Rahasia
Cinta Tua Gila
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
SATU
Sepasang
mata Sabai Nan Rancak memandang tak berkesip pada orang bercadar yang tegak di
hadapannya. Dia seolah berusaha menembus cadar untuk melihat wajah orang
berpakaian serba kuning itu, untuk mengetahui siapa orang ini adanya.
“Siang
telah bergerak menuju petang. Terima kasih kau telah sudi datang memenuhi
undangan.” Si cadar kuning berkata.
Sabai Nan
Rancak memasang telinganya baik-baik. Sebelumnya dia telah beberapa kali
bertemu dengan orang ini dan telah beberapa kali pula mendengar suaranya. Dalam
hati Sabai Nan Rancak berkata. “Aku masih belum bisa memastikan apakah orang
ini lelaki atau perempuan. Kalau bicara kata-katanya seperti berpantun. Setiap
bicara agaknya dia mengerahkan tenaga dalam untuk menutupi suara aslinya. Namun
berat dugaanku dia seorang perempuan.”
“Waktuku
tidak banyak. Ada beberapa urusan penting menungguku. Jadi kuharap kau segera
menjelaskan maksud tujuan pertemuan ini.” Kata Sabai Nan Rancak setelah tadi
berusaha menyimak suara orang.
“Sebetulnya
ada tiga orang yang kuharapkan datang kemari. Namun orang ke tiga belum
menunjukkan diri….”
“Kalau
pertemuan ini memang penting, aku bersedia menunggu sampai matahari tenggelam.”
Orang
bercadar dan berpakaian serba kuning gelengkan kepala. “Yang ditunggu tak bakal
datang. Entah apa sebab penghalang….”
“Kalau
begitu percuma aku datang kemari!” ujar Sabai Nan Rancak dengan nada keras
menunjukkan sikapnya yang mulai tidak sabaran dan cepat naik darah.
“Setiap
kedatangan ada manfaatnya,” jawab si cadar kuning. “Undangan ke tiga tidak
datang. Entah apa sebab penghalang. Terakhir kusirap dia berada di sekitar
Telaga Gajahmungkur. Lalu lenyap seolah masuk ke dalam kubur. Hanya kita
bertiga yang bisa berkumpul. Itu sudah cukup untuk memanjatkan syukur.”
“Kalau
memang kita bisa mulai bicara, harap kau suruh orang yang sembunyi di balik
pohon besar itu keluar dan datang ke tempat ini!” kata Sabai Nan Rancak. Sejak
pertama datang nenek sakti ini memang sudah mengetahui kalau ada orang mendekam
di balik pohon besar.
“Saudara
di balik pohon harap kau suka datang ke sini. Agar pertemuan dan pembicaraan
dimulai lebih dini!” kata si cadar kuning pula.
Dari
balik pohon terdengar suara orang mendehem beberapa kali. “Sebetulnya aku malu
untuk menemui kalian. Tapi kupikir jauh lebih memalukan kalau terus-terusan
sembunyi di balik pohon ini!”
Suaranya
masih bergema namun orang yang tadi berada di balik pohon tahu-tahu sudah
berada di tempat itu. Duduk mencangkung seenaknya di gundukan tanah tinggi
berumput. Kedua tangannya ditutupkan di atas wajahnya.
“Iblis
Pemalu!” kata Sabai Nan Rancak setengah berseru karena dia tidak menyangka
orang di balik pohon itu ternyata adalah si pendatang baru dalam rimba
persilatan yang memperkenalkan diri dengan nama atau julukan Iblis Pemalu.
Sebelumnya dia telah pernah bertemu dengan pemuda itu. Terakhir sekali dia
malah mengadakan perjalanan bersama menyeberangi lautan dari pulau Andalas
menuju tanah Jawa. Yakni setelah dia mendapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan
milik Datuk Tinggi Raja Di Langit yang kemudian merubah gelar menjadi Jagal
Iblis Makam Setan.
Lalu di
sebuah teluk mereka berpisah. Namun karena ada satu perasaan aneh timbul di
dalam hatinya, Sabai Nan Rancak secara diam-diam kembali ke teluk. Dia
mengintai dan sempat mendengar desah ucapan Iblis Pemalu yang duduk termenung
di tepi pantai menghadap ke laut. Desah yang keluar dari lubuk hati Iblis
Pemalu membuat Sabai Nan Rancak berdebar. Karena ucapan memelas yang sempat
didengar Sabai itu seolah menyatakan adanya hubungan tertentu antara Iblis
Pemalu dengan dirinya. (Baca Episode Utusan Dari Akhirat) iblis Pemalu sendiri
tampak tenang-tenang saja mencangkung di atas gundukan tanah berumput.
Sabai Nan
Rancak berpaling pada orang bercadar di hadapannya. “Karena kau mengundang
pemuda ini datang ke mari, apakah ini satu pertanda bahwa dia juga punya
sangkut paut dengan urusan kita?”
Si cadar
kuning mengangguk.
Sabai Nan
Rancak kembali menatap Iblis Pemalu lekat-lekat. Walau tampak tenangtenang saja
namun sampai saat itu Iblis Pemalu terus saja menutupi wajahnya dengan dua
telapak tangan. “Orang mudai Apakah kau mau menurunkan dua tanganmu hingga aku
bisa melihat wajahmu?”
Iblis
Pemalu berpaling pada Sabai Nan Rancak. Di antara sela-sela jarinya sepasang
matanya menatap tajam pada si nenek. Lalu dia menjawab. “Wajahku buruk.
Memalukan. Tampangku buruk. Memalukan! Nah buat apa aku memperlihatkan muka?!”
Walau
jengkel mendengar kata-kata Iblis Pemalu namun Sabai Nan Rancak masih bisa
menahan diri. Dia alihkan pandangannya pada si cadar kuning. Saat itu debaran
aneh seperti yang dirasakannya waktu mendengar desah Iblis Pemalu tempo hari
kembali muncul di dadanya. Maka nenek ini bertanya lagi. “Tadi kau mengatakan
bahwa sebenarnya ada seorang lagi yang diundang datang ke tempat ini. Tapi
tidak datang. Kau bersedia memberi tahu siapa adanya orang itu?”
“Tamu
yang diundang tapi tidak datang. Dia berasal dari tanah seberang. Kukenal
dengan nama Puti Andini. Berwajah secantik puteri. Berjuluk Dewi Payung Tujuh.
Memiliki suara semerdu bulu perindu. Apakah nama dan dirinya berarti sesuatu
bagimu?”
Sabai Nan
Rancak tersurut dua langkah. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.
Wajahnya jelas berubah. Semua ini terlihat oleh si cadar kuning. Maka segera
saja dia berkata. “Kaki tersurut dua langkah. Wajah berubah serta merta. Apakah
ini satu pertanda. Bahwa kau mengenal dirinya. Atau ada sesuatu yang mendekam
di dalam dada…?”
Tenggorokan
Sabai Nan Rancak tampak turun naik beberapa lama. “Aku tidak akan menjawab
sebelum kau lebih dulu mengatakan siapa dirimu dan apa maksud pertemuan ini
sebenarnya!”
“Saling
bertanya tapi tak saling menjawab. Tentu ada pasal penyebab. Kau tak suka
menjawab, aku tak mau berdebat. Siapa diriku pasti akan terjawab. Siapa diri
kita pasti akan tersingkap. Mengapa hidup berteka-teki. Kalau kau suka menjawab
aku akan menuruti.”
Sepasang
mata Sabai Nan Rancak tampak membesar dan rahangnya yang tertutup kulit
menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai jengkel.
“Orang
bercadar, apakah kau tak bisa bicara wajar. Tidak terus-terusan berpantun atau
bersyair yang terdengar asing di telingaku!”
Wajah di
balik cadar tersenyum. “Manusia dilahirkan menurut kodratnya yang telah
ditentukan dan menjadi bagian dirinya. Lingkungan dan perjalanan hidup
mempengaruhi dan membentuk pribadinya. Menunjukkan keaslian diri pribadi adalah
lebih baik dari pada berpura-pura….”
“Kalau
kau berkata begitu, mengapa kau justru menunjukkan sifat berpura-pura. Tidak
mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya.” Bertanya Sabai Nan Rancak dengan suara
gusar.
“Aku
tidak berpura-pura. Diri ini tidak bisa mengada-ada. Pada saatnya semua akan
terbuka. Tapi apakah pintu bisa terbuka kalau tak ada kunci pelaksana. Nenek
Sabai Nan Rancak, justru dirimulah yang menjadi kunci pembuka. Apakah kau sudi
menerima?”
“Aku
manusia hidup! Bukan benda mati! Bukan sebuah kunci!” Suara Sabai Nan Rancak
mengeras. “Kau cari saja kunci yang lain! Aku merasa menyesal datang memenuhi
undanganmu. Urusanku banyak yang lebih penting!” Habis berkata begitu Sabai Nan
Rancak hendak memutar tubuh. Namun gerakannya tertahan ketika mendengar suara
Iblis Pemalu.
“Kalau
ada yang mau mendengar biar badan buruk ingin bicara agar aku tidak malu! Kalau
ada yang tidak mau mendengar biar aku lebih dulu angkat kaki dari sini supaya
tidak malu!”
“Apa yang
hendak kau ucapkan?!” tanya Sabai Nan Rancak.
“Aku
harap kalian tidak malu mendengarkan!” jawab Iblis Pemalu. Dua tangannya tetap
tak beranjak dari menutupi wajahnya. “Setinggi langit tak ada yang lebih tinggi
dari akal manusia. Aku tidak malu bilang begitu! Sedalam lautan tidak sedalam
rahasia kehidupan! Aku juga tidak malu berkata begitu. Tapi aku merasa malu
sekali mengatakan yang ini. Kenapa banyak manusia bertinggi hati berendah budi.
Kalau sampai rahasia tidak tersingkap hanya karena bertahan pada keangkuhan
pribadi, jangan salahkan jika umat sedarah sedaging saling berbunuh sebelum
kiamat!”
“Iblis
Pemalu! Ucapanmu aneh tapi tajam! Apa maksudmu?!” hardik Sabai Nan Rancak.
“Apa
memalukan bagimu kalau menceritakan apa hubungan dan sangkut paut dirimu dengan
gadis bernama Puti Andini itu? Kalau aku jadimu aku tidak akan merasa malu
menerangkan.”
Rahang
Sabai Nan Rancak kembali menggembung.
“Aku
diminta datang ke tempat ini! Tujuan pertemuan ini masih jauh dari jelas. Dia
sebagai tuan rumah malah mengajak aku bicara tak karuan! Menutupi siapa dirinya
sendiri. Tapi berusaha hendak menelanjangi diriku dengan pertanyaan-pertanyaan
yang bukanbukan!”
“Tamu
yang diundang memang tidak harus dibuat malu. Tapi tuan rumah yang berniat baik
juga kurang pantas dipermalukan. Apa susahnya menjawab pertanyaannya. Apa itu
satu hal yang memalukan?”
“Aku jauh
lebih tua dari dirinya. Kurasa aku cukup pantas untuk mengetahui siapa dirinya
lebih dulu dan apa tujuan sebenarnya pertemuan ini!” jawab Sabai Nan Rancak.
Iblis
Pemalu tertawa pendek. “Nenek,” katanya. “Bagaimana kau tahu lebih tua dari orang
bercadar dan berpakaian kuning ini? Apa kau pernah melihat wajahnya? Apa kau
tidak merasa malu mengatakan sesuatu yang kau sebenarnya tidak yakin?”
Mulut
Sabai Nan Rancak tampak memencong dan tenggorokannya turun naik Matanya
memandang ke wajah yang tertutup cadar. Dia coba memperhatikan dua tangan orang
itu. Tapi terlindung di balik lengan baju yang panjang menjulai. Dia memandang
ke bawah. Dua kaki orang ini juga tertutup oleh kaki celana yang gombrang
menjela tanah. Dia tak bisa menemukan bukti-bukti bahwa orang berpakaian serba
kuning itu lebih tua atau lebih muda dari dirinya.
“Baik!”
Tiba-tiba Sabai Nan Rancak membuka mulut. “Aku tidak akan memaksanya
menerangkan siapa dirinya. Antara kita berdua adalah sama-sama tamu! Sekarang
aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri! Siapa dirimu adanya!”
Saking
kagetnya mendengar pertanyaan si nenek, Iblis Pemalu sampai tertegak dari
jongkoknya di atas gundukan tanah berumput.
*******************
DUA
Untuk
beberapa lamanya Iblis Pemalu dan Sabai Nan Rancak sama-sama tegak saling
melontar pandang. “Ini sungguh aneh. Sungguh memalukan! Kalian berdua saling
berdebat, mengapa aku yang kena getah! Jadi korban pertanyaan memalukan!” Iblis
Pemalu akhirnya buka suara.
“Jadi
seperti manusia bercadar itu kau juga tidak mau memberi tahu siapa dirimu!”
ujar
Sabai Nan Rancak seraya dongakkan kepala sedikit dan rangkapkan dua tangan di
depan dada.
“Bukan
aku malu mengatakan siapa diriku. Bukan aku malu menerangkan asal-usul diriku!
Tapi aku tidak mau mendahului tuan rumah! Aku merasa ini belum saatnya. Aku
menduga ada orang lain yang lebih patut mengatakannya! Orang itu pasti tidak
malu menjelaskan semuanya…. Dia saksi yang punya seribu bukti!”
“Siapa
orang yang kau maksud! Apa yang mau dijelaskannya?!” tanya Sabai Nan Rancak
dengan suara keras dan mata membelalak.
Iblis
Pemalu tidak menjawab pertanyaan si nenek melainkan berpaling pada orang
bercadar kuning. Lalu berkata. “Aku yakin kau pun merasa malu menjelaskan.
Karena belum saatnya!”
“Kalian
ini bicara apa?!” Membentak Sabai Nan Rancak. “Aku diminta datang ke tempat
ini. Setelah aku berada di sini kalian bicara tidak karuan! Kalian semua
orang-orang gila atau bagaimana? Mungkin sengaja memancing aku datang ke sini
dengan maksud jahat tersembunyi?! Jangan berani mempermainkan Sabai Nan Rancak.
Aku bisa membunuh kalian semudah aku membalikkan telapak tangan!” Habis berkata
begitu si nenek buka kancing mantel hitamnya satu persatu.
“Aku
tahu…. Aku tahu! Aku malu, sangat malu! Kau dikenal sebagai nenek sakti dari
puncak Singgalang! Malah sekarang kau mengenakan Mantel Sakti. Membekal Mutiara
Setan. Walau dua benda sakti itu bukan milikmu! Aku malu! Aku malu!”
Wajah
Sabai Nan Rancak berubah kelam. Dia bergerak mendekati Iblis Pemalu. Jarijari
tangannya terkepal. Namun orang bercadar cepat menghadang.
“Tidak
ada orang yang bicara tak karuan. Jangan merasa dirimu dipermainkan. Siapa pula
yang memancing dengan maksud jahat tersembunyi. Juga tak ada orang gila di
tempat ini!”
“Aku muak
mendengar segala syair dan pantunmu!”
“Aku malu
melihat sikapmu!” Menukas Iblis Pemalu. Lalu dia berpaling pada si cadar
kuning. “Jika nenek ini tidak sabaran dan tidak mau mengerti katakan saja
padanya semua yang kau ketahui tentang dirimu, diriku, dirinya dan diri gadis
bernama Puti Andini itu! Tapi agar aku tidak malu, sebelum kau mengatakan biar
aku angkat kaki dulu dari tempat ini!”
“Iblis
Pemalu, tunggu!” berseru si cadar kuning. “Apapun yang akan aku katakan kau
harus tetap di sini!” Lalu dia berpaling pada Sabai Nan Rancak. “Orang
bijaksana pandai menahan diri. Orang cerdik tahu membaca pikiran. Kalau kau
memaksa diri. Maka kau hanya akan menerima sebagian. Sisanya terpaksa kau
telusuri sendiri. Nenek Sabai Nan Rancak, dalam hidupmu apakah kau pernah punya
suami?”
Terkejutlah
Sabai Nan Rancak mendengar pertanyaan yang tidak tersangka-sangka itu.
“Pertanyaan gila apa pula ini?! Urusan pribadiku mengapa kau selidiki!”
“Alam
terkembang tapi dunia seolah kelam. Puluhan tahun rahasia mencekam. Apakah
manusia masih tetap hendak bertahan. Menyimpan segala tanya hati dan ratap
perasaan. Pertemuan ini tidak mengarah diri pribadi. Urusan yang ada menyangkut
ikatan diri. Kalau rahasia hendak diungkap, mengapa tak mau diajak mufakat?
Seperti kataku tadi kunci semua persoalan ini ada di tanganmu. Kalau tak ada
sepotong keterangan pun yang kudapat darimu mana mungkin persoalan bisa
diramu….”
Sabai Nan
Rancak terdengar menggerendeng panjang pendek. Dia melirik pada Iblis Pemalu
dan kembali ingat peristiwa di tanjung tempo hari. Kalau tak mau dikatakan
curiga, saat itu sebenarnya si nenek telah menaruh kesan bahwa antara dia
dengan iblis Pemalu ada satu hubungan yang sangat dekat tapi keadaan membuatnya
terasa begitu jauh. Sabai Nan Rancak terdiam beberapa lamanya. Mulutnya tampak
berkomat-kamit.
“Baik,
aku akan menjawab. Aku memang pernah punya suami. Tapi manusia itu justru
sedang aku cari untuk dibunuh!”
“Soal
bunuh membunuh adalah soal kedua. Soal pertama ingin kutanyakan apakah suamimu
itu berpunya nama?” Bertanya si cadar kuning.
“Namanya
Sukat Tandika!” jawab Sabai Nan Rancak.
Si cadar
berpaling pada Iblis Pemalu. Saat itu si pemuda juga memandang ke arahnya.
“Aku malu
bicara. Tapi aku harus ikut bertanya. Apakah suamimu itu punya gelar?” Bertanya
Iblis Pemalu.
“Jangan
sebut bangsat itu suamiku! Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi! Aku
benar-benar ingin membunuhnya!” Berteriak Sabai Nan Rancak.
“Aku
mengerti kalau kau tenggelam dalam perasaan. Namun pertanyaan menunggu
jawaban,” kata orang bercadar pula.
“Bangsat
tua itu dikenal dengan julukan Tua Gila!” Menerangkan Sabai Nan Rancak.
“Dari
hubungan kalian sebagai suami istri apakah kailan berpunya anak?”
“Orang
bercadar! Pertanyaanmu sudah keliwatan. Aku tak mau menjawab!”
“Nek, aku
malu melihat sikapmu. Bagimu apakah memalukan menjawab pertanyaan orang?
Berdebat sampai malam dan sampai pagi lagi tak ada gunanya. Jika urusan mau
cepat selesai harap kau jangan berlaku memalukan. Jawab saja pertanyaan orang
itu. Kelak kau nanti akan tahu apa tujuannya. Semua bukan untuk kebaikan kita
saja. Tapi juga beberapa orang lain yang tidak hadir di tempat ini! Ayo Nek.
Bersikaplah bijaksana. Jangan memalukan begitu!”
Sabai Nan
Rancak menyeringai buruk. “Enak dan pandainya kau bicara! Kau sendiri apa sudah
pernah punya istri? Siapa nama istrimu! Apa kau juga punya anak? Siapa nama
anakmu!”
“Aku
tidak malu menjawab! Aku belum punya istri. Jadi tidak mungkin punya anak!
Kalau aku belum kawin tapi punya anak bukankah memalukan?!”
Sabai Nan
Rancak tampak bersungut-sungut mendengar ucapan Iblis Pemalu itu. Dia ingat
sesuatu. Waktu di tepi pantai dulu, sebelum berpisah ada satu perasaan aneh
yang membuatnya ingin memeluk Iblis Pemalu. Tapi orang itu menampik untuk
dipeluk. Sepasang mata si nenek membesar. “Kalau kau tidak punya istri apakah
kau punya suami?!”
“Eh…!”
Suara Iblis Pemalu tercekat. Tangan kirinya hampir saja diturunkan saking kaget
mendengar kata-kata si nenek. Namun dia cepat menguasai diri. Setelah tertawa
cekikikan dia berkata. “Sungguh ucapanmu memalukan! Aku seorang laki-laki mana
mungkin punyakan suami! Memangnya aku ini manusia banci? Memalukan! Ha… ha…
ha!”
Orang
bercadar memberi isyarat agar Iblis Pemalu hentikan tawanya. Lalu dia berkata
pada Sabai Nan Rancak.
“Nenek
Sabai, kuharap kau tidak berkeberatan memberikan jawaban. Dari perkawinanmu
dengan Sukat Tandika alias Tua Gila apakah kau punya anak atau tidak harap
jelaskan.”
Si nenek
meludah ke tanah. Mukanya yang keriputan tampak tambah berkerut.
“Menjijikkan!
Betapa bodohnya aku! Aku memang punya anak. Satu. Perempuan. Untung cuma satu!”
Sabai Nan Rancak kembali meludah melampiaskan perasaannya.
“Terima
kasih kau mau memberi tahu. Siapakah nama anakmu itu. Di mana gerangan dia
sekarang?”
“Anak itu
sudah meninggal. Mati tak lama setelah dia melahirkan.”
Sepasang
mata orang bercadar menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
“Malangnya
nasibmu. Malangnya nasib anakmu! Jika benar anakmu sudah berpulang, di mana
letak makamnya gerangan?”
Sabai Nan
Rancak tidak segera menjawab. Dia balas menatap lekat-lekat ke arah wajah orang
yang tertutup cadar. Pandangannya beradu dengan sepasang mata orang itu. Untuk
kesekian kalinya getaran aneh mendebari dada si nenek. “Di mana makam atau
kuburnya aku tak pernah tahu….”
“Nenek
Sabai. Kau yakin anakmu itu benar-benar sudah mati? Seyakin kau melihat hitam
di atas putih?”
Sabai Nan
Rancak terdiam sesaat. “Terus terang aku memang tidak pernah mengetahui di mana
dia dimakamkan. Tapi yang jelas di Pulau Andalas.”
“Jawabanmu
meluncur tegas. Seolah tak ada penyesalan atau pun rasa memelas. Bagaimana
mungkin seorang ibu tidak tahu makam anak tercinta?”
Darah
Sabai Nan Rancak kembali naik mendengar ucapan orang. Ini kentara dari apa yang
dikatakannya. “Urusan diriku dengan kematian anakku apa sangkut pautnya dengan
dirimu?!”
“Justru
di situlah letak kunci rahasia. Lebih banyak hal nyata yang terungkap lebih
cepat rahasia terbuka,” jawab orang bercadar.
“Kau
belum menyebutkan siapa nama anakmu itu, Nek! Tak usah malu-malu mengatakan.”
Iblis Pemalu membuka mulut.
“Orangnya
sudah mati! Perlu apa diberi tahu!” jawab Sabai Nan Rancak jengkel.
“Harimau
bisa mati. Belangnya tetap tertinggal.
Manusia
boleh mati. Rahasia hidupnya akan terus tertinggal. Terserah orang yang
ditinggal. Apakah akan mencari manfaat. Atau mudarat!”
“Katakan
saja Nek. Tak usah malu! Aku yakin nama anakmu tidak buruk!” kata Iblis Pemalu
pula.
Sabai Nan
Rancak dongakkah kepala. Lama dia seolah menatap sesuatu di langit lepas di
atas sana. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan. Kini dia seperti memandangi
ujung kakinya sendiri. Lehernya yang keriput turun naik. Dadanya berdebar
menahan gejolak. Sudah lama sekali dia tidak pernah menyebut nama itu. Kini di
saat dia hendak mengatakan seolah dia hendak memuntahkan batu berapi dari dalam
mulutnya.
“Nek, kau
mau mengatakan atau tidak. Hari semakin sore. Jangan malu. Makin cepat kau
mengatakan makin lekas kau terbebas dari tekanan bathin!”
Sabai Nan
Rancak palingkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu. “Kau benar…” katanya perlahan.
“Tekanan bathin telah mendera hidupku selama lebih dari enam puluh tahun.
Anakku itu bernama Andam…. Andamsuri….”
Orang
bercadar tiba-tiba putar tubuhnya. Kepalanya tertunduk dan sekujur tubuhnya
tampak bergetar. Iblis Pemalu mendongak ke langit. Dadanya tampak
berguncang-guncang. Dari sela-sela jarinya ada tetesan air mengalir.
“Dia
tidak malu menyebutkan nama anaknya! Orang bercadar agaknya sekarang giliranmu
menyingkap tabir dirimu sendiri!”
“Nama
sudah terucap jelas. Namun perlu bukti tuntas. Nenek Sabai, kami inginkan satu
bukti. Bahwa Andamsuri adalah anakmu pasti….”
Baru saja
orang bercadar mengucapkan kata-kata itu sekonyong-konyong ada suara lain
menjawab.
“Tak ada
kepastian di dunia ini! Kecuali maut!”
Lalu
sesosok tubuh berkelebat dan tegak lima langkah di hadapan Sabai Nan Rancak.
Orang yang barusan datang ini keluarkan suara tawa membahana!
*******************
TIGA
Datuk
Tinggi Raja Di Langit! seru Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar lalu
bersurut sampai tiga langkah. “Salah! Gelarku sekarang adalah Jagal Iblis Makam
Setan! Ha… ha… ha…!”
Walau
Sabai Nan Rancak adalah orang yang paling terkejut namun Iblis Pemalu dan orang
bercadar kuning tak kalah kaget serta ngerinya.
“Makhluk
satu ini pasti muncul meneruskan urusan waktu di pantai, memalukan!” Membathin
Iblis Pemalu.
Si cadar
kuning walau tampak tenang tak bergerak namun hatinya menjadi tak enak.
“Pertemuan
telah kuatur lama. Munculnya makhluk berhala ini akan merusak suasana. Rahasia
besar belum sempat tersingkap. Keadaan bakal bertambah gelap!” Begitu si cadar
kuning membathin. Dia tidak dapat memastikan apakah sosok di depannya ini
manusia atau hantu lembah.
Seperti
si cadar kuning, Sabai Nan Rancak juga sangat gelisah. “Kurang ajar. Bagaimana
makhluk celaka ini bisa muncul di tempat ini!” ujar Sabai Nan Rancak dalam
hati. “Urusan besar masih gelap. Kemunculannya akan membuat perkara jadi
kapiran!”
Diam-diam
dia menjadi tegang karena sebelumnya dia telah menyaksikan sendiri keganasan
sepasang kaki kakek sakti yang pernah menjadi momok nomor satu dalam dunia
persilatan di Pulau Andalas itu.
“Makhluk
celaka memalukan! Busuknya seperti lobang kakus!” membathin Iblis Pemalu. Dia
tekap mukanya erat-erat dengan kedua tangannya sedang dua matanya memandang
melotot. Jari-jari kelingking dibengkokkan untuk menutupi lobang hidung. Orang
ini berdiri tidak seperti manusia biasa adanya. Kakinya berada di atas sedang
yang menjejak tanah adalah dua telapak tangannya. Tubuhnya kurus kering,
menebar bau busuk dan terbungkus oleh pakaian penuh robek nyaris hancur.
Wajahnya yang seram dengan dua rongga mata terpuruk, taring dan gigi besar
mencuat. Wajahnya yang cekung di kedua pipi sebagian tersembunyi di balik
kelebatan kumis, janggut, cambang bawuk dan rambut panjang kotor riap-riapan.
Yang menambah kengerian pada sosok orang ini adalah sepasang kakinya. Sepasang
kaki itu sebatas lutut ke bawah, sampai ke ujung jari-jari kaki berwarna putih
menggidikkan karena hanya tinggal tulang tak terlapis daging atau kulit sedikit
pun! Dua tulang kaki ini berbentuk sangat pipih hingga tidak beda dengan
sepasang pedang bermata luar biasa tajam! (Siapa adanya orang ini harap baca
Episode sebelumnya berjudul Jagal Iblis Makam Setan)
“Sabai!
Dunia ini terlalu sempit untuk kita berdua!”. Orang yang mengaku berjuluk Jagal
Iblis Makam Setan berkata dengan suara keras membahana. Setiap mulutnya
terbuka, rambut, janggut serta kumis yang menutupi wajahnya bersibak melambai
bergoyanggoyang.
“Karena
itu kematian tak terelakkan menjadi bagianmu! Namun sebelum mampus harap kau
segera menanggalkan Mantel Sakti, menyerahkannya padaku. Juga mengembalikan
sekantong Mutiara Setan milikku! Kau tidak tuli, kau mendengar! Jadi jangan
mengumbar berbagai dalih!”
Sabai Nan
Rancak tampak tegang sesaat. Begitu dia bisa menguasai diri maka seringai buruk
tersungging di mulutnya. Dari hidungnya keluar suara mendengus.
“Makhluk
busuk compang-camping! Aku maklum otakmu tidak waras. Jadi tidak salah kalau
kau sampai kesasar dan bicara ngacok di tempat ini!”
Jagal
Iblis Makam Setan yang dulunya adalah salah seorang tokoh silat golongan hitam
di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa
gelakgelak. Sepasang kakinya yang tinggal tulang memutih digoyang-goyang hingga
mengeluarkan suara angker bersiuran. (Untuk lebih jelas siapa adanya Datuk
Tinggi Raja Di Langit, riwayatnya bisa dibaca dalam serial berjudul Makam Tanpa
Nisan)
“Sabai
Nan Rancak! Belum mampus kau sudah jadi setan penasaran yang bicara tak karuan!
Tadi aku sudah bilang jangan berusaha mencari dalih! Lekas kau serahkan
barangbarang milikku! Mantel Sakti dan Mutiara Setan! Atau mungkin kau ingin
aku mengambil dua benda itu setelah kau menjadi mayat tak berguna?!”
Si nenek
kembali keluarkan suara mendengus. “Kau bukan saja bicara melantur! Tapi juga
pembohong dan penipu busuk! Apa kau lupa Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau
serahkan padaku dengan ikhlas sebagai ganti balas aku mengeluarkan dirimu
hingga bebas dari pendaman kuburan batu?! Sekarang kau bukan saja
mengungkit-ungkit kisah yang sudah basi tapi juga mengumbar cerita palsu! Aku
tidak segan-segan mengembalikan Mantel Saktimu, tapi mungkin kau tak punya
kesempatan. Mantel Sakti ini akan menghancurkan tubuhmu yang kurus kering
sebelum kau sempat menyentuhnya!”
Habis
berkata begitu Sabai Nan Rancak membuat gerakan seperti hendak membuka mantel
hitam yang dikenakannya.
“Begitu?
Alangkah hebatnya! Ha… ha… ha!” Jagal Iblis Makam Setan tertawa terkekeh.
Kakinya kembali digoyang-goyangnya. “Aku mau lihat! Aku mau lihat!”
“Benar-benar
memalukan! Semua jangan ada yang berani bergerak!” Tiba-tiba Iblis Pemalu
berteriak.
Kepala Jagal
Iblis Makam Setan yang tergantung di antara dua tangannya yang menjejak tanah
berpaling. “Hemmm…. Pemuda berotak miring! Kau juga ada di sini! Rupanya sudah
terniat dalam otak bodohmu akan ikut mampus bersama nenek calon bangkai itu!”
“Memalukan!
Tidak tahu apa-apa enak saja bilang aku gila berotak miring! Kau sendiri
mungkin lahir kurang hari hingga hidup kaki ke atas kepala ke bawah! Manusia
sepertimu ini biasanya lahir tanpa biji! Kalau berak pasti dari mulut bukan
dari anus! Memalukan sekali! Hik… hik… hik!”
Merah
padam tampang Jagal Iblis Makam Setan. Dari tenggorokannya keluar jeritan
melengking. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika turun lagi ke tanah maka dia
berdiri bagaimana wajarnya yakni dengan dua kaki menginjak tanah! Kini wajahnya
terlihat lebih jelas. Seram angker menggidikkan.
“Pemuda
anjing! Kau pasti terlahir dari bapak iblis ibu setan!” bentak Jagal Iblis
Makam Setan.
Iblis
Pemalu keluarkan suara bersiul lalu tertawa gelak-gelak. “Kalau iblis dan setan
bisa kawin, sungguh memalukan! Apakah kau pernah melihat setan dan iblis
berhubungan badan?! Hik… hik… hik! Kalau kau mampu melihat berarti kau bukan
manusia! Tapi anak hantu yang keluar dari pantat setan! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!
Jaga lehermu!” Teriak Jagal Iblis Makam Setan. Tubuhnya melesat ke udara.
Seperti tadi kepalanya kembali berada di sebelah bawah dan dua kaki mengapung
di udara. Manusia angker Ini keluarkan satu pekikan dahsyat. Bersamaan dengan
itu tubuhnya melesat ke arah Iblis Pemalu. Dua kakinya laksana gunting raksasa
berkiblat mengeluarkan cahaya menggidikkan. Membuat gerakan memancung. Yang di
arah adalah batang leher Iblis Pemalu. Gerakan serangan ini bukan saja aneh
tetapi luar biasa cepatnya.
“Claak!”
“Claak!”
Sambaran
sepasang kaki mengeluarkan suara seperti gerakan gunting raksasa. Sabai Nan
Rancak terkesiap melihat aneh dan ganasnya serangan Jagal Iblis Makam Setan.
Orang bercadar kuning tersentak kaget. Belum pernah dia melihat ada orang yang
mempergunakan sepasang tulang-tulang kakinya sebagai dua senjata mengerikan begitu
rupa.
“Kalau
makhluk jahanam ini tidak dicegah urusan besar bisa sia-sia!” membathin si
cadar kuning. Maka dia segera kebutkan lengan baju kuningnya.
“Wuss!”
Sinar
kuning menderu ke arah Jagal Iblis Makam Setan, menyambar dari samping. Sabai
Nan Rancak tidak tinggal diam. Tenaga dalam sudah disiapkan sejak tadi di
tangan kanan.
Begitu
melihat orang bergerak maka dia segera menghantam, lepaskan pukulan sakti Kipas
Neraka. Selarik sinar merah menyambar ganas dan panas. Setengah jalan sinar ini
mengembang seperti kipas hingga ruang serangannya menjadi lebih luas. Selama
ini jarang orang bisa selamat menghadapi pukulan sakti ini.
Iblis
Pemalu, orang yang mendapat serangan langsung dari Jagal Iblis Makam Setan
tentu saja tak tinggal diam. Begitu melihat sepasang kaki yang aneh
menggidikkan, keganasan cara menyerang yang mengeluarkan deru angin keras,
pemuda ini segera maklum. Leher atau bagian tubuhnya yang lain akan tergunting
putus dan nyawanya pasti amblasi
“Memalukan!
Iblis menyerang iblis!” seru iblis Pemalu. Kedua kakinya ditekuk. Tubuhnya
jatuh punggung di tanah. Dua kaki tinggal tulang berbentuk sepasang pedang yang
menggunting lewat di atas tubuhnya.
“Claaakk!”
“Craasss!”
“Kraaakkk!”
Semua
mata terbelalak.
Iblis
Pemalu yang masih tertelentang di tanah merasakan tengkuknya laksana diguyur
es!
Akibat
serangannya tidak menemui sasaran, tubuh Jagal Iblis Makam Setan melesat di
atas Iblis Pemalu. Sepasang kakinya terus menyambar ke arah pohon yang besar
batangnya hampir tiga kali paha manusia.
Dua
tulang kaki yang pipih setajam pedang berkelebat dahsyat dalam gerakan
menggunting. Batang pohon putus rata laksana disambar petir!
Bagian
atasnya tumbang dengan suara menggemuruh! Sabai Nan Rancak dan iblis Pemalu
yang sebelumnya sudah pernah menyaksikan keganasan sepasang kaki Jagal Iblis
Makam Setan itu masih merasa merinding. Apalagi si cadar kuning.
“Memalukan!
Pohon tak bersalah mengapa ditebang!” berteriak Iblis Pemalu. Dia kerahkan
tenaga dalamnya ke punggung. Secara aneh tubuhnya naik dalam keadaan seperti
berbaring. Lalu tiba-tiba kaki kanannya melesat ke atas, menghantam ke lambung
Jagal Iblis Makam Setan. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya. Jangankan
perut manusia, batu besar pun akan hancur kena hantamannya!
Saat itu
Jagal Iblis siap memutar tubuh untuk melompat turun ke tanah. Namun hal itu tak
bisa dilakukannya. Bukan saja karena dia harus selamatkan diri dari serangan
kaki yang bisa menjebol perutnya. Tapi juga karena di saat yang hampir
bersamaan serangan si cadar kuning dan Sabai Nan Rancak datang hampir
berbarengan! Sinar kuning dan sinar merah menyambar dahsyat dari dua arah!
Jagal
Iblis Makam Setan keluarkan suara meraung seperti anjing melolong. Ujung
jarijari kaki kirinya ditusukkan ke batang pohon. Lalu kaki kanan bergerak
menebas dengan cepat. “Crasss!” Batang pohon putus. Bersamaan dengan itu kaki
kiri ikut bergerak melemparkan potongan batang kayu. Potongan batang kayu
melesat ke bawah menghantam ke arah Iblis Pemalu!
“Gila
memalukan!” teriak Iblis Pemalu ketika melihat potongan batang kayu yang
beratnya hampir lima puluh kati itu jatuh tepat di atas kepalanya!
“Memalukan!
Kepalaku hendak dibikin rengkah!” kembali Iblis Pemalu berteriak.
Sambil
melontarkan tubuhnya ke samping dia hantamkan tangan kanannya ke atas. Tangan
kiri terus menutupi wajah. “Wuttt!”
Satu
gulungan sinar putih aneh melesat ke atas. Luar biasanya pukulan sakti ini
bukan memukul untuk membuat mental atau menghancurkan potongan besar batang
pohon. Tapi laksana seutas tali besar sinar itu menggulung kutungan batang
pohon. Iblis Pemalu keluarkan suitan keras. Tangan kanannya disentakkan.
“Wuuttt!” Batang pohon tertarik keras. Melesat ke samping. Menghantam Jagal
Iblis Makam Setan. Di saat yang sama sinar kuning dan sinar merah pukulan sakti
yang dilepaskan si cadar kuning serta Sabai Nan Rancak menderu.
Jagal
Iblis Makam Setan keluarkan suara seperti anjing melolong. Kedua kaki tulangnya
bergerak cepat. Membabat, menusuk dan menggunting. Suara “claakk… claakk…clakkk
terdengar tak berkeputusan. Dalam waktu singkat sepasang kaki itu telah membuat
hampir enam puluh gerakan! Apa yang terjadi sungguh luar biasa. Batang kayu
besar berubah menjadi potongan-potongan kecil puluhan banyaknya. Bertaburan di
udara. Lalu terdengar suara orang meniup. Puluhan keping batang kayu melanda ke
arah Iblis Pemalu. Bagaimana pun hebat dan cepatnya gerakan pemuda aneh ini
tidak mungkin dia sanggup mengelakkan demikian banyak kepingan kayu yang siap
menancapi tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
*******************
EMPAT
Iblis
Pemalu tekap wajahnya kuat-kuat dengan dua telapak tangan. Sepasang matanya
melirik ke kiri lalu ke kanan. Dalam keadaan kritis begitu rupa dia seperti
tidak acuh menghadapi bahaya maut. Tapi pemuda ini sebenarnya sudah
memperhitungkan.
“Jagal
Iblis! Seranganmu boleh juga! Tapi sia-sia! Memalukan! Ada dua sahabat menolong
diriku! Lihat saja!”
Habis
berseru begitu Iblis Pemalu berjungkir balik di udara. Lalu tubuhnya menukik ke
bawah. Saat itulah sinar kuning serangan si cadar kuning dan cahaya merah
pukulan sakit Kipas Neraka yang dihantamkan Sabai Nan Rancak sampai.
“Wusss!”
“Wusss!”
Sinar
kuning dan cahaya merah beradu dahsyat di udara. Kilatan cahaya api mencuat
setinggi lima tombak, menebar mendatar seputar tiga tombak setelah lebih dahulu
mengeluarkan suara berdentum laksana gunung meletus. Lembah Merpati seolah
lenyap ditelan kobaran api dan kepulan asap. Jagal Iblis Makam Setan melolong
keras. Tubuhnya terhempas ke sebatang pohon lalu terpental sejauh tiga tombak
dan jatuh menyangsrang di serumpunan semak belukar. Sabai Nan Rancak terpental
ke udara. Ketika jatuh ke bawah dia bergerak cepat.
Berusaha
mengimbangi diri agar tidak terhempas. Namun gelegar bentrokan dua kekuatan
sakti membuat dia seolah kehilangan bobot dan akhirnya terbanting ke tanah tak
berapa jauh dari tempat menyangsrangnya Jagal Iblis. Dia cepat bangkit berdiri.
“Memalukan! Gila! Betul-betul memalukan!” teriak pemuda itu berulang kali. Dia
berdiri satu tangan masih menutupi wajah, satu tangan lagi menepuki pantat
celana dan punggung baju hitamnya yang kotor oleh tanah dan debu. Saat itulah
baru disadarinya kalau dua keping pecahan pohon menancap di tubuhnya. Satu di
lengan kiri, satu lainnya di bahu kiri. Iblis Pemalu cepat gerakkan tangan
kanan untuk mencabut kepingan-kepingan kayu itu. Ada bercak darah pada pundak
kirinya pertanda cidera.
Ketika
dentuman menggelegar dan Lembah Merpati dilanda goncangan hebat, Sabai Nan
Rancak merasakan sekujur tubuhnya laksana mau amblas ke dalam tanah. Nenek ini
cepat kerahkan tenaga dalam. Namun tak urung lututnya terlipat. Kedua kakinya
laksana dibetot ke bawah. Tubuhnya jatuh terduduk. Perempuan tua ini berusaha
segera bangkit.
Tapi dia
kembali jatuh terduduk. Mukanya tampak merah mengelam. Bukan saja karena marah
tapi lebih dari itu oleh rasa malu yang amat sangat. Tadi dia menyaksikan
sendiri walau cidera namun begitu jatuh Iblis Pemalu mampu dengan cepat bangkit
kembali. Berarti pemuda itu memiliki tingkat kekuatan yang tidak berada di
bawahnya. Lalu saat itu dia juga menyaksikan bagaimana orang bercadar kuning
sanggup bertahan hingga tidak jatuh atau rubuh ke tanah walau sekujur tubuhnya
tampak bergetar dan dia memegangi cadarnya agar tidak terlepas. “Orang
berpakaian dan bercadar kuning itu…” ujar Sabai Nan Rancak dalam hati. “Dia benar-benar
luar biasa. Sanggup bertahan hingga tidak roboh…. aku harus segera mencari tahu
siapa dia sebenarnya! Tapi iblis penghalang satu itu harus kusingkirkan dulu!”
Si nenek
berpaling ke arah semak belukar di atas mana Jagal Iblis Makam Setan terpuruk.
Terkejutlah Sabai Nan Rancak. Saat itu si kakek iblis berpakaian hancur kumal
itu telah berdiri di atas semak belukar. Walau tubuhnya kurus kering namun
sulit diterima akal ada orang bisa tegak seperti yang dilakukannya. “Bangsat
ini memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa. Tidak heran kalau dia mampu
pergunakan sepasang kaki untuk menyerang. Benar-benar berbahaya. Agaknya aku
terpaksa mengatur siasat agar urusan besar bisa diselesaikan. Kalau rahasia itu
tidak tersingkap rasanya aku akan penasaran sampai ke liang kubur….” ‘
Di atas
semak belukar Jagal Iblis Makani Setan umbar tawa mengekeh. “Batang pohon
sanggup kutabas. Potongan batang mampu kucacah jadi puluhan keping! Apakah
tubuh-tubuh kalian lebih atos dan kuat dari pohon?! Ha… ha… ha!”
Saat itu
Sabai Nan Rancak membuat gerakan membuka Mantel Sakti yang dikenakannya.
Melihat hal ini si Jagal Iblis semakin keras tawanya. Sambil menuding dengan
tangan kiri ke arah si nenek, dia berkata.
“Bagus
Sabai! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga! Kembalikan Mantel Saktiku
secara baik-baik. Juga sekantong Mutiara Setan! Begitu dua benda sakti itu
berada di tanganku aku anggap habis semua perkara!”
“Aku
membuka mantel bukan untuk menyerahkan padamu! Tapi dengan mantel ini aku akan
membunuhmu!” jawab Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek.
Jagal
Iblis Makam Setan kembali tertawa. “Kalau begitu kau benar-benar dungui Kau
tahu tingginya puncak Singgalang. Dalamnya danau Singkarak! Dan kau hendak menantang
semua itu! Ha… ha… ha…! Hari ini aku untung besar. Membunuhmu dan juga dapatkan
kembali dua senjata sakti milikku!”
Jagal
Iblis melolong keras. Tubuhnya melesat ke udara. Ketika menukik sepasang
kakinya berada di sebelah bawah, menyambar ke arah si nenek.
“Claaakkk….
claakkk… clakk!” Dua kaki yang pipih laksana pedang membuat gerakan
menggunting.
“Tahan!”
Tiba-tiba Sabai Nan Rancak berseru sambil angkat tangan kanannya pertanda bahwa
.setiap saat tangan itu serta merta bisa menghantamkan pukulan sakti Kipas
Neraka.
Di udara
Jagal Iblis membuat gerakan berjungkir balik. Di lain kejap dia tahu-tahu sudah
berdiri dua langkah dari hadapan. Sabai Nan Rancak. Dua telapak tangan menjejak
tanah sedang sepasang kaki yang berada di atas menyilang di atas pundak kiri
kanan si nenek. Sekali tulang kaki berbentuk pedang pipih itu membuat gerakan
menggunting, maka tak ampun akan amblaslah leher si nenek terpancung!
Si nenek
tegak laksana patung, tak berani bergerak bahkan mungkin juga tak sanggup
bernafas lagi. Mukanya yang keriputan sepucat kertas. Tangan kanannya
memancarkan sinar merah. Tapi dia tidak membuat gerakan apa-apa untuk
melepaskan pukulan Kipas Neraka. Sebabnya jika gerakannya menghantam didahului
oleh lawan maka putuslah lehernya!
Iblis
Pemalu goleng-golengkan kepala. “Aku malui Benar-benar malu! Dua kaki di atas
bahu. Satu nyawa siap melayang!”
Di tempat
lain si cadar kuning walaupun tersentak kaget melihat apa yang terjadi di depan
matanya dan telah menyiapkan pukulan sakti di kedua tangannya namun tak berani
membuat gerakan. Dalam hati dia membathin. “Aku bisa membunuh kakek jahanam
itu. Tapi apakah mungkin selamatkan nyawa nenek satunya itu?”
Jagal
Iblis Makam Setan tertawa panjang lalu keluarkan suara seperti lolongan anjing.
Di langit sang surya mulai menggelincir menuju ufuk tenggelam. Keadaan di
lembah redup digantungi ketegangan.
Tiba-tiba
Jagal Iblis hentikan tawanya. Lalu dari mulutnya keluar bentakan.
“Sabai!
Hari ini kau benar-benar bernasib buruk! Sebelum lehermu kujaga! katakan apa
maumu!”
“Aku
seorang yang memegang janji. Bagaimana dirimu!” Si nenek ajukan pertanyaan.
“Aku
manusia iblis! Mana mungkin mengadakan perjanjian dengan manusia jelek
sepertimu?! Ha… ha… ha…!”
“Kalau
begitu kau sengaja memilih mampus bersama!” ujar Sabai Nan Rancak dengan suara
dan wajah dingin.
“Eh, apa
maksudmu?!” hardik Jagal iblis Makam Setan seraya melirik ke tangan kanan Sabai
Nan Rancak yang saat itu semakin keras memancarkan cahaya merah. “Maksudku
silahkan saja menabas leherku! Tapi apa kau bisa selamat dari pukulan Kipas
Neraka di tangan kananku?! Hik… hik… hik!” Si nenek tertawa cekikikan. Kini
Jagal Iblis yang jadi tercekat. Keningnya mengerenyit. Dagunya bergerak-gerak.
Janggut, kumis dan rambutnya yang terjulai ke tanah bergoyang-goyang.
“Keparat
jahanam! Apa kau kira aku takut mati?!”
“Hik…
hik… hik! Kalau begitu teruskan niatmu menggunting leherku!” Menantang Sabai
Nan Rancak. Tangan kanannya ditarik sejengkal ke belakang. Pertanda nenek ini
siap menghantam.
Jagal
Iblis Makam Setan keluarkan suara menggerendeng. Namun diam-diam saat itu dia
menjadi bimbang. Setelah berpikir cepat maka dia berkata.
“Baik!
Katakan apa yang ada dalam benakmu!”
“Aku akan
mengembalikan Mantel Sakti dan sekantong Mutiara Setan padamu. Tapi aku punya
syarat…. Bagaimana?”
“Hemmm….
Katakan syaratmu!” ujar Jagal Iblis, pula.
“Setelah
kau menerima dua benda sakti itu kau tidak boleh mengganggu diriku. Juga dua
orang yang ada bersamaku saat ini….”
“Syarat
mudah! Aku terima!” jawab Jagal Iblis lalu tertawa gelak-gelak.
“Syaratku
belum semua kusebutkan! Jangan tertawa dulu!” ujar Sabai Nan Rancak.
“Hemm….
Kau’ boleh meneruskan. Tapi kalau syaratmu terlalu banyak jangan harap aku mau
menerima!”
“Begitu
kau dapatkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan kau harus segera angkat kaki dari
tanah Jawa ini. Kembali ke Pulau Andalas!”
“Syarat
gila! Aku tidak bisa terima! Aku ingin gentayangan dulu cari pengalaman di
tanah Jawa ini! Siapa berahi melarang?!”
“Kalau
begitu jangan harap aku akan serahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan!” jawab
Sabai Nan Rancak.
Jagal
Iblis tertawa bergelak. Dia melirik ke tangan kanan Sabai Nan Rancak. Si nenek
merasa dua kaki yang bersilang di atas pundaknya menekan memberat. Sebelum dia
tahu apa yang bakal dilakukan lawan tiba-tiba tangan kiri Jagal Iblis melesat
ke atas. Dengan hanya berdiri di atas tangan kanan Jagal Iblis cekal
pergelangan tangan kanan Sabai Nan Rancak dengan tangan kirinya hingga tak
mungkin bagi si nenek untuk melancarkan serangan Kipas Neraka.
“Aku siap
menjagal lehermu Sabai! Apa kau sudah ikhlas mati mengenaskan saat ini juga?!”
Wajah tua
keriput Sabai Nan Rancak berubah dan tampak tegang. Pundaknya turun ke bawah.
“Bangsat kau Datuk Tinggi!”
“Gelarku
Jagal Iblis Makam Setan!” bentak si kakek berkaki tulang.
“Persetan
siapa pun nama dan gelarmu! Saat ini aku mengalah. Tapi lain kali jangan harap
aku mau memberi ampun padamu! Sebaiknya kita tidak perlu bertemu’ lagi. Karena
begitu aku melihatmu aku bersumpah akan membunuhmu!”
Jagal
Iblis Makam Setan kembali tertawa bergelak.
“Nenek
Sabai! Tindakanmu memalukan sekali!. Jangan serahkan Mantel dan Mutiara Setan
itu!” Berteriak Iblis Pemalu ketika dilihatnya si nenek menanggalkan Mantel
Sakti dan mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaiannya.
Si cadar
kuning ikut tercekat. “Astaga! Apa yang dilakukannya?! Apa tak ada lagi benak
di dalam kepala?! Memberikan dua senjata itu sama saja menciptakan dua musuh
celaka!” Orang ini segera berlalu. “Sabai! Perbuatanmu salah kaprah! Dunia
persilatan akan dilanda bencana!”
“Aku tak
ada pilihan lain!” jawab Sabai Nan Rancak dengan suara tercekat. Jagal Iblis
Makam Setan menyeringai. “Lemparkan mantel dan kantong kain itu ke tanah, di
samping kiriku!”
Sabai Nan
Rancak ikuti perintah orang. Mantel Sakti dan kantong kain berisi Mutiara Setan
dijatuhkannya ke tanah, satu langkah di samping kiri si kakek
“Aku
malu!” teriak Iblis Pemalu. Lalu palingkan muka, menghadap ke jurusan lain
sambil terus menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan. “Percaya pada Iblis!
Percaya pada manusia Setan! Benar-benar memalukan!”
Jagal
Iblis pencet lengan kanan si nenek. Lalu berkata. “Aku masih merasakan aliran
tenaga dalam. Tangan kananmu masih memancarkan sinar merah! Kau setengah hati
atau masih berharap dapat membokongku dengan pukulan Kipas Neraka?”
Si nenek
pelototkan matanya. Jagal Iblis balas membelalak. Akhirnya Sabai Nan Rancak
terpaksa hentikan aliran tenaga dalam ke tangan kanan. Bersamaan dengan itu
sinar merah yang memancar di tangan itu perlahan-lahan meredup dan akhirnya
lenyap sama sekali.
“Bagus!”
ujar Jagal Iblis. Perlahan-lahan dia turunkan sepasang kakinya yang diletakkan
di atas bahu kiri kanan si nenek.
Perlahan-lahan
Jagal Iblis turunkan kedua kakinya. Masih mencekal tangan kanan si nenek, dia
berjungkir balik hingga kedua kakinya kini menjejak tanah. Sambil menyeringai
dia berkata. “Kau boleh pergi sekarang Sabai. Tapi aku punya firasat hidupmu
tak bakal lama!”
“Iblis
akan kembali ke Iblis. Setan akan kembali menjadi Setan! Itu bagianmu kelak!”
sahut Sabai Nan Rancak lalu sentakkan tangan kanannya dari cekalan orang. Sabai
Nan Rancak membalik dengan cepat. Dia memberi isyarat pada si cadar kuning dan
Iblis Pemalu. “Lekas ikuti aku!” bisiknya.
Iblis
Pemalu sesaat meragu. Pemuda ini memandang pada si cadar kuning. Orang yang
dipandang goyangkan kepalanya. Ketiga orang itu akhirnya berkelebat
meninggalkan Lembah Merpati. Di satu tempat Sabai Nan Rancak hentikan larinya.
“Aku tak
punya waktu lama. Kita berpisah di sini….”
“Tapi
urusan belum selesai! Rahasia besar masih mengambang. Jangan tinggalkan jurang
menghalang. Bicara dulu agar badan tak sansai….” (sansai = menderita) Berkata
si cadar kuning.
“Aku
malu! Cadar kuning apakah kau tidak malu? Nenek satu ini agaknya tak punya malu!”
“Jangan
bicara seperti itu! Aku tahu urusan belum selesai. Rahasia masih mengambang.
Aku meminta agar kita bertemu lagi dalam waktu dekat. Meneruskan pembicaraan!
Bagaimana? Aku ingin jawab kalian. Cepat!”
“Ada apa
dengan dirimu sebenarnya? Kau menyerahkan Mantel Sakti dan Mutiara Setan begitu
saja. Kini meneruskan bicara pun kau tidak sudi. Sungguh tindakan tidak
terpuji….”
“Orang
bercadar! Aku ingin jawabmu. Apa kau mau mengadakan pertemuan lagi atau tidak?
Kalau tidak, perduli setan dengan segala rahasia hidup di antara kita!”
“Kalau
itu pintamu! Kita bertemu lagi dua hari di muka di tempat yang sama….” Berucap
si cadar kuning.
“Lembah
Merpati?!” tanya Sabai Nan Rancak.
“Betul
sekali. Oi tempat tadi….”
“Tolol
sekali! Orang akan mudah mencari dan menjebak kita di tempat itu!” kata Sabai
Nan Rancak pula.
Si cadar
kuning gelengkan kepala. “Itulah rahasia hidup. Seseorang tak akan mencari di
tempat yang sama: Karena itu tidak pernah akan terduga. Siapa yang akan
memperhatikan bunga kuncup?”
Sabai Nan
Rancak terdiam. “Kau benar…” katanya perlahan. Nenek ini tiba-tiba palingkan
kepalanya ke kiri. “Dia datang! Lekas lari berpencar!”
“Jangan
membuat malu menyuruh lari. Dia siapa yang datang?!” Bertanya Iblis Pemalu.
“Jangan
banyak tanya! Lari saja! Sekarang! Cepat!” Tidak sabaran si nenek dorongkan
tangannya kiri kanan hingga si cadar kuning dan Iblis Pemalu terjajar beberapa
langkah. Ketiga orang itu untuk kedua kalinya berkelebat pergi. Namun sekali
ini mereka berpencar ke tiga jurusan.
Baru saja
Sabai Nan Rancak, iblis Pemalu dan si cadar kuning lenyap dari tempat itu
muncullah Datuk Tinggi Raja Di Langit alias Jagal Iblis Makam Setan. Sepasang
matanya yang cekung seperti mau melesat keluar. Rahangnya menggembung- dan
pelipisnya bergerak-gerak.
“Jahanam….
Berani menipuku!” Si kakek memandang berkeliling. “Sabai! Jangan harap kau bisa
kabur jauh! Akan kucincang tubuhmu dengan kedua kakiku!” Apa yang telah
terjadi?
Tak lama
setelah Sabai Nan Rancak, si cadar kuning dan Iblis Pemalu meninggalkan Lembah
Merpati, dengan cepat Jagal Iblis mengambil Mantel Sakti dan kantong berisi
senjata rahasia berupa mutiara hitam yang tadi dicampakkan Sabai Nan Rancak di
tanah. Begitu memegang mantel hitam kakek ini merasakan ada kelainan. Dia
sibakkan rambutnya yang menjulai menutupi wajah lalu memperhatikan mantel hitam
itu dengan mata mendelik. Beberapa kali mantel itu dikembangkan dan
dibolak-baliknya.
“Enteng….
Mantelku tidak seringan ini…” ujar Jagal Iblis. Kembali Mantel Sakti itu
dibolak-baliknya lalu diciumnya berulang kali. Masih kurang percaya dia lalu
kerahkan tenaga dalam dan kibaskan mantel hitam ke arah sebatang pohon. Tidak
terjadi apa-apa.
“Keparat
jahanam! Mantel palsu! Aku kena ditipu!” Teriak Jagal Iblis menggeledek.
Mantel
hitam yang dipegangnya dibantingkan ke tanah. Dia keluarkan kantong kain dari
balik pakaiannya yang kumal hancur. Isinya dituangkan ke telapak tangan kanan.
Sepasang matanya mendelik semakin besar. Lalu kembali terdengar kutuk
serapahnya. “Bangsat! Mutiara ini juga palsu!” Sekali dia meremas,
butiran-butiran hitam dalam genggamannya hancur luluh. Benda itu ternyata
hanyalah butiran-butiran tanah diberi lapisan warna hitam berkilat!
*******************
LIMA
Kita
tinggalkan dulu Jagal Iblis Makam Setan yang berada dalam keadaan marah luar
biasa karena ditipu oleh Sabah Nan Rancak. Kita kembali pada Puti Andini yang
berada di dasar Telaga Gajahmungkur, di satu tempat aneh penuh rahasia bernama
Liang Akhirat.
Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya (Liang Lahat Gajahmungkur) saat itu atas
perintah Kiai Gede Tapa Pamungkas, bocah aneh bernama Naga Kuning terpaksa
menyergap Puti Andini dan melemparkannya ke dalam lobang Liang Lahat. Tentu
saja Puti Andini tidak tinggal diam. Begitu Naga Kuning Berkelebat ke arahnya
dia segera menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi. Naga Kuning merasakan satu dorongan angin keras menahan gerakannya
hingga sesaat dia terpentang dengan tangan terkembang. Puti Andini tidak
memberi kesempatan. Dia terus merangsak ke depan. Tangan kanannya kembali
bergerak. Kali ini memukul ke arah si bocah. Yang diarahnya adalah tangan kanan
Naga Kuning yang cidera dan diikat dengan secarik kain.
Tapi si
anak tidak bodoh. Tubuhnya berkelebat ke samping. Kakinya menjegal ke arah kaki
si gadis. “Blukkk!”
Puti
Andini jatuh tertelungkup ke lantai ruangan. Gadis ini menggeram marah. Dia
cepat melompat bangkit. Namun belum sempat tahu-tahu tengkuk bajunya telah
dicekal orang. Dia memukul ke belakang. Tidak kena. Dia berpaling. Ternyata
yang mencekalnya adalah anak berpakaian hitam itu. Sulit dipercaya, Naga Kuning
yang bertubuh kecil itu sanggup mencekal lalu mengangkat Puti Andini dan
menenteng gadis ini menuju lobang besar.
“Maafkan
aku. Aku terpaksa melemparmu ke dalam Liang Lahat. Aku hanya menjalankan perintah….”
Berucap Naga Kuning setengah berbisik.
“Anak
setani Kau mau saja diperintah berbuat keji. Berarti kau sama jahatnya dengan
bangsat tua itu!” Sembur Puti Andini. Lalu dia memutar badannya, kedua kakinya
ditekankan ke pinggiran Liang Lahat. Salah satu tangan menggapai ke balik
punggung Naga Kuning. .
“Kau mau
melemparkan aku ke dalam Liang Lahat! Silahkan saja! Tapi aku ingin kau ikut
bersamaku!”
Naga
Kuning terkesiap kaget. Ketika dia hendak melemparkan si gadis ke dalam Liang
Lahat, tangan kanan Puti Andini menggelung tubuhnya dengan keras. Kalau dia
teruskan niatnya melempar gadis itu niscaya tubuhnya akan ikut amblas masuk ke
dalam Liang Lahat! Selagi anak itu berada dalam keadaan bingung begitu rupa
Puti Andini pergunakan tangan kirinya untuk menggebuk. Jotosan tangan kirinya
mendarat telak di perut Naga Kuning hingga anak ini mengerluarkan suara seperti
orang muntah. Tapi anehnya wajahnya kemudian tampak tersenyum. Lalu terdengar
anak ini berbisik. “Ayo pukul lagi. Hantam tubuhku sejadi-jadinya. Cepat
lakukan!”
Puti
Andini tidak bisa berpikir apa maksud Naga Kuning berkata begitu. Dia kemudian
memang menghujani anak ini dengan pukulan tangan kiri. Dua hantaman di kepala.
Empat di dada dan dua lagi di perut. Semua itu dilakukannya bukan karena mendengar
kata-kata Naga Kuning tapi karena takut kalau dirinya benar-benar dilemparkan
masuk ke dalam Liang Lahat dimana tadi dia melihat dua ekor naga raksasa masuk
dan menghilang di dalam lobang itu.
Naga
Kuning keluarkan keluhan panjang. Sepasang matanya membeliak berputarputar.
Anak ini terkulai lalu roboh ke lantai.
“Anak
jahat! Silahkan kau masuk ke dalam lobang lebih dulu!” Puti Andini angkat tubuh
Naga Kuning lalu melangkah mendekati Liang Lahat. Sesaat lagi tubuh Naga Kuning
siap dilemparkannya ke dalam lobang besar itu tiba-tiba satu cahaya menyilaukan
berkiblat. Puti Andini terdorong lima langkah. Tubuh Naga Kuning terlepas, dari
cekalannya. Dia sendiri kemudian jatuh terduduk di lantai ruangan. Belum sempat
bernafas dia dikejutkan oleh melesatnya satu tangan aneh yang sangat panjang.
Tangan ini menjambak rambutnya lalu sekali tangan itu bergerak tubuhnya
terlempar masuk ke dalam Liang Lahat. Puti Andini menjerit setinggi langit.
Cucu Sabai Nan Rancak ini berusaha menggapai pinggiran lobang. Dia berhasil.
Jari-jari tangannya mencengkeram tepi batu Liang Lahat. Namun daya lontar
lemparan tubuhnya kuat sekali. Pinggiran batu Liang Lahat gompal besar. Tak
ampun lagi sosok Puti Andini jatuh masuk ke dalam lobang besar dan gelap.
Sekali lagi terdengar jeritan mengerikan gadis itu menggelegar di seantero
Liang Akhirat.
Sesaat
setelah gema jeritan Puti Andini lenyap ditelan dalamnya Liang Lahat, di atas
makam putih sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas rangkapan dua tangan di depan dada,
menatap tajam pada anak yang tergeletak di lantai batu pualam.
“Naga
Kuning! Jangan berpura-pura pingsan! Sikap perbuatanmu akhir-akhir ini sangat
mengecewakan diriku!”
Sosok
Naga Kuning tidak bergerak. Tapi mata kiri anak ini terbuka sedikit, melirik ke
arah sosok sang Kiai yang konon disebut sebagai setengah manusia setengah roh
itu. “Kalau kau tidak mau bangun sendiri mungkin perlu aku meminta bantuan
Makhluk Api Liang Neraka?!”
Begitu
selesai berucap terdengar suara mendesis keras disusul dengan satu letupan.
Ruangan yang tadinya sejuk itu mendadak sontak menjadi sangat panas. Kobaran
api aneh menerangi ruangan. Kobaran api ini membentuk sosok makhluk tinggi
besar yang bergoyang dan menjilat kian kemari. Melihat makhluk api ini kecutlah
Naga Kuning. Anak ini segera bangkit dan duduk bersila sambil rapatkan dua
tangan, menghadap ke arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Mukanya benjat-benjut
akibat pukulan Puti Andini.
“Maafkan
saya Kiai…” kata Naga Kuning seraya merunduk dalam-dalam.
“Wussss!”
Sosok aneh bernama Makhluk Api Liang Neraka lenyap. Tempat itu kembali terasa
sejuk.
“Naga
Kuning! Kau sengaja berpura-pura mengalah! Mengapa kau lakukan itu?!”
“Maafkan
saya Kiai. Saya memang salah. Hati saya mengalahkan pikiran. Sanubari saya mengalahkan
perintah. Saya tidak tega membunuh gadis itu….”
“Siapa
yang menyuruhmu membunuh! Aku hanya memerintahmu melemparkannya ke dalam Liang
Lahat!”
“Saya
mengerti Kiai. Tapi kita sama tahu masuk ke dalam Liang Lahat sama saja masuk
ke dalam liang kematian. Lobang itu seolah tidak memiliki dasar. Di dalam sana
ditunggui oleh sepasang naga sakti yang tak ingin diganggu….”
“Apakah
kau pernah masuk ke dalam Liang Lahat hingga kau punya kesimpulan seperti itu?”
“Memang
saya belum pernah masuk Kiai. Tapi sembilan tokoh yang pernah saya lemparkan ke
dalam lobang itu atas perintah Kiai sampai saat ini tidak pernah terdengar lagi
kabar beritanya….”
“Mereka
orang-orang tamak berdosa. Mengapa mereka diambil sebagai perbandingan. Apa
jawabmu?!”
“Saya
mengaku salah Kiai. Saya tidak berani menjawab lagi,” ujar Naga Kuning.
“Kau
memiliki ilmu Paus Putih. Yang bisa membuat tubuhmu licin tak sanggup dicekal
tak bisa dipegang. Tapi ketika gadis itu tadi hendak melemparkanmu ke dalam
Liang Lahat ilmu itu tidak kau keluarkan. Kau seolah pasrah dibunuhnya begitu
saja….”
“Saya
tidak bisa menjawab Kiai. Saya mengaku salah….”
“Jangan
dusta Naga Kuning. Kau menyembunyikan sesuatu di lubuk hatimu!”
“Saya
tidak menyembunyikan apa-apa Kiai….” “Kau dusta! Jelas kau dusta! Kau menyukai
gadis itu? Kau terpengaruh oleh keputihan tubuhnya yang tersingkap di balik
pakaian merahnya yang cabik….”
“Pikiran
saya tidak sampai ke situ Kiai. Saya tahu siapa diri saya. Saya hanya tidak
tega. Saya merasa kasihan karena sebenarnya gadis itu tidak bersalah. Dia masuk
ke tempat terlarang ini atas perintah kakeknya. Perintah itu disertai pula
dengan hasrat untuk menolong seorang pendekar yang tengah ditimpa musibah.
Pendekar mana konon akan menjadi penyelamat dunia persilatan…. Saya mengaku
salah. Saya siap menerima hukuman….”
“Walau
aku tidak percaya tapi baiklah. Kau menyangkal menyukai gadis itu. Tapi paling
tidak berat dugaanku kau telah memandu gadis itu hingga berhasil masuk ke
tempat ini. Menjejakkan kaki di tempat ini bagi orang luar merupakan satu
pantangan besar. Maut tantangannya. Apalagi kalau dia sampai mengetahui dan
mencari Pedang Naga Suci 212!”
Naga
Kuning terdiam mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dalam hatinya
bocah yang sesungguhnya berusia lebih dari seratus tahun ini berkata. “Kiai
tidak mempercayai. Percuma saja membela diri….” Maka anak ini lantas berucap.
“Saya mengaku salah Kiai. Saya siap menerima hukuman.”
“Kau
mengakui kesalahan. Bagus! Hukuman memang tak bisa kau hindarkan! Lekas kau
berdiri dan tegak di bawah dinding batu setengah lingkaran! Tempelkan tubuhmu
bagian belakang ke dinding batu itu!”
Naga
Kuning segera berdiri lalu melangkah memutari Liang Lahat hingga akhirnya dia
tegak membelakangi dinding batu tinggi setengah lingkaran. Anak ini tempelkan
kepala dan badan serta kakinya ke dinding batu ini. Di hadapannya dilihatnya
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangkat tangan kanan. Selarik sinar putih
menyambar. Terdengar satu letusan keras disertai mengepulnya asap putih. Ketika
asap sirna kelihatanlah tubuh Naga Kuning melesak masuk ke dalam dinding batu
seolah menempel jadi satu.
“Naga
Kuning, kau akan tetap berada di tempat itu sampai ada orang yang menolongmu!
Selama seratus tahun tak ada yang menolong berarti seratus tahun kau bakal
menerima nasib malang! Aku masih berbelas hati. Walau kau kaku seolah berubah
jadi batu tapi kau masih bisa bernafas dan bisa mendengar serta bicara!”
“Saya
mengaku salah Kiai. Maafkan saya. Tapi saya tidak menyangka Kiai akan
menjatuhkan hukuman begini rupa.” kata Naga Kuning dengan suara perlahan dan
bernada sedih penuh penyesalan.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Naga Kuning. Dia angkat
tangannya sekali lagi. Sinar putih kembali berkiblat. Disusul letusan keras.
Kali ini tak ada kepulan asap putih. Tapi ada suara menggemuruh.
“Kiai!”
jerit Naga Kuning.
Dinding
batu setengah lingkaran secara aneh bergerak turun memasuki Liang Lahat hingga
akhirnya lenyap bersama tubuh Naga Kuning.
*******************
ENAM
Puti
Andini merasa ngeri mendengar jeritannya sendiri. Tubuhnya melayang dalam liang
sangat gelap. Udara sepanjang lobang tempatnya melayang jatuh menebar hawa aneh
membuat nafasnya pengap. Gadis ini pegang! kepalanya erat-erat. Dia tidak tahu
akan berapa lama dia melesat jatuh begitu rupa. Namun dasar lobang tak kunjung
sampai. Kalaupun akhirnya dia menyentuh dasar lobang pasti dia tidak akan
mengetahui lagi karena saat itu juga kepalanya akan hancur dan tubuhnya remuk
tak karuan!
Sekujur
tubuh gadis ini dibalut hawa dingin. Dia masih terus berteriak sampai suaranya
parau dan tenggorokannya sakit. Beberapa kali dia menggerakkan kaki dan tangan,
berusaha menggapai sesuatu. Namun dia tak bisa memegang apa-apa. Usahanya agar
bisa melayang jatuh dengan kaki ke bawah pun tidak berhasil. Makin jauh masuk
ke dalam Liang Lahat makin tak sanggup gadis ini berpikir lagi. Yang bisa
dilakukannya hanyalah menjerit dan menjerit parau. Pada puncak rasa takutnya
kesadarannya mulai lenyap. Dua tangannya yang diletakkan di atas kepala
terkulai ke bawah.
Dalam
keadaan seperti itu dia sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu jauh di
sebelah bawah ada satu titik putih yang lambat laun berubah menjadi cahaya
terang. Bersamaan dengan itu dari bawah melesat hawa dan kabut dingin yang
secara aneh menahan sosok Puti Andini. Kalau sebelumnya sosok gadis itu jatuh
sangat deras, kini tubuh itu seperti mengapung. Masih terus jatuh ke bawah tapi
perlahan-lahan. Puti Andini yang berada dalam keadaan setengah sadar baru ingat
dirinya ketika hawa dingin sekali membuat sekujur tubuhnya bergeletar. Selain
itu ada suara “duk… duk…duk” menghentak aneh membuat badannya ikut
tersentak-sentak. Masih dalam keadaan terbaring, pertama sekali yang dilakukan
gadis ini adalah memegang kepalanya dengan kedua tangan. Lalu dia bangkit mencoba
duduk. Ternyata dia berada di satu tempat ketinggian. Memandang berkeliling dia
melihat air.
“Astaga,
aku kembali berada dalam air. Masih bisa bernafas seperti biasa. Berarti ilmu
menyelam yang diberikan nenek sakti itu masih kumiliki…. Kepalaku tidak pecah.
Tubuhku tidak hancur. Berada di mana aku saat ini? Apa masih berada dalam
Telaga Gajahmungkur? Aku masih bisa melihat jernih dalam air. Aku masih bisa
bernafas seperti di tempat terbuka. Aku….”
Ucapan si
gadis terhenti ketika tengkuknya mendadak menjadi dingin. Dalam air di
sekelilingnya melayang belasan jerangkong. Manusia yang telah berubah menjadi
tulang belulang ini sebagian dalam keadaan bersambung utuh. Namun banyak di
antaranya telah tercerai putus. Ada yang tanggal kaki atau tangannya. Ada yang
tidak berkepala lagi. Tengkorak-tengkorak kepala manusia melayang-layang dalam
air. Namun yang paling mengerikan adalah dua mayat yang masih utuh, berada
dalam keadaan kaku. Dua mayat ini adalah yang dilihat Naga Kuning sebelumnya
yakni mayat Datuk Bonar alias Iblis Penghujat Jiwa Dari Utara. Satunya lagi
mayat seorang nenek bernama Nyi Ulan, dikenai dengan julukan Singa Betina
Pedataran Bromo. Dalam Episode Liang Lahat Gajahmungkur dituturkan bahwa dua
orang sakti itu berusaha mencari Pedang Naga Suci 212 namun mereka berhasil
dicegat oleh sepasang naga besar. Ketika mereka melawan, dua naga serta merta
membunuh keduanya.
Tak
berani memperhatikan dua sosok mayat itu lebih lama Puti Andini putar kepala ke
jurusan lain. Dia melihat pasir putih menghampar di dasar air. Lalu ada suara
“duk-duk duk” berkepanjangan dan sesuatu yang membuat tubuhnya
terlonjak-lonjak. Telapak tangannya meraba ke bawah. Diusap-usapnya. Terasa
sirip-sirip licin mengeluarkan hawa hangat. Gadis ini menoleh ke kiri lalu
memandang ke bawah. Langsung saja jeritan keras hendak melesat dari mulutnya.
Jantungnya seolah lepas dan nyawanya seperti melayang terbang! Betapakan tidak!
Dia baru sadar kalau saat itu dia duduk di atas perut ular naga besar betina
yang sebelumnya dilihatnya di Liang Akhirat. Binatang ini tergolek melingkar.
Ekornya
di pasir sedang kepalanya jauh di atas menyondak batu-batu hitam runding
membentuk langit-langit aneh. Setiap bernafas perut naga raksasa itu
berguncang-guncang membuat Puti Andini ikut terguncang-guncang. Lalu suara
“duk-duk-duk” tak berkeputusan bukan lain adalah degup jantung sang ular.
Binatang aneh ini diam tak bergerak. Sepasang matanya terpejam. Puti Andini
ingin segera melompat dari atas perut naga itu. Namun ada rasa khawatir kalau
gerakannya akan membuat sang naga yang diperkirakannya tertidur itu menjadi
terbangun.
“Celaka….
Apa yang harus aku lakukan. Cepat “atau lambat binatang aneh ini pasti akan
bangun. Begitu dia melihatku, pasti diriku akan ditelannya bulat-bulat! Tua
Gila! Menyesal aku menuruti perintahmu!”
Si gadis
memandang ke samping kanan. Untuk kedua kalinya dia hampir menjerit kalau dua
tangannya tidak cepat dipergunakan untuk menutupi mulut. Hanya sepuluh langkah
di sampingnya terpentang kepala naga jantan, mendekam di atas gulungan tubuhnya
sendiri. Dua matanya yang merah besar memandang menyorot. Mulutnya terbuka
lebar memperlihatkan lidah bercabang serta gigi dan taring besar mengerikan.
Hembusan nafas binatang ini membuat air bergejolak dan menyambar panas ke arah
Puti Andini.
Kepala
naga jantan bergerak. Sebagian tubuhnya menggeliat. Dari mulut binatang ini
menyambar desisan keras. Membuat air menggelombang. Menghantam Puti Andini
hingga gadis ini terpental dan jatuh ke atas pasir putih. Gelombang air membuat
naga betina terusik, membuka matanya sebentar lalu menggerakkan tubuhnya bagian
bawah dan mengangkat ekornya. Ketika ekor itu diturunkan, tepat menindih tubuh
Puti Andini. Ekor yang beratnya hampir seratus kati itu membuat si gadis tak
bisa berkutik. Bagaimana pun dia berusaha melepaskan diri tetap saja dia
tersepit antara pasir putih dan ekor naga betina!
“Celaka!
Apa yang harus aku lakukan?!” Ekor naga betina itu makin lama makin terasa
berat. Puti Andini mulai megap-megap. Dia kumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih
ada. Di sebelah belakang dua kakinya ditekankan ke pasir. Di depan sepasang
tangannya menggaruk pasir putih. Dia kerahkan tenaga agar bisa meloloskan tubuh
dari himpitan ekor naga betina. Namun sampai sepuluh jari tangannya menggali
pasir sampai membentuk lobang tetap saja gadis ini tak mampu lolos. Sementara
itu beberapa potongan tulang belulang manusia dan sebuah tengkorak melayang di
sekitar kepalanya.
“Pedang
Naga Suci 212…. Aku bukan menemukan senjata sakti itu. Tapi mencari mati
sendiri!”
Seolah
pasrah Puti Andini akhirnya hanya geletakkan diri menelungkup di pasir. Saat
itulah samar-samar dia melihat sebuah benda putih tersembul di antara pasir
dalam lobang di sebelah kanan. Ketika disentuh dengan tangan ternyata keras dan
licin. Karena mengira hanya sebuah batu putih biasa Puti Andini tidak acuh. Dia
kembali berbaring sambil terus mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri.
“Kalau
kukerahkan tenaga dalam, lalu menghantam dengan pukulan sakti….Mungkin
pukulanku tidak mempan. Tidak terasa apa-apa. Tapi siapa tahu binatang ini
terbangun, menggerakkan ekornya….” Memikir begitu maka Puti Andini segera
alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Tapi selintas pikiran lain muncul dalam
benak gadis ini.
“Kalau
ular besar ini tersentak bangun tapi lantas menjadi marah dan menyerang diriku.
Tamatlah riwayatku….” Puti Andini batalkan niatnya untuk menyerang naga betina.
Kembali dia berbaring tak bergerak. Dua matanya lagi-lagi membentur batu putih
di dalam lobang. “Kalau kuambil batu itu, lalu kulempar ke tubuh naga yang menghimpitku.
Akibatnya mungkin tidak sehebat jika aku menghantam dengan pukulan sakti.
Paling tidak aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak melakukan apa-apa, cepat
atau lambat aku akan menemui ajal di bawah tindihan ekor binatang raksasa
ini….”
Puti
Andini ulurkan tangannya. Ternyata tidak mudah mengambil batu dalam lobang itu.
Batu itu seolah bersatu dengan pasir putih di sekitarnya yang telah membeku.
Puti Andini berhenti menggali ketika dirasakannya tiba-tiba ada hawa sangat
dingin keluar dari dalam lobang.
“Ada yang
aneh…” membatin si gadis. Lalu dia kembali meneruskan menggali.
Mendadak
naga jantan yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan, menyorotkan
pandangan buas. Sepasang matanya memancarkah sinar merah dan dari mulutnya
keluar suara mendesis keras. Gerakan Puti Andini tertahan. “Binatang itu
seperti marah. Tapi tak ada sambaran angin, tak ada sambaran gelombang….” Si
gadis menunggu sesaat lalu kembali menggali. Untuk mengeluarkan batu dari dasar
lobang dia harus menggali bagian pasir di sekitar batu putih, ini tidak mudah
karena pasir itu telah membeku dan menyatu dengan batu. Si gadis paksakan diri
sampai jari-jari tangannya luka dan berdarah. Namun usahanya tidak sia-sia. Dia
akhirnya berhasil mengambil batu putih itu dari dalam lobang.
“Batu
aneh…” ujar Puti Andini dalam hati seraya memperhatikan benda di tangan
kanannya. Dia coba membersihkan sisa-sisa pasir yang masih melekat pada batu
putih itu.
“Batu apa
ini…. Bukan kerang bukan pula karang. Enteng sekali. Mungkin bekas rumah siput
besar? Dua sisi rata. Sisi lainnya bulat membentuk lingkaran…. Ada hawa dingin
keluar dari batu, menjalar masuk ke dalam tanganku….” Puti Andini terus saja
membersihkan batu putih yang besarnya hampir dua kepalan itu.
Tiba-tiba
naga jantan yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Puti Andini menggerakkan
tubuhnya. Mulutnya yang besar membuka lebar. Lidahnya menjulur panjang. Di
kejauhan Puti Andini mendengar suara seperti lolongan anjing bersahut-sahutan
di malam buta membuat si gadis tercekat kecut. Lalu, saat itulah naga jantan
mendesis keras. Gulungan tubuhnya terbuka. Kepalanya naik ke atas lalu
menyambar ke arah Puti Andini. Ketika naga jantan mendesis keras, hawa sangat
dingin disertai gelombang air yang dahsyat menghantam ke arah Puti Andini.
Gadis ini terpekik. Tubuhnya terlempar jauh bersamaan dengan terangkatnya ekor
ular naga betina lalu terguling-guling di atas pasir putih. Beberapa jerangkong
yang masih utuh hancur cerai berai.
Batu
putih yang tadi dipegangnya terlepas. Sesaat batu ini terapung mengambang dalam
air. Naga jantan merunduk. Kepalanya menyambar ke arah batu putih. Mulutnya
dibuka lebar lalu menyedot keras. Batu putih yang melayang dalam air langsung
tertarik ke dalam mulut naga jantan itu. Namun terjadi satu hal tidak terduga.
Naga betina yang sejak tadi seperti diam tak bergerak tersentak dari tidurnya
akibat dorongan gelombang air. Begitu dua matanya yang merah membuka
pandangannya langsung membentur batu putih yang melesat tersedot ke arah mulut
naga jantan. Naga betina keluarkan suara menggerang dahsyat. Ekornya
disentakkan ke atas. Laksana petir menyambar ekor itu menghantam ke arah kepala
naga jantan. Puti Andini walau dalam keadaan cidera akibat hantaman gelombang
air tadi masih sempat melihat apa yang terjadi dengan mata membelalak.
*******************
TUJUH
Hantaman
ekor naga betina menimbulkan gelombang air besar luar biasa, mendera ke arah
naga jantan. Sesaat naga jantan terkesiap kaget lalu balas menghantam dengan
satu semburan yang memancarkan sinar putih dari hidungnya. Tapi gerakannya
terlambat karena gelombang air lebih dulu menghantam kepala dan sebagian
tubuhnya. Naga jantan terpental ke atas. Kepalanya membentur langit-langit
berbatu runcing hingga hancur berkeping-keping. Tanpa perdulikan cidera di
kepalanya naga jantan menukik. Dengan nekad binatang ini kembali hendak
menyambar batu putih yang melayang jatuh ke dasar telaga. Namun lagi-lagi naga
betina gerakkan ekornya. Satu sinar hitam keluar dari ujung ekor lalu menyambar
bergulung-gulung ke arah naga jantan. Yang diserang tidak tinggal diam.
Keluarkan suara mendengus. Dua larik sinar merah melesat dari sepasang matanya.
Naga
betina meraung aneh. Dari tanduk di kepalanya menyembur cairan hijau yang
meredam dan memusnahkan serangan lawan. Naga jantan mengkirik kecut lalu
meluncur mundur dan jatuhkan diri bergelung di pasir putih. Kepalanya masih
terpentang tegak namun sinar merah di kedua matanya telah meredup.
Keanehan
yang mengerikan dan memukau Puti Andini tidak hanya sampai di sana. Naga betina
memutar kepala, memandang berkeliling. Begitu pandangannya membentur batu putih
yang melayang jatuh hampir mencapai dasar telaga, naga betina segera
menyambarnya dengan mulutnya. Batu langsung ditelan! Naga jantan yang
menyaksikan kejadian itu menggeram tapi tidak berbuat apa-apa.
“Batu
putih itu…” kata Puti Andini dalam hati. “Dua naga berkelahi memperebutkannya.
Pasti benda itu….”
Si gadis
tidak sempat melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba naga betina meluncur ke
arahnya. Binatang ini menurunkan kepalanya sedatar dasar telaga. Mulutnya
terbuka lebar. Lidahnya yang bercabang diulurkan panjang-panjang.
“Ya
Tuhan!” Puti Andini terpekik. Ketika kepala binatang itu hanya tinggal dua
tombak dari hadapannya, gadis ini seolah baru menyadari kalau ular besar itu
hendak menelannya hidup-hidup. Puti Andini cepat berenang menjauhi, tapi sang
naga datang lebih cepat. Tak ada jalan lain. Tangan kanannya yang sudah dialiri
tenaga dalam segera dipukulkan ke depan. Memang ada kekuatan sakti yang sanggup
dilepaskan oleh cucu Tua Gila dan Sabai Nan Rancak itu. Membuat air telaga
menggelombang, pasir putih bertaburan ke atas dan tulang-tulang serta tengkorak
manusia berpelantingan kian kemari. Termasuk sosok kaku mayat Datuk Bonar dan
Nyi Ulan.
Namun
ular naga betina sama sekali tidak bergeming. Malah sebaliknya Puti Andini
tersentak kaget ketika dia sadari tangannya yang tadi memukul ke depan tak bisa
ditarik lagi. Karena satu sedotan dahsyat membuat tangan itu terpentang lurus-
laksana kaku dan bersamaan dengan itu tubuhnya ikut tertarik. Lalu melesat dua
benda aneh yang ternyata adalah lidah ular naga betina yang bercabang dua.
Ketika
dua belahan lidah hendak melibat tubuh Puti Andini tiba-tiba di atas sana
terdengar suara menggemuruh. Sebuah benda meluncur jatuh. Air telaga tersibak
laksana dibelah. Lalu satu dinding batu berbentuk setengah lingkaran dan tinggi
belasan tombak menghunjam ke dasar telaga. Air muncrat sampai ke langit-langit
batu runcing. Pasir putih menggebubu menutupi pemandangan. Udara sangat dingin
mencekam. Ketika air kembali tenang, pasir luruh ke dasar telaga dan
pemandangan perlahan-lahan jernih, terlihat tubuh Puti Andini melayang-layang
dalam air, setengah sadar setengah pingsan. Dalam keadaan seperti itu dia
mendengar seseorang berteriak.
“Puti
Andini! Keluarkan ilmu silat payung tujuh! Andalkan ilmu meringankan tubuh! Kau
bisa menyelamatkan diri dengan ilmu itu!”
Seperti
tersentak Puti Andini angkat kepalanya. Dia masih belum bisa melihat siapa yang
berteriak. Tapi dia kenali suara orang.
“Itu
suara bocah berpakaian hitam yang menceburkan diriku ke dalam Liang Lahat.
Dimana dia…. Apa maksudnya?” Si gadis putar otaknya mencerna teriakan tadi.
“Anak itu benar. Aku bisa memainkan ilmu silat payung tujuh tanpa payung. Tapi
apakah aku bisa keluar dari telaga maut ini?”
Belum
sempat dia berpikir lebih lama tiba-tiba naga betina mendesis lalu tukikkan
kepalanya ke bawah. Puti Andini segera kerahkan tenaga dalam dan ilmu
meringankan diri. Tubuhnya melesat ke atas. Kepala naga betina lewat di
sampingnya. Mulut yang hendak menelannya menggembor marah. Puti Andini
terpental tiga tombak. Gadis ini segera berjungkir balik lalu menghampiri
kepala naga dari belakang. Secepat kilat kaki kanannya ditendangkan ke tengkuk
naga. Tapi dia mengeluh sendiri. Kesakitan dan terpelanting karena tubuh naga
itu ternyata licin. Sambil menggeram naga betina cambukkan ekornya. Puti Andini
masih sempat mengelak bahkan kaki kirinya bisa menendang ke pelipis naga. Tapi
lagi-lagi tak ada hasilnya karena kembali kakinya terasa sakit. Tubuhnya
terjungkir. Naga betina kembali menyerbu. Si gadis mainkan jurus-jurus ilmu
silat Payung Tujuh. Tubuhnya melesat kian kemari. Sesaat naga betina seolah
tertegun memperhatikan. Tapi tiba-tiba binatang ini melesat ke atas sambil
mengibaskan ekornya. Selagi Puti Andini terlempar oleh gelombang air telaga
akibat hantaman ekor, di sebelah atas kepala naga betina melesat ke bawah. Kali
ini si gadis tidak punya kesempatan lagi untuk selamatkan diri.
“Puti
Andini! Pukul tanduk di kepala binatang itu!” Kembali si gadis mendengar
teriakan orang. Sang dara berpaling ke kiri. Dia melihat sosok Naga Kuning
menempel di bagian bawah dinding batu setengah lingkaran. Dalam kagetnya gadis
ini tidak punya kesempatan melakukan apa yang dikatakan si anak. Lidah
bercabang naga betina melesat ke depan, melibat tubuh gadis itu. Lalu sekali
lidah itu disentakkan ke belakang maka amblaslah sosok Puti Andini lenyap ke
dalam mulut naga!
Naga
jantan yang menyaksikan kejadian itu kembali menggeram dan angkat kepalanya
sedikit tapi seolah takut, tak berani melakukan apa-apa. Naga Kuning pejamkan
ke dua matanya. Tidak tega melihat Puti Andini ditelan hidup-hidup oleh naga
betina itu. Hatinya geram dan sedih tak bisa menolong. Tubuhnya terpendam
laksana disemen sama rata ke bagian bawah dinding Liang Lahat. Seperti
diceritakan sebelumnya Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menjatuhkan hukuman
terhadap Naga Kuning. Menjebloskan anak itu ke dalam batu lalu memasukkannya ke
dalam Liang Lahat yang ternyata dasarnya adalah di tempat dimana dua naga
raksasa berada.
“Naga
betina menelan gadis itu. Tamatlah riwayatnya. Dia tak akan pernah menemukan Pedang
Naga Suci 212. Pendekar 212 tidak akan dapat disembuhkan. Rimba persilatan akan
kejatuhan bencana besar….” Naga Kuning hendak dongakkan kepalanya ke atas. Tapi
tidak bisa karena bagian belakang kepalanya menempel laksana disemen ke dinding
batu Liang Lahat. Anak ini hanya bisa melirik ke atas dan menggumam jengkel.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas…. Jika memang ini maumu maka apa yang kau inginkan sebagian
telah menjadi kenyataan! Semoga kau merasa puas….”
Baru saja
Naga Kuning mengeluarkan rasa kesalnya dalam hati tiba-tiba laksana dihantam
gempa yang datang dari dasar telaga, tempat itu bergoncang keras. Dinding batu
dimana Naga Kuning dipendam bergetar. Air telaga membentuk gelombang-gelombang
besar di beberapa tempat. Dua ekor naga tegakkan kepala lalu keluarkan suara
melolong aneh.
“Apa yang
terjadi!” pikir Naga Kuning. “Tempat ini seolah siap meledak. Atau mungkin
dunia sudah kiamat?”
Di atas
sana Naga Kuning melihat petir menyambar sampai empat kali berturut-turut, itu
pertanda Kiai Gede Tapa Pamungkas tengah marah besar…” ujar Naga Kuning dalam
hati. Lalu samar-samar di sebelah atas dia melihat larikan-larikan air telaga
berwarna kuning. Hidungnya membaui sesuatu.
*******************
DELAPAN
Tak
selang berapa lama setelah dinding batu setengah lingkaran amblas ke dalam
Liang Lahat dan Naga Kuning yang dipendam menempel ke dinding itu ikut lenyap,
Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tegak di atas makam besar. Orang tua yang sulit
diduga berapa usianya ini dan disebut sebagai setengah manusia setengah roh
tegak dengan mata terpejam, kepala mendongak dan tangan rangkap di depan dada.
“Mungkin
aku salah berbuat. Tapi bagaimana pun juga hukum harus ditegakkan. Mungkin
hukum itu sendiri satu kekeliruan. Tapi tidak berbuat sesuatu adalah lebih
jahat dari mengaminkan kesalahan….” Kata-kata itu muncul di lubuk hati sang
Kiai.
Kemudian
perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas gerakkan kedua tangannya ke atas
membuat sikap seperti orang memanjatkan doa. Bersamaan dengan itu sayup-sayup
terdengar suara gaungan aneh. Makin lama makin keras. Kabut putih di liang
makam tampak turun ke bawah. Dua kali secara aneh kilat menyambar keluar dari
dalam liang makam. Lalu ada goncangan keras. Sosok tubuh Kiai Gede Tapa
Pamungkas ikut turun, perlahan-lahan masuk ke dalam liang makam. Begitu
kepalanya yang berambut putih lenyap maka didahului dengan suara menggemuruh,
batu besar penutup liang makam yang berada di sebelah kanan bergeser ke kiri.
Sekali lagi petir menyambar keluar. Lalu makam itupun tertutup. Kabut putih
lenyap. Suasana di Liang Akhirat sunyi senyap benar-benar seperti di pekuburan.
Namun hal
itu tidak berlangsung lama. Sekonyong-konyong ada suara menggemuruh keluar dari
perut bumi. Dasar Telaga Gajahmungkur bergoyang keras. Liang Akhirat bergetar
hebat. Di luar sana air telaga membentuk gelombang-gelombang besar dan
menghantam pintu serta dinding-dinding Liang Akhirat. Beberapa bagian dinding
hitam tampak retak dan air merambas masuk ke dalam ruangan. Makam batu putih di
tengah ruangan bergoyang-goyang. Liang Lahat yang ada di samping makam
mengepulkan asap panas. Satu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Suara
gemuruh menambah ngerinya suasana. Lalu dari celah-celah makam dan batu penutup
membersit cahaya menyilaukan disertai suara menggelegar. Batu makam yang tadi
tertutup bergerak ke kanan. Lalu membuka disertai suara menggaung keras. Kilat
menyambar dari dalam liang makam disusui dengan kepulan asap putih. Lalu
melesat sesosok tubuh yang bukan lain adalah sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tidak
seperti biasanya wajah orang tua ini tampak sangat pucat. Sikapnya luar biasa
gelisah. Sepasang matanya memandang seputar Liang Akhirat. Lalu dia mengerahkan
kesaktian untuk menembus dinding dan pintu batu, memandang ke Seantero Telaga
Gajahmungkur. Kepalanya seperti disentakkan sewaktu melihat ada bagian air
telaga berwarna kuning di sekitar permukaan.
“Malapetaka
besar menimpa telaga. Bahaya jatuh atas Liang Akhirat dan Liang Lahat! Ada
orang menebar air larangan! Siapa yang punya pekerjaan jahat ini?!” Sang Kiai
lalu dongakkan kepala dan mencium udara sekitarnya dalam-dalam. “Jalan
pernafasanku membaui sesuatu. Tak salah lagi. Yang kucium adalah air larangan!”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas kepalkan tangan kanannya. Lalu dihantamkan ke atas. Terjadilah
satu hal aneh. Dari tinju kanan sang Kiai melesat keluar cahaya terang
benderang laksana kilat menyambar. Cahaya tersebut menembus dinding Liang
Akhirat tanpa merusaknya sama sekali. Sampai diluar kilatan petir ini terus
melesat menuju permukaan Telaga Gajahmungkur dan menghantam bagian telaga yang
airnya berwarna kekuningan. Di atas sana air telaga muncrat sampai beberapa
tombak. Salah satu bagian dari tanah tepian telaga laksana meledak,
menghamburkan hancuran tanah, bebatuan dan pohon serta semak belukar.
“Manusia-manusia
jahat! Siapa kalian yang berani menebar air larangan di kawasan kediamanku?!”
Kiai Gede Tapa Pamungkas berseru. Dia jentikkan tangan kirinya. Terdengar suara
mendesir. Pintu goa yang terbuat dari batu bergerak membuka. Kiai Gede langsung
melesat ke luar. Liang -Akhirat, terus berenang. Demikian cepatnya hingga
kurang dari sekejapan mata dia sudah- muncul di permukaan air telaga. Jika ada
orang melihat sang Kiai saat itu maka dia akan merasa aneh. Walau barusan jelas
keluar dari dalam air namun tubuh, pakaian selempang kain putih, rambut,
janggut dan kumisnya sama sekali tidak basah!
Memandang
berkeliling dia tidak melihat seorang pun. Orang tua ini kertakkan rahang. “Aku
belum melihat orangnya. Tapi aku sudah bisa menduga!” Kiai Gede Tapa Pamungkas
menyelam kembali. Dia berenang berputar-putar. Dia tak mencari lama. Di
kejauhan di arah timur dia melihat gerakan-gerakan dalam air. Air telaga tampak
berwarna kekuningan.
“Ada dua
orang di sebelah sana. Yang satu bisa kuterka. Sulit kuduga siapa orang ke
dua….” Sang Kiai lalu melesat cepat ke arah dua orang yang berada di telaga
sebelah timur itu.
Melihat
ada orang mendatangi, dua orang yang berenang saling memberi isyarat. Lalu
keduanya cepat melesat ke atas. Kiai Gede Tapa Pamungkas segera mengejar.
Ketika dia muncul di permukaan air dua orang tadi dilihatnya tegak di tepi
Telaga Gajahmungkur dalam keadaan basah kuyup. Dua-duanya menyeringai buruk
walau jelas keduanya tampak menggigil kedinginan.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas melesat keluar dari dalam air telaga. Sesaat kemudian orang tua
ini sudah berdiri tegak di hadapan dua orang itu. Orang tua ini mencium bau
pesing yang sangat santar menebar dari sosok dua orang yang tegak di hadapannya
itu. Cuping hidungnya sampai kembang kempis karena berusaha menahan nafas dan
mengernyit menahan perutnya yang mendadak menjadi mual.
Melihat
keadaan sang Kiai seperti itu dua orang tadi tertawa cekikikan. Tapi salah
seorang dari mereka yakni nenek-nenek hitam kurus kering yang memegang sebuah
kendi tanah berwarna merah sehabis tertawa cepat-cepat membungkuk memberi
penghormatan.
“Sinto
Weni! Aku sudah menduga kalau kau yang punya pekerjaan! Mengapa kau berlaku
jahat terhadap aku, gurumu sendiri?!”
Orang
yang ditegur dengan nama Sinto Weni itu bukan lain adalah nenek sakti dari
Gunung Gede, guru Pendekar 212 yang lebih dikenal dengan sebutan Sinto Gendeng.
Si nenek rapikan barisan lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya
baru menjawab.
“Kiai
harap maafkan diri saya. Saya tidak bermaksud jahat….”
“Di mata
dan pikiranmu apa yang kau lakukan tidak jahat. Tapi di mata orang lain
termasuk diriku apa yang kau lakukan benar-benar satu kejahatan! Kau menebar
air larangan yang menjadi pantangan besar bagi Telaga Gajahmungkur! Kau
mengacaukan dan merusak semua pekerjaan yang telah aku mulai sejak puluhan
tahun lalu….”
“Kiai,
jangan kau bersalah duga. Saya….”
“Sinto
Weni! Sejak kau memilih Kapak Naga Geni 212 di puncak Gunung Gede puluhan tahun
silam. Sejak kau melarikan Pedang. Naga Suci 212! Aku sudah tahu kalau kau
adalah seorang berhati jahat dan culas! Serakah dan juga kejam!”
Sinto
Gendeng sampai tersurut mendengar dampratan Kiai Gede Tapa Pamungkas itu. Dia
pukul-pukul kepalanya sendiri lalu menjawab. “Kiai, terserah kau mau mengatakan
saya ini apa. Saya menerima pasrah. Saya kemari mencari obat untuk murid saya.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkena musibah….”
“Aku
sudah tahu musibah apa yang menimpa muridmu! Aku juga tahu siapa dirinya
adanya! Pemuda bernafsu kotor! Musibah yang menimpa dirinya sudah lebih dari
pantas!”
“Kiai,
saya tahu siapa murid saya. Harap kau jangan menghina dirinya! Apapun
perbuatannya, salah atau benar akan menjadi tanggung jawab saya dunia akhirat!”
“Ucapanmu
hanya menyatakan sifatmu yang congkak!” tukas Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
“Puluhan tahun aku menunggumu. Berharap agar kau kembali menyerahkan Kapak Naga
Geni 212 yang kau ambil tempo hari. Juga menyerahkan Pedang Naga Suci 212
padaku!”
*******************
SEMBILAN
Sinto
Gendeng jadi terkesiap mendengar ucapan sang Kiai. Lalu dengan suara perlahan
dia berkata. “Saya tidak membawa Kapak Naga Geni 212. Pedang Naga Suci 212 juga
tidak ada pada saya….”
“Kau
pandai bicara mencari dalih!”
“Kiai,
saya tidak berdalih. Kapak Naga Geni 212 tidak ada pada saya. Juga saat ini
saya menyirap kabar senjata itu tidak berada di tangan murid saya. Pedang Naga
Suci 212 secara kurang ajar memang saya ambil waktu puluhan tahun lalu di
puncak Gunung Gede itu. Tapi saya punya alasan melarikan senjata mustika itu.
Untuk menghindari dunia persilatan dari malapetaka besar. Karena kalau pedang
mustika sakti waktu itu sampai jatuh ke tangan Sukat Tandika alias Tua Gila
pasti dia akan mempergunakannya untuk maksud jahat! Lagipula saya melarikan
Pedang Naga Suci 212 bukan untuk dipakai sendiri tapi saya sembunyikan di satu
tempat. Di dasar Telaga Gajahmungkur ini! Kelak siapa yang benarbenar berjodoh
dengan senjata itu pasti akan mendapatkannya. Karena mendengar murid saya
ditimpa musibah dan konon pedang itu bisa menjadi obat yang mujarab maka itulah
saya kembali ke tempat ini untuk mencarinya, untuk pengobat Pendekar 212. Bukan
untuk maksud lain….”
“Kau tahu
penyakit kutuk yang menimpa muridmu akan lenyap dengan sendirinya setelah
seratus hari…. Mengapa bersusah payah mencari Pedang Naga Suci 212 yang bukan
milikmu?!”
“Syukur
Kiai telah mendengar dan mengetahui musibah yang menimpa murid saya. Kapan akan
punahnya musibah kutukan itu tidak saya ketahui. Sementara itu rimba persilatan
saat ini tengah dilanda mara bahaya besar. Orang-orang Lembah Akhirat
gentayangan ke mana-mana mengadu domba antar sesama tokoh silat golongan putih.
Bagaimana kalau celaka lebih dulu datang menimpa murid saya sebelum seratus
hari? Kiai….”
“Cukup!
Aku tak perlu keterangan panjang lebar!” memotong Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Aku perintahkan agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Bawa serta
kawanmu kakek-kakek bermata belok jereng! Berkuping lebar, bertampang seperti
jurik ini!” Saking marahnya sang Kiai tak bisa lagi mengendalikan kata-katanya.
“Kiai,
sekali ini mungkin saya tidak dapat menuruti perintahmu. Saya lebih
mementingkan keselamatan muridku si anak setan itu dari pada diriku sendiri.
Saya tidak perduli kau akan memukul rengkah batok kepala saya. Atau
menanggalkan anggota badan saya satu persatu. Atau mencincang diriku sampai
lumat. Murid saya dalam bahaya. Saya wajib menolongnya. Mengenai kawanku ini
terserah padanya apa dia mau pergi atau tidak….” Sinto Gendeng lalu berpaling
pada kakek yang tegak di sampingnya.
“Kakek
bermata jereng! Siapa kau adanya!” Kiai Gede Tapa Pamungkas membentak keras.
Tidak
mengira akan dibentak orang, kakek di sebelah Sinto Gendeng sampai terlompat
saking kagetnya. Wajahnya sesat pucat dan “serrrrr.” Ada cairan kuning hangat
mengalir dari bagian bawah perutnya. Karena dia berdiri dekat sekali ke tepi
telaga maka cairan ini terus mengalir dan masuk ke dalam air.
Di dasar
telaga lapat-lapat terdengar suara menggemuruh. Kiai Gede Tapa Pamungkas
menjadi kalap dan hendak membentak kembali. Tapi Sinto Gendeng mengangkat tangan
kirinya dan berkata. “Kiai, sahabatku ini punya kelainan aneh. Kalau tidur
seperti anak kecil, suka ngompol! Jika dia berada dalam keadaan terlalu tenang
maka dia akan beser tanpa terasa. Kalau dia mendadak kaget kencingnya lebih
banyak lagi! Saya harap Kiai jangan membentaknya. Karena berarti makin banyak
air kencingnya yang akan masuk ke dalam telaga. Dan makin porak-poranda keadaan
di bawah sana. Hik… hik… hik…! Kalau Kiai ingin tahu nama sahabat satu ini dia
adalah yang dipanggil orang dengan sebutan Setan Ngompol! Julukannya aneh dan
lucu! Hik… hik… hik!”
“Sinto
Gendeng! Kau mempergunakan air larangan itu untuk mencelakai diriku dan hendak
menghancurkan tempat kediamanku!”
“Maafkan
saya Kiai. Kau menyebutnya air larangan. Kami berdua menyebutnya air kencing.
Orang beradab dan bersopan santun punya bahasa halus menyebutnya air seni! Tapi
apapun namanya tetap bau pesing! Hik… hik… hik!”
“Sinto!
Bawa temanmu ini. Lekas angkat kaki dari sini!”
“Maafkan
saya Kiai. Saya baru pergi kalau sudah mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu….”
“Kau tak
bakal menemukannya. Senjata itu tak ada di sini….”
Sinto
Gendeng tertawa lebar. “Saya tahu di mana beradanya pedang itu Kiai. Karena
puluhan tahun yang lalu saya yang menyembunyikannya di dasar telaga….”
“Keadaan
telaga puluhan tahun lalu telah jauh berbeda saat ini. Pedang sakti itu mungkin
sudah tenggelam di dasar telaga. Mungkin sudah dihanyutkan aliran air ke tempat
lain. Kau membutuhkan waktu lama dan nasib baik untuk bisa menemukannya….”
“Bagaimanapun
sulitnya saya akan tetap mencoba….”
“Sinto
Gendeng kau licik dan jahat. Kau tahu pantangan di tempat ini. Itu sebabnya kau
pergunakan air kencingmu dan mengajak serta kawanmu si Setan Ngompol ini untuk
mencemari air telaga!”
“Maafkan
saya Kiai. Saya terpaksa melakukannya. Mungkin sudah saatnya Kiai kembali ke
puncak Gunung Gede….”
“Aku
tidak perlu nasihatmu. Kau tetap memaksa tidak mau pergi dari tempat ini?”
“Maafkan
saya Kiai…” jawab Sinto Gendeng sambil membungkuk dalam.
“Kalau
begitu terpaksa aku menurunkan tangan kasar, Sebelum kulakukan aku tanya sekali
lagi. Kau tetap tidak mau meninggalkan telaga ini?”
Sinto
Gendeng gelengkan kepalanya.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas habis kesabarannya. Orang tua ini kembangkan lengannya ke
samping. Lalu jari-jari tangannya kiri kanan dijentikkan. Di dasar telaga
terdengar suara menggemuruh keras. Lalu di permukaan telaga berkiblat petir dua
kali berturut-turut. Air telaga bergolak muncrat setinggi belasan tombak.
Sesaat kemudian dua sosok kuning besar mengerikan melesat keluar dari dalam
telaga. Yang muncul bukan lain adalah naga jantan dan naga betina bermata merah
dan bertanduk hijau.
Dua Kakek
nenek sama-sama terkejut mundur. Setan Ngompol langsung beser. Sedang Sinto
Gendeng menggigil dan coba menekap perutnya dengan tangan kiri tapi gagal
mencegah terkencing. Begitu cairan ini masuk ke dalam telaga, di dasar telaga
terdengar suara menggemuruh.
Kiai Gede
sekali lagi menjentikkan tangannya kiri kanan. Sepasang naga menggeliat dan
keluarkan suara mendesis. Dua binatang ini siap menerkam ke arah dua orang tua
di pinggir telaga.
“Kiai!
Tahan!” Sinto Gendeng berteriak seraya acungkan tangan kanannya yang memegang
kendi tanah warna merah. Teriakan si nenek membuat kaget si Setan Ngompol
hingga kembali kakek bermata belok ini kucurkan air seni. “Saya ikhlas dihukum
dan menemui kematian di tangan Kiai. Tapi saya tidak ikhlas murid saya menemui
ajal karena saya tidak melakukan apa-apa. Lihat Kiai! Kendi ini penuh berisi
air kencing saya dan air kencing si Setan Ngompol! Dua naga peliharaan Kiai
mungkin bisa membunuh saya. Tapi sebelum nyawa saya putus, saya masih punya
kesempatan untuk melemparkan kendi ini ke dalam telaga. Akibatnya Kiai tahu
sendiri!”
Kiai Gede
Tapa tersurut dua langkah begitu mengetahui bahwa isi kendi yang diacungkan
muridnya itu adalah air kencing. Sedikit saja cairan larangan itu mengenai
tubuh atau pakaiannya maka dia akan mengalami cidera yang sulit dibayangkan.
Selain itu yang paling ditakutkan sang Kiai ialah dia tak akan sanggup
meneruskan keadaan dirinya seperti sekarang ini karena kesaktiannya akan
menjadi lumpuh.
“Sinto
Weni! Kau benar-benar murid kurang ajar! Murtad!” teriak Kiai Gede Tapa
Pamungkas dengan suara menggelegar.
“Aduh!
Aku ngompol lagi!” Si Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya. Coba bertahan.
Tapi sia-sia saja. Kakek ini kembali terkencing di celana akibat kaget
mendengar teriakan sang Kiai tadi.
Walau
darahnya mendidih dan ingin sekali menghajar Sinto Gendeng namun Kiai Gede
maklum dia tak bisa berbuat apa-apa. Orang tua ini membathin. “Heran, dari mana
dia mengetahui pantangan air larangan itu…. Siapa membocorkan rahasia!”
“Bagaimana
Kiai..,?” Sinto Gendeng bertanya sambil menyeringai.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berusaha menindih amarahnya. Kedua matanya dipejamkan. Tangan
kirinya berulang kali mengusapi dadanya.
“Sinto
Weni, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan,” sang Kiai berucap. “Hari ini
kau boleh menikmati kemenanganmu. Tapi hari ini pula pula putus hubungan kita
sebagai guru dan murid!”
“Kiai!”
seru Sinto Gendeng seraya jatuhkan diri berlutut. “Saya menerima salah namun
saya harap Kiai mau mengerti….”.
“Selamat
tinggal Sinto Weni. Mulai saat ini aku tak ingin melihat dirimu lagi! Aku akan
meninggalkan Telaga Gajahmungkur ini. Tapi aku tidak suka begitu mudah bagimu
gentayangan di tempat ini. Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Neraka
akan tetap berjaga-jaga di tempat ini! Mudah-mudahan kau dan kawanmu itu tidak
akan menemui ajal di tangan mereka!”
Habis
berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas jentikkan tangannya kiri kanan. Dua
ekor naga besar mendesis keras lalu selulupkan kepalanya ke dalam air dan
lenyap dari pemandangan. Kiai Gede Tapa tidak menunggu lebih lama. Orang tua
ini rangkapkan dua tangan di depan dada. Perlahan-lahan tubuhnya masuk lurus ke
dalam air, kaki lebih dulu, menyusul badan dan terakhir sekali kepala. Di bekas
tempat lenyapnya sang Kiai untuk beberapa ketika tampak kabut putih mengambang
di atas permukaan telaga. Sinto Gendeng melirik ke arah telaga. Perlahan-lahan
nenek ini bangkit berdiri. Sambil acungkan kendi merah di tangan kanannya dia
tertawa cekikikan. Si Setan Ngompol buru-buru tekap bagian bawah perutnya
sambil berusaha menahan tawa. Tapi sia-sia. Begitu tawanya meledak, di sebelah
bawah dia kembali bocor!.
“Dia
tertipu! Dia tertipu! Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan sambil
acungkan kendi; merah.
“Kiai
gurumu itu pasti sudah mulai pikun! Apa dia tidak bisa membedakan bau pesingnya
air kencing dengan bau wanginya tuak murni? Ha… ha…ha…!” ujar si Setan Ngompol
lalu ikut-ikutan tertawa. Makin keras tawanya makin deras mengucur kencingnya.
“Dia
percaya saja waktu kubilang kendi ini berisi air kencingku dan air kencingmu!
Padahal isinya tuak harum yang aku dapat dari kawanku si Dewa Tuak! Hik… hik.:.
hik!”
“Serahkan
kendi itu padaku Sinto! Tenggorokanku jadi kering karena tertawa terus! Kau
orang perempuan jangan banyak-banyak meneguk tuak. Bisa mandul! Ha… ha… ha…ha!”
“Diriku
memang sudah mandul sejak lahir! Hik… hik… hik!” menyahuti Sinto Gendeng dan
tertawa gelak-gelak. Tuak dalam kendi diteguknya satu kali. Walau cuma minum
satu teguk namun muka keriputan Sinto Gendeng langsung menjadi merah dan
tubuhnya bergetar sedang kedua matanya berkedap-kedip.
“Apa
kataku!” ujar Setan Ngompol. “Tuak keras ini minuman lelaki. Bukan minuman
nenek-nenek sepertimu. Untung kau tidak sampai terangsang. Bisa-bisa aku kau
tarik ke balik pohon! Ha… ha… ha! Lekas kau serahkan padaku kendi itu! Aku
perlu minum banyak biar bisa ngompol banyak!”
“Enak
saja kau bicara!” kata Sinto Gendeng merengut. Kendi tanah warna merah
diserahkannya pada si kakek. “Minum sepuasmu! Selamat menenggak tuak wangi!
Selamat ngompol! Hik… hik… hik!”
Setan
Ngompol dongakkan kepala lalu mengucurkan tuak dalam kendi ke mulutnya yang
dibuka lebar-lebar. “Sialan! Baru kuteguk sedikit sudah habis!” Memaki Setan
Ngompol begitu tuak dalam kendi habis dan tak ada lagi yang mengucur ke dalam
tenggorokannya. Bibir kendi dijilatinya. Belum puas tiba-tiba kendi tanah itu
diremasnya hingga hancur. Lalu “krak… kruk… krak…. kruk!” Kepingan-kepingan
pecahan kendi yang masih dilekati sisa-sisa tuak itu dimasukkan ke dalam mulut,
dikunyah seolah dia tengah makan kerupuk!
Sinto
Gendeng tertawa mengekeh melihat perbuatan si Setan Ngompol itu. Lalu nenek
sakti ini berseru. “Kalian berempat yang sembunyi lekas unjukkan diri! Urusanku
masih panjang! Jangan membuang waktu!”
Dari
balik sebuah batu besar yang dikelilingi semak belukar terdengar suara kaleng
rombeng berkerontang bising membuat telinga berdenyut sakit. Air di pinggiran
telaga tampak beriak dan membentuk gelombang-gelombang kecil. Sesaat kemudian
muncul sosok seorang kakek berpakaian compang-camping penuh tambalan. Di
pundaknya ada sebuah buntalan butut. Tangan kiri memegang tongkat yang ujungnya
patah. Tangan kanan memegang sebuah kaleng yang digoyang-goyangkan. Sepasang
matanya berwarna putih.
“Ah
panasnya siang ini! Caping yang hancur belum kuganti! Sialnya nasib tua bangka
ini!”
Kakek
buta yang membuat suara berisik ini adalah Kakek Segala Tahu salah seorang
dedengkot rimba persilatan. Dia keluar dari balik batu digandeng seorang pemuda
berpakaian hijau dan memakai anting-anting emas di salah satu telinganya. Dia
bukan lain Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo. Di belakang ke dua Orang ini
menyusul gadis berwajah cantik mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya
panjang tergerai dan sepasang matanya yang berwarna biru menambah pesona
kecantikan parasnya. Dialah Ratu Duyung. Lalu di belakang Ratu Duyung sambil
garuk-garuk kepala melangkah pemuda gondrong yang bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng.
Begitu
empat orang tersebut berada di hadapan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol, si
nenek segera berkata.
“Aku dan
Setan Ngompol akan menyusup masuk ke dalam telaga. Kuharap kalian berempat
tetap menunggu di sini.” Lalu Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung.
“Kami
perlu bantuanmu sekali lagi. Memberikan sirap kekuatan agar bisa berada lama di
bawah air. Aku khawatir sirap yang kau berikan sebelumnya pada kami berdua
tidak berlangsung lama. Bisa-bisa kami kakek nenek jelek ini menemui ajal di
dasar telaga! Hik…hik… hik!”
Seperti
diketahui Ratu Duyung dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan laut selatan.
Dia memiliki kemampuan untuk berenang, menyelam atau berada di dalam air laut
dalam waktu tidak terbatas.
“Saya
akan lakukan Nek,” jawab Ratu Duyung. “Tapi daya sirap itu hanya berkekuatan
setengah hari. Jadi kau dan kakek ini paling lama hanya bisa bertahan sampai
lewat tengah malam nanti.”
“Itu pun
sudah cukup,” menjawab Setan Ngompol seraya kedip-kedipkan matanya dan usap
bagian bawah perutnya menahan kencing.
Ratu
Duyung melangkah mendekati Sinto Gendeng lalu dari belakang gadis ini peluk si
nenek. Matanya dipejamkan. Dalam hati dia merapal sesuatu. Mulut Sinto Gendeng
berkomat-kamit ketika dia merasakan ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Selesai
menyirap si nenek dengan kekuatan yang membuatnya mampu masuk ke dalam air
untuk jangka waktu lama maka Ratu Duyung mendekati Setan Ngompol.
Belum
apa-apa kakek berkuping luar biasa lebar dan bermata jereng ini sudah tertawa
cekikikan sambil memegangi bagian bawah perutnya dengan kedua tangan.
“Aku tak
sanggup menahan geli. Aku tak sanggup menahan kencing…!” katanya, berulang
kali. Begitu Ratu Duyung memeluknya dari belakang kakek ini tertawa keras.
Sekujur
tubuhnya bergeletar dan “Ssrrr…. Ssrrrr.” Pakaiannya basah kuyup di sebelah
bawah.
“Aku
mencium bau pesing! Siapa yang beser! Kau Sinto?!” Bertanya Kakek Segala Tahu
lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali.
“Enak
saja kau bicara! Bukan aku! Tapi kakek jelek yang tubuhnya tak punya saringan
lagi ini!” jawab Sinto Gendeng merengut.
Sebelum
pakaiannya ikut terciprat basah Ratu Duyung sudahi pelukannya yang memberi
sirap kekuatan pada Setan Ngompol.
Tiba-tiba
Pendekar 212 maju mendekati Ratu Duyung. “Ratu, aku ingin menemani dua orang
tua ini ke dasar telaga. Harap kau suka memberikan ilmu kuat menyelam itu
padaku….”
“Anak
setan! Jangan kau kira aku tidak tahu apa maksudmu!” Sinto Gendeng membentak.
“Sebenarnya kau cuma ingin dipeluk gadis cantik ini, bukan?!”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Maksudku bukan begitu Nek. Aku….”
“Kau dan
Kakek Segala Tahu serta pemuda satu ini tetap berada di sini. Berjagajaga!”
Berkata Setan Ngompol.
“Aku tak
mungkin berlama-lama di sini. Aku perlu pergi ke satu tempat menemui
seseorang,” ujar Kakek Segala Tahu. “Tapi sebelum pergi, aku punya penglihatan.
Ada baiknya kalian mengajak serta anak muda bernama Panji ini.”
Sinto
Gendeng mengerling pada Wiro dan Ratu Duyung. Lalu nenek ini mendekati Kakek
Segala Tahu dan menarik tangannya. Agak menjauh dari orang-orang itu Sinto
Gendeng berkata. “Apa maksudmu menyuruh pemuda itu ikut dengan kami. Agar
muridku anak setan itu bisa berdua-dua dengan Ratu Duyung?! Hemmm…. Jangan-jangan
kau punya rencana hendak mengatur jodoh muridku! Apa kau tidak tahu kalau anak
setan itu kuinginkan kawin dengan Anggini, murid Dewa Tuak?”
Kakek
Segala Tahu tertawa lebar. Setelah kerontangkan kalengnya dia berkata. “Aku
bukan mak comblang, tukang menjodohkan orang. Soal jodoh ada di tangan Yang
Kuasa. Maumu muridmu kawin dengan Anggini. Tapi apa mereka suka satu sama lain?
Aku bilang aku hanya melihat sesuatu. Tapi tidak bisa mengatakan panjang lebar
pada kalian. Aku cuma menyarankan agar kalian membawa serta pemuda itu.”
“Sinto
sebaiknya turuti anjurannya, mungkin kita memerlukan bantuan pemuda ini
kelak….”
“Jangan
dengarkan kata-kata tua bangka itu. Dia merasa maha segala tahu…. Ayo ikuti
aku!”
Tapi
mendadak Ratu Duyung melangkah ke belakang Panji dan memeluk pemuda ini,
memberikan sirapan kekuatan untuk masuk ke dalam air. Selesai menyirap sang
Ratu berkata. “Aku tahu kau punya kekuatan alam untuk berenang dan menyelam
lama dan jauh ke dalam laut. Tapi Telaga Gajahmungkur bukan telaga biasa….”
“Terima
kasih Ratu. Kau mau memberikan kekuatan hebat padaku,” jawab Panji.
“Sebelumnya
aku memang telah masuk ke dalam telaga. Tapi tak sanggup bertahan lama….”
Kakek
Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya lalu berkata pada Sinto Gendeng.
“Sinto, aku siap pergi sekarang. Tapi jangan lupa pesanku tempo hari. Pada
bulan purnama empat belas hari nanti, kita berkumpul lagi di tempat ini!”
Sinto
Gendeng menggumam lalu anggukkan kepala.
“Apakah
kau tidak mengundang diriku serta?” Si Setan Ngompol bertanya.
“Orang
sepertimu buat apa diundang. Hanya akan membuat buruk suasana. Tukang ngompol.
Membuat bau pesing menebar di mana-mana!” jawab Kakek Segala Tahu sambil
tersenyum pertanda sebenarnya dia juga menginginkan orang tua aneh itu ikut
hadir pada malam yang ditentukan.
Si Setan
Ngompol tertawa gelak-gelak hingga kembali dia terkencing. “Orang tidak
mengundang. Betapa jeleknya nasibku. Padahal pada malam bulan purnama justru
kencingku banyak sekali! Ha… ha…ha!”
Kakek
Segala Tahu usap-usap rambutnya yang putih.
“Kalian
bertiga tunggu apa lagi?!” ujar si kakek. Setelah mengguncang kaleng rombengnya
dua kali maka dia pun berkelebat pergi.
Sinto
Gendeng sesaat tegak termangu. Dia melirik pada Ratu Duyung lalu seolah tak
perduli lagi nenek ini melompat masuk ke dalam telaga. Setan Ngompol menyusul.
Panji memandang dulu pada Wiro dan Ratu Duyung baru ikut menceburkan diri ke
dalam Telaga Gajahmungkur.
*******************
SEPULUH
Sebelum
melanjutkan bagaimana kejadian Puti Andini yang ditelan naga betina raksasa
serta apa yang bakal dilakukan Sinto Gendeng bersama rombongannya di Telaga
Gajahmungkur, kita kembali dulu ke Lembah Merpati.
Di atas
sebuah pohon besar berdaun rindang, tampak menyelinap seorang nenek berambut
putih digulung di atas kepala. Dia mengenakan sebuah mantel berwarna hitam.
Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah lembah di mana saat itu ada
seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun yang duduk menjelepok di atas gundukan
tanah berumput. Dia seolah tidak memperdulikan keadaan di Lembah Merpati itu.
Tidak perduli dengan burung-burung merpati yang berterbangan atau hinggap di
sekitarnya. Seolah tidak mendengar suara binatang itu bersahut-sahutan satu
sama lain. Dia hanya melihat sesuatu kekosongan di kejauhan.
Nenek di
atas pohon yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak masih terus memperhatikan
lelaki berambut putih itu. Dalam hati si nenek muncul berbagai tanya dan duga.
“Hari perjanjian dan pertemuan saat ini agaknya bakal tidak beres lagi. Tempat
ini telah kedahuluan didatangi orang. Siapa adanya kakek berambut putih itu.
Wajahnya sayu, sikapnya acuh. Aku melihat dia beberapa kali mengusap matanya
yang cekung. Dia seperti menangis…. Kurasa bukan satu kebetulan dia berada di
tempat ini. Mungkin ini termasuk apa yang diatur orang bercadar kuning itu?
Mungkin seseorang yang juga ada sangkut pautnya dengan rahasia besar kehidupan
diriku, Sukat Tandika dan Iblis Pemalu serta orang bercadar itu? Tapi hemmm….
Aku ingat. Waktu bertemu di sini dua hari lalu orang bercadar itu mengatakan
bahwa orang yang tidak datang itu adalah Puti Andini, cucuku sendiri.”
Sabai Nan
Rancak terus perhatikan lelaki di lembah. “Hemmm, pakaian hijau berenda benang
emas yang dikenakan orang itu. Aku pernah melihat orang lain mengenakan pakaian
serupa itu. Aku tak bisa mengingat. Otakku penuh dibuncah oleh berbagai
persoalan gila? Apalagi baru saja aku menyirap kabar bahwa Sutan Alam Rajo Di
Langit lenyap dari Gunung Singgalang. Dikabarkan dia tengah menyeberang ke
tanah Jawa Ini. Gerangan apa yang membuatnya datang ke sini. Tentu ada satu
perkara besar. Janganjangan dia pergi ke…. Ah! Makin buncah kepalaku! Lelaki di
lembah itu. Siapa dia adanya.
Daripada
merusak rencana pertemuan dengan Iblis Pemalu dan orang bercadar lebih baik
orang ini aku usir lebih dulu!” Memikir sampai di situ Sabai Nan Rancak segera
melayang turun dari atas pohon dan tegak tiga langkah tepat di hadapan orang
tua berambut putih. Walau ada orang muncul dengan sangat tiba-tiba, apalagi
melayang turun dari atas pohon, membuat burung-burung merpati berterbangan tapi
lelaki berpakaian bagus hijau yang duduk menjelepok di tanah tidak terkejut
atau bergerak sedikit pun. Sepasang matanya masih memandang kosong ke arah
kejauhan seolah menembus sosok tubuh Sabai Nan Rancak yang berdiri di
hadapannya. Dari matanya yang cekung menggelinding, tetesan air mata ke pipinya
yang pucat.
“Aku
yakin orang ini tidak buta dan juga tidak tuli! Adalah aneh dia menganggap
seolah aku tidak ada di depannya!” Sabai Nan Rancak merasa heran walau dalam hati
dia juga merasa geram.
“Rambut
putih berpakaian hijau! Siapa kau! Ada keperluan apa berada di Lembah Merpati
ini!” Sabai Nan Rancak membentak dengan suara keras dan garang. Hardikannya ini
membuat puluhan ekor burung merpati yang ada di sekitar situ melompat terkejut
lalu terbang ke udara. Tapi anehnya, orang yang duduk di atas gundukan tanah
berumput tetap saja tidak bergerak, tidak berkesip apalagi membuka mulut
memberikan jawaban. Putuslah kesabaran Sabai Nan Rancak. Nenek ini angkat kaki
kanannya, siap untuk menendang. Yang diarahnya adalah bagian pinggang orang
berpakaian hijau. Tapi setengah jalan tendangannya melesat tiba-tiba orang yang
duduk di tanah itu angkat tangan kirinya. Satu gelombang angin bergetar di
udara membuat kaki kanan Sabai Nan Rancak seolah ditahan satu benda sangat
lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat hingga tendangannya tak bisa diteruskan.
Perlahan-lahan kakinya terdorong dan kembali ke tempat semula, tegak
mendampingi kaki kiri!
Kini
terbelalaklah Sabai Nan Rancak. Bersamaan dengan rasa terkejutnya maka
kecurigaannya bertambah besar. “Astaga! Orang ini memiliki ilmu kapas putih.
Kekuatan yang sanggup meredam kekerasan secara lembut tanpa menciderai lawan!
Dia dari golongan putih. Tapi jelas dia punya maksud dan tujuan tertentu berada
di lembah ini!”
Di
hadapannya orang itu tiba-tiba memasukkan tangan kanannya ke balik pakaian
hijaunya yang gombrong. Ternyata dari balik pakaian itu dia mengeluarkan sebuah
tempat sirih terbuat dari emas yang memantulkan cahaya berkilau-kilau terkena,
sinar matahari pagi.
“Dia
memiliki tempat sirih terbuat dari emas. Jangan-jangan orang ini seorang
hartawan kaya raya atau bangsawan terkemuka. Mungkin pula seorang Tumenggung.
Tapi mengapa tampaknya pandir-pandir saja dan seperti kurang ingatan!” Kembali
Sabai Nan Rancak membathin.
Di dalam
tempat sirih itu terdapat tujuh helai daun sirih yang masih segar. Sejumput
tembakau yang menebar bau harum, segumpal kapur putih serta dua bongkah pinang.
Dengan tenang orang ini mengambil dua lembar daun sirih, menjumput secuil
tembakau, memecah pinang dan mengambil secuil kapur lalu mulai meramu sirih.
Semua itu dilakukannya dengan kepala diarahkan ke depan, sepasang mata tetap
memandang kosong dan jauh. Sambil meramu sirih orang ini berkata dengan suara
perlahan tapi sangat jelas sampainya ke telinga Sabai Nan Rancak.
“Hidup
penuh teka-teki. Sengaja aku meninggalkan pulau. Melanggar segala pantangan dan
larangan. Hanya untuk mencari anak yang pergi. Entah masih hidup entah sudah
mati. Kalau sudah mati dimana kuburnya. Kalau masih hidup dimana tersesatnya….”
Orang itu
hentikan ucapannya. Daun sirih dilipatnya dua kali berturut-turut. Kening
keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah keriput. Mendadak saja dadanya berdebar
dan hatinya jadi penuh dengan segala tanya.
“Orang
tak dikenal. Pulau apa yang kau tinggalkan. Pantangan dan larangan apa yang kau
langgar! Siapa anak yang kau cari! Harap kau suka menjawab pertanyaanku. Kalau
tidak menjawab terpaksa aku mengusirmu dari sini saat ini juga! Kalau tidak mau
pergi, aku tidak ragu menurunkan tangan keras. Jangan mengira ilmu kapas putih
yang kau miliki bisa kau andalkan terlalu banyak! Aku tahu kelemahan ilmu itu!”
Orang
yang duduk menjelepok di tanah membuat lipatan terakhir pada daun sirih yang
diramunya. Selesai meramu sirih, tempat sirih yang terbuat dari emas itu
dimasukkannya kembali ke dalam pakaian hijaunya yang gombrang. Semula Sabai
mengira orang ini akan segera menyuapkan sirih ke dalam mulut. Ternyata sirih
yang sudah dilipat itu disisipkannya di atas daun telinganya sebelah kiri!
“Orang
gila macam apa pula manusia satu ini! Meramu sirih tapi hanya diselipkan di
atas kuping!” membathin Sabai Nan Rancak. Lalu dia membentak. “Kau belum
menjawab pertanyaanku!”
“Orang
bertanya aku pantas menjawab. Karena setiap pertanyaan mustahil tak ada
jawabannya. Pulauku adalah pulau Sipatoka. Pulau yang sudah dilupakan orang.
Dilupakan karena tak ada yang mau mengingat. Pantang dan larangan yang
kulanggar adalah pantang dan larangan seorang pimpinan meninggalkan pulau dan
rakyat. Anak yang kucari adalah sang putera mahkota. Disebut dengan nama Datuk
Pangeran Rajo Mudo. Pergi menurut kehendak sendiri. Terbujuk oleh dorongan
darah muda. Padahal dunia penuh tantangan dan petaka. Padahal ilmu hanya
panjang sedepa…”
Sepasang
mata Sabai Nan Rancak mendadak membesar dan memancarkan sinar aneh. Mulutnya
terkancing rapat. Tapi gemuruh di dadanya bertambah keras. Hatinya kembali
berkata. Cara bicara orang ini hampir sama dengari orang bercadar kuning itu.
Mungkin sekali ada hubungan antara mereka satu sama lain? Aku tak pernah
mendengar ada pulau bernama Sipatoka. Apalagi kerajaan Sipatoka. Dulu memang
ada seorang bernama Datuk Sipatoka. Tapi sudah lama mati. Dia mengaku mencari
anaknya yang putera mahkota? Memangnya apakah dia ini seorang raja?!”
“Orang
yang tegak di depanku. Melihat sikap dan cara bicaramu. Mendengar tutur ucapmu
serta melihat air mukamu, kau pastilah seorang pandai bijaksana, luas
pengalaman luas pengetahuan. Apakah kau bisa menolong diriku? Mungkin kau
pernah mendengar nama anakku. Mungkin juga kau tahu di mana dia berada?”
Sabai Nan
Rancak menggeleng perlahan. “Aku tak pernah mendengar nama puteramu itu. Aku
juga tidak tahu di mana dia berada.”
“Ah,
sayang…. Sungguh sayang. Mungkin jiwanya sudah melayang, mungkin aku akan
pulang berhampa tangan. Tapi rasanya lebih baik ikut mati daripada pulang
sendirian.” Orang itu menghela nafas dalam beberapa kali sementara air mata
makin banyak jatuh ke pipinya.
“Kau
sudah memberikan banyak keterangan. Tapi satu hai belum kau katakan. Siapa
namamu?” Bertanya Sabai Nan Rancak.
“Aku Rajo
Tuo penguasa Kerajaan Sipatoka. Hanya itu yang bisa kuberitahu padamu….”
“Baik,
aku tidak memaksa. Kalau kau tak mau bicara lagi harap kau suka meninggalkan
Lembah Merpati ini, Dan jangan berani mendekati tempat ini lagi! Silahkan
pergi!”
“Ah….
Begini rupanya nasib diri. Belum dapat apa yang dicari sudah disuruh pergi.
Tapi aku tak akan meninggalkan Lembah Merpati. Agar kau senang biar aku hanya
beranjak sedikit saja dari sini!”
Habis
berkata begitu lelaki berambut putih berpakaian hijau bagus ini perlahan-lahan
berdiri. Dia melangkah ke arah pohon di mana tadi Sabai Nan Rancak berada.
Sesaat dia dongakkan kepala memandang ke atas. Dua kakinya kemudian
digeser-geserkan secara aneh ke tanah. Dari mulutnya melesat suara suitan
nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat ke udara dan sesaat kemudian dia sudah
tegak di cabang pohon.
Sabai Nan
Rancak yang memperhatikan apa yang dilakukan orang dalam herannya kembali
membathin. “Tadi waktu dia mengeluarkan ilmu kapas putih menahan tendanganku,
dia sama sekali bukan mengandalkan tenaga dalam. Barusan waktu melesat ke atas
pohon dia juga tidak mengandalkan tenaga dalam atau ilmu meringankan tubuh.
Orang ini memiliki ilmu aneh. ada satu kekuatan gaib dalam dirinya!”
Sabai
memandang berkeliling sebentar. “Heran, mengapa Iblis Pemalu dan orang bercadar
itu masih belum datang?” Lalu kembali dia memandang ke atas pohon.
“Orang di
atas pohon. Karena pohon ini masih dalam kawasan Lembah Merpati dan aku tak
suka kau berada di lembah maka harap kau segera turun dan pergi dari sini!”
Sabai Nan Rancak berteriak.
Mendengar
teriakan si nenek, orang di atas pohon gesek-gesekkan telapak kakinya yang
tidak berkasut ke cabang pohon. Sesaat tubuhnya seolah mumbul ke atas namun di
lain kejap tubuh itu bergerak turun ke bawah. Dia sudah tegak di tanah lembah
hanya terpisah sepuluh langkah dari Sabai Nan Rancak.
“Aneh,
ilmu apa yang dimiliki orang ini. Bisa naik turun seperti itu…” pikir si nenek.
Lalu
karena dilihatnya orang masih belum pergi dari tempat itu maka. dia kembali
membentak. “Jangan kau menguji kesabaranku. Aku tidak ada ganjalan apa-apa
untuk mencelakai dirimu! Lekas angkat kaki dari sini. Atau kau minta
kusingkirkan dengan cara mengeluarkan rohmu lebih dulu dari tubuh!”
Orang yang
diancam sepertinya tidak perduli dan tidak takut dengan ancaman Sabai Nan
Rancak. Dia menjawab dengan suara perlahan dan tenang.
“Walau
aku datang dari pulau terpencil, tapi aku tahu lembah ini adalah tanah Tuhan.
Semua milik Tuhan adalah milik dan diperuntukkan ummatNya juga. Karena itu
jangan kau merasa punya hak untuk mengusir diriku dari sini….”
“Hemmm….
Rupanya kau pandai juga bicara memakai dalih dan membawa nama Tuhan segala!
Apakah Tuhanmu akan menolongmu jika saat ini aku memecahkan kepalamu?!” Bentak
Sabai Nan Rancak.
“Setiap
orang wajib mengingat Tuhan di mana dan dalam keadaan bagaimana pun juga!
Karena itu jangan kau bersikap takabur dan berhati sombong! Kau hendak
memecahkan kepalaku Tuhan tak akan melarang. Tapi apakah kau tahu bahwa Tuhan bisa
berang?”
Sabai Nan
Rancak yang telah kehabisan kesabarannya melompat ke depan. Tangan kanannya
dipukulkan ke batok kepala orang. Yang diserang tetap tegak tak bergerak. Malah
dia menatap seperti tadi ke arah si nenek yaitu jauh dan kosong. Melihat sikap
orang yang seolah menganggap enteng diri dan serangannya Sabai Nan Rancak
menjadi tambah garang. Kalau tadi dia hanya mengerahkan sedikit saja tenaga
dalamnya maka kini dia menyalurkan hampir separuh kesaktian yang dimilikinya.
Sejengkal
lagi gebukan Sabai Nan Rancak akan memecahkan kening orang berambut putih itu,
tiba-tiba ada satu gelombang kekuatan aneh keluar dari kepalanya. Membuat
tangan kanan si nenek terpental.
“Jahanam!
Ilmu apa yang dimiliki keparat ini!” maki Sabai dalam hati. Kembali dia menghantam.
Kali ini dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam. Agaknya sekali ini pukulan
maut itu benar-benar akan memecahkan kepala orang dan merenggut nyawanya.
Tetapi luar biasanya orang yang diserang malah dengan tenang mengambil sirih
yang terselip di telinga kirinya lalu memasukkan sirih itu ke mulut dan
perlahan-lahan mulai mengunyah.
“Jahanam
kurang ajar! Dia benar-benar menganggap enteng diriku!” Maki Sabai Nan Rancak.
Tangan kanannya diayun semakin kencang.
Ketika
pukulan hanya tinggal setengah jengkal dari kepala tiba-tiba terdengar pekik
Sabai Nan Rancak. Kini bukan saja tangan kanannya yang terpental tapi tubuhnya
ikut sempoyongan.- Kalau tidak cepat dia mengimbangi diri pasti akan jatuh
terhantar di tanah!
“Kekerasan
tidak akan memecahkan persoalan. Mengapa ingin membunuh orang hanya karena
merasa seolah kau menguasai seluruh lembah? Di dunia manusia tidak bisa hidup
sendiri. Antara satu sama lain ada saling ikatan. Mungkin tali persahabatan.
Mungkin jalur ikatan darah. Mungkin juga hubungan budi baik….”
“Jangan
bersyair di depanku!” teriak Sabai Nan Rancak marah sekali. Nenek ini melompat
berdiri. Dari jarak enam langkah dia pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar
merah berkiblat ke arah orang berambut putih.
Sekali
ini orang yang diserang tidak bisa setenang tadi lagi. Wajahnya jelas
memperlihatkan rasa kejut yang amat sangat. Pucat pasi. Dari mulutnya terdengar
seruan.
“Pukulan
sakti Kipas Neraka!” Orang itu tersurut mundur sampai beberapa langkah.
Agaknya
dia menyadari bagaimanapun tingginya ilmu yang. dimilikinya tak bakal sanggup
menghadapi pukulan Kipas Neraka. Selain itu sebenarnya ada satu hal yang
membuat orang ini tercekat karena adanya satu dugaan berat dalam hatinya
membuat dadanya bergemuruh. Walau terkejut mendengar orang mengetahui dan
menyebut nama pukulan saktinya tapi Sabai Nan Rancak terus saja menghantam.
Sebelum larikan sinar merah angker itu mengembang lebar membentuk kipas
tiba-tiba satu seruan keras menggema di seantero Lembah Merpati.
“Nek!
Jangan bunuh orang itu! Kau bakal malu seumur-umur! Tahan Nek! Biar urusan
terang dulu! Jangan bertindak memalukan!”
Saat itu
si nenek sedang geram setengah mati. Walau dia mengenali suara Iblis Pemalu
tapi tetap saja dia teruskan serangan Kipas Nerakanya. Tiba-tiba dari samping
ada satu bayangan kuning berkelebat. Tubuh Sabai Nan Rancak terdorong. Sinar
merah Kipas Neraka berkiblat tapi kini melesat ke arah langit terbuka,
menghantam udara kosong walau sempat menghancurkan dan membakar cabangcabang pohon
yang terserempet.
Sabai Nan
Rancak menjerit keras saking tak dapat menahan luapan amarah yang seolah
membakar dirinya. Dia melompat dan berpaling ke samping sambil siap melancarkan
serangan Kipas Neraka sekali lagi. Tapi ketika dia memandang ke depan hatinya
mendadak menjadi kecut.
*******************
SEBELAS
Lima
langkah dari hadapan Sabai Nan Rancak berlutut di tanah sosok tubuh berpakaian
dan bercadar kuning. Tangan kanannya diulurkan demikian rupa dengan telapak
terpentang diarahkan pada si nenek.
“Pukulan
pemunah Kipas Neraka….” Desis Sabai Nan Rancak. Hatinya kecut karena sebelumnya
orang bercadar itu beberapa kali berhasil meredam pukulan saktinya. Si nenek
ingat pada Mantel Sakti yang dikenakannya. “Kalau dia sanggup menahan pukulan
Kipas Nerakaku, jangan harap dia mampu menghadapi Mantel Sakti ini. Kalau masih
belum mempan akan kuhantam sekalian dengan Mutiara Setan!” Lalu si nenek
membuat gerakan membuka mantel yang dikenakannya.
“Kekerasan
tidak bisa mencari jalan penyelesaian. Membunuh tidak akan mendatangkan
keuntungan. Manusia hanya akan mendapat penyesalan. Urusan besar belum sempat
diteruskan. Rahasia belum sempat disingkapkan. Mengapa tidak mau menahan hati.
Padahal bukankah kita semua ingin mencari keselamatan diri?!”
Sabai Nan
Rancak ingin sekali mendamprat marah. Namun ada rasa mengalah muncul di lubuk
hatinya. Dia urungkan membuka Mantel Sakti. Sesaat dia melirik pada Iblis
Pemalu yang tegak di samping si cadar kuning.
“Kalian
telah datang. Apa yang yang sudah diatur bisa segera dibicarakan. Tapi aku tidak
suka manusia satu ini berada di Lembah Merpati. Jika kau tak ingin aku
mengusirnya maka harap kalian berdua segera melemparkannya ke luar lembah!”
“Memalukan!
Itu cara dan tindakan memalukan! Nenek tua, aku tidak akan melakukan apa yang
kau katakan!”
“Perduli
setan denganmu!” maki Sabai Nan Rancak walau dengan suara perlahan.
Dia
berpaling pada si cadar kuning yang saat itu telah tegak dari berlututnya.
“Bagaimana dengan kau? Kau juga tidak mau melakukan apa yang aku katakan?!”
Orang
bercadar gelengkan kepala. “Orang berpakaian hijau yang hendak kau singkirkan
itu justru adalah salah satu orang yang aku minta datang ke Lembah Merpati
ini.”
“Tapi
bukankah kau dulu menyebut orang lain itu adalah Dewi Payung Tujuh, Puti
Andini…” ujar Sabai Nan Rancak tidak mengerti.
“Tidak
salah. Namun keadaan berubah. Ada perkembangan baru. Yang perlu diikuti dan
dicari tahu….”
“Kepalaku
bisa pecah dengan segala urusan gila penuh teka-teki ini! Katakan siapa adanya
orang ini!” ucap Sabai Nan Rancak hampir berteriak.
“Dia salah
satu tokoh penting dalam urusan kita. Tanpa dia sulit membuka segala rahasia.
Kita bersyukur bahwa dia muncul di tanah Jawa. Seolah ini semua memang kehendak
Yang Kuasa. Kami bertemu tak sengaja satu hari yang lalu dengannya. Sesuai
petunjuk maka kami mengundangnya ke lembah.” Menerangkan orang bercadar.
“Kalau
memang kalian yang menyuruhnya datang ke sini aku tidak akan membuat perkara.
Tapi dia sengaja merahasiakan diri. Itu sebabnya aku menaruh curiga….”
“Nenek,
harap kau tidak marah, kecewa ataupun curiga. Dia bersikap seperti itu karena
aku yang meminta. Jangan sampai salah berkata. Sebelum kami berdua tiba di
lembah….”
“Hemmmm….”
Si nenek hanya bisa bergumam mendengar kata-kata si cadar kuning.
“Sesuai
perjanjian kita sudah berkumpul di tempat ini. Apalagi yang ditunggu. Apakah
persoalan segera bisa dibicarakan?”
Si cadar
kuning berpaling pada Iblis Pemalu. Orang ini anggukkan kepalanya. Sepasang
matanya yang terlihat di sela-sela jari dua tangan yang menutupi wajahnya
sesaat tampak memancarkan sinar aneh. Sikapnya tidak dapat menyembunyikan rasa
tegang. Orang bercadar melirik ke arah lelaki berpakaian hijau mengaku bernama
Rajo Tuo penguasa pulau Sipatoka yang nampak tegak dengan sikap tenang walau
sebenarnya perasaannya sendiri saat itu campur aduk sulit dikatakan.
“Iblis
Pemalu, apakah kau sudah siap melakukan apa yang kita rencanakan?” tanya si
cadar kuning pada Iblis Pemalu. “Rahasia besar yang hendak kita ungkapkan
jalurnya bermula dari dirimu. Kalau kau merasa malu maka rahasia akan tetap
tertutup awan kelabu….”
Iblis
Pemalu anggukkan kepala.
“Kalau
kau sudah setuju bersudi diri harap segera lakukan rencana suci…” kata orang
bercadar pula.
Sabai Nan
Rancak yang tidak tahu apa sebenarnya yang telah diatur oleh orang bercadar dan
Iblis Pemalu berseru ketika dilihatnya Iblis Pemalu hendak melangkah ke arah
pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat.
“Tunggu
dulu! Mengapa persoalan tidak dimulai dengan mencari tahu siapa sebenarnya
orang berpakaian hijau yang mengaku seorang raja dari pulau Sipatoka ini!”
“Tidak
sulit mengikuti apa maumu. Tapi kami berdua telah mengatur rencana agar
persoalan tidak rincu. Jika kau tidak sepakat maka rahasia lama akan
terungkap….”
Sabai Nan
Rancak terdiam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Terserah padamulah. Aku hanya
mengikut saja. Tapi aku ingatkan semua yang ada di tempat ini. Berlakulah
jujur, jangan berbuat culas dan menipu dalam seribu teka-teki hidup ini!”
“Buang
rasa curiga. Jauhkan sikap mendua. Kejujuran adalah sifat budi yang paling
tinggi. Kebenaran adalah kaidah hidup yang paling suci….” Si cadar kuning
goyangkan kepalanya ke arah Iblis Pemalu.
Iblis
Pemalu meneruskan langkahnya menuju ke balik pohon besar dan semak belukar.
Saat demi saat berlalu. Lembah Merpati diselimuti kesunyian. Sesekali terdengar
gemerisik dedaunan yang bergeser oleh tiupan angin. Sesekali terdengar suara
menggeru burung merpati atau suara kepakan binatang itu sewaktu melayang
terbang. Orang berbaju hijau tampak berdiri diam dan tenang. Si cadar kuning
memandang ke arah timur. Berusaha menahan gelora hatinya yang membuat dadanya
berdebar keras. Hanya Sabai Nan Rancak yang kelihatan gelisah. Nenek ini
melangkah mundar-mandir.
Hatinya
bicara sendiri. “Apa yang dilakukan Iblis Pemalu pergi ke balik pohon itu,
mendekam di sana berlama-lama. Aku ingat peristiwa waktu di pantai dulu. Aku
seolah merasa….”
Terdengar
suara semak belukar bergemerisik. Sabai Nan Rancak yang pertama sekali
memalingkan kepala. Disusul oleh Rajo Tuo dan si cadar kuning. Dari balik pohon
yang dikelilingi semak belukar lebat melangkah keluar seorang perempuan berusia
sekitar lima puluhan. Sebagian rambutnya yang disanggul di atas kepala berwarna
kelabu. Walau berusia setengah abad tapi wajahnya ayu sekali. Di ujung alisnya
sebelah kiri ada sebuah tahi lalat kecil. Kulitnya kuning langsat. Dia
mengenakan pakaian ringkas warna biru muda. Walau dia melangkah tenang namun
dari air mukanya jelas perempuan ini berusaha menekan perasaan yang menggelora
dalam dirinya. Orang ini melangkah dan berdiri di samping si cadar kuning,
menghadap ke arah Rajo Tuo dan Sabai Nan Rancak. Di tangan kanannya dia
memegang buntalan pakaian hitam lusuh serta segulung benda tipis aneh yang
ujungnya ada rambut palsunya; Orang ini mencampakkan pakaian dan gulungan benda
tipis itu ke tanah. Sesaat Sabai Nan Rancak perhatikan benda itu dengan mata
membelalak. Lalu diangkatnya kepalanya seraya berkata pada si cadar kuning.
Suaranya agak bergetar tanda perasaannya kembali bergejolak.
“Tidak
pernah kulihat orang ini sebelumnya. Apa dia Iblis Pemalu yang tadi…? Jadi
selama ini dia melakukan penyamaran. Berupa seorang pemuda aneh yang selalu
menutupi wajah dengan dua tangan. Ternyata dia adalah seorang perempuan berusia
setengah abadi Cadar kuning lekas kau terangkan siapa orang ini adanya!”
“Puluhan
tahun dia hidup dalam penyamaran. Puluhan tahun dia hidup memendam kegetiran.
Puluhan tahun dia menunjukkan sikap aneh seolah kurang ingatan. Rahasia diri
dan perjalanan hidupnya selanjutnya biar dia sendiri yang memberi keterangan.”
Jawab si cadar kuning seraya berpaling pada orang yang tegak di sampingnya.
Ketika
perempuan itu membuka mulut ternyata suaranya berbeda sekali dengan suara Iblis
Pemalu. Sesuai keadaan dirinya suaranya kini benar-benar terdengar sebagai
suara perempuan.
“Maafkan
keadaan diriku. Selama puluhan tahun aku harus hidup bukan sebagai diriku
sendiri. Selama berbulan-bulan aku terpaksa hidup dengan menyandang sifat aneh
bahkan tidak salah kalau dikatakan sebagai orang kurang waras. Hati ini
sebenarnya sudah letih menyamar diri memalsu sikap dan sifat. Namun satu
tuntutan besar meminta aku berlaku seperti itu. Hari ini aku bersyukur pada
Tuhan bahwa aku bisa lepas dari semua penyamaran itu. Sekitar lima puluh tahun
lalu aku dilahirkan di kaki Gunung Singgalang dari rahim seorang perempuan
hasil hubungannya dengan seorang kekasih. Ketika aku keluar dari perut ibu dan
muncul di perut bumi, ibuku jatuh pingsan. Ternyata kemudian di dalam kandungan
ibuku masih ada satu bayi lagi, yakni adik kembarku. Dukun yang menolong
melahirkan berjuang mati-matian untuk dapat mengeluarkan adik kembarku
sementara ibuku masih berada dalam keadaan pingsan…. Mungkin sudah ada yang
mengatur bahwa begitu diriku lahir maka aku akan diserahkan pada seseorang
karena konon baik ayah maupun ibuku merasa malu telah melahirkan seorang anak tanpa
jalinan hubungan perkawinan. Tapi ternyata setelah aku masih ada satu bayi lagi
dalam perut ibuku yakni adik kembarku tadi. Sejak aku masih bayi merah aku
sudah dipisahkan dengan adikku oleh satu riwayat hidup yang mungkin sudah
menjadi takdir Yang Maha Kuasa bagi kami berdua.
Masih
belum bernama, dan mungkin juga wajahku tidak sempat dilihat oleh ibuku
sendiri, apalagi ayahku maka aku dibawa orang ke satu tempat yang sangat jauh,
dipelihara Oleh sepasang suami istri yang hanya punya satu anak lelaki dan
sangat menginginkan seorang anak perempuan. Aku diberi nama Bululani. Adapun
anak lelaki kakak angkatku bernama Bululawang, tujuh tahun lebih tua dariku.
Sebagai kakak adik walau tidak sedarah sedaging kami hidup rukun di bawah
naungan kasih sayang orang tua kami berdua….”
Sampai di
situ perempuan berambut kelabu yang menyamar sebagai Iblis Pemalu dan
sebenarnya bernama Bululani ini hentikan penuturannya. Kedua matanya
dipejamkan. Dia berusaha menahan gejolak dalam dirinya tapi tak dapat. Air mata
meleleh keluar dari sudutsudut matanya yang dipejamkan.
“Perasaan
yang keluar disertai air mata adalah perasaan paling suci dari seorang anak
manusia. Tapi jangan sampai hati naik ke kepala. Jangan sampai perasaan
mempengaruhi pikiran. Kuatkan hatimu Bululani. Teruskan penuturanmu….”
Mendengar
ucapan orang bercadar, Bululani, perempuan berpakaian ringkas biru muda itu
seka ke dua matanya. Sementara itu Sabai Nan Rancak tegak tertunduk. Dalam hati
dia berkata. “Perempuan itu menuturkan riwayat dirinya. Namun rasa-rasanya ada
sangkut paut dengan diriku. Siapa ayah dan ibunya…?”
Si nenek
tak sempat berpikir lebih panjang karena saat itu Bululani telah mulai
meneruskan keterangan menyangkut rahasia dirinya.
*******************
DUA BELAS
Dalam
kehidupan kami, orang tua kami tidak membedakan antara aku dengan anak
kandungnya. Kami diberikan pendidikan agama yang cukup. Juga berbagai ilmu
pengetahuan termasuk ilmu silat serta kesaktian. Beberapa waktu lalu, dalam
usia yang sebenarnya tidak muda lagi kakakku Bululawang melakukan perjalanan ke
berbagai daerah. Malang tak dapat ditolak, di satu tempat dia tewas menjadi
korban pembunuhan. Si pembunuh seperti kabar yang sampai kepadaku adalah
seorang pendekar muda bernama Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212.
Untuk
menuntut balas aku bersikeras meninggalkan rumah guna mencari pembunuh kakakku.
Kedua orang tua angkatku melarang. Sebenarnya mereka merasa kasihan padaku
karena sampai usiaku lanjut aku masih belum mendapatkan pasangan hidup.
Sesungguhnya banyak pemuda yang suka padaku, tapi entah mengapa aku seperti
tidak berkeinginan untuk berumah tangga. Walau ayah dan ibuku melarang
habis-habisan tapi aku tak bisa ditahan lagi. Suatu malam secara diam-diam aku
meninggalkan rumah. Sebenarnya ada satu hal yang membuat mengapa aku menjadi
nekad. Beberapa bulan sebelum Bululawang dibunuh, seseorang memberitahu bahwa
aku ini sebenarnya adalah anak pungut atau anak angkat. Jadi bukan anak
kandung. Semula ingin kutanyakan kebenaran hal itu pada kedua orang tuaku.
Namun aku takut mereka tersinggung, atau sedih, atau mungkin juga marah. Maka
kebenaran hal itu akhirnya kutanyakan pada Bululawang. Mula-mula dia mengatakan
bahwa hal itu adalah dusta dan fitnah belaka.
Akari
tetapi sebelum dia pergi, Bululawang sempat bicara denganku. Dia mengatakan
bahwa aku memang adalah anak angkat. Namun orang tuanya tidak menganggap diriku
sebagai anak angkat. Mereka menganggap aku sama dengan Bululawang yaitu sebagai
anak kandungnya sendiri. Bululawang juga berkata begitu. Aku baginya adalah
adik kandung sedarah sedaging yang sangat disayanginya. Begitulah, memang aku
ingin meninggalkan rumah untuk mencari pembunuh Bululawang. Tapi sekaligus aku
juga ingin mencari tahu siapa adanya ke dua orang tuaku. Dimana mereka berada.
Apa masih hidup. Kalau sudah meninggal dimana kubur mereka. Sebelum hal itu
jelas, bagiku merupakan satu rahasia hidup yang sangat menekan batinku.
(Mengenai siapa adanya Bululawang harap, baca serial Wiro Sableng berjudul
Dendam Manusia Paku)
Untuk
memudahkan diriku dalam perjalanan aku menyamar sebagai Iblis Pemalu. Bersikap
aneh seolah-olah gila dan menutupi wajah serta tanganku dengan lapisan kulit.
Dalam penyelidikan aku bertemu dengan beberapa tokoh rimba persilatan.
Antaranya Pengiring Mayat Muka Hijau, seorang nenek bernama Sika Sure Jelantik
dan seorang kakek bermata memberojol besar bernama Datuk Gadang Mentari.
Belakangan aku ketahui mereka bertiga bukanlah orang baik-baik. Pengiring Mayat
Muka Hijau adalah tangan kanan Datuk Lembah Akhirat yang membunuh dan mengadu
domba sesama tokoh silat golongan putih. Datuk Gadang Mentari kudengar kabar
adalah kaki tangan seorang sakti dari Gunung Singgalang yang punya urusan
dengan murid Dewa Tuak. Katanya adiknya yang bernama Datuk Mangkuto Kamang
dibunuh oleh Anggini, murid Dewa Tuak. Belakangan aku ketahui bahwa hal itu
hanyalah fitnah orang sakti di puncak Singgalang itu yang untuk tujuan tertentu
sengaja menghasut Datuk Gadang Mentari agar bentrokan dengan Dewa Tuak.
Lalu
mengenai nenek bernama Sika Sure Jelantik itu, belakangan kuketahui pula bahwa
dia adalah salah seorang kekasih ayahku di masa muda dan malah sampai saat ini
berusaha mencari ayahku .untuk membunuhnya guna melampiaskan dendam kesumatnya.
Si nenek itu kabarnya pernah menyamar jadi seorang dukun dan diam di sebuah pulau
kerajaan bernama Sipatoka….”
Orang
berpakaian hijau yang sejak tadi berdiri tenang mendengar penuturan Iblis
Pemalu alias Bululani tersentak sampai kepalanya terdongak ke atas.
“Perempuan
bernama Bululani…” kata orang itu dengan suara bergetar. “Dukun tua yang kau
sebutkan itu apakah dia yang pernah memakai nama Dukun Sakti Langit Takambang?”
Bululani
berpaling ke arah si baju hijau. Sesaat pandangannya tampak sayu. Lalu perlahan-lahan
dia anggukkan kepala. “Betul Rajo Tuo…. Dukun Sakti Langit Takambang berada di
pulaumu. Menyamar menjadi dukun sakti kepercayaanmu karena sebenarnya dia
mengincar sebuah benda sakti mandraguna….”
“Maksudmu….”
“Rajo
Tuo, harap kau tidak menyebut dulu nama barang itu. Karena akan merusak
jalannya penuturan Bululani. Harap kau bersabar dulu. Agar semua nanti bisa
menahan diri.”
Sampai di
situ Sabai Nan Rancak yang sejak tadi berdiam diri membuka mulut.
“Orang
bercadar dan kau perempuan bernama Bululani. Agaknya ada sesuatu yang sengaja
kalian rahasiakan terhadap diriku! Aku tidak suka cara kalian ini!”
“Rahasia
di dalam rahasia. Kalau untuk manfaat bersama. Mengapa tidak ditunda sesaat
saja. Agar kita semua tidak kecewa. Semua akan segera nyata. Masalahnya hanya
menunggu waktu yang tepat saja…” jawab orang bercadar dengan gaya bahasanya
yang selalu berpantun.
“Baik!
Aku bisa bersabar tapi tidak terlalu lama.” Jawab Sabai Nan Rancak. “Sekarang
aku ingin tahu siapa nama ayah dan ibu yang melahirkanmu! Harap kau segera
menjawab pertanyaanku Bululani!”
“Ketika
aku dibawa pergi, aku masih bayi. Aku tidak pernah tahu nama ayan dan ibu
kandungku. Kedua orang tua angkatku juga tidak pernah memberitahu. Mungkin
mereka juga tidak tahu…” menjelaskan Bululani.
“Ini adalah
aneh,” kata Sabai Nan Rancak dengan wajah berkerut. “Kalau begitu siapa yang
memberitahu semua cerita yang barusan kau tuturkan itu!”
Bululani
memandang ke arah orang bercadar.
“Biar aku
yang menjawab,” kata si cadar kuning pula. “Apa yang dituturkan Bululani adalah
sahih dan benar adanya. Dia tidak berbohong tidak pula berdusta. Cerita itu
didengarnya langsung dari seorang tokoh sakti di pulau Andalas. Kelak pada
saatnya kita akan menemui orang itu. Tidak akan lama lagi kebenaran rahasia itu
akan segera kita ketahui….”
“Walah!”
Sabai Nan Rancak goleng-goleng kepala. “Bukankah kita berkumpul di sini untuk
Mengungkapkan segala rahasia yang ada. Sekarang mengapa malah menambah
rahasia?”
“Harap
kau mau bersabar Nek. Ini adalah atas permintaan tokoh silat sakti dari Andalas
itu. Kalau semua disingkapkan sekarang mungkin banyak hal yang akan terabai.
Paling tidak kau nanti akan menanyakan bukti. Padahal menurut pesan semua
kejelasan akan dikatakan sendiri oleh tokoh itu….”
Sabai Nan
Rancak keluarkan suara seperti menggerendeng. “aku kenal semua tokoh silat di
Pulau Andalas. Katakan saja aku pasti tahu….”
Bululani
menggeleng, “Harap maafmu Nek. Biar aku lanjutkan penuturanku….”
Walau
tidak senang tapi Sabai Nan Rancak diam saja. Maka Bululani meneruskan keterangannya.
“Walau aku tahu Datuk Gadang Mentari, si nenek Sika Sure Jelantik dan Pengiring
Mayat Muka Hijau bukan manusia-manusia baik, tapi aku membutuhkan mereka untuk
mencari keterangan dimana adanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah membunuh
kakakku Bululawang. Di satu lembah batu kami akhirnya menemukan pemuda itu yang
kebetulan berada bersama Anggini, gadis yang tengah dicari-cari Datuk Gadang
Mentari.
Tapi
justru saat itu pula aku mendapat penjelasan bahwa sesungguhnya kakakku
Bululawang menemui ajal karena ada sangkut paut dengan kejahatan yang dilakukan
oleh Dewi Ular. Dikatakan bahwa kakakku menemui ajal di tangan seorang pemuda
bernama Sandaka berjuluk Manusia Paku. Sebelum persoalan menjadi lebih jelas
suasana di lembah batu kacau balau karena seorang pemuda bernama Panji yang
jadi lawan Pendekar 212 melarikan sebuah kain berisi peta penunjuk tempat
disembunyikannya Pedang Naga Suci 212.
Sementara
rimba persilatan bertambah kacau akibat lenyapnya banyak tokoh silat golongan
putih yang ternyata diculik dan dibawa ke Lembah Akhirat, aku beberapa kali
bertemu dengan orang bercadar kuning ini. Semula aku menganggapnya sebagai
musuh yang punya maksud jahat. Namun dalam beberapa pertemuan aku melihat dia
banyak tahu tentang riwayatku. Maka diam-diam aku juga menyelidiki. Pada
pertemuan terakhir kami berdua menyadari bahwa sesungguhnya antara kami berdua
ada hubungan darah yang sangat dekat. Mungkin dia adalah adik kembarku yang
selama puluhan tahun tak pernah kutemukan. Kukatakan mungkin karena kebenaran hal
ini harus dibuktikan dengan petunjuk oleh tokoh silat utama dari Pulau Andalas
itu….”
“Hemm…”
Sabai Nan Rancak bergumam. “Orang bercadar, jadi kau sebenarnya adalah seorang
perempuan yang selama ini bersembunyi dibalik baju dan cadar kuningmu.
Usiamu tentu
sama dengan usia Bululani. Sekitar setengah abad….” Si nenek berpaling pada
Bululani lalu berkata. “Jika kau sudah tahu orang bercadar ini adalah saudara
kembarmu, apakah kau sudah tahu siapa namanya?”
“Dia
belum mau memberi tahu,” jawab Bululani.
“Berarti
dia melakukan kecurangan. Sengaja menyembunyikan sesuatu!” tukas Sabai Nan
Rancak. Nenek satu ini kembali menjadi geram.
“Aku
tidak melakukan kecurangan. Tidak pula menyembunyikan sesuatu. Aku hanya
menunda keterangan. Sesuai petunjuk tokoh yang memberitahu. Biar kejelasan
terucap keluar dari mulut orang bukan dariku. Karena diri ini juga tersangkut
dalam rahasia yang satu.”
Saking
kesalnya Sabai Nan Rancak bantingkan kaki kanannya ke tanah hingga Lembah
Merpati terasa bergetar. Burung-burung beterbangan dan di tanah yang bekas
dihantam bantingan kaki tadi kelihatan satu lobang besar. Walau kesal kelihatan
namun Sabai Nan Rancak diam-diam merasa lega juga. Tadi dia menduga bahwa
jangan-jangan ibu Iblis Pemalu atau Bululani adalah dirinya sendiri. Tapi setelah
mengetahui bahwa perempuan itu melahirkan sepasang bayi kembar sedang dia hanya
melahirkan seorang bayi saja, maka berarti bukan dirinya yang dimaksudkan dalam
penuturan Bululani.
“Orang
berbaju hijau sekarang giliranmu!”
Si baju
hijau yang tegak sambil mengunyah sirih terkejut mendengar kata-kata Bululani
itu.
“Giliranku
apa? Apa maksudmu?” Dia balik bertanya.
“Rajo
Tuo,” kini si cadar kuning yang bicara. “Orang yang mengaku saudara kembarku
ini telah menceritakan riwayat dirinya. Sekarang giliranmu untuk menuturkan
riwayat dirimu. Bukankah kau meninggalkan tempat kediamanmu karena mencari
puteramu? Harap kau menuturkan mulai dari perkawinanmu dengan ibu anakmu itu.
Siapa nama istrimu dan bagaimana kau sampai berada di tempat ini….”
Orang
berbaju hijau sesaat hanya tegak berdiam diri. Lalu dia menyembur mengeluarkan
sirih yang dikunyahnya.
“Aku
sudah menceritakan padamu. Sudah menceritakan semua.”
“Padaku,
tapi tidak pada nenek ini. Dan hanya sedikit pada saudaraku ini.”
Orang itu
memandang dulu pada Sabai Nan Rancak. Lalu dia mulai dengan penuturannya.
“Aku
kawin ketika berusia dua puluh enam tahun dan istriku delapan belas. Aku tidak
tahu asal-usul istriku. Jangankan diriku, istriku sendiri boleh dikatakan tidak
tahu siapa ayah ibunya. Menurut dia ibunya meninggalkan dirinya sejak dia masih
kecil. Dia dipelihara oleh satu keluarga miskin yang tak punya anak. Mereka
tinggal di satu gubuk kecil, terpencil di kaki gunung Singgalang. Setahun
setelah kawin istriku melahirkan seorang bayi perempuan. Keadaannya yang
sakit-sakitan ditambah ketidakmampuannya merawat anak yang masih kecil membuat
aku menjadi marah. Dia lalu minggat meninggalkan diriku. Sampai saat ini aku
tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya. Apa masih hidup atau sudah
meninggal….”
Orang
bercadar melirik pada Sabai Nan Rancak. Dilihatnya si nenek tegak tak bergerak.
Kepalanya tertunduk memandangi rerumputan yang tumbuh di tempat itu.
“Rajo
Tuo,” menegur orang bercadar. “Bagian terakhir dari ceritamu adalah palsu dan
dusta! Aku pernah mengatakan hal itu padamu dalam pertemuan kita sebelumnya.
Mengapa kau masih berani bicara dusta?”
Wajah
Rajo Tuo tampak berubah. Orang ini sesaat menatap jauh ke depan. Lalu
tenggorokannya turun naik dan suara sesenggukan keluar dari mulutnya. !
“Semua
salahku…. Semua memang salahku…” katanya setengah meratap sambil menutup
wajahnya.
“Pertemuan
ini bukan untuk mendengar ratap tangismu! Harap kau suka bicara mengulang
cerita. Hanya kejujuran yang akan membebaskan diri dari tekanan bathin yang
menghimpit dirimu!” ujar orang bercadar memperingatkan.
Rajo Tuo
hapus air matanya. Dia coba menguatkan hati. Lalu mengulangi kembali sebagian
ceritanya tadi.
*******************
TIGA BELAS
Maafkan
diriku…. Tadi memang ada ceritaku yang tidak benar. Aku terlalu takut
menghadapi hukuman Tuhan. Namun agaknya aku tak mungkin lari dari kenyataan.
Aku juga mengerti bahwa hanya dengan kenyataanlah rahasia besar yang menyangkut
diri kita semua bisa diungkapkan. Tadi aku ceritakan setelah melahirkan istriku
selalu sakit-sakitan. Dia memang sakit tapi bukan sakit jasmani melainkan lebih
banyak akibat tekanan bathin karena ulahku. Aku sering meninggalkannya. Terkadang
sampai berbulan-bulan. Perbuatanku yang semena-mena itu kulakukan karena aku
telah terpikat pada seorang gadis yang diam di sebuah pulau, bernama pulau
Sipatoka. Si gadis adalah puteri penguasa pulau yang telah menganggap pulau itu
sebagai satu kerajaan kecil. Suatu saat penguasa pulau itu jatuh sakit. Sebelum
meninggal dia minta aku mengawini puterinya, sekaligus menyerahkan tahta
kerajaan Sipatoka padaku. Sejak aku kawin dan tinggal di pulau aku tak pernah
menjenguk anak istriku. Satu ketika aku mengutus seseorang untuk pergi ke kaki
Singgalang guna menyelidiki keadaan anak istriku. Ternyata gubuk kediaman
mereka kosong. Menurut satu-satunya tetangga ada seorang bernama Malin, mengaku
sebagai suruhan, suatu hari datang lalu membawa pergi anak istriku. Aku masih
berusaha terus menyelidiki dan mencari orang bernama Malin itu. Tapi di Andalas
ada ratusan orang bernama Malin. Anak dan istriku tak pernah kutemukan lagi
sampai saat ini…. Tak bisa kupastikan apa mereka masih hidup atau sudah
meninggal. Kalau anakku itu masih hidup tentu dia sekarang telah menjadi
seorang gadis. Aku kemudian mengarang cerita bahwa istriku telah meninggal
dunia karena sakit-sakitan. Ah… aku menyesal. Perbuatan di masa muda hanya
menimbulkan derita sengsara di masa tua…. Bagaimana aku menebus segala dosa.”
Orang berbaju hijau itu tundukkan kepala dengan wajah amat sedih.
“Ceritamu
sudah benar, tapi ada yang belum kau jelaskan. Sebagai seorang Rajo Tua dari
kerajaan pulau Sipatoka kau tentunya punya nama. Istrimu tentu juga punya nama
dan anak kalian juga tentu punya nama…. Mengapa tidak kau jelaskan siapa-siapa
nama mereka?”
Rajo Tuo
angkat kepalanya sedikit. Sejurus dia menatap pada orang bercadar lalu melirik
pada si nenek. Ada getaran-getaran aneh tiba-tiba dirasakan lelaki berusia 60
tahun ini. “Aku tidak tahu…” katanya dengan suara tersendat. “Apakah anakku itu
masih memakai nama yang pernah aku berikan padanya….” Rajo Tuo geleng-gelengkan
kepala. Mulutnya kembali terkancing. Air mata membasahi pipinya yang cekung.
“Jangan rahasia
disimpan di dalam hati. Sebutkan nama agar kami semua tahu. Tak ada lagi
gunanya segala sembunyi. Ini saat paling baik untuk memberitahu.”
“Aku….
Aku memberi nama anak itu Puti Andini….”
Sabai Nan
Rancak memekik keras. Mukanya yang penuh keriput kelihatan seputih kertas.
Dadanya berguncang hebat. Sepasang kakinya tersurut sampai tiga langkah.
Tibatiba nenek ini melompat ke hadapan Rajo Tuo. Membuat lelaki ini kini yang
jadi tersurut saking kagetnya.
“Kau
mengatakan anakmu itu bernama Puti Andini! Jangan kau berani bicara dusta!”
teriak Sabai Nan Rancak.
“Aku….
Aku tidak bicara dusta. Puti Andini memang nama yang kuberikan pada anakku
sebelum dia dan ibunya kutinggal pergi!” jawab Rajo Tuo.
“Aku
punya seorang cucu perempuan yang juga bernama Puti Andini! Apa ini satu
kebetulan nama sama. Atau…. Kubunuh kau jika berani mengarang cerita dusta!”
“Nenek,
siapa kau ini sebenarnya hingga marah begini rupa terhadapku?” tanya Rajo Tuo
dengan wajah yang kini juga menjadi pucat.
“Nenek,
harap kau bisa menahan diri dan perasaan. Biar Rajo Tuo menyelesaikan
ceritanya….”
“Tidak!”
teriak Sabai Nan Rancak. “Aku harus tahu siapa namamu! Aku harus tahu siapa
gelarmu!”
Rajo Tuo
tak mau menjawab melainkan memandang pada Iblis Pemalu alias Bululani, lalu
pada orang bercadar.
“Rajo
Tuo, penuhi permintaannya. Katakan namamu…” kata orang bercadar pula.
“Namaku
Sidi Kuniang….” Rajo Tuo mengatakan namanya.
“Sidi
Kuniang…” mengulang Sabai Nan Rancak dalam hati. “Tak aku kenal nama itu. Tak
pernah kudengar nama ini!” Si nenek berpaling pada orang bercadar lantas
berkata, “Aku tak kenal orang ini. Tak pernah mendengar namanya!”
“Rajo
Tuo, orang tak kenal namamu. Mengapa tidak memberi tahu siapa gelarmu?” Berkata
si cadar kuning.
“Orang
tuaku memberi aku gelar Datuk Paduko Intan…” kata orang berbaju hijau dengan
suara perlahan. Namun ucapan itu datangnya di telinga Sabai Nan Rancak laksana
petir menyambar.
Dia menjerit
keras. Dari celah-celah antara kepala dan topi berkeluk yang dikenakannya
kelihatan kepulan asap pertanda dapat dibayangkan bagaimana marahnya si nenek.
“Manusia
jahanam! Laknat terkutuk! Jadi kau rupanya! Pembunuh anakku! Penyengsara
cucuku! Memang sudah lama kau kucari untuk kujadikan bangkai! Mampus kau
sekarang juga!”
Habis
membentak begitu rupa Sabai Nan Rancak angkat kedua tangannya. Karena dia
mengalirkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya maka dua
lengannya berubah menjadi merah. Si nenek jelas siap untuk menghantam dengan
pukulan maut Kipas Neraka. Dua pukulan sekaligus!
“Nenek
siapa kau adanya!” seru Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dengan wajah ketakutan dan
melangkah mundur menjauhi si nenek.
“Siapa
aku nanti bisa kau tanyakan di neraka!” jawab Sabai Nan Rancak. Dua lengannya
ditarik ke belakang.
“Nek!
Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Iblis Pemalu alias Bululani yang kini cara
bicaranya tidak lagi seperti dulu yakni selalu menyebut-nyebut malu atau
memalukan. Kedua wajahnya pun tidak lagi ditutupnya dengan dua telapak tangan.
“Tunggu!”
teriak orang bercadar. Dia cepat berkelebat ke hadapan Sabai Nan Rancak.
“Jangan
cepat turuti tangan. Tanpa alasan….”
“Aku
punya sejuta alasan untuk membunuhnya! Dia adalah menantu yang tak pantas
Kusebut sebagai menantu. Manusia laknat terkutuk! Menyia-nyiakan anakku,
menyengsarakan cucuku!”
“Kalau
kau ingin membunuhnya itu soal gampang. Apalagi kalau kau punya alasan
segudang. Tapi kejelasan perlu diungkap. Apa benar dia si menantu laknat….”
“Apa ada
sepuluh Datuk Paduko Intan di dunia ini?!” sahut Sabai Nan Rancak pula.
“Aku
yakin seribu yakin inilah Datuk Paduko Intan manusia yang telah mencelakai anak
cucuku!”
“Harap
kau suka bersabar barang sedikit. Agar perbuatan keliru tidak membawa sesal penyakit.
Biar aku tanyakan beberapa hal padanya. Kalau dia menjawab tanpa dusta. Maka
semua akan jelas dan nyata….” Si cadar kuning memegang lengan Sabai Nan Rancak.
Semula si
nenek hendak menyentakkan tangannya yang dipegang malah hendak mendorong si
cadar kuning dengan tangannya yang lain. Namun dia tercekat ketika melihat
sepasang mata bening orang bercadar basah oleh air mata. Gerakannya ditahannya
dan dia hanya mengikut saja ketika dibawa ke samping menjauhi Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan.
“Kita
berada di sini bukan untuk saling membunuh. Menyingkap rahasia hidup adalah
lebih utama dari kematian. Jangan memecah buluh. Kalau miangnya akan meracun
tubuh!”
Setelah
yakin bahwa Sabai Nan Rancak tidak akan menyerang maka si cadar kuning
berpaling pada orang berpakaian hijau. “Rajo Tuo Datuk Paduko Intan….” Suara si
cadar kuning terdengar aneh di telinga Sabai Nan Rancak. Tidak lagi seperti
suaranya sebelumnya.
“Agar
jelas bagi kami semua. Agar tidak ada yang salah langkah. Harap kau sudi
bicara. Katakan siapa nama istrimu. Juga apakah kau masih ingat siapa nama
mertuamu baik yang lelaki ataupun yang perempuan….”
“Sudah
kukatakan aku tidak tahu nama kedua mertuaku….”
Si cadar
kuning gelengkan kepala. “Tidak Rajo Tuo. Aku yakin kau tahu siapa nama kedua
mertuamu. Bukankah kau pernah ditemui oleh seseorang yang datang membawa sebuah
benda. Benda itu harus kau sampaikan pada…. Aku yakin kau tahu tapi kau masih
berusaha menyembunyikan. Aku tak tahu apa kau punya tujuan….”
Rajo Tuo
Datuk Paduko Intan kerenyitkan kening dan usap-usap dagunya sesaat. Lama orang
ini terdiam sebelum akhirnya dia berkata. “Orang yang datang menemuiku membawa
sebuah benda dalam satu kotak perak. Katanya benda itu harus aku serahkan pada
ibu mendiang istriku. Dia memang mengatakan siapa ibu mertuaku itu. Seorang
nenek bernama Sabai Nan Rancak. Aku juga diberitahu bahwa Sabai Nan Rancak
tengah mencari suaminya, ayah istriku, yang diketahuinya bergelar Tua Gila.
Katanya lagi Sabai Nan Rancak mencari Tua Gila untuk membunuh si kakek karena
dendam kesumat urusan cinta di masa muda!”
“Apa
kataku! Apa kataku!” teriak Sabai Nan Rancak dengan tubuh tampak seperti
menggigil dan mata membeliak seolah mau melompat keluar dari rongganya. “Memang
dia jahanamnya! Memang manusia satu ini laknatnya! Aku tidak akan pernah
mengakuinya sebagai menantu! Keparat!”
Si cadar
kuning angkat kedua tangannya. “Nek, aku masih ingin kau menunjukkan kesabaran.
Masih ada beberapa hal perlu kejelasan…. Rajo Tuo Datuk Paduko Intan, kau tahu
siapa nenek bermantel hitam yang tegak di hadapanmu ini?”
“A… aku
tidak tahu. Tapi kini aku bisa menduga….”
“Apa
dugaanmu Rajo Tuo?” Yang bertanya adalah Bululani.
“Mungkin
dia…dia adalah Sabai Nan Rancak, ibu istriku, ibu mertuaku!”
“Bukan
mungkin! Tapi aku memang adalah Sabai Nan Rancak! Dan jangan kau berani
menyebut diriku sebagai ibu mertuamu! Jahanam keparat!”
“Rajo
Tuo, satu hal lagi harus kau terangkan. Siapa nama istrimu gerangan…. Kalau kau
tidak tahu namanya. Tidak pula menyebutkannya. Maka semua . ceritamu tadi hanya
dusta belaka!”
“Andam
Suri. Namanya Andam Suri….” Rajo Tuo Datuk Paduko Intan lalu tutup wajahnya
dengan dua tangan. Tenggorokannya turun naik. Tubuhnya berguncang-guncang tanda
dia berusaha keras untuk menahan tangis.
“Manusia
jahanam! Kau bukan saja busuk jahat. Tapi juga pengecut! Kau berpurapura
menangis agar orang berhiba hati. Apapun yang terjadi aku tetap akan
membunuhmu! Orang bercadar harap kau lekas menyingkir!”
“Nenek
Sabai, tunggu dulu! Sebagian rahasia memang sudah tersingkap. Tapi harus ada
bukti agar dapat menentukan sikap!” kata si cadar kuning pula.
“Pertanyaanku
pada orang ini belum selesai. Datuk Paduko Intan, kalau Andam Suri benar
istrimu, apakah kau tahu atau mungkin pernah menyirap kabar dimana dia berada
saat ini?”
Yang
ditanya turunkan tangan. Wajahnya tampak kuyu sedih. Lalu dia gelengkan kepala.
“Aku tidak tahu di mana dia berada. Kalau memang masih hidup aku ingin sekali
menemuinya dan bersujud minta ampun….”
“Minta
ampun! Huh! Alangkah enaknya!” hardik Sabat Nan Rancak. Dia maju dua langkah
tapi cepat dihalangi si cadar kuning.
“Nek,
setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Ukuran hukum atas diri seseorang
tidak hanya ditakar dari dosa dan kesalahannya belaka. Mungkin ada alasan mengapa
dia berbuat begitu. Mungkin ada rangkaian kejadian yang memaksa dirinya
melakukan sesuatu. Kita semua harus bertindak bijaksana. Sekali lagi aku
meminta. Rahasia memang sudah tersingkap. Tapi bukti perlu dilihat….”
“Bukti
apa lagi?!” bentak Sabai Nan Rancak dengan mata membelalak.
“Bukti
itu akan kita dapat dan ketahui pada hari empat belas bulan purnama
mendatang….”
“Aku ada
urusan pada saat itu….”
“Hemmm….
Apakah terpikir olehmu bahwa urusanmu ada sangkut pautnya dengan urusan kita
semua. Bukankah seorang sakti berjuluk Kakek Segala Tahu yang memintamu untuk
datang ke satu tempat pada bulan purnama empat belas hari?”
“Bagaimana
kau bisa tahu?” tanya Sabai Nan Rancak.
“Banyak
yang kau tahu. Tapi masih lebih banyak yang aku tidak tahu. Karena itu kita akan
bertemu lagi pada hari empat belas malam mendatang. Semua bukti harus
dicocokkan. Kalau semua bukti tepat. Maka akan gampang menyelesaikan silang
sengketa lantai terjungkat. Bisakah aku mengharapkan kesabaranmu lagi Nek?
Menunggu sampai hari empat belas, malam bulan purnama penuh?”
“Rasa-rasanya
aku sudah tidak bisa menunggu. Tak ada lagi kesabaran dalam diriku! Tapi sekali
ini aku terpaksa mengalah…” kata Sabai Nan Rancak dengan suara datar.
“Orang
mengalah bukan berarti kalah. Orang mengalah bukan berarti mencari susah. Orang
mengalah justru menunjukkan budi luhur dan tinggi. Orang mengalah justru akan
mencapai kemenangan pribadi…. aku sangat berterima kasih….”
“Kau
boleh saja berkata begitu! Tapi aku punya beberapa pertanyaan untuk Raja geblek
ini!”
“Silahkan
kau bertanya….”
“Paduko
Intan! Kau menuturkan ada orang datang padamu membawa sebuah kotak perak. Orang
itu meminta agar kau menyerahkan kotak tersebut pada seorang nenek bernama
Sabai Nan Rancak, yaitu diriku sendiri! Kau tahu apa isi kotak perak itu?”
“Sebuah
kalung perak sakti bermata hijau bernama Kalung Permata Kejora….”
“Di mana
kau simpan kalung itu sekarang?!” tanya Sabai Nan Rancak geregetan.
“Kuserahkan
pada seseorang….”
“Kau
serahkan pada seseorang?!” ujar si nenek dengan mata melotot. “Siapa orangnya?”
“Seorang
sahabat bernama Wiro Sableng,” jawab Rajo Tuo Datuk Paduko Intan.
(Seperti
dituturkan dalam Episode pertama Tua Gila Dari Andalas kalung sakti itu
diserahkan Datuk Paduko Intan pada Tua Gila untuk diserahkan pada Sabai Nah
Rancak. Ketika Datuk Paduko Intan menanyakan namanya, seenaknya saja Tua Gila
memberitahu bahwa namanya adalah Wiro Sableng)
Sabai Nan
Rancak sampai terlonjak mendengar jawaban Datuk Paduko Intan itu.
“Manusia
celaka! Kau benar-benar jahanam! Kalung itu kau serahkan pada musuh besar yang
harus kubunuh!” Sabai Nan Rancak melangkah mondar-mandir sambil merepet tak
karuan dan banting-banting kaki.
“Kalian
semua dengar! Aku harus pergi dari sini! Dan kau!” Si nenek menunjuk
tepat-tepat pada Datuk Paduko Intan. “Aku tidak ingin melihat tampangmu lagi!
Sekali kau muncul di hadapanku amblas nyawamu!”
“Nek, kau
mau ke mana?” tanya Bululani.
“Lama-lama
di sini aku bisa mati berdiri!” jawab Sabai Nan Rancak. “Jangan harap aku akan
memenuhi, permintaan kalian datang pada pertemuan di Telaga Gajahmungkur pada
hari empat belas malam bulan purnama!”
“Nek,
jalan yang kau lalui hanya tinggal beberapa depa. Rahasia sudah terungkap
hampir semua. Justru hari empat belas malam bulan purnama adalah saat paling
menentukan. Apa salahnya kau menyempatkan diri mencari kebaikan….”
“Mencari
kebaikan? Buktinya saat ini aku menemui seribu satu macam perkara jahanam!
Jangan harap aku akan datang!”
“Nenek
Sabai, aku khawatir kau akan menyesal. Bukankah kau sangat ingin menyingkap
tabir di mana beradanya anakmu Andam Suri? Bukankah kau ingin mendapatkan
Kalung Permata Kejora? Bukankah banyak hal lagi yang sebenarnya ingin kau ketahui…?”
“Kalian
semua orang-orang gila. Urusan yang kalian hadapkan padaku sama gilanya dengan
diri kalian!”
“Kalau
kau ingin pergi dan tak mau datang ke tempat pertemuan bagi kami tidak menjadi
apa. Tapi kau akan sangat kecewa. Apalagi kelak orang mungkin akan menyalahkan
dirimu. Karena semua urusan ini terjadi akibat ulahmu….”
“Manusia
bercadar! Jaga mulutmu!” teriak Sabai Nan Rancak marah.
“Benar
apa yang dikatakan orang. Sejak muda kau lebih mendahulukan hati daripada
pikiran. Kau menghujat kesalahan orang tanpa menyadari kesalahan sendiri.
Bukankah karena menuruti hawa amarah dan perasaan hati sendiri lima puluh tahun
lalu kau sampai tega meninggalkan bayi yang kau lahirkan. Bayi yang masih
merah! Bahkan kau tak pernah tahu kalau kau punya anak kembar! Kau hanya tahu
bahwa anakmu hanya seorang yakni Andam Suri! Sampai saat ini kau seolah patung
tak punya perasaan, tak punya hati tak punya pikiran. Apa kau tidak sadar kalau
perempuan bernama Bululani yang tegak di hadapanmu ini adalah salah satu dari
dua anakmu? Anak kandung darah dagingmu! Tapi kau bertindak acuh seolah dia
hanyalah batu! Binatang masih mempunyai rasa kasih sayang terhadap anaknya.
Apakah kau lebih nista dari binatang?! Kau hanya pandai melihat kesalahan orang
lain! Tapi buta mengukur kesalahan sendiri! Apa kau pernah sadar apa yang telah
kau lakukan setelah kau meninggalkan bayimu? Kau hanya mempermomok Tua Gila
pada semua orang. Kau sendiri tidak sadar dengan segala perbuatanmu! Kau telah
mengotori Gunung Singgalang dengan segala tingkah lakumu! Dalam lupa dirimu kau
sampai tidak tahu kalau dirimu telah diperalat orang untuk ikut mengadu domba
antara sesama tokoh golongan putih! Membunuh orang-orang tak bersalah! Jangan
merasa dirimu sebagai malaikat yang hendak membersihkan rimba persilatan. Kau
jauh lebih kotor dari Tua Gila!”
“Orang
bercadar, apa maksudmu…?” tanya Sabai Nan Rancak dengan suara bergetar dan muka
putih seperti kain kafan.
“Tanyakan
pada dirimu sendiri. Karena jawabnya ada dalam lubuk hatimu sendiri!” jawab
orang bercadar. Lalu dia memberi isyarat pada Bululani. Sekali berkelebat kedua
orang itu lenyap dari tempat itu. Sabai Nan Rancak merasakan tubuhnya lemas.
Lututnya gontai. Nenek ini jatuh terduduk. Air mata meluncur deras di kedua
pipinya. Dia memandang ke samping. Ternyata Datuk Paduko Intan juga tak ada
lagi di tempat itu.
“Ya
Tuhan, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan diri tua rapuh ini…?” kata
Sabai Nan Rancak seraya gulingkan diri lalu menelungkup di atas rerumputan.
Suara tangisnya tenggelam seolah ditelan tanah.
Tiba-tiba
dia bangkit terduduk. Memandang ke arah lenyapnya orang bercadar kuning. “Aku
membuat satu kesalahan besar. Mengapa aku tidak menanyakan siapa sebenarnya
orang berpakaian dan bercadar kuning itu….” Si nenek pukul-pukul keningnya
sendiri. Lalu kembali dia berbaring menelungkup dan menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan…”
kata suara hatinya meratap. “Kalau memang aku ini salah jalan. Kalau memang aku
ini orang berdosa, turunkanlah kutuk dan hukumanmu! Hancurkan tubuh tua tak
berguna ini!”
*******************
EMPAT BELAS
Sabai Nan
Rancak tidak tahu berapa lama dia menangis menelungkup di rumput seperti itu.
Dia baru hentikan tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari bahwa dia
tidak lagi seorang diri di Lembah Merpati itu. Si nenek cepat bangkit dan
duduk. Hanya tiga langkah di hadapannya dilihatnya duduk seorang kakek
berkepala botak, berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang ke arahnya dengan
pandangan dan sinar mata sayu.
“Aneh,
walau aku tadi tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak mendengar suara
langkah kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung yang melayang
terbang lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini. Agaknya dia
memiliki kepandaian tinggi.”
“Apakah
kehadiranku mengejutkan dirimu?” Kakek botak menegur. Dia tersenyum walau
senyuman ini tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.
“Kau
bukan saja mengejutkan! Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan di
tempat sepi seperti ini. Padahal kita tidak saling kenal!”
Kakek
botak bermuka sayu kembali tersenyum. “Lembah ini memang sepi dan indah sekali.
Itu sebabnya aku tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik setelah
melihat dirimu yang tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan
menelungkup. Memang hanya kita berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal.
Tapi apakah ada dan masihkah tua bangka seperti kita ini mau melakukan yang
bukan-bukan walau hanya kita berdua saja yang ada di tempat ini? Maafkan kalau
aku telah mengejutkan dirimu. Di tempat sepi begini berteman adalah lebih baik
daripada seorang diri. Walau tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut hiba
mendengar tangismu tadi. Nenek bertopi seperti tanduk kuda, menurut
penglihatanku kau pasti datang dari jauh, dari tanah seberang. Jauh-jauh datang
ke sini lalu menangis ini adalah satu hal yang ingin aku ketahui….”
“Hemmmm….
Ternyata selain kurang ajar kau juga lancangi” semprot Sabai Nan Rancak.
“Lancang
bagaimana maksudmu Nek?”
“Kita
tidak saling kenali Kau datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak
mencampuri urusan orang! Bukankah itu namanya lancang?!”
Si kakek
usap-usap kepalanya yang botak. “Menurutmu lancang. Tapi menurutku lain lagi.
Karena maksudku bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu,
walau tidak kenal aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang
tengah kau hadapi….”
“Sedih?
Siapa bilang aku sedih?!”
“Orang
menangis biasanya karena sedih, Bukankah begitu?” ujar si kakek pula.
“Tidak
selamanya!”
“Ah,
bagaimana kau bisa berkata begitu?”
“Karena
aku menangis bukan sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati! Kau
tadi bilang ingin menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua
bangka keropos ini sampai mati?!”
Kakek
botak ternganga lalu geleng-gelengkan kepala. “Kau ini ada-ada saja Nek. Tapi
kau tahu, aku suka berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin
kita bisa membagi pengalaman….”
“Sayang,
aku justru tidak suka bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!” kata Sabai
Nan Rancak.
“Kalau
begitu dengan berat hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum pergi
maukah kau mendengar beberapa bait nyanyianku…?”
“Ah,
rupanya kau adalah seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja suaramu
tidak enak, apalagi menyanyi!”
Si kakek
botak tertawa lebar. “Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan manusia,
tikus pun akan lari mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi jaminan.
Cobalah kau simak bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi
kelegaan di lubuk hatimu….”
Lalu
tanpa perduli apakah orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala memandang
ke langit di atas Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.
Jauh
berjalan banyak nan dilihat
Lama
hidup banyak nan dirasa
Salah
jalan bisa tersesat
Salah
hidup bisa celaka
Lama
hidup banyak nan dirasa
Segala
suka segala duka
Kalau
duka berlebihan dari suka
Pertanda
diri akan binasa
Salah
jalan bisa tersesat
Mengapa
tidak kembali ke pangkal jalan
Salah
hidup bisa celaka
Mengapa
tidak mencari letaknya salah
“Tua
bangka botak gila! Aku tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir dari
hadapanku!” membentak Sabai Nan Rancak.
Tapi
seolah tidak mendengar ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi.
Kalau
dendam membakar hati
Kalau
dendam membakar pikiran
Kasih
indah di masa muda seolah api
Membakar
asmara menjadi ajang kematian
Apakah
itu maunya manusia?
Kalau
hati berselimut dendam
Kalau
darah dibakar amarah
Lautan
cinta menjadi padang maut
Padang
asmara menjadi neraka kematian
Bisakah
kesalahan ditumpahkan pada hanya satu insan?
Tidakkah
ada lagi kasih sayang di hati manusia
Tidakkah
ada lagi seberkas cahaya kenangan indah
Tidakkah
ada lagi kenangan indahnya asmara di hati insan
Apakah
hidup hanya dibatasi garis bara api antara
yang
benar dan yang salah
Antara
yang sengsara dan yang sesat
Kalau
kematian memang sudah menjadi niat
Kalau
malaikat maut memang sudah terpanggil
Lalu
manusia bertindak sebagai pencabut nyawa diri
sendiri
dan nyawa orang lain
Alangkah
sedihnya nasib dunia
Tangis
dan air mata bukan lagi penyejuk hati
Ratap minta
pengampunan bukan lagi pelebur amarah
Desah
kesedihan tidak lagi dorongan untuk menanyai diri sendiri
Manusia
hanya bisa melihat jauh pada diri orang lain
Seolah
tidak mampu melihat dekat pada diri sendiri
Manusia
ingin melihat kegelapan
Padahal
dalam dirinya ada cahaya terang
Mengkaji
lubuk hati
Sama
hikmahnya dengan menyingkap rahasia diri
Datanglah
dendam, Datanglah salah sangka
Datanglah
maut, Datanglah kematian
Dekap
tubuh tua penuh dosa erat-erat dalam
pelukanmu
yang paling ganas
Kematian
datangnya hanya sekejap
Sengsara
tetap berbekas sampai kiamat
Apakah
manusia lupa bahwa Tuhan selalu membuka pintu tobat?
Orang tua
berkepala botak itu batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik.
“Ah
suaraku memang tidak sedap didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan kelakuanku
yang tidak mengenakkan. Aku minta diri….” Kakek ini membungkuk lalu putar
tubuhnya.
“Tunggu!”
seru Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di hadapannya mulai
dari kepala sampai ke kaki.
“Siapa
kau sebenarnya…?” tanya si nenek.
“Kau tak
suka padaku. Perlu apa tahu namaku…?”
“Nyanyianmu
itu…. Apa maksudmu dengan nyanyian tadi?”
“Ah,
nyanyian hanya sekedar paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama. Kalau
suaraku tidak sedap harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap maafkan.
Kalau bait-bait dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta maaf
beribu maaf.”
“Tidak
bisa! Aku ingin tanya! Tahu apa kau tentang diriku?!”
“Seperti
katamu bukankah kita sebelumnya tidak saling kenal? Jadi apa yang bisa
kukatakan tentang dirimu? Sekali lagi harap maafkan diriku!”
Kakek
botak itu kembali membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah barat.
Sabai Nan
Rancak tegak termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata. “Suaranya tidak
sama. Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak wasangka…? Ah
sudahlah! Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau pergi ke mana…?”
Sabai Nan
Rancak memandang berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di Lembah
Merpati yang sunyi dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di dunia
ini. Tak terasa air mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba
saja si nenek teringat pada cucunya. “Puti Andini… di mana kau berada Nak….” Si
nenek memandang lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. “Aku harus
mencari cucuku itu….”
TAMAT
No comments:
Post a Comment