WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***************
1
Wiro
Sableng menghentikan jalannya di tikungan itu. Matanya memandang ke muka
memperhatikan beberapa buah gerobak besar ditumpangi oleh perempuan-perempuan
dan anakanak.
Gerobak-gerobak
itu juga penuh dengan muatan berbagai macam perabotan rumah tangga.
Belasan
orang laki-laki kelihatan berjalan kaki dan membawa buntalan barang-barang.
Jelaslah bahwa semua mereka itu tengah melakukan pindah besar-besaran.
“Saudara,
hendak pergi ke manakah rombonganmu ini?” bertanya Wiro sewaktu seorang anggota
rombongan melangkah ke jurusannya.
Orang itu
memandang sebentar kepadanya dengan pandangan curiga. Demikian juga anggota
rombongan yang lain.
“Kami
terpaksa meninggalkan kampung, pindah ke tempat lain yang jauh dari daerah
ini….”
“Kenapa
pindah?”
Seorang
laki-laki tua yang mengemudikan gerobak, menghentikan gerobak itu dan menjawab
pertanyaan Wiro Sableng.
“Kampung
kami dilanda malapetaka!”
“Malapetaka
apakah?”
“Kepala
kampung dan lima orang pembantunya serta istrinya digantung. Beberapa orang
gadis diculik! Beberapa penduduk dibunuh….”
“Siapa
yang melakukannya?” tanya Wiro Sableng.
“Siapa
lagi kalau bukan kaki tangannya Dewi Siluman,” menyahuti laki-laki pengemudi
kereta.
Mulut
Pendekar 212 tertutup rapat-rapat. Rahangnya bertonjolan lagi-lagi dia
dihadapkan pada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
“Kalau
kami tidak meninggalkan kampung, kami semua akan dibunuh!”
Anggota
rombongan yang pertama tadi bertanya. “Kau sendiri mau kemanakah, Saudara…?”
“Maksudku
ke arah sana. Ke kampung kalian…?”
“Sebaiknya
batalkan saja niatmu,” menasehati orang itu. “Orang-orangnya Dewi Siluman pasti
akan datang lagi ke kampung kami. Jika kau ditemui mereka di sana, tiada
harapan bagimu untuk hidup lebih lama!”
“Terima
kasih atas nasihatmu, Saudara!” jawab Wiro. “Tapi aku tetap musti menuju
kesana….”
“Kau
mencari mati, orang muda!” kata pengemudi gerobak. Dilecutnya punggung lembu
yang menarik gerobak itu kemudian diberinya aba-aba. Rombongan itu pun bergerak
kembali.
Wiro
Sableng mengikuti rombongan itu dengan pandangannya sampai akhirnya mereka
lenyap di kejauhan. Hatinya kasihan sekali melihat orang-orang itu, terutama
laki-laki tua dan perempuan-perempuan tua serta anak-anak. Kemudian
dibalikkannya badannya dan dengan cepat berlalu dari situ.
Kira-kira
dua kali sepeminum teh, Wiro Sableng menemui sebuah kampung yang berada dalam
keadaan porak poranda. Pastilah ini kampung rombongan yang ditemuinya di tengah
jalan tadi.
Beberapa
buah rumah hancur. Dua di antaranya musnah dimakan api. Empat orang laki-laki
terkapar di hadapan sebuah rumah bagus sedang di langkan rumah Pendekar 212
menyaksikan enam orang tergantung berayun-ayun tiada nyawa lagi. Yang pertama
adalah kepala kampung, kemudian isterinya. Selebihnya adalah pembantu-pembantu
kepala kampung. Di beberapa langkan rumah lainnya, Wiro menemukan pula beberapa
orang yang mengalami nasib sama seperti kepala kampung, digantung sampai mati.
Pendekar
212 menyandarkan punggungnya ke sebatang pohon dan membatin. Kesalahan apakah
yang telah dibuat penduduk kampung ini sebelumnya sampai mereka dibunuh
sedemikian kejamnya? Anak-anak dan perempuan-perempuan tanpa perikemanusiaan
sama sekali?!
Wiro ingat
pada ucapan anggota rombongan tadi. Orang-orangnya Dewi Siluman pasti akan
kembali ke kampung itu. Wiro memutuskan untuk menunggu. Jika manusia-manusia
jahat itu muncul, dia akan buat perhitungan dengan mereka dan sekaligus mencari
keterangan di mana letak Bukit Tunggul. Manusia macam Dewi Siluman tidak layak
dibiarkan hidup lebih lama. Maka Wiro pun melompat ke sebuah cabang pohon yang
tinggi, duduk di situ dan memulai penungguannya.
Sampai
matahari condong ke barat tak seorang pun yang muncul. Dengan hati kesal murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu turun dari atas pohon dan mengelilingi
kampung.
Bukan
main geramnya. Wiro sewaktu di salah satu dinding rumah penduduk ditemuinya
barisanbarisan tulisan seperti yang dilihatnya sebelumnya di kampung yang
terdahulu.
Delapan
penjuru angin adalah daerah kami
Siapa
menantang mesti diterjang
Dunia
persilatan boleh geger
Tokoh-tokoh
persilatan boleh turun tangan
Kalau mau
mempercepat kematian.
Dan juga
di bawah barian-bansan kalimat itu tertera lukisan tengkorak kecil. Geram
sekali Wiro Sableng pergunakan kaki kirinya untuk menendang dinding rumah itu.
Dinding rumah hancur berantakan. Ditinggalkannya tempat itu. Hatinya bimbang
dan meragu apakah orang-orangnya Dewi Siluman benar-benar akan kembali ke
kampung itu. Tiba-tiba Wiro tersirap kaget. Di belakang rumah sebelah kirinya
terdengar suara seseorang bicara.
“Heran,
kenapa Dewi Siluman berbuat kekejaman yang tiada artinya ini?”
Sebagai
jawaban terdengar suara helaan napas yang disusul dengan ucapan. “Manusia punya
seribu macam cara untuk cari nama di dunia persilatan!”
Ternyata
ada dua orang di samping rumah sana. Yang mengherankan Wiro ialah mengapa dia
sama sekali tidak mendengar sedikit pun kedatangan kedua manusia itu? Penuh
rasa ingin tahu Wiro menyelinap ke bagian rumah yang lain dan melompat ke
sebatang pohon berdaun rindang.
Dari sini
jelas sekali dia dapat memandang ke halaman samping rumah tadi. Dua sosok tubuh
manusia dilihatnya berdiri di sana. Dan untuk kedua kalinya Pendekar 212 dibuat
terkejut. Salah seorang dari dua manusia itu bukan lain dari nenek-nenek sakti
yang pernah baku hantam sekitar dua bulan yang lewat dengan dia di Kotaraja.
Nenek-nenek sakti yang dikenal dengan gelar Si Telinga Arit Sakti.
Gerangan
apakah yang membuat manusia ini berada pula di Pulau Madura? Dan siapakah
manusia yang berdiri di sampingnya saat itu? Manusia ini juga seorang perempuan
tua renta, bermuka keriput. Salah satu matanya hanya merupakan rongga hitam
yang mengerikan. Kepalanya tidak sedikit pun ditumbuhi rambut. Dia mengenakan
jubah putih yang pada bagian dadanya tergambar dua buah arit saling
bersilangan! Melihat kepada umur serta ciri-ciri manusia ini Wiro menduga
mungkin sekali dia adalah guru Si Telinga Arit Sakti. Sekurang-kurangnya kakak
seperguruannya. Dan apakah kemunculan mereka berdua di Pulau Madura ada sangkut
pautnya dengan pertempuran di Kotaraja dulu itu? Sangkut paut urusan dendam
yang hendak dibalaskan?
Atau
mungkin untuk satu urusan lainnya?
Wiro
terus memperhatikan dari atas pohon berdaun lebat itu. Dilihatnya Si Telinga
Arit Sakti memandang berkeliling.
“Tak ada
tanda-tandanya bangsat yang kita kejar itu berada di sini….” Perempuan tua
berjubah putih buka suara.
Si
Telinga Arit Sakti memandang lagi berkeliling lalu menyahuti. “Tapi rombongan
yang kita papasi di tengah jalan itu mengatakan bahwa dia memang menuju ke
sini. Mungkin dia sudah berlalu ke tempat lain. Kita harus mengejarnya dengan
cepat.”
“Kau
hanya bikin aku repot saja Telinga Arit Sakti. Kalau tidak gara-garamu tentu
sekarang ramuan obat yang kukerjakan itu sudah selesai!”
Telinga
Arit Sakti perlihatkan wajah yang tidak senang. “Kalau pemuda sialan itu tidak
keliwat sakti mandraguna, pastilah aku tak akan mengemis minta tolong padamu.
Guru!”
Nyatalah
kini bagi Wiro Sableng bahwa perempuan tua berjubah putih itu adalah guru Si
Telinga Arit Sakti! Dan nyata pula bahwa kemunculan mereka di Pulau Madura saat
itu adalah dalam mencari dirinya sendiri. Rupanya kekalahan di Kotaraja tempo
hari sangat menggeramkan hati Si Telinga Arit Sakti hingga manusia itu mengadu
kepada gurunya. Guru dan murid kemudian sama-sama mencarinya!
“Dalam
berpikir-pikir apakah dia saat itu segera turun atau tetap saja diam di atas
pohon maka Wiro mendengar perempuan berjubah putih berkata. “Kita teruskan pengejaran
ke timur!
Kurasa
orang yang kita cari masih belum berapa jauh!”
Telinga
Arit Sakti mengangguk. Maka keduanya pun berkelebat hendak meninggalkan tempat
itu. Tapi pada detik yang sama dari jurusan barat satu bayangan hitam laksana
anak panah lepas dari busurnya datang memapas ke arah mereka. Pendatang baru
ini berseru nyaring. Suaranya menggetarkan delapan penjuru angin.
“Dua
perempuan tua! Harap tetap di tempat kalian!”
Guru dan
murid hentikan tindakan mereka dan berpaling ke arah barat. “Bedebah! Siapa
yang berani main perintah seenak cecongornya huh?!” dengus guru Si Telinga Arit
Sakti dengan penuh kegusaran.
Dalam
sekejap itu pula Si pendatang baru sudah sampai di hadapan mereka. Melihat
siapa adanya manusia ini maka sirnalah kemarahan guru Si Telinga Arit Sakti.
Malah dia menjura hormat dan lontarkan senyum.
“Ah, kiranya
Sepuluh Jari Kematian! Tiada sangka akan bertemu di Pulau Madura ini!”
Manusia
yang baru datang adalah seorang laki-laki berjubah hitam, berambut panjang
sampai ke punggung. Sepuluh jari tangannya berwarna hitam legam. Dia
berbatuk-batuk dan berkata. “Setahuku Sepasang Arit Hitam tengah sibuk membuat
sejenis ramuan obat sakti di pertapaannya. Tapi kini bersama muridnya berada di
sini. Urusan apakah yang telah membawa kalian ke sini…?”
Sepasang
Arit Hitam rangkapkan tangan di muka dada. “Urusan biasa saja. Kami tengah
mencari seekor anjing kecil yang telah membuat sedikit keonaran di kalangan
kami….”
Sepuluh
Jari Kematian manggut-manggut beberapa kali.
“Kalau
aku boleh tahu, siapakah yang kau maksudkan dengan seekor anjing kecil itu?”
“Ah… cuma
seorang pemuda sinting geblek bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212…!”
jawab Sepasang Arit Hitam.
Di atas
pohon Wiro Sableng memaki dalam hati. Dengan gusar dan memperhatikan terus dan
mendengarkan percakapan orang-orang itu.
Pada
waktu mendengar nama Wiro Sableng dan gelar Pendekar 212 tadi terkejutlah
Sepuluh Jari Kematian. “Kalau begitu kita mencari bangsat yang sama!” serunya.
Wiro
terkejut. Dia coba menduga siapa adanya manusia berjuluk Sepuluh Jari Kematian
yang juga tengah mencari dirinya itu.
“Betul-betul
tidak diduga kita punya urusan yang sama di tempat yang sama!” ujar Sepuluh
Jari Kematian. “Bangsat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu telah
membunuh muridku si Wirapati yang berjuluk Pendekar Pemetik Bunga beberapa
bulan yang lewat! Aku terpaksa turun gunung untuk cari itu manusia. Belakangan
sekali aku mendapat keterangan bahwa bangsat itu berada di ujung Jawa Timur,
tengah dalam perjalanan ke Madura ini!”
Sepasang
Arit Sakti Hitam hela nafas panjang. “Pertemuan memang aneh dan sukar diduga!
Karena
kita sama satu tujuan satu haluan tentu kau tak keberatan kalau meneruskan
pencarian atas bangsat itu secara bersama-sama….”
“Tentu
saja tidak keberatan!” sahut Sepuluh Jari Kematian dengan tertawa lebar.
Laki-laki berjubah hitam ini layangkan pandangannya berkeliling. “Di samping
mencari pemuda keparat bernama Wiro Sableng itu, aku juga mendapat undangan
dari Dewi Siluman di Bukit Tunggul. Bila ada kesempatan kurasa tak ada salahnya
kalau kalian ikut berkunjung ke tempatnya.”
“Itu bisa
dipikirkan nanti,” menyahuti Si Telinga Arit Sakti. “Yang penting kita harus
mencari si Wiro Sableng itu dan mematahkan batang lehernya lebih dahulu!”
Sepuluh
Jari Kematian tertawa mengekeh. “Kau betul!” katanya.
Wiro
Sableng memperhatikan kepergian ketiga orang itu. Kehadirannya di Pulau Madura
itu kini bukan saja untuk berhadapan dengan Dewi Siluman dan orang-orangnya,
tapi juga untuk berhadapan dengan tiga musuh sakti. Kalau Si Telinga Arit
Sakti, ilmu silat dan ilmu kesaktiannya sudah demikian tinggi, tentu gurunya Si
Sepasang Arit Hitam lebih hebat lagi dari itu. Dan ditambah pula dengan Guru
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian itu.
Benar-benar mereka merupakan lawan-lawan tangguh yang tak bisa dianggap enteng
sama sekali. (Mengenai kehebatan dan kejahatan Pendekar Pemetik Bunga baca
serial Wiro Sableng “Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga”). Diam-diam Pendekar 212
merenung. Mungkin kehadirannya di Pulau Madura adalah benar-benar untuk mencari
kematiannya sendiri.
***************
2
Wiro
Sableng memperhatikan kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh
tak acuh. Teh manisnya baru satu kali diteguknya.
“Orang
muda lekaslah habiskan minumanmu. Warung ini akan segera ditutup….”
Wiro
heran mendengar ucapan orang tua pemilik warung. “Siang-siang begini sudah
ditutup?” tanyanya.
“Kau tak
tahu apa-apa orang muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu….”
“Ada
apakah sebenarnya?”
Pemilik
warung tampak agak gusar. Dia menunjuk ke luar warung. “Kau lihat penduduk yang
berbondong-bondong itu?”
Wiro
Sableng palingkan kepala ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan
penduduk berjalan cepat menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah
tangga dan binatang-binatang peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa
ekor sapi.
“Memangnya
kenapa mereka itu…?” bertanya lagi Wiro.
“Mereka
mengungsi! Aku pun hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah tidak
aman! Malam kemarin seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati.”
“Siapa
yang melakukannya?” tanya Wiro.
Pemilik
warung itu hendak menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan
rasa ketakutan. “Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama,”
katanya pada Wiro.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai
habis. Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak.
Ditimang-timangnya sebentar uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan
pemilik warung. Sewaktu pemilik warung mengambil uang itu, Wiro memegang
tangannya dan berkata. “Dengar orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku asal
saja kau bisa kasih keterangan di mana letaknya Bukit Tunggul tempat
bersarangnya Dewi Siluman….”
Si orang
tua tersentak kaget. Parasnya yang keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya
membelalak memandang Wiro.
“Justru
karena dialah penduduk kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah
mencari penyakit bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup
orang muda…?!”
Wiro
Sableng tertawa.
“Mana ada
orang yang bosan hidup,” sahutnya “Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih
sedikit keterangan di mana letak Bukit Tunggul itu….”
Si orang
tua gelengkan kepala. “Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih
keterangan seluruh keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung
ini!”
Pemilik
warung itu segera mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada
Wiro. Lalu katanya. “Nah, sekarang berlalulah.”
Wiro
geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau
Madura sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap Dewi Siluman dan
orang-orangnya. Tak ada satu kampung pun yang ditemuinya berada dalam keadaan
tenang tenteram. Di setiap kampung mesti saja ada korban-korban yang jatuh
akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu
saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik
gadis-gadis. Entah dibawa ke mana dan entah apa, yang menimpa diri gadis-gadis
itu tak bisa diduga oleh Wiro.
Dia
mendongak ke langit. Sang surya tengah bersinar seterik-teriknya. Dengan
mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan
kecil yang lurus pendekar ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya
seseorang duduk menjelepok di tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang
itu ternyata manusia ini adalah seorang nenek tua bermuka cekung keriput. Dia
duduk seenaknya di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya ada sebatang
ranting kering. Dia mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik
mengguratgurat tanah dengan ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak
dapat menduga siapa adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh
seorang nenek-nenek berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah
seperti dilihatnya saat itu. Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng
untuk lewat begitu saja tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di
atas kepala si nenek tapi tentu saja ini satu kekurangajaran.
Maka
Pendekar 212 pun menegurlah dengan hormat.
“Nenek
harap maafkan aku mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku.”
Si nenek
anehnya terus saja asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan
kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi.
Mungkin
nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat
Wiro yang berdiri sedekat itu di sampingnya.
Wiro
menegur lagi dengan suara lebih dikeraskan.
“Nenek,
harap suka memberi sedikit jalan untukku lewat.”
Si nenek
tiba-tiba angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut sampai
kaki, penuh meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan
menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting.
Wiro
memaki dalam hati. Kalau si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh
atau seorang yang sengaja cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Nenek,
aku mau lewat. Kuharap kau tak keberatan memberi jalan….”
“Setan
alas!” Si nenek tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap
dadanya. “Kapan aku kawin sama kakekmu kau panggil aku nenek!”
Wiro
perhatikan tampang si nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung
Gede ini tak kuasa menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua
itu. Dia tertawa gelak-gelak sampai mukanya merah.
“Setan
alas! Siapa yang suruh kau ketawa huh?!” Si nenek membentak lagi dengan
suaranya yang keras.
Wiro
hentikan tawanya.
“Siapa
yang suruh!” sentak perempuan berjubah putih itu lagi.
“Memang
tak ada yang suruh, Nek… eh… aku musti panggil apa terhadap kau…?” Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya.
“Kentut
betul! Kalau tak ada yang suruh kenapa musti ketawa?!”
“Apakah
seseorang itu baru tertawa kalau disuruh?” bertanya Pendekar 212.
“Sudah!
Jangan banyak tanya! Kentutmu sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau menertawai
aku ya?! Ayo jawab!”
“Aku
tidak menertawaimu Nek… eh… aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi.”
“Betul-betul
setan alas! Kau anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan
rantingku ini!”
Habis
berkata begitu si nenek hantamkan ranting kering di tangannya!
“Wutt!”
Pendekar
212 tersentak kaget dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting yang
di tangan si nenek mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek
bukan perempuan sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang
tinggi. Dan ini berarti bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian
hebat.
Karena
serangannya tidak mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat
dan ranting kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus
tubuh Wiro Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Pendekar
212 bersiul nyaring.
“Ah,
nyatanya kau bukan nenek sembarang nenek!” seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya
dengan cepat untuk menghindar dari serangan ganas si nenek.
Mendengar
ucapan itu si nenek jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski
senjatanya cuma sebuah ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran
tenaga dalam maka bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam
seperti golok atau sebilah pedang.
“Nenek!”
seru Wiro Sableng. “Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang
aku sejahat ini?!”
“Kalau
kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!”
teriak si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam
waktu lima jurus saja Pendekar 212 sudah terdesak hebat.
Sampai
jurus yang kesembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan,
sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat
semakin terdesak dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut.
Ranting kering di tangan si nenek laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya
dari puluhan jurus.
Hampir
tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam
jurus ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih
lama. Dengan satu bentakan nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya
untuk mulai balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu pula ranting kering di
tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar dikelit.
“Breet!”
Robeklah
pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta
menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah
ranting kering di tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah
senjata sakti yang mengandung racun luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari
kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek
tertawa panjang.
“Jangan
harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini
mengandung racun yang jahat sekali!”
Wiro
tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan
riwayatnya.
Sewaktu
digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang
Sinto Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang
bagaimanapun jahatnya.
Apalagi
saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek
tertawa lagi.
“Selamat
tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat
kematianmu di depan mata!”
Habis
berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu.
“Manusia
keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit
pembalasan hormat dariku!” teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka
tahu-tahu tubuhnya sudah berada dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan
tua itu. Tentu saja kejut si nenek bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.
“Nyalimu
keliwat besar!” teriaknya. “Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!”
Wiro
bersiul nyaring.
“Soal
nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini!”
Wiro
Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan
rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro
kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang
ranting di tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas
sekali melihat ranting keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan
sepuluh jari tangan terpantang.
“Cengkeraman
Garuda Sakti” seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.
Sekali
tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk.
Cepatcepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan
tangan kanan ke depan, melepaskan “Pukulan Kunyuk Melempar Buah” yang disertai
hampir setengah bagian tenaga dalamnya.
Si nenek
melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin
yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping
dan begitu pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua
jotosan dan dua tendangan jarak jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main.
Debu dan pasir jalanan menderu.
Empat
angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang
Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke
bagian yang aman Wiro lepaskan “Pukulan Angin Puyuh”.
Empat
angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling
bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak.
Si nenek terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng
tenggelam ke tanah sampai sedalam tiga senti.
Bukan
main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah
sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera
cabut batang belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata
dia segera menyerang Wiro Sableng.
“Hebat!”
seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek
menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang
bergemuruh. Dapat dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu
melanda tubuh Wiro Sableng.
Laksana
memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu
untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk
kepala.
Belum
pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga
mau mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai
senjata. Di
samping
kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.
“Nenek,
sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau
gelarmu!” seru Wiro.
“Bakul
kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur!” Dan si nenek
babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.
“Buset!”
Wiro
berkelebat cepat.
Si nenek
penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.
“Setan
alas kau lari ke mana hati?!” teriak nenek-nenek itu.
Di
belakangnya terdengar suara tertawa.
“Nenek-nenek
kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!”
Begitu
putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di
tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan
berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di
salah satu cabangnya sambil tertawa-tawa mengejek.
“Setan
alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!” teriak seraya
lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon
di mana Wiro berdiri.
Tapi
kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon,
Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka
dilihatnya si pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke
arahnya.
Si nenek
sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan
berteriak. “Pemuda keparat! Terima ini!”
Selusin
senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam
bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh
sedang enam lainnya amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah
turun ke tanah kembali dan kirimkan serangan berantai ke arah Wiro.
“Nenek!
Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain
tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal usul dan namanya!”
“Pemuda
sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!” hardik si
nenek.
Kembali
dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai.
Pendekar
212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh
jurus lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya
dipukulkan ke muka maka gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah
“Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera” yang kedahsyatannya bukan saja membuat
selusin paku hitam itu mental tapi juga membuat si nenek terguling di tanah
sampai enam tombak.
Belum
lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke
pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek
keluarkan sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini
dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap
hitam tebal menggebu menutup pemandangan, Wiro Sableng tak dapat melihat
apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung oleh
asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah
bisa keluar dari kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya.
Beberapa
saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah
lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya
kini berdiri tiga manusia lain.
************
3
Ketiga
manusia itu bukan lain Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh
Jari Kematian. Ketiganya memandang dengan mata ganas menyorot yang membayangkan
maut.
“Ini dia
bangsatnya!” Si Telinga Arit Sakti buka suara.
“Apa yang
dikerjakannya di sini! Bermain-main asap?!” Sepuluh Jari Kematian menimpali.
Wiro
masih diam dan menyapu tampang ketiga orang itu dengan pandangan seenaknya.
“Pendekar
212!” lengking Si Telinga Arit Sakti. “Ketahuilah hari ini adalah hari
kematianmu!”
Wiro
Sableng senyum lalu keluarkan suara tertawa bergelak.
“Telinga
Arit Sakti,” kata Pendekar 212 pula. “Bacotmu besar amat! Mentang-mentang
berada sama-sama gurumu!”
“Kalau
tahu aku gurunya mengapa tidak lekas berlutut dan bunuh diri?!” sentak Sepasang
Arit Hitam.
Wiro
tertawa lagi gelak-gelak. “Orang gila pun disuruh bunuh diri tidak bakal mau!”
“Dan kau
lebih dari gila!” damprat Sepasang Arit Hitam.
Sepuluh
Jari Kematian lambaikan tangannya dan berkata. “Kau tak usah bicara panjang
lebar kawan-kawan. Mari kita berebut cepat memisahkan kepala dan badannya!”
“Ah… ah…
ah!” Wiro rangkapkan tangan di muka dada. “Kalau tak salah penglihatanku
bukankah kau yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk
Pemetik Bunga yang mampus tempo hari di tanganku?!”
“Pemandanganmu
memang tajam, pemuda gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini aku datang
meminta jiwamu!”
Wiro
geleng-gelengkan kepala.
Katanya.
“Akhir ini banyak sekali manusia-manusia yang begitu inginkan jiwaku,
sebutsebut segala urusan jiwa…. seakan-akan jiwanya sendiri adalah jiwa yang
bersih polos!”
“Jangan
pidato!” bentak Sepasang Arit Hitam.
“Siapa
bilang aku pidato!” sahut Wiro ketus. “Aku cuma bicara biasa!” Kemudian
Pendekar 212 berpaling pada Sepuluh Jari Kematian. “Dengar Sepuluh Jari
Kematian,” katanya. “Muridmu
seorang
manusia bernafsu besar doyan perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari ini
kuberikan seorang perempuan cantik padamu, apakah kau bersedia melupakan urusan
kita?!”
Merahlah
paras Sepuluh Jari Kematian. Darah di kepala mendidih mendengar ejekan itu.
Dia maju
satu langkah. “Kau memang tak layak hidup lebih lama!” bentaknya. Kelima
jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka. Lima sinar hitam yang
menggidikkan melesat mengeluarkan suara menggaung. Inilah Ilmu Jari Penghancur
Sukma yang dahsyat. Satu jentikkan saja ganasnya bukan main, apalagi sekaligus
lima jentikan. Dan dilancarkan oleh tokoh penciptanya sendiri yang
berilmu
tinggi.
Dengan
cepat Pendekar 212 melompat ke udara. Empat larikan sinar hitam berhasil
dihindarkannya, tapi sinar yang kelima tak sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu
kaki kiri Pendekar 212.
Wuss!
Kaki kiri
itu dengan serta merta menjadi hitam. Wiro Sableng terguling di tanah, merintih
kesakitan. Meski tubuhnya kebal segala macam racun namun dia masih khawatir.
Begitu jatuh dengan cepat Wiro totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki
kirinya. Dengan terpincang-pincang Pendekar 212 bangkit berdiri. Di saat itu Si
Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu dengan senjata di tangan
sedang Sepuluh Jari Kematian melompat sebat menjambak rambut gondrong Wiro
Sableng siap untuk memuntir kepala pendekar itu.
Dengan
berteriak nyaring Wiro gerakkan tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga Geni
212. Tapi Si Telinga Arit Sakti yang tahu gelagat segera tendang tangan kanan
Wiro Sableng.
Kraak!
Patahlah
lengan Pendekar 212. Tubuhnya terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-masing
dua di tangan sepasang Arit Hitam dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti
menderu siap untuk membuat tubuh Wiro Sableng menjadi terkutung empat sedang
jambakan Sepuluh Jari Kematian akan menanggalkan kepalanya dari badan.
Wiro
Sableng hendak lepaskan Pukulan Sinar Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak
ada kesempatan lagi.
“Tamatlah
riwayatku!” keluh pendekar ini. Dipejamkannya kedua matanya menanti saat
kematian itu.
Hanya
beberapa detik lagi tubuh sang pendekar akan terkutung empat dibabat tiga buah
arit sakti, hanya beberapa detik lagi kepalanya akan tanggal dipuntir, maka
terdengarlah teriak lantang menggeledek.
“Setiap
nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak
merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah
Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian.
Empat
sosok tubuh berkelebat.
Perlahan-lahan
Wiro Sableng buka kedua matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir tak dapat
dipercaya pemandangan matanya sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat pendatang
baru ini adalah gadis-gadis cantik berpakaian biru. Leher mereka digantungi
tengkorak manusia yang besarnya sekepalan tangan. Meski tampang mereka
cantik-cantik tapi membayangkan kebengisan.
Dugaan
Wiro Sableng pastilah mereka ini orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit
Tunggul.
*****
Sehabis
melemparkan bola yang meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek keriput
cepat berguling dan lari meninggalkan jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara
kemudian menyeruak di antara semak belukar lebat. Dari luar semak belukar ini
tiada beda dengan semak-semak yang lebat di sekitar tempat itu. Tapi siapa
nyana kalau begitu semak belukar diseruak maka muncullah sebuah lobang besar
setinggi manusia. Si nenek menyelusup memasuki lobang itu dan terus berlari.
Meski penerangan dalam lobang itu tidak begitu terang namun karena sudah
terlalu sering melewatinya si nenek sudah sangat hafal liku-likunya maka dia
lari dengan sebat tanpa kurangi kecepatannya.
Dalam
waktu yang singkat dia sudah sampai di ujung lobang yang merupakan terowongan
bawah tanah itu. Dia muncul di satu lamping bukit. Dari sini lari cepat ke
bawah, masuk lagi ke sebuah terowongan rahasia dan akhirnya sampai di satu
terowongan batu pualam. Sebelum memasuki sebuah ruangan besar si nenek gerakkan
kedua tangannya ke muka. Sehelai selaput topeng yang amat tipis ditanggalkannya
dari parasnya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan nyatanya dia adalah
seorang gadis jelita berkulit hitam manis, berhidung mancung dan berbibir tipis
mungil.
Gadis ini
kemudian tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit hitam
manis ini ternyata mengenakan pakaian ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari
ke tengah ruangan besar. Salah satu tumitnya menekan ubin yang bergambar bunga
mawar merah.
Maka pada
saat itu menggemalah suara bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana
datangnya.
“Siapa
yang mau masuk?!”
“Aku,
Nariti hendak menghadap Dewi!” menjawab si gadis hitam manis.
“Silahkan
masuk.”
Sebuah
pintu besar yang tadinya hanya merupakan sebuah dinding ruangan belaka terbuka.
Nariti
cepat memasuki pintu itu. Ruangan di mana dia berada adalah sebuah ruangan yang
jauh lebih besar dari yang pertama tadi. Seluruh lantai ditutupi permadani. Di
samping kanan terdapat sebuah taman. Di tengah taman dihiasi dengan kolam
berair biru. Beberapa gadis cantik asyik mandi-mandi dalam kolam itu,
bersimbur-simburan air dan bergurau sesama mereka. Beberapa lainnya duduk di
tepi kolam memperhatikan. Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru.
“Hai, itu
si Nariti dari mana baru kelihatan!” seru seorang gadis baju biru.
“Nariti
dari mana kau!” berseru yang lain.
Nariti
hanya melambaikan tangan lalu cepat-cepat menaiki sebuah tangga yang juga
beralaskan permadani. Di bagian atas terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh
tiga orang gadis berpakaian biru.
“Kemani,
aku mau bertemu dengan Dewi,” berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis
itu.
“Ada
keperluan apakah?!”
“Tak usah
tanya. Katakan di mana Dewi saat ini, cepat! Ini penting sekali!”
Melihat
keseriusan pada wajah Nariti maka Kemani segera menjawab. “Dewi berada di anjungan
ketiga.”
Mendengar
itu maka Nariti segera memasuki pintu di samping kanannya. Pintu ini membawanya
ke sebuah lorong yang kemudian menghubunginya dengan sebuah pintu biru yang
tertutup. Di belakang pintu itu didengarnya suara petikan-petikan kecapi yang
merdu.
Nariti
mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi
di ruang dalam berhenti.
“Siapa?!”
terdengar suara perempuan bertanya dari dalam. Suaranya halus tapi penuh wibawa
dan ketegasan.
“Dewi,
aku Nariti membawa laporan penting untukmu!”
“Masuklah!”
Nariti
mendorong daun pintu lalu masuk dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain
bagus juga sangat luas. Lantai tertutup permadani biru yang tebal dan lembut.
Tubuh serasa di awang-awang kalau menginjak kelembutan permadani itu. Di tengah
ruangan terletak sebuah tempat tidur besar berseprai sutera putih. Di atas
tempat tidur ini berbaringlah bermalas-malasan seorang perempuan muda. Umurnya
paling banyak dua puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru yang bagus dan
menjela ke permadani. Parasnya cantik sekali. Tapi dibalik kecantikan yang
mengagumkan itu nyata kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang berkilat
menyoroti Nariti dengan teliti. Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh belas
tahun yang duduk di permadani, yang tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis
ini juga berparas jelita dan berkulit kuning langsat Perempuan di atas
pembaringan yang bukan lain dari Dewi Siluman adanya anggukkan kepala. Maka
gadis pemain kecapi yang mengerti isyarat ini segera mengambil kecapinya dari
pangkuan dan meninggalkan tempat itu lewat sebuah pintu di samping kanan.
“Katakan
berita apa yang kau bawa, Nariti,” ujar Dewi Siluman.
Nariti
menjura dulu tiga kali baru menjawab.
“Ada
beberapa pendatang baru di Pulau kita ini dewi. Semuanya dari Pulau Jawa….”
“Hemmm….”
Dewi Siluman menggumam dan petik serenceng buah anggur lalu memasukkan buah itu
satu demi satu ke dalam mulutnya.
“Teruskan
keteranganmu!”
“Yang
pertama ialah Sepuluh Jari Kematian….”
“Itu aku
sudah tahu. Sepuluh Jari Kematian sobat lama yang sengaja kuundang kemari.
Siapa
yang lain-lainnya?!”
“Yang
lain-lainnya ialah dua orang nenek-nenek yaitu Sepasang Arit Hitam dan muridnya
Si Telinga Arit Sakti….”
“Heh…
perlu apa murid dan guru itu berada di Pulau ini?” Dewi Siluman memandang lewat
jendela dari mana dia dapat melihat sebagian dari taman dan kolam yang tadi
dilewati Nariti. Lalu tanyanya sambil mengunyah buah anggur dalam mulutnya.
“Apa masih ada pendatang yang lain?”
“Ada
Dewi. Seorang pemuda sakti….”
Sepasang
alis mata yang hitam dan bagus dari Dewi Siluman naik ke atas.
“Gerak-geriknya
yang mencurigakan membuat aku menguntitnya selama dua hari. Ternyata dia tengah
mencari keterangan di mana letak tempat kita ini….”
“Begitu?
Menurutmu apakah dia membawa maksud baik atau jahat?!” tanya Dewi Siluman.
“Pasti
maksud jahat Dewi….”
“Kalau
begitu dia mencari jalan ke akhirat!” kata Dewi Siluman pula sambil lemparkan
tangkai anggur ke luar jendela. “Tapi terangkan dulu segala sesuatunya tentang
dia….”
“Hampir
di setiap tempat dia menanyakan pada penduduk di mana letak Bukit Tunggul, di
mana letak sarang kita….”
“Kurang
ajar. Istanaku disebut sarang!” maki Dewi Siluman. “Teruskan Nariti!”
“Tapi
penduduk tak satu pun mau beri keterangan. Meski demikian karena jelas pemuda
ini sangat berbahaya bagi kita maka dengan menyamar kunantikan dia di jalan
kecil di tepi hutan.
Sengaja
aku duduk di tengah jalan menghalanginya untuk mencari sengketa. Kemudian
terjadi pertempuran antara kami. Tapi nyatanya dia sakti sekali dan bukan
tandinganku. Aku hampir saja dimakan totokannya kalau tidak lekas melemparkan
bola asap hitam!”
Dewi
Siluman merenung sejenak. Nariti adalah pembantunya yang memiliki ilmu tinggi.
Kalau
Nariti tiada sanggup melawan pemuda itu pastilah si pemuda memiliki ilmu yang
hebat.
“Siapa
nama pemuda itu?” bertanya Dewi Siluman.
“Tak
berhasil kuketahui Dewi.”
“Nariti,
bawa tiga orang kawanmu. Cari pemuda itu dan tamatkan riwayatnya sebelum dia
bikin susah pihak kita!”
“Perintahmu
aku jalankan Dewi,” sahut Nariti. Dia menjura tiga kali lalu melangkah ke
pintu.
“Tunggu
dulu Nariti!” berseru Dewi Siluman. Nariti hentikan langkah dan balikkan badan.
“Ya
Dewi…?”
“Apakah
pemuda sakti itu berparas gagah?” tanya Dewi Siluman.
Nariti
memandang ke jendela lalu tundukkan kepala. Kalau dia memberikan jawaban bahwa
pemuda itu memang berparas gagah dia khawatir sang Dewi akan punya persangkaan
yang bukan bukan padanya. Karenanya Nariti tak berikan jawaban.
Dewi
Siluman tertawa merdu laksana taburan mutiara yang jatuh berderai di atas
lantai pualam. Dari kebisuan anak buahnya itu dia segera maklum bahwa si pemuda
yang mendatangi Pulau Madura adalah seorang berparas cakap.
“Kalau
begitu tangkap saja dia hidup-hidup, Nariti.” kata Dewi Siluman pula. “Jika
parasnya betul-betul gagah dia akan menjadi budakku. Tapi kalau tampangnya
buruk dia akan mati percuma!”
Nariti
mengangguk. Dia menjura lagi tiga kali lalu tinggalkan kamar itu. Dewi Siluman
memandang ke luar jendela memperhatikan anak buahnya bersimbur-simburan air di
tengah kolam.
Di sudut
bibirnya mengelumit sekuntum senyum aneh. Gadis jelita ini kemudian bertepuk
tiga kali.
Inani
gadis yang tadi memainkan kecapi menghibur Dewi Siluman masuk kembali ke dalam
kamar itu.
“Mainkan
satu lagu yang bagus untukku, Inani.”
“Lagu
bagus tentang apa, Dewi?” tanya Inani.
“Apakah
tentang lautan yang indah diwaktu matahari terbenam atau tentang bunga-bunga
yang tengah mekar, atau tentang kebahagiaan hidup di swarga loka? Atau pula tentang
pemandangan gunung yang tinggi hijau, atau tentang binatang-binatang yang bagus
lucu…?”
Dewi
Siluman gelengkan kepala.
“Bukan…
bukan tentang laut atau bunga-bunga atau binatang-binatang, Inani. Bukan
tentang semua yang kau sebutkan itu. Tapi tentang cinta….” kata Dewi Siluman
pula.
Terkejutlah
Inani mendengar jawaban Dewinya itu. Selama ini sang Dewi sangat membenci
segala sesuatu yang berbau cinta kasih. Dewi Siluman selalu marah dan
mendamprat bila dia memainkan lagu-lagu cinta, sekalipun dia memetik kecapi itu
seorang diri dalam kamarnya! Dan kini adalah aneh kalau sang Dewi minta
dimainkan sebuah lagu cinta. Apakah telah berubah jalan pikiran dan lubuk hati
sang Dewi. Ada sesuatu yang telah terjadi dengan Dewinya itu?
Untuk
lebih memastikan maka bertanyalah Inani. “Lagu cinta yang bagaimana Dewi?
Apakah
cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya? Atau cinta kasih Tuhan kepada
hamba-hambaNya…?!”
“Jangan
sebut-sebut Tuhan!” sentak Dewi Siluman. “Yang ada di dunia ialah kekuatan!
Siapa
yang kuat dia akan berkuasa dan bisa berbuat sekehendak hatinya! Jadi Tuhan di
dunia ini!”
Meski di
dalam hatinya Inani membantah ucapan sang Dewi, tapi karena takut dia tak
berani nyatakan pendapatnya itu.
“Kalau
begitu mungkin Dewi ingin dengarkan lagu cinta antara seorang pemuda dengan
seorang gadis?” tanya Inani pula.
“Ya, lagu
itulah yang kuinginkan.” jawab Dewi Siluman.
Maka
dengan jari-jari tangannya yang bagus runcing itu Inani mulai memetik kecapinya
menyanyikan sebuah lagu cinta.
************
4
Petikan
kecapi yang membawakan lagu cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke kolam
dan taman dimana anak-anak buah Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan duduk-duduk
beristirahat. Semua mereka saling berpandangan lalu memutar kepala ke arah
jendela di anjungan ketiga yang tingginya empat puluh tombak lebih.
“Aneh,
sejak kapankah Dewi kita menyenangi lagu cinta-cintaan?” tanya salah seorang
dari mereka.
Tak ada
yang memberikan jawaban. Semua mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua
telinga mendengarkan. Suara kecapi yang merdu itu memasuki liang-liang telinga
para gadis, laksana air gunung yang sejuk terus mengalir ke hatinya. Betapa
indahnya sesuatu yang dipengaruhi oleh cinta. Betapa indahnya bercinta. Cinta
kasih antara laki-laki dan pemudi. Dan mereka semua adalah gadis-gadis yang
selama ini tidak mengenal apa artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman yang
terletak di bawah Bukit Tunggul, itu hidup mereka hanyalah antara sesama gadis,
sesama perempuan. Dan kini mendengar lagu cinta kasih itu, hati mereka laksana
berontak, darah mereka menjadi panas. Walau bagaimanapun mereka adalah
manusia-manusia biasa, gadis-gadis yang membutuhkan cinta kasih sayang seorang
pemuda. Gadis-gadis yang selama ini hidup di alam suasana tertekan, dipaksakan
untuk tidak mengenal cinta. Tapi kali itu melalui petikan kecapi yang dimainkan
oleh Inani tanpa disadari, Dewi Siluman secara tak langsung telah memberikan
kenyataan pada anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di dunia ini memang ada
cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu Dewi
Siluman membuat anak-anak buahnya menjadi sadar bahwa mereka semua adalah
makhluk-makhluk hidup, manusia-manusia, gadis-gadis yang membutuhkan kasih
seorang laki-laki, membutuhkan peluk dekap dan ciuman mesra seorang pemuda.
Lagu itu
belum lagi sampai ke ujungnya. Tiba-tiba saja petikan kecapi berhenti dan
gadisgadis yang di kolam serta di taman melihat tubuh Dewi Siluman muncul di
ambang jendela.
“Kalian
mendengarkan apakah?!” bentak Dewi Siluman marah. Suaranya menggetarkan seluruh
Istana. “Semua masuk ke kamar masing-masing! Jangan kalian berani memikirkan
kehidupan dunia yang bukan-bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan menerima
hukuman berat!”
Penuh
ketakutan maka gadis-gadis itu segera tinggalkan kolam dan taman.
Sementara
itu Nariti dan tiga orang kawannya dengan cepat meninggalkan Istana Dewi
Siluman. Mereka mengambil jalan memotong yaitu melewati lorong-lorong di bawah
bukit dan lamping gunung. Ketika Inani dan tiga kawan-kawannya itu sampai ke
jalan kecil di tempat mana dia tadi bertempur dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
maka pada saat itu mereka melihat bagaimana pemuda itu terhampar di tanah. Tiga
manusia berebut cepat untuk mengirimnya ke akhirat. Yang dua membacokkan
senjata berbentuk arit sedang yang ketiga hendak memuntir dan menanggalkan
kepala pemuda itu dari tubuhnya.
Dengan
serta merta Nariti berteriak.
“Setiap
nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak
merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah
Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada saat
itu empat bayangan biru melompat ke hadapan mereka. Keempatnya ternyata
gadis-gadis berparas cantik.
Wiro
sendiri yang tadi pejamkan mata menunggu detik kematiannya, kali ini membuka
kedua matanya itu dan menjadi heran melihat kemunculan empat gadis itu.
Merekalah orangorangnya Dewi Siluman? Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh
tak dapat dipercaya. Gadis gadis begitu jelita bisa membuat kejahatan main
bunuh di mana-mana. Membunuh manusia manusia tak berdosa termasuk anak-anak dan
orang-orang tua tak berdaya.
Sepuluh
Jari Kematian lepaskan kepala Wiro Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu.
Sepasang
Arit Hitam dan Si Telinga Arit Sakti batalkan bacokan arit mereka.
Dengan
kertakkan rahang penuh geram Sepuluh Jari Kematian membentak.
“Gadis-gadis
baju biru! Kalian siapakah yang berani lancang ikut campur urusan orang lain?!”
Nariti
mendengus.
“Orang
tua jelek! Jangan jual omong besar di hadapanku! Serahkan pemuda rambut
gondrong itu dan kalian bertiga ikut kami!”
Sepuluh
Jari Kematian tertawa dingin. “Gadis jelita, meski kau seorang bidadari dari
kahyangan, jangan kira aku yang tua ini berbelas kasihan untuk tidak merusak
kecantikanmu itu!”
“Jangan
banyak bacot!” bentak Nariti.
Marahlah
Sepuluh Jari Kematian. Tangan kanannya diangkat ke atas.
“Kau mau
keluarkan Ilmu Jari Penghancur Sukma? Silahkan teruskan!” mengejek Nariti.
Terkejutlah
Sepuluh Jari Kematian melihat si gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak dilepaskannya.
“Gadis,
sebaiknya lekas beritahu siapa kalian. Kalau tidak kau berempat akan mampus
percuma!”
Keempat
gadis itu tertawa bergelak.
Nariti
buka mulut. “Dasar orang tua pikun! Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru
angin dunia persilatan mulai beberapa waktu yang lalu adalah di bawah kekuasaan
Dewi Siluman!”
“Oh, jadi
kalian adalah orang-orangnya Dewi Siluman?” tanya Sepasang Arit Hitam.
“Sudah
tahu kenapa berlagak pikun?!” sentak salah seorang kawan Nariti.
Sepuluh
Jari Kematian batuk-batuk.
“Untung
kalian lekas beritahu siapa kalian,” katanya. “Kalau tidak hampir saja aku
salah turun tangan!”
Nariti
sunggingkan senyum mengejek.
“Setelah
tahu siapa kami apakah kalian bertiga tidak mau turut apa yang kami katakan…?”
Sepuluh
Jari Kematian batuk-batuk lagi. “Sebetulnya kami masih belum jelas apakah yang
kalian mau….” ujarnya.
Nariti
menjawab. “Pemuda yang melingkar di tanah itu serahkan pada kami dan kalian
bertiga ikut ke Istana Dewi Siluman!”
Sepuluh
Jari Kematian hela nafas panjang. “Tak mungkin!” katanya.
“Bakul
kentut! Apa yang tidak mungkin!” bentak Nariti.
Mendengar
makian bakul kentut itu Wiro Sableng terkejut. Dia ingat akan pertempurannya
dengan si nenek muka keriput sebelumnya. Si nenek telah memakinya dengan ucapan
itu. Apakah si nenek bukannya gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia
menunggu kesempatan yang sebaik baiknya untuk melakukan sesuatu yang
dirasakannya paling baik.
“Tak
mungkin!” mengulang Sepuluh Jari Kematian. “Pemuda bangsat ini punya hutang
jiwa terhadapku! Dia telah membunuh muridku!”
“Di
samping itu,” menimpali Si Telinga Arit Sakti. “Antara aku dan dia terdapat
dendam kesumat yang belum terselesaikan!” .
“Perduli
dengan hutang nyawa! Persetan dengan segala dendam kesumat! Apakah di Pulau
Madura ini ada bangsa kwaci yang berani menantang perintah Dewi Siluman dari
Istana Bukit Tunggul?!”
Marahlah
Sepasang Arit Hitam karena dirinya dicap “bangsa kwaci” itu. Dia mendengus dan
buka suara. “Kau terlalu pongah mengumbar mulut seenaknya, mencap aku dan dua
kawanku manusia-manusia bangsa kwaci! Kau kira dunia persilatan ini kau dan
Dewimu itukah yang menguasainya?! Apa kau yang masih pitit hijau ini masih
belum pernah mendengar nama gelarku, Sepasang Arit Hitam? Belum pernah tahu
gelar muridku, Si Telinga Arit Sakti?! Juga memandang rendah pada Sepuluh Jari
Kematian yang merupakan tokoh ternama dirimba persilatan?!”
Nariti
tertawa panjang.
“Gelar
kalian memang hebat-hebat, menyeramkan! Tapi bagi kami orang-orangnya Dewi
Siluman itu bukan apa-apa! Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut atau
mati di tempat ini sekarang juga?!”
Sepasang
Arit Hitam renggangkan kedua kaki. Matanya yang cuma satu menyorot marah.
Namun
dengan ilmu menyusupkan suara Sepuluh Jari Kematian segera memberi kisikan.
“Jangan teruskan niatmu, Sepasang Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata
berkepandaian tinggi. Meskipun kau sanggup kalahkan mereka tapi kita tak bakal
bisa ke luar dari pulau ini dengan selamat!”
“Kalau
kau mau dicap manusia kwaci mentah, biarlah! Jangan perduli aku!” bentak
Sepasang Arit Hitam. Dia berpaling pada Nariti. “Apakah kau akan maju sendirian
atau sekali berempat?!”
“Hem…
jadi ini contoh manusianya yang minta cepat-cepat mampus?!” menyahuti Nariti.
“Tikus
tua renta bermata picak mau jual tampang di sarang macan?!” Nariti dan ketiga
kawannya tertawa gelak-gelak.
Sepasang
Arit Hitam berkobar amarahnya. Dia maju dengan cepat. Tapi muridnya Si Telinga
Arit Sakti mendahului.
“Guru,
biar aku yang kasih pelajaran pada gadis ingusan bermulut besar ini!” kata
Telinga Arit Sakti.
“Bereskan
dia dalam tiga jurus!” perintah Sepasang Arit Hitam.
Si
Telinga Arit Sakti keluarkan senjatanya yaitu sebilah arit. Semua orang yang
ada di situ boleh dikatakan telah melupakan Wiro Sableng. Pada saat Si Telinga
Arit Sakti menyerbu ke depan dengan satu sambaran dahsyat ke arah leher Nariti
maka Pendekar 212 Wiro Sableng melompat dari tanah seraya berseru. “Kalian
bertempurlah sampai mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi!”
“Kawan-kawan!
Kejar pemuda itu!” teriak Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga Arit
Sakti. Tiga kawannya melompat ke muka, tapi Wiro Sableng sudah lenyap.
Kemarahan
Nariti tertumpah bulat-bulat pada Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam.
Berserulah
dia. “Kawan-kawan, tangkap hidup-hidup perempuan tua mata picak itu!”
Ketiga
gadis yang tadi melompat mengejar Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang
Arit Hitam.
“Bagus,
kalian majulah sekali bertiga biar cepat kumusnahkan!” teriak Sepasang Arit
Hitam.
Serentak
dengan itu dia keluarkan sepasang arit hitam yang memancarkan warna
menggidikkan.
Di lain
pihak tiga orang anak buah Dewi Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk
aneh.
Jala ini
besarnya hanya segumpalan tangan, terbuat dari sutera halus berwarna biru.
Ketiganya memencar mengurung Sepasang Arit Hitam.
Didahului
dengan pekik yang dahsyat Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagaikan enam
serangan arit kepada tiga orang lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya
menderu mengerikan.
Memaklumi
dua buah arit di tangan lawan adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga orang
anak buah Dewi Siluman tiada berani membuat jurus adu kekuatan. Mereka menyurut
beberapa langkah ke belakang, begitu sepasang arit lewat maka ketiganya menyerbu
ke muka. Secepat kilat tebarkan jala sutera biru.
Sepasang
Arit Hitam sewaktu melihat tiga tebaran warna biru menyungkupi bagian atas
tubuhnya dengan cepat merunduk dan sepasang senjatanya kini menderu ke arah
lengan-lengan tiga orang anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi
serangannya yang kedua ini kembali mengenai tempat kosong karena dengan sebat
tiga gadis baju biru tarik lengan serta jalanya untuk kemudian menyerang lagi
dengan tebaran jala ke arah pinggang dan kaki Sepasang Arit Hitam.
Naiklah
amarah Sepasang Arit Hitam. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata
tidak mudah baginya untuk merubuhkan. Dia melompat ke udara setinggi empat
tombak dan babatkan arit di tangan kanan ke arah tiga buah jala sedang arit di
tangan kiri disapukan dengan ganas pada kepala ketiga gadis yang mengeroyoknya.
Tiga
gadis melengking keras. Tubuh mereka lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam
merasakan bagaimana salah satu dari jala sutera lawan telah menjirat arit di
tangan kanannya.
Betapapun
dia coba untuk menariknya dengan sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia terpaksa
serahkan arit yang satu itu kepada lawan untuk menyelamatkan lengannya dari
sambaran dua jala sutera lainnya.
Ketiga
gadis tertawa mengejek.
Seorang
di antara mereka berkata. “Inikah nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan
terkenal yang bergelar Sepasang Arit Hitam itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari
bangsa kurcaci saja!”
Bola mata
kiri Sepasang Arit Hitam kelihatan seperti berapi-api sedang mata kanannya yang
berlobang besar tampak tambah cekung menggidikkan.
Perempuan
tua ini pindahkan arit yang di tangan kirinya ke tangan kanan.
“Gadis-gadis
keparat! Kenalkah kalian akan jurus lain?!”
Tiga
orang anak buah Dewi Siluman sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena ingin
tahu mereka menunggu dan memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri dengan kaki
merenggang.
Tangan
kiri diangkat tinggi-tinggi agak ke belakang kepala sedang arit di tangan kanan
diacungkan lurus-lurus ke muka. Kelihatannya acungan arit itu merupakan
bulan-bulanan serangan yang empuk, namun jika seorang coba menyerang maka
secepat kilat tangan kiri akan memukul ke muka, arit berkiblat dan kaki kiri
menendang. Jika tiga serangan ini masih gagal maka dengan menjejakkan kaki
kanan ke bumi, Sepasang Arit Hitam akan sanggup lancarkan serangan susulan yang
lebih ganas dari yang pertama tadi.
Karena
memang tidak mengenali jurus apa yang bakal dikeluarkan si nenek, namun melihat
sikap dan tampang si nenek yang demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-diam
memaklumi bahwa lawan mereka hendak mengeluarkan satu jurus serangan yang
dahsyat. Karenanya ketiga gadis ini bersiap siaga. Bagi pihak mereka sendiri
jika lawan mereka itu salah-salah langkah dalam lancarkan serangan akan segera
pula menjadi mangsa mereka.
Sementara
itu pertempuran antara Nariti dan Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru.
Telinga
Arit Sakti kirimkan jurus-jurus yang mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan
sinar bergulung-gulung melanda ke arah Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah
seorang lawan jenis murahan. Tubuhnya hampir lenyap dari pemandangan, cuma
bayangan warna biru pakaiannya saja yang kelihatan berkelebat kian kemari.
Mendadak
sontak terdengar pekik menggidikkan keluar dari mulut Nariti.
Belum
habis pekik itu menyusul lengkingan Si Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan
mental ke udara. Satu tangan menyambar senjata itu. Dan sekejap kemudian arit
putih itu menderu laksana kilat ke arah batang leher pemiliknya sendiri.
“Tahan!”
teriak Sepuluh Jari Kematian yang menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti
tiada sanggup mengelakkan serangan maut itu.
Tapi mana
Nariti mau ambil perduli teriakan tokoh silat itu. Arit di tangannya terus
menderu dan “Cras!” Putuslah leher Telinga Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah.
Darah menyembur mengerikan.
Sepasang
Arit Hitam pelototkan mata kirinya besar-besar sewaktu di hadapannya
menggelinding kepala muridnya sendiri. Dari tenggorokannya keluar suara mengaum
macam harimau lapar dan sekejap kemudian tubuhnya pun berkelebat ke muka,
lancarkan satu jurus
serangan
yang sejak tadi disiapkannya yaitu jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut”.
Jurus ini
memang bukan olah-olah dahsyat dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu
berputar-putar macam kepala seekor naga. Tangan kiri memukul ke depan laksana
kepala naga mematuk sedang kaki kiri menyapu laksana ekor naga mematil. Debu
dan pasir jalanan beterbangan, daun-daun pohon bergetar dan banyak yang gugur
karena untuk lancarkan jurus hebat itu Sepasang Arit Hitam kerahkan seluruh bagian
tenaga dalamnya.
Tiga anak
buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing mereka
berteriak nyaring dan tangan kiri dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru
kelihatan dengan ganas memapas jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut” dari
Sepasang Arit Sakti itu.
“Tobat!
Tobat!” seru Sepuluh Jari Kematian seraya pukul-pukul keningnya sendiri. “Demi
setan hentikan pertempuran ini! Kalau tidak kalian sama saja dengan bunuh
diri!”
“Bakul
kentut!” semprot Nariti. “Kau tak usah jual bacot! Jangan campuri urusan yang
tak ada sangkut pautnya dengan dirimu!”
Rahang-rahang
Sepuluh Jari Kematian kelihatan menonjol. Kedua tangannya mengepal.
“Gadis….”
desisnya, “Kalau tidak memandang muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu
itu!”
Nariti
tertawa dingin dan mengejek. “Kalau kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam
kalangan pertempuran!” kata gadis itu seraya goyangkan kepalanya ke arah
pertempuran yang berlangsung.
Sepuluh
Jari Kematian hendak buka mulut namun di saat itu terdengar pekikan salah
seorang dari tiga gadis pengeroyok sepasang Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental
dan lengannya sebelah kanan patah di makan tendangan kaki kiri sepasang Arit
Hitam. Meski dapat mencelakakan salah seorang pengeroyoknya namun nenek-nenek
sakti ini tiada sanggup mengelitkan libatan jala sutera biru salah seorang
lawan lainnya pada kaki kirinya yang tadi menendang. Dalam dia bergulat untuk
membebaskan kaki kiri itu, jala kedua menderu melibat bagian tubuhnya mulai
dari dada sampai ke kepala. Betapapun tokoh silat ini bergulat untuk
membebaskan diri namun sia-sia belaka.
Jala yang
terbuat dari sutera halus biru itu mempunyai kekuatan yang hebat sekali.
Sepasang Arit Hitam menggerung, jatuhkan diri ke tanah dan berguling dalam
masih berusaha membebaskan diri.
Gulingan
tubuhnya terhenti sewaktu Nariti injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat
tua itu.
“Tak satu
kekuatan pun yang sanggup melepaskan jiratan jala itu!” kata Nariti dengan nada
bengis. Sekali kakinya menendang maka pingsanlah Sepasang Arit Hitam.
“Kau
keterlaluan!” teriak Sepuluh Jari Kematian marah sekali.
Nariti
tertawa dingin dan menjawab. “Terhadapmu aku bisa berlaku lebih keterlaluan
lagi, kakek-kakek bakul kentut!”
“Tutup
mulutmu setan alas!” damprat Sepuluh Jari Kematian.
Nariti
mengekeh. Meski wajahnya jelita, tapi mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan
sekali.
“Orang
tua bakul kentut sialan! Kalau saja Dewi kami tidak memerintahkan membawamu
hidup-hidup ke istananya niscaya tubuhmu sudah jadi bangkai saat ini!”
“Penghinaan
dan kesombonganmu sudah lewat batas, gadis hijau! Di lain hari kelak kau akan
rasakan akibatnya!”
Nariti
tertawa gelak-gelak. Tubuh Sepasang Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri
kemudian katanya pada Sepuluh Jari Kematian. “Ikuti kami! Sekali kau berbuat
yang tidak kuinginkan, kau akan menyesal sampai ke liang kubur!”
Meski
kemarahan tidak tertahan lagi oleh tokoh silat yang namanya telah menggetarkan
dunia persilatan itu, namun mau tak mau, karena mengingat hubungan baiknya
selama ini dengan Dewi Siluman dan kedatangannya ke Pulau Madura itu justru
atas undangan Sang Dewi maka akhirnya Sepuluh Jari Kematian mengikuti juga
keempat gadis itu dari belakang.
**************
5
Wiro
Sableng si Pendekar 212 dari Gunung Gede duduk bersandar ke batang pohon yang
dikelilingi oleh semak belukar. Rimba belantara dimana dia berada sunyi senyap,
berudara lembab dan teduh dari teriknya sinar matahari. Rasa sakit pada tangan
kanannya yang patah kini agak berkurang. Dengan susah payah dia telah mengobati
sendiri tangan yang patah itu dan menopangnya dengan sebuah ranting kemudian
dibubuhi dengan param yang dibuatnya dari akarakar pohon dan sejenis daun lalu
dibungkusnya dengan sapu tangan. Cara mengobati seperti itu dipelajarinya dari
gurunya Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede.
Dalam
waktu tiga hari bisa diharapkan lengan yang patah itu akan sembuh dan tulangnya
bertaut kembali.
Sambil
duduk terperangah di bawah pohon besar dalam rimba belantara itu Wiro
memandangi kaki kirinya yang hitam disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur Sukma
yang dilepaskan oleh Sepuluh Jari Kematian. Meski dia tahu bahwa racun pukulan
tersebut tidak akan membahayakan dirinya karena tubuhnya kebal segala macam
racun, namun yang mengherankan sang pendekar ialah karena sampai saat itu dia
masih belum sanggup untuk melenyapkan warna hitam pada kulit kakinya itu. Dia
telah menelan dua buah pil yang paling manjur khasiatnya juga berkali-kali
telah mengerahkan tenaga ke telapak tangan kiri untuk mengusap kaki yang hitam
itu, tapi hasilnya sia-sia belaka.
“Gila!”
maki Wiro. Kalau warna hitam itu tak bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat
seumur hidup. Pendekar ini memaki lagi. Hatinya geram sekali terhadap Sepuluh
Jari Kematian. Selama turun gunung, puluhan musuh telah dihadapinya, berbagai
ilmu silat kelas tinggi dan kesaktiankesaktian luar biasa telah dijumpainya.
Namun belum pernah dia menerima nasib sial seperti di hari itu. Kakinya hitam
sedang lengannya patah. Disamping geram terhadap Sepuluh Jari Kematian,
Pendekar 212 juga geram pada Si Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang
telah menendang lengan kanannya sehingga patah. Untuk kedua manusia itu Wiro
Sableng bertekad akan membalaskan sakit hatinya. Wiro tidak tahu kalau
sepergiannya tadi Si Telinga Arit Sakti telah tewas di tangan anak buah Dewi
Siluman. Kemudian Wiro teringat pada empat orang gadis jelita berpakaian
biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi
Siluman yang telah berbuat kejahatan dan kekejaman tiada tara, membunuh manusia-manusia
tidak berdosa, memusnahkan kampung-kampung? Betulkah gadis-gadis cantik jelita
itu yang melakukannya? Sungguh tak masuk di akal bahwa gadis-gadis semacam itu
akan sanggup melakukan kejahatan tanpa perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini
membuat makin besarnya tekad Wiro Sableng untuk cepat-cepat mencari dan menemui
Dewi Siluman itu. Jika anak-anak buahnya demikian kejam dan jahat, tentu Dewi
Siluman sendiri jauh dan jauh lebih kejam. Tapi untuk mencari sarangnya Dewi
Siluman dan membasmi kejahatannya Wiro musti menunggu sekurangkurangnya tiga
hari yaitu sampai tangannya yang patah sembuh.
Dalam dia
berpikir-pikir itu mendadak sontak dari atas pohon memancur air putih
kekuningkuningan yang tidak enak baunya. Air itu jatuh tepat membasahi kepala
Pendekar 212. Disaat itu pula di atas pohon terdengar suara tertawa cekikikkan
yang menggetarkan seluruh rimba belantara.
Suara
cekikikkan itu tiada ubahnya laksana ringkikkan kuda di malam buta ketika
melihat setan di hadapannya!
“Bedebah!”
maki Pendekar 212 seraya meloncat dan memandang ke atas pohon.
Sekelebatan
dilihatnya satu bayangan putih!
Belum
sempat Wiro memperhatikan siapa adanya bayangan putih itu, bahkan belum sempat
dia meneliti paras makhluk itu, si bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro
kemudian merasakan sekilas angin di mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan
kirinya ke depan. Tapi dia cuma memukul tempat kosong, sesudah itu dia tertegun
sendirian dengan penuh rasa heran dan juga sedikit ngeri.
Tak dapat
diyakininya siapa adanya sosok bayangan putih tadi. Apakah manusia atau setan
atau dedemit penghuni rimba belantara itu. Gerakannya luar biasa cepat dan
sebatnya. Begitu cepat hingga Wiro tak dapat meneliti siapa adanya bayangan
putih itu. Dan cekikikkannya yang seperti kuda meringkik itu.
Kuncuran air
yang tadi jatuh di atas kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka kening
yang basah itu dengan belakang telapak tangan. Dia memaki tiada henti.
Diperhatikannya telapak tangan yang ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau
yang tidak enak. Penasaran sekali Wiro dekatkan belakang telapak tangannya ke
lobang hidung. Pendekar ini kernyitkan kening. Kemudian terdengarlah makiannya.
“Keparat
sialan! Aku dikencingi!”
Wiro
meludah ke tanah. Caci maki ke luar menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa
helai daun disekanya kening dan telapak tandannya.
“Manusia
apa dedemit! Perlihatkan dirimu’“ teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah
menjadi kemarahan. Seumur hidupnya baru kali itu dia dikencingi manusia.
Mungkin di dunia ini, cuma dia sendiri manusia yang dikencingi manusia. Tapi
apa betul makhluk yang mengencinginya itu seorang manusia? Bukannya setan atau
dedemit?
“Keparat
yang mengencingiku! Perlihatkan dirimu!” teriak Wiro gemas.
Suaranya
bergema dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba
terdengar dari samping kanan suara tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta
merta Pendekar 212 memburu ke arah itu. Sekilas masih sempat dilihatnya satu
sosok bayangan putih samar-samar karena bayangan itu bergerak luar biasa
cepatnya. Tanpa pikir panjang Wiro Sableng gerakkan tangan kirinya lepaskan
pukulan “Kunyuk Melempar Buah”.
Semak
belukar berpelantingan, sebuah pohon patah dilanda pukulan itu. Tapi si
bayangan putih sudah lenyap dari pemandangan.
“Sialan
betul!” gerutu Wiro. Dia melompat ke arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat
ke sebuah pohon besar yang tinggi dari mana dia bisa melihat dengan jelas
seantero rimba belantara.
Namun si
bayangan putih tetap tiada kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi.
Dengan
kertakkan geraham Wiro Sableng turun dari pohon itu. Mungkin sekali si bayangan
putih tadi adalah Dewi Siluman. Tapi mengapa sang Dewi sengaja mempermainkan
sedang dia telah mengutus empat orang anak buahnya untuk menangkapnya.
“Gila!”
gerendeng Pendekar 212. Belum pernah dia berhadapan dengan peristiwa begini
rupa. Kemudian bila hidungnya sudah tak sanggup lagi menghirup bau pesing
kencing yang membasahi kepalanya pendekar ini segera tinggalkan tempat itu
untuk mencari kali atau telaga guna mencuci kepalanya. Sewaktu dia melewati
pohon besar tempat dia duduk tadi tanpa sengaja kedua matanya memperhatikan
batang pohon itu. Bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu menyaksikan
serentetan tulisan putih pada batang pohon besar itu.
“Ini
lebih gila lagi!” kata Wiro. Dia melompat ke hadapan pohon dan meneliti apa
yang tertulis di situ.
Perbuatan
tangan manusia bukan suatu yang abadi.
Manusia
berilmu berpikir pendek berotak dangkal.
Punya
senjata dilupakan.
Bukan
untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Hanya
tujuh warna pelangi yang abadi.
Wiro tak
dapat memastikan dengan apa tulisan putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang
menulisnya pastilah si bayangan putih tadi. Untuk beberapa lamanya dia masih
berdiri di hadapan pohon itu merenung dan memikirkan apa arti serta tujuan
rentetan tulisan itu. Namun tiada sanggup otaknya memecahkan. Perbuatan tangan
manusia bukan suatu yang abadi. Wiro tahu akan kebenaran tulisan tersebut.
Lalu: Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Siapakah manusia yang
dimaksudkan dalam rentetan tulisan yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan
kepadanya? Punya senjata dilupakan. Hati Pendekar 212 tercekat sedikit. Di
balik pakaiannya tersembunyi Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah senjata ini yang
dimaksudkan oleh penggurat tulisan pada batang pohon itu? Senjata itu selalu
ada di tubuhnya dan tak pernah dilupakannya.
Wiro
membaca rentetan tulisan yang keempat: Bukan untuk menebang kayu atau menebas
kaki.
Tentu
saja adalah keterlaluan kalau Kapak Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang
kayu.
Tapi
untuk menebas kaki lawan, sudah beberapa kali dilakukan Wiro dalam
pertempuranpertempurannya.
Kaki
siapakah yang dimaksudkan oleh tulisan itu?!
Wiro
menepekur dan putar otak. Pandangannya membentur kaki kirinya. Tersentaklah
pendekar ini. Mungkin kakiku yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu
diperhatikannya rentetan tulisan yang terakhir. Hanya tujuh warna pelangi yang
abadi. Hanya tujuh warna pelangi…
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Karena kepalanya yang basah oleh air kencing itu belum
dibersihkan maka dengan sendirinya kembali tangannya menjadi basah dan bau
karena menggaruk itu. Dan Wiro menyerapah lagi.
Hanya
tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro mengulang. Berarti selain warna pelangi,
tak ada warna yang abadi. Sekali lagi Wiro memandang ke kaki kirinya berwarna
hitam, dan warna hitam itu bukan warna pelangi, jadi tidak abadi. Berarti bisa
sirna bisa dilenyapkan. Tapi bagaimana caranya?!
Untuk
kesekian kalinya Wiro membaca lagi rentetan demi rentetan tulisan di kulit
pohon.
Tiba-tiba
dipukulnya keningnya sendiri.
“Memang
aku yang geblek!” katanya. Lalu cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212.
Ditimang-timangnya senjata itu beberapa lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa
yang akan dilakukannya dengan senjata itu? Bukan untuk menebang kayu atau
menebas kaki. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Kini Wiro jadi bingung
kembali. Buncah otaknya. Hampir sepeminum teh lamanya dia memutar otak
memecahkan kalimat demi kalimat di batang pohon itu. Apa kini yang harus dilakukannya?
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga Geni 212
diletakkannya di atas pangkuan paha kiri. Pada saat senjata itu menyentuh
pahanya maka detik itu pula dirasakannya satu hawa dingin menjalar dari mata
kapak ke dalam kakinya. Senjata mustika itu memberikan reaksi terhadap
ketidakwajaran pada kaki sang pendekar.
“Tolol!
Betul-betul aku tolol!” Wiro memaki dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu
kembali dan ditempelkannya pada kaki kiri yang berwana hitam. Hawa dingin
semakin santer dan detik demi detik Wiro Sableng menyaksikan bagaimana kulit
kakinya yang hitam kini berangsur-angsur kembali kewarna seperti biasanya.
Ketika
keseluruhan warna hitam itu lenyap, Pendekar 212 berseru gembira dan melompat
dari duduknya. Lupa dia pada kegeraman hatinya karena dikencingi tadi. Wiro
memandang berkeliling dan berteriak. “Bayangan putih! Siapa pun kau adanya, aku
haturkan terima kasih atas petunjukmu!”
Begitu
suara Wiro lenyap maka terdengarlah suara cekikikkan macam ringkikkan kuda.
Suara itu
dekat sekali di samping kanannya. Sang pendekar berpaling. Dia melompat dengan
cepat sewaktu melihat kelebatan bayangan putih di balik semak belukar. Dia
kecewa karena ketika sampai di rerumpunan semak-semak itu si bayangan sudah
lenyap lagi.
Wiro
geleng-gelengkan kepala. Betul-betul luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu
apakah yang dimiliki si bayangan putih? Wiro tahu, seseorang yang memiliki ilmu
mengentengi tubuh yang bagaimana pun tingginya seseorang yang memiliki ilmu
lain yang bagaimana cepatnya, tak akan mungkin akan bisa berkelebat dan lenyap
secepat itu. Cuma setan dan bangsa jin yang sanggup berbuat seperti itu.
Meski
agak kecewa tak dapat mengejar si bayangan putih namun Wiro gembira juga karena
warna hitam pada kaki kirinya telah lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212
ke balik pakaiannya kembali. Betul-betul dia telah berbuat tolol, berpikir
pendek berotak dangkal, melupakan senjata itu. Padahal sewaktu di puncak Gunung
Gede gurunya pernah menerangkan bahwa kapak sakti itu bukan saja bisa
dipergunakan sebagai senjata hebat, tapi juga bisa mengobati dan menyedot
segala macam racun jahat yang mengindap di tubuh manusia baik bagian luar
maupun bagian dalam.
Wiro
angsurkan kaki kirinya ke depan untuk memperhatikan kaki itu kembali. Disaat
itulah matanya melihat lagi serentetan tulisan. Kali ini di tanah di
hadapannya.
Kalau mau
tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Pada
purnama empat belas hari
Datanglah
ke Goa Belerang.
“Pastilah
Si bayangan putih itu yang menulisnya,” kata Wiro dalam hati. Nyatnya dunia ini
bukan saja penuh dengan kekejaman dan kejahatan, tapi juga penuh keanehan.
*************
6
Suara
petikan kecapi terhenti sewaktu pintu kamar diketuk dari luar.
“Masuk!”
kata Dewi Siluman. Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk.
Gadis ini
menjura tiga kali di hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan
meninggalkan kamar itu.
“Kau
berhasil?” tanya Dewi Siluman begitu dia tinggalkan berdua dengan Nariti.
“Aku dan
kawan-kawan mohon ampunmu, Dewi,” berkata Nariti.
“Hah?!
Jadi kalian tak berhasil menangkap pemuda itu?” Dewi Siluman bangkit dari
pelaminannya. Matanya membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti.
“Sebenarnya
kami akan berhasil Dewi. Tapi….”
“Tapi
apa?!” sentak Dewi Siluman.
“Manusia-manusia
itu mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos!”
“Manusia-manusia
siapa maksudmu?!” bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung ke bantal besar
di belakangnya.
“Sepasang
Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,”
jawab
Nariti. Lalu dia memberi penuturan atas apa yang telah terjadi. “Si Telinga
Arit Sakti yang berani menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang
lehernya! Sepasang Arit Hitam kami tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian
ikut bersama kami. Mereka berdua kini berada di ruang merah.”
“Sepasang
Arit Hitam pindahkan ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang
putih!”
“Baik
Dewi,” Nariti hendak menjura siap untuk tinggalkan kamar itu.
“Tunggu
dulu!”
Suara
Dewi Siluman keras dan lantang menggetarkan hati Nariti. Dia membalik dengan
kecut.
“Ternyata
apa yang menjadi tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti
terima hukuman!”
Pucatlah
paras Nariti.
“Tapi
Dewi, aku sudah jelaskan semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku
dan kawan-kawan. Bahkan….”
“Aku
tidak perduli!” potong Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju
biru masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura.
“Siap
menunggu perintahmu, Dewi.” kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang
kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang
diberi jabatan sebagai petugas penghukum.
“Seret
dia ke ruang hitam! Sekap satu hari satu malam!”
“Perintah
segera dilaksanakan Dewi!” Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke hadapan
Nariti. Menggigillah tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang
paling ditakuti oleh seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus
disediakan untuk mereka yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan
hitam merupakan sebuah ruangan sempit dan gelap luar biasa, tangan di depan
mata pun tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana akan merasakan
hawa panas ke luar dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari
langitlangit dan lantai ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas
membuat tubuh hangus melepuh sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku
tegang.
Nariti
pernah menyaksikan keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan
itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak.
Selama satu minggu dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan
mati, mengigau siang malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan
akibat hukuman itu lenyap dan parasnya berangsur-angsur baik kembali sedang
kulit tubuhnya yang hitam berangsur-angsur mengelupas dan kembali kebentuk-nya
semula. Betapa mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri yang akan dijebloskan
ke dalam ruangan hitam itu.
Beberapa
pasang tangan memegang lengannya.
“Dewi….”
suara Nariti seperti tercekik dan sendat.
“Seret
dia lekas!” bentak Dewi Siluman.
Maka
kelima petugas itu segera membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak
menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti
akan lebih celaka lagi. Di dalam hati Nariti berkobar kebencian dan dendam
kesumat terhadap Wiro Sableng. Garagara Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat
hukuman.
Di dalam
kamarnya Dewi Siluman memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis
itu memainkan kecapi.
“Inani,
kau bersama beberapa orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang
gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih.”
“Perintah
segera kujalankan Dewi.” kata Inani. Gadis jelita ini menjura.
Sebelum
Inani berlalu, Dewi Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani
menghadap.
Bila
Kemani datang maka Dewi Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang
dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang
kawannya mencari si pemuda sampai dapat.
“Sebelum
kau berhasil menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku,
jangan harap kau dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini kembali!”
Meski
hati tergetar kecut namun Kemani mengangguk menjura.
Sementara
itu di satu ruangan yang disebut ruangan putih….
Sepuluh
Jari Kematian duduk di sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar
ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit dan dinding serta isinya
berwarna putih bersih. Lima orang gadis jelita telah membawanya ke dalam
ruangan itu dan meninggalkannya seorang diri.
Kawannya
yaitu Sepasang Arit Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi
Siluman.
Sambil
terus memandang seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula
yang bakal ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah
atas undangan Dewi Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil
tadi, bukan tidak mustahil dia akan menemui nasib buruk pula. Dicobanya
mempertenang hati dan menunggu.
Telinga
Sepuluh Jari Kematian yang terlatih dan tajam mendengar suara benda bergeser.
Tiba-tiba
dinding di hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia
berpakaian biru melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi
Siluman dan dua pengiringnya.
Langkah
yang dibuat sang Dewi tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka
yang jelita itu membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan
kekejaman.
Sepuluh
Jari Kematian berdiri dari kursinya dan menjura dalam.
“Aku
merasa bersyukur dapat memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu
kehormatan besar darimu.”
Dewi
Siluman naikkan hidung ke atas lalu menjawab. “Cuma sayang, sikap hormatku itu
dibalas dengan perbuatan sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil
meloloskan diri!”
Muka
Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah. Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu
berkata.
“Bukan
maksudku untuk bertindak semborono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan
ikuti kemauan sendiri.”
Dewi
Siluman tertawa.
“Adakah
cara yang lebih baik dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi
seseorang yang hendak menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak
memegang kendali delapan penjuru angin?!”
Terkejutlah
Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman
bermaksud hendak menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu
menurut kehendak hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada
berdosa hingga namanya menjadi angker di kalangan rimba persilatan.
“Tentu
saja kekerasan dan keteguhan hati sangat diperlukan Dewi!” berkata Sepuluh Jari
Kematian. “Apalagi bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia
persilatan.”
“Bagus
kalau kau berpendapat demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan kawan
tidak mau menyerahkan pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak
buahku?!”
Sepuluh
Jari Kematian hela nafas dalam.
“Anak-anak
buahmu keliwat kesusu, Dewi….”
“Hemm,
begitu?! Lantas itu sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah
mata padaku?!”
“Tidak
begitu. Dewi,” sahut Sepuluh Jari Kematian. “Pada saat itu aku dan kawan-kawan
tengah menempur habis-habisan pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam kesumat
terhadapnya.
Dia
membunuh muridku… “
“Aku
sudah tahu semua!” potong Dewi Siluman. “Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya
aku punya rencana tertentu denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa
kubatalkan….”
“Harap
Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih
merupakan sahabat baikmu seperti dimasa-masa lalu….”
“Justru
karena mengingat hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman
terhadapmu. Dalam waktu yang singkat kau akan meninggal.”
Seloki
emas berisi tuak masih juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang
mukanya sudah menjadi merah karena jengah.
Tiba-tiba
Dewi Siluman keluarkan tertawa mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak
bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera
memegangnya. Ketika jari-jari tangannya menyentuh seloki itu, tuak di dalam
seloki tumpah membasahi jari-jari tangan dan alas meja. Benar-benar ketinggian
tenaga dalam sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh Jari Kematian.
“Dalam
waktu singkat pula kau harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum
pergi aku masih mau berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum!”
Dewi
Siluman berpaling pada gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk
dua kali. Dinding di belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan
masuk membawa sebuah baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah
seloki besar yang juga terbuat dari emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum
segera dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai menjalankan pekerjaannya si
pelayan segera berlalu.
Dewi
Siluman memegang salah sebuah seloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan
Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala meja di seberangnya.
“Silahkan
menikmatinya,” kata Dewi Siluman pula. Dan habis berkata begitu seloki emas itu
dilepaskannya. Anehnya seloki itu tidak jatuh ke atas meja melainkan
perlahan-lahan terbang ke arah Sepuluh Jari Kematian. Nyatalah bahwa sang Dewi
memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.
Sepuluh
Jari Kematian tak berani menyambuti seloki berisi tuak itu secara biasa.
Setelah kerahkan setengah bagian dari tenaga dalamnya ke lengan kanan sampai ke
ujung-ujung jari, baru dia berani ulurkan tangan kanan untuk menyambuti seloki
berisi tuak itu. Tapi sewaktu ujung-ujung jari Sepuluh Jari Kematian hampir
menyentuh seloki tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga dia tak dapat
memegangnya. Diam-diam Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari kursi yang
didudukinya. Sekali lagi dia hampir menyentuh seloki tuak itu, sang seloki
menjauh kembali.
Nyatalah
bahwa dengan kekuatan tenaga dalamnya Dewi Siluman telah “mempermainkan” benda
itu.
Penuh
penasaran Sepuluh Jari Kematian lipat gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran
tenaga dalam terjadi secara diam-diam. Dewi Siluman kelihatan duduk di kursinya
dengan tenang dan sambil senyum-senyum. Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah
keluarkan butir-butir keringat dingin di keningnya. Tenaga dalam tokoh silat
utama ini yang sudah mencapai puncak tertinggi dan sempurna ternyata tak
sanggup melayani kehebatan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
“Silahkan
diminum tuak harum itu. Sepuluh Jari Kematian!” kata Dewi Siluman masih senyum
dan sambil menangkau seloki tuak yang terletak di meja di hadapannya.
Sepuluh
Jari Kematian menyeka dulu mukanya yang keringatan baru menempelkan tepi seloki
ke bibirnya. Begitu seloki itu berada di bawah hidungnya, di antara keharuman
bau tuak di dalam seloki dia mencium bau lain yang aneh. Hati tokoh silat ini
bercuriga dan sepasang matanya memandang ke ujung meja dimana saat itu Dewi
Siluman tengah mengangkat seloki tuak perlahanlahan ke bibirnya. Sepasang mata
mereka berperang pandang.
Sepuluh
Jari Kematian turunkan seloki yang dipegangnya.
“Ada apa,
Sepuluh Jari Kematian?” tanya Dewi Siluman. Nada suaranya berubah lain.
“Dewi,
aku tak dapat menerima kehormatanmu untuk minum bersama.Sebenarnya aku ada
urusan lain yang sangat penting. Aku minta diri, harap dimaafkan.”
Tapi
sebelum Sepuluh Jari Kematian berdiri, Dewi Siluman telah tegak lebih cepat.
Kedua bola matanya membesar dan menyorot.
“Sepuluh
Jari Kematian!” sentaknya. “Kau anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu
penghinaan besar bagiku.”
“Tak ada
maksudku untuk menghina demikian, Dewi….”
“Kenapa
tuak itu tidak kau minum? Pasti kau mempunyai pikiran yang bukan-bukan
terhadapku!”
Mulut
Sepuluh Jari kematian terkunci rapat-rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan
yang mengerikan dari sang Dewi.
“Dewi
Siluman, kuharap kau tidak melupakan hubungan baik kita sebagai dua sahabat
sejak dulu,” berkata pada akhirnya tokoh kawakan itu.
“Justru
karena mengingat hubungan baik kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini kau
menaruh prasangka yang bukan-bukan terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak
harum itu beracun hingga kau tidak bernyali meminumnya? Jawab!”
Sepuluh
Jari Kematian gelengkan kepala perlahan-lahan.
“Kalau
tuak itu beracun, aku akan mati duluan!” ujar Dewi Siluman. Habis berkata
begini, gadis jelita ini teguk tuak dalam seloki sampai habis. Seloki emas
dibantingkannya ke atas meja.
Dia
berteriak dengan suara keras marah. “Apakah kau lihat aku mati saat ini karena
minum tuak itu?!”
Sepuluh
Jari Kematian telan ludahnya. Perlahan-lahan seloki yang dipegangnya
ditempelkannya ke bibirnya kembali. Tiga kati teguk saja lenyaplah semua tuak
di dalam seloki ke dalam perutnya.
Dewi
Siluman duduk kembali ke kursinya. Dia memandang dengan tersenyum aneh pada
Sepuluh Jari Kematian.
“Apakah
tuak itu beracun?”
Sepuluh
Jari Kematian gelengkan kepala.
“Atau kau
merasa ada kelainan di dirimu saat ini?”
Sepuluh
Jari Kematian kembali gelengkan kepala meski saat itu sesungguhnya memang dia
merasakan ada satu kelainan yang tak dimengertinya.
Dewi
Siluman tertawa mengekeh. Suara tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak pantas
kalau keluar dari seorang gadis jelita macam dia. Dan suara kekehan ini bernada
yang mencurigakan bagi Sepuluh Jari Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian
bahwa Dewi Siluman telah memasukkan racun jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang
mengherankannya Dewi Siluman sendiri juga telah minum tuak itu, malah lebih
dulu dari dia.
Dewi
Siluman berpaling pada pengiring di samping kanannya dan berkata. “Tambahkan
tuak untuk tamu kita itu.”
“Terima
kasih Dewi. Kurasa satu seloki sudah cukup,” jawab Sepuluh Jari Kematian. Saat
itu semakin terasa adanya kelainan dalam tubuhnya.
“Sepuluh
Jari Kematian,” berkata sang Dewi dengan nada mengandung ancaman.
“Pernahkah
kau bercita-cita untuk merajai dunia persilatan?”
Sepuluh
Jari Kematian memandang sebentar paras jelita di hadapannya. Setelah merenung
beberapa ketika lamanya lalu anggukkan kepala dan menjawab. “Memang pernah
Dewi. Tapi itu bukan satu hal yang mudah. Di dunia ini penuh dengan tokoh-tokoh
silat sakti luar biasa. Kalau sekarang aku belum dapat merajai dunia
persilatan, tapi delapan penjuru angin telah mengetahui siapa diriku. Dan itu
merupakan hal lumayan.”
“Tepat
sekali ucapanmu bahwa untuk merajai dunia persilatan bukan satu hal yang mudah.
Tapi jika
tahu caranya pasti dalam waktu yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan!”
Sepuluh
Jari Kematian berpikir-pikir, kira-kira apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya
bicara demikian. Dia juga memikirkan apa sebenarnya yang menjadi alasan gadis
sakti itu tempo hari mengundangnya untuk datang ke Pulau Madura. Dalam dia
berpikir-pikir itu Dewi Siluman berkata pula.
“Kau
tentunya punya cara sendiri. Aku juga punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku
itu akan lebih berhasil dari padamu.”
Sang Dewi
tertawa mengekeh.
“Ketahuilah
Sepuluh Jari Kematian, mulai hari ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam
melaksanakan cita-cita untuk merajai dunia persilatan….”
Sepuluh
Jari Kematian kernyitkan kening.
“Pembantu
macam manakah maksudmu, Dewi?” tanya tokoh silat ini.
“Kau harus
tunduk padaku dan turut perintah!”
Berubahlah
paras Sepuluh Jari Kematian. Dia seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di
ujung timur Pulau Jawa kini disuruh tunduk dan ikut perintah. Benar-benar satu
penghinaan besar yang menusuk hati dan tiada memandang muka serta nama
besarnya. Kalau saja bukan berhadapan dengan Dewi Siluman, pastilah saat itu
tokoh silat ini sudah melabrak gadis itu.
“Mungkin
ini satu hal yang tidak enak bagimu,” berkata lagi Dewi Siluman. “Tapi ini
sudah menjadi takdirmu, Sepuluh Jari Kematian! Kau musti tetap di sini bersama
orang-orangku dan menjalankan segala apa yang kuperintahkan! Kau dengar…?!”
Sepuluh
Jari Kematian menggeram dalam hatinya.
“Terima
kasih atas kepercayaanmu serta hormatmu padaku. Dewi Siluman. Namun kuharap kau
bisa maklum. Manusia macamku ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan
malang melintang di delapan penjuru angin dunia persilatan. Kuharap kau tak
usah gusar kalau aku terpaksa menolak permintaanmu itu. Apalagi aku orang buruk
yang sudah tua renta ini. Tak ada guna dan untungnya mengambilku jadi
pembantu….”
Dewi
Siluman tertawa.
“Kau
pandai sekali merendahkan diri,” katanya. “Namun rupanya tak ada jalan lain
bagimu.
Kau harus
tetap di sini, dan jadi pembantuku. Tenagamu sangat kuperlukan!”
“Mohon
maaf Dewi. Aku tak bisa menerimanya….”
Bola-bola
mata Dewi Siluman menyorot.
“Kuharap
kau tahu di mana kau berada saat ini, Sepuluh Jari Kematian!”
Ucapan
ini benar-benar menandakan ancaman bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai
berpikir-pikir bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi perselisihan serta
bentrokan antara dia dan Dewi Siluman. Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi
Siluman memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya, Sepuluh Jari Kematian
maklum bahwa bertempur dengan gadis itu sukar baginya untuk menang, apalagi dia
saat itu berada pula di sarangnya sang Dewi, di mana terdapat belasan
orang-orangnya Dewi Siluman yang berkepandaian tinggi yang kehebatan mereka
telah disaksikannya sendiri tadi.
“Kalau
kau suka Dewi, aku bersedia carikan tokoh silat lain untukmu….”
“Aku bisa
mencarinya sendiri!” sahut Dewi Siluman pula. “Yang kuperlukan sekarang adalah
kau!”
“Menyesal
Dewi, aku….”
Kalimat
Sepuluh Jari Kematian itu dipotong oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya
menggebrak meja.
“Jadi kau
berani membangkang terhadapku?!”
Sepuluh
Jari Kematian coba tertawa. Jawabnya. “Sampai saat ini aku masih tetap
mengingat hubungan baik kita. Sebelum aku minta diri, aku ucapkan terima kasih
atas jamuanmu ini. Di samping itu kuharap pula kau suka membebaskan kawanku
Sepasang Arit Hitam yang telah ditawan oleh orang:-orangmu.”
Sepuluh
Jari Kematian berdiri dari kursinya.
“Kau
tetap berkeras kepala untuk menolak kemauanku?!
“Aku sama
sekali tidak menolak, tapi belum bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa
memenuhi keinginanmu….”
Berubahlah
paras Dewi Siluman. Perlahan-lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya mengelam
Senyumnya lebih tepat kalau dikatakan seringai bengis.
“Baik
Sepuluh Jari Kematian, kau boleh pergi. Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau
bawa serta. Tapi….” Dewi Siluman tak meneruskan kata-katanya. Dia memandang
tepat-tepat pada tokoh silat tua di hadapannya itu lalu pecahlah suara
tertawanya di ruangan putih itu. Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak.
Kemudian cepat-cepat dia membalik dan menuju ke pintu. Sebelum pintu itu sempat
dibukanya, di belakangnya didengarnya suara Dewi Siluman.
“Sebelum
kau pergi masih ada satu hal yang rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari
Kematian!”
Sambil
memegang daun pintu, Sepuluh Jari Kematian palingkan kepala.
“Nyawamu
cuma tinggal cuma satu minggu saja Sepuluh Jari Kematian!” Dan Dewi Siluman
tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
“Apa
maksudmu?!” tanya Sepuluh Jari Kematian dengan muka membesi.
“Apakah
kau tuli kalau kukatakan bahwa nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?! Lewat
satu minggu ususmu akan hancur, perutmu akan meloek dan seluruh isi perutmu
akan berbusaian akibat racun yang telah kau teguk bersama tuak tadi!”
Terkejutlah
Sepuluh Jari Kematian.
“Tapi kau
sendiri juga telah meminumnya” buka suara tokoh silat itu.
Dewi
Siluman tertawa lagi. “Aku memang telah meminumnya. Tapi aku tak akan mampus
macam kau! Dalam seloki itu, pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk yang
mematikan racun yang ada di dalam tuak!”
Maka
marahlah Sepuluh Jari Kematian.
“Perempuan
laknat!” teriaknya menggeledek. “Sebelum aku mampus, kau akan kubikin minggat
ke neraka lebih dulu!”
Dewi
Siluman tertawa mengumandang.
“Tua
bangka tak tahu diri! Kau andalkan apakah berani melawan kekuasaan Dewi
Siluman?!” bentak Dewi Siluman.
“Aku
andalkan ini perempuan iblis!” sahut Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan
itu lima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka.
***************
7
Begitu
lima jari menjentik maka lima larik sinar hitam yang menggidikkan menderu
dengan amat panasnya ke arah lima bagian tubuh Dewi Siluman.
Yang
diserang keluarkan suara mendengus yang disusul dengan bentakan nyaring. “Tua
bangka edan! Apakah tidak tahu tingginya gunung dalamnya lautan?!”
Tubuh
Dewi Siluman kelihatan bergerak. Gerakan yang dibuatnya ini cepat luar biasa,
benar-benar laksana siluman berkelebat. Detik itu pula tubuhnya lenyap dari
hadapan Sepuluh Jari Kematian. Lima larik sinar hitam yang menyerangnya menderu
menghantam dinding ruangan.
Ruangan
itu bergoncang seperti dilanda lindu. Dinding yang putih di sebelah sana
kelihatan hitam hangus dan mengeluarkan kepulan asap.
Dua orang
pengiring Dewi Siluman yang ada di ruangan itu berseru nyaring dan berkelebat
cepat.
“Dewi!”
teriak salah seorang dari mereka. “Bangsat tua hina dina ini biar kami yang bereskan!”
“Kalian
tetap di tempat!” perintah Dewi Siluman. Tubuhnya melesat laksana kilat dan
tahutahu dua jari tangan kanannya menotok ke urat besar di pangkal leher
sebelah kiri Sepuluh Jari Kematian. Demikian cepatnya totokan ini sehingga
tokoh silat tua itu tak sempat menangkis atau pun menghindar selamatkan
lehernya. Satu-satunya jalan ialah mengalirkan dengan cepat seluruh tenaga
dalamnya ke bagian pangkal leher itu untuk menolak totokan. Namun karena tenaga
dalam Sepuluh Jari Kematian berada jauh di bawah Dewi Siluman, maka ketika
totokan itu mendarat di pangkal lehernya, dengan serta merta sekujur tubuhnya
menjadi kaku tegang tak bisa lagi digerakkan. Tapi mulut Sepuluh Jari Kematian
masih bisa bersuara. Maka memakilah tokoh silat kawakan ini.
“Gadis
keparat! Lekas bebaskan totokan ini! Kalau tidak kau akan menyesal seumur
hidup!”
Dewi
Siluman tertawa mengekeh.
“Tikus
tua! Sudah tak ada daya masih bisa besarkan mulut! Kau minta dilepaskan
totokan?
Baik!
Tapi rasakan dulu ini!”
Tangan
kanan Dewi Siluman bergerak.
“Plaaak!”
Tamparan
yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat itu meraung
kesakitan. Dua buah giginya tanggal dan melompat dari mulutnya. Bibirnya pecah
berdarah.
Pemandangannya
gelap. Sesaat kemudian tubuhnya limbung dan tergelimpang ke lantai.
Dewi
Siluman menyeringai. Dia berpaling pada kedua orang anak buahnya dan
memerintah.
“Seret
babi tua ini ke Ruang Penyiksaan!”
Dua gadis
baju biru segera bergerak untuk laksanakan tugas sang Dewi. Namun belum lagi
keduanya menyentuh tubuh Sepuluh Jari kematian tiba-tiba pintu Ruangan Putih
terpentang lebar dan dua manusia aneh menerobos ke dalam.
Terkejutlah
Dewi Siluman dan kedua anak buahnya.
Begitu
sang Dewi kenali dua manusia aneh ini dia segera membentak. “Tiga Aneh Gila!
Bagaimana
kalian bisa sampai ke sini?! Apakah sudah bosan hidup?!”
Kedua
manusia itu saling pandang satu sama lain lalu tertawa gelak-gelak sambil
melompat lompat seperti anak kecil.
“Manusia-manusia
gila keblinger! Nama besarmu memang pernah kudengar! Setahuku kalian berjumlah
tiga orang? Mana kambratmu yang satu lagi, biar aku sekaligus dengan lekas
mengirim kalian menghadap penunggu neraka!”
Dua
manusia aneh itu jingkrat-jingkratan lagi dan tertawa gelak-gelak hingga mata
mereka menjadi berair. Yang satu tiba-tiba hentikan tertawanya dan menepuk bahu
kawannya, lalu berkata.
“Baju
Gombrong! Diamlah! Apa kau tidak dengar si jelita itu tanyakan kawan kita yang
satu lagi?!”
“Ah… ah…
ah!” kata manusia aneh yang dipanggilkan Baju Gombrong itu, “Biar aku
panggilkan dia. Dewi Siluman, kau tunggulah sebentar, kambratku yang kau
tanyakan itu ada membawa oleh-oleh untukmu!”
Habis
berkata begitu Baju Gombrong keluarkan suara bersiul. Maka dari pintu yang
terpentang lebar itu masuklah seorang aneh yang berpakaian cabik-cabik. Yang
mengejutkan Dewi Siluman serta anak-anak buahnya ialah ketika menyaksikan
bagaimana pada bahunya manusia ini membawa dua orang anak buahnya yang saat itu
tidak bernyawa lagi karena leher mereka terkulai patah akibat dipelintir
kepalanya.
Manusia
aneh yang ketiga ini tertawa gelak-gelak sewaktu melihat Dewi Siluman.
“Dewi
Siluman, rupanya kau begitu tak sabar tanyakan aku! Ini aku datang dan bawa
oleh oleh buatmu!” Serentak dengan itu manusia ini gerakkan tubuhnya dengan
perlahan dan tahu-tahu dua orang anak buah Dewi Siluman yang berada di bahunya
berpelantingan ke kiri kanan, menghantam dinding dan mental kembali, jatuh
tepat di hadapan Dewi Siluman.
Jelas
terdengar suara geraham-geraham Dewi Siluman bergemelatukan karena amarah yang
amat sangat.
“Dewi
Cantik!” kata Baju Rombeng, “Menyesal sekali kami terpaksa lepaskan tangan
jahat pada dua orang anak buahmu. Kami tengah keluyuran di kaki bukit sana,
tahu-tahu mereka menyerang. Kawan-kawan, bukankah begitu ceritanya?!”
Ketiga manusia
aneh itu kemudian tertawa gelak-gelak ramai sekali dan tak lupa mereka dalam
tertawa itu melonjak-lonjak seperti tadi.
“Dua anak
buahmu itu inginkan nyawa kami! Padahal mereka cukup pantas untuk jadi….” Si
Baju Rombeng tak teruskan ucapannya karena saat itu kembali dia tertawa lagi.
“Dan
sewaktu kami sampai di sini, nyatanya kejahatanmu tiada beda dengan kami….” Si
Baju Rombeng memandang pada sosok tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak
pingsan, lalu geleng-gelengkan kepala. “Tamparan yang hebat,” katanya.
Dua orang
anak buah Dewi Siluman yang ada di ruangan itu mula-mula terkesiap saksikan dua
kawan mereka yang dilemparkan tanpa nyawa, tapi kini tak dapat lagi menahan
kemarahan mereka dan melompat ke muka.
“Dewi!
Izinkan kami merampas nyawa anjing-anjing buruk ini!”
“Tangkap
mereka hidup-hidup! Sebelum mampus mereka musti disiksa dulu!” teriak Dewi
Siluman.
Maka dua
orang gadis baju biru itu segera menyerbu ke muka. Tiga manusia yang diserang
anehnya melihat serangan ini malah tertawa gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan.
Dan lebih aneh lagi begitu mereka gerakkan tangan kiri mereka maka tegang
kakulah kedua anak buah Dewi Siluman itu. Ternyata ketiganya telah lepaskan
totokan jarak jauh yang lihai luar biasa. Dan ini membuat sang Dewi terkejut bukan
main. Melihat kelihaian ketiga manusia ini Dewi Siluman tidak mau bertindak
sembrono. Jika dua orang anak buahnya sanggup ditamatkan riwayat mereka dan dua
orang lagi dibuat tak berdaya di muka hidungnya maka tiga manusia itu sudah
tentu mengandalkan ilmu yang tinggi sekali.
Siapakah
ketiga manusia itu?
Orang
yang masuk pertama ke dalam Ruangan Putih itu ialah seorang yang bermata besar
juling berbadan katai. Bajunya sangat besar hingga kegombrangan di badannya
yang pendek kecil itu. Karena pakaiannya yang gombrong inilah maka di duia
persilatan dia dikenal dengan julukan Baju Gombrong.
Yang
kedua juga bertubuh kecil pendek. Kepalanya botak penuh kudis yang baunya
busuk.
Pakaiannya
penuh tambalan-tambalan. Karena itulah di dunia persilatan dia dikenal dengan
gelar Baju Tambalan.
Manusia
aneh ketiga yang masuk paling akhir dengan membawa mayat dua orang anak buah
Dewi Siluman juga berbadan katai. Rambutnya yang hitam berkilat diikat kuncir
ke atas. Karena seumur hidupnya dia selalu mengenakan pakaian robek-robek dan
cabik tak karuan maka di rimba persilatan dia dikenal dengan julukan Baju
Rombeng.
Sejak
lima tahun yang lalu ketiga manusia ini telah bergabung dalam satu kelompok.
Karena kesemua mereka mempunyai penyakit kurang ingatan alias gila maka
kelompok mereka itu dinamakan Tiga Aneh Gila. Meski mereka gila namun hati
mereka polos jujur dan suka berbuat baik di mana-mana. Ketiganya pernah
melabrak beberapa tokoh-tokoh silat golongan hitam.
Dengan
sendirinya dimusuhi oleh golongan hitam. Beberapa tokoh silat dan satu
perguruan silat golongan hitam pernah coba membuat perhitungan dengan mereka.
Namun Tiga Aneh Gila menyapu lawan-lawan mereka itu.
Satu
bulan yang lewat dalam petualangan mereka ketiganya telah mendengar tentang
keganasan Dewi Siluman di Pulau Madura. Sebagai tiga tokoh silat yang tak suka
melihat kejahatan dan kekejaman maka Tiga Aneh Gila segera berangkat ke Pulau
Madura. Dalam mencari-cari di mana letak sarangnya Dewi Siluman, dua orang anak
buah Dewi Siluman memergoki mereka.
Tiga Aneh
Gila mulanya menegur dengan baik-baik dan menanya di mana letak tempat Dewi
Siluman pada kedua gadis itu. Anak-anak buah Dewi Siluman tentu saja merasa
curiga. Tanpa banyak cerita keduanya segera menyerang Tiga Aneh Gila dengan
jurus-jurus yang mematikan.
Ketiga
manusia aneh itu jadi penasaran sekali. Setelah bertempur delapan jurus maka
dua orang anak buah Dewi Siluman berhasil mereka tangkap hidup-hidup. Namun
salah seorang dari mereka yaitu Baju Rombeng merasa kasihan dan atas
perintahnya kedua gadis itu dilepaskan kembali. Tapi apa lacur, begitu dilepas
segera dua orang anak buah Dewi Siluman ini menyerang lagi dengan lebih ganas.
Maka Tiga Aneh Gila kali ini tak memberi hati lagi. Dalam empat jurus saja maka
kedua orang anak buah Dewi Siluman terpaksa pasrahkan jiwa kepada mereka.
Dengan
muka membesi menahan kegeraman. Dewi Siluman memandang ketiga manusia katai di
depannya lalu buka mulut. Ucapannya setengah mendesis. “Dengan datang kemari
dan pembunuhan atas kedua orang anak buahku, berarti kalian telah menentukan
kematian sendiri Tiga Aneh Gila!”
Tiga Aneh
Gila kembali tertawa gelak-gelak. Tidak lupa pula mereka berloncat-loncatan.
“Namun
demikian,” melanjutkan Dewi Siluman. “Masih ada keampunan bagi kalian jika
kalian bersedia menjadi pembantu-pembantuku dan ikut segala perintah!”
“Ah!”
menyahuti Baju Gombrong.”Kedatangan kami ke sini justru untuk meminta kau
menjadi pembantu kami bertiga!” Dan Baju Gombrong bersama dua kawannya kemudian
tertawa kembali.
Dengan
menekan kemarahannya Dewi Siluman bertanya. “Apa maksud kalian sebenarnya?!”
“Masakan
kau tidak tahu,” jawab Baju Rombeng. “Kau cocok sekali untuk menjadi utusan
kami ke neraka!”
“Dan
sekalian tolong menyampaikan salam kami bertiga pada setan-setan neraka!”
menimpali
Baju Tambalan. Tiga Aneh Gila lalu tertawa lagi.
Dewi
Siluman menggerendeng. “Kalian bertiga memang pantas untuk jadi puntung
neraka!”
Serentak
dengan itu Dewi Siluman bersuit nyaring. Maka empat buah dinding membuka dan
sepuluh gadis berbaju biru membanjiri Ruangan Putih itu.
“Tangkap
tiga orang gila kesasar ini?” perintah Dewi Siluman.
Maka
kesepuluh gadis baju biru itu segera keluarkan jala sutera mereka kemudian
dengan serentak menyerbu Tiga Aneh Gila. Sepuluh jala mengembang mengurung
mereka. Tiga Aneh Gila hentikan tertawa mereka dan ganti dengan suara
berteriak-teriak tak karuan memekakkan telinga sedang tubuh mereka berlompatan
kian kemari. Lompatan-lompatan ini kelihatannya juga tidak karuan, acak-acakan.
Tapi anehnya gerakan mereka menimbulkan angin yang luar biasa dahsyatnya.
Demikian
dahsyatnya sehingga tebaran jala sutera biru sepuluh anak buah Dewi Siluman
laksana terbendung. Kesepuluh gadis itu amat terkejut. Selama ini tak pernah
mereka mengeroyok sepuluh seorang atau beberapa orang lawan. Selama ini tak
satu kehebatan pun yang dapat melepaskan diri dari jala-jala sutera mereka.
Tapi sekali ini benar-benar mereka dibikin bingung oleh jurus-jurus aneh yang
acak-acakan yang dikeluarkan tiga orang manusia katai itu. Lima jurus berlalu,
sepuluh anak buah Dewi Siluman malah kini kena didesak Tiga Aneh Gila.
Melihat
ini Dewi Siluman segera berseru.
“Bentuk
Barisan Seratus Siluman Keluar Dari Sarangnya!”
Mendengar
seruan sang Dewi, sepuluh gadis baju biru itu undurkan diri ke tepi kalangan.
Kemudian
dengan tiba-tiba sekali kesepuluhnya menyerbu ke muka. Masing-masing keluarkan
suara berteriak mengerikan. Jala sutera biru kini digulung dan dibuat sebagai
senjata penggebuk.
Serangan
mereka ini benar-benar tak ubahnya seperti seratus siluman ke luar dari
sarangnya. Dalam waktu yang sangat singkat kesepuluh gadis baju biru sudah
mengurung Tiga Aneh Gila dengan rapat dan dalam satu jurus di muka mereka
mendesak ketiga manusia katai itu dengan hebat.
Tiga Aneh
Gila yang melihat bahaya besar ini tidak tinggal diam. Mereka berkelebat cepat
dan rubah permainan silat mereka. Dari mulut mereka tidak pula henti-hentinya
terdengar suara teriakan yang sekali-sekali diselingi oleh tertawa haha-hihi
sehingga Ruangan Putih itu menjadi hiruk pikuk dan laksana dilanda lindu.
Lima
jurus berlalu. Seorang anak buah Dewi Siluman menjerit dan mental ke luar kalangan
pertempuran, rubuh muntah darah. Kemudian menyusul lagi korban yang kedua.
Marahlah Dewi Siluman melihat hal ini.
“Anak-anak,
kalian semua mundurlah!” seru Dewi Siluman.
Maka
delapan gadis baju biru segera turut perintah dan keluar dari kalangan
pertempuran.
Tiga Aneh
Gila tertawa gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan.
“Kadal-kadal
betina beginikah yang hendak merajai dunia persilatan?!” ejek Baju Gombrong
yang bermata juling.
“Bagusnya
biangnya saja yang maju!” menimpali Baju Tambalan seraya garuk-garuk kepalanya
yang gatal penuh kudis busuk.
Dewi
Siluman kertakkan geraham. Dia berpaling pada delapan muridnya yang masih
hidup.
“Kurung
yang rapat! Setan-setan buruk ini tidak boleh satu pun yang lepas!”
Tiga Aneh
Gila tertawa berkakakkan.
“Siluman
berteriak setan!” ujar Baju Rombeng. “Aku jadi ingat pada pencuri yang
berteriak maling!”
“Cukup!”
bentak Dewi Siluman menggeledek. Air mukanya yang jelita benar-benar
menunjukkan kebengisan dan kekejaman yang mengerikan kini. “Kalian boleh
keluarkan seluruh ilmu simpanan! Tapi dalam tiga jurus kalian akan kutangkap
hidup-hidup!”
“Kecap!”
teriak Baju Tambalan dan bersama dua kawannya dia tertawa kembali gelak-gelak.
Dewi
Siluman loloskan kalung tengkorak kecil dari lehernya dan memegang benda itu di
tangan kanan.
“Kalian
lihat tengkorak ini?!”
“Kami
masih belum buta!” jawab Baju Rombeng
“Tentu
saja! Kalian memang belum buta! Tapi apa kalian tahu bahwa jika kalian sudah
mampus, tengkorak-tengkorak kalian akan dimasukkan ke dalam dapur penggodok,
dibikin kecil ciut macam begini untuk jadi kalung anak-anak buahku?!”
“Ah,
hebat sekali!” seru Baju Gombrong. “Tapi apakah kau juga tahu kalau kau mampus
daging tubuhmu akan kami suruh gerogoti oleh anak-anak buahmu sendiri agar kau
dan mereka benar-benar jadi siluman?!”
Tiga Aneh
Gila tertawa membahak.
Dewi
Siluman tak dapat menahan diri lagi. Tangan kirinya menyelinap ke balik jubah
untuk mengeluarkan sebuah jala biru yang terbuat dari sutera yang sangat halus
laksana jaring laba-laba.
Sambil
putar-putar kalung bermata tengkorak di tangan kanannya Dewi Siluman maju
mendekati Tiga Aneh Gila. Tiga Aneh Gila sambil terus tertawa-tawa, secara acuh
tak acuh melangkah berpencar dan diam-diam sudah mengurung sang Dewi dari tiga
jurusan.
************
8
Dewi
Siluman perhatikan posisi ketiga lawannya sementara kalung tengkorak di
tangannya menderu-deru berputar dan keluarkan angin yang mengibar-ngibarkan
pakaian Tiga Aneh Gila.
Tiba-tiba
dari mulut sang Dewi keluar suara seperti orang menangis.
“Eh… eh…
eh!” ujar Baju Rombeng. “Siluman ini disamping teriak-teriak dan membentak
rupanya pandai pula menangis!” Tiga Aneh Gila kemudian tertawa memingkal.
Namun
kali ini tawa mereka terhenti dengan tiba-tiba.
Tengkorak
yang berputar mendadak sontak menebarkan asap biru yang tebal sekali menutupi
pemandangan Tiga Aneh Gila.
“Kawan-kawan
cepat mundur!”teriak Baju Rombeng.
Dalam
buta pemandangan itu ketiganya berlompatan ke belakang. Namun disaat itu pula
jala sutera halus di tangan kiri Dewi Siluman menebar berputar laksana kitiran.
“Celaka!”
seru Baju Tambalan. Dirasakannya sesuatu benda melibat pinggangnya kemudian
sepasang lengan dan kakinya. Pastilah itu jala sutera Dewi Siluman. Dalam
gelapnya kepulan asap biru Baju Tambalan coba lepaskan diri tapi tak berhasil
sedang kemudian dia mendengar susul menyusul seruan kedua kawannya.
Dewi
Siluman kini memutar kalung tengkoraknya pada arah yang berlawanan dari tadi.
Asap
putih mendesis dari mulut tengkorak kecil itu dan dalam sekejap saja lenyaplah
asap biru yang gelap. Ruangan Putih kembali berada dalam keadaan terang
benderang. Dan saat itu kelihatanlah bagaimana Tiga Aneh Gila berdiri di tengah
ruangan dengan sekujur badan terjirat jala biru, tak sanggup lepaskan diri.
Dewi
Siluman tertawa mengekeh. Kalung tengkoraknya digantungkannya kembali ke leher.
“Nyatanya
Tiga Aneh Gila hanya tokoh-tokoh silat picisan belaka!” ejek Dewi Siluman.
“Sekarang
kalian akan tahu siapa Dewi Siluman! Anak-anak seret tiga puntung neraka ini
dan Sepuluh Jari Kematian ke Ruang Penyiksaan! Sebelum mereka merasakan siksaan
neraka ada baiknya lebih dulu harus dijebloskan ke dalam siksaan dunia!”
Maka Tiga
Aneh Gila dan Sepuluh Jari Kematian segera diseret dari Ruangan Putih
dimasukkan ke dalam Ruang Penyiksaan Sekarang marilah kita ikuti perjalanan
Kemani bersama tiga orang kawannya dalam mencari Wiro Sableng Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212.
Mereka
keluar dari terowongan di sebelah selatan Bukit Tunggul. Setengah harian
menyelidik keempatnya masih belum berhasil mendapatkan jejak orang yang mereka
cari.
“Sebaiknya
kita memencar!” kata Kemani memberi usul pada ketiga kawannya. “Dengan memencar
kita bisa bergerak lebih luas. Jika salah satu dari kita berhasil melihat
manusia itu segera lepaskan tanda ke udara!”
Tiga
gadis baju biru lainnya menyetujui.
“Jika
sampai senja kita tak berhasil menemuinya, kita harus kembali ke tempat ini
untuk berkumpul dan menentukan langkah selanjutnya.”
Maka
keempat anak buah Dewi Siluman itu pun memencarlah. Hari pertama itu,
sesenjasenja hari keempatnya tak berhasil menemui orang yang mereka cari.
Keempatnya berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan membuat kemah di situ.
Paginya mereka meneruskan lagi pencaharian. Meskipun Madura cuma sebuah pulau
namun penuh dengan rimba belantara serta bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan
liar yang jarang ditempuh manusia. Inilah yang menyukarkan bagi keempat anak
buah Dewi Siluman itu untuk mencari Wiro Sableng. Dan pada hari yang kedua itu
mereka masih belum berhasil. Keempatnya berkumpul di satu lamping gunung kapur.
Kemana pun mereka memandang hanya warna putih yang mereka lihat. Menjelang
senja seorang dari mereka melihat kelap-kelip nyala api di sebelah utara.
“Mungkin
dia,” desis Kemani. Setelah berunding singkat, keempatnya segera tinggalkan
lamping gunung kapur. Empat kali sepeminuman teh mereka sampai ke tempat nyala
api itu.
Ternyata
yang mereka lihat itu ialah nyala api unggun. Tak jauh dari api unggung ini
terletak satu buntalan. Pastilah di tempat itu ada yang berkemah. Tapi tak satu
orang pun yang kelihatan. Kemani dan kawan-kawan menunggu sampai dua kali
sepeminuman teh. Tetap tak ada satu orang pun yang muncul. Keempatnya berunding
lagi lalu dengan penuh waspada melangkah untuk mendekat dan memeriksa isi buntalan
di dekat api unggun.
Baru saja
keempatnya bergerak sejauh tiga langkah entah dari mana datangnya berkelebatlah
satu bayangan putih. Demikian cepatnya sehingga keempat anak buah Dewi Siluman
tak dapat memastikan bayangan apakah itu. Dan tahu-tahu mereka merasakan satu
totokan pada pangkal leher mereka yang membuat diri mereka kaku tegang tak bisa
bergerak, tak bisa buka suara.
Sekali
lagi bayangan putih itu berkelebat dan sesaput angin aneh menyambar mata
mereka.
Keempatnya
mendadak sontak merasa berat kelopak mata masing-masing. Kantuk aneh tak
tertahankan lagi sehingga dalam keadaan tubuh tertotok itu keempatnya kemudian
pejamkan mata tertidur nyenyak.
Suara
tertawa aneh menyeramkan macam ringkikkan kuda, menggeletar di seantero tempat.
Satu
bayangan putih berkelebat lagi dan sekaligus memboyong keempat gadis berbaju
biru itu.
*****
Dewi
Siluman berdiri di belakang jendela di anjungan ketiga. Dipandangnya kolam dan
taman bagus di bawah sana. Tapi pikirannya tidak tertuju pada apa yang
dilihatnya melainkan pada empat orang anak buahnya yang telah dikirimnya untuk
mencari dan menangkap pemuda yang tak berhasil ditawan oleh Nariti dan
kawan-kawannya, sampai-sampai Nariti sendiri dihukum dan disiksa di Ruang
Hitam. Dan kini sudah memasuki hari yang kelima, empat orang anak buahnya itu
masih belum muncul. Mungkin keempatnya belum berhasil mencari si pemuda. Tapi
mungkin juga keempatnya telah menjadi korban. Mengingat ini Dewi Siluman
menjadi sedikit khawatir. Tiba-tiba pintu di belakangnya diketuk.
“Masuk!”
ujar Dewi Siluman.
Pintu
terbuka. Seorang gadis berkulit putih yang rambutnya disanggul ke atas menjura
tiga kali di hadapan Sang Dewi.
“Ada
keperluan apa kau menghadap, Sarinten?”
Gadis
yang bernama Sarinten menjawab. “Ketika aku meronda tak berapa jauh dari daerah
kapur, aku menemui tusuk kundai ini, Dewi.” Sarinten mengacungkan tangan
kirinya yang menggenggam sebuah tusuk kundai dari perak. Lalu katanya
meneruskan. “Benda ini kutemukan di satu tempat di mana ada bekas-bekas
perapian. Dan Dewi, aku yakin betul ini adalah kusuk kundainya Kemani….”
Sepasang
mata Dewi Siluman kelihatan mengecil.
“Aku
khawatir Kemani dan kawan-kawan menemui hal-hal yang tak kita ingini,” ujar
Sarinten lagi.
“Apakah
ada tanda-tanda bekas perkelahian?” tanya Dewi Siluman.
“Tak bisa
kupastikan Dewi.”
Dewi
Siluman merenung sejenak. Kemudian.
“Baik
Sarinten, kau boleh tinggalkan kamar ini. Aku akan memikirkan apa yang bakal
dilakukan!”
Sarinten
menjura tiga kali lalu meninggalkan anjungan itu. Dewi Siluman kembali putar
badan dan memandang ke luar jendela. Ketika melihat tusuk kundai yang
diacungkan oleh Sarinten tadi, sebenarnya Dewi Siluman merasa pasti bahwa telah
terjadi apa-apa dengan Kemani dan kawan-kawannya. Dan kalau memang pemuda yang
tengah dicari-cari itu yang punya pekerjaan, yakinlah Dewi Siluman bahwa si
pemuda sungguh-sungguh berilmu tinggi. Nariti adalah anak buahnya yang berilmu
tinggi sedang Kemani dua tingkat lebih tinggi dari Nariti dan tetap tugas yang
mereka laksanakan tidak membawa hasil bahkan semakin menimbulkan kekhawatiran.
Yang membuat Dewi Siluman tambah penasaran ialah karena sampai sebegitu jauh
dia masih belum tahu siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya, siapa juluk atau
gelarannya. Tiba-tiba dia ingat pada Sepuluh Jari Kernatian yang telah dijebloskan
ke dalam Ruang Penyiksaan. Mungkin dia tahu siapa pemuda itu.
Dewi
Siluman tepukkan tangannya dua kali.
Pintu
terbuka, seorang gadis baju biru masuk. Selagi gadis ini menjura maka sang Dewi
sudah buka mulutnya.
“Apakah
Sepuluh Jari Kematian masih hidup?!”
“Akan aku
periksa Dewi. Kemarin dia masih bernafas satu-satu….”
“Jika dia
masih hidup, lekas bawa ke Ruangan Putih. Aku menunggu di sana!”
“Baik
Dewi,” dan gadis ini menjura lagi lalu keluar dengan cepat. Dia adalah anak
buah Dewi Siluman yang bertugas di Ruang Penyiksaan.
Begitu
gadis itu berlalu, Dewi Siluman segera tinggalkan kamar di anjungan ketiga itu.
Tak lama
menunggu maka sebuah kerangkeng dari besi yang beroda didorong memasuki Ruangan
Putih. Di dalamnya menggeletak Sepuluh Jari Kematian. Keadaannya seperti sudah
mati dan mengerikan sekali. Dia tak mengenakan jubah hitam lagi tapi hanya
bercawat kecil. Sekujur badannya penuh bengkak-bengkak hijau merah yang
mengandung nanah. Di antara bengkakbengkak itu banyak yang telah pecah
mengeluarkan nanah campur darah yang baunya busuk laksana merurutkan bulu
hidung. Rambutnya yang panjang acak-acakan. Mukanya hampir tak bisa lagi
dikenali karena penuh dengan bengkak-bengkak menggembung berselomotan nanah dan
darah.
Kedua
matanya kini hanya merupakan rongga-rongga besar yang menggidikkan. Penyiksaan
yang dialami tokoh silat ini benar-benar luar biasa. Di dalam Ruang Penyiksaan
dia mula-mula digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Satu hari berlalu maka
dia dibawa ke Ruangan Putih dan dihadapkan pada Dewi Siluman. Tapi sewaktu
Sepuluh Jari Kematian tetap tidak mau tunduk pada kemauan sang Dewi untuk masuk
menjadi pengikutnya maka dia dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan, digantung
lagi kaki ke atas ke bawah. Dua hari kemudian darah mulai menggusur dari mata,
telinga serta hidung dan.mulutnya sedang kepalanya saat demi saat makin gembung
seperti balon.
Hari
berikutnya Dewi Siluman membebaskannya dan ditanyai apakah bersedia merubah
pikirannya dan masuk ke pihak Dewi Siluman. Tapi jawabannya Sepuluh Jari
Kematian adalah caci maki bahkan tokoh silat itu telah meludahi muka Dewi
Siluman. Kemarahan Dewi Siluman tiada terkirakan. Sepuluh Jari Kematian
dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan dan dimasukkan ke sebuah ruangan kaca
tertutup. Ke dalam ruangan kaca ini dimasukkan puluhan binatang-binatang
berbisa. Sepuluh Jari Kematian tak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya
diikat dengan benang sutera halus yang aneh dan kuat luar biasa sedang
kekuatannya lumpuh karena ditotok. Dalam tempo satu hari saja maka habislah
bengkak-bengkak sekujur tubuhnya disengat oleh puluhan binatang berbisa. Kedua
belah matanya membusuk dan digerogoti sehingga hanya tinggal merupakan dua buah
lobang yang mengerikan. Kalau saja Sepuluh Jari Kematian tidak memiliki
kekuatan yang luar biasa, pastilah nyawanya sudah lepas karena siksaan yang
sangat hebat itu.
Namun
sampai saat itu, meskipun tak ada harapan untuk hidup, Sepuluh Jari Kematian
masih bisa bernafas, sekalipun nafas itu tak lebih dari nafas-nafas terakhir
yang akan mengantarkannya kepada titik kematian.
Dewi
Siluman tutup indra penciumannya sewaktu bau busuk keluar dari tubuh Sepuluh
Jari Kematian merambas hidungnya. Diperhatikannya tubuh tokoh silat itu
seketika. Ternyata masih bernafas.
“Sepuluh
Jari Kematian!” seru Dewi Siluman.
Tubuh
yang menggeletak di dalam kerangkeng besi itu tiada bergerak.
“Sepuluh
Jari Kematian!” seru Dewi Siluman lebih keras. Tetap tak ada reaksi apa-apa.
Dewi
Siluman berpaling kepada Sarinten yang tadi mendorong kerangkeng beroda itu.
“Semprot
dia dengan air biru!”
Sarinten
tinggalkan Ruangan Putih. Ketika dia masuk kembali maka di tangan kanannya ada
sebuah tabung kaca berbentuk kendi yang berisi sejenis cairan berwarna biru.
Sarinten mendekati kerangkeng besi. Bagian atas dari tabung kaca itu ditekannya
dengan ujung jari telunjuk. Terdengar suara mendesis. Dari sebuah lubang pada
badan tabung menyemprotlah air biru ke sekujur tubuh Sepuluh Jari Kematian yang
menggeletak di dalam kerangkeng. Bau busuk dengan serta merta lenyap. Lewat
sepeminum teh, terjadilah hal yang aneh. Dari mulut Sepuluh Jari Kematian
terdengar suara erangan. Kemudian tubuhnya kelihatan bergerak perlahan.
Semprotan air biru tadi nyatanya bukan saja telah melepaskan Sepuluh Jari
Kematian dari totokan sejak beberapa hari yang lalu, tapi sekaligus juga
memberikan satu kekuatan aneh kepadanya. Namun karena sekujur tubuhnya
menderita luar biasa maka tetap saja dari mulutnya keluar suara erangan
kesakitan.
“Sepuluh
Jari Kematian!” seru Dewi Siluman.
Erangan
tokoh silat itu terhenti seketika, kepalanya bergerak. Agaknya dia tengah
meneliti suara siapa yang memanggilnya.
“Sepuluh
Jari Kematian, kau dengar aku bicara?!”
“Uh…
uuuuu… uuh…. gadis iblis. Baiknya kau bunuh saja aku saat ini!” Rupanya Sepuluh
Jari Kematian sudah mengetahui siapa yang bicara dengan dia.
“Dengar,
nyawamu akan kuselamatkan jika….”
“Iblis
laknat, kau bunuh aku cepat! Biar aku jadi setan dan mencekikmu…!”
Dewi
Siluman tahan amarahnya yang mulai meluap.
“Kau tak
akan mati Sepuluh Jari Kematian. Aku datang justru untuk selamatkan jiwamu….”
Sepuluh
Jari Kematian mendengus. Dia coba untuk bangun dan duduk, tapi tak berhasil.
“Apakah
kau juga bisa kembalikan dua mataku yang kini buta ini, gadis siluman laknat?!”
sentak Sepuluh Jari Kematian.
“Jika kau
tak mau dengar ucapanku terpaksa kau kukirim kembali ke Ruang Penyiksaan!”
“Aku
tidak takut! Aku ingin lekas mampus biar cepat jadi setan dan memuntir batang
lehermu!” tukas Sepuluh Jari Kematian.
Penasaran
sekali Dewi Siluman memerintah pada Sarinten. “Ambil besi menyala!”
Sarinten
tinggalkan Ruangan Putih dan kembali lagi dengan sepotong besi besar yang
ujungnya merah menyala karena dibakar dengan api. Dewi Siluman mengambil besi
itu, ujungnya kemudian didekatkan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat
golongan hitam ini tampak menyeringai kesakitan akibat panasnya besi yang
terbakar itu.
“Sepuluh
Jari Kematian, jangan jadi orang tolol! Bagaimanapun keadaanmu sekarang, kau
tetap akan bisa selamat dan hidup terus. Lekas katakan siapa adanya pemuda yang
tempo hari melarikan diri sewaktu anak-anak buahku mendatangi kau! Siapa
namanya, gelar dan asal dari mana! Cepat!”
Sepuluh
Jari Kematian kelihatan tercenung. Tiba-tiba dari mulutnya mengumandang rendah
suara tertawa mengekeh. “Kalau aku sudah mampus dan jadi setan, baru aku kasih
tahu padamu!”
jawab
laki-laki itu.
Ujung
besi yang merah terbakar didekatkan kembali ke muka Sepuluh Jari Kematian.
Kembali
manusia ini kernyitkan muka karena hawa yang panas.
“Lekas
terangkan!” sentak Dewi Siluman. Dia sudah tidak sabar sekali.
Sepuluh
Jari Kematian hentikan kekehannya. “Gadis iblis, yang perlu kukatakan pada kau…
ialah… kau bakal tak sanggup menghadapi pemuda itu! Ilmu silatnya lebih tinggi…
dan… dan kesaktiannya lebih hebat dari kau! Kau akan mampus di tangannya…. Kau…
akan….”
Ucapan
Sepuluh Jari Kematian cuma sampai di situ. Dari mulutnya kini keluar lolongan
yang mengerikan karena saat itu Dewi Siluman menusukkan ujung besi yang merah
menyala ke pipi kanannya. Bukan saja pipi itu terpanggang hangus tapi juga
menjadi bolong besar.
“Masukkan
manusia tak berguna ini ke Ruang Penyiksaan kembali!” perintah Dewi Siluman.
Maka
Sarinten kemudian mendorong kerangkeng besi setelah menerima besi merah menyala
dari tangan sang Dewi.
************
9
Tinggal
sendirian di kamar pada anjungan ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan
tentang keempat orang anak buahnya. Mungkin sekali mereka telah menjadi korban
si pemuda sakti yang sampai saat itu tiada diketahuinya siapa adanya. Keesokan
harinya tiada kabar tentang Kemani maka Dewi Siluman segera memanggil anak
buahnya yang bernama Laruni. Laruni adalah anak buah Dewi Siluman yang paling
tinggi ilmunya. Tiga perempat bagian ilmu silat Dewi Siluman sudah dikuasainya
dengan sempurna.
Waktu
Laruni datang menghadap, Dewi Siluman menunggunya bersama Sarinten, Inani dan
seorang gadis lainnya bernama Wakania.
Dewi
Siluman tidak membuang-buang waktu, segera dia berkata. “Laruni, aku percayakan
satu tugas kepadamu yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah tahu
bahwa empat kawanmu di bawah pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk mencari
seorang pemuda berkepandaian tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di pulau
kita dan merupakan bahaya besar bagi kita serta setiap rencana kita. Keempat
kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini. Aku khawatir bahwa mereka menemui
hal-hal yang tak diingini. Kuharap kau bisa menyelidiki apa yang telah terjadi
dengan mereka dan paling penting ialah mencari serta menangkap hidup-hidup
pemuda itu, membawanya kemari.”
“Tugasmu
siap kulaksanakan Dewi.” kata Laruni menyahuti. “Apakah aku akan pergi seorang
diri?!”
“Seorang
diri aku percaya kau akan mampu melaksanakan tugasmu,” jawab Dewi Siluman.
“Namun
kurasa akan lebih baik jika kawan-kawanmu yang tiga orang ini ikut bersamamu.”
Dewi Siluman kemudian palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap gadis jelita
berkulit kuning langsat itu sejurus maka berkatalah dia.
“Inani,
kau pergi bersama Laruni dan bawa kecapimu.”
Bukan
saja Inani, tapi Sarinten, Laruni dan Wakania menjadi heran mendengar ucapan
sang Dewi. Adakah seorang yang hendak ditugaskan mencari musuh lawan hebat
disuruh membawa kecapi? Sungguh tak dapat dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh
demikian.
“Kalian
mungkin heran,” ujar Dewi Siluman sambil pandangi paras keempat anak buahnya.
“Tapi
justru suara petikan kecapi di rimba belantara yang sunyi atau di lamping
gunung atau di tepi jurang yang curam, akan menarik perhatian setiap telinga
manusia yang kebetulan mendengarnya!
Dengan
kerahkan tenaga dalammu maka suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini akan
mengundang datangnya pemuda yang tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah
menangkapnya!”
Diam-diam
keempat orang gadis itu memuji kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur
persiapan untuk perjalanan maka berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di kaki
sebuah bukit, mereka mengatur rencana dan berpencaran. Laruni ke utara,
Sarinten ke selatan, Wakania ke timur dan Inani ke barat.
Wiro
Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berdiri di muka gua batu,
memandang ke arah pedataran liar di bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di
ufuk timur membuat pemandangan lebih bagus dan indah. Anak sungai yang membujur
di sebelah tenggara kelihatan berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu.
Batu-batu cadas hitam bergemerlap. Wiro menarik nafas dalam, menghirup udara
pagi yang segar. Diperhatikannya lengan kanannya. Dia gembira sekali karena
lengan yang tempo hari patah itu kini sudah sembuh. Berarti hari itu adalah
hari dimana dia kembali memulai menyelidiki di mana letaknya sarang Dewi
Siluman. Sebenarnya pendekar ini ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang, yaitu
goa yang diterangkan secara misterius dalam tulisan manusia aneh yang telah
mengencingi kepalanya dulu itu. Namun karena waktu yang disebutkan dalam
tulisan itu ialah bulan purnama empat belas hari maka dia musti menunggu,
kirakira empat lima hari di muka. Wiro tak suka menunggu, untuk menghabiskan
waktunya dia memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi Siluman.
Demikianlah,
setelah menikmati pemandangan indah serta puas menghirup udara pagi yang segar
maka Pendekar 212 ini segera tinggalkan gua. Suara siulannya menggema
dikeheningan pagi membawakan lagu tak menentu, membuat takut binatang-binatang
kecil membuat burung-burung terkejut dan menghentikan kicau lalu terbang
ketakutan.
Di antara
suara siulannya yang tak menentu itu mendadak lapat-lapat Wiro Sableng
menangkap suara sesuatu di kejauhan. Pendekar ini hentikan langkah serta
siulannya. Suara di kejauhan itu adalah suara bunyi-bunyian. Tak dapat
dipastikan suara bunyi-bunyian apa.
Dipertajamnya
telinganya, tapi karena suara bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar
dikenalinya. Penuh rasa ingin tahu maka Wiro Sableng kemudian langkahkan
kakinya ke arah datangnya suara tersebut. Lewat sepeminum teh suara bunyi-bunyian
itu tambah jelas tapi agaknya masih jauh. Maka dari melangkah biasa, Wiro
Sableng mulai berlari dengan cepat. Lewat lagi sepeminum teh, suara
bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi sumbernya masih jauh. Rasa aneh menjalari
diri Pendekar 212. Jangan-jangan pendengarannya telah menipu diri sendiri. Atau
mungkin suara bunyi-bunyian itu adalah suara setan atau bangsa dedemit penghuni
rimba belantara?!
Kalau
tidak mengapa setelah demikian lamanya sumber suara tersebut masih belum
berhasil dicapainya?!
Ketika
lewat lagi satu kali peminum teh maka barulah Wiro Sableng mengenali suara
bunyibunyian itu. Suara petikan kecapi. Dia tak tahu lagu apa yang dibawakan,
tapi suaranya demikian merdu dan menyayat hati. Mungkin itu lagu seorang gadis
yang ditinggal kekasih, pikir sang Pendekar 212! Mendekati sumber bebunyian itu
Wiro bertindak hati-hati. Rasa aneh yang menggerayangi tubuhnya menjadi satu
peringatan baginya. Jarak antara dia pertama kali mendengar suara itu tadi jauh
sekali, berkilo-kilo meter. Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa terdengar
sampai demikian jauhnya. Kemudian siapa pulakah .yang memetik kecapi itu?
Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun Wiro menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya
segerombolan pohon-pohon yang tumbuh dengan rapat. Kemudian di sebelah depan
dilihatnya sinar terang dari matahari yang menyeruak di antara kerapatan
pohon-pohon dan semak belukar.
Ternyata
di bagian muka sana itu adalah ujung dari sebuah lembah subur yang ditumbuhi
rumput hijau. Pemandangan dari tempat ketinggian itu indah sekali karena di
bawah lembah kelihatan sebuah telaga. Namun Pendekar 212 sama sekali tidak
tertarik dan perhatikan keindahan pemandangan itu. Dia bergerak ke samping kiri
dari mana suara kecapi terdengar santer sekali. Dia masih belum melihat manusia
dan kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-semak rapat di dekat pohon
beringin besar. Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara menuju ke balik
pohon beringin. Matanya memandang tajam menembus di antara celah-celah semak
belukar.
Dan
terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Betapa
tidak. Apa yang disaksikannya hampir tak bisa dipercayanya. Di balik semak
belukar itu terhampar sebuah batu hitam besar laksana pelaminan, menghadap di
lembah subur. Dan di atas batu besar hitam itu duduklah seorang dara jelita
sekali, berbaju biru. Rambutnya diriap lepas, bergerai di bahu dan di
punggungnya sampai ke pinggang. Sinar matahari membuat rambut yang hitam itu
berkilauan. Di pangkuan sang dara terletak sebuah kecapi yang kayunya bagus
diukir-ukir.
Jari-jari
si gadis menari-nari dengan lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan dia
memainkannya tanpa matanya memandang pada kecapi itu tapi memperhatikan
keindahan lembah di bawahnya.
Betapa
ahlinya dia memainkan kecapi itu dan betapa indahnya lagu yang dibawakannya.
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 dibikin terpesona, bukan saja oleh
kepandaiannya dan keindahan permainan kecapi si dara baju biru, tapi juga oleh
kejelitaan parasnya. Beberapa lama kemudian barulah Wiro Sableng menyadari
bahwa cara si gadis memainkan kecapi itu bukanlah cara biasa seperti yang
dimainkan oleh orang. Buktinya petikan kecapinya itu telah terdengar oleh Wiro
Sableng di tempat yang sangat jauh. Pastilah si gadis baju biru memetiknya
dengan disertai aliran tenaga dalam yang hebat pada jari-jari tangannya. Dan
pastilah bahwa gadis jelita ini bukan gadis sembarangan.
Ketika si
gadis baju biru menggeser badannya sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat
kalung tengkorak kecil yang tergantung di lehernya. Terkesiaplah pendekar ini.
Baju biru, kalung tengkorak kecil, itulah ciri-ciri dandanannya anak buah Dewi
Siluman dari Bukit Tunggul. Karena memaklumi bahwa si gadis meskipun masih
belia tapi berilmu tinggi dan memiliki tenaga dalam sempurna maka Wiro Sableng
tak mau bertindak sembrono. Dia menunggu sampai beberapa lama, tapi si gadis
agaknya masih belum mau menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya pendekar kita
putuskan untuk keluar dari balik pohon beringin tanpa menunggu sampai si baju
biru itu menyudahi permainan kecapinya. Sambil mendehem maka Wiro Sableng
munculkan diri.
Meskipun
dia memainkan kecapi adalah sengaja untuk mengundang datangnya orang yang
tengah dicari, namun suara deheman tadi membuat Inani gadis yang memainkan
kecapi itu jadi terkejut juga. Belum dia berpaling, didengarnya suara laki-laki
berkata.
“Petikan
kecapimu sedap sekali saudari. Lagunya pun indah!”
Inani
hentikan permainannya dan putar kepala dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri
seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih dan
tubuhnya tegap kekar. Meskipun sudah dewasa namun pandangan matanya seperti
mata anak-anak, membayangkan kepolosan dan kejujuran hati.
Meski
terkesiap beradu pandangan dengan Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya,
maka membentaklah Inani.
“Siapa
kau?”
Wiro
Sableng sunggingkan senyum. “Ah kenapa kau hentikan permainan kecapimu,
Saudari?
Rupanya
aku mengganggumu saja. Harap maafkan. Aku….”
“Jangan
banyak bicara! Lekas terangkan siapa kau!”
“Tadinya
tengah menggembalakan kerbau di sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar
suara petikan kecapimu lalu datang ke sini….”
“Jadi kau
gembala huh?”
“Betul!”
sahut Wiro.
“Jangan
dusta! Kau pasti pemuda yang tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap!”
Habis
membentak begitu maka Inani segera gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian.
Sebuah
benda terbentuk bola hendak di lemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda
yang harus dilepaskannya ke udara, untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya
bahwa dia telah berhasil menemukan orang yang mereka cari. Di udara bola itu
akan pecah dan memancarkan warna merah hingga mudah dilihat. Tapi sebelum
tangannya sempat melemparkan bola itu, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah tangkap
pergelangan tangan kanan Inani. Keduanya saling tarik menarik dan saling
pandang menyorot. Betapa pun si gadis kerahkan tenaganya tetap saja dia tak
sanggup lepaskan pegangan Wiro.
“Lepaskan
tanganku!” teriak Inani. Rasa aneh menjalari dirinya. Seumur hidup itulah
pertama kali seorang laki-laki menyentuh kulit tubuhnya.
“Aku akan
lepaskan,” kata Wiro sambil tersenyum “Tapi benda ini harus kau berikan dulu
padaku.”
“Kurang
ajar. Lepaskan tanganku!” sentak Inani.
Wiro
gelengkan kepala. “Berikan dulu benda ini, saudari baru kulepaskan.” katanya.
Dengan
mengkal Inani lepaskan bola itu yang segera diambil dengan tangan kiri Wiro
Sableng. Kemudian baru dilepaskannya lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti
benda berbentuk bola itu tiba-tiba Inani berdiri dan lemparkan kecapinya ke
arah si pemuda.
Cepat-cepat
Wiro Sableng berkelit. Kecapi lewat menderu di atas kepalanya. Ketika benda itu
hampir menghantam pohon beringin dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat dan
menangkap kecapi itu. Lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata.
“Saudari, gerakanmu melemparkan benda ini hebat sekali. Tapi sungguh sayang
kalau kecapi yang bagus ini hancur berantakan!”
Perlahan-lahan
Wiro Sableng letakkan kecapi di kaki pohon beringin. Baru saja itu dilakukannya
maka si gadis sudah menerjang menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda
menyingkir pastilah sebuah tendangan akan mendarat di perutnya.
“Eh,
saudari. Apa-apaan ini! Tak ada hujan tak ada angin, tak ada pasal tak ada
lantaran, kenapa kau menyerang aku?!”
Sebagai
jawaban Inani keluarkan jala sutera biru. Benda ini segera diputar menderu di
atas kepalanya. Didahului dengan lengkingan keras, Inani lancarkan pukulan
tangan kiri dan kirimkan satu tendangan. Angin serangan ini demikian hebatnya
membuat pakaian dan rambut Pendekar 212 sampai berkibaran, sementara dia
mengelakkan dua serangan ini, maka jala biru berkelebat dan menebar ke arah
kepalanya. Wiro cepat tundukkan kepala tapi jala sutera biru terus memapas hendak
melibat pinggangnya. Sekali lagi Wiro mengelak dan sekali lagi pula jala itu,
menyusup laksana kilat ke arah kedua kakinya.
“Hebat!”
seru Wiro memuji seraya melompat dua tombak.
Penasaran
sekali Inani kembali memburu dengan gempuran serangan yang lebih hebat tapi
walau bagaimanapun Pendekar 212 bukanlah semudah yang diduganya untuk
dirubuhkan. Sedang sampai saat itu Wiro sama sekali mengambil sikap mengelak,
tak sekalipun balas menyerang.
“Kenapa
mengelak terus, tak berani menyerang?!” bentak Inani penuh penasaran. Dia
berharap-harap salah seorang kawannya muncul di situ agar bisa membekuk si
pemuda.
“Hentikan
seranganmu, saudari. Kita toh tidak punya permusuhan. Mari bicara dulu
baikbaik.”
“Kalau
kau mau bicara, bicaralah nanti di hadapan Dewi Siluman!”
“Oh, jadi
kau anak buahnya Dewi Siluman? Kau tahu saudari. Dewimu itu kawan baikku!”
Karena
merasa dipermainkan dengan ucapan itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih
ganas. Dia keluarkan jurus-jurus yang mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa,
dua puluh jurus telah berlalu. Jika Wiro mengadakan perlawanan pastilah tidak
semudah dan sebanyak itu jurus yang bisa dilewati Inani.
“Saudari!
Jika kau tak mau hentikan seranganmu terpaksa aku turunkan tangan kasar!”
memperingatkan
Wiro.
“Kalau
kau memang punya kepandaian silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan pemuda
banci yang cuma pandai berkelit dan mengelak saja!”
Wiro
panas sekali dikatakan pemuda banci.
“Harap
kau jangan menyesal, saudari!” katanya seraya pasang kuda-kuda.
Pukulan
tangan kosong yang menimbulkan angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat yang
sama jala sutera menderu dari atas ke bawah dalam satu gerakan yang luar bisa
cepatnya.
“Gadis
cantik!” seru Wiro. “Lihat baik-baik. Ini jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit.
Pegang
kuat-kuat jalamu, kalau tidak akan kurampas!” Habis berkata begitu Wiro
hantamkan dengan perlahan telapak tangan kirinya ke muka sedang tangan kanan
membuat gerakan cepat ke samping sesuai dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit
menekuk.
“Pemuda
sombong!” maki Inani. “Kau akan terima nasib sial di dalam jalaku!” Dan si
gadis lipat gandakan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba
dia terkesiap karena pukulan tangan kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin
deras yang ke luar dari telapak tangan kiri lawan. Belum lagi habis rasa
terkesiap ini sekejap kemudian dirasakannya jala sutera birunya yang tadi telah
menebar kini menciut lagi ujungnya.
Ketika
kejapan berikutnya berlalu. Inani merasakan tangannya yang memegang jala
laksana dipelintir dan tahu-tahu jala sutera itu terlepas dari tangannya, kena
dirampas oleh Wiro Sableng.
Pendekar
212 tertawa dan main-mainkan jala sutera biru yang berhasil dirampasnya.
“Apakah
kau masih belum mau menghentikan pertempuran dan bicara dulu baik-baik?” tanya
Wiro pula.
Sebagai
jawaban malah Inani loloskan kalung tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan
sebat menyerang ke arah sang pendekar. Di antara suara menderu kerasnya
sambaran kalung tengkorak maka terdengar pula suara mendesis. Dari mata dan
hidung tengkorak kecil itu mengebut asap biru yang tebal gelap dan menebarkan
bau aneh menusuk hidung. Pendekar 212 terkejut bukan main. Dia masih
mempermainkan jala sutera sewaktu asap biru yang sangat pekat itu telah
membungkus dirinya.
*************
10
Pendekar
212 Wiro Sableng segera maklum bahwa asap biru pekat yang membungkus diri dan
membuat matanya tak bisa melihat apapun adalah sangat berbahaya dan mengandung
obat jahat yang bisa melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini tutup jalan
nafas lalu melompat ke samping. Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia
keluar dari kurungan asap. Di sekelilingnya masih gelap gulita.
Wiro
Sableng pusatkan tenaga dalamnya pada kedua kaki. Dengan membentak nyaring
pendekar ini membuat gerakan yang dinamakan: Gunung Meletus Batu Melesat ke
Luar Kawah.
Gerakan
ini membuat tubuhnya mencelat laksana anak panah lepas dari busurnya.
Di lain
pihak Inani begitu melihat lawannya terbungkus asap biru segera pergunakan
tangan kiri untuk mengambil segulung benang yang sangat halus, sehalus jaring
laba-laba. Sekali menyentakkan maka gulungan benang yang terbuat dari sutera
itu menerobos asap biru gelap laksana seekor ular. Inani gembira sekali sewaktu
benang suteranya dirasakannya melibat sasarannya di dalam asap gelap itu.
Setelah yakin betul-betul bahwa Wiro Sableng tidak berdaya lagi dilibat benang
sakti tersebut maka Inani semprotkan asap putih dari mulut kalung tengkorak.
Sekejapan
kemudian maka sirnalah asap biru gelap dan suasana menjadi terang benderang
kini.
Dan
betapa terkejutnya gadis jelita berbaju biru ini. Yang dilibat oleh benang
suteranya bukanlah tubuh lawannya, melainkan pohon beringin besar yang terletak
kita-kira sepuluh langkah di hadapannya.
Inani
memandang berkeliling dengan cepat. Di belakangnya Wiro Sableng tertawa
gelakgelak.
“Sejak
kapan ada manusia yang bermusuhan dengan pohon beringin?!” ejek Wiro.
Penuh
geram Inani gulung dengan cepat benang suteranya. Dengan kalung tengkorak di
tangan kembali dia menyerang Wiro Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut
kedatangan si gadis dengan putaran jala biru.
“Sekali-sekali
kau musti merasakan juga bagaimana kalau jala ini melibat dirimu sendiri!” ujar
Wiro.
Inani
tidak percaya bahwa si pemuda akan sanggup gunakan jala itu karena untuk
memakainya mempunyai cara tersendiri yang hanya anak-anak buah Dewi Siluman
yang mengetahuinya.
Karenanya
tanpa ada keraguan sedikit pun Inani sama sekali tidak batalkan serangannya.
Kalung
tengkorak yang kekuatannya lebih keras dari bola baja itu menyambar ganas siap
untuk menghancurkan kepala lawannya. Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu
dikejap yang sama jala sutera biru di tangan lawan membuka dan menebar
menyungkupi tangan kanan terus kepala dan tubuhnya.
Wiro
Sableng adalah seorang yang. bermata tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala
biru itu dia merasa sangat tertarik dan memperhatikan dengan seksama bagaimana
si gadis memainkan senjata tersebut. Sehingga pada saat jala itu berada di
tangannya, dengan mudah dia bisa pula mempergunakannya.
Inani
coba berontak dan lepaskan diri dari sekapan jala. Tapi sudah terlambat.
Seluruh jala telah membungkus tubuhnya sampai ke lutut. Membuat dia tak bisa
lepaskan diri lagi.
Wiro tertawa
gelak-gelak dan berdiri tolak pinggang.
“Lepaskan
jala ini!” teriak Inani.
“Enak
betul,” sahut Wiro. “Kalau kulepaskan pasti kau akan serang diriku lagi!” Dan
Pendekar 212 lalu melangkah ke hadapan Inani.
“Kau mau
bikin apa?! Pergi!”
“Eh, aku
cuma mau lihat parasmu apa tidak boleh!”
“Pergi!”
teriak Inani.
Wiro
Sableng menyengir. Dia melangkah lagi dan jarak mereka cuma terpisah dua
jengkal saja. Inani dapat merasakan hembusan nafas pemuda itu di parasnya yang
jelita. Sepasang mata mereka untuk kesekian kalinya beradu pandang.
“Pergi!”
“Saudari,
kau betul-betul inginkan aku pergi? Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu!” Wiro
lantas totok tubuh Inani sehingga si gadis kini berdiri mematung. “Aku akan
pergi dan kau akan sendirian di sini untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada
binatang liar buas yang menggerogoti dirimu, kau akan mati kelaparan di sini!”
Lalu Pendekar 212 balikkan badan berpura-pura hendak pergi.
Apa yang
dikatakan Wiro terasa benar dan mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya pemuda
itu berlalu dia cepat berseru. “Saudara, tunggu dulu!”
Wiro jual
mahal dan terus melangkah.
“Saudara,
kembalilah!” seru Inani lagi.
Wiro
berpaling, “Ada apa?”
Dengan
rasa jengah dan paras merah Inani berkata. “Kembalilah dulu!”
“Lucu!
Tadi kau bentak aku agar pergi! Sekarang malah menyuruh kembali!”
“Lepaskan
jala ini. Juga totokanku!”
“Tidak
bisa.” jawab Wiro seraya menggeleng.
Marahlah
Inani.
“Kalau
kawan-kawanku datang kau pasti akan mereka bekuk!”
Wiro
tertawa sinis. “Kau bisa berteriak memanggil mereka,” katanya.
Inani
buka mulut betul-betul hendak berteriak. Tapi entah mengapa hal ini kemudian
tak jadi dilakukannya. Malah dia berkata. “Jangan kira dengan kehebatan yang
kau miliki kau bisa menghadapi Dewi Siluman! Tak satu ketinggian ilmu silat,
tak satu kesaktian, pun yang sanggup mengalahkan Dewi Siluman!”
“Hemm
begitu…?” Wiro garuk-garuk rambutnya.
“Aku
tidak mengerti, apakah Dewi Siluman itu benar-benar seorang manusia atau
seorang siluman? Apakah parasnya secantik Dewi ataukah mengerikan seperti
Siluman?!”
“Pemuda
kurang ajar! Jangan kau berani lancang mulut menghina Dewi kami!” bentak Inani.
“Eh,
siapa yang menghina? Aku cuma tanya?!”
“Lekas
lepaskan kau mau berjanji memetik kecapi memainkan sebuah lagu untukku!”
Inani
memaki-maki dalam hati. Rahang-rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng dudukkan
dirinya di atas batu besar. Sambil memandang ke lembah di hadapannya pendekar
ini berkata.
“Dunia
sungguh aneh. Siapa yang akan menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik
sanggup melakukan kejahatan luar biasa? Membunuh manusia-manusia tiada berdosa,
bahkan anak-anak dan orang tua renta?”
Inani
memandang tajam-tajam pada Pendekar 212.
“Aku tak
pernah membunuh manusia! Jangan main tuduh sembarangan!”
Wiro
palingkan kepala dan memandang dengan tersenyum pada si gadis. “Kau toh anak
buahnya Dewi Siluman, biang penebar kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini?
Yang kabarnya, mau menguasai dunia persilatan di delapan penjuru angin?!”
“Tapi
tidak semua anak buah Dewi Siluman yang jadi pembunuh!”
“Lantas
kau jadi apa?” tanya Wiro Sableng. “Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?!”
“Sudah!
Tutup mulutmu dan lekas lepaskan jala serta totokanku ini!”
“Bersekutu
dengan orang-orang jahat, menjadi anak buah orang jahat tiada beda dengan
berbuat kejahatan itu sendiri! Masa muda yang begini indah, yang cuma sekali
saja dalam kehidupan, dipakai untuk mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang.
Kebahagiaan dunia tiada dapat, dan kelak di akhirat akan menerima siksaan….”
“Aku tak
perlu nasihatmu!”
“Dengar
saudari. Aku akan bebaskan kau kalau kau berjanji mau menunjukkan dimana
sarangnya Dewimu itu.”
“Kau
paksa pun aku tidak akan beritahu,” jawab Inani. “Sekalipun kau sampai ke sana,
kau Cuma akan mengantar nyawa!”
Wiro
tersenyum. “Kau tak akan bisa hidup dalam cara begini terus-terusan saudari.
Satu hari kebenaran akan datang menumpas. Kebenaran kadangkala tidak memandang
bulu. Siapa yang berserikat dengan kejahatan pasti akan ditumpas, termasuk kau!
Apakah gunanya hidup begitu rupa?
Hidup
percuma mati tiada harga? Padahal dunia ini begini indah dan semua keindahan
itu untuk kita semua…?”
Tergetar
hati Inani mendengar ucapan Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Inilah
kali pertama dia bertemu dengan seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia
mendengar ucapan demikian rupa. Walau bagaimanapun Inani adalah seorang
perempuan yang berperasaan halus dan lekas tersentuh lubuk hatinya. Namun
demikian kehidupan di tengah-tengah anak buah Dewi Siluman telah sangat meresap
dan mempengaruhi dirinya sehingga sesaat kemudian kembali gadis ini membentak
agar dirinya dilepaskan.
Pendekar
212 geleng-gelengkan kepala.
“Sayang.”
katanya. Dibukanya jala yang melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera itu
dan diletakkannya di atas bahu si gadis. “Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi
dengan aman.
Jangan kira
kau kubebaskan karena takut pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu….”
“Aku tak
minta dikasihani.”
“Kuharap
kau masih mau berpikir!” ujar Wiro.
Kemudian
dilepaskannya totokan di tubuh Inani.
“Di lain
hari kita akan bertemu lagi saudari. Saat itu mungkin dalam suasana yang lain.
Jangan
menyesal jika nanti aku turun tangan jahat terhadapmu. Selagi masih ada
kesempatan, tinggalkanlah pulau ini. Kau bisa memulai hidup baru yang jauh
lebih baik….”
Inani tak
berkata apa-apa. Dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Saudari
tunggu dulu!” seru Wiro. “Kecapimu ketinggalan!”
Si gadis
baru ingat akan kecapi itu. Dia berbalik dan cepat-cepat menyambar benda itu.
Sewaktu
dia hendak berlalu kembali tiga sosok tubuh berkelebat dari arah timur.
Terdengar
satu seruan nyaring. “Inani! Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga kau
hendak meninggalkan musuh besar kita begitu saja?!”
Inani
terkejut sekali. Juga Wiro Sableng.
Dan
sedetik kemudian tiga sosok tubuh itu sudah berada di hadapan mereka!
*************
11
Ketiga
pendatang baru ini bukan lain daripada Sarinten, Wakania dan Laruni. Yang
berseru tadi ialah Laruni. Ketiganya segera mengurung Pendekar 212. Tanpa
melepaskan pandangannya yang menyorot pada Wiro Sableng Laruni bertanya pada
Inani.
“Inani! Kenapa
kau hendak tinggalkan manusia ini begitu saja?! Apa kau lupa tugas kita?!”
“Ilmunya
tinggi sekali Laruni.” jawab Inani. “Aku tak sanggup menghadapinya.”
“Tapi kau
bisa lepaskan tanda agar kami datang!” ujar Sarinten.
“Sudah
kulakukan. Dia berhasil merampas bola pemberi tanda itu!”
“Lantas
kau kenapa tidak berteriak….?” tanya Laruni.
“Mulutku
disekapnya.” jawab Inani berdusta.
“Lalu dia
biarkan kau pergi seenaknya? Sungguh lucu!” kata Wakania menyindir.
“Kau
tetap di tempat Inani! Kau harus pertanggung jawabkan kesalahanmu di hadapan
Dewi!” bentak Laruni.
Kecutlah
hati Inani.
Sementara
itu Laruni, Sarinten dan Wakania loloskan kalung tengkorak masing-masing dan
juga keluarkan jala sutera biru. Wiro hela nafas dan geleng-gelengkan kepala.
Ketiga gadis itu cantik-cantik, meskipun menurut pandangannya Inani adalah
lebih cantik dari kesemuanya. Dan gadis-gadis cantik beginilah yang jadi anak
buah Dewi Siluman. Yang harus dihadapinya. Sungguh mereka menyia-nyiakan
kecantikan mereka.
“Pemuda,
apakah kau sudi menyerah secara baik-baik atau terpaksa kami turun tangan?!”
Wiro
Sableng keluarkan siulan mendengar ucapan Laruni itu. “Benar-benar aneh! Benar
benar aneh!” kata Pendekar 212 pula. “Gadis-gadis begini cantik menjadi anak
buah Dewi Siluman biang racun kejahatan kelas satu!”
“Pemuda
bermulut lancang ceriwis! Kau memilih cara kasar rupanya!” Laruni memekik.
Diikuti
oleh Sarinten dan Wakania maka ketiganya pun berkelebat. Tiga kalung tengkorak
menyambar dari tiga jurusan. Tiga kepulan asap biru menderu mengerikan dan tiga
buah jala sakti menebar sebat dari kiri kanan dan sebelah belakang.
Wiro
Sableng yang sudah tahu kehebatan kalung tengkorak serta jala sutera biru tidak
ayal lagi segera keluarkan jurus: Menepuk Gunung Memukul Bukit yang disusul
dengan lompatan:
Gunung
Meletus Batu Melesat Keluar Kawah.
Tiga
gadis anak buah Dewi Siluman terkejut dan penasaran bukan main sewaktu mereka
menebarkan jala biru dan ternyata mereka tiada berhasil meringkus si pemuda.
Mereka menyadari dan menyaksikan sendiri sekarang bahwa lawan mereka memang
bukan manusia sembarangan.
Laruni
berikan isyarat kedipan mata kiri. Serentak dengan itu bersama Sarinten dan
Wakania segera membentuk satu barisan aneh dan bertiga mereka lancarkan
serangan yang bukan olah-olah dahsyatnya. Angin serangan membuat daun-daun
berguguran, semak belukar beterbangan sedang akar gantung pohon beringin
bergoyang-goyang kian ke mari.
Wiro
berteriak nyaring dan berkelebat cepat. Tapi gerakan-gerakan lawan, jurus-jurus
silat yang dimainkan sangat aneh baginya, sukar untuk diduga dan diikuti
sehingga dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 mulai terdesak hebat.
Untungnya Wiro memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari ketiga
lawan itu sehingga sampai lima jurus lagi dia masih bisa bertahan dengan gigih.
Di antara ketiga lawannya Wiro mulai memaklumi bahwa Laruni adalah yang paling
tinggi ilmunya. Di samping itu Wiro tahu pula bahwa ketiga lawannya itu tidak
benar-benar bermaksud mencelakai dirinya tapi cuma berniat meringkus
hidup-hidup. Karenanya, meskipun kemudian dia kembali terdesak hebat. Wiro Sableng
tak mau balas menyerang dan menurunkan tangan jahat. Dia sengaja mengambil
sikap mengelak terus-terusan. Sementara itu Inani berdiri mematung di
tempatnya, tak tentu apa yang dibuat selain cuma menyaksikan jalannya
pertempuran yang seru itu. Dan diam-diam melihat si pemuda terdesak, hati gadis
ini menjadi khawatir.
Melihat
gelagat Wiro tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi jika dia
terus terusan mengambil sikap tidak mau balas menyerang itu.
Dan apa
yang diduga Inani menjadi kenyataan.
Di jurus
sembilan belas, dalam satu gebrakan yang luar biasa hebatnya Wiro Sableng
dipaksa berkelit cepat untuk menghindarkan serangan Sarinten dan Wakania. Pada
waktu gebrakan ini terjadi Wiro Sableng masih sempat memperhatikan posisi
Laruni yang tengah berdiri dengan komat-kamit, entah membaca mantera apa.
Karena merasa posisi Laruni tidak berbahaya maka Wiro Sableng tidak begitu
ambil perhatian terhadapnya. Begitu serangan Sarinten dan Wakania lewat, Wiro
segera pasang kuda-kuda baru karena di saat itu dilihatnya kedua penyerangannya
tadi membalik dengan cepat. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dari
belakang terasa sambaran angin yang luar biasa dahsyatnya. Dia tak melihat
kelebatan tubuh Laruni dan tahu-tahu anak buah terpandai dari Dewi Siluman ini
sudah berada di belakangnya, lancarkan satu jotosan tangan kiri.
“Buk!”
Pendekar
212 mencelat limbung ke muka tak sanggup imbangi diri dan terguling di tanah.
Tulang
punggungnya serasa hancur. Belum sempat dia bangun maka tiga jala sutera biru
telah menebar ke arah tiga bagian tubuhnya yaitu kepala sampai ke bahu,
pinggang dan kedua kaki.
“Celaka!”
keluh Pendekar 212. Dia tahu bahwa dia tak punya kesempatan lagi untuk
selamatkan diri. Satu-satunya jalan ialah lepaskan pukulan Sinar Matahari untuk
menghancurkan jala. Guna mencabut Kapak Naga Geni 212 mungkin tidak keburu.
Namun belum lagi Wiro sempat pukulkan kedua tangannya yang mulai menjadi putih
memerak itu, jala lawan yang pertama turun ke bawah dan melibat ke seluruhan
tangannya. Betapapun dia kerahkan tenaga dalam dan menyentakkan
lengan-lengannya tetap tiada gunanya sementara jala kedua telah menyungkup
kepalanya. Dan dalam sedetik lagi akan menyusul jala ketiga.
“Sialan…
sialan!” maki Wiro. Dia cuma terima nasib diringkus hidup-hidup kini.
Jala
kedua telah menyungkup kepalanya sampai ke bahu. Jala ketiga datang menyambar
kaki. Tapi sebelum hal ini terjadi mendadak Wiro Sableng merasakan sambaran
angin yang luar biasa derasnya. Matanya yang tertutup jala sutera biru
samar-samar melihat kelebatan satu sosok bayangan putih. Dalam detik itu pula
Pendekar 212 mendengar suara keluhan ketiga penyerangnya, disusul oleh keluhan
Inani. Dia sendiri kemudian merasakan tubuhnya terseret beberapa tombak,
terangkat ke atas dan ketika tiba-tiba tiga buah jala yang melibat tubuhnya
putus maka tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras, jatuh melintang di akar
pohon beringin.
Perlahan-lahan
Wiro Sableng merangkak bangun. Bekas pukulan pada punggungnya sakit sekali tapi
tidak dirasakannya karena waktu itu dia dikesiapkan oleh rasa terkejut yang
amat sangat.
Sewaktu
dia memandang berkeliling dengan cepat tak seorang anak buah Dewi Siluman pun
yang dilihatnya. Kemana mereka? Apa yang telah terjadi?! Satu-satunya benda
yang dilihat Wiro ialah kecapi kepunyaan Inani.
Dalam dia
coba memandang berkeliling sekali lagi dengan rasa penuh tak percaya tiba-tiba
matanya membentur tulisan putih di batang pohon beringin. Pendekar ini coba
berdiri, tapi tubuhnya terhuyung-huyung, punggungnya yang bekas dihantam
jotosan Laruni kumat sakitnya, rasa sakit ini menusuk ke bagian dada. Dan
sebelum dia sanggup bergerak satu langkah, lututnya menekuk, dia serasa mau
batuk tapi sewaktu mulutnya dibuka darahlah yang menyembur dari tenggorokannya.
Wiro mengeluh, sebelum dia jatuh pingsan Pendekar 212 ini masih sanggup dan
sempat mengambil sebutir pil dari balik pakaiannya lalu menelannya dengan
cepat.
Wiro
Sableng tak tahu berapa lama dia tergeletak pingsan di tempat itu. Ketika dia
siuman matahari telah condong ke barat. Punggung masih terasa sakit tapi
kekuatannya tidak sedikit pun berkurang. Ini adalah berkat pil yang masih
sempat ditelannya tadi sebelum pingsan.
Wiro
bangun, duduk bersila, meramkan mata, atur jalan nafas serta aliran darah dan
kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang masih terasa sakit. Lima menit
kemudian Pendekar ini melompat dari duduknya, tubuhnya terasa segar bugar.
Begitu dia teringat pada tulisan di batang pohon beringin Wiro segera melangkah
ke hadapan pohon itu. Di batang pohon besar yang angker ini tergurat tulisan.
Segala
rencana tidak akan sampai,
Sebelum
tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Bulan
purnama empat belas hari di Goa Belerang,
Seribu
rencana akan sampai.
“Pasti
manusia yang mengencingiku dulu!” kata Wiro Sableng pada dirinya sendiri. Dia
tak habis mengerti, heran dan geleng-gelengkan kepala. Manusia itu gerakannya
luar biasa cepatnya sehingga hanya bayangan putih pakaiannya saja yang
kelihatan. Dalam satu kelebatan tadi dia telah berhasil melarikan empat anak
buah Dewi Siluman dan juga dalam kecepatan yang sukar diukur, manusia itu masih
sempat menggurat tulisan di batang pohon beringin. Tak sanggup Wiro mengukur
kehebatan manusia itu. Jika dia betul-betul manusia, tentulah ilmunya jauh
lebih tinggi dari gurunya sendiri yaitu Eyang Sinto Gendeng di Puncak Gunung
Gede.
Wiro
mengamati lagi tulisan di batang pohon beringin itu. Jika dihubungkannya
rangkaian tulisan ini dengan tulisan yang lalu nyatalah mengandung satu
keterangan dan satu nasihat, yang bagi Wiro kira-kira berarti dia harus datang
ke Goa Belerang pada bulan purnama empat belas hari guna mengetahui segala
maksudnya tak akan kesampaian.
“Siapa
sebenarnya manusia itu?” pikir Wiro. “Mengapa dia membawa lari anak-anak buah
Dewi Siluman, mengencingi kepalaku dan menuliskan keterangan serta nasihat
itu…?”
Dalam
pikiran yang tak kunjung mengerti dan juga didorong oleh rasa ingin tahu
akhirnya Wiro memutuskan untuk mencari Goa Belerang lebih dahulu, baru kemudian
mencari dimana letaknya Bukit Tunggul tempat kediaman Dewi Siluman.
Sampai
senja hari, telah puluhan kilo daerah diselidiki Wiro Sableng. Dua buah goa
ditemuinya tapi keduanya bukanlah Goa Belerang karena kedua goa itu kosong
tiada berpenghuni.
Keesokan
harinya, satu hari suntuk lagi dia menjelajahi berbagai daerah, sampai lagi
senja datang, usahanya tiada berhasil. Pagi yang kedua dari penyelidikannya,
dia sampai ke sebuah sungai berair kehitaman tanda sungai itu dalam sekali.
Arus air sungai cepat bukan main. Setangkai ranting kering yang jatuh,
dihanyutkan arus dan menghilang di kejauhan dalam waktu yang singkat. Wiro
mengikuti sungai itu ke arah hilir.
Perjalanannya
terhenti sewaktu sungai itu sampai di sebuah air terjun yang sangat dalam.
Air
sungai yang memancur dan jatuh menimpa batu-batu besar di sebelah bawah menimbulkan
suara yang menggidikkan. Tempat itu dan daerah sekitarnya berudara redup dan
angker, tampaknya jarang didatangi manusia.
Lebih
dari sepeminum teh Wiro berada di tempat itu. Sebelum pergi dia bermaksud
mencuci mukanya yang lengket oleh debu dan keringatan lalu membasahi
tenggorokannya. Dengan kedua belah telapak tangannya Wiro menciduk air sungai
lalu membasahi mukanya. Sesuatu bau yang agak lain menusuk hidung sang pendekar
sewaktu air sungai itu membasahi mukanya.
Wiro
berpikir-pikir. Rasanya dia pernah mencium bau yang seperti itu sebelumnya.
Diciduknya
kembali air sungai itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Mendadak hatinya
menciut.
Air
sungai itu berbau belerang. Wiro tahu betul bau belerang karena dia pernah
beberapa kali berada di sekitar kawah gunung yang mengepulkan asap belerang.
Dan ketika bau belerang itu dihubungkannya dengan Goa Belerang maka berdebarlah
hati Pendekar 212. Dia memandang berkeliling dengan penuh teliti. Tak ada satu
bagian pun dari tempat sekitar situ yang lepas dari penelitiannya, namun sampai
sebegitu jauh tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di situ terdapat
sebuah goa. Tapi air sungai yang berbau belerang?! Untuk kesekian kalinya Wiro
kembali meneliti dengan pandangan mata yang tajam. Tetap tak ada tanda-tanda
adanya goa.
Wiro
memaki-maki dalam hatinya. Diperhatikannya batu-batu besar yang jauh di
bawahnya.
Diperhatikannya
air terjun yang jatuh menimpa batu-batu itu, membalik kembali ke atas sampai
beberapa tombak laksana asap atau kabut tipis. Tapi. Wiro terkejut. Matanya
memandang lekat lekat kepada batu-batu yang jatuh ditimpa air terjun. Apa yang
dilihatnya bukan cuma air yang muncrat kembali ke atas laksana asap atau kabut,
tapi di balik air yang membalik ke atas itu benar benar Wiro melihat
samar-samar namun pasti adanya kepulan asap. Mulanya Wiro merasa agak bimbang
mana mungkin di dasar yang penuh dengan air terdapat asap karena setiap asap
pastilah bersumber pada hawa panas atau api.
Wiro
gosok kedua matanya. Yang mengepul di antara muncratan air itu memang benar
benar asap. Dan ketika diperhatikannya lebih seksama lagi, ketika dia berpindah
tempat dan memandang ke bagian bawah air terjun dari jurusan lain, tersentaklah
Wiro karena di belakang air terjun itu tampak sebuah goa. Dari mulut goa ini
jelas kelihatan gelung-gelung kepulan asap. Tanpa menunggu lebih lama Wiro
melompat ke sebuah batu. Dari sini dengan andalkan ilmu meringankan tubuhnya
melompat lagi ke batu yang lain, yang terletak di sebelah bawah. Untuk menuju
ke dasar air terjun bukan pekerjaan mudah. Kurang-kurang pandai kaki akan
terpeleset dan tubuh akan terhempas ke bawah sejauh puluhan tombak, disambut
oleh batu-batu besar keras. Meskipun berkepandaian tinggi serta memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sempurna untuk sampai ke dasar air terjun Wiro
membutuhkan waktu hampir tiga kali sepeminum teh.
Akhirnya
pendekar ini sampai juga ke dasar air terjun. Dia berdiri di hadapan air
terjun, bergerak ke bagian samping dengan sangat hati-hati. Sekali tubuhnya
terserempet atau tersambar air terjun, tak perduli bagaimanapun tinggi ilmunya,
pasti tubuhnya akan terhempas dan hancur ditimpa air terjun yang ribuan kilo
beratnya itu.
************
12
Pendekar
212 sampai di hadapan mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan bau
belerang yang santer menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti
seperlunya maka tanpa ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam
goa itu semakin menanjak sedang bau belerang makin keras dan asap semakin
banyak.
Kedua
mata Wiro menjadi perih, nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini
tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan
melangkah terus. Kirakira seratus langkah berlalu kepulan asap putih yang
berbau belerang bertambah tebal menutup pemandangan. Meski dia sudah tutup indra
penciumannya tetap saja hidungnya membaui hawa belerang itu sedang tenaga
dalamnya tiada mampu menolak sambaran asap yang memerihkan mata.
Dengan
kuatkan diri Wiro maju terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup
asap tebal. Untuk kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya
menggema di sepanjang goa, membuat bulu kuduknya sendiri berdiri.
Pada
langkah yang ketiga ratus duapuluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai
lumer, kakinya tak sanggup lagi melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus
memasuki goa itu dengan merangkak. Sebutir pil untuk menolak keracunan dan
menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan dan ditelannya. Dua ratus langkah di
muka maka perlahan-lahan asap belerang itu mulai menipis hingga akhirnya lenyap
sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan sebuah tangga batu pualam yang putih
bersih dan berkilat.
Setelah
menelan lagi sebutir pil, mengatur jalan nafas dan darah memeriksa aliran
tenaga dalam dan membuang hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya
maka Wiro Sableng berdiri lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian
atas tangga berhubungan dengan sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi
dengan sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini kelihatan delapan
gadis berbaju biru yang bukan lain adalah anak-anak buah Dewi Siluman. Di
antaranya empat orang yang sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi
lembah. Kedelapan gadis ini duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang
berpakaian selempang putih yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke
bahu, Wiro belum dapat memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan.
Tanpa
menoleh ke pintu tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan
lambaikan tangan kanannya lewat bahu.
“Pemuda
tidak tahu diri! Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk
tampang hari ini!”
Wiro
terkejut sekali. Dan sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut
putih panjang itu menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya
telah kasip. Mendadak sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi
kaku laksana patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya terkunci tak bisa
keluarkan suara. Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro memaklumi bahwa
dirinya telah ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak.
Yang
membuat Pendekar 212 menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok
dirinya, si rambut panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat
sarang, rupanya dia tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa
yang dilafatkannya. Di samping itu Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan
gadis baju biru itu duduk bersila meramkan mata tiada bergerak. Apakah mereka
semuanya juga kena ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut putih
panjang itu terhadap mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor
lalat yang sesudah dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja!
Tiba-tiba
si rambut putih angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras.
Kedua
tangan kemudian turun lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang
berisi air putih dan kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom
itu kemudian memancur delapan dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala
masing-masing gadis baju biru.
Wiro
terlongong-longong saking kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih
itu benar-benar luar biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat
sempurna bisa saja membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi
untuk membaginya dalam delapan pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak
sembarang manusia bisa melakukannya. Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum
tentu dapat.
Begitu
air dalam panci tanah habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali
terdengar suara lafat manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian
sunyi sebentar lalu menyusul suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang
laki-laki.
“Delapan
gadis, kalian telah minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini
otak kalian telah bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai
hidup baru yang lurus dan baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang
telah terpicing selama beberapa hari ini.”
Si rambut
panjang putih sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh
sekali maka kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata
masing-masing satu demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas
mereka terkejut sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng yang berdiri mematung di
ambang pintu. Namun terhadap si rambut putih mereka tiada berani bertanya dan
sama tundukkan kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak mengerti. Apa
hubungan kedelapan gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah
terjadi dengan mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini
kelihatannya seperti gadis-gadis pingitan yang paling patuh?!
“Dengar
Kiai….” jawab delapan gadis bersamaan.
“Kiai!”
desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan
sebutan “Kiai” Dan Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata
seperti orang tidur, mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar
segala ucapan sang kiai?
“Sekarang
kalian kuperkenankan meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi.
Dunia baru yang indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup
kalian semua akan menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap
kalian tidak usah mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura,
jangan kembali lagi untuk selama-lamanya!”
Delapan
gadis itu saling pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah
menjura berulang kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan
terima kasih dan berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan
kepala. Setiap mereka melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212
yang berdiri mematung di ambang pintu itu.
Setelah
kedelapan gadis itu berlalu, laki laki berambut putih untuk pertama kalinya
balikkan badan dan berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka
licin klimis. Menurut Wiro umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng.
Langkah
orang tua yang masih berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke
hadapan Wiro.
“Pemuda
tolol!” desis sang kiai. “Belum saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa bulan
purnama empat belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini
selama tiga hari tiga malam! Rasakan sendiri!”
Wiro
menggerutu dalam hati. Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali
untuk dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan
Wiro Sableng.
“Benar-benar
luar biasa gerakannya,” kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia
musti berdiri di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam,
maka kembali pendekar ini menggerutu habis-habisan.
Setelah
berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam.
Seumur
hidupnya baru kali inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat
dia terluka di dalam tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam
sungguh merupakan siksaan bagi Wiro Sableng. Hatinya kembali memaki-maki
sewaktu perutnya mulai mengeluarkan suara bergereokkan tanda minta diisi.
“Diamlah
perut sialan!” rutuk Wiro. “Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat
isi!”
Mendadak,
baru saja dia habis memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan
tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak
berkedip pada gadis jelita berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir
mengapa pula gadis ini muncul di dalam goa kembali, padahal dia sudah disuruh
pergi oleh laki-laki tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi?
“Saudara,
aku akan tolong lepaskan totokanmu,” kata Inani pula setelah mereka berperang
pandang beberapa ketika lamanya.
“Bagus!”
ujar Wiro dalam hati. Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya
dengan cepat bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.
Tapi apa
lacur. Sebelum hal itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu
mengumandang suara tertawa macam ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua
berambut putih sudah berada di hadapan mereka.
“Bagus
betul perbuatanmu Inani!”
Inani
berubah pucat parasnya. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang
tua.
“Apa kau
lupa ucapanku bahwa kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak
boleh kembali kemari? Jawab!”
“Mohon
maaf Kiai. Aku….”
“Kau juga
tolol!” sentak sang kiai. “Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau
tolong pemuda ini?! Jawab!”
“Maaf
Kiai….”
“Apa dia
kekasihmu?!”
Merah
paras Inani. Kepalanya semakin ditundukkan.
“Apa dia
gendakmu?!”
Tambah
merah paras gadis berbaju biru itu.
“Jawab!
Kenapa kau mau membebaskan itu.”
“Aku… aku
merasa berhutang budi padanya, Kiai.” sahut Inani.
“Hutang
budi macam mana? Apa dia pernah menolongmu?”
Inani
menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro
Sableng ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia
sendiri tak bisa mengerti. Dia kembali ke Goa Belerang seperti ada yang
mendorong-dorongnya.
“Gadis tolol!
Kau musti terima hukuman seperti pemuda tolol ini!”
Laki-laki
tua itu lambaikan tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh
Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka
Pendekar 212. Si orang tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula
lenyap dari ruangan itu.
*************
13
Wiro
Sableng dan Inani tak tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka
berada di dalam Goa Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka
seperti sudah bertahun-tahun tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa
gerakkan badan. Selama puluhan jam mereka berdiri berpandang-pandangan sehingga
dalam hati masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski mereka tidak bisa
membuka mulut untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu sama
lain sudah lebih daripada ucapan yang bagaimanapun panjangnya. Sinar mata
mereka sudah lebih daripada pengutaraan perasaan yang bagaimanapun mendalamnya.
Berpandangan dan berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu.
Dan ini adalah satu-satunya hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di
situ.
Kedua
orang itu tiba-tiba kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa
meringkik.
Dan
sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah
muncul di ruangan tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk
beberapa lama sambil pandangi paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika
suara tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
“Apa
kalian sudah puas tegak berpandang-pandangan?”
Inani
menjadi merah mukanya sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga
hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari?
Apakah sekarang saatnya si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di
tubuh gadis yang bernama Inani itu?
Inani dan
Wiro memperhatikan si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah
bantalan berumbai-umbai yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya.
Setelah memandangi paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua
lambaikan tangannya kiri kanan.
Dua larik
angin tipis menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta
lenyaplah totokan yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan
jam. Seorang tua tertawa mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa
kali.
Meski
selama ini Wiro di dalam hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang
tua, namun begitu totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih
yang duduk di hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212
menjura memberi hormat.
“Orang
tua, dunia ini banyak dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia
tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu
siapa kau, orang tua.”
Si orang
tua mengusap rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk
jumawa maka menjawablah dia.
“Namaku
kau tak usah tahu, orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!”
Terkejutlah
Wiro. Ditelitinya paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang
tua tertawa mengekeh kembali.
“Aku
berasal dari Bangkalan.” Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan. “Sembilan
puluh tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun
sudah cukup untuk menyaksikan berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan
dan kebaikan, menyaksikan kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan.
Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan di jagat ini tak akan pernah
habis-habisnya karena memang begitulah sifatnya alam yang dijadikan Tuhan,
segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya, mempunyai pasang-pasangannya
masing-masing.
Karena
aku dan kau adalah manusia-manusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita
untuk membasmi golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal
yang mudah. Aku sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak
bisa berbuat banyak untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini….”
Kiai
Bangkalan memandang jauh ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya sedang
nada suaranya tadi jelas sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam.
“Kalian
duduklah, jangan berdiri saja,” ujar Kiai Bangkalan.
Setelah
Wiro Sableng dan Inani duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan
meneruskan bicaranya.
“Delapan
penjuru angin dunia persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang
bersumber di Pulau Madura ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi
Siluman dan anak-anak buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan
telah dihancurkan oleh mereka. Belasan tokoh-tokoh silat golongan putih serta
beberapa lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam mereka bunuh. Yang tertangkap
hidup-hidup mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja pihak yang tidak
mau tunduk dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi Siluman.
Dan aku yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan
menumpas sumber kejahatan yang ada di puIauku ini….” Lagi-lagi nada suara Kiai
Bangkalan membayangkan penjelasan.
Penuh
rasa ingin tahu dan tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
“Mengapa
tidak mungkin, Kiai Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu
tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan
gerombolannya.”
Kiai
Bangkalan tertawa tawar.
“Banyak
orang yang menduga sepertimu itu,” katanya. “Tapi di jagat yang luas ini ilmu
manusia manakah yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin
tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi
ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran
manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di
luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian
akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di
mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang
telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya
kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua
menyesalkan hidup badanku yang rongsokan ini karena di saat mau mampus begini
tidak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan Tapi aku masih bergembira sedikit.
Sebelum ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut
penglihatanku, kau satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas
kejahatan Dewi Siluman!
Ingat
kejahatannnya, bukan orangnya!”
“Kiai
Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa apakah?” kata Wiro Sableng pula. “Terus
terang aku tak mengerti mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas
kejahatan.
Bukankah
ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas.”
Kiai Bangkalan
hela nafas dan geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku
hanya memiliki dua macam ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup
untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan
tadi, sebenarnya aku yang sudah tua ini telah kena tertipu….” Setelah menghela
nafas dalam sekali lagi baru Kiai Bangkalan meneruskan. “Dua macam ilmu yang
kumiliki ialah kecepatan bergerak dan ilmu pengobatan. Mana mungkin dua macam
ilmu itu bisa diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman yang sakti luar biasa?!”
“Tapi kau
juga memiliki ilmu totokan yang teramat lihai!” ujar Wiro.
Kiai
Bangkalan tertawa. “Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang
dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak
maka orang tidak bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok
tubuhnya. Itu telah kau saksikan dan rasakan sendiri!”
“Kalau
kau bisa bergerak luar biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman
kemudian menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya,” kata-kata Wiro Sableng
pula.
“Betul,
tapi justru hal itulah yang tak bisa kulakukan,” sahut Kiai Bangkalan.
“Kenapa
tidak bisa?”
“Aku
telah tertipu. Ah… biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua
rongsokan ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia hidupnya!”
Kiai
Bangkalan merenung sejenak baru membuka mulut kembali. “Sesungguhnya guru dari
Dewi Siluman adalah adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari
guru, aku menuntut dua macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan
ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya
sebagai murid yang dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang
hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang
paling hebat Ilmu Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di
dunia ini pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi
walau bagaimanapun setiap ilmu di dunia ini tak ada yang maha sempurna, selalu
saja ada kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk….”
“Apakah
kelemahannya, Kiai?” tanya Wiro.
“Itu
tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah!”
Inani dan
Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya
maka Kiai Bangkalan sudah berkata. “Antara aku dan Lara Permani karena demikian
eratnya hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara
Permani sewaktu turun ke dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam
urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan salah. Aku yang mencintainya dengan
amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya agar meninggalkan
segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu
hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut
campur, tak akan turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap
segala perbuatan muridnya bila kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara Permani
sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya!
Aku tak
bisa berbuat apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku
terikat sumpah!”
Wiro dan
Inani termangu sejurus.
Wiro
kemudian berkata. “Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat
terhadapnya batal, tak berlaku lagi!”
Kiai
Bangkalan geleng-gelengkan kepala. “Sumpah seorang manusia terhadap manusia
sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati,
tapi yang masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya
itu!”
“Kalau
begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi,” kata Wiro.
“Kaulah
yang akan membasminya!” jawab Kiai Bangkalan.
“Tapi
ilmuku sangat dangkal sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit
petunjuk….” Kiai Bangkalan tersenyum.
“Di Goa
Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung
dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara
langsung, namun ada cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini
dianggap melanggar sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela menerima
hukumannya!”
Dari
balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu
disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng seraya berkata. “Dengan inilah kau bakal
bisa menumpas kejahatan Dewi Siluman.”
Wiro
menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua
bait tulisan yang berbunyi.
Ilmu
Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti.
Hanya
suara yang sanggup mengalahkannya.
“Kiai,
aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu….”
Kiai
Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. “Tak mungkin orang muda. Aku terikat
dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman
Mengamuk kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua
bait tulisan itu…. Kuharap kau tak bertanya lebih jauh.”
Wiro
membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.
Kiai
Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata. “Meski tempo hari
aku marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa
gembira karena kau bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau
ingat bagaimana aku telah membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan
sejenis obat?” “Ingat Kiai.”
Kiai
Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. “Aku telah meramu lagi
sejenis obat baru,” katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. “Kau
harus ikut bersama Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah
dikotori otaknya oleh Dewi Siluman.
Bagaimana
caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat
ini ke dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya
dan kembali ke jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun
dari mereka! Semua kawankawanku tersesat karena tidak sadar!”
“Tapi
mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah
mereka banyak!” kata Inani.
“Kau tak
usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau dengan
mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut
mereka!”
Inani
gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai
Bangkalan memandang pada Wiro. “Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena
saat ini aku tidak memberikan ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila
tugasmu sudah selesai di Bukit Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk
menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku.”
Gembiralah
Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.
“Sebelum
kalian pergi,” kata Kiai Bangkalan pula. “Ada satu hal yang harus kalian ingat,
terutama kau orang muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi
Siluman. Musti disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia
itu adalah karena dipengaruhi oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan
duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua, manusia adalah baik. Karena itu kuharap
kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi Siluman.”
“Tapi
Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan
manusia tak berdosa telah dibunuhnya!” kata Wiro pula.
“Betul.
Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa
orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita
manusia sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau
pertempuran di mana kita benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah
dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari segala kejahatannya, bersihkanlah
otaknya dengan obat ini!” Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan sebutir pil hitam
dan diberikan kepada Wiro. “Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh
menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi!
Nah sekarang pergilah!”
“Terima
kasih atas segala petunjukmu Kiai,” kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani
juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata
Kiai Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar
biasa cepatnya gerakan orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara
itu Inani berdiri dengan paras berubah.
“Ada
apa?” tanya Wiro.
“Waktu
aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang
tubuhku terasa ringan sekali macam kapas!”
Wiro
Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan
bahwa dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.
“Mungkin
itulah cara dia menepati janjinya!” kata Wiro. “Coba kau berkelebat!”
Inani
tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap
dari pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.
“Saudara!
Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!” seru Inani
gembira.
Wiro
Sableng geleng-gelengkan kepala “Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan
menurunkan ilmunya kepadamu,” kata Wiro pula. “Kau beruntung Inani, eh,
bukankah namamu Inani…?”
Si gadis
anggukkan kepalanya malu-malu. “Kau sendiri siapa?”
“Panggil
aku Wiro,” jawab Pendekar 212.
“Bagaimana
kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?” tanya Inani.
“Memang
lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita
tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!”
Kedua
orang itu pun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan
purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro
bisa keluar dari dasar air terjun.
***********
14
Di ufuk
timur fajar kelihatan sudah menyingsing. Sebentar lagi sang surya penerang
jagat akan memunculkan diri, merenggutkan malam menggantikannya dengan pagi
hari yang kemudian disusul oleh kedatangan siang. Dua titik putih dan biru
kelihatan remang-remang bergerak sangat cepat dari arah tenggara. Ternyata dua
titik ini adalah sosok tubuh Inani dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tengah malam
tadi mereka berkemah di tepi rimba belantara dan menjelang pagi baru meneruskan
perjalanan ke Bukit Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro karena dia bersama Inani
sehingga tak usah bersusah payah mencari di mana letaknya Bukit Tunggul. Tepat
pada saat matahari munculkan diri di ufuk timur maka kedua orang itu sudah
berada di kaki bukit sebelah timur. Sementara keduanya mencari mulut terowongan
yang akan membawa mereka ke Istana Dewi Siluman, tiga sosok bayangan biru
muncul menghadang mereka.
“Hai
Inani! Kau rupanya!” seru salah seorang dan ketiga gadis baju biru yang bukan
lain dari anak-anak buah Dewi Siluman yang habis melakukan perondaan.
“Hai!”
seru Inani sambil lambaikan tangan kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju
biru itu merasakan tubuh mereka kaku tegang tak sanggup lagi bergerak maupun
bicara.
“Hebat
sekali totokanmu, Inani!” kata Wiro memuji dengan tersenyum.
Inani cepat-cepat
keluarkan botol obat hitam lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing setetes
ke dalam mulut ketiga gadis itu, kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan
tempat itu Sementara itu di sebuah kamar yang bagus luar biasa di anjungan
pertama, Dewi Siluman masih berbaring bermalas-malasan di atas pembaringan yang
hangat lembut. Hari telah siang tapi malas sekali dia turun dari tempat tidur.
Dia tahu bahwa anak-anak buahnya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk
keperluan mandi pagi, di kolam dan mereka baru akan muncul jika dia sudah
memanggil.
Dewi
Siluman memperhatikan tubuh dan parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian dia
teringat pada Inani. Jika gadis itu tidak sedang menunaikan tugas, pagi-pagi
seperti itu biasanya dia telah memetik kecapi memberikan hiburan. Dewi Siluman
menghitung-hitung hari. Kekhawatiran untuk kesekian kalinya menyamaki hatinya.
Kepergian Inani bersama Sarinten, Wakani dan Laruni sampai pagi itu tiada kabar
beritanya. Apakah telah terjadi pula hal-hal yang tak diinginkan dengan mereka?
Tapi kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit kalau dia ingat bahwa Laruni
adalah anak buahnya yang paling tinggi kepandaiannya.
Akhirnya
Dewi Siluman juga berbaring berlama-lama. Dia bangun dan duduk sebentar di tepi
tempat tidur, memandang ke kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu
ditanggalkannya pakaian tidurnya yang terbuat dari sutera biru halus
berbunga-bunga hitam. Tanpa selembar benang pun menutupi badannya sang Dewi
berdiri di muka kaca. Betapa indah potongan tubuhnya, betapa halus mulus
kulitnya. Tapi betapa rindunya seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan seorang
laki-laki.
Tiba-tiba
pintu kamar diketuk orang.
Dewi
Siluman memperhatikan kaca dari mana sekaligus dia dapat melihat pintu kamar
itu.
Siapa
pula yang mengganggunya, pikir sang Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak
buahnya yang datang membawa kabar tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka Dewi
Siluman mengenakan pakaian tidurnya kembali dan berkata. “Masuk!”
Pintu
kamar terbuka.
Dan
kagetlah Dewi Siluman. Yang masuk bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang
anak buahnya, melainkan seorang pemuda berpakaian putih-putih, berambut
gondrong dan berparas gagah.
Walau
bagaimana pun kejam dan jahatnya hati seorang perempuan, namun dalam hal-hal
tertentu dia tak dapat menyembunyikan gerak refleks keperempuannya. Dewi
Siluman segera rapatkan pakaian tidurnya yang tipis lalu membentak marah, meski
tidak seratus persen marah.
“Orang
muda? Siapa kau yang berani berlaku lancang masuk ke kamarku?!”
Pemuda
itu sunggingkan seulas senyum.
“Apakah
aku berhadapan dengan Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul?” tanyanya.
“Betul!
Lekas terangkan siapa kau! Bagaimana kau bisa masuk ke Istanaku ini?!”
“Kalau
aku tidak salah, bukankah Dewi selama ini mencari-cariku…?”
Berdebarlah
hati Dewi Siluman.
“Jadi kau
adalah pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu mau ditangkap?!”
“Betul
sekali Dewi. Barangkali kau bisa menerangkan salah apa yang kubuat sampai
diriku hendak ditawan oleh orang-orangmu?”
Dewi
Siluman tertawa. Sungguh merdu suara tertawanya laksana taburan mutiara yang
berderai di lantai batu pualam.
“Sebelum
kujawab pertanyaanmu harap terangkan dulu apa yang telah kau lakukan terhadap
delapan orang anak buahku hingga mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu
bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini!”
“Soal
delapan anak buahmu itu mana aku tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa
saja.
Kau
mencari-cariku berarti aku sama saja diundang datang ke mari. Malah anak buahmu
mengantar dan menunjukkan kamarmu ini.”
Kembali
Dewi Siluman tertawa merdu.
“Orang
gagah, kuharap kau tahu di mana berada dan dengan siapa kau bicara….”
Pemuda
berambut gondrong yang bukan lain dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan
kepala. “Nama besarmu sudah lama kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran namamu
itu bukan karena pekerjaan baik, tapi akibat kejahatan luar biasa yang tiada
taranya!”
Dewi
Siluman naikkan hidungnya.
“Apakah
maksud kedatanganmu ke Pulau Madura ini sengaja mencari dan menantangku?!”
“Kau bisa
katakan demikian….”
Dewi
Siluman tertawa panjang.
“Kau
andalkan apakah maka berani membuat rencana dernikian?”
Wiro
menjawab dengan balas tertawa.
Di atas
sebuah meja di dalam kamar itu terletak sebuah patung perempuan menjunjung
kendi yang terbuat dari emas. Beratnya kira-kira tiga kilogram. Dewi Siluman
menunjuk pada patung itu dan berkata. “Kau lihat patung emas itu, orang muda?!
Jika kau sanggup melakukan seperti yang akan kuperbuat baru kau pantas bermulut
besar di hadapanku!”
Habis
berkata begitu Dewi Siluman gerakkan tangan kanannya ke atas, telapak tangan menghadap
ke patung emas di atas meja. Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak, lalu
laksana ada sebuah tangan yang tiada kelihatan mengangkatnya, patung yang
beratnya tiga kilo itu naik ke atas, melayang mendekati tangan Dewi Siluman,
berhenti tegak di ujung jari tengah Dewi Siluman, lalu melayang lagi kembali ke
tempatnya di atas meja.
Dengan
senyum di bibir Dewi Siluman berpaling pada Wiro Sableng. “Bagaimana?
Sanggupkah
kau melakukannya? Jika tidak sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta ampun
kepadaku! Kau tidak terlalu buruk untuk jadi hamba sahayaku!”
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya. Dewi Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini.
Diam-diam
memang Wiro Sableng mengagumi sekali kehebatan tenaga dalam Dewi Siluman. Meski
demikian mana Pendekar 212 mau diremehkan begitu saja.
“Memang
meniru seperti yang kau lakukan itu aku tidak bisa Dewi Siluman. Tapi coba kau
lihat. Kau kurang teliti hingga patung itu kembali ke tempatnya dalam keadaan
terbalik!”
Dewi
Siluman palingkan kepala dengan rasa tak percaya. Ketika matanya membentur
patung di atas meja, terkejutlah sang Dewi. Patung perempuan menjunjung kendi
memang berdiri di atas meja tapi dengan kaki ke atas dan kepala serta kendi di
sebelah bawah.
Dewi
Siluman putar kepalanya kembali pada Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat
pemuda itu gerakkan tangannya. Tapi bagaimana patung itu bisa terbalik
demikian. Tiba-tiba sang Dewi keluarkan tertawanya yang merdu.
“Tenaga
dalammu boleh juga orang muda! Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus
untukmu!” Dewi Siluman melangkah ke tempat tidur. Dalam pakaian yang tipis itu
Wiro dapat melihat jelas sekali sekujur tubuh Dewi Siluman. Sang Dewi kemudian
duduk di tepi tempat tidur.
“Aku
yakin kau akan menyetujui usulku ini. Tapi harap kau terangkan namamu lebih dulu.”
“Apakah
namaku itu perlu betul bagimu?” tanya Wiro.
“Tentu!”
jawab Dewi Siluman seraya matanya memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di
mulutnya bermain seulas senyum. Dan dia menambahkan. “Seorang gagah dan berilmu
sepertimu ini musti diketahui dulu namanya!”
Wiro
tersenyum. “Manusia dilahirkan tidak bernama,” katanya. “Karenanya tak perlu
kuterangkan siapa namaku. Kau boleh panggil aku semaumu. Sekarang coba kau
terangkan usul bagus yang kau katakan itu!”
“Orang
muda, kau terlalu jual mahal namamu! Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki
yang berhati keras, betul-betul bernyali jantan! Dengar orang muda, walau kau
tidak mau beri tahu nama, namun aku maklum bahwa kau memiliki ilmu yang cukup
diandalkan. Setiap orang berilmu tinggi mempunyai cita-cita besar. Bagaimana
kalau kita berdampingan satu sama lain dalam menguasai dunia persilatan?!”
Wiro
merenung macam orang tua lalu manggut-manggut. “Usulmu memang bagus…,”
katanya.
Paras Dewi Siluman kelihatan gembira. “Tapi,” sambung Wiro pula yang membuat
Dewi Siluman kembali berubah parasnya. “Aku datang ke sini bukan untuk menerima
segala macam usul atau membuat segala macam perjanjian….”
Paras
Dewi Siluman menegang. “Lalu?” sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur.
Wiro
menatap paras jelita itu beberapa lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi
bergetar hatinya.
“Segala
sesuatu di dunia ini musti ada akhirnya,” Wiro Sableng membuka pembicaraan
kembali. “Diakhiri atau berakhir sendirinya. Demikian pula dengan kejahatan….”
Dewi
Siluman hendak membentak memotong ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan
mata si pemuda mulutnya tak kuasa dibukanya. Dia tegak tak bergerak di
tempatnya.
“Setiap
tokoh silat adalah wajar kalau mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia
persilatan. Namun caranya juga musti cara wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa
peri kemanusiaan.
Bukan dengan
jalan membunuh anak-anak atau perempuan-perempuan atau manusia-manusia tak
berdaya dan tak berdosa. Bukan dengan menipu tokoh-tokoh silat, mengundang
mereka ke mari lalu menjebloskannya di Ruang Penyiksaan….”
Dewi
Siluman terkejut amat sangat. Dari mana si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk
bertanya lagi-lagi mulutnya takluk membisu di bawah pandangan mata Pendekar
212.
“Bukan
pula dengan menculik gadis-gadis cantik lalu, meracunnya dengan obat kesetanan!
Hendak
menguasai dunia persilatan dengan cara seperti itu bukan saja tak akan
berhasil, tapi akan membawa pelakunya pada satu kehancuran yang mengerikan,
Kehancuran itulah suatu akhir.
Hancur
sendiri atau dihancurkan. Dan kurasa kau tak mau menemui kehancuran atau
dihancurkan, Dewi Siluman. Bukankah begitu…?”
Tenggorokan
Dewi Siluman turun naik. Tiba-tiba meledaklah kemarahannya. “Orang muda!
Bicaramu
keliwat pandai! Apakah kau juga pandai menerima pukulanku ini?!”
Laksana
kilat Dewi Siluman hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik sinar biru
yang amat panas menderu. Di seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan “brak!”
Dinding kamar di belakangnya hancur lebur, runtuh merupakan satu lobang besar
kini.
“Kau
menghancurkan dirimu sendiri, Dewi Siluman,” desis Wiro Sableng disertai
lontaran senyum. “Tidak sukar untuk kembali ke jalan yang baik. Di jalan yang
baik itu kau akan melihat satu jalan lurus yang wajar untuk menguasai dunia
persilatan ini!”
Dewi
Siluman melotot besar sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri
dari serangan “Angin Biru”nya tadi.
“Orang
muda, pintu masih terbuka bagimu untuk menguasai dunia persilatan ini bersamaku
menurut caraku!”
“Menyesal
sekali, Dewi….”
“Kau yang
akan menyesal jika kau menolaknya!” tukas Dewi Siluman. “Meski ilmumu setinggi
langit tapi tak satu manusia pun yang bisa menghancurkanku!”
“Bukan
orang lain yang akan menghancurkanmu, tapi kau sendiri,” sahut Pendekar 212.
Dewi
Siluman tertawa aneh. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur.
“Jangan
kelewat memandang sebelah mata terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau aku
tidak melihat bahwa kau bakal mempunyai peruntungan baik bersamaku, siang-siang
aku sudah hancurkan kepalamu!” Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan dirinya
perlahan-lahan di atas tempat tidur. Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke
lantai yang ditutupi permadani tebal. Mata Pendekar 212 mengecil, sejenak
hatinya digelorai oleh darah muda.
“Orang
gagah, kemarilah!” panggil Dewi Siluman. Suaranya berubah merdu tidak membentak
lagi.
Wiro
tetap berdiri di tempatnya.
“Kemarilah….”
Dewi Siluman lambaikan tangannya.
Pendekar
212 melangkah. Dia berhenti satu tombak dari samping tempat tidur. Gelora darah
mudanya semakin menyentak-nyentak.
Dewi
Siluman menopang dagunya dengan telapak tangan kanan, memandang gairah pada si pemuda
lalu berkata. “Seluruh isi Istana ini akan menjadi milikmu, orang muda. Dunia
persilatan akan berada di tanganmu. Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah
indah sekali…?” Dewi Siluman menggerak-gerakkan kakinya.
“Kedengarannya
memang begitu,” sahut Wiro. “Tapi akan lebih indah lagi bila kau mau menelan
pil ini….”
Dewi
Siluman kerenyitkan kening sipitkan mata dan memandang pada sebuah benda kecil
hitam di tangan Wiro Sableng.
“Pil apa
itu?” tanya Dewi Siluman acuh tak acuh.
“Pada
dasarnya manusia itu semuanya berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran duniawi
meracuni hati dan pikirannya. Obat ini akan sanggup membersihkan kembali racun
hati dan racun pikiran yang jahat itu, Dewi Siluman!”
Dewi
Siluman tertawa berderai.
“Maksudmu
kau mau mengobati diriku, orang muda?”
Wiro
anggukkan kepala.
Dewi
Siluman tertawa lagi panjang-panjang.
“Hanya
orang sakit yang minum obat. Aku tidak sakit.”
“Kau
memang sakit Dewi Siluman, sudah sejak lama,” kata Wiro pula.
Dewi
siluman luruskan kedua kakinya yang mulus bagus.
“Aku akan
telan pil itu,” kata Dewi Siluman. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Berbaringlah
di sampingku.”
Bergelegar
dada Pendekar 212. Darah muda di tubuhnya laksana hempasan ombak yang memukul
batu karang di pantai curam.
“Kau
perlu istirahat, orang gagah. Kau perlu tidur,” kata Dewi Siluman penuh genit.
Kegenitan
yang mengandung racun.
“Soal
tidur soal gampang Dewi,” kata Wiro dengan menahan kobaran darah mudanya.
“Kebaikan
adalah yang paling dulu musti dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan obat ini….”
Dewi
Siluman tersenyum.
“Aku
ingin sekali menghiburmu, tapi sayang, gadis pemetik kecapi itu tak ada di
sini….”
“Inani
maksudmu? Aku telah bertemu dengan dia.”
Kagetlah
Dewi Siluman.
“Dan
bukan dia sendiri. Dewi, tapi juga tujuh orang lainnya….”
“Kau apakan
mereka?”
“Mereka
gadis-gadis cantik yang kini menjadi kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci!”
“Kau yang
melakukannya?!”
“Kiai
Bangkalan!”
Membersilah
paras Dewi Siluman. Dadanya menggemuruh. Tapi gelora amarah ini kemudian
mengendur sedikit. Dia duduk di tepi tempat tidur kembali.
“Aku tak
perduli dengan mereka. Aku bisa melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat,
bernama Kiai Bangkalan itu. Tapi kau musti menjadi milikku, orang muda, musti!”
Dan habis berkata begitu Dewi Siluman buka pakaian tidurnya lalu dalam keadaan
tanpa pakaian selembar benang pun dia melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
Mulut
Pendekar 212 komat-kamit. Digaruknya kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu
Dewi Siluman melompatinya.
“Orang
muda, apakah aku tak boleh memelukmu? Apakah aku tak boleh menyentuh tubuhku
pada tubuhmu…?”
“Boleh
saja tapi sekarang bukan saatnya.”
“Justru
sekarang inilah saatnya” dan Dewi Siluman menerjang ke muka hendak meraih tubuh
Wiro Sableng. Sekali lagi Wiro berkelit.
“Kau
keterlaluan orang muda! Apakah aku harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku orang
muda. Cium parasku, bibirku, dadaku… semuanya….”
“Buset!”
ujar Wiro Sableng dalam hati sementara Dewi Siluman melangkah mendekatinya.
“Dengar
Dewi, aku akan cium kau mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan
pil ini….” Wiro acungkan tangan kanannya, Tiba-tiba Dewi Siluman berseru
nyaring. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Pendekar 212 terkejut hebat sewaktu
lengannya dipukul oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang dipegangnya mental ke
udara? Sebelum dia bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada dalam genggaman
Dewi Siluman. Sekali tangan itu meremas maka hancurlah pil pembersih otak dan
hati itu.
“Sekarang
tidak ada lagi segala macam obat terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang
muda… mari…!”
Pendekar
212 mulai beringasan dan penasaran.
“Aku
telah datang membawa kebaikan untukmu Dewi Siluman! Tapi kejahatan di dalam
dirimu memang sudah sedalam lautan setinggi langit! Aku tunggu kau di taman
Istana!”
“Kau
mencari mati orang muda?!”
“Dan kau
mencari mampus!”
“Bedebah!”
maki Dewi Siluman. Dia tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut dan
memandang berkeliling dengan heran.
“Aha… kau
memanggil anak-anak buahmu Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul!
Semuanya
telah dicekok dengan obat pembersih otak!”
Kaget
Dewi Siluman bukan main.
“Manusia
tolol! Diberi kesenangan malah minta mati percuma! Aku akan siksa kau di Ruang
Penyiksaan! Aku akan rebus tubuhmu!”
Wiro
tertawa gelak-gelak.
“Ruang
Penyiksaan hanya tinggal nama saja lagi!” sahutnya. “Tiga tokoh silat yang
masih hidup sudah kubebaskan dan ruangan itu hanya merupakan puing-puing
hancur, satu pertanda bagi kehancuranmu sendiri! Aku tunggu kau di taman! Jika
otakmu masih diracuni oleh kejahatan, taman itu akan menjadi kuburmu! Dan
jangan coba-coba larikan diri Dewi. Setiap jalan rahasia sudah dijaga!”
“Setan
alas! Mampuslah!” teriak Dewi Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke muka.
“Wuss!”
Dua sinar
biru menderu ganas. Tapi Wiro Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari kamar
itu.
*************
15
Suasana
di taman Istana yang indah itu kini diselimuti kesunyian yang menggidikkan.
Pendekar
212 Wiro Sableng duduk di atas batu rata, di hadapan sebuah arca. Di setiap
sudut taman berdiri berkelompok-kelompok gadis-gadis berbaju biru. Mereka
adalah bekas anak buah Dewi Siluman yang telah “dibersihkan” otaknya oleh Inani
dengan obat yang diberikan Kiai Bangkalan.
Kalung
tengkorak yang biasanya tergantung di leher mereka kini tak kelihatan lagi.
Kesunyian
itu dipecahkan oleh suara siulan yang keluar dari mulut Pendekar 212. Inani
geleng-gelengkan kepala. Di saat yang penuh ketegangan itu Wiro masih bisa
bersiul seperti seorang yang tengah menunggu saat gembira. Dia melangkah
mendekati arca di mana Wiro duduk.
“Apakah
kau sudah berhasil memecahkan rahasia kelemahan Dewi Siluman dalam dua bait
tulisan yang diberikan Kiai Bangkalan?” tanya Inani.
Wiro
gelengkan kepala. Dia terus juga bersiul-siul.
“Kau
belum tahu rahasia kelemahannya! Dan kau telah berani menantangnya di sini!”
ujar Inani dengan paras tegang.
“Semuanya
telah kasip Inani. Ini adalah saat penentuan. Kalau tidak dia, aku yang. bakal
meregang nyawa. Mudah-mudahan saja itu perempuan bisa menyadari kejahatannya
sebelum datang ke sini dan bertobat!”
“Jangan
harapkan hal itu Wiro!” desis Inani.
“Kau
bersiaplah Inani. Sesuai dengan rencana kau baru turun tangan dalam jurus
ketiga….
Jika aku
gagal, semua kawan-kawanmu harus menyerbu!”
Inani
mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi mulutnya mendadak sontak
terkancing. Matanya memandang ke arah tangga batu pualam yang menghubungi
langkan Istana di hadapan taman dengan anjungan pertama. Sepasang kaki yang
bagus kelihatan melangkah menuruni anak tangga demi anak tangga. Orang yang
melangkah ini sampai ke langkan dan dia bukan lain dari Dewi Siluman.
Dewi
Siluman telah berganti pakaian. Pakaian biru ringkas yang dikenakannya dihiasi
dengan manik-manik bergemerlapan. Sikapnya melangkah begitu agung dan penuh
wibawa.
Hidungnya
naik ke atas dan Dewi Siluman hentikan langkahnya di tepi kolam.
Wiro
Sableng hentikan suara siulannya.
Kedua
manusia ini beradu pandang sesaat lalu Dewi Siluman memandang berkeliling,
menyapu para anak buahnya satu demi satu. Kemudian sang Dewi menengadah ke
langit. Dan dari mulutnya keluarlah suara.
Langit
pagi begini cerah,
Sang
surya bersinar terang
Udara
segera melapangkan dada,
Tapi
sungguh berubah,
Semua apa
yang kupandang.
Dewi
Siluman turunkan kepalanya lalu kembali memandangi anak buahnya satu demi satu.
“Anak-anakku,”
katanya dengan suara lantang. “Aku perintahkan kalian untuk menangkap manusia
yang duduk di depan arca itu!”
Tapi tak
satu orang pun yang bergerak dari tempatnya.
Paras
Dewi Siluman kini berubah.
“Apa
semua kalian sudah tuli atau mulutku yang tak bisa bersuara lagi…?!” Dewi
Siluman memerintah lagi dengan suara menggeledek. Tapi tetap saja tak ada yang
bergerak.
“Apa yang
telah terjadi dengan kalian?!” teriak Dewi Siluman. Suaranya bergetar dahsyat.
“Mana
kalung tengkorak kalian?!”
“Dewi,
mulai saat ini kami di sini bukan lagi anak-anak buahmu!” Yang bicara adalah
Inani.
Dewi
Siluman palingkan kepalanya.
“Kau yang
bicara Inani? Alangkah bagusnya! Hebat!” Rahang Dewi Siluman menggembung.
Mukanya
bermimik bengis. “Jadi semua kalian di sini bukan lagi anak buahku?!” Dewi
Siluman tertawa panjang.
“Semua
kalian akan menerima hukuman! Dan kau Inani! Kau yang bakal kupancung pertama
kali!”
Pendekar
212 Wiro Sableng perlahan-lahan berdiri dan bergerak sejauh tiga langkah.
Kembali
antara pendekar ini dan Dewi Siluman terjadi bentrokan pandangan.
“Dewi
Siluman, apakah kau masih betum melihat jalan kebaikan? Apakah hatimu begitu
kotor keras laksana gumpalan batu karang? Apakah pikiranmu begitu tumpul…?!”
Dewi
Siluman mendengus.
“Delapan
penjuru angin dunia persilatan negeri menyebut dan mendengar namaku! Apa aku
musti takut terhadap manusia macammu?!”
Wiro
Sableng tertawa pelahan.
Dewi
Siluman berdiri berkacak pinggang tapi diam-diam dia salurkan seluruh tenaga
dalamnya pada telapak tangan kiri kanan. Tiba-tiba, didahului oleh lengkingan
dahsyat laksana mau membelah langit, Dewi Siluman membungkuk dan pukulkan kedua
tangannya sekaligus ke muka.
Tanah
yang dipinjaknya melesak lima senti.
Wiro yang
sejak tadi juga telah siap waspada tidak terkejut melihat datangnya dua
gelombang angin biru yang sangat panas menyerang ke arahnya. Pendekar ini sama
sekali tidak mengelak dari tempatnya berdiri malah balas memukulkan kedua
tangannya ke muka lepaskan dua pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
Sekaligus dia hendak menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawannya.
Dan terkejutlah Pendekar 212.
Begitu
terdengar suara menggelegar akibat beradunya pukulan yang bertenaga dalam
dahsyat itu maka tubuh Wiro Sableng terhuyung keras ke belakang. Dia hampir
saja jatuh duduk di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Di hadapannya
Dewi Siluman keluarkan suara tertawa panjang. Ternyata tenaga dalam Pendekar 212
lebih rendah dari Dewi Siluman. Diam-diam pemuda berambut gondrong ini tergetar
hatinya tapi dia tidak takut.
“Kalau
kehebatanmu cuma sebegitu, tak sukar bagiku untuk meringkusmu, pemuda tolol!”
kata Dewi
Siluman. Dan segera dia loloskan kalung tengkorak di lehernya sedang tangan
kiri keluarkan segulung benang sutera halus berwarna biru.
“Jurus
kedua ini adalah jurus terakhirmu!” kata Dewi Siluman.
Dengan
ilmu menyusupkan suara, Inani peringatkan Wiro Sableng. “Cepat keluarkan
senjatamu. Kau tak bakal kuat menghadapinya dengan tangan kosong! Benang sutera
itu lihai sekali!”
Di saat
Wiro merasa ragu-ragu untuk keluarkan senjata maka Dewi Siluman melangkah
sambil acungkan kalung tengkorak.
“Kau
lihat tengkorak ini? Nasib tengkorak kepalamu tidak lebih baik dari ini!
Tengkorakmu cukup bagus untuk diramu sampai kecil dan dijadikan kalung!”
Lalu
dengan sebuah jurus bernama “Petir Menyambar Naga Berenang” Dewi Siluman
menyerbu. Kalung tengkorak di tangan kanannya laksana bola baja menyambar ganas
ke kepala Wiro sedang benang sutera biru di tangan kirinya melesat ke muka
untuk melihat bagian tubuh Pendekar 212 yang menjadi sasaran.
“Wiro!
Keluarkan senjatamu cepat!” teriak Inani.
Tapi Wiro
menyambut serangan lawan dengan Pukulan Sinar Matahari.
Kalung
tengkorak di tangan Dewi Siluman hancur lebur. Suaranya laksana letusan meriam
sewaktu dihajar Pukulan Sinar Matahari Pendekar 212 tapi di lain pihak sang
pendekar sendiri dibikin kaget karena pada detik itu benang sutera biru lawan
telah melibat pergelangan tangan kanannya sampai ke ujung-ujung jari. Wiro coba
menyentakkan tapi tiada guna, libatan benang sutra semakin ketat. Pendekar 212
lepaskan Pukulan Sinar Matahari ke arah Dewi Siluman, kali ini dengan tangan
kiri, tapi sebelum kesampaian sang Dewi sudah hantam lengan kiri itu dengan
lengan kanannya. Masing-masing merasa sakit namun Wiro lebih menderita sedang
libatan benang di tangan kanannya belum terlepas.
Inani tak
menunggu lebih lama. Segera gadis ini berkelebat dan laksana kilat lepaskan
totokan jarak jauh yang lihai ke arah Dewi Siluman.
Dewi
Siluman yang tengah hendak melibat sekujur tubuh Wiro dengan benang suteranya
ternyata betul-betul luar biasa. Dia masih sempat merasakan datangnya bahaya
yang mengancam.
Padahal
kecepatan gerakan Inani tadi tidak seorang pun yang melihatnya.
Sang Dewi
rundukkan tubuh untuk hindarkan sambaran angin yang dirasakannya menyerang ke
urat lehernya. Tapi anehnya sambaran angin itu mengikuti gerakannya. Mau tak mau
Dewi Siluman terpaksa lepaskan gulungan benang dan pergunakan tangan kirinya
untuk menangkis angin serangan lawan.
Bukan
saja angin totokan Inani buyar berantakan, tapi pukulan Dewi Siluman terus
melanda tubuhnya. Karena tenaga dalam Inani jauh lebih rendah tak ampun lagi
gadis ini mencelat sampai delapan tombak, terguling di tanah, masuk ke dalam
kolam. Inani kelihatan seperti hendak berenang tapi tubuhnya kemudian tenggelam
sedang air kolam tampak merah oleh darah yang muntah dari mulutnya.
Melihat
ini Laruni segera melompat, ceburkan diri keadaan kolam lalu menyeret Inani
keluar. Tubuh Inani dibaringkannya di satu tempat yang aman dan diberi
pertolongan sedapatdapatnya.
Sebenarnya
Dewi Siluman merasa terkejut akan kehebatan angin pukulan aneh yang tadi
dilepaskan Inani. Namun kini terdengar suara tertawanya mengekeh.
“Itu
contoh pertama buat manusia-manusia murtad yang berkhianat terhadap Dewi
Siluman!” berkata sang Dewi dengan seringai bengis. Dia lalu cepat-cepat
palingkan kepala ke arah Wiro Sableng. Kegusarannya tiada tara sewaktu melihat
Pendekar 212 berhasil melepaskan benang sutra yang melibat sebagian tangan
kanannya.
“Benangmu
ini cukup lihai Dewi. Aku mau lihat apakah kau sendiri sanggup menghadapinya!”
kata Wiro.
Dewi
Siluman ganda mendengus. Dia mundur beberapa langkah lalu berlutut di atas
rumput.
Mata
dipejamkan sedangkan kedua tangan bersidekap di muka dada.
“Saudara!”
seru Laruni terkejut. “Hati-hati! Dia hendak keluarkan Ilmu Seribu Siluman
Mengamuk!”
Pendekar
212 yang memang sudah diberi tahu kehebatan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu
segera lesatkan benang sutera biru di tangannya. Laksana seekor ular, benang
itu meluncur ke arah Dewi Siluman, tapi anehnya satu tombak dari hadapan sang
Dewi, benang itu tak mau lagi meluncur, melainkan membelok-belok kian ke mari
menjauhi sasarannya.
“Sialan!”
maki Pendekar 212. Gulungan benang di tangannya dilemparkan ke kolam.
Sementara
itu dari ubun-ubun Dewi Siluman Wiro melihat asap hitam mengempul bergulungscan
gulung. Waktu dia memandang berkeliling, tak seorang gadis baju biru pun
dilihatnya. Pasti mereka telah sembunyikan diri karena takut akan ilmu sang
Dewi.
Sepasang
mata Pendekar 212 tidak berkesip dan memandang ke arah Dewi Siluman penuh
waspada. Kepulan asap semakin tebal. Seluruh tubuh Wiro Sableng sudah tergetar
oleh aliran tenaga dalam kedua kaki merenggang. Hatinya tegang sekali menunggu
detik demi detik.
Tiba-tiba
dari mulut Dewi Siluman terdengar suara seperti orang menangis. Dan suara
seperti tangisan ini kemudian berganti dengan lengking-lengking jeritan yang
merobek langit mengerikan. Kepulan asap sudah menebar di mana-mana. Dewi
Siluman ganti suara lengkingannya dengan teriakan macam lolongan serigala
lapar. Anehnya, gumpalan-gumpalan asap kini kelihatan memecah cepat dalam
ratusan gumpalan kecil yang kemudian mengembang tambah besar… tambah besar.
Ketika Wiro memperhatikan gumpalan-gumpalan asap hitam ini terkejutlah dia.
Setiap gumpalan telah berubah menjadi sosok-sosok tubuh makluk-makhluk yang
mengerikan. Tubuhnya
hanya
sebatas dada ke atas dan lima kali tubuh manusia besarnya. Makhluk-makhluk aneh
ini bermuka sangat mengerikan, rambutnya awut-awutan, mata merah besar, lidah
menjulur lebar keluar sedang taring dan gigi-giginya menjorok besar-besar.
Dewi
Siluman menjerit.
Ratusan
makhluk jadi-jadian itu balas menjerit dan masing-masing angkat tangan mereka.
Ternyata
masing-masing mempunyai enam pasang tangan. Dan setiap tangan berkuku hitam.
“Bunuh
manusia itu!” teriak Dewi Siluman. Matanya masih meram, tangan masih mendekap
dada dan tubuhnya masih berlutut di rumput.
Ratusan
makhluk siluman menjerit dahsyat dan menyerbu berserabutan ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng. Tak ayal lagi-Pendekar 212 segera cabut Kapak Naga Geni 212. Dari
mulutnya keluar bentakan keras dan sekali kapak diputar terus melanda ke arah
makhluk-makhluk siluman yang datang menyerbu. Belasan makhluk yang tersambar
Kapak Naga Geni 212 menjerit, darah muncrat dari tubuh masing-masing. Tapi
anehnya makhluk-makhluk ini tidak musnah malah dari setiap tetes muncratan darah
berubah menjadi makhluk siluman baru sehingga dalam sekejap saja jumlahnya
telah bertambah ratusan bahkan mungkin sudah ribuan kini.
Sewaktu
makhluk-makhluk itu dengan ganasnya menyerang kembali Wiro Sableng tak berani
menghantam dengan Kapak Naga Geni. Tubuhnya berkelebat dan lenyap. Untuk
beberapa lamanya dengan gesit dia berhasil mengelakkah setiap serangan yang
dilancarkan oleh ratusan makhluk siluman itu. Dari samping, dari atas dan dari
bawah tiada kunjung hentinya datang serangan. Sampai berapa lamakah Pendekar
212 sanggup pertahankan diri? Sementara itu dalam keadaan yang mulai terjepit
itu Wiro masih juga belum berhasil memecahkan rahasia kelemahan ilmu seribu
siluman mengamuk yang tersembunyi di balik dua rangka kalimat: Ilmu Seribu
Siluman mengamuk teramat sakti. Hanya suara yang sanggup mengalahkannya!
Telinga
Pendekar 212 mulai sakit oleh kedahsyatan luar biasa jeritan-jeritan ratusan
makhluk siluman yang datang menyerangnya. Meski dia sudah tutup indera
pendengarannya tetap saja suara jerit lengking yang mengerikan itu masuk
menerobos liang-liang telinga dan pada jurus pertempuran kedua belas kedua
telinga Pendekar 212 mulai keluarkan darah.
“Mampuslah
aku!” keluh Wiro dalam hati.
Baru saja
dia mengeluh demikian, satu sambaran tangan lawan tak bisa dielakkannya.
“Breet!”
Robeklah
pakaian Wiro Sableng. Dadanya tergurat luka disambar kuku dari makhluk siluman
dan tubuhnya dengan serta merta menjadi panas. Wiro cepat telan sebutir pil
lalu melompat enam tombak dan tekan gagang Kapak Naga Geni 212 di bagian leher
kepala naga-nagaan. Ratusan jarum hitam menderu ke arah makhluk-makhluk
siluman. Tapi laksana seseorang menepuk air hujan, makhluk-makhluk itu sekali
kebutkan enam pasang tangan maka mentallah semua senjata rahasia yang
dilepaskan Wiro.
Pendekar
212 sambil melayang turun kirimkan pukulan Benteng Topan melanda Samudera
sedang kapak diputar dengan gerakan Orang Gila Mengebut Lalat! Dua gelombang
angin yang dahsyat luar biasa melanda tubuh makhluk-makhluk siluman. Tapi tak
ada gunanya serangan itu karena makhluk-makhluk ini seperti tiada merasakan
apa-apa malah dengan cepat menyerbu tambah dekat. Sewaktu Wiro dalam keadaan
yang sudah kepepet lepaskan pukulan sinar matahari dengan tangan kiri,
makhluk-makhluk siluman itu meniup ke muka dan menjerit-jerit lebih dahsyat.
Pukulan
sinar matahari membalik menyerang Pendekar 212 sendiri. Wiro menjerit keras.
Untuk
melompat kembali ke atas tidak mungkin. Terpaksa dia buang diri ke samping dan
bertabrakan dengan salah satu makhluk siluman. Untung saja Wiro masih sanggup
jatuhkan diri dan berguling di tanah, kalau tidak pasti tubuhnya akan dihantam
empat pasang tangan makhluk siluman. Ketika dia berdiri kembali, empat makhluk
siluman menerjang ke arahnya. Tak ada jalan lain daripada hantamkan Kapak Naga
Geni 212 ke muka. Empat makhluk meraung keras dan mandi darah. Muncratkan darah
hanya menambah banyaknya jumlah makhluk siluman itu saja. Sedang empat makhluk
yang tadi disambar kapak kembali menyerbu dengan lebih buas. Pendekar 212
bersiul nyaring lalu lancarkan satu tendangan pada makhluk yang terdekat.
Makhluk ini mental tiga tombak yang lainnya, disusul puluhan kawan-kawannya
berhamburan ke muka. Di saaat itu Wiro Sableng terkurung di tepi kolam. Darah
dari kedua liang telinganya telah membasahi pipi.
Pakaiannya
robek-robek sedang kulit tubuhnya berselomotan darah bekas cakaran makhluk
makhluk siluman.
Satu-satunya
tempat untuk selamatkan diri ialah patung perempuan telanjang yang terdapat di
tengah kolam. Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke atas kepala patung
itu. Ketika puluhan makhluk siluman melayang ke arahnya maka Pendekar 212
segera keluarkan batu api dari balik pakaian. Begitu makhluk-makhluk itu.
menyerbu, Wiro adu batu api dengan mata kapak. Satu gelombang angin menggebu ke
arah makhluk-makhluk siluman. Gerakan puluhan siluman itu terhenti sejenak. Api
menyambar tubuh mereka tapi sedikitpun tak membawa akibat apa-apa, malah
bersama puluhan kawan-kawannya makhluk-makhluk yang kena disambar api ini cepat
teruskan serbuan mereka.
Wiro
Sableng lompat dari atas patung, melesat ke bagian lain dari kolam. Boleh
dikatakan seluruh taman telah dipenuhi oleh makhluk-makhluk siluman. Sebentar
saja Wiro berdiri di tepi kolam itu maka puluhan makhluk kembali menyerbunya,
memaksa dia berkelebat cepat kian kemari untuk hindarkan diri “Tamatlah
riwayatku!” keluh Wiro Sableng sewaktu satu tangan makhluk siluman menghantam
punggungnya dengan keras, membuat dia berguling di rumput dan bangun dengan
megap-megap, bergerak lagi dengan cepat untuk hindarkan serangan
makhluk-makhluk siluman yang kembali datang menyerbu.
Pendekar
212 merasa tiada perlu lagi dia memegang Kapak Naga Geni 212 karena tidak bisa
digunakan. Segera dia selipkan batu hitam ke balik pakaian dan hendak simpan
Kapak Naga Geni 212. Tapi dia ingat bahwa masih ada satu kehebatan Kapak itu
yang belum dikeluarkannya. Dengan hati meragu apakah kehebatan terakhir ini
akan sanggup selamatkan dirinya Pendekar 212 balikkan senjata itu dan tempelkan
mulut kepala naga-nagaan ke bibirnya. Maka terdengarlah suara tiupan seruling.
Mula-mula perlahan, kemudian melengking keras, tinggi dan tajam, bergema ke
setiap penjuru.
Ratusan
makhluk siluman tampak tertegun. Suara jeritan-jeritan mereka mulai pelahan dan
semakin tinggi nyaring suara seruling, jeritan-jeritan makhluk itu semakin
berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Wiro kerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Tiupan seruling laksana deru ribuan tawon. Makhluk-makhluk siluman
kelihatan bingung dan mundur, lalu menjerit dan berteriak-teriak aneh.
Sekelompok demi sekelompok tubuh mereka kembali menjadi kepulan asap hitam untuk
kemudian sirna tiada bekas.
Ketika
keseluruhan makhluk siluman itu lenyap menjadi asap dan asap lenyap pula dari
pemandangan maka kelihatan Dewi Siluman di tengah taman. Mukanya pucat pasi,
dari telinga, hidung, mata serta mulut keluar darah kental. Sekujur badannya
tergetar hebat.
Sewaktu
Pendekar 212 tiup suling Kapak Naga Geni. Dewi Siluman tersentak kaget.
Bagaimanapun
dia kerahkan tenaga dalam dan tutup pendengarannya namun suara seruling tak
berhasil ditolaknya, terus menyeruak ke dalam liang telinga, mengacaukan jalan
pikirannya serta menyentak-nyentak pembuluh darah, membuat aliran darahnya
tidak teratur lagi.
Dewi
Siluman coba bertahan dengan sekuat tenaga dan kesaktian yang dimilikinya, tapi
kini dia telah ketemu batunya. Tiupan seruling Pendekar 212 yang sangat dahsyat
telah membongkar kelemahan ilmu siluman yang dimilikinya. Bukan saja ilmu
siluman itu musnah berantakan tapi juga tiupan seruling terus membungkus
dirinya tiada sanggup ditolak lagi.
Sambil
terus tiup senjatanya Wiro Sableng memaki dalam hati. Sungguh tolol sekali dia.
Kiai
Bangkalan telah menuliskan dua kalimat yang bisa membongkar rahasia kehebatan
ilmu Dewi Siluman tapi dia tak berhasil memecahkannya. Masih untung dalam
keadaan sangat terjepit dia tiup senjata itu, padahal itu pun tadi dilakukannya
dengan hati bimbang karena khawatir akan sia-sia.
Tubuh
Dewi Siluman makin lemah. Darah keluar semakin banyak. Kini di bawah tiupan
seruling itu tampak tubuhnya terhuyung kian kemari dan kira-kira setengah
peminuman teh kemudian tubuh itu tak sanggup lagi bertahan. Dewi Siluman
meraung. Raungan yang keluar disertai muntahan darah berbuku-buku. Tubuhnya
rebah menelungkup ke tanah, masih bergerak gerak beberapa ketika kemudian diam
untuk selama-lamanya.
Pendekar
212 masukkan Kapak Maut Naga Geni ke balik pakaiannya lalu bersila dan meramkan
mata. Luka di bagian luar serta dalam tubuhnya cukup parah. Sepeminuman teh
baru Pendekar ini buka kedua matanya lalu telan sebutir pil dan berdiri.
Gadis-gadis berbaju biru dilihatnya bermunculan kembali di sudut-sudut taman.
Wiro
melangkah ke tempat di mana Inani duduk tersandar. Dia sudah sadar dari
pingsannya dan memandang kepada pemuda itu sewaktu Wiro me langkah ke
hadapannya.
Wiro
tersenyum dan berlutut di hadapan gadis ini. Inani membalas senyumnya. Matanya
yang tadi sayu kini kelihatan bersinar.
“Kau
hebat Wiro….”
“Aku
manusia tolol geblek!” sahut Wiro Sableng.
“Sudah
hampir mau kojor baru bisa pecahkan rahasia yang diberikan Kiai Bangkalan. Itu
pun secara tak sengaja!”
Inani
tersenyum.
Wiro
memegang tangan gadis ini. “Kau tak apa?”
Gadis itu
menggeleng.
“Terima
kasih atas pertolonganmu”, bisik Wiro. Dia memandang berkeliling lalu kembali
berpaling pada gadis itu dan berkata. “Sudah saatnya kita meninggalkan tempat
ini, Inani!”
Inani
mengangguk. Dibantu oleh Wiro gadis ini berdiri. Mereka saling pandang sejenak,
sama-sama mengulas senyum dan mulai melangkah ke arah langkan istana Dewi
Siluman di mana kawan-kawan Inani menunggu. Di langit sang surya bersinar
cerah. Satu kejahatan telah musnah tapi Pendekar 212 WiroSableng tahu bahwa
masih banyak lagi manusia-manusia jahat yang musti ditumpas.
TAMAT
No comments:
Post a Comment