Hantu Bara Kaliatus
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Sosok
yang tegak di atas batu besar di tengah sungai bukan lain adalah la tandai
alias hantu bara kaliatus. Sepasang matanya masing-masing memilki dua bola mata
berwarna merah seperti bara menyala menatap angker ke arah lakasipo. Saat itu
lakasipo masih duduk di atas punggung laekakienam kuda tunggangannya yang
berkaki enam. Sementara wiro, naga kuning dan setan ngompol masih berada dalam
genggaman tangannya, belum sempat dimasukkanke dalam kocek jerami.
"makhluk apa itu gerangan…." kata naga kuning. "kepalanya
seperti pendupaan! Ada bara menyala!" "lihat matanya!" naga
kuning berucap. "setiap mata ada dua bola mata!" "ya, aku juga
sudah melihat. Jangan-jangan makhluk ini punya empat biji di kantong
menyannya!" kata wiro pula sambil tertawa cekikikan. "kalian jangan
bergurau saja!" membentak setan ngompol. "aku punya firasat bahaya
besar mengancam lakasipo. Berarti mengancam kita bertiga!"
*********************
1
Sang
surya masih belum memperlihatkan diri. Udara di penghujung malam itu masih
diremangi kegelapan. Angin dingin masih mencucuk menembus kulit sampai ke
tulang. Hampir tak dapat dipercaya, dalam kegelapan seperti itu, di kawah
Gunung Latinggimeru berkelebat satu bayangan. Gerakannya cepat, sulit ditangkap
mata biasa. Bayangan ini melompat dari satu gundukan batu ke gundukan batu
lainnya. Lalu sesekali kakinya menendang dan "byaaarr!" Gundukan batu
hancur berantakan!
Batu-batu
yang ada dalam kawah Gunung Latinggimeru itu bukan batu biasa. Tapi adalah
batu-batu yang sejak ratusan tahun telah berubah menjadi bara merah menyala dan
tentunya panasnya bukan alang kepalang. Jangankan untuk dipijak, berada cukup
dekat saja panasnya seolah mampu membakar seseorang. Apalagi di dalam kawah
terdapat cairan lahar merah mengepulkan asap panas dan sesekali mencuatkan
lidah api sampai setinggi satu tombak! Namun sosok yang berkelebat dari satu
batu ke batu lainnya itu sama sekali tidak mengalami cidera kedua kakinya.
Kelebatan tubuhnya yang mengeluarkan angin deras membuat cairan lahar bergetar
mengeluarkan riak se-olah mendidih. Kalau sosok yang berkelebat di dalam kawah
itu bukan sebangsa hantu atau setan tetapi manusia adanya maka pastilah dia
memiliki ilmu kenukilan yang luar biasa. .
Tepat
ketika cahaya pertama kemunculan sang surya mencuat di ufuk timur, satu
bayangan hitam berkelebat dari lamping kawah sebelah barat. Sesaat kemudian
bayangan ini tahu-tahu telah berdiri di atas satu gundukan batu panas membara,
rangkapkan tangan di atas dada. Wajahnya yang aneh mengerikan sesaat menatap
pada orang yang masih berkelebat dari satu batu ke batu lainnya.
Makhluk
yang tegak di atas batu sambil rangkapkan tangan di depan dada itu memiliki
wajah luar biasa aneh dan angkernya. Muka itu seperti muka seekor burung gagak
hitam. Hidung dan mulut jadi satu menyerupai paruh. Sepasang mata kecil tajam
memandang tak berkesip ke arah orang yang masih saja melompat dan menendang
seolah tidak menyadari kalau saat itu di dalam kawah dia tidak lagi sendirian.
Ini memberi kejelasan, betapapun tingginya ilmu kepandaian orang pertama namun
masih jauh berada di bawah makhluk yang barusan datang. Buktinya dia tidak tahu
kehadiran makhluk yang bermuka burung yang semakin terang sinar sang surya
semakin jelas bentuknya. Dia ternyata adalah seorang nenek aneh mengenakan
pakaian dedaunan kering yang diberi jelaga hitam.
Kesunyian
di dalam kawah Gunung Latinggimeru itu tiba-tiba meledak oleh suara tawa si
nenek bermuka burung. Saat itulah bayangan yang sejak tadi berkelebat kian
kemari tiada henti menyadari kalau di dalam kawah ada orang lain. Cepat dia
membalikkan tubuh dan siap menghantam dengan tangan kanannya.
"Seratus
hari telah berlalu! Wahai Latandai! Aku datang memenuhi perjanjian!" Si
nenek berseru keras membuat seantero kawah bergeletar.
"Nenek
Hantu Santet Laknat!" orang di seberang sana keluarkan ucapan lalu cepat-cepat
berlutut di atas batu panas. "Nenek, terima hormatku!"
SI nenek
kembali tertawa mengekeh.
"Berdirilah
wahai Latandai!"
Orang di
atas batu merah membara segera berdiri tapi cara tegaknya agak membungkuk
pertanda dia masih meneruskan sikap hormatnya pada si nenek angker.
"Kulihat
gerakan tubuh serta kekuatan kakimu telah maju pesat Latandai! Aku senang!
Sekarang, hari perjanjian telah datang! Kau akan kuberikan ilmu kesaktian yang
selama ini kau inginkan! Apakah kau telah siap menerimanya wahai Latandai?!"
"Wahai
Nenek Hantu Santet Laknat. Aku Latandai siap menerima ilmu apapun yang akan kau
berikan padaku!"
Si nenek
tertawa melengking. "Ilmu Bara Setan Penghancur Jagat akan segera kau
dapatkan! Begitu ilmu itu menjadi milikmu, maka otakmu ada dalam otakku. Kau
menjadi milikku. Artinya kau berada di bawah kekuasaanku. Kau harus melakukan
semua apa yang aku kata dan perintahkan. Sekali kau berani membangkang maka
ilmu Bara Setan Penghancur Jagat akan menghancurkan dirimu sendiri! Kau
mengerti dan paham Latandai?!"
"Aku
mengerti. Aku paham wahai Nenek Hantu Santet Laknat!"
Si nenek
tertawa panjang. Di timur langit semakin terang. "Berdiri lurus-lurus
Latandai! Kepalkan dua tanganmu dan letakkan di samping!"
Lelaki
bernama Latandai lakukan apa yang dikatakan si nenek. Tubuhnya tegak
lurus-lurus di atas batu merah panas. Dua tangan ditempelkan rapat-rapat ke
sisi kiri kanan.
"Kau
sudah siap Latandai?!"
"Aku
sudah siap Nek!"
"Sungguh?!"
"Sungguh
Nek!"
"Ceburkan
dirimu ke dalam lahar!"
Latandai
tersentak kaget mendengar perintah yang tidak disangkanya itu.
"Nek…."
"Sekali
lagi kau dirasuk ragu dan bimbangi Sekali lagi kau berucap dan menolak berbuat!
Maka wahai! Cukup sampai di sini aku melihatmu! Kalau aku masih sempat
melihatmu maka aku hanya akan melihat rohmu gentayangan antara langit dan
bumi!"
Dinginlah
tengkuk Latandai. Dia tahu si nenek tidak bicara kosong. Dia sadar perempuan
tua bermuka burung gagak itu memiliki kemampuan untuk menghabisinya semudah dia
membalikkan telapak tangan! Maka tanpa menunggu lebih lama Latandai melompat,
ceburkan diri ke dalam cairan lahar yang mendidih panas di puncak Gunung
Latinggimeru itu! Sosok Latandai lenyap tenggelam di bawah permukaan lahar. Di
sebelah atas lahar mencuat memercikkan lidah api. Sepasang mata Hantu Santet
Laknat memperhatikan dengan tajam. Mulutnya komatkamit seperti merapal sesuatu.
Lalu dia berteriak. "Kau boleh keluar sekarang Latandai!"
Aneh!
Walau berada di bawah permukaan lahar panas dan tebal namun si nenek mampu
mengiangkan perintahnya ke telinga Latandai hingga lelaki itu mendengar lalu
serta meria melesat keluar dari dalam lahar dan tegak kembali di atas batu
panas membara. Sekujur tubuhnya mengepulkan asap panas dan berwarna merah
seolah udang direbus. Latandai merasakan sesuatu di atas kepalanya. Dia meraba
ke atas. Dia juga merasa ada kelainan pada sepasang matanya, dia
mengedip-ngedipkan beberapa kali. Lalu ketika dia memandang ke dada dan
perutnya terkejutlah lelaki ini.
"Nekl
Apa yang terjadi dengan diriku!"
Hantu Santet
Laknat mendongak lalu tertawa panjang.
"Wahai
Latandai! Mengapa kau harus terkejut apalagi takut" ujar si nenek.
Tubuh
Latandai bergeletar. Untuk beberapa saat lamanya dia tidak bisa membuka mulut.
Dia melihat ada tumpukan batu-batu merah membara sebesar ujung ibu jari kaki di
dada dan di perutnya. Namun dia tidak dapat melihat bagaimana saat itu telah
terjadi kelainan pada sepasang matanya. Bola matanya yang sebelumnya hanya ada
satu pada masing-masing mata kini berubah menjadi dua dan berwarna merah seolah
terbuat dari bara! Dia bisa meraba tapi tidak melihat bagaimana kepalanya
seolah telah dibabat sebatas kening lalu di atas kepala yang sebelumnya ada
otak, batok kepala dan rambut itu kini dipenuhi oleh tumpukan batu-batu merah
menyala!
"Latandai!"
seru Hantu Santet Laknat! "Sekarang kau telah memiliki ilmu kesaktian yang
disebut Bara Setan Penghancur Jagat!"
"Nek!"
kejut Latandai sampai keluarkan seruan tertahan saking tidak percayanya.
Hantu
Santet Laknat kembali mengekeh. "Di tubuhmu, mulai dari kepala sampai ke
pusar kini terdapat dua ratus bara api! Itu sebabnya mulai saat ini kau kuberi
nama Hantu Bara Kaliatus! Batu-batu bara itu akan menjadi senjata yang ikut
kemana kau pergi! Kau akan melihat wahai Latandai! Sekali kau mencabut bara itu
dan menghantam lawan, sulit bagi musuh untuk selamatkan diri dari Kematian! Di
masing-masing matamu kini ada dua bola mata berbentuk bara api. Jika kau
pentang dua matamu lebar-lebar dan hentakkan rahangmu maka empat larik sinar
merah sepanas api neraka akan menebar maut! Kalau kau tidak percaya silahkan
coba. Palingkan matamu ke arah batu besar di sebelah sana! Kau sanggup
menghancurkan batu itu dengan sinar bara setan yang ada pada dua matamu!"
Latandai
putar tubuhnya. Palingkan muka dan sepasang matanya ke arah batu besar
menyembul di permukaan kawah yang barusan ditunjuk si nenek. Dalam keadaan tak
berkedip Latandai katupkan rahangnya. Gigi-giginya bergemeletukan. Saat itu
juga empat larik sinar semerah bara menyala berkiblat! Melesat dan menyambar ke
arah batu besar di permukaan kawah.
"Byaaarr!"
Batu
merah menyala itu hancur berantakan, lenyap dari permukaan lahar. Yang
kelihatan kini hanyalah kepulan asap! Melihat hal itu Latandai segera berpaling
dan jatuhkan diri berlutut. "Nenek Hantu Santet Laknat! Aku menghatur
ribuan terima kasih. Kau…."
Si nenek
potong ucapan Latandai dengan tawa bergelak lalu berkata. "Kau sudah
kuberikan ilmu Bara Setan Penghancur Jagatt Sekarang mari kita mengatur
perjanjian dan perintah! Harap kau dengar baik-baik wahai Hantu Bara Kaliatus!
Setiap aku memberi perintah aku bisa langsung muncul di hadapanmu atau hanya
mengirimkan dari kejauhan melalui angin dengan ilmu yang disebut Ilmu Menyadap
Suara Batin. Sekarang aku mulai dengan perintah-perintahku Latandai! Setiap
perintah harus kau lakukan tanpa pernyataan karena otakmu ada dalam otakku! Kau
berada dalam kekuasaanku! Pertama kau harus mencari seorang manusia bernama
Lakasipol Aku tak perlu menerangkan siapa adanya manusia itu. Kau kenal dia
karena dia dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam."
"Aku
tahu dan aku kenal Lakasipo. Perintah akan kujalankan Nenek Hantu Santet
Laknat!" kata Latandai yung kini telah diberi nama Hantu Bara Kaliatus!
"Perintah
ke dua! Kau harus membunuh Luhsantini Istrimu sendiri…."
"Nek!"
Latandai terkejut dan sampai keluarkan teman.
"Jahanam!
Aku sudah katakan tak ada pertanyaan" Bentakan si nenek menggetarkan
Seantero kawah Gunung Latinggimeru.
"Maafkan
aku Nek…" ujar Latandai yang jadi kecut melihat tampang si nenek dan
mendengar bentakannya yang dahsyat.
"Aku
mempunyai alasan mengapa menyuruhmu membunuh Luhsantini. Karena dia seorang
istri tidak berbudi dan tidak setia! Luhsantini pernah berhubungan badan dengan
seorang pemuda bernama Lasingar, kerabatmu di Latanahsilam. Selain itu dia juga
bermain cinta dengan Hantu Muka Dua! Apa perlunya kau mempunyai seorang istri
seperti itu!"
Latandai
merasakan tubuhnya bergetar dan mukanya mendadak jadi panassampai ke telinga.
Dia hendak bertanya dari mana atau bagaimana Nenek Hantu Santet Laknat
mengetahui hal itu tapi tidak berani membuka mulut. Apa yang ada dalam pikiran
Latandai sudah terbaca oleh si nenek. Maka dia pun berkata.
"Waktu
kau meninggalkan istrimu di kala dia hamil muda kau sebenarnya telah mengambil
satu keputusan tepat! Berbulan-bulan kau mengelana mencari ilmu!
Kau telah
menjadi budak hawa nafsu ingin menguasai berbagai ilmu kesaktian! Kau hampir
jadi orang gila dan kerasukan roh-roh jahat! Syukur kau bertemu denganku wahai
Hantu Bara Kaliatus! Satu ilmu yang kuberikan tidak bisa menandingi seratus
ilmu kesaktian yang bisa kau peroleh dari orang lain!"
"Aku
mengerti dan aku berterima kasih Nek," kata Latandai pula.
"Satu
hal lagi harus kau ketahui wahai Hantu Bara Kaliatus! Kalau istrimu dan
Lasingar tidak dihabisi maka mereka kelak akan melanjutkan hubungan tidak
senonoh itu I Berarti akan lahir lagi anak ke dua, anak ketiga yang bukan darah
dagingmu!"
Bergetar
sekujur tubuh Latandai mendengar ucapan Hantu Santet Laknat itu. Walau di lubuk
hatinya ada rasa kebimbangan namun saat itu otaknya telah dikuasai oleh si
nenek hingga dia tidak bisa berpikir secara jernih, sekurang-kurangnya tekad
untuk menyelidik yang dikatakan si nenek apa benar adanya.
"Kau
sudah dengar penjelasan! Kau sudah tahu kewajiban harus menyingkirkan istrimu!
Membunuh Lasingar! Kau juga patut menghabisi Hantu Muka Dua. Tapi manusia satu
itu adalah bagianku! Jangan kau berani menyentuhnya! Aku sendiri yang akan
membunuhnya!"
"Aku
mendengar dan perintahmu akan kujalankan wahai Nenek Hantu Santet Laknat…"
kata Latandai pula.
"Wahai
Hantu Bara Kaliatus! Tugasmu di hari pertama memiliki ilmu kesaktian Bara Setan
Penghancur Jagat cukup sekian dulu! Laksanakan segera! Jika kau sampai gagal
aku akan muncul untuk menjatuhkan hukuman!"
Hantu
Bara Kaliatus alias Latandai membungkuk dan berkata. "Tugas perintah akan
kujalankan! Aku tidak akan menemui kegagalan. Cuma mohon maafmu. Apakah keadaan
diriku yang seperti ini tidak bisa dirubah kembali seperti sedia kala?"
Nenek
Hantu Santet Laknat tertawa panjang lalu berkata. "Sudah kukatakan otakmu
ada dalam otakku! Dirimu berada dalam kekuasaanku. Berarti hanya aku yang bisa
mengembalikan dirimu pada keadaan semula! Setiap ilmu ada syaratnya wahai
Latandai. Dan kini dia menerima syarat itu dalam bentuk keadaanmu seperti saat
ini! Bila kau memang menginginkan perubahan bisa saja aku lakukan! Tapi kau
harus menjalankan semua perintahku lebih dulu. Kau mengerti Hantu Bara
Kaliatus?!"
"Aku…
aku mengerti Nek," jawab Latandai walau dengan suara setengah tertahan dan
dada sesak.
Hantu
Santet Laknat menyeringai lalu tertawa panjang. Ketika tawanya lenyap sosoknya
tak ada lagi di lompat Ku. Latandai palingkan kepala. Si nenek tahutahu sudah
berada di lamping kawah sebelah timur. Berkelebat cepat sekali seolah
menyongsong matahari lalu pupus dari pemandangan.
*********************
2
BELALANG
HIJAU RAKSASA ITU TERBANG menembus kabut pagi disaat udara masih dingin menusuk
sampai ke tulang sumsum. Di satu tempat ketinggian binatang ini melayang turun
lalu hinggap di atas sebuah batu besar. Dua matanya memandang liar kian kemari
seolah meneliti keadaan. Sepasang misainya bergerakgerak tiada henti.
"Wahai
Laehijau, apakah sanggup kau membawa kami ke puncak Latinggimeru? Seharian
sudah kau melompat dan melayang menerbangkan kami. Aku khawatir kau keletihan
di tengah jalan dan jatuh!" Satu suara memecah kesunyian di tempat itu.
Yang bicara adalah seorang perempuan muda mengenakan pakaian kulit kayu halus.
Kepala dan wajahnya tertutup selendang terbuat dari rumput hijau dikeringkan.
Perempuan ini duduk di punggung belalang hijau, menjadikan binatang raksasa itu
sebagai tunggangannya. Belalang raksasa tundukkan kepala ke bawah lalu
menggeleng pertanda dia mengerti dan menjawab ucapan tuan penunggangnya.
"Kau
sahabatku yang setia wahai Laehijau. Mudahmudahan para Dewa dan Peri menolong
kita hingga kita bisa selamat sampai ke puncak Latinggimeru…."
Baru saja
perempuan ini selesai berucap tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Astaga.
Ternyata dalam bungkusan yang didukungnya di tangan kiri, ada sosok seorang
orok yang masih merah karena baru berusia 40 hari. Perempuan ini cepat
menimang-nimang bayi daam bedungan.
"Anakku
Lamatahati, berhentilah menangis. Sebentar lagl kau akan bertemu dengan
bapakmu. Sebentar lagi kau akan menjadi anak yang syah. Punya Ibu dan punya
ayah!" Perempuan itu terus menimang-nimang si bayi hingga akhirnya
berhenti menangis. Sesaat dia mendongak ke atas, berusaha menembus tebaran kabut
yang menutupi pemandangan. Jauh di atas sana menjulang tinggi puncak Gunung
Latinggimeru yang dari kawahnya selalu mengepul asap panas berwarna kemerahan
sedang dari perutnya ada suara tiada henti menggemuruh menggidikkan dan
menggetarkan seantero tempat.
"Laehijau
kalau letihmu lenyap bisakah kita melanjutkan perjalanan?"
Belalang
raksasa bernama Laehijau seperti tadi rundukkan kepalanya dan goyang-goyangkan
misainya. Kaki-kakinya diregang pertanda dia siap melompat. Perempuan di atas
belalang peluk erat-erat bayi dalam bedungan. Sesaat kemudian Laehijau telah
melesat ke udara, terbang ke arah ketinggian puncak Gunung Latinggimeru.
Untuk
beberapa saat bayi dalam bedungan tertidur pulas. Begitu mulai mendekati puncak
gunung, udara yang tadinya sangat dingin kini berubah menjadi panas. Tubuh
Laehijau bergetar menahan panas. Begitu juga perempuan di atas punggungnya
sementara bayi yang tadi tertidur pulas tersentak bangun lalu menangis
kepanasan.
"Tenang
anakku, jangan menangis…." Sang ibu pergunakan ujung bedungan untuk
mengipasi bayinya.
Namun
Lamatahati terus saja menangis. Semakin jauh ke atas mendekati puncak Gunung
Latinggimeru hawa bertambah panas tapi kabut mulai menipis. Setelah terbang
berputar-putar dan mulai sempoyongan, Laehijau turun di suatu pedataran sempit
di tepi timur puncak Latinggimeru. Dua tombak di depan mereka terbentang kawah
yang permukaannya berupa lahar mendidih dan mengepulkan asap. Selain itu ada
kabut tebal menebar di sana-sini menutupi pemandangan.
Perempuan
di atas punggung belalang hijau memandang berkeliling lalu menatap lekat-lekat
ke arah kawah gunung batu itu. Cukup lama dia menunggu dan mencari-cari.
Hatinya mulai risau. Orang yang dicari tidak terlihat sama sekali. Bayi dalam
bedungan terus menangis, tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari kawah.
"Mimpiku
memberi petunjuk dia ada di sini. Dua orang penduduk Latanahsilam memberi
kesaksian melihat dia dalam perjalanan menuju puncak Latinggimeru ini empat
purnama yang lalu. Namun di mana dia gerangan?" Perempuan di atas belalang
hijau membatin.
Pada saat
tebaran kabut yang menutupi kawah itu tertiup angin, berarak ke jurusan selatan
maka barulah dia dapat melihat seantero kawah dengan jelas. Sesaat perempuan di
atas punggung belalang hijau terkesiap ngeri menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Namun rasa ngeri ini berubah menjadi kegembiraan ketika dia melihat
sosok seorang lelaki tegak tak bergerak di atas sebuah batu besar merah
menyala. Dari dua kakinya hanya yang sebelah kiri menginjak batu. Yang kanan
diangkat dan dilipat ke atas sedang kedua matanya dipejamkan. Jelas orang ini
tengah bersamadi dengan cara yang aneh.
"Dia
mampu berdiri di atas batu api itu! Wahai, berarti Latandai telah berhasil
mendapatkan ilmu yang dicarinya…" berucap dalam hati perempuan di atas
belalang raksasa. Tapi tiba-tiba hatinya mendadak tercekat. "Aneh, mengapa
ada kelainan kulit pada dirinya. Kepalanya… tubuhnya…. Kalau saja aku bisa
mendekat ke sana…."
Spasang
mata perempuan di atas belalang raksasa menatap tak berkedip pada lelaki di
atas batu.
“Wahai
Lamatahati, apapun yang terjadi dengan ayahmu,, akhirnya dia kita temui
juga…." Perempuan itu berucap setengah berbisik seraya membelai kepala
bayi dalam bedungan yang sampai saat itu masih terus menangis. Suara tangisan
orok ini tadi sempat membuat lelaki yang bersamadi di atas batu dalam kawah
menjadi terganggu. Daun telinganya bergerak-gerak. Pelipis dan rahangnya
menggembung. Urat lehernya tampak mengencang sedang dua kelopak matanya yang
tertutup mengeluarkan getaran-getaran halus. Hanya dengan menabahkan hati,
menutup jalan pendengaran, lelaki yang di puncak batu tinggi akhirnya mampu
meneruskan samadinya. Namun itupun tidak bertahan lama karena tiba-tiba dari
puncak timur Gunung Latinggimeru ada suara seman keras, melengking ke langit,
mencuat ke dasar kawah.
"Wahai
Latandai suamiku! Puluhan hari aku habisi! Berbagai negeri aku datangi!
Akhirnya kutemui juga kau ditempat ini! Latandai, buka matamu! Lihat siapa yang
kubawa!"
Hantu
Bara Kaliatus yang tegak bersamadi di atas batu menyala tidak bergerak, juga
tidak membuka sepasang matanya yang terpejam.
"Wahai
Latandai! Jangan berpura tidak mendengar ucapanku! Berhentilah bersamadi barang
seketika. Melompat dan datanglah ke tempat ini! Aku datang membawa anakmu! Anak
kita yang kuberi nama Lamatahati. Seorang bayi laki-laki bertubuh gemuk sehat.
Pertanda di masa besarnya dia akan menjadi seorang pemuda gagah kuat berotot
seperti ayahnya!" Bersamaan dengan berhentinya ucapan sang ibu, bayi dalam
bedungan menangis keras.
Di atas
batu Latandai merasakan tubuhnya bergetar. Lehernya menjadi kaku dan telinganya
mengiang. Bagaimanapun dia mencoba, getaran pada matanya tak dapat dikuasainya.
Dia sadar bahwa samadinya tak mungkin diteruskan. Didahului teriakan
menggeledek sosok Latandai melesat ke atas. Dilain kejap dia telah berdiri dua
tombak di hadapan Laehijau si belalang raksasa di atas mana duduk perempuan
yang membawa bayi.
Belalang
raksasa tersurut mundur. Misainya bergerak-gerak sementara perempuan yang
mendukung bayi berubah pucat wajahnya dan ketakutan setengah mati. Tadi sewaktu
Latandai masih berada di dalam kawah dia memang sudah melihat ada kelainan atas
diri suaminya itu. Namun setelah dekat dia tidak mengira kelainan itu adalah
satu kengerian yang dahsyat!
Sepasang
mata yang memiliki empat bola mata laksana kobaran api memandang padanya.
"Luhsantini!
Perempuan celaka! Beraninya kau datang kemari! Berani kau mengganggu
samadiku!"
Perempuan
yang disebut dengan nama Luhsantini itu sesaat jadi terkesiap. Keningnya
berkerut. Dadanya berdebar dan mulutnya bergetar. Walau takut tapi dicobanya
juga menjawab.
"Wahai
Latandai suamiku! Bukan diriku bermaksud mengganggu samadimu! Aku tidak dapat
menahan diri. Ini adalah hari ke empat puluh sejak bayi ini lahir. Ini adalah
hari terakhir kau harus melihat puteramu dan puteramu melihat dirimu! Ini
adalah hari terakhir kau harus mengusap ubun-ubun di kepalanya pertanda kau
mengakui bahwa Lamatahati adalah anak dari darah yang keluar dari tulang
sumsummu! Jika itu tidak terjadi, sesuai aturan dan adat Negeri Latanahsilam
maka seumur hidupnya anak ini tidak akan mempunyai ayah yang syah! Jika dia
tidak punya ayah ayah syah berarti aku bukan pula ibunya yang syah. Lalu apa
akan jadinya anak kita ini kelak? Jika hidup dia akan menjadi anak setan! Tak
layak tinggal di Negeri Latanahsilam! Jika mati rohnya akan terkatungkatung antara
langit dan bumi! Wahai suamiku Latandai.
Datanglah
ke sini. Lihat anakmu! Usap kepala dan tubuhnya. Cium kening dan pipinya!"
Sehabis berucap seperti itu Luhsantini jadi ngeri sendiri. Dalam keadaan kepala
dan sosok Latandai seperti itu janganjangan bayinya akan celaka jika
bersentuhan dengan ayahnya!
Lelaki di
atas batu merah menyala menatap dengan tampang menggidikkan pada perempuan di
atas belalang raksasa itu. Sepasang matanya menyala-nyala. Terlebih ketika dia
melihat bagaimana Luhsantini membuka kain pembedung bayi lalu mengangkat
tinggitinggi bayi lelaki itu dan bergerak hendak disodorkan kepadanya.
"Tidaaakk!"
Tiba-tiba meledak teriakan dahsyat dari mulut Latandai. Suara teriakan ini
menggema menggidikkan di dalam kawah Gunung Latinggimeru, menggeletar sampai ke
permukaan puncak gunung, membuat darah Luhsantini tersirap dan seolah berhenti
mengalir.
"Tidak?
Tidak apa maksudmu wahai suamiku Latandai?" bertanya Luhsantini.
"Bayi
itu bukan anakku! Tapi anak haram hasil hubunganmu dengan Lasingar, jauh
sebelum aku mengawinimu!"
Luhsantini
merasa seolah berdiri di atas bara api yang kemudian runtuh dan menghunjam
memurukkannya ke dasar sebuah lobang api!
"Wahai
Latandai…. Bagaimana bisa dan teganya kau berkata seperti itu?! Kita kawin
sepuluh bulan purnama yang lalu. Malam pertama kita berhubungan di Bukit Batu
Kawin disaksikan orang tua, para sesepuh Negeri, disaksikan oleh nenek Lamahila
dan disaksikan serta direstui oleh para Dewa dan Peri…."
"Apa
yang kau katakan semua benar! Tapi pada saat aku mengawinimu kau telah berbadan
dua akibat hubunganmu dengan Lasingar! Aku tertipu!"
Luhsantini
sampai terpekik mendengar ucapan Latandai itu. Wajahnya seputih kain kafan.
"Wahai
Latandai, demi anak ini aku ikhlas menerima keadaanmu seperti ini. Demi segala roh
yang baik penjaga langit dan bumi! Demi semua para Dewa dan Peri penguasa jagat
raya! Aku bersumpah tidak pernah melakukan hubungan hina terkutuk yang tidak
terpuji dengan Lasingar! Pemuda itu hanyalah kerabat sahabat biasa saja…."
"Kerabat
sahabat biasa saja?!" Latandai meludah. Ludahnya berwarna merah dan
mengepulkan asap. Lalu manusia yang telah berubah menjadi makhluk mengerikan
ini tertawa bergelak.
"Banyak
saksi di Latanahsilam yang mengatakan bahwa dia sering menyelinap ke rumahmu
dikala dua orang tuamu berburu ke hutan atau mencari ikan di sungai!"
"Latandai….
Sungguh tidak dapat kupercaya semua ucapanmu! Lasingar sering berada di rumahku
karena dia berobat pada orang tuaku atas penyakit yang telah lama diidapnya!
Jika kau tahu aku ini sudah bernoda mengapa kau mengawini diriku…?"
"Itu
karena aku tertipu! Karena kau menipuku! Keluargamu menipuku!"
"Wahai
Latandai, agaknya Kau yang menipu diri sendiri! Jika bayi ini sudah kukandung
jauh sebelum kawin denganmu, mengapa dia kulahirkan setelah sembilan bulan?
Jika aku memang punya hubungan keji dengan Lasingar dan hamil sebelumnya
seharusnya dia lahir lebih cepat dari itu!"
"Luhsantini!
Apapun cakapmu! Apapun dalih yang Iwndak kau ucapkan aku tetap tidak akan
mengakui anak Itu adalah anakku! Dan dirimu yang kotor ini tidak layak hidup
lebih lama! Kau dan anakmu lebih baik kulempar ke dalam kawah Gunung
Latinggimeru!"
Menggigil
sekujur tubuh Luhsantini mendengar kata-kata Latandai itu. Dengan tubuh
bergeletar dan dada menggemuruh dia turun dari punggung Laehijau si belalang
raksasa lalu melangkah ke tepi kawah. Bayi dalam bedungan terus menangis tiada
henti.
"Latandai…!"
"Diam!
Namaku bukan Latandai lagi. Aku sekarang adalah Hantu Bara Kaliatus!"
"Tidak
perduli siapapun kau punya nama! Tidak kusangka sejahat ini hati dan pekertimu!
Dengar manusia keji! Pembalasan dan karma akan jatuh atas dirimu!"
Luhsantini angkat bayi dalam bedungan tinggi tinggi. Lalu berserulah perempuan
malang ini. "Wahai para Dewa dan para Peri! Wahai semua roh yang ada di
antara langit dan bumi! Bayi ini bayi suci! Tiada dosa atas dirinya! Bayi ini
keluar dari rahimku! Hasil hubunganku dengan seorang suami bernama Latandai!
Namun
hari ini Latandai tidak mengakui kalau Lamatahati adalah anak darah dagingnya!
Para Dewa dan para Peri serta semua roh! Jatuhkan hukuman atas diri Latandai!
Sengsarakan dia sebelum bayi ini sendiri menderita karena perbuatannya! Biarkan
tubuhnya seperti itu sepanjang usia! Biarkan dia menderita seumur-umur dalam
keangkuhan dan kesesatannya! Wahai anakku Lamatahati. Malang nasibmu! Kau tak
akan berayah seumur hidupmu! Aku tak akan diakui adat sebagai ibumu! Aku
memohon kepala ke atas kaki ke bawah. Kaki ke atas kepala ke bawahi Kalau kelak
kau sudah dewasa para Dewa dan para Peri akan memberi kekuatan padamul Balaskan
sakit hati ibumu! Balaskan sakit hati dirimu!"
Bayi
dalam bedungan menangis keras. Belum habis gaung suara Luhsantini di puncak
Gunung Latinggimeru, seolah alam mendengar jerit hati sang ibu yang malang ini
tiba-tiba lumpur merah di dasar kepundan menggelegak keras lalu mencuat tinggi
ke udara. Lidah api membumbung mengerikan. Lalu seolah jatuh dari langit
didahului suara gelegar dahsyat berkiblat satu cahaya biru, langsung menghantam
sosok Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.
Sekujur
tubuh lelaki ini seolah dialiri satu sinar biru, menggeletar hebat dan
mengepulkan asap. Hantu Bara Kaliatus menjerit keras lalu tergelimpang roboh di
tepi kawah.
Luhsantini
memeluk bayinya erat-erat. Belalang raksasa menghentak-hentakkan kakinya seolah
memberi isyarat agar perempuan itu lekas naik ke punggungnya. Luhsantini cepat
balikkan tubuh. Sambil mendukung bayinya dia lari ke arah Laehijau. Namun
sebelum dia sempat mencapai belalang raksasa itu, di belakang sana sosok Hantu
Bara Kaliatus buka sepasang matanya lalu bergerak bangkit! Mulutnya sunggingkan
seringai maut. Lalu dia menggembor keras.
"Luhsantini!
Jahat nian kutuk sumpahmu! Tak bisa aku menerima!" teriak Latandai.
"Bukan
aku yang jahat! Hatimu yang bejat!" teriak Luhsantini. "Kutuk Dewa
dan Peri hanya jatuh pada manusia durjana!"
"Perempuan
jahanam! Kau dan bayimu tak layak Hidup." Latandai angkat tangan kanannya
lalu dipukulkan ke depan. Dua belas sinar hitam halus berkelebat ganas.
Dalam
keadaan marah luar biasa seperti itu Hantu Bara Kaliatus bukan keluarkan ilmu
yang baru dimilikinya yakni Bara Setan Penghancur Jagat, melainkan dia
menghantam dengan ilmu kesaktian yang telah didapatnya lebih dahulu.
"Selusin
Bianglala Hitam." jerit Luhsantini begitu dia mengenali pukulan sakti yang
dilancarkan Latandai.
Perempuan
ini menjerit sekali lagi. Dia berusaha menyelamatkan diri dengan melompat ke
kiri. Tapi salah lumpat. Arah yang ditujunya ternyata adalah kawah Gunung
Latinggimeru! Sementara itu dua belas sinar hitam yang menyerangnya demikian
cepat membeset udara hingga tidak mungkin dielakkan! Sudah dapat dibayangkan
bagaimana dua belas cahaya ganas Itu akan menembus sosok Luhsantini. Lalu tubuh
itu sendiri akan terjungkal masuk kedalam kawah gunung.
Hanya dua
jengkal lagi selusin sinar hitam akan menghantam tubuh Luhsantini, tiba-tiba
dari arah selatan pinggiran kawah berkiblat selarik cahaya berwarna Jingga.
Laksana tameng cahaya Jingga ini melindungi Luhsantini dari hantaman Selusin
Bianglala Hitam. Perempuan ini selamat karena begitu beradu dengari cahaya
Jingga, selusin sinar hitam terpental ke kiri. Namun pentalan dua belas sinar
ini melesat ke arah bayi dalam bedungan pelukan sang ibu! Bayi dalam bedungan
terpekik keras.
"Anakku!"
jerit Luhsantini. Tubuhnya terhuyung. Dia hampir jatuh pingsan ketika melihat
wajah bayinya! Sama sekali tidak menyadari bagaimana Latandai melompat ke
hadapannya dan tendangkan kaki kanan.
"Plaaakkk!"
Satu
benda hijau menghantam bahu kiri Latandai hingga orang ini terpental dan
terguling di tanah bebatuan. Benda yang barusan menghantamnya ternyata adalah
sayap belalang raksasa. Sehabis menghantam Laehijau merangkul tubuh Luhsantini
dengan kaki kiri sebelah depan lalu dengan cepat binatang ini melompat ke
udara, terbang meninggalkan puncak Gunung Latinggimeru.
"Binatang
jahanam!" teriak Latandai marah. Gerahamnya bergemeletakan. Dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dia menghantam ke atas.
Lepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala Hitam Dua belas larik sinar hitam
menderu. Di udara belalang raksasa Laehijau keluarkan suara menggerung keras
ketika tubuhnya bagian belakang hancur dihantam pukulan sakti yang dilepaskan
Latandai. Dalam keadaan seperti itu belalang raksasa ini masih sanggup terbang
menyelamatkan diri serta menyelamatkan ibu dan anak yang ada di punggungnya.
Tapi berapa lama dia bisa bertahan dengan tubuh yang setengah hancur seperti
itu.
Latandai
menggembor marah melihat Luhsantini dan anaknya berhasil menyelamatkan diri.
Berkali-kali kepalan tangan kanannya dihantamkan ke telapak tangan kiri.
Tiba-tiba ada suara mengiang masuk ke dalam telinga orang ini. Itu adalah suara
Hantu Santet Laknat yang disampaikan lewat ilmu Menyadap Suara Batin.
"Hantu
Bara Kaliatus. Kau telah membuat kesalahan besar! Sudah kukatakan seratus ilmu
yang sudah kau punya tidak bakal bisa menandingi ilmu Bara Setan Penghancur
Jagat! Mengapa kau tidak menghantam perempuan itu dengan ilmu yang kuberikan?!
Malah kau mempergunakan ilmu keropos Selusin Bianglala Hitam! Kau manusia tidak
berguna. Sekali ini aku memberi pengampunan! Lain kali jika kau masih berlaku
teledor kau akan rasakan hukuman dariku."
Latandai
sadar, segera jatuhkan diri berlutut "Nenek Hantu Santet Laknat. Aku mohon
maafmu! Aku mengaku telah berlaku salah! Lain kali aku tidak akan berbuat tolol
lagi!"
Jauh di
kaki Gunung Latinggimeru, si nenek yang di uluk Hantu Santet Laknat
banting-banting kaki saking marahnya. "Hantu Bara Kaliatus tolol keparat!
Dia memberi kesempatan pada Hantu Muka Dua untuk mencari dan menemukan
Luhsantini kembali.
Ah!.Bagaimana
caraku agar membuat Hantu Muka Dua berpaling padaku. Padahal dulu-dulu dia
seolah bisa gila jika sehari tidak bertemu denganku! Tapi sekarang…. banyak
bermunculan perempuan cantik yang menjadi sainganku. Luhsantini, Luhjelita….
Entah siapa lagi! Kalau saja aku bisa mengguna-guna Hantu Muka Dua. tapi dia
terlalu sakti…. Mungkin saatnya aku kembali mempergunakan Ilmu Bersalin Wajah.
Tapi Hantu Muka Dua sudah pernah tahu ilmuku itu Memang, tak ada jalan lain.
Dua perempuan itu harus cepat-cepat dibunuh. Selain itu aku harus cepat
menyirap kabar siapa-siapa saja mereka yang bercinta dengan Hantu Muka
Dua!"
*********************
3
Hantu
bara kaliatus ingat. Tadi ada selarik sinar Jingga berkelebat menamengi dan
menyelamatkan Luhsantini dari pukulan Selusin Bianglala Hitam yang
dilepaskannya. Serta meria dia memutar tubuh ke arah selatan. Empat buah bola
mata merah menyala lelaki itu membesar berkilat-kilat ketika dia melihat satu
pemandangan yang membuat darahnya menjadi panas dan tubuh menggeletar oleh
rangsangan.
Sejarak
lima tombak di hadapannya, di tepi kawah Gunung Latinggimeru tegak seorang
gadis berwajah cantik. Tubuhnya yang berkulit putih mulus terbungkus oleh
pakaian terbuat dari kulit kayu yang diberi jelaga berwarna ungu. Belum pernah
Latandai melihat gadis mengenakan pakaian sebagus dan sangat mempesona seperti
yang satu ini. Bagian punggung, ketiak, dada dan pinggul tersibak lebar hingga
empat bola mata Latandai menjadi silau.
Di tempat
itu tidak ada orang lain. Jangan-jangan gadis berpakaian Jingga inilah yang telah
melepaskan pukulan sakti menangkis pukulan Selusin Bianglala Hitam yang tadi
dilepaskannya untuk membunuh Luhsantini. Tadinya Latandai hendak mendamprat
marah bahkan siap menyerang. Namun melihat wajah begitu cantik, tubuh putih
mulus dan molek, hatinya langsung menjadi dingin. Terlebih ketika si cantik itu
menyapanya.
"Wahai
orang gagah di tepi kawahl Gerangan apakah yang membuat dirimu begitu marah
hingga unjukkan wajah membesi dan memukulkan satu tangan ke tangan
lainnya!"
Latandai
segera mendekati gadis berpakaian kulit kayu warna Jingga itu. Tiga langkah di
hadapan si gadis dia berhenti. Matanya semakin membesar. Perlahanlahan muncul
senyum di wajahnya yang garang. "Sungguh para Dewa memberikan berkah
sangat indah padaku. Di tempat seperti ini bagaimana mungkin aku bertemu dengan
seorang gadis secantikmu?"
"Kau
bukan saja gagah, ternyata sopan dan lembut dalam bertutur sapa…."
"Ah,
suaramu semerdu bebunyian yang dimainkan para Peri di langit ke tujuhl Aku
bernama Latandai. Berjuluk Hantu Bara Kaliatus. Wahai siapa kiranya engkau
gerangan?"
"Namamu
menunjukkan kejantanan. Julukanmu menandakan kedahsyatan! Tidak menyangka
kiranya aku akan berhadapan dengan seorang gagah dan pasti sakti
mandraguna…."
Cuping
hidung Latandai bergerak-gerak mendengar pujian yang diucapkan suara merdu dan
keluar dari mulut berbibir merah mempesona.
"Luar
biasa, kau memiliki empat bola mata, menjunjung bara api di atas kepala,
melekatkan bara api ke dada dan perut! kalau saja tidak takut hangus, ingin
rasanya aku berada lebih dekat denganmu…." Sambil berkata gadis itu
lemparkan senyum serta kerlingan mata yang membuat Hantu Bara Kaliatus semakin
merasa seperti d i kahyangan sehingga dia terlupa untuk menanyakan siapa adanya
gadis itu.
"Datanglah
mendekat, aku tidak akan menciderai wajah cantik dan tubuh sebagusmu…."
Si gadis
benar-benar melangkah mendekat. Tapi dua langkah dari hadapan Hantu Bara
Kaliatus dia hentikan tindakannya dan tertawa berderai.
"Orang
sakti memang sering menampilkan diri secara aneh dan berada di tempat aneh!
Tapi wahai Hantu Bara Kaliatus, jika aku boleh bertanya gerangan apa yang
membuat kau berada di pinggiran kawah Gunung Latinggimeru ini?"
"Kawah
ini memang jadi tempat kediamanku sejak beberapa bulan purnama. Tapi hari ini
adalah hari terakhir aku berada di sini…."
"Hemmm….
Aku bisa menduga!" kata si gadis seraya kembali kerlingkan matanya.
"Tempat ini adalah tempatmu melakukan samadi atau tempat menggembleng
diri. Jika hari ini kau selesai melakukan semua itu berarti kau akan kembali
pulang menemui anak istrimu…." Kata-kata terakhir diucapkan dengan nada
perlahan dan wajah membayangkan kesedihan.
"Aku
tidak punya istri, tidak punya anak!" jawab Hantu Bara Kaliatus.
"Wahai!
Harap maafkan diriku yang lancang menduga!" kata si gadis seraya mengusap
lengan Latandai yang penuh ditumbuhi bulu. Membuat lelaki ini jadi tambah
tenggelam dalam rangsangan hasrat yang berkobar-kobar. "Hai! Lenganmu
terasa panas…." Si gadis terpekik kecil.
"Aku….
Darahku menjadi panas melihat kecantikanmu!" kata Latandai tanpa
malu-malu. "Maukah kau ikut bersamaku…?"
"Ajakan
seorang gagah siapa berani menampik. Tapi kemanakah kau hendak
membawaku…?" Latandai jadi bingung sendiri. Lalu dia tertawa gelakgelak.
"Aku
jadi bodoh! Tidak tahu mau mengajakmu kemana…."
"Kemana
saja asal kau yang mengajak tentu aku suka…" kata si gadis pula dan tak
lupa dengan kerlingan mata genit yang membuat La tandai tambah terambung-ambung
seperti di awan! Tangan kanannya meluncur memegang lengan si gadis lalu
setengah berbisik dia berkata." Di lamping kawah sebelah sana ada sebuah
goa Di dalamnya ada satu telaga kecil. Hawa di sana sangat sejuk dan bersih.
Aku akan membawamu kesana…."
"Ah,
senang hatiku. Tapi aku ingin sedikit berlamalama di bawah sinar sang surya
yang baru terbit ini. Kuharap kau tidak marah. Sinar mentari sangat bagus Ituat
kulit perempuan sepertiku…."
"Apapun
yang kau katakan aku akan menurut. Tapi ada satu hal yang ingin
kutanyakan…."
"Kata
orang bertanyalah sebelum sesat dijalan. Hik…hik… hik!" Si gadis tertawa
hingga terlihat barisan gigigiginya yang putih berkilat serta lidahnya yang
merah dan basah, membuat Latandai tambah geregetan dan saat itu ingin memeluk
serta menciumnya.
"Mengapa
kau datang ke kawah ini…."
"Wahai
Hantu Bara Kaliatus, jangan kau bercuriga pada diriku. Tadi aku berada di
pinggiran kawah sebelah sana. Tiba-tiba kulihat ada sinar hitam dan sinar
Jingga bertabur di udara. Cepat-cepat aku ke sini. Sampai di sini sinar hitam
dan cahaya Jingga itu tidak kutemukan. Yang kulihat adalah seorang gagah
bernama Latandai berjuluk Hantu Bara Kaliatus!" Gadis itu kembali tertawa
merdu. Latandai ikutan tertawa senang. Lalu lelaki ini berbisik. "Kita ke
goa sekarang?"
"Hari
masih panjang, mengapa terburu-buru? Tapi jika kau memaksa biar aku mengalah!
Aku tak mau kau menjadi marah!"
Mendengar
ucapan si gadis segera saja Hantu Bara Kaliatus menarik tangannya.
"Tunggu
dulu!" si gadis berseru.
"Ada
apa…?" tanya Latandai.
"Apapun
yang akan kita perbuat di dalam goa itu kau harus berjanji! Jangan sampai bara
menyala di kepala, dada dan perutmu menyentuh diriku…."
"Aku
berjanji!" jawab Hantu Bara Kaliatus dengan suara keras. Hasratnya tambah
menggila dan dia benarbenar senang luar biasa karena tidak menduga akan bertemu
dengan seorang gadis jelita yang saat itu mau saja diajaknya masuk ke dalam
goa. Sambil memegang lengan si gadis Latandai mengajaknya berlari sepanjang
tepi kawah. Lelaki ini berlari kencang sekali dan bukan merupakan lari biasa.
Dia sama sekali tidak menyadari walau dia lari secepat itu tetapi si gadis di
sebelahnya mampu mengikuti!
"Wahai!
Goa ini benar sejuk dan indah bersih seperti yang kau katakan!" ujar si
gadis begitu mereka masuk ke dalam goa. Langsung saja dia dudukkan diri di
lantai goa dekat sebuah telaga kecil berair jernih kebiruan.
"Kalau
kita bisa sering-sering berada di tempat ini, hemmm…. Senang sekali
hatiku…."
Latandai
tertawa lebar lalu ikutan duduk di lantai. Dia sengaja merapatkan tubuhnya ke
pinggul si gadis.
"Sekarang
apa yang akan kita lakukan?!" bertanya gadis itu seolah-olah menantang.
Latandai
rangkulkan tangan kirinya di pinggang sang dara.
"Awas
bara menyala di kepala, dada dan perutmu! Hik… hik… hik!" memperingatkan
si gadis sambil tertawa genit.
"Jangan
khawatir, aku akan berhati-hati…" bisik Latandai.
"Astaga…!"
si gadis terpekik kecil.
"Ada
apa?" tanya Latandai.
Gadis itu
masukkan tangan kanannya ke balik dada pakaian kulit kayunya yang membuat
Latandai membeliak. Dari balik pakaiannya si gadis keluarkan dua buah benda
bulat sebesar kepalan berbulu halus.
"Aku
membawa dua buah kecapi hutan. Aku pernah memakannya! Rasanya manis sekali.
Satu untukmu, satu untukku! Ini kuberikan padamu yang besar karena kau orangnya
besar. Aku biar yang kecil. Ayo sama-sama kita makan!"
Gadis itu
bantingkan buah kecapinya kelantai hingga terbelah dua. Lalu sambil
senyum-senyum memandang pada Latandai dia segera menyantap buah kecapi yang
lombut putih dan manis itu. Latandai segera pula membuka buah yang dibelahnya
dengan remasan tangan.
"Kecapimu
manis…?" tanya si gadis.
"Hemmm…"gumam
Latandai sambil mengangguk.
Dia
cepat-cepat menghabiskan buah kecapi itu karena hasratnya tidak tertahankan
lagi. Begitu buah kecapi dimakan habis kembali dia merangkul tubuh si gadis. Tapi
belum sempat tersentuh tiba-tiba Latandai merasakan dadanya sesak,
pemandangannya gelap menghitam.
Nafasnya
tersendat. "Aku…." Dia hanya sanggup mengeluarkan satu patah ucapan
itu lalu tubuhnya terguling tertelentang di lantai goa.
Gadis
berpakaian jingga tertawa panjang. Dengan cepat dia memeriksa keadaan Latandai.
Setelah memastikan lelaki itu benar-benar pingsan maka tangan dan matanya
bekerja memeriksa bagian tubuh di sebelah bawah pusar Latandai. Sesaat kemudian
gadis itu menarik nafas panjang. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Hanya
ada satu tahi lalat di bawah pusarnya…" katanya perlahan. Sesaat dia duduk
termenung.
Dalam
hati kembali dia berkata. "Mendapatkan satu saja begini sulitnya.
Bagaimana mungkin aku sanggup mencari sampai tujuh orang? Wahai diriku yang
bernama Luhjelita, sulit sekali tugas yang kau pikul. Untuk mendapatkan satu
ilmu kau harus menempuh perjalanan berliku, menantang seribu bahaya…."
Gadis
yang menyebut dirinya Luhjelita ini menarik nafas panjang. Sesaat dia
perhatikan sosok Hantu Bara Kaliatus lalu mencibir. Dia bangkit berdiri.
Sebelum keluar dari goa dia tendang lebih dulu kaki kiri Latandai. Lalu
berkelebat pergi sambil tertawa cekikikkan. Di satu tempat gadis itu menyelinap
ke balik pohon-pohon besar tumbuh rapat berjejeran. Di balik pepohonan mendekam
seekor kura-kura raksasa berwarna coklat.
Tidak
seperti kura-kura biasa, binatang yang satu ini memiliki dua buah sayap yang
bisa dilipat dan direntangkan. Si gadis melompat naik ke atas kura-kura raksasa
lalu mengetuk punggung binatang ini tiga kati.
Kura-kura
keluarkan kepalanya, sayap di kiri kanan direntang lebar. Sesaat kemudian
binatang aneh ini melayang terbang di udara meninggalkan puncak Gunung
Latinggimeru. Sementara itu di dalam goa, tak lama setelah gadis berpakaian
jingga berlalu Hantu Bara Kaliatus mulai siuman. Dia keluarkan keluhan pendek.
Tubuhnya menggeliat. Sesaat kemudian dia bangun dan langsung melompat bangkit.
Empat bola matanya menyorot memandang berkeliling. Dia lari ke mulut goa.
Memandang ke seantero kawah Gunung Latinggimeru.
"Aku
tertipu!" ucap Hantu Bara Kaliatus sadar. "Gadis jahanam! Aku ingat
sekarang! Gadis itu berpakaian warna jingga! Cahaya sakti yang tadi melesat di
udara menyelamatkan Luhsantini juga berwarna jingga! Jangan-jangan dia yang
punya perbuatan menolong Luhsantini! Kurang ajar! Aku tertipu oleh kecantikan
dan keelokan tubuh serta tutur bicaranya yang pandai merayu! Waktu lari tadi….
Gila! Mengapa sekarang aku baru sadari Aku berlari sekencang angin! Dan dia
mampu mengikuti aku!" Hantu Bara Kaliatus bantingbanting kakinya.
"Kalau bertemu akan kukuliti sekujur tubuhnya!"
Saking
marahnya Hantu Bara Kaliatus tendang batu di mulut goa hingga hancur
berantakan.
*********************
4
GEMURUHNYA
ARUS SUNGAI TERASA menyeramkan di telinga Wiro. Naga Kuning dan Setan Ngompol
yang berada di atas telapak tangan kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri saat itu
duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam sepasang kakinya yang
terbungkus dua batu besar berbentuk bola yang di seantero Negeri Latanahsilam
kini telah dikenal dengan sebutan Bola Bola Iblis. Bahkan banyak pula yang
menjuluki Lakasipo sebagai Hantu Kaki Batu. Sejak dia membunuh Lahopeng, pemuda
jahat yang hendak mencelakai dirinya, penyebab kematian istrinya Luhrinjani
serta perampas kedudukannya sebagai Kepala Negeri Latanahsilam, hampir seluruh
penduduk menginginkannya kembali menjadi Kepala Negeri. Namun Lakasipo telah
kepalang kecewa. Walau kini dia telah meninggalkan Latanahsilam dia belum tahu
kemana dia hendak pergi. Sementara itu rasa suka dan persahabatannya terhadap
Wiro dan dua kawannya semakin terasa erat. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Bola Bola Iblis")
Lakasipo
memetik selembar daun di tepi sungai. Ketiga orang itu diletakkannya di atas
daun, lalu daun itu diturunkannya ke air. Dengan ukuran tubuh mereka yang kecil
maka bagi Wiro dan dua temannya daun itu sama besarnya dengan sebuah rakit.
Begitu berada di atas air daun segera dihanyutkan arus.
"Hai!
Hendak kau apakan kami?!" teriak Wiro. Naga Kuning mencengkeram daun
sekuat-kuatnya sementara Setan Ngompol Jatuhkan diri tertelentang sambil
menahan kencing.
Lakasipo
tertawa lalu mencebur masuk ke dalam sungai hingga daun di mana Wiro dan
kawan-kawan berada terlempar ke atas bersama muncratan air tak ampun lagi
ketiganya amblas masuk ke dalam air. Sambil tertawa-tawa Lakasipo selidupkan
tangan kirinya ke dalam air, menangkap ketiga orang yang sudah megap-megap itu.
"
"Dia hendak membunuh kita!" teriak Naga Kuning dengan muka
pucat."
"Bagaimana
kau bisa berbuat sejahat ini Lakasipo?!" ujar Setan Ngoropol seraya
mengusap wajah yang basah dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan
bagian bawah perutnya yang tak dapat lagi menahan kencing.
"Lakasipo
apa maksudmu rnembenamkan kami ke dalam air?" Wiro akhirnya ikut bertanya.
Lakasipo
dekatkan telapa tangan kiri ke mukanya.
"Selama
beberapa hari ini kita berempat tak pernah mandi-mandi. Kebetulan bertemu
sungai airnya jernih, bersih dan sejuk. Apa salahnya pergunakan kesempatan
untuk mandi wahai tiga kawanku? Apalalagi kawanmu kakek bermata jereng
berkuping lebar ini. Bau Pesingnya sudah tidak ketelengan!"
"Kalau
kau memang mau memandikan kami bukan begini caranya! Kami bertiga bisa mati
tenggelam!" ujar Setan Ngompol lalu mengomel panjang pendek.
"Air
sungai bagimu sejuk tapi bagi kami sama saja tenggelam dalam es! Kami bertiga
bisa mati kedinginan!" teriak Naga Kuning.
"Kalian
bertiga memang makhluk seperti kutu cebol. Tapi aku tahu kalian memiliki ilmu
kepandaian tinggi! Anggap saja kalian sedang mendapat gemblengan!"
kata
Lakasipo lalu tertawa gelak-gelak hingga ketiga orang itu terbanting di atas
telapak tangannya dan dekap, telinga masing-rnasing agar tidak kesakitan.
"Saatnya,
kita melanjutkan perjalanan kata Lakasipo kernudian. Lalu dia bersuit keras..
Laekakienam, kuda hitam raksasa berkaki enam yang jadi tunggangan Lakisipo dan
saat itu! tengah mahdi di sebelah hilir. segera melompat dan berenang
rnendapatkan tuannya. Suara binatang ini merancah air sungai membuat Wiro dan
kawan-kawannya menahan nafas karena ngeri sementara air..sungai bermuncratan
kian kemari laksana sambaran-ombak.
"Tunggu
dulu Lakasipo!" berkata Wiro. "Kau mau bawa,kami kemana?”
“ Wahai
Wiro, bukankah aku sudah mengatakan Padamu dan Naga Kuning serta Setan Ngompol
bahwa akan membawamu ke Bukit Latinggihijau untuk melihat makam istriku?!"
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya. "Kami memang senang kau bawa ke sana,"
katanya menyahuti walau dalam hati dia berkata, "kenal saja aku tidak
pernah. Lagipula pada akhir hayatnya perempuan itu mengkhianati Lakasipo. Perlu
apa pergi ke sana?" Wiro lalu berkata lagi "Tapi Lakasipo! Sebelum
pergi ke Bukit Latinggihijau bagaimana kalau kita mencari dulu Batu Sakti
Pembalik Waktu yang hilang itu?"
"Ah,
kau tidak kerasan lama-lama di Latanahsilam "Bukan begitu. Kami suka
tinggal di sini. Tapi alam sini sangat berbeda dengan alam kami di tanah Jawa.
Marabahaya senantiasa membayangi kami dan muncul tidak terduga. Bukan.karena
orang-orang di sini ingin mencelakai karni, tapi karena keadaan tubuh kami
kecil begini yang menjadi sumber malapetaka! Bayangkan kalau kami sampai dipatuk
burung atau ayam raksasa, atau dirubung semut atau disengat tawon. Bayangkan
kalau kami sampai terinjak anjing atau kambing atau jadi permainan kucing,
dicakar dan digigit!"
"Kalian
bertiga tak perlu khawatir wahai para kutu Cebol sobat-sobatku! Bukankah aku
akan melindungi dan membawa kalian bertiga kemana aku pergi?"
"Aku
percaya pada dirimu Lakasipo. Tapi kami lebih suka jika bisa kembali ke alam
kami…" kata Naga Kuning pula. "Antarkan kami ke kawasan rerumputan
itu mencari. Batu Sakti Pembalik Waktu.!"
"Kita
sudah pernah ke sana. Kalian sendiri dan juga aku telah menyelidik. Tapi batu
tujuh warna itu tidak ditemukan…."
"Batu
itu pasti ada di sana. Kita mencarinya terburuburu saat itu. Karena, hampir
malam!" kata Setan Ngompol.
Lakasipo
gelengkan kepala. "Betapapun kecilnya benda itu, walau hari hampir gelap
tapi mataku tak bisa ditipu. Aku pasti akan menemukannya jika batu itu
benar-benar ada di sana…."
“Kalau
kau memang bersahabat dengan kami, kau harus mau mengantarkan kami ke sana.
sekali lagi. Kita habiskan satu hari penuh untuk mencari batu itu!" kata
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lakasipo
menyeringai. "Persahabatan bukan berarti harus melakukan sesuatu yang
mustahil wahai sobatku Wiro Sableng. Kita pergi ke Bukit Latinggihijau dulu.
Soal batu itu kita urus kemudian…."
Lakasipo
mengusap kepala kuda hitam berkaki enam yang kini tegakdi sampingnya. Ketika
dia hendak, naik ke punggung binatang ini Wiro berkata. "Lakasipo, tunggu!
Kalau kau tidak mau mengantarkan kami ke kawasan rerumputan itu, apa kau juga
tidak mau menolong kami mencari Hantu Tangan Empat?"
"Makhluk
satu ini…. Dia sulit sekali dicarinya, wahai Wiro."
"Seluas-luasnya
Negeri Latanahsilam ini Hantu Tangan Empat pasti punya tempat kediaman. Kalau
kita pergi ke sana masakan tidak bertemu?!" berkata Naga Kuning.
"Kalian
bertiga tidak tahu siapa adanya Hantu Tangan Empat. Dia jarang berada di tempat
kediamannya. Selain itu dia berada di bawah pengaruh Hantu Muka Dua yang selalu
memberinya perintah ini itu. Kalau dia pergi bisa satu dua tahun. Apa yang bisa
kalian harapkan?"
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Setan Ngompol.berbisik.
"Aku
yakin satu tahun di negeri celaka ini tidak sama dengan satu tahun di negeri
kita. Mungkin satu atau dua tahun di sini hanya satu atau dua bulan saja di
alam kita. Buktinya orang di sini bisa berusia sampai tiga ratus tahun!"
Saat rtu
Lakasipo telah melompat naik ke punggung kuda hitam kaki enam. Sebelum dia
memasukkan ketiga orang itu ke dalam kocek jerami di pinggang kanannya Naga
Kuning berseru.
"Lakasipo!
Bagaimana kalau aku tidak ikut kau tapi antarkan saja mencari seorang anak
perempuan…."
"Seorang
anak perempuan?" Lakasipo mengulang heran. Sementara Wiro dan Setan
Ngompol memandang lekat-lekat penuh tanda tanya pada si bocah.
"Memangnya
kau ada kenalan anak perempuan di Latanahsilam ini? Aku tidak tahu. Tidak aku
mengerti! Anak siapa, anak yang mana?"
"Aku
melihat anak itu di tepi tanah lapang luas. Sewaktu terjadi perkelahian antara
kau dengan Lahopeng," menerangkan Naga Kuning.
"Kau
ini aneh Naga Kuning. Ada puluhan bahkan ratusan anak perempuan di negeri yang
luas ini. Kau tahu nama anak itu? Kau ini ada-ada saja Naga Kuning. Bocah
sebesarmu sudah tahu perempuan!" Wiro hendak mengatakan sesuatu tapi Naga
Kuning cepat kedipkan mata sambil berbisik. "Jangan kau berani membuka
rahasia sobat sendiri Wiro!" ucapan itu membuat murid Sinto Gendeng jadi
garuk-garuk kepala. Naga Kuning pencongkan mulut lalu berkata menjawab
pertanyaan Lakasipo tadi. "Aku hanya kenal muka, tapi tidak kenai nama
anak itu…."
"Mungkin
aku bisa membantu!" tiba-tiba Setan Ngompol berkata. "Aku juga memang
tidak tahu nama anak perempuan itu. Tapi aku ingat betul ciri-cirinya!"
"Hemm….
Coba kau beri tahu aku ciri-ciri anak itu wahai kakek mata jereng kuping
lebar!" kata Lakasipo pula.
Setan
Ngompol menyeringai. Dia mengerling dulu pada Naga Kuning baru menjawab.
"Anak perempuan itu seingatku hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu di
sebelah bawah. Di sebelah atas polos. Dadanya lumayan montok. Sekujur tubuhnya
penuh koreng. Lalu di atas bibirnya ada dua jalur ingus yang mengambang terus
menerus. Naik kalau disedot, turun lagi kalau dibiarkan…."
“Tua
bangka bermulut jahat!" teriak Naga Kuning seraya menarik kolor si kakek
ke bawah hingga auratnya menongol! "Bukan gadis itu yang aku maksudkan!"
"Bocah
kurang ajari Kau boleh marah! Tapi jangan main tarik kolorku! Lihat! Terong
peot dan kantong menyanku berojolan kemana-mana!" Setan Ngompol marah
sekali dan cepat-cepat tarik kolor bututnya ke atas.
Sambil
menahan tawa Lakasipo berkata. "Naga Kuning, kalau kau masih ingat
ciri-ciri gadis itu, katakan padaku."
"Anaknya
putih. Rambutnya dikuncir kepirangpirangan. Dia memiliki sepasang kaki yang
bagus. Pahanya putih sekali. Pakaiannya agak tersingkap di bagian dada. Aku
benar-benar tidak bisa melupakannya! Aku ingin sekali bertemu lagi dengan dia.
Ah…."
"Bocah
ini sudah ketiban sakit mala rindu tak tahu juntrungan!" Setan Ngompol
mengejek. ‘Tapi sebagai sahabat yang nyasar ke negeri asing, aku tidak
keberatan menemaninya…."
"Apa
maksudmu kakek cebol?’ tanya Lakasipo.
"Kalau
bocah ini melihat anak perempuan itu, aku juga melihat sorang nenek berbadan
molek. Dia mengenakan pakaian kulit kayu yang dililit sepanjang badan. Di
sebelah atas pakaiannya itu seperti kemben. Kulihat ternyata dadanya putih dan
masih kencang. Hik… hik… hik!"
"Di
Latanahsilam hanya ada satu nenek seperti yang kau sebutkan itu. Namanya
Luhlampiri. Dia sudah kawin sembilan kali. Setiap kawin suaminya menemui ajal
dalam waktu tiga puluh hari!"
Setan
Ngompol terkejut dan langsung terkencing mendengar keterangan Lakasipo itu
sementara Wiro senyum-senyum dan Naga Kuning tertawa haha-hihi sambil cibirkan
bibir.
"Kau
masih ingin mengincar nenek itu, wahai sobatku Setan Ngompol?!" bertanya
Lakasipo.
"Aku
terpaksa berpikir dulu sampai tujuh kali. Tapi kalau cuma sekadar bertemu saja
apa salahnya! Bermain cinta tapi tak perlu kawin! Apa ada aturan yang melarang
perbuatan seperti itu di Negeri Latanahsilam ini, wahai sobatku Lakasipo?"
bertanya Setan Ngompol.
"Tidak,
memang tidak ada aturan yang melarang wahai Setan Ngompol. Juga tidak ada
aturan yang melarang kalau satu ketika, akibat kelakuanmu itu terong peot dan
kantong menyanmu tahu-tahu pindah ke jidat!" Lakasipo tertawa gelak-gelak
yang membuat tangan kanannya berguncang-guncang hingga Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol yang ada di atas telapak tangan itu berjatuhan tumpang tindih.
Naga
Kuning yang masih penasaran pada Setan Ngompol cepat bangkit dan berkata.
"Setan Ngompol! Kalaupun nenek bernama Luhlampiri itu mau dikawin olehmu,
apa yang bisa kau lakukan dengan terong peotmu yang baginya cuma sebesar jarum
karatan! Sekali kau kena kentutnya, anumu bisa mental dan remuk tak karuan
rupal Hik… hik… hik!"
Setari
Ngompol jadi naik darah. Dia membentak marah. Namun sebelum ucapannya keluar
dia sudah tcrkencing duluan!
"Wahai
kalian bertiga para sahabatku! Saatnya untuk berangkat ke Bukit Latinggihijau.
Kalian akan kumasukkan dulu ke dalam kocek jerami." Baru saja Lakasipo
hendak membuka penuiupkocek di pinggang kanannya tiba-tiba ada satu sosok besar
melesat keluar dari hutan di seberang sungai. Gerakan makhluk itu membuat dua
pohon besar yang terlanggar tubuhnya berderak patah dan bertumbangan. Dilain
kejap makhluk ini telah berdiri tegak di atas sebuah batu besar di tengah
sungai.
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol Langsung tercekat pucat menyaksikan sosok yang
berada di tengah sungai itu. Bahkan Lakasipo ikut tersirap kaget.
"Berulang
kali aku mendengar ceritanya. Baru sekali ini aku menyaksikan dengan mata
kepala sendiri! Benarbenar mengerikan…" kata Lakasipo dengan hati
bergetar.
*********************
5
SOSOK
YANG TEGAK DI ATAS BATU BESAR DI tengah sungai bukan lain adalah Latandai alias
Hantu Bara Kaliatus. Sepasang matanya masingmasing memiliki dua bola mata
berwarna merah seperti bara menyala menatap angker ke arah Lakasipo. Saat itu
Lakasipo masih duduk di atas punggung Laekaki enam kuda tunggangannya yang
berkaki enam. Sementara Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol masih berada dalam
genggaman tangannya, belum sempat dimasukkan ke dalam kocek jerami.
"Makhluk
apa ini gerangan…" kata Naga Kuning.
"Kepalanya
seperti pendupaan! Ada bara menyala!"
menjawab!
Wiro. Sementara Setan Ngompol berdiam diri sambil menekap bagian bawah perutnya
karena ngeri melihat sosok Hantu Bara Kaliatus. Udara di sekitar sungai yang
tadinya sejuk kini berubah menjadi panas oleh hawa yang keluar dari bara
menyala di kepala dan tubuh Hantu Bara Kaliatus.
"Lihat
matanya!" Naga Kuning kembali berucap.
"Setiap
mata ada dua bola mata!"
"Ya,
aku juga sudah melihat. Jangan-jangan makhluk ini punya empat biji di kantong
menyairnya!" kata Wiro pula sambil tertawa cekikikan.
"Kalian
jangan bergurau saja!" membentak Setan Ngompol. "Aku punya firasat
bahaya besar mengancam Lakasipo, berarti mengancam kita bertiga!"
"Wahai
orang berkaki batu berkuda kaki enam!"
Hantu
Bara Kaliatus berseru dari tengah sungai. "Walau rambutmu gondrong
riap-riapan, muka tertutup kumis, Janggut dan cambang bawuk tebali Tapi aku
masih mengenali siapa dirimu! Dan aku memang sudah lama mencarimu I Bukankah
kau manusianya yang bernama Lakasipo dan kini dijuluki Bola Iblis alias Hantu
Kaki Batu?."
Lakasipo
tidak segera menyahut. Dia perhatikan sekali orang di tengah sungai itu.
"Lama sudah kudengar kedahsyatan keadaan dirimu! Jika aku tidak salah
menduga bukankah kau Latandai, kerabat dari Latanahsilam yang kini terkenal
dengan julukan Hantu Bara Kaliatus?!"
Hantu
Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Dulu kita sama-sama tinggal di
Latanahsilam, saling bersahabat saling berkerabat! Tapi keadaan kini telah
menentukan lain! Aku memanggul tugas membunuh dirimu Lakasipo!"
Terkejutlah
Lakasipo mendengar ucapan Hantu Bara Kaliatus itu. Dalam genggamannya Setan
Ngompol langsung terkencing. Naga Kuning gemetaran sedang Wiro walaupun tampak
tenang tapi hatinya jadi berdebar. Jika terjadi perkelahian antara Lakasipo
dengan orang yang kepala dan tubuhnya dipenuhi bara menyala itu, niscaya
keselamatan mereka ikut terancam.
"Latandai,
hampir delapan puluh tahun kita tidak pernah bertemu! Sekali bersua kau berniat
hendak membunuhkul Siapa yang memberi tugas gila itu padamu! Mengapa dia
menginginkan jiwaku?!" tanya Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan suara
lantang.
"Aku
tidak ditugaskan untuk bertanya jawab. Tapi mungkin aku bisa memperpanjang saat-saat
kematian mu. Asalkan kau bersedia menjawab pertanyaanku!"
"Manusia
gendeng! Hendak membunuh orang tapi mau bertanya dulu!" memaki Naga
Kuning.
"Hantu
Bara Kaliatus! Belum pagi berganti sore ucapanmu sudah ngaco bertolak belakang!
Tadi kau bilang tidak ingin bertanya jawab. Tapi sekarang kau mau mengajukan
pertanyaan!"
Tampang
Hantu Bara Kaliatus jadi berubah. Bara api di atas kepalanya mengepulkan asap
merah. Tidak mengacuhkan ejekan Lakasipo dia berkata. "Aku mencari seorang
bernama Lasingar. Aku juga mencari seorang perempuan bernama Luhsantini.
Terakhir sekali aku bertemu orang-orang itu sekitar seratus tahun lalu. Lalu
ada seorang lelaki bernama Lamatahati yang usianya sekitar delapan puluh
tahunan. Di mana mereka sekarang, apakah kau bisa memberi tahu?"
"Aku
pernah mendengar sedikit riwayatmu di masa lalu. Luhsantini bukankah dia
istrimu dan Lamatahati bukankah dia anakmu? Aku menaruh curiga kau punya niat
jahat terhadap kedua orang itu. Juga terhadap Lasingar! Aku tak mungkin memberi
tahu! Apalagi kau punya maksud hendak membunuhku!"
Hantu
Bara Kaliatus perlihatkan wajah sedih. "Yang lalu biarlah berlalu. Walau
bagaimanapun Luhsantini adalah istriku. Lamatahati adalah anakku dan Lasingar
adalah kerabatku! Aku rindu ingin bertemu dengan mereka."
Lakasipo
terdiam beberapa ketika. Akhirnya dia menjawab. "Istrimu kudengar kabar
menyepi diri di satu tempat di sebuah pertapaan di sebelah selatan Gunung
Labatuhitam. Lasingar kalau tak salah menetap di Bukit Latinggibiru. Mengenai
anakmu Lamatahati tidak pernah kuketahui. Mungkin dia berada di alam lain
sebelum kita atau alam seribu dua ratus tahun setelah kita."
Hantu
Bara Kaliatus tatap muka Lakasipo beberapa saat seolah hendak meneliti apakah
keterangannya bisa dipercaya. Kemudian manusia ini sunggingkan seringai.
"Wahai Lakasipo! Ternyata kau tidak bakal mati sia-sia! Kau mati dengan
menanam budi padaku! Semoga para Dewa dan para Peri memberikan tempat paling
hnflua begini di alam atas langit! Tiba saatnya aku membunuhmu wahai Hantu Kaki
Batu"
Habis berkata
begitu Hantu Bara Kaliatus sentakan lehernya. Kepalanya bergoyang keras. Sebuah
bara menyala melesat dari atas kepala orang ini, menyambar ke arah kepala
Lakasipo. Secepat kilat Lakasipo tundukkan kepala. Melompat ke kiri, mencebur
ke dalam sungai. Bara menyala lewat setengah jengkal disamping paha kirinya,
menebar hawa panas yang sempat menghanguskan cambang bawuknya. Bara menyala
sesaat kemudian menghantam sebuah batu besar di tepi sungai sehingga meledak
dan hancur berkeping-keping!
Hantu
Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Gerakanmu lumayan cepat Hantu kaki Batu.
Aku ingin melihat kehebatan sepasang kaki batumu!"Hantu Bara Kaliatus lalu
sentakkan otot di perutnya. Dua buah bara menyala melesat menyerang Lakasipo.
Lebih cepat dan lebih ganas! Lakasipo yang masih berada dalam sungai membentak
keras lalu melesat ke udara. Pada saat dua bara menyala menyambar dan hanya
tinggal satu langkah dari perut dan dadanya, Lakasipo tendangkan kedua kakinya.
"Byaaarrr!"
"Byaaarrr!"
Percikan
lidah api mencuat di atas sungai. Membakar daun-daun pepohonan. Lakasipo
terdorong keras ke belakang tapi masih sanggup menjejakkan dua kaki batunya di
tepi sungai. Rasa sakit menjalar dari kaki sampai ke pinggang. Kalau tidak
cepat mengimbangi diri dan pasang kuda-kuda niscaya dia akan jatuh terhenyak di
tanah. Di atas batu di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus tegak dengan tubuh
tergontaigontai. Sesaat mukanya seolah tak berdarah ketika menyaksikan
bagaimana dua bara yang dihantamkannya ke arah lawan hancur berantakan
ditangkis Bola Bola Iblis di kaki Lakasipo!
Lakasipo
sendiri tampak berkerut keningnya ketika melihat bagaimana hantaman dua keping
batu bara merah yang hanya sebesar ibu jari kaki itu membuat dua kakinya yang
terbungkus batu laksana dirajam dalam api. Ketika dia memperhatikan ternyata
dua batu di kakinya telah gompal! Padahal selama ini tidak satu senjata atau
kekuatan sakti puri sanggup merusak dua batu bulat itu!
Mendadak
Lakasipo merasa ada tusukan halus di tangan kanannya. Tusukan itu sebenarnya
adalah gigitan yang dilakukan Wiro untuk menarik perhatian Lakasipo. Hal ini
menyadarkan Lakasipo bahwa sampai saat itu dia masih menggenggam ketiga orang
Itu di tangan kanannya. Wiro lambaikan tangan berulang kali. Melihat tanda ini
Lakasipo segera dekatkan tangan kanannya ke telinga. Wiro cepat membuka mulut.
"Lakasipo!
Lekas masuk kedalam sungai. Manusia bara menyala itu pasti tidak berani
mengejar. Seluruh bara menyala di kepala dan tubuhnya pasti akan mati kena air.
Di dalam air kau punya kesempatan bertahan dan menyerang!"
"Kau
cerdik!" ujar Lakasipo. Lalu sambil terus menggenggam Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol dengan cepat dia mencebur masuk ke dalam sungai. Air sungai
muncrat sampai beberapa tombak. Wiro dan dua temannya yang masih berada dalam
genggaman tangan kanan Lakasipo jadi gelagapan begitu mereka ikut tenggelam
masuk ke dalam air.
Di atas
batu di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus menyeringai lebar. "Aku tahu apa
yang ada di benakmu Hantu Kaki Batu! Kau kira aku takut turun ke air! Aku masih
belum puas kalau tidak menjajal seluruh kesaktianmu sebelum menamatkan
riwayatmu!" Setelah berucap Hantu Bara Kaliatus lantas melompat masuk ke
dalam sungai.
"Byuuurrr!"
Sosok
Hantu Bara Kaliatus lenyap di dalam air. Di permukaan sungai mengepul asap
kelabu. Tiba-tiba sosok Hantu Bara Kaliatus muncul kembali. Astaga! Semua bara
menyala yang ada di atas kepala dan menempel di tubuhnya ternyata masih
menyala! Tidak mati walau terkena air!
"Hantu
Kaki Batu! Perlihatkan kehebatanmu!"
Hantu
Bara Kaliatus tanggalkan sebuah bara menyala dari atas kepalanya. Sesaat bara
itu ditimangtimangnya. Di saat yang sama Lakasipo ingat akan orang-orang yang
ada di tangan kanannya. Dengan cepat dia keluarkan tangan kanan dari dalam
sungai. Wiro dan Naga Kuning muntah-muntah semburkan air. Setan Ngompol muntah
atas bawah. Walau keadaannya saat itu megap-megap seperti orang mau sekarat
tapi Wiro masih sempat mengintip dari sela jari Lakasipo dan dia menyaksikan
sendiri bagaimana bara menyala di kepala dan tubuh lawan tidak menjadi mati
walau terkena air!
"Lakasipo….
Huekkk!" Wiro muntah lagi. "Sulit bagimu mengalahkan makhluk bara
itu. Kau harus menyelinap ke belakangnya. Totok urat besar dipangkal leher
sebelah kanan. Tubuhnya pasti kaku tak bisa bergerak!"
"Kau
memang pernah bilang mengenai ilmu totok itu! Tapi mana aku paham
melakukannya!" jawab Lakasipo seraya mendekatkan tangan kanannya ke dekat,
kepala.
"Luruskan
dua jari tangan kirimu! Kerahkan tenaga dalam lalu tusukkan ke pangkal leher!
Ingat, aku pernah menunjukkan caranya beberapa hari lalu! Kau harus melakukan
sekarang sebelum dia menyerang!"
Apa yang
dikatakan Wiro tidak mudah bagi Lakasipo melakukannya. Bukan saja karena dia
tidak pernah mengenal ilmu totokan itu tetapi saat itu Hantu Bara Kaliatus
telah melemparkan bara api yang tadi ditimang nya di tangan kanan.
"Wuussss!"
Batu bara
menyala seolah berubah menjadi sinar merah panjang, melesat di atas permukaan
air sungai menyambar ke arah dada Lakasipo. Lakasipo membuang dirinya ke
samping sambil melepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit Lima larik sinar hitam
berkiblat memapasi sambaran bara menyala.
"Taar!
Taarr! Taarr! Taarr! Taarr!"
Lima
letusan keras menggetarkan udara. Sinar hitam dan kilatan nyala api bertaburan.
Air sungai bergejolak ke atas antara dua lawan yang tengah bertempur itu hingga
untuk beberapa saat lamanya mereka tak dapat saling melihat. Lakasipo merasa
sakit dan panas pada pinggang sebelah kiri. Namun tidak diacuhkannya karena dia
ingin mempergunakan kesempatan untuk melakukan apa yang diberitahu Wiro tadi.
Yakni menotok tubuh lawan. Tapi celakanya Lakasipo lupa bagian mana dari tubuh
Hantu Bara Kaliatus yang harus ditotoknya. Sebelum tubuhnya masuk ke dalam air
dia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan bertanya. "Wiro, bagian mana
dari tubuh Hantu Bara Kaliatus yang harus aku tutuk!"
Saat itu
dalam genggaman tangan kanan Lakasipo Wiro terjepit di sebelah bawah. Walau dia
bisa mendengarpertanyaan Lakasipo namun dia tak bisa menjawab.Sebaliknya Naga
Kuning berada di sebelah atas antara dua celah jari tangan. Enak saja bocah ini
berteriak.
"Totok
saja selangkangannya sebelah kanan! Kau harus menyelami Lakukan cepat sebelum
muncratan air turun!"
*********************
6
TANPA
PIKIR PANJANG LAKASIPO SEGERA menyelam lalu bergerak cepat mendekati lawan
dengan dua jari tangan kiri terpentang lurus. Hantu Bara merasa dan mendengar
ada herrtakanhentakan keras di dasar sungai yakni hentakan Bola Bola Iblis atau
dua kaki Lakasipo yang terbungkus batu. Ketika dia menyadari lawan menyusup
dalam air dan mendekatinya dengan cepat keadaaan sudah kasip.
Tubuh
Hantu Bara menggeletar ketika satu tusukan keras menghantam pangkal paha kanan
sebelah atas!
Hantu
Bara Kaliatus pukulkan tangan kanannya ke dalam air namun Lakasipo telah lebih
dulu menyelinap. Sesaat kemudian dia melesat ke tebing sungai dan berlindung di
balik sebuah batu besar. Dari balik batu itu dia memperhatikan apa yang terjadi
atas diri Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Pada saat bersamaan Lakasipo
ingat lagi akan tiga sahabatnya yang terbawa menyelam dan masih berada dalam
genggaman tangan kanannya. Cepat-cepat Lakasipo buka tangannya lalu meletakkan
ketiga orang itu di tanah.
"Celaka….
Jangan-jangan mereka mati semua. Wahai sahabatku!" kata Lakasipo dalam
hati sewaktu dilihatnya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tak satupun yang
bergerak! Lakasipo cepat tengkurapkan ketiga orang itu. Lalu hati-hati dan
perlahan sekali, dengan mempergunakan ujung jarinya ditekannya punggung dan
pantat ketiga orang itu. Air sungai yang memenuhi perut Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol menyembur keluar. Sesaat kemudian ketiganya tampak menggerakkan
kaki dan tangan. Walau mereka masih tertelungkup begitu rupa dan nafas agak
megap-megap namun masing-masing sudah bisa membuka mata hingga menyaksikan apa
yang terjadi dengan diri Hantu Bara Kaliatus seperti yang juga disaksikan oleh
Lakasipo.
Saat itu
di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus berhasil menguasai diri hingga getaran
yang menjalari tubuhnya segera lenyap. Namun begitu getaran hilang tiba-tiba
dia merasakan ada satu kelainan pada bagian tubuh di bawah perut. Rasa berat
yang amat sangat. Saat itu dia tidak lagi ingat untuk mencari tahu di mana
adanya Lakasipo. Terbungkuk-bungkuk orang ini merambah air. menuju tepian
sungai lalunaik ke daratan.
Begitu
sampai di dataran dan memandang kebawah. Seruan tertahan keluar dari mulut
Hantu Bara Kaliatus!
Matanya
membeliak seperti mau melompat dari sarangnya sedang mukanya pucat memutih!
Celana yang dikenakan Hantu Bara, yang terbuat dari kulit kayu robek besar di
bagian bawah perut. Dari robekan itu mencuat keluar anggota rahasianya yang
telah berubah bentuk menjadi bengkak membesar!
"Demi
para roh!" jerit Hantu Bara Kaliatus. "Apa yang terjadi dengan
diriku! Wahai para Dewa dan Peri! Tolong diriku!" Setengah meratap Hantu Bara
sambar serumpunan dedaunan lalu ditutupi auratnya dengan daun-daun itu.
Di balik
batu Pendekar 212 Wiro Sableng,. Naga Kuning dan Setan Ngompol berusaha bangkit
dari saling pandang.
"Kau
lihat barusan anunya Hantu Bara…?" tanya Setan Ngompol pada Wiro.
Wiro
mengangguk.
"Aku
heran apa yang terjadi atas dirinya. Sampai kantong menyannya bengkak besar
begitu rupa. Dan bukan cuma kantong menyannya saja! Tongkat Gandaruwonya
juga…" Setan Ngompol tidak teruskan ucapannya.
Kakek
bermata jereng ini melirik pada Naga Kuning lalu mengerling ke arah Wiro.
"Hemmmm…" Setan Ngompol bergumam. "Ini pasti pekerjaan salah
satu dari kalian! Memberi kisikan gila pada Lakasipo! Kalau tidak ada yang
menotok urat sembung di selangkangannya tidak nanti dia jadi begitu. Lihat, berdiri
saja dia seperti tidak mampu. Yang di bawah bengkak membesar. Yang di atas
menunjuk kurang ajar!"
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. "Aku memang mengajari Lakasipo untuk menotok. Tapi
menotok urat besar di leher atas! Bukan di leher bawah!"
"Hik…
hik… hik!" Naga Kuning tekap mulutnya menahan ketawa.
"Bocah
geblek! Pasti kau yang mengajari!" kata Setan Ngompol pula pada Naga
Kuning. Saat itu Lakasipo rundukkan kepalanya ke tanah.
Perlahan
sekali dia berkata. "Wahai Naga Kuning, kalau kita tidak membebaskan
tutukan…."
"Totokan!
bukan tutukan!" sergah Naga Kuning tapi sambil senyum-senyum.
‘Terserah!
Kau menyebut totokan, aku tutukan. Karena totokan dalam bahasa di Negeri
Latanahsilam berarti payudara perempuan!"
Setan
Ngompol tertawa cekikikan hingga kencingnya terpancar. Wiro garuk-garuk kepala
sambil menyengir sedang Naga Kuning tertawa terpingkal-pingkal.
"Kalau
kita tidak membebaskan tutukannya, seumur-umur dia akan menderita seperti
itu…."
"Dia
perlu celana baru yang gombrang di sebelah bawah! kata Wiro. "Atau
sarung!"
"Mana
ada sarung di negeri gila ini!" tukas Setan Ngompol.
"Siapa
yang berani menolongnya?! Sekali mendekat pasti mati kita dihantamnya!"
kata Naga Kuning.
"Lakasipo,
bukankah kau yang menotok selangkangannya? Jadi kalau kau mau berbaik hati kau
saja yang melepas totokannya. Tusuk sekali lagi selangkangannya! Hik… hik…
hik!"
Saat itu
Hantu Bara Kaliatus duduk tergeletak di tanah. Dia tak habis pikir apa yang
terjadi dengan dirinya. Memandang berkeliling dia tidak melihat siapasiapa.
Tapi hatinya mulai curiga. Tertatih-tatih orang ini bangkit berdiri. Sambil
melangkah pergi dia berkata.
"Lakasipo
manusia jahanam! Akan kucari kau sampai ke ujung dunia! Pasti kau yang punya
pekerjaan! Jahanam!" Saking marahnya Hantu Bara tinggalkan dua bara
menyala dari perutnya lalu di lemparkan ke depan. Dua bara menyala ini
menghantam, pohon besar. Begitu tembus masuk ke batang pohon, pohon ini meledak
dan tumbang hancur berentakan.
"Siapa
sebenarnya makhluk yang mata dan tubuhnya ditempeli bara menyala itu?!"
Naga Kuning bertanya.
"Panjang
ceritanya wahai tiga saudaraku! Tapi jika kalian ingin tahu biar aku ceritakan
sedikit." Lakasipo lalu menuturkan siapa adanya Hantu Bara Kaliatus.
"Peristiwanya
terjadi sekitar hampir delapan puluh tahun silam. Dimulai ketika Latandai kabur
dari Latanahsilam sementara istrinya hamil besar. Setelah bayinya hampir
berusia empat puluh hari Latandai tidak pernah pulang, maka Luhsantini
meninggalkan rumah mencari suaminya itu. Di Latanahsilam ada semacam adat jika
pada saat seorang bayi mencapai usia empat puluh hari dan ayahnya tidak hadir
untuk satu upacara pengusapan ubun-ubun, penyentuhan tubuh serta
menciumanaknya, maka anak itu dianggap tidak memiliki ayah, sekaligus tidak
punya ibu dan jadilah dia semacam anak haram yang dikucilkan…."
"Adat
aneh!" ujar Pendekar 212.
"Negeri
ini memang diselimuti seribu satu macam keanehan. Latandai dan Luhsantini
jelas-jelas dikawinkan secara syah. Masakan karena ayahnya tidak mengusap
ubun-ubunnya saja dia lalu jadi anak haram. Dikucilkan…."
‘Terus
terang memang banyak keanehan terutama menyangkut adat yang tidak aku sukai di
Negeri Latanahsilam ini," kata Lakasipo pula. "Tapi bagaimana mau
mengikisnya? Siapa saja yang berani merubah adat dan aturan akan dicap sebagai
pengkhianat besar. Hukumannya direbus dalam sebuah belanga besi selama empat
puluh hari sampai daging dan tulang belulangnya hancur larut dalam air!"
"Menurutmu
putera Luhsantini dikucilkan lalu diusir dari Negeri Latanahsilam. Kemana
minggatnya anak itu, apa dia tidak bisa kembali ke sini? Tidak ingin membalas
dendam?"
"Putera
Luhsantini itu tidak bisa disebut sebagai anak lagi. Saat ini usianya paling
tidak sekitar delapan puluh tahunan. Kemana perginya sulit diketahui. Tapi aku
menduga kemungkinan masuk ke dalam negeri asal kalian. Kabar terakhir, sebelum
dia lenyap dari sini diketahui dia telah mendapat julukan Hantu Balak
Anam!"
"Apa?!"
Tiga mulut yakni Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berseru berbarengan.
.
"Wahai tiga saudaraku! Melihat raut muka dan seruan kagetmu tadi aku
menaruh sangka kau kenal atau pernah tahu dengan Hantu Balak Anam?!" ujar
Lakasipo.
"Orangnya
tinggi besar, berambut lurus ke atas seperti ijuk. Alisnya panjang bersambung
jadi satu. Lalu di keningnya ada enam buah lobang hitam. Di pipi kiri dan kanan
masing-masing ada tiga lobang hitam serupa. Itukah orangnya?!" tanya Wiro.
"Tepat!
Memang dia wahai saudaraku Wiro! Mungkin ukuran tubuhnya saja yang tidak sesuai
dengan ukuran tubuh kami di sini! Tapi lain dari itu sangat cocok!"
"Dia
berada di tanah Jawa. Terakhir sekali dia berada di Telaga Gajahmungkur…."
(Mengenai "Hantu Balak Anam" harap baca serial Wiro Sableng berjudul
"Pedang Naga Suci 212" yang merupakan Episode ke-4 dari 11 Episode)
"Ah,
dugaanku tidak meleset. Jadi memang ke sanalah diamengucilkan dirL Apakah dia
menjadi hantu jahat atau hantu baik di negeri kalian?’ tanya Lakasipo.
"Walau
dia banyak berpihak pada orang-orang golongan putih, namun dia tidak bisa
dikatakan termasuk golongan putih. Yang jelas dia bukan golongan hitam,"
jawab Wiro.
"Aku
tidak mengerti. Apa yang kau maksudkan dengan golongan putih dan golongan
hitam," ujar Lakasipo pula.
Wiro
tersenyum lalu menceritakan apa arti golongan putih dan golongan hitam di rimba
persilatan di tanah Jawa.
Sambil
garuk-garuk kepala Wiro kemudian berkata. "Kalau kau tidak setuju dengan
adat negeri ini, berarti kau menyadari bahwa Lasingar dan Luhsantini serta
Lamatahati sama sekali tidak bersalah. Lalu mengapa kau memberi tahu di mana
orang-orang itu berada? Hantu Bara Kaliatus pasti akan mencari Lasingar dan
Luhsantini. Lalu membunuh kedua orang itu. Lamatahati mungkin selamat karena
menurutmu. dia berada di alam lain…."
Lakasipo
jadi terkejut mendengar ucapan Wiro Sableng itu. "Astaga, kau benar…"
katanya dengan suara bergetar. "Aku membuat kesalahan besar. Aku harus
menolong mereka…."
“Tapi apa
kau bisa menduga siapa di antara Lasingar dan Luhsatini yang akan lebih dulu
didatangi Hantu Bara Kaliatus?!"
"Kukira
dendam Latandai sangat besar terhadap Luhsantini. Gara-gara perempuan itulah
maka dia menerima bala kutukan. Pasti dia akan membunuh jandanya itu lebih
dulu!"
"Kalau
kau yakin hal itu, berarti perempuan itu yang harus diselamatkan lebih dulu!
Kau tahu tempatnya! Mengapa tidak segera berangkat ke sana!" ujar Naga
Kuning.
"Aku….
Aku harus menyambangi makam istriku lebih dulu di Bukit Latinggihijau!"
kata Lakasipo pula.
"Istrimu
sudah meninggal, Lakasipo!" kata Wiro.
"Tidak
ada satu bahaya pun mengancam dirinya dibanding dengan perempuan bernama
Luhsantini itu! Dia yang harus didatangi dan diselamatkan lebih dulu!"
"Lalu
bagaimana dengan Hantu Santet Laknat! Aku juga punya urusan yang belum selesai
dengan dukun keparat itu! Gara-gara dia sepasang kakiku jadi begini!"
"Bagaimanapun.keadaan
kakimu, yang jelas kau kini malah memiliki ilmu kesaktian yang hebatl Lupakan
makam istrimu! Lupakan dulu Hantu Santet Laknat Malah kami bertiga untuk
sementara bersedia melupakan mencari Batu Sakti Pembalik Waktu dan mencari
Hantu Tangan Empat! Asalkan kau mau menyelamatkan perempuan bernama Luhsantini
itu!"
Mendengar
ucapan Wiro itu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menjadi bimbang. Saking gemesnya
Wiro memberi isyarat pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ketiga orang ini
serentak menggigit telapak tangan Lakasipo. Walau gigitan itu tidak melukainya
namun rasa sakit seperti ditusuk membuat Lakasipo tersentak.
"Kalian
nakal semua!" Mengomel Lakasipo. Lalu ketiga orang itu dimasukkannya ke
dalam kocek jerami. Sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda hitam
kaki enam.
*********************
7
LAPANGAN
KECIL DI BUKIT LATINGGISUBUR pagi itu dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka
yang bertaruh atau hanya sekedar menonton. Ketika ayam milik Lakabil dan
Latondang sedang hebathebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang di udara
dan jatuh di tengah lapangan. Dua ayam yang bertarung berkotek keras lalu
kabur. Orang yang ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan. Betapa
tidak. Benda yang bergelimpang ditanah lapang itu adalah sesosok tubuh
bergelimpang darah mulai dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti itu
dari balik semak belukar sekonyong-konyong keluar sesosok tubuh tinggi besar.
Saat itu juga tempat itu diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging
terpanggang.
Kalau
tadi semua orang dilanda kegegeran maka kini mereka dicekam ketakutan setengah
mati. Mereka tidak tahu pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak di depan mereka
saat itu. Sosok tinggi besar ini tegak kaki terkembang tubuh agak terbungkuk
seolah menahan sesuatu yang berat di bawah perutnya. Di atas kepalanya ada
puluhan bara menyala. Bara yang sama juga menempel di dada dan perut. Di bawah
pinggang makhluk ini mengenakan jerami kering dan daundaunan demikian rupa
sengaja menutupi bagian tubuhnya yang besar gembung menonjol.
"Roh
jahat kesasar…" bisik seseorang.
"Hantu
lapar turun dari langit!" kata yang lain dengan suara bergetar.
"Lihat
tubuhnya sebelah bawah. Besar nian. Sebesar kelapa!"
"Aneh
dan seram! Dia memiliki empat buah bola mata!"
"Wahai,
agaknya dia yang barusan melempar orang bergelimang darah itu! Dia sengaja
melempar ke hadapan Lakabil!" kata seorang lainnya.
"Lasingar!"
Tiba-tiba orang menyeramkan di tengah lapangan berteriak keras. Tanah lapang
terasa bergetar. Daun-daun pepohonan bergemerisik. "Buka matamu
lebar-lebar! Apa kau masih mengenali siapa adanya manusia yang menggeletak
sekarat di depanmu itu?! Apa kau juga mengenali siapa diriku?!"
Orang
bernama Lakabil melangkah mundur dengan muka pucat ketakutan. Matanya memandang
berganti-ganti dari si makhluk seram yang bukan lain adalah Latandai alias
Hantu Bara Kaliatus lalu pada sosok yang tergeletak di tanah.
"Lasingar!
Jawab pertanyaanku!" Terbungkuk bungkuk keberatan dia maju dua langkah
mendekati Lakabil.
Seseorang
di tepi lapangan beranikan diri berkata. "Wahai makhluk yang kepalanya menjunjung
bara menyala! Orang yang kau ajak bicara itu bernama Lakabil. Bukan
Lasingar."
"Benar!
Dia Lakabil! Tak ada orang bernama Lasingar di sini."
Hantu
Bara Kaliatus melirik tajam pada dua orang yang barusan bicara itu.
"Kalian berdua berbanyak mulut! Kalian tahu apa!" Tiba-tiba Hantu
Bara Kaliatus menyergap. Dua tangannya bergerak.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Dua orang
yang tadi bicara menjerit keras. Tubuh mereka terpental. Jatuh bergedebukan di
tanah dengan mulut hancur.
"Ada
lagi yang mau bicara?!" sentak Hantu Bara Kaliatus.
Tak ada
yang menjawab. Tak ada yang berani bergerak. Hantu Bara Kaliatus melangkah ke
hadapan orang bernama Lakabil tapi yang dipanggilnya dengan Lasingar.
"Kau
pandai berpura-pura. Tak mau menjawab. Seolah tidak mengenal siapa manusia satu
ini! Dia adalah kerabatmu Latorikl Penduduk Negeri Latanahsilam. Sekitar
delapan puluh tahun silam dia yang menangkap basah dirimu sewaktu berada di
atas ranjang bersama Luhsantini!"
Pucatlah
wajah Lakabil. Dalam hati dia membatin.
"Walau
kini aku berhadap-hadapan, tapi apa benar makhluk aneh ini Latandai adanya….
Celaka, bagaimana dia tahu aku tinggal di sini!"
"Kerabat,"
kata Lakabil. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan…."
Hantu
Bara Kaliatus menyeringai. "Kau masih meneruskan kepura-puraanmu! Aku
adalah Hantu Bara Kaliatus! Luhsantini adalah istriku yang telah kau cabuli
hingga hamil. Ingatanmu sudah terang sekarang Lasingar?!
Atau
perlu kubelah batok kepalamu, kukeluarkan otakmu dan kucuci di sungai Lapanjangbiru?"
"Han….
Hantu Bara Kaliatus…. Kau… kau adalah Latandai!" ujar Lakabil dengan suara
tercekat Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Sekarang otakmu mulai
jernih rupanya! Apa kau juga sudah ingat bahwa namamu sebenarnya Lasingar?
Bukan Lakabil yang kau palsukan sejak puluhan tahun bersembunyi di Bukit
Latinggisubur ini?"
Dalam
takut yang amat sangat, semua orang yang mendekam di tempat itu merasa heran
apa sebenarnya yang dibicarakan makhluk seram itu dengan kerabat yang selama
ini mereka kenal bernama Lakabil. Tapi si makhluk seram menyebutnya sebagai
Lasingar.
"Latandai….
Perihal kejadian delapan puluh tahun silam itu, aku tidak melakukannya.
Aku…."
Hantu
Bara Kaliatus menggembor keras. Dia menunjuk pada orang yang terkapar di tanah.
"Latorik saksi mata. Saksi hidup yang sebentar lagi akan meregang nyawa!
Dia yang melihat kau dalam keadaan bugil di atas ranjang bersama Luhsantini! Di
atas anjungan rumah kediaman orang tua gadis itu!"
"Latandai
aku bersumpah…. Demi para Dewa dan para Peri. Aku tidak menggauli calon istrimu
Luhsantini. Aku berada dirumahnya untuk berobat, aku tidak tahu…tidak mengerti
mengapa hari itu tahu-tahu aku berada di atas ranjang bersama Luhsantini dalam
keadaan tidak berpakaian…."
"Jahanam
pendusta! Setelah merambas tanaman muda kau tidak berani mengakui perbuatan
kejimu! Dengar baik-baik Lasingar! Ketika Luhsantini kukawini, gadis itu sudah
tidak perawan lagi! Kau melakukan kebejatan itu bukan cuma sekali! Pasti
berulang-ulang! Alasan sakit hanya tipu muslihatmu semata agar bisa mendekati
Luhsantini! Jahanam terkutuk!"
"Demi
para Dewa dan para Peri. Demi para arwah ke dua orang tuaku! Aku bersumpah,
Latandai! Aku tidak melakukan semua yang kau tuduhkan itu!"
"Lasingar!
Ternyata kau bukan saja seorang laknat Tapi berani bersumpah palsu menyebut
para Dewa dan para Peri! Bahkan menyebut roh orang tuamu!
Kalau kau
benar tidak melakukan perbuatan terkutuk itu mengapa melarikan diri?!
Bersembunyi tinggal di Bukit Latinggisubur ini selama puluhan tahun?! Menukar
nama menjadi Lakabil!"
"Latandai….
Aku saat itu berada dalam keadaan tidak mungkin membela diri. Kalau benar orang
itu Latorik, apa yang disaksikannya mungkin karangan belaka! Mungkin saja
seseorang menyuruh atau memaksanya berbuat begitu. Memberi kesaksian
palsu…."
"Bukkkk!"
Kaki
kanan Hantu Bara Kaliatus mendarat telak di dada Lasingar. Orang ini terpental
dan ambruk di bawah sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya.
Nafasnya sesak, nyawanya seolah terbang. Dia mengerang dengan sekujur tubuh
bergeletar. Hantu Bara Kaliatus menyeret sosok berdarah ke hadapan Lasingar.
Orang yang berada dalam keadaan luka parah itu dijambaknya lalu membentak.
"Latorik! Sebelum kau keburu mampus katakan apa yang kau lihat delapan
puluh tahun silam di atas ranjang di anjungan rumah kediaman Luhsantini! Kalau
kau mati para Dewa dan para Peri akan mengampuni segala dosamu karena kau telah
berbuat baik, memberi kesaksian yang benar!"
Orang
yang bergelimang darah itu tidak segera menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu
bersuara. Hantu Bara Kaliatus menggoncang kepala Latorik.
"Bicara!
Atau kugeprak pecah kepalamu saat ini juga!" teriak Hantu Bara Kaliatus.
"A…
aku…." Latorik bersuara walau perlahan. "Del…delapan puluh tahun
silam…. Suatu pagi, seperti biasa aku membawa satu bumbung berisi air ke rumah
orang tua Luhsantini. Tanpa sengaja aku…. Aku menjenguk ke anjungan. Aku
melihat dia…."
"Dia
siapa?! Sebutkan nama!" bentak Hantu Bara Kaliatus.
"Dia…,
dia Lasingar… aku melihat Lasingar dan Luhsantini saling berpelukan. Keduanya
dalam pulas tertidur. Keduanya tidak berpakaian…."
"Latorik
jahanam! Kau mengarang cerita memfitnah diriku! Bejat sekali pekertimu!"
Teriak Lakabil alias Lasingar menggeledek. Dari pinggangnya dihunusnya sebilah
parang batu lalu ditusukannya ke dada Latorik, tepat di arah jantung hingga
orang ini tewas seketika!
Kalau
semua orang tersentak kaget melihat apa yang dilakukan Lasingar itu, sebaliknya
Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. Dia tadi sengaja tidak mencegah
pembunuhan itu. Jambakannya di rambut Latorik dilepaskan hingga sosok tak
bernyawa ini tergelimpang di tanah.
"Lasingar
manusia terkutukl Kau terlambat membungkam mulut Latorik! Dia keburu memberi
kesaksian! Didengar oleh para Dewa dan Peri serta para roh! Termasuk roh orang
tuamu! Disaksikan pula oleh kerabat sepenyabungahmu! Sekarang giliranmu
menyusul ke alam langit ke tujuh!"
Hantu
Bara Kaliatus tanggalkan, sebuah bara menyala di dadanya lalu dilemparkan ke
arah Lasingar. Lasingar tak tinggal diam. Parang batu berdarah yang masih
dipegangnya dipergunakan untuk menangkis.
"Traaanggg!"
Parang
batu hancur berantakan. Lasingar menjerit. Suara jeritannya lenyap begitu bara
menyala menembus keningnya lalu meledak menghancurkan sebagian tubuhnya mulai
dari kepala sampai ke dada!
Hantu
Bara Kaliatus memandang berkeliling. Tak seorang pun masih terlihat di tempat
itu. Ternyata semua orang telah kabur melarikan diri karena takut akan menjadi
korban keganasan makhluk bara menyala itul
Hantu
Bara Kaliatus putar langkah hendak meninggalkan tempat itu. Namun gerakannya
tertahan ketika di langit dilihatnya ada satu cahaya biru sebesar ujung jari
kelingking. Makin lama cahaya ini semakin membesar, menukik ke bawah. Bertambah
besar dan terang. Sepuluh tombak di atas kepala Hantu Bara Kaliatus cahaya tadi
berubah membentuk satu sosok tubuh seorang perempuan. Bersamaan dengan itu bau
harum mewangi menebar di tempat tersebut.
*********************
8
MELIHAT
SIAPA YANG MUNCUL DI ATASNYA itu Latandai alias hantu Bara Kaliatus jadi
tercekat. Buru-buru dia menjatuhkan diri ber-lutut seraya dalam hati membatin.
"Gerangan pesan apa yang dibawanya padaku. Berkah atau hukuman. Kalau dia
sampai melihat keadaanku seperti ini…."
Hantu
Bara Kaliatus mendongak ke atas dan letakkan dua tangan yang dirapatkan di
.atas kepala.
"Wahai
Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala
Junjungan, Berkah apakah yang hendak kau berikan padaku hingga tidak biasanya
kau menampakkan diri seperti ini…."
Angin
bertiup sejuk beberapa saat lamanya. Di atas sana bayangan biru berbentuk sosok
seorang perempuan memandang sayu pada hantu Bara Kaliatus. Sosok yang disebut
Peri Bunda ini berwajah seorang perempuan separuh baya cantik, agung dan
anggun. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur batu-batu permata
berkilau-kilau. Tubuhnya terbungkus selendang tipis warna biru bergulung-gulung
panjang. Demikian panjangnya seolah ujung pakaian ini tergantung sampai ke
langit.
"Wahai
manusia bernama Latandai," Peri Bunda berkata dari atas sana. Suaranya
walau, lembut tapi mengiang keras masuk ke telinga Hantu Bara Kaliatus.
"Aku
datang bukan membawa berkah! Kami para Peri di angkasa raya merasa sedih.
Karena sejak kau keluar, dari kawah Gunung Latinggimeru, maka di Negeri
Latanahsilam telah bertambah satu lagi Hantu yaitu Hantu Bara Kaliatus. Hantu
yang perwujudannya adalah bagaimana keadaan dirimu sendiri saat ini…. Kami
ingin melenyapkan semua Hantu yang ada, malah kini ketambahah satu lagi. Kami
tahu ada Hantu baik dan ada Hantu jahat di antara kalian. Selama puluhan tahun
kami para Peri telah mengikuti perjalanan hidupmu. Ternyata kau bukan termasuk
golongan Hantu baik. Di tubuhmu sebelumnya ada dua ratus bara merah menyala.
Kini bara itu telah banyak berkurang. Berarti belasan bara maut telah kau
pergunakan untuk membunuh manusia lainnya!’ Ketahuilah Latandai, membunuh
adalah sesuatu yang tidak diizinkan kecuali dalam membela diri, keluarga.dan
para kerabat. Tapi seperti yang aku saksikan sendiri hari ini kau telah menjadi
penyebab kematian dua orang. Pertama Latorik. Walau bukan tanganmu yang
menghabisinya tapi kematiannya berpangkal sebab pada perbuatanmu. Kedua
Lasingar. Kau membunuhnya atas dasar kesaksian yang diragukan. Tidak ada
pembuktian yang sempurna. Semurah itukah nyawa manusia di matamu…?"
Untuk
beberapa saat lamanya Latandai alias Hantu Bara Kaliatus diam tertunduk masih
berlutut dan dua tangan masih di atas kepala.
"Latandai,
dari tadi kulihat kau berlutut terus. Berdirilah dan bicara secara wajar. Aku
bukan sebangsa Peri gila hormat…"
Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus jadi bingung dan kecut. Kalau dia berdiri, Peri Bunda
pasti akan melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah.
"Wahai
Latandai, apakah kau tidak mendengar. Berhentilah berlutut. Bicara dengan
berdiri padaku." kata Peri Bunda.
Perlahan-lahan,
terbungkuk-bungkuk Hantu Bara Kaliatus bangkit berdiri. Celakanya ketika
berdiri, celananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke bawah. Cepat-cepat
Latandai memegangi, menariknya ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya
untuk melindungi anggota rahasianya.
Meskipun
semua itu dilakukan dengan cepat oleh Latandai, namun Peri Bunda masih sempat
melihat. Sang Peri langsung tersentak dan palingkan mukanya yang serta merta
menjadi sangat merah. Latandai kembali jatuhkan diri mengambil sikap berlutut
agar tubuh sebelah bawahnya yang menggembung tersingkap tidak kelihatan dari
atas sana.
"Wahai
Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala
Junjungan. Tiada niat membunuh orang tidak berdosa. Latorik terpaksa saya
aniaya. Karena semula dia tidak mau memberi keterangan atas apa yang
dilihatnya…."
"Apa
yang dilihat seseorang belum tentu apa nyatanya. Begitu juga dengan
Latorik…."
"Mengenai
Lasingar…. Dia lelaki terkutuk yang mempergunakan kesempatan untuk merayu dan
meniduri calon istriku! Mana mungkin aku mengakui Lamatahati sebagai anakku
padahal dia lahir dari benih yang ditanamkan manusia mesum itu ke dalam rahim
Luhsantini!" kata-kata Latandai jadi keras dan kasar.
Peri
Bunda tersenyum rawan dan gelengkan kepalanya.
"Latandai….
Hidup di alammu penuh teka teki. Apa yang terlihat belum tentu itu yang
terjadi. Apa yang terjadi belum tentu itu nyatanya. Kami para Peri tahu kalau
otakmu sudah dicuci oleh Hantu Santet Laknat. Kau telah dijadikan boneka
penurut kemauannya. Kau berada dalam kekuasaannya. Kami para Peri masih menaruh
kasihan serta harapan padamu. Kau belum lama tersesat. Masih ada jalan kembali.
Jangan teruskan menebar maut. Apa kau hendak menghabiskan sisa bara menyala di
kepala, dada dan perutmu untuk membunuh orang? kembali ke puncak Gunung
Latinggimeru. Campakkan batu-batu bara menyala itu ke dasar kepundan. Hiduplah
sebagai Latandai kembali….Bila tiba saatnya apa yang sebenarnya terjadi akan
tersingkap."
"Peri
Bunda, saya menghormatmu seribu hormat. Namun apa yang kau katakan tidak dapat
saya lakukan…."
"Aku
tidak mengatakan apa-apa wahai Latandai.
Aku
memberi perintah padamu!" kata Peri Bunda pula.
"Maafkan
diri saya Peri Bunda. Ampuni dirikul Sekali ini saya terpaksa tidak mampu
mematuhi perintahmu. Jika Peri Bunda memang berniat baik, mengapa diriku yang
menjadi incaran. Bukankah banyak Hantu lain di Negeri ini yang malang melintang
berbuat kejahatan. Misalnya Hantu Santet Laknat. Hantu Muka Dua! Mengapa bukan
mereka yang dihukum…?!"
"Wahai
Latandai, jangan menganggap kami para Peri bodoh dan memilih-milih. Kau adalah
manusia yang tersesat terakhir kali. Jadi masih ada kesempatan untuk memperbaiki
dirimu. Hantu-Hantu lainnya akan menerima giliran. Biar kami para Peri dan para
Dewa yang mengatur…. Satu hal lagi wahai Latandai. Aku melihat ada yang tidak
beres di antara kedua kakimu! Binatang berbisa apa gerangan yang telah
menggigitmu hingga auratmu menjadi bengkak seperti itu…?"
"Wahai
Peri Bunda, saya tidak tahu jelas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ini saya
alami setelah saya berkelahi dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu alias Bola
Bola Iblis."
"Latandai,
menurut penglihatanku seseorang telah menutukmu. Tapi ilmu tutukan tidak
dikenal di Negeri Latanahsilam. Berarti ada orang luar yang menyusup masuk ke
Negeri ini !"
"Saya
tidak tahu Peri Bunda sejak kedua kakinya dibungkus Bola Bola Iblis, Lakasipo
memiliki beberapa keanehan. Peri Bunda, saya gembira bertemu denganmu. Semoga
pertemuan ini ada hikmahnya. Jika kau mau memberi izin saya akan meninggalkan
tempat ini…."
"Jika
itu katamu, terpaksa aku menghalangi wahai Latandai! Karena aku tahu kau akan
membunuh lagi beberapa orang yang belum tentu berdosa!"
Peri
Bunda kembangkan dua tangannya. Pakaian birunya bergulung-gulung di udara.
Perlahan-lahan sosok tubuhnya turun mendekati Latandai. "Peri Bunda,
jangan terlalu memaksa. Aku bisa bertindak nekad!" Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus berteriak. Peri Bunda hanya tersenyum dan terus melayang turun.
Hantu Bara Kaliatus ambil sebuah bara menyala di atas kepalanya lalu
dilemparkan ke arah Peri Bunda.
"Wussss!"
Bara
menyala itu menembus sisi kiri pakaian Peri Bunda hingga berlubang dan
terbakar.
"Luar
biasa! Hebat sekali!" Seru Peri Bunda sambil memperhatikan pakaiannya yang
berlubang dan terbakar. Dia meniup satu kali. Kobaran api serta merta padam.
Pakaian yang berlobang kembali utuh seperti semula. Peri Bunda memandang sayu
pada Hantu Bara Kaliatus. "Petunjuk sudah kuberikan. Peringatan sudah
kusampaikan. Kau nekad menempuh jalan hidup menurut gerak hati dan denyut
jantung serta otakmu yang terbungkus bara api. Padahal ketahuilah wahai
Latandai. Otakmu sebenarnya sudah dicuci oleh Hantu Santet Laknat. Kau telah
dijadikannya boneka penurut perintahnya. Kau telah dikuasai oleh nenek jahat
itu. Sekarang terserah padamu. Kau akan merasakan sendiri akibatnya kelak wahai
Latandai. Namun aku masih mau memberi petunjuk terakhir bagi keselamatan
dirimu. Jika kau tidak mau kembali ke Gunung Latinggimeru untuk membersihkan
semua bara menyala di kepala, muka dan tubuhmu maka carilah Luhsantini.
Minta
maaf dan minta ampun padanya. Minta dia mencabut sumpah dan kutuk yang telah
dijatuhkannya atas dirimu. Karena akibat kutukannya, ilmu yang kau dapat dari
Hantu Santet Laknat telah berubah menjadi malapetaka seumur hidupmu! Temui
Luhsantini. Maka kau akan selamat dan kembali ke keadaan serta kehidupan
semula…."
Perlahan-lahan
sosok Peri Bunda melayang naik ke atas udara, makin tinggi, makin tinggi dan
akhirnya lenyap seolah menerobos ke balik langit.
"Luhsantini…."
Hantu Bara Kaliatus kepalkan tinju kanannya. "Kekasih gelapmu sudah
kubunuh! Sekarang giliranmu kuhabisi! Karena kutuk sumpahmu aku jadi begini!
Berpantang bagiku untuk minta maaf dan ampun pada perempuan! Akan kuhabisi kau
Luhsantini!"
*********************
9
PERJALANAN
MENUJU GUNUNG LABATUHITAM di kawasan selatan bukan perjalanan mudah. Walau
Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menunggangi Laekakienam, kuda raksasa berkaki
enam namun mereka harus melewati kawasan berbukitbukit, lembah tandus,
menyeberangi sungai serta menembus rimba belantara yang nyaris jarang dilewati
manusia. Selama perjalanan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol lebih banyak
berada di dalam kocek jerami sehingga keadaan mereka bertiga cukup menderita.
Memasuki
malam Lakasipo hentikan kudanya di bibir sebuah lembah berbatu-batu. Wiro dan
dua kawannya dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan di atas sebuah batu
datar. Lakasipo meletakkan sepotong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga
orang itu. Walau sangat kecil tapi bagi Wiro dan kawankawannya sepotong jambu
hutan itu hampir seukuran besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup
menghabiskan.
Sementara
Lakasipo membaringkan tubuhnya di tanah, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
bercakap-cakap.
"Berapa
lama lagi kita berada dalam keadaan seperti ini?" Setan Ngompol berbaring
di batu sambil usap-usap perutnya.
"Begitu
Lakasipo berhasil menyelamatkan Luhsantini, kita harus memaksa dia mencari
Hantu Tangan Empat atau mendapatkan kembali Batu Sakti Pembalik Waktu itu! Aku
ingin segera kembali ke tanah Jawa."
"Lalu
bagaimana dengan gadis di Latanahsilam yang sekali melihat membuat kau
tergila-gila itu?’tanya Setan Ngompol sambil menyeringai.
Naga
Kuning terdiam. Dia berpaling pada Pendekar 212 yang duduk bertopang dagu.
"Apa yang kau pikirkan Wiro?" Tanya Naga Kuning.
"Aku
ingat orang-orang di alam jauh di sana. Guruku Eyang Sinto Gendeng, sobatku si
Bujang Gila Tapak Sakti, lalu Kakek Segala Tahu. Gadis berambut panjang pirang
bernama Bidadari Angin Timur itu…Puteri Duyung. Banyak lagi yang lainnya.
Mereka semua pasti tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan kita
bertiga."
"Pendekar
212, menurutmu mana yang lebih baik. Mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu atau
Batu Pembalik Waktu itu?"
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Dua-duanya sama penting. Tapi jika aku boleh
memilih, lebih baik kita mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu."
"Mengapa
begitu?" bertanya Naga Kuning.
"Waktu
Hantu Tangan Empat muncul di tanah Jawa, sosok tubuhnya sama besardengan sosok
tubuh kita. Di Negeri Latanahsilam tidak mungkin sosoknya tetap sebesar kita.
Pasti dia akan sebesar raksasa seperti Lakasipo. Berarti dia memiliki semacam
ilmu kepandaian atau ilmu kesaktian untuk membesarkan dan mengecilkan badannya!
Kalau kita bisa mendapatkan ilmu itudari dia berarti sosok kita bisa berubah
sebesar orang-orang di sini. Berarti kita bisa selamat dari segala macam
bahaya, manusia, binatang ataupun cuaca."
"Kau
benar Pendekar 212. Tapi apakah Hantu Tangan Empat mau memberikan ilmu itu pada
kita bertiga?’ tanya Setan Ngompol.
"Mungkin
padamu akan diberikan Wiro ujar Naga Kuning. "Tapi pada kami berdua belum
tentu. Apalagi kurasa dia masih menaruh dendam terhadapku !"
"Mudah-mudahan
kakek aneh itu tidak sejahat yang kau sangka. Bukankah dia katanya hanya
suruhan Hantu Muka Dua saja?" kata Wiro.
"Jangan-jangan
Hantu Muka Dua itu yang punya ilmu kepandaian membuat orang besar dan kecil.
Berarti tipis harapan kita mendapatkan ilmu tersebut. Aku lebih suka kita
berusaha mati-matian mencari batu tujuh warna itu!" ujar Naga Kuning pula.
Lima jari
raksasa bergerak di permukaan batu.
"Wahai
para saudaraku. Kita harus melanjutkan perjalanan. Agar pagi besok kita bisa
sampai di tempat tujuan."
Mendengar
ucapan Lakasipo itu Wiro segera berteriak.
"Lakasipo,
jika Luhsantini sudah kau selamatkan, kau harus berjanji membantu kami mencari
Hantu Tangan Empat atau mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu!"
"Hal
itu bisa kita bicarakan nanti para saudaraku," jawab Lakasipo yang membuat
Wiro dan kawan-kawannya menjadi jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ketika
Lakasipo hendak memasukkan ketiga orang itu kembali ke dalam kocek jerami
tiba-tiba ada satu suara merdu datang dari kejauhan.
"Lakasipo
wahai suamiku, belum berbilang minggu berbilang bulan aku berada di alam roh.
Tega nian hatimu tak pernah menjengukku lagi…."
Suara
yang datang dari jauh itu menggeletarkan batu di atas mana Wiro dan dua
kawannya berada.
"Ada
suara perempuan di kejauhan…" bisik Naga Kuning.
"Suara
itu menyebut Lakasipo suaminya. Pasti itu suara Luhrinjani…."
‘Tapi
menurut Lakasipo istrinya itu bukankah sudah mati dan dimakamkan di Bukit
Latinggihijau. Bagaimana sekarang bisa muncul…."
"Itu
mungkin hanya suara rohnya," berkata Setan Ngompol dan bersiap-siap
menekap bagian bawah perutnya agar tidak terkencing.
"Kalian
berdua jangan bicara saja. Lihatdi kejauhan sana. Ada satu sosok aneh
mendatangi ke sini!" Berkata Wiro.
Pada saat
suara itu terdengar wajah Lakasipo berubah. Lelaki ini cepat bangkit berdiri
dan memandang ke kejauhan dari arah mana datangnya suara tadi. Dadanya berdebar
ketika di antara pepohonan dia melihat ada seorang perempuan melangkah seperti
melayang-layang. Rambut tergerai lepas, pakaian sehelai kain sutera putih tipis
yang tak pernah dilihat Lakasipo sebelumnya. Makin dekat perempuan itu, makin
jelas kelihatan wajahnya.
"Luhrinjani…"
desis Lakasipo. Dia langsung ingat pada peristiwa yang lalu. Ketika dia juga
disongsong oleh sosok Luhrinjani yang kemudian menjebaknya hingga dua kakinya
terpendam ke dalam batu besar. Apakah sekali ini roh istrinya datang lagi untuk
mencelakainya. Lakasipo melangkah mundur.
"Celaka!
Jangan-jangan Lakasipo kedatangan setan istrinya sendiri! Kita bisa
ditinggalkan begitu saja di atas batu ini!" ujar Wiro.
"Lakasipo
wahai suamiku! Aku berada begini dekat di hadapanmu. Kau seolah tertegun lupa.
Apa kau tidak lagi mengenali istrimu sendiri, Lakasipo?"
Sosok
perempuan itu kini hanya terpisah dua langkah dari hadapan Lakasipo.
"Perempuan
raksasa itu…" bisik Naga Kuning.
"Wajahnya
cantik, pakaiannya sangat tipis. Aku dapat melihat sekujur auratnya! Lihat,
tubuhnya putih bagus. Dadanya sebesar batu raksasa di sungai, Tonilnya begitu
mulus…. Ah… aku bisa bersembunyi dalam pusarnya! Hik… hik… hik…!"
Setan
Ngompol usap-usap sepasang matanya berulang kali. Sementara Wiro memandang
dengan ternganga.
"Lihat,
ada tahi lalat di kiri pahanya sebelah dalam. Kalau saja aku bisa memanjat
kakinya yang bagus mulus itu…."
"Tua
bangka berpikiran kotor!" tukas Wiro pada Setan Ngompol. "Coba kau
perhatikan! Apa kau tidak melihat dua kakinya yang tersembul dari balik pakaian
putih itu tidak menginjak tanah?!"
Pucatlah
wajah Setan Ngompol dan juga Naga Kuning ketika memandang ke bawah sana.
Sepasang kaki perempuan itu memang melayang di udara!
"Luhrinjani….
Aku tidak tahu kau ini makhluk apa adanya. Penjelmaan hantu atau roh yang
gentayangan. Dulu kau pernah muncul. Kemunculanmu membawa celaka bagi diriku!
Lihat dua kakiku! Terpendam ke dalam dua bola batu yang tak bisa aku hancurkan!
Apakah saat ini kau muncul lagi hendak mencelakaiku?!"
"Kau
tidak menginginkan pertemuan ini, wahai Lakasipo?’ tanya Luhrinjani.
"Bukan
aku tidak menginginkan wahai Luhrinjani. Tapi jika ini semua hanyalah
bayang-bayang hampa atau mimpi buruk yang akhirnya membawa celaka
diriku…."
"Kau
tidak mimpi wahai Lakasipo. Kau juga tidak berhadapan dengan bayang-bayang
hampa. Dulu aku muncul karena ada satu kekuatan gaib yang sangat hebat
menguasai diriku. Memaksa aku keluar dari liang makam dan memerintahkan aku
untuk mencelakaimu. Tapi sekarang yang datang ini adalah Luhrinjani yang
sebenarnya. Yang diberi kekuatan oleh para Peri dan roh untuk keluar dari dalam
makam guna menemuimu. Aku inginkan pertemuan ini Lakasipo. Aku
merindukanmu…."
Sosok
Luhrinjani maju mendekat. Sebaliknya Lakasipo cepat melangkah mundur. Ketika
melangkah tadi ujung bawah pakaian yang dikenakan Luhrinjani menimbulkan siuran
angin. Tiga orang di atas batu langsung berguling-guling. Walau rasa takut
mencekam ketiga orang di atas batu namun mereka tak habis pikir. Bagaimana
seseorang yang sudah mati bisa hidupdan muncul seperti ini. "Aneh, baru
sekali ini aku dengar ada hantu merasa rindu…." Bisik Naga Kuning.
"Naga-naganya
kita sebentar lagi akan menyaksikan dua raksasa saling bercumbu…" kata
Setan Ngompol pula sambil satu tangan menekap mulut agar tidak tertawa dan satu
tangan lagi menekap bagian bawah perutnya.
"Luhrinjani….
Aku…. Aku masih tidak mengerti. Mengapa kau bisa muncul seperti ini. Apakah
dirimu, tubuhmu nyata…."
"Diri
dan tubuhku nyata senyata aku melihat kau wahai! Lakasipo…" jawab
Luhrinjani. "Ulurkan tanganmu.
Pegang
jari-jariku! Pegang wajahkul Pegang sekujur tubuhku! Semuanya nyata. Aku bukan
bayangbayang, bukan pula asap…."
Lakasipo
tidak berani ulurkan tangannya untuk menyentuh perempuan di hadapannya.
"Lalu…
lalu apa maksud kedatanganmu Luhrinjani….Ki… kita tak mungkin bersatu kembali.
Atau mungkin…."
"Kita
tak mungkin bersatu kembali memang wahai Lakasipo. Tapi tali hubungan kita tak
pernah putus walau kita berada di dua alam berlainan…."
"Maksudmu
Luhrinjani…?"
"Kita
dua suami istri berpisah mati. Kita dua suami istri yang belum sempat mengecap
nikmatnya hidup sebagai suami istri. Apakah kau tidak menginginkannya
Lakasipo?"
Luhrinjani
ulurkan tangan kanannya menyentuh jari-jari tangan Lakasipo. Lelaki ini
tersentak kaget. Jari-jari tangan itu adalah jari-jari sungguhan.
"Usap
wajahku Lakasipo, sentuh tubuhku…" bisik Luhrinjani.
Sesaat
Lakasipo masih ragu. Lalu dia memberanikan diri mengangkat tangan membelai
wajah perempuan di hadapannya itu. Dia benar-benar memegang manusia hidup!
Kenyataan yang tidak bisa dipercaya itu membuat Lakasipo jadi merinding dan
dingin sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan dia melangkah mundur. Tiba-tiba ada bau
harum semerbak memenuhi tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di
kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat.
"Astaga!
Lihat!" seru Naga Kuning sambil menunjuk ke atas. Sementara Wiro dan juga
Setan Ngompol pelototkan mata terheran-heran.
Saat itu
cahaya biru tadi telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya
cantik sekali. Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulunggulung
panjang seolah tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota
yang ditebari batu-batu permata berkilauan.
"Peri
Bunda, terima hormat saya!" kata Lakasipo begitu melihat siapa yang berada
di atasnya.
"Lakasipo
menyebut perempuan cantik itu Peri Bunda…" bisik Wiro pada dua temannya.
"Setahuku
yang namanya Peri itu hanya ada dalam dongeng…" menyahuti Setan Ngompol.
"Di
negeri serba aneh ini bisa saja terjadi. Bukankah saat ini kita berada di alam
seribu dua ratus tahun silam?" ujar Wiro. "Yang aku herankan, kalau
peri separuh baya cantiknya seperti ini, yang lebih muda tentu selangit
tembus!"
"Aku
jadi kepingin tahu, apakah ada Peri anak-anak sebayaku?!" ujar Naga Kuning
tengil.
Si Setan
Ngompol ikut-ikutan latah. "Kalau ada peri tua seusiaku, benar-benar
nikmat rasanya tinggal di negeri aneh ini!"
"Kalian
berdua sama tololnya! Selama keadaan tubuh kita seperti ini jangan berharap
yang bukanbukan!" kata murid Sinto Gendeng pula.
"Wahai
Lakasipo…." Peri Bunda berkata dengan suara lembut tapi jelas.
"Jangan kau merasa takut pada sosok Luhrinjani istrimu itu. Dia memang
telah berada di alam lain. Namun kami para Peri telah berusaha melakukan
sesuatu, memberi berkat padamu dengan menghadirkan istrimu dalam keadaan
seutuhnya. Terima kehadirannya dengan segala rasa suka cita wahai Lakasipo. Dia
istrimu yang syah. Karena itu tidak ada halangan bagimu untuk memperlakukannya
sebagaimana adanya…."
"Peri
Bunda, kalau itu berkah yang kau turunkan pada saya, saya tidak tahu harus
mengucapkan terima kasih bagaimana," kata Lakasipo seraya membungkuk
dalam-dalam.
"Saya
juga menghaturkan terima kasih wahai Peri Bunda," kata Luhrinjani seraya
menjatuhkan diri, berlutut di samping Lakasipo.
"Mungkin
Peri itu bisa berbuat sesuatu untuk kita," kata Wiro tiba-tiba.
"Lekas k’rta memohonkan sesuatu! Siapa tahu dia bisa menolong…."
Naga
Kuning dan Setan Ngompol cuma diam saja. Sebaliknya Wiro yang berada di atas
batu datar melambai-lambaikan tangannya agar terlihat oleh sang Peri. Tapi
sampai tangannya seperti mau copot Peri Bunda tidak melihat dirinya. Wiro
berteriak keras-keras. Peri Bunda menolehpun tidak.
"Lakasipo,
aku tidak akan hadir lebih lama di tempat ini. Pergunakan waktumu
sebaik-baiknya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu…."
"Jika
Peri Bunda sudi mengatakannya pada saya…" ujar Lakasipo pula:
"Mataku
menangkap tiga sosok aneh di atas batu sana"
Lakasipo
berpaling ke atas batu. Wiro kembali lambaikan tangannya. "Mereka adalah
saudara-saudara angkat saya wahai Peri Bunda…."
"Ini
satu keanehan yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu Lakasipo. Tapi seperti
kataku tadi aku tidak ingin mengganggumu saat ini. Aku pergi sekarang. Di lain
waktu aku akan kembali untuk bicara denganmu mengenai ketiga makhluk aneh
itu…."
"Peri
Bunda! Jangan pergi dulu!" teriak Wiro. "Kami butuh pertolonganmu!
Bisakah kau membesarkan kami bertiga…!"
Teriakan
yang dikeluarkan Wiro tidak terdengar ke telinga Lakasipo ataupun Luhrinjani.
Tapi Peri Bunda dapat mendengarnya dengan jelas. Sepasang mata sang Peri
melirik ke bawah ke arah batu. Dia tersenyum lalu berkata.
"Apamu
yang minta dibesarkan wahai makhluk aneh?" Peri Bunda bertanya. Masih
tersenyum dia meneruskan. "Mungkin anumu itu minta dibesarkan seperti apa
yang kalian lakukan terhadap Hantu Bara Kaliatus?”
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol terkesiap kaget mendengar ucapan Peri Bunda.
"Dia
mendengar teriakanku tadi!" kata Wiro gembira.
Dia
memandang ke atas. "Yaaaa…." Murid Sinto Gendeng kecewa. Peri Bunda
itu telah lenyap. Yang tinggal hanya baunya yang harum serta suara tawanya yang
merdu di kejauhan.
"Peri
satu ini kurasa termasuk Peri tengil. Masakan anunya Hantu Bara Kaliatus
disebut-sebut!" Wiro berucap sambil garuk-garuk kepala.
Sesaat
setelah Peri Bunda menghilang di kegelapan malam, Lakasipo berpaling ke kiri.
Tangannya diulurkan menyentuh tangan Luhrinjani.
"Luhrinjani
wahai istriku… kau benar-benar nyata! Kau benar-benar hidup!" ujar
Lakasipo.
"Aku
memang nyata wahai Lakasipo. Aku memang hidup. Tapi nyata dan hidup terbatas.
Aku hanya bisa muncul jika ada saling pertalian rasa di antara kita.
Jika para
roh mengizinkan dan para Dewa serta Peri merestui. Peluk diriku, Lakasipo.
Peluk yang kuat…."
Lakasipo
ulurkan dua tangannya memeluk tubuh Luhrinjani. "Cium wajahku Lakasipo,
belai tubuhku…."
Bisik
Luhrinjani lalu pakaian sutera tipisnya lepas jatuh ke tanah.
Tiga
orang di atas batu yang menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot, terpental
kena sambaran angin pakaian yang jatuh. Tapi ketiganya cepat bangkit kembali
dan pentang mata menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka.
"Lihat
dada perempuan itu! Walah Mak! Besar amat!" kata Setan Ngompol dengan mata
melotot.
"Bisa
mati enak aku kalau sampai ketiban!" ujar Naga Kuning yang juga memandang
dengan mata mendelik. "AstagaI Lihat! Dia melepaskan pakaian Lakasipo!
Mereka berdekap-dekapan!"
"Seumur
hidup baru sekali ini aku menyaksikan dua makhluk raksasa bercumbul Padahal
yang perempuan sebenarnya sudah mati!" kata Setan Ngompol pula lalu
terkencing-kencing.
"Kedua-duanya
sudah tidak berpakaian lagll Gila!" seru Naga Kuning. "Lihat, mereka
membaringkan diri di tanah…."
Saat itu
tak sengaja kaki Lakasipo menyentuh celananya yang terbuat dari kulit kayu dan
ada di tanah hingga tergeser ke atas batu dan menutupi Wiro, Naga Kuning serta
Setan Ngompol.
"Aduh!
Mengapa jadi gelap begini?!" teriak Naga Kuning.
"Sial!
Kita tidak bisa melihat apa-apa lagi!" ujar Wiro.
Setan
Ngompol ikut menggerutu panjang pendek sambil terkencing-kencing. Ketiga orang
ini berusaha meloloskan diri dari bawah himpitan pakaian Lakasipo. Tapi dengan
keadaan tubuh mereka sekecil itu, walau dengan mengerahkan tenaga sekalipun
sulit bagi mereka untuk bisa keluar.
"Wiro!
Pergunakan kapak saktimu! Lubangi celana sialan ini! Biar kita bisa
mengintip!" teriak Naga Kuning. Masih penasaran bocah tengil ini rupanya.
*********************
10
HUJAN
LEBAT MEMBUAT LAKASIPO TIDAK dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam
kocek jerami yang basah, Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kedinginan
setengah mati. Bukan saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga
akibat terpaan angin deras yang menembus masuk melalui celah-celah anyaman
jerami.
Menjelang
pagi dalam keadaan letih dan mata mengantuk Lakasipo hentikan kudanya di tepi
sebuah rimba belantara. Saat itulah Japat-lapat telinganya menangkap suara
aneh. "Seperti suara orang meracau.
Tapi juga
seperti seseorang mengerang. Eh, malah berubah seperti suara tangis
anak-anak," membatin Lakasipo sambil terus memasang telinga.
Di dalam
kocek suara itu juga terdengar oleh Wiro dan kawan-kawannya. Mereka berusaha
mengangkat penutup kocek untuk melihat. Namun baru sedikit tersingkap ketiganya
jatuh terduduk karena saat itu Lakasipo menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke
dalam rimba. Ingin menyelidik suara apa adanya yang barusan didengarnya.
Masuk ke
dalam rimba sejauh beberapa puluh tombak, di bawah sebatang pohon besar
Lakasipo melihat satu pemandangan hampir sulit dipercaya. Di bawah pohon itu
terikat sosok tubuh seorang anak perempuan. Pakaiannya yang terbuat dari kulit
kayu serta seluruh tubuh mulai dari kepala sampai kaki kotor bercelemongan
tanah dan basah oleh air hujan. Dari mulutnya yang terus-terusan ternganga
keluar imam erangan serta lelehan darah. Dua matanya terpejam. Lakasipo segera
hentikan kudanya dan cepat melompat turun. Suara kaki batunya yang
menghentakhentak menggetarkan Seantero tempat membuat anak perempuan yang
terikat di pohon buka kedua matanya sedikit. Satu pekik halus keluar dari mulut
anak itu. Lalu ada suara panjang yang sulit dimengerti.
Ketika
Lakasipo melangkah lebih dekat, tengkuknya yang memang sudah basah oleh air
hujan kini menjadi tambah dingin. Dari mulut anak perempuan yang ternganga itu
menjulur panjang lidah merah diselimuti ludah campur darah. Lidah itu ternyata
berada dalam keadaan terikat, dibuhul demikian rupa hingga selain kesakitan si
anak jadi tak bisa bicara!
"Kejahatan
gila macam apa ini!" ujar Lakasipo penuh geram. "Wahai anak, siapa
yang berlaku sekeji ini padamu?!"
Anak
perempuan yang ditanya hanya keluarkan suara mengerang sambil gelengkan kepala
sedikit. Dua matanya kembali dipejamkan.
"Bagaimana
cara aku menolong anak ini. Melepas lidahnya yang dibuhul!" pikir
Lakasipo.
Mendengar
suara Lakasipo yang keras lantang tadi Wiro dan kawan-kawannya kembali berusaha
mengangkat penutup kocek lalu mengintai keluar. Ketiganya sama keluarkan seruan
kaget karena muka anak perempuan yang lidahnya terjulur dalam keadaan terikat
itu tepat berada di depan mereka di muka kocek!
Naga
Kuning yang pertama sekali mengenal anak perempuan itu. "Astaga! Ini anak
perempuan yang kulihat di tanah lapang waktu terjadi Bakucarok antara Lakasipo
dengan Lahopeng!"
"Benar
memang dia…" kata Setan Ngompol. "Apa yang terjadi dengan anak
ini…?"
"Bagaimana
bisa berada sejauh ini. Pasti ada orang jahat yang membawanya kemari.
Mengikatnya dan….Gila! Baru sekali ini aku melihat lidah dibuhul seperti itu!
Kejam sekalil Aku harus keluar dari tempat ini! Aku harus menolong anak
itu!" Naga Kuning segera hendak loloskan dirinya dari bawah penutup kocek.
Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng segera pegang lengannya dan berkata,
"Maksud menolong boleh saja sobatku! Tapi pakai otak! Pertolongan apa yang
bisa kau lakukan. Anak itu puluhan kali lebih besar tubuhnya dari
sosokmu!"
"Aku…."
Naga Kuning jadi bingung sendiri. "Aku kasihan melihatnya. Aku tak bisa
membiarkannya teraniaya seperti itu!"
"Aku
juga kasihan. Kita semua merasa kasihan. Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa.
Kau tadi mendengar apa yang dikatakan Lakasipo. Dia pasti bisa menolong anak
itu…."
Naga
Kuning tendangi dinding kocek dan berteriak keras-keras untuk menarik perhatian
Lakasipo. Tapi Hantu Kaki Batu ini tidak merasakan tendangan itu dan juga tidak
mendengar teriakan Naga Kuning. Dengan cepat Lakasipo membuka lilitan tali yang
mengikat si anak perempuan ke batang pohon. Begitu ikatan lepas kalau tidak
segera ditahan, anak ini pasti jatuh roboh ke tanah. Keadaan tubuhnya selain
menyedihkan juga sangat lemah sekali. Dengan hati-hati Lakasipo baringkan tubuh
anak perempuan itu ke tanah. Sewaktu Lakasipo membungkuk dan jaraknya dengan
tanah lebih dekat, kesempatan ini dipergunakan Naga Kuning untuk menyelinap
keluar kocek lalu melompat ke tanah.
"Anak
nekat. Gila betul dia!" teriak Setan Ngompol lalu terkencing.
"Kurasa
kita juga harus segera keluar dari sini!" kata Wiro. Lalu terjun ke tanah
menyusul Naga Kuning. Tinggal Setan Ngompol sendirian. Dia bingung mau melompat
gamang dan ngeri. Tinggal sendirian di dalam kocek jerami dia merasa jerih.
Sesaat matanya yang jereng berputar-putar dan daun telinganya yang lebar
bergerak-gerak. Akhirnya sambil pejamkan mata dan tekap bagian bawah perutnya
dengan dua tangan sekaligus, kakek ini jatuhkan diri ke tanah. Untuk beberapa
lamanya dia tergeletak melingkar di tanah sambil beser terus-terusan.
Naga
Kuning lari menuju bagian kepala anak perempuan yang terbaring di tanah. Dia
berusaha memanjat ke bahu. Tapi setiap dicoba tergelincir kembali karena tubuh
anak perempuan itu licin akibat kebasahan air hujan. Saat itulah Lakasipo
melihat sosok Naga Kuning dan Wiro serta Setan Ngompol.
Dia
hendak marah dan menegur tapi karena lebih mementingkan menolong anak perempuan
itu maka untuk sementara Lakasipo tidak mengacuhkan tiga orang tersebut.
Dengan
sangat hati-hati dan sampai keluarkan keringat dingin Lakasipo berhasil membuka
lidah yang terbuhul. Lidah itu masuk ke dalam mulut dengan mengeluarkan suara
keras. Bersamaan dengan itu menyembur darah segar. Si anak perempuan mengerang
pendek lalu terkulai tak bergerak.
"Kau
membunuhnya!" teriak Naga Kuning. Wiro dan Setan Ngompol juga merasa
khawatir.
"Kau
tak usah takut Naga Kuning. Anak ini hanya jatuh pingsan. Sebentar lagi dia
pasti siuman. Kulihat kau begitu cemas. Jangan-jangan anak ini yang pernah kau
tanyakan berulang kali itu…." Lakasipo berkata sambi dekatkan mukanya ke
tanah.
‘Tolong
dia Lakasipo! Memang anak ini yang tempo hari kulihat di pinggir tanah
lapang!" jawab Naga Kuning.
"Tak
sengaja akhirnya kau temui juga dia. Hanya sayang dalam keadaan begini
rupa…."
"Selamatkan
dia Lakasipo! Lakukan apa saja agar dia tidak mati!" kata Naga Kuning lalu
dengan kedua tangannya dipegangnya lengan si anak yang ukurannya puluhan kali
lebih besar dibanding dengan lengan Naga Kuning. Bocah ini kerahkan tenaga
dalamnya untuk dialirkan ke dalam tubuh anak perempuan itu.
"Sudah,
kau tak perlu susah-susah. Biar aku yang menolong!” kata Lakasipo. Lalu tangan
kirinya ditempelkan ke kening anak perempuan sedang tangan kanan mencekal
pergelangan kaki kirinya. Dari atas dan dari bawah Lakasipo salurkan tenaga
dalamnya. Tak berapa lama kemudian si anak buka kedua matanya. Sesaat dia
menatap ke atas tak berkesip. Dia melihat langit di antara celah-celah daun
pepohonan. Lalu pandangannya membentur wajah Lakasipo yang berambut
awut-awutan, wajah tertutup cambang bawuk, kumis dan jenggot meranggas liar.
Anak ini hendak menjerit karena ketakutan yang amat sangat.
*********************
11
LAKASIPO
TERSENYUM. DIA COBA TENANGKAN anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya dia
berkata. "Anak, jangan takut! Aku bukan orang jahat…"
"Kau…."
Hanya sepotong bicara si anak hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa
sakit. Dari mulutnya masih meleleh darah.
"Totok
tenggorokannya di bawah dagu sebelah kanan!” Wiro berteriak. "Sakit pada
mulut dan lidah anak itu pasti berkurang "
Lakasipo
palingkan kepalanya pada Wiro. "Aku pernah menutuk orang. Akibatnya luar
biasa! Bagian bawah perutnya jadi melembung bengkaki Apa saat ini kau juga
hendak menipuku, mencelakai anak perempuan ini?"
"Aku
tidak seberengsek itu! Yang dulu kau lakukan adalah petunjuk gila bocah bernama
Naga Kuning ini!" sahut Wiro.
"Lakasipo,
sobatku ini memang benar. Totok di tempat yang tadi dikatakannya. Leher di
bawah dagu sebelah kanan. Waktu dengan Hantu Bara Kaliatus aku sengaja berbuat
gila agar manusia itu tahu rasa!"
"Hemm….
Baik, tapi jika kalian menipuku lagi tahu sendiri akibatnya…" lalu
Lakasipo tusukkan dua jari tangan kanannya ke lekukan antara dagu dan leher
kanan anak perempuan. Si anak mengeluh pendek. Darah berhenti mengucur dari
mulutnya.
"Mulut
dan lidahmu masih terasa sakit…?" Lakasipo bertanya.
Anak
perempuan itu sesaat menatap muka Lakasipo seolah untuk meyakinkan bahwa dia
memang tidak berhadapan dengan orang jahat. Lalu periahan-lahan kepalanya
digelengkan.
"Kau
bisa bicara sekarang?"
Anak
perempuan itu mengangguk.
"Lakasipo,
tanyakan siapa namanya! Beri tahu aku di sini! Beri tahu namaku Naga
Kuning!" teriak Naga Kuning pula.
"Bocah
geblek!" maki Setan Ngompol.
Naga
Kuning tidak perdulikan ucapan orang. Dia memanjat ke lengan anak perempuan itu
lalu lari sepanjang lengan kiri naik ke bahu. Mengira ada semut yang menjalar
di tangannya si anak perempuan pergunakan jari tangan kanan hendak menindas.
Untung Lakasipo memperhatikan apa yang hendak dilakukan anak itu. Dengan cepat
dia memegang Naga Kuning dan meletakkannya di tanah.
"Anak
konyol! Hampir mampus kau ditindas orang!
Hik… hik…
hik…!" kata Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan dan tentunya sambil
ngompol.
"Anak,
kalau aku tidak salah kau adalah penduduk Latanahsilam. Benar?" tanya
Lakasipo.
Yang
ditanya mengangguk.
"Mengapa
kau berada sejauh ini! Seorang diri! Dan waktu kami temukan tadi kau dalam
keadaan setengah pingsan lidah terbuhul!"
Naga
Kuning banting-banting kaki lalu mengomel sendirian. "Aku minta tanya
siapa namanya malahtanya hal-hal lain!"
"Saya…
saya mendengar suara-suara halus aneh…."
Anak perempuan
itu tiba-tiba berucap. Terbata-bata tapi cukup jelas.
"Itu
suara satu dari dua saudaraku makhluk cebol sebesar kutu. Tapi tak usah
perdulikan mereka dulu. Kau bisa duduk bersandar ke pohon biar kutolong.. “
Lalu
Lakasipo tolong mendudukkan anak perempuan itu di tanah dan menyandarkannya ke
pohon.
"Nah,
sekarang terangkan siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu," kata
Lakasipo pula.
Si anak
tidak segera menjawab. Sudut matanya melihat sesuatu. Ketika dia menukikkan
pandangan ke tanah dekat ujung kakinya, terkejutlah dia melihat ada tiga sosok
tubuh sangat kecil yang bukan lain
adalah
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
"Tiga
makhluk yang kau bilang cebol sebesar kutu…. Mereka itu yang kau maksudkan
saudara-saudaramu wahai Bapak penolong?" Ketika Lakasipo tersenyum dan
mengangguk si anak berkata. "Sungguh aneh. Baru sekali ini saya melihat
ada manusia sekecil ini. Aneh, tapi lucu-lucu…."
"Aku
yang lucu! Si kakek bau pesing dan pendekar gondrong ini apa lucunya!"
kata Naga Kuning.
"Wahai
Bapak penolong, bagaimana kau bisa punya saudara seperti mereka?" Lalu si
anak melihat sepasang kaki Lakasipo yang terbungkus batu bulat besar.
"Wahai Bapak penolong. Ternyata kau juga memiliki keanehan di kedua
kakimu! Saya ingat sekarang…. Wahai bukankah Bapak ini kepala Negeri
Latanahsilam, Bapak Lakasipo?"
Lakasipo
menyeringai. "Dulu aku memang Kepala Negeri Latanahsilam. Sekarang tidak
lagi…."
"Bukankah
Bapak yang telah membunuh Lahopeng dalam Bakucarok di tanah lapang?"
Lakasipo
menghela nafas panjang. "Kejadian itu sudah berlalu. Sekarang kami
berempat ingin tahu siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu sampai kau
berada sejauh ini, diikat d ipohon, dibuhul lidahnya!"
Si anak
tidak segera menjawab. Pandangannya kembali ditujukan pada tiga sosok kecil di
ujung kakinya. Melihat orang memandang ke arahnya Naga Kuning lambaikan
tangannya berulang-ulang. "Wahai Bapak Lakasipo, bolehkah saya memegang
tiga makhluk kecil yang katamu saudara-saudaramu itu…?"
"Asyiki
Tentu saja boleh!" berteriak Naga Kuning.
Lakasipo
alias Hantu Kaki Batu hendak mencegah tapi si anak telah lebih dulu mengulurkan
tangannya memegang Naga Kuning, Wiro dan Setan Ngompol.
"Makhluk
aneh, lucu!" kata anak perempuan itu.
Wiro dan
kawan-kawannya diletakkan di telapak tangan kiri dan dipandanginya sambil
tertawa-tawa. "Yang satu sudah kakek-kakek, satunya kakak muda berambut
gondrong. Satunya lagi seperti anak kecil…."
"Bukan
sepertinya, dia memang anak keci!" kata Setan Ngompol.
"Kakek
kuping lebar, aku lihat kau tidak pakai celana! Apa kau tidak punya celana atau
memang suka tidak pakai celana?"
Setan
Ngompol tutupi auratnya sebelah bawah lalu tertawa cekikikan.
"Namaku
Naga Kuning!" berseru Naga Kuning. "Jika tubuhku sebesarmu atau
tubuhmu sebesarku kita pasti sama-sama sebaya. Siapa wahai namamu, sahabatku
anak perempuan?’ Bocah ini bicara meniru-niru gaya orang Latanahsilam.
Anak
perempuan yang ditanya tersenyum. "Namaku Luhkimkim. Kau anak lucu. Aku
suka berteman denganmu walau kau kecil sebesar kutu!"
"Lihat!
Kalian dengar semua!" teriak Naga Kuning pada Setan Ngompol dan Wiro
Sableng. "Dia suka padaku! Yahui…!" Di atas telapak tangan anak
perempuan itu Naga Kuning lalu bersalto tiga kali berturutturut membuat si anak
perempuan tertawa senang.
"Wahai
Luhkimkim, aku ikut senang kalau kau suka pada tiga saudaraku itu. Tapi awas si
kakek bermata jereng berkuping lebar itu. Dia tukang ngompol Namanya Setan
Ngompol. Lalu pemuda yang gondrong itu bernama Wiro Sableng. Dia punya julukan
hebat yakni Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2121 Kami sudah tahu namamu, kau
sudah tahu siapa nama kami. Sekarang harap kau suka menjawab pertanyaanku tadi.
Mengapa kau berada di tempat ini. Siapa yang telah berlaku jahat
terhadapmu."
Luhkimkim
seperti hendak menangis. Tapi anak ini berusaha tabahkan diri agar tidak
mengeluarkan air mata. Setelah mengusap lelehan darah yang masih melekat di
sudut bibirnya Luhkimkim lalu memberi keterangan.
"Makhluk
jahat bernama Mantu Muka Dua yang menjatuhkan tangan jahat mencelakai
saya…."
"Hantu
Muka Dua?" mengulang Lakasipo. "Dia memang terkenal jahat, menganggap
diri Raja Di Raja para Hantu di Latanahasilam. Tapi sungguh tak kupercaya wahai
Luhkimkim kalau dia tega berlaku sekeji ini terhadap seorang anak kecil
sepertimu. Kesalahan apa yang telah kau lakukan? Dendam apa yang bersarang di
hati makhluk biadab itu?"
"Kesalahan
saya tidak punya wahai Bapak penolong. Tapi ada satu rahasia kejahatan besar
yang dilakukan Hantu Muka Dua yang saya ketahui. Itu sebabnya dia menculik
saya, lalu membawa saya ke sini…."
"Luhkimkim,
katakan kejahatan apa yang telah diperbuat Hantu Muka Dua?" bertanya Wiro.
"Saya
tak sengaja melihat dia membawa pemuda bernama Lasingar ke anjung rumah
kediaman Luhsantini. Lasingar dibaringkannya di atas ranjang, di sebelah
Luhsantini. Kedua mereka itu sama-sama dalam keadaan tidak berpakaian.
Sama-sama pingsan. Lalu saya lihat dia menanggalkan pakaiannya sendiri. Lalu
Hantu Muka Dua menindih! tubuh Luhsantini. Sebelum pergi Hantu Muka Dua
merangkulkan tangan Lasingar ke tubuh Luhsantini…."
"Makhluk
jahanam! Benar-benar keji biadab!" kata Lakasipo geram.
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Lalu berkata. "Kami mendengar
kabar ada seorang pemuda bernama Latorik yang juga melihat kejadian Luhsantini
bersama Lasingar dalam keadaan bugil di atas ranjang. Latorik kemudian dianiaya
oleh Latandai, akhirnya dibunuh oleh Lasingar yang bertahun-tahun sembunyi di
satu bukit, menyaru dengan nama Lakabil. Jika kau benar mengetahui rahasia
Hantu Muka Dua sebagai pelaku keji, mengapa Hantu Muka Dua tidak membunuhmu?"
Luhkimkim
tak bisa menjawab pertanyaan Wiro itu. Semua orang terdiam. Suasana sunyi dan
tidak enak itu akhirnya dipecahkan oleh suara Lakasipo.
"Aku
pernah mendengar kabar bahwa Hantu Muka Dua punya satu pantangan besar. Yaitu
pantangan membunuh perempuan. Agaknya pasti itu sebabnya dia tidak membunuh
Luhkimkim. Membawanya ke tempat ini dengan dua maksud. Pertama, kalau anak ini
tidak mati disantap binatang buas maka kemungkinan ke dua dia akan gagu seumur
hidup karena lidahnya sudah dibuhul…."
"Makhluk
bernama Hantu Muka Dua itu harus dihajar habis-habisan! Mayatnya direbus dalam
pendaringan besi sampai tulang belulangnya leleh jadi air.
Bukankah
ada hukum seperti itu di Negeri Latanahsilam?" ujar Naga Kuning.
"Naga
Kuning, kau tidak tahu siapa adanya Hantu Muka Dua. Sebagai Raja Di Raja para
Hantu di Negeri Latanahsilam ilmu kesaktiannya setinggi langit se dalam
lautan!"
"Tiap
kehebatan pasti ada kelemahannya!” Kata Naga Kuning tak mau kalah.
"Betul,"
ujar Luhkimkim. "Tapi kelemahannya apa ? Naga Kuning memandang
berkeliling. Wiro berkata kata. "Saat ini yang lebih penting adalah
menyelamatkan perempuan bernama Luhsantini itu. Hantu Bara Kaliatus pasti
mencari dan membunuhnya. Lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan."
"Wahai
Bapak Lakasipo, apakah saya boleh ikut bersamamu?" tanya Luhkimkim.
"Tentu
saja boleh! Siapa yang melarang!" Yang menjawab adalah Naga Kuning.
Lakasipo dan Wiro menyeringai.
Setan
Ngompol mengulurkan tangan lalu mendorong kepala berambut jabrik si bocah.
"Enak saja kau bicaral Upil Luhkimkim saja lebih besar dari tubuhmu! Biar
Lakasipo yang mengambil keputusan!"
"Suka
atau tidak suka apa kalian tega meninggalkan Luhkimkim sendirian di dalam rimba
belantara ini?" sanggah Naga Kuning.
Tak ada
yang menukas ucapan Naga Kuning itu. Akhirnya Lakasipo memegang lengan
Luhkimkim lalu menaikkan anak perempuan ini ke atas punggung kuda kaki enam.
Begitu berada di atas punggung kuda raksasa itu Luhkimkim bertanya. "Wahai
Bapak Lakasipo, bagaimana dengan tiga sahabatku yang luculucu ini. Apakah saya
boleh memegang mereka terus atau…."
"Kami
lebih suka berada dalam genggamanmu dari pada masuk kembali ke dalam kocek
pesing itu!" kata Naga Kuning cepat, "Bukan begitu sobatku Wiro?’
Naga Kuning kedipkan matanya.
Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa lebar sambil garuk-garuk kepala. Setan Ngompol
berbisik ke telinga Naga Kuning. "Kalau anak perempuan itu tahu kau
sebenarnya seorang kakek berusia seratus dua puluh tahun, jangan harap dia
masih akan suka padamu!"
"Setan
Ngompol, awas kalau kau berani membuka rahasia, Kuremas terong peot dan kantong
menyanmu!"
kata Naga
Kuning mengancam. Wiro tertawa bergelak. Setan Ngompol merengut masam. Sambil
membalikkan tubuh diam-diam tangannya diusapkan ke bawah perut. Lalu tangan
yang basah kena air kencing itu dipeperkannya ke muka Naga Kuning hingga bocah
ini menyumpah-nyumpah. Semua kejadian ini dilihat oleh Luhkimkim dengan
tertawa-tawa. Derita yang dialaminya akibat penculikan dan siksaan yang
dilakukan Hantu Muka Dua jadi terlupakan.
*********************
12
GUNUNG
LABATUHITAM SESUAI DENGAN NAMANYA merupakan satu gunung batu berwarna hitam.
Tak satu tetumbuhanpun hidup di sana kecuali sejenis lumut. Di bawah panas
teriknya matahari, di kaki selatan gunung kelihatan melesat satu bayangan
merah, berkelebat cepat dari satu gundukan batu ke gundukan lainnya. Mengingat
batubatu di tempat itu diselimuti lumut licin dan orang tersebut dapat bergerak
begitu cepat tanpa kakinya terpeleset, jelas dia memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi. Di satu lamping batu orang ini tendangkan kaki kirinya.
"Bukk!"
Satu
gerakan hebat melanda lamping batu. Batu yang ditendang sama sekali tidak cacat
atau rusak sedikitpun, apa lagi hancur. Tapi justru sebuah batu besar yang
terletak di belakang batu yang ditendang keluarkan suara berderak. Lalu seolah
menjadi rapuh secara tiba-tiba batu itu hancur menjadi bubuk dan bertebaran
hampir sama rata dengan batu rendah di sekitarnya! Inilah ilmu pukulan sakti
yang disebut Di Balik Labukit Menghancur Lagunung! Dan jelas orang berpakaian
merah itu tengah melatih diri, mulai dari ilmu meringankan tubuh dan tenaga
dalam termasuk pukulan sakti tadi.
Selagi
berlatih diri seperti itu tiba-tiba orang ini melihat ada bayang-bayang hitam
berputar-putar di atas kawasan berbatu-batu itu. Dia mendongak ke langit.
Wajahnya berubah. Dengan cepat dia lari ke balik satu lamping batu lalu membuat
beberapa kali lesatan dan akhirnya menyelinap lenyap ke dalam sebuah goa.
Orang ini
ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik. Melihat raut mukanya dia
seperti baru berusia tiga puluhan. Padahal sebenarnya usianya telah mencapai
seratusan tahuni Perempuan ini tidak terus masuk ke dalam melainkan mengintai
di mulut goa, memandang ke langit.
"Kemarin,
hari ini.." katanya perlahan. "Telah dua kali dia muncul. Pasti
melakukan pengintaian. Walet terbang…. Siapa gerangan penunggangnya? Terlalu
jauh. Tak bisa kulihat wajahnya. Tapi…."
Tiba-tiba
benda yang menimbulkan bayang-bayang di bebatuan itu menukik ke bawah lalu
lenyap di balik goa. Perempuan berpakaian merah terbuat dari kulit kayu yang
dicelup dengan jelaga merah menunggu sesaat.
Menatap
ke udara. "Tak muncul lagi. Seperti kemarin pasti dia sudah pergi…."
Perlahan-lahan,
tetap hati-hati perempuan itu melangkahkan kakinya keluar dari goa. Baru
bertindak empat langkah tiba-tiba di samping kiri goa terdengar suara menegur.
Suara yang sudah sekian puluh tahun tak pernah di dengarnya. Suara yang cukup
dikenalnya dan membuat dua kakinya seolah dipantek ke batu yang dipijaknya.
"Luhsantini,
aku ada di sini…."
Perempuan
itu berbalik dengan cepat. Wajahnya berubah pucat, keningnya mengerenyft dan
sepasang mata terbuka lebar.
"Latandai…"
desis perempuan di depan goa.
"Benar,
yang kau lihat memang Latandai!"
"Wahai
para Dewa dan Peri…. Bagaimana dia tahu aku berada di sini!" membatin
perempuan berpakaian merah. Lalu pandangannya membentur bagian bawah lelaki
itu. Yang bengkak menggelembung . “Ya Dewa, ya Peri, apa yang telah terjadi
pada dirinya ? Dia seperti menahan beban yang begitu berat .Tegak terbungkuk…."
"Tak
ada yang perlu kau takutkan wahai Luhsantini. Aku datang membawa kesalahan masa
lalu. Aku datang untuk meminta ampun dan maafmu. Apa yang kulakukan dimasa lalu
adalah satu kesalahan besar. Mengusirmu dan mengusir anak kita. Lamatahati anakku….
Dimana kau sekarang. Ayahmu membekal dosa besar terhadapmu, lebih besar dari
dosaku terhadap ibumu…."
Luhsantini
yang semula berada dalam ketakutan kini terheran-heran. "Apa yang telah
membuat lelaki ini berubah. Dulu dia begitu benci terhadapku, terhadap
Lamatahati. Sekarang seolah-olah dia menyadari semua kesalahan itu. Mencariku
untuk minta maaf dan ampun. Merindukan Lamatahati. Ada apa di balik semua
ini…."
"Luhsantini,
berkatalah. Berucaplah. Jangan diam saja. Aku ingin kita melupakan masa lalu walau
mungkin ada yang salah di antara kita. Biarlah aku mengakui kesalahan ada di
pihakku. Biar aku menanggung segala dosa. Tapi perjalanan hidup ini tidak bisa
kita hentikan begitu saja…."
"Latandai…"
kata Luhsantini dengan suara bergetar.
"Jika
kerukunan yang hendak kau cari, jika hidup bersama yang kau dambakan, menyesal
sekali wahai Latandai. Tak mungkin hal itu kulakukan…."
"Wahai
Luhsantini…" ujar Latandai alias Hantu Bara Kaliatus dengan suara tercekat
dan tersurut dua langkah.
"Kau
tak ingin karena keadaaanku yang seperti ini? Kepala seolah bertopi bara. Mata
seolah api menyala. Tubuh penuh bara api!"
"Bukan….
Bukan itu wahai Latandai. Tapi di antara kita ada satu jurang besari Jurang
kesalahpahaman yang sangat nyata adanya…."
"Wahai
Luhsantini, aku datang tidak membawa segala yang berbau masa lalu. Aku ingin
kita bersatu kembali. Jika kau ihklas, jika kau suka hal itu bisa terjadi.
Mengenai diriku yang celaka ini akan bisa disembuhkan, akan bisa kembali ke
asal keadaan semula. Asalkan saja kau mau memohon kepada para Dewa dan Peri,
kepada para roh yang ada antara langit dan bumi. Mintakan ampun untukku. Cabut
kutuk dan sumpahmu dulu! maka semua bara api yang ada di kepala dan tubuhku
akan sirna…. Aku mohon padamu Luhsantini. Ini satu-satunya permintaan kalau
hidup ini masih bisa panjang. Kalau masa depanku masih kau terima…."
Hantu
Bara Kaliatus jatuhkan dirinya di atas batu, berlutut dengan kepala tertunduk
dan dua tangan disatukan membentuk sembah. Untuk beberapa lamanya Luhsantini
tegak tak bergerak, sepasang mata tak berkesip pandangi lelaki yang pernah
hidup sebagai suaminya. Di luar sadar dua mata yang tidak berkesip itu tampak
berkaca-kaca. Getaran-getaran muncul di dadanya.
"Wahai
Latandai, jika niatmu sebersih itu, jika pintamu sesuci yang aku dengar, aku
yakin para Dewa dan para Peri mendengar pintamu. Tetapi apakah diri yang hina
ini bisa memintakan apa yang kau mohonkan itu dan sudikah para Dewa dan para
Peri mengabulkan permintaan kita?"
"Wahai
Luhsantini. Belum lama berselang aku didatangi Peri Bunda. Simpul Agung Dari
Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Dia memberi petunjuk bahwa
keadaan diriku bisa pulih kembali jika kau bersedia memohonkan ampun kepada
para Dewa, para Peri dan para roh…."
"Jika
begitu wahai Latandai bilsa memang begitu janji Peri Bunda, aku ikhlas menerima
kenyataan, aku rela memohon…. “. Luhsantini jatuhkan diri berlutut di atas
batu, berhadap-hadapan dengan suaminya, saling terpisah lima langkah satu sama
lain.
Perlahan-lahan
perempuan itu angkat kedua tangannya ke atas. Lalu dari mulutnya meluncur
ucapan : "Wahai para Dewa dan para Peri, para roh yang ada di antara
langit dan bumi. Delapan puluh tahun lalu aku Luhsantini pernah memohon
menjatuhkan sumpah dan kutuk atas diri Latandai. Ya para Dewa dan para Dewi,
wahai para roh, aku tidak menyangka akan demikian besar akibat sumpah dan kutuk
itu. Selama delapan puluh tahun kami hidup tersiksa. Tanpa tahu dimana
beradanya kini putera kami Lamatahati. Rasanya ya para Dewa dan para Peri serta
para roh. Sudah cukup semua siksaan hukuman itu. Ampuni kesalahan kami wahai
para Dewa, Peri dan roh. Ampuni terutama dosa dan kesalahan suamiku Latandai.
Aku memohon kaki ke atas kepala ke bawah. Aku meminta kepala di atas kaki di
bawah. Cabutlah kutuk dan sumpah itu. Sembuhkan suamiku. Lenyapkan semua bara
api yang menempel di kepala, wajah serta sekujur tubuhnya! Kasihani kami wahai
para Dewa, Peri dan para roh. Aku tahu kalian mendengar permintaan yang aku
sampaikan dengan hati tulus serta kudus ini…."
Air mata
bercucuran jatuh membasahi pipi Luhsantini kiri kanan pertanda perempuan ini
benar-benar memohon sepenuh hati atas kesembuhan suaminya. Sesaat kesunyian
mencengkam lalu ada suara bergetar seolah-olah gempa keluar dari pusat bumi di
bawah kaki Gunung Labatuhitam. Saat itu tak ada mendung tak ada hujan. Namun
mendadak guntur menggelegar. Dari langit mencuat cahaya terang menyilaukan
seolah, petir menyambar lalu menghantam sosok tubuh Hantu Bara Kaliatus yang
berlutut di atas batu. Batu tempat Bara Kaliatus berlutut hancur
berkepingkeping, berubah menjadi bara. Sosok Latandai sendiri terpental belasan
tombak. Lalu melayang jatuh, tergelim-pang di celah antara dua batu besar. Dari
tubuhnya mengepul asap.
"Latandai!"
pekik Luhsantini. Perempuan ini melompat dari berlututnya, menghambur ke tempat
Latandai terkapar. Dia melihat kenyataan bagaimana kini tidak sebuah bara
apipun ada di kepala, dada dan perut Latandai. Dengan keluarkan pekik gembira
seraya menyebut para Dewa, Peri dan roh berulang kali perempuan ini jatuhkan
diri memeluk suaminya.
"Latandai…
Latandai…" panggil Luhsantini berulang kali mendekap wajah lelaki itu
dengan dua tangan dan menciuminya.
Sosok
Latandai bergerak. Dua matanya yang tadi terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia
menatap Luhsantini sesaat lalu tersenyum. Bola matanya yang tadinya ada empat
kini kembali hanya dua. Tangan kanannya diusapkannya ke kepala, muka, dada dan
perut. Tak ada lagi bara menyala! Latandai berseru gembira lalu bangkit
berdiri. "Aku sembuh Luhsantini! Aku sembuh! Permohonanmu
dikabulkan!" Latandai mendukung, memeluk dan meciumi istrinya sambil
berputar-putar di atas batu. "Terima kasih Peri Bunda, terima kasih semua
Peri dan para Dewa, para roh!"
Perlahan-lahan
Luhsantini diturunkannya. Dari mulutnya keluar suara tertawa aneh. Ketika
Luhsantini hendak menjauhkan kepalanya guna dapat memandang wajah lelaki itu
mendadak dua tangan Latandai menyambar cepat ke lehernya. Demikian kencangnya
hingga perempuan ini merasakan nafasnya seolah berhenti dan tulang lehernya seperti
mau patah. Lidahnya mulai terjulur.
"La…Latandai…
Apa yang kau.. laku…lakukan…Kau mencekikku…."
Tawa
Latandai semakin keras. "Perempuan tolol. Apa kau kira menolongku berarti
menghapus semua dosa terkutuk yang pernah kau lakukan dengan Lasingar?!"
"Latandai.
Ap… apa maksud ucapanmu. Bukan…. Bukankah kau berkata tidak ingin membicarakan
hal masa silam. Lag… lagi pula aku tidak pernah melakukan perbuatan tidak
senonoh dengan Lasingar…."
Latandai
mendengus. "Delapan puluh tahun lalu kau berdusta. Sekarang masih saja
berdusta! Siapa percaya padamu! Aku sudah sembuh Luhsantini! Dengar. Aku sudah
sembuh! Dan aku tidak memerlukan dirimu lagi! Mampuslah perempuan jalang!"
Sepuluh
jari kokoh Latandai disertai tenaga luar dan dalam yang sangat hebat
mencengkeram siap menghancurkan leher Luhsantini. Pada saat itulah tangan kanan
Luhsantini menghantam ke depan, mengarah ke perut Latandai. Melepas pukulan Di
Balik Labukit Menghancur Lagunung!
Tapi
Latandai tidak buta. Tangan kirinya secepat kilat di babatkan ke bawah.
"Bukkk!"
Dua
lengan saling beradu keras. Kedua orang itu terpental dan sama-sama kesakitan.
Begitu lepas dari cekikan Latandai, Luhsantini berteriak marah. "Manusia
laknat! Binatang saja kalau ditolong tidak akan pernah berkhianat! Kau memang
Hantu jahanam yang harus dimusnahkan!" untuk kedua kalinya Luhsantini
menyerang dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung.
Latandai
cepat menyingkir. Gerakannya memang tidak terlalu cepat akibat kendala di
bagian bawah perutnya. Sadar dan khawatir serangan lawan bisa mencelakainya
maka lelaki ini menangkis dengan melepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala
Hitam. Dua belas larikan sinar hitam halus menggebubu. Luhsantini seperti gila
melihat berkiblatnya dua belas sinar hitam itu. Delapan puluh tahun silam,
pukulan inilah yang telah membuat cacat puteranya Lamatahati! Seperti hendak
mengadu jiwa, dengan nekad Luhsantini sambuti pukulan lawan dengan pukulan Di
Balik Labukit Menghancur Lagunung. Kali ini dengan tangan kiri kanan sekaligus.
Kesaktian
Luhsantini boleh hebat, namun dia kalah jauh pada tenaga dalam. Begitu dua
pukulan sakti bentrokan, terdengarlah pekik perempuan ini. Tubuhnya terlempar
ke udara setinggi tiga tombak lalu jatuh di atas batu. Darah mengucur di
mulutnya. Dada pakaian merahnya robek dan hangus besar hingga auratnya
tersingkap putih. Latandai sendiri terlempar satu tombak. Punggungnya
menghantam gundukan batu. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Dadanya mendenyut
sakit dan tubuhnya bagian bawah seolah hendak tanggal. Terbungkuk bungkuk dia melangkah
mendekati sosok Luhsantini. Saat itu dilihatnya saiah satu kaki perempuan itu
bergerak hingga pakaiannya tersibak di bagian paha. Nafas Latandai sesaat
tertahan. Darahnya menyentaknyentak. Apalagi ketika matanya membentur dada
Luhsantini yang tidak tertutup. Nafsunya langsung menggelegak.
"Mungkin
ada baiknya dia tidak segera mati…" kata Latandai menyeringai. Dia
membungkuk di atas tubuh Luhsantini. Agar yakin perempuan itu tidak membuat
gerakan tiba-tiba yang dapat mencelakainya, kedua tangan Luhsantini dilipatnya
ke belakang.
"Kraaakk!"
Salah
satu lengan Luhsantini berderak patah. Tapi tak ada suara jerit kesakitan
keluar dari mulut perempuan ini, karena keadaannya saat itu nyaris pingsan.
Latandai menyeringai, tangannya bergerak menyingkapkan pakaian merah Luhsantini
sesaat lagi maksud terkutuknya akan kesampaian tiba-tiba satu ringkikan keras
menggelegar di kawasan bebatuan itu.
"Wuuuutt!"
Kalau
tidak lekas menyingkir pecahlah kepala Latandai kena tendangan dua kaki depan
kuda raksasa berkaki enam!
*********************
13
RAHANG
LATANDAI MENGGEMBUNG KETIKA melihat apa yang barusan hendak menghantam
kepalanya. "Hantu Kaki Batu Jahanam!" teriak Latandai. "Kau
mencari mati berani mencampuri urusanku!" Sebelum melompat turun dari
kudanya Hantu Kaki Batu alias Lakasipo berkata pada Luhkimkim. "Bawa kuda
ke balik batu tinggi di sebelah kiri. Tunggu di sana bersama tiga saudaraku
sampai urusanku selesai…."
"Untuk
urusan keji seperti yang kau lakukan siapa saja boleh ikut campur Latandai! Ho…
ho! Bara di kepala, mata dan tubuhmu sudah lenyap rupanya! Bagaimana caranya
kau menipu para Dewa dan para Peri?! Ha… ha… ha!"
"Jahanam
kau Lakasipo! Perempuan itu adalah istriku sendiri! Mengapa kau sebut aku
melakukan kekejian! Dan beraninya kau menghina para Dewa dan para Peri!"
"Latandai!
Raut wajah dan bentuk tubuhmu boleh berubah seperti sediakala! Tapi hati bejat
dan otak jahat tetap mendekam di dalam dirimu!"
"Sudah!
Jangan bicara banyak! Kalau kau memang mau mati, aku bisa memberi cara yang
tercepat!" Lalu Latandai pukulkan dua tangannya ke depan. Dua lusin sinar
hitam menggebubu. Latandai lepaskan dua pukulan Selusin Bianglala Hitami
Luhkimkim,
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang menyaksikan perkelahian itu dari balik
besar tersentak kaget melihat kehebatan serangan yang dilancarkan Latandai.
Sederetan
batu-batu besar di depan sana hancur berkeping-keping dilanda pukulan sakti
yang dilancarkan Latandai. Tapi Lakasipo sendiri sudah lenyap Selagi Latandai
berusaha mencari di mana lawannya berada tiba-tiba dari samping terdengar suara
rantai bergemerincingan disertai sambaran sebuah bola batu ke arah dadanya..
Latandai
cepat jatuhkan diri ke samping lalu berguling menjauh. Dari jarak tiga tombak
kembali dia menggempur dengan pukulan dua belas jalur sinar hitam. Walau bisa
mengelak namun lambat laun Lakasipo terdesak juga. Melihat hal ini Wiro segera
berkata pada Luhkimkim. "Kalau Lakasipo berkelahi dalam jarak terlalu
renggang, dirinya bisa celaka. Lekas kau berteriak padanya. Beri peringatan
agar dia berkelahi dalam jarak dekat. Orang kondor seperti Latandai pasti tak
bisa bergerak gesit dan cepat karena keberatan di selangkangannya!"
Bukannya
mengikuti apa yang dikatakan Pendekar 212, anak perempuan bernama Luhkimkim itu
malah bertanya. "Apa artinya kondor?"
"Kau
ini ada saja yang ditanyakan. Kondor artinya barang si Latandai itu sebesar
gentong!"
"Gentong?
Apa pula artinya gentong?!"
Wiro
garuk-garuk kepala. Naga Kuning akhirnya berkata. "Sobatku Kimkim! Sudah,
jangan banyak tanya. Lekas kau beri tahu saja Latandai. Kalau sampai terlambat
dia bisa celaka. Kita semua nanti juga ikutikutan celaka!"
Mendengar
kata-kata Naga Kuning yang ada di telapak tangannya itu Luhkimkim segera
berteriak.
"Bapak
Lakasipo, hadapi lawanmu dalam jarak pendek! Dia ada kondornya! Kondornya ada
gentongnya! Pasti tak bisa bergerak cepat kalau diserang dari dekat! Kalau dari
jauh kondornya bisa leluasa!"
Wiro
tertawa bergelak sambil garuk-garuk kepala mendengar teriakan Luhkimkim itu.
Naga Kuning tertawa gelak-gelak. Sedang Setan Ngompol terpingkalpingkal dan
terkencing-kencing!
Walau
tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan anak perempuan itu namun Lakasipo bisa
juga menangkap arti ucapan Luhkimkim. Memang jika dia menggempur dari jarak
jauh berarti lawan akan mampu menghujaninya dengan pukulan-pukulan sakti yang mengeluarkan
dua belas jalur hitam maut itu. Maka Lakasipo pusatkan tenaga dalamnya ke kaki.
Bola Bola Iblis mengeluarkan suara menghentak menggetarkan tanah dan bebatuan
di tempat itu begitu Lakasipo melangkah cepat mendekati lawan. Tubuhnya melesat
ke udara. Bola batu di kaki kanannya menyambar ke kepala lawan. Serangan ini
bukan olah-olah hebatnya karena seperti diketahui di dalam dua kaki Lakasipo
masih tersimpan ilmu kesaktian yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut. Di samping
itu sesekali Lakasipo barengi pula serangan dua kakinya dengan pukulan sakti
Lima Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam menderu ganas. Latandai yang tahu
keganasan pukulan lawan tidak berani menyambuti dan semakin terdesak. Dalam
keadaan seperti itu terpikir olehnya kalau dirinya kembali memiliki bara
menyala akan lebih mudah baginya menghadapi lawan. Maka dalam hati lalu dia
berdoa meminta. "Wahai para Dewa, Peri dan semua rohl Aku mohon kembalikan
diriku menjadi Hantu Bara Kaliatus!"
Tapi tak
terjadi apa yang diharapkan. Latandai kembali memohon malah dengan-mengeluarkan
suara keras. Sampai berulang kali. Tetap saja tidak terjadi apa-apa.
"Nenek Hantu Santet Laknat! Wahai di mana kau! Tolong aku. Tolong Aku nek.
Kembalikan bara di kepala, dada dan perutku!’ Latandai ganti memohon pada si
nenek sakti yang selama ini menguasai otak dan dirinya. Namun sia-sia belaka.
Dalam keadaan terdesak salah satu ujung rantai di kaki Lakasipo sempat merobek
pipi kirinya hingga terluka besar dan kucurkan darah! Latandai tambah was-was
dan kecut ketika dilihatnya Luhsantini siuman dari pingsannya, lalu
terhuyung-huyung melangkah ke arahnya.
"Wahai
kerabat yang aku kenal dengan nama Lakasipo!" Luhsantini berseru.
"Latandai adalah suami khianat musuh besarku! Serahkan dirinya
padaku!"
"Kerabat
Luhsantini! Siapapun kau adanya, kau berada dalam keadaan terluka!
Menyingkirlah! Biar aku mewakilimu menyelesaikan urusan dengan manusia keji
ini!"
"Sayang
aku tidak mau diwakili wahai kerabat. Jika kau tak mau mengalah berarti
terpaksa kita menyerangnya bersama-sama!" ujar Luhsantini pula. Walau
tangan kanannya patah dan sakitnya bukan main namun amarah dan dendam kesumat
yang membakar dirinya membuat Luhsantini tidak perdulikan semua cidera yang
dialaminya. Kalau Lakasipo menyerang dari arah depan maka perempuan ini menyerbu
dari samping kirinya. Tanpa ampun berulang kali Luhsantini lepaskan pukulan Di
Balik Labukit Menghancur Lagunung!
Digempur
dahsyat dari dua jurusan membuat Latandai terdesak hebat dan leleh nyalinya.
Lebih-lebih ketika satu jotosan Luhsantini mengancurkan sambungan siku tangan
kirinya hingga lengan kiri itu mulai dari siku ke bawah menjadi buntung!
Kini
nyali Latandai benar-benar putus! Sambil melepas pukulan Selusin Bianglala
Hitam dua kali berturut-turut untuk melindungi dirinya, dia melompat ke atas
sebuah batu besar lalu melayang turun ke bawah dan tahu-tahu secara tak terduga
telah menyambar sosok Luhkimkim yang ada di balik batu.
Anak
perempuan ini terpekik saking kaget, takut dan kesakitan karena Latandai
mencekal rambut lalu menyeret Luhkimkim ke arah walet raksasa tunggangannya.
Wiro dan Naga Kuning yang masih ada dalam genggaman anak perempuan itu tak
kalah takutnya. Setan Ngompol jangan dibilang lagi. Begitu Latandai melayang
turun menjambak rambut Luhkimkim kakek satu ini sudah terbeser-beser!
Luhsantini
dan Lakasipo melompat ke hadapan Latandai. Orang ini ganda tertawa. "Kau
ingin membunuhku? Silahkan! Jangan kira aku tidak tega membunuh anak perempuan
ini?" Luhsantini menyumpah dalam hati. Lakasipo menggeram keras.
"Kemana
kau pergi! Sekalipun ke ujung langit akan kukejar!" teriak Lakasipo.
"Ho…
ho! Begitu! Silahkan kejar kaiau kau mampu!" ejek Latandai. Lalu dia
melompat ke atas punggung walet terbang. Luhkimkim yang masih terus dicekalnya
diletakkanya di belakang kuduk walet. "Selamat tinggal para kerabat!
Selamat tinggal Lakasipo malang. Selamat tinggal Luhsantini jalang! Ha… ha…
ha!"
Luhsantini
saking marahnya hendak lepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh dengan
tenaga dalam penuh. Tapi Lakasipo cepat pegang tangan perempuan itu.
"Jangan. Kalau pukulanmu meleset anak perempuan itu bisa celaka. Lagi pula
dalam genggamannya ada tiga orang saudaraku!"
Walau
tidak mengerti apa atau siapa yang dimaksud Lakasipo dengan tiga orang
saudaranya itu namun Luhsantini urungkan niatnya untuk menghantam.
Sementara
itu walet tunggangannya semakin tinggi, naik keudara. Suara gelak tawa Latandai
masih terdengar di atas sana. Di dalam genggaman Luhkimkim yang gemetaran
ketakutan, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol merasa sudah terbang nyawa
masing-masing.
"Celaka
kita semua. Celaka sahabatku Luhkimkim" ujar Naga Kuning.
Tiba-tiba
dari langit sebelah timur ada satu sinar biru terang sekali. Makin lama makin
besar dan bergerak ke bawah ke arah walet terbang. Sesaat kemudian cahaya biru
itu berubah menjadi sosok seorang perempuan yang bergoyang-goyang seperti asap.
Bersamaan dengan itu bau harum semerbak memenuhi udara.
"Peri
Bunda!" seru Lakasipo dan Luhsantini begitu dia melihat lebih jelas dan
mengenali siapa adanya sosok biru, di atas sana. Kedua orang ini segera
jatuhkan diri berlutut. Sampai saat itu Lakasipo secara tidak sadar masih
memegangi tangan kiri Luhsantini yang tadi hendak memukul. Luhsantini sendiri
tidak pula berusaha untuk melepaskan tangannya dari pegangan orang.
Latandai
yang ada di atas walet terbang jadi berubah kecut tampangnya ketika dia melihat
siapa yang muncul dari langit di atasnya. Dia berusaha mempertenang diri karena
sampai saat itu masih menguasai Luhkimkim yang tetap terus dijambaknya.
"Kalau Peri itu berbuat macam-macam kupecahkan kepala anak ini!" kata
Latandai dalam hati.
"Wahai
Latandai manusia culas!" Peri Bunda berseru.
Mahkota
di kepalanya mengeluarkan sinar berkilauan. Pakaiannya yang berupa gulungan
selendang biru panjang melambai-lambai. "Istrimu memohon pengampunan
secara ikhlas. Ternyata petunjukku dan kemauan baik istrimu kau salah gunakan.
Kau pakai untuk menipu. Hukuman tak bisa lepas darimu Latandai!"
"Peri
Agung! Jika kau berani mencelakai diriku, anak perempuan ini akan kulempar ke
bawah sana! Biar kepalanya mendarat hancur di atas bebatuan!" Latandai
mengancam.
Peri
Agung tersenyum. "Kau ingin membunuh anak itu! Jatuhkanlah sekarang juga!
Aku peri Bunda tidak termakan ancamanmu!"
"Peri
jahanam!" rutuk Latandai. Nekad sudah orang ini. Jambakannya di rambut
Luhkimkim diperkencang. Lalu dengan satu betotan keras anak itu dilemparkannya
ke bawah.
Luhkimkim
menjerit keras. Tangannya yang menggenggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
terbuka. Tak ampun lagi ketiga orang ini melayang jatuh sama-sama memekik. Di
bawah sana Luhsantini dan Lakasipo tak kalah kagetnya dan keluarkan seruan
tertahan. Hanya beberapa saat lagi tubuh Luhkimkim akan jatuh di atas bebatuan
disusul oleh tubuh Wiro dan kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pakaian biru Peri
Bunda melesat bergulung-gulung ke bawah, menyambar tubuh Luhkimkim sehingga
anak ini merasa seperti di ayunan. Waktu pakaian menggulung tubuh anak
perempuan itu tiga sosok tubuh Wiro dan kawankawannya ikut tergulung.
"Hai
apa yang terjadi?!" teriak Setan Ngompol yang sudah basah kuyup aurat
sebelah bawahnya.
"Kita
melayang dalam gulungan pakaian makhluk aneh di atas sana!’ ujar Wiro.
Walah!
Aku tahu kita berada di mana! Kita memang tergulung tapi aku berada di atas
dada Luhkimkim! Maut mengintai tapi rejeki besar yang kudapati Hik…hik..:
hik!" Itu suaranya Naga Kuning.
Tubuh
Luhkimkim mendarat lembut di Atas sebuah batu besar. Begitu juga Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol yang ada di atas dada perempuan Ini. Luhkimkim cepat
memegang tiga sahabat kecilnya itu lalu berlutut sambil dongakkan kepala ke
atas dan berkata "Peri Bunda, Peri Agung, saya Luhkimkim mengucap kan
terima kasih atas pertolonganmu."
"Anak
baik anak berbudi aku mengucapkan terima kasih kembali Jaga baik-baik tiga
temanmu…" rnenyahuti Peri Agung sambil tersenyum.
"Makhluk
bernama Peri Agung itu ternyata memang cantik," bisik Setan Ngompol ke
telinga Wiro lalu senyum-senyum sendiri sambi! memandang ke atas. Sementara itu
Luhsantini dan Lakasipo segera mendatangi Luhkimkim.
Di atas
sana, di punggung walet Latandai jadi bingung sendiri dalam kecutnya. Tiba-tiba
digebraknya tubuh binatang itu. Namun sebelum binatang ini melayang terbang
menjauhi Peri Bunda, tahu-tahu sang Peri sudah berada di hadapannya. Telapak
tangan kirinya diacungkan ke depan kepala walet hingga binatang ini seolah-olah
kaku tak bisa bergerak barang sedikitpun.
"Latandai!
Aku terpaksa menjatuhkan hukuman atas dirimu sekali lagi. Kau akan menjadi
makhluk bernama Hantu Bara Kaliatus kembali! Namun kau tidak memiliki kesaktian
apa-apa. Dua ratus bara api akan kususupkan dalam perutmu! Seumur-umur kau akan
hidup dengan sekujur tubuh seperti dipanggang!"
Peri
Bunda angkat tangan kanannya lalu dua jari menjentik. Dua ratus sinar merah
sebesar ujung ibu jari kaki, entah dari mana datangnya melesat masuk ke dalam
perut Latandai. Dari luar perut itu kelihatan memancarkan sinar terang bara
api. Latandai menjerit keras tiada hentinya
Peri
Bunda tarik tangan kirinya. Walet yang tadi mengapung kaku tak bergerak kini
kepakkan sayapnya lalu terbang menuju ke barat. Di atas punggungnya Latandai
terbaring menelungkup kelojotan dan terus berteriak-teriak. Bersamaan dengan
itu sosok Peri Bunda melesat ke atas lalu lenyap seolah menembus langit.
"Luhkimkim,
kau tak apa-apa?" tanya Lakasipo
sambil
membantu anak perempuan itu berdiri. Si anak yang masih dicekam ketakutan hanya
menjawab dengan gelengan kepala. Lalu tangan kirinya diulurkan.
"Ha…
ha…! Wahai tiga saudaraku! Syukur kalian juga selamat! Aku tadi sudah sangat
khawatir! Agar tidak kena celaka lagi biar kalian kumasukkan kembali ke dalam
kocek!"
"Kami
lebih suka dipegang oleh Luhkimkim saja!" kata Naga Kuning cepat-cepat
sambil senyum-senyum.
"Makhluk-makhluk
aneh. Manusia, atau apa mereka itu? Bagaimana kau mengatakan mereka adalah
saudara-saudaramu wahai Lakasipo?" tanya Luhsantini.
"Panjang
ceritanya. Kalau kau suka akan kuceritakan dalam perjalanan…."
"Eh,
memangnya kita mau mengadakan perjalanan kemana? Tempat tinggalku adalah di
daerah ini…" kata Luhsantini pula.
Air muka
Lakasipo jadi kemerah-merahan. "Maksudku…. Hemm, aku menduga apa gunanya
kau memencilkan diri terus menerus di tempat sunyi ini. Lebih baik kembali ke
Negeri Latanahsilam bersama kami!"
"Berat
bagiku untuk kembali ke sana wahai Lakasipo. Hidup ini sudah terlanjur
bergelimang derita…. Aku lebih suka pergi ke tempat yang lain. Mungkin aku akan
mencari puteraku yang hilang…."
"Jika
kau suka aku mau membantu mencari puteramu itu. Namun itu bukan pekerjaan mudah
karena kabarnya dia telah masuk ke dunia para saudarasaudaraku ini…. Tapi tidak
ada salahnya berusaha. Asalkan sebelum melakukan pencarian kita ke Lanahsilam
dulu untuk sama-sama mengantarkan anak perempuan ini. Lagi pula tanganmu yang
patah perlu rawat."
Luhsantini
terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah menimbang-nimbang. Sesekali dia melirik
pada Lakasipo. Di atas tangan Luhkimkim Naga Kuning berbisik.
"Kurasa
perempuan itu naksir sama Lakasipo. Tapi mungkin merasa bingung, bagaimana ya
rasanya kalau punya kekasih yang dua kakinya dibungkus batu seperti bola…?’
"Salah-salah
lagi asyik bercumbu kaki sang kekasih bisa ketiban gandulan batu itu!"
menyahuti Wiro.
Ketiga
orang itu tertawa terpingkal-pingkal. Bersamaan dengan itu Lakasipo sendiri
secara tak sengaja memperhatikan dua kakinya. Dalam hati lelaki ini membatin.
"Mungkin keadaan dua kakiku ini yang membuat Luhsantini tidak mau
melakukan perjalanan bersama-sama." Menyadari keadaan dirinya Lakasipo
lalu menaikkan Luhkimkim ke atas punggung kuda kaki enam Laekakienam. Ketika
Lakasipo sudah berada di punggung binatang raksasa itu Luhsantini masih tegak
termangu.
"Selamat
tinggal wahai Luhsantini. Aku tidak memaksa kau ikut bersama kami. Kemana pun
kau pergi berlakulah hati-hati."
Luhsantini
anggukkan kepala mendengar ucapan Lakasipo itu. Ketika kuda kaki enam ‘itu
mulai melangkah perempuan ini bertanya.
"Apa
masih cukup tempat bagiku di punggung kuda itu?"
Lakasipo
tertawa lebar. Dia melompat turun. Menolong Luhsantini naik ke atas kuda lalu
melompat naik dan duduk di belakang Luhsantini.
"Wah,
kalau begini agar yang dua orang itu senang, lebih baik kita mencari jalan jauh
berputar. Biar lama Hik… hik… hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan.
"Sebenarnya
bukan cuma Lakasipo dan Luhsantini yang ingin dan merasa senang. Kau juga
kan?!" kata Wiro pula.
"Sssst…
jangan bicara keras-keras! Nanti Lakasipo mendengar! Kita bertiga nanti bisa
masuk ke dalam kocek bau pesing itu!" Naga Kuning tertawa geli.
"Bagaimana
rasanya tadi menempel di dada anak itu waktu jatuh dari atas walet…?"
Setan Ngompol bertanya.
"Kakek
gendeng!" ujar Naga Kuning pura-pura marah. Lalu menyambung ucapannya.
"Kalau ada kesempatan lagi aku mau-mau sajal Hik… hik… hik!"
TAMAT
No comments:
Post a Comment