Sepasang Manusia Bonsai
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
ANGIN
dari danau Biwa bertiup dingin. Permukaan air danau tampak bergelombang lembut.
Desa Hikone yang terletak di tepi danau di selimuti kesunyian walau malam belum
sepenuhnya datang karena di timur masih kelihatan sembulan sang surya
memancarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Sejak
beberapa waktu belakangan ini suasana di desa itu memang kurang tenang.
Penduduk merasa takut oleh kemunculan sekelompok penjahat pimpinan Numazu yang
kabarnya kini berada di sekitar desa.
Karena
itu, ketika terdengar derap kaki kuda menebus kesunyian dari arah selatan,
penduduk desa yang sedang dilanda ketakutan itu serta mereka mengunci pintu dan
memeriksa jendela rumah.
Orang-orang
lelaki bersiap-siap dengan senjata masing-masing. Menunggu penuh waspada. Para
istri dan anak-anak disembunyikan di tempat yang aman. Lalu beberapa orang
lelaki coba mengintai lewat lobang-lobang kecil yang mereka buat di dinding.
Di bawah
paduan sinar kuning kemerahan matahari yang hampir tenggelam dan kegelapan
malam yang segera datang membawa suasana serba hitam, beberapa penduduk melihat
ada tiga orang penunggang kuda bergerak cepat ke arah danau sebelah utara. Di
sini terletak sebuah gedung besar milik saudagar muda terkenal dengan nama
Yamada. Ketiga orang tadi ternyata bukan rombongan penjahat yang ditakuti itu.
Dari pakaian serta topi yang mereka kenakan ketiganya mudah dikenali sebagai
prajurit-prajurit shogun.
Begitu
ketiga penunggang sampai di pintu gerbang. Empat Orang pengawal cepat bergerak
dan menunggu waspada. Karena pintu gerbang tertutup, mereka belum tahu siapa
yang datang. Sesaat kemudian terdengar pintu kayu setinggi dua tombak itu
diketuk orang dengan gagang senjata.
“Buka
pintu! kami utusan keluarga shogun datang untuk menemui saudagar kano Yamada!”.
Setelah
tahu siapa yang datang dua orang pengawal segera membuka palang pintu gerbang.
Dua lainnya cepat membukakan pintu. Karena pihak yang datang lebih tinggi
kedudukannya dari pada pengawal yang ada di gedung itu maka ke empat pengawal
menjura dalam-dalam memberi hormat.
“Para
tamu silahkan turun dari kuda. Kami akan memberitahukan majikan kami.” Berkata
salah seorang pengawal lalu cepat-cepat dia masuk ke dalam gedung sementara
tiga kawannya sibuk mencari tambatan bagi ketiga ekor kuda para prajurit shogun
itu.
Tak lama
kemudian kelihatan lampu terang dinyalakan di salah satu bagian gedung. Setelah
itu tampak pengawal yang tadi masuk bergegas keluar lalu memberitahu bahwa
saudagar Kano Yamada segera siap menerima mereka.
“Ikuti
kami ke ruang tamu,” kata si pengawal. Tiga Prajurit shogun melangkah mengikuti
pengawal tadi tanpa bicara barang sepatah pun. Lagak gaya mereka berjalan
seolah gedung besar itu milik mereka bertiga.
Mereka
harus menunggu cukup lama di ruangan tamu itu. Ini menyebabkan ketiganya
menjadi jengkel. Wajah jengkel itu jelas terbaca oleh tuan rumah. Karenanya,
begitu berada di ruangan tamu, hartawan Kano Yamada segera meminta maaf.
“Aku
kurang enak badan. Mungkin masuk angin, barusan saja selesai di pijat. Harap
maklum kalau kalian menunggu agak lama…..”.
“Yamada-san
tentu sudah tahu maksud kedatangan kami. Jadi kami merasa tidak perlu banyak
bicara.” Yang membuka mulut adalah prajurit berbadan gemuk dan gempal, bermata
tak bisa diam, selalu bergerak liar kian ke mari. Dia meneruskan ucapannya.
“Perlu
kami beritahu Kiuchi-san saat ini benar-benar habis kesabarannya. Kalau tidak
memandang persahabatan antara orang-orang tua kedua belah pihak di masa lalu,
bisa-bisa dia berbuat sesuatu yang tidak enak bagi keluarga di sini.”
“Aku
tahu, aku tahu ….” jawab Kano Yamada, saudagar muda baru berusia tiga puluhan
tahun itu.
Seorang
perempuan masuk ke dalam ruangan. Kano Yamada segera berkata, “Chieko,
masuklah! Orang perempuan tidak pantas ikut mendengarkan pembicaraan orang
laki-laki. Lagi pula ini….”
“Yamada-san,
tidak usah menyuruh istrimu pergi. Biarkan dia di ruangan ini agar bisa
mendengar semua pembicaraan….”
Saudagar
Kano Yamada walaupun tidak senang terpaksa anggukkan kepala.
“Yamada-san,
katakan kabar apa yang bisa kami sampaikan pada orang yang mengutus kami?”.
“Kau dan
kawan-kawanmu menjalankan tugas dengan baik,” memuji Kano Yamada, sekadar untuk
melunakkan hati para prajurit yang ada di hadapannya.
“Sayang
sekali aku belum mendapat jalan keluar bagaimana bisa dengan segera membayar
semua uang tuan Kiuchi….. Orang-orang dari perusahaan pelayaran tidak bersedia
membayar ganti kerugian. Puluhan bal kain sutera serta ratusan barang-barang
porselen yang kubeli di Cina tenggelam dalam pelayaran sebelum mencapai
pelabuhan Osaka hanya akan jadi barang-barang tak berguna… Padahal dengan hasil
penjualan barang-barang itu aku berniat melunasi semua pinjamanku pada
Kiuchi-san…..”
“Cerita
seperti itu sudah kami dengar dua minggu lalu. Kami datang ke sini bukan untuk
mendengar cerita yang sama. Tapi untuk meminta uang majikan kami yang kau
pinjam untuk modal dagangan bulan lalu. Sesuai perjanjian kau akan
mengembalikan pada awal bulan keempat. Sekarang sudah dua bulan lewat…”
“Apakah
sudah kalian sampaikan pada majikan kalian bahwa aku bersedia membayar bunga
tinggi untuk keterlambatan pembayaran hutang itu?”
“Tentu
saja sudah!”.
“Apa
jawab Kiuchi-san?” tanya Kano Yamada. “Dia tidak perlu segala macam bunga. Tapi
minta uangnya! Seluruhnya! Kalau tidak, ia akan menyeretmu ke penjara!”
Mendengar
ancaman itu, Chieko istri Kano Yamada segera membuka mulut. “Jangan lakukan
itu, Saya mohon disampaikan pada majikan kalian agar berbelas hati pada suami
Saya. Kami akan meminjam uang dan membayar semua hutang itu…….”
Kano
Yamada membalikkan tubuhnya, memandang dengan mata membelalak pada istrinya.
“Chieko!
Kau tahu kita sudah mencoba dan tak ada orang mau memberi pinjaman…..” Pada
perajurit yang ada di hadapannya Kano Yamada segera berkata. “Maafkan kata-kata
istriku tadi…..”
“Jadi kau
sudah siap untuk masuk penjara?” tanya si prajurit pula. “Aku sudah meminta
waktu untuk menghadap tuan Yasuaki Kiuchi……”
“Dia
tidak sudi menerimamu. Kecuali….. ini satu-satunya jalan keluar bagimu. Kau
menyerahkan anak perempuanmu yang masih bayi itu untuk di jodohkan dengan
puteranya yang juga saat ini masih bayi.”
“Aku
tidak bisa melakukan hal itu. Aku sudah katakan alasanku padamu.”
Prajurit
di hadapan Kano Yamada menyeringai lalu berkata, “Kau sudah diberi bukan saja
kesempatan tapi juga kehormatan! Kurasa tidak ada manusia setololmu di atas
dunia ini……”
Mendengar
kata-kata itu Kano Yamada menjadi merah mukanya. Dengan suara bergetar menahan
marah dia berkata. “Kau kemari untuk menjalankan tugas, bukan untuk menghinaku!
Keluar dari gedung ini! Sampaikan pada Kiuchi-san. Aku akan membayar hutangku,
kalau perlu dengan darah dan nyawaku! Katakan padanya aku tidak takut
dijebloskan dalam penjara atau dikirim ke utara sebagai pekerja paksa tambang
di pegunungan Kitami. Apapun yang terjadi aku tidak mungkin menyerahkan puteriku
untuk jadi jodoh puteranya!”
“Aku
tetap menganggap kau orang paling tolol Yamada-san!” kata si prajurit tadi
dengan beraninya lalu memutar tubuh sambil memberi isyarat pada dua kawannya
untuk meninggalkan tempat itu.
Namun
sebelum dia sempat melangkah Kano Yamada telah menghadang jalannya dan “plak!”
satu tamparan mendarat di pipi prajurit itu. Membuatnya terjajar nanar dan ada
darah keluar dari sudut bibirnya yang pecah!.
Si
prajurit berteriak keras dalam sakit dan marahnya. Dua kawannya ikut membentak.
Prajurit yang kena tampar menghunus pedang yang tersisip di pinggangnya. Namun
baru saja senjata itu keluar dari sarungnya, Kano Yamada mendahului menyerang.
Tangan kanannya melesat ke depan. Pada saat jotosannya mendarat di dada si
prajurit dengan telak, tangan kirinya cepat menyambar ke arah pergelangan
tangan lawan.
Dalam
satu gerakan kilat Kano Yamada yang kidal itu berhasil merampas pedang lalu
ujung senjata ini ditekankannya ke bawah dagu orang. Melihat kawan mereka
dipreteli begitu rupa, dua perajurit lainnya berteriak marah dan berusaha
menyergap.
“Berani
kalian mendekat kutembus tenggorokan manusia satu ini!” ancam Kano Yamada.
“Kano!
Jangan lakukan itu!” seru Chieko. Tapi sang suami tidak peduli. Dengan tangan
kanannya dicampakannya topi yang ada di kepala si prajurit, lalu dijambaknya
rambutnya. Ujung pedang di tekankan sedikit hingga prajurit ini meringis
kesakitan.
“Jatuhkan
senjata kalian!” perintah Kano Yamada pada dua prajurit di hadapannya. Dua
prajurit ini tampaknya ragu-ragu. Malah mereka melirik ke arah Chieko. Kano
Yamada segera dapat membaca apa yang ada di dalam benak kedua prajurit shogun
itu. Maka dia berkata dengan suara keras.
“Berani
kalian mendekati istriku, kubunuh kawan kalian ini, aku tidak main-main!”
Kano
Yamada kembali tekankan ujung pedang. Kini sedikit lebih keras. Prajurit yang
dijambaknya mengeluh tinggi. Kulit dagunya terluka, darah mengalir turun
membasahi pedang.
“Turut
apa yang dikatakannya! Buang senjata kalian!” teriak si prajurit. Dua kawannya
yang sadar tidak bisa berbuat apa-apa akhirnya campakkan pedang masing-masing
ke lantai.
“Putar
tubuh kalian. Keluar dari ruangan ini!” perintah Kano Yamada selanjutnya.
Ketika dua prajurit itu melakukan apa yang dikatakannya, Kano Yamada kemudian
menyuruh prajurit di bawah ancamannya untuk melangkah ke arah pintu.
Keluar
dari ruangan tamu Kano Yamada terus membawa prajurit itu sampai ke halaman
depan gedung. “Naik ke atas kuda masing-masing! Jangan berani berbuat yang aku
tidak senang!” Lalu dengan sekuat tenaga Kano Yamada mendorong prajurit itu
hingga tersungkur ke tanah.
Malangnya,
muka jatuh lebih dulu hingga lecet berkelukur. Beberapa orang pengawal gedung
yang ada di situ hanya terkesima menyaksikan apa yang terjadi.
“Kano
Yamada! Kau berani menjatuhkan tangan pada prajurit Shogun! Kau akan rasakan
pembalasan dari kami!” gertak prajurit yang mukanya babak belur.
Kano
Yamada masih tetap di tempatnya sampai tiga perajurit itu lenyap di kejauhan.
Setelah mencampakkan pedang di tangan kirinya ke tanah, saudagar ini segera
masuk ke dalam gedung.
Chieko
Yamada mendatangi. Kedua suami istri ini segera masuk ke dalam kamar.
“Saya mau
bicara dengan Kano….” Kata sang istri begitu masuk ke dalam kamar.
“Aku
juga! Aku tak suka kau mencampuri urusan ini! Biar aku sendiri yang
menyelesaikan urusan hutang piutang dengan Yasuaki Kiuchi.”
“Mana
bisa begitu. Kau suamiku. Apa yang menjadi persoalanmu menjadi urusan saya
juga.
Kenyataannya
sekarang bukan cuma menyangkut urusan hutang piutang. Tapi kini malah merembet
pada diri anak kita Hatsuko. Kita harus menemui orang itu.”
“Aku
sudah berusaha tapi dia menolak!”
“Kalau
begitu biar saya yang menemuinya….” kata Chieko Yamada pula.
Lama Kano
Yamada memandangi istrinya itu. Lalu terdengar suaranya bertanya. “Apa yang ada
dalam benakmu, Chieko? Aku tak bisa melupakan bagaimana hubunganmu dulu dengan
Yasuaki Kiuchi!”
“Kau
jangan terlalu bercemburu Kano. Dulu kami memang pernah menjalin hubungan
cinta….”
“Dan
pernah merencanakan untuk kawin….” sambung Kano Yamada.
“Betul,
tapi itu dulu. Kenyataanya lain. Saya tidak kawin dengan dia. Kau kini menjadi
suamiku…” potong Chieko.
“Kau
menyesal menjadi istriku? Hemmmm…. Yasuaki Kiuchi. Manusia terpandang di negeri
ini karena keluarga sangat dekat dengan Shogun yang berkuasa…..”
“Saya
tidak suka kau berkata begitu Kano. Sejak saya menjadi istrimu hanya kau
satu-satunya laki-laki di hati saya.”
“Mulutmu
berucap begitu. Namun hatimu tak pernah bisa melupakan laki-laki itu………”
Chieko
Yamada gelengkan kepalanya berulang-ulang. Perempuan ini seperti mau
sesenggukan ketika berkata, “Dengar Kano. Saya berharap ada maksud bersih dan
baik dari Yasuaki mau menjodohkan anak kita dengan putranya…..”
“Mungkin
saja. Karena dia tidak mendapatkan dirimu, lalu hubungan yang terputus
disambung kembali dengan menjodohkan Hatsuko dengan putranya….”
“Saya
tidak melihat ada yang salahnya hal itu. Hanya saja Hatsuko sudah kita jodohkan
dengan putra keluarga Hideo Yukawa……..”
“Seandainya
tali perjodohan itu tidak ada, Kau tentu bersedia menjodohkan Hatsuko dengan
anak lelaki Kiuchi.”
“Saya
tidak mengatakan begitu” Sahut Chieko.
“Lalu apa
maksudmu menemui laki-laki itu?”
“Untuk
menjernihkan suasana. Siapa tahu dia bisa mengerti keadaan kita yang belum
mampu melunasi pinjaman dalam waktu dekat ini. Lalu sekaligus menerangkan bahwa
Hatsuko telah kita jodohkan dengan Toshiro, anak keluarga Yukawa.”
Kano Yamada
menggeleng. “Tidak,” Katanya. “Aku tidak mengizinkan kau menemui laki-laki itu.
Aku
memilih penjara untuk masalah hutang itu. Dan aku memilih mati jika ada orang
lain menyentuh anakku, apabila mengambilnya!”
“Kano,
kau tahu saat malapetaka telah terjadi atas diri Yasuaki. Pikirannya terganggu,
tingkah lakunya tampak aneh sejak dia menderita sakit panas selama dua minggu
akibat patukan ular berbisa di hutan Kiso beberapa bulan lalu…..”
“Dia
memang tampak aneh. Katakanlah tidak waras. Tapi apakah dia tidak memandang
hormat padamu hingga mengancam hendak memenjarakanku dan memaksa mengambil
Hatsuko sebagai jodoh puteranya?”
“Itulah
sebab saya harus menemuinya. Saya yakin jika saya bisa bicara dengan dia, semua
persoalan bisa diselesaikan dengan baik. Saya tidak ingin kehilangan kalian
berdua. kau dan Hatsuko…..”
Chieko
lalu memeluk suaminya dengan erat-erat. Kano Yamada balas merangkul. Di kamar
sebelah terdengar suara bayi menangis. Dua suami istri ini lepaskan pelukannya
masing-masing lalu bergegas menuju ke kamar itu. Seorang pelayan tampak
mendukung bayi kecil berpipi merah sambil menepuk-nepuk halus punggungnya
hingga bayi terdiam dan tidur kembali.
“Biar
saya mendukungnya sebentar….” Kata Chieko sambil mengulurkan tangan untuk
mengendong puteri kecil anak pertamanya itu. Si bayi segera saja tertidur lelap
dalam dukungan sang ibu. Setelah yakin bayinya tidak akan bangun dan menangis
lagi, Chieko Yamada membaringkan anak itu di dalam sebuah tempat tidur kecil
yang hangat.
Kano
Yamada tertegun di ujung tebing. Puluhan kaki di bawahnya membentang laut
Jepang yang ganas. Ujung-ujung runcing batu karang menyembul di permukaan laut.
Mengerikan. Dia tak bisa lari lagi. Tak mungkin terjun ke laut karena sama saja
bunuh diri. Tapi dia juga tidak bisa mencari jalan lain.
Di
hadapannya saat itu sepasang harimau kumbang hitam mengerang keras. Gigi-gigi
bintang ini menggidikkan. Harimau kumbang yang betina kelihatan berselemotan
darah mulutnya. Itu adalah darahnya sendiri. Binatang ini sempat mencakar
dadanya dan menerkam bahunya. Si betina ini lebih garang dari si jantan.
Pakaian Kano Yamada basah oleh keringat dan darah!
Dada Kano
Yamada naik turun. Dia tahu dia tak bakal lolos dari kematian. Tangan kanannya
yang basah oleh darah dan keringat terasa licin digagang samurai yang
digenggamnya. Pedang itu! Ini satu-satunya tuan penyelamatnya. Kalau dia mampu
membunuh dua ekor harimau kumbang itu, sangggupkah dia?
Harimau
kumbang betina mengaum keras. Dia sudah mencium darah calon mangsanya. Ini
agaknya yang membuatnya jadi lebih beringas. Tiba-tiba binatang ini melompat
menerkam. Kano Yamada berteriak keras. Samurai di tangannya menderu ke atas,
menyongsong terkaman harimau betina.
Tapi
celakanya harimau jantan telah menyergap pula. Walau Kano Yamada berhasil
membabatkan senjatanya di pertengahan dada harimau kumbang betina sehingga
bintang ini meraung keras dan darah memancur dari dadanya yang terkoyak,
serangan harimau kumbang jantan tak dapat dihindari.
Dua cakar
kaki depan mengoyak perut dan dadanya. Kano Yamada menjerit setinggi langit.
Dalam keadaan mandi darah tubuhnya terpental dari ujung tebing batu, melayang
jatuh ke bawah. Ombak laut Jepang berdebur dengan dahsyat. Batu-batu runcing
siap menyambut tubuh Kano Yamada.
Lelaki
ini berteriak sekali lagi. Lebih keras dan lebih menggidikkan dari teriakan
pertamanya tadi.
Kano
Yamada terduduk di atas ranjang. Pakaian tidurnya basah oleh keringat. Dadanya
terasa sesak dan nafasnya memburu.
“Mengerikan
sekali mimpiku….” kata lelaki ini sampai menyeka wajahnya yang basah dengan
ujung baju. Dia memandang ke samping. Sesaat dia merasa heran. Chieko tak ada
di sampingnya.
Mungkin
dia keluar kamar, membuang hajat kecil atau mengambil air minum. Atau ke kamar
putri mereka di sebelah. Kano Yamada menunggu sebentar.
“Chieko….”
Lelaki ini memanggil, satu kali. Dua kali, Kali yang ketiga dia melompat turun
dari atas ranjang rendah itu. Seluruh ruangan diperiksanya. Chieko tidak
diketemukan, Kano Yamada masuk ke kamar tidur puterinya. Anak itu dilihatnya
tertidur nyenyak dalam ranjang kecilnya sementara pelayan tidur di atas tatami
(alas lantai berbentuk kotak-kotak).
“Aneh, ke
mana perginya perempuan itu….?” Pikir Kano Yamada sambil melangkah masuk ke
dalam kamar tidur kembali. Dia memandang seputar kamar. Baju tebal milik
istrinya yang sebelumnya tergantung di sudut kamar ini tidak ada lagi. Hati
Kano Yamada berdetak.
“Jangan-jangan….”
Setengah berlari lelaki ini keluar dari kamar, terus ke bagian belakang gedung.
Di sini
ada sebuah kandang kuda. Ketika kandang diperiksanya, debaran di hati Kano
Yamada menjadi semakin keras. Detak jantungnya seolah menggemuruh.
“Chieko….”
desisnya. “Dia pasti ke otsu! pasti! Nekad sekali perempuan itu!” Di kandang
itu seharusnya ada dua ekor kuda. Miliknya dan milik istrinya. Kuda milik
istrinya ternyata tidak ada.
Kano
Yamada berteriak memanggil pengawal. Setengah lusin pengawal gedung segera
menghambur datang.
“Istriku
tak ada dalam gedung! Kudanya juga tidak ada di kandang! Siapa di antara kalian
tahu di mana istriku berada?! Atau pergi ke mana dia?! Jangan ada yang berani
dusta!”
Pegawal
paling depan kelihatan takut-takut mau bicara. Tapi salah seorang kawannya
mendorong-dorong punggungnya sambil berbisik. “Lekas katakan saja sebelum Tuan
Yamada marah….”
“Hmm…
benar rupanya ada yang tidak beres,” kata Kano Yamada dalam hati. Lalu diapun
berteriak marah. “Kalau tidak ada yang berani bicara satu persatu aku robek
mulut kalian!”
“Tuan,”
pengawal paling depan akhirnya berkata juga. “Beberapa waktu lalu nyonya
meninggalkan gedung. Dia memerintahkan kami membuka pintu gerbang. Sebelum dia
pergi kami sempat bertanya mau ke mana malam-malam begini. Sendirian pula.
Istri tuan tidak menjawab, malah memerintahkan agar kami cepat menutup pintu.
Dia juga menolak untuk kami kawal. Ketika kami katakan hendak memberitahukan
tuan, dia marah besar, Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami melihat sikap
nyonya aneh sekali malam ini.”
“Kalian
pengawal tidak becus! Tolol! Walau dia melarang tapi kalian punya kewajiban
memberitahu!” teriak Kano Yamada. Kaki kanannya dihentakkan hingga tanah yang
dipijaknya melesat ke bawah.
Habis
membanting kaki begitu, Kano Yamada berkata. “Salah seorang dari kalian lekas
siapkan kudaku! Aku harus mencari dan mengejarnya sekarang juga!”
“Kalau
begitu biar kami ikut!”
“Aku
tidak perlu manusia-manusia tolol seperti kalian!” damprat Kano Yamada, lalu
masuk ke dalam untuk berganti pakaian.
Ketika
keluar dia telah mengenakan pakaian ringkas. Sebilah Katana (pedang panjang
khas Jepang) tergantung di belakang punggungnya. Sesaat kedua kakinya menuruni
tangga gedung tiba-tiba udara yang tadinya sunyi tenang berubah. Suara tiupan
angin mula-mula terdengar seperti suara seruling lalu berubah menjadi gemuruh
yang menakutkan. Pohon-pohon besar yang tumbuh di sekeliling gedung
berderik-derik seperti mau tumbang. Daun-daunnya gugur berhamburan.
“Badai!”
teriak seorang pengawal sambil berpegangan pada sebuah pilar batu.
*******************
2
“Tuan
Yamada sebaiknya jangan pergi dulu!” menasihatkan seorang pengawal.
Kano
Yamada mana mau perduli. Terseok-seok karena tubuhnya diterpa angin, lelaki ini
melangkah mendekati kudanya yang dipegang dua orang pengawal. Binatang ini
meringkik keras beberapa kali. Belum sempat Kano Yamada naik ke punggungnya,
tiba-tiba kuda ini menghambur lari.
“Binatang
jahanam!” teriak Kano Yamada marah. Dia coba mengejar tapi tubuhnya limbung.
Satu putaran angin menghantamnya dengan keras hingga dia tak kuasa bertahan dan
terhampar ke tanah.
Dua orang
pengawal segera menolongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
“Tangkap
kuda itu. Atau carikan kuda lain!” perintah Kano Yamada pada para pengawal yang
ada di sekelilingnya.
Seorang
pengawal berusia agak lanjut berkata. “Tuan Yamada lebih baik suka bersabar
sedikit. Kuda itu telah menjadi liar Tak mungkin ditangkap. Kalaupun bisa
sangat berbahaya bagi tuan menungganginya. Mencari kuda lain sama sulitnya
dengan menangkap kuda itu…”
Kano
Yamada hendak membentak. Namun akhirnya dia hanya bisa menghenyakkan tubuhnya
di atas sebuah kursi kayu. Di luar tiupan angin semakin dahsyat. Badai tambah
menggila.
“Chieko!
Kamu manusia nekad! Mengapa kau melakukan semua ini!” kata Kano Yamada sambil
menutup kedua telapak tangannya ke wajahnya. Terbayang wajah istrinya.
Terbayang pula wajah merah Hatsuko putrinya. Lalu muncul tampang Yasuaki
Kiuchi. Dengan tangan kanannya entah sadar entah tidak, Kano Yamada tiba-tiba
menghantam lengan kursi. “Krakkk!” Lengan kursi itu hancur berantakan. Wajahnya
tampak beringas. “Aku harus pergi! Persetan dengan badai! Persetan dengan kuda
itu! Aku bisa jalan kaki!”
Kano
Yamada melompat ke pintu. “Tuan!” seru dua orang pengawal. Kawannya yang tegak
dekat pintu berusaha menghalangi tapi serta merta kena sikut Kano Yamada hingga
orang ini mengeluh tinggi dan terbanting ke dinding ruangan.
Dalam
gelapnya malam, di bawah badai besar itu Kano Yamada melangkah terhuyung-huyung
menahan kencangnya angin yang menyambar dari depan, menghantam dari samping
atau dari belakang. Para pengawal yang melihat kejadian itu sesaat hanya bisa
berdiri melongo. Namun tiga orang diantara mereka akhirnya memutuskan untuk
mengikuti tuan mereka. Salah seorang dari ketiganya berteriak tiada henti,
berusaha membujuk sambil mengingatkan.
“Tuan
Yamada! Kembali! Terlalu berbahaya menempuh badai seperti ini! Kembali tuan
Yamada!”
Kano
Yamada tidak perduli. Dia melangkah terus. Badai bertambah dahsyat ketika hujan
mulai turun.
“Tuan
Yamada! Ingat putrimu Hatsuko,” teriak pengawal satunya. Sesaat langkah Kano
Yamada tertahan. Tetapi di lain saat lelaki ini lanjutkan perjalanannya. Kedua
tangannya dikepalkan kencang-kencang.
Di dalam
gedung kediamannya yang besar dan mewah di kota Otsu, Yasuaki Kiuchi duduk di
atas kasur tebal empuk didampingi oleh dua selirnya yang masih muda-muda dan
cantik. Kepalanya diletakkan di pangkuan salah satu selir, sementara selir
satunya memegang sebuah piala perak berisi sake. Di dekat pembaringan terhidang
berbagai macam makanan dan buah-buahan. Lalu sepuluh langkah di hadapannya
duduk seorang gadis memetik koto (harpa), sebuah peralatan musik memiliki 13
jalur senar dan diletakkan di lantai.
Antara
gadis pemetik koto dengan Yasuaki Kiuchi ada seorang gadis penari yang menari
mengikuti irama koto dengan gerakan lemah gemulai. Kimono yang melilit
ditubuhnya terbuat dari jenis kain yang demikian tipisnya hingga lekuk tubuh
gadis ini membayang dengan jelas. Keadaan Yasuaki Kiuchi yang konon masih
saudara sepupu Shogun yang berkuasa pada masa itu tidak beda seperti kaisar
kecil saja.
Saat itu
dia sudah setengah mabuk karena terlalu banyak meneguk sake. Mukanya yang bulat
dan selalu berkeringat kelihatan merah. Sekali-sekali dia menyeringai sambil
salah satu tangannya mengusap paha selir yang duduk di sebelahnya. Di luar
gedung hujan turun dengan lebat. Badai masih bersabung di wilayah utara. Deru angin
terdengar menggidikan.
Ketika
sedang asyiknya Yasuaki Kiuchi menikmati tarian masuklah seorang pembantu.
Merasa terganggu Yasuaki Kiuchi berteriak marah. Selagi pembantu itu menjura,
dia mengambil piala perak berisi sake dari tangan selirnya lalu melemparkannya
ke arah si pembantu.
Si
pembantu yang tahu gelagat, walau bisa mengelak tapi tak berani melakukan.
Kalau dia mengelakkan lemparan piala perak itu sang majikan akan meradang
seperti beruang terluka! Maka dia diam saja menunggu sampai terdengar suara
“buk!” Piala menghantam dadanya. Dia mengernyit menahan sakit, tak berani
berteriak. Diam-diam dia merasa beruntung karena mengetahui bahwa Yasuaki
Kiuchi melemparkan tempat minum perak itu tanpa menggunakan tenaga dalam. Kalau
sampai dia mengisi piala dengan menggunakan tenaga dalam, niscaya saat itu dia
sudah muntah darah dan sekarat!
“Maafkan
saya Tuan Kiuchi! Kesalahan dan dosa yang besar mengganggumu. Tapi ada seorang
tamu datang dari jauh…”
“Heh…..?”
amarah Yasuaki Kiuchi agak mereda oleh rasa heran. Dia mendongak pada selir
yang memangku kepalanya lalu membelai pipi perempuan ini.
“Di luar
hujan turun lebat. Di utara aku yakin ada badai mengamuk. Lalu tiba-tiba saja
di malam buta buruk cuaca begini ada tamu mencariku! Kuharap saja bukan bangsa
setan atau roh halus dari gunung hantu!” habis berkata begitu Yasuaki Kiuchi
tertawa gelak-gelak lalu meneguk sake langsung dari sebuah guci kecil. Sambil
menyeka mulutnya dengan belakang tangan, mata merahnya memandang pada si
pembantu. “Kau sudah tahu siapa adanya tamu itu?!”
“Dia
seorang perempuan….”
“Apa?!”
Yasuaki Kiuchi bangkit dari berbaringannya, duduk di atas kasur, memandang tak
berkedip pada si pembantu.
“Tamunya
seorang perempuan. Katanya dari desa Hikone. Namanya Nyonya Muda Chieko
Yamada…….”
Mendengar
keterangan si pembantu langsung saja Yasuaki Kiuchi melompat dari duduknya. “Di
mana dia sekarang?”
“Menunggu
di ruangan tamu tuan Kiuchi. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup…..”
Yasuaki
Kiuchi tidak menunggu sampai si pembantu selesai berucap. Dia bergegas menuju
ruangan tamu. Dua selir dan si pembantu mengikuti dari belakang. Gadis pemain
koto hentikan petikan dan gadis penari juga ikut berhenti menari.
Begitu
membuka pintu dorongan ruangan tamu, Yasuaki Kiuchi tertegun melihat sosok yang
ada didalam sana. “Jadi benar kau rupanya Chieko …..” desis Yasuaki Kiuchi. Dia
berpaling ke belakang. Pada dua selirnya dia segera berkata “Kalian lekas pergi
masuk ke kamar masing-masing!”
Setelah
memperhatikan sejenak perempuan muda yang basah kuyup di ruangan itu, salah
satu dari dua selir menjadi iri dan cemburu lalu bertanya “Siapakah perempuan
itu yang rupanya sangat penting hingga kami berdua disuruh masuk dilupakan
begitu saja?”
“Perempuan
lancang tidak tahu diri!” bercarut Yasuaki Kiuchi dengan mata membelalak.
“Berani kau berkata seperti itu?!” Melihat sikap Yasuaki Kiuchi, dua selir jadi
takut dan cepat-cepat mengundurkan diri. Yasuaki berpaling pada si pembantu.
“Lekas kau temui pelayan perempuan. Suruh Dia membawa kain pengering dan
pakaian penyalin….”
Setelah
si pembantu berlalu, Yasuaki Kiuchi masuk ke dalam ruangan. Untuk beberapa
lamanya dia melangkah perputar mengelilingi Chieko Yamada yang tegak ditengah
ruangan dalam keadaan basah kuyup.
“Chieko,
ini bukan mimpi! Kau datang di malam buta ketika cuaca sangat buruk.
Berbasah-basah datang dari jauh. Kau perlu mengeringkan badan, berganti pakaian
dan berhangat-hangat dengan makanan panas dan minuman keras…”
“Saya
berterima kasih atas kebaikanmu itu Kiuchi-San…”
“Panggil
aku Yasuaki!”
“Waktu
saya hanya sebentar. Saya akan segera pulang jika selesai bicara denganmu….”
“Ini
rumahku! Siapa yang berada di dalamnya harus ikut apa yang aku punya mau!” kata
Yasuaki Kiuchi pula dengan muka sesaat jadi galak.
Tak lama
kemudian seorang pelayan perempuan datang membawa sehelai kain pengering dan
pakaian untuk bersalin. “Bantu nyonya Yamada mengeringkan tubuh dan berganti
pakaian,” kata Yasuaki Kiuchi pada si pelayan lalu keluar kamar sambil menutup
pintu.
Tapi
begitu berada di luar kamar, dengan ujung jari kelingkingnya, lelaki ini
menusuk dinding yang terbuat dari kertas hingga berlobang. Lewat lobang itu,
dia mengintip saat-saat Chieko Yamada membuka pakaiannya yang basah,
mengeringkan tubuhnya lalu mengenakan pakaian yang diberikan. Tenggorokan
lelaki ini turun naik. Nafasnya memburu. Lidahnya berulang kali dijulurkan
untuk membasahi bibirnya.
“Sudah
selesai tuan Kiuchi,” kata pelayan begitu keluar dari dalam kamar membawa
pakaian basah.
“Kau
boleh pergi. Beritahu semua orang agar tidak berada di sekitar sini…” kata
Yasuaki Kiuchi pula pada pelayan perempuan itu, lalu masuk ke dalam ruangan di
mana Chieko Yamada berada.
Sambil
rangkapkan kedua tangannya di depan dada, Yasuaki Kiuchi menatap wajah dan
tubuh Chieko tanpa berkedip sampai beberapa lamanya. “Kau datang di malam buta.
Dalam cuaca buruk. Seorang diri. Jarang ada perempuan Jepang punya keberanian
sepertimu. Apa kau datang mewakili suamimu untuk minta maaf karena telah berani
menciderai perajurit Shogun yang aku kirimkan ke tempat kediamanmu? Mengapa dia
berlaku pengecut tidak datang sendiri…?”
“Saya
datang tidak setahu dia,” menjelaskan Chieko.
“Oh, jadi
maumu sendiri? Ini sungguh satu hal luar biasa! Mungkin kau tiba-tiba saja
teringat masa mudamu dulu? Ketika kau menjalin cinta denganku. Lalu kau lenyap
dan tahu-tahu kawin dengan Kano Yamada. Kau datang untuk minta maaf…?”
“Ada yang
lebih penting dari masa lalu Yasuaki,” kata Chieko pula. “Menyangkut hutang
suami saya dan maksud hendak menjodohkan puteriku Hatsuko dengan puteramu.”
“Soal
hutang suamimu sudah jelas. Dia tidak sanggup membayar. Aku sudah mengatur
orang untuk memperkarakannya dan menjebloskannya ke dalam penjara…”
“Jangan
lakukan itu Yasuaki. Saya mohon kau suka memberi waktu…”
“Aku tak
punya waktu lagi Chieko. Aku merasa suamimu sengaja menipu…”
“Usahanya
benar-benar sedang ambruk. Mohon kau mau mengerti…”
“Bagaimana
dengan urusan jodoh?” Yasuaki Kiuchi mengalihkan pembicaraan.
Dari
dalam saku kimononya dia mengeluarkan sebuah botol pipih berisi minuman keras.
Beberapa kali teguk saja minumannya itu ludas masuk ke dalam tenggorokan.
“Terus
terang saja aku suka menjadi besan denganmu Yasuaki. Tapi Hatsuko sudah
terlanjur diikat jodoh dengan Toshiro, putera keluarga Yukawa…”
Sepasang
mata Yasuaki Kiuchi membeliak. Botol pipih yang dipegangnya dibantingkan ke
lantai hingga pecah berkeping-keping. “Aku tahu keluarga Yukawa. Keluarga
nelayan miskin yang hanya mampu mencari nafkah di danau Biwa! Dengan anak mereka
puterimu kau jodohkan! Sungguh memalukan! Menolak ikatan jodoh dengan puteraku
sama saja menghina diriku!”
“Yasuaki,
harap kau mau mengerti. Kami telah terlanjur menjodohkan Hatsuko dan Toshiro.
Kalau saja ikatan itu belum ada tentu saya dan suami merasa senang untuk
menjodohkan Hatsuko dengan puteramu…”
“Chieko!
Dua kali dengan ini kau menghinaku! Pertama waktu kau meninggalkan aku dan
kawin dengan Kano! Kedua sekarang ini. Menolak ikatan jodoh! Padahal kau datang
untuk mengemis untuk minta agar aku memberi kelonggaran atas hutang suamimu…”
“Saya
tidak mengemis Yasuaki. Kalau kau tidak mau mempertimbangkan, Kano bersedia
masuk penjara. Kalau perlu saya sekalian kau jebloskan!”
Yasuaki
pandangi wajah Chieko beberapa saat lalu dia tertawa gelak-gelak sampai keluar
air mata.
Namun
sesaat kemudian dia berubah. Kalau tidak tertawa kini dia mulai sesenggukkan.
Mula-mula perlahan lalu meraung keras.
“Yasuaki…”
Panggil Chieko. Perempuan ini mulai merasa takut “Penyakit gilanya kumat… Aku
harus segera meninggalkan tempat ini. Yang penting aku sudah bicara padanya…”
Pintu
ruangan terbuka. Seorang pembantu dan dua orang perajurit Shogun masuk. “Kami
mendengar tuan Kiuchi berteriak. Ada apakah? Apakah tuan baik-baik saja?” tanya
salah seorang perajurit.
“Keluar!”
teriak Yasuaki Kiuchi marah sekali sehingga ketiga orang itu putar tubuh dan
tinggalkan ruangan ketakutan. Yasuaki bantingkan pintu dorong dengan keras.
“Aku
minta diri…” ujar Chieko.
“Kau mau
ke mana?” tanya Yasuaki sambil bersandar ke pintu. “Hikone jauh dari sini
anakku menunggu.” Yasuaki Kiuchi menyeringai aneh. Tiba-tiba kimono yang
melekat di tubuhnya ditanggalkan. Chieko membuang muka kejurusan lain.
“Tanggalkan pakaianmu Chieko…”
Chieko
Yamada sepertinya mendengar petir menyambar di telinganya. “Yasuaki, kau sadar
apa yang barusan kau katakan?”
“Aku
bilang tanggalkan pakaianmu! Layani diriku malam ini! Hanya itu satu-satunya
jalan menebus pengkhianatanmu dulu dan pengkhianatanmu kali ini!”
“Kau
sakit Yasuaki…! Yasuaki yang aku kenal dulu tidak akan berlaku sekeji ini!”
Yasuaki
Kiuchi tertawa mengekeh. “Aku memang sakit! Otakku! Hatiku! Jiwaku! Semua ini
kau penyebabnya! Ditambah racun ular yang tidak bisa dikuras bersih dari
otakku! Lengkap sudah derita sakitku! Malam ini derita sengsara itu akan kita
bagi dua Chieko!”
Seperti
seekor singa kelaparan Yasuaki Kiuchi menyergap perempuan itu. Chieko berusaha
melawan tapi sia-sia belaka. Menjerit minta tolong pun tak ada gunanya karena
tak ada yang berani datang ke tempat itu. “Aku lebih suka kau membunuhku dari
pada menerima noda!” kata Chieko dalam keadaan terlentang tak berdaya di
lantai, ditindih tubuh berat Yasuaki Kiuchi.
Yasuaki
Kiuchi menyeringai. Dua tangannya bergerak merenggut tali kimono Chieko Yamada.
Perempuan
itu kembali menjerit tapi suara jeritan semakin lemah lalu dia tak tahu lagi
apa yang terjadi dengan dirinya. Di luar hujan menderu tambah lebat. Badai
masih terus berkecamuk.
Hujan
yang lebat dan badai yang masih menggila, ditambah malam begitu gelap membuat
pemandangan mata hanya mampu menembus belasan langkah saja. Seorang pengawal
yang berjalan di samping Kano Yamada tiba-tiba berteriak dengan mata melotot
memandang ke depan.
“Tuan
Yamada! Ada sesuatu mendatangi dari sebelah depan!”
“Aku
sudah tahu,” jawab Yamada datar. Dia memang sudah melihat ada sebuah benda
mendatangi.
Karena
hujan dan badai, dia masih belum dapat memastikan benda apa itu adanya. Namun
dua telinganya mulai menangkap suara benda bergerak itu. Air hujan yang
membasahi alisnya disekanya dan kedua matanya dibuka lebih lebar.
“Seekor
kuda…” desis Kano. Dia mempercepat langkahnya. Mendadak saja hatinya yang sejak
meninggalkan Hikone memang sudah gelisah kini menjadi tidak enak berlipat
ganda. Sosok yang datang dari depan semakin dekat. Ternyata memang seekor kuda.
Kelihatannya tidak berpenunggang.
Kuda
sampai di hadapan Kano Yamada. Saudagar muda ini mengangkat tangannya memegang
kepala kuda. Binatang ini hentikan langkahnya dan menjilati tangan lelaki itu
seolah kenal. “Heh, ini kuda Chieko…” kata Kano dalam hati, ketika dia
mengenali binatang itu. Justru pada saat itu pulalah dia melihat sesosok tubuh
terbujur melintang diatas pelana. Kimono yang melekat di tubuh itu robek-robek
tidak karuan rupa. Agaknya hanya ditutupkan begitu saja. Lalu Kano Yamada
melihat rambut tergerai panjang basah kuyup mengucurkan air hujan di bagian
bawahnya yang terjuntai. Kano Yamada membungkuk untuk memastikan agar dia bisa
melihat wajah perempuan yang terbujur di pelana kuda itu. Lalu terdengar
raungannya. “Chieko!!!”
Tiga
orang yang menyertai Kano Yamada ikut berseru kaget. “Nyonya muda, apa yang
terjadi denganmu?” salah seorang di antara mereka berucap dengan suara gemetar.
Di bawah
hujan lebat dan badai yang masih mendera, Kano Yamada dibantu oleh tiga orang
tadi turunkan sosok Chieko dari atas kuda. Mereka mencari tempat yang agak
terlindung lalu membaringkan perempuan itu di sana.
“Chieko…!
Chieko!” teriak Kano Yamada berulang kali. Ditepuknya wajah istrinya itu. Lalu
diletakkannya telinga kirinya di atas dada. Deru hujan dan badai keras sekali.
Dia tak dapat mendengar apakah jantung istrinya masih berdetak atau tidak.
Kano
Yamada masih meletakkan telinganya di dada istrinya. Tiba-tiba matanya
membesar. Dia melihat ada cairan merah di bagian perut Chieko yang mengalir ke
tanah bersama air hujan. Darah!
Darah itu
mengucur keluar dari bagian perut yang ditancapi sebilah tanto!
Raungan
Kano Yamada seperti mengalahkan deru hujan dan badai. “Chieko! Apa yang terjadi
denganmu?! Chieko!” Kano Yamada peluk tubuh istrinya erat-erat hingga
pakaiannya ikut bersimbah darah. Tiga orang pengawal hanya bisa tertegun tak
tahu mau berbuat apa.
“Chieko
kau barusan dari mana? Siapa yang melakukan ini?! Chieko! Chiekoooooooo…! Jawab
Chieko! Jangan diam saja!” Kano Yamada angkat kepalanya ketika dia merasa ada
hembusan hawa keluar dari hidung istrinya. “Chieko…kau dengar aku Chieko…”
Dua mata
Chieko terbuka. Tapi hanya sedikit lalu tertutup kembali. “Chieko katakan apa
yang terjadi! Kau barusan pergi ke mana? Siapa yang melakukan kekejian ini?!”
“Ka…
Kano. Bi… biar saya me… menerima nasib buruk ini…” keluar suara Chieko
tersendat dan terputus-putus.
“Tidak!
Aku harus tahu siapa yang menghinamu! Siapa yang membunuhmu! Bilang Chieko! Kau
harus bilang!” Kano Yamada dekap tubuh istrinya erat-erat. Diciuminya wajah
yang putih pucat dan basah oleh air hujan itu. “Chieko! Katakan Chieko…” bisik
lelaki ini ke telinga istrinya.
“Kiuchi…”
bisik Chieko antara terdengar dan tidak. “Yasuaki Kiuchi… Dia memperhinakan
diri dan keluarga kita. Dia menodai saya…”
Sekujur
tubuh Kano Yamada bergeletar. Darahnya seperti mendidih. Tulang-belulangnya
laksana di panggang bara api. “Dia juga yang menusukmu dengan pisau ini…?”
“Tidak
…Se setelah dia menodai saya…, sa… saya merasa… tidak ada gu… gunanya lagi
hidup ini. Sa… saya merampas senjata itu dari… se… seorang pengawalnya. Saya
berusaha melakukan harakiri… Saya… Kano suamiku… Saya mohon kau jaga anak kita
Hatsuko baik-baik…”
“Chieko!
Chieko…!” Raungan Kano Yamada kembali menggelegar. Diguncangnya tubuh istrinya.
Tubuh itu
tak bergerak lagi. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada hawa hangat
keluar dari saluran pernafasannya. “Chieko! Jangan mati Chieko! Jangan mati!”
teriak Kano Yamada.
Lelaki
ini tidak tahu berapa lama dia meratapi jenazah istrinya itu sampai suaranya
menjadi serak.
Tiba-tiba
seolah sadar dia hentikan ratapannya. Wajahnya kelihatan bengis. Perlahan-lahan
dilepaskannya rangkulannya pada tubuh Chieko lalu berdiri. Ketika dia bergerak
melangkah, salah seorang pengawal cepat bertanya.
“Tuan
Yamada, kau mau kemana…?”
“Otsu!
Aku akan membuat perhitungan dengan Yasuaki Kiuchi…” jawab Kano Yamada seraya
menekan hulu pedang samurai yang tergantung di pinggangnya.
“Kami
ikut dengan tuan!”
Kano
Yamada gelengkan kepala. “Kalian kembali ke Hikone. Urus jenazah istriku! Jika
dua hari aku tidak kembali, perabukan jenazah itu. Sebagian tebarkan di danau
Biwa, sebagian lagi disimpan dalam cupu, letakkan di meja sembahyang rumahku…”
“Tapi
tuan Yamada…”
“Srett!”
Kano Yamada cabut samurainya. “Aku pergi. Jika aku tidak kembali bawa Hatsuko
ke Nara. Dia punya seorang bibi keluarga istriku…” habis berkata begitu Kano
Yamada putar tubuhnya lalu melangkah pergi. Sebentar saja bayangannya lenyap
dalam kegelapan. Tiga orang pengawal tak bisa mencegah. Dengan hati-hati mereka
mengangkat tubuh Chieko lalu meletakkannya di atas pelana.
Hujan
telah berhenti. Badai sudah reda. Di antara tiupan angin yang masih bersisa
keheningan pagi menyapu kota Otsu. Yasuaki Kiuchi tersentak dari tidurnya
ketika sepasang telinganya mendengar suara dentrangan senjata di luar sana.
Seorang selir yang menemani Yasuaki Kiuchi malam itu berusaha merangkulnya
ketika dia hendak bangkit dan turun dari atas ranjang.
“Pagi
masih dingin. Saya masih ingin melayani dan menghangati dirimu…”
*******************
3
“Ada
sesuatu terjadi di luar…” jawab Yasuaki Kiuchi seraya menangkap dan menurunkan
tangan perempuan yang hendak mengusap bagian bawah perutnya. Lelaki ini
cepat-cepat mengenakan kimononya. Dia melangkah ke kamar sebelah. Lewat sebuah
jendela yang disibakkan tirainya dia dapat melihat sebagian halaman depan.
Dalam keremangan pagi disaksikannya seorang lelaki muda mengenakan kimono
kuning bernoda darah dan basah kuyup mengamuk menghajar setengah lusin prajurit
yang mengeroyoknya.
Keenam
perajurit penjaga gedung itu tak kuasa membendung amukan lawan. Dalam beberapa
kali gebrakan saja lima di antara mereka roboh bersimbah darah. Agaknya tamu
berkepandaian tinggi itu sengaja tidak mau membunuh prajurit yang keenam.
Sambil menekankan ujung samurainya ke dada si perajurit dia berkata. “Suruh
keluar Yasuaki Kiuchi! Katakan aku Kano Yamada dari Hikone datang untuk
mengambil nyawanya!”
Meskipun
diancam kematian tapi orang berseragam prajurit Shogun itu menyeringai buruk
dan mengejek. “Yamada, apa kau kira bisa lolos dari sini hidup-hidup?”
“Aku
tidak minta kau bicara banyak! Lakukan apa yang aku perintah!” bentak Yamada.
Tapi
prajurit di hadapannya malah meludah dan berkata. “Kalau kau punya nyali
silahkan cari sendiri majikanku!”
“Kau
memang manusia tidak berguna!” bentak Kano Yamada. Samurai di tangan kanannya
menusuk ke depan. Prajurit itu hanya keluarkan seruan pendek. Ketika Kano
Yamada menarik pedangnya si prajurit langsung roboh. Darah mancur dari perutnya
yang ditembus pedang.
Dari
balik jendela ruangan di tingkat atas Yasuaki Kiuchi menutupkan tirai kembali.
“Kano Yamada…” desis lelaki ini. “Dia pasti sudah mengetahui apa yang terjadi
dengan istrinya.” Yasuaki keluar dari dalam ruangan yang terletak di tingkat
dua bangunan itu. Dia masuk ke sebuah kamar di mana tersimpan berbagai macam
senjata. Dia mengambil sebilah katana. Sebelum menuju ke halaman lebih dulu dia
menarik sebuah genta tiga kali berturut-turut. Serta merta dari berbagai
jurusan bangunan berhamburan keluar hampir dua puluh orang prajurit.
Pemimpin
mereka seorang bertubuh besar, berkumis dan berjanggut meranggas melompat ke
hadapan Yasuaki Kiuchi yang tegak di pintu dalam. “Gapo! Ada penjahat di pintu
gerbang utara. Tangkap dia hidup-hidup!”
“Kalau
memang penjahat mengapa dibiarkan hidup, tuan Kiuchi?” tanya Gapo seraya
melintangkan golok besar di tangan kanannya. Pada masa itu rata-rata katana
atau pedang samurai adalah senjata yang banyak dipergunakan orang. Namun
manusia satu ini agaknya lebih suka mengandalkan golok besar yang dirampasnya
dari seorang jago silat Cina yang pernah dipencundanginya.
“Keparat!
Lakukan saja apa yang aku perintah! Jangan banyak tanya!” hardik Yasuaki Kiuchi
mendelik. Si tinggi besar menjura lalu berkelebat pergi. Yasuaki Kiuchi dorong
daun pintu di hadapannya lalu keluar menuju ke depan. Ketika dia sampai di
luar, belasan prajurit di bawah pimpinan si tinggi besar tadi telah mengurung
dan mengeroyok Kano Yamada.
Walaupun
dia seorang pedagang, di masa mudanya Kano Yamada pernah belajar ilmu pedang
dari seorang pandai. Samurai di tangan laki-laki yang kalap ini berkesiuran
kian kemari. Empat orang perajurit Shogun terkapar di tanah. Dua lagi menjerit
lalu roboh. Ketika samurai di tangan Kano Yamada merobohkan prajurit yang
ketujuh, dari samping berkelebat sebilah golok besar memukul badan pedang
samurai di tangan Kano Yamada. Daya pukul golok itu berat dan terasa sekali
sehingga tangan Kano Yamada bergetar keras. Dia cepat membalik dan menghantam
dengan senjatanya. Namun kuda-kudanya goyah.
“Tranggg!”
Samurai di tangan Kano Yamada terlepas mental. Golok besar tadi datang
membalik.
“Brettt!”
Pakaian Kano Yamada robek besar di bagian perut. Dagingnya ikut tergores, membentuk
luka memanjang. Walau tidak terlalu dalam namun tetap saja mengucurkan darah.
Sambil menahan sakit penuh amarah dan nekad Kano Yamada melompati Gapo dengan
tangan kosong. Yang diserang balikkan goloknya lalu dengan satu gerakan cepat
hantamkan gagang golok ke kening lawan.
Kano
Yamada merasa seperti melihat gunung meletus di depan matanya. Pemandangannya
serta merta gelap dan kedua kakinya goyah. Tubuhnya tak ampuh lagi jatuh
tergelimpangan. Dia berusaha tidak jatuh pingsan. Dia melihat belasan kaki di
sekelilingnya. Ujung-ujung senjata. Lalu ada sepasang kaki berkasut bagus
melangkah ke arahnya. Dia coba mengangkat kepala.
Pemandangannya
berkunang. Dia tak dapat melihat jelas siapa adanya orang itu. Lalu dia
mendengar suara-suara bicara di dekatnya.
“Tuan
Kiuchi, saya menunggu perintah. Akan diapakan orang ini?!” bertanya Gapo.
“Jebloskan
dia ke dalam penjara! Dua hari lagi ada kapal ke utara ke pulau Hokkaido!
Angkut dia bersama penjahat dan orang-orang hukuman lainnya! Dia pantas menjadi
penghuni tempat kerja paksa di pertambangan Kitami!” Kano Yamada buka kedua
matanya. Pemandangannya masih kabur. Tapi dia telah mengenali suara yang
barusan bicara. Seperti mendapat satu kekuatan lelaki ini melompat dan
berteriak.
“Yasuaki
Kiuchi!” Kepala perajurit Shogun angkat tangan kanannya. Siap untuk menghantam
muka Kano Yamada dengan gagang goloknya. Tapi Yasuaki Kiuchi angkat tangannya
seraya berkata.
“Jangan!
Biarkan dia bicara!”
Perlahan-lahan
Kano Yamada putar tubuhnya. Dia melihat bayangan orang berdiri di anak tangga.
Dia tak
bisa melihat jelas namun dapat memastikan orang itu adalah Yasuaki Kiuchi,
orang yang telah dicapnya sebagai manusia iblis!
“Yasuaki
keparat! Manusia iblis laknat! Ternyata bukan hanya otakmu saja yang tidak
waras! Jiwa dan hatimu juga bejat!”
“Bangsat
tidak bermalu!” balas memaki Yasuaki Kiuchi. “Tadinya kehormatan yang diberikan
istrimu kuanggap sudah menyelesaikan urusan hutang piutang di antara kita! Tapi
detik ini aku mengubah keputusanku…”
“Iblis
bajingan! Kau nodai istriku! Dia kembali sudah jadi mayat!”
“Salah
sendiri! Dia berlaku tolol! Melakukan harakiri!” jawab Yasuaki Kiuchi lalu
tertawa mengekeh.
“Jahanam!
Pergilah menghadap Dewa penjaga neraka!” teriak Kano Yamada. Tangan kanannya
bergerak sangat cepat hingga tak ada yang sempat berbuat sesuatu. Sebuah
senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke arah Yasuaki Kiuchi. Karena tidak
menyangka Yasuaki tak keburu mengelak. “Tuan Kiuchi! Awas shuriken! (senjata
rahasia berbentuk bintang)” Gapo berteriak memberi peringatan.
Tapi tak
ada gunanya. Senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh para Ninja itu
melesat deras ke arah kepalanya. Yang dituju Kano Yamada adalah tenggorokan
orang tapi karena pemandangannya kabur senjata itu hanya menancap di mata kiri
Yasuaki Kiuchi!
Jerit
saudara sepupu Shogun yang berkuasa ini menggelegar mengerikan. Dua orang
prajurit segera melompat berusaha menolongnya. “Yamada jahanam! Seharusnya
sudah tadi-tadi kupenggal batang lehermu!” teriak Gapo. Kepala prajurit ini
bacokkan golok besarnya ke arah tangan kanan Kano Yamada. “Crassss!” Tangan itu
putus tepat di sambungan siku. Untuk kedua kalinya di tempat itu terdengar
raungan manusia!
Setelah
ditunggu sampai tiga hari Kano Yamada tidak kunjung kembali ke Hikone, sesuai
dengan pesan saudagar muda itu pada para pengawalnya di malam penuh bencana,
maka keluarga Yukawa memutuskan utuk memperabukan jenazah Chieko Yamada.
Sebagian abu jenasah disimpan di dalam gedung kediaman keluarga Yamada dan
sebagiannya lagi, seperti yang dimintakan Kano Yamada, ditebarkan di permukaan
danau Biwa.
Siang itu
Hideo Yukawa tampak berkemas-kemas. Dia membawa serta sebilah samurai yang
selama bertahun-tahun hanya tergantung di dinding dalam kamar tidurnya.
Kemudian dia masuk ke dalam kamar. Di atas pembaringan dua sosok bayi tergolek
pulas. Satu lelaki satunya perempuan.
Yang
perempuan adalah Hatsuko Yamada, puteri Kano dan Chieko Yamada yang malang itu.
Bayi lelaki adalah putera Hideo Yukawa sendiri. Sejak jenazah Chieko Yamada
dibawa pulang oleh tiga orang pengawal, keluarga Yukawa telah membawanya ke
tempat kediaman mereka di tepi danau.
Unari,
istri Yukawa menjaga dan merawat bayi lelaki yang telah dijodohkan dengan
puterinya itu sebaik-baiknya seperti dia merawat anaknya sendiri.
Di
samping pembaringan duduk seorang perempuan muda berwajah pucat murung. Kedua
matanya tampak merah karena banyak menangis. Dialah Unari, istri Hideo Yukawa.
“Aku berangkat ke Otsu sekarang juga. Harap kau menjaga dua anak itu
baik-baik.” Kata Hideo Yukawa.
Unari
Yukawa mengangguk. “Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Kano Yamada
lekas kembali. Sejak beberapa hari ini pasti hati saya selalu tidak enak. Saya
sering bermimpi buruk setiap saya memicingkan mata…”
Hideo
Yukawa mengangguk. “Aku akan lekas kembali. Kau tak usah kawatir. Aku sudah
minta para pengawal di gedung keluarga Yamada untuk melihat-lihat keadaan di
sini.”
Unari
mengantarkan suaminya sampai di pintu lalu masuk kembali untuk menjaga dua bayi
mungil yang masih tertidur pulas itu.
Meninggalnya
Chieko Yamada menyebabkan suasana berkabung terasa di seluruh desa Hikone.
Penduduk
merasa kehilangan seorang warga mereka yang selama hidupnya banyak memberikan
berbagai bantuan. Nelayan yang tinggal di sepanjang tepi danau Biwa telah
dibantu pinjaman untuk membeli perahu. Sedang para petani di pedalaman mendapat
bantuan uang untuk membeli alat-alat pertanian serta ternak.
Malam itu
banyak penduduk desa terutama kaum ibu datang ke rumah keluarga Yukawa. Mereka
menemani Unari sampai larut malam. Semuanya merasa pilu melihat bayi Hatsuko
dan berganti-ganti mereka mendukung bayi itu sampai akhirnya tertidur nyenyak.
Tak lama
setelah satu persatu penduduk desa meninggalkan rumah Unari Yukawa, keadaan di
tempat itu menjadi sunyi senyap. Di dalam rumah hanya tinggal satu lampu minyak
yang menyala, yaitu di kamar tidur Unari dan dua bayi itu. Di luar rumah tiga
orang pengawal kelihatan duduk di bangku kayu, mengobrol sambil berjaga-jaga.
Mereka adalah para pengawal yang bekerja di gedung keluarga Yamada. Malam itu,
seperti yang diminta Hideo Yukawa, ketiganya berjaga-jaga di rumah itu.
“Majikan
kita tuan Yamada tak ada kabar beritanya. Yukawa-san pergi ke Otsu untuk
menyelidik.
Bagaimana
kalau diapun tidak kembali pula?” Seorang pengawal bicara sambil bersandar dan
meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal.
“Aku
memang punya firasat buruk tuan kita tak akan kembali. Sia-sia melawan
kekuasaan Yasuaki Kiuchi…” menyahut kawannya. “Manusia satu itu,
mentang-mentang saudaranya Shogun bertindak sewenang-wenang. Malah lebih gila
dari Shogun!”
Pengawal
ketiga menimpali. “Aku ingin sekali…” Tiba-tiba dia hentikan ucapannya.
“Ada
apa?” tanya dua temannya hampir berbarengan. “Aku melihat ada seseorang
menyelinap di belakang rumah…” Tiga pengawal itu serta merta bangkit berdiri.
Mereka bergegas menuju bagian belakang rumah. Tiba-tiba pengawal di sebelah
depan keluarkan keluhan tinggi. Tubuhnya terlipat ke depan. Kedua tangannya
memegangi dada di mana menancap sebilah tanto (pisau pendek). Dua kawannya
segera memegangi tubuh pengawal itu lalu membaringkannya di tanah. Keduanya
segera mencabut senjata.
“Hati-hati,
kita menghadapi penyerang gelap berkepandaian tinggi…” kata salah seorang
pengawal berbisik pada kawannya. “Pisau pendek itu…” menjawab kawannya. “Aku
mengenalinya. Itu pisau prajurit-prajurit Shogun!”
“Aneh,
ada apa mereka muncul di sini?” tanya pengawal pertama. Dia memandang ke arah
rumah.
Darahnya
berdesir. “Jangan-jangan ada yang bermaksud jahat terhadap dua bayi itu! Kau
lekas berjaga-jaga di pintu rumah. Aku akan menyelidik ke bagian gelap sebelah
sana. Si pembokong pasti bersembunyi di tempat itu!”
Kawan
yang disuruh segera berkelebat ke arah rumah. Yang satu lagi bergerak ke tempat
gelap di bawah bayang-bayang hitam sebuah pohon besar. Lima langkah lagi dia
akan sampai ke semak belukar yang mengitari pohon, tiba-tiba tiga sosok
berkelebat keluar dari tempat gelap. Yang dua langsung menyerang si pengawal.
Dua pedang berkelebat dalam kegelapan malam. Satu pedang lagi membabat ke atas
menangkis. Selagi terdengar suara berdentarangan, sosok ketiga yang tadi keluar
dari kegelapan bergerak cepat menuju pintu rumah di mana pengawal kedua berjaga
dengan pedang di tangan.
Pengawal
ini terkejut sewaktu melihat ada satu sosok manusia tinggi besar tahu-tahu
sudah berada di hadapannya. Dia seperti pernah melihat orang ini sebelumnya.
Tapi dia tak bisa berpikir lebih lama karena saat itu senjata berupa sebilah
golok besar di tangan si tinggi besar membabat dengan deras ke arah
tenggorokkannya. Dia cepat menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg!”
Dua senjata beradu keras di udara. Si pengawal merasa seolah digebuk satu balok
besar dan berat hingga lututnya tertekuk dan hampir terhenyak jatuh. Sambil
jatuhkan diri dan berguling, pengawal ini berhasil selamatkan diri dari
tendangan si tinggi besar. Namun begitu dia berdiri, serangan berikutnya datang
menyusul. Tahu bahwa lawan memiliki senjata ampuh dan kekuatan luar biasa,
pengawal tadi tak berani menangkis. Maka dia cepat melompat ke samping untuk
menghindar sambaran senjata lawan. Namun belum sempat kedua kakinya menginjak
tanah kembali, golok si tinggi besar melesat ke depan, menembus telak di
lambungnya. Jeritan pengawal ini terdengar jauh sampai ke pelosok desa dan ke
tengah danau Biwa. Tubuhnya sesaat tersandar ke pintu.
Dari
dalam rumah tiba-tiba terdengar suara perempuan berseru. “Siapa di luar?!
Hideo? Kaukah itu?!” Pintu rumah lalu terbuka. Sosok tubuh pengawal yang tengah
meregang nyawa dan tersandar di situ langsung roboh tergelimpang. Unari Yukawa
menjerit keras. Dia segera menutupkan pintu kembali tapi terhalang oleh sosok
mayat si pengawal. Di saat bersamaan si tinggi besar melompat masuk ke dalam
rumah.
“Rampok!
Rampok!” teriak Unari Yukawa. Orang di hadapannya menyeringai. Tangannya
bergerak menjambak rambut perempuan itu. Lalu sekali banting saja Unari Yukawa
terkapar jatuh pingsan. Si tinggi besar lalu berkelebat ke arah ruangan yang
ada cahaya terang lampu minyak di mana bayi Hatsuko dan bayi Thosiro berada.
Ketika di
kejauhan kelihatan nyala lampu-lampu lampion mendatangi, si tinggi besar sudah
berkelebat cepat meninggalkan rumah sambil mendukung dua tubuh bayi yang masih
merah-merah itu.
Dari
pedataran tinggi di tepi danau, Hideo Yukawa siang itu merasa aneh melihat
banyak sekali penduduk desa Hikone berada di sekitar rumahnya. Penuh rasa tidak
enak lelaki ini memacu kudanya lebih kencang. Begitu sampai di depan rumah dia
melihat wajah-wajah penduduk yang memandang rawan sayu ke arahnya. Sesuatu
telah terjadi. Dia tidak melihat istrinya. Mungkin berada di dalam rumah.
“Ada apa
ramai-ramai di sini?” tanya Hideo Yukawa, begitu melompat turun dari kuda. Dia
memandang berkeliling. Matanya membentur sosok pengawal yang terkapar tak jauh
dari pintu.
“Mereka?
Mereka siapa?”
“Kami
tidak tahu. Pagi-pagi buta kami mendengar suara beradunya senjatanya. Lalu
suara-suara jeritan. Ketika kami mendatangi dan sampai ke sini kami melihat ada
tiga mayat tergelimpang. Istrimu…”
“Unari!
Mana istriku?” teriak Hideo Yukawa. “Istrimu selamat. Dia ada di dalam ditemani
istri-istri kami. Hanya….”
“Hanya
apa…?!” tanya Hideo Yukawa. Karena tak ada yang menjawab, Hideo Yukawa langsung
saja menghambur masuk ke dalam rumah. Di satu ruangan di dalam rumah, Unari
tampak terbaring di atas kasur tipis dikelilingi oleh beberapa perempuan
tetangga. Dua di antaranya tengah merawat luka di keningnya yang membengkak.
“Unari…”
Hideo Yukawa jatuhkan diri di samping kasur. Mendengar suara suaminya Unari
Yukawa buka kedua matanya. Perempuan ini menjerit menangis keras. Hideo cepat
memeluk istrinya. “Tenang Unari… katakan apa yang terjadi…!” bisik Hideo seraya
mengelus belakang kepala Unari. “Bayi kita Hideo… Toshiro…”
“Toshiro…?”
“Juga
Hatsuko, kedua anak itu diculik orang malam menjelang pagi tadi…” Dari mulut
Hideo Yukawa keluar suara menggembor keras. Sekujur tubuhnya bergeletar. “Siapa
yang melakukan? Siapa yang menculik Toshiro?! Siapa yang menculik Hatsuko?
Siapa?!”
Hideo
Yukawa lepaskan rangkulannya di tubuh Unari. Dia berdiri dan melangkah ke
pintu. Begitu sampai di luar dia cabut samurai di punggungnya lalu berteriak.
“Siapa?! Siapa menculik anak-anak itu?! Akan kugorok lehernya! Akan kucincang
tubuhnya!”
Seorang
penduduk desa mendekati. “Hideo! Tenang! Jangan kalap. Kita semua akan bantu
menyelidik…!”
“Diam!”
teriak Hideo Yukawa. Samurai di tangannya berkelebat. Senjata ini menyambar di
depan hidung tetangga itu. Kalau dia tidak cepat melompat, entah bagaimana
jadinya dengan hidungnya.
Semua
orang yang ada di halaman rumah kini menjadi takut dan perlahan-lahan bergerak
menjauhi lelaki yang setiap saat bisa saja tiba-tiba mengamuk.
Gapo
mengemudikan kereta kuda itu memasuki halaman belakang gedung besar kediaman
Yasuaki Kiuchi. Dua orang anak buahnya mengikuti di belakang. Saat itu sang
surya baru saja mulai naik.
Udara
masih terasa diselimuti kesegaran pagi. Di antara derap suara kaki-kaki kuda,
dari dalam kereta terdengar suara tangisan bayi tidak henti-hentinya. Di
serambi belakang, Yasuaki Kiuchi tengah menikmati sarapan paginya ketika
dilihatnya kereta itu masuk. Dia meneguk koohii (kopi) hangatnya. Seorang
pelayan menyodorkan sepiring roti panggang padanya tapi tak diperdulikan.
Pelayan
ini memalingkan kepalanya ke arah kereta dan jadi terheran-heran mendengar ada
suara tangisan bayi. Beberapa pengawal yang ada di situ juga merasa aneh.
Yasuaki
Kiuchi yang mata kirinya buta akibat lemparan senjata rahasia Kano Yamada
berdiri dari kursinya. Sesaat dia mengusap mata kirinya yang kini ditutup
dengan selembar kulit hitam lalu melangkah ke tangga. Di saat yang sama Gapo
sampai di anak tangga teratas. Setelah menjura terlebih dahulu kepala prajurit
Shogun ini berkata.
“Tuan
Kiuchi. Kita berhasil. Dua bayi itu ada dalam kereta…” Yasuaki Kiuchi
tersenyum. Dia menuruni tangga menuju kereta. Gapo yang berjalan mendahului
singkapkan kain tebal penutup bagian belakang. Yasuaki Kiuchi buka kedua
matanya lebar-lebar. Dua bayi, satu lelaki dan satu perempuan terbaring
menangis di atas tumpukan jerami kering. Ketika dia memperhatikan bayi
perempuan, dalam hatinya Yasuaki Kiuchi berkata. “Bayi perempuan ini sebetulnya
cukup baik untuk jodoh puteraku. Tapi sayang, orang tuanya berlaku bodoh!
Dijanjikan madu dan bunga sakura malah membalas dengan racun dan duri berbisa!”
Lalu Yasuaki Kiuchi berpaling pada Gapo.
“Bagus
Gapo! Kau punya pekerjaan bagus!” kata Yasuaki Kiuchi memuji sambil tepuk-tepuk
bahu Gapo. Si tinggi besar ini membungkuk berulang kali. “Tapi tugasmu belum
selesai!”
“Saya
tahu tuan Kiuchi. Saya siap menjalankan perintah selanjutnya…” kata Gapo pula.
“Saat ini
juga kau harus berangkat ke pegunungan Shikoku. Temui datuk gila dunia
persilatan si Nenek Muka Neko. Terangkan padanya apa yang aku mau. Lalu
serahkan benda ini padanya…”
Dari
balik kimononya, Yasuaki Kiuchi keluarkan sebuah benda panjang yang ternyata
adalah seuntai besi aneh berwarna hitam yang sudah karatan. Pada kedua ujung
rantai sepanjang lima jengkal ini terdapat jepitan berbentuk gelang tebal.
Gapo
menerima rantai itu. Menurut taksirannya rantai itu memiliki berat paling tidak
sekitar 25 kati.
Tetapi
alangkah kagetnya kepala prajurit Shogun ini ketika dipegang ternyata benda itu
ringan sekali. Sejak lama sebenarnya Gapo sudah mengetahui kalau Yasuaki Kiuchi
menyimpan rantai aneh itu. Sudah sejak lama pula dia ingin memiliki benda ini
karena kekuatan aneh yang tersembunyi di dalam rantai karatan itu dapat
menjadikan rantai sebagai senjata sakti andalan. Gapo menerima rantai itu
dengan tangan gemetar. Pikiran khianat merebak dalam otaknya.
“Kalau
tak ada hal-hal lainnya, saya mohon diri,” kata Gapo pula.
“Ada satu
hal yang perlu aku beri tahu,” ujar Yasuaki Kiuchi. “Orang-orangku melaporkan
bahwa Hideo Yukawa, ayah bayi lelaki itu kemarin terlihat di Otsu. Selidiki apa
yang dilakukannya. Kalau kau merasa tidak begitu suka padanya kau boleh membuat
perhitungan sendiri!”
“Saya
akan selidiki sekembali dari Shikoku,” jawab Gapo. “Apakah saya boleh pergi
sekarang?”
Yasuaki
Kiuchi mengangguk lalu berkata. “Jangan lupa mampir dulu di tempat si penyamak.
Dia punya tugas untuk membalut sekujur tubuh dan kepala bayi itu dengan
pembalut kulit. Benda itu kelak yang bakal memungkinkan terjadinya kegegeran
besar di negeri Nihon ini!”
“Saya
memang akan ke sana. Anak buah saya sudah menunggu di tempat tukang samak kulit
itu,” ujar Gapo pula.
“Dan kau
sudah tahu Gapo, apa yang harus kau lakukan terhadap orang itu begitu dia
selesai membungkus dua bayi dengan pembalut kulit?”
“Saya tahu
tuan Kiuchi,” jawab Gapo lalu melintangkan susunan jari tangan kirinya di leher
dan membuat gerakan menyembelih.
“Kau
boleh pergi sekarang,” kata Yasuaki Kiuchi. “Kembali dari pegunungan Shikoku
kau bakal mendapat hadiah besar dariku…”
“Saya
tidak mengharapkan hadiah apa-apa darimu tuan Kiuchi. Tapi jika tuan tidak
marah, sebenarnya sudah lama saya berhasrat dengan salah seorang selirmu yang
tak pernah datang-datang lagi kemari…”
“Heh,
selirku yang mana?” tanya Yasuaki Kiuchi sambil usap-usap dagu dan senyum-senyum
kecil.
“Maksud
saya selir bernama Emiko itu…”
*******************
4
“Emiko…
Emiko…?” Tiba-tiba meledaklah tawa Yasuaki Kiuchi. “Aku tidak tahu, rupanya
sudah lama kau mengincar selirku yang gemuk tambun itu! Ha…ha…ha! Kau boleh
mengambil babi gembrot berminyak itu Gapo! Kau boleh memakainya selama kau
suka! Asal saja hidungmu cukup tahan pada bau ketiaknya! Ha…ha…ha!”
“Terima
kasih tuan Kiuchi!” kata Gapo lalu membungkuk dalam-dalam.
Pegunungan
Shikoku walaupun terletak di sebelah selatan, namun tingkat kedinginannya tidak
kalah dengan pegunungan lain yang terletak di sebelah utara. Pagi itu di salah
satu puncak pegunungan yang diselimuti salju kelihatan asap mengepul ke udara.
Kepulan asap ini ternyata datang dari sebuah perapian yang ada di depan sebuah
goa kecil.
Di depan
goa duduk seorang nenek mengenakan mantel bulu beruang. Nenek ini memiliki
tampang aneh karena wajahnya yang putih keriputan itu menyerupai wajah seekor
kucing. Hidungnya kecil, bagian bawahnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Mulutnya
memiliki barisan gigi-gigi kecil serta lidah pendek merah. Kedua bola matanya
berwarna kehijauan, dan di sebelah tengah ada bagian yang berbentuk seperti
butiran gandum. Sepasang telinganya juga kecil, mencuat ke atas dan berbulu
halus putih. Di udara yang sangat dingin itu setiap hembusan nafas si nenek
membuat terjadinya kepulan kabut putih. Hampir setiap saat si nenek bermuka
kucing mendongak ke udara sementara kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang
menggumpal-gumpal salju membentuk bola sebesar kepalan.
“Hari
aneh apa pula ini?” si nenek berkata. “Sedari tadi tak ada seekor burung pun
yang lewat. Apa semua burung sudah pada mampus?!”
Baru saja
si nenek berkata begitu, tiba-tiba ada seekor kucing mengeong di dekat mulut
goa.
Astaga!
Ternyata di situ ada dua ekor kucing putih yang sejak tadi duduk di belakang si
nenek.
Binatang-binatang
ini memiliki bulu yang sangat tebal, berbadan lebih besar dari kucing biasa.
Yang satu
ada ikatan pita merah pada lehernya, yang seekor lagi berpita biru.
“Hus!
Jangan berisik anak-anak! Nanti benar-benar tak ada burung yang lewat di tempat
kita! Kalian berdua akan sengsara kelaparan!”
“Meong….
Meong….!”
“Anak-anak
sialan!” si nenek memaki sambil menampar salju di tanah dengan tangan kirinya.
Salju muncrat ke atas. Sebagian menghantam muka dua ekor kucing itu. Dua
binatang ini mengeong keras lalu melompat ke atas bahu kiri kanan si nenek. Di
sini keduanya duduk mendekam, tidak berani bergerak dan juga tidak berani
bersuara.
Si nenek
kembali mendongak ke langit. Tiba-tiba sepasang mata kucingnya memancarkan
sinar.
Lehernya
ditinggikan dan hidungnya bergerak-gerak.
“Ada
rezeki datang…” kata si nenek muka kucing sambil menyeringai. Kedua tangannya
sibuk menggumpal salju hingga berubah menjadi bola kecil sekeras batu. Saat itu
tampak seekor burung hitam terbang tinggi di udara. Mulut si nenek kembali
menyeringai. Dia tiba-tiba berdiri. Gumpalan bola salju digenggam di tangan
kanan. Burung mulai mendekat. Si nenek membuat gerakan meliuk-liuk. Dua kakinya
bergeser-geser kian kemari. Dua tangannya bergerak-gerak. Keadaannya saat itu
tidak beda seperti seorang tengah menari. Mendadak tubuhnya melesat setinggi
sepuluh kaki. Selagi melayang di udara, nenek ini membuat gerakan jungkir
balik. Pada saat kepalanya berada di bawah di mana kedua matanya dapat melihat
jelas langit di atasnya, dia keluarkan suara mengeong, lalu bola salju di
tangan kanannya dilemparkan ke atas tanpa membidik sedikitpun!
Hebatnya,
lemparan salju seperti asal-asalan itu tepat menghantam burung hitam yang
sedang terbang di udara hingga pecah. Binatang ini langsung melayang jatuh ke
tanah pegunungan yang tertutup salju tipis.
“Biru!
Lekas kau ambil santapan pagi kita itu!” berkata si nenek muka kucing. Kucing
salju berpita biru di bahu kirinya mengeong keras lalu melompat turun, lari
dengan cepat ke tempat jatuhnya burung hitam tadi. Tak lama kemudian, kucing
salju berbulu putih itu kembali pada majikannya si nenek bermuka putih seperti
kucing sambil menggonggong burung hitam besar di mulutnya.
Burung
ini diletakkan di hadapan si nenek.
Si nenek
tiba-tiba saja unjukkan wajah kesal dan mau menangis. Tapi yang keluar dari
mulutnya justru suara tawa mengekeh. “Meong… meong hik… hik.. hik! Nasib kita
sialan betul hari ini Menunggu lama dengan perut keroncongan, dapat mangsa
ternyata seekor burung pemakan mayat! Biru, putih, kau tahu kita berpantang
makan burung nazar!”
“Meong…!Meong…!”
dua ekor kucing putih mengeong seolah mengiyakan.
Si nenek
membungkuk. Lalu dengan jari telunjuk tangan kirinya disentilnya burung hitam
itu.
Sungguh
luar biasa. Meski cuma menyentil, burung hitam itu mencelat jauh hingga
akhirnya lenyap dari pandangan mata. Si nenek usap-usap kucing putih berpita
merah yang masih nangkring di bahunya. “Kita terpaksa mencari ikan di telaga
beku. Apa boleh buat. Kemarin ikan, sekarang ikan lagi…. Ayo Merah kau pimpin
jalan. Cari bagian telaga berlapis es paling tipis…”
Kucing
putih berpita merah di bahu si nenek melompat turun. Binatang itu berlari-lari
di sebelah depan. Temannya si biru mengikuti dan di sebelah belakang baru si
nenek yang mengenakan mantel dari bulu beruang. Tak berapa lama kucing merah
hentikan langkah. Binatang ini mengendus-endus tanah berlapis es keras dan
salju di hadapannya lalu melangkah berputar-putar sambil mengeong tiada henti.
Hal ini rupanya sudah cukup pertanda bagi si nenek. Sambil berjingkat-jingkat
dan senyum-senyum, perempuan tua ini bergerak ke bagian yang tadi diputari
kucing berpita merah.
“Hemmm…
memang di sini agak tipis lapisan es bekunya. Aku dapat merasakan…!” kata si
nenek.
Lalu
perlahan-lahan dia berjongkok. Mantel bulunya disingsingkan. Kepalanya
didongakkan dan kedua matanya berkedap-kedip. Sesaat kemudian terdengar suara
“Serrrrrr…!” Ternyata si nenek enak saja membuang hajat kecil alias kencing di
tempat dia jongkok itu.
Selesai
kencing si nenek bangkit berdiri lalu melangkah mundur berjingkat-jingkat. Di
atas salju, air kencingnya yang hangat tampak mengepul begitu bersentuhan
dengan lapisan salju dan lapisan es beku di bawahnya. Bau pesing menebar di
tempat itu. Si nenek tertawa cekikikan lalu tekap hidungnya. “Gila tak kusangka
kencingku bau sekali… Hik… hik… hik…!”
Air
kencing yang hangat itu merembes ke bawah menembus salju dan lapisan es. Sesaat
kemudian lapisan es itu kelihatan mencair, membuka bentuk lobang cukup besar.
Di bawah lobang tampak genangan air. “Nah, kita tinggal menunggu anak-anak…!”
“Meong!
Meong!”
Baru saja
dua ekor kucing mengeong begitu, dari dalam lobang tiba-tiba mencelat seekor
ikan besar. Lalu seekor lagi. Begitu berturut sampai tiga kali. “Cukup!” si
nenek berkata lalu dengan kaki kanannya yang berkuku panjang menggeser tumpukan
salju hingga menutupi lobang.
“Anak-anak,
kita kembali ke goa. Aku khawatir terlalu lama api pembakar santapan akan
mati.” Si nenek membungkuk mengambil seekor dari tiga ikan yang
menggelepar-gelepar di atas salju. Dua ekor kucing putih masing-masing
menggonggong seekor ikan lalu melangkah mengikuti si nenek.
Harum bau
ikan panggang masih menggantung di udara walau ketiga ikan itu sudah amblas
masuk ke dalam perut si nenek dan dua ekor kucing peliharaannya. Di depan goa
si nenek duduk lonjorkan kaki. Dua ekor kucing duduk di pangkuannya. Sepasang
mata si nenek kuyu seperti mengantuk.
Tiba-tiba
kedua mata itu nyalang besar. Sepasang telinga kucing si nenek bergerak-gerak.
“Anak-anak
kita akan kedatangan tamu. Entah siapa mereka aku tidak tahu…” Berucap si
nenek.
“Meong!
meong!” Telinga si nenek terus bergerak-gerak. Seolah dia melihat dengan
telinganya. Mulutnya kembali bersuara.
“Mereka
ada tiga orang. Yang satu membawa kereta berpeluncur besi ditarik beberapa ekor
anjing besar. Dua lainnya memakai sepatu seluncur terbuat dari besi… Tapi aneh…
Aku seperti mencium ada dua jalan pernafasan lagi di antara ketiga orang itu.
Halus hampir tidak bersuara…”
“Meong!
Meong!”
Tak lama
kemudian si nenek buka kedua matanya. Bersamaan dengan itu di depannya
dilihatnya apa yang tadi diucapkannya. Seorang tinggi besar mengenakan kopiah
dan mantel bulu tebal mengemudikan kereta es di tarik enam ekor anjing es. Di
bagian belakang kereta ini ada sebuah peti besar terbuat dari papan dilapisi
seng tebal di sebelah luarnya. Dua orang lelaki bersepatu selancar es tampak di
sebelah belakang kereta.
Tak lama
kemudian rombongan itu sampai di hadapan si nenek dan dua ekor kucing.
Anjing-anjing penarik kereta serta merta menyalak begitu melihat dua ekor
kucing. Si biru dan si merah tak kalah beringas. Kedua binatang ini mengeong
keras lalu melompat ke atas kereta, siap menyerang.
“Anak-anak,
kembali ke sini!” berseru si nenek. Dua ekor kucing es dengan patuh melompat
turun dan kembali ke dekat majikan tuanya itu.
“Kami
mencari datuk dunia persilatan dikenal dengan panggilan nenek Neko alias nenek
kucing. Kami rasa telah menemuinya…”
Si nenek
tertawa lebar. Lelaki tinggi besar itu bergidik melihat lidah kecil merah dan
barisan gigi-gigi yang tersusun kecil runcing persis gigi-gigi kucing. “Orang
tinggi besar, terangkan siapa kalian!”
“Namaku
Gapo. Kami datang membawa benda penting dan sangat rahasia…”
“Heh……benda-benda
apakah itu?!” tanya si nenek sambil hembuskan nafas panjang hingga terlihat
seperti ada asap yang mengepul keluar dari mulutnya.
Gapo
mengambil peti besar yang ada di bagian belakang kereta. Peti ini diletakkannya
di atas salju di hadapan si nenek lalu penutup peti dibuka. Begitu terbuka,
dari dalam peti terdengar suara tangisan bayi. Si nenek sampai terlonjak saking
kagetnya. Dua ekor kucing putih mengeong keras.
Si nenek
ulurkan kepalanya memandang ke peti.
“Kalau
mereka tidak menangis pasti kukira dua ekor anak babi siap panggang!” kata si
nenek. “Muka tangan dan kaki serta badan di balut sejenis kulit yang tak lepas
sebelum sepuluh tahun. Kalau di lepas sebelum itu, kulit dan dagingnya akan
terkoyak!” Si nenek memandang pada Gapo lalu tertawa hingga kedua matanya
basah. “Prajurit shogun! Kejahatan biadab macam apa yang kau tunjukkan padaku
saat ini? Hik… hik… hik…!”
“Nenek
Neko, ini bukan kejahatan atau kebiadapan. Ini justru satu percobaan yang bakal
membuat namamu jadi menjulang dalam dunia persilatan!”
“Aku
tidak mengerti!” si nenek tersengguk-sengguk.
“Kau
ditugasi merawat dua bayi ini!”
“Merawat
bayi? Gila! Dua orang pula! Aku tak pernah punya anak. Mana mampu! Bayi-bayi
ini perlu susu!”
“Bagaimana
kau merawat dan memberi makannya terserah. Dua bayi ini harus kau jadikan dua
manusia bonsai yang memiliki kepandaian tinggi!”
“Aneh!
Benar-benar gila! Tapi menarik! Tapinya lagi aku tak mau melakukannya!”
“Kalau
begitu kau bakal mendapat kesulitan!”
“Aku tak
pernah mengenal kesulitan dalam hidup ini!” jawab Nenek Neko.
“Kau
berdusta pada dirimu sendiri!” kata Gapo.
“Eh,
katakan siapa yang menugaskanmu!” si nenek menatap tajam pada Gapo.
“Yasuaki
Kiuchi, saudara sepupu shogun yang tinggal di Otsu…” jawab Gapo.
Mendengar
jawaban itu, wajah kucing si nenek mendadak berubah. Dari mulutnya terdengar
suara halus seperti kucing mengeong perlahan. “Kalau kau berani menolak,
kekasihmu Kamio Shikero tidak akan pernah kau temui lagi seumur hidupmu.
Bukankah dia sudah mendapat pengampunan untuk dikembalikan padamu tujuh belas
tahun di muka?”
“Katakan
di mana dia sekarang? Di penjara mana dia dipendam?” bertanya Nenek Neko dengan
suara ririh.
“Mana aku
tahu. Kalau pun tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Gapo.
Nenek
Neko terdiam. Wajah kucingnya tampak murung. Dari sepasang matanya meluncur
turun tetesan air mata. Lalu wajah itu menyeringai. Seringai berubah menjadi
senyum dan senyum disusul dengan tertawa mengekeh. Mula-mula perlahan kemudian
semakin kencang. Tiba-tiba suara tawanya lenyap seperti di renggut setan.
“Bayi-bayi ini, anak siapa mereka?”
“Kau
tidak perlu banyak tanya. Ini tugas yang harus kau laksanakan!” jawab Gapo.
Lalu pada si nenek diserahkannya secarik kertas. Nenek Neko memperhatikan
kertas itu sekilas, kemudian dijatuhkannya ke pangkuannya. Gapo memberi isyarat
pada dua temannya. Kedua orang ini lalu menurunkan sebuah peti dari belakang
kereta es, diletakkan di depan si nenek .
“Peti apa
pula ini? Bayi lagi!?!”
“Makanan
dan minuman penghangat tubuh,” jawab Gapo.
“Dan ini
tambahan hadiah dari majikanku Yasuaki Kiuchi!” lalu Gapo melemparkan sebuah
kantong kain berisi uang ke pangkuan si nenek.
“Aku
hidup di pegunungan Shikoku ini tidak perlu diberi makanan dan uang! Tak ada
gunanya. Aku dan dua ekor kucingku bisa mencari makanan sendiri. Kalian bawa
kembali peti berisi makanan dan minuman itu. Uang dalam kantong aku ambil.
Bukan untukku, tapi untuk dua bayi yang menderita ini. Jika mereka berumur
panjang uang itu mungkin ada gunanya bagi keduanya…”
“Terserah
kau mau bilang apa,” kata Gapo puas, lalu dia memberikan tanda pada
teman-temannya agar segera meninggalkan tempat itu.
“Kalian
mau ke mana?” bertanya si nenek.
“Kembali
ke Otsu!” jawab Gapo tanpa menoleh.
“Coba kau
ingat, apakah tidak ada sesuatu yang ketinggalan?”
“Eh, apa
maksudmu?” tanya Gapo. Dia memutar tubuh dan memandang berkeliling. Dan merasa
heran karena memang tidak ada barangnya yang ketinggalan.
“Nek, apa
maksudmu dengan pertanyaan tadi?” Gapo mengulang.
“Di atas
kertas yang ada di pangkuanku tertulis bahwa kau membawa sebuah rantai. Dengan
rantai itu aku ditugaskan mengikat lengan bayi-bayi ini. Aku belum menerima
rantainya…”
“Hemmm…
itu rupanya,” kata Gapo sambil menyeringai.
“Tuan
Yasuaki Kiuchi membatalkan tugas yang satu itu. Dia lupa mencoret tulisan di
kertas…
Bukankah
begitu teman-teman?” Dua anak buah Gapo mengiyakan.
“Kau
berdusta. Kalian berdusta! Serahkan rantai itu padaku! Aku tahu itu bukan benda
sembarangan. Aku juga tahu kau ingin mencurinya, mengambilnya secara licik!”
“Dasar
nenek sinting! Berani kau menuduhku seperti itu?” bentak Gapo.
“Aku
tidak menuduh yang bukan-bukan. Rantai itu terikat di pinggangmu, tersembunyi
di balik kimono dan mantel tebalmu!”
“Tua
bangka keparat! Kalau saja kau tidak diberi tugas penting mengurusi dua bayi
itu oleh majikanku, saat ini mau rasanya aku merobek mulutmu, memecahkan batok
kepalamu!”
“Aku
lebih senang jika kau membunuhku detik ini juga!” kata si nenek. Bersamaan
dengan itu dua ekor kucing mengeong keras.
“Aku
tidak akan membunuhmu! Tapi dua ekor peliharaanmu ini biar kutebas sebagai
hukuman kekurangajaranmu!”
Si nenek
tertawa perlahan. “Prajurit-prajurit Shogun memang terkenal sombong tapi juga
jahat dan culas. Berani kau mendekati dua ekor kucing itu kau akan terima
hajaran yang menyakitkan dariku!”
“Aku akan
laporkan tingkahmu pada tuan Yasuaki Kiuchi!” mengancam Gapo. Si nenek tertawa.
Sepasang
matanya memancarkan sinar aneh ketika dilihatnya Gapo mencabut golok besar dari
balik mantel tebalnya lalu melangkah mendekati dua ekor kucing. Dua ekor kucing
ini segera mendekam merunduk, memandang galak pada Gapo.
“Wuttt!”
Golok besar di tangan Gapo menderu. Bersamaan dengan itu tubuh si nenek yang
sejak tadi duduk melunjur tiba-tiba melesat ke udara. Tangan kanannya membeset,
bukan memukul tubuh Gapo atau memukul lengannya yang memegang golok, tapi
justru dia memukul langsung badan golok yang dipegang kepala prajurit Shogun
itu. “Traaakkk!” Golok besar kokoh itu patah dua dan terlepas dari pegangan
Gapo. Gapo sendiri terkejut bukan alang kepalang hingga keluarkan seruan keras.
Belum lagi seruannya habis si nenek gerakan tangan kanannya yang berkuku
panjang. Lalu
“Trakk…!
traakk!” Jari-jari tangan kanan Gapo berpatahan. Seruan kaget lelaki ini
berubah menjadi jeritan kesakitan setengah mati.
Dua orang
anak buahnya yang tadi diam saja kini ikut menyerbu sambil menghunus pedang. Si
nenek berkelebat. Tangannya kiri kanan bergerak. “Traaakkkk! Traaakkk!” Tulang
lengan kanan dua prajurit yang memegang pedang terdengar patah menggidikkan.
Seperti Gapo, keduanya menjerit-jerit kesakitan. Ketiga orang ini lalu bergerak
menjauhi. Gapo naik ke atas kereta es dan buru-buru hendak tinggalkan tempat
itu. Dua anak buahnya segera meluncur mengikuti. Tapi tahu-tahu si nenek sudah
lebih dulu melompat ke atas kereta.
Dia
memandang menyeringai pada Gapo. “Aku bisa mematahkan kaki anjing-anjing
penarik kereta, juga menghancurkan sepatu besi dua anak buahmu hingga kalian
terpaksa pulang jalan kaki ke Otsu. Aku juga bisa mematahkan lagi jari-jari
tanganmu sebelah kiri. Tinggal pilih. Atau sebaliknya kau serahkan rantai besi
itu sekarang juga!”
“Keparat
sialan!” rutuk Gapo. Dari balik mantelnya dikeluarkannya besi hitam karatan
yang diterimanya dari Yasuaki Kiuchi, yang memang sebenarnya harus diserahkan
pada si nenek. Nenek muka kucing tertawa hik-hik-hik menerima rantai besi itu.
Lalu turun dari atas kereta es. Dia masih tegak berdiri sambil tertawa-tawa
memperhatikan ketiga orang itu sampai akhirnya mereka lenyap di balik pedataran
salju menurun.
Di atas
kereta, Gapo memaki tiada henti di antara rintihannya. “Jahanam, tidak kusangka
tua bangka keparat itu memiliki koppo (ilmu mematahkan tulang) begitu hebat.
Aduh! Apakah tanganku bisa sembuh atau tidak? Tobat sakitnya…!”
Pasar di
pusat kota Otsu menjadi ramai ketika dua makhluk aneh itu muncul bergandengan.
“Lihat! Ada sepasang manusia katai!” seorang berseru seraya menunjuk.
“Hai! Ada
manusia cebol!” seorang lainnya berteriak. “Bukan katai bukan cebol. Tapi
manusia-manusia bonsai!”
“Lihat
kuku-kuku jarinya. Panjang berkeluk!”
“Mereka pakai
mantel bulu! Padahal di sini ada matahari, bukan tempat dingin! Ha… ha… ha!”
Sebentar
saja puluhan orang telah mengerubungi apa yang mereka sebut sebagai sepasang
manusia katai atau cebol atau bonsai itu. Di tengah kerumunan orang banyak,
tegak seorang lelaki yang sosok tubuhnya hanya setinggi pinggul orang biasa.
Wajahnya yang seperti anak-anak tampak merah oleh sengatan sinar matahari pagi.
Rambutnya hitam dikuncir ke atas. Sekitar mulutnya ada garis-garis hitam dibuat
dari sejenis cat hingga mukanya yang lucu itu seperti wajah seekor anak kucing.
Dia mengenakan pakaian mantel panjang terbuat dari bulu beruang. Sepasang
kakinya memakai kasut tebal terbuat dari kulit. Manusia cebol ini memelihara
kuku panjang berkeluk. Pada pergelangan tangan kanannya ada sebuah benda
berbentuk gelang tebal terbuat dari besi. Benda ini bersambungan dengan sebuah
rantai besi berwarna hitam dan karatan. Bagian tengah rantai ini menjela
menyentuh tanah. Setiap dia bergerak atau melangkah, besi yang menyentuh tanah
keluarkan suara bergesek tanda benda itu berat sekali. Tapi si cebol ini mampu
menggerakkan tangannya kian kemari seolah rantai itu enteng saja.
Ujung
lain dari rantai yang juga dicantoli gelang besi bergelung di pergelangan
tangan kiri manusia bonsai kedua. Yang satu ini ternyata seorang perempuan.
Seperti kawannya, rambutnya dikuncir ke atas. Pipi dan bibirnya merah. Sekitar
mulutnya ada garis-garis hitam. Bola matanya yang lucu memandang kian kemari.
Dia mengenakan pakaian ringkas warna merah terang, lalu di atas pakaian ini dia
memakai mantel bulu beruang. Kedua kakinya mengenakan kasut dari kulit dan
kuku-kuku jari tangannya juga panjang berkeluk.
“Orang
banyak!” manusia bonsai perempuan berseru. “Mengapa kalian mengerubungi kami?!”
Orang-orang
yang mengelilingi dua manusia bonsai bersorak. “Yuumoa! Yuumoa! (lucu)” seru
orang banyak. “Kalian berdua yuumoa!”
“Kami
berdua Yuumoa?! Apanya yang lucu?!” tanya manusia bonsai perempuan. Orang
banyak kembali berseru ramai.
“Anak-anak,
kalian berdua ini terlepas dari mana?!” seorang lelaki muda berkepala gundul
bertanya membuat orang banyak tertawa ribut.
Sepasang
manusia bonsai saling pandang lalu ikut-ikutan tertawa tergelak-gelak. Suara
tawa mereka aneh. Yang lelaki waktu tertawa keluarkan suara “Huk…huk…huk!”
Sedang yang perempuan tawanya berbunyi “Hik…hik…hik!” Anehnya, sehabis tertawa
mereka mengeluarkan suara seperti kucing. Meong… meong!
*******************
5
“Makhluk
bonsai aneh!” pemuda gundul berkata lagi. “Muka dicat seperti kucing, kuku
panjang-panjang lalu keluarkan suara meong! Tapi kalian bukan kucing kan?”
Orang
banyak tertawa gelak-gelak. Si gundul melanjutkan. “Matahari ada di atas kepala
kalian, udara di sini panas, tapi begonya kalian pakai mantel bulu segala!”
Manusia
bonsai lelaki menunjuk ke arah si gundul yang tadi mengejek. Biasanya orang
menunjuk dengan jari telunjuk tapi dia menunjuk dengan jari kelingking. Dan
waktu menunjuk jari kelingking kiri itu sengaja digerak-gerakkan. “Hai gundul
botak!” Manusia bonsai lelaki berkata dengan suara keras. Tapi tetap saja
suaranya seperti suara anak-anak. “Kami ini bukan anak-anak tahu?! Usia kami
berdua sudah hampir delapan belas tahun! Kalau ditambah, jadi tiga puluh enam.
Betulkah hitunganku?! Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik…!
Meong!” Ikut tertawa manusia bonsai perempuan.
Orang
ramai jadi tertawa riuh rendah. Saat itu semakin banyak orang datang
mengerubungi.
Pemuda
gundul tak tinggal diam. Dia segera menyahuti ucapan manusia bonsai lelaki
tadi.
“Makhluk
bonsai! Tidak sangka kau pandai berhitung! Apa kau juga pandai menari?!”
“Gerrrrrrrr!”
Orang banyak kembali tertawa.
“Huk…huk…huk!
Meong!”
“Hik…hik…hik!
Meong!”
“Kalian
berdua pasti datang dari daerah pegunungan! Sampai di kota tak mau melepas
mantel! Jadi kalian rupanya kucing-kucing pegunungan!” Orang banyak kembali
tertawa keras mendengar ucapan si gundul tadi.
Dua
manusia bonsai ikut tertawa nyaring. Lalu masih sambil terus menunjuk dengan
jari kelingking kiri yang digerak-gerakkan, manusia bonsai lelaki berkata, “Hai
gundul botak! Aku dengar yang gundul itu biasanya biksu. Tapi aku tahu kau
jelas bukan biksu! Karena baju dan badanmu bau! Huk… huk… huk!”
“Hik…
hik… hik…!” manusia bonsai yang perempuan menimpali tawa temannya lalu
menjulur-julurkan lidahnya pada pemuda gundul itu. Kemudian sambil memencet
hidungnya seolah-olah menahan bau dia berkata, “Sudah gundul dan bau, tonggos
lagi! Eh sudah begitu jerawatan pula. Mending jerawat biasa! Tapi jerawat batu!
Hik… hik… hikkk!”
“Huk…
huk… huk…!”
Langit di
atas pasar itu seolah runtuh oleh suara tawa puluhan manusia yang berada di
situ ketika mendengar apa yang dikatakan manusia bonsai perempuan. sementara
pemuda gundul tadi wajahnya yang memang dipenuhi jerawat besar tampak menjadi
sangat merah.
Seorang
lelaki gendut yang berjualan daging babi di pasar itu sambil usap-usap perutnya
yang melembung berkata, “Manusia cebol perempuan, kalau umurmu memang delapan
belas berarti kau sebenarnya seorang gadis. Biar aku memanggilmu dengan sebutan
nona cantik. Nah, nona cantik, walau temanku si gundul ini kau bilang tonggos
dan jerawatan, tapi apakah kau mau kalau kulamar jadi istrinya?!”
“Gerrrrr!”
Orang banyak semakin riuh. Si gundul sendiri keluarkan makian panjang pendek
kepada si tukang daging. Tapi suaranya tenggelam tak terdengar oleh riuhnya
orang sepasar tertawa.
“Orang di
pasar ini rupanya tak ada kerjaan!” kata manusia bonsai lelaki. “Ayo kita pergi
dari sini…!” Dia mengajak temannya pergi.
“Hai,
kalian mau ke mana? Kalau mau pergi dekat-dekat saja aku bersedia menggendong!”
si pedagang babi berseru.
“Kami
lapar! Mau cari rumah makan! Di mana rumah makan yang enak di pasar ini?!” ujar
manusia bonsai perempuan.
“Ah…!” si
gendut usap lagi perutnya. “Kalau mau mencari rumah makan biar aku tunjukkan.
Ikuti aku! Tapi kenalkan dulu diriku. Namaku Kukuno!”
“Nama
jelek!” cibir manusia bonsai perempuan. “Apa kerjamu?! Jualan apa kau di pasar
ini? Kulihat kau membawa pisau besar!”
“Aku
pedagang babi…” jawab si gendut Kukuno.
“Pantas
tampangmu seperti babi!” kata si bonsai perempuan, yang membuat orang banyak
kembali bersorak tawa riuh rendah.
Si gendut
Kukuno kelihatan merah mukanya tanda marah. Tapi marahnya ditahan saja. Dia
menggerakkan tangan pada kedua manusia bonsai itu seraya berkata, “Kalian
lapar. Mau makan enak! Ayo ikuti aku! Ada rumah makan bagus di belakang pasar,
harganya murah.”
Begitu
sepasang manusia bonsai melangkah mengikuti Kukuno, orang banyak yang ada di
situ serta merta pula bergerak menuruti. Mereka tak ubahnya sebuah rombongan
panjang yang tengah melakukan arak-arakan. Di belakang pasar ada sebuah tanah
lapang kecil. Di ujung lapangan, berdiri sebuah bangunan kayu tak berdinding.
Halamannya berpagar bambu. Bau busuk yang dibawa angin menyambar dari arah
bangunan ini. Kukuno justru menyeberangi lapangan menuju bangunan. Dua manusia
bonsai terus mengikuti. Sebaliknya orang banyak yang sudah tahu bangunan apa
itu adanya bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak dilakukan pedagang daging
babi itu. pemuda gundul jerawatan yang juga ada dalam rombongan tampak
tersenyum-senyum.
Diam-diam
dia sudah bisa menduga apa yang hendak dibuat Kukuno.
Si gendut
Kukuno membuka pintu pagar lalu masuk ke dalam. Bangunan itu ternyata sebuah
kandang babi yang cukup luas. Keadaannya selain sangat kotor juga busuk.
Kotoran babi berhamparan di mana-mana. Bau busuk menyengat hidung merambas
saluran pernafasan. Beberapa ekor babi jantan berlari-lari liar melihat begitu
banyak manusia berada di tempat itu. Beberapa ekor babi betina asyik menyusui
anak-anaknya yang masih merah-merah.
“Nah
inilah rumah makan paling sedap di pasar Otsu!” kata Kukuno pada dua manusia
bonsai yang tegak di sampingnya. “Bangunannya besar dan bagus. Di mana-mana
ditaruh wewangian…” Sampai di situ baru mengerti apa sebenarnya yang diperbuat
pedagang babi itu. Mereka semua riuh tertawa.
Sebaliknya,
walau sadar kalau diri mereka dipermainkan, dua manusia bonsai malah
ikut-ikutan tertawa.
“Dan
itu…” kata si gendut Kukuno melanjutkan permainannya. Dia menunjuk pada kotoran
babi
yang
memenuhi kandang. “Itu semua makanan paling sedap. Kalian tinggal memilih. Mau
makan tenpura (udang goreng) atau memilih sashimi (irisan ikan mentah) atau
mungkin lebih suka yakizakana (ikan panggang)! Ha…ha… ! Silakan ambil sendiri.
Makan sepuasnya dan tak usah bayar!”
Orang
banyak tertawa tergelak-gelak melihat tingkah Kukuno sewaktu mengucapkan
kata-kata tadi.
Sepasang
manusia bonsai senyum-senyum dan saling pandang satu sama lain.
Yang
laki-laki kedipkan matanya lalu berpaling pada Kukuno. “Sobatku gendut! Kau
sangat baik hati pada kami. Telah membawa ke rumah makan yang begini besar dan
bagus… Pelayannya cantik-cantik… Makanannya seperti katamu lezat sekali. Lalu
kami boleh makan sepuasnya tanpa bayar, Kami benar-benar beruntung hari ini!
Huk…huk…huk! Meong!”
“Hik…hik…hik!
Kau betul, hari ini kita beruntung sekali!” menimpali manusia bonsai perempuan
sambil menutup mulut dan tertawa cekikikan. “Tapi bagaimana kau bisa tahu kalau
makanan di rumah makan ini sedap semua? Apa kau pernah mencoba?! Hik…hik…hik!
Meong!”
Ditanya
seperti itu si gendut Kukuno jadi melengak tak bisa menjawab. “Huk…huk…huk! Ah!
Sobat baru kita ini rupanya cuma berdusta!” kata manusia bonsai lelaki.
“Kalau
begitu tak ada salahnya kita undang dia makan sama-sama!” ujar manusia bonsai
perempuan. “Hik…hik…hik! Meong!”
Lalu
sambil memutar-mutar rantai yang mengikat lengan mereka, kedua manusia bonsai
ini masuk ke dalam kandang. Tanpa rasa jijik sedikit pun mereka pergunakan
tangan kiri untuk meraup kotoran babi yang ada di tanah lalu di dekatkan ke
mulut seperti benar-benar mau melahapnya.
Orang
banyak jadi tak bergeming melihat.
“Hai!
Tunggu dulu!” seru manusia bonsai perempuan. “Kita diundang makan besar di
rumah makan ini. Masak kita begitu tidak tahu diri dan tidak tahu sopan. Sobat
kita yang mau membayar tidak ditawari? Hik…hik…hik!”
“Huk…huk!
Kau betul! Kita telah berlaku kurang ajar pada sobat gendut kita. Ayo kita
persilahkan dia makan duluan!” jawab manusia bonsai lelaki. Lalu sebelum Kukuno
sadar apa yang akan terjadi, kedua manusia bonsai itu melompat kearahnya. Dua
tangan berkelebat ke mulut si gendut.
Dua
tumpukan kotoran babi masuk ke dalam mulut itu. Saat itu juga Kukuno berteriak
tercekik lalu
“Huekkk…!”
Pedagang babi ini terlipat ke depan dan muntah besar!
Orang
banyak yang melihat kejadian itu mau tertawa bergelak tapi jadi kecut ketika
dua manusia bonsai dengan cepat meraup lagi masing-masing setumpuk kotoran
babi. “Sobatku gendut?
Bagaimana
rasanya? Sedap bukan…?” kata manusia bonsai perempuan.
“Kalau
mau tambah silakan makan lagi. Ini…!” manusia bonsai lelaki melangkah mendekati
Kukuno.
Pedagang
babi gendut berteriak keras sambil goyang-goyangkan tangan kiri dan tutup
mulutnya dengan tangan kanan. “Ah! Sudah kenyang dia rupanya! Huk…,huk…!”
“Hik…hik!
Kalau begitu harus kita tawarkan pada yang lain. Masakan kita bersantap
enak-enakan sedang di sini banyak para sahabat yang ikut mengantar!”
Orang
banyak yang ada di tempat itu sesaat jadi mundur. Mereka tentu saja tidak takut
pada dua manusia cebol itu. Tapi kalau sempat mereka dibuat seperti Kukuno,
atau paling tidak, tubuh dan pakaian mereka belepotan kotoran babi, siapa mau
ambil risiko?
“Huk…huk!”
“Hik…hik!”
Dua
manusia bonsai berkelebat kian kemari. Keadaan di tempat itu menjadi ramai
kacau balau.
Semua
orang berlarian. Namun banyak di antara mereka yang tak sempat menghindar.
Akibatnya, pakaian, bahkan tubuh atau muka mereka habis kena diselomoti kotoran
babi. Pemuda gundul paling banyak dapat bagian. Wajah sampai kepalanya yang
plontos kelihatan tertutup tahi babi.
Beberapa
orang yang kebagian kotoran babi tampak marah. Mereka beramai-ramai menyerbu
dua manusia bonsai untuk melayangkan tendangan serta jotosan. Sesaat kemudian
terjadilah hal yang tidak diduga. Dua manusia bonsai berkelebat kian kemari
sambil tertawa hu-hu hi-hi. Siapa saja yang menyerang mereka pasti mendapat
balasan tendangan kaki, pukulan atau hantaman rantai besi.
Beberapa
orang tersungkur atau terlentang di atas tanah kandang yang penuh kotoran.
“Kalian
mundur semua!” tiba-tiba si gendut Kukuno berteriak. Golok besar berbentuk
empat persegi yang dipergunakannya untuk memotong daging babi dan sejak tadi
terselip di pinggang kini terhunus di tangannya. Semua orang serentak mundur.
“Cincang
keduanya Kukuno!”
“Jagal
kepala mereka!” teriak yang lain. Kukuno melompat. “Wuttt!” Golok penjagal babi
di tangannya melesat. Tapi hanya mengenai tempat kosong karena dua manusia
bonsai lebih dulu melompat ke belakang.
Dengan
beringas Kukuno lancarkan serangan lagi. Masih gagal. Dia kembali menyerbu.
Goloknya bersuitan di udara tapi tak satu pun serangannya mengena. Ketika
dengan kalap dia babatkan goloknya ke depan, dua manusia bonsai melompat seolah
dengan sengaja menyongsong sambaran golok. Tubuh mereka melesat satu ke kiri
satu ke kanan. Bersamaan dengan itu tangan mereka yang terkait rantai hitam
karatan menggebrak ke atas.
“Trang!”
Golok babi di tangan Kukuno mental patah dua. Selagi si gendut terkesiap kaget.
Tahu-tahu dua manusia katai sudah hinggap di bahunya kiri kanan. Rantai besi
mereka jeratkan ke leher pedagang daging babi itu hingga matanya mendelik dan
lidahnya terjulur keluar!
“Huk…,huk!
Meong!”
“Hik…hik!
Meong!”
Dua
tangan menepuk bahu manusia bonsai lelaki dan perempuan. Lalu di belakang
mereka ada orang berkata. “Sobatku! Jika kalian terus mencekik lehernya dengan
rantai itu, si gendut ini bakal mati! Kalian bisa susah nantinya!”
Dua
manusia bonsai tadinya tidak peduli. Tapi suara orang yang bicara terdengar
aneh dialeknya.
Mereka
berpaling. Yang perempuan lantas berkata pada temannya. “Ada orang asing
berambut gondrong! Suara laki-laki tapi berambut panjang seperti perempuan!
Hik… hik… hik! Meong!”
“Mukanya
lucu, pakaiannya juga lucu! Huk… huk… huk! Meong!”
Orang
yang menegur tertawa lebar. “Lihat! Nafasnya mau keluar dari badan! Mukanya
sudah biru! Huk… huk…huk! Meong! Hik… hik…hik! Meong!” orang yang barusan
menegur menirukan tawa dan suara meong dua manusia bonsai hingga keduanya jadi
tertawa tergelak-gelak.
Manusia
bonsai lelaki kemudian berkata. “Gondrong! Siapa bilang kami mau membunuh si
gendut ini! Kami justru mau bertanya padanya!” Dengan tangan kirinya manusia
bonsai lelaki usap-usap pipi Kukuno yang memang sudah kelihatan membiru.
Jeratan pada lehernya dikendorkan sedikit.
Kukuno
cepat-cepat menghirup udara segar. “Gendut. aku perlu keterangan darimu. Di
mana aku bisa menemukan seseorang bernama Gapo? Turut keterangan dia seorang
tentara berkedudukan cukup tinggi…”
Paras
Kukuno yang kebiruan tampak berubah. Orang banyak juga terkejut ketika
mendengar si manusia bonsai lelaki ini bertanya begitu. Seolah kini ada sesuatu
yang ditakuti, mereka bersurut mundur. Kukuno sendiri tampaknya tak mau
menjawab. Maka manusia bonsai lelaki kencangkan kembali jeratan lehernya.
“Jang…
jangan…” ujar Kukuno. Suaranya mendesis. “Apa… apa hubunganmu dengan orang yang
kau tanyakan?”
“Kami
membawa pesan untuknya…” yang menjawab manusia bonsai perempuan.
“A… ku
tak bisa memberi… tahu…” Jeratan rantai mengencang. Lidah Kukuno terjulur
panjang.
Kedua
tangannya digoyang-goyangkan. Nafasnya terengah-engah.
“Sekarang
kau mau bicara?” tanya manusia bonsai lelaki. Kukuno mengangguk-angguk dengan
susah payah. “Nah, ayo bicara!” rantai mengendur, malah setengah dilepas.
Kukuno usap-usap lehernya yang kelihatan bertanda merah. Lalu dia mulai bicara.
“Orang yang
kalian tanya… Dia salah satu pejabat tinggi di istana Shogun.”
“Kau tahu
Shogun banyak istananya. Pejabat bernama Gapo ini berada di istana yang mana?”
“Nara…”
jawab Kukuno meringis. “Lepaskan rantai ini…”
Dua
manusia bonsai melompat turun ke tanah. Begitu lepas dari jeratan rantai,
Kukuno serta merta putar tubuh. Orang banyak bergerak bubar. Salah seorang di
antaranya pemuda berkepala gundul tadi. Dia menyelinap di antara orang banyak,
melintasi tanah lapang dan lenyap di keramaian.
Di
kandang babi itu kini hanya tinggal dua manusia bonsai dan pemuda berambut
gondrong berpakaian putih.
“Kalian
berdua masih lapar…” tiba-tiba si pemuda bertanya.
“Gaijin
ini, mengapa kau masih di sini?” tanya manusia bonsai lelaki.
“Aku
ingin berteman dengan kalian. Aku barusan tanya apakah kalian masih lapar?”
“Tentu
saja kami lapar!” jawab manusia bonsai perempuan. Dia menyentakkan rantai yang
mengikat lengan kirinya. “Ayo kita cari sendiri rumah makan!”
“Tangan
dan pakaian kalian kotor begitu! Mana ada rumah makan yang mau menerima?!”
Mendengar
ucapan si pemuda asing, dua manusia bonsai perhatikan tangan dan pakaian
masing-masing.
“Gaijin,
kau betul, kami kotor…”
“Dan
bau!” sambung si pemuda. Dua manusia bonsai tertawa hu-hu hi-hi.
“Di dekat
sini ada sebuah anak sungai. Dangkal dan jernih. Kalian bisa membersihkan diri
di sana…” Habis berkata begitu si pemuda terus saja ngeloyor.
Dua
manusia bonsai mengikuti sambil berbisik-bisik. “Gaijin, menurut temanku ini
kau orang baik pertama yang pernah kami temui. Siapa namamu? Dari mana asalmu?”
bertanya manusia bonsai perempuan.
“Namaku
Wiro Sableng. Aku datang dari negeri seribu pulau…” menyahuti si pemuda.
“Seribu
pulau? Wah, banyak amat! memangnya ada orang yang pernah menghitung segitu banyak?!”
ujar manusia bonsai perempuan lalu tertawa cekikikan.
Si pemuda
garuk kepalanya lalu bertanya. “Kalian sendiri punya nama?”
“Aneh kau
ini Gaijin…. Setiap manusia tentu punya nama, termasuk kami. Walau cuma punya
nama jelek!” jawab manusia bonsai perempuan. “Aku Tsuki dan kawanku ini Taiyo.”
“Kalau
tidak salah, Tsuki artinya bulan, dan Taiyo artinya matahari…”
“Kau
pandai Hik… hik!” memuji manusia bonsai perempuan bernama Tsuki. “Tadi siapa
namamu? Wiro Sa…?”
“Wiro
Sableng,” menjelaskan murid Sinto Gendeng.
“Apa ada
artinya itu? Wiro apa, Sableng apa?” bertanya lagi Tsuki.
“Wiro
kira-kira artinya satria atau perkasa…”
“Wah
hebat! Kau seorang perwira perkasa. Tapi berambut panjang seperti perempuan.
Hik…hik!” ujar Tsuki.
“Lalu
Sableng itu artinya apa?” tanya manusia bonsai, yang melihat pada umurnya
merupakan seorang gadis remaja.
Mendengar
pertanyaan itu, Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Aku tidak tahu mengapa guruku
memberi nama begitu. Sableng artinya kichigai…”
“Apa?
Kichigai? Sinting alias gila?!” kata Taiyo setengah berseru lalu pemuda cebol
ini tertawa tergelak-gelak.
“Kalau
begitu kau sama dengan kami dan sensei kami!” kata Tsuki pula.
“Sama
bagaimana?” tanya Wiro.
“Kami
punya sensei orangnya sinting. Kami murid-muridnya, dengan sendirinya jadi ikut-ikutan
sinting alias gila alias sableng! Hik..hik..hik! Meong!”
“Meong!”
balas Wiro.
Ketiga
orang itu sama-sama tertawa riuh.
Wiro
sampai di sebuah tempat ketinggian berbatu-batu. Dia menunjuk ke bawah. “Itu
sungainya,” katanya.
Tsuki dan
Taiyo memandang ke bawah. Kira-kira dua puluh langkah di bawah sana kelihatan
sebuah sungai kecil berair jernih. “Kita mandi!” seru Taiyo.
“Mandi…!
Hik, hik… Meong!”
Lalu di
luar dugaan Wiro, kedua manusia bonsai itu membuka mantel dan seluruh pakaian
di bawah mantel itu hingga keduanya kini bertelanjang bulat. “Gila! Bagaimana
ada manusia tidak punya malu seperti mereka ini!” ujar Wiro sambil
geleng-geleng kepala. Diperhatikannya bagian bawah perut kedua manusia bonsai
itu. Apa yang dilihatnya membuat Wiro membatin. “Keduanya memang bukan
anak-anak. Mereka sudah punya rumput Jepang!” Wiro jadi tertawa lebar.
“Hai, kau
kenapa tidak buka pakaian?!” Taiyo bertanya enak saja.
“Eh, aku…
sudah mandi!” jawab Wiro garuk-garuk kepala.
“Kalau
begitu, kau terpaksa kami tinggal!” Dua manusia bonsai itu mengambil pakaian
yang barusan mereka buka. Ternyata baik mantel maupun pakaian memiliki
kancing-kancing khusus di salah satu sisinya, hingga walau ada rantai yang
menghalang, mereka bisa menanggalkannya tanpa kesulitan.
Selagi
Wiro tercengang-cengang melihat perbuatan kedua orang itu, Tsuki dan Taiyo
keluarkan seruan panjang. Lalu tubuh keduanya melesat ke udara, di lain saat
menukik turun ke bawah sambil melemparkan pakaian-pakaian mereka ke tebing
sungai. “Byuuur! Byuuur!”
*******************
6
Dua tubuh
cebol itu mencebur ke dalam sungai. Lalu terdengar suara pekik-pekik mereka
seperti anak-anak penuh gembira bermain di air. “Dua manusia bonsai…” ujar
murid Sinto Gendeng yang memperhatikan dari tempat ketinggian. “Mereka kelihatan
lucu-lucu. Polos. Di balik kelucuan dan kepolosan itu ada sesuatu yang aneh.
Keanehan gila berbahaya! Mereka bisa sangat baik seperti malaikat, tapi juga
bisa ganas seperti iblis! Mereka bukan manusia-manusia biasa! Jelas mereka
memiliki kepandaian tinggi. Paling tidak, mereka barusan telah memperlihatkan
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa! Dan rantai besi karatan itu bukan besi
rongsokan. Siapa kedua orang cebol ini sebenarnya…?! Mengapa tangan mereka
diikat satu sama lain?”
Tsuki dan
Taiyo ternyata bukan cuma mandi sambil bermain. Keduanya juga sibuk mencuci
mantel dan pakaian lalu menjemurnya di atas batu-batu di pinggir sungai.
Akibatnya, Pendekar 212 terpaksa menunggu lama dan tidak terasa jatuh tertidur.
Wiro tidak tahu berapa lama dia pulas di tempat itu dan tersentak bangun ketika
Taiyo dan Tsuki mengambil rumput dan mengilik telinganya kiri kanan!
“Kalian
ini apa-apaan?! Hampir kutinggal pergi. Mandi saja begitu lama!” Wiro
mengumpat.
“Kami
bukan cuma mandi. Tapi juga mencuci pakaian lalu menjemur! Enak sekali tidurmu
sampai ngorok keras!” kata Tsuki.
Wiro
menggeliat lalu berdiri. “Kau bilang barusan mandi, tapi kulihat mukamu dan
muka Taiyo masih celemongan. Cat hitam itu masih ada di sekitar muka. Mengapa
kalian mencat wajah seperti itu?”
Ketiga
orang itu melanjutkan perjalanan sambil ngobrol. “Guru kami yang mengecatnya,
kami cuma mengikut. Cat seperti kumis-kumis kucing ini tidak mudah luntur kalau
tidak pakai minyak khusus. Minyak itu cuma guru yang memiliki.”
“Gurumu
tentunya seorang aneh tapi punya ilmu tinggi. Siapa dia? Tinggal di mana?”
“Dia
seorang nenek datuk persilatan di Nihon ini. Siapa namanya kami tidak tahu. Dia
dikenal dengan panggilan Nenek Neko. Artinya nenek kucing. Mukanya putih dan
memang seperti kucing.
Dia
tinggal di pegunungan Shikoku. Sejak masih orok, kami sudah diambilnya jadi
murid…”
“Sejak
orok? Lalu… Apa kalian sudah tahu siapa orang tua kalian?” tanya Wiro.
Dua wajah
manusia bonsai kelihatan murung menjadi sedih. Mereka menggeleng perlahan.
“Kalian ini adik kakak, atau kembar, atau bagaimana?”
“Kami
tidak tahu, tapi guru menduga kami berdua tidak ada pertalian darah…”
menerangkan Tsuki.
“Sungguh
aneh diri kalian ini. Kalian tidak tahu siapa diri kalian sebenarnya…”
“Sampai
saat ini kami memang tidak tahu siapa diri kami sebenarnya. Siapa orang tua
kami. Tapi menurut guru, ada seorang yang mengetahui. Namanya Gapo.”
“Gapo,
yang kau tanyakan pada si gendut pedagang babi itu?”
“Betul!”
jawab Taiyo. “Menurut guru, dialah yang sekitar tujuh belas tahun lalu
mengantarkan kami ke tempat guru di pegunungan Shikoku…. Itu sebabnya kami
harus mencari orang bernama Gapo itu. Dulu dia tinggal di Otsu ini. Tapi
menurut si gendut itu, Gapo sudah menjadi pejabat tinggi dan tinggal di Nara.
Kami akan ke sana…”
“Kelihatannya
memang dia yang tahu asal usul kalian. Lalu bagaimana sampai kalian memiliki
tubuh katai cebol seperti ini? Apa sejak lahir sudah begini?”
“Menurut
guru, waktu Gapo membawa kami ke Shikoku, tubuh kami sudah dibalut dengan
sejenis kulit yang tak mungkin dilepas sebelum sepuluh tahun berlalu. Kalau
dipaksa membukanya, maka daging di tubuh kami akan ikut koyak terkelupas…”
“Berarti
ada seseorang yang sengaja membalut tubuh kalian. Dengan maksud tidak baik
tentunya!” kata Wiro pula.
“Semua
rahasia kehidupan kami ada pada pejabat di Nara bernama Gapo itu…”
“Turut
apa yang aku dengar, Gapo bukan seorang pejabat baik-baik. Sifatnya culas dan
hatinya jahat. Dia pemeras rakyat, perampas harta orang lain, perampas anak
gadis dan istri orang. Gundiknya tidak terhitung… Kalian harus berhati-hati.”
“Mengapa
harus hati-hati? Kami tidak berniat jahat terhadapnya. Hanya ingin mencari
keterangan.”
“Aku
punya dugaan Gapo ikut bertanggung jawab atas keadaan diri kalian…”
“Kalau
itu benar, kami akan bunuh dia!” kata Tsuki pula. Wajahnya yang lucu mendadak
berubah menyeramkan. “Tapi kalau Gapo orang jahat, mengapa penguasa tidak
menegur atau menghukumnya?”
Wiro
tertawa. “Gapo itu kepercayaan dan tangan kanan seorang pejabat tinggi di Kyoto
bernama Yasuaki Kiuchi. Orang ini adalah saudara sepupu shogun yang berkuasa di
negeri ini! Siapa yang berani menindak Gapo!”
“Yasuaki
Kiuchi! Untung kau sebut nama itu! Menurut sensei, orang ini ada sangkut
pautnya dengan apa yang dilakukan Gapo!” kata Tsuki setengah berseru.
“Kami
juga akan cari manusia satu itu! Membunuhnya jika dia memang punya andil
penyebab segala derita lahir batin diri kami ini…” berkata Taiyo.
“Guru
juga memberi tugas agar kami mencari seorang bernama Kamio Shikero…”
menerangkan Tsuki.
“Siapa
orang itu?” tanya Wiro.
“Kekasih
guru di masa muda. Sekarang kabarnya dipenjarakan di satu tempat tidak
diketahui. Selama ini dirinya yang menjadi ganjalan hingga guru, walaupun
berkepandaian tinggi tak berbuat banyak. Yasuaki Kiuchi kabarnya mengancam
kalau guru berbuat macam-macam, maka dia tak bakal dapat lagi bertemu dengan
Kamio Shikero kekasihnya itu…”
Apa yang
terjadi di kandang babi milik pedagang Kukuno tersiar cepat di seluruh Otsu,
termasuk di rumah makan Puri Rembulan. Karenanya, tidak mengherankan ketika
Tsuki dan Taiyo yang ditemani Wiro datang ke tempat itu, para pelayan segera
menolak. Mereka tidak mau terjadi kekacauan.
“Aneh,
ada rumah makan menolak tamu!” ujar pendekar 212 jengkel.
“Ani
Wiro…” kata Tsuki. Dia memanggil Wiro dengan sebutan “ani” yang berarti kakak,
karena sudah merasa dekat dengan sang pendekar walau belum lama saling kenal.
“Mereka
menolak karena melihat kami berdua cebol jelek begini. Menghina betul! Tapi
tidak apa. Kita berdiri saja di luar sini. Aku bersumpah suatu hari rumah makan
ini tak bakal ada pengunjungnya!”
“Eh, apa
yang hendak kamu lakukan Tsuki?” tanya Wiro, sementara Taiyo diam anteng-anteng
saja.
“Aku akan
halangi semua tamu yang datang! Gampang saja bukan? Hik…hik! Meong!” jawab Tsuki
lalu tertawa cekikikan. Seorang lelaki separuh baya berpakaian bagus dan
berambut kelabu muncul di pintu rumah makan. Dia adalah Susumu, pemilik rumah
makan. Sesaat dia menatap pada Wiro lalu memperhatikan dua manusia bonsai.
“Kalian
berdua telah membuat keonaran di pasar kota. Aku juga tidak mau kalian berdua
macam-macam di tempat ini. Aku harap kalian segera pergi. Bawa serta teman
kalian orang asing berambut gondrong ini!”
Tsuki
kedip-kedipkan matanya. “Meong! Hik..hik! Tuan berambut kelabu, siapa kau ini?”
gadis cebol ini bertanya.
“Aku
Susumu, pemilik rumah makan!” Mendadak pendekar 212 tertawa mengakak. Membuat
Susumu dan Tsuki serta Taiyo jadi terheran-heran.
“Eh,
kenapa kamu tertawa…?” tanya Taiyo.
“Di
negeriku, Susumu itu berarti tetek atau payudaramu! Lucu juga nama orang ini!”
Wajah
pemilik rumah makan kelihatan merah padam sedang Tsuki dan Taiyo tertawa
gelak-gelak
“Kuharap
kalian suka pergi. Atau aku akan panggil petugas keamanan untuk mengusir dengan
kekerasan…!”
“Sudahlah
kawan-kawan. Kita pergi saja. Buat apa lama-lama di tempat ini. Dia punya
makanan yang belum tentu enak. Kita punya uang! Cari saja rumah makan lain!”
Kata Taiyo. Lalu dari balik mantel bulunya dikeluarkannya dua buah kantong
berisi uang yang diterimanya dari Nenek Neko.
Dari
dalam dua kantong kain terdengar suara berdering.
“Aku
sumpahi rumah makanmu tidak laku!” teriak Tsuki.
Melihat
dua kantong uang di tangan Taiyo, pemilik rumah makan jadi berubah pikiran.
Sepagi itu belum ada tamu pun yang datang. Dua kantong di tangan si cebol pasti
berisi uang banyak sekali.
Apa
salahnya menerima mereka? “Hai tunggu dulu!” Susumu berkata cepat ketika ketiga
orang itu dilihatnya hendak melangkah pergi. “Jika kalian berjanji tidak
membuat keributan di sini, aku sudi mempersilakan kalian istirahat di dalam dan
bersantap.”
“Siapa
yang mau membuat keributan? Kami ke sini mau cari makan dan bayar!” jawab Taiyo
seraya acungkan dua kantong kain di tangannya. Suara dering uang dalam kantong
semakin enak terdengar di telinga Susumu.
“Taiyo,
orang ini sudah dengar apa yang terjadi di kandang babi! Itu salah si gendut
Kukuno dan orang banyak! Mereka menganggap kami ini seperti binatang saja.
Masakan kami disuruh makan kotoran babi!” kata Tsuki dengan wajah
dicemberutkan.
“Kalian
bertiga boleh masuk. Silakan masuk!” kata susumu.
Tsuki,
Taiyo dan Wiro saling pandang. Sambil senyum-senyum ketiganya akhirnya masuk ke
dalam rumah makan. Mereka sengaja memilih tempat di ruangan tengah yang luas.
Semua orang di dalam rumah makan itu jadi sibuk melayani. Tak lama kemudian
minuman dan makanan yang dipesan segera dihidangkan. Tsuki dan Taiyo
menungging-nungging menciumi makanan yang sedap baunya itu.
“Ayo!
Tunggu apa lagi! Ini makan besar namanya!” kata Taiyo. Tiga orang itu segera bersantap
sementara Susumu dan beberapa pelayan memperhatikan dari kejauhan. Mereka
senyum-senyum geli melihat cara makan manusia cebol itu. Kalau Wiro makan
wajar-wajar saja, maka Tsuki dan Taiyo membabat semua makan itu dengan rakus
seperti dua orang kelaparan satu minggu bertemu makanan lezat. Dalam waktu
sebentar saja semua makanan dan minuman yang ada di hadapan mereka habis
amblas!
“Hai!
Siapkan lagi makanan sama minumannya! Yang banyak! Jangan kuatir semua kami
bayar!” kata Taiyo. Walaupun terheran-heran, Susumu segera memerintah pelayan
menyiapkan makanan baru. Tak lama kemudian hidangan datang. Dua manusia bonsai
langsung menghantamnya.
Keduanya
seperti balapan.
“Ani
Wiro, kau tidak makan…?” tanya Tsuki melihat Wiro hanya menjulurkan kaki.
“Aku
sudah kenyang,” jawab Pendekar 212. “Ah, tubuhmu saja yang besar tapi perut
kecil! Lihat kami, tubuh boleh kecil tapi perut musti besar! Hik…hik…hik!
Meong!”
Murid
Sinto Gendeng hanya bisa gelengkan kepala. Ketika pesanan kedua itu habis, dia
menyangka dua manusia bonsai akan terduduk kekenyangan. Ternyata tidak. Taiyo
kembali berteriak minta disiapkan lagi hidangan baru, malah lebih banyak!
Pemilik rumah makan dan semua pelayan yang ada di situ, termasuk Wiro sendiri,
tentu saja jadi melengak heran. Dua manusia katai makan sebanyak itu. Masuk ke
mana semua makanan itu? Dua kali pesanan yang mereka santap tadi yang
seharusnya selusin tamu! Wiro sendiri mulai berpikir-pikir jangan-jangan dua
manusia bonsai sebangsa makhluk jejadian atau tuyul!
Selagi
Tsuki dan Taiyo asyik menyantap hidangan ketiga, tiba-tiba di luar sana lima
orang berseragam prajurit kota muncul. Yang sebelah depan begitu melihat Tsuki
dan Taiyo segera saja membentak. “Kalian berdua di sini rupanya! Sedang
enak-enakan makan!”
Tsuki
cuma melirik lalu terus makan tak acuh. Sebaliknya Taiyo teguk minumannya.
Sambil menyeka bibirnya dia bertanya. “Kami memang lagi makan. Memangnya
kenapa? Mau ikutan? Tapi bayar sendiri! Huk… huk… huk! Meong!”
“Manusia
cebol kurang ajar!” teriak prajurit di sebelah depan dengan muka merah padam.
Empat kawannya juga tampak marah. “Kami datang untuk menangkap kalian! Tahu?!”
“Mana
kami tahu!” jawab Tsuki konyol lalu tertawa tergelak-gelak.
Wiro
menengahi dengan bertanya. “Apa salah dua kawanku ini hingga kalian hendak menangkap
mereka?”
“Hem…
jadi kau kawan kedua monyet katai ini! Bagus! Berarti kau juga kami tangkap!
Ikat mereka dan bawa!”
Empat
orang prajurit segera maju. Masing-masing membawa segulung tali. Wiro segera
bangkit berdiri dan menghadang. “Tunggu dulu. Kau belum memberitahu apa salah
kami!”
Dengan
beringas prajurit yang ditanya menjawab. “Kau membuat keributan di pasar.
Mencederai beberapa orang dan merusak harta orang!”
“Keributan
di pasar memang betul. Tapi kami tidak mencederai siapapun. Teman-temanku ini hanya
menyuapkan sedikit makanan dan memupuri orang-orang yang berlaku kurang ajar
mempermainkan mereka. Juga tidak ada harta orang yang kami rusak!”
“Orang
asing! Kau duluan yang aku tangkap!”
“Aku akan
mencambukmu sampai seratus kali biar tahu diri!” Habis berkata begitu, prajurit
ini ayunkan tangan untuk menggebuk Wiro pada bagian kepalanya. Murid Sinto
Gendeng cepat merunduk lalu mundur. Si prajurit menjadi kalap karena
hantamannya tadi tak menemui sasaran.
Dia
kembali memburu dengan pukulan tangan kosong. Lagi-lagi gagal. “Keparat! Biar
kuhabisi saja kau sekarang juga!” teriak prajurit itu marah lalu hunus
samurainya. Kali ini Pendekar 212 tak bisa mengelak terus. Begitu pedang
membabat di atas kepalanya, murid Sinto Gendeng membuat gerakan berputar. Kaki
kirinya mencuat ke atas. “Bukkk!”
Kaki kiri
Wiro menghantam rahang kanan prajurit itu dengan telak. Tubuhnya terlempar
empat langkah lalu terbanting pingsan ke lantai rumah makan. Mukanya tepat
jatuh di atas sebuah piring besar berisi sisa-sisa bumbu cabe.
“Jangan
membuat keributan di sini! Jangan membuat keributan di sini!” Yang berteriak
adalah
Susumu si
pemilik rumah makan. Tapi agaknya tak ada yang peduli pada teriakannya.
Sementara itu empat prajurit sudah membuka gulungan tali dan siap mengikat Tsuki
dan Taiyo.
“Ani
Wiro!” berseru Tsuki. “Kami berdua belum selesai makan. Tak ada waktu untuk
melayani empat cecunguk yang mengganggu ini! Tolong kau layani dulu mereka!”
Empat
prajurit cepat bergerak hendak mengikat Tsuki dan Taiyo, namun gerakan mereka tertahan.
Satu
bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat utas tali itu telah melingkar mengikat
tubuh mereka masing-masing mulai dari tangan sampai ke kaki! Karena keempatnya
meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan dan tak berhasil, empat prajurit ini
akhirnya jatuh bergedebukan di lantai rumah makan. Tentu saja mereka berteriak
marah dan memaki habis-habisan.
“Taiyo,
aku tidak suka mendengar suara nyanyian mereka!” berkata Tsuki sambil melahap
sepotong daging.
“Sama!”
jawab Taiyo. Lalu tangan kiri Taiyo dan tangan kanan Tsuki bergerak dua kali.
Terdengar suara “Hekkk…!” Empat kali berturut-turut, Teriakan dan caci maki
empat prajurit langsung berhenti. Di dalam mulut mereka menyumpal potongan
daging campur tulang!
“Ah! Aku
sudah kenyang!” kata Taiyo sambil meletakkan guci sake di lantai.
“Aku
juga!” kata Tsuki. Taiyo berpaling pada Wiro. “Kita pergi sekarang”
“Ada
baiknya sebelum muncul lagi urusan baru!” sahut Wiro. Taiyo lalu melangkah
mendekati Susumu. Pada pemilik rumah makan ini dia menyerahkan uang pembayar
semua makanan. Menurut Wiro, uang yang dibayarkan itu cukup, malah berlebihan
karena salah satu dari mata uang itu terbuat dari emas.
Tapi
Susumu tiba-tiba berteriak marah. “Gara-gara kalian rumah makanku jadi rusak.
Lalu enak saja kalian membayar semurah ini! Semua hidangan dan minuman yang
kalian santap mahal harganya! Serahkan dua buah kantong itu padaku baru lunas!”
Wiro
melangkah mendekati pemilik rumah makan itu lalu berkata. “Uang dalam dua
kantong itu cukup untuk membeli lima rumah makan seperti milikmu ini! Termasuk
lima manusia penipu seperti kau!”
“Pemuda
asing berambut gondrong! Jangan ikut campur urusanku! Bukan kau yang membayar!”
sentak Susumu.
Pendekar
212 tersenyum lebar. “Silakan kau menyelesaikan urusan dengan mereka,” katanya
lalu sambil melangkah ke pintu dia berpaling pada Tsuki dan Taiyo. “Giliran
kalian sekarang!”
“Susumu,
uang yang kami berikan sudah lebih dari cukup. Lihat berkeliling. Tak ada
barangmu yang rusak. Jangan menipu. Jangan tamak!” kata Tsuki. Lalu dia
melangkah. Tapi karena Susumu berusaha menghalangi, gadis bonsai itu dorongkan
tangan kanannya ke perut pemilik rumah makan itu. Terjadi hal yang hampir tak
dapat dipercaya. Tangan begitu kecil dengan dahsyat mampu mendorong tubuh besar
Susumu hingga terjajar dan jatuh duduk di atas sebuah nampan berisi sisa-sisa
makanan.
“Manusia
cebol keparat! Berani kau menjatuhkan tangan kasar kepadaku!” teriak Susumu
marah.
Dia
bangkit berdiri, menyambar sebilah samurai yang tergantung di dinding lalu
membacokannya ke batok kepala Tsuki.
“Meong!”
Tsuki dan Taiyo keluarkan suara kucing mengeong. Bersamaan dengan itu keduanya
jatuhkan diri berguling di lantai. Rantai besi yang mengikat tangan mereka
memukul ke depan, menghantam sepasang kaki Susumu.
Pemilik
rumah makan ini berteriak setinggi langit ketika tulang kering kedua kakinya
dihajar besi itu. Tubuhnya terlipat ke depan lalu jatuh tersungkur babak belur.
Tsuki dan Taiyo tertawa tergelak.
Keduanya
melangkah seenaknya menuju pintu. Di situ Pendekar 212 sudah menunggu sambil
senyum-senyum menyaksikan apa yang telah dilakukan kedua manusia bonsai itu
terhadap si pemilik rumah makan.
Shogun
penguasa tunggal di Jepang pada masa itu berkedudukan di Kyoto. Di beberapa
kota besar dia memiliki istana, di antaranya yang terdapat di Nara. Sekitar
sembilan tahun silam, Yasuaki Kiuchi diberi kedudukan tinggi oleh shogun. Sejak
itu dia meninggalkan Otsu, pindah ke Nara.
Gapo,
kepala prajuritnya yang setia dan telah mengabdi sekian lama, ikut pindah dan
diangkat menjadi salah seorang pejabat tinggi di Nara.
Malam itu
Gapo datang ke tempat kediaman Yasuaki Kiuchi. “Tuan Kiuchi, turut
perhitunganku bulan ini tepat sekitar tujuh belas tahun silam saya membawa dua
orok Yamada dan Yukawa itu ke pegunungan Shikoku. Sesuai pesan kita pada Nenek
Neko, dua anak itu akan dilepas guna menjalankan tugas…”
“Perhitunganmu
tidak berbeda denganku Gapo,” kata Yasuaki Kiuchi sambil mengusap mata kirinya
yang picak.
“Setelah
kau mendapat kedudukan sangat tinggi bahkan berkuasa penuh di Nara ini, apakah
rencana tempo hari akan tetap dijalankan tuan Kiuchi?”
“Tentu
saja! Ada apa dalam otakmu Gapo? Sesudah kau sekarang jadi pejabat tinggi di
sini, kau melupakan rencana itu begitu saja? Sudah merasa puas rupanya?!”
“Maafkan
saya tuan Yasuaki. Bukan begitu maksud saya.”
“Aku
tidak suka mendengar kau mendua hati Gapo! Ingat itu baik-baik! Dulu di Otsu
aku jadi orang penting. Sekarang di Nara ini aku jadi orang besar dan berkuasa
penuh, kau tetap jadi tangan kananku! Tapi tujuan dan cita-cita hidupku bukan
cuma sampai di sini. Apa yang kudapat sekarang hanya sebagai batu loncatan ke
kedudukan yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi! Aku ingin menjadi penguasa
tunggal di Nihon ini! Beberapa pejabat tinggi di Kyoto sudah kurembuki. Mereka
hanya menunggu kapan aku menjalankan rencana. Dan kalau dua anak itu muncul
berarti apa yang aku inginkan sudah di depan mata!”
“Saya
tetap mengabdi padamu sampai kapan pun juga tuan Kiuchi!” kata Gapo pula.
Di luar
ada orang mengetuk pintu. Gapo cepat berdiri. Begitu pintu dibuka, kelihatan
seorang pemuda berkepala gundul, bermuka jerawatan. Dia bukan lain adalah
pemuda yang pagi tadi kena dikerjai oleh Tsuki dan Taiyo di Otsu. Si gundul ini
membungkuk tiga kali di depan Gapo. Gapo bicara sebentar dengan pemuda gundul
itu lalu memberitahu pada Yasuaki Kiuchi. “Si botak Takuchi, salah seorang
mata-mata kita di Otsu datang untuk melaporkan sesuatu yang penting.”
“Suruh
dia menghadapku!” kata Yasuaki Kiuchi.
Takuchi
segera diperintahkan masuk. Setelah menjura berulang kali, Takuchi lalu
bersimpuh di hadapan Yasuaki Kiuchi. “Saya membawa kabar penting,” kata si
gundul ini. Lalu dia menceritakan kemunculan dua manusia bonsai di Otsu. Satu
lelaki satunya perempuan. Juga diceritakannya apa yang terjadi di kandang babi
milik Kukuno.
*******************
7
Yasuaki
Kiuchi berpaling pada Gapo. “Mereka akhirnya muncul Gapo. Rencana kita bakal
menjadi kenyataan…” Lalu dia bertanya pada mata-mata berkepala gundul itu. “Ada
lagi yang hendak kau terangkan?”
Takuchi
mengangguk. “Dua manusia bonsai itu punya seorang kawan. Seorang pemuda asing
berambut gondrong. Agaknya dia bukan orang sembarangan. Ada dugaan keras dia
memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh…”
Yasuaki
Kiuchi bangkit dari duduknya. “Gapo, kau pernah tahu atau dengar tentang orang
asing itu?”
“Memang
saya pernah mendengar tuan Kiuchi. Beberapa waktu lalu dia membuat beberapa
kali kegegeran di Kyoto. Dia bersahabat dengan murid-murid seorang tokoh silat
di Gunung Fuji. Juga mempunyai hubungan baik dengan orang-orang perguruan
Emerarudo pimpinan Shigero Momochi.
Bersahabat
dengan nenek sakti bernama Teruko…”
“Tunggu!”
Memotong Yasuaki Kiuchi. “Apa bukan dia pemuda asing yang mendapat julukan
Pendekar Gunung Fuji itu?”
“Saya
yakin memang dia tuan Kiuchi,” jawab Gapo.
Yasuaki
Kiuchi menggigit bibirnya. “Selama dia tidak tahu rencana kita, kita akan aman.
Tetapi sekali dia tahu…”
“Tak
mungkin dia tahu. Si Nenek Neko mana berani berbuat macam-macam. Kecuali kalau
dia tidak mau lagi melihat kekasihnya yang kita sekap di pertambangan tempat
kerja paksa di utara kita keluarkan dari sana hidup-hidup…”
Yasuaki
Kiuchi tertawa. “Aku memang tidak punya rencana untuk mengeluarkan Shikero dari
sana.
Semua
yang kukatakan pada nenek itu bohong belaka. Sekadar untuk menjinakkan
dirinya….”
Yasuaki
Kiuchi hentikan ucapannya. Dia sadar telah terlalu banyak bicara di depan
Takuchi. “Kau bekerja bagus. Kau boleh pergi. Beberapa hari di muka seseorang
akan mengantarkan hadiah padamu.”
“Terima
kasih tuan Kiuchi. Saya mohon diri. Tapi sebenarnya ada satu hal lagi yang
ingin saya sampaikan. Mungkin tidak ada gunanya. Saya pergi saja sekarang…”
“Tunggu
dulu! Apa yang hendak kau katakan Takuchi?” tanya Yasuaki Kiuchi. “Sewaktu
menghajar pedagang babi di Otsu itu, saya dengar dua manusia bonsai menanyakan
tuan Gapo. Mereka ingin tahu di mana tuan Gapo bisa ditemui…”
Paras
Yasuaki Kiuchi dan Gapo kontan berubah. “Tukang babi itu memberitahu…?”
Takuchi
mengangguk. “Nyawanya terancam. Kukuno akhirnya memberitahu kalau tuan Gapo
sekarang berada di Nara, jadi pejabat penting Shogun…”
“Kurang
ajar si Kukuno itu! Akan kujagal batang lehernya!” kata Gapo marah sambil
mengepalkan kedua tinjunya. Dia memberi isyarat pada Takuchi agar segera
meninggalkan tempat itu.
Begitu
Takuchi berlalu, Yasuaki Kiuchi berkata. “Dari siapa manusia-manusia bonsai itu
tahu namamu?”
“Hanya
satu orang yang saya curigai tuan Kiuchi. Si nenek muka kucing Neko!”
“Berarti
dua manusia bonsai itu juga sudah tahu rencana kita. Kalau tidak, mengapa
mereka mencarimu? Padahal tugas yang aku perintahkan pada si nenek muka kucing
itu lain…”
Gapo
terdiam. Akhirnya terdengar dia berkata dengan suara bergetar. “Saya khawatir
jangan-jangan mereka memang sudah tahu. Kalau begitu izinkan saya pulang dulu.
Saya harus mempersiapkan sesuatu untuk mencegah hal-hal yang tidak diingini.”
Yasuaki
Kiuchi mengangguk. “Sebelum kau pergi, atur penjagaan di tempat ini. Lipat
gandakan kekuatan para pengawal.”
“Akan
saya lakukan tuan Kiuchi,” jawab Gapo lalu membungkuk dalam-dalam.
Hutan
kecil di tepi jalan yang menghubungkan Nara di Selatan dan Otsu di Utara berada
dalam keadaan gelap gulita. Namun di suatu tempat tersembunyi terlihat ada
nyala api. Ternyata itu adalah api unggun kecil. Di sekeliling api duduk tiga
sosok tubuh. Mereka bukan lain dua sosok bonsai Tsuki dan Taiyo bersama
pendekar 212 Wiro Sableng.
Di tangan
kiri Taiyo saat itu ada secarik kertas yang sudah sangat lusuh. Di atas tertera
panjang tulisan kanji. “Ani, kau bisa membaca tulisan kanji?” tanya Waiyo pada
Wiro. Pendekar 212 geleng kepala.
“Kertas
ini seumur umur kami…” kata Tsuki. “Di sini tertulis pesan-pesan yang harus
dilakukan oleh guru kami Nenek Neko. Siapa pemberi tugas tidak tertera. Tapi
menurut guru adalah Yasuaki Kiuchi, saudara Shogun di Kyoto…”
Wiro
mulai tertarik penuturan sahabat cebolnya itu. Dia menggeser duduk dekat Taiyo.
“Surat ini dibawa oleh orang bernama Gapo…”
“Apa saja
tugas guru kalian dalam kertas itu?” tanya Wiro kepada Taiyo.
“Pertama,
sensei harus mengikat tangan kami dengan rantai karatan ini. Lalu guru kami
harus merawat hingga tujuh belas tahun. Lalu guru wajib mendidik kami dalam
kepandaian silat dan ilmu kesaktian. Pada hari kami dibebaskan, kami harus
pergi ke Kyoto untuk membunuh Shogun.
Shogun
hanya bisa dibunuh dengan rantai hitam yang mengikat tanganku dan tangan Tsuki.
Setelah itu kami harus pergi ke danau di tepi desa Biwa. Desa itu bernama
Hikone. Di sana kami harus membunuh satu keluarga bernama Yukawa.”
“Selesai?
Hanya itu…?” tanya Wiro ketika Taiyo berhenti membaca tulisan di atas kertas
lusuh itu.
Taiyo
mengangguk. “Itu tugas yang harus dikerjakan guru dan diturunkan kepada kami.
Tapi guru meminta kami melupakan segala kentut busuk yang tertera dalam kertas
ini. Sebagai gantinya, ia meminta kami mencari orang yang bernama Gapo. Sebab
dia satu-satunya pembuka jalan siapa sebenarnya kami ini. Waktu itu
kedudukannya adalah sebagai kepala prajurit Shogun, yang bertugas di bawah
pemerintah Yasuaki Kiuchi. Guru juga menugaskan kami mencari seorang bernama
Shikero, yang kabarnya disekap Yasuaki di suatu tempat dan baru dilepas tujuh
belas tahun kemudian, saat kami meninggalkan pegunungan Shikuko…”
“Tugas
dari Yasuaki Kiuchi berlainan dengan tugas dari guru kalian. Kalau Gapo
orangnya Yasuaki Kiuchi berarti dia juga tahu asal usul kalian. Tapi aku tidak
mengerti mengapa kalian harus membunuh sekeluarga Yukawa di Hikone…” ujar Wiro.
Dia menatap langit hitam di atasnya. Tidak juga berhasil memecah teka-teki.
“Jika saja kakek Segala Tahu ada di tempat ini, pasti dia bisa menolong kita,”
kata Wiro.
“Siapa
pula orang itu,” tanya Tsuki. “Seorang tua berumur lebih dari delapan puluh
tahun. Matanya buta tapi lebih tajam penglihatannya dari kita ini. Dia pandai
meramal dan melihat yang bakal terjadi. Sayang dia tidak di sini…” kata Wiro.
Tiba-tiba
terdengar suara gemeletak roda kereta ditimpali deru kaki kuda. Kedua cebol itu
cepat menginjak-injak perapian. Begitu api padam, tempat menjadi gelap.
Ketiganya meninggalkan hutan berlari menuju jalan kecil. “Aku harap yang lewat
ini dia,” bisik Taiyo. “Ingat Tsuki, orang ini harus kita dapat hidup-hidup.
Jika sampai mati, kita akan kehilangan jejak diri kita. Atau kita akan
berhadapan dengan Yasuaki Kiuchi.”
Suara
kereta kuda semakin cepat. Dua manusia bonsai berpaling kepada Wiro. “Ani Wiro.
Kau sudah siap?” tanya Tsuki. Pendekar 212 menganggukkan kepala sambil acungkan
seutas tali. Ujung tali itu dikaitkan dengan ujung pohon yang sudah dipotong
lalu ditegakkan dan ditancapkan di ujung sungai.
Batang
pohon besar jatuh. Kuda paling depan meringkik. Kedua binatang itu langsung
tersungkur begitu lelaki penunggangnya jatuh. Tidak ampun lagi keretanya
terbalik. Tiga dari empat pengawal yang berada di belakang tak sempat lagi
menghindar dan menabrak bagian belakang kereta.
“Tuan
Gapo keluar dari kereta! Ada komplotan rampok menyerang kita,” salah seorang
pengawal berteriak sambil melompat dari kuda dan membuka pintu kereta. Seorang
bertubuh besar dan gempal keluar dari kereta dengan susah payah. Begitu
menginjakkan tanah mulutnya langsung mengumpatkan kata kutukan serapah.
“Bangsat
rendah dari mana yang berani merampok kita?!” Tangan kanan Gapo bergerak dan
“Wutt” golok besarnya berkelebat. Saat itu dua sosok berkelebat ke udara. Lalu
menukik ke arah Gapo. Seseorang berteriak memberi peringatan. Pengawal yang
tadi terpental kini melindungi majikannya sambil menyibatkan pedangnya ke atas.
“Meong!Meong!”
“Trang!
Trang!” Dua pedang di tangan pengawal itu patah dan mental. Lalu terdengar
jeritan kedua.
Ternyata
Tsuki dan Taiyo telah mempergunakan jari tangannya yang panjang untuk meremas
kedua muka pengawal itu.
Gapo
berteriak marah. Bersama dua pengawal, dia hendak menyerang Tsuki dan Taiyo.
Tapi justru saat itu keluar suara suitan keras. Tiba-tiba ada puluhan obor
mendekat. Lalu jaring raksasa tidak kelihatan seolah jatuh dari langit.
“Tsuki!
Taiyo! Awas!” teriak pendekar 212. Tangan kanannya dilibaskan untuk melepas
pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera. Tapi terlambat. Ketika pukulan
sampai, jaring sudah menjerat manusia bonsai. Akibatnya, dalam keadaan
terjerat, ia juga harus menerima pukulan sakti Wiro.
“Celaka
aku menyerang mereka,” seru Wiro dalam hati.
Dua
manusia bonsai terguling dalam jeratan jaring tapi keduanya dapat bangkit
seperti tidak terjadi apa-apa. “Bret! Bret!” mereka pergunakan kuku untuk
melepas jaring yang melilit tubuhnya.
Pukulan
pendekar 212 tidak berbekas, murid Sinto Gendeng itu heran.
Saat itu
sambil tertawa bergelak, Gapo melompat ke depan jaring. Tangannya melempar bola
kecil.
“Dess!”
Terdengar letupan halus disusul dengan menggebubunya asap hijau. Tsuki dan
Taiyo hilang dibungkus asap. Yang terdengar hanya suara mereka batuk-batuk.
“Kurang
ajar,” teriak Wiro. Dia berkelebat ke arah Gapo tapi parasnya jadi berubah. Di
sekelilingnya saat itu ada sekitar selusin manusia berseragam perwira balatentara
shogun mengurungnya. Enam dari mereka membidikkan panah beracun. Enam lagi
menodong dengan ujung samurai berkilat. Tak ada kemungkinan untuk meloloskan
diri atau melawan.
“Sial
dangkalan!” maki Wiro. Dia angkat tangan kanannya hendak menggaruk kepala, tapi
dua buah ujung samurai segera menekan bahunya. Murid Sinto Gendeng meringis
kesakitan. Dua liang luka mengucurkan darah membasahi baju putihnya. Lalu
sebuah rantai besi dililitkan ke tubuhnya.
Membuat
pendekar 212 benar-benar tidak bisa berkutik lagi!
Ketika
Tsuki dan Taiyo sadar dari pengaruh asap hijau bola beracun yang dilemparkan
Gapo, mereka dapatkan diri tergeletak di sebuah ruangan yang lantai serta
dinding dan atapnya terbuat dari batu. Bersama mereka ada enam orang perwira
berseragam pasukan Shogun. Di situ juga ada Gapo, manusia yang kini mereka
anggap sebagai musuh besar pemegang kunci rahasia kehidupan mereka.
“Ssstt…”
berbisik Tsuki. “Kalau mereka mengurung kita di sini apa mereka sangka kita
tidak bisa berjibaku membunuh mereka semua…?”
“Aku juga
sudah berpikir begitu,” sahut Taiyo. “Tapi lihat di depan sana. Sahabat kita
terancam keselamatannya!”
Dua
manusia bonsai itu bangkit berdiri. Tsuki usap-usap matanya yang masih terasa
perih. Paras gadis bonsai ini jadi berubah dan sekujur tubuhnya terasa tegang.
Di hadapan mereka ada sebaris jeruji besi sebesar betis manusia. Di belakang
jeruji besi itu ada sebuah ruangan di mana Pendekar 212 Wiro Sableng berada
dalam keadaan terikat kedua tangannya dan dikerek hingga sepasang kakinya
terjingkat ke atas.
Di atas
kepalanya ada dua buah busur lengkap dengan anak panah beracun siap lepas.
Tali-tali busur dua buah panah itu tertahan oleh sebuah cantelan besi. Jika
Wiro bergerak sedikit saja atau merubah kedudukan kakinya maka cantelan yang
menahan tali busur akan lepas. Anak panah pertama akan melesat menghantam batok
kepalanya sendiri. Anak panah kedua yang akan lepas dalam waktu bersamaan, akan
melesat menghantam dada seorang perempuan tepat pada jantungnya yang terikat
pada sebuah tiang besi sejarak enam langkah dari hadapan Wiro.
Wiro
tidak dapat melihat paras perempuan itu karena rambutnya yang panjang hitam
terjurai ke depan menutupi wajahnya. Perempuan ini mengenakan pakaian warna
biru. Bagian atas bajunya robek besar hingga dadanya tersingkap lebar.
“Manusia
bernama Gapo!” tiba-tiba Tsuki berteriak. “Aku bersumpah membunuhmu dan semua
orang yang ada di sini jika sahabatku itu menemui ajal karena perbuatanmu ini!”
Gapo
tertawa bergelak. “Kau mengawatirkan keselamatan kawanmu. Bagaimana dengan calon
korban yang perempuan?!”
“Kami
tidak mengenal siapa dia! Tapi jika kau melibatkan orang lain untuk tujuan
busukmu, aku akan mencincang mayatmu sampai lumat!” Yang menjawab adalah Taiyo.
Gapo
terus mengumbar tawa. “Perempuan itu seorang yang sangat berarti bagi sahabatmu
si pemuda asing. Jika kalian ingin mereka selamat, hanya ada satu jalan. Kalian
harus melakukan sesuatu seperti yang sudah dipesankan dan ditugaskan pada guru
kalian si nenek muka kucing!
Kalian
punya waktu terbatas. Sampai berapa lama pemuda asing itu sanggup bertahan
berjingkat terus. Sekali dia menjejakkan tumitnya rata dengan lantai, cantelan
besi akan lepas dan dua anak panah akan merenggut nyawa mereka!”
Tsuki dan
Taiyo berteriak-teriak mencaci maki Gapo habis-habisan. Gapo yang kini menjadi
pejabat penting di Nara itu kelihatannya seperti tidak acuh. Tapi tiba-tiba
kedua tangannya bergerak menghantam. Tsuki dan Taiyo terpekik. Tubuh keduanya
terbanting ke dinding batu akibat jotosan kiri kanan Gapo yang mendarat telak
di wajah mereka. Tapi seperti tidak merasakan sakit Tsuki dan Taiyo melompat
lalu menyerang ke arah Gapo sambil keluarkan suara mengeong keras!
Lima
orang perwira Shogun berkelabat menghadang dengan samurai di tangan. Salah
seorang dari mereka mengancam. “Berani kalian bergerak sedikit saja, sebuah
alat rahasia akan membetot lepas cantelan penahan tali busur! Dua orang di
ruangan sana akan menemui ajal dalam sekejapan mata!
Ayo
silahkan berbuat konyol!”
“Bangsat!”
maki Tsuki.
“Keparat
busuk!” teriak Taiyo. Dua manusia bonsai itu tak bisa berbuat apa-apa selain
memandang ke arah Wiro dengan penuh tegang.
“Ani
Wiro!” seru Tsuki. “Maafkan kami tak dapat menolongmu! Tapi kami bersumpah
untuk membunuh habis semua manusia setan di ruangan ini!”
Pendekar
212 Wiro Sableng hanya bisa berdiam diri dan tarik nafas dalam. Kalau saja ada
yang bisa menotok kedua kakinya, sampai kiamat pun dia sanggup berjingkat.
“Paling lama aku bisa bertahan satu setengah hari” membatin Wiro. “Sialan! Selangkangan
dan punggungku terasa gatal. Bagaimana aku bisa menggaruk! Kalau sampai tubuh
dan kakiku bergerak, tamat riwayatku…”
Wiro
memandang ke depan ke arah perempuan yang juga terancam keselamatannya. “Aku
merasa seperti mengenali walau tidak melihatnya. Jangan-jangan… Ya Tuhan!
Kuharap jangan dia yang ada di tiang itu!”
Dengan
sebuah alat, Gapo menaikkan dua buah jeruji besi lalu masuk ke ruangan di mana
Wiro berada. “Pemuda asing bergelar Pendekar Gunung Fuji! Nama besarmu tak lama
lagi akan terkubur di bumi Nihon! Sayang jauh-jauh datang kau cuma mengantar
nyawa. Itu akibat ulahmu yang terlalu suka ikut campur urusan orang lain!”
“Kau
manusia paling sialan di dunia ini Gapo! Jenis kadal penjilat yang mau
melakukan apa saja demi jabatan!”
Gapo
ganda tertawa. Dia melangkah ke hadapan tiang di mana perempuan berpakaian biru
tegak terikat. “Srett!” Dia cabut golok besar yang tersisip di pinggangnya.
“Aku mau tahu apa kau masih bisa bicara besar dan keras setelah melihat siapa
adanya perempuan ini!” kata Gapo pula. Lalu dengan ujung pedangnya
disentakkannya rambut panjang menjurai yang menutupi wajah perempuan itu.
Begitu parasnya tersingkap terkejutlah murid Sinto Gendeng.
“Akiko
Bessho!” teriak Wiro. “Ya Tuhan, memang dia rupanya!”
“Wiro…”
ujar gadis berpakaian biru tersendat. Mukanya pucat walau dia berusaha berlaku
setenang mungkin. Gapo tertawa bergelak. “Bagus! Jadi kalian sudah saling kenal
satu sama lain! Ha… ha… ha!”
“Kenapa
kau libatkan gadis yang tidak punya salah apa-apa itu?!” tanya Wiro. Dia berusaha
menekan hawa amarah yang menggelegak dalam tubuhnya. Gapo menyeringai. Goloknya
disarungkan kembali. (Mengenai gadis bernama Akiko Bessho ini dapat diikuti
kisahnya dalam dua serial Wiro Sableng berjudul “Pendekar Gunung Fuji” dan
Ninja Merah”).
Saat itu
pintu ruangan terbuka. Seorang lelaki berpakaian sangat mewah masuk sambil
berkipaskipas.
Di
belakangnya ada beberapa orang pengawal berseragam kimono merah. Orang ini
hanya memiliki satu mata. Mata kirinya yang agaknya cacat, disembunyikan di
balik sehelai kulit tipis warna hitam.
Gapo dan
semua perwira shogun yang ada di ruangan itu segera membungkuk dalam-dalam.
Wiro maupun dua manusia bonsai sama bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan
orang yang baru datang ini. Mereka tidak menunggu lama. Jawaban segera didapat
dari ucapan Gapo.
“Tuan
Yasuaki Kiuchi, saya telah mengatur semua sesuai dengan petunjuk yang mulia…”
“Yasuaki
Kiuchi…” desis Tsuki sambil menyentakkan tangan kirinya sedikit memberi tanda
pada Taiyo. “Jadi ini manusianya yang jadi pangkal bahala kesengsaraan kita!”
Yasuaki
Kiuchi angguk-anggukkan kepala. Sikapnya pongah. Dia menyeruak di antara jeruji
besi yang tadinya dinaikkan ke atas oleh Gapo lalu masuk ke ruangan di mana
Wiro dan Akiko Bessho berada. “Jadi ini manusia yang bergelar Pendekar Gunung
Fuji itu! Kepalamu berharga ratusan tail emas jika dapat kuserahkan pada
kelompok tokoh-tokoh silat golongan hitam di Jepang ini.
Keuntunganku
berlipat ganda! Kau bisa kumanfaatkan lebih dulu, lalu mendapatkan imbalan
besar itu. Ha… ha… ha!”
“Pejabat
busuk! Di mataku kau tak lebih dari seorang pelacur laki-laki! Manusia kadal
comberan!”
Tubuh
Yasuaki Kiuchi tersentak. Mata kanannya mendelik besar mendengar kata-kata Wiro
itu. Dia mengulurkan tangannya meminta golok pada Gapo. Begitu golok dipegang,
ujungnya ditempelkan ke pipi Pendekar 212.
“Aku
kagum akan keberanianmu, Aku mau lihat apakah kau cukup kuat untuk tidak
menjerit!” Lalu dengan ujung golok itu Yasuaki Kiuchi menggores pipi kanan
Wiro. Pendekar 212 mengernyit kesakitan. Darah mengucur ke pipi dan berhenti di
sudut bibirnya.
Yasuaki
hendak menggores sekali lagi. Tapi Gapo buru-buru mendekati dan berbisik.
“Jangan terlalu keras, kalau tubuhnya bergerak karena kesakitan, dia dan gadis
itu akan menemui ajal. Berarti kita akan kehilangan sandera sebelum rencana
berhasil…”
Perlahan-lahan
Yasuaki Kiuchi turunkan tangannya yang memegang golok. “Kau betul…” katanya.
“Kita tak
perlu cepat-cepat membunuhnya….” Golok diserahkannya pada Gapo kembali lalu dia
berpaling ke arah Akiko Bessho yang terikat di tiang. “Hemmm, Dalam keadaan
seperti ini pun dia tetap cantik. Aku benar-benar dibuat gila…” Yasuaki Kiuchi
lalu melangkah ke hadapan gadis itu dan berkata. “Nona Bessho, permintaanku
tempo hari masih berlaku. Aku bersedia memberi pengampunan bagimu jika kau mau
kujadikan salah satu gundikku…”
“Manusia
iblis budak nafsu!” semprot Akiko Bessho. “Di Nara ini ada seribu pelacur! Kau
boleh mengambil semuanya menjadi gundikmu!” Yasuaki Kiuchi tertawa lebar.
Tangan kirinya tiba-tiba meluncur ke dada gadis itu, meremas liar kian kemari.
“Jahanam rendah!” maki Akiko lalu diludahinya muka lelaki itu. Yasuaki Kiuchi
mundur dua langkah. Matanya yang cuma satu memandang membelalak pada si gadis.
Semua orang mengira penguasa kota Nara itu akan menjadi marah dan menghajar si
gadis habis-habisan. Ternyata tidak. Ia usap ludah yang menempel di mukanya
dengan tangan kiri, lalu dijilatnya tangannya.
“Hah,
ludahmu pun terasa nikmat…” katanya. Tiba-tiba dia melompat, merangkul tubuh
Akiko Bessho, mengecup muka, bibir dan leher gadis itu penuh nafsu. “Manusia
jahanam! Keparat busuk…!”
Setelah
puas menciumi gadis itu, Yasuaki Kiuchi kembali ke ruangan di balik jeruji
besi. Dengan alat rahasianya, Gapo menurunkan dua buah jeruji besi kembali.
Yasuaki Kiuchi keluarkan kipasnya. Setelah berkipas-kipas sebentar, dia berkata
pada Tsuki dan Taiyo.
“Dua
manusia cebol! Dengar baik-baik setiap ucapanku! Melalui gurumu si nenek muka
kucing aku memberi tugas agar kalian berdua membunuh shogun di Kyoto dengan
Besi hitam yang mengikat lengan kalian satu sama lain, itu satu-satunya senjata
yang sanggup membunuh shogun. Kalian tidak punya waktu banyak. Kawan kalian
pemuda asing itu kurasa hanya sanggup bertahan satu setengah hari. Mungkin dua
hari. Jika dalam dua hari kalian tidak kembali ke sini membawa kepala shogun,
berarti pemuda itu dan juga gadis itu akan menemui ajalnya. Kalian berdua
bertanggung jawab atas nyawa mereka. Mereka akan aku lepaskan jika kepala
shogun kalian serahkan padaku!”
“Enak
saja kau ngomong!” teriak Tsuki. “Kenapa kau ingin membunuh shogun?”
“Betul,
padahal kau masih saudara sepupunya. Dia juga yang memberi kedudukan tinggi
padamu di Nara ini!” menimpali Taiyo.
“Mengapa
heran kawan-kawan!” tiba-tiba Wiro berseru. “Manusia jelek itu ingin jadi
shogun, tega membunuh saudaranya sendiri! Manusia tidak tahu diri! Mana ada
shogun matanya picak! Ha… ha… ha…!”
“Huk…
huk… huk…! Meong!” Taiyo tertawa bergelak.
“Hik…
hik… hik..! Meong!” ikut tertawa Tsuki.
*******************
8
“Setan
alas!” rutuk Yasuaki Kiuchi. “Gapo, lepaskan dua manusia katai sialan itu!
Kalian berdua harus kembali ke sini membawa kepala shogun. Paling tidak lusa
pagi. Dan ingat, aku benar-benar melepaskan dua sahabatmu itu kalau kau juga
sudah membunuh suami istri Yukawa di desa Hikone!”
“Mengapa?
Mengapa kami harus membunuh mereka? Kenalpun tidak!” ujar Tsuki.
“Nanti
kalian tahu sendiri apa jawabnya!” ujar Yasuaki Kiuchi lalu tinggalkan tempat
itu diikuti para pengawalnya.
Ketika
Gapo melangkah untuk mengantar, Pendekar 212 berkata. “Gapo, kau telah merampas
senjata mustikaku. Kalau kau tidak mengembalikannya atau mengembalikannya dalam
keadaan rusak, kau tahu sendiri akibatnya!”
Gapo
menyahut dengan dengusan keras dari hidungnya. Sewaktu sampai di pintu luar,
Yasuaki Kiuchi berbalik dan bertanya pada Gapo. “Senjata mustika apa yang
disebut-sebut pemuda asing itu tadi?”
Dalam
hatinya Gapo merutuk. “Kalau pemuda sialan tadi tidak berkata apa-apa, pasti
Yasuaki Kiuchi tidak mengetahui perihal senjata mustika itu! Sialan! Mungkin
belum jodohku mendapatkannya!”
Dari
balik pakaiannya Gapo keluarkan sebuah benda. Mata semua orang yang ada di situ
menjadi kesilauan oleh sinar yang keluar dari benda yang dipegang orang
kepercayaan Yasuaki Kiuchi itu.
“Kapak
bermata dua!” seru Yasuaki dengan mata mendelik hampir tak percaya. “Ini
senjata mustika luar biasa! Senjata ini dulu yang pernah dicuri oleh satu
kelompok ninja hingga menimbulkan kegegeran di seantero negeri! Gila! Kini
senjata itu ada di hadapanku! Senjata ini jauh lebih hebat dari rantai hitam
yang mampu membunuh shogun itu!”
Lalu
Yasuaki Kiuchi bertanya pada Gapo. “Kalau sekiranya pemuda itu tadi tidak
menyebut-nyebut benda ini di hadapanku, apakah kau akan menyerahkannya dengan
sukarela?”
Paras
Gapo berubah merah. Tapi dia bisa berkilah. “Saya sengaja tidak memberitahu
Yang Mulia waktu di ruangan itu. Karena kalau terjadi apa-apa, pemiliknya hanya
tahu saya dan tidak akan mengganggu Yang Mulia.”
Yasuaki
Kiuchi tersenyum. “Kau memang cerdik Gapo! Aku menghargai kecerdikanmu itu!”
“Terima
kasih Yang Mulia,” ujar Gapo seraya membungkuk dalam-dalam.
“Hebat!
Rezeki besar tak terduga!” seru Yasuaki Kiuchi gembira sekali. Cepat-cepat
senjata yang bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng itu
diambilnya.
Tsuki dan
Taiyo memperhitungkan, dengan lari cepat mereka menghabiskan sehari semalam
untuk bisa sampai ke Kyoto. Tapi keduanya ragu, apakah mungkin waktu yang
tersisa bisa untuk membunuh Shogun.
“Tsuki,
aku merasa was-was. Memasuki kediaman Shogun saja bukan pekerjaan mudah.
Bagaimana
kita bisa membunuh walau kita punya senjata yang katanya bisa membunuhnya.
Apalagi badan kita cebol, pasti menarik perhatian orang. Agaknya kita tidak
bisa menolong sahabat kita dan gadis itu, kasihan…!”
“Diamlah
Taiyo! jangan nyerocos terus. Aku berlari sambil berpikir. Harus ada satu cara
untuk menyelesaikan kasus ini. Shogun katanya berkuasa dengan cara
sewenang-wenang. Tapi siapa pun orangnya, kita tidak punya hak untuk
membunuhnya. Para pendekar samurai di Kyoto paling tidak ada seratus orang!
Kita jangan terpengaruh oleh keadaan yang diciptakan oleh manusia jahat Yasuaki
dan cecunguknya si Gapo itu.”
“Lalu apa
yang harus kita lakukan,”tanya Taiyo.
“Tunggulah,
aku pasti dapat akal, Taiyo! Aku dapat!” teriak Tsuki.
“Katakan
padaku!”
“Ingat
pelajaran dari sensei? Jika kita lemah dan lawan jauh lebih kuat, jangan hadapi
dengan kekerasan. Pergunakan akal, rangkul mereka dan jadikan teman sampai ada
kesempatan untuk memukul!”
“Itu ilmu
filsafat Tsuki, dalam kenyataan pasti lain lagi,” ujar Taiyo.
Gadis
cebol itu menggeleng. “Kita lihat saja nanti. Kau masih menyimpan kertas butut
yang diberikan Gapo itu?”
Taiyo
mengangguk. “Kalau begitu percepat larimu Taiyo!” kata Tsuki.
Shogun
penguasa negeri benar-benar meledak amarahnya ketika seorang perwira penghubung
memberitahu ada sepasang cebol ingin menemuinya. “Sepasang cebol ingin
menemuiku, mereka gila. Dan kau sebagai perwira lebih gila lagi!”
“Plaak!”
Satu tamparan keras membuat perwira itu terpelanting dan mulutnya mengeluarkan
darah segar.
“Saya
minta maaf Yang Mulia,” kata perwira itu sambil meraba pipinya yang berdarah,
mengembung bengkak. “Saya mana berani jika tidak menyangkut keselamatan dan
nyawa yang mulia. Sepasang cebol itu mengatakan ada yang hendak membunuh Yang
Mulia. Semula saya juga menganggap sepasang manusia bonsai itu juga tidak
waras. Saya melarang, empat hulubalang mengepruknya! Eh, keempat pengawal
tingkat tinggi itu roboh dalam sekali gebrak saja! Untung keempatnya tidak
dibunuh!”
Mendengar
penjelasan perwiranya, Shogun yang berparas tinggi, berkumis dan berjanggut
putih itu berubah total. Maka diapun berkata. “Perwira bawa masuk kedua bonsai
itu dan siapkan selusin pengawal untuk mengikutinya. Aku akan menerimanya di
ruang kaca,” ujar Shogun. Sehabis itu shogun segera masuk ke ruangan yang
dibelah dua oleh dinding kaca. Keanehan diding ini, meski ada pembatas, kedua
orang yang terpisah masih bisa saling melihat dan mendengar, dan lagi, tidak
mempan senjata tajam.
Seusai
mengantar kedua bonsai, selusin pengawal itu langsung membungkuk dan
meninggalkan Shogun yang sudah berada di ruang kaca. Dalam ruang kaca, Shogun
menatap tajam ke arah Taiyo dan Tsuki yang tangan kanan dan kiri mereka terikat
oleh seuntai rantai karatan. “Rantai itu…” kata Shogun dalam hati dengan nada berdebar.
“Bagaimana
bisa berada dan mengikat mereka! Agaknya mereka tidak membual ada yang berusaha
membunuhku. Hanya rantai itu yang sanggup mencabut nyawaku!”
“Dua
manusia rantai, kalian berani-beraninya menemuiku sampai merobohkan empat
perwiraku. Kau memberi tahu pengawal penghubung ada yang hendak membunuhku?”
Taiyo
membungkuk “Benar yang Mulia Shogun”
“Bagaimana
aku mempercayai kalian? Kalian tidak saja cacat otak, tapi juga cacat jasmani,
kalian kurasa tidak waras!”
“Kami
tidak berani membantah keadaan kami,” ujar Taiyo. “Kami datang memberi tahu
pemimpin negeri kami bahwa nyawanya terancam. Dia hendak dibunuh orang!”
“Kalian
tahu siapa pembunuhku?”
Kedua
manusia cebol mengangguk. “Kami berdua Yang Mulia!” Mendengar jawaban itu, dua
belas pengawal Shogun langsung bergerak berusaha menyergap Taiyo dan Tsuki.
Tapi
gerakan mereka berhenti saat melihat Shogun memberi isyarat.
“Manusia
cebol, apa permusuhanmu denganku hingga kalian ingin membunuh?”
“Tidak
ada Yang Mulia. Kami melaksanakan perintah seseorang yang tertulis dalam pesan
guru kami tujuh belas tahun lalu.”
“Siapa
yang menyuruh kalian membunuhku?” tanya Shogun bergegas.
“Yang
Mulia pasti tahu. Dia ada hubungan darah dengan Yang Mulia. Namanya Yasuaki
Kiuchi, orang Yang Mulia beri jabatan tinggi di Nara!”
“Kurang
ajar! aku tidak percaya dengan keterangan kalian. Ingat, aku bisa memerintahkan
kepala kalian dicincang sekarang juga!”
Taiyo
mengeluarkan secarik kertas lusuh berisi pesan-pesan yang ditulis Yasuaki
Kiuchi dalam huruf kanji, dan dibawa oleh Gapo kemudian dibawa kepada guru
mereka si Nenek Muka Kucing Neko. Lalu Tsuki menceritakan asal-usul mereka
sesuai dengan yang mereka dengar dari guru mereka. Tidak lupa menceritakan yang
terjadi di Nara saat ini.
“Kalau
kami tidak membawa kepala Yang Mulia dan menunjukkan kepada Yasuaki dan Gapo,
paling lambat besok pagi, sahabat saya orang asing itu dan gadis Akikio Bessho
akan menemui ajal!”
Shogun
terdiam lama. “Sulit mempercayai kedua manusia kate ini. Tapi rantai besi ini
bukti keras bahwa mereka tidak berdusta. Selama tujuh belas tahun mereka tidak
bisa melepaskan diri dari ikatan rantai.”
Karena
lama Shogun berdiam diri tidak bicara, maka seorang pengawal kemudian angkat
bicara.
“Yang
Mulia, apakah kami diizinkan meringkus dan menjagal kedua manusia cebol ini
sekarang juga?”
Jawaban
yang keluar dari mulut Shogun mengherankan semua orang yang hadir. “Salah
seorang dari kalian lekas cari orang yang ahli membuat topeng kulit!”
Akiko
Bessho semakin tegang dan cemas luar biasa ketika melihat tubuh Wiro mulai
bergetar.
“Wiro!
Kuatkan dirimu! Bertahanlah! Kau dan aku tak mau mati konyol di tempat celaka
ini!” teriak si gadis.
Murid
Sinto Gendeng memandang seperti sudah putus harapan. Suaranya terdengar
perlahan.
“Rasanya
aku tak sanggup lagi Akiko. Mungkin sudah takdir kita berdua menemui ajal di
tempat ini…” Tubuh sang pendekar kembali bergetar. Kedua kakinya sudah tidak
terasa kaki lagi. Hilang rasa dan beberapa kali tumitnya hampir bergerak jatuh
ke bawah. Sekujur badannya basah oleh keringat.
“Tidak!
Jangan putus asa! Bertahanlah Wiro! Kau pasti bisa! Teman-temanmu itu pasti
datang!”
“Mereka
tidak ingin membunuh shogun! Kau tahu barisan pengawal shogun berlapis-lapis.
Di istananya banyak peralatan rahasia. Tsuki dan Taiyo saat ini pasti sudah
menemui ajal…”
“Aku
tidak mau berpikir seperti itu! Tidak!” teriak Akiko kembali.
Lalu Wiro
melihat ada air mata menetes jatuh membasahi pipi gadis itu.
“Kau
menangis Akiko…”
“Aku
menangis bukan karena takut menghadapi kematian.” jawab Akiko Bessho. “Aku…
mungkin bisa puas menghadapi ajal mati bersamamu. Walau aku akan merasa lebih
bahagia kalau bisa hidup lebih lama di dekatmu… Mungkin ini cuma sebuah mimpi
yang tidak akan terlaksana sampai saat kematian datang. Lagipula aku tak pantas
berkata begitu, karena aku ingat Yori. Gadis itu mencintaimu…” (Mengenai siapa
adanya gadis bernama Yori, harap baca serial Wiro Sableng berjudul Ninja
Merah).
Wiro
hanya bisa menelan ludah mendengar semua ucapan Akiko Bessho itu. Tiba-tiba pintu
di belakang jeruji besi terbuka. Sosok berpakaian mewah sambil berkipas-kipas
masuk. Dia bukan lain adalah Yasuaki Kiuchi penguasa tertinggi di Nara. Dengan
matanya yang cuma satu, dia memandang ke arah Wiro lalu pada Akiko Bessho.
Sesaat kemudian Gapo muncul di sampingnya.
Lalu
menyusul beberapa orang perwira shogun.
“Pemuda
asing!” Yasuaki tiba-tiba berkata. “Apa kau masih sanggup bertahan?!” Wiro
memutar kepalanya sedikit. Memandang ke arah Yasuaki lalu meludah.
“Keparat!
Berani kau menghina Yang Mulia!” teriak Gapo.
Yasuaki
Kiuchi sendiri cuma menyeringai buruk. Dipegangnya bahu Gapo lalu berbisik.
“Aku tetap mau meniduri gadis itu dulu sebelum dia menemui ajal…”
“Tapi
tuan Kiuchi…”
“Aku
sudah menyuruh orang untuk memanggil dua pelayan perempuan. Gadis itu harus
dimandikan dulu, diberi wewangian dan pakaian bagus, didandani…”
Di luar
tiba-tiba ada suara orang berlari. Lalu muncul seorang prajurit. “Yang Mulia,
dua orang cebol itu datang. Mereka membawa sebuah kantong kain berlumuran
darah!”
Yasuaki
Kiuchi dan semua orang yang ada di situ menjadi kaget. Dari luar berkelebat
masuk dua sosok tubuh katai. Ternyata memang Tsuki dan Taiyo! Di tangan kirinya
Taiyo memegang sebuah kantong kain basah oleh darah dan menebar bau amis.
“Kami
datang membawa kepala shogun!” kata Taiyo.
“Tsuki!
Taiyo! Kalian berhasil!” seru Wiro.
“Kau dan
kawanmu akan selamat Ani Wiro!” ujar Tsuki.
Suasana
jadi gempar! Serta merta saja Yasuaki Kiuchi diselubungi berbagai rasa.
Gembira, tidak percaya dan juga ngeri. “Aku mau lihat!” katanya.
“Tumpahkan
isi kantong itu ke lantai!” perintah Gapo. Beberapa prajurit yang ada di situ
bersurut mundur.
Taiyo
letakkan kantong berdarah di lantai. Lalu dipegangnya bagian bawahnya dan
ditunggingkan.
Sebuah
benda yang menyimpratakan darah menggelinding di lantai, berhenti di depan kaki
Yasuaki Kiuchi. Benda itu adalah potongan kepala manusia berambut, berkumis dan
berjanggut putih. Dari lehernya yang putus masih keluar darah. Bau busuk
menghampar di ruangan itu. Yasuaki Kiuchi keluarkan seruan tertahan.
“Tuan
Kiuchi…” bisik Gapo. “Ini memang kepala shogun…!”
Mata
kanan Yasuaki Kiuchi berputar ke arah rantai besi yang mengikat tangan Tsuki
dan Taiyo. Dia melihat ada noda-noda darah pada rantai. “Mereka benar-benar
menjagal shogun dengan rantai itu…”
“Kami
telah melakukan apa yang diminta. Sekarang kalian harus melepaskan dua orang
itu!” kata Taiyo.
Yasuaki
Kiuchi dan Gapo saling pandang. Lalu terdengar tawa bergelak keluar dari mulut
Yasuaki Kiuchi. “Aku dan para pengawal akan segera berangkat ke Kyoto sekarang
juga! Orang-orang kita di sana pasti sudah mengatur segala sesuatunya…”
“Bagaimana
dengan manusia-manusia bonsai ini Yang Mulia?” tanya Gapo.
“Mereka
masih punya satu tugas. Membunuh suami istri Yukawa di Hikone…” jawab Yasuaki
Kiuchi lalu berpaling pada Tsuki dan Taiyo.
“Hikone
cukup jauh di utara! Pemuda asing itu tak mungkin bisa bertahan lebih lama!”
ujar Taiyo.
“Itu
urusan kalian!” jawab Kiuchi seenaknya.
Dari
ruangan sebelah tiba-tiba terdengar teriakan Pendekar 212. “Tsuki! Taiyo!
manusia-manusia dajal itu tak akan membiarkan kalian hidup! Lekas larikan diri
cari selamat. Kami berdua di sini agaknya harus menerima takdir menemui
kematian!” Akiko Bessho tercekat dan membeliak besar mendengar teriakan Wiro
itu. Sedang Tsuki dan Taiyo tampak bergerak-gerak tenggorokan mereka.
Lalu
keluar suara menggembor.
“Kami
tidak akan lari Ani Wiro!” seru Taiyo. “Kami memilih mati sama-sama di tempat
ini!”
“Hik…hik!
Meong! Enaknya mati sama-sama!” kata Tsuki lalu berjingkrak-jingkrak beberapa
kali.
Dua
manusia bonsai ini melangkah ke hadapan Yasuaki Kiuchi sambil putar-putar
rantai besi yang mengikat tangan mereka. Semua orang yang ada di situ sesaat
jadi terkesiap ketika melihat bagaimana rantai karatan itu mengeluarkan sinar
hitam angker menggidikkan. Gapo hunus golok besarnya. Semua perwira yang ada di
situ juga cabut samurai masing-masing. Yasuaki Kiuchi buang kipas di tangan
kanannya. Tangannya bergerak ke balik pakaian mewahnya, Di lain kejap satu
sinar putih menyilaukan menerangi ruangan itu, membuat redup cahaya angker
hitam dari rantai besi itu.
Kapak
Maut Naga Geni 212 berada dalam genggaman Yasuaki Kiuchi. Sepasang manusia
bonsai jadi tertegun. Walau mereka merasa ngeri melihat senjata itu namun
keduanya sudah bertekad sama-sama mati. Tsuki dan Taiyo siap melompat sambil
menghantamkan besi hitam berkarat. Tapi pada saat itu pula dari luar melayang
tiga sosok tubuh yang kemudian jatuh saling tindih di lantai.
Semua
orang keluarkan seruan tertahan. Yang bertumpukan di lantai adalah tiga perwira
berpakaian seragam pasukan shogun. Mereka hancur terkoyak-koyak, tak bisa
dikenali lagi.
Di saat
yang sama terdengar suara kucing mengeong dua kali berturut-turut. Lalu satu
sosok berkelebat masuk. “Meong!Meong!”
“Biru!”
seru Tsuki.
“Merah!”
teriak Taiyo.
“Sensei!”
pekik dua manusia boncel bersamaan.
Seorang
nenek mengenakan mantel bulu beruang tegak di ruangan itu. Dia bukan lain
adalah si nenek muka kucing Nenek Neko, orang yang telah memelihara Tsuki dan
Taiyo selama tujuh belas tahun. Di pundaknya kiri kanan ada dua ekor kucing es
berbulu putih. Yang satu berkalung pita merah pada lehernya, satunya lagi
berpita biru.
“Nenek
muka kucing!” bentak Yasuaki Kiuchi keras walau diam-diam hatinya tergetar.
“Tadinya aku akan mengirim orang untuk menangkapmu. Kau telah menyalahi tugas
yang aku berikan lewat Gapo. Kau layak menerima hukuman!”
Nenek
muka kucing menyeringai. “Aku bukan kacungmu, bukan juga budakmu! Mana mungkin
aku terus menerus harus patuh pada kekuasaanmu?!”
“Nenek
keparat!” bentak Gapo. “Beraninya kau bicara kurang ajar pada Yang Mulia?!”
“Yang
Mulia?!” ujar si nenek lalu tertawa cekikikan. Dua muridnya ikut tertawa.
“Yasuaki
Kiuchi, tadinya aku mengira kau adalah manusia paling bejat di dunia ini.
Ternyata lebih dari itu. Kau iblis paling durjana di muka bumi!”
“Nenek
keparat! Apa kau lupa bahwa nyawa kekasihmu Shikero ada di tanganku?!”
Si nenek
ganda tertawa. “Tadinya aku memang begitu mendambakan untuk dapat bersama
lelaki itu sebelum ajal menjemput. Tapi lama-lama aku merasa jengah sendiri.
Sudah tua bangka begini masih saja bercita-cita seperti seorang jaka dan
seorang gadis. Kau boleh membunuh Shikero sampai seribu kali! Hik… hik… hik!”
“Jahanam!”
teriak Yasuaki Kiuchi.
“Eh
kulihat kau memegang senjata luar biasa. Itu pasti bukan milikmu! Biru! Merah!
Lekas kalian rampas senjata mustika itu!”
“Meong!”
“Meong!”
Dua ekor
kucing di bahu si nenek mengeong keras lalu melesat ke arah Yasuaki Kiuchi.
Penguasa tunggal di Nara ini berusaha membabatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke
arah kedua binatang itu.
Namun si
merah dan si biru lebih dulu mencengekeram tangan kanan orang itu. Yasuaki
Kiuchi menjerit keras sewaktu tangannya habis koyak-koyak digigit dan dicakar
dua ekor kucing. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggamannya. Sebelum
senjata itu menyentuh lantai, dua ekor kucing es bergerak cepat sekali,
menyambuti gagang senjata mustika dengan mulut mereka.
Di saat
yang sama, Gapo ayunkan golok besarnya untuk membacok dua ekor kucing itu.
Namun dari samping, Tsuki dan Taiyo tidak dilihatnya melompat ke atas,
tahu-tahu rantai besi berkarat itu sudah menggelung lehernya.
Dua ekor
kucing membawa Kapak Naga Geni 212 ke arah si nenek muka kucing. Perempuan tua
ini membungkuk, cepat mengambil senjata itu. “Senjata luar biasa! Kurasa tak
ada duanya di dunia ini!” kata si nenek sambil sipitkan mata tak tahan sinar
menyilaukan. Dia memandang ke depan ketika mendengar suara “Kraak!” Gapo
dilihatnya tertegak melotot. Lidahnya terjulur keluar. Dari mulutnya keluar
darah kental.
“Huk…huk!
Meong!”
“Hik…
hik! Meong!”
Tsuki dan
Taiyo lepaskan jeratan rantai besi. Tubuh tanpa nyawa Gapo langsung roboh
tergeletak di lantai. Lima perwira tinggi shogun yang menjadi kaki tangan
Yasuaki Kiuchi, yang sudah sama-sama menggenggam samurai, tanpa tunggu lebih
lama segera menyerbu dua manusia bonsai. Di depan pintu, si nenek muka kucing
masih memandangi Kapak Maut Naga Geni 212 terkagum-kagum.
“Senjata
hebat! Luar biasa! Kapan lagi mencobanya kalau tidak sekarang!”
Dari
mulut si nenek keluar lengkingan keras seperti kucing mengeong. Tubuhnya
berkelebat ke depan. Kapak maut berkiblat mengeluarkan suara menderu dahsyat
serta menebar hawa panas luar biasa. Terdengar suara berdentrangan riuh sekali,
disusul dengan pekik jerit kematian. Ketika si nenek kembali ke tempat tegaknya
semula, di lantai ruangan berkaparan tumpang tindih sosok tubuh lima perwira
tinggi tadi. Semua menemui kematian dengan kening terbelah hangus!
*******************
9
“Senjata
hebat! Benar-benar luar biasa!” kata si nenek lagi. Lalu dia memandang ke
depan.
Sepasang
mata kucingnya membentur sosok Yasuaki Kiuchi yang tegak tersandar di sudut
ruangan sambil tangan kirinya pegangi tangan kanan yang hancur akibat koyakan
gigi dan cakar dua ekor kucing peliharaan si nenek.
“Yang
Mulia!” seru si nenek. “Kau bisa memilih kematian yang kau sukai! Kubelah
keningmu dengan kapak sakti ini? Atau mampus dikoyak dua ekor kucing
peliharaanku? Atau dicekik dengan rantai besi sampai hancur lehermu oleh dua
anak manusia yang jadi korban kebuasanmu itu!? Atau mungkin kau lebih suka aku
sendiri yang menguliti sekujur tubuhmu!?”
Sesaat
Yasuaki Kiuchi terdiam tak menjawab. Tiba-tiba dia melompat menyambar golok
milik Gapo yang tercampak di lantai dengan tangan kirinya. Orang ini memang
memiliki ilmu memainkan senjata yang hebat dan dia mampu memainkan senjata
dengan tangan kanan atau tangan kiri.
Serangan
pertama Yasuaki Kuchi hanya mengenai tempat kosong karena si nenek cepat
menghindar. Ketika lawan menyerang kedua kalinya, Nenek Neko hantamkan Kapak
Naga Geni 212. “Trang!” Golok besar di tangan kiri Yasuaki mental patah dua. Si
nenek menyeringai. “Kau rupanya memilih mati dengan kepala terbelah Yang Mulia!
Hik… hik…hik!” tangan si Nenek Neko bergerak. Tetapi tiba-tiba di luar sana
terdengar suara terompet, menyusul suara orang berteriak.
“Atas
nama shogun di Kyoto, hentikan semua pertempuran di dalam sana!”
Lalu tiga
orang menerobos masuk. Yasuaki Kiuchi menjadi pucat ketika melihat siapa yang
berada di sebelah depan. Seorang tua bertubuh tinggi besar bermata biru dan
berkumis kelabu melintang.
Dia
adalah kepala balatentara shogun wilayah selatan yang paling ditakuti. Begitu
melihat Yasuaki Kiuchi, orang ini keluarkan satu gulungan kertas berwarna
merah. Kertas itu dibukanya lalu diperlihatkan kepada Yasuaki. “Aku
diperintahkan untuk menangkap dan membawamu ke Kyoto.
Para
petinggi di istana shogun telah menyiapkan hukuman pancung untukmu!”
Yasuaki
Kiuchi jatuh terhenyak di lantai, Kepala tentara bermata biru itu memberi
isyarat pada dua anak buahnya. Yasuaki segera diringkus. Ketika hendak dibawa
pergi, Tsuki dan Taiyo cepat menghadang. “Kami minta kau mau menerangkan siapa
itu suami istri Yukawa di Hikone…” kata Taiyo.
Yasuaki
tidak menjawab. “Kau ingin menjawab pertanyaan orang atau tidak?!” bentak
kepala balatentara shogun.
Mata
kanan Yasuaki menatap wajah Taiyo sejenak. Lalu dari mulutnya meluncur
kata-kata yang membuat Taiyo jadi merinding. “Mereka adalah orang tuamu. Kalau
aku tidak salah ingat, kau diberi nama Toshiro…”
“Kau
menyuruh kami membunuh orang tuaku sendiri! Sungguh biadab!” Taiyo menggembor
keras lalu menyerang.
Kepala
balatentara shogun cepat menghalang. “Hukuman untuknya sudah diatur shogun.
Jangan berani mengubah!”
Taiyo
alias Toshiro tegak tersandar ke dinding. Matanya berkaca-kaca.
Di
sebelahnya, Tsuki tegak meneteskan air mata. “Asal usul Taiyo sudah diketahui.
Bagaimana nasib diriku…” gadis bonsai ini seolah meratap dalam hati.
Yasuaki
melangkah di hadapannya. Tsuki hanya bisa memandang, tak kuasa membuat mulut
untuk bertanya. Tiba-tiba Yasuaki Kiuchi hentikan langkah. Dia memandangi paras
Tsuki sesaat lalu berkata.
“Nak,
namamu sebenarnya adalah Hatsuko, Kedua orang tuamu tadinya juga tinggal di Hikone.
Ibumu…” Yasuaki Kiuchi terdiam sejenak. “Ibumu sudah meninggal. Ayahmu bernama
Kano Yamada. Dia masih hidup. Ada di tempat kerja paksa di utara… Kalian berdua
sebenarnya sudah dijodohkan satu sama lain sejak masih bayi.” Tsuki alias
Hatsuko menjerit lirih lalu menangis.
Sebelum
melanjutkan langkahnya, Yasuaki berpaling pada potongan kepala manusia yang
tergeletak di lantai. Lalu dia menoleh kepada kepala balatentara shogun. “Kau
meneriakkan kedatanganmu atas nama shogun. Lalu kepala siapa itu!?”
“Kepala
seorang rampok besar yang dipancung lalu diberi bertopeng wajah Yang Mulia
Shogun…” jawab kepala balatentara. “Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”
“Aku
tertipu…” desis Yasuaki lalu bergerak tinggalkan tempat itu.
“Hai!
Bagaimana dengan kami?!” teriak Wiro dari ruangan di belakang jeruji besi.
Tsuki dan
Taiyo melompat. Keduanya coba menggoyang jeruji-jeruji besi itu. Tapi tidak
bergeming sedikit pun. “Hanya Gapo dan Yasuaki yang tahu alat rahasia untuk
menaikkan dan menurunkan besi-besi ini!” kata Tsuki alias Hatsuko.
“Celaka!
Rupanya kami benar-benar akan menemui ajal di sini!” ujar Wiro.
“Kalian
tidak usah khawatir. Kurasa senjatamu ini bisa menjebol tiang-tiang besi itu!”
tiba-tiba si nenek Neko berkata sambil melangkah ke arah barisan jalur-jalur
besi. Tangan kanannya diangkat. Kapak Maut Naga Geni 212 kelihatan bersinar
terang benderang tanda si nenek mengerahkan tenaga dalamnya. Lalu senjata sakti
itu dibabatkannya menghantam dua tiang besi sekaligus.
“Trang!
Trang!”
“Gila!
Benar-benar luar biasa!” seru si nenek. Dua jeruji besi patah berantakan.
“Sekarang
bagaimana kalian melepaskan ancaman dua panah beracun itu!” ujar Akiko Bessho
begitu Nenek Neko dan dua manusia bonsai masuk ke dalam ruangan. “Sedikit saja
cantelan besi itu bergerak, habislah kami berdua!”
Dua
manusia bonsai memandang ke arah si nenek seolah minta tolong. “Anak-anak lekas
ke mari!” si nenek tiba-tiba berseru. Dua ekor kucing es berbulu putih mengeong
dan mendatangi. Si nenek berjongkok dan usap-usap punggung si biru dan si
merah. “Kalian lihat dua buah busur dan dua buah anak panah di atas sana…?”
“Meong…!”
“Meong…!”
“Lekas
naik ke atas, gigit dan tahan dua anak panah itu. Jangan dilepas sebelum aku
beritahu. Ayo lekas lakukan!”
Dua ekor
kucing lalu melompat ke atas tiang tempat Wiro diikat. Seperti yang
diperintahkan si nenek, binatang-binatang ini menggigit ekor dua anak panah.
“Kalian lekas lepaskan ikatan gadis itu. Aku akan melepaskan ikatan anak muda
ini!” kata nenek muka kucing kemudian.
Setelah
Wiro dan Akiko Bessho diselamatkan dan semua orang keluar dari ruangan itu, si
nenek berteriak pada dua ekor kucingnya. “Lepaskan gigitan! Wuttt! Wuttt!” Dua
anak panah melesat deras begitu dua ekor kucing lepaskan gigitan mereka. Panah
pertama menancap di lantai batu. Panah kedua menembus tiang yang terbuat dari
besi! Wiro dan Akiko sama-sama berpandangan dan sama-sama menarik nafas lega.
“Sensei…!”
tiba-tiba Tsuki alias Hatsuko berseru. “Senjata di tanganmu itu, mungkinkah
bisa menghancur lepas ikatan rantai besi ini?”
Si nenek
berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Mungkinkah…?” si nenek ikut
bertanya.
“Harus
kita coba. Mudah-mudahan bisa.,” jawab Wiro yang saat itu masih keliangan dan
terduduk di lantai.
“Kalau
begitu biar kau yang melakukan,” kata si nenek pula seraya melemparkan Kapak
Maut Naga Geni 212 pada Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat sambut senjata miliknya
itu. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Dia meminta dua manusia bonsai tidur
sama rata di lantai. Setelah memperhatikan sejenak, Wiro ayunkan senjata sakti
itu.
Suara
berdentrangan terdengar keras sekali ketika mata kapak menghantam pinggiran
japitan besi di tangan kiri Tsuki alias Hatsuko. Bunga api memercik tinggi.
“Aku
bebas!” teriak Tsuki lalu melompat berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Hai!
Bagaimana aku?!” teriak Taiyo alias Toshiro.
Sekali
lagi kapak sakti itu dibacokkan.
“Trangg!”
“Ani
Wiro, terima kasih!” seru Taiyo. Tubuhnya melesat ke udara dan berjungkir balik
beberapa kali.
Seperti
biasanya, udara di puncak pegunungan Shikoku dingin bukan kepalang. Namun semua
yang ada di dalam gua itu merasa kehangatan di lubuk hati masing-masing. Nenek
muka kucing Neko menghela nafas panjang. “Aku dengar Yasuaki Kiuchi sudah
dijatuhi hukuman pancung oleh shogun…”
“Dan kami
dengar kekasihmu Shikero atas perintah shogun juga telah dibebaskan dari
pertambangan kerja paksa di utara, bersama dengan Kano Yamada, ayah Hatsuko…”
“Kami
akan kembali ke Hikone, berkumpul lagi dengan orang tua kami…” kata Toshiro.
“Kau
untung, ayah ibumu masih lengkap. Aku cuma punya ayah…” kata Hatsuko.
“Jangan
sedih Hatsuko. Orang tua Toshiro akan jadi orang tuamu juga. Malah kau akan
punya dua ayah nantinya!” kata Wiro. Hatsuko memandang pada Wiro lalu
perlahan-lahan wajahnya memerah.
“Jangan
lupa mengundang kami!” menggoda Akiko Bessho. Nenek muka kucing tertawa
tergelak gelak.
Wiro
memandang ke luar gua. “Matahari sudah tinggi. Orang yang ditunggu bisa saja
datang lebih cepat. Sebaiknya kita jangan jadi pengganggu.”
“Kau
betul Wiro,” kata Akiko pula. Lalu dia berpaling pada si nenek lalu berkata.
“Nek, kami minta diri. Jika umur panjang kita bisa berkumpul lagi sama-sama di
tempat ini.”
“Ah,
kalian seharusnya tak usah buru-buru pergi. Kalaupun Shikero datang, kalian kurasa
tidak akan mengganggu.”
Wiro dan
Akiko tersenyum sementara Toshiro dan Hatsuko juga mulai tertawa-tawa. Keempat
orang ini berdiri saling berpegangan tangan. Keempatnya saat itu mengenakan
kasut kayu untuk meluncur di atas pegunungan salju.
“Kami
minta diri Nek,” kata keempat orang itu berbarengan.
Lalu Wiro
menyeletuk. “Kuharap kau jangan buru-buru punya anak Nek, biar bisa
berpuas-puas berlama-lama!”
“Eh,
tidak kusangka mulutmu begitu konyol anak muda! Siapa yang mau punya anak?!”
teriak si nenek.
Gua di
puncak gunung Shikoku itu laksana mau runtuh oleh tawa empat orang yang ada di
hadapan si nenek. Nenek Neko akhirnya mau tak mau ikut-ikutan tertawa, malah
paling keras. “Anak muda, kalau kau suka, lain waktu kau boleh datang ke mari.
Aku akan mengajarkan satu ilmu yang aku yakin tak ada di negerimu… Kurasa kau
berjodoh memiliki ilmu itu.”
“Nenek
Neko, kau baik sekali. Ilmu apakah itu?” tanya Wiro.
“Koppo,
ilmu mematahkan tulang,” jawab si nenek. “Kau mau lihat?”
“Saya
pernah lihat Hatsuko dan Toshiro memperagakannya di Otsu tempo hari…”
“Kau mau
lihat lagi?”
“Tentu
saja!” jawab Wiro, karena tidak mengira apa yang akan dilakukan si nenek.
“Ulurkan
tangan kananmu!” Murid Sinto Gendeng menurut saja. Secepat kilat tangan kanan
si nenek bergerak. “Krakk…! Krakk!” Wiro menjerit setinggi langit. Jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya patah. Patahan tulang mencuat keluar!
“Nek… Apa
yang kau lakukan ini?!” teriak Wiro. Sekujur tubuhnya bergetar menahan sakit.
Akiko kelihatan pucat. Tapi Toshiro dan Hatsuko tampak tertawa hu-hu hi-hi!
“Kemarikan
tanganmu!” kata si nenek.
“Hendak
kau patahkan lagi!?” ujar Wiro sambil mengulurkan tangan tapi ragu-ragu.
Begitu
tangan sang pendekar terulur, si nenek meremasnya dengan keras. Kembali Wiro
menjerit.
Tetapi
ketika diperhatikannya, ternyata tangannya sudah utuh seperti semula. Sakitnya
pun serta merta lenyap.
“Ilmu
sihir!” kata Pendekar 212 pula.
Si nenek
menggeleng. “Bukan, yang aku perlihatkan tadi adalah ilmu sungguhan. Yang
pertama mematahkan tangan orang. Yang kedua menyembuhkannya. Nah, kau mau
memiliki ilmu itu?”
Wiro
mengangguk. “Tentu Nek. Tentu saja aku mau, tapi…tapi aku permisi dulu nek…”
“Eh, kau
mau ke mana?!” tanya nenek muka kucing.
“Aku,
aduh. Sudah tidak tahan! Aku mau kencing!” teriak Wiro lalu menghambur keluar
gua.
Toshiro,
Hatsuko, Akiko, dan si Nenek Neko tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku
diam-diam sudah menghitung. Seharian di sini, sudah duapuluh tiga kali dia
kencing. Rupanya tidak tahan dingin!” kata si nenek. Lalu semuanya kembali
tertawa riuh.
TAMAT
No comments:
Post a Comment