Neraka Krakatau
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
Mata
manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat dipercaya.
Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah membelah
air laut di selat Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari tepat.
Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.
Di atas
perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya kurus kering.
Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang. Dia
mengenakan pakaian warna hijau tua.
Perempuan
tua ini memegang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya mendayung acuh
tak acuh saja. Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang ditumpanginya
melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang. Rambutnya yang putih
panjang riap-riapan ditiup angin.
Sambil
mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi. Syair nyanyiannya terasa
aneh.
Dosa muda
salah kaprah
Jangan
harap ampunan pasrah
Tujuh
samudera akan kutempuh
Seribu
badai akan kutantang
Yang
berdosa berpura lupa
Berlagak
bodoh seolah gagah
Kalau tak
muncul perlihatkan dada
Anak
turunan kujadikan mangsa
Sang
istri sudah kudapat
Menyusul
kini anak keempat
Satu
persatu kubuat sekarat
Agar
terkikis dendam berkarat
Ketika
matahari mulai bergeser ke barat di kejauhan mulai kelihatan pantai Pulau
Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya pulau
inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh! Meski
sudah berusia hampir 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih lengkap
atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang seperti
taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan.
Nenek itu
kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu.
Astaga!
Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia
sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup
baju kelihatan penuh dengan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan.
Tidak dapat dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya
dia hanya pingsan.
Sesaat
terdengar orang ini siuman dan mengerang.
“Air….tolong….”
terdengar suaranya meminta, sangat perlahan.
“Apa? Kau
haus? Minta minum? Baik! Akan kuberi minum!”
Dari
lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok ini
diciduknya air laut. “Ini! Minumlah!” Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut
orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu!
Air laut
asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta.
Sebaliknya
orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi terpejam
kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan.
Air asin
seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi dan
hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di
lantai perahu itu telah menemui ajalnya!
Anehnya
si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia sangat membenci
orang tua itu dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya.
“Kau
akhirnya mampus juga Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau hanya anak yang
menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir.
Masih ada
lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat denganmu yang
bakal menerima kematiannya! Hik….hik….hik! Kau tak usah cemas Sampan. Bukankah
kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang kubur?!
Hik…hik…hik!”
Si nenek
mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata semakin dekat. Dari
mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi.
Jangan
harap ampunan pasrah
Tujuh
samudera akan kutempuh
Seribu
badai akan kutantang
Serombongan
burung camar tampak terbang cerai berai ketika seekor elang besar tiba-tiba
muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker mencapai tepi
pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini melompat turun
ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke bawah sebatang
pohon kelapa di tepi pasir.
Beberapa
lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua orang lelaki
berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung.
“Kita
sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah!” berkata orang yang di sebelah
kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar berbentuk
segi empat seperti golok tukang jagal. “Jangan-jangan cerita tentang batu
mustika itu hanya tipuan belaka!”
Kawannya
berhenti berlari. “Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!” katanya lalu
mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas
dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang
itu terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di
sekitar kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada
beberapa bagian peta yang menghadap ke Selat Sunda. “Tanda silang di sebelah
ujung kawah sini merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana
kalau kita menyelidik ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tempatnya tak
berapa jauh dari sini….”
“Aku
setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke sebelah
utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi….”
Tubagus
Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam saku. Bersama
Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut bertiup
kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang hentikan
larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan agak
mendaki di bagian Timur.
“Supit,
kau lihat benda-benda aneh yang bersusun di sebelah sana?”
“Ya, aku
melihat. Aneh. Benda apa itu? Berbentuk seperti perahu-perahu kecil.
Tampaknya
terbuat dari potongan pohon-pohon kelapa.”
“Ada
tujuh semuanya…..” kata Supit pula.
“Bukan
mustahil di sana tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari kita
periksa!”
“Mari!”
sahut Supit Jagal.
Kedua
orang ini segera lari ke arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu sampai di
tempat yang dituju ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi adalah
gabungan-gabungan dua batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu.
“Apa
ini?” ujar Tubagus Singagarang. “Kotak bukan perahu bukan” Lalu dia melangkah
mengikuti jejeran batang-batang kelapa itu sambil menghitung.
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…”
Memasuki hitungan ketujuh yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan
Tubagus Singagarang terhenti.
Langkahnya
justru kini tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat.
Supit
Jagal mendatangi dari belakang seraya bertanya.
“Ada apa
Tubagus? Kau seperti melihat setan!”
“Lihat….”
Suara Tubagus Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk ke dalam lobang
pada gabungan batang kelapa ke tujuh.
Supit
Jagal maju mendekat beberapa langkah.
“Astaga!”
Orang inipun tampak terkejut dan berubah air mukanya!
*****************
2
Di dalam
lubang batang kelapa yang terletak paling ujung itu terbaring satu sosok tubuh
perempuan tua mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua matanya
terpejam. Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak diketahui
apakah dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat!
Sekujur
tubuhnya mulai dari rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis minyak.
Batang kelapa dimana dia terbaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi
binatang-binatang ini tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki
itu memperkirakan minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut
tidak berani menyentuhnya.
“Coba kau
periksa denyut jantungnya,” kata Tubagus Singagarang.
“Kau
saja,” jawab Supit Jagal menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.
Dari
kedua bersahabat itu Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia melangkah
mendekati batang kelapa lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri perempuan
tua di dalam lubang kelapa.
“Tak ada
denyut nadi….” Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang dan merasa-rasa
beberapa ketika. Dilepaskannya pegangannya. Dia membungkuk lalu meletakkan
telinga kanannya setengah kuku di atas dada orang dalam lubang. Kemudian dia
menggeleng dan melirik pada Supit Jagal. “Detak jantungnyapun tidak kudengar”
“Berarti orang
ini memang sudah mati!” kata Supit Jagal.
Tubagus
Singagarang ingin memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jari-jari tangannya
membalikkan kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya.
Keseluruhan
matanya hanya putih belaka.
“Yang
kita lihat memang mayat!” kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang basah oleh
minyak yang menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan pada
pakaiannya. Lalu dia coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu.
“Minyak
serai bercampur jelaga kayu besi,” katanya. “Jelas mayat ini sengaja diberi
minyak itu untuk diawetkan!”
Supit
Jagal tentu saja heran mendengar ucapan kawannya itu. “Benar-benar aneh. Kita
mencari batu mustika. Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan tua yang
diawetkan. Untuk apa? Siapa yang punya pekerjaan?” Dia bertanya sambil
memandang ke bawah, ke arah kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap
berkepanjangan.
“Pertanyaan
lain siapa adanya perempuan tua ini?” sambung Tubagus Singagarang. “Memang
aneh…”
“Kau
lihat sendiri Tubagus. Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini.
Satu
berisi mayat. Berarti bakal ada enam mayat lagi yang akan dimasukkan pada enam
batang kelapa ini!”
“Dugaanmu
mungkin benar….” Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini saling pandang. Di
balik rasa heran mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. “Apa yang akan kita
lakukan sekarang?”
“Lebih
baik lekas-lekas meninggalkan kawasan kawah Gunung Krakatau ini…” jawab Supit
Jagal.
“Lalu
bagaimana dengan usaha kita mencari batu mustika itu?” tanya Tubagus Singagarang
dan hendak mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya.
Tapi tak
jadi ketika mendengar sahabatnya berkata.
“Lupakan
saja hal itu. Aku merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat ini
Tubagus. Aku mencium bahaya. Bahaya maut!”
“Aku juga
merasakan begitu,” sahut Tubagus Singagarang. “Tapi kau lihat sendiri. Pulau
ini sepi-sepi saja. Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat perempuan tua ini”
“Tidak
mungkin Tubagus! Aku yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat itu tidak
mungkin berjalan sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya.
Mengawetkannya dengan minyak serai bercampur jelaga….”
“Tapi
untuk apa? Pekerjaan apa ini sebenarnya?” ujar Tubagus Singagarang pula.
“Bagaimana kalau kita bersembunyi dan menginati?”
“Terus
terang nyaliku mulai leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun ke
bawah terus ke pantai. Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang
petang kau tak muncul terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke
Jawa seorang diri!”
Tubagus
Singagarang jadi berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu dia berkata
“Kita sahabat dan saudara seperguruan. Jika senang sama senang. Kalau susah
sama susah. Berarti matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut bersamamu.
Memang sebaiknya kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta tentang batu
mustika itu hanya dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia persilatan!”
Setelah
memandang sekali ke arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa, Tubagus
Singagarang dan Supit Jagal segera hendak berkelebat tinggalkan tepi kawah
Gunung Krakatau itu. Tapi baru saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara
orang menyanyi di kejauhan.
Dosa muda
salah kaprah
Jangan
harap ampunan pasrah
Tujuh
samudera akan kutempuh
Seribu
badai akan kutantang
Tubagus
Singagarang dan Supit Jagal jadi terkesiap saling pandang.
“Ada
orang menyanyi. Apa kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau ini!”
berbisik Supit Jagal.
Lalu di
kejauhan kembali terdengar suara nyanyian orang tadi
Berlagak
bodoh seolah gagah
Kalau tak
muncul perlihatkan dada
Anak
turunan kujadikan mangsa
Sang
istri sudah kudapat
Menyusul
kini anak keempat
Satu
persatu kubuat sekarat
Agar
terkikis dendam berkarat
“Siapa
yang menyanyi…?” bisik Supit Jagal. “Syair lagunya aneh mengerikan. Berbau
maut!”
“Suaranya
suara perempuan. Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya. Kalau tidak
memiliki tenaga dalam tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai ke sini….”
“Mungkin
sekali….Jangan-jangan orang itu tengah menuju ke sini….” Ujar Supit Jagal pula.
“Bagaimana
kalau kita menyingkir saja dari sini?”
“Baik!
Dari pada mencari urusan….!” Jawab Supit Jagal. Lalu saudara seperguruan itu
segera hendak berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah lebih dulu
kelihatan seorang berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak
Gunung Krakatau. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah
memanggul orang naik ke puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil membawa
beban berat seperti itu.
“Kita
berhadapan dengan orang pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan untuk kabur.
Ayo lekas sembunyi di balik batang kelapa di ujung kiri sana”
Baru saja
kedua bersahabat itu menjatuhkan diri sama rata dengan tanah gunung hingga
terlindung oleh batang kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul orang berbaju
hijau tadi. Tubagus dan Supit Jagal yang coba mengintai sama terkejut ketika
menyaksikan bahwa yang muncul adalah seorang nenek berwajah angker seperti
tengkorak dengan rambut putih panjang riap-riapan. Di bahu kirinya ada seorang
lelaki yang menurut dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi.
Mereka
memperhatikan terus. Si nenek angker melangkah mendekati batangan berlubang di
sebelah kiri batang kelapa yang ada mayatnya. Seperti melempar bungkusan atau
kayu, nenek berambut putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang dipanggulnya ke
dalam lubang batang kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat lalu dia
tertawa terkekeh-kekeh. Disusul dengan nyanyian.
Sang
istri sudah kudapat
Menyusul
kini anak keempat
Satu
persatu kubuat sekarat
Agar
terkikis dendam berkarat
Habis
bernyanyi si nenek kembali tertawa panjang. “Anak dan ibu sudah kudapat.
Hik…hik…hik. Masih ada lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi pengisi
lobang neraka itu! Ha…ha…ha! Awas kalian! Awas kau jahanam Giri Arsana! Kau
berada dalam daftar kematian yang terakhir. Agar kau bisa menyaksikan dan
merasakan pahit perihnya melihat kematian orang-orang yang kau cintai! Bila
sudah lengkap kau akan kuundang ke tempat ini! Hik…hik…hik! Lalu kau akan
kujadikan korban terakhir pengisi liang neraka batang kelapa! Hik…hik…hik!”
Dari
dalam sebuah kantong yang ada di pinggang dan selalu dibawanya kemana-mana
nenek angker itu keluarkan sebuah tabung bambu. Dia membuka penutup tabung lalu
melangkah lebih dekat ke batang kelapa tempat tadi dia melemparkan orang yang
dipanggulnya. Dari tabung itu diguyurkannya sejenis cairan ke seluruh bagian
tubuh dalam batang kelapa.
“Kau
lihat,” bisik Tubagus Singagarang. “Dia mengguyurkan minyak pengawet. Berarti
orang yang barusan dicampakannya ke dalam lubang memang sudah tidak bernyawa
lagi!”
“Hemmm…Apa
yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Supit Jagal.
“Kita
tunggu saja sampai nenek itu pergi,” sahut Tubagus Singagarang.
“Kalau
dia tidak pergi-pergi dan berada di sini samapi besok…?”
“Tidak
mungkin. Dia tidak mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk menginap….”
jawab Tubagus Singagarang.
“Jangan
terlalu yakin. Kita harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan seorang tua
bangka biasa. Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat besar. Turut
nyanyiannya tadi, ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya!”
Tubagus
Singagarang jadi gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapa lama dia hanya bisa
berdiam diri. Di nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan pengawet di
tubuh mayat. Tabung bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak terduga oleh
dua orang yang bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan menggeledek.
“Permainan
kalian sudah selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas keluar dari balik
batang kelapa dan berlutut di hadapanku!”
*****************
3
Tubagus
Singagarang dan Supit Jagal sama-sama tersentak kaget.
“Dia
sudah tahu kita di sini, bagaimana sekarang?” berbisik Supit Jagal.
“Tak ada
jalan lain. Kita keluar saja,” jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia mendahului
berdiri. Dengan hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.
“Hemmm…
Dua ekor monyet berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas datang ke
hadapanku dan berlutut!” bentak si nenek sambil tolak pinggang dan memandang
mendelik ke arah dua orang saudara seperguruan itu.
Tubagus Singagarang
dan Supit Jagal memang melangkah mendekati nenek angker itu. Tapi untuk
berlutut mana mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan tampang dan sosok angker.
Namun sebagai orang-orang persilatan, dua lelaki berpakaian merah itu mampu
menguasai diri, menekan perasaan takut dan akhirnya muncul keberanian.
“Eh!
Mengapa masih belum berlutut?! Apa kalian tuli tidak mendengar perintahku?!”
“Nenek
tua,” kata Tubagus Singagarang. “Kami tidak kenal kau, kau tidak kenal kami.
Mengapa bersikap begitu keras?!”
“Ah monyet
jelek! Rupanya kau tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau tidak perlu
tahu. Kalian telah melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak mengerti?!”
“Tentu
saja! Kesalahan apa yang telah kami lakukan?!” sahut Tubagus Singagarang.
“Seluruh
kawasan Gunung Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa saja yang berada
di sini tanpa izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-jelas tadi
mengintai apa yang telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan! Lekas
berlutut untuk menerima kematian!”
Tubagus
Singagarang dan Supit Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan gagang golok
empat persegi yang terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka mulut untuk
pertama kali.
“Kami
berdua sudah lima puluh tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa Gunung Krakatau
ini ada penguasanya. Turut yang kami tahu daerah ini daerah bebas yang bisa
didatangi siapa saja!”
“Itu
turut pengetahuanmu, monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang akan mati
lebih dulu!” membentak si nenek.
Dihina
seperti itu Supit Jagal jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti “Mati hidup di
tangan Tuhan! Kalau ada makhluk yang hampir jadi bangkai hendak membunuh kami,
masakan kami hanya bertumpang dagu?!”
Si nenek
mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
“Daerah
ini harus bebas dari mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah ditakdirkan
berkubur di sini. Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan kawah
Krakatau!”
Si nenek
turunkan kepalanya. Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua tangannya ke depan.
Tubagus Singagarang dan Supit Jagal tersirap darah mereka ketika menyaksikan
bagaimana dari sepuluh jari tangan si nenek yang kurus kering itu mencuat
keluar sepuluh kuku panjang hitam dan runcing!
“Sepuluh
Kuku Iblis!” teriak dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan. Keduanya sama
tersurut mundur dengan paras berubah!
Si nenek
tertawa mengekeh. “Sekarang kalian sudah tahu siapa aku!” katanya
“Hik…hik…hik!”
Suara
tawa si nenek lenyap. Dari mulutnya keluar suara seperti lolongan srigala.
Tubuhnya melesat ke arah Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima garis
hitam berkiblat di udara. Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur dan
cepat cabut golok besarnya. Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku.
Traakk….tarakk…traaakk!
Golok
besar itu berhasil membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek.
Tapi apa
yang terjadi? Si nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang
Supit
Jagal tampak somplak besar di tiga bagian!
Selagi
Supit Jagal tertegun ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari samping.
Terdengar jeritan Supit Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak besar.
Dari lehernya menyembur darah karena salah satu urat besarnya tersambar putus
oleh cakaran kuku iblis si nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas si
nenek lantas tendang tubuh Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke
dalam kawah!
Bagaimanapun
ngerinya Tubagus Singagarang melihat kejadian itu namun apa yang terjadi dengan
sahabatnya membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara.
Kaki kanannya
menderu ke tubuh si nenek dan dengan telak menghantam perutnya!
Si nenek
terlempar empat langkah, tersandar pada batang kelapa yang keempat.
Tapi dia
tidak tampak kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan sikap
mengejek.
“Monyet
jelek! Kau barusan menendangku atau cuma menggelitik!”
Kejut
Tubagus Singagarang bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur perutnya
dihantam tendangannya tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa malah
masih sanggup mempermainkannya!
“Dia
bukan lawanku. Aku harus cari selamat!” membatin Tubagus Singagarang. Dia
melirik ke arah Supit Jagal. Sahabatnya tampak menggeliat-geliat di tanah
sambil pegangi mukanya yang koyak dan mengucurkan darah. Lukanya
kelihatan
mulai menghitam tanda mengandung racun jahat. Nyawanya pasti tidak tertolong
lagi.
Rupanya
si nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang ada di pikiran
Tubagus Singagarang. Karena baru saja dia bergerak hendak melarikan diri,
perempuan tua ini sudah melompat menghadang langkahnya.
“Monyet
jelek! Kau mau lari kemana?!” bentak si nenek. Kedua tangannya dihantamkan ke
depan. Tubagus Singagarang cepat membungkuk. Sepuluh larik sinar hitam menderu
di atas kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagus lepaskan pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar kemerahan menggebubu ke arah
dada si nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti tersebut, Sepuluh Kuku
Iblis tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan kesaktian yang dimilikinya
dia mendorong sinar pukulan lawan, membuat Tubagus Singagarang merasa tangannya
tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong.
Si nenek
tiba-tiba membentak dan hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Tanah
tebing kawah Gunung Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus Singagarang
terlempar dua kaki ke atas. Orang ini berteriak keras ketika menyadari dirinya
jatuh tidak lagi di atas tebing yang sama, tetapi masuk ke bagian kawah. Dia
berusaha membuat lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu
jatuh ke bawah, lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana!
Si nenek
tertawa melengking. Dia melangkah mendekati tubuh Supit Jagal.
“Susul
temanmu sana!” bentak perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh yang sudah tak
bernafas itu hingga mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam kawah Gunung
Krakatau.
*****************
4
Perguruan
Silat Melati Putih pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang besar di
kawasan Barat Pulau Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu perguruan
ini diketuai oleh Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama Giri Arsana
yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beberapa
bulan belakangan ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana
dia berada atau apa yang dilakukannya tidak seorangpun tahu. Sampan Gayana
sendiri tidak berusaha menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua
ratus murid perguruan, dia juga tahu kalau ayahnya suka-suka berlaku aneh. Dan
tingkah laku aneh seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa.
Malam itu
udara terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang anak murid
perguruan kelas dua tengah berlatih silat di halaman. Tanah tempat latihan ini
cukup luas dan dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat
tinggal semua murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah
rumah papan. Di sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai
saat itu usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri.
Selagi
dua puluh murid itu berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minyak yang
tergantung di bawah cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba terdengar
suara nyanyian mengumandang di seantero lapangan latihan.
Dosa muda
salah kaprah
Jangan
harap ampunan pasrah
Tujuh
samudera akan kutempuh
Seribu
badai akan kutantang
Yang berdosa
berpura lupa
Berlagak
bodoh seolah gagah
Kalau tak
muncul perlihatkan dada
Anak
turunan kujadikan mangsa
Sang
istri sudah kudapat
Menyusul
kini anak keempat
Satu
persatu kubuat sekarat
Agar
terkikis dendam berkarat
Suara
nyanyian sirap. Mendadak ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di tengah
kalangan latihan telah berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus, berwajah
seperti tengkorak, berambut putih riap-riapan.
Dua puluh
murid perguruan sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak beres, mereka
bergerak menyebar sehingga si nenek terkurung di tengah-tengah.
Si nenek
memandang berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai.
“Apa
benar ini Perguruan Silat Melati Putih?!” si nenek tiba-tiba ajukan pertanyaan.
Mula-mula
tak ada yang mau menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya menyahut
membenarkan.
“Apa
benar Ketua Perguruan seorang bernama Sampan Gayana?!” si nenek bertanya lagi.
“Betul.
Ketua kami memang Sampan Gayana,” jawab murid perguruan tadi.
Lalu seorang
murid lain bertanya. “Orang tua harap beri tahu kau siapa dan ada keperluan apa
datang kemari?!”
“Siapa
aku bukan urusanmu budak jembel!” si muka tengkorak membentak yang membuat
semua anak murid perguruan jadi terkejut. “Aku datang mencari Ketua kalian!
Panggil dia! Suruh datang ke hadapanku!”
“Ketua
kami sedang beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja datang
kemari”
“Hemmmm….
Jadi kalian tak mau turut perintahku. Tidak mau memanggil Sampan Gayana! Bagus!
Aku mau lihat apa kalian benar-benar tidak perduli!”
Habis
berkata begitu tubuh si nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar serentak
merobek kesunyian dan langit gelap. Empat anak murid perguruan terpental.
Begitu
jatuh ke tanah keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa dengan
kepala pecah!
Serta
merta kegemparan melanda tempat itu. Beberapa orang murid perguruan yang
menjadi marah melihat kematian empat teman mereka segera hendak menyerbu.
Tapi
gerakan mereka terhenti ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking.
“Hanya
orang-orang bodoh yang ingin mampus lebih cepat!” ujar si nenek sambil tegak
bertolak pinggang. Kedua matanya memandang angker. Membuat para murid yang tadi
hendak nekad menyerang kini hanya bisa tertegun di tempat masing-masing.
Mereka
sama maklum kalau tamu tidak diundang ini memiliki kepandaian sangat tinggi dan
bukan tandingan mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak.
“Lekas
panggil Ketua!”
Dua orang
murid berkelebat tinggalkan tempat itu.
Si nenek
menyeringai. “Dasar manusia-manusia tolol!” katanya. “Kalau tadi-tadi saja
kalian turuti perintahku tak akan ada nyawa melayang! Goblok!”
Sampan
Gayana yang tengah tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan.
Ketua
Perguruan ini tambah kaget sewaktu di beritahu apa yang terjadi. Cepat dia
berganti pakaian lalu keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang
melapor. Sementara itu seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai
tingkat tertinggi kini telah terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah
lapang. Para murid memberi jalan begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian
Sampan Gayana telah berada di tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat
orang muridnya yang bergeletak mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si
nenek.
“Nenek,
aku tidak kenal dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat murid Perguruan?”
Si nenek
tidak segera menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya mulai dari ujung
rambut sampai ke kaki baru membuka mulut.
“Apa
benar kau orangnya yang bernama Sampan Gayana, anak dari Giri Arsana?”
“Kau
tidak salah. Aku memang Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang harap kau
memberitahu siapa dirimu.”
Si nenek
tidak menjawab. Dia mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang.
Sampan
Gayana yang merasa dianggap rendah maju satu langkah. “Nenek, kau muncul malam
buta. Membunuh murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan kesalahannya. Tidak
ada silang sengketa di antara kita….”
“Apa yang
kau ucapkan itu benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak ada silang
sengketa. Tapi aku beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa turunan!
Dosa keji yang pernah dibuat ayahmu!”
Kening
Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tampak berkerut. “Aku tidak mengerti
maksud kata-katamu!”
“Aku
kemari memang tidak membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti. Aku hanya
ingin satu orang mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk menerima
pembalasan sakit hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut, selama itu
pula aku akan mengambil korban satu demi satu orang-orang yang terdekat dengan
dia!”
“Siapa
yang kau maksudkan dengan dia itu?!” bentak Sampan Gayana.
Si nenek
menyeringai lalu menjawab. “Giri Arsana! Bapak moyangmu!”
“Aku
makin tidak mengerti dengan juntrunganmu ini!” kata Sampan Gayana.
“Kesabaranku
sudah hilang! Aku terpaksa menangkapmu karena telah membunuh empat murid
perguruan!”
Si nenek
tertawa. “Sebelum kau menangkapku lekas kau beri tahu dulu di mana bapak
moyangmu itu bersembunyi! Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai saat ini dia
berlaku pengecut tidak mau memunculkan diri dalam dunia persilatan.”
“Ada
urusan apa kau mencari ayahku?” tanya Sampan Gayana.
“Sudah
aku bilang, kau punya dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu punya kesalahan
besar. Sangat besar! Nah sekarang cepat beritahu di mana dia berada!”
“Kalaupun
aku tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Sampan Gayana hilang kesabaran.
“Kalau
begitu terpaksa aku membunuh anak ular untuk memancing keluar bapak ular.
Rupanya sudah jadi takdir seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih dulu baru
giliran bapak moyangnu itu!” si nenek tertawa panjang.
Sampan
Gayana tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya habis. Didahului
dengan bentakan keras dia menghantam ke arah muak si nenek.
Yang
diserang ganda tertawa. Tangan kanannya diangkat.
Wuuuttt!
Sampan
Gayana terkejut ketika merasakan angin dingin yang menyambar keluar dari tangan
si nenek. Serta merta dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang jauh
lebih tinggi. Maka cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya bentrokan pukulan.
Sampan berkelit ke samping. Dari samping dia kirimkan pukulan berupa sodokan ke
leher si nenek. Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini sengaja
mengeluarkan jurus-jurus andalan dan mengandung maut agar dapat menghantam
lawannya dengan cepat.
Si nenek
masih tampak tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan dirinya diserang
habis-habisan. Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul bahu perempuan tua
ini. Orang lain pasti akan terpental paling tidak akan melintir tubuhnya
dihantam pukulan yang berkekuatan hampir lima puluh kati itu! Tapi si nenek
sedikitpun tidak bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang
memukul menjadi pedas.
“Sudah
saatnya kau menyusul ibumu Sampan Gayana!” berkata si nenek sambil mundur dan
pentang tangan kanannya ke depan.
Ketua
Perguruan Silat Melati Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si nenek.
Tapi sekaligus dia juga tidak mengerti.
“Apa
maksudmu?!” tanyanya membentak.
Si nenek
tertawa. “Ibumu sudah lebih dulu mampus di tanganku! Kau korbanku yang kedua.
Jika bapak moyangmu masih belum mau keluar dari persembunyiannya untuk
mempertanggung jawabkan dosa, korban selanjutnya akan jatuh! Begitu seterusnya
sampai bapak moyangmu muncul!”
“Manusia
keparat! Jadi kau telah membunuh ibuku!” teriak Sampan Gayana.
Si nenek
balas dengan tawa cekikikan. “Jangan kawatir. Aku akan bawa kau ke tempat maya
ibumu tergeletak. Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh! Hik…hik…hik!”
“Perempuan
iblis!” teriak Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian. Dari
dalam saku itu dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda ini bukan lain
adalah bunga melati putih yang telah mengering. Bunga melati kering ini
merupakan senjata rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia
menggerakkan tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara
berdesing.
Nenek
muka tengkorak angkat tangan kirinya. Delapan bunga melati kering mental dan
hancur berantakan. Tapi empat lainnya masih sempat menyambar tubuhnya.
Des! Des!
Des! Des!
Baju
hijau tua yang dikenakan si nenek kelihatan berlubang di empat bagian.
Namun
tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak cidera!
Berubahlah
paras Sampan Gayana. Puluhan murid perguruan yang menyaksikan kejadian itu juga
ikut melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan tubuh manusia, batang pohonpun
akan tembus dihantam senjata rahasia ketua mereka.
Namun
nyatanya si nenek tidak cidera sedikitpun!
Didahului
suara tertawa melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan tangannya ke depan.
Lima buah kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat secara aneh dari kelima
ujung jarinya yang kurus kering!
Sampan
Gayana terkejut besar. Dia mundur satu langkah. Di depannya si nenek datang
memburu cepat sekali. Dia tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika lima
kuku jari itu berkelebat mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat
Melati Putih ini menjerit mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang
sangat dalam di muka dan dadanya. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun
belum kesampaian lututnya telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah
lepas. Dan sebelum dia jatuh teregelimpang si nenek sambut tubuhnya dengan
bahunya. Di lain saat perempuan tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di
bahu kirinya.
Puluhan
anak murid perguruan tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak marah dan
serempak maju. Ada yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula yang
menghunus berbagai senjata.
“Kalian
murid-murid setia. Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada gunanya membela
manusia yang sudah jadi mayat?! Apa kalian hendak membayar kebodohan kalian
dengan nyawa?!”
“Perempuan
iblis! Kami bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau bisa kami bunuh!”
teriak seorang murid dari tingkat paling tinggi.
“Bagus!
Kalau begitu lekas maju agar cepat aku membereskan kalian” kata si nenek pula.
Puluhan
murid perguruan yang tidak takut mati demi membela ketua mereka benar-benar
maju. Si nenek tertawa keras. Tangan kanannya digerakkan. Lima larik sinar
hitam berkelebat mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul. Sembilan
anak murid perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang.
Puluhan murid lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian
kembali mereka menyerbu dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga
murid perguruan yang coba mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si
nenek lenyap. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya
malam di kejauhan. Lapat-lapat kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan
Sang
istri sudah kudapat
Menyusul
kini anak keempat
Satu
persatu kubuat sekarat
Agar
terkikis dendam berkarat
Si nenek
lari laksana hantu malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat Sampan Gayana
inilah yang dibawanya ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu dimasukkan ke dalam
lubang lebih dahulu dibunuh dan dibawa ke tempat itu.
Suasana
gempar masih melanda Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang pemuda
berpakaian putih berambut gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid perguruan
yang tidak mengenal dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya.
“Mana
Ketua kalian? Aku datang membawa pesan penting!” kata pemuda yang baru datang
sambil menunjukkan sepucuk lipatan surat. Kedua matanya memandang berkeliling.
Tadi dia sempat melihat beberapa mayat yang digotong ke arah rumah panjang.
Seorang
murid dari tingkat atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di antara para
murid. “Pendekar 212. Kau datang terlambat…..”
“Eh, apa
yang terjadi?” tanya tamu muda yang datang yang bukan lain Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede.
“Ketua
dibunuh orang tak dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan kemana….”
“Astaga!”
Wiro tentu saja terkejut dan garuk-garuk kepala. “Isi surat dari guruku ini
justru hendak memberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku terlambat!”
Wiro serahkan lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si murid
membacanya sebentar lalu melipat surat itu kembali.
“Dalam
surat Eyang Sinto Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi anak-anak dan
keturunan Giri Arsana. Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak ada gunanya.
Ketua kami sudah menemui kematian….”
“Coba kau
terangkan ciri-ciri pembunuh itu,” kata Wiro.
Murid
perguruan menerangkan ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan menculik mayat
Sampan Gayana.
“Kuku
hitam mencuat dari jari-jari tangan….. Hemmmmmmmmmm….” Wiro bergumam dan
lagi-lagi hanya bisa garuk-garuk kepala. “Aku akan coba mencari tahu siapa
adanya tua bangka itu,” kata Pendekar 212 pula. “Namun saat ini aku perlu
keterangan siapa dan dimana saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada…”
“Selama
ini Ketua selalu tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak dan
adiknya. Juga tidak pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya tahu
beliau berayahkan orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.”
“Tapi
orang itu pun tiba-tiba saja lenyap dari dunia persilatan!” kata Wiro. Dia diam
sesaat akhirnya berkata “Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang
hendak kalian sampaikan?”
“Kami
hanya berharap agar kau bisa membantu mencari pembunuh Ketua kami. Kabarnya
nenek angker itu juga telah membunuh ibunda Ketua kami…” jawab murid perguruan
tadi.
“Akan aku
lakukan sebisa dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada pertalian darah
dengan guruku Eyang Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang mengherankan. Mayat
istri Giri Arsana tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua kalian diculik si
nenek, berarti dia juga yang menculik mayat si ibu. Untuk apa…?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek
pembunuh itu?”
Beberapa
orang menunjuk ke arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih lama berkelebat
ke arah itu.
*****************
5
Rumah
kecil itu terletak di pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar dan
bersenjata tombak serta golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu di
tempat gelap, tidak kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh
orang yang juga berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.
Seorang
penunggang kuda yang mukanya ditutup kain hitam sebatas mata memasuki halaman
rumah. Kudanya ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu dia melangkah cepat
menuju ke pintu. Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-jaga cepat menghadang.
Yang empat langsung mengangkat tangan dan mengarahkan tombak pada orang yang
barusan datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil menghunus golok.
“Harap
sebutkan kata rahasia yang sudah ditentukan!”
Orang
bercadar segera menjawab. “Malam gelap tak ada bintang tak ada bulan.”
Empat
tombak diturunkan. Golok dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Lima
orang di depan pintu menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka pintu.
Orang
bercadar segera masuk ke dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali berjaga-jaga.
Mereka kini
tinggal satu orang lagi yang harus ditunggu.
Tak
selang berapa lama satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima pengawal
di pintu memperhatikan dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di depan
mereka sambil garuk-garuk kepala.
Lima
penjaga memperhatikan orang ini. Masih muda dan berambut gondrong.
Tidak
seperti dua tamu terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar dan
sikapnya tampak konyol urakan.
Empat
tombak segera diangkat dan siap menambus pemuda berpakaian putih yang barusan
datang ini.
“Harap
ucapkan kata rahasia yang sudah ditentukan!” kata pengawal yang tegak menghunus
golok besar.
Tamu yang
datang tidak segera menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di depannya lalu
melirik pada empat kawannya yang tegak sambil mementang tombak.
“Saya
akan bertanya sekali lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami bunuh!” kata
pengawal di hadapan tamu muda yang barusan datang.
Pemuda
itu garuk-garuk kepalanya. Dia mengingat-ingat.
“Ah,
sialan benar. Aku lupa sandi yang harus dikatakan itu….”
“Kalau
begitu bersiaplah untuk mati! Kau penyusup yang tidak diundang!”
Pengawal
di sebelah depan angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga memberi isyarat
pada empat temannya. Maka empat tombak segera hendak dilemparkan ke arah tubuh
pemuda itu.
“Tunggu
dulu! Sabar sedikit. Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat sekarang! Kata
rahasia itu Malam gelap. Tak ada bintang tak ada bulan! Betul begitu?!”
Lima
tangan yang mencekal senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu
garuk-garuk lagi kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya
berkata. “Kau dan kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu
di dalam agar memberikan gaji tambahan.”
“Terima
kasih, terima kasih….” Kata lima pengawal sambil menjura lalu mereka menepi
memberi jalan. Yang satu membuka pintu lalu mempersilahkan pemuda gondrong itu
masuk. Yang dipersilahkan langsung saja nyelonong ke dalam rumah.
Di dalam
rumah kecil, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah lampu minyak
nampak duduk tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus dengan
rambut putih keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa yang tinggi.
Orang ini adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan. Di samping kirinya seorang
lelaki berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang dengan
memakai cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting
dalam kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan. Orang
ketiga yang duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang
tangan kanan sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah
abad.
Dia
mempunyai hubungan baik dengan semua pejabat Istana dan juga diketahui
berhubungan dekat dengan para tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau
Jawa. Namanya Brambang Santika.
Ketiga
orang itu tampak bebas dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang terakhir
yang mereka tunggu telah muncul dan seperti biasanya dengan sikap konyolnya.
Setelah memberi hormat pada orang-orang yang duduk di sekeliling meja, tamu
paling muda ini mengambil tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa.
“Kami
gembira melihat kau datang, Pendekar 212.”
Tamu yang
terakhir datang mengangguk lalu menjawab. “Saya hanya mewakili guru Eyang Sinto
Gendeng. Semua di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan datang dan minta
disampaikan salam maaf.”
Patih
Ganda Ariawisesa balas mengangguk.
“Waktu
kita tidak banyak. Karena kita sudah berkumpul semua maka saya kira kita bisa
segera mulai pertemuan rahasia ini.” Patih Kerajaan membuka pembicaraan.
“Seperti diketahui sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan Kerajaan dibantu oleh
beberapa orang culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas tahta
Kerajaan dari tangan Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu. Kita,
sebagai orang-orang yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan
rencana busuk itu. Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki
kekuatan dan pendukung yang cukup kuat. Karenanya dalam bertindak kita harus
sangat berhati-hati. Yang terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan
darah sesama kita. Saya sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus
memperhatikan gerak-gerik Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang
diketahui membantunya harus dipindah atau dipecah hingga keakuan mereka menjadi
berkurang. Lalu sahabat saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan beberapa
tokoh silat, baik di dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan
Sang Prabu dan Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta
batuan Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang
sakti itu telah bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika
dan kau Pendekar 212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi
gerak-gerik para tokoh silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui
jelas membantu gerakan Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang
untuk turun tangan sampai pada kewenangan untuk menangkap bahkan membunuh
mereka. Saya yakin kita akan dapat menggagalkan kelompok orang-orang khianat
itu. Namun saat ini terus terang ada satu hal yang mengganggu pikiran saya….”
“Coba
dikatakan saja Patih. Siapa tahu kami dapat membantu,” kata Brambang Santika.
“Seperti
kalian tahu, putera tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari Giri
Arsana, tokoh silat Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan saya
ini sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu dimana
dia berada. Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah
meninggal tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah
menebar orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu
berada masih gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa
seorang nenek sakti juga tengah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada
silang sengketa besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia
telah membunuh istri Giri Arsana dan menculiknya….”
“Tambahan
berita buruk, Paman Patih,” memotong Pendekar 212. “Orang yang sama belum lama
ini telah membunuh dan menculik Ketua Perguruan Silat Melati Putih yaitu Sampan
Gayana yang adalah putera ke empat Giri Arsana, kaka kandung menantu Paman
Patih….”
Paras
Patih Kerajaan jadi berubah. “Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan turunan
Giri Arsana berada dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau mendapat
berita itu Pendekar 212?” tanya sang Patih.
Wiro
lantas menuturkan kisah kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih.
“Pembunuhnya
seorang nenek berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa mengeluarkan kuku
hitam panjang….”
Patih
Ganda Ariawisesa berdiri dari tempat duduknya. “Berarti nenek pembunuh itu
adalah Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!” katanya hampir berteriak.
“Tapi
bukankah perempuan itu sudah lama diketahui mati?” ujar Brambang Santika yang
tahu banyak tentang dunia persilatan.
Cemani
Tanduwisoka menyeling. “Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri untuk
sementara. Mungkin membekal suatu maksud tertentu.”
“Boleh
jadi,” kata Patih Kerajaan. “Namun yang saya tidak mengerti, ada sebab musabab
apa Sepuluh Kuku Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?”
“Setahu
saya di masa muda dulu antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada hubungan
percintaan,” kata Brambang Santika.
Pendekar
212 lantas ikut bicara. “Soal perempuan tua itu jika semua disini setuju biar
saya dan Paman Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu dipikirkan
ialah keselamatan menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili.”
“Kau
betul Pendekar 212,” kata Patih Kerajaan. “Saya akan menaruh pengawalan ketat
atas dirinya….”
Wiro
mengangguk. “Tapi harap jangan lupa ungkapan Belum dapat anak ular
kandangnyapun kalau perlu dirusak”
“Apa
maksudmu Pendekar 212?” tanya Patih Kerajaan pula.
“Jika
pembunuh tidak dapat menembus tembok pengawalan puteri Paman
Patih,
bukan mustahil dia akan membunuh putera Paman Patih lebih dulu….”
Patih
Ganda Ariawisesa mengangguk-angguk “Terima kasih, kau mempunyai pikiran sedalam
dan sejauh itu.”
“Untuk
saat sekarang ini saya usulkan agar anak dan menantu Paman Patih diungsikan ke
satu tempat yang aman. Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulit diketahui
orang.”
“Saya
akan mengatur hal itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya,” kata Ganda
Ariawisesa. “Sekarang mari kita kembali pada penanganan orang-orang khianat
yang hendak memberontak.
*****************
6
Suami
istri petani muda itu duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun sayur
mereka yang luas. Saat itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena
sesekali pembicaraan diseling dengan gelak tawa.
“Lucu
juga kita berpura-pura jadi petani begini,” kata yang lelaki.
Sang
istri menjawab. “Yang jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus menyamar
seperti ini?”
“Mudah-mudahan
saja nenek jahat itu lekas dibekuk,” sahut sang suami. Kedua suami istri petani
ini bukan lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda Ariawisesa dengan
suaminya Raden Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan, guna menyelamatkan
kedua orang ini dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka diungsikan ke pinggiran
Kotaraja, menyamar sebagai suami istri petani. Selain itu tentu saja penjagaan
tersamar dilakukan. Belasan prajurit Kepatihan serta beberapa tokoh silat siang
malam bergantian menjaga keselamatan kedua orang itu. Brambang Santika
sewaktu-waktu muncul untuk memeriksa keadaan. Sementara itu Patih Ganda
Ariawisesa dan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil
memecah kekuatan mereka yang berniat melakukan pemberontakan. Beberapa kelompok
besar pasukan yang dapat dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan jauh ke
pinggiran Kotaraja lalu diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada Sang
Prabu.
Tindakan
ini rupanya tercium oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan yang
merencanakan perebutan tahta. Maka diam-diam dia segera mengatur siasat.
Satu demi
satu direncanakannya untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan yang setia
pada Sang Prabu. Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk nama Patih
Kerajaan, Wakil Kepala Istana.
Gerakan
kaum pemberontak rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana dilanda
kegegeran karena dua orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!
Kembali
pada Raden Sabrang Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini bersiap-siap
meninggalkan kebun ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup asap kelabu.
Diantara warna kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke langit.
“Ada
kebakaran di arah Kotaraja,” kata Raden Sabrang dengan perasaan kawatir.
Istrinya juga tampak gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul, disusul
oleh seorang tua berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah salah satu
dari tiga tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami istri
itu.
“Raden Sabrang,
saya mendapat kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana. Saya dan beberapa
pengawal akan segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap berjaga-jaga di
sini. Harap Raden berdua jangan kemana-kemana. Masuk saja ke dalam.”
“Pergilah
dan kembali dengan cepat,” jawab Raden Sabrang Winata. Dia membimbing istrinya
menuju ke rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba terdengar suara
tawa mengekeh, disusul dengan nyanyian
Yang
berdosa berpura lupa
Berlagak
bodoh seolah gagah
Kalau tak
muncul perlihatkan dada
Anak
turunan kujadikan mangsa
Sang
istri sudah kudapat
Begitu
juga anak ke empat
Hari ini
menyusul anak yang bungsu
Kubur di
Pulau sudah menunggu
Belum
habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh nenek
berwajah angker sudah tegak di depan mereka.
“Hik…hik…hik!
Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah
sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali
manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian!”
Raden
Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili berdiri di
depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat menduga siapa
adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.
“Kau
pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam orang-orang
tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu mertuaku! Sekarang
kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami semua?!”
Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. “Kalian memang tidak
punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak moyangnya yang
bernama Giri Arsana itu!”
Dua
bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari sepuluh
orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang tokoh
silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak.
“Perempuan
sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
Sepuluh
Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan bersamaan
dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang barusan
menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh silat
itu.
“Lelaki
jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama Camar Wungu,
manusia sombong bergelar Si Tangan Besi?! Hi…hik…hik. Aku mau lihat bagaimana
sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku!”
Lalu si
nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan kepalanya.
Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa.
Kedua
tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras laksana
batang besi.
“Manusia
keparat! Kau memang minta mampus!” Dua tangan Camar Wungu bergerak laksana
kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram batang
leher si nenek dan mematahkannya!
Yang
terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar Wungu.
Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.
Wini
kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh silat Istana
itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai mengerikan.
Nyawanya tidak tertolong lagi!
“Manusia
jahanam!” teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya yaitu sebilah
pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut melompat dengan
senjata di tangan.
Si nenek
menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya berkelebat. Lima jari
tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul menyusul. Lima orang
berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi.
Mereka
yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.
Kesempatan
ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis berkelebat menyambar
tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan berusaha menjambak rambut
nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia terlipat lalu roboh ke
tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka dan dadanya berlumuran
darah oleh lima guratan luka yang dalam!
Raden
Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si nenek hendak
melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek membuatnya jatuh
tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya melesat
remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas.
“Win….
Wini….!” Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar tapi roboh
lagi.
Sepuluh
Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada dalam keadaan
luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang berkeliling
lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.
Ada
dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung.
Tubuh
Wini Kantili yang ada di panggulannya hampir terlepas. Si nenek berseru marah
sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika melihat wajah orang
yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut penuh rasa
tidak percaya. Dia membatin. “Apakah ini hanya satu kebetulan atau manusia
keparat itu memang hidup kembali? Tapi bagaimana bisa semuda ini?!”
“Perempuan
jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur seenaknya! Turunkan
puteri Patih itu cepat!” Pemuda di depan si nenek membentak.
“Siapa
kau?!” si nenek balas menghardik.
“Aku
utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!” jawab si pemuda.
“Gila!”
kata si nenek lagi dalam hati. “Ucap dan lagaknya persis sama dengan si keparat
itu! Bagaimana ada dua manusia bisa mirip satu sama lain?!”
“Jangan
kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir atau kau jadi
korbanku berikutnya saat ini juga!”
Yang
diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si nenek angkat
tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba saja ada
rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan ini
dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali
ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan
tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak
dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sepuluh
Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan kanannya
mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku
iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga
dalamnya. Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya
terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar
tidak jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke
wajah lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam
keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Terdengar
suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru. “Jurus dibalik
gunung memukul halilintar!” Lalu dia cepat batalkan serangannya dan menyingkir
mundur dengan mata mendelik.
Si pemuda
yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut ketika mendengar
lawan menyebut dengan tepat jurus pukulan yang dilancarkannya.
“Jadi
kau….. Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu!” kata si nenek dengan
mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. “Ah, mengapa wajahnya
begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa berbahaya.
Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku lekas pergi
dari sini!”
Si nenek
keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.
Murid
Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu benda apa
yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda itu telah
lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan halus.
Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi.
Wiro
batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek bersama
sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar
212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat terkapar di tanah.
“Raden….”
“Kejar…..
Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku…..”
“Terlambat.
Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan itu membawa istri
Raden,” jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di beberapa tempat.
Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan itu. Namun
paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Aku…aku
mendengar dia menyebut-nyebut Pulau…..” kata Raden Sabrang.
Pemandangannya
mulai berkunang dan gelap.
“Pulau
apa…? Pulau apa Raden? Katakan cepat!”
“Dia
hanya menyebut Pulau. Tidak tahu….” Ucapan Raden Sabrang terputus. Kepalanya
terkulai. Nyawa lepas sudah.
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang akan segera
tenggelam. “Pulau….? Pulau apa? Ada banyak pulau di pantai Utara. Satu yang
terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana? Tapi untuk
apa…?
Selagi
Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh suara
derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan
kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah
Patih Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang
menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah
belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan.
Melihat
Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan memberi tanda agar
rombongan berhenti. Dia hendak mengatakan sesuatu pada Wiro namun berteriak
keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua diantaranya adalah tokoh
silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan menantunya. Di sebelah
sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar tak bergerak lagi.
“Gusti
Allah! Apa yang terjadi?!” teriak Patih Ganda Ariawisesa lalu melompat turun
dari kuda.
Tubuh
Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu.
Dia duduk
bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang di atas pangkuannya
sambil menangis terisak.
“Mana
Wini menantuku?!” teriaknya Sang Patih kemudian.
“Perempuan
berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya,” menerangkan Wiro.
“Ya
Tuhan…” Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas.
Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang oleh
Wiro.
“Wini… Ya
Tuhan…. Tolong dia. Selamatkan dia…”
Brambang
Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang bahu sang Patih
dia berkata “Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak bagaimana mungkin Sepuluh
Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat ini!”
Sang
Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah.
“Kau
benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kita. Tapi siapa?!”
“Kelak
musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan lolos! Saya
berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri!” kata Brambang
Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan.
Wakil
Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung kudanya
berkata untuk pertama kali. “Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar kami
yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum
jauh.”
“Tidak!
Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu!” jawab Patih Ganda Ariawisesa lalu
berpaling pada Wiro. “Pendekar 212. Harap kau suka membantu mengurus jenazah
puteraku dan yang lain-lainnya.”
Wiro
garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
*****************
7
Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah Gunung Krakatau.
Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya telah berisi mayat
yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat anak lelakinya
yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini Kantili.
Yang
dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan Giri
Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar dari
persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada
murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Sulit!
Gila dan tidak dapat dipercaya!” katanya berulang kali dalam hati.
“Bagaimana
ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persis sama dengan wajah Giri Arsana sewaktu
dia masih muda? Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun begitu mirip.
Kalau saja aku masih muda….” Sesaat wajah si nenek tampak menjadi merah. Dia
mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya kedua
matanya tampak berkaca-kaca. “Gila!” dia memaki lagi dalam hati.
“Tak
mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali
usianya. Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan!
Tapi gila! Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan
kesaktiannya membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum
sempat menuntut balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku
seperti tidak tega menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya!
Aku harus menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di
tanganku.
Mungkin
aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan tubuhku.
Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai Giri
Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan
Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha
menyelamatkan anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu
cepat ke dunia ini….”
Sepanjang
malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung Krakatau. Dia bahkan
tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya menghangati wajah dan
tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya kembali tertuju pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendaki lereng
kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua matanya sehingga
pemandangannya silau terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas kawah,
meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada seseorang
tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek lindungi
matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia
dapat melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.
“Kau!”
Orang yang
tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang saja. Sesaat
kemudian baru dia menjawab.
“Akhirnya
kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang berada di Pulau
Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua kegilaan ini?!”
“Pendekar
212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan urusanmu ataupun
urusan orang lain!”
Murid
Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. “Jika pembunuhan terjadi atas diri
orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan putera
Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan
orang-orang rimba persilatan!”
“Kentut
busuk!” teriak si nenek muka tengkorak. “Apakah kalian orang-orang persilatan
juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku? Derita sengsara apa
yang kualami selama hidupku!”
“Harap
maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga tidak mau
tahu menyangkut urusan pribadimu…”
Si nenek
tersenyum. “Pasti…Memang selalu begitu akan kudengar ucapan orang! Munafik!
Semua munafik!”
“Nenek….Coba
kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu menculiknya.
Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lubang-lubang batang
kelapa ini!” bertanya Wiro.
“apa
perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu apa kau
datang ke tempat ini? Menyelidik dan mengejarku?! Kau tahu Gunung Krakatau
adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datang kemari.
Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!”
Wiro
menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi berdebar.
Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar. Perlahan-lahan dia
alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak kuasa balas menatap
pandangan mata pemuda di hadapannya itu.
“Terus
terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan pengejaranku
berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar
menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap
seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!”
“Hemm…
ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan yang tinggi!
Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai diriku!”
“Aku
tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat ini tapi
dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya ke pantai
dan memasukkannya ke dalam perahu.”
Si nenek
melongo lalu tertawa mengekek. “Aku bukan kacungmu! Jika kau inginkan ketiga
mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu nyawamu di Pulau
Rakata ini!”
“Ini
pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya!” kata Wiro masih bisa
menyeringai. “Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai? Cukup
dengan menyeret batang kelapanya saja”
“Aku
ingin membunuhmu!” jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya dengan hati perih
karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang
sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera memasang kuda-kuda.
Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan “segulung ombak menerpa
karang”
Si nenek
yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia dorongkan kedua
tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh suara keras.
Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara seperti lolongan
srigala yang menggidikkan.
Pendekar
212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya musnah dihantam
dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat menghantam dengan dua
serangan sekaligus. Tangan kiri melepas pukulan “kunyuk melempar buah” sedang
tangan kanan menghantamkan pukulan “kilat menyambar puncak gunung!”
Sepuluh
Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di lain saat Wiro
melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek rupanya sudah
keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku iblis!
Wiro
cepat menyingkir. Tapi breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar hingga
robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si nenek
kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan
untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si
nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai
tidak tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid
Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu pukulan keras ke
dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit. Salah satu tulang
iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan mengucur di
sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri dengan cepat.
Sepasang matanya seperti menyala.
“Bodoh!
Terlalu bodoh aku menanamkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku menyukainya
tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!” kata Sepuluh Kuku Iblis
dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak mencuat
mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati Wiro.
Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan.
Sepuluh
larik cahaya hitam menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas serangan lawan
dengan “pukulan sinar matahari.” Cahaya putih panas dan menyilaukan berkiblat.
Si nenek
terdengar melengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar matahari menghantam
pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai setinggi lima tombak.
Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi
terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam dadanya. Tak ampun
lagi tubuhnya terpental dan jatuh ke dalam kawah!
Si nenek
berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang dilepaskannya
tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat mental si pemuda
begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan kanannya. Berusaha
menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada gunanya. Tubuh
murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah Gunung Krakatau
yang mendidih!
Si nenek
hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya dipejamkan.
Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata berkaca-kaca.
“Aku
begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku menurunkan tangan
keras padanya. Lebih baik aku mati saja menysulnya!” Sriti Gandini alias
Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat menghambur kawah
Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di telinganya. “Tak ada
gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi peluang bagi orang yang
sangat kau benci itu bisa kembali hidup bebas di dunia ini! Jangan jadi orang
tolol!”
“Keparat!”
si nenek memaki. “Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!”
Dia
menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya
tubuhnya.
“Tiga
nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan
ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia
busuk! Lelaki pengecut!”
*****************
8
Goa itu
terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak tahu seluk beluk
daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan mengetahui kalau
di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh sederetan pohon
jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.
Di
kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara auman
binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam, mendekam di
tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi dan
taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap melompati
sesosok tubuh yang tegak di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja
rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam.
Sekujur daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit
mukanya hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia
kelihatan seperti Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika
diperhatikan banyak kelainannya.
Nenek
satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah tusuk
kundai dari perak. Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada rambut
putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan pada kulit
kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Rongga mata dan kedua pipinya
sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar
Sepuluh Kuku Iblis!
Menghadapi
harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak tenang-tenang saja. Malah
sambil menyeringai dia bolang-balingkan tongkat kayu di tangan kanannya.
Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau besar di
hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba belantara
itu seperti bergetar.
Si nenek
bukannya takut malah tertawa mengekeh.
“Raja
rimba!” katanya berseru. “Apa untungnya menerkam diri tua bangka ini! Tubuhku
tak berdaging lagi! Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa yang lain!”
Raja
hutan kembali mengaum seolah tahu apa yang diucapkan si nenek. Kedua kaki
depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.
“Kalau
kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal!” seru si nenek lagi. Lalu
tongkat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu.
Aneh,
begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar.
Pukulan
yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mengaum marah.
Sesaat
dia jadi bingung apakah akan terus menerkam si nenek atau menerkam tongkat.
Selagi
dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang kali.
Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan menderita
sakit apalagi tidak mampu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau besar ini
akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.
Si nenek
ulurkan tangannya, tongkat melayang masuk ke dalam genggamannya. Sambil
meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia memperhatikan deretan pohon-pohon
jati yang berusia puluhan tahun di sekelilingnya.
“Goa itu
seharusnya berada di sekitar sini. Aneh….kenapa tidak kelihatan lagi? Tak
mungkin lenyap begitu saja!” si nenek berkata dalam hati. Kesal mencari-cari
dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini pergunakan
tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh orang lain.
Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang. Dengan benda
ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di
sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya
berseru.
“Ooooooo…ooo!
Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap!” Si nenek melompat kehadapan mulut goa
yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar yang menutupinya dibabat habis
dengan tongkatnya tadi.
Sesaat si
nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit lalu dia
menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar tawanya
mengekeh.
“Aku
mencium baumu tua bangka jelek!” si nenek berteriak. “Dewa Berpayung Hitam! Aku
tahu kau ada di dalam!”
Suara
teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di mulut goa
secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.
“Kau tak
mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke dalam goa kau bakal
jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima tamu yang datang
dari jauh?!”
Dari
dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh.
“Tamu
yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu siapa kamu! Tapi
silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah melihat
manusia!”
Nenek di
mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini ternyata cukup
dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin terang.
Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.
“Aneh,
bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini!” kata si nenek. Dia menengadah ke
atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah cahaya matahari
masuk menerangi bagian dalam goa!
Nenek itu
turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke seberang mata air
dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan terbuka, terletak di
lantai batu.
“Konyol!”
si nenek memaki. “Sudah diketahui orang kau berada di sini masih saja coba
sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan payung itu jangan
menyesal kalau kurobek-robek!” Si nenek lalu angkat tangannya yang memegang
tongkat.
Dari
balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu
perlahan-lahan menciut kuncup.
*****************
9
Di balik
payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah putih klimis,
bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan di bahu serta
dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya.
Orang ini
memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan payung hitam
yang baru ditutupnya ke dinding goa.
“Ternyata
kau tidak kalah jelek dengan diriku!” kata si nenek lalu tertawa mengekeh.
Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi bising dan
bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini.
“Giri
Arsana! Kau….”
“Tunggu
dulu!” si kakek memotong ucapan si nenek. “Sebagai tuan rumah aku mungkin tidak
bisa bersikap ramah. Jauh-jauh datang kemari kau tentu haus! Jika ingin minum
silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!”
“Sialan
kau!” memaki si nenek. “Nyawamu terancam dan kau masih saja bisa bicara
ngacok!”
“Sinto
Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku ini?!” bertanya
si kakek.
Ternyata
si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng sedang si
kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam yang selama enam
bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak tahunya sembunyi
di dalam goa di kaki Gunung Karang.
“Kau
melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat seangkatan! Apa
kau sadar melakukan hal itu!”
“Tentu
saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!”
Sinto
Gendeng tertawa membahak. “Kau bersembunyi di sini! Kau bilang bukan pengecut!
Kau tahu apa yang terjadi di luar sana? Istrimu telah dibunuh oleh Sriti
Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama
berselang puterimu yang kawin dengan putera Patih Kerajaan juga telah dibunuh!
Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!”
Kakek
berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela nafas panjang.
“Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak istriku….”
“Kalau
kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya sembunyi di goa
ini?!” sentak Sinto Gendeng. “Apa kau ingin melihat seluruh turunanmu dihabisi
orang?!”
“Mungkin
sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan perempuan sesat itu!”
“Enak
saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan sesat! Aku tanya
kau atau dia yang sesat?” bentak Sinto Gendeng sambil melototkan mata.
“Yah….
Mungkin aku yang sesat….”
“Bukan
mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat!”
“Ya….ya!
Kami berdua sama sesatnya!”
“Nah itu
lebih baik dan lebih adil!” ujar Sinto Gendeng pula. “Lebih cepat kau keluar
dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan perempuan itu
akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa terhindar dari
rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai kabur dan
mendekam ke tempat ini?”
Giri
Arsana tak mau menjawab.
“Kau
merahasiakan sesuatu?”
“Tadinya
memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah mengamalkan ilmu baru. Guna
dapat menghadapi Sriti Gandini…”
“Ilmu
apa? Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih hendak
menciptakan ilmu baru? Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak terlambat?”
“Memang
terlambat! Rasanya aku tidak siap. Ku tidak bakal mampu menghadapi perempuan
itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan diriku. Aku tengah
berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan dapat….” Wajah si
kakek sesaat tampak sedih.
“Giri….Giri….Itulah
akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu. Perempuan mana yang tidak
bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda kau jadikan Sriti Gandini
sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan dia!”
Sinto
Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan ucapannya.
“Setelah
kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau tinggalkan dia.
Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji akan
mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan hatinya
adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu
menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika
lahir hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan
bapaknya yang gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau
kembali menemui Sriti Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau
berbuat ketololan menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya.
Kau pergi ke seberang memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri
hingga kau mendapatkan lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti
Gandini. Juga istrimu! Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya.”
“Yang aku
sayangkan…” kata Giri Arsana pula. “mengapa dia melakukannya ketika kita sudah
tua bangka begini rupa? Kenapa dia tidak membunuhku saja sejak dulu-dulu!”
Sinto
Gendeng mendengus. “Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri. Aku yakin
perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak kelemahanmu…”
“Kau
benar,” kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia berucap. “Di
usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau dikata…”
“Apa mau
dikata,” menyambung Sinto Gendeng, “Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang silahkan
kau makan sendiri buburnya.” Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
Dia
bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. “Aku pergi duluan Giri. Aku menyesal
tidak dapat membantumu….. Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan tiga orang
anakmu yang masih hidup dan membersihkan dirimu dari lumpur dendam.”
“Bagaimanapun
kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku, Sinto. Mungkin kita
tidak akan berjumpa lagi….”
Sinto
Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam dalam
perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si nenek pergi,
Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula meninggalkan
goa. Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu dia merasa
takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya untuk
menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah.
*****************
10
Patih
Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembong-gembong
pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.
Sebelumnya
para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di Kotaraja dengan
maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat yang tidak baik
ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu bersama permaisuri
dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke satu
tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antara pemberontak dengan
mereka yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar
karena setelah diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera
kabur meninggalkan Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta
Brambang Santika dan puluhan prajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran
inilah Patih Kerajaan mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya
menantunya akibat ulah jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Setelah
mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih Kerajaan bersama
rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran.
Pihak
yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di sebuah
kaki bukit.
“Paman
Patih,” berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan Kerajaan dengan
suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang bergemuruh. “Di
depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan pemberontak. Jika kita
terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak kita!”
Patih
Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat kematian putera yang
kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara lantang. “Percepat
saja lari kudamu!” Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar mereka!”
Saat itu
memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar hanya
terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih Kerajaan
mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun baru
saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang
pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari
mana-mana berlesatan berbagai macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu
tanah di depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini
sebelumnya ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan
dan kini terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi
bambu-bambu runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak
bekeliaran kian kemari!
Terjadilah
neraka bagi pihak pengejar.
Belasan
prajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumnya telah
ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata rahasia
dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing yang
mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda
bergabung jadi satu terdengar mengerikan.
Dua tokoh
silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil menyelamatkan diri dari
hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita luka-luka cukup parah
disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari mereka berhasil melompat
menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut. Namun ketika dia berusaha menolong
kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam lobang, satu tendangan
menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi bersama kawan yang
hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu menemui ajal begitu
perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya bisa
menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa.
Siapakah
yang tadi telah menendang tokoh silat Istana? Tidak seorangpun sempat
memperhatikan.
Patih
Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian masing-masing
berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata rahasia.
Mereka
juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi tubuh
mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah lobang
jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular
berbisanya!
Kuda
tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik keras
kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Nasib baik bagi Wakil
Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas tubuh
kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.
Sebaliknya
Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus ke dasar
lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di tanah
lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya,
menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular
mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang,
membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.
Selagi
Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal yang tidak
bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa!
Saat itu
Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk selamatkan diri.
Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia segera
mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak
terduga. Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda
Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah
menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut
pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya
terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya.
Suara jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan!
“Dimas
Brambang!” teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat itu dia
sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. “Apa yang telah
kau lakukan?!”
Tambah
terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat dipercayainya itu
tertawa bergelak. “Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk melihat kenyataan!”
“Apa
maksudmu?!” bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu dimana
dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah.
Ular itu
terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah. Secepat
kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.
“Sobatku
Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo itu!” satu suara
terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan prajurit, di tepi
jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang jadi
pucuk pimpinan kaum pemberontak.
Tentu
saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya memandang
melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
Pagar
Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. “Patih Kerajaan, sahabatmu Brambang
Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu?!”
“Manusia
pengkhianat terkutuk!” teriak Patih Ganda Ariawisesa. “Berarti kau juga yang
bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!”
Sambil
bergantung ke bambu dengan tangan kirinya, patih menghantam ke arah Brambang
Santika dengan tangan kanannya.
Wuuttt!
Selarik
angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang Santika. Orang ini
cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang tak kalah
dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda Ariawisesa
untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah menangkis
pukulan lawan dengan pukulan pula.
Dalam hal
tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih tinggi dari Brambang
Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan lawan sampai lebih dulu
hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu tempatnya bergantung
berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa jatuh terjerumus ke
dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama meluruskan kepala menunggu
jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah Ganda Ariawisesa berusaha
menggapai tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar Paregreg tampak mengangkat
mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat itu dilemparkannya ke arah
Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu jelas Patih Kerajaan tak
akan mampu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke dasar lobang, disambut
oleh belasan ular berbisa!
Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat menyusup ke
bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa yang terjadi,
tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda membal yang
disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara, untuk kemudian
jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti itu Sang
Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia
cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda
rasa kejut.
Di tepi
lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya seangker setan
dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya memegang sebuah
tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak Patih Kerajaan
dan menyelamatkannya.
“Eyang
Sinto Gendeng!” seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si nenek.
Yang
dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng tegak tak
bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak berkesip ke arah
Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang Santika. Ketika dia
melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan ikut membantu pihak
pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata
“Dunia
persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari perbaikan,
malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi kaki
tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk kalian?!”
Jika saja
yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana yang bergabung
dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam habis-habisan. Namun
karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka terpaksa menahan diri
dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau memberikan perintah.
Lain
halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul kehebatan Sinto
Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh silat itu
mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun keluarkan
ucapan mengejek.
“Perempuan
tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan campur adukkan
soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa saja di
Gunung Gede!”
Darah
Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang Santika itu. Namun
si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa melengking.
“Bocah
jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat! Selama ini
kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyata kau tidak
banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular kepala dua
sepertimu dihabisi lebih dulu!”
Habis
berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang Santika.
Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak obahnya
seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang. Melihat orang telah
mulai menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan
yang berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan
kanannya memberi tanda.
Melihat
isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera
menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbu ke arah Sinto
Gendeng. Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa
tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher
Brambang Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan
kiri lepaskan satu pukulan sakti.
Dua tokoh
silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan dan sambaran
tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya menggidikkan ketika
tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga tubuhnya
terbanting ke tanah dan mati di situ juga!
Brambang
Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian kawan mereka.
Sama-sama membentak ketiganya kembali menggempur si nenek.
Diperlakukan
seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya membabatkan
tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana gelombang.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perak di kepalanya
lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni tokoh
silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang yang
diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu
tusuk kundai perak itu menancap dan menembus lehernya!
Mau tak
mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh di
pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu
menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di
tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan
bersenjatakan golok. Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian
tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan
memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu
masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si
nenek sakti.
Melihat
hal ini Patih Ganda Ariawisesa cepat menyambar sebilah golok yang tergeletak di
tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng.
Si nenek
menyeringai. “Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut nyawa
manusia-manusia pengkhianat ini!”
Dua orang
itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran berlangsung dengan seru.
Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan
jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata ini sulit dilihat.
Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan sambaran anginnya!
Dari
tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk dapat
melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng dalam
kedudukan membelakangi dirinya.
“Awas,
pukulan sinar matahari!” Brambang Santika berteriak keras ketika dilihatnya
tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan.
Sinar
putih panas luar biasa berkiblat.
Bummm!
Dua
lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling jauh
dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat menyingkir
walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa mengekeh
tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan
Pagar
Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!
“Sinto!
Awas senjata rahasia di belakangmu!” Satu teriakan keras memperingatkan
menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan des…des…des… Puluhan
jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain adalah sebuah payung
hitam terkembang!
*****************
11
Ah, Giri
Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku! Menolong
kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong licik itu?!” ujar
Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di sebelahnya.
Patih
Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di tempat
itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan bukan
lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang puteranya
yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!
Dewa
Berpayung Hitam tertawa mengekeh. “Langka pertemuan memang tidak bisa diduga!”
katanya. Lalu dia menyambung. “Sinto, urusanku sendiri belum selesai. Kalau
tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan mencemplungkan
diri dalam pertempuran gila ini!”
Si nenek
balas tertawa. “Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih Kerajaan
menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti mencari
pahala? Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama hidup di
dunia celaka ini!”
Dua kakek
nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih Ganda
Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong.
Di lain
pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang Santika.
Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan kini sangat
sulit bagi mereka. Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja mereka
belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang berkepandaian
tinggi dan puluhan prajurit. Apalagi kini muncul pula kakek berjuluk Dewa
Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebih baik mereka menyingkir.
Pagar
Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga lawannya. Di
saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu.
Lalu
bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk bola
hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam yang
sangat tebal menyungkupi daerah itu!
“Keparat
licik!” teriak Sinto Gendeng.
“Kalian
mau lari kemana?!” ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia menangkis dengan
payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung oleh payung
sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek pukul pegangan
payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke depan, kearah
Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak kelihatan lagi
dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam. Sempat terdengar
satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik jarum-jarum
beracun itu. Namun sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap. Para
pengikut mereka yang tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir
panjang lagi segera pula lari berserabutan!
“Maafkan,
saya harus mengejar kedua orang itu!” kata Patih Ganda Ariawisesa pada
besannya. Lalu dia melompat ke punggung seekor kuda yang ada di dekatnya.
Sebelum pergi Sang Patih masih sempat memerintahkan pada sisa-sisa prajurit
Kerajaan yang ada di situ agar mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka yang ada
dalam lobang.
Dewa
Berpayung Hitam berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek yang maklum arti
pandangan ini gelengkan kepala lalu berkata. “Sekali ini aku tidak akan ikut
mengejar mereka. Kau dan besanmu itu selesaikan urusan sendiri!”
Giri
Arsana tampak cemberut. Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung hitamnya
dikuncupkan. Beberapa langkah di samping kirinya ada seekor kuda besar bekas
tunggangan Cemani Tanduwisoka. Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng berkata.
“Ada satu hal yang ingin aku beritahu padamu Giri. Wajahmu di waktu muda mirip
sekali dengan muridku Wiro Sableng.”
Si kakek
terdiam sesaat. “Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan cuma satu
di dunia. Kalau saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku merasa
senang melihat keanehan ini!”
“Kau
pasti akan bertemu dengan dia,” jawab Sinto Gendeng pula.
Dewa
Berpayung Hitam tarik tali kekang kudanya. Sesaat kemudian dia telah lenyap
dari tempat itu.
Satu hari
satu malam melakukan pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat Ganda Ariawisesa
kedua orang buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih Kerajaan ini memang
mempunyai keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh di sebelah belakang
Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak memutuskan tidak mengikuti
apa yang dilakukan Patih itu. Namun ketika dilihatnya pengejaran itu
berlangsung ke arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk bergabung saja
dengan Ganda Ariawisesa. Dalam hati dia berkata “Sulit mencari tahu dimana
perempuan itu berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu saat dia
akan berada di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar
sumpah akan menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap
begitu saja. Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara
nekad!”
Begitulah
kakek sakti itu lalu bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan pengejaran
terhadap Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya mencapai tepi
pantai, tak berapa jauh dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui dua ekor kuda
yang berkeliaran tanpa pemilik.
“Pasti
itu kuda-kuda bekas tunggangan kedua manusia keparat itu!” kata Patih Ganda
Ariawisesa pula. Lalu dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat
bekas-bekas kaki manusia. Di tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah
perahu. Dua biduk dan perahu ini berada dalam keadaan hancur berantakan.
“Mereka
sengaja merusak biduk dan perahu ini agar kita tidak dapat mengejar!” kata Giri
Arsana pula dengan geram. “Tak ada jalan lain, kita harus memperbaiki perahu
ini. Paling tidak akan makan waktu setengah hari.”
Kedua
orang itu lalu memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang petang mereka
berhasil melakukannya lalu turun ke laut.
“Tujuan
ke Pulau Rakata. Kedua orang itu pasti kabur ke sana…..” berkata Patih
Kerajaan.
“Saya
juga sudah menduga mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga punya
urusan yang harus diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu menjadi
neraka. Atau ah….. Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi turunanku.
Termasuk diriku sendiri….”
“Apa
maksudmu besan yang terhormat?” tanya Patih Ganda Ariawisesa.
“Kawah
Gunung Krakatau tempat mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Nenek yang telah membunuh anak istriku dan menculik mayat-mayat mereka!”
“Kalau
begitu dua urusan besar bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek keparat
itu adalah bagianku!”
“Tidak
bisa! Dia membunuh istri dan dua anakku! Dia harus mampus di tanganku!” jawab
Dewa Berpayung Hitam.
“Si
keparat itu membunuh puteraku dan juga menantuku!” menukas Patih Kerajaan. “Dia
harus mati di tanganku!”
Kedua
orang itu saling melotot dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana mengalah.
”Kita belum sampai ke sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari kita
berangkat sekarang juga!”
Begitulah
keduanya mulai melayari Selatan Sunda. Kalau Sang Patih pergunakan pendayung
untuk mengayuh perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa duduk di bagian
belakang perahu dan putar payung hitamnya. Gelombang angin yang ditimbulkan
oleh putaran payung membuat perahu terdorong ke depan dan melesat membelah air
laut hingga dalam waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau Rakata dengan
Gunung Krakataunya.
*****************
12
Perkara
mati memang bukan kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng. Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam perkelahian dengan Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis, satu hantaman yang berkekuatan tenaga dalam
penuh yang dilancarkan si nenek telah membuat murid Eyang Sinto Gendeng itu
terpental lalu melayang jatuh ke bawah Gunung Krakatau.
Wiro
sendiri hanya sempat menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak bisa
menolong dirinya dari kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu
menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras
yang mengumandang di seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya
melayang cepat menuju kawah!
Hanya
beberapa saat lagi tubuh Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah yang mendidih,
tiba-tiba dari lamping kawah sebelah timur, dari balik sebuah gundukan batu
melesat keluar sebuah benda halus berwarna putih berkilauan. Benda yang melesat
ternyata adalah untaian panjang benang aneh yang dengan cepat menggulung kedua
kaki Wiro, terus ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas dada. Sesaat
tubuh Pendekar 212 masih tampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga jengkal
lagi dari permukaan kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras. Tubuh Wiro
terbetot ke samping lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat
jatuh ke bawah diredam lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang
yang siap diturunkan dari udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah,
lenyap di balik gundukan batu.
Sang
pendekar siuman dari pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada suara tawa
mengekeh menusuk telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya.
Apa yang
dilihatnya sungguh aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis berwajah
cantik berambut panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam membuat wajahnya
yang putih lebih menonjol kejelitaannya. Si gadis menatapnya dan sama sekali
tidak kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin suara tawanya
seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan mulutnya
terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu?
Saat itu
didapatinya dirinya duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di bawahnya kelihatan
kawah Gunung Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik itu sambil
membayangi apa yang telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh Kuku Iblis.
Tubuhnya dihantam mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia berteriak lalu
tak ingat apa-apa lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu?
“Saudari,
kau siapa?” Wiro bertanya. Yang ditanya tidak menjawab.
Berkedip
pun tidak. “Eh, apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku masih
hidup apakah kau bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro perhatikan
dirinya sendiri. Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya
saja yang tampak kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu
terasa dadanya mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku
Iblis rupanya telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan
rupanya dia sempat mengeluarkan darah dari mulut. Wiro memandang lagi ke depan.
Jelas dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung
membuka mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya.
Saat itulah didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri.
Astaga!
Hanya
lima langkah di samping kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang kakek
berpakaian putih. Rambutnya yang putih terlihat jarang. Kumis dan janggutnya
juga berwarna putih. Matanya lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit
tipis penutup tengkorak dan berwarna sangat pucat.
Begitu
melihat dan mengenali orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera bangkit
lalu jatuhkan diri berlutut.
“Kakek
Tua Gila! Jadi kau rupanya yang menolong saya. Saya sangat berterima kasih
padamu. Hutang jiwa yang dulu-dulu belum sempat saya bayar. Kini…..”
Si kakek
tertawa gelak-gelak. “Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang menyelamatkan dirimu
Wiro. Kulihat kau ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah Gunung Krakatau
ini. Apakah kau sengaja bunuh diri hendak mencebur masuk ke dalam kawah?”
“Siapa
yang mau bunuh diri kek?!! Tukas Wiro. “Seorang menghantam saya hingga
terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong saya
dengan benang kayangan!”
Kembali
kakek itu tertawa gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini?
Namanya
Tua Gila. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut
Jiwa. Ada juga yang memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan tahun
lalu, dalam usia muda dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika
cintanya ditolak dia menjadi sangat terpukul dan patah hati. Demikian parahnya
keadaannya hingga dia seperti kurang waras dan malang melintang di rimba
persilatan membunuh siapa saja seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya
berubah.
Malah dia
pernah memperlakukan Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat langka
kepada pemuda itu.
“Kek,
saya tidak menyangka bakal bertemu denganmu di sini. Apa yang tengah kakek
lakukan di tempat ini? Dan siapa gadis ini…?”
“Ah
pertanyaanmu banyak amat. Biar kujawab satu persatu dulu,” jawab Tua Gila.
“Pertama aku berada si sini ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan
ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia
adalah calon muridku. Aku tengah mengujinya di tempat ini apakah dia cukup
pantas untuk kujadikan murid. Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir
padanya?”
Wiro
garuk-garuk kepala sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya.
Tua Gila
lagi-lagi tertawa mengekeh.
“Urusan
taksir-menaksir ini biar kita bicarakan nanti,” jawab Wiro sambil garuk kepala
dan membuat Minaratih semakin merah wajahnya. “Saya harus meninggalkan tempat
ini dengan segera. Ada urusan besar di atas kawah sana.
Seorang
nenek gila melakukan pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti berjuluk
Dewa Berpayung Hitam. Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya mayatnya
dalam lobang pohon kelapa. Diberi cairan pengawet!”
Tua Gila
usap janggutnya. “Aku memang sudah lama mendengar. Urusan di kala muda itu
rupanya belum jua terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah cepat ke atas
sana. Aku dan muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu senang
mengurusi masalah dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan
Sepuluh Kuku Iblis dengan Dewa Berpayung Hitam itu!”
Wiro
menjura dalam-dalam lalu menyalami Tua Gila dan mencium tangan orang tua itu.
Pada Minaratih dia tersenyum mengangguk seraya berkata “Saya senang bertemu
denganmu. Saya berharap bisa bertemu lagi….”
Si gadis
tak menjawab. Tapi ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari duduknya dan
mengikuti kepergian si pemuda memanjat tebing kawah dengan pandangan matanya
sampai akhirnya lenyap di kejauhan. Di belakangnya terdengar suara Tua Gila
batuk-batuk
“Rupanya
kau menaksir juga pada pemuda itu Mina…”
Si gadis
berpaling pada Tua Gila.
“Tapi
hati-hati nak,” kata si kakek pula. “Dia memang orang baik cuma sering-sering
dia bertindak dan berucap konyol seperti orang ini!” Lalu Tua Gila menggaris
keningnya dengan telunjuk kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum.
*****************
13
Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi mayat Wini
Kantili. Kedua matanya memandang jauh ke arah pantai. Saat itu dia masih saja
mengingat-ingat pemuda yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah.
Hatinya
tiada henti dirundung penyesalan. “Mengapa aku harus memukulnya begitu keras.
Ah…..Kalau dia masih hidup mungkin dirinya bisa membuat aku menjadi orang baik.
Tidak nekad tidak gila membunuhi orang….” Ingatan si nenek lalu tertuju pada
Giri Arsana, manusia yang paling dibencinya.
Selagi
dia duduk termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tiba-tiba di pantai
dilihatnya mendarat sebuah perahu. Dua orang penumpang turun ke pasir.
“Hemmmm….”
Sriti Gandini bangkit dari duduknya. Kedua matanya membesar. “Ada lagi dua
orang yang minta mampus. Berani menginjakkan kaki di Pulau Rakata daerah
kekuasaanku!”
Si nenek
membungkuk mengambil sekaligus dua buah pecahan batu gunung. Sekali melempar
kedua batu itu melesat ke arah pantai. Jarak antara tempat si nenek berada
dengan pantai jauh sekali. Namun lemparan batu itu melesat membelah udara dan
meluncur ke arah dua orang yang barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja
sudah dapat dilihat bagaimana ketinggian ilmu Sriti Gandini.
Di tepi
pantai dua orang yang barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas Kepala
Pasukan Kerajaan yang melarikan diri bersama Brambang Santika. Pagar yang
melihat datanya dua buah benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi
tahu.
“Awas!
Ada benda menghantam ke arah kita!” Pagar Paregreg jatuhkan diri ke pasir
sedang Brambang Santika yang kurang cepat bergerak, ketika melompat ke samping
bahu kirinya masih sempat disambar benda yang melayang dari puncak kawah itu.
Bajunya robek. Daging bahunya yang terserempet sakit bukan main karena
sebelumnya di bagian itu pula salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang
dibuat mental oleh payung Giri Arsana sempat membalik menancap di bahunya.
Pagar
Paregreg waktu itu cepat mencabut jarum tersebut dan memberikan obat penangkal
racun pada kawannya itu. Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin tak bisa diselamatkan
dari kematian akibat racun jarum yang jahat.
Sambil
meringis kasakitan Brambang Santika memandang ke arah puncak kawah Gunung
Krakatau. “Aku melihat ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita datang ke
tempat yang salah, Pagar…..”
“Sebelumnya
kau sudah bilang sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau celaka ini!
Padahal banyak pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat…”
“Sekarang
sudah terlambat!” kata Brambang Santika. “Tak ada gunanya menggerutu.”
“Lihat!
Ada satu orang lagi muncul di atas sana!” kat Brambang Santika.
Pagar
Paregreg memandang ke arah puncak kawah. Betul, memang saat itu dilihatnya ada
satu orang lagi tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung Krakatau.
“Bagaimana
kalau kita kembali naik ke perahu, cari pulau lain yang lebih aman…”
mengusulkan Brambang Santika.
“Aku
setuju!” jawab Pagar Paregreg. “Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat
sesuatu. Bukankah Sepuluh Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa
Berpayung Hitam kabarnya telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?”
Paras
Brambang Santika menjadi berubah. “Astaga. Berarti kita mencari bencana baru
pergi ke tempat ini! Mari cepat…. Tak lama lagi matahari akan tenggelam.
Mungkin gelapnya malam bisa membantu kita melarikan diri!”
Kedua
orang itu segera memutar tubuh dan lari ke arah tempat mereka meninggalkan
perahu. Namun terlambat. Dari atas puncak kawah salah satu dari dua orang di
atas sana tiba-tiba lari ke bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga debu dan
pasir berterbangan di belakangnya. Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang
ini sudah berada di tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak
dicapai Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
Orang ini
adalah seorang nenek berwajah angker dan tegak memandang bengis sambil bertolak
pinggang.
“Kau
benar Pagar,” bisik Brambang. “Orang di depan kita ini adalah Sepuluh Kuku
Iblis!”
Sebelum
dituturkan apa yang segera akan terjadi di tempat itu mari kita ketahui dulu
apa sebelumnya yang terjadi di puncak kawah.
Sehabis
melemparkan dua buah pecahan batu Sriti Gandini sebenarnya segera hendak lari
menuruni puncak kawah guna mendatangi dua orang yang barusan mendarat di
pantai. Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di susul satu
sosok tubuh muncul dari balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu sudah
tegak di hadapannya.
“Kau!”
teriak si nenek muka tengkorak begitu mengenali siapa adanya pemuda di depannya
yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya gembira sekali
melihat kemunculan pemuda yang sejak satu hari belakangan ini selalu
diingat-ingatnya. Namun rasa kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa
gembira.
“Kau….
Bukankah kau sudah mati jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah sana?!” tanya si
nenek.
Wiro
menyeringai.
“Urusan
mati, urusan nyawa manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha Kuasa…”
“Kentut
busuk!” teriak si nenek. “Aku bisa membikin mati siapa saja setiap saat!”
“Kalau
begitu Tuhanmu dan Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi Tuhan?” ujar
Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek
sesaat terdiam. “Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan. Tapi setannya
yang keluar dari dalam kawah!” Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah mengelilingi
Wiro, memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung rambut sampai
ke ujung kaki.
“Nah apa
kau lihat kedua kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada lobang?” ujar
Wiro.
Si nenek
hentikan langkahnya. “Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan setan atau hantu.
Tapi…. Biar aku periksa sekali lagi!”
“Kau
boleh periksa asal jangan suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang!” ujar Wiro
mulai konyol padahal yang dihadapinya adalah seorang manusia yang setiap saat
bisa membunuh manusia lainnya semudah dia membalikkan telapak tangan.
Sepuluh
Kuku Iblis melangkah kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia sampai di belakang
pemuda itu, tiba-tiba secepat kilat dua jari tangan kanannya melesat ke depan.
Dess!
Wiro
tersentak kaget dan cepat membalik sambil memukul. Tapi tangannya tak bisa
digerakkan. Sekujur tubuhnya kaku!
“Keparat
licik!” teriak Wiro begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan kini berada
dalam keadaan tertotok.
Sepuluh
Kuku Iblis tertawa gelak-gelak.
“Anak
muda! Kau masih harus banyak belajar tentang kelicikan manusia dan dunia ini!
Untung saja aku ada rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah ku bunuh kau sejak
tadi!”
“Rasa
suka padaku? Sialan!” maki Wiro dalam hati.
“Tua
bangka genit! Sudah bau tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas Dewa
Berpayung Hitam tidak sudi kawin denganmu!”
Plaaakkk!
Si nenek
tampar muka Pendekar 212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda ini luka dan
mengeluarkan darah.
“Ah…
Maafkan aku….” Kata si nenek lalu cepat-cepat menyeka darah di mulut Wiro.
Dengan belakang telapak tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh.
Begitu
diusap luka itu segera sembuh dan tidak berbekas sama sekali.
“Pendekar
212, kau tunggulah di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi dua ekor monyet
di bawah sana. Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan kekuasaanku. Siapa
saja yang berani menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!”
Wiro
hendak mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada dua orang lain mendekam di tebing
kawah yaitu Tua Gila dan Minaratih. Namun pemuda ini memutuskan untuk diam
saja. Si nenek berkelebat lalu lari menyususri lereng kawah menuju ke pantai.
Dalam
waktu singkat si nenek sudah sampai di pantai dan langsung menghadang Pagar
Paregreg serta Brambang Santika di depan perahu mereka. Dua bola mata si nenek
berputar angker.
“Hemmm…
Yang satu ini kalau aku tidak salah adalah Kepala Pasukan Kerajaan. Namamu
Pagar Paregeg. Betul hah!”
“Kau
betul nek, aku memang Pagar Paregreg.”
“Tampangmu
sembrawuran! Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan Kerajaan sampai
menginjakkan kaki di Pulau Rakata ini?!”
‘Kami ada
urusan di tempat lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa mendarat dulu di
sini…” jawab Pagar Paregreg.
Si nenek
tertawa. “Aku tahu kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta sebelum mati
masih bisa dimaafkan. Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat ke hidung
Brambang Santika. “Aku lupa namamu! Kau manusianya yang bekerja di Istana,
punya banyak hubungan dengan orang-orang persilatan!”
“Nama
saya Brambang Santika, nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang berjuluk
Sepuluh Kuku Iblis itu? Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga ini.
Kami tidak ingin mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri…”
“Minta
diri…?” Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh.
“Ada
semacam kutukan di pulau ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya di sini
berarti sudah siap menerima kematian!”
Berubahlah
paras Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
“Beberapa
hari lalu ada dua penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat bernama Tubagus
Singagarang dan Supit Jagal…”
“Kami
kebetulan kenal mereka,” kata Brambang Santika.
“Ah,
bagus sekali! Apakah kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang sudah lama
menunggu-nunggu kalian?”
“Menunggu
kami? Untuk keperluan apa?” tanya Pagar Paregreg pula.
“Untuk
diajak bergabung jadi mayat!” jawab si nenek lalu tertawa aneh seperti lolongan
srigala.
Pagar
Paregreg memberi isyarat pada kawannya. “Nek, kami tidak punya waktu lama. Kami
minta diri sekarang juga!” katanya. Lalu Pagar Paregreg dan Brambang Santika
cepat berbalik hendak tinggalkan tempat itu. Namun si nenek membentak.
“Neraka
Krakatau adalah bagian kalian berdua!” Lalu tanpa banyak cerita lagi Sepuluh
Kuku Iblis segera menyerang dua orang di hadapannya.
Melarikan
diri tidak mungkin. Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan Brambang Santika
terpaksa menyambut serangan si nenek. Perkelahian seru segera pecah di tempat
itu.
Seperti
diketahui baik Pagar Paregreg maupun Brambang Santika adalah orang-orang
berkepandaian tinggi. Namun mereka menyadari bahwa si nenek bukan seorang yang
mudah untuk dikalahkan sekalipun dikeroyok dua. Karenanya begitu memasuki jurus
pertama kedua orang itu langsung menghantam dengan pukulan-pukulan sakti, menyerang
dengan jurus-jurus terhebat ilmu silat yang mereka miliki.
Lima
jurus berkelahi si nenek tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi sambil
tertawa-tawa walaupun saat itu dirinya agak terdesak.
Meskipun
mampu mendesak lawan namun sampai jurus kesepuluh baik Pagar Paregeg dan
Brambang Santika masih belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa kali lengan
mereka saling beradu. Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki itu
merasakan lengan mereka sakit bukan main. Memasuki jurus ke dua belas akhirnya
kedua orang ini keluarkan senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang
bagian tajamnya bergerigi sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati
besar berwarna hijau!
Melihat
lawan keluarkan senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada henti
dan hadapi serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul dengan
serangan balasan tidak terduga.
Breeettt!
Ujung
golok di tangan Pagar Paregreg berhasil merobek baju hijau yang dikenakan si
nenek. Marahlah Sepuluh Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara lolongan seperti
lolongan srigala. Kedua tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh kuku hitam
mencuat keluar dari ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!
Pagar
Paregreg dan Brambang Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat.
Mereka kemudian
kembali menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada kedua tangan si
nenek.
Trang…..trak!
Golok di
tangan Pagar Paregreg beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang.
Senjata
itu mental patah dua! Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat mundur.
Di
sebelahnya Brambang Santika keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau belatinya
di sebelah kiri mental dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan pisau belati
besar di tangan kanan. Si nenek tahan tusukan itu dengan telapak tangan kirinya
lalu secepat kilat tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah
dirampas. Belum lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau
hijau itu ke arah pemiliknya!
Brambang
Santika menjerit keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke perutnya sampai
sebatas gagang! Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya yang bobol si
nenek melompat ke hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan.
Untuk
kedua kalinya Brambang Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan.
Kedua
kakinya hanya sanggup bertahan singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh tak
berkutik lagi!
Pagar
Paregreg tidak kuasa menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh.
Secepat
kilat dia memutar tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan sekali
lompat saja si nenek mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah
punggung bekas Kepala Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg
yang terdengar. Sekujur daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur
deras.
Dalam
takut dan sakit yang amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menghambur
masuk ke dalam laut tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang.
Tubuhnya
mulai di seret ombak…. Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan tubuhnya
mulai tenggelam ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan lagi!
Sepuluh
Kuku Iblis menyeringai angker. Dia melangkah ke tempat Brambang Santika
tergeletak. Sekali tendang saja sosok tubuh orang itu lenyap pula digulung
ombak, diseret air ke dasar laut!
*****************
14
Begitu si
nenek sampai ke hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan pertanyaan.
“Siapa
yang barusan kau bunuh di pantai sana?” Wiro kawatir yang jadi korban kini
adalah tokoh-tokoh silat sahabatnya atau orang lain yang tidak berdosa.
Sepuluh
Kuku Iblis menyeringai. “Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua orang yang ku
kirim ke dasar laut. Yang pertama adalah Pagar Paregreg…”
“Kepala
Pasukan Kerajaan?” tanya Wiro.
“Siapa
lagi kalau bukan dia! Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?”
“Tidak,”
sahut Wiro. “Dia memberontak pada kerajaan. Kematiannya seperti itu sudah cukup
pantas baginya!”
Si nenek
tertawa dan tepuk-tepuk bahu Wiro. “Jadi kau juga benci padanya eh?”
“Siapa
korbanmu satu lagi?” tanya Wiro masih kurang enak.
“Brambang
Santika. Orang kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini menjadi penghubung
antara Istana dengan rimba persilatan….”
“Hemmm….
Pengkhianat satu itu mampus juga akhirnya,” kata Wiro perlahan.
“Jadi aku
tidak membunuh sahabatmu bukan?” ujar si nenek.
“Dua
orang itu memang bukan, tapi bagaimana dengan mayat-mayat dalam lobang kelapa
itu? Mereka tidak punya dosa kesalahan apapun. Kau telah membunuhnya secara
kejam dan memperlakukan jenazah mereka secara biadab!”
“Anak
muda, apakah di dunia ini masih ada apa yang disebut biadab itu? Tunjukkan
padaku siapa manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab!”
Wiro
memaki dalam hati. Dia tidak bisa menjawab.
“Pendekar
212, kematian ketiga orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Mereka
bukan sanak bukan kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita bersahabat!”
“Siapa
sudi bersahabat denganmu!”
“Karena
aku jelek, sudah tua keriput?” tanya si nenek.
“Aku
bersahabat dengan siapa saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat. Tapi
manusia-manusia jahat yang beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu ini
apakah pantas dijadikan sahabat?”
“Kalau
kulepaskan totokanku apakah kau mau bersahabat denganku?”
Wiro
memaki panjang pendek si nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan pertanyaan.
“Mengapa kau ingin bersahabat denganku?”
“Karena
wajahmu sama dengan seorang lelaki yang pernah kucintai di masa mudaku!” jawab
Sriti Gandini polos tanpa malu-malu. Sebaliknya paras murid Eyang Sinto Gendeng
tampak menjadi merah.
“Jadi
saat ini kau berniat hendak bercinta denganku? Mengambilku jadi kekasihmu?”
tanya Wiro dengan mata mendelik. “Kalau tua bangka peot ini menjawab ya, mati
aku!” kata Wiro dalam hati. “Aku berada dalam kekuasaannya. Ditelanjanginya pun
aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
Si nenek
tampak termenung sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup.
Lalu
terdengar suaranya perlahan, agak sendu. “Aku cukup tahu diri. Kita tak mungkin
bercinta. Hanya kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu
itu sudah cukup. Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan.
Aku hanya manusia biasa tidak luput dari kekhilafan…” Nenek ini terdiam sesaat.
Wiro melihat kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air
mata. Lalu si nenek melangkah mendekatinya. “Aku telah memukulmu hingga jatuh
ke dalam kawah. Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana
hal itu bisa terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. Aku tahu kini kalau
di tempat ini, yang kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih
dulu berada di sini. Kau tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan
melepaskan totokan di punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku
sudah pasrah!”
Lalu
Sepuluh Kuku Iblis melangkah ke belakang Wiro dan menekan punggung pemuda ini.
Serta merta totokan yang membuat kaku tubuh Pendekar 212 punah. Wiro berbalik.
Kini dia berhadap-hadapan dengan si nenek itu. Entah mengapa hati sang pendekar
menjadi kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro pandangi orang
tua itu yang tegak menundukkan kepala.
“Kau
ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Aku merasa bahagia kalau dapat mati di
tanganmu, anak muda,” terdengar si nenek berujar.
Wiro
tarik nafas dalam dan garuk-garuk kepalanya.
“Tuhanpun
tidak akan menghukum orang yang sudah bertobat. Kadal jelek semacamku apa mau
melebihi Tuhan….?”
Ucapan
murid Eyang Sinto Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahan-lahan angkat
kepalanya. Mukanya tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha menahan tangis
tapi tidak bisa. Suara isakannya mengharukan.
“Nek, kau
lebih baik cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang yang hendak
meminta pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu biar aku yang
mengurus.”
“Ah… Kau
baik sekali, anak muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi istrimu. Dia dulu
juga segagah dan sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh dunia dan nafsunya
sendiri.”
“Maksudmu
Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam?” tanya Wiro.
“Ah, jadi
kau sudah tahu ceritanya…?” balik bertanya si nenek.
Wiro
mengangguk. “Dari guruku….” Jawabnya. “Nah, apakah kau belum mau pergi dari
sini…?”
“Aku
menyukaimu, aku akan menurut apa yang kau katakan. Sekalipun kau suruh aku
menghambur masuk ke dalam kawah sana…” kata Sriiti Gandini pula.
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya.
“Pergilah
cepat….” Kata Wiro.
“Ya, aku
segera pergi. Selamat tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu selama sisa
hidupku…” Si nenek memegang jari-jari tangan pemuda itu.
“Kau
nenek cantik yang pernah aku lihat…” kata Wiro pula.
Sriti
Gandini tersipu-sipu. Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun dua orang
yang tiba-tiba muncul di ujung kawah sebelah timur membuat dia hentikan
langkahnya. Kedua matanya terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat
kedatangan kedua orang itu juga sama terkejut. “Ah,, si nenek ini terlambat….”
Keluhnya dalam hati.
Sesaat
kemudian kedua orang itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga pasang
mata saling memandang seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat menggantung di
udara. Di sebelah Barat sang surya kelihatan laksana bola api, siap tenggelam.
*****************
15
Sepasang
mata Sriti Gandini memandang membara pada Giri Arsana alias Dewa Berpayung
Hitam. Dia melirik sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu kembali berpaling
pada orang yang paling dibencinya itu.
“Dicari-cari
bersembunyi. Sekarang malah unjukkan diri!” kata si nenek.
“Sriti!
Apa yang telah kau lakukan terhadap anak istriku?!” bentak Giri Arsana sambil
tancapkan payung hitamnya ke tanah.
Si nenek
menyeringai. “Lihat saja sendiri!” jawabnya. “Mereka ada di sebelah sana.
Mereka aku rawat baik-baik…!” Lalu si nenek tertawa panjang.
Giri
Arsana berpaling ke belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah batang-batang
kelapa. Tiga yang paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap. Dua kali
lompat saja Dewa Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang
kelapa itu. Ketika melihat apa yang ada di dalam tiga lobang batang kelapa maka
meraunglah kakek itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang
kelapa di mana terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak
tangisnya.
Saat itu
Patih Kerajaan sudah tegak pula di samping Giri Arsana. Sang Patihpun tak kuasa
menahan diri melihat mayat menantunya terbujur dalam lobang batang kelapa itu.
Sekujur tubuhnya bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau dia ingat kematian
puteranya.
“Istriku….
Anak-anakku… Aku akan membalaskan sakit hati kematian kalian. Akan kucincang
manusia jahanam itu!” Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia bangkit
dengan gerakan cepat. Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini.
Gerahamnya
terdengar bergemeletukan.
“Sriti!
Aku tidak terima perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini juga!”
tariak Giri Arsana. Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan ujung
payungnya yang runcing.
Si nenek
mendengus. Dia melompat ke samping sambil tendang badan payung.
Giri
Arsana tidak tinggal diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai untuk
menggebuk pinggang lawan.
Saat itu
pula Patih Kerajaan melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya berteriak.
“Sahabatku
Giri Arsana! Harap kau mundur! Aku yang berhak membunuh perempuan celaka ini!
Dia telah membunuh Sabrang putera tunggalku!” Sang Patih lalu dorong tubuh Giri
Arsana hingga terhuyung lalu masuk ke dalam kalangan
perkelahian
dan langsung menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang mematikan.
“Patih!
Jangan kau berani macam-macam! Aku lebih berhak membunuh bangsat tua ini! Dia
telah membunuh istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa lebih berhak
dariku?!” Giri Arsana balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga terjajar
beberapa langkah. Kedua orang ini jadi bertengkar perang mulut dan saling
dorong mendorong.
“Hentikan
ketololan ini!” teriak Giri Arsana tiba-tiba. “Jika kita sama-sama merasa
berhak membunuhnya, mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat!
Siapa
yang sanggup membunuhnya lebih dulu itu lebih baik!”
Ucapan si
kakek ada benarnya juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa banyak bicara
lagi diapun menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat seperti itu
Sriti Gandini tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh Giri
Arsana lebih dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian.
Payung di
tangan Giri Arsana tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin menerpa membuat
serangan si nenek jadi terbendung. Betapapun dia coba merangsak ke depan tetap
saja dia tidak bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi dengan payung
sakti itu. Ketika Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya si nenek
merasakan tubuhnya seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan tenaga
dalam sepenuhnya dan acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku hitam
mencuat. Giri Arsana jadi bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat dan
memutar lebih sebat. Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari
samping bertubi-tubi hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa
memusatkan perhatiannya pada Giri Arsana.
“Patih
keparat! Kau mengasohlah dulu!” teriak si nenek. Lalu mulutnya menyembur.
Segulung asap kelabu keluar membuntal.
“Patih,
lekas tutup penciumanmu!” teriak Giri Arsana. Tapi terlambat. Patih Kerajaan
keburu mencium asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek. Akibatnya dia
merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya berkunag-kunang.
Jika lawannya menghantam saat seperti itu celakalah dirinya.
Memikir
begitu Patih ini cepat jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia segera
mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak
muntah-muntah.
Muntahnya
bercampur darah. Namun setelah muntah keadaannya jadi membaik.
Sriti
Gandini kini lebih dapat memusatkan serangannya pada Giri Arsana.
Tubuhnya
berkelebat cepat laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar
hitam menggaris udara dalam sepuluh larik yang mengerikan.
Dengan
gigih di nenek kirimkan serangan susul menyusul. Namun payung hitam di tangan
lawan benar-benar membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam payung
itu dengan lima cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat
sajapun tidak! Giri Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin
dahsyat menggebubu. Si nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur
jatuh duduk!
Sambil
memaki panjang pendek si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya menyusup ke
balik pakaian hijaunya. Ketika keluar tampak di tangan itu tergenggam sebatang
ranting sirih lengkap dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih itu,
berubahlah paras Giri Arsana.
“Benar
rupanya dia telah mengetahui kelemahanku!” kata si kakek dalam hati.
“Sekarang
aku hanya tinggal pasrah!”
“Kau
lihat benda ini, Giri Arsana?” tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti
lolongan srigala. Dia mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar
suara nyanyian.
Sang
istri sudah kudapat
Begitu
juga anak bungsu dan anak ke empat
Menyusul
sekarang Bapak yang culas
Dendam
kesumat segera terbalas
“Tua
bangka gila! Kau telah menyanyikan lagu pengiring kematianmu sendiri!” teriak
Patih Kerajaan. Rupanya keadaannya sudah pulih. Habis membentak
begitu
dia segera menyerbu. Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja
menghadang serangannya.
“Biarkan
mereka menyelesaikan urusan…. Biar kita menjadi penonton yang baik saja, paman
Patih.”
“Pendekar
212! Kau!” teriak Patih Ganda Ariawisesa.
“Kau kini
berbalik membela perempuan itu? Kau sudah gila rupanya!”
“Dunia
ini memang banyak orang gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum gila. Saya
bilang biarkan kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka!”
“Kurang
ajar! Kau telah bersekutu dengan perempuan iblis itu!” teriak Patih
Ganda
Ariawisesa. Dengan marah dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seri terjadi
hanya lima jurus. Di jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih hingga
terguling jatuh di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja yang
berteriak memaki tiada henti.
Begitu
Sang Patih jatuh ke tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian antara
Sriti Gandini dan Gairi Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di tangan
si nenek melancarkan serangan. Giri Arsana muncur terus sambil melepaskan
serangan-serangan balasan dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan
ataupun angin pukulan sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan
daun sirih saja, semau serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek!
“Celaka!”
keluh Giri Arsana. Mukanya tampak pucat.
“Ajalmu
sudah dekat Giri!” kata si nenek sambil lontarkan seringai maut. Daun sirih di
tangannya dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi dirinya dengan
payung saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak sanggup
bertahan terhadap setangkai daun sirih.
Breeettt…!
Trakk!
Trakk!
Kain
payung robek besar. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan. Giri
Arsana merasakan seperti ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat
orang tua ini buang payungnya lalu melangkah mundur.
“Jangan
harap kau bisa lari Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala sakit hati
dendam berkarat!”
“Aku
tidak bakalan lari Sriti! Kau ingin membunuhku silahkan! Lakukan cepat! Aku
memang orang berdosa!” kata Giri Arsana pula.
Si nenek
tertawa. “Akhirnya kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu. Penyesalanmu
datang terlambat…!” Si nenek melompat dan pukulan sirih yang dipegangnya ke
kepala Giri Arsana. Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam.
Kesaktian,
kekebalan dan semua ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan daun sirih.
Hal ini rupanya diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun berusaha
membongkar rahasia kehebatan si kakek.
Sesaat
lagi setangkai daun sirih itu akan mampu menghancurkan batok kepala Giri
Arsana, tiba-tiba dari samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-tahu
tangkai dan daun sirih di tangan si nenek terbetot lepas.
Sriti
Gandini menjerit keras.
“Pemuda
kurang ajar!” teriak si nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro Sableng
berdiri tegak sambil senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih itu di
depan dadanya. “Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat!”
“Pendekar
212….!” Seru Giri Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari bahwa memang
betul wajah pemuda itu memang mirip sekali dengan parasnya sewaktu muda! Namun
saat itu dia tidak bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia berkata “Pendekar
212, serahkan daun sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati.
Dosaku
terlalu besar padanya….”
“Kalian
berdua sama-sama tua, seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa antara
kalian bisa diselesaikan dengan damai mengapa tidak berusaha melakukannya?”
“Damai?!”
sentak Sriti Gandini. “Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang pergi datang
pergi dan kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya…”
“Sudah
Sriti, kau mau membunuh aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi kejadian di
masa lampau itu…” kata si kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-lahan dia duduk
di tepi kawah, bersila pejamkan mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh.
Si nenek
melangkah. Tapi Pendekar 212 cepat menghadang jalannya.
“Apa yang
hendak kau lakukan?” tanya Wiro pada si nenek sambil menatap dengan tajam.
“Apa
perlu kau tanya lagi?!” membentak Sriti Gandini. “Berikan sirih itu padaku!”
“Baik!
Sirih ini akan aku berikan padamu! Kau bisa membunuhnya dengan mudah! Tapi
apakah setelah dia mati kau akan merasa lepas dari segala dendam kesumat?!
Istri dan dua anaknya sudah kau bunuh! Apa itu belum cukup!”
“Tentu
saja belum! Dendam sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan terkikis
sebelum dia kuhabisi!”
Wiro
ulurkan tangannya yang memegang daun sirih. “Kakek itu sudah mengakui dosanya.
Sudah pasrah menerima kematian dalam penyesalan yang mendalam. Jika kau hendak
membunuhnya silahkan. Tapi ingat, jangan harap aku mau bersahabat lagi
denganmu!”
Si nenek
tersurut.
Giri
Arsana terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212 yang membuat si nenek
seperti ketakutan.
“Kau
manusia jahat!” jerit Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun sirih itu
dari tangan Pendekar 212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu pada Giri
Arsana. Dari mulutnya terdengar suara memelas perlahan. “Mungkin memang sudah
begini takdir jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan
lebih baik. Apa artinya lagi hidup ini…”
Sriti
Gandini campakkan setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba sekali
tanpa satu orangpun bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam kawah.
“Sriti!”
teriak Giri Arsana. Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek sudah jauh
melayang ke arah kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek ini mulai menangis
sesenggukan.
Saat itu
matahari mulai tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masuk ke dalam laut.
Di bawah sinar mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah kelihatan ada
dua orang bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek berpakaian putih,
mendaki sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di sebelahnya berjalan
seorang gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu melambai-lambai
tertiup angin.
Makin
tinggi kedua orang ini naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot kedua mata
Wiro dan Giri Arsana. Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka, Wiro
garuk-garuk kepalanya.
“Tuhan
Maha Besar!” seru Pendekar 212. “Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau menyelamatkan
orang dari kematian!”
Tua Gila
yang memanggul tubuh Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman, menurunkan tubuh
si nenek lalu membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana.
Si kakek
menjerit keras lalu merangkul tubuh orang yang pernah jadi kekasihnya itu. Dia
tidak malu-malu membisikkan ratapan. “Sriti, jika kau mau memaafkan aku. Aku
berjanji akan memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang tidak seberapa lama
lagi ini….”
Si nenek
tidak menjawab. Kedua matanya yang sempat hendak dibuka kini dipejamkannya
kembali.
Pendekar
212 tersenyum dan berkata. “Hai nek! Ayo jawab ucapan orang! Apa kau tidak
mendengar apa yang tadi dikatakan si kakek?!”
Si nenek
yang sadar kalau orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan terus akhirnya
buka kedua matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia memandang
dengan mata melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum dikulum sambil
kedipkan mata dan goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana.
“Kakek
itu akan duduk bersila di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau
menolongnya berdiri! Tolong dia. Dia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua
akan bahagia selama-lamanya!”
Diperlakukan
seperti itu Sriti Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya juga tangan
kanannya. Si kakek menatap paras nenek itu dengan air mata bercucuran.
Si
nenekpun mulai menangis sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan
perlahan-lahan Giri Arsana bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi
tepuk bersorak Wiro, Tua Gila dan Mirantih.
“Sebaiknya
kita yang tak punya kepentingan tidak perlu berlama-lama di tempat ini…..” kata
Wiro pula.
Tua Gila
batuk-batuk. “Kau betul Pendekar 212. Mari kita pergi.”
Wiro
mendekati Patih Ganda Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan totokan di
tubuh orang itu. Semula dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya,
paling
tidak mencaci makinya. Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan
terdengar berucap. “Aku sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua
sudah takdir dari Yang Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan…”
“Saya
merasa bersyukur Paman Patih berkata begitu….” Kata Wiro girang.
Lalu dia
memberi isyarat pada Tua Gila dan Mirantih. “Mari kita pergi. Jenazah di dalam
batang kelapa serahkan saja pada mereka untuk mengurusi.” Ketiga orang itu
segera hendak melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata
“tunggu dulu! Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?”
“Maksud
Paman Patih Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi pimpinan
pemberontak itu dan cecunguk kawannya yang bernama Brambang Santika?!” ujar
Wiro.
“Ah, jadi
kau sudah melihat mereka!”
“Keduanya
tak perlu diurusi. Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di dalam laut
sana!” kata Wiro seraya menunjuk ke tengah laut. Selagi Patih Kerajaan
terheran-heran tak mengerti Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. “Kedua
orang itu sudah dihajar habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental
dan masuk ke dalam laut!”
Patih
Kerajaan melepaskan nafas lega. Wiro, Tua Gila dan Minaratih melangkah pergi.
Namun lagi-lagi ada suara menahannya pergi. Kali ini seruan Sriti Gandini.
“Pendekar
212! Aku tahu sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik itu! Pantas
kau tidak mau bersahabat denganku!”
Wiro
tertawa gelak-gelak. “Siapa bilang saya tidak suka bersahabat denganmu Nek.
Bukankah sudah saya katakan kau ini nenek paling cantik di dunia?!” Lalu pada
Giri Arsana dia berkata. “Kek, kau jaga baik-baik sahabat yang cantik itu!”
Semua
orang yang ada di puncak kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri Arsana tertawa
gelak-gelak. Si nenek tampak cemberut. Tapi cuma sebentar Sesaat kemudian
terdengar pula suara tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain.
TAMAT
No comments:
Post a Comment