Azab Sang Murid
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
1
DALAM
Episode sebelumnya (Lentera Iblis) dituturkan kejadian perkelahian hebat antara
dua nenek sakti dedengkot rimba persilatan yaitu Hantu Malam Bergigi Perak
dengan Sinto Gendeng. Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal akibat hantaman
ilmu sakti Sepasang Sinar Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng dari kedua
matanya. Sementara Sinto Gendeng sendiri walau mampu bertahan hidup namun
keadaannya babak belur dan menderita luka dalam yang cukup parah. Mata kiri
lebam merah biru. Dalam keadaan setengah pingsan setengah sadar entah dari mana
datangnya mendadak muncul satu cahaya bergemerlap. Sinto Gendeng yang hanya
mampu melihat dengan satu mata, terkesiap kaget sewaktu satu makhluk aneh
berbentuk bayang-bayang perempuan cantik sekali dengan rambut tergerai lepas melayang
ke arahnya. Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto merasa ada sesuatu yang
lenyap dari tubuhnya. Dia hanya bisa berteriak. Lalu tersungkur roboh,
tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan.
Akibat
dentuman dahsyat beradunya pukulan-pukulan sakti Hantu Malam Bergigi Perak dan
Sinto Gendeng yang terjadi sebelumnya, Setan Ngompol terpental dan menyangsrang
di atas serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata mendelik. Dada berdenyut
sakit sedang kencing muncrat awur-awuran. Untuk beberapa lama kakek ini
terpentang tak bergerak. Tubuhnya seolah lumpuh.
Makhluk
perempuan bayangan berkelebat ke arah Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek
menatap dengan mata melotot. Tubuh terhuyung lemas akhirnya terguling di tanah.
Pandangan mata sedikit demi sedikit menjadi kabur.
“Nek, aku
tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan. Kitab itu ada padaku. Kalau sudah
kupergunakan, aku akan mencarimu dan menyerahkannya padamu…”
“Kau
siapa…” Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau, dada sesak. Nafas
megap-megap tinggal satusatu.
“Aku
seorang sahabat.”
Si nenek
gelengkan kepala.
“Kita
tidak mungkin bertemu lagi. Luka di bahuku mengandung racun jahat. Selain itu
aku kehabisan darah. Umurku tidak lama. Jika aku mati serahkan kitab itu pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku yang
sangat memerlukan pertolongan. Hanya petunjuk dalam kitab yang bisa
menyembuhkan mereka. Jika pendekar itu inginkan salah satu dari dua muridku,
dia tinggal memilih. Aku tahu dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka
berjodoh dan bahagia.”
“Nek, kau
tidak akan mati. Aku akan menolong.”
Makhluk
bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi Perak.
Namun kepala si nenek lebih dulu terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui ajal
dengan sepasang mata nyalang terbuka. Makhluk bayangan usap dua mata si nenek
hingga tertutup lalu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.
***********************
TAK
selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang
terjadi lalu begerak duduk di tanah. Meraba sekitar pinggang. Mencari-cari kian
kemari. Dia tidak menemukan benda itu. Lenyap! Kaget si nenek laksana disambar
petir.
“Jahanam
kurang ajar! Siapa mencuri kitab?!” Nenek ini melompat dari duduknya, berdiri
terhuyung-huyung.
Pandangan
mata kanannya membentur sosok Hantu Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek
sudah tak bernyawa lagi. Sinto Gendeng memeriksa seluruh tubuh Hantu Malam
namun tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Saking marahnya Sinto Gendeng
tendang tubuh orang hingga terpental sampai beberapa tombak. Nenek sakti dari
Gunung Gede ini kemudian putar tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan
Ngompol yang tergeletak tak berdaya, menyangsrang di atas rumpunan semak
belukar. Sinto Gendeng melangkah mendatangi.
“Setan
tua keparat! Semua ini terjadi gara-gara kau! Mana kitab itu?! Kau pasti yang
mengambil!”
“Sinto,
aku…”
“Mana
kitab itu?!”
“Aku
tidak mengambilnya. Aku…” Ucapan Setan Ngompol terputus.
Plaaakkk!
Satu
tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol membuat pecah bibir si kakek.
“Sinto!
Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri!”
“Siapa
bilang kita berteman?! Aku memang sudah gila! Aku bukan cuma ingin menghajarmu
tapi membunuhmu! Kau dengar?! Aku ingin membunuhmu!”
Habis
berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke tubuh Setan
Ngompol.
Kraakkk!
Setan
Ngompol menjerit.
Tiga
tulang iganya berderak patah. Kakek ini megamegap beberapa kali, kucurkan air
kencing lalu tak berkutik lagi.
Tak
selang berapa lama setelah Sinto Gendeng pergi dan kegelapan malam mulai
menyelimuti tempat itu, dua bayangan tampak berkelebat gesit. Ternyata mereka
adalah dua gadis cantik, satu berpakaian merah satu lagi berpakaian biru.
Gadis
berpakaian biru yang berada di sebelah depan tiba-tiba keluarkan jeritan.
“Kakak
Liris Merah! Di sini! Lihat!”
Lalu si
biru ini melompat ke depan, jatuhkan diri di tanah di mana tergeletak sosok
Hantu Malam Bergigi Perak yang telah jadi mayat.
“Guru!”
Liris
Biru dan Liris Merah sama-sama terpekik lalu peluki jenazah sang guru.
“Guru…”
Tangis Liris Merah. “Kalau guru mengizinkan kami ikut bersamamu, hal ini tak
mungkin terjadi. Tak mungkin!”
“Guru
kalau kau tidak ada bagaimana kami? Putus sudah usaha mencari Kitab Seribu
Pengobatan.” Isak Liris Biru. “Lebih baik kami menyusul guru!” Lalu dengan
nekad gadis cantik bernama Liris Biru benturkan keningnya ke tanah. Hanya
setengah jengkal lagi kening itu akan menumbuk tanah, Liris Merah cepat
melintangkan tangan kanan, tahan kening adiknya hingga tak sempat membentur
tanah.
“Liris
Biru! Jangan bertindak bodoh! Guru sudah pergi! Kita tak bisa membuat kebajikan
apa selain mencari siapa pembunuhnya!”
Liris
Biru menggerung panjang. Dua murid Hantu Malam Bergigi Perak itu menangis
sambil berpelukan.
“Sudah!
Cukup! Tidak ada gunanya mengeringkan air mata,” ucap Liris Merah sambil usap
kedua matanya yang basah. “Kita harus membawa jenazah guru ke Goa Cadasbiru.
Kita makamkan di sana. Kita berangkat sekarang juga. Sebelum pagi mudah-mudahan
kita sudah bisa menguburkan jenazah guru.”
“Bagaimana
kita membawa jenazah guru. Bergantian memanggulnya?” tanya Liris Biru.
Liris
merah berdiri. Memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sosok Setan
Ngompol yang masih tertelentang di atas semak belukar, mulai sadarkan diri.
“Lihat!”
Liris Merah berkata sambil menunjuk. Dua gadis itu segera mendatangi Setan
Ngompol.
“Kau
rupanya!” seru Liris Merah begitu mengenali siapa adanya orang itu. “Jangan
pura-pura pingsan! Kau mendekam di sini sengaja mendengarkan pembicaraan kami!”
“Pasti
dia yang membunuh guru! Kita habisi saja dia sekarang juga!”
“Aku
setuju!” sahut Liris Merah.
Dua gadis
angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Satu diarahkan ke muka dan satu lagi
ditujukan ke dada Setan Ngompol. Kalau hantaman dua tangan mendarat di sasaran,
niscaya nyawa si kakek tidak tertolong lagi! Setan Ngompol delikkan mata.
Terbatuk-batuk, kucurkan air kencing tapi cepat membuka mulut.
“Tahan!
Bukan aku yang membunuh guru kalian! Membunuhku tak ada gunanya!”
“Kakek
bau pesing! Kau hendak mencari kambing hitam menuduh orang lain yang membunuh
guru kami?!” bentak Liris Merah.
“Aku
bersumpah mengatakan hal sebenarnya. Aku tidak membunuh guru kalian. Yang
membunuhnya adalah. Ah, aku tak mungkin mengatakan…”
Liris
Merah dan Liris Biru jadi marah.
“Buat apa
bicara banyak! Kakak, ayo kita bunuh orang ini sekarang juga!” kata Liris Biru.
“Sinto
Gendeng! Nenek itu yang membunuh guru kalian!” kata Setan Ngompol setengah
berteriak lalu kucurkan air kencing.
“Siapa
percaya ucapanmu! Kau menuduh orang lain untuk cari selamat!” Liris Biru
pelintir telinga kanan Setan Ngompol hingga kakek ini meringis kesakitan dan
pancarkan air kencing.
Setan
Ngompol jadi jengkel. “Kalian tidak percaya itu urusan kalian! Kalian tetap mau
membunuhku silahkan! Namun kalian tidak bakal mendapat keterangan tentang Kitab
Seribu Pengobatan!”
Kakak
beradik Liris Merah dan Liris Biru saling pandang.
“Mengapa
diam saja? Ayo silahkan bunuh aku sekarang juga!” Setan Ngompol menantang
karena tahu dua gadis cantik itu berada dalam kebimbangan.
“Kau tahu
di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan itu? Apa guru sudah mendapatkannya,
lalu…”
“Aku akan
ceritakan semua yang terjadi. Bantu aku turun dari semak belukar celaka ini!”
Liris
Merah dan Liris Biru walau agak jijik terpaksa bantu menurunkan Setan Ngompol
dari atas semak belukar. Untuk beberapa lamanya kakek ini duduk bersila di
tanah. Kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke bagian tubuh yang terluka yaitu
tiga iga sebelah kanan yang patah!
Dia
mengerenyit kesakitan berulang-ulang. Di sebelah bawah kencingnya berkucuran.
“Sinto
Gendeng memukul patah tulang igaku! Dia hendak membunuhku! Untung Gusti Allah
masih menyelamatkan selembar nyawa orang tua bobrok ini!”
“Kami
tidak mau mendengar celotehanmu! Katakan di mana Kitab Seribu Pengobatan!”
“Sampai
beberapa saat lalu kitab itu ada pada Sinto Gendeng. Aku tidak tahu dari mana
dia mendapatkan. Lalu muncul gurumu. Dia berniat meminjam kitab secara
baikbaik. Tentu saja Sinto Gendeng tidak mau memberikan. Terjadi perkelahian
hebat. Aku berusaha mencegah agar keduanya tidak saling bunuh. Tapi gagal. Guru
kalian menemui ajal. Sinto Gendeng luka parah. Kitab yang ada padanya dirampas
satu makhluk aneh yang muncul secara mendadak. Makhluk ini berupa seorang
perempuan cantik berambut hitam panjang berbentuk bayang-bayang…”
“Kau
mengarang cerita!” hardik Liris Merah sambil kepalkan tinjunya di depan hidung
si kakek. Kencing Setan Ngompol langsung terpencar.
“Terserah
kau mau bilang apa!” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perut.
“Kalau kau pukul kepalaku, aku tidak akan meneruskan cerita!” Si kakek lalu
sengaja menantang dengan ulurkan kepala dekat-dekat ke wajah Liris Merah. Si
gadis justru jauhkan mukanya lalu dorong kepala Setan Ngompol dengan tangan
kiri. Setan Ngompol tertawa mengekeh merasa menang. Tiba-tiba tawanya berhenti.
Liris Biru berdiri di hadapannya sambil pegang seekor kalajengking.
“Eh… eh
kau dapat dari mana binatang itu?!” Setan Ngompol bertanya sambil melangkah
mundur. Tapi Liris Merah yang sudah berada di belakang menahan punggungnya.
“Kakek
kuping terbalik! Kalau kau tidak meneruskan cerita, berani mempermainkan kami,
kalajengking ini akan aku masukkan ke dalam celanamu!”
“Jangan!
Aku tidak mempermainkan kalian! Buang dulu binatang sial itu! Lihat, kencingku
mengucur terus. Aku mana bisa cerita kalau ditakut-takuti seperti ini?!”
Liris
Biru tersenyum. Kalajengking dibuang lalu dia berdiri sambil rangkapkan tangan
di depan dada, menunggu si kakek melanjutkan ceritanya.
“Eh, anu…
sampai di mana tadi ceritaku?”
“Sampai
di anumu!” jawab Liris Biru saking kesal.
“Ada
makhluk aneh perempuan cantik berupa bayangbayang. Makhluk itu merampas Kitab
Seribu Pengobatan…” Liris Merah mengingatkan walau dia ikutan jengkel.
“Betul,
makhluk aneh merampas kitab dari Sinto Gendeng. Sebelum pergi aku lihat dia
mendekati guru kalian yang sedang sakarat. Makhluk itu berkata kalau dia sudah
mempergunakan kitab, kitab akan diserahkan pada guru kalian. Tapi karena tahu
ajalnya akan segera sampai, guru kalian menjawab agar kitab nanti diserahkan
saja pada Pendekar 212 Wiro Sableng…”
“Pemuda
itu! Di mana dia sekarang?!” tanya Liris Merah.
“Dia
pergi ke Gunung Gede, menemui seorang kakek sakti.” jawab Setan Ngompol.
“Apa dia
masih ingat kami?” tanya Liris Biru.
“Tentu
saja. Apalagi kalian berdua dulu menghadiahkan ciuman padanya. Aku yang tidak
kebagian. Ha… ha… ha!” Wajah dua gadis kakak adik itu tampak berubah merah.
“Aku
sedih melihat kematian guru kalian. Kalian harus mengurus jenazahnya
baik-baik…”
“Kami
akan membawa jenazah guru ke Kaliurang. Akan kami kubur dekat goa Cadasbiru.”
“Aku
ingin mengantar kalian. Tapi keadaanku begini rupa. Dua mungkin tiga tulang
igaku patah. Biar aku menyusul saja…” Setan Ngompol usap-usap barisan tulang
iganya sebelah kiri.
“Apa
masih ada keterangan lain yang hendak kau sampaikan?” tanya Liris Biru.
Setan
ngompol usap-usap kepalanya yang setengah botak dengan tangan kiri. Enak saja.
Padahal tangan itu basah oleh air kencing. “Aku ingat ucapan guru kalian
sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Waktu itu dia bicara pada makhluk
perempuan bayangan. Katanya jika Pendekar 212 inginkan muridnya, dia bisa
memilih salah satu dari kalian.”
Dua gadis
cantik kakak beradik jadi tercekat mendengar ucapan Setan Ngompol itu.
“Apakah…”
Liris Biru hendak bertanya tapi kakaknya memotong.
“Kami
tidak jelas apa ucapanmu bisa dipercaya. Saat ini kami akan segera membawa
jenazah guru ke Kaliurang.”
“Kalau
saja aku tidak cidera patah tulang begini rupa, pasti aku yang akan memanggul
guru kalian. Membawanya ke Kaliurang.”
“Kau bisa
menolong kami dengan cara lain,” kata Liris Merah pula. “Cari Pendekar 212.
Katakan sangkut paut dirinya dengan kitab yang menurutmu kini berada di tangan
makhluk perempuan bayangan.”
Habis
berkata begitu, dibantu adiknya, Liris Merah naikkan jenazah Hantu Malam
Bergigi Perak ke bahu kanan.
Setan
Ngompol pejamkan dua mata, kepala ditengadahkan. Sikapnya menunggu sambil
mengulum senyum.
Plaakk!
Liris
Biru walau hanya pelan saja, tampar pipi kanan si kakek.
“Oala!
Mengharap diberi ciuman malah ditampar!”
Setan
Ngompol buka mata dan usap-usap pipinya yang kena ditampar tapi mulutnya
menyeringai. “Tidak apa. Tangan yang menampar halus sekali. Hik… hik!”
Sesaat
kemudian dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak lenyap di kegelapan
malam. Setan Ngompol menarik nafas berulang-ulang lalu meringis karena bagian
dadanya sebelah kiri terasa sakit seperti dicucuk.
“Aku
memang harus mencari anak setan itu! Tapi siapa sudi menyusul jauh-jauh ke
Gunung Gede. Nanti dia akan muncul sendiri! Dari dulu dia membuat aku kebagian
pekerjaan yang tidak enak terus!”
********************
2
SEBUAH
gerobak ditarik seekor kuda tua tersendatsendat mendaki jalan tanah berbatu-batu.
Di atasnya selain kusir gerobak duduk dua penumpang yaitu Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Nyi Retno Mantili. Hutan jati di mana pondok kediaman Ki Tambakpati
berada hanya tinggal sepertiga hari perjalanan. Udara terasa panas. Siang itu
matahari memancarkan sinar sangat terik.
“Wiro,
kita datang dari arah yang salah. Di sebelah depan jalan tambah sulit. Saya
kasihan pada kuda penarik gerobak. Bagaimana kalau kita berhenti di sini saja.
Kita bisa melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Imogiri di sebelah sana.
Hutan-hutan jati di arah situ. Hanya tinggal dekat dari sini. Lewat jalan
memintas dan mempergunakan ilmu lari kita bisa sampai lebih cepat.”
Wiro
perhatikan kuda tua penarik gerobak. Sekujur tubuh binatang yang kurus ini
berkilat basah oleh keringat. Pada kedua sudut mulutnya tampak ludah membuih.
Kepala termiring-miring dan kaki depan sering terserandung. Wiro menyuruh kusir
gerobak berhenti. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sekeping kecil perak
berkilat. Kusir gerobak, seorang tua bermuka bopeng membungkuk berulang kali
dan mengucapkan terima kasih tiada henti. Tapi dia tidak mengambil kepingan
perak itu.
“Terima
kasih, saya tidak berani menerima pembayaran…”
“Kami
menyewa gerobakmu. Itu bayarannya. Apa kurang… ?” tanya Wiro.
“Tidak, tidak
kurang. Malah lebih. Kita satu tujuan seperjalanan. Tidak disewa pun saya akan
melalui tempat ini. Mana pantas saya minta bayaran.”
Selagi
Wiro dan Nyi Retno keheranan, kusir gerobak berkata lagi.
“Den Mas
dan Den Ayu, saya hampir kelupaan. Sewaktu kita singgah di desa Kemanten dua
hari lalu ada seseorang menitipkan sesuatu pada saya. Orang itu berpesan agar
benda tersebut diserahkan pada Raden berdua sesampainya di tujuan. Kalau Raden
tidak berkeberatan, saya akan menyerahkan sekarang.”
Wiro
tatap wajah bopeng orang di hadapannya. Kusir gerobak membuka caping bambu.
Dari dalam caping dia mengeluarkan sebuah benda bergulung. Setelah benda
diserahkan pada Wiro sang kusir membungkuk mohon diri lalu melompat naik ke
atas gerobak. Wiro tak sempat lagi menanyakan siapa adanya orang yang
menyerahkan benda tersebut pada kusir gerobak.
Begitu
melewati tikungan jalan yang menurun, kusir gerobak lemparkan caping di atas
kepala lalu jari-jari tangannya melepas satu lapisan tipis yang menempel
menutupi wajah. Ternyata orang ini mengenakan sehelai topeng tipis. Orang yang
tadi bermuka bopeng itu kini kelihatan tampangnya yang asli. Bulat berkumis dan
berjanggut tebal. Dari balik lantai papan gerobak dia mengambil sebuah tarbus
merah lalu dipakai di atas kepala. Pakaian lusuh dibuka. Kini tampak dia
mengenakan baju dan celana hitam. Pada dada kiri baju hitam terpampang sulaman
benang kuning bergambar rumah joglo serta dua keris bersilang. Lambang
orangorang Keraton Kaliningrat.
Orang
berpakaian serba hitam dan mengenakan tarbus merah ini memang adalah anggota
penting dalam Keraton Kaliningrat. Namanya Damar Sarka. Waktu pertemuan di
Hutan Ngluwer yang diserbu oleh Wulan Srindi, dialah yang menyerahkan
seperangkat pakaian hitam pada Wulan Srindi sebagai tanda bahwa gadis itu telah
diangkat menjadi anggota penting orang-orang Keraton Kaliningrat (Baca Episode
sebelumnya berjudul Nyi Bodong).
Wiro dan
Nyi Retno mencari tempat yang teduh untuk duduk. Disaksikan Nyi Retno Mantili,
Wiro membuka benda bergulung yang ternyata adalah selembar daun lontar. Di atas
daun lontar ini tergurat serangkaian tulisan berupa surat yang cukup panjang.
Menemui
sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng,
Tokoh
rimba persilatan yang kami hormati,
Kami tahu
Pendekar dan Eyang Sinto Gendeng di masa lalu telah banyak menanam jasa pada
kerajaan. Saat ini tahta dikuasai oleh orang yang tidak berhak. Pangeran Tua
Sri Paku Jagatnata yang seharusnya menduduki tahta memegang kekuasaan
dikucilkan. Jiwa dan keluarganya terancam. Dengan segala kerendahan hati kami
mohon Pendekar sudi berbuat jasa sekali lagi demi kerajaan, ikut bersama kami
menumpas penguasa yang tidak berhak dan serakah. Untuk itu perkenankanlah kami
mengundang Pendekar dalam satu pertemuan yang akan diadakan pada Jum’at hari ke
15 bulan ini. Kami menunggu kedatangan Pendekar dengan segala harap dan hormat
di Candi Pangestu di Plaosan tepat tengah malam.
Kami para
pucuk pimpinan Keraton Kaliningrat sudah sepakat untuk mempercayakan jabatan
Panglima Balatentara Kerajaan pada Pendekar jika perjuangan kita berhasil dan
tentu saja dengan bantuan Pendekar pasti berhasil.
Salam
perjuangan Keraton Kaliningrat
Atas nama
Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata
Tertanda,
Pangeran Muda Brata Sukmapala
Nyi Retno
Mantili ambil surat daun lontar dari tangan
Wiro,
memperhatikan lalu membaca perlahan-lahan.
Setelah
itu perempuan bertubuh mungil ini tertawa.
“Kenapa
tertawa?” tanya Wiro.
“Kita
tertipu.”
“Tertipu
bagaimana?”
“Kusir
gerobak itu bukan kusir benaran. Pasti dia orang Keraton Kaliningrat yang
menyamar. Dia telah mengenali dirimu sebagai Pendekar 212. Kalau tidak
bagaimana mungkin surat daun lontar itu diberikannya padamu.”
Wiro
menggaruk kepala. Tersenyum lalu berkata. “Nyi Retno cerdik sekali.”
“Ah, saya
cuma perempuan kurang ingatan. Hik… hik… hik,” jawab Nyi Retno lalu tertawa
cekikan.
Wiro
pegang lengan Nyi Retno
“Keraton
Kaliningrat. Saya rasa-rasa pernah mendengar nama keraton itu sebelumnya.
Mungkin sekali…”
“Apakah
kau akan memenuhi undangan pertemuan itu? Hari Jum’at hari ke lima belas hanya
tinggal dua hari dari sekarang. Plaosan kurang sehari perjalanan dari sini.”
Wiro
menggeleng.
“Kenapa
tidak mau?” tanya Nyi Retno sambil mengusap lengan Wiro yang ditumbuhi
bulu-bulu hitam tebal.
“Saya
tidak mau terlibat urusan kerajaan. Saya tidak tahu siapa itu Pangeran Muda
Brata Sukmapala. Permintaan bantuan dengan iming-iming jabatan besar biasanya
mengandung hal yang tidak wajar. Ada beberapa perkara besar yang harus saya
tangani. Usaha mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan belum tuntas. Saya punya
dugaan keras kitab itu sudah ada di tangan Eyang Sinto. Satu kali saya pernah
memantau dengan mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Saya tidak tahu bagaimana
cara yang baik untuk memintanya. Mungkin saya tidak akan mendapatkan kitab itu
untuk selamalamanya. Padahal banyak orang yang bisa ditolong dengan petunjuk
pengobatan yang ada dalam kitab itu…”
“Apakah
di dalam kitab itu ada petunjuk pengobatan bagi orang yang sakit jiwa seperti
saya?”
Pertanyaan
Nyi Retno membuat Wiro terdiam. Terdorong oleh perasaan kasihan dan haru Wiro
peluk Nyi Retno Mantili seraya berbisik. “Saya belum pernah membaca isi kitab
itu. Mudah-mudahan ada petunjuk yang Nyi Retno maksudkan. Tapi saya yakin jika
Nyi Retno nanti bertemu dengan Ken Permata. Nyi Retno akan sembuh dari segala
penyakit. Bersabarlah. Satu Suro hanya tinggal beberapa bulan lagi.”
“Ken
Permata, siapa itu?” tanya Nyi Retno.
Wiro
lepaskan pelukannya. “Ken Permata, puteri Nyi Retno yang ada di tempat kediaman
Datuk Rao. Kakak Kemuning.” Jawab Wiro sambil tersenyum. Nyi Retno balas
tersenyum, mengambil boneka kayu yang ada di pangkuannya lalu mencium boneka
itu berulang-ulang.
“Wiro,
saya senang kau memeluk saya seperti tadi. Saya merasa ada kebahagiaan,
perlindungan dan kasih sayang…”
“Saya
tidak bermaksud apa-apa. Saya merasa…”
“Saya
mengerti.” kata Nyi Retno pula sambil sandarkan kepalanya ke dada Pendekar 212
yang bidang dan berotot. Ketika salah satu tangannya mengusap punggung pemuda
itu, dia menyentuh bagian yang robek. “Wiro, kau perlu baju pengganti…”
“Saya
kehilangan perbekalan. Lupa entah di mana.”
Lalu Wiro
melanjutkan ucapannya. “Selain berusaha mendapatkan kitab, saya juga punya
tugas lain. Mencari Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa.”
“Siapa
manusia satu itu?” tanya Nyi Retno.
“Nyi
Retno pernah bertemu. Di sebuah rimba belantara. Pernah berkelahi dan
menghantamnya dengan sepasang sinar yang keluar dari mata Kemuning. Nyi Retno
ingat?”
Perlahan-lahan
perempuan muda berwajah mungil cantik itu anggukkan kepala. “Saya ingat. Dia
hendak memperkosa saya. Wiro, kalau kau mencarinya, saya harus ikut. Saya akan
membunuh orang itu!”
“Banyak
orang yang ingin membunuhnya. Termasuk saya. Saya tidak tahu siapa yang kelak
bakal mampu melakukan.”
“Wiro,
waktu di dalam telaga, kau berkata pada Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa kau akan
meninggalkan rimba persilatan. Benar kau akan melakukan hal itu?”
Wiro
terdiam cukup lama. Menggaruk kepala akhirnya mengangguk perlahan. “Selama ini
saya hanya melihat keculasan, ketidakadilan, kebejatan dan darah dalam rimba
persilatan. Bahkan nyawa manusia terkadang lebih tidak berharga dibanding nyawa
binatang. Apakah saya masih perlu ikut bergelimang di dalamnya?”
Nyi Retno
berdiri, menimang-nimang boneka kayu beberapa lama lalu berkata. “Kau tahu apa
artinya pendekar, Wiro?”
Wiro tak
menjawab. Hanya menggaruk kepala dan menatap wajah cantik perempuan muda di
depannya.
“Menurutku,
seorang pendekar diperlukan kehadirannya dalam rimba persilatan. Untuk
menangani semua masalah yang kau sebutkan tadi. Kalau kau menghindar berarti
kau tidak layak lagi menyandang sebutan pendekar. Kau lebih baik menjadi
seorang petani atau nelayan…”
Wiro
menatap paras cantik Nyi Retno Mantili. Saat itu dia merasa tengah bicara
dengan seorang yang sangat waras. Apakah perempuan muda ini sudah jernih
pikirannya? Sudah sembuh dari sakit jiwanya?
“Paling
tidak saya akan menyelesaikan dulu semua tugas. Setelah itu…”
“Termasuk
tugas mencari gadis bernama Wulan Srindi dan mendapatkan kembali tusuk konde gurumu?”
“Saya
merasa tidak punya kewajiban mencari tusuk konde itu. Namun sebagai murid yang
sudah diperintah saya tetap akan melakukan.” Wiro terdiam sebentar lalu
bertanya. “Nyi Retno percaya kalau saya yang menghamili Wulan Srindi?”
Nyi Retno
tertawa panjang.
“Kalau
saya mempercayai hal itu, sejak semula saya tidak akan mau ikut ke mana kau
pergi.”
“Terima
kasih Nyi Retno punya rasa percaya seperti itu. Saya merasa heran bagaimana
Eyang Sinto percaya saya berbuat serong dengan Wulan Srindi tanpa menyelidiki
lebih dulu. Selain itu saya merasa sangat sedih atas semua perlakuannya. Saya
tidak bisa berbuat apa-apa. Karena saya sangat banyak berhutang budi padanya.
Pertama, ketika saya masih orok Eyang Sinto yang menyelamatkan saya dari
kobaran api sewaktu rumah orang tua saya dibakar orang-orang jahat. Kemudian
selama belasan tahun Eyang Sinto merawat saya. Lebih dari itu dia mengambil
saya jadi murid. Diajarkan ilmu silat, diberikan berbagai ilmu kesaktian
termasuk dua senjata mustika kapak dan batu sakti. Sehingga saya menjadi orang
sakti mandraguna, punya nama besar dan bisa berbakti pada kerajaan dan rimba
persilatan. Namun setelah pertemuan kami yang terakhir dengan Eyang Sinto, yang
Nyi Retno saksikan sendiri saya merasa adalah lebih baik jika saya tidak lagi
mempergunakan semua ilmu silat serta ilmu kesaktian pemberian Eyang Sinto. Saya
juga menyesalkan tindakan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang memasukkan Kapak Naga
Geni dan batu sakti begitu saja ke dalam tubuh saya tanpa memberi tahu lebih
dulu. Padahal niat saya sudah bulat untuk mengembalikan dua senjata sakti itu
pada Eyang Sinto.”
“Kiai
tidak ingin kau melakukan apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Ingat ucapan
Kiai di dalam telaga? Rimba persilatan memerlukan para pendekar sepertimu. Tapi
bagaimana kau mampu menghadapi kekerasan rimba persilatan kalau kau tidak mau
mempergunakan semua ilmu serta dua senjata yang diberikan gurumu?”
“Saya
tidak tahu Nyi Retno, kita lihat saja nanti. Yang jelas saya akan minta
perlindungan Tuhan yang Maha Pengasih Maha Kuasa.” Jawab Wiro. Dia tidak mau
memberi tahu bahwa selain dari Eyang Sinto Gendeng dia juga menguasai berbagai
ilmu kesaktian yang didapat dari beberapa tokoh rimba persilatan.
“Jika
Tuhan melindungimu, apakah kau juga akan melindungiku?” tanya Nyi Retno pula.
Wiro
tertawa.
“Saya
akan berusaha melindungi Nyi Retno. Tapi perlindungan Tuhan atas diri Nyi Retno
lebih dari segalagalanya. Nyi Retno, saya senang bicara denganmu. Apakah kita
bisa melanjutkan perjalanan sekarang. Matahari telah condong ke barat.”
Nyi Retno
gelungkan dua tangannya di leher Wiro. Berlaku manja minta tolong dibantu
berdiri. “Kau orang baik, aku orang gila. Kau tidak risih dan malu berjalan
bersama orang tidak waras dan buruk rupa seperti aku ini…” Bisik Nyi Retno ke
telinga Pendekar 212 lalu tertawa cekikikan. Gulungan surat daun lontar
diselipkannya ke pinggang Wiro.
“Nyi
Retno juga orang baik. Malah sangat baik. Nyi Retno cantik. Sebenarnya saya
yang rikuh. Orang sableng seperti saya dipercaya jalan bersama Nyi Retno.”
Nyi Retno
tertawa panjang. Tiba-tiba perempuan muda ini melompat ke punggung Wiro. “Saya
tak mau jalan. Saya kepingin digendong…”
“Nyi
Retno, jangan bersikap seperti ini. Kalau ada orang yang melihat pasti akan
salah menyangka…”
“Tadi
kita saling berpelukan. Sekarang aku merangkulmu, begini mengapa takut? Perduli
setan dengan orang lain! Saya suka padamu. Kemuning suka padamu! Ayo jalan!
Hik… hik… hik.”
Mau tak
mau Wiro terpaksa menggendong perempuan bertubuh mungil itu di punggungnya.
Mula-mula hanya berjalan biasa lalu berlari. Tidak disadari oleh Wiro, tidak
diketahui oleh Nyi Retno, gulungan surat daun lontar yang terselip di pinggang
Wiro jatuh ke tanah.
“Wiro,
jangan lari terlalu cepat. Aku dan Kemuning merasa gamang.”
Wiro
perlambat larinya. Saat itulah dia merasa tengkuk dan pipi kanannya dicium
mesra oleh Nyi Retno. “Nyi Retno, saya mohon…”
“Saya
juga mohon,” jawab Nyi Retno. Rangkulannya di leher Wiro semakin kencang dan
ciumannya kini pindah ke pipi kiri.
“Nyi
Retno, saya tidak bisa berlari kalau begini…”
Nyi Retno
tertawa. “Kalau begitu kita tak usah lari. Jalan biasa saja. Atau kita duduk
saja di bawah pohon sana,”
kata Nyi
Retno sambil tangan kirinya menunjuk ke sebuah pohon besar di depan mereka.
“Ah, bisa
lebih celaka. Bisa lebih macam-macam nanti…” ucap Wiro dalam hati. Pendekar ini
akhirnya lari sekencang yang bisa dilakukannya. Nyi Retno Mantili terpekik lalu
tertawa tiada henti.
“Wiro,
saya suka padamu. Kemuning juga suka padamu.”
********************
3
TAK
SAMPAI sepeminuman teh Wiro dan Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat itu, satu
bayangan hitam berkelebat. Orang ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu
dudukkan diri di satu tempat teduh. Tongkat di tangan kiri ditekankan ke tanah.
Kepala tertunduk, muka yang tinggal kulit pembalut tulang tercenung sementara
empat tusuk konde perak bergoyang-goyang di atas kepala.
“Oala,
kenapa hidup ini jadi begini?” Orang yang duduk di tanah yang bukan lain adalah
nenek sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 berucap perlahan. Sepasang matanya
yang cekung dan biasa angker kini tampak sayu. Apalagi mata sebelah kiri masih
bengkak akibat perkelahian melawan Hantu Malam Bergigi Perak beberapa waktu
lalu. “Tadi aku mendengar suara tawa perempuan itu. Kucari ke sini tak ada
orangnya. Aku yakin anak setan itu sudah kembali dari Gunung Gede. Apakah dia
bersama perempuan gembel berotak miring itu? Heh, jangan-jangan saat ini mereka
tengah menuju ke pondok si Tambakpati.”
Sinto
Gendeng sengaja berada di sekitar kawasan di mana dia berada saat itu karena
dia menyirap kabar dan menduga cepat atau lambat Wiro akan berada di hutan jati
di Plaosan untuk menemui seorang bernama Djaka Tua yang akan menunggunya di
pondok kediaman Ki Tambakpati. Seperti pernah diceritakan sebelumnya Ki
Tambakpati adalah sahabat kental Sinto Gendeng semasa remaja.
Sinto
Gendeng julurkan dua kaki. Tubuhnya terasa letih. Mata dipejamkan namun saat
itu kembali terbayang sosok makhluk bayangan berupa perempuan cantik.
“Makhluk
jahanam! Empat belas hari empat belas malam aku mencarimu. Kau sembunyi di
mana?! Jangan kira aku tidak bisa menemuimu! Akan kukejar kau sekalipun sampai
di pintu neraka!” Kutuk serapah menyembur tak habis-habisnya dari mulut si
nenek. Lalu dia ingat lagi pada muridnya.
“Perlu
apa aku memikirkan anak setan itu. Semua sudah terjadi. Aku gurunya! Aku berhak
berbuat apa saja termasuk menghukumnya jika dia salah!”
Kata hati
si nenek tiba-tiba ada yang menyahuti.
“Kalau
muridmu bersalah, katakan padaku apa salahnya?”
Sinto
Gendeng terkejut. Memandang berkeliling mulutnya berucap. “Siapa yang bicara?!”
“Aku
suara hatimu. Dari lubuk hati yang paling dalam.”
Sinto
Gendeng tersentak. Dia memandang sekujur diri sendiri. Dari dada sampai ujung
kaki.
“Suara
hati jahanam! Kau tidak layak mencampuri urusanku!” Seperti orang gila Sinto
Gendeng berdiri, kaki kiri dihentakkan ke tanah hingga tanah melesak sedalam
setengah jengkal. Tongkat di tangan kiri dihantamkan ke samping. Kraakk! Batang
pohon berderak patah dan tumbang!
“Sinto,
selama hidupmu kau hampir tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai
perasaan hati yang sejuk…”
“Diam!”
teriak Sinto Gendeng.
“Tuhan
memberikanmu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakah selama ini?”
“Apa yang
aku kerjakan adalah urusanku sendiri! Tidak manusia tidak setan yang bisa
mengatur!”
“Hidupmu
penuh kesombongan. Ucapanmu tidak pernah disertai timbang rasa. Segala
perbuatanmu lebih banyak mudarat dari manfaat. Kau menghancurkan banyak orang.
Tapi yang lebih menyedihkan kau menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak
pernah menyadari bahwa selama ini kau hidup terkucil dari para sahabat dan
tokoh rimba persilatan? Seseorang merampas Kitab Seribu Pengobatan dari
tanganmu tanpa kau bisa mempertahankan. Bukankah itu sudah merupakan salah satu
petunjuk Gusti Allah bahwa seharusnya kau bisa berbuat banyak sekali kebaikan
dengan kitab itu? Tapi kau bertindak serakah, berlaku tinggi hati. Hanya
mementingkan diri sendiri! Gusti Allah menghukummu, memutuskan bahwa kau tidak
pantas menguasai kitab itu. Muridmu kau caci maki di hadapan orang banyak
seolah dia lebih buruk dari comberan. Kau tuduh berbuat yang bukan-bukan.
Bahkan kau buat dia menderita dengan cacat di punggung seumur-umur. Sinto,
apakah kau bukan lagi seorang perempuan yang punya hati nurani dan welas asih?
Iblis apa yang bersarang di hatimu? Setan mana yang mendekam di benakmu?
Begitukah
caramu menjalani sisa-sisa terakhir dari usia kehidupanmu? Atau mungkin kau
punya nyawa cadangan. Sehingga kalau besok kau mati, lusa kau akan hidup
kembali?”
Sinto
Gendeng merasa tubuhnya seperti terbakar. Teriakannya menggeledek.
“Suara
hati! Setan keparat! Siapa pun kau adanya pergi! Atau kupecahkan kepalamu!”
Lalu nenek ini pukuli dadanya sendiri. Demikian kerasnya hingga darah menyembur
dari mulutnya yang perot. Perlahan-lahan tubuhnya rebah ke tanah. Mata
mendelik. Cuping hidung kembang kempis, dada turun naik, nafas menyengal. Nenek
yang sedang marah dan kacau pikiran itu tidak tahu berapa lama dia tergeletak
seperti itu. Dia baru bergerak dan duduk di tanah sewaktu udara mulai gelap.
“Gila!
Apa yang terjadi dengan diriku!” si nenek memaki lalu bangkit berdiri. Walau
kakinya melangkah namun dia sama sekali tidak tahu mau menuju ke mana.
Tiba-tiba kaki kirinya terasa menginjak sesuatu. Si nenek memperhatikan ke
bawah. Sebuah benda bergulung berada diinjakan kaki kirinya. Sinto Gendeng
membungkuk mengambil benda itu yang bukan lain adalah surat daun lontar yang
dibuat orang-orang Keraton Kaliningrat, ditujukan pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Surat daun lontar itu diselipkan Nyi Retno di pinggang Wiro dan
terjatuh di tengah jalan sewaktu Wiro berlari sambil mendukung Nyi Retno
Mantili. Gulungan daun lontar dibuka. Karena udara sudah mulai gelap Sinto
Gendeng tak segera dapat membaca tulisan yang tertera di atas daun lontar itu.
Dia pergi ke tempat yang agak terang, yang masih ada pantulan cahaya matahari.
Perlahan-lahan
si nenek mulai membaca. Selesai membaca wajahnya tampak mengelam, sepasang mata
seolah tambah tenggelam ke dalam rongga yang cekung. Lalu perlahan-lahan
menyeruak seringai di mulutnya yang perot. Si nenek meracik tembakau, daun
sirih yang sudah layu, kepingan pinang dan secuil kapur. Racikan dikepalkepal
beberapa kali lalu dimasukkan ke dalam mulut yang tak bergigi. Sambil mengunyah
si nenek bicara sendiri.
“Tengah
malam hari Jum’at. Orang-orang Keraton Kaliningrat. Candi Pangestu di Plaosan.
Anak setan itu pasti akan muncul di tempat itu! Hik… hik! Dia akan kaget kalau
aku lebih dulu menungguinya di sana!” Sinto Gendeng diam sejurus. Berpikir.
“Kalau aku tidak salah, di dekat sini tinggal seorang sahabat lama. Tambakpati.
Masih ada waktu. Belasan tahun tidak ketemu. Apa salahnya aku menyambangi dia
dulu sebelum pergi ke Plaosan.”
Sinto
Gendeng selipkan gulungan daun lontar ke pinggang. Tongkat di tangan kiri
ditancapkan ke tanah. Ketika tongkat dicabut kembali tubuhnya melesat sejauh
dua tombak ke arah utara dan lenyap di kegelapan.
***********************
LANGIT di
sebelah barat tampak merah kekuningan. Saat-saat sang surya akan tenggelam
terasa sunyi di hutan jati. Wiro dan Nyi Retno Mantili berlari cepat. Saat itu
Nyi Retno tidak lagi digendong belakang melainkan sudah mau berlari sendiri di
samping Wiro sambil sesekali memegang lengan pemuda itu.
“Wiro,
aku mencium bau busuk!” Nyi Retno berkata.
“Ya, saya
juga sudah mencium.”
“Perasaanku
tidak enak,” kata Nyi Retno lalu kembali memegang tangan kanan Pendekar 212.
Tiba-tiba perempuan ini menjerit. Dia lebih dulu melihat sosok yang tergantung
kaki ke atas kepala ke bawah di cabang sebatang pohon tak jauh dari pondok
kediaman Ki Tambakpati.
Wiro dan Nyi
Retno sampai di dekat pohon. Nyi Retno kembali menjerit. Wiro keluarkan seruan
tertahan. Orang yang digantung kaki ke atas kepala ke bawah itu adalah Djaka
Tua!
Wiro
melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak memukul, patahlah cabang pohon di
mana Djaka Tua tergantung. Dengan cepat dia menyambar tali penggantung hingga
mayat Djaka Tua tidak jatuh bergedebuk. Dari keadaan mayat yang rusak membusuk
dan sudah dirubung belatung pastilah pembantu yang malang itu telah menemui
ajal cukup lama. Mungkin sejak kepergian Wiro ke Gunung Gede.
Nyi Retno
jatuh terduduk di tanah menangis sambil menutupi hidung, tak tahan mencium
busuknya mayat. Wiro memandang berkeliling, mencari tempat yang baik untuk
segera mengubur jenazah Djaka Tua. Dia melihat tempat rimbun di dekat satu
pohon jati. Wiro segera mendatangi tempat ini. Untuk membuat liang kubur dia
hendak membongkar tanah dengan jurus pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Hampir tangannya hendak menghantam tiba-tiba dia ingat apa yang telah
diucapkannya di depan Nyi Retno. Pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang adalah
ilmu pukulan sakti yang didapatnya dari Eyang Sinto Gendeng. Padahal dia telah
mengambil keputusan untuk tidak akan mempergunakan semua ilmu yang didapatnya
dari nenek sakti itu.
Wiro
tarik tangan kanannya. Mulut hembuskan nafas panjang. Tangan itu kemudian
diangkat kembali sambil kerahkan seperlima tenaga dalam. Lalu dia memukul ke
bawah.
Byaarr!
Hantaman
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang didapatnya Dari Tua Gila membuat tanah
terbongkar ke udara membentuk sebuah lobang cukup besar dan dalam untuk kuburan
Djaka Tua.
Karena
keadaan jenazah Djaka Tua yang sangat rusak tak mungkin Wiro memanggul atau
menggendong mayat itu untuk dimasukkan ke dalam lobang. Walau hatinya tidak
tega namun dia terpaksa menarik tali yang masih mengikat kedua kaki Djaka Tua
hingga akhirnya mayat pembantu itu terseret demikian rupa lalu terguling masuk
ke dalam lobang.
Sambil
menangis Nyi Retno Mantili peluki boneka kayu, membantu Wiro menimbun tanah ke
dalam lobang. “Wiro, siapa menurutmu yang begitu keji membunuh pengasuh anakku
Kemuning?” tanya Nyi Retno Mantili.
“Saya
tidak dapat memastikan Nyi Retno. Namun saya menaruh curiga. Sebelum berangkat
ke Gunung Gede, pada saat berpisah dengan Djaka Tua, saya minta dia pergi ke
sini. Pondok ini milik Ki Tambakpati. Seorang ahli pengobatan patah tulang. Nyi
Retno ingat orang bernama Cagak Lenting, orang keraton yang katanya mengemban
tugas dari Patih Kerajaan untuk mencari Djaka Tua?”
“Saya
ingat.” Jawab Nyi Retno.
“Orang
itu mungkin melapor pada Patih Kerajaan lalu mendatangi tempat ini.”
kotarajaJika
terbukti dia yang membunuh pengasuh anak saya, saya akan cari dia sampai dapat
dan membunuhnya.kotaraja Suara Nyi Retno penuh geram namun sepasang mata tampak
berkaca-kaca. Wiro pegang bahu Nyi Retno.
kotarajaNyi
Retno, kita pasti akan mengetahui siapa pembunuh Djaka Tua.kotaraja Wiro lalu
ingat sesuatu. Dia memandang ke arah pondok. kotarajaKi Tambakpati,kotaraja
katanya. kotarajaJangan-jangan orang tua itu juga sudah jadi korban pembunuhankotaraja
Diikuti Nyi Retno, Wiro masuk ke dalam pondok. Keadaan pondok itu kacau balau
centang perenang. Tidak ada satu perabotan pun yang utuh. Seperti ada yang
sengaja menghancurkan. Wiro dan Nyi Retno tidak menemukan Ki Tambakpati ataupun
mayatnya kalau memang dia telah dibunuh.
kotarajaSaya
khawatir Ki Tambakpati ditangkap. Dibawa ke kotaraja…kotaraja kotaraja. Mungkin
juga saat ini dia sudah dibunuh.kotaraja Kata Nyi Retno pula.
kotaraja
Kasihan. Kalau dia ikut jadi korban kekejaman orang-orang keraton, berarti satu
kehilangan sangat besar bagi rimba persilatan tanah Jawa.kotaraja kotarajaWiro,
mengapa manusia tega berbuat sekeji itu? Membunuh orang seperti membunuh
binatang?kotaraja
Wiro
menghela nafas dalam, menggaruk kepala. kotarajaSebelumnya saya sudah memberi
tahu. Hal-hal semacam itulah yang membuat saya muak menjadi orang rimba
persilatan.kotaraja
Di luar
keadaan mulai gelap. Di dalam pondok lebih gelap lagi. kotarajaNyi Retno, kita
harus segera tinggalkan tempat ini. Saya khawatir. Sewaktu-waktu orang-orang
kerajaan muncul.kotaraja
kotarajaKalau
mereka datang bukankah kita bisa membunuh mereka? Kita tak perlu susah mencari
mereka.kotaraja
Wiro
tersenyum.
Nyi Retno
juga tersenyum. Dengan kepala ditundukkan dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi
saya menurut saja apa yang kau katakan,” jawab Nyi Retno.
“Nyi
Retno, saya ingat mimpi tentang Djaka Tua yang Nyi Retno ceritakan. Dalam mimpi
Nyi Retno melihat dia digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Mimpi Nyi Retno
menjadi kenyataan.”
“Saat ini
saya merasa takut. Saya takut tidur. Saya tidak mau bermimpi lagi,” kata Nyi
Retno pula lalu melangkah lebih dulu ke pintu. Baru dua langkah berada di luar
pondok Nyi Retno bersurut. “Wiro, ada orang mendatangi dari arah pohon.
Mudah-mudahan manusia bernama Cagak Lenting itu. Biar kubunuh sekalian! Tapi
lain… Bukan dia.”
Wiro
serta merta melompat keluar pondok. Apa yang dikatakan Nyi Retno benar. Dari
jurusan sebuah pohon jati besar melangkah tertatih-tatih seorang bertubuh agak
bungkuk. Dia berjalan menuju pondok. Sambil siapkan pukulan di tangan kanan
Wiro berteriak, “Siapa?!”
“Aku… Aku
Ki Tambakpati. Wiro, apa kau tidak mengenaliku?”
“Ah…”
Wiro
segera menyongsong. “Ki Tambak, apa yang terjadi? Pondokmu dirusak orang. Kau
dari mana?”
“Kami
menemukan pengasuh anakku mati digantung di pohon sana. Siapa yang
membunuhnya?!” Nyi Retno sambung ucapan Wiro.
“Wiro,
jangan bicara di sini. Aku khawatir ada yang datang. Sampai beberapa hari lalu
tempat ini masih dimata-matai oleh orang-orang kerajaan. Ikuti aku…”
Ki
Tambakpati membawa mereka ke lereng menurun arah selatan hutan jati. Di kaki
sebuah bukit mengalir sebuah kali kecil. Di salah satu tepian kali terdapat
gugusan batu-batu hitam dan rata. Ketiga orang itu masingmasing mencari tempat
yang enak dan duduk di atas batu.
Ki
Tambakpati langsung saja bercerita. “Saya tengah meramu obat sewaktu Djaka Tua
muncul. Sekitar dua minggu lalu. Dia datang menjelang malam. Dia menyampaikan
pesanmu dan Setan Ngompol. Aku tidak keberatan dia bermalam di gubukku, menunggu
sampai kau datang. Djaka Tua sempat menceritakan apa yang terjadi. Dia menyebut
nama Cagak Lenting. Setelah kuberi obat, dia aku suruh istirahat dan tidur
sementara aku meneruskan meramu obat dalam belanga. Menjelang pagi, ketika aku
bermaksud istirahat dan memicingkan mata tiba-tiba pintu pondok dilabrak orang
dari luar. Dua orang menerobos masuk. Yang seorang berpakaian serba hijau, ikat
kepala hijau, rambut sebahu. Aku pernah mendengar cerita tentang orang ini dan
merasa pasti kalau dia adalah Cagak Lenting yang dijuluki Si Mata Elang. Pasti
dia yang menuntun orang-orang kerajaan ke tempatku. Orang satunya tinggi besar,
berpakaian bagus. Aku masih mengira-ngira siapa adanya orang ini. Aku baru tahu
kalau dia adalah Patih Kerajaan, Raden Mas Wira Bumi, yaitu ketika Djaka Tua
diseret keluar pondok. Di sekitar pondok puluhan prajurit kerajaan sudah
mengurung. Cagak Lenting memaksa Djaka Tua memberi tahu di mana beradanya Nyi
Retno Mantili dan bayinya. Cagak Lenting juga menanyakan dirimu dan Setan Ngompol…”
“Mengapa
orang ingin tahu di mana aku dan Kemuning berada?” Nyi Retno memotong ucapan Ki
Tambakpati. “Aku tidak tahu,” jawab Ki Tambakpati.
Nyi Retno
memandang pada Wiro. “Kau pasti tahu.”
“Orang-orang
itu ingin berbuat jahat padamu. Nyi Retno.”
“Menculik
Kemuning, mau memperkosaku atau mau membunuh aku dan anakku?”
“Nyi
Retno, sabar. Biar Ki Tambakpati melanjutkan ceritanya dulu,” kata Wiro pula.
Lalu Wiro memberi tanda dengan anggukkan kepala pada Ki Tambakpati. Orang tua
ahli pengobatan tulang ini melanjutkan keterangannya. “Patih Kerajaan juga
menanyakan di mana beradanya kau dan Setan Ngompol. Pembantu itu tidak mau
membuka mulut. Malah dia minta dibunuh saat itu juga daripada membuka rahasia
mengenai Nyi Retno. Setelah disiksa cukup parah Patih Kerajaan membujuk.
Jika
Djaka Tua mau memberi tahu keberadaan Nyi Retno bersama bayinya maka dia akan
diberikan sejumlah uang, juga jabatan tinggi. Tapi Djaka Tua tetap tidak mau
membuka rahasia. Patih habis kesabaran. Dia memerintah Cagak Lenting
menggantung pembantu itu. Djaka Tua lalu digantung di pohon sana, kaki ke atas
kepala ke bawah.
Sebelum
pergi Cagak Lenting masih berusaha membujuk namun Djaka Tua tetap pada
pendirian. Tidak mau membuka mulut memberi tahu.”
Nyi Retno
Mantili keluarkan jeritan keras. “Cagak Lenting pembunuh terkutuk! Akan aku
gorok batang lehermu! Akan aku sedot darahmu!”
Nyi Retno
bergerak, siap berkelebat tinggalkan tempat itu. Wiro cepat mengejar.
“Nyi
Retno, kau mau ke mana?!” Wiro segera menghadang lari Nyi Retno.
“Wiro!
Sekali ini jangan menghalangiku! Aku akan ke kotaraja! Aku akan mencari Cagak
Lenting dan Patih Kerajaan! Aku akan membunuh mereka! Kau dengar Wiro?! Aku
akan membunuh dua manusia terkutuk itu!”
“Nyi
Retno, tenang, sabar. Jangan bertindak kesusu menuruti hati yang sedang panas.
Jika Nyi Retno akan ke kotaraja, saya akan menemani. Tapi saya masih perlu
bicara dengan Ki Tambakpati.”
“Wiro!
Minggir!” teriak Nyi Retno.
“Nyi
Retno, ingat…”
Nyi Retno
berteriak marah lalu menerjang sambil tangannya ditinjukan ke dada Pendekar
212.
Bukkk!
Wiro
terjungkal, jatuh terduduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Walau tidak
memiliki dasar tenaga dalam namun ilmu kesaktian yang telah didapatnya secara
cepat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas membuat pukulan Nyi Retno mempunyai daya
jebol seberat lebih dari seratus kati. Apalagi serangan dilakukan secara tak
terduga. Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik. Dia seolah baru sadar apa
yang terjadi. Langsung jatuhkan diri dan memeluk Pendekar 212. Menangis.
“Nyi
Retno, kau akan pergi sendirian? Meninggalkan saya?”
Nyi Retno
menggerung mendengar kata-kata yang diucapkan dengan lembut itu. Dia
menggelengkan kepala berulang kali.
“Wiro…
Kau, kau tak apa-apa. Saya menyesal sekali memukulmu. Mengapa kau tidak
menangkis. Mengapa kau tidak mengelak? Wiro, pukul saya! Pukul!” Nyi Retno
berteriak lalu sambil menangis dia usapi dada Wiro.
“Nyi
Retno, saya tahu perasaanmu. Sudahlah…” Wiro berdiri lalu berpaling pada Ki
Tambakpati. “Ki Tambak, kau belum menceritakan bagaimana kau bisa menyelamatkan
diri dari orang-orang kerajaan.”
“Aku
bersyukur karena semua itu terjadi dalam kuasa Tuhan. Sewaktu perhatian semua
orang tertuju pada penggantungan Djaka Tua, aku berhasil menyelinap dan
melarikan diri. Sampai matahari terbit orang-orang itu berusaha mencariku. Aku
masuk ke dalam sebuah goa, tembus ke satu bukit. Aku sengaja mengarungi satu
sungai dangkal agar jejakku tidak bisa dilacak oleh Cagak Lenting. Aku
menghilang dalam rimba belantara kecil. Keesokan harinya aku kembali ke sini,
ternyata Cagak Lenting dan sekitar selusin prajurit kerajaan masih ada di
tempat ini.
Beberapa
hari kemudian aku datang lagi. Cagak Lenting memang tidak kelihatan, tapi
prajurit kerajaan masih ada ditambah seorang perwira muda. Aku hampir putus
asa. Terakhir sekali aku ke sini dua hari lalu. Orang-orang itu masih ada di
sini…”
“Mengapa
Ki Tambak kembali ke sini padahal Ki Tambak tahu hal itu sangat berbahaya.”
Bertanya Wiro. “Aku ingin mengambil beberapa peralatan pengobatan serta obat
ramuan yang sangat langka dan sulit didapat. Selain itu aku punya niat untuk
mengurus jenazah Djaka Tua yang sudah tergantung berhari-hari lamanya. Sore
tadi aku keluar dari persembunyian, kembali ke sini. Aku lihat kau yang datang.
Agaknya orang-orang kerajaan sudah kembali ke kotaraja.”
“Ki
Tambak, silahkan saja masuk ke dalam pondok. Jangan terlalu lama di sini.
Orang-orang itu bisa saja muncul secara mendadak. Mungkin mereka sengaja sembunyi
untuk memancing. Hati-hatilah. Rasanya Ki Tambak tak mungkin lagi diam di gubuk
ini. Ki Tambak, kami terpaksa meninggalkanmu.”
“Kalian
hendak ke kotaraja?” tanya Ki Tambakpati. Wiro tak menjawab melainkan berpaling
pada Nyi Retno Mantili. Perempuan ini membuka mulut, berkata, “Kami akan ke
sana. Mencari pembunuh pengasuh anakku.”
“Kalian
harus berlaku waspada. Penjagaan di kotaraja saat ini sangat ketat. Mata-mata
berkeliaran di manamana. Termasuk orang-orang Keraton Kaliningrat yang punya
rencana hendak merebut tahta kerajaan.”
Nyi Retno
ingat pada gulungan surat daun lontar yang diselipkannya di pinggang Wiro.
Benda itu tak ada lagi. Nyi Retno memperhatikan tanah sekitarnya.
“Ada apa
Nyi Retno?” tanya Wiro.
“Surat
dari Keraton Kaliningrat itu. Tadi saya selipkan di pinggangmu.”
Wiro
meraba seputar pinggang tapi tak menemukan gulungan daun lontar. “Mungkin jatuh
di jalan. Sudahlah, tak perlu dipikirkan.” Wiro berpaling pada Ki Tambak. “Ki
Tambak, kami pergi.”
Orang tua
ahli pengobatan itu mengangguk sambil sekali lagi mengingatkan agar kedua orang
itu berhati-hati.
********************
4
BELUM
sempat Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk tiba-tiba dari empat penjuru hutan
jati terlihat cahaya terang. Dalam waktu singkat gubuk kediaman ahli pengobatan
tulang itu telah dikurung oleh puluhan orang berseragam prajurit kerajaan.
Separuh dari mereka menyalakan obor hingga seantero tempat menjadi terang
benderang.
“Ki
Tambakpati! Kami orang-orang kerajaan datang untuk menangkapmu! Jangan berani
melawan atau coba melarikan diri!”
Orang
yang berteriak melompat ke hadapan Ki Tambakpati, ternyata dia adalah perwira
muda yang sebelumnya sudah pernah dilihat kakek itu.
“Perwira,
apa dosa kesalahanku hingga kau hendak menangkapku?!” tanya Ki Tambakpati.
“Kau
melarikan diri sewaktu ditangkap beberapa waktu lalu. Kau juga dituduh
menyembunyikan buronan kerajaan!”
“Buronan
kerajaan? Buronan yang mana?” tanya Ki Tambakpati heran.
“Orang
bernama Djaka Tua…” jawab Perwira “Astaga, orang itu sudah kalian bunuh! Apa
masih belum puas?”
“Djaka Tua
boleh mati. Tapi itu tidak menghapus dosa kesalahanmu! Selain itu pimpinan kami
juga ingin menanyaimu perihal bayi yang hilang dan tentang seorang perempuan
muda membawa boneka.”
“Aku
tidak tahu menahu soal bayi yang hilang atau perempuan muda membawa boneka,”
jawab Ki Tambakpati pula.
“Tutup
mulutmu Ki Tambak. Jangan berani bicara dusta! Kalau kau memang tidak bersalah
mengapa malam dua minggu lalu kau melarikan diri dari sini.”
“Siapa
sudi mati konyol di tangan prajurit-prajurit kerajaan yang ternyata lebih kejam
dari rampok Alas Roban!”
Plaakkk!
Satu
tamparan keras mendarat di muka Ki Tambakpati hingga orang tua ini
terhuyung-huyung kesakitan sambil pegangi pipi. Dari sudut bibir sebelah kiri
mengucur darah kental.
“Perwira
Muda, apakah kerajaan mengajarkan ilmu menganiaya rakyat tidak berdaya seperti
yang barusan kau lakukan?!”
“Aku
punya perintah dan wewenang lebih besar dari hanya menampar. Nyawamu berada di
tanganku! Apa kau ingin mengikuti jejak Djaka Tua yang tolol itu?”
“Djaka
Tua tidak tolol! Kau yang bodoh!” jawab Ki Tambakpati pula.
Pewira
Muda itu ingin sekali menjotos muka Ki Tambakpati, tapi tangannya yang sudah
bergerak ditarik kembali. Dia berteriak memberi perintah pada pasukannya agar
segera meringkus Ki Tambakpati. Lima prajurit dengan cepat mengurung Ki
Tambakpati. Salah seorang dari mereka melingkarkan seutas tambang ke leher ahli
pengobatan itu lalu mendorong punggung orang tua itu, membentak menyuruh jalan.
Pada saat
itulah tiba-tiba meledak satu tawa bergelak. Selagi semua orang terkejut satu
bayangan hitam berkelebat disertai bentakan keras.
“Siapa
berani menganiaya sahabatku!”
Wuutt!
Tali yang
mengikat leher Ki Tambakpati putus. Empat prajurit terpental. Mereka menjerit
keras sambil pegangi kening masing-masing. Di kening itu kelihatan guratan luka
mengucurkan darah. Prajurit yang menjirat leher Ki Tambakpati dengan tali
mencelat mental paling jauh.
Darah
menyembur dari satu luka besar yang melintang di tenggorokannya! Prajurit ini
roboh ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik. Nyawanya
amblas!
Perwira
Muda Kerajaan dan seluruh pasukan menjadi kaget juga ngeri luar biasa. Di
hadapan mereka, tegak melindungi Ki Tambakpati seorang nenek bermuka nyaris
seperti tengkorak sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada. Empat tusuk
konde perak bergoyang-goyang di atas batok kepala. Mata menatap menyorot galak
pada Perwira Muda. Tangan kiri menggamit memberi isyarat agar Perwira Muda
mendekatinya. Selain takut dan juga sadar kalau saat itu dia tengah berhadapan
dengan seorang sakti luar biasa, seperti orang bodoh si Perwira Muda segera
mendatangi.
“Kau
telah menuduh tanpa bukti sahabatku Ki Tambakpati. Kau juga telah
menganiayanya. Kau ingin aku buatkan satu lobang bagus di jidatmu?”
Tongkat
di tangan si nenek melesat dan tahu-tahu ujungnya telah menempel di pertengahan
kening Perwira Muda. Orang ini merasa keningnya seperti ditindih batu besar
hingga dia terbanting jatuh punggung ke tanah. Ujung tongkat bergerak
mengikuti, masih terus menempel di keningnya.
“He… he…
Perwira Muda, apa jawabmu?!”
“Nek,
saya mohon maafmu kalau telah berlaku tidak menyenangkan dirimu. Saya dan semua
prajurit yang ada di sini hanya menjalankan perintah kerajaan.”
“Siapa
orang kerajaan yang memberi perintah padamu?” bentak si nenek.
“Patih
Kerajaan dan Cagak Lenting.” Jawab Perwira Muda.
“Hemm…
Kalian kembali ke kotaraja. Katakan pada Patih Kerajaan dan Cagak Lenting.
Siapa di antara mereka berdua yang ingin mampus duluan?! Katakan aku Sinto
Gendeng yang mengeluarkan ucapan!” Si nenek tusukkan ujung tongkat ke telinga
kiri Perwira Muda. “Kau dengar apa yang aku bilang?!”
“Sa… saya
dengar, Nek. Sekali lagi mohon maafmu. Saya tidak tahu kalau berhadapan dengan
tokoh rimba persilatan Eyang Sinto Gendeng.”
Sinto
Gendeng semburkan ludah susur ke muka orang hingga Perwira Muda kucak-kucak
mata menahan perih.
“Sekarang
bawa pasukanmu. Tinggalkan tempat ini. Jangan lupa membawa prajurit tolol yang
sudah jadi mayat itu!”
Perwira
Muda bangkit berdiri, memberi perintah pada anak buahnya.
Ketika
dia hendak berlalu Sinto Gendeng berkata.
“Tunggu!”
Si nenek kemudian berpaling pada Ki Tambakpati. “Sahabatku, perwira ini tadi
menamparmu. Apakah kau tidak ingin membalas?”
Ki
Tambakpati menyeringai. “Bagaimana kalau kau saja yang mewakilkan?”
Sinto
Gendeng tertawa bergelak. Tak terlihat oleh Perwira Muda itu tangan kiri si
nenek berkelebat.
Plaakk!
Perwira
Muda yang kena tampar terpelanting jatuh ke tanah. Dua prajurit cepat
membantunya berdiri. Ketika bangkit kelihatan pipi kanan perwira ini bengkak
merah, mata lebam. Orang-orang kerajaan itu akhirnya tinggalkan hutan jati
diikuti pandangan dan gelak tawa Ki Tambakpati dan Sinto Gendeng.
“Sinto!
Belasan tahun tidak bertemu, tahu-tahu kau muncul di sini! Gusti Allah akan
memberimu pahala atas pertolonganmu terhadap diriku!”
Sinto
Gendeng tertawa mengekeh, berbalik lalu dua sahabat lama itu saling berpelukan.
“Sinto,
kau tahu. Muridmu Wiro belum lama meninggalkan tempat ini.” Menerangkan Ki
Tambakpati. Sinto Gendeng bersikap tenang-tenang saja walau sebenarnya dia
merasa terkejut.
“Anak
setan itu sendirian?” Si nenek bertanya.
“Bersama
seorang perempuan muda berwajah cantik, membawa boneka perempuan dari kayu.”
Menerangkan Ki Tambakpati.
“Hemm…
jadi anak setan itu masih saja bersama perempuan gembel tidak waras itu.”
“Yang aku
lihat, perempuan itu waras-waras saja. Pakaiannya bagus, dandanannya apik.”
Walau
merasa heran atas keterangan sahabat lamanya itu Sinto Gendeng bertanya lagi.
“Ada keperluan apa muridku datang ke sini?”
“Wiro
menitipkan seorang pengasuh anak bernama Djaka Tua. Dia datang hendak
menjemput.” Lalu Ki Tambakpati menceritakan apa yang telah terjadi. Mulai dari
kemunculan Djaka Tua sampai akhirya pembantu itu menemui ajal digantung kaki ke
atas kepala ke bawah. Sinto Gendeng terdiam sejurus. Lalu berkata. “Aku tidak
megerti. Bagaimana petinggi kerajaan bisa berlaku kejam semena-mena seperti itu.”
“Aku rasa
ada satu perkara besar yang melatarbelakangi perbuatan mereka itu,” Ki
Tambakpati berkata menduga-duga.
“Bisa
jadi, bisa jadi…” ucap Sinto Gendeng. Kemudan nenek ini bertanya. “Apakah anak
setan itu menyebut nyebut rencana kepergian ke Candi Pangestu di Plaosan?”
Ki
Tambakpati menggeleng. “Setahuku dia bersama perempuan muda yang dipanggilnya
Nyi Retno itu berencana pergi ke kotaraja. Mereka ingin mencari pembunuh Djaka
Tua. Entah kalau kemudian mereka berubah pikiran.”
“Mungkin
sewaktu sampai di sini, anak setan itu belum mendapatkan surat,” pikir Sinto
Gendeng. “Tambakpati, aku ingin berada lebih lama bersamamu. Tapi ada urusan
penting yang harus aku lakukan. Lain kali aku datang lagi ke sini. Tapi…
Dengar, sebaiknya kau tidak tinggal lagi di tempat celaka ini. Ingat gubuk di
tikungan kali Progo. Gubuknya mungkin sudah rusak. Kau bisa memperbaiki. Paling
tidak kau punya tempat tinggal yang aman. Nanti aku akan menyambangimu
secepatnya di sana.”
Ki
Tambakpati angguk-anggukkan kepala.
“Sudah,
aku pergi sekarang.”
“Sinto,
kalau aku bertemu muridmu, ada pesan yang ingin kau sampaikan?” bertanya Ki
Tambakpati.
“Katakan
pada anak setan itu! Kalau mau punya istri jangan kawin dengan perempuan gembel
berotak tidak waras! Dan kalau punya anak jangan boneka kayu tapi bayi
benaran!”
“Sinto…”
Si nenek
sudah berkelebat pergi.
“Heran,”
kata Ki Tambakpati, “perempuan muda cantik, berpakaian bagus itu mengapa
dikatakannya gembel tidak waras? Punya anak bayi benaran, bukan boneka. Ah, aku
tidak mengerti. Apa muridnya itu memang sudah kawin dengan perempuan cantik
bernama Nyi Retno itu?” Ki Tambakpati geleng-geleng kepala. Sebelum masuk ke
pondok dia berkata. “Dari dulu sahabatku satu ini tak pernah berubah.”
Ki
Tambakpati tidak tahu kalau Sinto Gendeng pertama sekali bertemu Wiro dan Nyi
Retno Mantili ketika perempuan ini masih dalam keadaan badan dekil pakaian
kotor dan menunjukkan otak tidak waras. Setelah berada lebih dekat bersama Wiro
dan pertemuan dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata banyak perubahan atas diri
Nyi Retno dan hal ini tidak diketahui oleh Sinto Gendeng.
***********************
MALAM
Jumat hari ke lima belas. Sejak sore mendung menggantung di langit namun hujan
tak kunjung turun.
Hembusan
angin menderu keras, bergaung menimbulkan suara menakutkan. Seharusnya ada rembulan
bulat di langit. Namun yang kelihatan saat itu hanyalah kegelapan menghitam.
Candi
Pangestu di kawasan Plaosan tak dapat lagi disebut candi. Bangunannya sudah
runtuh rusak sejak belasan tahun silam. Kini bentuknya nyaris seperti gundukan
tanah tinggi. Dalam suasana gelap dan angin bertiup kencang, reruntuhan candi
itu terlihat menyeramkan.
Dua ekor
kelelawar tiba-tiba muncul dalam kegelapan malam. Terbang rendah ke arah Candi
Pangestu. Suara kepak sayapnya seolah membendung deru tiupan angin malam. Sepasang
mata cekung memperhatikan dari balik serumpunan semak belukar di samping
reruntuhan tembok halaman candi sebelah barat.
Tiba-tiba
dua buah benda seukuran ujung jari kelingking melesat di udara. Plaakk! Plaakk!
Dua
kelelawar menguik keras lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala hancur.
Terkapar tak jauh dari tangga rusak Candi Pangestu.
Orang di
balik semak belukar menyeringai, keluarkan susur dari dalam mulutnya, semburkan
ludah merah lalu masukkan susur kembali ke dalam mulut.
“Ada
orang tolol sengaja menunjukkan kepandaian,”
ucap
orang ini yang bukan lain adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Dia memandang
berkeliling. “Hebat juga cara sembunyi si tolol itu! Aku tak mampu mengetahui
di mana dia berada.” Si nenek memperhatikan seantero tempat sekali lagi.
Mendongak ke langit. “Saat ini kurasa sudah lewat tengah malam. Mengapa anak
setan itu tidak muncul? Jangan-jangan dia tidak ke sini tapi ke kotaraja
seperti keterangan Tambakpati. Atau mungkin surat itu jebakan orang-orang
Keraton Kaliningrat? Sengaja dibuang di tempat yang hendak aku lalui? Berarti
anak setan itu tidak pernah memegang dan membacanya.”
Sinto
Gendeng pukul-pukulkan tongkat kayu di tangan kirinya ke bahu. Mulut perot
kembali sunggingkan seringai.
“Siapa
berani menjebak diriku akan tau rasa sendiri. Lihat saja!”
Di arah
belakang reruntuhan Candi Pangestu ada satu lembah kecil tapi terjal. Lembah
ini dulunya adalah satu aliran anak sungai yang mengering karena terputus dari
sumber airnya. Di bibir lembah tumbuh sederetan pohon bambu, demikian rapatnya
hingga menyerupai pagar. Dalam kegelapan ada dua orang tegak berdekatan dan
bicara saling bisik.
“Kecik
Turanggga, apa pendapatmu. Yang kita tunggu muridnya. Yang muncul sang guru.
Bau pesingnya tercium santar sampai ke sini!”
Yang
barusan berbisik adalah seorang nenek berhidung bengkok seperti paruh burung
kakak tua, mengenakan pakaian kuning ketat. Mulut bicara sementara sepasang
matanya yang dingin kelabu menatap ke arah rumpunan semak belukar di mana Sinto
Gendeng mendekam. Nenek ini adalah Ni Serdang Besakih. Bersama Kecik Turangga
dia merupakan tokoh silat pentolan orang-orang Keraton Kaliningrat (Baca
Episode sebelumnya berjudul “Nyi Bodong”). Kecik Turangga sendiri seorang tokoh
silat yang dijuluki Hantu Buta Senja. Walau ilmunya tinggi namun dia memiliki
satu kekurangan yakni kedua matanya menjadi rabun jika siang berganti malam.
Itu sebabnya begitu senja datang dia segera mengenakan sebuah topeng. Jika
topeng ini dikenakan, maka wajahnya berubah. Kedua matanya jadi menyembul
bengkak.
“Ni
Serdang, biar kita bersabar barang sebentar. Jika Pendekar 212 tidak muncul
juga baru kita keluar dan menyapa nenek itu. Apa keperluannya berada di tempat
ini. Aku yakin bukan cuma satu kebetulan. Sambitan yang kau lakukan terhadap
dua kelelawar tadi rasanya cukup memberi peringatan padanya untuk tidak berbuat
macammacam.”
Ni
Serdang Besakih tidak menjawab. Dia rangkapkan dua tangan di atas dada. Setelah
cukup lama menunggu, Ni Serdang Besakih tidak sabar lagi.
“Kecik,
kita keluar sekarang!”
“Baik,
tapi tunggu!”
Sebuah
benda berapi melayang di udara lalu jatuh di dekat dua ekor kelelawar. Ketika
Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga memperhatikan, kedua orang Keraton
Kaliningrat ini jadi heran. Yang barusan melayang dan jatuh di tanah adalah
seonggok kayu menyala. Belum habis rasa heran mereka mendadak kesunyian malam
dirobek oleh suara tawa cekikikan. Lalu satu bayangan hitam melesat dari balik
semak belukar di arah runtuhan tembok sebelah barat. Di lain kejap satu tubuh
tinggi hitam agak bungkuk telah berdiri di depan tangga candi lalu jongkok di
muka onggokan kayu menyala. Itulah si nenek sakti Sinto Gendeng!
********************
5
DENGAN
ujung tongkat Sinto Gendeng mengait satu persatu dua kelelawar yang tergeletak
di tanah, lalu diletakkan di atas kayu menyala. Sebentar saja tempat itu
dipenuhi oleh bau daging terpanggang. Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Susur di
dalam mulut diputarputar kian kemari. Sesekali lidahnya yang merah
dijulurjulurkan. Air liur berkucuran.
“Baru
baunya saja sudah enak. Apalagi kalau disantap! Makan besar aku malam ini! Hik…
hik… hik.”
Tawa
cekikikan Sinto Gendeng masih mengumandang sewaktu dua orang melesat dari
kegelapan dan berdiri di hadapannya. Nenek dari puncak Gunung Gede sudah tahu
kedatangan orang tapi dia berlagak seperti tidak melihat siapa-siapa. Dia
ulurkan tongkat, membolak-balik dua ekor kelelawar yang dipanggang. Dari
mulutnya kemudian keluar suara nyanyian lagu tak menentu.
“Sahabatku
Sinto Gendeng, apakah penglihatanmu sudah dimakan rayap hingga tidak tahu kami
berdiri di sini?!” Ni Serdang Besakih menegur.
Sinto
Gendeng pura-pura kaget, terlonjak, bangkit berdiri, pandangi dua orang yang
tegak di depannya. Tubuh terbungkuk-bungkuk, mata mendelik.
“Astaganaga!
Kalian berdua benar-benar mengejutkanku! Aku sedang sibuk menyiapkan santapan
malam. Tahu-tahu kalian muncul! Apakah aku kenal kalian?” Sinto Gendeng
panjangkan leher, memandang lekat-lekat pada lelaki berjubah coklat yang
matanya tersembul bengkak. Si nenek gelengkan kepala. “Mata Bengkak, aku tidak
kenal kau.”
Sinto
Gendeng lalu alihkan pandangan pada nenek berhidung seperti paruh burung kakak
tua. “Hai! Kau rupanya! Mataku tidak lamur! Tidak dimakan rayap tidak dimakan
belatung! Tiga puluh tahun lalu kau bernama Ni Serdang Besakih. Apakah sekarang
masih memakai nama itu. Atau sudah ditukar sesuai perkembangan jaman? Tiga
puluh tahun lalu waktu Raja Tua masih memerintah, kau adalah penyanyi keraton
yang kesohor! Hik… hik. Apakah sekarang kau masih suka menyanyi? Hik… hik…
hik.”
“Sinto,
aku tahu kau suka guyon. Tapi saat ini bukan tempatnya bicara konyol. Kami
sedang menghadapi satu urusan besar. Tidak ada hujan tidak ada angin mengapa
kau tahu-tahu muncul di sini?!” Ni Serdang Besakih bicara dengan suara bernada
keras.
“Kau
keliru sobatku,” jawab Sinto Gendeng sambil sunggingkan seringai buruk
mengejek. “Hujan bukannya tidak ada, tapi belum turun. Kalau angin sedari tadi
sudah bertiup, apa kau tidak mendengar tidak merasa? Heh, kalau katamu kita
bersahabat kau bisa menerangkan apa urusan besar yang tengah kalian hadapi.”
“Kami
akan mengatakan kalau ada jaminan darimu bahwa kau bukan mata-mata kerajaan!”
yang bicara adalah Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja.
“Mata
Bengkak! Keren amat bicaramu! Kalau aku jaminkan nyawa, kau mau menjaminkan
apa? Dengkulmu?! Atau dua matamu yang bengkak menjijikkan itu? Ih! Amit-amit
jabang tuyul! Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. “Sekarang
katakan apa urusan kalian!”
“Kami
tidak akan mengatakan!” jawab Kecik Turangga. Wajahnya di balik topeng merah
mengelam. Lalu dia berbisik pada Ni Serdang Besakih. “Kalau rencana pertama
batal, kita harus melakukan rencana kedua.”
“Kau tak
usah khawatir.” Jawab si nenek berhidung seperti paruh burung kakak tua. “Orang
yang hendak membantu kita itu sudah ada di sini.”
Sinto
Gendeng tertawa. “Mata Bengkak gerunjulan! Omonganmu hebat juga! Kalau kalian
tidak mau memberi tahu, biar aku yang memberi tahu apa urusanku berada di
tempat ini! Aku mewakili muridku Pendekar 212 yang kalian undang datang ke
tempat ini, malam ini! Betul begitu?!”
Baik Ni
Serdang Besakih maupun Kecik Turangga sama-sama sembunyikan rasa terkejut
mereka. Setelah berdiam dan berpikir sejenak, nenek berhidung bengkok ajukan
pertanyaan.
“Bagaimana
kau tahu kalau kami mengundang muridmu datang ke tempat ini.”
Sinto
Gendeng tertawa. “Ni Serdang Besakih. Kau terjebak oleh ucapanmu sendiri!
Kalian tidak dapat mengelak kalau kalian adalah orang-orang Keraton
Kaliningrat. Betul?! Kalian tak usah menjawab. Aku sudah menyirap kabar. Aku
mewakili muridku karena kalian yang memintanya datang ke sini! Aku membaca
lengkap surat cinta yang kalian kirimkan atas nama Pangeran Muda Brata
Sukmapala. Surat cinta kataku! Hik… hik… hik! Uhh!
Siapa itu
Pangeran Muda Brata Sukmapala. Baru sekali ini aku mendengar namanya. Nah, aku
berada di sini mewakili muridku Pendekar 212. Sekarang katakan apa keperluanmu
meminta muridku datang ke sini! Dalam surat kalian minta agar muridku
memberikan jasanya sekali lagi pada kerajaan. Kerajaan yang mana? Kalian juga
menjanjikan jabatan tinggi untuk muridku. Kepala Balatentara Kerajaan! Ck… ck…
ck!” Sinto Gendeng leletkan lidah.
Ni
Serdang Besakih bertanya. “Dari mana kau dapatkan surat itu? Muridmu sendiri
yang menyerahkan padamu?”
“Apa itu
jadi persoalan?” balik bertanya Sinto Gendeng.
Kecik
Turangga berbisik. “Bagaimana baiknya? Kita katakan padanya terus terang. Jika
dia memang mewakili muridnya, apa dia bisa kita ajak serta?”
“Manusia
satu ini sangat culas,” jawab Ni Serdang Besakih dengan berbisik pula. “Kita
harus hati-hati. Biar aku yang bicara.”
“Sinto,
kau terlalu lama tenggelam dalam rimba persilatan hingga tidak tahu lagi apa
yang terjadi dengan kerajaan yang sering kau bantu di masa lalu. Saat ini yang
berkuasa adalah seorang raja yang tidak berhak atas tahta.
Kami
orang-orang Keraton Kaliningrat telah menyusun kekuatan untuk menurunkan raja
dari tahta dan memberikan tahta pada orang yang berhak yaitu Pangeran Tua Sri
Paku Jagatnata. Aku tanya, apakah kau bersedia membantu perjuangan kami?”
Sinto
Gendeng tidak menjawab tapi langsung tertawa mengekeh hingga air susurnya jatuh
berlelehan.
“Ni
Serdang Besakih, selama dunia terkembang, tahta, harta dan hawa akan selalu
menjadi biang kerok segala macam urusan. Aku tahu semua cerita di balik
urusanmu.
Siapapun
raja yang berkuasa sekarang, dia adalah sepantas-pantasnya manusia yang berhak
menduduki tahta. Siapa yang tidak tahu. Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata adalah
adik dari Raja Tua, raja terdahulu.
Sedang
raja yang sekarang adalah putera sulung dari Raja Tua. Kau tahu jalan ceritanya
Ni Serdang. Kau tahu Pangeran Tua tidak punya hak menduduki tahta kerajaan.
Kau dan
orang-orang yang tergabung dalam Keraton Kaliningrat berusaha
menjungkirbalikkan kenyataan dan kebenaran. Kalian adalah orang-orang yang
mengharapkan imbal jasa harta, uang dan kedudukan. Barusan aku coba
mengingat-ingat. Kalau aku tidak keliru yang namanya Pangeran Muda Brata
Sukmapala itu, bukankah dia putera Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata? Nah,
sekarang muncul satu tanda tanya. Siapa sebenarnya yang inginkan tahta.
Pangeran
Tua atau si Pangeran Muda? Aku tidak yakin Pangeran Tua punya hati seculas itu
terhadap kakak kandungnya sendiri!”
“Sinto
Gendeng,” ucap Kecik Turangga. “Kau tidak kami mintakan segala macam penilaian,
juga tidak perlu berbanyak tanya atau bicara panjang lebar tak karuan!
Kami
hanya ingin tahu apakah kau bersedia membantu perjuangan Keraton Kaliningrat
atau tidak?!”
“Kalau
aku mau membantu kalian mau beri hadiah apa? Jabatan Panglima Balatentara
Kerajaan seperti yang kau janjikan pada muridku tentu tidak pantas bagiku. Hik…
hik… hik. Lalu kalau aku tidak bersedia membantu, kalian mau bikin apa?”
“Sinto,”
Ni Serdang menengahi. “Kami anggap saja kau tidak bersedia membantu. Maka
dengan segala hormat kami minta kau meninggalkan tempat ini. Masih ada orang
lain yang kami harapkan akan datang.”
“Aku
tidak akan pergi. Karena aku ke sini untuk menunggu kedatangan muridku.” Jawab
Sinto Gendeng pula.
“Kau tak
boleh berada lebih lama di tempat ini, Sinto. Secepatnya kau pergi akan lebih
baik.”
Sinto
Gendeng pelototi Ni Serdang Besakih. Lalu menjawab ucapan orang. “Kawasan Candi
Pangestu, apalagi daerah Plaosan bukan milikmu. Siapa saja boleh datang dan
berada di tempat ini. Mulai dari satu hari sampai hari kiamat! Hak apa kalian
menyuruhku pergi?!”
“Sinto
Gendeng. Ada satu hal yang harus kau ketahui!
Yang
namanya Keraton Kaliningrat itu ada di mana-mana. Termasuk kawasan Plaosan ini!
Jadi jangan heran kalau kami menyuruhmu pergi secara baik-baik!”
Sinto
Gendeng tertawa gelak-gelak.
“Ucapan
tolol!” maki si nenek. “Kalau Keraton Kaliningrat ada di mana-mana apa itu
berarti juga ada di sorga dan di neraka? Hik… hik… hik!”
Kecik
Turangga keluarkan suara menggembor marah. Ni Serdang Besakih memberi isyarat
dengan gerakan tangan agar sahabatnya itu berlaku tenang lalu berpaling pada Sinto
Gendeng.
“Kau
membuang waktu berlama-lama di tempat ini. Padahal aku punya firasat. Muridmu
tak akan muncul. Kami telah menyirap kabar apa yang terjadi antara kalian
berdua. Muridmu sudah mengambil keputusan menjauhkan diri darimu, dunia
akhirat!” Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga memang telah mendapat laporan
dari Damar Sarka, anggota Keraton Kaliningrat yang menyamar jadi kusir gerobak
yang pernah ditumpangi Wiro dan Nyi Retno. Dalam perjalanan semua pembicaraan
kedua penumpangnya itu secara diam-diam didengar Damar Sarka, lalu diceritakan
pada Pangeran Muda dan Ni Serdang Besakih.
“Heh? Ni
Serdang apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya Sinto Gendeng dengan mata
mendelik.
“Aku
sudah membuka kitab, apakah kau ingin aku membaca isinya?” tanya Ni Serdang
Besakih mempergunakan kata-kata sindiran.
“Orang-orang
Keraton Kaliningrat memang pandai bicara, tapi kurang pandai membujuk! Hik…
hik!” Sinto Gendeng gerakkan tangan kirinya yang memegang tongkat. Membalikkan
dua kelelawar yang dibakar di atas perapian.
“Baunya
sungguh sedap. Tapi aneh. Selera makanku tibatiba hilang! Kalian saja yang
menyantap kelelawar ini. Kubagi seorang satu! Makanlah dengan lahap! Sampai
kenyang!”
Tangan
kiri Sinto Gendeng bergerak. Dua kelelawar panggang mencelat ke udara.
Bagaimana Sinto Gendeng memutar tongkatnya begitu pula dua kelelawar
berputarputar di udara menebar sedap bau daging panggang. Ni Serdang Besakih
dan Kecik Turangga tak sadar terpengaruh memperhatikan dua kelelawar panggang
yang melayang-layang di udara. Tiba-tiba Sinto Gendeng sentakkan tongkat di
tangan kiri. Mulutnya berseru.
“Makanlah!”
Dua
kelelewar panggang yang melayang di udara tibatiba laksana kilat melesat ke
arah dua tokoh Keraton Kaliningrat.
Plukk!
Plukk!
Masing-masing
kelelawar jatuh tepat di wajah Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga. Kedua orang
ini berteriak marah dan juga kesakitan karena kelelawar panggang itu masih
sangat panas. Kulit muka si nenek melepuh. Topeng yang menutupi wajah Kecik
Turangga robek mengepulkan asap tepat di bagian dua mata yang menggembung
bengkak. Akibat rusaknya topeng ini Kecik Turangga yang berjuluk Hantu Buta
Senja ini benar-benar menjadi buta, tak mampu melihat apa-apa lagi selain
bayang-bayang hitam ke manapun dia memandang.
Sinto
Gendeng berkacak pinggang dan tertawa gelakgelak.
“Hanya
begitu saja kehebatan orang-orang Keraton Kaliningrat? Menghadapi kelelawar
yang sudah mati saja tidak punya kemampuan selamatkan diri! Hik… hik… hik!
Sudah
pergi saja kalian! Cuci kaki dan tidur di keraton kalian yang ada di mana-mana.
Jangan lupa cebok dulu!
Hik… hik…
hik!”
“Sinto
Gendeng tua bangka keparat! Kau mencari mampus!” teriak Ni Serdang Besakih.
Didahului suara menggembor keras nenek berhidung bengkok ini melompat ke depan.
Tangan kanannya melesat ke arah kepala Sinto Gendeng dalam jurus maut bernama
Tangan Iblis Membongkar Berhala. Kalau serangan ini mengenai sasarannya maka
kepala Sinto Gendeng akan terbongkar mengerikan.
Meski
tahu kehebatan serangan lawan, Sinto Gendeng tidak merasa jerih. Malah dia
sambut dengan jurus Ular Naga Menggelung Bukit. Tangan kiri yang memegang
tongkat kayu menggebuk ke arah tangan yang menyerang sementara tangan kanan
laksana kilat menelikung ke arah tubuh lawan. Bersamaan dengan itu kepala
dimiringkan ke samping.
Kraak!
Tongkat
kayu di tangan kiri Sinto Gendeng patah. Ni Serdang Besakih mengeluh keras.
Tangan kanannya yang beradu dengan tongkat kayu laksana dihantam pentungan
besi. Walau sakit bukan main namun Ni Serdang Besakih masih teruskan jurus
Tangan Iblis Membongkar Berhala. Kalau tadi serangan menjurus ke muka lawan,
akibat gebukan tongkat arah yang dituju jadi melesat ke dada. Melihat serangan
yang berubah arah, Sinto Gendeng cepat melompat ke belakang dan urungkan
serangan Ular Naga Menggelung Bukit.
Breett!
Baju
hitam yang dikenakan Sinto Gendeng robek besar di bagian dada kiri. Walau lima
jari tangan lawan tidak sampai menyentuh kulit dadanya namun hawa sakti dan
ganas yang terkandung dalam serangan itu membuat tubuh Sinto Gendeng tergoncang
keras. Dia merasa tulangtulang iganya seperti remuk dan jantungnya seolah
hendak terbongkar keluar! Dia coba bertahan. Tapi justru darah menyembur dari
mulut. Didahului satu jeritan keras Sinto Gendeng tusukkan patahan tongkat ke
bahu kanan Ni Serdang Besakih. Kini gantian nenek berhidung bengkok ini yang
berteriak kesakitan lalu melompat jauhkan diri dari lawan sambil berteriak.
“Keparat
setan alas! Terima kematianmu!” Sinto Gendeng berteriak. Tangan kanannya
diangkat ke atas.
Sebatas
siku ke bawah tangan itu berubah warna menjadi perak berkilat.
“Pukulan
Sinar Matahari!” teriak Ni Serdang Besakih dan cepat menyingkir.
Wuss!
Sinar
putih menyilaukan disertai sambaran hawa panas luar biasa berkiblat. Ni Serdang
Besakih yang sudah tahu bahaya dan cepat menyingkir selamat dari hantaman
pukulan sakti. Namun nasib sial menimpa Kecik Turangga alias Hantu Buta Senja.
Selagi dia bingung kelabakan karena tak dapat melihat, Pukulan Sinar Matahari
datang menghantam. Tokoh Keraton Kaliningrat ini mencelat sampai dua tombak.
Tubuh tergelimpang di tanah, mengepulkan asap. Begitu kepulan asap lenyap
kelihatan sosoknya teronggok putih seperti gundukan kapur!
Ni
Serdang Besakih merinding pucat melihat apa yang terjadi dengan diri kambratnya
itu. Rencana pertama gagal sudah! Rencana kedua harus dilaksanakan. Nenek ini
berteriak.
“Embah
Bejigur! Kau tunggu apa lagi?!”
Belum
lenyap gema teriakan Ni Serdang Besakih, tibatiba dari arah Candi Pangestu
kelihatan satu benda berkilat menebar dan melesat di udara. Sebelum Sinto
Gendeng sempat melihat jelas benda apa itu adanya tahu-tahu tubuhnya sudah
tenggelam dalam jiratan tali temali yang memancarkan cahaya bergemerlap!
“Jaring
Neraka!” teriak Sinto Gendeng begitu menyadari apa yang terjadi dengan dirinya.
Dia berusaha loloskan diri. Kerahkan tenaga dalam untuk merobek jaring. Tapi
tak berhasil. Entah apa yang terjadi dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam
dan hawa sakti. “Jahanam! Apa yang terjadi padaku!” Rutuk Sinto Gendeng. Nenek
ini kembali coba alirkan tenaga dalam. Kali ini ke arah kedua matanya karena
dia bermaksud mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi bukan
saja dia menemui kegagalan malah sekujur tubuhnya terasa lemas sementara tali
temali yang memancarkan sinar dan menjerat tubuhnya mulai terasa panas. Sinto
Gendeng menggeletar. Badannya seperti mau leleh!
Dalam
keadaan seperti itu satu tawa keras meledak. Memandang ke depan Sinto Gendeng
melihat sosok katai seorang kakek berkepala botak, berkumis dan berjenggot
putih panjang, mengenakan baju dan celana hitam gombrong!
“Sinto
Gendeng! Semakin kau mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti semakin lemas
seluruh tubuhmu! Ha… ha… ha!”
********************
6
JAHANAM
bertubuh katai! Kalau kau tidak segera mengeluarkan aku dari jaring ini, aku
bersumpah akan membunuhmu!”
Si katai
botak yang dipanggil dengan sebutan Embah Bejigur keluarkan suara berdecak lalu
berkata. “Nenek bau pesing! Kau sudah tidak punya daya! Di dalam Jaring Neraka
semua ilmu kesaktianmu tidak bisa kau gunakan!
Kalau kau
tak mau berserikat dengan kami orang-orang Keraton Kaliningrat, silahkan
menghitung hari. Ajalmu sudah di depan mata!”
Sinto
Gendeng berteriak dahsyat. Tubuhnya digulingkan ke arah kakek katai. Namun
setengah jalan Ni Serdang Besakih menghadang dengan satu tendangan. Sinto
Gendeng meraung! Tubuhnya terpental.
“Itu
hadiah dari sobatku Kecik Turangga yang kau bunuh!” ucap Ni Serdang Besakih.
“Ini dariku!” Lalu nenek ini kembali hantamkan satu tendangan ke tubuh Sinto
Gendeng hingga yang ditendang mencelat terguling-guling.
Ni
Serdang Besakih memburu. “Aku mewakili muridmu! Ini tambahan dari Pendekar 212
yang kau aniaya!” Untuk ke tiga kalinya Sinto Gendeng terpental. Tendangan Ni
Serdang Besakih begitu keras. Namun kali ini tak terdengar lagi suara jeritan
si nenek. Tubuhnya tak berkutik dalam Jaring Neraka. Lengan kiri patah. Dua
tulang iga di sisi kanan remuk dan pipi kanan bengkak lebam. Masih sempat
terdengar sesaat suara erangan si nenek lalu mulutnya terkancing.
Belum
merasa puas Ni Serdang Besakih kembali melompat ke arah tubuh di dalam jaring
itu. Sewaktu dia hendak menendang kembali si katai Embah Bejigur cepat menarik
tangannya.
“Ni
Serdang, jangan dihabisi sekarang. Biar Pangeran Muda nanti yang mengambil
keputusan mau diapakan setan tua ini.”
Ni
Serdang masih penasaran. “Wajahku rusak karena ulah perbuatannya! Aku tidak
yakin orang ini bisa diajak berserikat. Hatinya seribu culas, otaknya seribu
kotor.
Kalau
kelak dia mengatakan ingin bergabung dan membantu kita, pasti dia menyimpan
satu hal yang busuk.
Dia akan
menjadi musuh dalam selimut! Aku ingin Pangeran Muda menjatuhkan hukuman mati
padanya. Dan aku akan minta pada Pangeran Muda agar aku yang menabas batang
lehernya!”
“Ni
Serdang, kau tahu. Saat ini sebenarnya tanganku juga sudah gatal ingin
membereskan nenek bau pesing ini.
Empat
puluh tahun silam dia membunuh seorang sahabatku,” kata Embah Bejigur pula.
Lalu dia tarik ujung jaring. “Aku akan seret setan perempuan ini sampai ke
tempat Pangeran Muda menunggu. Mudah-mudahan saja dia tidak mampus di tengah
jalan!”
Ketika
diseret tak seorang pun tahu, gulungan daun lontar di pinggang Sinto Gendeng
jatuh ke tanah.
***********************
MALAM itu
di Gedung Kepatihan ada pertunjukan kesenian berupa tari-tarian oleh rombongan
penari berasal dari Temanggung. Selain tari-tarian juga ada banyolan empat pelawak.
Pertunjukan diadakan di langkan gedung di mana dibangun sebuah panggung besar.
Pengunjung luar biasa banyaknya. Selain para pejabat tinggi kerajaan, rakyat
banyak juga diberi kesempatan untuk menikmati hiburan yang jarang-jarang
diadakan itu.
Selewat
tengah malam pertunjukan semakin ramai karena ternyata juga ada permainan
akrobat dilakukan oleh enam pemuda gagah dan dua gadis cantik. Dalam salah satu
pertunjukan, seorang pemuda berbaring menelentang di lantai. Tangan kiri kanan
masing-masing memegang balok besar tebangan batang pohon. Gong berbunyi. Dua
gadis cantik menari berputar-putar. Seorang pemuda melompat ke atas balok
sebelah kiri, seorang lagi naik ke atas balok sebelah kanan. Gong berbunyi. Dua
pemuda melesat ke udara, jungkir balik satu kali lalu melayang turun dan tegak
di atas bahu dua temannya yang berdiri di atas balok. Tepuk tangan memenuhi
seantero tempat.
Gong
berbunyi lagi. Pemuda ke enam melompat ke sebuah bantalan karet yang sudah
disiapkan. Tubuhnya yang membal melesat ke udara dan sesaat kemudian dia sudah
berdiri di atas bahu kiri kanan dua temannya. Orang banyak bertepuk riuh luar
biasa.
Dua gadis
cantik masih terus menari-nari, kini sambil berpegangan tangan. Di tangan
mereka ada sebuah payung warna merah. Gong berbunyi lagi. Kali ini disertai
suara tambur dan tiupan seruling. Dua gadis berteriak nyaring, melompat ke atas
bantalan karet. Dua tubuh berpakaian ketat melesat ke udara. Semua orang
menahan nafas.
Dua
payung merah terkembang. Sambil berpegangan tangan dua gadis perlahan-lahan
melayang turun ke arah pemuda yang berdiri paling atas. Gadis sebelah kanan
injakkan kaki kiri di bahu kanan, gadis di sebelah kiri injakkan kaki kanan di
bahu kiri si pemuda. Suara gong dan tambur bertalu-talu. Tiupan seruling
mencuat nyaring.
Pemuda
yang berada paling bawah yakni yang memegang dua buah balok, perlahan-lahan
mulai memutar tubuhnya.
Dua balok
ikut berputar. Selanjutnya sosok pemain akrobat yang berada di sebelah atas
ikut berputar. Dua gadis menari-nari. Luar biasa! Semua mata menyaksikan tak
berkesip penuh kagum.
Suara
gong dan tambur terus menggema. Tiupan seruling melengking-lengking. Lalu ada
suara suitan keras.
Inilah
tanda bahwa pertunjukan akrobat yang menegangkan itu berakhir. Dua gadis cantik
berseru nyaring. Tubuh mereka melesat ke kiri dan ke kanan.
Payung
masih terkembang. Dengan gerakan-gerakan indah mereka meliuk-liukkan tubuh di
udara dan perlahan-lahan turun ke panggung. Pemuda di paling atas menyusul
turun dengan gerakan jungkir balik yang indah. Dua pemuda sebelah bawah berseru
keras. Tangan masing-masing mengepal ke udara. Lalu keduanya melesat ke bawah,
membuat gerakan jungkir balik satu kali dan melayang turun.
Saat
itulah satu sosok hijau entah dari mana datangnya ikut melesat ke bawah. Semua
orang jadi terkejut. Kenapa orang yang turun jadi tiga? Sementara dua pemuda
lagi masih ada di atas sana tengah bersiap-siap untuk melompat turun pula.
Heboh
besar melanda tempat pertunjukan itu sesaat kemudian. Dua orang pemuda yang
melayang turun jejakkan kaki di lantai panggung dengan gerakan enteng.
Sebaliknya
sosok ke tiga yang mengenakan pakaian serba hijau jatuh terbanting dengan
keras. Papan panggung patah. Bagian pinggang ke bawah orang berpakaian serba
hijau ini amblas ke dasar panggung. Tubuh sebatas pinggang ke atas terhenyak di
lantai papan. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah.
Dua gadis
pemain akrobat menjerit dan lari ke bawah panggung. Hampir semua orang
keluarkan seruan kaget.
Patih
Kerajaan Wira Bumi, seorang perwira tinggi dan beberapa orang tokoh silat
istana segera melompat ke atas panggung.
“Cagak
Lenting!” Seru Patih Kerajaan. Walau kepala orang itu nyaris hancur namun Wira
Bumi masih bisa mengenali siapa adanya orang yang sebagian tubuhnya
tergelimpang di lantai panggung. Perwira Tinggi dan seorang tokoh silat segera
menarik tubuh orang berpakaian serba hijau itu yang memang adalah Cagak Lenting
alias Si Mata Elang.
“Kanjeng
Patih, ada sepotong kertas menempel di punggung mayat!” Seseorang berteriak.
Orang ini langsung mengambil potongan kertas itu dan menyerahkannya pada Patih
Wira Bumi. Sang Patih karuan saja jadi kaget besar karena di atas kertas itu
ada tulisan yang ditujukan padanya.
Patih
Kerajaan, siapapun namamu adanya!
Malam ini
aku menyelesaikan sebagian dari hutang piutang di antara kita. Kau dan Cagak
Lenting telah membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah menerima
bagiannya. Tak lama lagi giliranmu akan sampai.
Rahang
Patih Kerajaan menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Kertas di tangan diremas
hingga jadi bubuk!
“Jahanam!
Setan mana yang punya pekerjaan ini! Siapa kau! Unjukkan diri!” Patih Wira Bumi
berteriak marah membuat panggung besar bergetar. Tiba-tiba terdengar teriakan.
“Ada orang di atas atap!”
Perwira
Tinggi Suko Daluh bersama dua orang tokoh silat yaitu Ki Genta Kemiling dan Ki
Wulur Jumena serta merta melompat dan melesat ke atas wuwungan Gedung
Kepatihan. Saat itulah dua larik cahaya putih berkiblat disusul dua jeritan.
Tubuh Perwira Tinggi dan salah seorang tokoh silat terpental lalu menggelundung
jatuh ke tanah. Tubuh tak berkutik lagi, kepala pecah, nafas minggat sudah!
Semua terjadi begitu cepat.
Patih
Wira Bumi bersama beberapa orang segera berlari mendatangi.
“Ki Genta
Kemiling. Apa yang terjadi?!” tanya Wira Bumi pada tokoh silat yang masih
hidup.
“Kami
melihat dua orang di atas atap gedung. Ketika kami hendak menyerbu ada dua
kilatan cahaya putih.
Perwira
Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat Ki Wulur Jumena langsung roboh lalu jatuh ke
tanah. Saya coba mengejar.
Dua orang
di atas atap lenyap. Yang kelihatan hanya asap putih seperti halimun.”
Patih
Kerajaan memperhatikan sekali lagi keadaan dua korban.
“Cara
kematian mereka sama dengan Cagak Lenting. Kepala hancur. Berarti pembunuh
Cagak Lenting orangnya sama dengan pembunuh Suko Daluh dan Wulur Jumena.”
Pertunjukan
di Gedung Kepatihan berakhir dalam suasana kacau balau dan sangat tidak enak.
Orang banyak pulang ke rumah masing-masing dengan berbagai macam cerita.
Sebelum meninggalkan tempat itu Patih Kerajaan berkata pada orang-orangnya.
“Tambah penjagaan di sekitar Gedung Kepatihan dan juga Keraton. Perketat
pengawasan pada pintu gerbang utara dan barat.”
Wira Bumi
masuk ke dalam gedung. Istri keduanya yang datang menyambut disuruhnya masuk ke
dalam kamar.
Wira Bumi
sendiri kemudian masuk ke sebuah kamar khusus yang terletak di bagian belakang Gedung
Kepatihan, terpisah dari bangunan utama. Empat dari lampu minyak yang ada di
dalam kamar dipadamkan. Lalu dia menanggalkan seluruh pakaian. Dalam keadaan
tidak selembar benang pun menutupi tubuhnya Wira Bumi berbaring di atas tempat
tidur. Mata terpejam, mulutnya berucap.
“Nyai
Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan dirimu.”
***********************
NYI Retno
Mantili lari sambil pegangi lengan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berusaha
menahan lari pemuda itu sambil berkata. “Wiro, saya harus kembali ke Gedung
Kepatihan. Saya harus membunuh patih itu. Malam ini juga!”
Wiro
tidak perdulikan ucapan Nyi Retno. Dia lari terus. Di satu tempat yang
dirasakannya cukup aman dan jauh di pinggiran kotaraja baru dia berhenti.
“Nyi
Retno, saya ingin bicara,” kata Wiro pula.
“Saya ingin
kembali ke kotaraja. Saya harus membunuh patih jahanam itu!”
“Nyi
Retno, ingat. Sebelumnya kau sudah berjanji hanya akan membunuh orang bernama
Cagak Lenting. Hal itu sudah kau lakukan.”
“Tapi
patih jahanam itu masih hidup. Dia ikut bertanggung jawab atas kematian Djaka
Tua.”
“Nyi
Retno, bagaimanapun jahatnya patih itu kau tak mungkin dan tidak boleh
membunuhnya.”
Nyi Retno
tarik lepas lengannya yang dipegang Wiro.
“Mengapa
saya tidak boleh membunuh manusia jahat itu, Wiro.”
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. Akhirnya dia jawab juga pertanyaan Nyi Retno.
“Patih
Kerajaan yang bernama Wira Bumi itu adalah suami Nyi Retno. Ayah dari puteri
Nyi Retno sendiri. Ayah Ken Permata.”
Nyi Retno
tersurut dua langkah mendengar kata-kata Wiro. Mulutnya tersenyum lalu senyum
berubah menjadi tawa memanjang.
“Saya
tidak pernah punya suami! Kalaupun kelak saya punya, orangnya adalah kau! Saya
suka padamu! Kemuning suka padamu!” Nyi Retno lalu mendekap boneka kayu,
menciuminya sementara sepasang matanya tampak berkaca-kaca. “Kalau kau tidak
mau jadi ayah Kemuning, saya mohon pergilah. Tinggalkan kami di sini. Saya
mengerti di matamu kami yang malang ini hanyalah sampah yang menjadi beban!”
“Ah,
kumat lagi penyakitnya,” keluh Wiro dalam hati.
Wiro belai
rambut hitam di kuduk Nyi Retno. “Nyi Retno, jangan punya pikiran atau perasaan
seperti itu. Semua tindakan saya hanya untuk melindungi Nyi Retno dan Kemuning.
Ingat ucapan Ki Tambakpati? Kotaraja saat ini dijaga ketat. Mata-mata
berkeliaran di mana-mana. Masih untung kita bisa masuk dan keluar dengan
selamat. Soal Patih Wira Bumi itu harap bersabar. Kita cari saat yang baik.
Kalau kita kembali ke Gedung Kepatihan saat ini terlalu berbahaya. Pengawalan
pasti sudah dilipat ganda.
Di setiap
pelosok para tokoh silat kerajaan pasti berjagajaga. Bagaimana pendapat Nyi
Rento?”
Perempuan
muda bertubuh mungil itu pegang tangan Wiro yang mengusap kuduknya. Lama dia
terdiam sebelum akirnya berkata dengan suara lirih.
“Saya
menurut apa katamu saja, Wiro. Saya letih. Saya ingin istirahat. Mari kita cari
tempat yang aman. Maukah kau menggendong saya dan Kemuning?”
Wiro
tersenyum. Dia bungkukkan tubuh sedikit lalu menggendong Nyi Retno di depan
dada. Dalam hati Wiro berkata. “Pada siapa aku harus minta tolong? Bagaimana
menjernihkan dan membuka pikiran perempuan ini. Bahwa Wira Bumi itu adalah
suaminya? Mungkin hanya dengan cara mempertemukan Nyi Retno dengan Ken Permata?
Tapi
malam Satu Suro yang dikatakan Datuk Rao Basaluang Ameh itu masih lama.
Sementara itu segala sesuatunya bisa terjadi. Heran, kenapa Datuk memerlukan
waktu demikian lama untuk mempertemukan ibu dan anak?”
Satu
tangan hangat mengusap dagu Wiro. Tangan Nyi Retno.
“Wiro,
kau memikirkan apa?” tanya perempuan itu.
Sambil
melangkah Wiro menatap wajah Nyi Retno. Wajah itu tampak cantik sekali. Mata
yang menatap bercahaya, bibir yang mengulum senyum, semua memancarkan ketulusan
hati. Tak ada yang disembunyikan.
Tiba-tiba
saja Wiro merasakan dadanya berdebar. Hatinya bicara. “Ya Tuhan, bagaimana ini.
Mengapa aku menjadi begitu sayang pada perempuan yang malang ini”
Wiro
tundukkan kepala. Sesaat lagi ciuman Wiro akan sampai, Nyi Retno pejamkan mata.
Tapi yang dicium sang pendekar adalah boneka kayu dalam pelukan Nyi Retno.
“Wiro,
saya sedih sekali…” Ucap Nyi Retno perlahan.
“Sedih
kenapa Nyi Retno?” tanya Wiro.
“Kau
mencium anakku. Tapi tak mencium diriku.”
“Gila!
Bagaimana aku mau mencium istri orang!” Ucap Wiro dalam hati. Lalu dia
merasakan tangan Nyi Retno menarik tengkuknya. Perlahan-lahan Wiro merunduk.
Ciumannya
singgah di kening perempuan itu. Nyi Retno menggeliat dalam dukungan sang
pendekar. Matanya terbuka nyalang. Memancarkan cahaya kehidupan penuh harapan
dan juga hasrat penuh gairah.
“Wiro,
saya mau kau membaringkan saya di tanah…”
bisik Nyi
Retno. “Saya letih, saya ingin tidur dalam pangkuanmu.”
Wiro
hentikan langkah. Bingung. Apakah dia akan mengikuti permintaan Nyi Retno? Jika
hal itu dilakukan jangan-jangan semua kemesraan ini akan berlanjut lebih jauh.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara perempuan
bernyanyi.
********************
7
MALAM
gelap dan sejuk Saat yang indah memadu cinta Tapi apa nikmatnya Bercinta dengan
perempuan gila Suara nyanyian ditutup dengan tawa bergelak.
Wiro
tersentak kaget. Nyi Retno Mantili cepat meluncur turun dari dukungan sang
pendekar. Di dalam gelap, hanya terpisah kurang dari sepuluh langkah Wiro dan
Nyi Retno melihat seorang perempuan muda berwajah putih berambut kacau balau
tak karuan, mengenakan pakaian biru gelap, tegak sambil rangkapkan dua tangan
di depan dada. Di pinggang tergantung enam buah kendi hitam berisi minuman
keras. Sebuah tusuk konde perak tersemat di dada kiri baju birunya.
“Nyi
Bodong… Ah, bukan dia!” Ucapan Wiro tertahan. “Nyi Bodong seorang nenek, yang
ini masih muda belia.”
“Wiro,
apakah kau lupa pada istri sendiri?!” Gadis bermuka putih berpakaian biru
bertanya dengan wajah didongakkan, mata memandang tak berkesip pada Wiro.
Seruas senyum bermain di bibir.
Kejut
Wiro bukan alang kepalang.
“Aku,
kau… Ah, bukan. Kau bukan Nyi Bodong, betul?”
Si muka
putih tertawa. “Bukan, betul, bukan, betul! Kau ini bicara apa? Aku Wulan
Srindi istrimu. Apa kau tidak mengenali istrimu lagi? Wiro, perkawinan kita
telah membuahi seorang jabang bayi berusia hampir tiga bulan. Apa kau tidak
gembira mendengar kabar ini?”
“Wulan
Srindi!” ucap Wiro. Kagetnya masih belum hilang. “Apa yang terjadi dengan
dirimu. Mengapa wajahmu menjadi putih?” Wiro masih tidak yakin kalau perempuan
muka putih di depannya itu adalah Wulan Srindi. Namun suara orang ini memang
sangat mirip dengan gadis anak murid Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah
dekat dengan dirinya itu.
Nyi Retno
menatap tak berkesip. Dalam hati dia berkata. “Jadi inilah gadis yang menurut
Sinto Gendeng telah dihamili Wiro. Apakah dia lebih cantik dariku?
Wajahnya
aneh, putih seperti kapur. Kelihatannya otaknya tidak lebih baik dari otakku.
Hik… hik… hik.” Nyi Retno tertawa sendiri.
“Perempuan
gila! Kenapa kau tertawa?! Kau mentertawai diriku?!” bentak Wulan Srindi. Nyi
Retno melangkah maju. Wiro cepat pegang tangannya. “Nyi Retno, biarkan saja dia
mau bicara apa.
Jangan
dilayani.” Bisik Pendekar 212.
Walau
tidak jadi mendatangi Wulan Srindi, namun Nyi Retno tidak tinggal diam.
“Perempuan sinting menyebut aku perempuan gila! Hik… hik… hik! Kalau kau tadi
ketawa mengapa aku tidak boleh?”
“Perempuan
setan! Kau merampas suamiku!”
Nyi Retno
pura-pura berbangkis dua kali lalu tertawa gelak-gelak.
“Nikah
belum kawin juga tidak! Sungguh aneh kau mengatakan orang ini suamimu! Lebih
aneh lagi karena kau menebar kabar ke mana-mana bahwa kau dalam keadaan hamil!
Hik… hik! Apa tidak malu?! Bisa bunting tapi tidak punya laki! Katakan saja
terus terang. Setan mana yang menghamilimu!”
“Perempuan
lacur! Pandai bicara! Lihat ini!”
Dari
balik pakaiannya Wulan Srindi keluarkan sehelai sapu tangan biru muda yang dulu
pernah diberikannya kemudian dikembalikan oleh Wiro.
“Suamiku,
apa kau masih ingat sapu tangan tanda percintaan kita?”
Wiro
terperangah. Matanya memperhatikan sapu tangan itu sebentar lalu alihkan
perhatian pada tusuk konde perak yang tersemat di dada kiri baju biru perempuan
muka putih. “Dua benda itu membuktikan dia memang Wulan Srindi. Tapi apa yang
terjadi dengan wajahnya?”
Wulan
Srindi cabut tusuk konde perak yang tersemat di dada kirinya. “Suamiku, apa kau
berani membantah bahwa tusuk konde milik gurumu ini adalah mas kawin tanda
pernikahan kita?”
“Wulan,
aku tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun kau tahu antara
kita…”
“Antara
kita saling mencinta. Dan buah percintaan kita berdua adalah seorang jabang
bayi berusia hampir tiga bulan yang ada dalam kandunganku!” Wulan Srindi
usapusap perutnya. “Kau mau anak lelaki atau anak perempuan Wiro? Aku mau anak
lelaki. Biar bentuknya tampan dan gagah seperti dirimu.”
“Wulan,
kau keliru kalau…”
“Aku
tidak pernah keliru mencintaimu, Wiro. Bayi yang aku kandung tidak keliru
adalah anakmu, darah dagingmu!” Wulan Srindi sematkan kembali tusuk konde ke
dada kiri baju birunya.
“Wulan,
aku mohon…” Wiro tak tahu lagi mau bicara apa.
Wulan
Srindi ambil dua buah kendi tanah. Satu dilemparkan ke arah Wiro. “Wiro, mari
kita minum bersama! Sebagai rasa suka cita atas pertemuan ini. Setelah minum
kau ikut aku. Buat apa jalan bersama perempuan lacur itu. Gila pula!”
Agar kendi
tidak jatuh ke tanah Wiro terpaksa menyambuti dengan tangan kiri. Sebaliknya
dihina seperti itu Nyi Retno Mantili berteriak marah. Wiro cepat merangkul
pinggang perempuan itu sambil berulang kali membujuk menenangkan.
Tak
perduli teriakan marah Nyi Retno, tenang saja Wulan Srindi teguk minuman keras
dalam kendi hingga wajahnya yang putih menjadi merah.
Tangan
kanan masih memegangi Nyi Retno, Wiro pegang kendi tanah dengan tangan kiri.
Minuman itu sama sekali tidak diteguknya.
“Kau tak
minum Wiro? Ah, aku tahu kau dari dulu memang bukan tukang minum. Tapi mungkin
kau takut pada perempuan gila di sampingmu itu. Jika kau suka boleh saja kau
berikan minuman itu padanya. Aku lihat tenggorokannya turun naik tanda haus
sekali!”
“Wulan,
terima kasih. Aku memang tak biasa meneguk minuman keras. Harap kau mau
menerima kembali.” Wiro lalu lemparkan kembali kendi berisi minuman ke arah
Wulan Srindi. Tapi gadis ini tidak menyambuti hingga kendi jatuh ke tanah,
pecah dan isinya tumpah. Bau minuman keras menebar di tempat itu.
Wulan
Srindi pandangi kendi yang pecah serta minuman yang membasahi tanah. Wajahnya
nampak sedih namun sesaat kemudian dia tertawa gelak-gelak. Habis tertawa dia
teguk minuman dalam kendi. Tiba-tiba, byuurr! Minuman disemburkan ke arah Nyi
Retno Mantili.
“Nyi
Retno awas!” teriak Wiro sambil melompat dan menarik tangan Nyi Retno Mantili.
Perempuan ini selamat dari semburan yang bisa membuat wajahnya cacat berlubang.
Namun beberapa percikan minuman keras mengenai bahu kanan Wiro. Empat lubang
mengepul di baju yang sebelumnya telah robek besar di bagian punggung. Dua
percikan minuman keras menembus baju melukai bahu kanan Wiro hingga pemuda ini
mengeluh kesakitan.
Melihat
apa yang terjadi Nyi Retno marah besar. Sambil berteriak dia melompat ke
hadapan Wulan Srindi.
“Setan
gila! Kau apakan Wiro!” Tangan kanan yang memegang boneka diangkat
tinggi-tinggi, diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan cepat teguk minuman keras dan
kembali hendak menyembur. Wiro tahu bagaimanapun kehebatan minuman keras yang
disemburkan Wulan Srindi, namun dua larik cahaya putih yang bakal keluar dari
sepasang mata boneka jauh lebih dahsyat. Dia menyaksikan sendiri bagaimana
Hantu Pemerkosa alias Pangeran Matahari yang luar biasa tinggi ilmu silat dan kesaktiannya
tidak sanggup menghadapi ilmu kesaktian yang disebut Pukulan Sepasang Cahaya
Batu Kumala itu. Jika nekad Wulan Srindi bisa mati konyol.
“Wulan!
Lekas menyingkir!”
Wulan
tidak perduli. Ketika dua sinar berkiblat dia hanya berjingkat sedikit lalu menyembur
lagi.
“Celaka!”
seru Wiro. Dia berusaha menarik tangan Nyi Retno yang memegang boneka kayu.
Namun dua larik sinar putih sudah lebih dulu berkiblat. Wiro tidak mungkin lagi
menolong Wulan Srindi.
Di saat
yang sangat menentukan bagi keselamatan jiwa Wulan Srindi, tiba-tiba satu
bayangan hitam berkelebat disertai deru sambaran angin. Menyusul empat semburan
dahsyat.
Wuuutt!
Dess!
Dess!
Dua larik
cahaya putih bertabur ke berbagai penjuru dan lenyap.
Nyi Retno
berseru kaget, cepat melangkah mundur. Di depan sana terdengar suara pecahnya
kendi tanah disertai pekik Wulan Srindi lalu suara orang mengeluh pendek.
Ketika
memandang ke depan Wiro melihat Wulan Srindi berdiri dipegangi seorang lelaki
gemuk pendek berwajah merah menyeramkan. Pada cuping hidung sebelah kiri
menyantel sebuah anting akar bahar. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Pakaian
baju dan celana hitam gombrong. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kendi
besar hitam sementara di pinggang menggelantung sebelas kendi lagi.
Orang
yang memegangi Wulan Srindi tampak tegak terhuyung sambil pegangi dada. Dia
merasa ada cairan asin dalam mulutnya. Darah! Tidak tunggu lebih lama dia
segera teguk minuman keras dalam kendi. Lalu alirkan hawa sakti dari perut ke
dada. Di sampingnya Wulan Srindi berdiri dengan muka lebih putih. Di sudut
bibir darah meleleh.
Wiro yang
mengenali siapa adanya lelaki gemuk pendek berwajah seram yang membekal selusin
kendi berisi minuman keras itu serta merta berseru. Lalu berlari mendatangi.
Setelah membungkuk dalam-dalam memberi hormat, Wiro berkata.
“Iblis
Pemabuk! Kami berdua mohon maaf kalau telah bertindak lancang. Saya siap
mewakilkan diri menerima hukuman!”
Si gemuk
bermuka merah berjuluk Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. Begitu
isinya kosong kendi langsung dibanting ke tanah hingga pecah berantakan. Orang
ini lalu tertawa gelak-gelak.
“Pendekar
212 Wiro Sableng! Aku gembira kau masih mengenali si jelek tukang mabuk ini!
Ha… ha… ha! Kami berdua tidak kurang suatu apa. Siapakah perempuan muda di
sampingmu itu? Gebukannya boleh juga.”
“Namanya
Nyi Retno Mantili…”
“Apa?!”
Sepasang mata Iblis Pemabuk tampak melotot.
“Nyi
Retno Mantili. Bukankah dia…”
Iblis
Pemabuk walau tukang mabuk dan berkelakuan aneh tapi punya rasa kebijaksanaan
yang dalam. Dia tidak melanjutkan kata-katanya walau sudah tahu siapa adanya
Nyi Retno Mantili.
“Panjang
ceritanya, tak dapat saya beri tahu sekarang.
Saya
tengah berusaha mengobati kelainan…” Wiro coba memberi keterangan singkat.
“Aku
tahu… Aku tahu!” kata Iblis Pemabuk pula. “Ilmu yang dikeluarkannya melalui
boneka tadi adalah ilmu langka yang sangat dahsyat. Kalau aku tidak keliru
bernama Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala. Pemiliknya hanya satu orang. Kakek
sakti di puncak Gunung Gede. Apa hubungan perempuan muda itu dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas?”
“Nyi
Retno murid Kiai Gede Tapa Pamungkas.” menerangkan Wiro.
“Ah…”
Iblis Pemabuk delikkan mata sesaat, lalu angguk-anggukan kepala dan akhirnya
mengambil kendi baru lalu meneguk isinya.
“Iblis
Pemabuk, kalau saya boleh bicara empat mata denganmu. Saya…”
“Tidak
usah. Tidak perlu. Aku tahu apa yang ada di benakmu dan apa yang hendak kau
sampaikan.”
“Tapi ini
urusan besar menyangkut…”
“Urusan
besar, urusan kecil semua aku sudah tahu. Urusanmu dan urusanku ada kesamaan.
Tapi yang aku hadapi jauh lebih parah…”
“Guru,
aku tak suka kau bicara berlama-lama di tempat ini. Wiro suamiku, lebih baik
kau ikut kami daripada ikut perempuan gila itu.” Wulan Srindi memotong ucapan
Iblis Pemabuk.
“Cah Ayu,
kau betul. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Namun untuk saat ini kita
belum perlu bergabung dengan Wiro…”
“Aku tak
suka kau bicara begitu! Kau guru jahat! Kau hanya memperhatikan kepentingan
orang lain. Tidak mau memperhatikan kepentingan murid sendiri!”
Dengan
muka masam Wulan Srindi balikkan badan.
“Wulan,
tunggu dulu!” Wiro berseru.
Wulan
Srindi hentikan langkah. “Eh, kau mau ikut aku?
Kalau
Guru tak mau kita pergi berdua saja?”
“Wulan,
kuharap kau mau berbaik hati mengembalikan tusuk konde milik Eyang Sinto
Gendeng. Aku akan sangat berterima kasih…”
“Enak
saja mulutmu bicara! Kau sengaja hendak menghilangkan tanda perkawinan kita?!”
“Eyang
Sinto menugaskan aku harus mendapatkan tusuk konde itu kembali.”
“Katakan
saja kau tak pernah bertemu dengan aku!
Apa
sulitnya berdusta dengan nenek culas itu?!”
Wiro
menggaruk kepala. “Kalau kau tak mau memberikan aku tak memaksa…” Kata sang
pendekar dengan suara perlahan. Dengan apa yang telah dilakukan Sinto Gendeng
terhadapnya, sebenarnya Wiro tak mau memaksa diri mendapatkan tusuk konde itu.
Wiro berpaling pada Iblis Pemabuk. “Iblis Pemabuk, sebenarnya kau hendak menuju
ke mana?”
“Kami
dalam perjalanan ke Plaosan. Tapi Cah ayu ini selalu berjalan duluan. Untung
tadi aku tidak terlambat datang. Kalau tidak dia sudah konyol saat ini.”
“Ada apa
di Plaosan?” Wiro bertanya lagi.
“Orang-orang
Keraton Kaliningrat kabarnya ada di situ.”
Lalu
Iblis Pemabuk mendekati, menepuk bahu kanan Wiro yang terluka akibat percikan
minuman keras yang tadi disemburkan Wulan Srindi. Saat itu juga dua lobang luka
menjadi kering. Sambil menepuk Iblis Pemabuk berbisik pada Wiro. “Muridku
diperkosa dua orang anggota Keraton Kaliningrat. Yang satu berhasil kami bunuh.
Satunya saat ini mungkin berada di Plaosan. Kabarnya orang-orang Keraton
Kaliningrat ada di sana. Sudah, aku pergi sekarang!”
“Iblis
Pemabuk, saya sangat berterima kasih.”
Iblis
Pemabuk tarik tangan Wulan Srindi. Yang ditarik berusaha berontak sambil
berteriak-teriak. “Aku mau ikut suamiku! Aku mau ikut Wiro. Lepaskan! Lepaskan!”
Namun akhirnya gadis muka putih itu terpaksa ikut juga bersama gurunya.
“Guru
mertuamu tampaknya sangat baik padamu.” Nyi Retno keluarkan ucapan ketika Wiro
mendatanginya.
“Guru
mertua? Maksudmu?” Wiro tak mengerti namun begitu sadar meledak tawanya.
“Kau
kelihatan luar biasa gembira,” Nyi Retno kembali menggoda. “Apa karena mertuamu
juga menyusupkan tusuk konde perak itu ke pinggang bajumu?”
Wiro
terkejut dan memeriksa bajunya. Astaga! Ternyata tusuk konde milik Eyang Sinto
Gendeng yang tadi tersemat di dada kiri Wulan Srindi kini tersemat di pinggang
baju yang dikenakannya.
“Aku
tidak tahu bagaimana kejadiannya…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Sebelum
Iblis Pemabuk mendekatimu, dia lebih dulu mengambil tusuk konde. Dia lalu
menepuk bahumu, bicara denganmu. Saat itulah tanpa diketahui perempuan gila
itu, tusuk konde disusupkan ke bajumu. Iblis Pemabuk juga menyembuhkan dua
lubang luka di bahumu dengan tepukannya tadi. Walau ujudnya sangat menyeramkan
tapi dia benar-benar orang baik.”
“Kau
betul Nyi Retno. Iblis Pemabuk orang baik. Tapi dia bukan guru mertuaku,” kata
Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Betul?
Jangan-jangan kau berdusta,” kata Nyi Retno pula.
Merasa
digoda Wiro tertawa gelak-gelak, tangkap pinggang perempuan mungil berwajah
cantik ini, dipanggul lalu dilarikan.
“Hai!
Mengapa kau lari ke jurusan sini? Ini arah larinya guru mertuamu!” teriak Nyi
Retno Mantili. “Pasti kau mau mengejarnya! Atau mungkin juga mengejar anak
muridnya!
Hik… hik…
hik!”
Sambil
lari Wiro gelitiki pinggang Nyi Retno berulang kali hingga perempuan ini
tertawa keras kegelian.
“Nyi
Retno, jangan kau salah mengira. Ingat surat daun lontar yang diberikan kusir
gerobak?”
“Saya
ingat. Memangnya kenapa?”
“Orang-orang
Keraton Kaliningrat meminta saya datang ke Candi Pangestu di Plaosan. Tadi
Iblis Pemabuk mengatakan ingin ke Plaosan karena mau mencari pemerkosa muridnya
yang orang Keraton Kaliningrat. Nyi Retno keberatan kalau kita mengikuti
mereka?” Nyi Retno diam saja.
“Ah, dia
cemburu,” ucap Wiro dalam hati. Lalu berkata.
“Kalau
Nyi Retno tidak suka, saya tidak memaksa.”
“Wiro,
turunkan saya…”
Wiro
hentikan lari. Nyi Retno turun dari gendongan Wiro. Sambil mendekap boneka kayu
ke dada dia berkata perlahan.
“Wiro,
jika kau ingin pergi ke mana kau suka silahkan saja. Saya tidak bisa melarang.
Tinggalkan saya dan Kemuning di tempat ini.”
“Nyi
Retno. Maksud saya…” Wiro hendak berjongkok di samping perempuan itu. Namun
tiba-tiba ada kabut aneh menutupi tubuh Nyi Retno.
Wiro
ulurkan tangan. Dia hanya menyentuh angin. Sosok Nyi Retno lenyap dari
pemandangan. “Nyi Retno, kau ke mana?! Nyi Retno!”
Wiro
berteriak. Memanggil berulang kali sambil melangkah kian kemari. Namun Nyi
Retno seperti lenyap ditelan bumi.
“Dia
mempergunakan ilmu melenyapkan diri. Pasti didapat dari Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Sampai pagi aku berteriak dan mencari akan sia-sia saja.”
Wiro
terduduk di tanah, geleng-geleng kepala lalu usap muka berulang kali. Setelah memandang
berkeliling, sambil menekap wajah Wiro berkata. “Nyi Retno, saya tahu kau masih
ada di sekitar sini. Saya tahu kau melihat saya tapi saya tidak bisa melihatmu.
Saya ke Plaosan bukan karena apa. Saya merasa sesuatu akan terjadi di sana.
Saya ingin bersamamu lagi dan Kemuning…”
Mendadak
ada suara orang tersedu menangis. “Nyi Retno… ?”
Wiro
berdiri. Memperhatikan berkeliling. Dia hanya melihat kegelapan. Udara malam
terasa dingin. Perlahanlahan dia berdiri. Sebelum tinggalkan tempat itu sekali
lagi dia memeriksa kalau-kalau Nyi Retno sudah mau menunjukkan diri. Namun
perempuan mungil berwajah cantik itu tetap tak kelihatan.
“Aku
merasa berdosa. Seharusnya aku menjaga diri dan hatinya baik-baik…” Wiro tarik
nafas dalam lalu dengan hati berat melangkah pergi. (Mengenai kisah Iblis
Pemabuk silahkan baca episode berjudul “Kiamat Di Pangandaran”).
********************
8
WULAN
Srindi yang berada di depan Iblis Pemabuk tiba-tiba hentikan lari. Mata
memandang ke arah reruntuhan bangunan candi. Kepala mendongak, hidung menghirup
dalam-dalam.
“Guru,
aku mencium bau daging panggang. Sedap sekali! Perutku jadi terasa perih,
lapar.”
Iblis
Pemabuk berdiri di samping sang murid. Setelah meneguk minuman keras dalam
salah satu kendi dia menunjuk ke arah candi. “Baunya datang dari arah candi
sana. Kalau aku tidak salah itu Candi Pangestu. Ayo kita menyelidik. Siapa tahu
orang-orang Keraton Kaliningrat sedang pesta daging panggang. Lumayan kalau
kebagian.”
Begitu
memutari candi, walau guru dan murid itu tidak menemui siapa-siapa namun mereka
melihat kayu bekas perapian yang masih menyala serta dua kelelawar panggang
yang masih utuh tergeletak di tanah.
“Aneh,
ada orang memanggang dua kelelawar. Lalu dibuang begitu saja.” Wulan Srindi
keluarkan ucapan. Rasa laparnya serta merta sirna. Tadinya dia menyangka paling
tidak akan melihat ayam atau kambing hutan panggang. Ternyata kelelawar yang
sudah berselomotan tanah. Iblis Pemabuk teguk lagi minuman keras dalam kendi.
Dengan langkah terhuyung dia berjalan ke arah tangga candi yang sudah rusak.
Manusia bertubuh gemuk pendek ini duduk di reruntuhan tangga. Dua tangan
menopang dagu, mata memandang kian kemari.
“Ada
tanda-tanda bekas perkelahian di tempat ini.” Iblis Pemabuk berkata. Tiba-tiba
dia bangkit berdiri. Melangkah mendekati sebuah benda yang tergeletak di tanah,
lalu mengambilnya. “Patahan tongkat. Milik siapa?”
Patahan
tongkat yang ditemukan Iblis Pemabuk ini adalah milik Sinto Gendeng yang patah
waktu menggebuk Ni Serdang Besakih.
“Guru!
Lekas ke sini!” Dari arah candi sebelah kiri Wulan Srindi berseru.
Iblis
Pemabuk buang patahan tongkat. Ketika dia mendatangi Wulan Srindi tengah
berdiri di depan seonggok benda putih berbentuk tubuh manusia. Iblis Pemabuk
membungkuk. Telapak tangan kanan dikembangkan lalu didekatkan pada onggokan
benda putih.
“Edan!”
Si gemuk pendek yang memakai anting akar bahar di salah satu cuping hidungnya
ini memaki sambil tarik tangannya.
“Ada apa
Guru?” tanya Wulan Srindi.
“Bangkai
manusia ini masih panas!” jawab Iblis Pemabuk. “Pasti dia menemui ajal di
tangan musuh berkepandaian sangat tinggi. Pukulan sakti apa yang telah membuat
tubuhnya menemui ajal mengerikan begini rupa?”
“Guru,
apakah tanda-tanda orang Keraton Kaliningrat yang kita cari ada di sini?”
Iblis
Pemabuk tak menjawab. Matanya kembali melihat sesuatu di tanah. “Cah Ayu, coba
kau perhatikan tandatanda yang ada di tanah sebelah sini. Sepertinya ada satu
benda diseret ke jurusan sana…”
Wulan
Srindi dan Iblis Pemabuk melangkah mengikuti tanda di tanah.
“Guru,
saya menemukan sesuatu!” Sekonyong-konyong Wulan Srindi berkata lalu membungkuk
mengambil sebuah benda yang tergeletak di tanah. Benda ini ternyata adalah
gulungan surat daun lontar yang terjatuh dari pinggang Sinto Gendeng. Iblis
Pemabuk mengambil gulungan daun lontar itu lalu membukanya.
“Ada
tulisannya,” ucap Iblis Pemabuk.
“Jangan-jangan
petunjuk harta karun. Hik… hik… hik!”
Kata
Wulan Srindi lalu tertawa cekikikan.
Karena
keadaan gelap Iblis Pemabuk membawa surat daun lontar ke dekat perapian. Wulan
Srindi ikut membaca apa yang tertulis di daun lontar. Guru dan murid samasama
terkejut dan saling pandang.
“Surat
ini jelas ditujukan pada Wiro Sableng. Waktu bertemu, pemuda itu sama sekali
tidak menceritakan perihal surat ini.”
“Yang
jadi pertanyaan, bagaimana surat ini bisa berada di sini?” ujar Wulan Srindi
pula.
“Mungkin
Wiro belum menerima surat ini. Mungkin orang-orang Keraton Kaliningrat belum
sempat menyerahkan padanya. Tapi surat ini sudah agak lecak. Tanda pernah
dibuka dan digulung berulang kali.” Iblis Pemabuk berpikir terus lalu teguk
minuman keras dalam salah satu kendi sampai mukanya menjadi sangat merah. Wulan
Srindi memandang pada onggokan tubuh putih.
Wajahnya
berubah. “Guru, jangan-jangan yang jadi mayat putih di sana itu suamiku, Wiro.”
“Mana
bisa jadi. Wiro berada di belakang kita. Cukup jauh dari sini. Kalaupun dia ke
sini memenuhi isi surat, tidak mungkin dia mendahului kita. Satu-satunya
jawaban atas apa yang terjadi di sini, kita harus mengikuti tanda bekas seretan
di tanah. Jika orang menyeret sesuatu, tak mungkin berjalan cepat. Kita bisa
mengejar mereka Wulan. Ikuti aku.”
“Tunggu
dulu, Guru! Kita ke Plaosan mencari pemerkosaku. Orang Keraton Kaliningrat.
Bukan mengejar orang yang diseret atau…”
“Cah Ayu,
aku rasa semua ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang Keraton Kaliningrat.
Kau lihat saja nanti!” Iblis Pemabuk lalu menarik tangan Wulan Srindi.
Berlari
hampir sepeminuman teh, di satu tempat Iblis Pemabuk memberi tanda lalu cepat
menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dia memegang pundak muridnya dan
berkata. “Lihat di depan sana. Ada orang menyeret sesuatu dalam jaring. Jaring
itu bukan jaring biasa karena memancarkan cahaya bergemerlap dan mengepulkan
asap. Aku pernah mendengar kabar tentang sebuah jaring yang luar biasa
hebatnya. Jangankan manusia, hantu atau jin sekalipun jika kena dijaring tak
bakal bisa lolos!
Namanya
Jaring Neraka. Pemiliknya seorang tokoh silat biasa dipanggil dengan sebutan
Embah Bejigur. Di dalam jaring aku lihat meringkuk satu sosok manusia. Mungkin
sudah mati, mungkin cuma pingsan. Orang yang menyeret jaring. Botak, cebol,
kumis dan janggut putih panjang. Pasti dia si Embah Bejigur.”
Yang
diperhatikan Wulan Srindi saat itu bukanlah jaring begemerlap atau lelaki katai
botak yang menyeret jaring, apalagi ingin mencari tahu siapa sosok yang ada
dalam jaring. Gadis ini pelototkan mata ke arah perempuan tua berpakaian kuning
ketat yang melangkah di samping lelaki botak cebol.
“Guru,
kau mengenali nenek berhidung bengkok itu? Aku tak bisa lupa. Dia adalah salah
satu pentolan orangorang Keraton Kaliningrat. Namanya Ni Serdang Besakih.
Jahanam
tua itu pernah menamparku dua kali sewaktu aku berada dalam keadaan tertotok.
Saatnya aku membalaskan sakit hati!”
Iblis
Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. “Ya, aku mengenali. Dia ada di hutan
Ngluwer waktu kita membunuh pemerkosamu yang bernama Kuntorandu.”
“Aku akan
membunuh tua bangka jahanam itu sekarang juga!”
Habis
berkata begitu Wulan Srindi langsung berkelebat. Iblis Pemabuk berusaha
mencegah. Tapi terlambat. Sang murid telah melesat. Selagi tubuhnya melayang di
udara Wulan Srindi ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggang.
“Nenek
jahanam! Terima kematianmu!”
Wulan
teguk minuman keras dalam kendi lalu menyembur ke arah Ni Serdang Besakih. Yang
diserang tentu saja kaget bukan main. Apalagi ketika mengenali si penyerang
adalah gadis muka putih berkepandaian tinggi yang tempo hari pernah membuat
kehebohan berdarah di hutan Ngluwer sewaktu ada pertemuan antara para tokoh
Keraton Kaliningrat. Dengan melompat mundur sejauh empat langkah Ni Serdang
Besakih berhasil selamatkan diri dari semburan minuman keras yang sangat
berbahaya itu.
“Gadis
keparat muka putih! Kau datang mengantar nyawa! Mana gurumu si muka dedemit
itu? Kalau kalian datang berdua biar kuhabisi sekaligus!”
“Nenek
jelek. Aku memang ada di sini!”
Satu
suara menyahuti. Di lain kejap Iblis Pemabuk sudah ada di depan Ni Serdang
Besakih, teguk minuman keras dalam kendi sampai habis lalu jatuhkan kendi ke
tanah hingga pecah. Sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain
Iblis Pemabuk tertawa mengekeh.
“Tidak
dinyana kau masih ingat diriku! Memangnya kau kangen padaku?”
“Wong
edan! Kambing betina saja jijik padamu!” damprat Ni Serdang Besakih.
Iblis
Pemabuk kembali tertawa. Dalam tertawa dia melirik ke arah jaring. Kagetnya
bukan alang kepalang. Di dalam gelap dia masih bisa mengenali orang yang
mendekam
di dalam jaring. Sinto Gendeng!
“Ahai!
Sudah lengkap rupanya orang yang minta mati!”
Ni
Serdang Besakih berucap. “Tapi sebelumnya aku akan minta petunjuk sahabatku ini
dulu.”
Ni
Serdang Besakih berpaling pada lelaki botak katai yang tegak di sampingnya
memegang buhul jaring.
“Sobatku
Embah Bejigur, pemilik Jaring Neraka. Menurutmu apakah guru dan murid ini kita
masukkan saja dalam jaring, ditumpuk jadi satu dengan Sinto Gendeng nenek bau
pesing itu. Atau mereka kita habisi sekarang saja!”
Wulan
Srindi terkejut besar. Dia baru tahu kalau orang yang disekap dalam jaring
adalah Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng yang berarti adalah guru
mertuanya!
Iblis
Pemabuk juga kaget, namun kagetnya berbeda dengan Wulan Srindi. Kalau sang
murid terkejut begitu mengetahui siapa yang ada di dalam jaring, maka sang guru
kaget mendengar disebutnya nama Embah Bejigur serta nama Jaring Neraka. Kakek
muka merah ini sama sekali tidak menaruh jerih terhadap orang bernama Embah
Bejigur. Yang membuatnya risau adalah ketika mengetahui jaring di mana Sinto
Gendeng berada adalah Jaring Neraka.
Hampir
tidak ada ilmu dan senjata yang mampu membobol jaring itu! Orang yang terjebak
di dalamnya jangan harap bisa lolos kecuali dilakukan oleh pemiliknya sendiri
yaitu Embah Bejigur.
Embah
Bejigur usap-usap kepala botaknya. “Jaring Neraka terlalu kecil. Tidak cukup
untuk menumpuk mereka bertiga. Jadi baiknya dua orang ini dibereskan saja
sekarang juga! Aku…”
Si botak
tidak dapat teruskan ucapannya karena saat itu didahului bentakan dahsyat Wulan
Srindi telah menerjang ke arahnya sambil semburkan minuman keras.
Ni
Serdang Besakih sendiri juga tidak bisa ayal-ayalan lagi karena saat itu dari
depan Iblis Pemabuk mendatangi dengan mulut penuh cairan. Begitu mulut dibuka
maka menyemburlah minuman keras ke arah muka dan dada. Si nenek yang sudah tahu
dan melihat sendiri keganasan semburan minuman keras tersebut secepat kilat
melompat satu tombak ke udara. Dia terpekik pucat karena salah satu ujung kaki
celana kuningnya terkena sambaran minuman keras hingga berlobang besar dan
kepulkan asap! Masih untung daging kakinya tidak terkena semburan.
“Pemabuk
keparat! Makan tanganku!”
Ni
Serdang Besakih berteriak marah. Sambil melayang turun dia lancarkan serangan
Tangan Iblis Membongkar Berhala. Namun sebelum serangan itu melesat dia lebih
dulu menghantam dengan dua tendangan berantai sebagai tipuan. Dan ternyata
lawan memang kena ditipu!
Ketika
dua tendangan datang beruntun Iblis Pemabuk miringkan tubuh ke kanan. Tangan
kiri dipukulkan ke atas dan mulut yang sudah diisi minuman keras menyembur.
Didahului
suara tawa melengking Ni Serdang Besakih liukkan tubuh. Pukulan tangan kiri
Iblis Pemabuk lewat di samping kiri, semburan minuman keras menyambar udara
kosong di sebelah pinggul kanan. Dua kaki si nenek yang menendang bergerak ke
atas lalu tubuhnya menukik ke bawah, tangan kanan melesat menyambar ke arah
batok kepala Iblis Pemabuk. Ini adalah jurus serangan dengan gerakan yang sulit
namun luar biasa berbahaya.
“Oala!”
Iblis Pemabuk bukan tokoh silat kemarin. Begitu sadar kalau dirinya tertipu
secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Kaki kanan membuat gerakan seperti
kuda menendang.
Dua orang
yang berkelahi ini sama-sama menjerit. Iblis Pemabuk merasa kepalanya seperti
terbongkar ketika serangan lima jari tangan maut Ni Serdang Besakih masih
sempat menjambak rambutnya. Sebagian rambut di sebelah kanan batok kepala Iblis
Pemabuk tercabut. Kulit kepala terkelupas. Lelehan darah mengucur ke kening dan
pipi! Untuk beberapa lama tokoh silat ini hanya bisa tegak tertegun sementara
pemandangan mata sebelah kanan menggelap sedang yang kiri berkunang-kunang!
Meski
berhasil menciderai lawan namun Ni Serdang Besakih sendiri menerima hajaran
yang cukup keras.
Tendangan
kaki kanan Iblis Pemabuk mendarat tepat di tulang tunggirnya. Si nenek
menjerit, tubuh mengapung sebentar di udara lalu jatuh menungging di tanah.
“Ni
Serdang Besakih, mengapa kau menungging?!” Iblis Pemabuk masih bisa balas
mengejek walau tengah mengalami sakit luar biasa di bagian wajah dan kepala.
“Mau
menggodaku berbuat mesum? Ha… ha… ha. Aku tidak bergairah! Kambing jantan saja
jijik melihatmu! Ha… ha… ha!” Iblis Pemabuk ambil lagi satu kendi minuman baru.
Selagi dia meneguk minuman itu tiba-tiba masih dalam keadaan menungging di
tanah Ni Serdang Besakih keluarkan suara menggerung. Seperti seekor harimau
tubuhnya melesat ke depan. Lima jari tangan terpentang. Dua-duanya dalam gerak
jurus serangan Tangan Iblis Membongkar Berhala.
Saat itu
pemandangan Iblis Pemabuk masih dipengaruhi cidera di kepalanya. Dia baru sadar
kalau orang menyerang ketika dua tangan Ni Serdang Besakih hanya tinggal satu
jengkal dari perut!
“Tua
bangka hidung bengkok! Kau mencari mampus!”
Secepat
kilat Iblis Pemabuk hantamkan kendi tanah di tangan kanannya ke kepala Ni
Serdang Besakih.
Praakk!
Kendi dan
kepala sama-sama pecah. Si nenek tewas saat itu juga! Tapi Iblis Pemabuk
sendiri harus membayar mahal kematian lawannya itu dengan nyawa sendiri.
Tangan
kiri Ni Serdang Besakih berhasil menjebol perutnya hingga robek besar. Luar
biasa mengerikan. Iblis Pemabuk menjerit satu kali lalu terguling ke tanah.
Jatuh di samping mayat Ni Serdang Besakih!
“Guru!”
teriak Wulan Srindi. Dia segera tinggalkan Embah Bejigur yang tengah diserangnya
habis-habisan.
Ketika
dia jatuhkan diri memeluki mayat Iblis Pemabuk, Embah Bejigur pergunakan
kesempatan untuk membokong.
Dari
balik pakaian gombrongnya orang ini keluarkan sebilah senjata berbentuk tombak
pendek bermata tiga.
Pastilah
ini sebuah senjata mustika sakti karena tiga ujung tombak memancarkan cahaya
kuning terang di dalam kegelapan malam.
Sesaat
lagi tombak bermata tiga itu akan menancap di punggung kiri Wulan Srindi, siap
menembus tubuh sampai ke jantung, tiba-tiba dari dalam gelap melesat satu
bayangan putih. Disusul berkiblatnya dua larik sinar hijau laksana dua bilah
pedang menyambar.
Embah
Bejigur berteriak kaget. Dia berusaha mencari selamat dengan melompat mundur
sambil babatkan tombak bermata tiga ke arah dua larik sinar hijau untuk
melindungi diri.
Wuuttt!
Wuuutt!
Dua larik
sinar hijau laksana sepasang pedang panjang memapas ganas mengerikan. Tombak
bermata tiga terlepas mental terkutung jadi tiga bagian. Begitu jatuh
tergeletak di tanah tiga patahan tombak langsung leleh!
Keadaan
Embah Bejigur jauh lebih buruk dan mengerikan dari tombaknya. Dada dan pinggang
putus disambar dua larik sinar hijau. Tiga potongan tubuh terpental ke tiga
arah, mengepul leleh berubah menjadi hijau kehitaman!
“Wulan!
Kau tak apa-apa?!” Wiro mendatangi Wulan Srindi, memegang bahu gadis ini dan
mengangkatnya.
“Nenek
jahanam itu membunuh guruku!” teriak Wulan Srindi. Dia lepaskan dekapannya dari
tubuh Iblis Pemabuk.
Didahului
satu teriakan keras Wulan tendang mayat Ni Serdang Besakih hingga mencelat jauh
di samping candi.
Lalu
gadis ini merangkul Wiro dan menjerit-jerit tiada henti.
Wiro coba
menenangkan sambil menepuk-nepuk bahu Wulan Srindi.
“Anak
setan, syukur aku belum menemui ajal! Kalau tidak mana aku tahu kau memiliki
ilmu Sepasang Pedang Dewa itu? Dari mana kau dapat ilmu langka itu?!” Astaga!
Meski
sekujur tubuh babak belur berkelukuran ternyata si nenek masih sadar, masih
hidup!
Kejut
Wiro bukan alang kepalang. Menoleh ke kiri dia melihat satu onggokan jaring
bercahaya dan di dalam jaring itu mendekam gurunya. Walau gelap namun Wiro
dapat melihat keadaan si nenek. Mata kiri bengkak lebam. Lengan kiri terkulai
tanda patah.
“Eyang
Sinto! Siapa yang berani berbuat keji seperti ini padamu?!” teriak Pendekar
212.
Di dalam
jala Sinto Gendeng tertawa kecut.
“Orangnya
yang barusan kau bunuh.” Jawab Sinto Gendeng.
“Nek,
sudah, jangan banyak bicara dulu. Kau cidera berat luar dalam. Saya akan
membebaskanmu dari jaring celaka itu!”
Wiro
berusaha merobek jaring tapi sia-sia saja. Ketika dia memaksa dan lipat
gandakan tenaga dalam jari-jari tangannya malah terkelupas!
Dari
dalam jaring Sinto Gendeng menarik nafas lalu berucap perlahan.
“Di dunia
ini hanya ada tiga senjata yang mampu memutus Jaring Neraka. Pertama Keris Naga
Kopek pusaka kerajaan, ke dua Pedang Naga Suci 212 dan ke tiga Kapak Naga Geni
212…”
Wiro
terkesiap mendengar kata-kata si nenek.
Sebelumnya
dia sudah berbulat tekat. Apapun yang terjadi dia tidak akan mempergunakan senjata
serta ilmu warisan sang guru. Namun dalam keadaan seperti itu apakah dia akan
bertahan dan bertetap hati? Apakah dia akan membiarkan sang guru mendekam di
dalam Jaring Neraka seumur-umur? Wiro raba pinggangnya. Kapak Naga Geni 212 tak
ada lagi di tempat dia biasa menyisipkan.
Diam-diam
Sinto Gendeng memperhatikan Wiro. Tadi ketika pemuda ini membelakanginya dia
sempat melihat cacat panjang pada punggung yang tersingkap. Sinto Gendeng
pencongkan mulut. Dadanya seperti dipelintir.
Hatinya
mendadak perih. Setelah mampu menenangkan diri dalam hati nenek ini berucap.
“Aku
tidak melihat anak setan ini membekal kapak saktinya. Jangan-jangan sudah
dibuang karena jengkel padaku. Ah, akupun tak meminta diselamatkan. Mungkin
lebih baik kalau akhirnya aku menemui ajal dalam jaring celaka ini.”
Wiro
masih tegak terdiam di tempatnya. Mendadak muncul bayangan sosok Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Orang sakti ini anggukkan kepala lalu lenyap. Wiro ingat apa yang
terjadi dan telah dilakukan sang Kiai sewaktu dia berada di dalam telaga. Kapak
Naga Geni 212 dan batu sakti telah dimasukkan orang tua itu ke dalam tubuhnya.
Untuk beberapa lamanya sang pendekar merasa bimbang. Saat itulah tiba-tiba
muncul bayangan Datuk Rao Basaluang Ameh. Seperti Kiai Gede Tapa Pamungkas
orang tua ini juga memandang padanya dan anggukkan kepala.
“Kapak
Naga Geni 212!” Wiro berteriak sambil tangan kanan diangkat ke atas.
Selarik
cahaya putih seperti kilat kecil berkiblat di ujung tangan kanan Wiro. Di lain
kejap Kapak Naga Geni 212 telah tergenggam di tangan kanan itu, menebar cahaya
terang menyilaukan.
Selagi
Sinto Gendeng terbengong-bengong melihat apa yang terjadi, kapak sakti di
tangan Wiro berkelebat tiga kali berturut-turut. Suara seperti ribuan tawon
mengamuk melanda seantero tempat. Cahaya putih perak menyilaukan berkiblat
angker dan hawa panas menghampar. Di dalam jaring Sinto Gendeng keluarkan suara
mengerang.
Craass!
Craass! Craasss!
Bunga api
berletupan. Jaring Neraka mengepulkan asap dan robek besar di tiga tempat. Wiro
sendiri terpental.
Dada
mendenyut sakit. Kapak Naga Geni 212 hampir terlepas dari pegangan. Dua lutut
terasa goyah. Waktu dia jatuh berlutut di tanah Kapak Naga Geni 212 tidak ada
lagi di tangan kanannya!
“Wiro!
Gurumu dalam keadaan terluka luar dalam! Biar saya merawatnya!”
Tiba-tiba
satu suara menggema di kegelapan malam. Wiro tersentak kaget dan cepat berdiri.
“Nyi Retno?!”
Memandang
berkeliling Wiro tidak melihat perempuan itu. Tapi begitu dia membalik Sinto
Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula. Ketika dia memperhatikan ke depan,
dalam kegelapan dia melihat kabut aneh mengambang di udara. Wiro mengejar namun
kabut keburu lenyap.
“Apa yang
terjadi? Nyi Retno, apa yang kau lakukan?
Kau bawa
ke mana Eyang Sinto?” Wiro melangkah ke halaman depan Candi Pangestu. Di sini dua
kakinya terpaku di tanah. Wulan Srindi tak ada lagi di tempat itu. Mayat Iblis
Pemabuk ikut lenyap!
Wiro
terduduk di tanah.
“Apa yang
harus aku lakukan sekarang? Mengejar Nyi Retno? Ke mana…?” Wiro usap mukanya
berulang kali.
“Hanya
ada satu cara. Aku harus mengerahkan ilmu Menembus Pandang.”
Tiba-tiba
Wiro angkat kepala, memandang berkeliling.
Walau
kaget dia tetap berlaku tenang. Di sekitarnya puluhan orang berseragam hitam
telah mengurung tempat itu. Pada dada kiri baju hitam yang mereka kenakan ada sulaman
rumah joglo dan keris bersilang. Sebagian dari mereka menghunus golok. Di
samping kanan berdiri seorang lelaki muda bertubuh tegap berwajah gagah, diapit
dua orang kakek bermuka hitam dan sama-sama mengenakan jubah merah.
“Pendekar
212! Keraton Kaliningrat mengundangmu untuk bertemu dengan segala kehormatan.
Kami menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh
orang-orang kami!”
********************
9
KITA
tinggalkan dulu Wiro yang telah dikurung oleh orang-orang Keraton Kaliningrat.
Kita ikuti apa yang dilakukan Nyi Retno Mantili terhadap Sinto Gendeng.
Si nenek
berusaha memperhatikan wajah orang yang membawanya lari. Tapi malam begitu
gelap, lari orang yang memanggulnya cepat sekali sementara salah satu matanya
masih cidera. Dia tak mampu melihat jelas. Selain itu tangan kiri dan tulang
rusuk yang patah mendenyut sakit tiada henti.
“Heh… Kau
siapa? Kau mau membawa aku ke mana?” Sinto Gendeng keluarkan ucapan, bertanya.
“Nek, kau
cidera berat luar dalam. Saya membawamu ke tempat kediaman Ki Tambakpati. Biar
dia mengobatimu.”
“Ki
Tambakpati sudah meninggalkan gubuknya. Kau turunkan saja aku. Aku bisa
mengobati diri sendiri.”
Nyi Retno
tak menjawab. Perempuan ini terus saja berlari.
“Hai! Apa
kau tuli atau budek? Tidak mendengar apa yang aku ucapkan?!”
“Nek,
kalau kau mau turun silahkan saja. Saya tidak mau memaksa.”
Nyi Retno
hentikan lari, mencari tempat yang baik lalu dudukkan Sinto Gendeng di tanah,
bersandar pada sebatang pohon waru. Ketika dia memperhatikan wajah Nyi Retno,
nenek ini kerenyitkan kening.
“Heh,
apakah aku mengenali dirimu?”
“Kau lupa
Nek? Aku gembel sinting sahabat muridmu yang tempo hari kau hina kau caci
maki.” Jawab Nyi Retno.
Sinto Gendeng
mengerenyit. Dia tekap mata kirinya yang masih bengkak akibat hajaran Hantu
Malam Bergigi Perak. Mata kanan memandang lekat-lekat.
“Tak
percaya aku! Kau tak seperti dia. Gembel perempuan itu berpakaian dekil, rambut
awut-awutan, muka kotor…”
“Kau ingat
anakku ini Nek?”
Nyi Retno
keluarkan boneka kayu, diperlihatkan pada Sinto Gendeng.
Karuan
saja Sinto Gendeng jadi terkesiap. Dia pandangi lagi perempuan cantik bertubuh
mungil di depannya, merasa bimbang.
“Sulit
kupercaya! Bagaimana kau bisa berubah seperti ini?”
“Guruku
yang menolong…”
“Siapa
gurumu?”
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede.”
Kejut si
nenek bukan olah-olah. “Kau jangan berani bergurau!” katanya setengah
membentak.
“Siapa
bergurau. Kiai menyelamatkan diriku sewaktu hendak dibunuh makhluk jahat dari
alam roh. Aku dibawa ke Gunung Gede. Diajarkan beberapa ilmu kepandaian…”
“Lalu
hubunganmu dengan anak setan itu?”
“Dia
sahabat baik yang sangat banyak menolongku. Aku suka padanya. Anakku Kemuning
juga suka padanya.”
Kulit
kening Sinto Gendeng mengerenyit. “Boneka ini… Katanya bayimu. Hasil hubungan
anehmu dengan muridku?”
Nyi Retno
tertawa. “Apa kau masih menganggap Wiro sebagai muridmu?”
“Eh,
mengapa kau bertanya begitu?” tanya Sinto Gendeng.
Nyi Retno
menceritakan kepergiannya ke telaga di puncak Gunung Gede bersama Wiro menemui
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Juga semua yang terjadi di dalam gedung batu pualam
di dasar telaga. Termasuk bagaimana Kiai Gede Tapa Pamungkas secara aneh
memasukkan Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti ke dalam tubuh Wiro.
“Sebenarnya
Wiro tidak suka atas apa yang telah dilakukan Kiai. Memasukkan dua senjata
sakti ke dalam tubuhnya. Dia tahu maksud Kiai baik, namun dia sebelumnya sudah
punya rencana lain…”
“Rencana
apa?” tanya Sinto Gendeng sambil usap barisan tulang iga di rusuk kanan.
“Kau tahu
Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya. Kau
menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin
mengobati luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup ke
mana dia pergi. Ternyata luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh.”
Sinto
Gendeng terdiam sejurus.
“Kau
belum mengatakan apa rencana anak setan itu.”
“Nek, kau
selalu menyebut dirinya dengan panggilan ‘anak setan’. Apa tak ada lagi
panggilan yang lebih baik untuk seorang anak manusia yang selalu mencoba
menghormati dan berbakti padamu?”
Sinto
Gendeng menatap tajam wajah Nyi Retno Mantili. Lalu membuang muka, memandang ke
jurusan lain.
“Katakan
saja, apa rencana anak setan itu.” Walau sudah ditegur Sinto Gendeng masih saja
menyebut Wiro dengan nama anak setan.
Nyi Retno
angkat tinggi-tinggi boneka kayu lalu mencium keningnya.
“Anakku
Kemuning, apakah kau ingin ibu juga memanggilmu anak setan? Hik… hik… hik!”
Sinto
Gendeng jadi beringas merasa diejek. Dia lalu membentak.
“Perempuan
setan! Aku tidak pernah minta tolong padamu! Jangan merasa kau telah menanam
budi padaku!
Jika kau
tidak mau menerangkan rencana muridku, silahkan angkat kaki dari hadapanku! Dan
jangan sekalikali berani lagi unjukkan diri!”
Nyi Retno
Mantili dekapkan boneka kayu ke dada, usapusap punggung boneka lalu berkata.
“Nek,
keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar dan mau menang sendiri serta selalu
berprasangka buruk pada orang lain sering membawa seseorang ke dalam hidup yang
menyedihkan…”
“Persetan
ucapanmu! Aku hidup jauh lebih lama darimu! Jangan berani menasihati…”
“Nek,
orang yang tak pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat
tapi buta, dia mendengar tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari
batu. Aku kasihan melihatmu Nek. Sisa hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung
hari!”
“Perempuan
setan! Lekas menyingkir dari hadapanku!” teriak Sinto Gendeng.
Nyi Retno
berdiri.
“Sebelum
pergi aku akan katakan apa rencana Wiro. Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan
mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu sakti pasangannya padamu. Selain
itu dia sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan lagi semua ilmu yang
didapatnya darimu.
Lebih
dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan rimba persilatan untuk
selama-lamanya.”
“Apa?!”
Sinto Gendeng setengah berteriak. Dia coba berdiri dengan bersitopang pada
tangan kiri. Langsung mulutnya menjerit kesakitan. Sinto Gendeng tidak sadar
kalau tangan kirinya patah.
“Nek, sayang
sekali. Di hari tuamu begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram
dan bahagia. Ternyata kau masih mencari musuh di manamana.
Termasuk
menanamkan rasa benci dalam diri muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia
berhutang budi besar bahkan nyawa padamu. Tapi dengan kejadian di Candi
Pangestu tadi, bagaimana dia menyelamatkanmu kurasa dia telah membalas semua
hutang budi dan hutang nyawa itu. Kurasa saat sekarang ini kau bukan
segalagalanya lagi bagi Wiro. Ingat itu baik-baik!”
“Perempuan
setan! Lancang sekali mulutmu! Kalau aku tidak cidera begini rupa sudah kurobek
mulutmu!”
Nyi Retno
tersenyum. “Mungkin aku bermulut lancang.
Tapi
kalau aku pergi harap kau pergunakan pikiran sehat, duga serta selami hati dan
perasaanmu sendiri.” Nyi Retno memutar badan.
“Tunggu!”
berseru Sinto Gendeng.
Hanya
palingkan kepala, tanpa hentikan langkah Nyi Retno Mantili berkata. “Nek,
antara kita tidak ada urusan apa-apa lagi! Selamat tinggal.”
Sinto
Gendeng berusaha mengejar tertatih-tatih namun akhirnya terduduk di tanah.
Dadanya turun naik. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan panjang. Lalu
nenek ini pukul-pukul keningnya sendiri. Kepala didongakkan, mulut berucap.
“Malaikat
maut! Kalau kau ada di sini mengapa tidak segera mencabut nyawaku?!”
Baru saja
Sinto Gendeng keluarkan ucapan tiba-tiba dalam gelap berkelebat doa sosok gesit
dan berdiri bertolak pinggang di hadapan si nenek. Sinto Gendeng tak dapat
melihat jelas karena dua orang yang datang ini berada di bawah bayang-bayang
gelap pohon besar.
“Malaikat
Maut? Tapi mengapa datang sekaligus berdua?!” Sinto Gendeng berucap perlahan.
Kalau tadi dia berani bicara minta mati, kini si nenek merasa tengkuknya
menjadi dingin.
“Kami
berdua bukan malaikat. Tapi kalau kau memang menyesal hidup dan minta mati
sesungguhnya kami sudah beberapa hari ini menyiapkan kematian bagimu!”
Di dalam
gelap lalu terdengar suara riuh tawa cekikikan.
“Bangsat
kurang ajar! Siapa kalian?!”
Sinto
Gendeng membentak marah. Matanya yang cekung berkilat-kilat. Dua orang di depan
sana melangkah keluar dari bayangan gelap pohon besar. Ternyata dia adalah dua
orang gadis cantik kakak adik. Satu berpakaian biru, satu lagi berpakaian
merah.
“Siapa
kalian?!” Sinto Gendeng membentak sekali lagi.
“Kami
Liris Merah dan Liris Biru. Dua kakak adik anak murid Hantu Malam Bergigi
Perak. Kau membunuh guru kami beberapa hari lalu. Malam ini kami datang
mewakili roh guru untuk minta nyawamu!”
Sinto
Gendeng mula-mula terperangah mendengar ucapan gadis berpakaian merah. Lalu
nenek ini tertawa mengekeh.
“Guru
kalian pantas mampus! Dia telah merampas barang berharga milikku!”
“Nenek
bau! Kami tahu seumur hidup kau tak pernah punya barang berharga apapun. Bahkan
muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!”
“Gadis
kurang ajar! Mulut ember! Lekas minggat dari hadapanku. Kalau tidak sebelum
matahari terbit kalian berdua sudah jadi bangkai!” Mulut memaki namun dalam
hati Sinto Gendeng bertanya-tanya, apakah yang diucapkan gadis berpakaian biru
di hadapannya itu benar? Wiro meninggalkannya? Begitu cepatnyakah kabar
menebar?
“Kami
tidak akan pergi sebelum mengambil nyawamu!” jawab Liris Merah.
“Gadis
setan! Nafasmu masih bau tetek. Tubuhmu masih bau kencur! Beraninya bicara
sombong mau mengambil nyawaku! Kau tahu apa tentang kematian gurumu! Kau punya
bukti kalau aku yang membunuhnya?!”
Sinto
Gendeng memancing. Dia merasa sedikit heran dari mana dua gadis ini tahu kalau
dia yang membunuh guru mereka. Padahal waktu dia membunuh Hantu Malam Bergigi
Perak keduanya tidak ada di tempat kejadian. Liris Merah geleng-gelengkan
kepala.
“Tidak
nyana tokoh rimba persilatan terkenal sepertimu bicara menjurus ke arah dusta!
Kami berdua memang tidak punya bukti. Tapi kami punya saksi!”
Sinto
Gendeng merasa dua telinganya berdesing mendengar ucapan orang. “Kau jangan
berani mengarang cerita!”
“Sinto
Gendeng! Ternyata kau seorang pengecut! Tidak berani mengakui perbuatanmu! Kau
mau tahu siapa saksi kami malam itu?” Ujar Liris Merah pula.
“Siapa?!”
tanya Sinto Gendeng dengan suara menyentak.
“Seorang
kakek tukang ngompol. Sahabatmu sendiri. Namanya Setan Ngompol!” kata Liris
Merah.
Liris
Biru lalu menyambungi ucapan kakaknya.
“Kakek
itu melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kau membunuh guru! Apa kau
masih mau berdusta? Atau mencari kambing hitam?!”
Mulut
Sinto Gendeng terkancing. Rahang menggembung dan mata melotot pandangi dua
gadis di hadapannya. Dalam hati dia memaki Setan Ngompol setengah mati.
“Kalau
kalian memang mau menghukumku, silahkan saja. Aku memang sudah lama mencari
mati. Tapi sekali aku mati kalian tak akan tahu di mana beradanya Kitab Seribu
Pengobatan. Bukankah kalian menginginkan kitab itu?”
Dua gadis
tertawa gelak-gelak.
“Gadis
setan! Kenapa kalian tertawa?!”
“Kami
lebih tahu dari kau di mana beradanya kitab itu.
Tidak
lama lagi kitab itu akan berada di tangan kami!” Kata Liris Merah.
Sinto
Gendeng benar-benar merasa terpojok. Mukanya mengelam hitam. Dia angkat kepala
dan membentak.
“Kalian
tunggu apa lagi? Mau membunuhku lakukan sekarang! Cepat!”
Sinto
Gendeng lalu bersila di tanah. Tangan kiri terkulai ke samping. Tangan kanan
diletakkan di depan dada. Kepala ditegakkan dan mata dipejamkan. Dia
benar-benar menunjukkan kepasrahan untuk dibunuh saat itu juga!
Liris
Merah dan Liris Biru saling pandang seketika. Lalu sambil berpegangan tangan
dua gadis ini melangkah mendekati Sinto Gendeng. Setengah jalan keduanya
keluarkan pekikan keras. Tubuh melesat ke udara. Liris Merah hantamkan kaki
kanan ke arah kepala sedang Liris Biru menendang ke jurusah dada Sinto Gendeng.
Inilah jurus serangan maut bernama Hantu Malam Berbagi Pahala.
“Tahan
serangan!” tiba-tiba ada orang berteriak.
“Apakah
kalian begitu tega membunuh calon guru mertua sendiri?!”
Tiga
orang terkesiap kaget. Yaitu Liris Merah dan Liris Biru serta Sinto Gendeng!
Dua gadis cepat batalkan serangan.
Yang
datang ternyata adalah Setan Ngompol. Kakek ini berlari dengan nafas
megap-megap. Tangan kanan pegangi rusuk sebelah kiri yang terasa sakit. Seperti
diketahui akibat hantaman Sinto Gendeng tiga tulang iga sebelah kiri si kakek
patah.
Sinto
Gendeng buka sepasang mata, menatap tajam ke arah Setan Ngompol.
“Aku kira
kau sudah mampus!” Si nenek langsung saja jadi sengit.
“Gusti
Allah masih memanjangkan umurku,” jawab Setan Ngompol.
“Kau
mengkhianati diriku!” Damprat Sinto Gendeng.
“Apakah
kau lebih baik dariku Sinto?” tanya Setan Ngompol. “Kau berusaha membunuhku.
Padahal apa kesalahanku? Sudahlah, aku tidak menyalahkanmu mencap aku sebagai
pengkhianat. Namun saat itu aku tak bisa bicara lain. Aku dalam keadaan tak
berdaya. Mereka hendak membunuhku! Yang penting aku tidak bicara bohong!”
Sinto
Gendeng semburkan ludah susurnya ke tanah. Lalu berpaling pada dua gadis kakak
adik. “Kalian tidak jadi membunuhku?!”
Ditanya dan
ditantang seperti itu Laras Merah dan Laras Biru jadi marah. Ketika keduanya
melangkah hendak mendekati Sinto Gendeng, Setan Ngompol cepat menghalangi.
Dengan suara berbisik dia berkata. “Nenek itu sedang kalut pikirannya. Kurasa
umurnya tak lama lagi. Tidak kalian bunuh pun kematian akan menjadi bagiannya
cepat atau lambat. Aku akan berusaha mencari Wiro dan membawanya ke Kaliurang.
Aku juga akan berusaha mendapatkan kitab pengobatan itu.” Lalu dengan suara
dikeraskan Setan Ngompol berkata. “Kalian berdua kembalilah ke Kaliurang. Kalau
ada kesempatan aku akan mengunjungi kalian di Goa Cadasbiru.”
Dua gadis
tampak bimbang. Setan Ngompol kedipkan mata memberi tanda. Tanpa bicara apa-apa
lagi, Liris Merah dan Liris Biru kemudian tinggalkan tempat itu.
“Luar
biasa! Apa hubunganmu dengan dua gadis itu? Sampai keduanya mematuhi ucapanmu?”
Sinto Gendeng bertanya lalu tertawa perlahan.
“Sinto,
lupakan mereka. Lupakan semua hal yang lain. Kita sama-sama dalam keadaan
terluka. Kau lebih parah. Kita harus dapatkan pengobatan.”
“Kita?”
ucap Sinto Gendeng. “Setan Ngompol, setelah kau mengkhianati diriku, antara
kita tidak ada lagi ikatan tali persahabatan. Pergilah sebelum aku sembur
mukamu dengan ludah susur!”
Setan
Ngompol pancarkan air kencing. Tentu saja tidak mengira Sinto Gendeng akan
bicara seperti itu. Lama dia menatap wajah si nenek. Ingin menyelidik apakah si
nenek sungguh-sungguh atau hanya berseloroh dengan ucapannya tadi. Dari air
muka yang tinggal kulit hitam pembalut tulang itu Setan Ngompol melihat kalau
Sinto Gendeng tidak bergurau. Apa yang diucapkannya tadi keluar dari otak dan
hati. Setan Ngompol usap-usap bagian bawah perutnya.
Kalau
orang tak mau lagi bersahabat, apa yang akan dilakukannya? Setelah merenung
sejurus akhirnya si kakek bergerak pergi. Pada langkah ke tujuh Setan Ngompol
berhenti lalu berpaling pada si nenek.
“Sinto,
jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan bersahabat
denganmu, di harihari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa kesepian.
Sangat kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk hatimu,
akan lebih menyesakkan dari tindihan batu gunung di atas dadamu.”
Sinto
Gendeng terdiam lalu lambaikan tangan, menyuruh Setan Ngompol pergi lalu
semburkan ludah susur ke tanah. Tak lama setelah kakek itu lenyap ditelan
kegelapan Sinto Gendeng rebahkan diri, berbaring menelentang di tanah. Langit
tampak gelap hitam. Tidak beda dengan keadaan pikiran dan hati si nenek.
“Apa yang
terjadi dengan diriku?” dia bertanya pada diri sendiri. Mata perlahan-lahan
dipicingkan. Saat itu satu persatu mengiang semua suara hati yang pernah
terucap dalam sanubarinya.
“Kalau
muridmu bersalah, katakan padaku apa salahnya? – Sinto, selama hidupmu kau
hampir tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai perasaan hati yang sejuk…
– Tuhan memberimu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakan selama ini? –
Hidupmu penuh kesombongan. Ucapanmu tidak pernah disertai timbang rasa. Segala
perbuatanmu lebih banyak mudarat dari manfaat. Kau menghancurkan banyak orang.
Tapi yang lebih menyedihkan kau menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak
pernah menyadari bahwa selama ini kau hidup terkucil dari para sahabat dan
tokoh rimba persilatan?
Seseorang
merampas Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa mempertahankan.
Bukankah itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah bahwa seharusnya
kau bisa berbuat banyak sekali kebaikan dengan kitab itu? Tapi kau bertindak
serakah, berlaku tinggi hati. Hanya mementingkan diri sendiri! Gusti Allah
menghukummu, memutuskan bahwa kau tidak pantas menguasai kitab itu. Muridmu kau
caci maki di hadapan orang banyak seolah dia lebih buruk dari comberan. Kau
tuduh berbuat yang bukan-bukan. Bahkan kau buat dia menderita dengan cacat di
punggung seumur-umur. Sinto, apakah kau bukan lagi seorang perempuan yang punya
hati nurani dan welas asih? Iblis apa yang bersarang di hatimu? Setan mana yang
mendekam di benakmu? Begitukah caramu menjalani sisa-sisa terahir dari usia
kehidupanmu? Atau mungkin kau punya nyawa cadangan. Sehingga kalau besok kau
mati, lusa kau akan hidup kembali?”
Menyusul
mengiang ucapan Nyi Retno Mantili.
“Kau tahu
Nek, Wiro sangat terpukul atas apa yang telah kau lakukan terhadapnya. Kau
menoreh luka dan cacat panjang di punggungnya. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin
mengobati luka itu. Tapi Wiro berkata akan membawa cacat itu seumur hidup ke
mana dia pergi. Ternyata luka di hatinya lebih parah dari luka di tubuh. – Nek,
kau selalu menyebut dirinya dengan panggilan anak setan. Apa tak ada lagi
panggilan yang lebih baik untuk seorang anak manusia yang selalu mencoba
menghormati dan berbakti padamu? – Nek, keangkuhan dan kesombongan, sifat kasar
dan mau menang sendiri serta selalu berprasangka buruk pada orang lain sering
membawa seseorang ke dalam hidup yang menyedihkan… – Nek, orang yang tidak
pernah mau memperhatikan nasihat orang lain berarti dia melihat tapi buta, dia
mendengar tapi tuli, hatinya berdenyut tapi lebih beku dari batu. Aku kasihan
padamu Nek. Sisa hidupmu mungkin hanya tinggal menghitung hari. – Sebelum pergi
aku akan katakan apa rencana Wiro. Muridmu itu bermaksud menyerahkan dan
mengembalikan Kapak Naga Geni 212 serta batu sakti pasangannya padamu. Selain
itu dia sudah bertekad untuk tidak akan mempergunakan lagi semua ilmu yang
didapatnya darimu. Lebih dari itu dia juga punya rencana untuk meninggalkan
rimba persilatan untuk selamalamanya. – Nek, sayang sekali. Di hari tuamu
begini rupa seharusnya kau menempuh hidup tenang tenteram dan bahagia. Ternyata
kau masih mencari musuh di manamana. Termasuk menanamkan rasa benci dalam diri
muridmu sendiri! Wiro pernah berkata dia berhutang budi bahkan nyawa padamu.
Tapi dengan kejadian di Candi Pangestu tadi, bagaimana dia menyelamatkanmu
kurasa dia telah membayar semua hutang budi dan hutang nyawa itu. Kurasa saat
sekarang ini kau bukan segala-galanya lagi bagi Wiro. Ingat itu baik-baik! –
Mungkin aku bermulut lancang. Tapi kalau aku sudah pergi harap kau pergunakan
pikiran sehat, duga serta selami hati dan perasaanmu sendiri.”
Selanjutnya
mengiang pula kata-kata Liris Biru.
“Nenek
bau! Kami tahu seumur hidup kau tidak pernah punya barang berharga apapun.
Bahkan muridmu yang berjuluk Pendekar 212 itu telah meninggalkanmu!”
Yang
terakhir adalah ngiangan ucapan Setan Ngompol sebelum kakek itu pergi.
“Sinto,
jika kau membuang satu persatu orang-orang yang selama ini dekat dan bersahabat
denganmu, di harihari terakhirmu dalam kehidupan ini kau akan merasa kesepian.
Sangat kesepian. Perasaan itu lebih perih dari sayatan pisau di lubuk hatimu,
akan lebih menyesakkan dari tindihan batu gunung di atas dadamu.”
Sinto
Gendeng masih picingkan mata. Dinginnya udara malam menjelang pagi yang
mencucuk seolah tidak terasa.
“Apa yang
terjadi dengan diriku?” suara hatinya kembali bertanya. “Azab apa yang jatuh
atas diriku saat ini?
Seumur-umur
sampai tua bangka begini aku tidak pernah merasakan ketenangan hidup. Apalagi
yang namanya kebahagiaan. Mengapa aku tidak mati dibunuh orang.
Kalau
saja ada yang mau membunuhku, selesai sudah semua azab derita batin ini. Atau
mungkin aku harus mati bunuh diri saja?” Sinto Gendeng menarik nafas dalam.
Tenggorokannya
turun naik. Ada suara seperti sesenggukan menahan tangis. Dari sudut mata yang
terpejam itu menetes keluar butir-butir air mata.
“Ya
Tuhan, aku menangis… Apakah masih ada air mata dalam kepala yang sudah kering
ini?” Si nenek usapkan tangannya ke sudut mata kiri kanan.
********************
10
KEMBALI
pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Jumat malam hari ke lima belas, menjelang pagi.
Dalam bingungnya ditinggal Nyi Rento Mantili yang membawa lari Eyang Sinto
Gendeng, Wiro tersentak ketika menyadari kalau saat itu tempat di mana dia
berada telah dikurung puluhan orang. Dari seragam hitam dengan sulaman rumah
joglo serta keris bersilang di dada kiri Wiro segera maklum kalau orang-orang
itu adalah mereka yang menyebut diri kerabat Keraton Kaliningrat.
Di
sebelah kanan berdiri seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan, bertubuh
tegap mengenakan pakaian bagus. Wajahnya yang gagah dihias sepasang alis tebal.
Di kiri kanan lelaki ini berdiri mengapit dua orang kakek bermuka hitam dan
sama-sama mengenakan jubah merah. Mereka bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang
Barat.
Konon
merupakan dua tokoh silat yang disegani di tanah Jawa sebelah barat.
“Pendekar
212! Keraton Kaliningrat mengundangmu bertemu dengan segala kehormatan. Kami
menjanjikan jabatan tinggi dengan segala kemuliaan. Tapi kau membunuh orang-orang
kami.”
Wiro tak
segera menjawab ucapan orang. Dia perhatikan keadaan sekelilingnya, lalu
perlahan-lahan bangkit berdiri. Walau lelaki muda dan dua kakek berjubah merah
menjadi pusat perhatiannya namun Wiro juga berlaku waspada terhadap puluhan
pengurung berpakaian serba hitam karena dia mengetahui orang-orang ini memiliki
semacam ilmu kebal yang sulit ditembus pukulan.
Wiro
pernah berkelahi dengan dua anggota Keraton Kaliningrat. Pukulannya tidak
sanggup menciderai, apalagi merobohkan. Dua kakak adik Liris Merah dan Liris
Biru tahu kelemahan ilmu orang-orang Keraton Kaliningrat itu.
Hanya
sayang dua gadis cantik anak murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tidak mau
memberi tahu.
Wiro
menatap ke arah lelaki berpakaian bagus yang barusan bicara.
“Kau tahu
siapa diriku, apa aku boleh mengetahui siapa dirimu?” Wiro ajukan pertanyaan
pada lelaki bertampang gagah berpakaian bagus.
Orang
yang disapa tersenyum, rangkapkan dua tangan di atas dada. Dengan sikap penuh
jumawa lalu berkata.
“Dalam
jajaran Keraton Kaliningrat, aku hanya mewakili Kanjeng Pangeran Sri Paku
Jagatnata. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Pangeran Muda.”
Mengetahui
siapa orang yang bicara padanya, Wiro cepat berkata.
“Mohon
maaf kalau barusan aku tidak tahu berhadapan dengan siapa. Pangeran Muda, satu
kehormatan bagiku dapat bertemu denganmu.” Wiro berikan jawaban sambil balas
tersenyum dan juga rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia sudah maklum bahwa
sebentar lagi sandiwara segala macam peradatan ini akan berubah menjadi
pertengkaran dan perkelahian hebat.
“Aku
mengirim surat padamu melalui seorang kerabat. Damar Sarka, maju ke sini.”
Seorang
lelaki mengenakan topi merah seperti tarbus, berwajah bulat dan berkumis serta
jenggot lebat mendatangi dan berdiri di samping Pangeran Muda.
“Damar
Sarka, kau tidak keliru memberikan surat daun lontar itu pada orang ini?”
Si topi
merah langsung saja mengangguk.
Wiro
menggaruk kepala. “Aku memang pernah menerima surat daun lontar. Tapi bukan
dari dia.”
Pangeran
Muda tersenyum. “Damar, kau masih punya topeng samaran? Perlihatkan pada
sahabat kita.”
Dari
kantong pakaiannya Damar Sarka keluarkan sebuah topeng tipis langsung dikenakan
ke wajahnya. Saat itu juga Damar Sarka telah berubah menjadi seorang bermuka
bopeng. Wajahnya kini menjadi wajah kusir gerobak yang disewa Wiro dan Nyi
Retno, yang menyerahkan gulungan surat daun lontar.
“Kau
ingat sekarang, Pendekar 212?”
“Tentu
saja aku ingat.” Jawab Wiro pula. “Cuma aku punya pikiran begini. Jika orang
Keraton Kaliningrat memata-mataiku, menguntit diriku lalu menyerahkan surat
dengan cara seperti itu, jelas itu bukan cara yang wajar.
Ada
sesuatu yang tersembunyi. Mungkin hal baik, tapi bisa juga hal buruk dan
jahat.”
Pangeran
Muda tersenyum. “Keadaan kerajaan saat ini tidak bisa diduga. Yang dianggap lawan
bisa saja orang baik. Yang dikira sahabat ternyata musuh dalam selimut.
Mata-mata
kerajaan berkeliaran di mana-mana. Kami berkewajiban menjaga keselamatan diri
kami sendiri dan orang yang kami hubungi.”
Wiro
garuk kepala. “Apapun cara yang kalian lakukan, aku tetap saja merasa ada satu
hal tersembunyi di balik gerakan yang Pangeran Muda pimpin.”
“Kau
telah menerima surat dari kami. Mengapa kau tidak memenuhi undangan? Malah
gurumu Sinto Gendeng yang muncul di tempat pertemuan. Bagaimana ceritanya?”
Pangeran
Muda alihkan pembicaraan.
“Soal
bagaimana ceritanya guruku datang ke Candi Pangestu, aku juga tidak tahu, tidak
mengerti. Mengenai undangan yang tidak kupenuhi bukan aku tidak menghormati
tapi karena aku punya urusan lain yang lebih penting.”
“Urusan
lain yang lebih penting!” mengulang Pangeran Muda. “Menurutmu apakah urusan
kerajaan tidak penting?”
“Bisa
penting, bisa juga tidak. Tergantung seseorang menilai dan apa kepentingannya.
Pangeran Muda bicara urusan kerajaan. Setahuku Pangeran dan para pengikut bukan
orang kerajaan.”
Pangeran
Muda dan dua orang bermuka hitam mulai merasa jengkel.
“Pendekar
212. Kalau kerajaan dikuasai orang yang tidak berhak memegang tahta, apakah itu
bukan satu urusan penting bagi semua orang?”
“Pangeran
Muda, aku ingin bicara singkat-singkat saja.
Saat ini
aku tidak mau terlibat dengan segala macam urusan kerajaan. Kalian orang-orang
pandai saja yang menyelesaikan kalau memang ada masalah.”
Walau
wajahnya tampak merah namun Pangeran Muda masih bisa sunggingkan senyum. Dia berpaling
pada dua orang lelaki berwajah hitam di kiri kanannya.
“Sahabatku
Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat, bagaimana pendapat kalian berdua?”
“Aku Ki
Demang Timur. Biar aku yang bicara,” kata lelaki wajah hitam di sebelah kanan.
“Soal Pendekar 212 tidak mau terlibat dalam urusan kerajaan tidak jadi apa.
Tapi dia
punya satu dosa besar. Dia telah membunuh teman-teman kita orang Keraton
Kalingrat.”
“Ki
Demang Timur, bisa kau memberi tahu teman kalian yang mana yang telah aku
bunuh?” Tanya Wiro. Saat itu dilihatnya puluhan orang berseragam hitam bergerak
maju mempersempit kurungan. Dalam hati Wiro berkata. “Kalau orang-orang itu
kebal pukulan dan senjata tajam, apakah mereka bisa bertahan jika aku kubur
hidup-hidup?!”
“Kau
membunuh sahabat kami Kecik Turangga alias Hantu Buta Malam.” Berucap Ki Demang
Timur.
“Aku
tidak kenal manusia itu. Aku tidak membunuhnya!”
“Iblis
Pemabuk, guru istrimu yang bernama Wulan Srindi membunuh Ni Serdang Besakih,
orang penting dalam jajaran Keraton Kaliningrat. Kau ikut bertanggung jawab
atas kematian saudara kami itu.” Yang bicara kali ini adalah Ki Demang Barat.
Wiro
tertawa gelak-gelak. “Orang lain yang punya pekerjaan aku yang disuruh
bertanggung jawab! Lagi pula siapa bilang Wulan Srindi istriku! Enak saja kau
bicara!”
“Pendekar
212. Jangan mencoba membela diri dengan bicara dusta. Perempuan itu sendiri
yang pernah berkata di hadapan kami orang-orang Keraton Kaliningrat. Bahwa dia
adalah istrimu!” Kata Pangeran Muda pula.
“Pangeran
Muda, jika Wulan Srindi mengaku sebagai istrimu, apakah kau dan semua orang di
sini mau percaya?”
“Kau
mencari dalih. Jangan berlaku pengecut mengalihkan tanggung jawab!” Ki Demang
Timur membentak dan pelototkan mata.
Wiro
ganda menyeringai. “Muka hitam, jangan terlalu bersemangat. Nanti kau kehabisan
nafas sendiri dan bisa mati! Satu lagi, jangan melotot besar-besar. Kalau dua
matamu melompat dari sarangnya kau bisa jadi setan mata buta! Ha… ha… ha!”
“Pendekar
kurang ajar!” teriak Ki Demang Timur seraya melangkah ke arah Wiro. Namun
Pangeran Muda cepat memegang bahunya.
“Sahabatku
Ki Demang Timur, tidak perlu kesusu.
Orang
satu ini tidak akan bisa lolos. Masih ada tuduhan lain yang akan kita sampaikan
padanya.” Pangeran Muda memandang ke arah Wiro. “Kau membunuh kerabat Keraton
Kaliningrat bernama Embah Bejigur.”
“Aku
tidak kenal, tidak tahu yang mana orang bernama Embah Bejigur. Apa dia pedagang
minuman bejigur atau cuma seorang yang sangat doyan minum bejigur?” Habis
berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
“Pendekar
212, orangnya sudah kau bunuh, masih juga berani memperhinakan!” Kata Pangeran
Muda dengan suara datar.
“Eh, biar
aku mengalah. Kalau orang yang kau maksud itu adalah manusia katai yang
menjaring guruku dan hendak membokong secara pengecut seorang perempuan
sahabatku maka dia memang layak dibunuh! Keganasan dan kepengecutannya apa
tidak membuat para kerabat Keraton Kaliningrat merasa dipermalukan?” Jawab Wiro
pula. Lalu dia menambahkan. “Siapapun orang Keraton Kaliningrat yang tewas
terbunuh antara hutan jati sampai kawasan Candi Pangestu di Plaosan, mereka
semua wajar menemui ajal sesuai dengan dosa kesalahan masingmasing!”
Pangeran
Muda turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkapkan di atas dada.
“Pendekar
212, sayang sekali kau dan juga gurumu tidak menghormati maksud baik kami. Tak
ada jalan lain, kau harus menggantikan gurumu, menjadi tumbal satu ketololan!”
Wiro
menggaruk kepala.
“Aku
senang dicap orang tolol!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak. “Kalian
tahu, orang tolol matinya selalu tenang dan enak. Tidak seperti orang-orang
pandai.
Kadang-kadang
mati dengan mata mendelik, mulut menganga, wajah mengkeret! Sedih sekali kalau
kalian merasa jadi orang pandai! Ha… ha… ha!”
“Guru dan
murid mulutnya sama kurang ajar! Saudarasaudaraku bunuh orang ini!” Pangeran
Muda habis kesabaran.
Perintah
Pangeran Muda diikuti dengan melompatnya dua puluh orang Keraton Kaliningrat
berseragam hitam.
Lima
orang menerjang lebih dulu. Wiro segera keluarkan ilmu silat Orang Gila yang
didapatnya dari Tua Gila. Tubuh huyung sana huyung sini seperti orang mabok.
Tangan kanan ditiup lalu dihantamkan, lancarkan pukulan Harimau Dewa dari Datuk
Rao Basaluang Ameh. Bukan cuma lima orang yang menyerang, tapi tujuh orang lain
yang berada di kiri kanan dan sebelah belakang ikut tersapu mental, jatuh
bergulingan di tanah. Mereka berteriak kesakitan. Namun luar biasa sekali.
Sesaat kemudian ke dua belas orang itu bangun kembali tanpa ada tanda-tanda
cidera sedikitpun!
Padahal
pukulan Harimau Dewa bukan pukulan sembarangan. Jangankan tubuh manusia, batu
sebesar apapun bisa dibuat hancur berkeping-keping!
“Ilmu
kebal jahanam!” maki Wiro.
“Bunuh!”
teriak Ki Demang Timur.
“Cincang!”
teriak Ki Demang Barat.
Dua orang
bermuka hitam melesat ke arah Wiro, diikuti belasan orang berpakaian hitam
dengan golok terhunus!
“Mereka
terlalu banyak. Aku tak mau konyol. Tak ada jalan lain,” pikir Wiro. “Aku
terpaksa mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Akibatnya akan sangat
mengerikan! Tuhan, ampuni saya karena terpaksa membunuh sekian banyak nyawa.”
Ilmu yang tak pernah dikenal di rimba persilatan tanah Jawa ini seperti
diketahui didapat Wiro dari Luhrembulan alias Hantu Satet Laknat dari
Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam.
Begitu
belasan orang menyerbu, dipimpin oleh Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat, Wiro
hentakkan kaki kanan ke tanah. Lalu tanah digurat dengan ujung kaki dan
bleesss! Asap mengepul. Rrrrtttt! Tanah bergerak rengkah, terbelah panjang,
lebar dan dalam. Tiga belas anggota Keraton Kaliningrat dan Ki Demang Timur
keluarkan jeritan mengenaskan. Tubuh mereka amblas tersedot masuk ke dalam
rengkahan tanah.
Ki Demang
Barat berusaha menolong sobatnya Ki Demang Timur namun kakinya tergelincir. Tak
ampun dua manusia muka hitam ini sama-sama jatuh ke dalam rengkahan tanah!
Belasan orang-orang Keraton Kaliningrat yang selamat, termasuk Pangeran Muda
menjerit ngeri ketika tanah yang terbelah merapat mengatup kembali!
Banyak di
antara mereka yang leleh nyali dan langsung saja kabur ambil langkah seribu!
Di udara
yang mulai terang-terang tanah tiba-tiba melesat satu bayang hijau. Menyusul
semburan hebat ke arah salah satu bagian tanah yang tengah mengatup.
Tanah
terbongkar. Bersamaan dengan itu bayangan hijau tadi menjambak rambut seorang
berpakaian hitam, menariknya ke atas lalu membawanya kabur dari tempat itu.
“Ada
orang menyelamatkan Pekik Ireng!” seseorang berteriak.
Wiro
sendiri saat itu tegak tak percaya akan keganasan ilmu yang barusan
dikeluarkannya. Seumur hidup baru kali itu dia melihat kematian sekian banyak
orang dengan cara mengerikan. Tengkuknya terasa dingin.
Seseorang
berkelebat. Tahu-tahu Pangeran Muda telah berdiri di hadapan sang pendekar.
Mukanya kelam membesi, rahang menggembung dan mata menyorot laksana bara
menyala. Didahului satu teriakan dahsyat Pangeran Muda lancarkan serangan
beruntun. Tiga jurus dihabiskan dalam waktu singkat. Kesemuanya dengan
mengerahkan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi.
Setiap
terjadi bentrokan lengan Wiro merasa sakit sekali seperti tangannya menghantam
batu atos.
Sebaliknya
walau berhasil mendesak Wiro namun Pangeran Muda berkelahi dengan perasaan
tidak tenang.
Khawatir
kalau sewaktu-waktu lawan kembali mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah.
Dalam
satu gebrakan hebat di jurus ke empat belas, bentrokan dua lengan untuk
kesekian kalinya tak bisa dihindari. Baik Wiro maupun Pangeran Muda sama-sama
terpental beberapa langkah. Sebelum dua kakinya menyentuh tanah Wiro lepas
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Pangeran
Muda tersentak kaget ketika mendengar dan merasakan gemuruh angin luar biasa
deras menerpa ke arah dirinya. Dia palangkan dua lengan di depan kepala sambil
kaki menghentak. Dua larik sinar hitam berkiblat keluar dari lengan yang
bersilang, memapas ganas ke arah Wiro. Inilah ilmu yang disebut Badai di Langit
Gempa di Bumi. Ilmu ini bukan saja dipakai untuk menyerang tapi sekaligus
membentengi diri dari serangan lawan.
Jika saja
yang ditangkis Pangeran Muda bukan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang yang
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh, niscaya saat itu Wiro sudah
terpental semburkan darah.
Pangeran
Muda berseru kaget ketika ada gelombang angin menindih dirinya. Dua tangan yang
bersilang bergetar hebat lalu tubuhnya terbanting ke samping, jatuh berlutut di
tanah. Muka pucat, darah mengucur dari sela bibir.
“Pendekar
212, aku mengaku kalah…” Berkata Pangeran Muda. Lalu dia bersujud di tanah.
“Kuharap kau mau mengampuni dosa kesalahanku.”
Melihat
pimpinan mereka bersujud di hadapan Wiro, anak buah Pangeran Muda yang masih
ada di sana termasuk Damar Sarka ikut jatuhkan diri menyembah. Wiro
geleng-geleng kepala.
“Pangeran
Muda, bangunlah. Semua yang ada di sini harap berdiri. Tak ada yang layak
disembah selain Gusti Allah. Manusia hanya bersujud kepada Tuhan!”
Mendengar
ucapan Wiro orang-orang Keraton Kaliningrat segera berdiri termasuk Pangeran
Muda. Dengan tubuh terhuyung-huyung, dua tangan dirapatkan di atas kepala orang
ini melangkah mendekati Wiro.
“Pendekar,
aku sangat berterima kasih kau mau mengampuni kesalahanku. Terima
penghormatanku.” Lalu Pangeran Muda tundukkan kepala, bungkukkan tubuh.
“Pangeran
Muda, semua yang terjadi bisa kita jadikan hikmah pelajaran. Bawa orang-orangmu
meninggalkan tempat ini. Aku berharap kau punya kesadaran untuk membubarkan apa
yang dinamakan Keraton Kaliningrat.”
“Sekali
lagi saya mengucapkan terima kasih.” Kembali Pangeran Muda bungkukkan diri.
Wiro hendak memegang bahu orang ini, namun tiba-tiba, sangat cepat dan sangat
tidak terduga tangan kanan Pangeran Muda melesat ke depan dan, bukkk! Satu
jotosan dahsyat mendarat di permukaan dada Wiro Sableng!
Wiro
jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa jurus lamanya dia terhenyak kaku tak
mampu bergerak. Anehnya saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan
ketika memperhatikan dadanya sama sekali tidak ada tanda bekas pukulan.
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Saat itu hari mulai terang pertanda di timur sang surya sudah
terbit dan malam segera berganti siang. Memandang ke depan Pangeran Muda dan
sisa-sisa anak buahnya tak ada lagi di tempat itu.
“Pangeran
pengecut! Kau mau lari ke mana!” Wiro cepat berdiri, mengejar ke arah lenyapnya
Pangeran Muda dan rombongan. Namun hanya lari sejauh delapan langkah tiba-tiba
Wiro merasakan tubuhnya di bagian belakang sakit luar biasa. Dia coba
melenyapkan rasa sakit aneh ini dengan kerahkan tenaga dalam serta alirkan hawa
sakti. Namun rasa sakit bertambah hebat. Dalam keadaan setengah sadar setengah
pingsan Wiro melangkah terhuyung-huyung, berjalan sepembawa kakinya.
***********************
WULAN
Srindi membawa lari anggota Keraton Kaliningrat sejauh yang bisa dilakukannya.
Di satu tempat dia hentikan lari dan banting orang itu ke tanah. Orang yang
dibanting tanpa cidera sedikitpun cepat bangun, membungkuk di hadapan gadis
bermuka putih itu dan berkata.
“Terima
kasih, kau telah menyelamatkan diriku dari liang neraka itu.”
Buukkk!
Wulan
Srindi hantam muka orang dengan jotosan keras. Yang dihantam terjengkang di
tanah tapi bangun lagi. Seperti tadi dia tidak mengalami luka sama sekali.
“Kau
menolongku, mengapa sekarang memukul menggebukku?!”
“Kau
manusianya yang bernama Pekik Ireng?”
“Betul
sekali. Sahabat muka putih kau siapa? Aku ingat peristiwa di hutan Ngluwer.”
Tiba-tiba Pekik Ireng hentikan ucapan. Wajahnya berubah. Dia ingat kematian
temannya bernama Kuntorandu.
“Ingat
kejadian di sebuah dangau sekitar tiga bulan lalu? Bersama temanmu bernama
Kuntorandu kau memperkosa seorang gadis.”
Lelaki
bernama Pekik Ireng jadi pucat wajahnya.
“Sahabat,
kau keliru menuduh.”
Wulan
Srindi tertawa. Dia ambil sebuah kendi hitam lalu teguk isinya.
“Manusia
terkutuk! Aku mengenali tampangmu! Akulah orang yang kalian perkosa!”
Walau
melangkah mundur namun Pekik Ireng tidak perlihatkan rasa takut. Dia percaya
pada kekuatan ilmu kebal Keraton Kaliningrat yang dimilikinya. Namun lelaki ini
jadi terkejut ketika Wulan Srindi berkata.
“Jangan
kau kira aku tidak tahu kelemahan ilmu kebalmu. Beberapa temanmu sudah kubikin
mampus sewaktu berlangsung pertempuran dengan awak kapal Cina yang mencari
madat di hutan Ngluwer.”
“Perempuan
muka putih! Aku mengampuni selembar nyawamu jika kau mau minggat dari hadapanku
saat ini juga!”
Wulan
Srindi tertawa. Dia teguk sisa minuman keras dalam kendi sampai habis.
Kesempatan ini dipergunakan Pekik Ireng untuk mecabut sebilah golok dari balik
pinggang lalu membabat ganas ke depan.
Wuttt!
Golok
besar menabas satu jengkal di depan dada Wulan Srindi. Ketika Pekik Ireng
kembali memburu dengan serangan kedua, Wulan Srindi melesat ke udara setinggi
satu tombak.
Pekik
Ireng terkejut melihat gerakan lawan. “Dia tidak dusta! Dia tahu kelemahan ilmu
kebalku! Kakinya tidak menginjak tanah!”
Tidak
pikir panjang Pekik Ireng segera melompat kabur. Namun dia cuma bisa lari enam
langkah. Wulan Srindi melayang turun dengan cepat, semburkan minuman keras di
mulutnya.
Wusss!
Pekik
Ireng menjerit keras. Kepala sebelah belakang sampai ke pinggang kepulkan asap.
Hangus! Begitu tubuhnya jatuh tertelungkup di tanah, nyawanya telah lepas.
Puluhan lubang hangus mengerikan kelihatan di kepala dan punggung.
Masih
belum puas Wulan Srindi ambil golok yang tercampak di tanah lalu sambil
berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan dia membacok mencacah kepala dan
tubuh Pekik Ireng. Habis melakukan itu dia lemparkan golok, melangkah mundur
dan jatuhkan diri di tanah. Dari mulutnya keluar satu jeritan keras lalu gadis
ini menangis memilukan.
Mendadak
tangis Wulan Srindi terhenti. Dia mendengar suara langkah kaki orang mendekati
di samping kanan.
Sebelum
sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh tergelimpang tertelungkup
di tanah.
Wulan
Srindi terpekik. Dia menjerit ketika mengenali siapa adanya orang itu.
“Wiro!”
Wulan
peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar.
“Suamiku,
apa yang terjadi?!”
Wiro
bukan kedua matanya. Pandangannya agak kabur. Namun dia mengenali suara itu.
“Wulan,
aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran Muda…”
“Apa?!”
Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebar-lebar.
“Wiro, beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?”
“Pertengahan
dada. Tak ada tanda cidera…”
Wulan
Srindi balikkan lagi tubuh Wiro. Bagian belakang baju yang robek, dirobeknya
lagi lebih besar. Di bawah cacat panjang di punggung Wiro Wulan melihat tanda
merah besar dilingkari warna kebiruan.
“Kau
terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika dalam beberapa hari kau
tidak mendapatkan obat penangkal, nyawamu tidak tertolong lagi…” Wiro tertawa.
Wulan
Srindi tepuk-tepuk pipi Pendekar 212. “Kenapa kau masih bisa tertawa?” tanya
Wulan Srindi.
“Aku
tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega…”
“Gila!”
teriak Wulan Srindi. “Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak mau anakku lahir
tanpa ayah!”
Wiro
garuk kepala. Dalam hati dia setengah mengeluh setengah memaki.
“Celaka!
Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku dan dia tidak ada ikatan perkawinan!
Kalau dia hamil, itu bukan anakku. Tapi akibat perbuatan bejat orang-orang
Keraton Kaliningrat!”
“Wiro
suamiku.” Wulan Srindi lanjutkan ucapannya.
“Aku
pernah dihantam pukulan yang sama. Iblis Pemabuk membawa aku menemui seorang
yang mampu menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari
dari tempat ini?”
“Wulan,
aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan keselamatan diriku. Kau mau
menolong. Tapi rasanya aku tak akan sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku
seperti lumpuh. Pemandangan mataku terganggu.”
“Kalau
begitu aku akan mendukungmu!”
“Kau
tidak mampu melakukan itu…”
“Harus
mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu?! Kalaupun kita harus
mati bersama itu lebih baik dari membiarkan dirimu dalam keadaan seperti ini.”
Wiro
pejamkan mata. Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang yang baik dan rela
berkorban bagi dirinya. Dia ingat Eyang Sinto Gendeng. Dia ingat pada Kapak
Naga Geni 212 dan batu sakti yang ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu
diketahui merupakan penangkal racun yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu
memusnahkan racun pukulan Pangeran Muda? Mungkin dia telah berlaku kualat pada
Eyang Sinto?
Susah
payah Wulan Srindi mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat dia tak berhasil
mencoba memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya.
“Wulan,
jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini.”
Gadis
muka putih itu ingat apa yang dilakukan Iblis Pemabuk ketika dia mengalami
cidera akibat pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung itu. Dia harus melakukan hal
yang sama agar Wiro mampu bertahan lebih lama. Maka dengan cepat dia menotok
beberapa bagian tubuh sang pendekar.
“Apalagi
yang harus aku lakukan?” Wulan Srindi terduduk di tanah. Tiba-tiba gadis ini
berkata. “Wiro, aku akan menyeretmu!” Wulan Srindi belum putus asa. “Kau tidak
perlu melakukan itu Wulan. Pergilah…”
Tiba-tiba
satu bayangan aneh melayang turun dari atas pohon besar. Disusul suara
perempuan.
“Pendekar
212 Wiro Sableng. Apakah kau berkenan menerima pertolonganku?”
Wiro
angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata tak
berkesip.
“Siapa?!”
Tanya Wiro.
“Aku
seorang sahabat.”
“Bunga?
Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain…”
“Betul,
aku memang bukan Bunga.”
Bayangan
itu berubah makin jelas, membentuk sosok seorang perempuan berwajah cantik
sekali.
“Bidadari
Angin Timur!” Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh terbaring
kembali. Makhluk bayangan tersenyum.
TAMAT
No comments:
Post a Comment