Kupu-Kupu Mata Dewa
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
“ Tuanku
Laras, dengarkan saya. Ada yang hendak saya katakan. Ada satu hal yang sangat
saya takutkan …” Tuanku Laras angkat kepalanya dari dada Chia Swie Kim. Tapi
dua tangan kini turun memegang paha Si gadis. “Puti Mata Dewa, kekaSihku …
Katakan, hal apa yang kau takutkan?” “Tuanku Laras, ketahuilah, saya sudah
tidak gadis lagi. Saya tidak perawan lagi…” Sepasang mata Tuanku Laras
membeliak. Bulu hitam putih yang menutupi wajah berdiri meranggas. “Puti Mata
Dewa, apa maksudmu? Bicara yang jelas.” “Tuanku Laras, ketika berada di goa
kediaman Datuk Marajo Sati, Datuk itu telah merampas kehormatan saya. Dia
meniduri saya sampai berulang kali…” Habis berkata begitu Chia Swie Kim lalu
menangis sesenggukan. Apa yang diucapkan Si gadis seperti gelegar petir
terdengarnya di telinga Tuanku Laras. “Srett!” Tiba-tiba Tuanku Laras cabut
pedang Al Kausar.
*********************
1
BUKIT
Batu Patah di Gudam, ranah Minangkabau, malam bulan sabit hari ke tiga. Kawasan
yang selama ini diselimuti kesunyian dan dipalut kegelapan di malam hari, kini
keadaannya sangat berbeda. Dua buah obor tiba-tiba melayang di udara. Entah
Siapa yang melemparkan. Hebatnya, dua obor itu kemudian menukik ke tanah lalu
clep… clep!
Menancap
di halaman Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang yang merupakan bangunan bekas Istana
Kerajaan Pagaruyung. Sebagian halaman luas diujung rumah kini menjadi terang
oleh cahaya api obor. Di antara dua batang obor, di tanah terlihat enam buah
batu datar bulat menebar membentuk lingkaran cukup lebar. Sebelum kemunculan
dua buah obor dan lima batu bulat datar secara aneh itu, di Bukit Batu Patah
telah berdatangan beberapa orang.
Yang
pertama Pakih Jauhari, kekaSih Gadih Putih Seruni yang telah menjadi Istri
Datuk Marajo Sati. Pemuda ini muncul setelah memaksakan janji agar sang kekaSih
datang menemuinya di Istana Bukit Batu Patah dimana kemudian mereka
merencanakan akan melarikan diri menyeberang ke tanah Jawa. Meski saat ditemui
Gadih Putih Seruni menolak permintaan Pakih Jauhari namun Si pemuda tetap pergi
ke Bukit Batu Patah, seolah dia telah yakin Gadih Puti Seruni akan datang. Ketika
sampai di bekas bangunan Istana Kerajaan Pagaruyung itu, Pakih Jauhari segera
mencari Mamaknya, Jambek Magang. Namun sang paman ditemui dalam keadaan
meregang nyawa, luka parah bergelimang darah, tergeletak di dekat lumbung padi
di halaman depan rumah gadang.
Sebelum
menghembuskan nafas terakhir Jambek Magang masih sempat memberi tahu bahwa
orang yang membunuhnya bersenjata pedang, memiliki wajah tertutup bulu putih
dan hitam. Tidak terduga di saat itu pula orang yang disebut memunculkan diri
dan segera dikenali oleh Pakih Jauhari bukan lain adalah Tuanku Laras Muko
Balang. Dalam marahnya Si pemuda segera menyerang Tuanku Laras.
Pakih
Jauhari yang hanya memiliki ilmu silat kampung tentu saja dengan mudah dihajar
oleh Tuanku Laras. Setelah menggebuk muka Si pemuda hingga berkelukuran, Tuanku
Laras mencekik lehernya, mengangkatnya ke udara seraya membentak menanyakan
dimana satu peti batangan emas disembunyikan. Karena memang tidak tahu apa-apa
tentang barang yang ditanyakan. Pakih Jauhari tidak bisa menjawab. Tuanku Laras
membanting pemuda itu ke tanah lalu menghunus pedang sakti Al Kausar. Dia
mengancam kalau Pakih Jauhari tetap tidak mau memberi tahu keberadaan barang
yang ditanyakan maka dia akan dihabiSi sebagaimana yang telah terjadi dengan
pamannya.
Sekejapan
lagi pedang di tangan Tuanku Laras Muko Balang benar-benar akan menamatkan
riwayat Pakih Jauhari tiba-tiba muncul Ki Bonang Talang Ijo bersama Perwira
Muda Teng Sien dan Pendeka Bumi Langit Dari Sumanik. Ki Bonang datang ke bekas
bangunan Istana Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk menyelidiki
keberadaan satu peti batangan emas yang memang pernah disembunyikannya di
tempat itu bersama Perwira Muda Teng Sien. Emas di dalam peti itu direncanakan
sebagai hadiah tambahan jika gadis Cina yang dicari berhaSil ditemukan.
Sebenarnya Teng Sien merasa lebih penting mencari dan mendapatkan Chia Swie
Kim, gadis Cina puteri Pangeran Tiongkok yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai
Sianok itu terlebih dulu karena di dalam tubuhnya terdapat satu batu Giok yang
disebut Kupu Kupu Mata Dewa dan merupakan salah satu Pusaka Utama Kerajaan
Tiongkok bagi syahnya kekuasaan Raja yang bertahta. Namun Teng Sien terpaksa
mengalah atas kemauan Ki Bonang karena sejak semula mulai dari Jawa tokoh silat
ini memang telah dipercayakannya sebagai pemimpin rombongan pengejar dan
mencari Chia Swie Kim.
Ki Bonang
dan Teng Sien tentu saja terkejut melihat Tuanku Laras Muko Balang berada di
tempat itu. Apa lagi mereka sempat mendengar Tuanku Laras membentak Pakih
Jauhari memaksa memberi tahu dimana disembunyikan satu peti batangan emas.
Berarti rahasia keberadaan satu peti batangan emas itu telah bocor.
Teng Sien
yang sudah sejak lama curiga dan muak melihat Tuanku Laras segera hendak
mencabut golok Siap untuk menyerang manuSia berbulu hitam putih ini. Tapi
dicegah oleh Ki Bonang. Tokoh silat dari tanah Jawa ini meminta Tuanku Laras
melupakan dulu perihal emas satu peti agar jangan sampai terjadi sengketa
diantara mereka. Hal ini dikarenakan, sewaktu menuju ke Bukit Batu Patah, di
tengah perjalanan Ki Bonang dan kawan-kawan melihat sebuah kereta dikawal oleh
belasan perajurit istana Baso di Pagaruyung tengah bergerak cepat di kawasan
itu mengarah ke Bukit Batu Patah. Ini menjadi satu pertanyaan. Kalau tidak ada
satu perkara besar mana mungkin ada orang Kerajaan datang ke tempat itu, malam
hari pula. Dan orang di atas kereta, walau tidak jelas Siapa adanya pastilah
seorang tokoh penting. Mungkin pula pihak Kerajaan sudah mengetahui keberadaan
emas yang satu peti itu ?!
Dalam
kawatirnya Teng Sien sempat berbiSik pada Ki Bonang. “Jahanam berhati culas itu
datang sendiri. Dimana Chia Swie Kim ditinggal disembunyikan? Kita harus cepat
mencari tahu!”
Tuanku
Laras tidak perduli keterangan Ki Bonang. Orang bermuka belang putih hitam ini
ingin menyelesaikan perkara malam itu juga yaitu dengan cara kekerasan. Dia
meminta Pandeka Bumi Langit segera bergabung namun sang Pandeka menolak karena
sebelumnya dia sudah tahu Tuanku Laras berniat licik dan keji terhadapnya.
(Baca serial terdahulu “Bulan Sabit Di Bukit Patah”) Amarah Tuanku Laras Muko
Balang bukan alang kepalang.
“Keparat!
Musuh dalam selimut kau rupanya! Tamat riwayatmu malam ini juga!” Teriak Tuanku
Laras Muko Balang. Lalu segera menyerbu Pandeka Bumi Langit dengan pedang Al
Kausar. Teng Sien berusaha menolong dengan melemparkan golok besar ke arah
Tuanku Laras. Namun dengan mempergunakan sarung pedang, golok ditangkis mental
sementara pedang Al Kausar terus membabat ke arah bahu Pandeka Bumi Langit.
Teng Sien memaki panjang pendek. Selain marah dia juga sangat mengawatirkan
diri Chia Swie Kim.
Hanya
sekejapan mata lagi senjata sakti itu akan membabat putus tangan kiri Pandeka
Bumi Langit tiba-tiba satu gulungan kain putih panjang melesat di udara
demikian rupa lalu membuntal membungkus pedang Al Kausar.
Walau
pedang sakti itu kemudian masih sempat menghajar tangan Pandeka Bumi Langit
namun akibat tertahan gulungan kain putih tangan itu hanya berderak patah,
tidak jadi tertabas buntung.
Belum
habis kejut semua orang terutama sekali Tuanku Laras Muko Balang tentunya, dua
orang berkelebat dari kegelapan dan berdiri di tempat itu. Keduanya adalah Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai, ditemani pemuda berpeci hitam, berambut panjang
seperti padusi yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Nenek inilah tadi
yang melemparkan kain putih panjang. Seperti diceritakan sebelumnya kain itu
pernah dipergunakan untuk membungkus pedang Al Kausar. Dengan ilmu kesaktiannya
dan mengandalkan kain putih itu Si nenek berhaSil menjajagi pedang Al Kausar
yang berarti sekaligus menunjukkan dimana beradanya Tuanku Laras Muko Balang.
Secara kebetulan hal terjadi di malam bulan sabit hari ke tiga. (padusi=perempuan)
Amarah
Tuanku Laras semakin menggelegak. Destar hitam di atas kepalanya bergerak naik
oleh tekanan hawa panas yang memancar keluar dari batok setengah kepala. Dia
membentak tokoh silat tua dari tanah Jawa di hadapannya.
“Ki
Bonang! Tadi kau mengatakan ada rombongan orang-orang Kerajaan menuju ke sini!
Ternyata yang datang adalah kapuyuak muda dan cigak gaek ini! (kapuyuak –
kecoak, cigak gaek = monyet tua)
Meski
tahu kalau yang disebut sebagai kecoak dan monyet tua itu adalah diri mereka
namun Pendekar 212 Wiro Sableng dan Si Kamba Mancuang tenang-tenang saja bahkan
tampak cengar-cengir. Si nenek malah berbiSik pada Wiro.
“Si Muko
Balang itu sudah kita temukan. Tiga setan alas temannya juga ada di sini,
Bagaimana kalau kita… ”
“Nek,
Jangan bertindak tergesa-gesa. Aku menduga sesuatu akan terjadi di bukit ini. ”
“Ah, kau
ini selalu saja menghalangi… ”
“Bukan
menghalangi, Nek. Percaya padaku… ” Jawab Wiro sambil mengusap lalu memegang
lengan Si nenek. Hal ini sempat dilihat oleh Tuanku Laras. ManuSia muka belang
ini langsung tertawa bergelak sambil menunjuk ke arah Wiro dan Si Kamba
Mancuang.
“Pantas…
pantas! Sudah bergendak kalian berdua rupanya. Kalau mau berbuat mesum pergi ke
tanah Jawa sana! Jangan mengotori tanah Minang ini!”
Si Kamba
mancuang hendak mendamprat marah. Namun mendadak di kejauhan terdengar deru
suara detak roda kereta dan hentakkan kaki-kaki kuda. Lalu ada suara orang
berteriak menyahuti ucapan Tuanku Laras tadi.
“Siamang
bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang hendak diadili belum kelihatan
di tempat ini. Perlu apa terburu-buru! Urusan kita yang harus diselesaikan
lebih dulu!” (Siamang = Monyet besar/orang hutan, biasanya berbulu hitam polos)
Seruan itu disusul menggembor marah.
Disebut
Siamang tentu saja Tuanku Laras jadi berkobar amarahnya. Rahang menggembung.
Bulu yang menutupi muka berjingkrak kaku. Tangan kanan yang memegang pedang
disentakkan dua kali. Kain putih pembungkus senjata itu bergulung membuka,
Jatuh tercampak di tanah.
“Pedang
sakti! Coba berikan sambutan selamat datang pada orang bermulut besar itu!”
“Wuuttt!”
Tuanku
Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke udara. Senjata sakti itu
berputar-putar mengeluarkan suara deru dahsyat disertai kilauan cahaya lalu
melesat ke arah datangnya suara orang yang tadi memaki dan saat itu masih
keluarkan suara tertawa.
Mendadak
sontak suara tawa lenyap, terputus oleh seruan kaget dan suara seperti orang
tercekik. Hanya beberapa saat kemudian, pedang Al Kausar kelihatan kembali,
melayang di udara menuju ke arah Tuanku Laras yang tegak berkacak pinggang.
Namun keadaan pedang kini tidak panjang lurus melainkan bergelung membentuk
lingkaran. Dan di tengah lingkaran mata pedang ada batang leher seorang kakek
bersorban dan berjubah putih! Karena pedang Al Kausar bergerak melayang di
udara, orang tua ini mau tak mau berjingkat-jingkat setengah berlari mengikuti
kemana gerakan pedang. Kalau dia tidak berbuat begitu maka dari tadi-tadi
lehernya pasti sudah putus ditabas senjata sakti itu! Si orang tua pergunakan
dua tangan untuk mencekal pedang. Namun walaupun dia bisa memegang senjata itu,
dia tidak mampu membuka gelungannya, sementara kulit leher sebelah belakang
telah mulai luka dan mengucurkan darah!
Orang tua
ini akhirnya Jatuh tersungkur di hadapan Tuanku Laras Muko Balang. Sorban jatuh
ke tanah, menggelinding di bawah rangkiang (lumbung padi) di halaman depan
Rumah Gadang Sambilan Ruang.
Melihat
kehebatan senjata sakti milik Tuanku Laras itu semua orang yang ada di tempat
tersebut jadi tercekat. Ki Bonang sampai melotot tak berkeSip.
Hati
kecilnya membatin. “Mungkin apa yang di katakan TengSien benar. ManuSia satu
ini harus cepat-cepat diSingkirkan. Senjatanya sangat sakti, sangat berbahaya.
”
Dari
tempatnya berdiri Wiro bertanya pada Si Kamba Mancuang. “Nek, kau tahu Siapa
orang tua berjubah putih itu?”
********************
2
BELUM
sempat Si nenek menjawab, seperti yang dituturkan pada permulaan cerita
tiba-tiba dua buah obor melayang di udara, menancap di halaman, tepat di
anjungan Rumah Gading Nan Sambilan Ruang. Begitu dua nyala api obor menerangi
seantero tempat, di tanah terlihat enam buah batu bulat datar, menebar
membentuk lingkaran. Untuk seketika Tuanku Laras melirik pada dua obor dan enam
batu. Lalu dengan cepat dia melangkah ke hadapan orang berjubah putih yang
tersungkur di tanah. Tangan kanan dikembang. Telapak menghadap ke atas. Sambil
tangan digerakkan mulut berucap.
“Naik…
naik. Berdiri… Aku ingin melihat wajahmu lebih jelas,”
Pedang Al
Kausar bergerak naik ke atas. Orang tua jubah putih meringis kesakitan,
terpaksa berdiri mengikuti gerakan pedang yang masih melingkar menggelung
lehernya. Begitu orang tua ini berdiri lurus di hadapannya. Tuanku Laras
menyeringai. Kepala digeleng-geleng Mulut dipencong mengejek, lalu berucap
dengan suara sengaja dikeraskan.
“Aaahh…
Sutan Manjinjing Langit! Kau rupanya !”
Orang tua
berjubah putih yang dipanggil Sutan Manjinjing Langit megap-megap, pegang
gelungan pedang di leher. Mulut terbuka tapi suara tidak keluar.
“Astaga!
Tololnya diriku ini ! Tentu saja kau tidak bisa bicara !”
Tuanku
Laras rapatkan jari tengah dan ibu jari tangan kanannya lalu dijentikkan hingga
mengeluarkan suara klik ! Luar biasa ! Saat itu juga pedang yang melingkar di
leher Si orang tua pancarkan cahaya berpijar lalu gelungannya terbuka. Pedang
melayang di udara, lalu masuk dengan sendirinya ke dalam sarung yang tergenggam
di tangan kiri Tuanku Laras.
Begitu
lehernya lepas dari gelungan pedang Si orang tua langsung berteriak.
“ManuSia
jahanam ! Kau salah seorang pembunuh adikku Sutan Panduko Alam !”
Sambil
berteriak orang tua itu menerjang. Tubuh merunduk, mulut menggeram seperti
harimau bergumam.
“Bett!
Bettt!”
Tangan
kiri menyambar ke dada, tangan kanan melesat ke bagian bawah perut! Inilah
jurus serangan yang benar-benar mematikan bernama Di Ateh Hancuah Di Bawah
Ramuak. (Di Atas Hancur Di Bawah Remuk)
Seperti
dituturkan dalam permulaan serial (“Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”) ketika
dikejar oleh Ki Bonang, Teng Sien, Tuanku Laras dan beberapa orang lainnya,
Chia Swie Kim dalam keadaan berbentuk kupu-kupu besar menyelamatkan diri masuk
ke dalam rumah kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang peSiSir barat
pulau Andalas. Walau orang tua itu berhaSil menyelamatkan sang kupu-kupu namun
dirinya sendiri tewas dibantai Ki Bonang dan anggota rombongannya.
Dapatkan
dirinya diserang secara tak terduga Tuanku Laras tersentak kaget. Kalau tidak
cepat dia melompat mundur, salah satu serangan pasti akan menjebol jantung atau
kemaluannya.
“Sutan
kalera! Seharusnya tadi sudah kutebas batang lehermu. Tapi masih belum
terlambat !” (kalera = makian kotor)
“Srett !”
Tuanku Laras cabut pedang Al Kausar. Namun baru setengah senjata itu keluar
dari sarung tiba-tiba ada seSiur angin menyambar, membuat tangan Si muka belang
ini menjadi ngilu kesemutan hingga tidak mampu meneruskan mencabut pedang.
Bersamaan dengan itu muncul sebuah kereta ditarik seekor kuda hitam, dikusiri
seorang lelaki muda berdestar yang tegak berdiri gagah dan berpakaian hitam
lalu berhenti di halaman kiri Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang. Di kiri kanan
bagian depan kereta terdapat bendera hijau dan merah, bergambar kaligafi
tulisan Arab. Dua belas penunggang kuda berpakaian perajurit Kerajaan
Pagaruyung bertubuh rata-rata besar berotot, menebar mengelilingi kereta.
Sambaran
angin yang membuat gerakan tangan kanan Tuanku Laras tertahan tidak bisa
meneruskan mencabut pedang datang dari arah kereta.
“Kurang
ajar!” rutuk Tuanku Laras. Mata menatap geram berkilat ke arah kereta.
“KuSirnya
kurasa tidak. Pasti pelakunya kakek jahanam yang duduk di belakang kusir!
Agaknya dia juga yang tadi melempar obor dan enam batu bulat!”
Tanpa
memperhatikan lebih seksama Siapa adanya kakek di atas kereta. Tuanku Laras
kerahkan tenaga dalam penuh ke tangan kanan hingga sekujur lengan sampai ke
ujung jari bergetar keras dan memancarkan cahaya kelabu. Tangan disentakkan
sambil membentak garang. Cahaya kelabu menyambar ke arah kereta.
Ki Bonang
sebelumnya tidak menyangka kalau Tuanku Laras memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Selama ini dia hanya mengagumi kehebatan pedang Al Kausar yang dimilikinya.
Orang tua dari Jawa ini berbiSik pada Pandeka Bumi Langit yang berdiri di
sebelah kirinya.
“Sahabat
Pandeka Bumi Langit, kau tak pernah memberi tahu. Ternyata Tuanku Laras
memiliki kesaktian tinggi…”
“Selama
ini dia sengaja menyembunyikan ilmu kepandaiannya. Menurut saya selain pedang
dan ilmu kesaktian, yang paling berbahaya dari orang ini adalah Sifat culasnya.
Sejak saya mendengar ucapannya di goa di Bukit Siangok, cepat atau lambat satu
ketika dia pasti akan menghabiSi kita semua karena temahak ingin mendapatkan
satu peti emas lalu ingin pula mendapatkan gadis Cina itu.” Selesai bicara
Pandeka Bumi Langit meringis kesakitan memegangi tangan kirinya yang remuk
dihajar pedang Al Kausar.
“Ki
Bonang, aku ikut kau dan teman-teman cukup sampai di sini saja. Aku tidak mau
mencari celaka lebih parah…”
“Pandeka,
jangan pergi. Kita harus menyelesaikan dulu urusan dengan Tuanku Laras. Aku
butuh bantuanmu… ”
Pandeka
Bumi Langit gelengkan kepala. Dia memutar tubuh tetap hendak meninggalkan
tempat itu. Teng Sien yang walau tidak mengerti apa yang dibicarakan namun
melihat gelagat sudah tahu kalau Pandeka Bumi Langit hendak pergi. Dia cepat
berkata pada Ki Bonang agar mencegah. Tapi Pandeka Bumi Langit tetap saja pergi
malah mempercepat langkah.
Teng Sien
yang sejak lama sudah jengkel terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak mau
membantu, hanya ingin menyerakahi hadiah emas tidak tunggu lebih lama dari
balik pakaiannya segera mencabut sebilah pisau besar. Secepat kilat senjata ini
dilemparkan ke arah Pandeka Bumi Langit yang berjalan membelakangi. Pisau ini bernama
Naga Kecil Dari Syantung, bukan senjata sembarangan. Kecepatannya melayang
laksana kilat. Selain itu pada saat melayang di udara tidak mengeluarkan suara
sedikitpun.
MenyakSikan
kejadian ini Pendekar 212 segera angkat tangan kanan untuk melepas pukulan
Kunyuk Melempar Buah yang bisa membuat mental pisau. Bagaimanapun dia tidak
suka melihat orang diserang secara curang dari belakang. Namun justru saat itu
di telinga kanannya mengiang suara.
“Apa yang
bukan menjadi urusanmu tidak perlu ikut campur! Apa yang sudah menjadi suratan
jangan ditantang!”
“Sial,
Siapa yang barusan mengirim ucapan padaku… ” Wiro menggerendeng dalam hati.
Mata melirik ke arah orang tua di atas kereta. “Ah, pasti dia!” Akhirnya Wiro
turunkan tangan kanannya.
Di lain
kejap terdengar pekik Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Karena tidak ada suara
tidak merasa ada sambaran angin, pisau panjang yang dilempar Perwira Muda Teng
Sien menancap telak dan dalam di punggung kirinya, menembus bagian bawah
jantung. Tubuh tersungkur menelungkup di tanah. Orang menyangka dia sudah
menemui ajal. Pandeka Bumi Langit kerahkan tenaga dalam dan seluruh
kesaktiannya untuk bertahan hidup.
Untuk
beberapa saat tempat itu diselimuti kesunyian. Dalam keadaan seperti itu Teng
Sien melompat ke arah sosok Pandeka Bumi Langit yang disangkanya sudah mati.
Dengan cepat dia menggeledah. Begitu menemukan tiga batang emas di balik
pakaian orang Teng Sien cepat mengambil dan memasukkannya ke dalam sebuah rompi
yang melintang di dadanya. Semua mata orang yang ada di tempat itu terbeliak.
Bukan saja terkeSiap menyakSikan apa yang terjadi dengan Pandeka Bumi Langit,
tapi juga sewaktu melihat tiga batang emas yang berkilauan terkena cahaya nyala
api dua buah obor! Yang tidak tahu ceritanya menduga-duga bagaimana Pandeka
Bumi Langit bisa memiliki tiga batang emas lalu mengapa enak saja orang Cina
itu mengambilnya! Apakah ini satu perempasan ?!
Walau
tidak tahu sebab musababnya, dua belas perajurit berkuda yang mengelilingi
kereta bagaimanapun juga merasa tidak senang menyakSikan ada orang asing
membunuh Pandeka Bumi Langit. Untuk menghindarkan tuduhan yang bisa menimbulkan
keributan Ki Bonang cepat berseru. Tiga batangan emas adalah milik perwira Cina
ini! Dia bukan mencuri bukan merampas. ”
“Tapi dia
membunuh orang di negeri ini!” Yang menyahuti adalah Penghulu Sangkalo Si kusir
kereta. “Orang tua, kau sendiri orang pendatang. Apa kepantinganmu di negeri
kami…”
Suasana
karuan saja menjadi agak panas dan tegang. Teng Sien berbiSik pada Ki Bonang
agar segera saja meninggalkan tempat itu.
Sementara
itu di atas kereta, melihat datangnya cahaya kelabu menyerang, kusir kereta
terpaksa putus ucapan kerasnya tadi. Dia berteriak marah lalu melesat ke atas,
jungkir balik satu kali di udara. Begitu menjejakkan dua kaki di tanah orang
ini siap hendak menyerang Tuanku Laras. Tangan bergerak ke pinggang mencabut
dua bilah badik. Senjata ini berlapis racun jahat yang bisa membunuh seekor
kerbau besar hanya dalam beberapa kejapan mata, apa lagi manusia!
Dua belas
parajurit yang mengelilingi kereta juga tidak tinggal diam. Mereka mengambil
ancang-ancang. Enam bergerak melindungi kereta, enam lagi siap menyerang.
“Penghulu
Sangkalo! Para perajurit Pagaruyung!” Orang tua di atas kereta segera menegur
kusir kereta yang rupanya bukan orang sembarangan. Sebutan Penghulu menyatakan
bahwa dia adalah seorang terkemuka atau pimpinan satu kelompok besar atau kaum
yang disegani di tanah Minang. “Kita diutus Raja bukan untuk berbuat keonaran
tapi mencari kebenaran. Jangan menyerang!”
Meskipun
kemarahannya belum mengendur terhadap Tuanku Laras, namun mendengar ucapan si
kakek di atas kereta, kusir yang bernama Sangkalo dengan patuh ikuti ucapan
orang. Maka dia undur satu langkah sambil menyimpan dua bilah badik, diam tak
bergerak, dua kaki dikembang, dua tangan disilang di atas dada pertanda setiap
saat jika ada bahaya dia telah memiliki kuda-kuda bertahan sekaligus balas
menyerang. Enam perajurit yang tadi siap menyerang kini mengambil sikap
mengalah, tetap duduk di atas kuda masing-masing.
Sementara
itu orang tua yang duduk di atas kereta walau hanya sekejapan, terpaan cahaya
kelabu serangan Tuanku Laras membuatnya terangguk-angguk seperti orang
mengantuk. Mulut merangkum senyum, kepala ditundukkan ke arah cahaya kelabu
yang datang menyambar. Padahal yang dihadapinya adalah serangan maut mematikan!
Malah tiba-tiba orang tua ini buka mulutnya lebar-lebar. Lalu lalu wuutt!
Cahaya
kelabu serangan Tuanku Laras lenyap masuk ke dalam mulut. Sepasang mata si
orang tua tampak merem melek dalam rongganya yang cekung.
Mulut
berkomat-kamit, kepala ditengadah. Dari tenggorokan kemudian jelas sekali
terdengar suara gluk… gluk… gluk! Sikapnya tidak beda seperti orang kehausan
tengah meneguk lahap minuman sejuk lezat!
********************
3
SELAGI
semua orang yang ada di tempat itu melengak kaget, mulut ternganga mata
mendelik, si orang tua di atas kereta tertawa mengekeh. Pendekar 212 angkat
kopiah hitamnya dan menggaruk kepala berulang kali. Mulut seringaikan senyum.
Si Kamba Mancuang pegang lengan Wiro lalu berbisik.
“Kau
tidak terkejut melihat kehebatan orang tua itu. Malah menggaruk kepala seperti
orang belum mandi tujuh hari. Heh, aku rasa kau pasti kenal padanya. Katakan
padaku…”
Si nenek
tidak sempat meneruskan ucapan karena orang tua di atas kereta tiba-tiba
membuka mulut lebar-lebar. Saat itu juga cahaya kelabu yang tadi seolah
ditelannya kini melesat keluar, menyambar ke arah Tuanku Laras yang masih
tertegun terkesiap melihat apa yang barusan dilakukan si kakek.
“CahayoGanto
Bisu ditelan lalu disemburkan kembali! sabana gilo!” (Sabana gilo = Benar-benar
gila) Tuanku Laras menggeram dalam hati. Serangannya tadi bernama Cahaya Genta
Bisu karena sewaktu menyambar sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun
dan ini sangat berbahaya bagi lawan yang berlaku lengah atau tidak sempat
melihat datangnya serangan.
Melihat
ilmu kesaktiannya dibuat main dan kini malah dipakai orang untuk menyerang
dirinya sendiri, kejut Tuanku Laras seperti melihat setan kepala tujuh! Sambil
menyumpah dia cepat melompat mundur, sekaligus cabut pedang Al Kausar. Pedang
dibabatkan ke depan. Cahaya putih menebar di udara.
“Trang!”
Luar
biasa! Beradunya cahaya kelabu dan sinar pedang mengeluarkan suara seolah dua
senjata terbuat dari logam keras saling beradu di udara!
Kalau
orang tua di atas kereta unjukkan sikap tenang dan usap-usap janggut putihnya
sebaliknya Tuanku Laras berseru tegang. Bentrokan dua cahaya menimbulkan angin
deras membuat dua lututnya menjadi goyah dan tubuh terjajar ke belakang sampai
dua langkah sementara dada mendenyut sakit. Kalau saja mukanya tidak terlindung
bulu hitam putih, akan terlihat jelas betapa kulit wajah itu telah menjadi
pucat pasi! Mau tak mau nyali Tuanku Laras jadi menciut leleh. Jika
diperturutkan amarahnya dia siap untuk menyerang kembali karena merasa masih
memiliki beberapa ilmu simpanan. Tetapi manusia cerdik ini pandai membaca
keadaan.
Orang tua
di atas kereta keluarkan suara tertawa pendek lalu melesat ke udara. Sesaat
kemudian dia sudah menjejakkan kaki di salah satu dari enam batu bulat datar
yang bertebar di halaman membentuk lingkaran. Nyala dua api obor yang menerangi
dirinya membuat Tuanku Laras dan semua orang yang ada di situ kini dapat
melihat wajahnya lebih jelas dan mereka semua sama-sama merasa merinding.
Ki Bonang
dan Teng Sien sama sekali tidak mengenal siapa adanya orang ini. Begitu juga Si
Kamba Mancuang. Sutan Menjinjing Langit tegak tertegun-tegun, berusaha
mengingat-ingat Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri memandang dengan mulut
ternganga walau sejak tadi dia sudah bisa menduga siapa adanya orang tua itu.
Ketika Wiro hendak mengeluarkan suara orang tua yang tegak di atas batu bulat
datar kedipkan dua mata yang cekung lalu jari telunjuk tangan kiri dipalang di
atas bibir. Memberi tanda agar murid Sinto Gandeng tidak mengeluarkan suara,
tidak membuka mulut.
Melihat
sikap Wiro serta apa yang barusan dilakukan orang di atas batu, Si Kamba
Mancung mengorek pinggang Pendekar 212.
“Aku tak
pelak lagi. Kau memang kenal kakek itu, dia kenal dirimu! siapa dia… ?”
“Sabar
Nek, tenang saja. Nanti juga ketahuan siapa dia. Atau heh, kau tertarik padanya
?!”
Dijawab
seperti itu si nenek unjukkan wajah cemberut lalu cubit pinggang sang pendekar
hingga Wiro menggeliat antara kesakitan dan kegelian. Akan halnya Tuanku Laras,
orang bermuka belang Ini berusaha menduga-duga siapa adanya kakek yang tegak di
atas batu bulat datar. Mengapa kakek ini tadi mengedipkan mata dan memalangkan
jari tangan di atas bibir dan ditujukan ke arah pemuda berkopiah hitam dan
berambut panjang itu. Apa hubungan antara keduanya. Tuanku Laras tidak mau
memikir berlama-lama. Dia harus bertindak cepat.
“Sebaiknya
aku tidak membuat urusan di tempat ini. Emas celaka itu bisa aku cari kemudian.
Orang tua yang tidak aku kenal ini agaknya memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Mengapa aku tidak pernah melihat atau mendengar dirinya sebelumnya Apakah dia
orangnya Raja di Pagaruyung…?”
Tuanku
Laras bukan Tuanku Laras Muko Balang namanya kalau dia tidak berlaku cerdik dan
licik. Untuk mengalihkan perhatian orang tiba-tiba dia berpaling pada Sutan
Manjinjing Langit yang karena kemunculan kakek berkereta terpaksa menunda
serangannya.
“Sutan
Manjinjing Langit! Kalau kau ingin tahu siapa yang membunuh adikmu Sutan
Panduko Alam, orangnya adalah tua bangka berjubah hijau yang mata dan sebagian
kepalanya diikat kain! Namanya Ki Bonang! Dia berasal dari tanah Jawa. Datang
ke sini bersama komplotannya memang sengaja hendak mengacau!” Sambil berteriak
Tuanku Laras menunjuk tepat-tepat ke arah Ki Bonang Talang Ijo. Lalu dia
meneruskan teriakannya. “Kalau kau tidak percaya lihat saja! Tasbih batu pualam
hitam milik adikmu dikalung dilehemya!”
Seperti
yang kejadian sewaktu Ki Bonang dan kawan-kawan menyerbu ke tempat kediaman
Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang, sebelum pergi dia mengambil tasbih hitam
milik korban yang tercampak di tanah. (Baca “Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”).
Tasbih
itu kini memang dikalungkan di leher, menjulai di dada di atas Jubah hijau.
Mau tak
mau semua kepala dipalingkan dan semua mata memandang tepat-tepat ke arah Ki
Bonang Talang Ijo. Mereka memang melihat ada tasbih hitam melingkar di leher.
Tuanku
Laras dengan cerdiknya kemudian menambah ucapannya. “Nenek berjubah putih Si
Kamba Mancuang, orang Cina berpakaian perang bernama Teng Sien, mereka berdua
termasuk Pandeka Bumi Langit yang sudah mati ikut terlibat membantai adikmu!
Balaskan dendammu pada mereka semua! Baru nanti kita bicara lagi!”
Habis
berteriak lantang begitu rupa Tuanku Laras memutar tubuh. Pedang Al Kausar
dicabut dan ditudingkan ke depan. Dengan kesaktiannya pedang ini bukan saja
mampu mengangkat tubuh Tuanku Laras, namun juga membawanya melayang di udara
hingga kejapan itu juga sosoknya tak kelihatan lagi, lenyap ditelan kegelapan
malam.
********************
4
UCAPAN
Tuanku Laras membuat geger semua orang yang ada di situ. Dalam marah tetapi
juga bingung Sutan Manjinjing Langit menatap ke arah tiga orang yang ada di
hadapannya. Apakah ucapan Tuanku Laras tadi bisa dipercaya yang berarti dia
saat itu juga harus membuat perhitungan dengan Ki Bonang, Teng Sien dan Si
Kamba Mancuang.
Atau dia
akan mengejar Tuanku Laras terlebih dulu.
Sementara
itu Ki Bonang dan Teng Sien berunding saling berbisik Mereka memutuskan untuk
tidak akan melayani Sutan Menjinjing Langit, apapun yang akan dilakukan kakak
Sutan Panduko Alam itu. Mereka merasa lebih penting mengejar Tuanku Laras
karena si muka belang ini pasti akan pergi ke tempat dimana dia meninggalkan
dan menyembunyikan Chia Swie Kim alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok alias Kupu
Kupu Mata Dewa. Soal emas yang satu peti keduanya yakin tidak ada yang mengusik
dan masih tetap berada di tempat yang mereka sembunyikan. Sebelum pergi Ki
Bonang tanggalkan dari leher tasbih milik Sutan Panduko Alam lalu dilemparkan
ke arah Sutan Manjinjing Langit. Setelah Ki Bonang dan Teng Sien berkelebat ke
arah lenyapnya Tuanku Laras, Sutan Manjinjing Langit jadi tambah bingung. Dia
menatap ke arah Si Kamba Mancuang, satu-satunya orang yang masih tinggal dan
terlibat dalam pembunuhan adiknya di Bukit Malintang.
Melihat
Sikap dan cara menatap Sutan Manjinjing Langit, Wiro cepat membuka mulut.
“Nenek
sahabat saya ini mengaku salah dan bertobat atas apa yang telah dilakukannya.
Dia juga telah menerima balasan setimpal yaitu kematian yang dialami saudara
kembarnya Si Kamba Pesek. Nenek itu mati dibunuh Ki Bonang dan kawan-kawannya.
Saya sendiri yang menyakSikan. Harap persoalan antara Sutan dan nenek ini
dihabisi sampai di sini saja…” Wiro berpaling pada Si Kamba Mancuang. “Nek,
ambil kain putih bekas penggulung pedang itu. Kita harus cepat-cepat mengejar
Ki Bonang. Dia tidak muncul dengan gadis Cina itu, pertanda Si gadis
disembunyikan di satu tempat Kita bisa pergunakan kain putih panjang itu untuk
menguntitnya…”
“Pendekar
Dua Satu Dua! Kau tetap di sini karena akan menjadi sakSi. Nenek rambut putih
bergigi perak kau juga jangan beranjak dari tempatmu. Kau juga akan kujadikan
sakSi. Sutan Manjinjing Langit, kalau kau tidak akan membalaskan sakit hati
dendam kesumat kematian adikmu terhadap nenek rambut putih bergigi perak itu,
aku persilahkan cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kau tidak punya
kepentingan di sini… “
Sutan
Menjinjing Langit tertegun sejenak. Akhirnya dia memutar tubuh. Namun sebelum
pergi dia bertanya.
“Orang
gagah berjanggut putih, mohon kiranya diberi tahu. Siapa dusanak ini
sebenarnya. Dusanak datang diantar dan dikawal orang-orang Kerajaan. Tapi seingat
saya, saya belum pernah melihat dusanak di Pagaruyung.” (Dusanak=Saudara)
Orang tua
yang tegak di atas batu bulat datar tersenyum. Dia hanya mengusap-usap janggut
putih panjangnya. Maklum orang tidak akan memberi tahu Siapa dirinya Sutan
Menjinjing Langit segera saja tinggalkan tempat itu.
Bagaimana
dengan Pakih Jauhari, pemuda kekaSih Gadih Puti Seruni, orang yang pertama
sekali datang ke Bukit Batu Patah malam itu? Setelah selamat dari tebasan
pedang Tuanku Laras dia terpaksa meninggalkan jenazah pamannya dengan cepat
menyelinap ke kolong rumah gadang, bersembunyi di bagian yang gelap dan
menyakSikan apa yang terjadi. Selain itu dia mengawartirkan Gadih Putih Seruni
yang sampai saat itu belum juga muncul.
***********************
YANG tadi
keluarkan ucapan dan meminta Sutan Menjinjing Langit meninggalkan tempat itu
adalah orang tua yang tegak di atas batu bulat datar. Orang tua ini berambut
putih panjang, berkumis dan berjanggut yang juga berwarna putih. Pakaiannya
sehelai kain putih diselempang di sekujur tubuh mulai dari bahu sampai ke mata
kaki. Yang membuat orang merasa angker setiap melihatnya adalah wajahnya yang
hanya tinggal kulit pelapis tulang tidak beda seperti tengkorak. Sepasang mata
besar tapi cekung menggidikkan.
Wiro dan
Si Kamba Mancuang hanya bisa saling pandang. Tiba-tiba sang pendekar ingat.
Astaga!
Saat itu
Juga dengan cepat Wiro melangkah ke hadapan Si orang tua, membungkuk
dalam-dalam, mengambil tangan kanannya lalu mencium seraya berkata. “Kek
maafkan kalau sejak tadi saya tidak buru-buru menemui dan menyalamimu. Terima
salam hormatku Kek…”Wiro lalu mencium tangan Si orang tua sekali lagi,
disakSikan Si Kamba Mancuang dengan terheran-heran.
“Hemmm…”Si
orang tua bergumam. Lalu menegur. “Anak setan, sudah berapa lama kau berada di
negeri ini… ”
“Cukup
lama Kek. Maaf kalau saya belum menyambangimu di Gunung Kerinci…”
“Apa
urusan dan keperluanmu di tanah Minang ini? Membuat keonaran? Mau membunuhi
orang jahat seenaknya saja seperti yang kau lakukan di tanah Jawa…?”
“Tidak
Kek, anu… Saya diminta seseorang datang ke sini… ”
Si orang
tua sudah bisa menduga orang yang dimaksudkan Wiro. Dia melirik pada Si nenek.
Sambil senyum-senyum berkata. “Pemuda gatal, kau sudahkehabisan anak gadis
cantik di negeri ini hingga menjadikan nenek itu sebagai kekaSihmu?!”
Wiro
melengak. Tidak menyangka sang guru akan berkata begitu.
“Tua
bengka bermulut kotor. Enek saja kau bicara…!” Si Kamba Mancuang menyemprot
marah.
Orang tua
berselempang kain putih malah tertawa sambil kedipken mata cekungnya ke arah Si
nenek. Lalu dia dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan bertanya berbiSik. “Anak
setan, sudah berapa kali kau mencium nenek itu. Ha… ha… ha!”
Tampang
murid Sinto Gendeng jadi bersemu merah. Kopiah hitam diangkat, kepala digaruk.
Si kakek tertawa geli. “Ayo jawab. Mengaku saja…” Wiro terpaksa menjawab polos.
“Baru dua
kali Kek. Tadi dia menanyakan dirimu. Saya kira dia suka padamu. Jika kau suka
padanya akan saya beri tahu sekarang juga…”
“Aku
tidak akan memotongmu!” Jawab Si kakek sambil tertawa lebar. “Kulihat giginya
berlapis perak. Pasti enak waktu kau berciuman dengannya!” Si kakek tertawa
mengekeh.
Wiro
ikutan tertawa. Penghulu Sangkalo dan dua belas perajurit, begitu juga Si Kamba
Mancuang hanya terheran-heran melihat kelakuan kedua orang itu.
“Anak
setan… Orang tua itu tadi memanggil Wiro dengan sebutan anak setan Aneh!
Siapa
sebenarnya pemuda ini? Setan yang menyaru? Siapa pula kakek aneh bermuka
tengkorak yang ilmu kesaktiannya sungguh luar biasa ini?” Si Kamba Mancuang
bertanyatanya dalam hati.
Si kakek
yang datang berkereta dikusiri Penghulu Sangkalo dan dikawal dua belas
perajurit Kerajaan Pagaruyung bukan lain adalah Tua Gila yang dalam rimba
persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa juga dikenal dengan Julukan Pendekar
Gila Patah Hati atau Iblis Gila Pencabut Nyawa. Seperti yang diriwayatkan, Wiro
pernah berguru pada Tua Gila yang bernama asli Sukat Tandika sedang dimasa
mudanya Tua Gila pernah menjalin tali kaSih, bercinta dengan Sinto Weni alias
Sinto Gendeng yang merupakan guru Pendekar 212 yang pertama. Dimasa tuanya,
setelah peristiwa berdarah di Gajah mungkur, Tua Gila mengasingkan diri di
puncak Gunung Kerinci bersama Sabai Nan Rancak yang kemudian diperstrikannya.
Tua Gila
pegang bahu Pendekar 212 lalu kembali berbiSik.
“Jika aku
masih muda atau saat ini aku berada di tanah Jawa, mungkin kau tak perlu
bertanya apakah aku suka atau tidak pada nenek bergigi perak itu. Pasti sudah
aku sambar! Ha.. ha.. ha.. Anak setan, apakah kau sudah tahu kalau perujudan
nenek itu bukan bentuknya yang asli?”
Wiro
terkeSiap mendengar pertanyaan sang guru. Rupanya walau sekali bertemu Tua Gila
yang memiliki kesaktian begitu tinggi mengetahui keadaan diri Si Kamba
Mancuang.
“Saya
tahu Kek, tapi belum bisa jelas. Apakah Kakek bisa… ”
“Aku
tidak tahu mengapa kejadian dirinya sampai seperti itu. Tapi ada satu hal yang
bisa aku kira-kira. Dengar baik-baik. Kalau perak yang melapiSi giginya bisa
ditanggalkan maka mungkin dia akan kembali ke ujud semula. Seorang gadis cantik
luar biasa. Weleh. ,… pokoknya putus semua gadis yang pernah kau pacari! Ha…
ha… ha… ”
“Terima
kaSih Kek. Sekarang saya kepingin tahu mengapa malam-malam begini Kakek muncul
di sini. Naik kereta, dikawal pula seperti seorang Raja… ”
“Aku
tidak akan menjawab. Kau lihat saja apa yang bakal terjadi sebentar lagi.
Seperti kataku tadi kau dan nenek bergigi perak itu akan jadi sakSi. Sekarang
menjauhlah dulu…”
Begitu
Wiro melangkah mundur, Si kamba Mancuang cepat meremas dan menarik baju
hitamnya. “Aku tidak tahu Siapa yang gilo. Kakek itu atau kau. Mengapa dia
memanggglimu anak setan. Apa bapak ibumu memang setan atau bagaimana…?”
“Nek,
kakek itu memang orang gila. Namanya saja Tua Gila. Tapi dia adalah guruku nek…
”
Si Kamba
Mancuang terkejut dan tercengang. Matanya memandang bulak balik ke arah Si
kakek lalu kembali ke Wiro. “Kau tidak bergurau ?” Wiro menggeleng.
‘Tua
Gila… aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Aku masih belum mengerti. Katamu
kau orang Jawa. Bagaimana mungkin punya seorang guru yang diam di pulau Andalas
ini ?”
“Panjang
ceritanya Nek. Kalau ada kesempatan akan aku ceritakan padamu. ”
Si nenek
belum puas. “Eh,apa yang tadi kalian bicarakan berbiSik-biSik malah tertawatawa
seenaknya ?!”
“Guruku
memang suka bergurau. Tadi dia hanya melucu saja Nek,” Jawab Wiro.
“Kau pasti
ngibul… Eh, betul seperti katamu. Ngibul kalau di tanah Jawa artinya bohong,
dusta ? Pinduto ?”(Pinduto = orang yang berbohong) Wiro tertawa lalu anggukkan
kepala.
Di langit
bulan sabit malam ke tiga tampak jelas karena saat itu langit dalam keadaan
berSih tidak berawan. Di kolong rumah gadang Pakih Jauhari semakin gelisah. Di
atas batu bulat datar Tua Gila tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan
dada. Kepala ditengadahkan dan sedikit dimiringkan ke kiri seperti Sikap orang
tengah memasang telinga. Sesaat kemudian orang tua berkepandaian sangat tinggi
ini lepaskan nafas lega.
“Dua
orang yang ditunggu sudah datang… ” ucap Tua Gila dalam hati. Saat itu juga di
langit tampak dua orang berpakaian hitam menunggang dua harimau besar yang
laksana terbang melesat di udara. Dua kali binatang sakti tunggangan itu
mengaum keras hingga getaran udara terasa sampai di tanah. Ketika dua ekor
harimau menukik dan melayang turun di halaman Rumah Gadang Sambilan Ruang, Wiro
dan Si Kamba Mancuang segera mengenali. Dua orang gagah berwibawa yang
menunggangi harimau-harimau hitam belang kuning itu adalah Datuk Bandaro Putih,
pimpinan Luhak Limapuluh Kota dan Datuk Kuning Nan Sabatang, penguasa Luhak
Agam.
********************
5
SEBELUM
turun dari tunggangan masing-masing dua Datuk tampak terpana karena tidak
menyangka akan menemui dan berhadapan dengan kakek sakti dari Gunung Kerinci
yang dikenal dengan nama Tua Gila. Seumur hidup dua Datuk baru satu kali
melihat orang tua itu yakni sekitar lima tahun Silam ketika ada pertemuan besar
di Pariangan antara para tokoh silat dan cerdik pandai di pulau Andalas bagian
tengah.
Datuk
Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang memperhatikan Penghulu Sangkalo,
kereta serta dua belas perajurit Kerajaan yang saat itu sudah turun dari kuda
masing-masing. Dua Datuk turun dari atas punggung harimau dan langsung
sama-sama menemui Tua Gila. Dua Datuk membungkuk hormat seraya sama berucap.
“Inyiek
Sukat Tandika, salam hormat dari kami berdua untuk saudara tua yang datang dari
jauh… ”
Rupanya
di tanah Minang Tua Gila yang bernama asli Sukat Tandika dipanggil orang dengan
sebutan Inyiek. Inyiek artinya orang tua yang disegani dan dihormati bukan saja
karena uSia tapi juga karena ketinggian tingkat ilmu yang dimilikinya. Tua Gila
membalas penghormatan dengan membungkuk pula, tersenyum sedikit tapi belum
mengeluarkan suara.
“Inyiek,”
kata Datuk Bandaro Putih yang bertubuh tinggi besar. Walau kumis tebal
melintang namun air mukanya tampak jernih. “Maafkan kalau kami berdua lancang
bertanya. Apakah Inyiek orang yang dipercayakan Sri Baginda Raja di Pagaruyung
untuk menangani masalah besar yang tengah dihadapi kami para Datuk Luhak Nan
Tigo?”
“Seperti
yang Datuk berdua lihat sendiri. Begitulah kepercayaan yang diberikan, begitu
pula yang kejadian.” jawab Tua Gila. “Datuk berdua, aku senang Datuk berdua
sudah datang. Makin cepat urusan ini diselesaikan makin baik. Kini kita tinggal
menunggu kehadiran orang yang paling penting dalam urusan Ini. Yaitu Datuk Marajo
Sati. ”
Datuk
Kuning Nan Sabatang berpaling pada Wiro dan Si Kamba Mancuang. Lalu bertanya.
“Kehadirankedua orang itu, apakah ada sangkut pautnya dengan perkara yang
hendak Inyiek tangani?”
“Keduanya
akan kita jadikan sakSi. Mungkin masih ada tambahan sakSi yang lain.
Namun
saat ini yang ada baru mereka berdua… ” Jawab Tua Gila pula.
“Mohon
maaf Inyiek. Kedua orang itu kami ketahui adalah orang-orang yang memperkeruh
suasana. Nenek bernama Si Kamba Mancuang terlibat dalam pembunuhan Suten
Panduko Alam dan Datuk Panglimo Kayu dari Luhak Tanah Datar. Pemuda yang konon
berasal dari Jawa itu kami curigai sebagai kaki tangan Datuk Marajo Sati.
Selain itu dia juga membuat keonaran di beberapa tempat. Malah ada kabar bahwa
dia membunuh salah seorang dari dua bersaudara Duo Hantu Gunung Sago yaitu Si
Kalam Langit… ” Yang bicara adalah Datuk Kuning Nan Sabatang.
Tua Gila
menatap ke arah Pendekar 212 dan Si Kamba Mancuang. Saat itu Wiro tengah
memencongkan mulut mengejek Datuk Kuning Nan Sabatang. Si Kamba Mancuang malah
mencibir.
“Begitu…?”
Ujar Tua Gila setelah mendengar ucapan Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Jika
nanti keduanya memang diketahui bersalah, mereka pasti tidak akan lolos dari
hukum Kerajaan…”
Si Kamba
Mancuang yang memang penasaran terhadap dua Datuk sejak peristiwa di sekitar
Bukit Siangok tempo hari menggerendeng. “Manusia-manusia tidak tahu diuntung,
kalau bukan kau yang menolong keduanya beberapa hari lalu, mereka berdua pasti
sudah hancur luluh ditelan tanah, dihisap ilmu Tanah Tabalah Azab Manimpo yang
dikeluarkan Datuk Marajo Sati… ”
Dua Datuk
merasa tidak senang mendengar ucapan Tua Gila. Aneh, mengapa orang tua itu
seperti membela pemuda berambut panjang dan Si nenek bergigi perak. Datuk
Bandaro Putih kemudian berkata. “Inyiek, menurut Inyiek apakah Datuk Marajo
Sati akan datang ke tempat ini? Bagaimana kalau dia tidak berani muncul?
Berarti perkara tidak akan bisa diselesaikan. ”
Tiba-tiba
ada suara angin bersiur disusul seruan lantang.
“Aku
Datuk Marajo Sati! Siapa bermulut besar mengatakan aku tidak berani datang!”
Satu
sosok berjubah putih berkelebat. Di lain kejap di tempat itu telah berdiri
Datuk Marajo Sati tanpa mengenakan sorban Di sebelah atas kepala setengah
botak, di kuduk rambut menjulai panjang sampai di belakang telinga. Wajah
tampak garang walau tidak dapat menyembunyikan rasa keletihan. Sang Datuk
berdiri langsung di atas salah satu batu bulat besar dan tepat di hadapan Tua
Gila yang berarti membelakangi Dua Datuk yang telah datang terlebih dulu.
Agaknya Datuk Marajo Sati sengaja memilih batu tempat tegak yang membelakangi
kedua orang itu sebagai pertanda rasa bencinya terhadap mereka.
Tua Gila
tersenyum, membungkuk sedikit lalu berucap.
“Terima
kasih Datuk Marajo Sati telah datang. Memang tinggal Datuk seorang yang kami
tunggu-tunggu. ” Kata Tua Gila pula.
Di kolong
gelap rumah gadang Pakih Jauhari merasakan dadanya sesak. “Datuk Marajo muncul.
Apa sebenarnya yang hendak terjadi di tempat ini. Bagaimana Seruni… ? Kalau dia
sampai muncul bisa celaka anak itu… ” Memikir sampai di Situ dan merasa sangat
kawatir Pakih Jauhari segera hendak melompat keluar dari tempat gelap,
menyeruak ke bagian belakang rumah gadang lalu dia akan berusaha menunggu
kedatangan Seruni di satu-satunya jalan yang menuju ke Bukit Batu Patah. Namun
pemuda ini nyaris berteriak kaget ketika dia merasakan dua kakinya lemas tak
bisa digerakkan apa lagi dipakai melangkah. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh
terduduk di tanah.
“Celaka!
Hantu apa yang masuk ke tubuhku hingga aku tak bisa menggerakkan kaki?!”
Setelah
menegur Datuk Marajo Sati, Tua Gila mempersilahkan dua Datuk berdiri di atas
batu bulat bundar di kiri kanannya hingga mereka kini tegak berhadap-hadapan
dengan Datuk Marajo Sati. Setelah itu Tua Gila Juga meminta Wiro dan Si Kamba
Mancuang berdiri di atas batu, satu di samping kanan satu lagi di sebelah kiri
Datuk Marajo Sati.
Datuk
Marajo Sati delikkan mata pada Wiro yang berdiri di samping kanannya. “Pemuda
jahanam! Kau mencuri sorbanku. Kau kemanakan sorban itu sekarang? Kalau sampai
tidak kau kembalikan aku pecahkan kepalamu!”
Tadinya
Wiro tidak mau menjawab. Namun dimaki jahanam murid Sinto Gendeng membuka mulut
juga.
“Sorban
Datuk sudah dibenamkan ke dalam tanah oleh Tuanku Laras Muko Balang. Kalau
Datuk mau mencarinya saya bisa menunjukkan tempatnya. Atau ada baiknya Datuk
berurusan saja langsung dengan Tuanku Laras… ”
Datuk
Marajo Sati jadi beringas. Ketika dia hendak mendamprat kembali bahkan siap
mengangkat tangan hendak menggebuk Wiro, Tua Gila segera menengahi.
“Harap
semua yang hadir di sini mengerti. Pertemuan ini bukan untuk membicarakan soal
sorban. Aku mohon masing-masing pihak bisa menahan diri. Setiap masalah hanya
bisa diselesaikan kalau ditangani dengan hati jernih, kepala dingin, ucapan
sejuk serta kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Di hadapan hukum semua orang
sama, tidak ada bedanya satu sama lain. ”
Datuk
Marajo Sati ternyata masih menyimpan kekesalan karena sewaktu dia menemui Tua
Gila di puncak Gunung Kerinci tempo hari dan pulangnya dia dikerjai oleh orang
tua sakti itu hingga sulit kencing. Akibatnya dia terpaksa mencebur masuk ke
dalam sungai dan air kencingnya aur-auran membasahi jubah putihnya! (Baca “Kupu
Kupu Giok Ngarai Sianok”)
“Inyiek
Sukat Tandika. Saya pernah mengunjungi Inyiek di Gunung Kerinci. Kalau saja
Inyiek mau mendengar semua penjelasan saya saat itu tentang pemuda berambut
seperti perempuan ini, niscaya tidak akan terjadi semua perkara gila ini!”
Kesal
mendengar ucapan orang, Wiro menjawab dengan suara mengejek. “Datuk, yang tengah
kita hadapi saat ini bukan perkara gila. Tapi orang-orang gila!”
“Sahabatku,
kau betul! Memang banyak orang gila tidak karuan di tempat ini! Hendak ditolong
malah menggolong. Sudah itu menggonggong pula! Seperti anj… anj… Hik…hik…
hik…!” Si Kamba Mancuang sambuti ucapan Wiro lalu tertawa cekikikan.
********************
6
“DIAM!
Tua bangka tidak tahu diri! Perempuan setan!” Bentak Datuk Marajo Sati yang
tahu kalau dirinya diejek dipermainkan oleh Wiro dan Si Kamba Mancuang. Tua
Gila batuk-batuk beberapa kali.
“Sudah
saatnya kita memulai pembicaraan. Datuk Marajo Sati apakah Datuk sudah menerima
dan membaca Surat Perintah Raja di Pagaruyung yang disampaikan Datuk Bandaro
Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang?”
Sebagai
jawaban Datuk Marajo Sati mengeruk saku kanan jubah putihnya. Ketika tangan itu
ditarik, ikut keluar sepotong bambu yang sudah hangus serta bubuk hitam yang
berasal dari hancuran hangus kain. Seperti diceritakan sebelumnya selesai
membaca Surat Perintah Raja Pagaruyung yang ditulis di atas secarik kain putih
dan digelungkan pada sebatang bambu, Datuk Marajo Sakti dengan ilmu
kesaktiannya, datam marahnya telah meremas Surat Perintah itu hingga terbakar
dan berubah menjadi bambu hangus dan debu hitam. Dengan Sikap sombong Datuk
Marajo Sati berkata.
“Inyiek,
saya tidak tahu, apakah ini Surat Perintah yang Inyiek maksudkan?”
Dua Datuk
disamping Tua Gila tampak kerutkan alis dan dalam hati merutuk sikap yang
diperlihatkan Datuk Marajo Sati. Sebaliknya Tua Gila tampak tenang-tenang saja,
malah mukanya yang angker menggidikkan itu masih bisa tersenyum namun mulutnya
berucap ketus.
“Tidak
seharusnyakita menghina Kerajaan. Tidak seharusnya kita mempermalukan Raja
Negeri sendiri. Mudah-mudahan aku bisa melakukan sesuatu… ”
Ketika
Datuk Marajo Sati hendak menjatuhkan potongan bambu dan bubuk hangus ke tanah
Tua Gila cepat maju mendekat. Selempang kain putih ditarik dan ditodongkan
sambil berucap.
“Jangan
dibuang. Mungkin aku masih bisa membacanya agar dapat kita Simak bersama… ”
Potongan
bambu dan bubuk abu hangus yang ditampung di atas pakaian putihnya beberapa
kail digoyang-goyangkan oleh Tua Gila seperti laiknya orang menampi beras.
Tiba-tiba ada kepulan asap hitam. Ketika asap lenyap, di pakaian putih Tua Gila
terlihat sederetan panjang tulisan. Datuk Mararjo Sati memperhatikan, ternyata
apa yang tertera di pakaian Tua Gila sama dengan yang tertulis dalam Surat
Perintah Raja Pagaruyung yang pernah dibaca dan telah dimusnahkannya!
Seharusnya
ilmu kepandaian luar biasa dari Tua Gila membuat Datuk Marajo Sati tidak
berlaku sombong lagi. Namun tidak demikian adanya.
“Jelas
sekali… Jelas sekali apayang tertulis di atas selempang kain putih pakaianku
ini. Aku yakin Datuk bertiga sudah membaca dan mengetahui isi Surat Perintah
ini. Karenanya aku tidak perlu bacakan lagi. Tapi mungkin aku perlu menegaskan
salah satu bagian… ” Lalu Tua Gila alias Inyiek Sukat Tandika dengan suara
keras membacakan salah satu bagian Surat Perintah itu.
“… Kami
memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung
di Bukit Batu Patah untuk memberi kesaksian pada utusan yang telah kami
percaya… ”
Tua Gila
angkat kepalanya sedikit lalu berkata.
“Agar
jelas bagi semua pihak yang ada di tempat ini utusan yang dimaksud Sri Baginda
Raja di Pagaruyung dalam Surat Perintah ini adalah diriku. Dan agar jelas bagi
Datuk Marajo Sakti, saat ini kedudukan Datuk adalah sebagai saksi yang
ditanyakan. Bukan tertuduh, bukan pula pesakitan… ”
Setelah
berkata Tua Gila goyang-goyangkan kembali pakaian selempang kain putihnya. Asap
hitam sekali lagi tampak mengepul. Begitu asap sirna, tulisan di atas kain
putihpun ikut lenyap! Potongan bambu hangus dan debu hitam jatuh ke tanah.
“Sekarang
semua yang hadir, apakah pembicaraan bisa kita mulai?” Tanya Tua Gila kemudian.
“Saya
tidak suka hal ini!” Kata Datuk Marajo Sati dengan suara keras meradang.
Sikapnya
masih saja sombong, membuat semua orang merasa jadi tidak senang dan sebal.
“Datuk
Marajo, harap Datuk menjelaskan hal apa yang Datuk tidak suka. ” Menyahuti Tua
Gila.
“Pertama,
Inyiek bukan orang yang berasal dari salah satu nagari di tanah Minang ini.
Bagaimana Inyiek tahu persoalan yang akan dibicarakan Apa lagi mau
menyelesaikan perkara! Kedua, Inyiek bukan orang di sini, hak apa maka Inyiek
menangani perkara ini?! Saya ingin Inyiek menjawab pertanyaan saya. Jika
jawaban Inyiek tidak memuaskan, saya lebih baik angkat kaki dari sini. Kalau
perlu biar urusan ini diselesaikan dengan darah dan nyawa!”
“Aahh. “
Tua Gila angguk-anggukkan kepala. “Darah mudah tertumpah, nyawa mudah melayang.
Tapi selama masih ada jalan dan cara baik yang bisa ditempuh, apakah kita anak
manusia yang sebenarnya lemah ini mau menujukkan kekuatan dan kehebatan yang
memalukan di hadapan Tuhan, mau memakai cara-cara kekerasan…?”
“Inyiek,
dalam persoalan ini saya harap jangan membawa-bawa nama Tuhan! Allah benci pada
mereka yang mempergunakan agama dan memakai nama-Nya untuk memutar balik
kenyataan untuk kepentingan sendiri karena mau menang sendiri!”
Sepasang
mata besar cekung Tua Gila bergerak-gerak, menatap tak berkesip ke arah Datuk
Marajo Sati yang barusan keluarkan ucapan, sementara mulut dipencong ke kiri.
“Datuk
Marajo Sati, aku ingat pada ujar-ujar yang mengatakan bahwasanya lidah tidak
bertulang ucapan Datuk sungguh benar sekali. Tapi siapa saja yang merasa
dirinya orang Minangkabau tentu tidak lupa pada kata-kata indah. Bahwasanya di
negeri ini Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah! Atau apakah saat ini
aku bukan berhadapan dengan pemuka tanah Minangkabau, tapi berhadapan dengan
beruk-beruk liar yang tersesat dari Pulau Cingkuk?!”
Sekilas
terlihat air muka Datuk Marajo Sati bersemu merah dan pelipis bergerak-gerak
sementara rahang menggembung. Tua Gila tersenyum. Wiro diam-diam merasa gemas
melihat sikap sang guru. Kalau hal ini terjadi dimasa dulu-dulu sudah dapat
dipastikan Tua Gila akan menghajar habis Datuk Marajo Sati saat itu juga.
Selain itu setelah mendengar cerita Si Kamba Mancuang mengenai gadis Cina yang
dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok saat itu dia merasa kawatir.
“Nek,
terus terang aku tidak suka berada di tempat ini. Bukankah lebih baik kalau
kita berusaha menolong gadis Cina itu?”
Si Kamba
Mancuang hanya menjawab dengan anggukan kepala. Di hadapan mereka kembali Tua Gila
angkat bicara.
“Datuk
Marajo Sati, kau telah bertanya maka wajib aku menjawab. Pertama, memang benar
aku ini bukan orang di negeri ini. Tapi mengenai perkara yang hendak kita
bicarakan, berarti semua kejadian yang sudah berlangsung, mudah-mudahan aku telah
mengetahui secara lengkap. Hal kedua, Sri Baginda Raja Pagaruyung sengaja
menunjuk diriku orang dari luar sebagai utusan sekaligus menjadi penengah dan
pemutus perkara ini, karena jika diambil orang dari negeri ini, dari tanah
Minang ini, dikawatirkan orang tersebut akan berat sebelah dan condong ke salah
satu pihak, yang berarti akan merugikan pihak lain. Bukankah dalam hal ini Raja
di Pagaruyung telah bertindak sangat bijaksana dan sangat adil? Tetapi jika
maksud baik diriku Si tua buruk ini, jika kebijaksanaan dan sikap adil Sri
Baginda Raja tidak dapat diterima maka jika kekerasan yang diinginkan maka
halaman rumah gadang ini cukup luas untuk dijadikan kubangan darah. Lihat saja,
sebelum para Datuk datang ke sini sudah ada dua orang yang jadi korban. Pertama
Jambak Magang penjaga Rumah Gadang Sambilan Ruang. Kedua Pandeka Bumi Langit
Dari Sumanik. Apakah ada yang mau segera menyusul menjadi korban kedua, ketiga
dan seterusnya…? Aku yang tua bangka ini saja kalau bisa masih ingin hidup
berlama-lama… ”
Halaman
luas di depan rumah gadang itu kini tenggelam dalam Kesunyian. Tidak ada satu
orangpun yang bicara.
“Inyiek,
sebaiknya pembicaraan dimulai saja,” berkata Datuk Bandaro Putih.
Tua Gila
anggukkan kepala, menatap Datuk Marajo Sati lalu mulai bicara.
“Semua
yang hadir disini harap berkata kalau benar katakan benar, kalau salah katakan
salah walaupun pahit Datuk Marajo Sati, ada dua perkara besar menyangkut
dirimu. Pertama Datuk dikabarkan telah membunuh Datuk Panglimo Kayo, Datuk
Penghulu di Luhak Tanah Datar. Apa yang hendak Datuk katakan sebagai jawaban ?”
“Kabar
itu adalah fitnah busuk belaka. Aden tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo yang
adalah sahabat, bawahan bahkan aden anggap masih mertua sayal Sekalipun aden
dalam keadaan gila, otak miring, aden tidak akan pernah membunuh Datuk Panglimo
Kayo! Tidak mungkin!” Menjawab Datuk Marajo Sati dengan suara lantang dan
tegas. (Aden=Aku, bahasa kasar. Diucapkan Datuk Marajo Sati saking marahnya)
“Terima
kasih Datuk mau menjawab. ” Kata Tua Gila pula. “Sewaktu jenazah Datuk Panglimo
Kayo sampai di rumah gadang di Batu Sangkar, dalam genggaman tangan almarhum
terdapat robekan ujung sorban milik Datuk. Banyak orang yang menyaksikan hal
itu. termasuk Datuk Bandara Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang yang saat ini
hadir di sini. Tersirat dugaan bahwa sorban itu adalah milik sang pembunuh yang
berhasil direnggut cabik oleh Datuk Panglimo Kayo sebelum dia dibunuh. Apa
jawab Datuk Marajo Sati?”
********************
7
RAHANG
Datuk Marajo Sati menggembung. Dari hidungnya membersit suara mendengus. Lalu
mulutnya berucap.
“Justru
disitulah titik tolak tuduhan dan fitnah terhadap diriku! Ada orang yang
sengaja menggenggamkan robakan sorban milik saya ke dalam tangan mayat Datuk
Panglimo Kayo… ”
“Apakah
Datuk Marajo tahu atau bisa mengira-ngira siapa pelakunya ?” Tanya Tua Gila
sang utusan yang mewakili Sri Baginda Raja di Pagaruyung.
Datuk
Marajo Sati menggeleng “Saya tidak berani menuduh sembarangan, tidak mau
memfitnah orang lain. Sangat besar dosanya!”
“Apakah
Datuk Marajo punya syak wasangka terhadap salah satu atau sekaligus pada kedua
Datuk yang ada di sini?”
Datuk
Marajo Sati menatap dengan mata besar pada Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk
Bandara Putih. Lalu berkata. “Coba Inyiek Sukat Tandika saja yang menanyakan
pada mereka! Kalau mereka jujur mereka akan mengakui”
“Datuk
Marajo Sati! Jangan menuduh tanpa bukti!” Datuk Kuning Nan Sabatang menegur.
Datuk
Marajo Sati kembali mendengus. Dengan mata dimendelikkan dia berkata.
“Kalian
yang membawa perkara! Kalian harus ikut bertanggung jawab!”
Inyiek
Sukat Tandika alias Tua Gila angkat tangan kirinya lalu berkata. “Datuk Marajo,
jika ditanya mereka pasti akan menjawab tidak. Bukankah begitu Datuk Kuning dan
Datuk Bandara. Dua orang Datuk yang diajak bicara sama-sama anggukkan kepala.
Panaslah dada Datuk Marajo Sati. Wajah kaku membesi lalu sunggingkan tawa
buruk.
“Selaku
utusan ternyata Inyiek berlaku berat sebelah. Inyiek belum bertanya tapi sudah
menjawab sendiri!”
‘Tenang
Datuk, jangan keburu menduga salah,” kata Tua Gila pula.
Datuk
Marajo Sati kembali menyemprot “Kalau Inyiek tidak bisa membuktikan mereka
sebagai pelaku yang menyusupkan cabikan sorban saya ke dalam tangan mayat Datuk
Panglimo Kayo, berarti sama saja Inyiek juga tidak bisa membuktikan saya yang
telah membunuh Datuk Luhak Tanah Datar itu!”
Tua Gila
tersenyum “Untuk jawaban yang Datuk berikan, apakah Datuk berani bersumpah
bahwa Datuk benar-benar tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo?”
“Saya
orang yang difitnah saya orang yang teraniaya. Mengapa saya tidak berani
mengangkat sumpah. Sesungguhnya Allah semata yang Maha Melihat dan Maha
Mengetahui!”
Datuk
Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama tertawa sinis mendengar
ucapan Datuk Marajo Sati.
“Kalau
begitu baiklah “ Tua Gila lalu memberi tanda pada Penghulu Sangkalo. Kusir
kereta ini lalu melangkah ke hadapan Tua Gila. Dari satu kantong kain berwarna
putih dia mengeluarkan sebuah kitab tebal berkulit hijau yang ternyata adalah
kitab suci Al Qur’an. Belum disuruh Datuk Marajo Sati segera saja mengambil
kitab suci itu, menjunjung di atas kepala seraya mulut mengucapkan sumpah bahwa
dia tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo.
Habis
mengucapkan sumpah Datuk Marajo Sati mengembalikan Al Qur’an pada Penghulu
Sangkalo dan berkata pada Tua Gila. “Saya harap Inyiek meminta dua Datuk itu
bersumpah bahwa mereka bukan orang-orang yang berbuat keji telah menyusupkan
cabikan sorban saya ke dalam genggaman tangan almarhum Datuk Panglimo Kayo!”
Tua Gila
memberi isyarat pada Penghulu Sangkalo. Orang ini kemudian menyerahkan kitab
suci pada dua Datuk. Seorang demi seorang mereka kemudian mengangkat sumpah
bahwa mereka tidak pernah menyusupkan robekan kain sorban Datuk Marajo Sati ke
dalam genggaman tangan mayat almarhum Datuk Panglimo Kayo.
Dengan
tersenyum simpul Tua Gila menggosok-gosok dua telapak tangannya satu sama lain
lalu berkata.
“Tiga
Datuk dan semuayang hadir di sini. Perkara pertama sudah kita selesaikan dengan
baik dan cepat. Datuk Bandara Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang telah
bersumpah di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Melihat.
Bahwa mereka tidak pernah menyusupkan cabikan sorban milik Datuk Marajo Sati ke
dalam genggaman tangan mayat Datuk Panglimo Kayo. Berarti ada orang lain yang
melakukan hal itu dengan maksud melancarkan fitnah! Siapa orang ini belum
diketahui. Tapi cepat atau lambat pasti akan terungkap.” Setelahdiam sebentar
baru Tua Gila meneruskan ucapan. ”Datuk Marajo Sati telah bersumpah pula di
hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Kitab suci Al
Qur’an dijunjung di atas kepala. Bahwa dia tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo!
Berarti ada orang lain yang membunuh Datuk itu. Siapa orangnya kita belum tahu.
Tapi Tuhan pasti akan memberi petunjuk. Siapa pelakunya niscaya akan terungkap…
”
Tiba-tiba
ada orang berucap dengan suara tersendat dan gemetaran disertai desah tarikan
nafas dalam berulang kali. Suara itu tidak begitu keras namun cukup dapat
didengar oleh semua orang yang ada di tempat itu.
“Pembunuh
Datuk Panglimo Kayo… adalah… Tuanku Laras, dibantu… orang Jawa bernama Ki
Bonang, orang Cina bernama Teng Sien. Tuanku Laras pula yang
kemudian…menggenggamkan robekan sorban Datuk Marajo Sati ke dalam tangan Datuk
Panglimo Kayo. Tuanku Laras kemudian mengirim mayat Datuk Panglimo Kayo dengan
sebuah pedati ke Batu Sangkar… ”
Keadaan
di halaman depan Rumah Gadang Sambilan Ruang untuk beberapa lamanya tenggelam
dalam kesunyian. Semua pandangan tercekat ditujukan dengan perasaan tidak
percaya pada Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang terkapar di tanah. Dialah
tadi yang bicara. Tiba-tiba Datuk Marajo Sati menggembor keras. Sekali lompat
saja dia sudah berada di samping Pandeka Bumi Langit
“Pandeka
keparat! Ternyata kau belum mati! Kalau Datuk Panglima Kayo dibantai oleh
Tuanku Laras dan kawan-kawannya berarti kau juga turut terlibat dalam perbuatan
durjana itu! Kau pula yang telah membunuh burung Alang peliharaanku!”
Kaki
kanan batuk Marajo Sati bergerak.
“Praak!”
Tubuh
Pandeka Langit Bumi mencelat menghantam batang pohon besar. Lalu jatuh
menggelepar di tanah dengan kepala pecah! Sekali ini nyawanya benar-benar lepas
sudah!
Melihat
apa yang terjadi Si Kamba Mancuang cepat melompat mendekati Wiro lalu berbisik.
“Pandeka Bumi Langit menyimpan tiga batang emas hadiah dari Teng Sien. Pasti
ada di balik pakaiannya… ”
Wiro yang
tahu maksud Si nenek cepat berkata. “Biarkan saja. Jangan diambil dulu terlalu
banyak mata di tempat ini… ”
“Aku
mengerti,” jawab Si nenek laiu kembali ke tempat tegaknya semula yaitu di sebelah
kiri Datuk Marajo Sati.
Dari
tempatnya berdiri Datuk Marajo Sati tegak berkacak pinggang. Dengan suara
kerasa bergetar dia berkata.
“Semua
sudah mendengar apa yang diucapkan Pandeka Bumi Langit Apa masih ada yang
menaruh syak wasangka terhadap diriku?!”
Inyiek
Sukat Tandika alias Tua Gila angkat kedua tangannya ke udara. Lalu berkata.
“Saksi
telah berucap. Kenyataan yang benar telah terungkap. Datuk Marajo Sati, aku
selaku utusan yang dipercaya Sri Baginda Raja Pagaruyung menyatakan bahwa Datuk
tidak terbukti membunuh Datuk Panglimo Kayo. Sekarang harap kau kembali berdiri
di atas batu bulat. Karena masih ada satu perkara lagi yang harus mendapat
kejelasan darimu… ” Setelah mengusap janggutnya Inyiek Sukat Tandika meneruskan
ucapan.
“Datuk
Marajo Sati bukan saja di Luhak Nan Tigo, tapi hampir seluruh tanah Minangkabau
ini telah dilanda kehebohan. Berita sampai pula kepada Sri Baginda Raja di
Pagaruyung. Karena ini menyangkut aib luar biasa besar maka itu sebabnya Sri
Baginda Raja sangat perlu untuk mendapat kebenaran hingga jika hukum kelak
dijatuhkan dapat dilakukan dengan seadil-adilnya. ”
“Inyiek,
saya sudah tahuperkara apa yang hendak Inyiek sampaikan. Tidak usah
berpanjang-panjang. Langsung saja pada persoalannya!” Kata Datuk Marajo Sati
pula dengan wajah beringas dan pelipis bergerak-gerak.
Tua Gila
angguk-anggukkan kepala.
“Datuk
Marajo Sati, seperti kabar yang tersiar di delapan penjuru angin ranah Minang,
Datuk dikatakan selama beberapa hari telah menyembunyikan seorang gadis Cina di
goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok. Kabar yang bergulir bukan saja Datuk
dikatakan hanya sekedar menyembunyikan, tapi juga telah berbuat yang tadi baik.
Datuk dikabarkan telah berbuat mesum dengan gadis itu. Padahal Datuk adalah
Datuk Pucuk dari semua Datuk di Luhak Nan Tigo yang selama ini menjadi panutan.
Tahu di adat taat beragama. Apa tanggapan Datuk Marajo atas kejadian ini?”
********************
8
SETELAH
menarik-narik janggut tebalnya pertanda sangat kesal. Datuk Marajo Sati
menjawab.
“Mulut
manusia bisa seperti seratus mulut ular berbisa. Tuduhan punya seribu muka!
Fitnah punya sejuta bencana! Inyiek pandai bicara begini begitu. Semua hanya
berdasarkan kabar. Kabar yang tentunya berasal dari mulut para pemfitnah. Kalau
Inyiek ingin meneruskan perkara ini saya minta Inyiek menghadirkan gadis Cina
yang Inyiek maksudkan itu! Kapanpun Inyiek bisa menghadirkannya akan saya
tunggu! Saat ini saya merasa tidak punya kepentingan lagi di tempat ini!”
Habis
berkata begitu Datuk Marajo Sati segera turun dari atas batu bulat datar lalu
membalikkan diri siap untuk pergi.
‘Tunggu!
Tidak semudah itu Datuk pergi begitu saja!”
Tiba-tiba
Datuk Kuning Nan Sabatang berteriak sementara Datuk Bandaro Putih sudah turun
dari batu bulat, sikapnya jelas hendak menghadang. Melihat hal ini naiklah
amarah Datuk Marajo Sati.
“Apa mau
kalian berdua?! Datuk keparat tukang fitnah!”
“Datuk
Marajo Seti! Jaga mulutmu!” Datuk Kuning Nan Sabatang segera pula turun dari
atas batu. “Kami tidak pernah memfitnah. Kabar perbuatan mesum Datuk sudah
tersiar kemana-mana dan bukan berasal dari mulut kami berdua! Kami hanya
menyelidik, mencari kebenaran. Negeri ini perlu dibersihkan dari
manusia-manusia bejat dan kami menemukan bukti-bukti yang tidak mungkin Datuk
ingkari!”
“Bukti…
?” Datuk Marajo Sakti delikkan mata. Lalu tertawa gelak-gelak “Kalau tidak
menghormati Inyiek Sukat Tandika selaku utusan Raja Pagaruyung sudah tadi-tadi
aku robek mulut kalian berdua!”
“Inyiek!
Kami minta izin untuk memberi pelajaran pada manusia busuk ini!” Kata Datuk
Kuning Nan Sabatang yang rupanya sudah tidak bisa bersabar diri lagi.
Lalu
tidak menunggu jawaban Tua Gila Datuk Kuning Nan Sabatang segera menerjang.
Tubuh
merunduk seperti harimau hendak menerkam. Tapi tangan kanan tiba-tiba melesat
ke atas, ke arah mulut Datuk Marajo Sati. Lima jari terpentang. Hebatnya, lima
kuku pada jari tangan itu mendadak sontak mencuat panjang dan berwarna merah!
Inilah jurus dari ilmu yang disebut Jari Hantu Gunung Pangilun. Rupanya Datuk
Kuning Nan Sabatang benar-benar ingin merobek mulut Datuk Marajo Sati. Namun
serangan ganas ini tidak menemui sasaran karena Datuk Marajo cepat melompat mundur
sambil menendang ke arah perut lawan dalam Jurus Dongkak Kilek Nan Tongga.
(Tendangan Kilat Tungal) Datuk Bandaro Putih tidak tinggal diam. Dia berteriak.
“Inyiek,
Datuk Pucuk harus ditangkap lebih dulu. Baru nanti diadili. Kalau dibiarkan
pergi dia bisa melarikan diri!” Lalu Datuk Bandaro Putih berkelebat pula
memasuki kalangan pertarungan.
Tua Gila
goleng-goleng kepala. Wiro dan Si Kamba Mancuang hanya tegak diam memperhatikan
jalannya pertarungan dua lawan satu itu tanpa ada rasa kawatir.
Setelah
lima jurus berlalu dan tidak mampu menjatuhkan Datuk Marajo Sati, dua Datuk
lipat gandakan tenaga dalam dan hawa sakti pada setiap serangan mereka. Kini
keadaan berubah. Datuk Marajo Sati harus berhati-hati agar tidak terdesak. Maka
dia segera pula mengeluarkan ilmu kesaktiannya. Dapat dipastikan bahwa cepat
atau lambat bakal ada yang mengalami cidera bahkan bisa-bisa menemui ajal.
“Awas
Datuk!” Murid Sinto Gendeng berseru ketika gempuran hebat Datuk Bandaro Putih
dan Datuk Kuning Nan Sabatang membuat Datuk Marajo Sati mundur terhuyunghuyung.
Sebelum
dia sempat mengimbangi diri tangan kanan Datuk Kuning Nan Sabatang menyelinap
dari bawah, melesat ke arah dagu lawan. Dari deru angin serta hawa aneh yang
mendahului pukulan itu dapat dipastikan serangan yang dilancarkan Datuk Kuning
Nan Sabatang merupakan serangan mematikan. Sambil berseru Wiro pura-pura hendak
menahan tubuh Datuk Marajo Sati yang nyaris jatuh. Namun di saat yang sama dia
juga majukan bahu kirinya menahan serangan Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Bukk!”
Hantaman
keras mendarat di bahu kiri Pendekar 212 hingga mengeluarkan suara keras
bergedebuk. Wiro melintir lalu terbanting ke tanah. Pura-pura menjerit sakit
Padahal sebenarnya dia sudah terlebih dulu melindungi diri dengan tenaga dalam
tinggi dan hawa sakti yang memancar dari Kapak Naga Geni 212 yang ada dalam
tubuhnya hingga dia tidak sampai mengalami cidera tapi hanya menderita sakit di
sebelah luar. Ketika mengerenyit pura-pura kesakitan tak sengaja Wiro memandang
ke bagian kolong rumah gadang. Di bagian kolong rumah yang gelap dia melihat
ada seseorang mendekam bersembunyi. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang
membuat dia bisa melihat lebih jelas. Orang yang sembunyi di bawah rumah itu
ternyata adalah seorang pemuda berpakaian biru.
“Datuk!
Mengapa Datuk memukul saya? Apa salah saya?!” Teriak Wiro pada Datuk Kuning Nan
Sabatang tapi kedipkan mata ke arah Si Kamba Mancuang.
“Pemuda
jahanam! Kau melindungi Datuk itu, sengaja memasang badan!” Yang menjawab Datuk
Bandaro Putih karena dari samping tadi dia melihat jelas gerakan Wiro.
“Pemuda
sombong! Aku mau tahu sampai dimana kehebatan ilmumu!” Maka Datuk Bandaro Putih
langsung saja menyerang Wiro.
“Datuk
Bandaro Putih!” Si Kamba Mancuang melompat menghadang gerakan Datuk Luhak
Limapuluh Kota itu. “Sungguh tidak berbudi. Pemuda ini adalah tamu dari jauh
yang patut dihormati. Mengapa Datuk menyerangnya tanpa lantaran?”
“Tua
bangka busuk! Aku tahu kau sudah bergendak dengan pemuda itu! Tidak heran kalau
kau membelanya!”
Kalau
tadi Datuk Bandaro Putih mengarahkan serangan pada Wiro maka kini dia menyerbu
Si Kamba Mancuang. Si nenek bergigi perak sambut serangan lawan dengan
menyilangkan dua tangannya yang panjang ke depan.
“Wuutt!
Wuuttt!”
Datuk
Bandaro Putih terkejut ketika tahu-tahu dua tangan Si Kamba Mancuang dengan
cepat menyambar ke pinggang, satu lagi bergulung hendak menelikung lehernya!
itulah jurus serangan bernama Manyapo Puncak Gunung Merapi. (Menyapa Puncak
Gunung Merapi) Walau namanya “menyapa” tapi “sapaan” ini bisamendatangkan
malapetaka!
Datuk Bandaro
Putih tahu benar kehebatan dua tangan Si Kamba Mancuang. Pinggangnya bisa
remuk, leher bisa hancur! Karena tidak sempat menghindar menyelamatkan diri
maka Datuk Bandaro Putih tanpa perasaan malu segera cabut keris besar Nago
Gunung Singgalang dari pinggang. Sinar biru berkiblat, menyambar ke arah Si
Kamba Mancuang. Selagi Si nenek berusaha menghindar, tahu-tahu ujung keris
telah membabat
“Breett!”
Jubah
putih Si Kamba Mancuang robek di bagian bahu kiri. Untung dagingnya tidak ikut
tersayat. Melihat kejadian ini Wiro jadi mengkelap.
“Datuk
pengecut! Berani menyerang perempuan! Dengan senjata pula! Teriak murid Sinto
Gendeng lalu menggebrak ke arah sang Datuk dalam Jurus Dewa Topan Menggusur
Gunung. Dari telapak tangan kanan murid Sinto Gendeng menyembur angin dahsyat
disertai suara menderu seperti topan menggila. Sesuai dengan nama jurus yang
dilancarkan. Jangankan manusia, lereng gunungpun bisa dibuat ambruk. Kejut
Datuk Bandaro Putih mendapat serangan itu bukan olah-olah. Namun keterkejutan
ini bukan saja karena kehebatannya melainkan juga karena dia mengenali jurus
serangan itu.
“Dewa
Topan Menggusur Gunung!” Teriak Datuk Bandaro Putih sambil melompat jauh dan
melintangkan keris sakti di depan dada. Matanya yang mendelik diarahkan sekilas
pada Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila. “Pemuda keparat! Dari mana kau
mendapat ilmu pukulan itu. Apa hubunganmu dengan Inyiek Sukat Tandika?!”
“Hik…
hik… hik!” Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. “Datuk Bandaro Putih, belum
tahu kau rupanya kalau sobatku ini adalah murid Inyiek Sukat Tandika!”
Di
tempatnya berdiri di atas batu bulat datar Tua Gila mengomel sendiri.
“Anak
setan! Mengapa dia mengeluarkan jurus serangan itu! Apa tidak ada jurus
serangan yang lain ?! Lalu nenek bergigi perak itu, mulutnya seperti ember!”
Datuk
Bandaro Putih tentu saja terkejut sekali mendengar ucapan Si Kamba Mancuang.
Untuk beberapa ketika dia memandang ke arah Tua Gila dan Wiro ganti berganti
dengan rasa tidak percaya.
Akan
halnya Datuk Kuning Nan Sabatang yang saat itu tengah menggempur habis Detuk
Marajo Sati dan berusaha merobohken lawan dengan beberapa pukulan kilat, mau
tak mau ikut terpengaruh mendengar teriakan Datuk Bandaro Putih tadi.
Sebaliknya Datuk Marajo Sati yang memang sudah tahu siapa adanya Pendekar 212
yaitu murid Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila, tidak mensia-siakan
kesempatan. Selagi lawan agak terpana dengan cepat dia susupkan jurus serangan
bernama Tangan Sakti Menggapai Puncak Singgalang. Tangan kanan yang menyerang
berubah panjang dan melesat ke arah kening Datuk Kuning Nan Sabatang didahului
sambaran cahaya hitam pekat!
********************
9
“GILA
SEMUA! Kalian gila semua! Kalau memang sudah ingin mencari mati aku akan
buatkan liang kubur buat kalian seorang satu!”
Di tengah
membuncahnya pertarungan antara Datuk Kuning Nan Sabatang melawan Datuk Marajo
Sati dan Datuk Bandaro Putih menghadapi Pendekar 212 tiba-tiba di tempat itu
berkiblat cahaya putih, enam kali berturut-turut, luar biasa cepatnya.
“Bumm…
bumm… bumm… bumm… bumm… bummi”
Enam
letusan dahsyat menggelegar di Bukit Batu Patah. Rumah Gadang Sambilan Ruang
bergoyang berderak-derak. Tanah bergetar. Kuda penarik kereta meringkik keras.
Penghulu Sangkalo cepat melompat ke atas kereta, menahan tali kekang agar kuda
tidak menghambur lari. Dua belas perajurit Kerajaan Pagaruyung berseru kaget
ketika dapatkan tubuh masing-masing terlempar ke udara lalu jatuh terbanting ke
tanah! Serta merta mereka berdiri sambil mencabut lading besar di pinggang
(lading = golok)
Di kolong
rumah gadang Pakih Jauhari tersungkur ke tanah. Kepalanya terantuk salah satu
tiang rumah hingga benjut.
Di
beberapa tempat udara mendadak gelap tertutup lapisan tanah dan debu yang
bermuncratan ke udara. Begitu muncratan tanah dan debu luruh maka di halaman
rumah gadang terlihat menganga enam buah lobang. Ukurannya memang cukup besar
untuk menjadi liang kubur!
Empat
orang yang sedang bertarung tampak terhuyung-huyung. Gerakan mereka terhenti
dan mata sama dipalingkan ke arah Inyiek Sukat Tandika yang saat itu tegak
menatap dengan mata cekung membeliak dan tampang angker.
“Kalian
tua bangka tolol semua!” Mendamprat Inyiek Sukat Tandika. “Semua cepat kembali
tegak di atas batu semula. Semua persoalan harus selesai malam ini! Kalau tidak
mau aku selesaikan maka silahkan melanjutkan saling bunuh! Jangan kira aku
tidak senang melihat darah! Nanti satu persatu mayat kalian aku tendang masuk
ke dalam lobang! Ha… ha… ha!” Tua Gila tutup ucapannya dengan suara tawa
mengekeh. Ucapan Tua Gila bahwa dia senang melihat darah bukan asal bicara.
Karena konon di masa muda dia diketahui telah membunuh hampir tiga ratus orang
yang dianggapnya sebagai musuh!
Dengan
terengah-engah karena lebih banyak menahan amarah Datuk Bandaro Putih dan Datuk
Kuning Nan Sabatang bersurut mundur, kembali berdiri di atas batu bundar di
kiri kanan Inyiek Sukat Tandika.
Di bagian
lain sebelum naik ke atas batu bulat, Datuk Marajo Sati memandang Wiro sesaat.
Lalu berkata.
“Aku tahu
kau tadi menyelamatkan kepalaku dari serangan Datuk Kuning Nan Sabatang. Tapi
jangan harap aku akan berterima kasih… ”
“Datuk
tidak tahu diuntung!” Si Kamba Mancuang memaki dalam hati mendengar ucapan
Datuk Marajo Sati itu. Sebaliknya dengan tenang Wiro menanggapi.
“Datuk,
saya memang tidak perlu terima kasih Datuk,” jawab Wiro. “Pukulan lawan tadi
bisa menghancurkan muka Datuk. Saya menolong bukan kasihan pada Datuk, tapi
cuma menaruh sedih pada orang di rumah… ”
“Orang di
rumah siapa maksudmu?!” Bentak Datuk Marajo Sati denganmata berkilat Wiro
menyeringai.
“Ah,
rupanya Datuk terlalu lama tinggal di goa di Ngarai Sianok hingga lupa padusi
di rumah! Siapa lagi yang saya maksud dengan orang di rumah kalau bukan istri
Datuk yang masih muda belia itu! Apa tidak kasihan melihat dia nanti masih muda
sudah jadi janda?
Selain
itu arwah Datuk pasti tidak tenteram kalau nanti dia kawin lagi dengan orang
lain. Mungkin kawin dengan pemuda yang pernah jadi kekasihnya dulu. Apa lagi
kalau sampai kawin dengan diriku! Eh, Siapa namanya istri Datuk yang konon
setengah abad lebih muda dari Datuk itu…?” Habis berkata Wirotertawa keras.
Mendengar
ucapan Wiro menggelegak amarah Datuk Marajo Sati. Kaki kanannya diinjakkan ke
kaki kiri Wiro. Sekeli injak pasti hancur kaki Si gondrong ini. Dengan cepat
Wiro melompat selamatkan kaki kirinya.
“Braakk!
Desss!”
Batu
bulat datar hancur berkeping-keping, mengepulkan asap. Akibatnya kalau semua
orang telah berdiri di atas batu bulat masing-masing, kini hanya Wiro seorang
yang tegak di atas tanah. Pakaian hitamnya kotor oleh debu hancuran batu. Si
Kamba Mancuang berteriak marah dan siap bergerak hendak melakukan sesuatu. Tapi
Wiro cepat memberi isyarat agar Si nenek tidak melakukan apa-apa. Ini membuat
Si Kamba Mancuang jadi gemas geregetan.
Setelah
membersihkan pakaian hitamnya yang berselomotan tanah dan debu. Datuk Bandaro
Putih menatap ke arah Datuk Kuning Nan Sebatang. Yang ditatap memberi isyarat
dengan anggukan kepala. Maka Datuk Bandaro Putih berpaling pada Tua Gila.
“Inyiek
Sukat Tandika. Sebelum pembicaraan dilanjutkan, saya dan Datuk Kuning Nan
Sabatang ingin mengajukan pertanyaan… ”
“Aku
tidak keberatan. Tapi cepat dan jangan bertele-tele!”Jawab Tua Gila sambil
menatap ke langit. Saat itu di langit dari arah timur nampak gumpalan awan
hitam bergerak ke arah barat. Sementara angin bertiup agak kencang. Pertanda
mungkin malam itu akan turun hujan.
“Setelah
kami tahu kalau pemuda Jawa itu adalah murid Inyiek, untuk selanjutnya, dalam
perkara yang dipercayakana Raja pada Inyiek apakah Inyiek bisa bertindak adil?”
“Datuk
Bandaro Putih, aku tahu maksud pertanyaanmu. Bicara soal keadilan bagiku dan
bagi Sri Baginda Raja dan bagi Kerajaan Pagaruyung bukan berarti siapa
orangnya, tapi apa perbuatannya. Kalau muridku aku jadikan saksi dan ternyata
dia bersaksi palsu, aku akan cabut lidahnya seperti ini!”
Habis
berkata begitu Tua Gila lalu buka mulutnya lebar-lebar. Tangan kiri dimasukkan
ke dalam mulut lalu dipelintir dan disentakkan.
“Kreekk!”
Dari
dalam mulut keluar sebuah benda merah sepanjang tiga perempat jengkal. Oleh Tua
Gila benda ini dilemparkan ke tanah, tepat di hadapan kaki Datuk Bandaro Putih.
Di atas tanah benda ini bergerak-gerak seolah hidup. Benda itu ternyata adalah
lidah sang Inyiek. Semua mata membelalak. Semua tengkuk jadi merinding dingin.
Sang murid, yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng walau kaget tapi tetap tenang dan
berucap dalam hati.
“Setahuku
kakek Tua Gila tidak punya ilmu seperti Ini. Aneh. Hampir menyerupai Ilmu
Menahan Darah Memindah Jazad yang aku dapat dari negeri LatanahSilam. ”
Tua Gila
ulurkan tangan kanannya. Lidah yang ditanah melesat ke atas, cepat ditangkap
lalu dimasukkan kembali ke dalam mulut.
“Ada lagi
yang hendak bicara atau mau bertanya?”
Tak ada
yang bersuara. Tak ada yang berani menjawab pertanyaan sang inyiek utusan
Kerajaan Pagaruyung itu. Si Kamba Mancuang berdiri sambil mengusapi pangkal
lehernya. Selain ngeri nenek satu ini juga merasa jijik hingga dia megap-megap
menahan muntah.
“Kalau
begitu kita teruskan pembicaraan,” kata Tua Gila pula. Matanya yang cekung
angker menatap ke arah Datuk Marajo Sati yang berdiri di atas batu antara Wiro
dan Si Kamba Mancuang.
“Datuk
Marajo Sati, kembali pada perkara kedua menyangkut diri Datuk dan gadis Cina
itu. Tadi Datuk meminta agar aku menghadirkan gadis Cina itu sebagai saksi.
Saat ini hal itu tidak bisa dilakukan. Karena turut kabar yang aku dengar dari
Penghulu Sangkalo bukankah gadis itu telah dilarikan oleh Tuanku Laras yang
tadi ada di sini, lalu kabur melarikan diri!”
“Inyiek
Sukat Tandika. Perihal bagaimana dan dimana beradanya gadis itu, saya tidak mau
perduli. Jika Inyiek Ingin mencari kebenaran dan mau berlaku adil, hanya gadis
itu satu-satunya yang bisa memberi kesaksian nyata dan benar. Bahwa saya dan
dia tidak melakukan perbuatan mesum! Tidak melakukan zinah!”
“Perkara
ini memang sulit. Tapi bukan berarti perlu dipersulit… ” Ucap Tua Gila pula.
“Gadis
Cina itu tidak bisa, dihadirkan sebagai saksi. Bagaimana, kalau kita memeriksa
dulu saksi yang lain ?”
Semua
orang bertanya-tanya siapa saksi yang dimaksud oleh sang utusan Sri Baginda
Raja itu. Tua Gila menatap ke arah muridnya. Pasti muridnya sendiri, pemuda
jawa berambut panjang sebahu itu!
“Pendekar
Dua Satu Dua… “ berkata Tua Gila. “Bukankah sejak tadi kau melihat ada
seseorang bersembunyi di bawah kolong rumah gadang ?”
Wiro
terkejut tapi cepat-cepat mengiyakan ucapan Tua Gila.
“Temui
orang itu. Bawa dia ke hadapanku. Jika dia menolak kau boleh menggebuk dan
menyeretnya kesini!”
Datuk
Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang memutar tubuh sama berpaling,
membungkuk sedikit dan memandang ke bawah kolong rumah gadang. Begitu juga Si
Kamba Mancuang, kusir kereta Penghulu Sangkalo dan dua belas perajurit
Kerajaan.
Semua
memperhatikan ke kolong gelap rumah gadang. Ingin mengetahui siapa adanya orang
yang sembunyi di bawah kolong rumah. Datuk Marajo Sati sendiri tetap tak
bergerak dari tempatnya. Sikapnya acuh saja.
Saat itu
Wiro sudah masuk ke bawah rumah gadang. Tak lama kemudian dari bawah rumah
gadang terdengar suara jeritan seseorang minta ampun dan minta agar dirinya
dilepaskan.
Wiro
keluar dari kolong rumah gadang. Datuk Marajo Sati baru tersentak ketika
melihat siapa adanya pemuda yang diseret Wiro ke hadapan Inyiek Sukat Tandika
itu.
“Jahanam
Pakih Jauhari!”rutuk Datuk Marajo Sati. “Mengapa keparat ini berada di sini.
Apa yang dilakukannya!”
Dengan
geram Datuk Marajo Sati melangkah cepat mendekati Pakih Jauhari. Tangan kanan
diangkat tinggi-tinggi lalu secepat kilat dihantamkan ke batok kepala pemuda
yang berasal dari Biaro itu.
Sekejapan
lagi kepala Pakih Jauhari akan remuk dihantam pukulan, tanpa bergerak dari batu
bulat yang dipijaknya Tua Gila kebutkan selempang kain putih yang jadi
pakaiannya.
Selarik
angin menderu dan wuuttt!
Datuk
Marajo Sati terhuyung-huyung satu langkah. Tapi dengan sebat orang ini sanggup
imbangi diri dan lanjutkan serangan ke arah Pakih Jauhari. Yang dituju masih
tetap kepala pemuda itu pertanda Datuk Marajo Sati memang sangat mendendam dan
ingin membunuhnya!
“Datuk
sadar! Jangan!” teriak Wiro berusaha mencegah. Tapi Datuk Marajo Seti tidak
bergeming.
Melihat
hal ini Wiro segera dorong tubuh Pakih Jauhari hingga pemuda ini jatuh
terguling di tanah. Pukulan maut Datuk Marajo Sati menghantam tempat kosong.
Ini membuat sang Datuk menjadi marah setengah mati. Dua kaki diputar cepat.
Tangan kanan kembali berkelebat. Kali ini yang dituju adalah kepala Pendekar
212!
********************
10
SEPASANG
mata Pendekar 212 terbelalak. “Datuk! Apa yang kau lakukan ini! Mengapa
menyerangku!” Teriak Wiro.
Datuk
Marajo Sati tidak perduli. Malah mulutnya berucap. “Kau dan pemuda itu sama
keparatnya! Aku tidak akan pernah menyesal membunuhmu!”
Di
tempatnya berdiri Tua Gila menjadi marah melihat apa yang dilakukan serta
barusan diucapkan Datuk Marajo Sati. Kehadirannya di situ seolah tidak
dipandang sebelah mata.
Maka
orang tua ini segera kirimkan suara mengiang ke telinga muridnya “Anak setan,
coba kau beri pelajaran pada Datuk Sialan itu!”
Wiro yang
semula hanya berniat akan menghindarkan diri dari serangan Datuk Marajo Sati,
namun begitu mendengar ucapan sang guru dengan cepat alirkan tenaga dalam ke
tangan kiri. Lalu menangkis pukulan Datuk Marajo Sati dengan Jurus Tangan Dewa
Menghantam Matahari.
Jurus
pukulan ini adalah jurus pertama dari enam pukulan sakti yang bersumber pada
Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh, tokoh silat yang
kesaktiannya dianggap setengah Dewa, diam di Danau Meninjau. Datuk Rao
Basaluang Ameh seperti diketahui adalah salah seorang guru Pendekar 212 Wiro
Sableng dan orang tua inilah – yang konon dikabarkan telah meninggal dunia
sekitar seratus tahun silam yang meminta Wiro untuk datang ke tanah
Minangkabau. Orang tua sakti itu agaknya sudah mengetahui bahwa satu peristiwa
besar akan terjadi di negeri tempat kediamannya. Wiro diharapkan akan dapat
mencegah berlarut-larutnya hal-hal yang tak diingini di negeri itu. Namun
seperti yang dituturkan Wiro malah menjadi bulan-bulanan tuduhan dan dianggap
sebagai biang keladi pembuat keonaran serta kekacauan termasuk tewasnya beberapa
tokoh rimba persilatan tanah Minang.
“Bukk!”
Dua
lengan beradu keras.
Wiro
merasa tanah yang dipijaknya seperti melesak. Dua lutut menekuk. Sebelum
tubuhnya terbanting jatuh duduk di tanah, Wiro cepat kerahkan ilmu meringankan
tubuh. Sambil berseru keras dia melesat ke atas. Di udara Wiro jungkir balik
satu kali. Beradunya dua tangan tadi membuat Datuk Marajo Sati terlempar hampir
satu tombak ke udara. Tangan kanan sakit luar biasa seolah saat itu tangannya
sudah putus! Getaran rasa sakit menjalar sampai ke dada! Di saat yang sama Wiro
yang tengah melayang turun pergunakan bahu kiri kanan sang Datuk sebagai
tumpuan sebelum akhirnya menjejakkan kaki berdiri di tanah sambil cengar-cengir
padahal lengan kirinya tampak menggembung bengkak biru kehitaman!
Ketika
kaki Wiro mendarat di bahunya kiri kanan, Datuk Marajo Sati merasa seperti
tubuhnya dihimpit dua batu besar. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga sampai
rambut, kumis dan janggut pendeknya berjingkrak tetap saja dia tidak mampu
bertahan. Tubuh besar berjubah putih ini akhirnya jatuh terduduk di tanah.
Mukanya tampak agak pucat dan penuh keringat. Seumur hidup baru sekali ini
Datuk Marajo Sati dibuat seperti itu oleh lawan bertarung.
“Tenaga
dalamnya luar biasa. Kalau dia berniat jahat saat ini aku pasti sudah muntah
darah!” Membatin Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo itu.
Datuk
Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling pandang satu sama lain.
Keduanya maklum kalau pemuda yang selama ini dianggap remeh ternyata memiliki
tenaga dalam yang jauh melebihi apa yang dimiliki Datuk Marajo Sati. Ini
berarti melebihi pula tingkat kepandaian mereka berdua!
Wiro
cepat dekati Datuk Marajo Sati, mengambil tangannya dan membantu berdiri seraya
berkata.
“Datuk,
maafkan saya. Saya tahu kita berdua tidak ada maksud jahat terhadap satu sama
lainnya.”
Mendengar
ucapan Wiro Datuk Marajo Sati termenung dan pejamkan mata. Mulutnya ingin
menyemburkan carut marut. Namun hatinya tak kuasa melakukan.
Di langit
awan tebal semakin banyak. Bergerak mulai menutupi bulan sabit hari ke tiga.
Dari tempatnya berdiri di atas batu bulat datar Tua Gila berkata.
“Datuk,
saya harap Datuk kembali ke tempat semula. Saya mengerti Datuk sangat benci dan
dendam pada pemuda bernama Pakih Jauhari itu. Saya harap hal itu dilupakan
dulu. Yang lebih penting adalah mencari kebenaran!”
“Inyiek,
pemuda ini pangkal bahala dari semua fitnah yang terjadi atas diri saya. Hidup
saya jadi begini karena dia!” Kata Datuk Marajo Sati. Suaranya masih keras tapi
tidak lagi terdengar garang.
“Aku tahu
Datuk. Untuk itulah kita akan menanyainya. Mudah-mudah yang hitam akan
tersingkap hitam, yang putih akan tetap terlihat putih.” Tua Gila memberi
isyarat. Dua orang perajurit membawa Pakih Jauhari ke hadapan sang utusan Raja.
Pakih
Jauhari ketakutan setengah mati. Beberapa kali dia berteriak minta ampun sambil
berlutut memegangi kaki Tua Gila dan minta diperkenankan meninggalkan tempat
itu.
“Anak
muda, berdirilah di hadapanku! Jangan berteriak seperti orang gila. Berdiri
luruslurus atau aku patahkan kedua kakimu!”
Diancam
Tua Gila seperti itu Si pemuda segera berdiri. Kepala ditundukkan, tapi mata
sesekali melirik ke arah Datuk Marajo Sati. Kawatir sang Datuk akan
menghajarnya dari belakang.
“Anak
muda, Siapa namamu ?” bertanya TuaGila.
Pakih
Jauhari menjawab memberi tahu namanya.
“Menurut
kabar, juga seperti yang dikatakan Datuk Marajo Sati tadi, apa benar kau yang
membuat cerita bahwa Datuk Marajo Sati telah menyekap seorang anak gadis di
dalam goa di Ngarai Sianok dan melakukan perbuatan aib. Kabar buruk itu telah
membuat buncah seluruh nagari. Telah pula sampai ke telinga istri Datuk Marajo
Sati di Batu sangkar. Bahkan beberapa orang telah tewas menemui ajal oleh ulah
perbuatanmu! Apa Jawabmu?!”
“Inyiek,
saya…”Pakih Jauhari jatuhkan diri.
“Saya
minta ampun… ”
“Berdiri!”
Bentak Tua Gila. “Jawab saja apa yang aku tanya!”
Pakih
Jauhari berdiri.
“Inyiek.
semua orang yang ada di aini. Saya minta ampun. Mohon saya jangan diapaapakan…
” Lalu
pemuda yang dilanda ketakutan ini meraung-raung.
“Plaakk!”
Datuk
Kuning Nan Sabatang yang berdiri di sebelah Tua Gila jadi kesal, hilang
sabarnya. Langsung saja tangan kanannya melayang menampar Pakih Jauhari hingga
pemuda ini menjerit keras dan darah meleleh dari sudut bibirnya yang luka.
“Kalau
kau masih meraung aku patahkan batang lehermu!” Mengancam Datuk Kuning Nan
sabatang.
“Ampun
Datuk… ampun beribu ampun. Saya akan menjawab. Saya akan bicara… Apa yang tadi
Inyiek tanyakan. . ”
Dengan
kesal Tua Gila mengulang ucapannya.
“Kau
dituduh menyebar cerita bahwa Datuk Marajo Sati telah berbuat aib dengan
seorang gadis Cina di goanya di Ngarai Sianok. Akibat perbuatanmu itu orang
seranah Minang menjadi buncah. Kabar itu telah sampai pula ke telinga istri
Datuk Marajo Sati di Batusangkar. Apa kau sengaja hendak menghancurkan rumah
tangga orang ?! Kau juga diketahui mengumpulkan orang banyak dari beberapa
dusun. Menghasut untuk menghujat dan menyerang Datuk Marajo Sati. Kau juga
diduga membawa-bawa Datuk Luhak Nan Tigo ikut terlibat dalam perkara. Jika apa
yang kau ceritakan adalah dusta maka berarti kau menyebar fitnah. Jika kau
merasa benar apakah kau memiliki bukti?”
Sebelum
Pakih Jauhari menjawab Datuk Kuning Nan Sabatang mendahului. “Inyiek, izinkan
saya bicara. Saya dan Datuk Bandaro Putih pernah menyelidik ke dalam goa
kediaman Datuk Marajo Sati. Maaf bicara disana kami menemukan bukti, berupa
tandatanda nyata keberadaan seorang perempuan… ”
“Apa yang
Datuk temukan… ” tanya Tua Gila.
“Pakaian
luar perempuan, peralatan untuk berhias seperti pupur. Lalu, maafinyiek. Kami
juga menemukan celana dalam perempuan… ”
Sampai
disitu entah sadar entah tidak Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
Si Kamba
Mancuang satu tangan memegang perut satu lagi menekap mulut menahan tawa
cekikikan yang menyembur. Sementara itu Datuk Marajo Sati tampak kelam membesi
wajahnya. Mulut berkomat kamit tapi tidak ada suara yang keluar.
“Diam
semua!” Inyiek Sukat Tandika membentak. “Apa kalian kira ini panggung sandiwara
lucu-lucuan?!”
Wiro dan
Si Kamba Mancuang segera hentikan tawa. Namun ditempatnya berdiri wajah sang
inyiek sekilas tampak tersenyum.
********************
11
UNTUK
beberapa ketika halaman rumah gadang tenggelam dalam kesunyian, inyiek Sukat
Tandika memandang pada Pakih Jauhari. “Kau sudah Siap menjawab semua apa yang
aku katakan tadi?!” Pakih Jauhari mengangguk. Sebelum bicara dia kembali
meratap minta ampun.
“inyiek,
saya orang berdosa. Saya mengaku salah. Memang benar saya ketahui Datuk Marajo
Sati berdua-dua dengan seorang gadis Cina di goanya di Ngarai Sianok selama beberapa
hari. Tapi cerita bahwa Datuk telah berbuat aib, semua itu hanyalah karangan
saya belaka… ”
“Kau
mengaku telah menyebar fitnah?” Tanya Tua Gila.
“Saya
mengaku dan saya minta ampun, minta maaf. Mengenai beberapa orang yang tewas,
tidak ada sangkut pautnya dengan diri saya. Tiga Datuk dari Luhak Nan Tigo sama
sekali tidak terlibat dalam urusan ini. Pada pagi hari sewaktu saya membawa
penduduk ke Ngarai Sianok, sayalah yang menghasut, saya pula yang menancapkan
tiga bendera lambang Luhak Nan Tigo. Kedatangan Para Datuk Luhak Nan Tigo di
Ngarai Sianok hanyalah satu kebetulan saja. Saya mohon maaf pada semua Datuk…”
“Pemuda
keparat! Karena mulut beracunmu Datuk Panglimo Kayo sampai menemui ajal!”
Teriak Datuk Bandaro Putih.
“Saya
mohon ampun, minta maaf. Kematian Datuk Panglimo Kayo tidak ada sangkut pautnya
dengan diri saya. Datuk Panglimo Kayo adalah korban kejahatan seorang yang
datang dari Jawa. Orang itu membawa seorang tentara Cina. Dia dibantu oleh
beberapa orang tokoh di negeri ini. Semua yang berkomplot dengan dia diberi
hadiah batangan emas… ”
“Hemmm… ”
Tua Gila bergumam sambil usap-usap janggut putihnya. “Sekarang jelaskan padaku
dan semua orang yang ada di sini. Mengapa kau berbuat jahat mengarang cerita
menebar fitnah atas diri Datuk Marajo Sati… ”
Pakih
Jauhari tampak ragu juga takut Tapi akhirnya membuka mulut juga “Inyiek…banyak
orang di Luhak Nan Tigo mengetahui, termasuk keluarga besar Datuk Panglimo Kayo
di Tanah Datar bahwa saya dan Gadih Puti Seruni sudah lama menjalin hubungan
dan kami berniat hendak naik ke pelaminan. Namun semua rencana gagal karena
Gadih Puti Seruni yang kemenakan Datuk Panglimo Kayo itu dijodohkan dengen
Datuk Marajo Sati. Suatu hari saya memberanikan diri menemui Datuk Marajo Sati
memohon agar beliau membatalkan pernikahannya dengan gadis yang saya cintai
itu. Tapi saya dihajar sampai setengah mati. Selama puluhan hari saya terbaring
menderita sakit di tempat tidur. Ajal saja yang belum sampai. . ”
“Datuk
Marajo Sati, apa betul yang dikatakan anak muda ini? Kau menghajarnya sampai
setengah mati?”
Datuk
Marajo Sati anggukkan kepala.
“Rupanya
telah terjadi apa yang dinamakan hukum sebab akibat… ” kata Inyiek Sukat
Tandika pula. “Pakih Jauhari, ceritamu bisa diterima. Tetapi kalau apa yang
terjadi kau buat alasan untuk menebar fitnah, itu perbuatan salah dan tercela.
Kau mungkin tidak berjodoh dengan gadis yang kau cintai. Apa kau lupa ajaran
agama kita kalau langkah, rezeki, pertemuan atau jodoh dan maut itu semua
adalah kehendak dan kuasaNya Allah ?”
“Saya
sadar Inyiek. Saya mengerti. Saya minta ampun… ”
Sang
Inyiek berpaling pada Datuk Marajo Sati.
“Datuk
Marajo Sati, aku gembira kau mau mengakui perbuatanmu terhadap pemuda ini.
Sekarang di hadapan semua orang kau harus menuturkan apa sebenarnya yang telah
terjadi antara dirimu dengan gadis Cina itu yang aku dengar punya beberapa nama
elok. Puti Bungo Sekuntum, Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok. Konon dia juga disebut
Kupu Kupu Mata Dewa…”
Datuk
Marajo Sati memulai penuturannya dari kedatangan Chia Swie Kim dalam ujud
seekor kupu kupu besar. Yang terpesat ke dalam goanya di Ngarai Sianok dalam
gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam.
“Dia
minta perlindungan pada saya karena dirinya dalam keadaan dikejar serombongan
orang. Dia menceritakan bahwa dirinya berasal dari negeri Cina. Ujudnya
sebenarnya adalah sebuah kupu kupu batu giok bernama Kupu Kupu Mata Dewa yang
merupakan satu benda pusaka milik Kerajaan Cina dan harus berada di tangan
Kaisar Cina sebagai tanda syahnya dia menduduki tahta. Sebelum dirinya masuk ke
dalam Kupu Kupu Mata Dewa gadis itu adalah puteri seorang Pangeran yang
melarikan diri karena dituduh telah berbuat zinah dengan seorang pemuda. Pemuda
itu sendiri telah dibunuh. Yang Maha Kuasa masih menolong Si gadis. Dia berubah
menjadi angin dan masuk ke dalam Kupu Kupu Mata Dewa. Selanjutnya dia mampu
merubah diri menjadi seekor kupu kupu besar dan hidup. Untuk menyelamatkan diri
dari hukuman pancung oleh ayahnya sendiri kupu kupu itu melarikan diri dan
terpesat masuk ke dalam sebuah kapal. Ayah gadis Cina itu kemudian mengirim
seorang Perwira Muda bernama Teng Sien untuk melakukan pengejaran. Ketika
sampai ditanah Jawa, Teng Sien minta bantuan seorang sakti bernama Ki Bonang
Talang Ijo. Kupu kupu hampir tertangkap namun masih bisa menyembunyikan diri di
dalam sebuah kapal yang kemudian membawanya terpesat ke tempat kediaman Sutan
Panduko Alam di Pesisir Barat. Menurut gadis yang menjelma, sebagai kupu-kupu
itu Sutan Panduko Alam berusaha menolongnya dari kejaran Ki Bonang dan
kawan-kawan. Namun jumlah lawan yang harus dihadapi Sutan Panduko Alam terlalu
banyak. Meski dia berhasil menewaskan salah satu dari mereka dan menyelamatkan
kupu kupu itu di dalam sorbannya, namun Sutan Panduko Alam sendiri akhirnya
menemui ajal, dibantai beramai-ramai. Gadis itu menerangkan bahwa namanya
adalah Chia Swie Kim. Dalam perasaan tidak percaya saya, saya uji dia untuk
memperlihatkan ujud sebenarnya. Maka dia merubah diri kedalam ujud manusia,
ujud seorang gadis Cina… ”
“Luar
biasa! Sulit dipercayai Inyiek, ada satu hal yang tidak masuk akal tiba-tiba
Datuk Kuning Nan Sabatang memotong cerita Datuk Marajo Sati. “Seekor kupu kupu
bisa bicara bahasa manusia, itu adalah ajaib. Lalu jika dia bisa memperlihatkan
diri dengan ujud sebagai seorang gadis, ketika bicara bahasa apa yang
dipakainya. Bukankah Datuk Marajo Sati tidak tahu bahasa Cina?”
Tua Gila
berpaling pada Datuk Marajo Sati. Datuk ini segera berkata. “Keajaiban adalah
kuasaNya Allah. Gadis itu mampu bicara bahasa Minang. Kepada gadis itu saya
bertanya, bagaimana mungkin dia bisa bicara bahasa anak negeri ini. Dia
menerangkan dalam pelariannya, suatu malam, masih dalam ujud seekor kupu-kupu
dia hinggap di atas sebuah rumah di pesisir barat Di rumah itu tengah terjadi
musibah. Seorang anak gadis penghuni rumah meninggal dunia. Secara aneh dari
tubuh gadis yang sudah meninggal keluar cahaya putih yang kemudian masuk ke
dalam tubuh Chai Swie Kim. Sejak saat itu dia mengerti dan mampu bicara dalam
bahasa Minang. Namun dia tidak bisa lagi bicara dalam bahasa leluhurnya walau
dia masih mengerti apa yang diucapkan orang. Saya kemudian memberinya nama Puti
Bungo Sekuntum disertai julukan Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”
“Datuk
Marajo Sati… ” Tua Gila berkata. “Selama beberapa hari gadisCina itu berada di
dalam goa kediamanmu, apa yang telah terjadi ? Harap Datuk menjawab dengan
jujur. Kalau perlu akan kusumpah lagi dengan menjunjung kitab suci Al Qur’an di
atas kepala.”
“Jangankan
berbuat aib, menyentuh gadis itupun saya tidak pernah. Niat saya hanya ingin
menolong karena Lillahi Ta Allah… “
Datuk
Bandaro Putih menyeringai. “Saya ingat ajaran agama kita. Jika ada seorang
lelaki dan seorang perempuan di satu ruangan, maka di ruangan itu akan ada pula
orang ke tiga. Orang ketiga itu adalah setan!”
“Saya
tidak pernah menjadi setan dan tidak ingin menjadi setan. Saya cukup mampu
berlindung pada Allah Yang Maha Kuasa hingga tidak berbuat aib seperti yang
difitnahkan kepada saya. ” Kata Datuk Marajo Sati pula.
“Tapi
tidak ada saksi yang menguatkan keterangan Datuk,” kata Datuk Kuning Nan
Sabatang pula.
“Saksi
saya adalah Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat… ” Jawab Datuk Marajo
Sati. Tiba-tiba Pendekar 212 maju selangkah.
“Inyiek,
bolehkan saya memberi kesaksian?” tanya sang pendekar pada Tua Gila.
“Memang
itu gunanya kau berada di sini,” Jawab Tua Gila. “Apa yang hendak kau katakan
?”
Datuk
Marajo Sati menjadi agak tegang sementara dua Datuk lainnya tampak menyeringai
senang karena mengira Wiro akan memberi kesaksian yang akan mengungkap
perbuatan busuk Datuk Marajo Sati.
Wiro angkat
kopiah hitamnya, garuk-garuk kepala baru keluarkan ucapan “Pada malam yang sama
masuknya kupu kupu besar ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati saya juga
terpesat masuk ke dalam goa itu. Tidak ada maksud jahat, semata-mata karena
rasa ingin tahu saja yaitu gara-gara saya melihat ada seekor burung masuk ke
dalam goa. Di dalam goa, saya mendengar semua pembicaraan gadis kupu kupu itu
dengan Datuk Marajo Sati. Apa yang dikatakan Datuk Marajo Sati tadi sedikitpun
tidak berbeda dengan apa yang saya dengar. Datuk Marajo Sati tidak berdusta…”
Kalau
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang terheran-heran mendengar
penjelasan Wiro maka Datuk Marajo Sati sampai terpana saking tidak percayanya
kalau pemuda yang selama ini dibenci dan malah hendak dibunuhnya itu ternyata
kini membela dirinya.
“Datuk
Marajo Sati, apakah Datuk bersedia mengangkat sumpah atas semua yang tadi Datuk
ceritakan?” Bertanya Tua Gila.
Sebagai
jawaban Datuk Marajo Sati berpaling ke arah Penghulu Sangkalo. Kusir kereta ini
segera mengeluarkan kitab suci Al Our’an dari dalam kantong putih dan
menyerahkan kepada Datuk Marajo Sati. Datuk Marajo letakkan kitab suci itu di
atas kepala lalu mengucap sumpah. Begitu sumpah diucapkan tiba-tiba di langit
sebelah utara kilat menyabung disusul gelegar suara guntur. Angin bertiup
kencang. Hujan mulai turun. Tua Gila angkat dua tangannya ke udara “Saksi sudah
berucap. Sumpah sudah disampaikan! Aku utusan Raja Pagaruyung menyatakan bahwa
untuk saat ini Datuk Marajo Sati tidak terbukti telah melakukan perbuatan mesum
dengan gadis Cina itu. Namun agar lebih ada kejelasan, gadis Cina itu harus
ditemukan untuk diminta kesaksiannya. itu menjadi tugas Datuk Marajo Sati kalau
memang benar-benar ingin membersihkan diri dari lumpur fitnah. Muridku Pendekar
Dua Satu Dua dan nenek bernama Si Kamba Mancuang itu mungkin bisa membantu. Aku
akan berada di Pagaruyung selama beberapa hari. Mudah-mudahan dalam waktu
Singkat Datuk Marajo Sati bisa menemukan gadis Cina itu dan membawanya ke
Istana di Pagaruyung. Bukankah dia telah diculik oleh Tuanku Laras Muko Balang
?”
Baru saja
Tua Gila selesai berucap hujan turun dengan lebatnya. Dua obor di halaman serta
merta padam. Halaman rumah gadang diselimuti kegelapan. Tua Gila melesat naik
ke atas kereta diikuti Penghulu Sangkalo. Dua belas perajurit serentak naik ke
atas tunggangan masing-masing. Sesaat kemudian rombongan dari Pagaruyung itu
telah bergerak pergi dengan cepat Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan
Sabatang melompat ke atas harimau besar tunggangan masing-masing. Pakih Jauhari
lenyap entah kemana.
Wiro
menekan kopiah hitamnya sampai ke alis. Sekujur tubuhnya basah kuyup.
“Uhh
dingin Nek,” kata Wiro pada Si Kamba Mancuang.
“He…he!
Jangan mencari akal! Awas kalau kau berani memelukku1” Kata Si nenek cepat
tanggap.
Wiro
tertawa gelak-gelak. Si nenek ikut-ikutan tertawa cekikikan. Saat itu tiba-tiba
Wiro mendengar suara ngiangan Tua Gila. “Anak setan! Kalau kau tidak mampu
menemukan gadis Cina itu lebih baik kau pulang kampung saja. Apakah kau tidak
ingin melihat wajahnya? Apa benar dia cantik? Ha…ha…ha. Awas kalau kau sampai
kepincut Nenek bergigi perak itu pasti akan meremas kantong menyanmu sampai
hancur dan dibuatnya dendeng balado! Ha… ha… ha!” (dendeng balado = dendeng
bumbu cabe. Makanan khas orang Minang)
Wiro
senyum-senyum mendengar suara ngiangan sang guru. Lalu dia mengambil kain putih
yang tercampak di tanah.
“Nek!”
katanya pada Si Kamba Mancuang. “Dengan kesaktianmu kita bisa mempergunakan
kain ini untuk kembali menjajagi dimana beradanya Tuanku Laras Muko Balang.
Kita harus mengejar dan menemukannya secepat mungkin!”
Mengerti
apa yang dimaksudkan Wiro maka Si Kamba Mancuang segera ambil kain putih yang
tercampak di tanah lalu dililitkan di pinggang. Hujan lebat membuat enam lobang
di tanah tergenang air, berubah menjadi kolam.
Sebelum
pergi Si Kamba Mancuang lari ke arah mayat Pandeka Bumi Langit yang tergeletak
tak jauh dari salah satu lobang besar yang telah digenangi air hujan. Dengan
cepat dia berhasil menemukan tiga batang emas di balik pakaian lelaki itu.
“Nek, kau
rupanya tidak lupa harta itu,”tegur Wiro.
“Bukan
untuk diriku. Kelak akan aku sedekahkan pada fakir miskin.” Jawab Si nenek
bergigi perak.
Sebelum
berkelebat pergi di bawah hujan lebat Pendekar 212 berseru pada Datuk Marajo
Sati.
“Datuk,
apa Datuk mau berhujan-hujan dan kedinginan sendirian di tempat ini? Lekas ikut
bersama kami! Bukankah kita punya kepentingan yang sama? Mencari Tuanku Laras,
menyelamatkan gadis Cina bernama Puti Bungo Sekuntum itu?!”
Datuk
Marajo Sati terkesima. Tidak menyangka Wiro akan berkata seperti itu. Sadar
kalau dia punya tanggung jawab dan memang harus ikut bergabung menyelamatkan
gadis Cina itu maka sang Datuk berseru. Tunggu!”
Wiro dan
Si Kamba Mancuang hentikan lari. Datuk Marajo Sati perhatikan kain putih yang
melilit di pinggang Si nenek.
“Kamba
Mancuang, kau memiliki ilmu Sapanjang Jalan Mangaja Raso ?” (Sapanjang Jalan
Mangaja Raso = Sepanjang Jalan Mengejar Rasa)
Si nenek
terkejut mendengar Datuk Marajo Sati mengetahui limu pemberian gurunya Inyiek
Susu Tigo. Memang dengan ilmu kesaktian. yang tadi disebutkan Datuk Marajo Sati
dengan mengandalkan kain putih yang telah bersentuhan dengan pedang Al Kausar
dia akan mampu mencari dimana beradanya Tuanku Laras seperti yang telah
dilakukan sebelumnya. Sambil tersenyum Si nenek menjawab. “Ah, Datuk sudah tahu
ilmu itu rupanya. ”
“Bagus,
dimanapun Tuanku Laras berada kita sudah punya kepastian akan dapat mengetahui
dan mendatanginya. Tapi kita harus bertindak cepat. Aku kawatir terjadi sesuatu
dengan gadis Cina itu. ”
Datuk
Marajo Sati lalu susun sepuluh jari di atas kepala. Mulutnya berucap perlahan
“Inyiek
Harimau Nan Tongga, Jika kau sudah sembuh datanglah Aku Datuk Marajo Sati
sangat membutuhkan pertolonganmu!”
Dalam
gelapnya malam, di bawah hujan lebat dan deru angin luar biasa kencang tibatiba
tanah menggeletar oleh suara auman dahsyat.
Sesaat
kemudian sebuah benda besar melayang turun dari langit. Ketika ujudnya nampak
nyata ternyata benda itu adalah seekor harimau kuning belang hitam. Sepasang
matanya yang kebiru-biruan seperti menyala dalam gelap. Ekor menyentak-nyentak
mendera air hujan. “Alhamdulillah… Aku bersyukur pada Allah. ” Mengucap Datuk
Marajo Sati. Seperti, diketahui sebelumnya harimau sakti itu pernah mengalami
cidera keracunan dan sakit akibat serangan Ilmu Santuang Panyasek yang
dilancarkan Tuanku Laras. Ingat akan hal itu muncul rasa kawatir dalam diri
Datuk Marajo Sati. Bukan tidak mungkin kalau tahu dirinya dikejar Tuanku Laras
kembali akan melancarkan serangan yang sama, malah bisa saja lebih dahsyat yang
bisa membunuh harimau peliharaannya.
“Datuk,
ada sesuatu yang merisaukan Datuk?” Bertanya Wiro.
Datuk
Marajo Sati lalu menceritakan apa yang pernah dialami harimau tunggangannya
itu.
“Kalau
cuma Ilmu Santuang Panyasek, mudah menangkalnya!’
Si Kamba
Mancuang berkata. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kantong
kecil. Dari dalam kantong dia mengambil sebuah cermin kecil. Bagian belakang
cermin dijilatnya diberi ludah. Lalu cermin itu ditempelkan ke kening harimau
peliharaan sang Datuk. ”Beres Datuk. Segala ilmu setan panyasek apapun tidak
akan tembus!”
“Kau
hebat Nek,” memuji Datuk Marajo Sati. “Kita berangkat sekarang. ”
Ketiga
orang itu lalu naik ke punggung harimau besar Inyiek Nan Tongga.
********************
12
PENDERITAAN
gadis Cina Chia Swie Kim Si Kupu Kupu Mata Dewa yang oleh Datuk Marajo Sati
diberi nama Puti Bungo Sekuntum dan dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok
serasa tidak tertahankan lagi. Selama dirinya dalam penculikan gadis ini
senantiasa dihantui rasa takut. Siang tadi yaitu sejak Tuanku Laras Muko Balang
meninggalkannya dia tergolek miring di lantai batu yang dingin. Dia Ingin
berteriak namun mulut tak bisa bersuara. Tenggorokan terkancing akibat totokan
yang dilakukan Tuanku Laras. Selain tak bisa bersuara gadis ini juga tidak
mampu menggerakkan kepala, badan, tangan ataupun kaki. Dia tidak tahu kemana
perginya Tuanku Laras. Sebelum pergi Tuanku Laras menyalakan sebuah pelita
kecil yang ada di dalam ruangan. Ini satu pertanda bagi Chia Swie Kim kalau orang
yang menculiknya itu akan pergi cukup lama dan baru kembali pada malam hari.
Yang jelas cepat atau lambat Tuanku Laras pasti akan datang kembali. Dalam
derita sengsara seperti itu Chia Swie Kim tiada hentinya berdoa mohon
keselamatan pada Thian Yang Maha Kuasa. Dengan air mata berderai dia memohon
agar dirinya diberi perlindungan dan diselamatkan dari segala maksud jahat
Tuanku Laras. (Thian = Tuhan)
Tiba-tiba
terdengar suara berdesir disertai kilauan cahaya pulih. Sesaat kemudian
seseorang melayang masuk, terbang bergayut pada sebilah pedang. Meskipun tidak
bisa melihat, karena dirinya tergolek miring membelakangi namun Chia Swie Kim
sudah maklum siapa yang datang. Orang itu membungkuk di belakangnya,
membalikkan tubuhnya hingga tertelentang. Karena ada dua kancing bajunya yang
lepas, ketika tertelentang sebagian dada gadis itu jadi tersingkap.
Tuanku
Laras melirik sebentar. Tubuhnya bergetar melihat pemandangan itu. Seperti
diketahui dia sudah memiliki tiga orang istri. Dua diantaranya masih muda-muda,
hampir sebaya gadis Cina ini. Namun kecantikan serta keelokan tubuh Chia Swie
Kim tidak dapat tertandingi oleh istri-istrinya itu.
Tuanku
Laras lalu melepas totokan di leher Chia Swie Kim hingga Si gadis bisa membuka
mulut dan bicara kembali.
“Sebentar
lagi fajar menyingsing. Kita harus segera pergi dari sini… ” Berkata Tuanku
Laras.
“Tuanku
Laras, saya mohon lepaskan saya… ”
“Aku
tidak bermaksud jahat padamu. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa aku akan
mengawinimu secara baik-baik? Kita akan berangkat ke Periangan Padang Panjang.
Besok pagi-pagi sekali sudah ada seorang ulama yang akan menikahkan kita. Kau
akan aku panggil dengan nama Puti Mata Dewa. Bukankah nama itu lebih bagus dari
Puti Bungo Sekuntum pemberian keparat Datuk Marajo Sati itu ?”
Mendengar
ucapan Tuanku Laras yang hendak mengawininya walaupun secara baikbaik Chia Swie
Kim merasa nyawanya seperti terbang. Dia terdiam beberapa lama lalu berkata.
“Tuanku
Laras, terus terang saya tidak pernah berniat dan mau jadi istri Tuanku Laras.
Tapi kalau ini memang sudah takdir saya hanya bisa berpasrah diri. Saya mohon
Tuanku Laras tidak menotok jalan suara saya kembali… ”
Mendengar
ucapan Si gadis Tuanku Laras tersenyum. Dia merasa ada perubahan pada diri Chia
Swie Kim. “Jadi kau suka aku nikahi?” Tanyanya sambil memegang bahu Si gadis
sementara sepasang mata kembali melirik ke dada yang tersingkap.
“Tuanku
Laras, tadinya saya memang sangat membencimu. Namun setelah saya berpikir
dengar jernih. Agaknya tidak ada pilihan lain. Mungkin ini sudah takdir Yang
Maha Kuasa saya harus kawin dengan Tuanku Laras… ”
Mendengar
kata-kata Chia Swie Kim Tuanku Laras jadi luar biasa gembira. Dia membungkuk
lelu menciumi wajah Si gadis. Ciumannya kemudian turun ke dada. Dalam keadaan
tertotok seperti itu Chia Swie Kim tidak mampu berbuat apa-apa selain meratap,
memohon.
“Tuanku
Laras, jangan perlakukan saya seperti ini! Saya belum jadi istrimu!” Kata Chia
Swie Kira setengah berteriak. Tuanku Laras diam saja. Mukanya yang berbulu
masih terus berada di atas dada Si gadis. Nafas mengengah, dada turun naik.
Sebelum Tuanku Laras mengumbar nafsunya lebih jauh, gadis Cina ini berkata.
“Tuanku
Laras, dengarkan saya. Ada yang hendak saya katakan. Ada satu hal yang sangat
saya takutkan… ”
Tuanku
Laras angkat kepalanya dari dada Chia Swie Kim. “Puti Mata Dewa, kekasihku…
Katakan, hai apa yang kau takutkan?”
“Saya
malu, saya tak berani menyampaikan pada Tuanku Laras. ” Menjawab Chia Swie Kim.
Tadi kau
mengatakan takut, sekarang malu. Aku tidak mengerti. Apa yang kau takutkan, apa
yang membuatmu malu?”
“Saya
malu pada diri sendiri dan saya takut pada Tuanku Laras. Saya takut apakah
Tuanku Laras masih mau menerima saya dalam keadaan seperti ini… ”
“Puti
Mata Dewa, mengapa kau berkata begitu. Memangnya ada apa dengan dirimu. Kau
cantik dan kau tahu aku sangat menyukaimu… “
Wajah
gadis puteri Pangeran Tiongkok itu tampak berubah muram. Suaranya berucap
sedikit tersendat tapi cukup jelas sampai ke telinga Tuanku Laras.
“Tuanku
Laras, ketahuilah, saya sudah tidak gadis lagi. Saya tidak perawan lagi… ”
Sepasang
mata Tuanku Laras membeliak. Bulu hitam putih yang menutupi wajah berdiri
meranggas.
Puti Mata
Dewa… apa maksudmu? Bicara yang jelas… ”
“Tuanku
Laras, ketika berada di goa kediaman Datuk Marajo Sati, Datuk itu telah
merampas kehormatan saya. Dia meniduri saya sampai berulang kali… ”
Habis
berkata begitu Chia Swie Kim lalu menangis sesenggukan. Apa yang diucapkan Si
gadis seperti sambaran petir terdengarnya di telinga Tuanku Laras.
“Apa ?!
Datuk keparat itu telah menidurimu ?! Dia telah merampas kegadisanmu ? Jadi
sekarang kau tidak perawan lagi ? Kalera ! Jahanam kurang ajar ! Apa yang
dikatakan orang rupanya benar ! Datuk mesum !” (Kalera = makian kasar/jahanam)
Tuanku Laras berteriak keras seperti orang kemasukan setan.
“Saya
mengerti Tuanku Laras sangat kecewa setelah tahu saya tidak gadis lagi. Saya
mohon kalau bisa Tuanku Laras membalaskan sakit hati saya pada Datuk jahanam
itu. Saya sebenarnya lebih baik mati dari pada menerima aib seperti ini. Apa
lagi kalau saya sampai berbadan dua… “ Senggukan Chia Swie Kim semakin keras.
Tuanku
Laras melompat bangkit. Beberapa lama dia melangkah mundar-mandir di dalam
ruangan batu sambil mulut menyumpah tiada henti. Beberapa kali saking marahnya
dia menendang hingga dinding batu hancur berlubang-lubang.
“Tuanku
Laras, saya sudah dinodai orang. Takpantas rasanya saya jadi istri Tuanku
Laras… ”
Tuanku
Laras berhenti mundar-mandir. Darah dalam tubuhnya mengalir seperti bara cair!
“Srett !”
Tiba-tiba
Tuanku Laras cabut pedang Al Kausar dari sarungnya. Senjata itu walaupun di
dalam ruangan agak gelap tetap saja memancarkan cahaya berkilauan.
“Tuanku
Laras, jangan!”Chia Swie Kim berteriak keras. Mata terbeliak ketika melihat
bagaimana pedang berkilat dihunjamkan.
********************
13
TUANKU
Laras keluarkan suara menggembor. Pedang Al Kausar ditusukkan ke bawah!
Cahaya
berkilau memancar pertanda dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki!
Chia Swie KIm kembali menjerit
“Traangg!”
Pedang sakti berkerontang ketika menembus lantai batu sampai sepertiganya.
Lantai batu bergetar. Pedang Al Kausar bergoyang-goyang memancarkan cahaya
terang menyilaukan.
“Pedang
sakti pedang Al Kausar. Keluar dari sini. Pagari tempat ini dengan Ilmu Salapan
Panjuru Bumi Manulak Bahalo !” (Salapan Panjuru Bumi Manulak Bahalo = Delapan
Penjuru Bumi Menolak Bahala.)
Begitu
Tuanku Laras berteriak, pedang Al Kausar yang menancap di lantai batu pancarkan
delapan cahaya putih gemerlap yang kemudian membentuk delapan buah pedang yang
sangat sama dengan aslinya. Delapan pedang ini kemudian melesat keluar ruangan.
Chia Swie
Kim tidak sempat memperhatikan apa yang kemudian terjadi, karena begitu delapan
pedang jejadian melesat keluar, saat itu pula Tuanku Laras jatuhkan diri ke
lantai lalu menghimpit tubuhnya. Dua tangan meraba kian kemari. Chia Swie Kim
menjerit keras tiada henti hingga suaranya jadi parau.
“Kau
memang tidak layak jadi Istriku! Tapi cukup layak melayaniku seberapa lama aku
suka!” Ucap Tuanku Laras penuh nafsu.
“Jangan!
Kasihani saya!” Chia Swie Kim berteriak memohon ketika Tuanku Laras mulai
membuka paksa pakaian birunya.
***********************
CERMIN
milik Si Kamba Mancuang yang ditempelkan di kening harimau Inyiek Nan Tongga
ternyata ampuh menangkal ilmu Santuang Panyasek Tuanku Laras Muko Balang.
Ternyata bukan saja penangkal itu berhasil menembus kesaktian Tuanku Laras dan
membuat Datuk Marajo Sati, Wiro serta Si Kamba Mancuang yang menunggang harimau
sakti berhasil mengejar dan mengetahui dimana beradanya manusia bermuka belang
itu, tapi Ki Bonang Talang Ijo serta Teng Sien yang juga mengejar Tuanku Laras
kebagian untungnya. Karena kendala sudah ditumpas, kedua orang ini juga bisa melakukan
pengejaran tanpa halangan walau agak ketinggalan di belakang.
Setelah
beberapa lama melayang di udara malam yang dingin, dengan matanya yang tajam
karena dialiri hawa sakti Si Kamba Mancuang memandang ke bawah lalu berkata
pada Datuk Marajo Sati.
“Datuk,
kau lebih tahu dari saya. Saat ini bukankah kita berada di atas kawasan Air
Terjun Akar Berayun di Luhak Lima Puluh Kota ?”
“Rasanya
kau tidak keliru. Aku dari tadi memang mendengar suara deru air terjun itu,”
jawab
Datuk Marajo Sati. Baru saja dia berucap tiba-tiba harimau yang ditunggangi
menukik ke bawah. “Aku ingat” kata Datuk Marajo Sati setengah berteriak. “Air
terjun Akar Berayun terletak di Lembah Hantu. Di sekitar lembah banyak relung
batu membentuk goa besar yang bisa dijadikan tempat persembunyian. ”
Tak
selang berapa lama harimau Nan Tongga sudah menjejakkan kaki di tanah. Ke tiga
orang itu memandang berkeliling. Si Kamba Mancuang angkat ujung kain putih yang
digulung di pinggang. Ujung kain ini seperti ular hidup bergerak-gerak ke arah
depan dimana terdapat dinding lembah yang memiliki banyak relung atau goa
besar. Pendekar 212 segera terapkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu
Duyung, gadis cantik bermata biru kepercayaan Nyi Roro Kidul, Penguasa Laut
Selatan.
“Datuk,
saya melihat ada cahaya api kecil. Mungkin lampu minyak. Di arah sana… ”
Wiro
menunjuk ke depan, ke arah salah satu relungan di dinding lembah.
Tiba-tiba
Datuk Marajo Sati dan juga Wiro serta Si nenek mendengar suara Jeritan
perempuan.
‘Itu
suara Puti Bungo sekuntum!” Teriak Datuk Marajo Sati. “Aku yakin!” Saat itu
sang Datuk dan Si nenek sudah dapat melihat nyala api pelita yang ada di dalam
salah satu relung di dinding lembah. Tidak menunggu lebih lama ke tiga orang
itu segera melesat ke arah nyala api. Harimau Inyiek Nan Tongga melompat lebih
dahulu, menyusul Wiro. Ketika hanya tinggal sepuluh langkah dari mulut goa
dimana ada nyala api dan terdengar suara jeritan perempuan tiba-tiba dari dalam
tanah lembah yang banyak ditumbuhi semak belukar mencuat keluar delapan cahaya
terang menyilaukan, membeset ke udara. Harimau besar Inyiek Nan Tongga mengaum
keras ketika salah satu cahaya mencuat menembus tubuhnya. Binatang ini mencelat
sampai satu tombak lalu terbanting jatuh ke tanah. Datuk Marajo Sati berteriak
kaget. Cepat melompat ke arah harimau peliharannya sambil melepas satu pukulan
tangan kosong mengandung hawa sakti. Namun terlambat Inyiek Nan Tongga
tergeletak di tanah. Tubuhnya sebelah bawah terbelah mulai dari dada sampai ke
bawah perut Sebuah senjata aneh menyerupai pedang Al Kausar menancap di tubuh
binatang ini lalu berubah jadi asap dan lenyap.
Tujuh
cahaya yang juga menyerupai pedang Al Kausar jejadian laksana terbang menderu
ke arah Wiro, Datuk Marajo Sati dan Si Kamba Mancuang. Tiga membabat dua
membacok dan dua lagi menusuk.
“Tuanku
Laras keparat! Dia mempergunakan ilmu Salapan Panjuru Bumi Manulak Bahayo!”
Berteriak
Si Kamba Mancuang yang rupanya mengetahui ilmu gaib sakti yang dimiliki Tuanku
Laras. Lalu Si nenek dorong tubuh Wiro dan Datuk Marajo Sati. Ketiganya jatuh
sama rata di tanah. Tujuh pedang ganas lewat hanya dua jengkal di atas mereka!
“Kalau
itu memang ilmunya Tuanku Laras, berarti manusia keparat itu ada di dalam goa
sana!” Sang Datuk bergerak hendak masuk ke dalam goa. Tapi Si Kamba Mancuang
cepat menarik kaki Datuk Marajo Sati hingga orang bertubuh tinggi besar ini
jatuh tergelimpang menelungkup. Di saat yang sama tujuh pedang gaib kembali
menderu, kini hanya satu jengkal di atas kepala! Datuk Marajo Sati merasa
tengkuknya dingin. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku,” kata Datuk
Marajo Sati yang disambut Si nenek dengan senyum-senyum.
Sementara
itu tujuh pedang kembaran Pedang Al Kausar berputar di udara lalu kembali
hendak menyerang. Wiro segera lepaskan pukulan sakti sekaligus dengan dua tangan.
Yang kiri melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung, yang kanan melancarkan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Datuk Marajo Sati lepaskan pukulan
yang memancarkan cahaya kebiruan, menebar membentuk kipas. Inilah jurus pukulan
sakti bernama Manjajak Bumi Mangapuang Langlek (Menjejak Bumi Mengepung Langit)
yang
sangat jarang dipergunakan oleh sang Datuk. Si Kamba Mancuang tak mau
ketinggalan. Dia menghantam dengan ilmu Angin Merapi Merambah Bumi. Sekali dia
mengangakan mulut maka dua cahaya putih mengandung hawa panas melesat keluar
dari dua deretan gigi perak.
Empat
dentuman keras disertai taburan cahaya berkilauan menggelegar di Lembah Harau
Langit seperti hendak runtuh. Bumi serasa tenggelam amblas! Dan hebatnya, yang
membuat tiga orang itu kaget luar biasa adalah ketika getaran dentuman serta
taburan cahaya lenyap, di udara tampak kembali pedang Al Kausar jejadian, tapi
kini jumlahnya bukan cuma tujuh melainkan menjadi empat belas!
“Nek,
celaka kita!” Teriak Wiro.
“Datuk!
Cepat keluarkan ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo! Semua pedang jahanam itu harus
dimusnahkan! Cepat!” Teriak Si Kamba Mancuang.
Mendengar
teriakan itu serta merta Datuk Marajo Sakti kerahkan ilmu yang dikatakan Si
nenek. Wiro tidak mau ketinggalan. Murid Sinto Gendeng ini dengan cepat
keluarkan Ilmu kesaktian yang sama tapi berlainan nama yaitu Membelah Bumi
Menyedot Arwah, yang didapatnya dari negeri Latanahsllam.
Lembah
Harau bergemuruh ketika tanah lembah menguak terbelah di dua tempat. Empat
belas pedang Al Kausar jejadian yang melayang di udara tak ampun lagi terhisap
ke bawah. Begitu dua tanah yang terbelah merapat kembali, empat belas pedang
amblas tersedot lenyap tak kelihatan lagi!
Di dalam
relung di dinding lembah Tuanku Laras yang baru saja hendak membuka pakaian
hitamnya berteriak kaget ketika suara empat dentuman di luar sana membuat
tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kilau pedang Al Kausar yang menancap di
lantai batu tampak meredup, getarannya yang tadi angker kini berubah perlahan.
Tiba-tiba dilihatnya pedang itu amblas ke dalam batu sampai ke batas gagang.
Ujung gagang mengepulkan asap kehitaman.
“Jahanam
kurang ajar! Apa yang terjadi!” Teriak Tuanku Laras Muko Balang. Dengan cepat
dia melompat mencabut pedang dari dalam batu. Saat itulah kiri kanan dinding
relung batu menggelegar lalu hancur berkeping-keping. Pelita di dalam ruangan
padam!
Apa yang
terjadi ? Setelah memusnahkan empat belas pedang jejadian, Wiro dan Datuk
Marajo Sati kembali melancarkan serangan. Kali ini ditujukan pada dinding kiri
kanan goa batu dimana Tuanku Laras berada. Wiro menghantam dengan Pukulan
Harimau Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Amen, salah seorang tokoh yang
dianggap paling sakti di Pulau Andalas yang tinggal di dasar Danau Maninjau.
Datuk Marajo Sati cabut keris Rajo Kaluak Sambilan lalu ditusukkan ke depan.
Sembilan larik sinar biru bergulung dahsyat membentuk ujung tombak, menghajar
dinding batu sebelah kanan, inilah ilmu kesaktian yang disebut Tombak Dewa
Turun Ke Bumi. Dinding goa kiri kanan runtuh. Asap bercampur kepingan batu dan
debu mencelat tinggi sampai lima tombak.
Lembah
Harau kembali dilanda dentuman keras ketika Pukulan Harimau Dewa yang dilepas
Pendekar 212 dan Tombak Dewa Turun Ke Bumi gulungan sinar biru yang memancar
dari keris sakti di tangan Datuk Marajo Sati menghantam kiri kanan dinding goa
batu hingga runtuh, asap bercampur kepingan batu dan debu mencelat tinggi
sampai lima tombak.
“Aku
kawatir serangan kita mencelakai gadis Cina itu!” Kata Datuk Marajo Sati agak
kawatir. Tiba-tiba dibalik debu dan asap, dari dalam goa kelihatan seorang
lelaki keluar sambil memanggul perempuan berpakaian biru.
“Lihat!
Itu dia ! Jahanam itu mencoba lari!” Teriak Datuk Marajo Sati. Dengan tangan
masih memegang keris sakti serta merta melompat hendak mengejar. Namun Wiro
memegang bahunya seraya berkata. “Kita jangan sampai tertipu. Setahu saya
Tuanku Laras punya Ilmu bernama Bayangan Menipu Mata! Bukan mustahil yang kita
lihat adalah jejadian untuk memperdayai! Kita sembunyi dan mengintai dulu
dibalik belukar. ”
Apa yang
dikatakan murid Sinto Gendeng ternyata memang benar. Beberapa saat setelah dua
sosok yang terlihat lenyap ke arah timur dimana saat itu fajar mulai
menyingsing dan keadaan di Lembah Harau mulai terang, dari balik semak belukar
tibatiba ketiga orang itu melihat sosok Tuanku Laras keluar dari dalam goa yang
masih dikepuli asap. Di bahu kiri dia memanggul seorang perempuan berpakaian
biru yang bukan lain adalah Chia Swie Kim. Gadis ini tidak bersuara tidak pula
meronta. Agaknya Tuanku Laras telah menotoknya kembali.
Tuanku
Laras acungkan tangan kanan yang memegang pedang tinggi-tinggi di atas kepala.
Pedang Al Kausar melesat ke udara, menerbangkan Tuanku Laras dan Chia Swie Kim.
“Kurang ajari Si muka belang itu melarikan diri dengan terbang ke udara
mengandalkan kesaktian Pedang Al Kausar!” Berseru Si Kamba Mancuang. Datuk
Marajo Sati melompat keluar dari balik semak belukar. Wiro dan Si Kamba
Mancuang juga segera mengejar.
“Celaka!
Kita tidak mungkin mengejar! Sorbanku telah tiada! Harimau tungganganku telah
tewas!” Datuk Marajo Sati berteriak marah dan putus asa. Dia coba menyerang
dengan keris sakti namun tak jadi karena takut akan mencelakai Chia Swie Kim.
Di udara.
Sambil
melayang terbang Tuanku Laras memandang ke arah ke tiga orang itu lalu tertawa
gelak-gelak.
“Datuk
keparat! Kau telah merusak kehormatan calon istriku! Dia mengaku sendiri! Kalau
kau masih menginginkan dirinya aku akan mengirimkan bangkainya ke Ngarai
Sianok! Ha… ha… ha!”
Tiba-tiba
suara tawa Tuanku Laras terputus.
********************
14
KETIKA
sosok Tuanku Laras melayang di udara melewati bagian atas sebuah pohon besar tiba-tiba
dari balik kerimbunan dedaunan melesat seutas benang putih yang demikian
halusnya hingga sulit terlihat mata. Benang itu dengan cepat melibat pedang Al
Kausar terus bergulung ke tangan kanan Tuanku Laras Muko Balang dan selanjutnya
membuntal seluruh tubuhnya. Anehnya benang sama sekali tidak melibat tubuh Chia
Swie Kim yang ada di panggulan Tuanku Laras.
Manusia
bermuka belang hitam putih itu tersentak kaget. Menyumpah marah dan berusaha
dengan segala cara untuk melepaskan libatan benang putih aneh. Namun siasia
saja. Malah saat itu tubuhnya seperti dikerek melayang turun ke bawah hingga
akhirnya jatuh terguling di tanah Lembah Harau, tak jauh dari air terjun Akar
Berayun. Tubuh Chia Swie Kim yang tidak terlibat benang aneh, jatuh dari
bahunya dan terbaring di tanah.
Melihat
apa yang terjadi, dalam perasaan heran Datuk Marajo Sati, Wiro dan Si Kamba
Mancuang segera memburu ke tempat jatuhnya Tuanku Laras Muko Balang. Dari arah
lain mendadak muncul dua orang. Mereka ternyata adalah Ki Bonang Talang Ijo dan
Perwira Muda Teng Sien. Di saat itu pula tiba-tiba di atas pohon besar
terdengar suara tawa mengekeh. Lalu seorang berpakaian serba putih melayang
turun.
“Guru !”
Seru Wiro.
Ternyata
orang yang turun dari atas pohon adalah kakek muka tengkorak Inyiek Sukat
Tandika alias Tua Gila! Dialah tadi yang menjirat Tuanku Laras Muko Balang
dengan senjata yang dikenal bernama benang sakti Benang Kayangan yang selama
ini tidak satu kekuatan atau senjata apapun bisa memutusnya! Sambil masih
tertawa mengekeh Tua Gila sentakkan benang sakti. “Wuttt”
Serta
merta pedang Al Kausar yang masih tergenggam di tangan kanan Tuanku Laras Muko
Balang berikut sarungnya yang terselip di pinggang melesat ke udara. Tua Gila
angkat tangan kiri. Sarung pedang menancap lebih dulu ke tanah. Pedang
telanjang menyusul jatuh dan langsung masuk ke dalam sarung!.
Si Kamba
Mancuang cepat mendatangi Chia Swie Kim dan menolong gadis ini setelah lebih
dulu melepas totokannya. Dari balik pakaiannya Si nenek keluarkan sehelai jubah
putih lalu dikenakan ke tubuh Chia Swie Kim hingga auratnya yang nyaris
telanjang kini tertutup. Datuk Marajo Sati mendatangi Tuanku Laras lebih dulu
dari Ki Bonang dan Teng Sien. Wiro dan Si Kamba Mancuang berjaga-jaga agar
kedua orang itu tidak terlalu dekat dengan Chia Swie Kim.
“Inyiek
Sukat Tandika, terima kasih telah tolong meringkus jahanam gadang bermuka
belang ini! Mohon Inyiek melepaskan libatan benang sakti. Biarkan kami
bertarung satu lawan satu!” Berkata Datuk Marajo Sati.
Dari
samping kiri Ki Bonang Talang Ijo membuka mulut “Orang tua yang dipanggil
Inyiek. Saya mohon gadis itu diserahkan pada Perwira Muda dari Tiongkok ini.
Dia bertanggung jawab untuk membawanya kembali ke negeri Cina!”
Datuk
Marajo Sati mendengus lalu keluarkan ucapan mengancam. “Siapa saja yang
menginginkan gadis itu harus melangkahi mayatku lebih dulu!”
Tua Gila
tertawa. Dia tidak mengacuhkan permintaan Ki Bonang. Sementara di tanah Tuanku
Laras masih mencoba melepaskan diri dari libatan Benang Kayangan. Namun tetap
tidak berhasil. Kini dia mulai berteriak-teriak dan memaki.
“Inyiek!
Lepaskan diriku! Apa kau kira aku takut berkelahi melawan Datuk mesum itu?!”
“Bukkk!”
Dimaki
Datuk mesum Datuk Marajo Sati segera saja tendang dada Tuanku Laras Muko Balang
hingga orang ini terpental dan muntahkan darah kental!
“Datuk
Marajo Sati, harap kau mau bersabar. Ini kesempatan baik kita dapat meneruskan
pembicaraan di Bukit Batu Patah tadi malam. Gadis yang diharapkan akan menjadi
saksi sudah ada di sini. Aku akan menanyainya… ”
Tua Gila
berpaling ke arah Chia Swie Kim. Gadis ini tampak ketakutan.
“Gadis
berambut panjang hitam, tidak usah takut. Siapa namamu ?” Tua Gila menyapa
dengan menanyakan nama.
Mula-mula
Chia Swie Kim tak mau bicara. Namun dibujuk oleh Si Kamba Mancuang. Si gadis
jadi heran. Dia ingat dulu nenek seram bertangan sangat panjang dan bergigi
perak ini adalah salah seorang anggota rombongan Teng Sien yang mengejarnya
sampai di Bukit Melintang. Sekarang mengapa berbuat baik menolongnya ?
“Anak
gadis, kau tak usah takut. Tidak akan ada seorangpun yang bakal menyakitimu…”
Berkata Tua Gila. “Harap kau mau menjawab semua pertanyaanku. ” Akhirnya Si
gadis membuka mulut juga.
“Saya
terlahir dengan nama Chia Swie Kim. Datuk Marajo Sati memberi saya nama Puti
Bungo Sekuntum. Datuk Juga menggelari saya Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok… ”
“Apa
benar kau puteri seorang Pangeran di negeri Cina? Melarikan diri ke negeri ini
karena dituduh berbuat zinah dengan kekasihmu?”
“Bahwa
saya seorang puteri Pangeran itu adalah benar. Namun tuduhan bahwa saya berbuat
zinah adalah fitnah belaka. Saya melarikan diri ke negeri ini atas petunjuk
Yang Maha Kuasa. Saya dimasukkan ke dalam sebuah batu giok keramat berbentuk
kupu-kupu bernama Kupu Kupu Mata Dewa, milik Kaisar Tiongkok… ”
“Berarti
dalam tubuhmu terdapat tiga unsur. Tubuh atau dirimu yang asli sebagai Chia
Swie Kim, lalu ujud asli Kupu Kupu Mata Dewa dan yang ke tiga ada roh anak
gadis di negeri ini yang masuk ke dalam dirimu hingga kau bisa bicara bahasa
orang di sini… ”
Chia Swie
Kim mengiyakan dengan mengangguk perlahan.
“Anak
gadis, benarkah Datuk Marajo Sati telah menolongmu ketika kau dalam ujud
kupu-kupu besar diterbangkan sorban sakti milik Sutan Panduko Alam ke goa
kediaman Datuk di Ngarai Sianok?”
Chia Swie
Kim menatap ke arah Datuk Marajo Sati. Hatinya hiba melihat orang ini. Lalu dia
anggukkan kepala dan menjawab. “Benar sekali. Datuk telah menyelamatkan saya,
menolong saya sebelum Perwira Muda Teng Sien dan rombongannya menculik saya… ”
“Selama
berada di dalam goa bersama Datuk Marajo Sati, apakah Datuk memperlakukanmu
dengan baik… ”
Chia Swie
Kim mengangguk lagi. “Datuk sangat memperhatikan dan menjaga keselamatan saya.
Datuk punya seekor burung elang besar yang selalu ikut berjaga-jaga di luar
goa. ”
“Apakah
selama berada di goa Datuk Marajo Sati pernah melakukan perbuatan yang tidak
senonoh terhadap dirimu?” Bertanya Tua Gila.
“Tidak
pernah inyiek. Datuk menganggap saya sebagai anak dan saya menganggap Datuk
sebagai ayah sendiri… ” Jawab Chia Swie Kim.
“Apakah
kau berkata jujur wahai anak gadis?” tanya tua Gila.
“Saya
tidak berdusta Inyiek. Saya berani bersumpah bahwa sayamengatakan hal yang
benar.”
“Perempuan
Jahanam culas! Pendusta besar!” Tiba-tiba Tuanku Laras Muko Balang berteriak.
“Ketika berada dalam goa di Lembah Harau kau menceritakan padaku bahwa Datuk
keparat itu telah merampas kehormatanmu! Keperawanmu! Kau katakan Datuk celaka
itu telah menidurimu berulang kali! Kau ketakutan kalau sampai berbadan dua!”
Semua
orang yang ada di tempat itu jadi tersentak kaget! Semua mata ditujukan pada
Datuk Marajo Sati.
“Puti
Bungo Sekuntum… Bagaimana mungkin kau… ” Suara Datuk Marajo Sati bergetar. Chia
Swie Kim lari dan jatuhkan diri di hadapan Datuk Marajo Sati. Dengan air mata
berlinang dia berkata.
“Datuk,
saya tahu Datuk tidak pernah berlaku keji terhadap diri saya. Saya menceritakan
kedustaan itu pada Tuanku Laras untuk membuat dia marah. Saya lebih suka dalam
kemarahannya dia membunuh saya dari pada kemudian melakukan perbuatan terkutuk.
Kalau saja Datuk dan kawan-kawan tidak cepat datang menyelamatkan saya, Tuanku
Laras pastilah sudah melakukan perbuatan terkutuk itu. Tadi sebelum diberi
pakaian oleh nenek itu. Datuk melihat sendiri pakaian saya yang robek-robek
karena hendak ditanggalkan secara paksa… ”
Datuk
Marajo Sati menggembor marah. Kembali kakinya hendak menendang. Kali ini
ditujukan ke kepala Tuanku Laras Muko Balang. Namun Inyiek Sukat Tandika cepat
menghalangi dengan membelintangkan Benang Kayangan di hadapan sang Datuk.
“Datuk
Marajo Sati. Jangan perturutkan hawa amarah. Datuk harus bersyukur bahwa
kebenaran telah tersingkap. Apa yang selama ini dituduhkan padamu ternyata
hanya fitnah belaka. Datuk bersih, tiada dosa, tidak ada perbuatan mesum dan
kekejian yang telah Datuk lakukan. Bahkan semoga Allah memberikan rakhmat pada
Datuk karena Datuk memang menolong gadis bernama Chia Swie Kim itu demi Allah
semata, Lillahi Ta’ala, bukan dengan maksud lain yang tersembunyi. Gadis itu
telah bersaksi bahkan mau bersumpah bahwa dia tidak berdusta… ”
“Inyiek,
kalau begitu bebaskan manusia durjana ini dari libatan benang sakti. Biar kami
bertarung sampai salah satu dari kami menemui ajal kematian!”
“Datuk,
seperti kataku di Bukit Batu Patah, aku kemari bukan untuk membuat onar atau
ingin melihat keonaran. Biarlah hukuman Kerajaan yang akan berlaku terhadap
Tuanku Laras… ”
Walau
dendam kesumatnya terhadap Tuanku Laras tidak akan habis sampai ke liang kubur
namun saat itu Datuk Marajo Sati terpaksa mengikuti ucapan Tua Giia. Dia
bertanya “Lalu bagaimana dengan orangtua dari Jawa dan Perwira dari Cina ini?
Mereka harus bertanggung jawab atas kematian beberapa tokoh di negeri ini.
Termasuk kematian Sutan Panduko Alam dan Datuk Panglimo Kayo. Orang Cina ini, saya
melihat sendiri dia membunuh Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik… ”
“Datuk,
semua itu terjadi karena hukum sebab akibat. Tapi biar kita serahkan perkara
mereka pada kebijaksanaan Sri Baginda Raja di Pagaruyung. ”
“Ini
sungguh sangat tidak adil!” Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo berteriak marah.
“Tua
bangka tidak tahu diri! Inyiek sudah memberi kesempatan dan perlindungan
padamu! Kalau kau ingin keadilan aku bersedia memberikan!” Yang berkata keras
adalah Si Kamba Mancuang. Begitu mengakhiri ucapan nenek ini pentang kedua
tangannya. Dua tangan melesat panjang, melibat sekujur tubuh Ki Bonang mulai
dari dada sampai ke kaki. Meskipun Ki Bonang berilmu kepandaian tinggi namun
diserang mendadak begitu rupa membuat dia lengah. Apa lagi luka di kening dan
matanya belum sembuh. Tulang-tulang tubuhnya mulai berkeretakan. Selagi dia
berusaha melepaskan diri, Si Kamba Mancung berteriak.
“Ini
pembalasan atas kematian saudara kembarku!” Dari mulut Si nenek menyembur dua
larik cahaya putih perak panas. Ki Bonang hanya sempat keluarkan keluhan
pendek.
Kepalanya
yang terkena semburan ilmu Angin Merapi Merambah Bumi berubah hitam gosong dan
mengepulkan asap. Begitu dua tangan yang membelit tubuhnya dilepas, orang tua
ini langsung roboh ke tanah tanpa nyawa lagi Teng Sien berteriak marah tapi dia
tidak melakukan apa-apa. Dia juga tidak melawan sewaktu Tua Gila mengikat
tubuhnya dengan Benang Kayangan.
Pendekar
212 Wiro Sableng memberi isyarat pada Si Kamba Mancuang. Lalu pada gurunya dia
berkata “Kek, rasanya urusan sudah selesai, saya dan nenek ini mohon diberi
izin untuk meninggalkan tempat ini. Saya berjanji mengunjungi Kakek di Gunung
Kerinci. ”
Tua Gila
tersenyum. Dia tidak menjawab. Namun saat itu Wiro mendengar suara mengiang di
telinganya.
“Rupanya
kau lebih suka pada nenek peot di sebelahmu dari pada gadis Cina itu. He…he…
Ingat ucapanku tadi malam, ujud asli nenek itu sebenarnya adalah seorang gadis
cantik sekali. Kalau kau ingin dia kembali kepada ujudnya semula kau harus
mencari tiga buah Jambak yang alur putih dan alur merahnya masing-masing
berjumlah tujuh. Sebelum memakan tiga buah itu suruh dia membaca Ayal Kursi
tujuh kali. Setelah itu kau akan melihat kekuasaan Tuhan, apa yang akan terjadi
atas dirinya. Bisa-bisa kau tidak ingat lagi pulang ke tanah Jawa!
Ha…ha…ha!”(Buah Jambak = Jambu Bol)
“Terima
kasih Kek, terima kasih. Izinkan kami pergi… ” Wiro membungkuk dalamdalam.
Wiro lalu
menarik tangan Si Kamba Mancuang. Nenek ini meski bingung mengikut saja. Di
tengah jalan dia bertanya.
“Wiro,
aku tidak mendengar gurumu bicara apa-apa. Mengapa kau berulang kali
mengucapkan terima kasih… ”
Wiro
membuka kopiah hitam pemberian Si nenek lalu menggaruk kepala. “Jambu Bol,
Nek,” kata sang pendekar.
“Jambu
Bol? Apa itu?” tanya Si nenek pula.
Sambil
tertawa-tawa Wiro berkata. “Nek, aku dan guruku sudah tahu siapa kau
sebenarnya. Beliau memberi tahu cara untuk mengembalikan ujudmu… ”
Wajah Si
Kamba Mancuang berubah memucat “Kau jangan bergurau. Hanya guruku Inyiek Susu
Tigo yang tahu keadaan diriku dan satu-satunya orang bisa mengembalikan keadaan
diriku dengan mantera Petang! Turun Ke Bumi. ”
“Gurumu
baru punya susu tigo. Aku punya susu empat! Apa aku tidak lebih hebat. Kau mau
lihat susuku yang dua lagi?” lalu Wiro pura-pura hendak membuka celana hitam
yang dikenakannya! Karuan saja Si nenek jadi terpekik dan lari meninggalkan
Wiro.
********************
15
PAGI itu
juga Tuanku Laras dan Perwira Muda Teng Sien dalam keadaan diikat Benang
Kayangan dibawa ke Pagaruyung. Sehari kemudian setelah Sri Baginda memimpin
pertemuan dengan para tokoh cerdik pandai di Kerajaan diambil keputusan. Tuanku
Laras Muko Balang dijatuhi hukuman penjara selama dua belas tahun. Pedang Al
Kausar disita dan disimpan di dalam satu ruang rahasia. Selain itu untuk
menjaga hal-hal yang tidak diingini seorang sakti menguras habis seluruh ilmu
kepandaian dan kesaktian orang ini. Namun ada satu ilmu terlupa dimusnahkan
yaitu Ilmu Bayangan Menipu Mata. Baru beberapa lama manusia bermuka belang ini
mendekam dalam penjara yang terletak di pinggir timur Pagaruyung, pada saat
Siang berganti malam terjadi kegegeran. Tuanku Laras lenyap, pengawal yang
memegang kunci penjara ditemui tewas. Pedang Al Kausar hilang tak berbekas dari
dalam ruang penyimpanan! Apa yang telah terjadi? Dengan mempergunakan Ilmu
Bayangan Menipu Mata pada saat matahari terbenam Tuanku Laras merubah diri
menjadi menyerupai Penghulu Sangkalo kusir kereta yang membawa Tua Gila ke
Bukit Batu Patah. Dia berteriak-teriak minta dikeluarkan. Meskipun tak mengerti
bagaimana sang Penghulu ada di dalam penjara, pengawal membuka juga pintu ruang
tahanan. Begitu keluar Tuanku Laras langsung membunuh pengawal itu lalu masih
dalam ujud Penghulu Sangkalo dia menyelinap masuk ke dalam Istana dan berhasil
menemukan tempat penyimpanan Pedang Al Kausar. Begitu menggenggam gagang
pedang, seluruh ilmu kesaktian Tuanku Laras yang sudah dikuras kembali pulih
dan berada lagi dalam tubuhnya.
***********************
HANYA
beberapa waktu setelah kaburnya Tuanku Laras dari penjara dan lenyapnya Pedang
Al Kausar, Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Si Kamba Mancuang tengah dalam
perjalanan menuju Pagaruyung. Tiba-tiba dikejauhan terdengar suara beduk
dipukul orang tiada henti.
“Tabuh
Larangan ditabuh orang. Ada satu perkara besar terjadi di Pagaruyung,” kata Si
Kamba Mancuang. Baru saja nenek ini berucap tiba-tiba dari balik kerapatan
pepohonan di samping kiri mereka terdengar suara dua orang saling membentak dan
suara beradunya senjata. Lalu tampak cahaya putih berkelebat beberapa kali
disertai suara deru keras. Ujung kain putih yang melingkar di pinggang Si Kamba
Mancuang mendadak mencuat naik ke udara.
Kain
putih ini adalah kain yang pernah dipakai untuk membungkus Pedang Al Kausar. Si
nenek keluarkan seruan tertahan.
“Ada apa
Nek?” tanya Wiro.
“Pedang
Al Kausar… senjata itu ada di dekat sini!” Jawab Si Kamba Mancuang. Dia menatap
ke arah pepohonan. “Aku kira… ”
Dari
balik pepohonan terdengar suara orang menjerit disusul suara orang tertawa.
Wiro tidak menunggu Si nenek menyelesaikan ucapan. Sekali lompat saja dia sudah
berada di balik deretan pepohonan. Si Kamba Mancuang mengikuti. Walau keadaan
di tempat itu mulai gelap, tapi cukup mudah bagi Wiro dan Si nenek mengenali siapa
adanya dua orang yang tengah bertarung. Yang di sebelah kanan bukan lain adalah
Tuanku Laras Muko Balang, memegang Pedang Al Kausar. Di hadapannya berdiri
Sutan Manjinjing Langit.
Jubah
putihnya di bagian dada robek besar dan ada noda darah. Di tanah tergeletak
sebilah lading (golok) Saat itu Pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras tengah
membabat ke arah leher Sutan Manjinjing Langit. Bagaimana kedua orang itu bisa
berada di tempat itu dan terlibat dalam pertarungan?
Seperti
dituturkan sebelumnya walau Sutan Manjinjing Langit meninggalkan Bukit Batu
Patah atas permintaan Tua Gila, namun orang tua yang sangat mendendam terhadap
Tuanku Laras ini sambil mencari akal bagaimana caranya dapat menuntut balas,
diamdiam mengikuti rombongan Tua Gila ke Pagaruyung. Sewaktu Tuanku Laras
melarikan diri dari penjara dan mencuri Pedang Al Kausar dari Istana
Pagaruyung, kakak Sutan Panduko Langit yang menemui ajal di tangan Ki Bonang
dan kawan-kawan termasuk Tuanku Laras ini melakukan penguntitan. Saat itu
Tuanku Laras telah kembali ke ujudnya yang asli. Sadar kalau ilmu silat dan
kesaktiannya berada jauh dibawah Tuanku Laras maka untuk beberapa lama Sutan
Menjinjing Alam hanya mengikuti, tidak berani menghadang atau menyerang.
Rupanya
Tuanku Laras tahu kalau dirinya tengah diikuti orang. Semula dia menyangka
orang Istana yang menguntit. Padahal saat itu dia tengah bersiap untuk melayang
terbang dengan mengandalkan pedang sakti. Dia jadi terkejut dan marah besar
ketika melihat ternyata Si penguntit adalah Sutan Manjinjing Langit. Tanpa
banyak bicara lagi Tuanku Laras pergunakan Pedang Al Kausar untuk menyerang
Sutan Menjinjing Langit. Yang diserang keluarkan landing (golok) besar. Namun
sekali bentrokan saja senjata Sutan Menjinjing Langit terpental patah sedang
ujung pedang Tuanku Laras berhasil melukai dadanya. Serangan berikutnya Tuanku
Laras babatkan pedang ke arah leher Sutan Manjinjing Langit yang dalam keadaan
terluka dan tidak bersenjata tidak berdaya lagi untuk menyelamatkan diri.
Hanya
sekejapan lagi Pedang Al Kausar akan menabas putus leher Sutan Manjinjing
Langit, tiba-tiba selarik kain putih panjang berkelebat di udara, ujungnya
memukul badan pedang hingga terpental.
“Jahanam
kurang ajar! Siapa…?!”
Bentakan
Tuanku Laras terputus ketika dia melihat dua orang yang berdiri di hadapannya.
Pemuda berambut panjang dan Si nenek bergigi perak. Si pemuda berdiri dengan
tangan kiri bertolak pinggang sementara di tangan kanan memegang kain putih
panjang.
“Kalian!
Jahanam kalera! Aku memang sudah lama ingin membantai kalian berdua!”
Tuanku
Laras berteriak penuh marah. Secepat kilat dia melompat sembari membabatkan
pedang sakti di tangan kanan.
Cahaya
putih berkilau bertabur, melanda ke arah Wiro dan Si Kamba Mancuang! Kedua
orang yang diserang begitu merasa sekujur tubuh bergetar oleh sambaran angin
senjata lawan dengan cepat bergerak mundur sambil lepaskan dua pukulan tangan
kosong bertenaga dalam tinggi yang membuat lawan tergontai-gontai. Tuanku Laras
cepat melompat setengah tombak sambil tangan kiri balas menghantam, melepas
pukulan sakti bernama Cahayo Ganto Bisu. Selarik Sinar kelabu tanpa suara
berkiblat Tuanku Laras lipat gandakan kekuatan pukulannya dengan cara mendorong
badan pedang ke depan.
“Dess!
Desss!”
Si Kamba
Mancuang terpekik ketika tubuhnya terpental sampai empat langkah akibat
sambaran Sinar kelabu. Dada sesak. Di sela bibir kelihatan lelehan darah! Wiro
sendiri terhuyung-huyung, dada dan kepala mendenyut nyeri. Dalam keadaan
seperti itu Tuanku Laras tidak mensia-siakan kesempatan. Kembali dia menyerbu.
Pedang Al Kausar berpijar terang di dalam gelapnya malam pertanda Tuanku Laras
dalam menyerang mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Tuanku
Laras berlaku cerdik. Dia tahu diantara kedua lawannya Si nenek lebih rendah
ilmu kepandaiannya dibanding Wiro. Maka serangannya kali ini diarahkan
telak-telak pada Si Kamba Mancuang. Si nenek yang tengah mengalami sakit akibat
luka di dalam ternyata memang agak lalai menghadapi serangan kali ini.
“Nek,
awas pedang!” Teriak Wiro. Tangan kiri didorong ke arah Si Kamba Mancuang.
Sesiur
angin deras membuat tubuh Si nenek terjengkang menjauhi pedang sampai dua
langkah hingga selamat dari ujung pedang. Namun hebatnya Pedang Al Kausar,
begitu serangan menghantam tempat kosong, senjata sakti ini terus mengejar.
Tubuh Tuanku Laras ikut terangkat ke udara. Ujung pedang bergetar berubah
menjadi dua belas. Si Kamba Mancuang sulit mengetahui mana ujung pedang yang
asli mana yang hanya bayangan. Dia meniup, menangkis dengan Ilmu Angin Merapi
Merambah Bumi. Dua larik Sinar putih panas menghambur dari dua deretan gigi
perak. Namun Pedang Al Kausar terus melaju, menembus dua larik sinar putih.
“Bett!”
Si nenek
terpekik ketika segumpal rambut putihnya putus dibabat mata pedang. Selagi dia
berusaha menjauhi lawan, Pedang Al Kausar dengan kecepatan kilat berbalik
menyambar ke arah pinggang. Kali ini sama sekali tidak ada kemungkinan bagi Si
Kamba Mancuang untuk menyelamatkan diri. Sekejapan lagi tubuhnya akan terkutung
dua tibatiba satu teriakan lantang menggelegar.
“Kapak
Naga Geni Dua Satu Dua!”
Cahaya
luar biasa terang yang menindih terangnya cahaya Pedang Al Kausar berkiblat di
udara disertai suara mengaung laksana ratusan tawon mengamuk. Hawa panas
menghampar!
“Trang!”
Tuanku
Laras berseru kaget Pedang Al Kausar gompal dan terlepas mental dari genggaman
tangan kanan. Dia tidak sempat mengetahui senjata apa yang menghantam mental
Pedang Al Kausar karena saat itu juga benda bercahaya putih dan menebar panas
telah menyambar ke arah wajahnya. Tuanku Laras berteriak keras.
“Craas!
Kraaak!”
Suara
teriakan Tuanku Laras putus. Sosoknya seperti dihantam angin prahara, mencelat
sejauh tiga tombak, terbanting ke tanah. Kepala hangus dan terbelah mengerikan!
Si Kamba
Mancuang dan Sutan Menjinjing Alam terbeliak tak percaya ketika menyaksikan
benda yang merenggut nyawa Tuanku Laras itu ternyata adalah sebuah kapak
bermata dua terang menyilaukan. Keduanya sampai-sampai berseru karena tercekat
kagum ketika melihat bagaimana senjata itu kemudian masuk dan lenyap di dalam
dada Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Nek,
jangan bengong saja! Lekas ambil pedang itu!” Kata Wiro pada Si Kamba Mancuang
sambil menunjuk pada Pedang Al Kausar yang tercampak di tanah.
“Persetan
dengan pedang itu. ” Jawab Si nenek. “Aku mau tanya dulu. Kau ini memiliki ilmu
setan atau apa. Gila! Bagaimana kapak sebesar itu bisa keluar masuk tubuhmu!
Ah…pantas… pantas Inyiek Tandika memanggilmu Anak Setan!”
Wiro cuma
bisa menyengir. Tiba-tiba di kejauhan kelihatan puluhan penunggang kuda membawa
obor mendatangi.
“Orang-orang
Kerajaan Pagaruyung. Nek, ayo kita cepat pergi dari sini… ” Wiro tarik lengan
Si nenek. Keduanya lenyap dalam kegelapan malam meninggalkan Sutan Manjinjing
Langit yang terluka yang dalam sakitnya tercengang-cengang menyaksikan apa yang
telah terjadi.
***********************
BAGAIMANA
dengan Teng Sien? Perwira Muda Kerajaan Tiongkok ini dihukum sepuluh tahun
penjara. Tiga batang emas yang ditemui dibalik pakaian Ki Bonang dan Tuanku
Laras disita oleh Kerajaan dan kelak dipergunakan untuk kesejahteraan negeri
dan rakyat. Akan halnya rahasia satu peti batangan emas yang disembunyikan oleh
Ki Bonang dan Teng Sien tidak pernah diketahui orang dan tidak pernah terungkap.
Pada
pertengahan tahun kedua hukuman yang dijalani Teng Sien, dua orang utusan
tingkat tinggi dari Kerajaan Tiongkok menemui Sri Baginda Raja Pagaruyung.
Mengingat persahabatan yang telah terjalin lama antara dua Kerajaan serta demi
hubungan masa depan yang lebih baik Sri Baginda Raja kemudian membebaskan Teng
Sien. Sebagai imbalan Kerajaan Tiongkok membeli banyak sekali rempah-rempah
serta menghadiahkan berbagai barang seperti pecah belah dan cita serta
perhiasan. Beberapa orang pandai di Pagaruyung dikirim ke Tiongkok untuk
mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan. Sementara itu Datuk Marajo Sati
menceraikan istrinya Gadih Puti Seruni lalu memencilkan diri bertapa lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan di puncak Gunung Merapi.
Tak lama
sesudah itu terbetik kabar bahwa Gadih Putih Seruni melangsungkan pernikahan
dengan Pakih Jauhari. Keduanya kemudian meninggalkan tanah Minang pergi ke
pulau Jawa. Kepada Pakih Jauhari Puti Seruni memberi tahu bahwa sekian lama
kawin dengan Datuk Marajo Sati, sang Datuk belum pernah menyentuh dirinya.
Tentu saja Pakih Jauhari merasa sangat bahagia mendapatkan istrinya masih
seorang anak perawan suci. Akan halnya Chia Swie Kim, gadis Cina ini tidak mau
kembali ke negerinya. Dia memilih tetap berada di tanah Minang dan tinggal di
satu tempat sunyi tapi indah di lereng Gunung Singgalang. Dia memakai nama Puti
Bungo Sekuntum yaitu nama yang diberikan Datuk Marajo Sati. Sesekali dia
menemui ayah angkatnya Datuk Marajo Sati di Gunung Merapi. Dari sang Datuk
gadis ini mendapat banyak sekali ilmu kesaktian.
Sebelum
meninggalkan Minangkabau, Teng Sien dengan dikawal beberapa orang berkepandaian
tinggi dari Kerajaan Pagaruyung diizinkan menemui Puti Bungo Sekuntum di Gunung
Singgalang. Atas permintaan Teng Sien, disaksikan orang banyak Puti Bungo
Sekuntum dibantu dengan kesaktian yang didapatnya dari Datuk Marajo Sati
merubah diri menjadi kupu kupu besar, lalu kupu-kupu ini berubah ke dalam ujud
kupu kupu batu giok bermata biru menyala, Kupu Kupu Mata Dewa. Teng Sien merasa
gembira. Walau tidak bisa membawa Chia Swie Kim ke hadapan Pangeran di
Tiongkok, tapi dia berhasil mendapatkan kembali Kupu Kupu Mata Dewa yang
keramat, pusaka utama Kerajaan dan menyerahkan pada Kaisar. Untuk
keberhasilannya ini Teng Sien dinaikkan pangkatnya dua tingkat menjadi Perwira
Tinggi.
Akan
halnya Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang tidak terdengar kabar
beritanya. Pengganti almarhum Datuk Panglimo Kayo selaku Penghulu di Luhak
Tanah Datar untuk beberapa lama tidak pernah diangkat. Sedang jabatan Datuk
Pucuk Luhak Nan Tigo yung dulu dipangku Datuk Marajo Sati dihapuskan.
Bagaimana
dengan Si Kamba Mancuang ? Apakah sesuai petunjuk Tua Gila Wiro berhasil
mengembalikan ujud nenek itu kebentuknya semula yaitu seorang gadis cantik
jelita?
Lalu
bagaimana pula ceritanya dengan Denok Tuba Biru yang dikejar-kejar oleh Inyiek
Susu Tigo yang telah menganggapnya sebagai Istri? Nantikan kelanjutan kisah
riwayat orang-orang tersebut dalam serial khusus.
TAMAT
No comments:
Post a Comment