Si Cantik Dari Tionggoan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
" Saudara
wie, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan terhadapku?!" tanya loan nio
nikouw. Tangan kiri menutup pada pakaian yang tersingkap. Tangan kanan meraba
ke punggung. "dimana pedangku?" tiba-tiba ada seseorang muncul di
mulut goa. "loan nio. Bangsat berambut gondrong itu barusan hendak
memperkosamu untung aku datang. Dia pula yang telah mencuri pedang naga merah
milikmu…" "saudarawiei benar …benar?!" "benar apa
nio?" "kau hendak memperkosaku! Kau mencuri pedang naga merah!"
‘nionio, aku belum gila melakukan hal bejat itu pasti bangsat muka tengkorak
ini mengarang cerita mengumbar mulut fitnah!" "saudara wie. Aku tidak
menyangka begitu bejat budi pekertimu! Aku mengira kau seorang sahabat yang bisa
diminta tolong! Ternyata kau iblis terkutuk!" "nionio. Dengar dulu
keteranganku…"ucap wiro."aku tidak butuh keterangan. Aku ingin
membunuhmu saat ini juga"
******************
1
PENDEKAR
212 Wiro Sableng beberapa kali mempercepat larinya. Namun nenek rambut kelabu
tetap saja terpaut dua tombak di sebelah depan.
"Luar
biasa. Ilmu lari apa yang dimiliki mahlukjejadian ini. Aku tak mampu
mendekati." ucap Wiro dalam hati.
Setelah
berlari cukup jauh. di satu jalan berbatu-batu dan menurun serta dipenuhi pohon
cemara hutan, dari arah depan muncul nenek kedua, kembaran nenek yang tengah
diikuti Wiro.
"Hahu
ha-hu."
Nenek
yang muncul keluarkan ucapan gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk kc jalan
berliku-liku di bawah sana.
"Ha-hu
ha-hu." Nenek satunya keluarkan suara sama. Dia memberi tanda pada Wiro
lalu ikuti saudara kembarnya. Wiro segera pula membuntuti dua nenek kembar
Eyang Sepuh Kembar Tilu, seorang nenek sakti yang tempo hari tewas di tangan
pembunuh misterius (Baca episode sebelumnya berjudul "Dadu setan".)
Dari nenek itu Wiro malah kebagian pekerjaan Sebelum mati si nenek minta agar
sang pendekar mencari siapa pembunuhnya.
Makin ke
bawah jalan yang ditempuh semakin terjal. Batu-batu besar menghadang di setiap
sudut Dua nenek kembar enak saja melompat, melayang dan melesat Jubah kuning
mereka tampak berkibar-kibar ditiup angin dan keluarkan suara berkasiuran
saking cepatnya mereka berkelebat Wiro ketinggalan jauh di belakang. Dia hendak
berteriak agar dua nenek jangan lari terlalu cepat Namun urungkan niat karena
tiba-tiba dia mendengar sayup-sayup suara tiupan seruling.
Dua nenek
kembar saat itu sudah lebih dahulu hentikan lari dan berlindung dibalik satu
batu cadas besar. Begitu Wiro mendekat keduanya menunjuk ke arah kelaunan.
Mulut mereka hendak keluarkan suara ha-hu ha-hu tapi Wiro cepat memberi tanda
agar dua nenek ini jangan bersuara.
DI arah
yang ditunjuk, sekitar dua puluh tombak di bawah sana terdapat sebuah situ atau
telaga yang airnya sangat jernih, memiliki dua warna. Yaitu biru dan hijau.
Warna Ini bukan lain adalah pantulan dari pepohonan serta tanam-tanaman yang
tumbuh di sekeliling telaga.
Di tepi
telaga sebelah timur, tepat arah jatuhnya cahaya sang surya siang hari itu,
terapung sebuah rakit bambu. Di atas rakit Ini ada bagian yang menyerupai kursi
panjang. Di atas kursi bambu inilah tampak duduk seorang perempuan berpakaian
merah berkembang kecil-kecil biru dan kuning. Asyik meniup seruling berwarna
putih dan dari jauh kelihatan berkilauan terkena cahaya matahari. Karena agak
jauh Wiro tidak dapat memperhatikan jelas, apalagi melihat wajah orang. Selain
Itu di bawah topi biru yang dikenakan wajah perempuan ini tertutup untaian
manik-manik merah yang menjulai sampai ke bawah dagu. DI punggungnya tergantung
sebilah pedang bersarung merah dan selembar papan seluncur.
Tiupan
seruling perempuan berbaju merah di atas rakit mengalun lembut namun sanggup
menimbul kan buiatan-bulatan riok tak berkoputusan di permukaan air telaga
serta mendatangkan getaran halus pada aliran darah Pendekar 212. Pengaruh
tiupan seruling membuat dua nenek kembar saling pandang dan mengusap muka
berulang kali.
"Perempuan
baju merah itu memiliki hawa sakti dan tenaga dalam tinggi…" ucap Wiro
perlahan.
Salah
seorang nenek kembar menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas ka bawah sementara
tangan kiri mengacungkan jempol.
"Ya,
ya. Aku mengerti. Kau hendak mengatakan orang Itu juga memiliki ilmu
meringankan tubuh yang hebat" kata Wiro pula. "Kalian berdua tunggu
di sini. Aku akan turun menemui perempuan itu." Wiro dongakkan kepala,
menarik nafas dalamdalam melalui hidung. Saat itu dia mencium bau harum
semerbak. Rasa-rasanya dia pernah mencium bau harum seperti ini sebelumnya.
Wiro memandang pada dua nenek kembar.
"Aku
yakin dia yang telah menolong diriku sewaktu dilibat pohon beringin jejadian
ujud sialan Ki Beringin Reksal Tubuhnya menebar bau harum yang sama.
Dua nenek
sama-sama mengangguk. Yang satu memberi tanda dengan gerakan tangan agar Wiro
berlaku hati-hati. Baru saja Wiro keluar dari gundukan batu cadas, suara tiupan
seruling mendadak berhenti. Wiro tahan gerakannya. Mata menatap tajam ke arah
orang di atas rakit. Si baju merah Ini sama sekali tidak menggerakkan tubuh
atau kepala.
"Dia
tidak memandang berkeliling. Tapi dari tubuh dan kepala yang tidak bergerak
sama sekali agaknya dia sudah tahu aku ada di sini." Pikir Wiro. Sang
pendekar menunggu.
Perempuan
di atas rakit kembali meniup sulingnya. Wiro cepat berkelebat di antara batu-batu
besar hingga akhirnya sampai di tepi sebelah selatan telaga. Dari sini dia
segera hendak lari ke arah timur. Namun lagi-lagi gerakan pendekar 212
tertahan. Kali ini bukan oleh gerak-gerik perempuan di atas rakit namun karena
berkelebatnya satu bayangan biru dari balik sebuah batu besar antara tempat dia
berada dan rakit di tepi telaga. Wiro cepat menyelinap ke balik semak belukar
lebat
"Loan
Nio! Akhirnya kutemui juga kau!" Satu suara seruan menggelegar di seantero
telaga.
Menatap
ke arah timur Wiro melihat seorang berpakaian ringkas serba biru berdiri di
tepi telaga, hanya terpisah satu tombak dengan rakit. Hebatnya, orang berambut
hitam lebat panjang dan dijalin ke belakang ini memiliki wajah berbentuk
tengkorak. Di balik punggungnya tersembul gagang sebilah pedang. Dari bentuk
pakaian, Wiro mengetahui bahwa siapapun adanya dia adalah seorang pendekar
silat berasal dari daratan Tiongkok.
Perempuan
di atas rakit tampak terkejut Tapi agaknya dia bisa menguasai diri.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Suling perak diselipkan pada selendang yang
terbelit di pinggangnya yang ramping.
Ingin
melihat lebih jelas dan juga ingin tahu apa yang dibicarakan kedua orang itu,
Wiro bergerak mendekat. Namun dia hanya bisa garuk kepala karena dua orang
tersebut bicara dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Bahasa Tionggoan.
"Ong
Cun. bagaimana kau bisa berada di tempat ini?" Perempuan di atas rakit
bertanya.
‘Loan
Nio, aku sudah lama menyirap kabar bahwa kau akan berangkat ke tanah Jawa ini.
Setelah mencari tahu dari temanteman pulau dan kota mana yang kau tuju, aku
berangkat mendahului." Orang bermuka tengkorak menjawab.
"Kau
pergi sejauh ini. Apakah tidak hanya membuang waktu percuma?"
"Aku
sudah berbulat tekad bahkan bersumpah. Aku akan mencarimu sampai dapat. Aku akan
mengikutimu kemana kau pergi."
"Untuk
apa?" tanya perempuan yang dipanggil dengan nama Loan Nio dan bukan lain
adalah seorang paderi perempuan yang di Tionggoan selatan dikenal dengan nama
Kiang Loan Nio Nikouw.
"Loan
Nio, jangan kau berkura-kura dalam perahu. Berpura-pura tidak tahu. Tiga tahun
lebih aku mengikutimu. Aku tidak akan berhenti mengejarmu sebelum kau
menyatakan diri mau menerima tali perjodohan denganku."
Habis
berkata begitu lelaki berpakaian biru yang rambutnya dikepang dan berwajah
tengkorak ini melompat ke atas rakit. Gerakkannya enteng, tubuhnya seringan
kapas. Rakit yang dijejaki tidak bergoyang barang sedikitpun.
"Ong
Cun, kau sudah tahu. Aku sudah menjadi seorang paderi.
Jangan…"
"Loan
Nio, itu dalihmu dari dulu. Lalu apakah seorang Paderi tidak boleh nikah?"
"Memang
tidak ada larangan. Tapi aku telah memutuskan dan memilih menjauhi segala
urusan keduniaan."
Liok Ong
Cun tertawa bergelak.
"Kau
berdusta. Kau menipu dirimu sendiri. Kedatanganmu kemari jelas-jelas adalah
untuk urusan dunia. Apa kau kira aku tidak tahu sangkut pautmu dengan benda
yang kau cari? Dua buah dadu yang oleh orang-orang di daratan Tiongkok sudah
dianggap sebagai dadu setan dan harus dimusnahkan? Apa kau kira aku tidak tahu
kau telah memperalat beberapa tokoh kang ouw. Dan semua mereka telah menemui
kematian secara sia-sial Bun Pek Cuan, Siauw Chie, Hek Chiu Mo!"
Walau
agak kaget bahwa orang dihadapannya tahu banyak tentang perjalanannya ke tanah
Jawa namun paderi perempuan itu bersikap tenang dan menjawab.
"Aku
hanya menjalankan tugas dari Wakil Ketua Siauw Lim-pai."
"Aku
tahu tugas itu. Tapi sambil menyelam kau sekaligus minum air. Sambil
menjalankan tugas kau kesini adalah untuk mencari kekasihmu di masa kanak-kanak
dulu. Bukan begitu?! Jangan kau kira aku tidak tahu riwayat dirimu sejak kau
baru lahir sampai saat ini!"
Wajah
paderi perempuan yang tertutup di balik cadar untaian manik-manik tampak
bersemu kemerahan.
"Ong
Cun, aku tidak mau bicara lagi denganmu. Pergilah. Aku ingin sendirian di
tempat ini."
"Menunggu
kedatangan kekasihmu?!" ucap LiokOng Cun penuh mengejek. "Loan Nio,
dengar baik-baik. Aku tidak akan bergerak setapakpun. Sebelum kau menerima
ikatan perjodohan!"
"Ong
Cun. kau juga denga rbaik-baik dan masukkan ke dalam otakmu!" jawab Loan
Nio Nikow jadi sengit "Antara kita selama ini tidak ada hubungan apa-apa.
Antara kita tidak akan ada hubungan apapun di masa mendatang!"
Wajah
tengkorak Uok Ong Cun mengelam kaku. "Dari pada teganya kau berkata
begitu, lebih baik kau bunuh saja diriku saat ini juga !"
"Srettt”
Liok Ong
Cun yang di Tionggoan dijuluki Ko Lo Khek alias Pendekar Muka Tengkorak cabut
pedang yang tergantung di punggung, jatuhkan diri setengah berlutut, pedang
yang memancarkan sinar hijau diletakkan di atas rakit, kepala diulur, siap
untuk dipenggal, pasrah menerima kematian!
Akan
tetapi paderi perempuan itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dengan suara
perlahan dia berkata.
"Ong
Cun, kau telah sesat terlalu jauh. Bukan aku sendiri gadis di dunia ini. Kau
bisa mencari yang lain. Yang lebih baik dari diriku. Sarungkan pedangmu
kembali. Pedang sakti seperti Ceng Coa Kiam milikmu itu tidak boleh dipakai
sembarangan (Ceng Coa Kiam = Pedang Ular Hijau).
"Aku
hanya menginginkan dirimu seorang. Kau tahu hal itu Loan Nio. Mengapa kau
begitu angkuh tidak mau menerima diriku? Mengapa hatimu sekeras batu? Mengapa
kau seolah tidak punya perasaan sama sekali!" Liok Ong Cun masih tetap
dalam keadaan setengah berlutut dan kepala dimajukan.
"Sudah,
aku tidak mau bicara lagi. Aku sarankan agar kau memencilkan diri di satu
tempat Bertapa atau bersemadi. Semoga kau diberi kesadaran oleh Thian."
(Thian=Tuhan)
"Loan
Nio, kita sama-sama kembali saja ke Tionggoan. Mengapa membuang waktu di negeri
orang."
"Ong
Cun, kau tahu, aku ada urusan di negeri ini. Jika kau Ingin pulang, pulanglah
duluan. Kurasakan itu lebih baik bagimu…"
"Loan
Nio, jika kau tetap tidak mau memberi jalan dan juga tidak mau menghabisi
diriku maka jangan salahkan kalau aku berbuat nekat Aku merasa lebih baik kita
mati bersama saja!"
Selesai
keluarkan ucapan Pendekar Muka Tengkorak alias Liok Ong Cun ambil pedang hijau
yang tergeletak di atas rakit bambu. Lalu didahului satu teriakan dahsyat dia
kiblatkan pedang demikian rupa hingga menyambar deras di depan rumbai
manik-manik yang menjadi cadar Kiang Loan Nio Nikouw. Jelas yang diincar adalah
kepala atau leher sang Nikouw dan jelas pula dia benar-benar hendak menghabisi
paderi perempuan yang sangat dicintainya itu.
"Ong
Cun! Apa yang kau lakukan ini? Apa kau sudah gila?!"
Loan Nio
Nikouw cepat cabut seruting perak yang terselip di pinggang.
"Tringg!"
Terdengar
suara berdering ketika mata pedang hijau saling beradu dengan suling perak.
Bunga api memercik hijaudan pubh berkilau. Kiang Loan Nio Nikouw merasa suling
perak dan tangan kanannya bergetar. Walau menyadari suling itu bukan tandingan
pedang sakti Ceng Coa Kiam milik lawan, namun dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh tenaga dalam serta gerakan yang sangat cepat paderi perempuan
itu masih sanggup menghadapi gempuran gencar Liok Ong Cun, malah dua kakinya
tidak bergeser sedikitpun dari tempat injakan semula! Ini menjadi bukti bahwa
sebenarnya tingkat kepandaian sang paderi berada di atas orang yang nekad
hendak membunuhnya.
"Loan
Nio! Aku memang sudah gila! Tergila-gila padamu! Aku akan membunuhmu. Setelah
itu aku akan bunuh diri! Tidak berjodoh di dunia tidak jadi apa, tapi di alam
akhirat kita bisa bersatu!"
******************
2
Makin
sulit bagi Liok Ong Cun menembus pertahanan lawan yang hanya mengandalkan
sebuah suling perak, semakin beringas lelaki muka tengkorak ini menghujani sang
paderi dengan bacokan, tusukan serta babatan pedang. Setelah serangan
menghabisi jurus ke sembilan dan tidak menghasilkan apa-apa, maka didahului
satu teriakan dahsyat Liok Ong Cun kiblatkan pedang Ceng Coa Kiam dalam jurus
andalannya bernama Thian Yau Te Soan atau Langit Goyang Bumi Berputar. Loan Nio
Nikouw melihat pedang di tangan Ong Cun menggeletar seperti ular melesat. Dua
kakinya yang menginjak lantai rakit terasa bergoyang kesemutan sementara di
sebelah atas kepalanya terasa pening. "Breett!" Ujung pedang berhasil
menyambar bahu kiri baju merah Loan Nio Nikouw hingga paderi ini terpekik dan
untuk pertama kalinya dia melompat di atas rakit lalu melesat ke daratan.
Dengan sigap Ong Cun mengejar. Pedang Ceng Coa Kiam kembali menggempur. Kali
ini dalam jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi Pedang sakti di
tangan Liok Ong Cun menderu deras dan membuat cahaya hijau setengah lingkaran.
Benar-benar laksana pelangi jatuh ke bumi sangat berbahaya bagi keselamatan
Loan Nio Nikouw yang saat itu masih mengandalkan suling perak dalam menghadapi
lawan. Sebenarnya untuk melindungi diri paderi ini ingin mencabut pedang di
punggung. Namun diamerasa khawatir. Pedang Naga Merah bukan senjata
sembarangan. Sekali keluar dari sarungnya Liok Ong Cun bisa celaka.
Khawatir
si baju merah akan mendapat celaka, Wiro tidak tunggu lebih lama. Namun sebelum
dia melesat dua nenek kembar Eyang Sepuh Kembar Tilu mendahului bergerak.
Keduanya memberi isyarat pada Wiro dengan gerakan tangan mereka yang akan
menolong paderi perempuan itu.
Selesai
memberi isyarat dua nenek melesat ke udara. Di depan sana tahu-tahu Liok Ong
Cun merasakan dua bahunya ditahan dan ditekan orang lalu tubuhnya tertarik ke
belakang hampir terjengkang hingga serangan Jay Hong Toh Te atau Pelangi
Melengkung Ke Bumi hanya menderu membabat udara kosong. Saat itu Loan Nio
Nikouw yang tengah berpikir-pikir apakah akan mencabut pedang sakti atau tidak
tampak terkejut melihat kemunculan dua nenek kembar aneh yang menelikung Liok
Ong Cun dari belakang.
"Bangsat
rendah! Siapa berani berlaku kurang ajar"
Liok Ong
Cun berteriak marah dan hantamkan dua sikut tangannya ke belakang.
"Bukk!
Bukk!"
"Ha-hu
Ha-hu!"
Dua nenek
lepaskan cekalan. Dilabrak sikutan keras tadi keduanya seperti tidak merasakan
padahal sikut kiri kanan Liok Ong Cun mendarat di tubuh mereka dengan telak.
Jangankan tubuh manusia, tembokpun bisa jebol. Liok Ong Cun tidak tahu kalau
yang jadi lawannya saat itu adalah dua nenek kembar jejadian. Begitu cekalan
pada bahunya terlepas Pendekar Tengkorak segera berbalik dan kiblatkan Ceng Coa
Kiam dalam jurus Cia Yan Hoan Sim atau Burung Walet membalik Diri. Pedang ular
hijau membabat di udara. Dua nenek keluarkan suara ha-hu ha-hu, cepat
selamatkan diri dengan melompat ke atas namun ujung pedang masih sempat
membabat robek ujung jubah kuning nenek kembar sebelah kiril
Liok Ong
Cun tak habis pikir siapa adanya dua nenek yang membokong dari belakang itu.
Kawan-kawan baru atau kaki tangan Loan Nio?l
"Ha-hu
ha-hu!"
Dua nenek
tampak marah. Terutama yang jubahnya robek. Keduanya menggerung keras lalu
sama-sama dorongkan dua tangan ke bawah.
"Wuut!
Wuut!"
"Wurrl
Byaarr!"
Empat
gelombang angin menghantam ke bawah. Tanah di tepi telaga terbongkar, air di
pingir telaga muncrat ke atas. Liok Ong cun berteriak keras. Pandangannya
tertutup oleh hamburan tanah dan cipratan air telaga. Dalam keadaan seperti itu
dia merasa empat tangan bergerak di seputar tubuhnya sebelah atas. Lalu!
"Breett
..Ibreet!..Breettt!"
Terdengar
suara robekan pakaian berulang kali.
"Kurang
ajar! Apa yang kalian lakukanl teriak Liok Ong Cun. Pedang dibabatkan ke atas,
ditusukan ke depan, lalu dibacokan ke samping. Namun dia hanya menghantam
tempat kosong. Sementara di lain kejap dia merasa tubuhnya didorong keras ke
depan hingga terjerembab di tanah, belum sempat bergerak bangkit, dia merasa
celana birunya diloloskan orang!"
"Ha-hu…
ha-hu! Hik… hik,.. hik!"
Begitu
cipratan air telaga dan hamburan tanah lenyap. Liok Ong Cun berteriak kaget dan
juga marahi Dia dapatkan dirinya dalam keadaan polos, hanya tinggal mengenakan
celana dalam putih! Dihadapannya dua nenek kembar berjubah kuning tertawa ha-hi
ha-hi sambil menunjuk-nunjuk ke arah bagian bawah perut si muka tengkorak.
‘Tua
bangka setan alas!" maki Liok Ong Cun dalam bahasa Cina yang tentu saja
tidak dimengerti dua nenek. "Kucincang kalian!"
Liok Ong
Cun melompat sambil ayunkan pedang Ceng Coa Kiam. Pedang bergeletar hebat Dua
nenek melihat seperti ada setengah lusin ular menyerang ke arah mereka!
"Ha-hu
Ha-hu" Nenek di sebelah kanan kibaskan tangan ke atas menangkis serangan
lawan sementara tangan kanannya menunjuknunjuk ke arah celana kolor yang masih
tersisa di tubuh Liok Ong Cun. Nenek satunya yang mengerti maksud kawannya
segera jatuhkan diri ke tanah, dua tangan menyambar ke arah kolor putih.
Sadar apa
yang hendak dilakukan orang, dirinya akan ditelanjangi dengan cepat Liok Ong
Cun jatuhkan diri ke tanah, sambar sarung pedang yang tadi jatuh bersama
robekan baju lalu gelindingkan tubuh menjauh setelah sebelumnya kirim satu
tendangan yang tidak mengenai sasaran.
Tua
bangka kurang ajar! Kalian akan menerima balasanku!" Liok Ong Cun
memandang berkeliling mencari Loan Nio Nikouw. Tapi paderi ini sudah sembunyi
di balik sebuah pohon besar karena jengah melihat keadaan Liok Ong Cun yang
nyaris bugil!
"Loan
Nio! Jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu, jika aku tidak bisa menghabisi
dirimu! Aku akan membunuh semua lelaki yang berani mendekatimu!"
Habis
berkata begitu sambil pegangi kolornya yang kedodoran awut-awutan Liok Ong Cun
tinggalkan telaga sambil mulutnya memaki panjang pendek.
‘Ha-hu
ha-hu! Hik…hik…hik!"
Dua nenek
kembar tertawa terpingkal-pingkal lalu lari ke balik semak belukar menemui
Wiro. Yang satu menunjuk-nunjuk ke arah pohon besar.
"Aku
tahu, gadis berpakaian merah ada di balik pohon itu. Ayo kita menemuinya ke
sana."
Wiro dan
dua nenek lantas berkelebat ke balik pohon besar. Loan Nio Nikouw agak terkejut
ketika dapatkan dirinya didatangi dan berhadapan dengan si pemuda gondrong
serta dua nenek kembar. Namun sadar kalau dua nenek itu tadi telah menolongnya
walau dia sebenarnya sudah siap keluarkan pedang Ang Liong Kiam yang akan
sanggup menghadapi gempuran lawan, sang Nikouw cepat menjura dalam-dalam di
hadapan dua nenek.
"Terima
kasih. Orang tua berdua telah menolong saya. Mengapa Melakukan itu?
"Ha-hu
ha-hu…" Dua nenek dan juga Wiro sama-sama terkejut Walau ucapannya tidak
fasih betul dan bahasanya agak kaku namun ternyata gadis berpakaian merah ini
bisa bicara bahasa setempat. Pendekar 212 garuk-garuk kepala beberapa kali.
"Nona,
kami yakin kau bukan orang sini. Kalau tidak salah menduga kau adalah orang
dari negeri seberang, daratan Tiongkok. Menakjubkan kau bisa bahasa kami."
Wiro berkata sambil matanya coba mengintai ke balik untaian tirai manik-manik
yang menutupi wajah orang. Tapi untaian manik-manik itu sangat rapat hingga
matanya tidak dapat menembus. Dia hendak terapkan ilmmenembus pandang tapi
tidak bisa. Aneh ! Apakah orang ini memiliki hawa sakti yang punya daya tolak
luar biasa?
“Tidak
ada hal menakjubkan. Lagi kecil sampai usia tujuh tahun saya tinggal di sini.
DI satu kota bernama Semarang…"
"Ah,
begitu?" ujar Wiro.
"Ha-hu
ha-hu!" Dua nenek kembar menimbrung.
Di balik
cadar manik si baju merah tersenyum lalu bertanya pada Wiro.
"Dua
nenek hebat Ini, Apakah dia pellharaanmu. Naluri saya mengatakan dia bukan
manusia serupa kita. Apakah dia sebangsa jin yang saya dengar sangat banyak
keberadaannya dinegeri inl?"
"Ha-hu
ha-hu." Dua nenek goyang-goyangkan tangan tapi dengan wajah tersenyum.
"Mereka
sahabatku. Mereka baik terhadap siapa saja. Mereka kelihatan sangat senang
mengenalmu."
"Terima
kasih, terima kasih." Loan Nio Nikouw menjura.
"Saya
rasa dua kawanmu Ini agak keterlaluan mempermalukan orang tadi sampai bugil
begitu rupa…"
"Ha-hu
ha-hu." Dua nenek membuat gerakan tangan berulang kali.
"Apa
yang hendak dikatakan dua sahabatmu Itu?" tanya si baju merah.
"Mereka
ingin mengatakan, kalau tidak ditelanjangi orang Itu tidak akan mau angkat kaki
dari sini."
Loan Nio
Nikouw tertawa.
"Cerdik
juga dua nenek kembar Itu. Membuat lawan kabur tanpa mencederai…"
"Mereka
masih berbaik hati. Kalau sampai kolor orang itu ikut dicopot, wah…" Wiro
dan dua nenek tertawa gelak-gelak.
Dua nenek
balas monjura lalu tertawa ha-ho hi-hil. Yang satu sambil memegang lengan
kembarannya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan lalu tangan
dijalankan ke kiri.
"Kalian
mau pergi? Silahkan saja Aku juga berterima kasih kalian telah menolong Nona
ini." Kata Wiro yang mengerti maksud isyarat si nenek.
Dua nenek
keluarkan suara ha-hu ha-hu, yang satu kedipkedipkan mata, yang satu lagi
runcingkan bibir lalu digerakgerakkan hingga mengeluarkan suara seperti orang
mengecup. Kemudian sambil tertawa ha-ha hl-hi keduanya tinggalkan tempat Itu
dan lenyap dalam sekejapan mata.
"Luar
biasa Imu kesaktian mereka," memuji Loan Nio Nikouw.
"Nona,
bagaimana kau jauh-jauh dari daratan Tiongkok bisa sampai di sini. Lalu siapa
pula lelaki muka tengkorak tadi?"
"Jangan
panggil saya nona. Panggil saya Loan Nio Nikouw. Saya seorang paderi."
"Ah…"
Wiro kembali garuk kepala. Tidak menyangka kalau saat itu dia berhadapan dengan
seorang paderi perempuan. Walau belum melihat wajah, namun dari raut tubuh
serta suara Wiro merasa pasti si paderi berbaju merah ini seorang gadis remaja.
Masih begini muda. sudah jadi paderi.
"Satu
kehormatan besar bisa berkenalan dongan seorang paderi. Lidah saya agak susah
menyebut nama paderi. Apa boleh saya memanggil paderi dengan sebutan Nionio
saja?"
Loan Nio
Nikouw terdiam sejenak Lalu tertawa lepas.
"Seumur
hidup belum pernah orang memanggil saya Nionio. Itu nama punya lucu. Tapi enak
juga didengar." Kembali paderi itu tertawa.
"Nionio,
lelaki muka tengkorak tadi, aku lihat dia sangat beringas ingin membunuhmu.
Apakah kau dan dia memang saling bermusuhan?"
"Ini
soal sangat pribadl. Saya tidak akan menceritakan sebelum tahu siapa dirimu
adanya.” Jawab Loan Nio Nikouw.
Wiro
menjawab sambil menggaruk kepala.
"Namaku
Wiro."
‘Wiro?"
Loan Nio Nikouw mengingat-ingat, lalu di balik tirai manik-manik wajahnya
menunjukkan keterkejutan. Kakinya malah tersurut setu langkah.
"Ada
apa? Apakah namaku satu hal yang menakutkan bagimu?" tanya pendekar 212.
"Seorang
tokoh perguruan di Tionggoan pernah memberi tahu tentang dirimu. Kau dikatakan
sebagai seseorang yang punya She Wie dan nama Lo Sab Leng’
Karuan
saja Wiro jadi tertawa gelak-gelak mendengar namanya disebut seperti nama orang
Cina.
"Lebih
lanjut tokoh itu minta agar saya mencarimu dalam menyelesaikan semua urusan di
negeri ini Saya seperti menerima satu berkah besar. Belum mencari orangnya
sudah datang sendiri."
"Nionio,
siapa gerangan tokoh yang kau maksudkan itu?
"Dia
Wakil Ketua perguruan besar Siauw Lim. Katanya beberapa waktu lalu kau pernah
berada di Tionggoan."
"Luar
biasa Aku sungguh mendapat kehormatan sangat besar. Namun aku tidak bisa
mengatakan apakah aku punya kemampuan untuk membantumu." Kata Pendekar 212
pula.
"Paderi
Nionio, sekarang apa kau sudah mau menerangkan sangkut paut silang sengketa
dirimu dengan lelaki muka tengkorak tadi?"
"Lelaki
itu bernama Liok Ong Cun. Saya mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Sejak kami
sama-sama jadi murid Siauw Lim. Dia pernah berulang kali bilang bahwa dia
mencintai saya dan ingin mengambil saya jadi istri. Saya tidak begitu perduli
semua dia punya ucapan dan keinginan. Saya menganggap dia tidak lebih dan
seorang kakak seperguruan. Kemudian saya meninggalkan Siauw Lim dan memutuskan
jadi paderi. Dia terus mengikuti kemana saya pergi. Bahkan sampai kesini. Tadi
dia berlaku nekad mau bunuh saya. Kalau saya mati dia lantas akan bunuh diri.’
"Nionio.
ucapannya mungkin saja hanya tiupan untuk meluluskan permintaannya. Tapi satu
hal, kau harus berhati-hati. Cinta yang berubah jadi kebencian bisa menimbulkan
dendam amat mengerikan."
Kiang
Loan Nio Nikouw terdiam Dalam dirinya dia menyadari apa yang dikatakan pemuda
gondrong yang baru dikenalnya itu benar adanya dan bisa menjadi kenyataan.
Malah tadi dia telah menyaksikan sendiri kenekatan Liok Ong Cun."Tadi dia
mengancam akan membunuh siapa saja saja laki-laki yang berani mendekati
diriku."
"Berarti
termasuk aku," kata Wiro sambii garuk kepala "Nionio, aku lihat Liok
Ong Cun menutupi wajahnya dengan topeng tengkorak…"
"Dia
pernah bersumpah tidak akan melepas topeng itu sebelum saya bersedia jadi
istrinya."
"Apa
kau juga akan menceritakan tujuan perjalananmu ke tanah Jawa ini? Kau tahu.
kedatanganmu di tanah Jawa pada saat suasana di kawasan barat Ini sedang tidak
aman. Pembunuhan penuh misteri terjadi dimana-mana. Diantara para korban adalah
beberapa orang dari daratan Tiongkok."
"Saya
sudah tahu…" kata paderi perempuan itu.
"Apa
orang-orang itu ada sangkut pautnya dengan dirimu?"
"Semua
mereka yang tewas itu adalah orang suruhan dan kepercayaan saya."
Wiro tak
menyangka dan jadi ternganga mendengar ucapan sang paderi
Loan Nio
Nikouw lanjutkan ucapan. "Saya harus menyelidiki siapa pelaku pembunuh
orang-orang itu."
"Itu
bukan pekerjaan mudah. Bisa-bisa membahayakan keselamatan dirimu sendiri,
Nionio."
"Saya
tahu. Tapi itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai murid Siauw Lim…"
"Jadi
perguruan Siauw Lim yang memberikan tugas padamu?"
Loan Nio
Nikouw anggukan kepala.
"Masih
ada satu tugas lain yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus memulai dari
mana walau ada beberapa petunjuk yang bisa dipergunakan untuk menyelidik."
"Tugas
apa?" Wiro bertanya ingin tahu. Semula dia menyangka paderi perempuan itu
tidak akan memberi tahu. Ternyata Nionio Nikouw malah bercerita.
"Saya
ditugaskan untuk menemukan dan membawa pulang ke Siauw Lim dua buah benda
mustika berupa sepasang dadu dari gading, dulunya dadu ini adalah milik seorang
keturunan Dinasti Ming. Karena dua dadu telah disalah gunakan dan menimbulkan
malapetaka dimana-mana maka Raja meminta Siauw Lim untuk menyimpannya secara
rahasia. Namun sekitar tiga tahun silam dua buah dadu itu lenyap dari tempat
penyimpanan. Walau Siauw Lim geger namun berita tidak sampai bocor ke luar. Dua
buah dadu berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Karena bencana yang
ditimbulkannya dua buah dadu itu disebut dadu setan. Kabarnya dua buah dadu itu
sekarang berada di tanah Jawa ini. Orang-orang suruhan saya mungkin telah
berhasil melacak keberadaan dua buah dadu itu. Namun mereka keburu menemui ajal
sebelum mendapatkanya.Saat inl saya seperti menghadapi jalan buntu. Ada satu
kekuatan besar di negeri Ini yang tidak Ingin dua buah dadu kembali ke
Tionggoan."
Wiro
Ingat pertemuannya beberapa waktu lalu dengan Eyang Sepuh Kambaran Tilu.
Sebelum meregang nyawa nenek yang punya dua kembaran jejadian Ini meminta agar
Wiro menolong mencari siapa pembunuhnya dan mendapatkan kembali dua buah dadu
Wiro juga ingat cerita perajurit Jumena yang ditemuinya di sebuah Jurang di
daerah perbatasan. Saat Itu Jumana menceritakan tentang dua buah dadu yang
menjadi sebab kematian Pengemis Muka Bopeng di tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu
yang menyaru sebagal Raden Kumatesakti (Baca Episode sebelumnya berjudul
"Dadu Setan")
"Dua
buah dadu, bisa menimbulkan malapetaka. Sungguh luar biasa. Nionio, apakah dua
buah dadu Itu merupakan senjata mustika hingga diperebutkan orang,
Sampai-sampal mengorbankan nyawa?"
"Dua
buah dadu Itu memang merupakan senjata mustika atau senjata rahasia. Di
Tionggoan kami menyebutnya piauw. Bilamana dipakai untuk menyerang lawan,
setelah lawan menemui ajal, dadu akan berbalik kembali pada pemiliknya.’
"Hebat"
ucap Wiro kagum.
"Namun
bukan itu yang merisaukan para tetua di Siauw Lim. Dua buah dadu Itu blaa
dipergunakan untuk mengeruk kekayaan orang lain. Harta setlnggl gunungpun bisa
ludas."
"Bagaimana
mungkin?" Wiro setengah tak percaya.
"Melalui
judi. Orang yang memiliki dadu bisa mengatur angka dadu yang akan keluar hanya
dengan menyebut dalam hati serta memperhatikan dengan mata."
Wiro
garuk-garuk kepala lalu mengangguk-angguk.
Dari
balik tirai manik-manik yang menutupi wajahnya, Loan Nio Nikouw perhatikan
wajah Pendekar 212. Dalam hati paderi perempuan Ini berkata. "Aku menduga,
orang ini mengetahui sesuatu. Tapi dia tidak mau bicara. Apakah aku memang bisa
mempercayainya seperti yang dikatakan Wakil Ketua Siauw Lim? Orang bisa saja
berubah. Dulu dia orang baik, sekarang mungkin sudah jadi jahat Mungkin pula
dia ikut terlibat dengan urusan dadu setan itu. Berarti bisa jadi dia yang
membunuh Bun Pek Cuan, Siauw Cie dan Hek Chiu Mo. Apa yang harus aku lakukan.
Padahal masih ada satu urusan penting menyangkut pedang mustika milikku dengan
senjata sakti konon berupa kapak yang menjadi miliknya. Tapi saat ini aku tidak
melihat dia mombekal senjata itu."
"Saudara
Wie"
Wiro
tersenyum mendengar dirinya dipanggil seperti itu.
"Apa
yang saat ini ada dalam pikiranmu?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Nionio,
aku pasti tewas ketika melawan manusia pohon bernama Ki Beringin Reksa itu
kalau kau tidak menolongku."
‘Bagaimana
kau bisa berkata bahwa aku yang menolongmu. Padahal kita baru saja kali ini
bertemu."
Wiro
tertawa. "Kau sengaja menyembunyikan kenyataan. Aku menghargai kebesaran
jiwa dan kerendahan hatimu." Wiro melirik ke arah gagang pedang berbentuk
kepala naga yang tersembul di balik punggung sang paderi. Wiro terkesiap sesaat
Untuk pertama kali dia menyadari ukiran kepala naga yang jadi gagang pedang
sang paderi bentuknya sama dengan kepala naga gagang Naga Geni 212 miliknya.
“Saudara
Wie, kau yakin aku menolongmu?"
"Saat
itu aku melihat satu bayangan merah berkelebat disertai berkiblatnya cahaya
merah. Aku yakin bayangan merah itu adalah dirimu yang mengenakan pakaian
merah. Lalu cahaya merah adalah cahaya pedang sakti yang kau bekal di punggung.
Pasti dengan pedang sakti itu kau telah membabat putus tangan Ki Beringin
Reksa. Selain itu aku mencium dan mengenali satu bau harum. Bau tubuh dan
pakaianmu. Nionio. saat kau menolongku kita belum saling mengenai. Mengapa mau
turun tangan menghadang bahaya menyelamatkan diriku?"
‘Apakah
untuk menolong seseorang yang terancam jiwanya kita harus banyak berpikir?
Sebelum selesai berpikir bisa-bisa orang yang mau ditolong sudah mati
duluan."
Wiro
tertawa lebar.
"Selain
itu, hal tolong menolong bukankah hukum yang tidak tertulis didalam limbah
persilatan?"
"Kau
benar Nionio. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
Loan Nio
Nikouw hanya tersenyum dibalik cadar manik-manik yang menutupi wajahnya.
"Nionio,
kalau saja ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membalas budi baik dan
hutang nyawaku…"
"Saya
menolong bukan mengharapkan pamrih. Tapi jika ada kesudian, harap saudara Wie
mau menemui saya ditempat kediaman Adipati Brebes, lusa tengah malam."
Wiro agak
heran mendengar ucapan sang paderi.
"Adipati
Brebes? kau mengenal Adipati Itu!"
"Saat
ini dia satu-satunya orang yang bisa memberi petunjuk dalam mencari dua buah
dadu itu. Apakah Saudara Wie bersedia datang ? Saya memerlukan seorang teman
untuk menemani sewaktu menemui Adipati itu."
Wiro
mengangguk.
Tunggu
saya didepan pintu gerbang gedung kadipaten. Saya akan datang tepat pada pertengahan
malam."
"Mengapa
harus pada pertengahan malam? Bukan siang hari?" tanya pendekar 212 pula.
Itu
permintaan Adipati Brebes. Saya hanya bisa mengikuti. saya orang asing. Mungkin
Adipati tidak mau ada orang luar yang tahu saya mengunjunginya."
Wiro anggukkan
kepala.
"Saudara
Wle, saya harus pergi sekarang. Saya ada keperluan lain. Kita bertemu di
tampatyang saya katakan tadi."
"Nionio,
tunggu dulu. Bagaimana kau bisa mengenal Adipati Brebes padahal kau belum lama
berada di sini."
Pertanyaan
Wiro itu menimbulkan sedikit rasa curiga dalam diri Loan Nio Nikouw. Apa
perlunya pemuda gondrong Ini menanyakan hal itu.
"Jangan-jangan
dia tengah menyelidiki diriku“ pikir sang paderi.
"Jika
kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa." Ucap Wiro ketika dilihatnya
orang hanya berdiam diri tak mau menjawab.
Loan Nio
Nikouw ambil papan seluncur yang tergantung di punggungnya. Papan ini
dijatuhkan ke dalam telaga, diinjak dengan kaki kanan. Begitu sang paderi
celupkan kaki kiri ke dalam air dan dikibaskan ke belakang, papan seluncur
melesat ke depan. Hanya dua kali menggerakkan kaki kiri, Loan Nio Nikouw sudah
berada di tepi barat telaga, naik ke darat dan lenyap dari pemandangan.
******************
3
Udara
malam terasa dingin sementara angin bertiup kencang. Langit kelihatan gelap
kelam. Tak ada bulan tak ada bintang. Mungkin tak lama lagi akan turun hujan.
Gedung besar kediaman Adipati Brebes tampak sunyi. Hanya ada sebuah lampu kecil
menyala di langkan depan. Pintu gerbang tertutup rapat Tak kelihatan seorang
pengawalpun di tempat Itu. Bagi Kiang Loan Nio Nikouw yang menunggang kuda,
tidak Sulit mencarl gedung kediaman Adipati Brebes. Begitu sampai di depan
pintu gerbang, entah dari mana datangnya, tahu-tahu lima perajurit bersenjata
tombak telah mengurung. Walau mengurung sikap mereka menunjukan rasa hormat
Mereka memegang tombak dengan ujung lancip di arahkan ke tanah. “Tamu berkuda,
apakah kami berhadapan dengan paderi dari Tionggoan?" Salah seorang dari
lima perajurit bertanya. "Saya memang paderi dari Tionggoan. Nama saya
Kang Loan Nio." Jawab penunggang kuda. Pada saat itu pintu gerbang
terbuka. DI pertengahan pintu berdiri seorang berjubah biru yang mata kanan
ditutup sehelai kain tebal berwarna hitam. Dua tangan dirangkap di atas dada,
sepasang kaki yang tajam masih bisa melihat Dua kaki yang tersembul dari bagian
bawah jubah biru orang bermata satu ini bukan kaki manusia biasa, melainkan
berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladam besinya. "Henimm… kehadiran orang
aneh Ini membuat aku tidak enak," ucap Loan Nio Nikouw dalam hati.
"Harap
tamu terhormat menunjukkan tanda pengenal." Si picak berkata.
Masih
duduk di atas kuda, Loan Nio Nikouw gerakkan tangan kanan ke punggung.
"Srett!"
Satu
cahaya merah menerangi tempat di sekitar pintu gerbang. Itulah cahaya Ang Liong
Kiam atau Pedang Naga Merah yang barusan dicabut sang Paderi perempuan dari
sarung di belakang punggung. Lelaki picak di ambang pintu gerbang menatap penuh
kagum dengan mata kiri.
"Ini
rupanya pedang sakti yang dikatakan Adipati. Sebentar lagi senjata itu akan
menjadi milikku." Si mata satu sunggingkan senyum dan anggukkan kepala.
Setelah membungkuk, dia melangkah ke kiri dan berkata.
"Paderi
dari Tionggoan, atas nama Adipati Brebes aku mengucapkan selamat datang.
Adipati telah menunggu. Tak usah turun dari kuda. Silahkan mengikuti."
Kiang
Loan Nio Nikouw sarungkan senjatanya kembali. Dia memandang berkeliling lalu
berkata. "Saya menunggu seorang teman. Kami akan menghadap Adipati berdua.
Apakah bisa menunggu barang sebentar?"
“Turut
apa yang aku tahu, paderi dari Tionggoan hanya akan menemui Adipati seorang
diri."
Kian Loan
Nio Nikouw kembali memandang berkeliling. Dia merasa kecewa karena tidak
melihat Wiro di tempatitu. Untuk mengulur waktu dia bertanya. "Apakah
Adipati sudah siap dan berkenan menerima saya?"
"Adipati
orang yang tepat janji. Karena itu jangan membuat dia tidak enak karena terlalu
lama menunggu."
"Apakah
sebelum ini tidak ada tamu lain yang datang?"
“Tamu
siapa maksud paderi?" balikbertanya si jubah biru mata satu.
"Seorang
pemuda berambut panjang sepundak."
Si mata
satu gelengkan kepala. "Tidak ada tamu lain. Malam ini Adipati hanya
berkenan menerima kedatangan satu orang tamu yaitu Paderi dari Tionggoan.
Pemuda yang paderi maksudkan itu, apakah dia punya nama. Mungkin punya
gelar?"
"Namanya
Wie Lo Sab Leng. Bergelar Pendekar Kapak Naga Geni Dua Satu Dua."
Tampang
si mata satu jadi berubah. Namun dia cepat-cepat tertawa untuk menghilangkan
bayangan rasa terkejut dimukanya.
"Paderi,
aku yakin pemuda yang kau maksudkan itu adalah Wiro Sableng. Sekarang sebaiknya
paderi segera masuk."
"Kalau
saya boleh bertanya, saya berhadapan dengan siapa?" Loan Nio Nikouw
bertanya.
"Namaku
Sentot Balangnipa. Aku Kepala Pengawal gedung Kadipaten." Seperti
dituturkan dalam episode sebelumnya (Dadu Setan) Ki Sentot Balangnipa adalah
salah seorang tokoh rimba persilatan yang melindungi Istana Seribu Rejeki
Seribu Sorga yang terletak secara tersembunyi di bawah Bukit Batu Seruling.
Mata kanannya amblas ditembus Kujang Emas Kiai Pasundan milik Rayi Jantrayang
kepala Pasukan Kadipaten Losari Kini mata kanan yang buta itu ditutup dengan
kain tebal hitam.
Begitu
mengetahui siapa adanya orang di hadapannya Loan Nio Nikouw segera rundukkan
badan memberi hormat
"Paderi
dari Tionggoan, kau ingin menghadap Adipati atau tidak. Jika Ingin harap segera
masuk. Jika kau beri ama-tama di sini Jangan salahkan kalau aku terpaksa
menutup pintu gerbang."
Loan Nio
Nikouw maklum dia tidak bisa mengulur waktu karena lelaki di depannya
tampakmulai tidak senang. Sebelum menggerakkan kudanya, paderi ini kembali
memandang berkeliling Wiro yang diharapkan akan muncul tetap tidak kelihatan.
"Apa
yang terjadi? Apa pemuda itu mendapat halangan atau dia memang sengaja
mendustai diriku…?" membatin sang paderi.
Pintu
gerbang tertutup begitu Loan Nio Nikouw masuk ke halaman gedung Kadipaten. Dia
tidak tahu sampai dimana kehebatan lelaki mata picak mengaku bernama Sentot
Balangnipa ini. Namun dan keadaan dua kakinya yang menyerupai kaki kuda, sikap
serta gerak-gerik, sang paderi segera memaklumi orang ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Di depan
tangga gedung Kadipaten, Sentot Balangnipa hentikan langkah lalu balikan badan.
"Paderi,
kau boleh turun dari kuda. Ada yang akan mengurus binatang itu.
Solanjutnyasllahkan mengikuti."
Loan Nio
Nikouw turun dari kuda lalu menaiki tangga depan gedung Kadipaten. DI depannya
si jubah biru bermata satu melangkah enteng di atas lantai babi pualam tanpa
suara, padahal dua kakinya dilapis ladam besi. Setiap ruangan yang dilalui
dalam keadaan redup karena hanya diterangi oleh lampu minyak kecil. Di satu
tempat yang merupakan ruangan luas Ki Sentot Balangnlpa hentikan langkah. Kaki
kanan dlketukan tiga kail ke lantai batu pualam. Serta merta enam buah lampu
minyak besar di tempat Itu menyala. Keadaan Jadi terang benderang. Ki Sentot
melirik ke samping memperhatikan tubuh elok Loon Nio Nikouw di sampingnya.
"Sayang
wajahnya tertutup untaian manik-manik. Aku yakin wajahnya pasti cantik sekali.
Bau tubuhnya yang harum hemmmm…"ucap Ki Sentot Balangnipa dalam hati.
Loan Mo
Nikouw memandang berkeliling.Temyata ruangan Itu memiliki tiang-tiang kayu
berukir serta empat dinding yang dipahat sangat indah. DI dinding sebelah depan
ada sebuah pintu kayu berukir dengan gambar seorang perompuan muda tanpa
pakaian menunggang kuda.
Kembali
Ki Sentot Balangnlpa hentakkan kaki kanan tiga kali ke lantai.
Pintu
kayu berukir bergeser ke samping. Sesaat kemudian dari dnlam ruangan keluar
seorang lelaki bertubuh kukuh, mengenakan blangkon biru dan jas tutup hitam.
Berewok serta kumisnya tebal sekali.
Inilah
Raden Mas Karta Sumlnta, Adipati Brebes.
Sang
Adipati tartawa lebar lalu rundukkan kepala sedikit dan berkata. "Paderi
Loan Nio, sungguh satu kehormatan besar kau bersedia memenuhi janji datang ke
gedungku."
"Adipati,
saya mengucapkan terima kasih karena Adipati! telah sudi menyediakan waktu
menerima kedatangan saya." Jawab Loan Nio Nikouw sambil membalas
penghormatan orang dengan membungkukkan badan. Lalu dia menyambung ucapannya.
"Saya maklum Adipati tidak punya banyak waktu Apakah kita bisa bicara di
sini?"
"Jangan
khawatir. Untuk Paderi Loan Nio saya akan meluangkan waktu luas. Tidak usah
terburu-buru. Mari kita berbincang-bincang di dalam."
"Adipati
Brebes mompersilahkan tamunya masuk ke dalam ruangan. Dia memberi isyarat pada
Ki Sento tBalangnipa yang segera tinggalkan tempat itu.
"Adipati,
ada sesuatu yang hendak saya sampaikan." Kata Sentot Balangnipa. Maksudnya
hendak memberi tahu bahwa tamu paderi perempuan dari Tionggoan itu punya
hubungan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun Adipati menjawab setengah
berbisik.
"Nanti
saja. Pada saatnya harap kau bersiap-siap untuk mengambil pedang milik sang
paderi."
Ki Sentot
Balangnipa mengangguk lalu tinggalkan tempat itu.
Perlahan-lahan
pintu kayu berukir gambar perempuan telanjang menunggang kuda menutup kembali.
Ruang
dimana Loan Nio Nikouw berada ternyata sebuah ruangan yang sangat bagus. Lantai
tertutup permadani dari Turki. Empat dinding memiliki warna dasar biru muda
dinhiasi lukisan pemandangan yang saling sambung antara dinding satu dengan
dinding lainnya. Loan Nio Nikouw belum pernah melihat lukisan begini indah dan
seolah hidup sehingga merasa berada di satu alam terbuka penuh kesegaran.
Di tengah
ruangan terdapat sebuah meja dan dua kursi terbuat dari kayu jati berukir
burung pada bagian sandaran dan tangan kursi kiri kanan. Di atas meja ada
sebuah piala kaca serta dua buah seloki besar yang juga terbuat dari kaca.
Adipati Brebes mempersilahkan tamunya duduk.
Entah
mengapa saat itu Loan Nio Nikouw merasa hatinya kurang tenteram. Karena itu
setelah duduk di kursi paderi ini langsung bicara pada maksud kedatangannya.
"Adipati,
saya tidak ingin mengganggu Adipati terlalu lama. Ijinkan saya bicara pada
pokok persoalan. Saya sudah menerima keterangan dari penghubung kita bahwa
Adipati mengetahui dimana beradanya dua buah dadu gading yang berasal dari
Tiongkok itu."
"Paderi
Loan Nio waktu kita cukup banyak. Mengapa terburuburu? Lagi pula bukankah
sepatutnya saya menjamu Paderi lebih dulu?" Habis berkata begitu Adipati
Brebes Karta Suminta menuangkan minuman dalam piala ke dalam dua buah cangkir
kaca.
"Minuman
ini tidak ada di Tiongkok. Terbuat dari jahe yang ditumbuk halus, diberi air
yang sudah dimasak ditambah madu dari negeri Arab. Jika diminum hangat-hangat
akan membuat tubuh terasa segar, otak jernih, pandangan menjadi terang serta
hati lega. Ha_ ha… ha… Silahkan Paderi mencicipi…"
Loan Nio
Nikouw tampak sedikit bimbang. "Saya tidak haus katanya.
"Tidak
baik menampik. Atau mungkin Paderi menaruh curiga akan sesuatu…?"
Adipati
Brebes ambil seloki di hadapannya lalu meneguk minuman di dalam seloki itu
sampai habis. Wajahnya kelihatan merah dan keringat memercik di kening. Pelipis
kiri kanan tampak bergerak-gerak.
“Tidak
ada apa-apa dalam minuman ini. Tidak ada racun” kata Adipati pula lalu tertawa
lebar.
Karena
merasa tidak enak. Loan Nio Nikouw akhirnya ulurkan tangan mengambil seloki di
atas meja. Sebelum meneguk, minuman itu diciumnya terlebih dulu. Terendus bau
sedap harum dan hangat Sang paderi hanya meneguk seperlima dari isi seloki kaca
lalu letakkan seloki di atas meja.
"Adipati,
kembali pada pertanyaan saya tadi. Benar Adipati mengetahui dimana beradanya
dua buah dadu gading Itu?"
Adipati
Brebes terlebih dulu usap kumis dan janggut lebatnya baru menjawab.
"Memang
betul. Saya mengetahui. Tapi mengetahui keberadaan dua buah dadu bukan berarti
saya telah memilikinya-."
"Saya
mengerti. Saya juga maklum kalau Adipati bisa menolong saya untuk mendapatkan
dua buah dadu itu."
"Saya
sudah menyuruh dua orang kepercayaan saya untuk mengawasi tempat dimana dua
buah dadu itu berada. Pagi nanti sebelum fajar menyingsing kita bersama-sama mendatangi
tempat itu. Sementara itu kita masih punya banyak waktu untuk bercakap-cakap
bertukar pengalaman. Selain itu ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Namun jika Paderi Loan Nio mungkin merasa letih dan ingin beristirahat, saya
sudah menyediakan kamar tersendiri sambil menunggu datangnya pagi."
Loan Nio
Nikouw kedipkan kedua matanya beberapa kali. Dia tidak mengerti mengapa
tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Tubuhnya terasa panas. Aliran darah
mengencang sementara jantungnya berdetak lebih cepat Paderi ini mulai merasa
curiga.
"Terima
kasih, saya tidak letih…"
"Mengantuk
mungkin?"
‘Tidak
juga. Tapi…" Sang Paderi menguap. Cepat-cepat dia tutupkan tangan kanan ke
mulut Sepasang matanya berair. Kepala terasa berat tersentak ke depan.
"Maafkan saya. Beberapa hari ini saya memang kurang tidur»" Loan Nio
Nikouw menguap kembali. Bersamaan dengan itu kepala dan tubuhnya terkulai ke
kursi.
Adipati
Karta Suminta tersenyum. Perlahan-lahan dia berdiri, melangkah ke dinding. Saat
itu juga bagian tengah dinding yang berseberangan bergerak turun ke lantai
ruangan, membentuk sebuah tempat tidur besar berkasur tebal, terbungkus seperai
lembut
Gelegak
nafsu membersit jelas di wajah yang menyeringai. Adipati Karta Suminta
mendatangi sosok yang terkulai tak sadarkan diri di kursi kayu jati. Kemudian
diambilnya pedang dan papan seluncur yang ada di punggung paderi Loan Nio,
diletakkan di atas meja. Lalu tubuh Loan Nio Nikouw didukung, dibaringkan di
aias tempat tidur. Lalu Adipati ini membuka pakaiannya. Dengan hanya mengenakan
celana dalam dia kemudian berbaring disamping Loan Nio Nikouw. Topi biru yang
bersambung dengan untaian manik-manik merah ditanggalkan dari kepala sang
Paderi.
Untuk
beberapa saat lelaki ini terkesiap sewaktu melihat ternyata sang Paden
berkepala licin gundul. Walau tidak memiliki rambut namun wajah sang Paderi
tampak cantik jelita. Alis lengkung bak bulan sabit bibir merah seperti delima
merekah. Adipati Brebes ciumi kepala gundul dan wajah cantik harum itu berulang
kali.
Sambil
tertawa lebar dan pandang wajah serta kepala Loan Nio Nikouw Adipati Karta
Suminta usap-usap janggutnya yang lebat
"Seumur
hidup baru kal in aku melihat gadis botak secantik ini. Ha… ha… ha . Penga.aman
baru! Aku akan meniduri gadis botak!" Karta Suminta melirik ke bagian
bawah pinggang Paderi Loan Nio. "Apakah…apakah.Ha…ha…ha! "Dengan
penuh nafsu dia kembali menciumi wajah dan kepala gundul Paderi dari Tionggoan
itu berkali-kali.
Dua
tangan Adipati Karta Suminta kemudian bergerak menyingkap dada pakaian sang
Paderi. Di balik pakaian luar warna merah berkembang-kembang biru dan kuning
itu ada selapis pakaian dalam. Pakaian dalam ini begitu tipis sehingga sang
Adipati dapat melihat jelas dada Loan Nio Nikouw. Sepasang matanya membesar.
Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada begitu bagus, putih dan mulus.
Penuh gelegak nafsu lelaki ini sapukan wajahnya dengan gemas ke dada Loan Nio
Nikouw.
"Braakk!"
Tiba-tiba
atap ruangan jebol. Sesosok tubuh melayang turun. Bersamaan dengan itu satu
tendangan menderu ke arah kepala Adipati Brebes yang tengah melampiaskan
nafsunya itu sementara Loan Nio Nikouw masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
******************
4
Dalam
gelapnya malam Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan lari. Dia membungkuk untuk
mengencangkan ikatan kasut di kaki kanan. Sebenarnya ini adalah satu
kepura-puraan belaka. Sejak tadi dia mengetahui ada seseorang berlari menguntit
dirinya. Sambil membungkuk Wiro memperhatikan ke belakang. Gelap sunyi. Tak
tampak seorangpun. "Cepat juga setan itu sembunyi" pikir Wiro ‘Tapi
aku akan segera mengetahui siapa orangnya." Wiro lanjutkan lari ke arah
utara menuju Kadipaten Brebes. Malam itu sesuai perjanjian tepat tengah malam
dia akan menemui Kang Loan Nio Nikouw di pintu gerbang gedung kediaman Adipati
Brebes. Semula Wiro mengira orang yang menguntitnya adalah sang Paderi sendiri.
Namun setelah ditunggu beberapa lama orang yang membuntuti itu takkunjung
menyusul atau unjukkan diri. Wiro jadi curiga. Di satu tempat dia berkelebat ke
balik serumpunan semak belukar lalu melompat naik ke sebuah pohon bercabang
rendah berdaun rimbun. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan. Namun tak selang
berapa lama sang penguntit muncul juga. Wiro tak percaya pada penglihatannya.
Orang yang mengikuti itu ternyata pemuda berpakaian biru bermuka tengkorak dari
Tionggoan yang bukan lain adalah Liok Ong Cun alias Pendekar Muka Tengkorak Ko
Lo Khek. Wiro segera ingatakan penjelasan Nio Nikouw bahwa pendekar murid Siauw
Lim ini pernah keluarkan ancaman akan membunuh setiap lelaki yang mendekati
dirinya.
Wiro
maklum sudah. Liok Ong Cun sengaja menguntit dengan membekal maksud jahat
"Sejak
tadi dia sengaja tidak mau unjukkan diri. Pasti karena ingin mengetahui lebih
dulu kemana tujuanku." Pikir Wiro. "Mungkin juga dia sudah tahu kalau
aku akan menemui paderi perempuan yang digilainya itu."
Wiro
menatap ke langit. Tengah malam, waktu perjanjian dengan Loan Nio Nikouw hampir
tiba Jika mengurusi manusia satu ini bisa-bisa dia terlambat sampai di gedung
kediaman Adipati Tapi kalau tidak diurusi tetap saja LiokOng Cun akan jadi
penghalang. Wiro tidak mau kalau orang itu tahu kemana dia pergi dan bertemu
dengan sang paderi. Wiro memutuskan untuk segera saja turun dari atas cabang
pohon. Tapi belum sempat hal itu dilakukan satu cahaya hijau tiba-tiba memancar
di bawah sana. Di lain saat satu sosok biru melesat ke udara lalu cahaya hijau
berkiblat ke arah pohon dimana Wiro berada.
"Craass…craass!"
Luar
biasa! Dalam waktu singkatdaun pohon dibalik mana Wiro berada tertebas luruh
dan melayang jatuh ke tanah. Setengah bagian dari pohon menjadi gundul!
Keberadaan sosok Wiro di atas pohon yang tadi terlindung kini terlihat jelas.
Sosok biru melesat ke tanah. Di bawah sana Liok Ong Cun berdiri dengan dua kaki
merenggang sementara sebilah pedang hijau dimelintangkan di depan dada.
Mulutnya mengumbar tawa bergelak.
"Manusia
di atas pohon! Mengapa masih belum turuni Apa baru mau turun kalau kutabas dulu
batang lehermu dengan Ceng Coa Kiam?»"
Walau
Pendekar 212 tidak mengerti apa yang diucapkan orang karena Liok Ong Cun bicara
dalam bahasa Cina tapi Wiro maklum kalau pemuda bertopeng muka tengkorak itu
bicara dan mengejek dirinya. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera melompat
turun. Sebaliknya selagi Wiro melayang di udara Liok Ong Cun melompat ke atas.
Pedang sakti di tangan kanannya membabat ganas, menebar cahaya hijau dalam jurus
angker bernama Jai Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi.
Cahaya
hijau setengah lingkaran berkiblat menabas menyamping dari atas ke bawah,
disertai suara bersuit ganas. Yang diincar adalah kepala dan tubuh Pendekar
212.
Sebelumnya
Wiro telah melihat jurus serangan ini yaitu ketika Liok Ong Cun menghadapi
Nionio Nikouw. Digempur serangan hebat saat itu sang paderi tidak sampai celaka
karena keburu ditolong dua nenek kembar jejadian. Wiro tak mau berlaku ayal.
Dengan cepat dia berkelebat ke samping sambil tangan kiri lepaskan pukulan
Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Selarik
angin deras melabrak Liok Ong Cun. Gerakan tubuh pendekar Tionggoan muka
tengkorak ini menjadi goyang dan tertahan sedikit namun tangan kanannya yang
memegang pedang masih mampu menyusup ke depan.
"BrettT
Ujung
Pedang Ular HIjau merobek lengan kanan baju putih Wiro.
Wiro
berseru kaget dan memaki dalam hati.
"Gila!
Gebrakan pedangnya cepat sekali.Tenaga dalamnya juga tinggi. Pukulan saktiku
tidak membuatnya mental!"
Begitu
menjejakkan kaki di tanah, Liok Ong Cun kembali menyerbu. Seperti tadi
gerakannya luar biasa cepat Wiro sambut serangan lawan dengan tawa bergelak
lalu membuat gerakan aneh. Dia keluarkan ilmu silat Orang Gila yang didapatnya
dari kakek sakti bernama Tua Gila.
LiokOng
Cun kerenyitkan kening sewaktu melihat sosok lawan bergerak perlahan, terhuyung
ke kiri dan ke kanan, bergerak seperti mau terjerembab sementara dua tangan
menggapai ke atas dan ke samping Kepala mendongak dan mulut terus mengumbar
tawa. Gerakan Wiro yang perlahan seolah berlaku ayal ini membuat Liok Ong Cun
jadi penasaran. Dasar ilmu pedangnya adalah gerakan cepatsementara lawan
melayani dengan gerakan perlahan. Dia merasa dalam waktu dua jurus saja dia
akan mampu membacok kepala atau menabas tubuh Wiro!
Liok Ong
Cun menyerbu dengan jurus Yau Te Soan alias Langit Bergoyang Bumi Berputar.
Pedang sakti warna hijau di tangannya melesat menggeletar laksana ular
menyambar.
"Heee.„"
Wiro mencibir. Kepala dimiringkan, dua lutut ditekuk. Pedang hijau menderu
ganas setengah jengkal di depan kening Pendekar 212!
"Setan!
Aku mau lihat apa kau mampu menghindar dari jurus maut ini!" teriak Liok
Ong Cun yang jadi marah karena selain diejek serangannya tadi berhasil
dihindari lawan. Untuk kesekian kalinya Pedang Ular Hijau membabat berkesiuran
ke arah pinggang namun tiba-tiba serangan berubah menjadi satu tusukan. Luar
biasa! Tidak gampang merubah babatan menjadi tusukan. Apa lagi serangan itu
dilakukan dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi!
Itulah
salah satu jurus andalan ilmu pedang LiokOng Cun yang disebut Cip Hian JayHon
atau Tiba-tiba Muncul Pelangi.
Kaget
Pendekar 212 bukan alang kepalang. Senjata lawan tahu-tahu sudah menusuk ke
arah dadanya. Tepat pada saat ujung pedang menyentuh pakaiannya, tubuh Wiro tiba-tiba
meliuk ke kiri dan rebah ke belakang. Bersamaan dengan itu dua tangannya
membuat gerakan seperti orang bertepuk. Badan pedang hijau terjepit diantara
dua telapak tangan Wiro Ketika tubuh Wiro jatuh punggung, senjata lawan yang
ikut Tertarik menancap menghujam di tanah.
LiokOng
Cun berseru kaget
"Bagaimana
mungkin!" teriaknya heran. Di Tionggoan, tingkat kepandaian menarik pedang
dengan dua telapak tangan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh para tetua
Siauw Lim Apakah pemuda berambut gondrong ini lebih hebatdari tokoh Siauw Lim?!
Rasa
kaget membuat Liok Ong Cun bedaku lengah. Dia tak Sempat menghindar ketika dari
bawah kaki kiri Wiro melesat ke atas, kirimkan tendangan yang dengan
telakmenghajar bahu kanannya. LiokOng Cun berteriak kesakitan, memaki
habishabisan. Wiro melompat bangkit Diam-diam dia merasa kagum.Orang lain jika
ditendang seperti itu pasti sudah remuk tulang bahunya.Tapi Liok Ong Cun
berteriak kesakitan lalu usap-usap bahu kanannya.
"Antara
kita tidak ada permusuhan. Mengapa kau hendak membunuhku? Cemburu giia?!"
Liok Ong
Cun yang tidak mengerti ucapan Wiro keluarkan kutuk serapah yang tidak di
mengerti Wiro. Tindakan pemuda muka tengkorak ini ternyata tidak sampai hanya
memaki. Tapi sambil melangkah kehadapan lawannya dia lalu meludahi, muka Wiro.
Dihina
orang seperti itu membuat darah pendekar 212 jadi menggelegak. Ubun-ubunnya
terasa panas. Seumur hidup belum pernah dia diperlakukan orang seperti itu.
Dibarengi teriakan penuh amarah Wiro menerjang. Kalau tadi ketika mengeluarkan
ilmu silat orang gila gerakan Wiro begitu lamban seperti orang mabok, kini
tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang, dua tangannya lenyap dari
pemandangan!
Belum
pernah Liok Ong Cun menghadapi lawan yang punya kemampuan ilmu silat tangan
kosong begini hebat dengan cepat dia membuat gerakan perlawanan, lancarkan
jurus-jurus pertahanan yang sesekali diseling serangan-serangan kilat dengan
mengandalkan ketinggian tenaga dalam serta kecepatan gerak. Beberapa kali dua
tangan mereka saling bersilang dan beradu sampai mengeluarkan suara keras.
Setiap terjadi bentrokan tangan, Wiro terpental satu langkah, sebaliknya Liok
Cun hanya mengeluh kesakitan. Mengira dia memiliki tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh yang lebih andal dari lawan, pendekar dari Tionggoan ini
terus merangsak Namun dia salah menafsir. Saat itu Pendekar 2l2 telah keluarkan
Ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari
Datuk Rao Basaluang Ameh. Dari enam jurus pukulan inti yang mendasari ilmu
silat langka itu Wiro hanya mengeluarkan tiga jurus saja yakni Tangan Dewa
Menghantam Air Bah, Tangan Dewa Menghantam Api dan Tangan Dewa Menghantam
Matahari.
LiokOng
cun memang luar biasa Dia sanggup mengelakkan dua jurus pertama serangan lawan
yang menghantam ke arah kiri dan kanan tubuhnya. Namun jurus ketiga yang
bernama Tangan Dewa Menghantam Matahari tidak sanggup dia hindari. Pemuda ini
menjerit keras ketika jotosan tangan kanan Wiro mendarat telak di wajahnya.
"Kraak!"
Tulang
hidung remuk. Bibir pecah. Darah mengucur, menggerung kesakitan dan megap-megap
karena sulit bernafas Liok Ong Cun terhuyung mundur. Tiba-tiba orang ini
berteriak keras seperti kemasukan setan. Darah menyembur dari hidung dan mulut
Tubuh jatuh punggung tergelimpang di tanah. Sepasang mata mendelik.
"Mati
apa pingsan?" pikir Wiro memperhatikan.
Sosok
Liok Ong Cun tak bergerak.
Wiro
menatap ke langit Dia ingat janji pertemuannya dengan Nionio Nikouw.
"Celakai
Aku sudah terlambat!" ucap Wiro. Tanpa perdulikan Liok Ong Cun lagi Wiro
segera berputar badan tinggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah
berlari tiba-tiba sosok Liok Ong Cun yang tergeletak tak bergerak di tanah
melesat bangkit Mata tetap mendelik. Muka tengkoraknya berlumuran darah Tangan
kanan dipentang ke depan.
"Kreeekk!"
Lima kuku
jari tangan kanan Liok Ong Cun tiba-tiba mencuat panjang, runcing dan hitam.
Wiro tersentak kaget ketika mendadak di belakangnya ada suara sambaran angin.
Dengan cepat dia berbalik namun terlambat
"Breett!"
Lima kuku
jari tangan kanan Liok Ong Cun merobek pakaian Wiro, membuat lima guratan luka
di punggungnya.
"Keparat
kurang ajar!"
Wiro
berteriak marah. Balikkan tubuh sambil tangan kanan menghantam.
"Brukkk!"
Liok Ong
Cun menggerung keras. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tertantang di tanah
megap-megap. Mulut kucurkan darah segar. Perutnyayang terkena jotosan mengalami
luka dalam yang parah. Wiro melompat menghampiri. Dalam marahnya murid Sinto
Gendeng ini cabut Pedang Ular Hijau yang sampai saat itu masih menancap di
tanah. Pedang ini kemudian dihunjamkan ke arah tubuh LiokOng Cun yang tidak
berdaya. Sesaat lagi ujung pedang akan menembus perut pendekar Tionggoan itu,
Wiro berubah pikiran.
"Craass!"
Pedang
Ular Hijau ditancapkannya ke tanah di antara dua pangkal paha Liok Ong Cun.
"Bunuh!
Aku tidak takut matil ucap Liok Ong Cun.
"Keparat!
silahkan kau mau omong apa. Tadi kau meludahi Mukaku. Sekarang terima
balasannya!"
Wiro
selorotkan celananya ke bawah. Lalu serr! Air kencingnya mancur membasahi m uka
orang. Sebagian masuk ke datam mulut Liok Ong Cun hingga pemuda ini keluarkan
suara menggorok, sulit bernafas. Mau tak mau giek, gtek, glek, akhirnya dia
terpaksa menelan air kencing yang menggenang didalam mulutnya!
"Manusia
jahanam.’" rutuk Liok Ong Cun. "Aku bersumpah mengorek jantungmu
mencincang tubuhmu!"
******************
5
Ketika
Wiro sampai di depan gedung kediaman Adipati Brebes, pintu gerbang dalam
keadaan terkunci dan suasana serba sunyi.
"Sial,
gara-gara pemuda sinting tadi aku jadi terlambat Paderi itu tidak kelihatan.
Apa dia sudah masuk ke dalam gedung?"
Wiro naik
ke sebatang pohon yang salah satu cabangnya menjulal ke arah tembok gedung
Kadipaten. Untuk beberapa lama dia mendekam memperhatikan keadaan. Seperti di
luar, halaman dalam gedung Kadipaten juga tampak sunyi. Tak kelihatan seorang
pengawalpun. Gedung besar tempat kediaman Adipati Brebes itu bagian depannya
terselubung kegelapan. Tak ada satupun lampu menyala. Wiro merasa tidak enak.
Jika seorang tuan rumah menunggu kedatangan tamu penting, adalah aneh rumahnya
berada dalam keadaan gelap seperti itu.
Dari
cabang pohon Wiro melompat ke atas tembok lalu melayang turun kehalaman dalam.
Belum lama dia menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba terdengar orang berteriak.
"Ada
orang menyusup di halaman dalam!"
Saat itu
juga tiga orang pengawal bersenjata tombak dan satu mencekal golok berkelebat
dalam gelap mengurung Pendekar 212.
"Aku
bukan penyusup! Aku mencari seorang teman yang malam ini menemui Adipati
Brebes. Temanku itu seorang paderi perempuan dari negeri Cina!" Wiro
menjelaskan.
Empat
orang pengawal Gedung Kadipaten mana mau perduli.
"Menyerah
atau kami akan membunuhmu saat ini juga!" salah seorang pengawal
membentak.
"Antarkan
aku menghadap Adipati!" Kata Wiro pula.
Empat
pengawal takmenyahufj. Yang menjawab tombak dan golok.
Tiga mata
tombak menusuk ke arah dada, perut dan pinggang sementara golok besar
berkelebatmengincar kepala.
"Sial!"
Wiro memaki jengkel. Dia bergerak cepat Tangan dan kaki berkelebat Dua pengawal
terjengkang pingsan begitu tendangan dan kepalan Wiro menghantam mereka.
Pengawal ke tiga yang memegang golok keluarkan keluhan pendek lalu tertegun
kaku tak mampu bergerak atau bersuara karena urat besar di leher kanannya telah
ditotok.
Pengawal
ke empat yang memegang tombak rupanya memiliki ilmu silat paling tinggi. Tombak
di tangannya dibolangbaling, menderu kian kemari.
"Kunyuk
gondrong! Amblas perutmu! Jebol ususmu!" Teriak pengawal ini sambil
kirimkan satu tusukan kilat ke perut Wiro. Dia begitu yakin serangannya akan
menemui sasaran. Dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa.
Wiro
mundur satu langkah. Tangan kiri melesat ke depan. Si pengawal kaget bukan main
sewaktu tombaknya dicengkeram lalu dibetot lepas. Dia cepat menerjang. Namun
gagang tombak keburu mengemplang kepalanya Tak ampun lagi orang ini roboh
pingsan ke tanah.
Wiro
tinggalkan empat pengawal yang bergelimpangan di halaman gedung. Dia segera
hendak berkelebatmenuju pintu depan. Namun tidak sengaja matanya melihat ada
seseorang mendekam di atas salah satu wuwungan gedung.
"Kalau
dia pengawal, mengapa berada di atas atap. Kalau dia paderi perempuan itu
mengapa bertamu di atas wuwungan." Pikir Wiro.
Bangunan
gedung Kadipaten memiliki beberapa wuwungan.
Wiro
melesat ke wuwungan paling rendah lalu melompat ke wuwungan yang lebih tinggi.
Tak lama kemudian dia sudah berada di atas wuwungan dimana orang yang tadi
dilihatnya dari bawah berada. Orang ini berpakaian jubah biru gelap. Saat itu
dia tengah mengintip ke dalam bangunan lewat sebuah genteng yang sengaja
dibuka. Demikian asyiknya dia mengintip hingga tidak tahu kalau ada orang lain
naik ke atas atap. Juga tidak mendengar teriakan-teriakan di bawah sana. Tanpa
suara Wiro dekati si jubah biru. Wiro tepuk bahu orang ini lalu berkata."
"Sobat,
kalau ada pemandangan bagus jangan dilihat sendiri. Bagi-bagilah…"
Kejut si
jubah biru yang adalah Ki Sentot Balangnipa bukan alang kepalang. Cepat dia
palingkan kepala.
"Keparat!
Siapa kau?!" Ki Sentot Balangnipa membentak. Dia memang sudah sering
mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng namun belum pernah
melihat sendiri orangnya.
Melihat
tampang orang yang menyerupai muka kuda, Pendekar 212 menyeringai "Eh,
matamu ternyata cuma satu. Masih saja doyan mengintipi Minggir sana, aku mau
lihat apa yang sedang kau intip!"
Wiro
dorong bahu si jubah biru dengan pantatnya. Orang ini menggembor marah. Tubuh
dibungkukkan, kaki kiri menendang. Gerakannya cepat sekali.
"Wutt!"
Wiro
tersentak kaget Bukan karena mendapat serangan mendadak begitu rupa, tapi
ketika melihat keadaan kaki kiri orang itu yang berbentuk kaki kuda lengkap
dengan ladam besinyal Wiro jatuhkan diri sama rata dengan atap bangunan.
Tendangan si jubah biru masih menyapu rambut di kepalanya. Sebelum sempat orang
menarik kakinya Wiro cepat menjotos.
"Bukkk!"
Ki Sentot
Balangnipa keluarkan gerung kesakitan. Tubuh melintir akibat jotosan yang
melanda pangkal pahanya. Tampangnya berubah seperti kepala kuda. Dari bagian
atas atap dia gulingkan diri, berusaha merangkul sosok Pendekar 212. Wiro
maklum lawan hendak mengajak jatuh bersama. Dengan cepatdia membuang diri ke
samping kiri sambil tangan kanan melepas satu pukulan tangan kosong. Ki Sentot
Balangnipa kebutkan lengan jubah sebelah kanan dua kali berturut-turut
Wiro
terkejut Kebutan lengan jubah lawan bukan saja membuyarkan pukulan tangan
kosongnya tadi tapi dia juga merasakan tubuhnya laksana didorong sebuah batu
besar. Karena kedudukan dua kakinya berada pada atap yang miring, dia tak
mungkin bertahan. Wiro kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri. Bersamaan
dengan itu dia pergunakan ilmu meringankan tubuh untuk cepat-cepat melompat ke
atas.
Ki Sentot
Balangnipa berusaha mengejar sambil melepas serangan tangan kosong mengandalkan
tenaga dalam tinggi. Namun dia tidakmelihat lawan. Sebelum dia mengetahui
dimana Wiro berada tiba-tiba punggungnya dihajar satu tendangan keras. Tak
ampun lagi orang ini mencelat mental, menggelinding di atas atap, terus
melayang ke bawah.
Ki Sentot
Balangnipa memang tangguh. Walau punggung cidera berat namun dia masih sanggup
membuat gerakan jungkir balik di udara dan jatuh dengan dua kaki menginjak
tanah lebih dulu.
Wiro
tidak perdulikan lagi orang itu. Dia cepat merangkak ke atas dan mengintai ke
dalam gedung lewat genteng yang terbuka dimana tadi Ki Sentot Balangnipa
melakukan pengintipan.
"Jahanam
kurang ajar!" Wiro memaki goram. Apa yang disaksikan membuat dia marah
besar. Di bawah sana, di atas sebuah ranjang seorang lelaki bertubuh besar
tengah menanggalkan pakaian seorang perempuan muda berkulit sangat putih.
Melihat wajah dengan kepala gundul semula Wiro hampir tidak mengenali perempuan
itu. Namun dari wama pakaian serta sebilah pedang bergagang kepala naga yang
terletak di atas meja, Wiro sadar peiempuan itu bukan lain adalah Nionio
Nikouwl
"Aneh.
mengapa paderi itu diam saja?!" Pikir Pendekar 212.
"Pasti
ada yang tidak beres! Mungkin dia telah kena tolok!"
"Braakkk!"
Wiro
tendang hancur atap bangunan lalu melesat turun ke dalam ruangan. Di udara dia
berjungkir balik satu kali. Begitu melayang turun kaki kanannya menendang ganas
ke arah kepala Adipati Brebes yang tengah berbuat mesum terhadap Nionio Nikouw.
Pada saat
atap jebol, Adipati Karta Suminta sadar sesuatu terjadi diluar gedung. Telebih
lagi ketika ada sambaran angin di sampingnya. Secepat kilat Adipati ini
jatuhkan diri di atas tubuh Nionio Nikouw lalu menarik tubuh paderi Itu
menggelinding ke lantai. Begitu bangkit berdiri sosok sang paderi dipergunakan
sebagai tameng melindungi diri. Pakaian merahnya tersingkap lebar di sebelah
depan.
"Bangsat
gondrong! Siapa kau!" Bentak Adipati Karta Suminta.
"Manusia
bejat! Lepaskan perempuan itu atau kuhancurkan kepalamu!" Teriak Wiro lalu
melangkah cepat mendekati.
"Berhentil
Jika berani mendekat kupatahkan leher paderi ini!"
Adipati
Brebes balas mengancam dan saat itu juga tangan kanannya yang berjari besar
mencengkeram batang leher Kiang Loan Nio Nikouw.
"Aku
tidak perduli kau mau apakan paderi itu! Yang aku Inginkan adalah nyawa
busukmu!" Wiro melompat
Termakan
ucapan Wiro Adipati Brebes dorong tubuh sang paderi ke depan. Sebelum tubuh itu
tersungkur di lantai Wiro cepat merangkulnya. Di saat yang sama Adipati Brebes
berkelebat ke meja kayu jati di tengah ruangan, menyambal Pedang Naga Merah dan
sekaligus sreet.. Menghunus senjata milik Nionio Nikouw Ini. Cahaya merah
memancar di ruangan itu.
"Kurang
ajar…" rutuk Pendekar 212. Dia cepat memanggul tubuh paderi Nionio.
melangkah ke kanan ke arah pintu ruangan.
"Kalian
berdua akan mampus percuma di tempat ini!" teriak Adipati Brebes marah
besar. Sekali melompat pedang di tangan kanannya menderu dahsyat Wiro cepat
menyingkir. Cahaya merah disertai hawa dingin menggldikan memapas satu jengkal
di depan hidung Wiro. Kalau dia tidak cepat memutar diri sambil bersurut dua
langkah, pasti kaki Nionio Nikouw yang terjuntai akan kena dibabat putus oleh
Pedang Naga Merah miliknya sendiri!
"Manusia
setan!"
Baru saja
Wiro memaki, Adipati Brebes sudah menyerbu kembali. Cahaya merah bertabur
menggidikkan dalam ruangan. Di saat itu pula tiba-tiba dari atap yang jebol
melayang turun satu sosok berpakaian biru yang bukan lain adalah Ki Sentot
Balangnipa.
"Ki
Sentot Bantu aku membunuh dua orang ini!"
"Dua
orang ini Adipati?!" Ki Sentot Balangnipa terkejut
"Bukankah-perempuan Cina itu perlu dibiarkan hidup? Si gondrong jahanam
ini yang musti dicincang!"
"Kau
benar" ucap Adipati Karta Suminta seolah baru sadar bahwa dia masih ingin
melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Nionio Nikouw. "Hati-hati Ki Sentot!
Jangan sampai gadis itu terluka Sang Adipati pentang tangan yang memegang
pedang lalu menyerbu. Ki Sentot Balangnipa goyangkan dua bahu, keluarkan suara
meringkik seperti kuda.
Saat itu
juga tahu-tahu dia sudah memegang sepasang tali kekang kuda yang merupakan
senjata andalannya. Dengan dua senjata ini dia bisa membelah batu, membabat
putus tubuh manusia, juga mampu menjirat mengikat atau menggantung orangl
Wiro
melihat bahaya mengancam begitu rupa tidak mau berlama-lama. Ketika Adipati
Brebes menerjang dengan Ang Liong Kiam dan Ki Sentot Balangnipa menyabatkan dua
buah tali kekang yang jadi senjatanya, Pendekar 212 Wiro Sableng segera angkat
tangan kanan. Begitu tangan memancarkan cahaya perak menyilaukan Wiro memu kul
ke arah Adipati Karta Suminta.
"Pukulan
Sinar Matahari Adipati lekas menyingkir!" teriak Ki Sentot Balangnipa yang
telah sering mendengar kehebatan ilmu pukulan sakti itu. Habis berteriak dia
cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai dan berguling menjauh, berlindung dibalik
ranjang besar.
"Wuss!"
Cahaya
putih berkiblat Hawa panas menghampar.
Adipati
Karta Suminta menjerit keras. Tubuhnya terpental ke dinding. Sesaat tubuh itu
seolah menempel lalu jatuh ke lantai dalam keadaan gosong hitam, mengepul bau
sangit daging terpanggang!
Asap
tebal memenuhi ruangan.
Di luar
terdengar suara banyak orang berlarian mendatangi para pengawal. Dari atas
genteng ada seorang melompat turun Pasti seorang yang punya kepandaian tinggi.
Ki Sentot
Balangnipa walau sebagian jubah birunya hangus masih untung tidak mengalami
cidera. Hanya matanya terasa perih dan nafas menyesak. Didahului suara
meringkik keras dia hantamkan dua tali kekang kuda ke tengah mangan dimana tadi
Wiro berada. Namun saat itu Pendekar 212 sudah lenyap dari ruangan itu. Pintu
kamar tampak hancur berantakan!"
"Pengawal
jangan biarkan bangsat gondomg itu kaburi Kejar!" teriak Ki Sentot
Balangnipa.
************************
Wiro
menambahkan beberapa potong kayu kering di atas Onggok perapian yang hampir
padam. Goa dimana dia berada kembali menjadi terang benderang. Wiro menatap
sosok paderi Nionio yang sampai saatitu masih terbaring tak sadarkan diri.
Wajah cantik dengan kepala gundul. Sang pendekar jadi tersenyum sendiri. Dia
tidak pernah menduga kalau Nionio Nikouw berkepala gundul.Meski tanpa rambut
namun kecantikan Nionio Nikouw tetap memukau.
"Aneh
rasanya, lucu, ada perempuan cantik berkepala botak. Baru sekali ini aku
melihat" Sambil senyum-senyum Wiro usap-usap kepala gundul sang paderi.
Tidak sampai disitu, dasar jahil dia dekatkan mulurnya ke kepala Nionio Nikouw
lalu menjilat kepala botak itu!" Weehh, asin!" Wiro tertawa sendiri.
Sebelumnya Wiro telah memeriksa keadaan diri paderi itu. Tak
ada
tanda-tanda bekas totokan di tubuh Nionio Nikouw. Dari bibirnya yang agak
kebiruan Wiro menduga Nionio Nikouw tak sadarkan diri akibat keracunan.
"Pasti
ini pekerjaan Adipati keparat itu…" kata Wiro dalam hati. Karena itu dia
segera menotok beberapa jalan darah di tubuh Nionio Nikouw agar racun tidak tembus
ke dalam jantung dan masuk ke otak. Sampai menjelang pagi paderi itu masih
belum sadar. Wiro jadi gelisah. Tiba-tiba dia ingat pada Kitab Seribu
Pengobatan yang ada daiam sebuah kantong kain dan disimpan di balik pakaiannya.
Wiro segera hendak mengeluarkan kitab itu untuk mencari tahu cara pengobatan
yang bisa dilakukan guna menolong Nionio Nikouw.
Seperti
diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Api Di Puncak
Merapi"’ dengan bantuan mahluk alam gaib yang diberinya nama Purnama, kitab
tersebut berhasil didapatkan Wiro. Dalam kisah ini sebenarnya Wiro dalam
perjalanan menuju puncak Gunung Gede untuk menyimpan kitab tersebut di satu
tempat yang aman karena seperti diketahui pondok kedamaian Sinto Gendeng telah
roboh berentakan sewaktu terjadi perkelahian antara si nenek dengan Tua Gila.
Kemudian Sinto Gendeng menghancurkan sendiri pondok itu hingga musnah sama rata
dengan tanah. (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode "Nyi Bodong")
Belum
sempat Wiro mengeluarkan Kitab Seribu Pengobatan tiba-tiba dia melihat kaki
kiri Nionio Nikouw bergerak. Wiro cepat simpan Kitab Seribu Pengobatan ke balik
pakaian. Dia pegang urat besar di atas tumit kiri sang paderi. Terasa hangat
tanda jalan darahnya mulai lancar. Wiro lalu alirkan hawa sakti ke dalam tubuh
Nionio Nikouw lewat pegangan pada pergelangan tangan kanan. Sesaat kemudian
keluar suara mendesah halus dan mulut Nionio Nikouw. Menyusul perlahanlahan
membukanya kedua matanya.
"Saudara
Wio…" Kata-kata itu terucap sambil mata menatap sayu Pendekar 212. Lalu
Nionio Nikouw perhatikan tangannya yang dipegang Wiro. Kemudian melirik ke
atas, memandang ke kiri dan ke kanan lalu menatap ke arah perapian dan akhirnya
kembali memandang Wiro. "Saudara Wie, kita berada dimana? Paderi itu tarik
tangannya yang dipegang Wiro. Ketika dia memperhatikan dirinya kejutnya bukan
olah-olah. Wajahnya mendadak sontak menjadi bersurut menjadi merah. Nionio
Nikouw serta meria bangun dan duduk lalu tersurut menjauhi Wiro sampai
punggungnya menyentuh dinding goa.
"Saudara
Wie, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan terhadapku?! tanya Loan Nio Nikouw.
Tangan kiri menutup dada pakaian yang tersingkap, tangan kanan meraba ke
punggung.
Karena
Wiro tak segera menjawab paderi perempuan itu bangkit berdiri. Sepasang matanya
membesar, memandang tak berkesip ke arah Wiro.
“Dimana
pedangku?!"
Tiba-tiba
ada seseorang m uncul di mulut goa. Orang yang
datang
ini keluarkan ucapan.
"Loan
Nio. bangsat berambut gondrong ini barusan hendak memperkosamu. Untung aku
datang. Dia pula yang telah mencuri Pedang Naga Merah milikmu. Senjata itu
disembunyikannya di satu tempat Kau saksikan sendiri apa yang telah
dilakukannya terhadapku!"
Orang
yang bicara melangkah masuk sehingga wajah dan sosoknya kelihatan jelas
diterangi nyala perapian.
Kiang
Loan Nio Nikouw menjerit keras. Wiro tidak tahu apa yang diucapkan orang di
mulut goa karena dia berkata dalam bahasa Cina. Namun melihat keadaan sang
paderi yang mendadak tampak marah besar seperti mau menerkamnya Wiro yakin
orang di mulut goa telah mengatakan sesuatu yang dahsyat! Tanpa berpaling, dari
suaranya saja Wiro sudah mengenali. Orang itu bukan lain adalah LiokOng Cun.
"Saudara
Wie! Benar… benar?!"
"Benar
apa Nionio?"
"Kau
hendak memperkosaku! Kau mencuri Pedang Naga Merah!"
"Nionio,
aku belum gila melakukan hal bejat itul Pasti bangsat muka tengkorak ini
mengarang cerita mengumbar mulut fitnah! dia hendak menarik perhatianmu!
"Loan
Nio, apapun yang dikatakannya jangan percayai Demi cintaku padamu aku akan
membunuhnya saat ini juga! Apakah kau tidak akan membantuku menghajar orang
yang hendak mencelakai dirimu ini?!" Liok Ong Cun cepat keluarkan ucapan
karena merasa orang tengah berusaha membela diri.
Selesai
berucap Liok Ong Cun cabut pedangnya.
Loan Nio
Nikouw meraba ke pinggang, mencari suling perak. Tapi benda itu tak berhasil
ditemukan. Dia mengusap muka meraba kepala dan jadi terpekik ketika menyadari
bahwa topi sekaligus cadar yang menutupi kepala serta wajahnya tak ada lagi!
Dengan cepat paderi ini robek ujung bawah kiri kanan pakaian merahnya. Robekan
kain yang cukup lebar Ini dijadikannya destar penutup kepala serta cadar
pelindung wajah. Dengan mata menyorot Loan Nio Nikouw memandang ke arah
Pendekar 212.
"Saudara
Wie. aku tidak menyangka begitu bejat budi pekertimu! Aku mengira kau seorang
sahabat yang bisa dimintai tolong! Ternyata kau iblis terkutuk!"
"Nionio,
dengar dulu keteranganku…" ucap Wiro.
"Aku
tak butuh keterangan. Aku ingin membunuhmu saat ini juga!" Loan Nio Nikouw
berteriak keras lalu menerjang. Walau cuma mengandalkan tangan kosong namun
dengan ilmunya yang tinggi dua tangan bisa seganas senjata tajam atau pentungan
besi!
"Celaka
Kenapa bisa jadi begini?!" ucap Pendekar 212 Dia cepat rundukkan kepala.
Pukulan Loan Nio Nikouw menghantam dinding goa. Dinding berupa batu keras itu
hancur, bolong besari "Gila!" Wiro kembali memaki. Sementara dari
kanan Liok Ong Cun putar tangannya yang memegang pedang.
"Wuttt!"
Pedang Ular Hijau menyambar. Cahaya hijau berkiblat Wiro jatuhkan diri ke
lantai goa sambil dua tangannya menyambar dua kayu perapian. Kayu di tangan
kiri dilempar ke arah Nionio Nikouw hingga paderi perempuan ini terpaksa tahan
serangan yang hendak dilancarkannya. Walau cuma kayu tapi karena dialiri tenaga
dalam, setelah tidak mengenai sasaran kayu itu menancap di dinding goa. Dengan
kayu berapi di tangan kanan Wiro kemudian menyerang Liok Ong Cun. Pendekat dari
Tionggoan ini mendengus. Sekali pedangnya membabat kayu api di tangan Wiro
buntung.
"Kalau
tidak kuhabisi manusia satu ini bisa membuat urusan panjang tak karuan di
kemudian hari!" Berpikir sampai di situ Wiro siap melepas Pukulan Sinar
Malahan. Namun entah mengapa dia mengganti dengan pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera. Dia kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Angin dahsyat menggebu-gebu.
Liok Ong
Cun berteriak marah ketika melihat serangannya menjadi buyar. Sambil membolang
balingkan pedang membentengi diri dia melompatmeneijang Wiro. Wiro sambut
dengan dorongkan tangan kanan.
"Wusss!"
Liok Ong
Cun terjengkang di tanah Pedang Ular hijau nyaris terlepas. Wiro melompat di
atas tubuhnya, melesat keluar goa. Uok Ong Cun berusaha membabat kaki Wiro
namun dadanya keburu sesak. Lalu pemuda Tionggoan ini semburkan darah kental.
Dia termasuk hebat Orang lain yang terkena hantaman pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera berkekuatan tenaga dalam penuh pasti sudah remuk sekujur
tubuhnya.
"Manusia
pengecut! Kau bisa lari sekarang! Aku akan mencarimu sampai ke ujung
dunia!" teriak Kiang Loan Nio Nikouw.
"Paderi
Nionio! Jangan menuduh aku pengecut!" Di kegelapan malam diluar goa
terdengar suara Wiro menyahuti teriakan sang paderi. "Aku terpaksa pergi
karena kau lebih percaya pada pemuda busuk muka tengkorak itu dari pada diriku!
Jika kau ingin tahu apa yang terjadi pergilah menyelidik ke Gedung Kadipaten Brebes!
Aku telah membunuh Adipati Karta Suminta demi menyelamatkan dirimu dari
perbuatan kejinya!"
"Dusta!"
teriak Loan Nio Nikouw. Dalam keadaan masih marah dia berkelebat hendak
mengejar. Tapi Liok Ong Cun mencegah.
"Manusia
satu itu sangat berbahaya. Biarkan dia pergi: Oia tidak akan iolos dari
tanganku. Demi dirimu aku bersumpah akan menabas lehemyal Loan Nio, mungkin ini
saatyang baik bagi kita untuk bicara"
Mengingat
dan merasa orang telah menolong dirinya, walaupun tidak suka pada pemuda itu
namun akhirnya Loan Nio Nikouw masuk kembali ke dalam goa dan duduk di lantai.
"Ong
Cun, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Tapi tunggu…"
Sang paderi perhatikan wajah Liok Ong Cun yang masih ada noda-noda darah di
bagian bawah hidung dan sekitar bibir. "Aku melihatnodadarah di wajahmu.
Suaramu sengau seperti ada yang mengganjal di hidungmu. Sesuatu terjadi atas
dirimu sebelum kau berada di tempat ini…"
Liok Ong
Cun jatuhkan diri ke lantai goa, duduk bersimpuh lalu mengarang cerita.
******************
6
LOAN
NIO," Liok Ong Cun mulai dengan kebohongannya. "Kau tahu bagaimana
besarnya cintaku padamu. Sampai-sampai aku rela bunuh diri bahkan diluar
sadarku aku bicara kasar padamu. Bukan itu saja, aku sampai ingin mati berdua
bersamamu. Untuk semua itu aku sangatmenyesal dan mohon maafmu. Aku tahu kau
sudi dan mau memaafkan diriku…" ‘Teruskan bicaramu. Yang sudah berlalu aku
tidak keliwat memikir. Yang aku ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
Benar pemuda berambut gondrong itu hendak merusak kehormatanku?" "Kau
mungkin tidak percaya. Lihat wajahku Loan Nio. Bibirku pecah, tulang hidung
patah. Aku menderita luka di dalam. Itu yang telah terjadi dengan diriku
sebelum memergoki manusia keparat itu melakukan perbuatan keji atas dirimu di
goa ini. Sejak peristiwa di telaga, aku selalu memata-matainya. Bukankah aku
pernah mengeluarkan ucapan akan membunuh siapa saja lelaki yang berani
mendekatimu? Malam tadi aku mencegatnya di satu tempat Dia langsung
menyerangku. Aku harus mengakui dia memiliki ilmu silat dan kesaktian sangat
tinggi. Ilmu pedangku tidak berdaya. Kekuatan tenaga dalam dan hawa saktiku
tidak mampu menandinginya. Aku dihajar begini rupa. Tidak apa. Cepat atau
lambat dia akan menerima balasan dariku! Selain itu dia berkelahi secara licik.
Oia menghajarku lalu kabur begitu saja. Ada satu hal yang membuatku sangat
sakithati. Kau tahu apa yang dikatakannya sebelum pergi?"
"Mana
aku tahu. Memangnya dia bicara apa?" tanya Loan Nio Nikouw pula.
"Katanya
aku tak bakal mendapatkan dirimu karena kau telah tergila-gila padanya. Kau
akan menjadi miliknya. Kalau sudah dapat kau akan ditelantarkan lalu
ditinggalkanl Dia akan mempermainkan dirimu secara kejil Dia berkata aku tidak
akan mendapatkan dirimu sebagai seorang gadis utuh karena dia akan menodai
dirimu lebih dulu. Aku akan mendapat sisanya!"
"Kurang
ajar sekali!" Loan Nio Nikouw jadi terbakar amarahnya. "Tidak ada
seorangpun lelaki yang bisa memperlakukan aku seperti itu." Sang paderi
menatap wajah tengkorak pemuda di hadapannya beberapa lama. Membuat Liok Ong
Cun merasa tidak enak. "Ong Cun, aku percaya pada ceritamu tentang
perkelahianmu dengan pemuda itu. Namun aku merasa heran. Setahuku kau tidak
mengerti bahasa orang disini. Bagaimana kau tahu semua kata-kata yang diucapkan
pemuda itu lalu menceritakannya padaku?"
Di balik
topeng wajah LiokOng Cun menjadi sangat merah. Dia tampak salah tingkah tapi
masih bisa berdalih.
"Aku
memang tidak mengerti bahasa yang diucapkannya. Tapi dari gerak gerik serta
sikapnya aku tahu apa yang dibicarakannya."
"Kau
hebat sekali. Aku tidak tahu kau punya kepandaian mengartikan ucapan orang dari
gerak geriknya." kata Loan Nio Nikouw sambil tersenyum, entah memuji entah
mengejek.
"Selama
aku masih hidup, dia tidak bakal dapat mencelakai dirimu. Aku bersumpah akan
melindungimu setiap saat"
Loan Nio
Nikouw tidak perduli ucapan Ong Cun. Selain itu, melihat bagaimana Pendekar 212
Wiro Sableng telah menggebuk pemuda muka tengkorak ini, jelas Ong Cun terlalu
takabur.
"Ong
Cun, bagaimana kejadiannya kau sampai di goa in dan memergoki pemuda itu hendak
menodai diriku?" tanya Loan Nio Nikouw. "Setelah aku dipecundangi
secara licik aku bertekad menuntut balas. Begitu dia pergi aku mencari jejaknya.
Aku berhasil menemui pemuda terkutuk itu di goa ini. Tapi pada saat dia hendak
merusak kehormatanmu…"
"Ong
Cun, ketahuilah. Malam ini aku dan pemuda itu sebenarnya telah berjanji akan
bertemu di depan gedung kediaman Adipati Brebes. Aku minta dia menemaniku
menghadapi Adipati. Dia tidak muncul dalam waktu yang dijanjikan. Sekarang aku
tahu. Dia tidak datang memenuhi janji karena berkelahi denganmu."
"Loan
Nio, sungguh aku tak menduga kau mempercayai musang berbulu ayam itu!
Kenyataannya kau lihat sendiri apa yang sekarang terjadi. Mengapa kau
mau-maunya membuat janji dengan pemuda terkutuk itu…"
Aku hanya
menurut petunjuk Wakil Ketua Siauw Lim. Jika sampai di negeri ini harus
mencarinya untuk dimintai tolong Sebelumnya aku sama sekali tidak menaruh curiga
padanya Tapi jika dia memang orang jahat aku bisa saja berubah pikiran."
"Loan
Nio, kau bukan cuma harus berubah pikiran. Tapi harus menjauhi pemuda itu!
Bahkan tidak salah kalau kau membunuhnya! Wakil Ketua tidak tahu apa-apa
tentang pemuda itu. Dia jauh di Tionggoan sana. Apa yang dia tahu tentang’
orang-orang di sini. Kau harus berhati-hati Loan Nio. Mulai sekarang
kemana-mana kita harus bersama-sama. Aku punya tanggung jawab menjaga
keselamatanmu."
Loan Nio
Nikouw terdiam beberapa lama. Kemudian dia berucap. "Aku masih tidak
mengerti mengapa aku bisa berada dalam goa ini. Pada hal seingatku saat itu aku
berada di gedung Adipati di Brebes.
"Loan
Nio, nada bicaramu seperti membela pemuda itu. Ketika aku sampai di goa ini,
aku memergoki pemuda itu tengah menanggalkan pakaianmu. Aku langsung
menyerangnya dengan pukulan Lima Kuku Akhirat Apa kau tidak melihat punggung
pakaiannya yang robek dan lima guratan luka pada kulit tubuhnya?!"
"Aku
memang melihat.." jawab Loan Nio Nikouw. Namun dalam hati dia berkata
"Jka kau memang memergoki, mengapa susah-susah mengeluarkan Ilmu Lima Kuku
Akhirat segala. Bukankah kau membekal pedang sakti? Mengapa tidak langsung
membacok kepalanya dengan Pedang Ular Hijau? Sekali bacok kepala pemuda itu
pasti terbelahl Apa lagi kau menyerang dari belakang."
Dari luka
guratan di punggung Wiro, Loan Nio Nikouw bisa menduga kalau Liok Ong Cun
menyerang pemuda itu dari arah belakang.
"Seharusnya
racun kuku jariku sudah membuat dia mampus saat ini. Tapi entah itmu kebal
setan apa yang dimilikinya hingga dia sanggup bertahan, tidak menemui
ajal!"
"Ong
Cun… Jika pemuda itu hendak memperkosaku di tempat ini, bagaimana kejadiannya
topiku tak ada di sini. Juga kain putih penutup bagian dalam dadaku tidak
kutemui. Selendang ikat pinggangku lenyap. Lalu papan seluncurku juga
hilang."
"Loan
Nio, aku menduga pemuda itu sebelumnya hendak merusak kehormatanmu di tempat
lain. Namun kemudian dia memutuskan membawamu ke goa ini. Mungkin di sini lebih
aman. Mungkin juga topi dan kain penutup dadamu serta selendang jatuh di tengah
jalan. Loan Nio, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri apa yang hendak
dilakukannya. Apakah kau tidak mempercayai diriku?"
Loan Nio
Nikouw bukannya menjawab malah bertanya. "Pedang Naga Merah milikku apa
juga jatuh di jalan?"
"Pasti
dia yang telah mencurinya! Senjata itu agaknya disembunyikan di satu
tempat" Ong Cun menatap wajah paderi cantik di hadapannya lalu berkata.
"Loan Nio, air mukamu menunjukkan kau tidak mempercayai keteranganku. Apa
yang diteriakkan pemuda itu tadi padamu sebelum kabur?"
"Ong
Cun, aku percaya padamu. Namun ada beberapa kejadian yang membingungkan…"
"Kau
hendak diperkosa orang yang kau sangka baik. Tentu saja kau jadi bingung. Loan
Nio."
"Bukan,
bukan Itu maksudku" jawab Loan Nio Nikouw. "Sebelumnya aku masuk
seorang diri ke dalam Gedung Kadipaten. Aku bertemu dengan Adipati Karta
Suminta. Dia pejabat tinggi dan penguasa di daerah ini. Kami bicara lalu aku
tak ingat lagi. Sesuatu pasti terjadi atas diriku. Adipati itu menyuguhkan
sejenis minuman…"
Berarti
pemuda jahat itu menghadangmu setelah kau keluar dari Gedung Kadipaten. Ketika
kau lengah bisa saja dia menotokmu. Aku tidakyakin seorang pejabat mau berbuat
keji terhadap dirimu. Atau bisa saja begini. Pemuda itu berkomplot dengan
Adipati untuk mencelakaimu. Lalu membawamu ke goa ini dan mengaku justru dia
yang menyelamatkan dirimu. Maksudnya jelas agar kau merasa berhutang budi dan
kehormatan lalu pasrah menyerahkan diri padanya!"
Loan Nio
Nikouw terdiam.
"Satu
bukti lagi bahwa pemuda itu orang jahat, mengapa dia melarikan diri begitu
saja? Dia takut belangnya akan ketahuan. Selain itu dia merasa tak sanggup
menghadapi kita berdua. Aku tadi mengadu nyawa untukmenyeiamatkan dirimu.
Sampai saat ini agaknya kau masih lebih mempercayai dia dari pada diriku. Aku
benar-benar merasa kecewa, Loan Nio. Loan Nio, dengar. Jika sekali lagi aku
berhadapan dengan pemuda itu aku akan mengeluarkan ilmu Manusia Bangkai. Aku
dendam sampai mati pada pemuda keparat satu ibu. Kau tahu, sebelum kabur dia
mengencingi mukaku!"
Wajah
Loan Nio Nikouw berubah. Kejutnya bukan alang kepalang. Bukan karena cerita Ong
Cun bahwa mukanya telah dikencingi Wiro. Melainkan karena mendengar ilmu yang
disebut pemuda bertopeng muka tengkorak itu. Ilmu Manusia Bangkai adalah satu
ilmu setengah sihir yang sangat berbahaya. Ilmu ini dimiliki oleh seorang tokoh
sesat dari Gobi Pay berjuluk Pak San Kwi Ong yang berarti Raja Setan Gunung
Utara. Orang yang memiliki ilmu ini tubuhnya akan berubah menjadi bangkai hidup
berbau busuk luar biasa. Siapa saja lawan yang terkena sentuhannya, bagian
tubuhnya akan membusuk. Dalam waktu beberapa hari kebusukan itu akan menjalar
ke seluruh tubuh sampai ke kepala dan kaki. Tak ada yang sanggup menyembuhkan.
Berarti jangan harap korban bisa bertahan hidup.
"Aku
tidak pernah mendengar kabar kapan pemuda ini mempelajari ilmu sesat itu. Pasti
setelah aku meninggalkan Siauw Lim beberapa waktu lalu. Turut kabar yang aku
dengar Pak San Kwi Ong punya kelainan badaniah. Dia hanya bernafsu pada sesama
jenis. Apa Ong Cun telah menyerahkan dirinya untuk mendapatkan ilmu itu?
Mengerikan, menjijikanl Dan manusia macam ini yang minta nikah dengankul Semoga
Thian menjauhkan aku darinya." (Thian=Tuhan).
Perlahan-lahan
Loan Nio Nikouw bangkit berdiri. Banyak hal yang membuat pikirannya kacau.
Banyak ha! yang harus segera dilakukannya.
"Loan
Nio, kau mau kemana?" tanya LiokOng Cun.
"Urusanku
di Gedung Kadipaten belum selesai. Aku akan kembali ke sana…"
"Kau
barusan saja menemui bahaya. Hampir celaka. Dan sekarang berkata hendak kembali
ke Kadipaten. Lebih baik kita sama-sama tinggalkan tempat ini. Loan Nio, tak
ada yang lebih baik dari pada kembali ke Tionggoan. Kita menikah di sana."
"Manusia
satu ini benar-benar keras kepala," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu
dia berucap. "Kau mungkin lupa. Aku pernah menerangkan ada tugas yang
harus aku laksanakan dari Wakil Ketua Siauw Lim. Aku akan pulang bila semua
tugasku selesai. Lagi pula aku harus menemukan Ang Liong Kiam kembali. Senjata
itu sama nilainya dengan nyawaku. Aku juga harus mencari topi. selendang serta
papan seluncurku. Suling perakku!"
"Aku
bosan mendengar ceritamu itu. Tugas… tugas! Kalaupun kau berhasil dalam tugasmu
Siauw Lim tidak akan menjadikanmu pahlawan besar."
"Dalam
menjalankan tugas apapun, dari siapapun aku tidak pemah memikir akan jadi
pahlawan." Kata Loan Nio Nikouw pula. Lalu dia meneruskan. "Kalau kau
bosan, tak usah kau dengar semua ucapanku."
"Loan
Nio, mengapa kau jadi begitu keras kepala. Aku ingin menyelamatkanmu dari
bencana. Ah, aku khawatir. Jangan-jangan kau telah tertarik pada pemuda
berambut gondrong itu."
Di balik
kain merah penutup muka, wajah Loan Nio Nikouw menjadi merah oleh ucapan pemuda
muka tengkorak. Tanpa banyak bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu. Liok
Ong Cun sesaat tertegun Lalu berteriak keras dan memukul dinding goa dengan
tangan kanan hingga hancur berantakan.
"Gadis
itu sudah tergerak hatinya padaku. Tapi kini setan gondrong keparat itu yang
jadi ganjalan. Jangan-jangan Loan Nio sudah kena guna-gunanya. Aku banyak
mendengar cerita. Negeri ini penuh dengan seribu satu macam ilmu guna-guna Ilmu
pelet!" Habis memukul dan memaki Liok Ong Cun keluar dari goa. Dia masih
sempat melihat bayangan Loan Nio Nikouw lalu mengajar ke arah larinya paderi
itu.
***********************
KETIKA
Wiro kembali ke Gedung Kadipaten Brebes, malam hampir sampai di penghujungnya.
Keadaan gedung terang benderang. Lampu menyala dimana-mana Di bagian dalam dan
luar gedung terlihat banyak orang. Di pintu gerbang selusin perajurit pengawal
berjaga-jaga. Di halaman dalam belasan pengawal tampakmundar-mandir. Di luar
tembok pagar halaman hampirduapuiuh pengawal melakukan penjagaan. Wiro berpikir
mencari akal bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam tanpa menarik perhatian
atau dicurigai. Dia punya dua tujuan kembali ke gedung itu. Pertama untuk
mencari dan mendapatkan kembali Pedang Naga Merah, topi serta suling perakmilik
Nionio Nikouw. Kedua menyelidik keterlibatan Adipati Brebes dalam kematian
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Loan Nio Nikouw pernah cerita bahwa dia ingin menemui
Adipati Brebes untuk mencari tahu keberadaan dua buah dadu mustika. Paderi ini
mengatakan bahwa saat itu Adipati Karta Suminta satu-satunya sumber petunjuk keberadaan
dua buah dadu. Sementara itu sebelum menemui ajal Eyang Sepuh Kembar Tilu minta
Wiro agar mendapatkan dua buah dadu itu.
Di kamar
dimana sang Adipati hendak menggagahi Loan Nio Nikouw Wiro sempat melihat
sehelai jas hitam terletak di atas kursi. Wiro keluarkan kancing baju besar
yang diberikan Eyang Kembar Tilu padanya. Menimang-nimang kancing itu beberapa
lama lau memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
"Jika
kancing ini tanggai dari jas milik Adipati Brebes, berarti dia yang membunuh
nenek aneh itu. Ku yang perlu kuselidiki…"
Selagi
berpikir-pikir seorang pengawal lewat di depan Wiro, tengah melangkah ke arah
pintu gerbang, membekal sebilah tombak, Wiro mengukur-ukur. Pengawal ini
memiliki ukuran badan menyerupai dirinya.
"Celana
dan bajunya pasti muat," ucap Wiro dalam hati. Lalu dia mendekati sang
pengawal.
"Pengawal,
ada orang dibunuh dibalik semak belukar sana"
Si
pengawal hentikan langkah, menatap Wiro sejurus lalu memandang ke arah semak
belukar di kejauhan yang ditunjuk Wiro.
"Kau
siapa? Siapa yang dibunuh?" Pengawal bertanya.
"Saya
Ngamino, petani dari Dukuh Turi. Yang dibunuh sepertinya seorang perajurit
Kadipaten," jawab Wiro.
"Hah!"
Sang pengawal kaget" Lekas antarkan aku kesana"
"Ba…
baik. Tapi kaujalan lebih dulu. Aku takut Perajurit Itu mati dengan lidah
mencelet dan mata mendelik…" Wiro berkata sambil mendorong punggung si
pengawal.
"Hah?!"
Si pengawal melangkah cepat ke arah semak belukar. Wiro mengikuti dari
belakang. Sampai di balik semak belukar si pengawal memeriksa lalu berpaling
pada Wiro. ‘Tak ada mayat! Tak ada siapa-siapa di tempat ini!"
"Memang
tak ada siapa-siapa di sini!" jawab Wiro sambil menyengir.
"Kurang
ajari Aku sedang bertugas dan kau mempermainkan aku" Si pengawal marah
sekali lalu angkat tombaknya.
‘Tidak,
aku tidakmempermainkanmu. Aku cuma mau pinjam pakaianmu”
"Setan
alas!"
Makian si
pengawal terputus. Totokan yang dihujamkan Wiro ke pangkal lehernya sebelah
kiri membuat pengawal itu langsung kaku dan gagu. Wiro tarik orang ini ke balik
samak belukar.
******************
7
DENGAN
menyamar sebagai perajurit Kadipaten, mengenakan pakaian pengawai curian di
atas pakaian putihnya, membawa tombak Wiro melewati pintu gerbang Gedung Kadi
paten tanpa kesulitan. Rambutnya yang panjang digulung lalu ditutupi topi besar.
Saat itu menjelang pagi. Udara terang-terang tanah. Di dalam gedung orang
banyak sekali. Di sebuah ruangan besar jenasah Adipati Karta Suminta
dibaringkan dlatas ranjang besar kasur tebal diselimuti kain sutera halus.
Beberapa orang laki dan perempuan duduk bersimpuh mengelilingi ranjang. Yang
lelaki unjukkan wajah sedih, yang perempuan menangis. Mereka adalah kerabat
dekat mendiang Adipati Karta Suminta. Wiro melangkah sepanjang sisi dinding
mangan. Dia berusaha mencari dimana letak kamar tidur Adipati Karta Suminta.
Setelah berputar-putar cukup lama akhirnya Wiro berhasil juga menemukan kamar
itu. DI depan pintu kamar ada seorang pelayan perempuan gemuk pendek menunggui.
Seorang pengawal bicara dengan pelayan perempuan itu lalu pergi. Wiro segera
mendekati si pelayan. "Saya ditugaskan memeriksa kamar tidur Adipati.
Mungkin pembunuh Adipati masuk kt sini dan meninggalkan tanda-tanda yang bisa
dijadikan pengusutan. Saya merasa tidak enak kalau memasuki kamar tanpa ada
yang menyaksikan. Saya tidak mungkin meminta izin istri Adipati yang sedang
berduka." Pelayan perempuan bertubuh gemuk pendek itu perhatikan Wiro
beberapa lama.
"He…
Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya." Sang pelayan keluarkan ucapan.
Suaranya bernada heran tapi juga ada rasa curiga.
Wiro tersenyum.
"Saya pengawal baru di sini. Baru datang kemarin dari Slawi."
"Walau
baru adalah aneh kalau disitu tidak tahu bahwa Adipati Karta Suminta tidak
punya istri…"
"Ah…"
Wiro tertawa. "Terjebak aku" katanya dalam hati. "Soal atasanku
punya istri atau tidak, atau punya istri banyak, apakah saya harus bertanya
padanya atau menggunjingkan dengan orang lain? Mbok, saya masih banyak tugas
lain. Saya minta diizinkan masuk sekarang juga-."
Si
pelayan akhirnya membuka pintu kamar. Sebelum masuk Wiro pura-pura bertanya.
"Simbok tidak ikutmasuk?"
Pelayan
menggeleng. "Aku menunggu di luar saja…" katanya.
Wiro
mengangguk. "Aku tidak lama."
Begitu
Wiro masuk pelayan gemuk pendek ini segera beranjak pergi. Dia melangkah cepat
ke bagian depan gedung, menemui seseorang.
Di dalam
kamar yang diperiksa Wiro adalah sebuah lemari pakaian besar. Di dalam lemari
ini dia melihat enam buah jas tutup tergantung rapi. Wiro cepat memeriksa
kancing setiap jas. Ternyata kancing-kancing jas tutup itu lengkap semua. Tak
ada yang hilang atau tanggal. Wiro keluarkan dari saku pakaiannya kancing baju
yang didapat dari Eyang Sepuh Kembar Tilu. Salah satu jas tutup yang ada dalam
lemari itu memiliki kancing yang sama bentuk serta warnanya Tapi semua
kancing-kancing jas tutup itu lengkap, tak ada yang tanggal.
"Mungkin
saja kancingnya sudah diganti," pikir Wiro. "Mungkin juga memang
bukan dia pembunuh nenek aneh itu." Wiro hendak menutup pintu lemari
pakaian. Namun dia ingat sesuatu. Jas tutup berkancing sama dengan yang ada
padanya diperiksa ke dua sakunya. Dalam salah satu saku Wiro menemukan sebuah
kantong kecil, terbuat dari kain berwarna hitam. Kantong ini kosong, tak berisi
apa-apa Wiro menimang-nimang kantong itu sambil berpikir-pikir, akhirnya
kantong kain hitam dimasukan ke dalam saku pakaian. Lalu dia cepat-cepat
melangkah ke pintu. Namun begitu pintu dibuka langkah Wiro serta merta
tertahan, dihadapannya berdiri dua orang dengan sikap menghadang. Orang
pertama, berdiri di sebelah kanan adalah si muka kuda jubah biru mata satu Ki
SentotBalangnipa. Orang ini menyeringai lalu keluarkan ucapan.
"Menyamar
jadi pengawail Kau kira kami ini orang-orang tolol?!" Pemuda keparat!
Pembunuh Adipati Karta Suminta! Lancangnya kau memasuki kamar mendiang Adipati.
Apa yang kau lakukan di dalam sana?!"
Wiro
melirik pada sebilah pedang bersarung yang dipegang Ki Sentot Balangnipa. Dia
segera mengenali. Pedang Itu adalah Ang Liong Kiam milik Nionio Nikouw. Di
pinggang Ki Sentot tersisip sebuah suling perak. Benda ini juga adalah milik
sang paderi. Wiro menyeringai. Sadar kalau orang sudah mengenali siapa dirinya
Wiro tanggalkan topi besar di kepala. Topi ini dilemparkannya ke arah wajah W
Sentot Balangnipa.
"Jahanam!"
Sambil berteriak marah W Sentot Balangnipa cepatmenghindar.
"Aku
ke dalam kamar mencari senjata itu. Ternyata ada padamu!" Wiro tudingkan
tombak yang dipegangnya ke arah pedang di tangan Ki Sentot Balangnipa.
"Mulut
busuk dusta Kau kira aku tidak tahu spa yang kau lakukan di dalam sana Aku
mengintip semua perbuatanmu lewat atap kamar!"
"Matamu
cuma satu Tapi masih doyan mengintipi Sebelumnya kau asyikasyikan mengintip
Adipati yang hendak merusak kehormatan gadis pemilik pedang itu! Tadi kau
mengintip akui Kucing beranakpun bisa-bisa kau Intipi Ha… ha… ha!" Wiro
tertawa gelak-gelak.
Orang di
samping Ki Sentot Balangnlpa kerenyitkan kening, rangkapkan dua tangan di atas
dada. Lalu Ikutan tertawa. Suara tawanya perlahan saja namun Wiro merasa lantai
yang dipijaknya bergetar. Wiro tidak tahu siapa adanya orang satu ini yang
agaknya memiliki tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.
Sementara
itu Ki Sentot Balangnipa sendiri tampak mengetam merah tampangnya. Rahang
menggembung, mata kirimendelik besar. Tangan kiri yang memegang sarung pedang
diangkat ke atas. Tangan kanan bergerak mencabut
"Srett!"
Pedang
sakti keluar dari sarungnya. Cahaya merah langsung bertabur. Orang banyak yang
ada di tempat itu segera menjauh. Belasan pengawal menutup semua jalan keluar.
Orang
kedua yang berdiri di samping Ki SentotBalangnipa adalah kakek bertubuh kurus
tinggi. Sepasang daun telinganya sangat lebar, mengingatkan Wiro pada daun
telinga sobatnya, si kakek berjuluk Setan Ngompol. Orang ini mengenakan jubah
hitam gombrang menjela lantai. Rambut panjang kasar seperti ijuk berwarna biru.
Sepasang alis juga berwarna biru sementara dua bola mata berwarna kelabu pekat
"Pendekar
Dua Satu dua! Kau boleh menyandang nama besar dan punya nyali setinggi langit
Apa tidak mengerti kalau kau cuma punya satu nyawa?!" Orang yang tidak
dikenal Wiro itu membuka mulut sambil goleng-goleng kepala. Namanya Walang
Gambir. Dalam rimba persilatan tanah Jawa dia dikenai dengan julukan Kobra
Bini.
Wiro
menggaruk kepala. Sambil senyum cengengesan dia berkata "Orang gilapun
tahu kalau setiap manusia cuma punya satu nyawa. Mungkin kau satu-satunya
manusia yang punya nyawa satu setengah?!"
Ki
SentotBalangnipa menyeringai. Pedang Naga Merah dimelintang di depan dada.
"Pendekar
Dua Satu Dua. Ternyata kau memang orang sableng yang pandai melucu. Dengar
baik-baik. Jika kau sudi menyerah, umurmu mungkin bisa kami perpanjang barang
satu hari" Ucap kakek bertampang kuda. Dia sudah tahu kehebatan Wiro
bahkan sebelumnya sempat dihajar pendekar Ini. Itu sebabnya dia mencoba menghindari
perkelahian walau saat itu di sampingnya ada seorang sobatberkepandaian tinggi
yang bisa diandalkan. Selain itu Ki Sentot Balangnipa juga ingin mengorek
keterangan dari Wiro. Waktu mengintip dari atas atap tadi dia melihat pemuda
itu mengambil sesuatu dari kantong jas tutup milik mendiang Adipati Karta
Suminta.
"Soal
menyerah gampang-gampang saja," sahut Pendekar
212. Tapi
serahkan dulu padaku pedang itu. Senjata itu bukan milikmu. Kau
mencurinya!" "Lantas apakah kau merasa pedang ini milikmu hingga kau
lancang berani meminta?!" tukas Ki Sentot Balangnipa. "Pemiliknya
adalah seorang paderi dari Cina. Dia sahabatku. Aku mewakilinya untuk meminta
senjata itu. Jelas?!"
"Pemuda
setan Siapa percaya dirimu! Sekalipun paderi itu gendak atau istrimu aku tidak
menyerahkan pedang ini padamu. Tapi jika kau memaksa meminta silahkan
mengambil!"
Habis
memaki Ki SentotBalangnipa gerakkan tangan yang memegang-megang pedang.
"WuttT
Sinarmerah
menebar ganas, mengeluarkan hawa dingin.
Wiro
angkat tangan kanannya yang memegang tombak.
“Traang!"
Seperti
menahas ranting kering pedang sakti membabat buntung tombak besi di tangan
Wiro. Selanjutnya secepat kilat ujung pedang menyambar dalam gerakan membalik.
Tinggal sepertiga jengkal ujung senjata itu berada di depan leher Wiro
tiba-tiba Wiro dan Ki Sentot Balangnipa sama-sama terpental. Wiro topangkan
tangan ke lantai agar tidak terbanting jatuh. Dadanya terasa sesak. Dia cepat
mengatur jalan darah dan melompat bangkit! Sebaliknya Ki Sentot Balangnipa
sudah lebih dulu jatuh terjengkang! Dadanya mendenyut sakit Pelipisnya
bergerak-gerak. Apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan kedua orang itu
terpental?
"Ada
yang tidak beres!" membatin Walang Gambir yang bermata tajam. Dia berbisik
pada Ki Sentot "Amankan pedang." Lalu dia melompat ke hadapan
Pendekar 212. "Anakmuda, kau mau menyerah atau ingin mampus saat ini
juga?!"
‘Tua
bangka jelek Kau ingin sekali melihat aku mati! Melihat tampangmupun baru hari
inil Kalau aku mampus apa kau mau ikutan?!"
Darah
Walang Gambir alias Kobra Biru menggelegak.Tapi dia masih bisa menguasai diri.
"Berlututlah
minta ampun. Kami akan mengampuni selembar nyawa busukmu!"
‘Tua
bangka jeleki Bicaramu sombong amat. Apa kau tidak Melihat malaikat maut sudah
berdiri di sampingmu, siap hendak menjemput kau punya nyawa?!"
"Setan
kurang ajar!" Walang Gambir marah sekali. Tapi dia berlaku cerdik. Tak mau
gegabah. Dia pergunakan tangan orang lain terlebih dahulu. "Ki Sentot
habisi bangsat ini!"
Dengan
Pedang Naga Merah di tangan Ki SentotBalangnipa menerjang.Sampai dia melakukan
serangan ini dia masih tidak mengerti apa yang membuat dia tadi mental. Dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dan dialirkan ke tangan yang
memegang pedang, lelaki bermata satu ini bacokan senjata milik Loan Nio Nikouw
itu ke arah kepala Pendekar 212.
Wiro
cepat melompat mundur. Lawan mengejar dengan garang.
“Wutt”
Seperti
tadi, hanya tinggal sedikit lagi pedang sakti itu akan membelah batok kepala
Wiro, tiba-tiba Ki Sentot Balangnipa mengeluh pendek. Cahaya merah yang
memancar dari Pedang Naga Merah meredup lalu senjata ini terpental membal ke
belakang. Ki Sentot sendiri mencelat sampai empat langkah dan jatuh terbanting
di lantai. Dari sudut bibirnya meleleh darah kental. Tampangnya tampak seputih
kain kafan!
Walau
tidak menderita separah lawannya namun Wiro juga jatuh terduduk di lantai
ruangan. Dadanya mendenyut sakit seperti ada satu batu raksasa menghimpit Mulut
terasa asin. Ada darah membersitdi tenggorokannya!
"Gila,
aku terluka di dalam. Apa yang terjadi?"
Wajah
putih Ki Sentot Balangnipa berubah garang. Sekali melompat dia sudah berdiri.
Ketika dia kembali hendak menyerang dengan pedang di tangan, Walang Gambir
cepat menghalangi.
"Ki
Sentot mundurlah. Biar aku yang menangani bangsat pembunuh Adipati Karta
Suminta ini! Kita tidak perlu membuang waktu berlama-lama! Kalau kita sudah
memutuskan dia harus mati, dia memang harus mampus!"
Kalau
bukan Walang Gambir yang melarang Ki Sentot Balangnipa pasti tidak mau perduli.
Amarah dan dendamnya terhadap Wiro bukan alang kepaiang.
"Pemuda
terkutuk. Menurut aturan kau seharusnya dihukum gantung karena telah membunuh
Adipati Karta Suminta. Tapi aku akan mempercepat kematianmul Lihat
wajahku!" Walang Gambir sorongkan kepalanya ke depan.
"Wajahmu
jelok!" kata Wiro pula.
Walang
Gambir tidak pe;du!ikan ejekan orang. Begitu selesai berucap dia usapkan tangan
kiri ke wajah.
"Dess!"
Terdengar
satu letupan halus disertai kepulan asap tipis berwarna biru. Lalu settt..
leher Walang Gambir saat itu juga menjadi panjang. Kepala berubah menjadi
kepala seekor ular kobra besar berwarna birui Mata mendelik merah, mulut
terpentang lebar memperlihatkan deretan gigi runcing tajam dan lidah yang
menjulur merah. Inilah Ilmu kesaktian dahsyat yang dimiliki Walang Gambir yang
membuat dia dijuluki Kobra Biru! Puluhan orang termasuk belasan tokoh rimba
persilatan telah menemui ajal di tangan kakek ini.
Pendekar
212 dalam kagetnya segera bergerak mundur.
"Kau
tak bisa bergerak. Kau tak bisa melangkah!"
Wiro
tersentak kaget Saat itu dia benar-benar tak bisa bergerak, sekalipun sudah menggerakkan
seluruh tenaga. Dua kakinya terasa berat Jangankan melangkah, menggeserpun tak
sanggup dllakukanya.
"Celaka!
Tua bangka ini menyihirku!"
Yang
dilakukan Walang Gambir dengan ilmunya bukan cuma menyihir Wiro tapi juga
menyerangnya. Kepalanya yang telah berubah menjedi kepala ular Kobra biru
mendesis keras laki melesat ke arah kepala Wiro. Untuk beberapa lamanya mulut
kobra biru menancap di kening Wiro tanpa pendekar Ini bisa berbuat apa-apa.
Saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan keras disertai berkelebatnya satu
bayangan merah.
Ki Sentot
Balangnipa berteriak kaget keti ka mendadak ada yang merampas pedang di tangan
kanannya. Belum sempat , dia mencari tahu siapa yang melakukan hal itu, satu
tendangan bersarang di dadanya. Untuk kedua kalinya si mata satu ini berteriak,
kali ini karena kesakitan. Untuk kedua kalinya pula darah membersit dari
mulutnya. Dalam keadaan seperti itu sepasang matanya melihat satu pemandangan
berbahaya. Dia lalu berteriak.
"Ki
Walangl Awas serangan pedang di belakangmu!"
Walang
Gambir alias Kobra Biru mendesis dan bergerak cepat Namun masih kalah
cepatdengan datangnya sambaran Ang Liong Kiam.
"Crasss!"
"Dess!"
Lolongan
aneh menggelegar mengerikan di dalam gedung.
Asap bini
mengepul lalu sirna. Kurungan kepala Ular kobra mencelat di udara lalu jatuh ke
lantai ruangan. Beberapa orang yang ada di ruangan itu lari berpekikan. Begitu
sosok Walang Gambir jatuh ke lantai, ujud kepala ular kobra biru berubah
menjadi kepala asli Walang Gambir! Untuk kesekian kalinya orang banyak berpekikan
ngeri. Ki Sentot Balangnipa sendiri merasa tengkuknya dingin lalu terkapar
pingsan.
Keanehan
dan kengerian tidak hanya sampai di situ. Tibatiba satu letusan dahsyat
menggelegar disertai menebarnya asap biru. Ketika asap sirna, potongan kepala
dan sosok tubuh Walang Gambir yang tadi tergeletak di lantai tak ada lagi di
tempat itul
"Loan
Niol Lekas tinggalkan tempat ini!"
Ada orang
berteriak dalam bahasa Cina. Seorang pemuda bermuka tengkorak mencekal tangan
kiri orang yang memegang pedang dan tadi menabas leher Walang Gambir. Ternyata
orang ini bukan lain adalah Kiang Loan Nio Nikouw sang paderi berwajah cantik
yang saat itu kemunculannya disusul oleh Liok Ong Cun.
“Tidak!
aku harus menolong Saudara Wie lebih dulu!" teriak Loan Nio Nikouw lalu
hendak melompat ke arah Wiro yang saat itu berdiri tidak bergerak, sepasang
mata membeliak besar. Di keningnya ada sebuah luka berwarna biru. Warna biru
ini menjalar ke seluruh wajah, turun ke leher, terus ke seluruh badan sampai ke
ujung kaki. Bahkan rambutnya yang gondrong juga berubah birui Jelas satu racun
jahat telah merasuk ganas mulai dari kepala sampai ke kaki sang pendekarl
Tinggalkan
dia. Perlu apa ditolong! Dia telah berbuat jahat hendak memperkosamul Ayo ikut
aku!"
Dengan
sekuat tenaga Liok Ong Cun menarik tangan Loan Nio Nikouw. demikian kuatnya
tarikan ini hingga Liok Ong Cun berhasil membawa paderi itu sampai ke halaman
depan.
"Liok
Ong Cunl Lepaskan tanganmu atau kutabas dengan pedang!" Loan Nio Nikouw
mengancam.
"Perempuan
keras kepala. Jangan cuma tangan, leherku boleh kau tabas!" teriak Liok
Ong Cun. "Jika kau memang suka pada pemuda itu pergilah! Dia diserang
racun ganas Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya! Tak ada orang pandai yang
bisa mengobatinya! Kau hanya akan mendapatkan bangkainya!" Penuh geram
pemuda bertopeng wajah tengkorak itu lepaskan cekatannya di pergelangan tangan
kiri Loan Nio Nikouw lalu menghambur pergi tinggalkan halaman Gedung Kadipaten!
Ketika lewat di pintu gerbang, saking geramnya Liok Ong Cun tendang sebuah arca
batu hingga hancur berkeping-keping.
Begitu
ditinggal Liok Or.g Cun dengan cepat Loan Nio Nikouw lari masukke dalam gedung
kembali. Namun Pendekar 212 tak kelihatan lagi. DI lantai Ki Sentot Balangnipa
terkapar pingsan tertelungkup! Tangan kiri masih memegang sarung Ang Liong
Kiam. Loan Nio Nikouw cepat ambil sarung pedang miliknya itu. Dia tidak melihat
suling perak miliknya yang terselip di pinggang sebelah depan KI Sentot Paderi
ini memandang berkeliling lalu berkelebat ke beberapa bagian dalam gedung
mencari Wiro. Belasan perajurit Kadipaten yang ada di tempat itu tidak berani
bertindak menghadang apalagi menangkapnya.
"Aku
tak menemukan pemuda itu. Ada musuh yang menculiknyal Racun yang menyerang
dirinya jahat sekali. Jangan-jangan saat ini dia sudah menemui ajal! Ah, kemana
aku harus mencari!" Loan Nio Nikouw memandang berkeliling. Saat itulah
tiba-tiba terdengar teriakan.
“Tangkap
perempuan bercadar itu!"
Selusin
perajurit pengawa! Gedung Kadipaten yang sejak tadi hanya bisa mengawasi dari
jauh kini bergerak menebar mengurung Loan Nio Nikouw. Di depan sekali berdiri
pimpinan mereka, seorang lelaki bertubuh tinggi besar berkumis tebal melintang
dan berewokan lebat
“Tangkap!"
Untuk kedua kalinya si berewok ini memberi perintah. Dua belas pengawal serta
merta menyerbu Loan Nio Nikouw. Dalam kesal dan khawatir sang paderi melesat ke
udara. Kaki kanan menginjak kepala pengawai, sarung pedang di tangan kiri
berkelebat kian kemari.
Kepala
pengawal coba menangkap kaki Loan Nio Nikouw tapi justru hidungnya disambar tumit
sang paderi hingga berderak patah dan kucurkan darah. Orang ini
terbungkukbungkuk, meraung kesakitan laiu jatuh terjerembab di lantai.
Sementara itu lima perajuritberpekJkan sambil pegangi kepala mereka yang
terluka dan benjut di kemplang sarung pedang. Masih untung Loan Nio Nikouw
tidak memecahkan kepala mereka.
Sebelum
molesat ke pintu Loan Nio Nikouw berkelebat ke arah ranjang dimana jenazah
Adipati Karta Suminta dibaringkan. Dengan cepat dia menarik kain sutera yang
menutupi bagian atas jenazah. Walau cuma sebentar dan wajah jenazah itu dalam
keadaan gosong hitam namun paderi masih bisa mengenali bahwa itu memang adalah
wajah dan jenazah sang Adipati.
Di luar
hari sudah terang. Loan Nio Nikouw tak tahu mau bergerak ke arah mana. Akhirnya
paderi Ini berkelebat ke jurusan timur seolah sengaja menyongsong kedatangan
sang surya.
******************
8
HA-HU
ha-hu." Dua nenek kembar rambut kelabu berjubah kuning baringkan tubuh
Pendekar 212 di lantai dangau. Dangau ini adalah tempat dimana dulu Eyang Sepuh
KembarTilumenemui ajal dibunuh oleh seseorang yang sampai saat itu tidak
diketahui siapa adanya. Sekujur badan Wiro mulai dari rambutsampai kepala dan
mata terus ke ujung kaki berwarna biru akibat racun jahat Kobra Biru. Dua nenek
jejadian bicara ha-hu ha-hu sambil dua tangan bergerak kian kemari. Mereka
tengah dilanda kebingungan bagaimana caranya menolong Wiro yang saat itu berada
dalam keadaan kaku, tak bisa bergerak tak mampu bicara, dua mata mendelik tak
berkesip. "Ha-hu ha-hu…" Nenek di sebelah kiri berucap sambil
jari-jari tangan mem beri isyarat Dia memberi tahu pada kembarannya kalau
sampai maiam nanti mereka tidak bisa menolong maka Wiro akan menemui ajal.
Nenek satunya menyahuti dengan gerakan tangan pula dan bicara ha-hu ha-hu
sambil air mata meluncur di pipi yang keriput. Gerak isyarat tangannya
mengartikan bahwa mereka tidakmungkin memusnahkan racun yang ada dalam tubuh
dan aliran darah pemuda itu. Dia juga mengingatkan pada saudara kembarnya bahwa
dulu di dangau ini Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui kematian. Jangan-jangan Wiro
juga akan mengakhiri riwayatnya di tempat ini. Sesuai permintaan Eyang Sepuh
Kembar Tilu mereka sangat mengharapkan agar Wiro mencari dan membunuh orang
yang telah membunuh nenek kembaran asli mereka itu. Karena hanya dengan cara
itulah penyakit gagu yang mereka derita akan lenyap. Dua nenek sama-sama
sesunggukan menahan tangis. Lalu yang satu kembali bicara ha-hu ha-hu dan
gerak-gerakan tangan. Dia menyampaikan kalau tidak bisa menolong menyembuhkan
palingtidakmerekaharusdapatmembuatWiro sadar dan mampu bicara.
Dua nenek
itu kemudian sibuk memeriksa aliran darah di sekujur tubuh Pendekar 212,
menotok beberapa urat besar. Sampai sepeminuman teh berlalu keadaan Wiro tidak
berubah. Mendelik kaku tak bisa keluarkan suara.
Dua nenek
terduduk bingung. Mereka perhatikan wajah Wiro yang pada keningnya ada luka
terkuak sebesar ujung ibu jari tangan. Ini adalah luka bekas patukan Kobra
Biru, ular jejadian kakek jahatWalang Gambir.
"Ha-hu
ha-hu!" Nenek di sebelah kanan menunjuk ke arah luka di kening Wiro.
Gerakan tangannya memberi tahu pada kembarannya agar mereka coba melakukan
sesuatu pada luka itu. "Ha-hu ha-hu…" Nenek Ini letakkan telapak
tangan kanannya di atas luka. Lalu telapak tangan kiri ditindihkan di atas tangan
kanan. Nenek kedua bersimpuh di belakang. Dua tangan ditempelkan ke punggung
kembarannya.
"Ha-hu
ha-hu!"
Dua nenek
kembar sama-sama kerahkan tenaga dalam lalu menyedot. Empat tangan bergetar
hebat. Dua tubuh bergoncang. Ada aliran cahaya biru tersedot dari kening Wiro,
mengalir melalui tangan lalu masuk ke dalam tubuh dua nenek kembar.
"Ha-hu
ha-ha…. Huaaahhhhh!"
Dua nenek
terjengkang, menjerit laiu muntahkan cairan biru. Untuk beberapa lemanya mereka
tergeletak tak bergerak dengan muka pucat dada mendenyut sakit. Keduanya cepat
alirkan hawa sakti di dalam tubuh untuk mencegoh keracunan. Tiba-tiba mereka
mendengar suara orang mengerang. Dua nenek serta merta bergerak bangun.
Memperhatikan ke arah Wiro mereka melih t dua bola mata sang pendekar yang
masih berwarna biru bergerak-gerak sementara mulut komat-kamit Wiro seperti
hendak mengatakan sesuatu namun tak ada suara yang keluar.
"Ha-hu
ha-hu!"
Dua
ner.ek sama-sama ulurkan tangan.Satu menotok urat besar jalan suara di pangkal
leher sebelah kiri, satunya menotok urat besar jalan suara di pangkal leher
sebelah kanan. Saat itu Wiro juga keluarkan suara seperti tercekik lalu
semburkan cairan kental berwarna biru. Muka dan tubuhnya basah oleh keringat
dingin.
“Dimana
ini… Apa yang terjadi?" Dia berusaha menggerakkan fcmgan. Tak bisa.
"Tubuhku kaku.„"
Dua nenek
tampak gembira melihat dan mendengar Wiro bisa bicara
"Ha-hu
ha-hu…"
Wiro
gerakkan kepala, tapi tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata,
memperhatikan.
"Ah,
kalian rupanya. Nek…? Aku tak bisa menggerakan tangan. Dua kaki kaku. Sekujur
tubuhku terasa panas…"
“Ha-hu
ha-hu." Nenek di sebelah kanan membuat gerakan isyarat dengan kedua
tangannya. Wiro memperhatikan dan coba mengartikan isyarat gerakan tangan si
nenek. "Kau keracunan… Kami tidak bisa menolong. Walau kini kau bisa
bicara, kau akan menemui ajal menjelang malam nanti. Kami akan tenis berusaha
menyelamatkanmu."
Dua nenek
memeriksa sekujur tubuh Wiro. Mereka membuat totokan di beberapa tempat Tetap
saja Wiro tak bisa bergerak dan warna biru masih menyelubungi sekujur tubuhnya.
Malah kini pemandangannya perlahan-lahan terasa kabur. Sementara dua nenek
berusaha menolong. Wiro coba mengingat-ingat apa yang terjadi. Gedung
Kadipaten. Dia berkelahi melawan kakek muka kuda Ki Sentot Balangnipa. Lalu ada
kakek berjubah hitam yang mukanya berubah menjadi ular kobra biru.
"Ular
jejadian mematuk kepalaku… Dua nenek kembar, mereka menyelamatkan diriku,
membawa aku ke tempat ini. Racun jahat itu. Apakah hawa sakti Kapak Naga Geni
Dua Satu Dua yang ada dalam tubuhku tidak bisa memusnahkannya? Apakah tubuhku
yang selama ini kebal segala macam racun kini tidak punya daya penolak sama
sekali? Aneh. Apakah ini akibat ulah takabur dan sikap keras kepalaku tempo
hari pada Eyang Sinto?" Wiro mengerang. Kepalanya mendenyut sakit
"Ha-hu
ha-hu…" Nenek di sebelah kanan menunjuk ke arah pinggang Wiro sebelah kiri
lalu membuat gerakan jari tangan membentuk empat persegi. Rupanya waktu
memeriksa tubuh Wiro tadi dia melihat sebuah benda dibalik pinggang celana
dalam pendekar.
"Nek,
aku tahu maksudmu. Di balik pinggang celanaku sebelah kiri ada sebuah kantong
kain. Di dalamnya ada kitab ilmu pengobatan. Ambil dan baca isinya. Cari tahu
cara pengobatan untuk menolong diriku…"
Nenek
sebelah kiri segera memeriksa ke balik baju Wiro sebelah kanan. Diomenemukan
kantong kain putih. Dari dalam kantong dia kemudian mengeluarkan Kitab Seribu
Pengobatan yang terbuat dari daun lontar kering.
"Baca,
cari. Mudah-mudahan ada petunjuk bagaimana mengobati dan mengeluarkan racun
yang ada dalam tubuhku."
Dua nenek
gelengkan kepala. Dua tangan ditutupkan ke mata yang berwarna merah. Kepala
kembali digeleng-geieng.
"Ah,
kalian tak bisa membaca." Ucap Wiro pertalian begitu melihat sikap yang
ditunjukkan dua nenek. "Sandarkan aku ke tiang dangau. Letakkan kitab di
atas pangkuanku. Kalian buka halaman demi halaman. Aku akan berusaha
membaca." Tapi Wiro terdiam. "Mustahil aku lakukan. Mataku semakin
kabur…"
"Ha-hu
ha-hu…" Neneksabetah kanan membuat gerakan tangan. Dia mengisyaratkan akan
mencari seseorang yang bisa membaca.
Tiba-tiba
satu bayangan merah berkelebat Wiro mengucak matanya yang tambah sulit melihat
Samar-samar dia melihat satu sosok merah di hadapannya.
"Nionio
Nikouw? Kaukah yang datang ini?" Tak ada jawaban. Wiro pejamkan mata.
Dalam hati dia menjawab sendiri pertanyaannya. Bukan, bukan dia. Bau tubuh dan
pakaiannya bukan seperti harumnya bau tubuh dan pakaian paderi dari Tionggoan
itu." Wiro coba mengingat-ingat "Kalau Bidadari Angin timur wanginya
lain lagi. Selain itu bayangannya pasti kebiru-biruan_."
Dua nenek
kembar setelah memperhatikan sosok samar dihadapan mereka buru-buru jatuhkan
diri berlutut Kitab Seribu Pengobatan diletakkan di lantai dangau di hadapan
sosok samar.
"Ha-hu
Ha-hu…" Salah seorang nenek menunjuk ke arah kitab sementara tamannya
membuka halaman kitab selembar demi selembar. Tangan kiri menunjuk ke jurusan
Wiro.
Mahluk
bayangan tersenyum. Lalu berucap. "Nek, aku mengerti maksud kalian. Aku
akan coba mengingat Mudahmudahan aku tahu petunjuk yang bisa mengobati sahabat
kalian ini tanpa membaca kitab itu."
"Ha-hu
ha-hu…" Dua nenek rundukkan tubuh dan kepala berulang kali sebagai ucapan
terima kasih.
"Purnama…"
Tiba-tiba Pendekar 212 keluarkan ucapan menyebut satu nama. Dia mengenali suara
perempuan yang barusan bicara. Dia ingin sekali mengulurkan tangan untuk
menyentuh sosok samar berwarna merah itu. Wiro mencoba menegakkan kepala untuk
memandang. Namun dia tak mampu bergerak, tak bisa melihat "Kau datang. Aku
sangat bersyukur. Terima kasih Tuhan."
"Pendekar,
seperti kataku dulu, aku tak pernah jauh darimu. Namun selama kau tidak
menginginkan dan tidak memanggil, aku tidak bisa muncul. Tetapi ketika dua
nenek sahabatmu itu membuka Kitab Seribu Pengobatan aku tiba-tiba saja keluar
dari alamku. Agaknya antara aku, kau dan kitab sakti ada saling keterkaitan
batiniah."
Wiro buka
matanya lebar-lebar. Tetap saja dia tidak bisa melihat jelas mahluk cantik di
hadapannya. "Purnama, aku sangat berharap akan pertolonganmu. Dapatkah kau
melakukan."
"Dengan
izin Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh." jawab Purnama yang seperti diketahui
aslinya bernama Luhmintari, ibu Jatilandak. berasal daii Latanahsilam, negeri
1200 tahun silam. Purnama yang telah meninggal di alamnya terpesat ke tanah
Jawa, muncul pertama kali dalam sertai Wiro Sableng Episode "Azab Sang
Murid". Dalam Episode "Api Di Puncak Merapi" dikisahkan
bagaimana Purnama menolong Wiro yang terluka parah akibat pukulan "Memukul
Bukit Meremuk Gunung" yang dilancarkan Pangeran Muda. Pertolongan Itu
dilakukan sesuai dengan petunjuk di dalam Kitab Seribu Pengobatan yang secara
luai biasa mampu dihafal dan diingat Purnama dalam benak pikirannya.
Purnama
tatap wajah Wiro Sableng dengan sepasang matanya yang bening bagus. Dia ambil
Kitab Seribu Pengobatan, letakkan di atas pangkuan. Lalu kepala didongakkan ke
atas, dua mata dipejamkan. Perlahan-lahan dari mulutnya meluncur ucapan.
"Kitab
Seribu Pengobatan. Halaman seratus dua puluh satu. Pengobatan ke lima ratus
sembilan. Manakala seseorang terkena racun patukan binatang berujud mahluk gaib
atau sebangsa sihir, penyembuhan harus dilaksanakan dalam waktu paling lambat
setengah hari setelah terjadinya peristiwa. Ada enam hal yang harus dilakukan.
Pertama memohon dan berdoa kepada Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang
yang cidera disembuhkan dari penyakitnya. Kedua menutup luka bekas patukan
dengan tanah liat Ketiga membuat goresan tanda silang di ubun-ubun orang yang
cidera. Ke empat menggantung orang itu kaki ke atas kepala ke bawah. Ke lima
membuka aliran darah dengan cara menotok urat besar di pangkal paha sebelah
kiri dan sebelah kanan dengan disertai aliran hawa sakti. Keenam dorong tubuh
orang yang tergantung sejarak satu tombak. Biarpun tubuh itu bergoyang.
Bilamana tubuh yang bergoyang berhenti maka semua racun dengan izin Yang Maha
Penyembuh akan keluar dari sekujur tubuhnya melalui ubun-ubun."
"Ha-hu
ha-hu…" Dua nenek kembar tampungkan dua tangan. Mulut komat kamit entah
mengucap apa. Purnama tersenyum dan mulai pula berdoa dalam hati. Wiro pejamkan
dua mata. Berdoa memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa.
"Ha-hu
ha-hu…"
Selesai
berdoa nenek kembar di samping kanan tanggalkan ikat kepala lalu sibakkan
rambut tebal di bagian atas kepala Pendekar 212. Dia isap dulu jari telunjuk
tangan kanannya. Lalu dengan ujung kukunya yang lancip dia membuat guratan
tanda silang di kulit kepala tepat di ubun-ubun. Guratan cukup dalam hingga
membuat luka yang mengucurkan darah berwarna biru aneh! Sementara itu nenek
satunya mengambil tanah liat lalu ditempelkan di kening Wiro tepat pada luka
bekas patukan Kobra Biru.
"Kita
butuh tali." berkata Purnama.
"Ha-hu
ha-hu…" Nenek yang menempelkan tanah liat mengeluarkan sesuatu dari balik
jubah kuningnya yang ternyata adalah segulung setagen. Dengan setagen ini dia
menggotong sang pendekar keluar dari dangau. Tak jauh dari situ terdapat
sebatang pohon besar bercabang banyak. Cepat sekali dua nenek ini bekerja sama demikian
rupa hingga akhirnya Wiro dikerek, tergantung di cabang pohon. Mahluk bayangan
si cantik Pumama memperhatikan semua apa yang dikerjakan dua nenek itu penuh
kagum.
"Ha-hu
ha-hu!"
Ada yang
terlupa.
Dua nenek
kembar melesat ke atas. Dua-duanya menotok urat besar di pangkal paha kiri
kanan Wiro lalu melompat turun. Sampai di tanah mereka sama-sama mendorong
tubuh Wiro sejauh satu tombak. Begitu dilepas tubuh itu mulai bergoyang
berayun-ayun di udara. Wiro-merasa dua kakinya yang diikat setagen seperti mau
putus sekujur tubuh bergetar dan kepala terasa seolah membesar siap meledak
pecah!
Pada
ayunan tubuh yang ke tujuh kali. Wiro menjerit keras lalu kehilangan kesadaran.
Dari ubun-ubun yang ada guratan tanda silang mengucur cairan warna biru.
Mula-mula hanya berupa tetesan, kemudian berubah deras. Tanah yang digenangi
cairan biru mengepul ka» asap dan menebar bau busuk.
Tak
selang berapa lama ayunan tubuh Wiro mulai perlahan. Cairan biru yang mengucur
dari batok kepala yang tadi mancur deras perlahan-lahan berhenti, lalu berganti
dengan kucuran darah merah segar. Ini satu pertanda bahwa racun yang mengendap
di tubuh Pendekar 212 telah terkuras habis. Bersamaan dengan itu warna biru
pada sekujur tubuh mulai dari kaki sampai kepala dan rambut Wiro secara aneh lenyap.
Tanah liat yang sejak tadi menempel di kening terlepas tanggal. Anehnya pada
kening itu tidak kelihatan lagi luka bekas patukan Kobra Biru. Kesadaran Wiro
pulih kembali. Perlahanlahan dua matanya terbuka. Ternyata warna biru pada
kedua mata itu juga telah sirna.
Purnama
merasa lega. Dua nenek kembar tampak gembira dan bersiap-siap untuk menurunkan
tubuh Wiro. Namun mendadak sontak di udara terdengar suara berkesiuran.Tujuh
benda biru panjang melesat ke arah Wiro yang masih berada dalam keadaen tergantung
di cabang pohon!"
"Ha-hu
ha-hu!"
Dua nenek
kembar berambut kelabu berteriak keras lalu melesat ke udara sambil lepaskan
pukulan tangan kosong. Enam benda biru yang menyerang Wiro terpental dan jatuh
ke tanah. Benda ke tujuh sempat menembus lengan jubah salah seorang nenek dan
menggurat tangan kirinya hingga mengucurkan darah. Serta merta tangan yang
cidera menjadi bengkak merah. Nenek ini berteriak kesakitan sekaligus marah.
Dengan kuku jari tangan kanannya dia merobek bagian lengan yang bengkak lalu
memencet kuat-kuat Darah merah keluar mengucur bercampur noda-noda hitam racun
jahat Si nenek selamat dari serangan racun mematikan.
Enam
benda hitam yang bergeletakan di tanah ketika diperhatikan ternyata adalah enam
ekor ular kobra yang telah mati mengering hitami Ular satunya setelah melukai
nenek tadi, menancap di batang pohon. Pohon ini langsung berubah hitam mulai
dari batang sampai ke daunl
Mahluk
bayangan Purnama tersentak kaget melihat apa yang terjadi. Cepat dia goyangkan
bahu. Cahaya bergemerlap kebiruan seperti percikan ratusan bunga api memancar
keluar dari tubuhnya. Mahluk cantik Ini melompat sejauh tujuh langkah dan
langsung berhadapan dengan orang yang tadi melemparkan tujuh ekor ular berbisa
ke arah Wiro.
Orang ini
bukan lain adalah Walang Gambir alias Kobra Biru, kakek berjubah hitam gombrong
yang tadi malam di Gedung Kadipaten telah mencelakai Wiro dengan ilmu Kobra
Birunya! Ketika terjadi perkelahian di dalam gedung, seperti diceritakan dengan
Pedang Naga Merah Loan Nio Nikouw berhasil membabat putus kepala Waiang Gambir
hingga kakek ini menemui ajal. Lantas bagaimana kini dia bisa hidup dan muncul
kembali?
Ilmu
Kobra Biru yang dimiliki Walang Gambir merupakan satu ilmu kesaktian luar
biasa. Selain sanggup menghabisi lawan sekaligus iimu ini mempunyai unsur sihir
yang mampu menipu pandangan mata tawan serta orang di sekitarnya. Pada
peristiwa yang seolah nyata bagaimana Loan Nio Nikouw menahas putus batang
leher Walang Gambir yang saat kejadian berbentuk ular Kobra Biru, sebenarnya
apa yang terlihat adalah tipuan belaka. Ular Kobra Biru memang tampakmenemui
ajal namun Walang Gambir sendiri tetap hidup. Sosok kasarnya berkelebat pergi
meninggalkan Gedung Kadipaten tanpa ada seorangpun yang melihat Selain itu ilmu
Kobra Biru tetap masih dimiliki Walang Gambir bersama Ilmu sihir lainnya.
Di
samping Walang Gambir berdiri Ki Sentot Balangnipa. Ketika melihat dua nenek
aneh serta mahluk bayangan berpakaian merah Ki Sentot cepat berbisik pada
sobatnya.
"Ki
Walang, kita pergi saja. Cari kesempatan lain untuk membunuh murid Sinto
Gendeng keparat itu."
"Ki
Sentot kau tahu urusan kita! Pemuda itu harus dilenyapkan. Kalau tidaksemua
urusan bisa jadi kapiran. Kalau nyalimu secetek comberan silahkan
minggat"’jawab Walang Gambir.
Didamprat
seperti itu Ki SentotBalangnipa yang sudah Melihat bahaya besar di depan mata
merasa kebetulan sekali. "Kau bicara begitu karena merasa memiliki ilmu
kesaktian hebat Nyatanya tadi malam kau dipecundangi perempuan Cina itu.
Silahkan kalau mau mencari penyakit" Setelah keluarkan ucapan dalam hati
begitu rupa, tidak tunggu lebih lama kakek bermata satu ini segera menghambur
kabur dari tempat itu.
"Orang
tua, apa dendammu terhadap Pendekar Dua Satu Dua hingga ingin membunuhnya
secara keji dan licik?!" Yang menegur adalah mahluk bayangan Purnama, saat
itu juga tubuhnya yang samar perlahan-lahan berubah tiada beda dengan manusia
biasa. Sementara cahaya biru bergemerlapan masih terus membungkus tubuhnya.
Melihat
kecantikan orang yang berdiri di hadapannya Walang Gambir jadi terpesona.
Pikiran kotor menjalari otaknya.
"Orang
cantik, aku tidak tahu siapa dirimu. Tapi kalau kau adalah gendak yang kesekian
dari pemuda gondrong itu, sungguh hatiku menjadi sedih dan kecewa sekali.
Mengapa tidak hidup bersamaku saja. Lihat wajahku tidak seburuk kenyataan
!" Habis berkata begitu Walang Gambir usap wajahnya. Tampang si kakek
sertamerta berubah menjadi wajah seorang pemuda yang sangatgagah.
Purnama
sunggingkan senyum yang membuat Waiang Gambir semakin tergila. "Orang tua,
kalau aku tunjukkan wajahku sebenarnya, apakah kau masih suka padaku?"
Walang
Gambir kerenyitkan kening. "Yang namanya perempuan cantik itu dilihat dari
mana saja akan tetap cantik mempesona!"
Purnama
layangkan senyum. Seperti dilakukan Walang Gambir si cantik ini lalu usap pula
wajahnya. Saat itu juga wajah Purnama berubah menjadi sangat mengerikan dan
menjijikkan. Pipi sebelah kiri geroak busuk mencuatkan barisan gigi menyerupai
taring. Dua mata membengkak merah, kucurkan cairan nanah. Hidung gerumpung dan
mulut pencong meneteskan cairan hitam. Ketika mulutitu meniup ke depan, bau
busuk menghampar menerpa Walang Gambir.
Kejut
Walang Gambir bukan olah-olah. Tapi dia tetap tenang. Malah sambil mengangkatdua
tangan dia berkata.
"Kembali
ke ujud wajahmu yang cantik. Datanglah, Mendekat padaku. Peluk diriku. Ikut
bersamaku. Kita akan pergi ke tempat penuh bahagia kenikmatan."
Saat itu
juga wajah buruk mengerikan mahluk bayangan berubah. Berganti pada bentuknya
semula yakni raut wajah perempuan muda cantik jelita. Walang Gambir tampak
berseriseri, mata berkilat-kilat dan tenggorokan turun naik keb’ka
perlahan-lahan Purnama melangkah ke arahnya. Si kakek kembangkan dua tangan.
Siap untuk merangkul perempuan muda cantik itu.
"Ha-hu
ha-hu!" Dua nenek kembar berseru cemas.
Tenggoroknn
Walang Gambir turun naik. Senyum tersungging di mulut Cuping hidung membesar
dan bergerakgerak pertanda nafsunya mulai naik. Dia mengira sihirnya telah
mengena. Kakek jahat berkepandaian tinggi ini salah mengira!
Hanya
tinggal dua langkah Purnama akan masuk ke dalam dekapan Walang Gambir, mahluk
cantik Ini buka mulutnya seolah hendak melayangkan senyum penuh gairah. Namun
tidak diduga dari dalam mulut melesat selarik cahaya ungu, laksana kilat
menyambar ke arah si kakek.
Walang
Gambiralias Kobra Biru berteriak kaget. Dengan cepat dia melompat ke samping
kiri sambil merunduk. Gerakkannya masih sedikit terlambat Cahaya ungu sempat
membabat hangus ujung atas rambutnya yang kasar seperti ijuk hingga kepalanya
mengepulkan asap biru. Di belakang sana, sebuah pohon randu berderak tumbang
dan gosong ketika dilanda cahaya ungu.
"Mahluk
jahanaml Makan pencarianmu!" maki Walang Gambir sambil tangan kanan
kebutkan lengan jubah.
‘Sett..6eettt..seettt!"
Tiga
benda bulat sebesar kepalan berwarna biru melesat di udara menyambar ke arah
tiga bagian tubuh Purnama. Saat itu juga udara mendadak menjadi redup. Walang
Gambir keluarkan ilmu kesaktian yang dibarengi ilmu sihir.
"Ha-hu
ha-hu!" Dua nenek kembar melompat ke depan Untuk melindungl Purnama. Tapi
si cantik ini cepat berseru.
"Nenek
berdua jangan khawatirkan diriku!"
Walau
cemas akan keselamatan Purnama, dua nenek kembar terpaksa menyingkir sementara
itu tiga benda bulat biru terus melesat ganas. Begitu ketiganya membentur
ratusan percikan bunga api biru yang melindungi tubuh Purnama, tiga ledakan
keras menggelegar.
Ranting
pepohonan berpatahan. Daun-daun jatuh berluruhan. Semak belukar ram bas bahkan
dangau di seberang sana ambruk roboh. Sosok Walang Gambir tersurut dua langkah,
untuk beberapa lama dia tegak tertegun dengan tubuh tergontai-gontai, tampang
mengkerut Di atas pohon, tubuh Wiro yang masih terikat kaki di atas kepala ke
bawah barayun-ayun. Wiro imbangi diri lalu didahului bentakan keras, dia
lentingkan tubuh ke atas. Tangan kiri membabat setagen hingga putus.
Di udara
tiga benda buiat biru meletus hancur. Setiap hancuran membentuk tujuh kepingan
biru yang kemudian secara aneh berubah menjadi ular kobra biru sebesar lengan
dengan panjang hampir enam jengkal. Didahului suara mendesis dua puluh satu
ular kobra biru itu menyerbu ke arah Purnama. Tanpa bergeser dari tanah
tempatherpijak Purnama goyangkan dua bahunya. Cahaya biru yang membentengi
dirinya semakin bergemerlap. Siap untuk melindungi dan menyerang balik gempuran
dua puluh satu ular kobra birui
"Purnama!
Tua bangka jahat itu inginkan nyawaku. Biar aku yang menghadapi!"
******************
9
BAYANGAN
putih Pendekar 212 melesat melewati kepala Purnama. Saat itu pula dua larik cahaya
putih disertai hamparan hawa panas luar biasa berkiblat di udara. Satu menebar
seperti kipas ke arah dua puluh satu kobra biru. Satunya lagi melesat ke
jurusan Walang Gambir. Pukulan Sinar Matahari! Wiro menghantam dengan dua
tangan sekaligusl Dua puluh satu kobra biru mendesis keras sebelum tubuh mereka
mencelatdi udara dalam keadaan terpanggang hangus. Tapi gilanya begitu mental,
dua puluh satu ular yang sudah gosong hitam itu melayang berputar dengan
keluarkan suara berdesing lalu bersatu menjadi seekor ular kobra raksasa warna
biru Mulut menganga lebar, sanggup membeset dan menelan sasaran sebesar
kambing! Laksana terbang mahluk jejadian ini melesat ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sementara itu sambil berteriak dan memaki geram dengan menjatuhkan
diri ke tanah Walang Gambir berhasil selamatkan diri dari Pukulan Sinar
Matahari. Namun begitu dia berdiri terjadi satu keanehan. "BukkIBukk!
Bukk!" Dadanya dihantam pukulan bertubi-tubi hingga tubuhnya terjengkang
jatuh di tanah. Darah meleleh di sela bibir. Siapa yang memukul tidak
kelihatan. Bau kembang aneh menghampar di tempat itu.
"Penyerang
jahanam! Unjukkan dirimu!" teriak Walang Gambir marah sambil seka darah
yang meleleh di dagu. Dia cepat berdiri. Tak ada jawaban. Kalap dan geram dia
memukul ke depan, menghantam ke samping dan menjotos ke atas. Semua pukulan
yang menghantam udara kosong itu menimbulkan suara gaung seperti topar menerpa
jurang batu yang dalam. Walang Gambir memandang geram berkeliling.
"Pengecut!’ rusuknya.
Baru saja
dia keluarkan makian, belum sempat berdiri lurus, seperti tadi bukk… bukk…
bukkl Jotosan-jotosen keras dari penyctanci yang tidak kelihatan kembali
melabrak dadanya. Dia berusaha menangkis dengan melintangkan dua tangan di
depan muka dan dada. Namun luput Mata kiri bengkak kucurkan darah Dua tulang
iga Walang Gambir berderak patah.
Bagaimanapun
hebat sakti serta memiliki Ilmu sihir namun kali ini nyali Walang Gambir alias
Kobra Biru benar-benar putus. Tidak menunggu lebih lama dia segera putar tubuh,
membuat lompatan sejauh hampir dua tombak lalu menghambur lari dari tempat itu.
Kini dia baru menyadari benarnya ucapan Ki Sentot Balangnipa tadi. Dia datang
di waktu dan tempat yang salah.
Akan
halnya ular Kobra Biru raksasa yang menyerang Wiro, begitu melihat tuannya kabur
segera pula memutar kepala Namun tiba-tiba saat bayangan merah berkelebat
disertai kumandang seruan
"Mahluk
jahat jejadian. Pelajaran tempo hari rupanya tidak membuatmu jera! Mau kabur
kemana?!"
Sinar
merah bertabur. Suara berkesiuran terdengar tak berkeputusan disertai suara
crass„.crass…crass-.Tubuh Kobra Biru raksasa terkutung-kutung. Sesaat kemudian
kepala binatang ini putus menggelinding. Darah biru menggenangi tanah. Bau
anyir menyesak jalan pernafasan.
"Dess…
dess.„ dess!" Didahului suara mendesis tiga kali, potongan kepala dan
tubuh Kobra Biru berubah menjadi asap biru lalu lenyap dari pemandangan
"Ha-hu
ha-hu!" Dua nenek kembar keluarkan suara sambil menunjuk ke depan dangau
yang roboh.
Di depan
dangau berdiri seorang berpakaian merah berbunga-bunga kuning biru. Bagian
bawah pakaian. Ini kelihatan robek. Kepalanya tertutup destar dan wajahnya
terlindung cadar merah. Loan Nio Nikouw. Paderi ini berdiri memegang Ang Liong
Kiam yang memancarkan cahaya merah. Dengan sepasang mata menatap ke arah Wiro dan
Purnama paderi dari Tionggoan ini meniup badan pedang. Noda biru darah Kobra
Biru jejadian yang mengotori pedang sakti serta merta sirna.
Walau
kepala tidak lagi mengenakan topi dan wajah kini tertutup kain merah namun Wiro
segera mengenali, perempuan berpakaian merah di seberang sana adalah Kiang Loan
Nio Nikouw.
"Padori
Nionio…"
"Ha-hu
ha-hu!"
Ucapan
Wiro terputus oleh suara dua nenek kembar. Kali ini keduanya menunjuk ke arah
kaburnya Walang Gambir. Ternyata di jurusan itu berdiri seorang gadis cantik
berwajah pucat mengenakan kebaya putih panjang berkancing besar dipadu celana
putih setinggi betis, menatap sayu ke arah Pendckar212.
"Bunga…"
Ucap Wiro gembira. Setelah pertemuan terakhir dimana gadis alam roh itu pergi
secara tidak enak, Wiro tidak menduga kalau Bunga akan muncul kembali. Dia
melangkah mendekati tapi lima langkah akan sampai Bunga angkat tangan kanannya.
Dengan gerak isyarat perlahan dia memberi tanda agar Wiro tidak datang lebih
dekat Wiro terpaksa hentikan langkah. Menatap wajah putih yang memancarkan
kesedihan medalam.
"Aku
selalu datang di saat yang tidak tepat Maafkan kalau aku mengganggu
dirimu…" Bunga keluarkan ucapan. Suaranya terucap perlahan seolah menahan
perasaan.
Wiro
gelengkan kepala. "Bunga, aku gembira kau muncul. Tidak ada yang merasa
terganggu. Kau tadi rupanya yang memukul orang tua berjubah hitam itu hingga
dia melarikan diri. Kau telah menolong diriku. Aku mengucapkan terima kasih.
Apakah aku boleh melangkah lebih dekat?"
Bunga,
gadis alam roh yang aslinya bernama Suci menggeleng. Bibirnya merekah senyum
namun sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Bunga,
kau menangis. Apakah aku telah berlaku salah…?"
Gadis
cantik berwajah pucat dari alam roh itu gelengkan kepala. Gelengan kepala ini
membuat air yang mengambang di kedua matanya jatuh meluncur ke pipi membentuk
tetesan air mata.
"Aku
menangisi ketololanku sendiri.Tidak seharusnya aku muncul di sini…"
‘Tidak
ada yang melarangmu datang ke sini. Bunga. Bahkan aku gembira kau mau datang.
Ah, mengapa hal ini harus terulang lagi."
Bunga
tatap wajah sang pendekar lalu melirik ke arah Purnama.
"Wiro,
jika kau punya sahabat baru, jangan pernah melupakan sahabat lama. Betapapun
buruknya sahabat lama itu."
"Bunga
kalau maksudmu… Bunga, aku tidak pernah melupakanmu Kau ingat pertemuan kita
terakhir kali. Malam hari di Bukit Menoreh? Waktu itu aku katakan apapun yang
terjadi semua itu tidak mengurangi rasa sayangku padamu."
"Terima
kasih untuk ucapan yang penuh keindahan itu," kata Bunga pula sementara
air mata jatuh berderai di pipinya yang pucat dan dadanya sesak turun naik.
Gadis dari alam roh ini memutar tubuh.
"Bunga,
aku tahu kau tidak percaya pada kata-kataku. Aku harus berbuat apa. Aku hanya
minta jangan pergi. Aku ingin kita bicara lebih banyak…" Wiro mendekat
Namun Bunga telah melangkah pergi. Sedikit demi sedikit sosoknya berubah
menjadi bayang-bayang dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Murid Sinto Gendeng
hanya bisa menghela nafas panjang berulang kali garuk-garuk kepala. Wiro
berbalik dan arahnya ternyata membuat dia kini saling pandang dengan paderi
cantik dari Tionggoan yang tegak di depan runtuhan dangau, memperhatikan
dirinya.
Saat itu
sang paderi tengah bicara dengan hatinya sendiri. "Gadis cantik berwajah
pucat itu. Dia pergi dengan mata basah.
Aku bukan
saja melihat kesedihan amat mendalam di wajahnya. Tapi aku juga melihat
pancaran perasaan hati yang luluh. Aku mendengar ucapannya tadi. Rupanya pemuda
itu meninggalkan dirinya setelah mengenal si cantik berpakaian merah itu."
Loan Nio Nikouw melirik ke arah Purnama. "Perempuan cantik satu itu, dia
tenang saja. Kelihatannya dia seperti menyukai kepergian gadis berwajah pucat
tadi. Ah, tambah banyak kenyataan yang aku lihat Agaknya apa yang diceritakan
orang akan kusaksikan sebagal satu kebenaran. Pemuda Wie ini punya banyak
kekasih. Dia meninggalkan yang lama bilamana mendapatkan yang baru. Aku cukup
jelas mendengar ucapan gadis muka pucat tadi. Bagaimana dengan diriku…"
"’Nionio
Nikouw…" Wiro menyapa. "Untuk kesekian kalinya kau menolongku. Aku
sangat berterima kasih. Mari aku perkenalkan kau dengan seorang sahabat Ah,
kalian samasama berpakaian warna merah. Kalian sama-sama cantik…"
Purnama
tersenyum mendengar kata-kata Wiro itu. Sebaliknya Loan Nio Nikouw tidak
beranjak dari tempatnya berdiri. Perlahan-lahan dia sarungkan Ang Liong Kiam.
Dia menatap kearah Pumama lalu membungkukkan badan memberi penghormatan.
Pumama
balas menghormat dengan tundukkan badan dan kepala disertai senyum tulus.
Nionio
Nikouw berpaling pada Wiro.
"Saudara
Wio. Aku harus pergi. Ucapanmu waktu di goa benar adanya. Adipati Brebes telah
menemui ajal…"
"Aku
yang membunuhnya ketika dia hendak berbuat mesum atas dirimu. Aku jelaskan
semua itu waktu di goa. Tapi aku tahu kau tidak percaya."
Sepasang
alis hitam bagus Nionio Nikouw naik ke atas. Matanya menatap tak berkedip.
Kafinya berkata. "Liok Ong Cun memberi tahu pemuda gondrong inilah yang hendak
merusak kehormatanku. Liok Ong Cun banyak dustanya. Tapi apakah pemuda satu Ini
dapat dipercaya? Apa betul dia yang membunuh Adipati itu?"
"Waktu
malam di goa, jika tuduhan Liok Ong Cun tidak betul bahwa kau hendak merusak
kehormatanku, mengapa kau melarikan diri?" Loan Nio Nikouw ajukan
pertanyaan.
"Seperti
katamu saat itu karena aku seorang pengecut!" jawab Wiro yang membuat
wajah cantik sang paderi dibalik kain penutup menjadi bersemu merah.
Untuk
beberapa lamanya Loan Nio Nikouw terdiam. "Ah, dia menaruh marah paling
tidak kecewa atas ucapanku waktu di goa malam tadi. Tapi aku harus bagaimana?
Selama tidak ada kejelasan aku akan selalu menaruh syak wasangka. Melihat
kenyataan dia mempunyai banyak kekasih tidak mustahil hatinya memang culas. Di
Tionggoan banyak musang berbulu ayam. Mungkin di negeri ini lebih banyak
lagi."
"Saudara
Wie," Nionio Nikouw akhirnya berkata. "Dalam waktu dekat saya akan
menemui. Banyak hal yang perlu mendapat kejelasan..;’
“Nionio
Nikouw. Mengapa kita tidak bicara sekarang saja?"
Paderi
perempuan itu tidak segera menjawab. Dia melirik sekilas pada Purnama.
Perasaannya muncul, hatinya kembali berkata. ‘Tadi pemuda ini mengatakan aku
dan perempuan muda itu sama-sama cantik Sungguh ceriwis. Aku tak mau
kecantikanku disamakan dengan gadis itu!"
Wiro yang
sempat melihat lirikan Nionio Nikouw dan merasakan adanya bayangan cemburu pada
wajah paderi itu. Segera saja dia berkata. "Nionio Nikouw, Purnama
Sahabatku. Berarti sahabatmu juga. Tidak ada yang perlu dirahasiakan. Kau bisa
bicara bebas."
"Pendekar,
kalau memang kehadiranku menjadi ganjalan pembicaraan kalian, aku lebih baik
pergi saja sekarang juga," ucap Purnama.
"Ah,
sekarang Purnama yang cemburu," keluh Wiro dalam hati.
"Biar
saya yang pergi…" kata Loan Nio Nikouw pula.
"Kau
hendak kemana Nionio?" tanya Pendekar 212.
"Mencari
seorang gadis bernama Ningrum. Dia adalah orang yang jadi penghubung saya
dengan mendiang Adipati Brebes. Saya punya dugaan dia bisa memberi beberapa keterangan
yang saya butuhkan…"
Seperti
diketahui dan diceritakan dalam Episode sebelumnya (Dadu Setan) Ningrum adalah
gadis pemandu Judi dadu di Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Gadis ini memang
punya hubungan baik dengan Adipati Karta Suminta serta banyak tahu apa-apa yang
dilakukan aang Adipati.
Setelah
berkata begitu tanpa banyak cerita lagi Loan Nio Nikouw segera tinggalkan
tempat itu. Wiro menggaruk kepala, berpaling pada Purnama.
"Ha-hu
ha-hu.." Dua nenek kembar yang sejak tadi masih ada di tempat itu
keluarkan suara. Yang satu memberi isyarat dengan gerakan tangan bahwa dia dan
kawannya akan meninggalkan tempat itu. Yang satunya mendekati Wiro sambil
mengulurkan sebuah benda. Ternyata benda itu adalah sebuah suling perak.
"ini
suling milik paderi perempuan itu. Nek, dimana kau menemukan? Kenapa tidak
dikeluarkan tadi-tadi?" tanya Wiro.
Nenek
yang ditanya membuat gerakan tangan menggambarkan bangunan besar lalu tutup
mata kanannya sementara tangan kiri menepuk-nepuk pinggang.
"Aku
mengerti. Suling ini kau temukan di Gedung Kadipaten. Di pinggang seorang
bermata picak. Ah, pasti maksudmu Ki Sentot Balangnipa."
"Ha-hu
ha-hu…" Si nenek manggut-mangguL
"Kenapa
tadi tidak kau serahkan pada pemiliknya sendiri?" tanya Wiro.
Nenek
yang ditanya goyang-goyangkan tangan kiri. Temannya menggeleng-geleng. Dua
tangan mereka sibuk memberi isyarat
"Aku
tak mengerti maksud kalian. Tapi baiklah. Suling ini akan kusimpan. Akan
kuserahkan pada pemiliknya jika nanti bertemu."
"Ha-hu
ha-hu." Dua nenek menunjuk ke arah kejauhan lalu senyum-senyum melirik
pada Purnama.
"Kalian
mau pergi?’ tanya Wiro. "Baiklah. Aku berterima kasih. Kalian telah banyak
menolong. Aku akan meneruskan menyelidik pembunuh Eyang Sepuh Kembar
Tilu…"
"Ha-hu
ha-hu."
Dua nenek
membungkuk berulang kali lalu melirik lagi pada Purnama. Sambil tertawa haha
hihi dan bergandengan tangan keduanya kemudian tinggalkan tempat itu.
"Dua
nenek sahabatku itu agaknya senang padamu," ucap Wiro.
"Aku
juga suka pada mereka. Siapa Eyang Sepuh Kembar Tilu?"
"Sebelumnya
mereka terdiri dari tiga kembaran. Yang dua tadi kembaran jejadian. Yang asli,
yang bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal di tangan seseorang. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir nenek itu minta tolong agar aku mencari dan
menghabisi orang yang membunuhnya. Hanya dengan kematian si pembunuh dua nenek
itu akan lenyap penyakit gagunya." Wiro lalu mengeluarkan kancing jas
tutup yang ada dalam saku pakaiannya. "Kancing ini ditemukan dalam
genggaman Eyang Sepuh Kembar Tilu setelah dia dibunuh. Agaknya benda ini
menjadi kunci siapa pembunuh nenek itu." Wiro lalu keluarkan pula sebuah
kantong kain warna hitam.
"Kantong
ini aku temukan dalam salah satu pakaian milik Adipati Brebes. Aku tak tahu
mengapa aku begitu saja mengambilnya."
“Banyak
tugas yang harus kau lakukan. Aku pikir aku pergi saja sekarang."
“Tunggu,
jangan pergi dulu…"
"Kehadiranku
menimbulkan rasa tidak suka pada banyak orang."
"Purnama,
jangan kau berpikir begitu. Jika yang kau maksudkan adalah paderi perempuan dan
gadis dari alam roh itu, keduanya sudah pergi. Tak ada yang jadi ganjalan kalau
kau ingin bicara," kata Wiro sambil memegang lengan Purnama agar perempuan
dari negeri 1200 tahun silam itu tidak pergi meninggalkannya.
"Pendekar,
apakah aku salah kalau punya rasa ingin bersahabat dengan dirimu? Ingin dekat
denganmu?"
"Kau
terus-terusan memanggilku dengan sebutan Pendekar. Namaku Wiro. Apakah kau
tidak bisa memanggil diriku dengan nama itu?"
Purnama
terdiam. Tatapan matanya yang bening lembut membuat dada Pendekar212 bergetar.
"Maaf,
aku tidak bermaksud bicara kasar padamu. Jika kau ingin bersahabat dan ingin
dekat, mengapa tidak memanggil diriku dengan namaku. Atau mungkin kau ingin
memanggil aku dengan namaku yang lain. Sableng?!"
Purnama
tertawa. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah salah…"
Wiro
menggeleng. "Salah bagaimana? Malah aku telah dua kali berhutang nyawa
padamu."
"Budi
yang kau tanam dalam diriku jauh lebih besar. Kau lupa telah meminjamkan Kitab
Seribu Pengobatan padaku? Aku berhasil menyembuhkan puteraku sendiri. Selain
itu kini aku mempunyai ilmu pengetahuan tentang pengobatan yang sangat luar
biasa Aku berjanji untuk mempergunakan ilmu pengobatan itu untuk menolong orang
lain."
"Niatmu
sungguh terpuji. Kau harus mengetahui jarang bahkan mungkin tidak ada seorang
lainpun yang sanggup menghafal isi Kitab sakti itu."
Purnama
tidak berusaha menarik tangannya yang dipegang Wiro sampai akhirnya Wiro sendiri
yang melepas pegangannya.
"Wiro,
harap kau mau berterus terang. Apakah kehadiranku telah menimbulkan rasa
ketidak senangan dibanyak orang. Misalnya dua sahabatmu yang cantik-cantik
tadi. Mungkin aku salah menduga. Namun tampaknya mereka cemburu padaku."
Wiro
menggaruk kepala.
"Bunga
sahabat lamaku. Aku tahu hatinya, dia juga tahu hatiku Lalu paderi muda berbaju
merah tadi. Dia sahabat baruku. Sepertimu dia juga telah menolong menyelamatkan
diriku."
"Yang
aku ingin bicarakan bukan semua sifat baik mereka. Tapi perasaan cemburu
sebagai seorang perempuan. Maaf saja, aku sempat mendengar kata-kata gadis
bernama Bunga tadi."
"Ucapannya
yang mana?" tanya Wiro.
"Dia
berkata jika kau punya sahabat baru jangan melupakan sahabat lama. Jelas
ucapannya itu ditujukan padaku."
"Ah
itu…" Wiro menggaruk kepala. "Aku yakin dia tidak bermaksud
menyinggung dirimu…"
"Mungkin
begitu. Gadis bernama Bunga itu bicara apa adanya. Hatinya tulus bicaranya
polos…"
"Lalu
bagaimana dengan paderi perempuan itu?" tanya Wiro pula.
"Dia
juga gadis baik. Ilmunya tinggi. Hanya saja, kalau aku boieh tahu, gerangan apa
yang membuat dia datang ke tanah Jawa ini dari negeri begitu jauh? Aku menaruh
sangka, mudahmudahan salah. Paderi itu membekal segudang rahasia dalam
dirinya."
"Yang
aku lihat sifatnya kadang-kadang sangat arif. Tapi kadang-kadang juga cepat
terpengaruh, kurang menyelidik. Jiwa penolongnya sangat tinggi. Entah kalau itu
mengandung maksud tertentu seperti katamu tadi." Wiro lalu menuturkan
riwayat dadu setan sebagaimana yang didengarnya dari Loan Nio Nikouw. Setelah
mendengar penjelasan Wiro, Purnama berkata.
"Aku
tidak ingin perduli dan mau tahu urusan orang. Tapi apakah kau tidak melihat
kejanggalan? Paderi perempuan itu mengatakan padamu bahwa semua tokoh dari
daratan Cina yang datang ke Losari adalah anak buahnya. Lalu bagaimana atau
mengapa sampai mereka akhirnya mati semua? Yang ditakuti dari dadu setan itu
kemampuannya sebagai alat penguras kekayaan atau sebagai alat pembunuh? Lebih
lanjut mengapa kau yang dituju dan diharap sebagai orang yang bisa membantu.
Apa benar Wakil Ketua Siauw Lim memerintahkan paderi itu untuk mencari dan
mendapatkan dadu setan itu lalu membawanya kembali ke Tionggoan. Lebih lanjut
mengapa pemuda muka tengkorak bernama Liok Ong Cun yang samasama anak murid
Siauw Lim tidak tahu apa-apa perihal dadu setan itu.
Untuk
beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng terdiam dan coba merenungi semua
ucapan Purnama. Akhirnya dia hanya garuk-garuk kepala.
"Wiro,
kau tengah menghadap satu perkara besar. Di balik perkara itu mungkin ada satu
rahasia yang bobotnya lebih besar dari kenyataan kasat mata yang kau lihat Aku
tak pernah ingin berprasangka buruk terhadap orang lain. Namun dalam hidup ini
seseorang tidak boleh melupakan unsur kehati-hatian…"
Wiro
merasa walau belum lama mengenal namun Purnama menaruh banyak perhatian atas
dirinya. Murid Sinto Gendeng ini kembali menggaruk kepala.
"Wiro,
sewaktu kau memasuki Gedung Kadipaten, mengapa tidak menyusup kedalam dengan
mempergunakan Ilmu Meraga Sukma?"
Pendekar
212 tersentak kaget. Bagaimana Purnama mengetahui kalau dia memiliki ilmu itu?
"Purnama,
kau sering membuat kejutan. Bagaimana…"
"Maksudmu
bagaimana aku tahu kau memiliki ilmu langkah tersebut?" Si cantik dari
negeri Latanahsilam ini tersenyum.
"Jika
aku ingin dekat dengan seseorang, aku ingin tahu dirinya luar dalam, lahir dan
batinnya."
"Mengapa?"
tanya W’ro pu’a.
"Aku
tak ingin berlaku keliru yang bisa membuat retak hubungan. Misalnya seperti
kejadian dengan dua perempuan cantik tadi. Mereka lebih dulu mengenalmu.
Mungkin mereka menganggap diriku sebagai pengacau atau apalah..,"
Wiro
tersenyum dan berkata. "Kau gadis baik." Ketika tangannya hendak
diulurkan membelai rambut Purnama tiba-tiba Wiro ingat sesuatu lalu meraba
pinggang.
"Astaga!"
"Ada
apa?’ tanya Purnama.
.
"Kitab Seribu Pengobatan!"
Purnama
terkejut
"Sewaktu
berusaha menolong, dua nenek itu mengeluarkan kitab dari balik pinggangku. Lalu
kau datang…"
"Ya
Tuhan. Aku telah berlaku lalai." Wajah Purnama berubah pucat Waktu
melafalkan cara pengobatan, kitab aku letakkan di atas pangkuan. Dua nenek
sibuk menolongmu. Kitab aku pindahkan ke lantai dangau…"
Wiro dan
Purnama lari ke arah dangau yang telah roboh porak poranda. Keduanya membongkar
reruntuhan bangunan dangau. Namun Kitab Seribu Pengobatan tidak ditemukan. Yang
dijumpai hanya kantong kain putih bekas pembungkusnya.
"Kalau
tidak ada yang mencuri, kitab itu tak bakal lenyap. Pasti akan ada di antara
runtuhan dangau ini!" Kata Wiro pula sambil meremas kantong kain putih.
"Aku curiga. Janganjangan…"
"Siapa
menurutmu yang mau berlaku keji mencuri kitab itu?" tanya Purnama pula.
"Aku
tak dapat memastikan. Mungkin dua nenek kembar jejadian. Bisa jadi paderi
perempuan itu. Atau mungkin juga Bunga. Tapi mereka orang baik semua…"
Wiro usap-usap dagunya. "Mungkin juga ada seseorang lain menyelinap
mengambil kitab itu ketika kita bertempur menghadapi kakek berjubah hitam
gombrong itu?"
"Wiro,
kita harus mencari kitab itu. Kemana kau pergi mencari aku ikuti Aku sangat
bertanggung jawab atas kelalaiankut Aku mohon maafmu. Aku rela menerima hukuman
apapun darimu!" Purnama bicara dengan suara terisak.
Wiro
pegang tangan Purnama. Si cantik langsung saja benamkan wajahnya ke dada
Pendekar 212.
"Heran,
mengapa tidak habis-habisnya cobaan atas diriku?’ ucap Wiro dalam hati sambil
tangan kanan entah sadar entah tidak mengusap punggung Purnama.
Diusap
seperti itu Pumama merasa sejuta tenteram sejuta bahagia. Sementara Wiro
membatin, dalam hati Purnama. "Wiro, aku ingin selalu dekat denganmu. Aku
ingin pergi kemana kau pergi. Semoga perasaan kita bisa saling bertemu. Semoga
Yang Maha Kuasa mengabulkan permintaanku ini. Jika ini adalah satu dosa
terhadap orang lain, aku mohon ampun…"
Wiro baru
sadar dan lepaskan pelukannya ketika dirasakannya dadanya hangat oleh basahan
airmata Purnama.
Tanpa
diketahui kedua orang itu, dari tempat tersembunyi tiga pasang mata mengintai
memperhatikan semua gerak gerik
Wiro dan
Purnama. Sepasang mata pertama adalah mata paderi Loan Nio Nikouw. Pasang mata
kedua bukan lain si gadis dari alam roh. Lalu siapa pemilik pasang mata yang ke
tiga?
Salah
satu dari orang itu mengutuk geram dalam hati.
"Hemmm…
Ada perempuan lacur baru kesasar rupanya!"
******************
10
DARI luar
rumah besar berhalaman luas di pinggir desa Jatiwaluh di tenggara Losari itu
tampak sunyi. Di sebelah dalam ternyata banyak orang. Untuk ukuran sebuah desa
Jatiwaluh rumah besar dan berhalaman luas seperti itu merupakan satu hal luar
biasa. Hanya orang kaya yang mampu memiliki rumah sebesar dan sebagus itu.
Penduduk
desa menganggap Surah Pamulih sebagai orang beruntung. Setahun lalu rumahnya
masih setengah gubuk dan kehidupan mereka sangat susah. Perubahan ini
menyebabkan munculnya pergunjingan. Dari mana Surah Pamulih mendapatkan uang
membangun rumah sebesar itu. Kemudian diketahui pula bahwa kini dia memiliki
sawah berbidang-bidang, kebun luas serta ternak dalam jumlah banyak. Di pantai
utara diketahui pula Surah Pamulih memiliki banyak tambak udang. Namun di dalam
keberuntungan itu datang musibah. Ningrum, anak tunggal mereka yang belum kawin
meninggal dunia. Jenazah Ningrum sudah dimakamkan siang tadi. Di rumah besar
masih banyak orang berkumpul. Yaitu saudara serta karib kerabat dan tetangga.
Beberapa buah bendera kuning masih terpancang di sekitar rumah. Salah satu
diantaranya di samping pintu masuk. Kata orang yang tahu. konon Ningrumlah yang
jadi sumber rejeki, pembawa semua keberuntungan itu.
Menjelang
matahari tenggelam, seorang perempuan berpakaian merah berjalan cepatmemasuki
halaman. Kepala dan wajahnya ditutup kain merah yang sama coraknya dengan
pakaian yang dikenakan. Orang ini bukan lain adalah Kiang Loap Nio Nikouw Sang
paderi perhatikac bendera kuning di samping pintu. Hatinya merasa tidak enak.
Tak
selang berapa lama seorang lelaki tua berkopiah putih diikuti oleh beberapa
orang di sebelah belakang menemui paderi itu. Dia memperhatikan tamu
dihadapannya lalu bertanya.
"Den
Ayu, siapakah? Dari mana. ada keperluan apa?" °
Loan Nio
Nikouw tersenyum mendengar dirinya dipanggil Den Ayu.
"Saya
seorang paderi. Datang dari negeri Jauh Saya Ingin bertemu Ningrum. Kami
bersahabat. Bukankah di sini rumahnya?"
Lelaki
berkopiah putih kembali menatap tamunya. Wajahnya yang kuyu kini tampak sedih
sementara orang-orang di belakangnya juga unjukkan raut muka yang sama.
"Saya
Surah Pamuilh, ayah Ningrum. Apakah Den Ayu tidak mendengar kabar?"
"Kabar
apa?" Hati sang paderi berdetak. Perasaannya tambah tidak enak.
"Bendera kuning…" ucapnya dalam hati.
"Ningrum
meninggal dunia pagi tadi."
Walau
perasaannya sudah menduga tetap saja Loan Nio Nikouw terkejut mendengar ucapan
lelaki berkopiah putih yang mengaku sebagai ayali Ningrum. Orang ini kemudian
berkata.
"Rasanya
anak saya pernah bercerita tentang Den Ayu. Namun keadaan Den Ayu agak sedikit
lain. Tidak ada topi biru di kepala, tidak memakai cadar manik-manik
merah…" Surah Pamulih perhatikan bagian bawah baju sang paderi yang bekas
dirobek.
"Anak
Bapak pernah cerita tentang saya?" tanya Loan Nio Nikouw pula.
"Dia
cerita punya seorang kenalan baru. Seorang perempuan dari negeri Cina. Katanya
Den Ayu belum lama Ini memberinya seuntai kalung mutiara."
"Apakah
kalung itu masih ada?"
Ayah
Ningrum mengangguk. "Saya simpan di lemari. Apakah Den Ayu hendak
mengambilnya kembali?"
‘Tidak.
Tapi saya ingin tahu bagaimana kejadian meninggalnya sahabat saya."
Si orang
tua menarik nafas dalam. Dia seperti tak kuasa untuk bicara menerangkan. Dia
berpaling pada orang-orang yang berdiri di belakangnya Salah seorang dari.
mereka kemudian berkata.
"Puteri
Bapak Ini sakit mendadak."
"Kasihan
Ningrum.." ucap Loan Nio Nikouw perlahan. Dia perhatikan wajah Surah
Pamulih dan juga wajah-wajah orang yang ada di situ. Dalam hati dia berkata.
"Aku punya dugaan orang-orang Ini menyembunyikan sesuatu." *
"Bapak,
saya turut berduka cita…"
Surah
Pamulih anggukkan kepala. Ucapkan terima kasih. Wajahnya tampak kuyu sedih.
‘
"Apakah boleh saya ingin melihat makamnya Apakah jauh dari sini?" . •
‘. ‘
"Ningrum
dimakamkan di pekuburan keluarga. Tak jauh dari sini. Sebelum hari gelap mari
saya antarkan."
Selain
Surah Pemulih beberapa orang lelaki ikut mengantar. Rombongan sampai di
pekuburan ketika udara mulai meremang gelap. Lelaki yang berjalan di sebelah
depan berpaling pada ayah Ningrum dan berkata. "Akang Surah, ada seseorang
di samping makam Ningrum."
"Siapa
lagi kalau bukan pemuda sinting si Danang Seta itu!" kata Surah Pamulih.
Wajahnya yang sejak tadi kuyu kini tampak berubah kelam marah.
Loan Nio
Nikouw memandang ke depan. Di hadapan sebuah kuburan dia melihat memang ada
seorang lelaki muda duduk berjongkok sambil dua tangan dirapat ditampungkan ke
depan Agaknya pemuda ini tengah berdoa "Kalau orang berdoa dimakam
puterinya, mengapa orang tua ini marah?" pikir Loan Nio Nikouw. Sementara
itu ketika mengetahui ada rombongan yang datang, pemuda di samping makam cepat
berdiri.
"Danang
Seta!" Surah Pamulih berteriak. "Jika sekali lagi kau berani
mendatangi makam anakku, aku akan suruh orang mencari dan menggebukmu sampai
mati!"
Pemuda di
dekat makam tampak ketakutan. Tidak menunggu lebih lama serta merta lari
meninggalkan pekuburan.
"Akang,
apa perlu kami mengejar pemuda itu?" Seorang di dalam rombongan bertanya.
"Sekarang
ini biarkan saja. Tapi jika lain kali dia berani masuk desa, berani mendatangi
makam Ningrum. beritahu aku. Aku benar-benar akan menghajarnya sampai
mati!"
Sampai di
kuburan Ningrum, Surah Pamulih berkata. "Den Ayu saya dan saudara-saudara
ini tidak bisa menunggui Den Ayu di sini. Kami harus kembali ke rumah untuk
mempersiapkan acara pengajian."
"Tidak
apa saya sendirian di sini. Saya hanya Ingin merenung dan mendoakan Ningrum
agar bisa tenteram di alam baka. Saya tidak akan mampir lagi ke rumah
Bapak." Loan Nio Nikouw kemudian membungkuk dalam-dalam.
Setelah
semua orang itu pergi Loan Nio Nikouw tegak membisu. Hanya hatinya yang bicara
"Setelah Adipati itu meninggal, Ningrum satu-satunya orang bisa membuka
tabir rahasia keberadaan dua dadu setan. Sayang sekali. Dia keburu meninggal
sebelum sempat memberi tahu…"
"Kraaakkk!"
Tiba-tiba
di belakang sang paderi ada suara derak ranting patah terpijak kaki. Loan Nio
Nikouw cepat berbalik. Dia melihat seorang muda di belakang serumpun semak
belukar. Pemuda ini tampak terkejut pucatdan melangkah mundur siap larikan
diri.
"Jangan
lari!" bentak Loan Nio Nikouw.Sekali lompat saja dia melayang di atas
semak-semak lalu tegak di depan orang itu. Tinjunya dikepal di depan hidung
orang. "Berani lari kupecahkan kepalamu!"
"
Janganl Saya tidak berniat jahat! Saya orang yang tadi bordoa di makam Ningrum.
Saya lari sewaktu rombongan datang."
"Danang
Seta?"
"Itu
nama saya."
"Kenapa
kau seperti ketakutan dan melarikan diri ketika saya dan rombongan ayah Ningrum
datang? Dan sekarang mengapa kau berani muncul mengintip diriku?!"
"Mereka
hendak menggebuk saya. Dulu ayah Ningrum dan karib kerabatnya baik sama saya.
Tapi sejak mereka kaya raya, mereka
membenci
saya."
"Mengapa?’
tanya Loan Nio Nikouw.
"Saya
tidak tahu. Ningrum juga berubah. Selalu menjauh dari saya. Padahal sebelumnya
kami sudah berencana untuk menikah sehabis perayaan Maulud tahun ini."
"Jadi
kau kekasih Ningrum."
"Ningrum
beberapa satu lebih tua dari saya. Itu tidak menjadi soal. Sebenarnya kami
sudah dijodohkan sejak kecil. Tapi setelah kaya raya Ki Surah Pamulih ingin
membatalkan perjodohan. Bagi saya mungkin-itu sudah nasib. Ningrum jarang di
rumah. Untuk dapat bertemu satu purnama sekali sudah untung."
."Kalau
dia jarang di rumah lalu kemana perginya gadis Itu?” Tanya Loan Nio Nikouw. Dia
tahu, dia sendiri cukup sulit menemui gadis yang dijadikannya sebagai penghubung
dengan mendiang Adipati Brebes itu.
"Itulah
yang membuat saya berusaha menyelidik. Belakangan ini saya ketahui dia banyak
bergaul dengan orang-orang kaya termasuk para pejabat tinggi Kerajaan. Pada
pertemuan terakhir kali beberapa waktu-lalu Ningrum berkata bahwa dia ingin
meninggalkan pekerjaannya yang sekarang. Saya bertanya apa pekerjaannya dan dia
bekerja di mana? Tapi Ningrum tidak mau memberi tahu. Kasihan Ningrum,
jangan-jangan dia korban dari pekerjaannya sendiri…"
"Danang
Seta, apa maksudmu dengan ucapan itu?’ tanya Loan Nio Nikouw.
"Kami,
semua orang di desa Jatiwaluh ini merasa heran. Dari mana Ki Surah Pamulih
punya uang begitu banyak untuk membeli tanah luas, mendirikan rumah besar,
memiliki sawah, ladang, ternak juga tambak udang. Saya punya dugaan semua
sumber kekayaan itu datang dari Ningrum. Lalu Ningrum sendiri dapat uang dari
mana? Satu kali Ningrum pernah menunjukkan pada saya sepotong batangan emas
mumi. Saya kaget sekali. Seumur hidup baru kali itu melihat emas begitu besar. Katanya
emas itu pemberian seorang kenalan dekatnya. Seorang pejabat Kerajaan. Saya
mendesak bertanya siapa nama pejabat itu. Dia tidak memberi tahu malah marah
dan menuduh saya tengah menyelidiki dirinya. Sejak itu kami tidak pernah
bertemu lagi."
"Ayah
Ningrum memberi tahu, puterinya meninggal karena sakit mendadak. Kau tahu sakit
apa?"
Danang
Seta tatap wajah sang paderi seolah hendak menembus cadar merah yang menutupi.
"Ki
Surah Pamulih berdusta. Orang-orang itu bcrdusta. Mereka menyembunyikan
kematian sebenarnya dari Ningrum. Kekasihku tidak mati karena sakit mendadak.
Ningrum mati dibunuh!"
Sepasang
mata Loan Nio Nikouw menyipit Tiba-tiba paderi ini merasa dingin di bagian
punggung dan tengkuknya. Dia berbalik. Memandang-mandang berkeliling. Tidak ada
orang lain dipekuburan itu.
"Mungkin
hanya tiupan angin," kata Loan Nio Nikouw dalam hati. Lalu dia bertanya
pada Danang Seta. "Dari mana kau tahu Ningrum mati dibunuh." .
"Salah
seorang pembantu di rumah Ki Surah Pamulih adalah masih bibi saya dia biasa dipanggil
dengan nama Nyi Gembok. Dia yang memben tahu. Dia yang menemukan mayat Ningrum
pagi hari ketika hendak membangunkan. Ningrum ditemukan Nyi Gembok dalam
keadaan terbaring terlentang di atas ranjang. Tubuhnya bugil. Dua kaki
terkembang. Di lehernya ada tanda merah bekas gigitan. Agaknya sebelum mati
Ningrum telah melakukan hubungan badan dengan seseorang. Orang inilah yang
kemudian membunuhnya. Dari Nyi Gembok sebelumnya aku sudah mendengar kabar
kalau Ningrum sering menerima tamu rahasia pada malam hari tanpa setahu ayah
atau ibunya.
"Berarti
si pembunuh adalah seseorang yang dikenal Ningrum. Ningrum mengizinkannya masuk
ke dalam kamar, melakukan hubungan badan lalu dibunuh. Mengapa? Mengapa ada
orang sekejam itu? Apa alasannya membunuh Ningrum setelah lebih dulu
menyebadaninya?"
Dari
balik pakaiannya Danang Seta mengeluarkan sebuah benda. Ketika Loan Nio Nikouw
memperhatikan, benda itu ternyata adalah sebilah keris panjang sejengkal. Ada
noda darah yang telah mengering pada bagian ujung yang lancip sampai
pertengahan badan senjata ini.
"Keris
ini ditemukan Nyi Gembok menancap di leher Ningrum."
Loan Nio
Nikouw tertegun sesaat
"Bagaimana
senjata ini sekarang ada padamu?"
"Nyi
Gembok mencurinya dari sebuah rak lalu diberikan pada saya seusai pemakaman
siang tadi."
"Kalau
begitu saya perlu bertemu dengan Nyi Gembok."
Danang
Seta gelengkan kepala. "Nyi Gembok sudah diusir dari rumah besar. Bibi
saya dipecat!" Jawab si pemuda. "Ada satu hal yang perlu saya beri
tahu. Keris kecil ini adalah milik Raden Kumbara Ajiwinata. Seorang Pangeran
muda dari satu Kerajaan di barat"
"Bagaimana
kau bisa tahu?" tanya Loan Nio Nikouw.
"Beberapa
tahun lalu saya pernah bekerja di kediaman seorang Empu di Karang Ampel.
Namanya Empu Barada. Empu ini ahli membuat senjata bertuah. Satu ketika dia
menerima pesanan dibuatkan sebilah keris kecil dari Raden Kumbara. Sewaktu
keris pesanan selesai saya yang disuruh mengantarkan kepada Raden Kumbara. Saya
sangat mengenali senjata ini."
"Ditemukannya
senjata ini apakah kau punya dugaan. Mungkin tuduhan bahwa Raden Kumbara yang
membunuh Ningrum?’
Danang
Seta tidak bisa menjawab pertanyaan Loan Nio Nikouw itu ‘ Saya mungkin akan
menemui Pangeran itu. Tapi ada seorang sahabat yang perlu segera saya temui.
Dia tahu suatu tempat penuh bergemilang uang, harta dan perempuan. Saya punya
dugaan bahwa Ningrum ada sangkut pautnya dengan tempat itu."
Sepasang
mata Loan Nio Nikouw tampak bersinar membesar
"Siapa
nama sahabatmu itu? Dimana dia bisa ditemui?” tanya sang paderi pula.
"Dia
seorang perajurit Kadipaten Losari. Namanya Jumena. Belum lama ini terjadi satu
hal menggegerkan. Atasan Jumena menemukan satu tempat rahasia di sekitar…"
Belum
sempat Danang Seta melanjutkan ucapannya tiba-tiba sebuah benda hitam melesat
di udara. Loan Nio Nikouw Cepat gerakkan dua tangannya. Tangan pertama
mendorong ke arah Danang Seta hingga pemuda Ini terjajar jauh dan jatuh
terduduk di tanah tapi selamat dari serangan benda hitam. Tangan kedua
menghantam ke udara melancarkan pukulan tangan kosong dan membuat mental benda
hitam yang tadi menyerang Danang. Di saat hampir bersamaan satu lagi benda
hitam melesatdaiam kegelapan, menyambar ke arah kepala Loan Nio Nikouw. Sambil
rundukkan kepala paderi dari Tionggoan ini berteriak.
"Pembokong
gelapi Jangan lari!”
Di
seberang sana satu bayangan hitam berkelebat keluar dari balik satu pohon besar
lalu melarikan diri ke arah timur. Loan Nio Nikouw lepaskan satu pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu jeritan merobek kesunyian malam di
pekuburan. Ketika sang paderi sampai di dekat pohon besar, dia dapatkan si
pembokong tergeletak di tanah tak bernyawa lagi. Ketika memeriksa, Loan Nio
nikouw terkejut
"Manusia
ini bukan mati karena pukulanku."
Di kening
orang itu menancap sebuah benda hitam berbentuk paku besar berduri. Inilah
benda maut yang membunuhnyal Tibatiba terdengar jeritan orang.
"Danang!"
seru Loan Nio Nikouw. Dia cepat melompat ke tempat Danang jatuh. Terlambat
Kakinya laksana dipantek. Danang yang tadi masih hidup kini tergeletak di tanah
dengan luka besar menganga di leher. Darah menggenang. Loan Nio Nikouw merasa
seperti mau muntah. Sang paderi perhatikan tangan Danang Seta kiri kanan. Lalu
dia menggeledah pakaian pemuda itu. Dia tidak menemukan keris kecil yang tadi
dipegang dan diperlihatkan Danang Seta.
"’Ada
orang mencuri keris kecil itu…" ucap Loan Nio Nikouw dalam hati.
Tak lama
setelah Loan Nio Nikouw pergi satu sosok bergemeriap biru menampakkan diri di
pekuburan lalu melesat ke arah barat Di satu tempat sosok ini membentuk ujud
utuh lalu mendekati seorang pemuda yang duduk di dekat pematang
sawah.
"Purnama,
bagaimana hasil kuntitanmu?"
Mahluk
bayangan yang bukan lain si cantik Purnama menceritakan apa yang terjadi di
pekuburan Jatiwaluh. "Wiro, kita harus segera menemukan seorang perajurit
Kadipaten Losari bernama Jumena. Dia ada hubungan dengan perkara besar yang
tengah kau selidiki. Aku punya dugaan dia akan jadi korban pembunuhan
berikutnya."
"Jumena?
Aku kenal perajurit Itu. Aku pernah bertemu dengannya di pinggiran sebuah
jurang." Berkata Pendekar 212. "Purnama, kita pergi ke Losari
sekarang juga."
"Mudah-mudahan
kita tidak kedahuluan sahabatmu paderi perempuan itu. Aku yakin dia juga akan
ke Losari mencari perajurit bernama Jumena." Purnama ulurkan tangan
membantu Wiro berdiri. Lalu sambil berpegangan keduanya tinggalkan tempat itu.
Dalam
gelap sepasang mata memperhatikan penuh geram. Mulutnya berucap. "Dasar
lacur perempuanl Kemana-mana maunya berpegangan! Tunggu saja! Aku kerjai
kau!"
TAMAT
No comments:
Post a Comment