Utusan Dari Akhirat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
SATU
Hujan
lebat mendera kawasan Teluk Penanjung, Pangandaran. Angin dari laut bertiup
kencang laksana hendak membongkar gugusan bukit-bukit karang. Awan hitam yang
terus menggantung di udara membuat suasana menjadi gelap seperti .
“Dari
arah timur teluk, di antara deru hujan dan hembusan angin kencang serta gelegar
ombak terdengar derap kaki kuda yang sesekali dihantui oleh suara ringkikan
keras. Tak selang berapa lama, dalam cuaca yang sangat buruk itu di kejauhan
tampak seekor kuda betina hitam berlari seperti gila, melompat kesetanan dan
meringkik tiada henti. Penunggangnya seorang pemuda bertubuh kokoh mencekal
tali kekang erat-erat, berusaha mengendalikan binatang itu.
“Walet
hitam!” si pemuda berseru menyebut nama kuda tunggangannya. “Apa yang terjadi
denganmu! Tahan larimu! Kau hendak membunuhku?!” Dengan tangan kirinya pemuda
ini berusaha mengelus leher tunggangannya agar binatang itu menjadi jinak.
Namun hal itu tak bisa dilakukan karena kalau dia hanya memegang tali kekang
kuda dengan satu tangan, tubuhnya pasti akan terlempar jatuh.
“Kuda
gila!” Akhirnya keluar suara makian dari mulut pemuda itu ketika Walet Hitam
masih terus lari kencang tak karuan. Beberapa kali binatang ini berputar-putar
di sekitar teluk. Setiap tubuhnya terkena hantaman ombak Walet Hitam meringkik
keras.
Sesaat
binatang ini tampak oleng seperti hendak tersungkur, namun dilain kejap dia
berdiri tegak kembali dan lari lagi seperti tadi.
“Kalau
mau selamat aku harus melompat!” pikir pemuda penunggang kuda. Namun dia merasa
ragu. Salah lompat Justru dia bisa celaka. Apa lagi di sekitar tempat itu penuh
dengan gugusan batu-batu karang. Maka pemuda ini berusaha mengarahkan lari kudanya
ke arah laut. Selagi berada di tempat yang dangkal dia akan pergunakan
kesempatan untuk melompat. Dia kerahkan tenaga menarik tali kekang. Leher dan
kepala tunggangannya memang tertarik ke kanan yakni ke arah laut, tapi tubuh
dan empat kaki binatang ini tetap tak bergeming dan terus membuat gerakan lari
berputar-putar.
Selagi
pemuda itu cemas dan kebingungan karena tidak tahu mau melakukan apa,
sekonyong-konyong dari arah bukit karang sebelah barat terdengar suara
ringkikan keras.
Mendadak
sontak Walet Hitam yang seperti kemasukan setan itu hentikan larinya. Leher
dijulurkan ke atas, kepala mendongak. Sepasang matanya terpentang lebar.
Mulutnya yang dipenuhi busahan ludah terbuka. Lalu ringkikan aneh keluar dari
mulut binatang ini!
“Huh!”
Dalam herannya pemuda di atas kuda palingkan kepala ke arah bukit karang di
sebelah barat. Dalam lebatnya curahan hujan dan gelapnya cuaca, samar-samar di
puncak bukit karang itu dia melihat seekor kuda dan penunggangnya. Si
penunggang tampak melambai-lambaikan tangannya tiada henti seolah-olah
memanggil.
Pemuda di
teluk perhatikan kuda tunggangannya yang saat itu diam tegak tak bergerak.
Bahkan matanya sejak tadi tidak berkesip.
“Aneh,
apa yang sebenarnya terjadi dengan binatang ini! Siapa orang di atas bukit
karang sana…?” si pemuda bertanya-tanya dalam hati.
Kuda di
atas bukit meringkik keras. Dua telinga Walet Hitam bergerak. Ekornya berputar.
Dua kaki depannya diangkat lalu dari mulutnya keluar suara ringkikan keras
seolah membalas ringkik kuda di atas bukit.
Pemuda
penunggang Walet Hitam kembali memandang ke atas bukit karang di sebelah barat.
Orang di atas kuda di puncak bukit itu tampak masih terus melambai-lambaikan
tangan memanggil-manggil.
Tiba-tiba
kilat menyambar, guntur menggelegar. Pemuda penunggang Walet Hitam tersirap
kaget. Kuda di puncak bukit meringkik keras. Walet Hitam balas meringkik. Lalu
binatang ini memutar tubuhnya. Laksana anak panah lepas dari busurnya Walet
Hitam lari ke arah bukit karang di sebelah barat. Walau hampir keseluruhan bukit
karang itu tertutup lumut licin namun Walet Hitam berlari pesat menuju puncak
bukit.
“Walet!
Kau mau ke mana?!” teriak pemuda penunggangnya. Dia menarik tali kekang kuda
kuat-kuat berusaha menahan lari binatang itu. Namun sia-sia saja. Walet Hitam
tetap melesat menuju puncak bukit, tempat di mana penunggang kuda di atas sana
terus memanggil dengan lambaian tangan.
Kuda di
puncak bukit meringkik keras. Walet Hitam membalas dengan ringkikan tak kalah
kerasnya. Semakin dekat ke puncak semakin jelas si pemuda melihat sosok kuda
dan penunggang di atas bukit itu. Kuda di puncak bukit karang itu adalah seekor
kuda jantan coklat. Penunggangnya seorang kakek bungkuk berpakaian putih,
berwajah angker karena selain sangat pucat seolah tak berdarah juga sangat
cekung dan hanya tinggal kulit pembalut tulang!
Tujuh
langkah dari kuda jantan, Walet Hitam si kuda betina hentikan larinya. Binatang
ini rundukkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Orang tua di atas kuda coklat
tampak menyeringai lalu kembali lambaikan tangannya. Walet Hitam bergerak maju
lang-kah demi langkah sementara pemuda di atas punggungnya merasakan keanehan
yang menyelimuti dirinya perlahan-lahan berubah menjadi rasa takut, terlebih
ketika dia berada begitu dekat dengan si kakek di atas kuda coklat.
Walet Hitam
kini berhadap-hadapan dengan kuda jantan itu. Dua binatang ini meringkik halus
lalu sama-sama sorongkan kepala masing-masing, saling menggeserkan leher dan
saling menggigit.
Sekonyong-konyong
orang tua di atas kuda jantan coklat keluarkan tawa panjang. Kepalanya
mendongak. Sepasang matanya yang cekung menatap ke atas seolah hendak menembus
langit gelap berawan.
“Kudamu
berjodoh dengan kudaku. Berarti kau pun berjodoh denganku anak muda!”
Si kakek
berkata. Suaranya terdengar aneh di telinga si pemuda, kecil jauh tapi
menggaung seolah keluar dari satu dasar jurang batu yang dalam.
“O…. or…
orang tua… Siapakah kau? Apa maksud ucapanmu tadi?” Si pemuda bertanya dengan
suara gagap.
Orang tua
di atas kuda coklat menyeringai dan dua matanya memandang tajam pada si pemuda.
“Anak
muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu undurkan dulu kudamu empat langkah ke
belakang, lalu perhatikan bukit karang di sebelah kananmu.”
Si pemuda
belum melakukan sesuatu. Namun Walet Hitam seolah mengerti akan ucapan orang
tua tadi sudah lebih dulu bertindak mundur empat langkah.
“Walet
Hitam berlaku aneh. Siapa sebenarnya orang tua ini?!” ujar si pemuda dalam
hati. Namun ingat akan ucapan si orang tua dia segera memandang ke arah kanan.
Kejut si pemuda bukan alang kepalang. Di sebelah kanan, pada bagian bukit yang
sedikit menurun dia melihat sesosok tubuh terkapar dalam, keadaan tergelung
kaku. Sosok ini mengenakan pakaian putih. Tangan dan kakinya berwarna putih
pucat. Ketika si pemuda memperhatikan wajah orang itu rasa kagetnya seolah meledak.
Wajah sosok yang tergelimpang di atas bukit karang itu dipenuhi noda darah yang
telah membeku. Keluar dari liang hidung, mulut dan telinga serta kedua matanya.
Namun bukan kengerian ini yang membuat si pemuda terkejut besar.
“Anak
muda, mendekat kembali ke sini!”
Penunggang
Walet Hitam terkejut. Seperti tadi sebelum dia mengikuti perintah, kudanya
telah lebih dulu berjalan mendekati kuda coklat.
“Apa yang
kau lihat anak muda…?” tanya si orang tua.
“A… aku
tidak mengerti….”
Orang tua
itu tertawa panjang.
“Apa yang
tidak kau mengerti anak muda?”
“Hemmm….
Wajah orang tua yang menggeletak di sana itu….”
“Ada apa
dengan wajahnya?!”
“Wajahnya…
wajahnya sama dengan wajahmu…” jawab si pemuda.
Orang tua
bermuka pucat dan cekung dongakkan kepala, kembali tertawa panjang.
“Anak
muda, dengar baik-baik. Orang yang tadi kau lihat tergeletak di sebelah sana
memang adalah diriku. Tapi itu adalah aku yang telah jadi mayat. Yang telah
jadi bangkai. Menemui ajal, mati di tangan seorang musuh!”
“A… aku
jadi tambah tidak mengerti…” ujar si pemuda. Karena menganggap kakek berwajah
angker itu bergurau maka saat itu si pemuda lebih banyak merasa heran daripada
takut.
“Orang
tua. Kalau yang satu itu memang dirimu yang telah jadi mayat, lalu kau yang di
atas kuda coklat ini siapakah adanya!”
Yang
ditanya tertawa panjang.
“Mayat
itu adalah mayat! Sosok kasar bangkai manusia tanpa nyawa. Yang di atas kuda
coklat ini adalah sosok rohku!”
“Aku
tidak mengerti….” Si pemuda merasakan tengkuknya mendadak menjadi dingin.
“Anak
muda, aku jelaskan pun kau tidak bakal mengerti. Seribu penjelasan tidak akan
dapat menembus akal sehat. Satu contoh yang tidak dapat diterima akal, apakah
kau sudah meneliti keadaan sekitar puncak bukit karang di mana kita berada saat
ini? Pakaianmu basah kuyup. Dari langit hujan masih terus turun tapi apakah kau
lihat hujan jatuh dan membasahi tempat kita berada saat ini?!”
Si pemuda
baru sadar. Dia mendongak ke langit. Memandang berkeliling. “Astaga! Keanehan
apa yang aku hadapi saat ini!” kejutnya dalam hati.
Di
hadapannya, kakek berpakaian putih bermuka sepucat mayat itu bersama kuda
tunggangannya sama sekali tidak basah. Di langit hujan turun deras namun tak
setetes pun jatuh di tempat itu. Memandang sekeliling puncak bukit di mana dia
berada, puncak batu karang itu berada dalam keadaan kering, hanya terselimut
lumut hijau lembab di beberapa tempat!
“Tidak
mungkin! Bagaimana ini bisa terjadi?!” ujar si pemuda dalam hati lalu memandang
ke arah orang tua di atas kuda coklat.
“Kau
melihat dan kau harus berpikir. Tapi tidak perlu mengerti! Aku bertanya siapa
namamu anak muda?!”
“Aku
Layang Kemitir….”
“Hemmm….
Bukankah kau biasa dipanggil orang dengan sebutan Raden Layang Kemitir. Karena
kau adalah seorang putera bangsawan terhormat di Banten, cucu seorang Pangeran
satu kerajaan di ujung barat tanah Jawa….”
Pemuda di
atas kuda hitam bernama Walet Hitam itu tercengang diam walau dalam hati dia
bertanya-tanya. “Aku tidak mengenal dirinya. Sebaliknya orang tua aneh ini tahu
banyak tentang diriku….”
“Anak muda,
waktuku tidak lama. Aku harus segera kembali ke alamku. Aku minta saat ini juga
kau turun dari kudamu. Melangkah ke tempat jenazahku tergeletak. Periksa
mayatku sampai kau menemukan sesuatu….”
“Orang
tua…. Aku….” Ucapan si pemuda terputus. Di hadapannya kuda coklat tunggangan si
orang tua meringkik keras. Lalu terjadilah satu keanehan yang benar-benar tidak
bisa dipercayanya. Pemuda ini menggosok kedua matanya berulang kali. Menjambak
rambutnya kuat-kuat dan menggigit bibirnya kencang-kencang,
“Aku tidak
bermimpi…. Apa yang aku lihat nyata adanya. Rambut kujambak terasa sakit. Bibir
kugigit terasa luka berdarah….” Paras si pemuda menjadi pucat, lututnya terasa
goyah. Dia bertahan sekuat tenaga agar tidak roboh!
********************
DUA
Di
hadapan si pemuda, kuda coklat dan sosok tubuh kakek bungkuk berpakaian putih
itu tiba-tiba tampak berubah menjadi samar. Kini seolah berbentuk asap putih
yang meliuk-liuk kian kemari dan perlahan-lahan naik ke udara.
“Anak
muda, aku tidak suka orang yang tidak menurut perintah. Turun dari kudamu dan
pergi ke arah mayat diriku. Lakukan apa yang aku katakan tadi….”
“Orang
tua, aku….”
Di langit
kilat menyambar dan guruh menggelegar. Puncak bukit batu karang terasa
bergetar. Kuda coklat yang kini hanya berbentuk bayang-bayang dan seolah mengapung
di atas bukit meringkik keras. Walet Hitam kelihatan gelisah lalu ikut
meringkik dan menaikkan sepasang kaki depannya tinggi-tinggi hingga pemuda di
atas punggungnya merosot jatuh dan terbanting di atas bukit!
“Itu
peringatan pertama! Kalau aku memberi peringatan ke dua, berarti nyawamu putus
meninggalkan badan!” Kakek bungkuk di atas punggung kuda coklat mengancam.
Seperti tadi suaranya seolah datang dari satu jurang yang dalam. Dan saat itu
sosoknya bersama sosok kuda coklat melayang berputar-putar di udara.
Kalau
tadi dirinya banyak diselimuti oleh hal-hal mengherankan yang tidak masuk
akalnya kini pemuda bernama Layang Kemitir itu menjadi takut. Perlahan-lahan
dia bangkit berdiri sambil sepasang matanya tidak lepas memandang pada sosok
orang tua dan kuda coklat yang samar berbentuk asap dan menggantung di udara
berputar-putar.
Langkahnya
terasa berat ketika dia berjalan menghampiri sosok mayat yang menggeletak
bergelung di puncak bukit karang yang menurun. Apa yang dikatakan orang tua itu
terngiang di kedua telinga Layang Kemitir.”… turun dari kudamu. Melangkah ke
tempat jenazahku tergeletak. Periksa mayatku sampai kau menemukan sesuatu….”
Layang
Kemitir sampai di tempat mayat tergeletak. Perlahan-lahan dia berjongkok di
samping mayat itu. Sesaat diperhatikannya mayat itu dengan dada berdebar. Di
atas bukit orang tua penunggang kuda memandang ke bawah, memperhatikan setiap
gerak yang dilakukan si pemuda. Setelah memandang sejurus barulah Layang
Kemitir menyadari bahwa mayat yang tergeletak di hadapannya berada dalam
keadaan utuh dan tidak berbau busuk. Hanya kulitnya saja yang tampak putih tak
berdarah. Dengan tangan kiri gemetar Layang Kemitir membalikkan sosok mayat.
Sesaat dia tersentak karena mayat itu dingin sekali seolah barusan dia menyentuh
es!
Mayat
kini tergeletak menelentang. Layang Kemitir pandangi mayat itu dengan dada
berdebar. “Bagaimana aku harus memeriksa…?” pikir si pemuda. “Aku bisa mati
berjongkok kalau harus menggerayangi mayat ini dengan kedua tanganku!” Sesaat
pemuda ini jadi termangu bingung bercampur ngeri.
“Layang
Kemitir) Mengapa kau tidak segera memeriksa jenazah? Jangan menunggu sampai aku
habis kesabaran!”
Layang
Kemitir memandang ke atas. Orang tua berwajah seram yang kini hanya tinggal
seolah asap atau bayangan itu menatap tajam ke arahnya membuat si pemuda tambah
bergidik.
“Sesuatu….
Aku harus menemukan sesuatu…. Mungkin senjata….” Layang Kemitir pergunakan dua
tangannya meraba ke pinggang mayat. Polos, tak ada apa-apa. Sementara tangannya
yang bersentuhan dengan mayat terasa sedingin es. “Mungkin sebilah pedang
sakti. Disisipkan di punggung….” Pikir Layar Kemitir. Lalu dengan tangan
gemetar mayat dimiringkan. Tangannya kini meraba dan memeriksa di bagian
punggung yang bungkuk. Dia tidak menemukan apa-apa.
“Layang
Kemitir! Lekas selesaikan pekerjaanmu! Waktuku hampir habis!” Di udara suara
orang tua itu kembali menggema aneh, membuat Layang Kemitir semakin bingung dan
takut. Mayat dibalikkannya kembali. Pada saat itulah sebuah benda tersembul
dari balik baju di bagian dada mayat.
“Mungkin
ini benda yang dimaksudkan orang tua itu…” membatin Layang Kemitir. Dengan
tangan gemetar benda yang tersembul segera ditariknya. Begitu tangannya
menyentuh benda itu di langit kilat tiba-tiba menyambar. Guruh menggelegar. Puncak
bukit karang bergetar dan ringkik kuda coklat membahana. Di sebelah sana Walet
Hitam ikut pula meringkik.
“Ada hawa
aneh mengalir dari benda ini ke dalam tubuhku…” kata Layang Kemitir dengan hati
ikut bergetar. Si pemuda perhatikan benda yang dipegangnya dengan tangan
gemetar. Ternyata sebuah kitab tipis dari daun lontar yang sudah sangat tua,
bernoda darah, lusuh dan lembab. Pada sampul kitab tertera tulisan berbunyi
Matahari. Sumber Segala Kesaktian.
“Layang
Kemitir!”
Di atas
bukit karang menggelegar suara orang tua bungkuk berpakaian putih, membuat
Layang Kemitir terdongak dan memandang ke atas.
“Kau
ternyata berjodoh dengan kitab itu! Langit dan bumi menjadi saksi! Dengar
baik-baik anak muda! Mulai saat ini kau harus melupakan masa silammu. Mulai saat
ini kau tidak akan ingat lagi masa silam dan siapa dirimu. Mulai saat ini nama
Layang Kemitir harus kau pendam ke pusar bumi. Mulai saat ini namamu adalah
Utusan Dari Akhirat! Jika ada orang bertanya siapa dirimu, siapa namamu. Maka
jawabmu: adalah Utusan Dari Akhirat! Kau dengar anak muda?”
“Aku… aku
mendengar…” jawab Layang Kemitir seperti berada dalam satu pengaruh kekuatan
yang membuatnya patuh.
“Siapa
namamu anak muda?!”
“Aku
Utusan Dari Akhirat!”
Orang tua
di atas bukit tertawa mengekeh.
“Utusan Dari
Akhirat! Saat ini kau memiliki sebuah kitab berisi ilmu kesaktian yang
bersumber pada kekuatan Matahari. Hanya ada empat manusia di atas jagat ini
yang memiliki ilmu kesaktian itu. Hanya empat! Setelah itu tak ada lagi yang
berhak! Tiga dari empat orang itu telah mati menemui ajal!”
“Siapa
saja mereka itu, orang tua…?” Layang Kemitir beranikan diri bertanya.
“Yang
pertama adalah guruku. Dia sudah lama mati. Yang kedua diriku sendiri yang
semasa hidup disebut dengan julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Setan. Walau
belum lama tapi aku juga sudah mati. Orang ke tiga adalah muridku berjuluk
Pangeran Matahari, Dia juga belum lama mati! Yang ke empat dan yang terakhir
adalah dirimu. Utusan Dari Akhirat!”
Layang
Kemitir jadi ternganga mendengar ucapan orang tua mengaku berjuluk Si Muka
Bangkai atau Si Muka Mayat itu. Lama dia menatap kitab lusuh di tangannya.
Ketika dia hendak membuka sampul penutup kitab tiba-tiba di atasnya si kakek
membentak.
“Jangan
kau berani membuka kitab sakti itu sebelum aku pergi dari sini!”
“Maafkan
aku, orang tua….” Layang Kemitir cepat menutup kitab itu kembali.
“Sekarang
kau dengar baik-baik Utusan Dari Akhirat! Ada saat memberi. Ada saat memintal
Aku telah memberikan satu kitab berisi ilmu silat dan kesaktian yang sulit
dicari tandingannya di muka bumi ini! Sebagai imbalannya kau harus melakukan
sesuatu untukku. Kau dengar Utusan Dari Akhirat?!”
“Saya
dengar….”
“Kau bisa
memiliki ilmu silat dan kesaktian di dalam kitab itu dalam waktu singkat.
Karena aku tahu sebagai cucu seorang Pangeran kau telah memiliki dasar ilmu
silat serta penguasaan tenaga dalam. Kau hanya membutuhkan waktu tiga kali
purnama untuk mempelajari kitab Matahari, Sumber Segala Kesaktian yang kini
jadi milikmu. Setelah kau menguasai ilmu silat dan kesaktian ini maka itulah
saat bagimu untuk terjun ke dalam rimba persilatan. Kau harus mencari tiga anak
manusia dan harus membunuh mereka. Dengar baik-baik Utusan Dari Akhirat! Orang
pertama adalah seorang pemuda luar biasa gemuk bernama Santiko, bergelar Bujang
Gila Tapak Sakti. Dialah bangsat yang telah membunuhku! Ingat baik-baik.
Namanya Santiko! Gelarnya Bujang Gila Tapak Sakti!” (Mengenai kematian Si Muka
bangkai yang adalah guru Pangeran Matahari harap baca serial Wiro Sableng
Episode berjudul Kiamat Di Pangandaran. Sedang perihal riwayat Bujang Gila
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti).
“Orang ke
dua yang harus kau cari dan kau bunuh adalah seorang pemuda bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2121”
“Kalau
aku boleh bertanya, siapakah orang itu adanya?”
“Dia
adalah sahabat Bujang Gila Tapak Sakti, murid seorang nenek sakti di Gunung
Gede bernama Sinto Gendeng! Dialah bangsatnya yang telah membunuh muridku
Pangeran Matahari! Ingat nama dan gelar itu baik-baik. Wiro Sableng alias
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Akan
kuingat sesuai perintahmu, orang tua…. Siapakah orang yang ke tiga?”
“Bangsat
tua renta dikenal dengan julukan Tua Gila!”
“Apa
permusuhan atau kesalahan orang ketiga itu?”
“Ketika
terjadi pertempuran besar di bukit ini beberapa waktu yang silam, bangsat tua
itu ikut menanam andil atas kematianku dan kematian muridku) Utusan dari
Akhirat, aku sudah bicara dan kau sudah mendengar. Apa ada sesuatu yang hendak
kau sampaikan sebelum aku pergi?!”
Layang
Kemitir terdiam sesaat. Lalu dia jatuhkan diri berlutut. “Orang tua,
perkenankan aku memanggilmu Guru. Perkenankan aku mengucapkan terima kasih atas
kebaikanmu memberikan kitab ini….”
Si Muka
Bangkai tertawa dan menjawab. “Kau boleh memanggil dan mengenang diriku sebagai
Guru. Aku terima ucapan terima kasihmu. Tetapi aku bukan orang baik seperti
katamu. Ha… ha… ha!”
Suara
tawa Si Muka Bangkai yang membahana tiba-tiba lenyap. Layang Kemitir memandang
ke atas. Orang tua bungkuk itu dan kuda coklatnya tak ada lagi di atas bukit
karangi
“Aku
tidak bermimpi. Aku tidak berada dalam sirapan ilmu hitam. Kitab ini bukti
segala-galanya…” kata Layang Kemitir dengan suara bergetar. Dia memandang lagi
ke langit. Lalu perhatiannya tertuju pada kitab yang dipegangnya. Agak gemetar
sampul kitab itu dibukanya. Di halaman pertama terpampang gambar matahari
besar, dikelilingi tujuh garis warna. Warna hitam, kuning dan merah tampak
lebih lebar dan jelas dibanding empat warna lainnya.
Di
halaman ke dua terbaca serangkaian tulisan berbunyi:
Hanya ada
empat manusia yang layak memiliki dan mempelajari kitab ini.
Yang
pertama diriku sendiri
Yang
kedua pewarisku Si Muka Bangkai
Yang ke
tiga murid Si Muka Bangkai
Yang ke
empat dan terakhir
Yang
berjodoh dengan kitab ini
dan
kusebut dengan nama Utusan Dari Akhirat
Layang
Kemitir diam terkesiap beberapa lamanya. “Sukar kupercaya. Utusan Dari Akhirat
agaknya telah dipersiapkan sejak lama. Ternyata aku orangnya….” Perlahan-lahan
pemuda itu melanjutkan membuka halaman kitab berikutnya.
Di
halaman itu tertulis: Jurus sakti “Pukulan Gerhana Matahari”. Belum sempat
Layang Kemitir meneruskan membaca tiba-tiba kilat menyambar laksana membelah
langit. Sesaat udara terang benderang. Lalu gelegar guntur menggetarkan puncak
bukit karang. Di sebelah sana Walet Hitam meringkik keras. Mendadak hujan deras
mencurah turun. Layang Kemitir cepat masukkan kitab “Matahari, Sumber Segala
Kesaktian” ke balik pakaiannya. Lalu lari mendapatkan kuda hitamnya dan di
bawah hujan lebat serta tiupan angin kencang segera tinggalkan puncak bukit karang
di sebelah barat Teluk Penanjung Pangandaran itu.
Di atas
kuda hitamnya Layang Kemitir merasa heran tapi diam-diam juga merasa gembira.
Waktu lari dan melompat ke atas kuda tadi tubuhnya terasa ringan, gerakannya
enteng dan gesit. “Satu perubahan terjadi dengan diriku. Kitab sakti pemberian
orang tua itu…. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Pemuda itu berusaha
mengingat-ingat keadaan dirinya di masa lalu. Tapi aneh. Bagaimanapun dia
berusaha dia tidak mampu melakukannya.
“Siapa
diriku ini sebenarnya…? Siapa namaku? Dari mana aku berasal sebelumnya? Mengapa
aku bisa berada di puncak bukit karang tadi? Aku… aku Utusan Dari Akhirat?!”
Bahkan Layang Kemitir tidak mampu mengingat namanya sendiri. Di hadapannya kini
membentang satu kehidupan baru yang serba asing. Dia tidak sadar dan tidak tahu
lagi kehidupan masa lalunya.
********************
TIGA
Perahu
kayu yang bocor dan berisi air sampai dua pertiganya itu mendarat di bawah
hujan lebat di pesisir utara di satu tanjung yang sepi. Dua orang melompat
turun laksana terbang. Dari gerakan mereka jelas keduanya memiliki kepandaian
tinggi. “
emalukan!
Kalau tidak lekas mencapai daratan, perahu bocor itu akan menenggelamkan kita
di tengah laut!” Salah satu dari dua orang yang barusan melompat turun berkata
sambil menutup wajahnya dengan dua telapak tangan.
Orang
yang diajak bicara, seorang nenek bertopi tinggi berbentuk eluk tanduk kerbau,
mengenakan mantel hitam yang robek salah satu ujungnya memandang ke tengah
laut. Tanpa berpaling pada orang di sebelahnya dia berkata.
“Iblis
Pemalu, aku ingin tahu apa alasanmu tidak mau melanjutkan perjalanan
bersama-sama….”
“Nenek
Sabai, aku malui Kau kembali menanyakan hal itu. Sudah kubilang aku malu, kau
juga bisa malu. Kita sama-sama malu!”
“Aku tahu
apa alasanmu yang sebenarnya….”
“Coba kau
bilang jika kau tidak malu,” ujar orang yang dipanggil dengan sebutan Iblis
Pemalu tadi.
“Kau
tidak senang karena maksud dan tujuan perjalananku selanjutnya di tanah Jawa
ini adalah mencari dan membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan gurunya nenek
sakti bernama Sinto Gendeng itu! Karena mereka adalah sahabat-sahabatmu.
Bukankah begitu?!”
Iblis
Pemalu terdiam tapi cepat menjawab. “Tidak kujawab memalukan. Kalau kujawab
juga memalukan! Ha… ha… ha…”
“Kau
tidak bisa berdusta padaku Iblis Pemalu. Aku melihat sinar aneh di kedua matamu
waktu aku memberi tahu beberapa waktu lalu….”
Iblis
Pemalu geleng-geleng kepala. “Aku sudah bilang bagiku semua orang adalah
sahabat. Aku merasa malu kalau sampai mempunyai musuh. Urusanmu adalah
urusanmu! Tugasmu adalah tugasmu! Memalukan kalau aku mencampuri walau hanya
sekedar memberi pendapat….”
“Hmmm,
jadi sebenarnya kau punya suatu pendapat atas tugasku itu?” tanya Sabai Nan
Rancak.
“Tidak,
itu juga tidak. Itu juga memalukan bagiku! Aku hanya ingin mengatakan begini.
Kau adalah, orang baik. Setiap orang baik jika mau kembali ke hati nurani dan
lubuk hatinya yang terdalam, dia akan melakukan segala yang terbaik. Dia tidak
akan terpengaruh oleh siapapun. Hingga dalam hidupnya dia tidak pernah mendapat
malu dan tidak pernah memberi malu orang lain….”
Hati
Sabai Nan Rancak menjadi tidak enak mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Maka dia
segera saja berkata.
“Baiklah
sobatku Iblis Pemalu. Jika kau tidak mau melanjutkan perjalanan ke selatan
bersama-sama, tak jadi apa. Aku senang selama ini kita bisa bersama,
berbincang-bincang bertukar pikiran. Mudah-mudahan di lain waktu kita bisa
bertemu lagi….”
“Aku
tidak akan malu jika memang bisa bertemu denganmu lagi Nenek Sabai. Biarlah
saat ini aku mengucapkan selamat jalan padamu….”
“Bolehkah
aku memelukmu?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Eh, apa
maksudmu Nek?” tanya Iblis Pemalu.
“Kita
sahabat perjalanan. Berpisah Saling berpelukan berbagi rasa adalah hal biasa
saja….”
“Ah….
Hemmm….” Iblis Pemalu jadi salah tingkah. Kedua telapak tangannya semakin ketat
menutupi wajah. Dia mundur satu langkah ketika si nenek mendekatinya. “Terima
kasih kau mau berbuat sesuatu yang menyentuh perasaanku. Tapi aku malu Nek.
Sudah tua bangka begini masih dipeluk orang. Masakan kau mau memelukku dan aku
mau dipeluk olehmu? Walaupun sebenarnya….”
“Walaupun
sebenarnya apa?!” tanya Sabai Nan Rancak ketika Iblis Pemalu memutuskan
ucapannya.
“Sudahlah!
Lama-lama bicara salah melulu membuat aku tambah malu!” kata Iblis Pemalu.
“Selamat jalan Nek.”
Sabai Nan
Rancak pandangi orang di hadapannya itu sesaat. “Dia tak mau kupeluk. Aneh, apa
salahnya sesama perempuan saling berpelukan jika berpisah. Atau mungkin
dugaanku salah. Dia bukan seorang….” Sabai Nan Rancak hentikan suara hatinya.
Dia menarik nafas dalam, mengangkat bahu lalu memutar tubuh tinggalkan tempat
itu.
Lama
setelah Sabai Nan Rancak pergi baru Iblis Pemalu melangkah. Tapi dia tidak
meninggalkan tempat itu melainkan duduk di balik sebuah batu besar, menghadap
ke tengah laut. Saat itu hujan telah berhenti dan cuaca perlahan-lahan berubah
cerah. Ternyata pemandangan di tanjung itu indah sekali. Namun Iblis Pemalu
tidak memperhatikan atau menikmati pemandangan itu. Perlahan-lahan kedua
tangannya yang selalu dipergunakan menutupi wajahnya diturunkan.
“Laut
biru… langit putih bersih tapi pikiranku tidak padamu. Nenek Sabai Nan Rancak….
Siapa kau sebenarnya? Apakah kau benar orang yang kucari selama ini? Jika benar
apakah akan terkabul harapanku untuk menemukan dia yang aku damba dan rindukan?
Apakah aku juga akan menemukan saudaraku yang hilang…? Tuhan, apa betul aku
memiliki seorang saudara? Kalau betul tunjukkan siapa dia, dimana dia berada.
Dunia begini lebar Manusia begini banyak. Tuhan, datangkanlah kebesaranMu
padaku. Tunjukkan dimana mereka berada. Pertemukan aku dengan orang-orang yang
kudamba dan kukasihi itu. Hanya kuasa dan kasihMulah yang mampu melakukan semua
itu…. Datuk Bulu Lawang, kita memang tidak sedarah tidak sekandung. Namun kau
lebih dari seorang kakak bagiku. Aku minta maaf beribu maaf karena tidak dapat
membalaskan sakit hati kematianmu pada dua orang itu. Terus terang ada keraguan
di hatiku bahwa lantaran mereka kau menemui ajal. Aku menaruh kesangsian bahwa
orang-orang Lembah Akhirat mengatur semua ini…. Ya Tuhan beri petunjuk apa yang
harus aku lakukan. Kemana aku harus melangkah….” (Mengenai Datuk Bulu Lawang
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku)
Tak
terasa sepasang mata Iblis Pemalu merebak basah. Air mata menyusuri kelopak
matanya lalu menggelinding jatuh ke pipi.
Tiba-tiba
telinganya yang tajam mendengar sesuatu di balik batu. Dia cepat melompat
sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu bergerak ke balik batu besar.
Dia hanya sempat melihat sesosok bayangan berkelebat melarikan diri, menyelinap
ke balik batu-batu dan semak belukar di sebelah sana lalu lenyap. Walau hanya
sekilas namun Iblis Pemalu masih dapat mengenali.
“Sabai!
Kau berani mengintipku! Memalukan sekali!” Dada Iblis Pemalu tampak turun naik.
Dalam hati dia merasa khawatir. “Jangan-jangan dia mendengar keluh kesah diriku
tadi…. Apa yang harus kulakukan sekarang? Mengejarnya?!” Iblis Pemalu menarik
nafas dalam lalu kembali ke tempat duduknya semula di depan batu besar,
menghadap ke tengah laut.
Di lembah
menurun yang sarat dengan pohon-pohon kelapa itu Sabai Nan Rancak terduduk di
tanah. Dia berusaha menenteramkan diri, menekan guncangan hatinya yang membuat
dadanya berdebar keras.
“Iblis
Pemalu…” desis si nenek. “Ucapanmu banyak yang menyentuh hati dan perasaanku.
Siapa kau sebenarnya? Aku sempat mendengar desah ucapanmu tadi. Iblis Pemalu,
kalau kau bukannya…. Siapa yang kau cari selama ini? Diriku…? Pikiranku kacau.
Hatiku tidak tenteram. Hanya Tuhan yang tahu ada apa sebenarnya di antara kita.
Aku ingat waktu aku menyentuh lenganmu di atas perahu. Kau bukan seperti apa
ujudmu yang kelihatan. Lenganmu begitu mulus dan lembut. Kau…. Ya Tuhan….
Mungkinkah dugaan ini? Kalau saja aku bisa melihat wajahmu yang selalu ditutupi
itu. Aku yakin di balik semua yang serba rahasia ini pasti ada seseorang yang
mengetahui asal muasal kejadian dan peristiwanya. Tapi siapa orangnya? Menantu
jahanam itu tak diketahui lagi dimana rimbanya. Lalu anakku Andam Suri, tak
pernah kuketahui di tanah mana kuburnya, di negeri mana makamnya. Nasib kalian
malang benar…. Ah, mau pecah kepalaku memikirkan semua ini! Apa yang harus aku
lakukan sekarang? Meneruskan perjalanan atau menemuinya kembali di pantai?
Menanyainya habis-habisan?! Aku akan melakukan itu! Aku harus menemuinya. Aku
harus bicara dan menanyainya!”
Habis
berkata begitu si nenek cepat berdiri. Dia berlari ke arah pantai secepat yang
bisa dilakukannya. Sebentar saja dia sudah berada di belakang batu besar itu.
“Iblis
Pemalu! Kau harus berterus terang padaku!” seru Sabai Nan Rancak. Namun si
nenek kecewa besar. Ketika dia menyelinap di balik batu besar yang menghadap ke
pantai, Iblis Pemalu tidak ada lagi di tempat itu. Sabai Nan Rancak terduduk di
pasir. Dia tidak sadar berapa lama dia duduk di tempat itu sampai ujung jubah
hitam dan Mantel Sakti yang dikenakannya basah oleh percikan ombak yang memecah
di pasir.
********************
EMPAT
Seperti
dituturkan dalam Episode sebelumnya (Jagal Iblis Makam Setan) orang-orang Lembah
Akhirat dibawahi pimpinan Pengiring Mayat Muka Merah berhasil membujuk Sika
Sure Jelantik hingga mau diajak ke Lembah Akhirat. Kedatangan salah satu dari
pembantunya yang membawa nenek sakti itu membuat Datuk Lembah Akhirat gembira
sekali. Dia langsung menemui Sika Sure Jelantik yang ditempatkan di sebuah
kamar bagus, dibaringkan di atas ranjang empuk.
“Nenek
sakti tokoh besar dunia persilatan Sika Sure Jelantik!” kata Datuk Lembah
Akhirat. Dia berdiri di samping ranjang lalu membungkuk memberi hormat. “Kita
memang belum pernah bertemu. Namun nama besarmu telah sejak lama mampir di
telingaku….”
Sika Sure
Jelantik kerenyitkan kening. Matanya memandang menyipit tak berkedip. Di
samping ranjang dimana dia dibaringkan tegak seorang tinggi besar berjubah hitam.
Kumis, jenggot dan cambang bawuknya meliar menutupi wajahnya yang berwarna
tiga. Merah, hitam dan hijau. Lengannya yang tersembul dari ujung jubah juga
penuh bulu. Demikian juga dada dan lehernya.
“Apakah
aku berhadapan dengan penguasa Lembah Akhirat? Sang Datuk…?” Sika Sure Jelantik
bertanya.
“Betul
sekali….” „
“Ah, aku
ingin membalas penghormatanmu. Tapi kau lihat sendiri keadaanku….”
“Nenek
Sika, tidak usah repot-repot memakai peradatan. Berbaring saja seenakmu. Aku
tahu kau dalam keadaan sakit dan keracunan. Pembantuku Si Muka Merah telah
memberitahu apa yang kau alami. Sungguh orang-orang golongan putih belakangan
ini bertindak diluar batas. Kawan segolongan dianiaya seperti ini…. Tapi kau
tak usah kawatir Nenek Sika. Aku akan menolongmu. Pertama sekali kau harus
meneguk sejenis obat agar racun yang telah menjalar di dalam tubuhmu musnah!”
Habis
berkata begitu Datuk Lembah Akhirat bertepuk dua kali. Seorang lelaki yang muka
dan rambutnya dicat hijau muncul membawa sebuah poci kecil terbuat dari perak,
Poci itu diberikannya pada Datuk Lembah Akhirat. Dengan cepat sang Datuk
membuka penutup poci. Asap tipis berwarna biru mengepul keluar dari dalam poci
yang terbuka. Sekali meniup maka asap itupun sirna.
“Nenek
Sika, silakan kau teguk obat ini sampai habis,” kata Datuk Lembah Akhirat
seraya mendekatkan bibir poci ke mulut si nenek sementara pembantu bermuka
hijau meninggikan kepala Sika Sure Jelantik. Si nenek mencium bau harum dari
hawa hangat. Karenanya tanpa ragu dia segera meneguk cairan yang ada dalam poci
sampai habis. Wajahnya yang semula pucat tampak agak bercahaya.
“Bagaimana
rasanya obat yang barusan kau teguk?” tanya Datuk Lembah Akhirat.
“Enak,
manis. Rasanya bukan seperti obat…” jawab Sika Sure Jelantik.
Datuk
Lembah Akhirat tertawa dan kerlingkan matanya pada Pengiring Mayat Muka Merah
yang tegak di sampingnya.
“Aku
selalu memberikan obat yang terbaik dan termujarab untuk seorang sahabat
sepertimu!” kata Datuk Lembah Akhirat lalu poci yang telah kosong
dikembalikannya pada pembantunya seraya berkata. “Cepat bawakan kemari bubuk
putih penyembuh luka pemusnah racun ular!”
Pembantu
bermuka hijau itu cepat keluar. Tak lama kemudian dia kembali membawa sebuah
batok kelapa berisi bubuk berwarna putih.
“Nenek
Sika sahabatku,” kata Datuk Lembah Akhirat pula. “Racun dalam darahmu telah
musnah. Namun masih ada racun yang menempel di kedua kakimu yang patah. Aku
tidak akan mengikis dan membuang tumbukan daun beracun yang ada di kedua
kakimu. Sungguh kejam perbuatan orang terhadapmu! Nenek Sika, bubuk putih ini
akan menawarkan racun tumbukan daun. Sekaligus mengobati tulang yang patah dan
daging yang terluka. Kau tak usah kawatir. Tak ada rasa sakit. Malah kau akan
merasa kedua kakimu dingin sejuk….”
Datuk
Lembah Akhirat memberikan isyarat pada pembantu di sebelahnya. Si Muka Hijau
ini segera menaburkan bubuk putih di dalam batok kelapa ke atas kaki kiri kanan
Sika Sure Jelantik.
“Nah, apa
kataku. Kau sama sekali tidak merasa sakit bukan, Nenek Sika?”
“Tidak….
Seperti katamu, aku malah merasa sejuk pada kedua kaki celaka ini!” jawab Sika
Sure Jelantik lalu tertawa mengekeh.
Setelah
menaburkan bubuk putih itu si pembantu segera keluar dari ruangan. Datuk Lembah
Akhirat pegang lengan si nenek. Lalu berkata. “Kau beruntung cepat datang ke
sini. Terlambat sedikit saja aku tak mungkin menolongmu….”
“Aku
berterima kasih padamu. Juga pada pembantumu yang bermuka merah itu!” jawab
Sika Sure Jelantik seraya memandang pada Pengiring Mayat Muka Merah. Orang ini
tersenyum dan anggukkan kepalanya.
“Dalam
waktu dua hari tulangmu yang patah akan bertaut. Luka di kedua kakimu akan
sembuh. Namun kau butuh tiga hari untuk istirahat sebelum kau benar-benar pulih
dan boleh berjalan….”
“Terima
kasih…” kata Sika Sure Jelantik senang sekali. Sebenarnya nenek ini sama sekali
tidak mengetahui bahwa obat minum yang tadi ditelannya hanyalah air gula biasa
sedang bubuk yang ditebarkan di kedua kakinya adalah semacam tawas. Tidak
diobatipun kedua kakinya bakal sembuh dalam waktu beberapa hari lagi yaitu
berkat obat daun tumbuk yang diberikan oleh Tua Gila. Si nenek tidak tahu kalau
orang sudah menipu dan menjalankan jerat atas dirinya.
“Nenek
Sika, sebetulnya banyak yang akan aku bicarakan denganmu. Tapi kau butuh
istirahat. Aku akan kembali menemuimu dua hari lagi….”
“Datuk
Lembah Akhirat, walau kedua kakiku sakit tapi aku tak kurang suatu apa. Jika
memang ada hal-hal yang ingin kau bicarakan aku mempersilakan….”
“Nenek
Sika, kau sungguh baik. Kalau kau memang suka kita bicara sekarang aku merasa
sangat gembira.” kata Datuk Lembah Akhirat pula. Lalu dia bertanya. “Nenek
Sika, mengapa kau mengalami nasib buruk seperti ini. Apa benar tokoh yang
berjuluk tua Gila itu yang mencelakai dirimu?”
“Aku
berkelahi melawan seorang sakti aneh berjuluk Iblis Pemalu…. Dia yang membuat
kedua kakiku cidera begini rupa.” Menerangkan Sika Sure Jelantik.
“Iblis
Pemalu! Satu tokoh yang sebelumnya tak dikenai. Begitu muncul melakukan
berbagai kejahatan aneh. Aku mendengar dari pembantuku Pengiring Mayat Muka
Merah, bahwa seorang tokoh bergelar Tua Gila katanya berusaha menolongmu.
Padahal yang diberikannya padamu bukannya obat melainkan racun! Heran, mengapa
Tua Gila berbuat sejahat itu. Padahal aku tahu betul dia adalah seorang tokoh
silat golongan putih.”
“Antara
aku dan dia ada dendam kesumat lama yang tidak akan selesai sebelum salah satu
dari kami menemui ajal!”
“Hemmm….
Kalau begitu ceritanya, Tua Gila patut menerima hukuman yang setimpal atas
kejahatannya!” Datuk Lembah Akhirat mulai membakar.
“Hukuman
memang sudah aku tetapkan baginya Datuk. Begitu aku sembuh, aku akan segera
mencarinya dan membunuhnya!”
“Sahabatku
Nenek Sika Sure Jelantik. Dalam urusan balas dendam jangan bertindak
terburu-buru. Kita harus punya perhitungan masak. Ilmu kesaktian tidak ada
gunanya kalau tidak disertai akal pikiran. Aku dan orang-orangku akan
membantumu menyelesaikan urusan dengan Tua Gila. Namun, aku punya satu titipan
untukmu…. Ah, mungkin hal ini terlalu cepat aku katakah. Biar kita bicarakan
hal lain lebih dulu….”
“Datuk,
aku dengar tokoh besar berjuluk Dewa Sedih telah bergabung denganmu….”
“Betul
sekali sahabatku. Dia tengah bersiap-siap menjalankan satu tugas besar.
Membunuh seorang pemuda berjuluk Pendekar 212….”
“Hemmm….
Pemuda itu adalah murid Tua Gila. Aku pernah mencoba menggebuknya tapi lolos.
Pendekar 212 memang pantas dilenyapkan dari muka bumi!” kata Sika Sure Jelantik
pula.
“Aku
gembira kita satu pendapat untuk melenyapkan Pendekar 212….”
“Datuk
Lembah Akhirat, tadi kau menyebut soal titipan. Aku tidak mengerti. Apakah kau
mau menerangkan?”
“Sebenarnya
ini hanya akan merepotkanmu saja. Namun aku terpaksa meminta. Maukah kau
menolongku melakukan sesuatu?”
“Datuk,
kau telah menyelamatkan nyawaku. Apapun yang kau minta dan suruh akan aku
penuhi kalau aku memang mampu melakukannya….”
“Aku
ingin kau membunuh seorang kakek berjuluk Kakek Segala Tahu. Orang ini adalah
tokoh golongan putih sesat yang ilmu kepandaiannya bisa mencelakai Lembah
Akhirat…. Orang ini adalah sahabat Pendekar 212, sahabat Tua Gila….”
“Datuk,
aku bersedia dibawa ke sini. Kau dan orang-orangmu telah menyelamatkan diriku.
Apa lagi yang terbaik bagiku untuk membalas budi selain bergabung denganmu dan
melakukan apa yang kau inginkan!”
“Nenek
Sika, aku gembira mendengar ucapanmu. Benar-benar gembira…” kata Datuk Lembah
Akhirat. “Apakah pembantuku Pengiring Mayat Muka Merah pernah menceritakan
padamu tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat?”
Sika Sure
Jelantik anggukkan kepala. Sepasang matanya membesar.
“Kitab
itu ada padaku. Semalam aku bermimpi. Mendapat semacam petunjuk bahwa kelak
kitab itu harus kuserahkan padamu karena hanya kaulah yang berjodoh dengan
kitab sakti tersebut.”
Sika Sure
Jelantik seperti mau melompat mendengar kata-kata Datuk Lembah Akhirat itu.
“Datuk, aku benar-benar berterima kasih padamu….”
“Aku
harus pergi Nenek Sika. Dua hari lagi aku kembali. Kita perlu bicara lagi
sebelum kau meninggalkan tempat ini.” Habis berkata begitu Datuk Lembah Akhirat
memberi isyarat pada Pengiring Mayat Muka Merah. Kedua orang ini lalu
tinggalkan ruangan itu.
Begitu
berada di luar ruangan Datuk Lembah Akhirat berbalik pada Pengiring Mayat Muka
Merah dan bertanya. “Apakah mata-mata kita yang menyelidik kedatangan Sabai Nan
Rancak telah kembali memberikan laporan?”
“Sampai
saat ini belum Datuk. Kita tunggu sampai dua hari dimuka….”
“Pengiring
Mayat Muka Hijau masih belum kembali?”
“Belum
Datuk. Mungkin kita perlu mengutus orang untuk menyelidik apa yang terjadi
dengan dirinya….”
“Kuharap
kau lekas mengatur hal itu. Mata-mata kita yang lain memberitahu bahwa banyak
terlihat gerakan orang-orang tak dikenal sekitar Telaga Gajahmungkur. Harap kau
beritahu Pengiring Mayat “Muka Hitam agar segera menghadapku. Hal itu perlu
dibicarakan karena orang-orang yang muncul di sekitar telaga adalah diluar
rencana kita!”
“Perintah
akan saya lakukan Datuk….”
“Ada satu
hal lagi. Beberapa hari lalu mata-mata kita yang bertugas di Selat Sunda
menyirap kabar tentang munculnya seorang tokoh luar biasa yang menamakan
dirinya Jagal Iblis Dari Makam Setan…. Selidiki siapa dia adanya dan kita harus
bisa membuat dia bergabung di Lembah Akhirat ini!”
“Perintah
akan saya lakukan Datuk…” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.
********************
LIMA
Pada
siang hari pemandangan di puncak bukit batu itu indah sekali. Sejauh puluhan
tombak di daratan mata akan melihat bukit batu berwarna merah berseling coklat.
Di sebelah depan membentang laut biru dihias oleh tebaran pulau-pulau batu yang
didibawah sentuhan sinar matahari memantulkan warna-warna aneh dan bagus. Namun
pada malam hari seperti saat itu semua keindahan itu sirna ditelan kegelapan.
Ada tujuh
puncak batu merah bersusun membentuk setengah lingkaran, seolah membentengi
teluk Parangtritis. Pada malam yang dingin itu, di salah satu puncak batu
kelihatan sinar terang nyala api. Ternyata ada orang membuat api unggun di
tempat itu. Dua orang gadis berparas jelita duduk mengelilingi perapian.
Sebentar-sebentar mereka memandang ke arah legukan dinding batu yang membentuk
sebuah goa kecil. Cahaya nyala api yang bergoyang-goyang di wajah dan tubuh
mereka membuat paras masing-masing tampak aneh tetapi lebih menawan. Apalagi
saat itu mereka mengenakan sebentuk pakaian ketat bermanik-manik yang terbelah
tinggi di kedua sisinya. Sepertinya dua gadis ini tengah menunggu kemunculan
seseorang.
Setelah
lama menunggu, keduanya mulai merasa tidak sabaran. Salah seorang di antara
mereka berbisik pada temannya.
“Aninia,
menurutmu apakah Ratu akan kukuh pada pendiriannya untuk memilih tetap tinggal
di alamnya yang sekarang?”
Gadis
bernama Aninia tak segera menjawab. Dia seperti termenung. Selang beberapa
ketika baru terdengar jawabannya. Suaranya perlahan. “Sulit aku menduga. Dunia
kita yang sekarang bagaimanapun indahnya namun tetap bukan merupakan suatu alam
yang wajar. Daya tarik dunia luar jauh lebih besar. Seandainya Ratu memilih
tetap hidup di alam yang sekarang, apakah kau akan mengikuti?”
“Kau
sulit menduga, aku sulit menjawab. Kita semua sangat dekat dengan Ratu. Agaknya
kita hanya akan mengikut apa pilihannya. Jika dia bertahan, berarti kita tetap
bersamanya. Jika dia memilih kehidupan yang baru, kita juga akan mengikuti.
Rasa-rasanya sudah terlalu kasip bagi kita untuk kembali ke dunia luar. Tapi
lebih baik semua kita serahkah pada putusan Ratu saja….”
“Aku
setuju pendapatmu, Magini. Tetapi apakah….” Aninia tidak meneruskan ucapannya.
Sikutnya digeserkan ke pinggang temannya.
Saat itu
dari goa kecil di lamping batu merah melangkah keluar seorang perempuan muda
berwajah sangat cantik. Celana panjang ringkas dan jubah dalam selutut berwarna
hitam yang dikenakannya membuat kulitnya yang putih lebih berkesan dan menambah
keanggunannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergesar lepas di punggung. Perempuan
muda ini melangkah sambil membawa baju biru bertahta manik-manik yang dilipat
rapi di atas mana terletak sebuah kalung, mahkota dan anting-anting serta:
gelang yang semuanya terbuat dari kerang berwarna biru.
Magini
dan Aninia sama-sama tercengang kagum menyaksikan kemunculan perempuan muda
yang selama ini menjadi pimpinan mereka dan dipanggil dengan sebutan Ratu
Duyung. Sebelumnya mereka selalu melihat Sang Ratu dalam pakaian yang ditaburi
manik-manik putih berkilauan, rambut digulung dan diberi mahkota, wajah dihias.
Kini semuanya berganti. Dalam pakaian serba hitam, rambut dibiarkan lepas
begitu rupa dan tanpa riasan kecantikan Ratu Duyung kelihatan justru lebih asli
dan menonjol. Terlebih sepasang bola matanya yang berwarna biru, indah sekali
untuk dipandang.
Ratu
Duyung melangkah menuju perapian lalu duduk di depan ke dua anak buahnya.
“Magini,
pakaian, mahkota, kalung, gelang, dan anting-anting ini harap kau bawa kembali
ke tempat kita. Simpan baik-baik dalam kamarku…. Aku tidak tahu sampai berapa
lama akan berada di sini. Tidak dapat aku pastikan berapa lama aku akan
mendapat petunjuk dari Yang Kuasa serta berhubungan dengan Maha Ratu Samudera.
Karena itu kalian berdua lekas kembali ke tempat kita….”
“Ratu,
kami berdua siap menunggu sampai kapanpun Ratu selesai melakukan penyepian diri
ini….” kata Magini sambil menerima pakaian dan barang perhiasan yang diserahkan
Ratu Duyung padanya.
“Kalian
para pembantuku yang setia dan baik hati. Namun ada kalanya kesetiaan dan
kebaikan itu tidak perlu dijadikan hal yang utama. Apapun hasil yang akan
kudapat, aku akan kembali untuk memberitahu. Bertahun-tahun, bahkan mungkin
puluhan tahun selama ini kita berada di alam yang serba gaib dan aneh tanpa
diri kita dimakan oleh usia. Ini antara lain karena perbedaan perhitungan dari
antara dunia luar dan dunia kita. Kalau kita memasuki dunia luar, semua hal itu
akan berubah. Siapkah kita menghadapi perubahan itu?”
Dua gadis
di hadapan Sang Ratu lama terdiam. Namun, akhirnya Aninia membuka mulut.
“Putusan apapun yang Ratu ambil, kami akan mengikuti dan rela menanggung segala
akibatnya.”
“Kalau
begitu, dan kalau tak ada lagi hal lain yang hendak kalian tanyakan maka
sebelum pergi ada satu tugas yang harus kalian lakukan.”
“Kami
siap menjalankannya Ratu,” jawab Magini dan Aninia berbarengan.
Dari
balik jubah hitamnya Ratu Duyung mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah
seuntai kalung terbuat dari perak dan memiliki mata sebuah batu berwarna hijau
pekat tetapi redup.
“Kalian
dengar baik-baik. Aku yakin kalung ini adalah sebuah benda sangat berharga,
paling tidak bagi pemiliknya. Kalung ini adalah milik seorang sahabat, seorang
tokoh silat berjuluk Tua Gila. Ketika dia menemui malapetaka di tengah laut
tempo hari, kalung itu terpisah dari dirinya. Karena dia dalam keadaan pingsan,
kalung aku amankan dan simpan di satu tempat. Sayangnya ketika dia pergi aku tidak
menemuinya. Kalung ini tertinggal. Berarti kalung ini harus aku kembalikan
padanya. Aku tidak tahu akan berapa lama berada di sini. Karena itu aku
menugaskan kalian untuk mencari Tua Gila dan menyerahkan kalung ini padanya.
Kalian pernah melihat orang tua itu. Jadi aku tak perlu memberitahu
ciri-cirinya. Siapa yang akan menyimpan dan membawa kalung ini?”
Aninia
beringsut ke depan. Setengah membungkuk dia berkata. “Karena Magini akan
membawa pakaian dan seperangkat perhiasan milik Ratu, biar saya yang membawa
kalung itu….”
Ratu
Duyung mengangguk lalu serahkan kalung perak bermata hijau yang bukan lain
adalah Kalung Permata Kejora. Seperti dituturkan dalam Episode I (Tua Gila Dari
Andalas) Raja Pulau Sipatoka yakni Rajo Tuo Datuk Paduko Intan memberikan kalung
itu pada Tua Gila yang dikenalnya dengan nama Wiro Sableng. Kalung tersebut
merupakan satu senjata sakti mandraguna yang sebenarnya harus diberikan pada
puterinya yaitu Andam Suri dan merupakan satu-satunya senjata yang sanggup
membunuh Tua Gila. Namun sebagaimana diriwayatkan Andam Suri dikabarkan menemui
kematian. Karena itu Datuk Paduko Intan meminta bantuan Tua Gila untuk
mengembalikan benda itu pada Sabai Nan Rancak, tanpa dia mengetahui bahwa orang
tua di hadapannya saat itu adalah Tua Gila dan Sabai Nan Rancak adalah kekasih
Tua Gila yang berniat membunuh Tua Gilai Karena tidak ingin rahasia dirinya
terbuka maka Tua Gila menerima kalung itu dari Rajo Tua Datuk Paduko Intan yang
sebenarnya adalah menantunya sendiri.
“Jaga
kalung ini baik-baik seperti kau menjaga diri dan nyawamu sendiri, Aninia.
Jangan kembali ke alam kita sebelum kau menemui Tua Gila dan menyerahkan kalung
ini padanya! Berdasarkan penglihatanku melalui Cermin Sakti aku ketahui bahwa
beberapa waktu lalu Tua Gila terlihat bersama Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka
berada di satu kaki bukit di kawasan selatan. Tua Gila kemungkinan besar menuju
ke sebuah lembah di sebut Lembah Akhirat tak berapa jauh dari Telaga
Gajahmungkur. Sedang Pendekar 212 tak jelas ke mana tujuannya. Namun kuperkirakan
dia tidak berada jauh dari kawasan telaga besar itu…. Aninia, terima kalung
ini.”
“Pesan
Ratu saya dengar. Perintah Ratu akan saya jalankan…” jawab Aninia. Lalu dia
ulurkan kedua tangannya. Telapak tangan dikembangkan untuk menyambut Kalung
Permata Kejora itu.
Namun
tiba-tiba, secara tidak terduga berkelebat satu bayangan hitam. Aninia
terpelanting dan terkapar di bebatuan. Magini ikut terbanting lalu terguling
sampai dua tombak. Ratu Duyung keluarkan pekikan keras. Dengan cepat dia
menarik pulang tangan kanannya yang barusan siap menjatuhkan Kalung Permata
Kejora ke atas tangan Aninia. Lalu dengan satu gerakan kilat dia melesat ke
belakang sambil tangan kirinya menghantam ke arah perapian. Kayu-kayu bernyala
yang menerangi tempat itu hancur berpelantingan. Serta merta puncak bukit batu
merah itu diselubungi kegelapan!
********************
ENAM
Walau
tubuh mereka terasa sakit tak karuan, jantung berdebar dan darah mengalir kacau
namun Magini dan Aninia cepat berdiri. Dua jari tangan masing-masing diacungkan
tepat-tepat ke depan. Ujung jari dua gadis ini tampak memancarkan sinar biru.
Melihat ini Ratu Duyung cepat memberi isyarat agar dua anak buahnya tidak
melakukan serangan.
Di dalam
gelap, sejarak sembilan langkah dari tempatnya berdiri Ratu Duyung melihat
sosok tinggi seorang perempuan tua berambut putih, bertopi berbentuk tanduk
kerbau, mengenakan mantel hitam.
“Orang
tua tak dikenal, siapa kau?!” Ratu Duyung menegur.
Yang
ditanya tidak segera menjawab. Rupanya dia masih terheran mungkin juga
bercampur kagum atau jengkel karena tidak menyangka. Kemunculannya di bukit
batu itu tidak diketahui oleh tiga orang gadis. Tapi mengapa gerakan kilatnya
tadi tidak mampu merampas Kalung Permata Kejora dari tangan gadis cantik
berpakaian serba hitam itu? Diam-diam dia juga bertanya-tanya siapa adanya
ketiga orang itu karena dia hanya sempat mendengar sebagian terakhir dari
percakapan mereka sedang perhatiannya tertuju penuh pada Kalung Permata Kejora.
“Kalau
kau tidak Segera menjawab, jelas kau adalah seorang jahat yang hendak mencuri
atau merampok barang milik orang laini” ujar Ratu Duyung dengan suara keras.
Sosok
orang bermantel dalam gelap maju selangkah. Dari tenggorokannya keluar suara
menggeram.
“Siapa
diriku kau dan orang-orangmu tak perlu tahu. Aku datang dengan satu maksud.
Maksud berubah menjadi perintahi Serahkan Kalung Permata Kejora padaku!”
Orang
yang bicara julurkan tangan kanannya membuat gerakan meminta. Dia bukan lain
adalah Sabai Nan Rancak. Ketika tadi dia menyusuri pantai, dari kejauhan dia
melihat nyala api di salah satu puncak bukit batu. Penuh rasa ingin tahu, nenek
sakti dari Andalas ini segera mendaki bebukitan batu merah di tepi pantai untuk
menyelidik. Si nenek terkejut besar ketika sampai di puncak bukit yang
diterangi nyala perapian bakal menemukan satu hal yang tidak pernah diduganya.
Seorang gadis cantik berpakaian serba hitam yang dipanggil dengan sebutan Ratu
tengah menyerahkan sebentuk kalung perak bermata hijau pada seorang gadis yang
duduk bersimpuh di hadapannya. Keterkejutan ini adalah karena kalung itu
dikenalinya bukan lain adalah Kalung Permata Kejora yang selama ini lenyap tak
diketahui di mana rimbanya.
“Hmmmm….”
Ratu Duyung bergumam. “Kau meminta barang yang bukan milikmu! Kau memerintahkan
aku menyerahkan sesuatu yang bukan punyamu. Apa namanya ini? Rampok? Begal di
malam hari?!”
“Terserah
kau mau menyebut apa! Tapi dengar baik-baik! Kau masih muda belia. Masa depanmu
masih panjang. Tentu banyak kebahagiaan dunia yang belum kau rasakan….”
“Eh, apa
maksudmu?!” bentak Ratu Duyung.
“Maksudku
kalau kau tidak segera menyerahkan kalung bermata hijau itu maka umurmu hanya
sampai malam hari ini saja. Selanjutnya rohmu akan gentayangan tak tahu
juntrungan!” Ratu Duyung tertawa panjang.
Aninia
yang tidak sabar berseru. “Ratu! Biar aku membunuh tua bangka gila yang kesasar
ini sekarang juga!”
“Hmmm!
Jadi dia seorang Ratu rupanya. Ratu apa?!” ujar Sabai Nan Rancak lalu balas
tertawa lebih keras.
“Kalung
ini bukan milikmu! Mengapa kau hendak merampasnya?!” Ratu Duyung bertanya
dengan suara lantang. Diam-diam dia luruskan jari telunjuk tangan kirinya
sementara Kalung Permata Kejora dipegangnya erat-erat di tangan kanan.
“Kau tahu
apa soal kalung itu! Benda itu lenyap sejak bertahun-tahun! Aku pemiliknya!
Jadi harus dikembalikan padaku!”
“Siapa
percaya pada cerita bohongmu! Aku tahu sekali riwayat kalung ini!”
“Gadis
setan! Kau tahu apa mengenai riwayat kalung itu!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Nenek
gila!” balas Ratu Duyung. “Kalung ini adalah milik seorang sahabatku bernama
Tua Gilai Kepadanyalah aku akan mengembalikan! Bukan padamu! Monyet tua kesasar
dan temaha harta orang lain!”
Marahlah
Sabai Nan Rancak mendengar ucapan caci maki Ratu Duyung itu. Dia angkat tangan
kanannya lalu laksana kilat lepaskan pukulan Kipas Neraka ke arah Ratu Duyung.
Satu sinar merah melesat ke depan lalu mengembang membentuk kipas.
“Ratu
awasi” teriak Magini dan Aninia. Dua gadis anak buah Ratu Duyung segera angkat
tangan kanan masing-masing. Ratu Duyung tak tinggal diam.
Tiga
larik sinar biru menderu menghantam Sabai Nan Rancak dari tiga jurusan. Inilah
ilmu kesaktian paling hebat yang dimiliki oleh Ratu Duyung dan anak buahnya.
Jangankan tubuh manusia, tembok batu setebal apapun akan jebol dan hancur
berentakan dilanda sinar biru itu.
Sabai Nan
Rancak yang tidak tahu siapa adanya Ratu Duyung dan juga tidak pernah mendengar
kehebatan ilmu Ratu dari alam gaib ini walaupun kaget dapatkan dirinya dihantam
serangan dari tiga jurusan, namun tidak menarik seranganya. Dia melompat sambil
menambah dorongan kekuatan tenaga dalam. Pukulan sakti Kipas Neraka yang
dilepasnya bersibak ke kiri dan ke kanan. Namun baru saja sinar pukulan maut
ini menebar membentuk kipas untuk menghantam tiga lawan sekaligus, bersamaan
dengan itu tiga larik sinar biru sampai melabrak.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga
dentuman keras mengguncang. Bukit batu merah bergetar hebat. Dua nyala api
tampak di lamping bukit batu merah yang terkena cipratan pukulan Kipas Neraka
sebelum pukulan sakti ini terbelah-belah dan sirna berentakan. Sabai Nan Rancak
sendiri tampak jatuh berlutut. Tubuhnya bergetar keras. Wajah putihnya yang tua
keriputan tampak pucat seolah tak berdarah. Sadar kalau dia tidak menderita
cidera apa-apa si nenek cepat bangkit berdiri.
Saat itu
di sebelah kiri Aninia tampak mencoba bangun terbungkuk-bungkuk. Namun gadis
ini kembali roboh. Waktu terjadi bentrokan pukulan sakti tadi dia berada paling
dekat dengan Sabai Nan Rancak hingga hantaman kekuatan lawan mendera tubuhnya
paling telak. Darah tampak mengucur dari mulutnya. Untuk beberapa lamanya gadis
ini terkapar di atas batu tanpa bisa berkutik. Agaknya nyawanya tidak tertolong
lagi.
Di
sebelah Magini mengerang panjang. Walau darah juga keluar dari mulutnya namun
lukanya tidak seberapa parah. Gadis ini masih mampu bangkit dan kumpulkan
kekuatan. Kedua tangannya diangkat tanda dia hendak menyerang kembali.
Tujuh
langkah di hadapan Sabai Nan Rancak, Ratu Duyung tersandar ke dinding batu.
Mukanya tampak pucat pasi. Dadanya berdebar kencang dan urat-urat besar di
lehernya yang jenjang bergerak turun naik.
“Perempuan
tual Kenapa kau menjatuhkan tangan jahat terhadap kami?!” ujar Ratu Duyung.
“Eh, kau
masih bisa bicara! Kukira sudah menemui ajali Ini terima bagianmu sekali lagi!”
kata Sabai Nan Rancak. Lalu untuk ke dua kalinya si nenek lancarkan pukulan
sakti Kipas Neraka.
“Wuss!”
“Wuss!
Wussss!”
“Ratu
awasi Lekas menyingkir!”
Yang
berteriak adalah Magini. Sambil lepaskan dua serangan sinar biru gadis ini
melompat ke tengah kalangan pertempuran. Karena menyangka pimpinannya dalam
keadaan cidera dan tidak berdaya maka gadis ini melesat menghalang arus
serangan sinar merah pukulan lawan. Maksud baiknya hendak menolong sang Ratu
hanya mengantarkannya ke alam kematian.
Tubuhnya
mencelat tiga tombak ke udara. Jatuh di bebatuan mengepulkan asap. Sekujur
badannya laksana dibakar matang mengerikan!
Ketika
sinar merah lawan terpencar dihantam dua larik sinar biru yang dilepaskan
Magini, Ratu Duyung acungkan tiga jari tangan kanannya. Kali ini yang melesat
keluar dari tangan sang Ratu bukan cuma satu larik sinar biru tetapi sekaligus
tiga larik. Sabai Nan Rancak kertakkan geraham. Daya lesat tiga sinar maut yang
begitu cepat tidak memungkinkan baginya untuk balas menghantam lagi dengan
pukulan sakti Kipas Neraka membuat si nenek terpaksa melompat ke udara.
Gerakannya yang cepat laksana kilat menyelamatkan dirinya dari tembusan dua
larik serangan sinar biru. Namun sinar ke tiga sempat memapas tipis di bahu
kanannya.
“Wusss!”
Sabai Nan
Rancak terpekik. Bahu kanannya mengepulkan asap. Mantel sakti hitam yang
dikenakannya tampak berlubang hangus seolah terbakar. Si nenek hampir tidak
percaya pada apa yang dilihatnya. Mantel Sakti yang begitu hebat masih bisa
ditembus pukulan sakti lawan. Masih untung hanya jubah hitamnya yang terletak
di sebelah bawah mantel saja yang ikut robek. Sedang daging atau kulit tubuhnya
tidak mengalami cidera.
“Aku
yakin gadis itu sudah cidera akibat hantaman pertamaku tadi! Kalau tidak segera
kuhabisi bukan saja aku yang bakal celaka tapi kalung itu tak bisa kumiliki!”
Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak segera tanggalkan Mantel Saktinya.
“Dia
menanggalkan mantelnya. Pasti mantel itu merupakan satu senjata yang sangat
diandalkannya.” pikir Ratu Duyung. Dia cepat angkat tangan kiri sedang tangan
kanan diselinapkan ke pinggang di mana tersimpan Cermin Sakti. Namun Sabai Nan
Rancak menggebrak lebih dahulu.
“Kau tak
mau menyerahkan apa yang aku minta! Terima kematianmu gadis keras kepalai”
Mantel
hitam dikebutkan ke arah Ratu Duyung.
Ratu
Duyung berseru kaget ketika di depannya menderu suara keras laksana air bah
menggemuruh disertai tiupan angin luar biasa kencangnya. Sekujur tubuhnya
terasa ngilu, jalan darahnya seperti menyungsang. Di lain kejap tubuhnya
mencelat mental. Karena di belakangnya menghadang dinding batu merah maka tak
ampun lagi tubuh Ratu Duyung mencelat menghantam dinding batu itu. Demikian
kerasnya hinggai ada bagian batu yang melesak ke dalam. Perlahan-lahan sosok
Ratu Duyung terkulai. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah. Dalam keadaan
seperti itu tangan kanannya masih menggenggam Kalung Permata Kejora.
Sabai Nan
Rancak tertawa mengekeh.
“Kalau
saja kau tidak keras kepala, mau menyerahkan kalung yang kuminta, niscaya kau
tidak akan menemui ajal mengenaskan begini rupa!” Si nenek melangkah mendekati
Ratu Duyung yang berusaha bertahan agar tidak roboh dan pingsan. Ketika dia hendak
membungkuk mengambil Kalung Permata Kejora dari tangan Ratu Duyung tiba-tiba
ada dua belas larik sinar hitam menghantam ke arahnya, membuat si nenek
terpaksa melompat mundur selamatkan diri dan terpekik kaget. Pada dinding batu
merah di sebelah kiri kelihatan dua belas lobang kecil hitam sebesar ujung ibu
jari dan mengepulkan asap berbau aneh.
“Kurang
ajar! Siapa berani main gila terhadapku!” teriak Sabai Nan Rancak marah sekali.
Di lain
saat sesosok tubuh tinggi besar berdiri dalam gelap antara dia dan Ratu Duyung
yang masih terkulai bersandar ke dinding batu merah.
********************
TUJUH
Karena
membelakanginya Ratu Duyung tidak dapat melihat siapa adanya manusia tinggi
besar berambut seperti ijuk yang tegak di hadapannya.
“Siapa
orang ini, Pada punggung kanannya kulihat ada lobang besar! Aneh, ada manusia
bisa hidup dengan lobang sebesar itu pada tubuhnya.” Tiba-tiba Ratu Duyung
sadar akan keadaan dirinya. Bahaya besar nenek bertopi tinggi yang tidak
dikenalnya jelas belum lenyap. Tadinya dia berniat mengeluarkan Cermin Saktinya
untuk membalas. Namun saat itu dirinya telah menderita luka dalam yang cukup
parah. Keparahan ini ditambah pula akibat cidera bentrokan dengan Bunga alias
Suci tempo hari.
“Sakit
hati rasanya harus menerima kekalahan ini. Tapi jika dia membunuhku, Kalung
Permata Kejora tidak bisa diselamatkan! Apa yang harus kulakukan?” Ratu Duyung
memandangi lelaki tinggi besar di hadapannya. Tiba-tiba didengarnya bentakan
nenek berwajah putih keriput itu.
“Hantu
Balak Anam! Kau lagi rupanya, hah! Kau benar-benar mencari mati berani
mengikutiku! Kau juga berlaku kurang ajar mencampuri urusanku!”
Si tinggi
besar mendengus. “Terus terang aku belum puas dengan keteranganmu di tengah
laut tempo hari. Aku punya firasat sebenarnya kau memang ada hubungan tertentu
dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Mengapa kau tidak mau mengaku dan berterus
terang?”
“Pertanyaan
yang sudah basi masih saja kau ulang-ulang! Menyingkir dari hadapanku sebelum
aku muak melihat tampangmu yang jauh lebih buruk dari hantu rimba belantara!”
Si tinggi
besar berambut ijuk yang pada wajahnya ada dua belas lobang hitam tertawa
bergelak. Sementara itu Ratu Duyung yang mendengar percakapan kedua orang di
depannya itu diam-diam kini mengetahui kalau mereka saling berseteru satu sama
lain. Entah bagaimana mendadak saja selintas pikiran muncul dalam benak Ratu
Duyung. “Kalau aku sampai mati di tangan perempuan tua itu, aku tidak akan
membiarkannya mengambil kalung milik Tua Gila ini! Lebih baik kalung ini sirna
dan tidak jadi milik siapa-siapa!”
Lalu tanpa
berpikir panjang lagi Ratu Duyung masukkan Kalung Permata Kejora ke dalam
lobang besar di punggung kanan orang di hadapannya. Hantu Balak Anam yang sudah
mati rasa di bagian tubuh yang cacat itu sama sekali tidak tahu dan tidak
merasa ada sebuah benda masuk ke dalam tubuhnya dan menyangsrang di dekat
tulang belikatnya yang patah. Sabai Nan Rancak sendiri tidak melihat apa yang
dilakukan Ratu Duyung karena terhalang oleh sosok tubuh Hantu Balak Anam yang
tinggi besar. Apalagi tempat itu walaupun terbuka cukup gelap.
Walau
sudah merasa agak lega karena apapun yang bakal terjadi Kalung Permata Kejora
telah diselamatkan, namun kini Ratu Duyung menjadi bingung sendiri.
“Celaka,
bagaimana aku harus memberitahu pada orang yang aku tidak kenal ini bahwa
kalung tersebut adalah milik Tua Gila dan harus diserahkan pada kakek itu?!
Ah…!”
Ratu
Duyung tak sempat berpikir lebih panjang karena saat itu perang mulut antara
Hantu Balak Anam dan Sabai Nan Rancak kembali terjadi.
“Sabai!
Kalau kau tetap tidak mau mengaku, kelak kau akan menyesal sendiri. Kau tahu,
para tokoh silat golongan putih di Pulau Andalas diam-diam menaruh curiga
padamu!”
“Begitu?!
Apa yang mereka curigakan?!”
“Paling
tidak kau punya andil atas segala kerusuhan yang terjadi di rimba persilatan
pulau itu!”
“Fitnah
keji! Pasti kau yang menyebarkan!”
“Kau mau
menyebut sebagai fitnah atau apa terserah! Tapi barusan aku melihat sendiri kau
membunuh dua gadis tidak berdosa secara keji! Kau juga hendak membunuh gadis
berjubah hitam yang saat ini tegak di belakangku! Lebih dari itu kau hendak
merampas sebuah benda miliknya!”
“Setan
alas! Kau tahu apa urusanku! Benda Itu adalah milikku! Apa salah kalau aku
memintanya. Dia tidak mau menyerahkan aku memaksa! Dia dan dua gadis temannya
itu keras kepala terpaksa kuhantam! Katakan apa sangkut pautmu dengan tiga
gadis ini? Kaki tangannya. Atau mungkin kau gendak mereka?! Ha… ha… ha!”
Hantu
Balak Anam tampak tidak berubah wajahnya dikatai seperti itu. Sebaliknya Ratu
Duyung jadi naik pitam dan memaki. “Tua bangka gila! Ternyata bukan cuma hatimu
yang keji! Mulutmu juga busuk!”
“Gadis
setan! Diam!” bentak Sabai Nan Rancak.
“Kau
harus bersyukur kematianmu tertunda beberapa kejap! Secepatnya aku
menyingkirkan setan hitam ini giliranmu akan tiba untuk menerima ke-matian!”
“Sabai!
Kau belum lama menginjakkan kaki di tanah Jawa ini. Pengalamanmu di sini hanya
sesempit jalan pikiranmu! Kau tidak tahu siapa adanya gadis ini!”
“Hemmm….
Aku mendengar dua gadis lainnya memanggilnya Ratu. Ratu apa?! Hik… hik… hik!”
Hantu
Balak Anam palingkan kepalanya ke belakang. Tersiraplah darah Ratu Duyung
melihat keangkeran manusia yang alisnya panjang menyatu ini. “Kita memang baru
sekali ini bertemu. Namamu sudah lama kudengar. Aku yakin kau adalah Ratu
Duyung penguasa alam gaib kawasan samudera….”
“Terima
kasih kau mengenali diriku. Sayang kita bertemu pada saat yang kurang
menyenangkan. Namun demikian ada satu hal yang perlu aku beri tahu padamu. Aku
barusan….”
Maksud
Ratu Duyung hendak memberitahu bahwa dia telah memasukkan kalung ke dalam tubuh
Hantu Balak Anam melalui lobang besar bekas luka di punggungnya. Tapi tidak
terlaksana karena saat itu Sabai Nan Rancak telah melompat ke depan seraya
mengebutkan Mantel Saktinya ke arah lelaki tinggi besar berusia 78 tahun itu.
Hantu
Balak Anam yang sebelumnya telah melihat kehebatan mantel milik si nenek cepat
menyingkir. Dari samping dia palingkan kepalanya ke arah lawan. Dua belas sinar
hitam menderu. Angin laksana badai yang keluar dari Mantel Sakti menghantam
lamping batu di atas Ratu Duyung. Bukit batu itu hancur berentakan mengeluarkan
suara menggemuruh. Kepingan batu dan debu berpelantingan, sebagian besar seolah
mengguyur Ratu Duyung.
Sabai Nan
Rancak cepat balikkan diri ke arah Hantu Balak Anam. Mantel di tangannya
dipukulkan ke depan. Dua belas sinar hitam panas yang keluar dari dua belas
lobang hitam di muka Hantu Balak Anam keluarkan suara meletup dan buyar
berentakan. Hantu Balak Anam sendiri tampak terhuyung. Dia masih untung sempat
jatuhkan diri. Kalau tidak tubuhnya pasti akan hancur dilanda angin sakti yang
keluar dari Mantel Sakti. Untuk ke dua kalinya salah satu bagian bukit batu
merah hancur berkeping-keping. Pecahan batu dan debu menutupi pemandangan.
Ketika batu dan debu luruh ke permukaan bukit dan keadaan menjadi terang, Sabai
Nan Rancak melompat ke arah jatuhnya Hantu Balak Anam. Tapi orang itu tak ada
lagi di situ! Tampang si nenek tampak berubah ketika dia dapatkan tiga buah
lobang berasap di Mantel Saktinya. Ternyata tiga dari Dua Belas Jalur Kematian
yaitu dua belas sinar hitam serangan yang dilancarkan Hantu Balak Anam sempat
menjebol mantel hitam di tiga bagian!
“Jahanam!”
rutuk si nenek. Dia berpaling ke arah Ratu Duyung. Kemarahan kini
dilampiaskannya pada sang Ratu. Mantel Saktinya diangkat tinggi-tinggi. Dari
jarak dua belas langkah dia siap untuk menggebuk lawan yang terkulai terduduk
di permukaan batu bukit dalam keadaan tak berdaya itu.
“Lekas
serahkan kalung itu!” hardik Sabai Nan Rancak.
Ratu
Duyung meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah. Dari mulutnya keluar suara
tawa panjang. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Si nenek menyangka gadis
itu hendak mengeluarkan barang yang dimintanya. Ternyata yang tampak tergenggam
di tangan kanan Ratu Duyung adalah Sebuah cermin bulat.
“Gadis
setani Sebelum mampus apakah kau hendak berdandan lebih dulu?! Hik… hik… hik…!”
Ratu
Duyung menyeringai.
Sabai Nan
Rancak turunkan tangan kanannya yang memegang Mantel Sakti. “Kehebatan mantel
ini sudah kuketahui. Mengapa sekarang tidak menjajal Mutiara Setan?!” Memikir
begitu si nenek keruk kantong kain yang tergantung di pinggang pakaian
hitamnya. Sebutir Mutiara Setan dijepit diantara ibu jari dan telunjuk tangan
kirinya. “Selagi masih hidup kau tak mau menyerahkan Kalung Permata Kejora!
Tidak jadi apa! Aku tidak keberatan mengambilnya setelah kau jadi mayat!”
Tangan
kiri Sabai Nan Rancak bergerak. Mutiara Setan yang berwarna hitam itu menderu
dahsyat mengarah kening Ratu Duyung. Di saat yang bersamaan Ratu Duyung
gerakkan Cermin Saktinya. Selarik sinar putih yang sangat menyilaukan berkiblat
ke arah mata Sabai Nan Rancak. Si nenek keluarkan jeritan keras ketika dia
tiba-tiba merasakan seolah buta akibat kesilauan. Cepat dia melompat sambil
usap sepasang matanya. Sesaat kemudian dia bisa melihat kembali. Namun untuk
beberapa lamanya penglihatannya tidak bisa jelas walau dia telah mengerahkan
tenaga dalam ke arah kedua matanya.
Meskipun
Ratu Duyung bisa membuat sepasang mata lawan cidera walau hanya sementara namun
kiblatan Cermin Saktinya tadi tidak sanggup meluruhkan Mutiara Hitam yang menyambar
ke arahnya. Sejengkal lagi senjata rahasia milik Datuk Tinggi Raja Di Langit
yang dilemparkan Sabai Nan Rancak itu akan menembus keningnya dan mengirimnya
ke akhirat tiba-tiba sebuah benda panjang memapas di depan hidung sang Ratu.
“Tring!
“Traak!”
Mutiara
Setan mencelat mental. Namun benda yang memapas patah di bagian ujungnya. Ratu
Duyung tidak tahu pasti apa yang terjadi. Saat itu dia hanya melihat ada satu
bayangan berkelebat dan dia mencium bau pesing!
********************
DELAPAN
Ratu
Duyung tidak mengetahui siapa yang memanggul dan melarikan dirinya. Mula-mula
dia juga tidak mengetahui apakah yang melarikannya saat itu seorang lelaki atau
seorang perempuan. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Walau dirinya tidak
ditotok tapi adalah aneh. Di atas bahu orang yang melarikannya dia tidak
sanggup bergerak. Seperti diketahui tingkat kepandaian dan ilmu kesaktian Ratu
Duyung tinggi sekali. Namun kalau dia tidak sanggup membebaskan diri padahal
dia tidak ditotok maka dapat dibayangkan bagaimana tingginya kepandaian orang
yang saat itu memanggul dan membawanya lari.
Ratu
Duyung memperhatikan lagi. Dia tidak bisa melihat, muka orang tapi dapat
melihat bagian atas kepalanya. Dalam gelapnya malam dia melihat ada lima buah
tusuk konde terbuat dari perak menancap di atas kepala orang itu.
“Aneh.
orang ini memiliki rambut putih jarangi Bagaimana lima tusuk konde itu bisa
menancap di kepalanya?!” Ratu Duyung coba memperhatikan lebih seksama.
“Astaga!” Gadis ini terkejut Ternyata lima tusuk konde itu bukan disisipkan di
antara rambut tapi langsung ditusukkan ke kulit kepala dan terus menancap ke
batok kepalai “Rasanya aku pernah melihat orang dengan tusuk konde seperti ini
sebelumnya!” Ratu Duyung berusaha mengingat. Tiba-tiba meledak suaranya. “Tuan
penolongku! Aku berterima kasih padamu! Bukankah kau adalah nenek sakti dari
Gunung Gede yang dipanggil dengan nama Sinto Gendeng. Guru Pendekar 212 Wiro
Sableng?!”
“Anak
setan! Akhirnya kau mengenali diriku juga hah!”
Orang
yang melarikan Ratu Duyung hentikan larinya lalu enak saja tubuh si gadis
dicampakkannya ke tanah.
“Nek,
barusan saja kau menolongku! Sekarang mengapa tiba-tiba melemparkanku begitu
saja?!” ujar Ratu duyung seraya bangkit sambil pegangi dadanya yang mendenyut
sakit.
“Anak
setan! Siapa yang menolongmu?!” Sosok tubuh tinggi hitam bungkuk dan bau pesing
di hadapannya membentak.
“Eh,
bagaimana ini. Nek kau betul Sinto Gendeng guru sahabatku Pendekar 212 Wiro
Sableng. Betul kan ?!”
“Hemmmm.
Jadi anak setan satu itu adalah sahabatmu?!”
“Betul.
Aku tidak dusta…” jawab Ratu Duyung.
“Kalau
dia sahabatmu kau tentu tahu di mana dia berada sekarang.,.?”
“Aku
tidak tahu pasti. Tapi ada petunjuk bahwa dia berada di kawasan selatan. Tak
jauh dari Telaga Gajahmungkur….”
“Betul
katamu dia sahabatmu?!”
“Aku
tidak berdusta Nek!”
“Kalau
begitu mengapa kau celakai dirinya?!”
terkejutlah
Ratu Duyung mendengar ucapan orang di depannya. Seorang nenek bungkuk
mengenakan pakaian lusuh dan kain panjang ketinggian yang menebar bau pesing.
“A… aku tidak
mengerti maksudmu Nek….”
“Kau
mulai bermain lidah! Aku si tua bangka Sinto Gendeng ini apa kau kira bisa
ditipu?!”
“Aku
tidak menipumu. Aku benar-benar tidak tahu apa maksud ucapanmu tadi…. Kalau
saja kau mau menjelaskan….”
“Kau
minta penjelasan! Aku akan katakan! Bukankah karena ulahmu mengajak muridku
berzinah sampai dia kini menderita lumpuh ilmu, lumpuh kesaktian?! Kau sembuh
dan bebas dari kutukah jahanam itu tapi muridku ketiban celaka malapetaka! Ayo!
apa jawabmu! Kutampar mulutmu sampai pencong kalau kau berani berdusta!”
Ratu
Duyung merasakan dadanya yang sejak tadi mendenyut sakit kini malah menyesak.
Jantungnya berdebar keras dan aliran darahnya seperti tidak karuan.
“Nenek
Sinto Gendeng, kau tentu telah menerima kabar yang salah….”
“Kabar yang
salah? Siapa yang salah?!” bentak Sinto Gendeng.
“Nek,
Izinkan aku memberi keterangan….”
“Bicaralah!
Tapi jika keteranganmu palsu dan bicaramu bohong kubeset mulutmu atas bawah!”
Ratu
Duyung merasa mukanya menjadi merah karena jengah mendengar ucapan si nenek
yang dianggapnya sangat keterlaluan itu. Tapi apa mau dikata. Dia harus
bersabar diri. Apalagi yang dihadapinya adalah seorang nenek sakti berpikiran
aneh dan lebih dari itu adalah guru pemuda yang diam-diam dicintainya.
“Waktu
kami meninggalkan Pangandaran, aku yakin kau sebagai gurunya mengizinkan
kepergian kami berdua. Menurut Wiro dia juga telah menceritakan hal menyangkut
kutukan yang menimpa diriku dan belasan anak buahku. Saat itu aku merasa bahwa
kau ikut merestui. Mungkiri sekarang aku baru menyadari bahwa aku salah….”
“Teruskan
saja keteranganmu. Jangan berhenti kalau aku tidak menyuruh. Tanganku sudah
gatal hendak menjambak rambut dan menampar mukamu!”
“Aku
membawa muridmu ke sebuah Puri di tempat kediamanku. Puri itulah tempat yang
telah ditentukan untuk dapat memusnahkan kutukan. Kami memang bersatu badan.
Namun kami belum sempat melakukan sesuatu. Kuasa Tuhan tiba-tiba membuat
kutukan musnah. Aku dan anak buahku bebas dari kutukan itu….”
“Tapi
akibatnya muridku yang celaka!”
“Nenek
Sinto Gendeng, kalau aku tahu bahwa akibat itu akan terjadi dengan diri
muridmu, aku tak akan pernah melakukannya. Aku memilih lebih baik tetap berada
dalam sumpah kutukan….”
“Hemmm,
itu bicaramu sekarang!”
“Aku
bersumpah Nek. Aku tidak punya maksud buruk terhadap Wiro. Kami tidak sampai
melakukan perzinahan….”
“Mana aku
percayai Soalnya aku tidak melihat, juga tidak mengintipi Kalian berdua yang
punya kerjaan! Muridku yang menderita!”
“Kalau
itu memang kesalahan berat, aku siap menerima hukuman. Terserah kau mau
melakukan apa terhadapku…. Aku tidak mungkin melakukan kejahatan terhadap
muridmu. Aku tidak akan pernah culas terhadapnya. Aku tidak mungkin melakukan
semua itu terhadap dia yang aku…”
“Ayo
teruskan ucapanmu! Mengapa diputus?!” bentak Sinto Gendeng.
“Aku
mencintai muridmu Nek….” Suara Ratu Duyung perlahan sekali tapi bergema dalam
sampai ke lubuk hati nenek sakti dari Gunung Gede itu. Mula-mula si nenek
mengernyitkan keningnya, lalu menyeringai. Namun wajahnya tampak berubah. Untuk
beberapa lamanya mulutnya terkancing. Dia memandang ke arah kegelapan. Saat itu
mereka berada di sebuah hutan kecil jauh di belakang bukit batu merah.
Pepohonan yang menghitam di kegelapan malam seolah berubah menjadi sosok
manusia di mata Sinto Gendeng. Setiap dia memperhatikan wajah manusia itu dia
melihat semuanya memiliki wajah sama. Yang dilihatnya adalah wajah Sukat
Tandika alias Tua Gila!
“Cinta….
Kau mencintai muridku…?” Tiba-tiba Sinto Gendeng ajukan pertanyaan tanpa
memandang pada Ratu Duyung. Sebelum sang Ratu menjawab si nenek sudah membuka
mulutnya kembali. “Cinta gila…. Siapa percaya pada cinta akan celaka!”
“Nek,
mengapa tega-teganya kau berkata begitu?”
“Aku jauh
lebih tua darimu anak setan! Aku sudah makan asam garam dunia! Aku lebih banyak
tahu darimu! Ini bukan soal tega atau tidak tegai Kau tahu apa mengenai cinta!
Cinta membuat banyak manusia celaka dunia akhirat! Buktinya aku sudah
merasakan! Kini muridku juga kena getahnya cinta! Setan betul!”
Tahu
orang sedang marah Ratu Duyung memilih bersikap diam. Tapi lama-lama hatinya
tidak tahan. Dia berkata. “Kalau cinta memang membuat manusia celaka dunia
akhirat, aku sendiri merasa bahagia dalam celaka itu. Karena yang kucintai
adalah muridmu sendiri…. Kalau semua itu menyakiti hatimu aku mohon ampun pada
Tuhan dan minta maaf padamu.”
“Eh, anak
setani Jangan kau berpandai-pandai bicara padaku! Berani-beranian kau menyebut
nama Tuhan! Aku….” Sinto Gendeng tudingkan tongkat kayu bututnya yang patah di
bagian ujung akibat dipergunakan menangkis Mutiara Setan tadi.
Sinto
Gendeng tidak meneruskan ucapannya. Memandang ke arah barisan pepohonan dia
kembali melihat Sosok dan wajah Tua Gila, kekasihnya di masa muda. Lalu
sayup-sayup seperti ada suara yang masuk ke liang telinganya. “Sinto, masa
bercintamu sudah habis dimakan usia. Masa lalu hanyalah kenangan. Masa sekarang
kenyataan dan masa depan adalah tantangan….!
Si nenek
ulurkan tangannya memegangi leher yang terasa seperti tercekat.
“Gila!
Apa yang tengah terjadi dengan diriku….” kata si nenek dalam hati.
Perlahan-lahan dia berpaling pada Ratu Duyung yang duduk bersimpuh di tanah
dengan kepala tertunduk seperti seorang pesakitan yang siap menjalankan hukuman
pancung!
“Traak!”
Ratu
Duyung terkejut dan angkat kepalanya. Ternyata si nenek sengaja mematahkan
ujung tongkat bututnya. Patahan sepanjang setengah jari kelingking
disodorkannya ke muka Ratu Duyung.
“Kunyah
kayu ini sampai lidahmu merasa pahit!”
Ratu
Duyung memandang pulang balik dari wajah si nenek ke patahan tongkat yang
disodorkan di depan mukanya.
“Nek,
aku…”
“Anak
setan! Bukankah kau terluka parah di dalam akibat serangan dajal kesasar tadi?!
Nah, kau tunggu apa lagi! Kunyah potongan tongkat ini sampai ada rasa pahit
dalam mulutmu!”
“Apakah….
Apakah ini semacam obat…?”
“Anak
setan! Lain kali jangan harap aku mau menolongmu lagi!”
“Hek!”
Ratu
Duyung keluarkan suara tercekik ketika potongan kayu tongkat dilemparkan Sinto
Gendeng hingga melesat masuk ke dalam mulutnya.
“Anak
setan, lakukan saja apa yang aku katakan! Sekarang aku harus pergi! Karena
menyadari kau adalah seorang ratu dan aku seorang rakyat jelata dalam bentuk
nenek keropos maka ada patutnya aku memberi penghormatan padamu sebelum pergi!”
Habis berkata begitu Sinto Gendeng bungkukkan tubuhnya yang memang sudah
bungkuk lalu sambil tertawa cekikikan dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Karena
ada rasa jijik, semula Ratu Duyung hendak memuntahkan potongan tongkat di dalam
mulutnya. Namun aneh, mendadak mulutnya terasa manis.
“Nenek
itu mengatakan rasa pahit. Yang kurasakan justru sebaliknya. Tapi aku masih
belum mengunyah! Bagaimana ini, apakah aku harus melakukan apa yang
dikatakannya?” Sambil berpikir sang ratu mengunyah perlahan. Semakin dikunyah
semakin manis terasa mulutnya. Dia mulai merasa kelu dan capai mengunyah.
Sampai puluhan bahkan ratusan kali kayu yang dikunyahnya masih terasa manis.
“Sampai
tanggal seluruh gigi di mulutku dan sampai hancur kayu ini agaknya tak akan ada
rasa pahit!” Ratu Duyung mulai merasa was-was. Tapi tiba-tiba kunyahannya
terhenti. “Aku merasa ludahku memahit….” Ratu Duyung lalu mengunyah kembali.
Benar saja. Semakin dia meneruskan mengunyah semakin kentara rasa pahit itu.
Bersamaan dengan itu ada rasa hangat menjalari urat-urat dalam tubuhnya. Aliran
darahnya yang tadi terasa seperti kacau kini perlahan-lahan teratur kembali.
Lalu sakit di dadanya perlahan-lahan sirna melenyap. Ratu Duyung bangkit
berdiri. Astaga! Seperti ada satu kekuatan baru kini berakar dalam tubuhnya
padahal sebelumnya akibat hantaman Mantel Sakti Sabai Nan Rancak bukan saja dia
menderita luka dalam yang parah, berdiri pun dia rasanya tak sanggup.
“Nenek
itu…” desis Ratu Duyung. “Ternyata dia telah menolongku. Aku berhutang besar
padanya! Bagaimana aku harus membalas sementara dia merasa aku telah mencelakai
muridnya…? Wiro, di mana kau saat ini. Aku harus menemuimu! Aku harus
menceritakan semua ini padamu….” Ratu Duyung angkat Cermin Saktinya. Namun dia
tidak melihat apa-apa karena air matanya jatuh membasahi permukaan cermin.
********************
SEMBILAN
Di salah
satu sudut teluk Parangtritis yang sepi, pemuda berpakaian hitam itu duduk
sendirian, seolah sengaja mengucilkan diri padahal di teluk saat itu tengah
berlangsung upacara besar taburan bunga yang diselenggarakan oleh keraton.
Ratusan orang bertebaran di sepanjang teluk menyaksikan keramaian yang hanya
terjadi sekali dalam setahun itu. Rakyat bukan saja mengikuti jalannya upacara
dari tepian teluk tetapi banyak pula yang langsung mengayuh perahu ke tengah
laut.
“Sahabat
muda, pesta keramaian ada di sana. Mengapa kau justru menyaksikan bersunyi diri
dari jauh di tempat ini?” Satu suara menegur.
Pemuda
berpakaian hitam tersentak kaget. Cepat palingkan kepala. Dia melihat seorang
pemuda berambut gondrong dan berpakaian serta hitam seperti keadaannya, tegak
sambil memandang menyeringai padanya.
“Rambutmu
gondrong, rambutku gondrong. Pakaianmu hitami Pakaianku juga hitami Bukankah
itu satu tanda persahabatan?” Pemuda pertama kembali berucap.
Pemuda
yang ditegur pandangi wajah orang di sebelahnya penuh selidik. Yang dipandang,
walau tidak memperhatikan berkata. “Kau memandangku penuh curigai Itu bukan
satu tanda persahabatan!”
Pemuda
baju hitam yang duduk di tanah berkata dalam hati. “Walau diriku masih dalam
musibah gila ini, tapi adalah aneh aku tidak mendengar langkah kakinya ketika
datang. Dia tidak memandang padaku tapi tahu kalau aku memperhatikan penuh
curiga. Siapa adanya pemuda ini. Melihat raut wajah dia tiga atau empat tahun
lebih muda dariku. Dibalik wajahnya yang tampan, di dalam tubuhnya yang kekar
aku yakin tersimpan satu kekuatan hebat….”
“Kalau
aku boleh bertanya, siapa kau adanya dan mengapa menyendiri di tempat ini?
Tidak turun berperahu ke laut. Tidak bergabung dengan orang banyak di teluk.
Kulihat di sana banyak meja bertebaran berisi berbagai macam hidangan,
buah-buahan dan minuman….”
“Aku
hanya seorang nelayan. Aku sedang tidak enak badan. Itu sebabnya aku memilih
lebih baik duduk di sini….”
Mendengar
ucapan pemuda yang duduk, pemuda satunya tertawa. Sepasang matanya masih terus
menatap ke arah teluk ketika berkata. “Sekali lagi kau menunjukkan sikap tidak
bersahabat. Katamu kau seorang nelayan. Nelayan mana ada yang kulitnya putih
pucat sepertimu!”
Pemuda
berpakaian hitam yang duduk di tanah pencongkan mulutnya lalu garuk-garuk
kepala. “Sudah sebulan aku tidak turun ke laut. Itu sebabnya aku tampak putih.
Karena sakit kulitku jadi pucat…. Kau sendiri siapa? Mengapa memilih berada di
tempat ini daripada berada di teluk sana?!”
“Siapa
aku itulah yang aku tidak ketahui….”
“Hemm….
Pemuda ini sedeng kurang waras rupanya! Biar aku kerjain!” membatin pemuda yang
duduk di tanah. “Kau bilang tidak tahu siapa dirimu. Itu hebat! Kalau kutanya
apakah kau laki-laki atau perempuan, apakah kau bisa menjawab?!”.
“Eh!” Pemuda
yang berdiri palingkan kepalanya, memandang tajam pada pemuda yang duduk di
depannya lalu tertawa bergelak. “Kau tidak buta! Kau lihat sendiri ujud
keadaanku! Ya jelas aku ini seorang lelaki! Pemuda sepertimu!”
“Sekarang
jaman aneh! Lelaki suka pakai pakaian perempuan. Perempuan suka mengenakan
pakaian lelaki. Bagaimana kau bisa membuktikan bahwa kau betul-betul seorang
lelaki?!”
“Gilai
Kau orang gila!”
“Silahkan
kau menganggap begitu. Nah sekarang coba kau perlihatkan anumu padaku. Untuk
membuktikan bahwa kau memang laki-laki! Bukan perempuan!”
“Benar-benar
gila!”
“Ah!
Jangan-jangan seperti dugaanku kau adalah seorang banci!” “Setan kau!”
“Tadi kau
memaki aku gila. Sekarang setan. Sebentar lagi entah apa! Sebaiknya kau pergi
ke teluk sana. Aku tidak suka dekat-dekat dengan orang yang tidak ketahuan
lelaki atau perempuan! Seorang yang tidak tahu siapa dirinya!”
“Orang
gila! Aku ini laki-laki tahu!”
“Kalau
begitu coba kau buktikan. Tunjukkan padaku apa kau memang punya jambu klutuk
atau cuma jambu mete! Ha… ha… ha…!”
“Setan
alas! Apa maksudmu jambu klutuk dan jambu mete itu!”
“Coba kau
melorotkan celanamu ke bawah! Nanti akan ketahuan kau ini jenis jambu klutuk
atau cuma jambu mete!”
“Jahanam
kurang ajar! Kau benar-benar tidak bersahabat!” si pemuda marah sekali. Dia
menunjuk ke sebuah batu sebesar kepala. “Lihat batu itu! Rupanya kau mau aku
membuat kepalamu seperti ini!”
“Wuuutt!”
Satu kali
berkelebat pemuda itu melesat ke udara, lalu menukik dengan tangan kanan
menjotos ke arah batu.
“Bukkk!”
“Byaaarr!”
Batu
besar yang kena hantaman tangan si pemuda hancur berkeping-keping. Belum lagi
hancuran batu itu berjatuhan ke atas permukaan pasir, si pemuda telah
berkelebat dan kembali tegak di samping pemuda satunya!
Si
gondrong yang duduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri. “Jangan-jangan
anak setan ini punya maksud jahat terhadapku!”
“Gerakanmu
laksana kilat! Pukulanmu hebat dan tenaga dalammu luar biasa! Dari mana kau
dapatkan ilmu kepandaian itu Kisanak?!”
“Aku
tidak tahu!”
“Kau
tidak tahu! Siapa gurumu?!”
“Tidak
tahu! Aku tidak ingat! Sobat, dengar baik-baik. Aku tidak Ingat semua hal di
masa lalu!”
Si
gondrong satunya kembali garuk-garuk kepala. “Dia tak ingat masa lalunya.
Otaknya mungkin sudah dikuras setan!” Setelah pandangi pemuda di hadapannya
dengan tak berkesip dia bertanya. “Kau punya nama? Atau tidak ingat siapa
namamu?!”
“Aku
Utusan Dari Akhirat!” jawab si gondrong sambil menyeringai seperti bangga.
“Nama
hebat!” desis pemuda satunya sambil garuk-garuk kepala. “Kau berasal dari
mana?”
“Tidak
ingat! Tidak tahu!”
“Gila!”
rutuk pemuda itu dalam hati. “Kalau kau bernama Utusan Dari Akhirat mustinya
kau datang dari atas langit sana! Tapi apa kau tahu kalau akhirat itu ada dua.
Satu akhirat yang disebut sorga. Satunya lagi yang dinamakan neraka. Nah, kau
datang yang dari mana?!”
“Mana aku
tahu!”
“Jelas
anak setan ini memang miring otaknya. Tapi dia berkepandaian tinggi. Aku harus
hati-hati!” Setelah menggaruk kepalanya sekali lagi, pemuda ini berkata. “Kau
tidak ingat masa lalumu. Kau tidak ingat semua hal di masa silam. Jadi kau
hanya ingat hal-hal di masa yang akan datang!”
“Betul!”
“Hal apa
saja?!”
“Aku
punya tiga tugas besar!”
“Tiga
tugas besar? Tugas apa? Kau mau memberitahu?”
Tentu
akan kuberitahu seperti aku sudah beritahu pada beberapa orang tertentu yang
aku temui sebelumnya! Siapa tahu kau bisa membantu! Tugasku adalah mencari dan
membunuh tiga orang!”
“Jauh-jauh
dari akhirat tugasmu untuk membunuh orang…?! Siapa-siapa mereka yang hendak kau
bunuh itu?!”
Yang
ditanya tidak menjawab melainkan menunjuk ke arah teluk Parangtritis.
Upacara
taburan bunga di tengah laut kali ini dilakukan sangat meriah. Cuaca cerah,
laut yang tenang dan angin yang bertiup sejuk membuat upacara yang dilakukan
setiap setahun sekali itu berlangsung lancar. Di atas perahu besar yang diberi
gaba-gaba serta berbagai macam hiasan, Suitan duduk tersenyum dikelilingi para
pengawal, beberapa perwira dan puluhan pengawal. Di samping sebelah kanan tegak
Patih Ki Haryo Darmogumpito. Meski tua tapi masih kelihatan tegap penuh wibawa.
Sebilah pedang bersarung dan berhulu emas tergantung di pinggangnya,
memantulkan sinar berkilauan terkena cahaya matahari. Di sebelah kiri Sultan,
di atas sebuah kursi bagus yang kebesaran, duduk seorang gadis kecil berusia sepuluh
tahun. Dia adalah Juminten Sekar Wangi, cucu paling disayangi Sultan.
Kehadirannya di situ seolah mewakili para penghuni Keraton lainnya. Karena itu
Sultan tidak merasa risau walau dalam upacara penting itu permaisuri yang
sedang kurang sehat, dua anak dan dua menantunya tidak ikut hadir. Di usianya
yang sudah lanjut bagi Sultan sang cucu Juminten Sekar Wangi adalah sumber
segala kebahagiaannya.
Di
hadapan Sultan ada sebuah meja kecil. Di atas meja beralaskan kain beludru
merah terletak dua buah pusaka Keraton yang selalu dihadirkan dalam setiap
upacara taburan bunga di tengah laut. Pusaka pertama adalah sebilah keris emas.
yang gagangnya berbentuk kepala seekor burung Elang jantan dengan sepasang mata
merah terbuat dari batu mulia. Pusaka kedua juga sebilah keris emas lebih kecil
dari yang pertama dengan hulu berbentuk kepala seekor Elang betina. Sepasang
matanya terbuat dari batu permata berwarna biru.
Dua buah
perahu mengapit perahu besar yang ditumpangi Sultan. Di atas dua perahu
pengapit ini ada dua rombongan pemain gamelan yang tiada henti-hentinya
mengalunkan tembang-tembang kesukaan Sultan.
Patih Ki
Haryo Darmogumpito menunduk sedikit dan berbisik pada Sultan. “Upacara taburan
sudah selesai. Kita siap kembali ke teluk. Kecuali Sultan ingin melakukan
sesuatu.
Misalnya
berkeliling sampai ke batas pusaran laut dingin dan laut panas seperti yang
dilakukan tahun lalu.”
“Kita
kembali saja Patih. Perutku sudah lapar! Dan cucuku si kecil jelita ini tentu
juga ingin cepat pulang, bermain bersuka-suka di Keraton…” Sambil berucap
Sultan mencium kepala Juminten Sekar Wangi. Selagi dia mencium kepala cucu yang
dikasihinya Itu tiba-tiba telinganya menangkap suara sesuatu di antara gema
alunan gamelan di dua perahu yang mengapit perahu besar.
“Patih
Haryo, apakah kau mendengar suara sesuatu?” tanya Sultan. Hidungnya masih
menempel di kepala Juminten.
“Saya
mendengar Sultan. Dan saya sudah tahu apa yang terjadi. Ada seorang anak kecil
duduk di kepala perahu….”
Perlahan-lahan
Sultan angkat kepalanya lalu memandang ke bagian depan perahu. Perahu besar ini
di sebelah depan mulai dari lambung sampai ke ujung dibuat demikian rupa
berbentuk sosok seorang gadis bermahkota yang tengah memegang anak panah dan
merentang busur.
Duduk di
atas leher patung gadis memanah itu kelihatan seorang anak kecil berpakaian
terusan warna hitam dalam keadaan basah kuyup. Pada bagian dada pakaiannya
terpampang gambar seekor naga bergelung dengan kepala membesar seolah hendak
menerkam. Kaki dan lengan pakaian hitamnya panjang demikian rupa hingga anak
berwajah lucu ini kelihatan seperti seekor tikus besar. Anak ini duduk sambil
meniup sebuah seruling. Kepalanya yang berambut jabrik digoyang-goyang, kedua
kakinya diuncang-uncang mengikuti alunan gamelan. Setiap habis meniup dia
jauhkan sebentar serulingnya dari mulut lalu lidahnya dijulurkan. Dalam keadaan
lain orang yang melihat tingkah bocah itu pasti akan senyum-senyum tertawa.
Namun saat itu tentu saja tidak ada yang berani tersenyum apalagi tertawa. Anak
tak dikenal itu duduk secara kurang ajar di atas perahu besar yang ditumpangi
Suitan bahkan membelakangi Suitan. Semua orang sudah dapat memastikan kalau
Sultan akan menjadi marah. Namun yang terdengar saat itu justru gelak berderai
Juminten Sekar Wangi. Cucu Sultan ini agaknya senang melihat tingkah anak
berpakaian terusan hitam yang meniup suling itu.
Setelah
memperhatikan sejurus Suitan berkata. “Seumur hidup baru sekali ini aku
mendengar tiupan suling dipadu dengan alunan gamelan. Sedap di telinga tapi
kehadirannya kurang berkenan di hatiku. Patih, kau kenal siapa adanya anak
itu?”
“Saya
tidak kenal. Tidak pernah melihatnya sebelumnya Sultan….”
“Kau bisa
memberi keterangan bagaimana tiba-tiba dia berada di atas perahu ini tanpa
seorang pun mengetahui?”
“Saya
akan menyelidiki Sultan,” jawab Patih. Dia memberi isyarat pada dua orang
perwira. Tiga orang ini bergegas menuju bagian depan perahu.
Juminten
Sekar Wangi melompat turun dari kursinya mengikuti ketiga orang itu. Sultan
berusaha mengejar tapi dengan lincah anak perempuan ini menyelinap di antara
para pengawal dan mendahului lari menuju bagian depan perahu besar.
********************
SEPULUH
Sementara
di bawahnya orang sibuk melakukan sesuatu, anak berbaju hitam berambut jabrik
di atas sana terus saja asyik meniup serulingnya mengikuti alunan gamelan.
Rombongan pemain gamelan di dua perahu walau merasa heran melihat kejadian itu
tapi tetap saja meneruskan permainan mereka karena ternyata tiupan seruling si
bocah begitu enak membuat mereka terus bermain bersambut-sambutan.
“Kawan!
Hai kawan yang meniup suling! Siapa namamu?!” Yang berseru adalah cucu Sultan
si kecil Juminten.
Anak di
atas sana miringkan kepalanya dan memandang ke bawah. Dia tidak menjawab tapi
melontarkan senyuman dan terus meniup serulingnya.
“Hai! Hati-hati!
Jangan miring-miring begitu! Nanti kau jatuh!” teriak Juminten kembali.
“Anak di
atas leher patung! Hentikan permainanmu! Lekas turun kemari!” Tiba-tiba ada
suara teriakan keras. Yang berteriak adalah Patih Ki Haryo Darmogumpito.
Mendengar
suara teriakan si anak kembali miringkan kepala memandang ke bawah ke arah sang
Patih. Sesaat anak ini jauhkan seruling dari bibirnya. Lidahnya dijulurkan ke
arah Patih Ki Haryo lalu kembali dia meniup seruling.
Merasa
tidak diperdulikan malah dipermainkan dikurang-ajari Patih Ki Haryo menjadi
marah.
“Anak
kurang ajari Kau minta digebuk rupanya!”
“Paman
Patih!” tiba-tiba Juminten berteriak. “Jangan sakiti temanku!”
“Den Ayu
Juminten! Anak itu bukan temanmu! Dia anak gelandangan yang kesasar! Anak
kurang ajar!” jawab Patih Kerajaan. “Aku akan menyuruhnya turun sekali lagi!
Kalau dia tidak turun akan kutarik putus dua daun telinganya! Awas kau anak
kurang ajar!”
Di atas
sana si anak kecil tetap saja tidak perduli. Tiupan serulingnya malah
diperkencang dan iramanya dipercepat. Para pemain gamelan yang ada di dua
perahu dan sejak tadi terpengaruh keenakan oleh tiupan seruling si bocah segera
pula mempercepat alunan gamelan hingga suara Patih Kerajaan yang
berteriak-teriak marah tenggelam tidak terdengar. Juminten Sekar Wangi
tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak sementara Sultan tekap kedua telinganya.
“Bocah
kurang ajar!” damprat Patih Ki Haryo. Dia memberi isyarat pada seorang perwira
di sebelahnya. “Naik ke atas sana! Lemparkan anak itu ke dalam laut!” Perwira
yang diperintahkan kebetulan bertubuh gemuk buntal bermuka bundar seperti bola.
“Paman
Patih!” teriak Juminten. “Jangan sakiti anak itu! Aku Ingin berteman
dengannya!”
“Dengar
Den Ayu Juminten. Anak itu tidak pantas menjadi temanmu. Kau adalah cucu Raja!”
“Aku tidak
perduli! Aku ingin berteman dengan dia!” teriak Juminten.
Patih Ki
Haryo Darmogumpito jadi hilang akal menghadapi cucu Sultan itu. Juminten
dirangkulnya lalu digendong dan dibawanya ke tempat Suitan. Tapi si gadis cilik
ini menggigit tangan Patih Haryo. Selagi sang Patih menjerit kesakitan Juminten
merosot turun dan lari ke arah depan perahu kembali.
“Cucuku….
Juminten…!” panggil Sultan.
Patih Ki
Haryo yang kesakitan usap-usap kedua tangannya lalu berteriak pada rombongan
penabuh gamelan di perahu kiri dan perahu kanan. “Hentikan permainan kalian!
Hentikan!”
Mendengar
teriakan dan melihat kemarahan sang Patih semua pemain gamelan segera hentikan
permainan masing-masing. Di atas sana si anak berpakaian serba hitam masih
terus meniup serulingnya. Ketika dia menyadari sirnanya suara gamelan dia
turunkan tangannya yang memegang seruling lalu memandang ke arah perahu kiri
kanan.
“Kenapa
berhenti? Aku lagi enak-enaknya! Ayo main lagi!” teriak si anak. Dia tiup
sulingnya kembali. Tapi tak ada seorang pun pemain gamelan berani menyentuh
peralatannya. Si anak akhirnya berhenti meniup suling.
Pada saat
itu perwira gemuk yang diperintahkan sang Patih tengah merangkak sepanjang kayu
patung. Sikapnya yang seperti beruk memanjat itu membuat banyak orang menahan
tawa. Begitu sampai di dekat si bocah dia segera ulurkan tangan untuk mencekal
leher. Sadar kalau ada orang di belakangnya anak ini berpaling. Melihat tangan
hendak menyambar dirinya cepat-cepat anak ini bersurut mundur dan naik ke
bagian kepala patung yang lebih tinggi sambil mencibirkan lidahnya pada si
perwira.
“Anak
kurang ajar! Kau mau lari kemana!”
Penasaran
perwira gendut itu terus mengejar. Sebenarnya saat itu lututnya sudah gemetar
karena gamang. Namun di bawah sana Patih Ki Haryo terus berteriak-teriak agar
dia segera menangkap anak kecil itu.
Sesaat
kemudian si anak telah sampai di bagian kepala patung yang paling tinggi. Tak
ada lagi baginya tempat untuk bersurut sementara dari bawah perwira gemuk terus
merangkak naik.
“Ayo lari
terus! Kau mau lari kemana! Ha… ha…! Kupatahkan batang lehermu sekarang!”
Perwira itu menggertak tapi si anak bukannya takut malah sambil terus
mencibirkan lidahnya tangan kirinya dilambai-lambaikan agar perwira yang
mengejarnya itu naik dan mendekat lebih cepat. Begitu si perwira berada sejarak
seuluran tangan darinya, anak kecil ini tusukkan sulingnya ke bawah ketiak sang
perwira. Orang ini menggeliat karena kegelian.
“Jahanam!
Berani kau mempermainkan aku!” teriak perwira itu marah sekali. Karena tak
dapat menjangkau ditambah oleh rasa kalap maka setelah maju lebih dekat dia
langsung kirimkan tamparan ke muka anak itu.
“Wuttt!”
Tamparan
perwira gendut berkelebat. Si bocah tundukkan kepala lalu “seett!” Serulingnya
menyusup ke depan. Kali ini menusuk ke bawah ketiak satunya dari sang perwira.
Lalu terjadilah hunjaman tusukan tiada hentinya. Tusukan-tusukan seruling itu
tidak menciderai si perwira namun membuat dia kegelian setengah mati. Tubuhnya
yang gemuk besar itu berguncang kian kemari. Sebentar miring ke kiri miring ke
kanan atau terjerembab ke depan. Dari mulutnya tiada henti terdengar
jeritan-jeritan kegelian. Orang banyak di tiga perahu menahan nafas walau ada
yang tak dapat menyembunyikan senyumannya. Sebaliknya Juminten Sekar Wangi
tertawa gelak-gelak melihat apa yang terjadi
Ketika si
bocah menusuk dan menggeletarkan ujung serulingnya di pangkal paha perwira itu,
si gemuk ini tak tahan lagi. Dia menjerit keras, tanpa sadar kedua tangannya
diangkat. Tubuhnya menggeliat Karena tak memegang apa-apa lagi maka tak ampun
sosoknya jatuh ke bawah.
“Celaka!
Ah…!” Perwira itu menjerit keras sekali lagi. Di saat yang tegang itu otaknya
masih bisa bekerja. Dari pada jatuh ke atas geladak perahu dia memilih jatuh
masuk ke dalam laut.
“Byuurrr!”
Tubuh
gemuk itu lenyap ke dalam air.
Juminten
tertawa panjang. Anak di atas sana ikut tertawa lalu dia membuat gerakan
berputar-putar pada leher patung. Di lain kejap tubuhnya melayang ke bawah dan
tahu-tahu hup! Hebat sekali! Anak ini sudah berada di depan Juminten. Mula-mula
cucu Suitan ini terkejut dan bersurut mundur. Tapi setelah sadar siapa yang
tegak di hadapannya Juminten lalu tertawa keras.
“Teman!
Kau bukan saja pandai meniup suling! Tapi pandai melompati Namaku Juminten. Aku
cucu Raja. Siapa namamu teman?!”
“Namaku
jelek…” jawab si anak.
“Jelek
atau tidak kau harus memberi tahu!” desak Juminten sambil memegang tangan si
anak dan menggoyang-goyangnya.
“Namaku
Naga Kuning. Kadang-kadang orang memanggilku Naga Kecil atau Naga Cilik.”
“Namamu
aneh. Tapi tidak jelek seperti katamu.” Juminten perhatikan gambar naga di dada
pakaian hitam si anak. “Hemm…. Namamu Naga Kuning, pantas sampai-sampai
pakaianmu ada gambar naganya….” Cucu Sultan itu tertawa. Tapi tawanya lenyap
begitu ada satu tangan menariknya. Ternyata Patih Ki Haryo.
Sementara
itu belasan orang di tiga perahu mencemaskan apa yang terjadi dengan perwira
gemuk tadi. Beberapa perahu kecil berputar-putar di bekas tempatnya jatuh.
Semua orang tahu kalau perwira itu tidak bisa berenang. Dan sejak tadi tubuhnya
tak kunjung muncul ke permukaan laut.
“Juminten,
jangan berlaku yang bukan-bukan. Sultan bisa marah dan mendampratku!” kata Patih
Ki Haryo setengah berteriak seraya mencekal dan menggendong Juminten erat-erat
hingga anak itu tak bisa bergerak. Dengan pelototkan mata sang Patih membentak
bocah di hadapannya. “Tetap di tempatmu! Awas kalau kau berani bergerak satu
langkah saja!” Sebelum membawa Juminten ke tempat Sultan duduk sang Patih
memberi isyarat pada beberapa prajurit di dekatnya. “Tangkap anak itu. Dia
harus dihukum cambuk karena berlaku kurang ajar terhadap Sultan, terhadap Cucu
Sultan, Patih Kerajaan dan Perwira Kerajaan!”
“Kakek
berjenggot lebat!” Anak bernama Naga Kuning berteriak pada Patih Ki Haryo.
“Kenapa kau berlaku kasar terhadap anak perempuan itu! Kalau dia memang cucu
Suitan kau tidak layak memperlakukannya seperti itu!”
“Dasar
anak sampah kurang ajar! Makan tendanganku ini!” Patih Kerajaan yang hendak
bergerak pergi jadi marah mendengar kata-kata Naga Kecil. Kaki kanannya
ditendangkan ke perut anak itu.
Dengan
lincah Naga Kuning membuat gerakan mengelak. Begitu kaki kanan Patih Ki Haryo
mengapung di udara dia gerakkan tangan kanannya yang memegang seruling.
Terdengar suara mendenging. Lalu “sett… settt… sett!”
Tali
kulit kasut yang dikenakan Patih Kerajaan putus di tiga tempat. Ketika si bocah
menyentakkan serulingnya maka kasut itu pun terlepas mental dan melayang jatuh
masuk ke dalam laut.
Kalaplah
Ki Haryo Darmogumpito. Juminten diserahkannya pada seorang perwira. Beberapa
orang prajurit yang hendak menyergap Naga Kuning didorongnya. “Biar aku yang
mematahkan leher anak jahanam itu!”
Sekali
melompat saja sang Patih telah berada di hadapan Naga Kuning. Kedua tangannya
terpentang. Lalu diulurkan untuk mencekik leher si anak. Naga Kuning tidak
tinggal diam. Dia julurkan lidahnya dan jerengkan kedua matanya. Ketika sang
Patih menyergap lagi anak Ini melompat ke udara. Lalu membuat lesatan jungkir
balik ke belakang sampai beberapa kali hingga akhirnya ke dua kakinya menginjak
pagar buritan perahu besar. Di sini sekali lagi dia menjulurkan lidah mengejek
Patih Ki Haryo. Lalu sambil sisipkan serulingnya ke pinggang dia jatuhkan diri
ke dalam laut. Patih Ki Haryo berusaha menangkap salah satu kaki anak itu tapi
luput.
“Anak
setan kurang ajar!” rutuk Ki Haryo seraya pukulkan tangan kanannya ke pinggiran
perahu hingga kayu perahu hancur berantakan.
“Patih!
Perwira Ngadikarso yang tadi jatuh ke laut sampai saat ini belum muncul!”
Seorang prajurit melaporkan pada Patih Ki Haryo.
“Perduli
setan! Aku perintahkan kalian terjun ke laut! Kejar anak itu. Pergunakan
perahu-perahu kecil yang ada di sekitar kita!” teriak Patih Kerajaan itu dengan
mata melotot. Maka hampir selusin prajurit dan dua orang perwira segera terjun
ke taut melakukan perintah Patih Kerajaan itu. Belum lama orang-orang Kerajaan
ini melakukan pengejaran tiba-tiba orang-orang di atas perahu berseru-seru
sambil menunjuk ke arah pantai teluk. Mereka melihat tubuh gemuk perwira yang
tadi jatuh mengapung di permukaan air dan bergerak seperti ditarik menuju
pantai. Begitu tubuhnya terbujur di atas pasir menyusul muncul sosok bocah
berpakaian hitam itu. Kedua tangannya didorongkan ke telapak kaki sang perwira
hingga tubuh gemuk itu naik ke atas pasir teluk dan tidak sampai diseret ombak.
“Lihat!
Anak itu menolong perwira yang jatuh!” teriak seseorang. Orang banyak sekarang
bertanya-tanya siapa adanya anak kecil tadi.
“Kalau
dia tidak memiliki kepandaian mana mungkin dia mampu menolong perwira yang
tubuhnya hampir sepuluh kali lebih besar!”
“Anak itu
pasti punya ilmu silat! Masakan Patih Ki Haryo bisa dipermainkannya!” kata
seorang lainnya.
“Ya, ya!
Yang jelas dia pandai sekali berenang dan mampu menyelam!”
Tak lama
setelah si anak menyelamatkan perwira gemuk itu, belasan prajurit dan dua
perwira Kerajaan mendarat di pantai teluk. Merek- segera mengejar Naga Kuning.
Menghadapi
orang begitu banyak anak ini bukannya segera melarikan diri. Tapi lebih dulu
dia mencibir berulang kali pada orang-orang itu, melompat jungkir balik ke
belakang lalu lari ke arah dua orang pemuda berambut gondrong yang ada di teluk
seraya berteriak.
“Hai!
Tolong! Tolong! Ada orang-orang jahat mengejar mau memukuli diriku!”
********************
SEBELAS
Ada
keributan di atas perahu besar, kata pemuda berambut gondrong seraya terus
menunjuk ke tengah laut. Pemuda di sebelahnya memandang ke arah yang ditunjuk
tapi tidak berkata apa-apa. Sesaat kemudian dia mengulangi pertanyaannya tadi.
“Katamu kau punya tugas mencari dan membunuh tiga orang. Siapa saja mereka
itu?”
“Kalau
kusebutkan pun belum tentu kau kenal mereka. Apa gunanya?”
“Kalau
aku tidak kenal apa ruginya bagimu mengatakan. Tapi kalau ada diantara mereka
yang aku kenal bukankah ada untungnya bagimu…?”
“Baiklah.
Kau bertanya aku akan memberi tahu. Orang pertama seorang bernama Santiko,
berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti. Kau kenal orang ini?”
Orang
yang ditanya cepat sembunyikan perubahan wajahnya. Dia mendongak ke atas sambil
garuk-garuk kepala berpura-pura berpikir. Diam-diam dia menekan rasa
keterkejutannya lalu gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Siapa pemuda
ini sebenarnya? Mengapa dia hendak membunuh sahabatku si gendut Bujang Gila
Tapak Sakti itu? Aku harus hati-hati. Manusia ini di luar kelihatan baik
bersahabat tapi di dalam mungkin sejenis binatang buas yang bisa mencelakaiku!”
Pemuda Ini lantas, pura-pura bertanya. “Siapa orang yang ke dua…?”
“Seorang
kakek dikenal dengan nama Sukat Tandika, berjuluk Tua Gila. Kabarnya dia sulit
dicari.
Suka
gentayangan kemana-mana. Tapi aku pasti akan menemukannya….”
“Aku juga
tidak kenal kakek itu,..” kata pemuda yang tadi bertanya dengan suara perlahan
tapi jantung mendenyut keras.
“Kau
masih ingin tahu siapa korbanku yang ke tiga?”
“Ya, ya….
Katakanlah.” Jawab pemuda yang ditanya dengan dada berdebar.
“Orangnya
bernama Wiro Sableng. Punya julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kabarnya
dia seorang pendekar muda yang telah menggegerkan dunia persilatan di
mana-mana. Pernah dengar nama dan julukannya?”
“Hemm….
Aku pernah dengar tapi tidak tahu siapa dia adanya….”
“Nah,
terbukti kau tidak kenal ketiga orang yang kusebutkan itu. Suaramu bergetar.
Aku melihat ada perubahan pada air mukamu….”
“Perutku
mendadak mules. Tapi sebelum pergi apakah aku boleh menanyakan sesuatu?” Tanpa
menunggu jawaban orang pemuda itu langsung ajukan pertanyaan. “Apa sebabnya kau
ingin membunuh tiga orang itu? Apa ada silang sengketa atau dendam kesumat
antara kalian?”
Yang
ditanya menggeleng. “Kataku tadi, aku menjalankan tugas….”
“Siapa
yang memberi tugas itu padamu?”
“Eh, kau
bertanya biasa atau tengah menyelidik?!”
“Aku
hanya kepingin tahu. Siapa tahu di kemudian hari aku bisa membantu tugasmu
itu….”
“Hemm….
Apakah perutmu masih mules?!”
“Aku
harus pergi sekarang.,..”
“Tunggu!”
kata pemuda yang berusia lebih muda seraya memegang tangan pemuda satunya. “Aku
melihat ada orang gemuk terapung di permukaan laut. Entah masih hidup Utusan
entah sudah jadi mayat. Anehnya tubuh itu bergerak ke arah pantai. Ke jurusan
kita…. Hai! Ada seorang anak kecil mendorong tubuh gemuk itu ke atas pasir….
Aku mau menyelidik apa yang terjadi.”
“Hati-hati!
Aku melihat belasan perahu menuju ke sini. Sepertinya tengah melakukan
pengejaran….”
“Perduli
dengan orang-orang di atas perahu. Aku ingin menyelidiki si gemuk dan anak
kecil itu….”
Tiba-tiba
anak kecil berpakaian hitam berteriak dan lari ke arah dua pemuda berpakaian
hitam itu.
“Tolong!
Tolong! Ada orang-orang jahat mengejar mau memukuli diriku!”
Sesaat
kemudian anak kecil berambut jabrik itu sampai di hadapan dua pemuda gondrong.
Salah seorang dari mereka yaitu yang lebih muda bertanya. “Kulihat yang
mengejarmu adalah prajurit Kerajaan. Apa yang telah kau lakukan?!”
Sebelum
anak itu sempat menjawab, tiga belas prajurit ditambah dua orang perwira telah
berada di tempat itu. Mereka langsung mengurung ketiga orang itu. Ketika empat
prajurit hendak menangkap si anak, pemuda yang tadi bertanya cepat menghalangi.
“Kalau
dua pemuda ini adalah teman anak kurang ajar ini, tangkap mereka bertiga!”
Salah seorang dari dua perwira memerintah lalu melompat ke depan. Tapi
gerakannya ditahan dua ujung jari tangan kiri pemuda di hadapannya.
“Orang
muda! Kau berani menantang perwira Kerajaan?!”
“Aku
tidak perduli siapa kau siapa kalian! Anak kecil itu meminta tolong pada kami!
Aku wajib menolongnya karena kalian berjumlah lebih banyak dan dia cuma seorang
anak kecil. Tapi aku berjanji akan menyerahkan anak itu pada kalian jika kalian
bisa memberi keterangan mengenai tiga orang yang tengah aku cari!”
“Kakak!
Kau bukannya mau menolong! Tapi hendak menjirat leherku!” teriak anak kecil
yang adalah Naga Kuning alias Naga Cilik atau Naga Kecil adanya.
Si pemuda
tidak perdulikan seruan Naga Kuning. Dia terus saja berkata. “Tiga orang itu
bernama Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti. Sukat Tandika alias Tua Gila dan
Wiro Sableng alias Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212….”
“Pemuda
gila! Jangan bicara segala orang yang kami tidak tahu! Kalau kau berani
menghalangi kami menangkap anak ini, maka ini bagianmu!”
Perwira
muda itu lalu hantamkan satu jotosan ke perut si pemuda. Yang dijotos bergeming
pun tidak. Sebaliknya perwira yang memukul tampak merintih kesakitan. Tangan
kanannya kelihatan bengkak kemerahan.
“Rasakan
olehmu!” teriak Naga Kuning seraya tertawa dan julurkan lidahnya.
“Tangkap
tiga orang ini! Jika mereka melawan bunuh semua!” teriak perwira yang tadi
memukul dan masih berdiri kesakitan. Dia bukan saja marah akibat tangannya yang
cidera tapi juga karena diejek dicibir-cibir oleh Naga Kuning.
Maka
empat belas orang dengan berbagai macam senjata menyerbu ke arah si anak kecil
dan dua pemuda berambut gondrong.
“Celaka! Kita
hanya mencari penyakit!” seru pemuda di sebelah kanan. Tapi pemuda yang tadi
telah menghadapi rombongan orang-orang Kerajaan itu malah maju menyongsong
sambil bertolak pinggang.
“Aku
Utusan Dari Akhirat! Aku harap kalian semua segera meninggalkan tempat ini!”
“Pemuda
gila itu bunuh lebih dulu!” teriak perwira yang cidera.
Belasan
senjata berkiblat ke arah pemuda mengaku bernama Utusan Dari Akhirat.
“Kalian
mencari mati!” teriak si pemuda. Lututnya ditekuk sedikit. Tangan kanannya lalu
dipukulkan ke depan.
Terjadilah
hal yang aneh. Udara di tempat itu mendadak redup. Lalu tiga larik sinar terang
menggidikkan menderu keluar dari tangan si pemuda. Merah, hitam dan kuning!
Hawa panas tiba-tiba menyungkup seiring tiga sinar yang berkiblat.
Pemuda di
samping kiri berseru kaget ketika melihat pukulan yang dilepaskan oleh si
gondrong di depannya.
“Pukulan
Gerhana Matahari!” Pemuda ini kemudian jadi pucat sendiri. Dalam hati dia
memaki kebodohannya. Tololnya diriku! Mengapa aku sampai menyebutkan nama
pukulan itu! Tapi aku tak bisa ditipu. Pukulan tadi benar-benar pukulan Gerhana
Matahari. Yang hanya dimiliki oleh Pangeran Matahari dan Si Muka Bangkai. Tapi
murid dan guru itu sudah menemui ajal di Pangandaran…. Siapa adanya pemuda Ini!
Aku harus mencari tahu sebelum bahaya mengancam!”
Di lain
kejap terjadilah hal yang mengerikan.
Sembilan
penyerang termasuk seorang perwira mencelat mental, jatuh berkaparan di pasir
dan tercebur ke dalam laut. Semua tidak bernyawa lagi. Menemui ajal dengan
tubuh terpanggang hancur! Yang masih hidup tertegun dengan muka pucat lalu
berputar larikan diri, termasuk perwira yang cidera.
“Aku
Utusan Dari Akhirat telah memberi ingat! Tapi kalian sengaja minta mampus!
Masih untung tidak mampus semua!”
Perlahan-lahan
pemuda bernama Utusan Dari Akhirat memutar tubuhnya ke arah pemuda di
belakangnya. “Kau mengenali dan menyebut nama pukulan sakti yang tadi aku
lepaskan! Kalau kau bukan seorang dari dunia persilatan mana mungkin bisa
mengenali! Siapa kau sebenarnya sahabat?!”
“Ah…!”
Pemuda yang ditanya garuk-garuk kepala. “Aku hanya mengira-ngira saja. Tidak
tahunya dugaanku tadi betul. Beberapa waktu lalu aku pernah menyaksikan
perkelahian antara dua orang sakti. Yang satu menyebutkan nama pukulannya
sebelum dilepaskan. Katanya itulah Pukulan Gerhana Matahari. Lalu mencuat tiga
warna seperti yang tadi keluar dari tanganmu….”
“Di mana
terjadinya perkelahian itu! Siapa orang yang kau lihat melepaskan pukulan
Gerhana Matahari itu?!” Utusan Dari Akhirat bertanya dengan pandangan mata
lekat menyorot.
“Peristiwanya
di Gunung Bromo…. Tapi aku tidak tahu siapa orangnya….”
“Kau
masih ingat ciri-ciri orang yang memiliki pukulan sakti itu?”
“Orangnya
tinggi tegap. Masih muda. Dia mengenakan sebentuk mantel. Hanya itu yang bisa
kau ketahui…. Sobatku, ternyata kau seorang pendekar sakti mandraguna. Kalau
saja aku bisa memiliki kepandaian sepertimu. Ah, aku nelayan tolol mengapa
bicara dan bercita-cita yang bukan-bukan….”
Utusan
Dari Akhirat menyeringai. Dia memandang ke tengah laut. Saat itu dua perahu
besar yang diapit dua perahu rombongan penabuh gamelan semakin dekat ke teluk.
“Sahabatku,
pertemuan kita sampai di sini. Aku harus pergi…” kata Utusan Dari Akhirat.
“Saya
Naga Kuning mengucapkan terima kasih padamu, kakak yang hebat perkasa. Kalau
kau tidak menolong pasti aku sudah ditangkap dan digebuki prajurit-prajurit
Kerajaan itu. Aku kagum pada ilmu kesaktianmu. Bolehkah aku Ikut bersamamu?
Maukah kau mengajari pukulan sakti tadi padaku?”
Utusan
Dari Akhirat tersenyum. “Setiap manusia memiliki rejeki sendiri-sendiri. Jangan
meminta yang lebih dari pada yang sudah ditakdirkan!”
“Kalau
begitu maafkan saya yang tidak tahu diri!” kata Naga Kuning alias Naga Kecil.
Utusan
Dari Akhirat mengucak rambut jabrik Naga Kuning lalu tinggalkan tempat itu.
Anak kecil ini memandang pada pemuda gondrong satunya yang tegak sambil
berulang kali menarik nafas panjang. “Kakak, kau seperti orang diserang bengek.
Mengapa kau tidak ikut dengan kakak satunya itu? Bukankah dia sahabatmu
seperjalanan?”
Yang
ditanya menggelengkan kepala dan mengusap mukanya berulang kali. “Pemuda hebat
itu barusan saja aku kenal di tempat ini….”
“Pantas
saya lihat kakak kurang senang padanya….”
“Eh,
mengapa kau bicara begitu?”
“Tadi
saya lihat kakak berulang kali menarik nafas panjang tanda lega orang itu sudah
pergi. Bukankah begitu? Kakak seperti menyembunyikan rasa takut terhadapnya…”
Paras si
pemuda sesaat berubah. “Anak sekecil ini pandai menduga dan mampu membaca
pikiran orang…” katanya dalam hati.
“Saya
juga tidak senang pada pemuda tadi. Dia membunuh orang begitu banyak seperti
membunuh lalat saja. Lalu namanya. Utusan Dari Akhirat! Saya rasa itu satu nama
gila dan membayangkan hal mengerikan….”
“Tapi
tadi kau minta dia mengajarkan pukulan sakti yang dimilikinya itu….”
“Tidak,
saya hanya memancing. Dia pandai menolak secara halus….”
“Bocah
cerdik, berapa umurmu?”
“Sebelas
tahun…” jawab si anak.
“Naga
Kuning…. Itu namamu bukan? Kau anak cerdik…. Kau pasti murid seorang pandai
dunia persilatan. Dari sini tadi aku lihat kau mempermainkan lelaki gemuk di
atas perahu itu.”
Naga
Kuning tertawa lebar. “Saya sendiri tahu kalau kakak berpura-pura tolol mengaku
seorang nelayan. Sebenarnya kakak adalah seorang dari dunia persilatan, betul?”
“Bocah,
kau mulai berlaku keliwat pintar…”
“Saya
bisa membuktikan!”
“Hemm….
Cobalah!”
“Pertama,
tadi kau bisa menyebut nama pukulan sakti yang dilepaskan pemuda itu. Ketika
ditanya kau mengatakan pernah melihat ada dua orang berkelahi dan salah satu
melepaskan pukulan sakti itu sambil menyebut namanya. Saya rasa kau bicara dusta.
Bukankah begitu…? Hik… hik… hik!” Naga Kuning tertawa gelak-gelak.
Pemuda
gondrong di hadapan Naga Kuning tertegun ternganga. Lalu sambil tersenyum dia
berkata. “Aku kagum akan kecerdikanmu. Tapi pernah kau mendengar ujar-ujar yang
mengatakan bahwa kadang-kadang seseorang bisa tertipu oleh kecerdikannya
sendiri?”
“Baiklah
kalau kau tidak mau mengakui bukti pertama tadi. Saya masih punya satu bukti
lagi…. Kalau kakak bukan orang persilatan mengapa membekal senjata dibalik
pakaian?”
Rupanya
karena anak ini lebih pendek maka dari bawah dia bisa melihat jelas bagian
pakaian si pemuda gondrong yang menggembung.
Karena
terkejut mendengar ucapan Naga Kuning, pemuda itu secara tak sengaja membuat
gerakan meraba ke pinggang.
Naga
Kuning tertawa gelak-gelak.
“Kau
benar-benar cerdik Naga Kuning. Walau kau tidak mau mengaku tapi gurumu tentu
seorang berkepandaian sangat tinggi. Apa kau tinggal di sekitar teluk ini?”
Naga
Kuning menggeleng. “Saya tidak punya rumah. Tidak punya orang tua. Rumah saya
di mana-mana. Orang tua saya siapa saja yang. menyukai diri saya….” Anak ini
hentikan ucapannya.
“Ada
apa?”
“Lihat,
tiga perahu besar segera mendarat. Belasan perahu berisi puluhan prajurit
dikayuh ke arah sini…. Kita tidak bisa menghindarkan urusan kecuali segera
kabur dari sini!
“Aku
tidak mau mencari penyakit. Orang-orang Kerajaan pasti akan menangkap kita.
Lekas tinggalkan tempat ini….”
“Saya
akan lari ke arah timur!” kata Naga Kuning.
“Aku ke
jurusan Tenggara!” kata pemuda berambut gondrong.
“Tunggu
dulu! Apa kau tidak merasa kehilangan sesuatu?”
“Eh, apa
maksudmu?” tanya si gondrong.
Naga
Kuning acungkan tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikan ke belakang. Di
tangan itu tergenggam sebuah batu hitam berbentuk empat persegi panjang. Pemuda
gondrong berseru kaget.
“Anak
sialan! Bagaimana kau bisa mencopet benda itu tanpa aku tahu?!” bentak si
gondrong. Batu hitam itu adalah batu mustika yang bisa mengeluarkan lidah api.
Benda ini membuktikan bahwa si pemuda sebenarnya adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Selagi
Naga Kuning tertawa cekikikan pemuda di hadapannya segera menyambar batu hitam
yang merupakan Sebuah batu mustika sakti pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang
saat itu terselip di pinggangnya.
Baru saja
Wiro berhasil mengambil batu hitam itu tiba-tiba delapan senjata tajam melayang
di udara. Wiro cepat tarik tangan Naga Kuning hingga anak ini terbetot ke
belakangnya. Pada saat itu pula tiga buah tombak dan dua buah golok panjang
menghantam tubuh Pendekar 212. Tiga senjata lainnya menderu di atas kepalanya.
Lima kali
terdengar suara berdentrangan. Lima senjata terpental. Dua di antaranya dalam
keadaan patah. Berkat jubah Kencono Geni yang dikenakannya Wiro menjadi kebal
tak cidera sedikit pun. Hanya baju hitam yang dikenakannya tampak robek di
beberapa bagian.
“Luar
biasa! Kau punya ilmu kebal!” teriak Naga Kuning dengan mata melotot. “Kau tak
bisa menipu lagi! Kau pasti seorang pendekar rimba persilatan berkepandaian
tinggi!”
Wiro
tidak perdulikan ucapan anak itu. Sebelum puluhan prajurit sampai ke tempat itu
dia segera melarikan diri. Si kecil Naga Kuning sesaat celingukan. Lalu dia
menghambur pula ke arah lenyapnya Pendekar 212.
********************
DUA BELAS
Murid
Eyang Sinto Gendeng lari sekencang yang bisa dilakukannya. Bukan saja karena
khawatir akan dikejar oleh prajurit Kerajaan namun dia juga masih dihantui oleh
rasa ngeri terhadap pemuda yang mengaku bernama Utusan Dari Akhirat itu.
Seperti diketahui walau saat itu telah mendapat ilmu tidur dari Si Raja Penidur
dan mengenakan jubah sakti Kencono Geni namun Wiro masih berada dalam keadaan
lemah karena telah kehilangan kesaktian dan tenaga dalamnya. Karenanya belum
terlalu jauh berlari meninggalkan teluk dia mulai merasakan dadanya sesak
kehabisan nafas dan dua kakinya laksana mau tanggal.
“Aku tak
bisa lari lagi! Kalau orang-orang itu masih mengejar celaka diriku!” pikir
Wiro. Dia berusaha mencari tempat berhenti sekaligus bersembunyi. Namun kawasan
pantai di sekitar tempat dia berada adalah kawasan terbuka. Hanya pohon-pohon
kelapa yang bertumbuhan di sana-sini dan tak mungkin dipergunakan untuk tempat
berlindung. Bukit-bukit karang berada cukup jauh di sebelah timur teluk. Tak
ada jalan lain. Kalau ingin selamat dia harus mampu mencapai bebukitan karang
itu. Maka walau dada sesak, nafas serasa mencekik leher dan dua kakinya seolah
telah berubah menjadi batu berat yang membuatnya sulit melangkah apalagi
berlari, namun tak ada jalan lain. Dia harus dapat menyelinap selamatkan diri
di bukit-bukit karang sana.
Wiro
hanya mampu berjalan sampai dua puluh tombak. Setelah itu kakinya goyah.
Tubuhnya jatuh berlutut. Telinganya menangkap suara ramai di kejauhan. Ketika
dia berpaling ke arah teluk sebelah barat berubahlah parasnya. Puluhan prajurit
Kerajaan sambil berteriak-teriak berlari ke arahnya dengan senjata
diacung-acungkan ke udara! Beberapa di antaranya malah telah menarik busur
melepas anak panah ke arahnya.
“Celaka!”
desis Pendekar 212. Dia maklum walau saat itu mengenakan jubah Kencono Geni
serta memiliki ilmu tidur namun menghadapi lawan sebanyak itu mana mungkin dia
selamatkan diri?
Selagi
Wiro kebingungan tiba-tiba dia mendengar suara lain. Suara rentak kaki kuda
serta sesuatu yang berputar dan meluncur di atas permukaan pasir pantai
diseling oleh suara “tar… tar… tar” berulang kali! Wiro berpaling ke jurusan
datangnya suara itu. Sebuah gerobak ditarik oleh seekor kuda meluncur dari arah
samping.
“Ini
satu-satunya harapanku!” pikir murid Sinto Gendeng. Dia tidak memikirkan lagi
dari mana datangnya gerobak itu atau siapa orang yang menjadi sais. Yang ada di
otaknya adalah mencari selamat. Dia juga tidak memperhatikan kalau di bagian
bawah gerobak mendekam sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Wiro
kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada. Begitu gerobak lewat di depannya dia
segera melompat. Dia berhasil menangkap dinding kereta sebelah kanan. Untuk
beberapa lamanya Wiro hanya mampu bergelantungan sementara kedua kakinya
terseret di pasir. Dia kumpulkan lagi tenaga yang masih ada. Dengan susah payah
akhirnya Wiro berhasil memanjat pinggiran kereta dan jatuhkan dirinya ke dalam
kereta. Untuk beberapa lamanya dia terhenyak tertelentang di lantai kereta.
Sinar matahari yang keras membuat pemandangannya kelam kesilauan. Dia tidak
dapat melihat dengan jelas kusir gerobak itu. Yang tampak hanyalah satu sosok
berpakaian serba kuning, duduk di bagian depan gerobak. Tangan kanan mencekal
tali kekang sedang tangan kiri memegang cemeti yang terus menerus dipergunakan
untuk mencambuk kuda penarik gerobak yang berlari kencang ke jurusan
bukit-bukit batu.
Karena
terbujur di lantai gerobak Wiro tidak mengetahui kalau kendaraan itu meluncur
ke arah gundukan batu karang yang mencuat muncul setinggi satu jengkal dari
permukaan pasir. Jika arah gerobak tidak segera dirubah maka salah satu roda
kendaraan akan membentur batu karang itu. Akibatnya gerobak akan terpental lalu
terguling. Tapi anehnya seperti tidak melihat adanya gundukan batu karang atau
mungkin memang disengaja kusir kereta tidak mengubah arah lari kudanya.
Kalau
Wiro tidak mengetahui apa yang bakal terjadi, lain halnya orang yang
bergelantungan di bawah kolong gerobak. Sepasang matanya melotot ketika melihat
bagaimana roda gerobak sebelah kanan meluncur tepat ke arah gundukan batu
karang yang menyembul di permukaan pasir pantai.
“Gilai
Kusir gerobak ini buta atau bagaimana?!”
“Batu
sebesar hantu itu masakan dia tidak melihat! Aku harus berteriak memberi
ingat!”
Namun
sebelum sempat orang ini berteriak, roda kanan gerobak telah lebih dulu
membentur dan menggilas gundukan batu. Tak ampun gerobak itu terpental ke udara
setinggi dua tombak. Roda kanan tanggal, sesaat membubung ke udara lalu jatuh
ke pasir hancur berantakan. Gerobak dan kuda terbanting ke pasir, sisi kirinya
remuk. Kuda penarik gerobak meringkik keras sebelum jatuh terkapar.
Pada saat
gerobak menghantam gundukan batu tadi, tiga sosok tubuh tampak melesat ke
udara. Yang pertama adalah kusir gerobak yang mengenakan pakaian kuning dan
ternyata wajahnya juga ditutup sehelai kain kuning. Orang ini membuat tiga kali
jungkiran di udara lalu melesat ke arah bukit karang dan lenyap di balik salah
satu lamping batu karang.
Sosok ke
dua bukan lain adalah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba terpental ke
arah pantai. Dia berusaha agar tidak terbanting jatuh ke atas pasir dengan
mencoba membuat gerakan berputar. Namun karena tidak punya daya kekuatan lagi,
dia tak mampu melakukan hal itu. Wiro masih mencoba membuat gerakan meredam
daya berat kejatuhannya dengan pergunakan kedua tangannya bertumpu ke pasir
lalu menggelindingkan diri. Dia berhasil, hanya saja salah memilih arah. Punggungnya
menghantam bukit karang. Dia meringis kesakitan, menggeliat lalu rebah ke
pasir. Dari mulutnya keluar suara erangan. Punggungnya terasa seolah hancur.
Orang ke
tiga terpental dari bawah kolong gerobak. Dia yang paling beruntung karena
tubuhnya mencelat ke arah laut dan jatuh ke air. Sesaat dia megap-megap namun
kemudian dengan cekatan berenang ke tepi pasir.
Di balik
lamping batu karang murid Sinto Gendeng terhenyak tak bergerak. Kedua matanya
terpejam. Meskipun rasa sakit pada punggungnya masih terasa namun dia beruntung
terlindung oleh jubah Kencono Geni yang melekat di tubuhnya. Selain itu
beruntung dia tidak sampai jatuh pingsan. Wiro menarik nafas berulang kali.
Perlahan-lahan dia beringsut ke balik bukit. Wiro masih khawatir kalau-kalau para
prajurit Kerajaan akan mengejarnya. Namun sampai saat itu tidak satu orang pun
yang muncul. Dia mengusap mukanya berulang kali. Sambil menggaruk-garuk kepala
dia berusaha berpikir apa yang telah terjadi. Dia dikejar oleh puluhan
prajurit. Menyelamatkan diri dengan jalan meloncat ke atas gerobak yang
dikemudikan oleh seseorang berpakaian serba kuning yang tidak sempat dilihatnya
wajahnya. Lalu tiba-tiba saja gerobak itu menumbuk sesuatu dan mental ke udara.
Tubuhnya ikut terlontar.
Memandang
berkeliling Wiro tidak melihat kusir gerobak tadi. Wiro juga tidak mengetahui
kalau ada orang ke tiga yang ikut mental sewaktu gerobak menumbuk batu karang.
“Kusir
kereta berpakaian kuning itu. Aku rasa-rasa…. Ah jangan-jangan memang dia!
Orang bercadar kuning yang menolong Tua Gila waktu di serang nenek brengsek
bernama Sabai Nan Rancak itu…. Ke mana dia sekarang?” Wiro memandang
berkeliling namun orang berpakaian serba kuning yang menutupi wajahnya dengan
cadar kuning sama sekali tidak kelihatan. “Aneh, orang berkepandaian tinggi
seperti si cadar kuning itu masakan begitu bodoh mengemudikan gerobak….”
Selagi
Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba terdengar suara keras menegur.
“Aku
Utusan Dari Akhirat datang untuk minta nyawamu! Apakah kau sudah bersiap
menerima kematian?!”
Murid
Sinto Gendeng mendengar petir menyambar di kedua liang telinganya. Mukanya
berubah pucat. Walau sakit di punggungnya belum lenyap, dia cepat bangkit
berdiri dan berpaling ke jurusan datangnya suara orang menegur tadi. Namun dia
tidak melihat siapa-siapa.
“Suaranya
jelas dan keras terdengar dari arah situ. Tapi orangnya tidak kelihatan. Kalau
dia muncul dan ternyata sudah mengetahui siapa aku, celaka besar diriku!”
“Utusan
Dari Akhirat, kau bicara tapi tidak memperlihatkan diri. Aku tak mengerti
maksud teguranmu tadi! Tadi kau pergi dengan sikap bersahabat. Mengapa sekarang
muncul kembali dengan niat hendak membunuhku?!”
Jawaban
yang didapat Pendekar 212 adalah suara tawa bergelak yang mau tak mau membuat
hatinya bertambah kecut. Diusapnya dadanya. “Kalau dia memang berniat hendak
membunuhku, apakah jubah sakti ini sanggup menahan pukulan Gerhana Matahari?!”
membatin Wiro seraya tangannya meraba ke pinggang di mana terselip Kapak Maut
Naga Geni 212.
********************
TIGA BELAS
Suara
tawa berhenti. Berganti dengan ucapan mengejek. “Tangan bergerak ke pinggang.
Hendak mencabut batu api atau pasangannya kapak bermata dua?! Ha… ha… ha! Kau
boleh punya batu api segunung, boleh punya kapak segerobak! Tapi Utusan Dari
Akhirat telah datang membawa pesan malaikat maut! Manusia mana yang mampu
menolak datangnya ajal?! Ha… ha… ha!”
Bersamaan
dengan lenyapnya suara tertawa tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat.
Menyangka orang hendak menyerangnya Pendekar 212 cepat melompat mundur.
Ternyata orang itu tidak menyerang tapi tegak berdiri di atas gundukan batu
karang sejarak tiga langkah dari hadapan Wiro.
Sewaktu
murid Eyang Sinto Gendeng ini melihat siapa adanya orang itu maka dia langsung
memaki habis-habisan.
“Anak
setan! Kau rupanya! Kurang ajar sial dangkalan! Berani kau mempermainkan aku!”
Orang di
atas batu tersenyum cengar-cengir. Ternyata dia adalah anak kecil berusia
sebelas tahun berambut jabrik, mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar
naga di dadanya. Dia bukan lain adalah Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga
Kecil. Pakaian hitamnya basah kuyup. Rambutnya juga basah tapi tetap saja kaku
tegang berdiri.
“Kakak,
bukit batu karang di teluk ini bukit angker! Siapa berani memaki tak karuan
lidahnya bisa mencelat dan mulutnya bisa perot! Hik… hik… hik…!”
Wiro hendak
melabrak lagi si anak dengan kutukan serapah tapi batalkan niatnya. Sambil
garuk-garuk kepala dia berpikir. “Suara anak ini jelas berbeda dengan suara
orang yang tadi membentakku. Berarti…. Atau mungkin dia….” Wiro garuk lagi
kepalanya lalu bertanya. “Naga Kuning! Apakah kau tadi yang mempermainkanku,
seolah kau adalah orang bernama Utusan Dari Akhirat itu…?!”
“Aku
barusan datang. Utusan Dari Akhirat bukankah sudah pergi. Pertanyaanmu aneh….”
“Di sini
tidak ada orang lain kecuali kau dan aku! Kecuali ada setan yang pandai
berkata-kata….”
“Apa kau
mengenali suara orang itu…?”
“Suaranya
memang tidak seperti suaramu. Juga tidak menyerupai suara Utusan Dari
Akhirat….”
“Lalu
apakah suaranya seperti ini…?” Naga Kuning lalu monyongkan mulutnya dan
berkata. “Aku Utusan Dari Akhirat Datang untuk minta nyawamu! Apakah kau sudah
bersiap menerima kematian?!”
Murid
Sinto Gendeng terbelalak. Suara dan kata-kata yang diucapkan Naga Kuning sama
dengan suara orang yang tadi didengarnya.
“Hemmm….
Kau punya kepandaian meniru suara orang! Berarti memang kau yang sengaja
mempermainkan diriku!” Wiro melangkah cepat mendekati Naga Kuning. Tangan
kanannya diulurkan untuk menjambak rambut jabrik anak itu. Tapi gerakannya
tertahan sewaktu tiba-tiba dari samping kiri terdengar suara deru dahsyat. Di
lain kejap satu gelombang angin melabrak ganas ke arah Pendekar 212. Karena
Naga Kuning berada di dekat Wiro maka sambaran angin itu ikut menyapunya. Naga
Kuning berteriak keras.
Dengan
cepat anak ini melompat ke udara setinggi dua tombak. Namun tak urung salah
satu kakinya kena tersambar hingga dalam keadaan melayang tubuhnya terbanting
di udara. Kakinya serasa putus. Naga Kuning menjerit kesakitan sambil pegangi
kaki kirinya. Di bawah sana gundukan batu karang tempat dia berdiri tadi hancur
berentakan dan bertaburan ke udara bersama pasir pantai. Naga Kuning menjerit
lagi ketika menyadari saat itu dirinya terlontar ke arah bagian runcing salah
satu gundukan batu karang, kepala lebih dulu!
Di saat
bersamaan murid Sinto Gendeng telah menerima pula hantaman dahsyat. Tubuhnya
laksana dihantam batu besar, bersamaan dengan itu dia seperti diseret air bah.
jubah sakti Kencono Geni memang melindungi tubuhnya namun jalan darah di
sekitar tubuhnya laksana berhenti. Lalu dengan tiba-tiba mengalir lagi tapi
alirannya tak karuan, seperti menyungsang terbalik. Akibatnya Wiro merasa
seolah ada ribuan jarum menusuki bagian dalam tubuhnya. Murid Sinto Gendeng
menjerit keras sementara tubuhnya terlempar empat tombak ke udara lalu melayang
jatuh. Masih untung dia jatuh ke arah pinggiran laut. Namun dalam keadaan
seperti lumpuh, walaupun jatuh di bagian laut yang dangkal Wiro tak bisa
berbuat apa-apa. Dia tetap akan tenggelam dan kalau tidak dihanyutkan ombak ke
tepi pasir atau ada yang menolong, cepat atau lambat nyawanya tidak akan
selamat!
“Huh….
Hancur kepalaku!” seru Naga Kecil ketika menyadari sebentar lagi kepalanya akan
membentur bagian batu karang runcing. Jarak demikian dekatnya hingga tak
mungkin baginya untuk menghindar atau membuat gerakan berkelit. Dalam keadaan
genting begitu rupa si anak ingat pada seruling yang terselip di pinggangnya,
Dengan cepat dia pergunakan tangan kiri mencabut benda itu. Begitu suling
berada dalam genggaman, benda ini ditusukkannya ke depan, ke arah batu karang
runcing. Ini satu-satunya jalan untuk menghindarkan benturan kepala dengan batu
karang. Traakkk!”
Suling
yang terbuat dari bambu itu patah dua! Bobot dorongan tubuh Naga Kuning yang
terlempar walau kini berkurang sampai setengahnya yang membuat dia masih ada
kesempatan untuk miringkan kepala, walau kepalanya selamat dari benturan namun
tak urung bahu kanannya kini tak terhindarkan dari menghantam pertengahan batu
karang. Kepala selamat tapi tulang belikat si bocah akan hancur remuk!
Sesaat
lagi benturan itu akan terjadi tiba-tiba terdengar suara semburan keras.
Bersamaan dengan itu kelihatan muncratan cairan aneh ke arah batu karang
disertai menghamparnya bau sangat harum. Udara seolah terbungkus oleh hawa yang
menyengat tapi melegakan jalan pernafasan.
“Brakkk!”
Batu
karang runcing hancur berentakan bagian atasnya. Bahu kanan Naga Kuning selamat
dari benturan keras. Namun hancuran batu karang serta bau aneh yang menyengat
membuat anak ini megap-megap sulit bernafas. Sesaat kemudian ketika dia
akhirnya jatuh ke tanah, walau disambut pasir basah empuk, tetap saja anak ini
terkapar pingsan dengan kening kiri benjut!
“Ah
betapa bodohnya diriku ini!” kata satu suara penuh penyesalan. Orangnya tak
kelihatan karena terlindung di balik lamping batu karang.
“Hik…
hik… hik!” Ada suara perempuan tertawa menyahuti ucapan tadi. “Kini kau sadar
kalau kau sering berlaku bodoh! Seharusnya kau pergunakan benang suteramu untuk
menjirat bocah itu!”
“Buat apa
disesali! Yang penting aku harus segera menolong anak setan yang kecebur ke
dalam laut itu!” Lalu terdengar suara “gluk,.. gluk… gluk!” Suara seseorang
meneguk minuman dengan lahap.
“Tunggu!
Walau otak bodoh kuharap matamu jangan jadi buta! lihat! Ada seorang nenek
memegang mantel berlari ke arah laut!” Suara perempuan memberi ingat.
“Hemmm…
Aku tidak kenal nenek berjubah hitam itu. Tapi aku tahu betul, mantel yang
dipegangnya adalah kepunyaan Datuk Tinggi Raja Di Langit yang dikabarkan sudah
menemui ajal, terkubur hidup-hidup beberapa waktu lalu!”
“Gluk…
gluk… gluk!” Kembali terdengar suara orang menenggak minuman dengan lahap.
“Kau
tidak kenal dia, tapi aku tahu siapa nenek satu itu. Dia adalah Sabai Nan
Rancak, seorang nenek sakti dari puncak Gunung Singgalang. Dialah yang
dicurigai para tokoh persilatan sebagai biang racun penimbul kekacauan di dua
pulau besar!”
“Kalau
begitu biar kuhajar dia! Barusan dia hendak mencelakai, malah mau membunuh
Pendekar 212 Wiro Sableng!”
“Masih
saja tolol! Tak mau membuka mata. Lihat ke tengah laut sana!”
Siapa
adanya dua orang yang terlindung di balik lamping batu karang merah di teluk
Parangtritis itu? Yang di sebelah kanan adalah seorang kakek berusia lebih dari
80 tahun. Janggutnya yang putih menjela dada. Pakaiannya selempang kain putih.
Dia membelai dua tabung bambu berisi tuak murni menebar bau harum. Satu tabung
dipanggul di punggung, satunya lagi ditenteng di tangan kanan. Orang tua ini
bukan lain adalah Dewa Tuak. Salah seorang tokoh utama rimba persilatan tanah
Jawa yang merupakan guru gadis bernama Anggini.
Tegak di
sampingnya adalah seorang nenek mengenakan baju panjang hitam berbunga-bunga
putih. Wajahnya yang keriputan sangat menggelikan untuk dipandang. Karena nenek
ini berdandan sangat mencorong. Bedaknya putih setebal dempul. Dua alisnya
dicat tebal hitam, mencuat ke atas. Bibirnya berwarna sangat merah entah
dipoles dengan apa. Rambutnya hitam disanggul rapi di belakang kepala.
Perempuan tua ini adalah yang dikenal dalam rimba persilatan dengan julukan
Iblis Muda Ratu Pesolek atau Iblis Putih Ratu Pesolek. Sejak peristiwa besar di
Pangandaran (baca serial Wiro Sableng Episode berjudul Kiamat Di Pangandaran)
sepasang kakek nenek ini selalu ke mana-mana berdua karena sebenarnya mereka
adalah dua kekasih di masa muda yang selama belasan tahun tidak pernah bertemu.
Mendengar
ucapan Iblis Muda Ratu Pesolek dan karena tangannya dipegang, Dewa Tuak
terpaksa batalkan niatnya hendak keluar dari lamping batu karang merah. Dia
memandang ke tengah laut, di arah mana tadi Pendekar 212 Wiro Sableng terpental
dan tercebur dalam keadaan tak berdaya.
********************
EMPAT BELAS
Sabai Nan
Rancak yang begitu bernafsu hendak membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat
itu mengapung tak berdaya di permukaan laut Teluk Parangtritis, mendadak sontak
hentikan langkahnya. Memandang ke tengah laut dia melihat satu pemandangan yang
sulit dipercayanya.
Sebuah
caping bambu tampak terapung di atas permukaan laut, bergerak ke pantai seolah
mengikuti alunan arus gelombang. Di atas caping bambu ini duduk berjongkok
seorang kakek berpakaian rombeng butut. Di bahu kanannya dia memanggul satu
kantong kain. Di tangan kiri ada sebatang tongkat yang sesekali dicelupkannya
ke dalam air. Setiap tongkat dicelup maka caping yang jadi dudukannya melesat ke
depan, mengarah ke jurusan sosok Pendekar 212 terapung-apung. Kepalanya
mendongak ke langit. Rambutnya yang putih tipis berkibar-kibar ditiup angin.
Yang hebatnya lagi, di tangan kanannya kakek ini memegang sebuah kaleng rombeng
berisi batu-batu kerikil. Setiap dia mengguncang kaleng itu maka menggemalah
suara berisik memekakkan telinga yang terdengar sampai ke pantai dan membuat
ombak seolah berhenti mengalun!
Apa yang
dilihat Sabai Nan Rancak juga disaksikan oleh Dewa Tuak dan Iblis Muda Ratu
Pesolek. Kalau Sabai jadi tercekat sebaliknya Dewa Tuak dan sang kekasih
walaupun melongo terheran-heran tapi juga tampak senyum-senyum.
“Tua
bangka jahanam itu! Pembunuh Datuk Angek Garang! Dicari sulit, kini datang
sendiri meminta mati!” Seperti dituturkan dalam Episode Lembah Akhirat Datuk
Angek Garang pembunuh Malin Sati (Murid Tua Gila) menemui ajalnya di tangan Tua
Gila. Namun Sabai Nan Rancak menduga keras bahwa Kakek Segala Tahulah yang
telah membunuh sahabatnya itu. Si nenek kertakkan rahang lalu berlari cepat
berusaha mendahului kakek di atas caping. Namun si kakek yang sepasang matanya
tertutup lapisan putih alias buta ini lebih cepat. Dua kali mencelupkan tongkat
bututnya serta dua kali mengerontangkan kaleng rombengnya maka orang tua yang
dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu itu sudah
berada di depan sosok Pendekar 212.
“Anak
tolol! Siang bolong begini mengapa berenang di lautan! Ha… ha… ha!”
Dengan
ujung tongkatnya Kakek Segala Tahu menusuk tengkuk pakaian hitam Wiro. Ujung
tongkat diputar hingga leher baju Pendekar 212 ikut tergulung. Lalu sekali
tongkat itu disentakkan maka sosok Wiro melesat ke udara, melayang ke arah
pantai.
Sabai Nan
Rancak berseru kaget dan mendongak mengikuti tubuh yang melayang itu. Ternyata
Kakek Segala Tahu melesatkan tubuh Wiro ke arah sederetan bukit karang rendah
tetapi memiliki empat puncuk seruncing tombak! Sekali tubuhnya terbanting di
atas batu karang maka paling tidak dua bagian batu yang runcing akan menembus
tubuhnya!
“Celaka
anak itu!” seru Dewa Tuak. Dia segera bergerak hendak menolong tapi lagi-lagi
lengannya dipegang nenek di sebelahnya.
“Iblis
Muda Ratu Pesolek! Kau sengaja menahanku agar pemuda itu mati mengenaskan
ditembus batu karang!” teriak Dewa Tuak. Kali ini dia benar-benar marah.
Tapi si
nenek malah tertawa cekikikan.
“Kau
lagi-lagi berlaku seperti orang buta! Coba kau lihat ke jurusan batu karang
sana!”
Meski
mengomel panjang pendek Dewa Tuak putar kepalanya ke arah yang ditunjuk yakni
gugusan empat batu karang runcing. Maka tercekatlah orang tua berselempang kain
putih ini. Dengan menjejakkan kaki kiri kanan di atas tonjolan dua batu karang
runcing kelihatan tegak rangkapkan dua tangan di depan dada seorang pemuda
berambut gondrong, mengenakan pakaian hitam dan ikat kepala hitam.
Begitu
sosok Wiro sampai dan jatuh tepat di hadapannya, pemuda ini segera angsurkan
sepasang tangannya ke depan menyambut tubuh Pendekar 212. Tubuhnya terbungkuk
ke depan, sepasang lututnya tertekuk sedikit karena menahan beban tubuh yang
cukup berat. Namun dua kakinya sedikit pun tidak bergeser dari ujung-ujung batu
karang runcing yang dipijaknya!
“Manusia
hebat!” Memuji Dewa Tuak. “Gluk… gluk… gluk!” Dia teguk tuak dari tabung bambu
lalu bertanya. “Apa kau mengenali siapa adanya pemuda yang menolong Pendekar
212 itu?”
Iblis
Putih Ratu Pesolek rapikan sanggulnya, usap pipinya baru menjawab. “Baru sekali
ini aku melihat. Tampangnya boleh juga! Hik… hik… hik!”
“Jangan
berpikiran kotor!” bentak Dewa Tuak setengah jengkel.
Saat itu
pemuda berpakaian hitam sambil mendukung Wiro bergerak turun dari atas bukit
karang. Baru saja dia mencapai kaki bukit karang merah Sabai Nan Rancak telah
berada di hadapannya memandang dengan mata melotot penuh selidik.
“Anak
muda! Aku tak punya waktu banyak untuk bicara! Katakan siapa dirimu! Terangkan
apa hubunganmu dengan pemuda yang kau tolong itu!”
Pemuda
berpakaian hitam berambut gondrong letakkan tubuh Pendekar 212 di tanah. Lalu
memandang si nenek sambil rangkapkan tangan di depan dada. “Orang bertanya aku
harus menjawab. Namaku Utusan Dari Akhirat! Pemuda itu tak punya hubungan,
apa-apa dengan diriku! Tapi karena sebelumnya sudah saling mengenal kurasa
tidak ada ruginya aku menolongnya!”
“Hemm…
Begitu?! Jika demikian harap kau segera tinggalkan tempat ini! Pemuda itu sudah
ditakdirkan untuk mati di tanganku!”
Sepasang
mata Utusan Dari Akhirat membesar, alisnya naik ke atas lalu dia tertawa
gelak-gelak. Dia memandang pada sosok Wiro sesaat. “Nyawa orang bagiku bukan
apa-apa. Aku justru datang dari akhirat untuk menyebar maut! Untung kau bukan
salah seorang calon korbanku! Jika kau mau membunuhnya silahkan saja. Tapi….”
“Tapi
apa!” sentak Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya yang memegang mantel siap
menggebuk.
“Setiap
kematian ada sebabnya. Setiap pembunuhan ada alasannya. Apa sebab kau ingin
membunuh pemuda ini?” tanya Utusan Dari Akhirat.
“Kau tak
layak bertanya. Lekas menyingkir atau kau akan ikut mampus bersamanya!”
“Nenek
tua, bicaramu sombong amat!” kata Utusan Dari Akhirat tidak senang. Saat itu
dilihatnya tubuh Wiro bergerak sedikit dan dua matanya membuka tanda dia mulai
siuman. Utusan Dari Akhirat melangkah mendekati Wiro. “Kau ingin membunuhnya!
Nah bunuhlah!”
Utusan
Dari Akhirat selinapkan kaki kanannya ke bawah punggung Wiro. Lalu kaki itu
disentakkan kuat-kuat. Tubuh Wiro terangkat dan melesat ke arah si nenek. Di
saat itu justru Pendekar 212 tersadar dari pingsannya. Walau siuman namun dia
tidak tahu apa yang tengah terjadi. Begitu mengetahui dirinya melesat ke udara
dan ada orang di sampingnya maka tanpa pikir panjang dia langsung memeluk dan
menggayuti tubuh orang itu.
Sabai Nan
Rancak terpekik ketika Wiro memeluknya kencang-kencang sementara wajah mereka
saling bertemu satu sama lain.
“Kurang
ajar! Berani kau memelukku!” teriak Sabai Nan Rancak marah. Dia berusaha
membantingkan tubuh Wiro ke tanah. Tahu dirinya hendak dilemparkan orang Wiro
malah mempererat pelukan ke dua tangannya. Pipinya semakin rapat ditempelkan ke
pipi si nenek dan malah dua kakinya ikut digelungkan ke tubuh belakang Sabai
Nan Rancak.
“Jahanam!”
Sabai Nan Rancak marah sekali. Tapi kedua tangannya tersepit di bawah gelungan
sepasang tangan Wiro. Ketika dia berusaha berontak lepaskan diri, kakinya
terpeleset. Sabai Nan Rancak jatuh tertelentang. Karena Wiro masih memelukinya
maka dengan sendirinya Wiro ikut jatuh tertelungkup di atas tubuhnya.
Di balik
lamping batu karang terdengar suara tawa cekikikan Iblis Putih Ratu Pesolek.
Dari arah laut menggema suara kerontangan kaleng.
“Jahanam
kurang ajari Berani kau menindihku!”
“Bukk…
bukk!” Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke atas akibat sodokan lutut
dan pukulan tangan kiri Sabai Nan Rancak.
Saat itu
Naga Kecil yang tadi terkapar pingsan di atas pasir pantai keluarkan suara
seperti mengerang. Tangannya memegangi keningnya yang benjut. Dia mendengar
suara bentakan-bentakan. Lalu ada tubuh melayang ke udara. Anak ini cepat
bangkit.
“Bukkkk!”
Naga
Kuning melihat Wiro jatuh terduduk di atas pasir. Di hadapan Wiro ada seorang
nenek berjubah hitam, tegak memegang sehelai mantel yang siap hendak digebukkan
ke kepala Wiro.
Ada
seseorang berseru dari balik bukit karang. Lalu dua larik sinar biru membeset
udara. Sabai Nan Rancak berseru kaget. Gerakannya hendak menghantamkan Mantel
Sakti ke kepala Wiro terpaksa dibatalkan karena dua larik sinar biru tadi
menderu ke arah dada dan perutnya.
Kertakkan
rahang Sabai Nan Rancak berpaling ke arah asal datangnya dua larik sinar biru
tadi. Rahangnya menggembung. Di atas bukit sejarak delapan tombak dari
tempatnya berdiri si nenek melihat seorang gadis berjubah hitam selutut tegak
memandang tak berkesip ke arahnya. Di tangan kanannya ada sebuah cermin
berbentuk bulat.
“Ratu
Duyung!” desis Sabai Nan Rancak. “Belum mampus dia rupanya!” Sabai tidak suka
melihat kemunculan sang Ratu. Lebih dari itu diam-diam dia mengetahui bahwa ada
beberapa orang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.
“Kau!”
teriak Sabai Nan Rancak. “Terima kematianmu!” Lalu laksana terbang nenek ini
melesat ke arah Ratu Duyung. Tangan kanannya menghantam dengan mantel.
Saat itu
dari samping melayang sebuah benda bulat. Memapasi dan memotong gerakan Mantel
Sakti. Benda bulat itu ternyata adalah sebuah caping bambu yang serta merta
hancur kena hantaman ujung mantel. Walau caping hancur berkeping-keping namun
hantaman Mantel Sakti jadi berubah arah ke jurusan lain.
Caping
itu bukan lain adalah milik Kakek Segala Tahu yang sengaja dilemparkan si kakek
untuk menolong Ratu Duyung.
“Braaakkk!
Byaaarr!”
Dinding
karang di sebelah kiri Ratu Duyung hancur berantakan. Hancuran batu, pasir dan
debu bertebaran di udara. Ratu Duyung berseru keras. Dia melompat turun dari
atas batu sambil kiblatkan cermin saktinya.
“Gadis
jahanam! Aku mau tahu sampai di mana kehebatanmu!” kata Sabai Nan Rancak
beringas. Tenaga dalamnya dilipat gandakan. Mantel Sakti kembali dipukulkannya
ke arah Ratu Duyung yang saat itu masih melayang di udara. Sementara dari
cermin di tangan Ratu Duyung berkiblat sinar putih panas menyilaukan.
Sebelumnya
Sabai Nan Rancak sudah merasakan kehebatan cermin sakti yang sempat membuat
matanya seperti buta beberapa lama. Karenanya begitu melihat kilauan cahaya si
nenek cepat menyingkir ke kiri. Dari jurusan ini kembali dia kebutkan Mantel
Sakti.
Angin
laksana badai prahara menderu. Tapi setengah jalan gerakan si nenek tertahan.
Ada seseorang menyelinap di belakangnya dan tahu-tahu “breettt… breett….” Jubah
hitamnya robek besar di bagian pinggang!
********************
LIMA BELAS
Sabai Nan
Rancak berpaling. Dia melihat seorang anak kecil berpakaian hitam, berambut
tegak berdiri menggelantungi dan merobeki jubahnya. “
Anak
kurang ajar! Hai!”
Si nenek
hantamkan tangan kirinya ke kepala si bocah. Ini bukan pukulan sembarangan
karena bisa memecahkan kepala anak itu. Tapi sambil cibirkan lidahnya si anak
dengan lincah jatuhkan diri ke tanah. Begitu bangkit dia tepat menyundul tubuh
bagian bawah Sabai Nan Rancak hingga si nenek kembali memaki panjang pendek.
Dalam kalapnya dia kempitkan kedua pahanya. Maksudnya hendak menjepit kepala
anak itu namun “Breettt… brettt… breettt.” Si anak kembali merobek jubah
hitamnya di bagian pinggul. Kini hanya ada satu bagian kecil dari jubah yang
masih tergantung. Sabai Nan Rancak jadi kalang kabut. Sebagian aurat sebelah
bawahnya telah tersingkap. Mau tak mau dia harus pergunakan dua tangan untuk
selamatkan diri pegangi jubah.
Suara
gelak tertawa terdengar di balik bukit batu. Itulah suara tawa Dewa Tuak .dan
Iblis Putih Ratu Pesolek. Di tepi pasir si Kakek Segala Tahu walau tidak
melihat tapi sudah bisa menduga apa yang terjadi. Hanya saja dia tidak melihat
siapa adanya yang melakukan kejahilan itu. Utusan Dari Akhirat ikut-ikutan
tertawa sementara Wiro masih terduduk nanar di atas pasir. Kakek Segala Tahu
tiada hentinya kerontangkan kaleng rombengnya. Di bagian yang lain di dekat
kaki bukit Ratu Duyung yang tadi hendak melancarkan serangan dengan Cermin
Saktinya mau tak mau hentikan gerakannya dan walau tersenyum tapi wajahnya
tampak jengah ketika melihat bagaimana Sabai Nan Rancak kerepotan setengah mati
untuk menutupi auratnya yang tersingkap.
Wiro
sendiri yang walaupun masih terduduk di tanah diam-diam sudah tahu kejahilan
apa yang hendak dilakukan bocah berambut jabrik.
“Naga
Kuning! Kalau kau teruskan pekerjaanmu kau akan menyesal melihat pusar bodong
perut kempes keriput!”
Dewa Tuak
dan Iblis Putih Ratu Pesolek tertawa gelak-gelak. Kakek Segala Tahu
kerontangkan kaleng bututnya.
Kemarahan
dan rasa malu Sabai Nan Rancak sudah sampai ke puncaknya. Setelah beberapa kali
tak berhasil menyergap dan meringkus anak kecil itu akhirnya dia berusaha
melompat menjauhi sambil lepaskan pukulan Kipas Neraka!
Tapi
justru lompatannya ini membuatnya celaka. Ketika dia melompat Naga Kuning
justru menarik ujung jubah hitam si nenek. “Breettt!”
Jubah
hitam Sabai Nan Rancak robek keseluruhannya di bagian pinggang lalu merosot
jatuh ke atas pasir.
Tempat
itu riuh oleh suara tertawa dan ucapan-ucapan mengejek.
“Nek!
Untung kau masih pakai celana dalam! Walau kelihatan butut dekil!” teriak Wiro.
“Celana
dalam bau amis! Tercium sampai ke sini!” teriak Naga Kuning sambil pijit
hidungnya dengan tangan kiri.
Paras
Sabai Nan Rancak berubah merah gelap. Marah dan malu tiada terkirakan, dia
tidak sadar apa yang dilakukannya. Dengan cepat dia membungkuk mengambil
jubahnya yang jatuh di pasir.
Saat itu
Wiro kembali berseru.
“Nek!
Awas! Jangan salah menungging! Tidak ada orang kepingin melihat kue apam angus
dan basi!”
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Naga Kecil tertawa gelak-gelak.
Dewa Tuak dan Iblis Putih Ratu Pesolek kembali cekikikan. Utusan Dari Akhirat
masih tegak rangkapkan tangan di depan dadanya yang tersentak-sentak karena tak
kuasa menahan tawa.
Salah
tingkah, mendengar teriakan Wiro tadi Sabai Nan Rancak jatuhkan tubuhnya ke
pasir. Dengan cara ini baru aurat bawahnya terlindung. Selain itu dia
cepat-cepat pergunakan mantel hitam untuk bantu menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Aku
bersumpah membunuh kalian semua!” teriak Sabai Nan Rancak marah. Kedua
tangannya dihantamkan dua kali berturut-turut.
“Awas
pukulan Kipas Neraka!” Seseorang berteriak memberi ingat.
“Wusss!
Wussss!”
Dua larik
sinar merah pekat menderu. Hawa sepanas di neraka menghampar. Lalu larikan
sinar ini mengembang melebar membentuk kipas. Menyambar ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng yang saat itu baru saja bangkit berdiri. Utusan Dari Akhirat, Naga
Kuning dan Kakek Segala Tahu.
Naga
Kuning yang pertama sekali membuat gerakan. Bocah ini jatuhkan diri ke atas
pasir pantai lalu berguling ke arah Wiro yang saat itu seperti tidak menyadari
datangnya bahaya. Dengan ke dua tangannya ditariknya kaki Pendekar 212 hingga
murid! Eyang Sinto Gendeng jatuh bergedebuk ke pasir. Walau dia tidak sampai
terkena telak pukulan maut itu namun hawa panas yang menyambar sempat membakar
baju hitamnya. Selain itu sekujur tubuhnya terasa laksana dipanggang. Setengah
sadar dan dalam keadaan menahan sakit Wiro tiba-tiba melihat dan merasa Naga
Kecil menyusupkan tangannya ke balik pinggangnya.
Di bagian
lain bukit karang sebelah kiri runtuh dan hancur berantakan ketika dilanda
pukulan sakti yang dilepas Sabai Nan Rancak. Beberapa bagian dinding dan
kepingan batu-batu karang yang bermentalan tampak merah dikobari api. Untungnya
Utusan Dari Akhirat, Kakek Segala Tahu dan iblis Putih Ratu Pesolek lebih cepat
menyingkir selamatkan diri.
“Naga
Kuning…. Apa yang kau lakukan? Kau hendak mencuri…?” terdengar teriakan Wiro di
antara gemuruh suara bukit yang hancur.
“Aku
pinjam senjatamu untuk menggebuk nenek jelek Itu!” jawab Naga Kuning.
“Jangan
kurang ajar! Itu bukan senjata sembarangan. Kau tidak akan….”
Tapi Naga
Kuning tidak perduli. Kapak Maut Naga Geni 212 dipegang dengan kedua tangannya.
Dia menyerbu ke arah Sabai Nan Rancak. Sinar putih menyilaukan memancar dari
dua mata kapak dan hawa panas menggebrak.
“Hai!”
teriak Wiro sambil bangkit berdiri. “Anak itu! Kalau dia tidak memiliki tenaga
dalam tidak mungkin dia mampu mempergunakan Kapak Naga Geni 212. Senjata itu
memancarkan sinar berkilauan!”
“Nenek
jahat! Rasakan bagaimana dibelah kapak!”
Sinar
putih perak menyilaukan berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk
memenuhi udara ketika Kapak Naga Geni 212 dibabatkan Naga Kuning ke batok
kepala Sabai Nan Rancak. Namun bagaimana pun hebatnya serangan Naga Kuning,
bocah sebelas tahun ini mana mampu mempecundangi apalagi sampai membunuh si
nenek yang sudah makan asam pengalaman rimba persilatan selama puluhan tahun.
Dengan gerakan yang disebut Angin Menukik Lembah Petir Menyambar Bukit Sabai
Nan Rancak liukkan tubuhnya ke bawah. Begitu sambaran kapak yang membuat hangus
bahu jubahnya lewat tangan kanannya melesat ke atas.
“Kraaak!”
Naga
Kuning terpekik keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak lalu terbanting
tertelentang di tanah. Lengan kanannya patah! Sabai Nan Rancak yang sudah kalap
tidak mau memberi kesempatan. Tangan kirinya kembali dihantamkan ke arah tubuh
Naga Kuning yang masih melayang di udara. Selarik sinar merah menggebubu.
Beberapa orang keluarkan seruan tertahan karena tidak menyangka si nenek akan
senekad itu.
Pada saat
sangat genting itulah tiba-tiba satu bayangan berkelebat menyambar tubuh Naga
Kuning. Di saat yang sama satu gulungan sinar biru muncul membuntal pukulan
Kipas Neraka sebelum larikan sinar merahnya mengembang melebar. “Wusss…!”
Gulungan
sinar biru melesat ke udara seolah menyeret sinar merah. Lalu “Bummmm!” Dua
belas tombak di udara sinar merah dan sinar biru itu meletus dahsyat. Teluk Parangtritis
bergetar. Air laut bergelombang. Ombak seolah tertahan memecah di atas pasir,
semua orang merasakan dada masing-masing berdegup kencang- Ketika sinar merah
dan biru sirna, sosok Naga Kuning dan orang yang menyambar tubuhnya lenyap
Seolah ditelan bumi!
Sabai Nan
Rancak memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok Wiro dan Kakek Segala
Tahu. Dia juga tidak bisa menduga apakah dua orang yang sebelumnya bersembunyi
di balik lamping batu karang yaitu Dewa Tuak dan Iblis Putih Ratu Pesolek masih
berada di tempat itu. Satu-satunya yang masih tegak di tempat itu adalah pemuda
berambut gondrong berpakaian serba hitam mengaku bernama Utusan Dari Akhirat.
Sabai Nan
Rancak keluarkan suara bergemeretak dari mulutnya. Dadanya berdenyut tak
karuan. Sepasang matanya merah laksana dikobari api. Pandangannya membentur
Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di pasir hanya sejarak uluran tangan.
Secepat kilat Sabai Nan Rancak menjangkau senjata mustika sakti itu. Namun satu
kaki berkasut bagus yang terjulur dari ujung kaki celana panjang ringkas
berwarna kuning mendahului gerakannya. Kaki itu menginjak Kapak Maut Naga Geni
212 tepat pada pertengahan dua mata kapak.
Terkejut
tapi juga semakin marah Sabai Nan Rancak mendongak ke atas. Dia melihat
sepasang mata memancarkan sinar bening tapi tajam memandang ke arahnya. Di
hadapannya tegak seorang berpakaian serba kuning yang menutupi wajah dan
kepalanya dengan sehelai cadar kuning.
“Kau…!”
desis Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar tapi darah menggelegak. “Beberapa kali
kau sengaja muncul menggagalkan urusanku! Sekarang kau muncul lagi ikut campur
urusan orang! Apa kau kira aku tidak sanggup membunuhmu walau kau memiliki
kesaktian Menghormat Kipas Neraka yang mampu mementahkan pukulan Kipas
Nerakaku!”
Sabai Nan
Rancak gerakkan tangan kanannya yang memegang Mantel Sakti. Tapi orang bercadar
kuning tetap tegak tak bergerak. Malah dengan tenang dia berucap mengeluarkan
kata-kata seperti berpantun.
“Nenek
Sabai jangan berjalan tanpa tujuan. Jangan membunuh tanpa alasan. Alasan
terkadang hanya satu kepalsuan. Karena manusia tidak lepas dari hasutan
setan….”
“Manusia
jahanam! Siapa kau sebenarnya! Kau ini laki-laki atau perempuan?!” sentak Sabai
Nan Rancak.
“Ini
bukan saat dan tempatnya kita bicara. Jika kau suka datanglah ke Lembah
Merpati. Di sana kita bisa melenyapkan segala duka. Hingga tidak ada yang
kecewa dan keliru di hati….”
“Apa
maksudmu dengan ucapan berpantun itu?!” ujar Sabai Nan Rancak.
“Lembah Merpati.
Tiga hari dari saat ini. Usahakan untuk datang. Sehingga semua urusan jadi
terang.”
Habis
berkata begitu orang bercadar kuning membungkuk mengambil Kapak Maut Naga Geni
212. Dia menatap sejurus pada Sabai Nan Rancak, membuat si nenek merasa adanya
satu getaran aneh dalam dirinya.
Tanpa
berkata apa-apa lagi orang bercadar kuning ini tinggalkan tempat itu. Dia
kelihatan melangkah perlahan saja.
“Jahanam
pengecut! Sembunyikan wajah di balik cadar! Tidak mau menerangkan diri! Lebih
baik kau mati sekarang saja!” rutuk Sabai Nan Rancak. Si nenek gerakkan tangan
kirinya ke pinggang jubahnya yang robek. Di situ tergantung sebuah kantong kain
berisi senjata rahasia Sakti Mutiara Setan milik Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Jari-jari tangan Sabai Nan Rancak telah menggenggam tiga butir senjata maut
itu. Siap untuk dilemparkan ke arah si baju kuning yang berjalan
membelakanginya. Tiba-tiba saja ada satu getaran aneh menyeruak di lubuk hati
si nenek. Entah mengapa akhirnya Sabai Nan Rancak masukkan kembali tiga butir
Mutiara Setan itu ke dalam kantong. Kini perhatiannya tertumpah pada
satu-satunya orang yang masih berada di tempat itu.
“Manusia
setan bernama Utusan Dari Akhirat! Kalau kau tidak menolong pemuda tadi, tidak
nanti urusanku menjadi kapiran begini rupa!”
Utusan
Dari Akhirat mendongak ke langit lalu tertawa.
“Jangan
sangkut pautkan kegagalanmu dengan apa yang aku lakukan!” jawabnya. “Sudah
kukatakan nyawa manusia bagiku tidak ada harganya. Aku justru tengah mencari
tiga orang yang harus kulenyapkan dari muka bumi ini! Itu tugasku dan itu
takdir buruk ketiga orang itu!”
“Persetan
dengan tugasmu! Seharusnya aku sudah berhasil membunuh pemuda keparat itu tapi
gagal gara-garamu! Sekarang nyawamu gantinya!”
Sabai Nan
Rancak yang saat itu masih duduk bersimpuh di tanah, tidak bisa berdiri karena
aurat sebelah bawahnya masih terbuka, perlahan-lahan angkat tangan kanannya.
Siap melepas pukulan Kipas Neraka.
“Tunggu!”
seru Utusan Dari Akhirat. “Mengapa kau hendak membunuh kawanku pemuda nelayan
yang bodoh itu?!”
“Pemuda
nelayan yang bodoh katamu?! Pemuda yang mana?!”
“Yang
berambut gondrong dan berpakaian hitam sepertiku itu!”
Sabai Nan
Rancak pandangi tampang Utusan Dari Akhirat berapa jurus lamanya lalu tertawa
mengejek. “Dasar manusia tolol! Pemuda yang kau kira nelayan dungu itu
sebenarnya adalah seorang berkepandaian tinggi bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia adalah murid seorang musuh besarku!
Murid dan guru harus kuhabisi! Apa kau tadi tidak melihat senjatanya yang
selama Ini menggegerkan dunia persilatan. Sebilah kapak bermata dua bernama
Kapak Maut Naga Geni 212!”
Terbelalaklah
Utusan Dari Akhirat.
“Apa kau
bilang?! Pemuda gondrong itu adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng?!”
“Kau
tidak tuli!”
“Jahanam!”
teriak Utusan Dari Akhirat seraya menendang batu karang di sampingnya hingga
batu ini pecah berantakan. “Justru Wiro Sableng adalah satu dari tiga manusia
yang harus aku bunuh!”
“Karena
ketololanmu kau tidak tahu siapa dia adanya!” kata Sabai Nan Rancak lalu keluarkan
suara dengusan mengejek.
“Sekali
lagi kau berani mengatakan Utusan Dari Akhirat tolol, tubuhmu akan kubuat cerai
berai menjadi potongan daging panggang terkutuk!”
Sabai Nan
Rancak tertawa panjang. “Anak muda, rimba persilatan bukan saja tempat malang melintangnya
orang-orang berkepandaian tinggi. Tapi juga dipenuhi oleh segala macam
kelicikan, hasutan dan fitnah, dendam serta seribu satu macam kebusukan dan
kekejian. Jika kau tidak bisa mempergunakan otak dan kecerdikan, kau akan
menjadi mayat sebelum apa yang jadi tujuanmu tercapai!”
“Dunia
persilatan bukan satu hal yang aku takutkah. Aku punya tangan untuk
menggenggamnya!” jawab Utusan Dari Akhirat sambil menggerakkan lima jari tangan
kanannya hingga mengeluarkan suara berkeretekan.
“Siapa
lagi dua orang yang hendak kau singkirkan itu?” Sabai Nan Rancak ajukan
pertanyaan.
“Perduli
setan! Aku tahu kau tengah menyelidiki diriku!”
Sabai Nan
Rancak perhatikan pemuda berambut gondrong itu dari rambut sampai ke kaki.
“Gerak-geriknya menyatakan dia memang membekal kepandaian tinggi. Tapi sikapnya
menunjukkan dia masih sangat hijau dalam rimba persilatan.”
“Kau tak
mau memberi tahu tidak ada ruginya bagiku. Kau betul! Perduli setan! Kau boleh
pergi! Aku tak jadi membunuhmu!”
Utusan
Dari Akhirat pandangi wajah si nenek. Lalu dia tertawa. “Aku tahu apa yang ada
di benakmu! Kau ingin bekerja sama denganku untuk membunuh pemuda bernama Wiro
Sableng itu.”
“Aku
tidak butuh bantuan orang setololmu. Bisa-bisa hanya menyusahkan saja! Sekarang
lekas minggat dari hadapanku!”
“Kau
bicara keliwat sombong! Tapi dalam banyak hal aku tahu kau seolah ragu
mengambil keputusan akhir! Buktinya tadi kau tidak jadi membunuh orang bercadar
kuning itu!”
Paras
Sabai Nan Rancak jadi berubah. “Lekas , pergi sebelum aku muak melihatmu!”
Utusan
Dari Akhirat tersenyum lalu batuk-batuk beberapa kali. “Kau salah menduga Nek.
Bukan kau yang muak tapi akulah yang mau muntah! Apa kau kira aku berlama-lama
di sini hendak melihat kau bangkit berdiri memperlihatkan aurat bawahmu yang
tidak tertutup?!”
“Pemuda
kurang ajar! Terima kematianmu!”
Seolah
lupa akan keadaan dirinya Sabai Nan Rancak bangkit berdiri lalu kebutkan Mantel
Sakti ke arah Utusan Dari Akhirat. Suara deru angin laksana badai menggelegar
menggebu ke arah Utusan Dari Akhirat. Tapi pemuda itu telah berkelebat lenyap.
Yang jadi
sasaran hantaman Mantel Sakti itu untuk kesekian kalinya adalah dinding batu
karang. Tempat itu dilanda goncangan hebat. Batu, pasir dan debu beterbangan ke
udara.
“Jahanam!”
maki Sabai Nan Rancak. Mantel Sakti cepat-cepat dikenakannya. Lalu tanpa
menunggu lebih lama dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment