnya.
Terkejut
karena tidak menyangka pemuda asing itu juga mampu menggunakan suara perut
malah meniru suara kambing!
"Dengar
…. Sebelum kubunuh katakan dulu dari mana kau belajar bicara dengan suara perut
itu?!”
"Eh,
perlu apa kau bertanya? Aku mau belajar dari hantu atau jin atau dari siapa
saia apa urusanmu?!"
"Hemmm
begitu …… Berarti kau mempercepat saat kematianmu!" Mahluk bendera
gerakkan kedua tangannya.
"Tunggu
dulu!" seru Pendekar 212.
"Katakan
mengapa kau ingin membunuhku!"
"Sekedar
untuk menebus nyawa Nenek Arashi yang kau bunuh beberapa waktu lalu …"
Wiro terkejut.
”Apa
hubunganmu dengan nenek jahat itu?!" tanya Wiro.
"Kau
bisa tanyakan sendiri padanya nanti di akhirat ltupun kalau kau bisa ketemu
dia…!" Orang itu menjawab lalu tertawa keras.
Dua
tangannya bergerak. Terdengar suara settt….
settt….
Empat kali berturut-turut. Wiro hampir tak melihat kapan orang itu mencabut
bendera-bendera kecil di tubuhnya tahu-tahu empat Bendera Darah melesat ke arahnya!
Murid
Eyang Sinto Gendeng berseru keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Bersamaan dengan
itu dia menghantam ke depan dengan tangan kiri. Lepaskan pukulan "kunyuk
melempar buah." Dua buah Bendera Darah mental dan robek lalu menancap di
tanah. Dua lainnya terus meluncur mengejar ke arah mana perginya sasaran.
Wiro
kertakkan gerahamnya ketika melihat dua Bendera Darah secara luar biasa mampu
mengejar dan menyambar ke arah perut dan dadanya.
Trang ….
bang …. !
Terdengar
dua kali suara berdentrangan. Dua kali berturut-turut bunga api memancar terang
dalam kegelapan malam.
Lalu
wusss …. wusss!
Dua
Bendera Darah terbakar di udara. Begitu punah dua batang besi kecil yang jadi
tiang bendera luruh ke tanah. Sekali ini tak mampu menancap seperti sebelumnya!
Mahluk
kendera terkesiap kaget. Dua matanya memandang tak berkesip ke arah tangan
kanan Wiro dimana tergenggam batu hitam empat persegi panjang pasangan Kagsak
Maut Naga Geni 212. Dengan benda inilah rupanya tadi Wiro menangkis serangan
dua dari empat Bendera Darah. Wiro sendiri tidak menyangka kalau batu api itu
bukan saja sanggup menangkis serangan Bendera Darah tapi waktu bentrokan tadi
sekaligus membakar kain bendera!
”Batu
itu. .. ” Manusia bendera membatin.
"Lalu
kapaknya tadi … Aku harus mendapatkan nya! Musti!"
"Gaijn….Aku
mungkin bisa melupakan pembunuhan atas diri Nenek Arashi yang kau lakukan lalu
membebaskanmu dari kematian. Asal kau menerima syarat yang bakal aku katakan
…" Wiro menyeringai.
"Setan
alas ini rupanya punya rencana tersembunyi …" katanya dalam hati. Lalu,
"Tadinya
aku memang sudah siap-siap menghadapi kematian. Sekarang kau bilang mau
membebaskan diriku. Coba katakan apa syaratmu itu …"
"Serahkan
batu hitam itu. Juga senjata berbentuk kapak yang kau simpan di balik
pakaian…"
Wiro
sesaat jadi melongo. Lalu dia tertawa gelakgelak.
"Aku
merasa tidak ada yang lucu. Mengapa harus tertawa segala? Kau harus bersyukur
tak jadi kubunuh!" Wiro tersenyum lalu berkata.
"Memang
tidak ada yang lucu. Tadinya kau kukira seorang penjua! bendera. Ternyata kau
adalah seorang perampok tengik yang ingin barang orang lain!"
"Kau
memutuskan untuk tidak mau menyerahkan dua barang yang kuminta itu?" nada
suara manusia bendera mengandung ancaman.
"Kira-kira
begitu …" jawab Wiro seenaknya.
"Berarti
kematian sudah diambang pintu. Kasihan, datang dari jauh hanya untuk mengantar
nyarwa.
Mayatmu
pun tak akan ada yang mengurus!”
"Kalau
kau kira aku memang akan mati ditanganmu, apakah kau hendak titip salam buat
Nenek Arashi di akhirat?!" ejek Wiro pula.
Manusia
bendera berteriak marah. Tubuhnya berkelebat.
Tangannya
kiri kanan beqerak. Sepuluh bendera yang menempel di tubuhnya berkelebat. Wiro
tak tinggal diam. Batu hlam dibabatkan ke depan sedang tangan kiri lepaskan dua
pukulan sakit berturut-turut.
Bummmm!
Bummmm!
Manusia
bendera tampak terhuyung-huyung tapi hanya sebentar. Belasan bendera yang
menempel menutupi badannya tersibak akibat pukulan Wiro tadi cepat-cepat
dirapikannya. Memandang ke depan empat buah Bendera Darah dilihatnya musnah
terbabakar. Dua menancap di pohon, dua lenyap dalam kegelapan malam tapi dua
buah lagi walau tidak tepat berhasil menancap di tubuh lawannya!
Wiro
menyeringai kesakitan. Sebuah Bendera Darah menancap menyisi pinggiran paha
kirinya. Darah mengucur membasahi kaki celana putih yang dikenakannya.
Bendera
Darah ke dua menyambar rusuk kanan, menyusup dekat tulang iga sebelah luar!.
"Aku
masih mau memberi kesempatan agar kau berubah pikiranl Bagaimana?!" Mahluk
bendera berkata.
"Mahluk
edan! Biar aku kembalikan dulu dua benderamu ini!" jawab Wiro. Dengan
cepat dia cabut dua bendera yang menancap di tubuhnya. Namun sebelum dia sempat
melemparkan senjata itu ke arah pemiliknya tiba-tiba manusia bendera gerakkan
badannya.
Terjadilah
hal yang luar biasa. Tiga puluh Bendera Darah yang menempel di badannya
melesat.
Dengan
mengeluarkan suara menderu laksana topan menggidikkan bendera-bendera itu
menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Celaka!
Aku tak punya kesempatan mengelak atau menangkis!" Wiro terpaksa Iepaskan
dua bendera yang dipegangnya lalu pergunakan batu api untuk menangkis
sebisanya. Gerakannya untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 tidak dapat tidak
tetap akan kedahuluan oleh serangan tiga puluh Bendera Darah yang menyerbu
laksana topan itu!
"Ah,
aku benar-benar mati di tangannya!" kata Wiro.
Dia masih
berusaha jatuhkan diri walau sadar hal ini adalah sia-sia saja sementara
puluhan Bendera Darah menderu ganas.
Tiba-tiba
satu teriakan keras menggema dari arah sungai kecil.
"Yori!
Jangan bunuh dia!" Mahluk bendera tersentak kaget.
Saal itu
di pertengahan sungai kelihatan seorang gadis berkimono biru berdiri di atas
sebuah perahu kecil yang meluncur dengan cepat. Sebelum ujung perahu menyentuh
pinggiran sungai gadis ini sudah melesat sambil cabut sebilah katana dan siap
menyerbu kirimkan tangkisan untuk membendung serangan puluhan Bendera Darah
walau dia maklum bahwa tidak seluruhnya bendera-bendera maut itu bisa
diruntuhkannya.
Paling
tidak sebagian besar masih akan menancap di tubuh Wiro.
"Ah
dia …!" kata mahluk bendera dalam hati.
Kedua
matanya bersinar seperti mau marah. Namun tiba-tiba saja dia menyentakkan
kepala dan melambaikan kedua tangannya ke belakang seraya berseru. "Bendera
kembali!"
Terjadilah
hal yang luar biasa. Puluhan Bendera Darah yang menyerbu ke arah Wiro tiba-tiba
tegak dan berkibar. Lalu secara aneh bendera-bendera ini berputar. Seolah-olah
ditarik oleh kekuatan besi berani yang hebat, semua bendera melesat berbalik
dan menyusup di antara puluhan bendera yang menempel di tubuh manusia bendera.
Gadis
yang melompat dari atas perahu menginjakkan ke dua kakinya di tanah. Di saat
yang sama manusia bendera membungkuk dalam-dalam sampai tiga kali lalu putar
tubuhnya.
"Yori!
Tunggu!" seru si gadis berkimono biru sambil berusaha mengejar.
Tapi si
manusia bendera itu sudah lenyap di telan kegelapan malam.
Wiro
menarik nafas lega dan berpaling ke kiri.
"Sahabatku
nona Akiko Bessho. Syukur kau datang … !”
"Kau
tak apa-apa?" tanya gadis kimono biru sambil matanya meneliti sekujur
tubuh Pendekar 212.
"Ah,
kau terluka di tiga tempat. Bahu, paha, dan rusuk …." Besi bendera itu
tidak beracun. Tapi lukamu cepat harus dirawat. Lewat dari tiga hari luka itu
akan membusuk …"
"Dan
aku bisa mati …?”
Si gadis
menggeleng. "Mati ya tidak. Cuma kau mungkin akan catat seumur hidup.
Salah satu tangan atau kakimu bisa-bisa lumpuh …."
"Bendera-bendera
merah kurang ajar. Kau tadi kudengar menyebut nama mahluk aneh itu. Dia manusia
atau apa … ? Lelaki atau perempuan ….?"
"Maafkan
aku. Aku tak bisa menerangkan siapa dirinya … !”
"Jadi
kau sebenarnya kenal Siapa dia adanya?" tanya Wiro.
"Lupakan
dia, Yang jelas kau selamat Aku senang bisa bertemu kau di sini …."
"Aku
juga … Tapi aku merasa aneh. Kita bersahabat.
Dan kau
ternyata kurang percaya padaku. Tak mau menceritakan siapa adanya manusia aneh
tadi.
Lalu
kulihat dia seperti takut padamu dan cepat-cepat berkelebat pergi … ."
"Sudahlah,
lupakan saja mahluk yang kau anggap aneh itu," kata Akiko Bessho. Lalu
dari sebuah kantong kain yang dikeluarkannya dari balik bajunya Akiko Bessho
mengambil sebutir obat berwarna merah dan diberikannya pada Wiro.
"Lekas
telan. Lukamu pasti sembuh dalam tempo satu hari …." Wiro memasukkan obat
itu ke dalam mulutnya. Mendadak saja dia seperti mau muntah. Obat yang
dimulutnya hampir melompat keluar.
"Tolol!
Kau seperti anak kecil saja! Jangan dihisap. Itu bulan gula-gula! Langsung
telan!"
"Obat
apa ini! Sepahit tahi setan!" teriak Wiro.
"Ngacokl
Apa kau sudah pernah makan kotoran setan?!" ujar Akiko pula menahan tawa.
Wiro cepat telan obat dalam mulutnya. Begitu obat pahit lewat ditenggorokannya
dia menarik nafas lega.
"Terima
kasih Akiko," kata Wiro.
"Coba
ceritakan bagaimana kau berada di tempat ini. Bukankah kita janji bertemu bulan
purnama di muka di desa Kitano di . . kaki gunung Mitaka? Kau sengaja
mencariku. Kangen atau bagaimana ….?" Kata-kata Pendekar 212 itu membuat
wajah Akiko Bessho menjadi bersemu merah. Wiro tertawa lebar dia menarik tangan
Akiko mengajaknya duduk dekat perapian.
"Aku
dalam perjalanan ke Kioto. Seorang sahabat mendiang Sensei meninggal dunia.
Kematiannya tidak wajar. Dibunuh oleh ninja…:”
"Ninja…"desis
Wiro.
"Aku
tidak mengerti bagaimana ada manusia atau kelompok manusia seperti mereka.
Melakukan apa saja demi uang! Bahkan membunuh bayi sekalipun mereka tega!"
”Mereka
memang ganas dan kejam. Lebih kejam dari orang-orang Lembah Hozu yang pernah
kita. hadapi dulu ….”
"Heran,
mengapa Kaisarmu tidak menumpas mereka”
"Sulit.
Karena orang-orang atau pejabat-pejabat tinggi sendiri banyak mempergunakan
tenaga mereka.
Para
samurai tak sanggup menumpas mereka. Selain kepandaian pendekar samurai jauh
dibawah para ninja, juga adanya pejabat-pejabat tinggi tadi yang tetap menginginkan
adanya ninja baik untuk kepentingan usaha dagang mereka, jabatan maupun
keamanan."
"Sebetulnya
akupun tadi dalam perjalanan menuju Kioto …." kata Wiro pula.
"Kalau
kau memang mau pergi sama-sama, tentu saja aku tidak keberatan. Tapi ada
syarat! Jangan mencari perkara dan berbuat yang aneh-aneh. Aku ke sana untuk
melayat, bukan untuk bersenang- senang …." Wiro tersenyum. Sambil garuk
kepala dia menjawab.
"Bagiku,
bisa pergi sama-sama tidak merupakan kesenangan tersendiri..!’
"KaIau
begitu ayo kita berangkat sekarang. Kioto masih cukup jauh dan kita harus jalan
kaki …”
"Bagaimana
dengan ilmu pukulan matahari. Kau masih terus melatih diri?" tanya Wiro.
Akiko
Bessho mengangguk. "Daya hantamku jauh lebih besar. Aku berterima kasih
kau telah mengajarkan ilmu pukulan sakti itu. Lalu bagaimana dengan ilmu bicara
dari Perut yang aku ajarkan padamu. Kau sudah bisa?
"Wah,
aku harus banyak berlatih. Kadang-kadang Yang keluar bukan suara manusia tapi
suara binatang…" jawab Wiro hingga Akiko Bessho tertawa geli.
"Sahabat
gurumu yang dibunuh ninja itu, siapakah dia? ” tanya Wiro sambil melangkah
cepat di sa Akiko.
"Namanya
Noboru Kasai. Ketua Perguruan silat Emerarudo” jawab Akiko sambil lebih
mempercepat jalannya (siapa adanya gadis Jepang bernama Akiko Besso ini harap
baca Serial Wiro Sableng bejudul "Pendekar Gunung Fuji").
*************************
LIMA
Di dalam
ruangan itu berkumpul para pucuk pimpinan Perguruan Emerarudo. Hisao Matsunaga
duduk bersebelahan dengan Shigero Momochi. Di hadapan mereka duduk empat orang
tua-tua Perguruan mengapit seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Anak ini
adalah Akira, putera tunggal mendiang Ketua Noboru Kasai.
Keheningan
menggantung beberapa lamanya.
Hisao
Matsunaga mengusap dadanya beberapa kali lalu terdengar dia batuk-batuk.
"Wakil
Ketua, kau agak kurang sehat rupanya … ?
tanya
seorang tua sesepuh Perguruan yang duduk di hadapan Hisao.
"Mungkin
masuk angin. Sehabis berjalan jauh ke Kioto dua hari lalu …" jawab Hisao
Matsunaga sambil mengusap dadanya lalu menarik nafas panjang. Dia melirik pada
Shigero Momochi yang duduk seperti terkantukkantuk di sampingnya. "Orang
ini pasti habis meneguk minuman keras lagi …" kata Hisao dalam hati. Lalu
dia memandang pada Akira Kasai sesaat dan berkata.
"Akira-san
…Kami sengaja mengikut sertakan kau dalam pembicaraan penting ini karena
sebagai putera mendiang Ketua Perguruan kami menganggap kau harus tahu akan
segala pembicaraan maupun rencana Perguruan …"
Akira
Kasai membungkuk dalam dalam lalu menjawab.
"Saya
berterima kasih atas kehormatan ini!”
"Seperti
kita ketahui dua hari dari sekarang jenazah Ketua Noboru Kasai akan
diperabukan," kata Hisao meneruskan ucapannya tadi.
"Sesuai
ketentuan Perguruan, sebelum hal itu dilakukan sudah harus ditentukan dan diumumkan
siapa pengganti beliau yang akan menjabat sebagal Ketua Perguruan. Sejak
puluhan tahun silam sudah ada ketentuan bahwa seorang Ketua membuat semacam
surat warisan di dalam mana dia menyebutkan siapa penggantinya jika karena satu
dan lain hal dia tidak lagi bisa memegang jabatan sebagal Ketua. Apapun isi
surat warisan itu atau siapapun yang ditunjuk menjadi penggantl tidak ada
seorangpun yang boleh membantah.
Semua
harus tunduk dengan isi surat warisan. Aku dan Shigero Momochi sudah memeriksa
di semua tempat termasuk Ruangan Rahasia Perguruan dan kamar pribadi mendiang
Ketua. Namun surat itu tak ditemukan.
Kita
semua tahu, malam itu tiga orang ninja menyerbu ke sini. Mereka bukan saja
berniat membunuh Ketua tapi dari penyelidikan ternyata mereka juga mencurl
surat penting itu. Walau yang dua terbunuh, satu-satunya yang melarikan dirl
agaknya telah berhasil mencuri dan melarikan surat itu. Waktu kita hanya
sedikit Kurang dari dua hari. Dalam waktu yang sangat singkat itu kita harus
menemukan surat itu. ..!”
Shigem
Momochi yang duduk seperti terkantukkantuk dikejutkan oleh pertanyaan Hisao
Matsunaga.
"Shigero,
apakah sudah ada kabar dari orangorang kita yang kau suruh menghubungi para
Ketua Ninja ….?!” Shigero Momochi usap mukanya.
"Maafkan,
aku kurang mendengar pertanyaanmu tadi Hisao …"
"Kau
kelihatan sakit atau mengantuk Shigero? Tanya Hisao berusaha menahan
jengkelnya.
"Dalam
urusan penting begini rupa bagaimana mungkin dia tidak acuh dan malah
mengantuk?!" Seorang tua sesepuh Perguruan membuka mulut.
"Wakil
Ketua Hisao Matsunaga tadi menanyakan apa sudah ada kabar dari orang-orang yang
disuruh untuk menghubungi para Ketua Ninja …. ?"
"Oh
itu. .." Shigero usap lagi mukanya.
"Belum
….belum" katanya sambil menggeleng.
"Mereka
belum kembali. …"
Hisao Matsunaga
menarik nafas dalam.
"Kalau
sampai saat terakhir jenazah diperabukan surat itu belum ditemukan dan
Perguruan belum mengangkat Ketua yang baru, apa yang harus kita lakukan?"
Salah
seorang tua yang duduk di sebelah Akira Kasai membungkuk lalu menjawab.
"Menurut aturan, walau ini tidak pernah terjadi sebelumnya, jabatan Ketua
sementara dipegang oleh istri atau putra mendiang Ketua. Karena mendiang Ketua
tidak punya istri maka jabatan itu dipercayakan pada puteranya … !” Semua mata
ditujukan pada Akira Kasai.
"Aku
tidak pernah melihat aturan itu secara tertulis," tiba-tiba Shigero
Momochi membuka mulut.
"Dan
aku merasa aturan itu tidak benar. Perguruan bukan Kerajaan dimana tahta atau
pucuk pimpinan diserahkan pada seorang putera jika sang raja meninggal. Aku
lebih suka jika tanggung jawab Perguruan untuk sementara berada di tangan
kelompok pimpinan …"
Sesaat
keadaan di tempat itu menjadi hening.
Tiba-tiba
Akira Kasai membungkuk.
"Akira-san,
kau hendak mengatakan sesuatu’" tanya Hisao Matsunaga.
"Kalau
diperkenankan paman Wakil Ketua…" jawab anak lelaki itu.
"Kedudukanmu
sama dengan kami. Jadi kau berhak bicara," kata Hisao Matsunaga sambil
senyum.
"Kau
tak usah malu apalagi merasa takut.
Bicaralah
…."
Setelah
membungkuk sekali lagi maka anak itupun mulai bicara.
"Maafkan
saya karena baru saat ini menyampaikan apa yang saya ketahui…. ini menyangkut
surat warisan atau surat penunjukan siapa yang jadi pengganti mendiang Ayah.
Surat itu ada di Puri Sanzen. Disimpan oleh seorang pendeta bernama Komo.
.."
Semua
orang yang ada di situ tentu saja jadi terkejut karena tidak menyangka akan
mendengar keterangan itu dari mulut Akira Kasai.
"Akira
san …" kata Shigero Momochi dengan nada penasaran. "Kenapa baru
sekarang kau bilang? Padahal kau tahu kita semua sudah kelabakan mencari surat
itu!"
"Harap
maafkan. Saya tak berani bicara karena takut kesalahan dan para orang tua di
sini menganggap diri saya lancang … ." Hampir saja Shigero Momochi hendak
mendamprat anak itu. Tapi Hisao Matsunaga cepat berkata.
"Bagaimana
ceritanya surat itu berada di tangan pendeta Komo dan bagaimana kau mengetahui
hal itu Akira-san?”
"Sekitar
satu bulan lalu Ayah sendiri yang menyuruh saya mengantarkan surat itu ke Puri
Sanzen dan menyerahkannya pada pendeta Komo. Agaknya Ayah seperti sudah punya
firasat ada sesuatu yang bakal terjadi atas dirinya. Menurut pesan Ayah pada
pendeta Komo, surat itu hanya saya yang bisa mengambil lalu menyerahkannya pada
para Wakil ketua Perguruan …" Shigero Momochi menggelengkan kepala.
"Sepertinya
mendiang Ketua tidak percaya pada kita semua … Aku merasa malu diperlakukan
seperti itu…" Hisao Matsunaga batuk beberapa kali sambil usap usap
dadanya. Dia berkata untuk mendinginkan suasana.
"Aku
rasa mendiang Ketua melakukan hal itu tentu ada sebabnya. Buktinya, kalau dia
tidak berbuat begitu surat penting tersebut pasti sudah jatuh ketangan
ninja!" Walau wajahnya masih menunjukkan ketidak senangan tapi Shigero
Momochi diam saja.
"Lalu
apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya salah seorang tua.
"Aku
dan beberapa murid Perguruan akan mengantar putera mendiang ketua ke Puri
Sanzen. Puri itu cukup jauh dari sini. Jika berangkat malam ini dan berhenti
istirahat di beberapa tempat, baru besok petang akan kembali. Mengingat pulera
Ketua tak bisa menunggang kuda maka delapan orang akan bergantian menandunya.
Akira-san kau lekas bersiap-siap. Aku akan mengatur segala sesuatunya,.."
Hisao
Matsunaga segera berdiri. Sebelum melangkah ke pintu dia berpaling pada Shigero
Momochi.
"Shigero,
selama kami pergi semua hal di perguruan menjadi tanggung jawabmu. Yang
lain-lain supaya membantu termasuk menyambut para tamu yang datang
melayat." Shigero Momochi diam saja.
Agaknya
dia tidak suka akan ucapan Hisao tadi yang seolah-olah memerintah dan membuat
dia berada dalam kedudukan lebih rendah.
AKlRA
Kasai memandang pada tandu yang sebentar lagi akan membawanya ke Puri Sanzen.
Saat itulah seorang anak lelaki seusia Akira dan sama-sama mengenakan kimono
warna merah melangkah mendekati Akira dan menegur.
"Akira,
ku dengar kau mau berangkat ke Puri Sanzen …" Akira Kasai berpaling. Dia
tertawa lebar ketika melihat siapa dihadapannya. Keno teman sebaya dan
sepermainan.
"Betul
Keno, aku harus pergi …"
"Malam-malam
begini? Aku kawatir …"
"Aku
ditemani paman Wakil Ketua Hisao Matsunaga. Apa yang harus dikawatirkan?Wjar
Akira pula.
"Akira,
aku mimpi buruk. Kau jatuh ke dalam jurang yang dasarnya penuh dengan batu-batu
merah membara. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan dirimu dalam
perjalanan..!” Akira Kasai tersenyum dan pegang bahu temannya itu.
"Kau
sahabat yang baik. Aku pergi cuma sebentar. Besok juga sudah kembali … Doakan
saja supaya aku selamat pergi dan kembali!”
"Bagaimana
kalau aku ikut bersamamu?” tanya Keno.
"Tentu
saja aku suka. Tapi paman Wakil Ketua belum tentu mau mengizinkan," jawab
Akira.
"Kalau
begitu sebelum ada yang melihat biar aku sembunyi duluan dalam tandu …"
"Heh!
Kau benar-benar konyol Keno …."
"Konyol
atau apapun katamu pokoknya aku harus ikut!"
"Kalau
kau memaksa terserah saja. Lekas masuk ke dalam tandu,..!” kata Akira sambil
memandang berkeliling takut ada yang melihat.
*************************
ENAM
SEBETULNYA
Puri Sanzen terletak tidak terlalu jauh dari bukit dimana Perguruan Emerarudo
berada. Hanya saja jalan menuju ke Puri itu sangat sulit, buruk dan
berbatu-batu. Disamping itu pendakian dan penurunan datang silih berganti
hingga rombongan yang dipimpin oleh Hisao Matsunaga tidak bisa bergerak cepat.
Menjelang
dinihari ketika rombongan bergerak perlahan dan tertatih-tatih melewati sebuah
pendakian curam, dari puncak pendakian tiba-tiba muncul tujuh sosok hitam.
"Shinobi!"
kata Hisao Matsunaga dengan suara bergetar.
"Ninja!"
teriak beberapa orang anggota rombongan hampir berbarengan.
"Eh,
apa yang terjadi …?" ujar Akira Kasai di dalam tandu ketika merasakan
tandu yang diusung oleh empat orang anak murid Perguruan tiba-tiba diturunkan
ke tanah. Lalu mendadak pula terdengar suara beradunya pedang.
Keno yang
berbaring di lantai cepat berdiri dan enyingkap tabir penutup jendela kecil di
dinding tandu.
Dia
mengintai keluar. Suaranya bergetar ketika berpaling pada Akira dan berkata.
"Rombongan
kita diserang ninja, Jumlah mereka lebih dari lima. Kelihatannya Wakil Ketua
dan anak murid Perguruan berada dalam keadaan terdesak …"
"Apa
yang harus kita bkukan ….?" tanya Akira Kasai, Tangan kanannya meraba
katana pendek yang tersisip di pinggang. Walau wajahnya tidak menunjukkan rasa
takut tapi getaran suaranya cukup menjadi pertanda bahwa anak ini merasa sangat
kawatir.
"Mimpiku
jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu pasti mengincar dirimu … !"
"Mengincar
diriku? Mengapa? Apa salahku … ?’
"Aku
juga tidak tahu. Tapi aku merasa dirimu dalam bahaya Akira. Lekas kau
menyelinap keluar. Segitu sampai di luar cepat lari ke Puri Sanzen …"
"Apa
maksudmu? Apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Akira.
"Sudah.
Waktu kita tidak banyak. Lekas pergi …" kata Keno. Lalu dipeluknya temannya
itu erat-erat!.
Akira
balas memeluk sambil berkata. "Aneh kau ini Keno. Kau memelukku seperti
kita akan berpisah dan tidak bertemu lagi … !’
"Lekas
pergi …. Aku mendengar suara jeritn wakil Ketua … Dia pasti terluka. Keadaan
benar-benar sangat berbahaya! Larilah! Ambil jalan rahasia yang kita temukan
waktu main-main di hutan dulu. Kau ingat?!"
Akira
mengangguk dengan gerakan kaku. Keno menggeser pintu dorong tandu lalu menarik
lengan kawannya. Putera mendiang Noboru Kasai ini mau tak mau akhirnya keluar
juga dari dalam tandu itu.
"Keno…?"
ujar Akira.
Tapi Keno
sudah menutup pintu dari dalam tandu.
Akira
Kasai memandang berkeliling. Tempat dia berdiri berada dalam bayang-bayang
gelap pohon besar hingga dirinya tersamar tidak kelihatan. Kuduknya merinding ketika
melihat bagaimana murid-murid Perguruan Emerarudo bertahan mati-matian terhadap
serangan yang dilancarkan oleh tujuh orang ninja.
Seorang
ninja berhasil dibunuh, satunya lagi tergeletak antara sadar dan pingsan. Namun
seluruh rombongan orang-orang Perguruan Emerarudo sudah bergeletakan jadi
mayat, kecuali Wakil Ketua Hisao Matsunaga.Orang ini tersungkur di tepi jalan,
berusaha merangkak mencapai tandu.
Akira
memutar kepalanya ke arah tandu dimana Keno berada. Sepasang mata anak ini
terbeliak besar.
Pintu
tandu berada dalam keadaan terbuka lebar. Dari tempat gelap dia berdiri anak
ini dapat melihat sosok tubuh Keno. Matanya membeliak dan jantungnya seperti
hendak copot ketika melihat bagaimana tubuh Keno tersandar di tempat duduk
tandu. Sebilah katana menancap di dadanya!
Kalau tak
cepat dia menutup mulutnya sendiri mungkin anak ini sudah berteriak karena
ngeri.
"Keno…
Mimpimu …Ternyata kau yang mendapat celaka. Seharusnya …. seharusnya aku yang
menemui ajal. Keno sahabatku … Kini aku mengerti. Kau sengaja menyuruhku pergi.
Kau memilih tetap berada dalam tandu. untuk menipu ninja-ninja jahat itu. Keno
…." Akira Kasai tak kuasa membendung air matanya. Di sebelah sana
dilihatnya Wakil Ketua Perguruan Emerarudo merangkak di tanah terbatuk-batuk
dan pegangi dada kirinya. Tiba-tiba empat orang ninja melompat mengurungnya.
Masing-masing memegang ninjato berlumuran darah!
"Ninja-ninja
itu … Mereka pasti membunuh Paman Hisao. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana
aku menolongnya. Paman …"
Tiba-tiba
terngiang di telinga Akira ucapan Keno.
Mimpiku
jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu pasti mengincar dirimu…Aku merasa dirimu
dalam bahaya Akira. Lekas menyelinap keluar. Begitu sampai di luar cepat lari
ke Puri Sanzen..
"Ninja-ninja
itu…apa mereka benar hendak membunuhku? Mengapa?!" Akira memperhatikan
seorang ninja lagi berkelebat mengurung Hisao Matsunaga.
"Aku
merasa diriku seperti seorang pengecut! Aku ingin menolongmu Paman Hisao. Tapi
apa dayaku.
Maafkan
aku Paman …." Anak itu putar tubuhnya.
Kraaakkk!
Tak
sengaja kaki kiri Akira menginjak sebatang kayu agak kering hingga mengeluarkan
suara. Lima ninja berpaling ke arah kegelapan. Juga Paman Hisao Matsunaga.
Secepat
kilat Akira melompat ke balik sebuah pohon besar lalu menghilang. Lima ninja
berkelebat ke arah tandu lalu ke jurusan dimana tadi mereka mendengar suara
berderak disertai berkelebatnya satu bayangan. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Hisao Matsunaga untuk bangkit dan naik ke punggung seekor kuda lalu menggebrak
binatang ini meninggalkan tempat itu. Lima ninja saling pandang.
Sesaat
kemudian ke limanya serentak berkelebat ke arah lenyapnya Akira. HlSAO
Matsunaga belum lama memacu kudanya ketika tiba-tiba dalam kegelapan malam dua
penunggang kuda datang dari jurusan berlawanan. Karena jalan sempit dan Hisao
Matsunaga agaknya tidak mau menghindar atau menepi maka dua penunggang kuda
yang datang dari arah depan terpaksa bersibak dan menepi.
"Orang
itu menunggang kuda seperti dikejar setan!" ujar penunggang kuda di kiri
jalan. Dia berpakai an dan berikat kepala putih serla berambut gondrong.
Melirik
ke kanan dia melihat sebuah jurang batu dalam kegelapan.
"Gila,
sempat kaki kudaku terperosok, amblas diriku ke dalam jurang itu!"
"Wiro
…"
"Ada
apa Akiko? Kau kelihatannya seperti kaget."
"Penunggang
kuda yang barusan lewat. Walau gelap tapi aku masih sempat melihat wajahnya.
Dia Hisao Matsunaga …"
"Siapa
manusia bernama naga itu?’ tanya Wiro acuh saja.
"Salah
satu dari dua Wakil mendiang Noboru Kasai, Ketua Perguruan Emerarudo yang
hendak kita layati …"
"Eh,
kalau benar berarti ada urusan penting membuat dia meninggalkan perguruan
…"
"Atau
tengah dikejar sesuatu …" kata Akiko pula.
"Aku
…. Harap kau tunggu disini. Aku coba mengejarnya untuk mencari tahu apa yang
terjadi."
"Terserah
padamu. Tapi kau harus tahu menunggu di tempat seperti ini tidak sama sedapnya
dengan menunggu di rumah teh, ditemani oleh geisha …"
"Aku
tak bakal lama!" jawab Akiko lalu cepat memutar kudanya. Baru saja gadis
itu lenyap Wiro mendadak mendengar suara orang berlari. Dia berpaling ke kiri.
Tampak satu sosok kecil dalam kegelapan.
Sosok ini
menyibak serumpunan semak belukar di kiri jalan lalu lenyap dalam celah di
antara dua buah batu besar. Pendekar 212 sesaat jadi tercengang.
"Anak
kecil dalam rimba belantara malam-malam begini. Eh, apa ada tuyul di Jepang ini
… ? Tapi kulihat kepalanya tidak botak. Atau mungkin tuyul Jepang memang pakai
rambut tidak botak seperti di Jawa …"
Memikir
sampai di situ Wiro turun dari kudanya dan melangkah ke arah semak belukar di
mana si anak tadi dilihatnya lenyap.
Baru saja
dia sampai di depan semak belukar tiba-tiba lima sosok hitam berkelebat. Dua
tegak mendekam di depannya di atas batu besar di kiri kanan semak-semak tiga
lainnya langsung mengurung di samping dan belakang.
"Ninja!"
Wiro
angkat tangan kanannya sambil tertawa lebar untuk menunjukkan sikap bersahabat.
Tapi lima ninja pentang sikap garang. Di samping itu mereka merasa heran tidak
mengira akan menemukan seorang pemuda asing di tempat itu. Mereka bicara cepat
satu sama lain. Lalu yang berada di atas batu sebelah kanan membentak.
"Pemuda
asing, dimana kau sembunyikan anak itu?!"
"Anak,
anak apa?balik bertanya Pendekar 212.
"Anak
lelaki pakai kimono merah!" kata ninja di samping kanan.
"Maksudmu
tuyul gondrong itu … ? Lima ninja saling berpandangan.
"Tuyul!
Apa itu tuyul?!" Salah seorang dari mereka bertanya.
"Ah,
bagaimana ya aku menerangkannya," ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala
membuat lima ninja jadi tidak sabaran. Salah seorang dari mereka berbisik pada
teman disebelahnya. Yang satu ini menyampaikan pada temannya yang lain.
"Pemuda
asing ini mencurigakan. Dari pada jadi urusan di kemudian hari lebih baik
dibereskan saja …"
"Setuju
…!” Lima ninja membuat gerakan menyerang.
Tubuh
mereka merunduk. Pedang ditukikkan ke bawah. Yang di atas batu melayang turun.
"Eh,
apa-apaan inil?!" Tadi bertanya sekarang malah menyerang!" seru Wiro.
Lima katana mencuat ke udara. Murid Sinto gendeng berteriak keras dan cepat
berkelebat hindarkan serangan. Tapi dua senjata lawan masih sempat menggurat
punggung dan perutnya.
Brettt!
Breettt!
Pakaian
Pendekar 212 robek besar di dua tempat.
Dia jadi
keluarkan keringat dingin. Lima ninja putar senjata masing-masing dari bawah ke
arah pinggang.
Lalu
untuk kedua kalinya mereka menyerang secara serentak.
Traaangggg!
Cahaya
terang disertai suara menggaung merobek Kegelapan malam, dibarangi oleh lima
kali suara beradunya senjata dan percikan bunga api. Lima ninja keluarkan suara
kaget dan mundur. Sepasang mata mereka memandang tak berkesip pada kapak
bermata dua yang memancarkan sinar angker di tangan Wiro.
Biasanya
jika lebih dari tiga orang ninja menghantam satu serangan mereka tak akan
pernah luput. Tapi jika kali ini berlima mereka tidak bisa membunuh lawan dalam
satu kejapan mata saja maka ini adalah hal yang sangat luar biasa. Mereka
saling melempar isyarat lalu mulai bergerak memutari Pendekar 212. Tiba-tiba
tanpa bentakan ataupun aba-aba ke limanya menyerbu.
Lima
katana berkiblat ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro salurkan tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Hawa sakti ini terus mengalir ke senjata yang dipegangnya. Dua
mata kapak memancar sinar lebih terang. Ketika senjata itu diputarnya untuk
menangkis lima serangan maut pedang ninja sinar panas menghampar. Suara yang
keluar dari senjata mustika itu laksana gaungan ratusan tawon. Lima ninja
berteriak keras saling memberi semangat.
Tranggg!
Trangggl
Dua
katana mental ke udara. Dua ninja terjengkang ke tanah sambil pegangi tangannya
yang terasa seperti memegang benda panas. Ninja ke tiga di samping kiri seperti
kerbau melenguh sewaktu kaki kiri Wiro menghantam perutnya. Namun gerakan murid
Sinto Gendeng hanya sampai di situ. Dari samping kiri ninja ke empat berhasil
menyusupkan pedangnya ke arah pinggang. Wiro sempat melihat serangan yang bisa
merobek perutnya ini. Cepat dia lepaskan satu pukulan tangan kosong. Ninja di
samping kiri menjerit keras.
Tubuhnya
mencelat mental dan terbanting di tanah mati, muntah darah. Namun sebelumnya
katananya masih sempat menggores paha Wiro hingga koyak dan darah mengucur
deras.
Selagi
Wiro terhuyung-huyung menahan sakit.
Dari
samping kanan dan sebelah belakang dua ninja lagi datang menyerbu. Sambil
jatuhkan diri Pendekar 212 putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk lindungi diri.
Ternyata
dua ninja lainnya yang tadi dihantam Wiro hingga pedang masing-masing mental
saat itu telah bangkit berdiri dan ikut menyerbu. Keduanya bukan mempergunakan
pedang tetapi menyerang dengan lemparan shuriken yaitu senjata rahasia
berbentuk bintang terbuat dari besi!
Putaran
kapak sakti dalam jurus "dibalik gunung memukul halilintar’ yang
dilancarkan Wiro memang berhasil membabat putus tangan ninja di sebelah kanan
namun dirinya sendiri untuk kedua kalinya terkena serangan lawan. Salah satu
dari dua shuriken menancap tepat di lengan kanannya demikian kerasnya hingga
Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggaman nya. Senjata ini jatuh di
tanah berbatu-batu dengan suara berkerontangan. Di saat itu pula serangan baru
datang dari kiri yaitu tusukan sebilah katana.
Wiro yang
terbaring di tanah cepat gulingkan diri.
Karena
tanah sekitar situ banyak batu-batunya maka gerakannya berguling tidak bisa
cepat. Malah tanpa disadari dia berguling ke arah ninja yang tangannya dibikin
buntung dan berleriak kesakitan kalang kabut.
Penuh
dendam dan amarah ninja ini tendangkan kaki kanannya ke dada Wiro.
Dukkkkl
Ujung
runcing sebilah katana yang seharusnya menancap di perut Wiro mengantam batu.
Tendangan ninja buntung tadi menyelamatkan nyawanya dari tusukan pedang itu.
Namun ini bukan berarti dia benar benar selamat karena tendangan ninja itu
membuat tubuhnya mencelat ke arah jurang batu dan tak ampun lagi melayang jatuh
ke dasar jurang dalam kegelapan malam Wiro berusaha berjungkir balik dan
mencari pegangan dalam gelapnya malam. Tapi keadaan kaki dan tangannya yang
terluka membuat dia tidak mampu mencari plan untuk selamat. Malah tubuhnya semakin
deras jatuh ke dasar jurang. Siap disambut oleh batu batu keras yang berusia
ratusan tahun.
*************************
TUJUH
KETlKA
Akira sampai di Puri Sanzen rupanya sesuatu yang menggemparkan telah terjadi di
tempat itu.
Di sebuah
ruangan pendeta Komo terbujur di atas sebuah pembaringan dikelilingi oleh
belasan pendeta agama Zen. Begitu Akira masuk diantar oleh seorang pendeta muda
semua yang ada di situ berpaling padanya. Serta merta semua mereka tunjukkan
wajah kaget bahkan ada yang sampai keluarkan seruan tertahan. Seorang pendeta
lanjut usia, diikuti oleh yang lain-lainnya cepat mendatangi.
"Anak,
aku mungkin saja lupa. Tapi bukankah kau yang bernama Akira, putera Noboru
Kasai yang dikabarkan telah meninggal dunia itu…!’
"Pendeta,
kau benar. Saya memang Akira …" jawab si anak lalu membungkuk memberi
penghormatan pada pendeta yang menyapanya dan juga pada pendeta lain yang ada
di ruangan itu.
"Jadi
ternyata kau masih hidup!" ujar seorang pendeta sambil mengusap rambut Akira.
"Seseorang
memberi tahu bahwa kau ikut jadi korban keganasan ninja."
"Satu
melapetaka besar menimpa rombongan kami. Hanya atas kekuasaan dan perlindungan
Dewa saya bisa selamat …"
"Akira,
aku Pendeta Kamashaki. Menjelang dinihari tadi tiga orang ninja menyusup ke
tempat ini dan membunuh Pendeta Komo …" Kagetnya Akira bukan kepalang. Dia
berpaling ke arah pembaringan ditengah ruangan dan langsung saja lari. Dari
noda-noda darah yang masih melekat di wajah dan leher pendeta ini Akira segera
maklum bahwa sang pendeta menemui ajal memang karena dibunuh. Disamping jenazah
pendeta Komo lama Akira menundukkan kepala dan berdoa untuk arwahnya.
"Pendeta
Kamashaki, siapa orangnya yang mengatakan bahwa saya telah jadi korban
pembunuhan oleh ninja?’ bertanya Akira Kasai sambil berpaling pada pendeta
Kamashaki.
"Hisao
Matsunaga, Wakil Ketua Perguruan Emerarudo.."
"Dewa
Maha besar..” kata si anak pula.
"Saya
malah mengira dirinya juga telah dibunuh ninja. Rupanya beliau sempat melarikan
diri dan datang ke sini lebih dulu dari saya. Dia tentu mengira saya telah jadi
korban. Kami datang ke sini untuk mengambil surat penting yang dulu pernah saya
titipkan pada pendeta Komo …"
"Surat
itu telah kami serahkan pada Hisao Matsunaga. Setelah dia memberi tahu kau
tewas di tangan ninja, kami merasa memang haknya untuk mengambil surat itu.
Apakah kami telah melakukan kesalahan …? tanya pendeta Kamashaki pula.
"Sebetulnya
surat itu hanya saya yang boleh mengambilnya. Tapi pendeta sama sekali tidak
berbuat kekeliruan. Paman Hisao berhak mengambil surat itu karena tidak tahu
kalau saya masih hidup. Kalau begitu saya minta diri, mohon kembali ke
perguruan sekarang juga…"
"Anak,
kau tentu sangat capai. Di samping itu apa yang terjadi tentu telah membuat
jiwamu tergoncang. Kau perlu istirahat dulu di sini beberapa waktu
lamanya."
"Terima
kasih pendeta. Tapi jika kau tidak keberatan saya memilih cepat-cepat kembali
…"
"Kalau
kami boleh bertanya," ujar seorang pendeta pula.
"Apa
isi surat penting dalam amplop kuning itu?"
"Surat
pernyataan siapa yang akan menjadi pewaris jika Ayahanda berhalangan
melanjutkan jabatan sebagai Ketua Perguruan …" Pendeta Kamashaki memegang
bahu Akira.
"Anak,"
katanya.
"Jika
kau memang memilih pulang sekarang juga, kami tidak bisa menahan. Hanya sebelum
pergi coba kau ceritakan apa yang telah terjadi di Perguruan "Malam
kemarin perguruan kami diserbu ninja Ayah dibunuh..!” Akira lalu menceritakan
apa yang terjadi di Perguruan Emerarudo.
"Besok
jenazah Ayahanda akan diperabukan.
Saya juga
sedih sekali melihat bahwa pendeta Komo ikut tewas di tangan ninja. Saya
menduga keras ini ada sangkut pautnya dengan surat pewarisan itu. Dan saya
merasa bersyukur paman Hisao telah mendapatkannya Mengenai sahabat saya Keno,
karena puri Sanzen lebih dekat dari perguruan, apakah saya boleh minta tolong
agar jenazah sahabat saya itu diurus …?”
"Kau
tak usah kawatir. Kami akan mengurusnya dan menyerahkan sebagian abunya padamu
…" kata seorang pendeta muda.
"Saya
sangat berterima kasih," kata Akira lalu membungkuk dalam-dalam. Pendeta
Kamashaki kemudian berkata.
"Hanya
beberapa saat setelah Wakil Ketua Hisao Matsunaga menerima surat itu, di puri
datang seorang gadis bernama Akiko Bessho. Kau kenal padanya? ”
"Saya
berusia sepuluh tahun ketika Ayah memperkenalkannya pada saya. Kalau tidak salah
dia adalah anak murid seorang pandai yang diam di Gunung Fuji .. ”
"Gadis
itu melihat Wakil Ketua Perguruan di perjalanan lalu mengikuti sampai ke puri.
Karena dia memang dalam perjalanan menuju Perguruan untuk melayat maka Akiko
Bessho meninggalkan tempat ini bersama-sama wakil Ketua Perguruan …"
"Pendeta
Kamashaki, saya berterima kasih kau dan para pendeta di sini telah banyak
membantu. Saya minta diri sekarang …"
"Dua
orang pendeta akan mengantarkanmu. Sekaligus sebagai wakil kami untuk melayat
dan menghadiri upacara perabuan…"
Akira
Kasai membungkuk lalu dia memegang tangan pendeta Komo yang telah dingin itu.
Setelah membungkuk sekali lagi, diantar oleh dua orang pendeta anak ini keluar
dari ruangan itu.
*************************
MUNCULNYA
Akira Kasai malam itu diantar oleh dua pendeta Zen dari puri Sanzen membuat
geger tapi juga. menggembirakan semua orang yang ada di Perguruan Emerarudo.
Betapakan tidak. Semula, sesuai keterangan Wakil Ketua Hisao Matsunaga anak itu
ikut jadi korban penyerangan ninja. Satu rombongan khusus telah pula dikirim
untuk mengambil jenazahnya. Ternyata dia masih hidup.
Hisao
Matsunaga sampai berkaca-kaca kedua matanya dan memeluk erat-erat Akira Kasai.
"Dewa
Maha Besar. Kami semua mengira kau sudah tewas Akira. Aku sendiri sempat
melihat mayatmu di dalam tandu walau cuma dari kejauhan. Lalu aku cepat-cepat
menuju Puri Sanzen, kawatir kalau- kalau ninja menyerbu pula ke sana. Ternyata
memang betul.
Untung
saja mereka tidak mendapatkan amplop kuning berisi surat warisan itu. Tetapi
untuk itu pendeta Komo terpaksa mengorbankan nyawanya …"
"Jadi
benar rupanya mereka menginginkan surat warisan itu. Tapi untuk apa …?"
tanya Akira dengan suara perlahan.
"Sekarang
tak usah kawatir lagi. Surat itu sudah ada di tanganku. Sebentar lagi isinya
akan dibacakan di depan semua pengurus dan anggota perguruan serta para tamu
yang datang melayat. Sekarang kau perlu membersihkan diri dan istirahat
sebentar. Masuklah ke kamarmu …"
Ketika
Akira hendak menuju kamarnya, dua pendeta Zen segera mengikuti. Tapi ditegur
oleh Shigero Momochi dengan nada kasar. Salah seorang pendeta membungkuk lalu
menjawab.
"Saya
ditugasi oleh pendeta Kamashaki untuk menjaga dan mengawal anak itu …"
Marahlah Shigero Momochi mendengar kata-kata sang pendeta. Dengan suara lantang
dia berkata.
"Pendeta,
kau dengar baik-baik ya! Anak itu berada di perguruan kami, di rumah sendiril
Perlu apa dikawal dan dijaga? Ini tempat aman! Jangan memandang rendah kami
orang-orang Emerarudo. Tempat ini bukan Puri Sanzen dimana kalian bisa berlaku
semaunya ..!’
Paras dua
pendeta Zen itu tampak menjadi merah. Yang satu menjawab. "Kami hanya
menjalankan perintah pimpinan ..!’
"Kalau
menjalankan perintah pimpinan kalian cukup di puri kalian saja, bukan di sini!
Kalian tidak punya hak dan kekuasaan apa-apa di tempat in?”
"Jika
begitu harap maafkan kami …" Hisao Matsunaga datang menghampiri. Sambil
batuk-batuk dan mengusap dadanya dia berkata.
"Dua
sahabat dari Puri Sanzen dan Wakil Ketua Shigero Momochi, kita semua ini hanya
keliru prasangka belaka. Setelah apa yang terjadi dengan rombongan kita di
tengah perjalanan menuju Puri Sanzen, lalu ditambah dengan apa pula yang
terjadi di puri sana, para sahabat pendeta Zen rupanya ingin ikut membantu
menjaga keselamatan kita semua. Aku mewakili perguruan mengucapkan terima
kasih. Namun dengan segala kerendahan hati kami meminta agar para pendeta yang
adalah tamu-tamu kami terhormat, tidak perlu mencapai kan diri ikut
berjaga-jaga."
Dua pende!a
Zen anggukkan kepala lalu membungkuk dan kembali ke tempat duduk yang
disediakan.
Hisao
Matsunaga berpaling pada Akira dan memberi tanda agar anak itu melanjutkan
langkah menuju kamarnya.
Kemudian
sambil memegang bahu Shigero Momochi dia berkata.
"Dua
pendeta itu memang berlaku bodoh. Tapi kita jangan ikut-ikutan bodoh. Semua
persoalan bisa diselesaikan lebih baik kalau ditangani dengan sabar dan sikap
sopan …"
"Aku
orang pemabokan jadi mana bisa sabar dan sopan!" sahut Shigero Momochi
seraya melangkah pergi.
Hisao
Matsunaga hanya bisa tersenyum lalu menghela nafas dalam sambil usap-usap
dadanya. Menjelang tengah malam di hadapan para pengurus dan anggota perguruan
Emerarudo serta semua tamu yang hadir, seorang sesepuh perguruan membacakan isi
surat warisan yang diterima Hisao Matsunaga dari pendeta Kamashaki di Puri
Sanzen. Sesuai apa yang terlulis di surat pewarisan yang ditetapkan oleh
almarhum Noboru Kasai sebagai Ketua pewaris adalah Hisao Matsunaga.
Pengumuman
ini diterima semua orang dengan perasaan lega dan gembira. Berarti besok
upacara perabuan jenazah Noboru Kasai dapat dilaksanakan tanpa suatu halangan.
Ketika
pengurus tua perguruan hendak memasuk kan surat warisan itu ke dalam amplop
kuning kembali Akira Kasai membuat gerakan seperli hendak berdiri dari tempat
duduknya dan melangkah ke mimbar. Hisao Matsunaga yang duduk di sebelahnya
cepat mendampingi.
"Akira-san,
apakah ada sesuatu yang hendak kau sampaikan … ?
"Paman
Hisao ada sesuatu yang tidak benar …"
"Ah,
hal apakah yang tidak benar itu Akira?"
"Saya
tidak dapat memastikan sebelum melihat sendiri surat warisan yang barusan
dibacakan itu …"
"Tentu
saja kau boleh melihatnya. Aku akan meminta surat itu dari pengurus yang
barusan membacanya. Begitu maumu … ?"
"Kalau
Paman Hisao tidak keberatan …"
"Tentu
saja aku tidali keberatan …" jawab Hisao Matsunaga lalu menghampiri orang
tua yang membaca kan surat warisan itu dan mengambil suratnya. Hisao kembali
pada Akira. Surat dalam amplop dikeluarkannya terus diserahkan pada Akira.
"Silahkan
dibaca sendiri Akira. Lalu tunjukkan padaku dimana kesalahannya …"
Akira
Kasai membaca surat itu sampai dua kali dan menelitinya depan belakang. Dalam
hati anak ini berkata. "Aku ingat betul. Waktu ayah memasukkan surat ini
ke dalam amplop kuning, setetes dawat tertumpah di sudut kiri surat. Tapi di
surat ini sama sekali tidak ada noda dawat itu..!’ (dawat = tinta)
"Akira-san,
kau sudah membaca Surat itu …?"
"Sudah
Paman Hisao …"
"Kau
menemukan sesuatu …?
"Maafkan
saya. Saya mungkin keliru. Mungkin bukan surat ini yang saya maksudkan …"
Hisao
Matsunaga tersenyum. "Akira-san, kau mungkin masih terlalu capai. Besok
akan ada upacara perabuan yang panjang. Sebaiknya kau masuk ke kamar tidur dan
beristirahat."
"Saya
rasa memang begitu..!’ kata Akira pula.
Lalu
cepat-cepat anak ini meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya.
Di dekat
sebuah jambangan besar Akira Kasai hentikan langkahnya. Di situ dilihatnya
tegak seorang gadis berpakaian serba biru berwajah cantik. Agaknya gadis ini
berdiri di situ sengaja menunggu Akira.
"Maafkan
saya, bukankah saya berhadapan dengan nona Akiko Bessho? berucap Akira begitu
sampai di hadapan si gadis. Lalu dia membungkuk memberi
hormat.
"Adik
Akira, kau rupanya masih ingat diriku. Akuturut berduka atas meninggalnya
Ayahmu …" Akiko Bessho lalu membungkuk.
"Terima
kasih..: jawab Akira. Lalu dia terdiam.
"Kau
sepertl tengah memikirkan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu..?"
Dalam
hati Akira membatin. "Aku tidak tahu banyak tentang gadis ini. Tapi
mungkinkah dia bisa dipercaya?" "Adik Akira,.kalau tak ada yang
hendak kau katakan aku akan kembali ke tempat upacara …"
"Sebetulnya
memang ada. Tapi di sini saya rasa tidak aman … Temui saya setelah pembacaan
doa kesembilan di samping gudang sebelah timur …"
"Saya
akan menemuimu..!’ Baru saja Akiko hendak melangkah tiba-tiba dari empat
penjuru kawasan perguruan terdengar dentangan lonceng.
"ltu
lonceng tanda bahaya!" kata Akira. Anak ini serta merta lari ke tempat.
upacara sembahyang. Akiko Bessho mengikuti. Di pelataran besar di depan meja
sembahyang mereka melihat empat orang ninja tegak dengan kaki terkembang.
Masing-masing mencekal katana. Dua orang diantara mereka memanggul sesosok
tubuh yang agaknya sudah lama kaku alias sudah jadi mayat!
*************************
DELAPAN
PENDEKAR 212
Wiro Sableng seolah merasa sudah putus nyawanya padahal saat itu tubuhnya masih
melayang di udara dan yang pasti sesaat lagi baru akan menghantam dasar batu
jurang sedalam hampir seratus kaki itu. Dalam kegelapan malam tiba-tiba entah
dari mana datangnya puluhan benda berbentuk segitiga terbuat dari kain melesat
ke arah Wiro. Kain segitiga ini tak bakal mampu melesat demikian derasnya kalau
tidak dicanteli setangkai besi lancip. Sang pendekar tidak tahu apa yang
terjadi atas dirinya. Dia hanya mendengar suara sett… settt banyak sekali. Lalu
dalam gelapnya malam samar-samar dia melihat ada benda aneh berkelebat ke arah
dirinya dan tahu-tahu sekujur pakaiannya sudah disisipi puluhan kain segitiga.
Puluhan
kain-kain yang menempel dipakaiannya itu membentang dan berkibar deras.
Bersamaan dengan itu Wiro merasakan kecepatan jatuhnya berkurang Tubuhnya
seperti melayang! Puluhan kain segitiga yang berkibar kencang seolah melawan
arus menahan jatuh dirinya. Ketika dia akhirnya mencapai dasar jurang, tubuhnya
memang masih terbanting sakit namun tak ada tulangnya yang patah, dan tak ada
luka-luka dideritanya.
Sesaat
Wiro seolah tak percaya. kalau dia masih hidup.
Perlahan-lahan
dia mencoba duduk. Dua buah benda runcing menyengat pantatnya hingga pemuda ini
tersentak kesakitan. Dirabahnya bagian belakang tubuhnya, lalu dada dan perut.
pakaiannya. Dua buah benda yang menempel di . pakaiannya dicabutnya. Dabm
gelapnya dasar lubang perlahan-lahan matanya mulai mampu melihat dua benda yang
barusan dicabutnya.
"Bendera
Darah!" seru Pendekar 212 hampir tercekat. Dia memandang berkeliling.
Dinding dan dasar jurang batu kelihatan menghitam.
"Tak
ada gerakan, tak ada suara. Apa benarbenar tak ada manusia di sini?" Wiro
menggosok kedua matanya, memandang berkeliling sekali lagi.
"Dimana
mahluk itu bersembunyi? Beberapa hari lalu dia inginkan jiwaku, sekarang
mengapa dia menyelamatkan diriku? Aku harus keluar dari jurang celaka ini! Tapi
agaknya harus menunggu sampai pagi.
Sampai
terang..!”
Satu
persatu Wiro cabut bendera segi tiga yang menyusup di sekujur pakaiannya sambil
menghitung.
"Enam
puluh sembilan bendera! Gila! Bagaimana mahluk itu bisa melemparkan sebanyak
itu dalam waktu begitu singkat?! Luar biasa! Kalau tadi dia ingin membunuhku
pasti mudah saja baginya." Wiro garukgaruk kepalanya.
"Walau
sebelumnya dia ingin membunuhku tapi saat ini aku harus berterima kasih
padanya!" Wiro lalu melompat ke atas sebuah batu besar. Dari tempat
ketinggian ini dia berputar, memandang kesetiap sudut jurang. Tetap saja dia
tidak melihat apa-apa kecuali batu-batu menghitam.
"Manusia
bendera, jika kau tidak mau muncul tak jadi apa! Aku benar-benar berterima
kasih atas pertolonganmu!" Wiro berseru. Dia jadi merinding ketika suara
teriakannya itu menggema di dinding dan jurang batu lalu bergaung
berulang-ulang.
"Cukup
sekali saja aku berteriak. Tak mau menjawab ya sudah. Terpaksa aku menunggu
sampai pagi. Kalau tak ada jalan keluar dari dasar jurang berarti aku akan mati
perlahan-lahan di tempat ini. Eh, janganjangan manusia bendera itu sengaja
hendak membunuhku dengan cara begini!" Wiro garuk-garuk kepala lagi lalu
duduk di batu.
Sesaat
dia memperhatikan puluhan Bendera Darah yang bertebaran di depannya. Tiba-tiba
dia merasa ada hembusan angin halus disampingnya. Dia berpaling. Tak ada
apa-apa. Lalu ada bau harum masok ke penciumannya. Wiro ingat bau itu.
"Pasti
dia!" katanya dalam hati. Dia berpaling ke kiri, ke kanan. Lalu diputarnya
tubuhnya ke belakang!
Murid
Shinto Gendeng ini hampir berseru kaget – ketika di hadapannya kini dalam
kegelapan malam tegak mahluk itu. Dia melompat bangkit dengan cepat.
Si
manusia bendera! Seperti keadaannya yang dilihat Wiro tempo hari, mahluk ini
sekujur tubuh mulai dari kaki sampai kepala tertutup ratusan bendera merah
berbentuk segi tiga. Hanya sepasang matanya saja yang tersembul. Berhadapan
begitu dekat di atas batu Wiro melihat sepasang mata bening memandang sedingin
salju tepat-tepat ke arahnya.
Tanpa
berani berlaku lengah Wiro tundukkan kepala dan berkata. "Tuan penolong,
aku berterima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku, kalau tidak mati konyol
jatuh kedasar jurang batu ini!”
Orang
yang diajak bicara tidak menjawab.
Wiro
membungkuk. Puluhan bendera yang bertebaran di batu diambilnya lalu
diserahkannya pada mahluk di hadapannya.
"Benderamu,
ambillah. Sayang kalau dibuang begitu saja..!”
Manusia
bendera keluarkan tawa mengekeh. Dua tangannya bergerak mengambil enam puluh
sembilan buah bendera. Dengan kecepatan luar biasa, entah bagaimana caranya
semua bendera itu disisipkannya ke pakaiannya. Diam diam otak murid Sinto
Gendeng bekerja.
"Jika
mahluk ini berada di dasar jurang berarti ada jalan keluar masuk tempat
ini," pikirnya. Di hadapannya mahluk bendera masih tertawa. Dengan
perasaan heran dan tidak enak Wiro bertanya.
"Kau
masih tertawa terus. Ada apakah…?"
”Kau
mengira aku telah menyelamatkan nyawamu…? mahluk itu bertanya.
"Dia
masih saja mempergunakan suara dari perut.
Sengaja
menyembunyikan suaranya yang asli," membatin Wiro. Lalu dia berkata.
"Kenyataannya
memang begitu. Dengan benderabenderamu kau membuat aku tidak amblas jatuh ke
dasar jurang ini!"
"Orang
asing, aku sama sekali tidak menyelamatkan nyawamu. Aku hanya mengulur saat
kematianmu!"
Wiro
melengak kaget mendengar kata-kata itu.
"Apa
maksudmu manusia bendera?"
"Aku
tidak ingin kau mati jatuh ke dalam jurang.
Aku ingin
membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri!
Kau
dengar?!"
"Aku
dengar, Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini?!" tanya
Wiro "Aku masih memandang seseorang …" jawab manusia bendera sambil
memandang ke jurusan lain.
"Nona
Akiko Bessho?" tanya Wiro pula.
"Kau
sudah tahu. Mengapa bertanya?
"Punya
hutang budi apa kau dengan gadis itu hingga tidak segera membunuhku hanya
karena memandang dirinya?"
"Urusanku
dengan orang lain apa perdulimu?" jawab manusia bendera.
"Pada
pertemuan pertama kau bilang membunuhku karena aku membunuh nenek Arashi.
Perempuan sakti itu memang nenekmu sungguhan?"
"Aku
datang kemari bukan untuk ngobrol denganmu.
Tapi ada
satu hal yang akan kukatakan. Kau telah
membunuh
seorang ninja dan membuat buntung tangan
ninja
lainnya. Berarti kau tak bisa lari dari kematian.
Ninja
akan mengejarmu sampai akhirnya mereka berhasil membunuhmu!"
"Kalau
begitu lebih enak mati di tangan ninja dari pada di tanganmu!"
Manusia
bendera melengak dan menatap tajam pada Wiro. Lalu kembali dia tertawa
mengekeh. Sambil mendongak manusia bendera berkata. "Jangan harap kau bisa
mati enak di tangan ninja. Mereka akan membunuhmu secara perlahan-lahan,
sedikit demi sedikit…"
Manusia
bendera tertawa panjang. Begitu hentikan tawanya dia berkata.
"Aku
akan meninggalkan tempat ini. Kau mau mengikutiku …?"
"Jika
kau tidak menjebak dan benar-benar ingin aku keluar dari sini tentu saja aku
ikut. Tapi kenapa kau menawarkan jasa baik lni …?"
"Bukankah
kau lebih suka dan memilih mati di tangan ninja dari pada di tanganku Hik … hik
… hik …"
Manusia
bendera tertawa lagi lalu seperti tidak acuh dia melangkah tinggalkan tempat
itu. Wio gelengkan kepala, akhirnya melangkah mengikuti. Tapi dari mulutnya
keluar rintihan kesakitan. Dia haru sadar kalau paha kirinya luka besar dan di
lengan kanan masih menancap senjata rahasia ninja berbentuk bintang.
Manusia
bendera berpaling. "Kau terluka?"
Wiro
kertakkan rahang. Dia menotok urat besar di lengan kanannya sebelum mencabut
shuriken yang menancap di situ. Ketika senjata rahasia itu dicabut dia memang
merasa sakit yang bukan kepalang. Tetapi tak ada darah yang memancur. Dalam
gelap Wiro tak dapat melihat keadaan lengannya hingga dia tak mengetahui apakah
senjata rahasia itu beracun atau tidak.
Manusia
bendera memperhatikan luka di paha kiri Wiro. Lalu berkata. "Aku ada obat
untuk mempertautkan daging yang koyak itu. Kau mau …?
"Kau
mahluk aneh. Sebentar bicara acuh dan kejam. Sekarang malah berbaik hati mau
mengobati diriku. Kalau kau memang rela masakan aku mau menolak. …"
Manusia
bendera cabut sebuah bendera yang tersisip di bahu kanannya. Lalu dia
membungkuk dan dekatkan ujung lancip bendera ke luka di paha kiri.
"Astaga!
Kau hendak menusuk lukaku!" seru Wiro sambil cepat mundur.
"Orang
asing, kau terlalu curiga …"
"Siapa
yang tidak curiga pada orang yang hendak membunuhku!" jawab Wiro.
"Di
dalam besi runcing ini ada rongga berisi obat.
Ujung
lancip besi ada lobangnya. Jika kutiup pangkal besi bendera, obat akan keluar
…"
"Kalau
begitu lakukanlah. Tapi awas kalau kau menipuku!" kata Wiro.
Ketika
manusia bendera itu membungkuk dan meniupkan obat dalam besi bendera, Wiro
dapat mencium bau bagian kepala orang ini yang sangat harum.
Sementara
itu obat yang keluar dari besi bendera terasa sangat sejuk di pahanya yang luka
hingga rasa sakit serta merta hilang.
"Terima
kasih. Kau menolongku untuk kesekian kalinya. Hidup ini sungguh aneh. Dibalik
kebaikan ada hawa kematian. Di balik kematian ada kebaikan …"
Manusia
bendera tak mau bicara lagi. Dia membalikkan badan dan siap melangkah.
"Astaga!"
tiba-tiba Wiro berseru kaget. Dirabanya bagian tubuh sekitar pinggang. Apa yang
dicarinya tidak ditemukan. Wajahnya menjadi sangat pucat. Manusia bendera
tertawa.
"Kau
mencari senjata mustika kapak bermata dua itu… Ninja telah merampasnya sebelum
kau jatuh terjungkal ke dalam jurang ini …"
"Aku
ingat. Kau betul! Tapi bagaimana kau bisa tahu? Yang ditanya tak menyahut
melainkan melanjutkan langkahnya yang barusan terhenti. Berjalan kira-kira dua
ratus kaki ke timur kelihatan sebuah terowongan gelap. Manusia bendera masuk ke
dalam terowongan batu ini. Tak lama kemudian sekeluarnya dari terowongan pendek
itu Wiro dapatkan dirinya berada dalam rimba belantara.
"Dari
sini kau bisa cari jalan sendiri …" Manusia bendera berkata lalu siap
berkelebat pergi.
"Tunggu
dulu … !" panggil Wiro.
"Ada
apa?!"
"Nona
Akiko Bessho memanggilmu dengan nama Yori. Apa betul itu namamu?"
"Kau
bisa tanyakan sendiri padanya kalau bertemu nanti."
"Aku
mencium bau wewangian di tubuhmu. Hanya orang perempuan yang pakai minyak
wangi. Apakah kau….."
Manusia
bendera tertawa panjang. "Jaman sekarang kaum lelaki juga banyak yang suka
bersolek dan pakai segala macam wewangian …!" Habis berkata begitu dia
gerakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian mahluk aneh itu lenyap dari hadapan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
*************************
SEMBILAN
KITA
kembali ke ruang besar Perguruan Emerarudo, tempat pembicaraan doa pengantar
jenazah menjelang diperabukan. Suara lonceng yang bertalu-talu membuat sirap
suara mereka yang berdoa. Ketegangan berat menggantung di udara. Di depan meja
sembahyang besar dua orang ninja yang memanggul dua sosok jenazah tiba-tiba
melemparkan jenazah-jenazah itu ke atas lantai hingga mengeluarkan suara
bergedebukan yang membuat orang – banyak jadi merinding.
Para
pengurus dan semua anggota perguruan yang ada di tempat itu sama keluarkan
seruan keras ketika mereka mengenali bahwa jenazah yang dibawa dan dilemparkan
ninja ke lantai ternyata adalah mayat dua orang murid perguruan tingkat atas.
Selain bekasbekas luka bacokan, pada kening kedua orang ini menancap sebuah
shuriken. Warna biru yang menggembung pada daging dan kulit kening menandakan
bahwa senjata rahasia itu mengandung racun mematikan.
Enam
orang pengurus perguruan secara serentak melompat dari atas tatami yang mereka
duduki. Yang paling beringas adalah Wakil Ketua Shigero Momochi.
Dua orang
anak murid perguruan itu ada!ah yang disuruhnya untuk menemui pimpinan para
ninja guna mencari keterangan siapa yang telah membunuh Ketua Noboru Kasai
serta mengobrak-abrik ruangan rahasia.
Sekarang
mereka di bawa kembali dalam keadaan seperti itu oleh empat orang ninja. Apa
yang telah terjadi?
"Datang
membawa mayat, melemparkan di depan perjamuan sembahyang ketika orang sedang
berkabung!
Sungguh
satu perbuatan kurang ajar dan tidak beradab!
Apalagi
kalau kalian yang telah membunuh mereka!"
Suara
Shigero Momochi terdengar keras dan lantang.
Dia
bicara sambil tangan kanannya memegang hulu katana yang tergantung di pinggang.
Salah seorang dari empat ninja maju satu langkah.
"Kami
para ninja memang tidak mengenal sopan santun dan peradaban. Tua-tua perguruan
mengirimkan orang untuk menyelidik. Hal itu sama saja dengan mencurigai dan
menuduh bahwa kami terlibat dalam pembunuhan Ketua kalian! Apakah itu satu
tindakan sopan?!”
Shigero
Momochi mendengus. "Kau tahu apa tentang kematian Ketua kami? Serombongan
ninja menyerbu kemari! Membunuh Ketua kami dan berusaha mencuri sebuah surat
penting! Apa kami hanya berdiam diri?!"
"Shigero
Momochi! Siapa yang tidak kenal denganmu? Pengurus Perguruan Emerarudo yang
suka menenggak minuman keras. Pantat botol! Aku tahu kaulah yang memberi
perintah pada ke dua orang itu untuk menyelidik! Kekurang ajaranmu tidak bisa
dimaafkan hanya dengan kematian dua anak buahmu itu!"
"Ninja
jahanam! Katakan apa maumu?!" Sang ninja ganti mendengus. "Kami
datang untuk meminta enam kepala anggota perguruan. Itu sebagai penutup malu.
Terserah apakah kalian akan melakukan harakiri sendiri atau kami terpaksa turun
tangan mengambil enam kepala itu!"
"Kau
boleh punya nyali selangit! Kau tidak sadar sudah masuk ke sarang macan!
Sekalipun Dewa menolong kau dan tiga kawanmu tak bakal bisa keluar hiduphidup
dari tempat ini!" Habis berkata begitu sret! Shigero Momochi cabut
pedangnya. Bersamaan dengan itu sepuluh orang anak buah perguruan melompat pula
dengan katana terhunus.
"Tahan!"
tiba-tibe terdengar satu seruan. Satu bayangan berkelebat. Empat orang ninja di
depan meja sembahyang merasakan sambaran angin keras hingga mereka cepat
mundur. Yang tegak di tengah ruangan ternyata adalah Hisao Matsunaga, Ketua
baru Perguruan Emerarudo.
"Semua
harap menahan diri. Saat ini adalah saat duka berkabung bagi kami orang-orang
perguruan.
Bahkan
doa pengantar jenazah ke perabuan masih belum selesai dipanjatkan. Apakah
diantara kita tidak mungkin berbesar jiwa untuk tidak berbuat onar? Para ninja,
kami merasa kalian berempat cukup berbaik hati untuk mau mengantar jenazah
murid-murid perguruan.
Aku tidak
berusaha mencari tahu siapa pembunuh mereka. Aku tidak akan menuduh kalian
sebagai pelaku.
Aku akan
melupakan segala sesuatu yang bersilang diantara kita asalkan kalian berempat
sudi meninggalkan tempat ini. Aku Ketua Perguruan Emerarudo memohon dengan
hormat …….."
"Mana
bisa seperti itu aturannya. Enak betul!"
Yang
berkata keras itu adalah Shigero Momochi. "Ketua, jangan merendahkan
derajat kita dengan alasan kita sedang berduka! Komplotan manusia-manusia hitam
durjana ini seharusnya sudah sejak lama dibasmi!"
"Shigero
Momochi, ucapanmu selain menghina juga terlalu takaburl Aku harap kau mau
berlutut dan minta maaf!" kata ninja yang sejak tadi bertindak sebagai
juru bicara.
"Keparat
kurang ajar! Kalau tidak kubuat menggelinding kepalamu rasanya tidak berguna
hidup ini!"
Dari
dalam saku kimononya Shigero Momochi keluarkan sebotol minuman keras. Minuman
ini ditenggaknya sampai habis. Botol kaleng yang kosong kemudian
dibantingkannya ke lantai ruangan. Tampangnya kini kelihatan menjadi merah
beringas. Bahunya naik ke atas. Dua tangannya menggenggam katana. Sepuluh orang
murid perguruan bergerak maju selangkah demi selangkah. Empat ninja tak tinggal
diam. Empat bilah pedang mereka berkilauan dibawah sorotan lampu minyak.
Di saat
yang sangat menegangkan itu tiba-tiba dua orang pendeta Zen berdiri dan
melangkah cepat ke depan meja sembahyang.
"Kami
dua orang tamu yang tak ingin melihat tuan rumah dalam saat berkabung harus
turun tangan pula untuk menyelesaikan kericuhan. lzinkan kami mewakili tuan
rumah …." Pendeta Zen yang bicara berpaling pada Hisao Matsunaga lalu
membungkuk. Dua pendeta ini adalah yang mengantarkan Akira kembali malam tadi
ke perguruan.
"Pendeta
tidak tahu diri! Pekerjaan kalian hanya menyangkut urusan keagamaan! Mengapa
sekarang berlagak sepelti dua jago silat?! Kau dan kawanmu bertindak lancang!
Tapi tidak apa! Kami sudah lama memperhatikan tindak tanduk para orang suci
agama Zen yang sering mencampuri urusan dan kepentingan kami. Malam ini kalian
rupanya mau menjadi tumbal pendahuluan mewakili kawan- kawan kalian!"
bentak ninja hitam.
"Dua
pendeta!" seru Hisao Matsunaga dengan cepat.
"Terima
kasih atas perhatian kalian. Tapi semua ini adalah urusan perguruan. Biar kami
yang menyelesaikan secara baik-baik." Mendengar ucapan Ketua pergunran
itu, dua pendeta Zen segera menjura, menghaturkan permintaan maat lalu cepat
kembali ke tempat duduk masing-masing.
Ninja di
sebelah depan menyeringai di balik kain hitam penutup wajahnya. "Dua
pendeta Zen. Kalian berhutang nyawa pada Ketua Perguruan! Kalau tidak dia yang
menolak, niscaya kalian berdua sudah terkapar jadi bangkai tak berguna!"
Dua
pendeta Zen kelihatan merah wajah masing masing. Tapi ke duanya tak berkata
apa-apa dan mengambil sikap menundukkan kepala.
"Mungkin
ada lagi yang berbaik hati hendak mewakili tuan rumah?!" berseru ninja
paling depan. Tiba tiba terdengar suitan keras disertai berkelebatnya satu
bayangan. Di lain kejap satu sosok terbungkus pakaian serba merah mulai dari
kaki sampai ke kepala tegak di tengah ruangan, menghadap ke arah empat orang
ninja.
Dari
wajahnya hanya sepasang matanya yang kelihatan, memandang tak berkesip. Sebilah
katana menyembul dari balik punggungnya.
"Ninja
Merah!" seruan itu keluar dari hampir semua mulut.
"Selama
dunia terkembang baru sekali lni aku melihat ada ninja merah!" kata
seseorang dengan mata terbelalak. Shigero Momochi yang hendak meradang karma
merasa didahului orang juga ikut terkesima. Dia berpaling pada Hisao Matsunaga.
Ketua baru Perguruan Emerarudo ini sendiri tampak tegak tertegun.
"Siapa
kau?!" bentak ninja hitam sementara tiga kawannya tegak dengan sikap
waspada penuh.
"Tadi
kau bertanya siapa lagi wakil tuan rumah.
Nah aku
adalah wakil yang kau tanyakan itu! Aku sengaja capai-capai datang ke sini,
jadi jangan kecewakan diriku!"
"lni
tidak masuk akal! Tak pernah ada ninja merah! Buka penutup kepalamul Aku mau
lihat tampangmu!" Ninja merah tertawa pendek.
"Apakah
kau mau membuka penutup kepalamu lebih dulu!"
"Kurang
ajar! Bersiaplah untuk mati!" bentak ninja hitam lalu dia melompat ke arah
ninja merah sambil hantamkan ninjatonya. Tangan ninja merah bergerak ke
punggung. Sebilah pedang berkiblat di udara, menangkis dengan keras pedang di
tangan ninja hitam.
Kalau
tidak merasa malu disentak lawan dalam satu kali gebrakan ninja hitam hampir
mengeluarkan seruan tertahan. Bentrokan senjata dengan ninja merah bukan saja
membuat tangannya terasa pedas dan pedangnya hampir terlepas, tetapi juga
menyebabkan kedua lututnya tertekuk. Dia merasa seolah ada kekuatan besar
menekan tubuhnya dari atas. Kalau tidak cepat dia melompat mundur sambil
memasang kudakuda baru, pasti dirinya jatuh terhenyak di depan meja sembahyang.
"Mahluk
merah ini memiliki tenaga luar biasa.
Jurus ilmu
pedangnya aneh….." Ninja ini seperti terpanggang ketika di depannya ninja
merah tertawa mengekeh dan mengejek.
"Ninja
jelek, masih mau terus atau berlutut saja minta ampun!"
"Mahluk
takabur! Sekalipun kau punya tujuh kepala selusin tangan ninja tak pernah
tunduk dan takut!" Pedang di tangan ninja hitam melesat ke udara, membeset
ke dada, menusuk ke perut dan merobek lagi ke dada.
Serangan
ninja sulit dikelit, hampir tak pernah gagal. Ninja merah berseru keras.
Tubuhnya melesat ke atas, jungkir balik dan hantamkan kaki kanan ke arah kepala
ninja hitam waktu melayang turun.
Meleset.
Malah pedang ninja hitam membeset ke arah dada membuat ninja merah berseru
kaget lalu cepat membuang diri ke samping. Begitu kakinya menginjak lantai Satu
tusukan menyambar dengan ganas.
"Hah!"
Hebat sekali. Ninja merah masih mampu berkelit. Tapi ketika ujung pedang
mencuat dan membalik ke arah dadanya, ninja merah terlambat mengelak. Ujung
pedang menyambar robek dada pakaiannya. Masih untung kulit atau daging dadanya
tidak ikut tersambar.
Dengan
nafas agak mengengah ninja merah tegak sambil letakkan tangan kiri di pinggang.
Kedua kakinya terkembang.
"Aneh
…." kata Hisao Matsunaga dalam hati.
"Kuda-kudanya
aneh. Dia memegang katana hanya dengan sebelah tangan. Siapa ninja tunggal ini
sebenarnya." Keanehan yang dilihat oleh Hisao itu juga diketahui oleh
semua orang yang ada di situ. Mereka sama bertanya-tanya dalam hati siapa
adanya ninja merah ini.
"Ninja
jelek, kau merasa sudah cukup atau masih mau terus?" Pertanyaan ninja
merah benar-benar sangat merendahkan ninja hitam. Di dahului suara menggembor
ninja hitam menyergap dengan serangan berantai.
Katana
dalam genggamannya seolah lenyap. Berubah menjadi sinar keputihan yang mencuat
ke berbagai bagian tubuh ninja merah. Setelah menghindar dengan sebat, ninja
merah keluarkan suara suitan keras. Lalu tubuhnya berkelebat menyongoong
serangan lawan.
Trang ….
trang …. trang!
Tiga kali
dua katana bentrokan di udara. Ninja hitam berseru kaget. Pedangnya lepas dari
tangan. Dia cepat jatuhkan diri. Ketika bangkit sebuah kusarigama tahu-tahu
sudah tergenggam di tangannya. Rantai yang ujungnya dicanteli senjata berbentuk
ganco ini diputar dua kali di atas kepala lalu dengan kecepatan kilat membeset
ke bawah.
"Jebol
perutmu Brojol ususmul” teriak ninja hitam.
"Perut
bapakmu!" Usus Ibumu!" balas berteriak ninja merah. Pedang di tangan
kanannya meluncur ke depan. Sengaja disusupkan masuk ke dalam gelungan
kusarigama.
"Ha
… ha …. Kau menjebak diri sendiri!" teriak ninja hitam. Lalu dengan sekuat
tenaga dia tarik kusarigama-nya. Maksudnya hendak membetot lepas pedang di
tangan lawan. Tapi alangkah terkejutnya ketika cepat sekali pedang ninja merah
justru melesat terus dan tahu-tahu ujung katana itu sudah menempel di
tenggorokan-nya, membuatnya melangkah mundur.
Wajahnya
yang tersembunyi di balik kain hitam pucat pasi. Jantungnya seperti mau
tanggal. Langkah mundurnya tertahan ketika pinggangnya membentur meja
sembahyang.
"Dasar
ninja kurang ajar! Kalau mau sembahyang jangan memantati meja! Putar tubuhmu!”
bentak ninja merah. Pedangnya digerakkan secara aneh, mambuat tubuh ninja hitam
jadi terputar.
Dalam
suasana lain mungkin semua orang akan tertawa membahak melihat kejadian yang
lucu itu.
Namun
saat itu semua dihimpit oleh rasa tegang hingga tak ada yang bersuara ataupun
bergerak Ninja merah dekatkan kepalanya ke wajah ninja hitam. Tanpa didengar
oleh orang-orang yang ada di situ, dengan suara perlahan dia berkata.
"Seorang teman kehilangan senjata berbentuk kapak bermata dua. Ada bukti
senjata itu berada di tangan komplotanmu, Lekas jawab atau kugorok lehermu saat
ini juga!"
"Ninja
tidak takut mati! Kau boleh gorok leherku!" menyahuti ninja hitam.
"Kurang
ajar! Nyalimu boleh juga! Aku urung menggorok lehermu! Kau akan kubiarkan
hidup. Tapi kedua matamu kubuat buta lebih dulu!" Tangan ninja merah yang
memegang pedang bergerak ke atas. Ninja hitam yang masih memegang ujung rantai
besi coba bertahan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya sampai tubuhnya
keringatan. Ternyata dia tak mampu melawan tenaga lawan.
"Mata
kananmu lebih dulu!" kata ninja merah.
Ujung
pedang bergerak ke arah mata kanan ninja merah Tiba-tiba tangan kiri ninja
hitam menyelinap ke sisi.
Sesaat
kemudian sebuah belati kecil yang tergenggam di tangan kiri itu menghunjam
deras ke perut ninja merah.
"Belati
beracun!" teriak beberapa orang.
Ninja
merah tampk tenang. Dia bukannya tidak tahu apa yang dilakukan lawan. Begitu
ujung belati hampir menyentuh pakaian merahnya dan siap menjebol perutnya,
tangan kiri ninja merah berkelebat. Ninja hitam berteriak kesakitan ketika
lengannya yang memegang pisau dicekal lawan. Dia merasa seperti dijepit dengan
jepitan besi. Ketika dia coba berontak terasa ada tekanan aneh pada urat besar
di pergelangan tangan Lalu mendadak sontak sekujur tangan kirinya menjadi kaku!
Sementara itu ujung katana di tangan ninja merah sudah rampal di depan mata
kanannya.
"Bagaimana,
kau mau memberi keterangan atau tidak?!" kertak ninja merah. Nyali ninja
hitam jadi leleh.
"Aku
tidak tahu menahu soal senjata yang kau tanyakan itu. Ada tiga komplotan besar
ninja di daerah ini …."
"Sebutkan!"
"Ninja
Nara, Ninja Iga dan Ninja Okazaki…."
"Kau
dari ninja mana?!"
"Nara
….:”
Ninja
merah tertawa perlahan. "Manusia kentut busuk! Kau kira aku bisa kau
akali! Setahuku ninja Nara tidak pernah memiliki shuriken beracun seperti yang
kalian pergunakan untuk membunuh dua murid perguruan itu!" Pedang di
tangan ninja merah bergerak ke atas.
Craasss!
Ninja
hitam meraung keras. Mata kirinya pecah. Darah muncrat.
"Kau
masih punya kesempatan kurang dari sekejapan mata! Katakan kau gembong ninja
dari mana!"
"I
….. Iga…” jawab ninja hitam.
"Dasar
ninja tolol kalau tadi-tadi kau beri tahu mata kananmu tak akan buta!"
Tiba-tiba tiga buah senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke arah ninja
merah. Dari samping berkelebat satu bayangan. Lalu tring … tring …. !
Dua buah
shuriken mental ke udara dan menancap di loteng ruangan. Shuriken ke tiga
ternyata melesat sangat sebat dan siap menembus dada ninja merah. Orang banyak
menahan nafas. Wajah ninja merah dibalik penutup kepala menyeringai. Tangan
kirinya mencengkram bahu ninja hitam. Tangan kanan yang masih memegang pedang
dan tergelung dalam rantai besi ditarik kesamping. Tubuh ninja hitam bergeser
keras ke kanan. Lalu terdengar jeritnya ketika shuriken beracun menancap amblas
di punggungnya, terus menembus paru-paru sebelah kiri Ninja ini langsung mati
berdiri!
Ninja
merah memandang pada Shigero Momochi yang berdiri di tengah ruangan sembahyang.
Dialah tadi yang telah melompat dan menangkis dua buah senjata rahasia yang
dilemparkan oleh kawan ninja dari lga itu.
"Terima
kasih …. Aku tidak melupakan bantuanmu tadi!" kata ninja merah pada
Shigero Momochi. Tiga ninja hitam yang ada di tempat itu menjadi marah dan
nekad melihat kawan mereka menemui ajal mengenas kan begitu rupa. Ketiganya
melompat dan langsung menyergap ninja merah dengan serangan ganas. Tiga bilah
katana berkiblat di udara mengeluarkan suara berdesing mengerikan.
"Aha,
selain kurang ajar kalian juga ternyata curang!" teriak ninja merah.
Sretttl Dia cabut pedangnya dari gelungan rantai besi berkepala ganco. Tiga
ninja yang menyerbu mengira lawan mereka akan pergunakan senjatanya untuk
menangkis. Cepat-cepat mereka putar arah pedang. Tiga katana itu kini menderu
ke arah tubuh sebelah bawah lawan. Tapi mereka kecele.
Ninja
merah ternyata tidak pergunakan katananya untuk menangkis. Tapi tiba-tiba
mengangkat tubuh ninja yang sudah mati dan memutarnya seperti titiran lalu
dilempar ke arah tiga ninja yang menyerangnya.
Craasss!
Craasss! Craasss!
Tiga
pedang menghantam tubuh mayat di tiga tempat. Lantai ruangan sembahyang
lagi-lagi dikotori dengan darah! Tiga ninja hitam terkesiap kaget tidak mengira
kalau pedang mereka akan menghantam tubuh kawan sendiri walaupun sudah jadi
mayat. Hisao Matsunaga usap mukanya berulang kali sementara yang lainnya
tertegun menyaksikan apa yang terjadi.
Tiga
ninja hitam jadi tambah beringas. Mereka berteriak dahsyat lalu kembali
menyerbu ninja merah.
Yang
diserang siap menunggu dengan pedang melintang di depan dada. Dan lagi-lagi dia
memegang pedang dengan satu tangan yaitu tangan kanan tidak lazimnya cara ninja
memegang senjata, Saat itu Shigero Mamochi tidak mau tinggal diam. Begitu tiga
ninja hendak mengeroyok lagi dia berkelebat masuk ke dalam kalangan
pertempuran. Tapi dia jadi melongo ketika mendapatkan hanya satu lawan yang
tersisa.
Dua ninja
lainnya telah lebih dulu menggeletak di tanah dengan perut dan dada robek.
Keduanya melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
"Maafkan
aku hanya meninggalkan satu korban untukmu!" kata ninja merah pula pada
Shigero Momochi.
Lalu dia
keluarkan suitan keras. Di lain kejap semua orang hanya sempat melihat orang
itu berkelebat satu kali lalu lenyap di ujung ruangan sembahyang.
Shiaero
Momochl memandang mendelik pada satu-satunya ninja yang masih hidup. Ninja satu
ini sebenarnya sudah hampir putus nyalinya. Namun dia sadar tak mungkin lolos
hidup hidup dari tempat itu. Belasan anak murid perguruan dilihatnya telah
mengurung tempat itu. Dengan nekad dia lalu menyerbu ke arah Shigero. Wakil
ketua perguruan yang suka mabok ini memang memiliki ilmu pedang tinggi. Namun
satu lawan satu menghadapi ninja hitam itu dia sempat dibuat repot bahkan robek
lengan kimononya sebelum akhirnya dia berhasil membacok pangkal leher lawan
sampai tewas.
AKIRA
Kasai menghela natas lega. Tapi wajahnya masih gelisah. Dia berpaling pda Akiko
Bessho yang tegak di sebelahnya.
"Ada
empat ninja terbunuh di perguruan. Keadaan semakin rumit…!” kata anak itu
dengan suara perlahan.
"Aku
tahu.,." jawab Akiko.
"Kawan-kawan
mereka bahkan mungkin semua komplotan ninja dl negeri ini akan menyerbu.
Menuntut balas! Aku sahabatmu, aku tidak akan membiarkan kalian diperlakukan
semena-mena. Aku akan melakukan apa saja yang bisa membantu ….. Cuma saat ini
aku juga punya kesulitan …… ."
"Kesulitan
apa?” tanya Akira Kasai.
"Dalam
perjalanan ke sini sebenarnya aku bersama seorang kawan. Seorang pemuda asing
bernama W iro. Begitu melihat Ketua Hisao Matsunaga memacu kuda di malam buta,
aku mengambil keputusan untuk mengikutinya. Pemuda asing itu aku suruh tunggu
di satu tempat. Ketika aku kembalil dari puri bersama Ketua Hisao Matsunaga
kawanku tak ada lagi di tempat penantian. Aku bersama Ketua menyelidik tapi tak
bisa lama karena dia harus cepat-cepat kembali ke sini.
Sebelum
pergi aku menemukan sebuah shuriken menancap di batu. Ninja …. Jangan-jangan
kawanku ltu… .?. telah dibunuh atau diculik oleh ninja …."
"Kau
salah nona Akiko. Aku ada di sini. …" satu suara terdengar. Seorang pemuda
berpakaian dekil dan robek serta berambut gondrong muncul dari balik sebuah
tiang bangunan. Akiko Bessho berpaling dan hampir berteriak ketika melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak di depannya.
"Wiro!
Kukira kau…."
*************************
SEPULUH
Murid
Sinto Gendeng tersenyum. Tapi tiba-tiba wajahnya kelihatan mengernyit.
"Eh,
kau seperti kesakitan…." kata Akiko.
"Saya
lihat ada luka di paha dan lengannya," kata Akira pula.
"Aku
diserang lima orang ninja. Satu berhasil kubunuh. Satunya lagi kubabat buntung
tangan kanannya.
Yang tiga
berhasil membuatku babak belur lalu menendangku sampai jatuh ke dalam jurang
batu …."
"Jatuh
ke dalam jurang batu?! Saya tidak percaya!
Bagaimana
mungkin sekarang kau masih hidup?!" kata Akira Kasa! pula.
"Wiro,
ini Akira Kasai, putera mendiang Ketua Noboru KasaI…." Akiko memperkenalkan.
Wiro
mengangguk lalu membungkuk. Akira Kasai balas menjura lalu menutup mulutnya
menahan tawa.
"Sobat
kecil, mengapa kau tertawa ?” tanya Wiro.
"Caramu
membungkuk seperti orang menahan buang air besar!" jawab Akira pula yang
membuat Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala.
"Wiro,
apa yang dikatakan Akira benar. Jika kau jatuh ke dalam jurang batu bagaimana
kau bisa hidup dan bisa datang ke sini walau dalam keadaan masih terluka?"
"Kau
mungkin tak percaya. Kawanmu bernama Yori itu yang menolongku."
”Yori
….?’
"Manusia
bendera …."
"Hah!
Yori si Bendera Darah! Bukankah dia sebelumnya bermaksud hendak membunuhmu!?’
"Betul.
Tapi agaknya dia begitu takut padamu hingga menangguhkan kematianku."
"Tak
bisa kupercaya."
"Dia
juga yang mengobatiku dan berkata bahwa setelah aku membunuh dan melukai
seorang ninja, nvawaku akan terancam kemanapun aku pergi. Melihat apa yang
terjadi di tempat ini aku merasa beruntung.
Kalau
saja aku datang lebih cepat pasti aku yang jadi sasaran balas dendam
ninja-ninja itu. Walau aku lolos dari lobang jarum kematian namun nasibku jelek
Kapak Maut Naga Geni 212 milikku dirampas kawannya ninja!"
"Ah,
senjata itu bagimu sama saja dengan nyawamu," kata Akiko.
"Nona
Akiko, jangan lupakan diriku. Bukan kalian saja yang punya kesulitan. Saya
juga…”’
"Adik
Akira maatkan aku …."
"Apakah
kita bisa bicara di tempat lain sekarang?"
"Baik,
kita bicara di tempat aman. Kawanku ini akanikut menemani …"
"Tunggu
dulu. Saya tidak kenal pemuda asing ini sebelumnya. Apa dia bisa dipercaya?”
tanya Akira Kasai.
"Kau
bisa mempercayai dirinya seperti kau mempercayai diriku …."
"Terus
terang saya tidak bisa mengatakan apakah saya mempercayaimu dan juga orang ini.
Tapi saya tidak punya orang lain yang bisa diajak bicara…." Lalu Akira
Kasai memutar tubuhnya. Dia berjalan di depan sekali menuju ke arah timur
kawasan perguruan yang luas. Di belakang sebuah bangunan yang dijadikan gudang
dimana keadaan sepi dan agak gelap anak ini berhenti.
"Di
sini aman. Kita bicara di sini saja …." kata Akira. Dia melirik pada Wiro
sebentar seolah masih meragu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
"Bocah
… :’
"Bocah
…. Apa itu?” tanya Akira.
"Di
negeriku bocah artinya anak kecil …"
"Oh
…"
"Kalau
kau kurang percaya padaku, biar aku pergi saja. Nanti aku kembali lagi,"
kata Wiro pula. Lalu dia memutar tubuh hendak meiangkah pergi.
"Tunggu,
saya kira saya bisa percaya padamu seperti saya percaya pada nona Akiko."
"Bagus,
sekarang katakan apa yang hendak kau sampaikan padaku …. ."
"Ini
menyangkut surat warisan pengesahan Ketua yang tadi dibaca oleh salah seseorang
sesepuh perguruan…"
"Ada
apa dengan surat itu?’ tanya Akiko. Anak usia 14 tahun itu memandang dulu ke
kiri dan ke kanan seolah takut ada orang laln mendengar pembicaraan.
Lalu
dengan suara perlahan dia berkata.
"Saya
yakin surat yang dibacakan itu adalah surat palsu."
"Tapi
saya melihat sendiri pendeta Kamashaki menyerahkannya dalam amplop kuning
tertutup pada Hisao Matsunaga di Puri Sanzen …."
"ltu
yang mengherankan," sahut Akira Kasai.
"Lalu
apakah kau punya alasan atau bukti mengatakan surat itu palsu?" bertanya
pendekar 212.
Akira
Kasai mengangguk. "Saya melihat Ayah membubuhkan tanda tangan dan cap
perguruan pada surat pengangkatan pewaris Ketua itu. Waktu itu setetes tinta
jatuh menodai sudut kiri bawah surat. Ayah memaki dirinya sendiri karena
ketotolannya itu. Namun saya lihat Ayah terus saja memasukkan surat itu ke
dalam amplop kuning. Mengikatnya dengan benang, diberi lem dan diberi lak
besar. Surat itu diserahkan pada saya dengan pesan agar saya bersama beberapa
pembantunya menyerahkan surat itu pada pendeta Komo di Puri Sanzen …."
"Kapan
hal itu tejadi?" tanya Akiko.
"Sekitar
satu bulan lalu."
"Akira-san,
kau banyak mengetahui kejadian pada malam waktu Ayahmu dibunuh?’ bertanya Wiro.
Ketika anak itu mengangguk Wiro dan Akiko minta agar dia menceritakan. Sesaat
setelah mendengar cerita Akira, Wiro lantas berkata.
"Ada
kemungkinan Ayahmu karena kurang senang dengan noda tinta di surat warisan,
lalu membuat surat baru mengganti surat yang kau terima?"
"Saya
tidak yakin. Karena surat yang bernoda tinta itu hanya saya simpan satu malam.
Besoknya langsung dikirimkan pada pendeta Komo."
"Melihat
gelagat, Ayahmu seperti tidak mempercayai keamanan di perguruan …" kata
Wiro.
"Saya
tidak mengerti dan saya tidak tahu mengapa Ayah berbuat begitu."
"Sekarang
sudah ada Ketua perguruan yang baru.
Apa yang
masih kau risaukan?" tanya Akiko Bessho.
"Siapa
saja yang jadi Ketua saya tidak perduli.
Tapi saya
mengira telah terjadi kecurangan. Pemalsuan surat warisan Ketua."
"Selain
Hisao Matsunaga, siapa lagi pengurus di perguruan yang berhak untuk jabatan
itu?" tanya Wiro.
"Paman
Shigero Momochi. Tapi syukur Ayah tidak mewariskan jabatan Ketua padanya
…."
"Memangnya
kenapa?’ tanya Wiro lagi.
"Sifatnya
kasar. Pemabok. Walau hatinya baik, mana mungkin orang seperti dia bisa
diangkat jadi Ketua. Saya kira memang tepat kalau Ayah mewariskan jabatan Ketua
pada paman Hisao Matsunaga. Hanya saja saya masih merasakan ada sesuatu yang
tidak beres …"
"Akira-san
sudahlah. Hal itu tak perlu kau pikirkan berpanjang-panjang. Perguruan sudah
punya Ketua baru. Besok jenazah Ayahmu akan diperabukan …."
Akira
terdiam. Baik Akiko maupun Wiro sama maklum kalau si anak masih belum puas.
Agaknya belum seluruh unek-uneknya dikeluarkan.
"Adik
Akira, mungkin masih ada yang hendak kau katakan?"Tanya Akiko.
Wiro
menguap lebar-lebar. Selain letih luka di kaki dan di lengannya terasa berdenyut
sakit. Dia lalu pergi duduk di sebuah bangku kayu dekat dinding gudang.
"Memang
ada. Mungkin ini bisa dijadikan petunjuk siapa yang membunuh Ayah …."
"Kita
semua tahu Ayahmu dibunuh oleh ninja. Ada tiga kelompok besar ninja di negeri
ini. Tidak mudah untuk menyelidiki. Buktinya kau saksikan sendiri bagaimana
mereka berani mendatangi tempat ini hanya karena tersinggung …."
Si anak
tidak perdulikan ucapan gadis itu. Dia memotong. ‘Waktu saya melihat jenazah
Ayah pertama kali, saya melihat ada kelainan pada lima jari tangan kanan beliu
…"
"Kelainan
bagaimana?"
"Lima
jarinya berada dalam keadaan seperti habis mencengkeram. Setahu saya Ayah
memang mempunyai ilmu pukulan disebut Lima Jari Dewa. Untuk mendapatkan ilmu
itu Ayah harus melakukan perjalanan selama tujuh bulan ke sebuah pegunungan di
Tibet. ltupun belum sempurna betul. Menurut Ayah dia harus kembali lagi ke
sana. Siapa saja yang terkena pukulan Lima Jari Dewa pasti menemui ajal atau
cacat bertanda seumur hidup tubuhnya, tak bisa dihilangkan. Saya yakin sebelum
terbunuh Ayah sempat melepaskan pukulan itu ke tubuh ninja. Kalau tidak mengapa
jari-jari tangannya berada dalam keadaan mencengkeram. Saya mengerti tidak
mudah mencari tahu siapa ninja yang terkena pukulan itu. Namun paling tidak
kita sudah punya petunjuk …"
"Selain
Ayahmu, apa ada pengurus perguruan lainnya memiliki ilmu Lima Jari Dewa
itu?" bertanya Akiko. Akira Kasai menggeleng.
”’Cuma
Ayah satu-satunya yang menguasai ilmu itu!” Akiko memandang pada Wiro.
"Apa
yang bisa kita lakukan?"
"Semua
yang diceritakan anak ini dan semua yang terjadi adalah urusan dalam perguruan.
Kita tak bisa mencampuri dan melibatkan diri. Aku sendiri sedang bingung karena
menderita luka dan kehilangan kapak mustika. Namun mungkin semua yang terjadi
di sini merupakan satu jalan bagiku untuk menyelidik ninja mana yang mencuri
senjataku itu…!’” Wiro memandang pada Akira lalu berkata.
"Sobatku
kecil, aku akan melakukan apa saja untuk membantu menyingkap siapa pembunuh
Ayahmu….."
Akira
Kasai membungkuk. "Terima kasih gaijin …" katanya perlahan lalu dia
berpaling pada Akiko.
"Ada
satu hal yang tidak saya mengerti dan ingin saya bicarakan denganmu!’
"Katakan
saja …"
"lni
menyangkut kejadian sewaktu rombongan kami dicegat ninja dalam perjalanan ke
Puri Sanzen … ."
"Apa
yang tidak kau mengerti Akira!”
"Ninja
berlaku ganas. Mereka menumpas hampir semua anggota rombongan. Termasuk sahabat
saya Keno. Yang selamat hanya saya dan Paman Hisao.
Namun
waktu itu saya … !” Akira Kasai tidak meneruskan kata-katanya. Dari balik bangunan
gudang terdengar suara orang batuk. Sesaat kemudian Hisao Matsunaga yang
sekarang menjadi Ketua Perguruan Emerarudo muncul di tempat itu.
"Maafkan
kalau kedatanganku menggangu pembicaraan kalian. Jika memang ada urusan penting
yang perlu dibicarakan, dalam bangunan besar ada beberapa ruangan bisa
dipergunakan …."
"Kami
kebetulan bertemu dan tidak bicara hal-hal penting," kata Akiko pula
sambil tersenyum lalu membungkuk.
Begitu
juga Akira dan Wiro.
"Akira-san,"
Hisao menegur, "Kau butuh istirahat lngat besok akan ada upacara panjang
sebelum Ayahmu diperabukan. Mengapa tidak segera saja masuk kamar dan
istirahat?"
"Maafkan
saya paman Hisao. Selamat malam untuk kalian semua," jawab Akira. Sekali
lagi anak ini membungkuk lalu cepat-cepat ditinggalkannya tempat itu.
Hisao
Mastunaga perpaling pada Akiko. "Nona Akiko, bagimu telah kusediakan
sebuah kamar untuk istirahat. Jika kau suka akan kuantar kesana sekarang juga
…."
"Terima
kasih. Ketua terlalu memperhatikan saya”
Hisao
Matsunaga kini memandang pada Wiro. Rambut gondrong, kening diikat kain putih,
pakaian robek serta luka di paha dan lengan.
"Nona
Akiko siapa pengemis asing ini?" Mulut Pendekar 212 sampai bergerak
pencong mendengar orang menyebutnya sebagai pengemis. Dalam hati dia memaki
panjang pendek.
"Dia
sahabat saya. Maafkan kalau keadaannya morat marit. Dia barusan dirampok orang
di tengah jalan..!” dusta Akiko.
"Hemmm
…. Banyak uang atau hartamu yang dirampas?" tanya Hisao Matsunaga pada
Wiro dengan senyum menunjukkan ketidak percayaan.
"Sedikit.
Cuma lima tail emas dan lima tail perak,"
jawab
Wiro terpaksa berdusta agar karangan Akiko cocok dengan ucapannya.
"Ck
…. ck …. ck …" Hisao Matsunaga berdecak.
"ltu
bukan sedikit" katanya lagi-lagi dengan tersenyum tanda dia tidak percaya
ucapan si gondrong tadi.
"Nona
Akiko, saya siap mengantarkanmu….."
"Terima
kasih Ketua. Saya tak mau merepotkan orang. Biar saya bergabung dengan para
tamu lainnya di ruang besar upacara sembahyang …."
"Kalau
begitu kemauan Nona saya tidak bisa memaksa," kata Hisao Matsunaga pula.
Lalu dia melangkah. Namun berhenti di hadapan Wiro dan berkata.
"Saya
menghargai kehadiranmu untuk melayat.
Tapi
sesuai aturan, kau hanya diperkenankan duduk di barisan paling belakang tempat
upacara …." Wiro tersenyum.
"Saya
sudah tahu. Tempat pengemis seperti saya memang di situ …. Lagi pula saya
kawatir duduk ramairamai di depan ….."
"Apa
yang kau kawatirkan?" tanya Hisao Matsunaga heran.
"Saya
kawatir beberapa tail emas yang masih ada dalam kantong pakaianku disambar
orang …" jawab Wiro.
"Selamat
malam ketua," katanya kemudian Sambil membungkuk. Tanpa berkata apa-apa
lagi Hisao Matsunaga tinggalkan tempat itu dengan cepat. Begitu orang pergi
Wiro berpaling pada Akiko yang memandang padanya sambil tertawa geli.
"Nasibku
buruk amat. Disangka pengemis oleh Ketua Perguruan…!’
"Sudahlan.
Dia cuma salah menduga dan menilai orang," menyahuti Akiko Bessho.
"Bagaimana
pendapatmu mengenai Akira Kasai…?
"Dia
anak baik. Tapi aku punya firasat keselamatannya terancam." Jawab Wiro
polos.
"Kalau
begitu aku akan mengawasi dirinya secara diam-diam."
"Malam
ini biar aku saja yang berjaga-jaga. Apa lagi tak ada gunanya aku berada di
ruangan pembacaan doa. Aku mana pandai berdoa cara kalian …" Habis berkata
begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke arah bangunan di mana tadi
dilihatnya Akira masuk.
Dia
melambaikan tangan pada Akiko Bessho lalu berkelebat naik ke atas atap bangunan
lain di seberangnya.
*************************
SEBELAS
LAPAT-lapat
dari ruang besar tempat upacara doa dilangsungkan terdengar suara orang membaca
doa tak berkeputusan. Tanpa diketahui oleh orang-orang perguruan Emerarudo, dua
sosok hitam berkelebat cepat di kegelapan malam. Seperti cecak keduanya merayap
cepat menaiki tembok tinggi.
Ketika
dua sosok hitam itu menyelinap naik ke atas atap kamar tempat tidur Akira
Kasai, di suatu bukit kecil di dalam sebuah bangunan berbentuk kuil seseorang
menyalakan lilin di atas sebuah meja batu berlumut. Di atas meja terdapat
aebuah bokor tembaga Di dalam bokor ini tersimpan abu jenazah seseorang.
Nyala api
lilin yang menari-nari tertiup angin membuat bayang-bayang seram di dinding
ruangan.
Orang
yang menyalakan lilin membungkuk di hadapan meja batu sampai tiga kali lalu
perlahan-lahan jatuhkan diri berlutut. Sepuluh jari-jari tangannya dirangkapkan
satu sama lain. Lalu diantara siliran angin malam terdengar dia berucap.
"Nenek
…. Cucu telah membuat kesalahan besar.
Dua kali
cucu berhasil menemuinya. Tapi dua kali pula cucu gagal membunuhnya. Kali
pertama karena permintaan orang yang pernah menyelamatkan kehormatan cucu. Kali
ke dua karena kebodohan cucu sendiri. Yaitu cucu tidak mampu, tidak tega
melakukannya. Setiap cucu melihat wajahnya ada perasaan aneh dalam hati cucu.
Nenek Arashi Cucu mohon maafmu. Agaknya cucu tidak akan pernah bisa membunuhnya.
Kalau ini satu dosa besar, mulai dari sekarang hukumlah diriku …."
Orang
yang berucap di depan meja batu yang dijadikannya meja sembahyang itu terdiam
sesaat, berusaha membendung air mata yang hendak keluar dari kedua matanya.
Tiba-tiba
suara hatinya seperti berontak dan di telinganya seolah mengiang kata-kata.
Cucu tidak berbudi. Mana keberanian yang kutempa selama dua belas tahun dalam
dirimu! Mana kekuatan batin yang kutanamkan dalam tubuhmu! Mana hawa sakti yang
mengalir dalam darah dan setiap denyut jantungmu!
Jangan
perasaan menguasai pikiranmu. Aku tahu kau tiba-tiba jatuh cinta padanya.
Cinta! ltulah kelemahan pangkal bahala yang akan membunuhmu! Aku tidak meminta
banyak padamu. Hanya satu! Bunuh pemuda asing itu! Atau arwahku akan membayangi
selama hidupmu!
Orang di
depan meja batu katupkan jari-jari tangannya satu sama lain hingga mengeluarkan
suara berkereketan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing
membuat dia tercekat. Laiu dia berdiri lurus-lurus memandangi bokor di atas
meja batu berlumut. Setelah membungkuk tiga kali dia berkata.
"Nenek
Arashi, aku harus pergi sekarang. Lain kesempatan aku akan menyambangimu lagi
di sini …."
Sampai di
luar kuil dia tegak tertegun. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Akhirnya dia
menuruni bukit sepembawa kakinya Angin dan udara malam yang dingin tidak
diacuhkannya.
KEMBALI
ke Perguruan Emerarudo. Suara orang membaca doa masih terdengar wabu kini mulai
mengalun perlahan. Dua sosok hitam di alas bangunan dengan cepat menyelinap ke
bawah cucuran atap.
Sretttt….
sretttt!
Mereka
merobek dinding kertas dengan sebuah alat berbentuk pisau kecil. Di lain kejap
tanpa ada yang mengetahui keduanya telah menyelinap masuk ke dalam kamar tidur
Akira Kasai.
Saat itu
putera mendiang bekas Ketua Perguruan Noboru Kasai memang telah bersiap untuk
istirahat membaringkan diri di atas selembar kasur tipis. Sebelum berbaring dia
merasa perlu memanjatkan doa terlebih dulu bagi arwah Ayahnya. Pada saat itulah
tiba-tiba dia melihat dua sosok hitam menerobos masuk ke dalam kamar dan tanpa
suara mereka menjejakkan kaki di atas tatami.
"Shinobi!"
seru Akira Kasai dengan lidah kelu.
Wajahnya
menjadi pucat. Ninja di sebelah kanan menganggukkan kepala. Melihat tanda ini
ninja di samping kiri segera menghunus katananya. Cahaya maut berkilau dari
badan pedang. Rasa takut yang menyelubungi diri Akira tiba-tiba saja lenyap.
Berubah dengan dendam kebencian.
"Kalian
pasti komplotan ninja yang membunuh Ayah! Saat ini kalian pasti juga hendak
membunuhku!
Kalian
kira aku takut mati?!"
Dua ninja
tak menjawab.
Tiba-tiba
Akira jatuhkan diri diri di lantai. Dia berguling ke kepala kasur di mana
terletak pedang miliknya.
Namun
sebelum dia mampu menyentuh senjata itu, ninja di sebelah kanan cepat melompat
lalu menginjak lengan anak ini.
Akira
Kasai menjerit keras. Dengan suara bergetar karena amarah dan juga kesakitan
anak ini berkata.
"Aku
tidak takut mati! Ayo bunuh!"
Ninja
yang memegang pedang tidak tunggu lebih lama. Senjata di tangannya di tetakkan
ke kepala Akira Kasai.
Wutttt!
Sesaat
lagi kepala anak itu akan terbelah tiba-tiba dinding kiri kamar jebol. Satu
bayangan merah berkelebat dan trang! Sebilah katana melesat ke depan menangkis
bacokan pedang ninja.
"Ninja
merah!" teriak dua ninja hitam hampir bersamaan. Kejut keduanya bukan
olah-olah. Terutama ninja yang senjatanya kena tangkis. Lengannya bergeletar.
Jan-jarinya
terasa pedas panas. Selagi dia masih dilanda kaget tiba-tiba satu tusukan
menderu ke dadanya. cepat ninja ini berkelit ke samping sambil menangkis. Dari
samping kawannya ikut membantu.
Tranggg!
Tiga
pedang beradu keras. Bunga api memercik terang dalam kamar. Dua pedang di
tangan ninja menjepit pedang ke tiga hingga tak bisa bergerak.
Namun
yang punya senjata malah keluarkan suara tertawa.
"Kau
inginkan pedangku silahkan ambil!" Pedang dilepas. Bersama dengan itu
sosok ninja merah melesat ke atas. Dua ninja hitam memburu dengan pedang
mereka. Dari atas ninja merah melepaskan pukulan tangan kosong. Serangkum angin
dahsyat menderu.
Dua ninja
hitam berseru kaget begitu senjata mereka bergetar keras dan tak mampu ditusuk
atau dibacokkan.
"Lepaskan
senjata rahasia!" teriak ninja sebelah kanan. Serentak dia dan kawannya
gerakkan tangan kiri melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang. Lawan yang
diserang jatuhkan diri ke lantai sambil ulurkan tangan menjangkau pedang yang
tadi dilepaskannya dan saat itu hampir jatuh di atas tatami.
Gerakannya
ini sungguh luar biasa cepatnya hingga dua buah senjata rahasia yang
dilemparkan ke arahnya tak berhasil menemui sasaran, satu menembus dinding
kamar terus melesat keluar satunya menancap di tiang kayu.
Ninja
sebelah kanan keluarkan jeritan maut begitu pedang ninja merah menjebol
perutnya. Tubuhnya langsung roboh. Darah bergenang cepat di atas tatami.
Ninja
satunya menggembor marah. Sekali berkelebat pedangnya menyambar ke leher ninja
merah yang masih berbaring di lantai. Dalam keadaan menelentang ninja merah
tangkis serangan ganas itu. Dalam waktu bersamaan kaki kanannya menendang ke
atas.
Dukkkk!
Ninja
hitam meraung keras. Pedang lepas dari tangannya Sambil terbungkuk-bungkuk dia
pegangi bagian bawah perutnya yang hancur. Matanya membeliak terbalik-balik.
Mati! Ninja merah sarungkan pedangnya. Ketika melewati tiang dimana menancap
satu dari dua senjata rahasia tadi ninja merah mencabut dan memeriksanya.
"Hemmmm
…. shuriken beracun …." gumamnya.
Lalu dia
. cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Ketika orang banyak memasuki kamar ltu
Akira Kasai tertunduk di alas tatami sambil pegangi lengan kanannya yang sakit.
Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Yang
muncul di tempt itu adalah Shigero Momochi, Akiko Bessho lalu seorang tua
pengurus perguruan, ditambah delapan orang murid perguruan. Akiko cepat
memberikan pertolongan. Seorang ahli urut cepat dipanggil. Atas pertanyaan
Shigero Momochi, Akira lalu menerangkan apa yang terjadi.
"Luar
biasa malam ini. Ninja merah muncul sampai dua kali untuk menolong kita,"
kata orang tua yang jadi pengurus perguruan.
"Pertama
waktu empat ninja muncul di ruang pembacaan doa. Lalu di sini."
"Aku
merasa malu. Kejadian di tempat ini menunjukkan kelemahan kita. Perguruan bisa
diterobos begitu saja!" Kembali Shigero Momochi bicara. Dia berkata sambil
memandang berkeliling. Murid-murid perguruan tak ada yang berani melihat
wajahnya.
Ada suara
batuk-batuk. Ketua Hisao Matsunaga yang telah diberi kabar apa yang terjadi
segera datang ke tempat itu.
"Akira-san,"
katanya.
"Mulai
saat ini kuharap kau pindah ke bangunan tempat kediamanku. Aku minta selusin
anggota perguruan menjaga kamarnya!
Satu hal
kalian ingat. Jangan sampai orang luar tahu apa yang terjadi di sini. Kecuali
kalau kalian semua mau dianggap orang-orang tolol!"
Akira
kemudian digendong, di bawa ke tempat yang dikatakan Hisao Matsunaga. Yang,
lain-lain kecuali Shigero Momochi tinggalkan tempat itu.
"Ninja
merah … ." desis Shigero Momochi sambil usap-usap dagunya.
"Siapa
mahluk ini sebenarnya. Jika dia bisa muncul dalam waktu cepat berarti dia tadi
masih berada di dekat-dekat sini …. Mungkin seorang gagah salah satu dari para
tamu……" Sementara Shigero Momochi melangkah menuju ruang besar tempat
pembacaan doa, Akiko Bessho juga pura-pura pergi ke ruangan itu.
Namun di
satu tempat dia berputar, bergegas kembali.
Hanya
saja kali ini dia tidak menuju bangunan dimana kamar Akira Kasai terletak, tapi
ke bangunan di depannya dimana yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng bersembunyi di
atap.
"Aku
punya dugaan. Jangan-jangan gaijin ini yang menyaru jadi ninja merah …. !”
tiba-tiba di atas atap bangunan tampak ada sosok tubuh bergerak.
"Huh
itu dia! Menggosok-gosok mata. Kelihatannya seperti habis bangun tidur!"
Sosok di atas atap melompat turun.
"Aku
melihat kelainan pada wajahmu. Ada apakah.?"
"Wiro,
kau tadi berkata hendak mengawasi keselamatan Akira Kasai. Pecuma saja kau
bermulut besar!"
"Eh,
memangnya kenapa?" tanya Wiro.
"Dua
ninja menyusup masuk hendak membunuh anak itu. Apa kau tidak lihat ….?”
"Astaga!"
"Ninja
merah muncul lagi menyelamatkan anak itu….. ."
"Astaga!"
"Astaga!
Astaga! Kau hanya bilang astaga! Apa saja kerjamu di atas atap sana?"
Akiko Bessho jadi kesal.
"Maafkan
diriku. Aku ketiduran. Aku benar-benar latih dan luka- luka ditubuhku membuat
aku rasanya kurang enak badan …. Tapi bagaimana bisa orang orang perguruan
kebobolan lagi ….. ?"
"Jangan
salahkan mereka. Kau sendiri juga sudah kebobolan. Masih untungan anak itu
tidak mati dibunuh Hanya cidera tangan kanannya…:”
"Astaga
Kasihan betul …."
"Astaga
lagi! Sudah tidur saja kau di atas atap sana!” saking kesalnya Akiko Bessho
lalu tinggalkan Wiro.
"Ternyata
bukan dia. Lalu siapa ninja merah itu?
Mungkin
yori….? Atau Kamashaki pendeta Zen itu? “
Selagi
Akiko Bessho melangkah sambil berpikir-pikir itu dua sosok berjubah melangkah
tanpa suara di belakangnya. Ternyata dua orang ini tidak mengikuti si gadis,
melainkan menyelinap ke arah bangunan dimana tadi Akira Kasai dibawa.
Di ruang
besar pembacaan doa Hisao Matsunaga membaca doa dengan khusuk. Kedua matanya
dipejamkan. Sesekali matanya dibuka. Kali kesekian dia membuka mata dan menyapu
para hadirin yang ada di ruangan itu, baru dia menyadari Sesuatu. Maka perlahan
sekali dia berbisik pada Shigero Momochi yang ada di sebelahnya.
"Shigero,
aku tidak melihat dua orang pendeta Zen yang datang bersama Akira itu…."
shigero
Momochi yang juga asyik membaca doa buka kedua matanya. Lalu dipejamkan
kembali. Seperti tak acuh dia berkata. "Mungkin mereka sudah pulang…"
Kalau
betul berarti sungguh tidak sopan per-buatan mereka. Tidak minta diri pada tuan
rumah Apalagi upacara pembacaaan doa belum selesai. Disamping itu mereka
selayaknya menunggu sampai selesai upacara perabuan jenazah. Jangan-jangan
mereka berkeliaran ke mana-maria..:”
"Mungkin
saja mereka lelah membaca doa lalu jalan melihat-lihat bangunan perguruan
kias," jawab Shigero lagi.
”melihat-lihat
malam-malam begini? Hatiku merasa kurang enak." kata Hisao Matsunaga.
Kalau
begitu biar aku mencari di mana mereka berada."
Shigero
hendak hangkit berdiri. Padahal sebenarnya saat itu dia ingin kembali ke
kamarnya untuk meneguk minuman keras. Mulutnya terasa pahit dan tenggorokannya
seolah kering.
"Biar
aku saja yang pergi. Kau tetap di sini," kata Hisao Matsunaga lalu
mendahului berdiri.
Shigero
Momochi memperhatikan kepergian sang ketua sambil berkata-kata sendiri dalam
hati. "Anak itu membuat keadaan menjengkelkan. tiba-tiba saja dia menjadi
sangat Penting. Mengapa ada komplotan ninja yang menginginkan nyawanya? Ninja
bekerja hanya atas dasar bayaran. Kalau dibayar berarti ada yang membayar.
Siapa? Mengapa …. ?"
Dua
pendeta Zen mendekam di balik sebuah pot besar Memandang ke depan mereka
melihat sekitar dua belas orang anggota perguruan berjaga-jaga di dekat
bangunan di mana Akira Kasai berada. Di ruangan dalam masih ada empat orang
lagi melakukan pengawalan.
Sambil
memandang berkeliling salah seorang pedeta Zen berbisik pada temannya. "
Aku sebetulnya tidak suka pekerjaan macam begini. Kalau bukan pendeta Kamashaki
yang menyuruh aku lebih enak diam di kamarku, berdoa sambil tidur-tiduran
…"
Mendiang
Ketua Noboru Kasai punya hubungan sangat baik dengan kita. Sangat pantas kalau
pendeta Kamashaki meminta kita menyelamatkan anak itu, Pendeta agaknya telah
punya firasat atau bisa melihat apa Yang bakal dialami anak itu. Ini semua
berdasar pada kenyataan bahwa Ayahnya meninggal secara tidak wajar. Seseorang
telah menyuruh membunuhnya, Lalu mungkin orang yang sama pula yang menginginkan
surat warisan jabatan Ketua itu..”
"Kalau
aku boleh menuduh dan mohon ampun pada Dewa atas ucapan dan jalan pikiranku
ini, aku punya dugaan Wakil Ketua Shigero Momochi lah yang jadi biang keladi
dibalik semua ini.agaknya dia maklum kalau kelakuan dan tindak tanduknya selama
ini tidak memungkinkan dirinya diangkat jadi Ketua. Dia berusaha mencuri surat
warisan untuk mengubah isinya. Ternyata Wakil Ketua Hisao Matsunaga bertindak
lebih cepat mengamankan surat itu …."
Pendeta
Zen yang satu lagi terdiam sesaat. Dia memandang berkeliling sekali lagi.
"Kurasa aman. Lekas kau bertindak, jangan ngomong saja. Kita tak punya
waktu banyak…."
Kawannya
lalu mengeruk saku jubah. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ujungnya
berbentuk pipa rokok. Ujung ini didekatkannya ke mulut. Penutup kotak dibuka
lalu dia meniup. Dari dalam kotak berhembus keluar asap tipis bewarna kelabu.
Begitu terkena siliran angin asap ini terus menyebar dan menyungkup bangunan di
depan sana cepat sekali.
Dua belas
orang anak murid perguruan tiba-tiba saja merasa mengantuk. Mereka menguap berulang
kali lalu satu demi satu jatuh terkapar, tertidur pulas. Di dalam bangunan
empat orang pengawal lainnya menyusul tenggelam dalam kantuk yang tidak
tertahankan lagi hingga akhirnya jatuh pulas. Akira Kasai yang ada dalam kamar
lebih cepat tertidur. Anak ini melingkar dl atas kasur tipis tak tahu apa-apa
lagi.
"Sekarang..
" bisik pendeta Zen di sebelah kanan.
Lalu
mendahului berlari ke arah bangunan. Kawannya berkelebat mengikuti. Akira Kasai
yang mereka temui dalam kamar segera saja digendong. Keduanya lalu keluar dari
bangunan, sengaja melewati pintu belakang.
Begitu
mereka sampai di tangga terbawah satu suara menegur dari tempat gelap.
"Bukan
main Dua pendeta Zen ternyata penculikpenculik busuk Hendak kalian bawa kemana
anak itu.?!”
*************************
DUA BELAS
DUA
pendeta Zen tersentak kaget. Yang berada di depan segera bergerak melindungi
temannya yang membawa Akira Kasai.
Orang
yang menegur keluar dari kegelapan.
Ternyata
dia adalah Hisao Matsunaga Ketua Perguruan Emerarudo yang baru.
"Ketua
Matsunaga, harap kau jangan salah paham.." kata pendeta Zen yang berdiri
di sebelah depan.
"Aku
tak pernah salah paham. Kalian yang salah paham! Perguruan Emerarudo selama
puluhan tahun telah menggalang tali persaudaraan dengan Puri SanZen. Ternyata
di antara kalian ada manusia-manusia culas. Atau mungkin pimpinan Puri yang
memberi perintah ….?”
Hisao
Matsunaga bicara dengan seringai sinis dan sebentar-sebentar tangan kanannya
mengusap dada kiri.
"Ketua
Matsunaga, kami hanya menjalankan tugas. Kami bukan menculik anak . ini, tapi
justru mau menyelamatkannya. Kau sendiri tahu bagaimana berturut turut dia
hendak dibunuh …."
Hisao
Matsunaga kembali menyeringai lalu batukbatuk beberapa kali. "Tidak
disangka para pendeta pandai berdusta mencari dalih …."
"Kami
tidak berdusta. Kami benar-benar ingin menyelamatkan anak ini …"
”Turunkan
anak itu, letakkan di tanah!" bentak Hisao Matsunaga. Lalu dia batuk-batuk
kembali. Tangan kanannya lagi-lagi dipakai untuk mengusap dada.
"Kami
tidak bisa melakukannya …." Marahlah Ketua Perguruan Emerarudo itu. Sekali
lompat saja dia sudah berada di hadapan pendeta yang menggendong Akira. Tangan
kanannya bergerak ke punggung dimana menjulur gagang pedang.
"Cabut
pedang kalian!"
"Kami
para pendeta mana pernah membawa senjata? !"
"Bagus!
Kalau begitu biar kupatahkan batang lehermu dengan tangan kosong!" Habis
berkata begitu Hisao Matsunaga langsung menyerang pendeta di sebelah belakang.
Tapi kawannya di sebelah depan cepat memapasi seraya berkata :
"Lekas
larikan anak itu. Biar aku menghadapi Ketua Perguruan barang sejurus dua
jurus!"
"Pendeta
kurang ajar!" bentak Hisao Matsunaga lalu hantamkan tangan kanannya ke
tenggorokan sang pendeta. Perkelahian tak dapat dihindari lagi.
Para
pendeta di Puri Sanzen selain mendalami ilmu agama juga banyak yang memiliki
ninjutsu atau kepandaian silat serta kesaktian yang cukup tinggi. Dua diantara
mereka adalah yang kini berada di perguruan itu. Gerakan pendeta yang langsung
menghadapi sang Ketua kelihatan lemah gemulai seperti penari. Namun setiap
gerakan yang dibuatnya mengeluarkan hawa dingin hingga Hisao Matsunaga berlaku
hati-hati.
Berlawanan
dengan sang pendeta gerakan gerakan Hisao Matsunaga justru cepat, deras dan
ganas. Hanya dalam waktu lima jurus pendeta itu dibuat terjengkang ke tanah muntah
darah. Satu jotosan mengandung hawa sakti yang dihantamkan Hisao Matsunaga
dengan telak mengenai dadanya.
Berhasil
merobohkan pendeta satu itu Hisao Matsunaga segera mengejar pendeta satunya
yang membawa kabur Akira Kasai. Sadar kalau dia tak bisa meloloskan diri
pendeta ini terpaksa turunkan anak yang di gendongnya ke tanah lalu menghadapi
Hisao Matsunaga. Ternyata pendeta ini kepandaiannya jauh lebih rendah dari
temannya tadi. Hantaman tepi telapak tangan Hisao Matsunaga tak dapat
dikelitnya.
Krakkk!
Lehernya
patah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya rubuh menyentuh tanah!
Saat itu
Akira Kasai telah terjaga dari tidurnya akibat sirapan asap aneh pendeta Zen
tadi. Sambil mengucak-ucak kedua matanya dia memandang berkeliling dan dapatkan
dirinya terbujur di atas tanah.
"Eh,
di mana diriku inl?’ dia bertanya sendiri lalu memandang berkeliling. Saat
itulah dia melihat Ketua Hisao Matsunaga tengah mengayunkan tangan memukul
patah batang leher pendeta Zen. Dengan terkejut si anak melompat berdiri.
"Paman
Ketua ……"
Hisao
Matsunaga memandang berkeliling. Dilihatnya ada beberapa orang mendatangi dari
jurusan tempat pembacaan doa. Di depan sekali Shigero Momochi.
"Lekas
masuk ke kamarmu!" teriak Hisao Matsunaga. Tapi untuk sesaat lamanya si
anak masih tegak tertegun. Saat itulah tiba-tiba dari salah satu atap bangunan
melayang turun satu sosok merah. Hisao Matsunaga terkejut sekali karena sambil
melayang orang ini lepaskan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan suara angin
menderu, membuat Ketua Perguruan ini terhuyung-huyung kalau tidak lekas
melompat ke samping.
"Nlnja
merah!" seru Hisao Matsunaga. Sementara itu Shigero Momochi dan bebera
orang yang mendatangi hanya tinggal belasan langkah dari tempat itu. Di antara
mereka kelihatan pula Akiko Bessho.
"Hai!"
teriak Shigero. Hisao Matsunaga juga membentak keras ketika keduanya melihat
bagaimana nlnja merah dengan satu gerakan kilat menyambar tubuh Akira Kasai.
Ketika dia hendak berkelebat pergi memboyong si anak Shigero Momochi menghadang
dengan tebasan pedang.
Ninja
meran melompat ke kiri. Dari jurusan ini dia mendengar suara berdesir. Sebilah
katana menyambar ke arah punggungnya. Serta merta ninja merah hunus pedangnya
pula. Tanpa menoleh dia sapukan senjatanya ke belakang.
Tranggg!
Dua
katana saling beradu memercikkan bunga api. Ninja merah jatuhkan diri ke tanah.
Sambil mengepit tubuh Akira dia bergulingan. Tiga katana datang menyambar.
Satu dari
Shigero Momochi, satu dan Hisao Matsunaga dan yang ketiga dari Akiko Bessho.
Tiga kali terdengar suara berdentrangan. Walau dia sanggup menangkis tiga
hantaman pedang namun pedang di tangan ninja merah tergetar keras.
"Cincang
bangsat inil Selamatkan Akira-san!" teriak Hisao Matsunaga.
"Tunggu
dulu!" Yang berseru adalah Shigero Momochi.
"Tahan
semua serangan!"
"Shigero
apa maksudmu?!" tanya Hisao Matsunaga hampir berteriak dan berusaha
menahan marahnya.
"Sebelumnya
ninja merah ini menolong kita sewaktu empat ninja hitam muncul. Sekarang dia
hendak melarikan anak itu! Aku perlu menanyai siapa dirinya sebenarnya dan
mengapa dia melakukan semua ini?!"
"Si
pemabok tolol!" maki Hisao dalam hati Hati dia berkata.
"Shigero,
orang jelas-jelas hendak menculik putera mendiang Ketua! Kau masih hendak
bicara berbaik-baik …. Sungguh aneh!" Dia terbatuk-batuk lagi.
"Kau
benar Ketua! Justru karena semua terasa aneh aku ingin menyingkapkan tabir
keanehan ini! Dua pendeta Zen juga melakukan keanehan! Apa kau tak. .."
"Shigero!
Kau kembali saja ke ruang pembacaan doa. Biar mahluk merah ini aku yang
membereskan!
Adalah
tolol kalau dalam keadaan seperti ini kau mau ngobrol dengan musuh!"
Mendengar kata-kata Hisao Matsunaga itu Shigero Jadi meradang.
"Kalau
itu mau Ketua terserah saja!" katanya. Lalu dia membalikkan tubuh. Matanya
membentur Akiko Bessho. Dia mendelik pada si gadis.
"Kau
juga aneh! Kau orang luar! Mengapa ikut campur urusan kami?!"
"Wakil
Ketua Shigero. Maafkan kalau aku telah bertindak lancang. Tapi bagiku Akira
sudah seperti adik sendiri mengingat hubungan Ayahnya dengan mendiang guruku.
Lagi pu la…" Si gadis tidak meneruskan ucapannya. Saat itu dalam amarah
yang tak terbendung lagi Hisao Matsunaga melompat dan menyergap ninja merah
dengan satu serangan kilat. Untungnya yang diserang tidak berlaku lengah.
Sekali tangan kanannya bergerak pedangnya menangkis pertengahan badan pedang
Hisao hingga tangan masing-masing tergetar keras.
Hisao
berlaku cerdik. Begitu pedang saling menempel dengan cepat dia mendorong. Ketua
baru perguruan Emerarudo ini memang dikenal sebagai memiliki hawa sakti yang
sanggup mengeluarkan tenaga luar biasa kuatnya. Tetapi alangkah kagetnya dia
ketika tibatiba tenaga dorongannya seolah-olah berbalik menggempur dirinya
sendiri. Semakin dicobanya semakin terdorong dia kebelakang.
Selagi
Hisao Matsunaga berusaha mempertahankan diri dari tekanan lawan tiba-tiba ninja
merah hentakkan kaki kanannya menghantam tanah. Ketua perguruan itu merasakan
tanah yang dipijaknya seperti dilanda gempa. Tubuhnya terhuyung-huyung. Dia
bertahan mati-matian dengan sekuat tenaga agar tidak jatuh.
Tapi bukan
saja dia kalah tenaga malah dari mulutnya kelihatan ada darah meleleh!
Tenaganya seolah punah. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Saat
itulah pedang di tangan ninja merah berkelebat. Hisao Matsunaga coba menangkis
tapi meleset.
Breetttl
Dada
kimono Hisao Matsunaga robek besar mulai dari pertengahan perut sampai ke bahu
kiri. Perut dan dadanya tersingkap lebar tubuhnya jatuh terlentang di tanah.
Pedang di tangan ninja merah menyusul berkelebat mengikuti arah jatuhnya
sedetik kemudian ujung pedang telah menempel di tenggorokan Hisao Matsunaga.
Saat Itu
Shigero Momochi sudah tak ada lagi di situ. Beberapa orang murid perguruan dan
juga Akiko Besso tertegun tegang. Agaknya nyawa sang Ketua tidak tertolong
lagl. Namun rupanya ninja merah tidak bermaksud membunuhnya. Karena dengan
cepat dia memasukkan pedangnya ke dalam sarung lalu dengan cepat pula dia
berkelebat lenyap dari tempat itu. Akira Kasai ikut lenyap bersamanya.
"Ninja
merahl Tunggu!" seru Akiko.
Yang
diteriaki sudah lenyap dari pemandangan. Tapi si gadis dengan nekad berusaha
mengejar.
*************************
TIGA BELAS
AKlRA
Kasai merasa seperti mau tanggal jantungnya dibawa iari sekencang itu.
"Nin
…. ninja merah …. Kau mau membawa saya kemana? Kau juga mau membunuhku..? Untuk
bertanya begitu anak ini berusaha menindih rasa takutnya hingga suaranya
tersendat bergetar.
"Siap
bilang aku mau membunuhmu. Malah aku ingin kau selamat ..:” ninja merah
menjawab.
"Aku
membawamu ke tempat aman.
"Ah,
gadis itu masih saja mengikutiku!" Ninja merah membatin.
"Anak,
kau tahu tempat yang baik dimana kau bisa tinggal sementara dengan aman!?”
"Eh,
bagaimana ini? Kau bilang mau membawa saya ke tempat aman. Mau menyelamatkan
diriku.
Sekarang
mengapa malah bertanya? Dan mau meninggalkan saya?!"
Kau lama
tinggal di kawasan ini. Pasti tahu seluk beluk daerah ini. Aku tak ingin ada
orang mendatangimu lagi dengan maksud keji mau membunuhmu. Disamping itu ada
satu urusan besar yang harus aku selesaikan …"
"Kalau
begitu kau turunkan saja saya di tengah jalan ini!" kata Akira Kasai pula.
"Boleh
saja! Tapi coba kau lihat ke belakang. Ada seseorang mengejar. Jika kau
kuturunkan apa kau merasa pasti si pengejar itu tidak akan memisahkan badan dan
kepalamu?!" Mendengar hal itu Akira Kasai jadi bergeming juga.
"Saya
rasa lebih baik ikut kemana kau pergi saja," kata si anak kemudian. Ninja
merah tersenyum dan berlari terus. Makin lama makin kencang. Akira melihat
pohon-pohon yang mereka Iewati laksana hantu-hantu hitam berkelebat
Coba kau
lihat. Apa orang yang mengejar masih ada di belakang?" ninja meminta
bantuan anak yang dikepit di sisi kirinya itu.
"Masih.
Malah sekarang ada dua," jawab Akira Kasai.
"Hah?!
Apa katamu?!" Ninja merah berpaling.
Memang
benar. Di belakangnya kini ada dua orang yang mengejarnya. Tak jelas siapa
satunya. Ninja kertakkan rahang. Kedua tumit kakinya tidak menginjak tanah
lagi.
Larinya
benar-benar kilat laksana hembusan angin hingga beberapa waktu kemudian dia
bisa lolos dari dua pengejar.
"lni
kawasan Okaza. Tak Jauh dari sini ada sungai kecil … !” tiba-tiba Akira
berkata.
"Kau
anak pandai," ujar ninja merah.
"Kalau
kita menuju ke sana apa ada tempat yang aman bagimu? ”
"Sepanjang
sisi sungai kawasan peladangan.
Biasanya
ada beberapa buah gudang sayur di sekiar situ!”
"Kita
menuju ke sana! Kau tunjukkan saja jalan nya!" Ninja merah mempercepat
larinya. Tak lama kemudian sungai yang dikatakan Akira Kasai kelihatan
memanjang dalam ke gelapan di lamping sebuah lembah subur. Di kiri kanan sungai
merupakan daerah peladangan.
Memang
benar di situ terlihat beberapa buah bangunan gudang tempat penimbunan sayur
sebelum diambil oleh para tengkulak. Ninja membawa Akira ke sebuah gudang
terdekat. Keadaan di sini sunyi dan gelap.
"Kau
berani kutinggal sendiri di sini?” tanya ninja merah setelah menurunkan si anak
dari kempitannya.
Akira
Kasai memandang berkeliling. Hatinya berdebar juga.
"Ninja
merah, apa sebenarnya yang hendak kau lakukan hingga kau tega- teganya
meninggalkan diri saya sendirian di sini?"
"lni
bukan soal tega atau tidak," jawab ninja merah.
"Aku
tidak bisa membawamu justru aku kawatir jiwamu terancam!"
"Kau
tidak mau mengatakan mau pergi kemana?"
"Kalau
aku katakan kau pasti tidak percaya …."
"Bilang
saja …."
"Aku
mau menyerbu ke markas komplotan ninja Nara!"
"Apa
…. ? si anak terkejut dan melotot.
"Saya
melihat kau merobohkan tiga ninja. Itu hebat! Tapi kalau kau mau menyerbu
markas ninja itu adalah gila!"
"Eh,
gila kenapa?”
"Kau
mau bunuh diri?!" tukas si anak.
"Hanya
orang gila yang mau bunuh diri!" sahut ninja merah.
"Karena
itu saya katakan kau gila. Kau tak bakal dapat menerobos masuk markas mereka.
Kalaupun bisa, tak mungkin dapat keluar hidup-hidup!"
"Kau
mau taruhan?!" tantang ninja merah.
"Boleh
saja! Kalau aku kalah akan kuserahkan padamu katana yang tergantung di
pinggangku. Kalau kau kalah aku minta pakaian ninja merahmu!"
"Hah?!"
ninja merah berseru, tidak menyangka si anak akan meminta pakaiannya. Setelah
berpikir sejenak dia berkata.
"Baik!
Taruhan jadi!" Akira tertawa perlahan.
"Eh,
kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?!" tanya ninja merah.
"Kalau
aku menang taruhan aku tak akan pernah dapat pakaian merahmu. Karena kau sudah
tewas di markas ninja Nara …."
"Ah,
kau betul juga. Kalau begitu menyusul saja nanti ke sana …. Nah sekarang kau
kutinggal dulu!
Masuk ke
dalam gudang! Jangan sekali-kali berani keluar apapun yang terjadi. Kalau ada
petani masuk sembunyi di balik tumpukan sayuran. Mengerti….?!"
"Hai!"
jawab Akira Kasai. Ninja merah putar tubuhnya tapi si anak memegang lengannya.
"Tunggu
dulu … ."
"Apalagi?
Kalau mau bicara cepatlah. Waktuku tidak banyak. Sebentar lagi pagi datang
…."
"Ninja
merah, saya tidak tahu siapa kau sebenarnya.
Tapi
apakah saya bisa mempercayaimu?"
"Anak,
kenapa kau bertanya begitu?’
"Soalnya
ada hal penting yang harus kubicarakan.
Saat ini
hanya ada kau …."
"Apa
yang hendak kau bicarakan?"
"Banyak!”
"Waktuku
sangat sedikit. Nanti saja kita bicara …."
"lni
menyangkut surat warisan dan …"
"Kalau
itu bisa kau bicarakan nanti dengan Ketua Perguruan …."
"Justru
saya tidak mau bicara dengan dia …."
"Bicara
dengan Wakilnya. Eh, kenapa kau tidak mau bicara dengan Hisao Matsunaga? “
"Karena
saya tidak percaya padanya. Saya sangat curiga! Saya yakin dia yang jadi biang
keladi kematian Ayah!” Ninja merah. terkejut mendengar kata-kata Akira Kasai
itu. Dia menarik si anak ke dekat sebuah bangku panjang terbuat dari kayu dekat
dinding gudang.
"Duduk.
Kau bicaralah. Jika kau curiga pada orang kau harus punya bukti atau
saksi."
"Saksi
saya tidak punya. Tapi bukti ada!"
"ltu
boleh juga …."
“Mengenai
surat warisan pengangkatan Paman Hisao Matsunaga. Saya yakin surat itu palsu.
Waktu Ayah membuatnya ada tinta menetes di sudut kiri bawah surat. Saya
diperkenankan memeriksa surat itu. Ternyata noda tinta itu tidak ada … ."
"Mmmmmm
…." ninja merah bergumam.
"Mengapa
hal itu tidak kau katakan terus terang pada Ketua Hisao?
"Saya
takut."
"Lanjutkan
bicaramu."
"Saya
yakin surat yang asli disembunyikan oleh Paman Hisao. Atau sudah
dimusnahkannya. Waktu Ayah memasukkan surat ke dalam amplop, saya sempat
membaca bahwa yang diangkat Ayah sebagai pewaris jabatan Ketua adalah Paman
Shigero Momochi bukan Paman Hisao Matsunaga …."
"Kalau
penglihatanmu betul rasanya tidak masuk akal Ayahmu melakukan hal itu. Orang
pemabuk dan punya sifat kasar seperki Shigero mana mungkin dijadikan
Ketua?!"
"Saya
juga tidak mengerti. Tapi saya yakin Ayah punya alasan berbuat begitu. Semua
orang memang tahu Paman Shigero punya sifat buruk. Banyak yang tidak suka.
Terus terang saja saya juga tidak suka padanya. Tapi semua orang tahu hatinya
baik …."
"Kalau
kau tidak bisa mendapatkan surat warisan yang asli, sulit untuk membuat
urusan…."
"Siapa
yang jadi Ketua sekarang bagi saya tidak soal," kata Akira Kasai.
“Tapi
saja juga yakin bahwa Paman Hisao adalah pelaku pembunuh Ayah saya …."
Ninja merah tersentak oleh rasa terkejut.
"Bagaimana
kau bisa menuduh begitu? Bukankah Ayahmu mati dibunuh oleh ninja?"
"Kelihatannya
begitu. Tapi mungkin juga oleh ninja bohongan. Karena waktu Ayah meninggal,
saya lihat kedudukan lima jari tangannya seperki habis melancarkan ilmu pukulan
Lima Jari Dewa. Itu ilmu pukulan paling hebat di Jepang saat ini. Siapa yang
terkena pasti akan mati, kalaupun selamat akan cacat atau sakit-sakitan seumur
hidupnya. Agaknya Ayah masih sempat melancarkan serangan itu pada pembunuhnya
…."
"Lalu
….?
"Sejak
malam terjadinya pembunuhan itu saya lihat Paman Hisao selalu batuk-batuk dan
sering mengusap dada kirinya … ."
"Anak,
hal itu tidak bisa kau jadikan bukti bahwa Ayahmu telah menghantamnya dengan
pukulan Lima Jari Dewa dan bahwa Hisao Matsunaga yang membunuh Ayahmu …"
"Saya
punya bukti lain. Waktu kau merobek pakaian Paman Hisao dengan ujung pedang,
saya sempat melihat dada kirinya. Saya menyaksikan ada lima titik besar
berwarna merah yang membengkak di dada kirinya. Itu adalah bekas pukulan Lima
Jari Dewa!"
Sepasang
mata ninja merah tampak mendelik.
"Berarti
Paman Hisaolah yang dipukul Ayah dengan ilmu Lima Jari Dewa. Berarti dialah
yang menyamar jadi ninja lalu menyerbu perguruan dan membunuh Ayah …."
"Aku
ingat waktu berkelahi dengan Ketua Perguru-an itu. Ada kejadian yang
mengherankan. Ketika dia menggembor tenaga untuk menahan tekanan pedangku, dari
mulutnya keluar darah. Pertanda dia memang terluka di dalam. Akibat pukulan
Ayahmu."
"Satu
lagi," menyambung si anak.
"Waktu
rombongan kami diserang komplotan ninja, semua anak murid perguruan mati
dibunuh. Mengapa Paman Hisao bisa menyelamatkan diri padahal jelas saya lihat
saat itu dia sudah dikurung oleh lima orang ninja. Tapi dia tidak dibunuh
karena ninja-ninja itu memang orang bayarannya!"
"Akira,
aku kagum dengan kecerdikanmu berpikir…" kata ninja merah pula.
"Kagum
saja tidak ada artinya. Apakah kau juga bersedia menolong mengungkapkan
kekejian ini pada para pengurus Perguruan Emerarudo?
"Aku
berjanji!" jawab ninja merah.
"Terima
kasih …." kata Akira Kasai. Anak ini membungkuk dalam-dalam lalu
menyelinap masuk ke dalam gudang sayur. Tak lama setelah ninja merah lenyap
dalam kegelapan malam, dari atas atap gudang sayur dua sosok tubuh melayang
turun ke tanah.
"Kita
berbagi tugas," kata sosok di samping kanan.
"Aku
tetap di sini menjaga anak itu. Kau mengikuti ninja merah." Kawannya
mengangguk.
"Hati-hatilah.
Komplotan ninja atau orang- orang dari Perguruan bisa muncul setiap saat di
tempat ini.
Sayang
tadi kita tidak sempat mendengar apa yang dibicarakan anak itu dengan ninja
merah. …"
*************************
EMPAT BELAS
DINIHARI
menjelang pagi. Di dua tempat.
Tempat
pertama adalah Perguruan Emerarudo. Upacara pembacaan doa baru saja selesai dan
akan dilakukan lagi pada saat menjelang perabuan jenazah. Ketua perguruan
berada dalam kamarnya. Selesai berganti pakaian dia keluar menuju ke ruangan di
mana telah menunggu beberapa pengurus termasuk Shigero Momochi.
"Ketua,
bagaimana keadaanmu?" tanya Shigero.
"Aku
sudah minum obat. Keadaanku cukup sehat.
Apakah
dua orang yang kusuruh menguntit kemana larinya ninja merah sudah
kembali?" tanya Hisao Matsunaga.
"Belum
Ketua …"
"Kita
harus menyelamatkan dan mendapatkan anak itu kembali …" kata sang Ketua
sambil pegangi dada kirinya. Di luar tiba-tiba ada suara derap kaki kuda.
Tak lama
kemudian dua orang anak murid perguruan yang memiliki keahlian menunggang kuda
secara luar biasa masuk. Setelah membungkuk salah seorang dari mereka memberi
laporan.
"Ninja
merah lenyap, tak berhasil kami ketahui kemana perginya. Tapi putera mendiang
Ketua Noboru Kasai kami ketahui bersembunyi di sebuah gudang sayur dekat sungai
Okaza. Di dekat gudang kami lihat nona Akiko Bessho berjaga-jaga."
"Gadis
murid Hiroto Yamazaki itu memang sudah kucurigai. Kecurigaanku ternyata betul.
Dia berkomplot dengan pendeta dari Puri Sanzen, berkomplot juga dengan ninja
merah dalam menculik Akira Kasai! Aku akan menangani tuntas persoalan
ini!" Hisao Matsunaga masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dipinggangnya
kelihatan tersisip sebilah katana panjang yang gagangnya ada batu-batu
permatanya. Ini adalah pedang kebesaran milik Perguruan Emerarudo yang telah
berumur lebih dari tiga ratus tahun.
"Ketua,"
tiba-tiba Shigero Momochi berkata sambil melangkah.
"Kau
harus tetap berada di sini. Di antara para tamu. Upacara perabuan segera akan
dilakukan siang nanti. Biar aku dan anak-anak yang turun tangan .. ."
"Tidak
bisa Shigerol Aku mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan anak itu dan
menghukum Akiko Bessho. Selesai upacara perabuan jenazah aku bersumpah untuk
mencari sendiri ninja merah sampai dapat .. ."
"Tapi
kau kelihatannya masih kurang sehat Ketua!"
"Siapa
bilang aku kurang sehat” jawab Hisao Matsunaga lalu srettt!
Pedang di
pinggangnya dicabut. Sinar menyilaukan bertaburan. Dess… dess … dessssl Tiga
buah patung yang terbuat dari batu dan terletak di atas sebuah meja panjang
putus disambar pedang. Tiga kepala patung jatuh ke lantai tapi bagian bawahnya
tetap berada di atas meja. llmu kendo yang dlmiliki sang Ketua memang hebat.
Namun kehebatannya ini menjadi tanda tanya ketika dia bisa dirobohkan oleh
ninja merah sebelumnya.
Karena
tak bisa dicegah Shigero Momochi akhirnya hanya bisa diam saja ketika Hisao
Matsunaga dengan cepat meninggalkan perguruan lewat jalan belakang.
Mereka
memacu kuda masing-masing menuju kawasan Okaza. Hisao Matsunaga di depan
sekali.
*************************
Tempat
kedua seperti biasanya setiap pagi doyo besar di markas ninja Nara selalu ramai
dipergunakan untuk latihan berbagai macam senjata. Mereka hanya mengenakan
celana panjang hitam tanpa baju dan penutup wajah. Tubuh mereka memiliki
otot-otot kokoh.
Gerakan
memainkan senjata ataupun ninjutsu sangat gesit dan ringan. Setiap gerakan
mengeluarkan desiran angin.
Seorang
lelaki berusia setengah abad dengan inezumi bergambar naga kepala tiga di dada
kanannya berjalan seputar dojo. Sesekali dia mendekati orangorang yang berlatih
untuk membetulkan kuda-kuda atau memberi tahu cara yang tepat melemparkan
shuriken ataupun memainkan kusarigama dan kendo. Orang ini adalah Shimada
Kagami. Dialah pimpinan tertinggi ninja kelompok Nara, satu dari tiga kelompok
ninja yang paling ditakuti pada masa itu.
Di tengah
ruangan tiba-tiba Shimada Kagami hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling
lalu berseru.
"Hentikan
latihanl Apakah kalian tidak merasakan ada keanehan dalam ruangan ini?” Semua
ninja yang ada dalam dojo ltu hentikan latihan mereka lalu memandang pada
pemimpin mereka. Salah seorang dari mereka mendongak lalu berkata.
"Memang
ada keanehan. Ruangan ini terasa semakin dingin …" Ninja yang lainnya
seolah baru menyadari ikut mengiyakan. Lalu mendadak saja tubuh mereka mulai
bergetar. Rahang menggembung dan geraham bergemeletukan. Hawa dlngin menyerang
dengan hebat. Di tengah ruangan Shimada Kagami coba bertahan.Tapi tidak
sanggup.
"Pada
musim dingin sekalipun tak pernah kejadian sedingin ini. Apa lagi musim dingin
sudah lewat!
Lekas
kenakan pakaian kalian! Kembali ke tempat ini dalam hitungan ke tiga
puluh!" Serta merta dojo itu menjadi kosong. Shimada Kagami juga ikut
lenyap. Tak lama kemudian dia muncul lagi dalam keadaan sudah berpakaian serba
hitam mulai dari kaki sampai kepala.
Ninja-ninja
lainnya menyusul muncul pula.
Semua
lengkap dengan katana di pinggang atau di belakang punggung. Mereka tegak
menyebar di ruangan latihan. Jari-jari tangan dikepal membentuk tinju. Lengan
diluruskan ke depan sejajar pinggang.
"Kerahkan
hawa sakti dari perut! Panaskan aliran darah!" teriak Shimada Kagami.
Semua ninja melakukan apa yang dikatakan. Tapi hawa dingin yang menyerang
bukannya berkurang malah semakin bertambah hingga banyak di antara mereka
tertegak diam seperti membeku. Shimada Kagami membentak keras.
Tubuhnya
melesat keatas langit- langit ruangan. Ada bagian atap yang bergeser. Sesaat
kemudian ketika dia melayang turun sebilah senjata yang memancarkan sinar perak
menyilaukan tergenggam di tangannya.
Hawa
panas yang keluar dari senjata ini ternyata mampu mengurangi dinginnya udara di
dalam dojo.
"Senjata
luar biasal Benar-benar luar biasa!" kata Shimada Kagami. Senjata itu
diputarnya di atas kepala.
Sinar
putih berkiblat ke seluruh penjuru. Suara menggema seperti ratusan tawon
mengamuk memenuhi ruangan dan bersamaan dengan itu hawa panas terasa semakin
santar. Pada saat inilah atap ruangan di ujung kiri tiba-tiba jebol. Satu sosok
merah melayang ke bawah.
"Ninja
merah!"
Seluruh
anggota kelompok ninja Nara termasuk pimpinannya menjadi gegerl Semua tidak bergerak.
Hanya
mata masing-masing diarahkan tak berkesip pada ninja merah yang mereka lihat
berdiri secara aneh.
Mahluk
ini tegak dengan kaki terkembang. Dua tangan diangkat ke atas, telapak
mengembang. Sepasang lengannya tidak berhenti membuat gerakan berputar.
Dari ke
dua telapak tangan ninja merah inilah membersit keluar angin tajam sedingin es!
Semua
ninja anak buah Shimada Kagami seolaholah telah menjadi beku tak sanggup lagi
menggerakkan tangan atau kaki ataupun kepala mereka. Mereka tegak seperti patung
es!
Dalam
marah mereka hendak membentak namun yang keluar hanya suara erang orang
kedinginan! Hanya sang pimpinan yang masih sanggup bertahan. Namun lama-lama
diapun tak sanggup memutar senjata yang dipegangnya. Perlahan-lahan tangan
kanannya jatuh terkulai kesisi.
Ninja
merah melangkah maju dan berhenti kirakira lima tindak dari hadapan Shimada
Kagami.
"Aku
tidak mau mendengar bantahan atau kedustaan! Ucapan ninja adalah ucapan
kesatria!
Beberapa
anak buahmu menyerang seorang pendekar asing dekat sebuah jurang batu. Mereka
merampas senjata berbentuk kapak milik pendekar itu yang kini kau pegang.
Serahkan
senjata itu, aku akan menyerahkannya pada sang pendekar. Lalu aku akan pergi
dari sini tanpa membuat urusan jadi panjang! Kalau tidak kalian semua akan aku
jadikan patung es!!"
"Ninja
keparat! Kau pasti mahluk jadi-jadian!
Mempergunakan
ilmu sihir untuk membuat kami tidak berdaya! Pengecut"
"Kau
mau serahkan kapak sakti itu atau tidak!"
"Kau
boleh mengambil senjata ini sesudah melangkahi mayatku!"
"Ninja
sombong! Mari kita berkelahi dengan pedang. Kalau aku kalah kau boleh bunuh
diriku. Kalau kau kalah kau harus menyerahkan kapak bermata dua itu!"
Sambil berkata begitu ninja merah cabut katananya.
Ujung
senjata ini di usapkannya ke wajah dada dan perut Shimada Kagami. Aneh, ada
hawa panas yang mengalir dari pedang terus masuk ke dalam tubuhnya hingga
Shimada kini merasa hangat dan terbebas dari hawa sangat dingin yang
menguasainya.
"Kau
menerima perjanjian atau tidak?!" tanya ninja merah begitu dilihatnya Shimada
Kagami mulai bisa menggerakkan badan. Pimpinan ninja ini keluarkan suara
mendengus. Kapak di tangan kanannya di lemparkan ke atas. Senjata ini menancap
di salah satu balok penyanggah atap ruangan latihan. Lalu didahului dengan
bentakan garang dia cabut katananya langsung menyerang ninja merah.
Dalam
waktu singkat sepuluh jurus berlalu.
Shimada
Kagami yang merasa berada di atas angin menggempur terus-terusan. Pedangnya
berubah menjadi bayang-bayang. Mendesak ninja merah habishabisan hingga orang
ini kelihatan pontang panting menghindar atau menangkis cari selamat.
Lima
jurus lagi berlalu. Shimada Kagami jadi penasaran. Semua anak buahnya juga jadi
heran melihat pimpinan mereka tak sanggup mengalahkan lawan padahal perkelahian
sudah berjalan lebih dari lima belas jurus. Padahal lagi sang lawan hanya
memegang katananya dengan satu tangan, cara memegang pedang yang tak pernah
mereka lihat selama ini!
Shimada
berleriak keras. Pedangnya menetak deras dari atas ke bawah. Dari perutnya dia
alirkan tenaga dalam.
Tranggg!
Dua
katana beradu keras. Katana di tangan ninja merah terlepas dan mencelat ke
atas.
"Saatmu
menerima kematian!" teriak Shimada Kagami. Ninja merah jatuhkan diri ke
lantai dojo begitu pedang membabat.
Bretttl
Pinggang
pakaiannya robek. Pedang di tangan Shimada menancap di lantai dojo. Selagi dia
berusaha mencabutnya ninja merah gulingkan diri ke samping.
Kaki
kanannya berkelebat.
Bukkk!
Shimada
Kagami mengeluh tinggi ketika tulang kering kaki kanannya dibabat tendangan
lawan.
Pedangnya
terlepas. Tubuhnya roboh ke lantai. Ketika dia mencoba bangun dengan cepat,
gerakannya kalah cepat dengan gerakan ninja merah. Saat itu lawan sudah tegak
di atasnya. Kaki kanan ninja merah menginjak anggota rahasia dibawah perutnya.
"Kalau
kau tidak mengaku kalah, kuhancurkan kemaluanmu!" mengancam ninja merah.
Kaki kanannya ditekankan sedikit hingga Shimada Kagami mengerenyit kesakitan.
Tangan kanannya ditepukkan berkali-kali ke lantai dojo.
"Aku
mengaku kalah! Kau boleh ambil kapak itu Setelah mengambil kapak kau boleh
pergi dengan aman!" kata Shimada Kagami.
Ninja
merah lepaskan pijakannya di selangkangan orang. Sekali lompat saja dia melesat
ke atas untuk menyambar kapak mustika yang menancap di tiang penyanggah atap.
Seorang anak buah Shimada cepat mendorong pintu geser, memberi jalan keluar
pada ninja merah.
Ketika
dia melangkah pergi tiba-tiba ada suara berdesir di belakangnya. Bersamaan
dengan itu terdengar suara orang berteriak memberi ingat.
"Awas
serangan pedang terbang!"
Ninja
merah membalik sambil putar kapak di tangan kanan.
Traaaanggg!
Suara
berdentrangan terdengar lima kali berturutturut.
Lima
katana yang dilemparkan oleh lima anak buah Shimada yang telah terlepas dari
pengaruh hawa dingin mencelat berpatahan di udara.
Shimada
Kagami berteriak marah pada lima anak buahnya yang telah melakukan kecurangan
itu. Dia melompat sambil membabatkan katananya. Namun hukuman dari ninja merah
datang lebih dulu. Tiga kali kapak bermata dua menderu di udara. Tiga ninja
terkapar mandi darah di lantai dojo, dua temannya menggelepar dengan leher
hampir putus!
Keheningan
dan ketegangan berdarah menggantung di tempat itu. Lalu terdengar suara serak
Shimada Kagami.
"Kau
telah menjatuhkan hukuman. Aku merelakan kematian mereka …" Lalu pimpinan
ninja kelompok Nara itu menjura dalam-dalam sampai tiga kali. Ninja merah balas
membungkuk tiga kali lalu tinggalkan tempat itu.
Sampai di
luar bangunan dia memandang berkeliling mencari-cari.
Apa yang
dicarinya itu segera menunjukkan diri.
Dari atas
atap bangunan satu sosok merah melayang turun.
"Mahluk
Bendera Darah!" ujar ninja merah.
"Jadi
kau tadi yang berteriak memberi peringatan.
Aku
berterima kasih kau telah menyelamatkanku dari serangan maut lima katana tadi.
Aku heran bagaimana kau tahu aku berada di markas ninja ini?"
"Aku
dan Akiko menguntitmu. Aku sulit mempercayai ilmu apa yang kau keluarkan hingga
semua ninja itu termasuk pemimpinnya hampir kaku kedinginan?" Ninja merah
tersenyum.
"Kau
menyebut Akiko. Dimana gadis itu sekarang? “
"Di
gudang di tepi sungai Okaza … Kita harus ke sana sekarang. Aku seperti punya
firasat buruk …" Ninja merah melihat dua ekor kuda dekat sebuah pohon. Dia
memberi isyarat pada mahluk bendera lalu berpaling ke arah bangunan dan
berteriak.
"Pimpinan
ninja Nara! Kami pinjam dulu dua ekor kudamu!" Di dalam bangunan Shimada
Kagami menjawab perlahan.
"Untung
kau meminjam kudaku, kalau kau meminjam nyawaku berarti aku akan menghadap Dewa
Kematian!"
*************************
LIMA BELAS
KETIKA
ninja merah dan manusia Bendera Darah sampai di gudang sayur di tepi sungai
Okaza mereka terkejut mendapatkan Akiko Bessho tengah bertempur mati-matian
melawan Hisao Matsunaga dibantu oleh enam orang murid Perguruan Emerarudo.
Gadis ini
telah terluka di beberapa bagian tubuhnya.
Tapi
seperti seekor harimau betina dia menahan serangan lawan bahkan sesekali balas
menyerang dengan sebat. Gadis ini berkelahi dengan membelakangi satu-satunya
pintu gudang sayur. Dia sengaja mengambil kedudukan di pintu yang terbuka itu
untuk mencegah lawan masuk ke dalam di mana bersembunyi Akira Kasai.
"Nona
Akiko! Aku tidak segan-segan membunuhmu kalau kau tidak segera menyerah!"
teriak Hisao Matsunaga.
"Ketua
Perguruan Emerarudo! Antara kita tidak ada silang sengketa! Kalau kau tidak
menyembunyikan sesuatu mengapa kau begitu nekad hendak membunuh diriku! Kau
juga bertindak pengecut! Mengeroyok seorang perempuan sampai tujuh orang!"
Hisao
Matsunaga menyeringai buruk.
"Jelas-jelas
kau ikut terlibat dalam penculikan putera mendiang Ketua kami! Masih bisa
bilang tidak ada silang sengketa!"
"Kau
salah sangka.."
"Diam!"
hardik Hisao Matsunaga. Dia putar pedangnya dengan sebat lalu kirimkan dua
bacokan ganas berturut-turut. Dua kali terdengar suara berdentrangan sewaktu
Akiko berusaha menangkis serangan lawan.
Kali ke
dua pedang di tangannya terpental lepas. Gadis ini terpekik lalu melompat
mundur.
"Jangan
harap aku akan mengampuni nyawamu!"
kertak
Hisao Matsunaga lalu menyergap dengan satu tusukan.
Akiko
Bessho masih sempat berkelit walau lagilagi ujung pedang sempat melukai bahu
kirinya. Tangan gadis ini tiba-tiba terpentang mengeluarkan cahaya perak
menyilaukan. Hisao Matsunaga dan enam anak murid perguruan terkejut. Serentak
mereka menyerbu bersamaan. Akiko hantamkan tangan kanannya.
Wusssl
Sinar
putih berkiblat. Hawa sangat panas menerpa para pengeroyok. Mereka cepat
melompat menjauh. Namun dua orang murid perguruan terlambat bergerak. Tubuhnya
terpental sampal lima kaki lalu menggeletak mati di tanah dalam keadaan hangus!
"llmu
iblis apa yang kau miliki?!" teriak Hisao Matsunaga dengan wajah berubah
sementara empat murid perguruan yang ada di situ menjadi pucat tak berani
mendekat.
Akiko
Bessho tertawa tinggi.
"Kalau
kau ingin tahu mendekatlah kemari!" katanya sambil siapkan "pukulan
sinar matahari!" yang dipelajarinya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali
ini tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya.
Ditantang
begitu rupa Ketua Perguruan Emerarudo menjadi kalap. Dengan pedang terhunus dan
berteriak keras dia menusukkan senjatanya kearah dada Akiko Bessho. Si gadis
siap menyambut dengan pukulan sinar matahari. Tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda mendatangi dari dua arah.
Dari
selatan gudang menyusuri sungai adalah Shigero Momochi bersama dua orang
pengurus dan tiga orang murid perguruan. Dari sebelah timur gudang muncul ninja
merah dan mahluk Bendera Darah.
"Tahan
serangan!"
"Hentikan
perkelahian!"
Tapi
Hisao Matsunaga tidak mau perduli. Pedang nya terus ditusukkan. Akiko
menghantam.
"Akikol
Jangan!" satu teriakan terdengar begitu keras. Lalu satu sambaran cahaya
menerpa ke arah pedang Hisao Matsunaga.
Trang!
Katana
milik Perguruan Emerarudo yang telah berumur ratusan tahun itu mental ke udara.
Jatuh tepat ketika Shigero Momochi sampai di tempt itu. Dengan satu gerakan
cekatan dia berhasil menangkapnya. Wakil Ketua perguruan ini cepat melompat
turun. Sesaat dia memandang ke jurusan ninja merah yang tadi menangkis pedang
Hisao Matsunaga dengan senjata berbentuk kapak mata dua. Lalu dia melirik pada
manusia Bendera Darah. Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho.
"Nona
Akiko!" bentak Shigero Momochi.
"Kau
jelas bersalah karena telah menculik putera mendiang Ketua kami..!” Pintu
gudang sayur tiba-tiba terbuka. Satu suara terdengar menyahuti ucapan Shigero
Momochi tadi.
"Paman
Shigero, tak ada yang menculik diri saya.
Mereka
semua malah berusaha menyelamatkan saya dari tangan berdarah Paman Hisao
Matsunaga!"
Dari
dalam gudang keluarlah sosok Akira Kasai.
Paras
Hisao Matsunaga mendadak sontak berubah.
Namun dia
cepat menguasai diri.
"Akira!
Syukur Dewa kau dalam keadaan selamat!" Akira Kasai tidak perdulikan
ucapan sang Ketua. Dia melangkah ke arah Shigero Momochi.
Sampai di
hadapan orang ini si anak berkata.
"Paman
Shigero, saya mau memberi tahu bahwa Paman Hisao telah memalsukan surat
warisan.
Seharusnya
kaulah yang diangkat Ayah sebagai pewaris Ketua Perguruan..!” Beberapa pasang
mata tampak melotot.
"Akira!
Kau ini bicara apa? Berani kau memfitnah dan memberi malu Ketua kita?! ujar
Shigero.
"Dia
tidak memfitnah dan tidak memberi malu siapapun! Akira, katakan semua apa yang
kau ketahui!"
kata
Akiko Bessho sambil bersandar ke dinding gudang sayur.
Akira
Kasai memandang penuh kebencian pada Hisao Matsunaga lalu anak ini berkata
dengan suara lantang.
"Paman
Hisao! Kau juga yang membunuh Ayah!
Menyamar
sebagai ninja Kau juga yang membunuh sahabatku Keno!"
"Anak,
kau jangan mengada-ada. Masakan aku.."
Hisao
Matsunaga melangkah mendekati anak itu. Tibatiba cepat sekali tangannya
menjambak rambut Akira. Si anak dibembengnya hingga menempel ke dadanya. Lalu
sebuah pisau beracun yang tahu-tahu sudah ada di tangan kirinya diarahkan ke
leher Akira.
"Siapa
berani mendekat kugorok leher anak ini!"
kertak
Hisao Matsunaga dengan wajah sebengis setan.
"Paman
Shigero, saya tidak takut matil Ada bukti tanda pukulan Lima Jari Dewa yang
dilepaskan ayah di dada kirinya!" berteriak Akira Kasai.
Shigero
Momochi berteriak keras. "Hisao! Apa benar yang dikatakan anak ini?”
"Benar
atau tidak aku tak punya waktu buat menerangkan!" jawab Hisao Matsunaga.
Lalu dia mundur ke arah seekor kuda.
"Awas
jika ada yang berani menghalangiku!" Dia mundur lagi dan hampir sampai ke
kuda yang akan dipergunakannya melarikan diri sambil menyandera Akira Kasai.
Tapi
tiba-tiba sekali ninja merah melompat ke arahnya. Tangannya bergerak dua kali.
Hisao Matsunaga mengeluarkan suara seperti tercekik. Mulutnya tak bisa bersuara
lagil Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya menjadi kaku akibat dua totokkan
yang dilakukan ninja merah tadi. Semua orang yang ada di situ kecuali Akiko
Bessho jadi terkejut. Mereka memang pernah mendengar tentang ilmu totokan yang
bisa membungkam suara dan melumpuhkan orang tapi seumur hidup baru sekali itu
melihatnya.
Akira
Kasai menggeliat. Dengan susah payah dia melepaskan diri dari rangkulan Hisao
Matsunaga begitu turun di tanah anak ini hunus pedangnya. Semua orang menyangka
anak ini akan menusukkan senjata itu ke tubuh Hisao Matsunaga ternyata dia
hanya merobek kimononya di bagian dada kiri.
Bretttttt
Kimono
robek besar. Dada kiri Hisao Matsunaga tersingkap lebar Kelihatan lima bintilan
merah di dadanya. Shigero Momochi medatangi sang Ketua dan memperhatikan
dekat-dekat dada itu.
"ini
memang bekas pukulan Lima Jari Dewa…." katanya.
"Hisao!
Kau benar-benar keji!" Shigero Momochi tampak sangat kecewa. Orang ini
putar tubuhnya membelakangi Hisao Matsunaga seperli hendak melangkah pergi.
Tapi tiba-tiba dia membalik. Satu cahaya putih berkiblat.
Craassss!
Katana
yang diayunkan Shigero Momochi membabat perut dan dada Hisao Matsunaga. Darah
basahi kimononya yang robek besar. Tubuhnya huyung lalu roboh terlentang di
tanah. Tak bergerak lagi, mati dengan mata melotot.
Dari
balik robekan pakaian tersembul sebuah benda berwarna kuning Akira Kasai
tercekat. Anak ini melompat lalu mencabut benda kuning itu. Ternyata sebuah
amplop.
Dengan
tangan gemetar Akira membuka amplop lalu mengeluarkan sehelai kertas yang ada
di dalamnya.
Anak ini
tidak membaca lagi apa yang tertulis di kertas itu tapi matanya langsung
memperhatikan bagian sudut bawah kiri. Di situ dilihatnya noda tinta yang
sangat dikenalinya. Dengan mata berlinangan Akira Kasai melangkah mendekati
Shisero Momochi. Surat yang dipegangnya diserahkan pada orang ini. Shigero
Momochi membaca surat itu.
Tiba-tiba
tangannya tampak ber-getar. Mulutnya berhenti membaca. Sepasang matanya
memandang pada Akira Kasai. Seperti tidak Percaya apa yang barusan dilihat dan
dibacanya. Sebaliknya Akira Kasai mengusut air matanya dan memandang padanya
dengan tersenyum
"
Paman Shigero, itu surat warisan asli yang dibuat Ayah, Kaulah Pewaris jabatan
Ketua Perguruan Emerarudo yang syah.” Ketika dia hendak meluruskan tubuhnya.
Shigero Momochi Cepat merangkulnya dan berbisik.
"Aku
tidak percaya. Bagaimana aku manusia kasar dan tolol ini diberi kepercayaan
begitu besar oleh ayahmu…"
"Ayah
tahu apa yang dilakukannya. Asal saja kau jangan suka mabok lagi Paman Shigero
…"
Dua mata
Shigero Momochi tampak berkata-kaca.
"Soal
minuman itu. Hisao Matsunaga yang mengajarkan padaku. Dia mengirimkan berbagai
minuman keras ke kamarku. Setiap hari. Sejak lima tahun yang lalu…..”
"Ah,
berarti dia memang sudah mengatur jauhjauh hari. Sengaja menjadikan kau orang
jelek dimata semua orang di perguruan. Kami semua tahu kau memang jelek rupa
dan jelek sifat. Namun hatimu Seputih Salju di puncak Fuji dan jiwamu bersih
sebersih bunga sakura yang mulai bersemi….”
Ucapan
Akira Kasai itu sangat menyentuh perasaan Shigero Momochi hingga dia memeluk
anak itu erat-erat sementara air mata jatuh membasahi pipinya.
"Paman
Shigero, sembunyikan air matamu. Jangan Sampai ada orang lain yang melihat.
Masakan Ketua Perguruan besar menangis seperti anak kecil.."
Shigero
Momochi mau tak mau jadi tersenyum.
Sambil
mendukung Akira dia mendatangi ninja merah, mahluk Bendera Darah dan Akiko
Bessho.
"Kalau
tidak dengan bantuan kalian bertiga, entah apa jadinya dengan Akira dan
perguruan kami. Aku atas nama Pribadi dan perguruan Emerarudo mengucapkan
terima kasih besar…..”
Lalu
Shigero Momochi membungkuk tiga kali.
Setelah
itu dia berpaling pada Akiko Bessho.
"Nona
Akiko, kami harap kau suka ikut ke perguruan untuk mengobati luka-lukamu. Kau
kelihatan pucat. Tubuhnya tentu lemas karena banyak mengeluarkan darah .. !”
Lalu
Shigero berkata pada Bendera Darah dan ninja merah.
"Aku
juga mengundang kalian berdua kembali ke perguruan…"
Sepantasnya
aku menerima undangan kehormatan dan pengobatan itu. Hanya dua temanku ini
mungkin akan menyusul kemudian. Ada urusan penting yang harus mereka
selesaikan.."
Habis
berkata begitu Akiko Bessho naik ke atas punggung seekor kuda dibantu oleh
ninja merah Shigero juga naik ke atas kudanya sambil terus menggendong Akira.
"Nona
Akiko.. Urusan pada maksudmu…?" Ninja merah tiba-tiba bertanya.
"Aku
tidak merasa ada urusan apa-apa dengan mahluk aneh ini!"
Akiko
Bessho tertawa lebar. Dia dekatkan kudanya pada ninja merah lalu membungkuk
berbisik.
"Dia
mencintaimu. Jangan kecewakan hatinya …"
"Kau
gila… Masakan aku.. Lelaki atau perempuan nya pun aku tidak tahu …"
Ninja
merah tak bisa meneruskan ucapannya karena saat itu Akiko Bessho sudah
menggebrak kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Tiba-tiba
kelihatkan kuda yang membawa Shigero Momochi dan Akira berbalik mendatangi.
"Ada
apakah?" tanya ninja merah. Dari atas punggung kuda Akira Kasai meluncur
turun. Dia menanggalkan katana yang tergantung di pinggangnya lalu menyerahkan
pada ninja merah seraya berkata.
"Aku
kalah taruhan. Kau boleh ambil pedang ini..!”
"Heh,.
aku tidak sungguhan….." jawab ninja merah agak sungkan menerima senjata
itu.
"Sungguhan
atau tidak terimalah sebagai tanda terima kasih saya …"
Ninja
merah mau tidak mau mengambil pedang itu. Akira Kasai membungkuk lalu dibantu
Shigero anak ini naik kembali ke atas kuda.
Di saat
hari mulai terang-terang tanah kini di tempat itu hanya tinggal ninja merah dan
manusia Bendera Darah berdua saja yang tegak saling berhadap-hadapan.
"Gadis
itu mencintaimu …" tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut Bendera Darah.
"A …
apa?!" Paras di balik penutup wajah ninja merah jadi bersemu merah.
"Justru
tadi dia bilang kau mencintaiku!" Kini wajah yang tersembunyi dibalik
bendera- bendera merah itu yang jadi jengah kemerahan.
"Kau
ini … siapa kau sebenarnya?" tanya ninja merah.
"Wajah
dan sekujur tubuhmu tersembunyi di balik ratusan bendera."
"Kau
sendiri siapa? bukankah kau Pendekar 212 Wiro Sableng? Gaijin itu …?"
balik berucap mahluk Bendera Darah.
"Aku
tak kenal orang yang kau sebutkan itu!"
"Jangan
berdusta! Coba buka penutup kepalamu!
Perlihatkan
wajahnya! Jika kau memang seorang ninja kesatria!"
"Aku
tidak keberatan memperlihatkan diri," jawab ninja merah. Lalu dengan
tangan kanannya dibukanya kain merah yang menutupi kepala dan wajahnya.
Melihat
wajah yang kini terpampang di depannya, mahluk Bendera Darah keluarkan seruan tertahan.
"Bukan
dia! Jadi kau memang bukan pendekar asing bernama Wiro itu..? "
“Kau
kecewa….?” tanya ninja merah.
Mahluk
bendera Darah tidak menjawab. Seolah pada dirinya sendiri terdengar dia berkata
perlahan.
"Lalu
… lalu kemana perginya pemuda itu …?" Orang di depan Bendera Darah tertawa
lebar.
"Jika
kau mau memperlihatkan dirimu sendiri aku bersedia memberi tahu dimana pemuda
itu berada!”
"Aku
tidak percaya …"
‘Kalau
begitu kau tidak ingin bertemu dengannya?" Bendera Darah tampak meragu.
Dia menyerah.
"Baiklah,
kau boleh melihat diriku …" Lalu dia membuat gerakan cepat sekali seperti
orang membuka penutup kepala dan pakaian. Ternyata ratusan bendera merah yang
menancap ditubuhnya itu tersisip pada sebuah jubah tebal. Ketika jubah dibuka
kelihatanlah wajah dan tubuhnya.
Ninja
merah sampai ternganga terkesiap begitu melihat siapa yang tegak di depannya.
Seorang gadis cantik berambut coklat, mengenakan sehelai pakaian kuning tipis
sehingga lekuk tubuhnya yang bagus membayang.
"Namamu
Yori… Benar…?" ninja merah bertanya.
Gadis
cantik di hadapan ninja merah mengangguk.
"Sekarang
tepati janjimu. Katakan dimana kau bisa menemui gaijin bernama Wiro itu …"
"Dia
ada di dekatmu," jawab ninja merah. Ketika si gadis memandang berkeliling
mencari-cari ninja merah cepat-cepat lepaskan topeng tipis yang menutupi kepala
dan mukanya.
"Tak
ada siapa-siapa di sini. Kau berdusta!" kata si gadis seraya balik
memandang ke depan kembali.
Lalu
berubahlah parasnya. Merah terkejut tapi disusul dengan senyum gembira.
"Kau
…!” katanya dengan lidah seperti kelu.
"Jadi
selama ini kau menyamar menjadi ninja merah..!” Ninja merah garuk-garuk
kepalanya.
"Aku
hanya menuruti nasihatmu tempo hari. Katamu setelah aku membunuh ninja maka
kemanapun aku akan dikejar sampai mereka bisa membunuhku! Apakah sekarang
setelah tahu siapa diriku kau akan memberitahu ninja? Atau mungkin kau sendiri
yang hendak membunuhku karena masih dendam atas kematian nenek Arashi?" Si
gadis geleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Wiro,"
katanya,
"apakah
kau akan cepat-cepat pergi ke Perguruan Emerarudo memenuhi undangan Shigero
Momochi tadi”
"Bersamaku
saat ini ada seorang gadis cantik jelita. Adalah tolol kalau aku malah pergi
melihat orang mati….."
Yori
alias gadis Bendera. Darah tertawa cekikikan.
Wiro
mengembangkan ke dua tangannya. Tanpa ragu-ragu si gadis menjatuhkan dirinya ke
dalam pelukan pemuda itu. Ke duanya saling peluk dan masih terus bercumbu
berangkulan walaupun hari mulai terang tanda malam telah berganti siang.
TAMAT
No comments:
Post a Comment