Wasiat Malaikat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
SATU
Setan
Ngompol pegang lengan nenek di sebelahnya seraya berkata. “Aku melihat ada
dinding batu di bawah sana. Mari kita selidiki….” sinenek yang bukan lain
adalah Sinto Gendeng guru Pendekar 212 langsung mengomel.
“Aku
kemari mencari Pedang Naga Suci 212! Buat mengobati muridku yang sedang
kapiran! Bukan untuk menyelidiki segala macam dinding! Lagi pula apa kau lupa.
Sepasang naga kuning pasti berada di dalam telaga ini. Salah bergerak kita bisa
jadi mangsa mereka!”
“Memang
kita harus hati-hati,” ikut bicara Panji. “Selain sepasang naga dan Makhluk Api
Liang Neraka bukan mustahil Kiai Gede Tapa Pamungkas memiliki makhluk
peliharaan lain….”
Ketiga
orang tersebut saat itu berada dalam Telaga Gajahmungkur. Berkat ilmu yang
diberikan Ratu Duyung mereka bukan saja sanggup berenang sampai jauh ke dasar
telaga tapi luar biasanya juga mampu bernapas dan bicara dalam air tidak beda
seolah mereka berada di daratan terbuka. Seperti diketahui sebagai penguasa
salah satu kawasan laut selatan Ratu Duyung memiliki berbagai kesaktian antara
lain hidup di dalam air. Sehabis geger besar di Pangandaran dia pernah membawa
Wiro ke dasar laut. Karenanya tidak sulit baginya untuk menyirap memberi
kekuatan pada Sinto Gendeng, Panji dan Setan Ngompol hingga ketiga orang ini
mampu berada dalam air. Malah ilmunya jauh lebih hebat dari yang dimiliki oleh tokoh
rimba persilatan lainnya yakni Sika Sure Jelantik. Nenek satu ini telah
menolong dan memberikan ilmu serupa pada Puti Andini, namun hanya berkekuatan
selama 100 hari.
“Sinto,
jangan kau menakut-nakuti aku. Nanti aku ngompol lagi!” berkata Setan Ngompol
yang sudah punya rasa tidak enak.
“Siapa
menakuti tua bangka sepertimu! Coba kau lihat ke kanan sebelah bawah!” teriak
Sinto Gendeng.
Setan
Ngompol lakukan apa yang dikatakan si nenek. Panji juga ikut menoleh. Begitu
Setan Ngompol memperhatikan ke kanan ke arah dasar telaga pandangannya
membentur satu sosok aneh bergelung yang bukan lain adalah naga kembar betina
peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang sebelumnya sudah mereka lihat sewaktu
masih berada di tepi telaga.
“Kau
benar Sinto! Celaka kita bertiga!” kata Setan Ngompol. Kakek ini langsung tekap
bagian bawah perutnya. Tapi karena takut dia tak bisa menahan kencingnya.
Begitu air kencing si kakek mencemari air telaga maka di dasar telaga terdengar
suara menggemuruh. Air telaga menggelombang.
Naga betina
yang memang sudah tahu kalau ada makhluk lain di dalam telaga, segera bergerak
menggeliat. Kepalanya dipentang. Dari mulutnya keluar desisan keras yang
membuat air telaga laksana ombak besar menghantam ke arah Sinto Gendeng, Setan
Ngompol dan Panji hingga ketiga orang ini terpental beberapa tombak. Naga
betina ini siap menyerbu. Tapi begitu sepasang matanya yang merah melihat
cairan kuning mengambang di hadapannya binatang ini keluarkan ringkikan aneh
dan panjang menggidikkan lalu bersurut menjauh.
“Ha… ha…!
Naga itu takut melihat air kencingku!” kata Setan Ngompol tertawa mengekeh
sambil menunjuk-nunjuk ke arah naga betina. Tapi suara tawanya serta merta
lenyap dan berubah menjadi jeritan kaget ketika dari arah kiri naga jantan yang
sebelumnya mendekam diam tiba-tiba membuka gelungan tubuhnya lalu meluncur ke
arah tiga orang itu.
Kini
bukan cuma Setan Ngompol yang terkencing-kencing saking kaget dan takut. Sinto
Gendeng juga ikut basah kainnya. Sedang Panji serasa terbang nyawanya. Cairan
kuning bertebaran dimana- mana. Seperti naga betina tadi, begitu melihat dan
mencium air larangan yang keluar dari tubuh Setan Ngompol dan Sinto Gendeng,
naga jantan meringkik aneh dan meliukkan tubuh lalu berenang menjauh.
Di dasar
telaga untuk kesekian kalinya muncul suara menggemuruh disertai goncangan
keras. Untuk beberapa lamanya air telaga menjadi keruh menghalangi pemandangan.
“Nek!
Nenek Sinto Gendeng!”
Tiba-tiba
ada teriakan memanggil Sinto Gendeng.
“Edan!
Siapa yang memanggil diriku di tempat seperti ini! Apa telaga ini ada
hantunya?!” ujar Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tapi air telaga
masih keruh. Si nenek tak bisa melihat dengan jelas.
“Suaranya
seperti suara anak kecil!” kata Setan Ngompol seraya celingak-celinguk ikut
mencari. “Jangan-jangan ada tuyul di tempat ini! Eh, apa ada tuyul berkeliaran
dalam air?!” Sinto Gendeng pentang dua matanya besar-besar.
“Nek!
Saya di bawah sini!”
Setan
Ngompol meniup ke bawah. Sesaat air telaga yang keruh menjadi jernih. Begitu
dia memandang ke bawah dia melihat satu dinding tinggi berkeluk, laksana sebuah
tonggak raksasa. Lalu pada bagian bawah dinding batu itu dilihatnya satu sosok
terpentang seolah menempel ke dalam batu. Setan Ngompol pegang lengan Sinto
Gendeng lalu menunjuk ke bawah sana. “Kau lihat dinding batu itu? Lihat di
sebelah bawahnya. Ada patung anak kecil!”
Saat itu
air telaga telah jernih kembali. Penglihatan si nenek menjadi terang, “itu
bukan patung! Itu manusia!” ujar Sinto Gendeng. “Kalau patung mana mungkin bisa
bicara!”
“Kalau
manusia mengapa menempel di dalam dinding batu! Tidak bergerak-gerak! Aku baru
yakin itu manusia kalau mendengar dia kentut!” Habis berkata begitu Setan
Ngompol tertawa mengekeh. Tidak terasa kembali air kencingnya keluar.
“Biar
saya berenang ke bawah,” berkata Panji.
“Ya, mari
kita turun menyelidiki!” kata Sinto Gendeng yang jadi penasaran. Lalu
mendahului melesat ke bawah. Sejarak lima tombak dari dasar telaga Sinto
Gendeng keluarkan seruan yang membuat Setan Ngompol kaget dan buru-buru tekap
bagian bawah pusarnya.
“Astaga!
Anak itu kiranya!”
“Heh,
anak itu anak siapa?!” tanya Setan Ngompol.
Sinto
Gendeng tidak perdulikan pertanyaan orang terus saja dia berenang menukik ke
arah dasar dinding. Kali ini hanya Panji yang terus mengikuti sedang Setan
Ngompol berhenti berenang karena dia lebih tertarik pada rangkaian tulisan yang
tertera di dinding batu.
Di
sebelah atas tertulis besar kata-kata “Liang Lahat”. Namun belum sempat dia
membaca seluruh tulisan yang ada di dinding berbentuk setengah lingkaran itu
tiba-tiba di bawah sana Sinto Gendeng berteriak memanggil. Si kakek segera
berenang ke dasar telaga.
“Kau
lihat sendiri! Yang ada dalam batu itu manusia atau patung!” kata Sinto Gendeng
begitu Setan Ngompol sampai di dekatnya. Si kakek memandang ke depan ke arah
yang ditunjuk Sinto Gendeng. “Walah! Memang manusia. Anak kecil. Matanya bisa
kedap kedip tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Melesak menempel ke dalam
dinding batu!”
“Dia
memang tak bisa bergerak tapi bisa bicara! Aku akan menanyainya! Aku kenal
betul anak ini!” kata Sinto Gendeng pula. “Naga Kuning, aku tahu kawasan ini
ada di bawah pengawasanmu. Tapi coba katakan dulu permainan apa yang hendak kau
perlihatkan padaku saat ini!”
Anak
kecil yang dipendam di dasar Liang Lahat cibirkan mulutnya lalu menjawab.
“Ini
bukan permainan. Saya dihukum pendam ke dalam batu oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas.”
“Heh, apa
orang tua itu masih ada di sekitar sini?” bertanya Sinto Gendeng sambil melirik
berkeliling.
“Dia
sudah pergi. Tidak tahu pergi ke mana!”
“Ceritakan
apa yang terjadi atas dirimu! Mengapa kau dihukum begini rupa?!”
“Nanti
akan saya jelaskan Nek. Tapi harap kau mau menolong membebaskan saya dari dalam
batu ini.”
“Kalau
kesalahanmu tidak besar pasti hukumanmu tidak seberat ini! Apa yang kau lakukan
bocah sial? Kau mengintip sang Kiai lagi kencing atau bagaimana? Hik… hik…
hik!”
“Sinto!
Jangari membanyol! Aku bisa kencing!” berkata Setan Ngompol.
“Tubuhnya
tak bisa bergerak. Mungkin dia ditotok Nek,” kata Panji pula.
“Hemmm….
Kalau benar kau ditotok cepat beri tahu bagian tubuhmu sebelah mana yang
ditotok agar aku bisa menolong,” kata Sinto Gendeng.
“Saya
tidak ditotok. Tapi dipendam dalam batu! Saya bisa bergerak kalau bebas dari
pendaman…” menerangkan Naga Kuning.
“Kalau
begitu biar aku tarik tangan dan kakimu!” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek
ini cekal tangan kiri dan pergelangan kaki kanan Naga Kuning. Sekali menarik
pasti anak itu bisa dikeluarkannya dari pendaman batu. Tapi sampai mukanya
mengerenyit keriputan dan rahangnya menggembung sosok Naga Kuning tak bisa
dikeluarkan. Tubuh anak ini menempel laksana jadi satu dengan dinding batu
Liang Lahat.
Sinto
Gendeng tak mau mengalah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tetap saja tubuh Naga
Kuning tidak bergerak barang sedikit pun! Malah tiba-tiba dari bagian tubuh
bawah sebelah belakang si nenek kelihatan gelembung-gelembung air banyak sekali
disertai suara merepet berkepanjangan. Lalu air laut di sekitar situ mendadak
menjadi bau:
“Sialan
kau Sinto! Kau kentut ya!” teriak Setan Ngompol seraya berenang menjauh sedang
Panji tutup hidungnya dengan belakang telapak tangan sambil pergunakan tangan
kanan untuk mendorong air di sekitarnya yang menjadi bau akibat kentut si
nenek. Di dinding batu Naga Kuning tertawa gelak-gelak. Sebaliknya Sinto
Gendeng hanya menyengir.
“Baru
kentut saja kalian sudah kelabakan! Belum lagi menghadapi bahaya besar!” kata
si nenek pula.
“Nek…!”
Naga Kuning ikut bersuara.
“Bocah
sialan! Diam sajalah! Dan kau tua bangka tukang ngompol jangan diam saja! Bantu
aku mengeluarkan anak ini dari dalam batu! Kau juga Panji! Jangan pura-pura
jadi orang geblek! tarik pinggang anak ini!”
“Menurut
penglihatanku anak ini tidak bisa dikeluarkan walau ada seratus kuda yang
menarik tubuhnya!” kata Setan Ngompol pula.
“Kau cuma
bicara. Bantu saja. Tarik pinggangnya!” bentak Sinto Gendeng.
“Nek….”
“Kau! Nak
– Nek…. Nak – Nek! Diam!” bentak Sinto Gendeng jengkel.
“Dengar
dulu Nek…. Kakek ini benar. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mengeluarkan
tubuh saya dari dalam dinding batu Liang Akhirat ini….”
“Kalau
begitu nasibmu benar-benar sial! Kau akan mampus cepat atau lambat! Hik…hik…
hik! Sudah! Aku hanya menghabiskan waktu saja! Aku ada urusan lain di dasar
telaga ini!”
“Saya
tahu apa yang kau cari. Saya tahu benda itu berada di mana. Jika kau mau
menolong akan saya katakan padamu!”
“Naga
Kuning, kalau kau memang tahu dimana beradanya benda yang dicari Nenek ini,
mengapa kau tidak lekas mengatakan?” berkata Panji. Pemuda ini yang mulai tahu
sifat si nenek yang gampang naik darah berusaha membujuk, Sinto Gendeng
pelototkan mata.
“Hemmm….
Dulu aku menolongmu waktu kau digebuk Sabai Nan Rancak. Aku tidak mengharapkan
pamrih. Tapi hari ini keadaan lain. Baik, aku akan menolongmu. Sudah kulakukan.
Tapi tidak bisa. Lalu apa lagi?!”
“Ada
caranya Nek…” kata Naga Kuning pula.
“Coba kau
bilang!”
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas, Telaga Gajahmungkur dan segala apa yang telah dibangun
oleh sang Kiai di tempat ini yaitu Liang Akhirat dan Liang Lahat termasuk
Sepasang Naga Kembar dan Makhluk Api Liang Lahat, mempunyai satu pantangan
besar,
Tidak
boleh terkena air larangan. Semuanya bisa musnah!”
“Air
larangan! Sebut saja air kencing!” tukas Sinto Gendeng sambil menyeringai
buruk.
“Tapi air
kencing itu tidak air kencing orang sembarangan Nek,” ujar Naga Kuning.
“Hanya
mempan kalau air kencingnya adalah air kencing orang yang telah berusia lebih
dari tujuh puluh tahun tujuh bulan dan tujuh hari…. Air kencing temanmu pemuda
beranting-anting ini tidak mempan dan tak bisa menolongku!”
“Ada-ada
saja…!” ujar Setan Ngompol lalu tertawa terbahak-bahak dan tentu saja sambil
ngompol lagi. Sementara Panji hanya bisa melongo mendengar kata-kata Naga
Kuning itu.
“Kau
bicara panjang lebar. Tapi belum mengatakan bagaimana caranya kami menolongmu!”
kata Sinto Gendeng. “Atau mungkin tubuhmu bisa kukorek dengan tusuk konde yang
ada di kepalaku!” Si nenek langsung hendak mencabut dua buah tusuk konde perak
di kepalanya.
“Saya
tahu tusuk konde itu sakti mandraguna. Bisa menembus batu gunung sebesar
apapun. Tapi kesaktiannya tidak mungkin bisa membebaskan diri saya. Hanya ada
satu cara Nek. Tubuh saya hanya bisa bebas jika diguyur dengan air larangan!”
****************
DUA
Sinto
gendeng pelototkan mata mendengar keterangan Naga Kuning itu. Dia berpaling
pada Setan Ngompol yang saat itu memandang melongo ke arahnya. Dua kakek nenek
ini lalu tertawa gelak-gelak sementara Panji diam-diam merasa tidak enak. Dia
tidak melihat ada hal yang lucu. Pemuda ini maklum kalau telaga itu diselimuti
berbagai macam keanehan yang terkadang mengandung keangkeran dan sekaligus
bahaya maut. Karena tertawa begitu rupa Setan Ngompol dan Sinto Gendeng
sama-sama terkencing-kencing. Akibatnya Telaga Gajahmungkur kembali tercemar
air larangan. Suara menggemuruh terdengar lagi di dasar telaga. Gelombang
kembali menggoncang. Sepasang naga meringkik panjang. Beberapa lamanya keadaan
di telaga diselimuti kegelapan. Begitu keadaan tenang dan air yang keruh jernih
kembali Sinto Gendeng berkata.
“Gila!
Masakan air kencing lebih sakti dari senjata mustika dan lebih hebat dari
kekuatan tenaga dalam!”
“Nek, kau
menyaksikan sendiri setiap kau dan temanmu mengeluarkan air kencing keadaan di
sini laksana mau kiamat. Sepasang naga meringkik ketakutan. Telaga ini laksana
mau terjungkir balik!”
“Nek,
saya rasa anak ini tidak bicara dusta…” berbisik Panji pada Sinto Gendeng.
Sinto
Gendeng terdiam sejurus. “Naga Kuning, kalau memang air kencing yang bisa
membebaskan dirimu dari pendaman batu itu baiklah. Mari kita lihat! Setan
Ngompol cepat kau kencingi bocah itu!”
“Eh,
mengapa aku?!” seru Setan Ngompol sambil memandang dengan sepasang matanya yang
jereng mendelik pada si nenek.
“Apa
susahnya mengencingi anak itu! Apalagi kau tukang ngompol. Punya banyak
persediaan air larangan! Sudah! Ayo kau kencingi dia! Hik… hik… hik!”
“Tunggu
dulu!” Naga Kuning tiba-tiba berseru. “Yang mempan dan sanggup membebaskan diri
saya dari pendaman batu Liang Lahat ini hanyalah air kencing perempuan yang
usianya lebih dari tujuh puluh tahun tujuh bulan tujuh hari! Lalu air larangan
itu harus jatuh langsung dari atas. Tidak boleh mengucur lewat tubuh atau
pakaian….”
“Nah…
nah… nah!” Setan Ngompol berseru keras lalu tertawa gelak-gelak dan kencing
lagi. “Sinto! Berarti hanya kau yang bisa menolongnya!”
Nenek
sakti dari puncak Gunung Gede itu pen-tang wajah marah dan untuk beberapa
lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku
tidak mau!” kata Sinto Gendeng akhirnya. “Kau cuma mau mengerjaiku!”
“Kalau
tidak mau bocah itu tidak akan memberi tahu di mana tersembunyinya benda yang
kau cari itu.,.” kata Setan Ngompol yang membuat Sinto Gendeng tambah marah,
“Perduli setan! Dulu aku sendiri yang menyembunyikan benda itu. Aku masih bisa
mengira-ngira dimana letaknya! Aku pasti bisa mendapatkannya tanpa pertolongan
setan kecil ini!”
“Jangan
tolol Sinto. Kejadian itu puluhan tahun silam. Keadaan sudah berubah. Sampai
tubuhmu bongkok lalu lempang lalu bongkok lagi belum tentu kau bisa menemukan!”
ujar Setan Ngompol.
“Bocah
setan! Kau benar-benar mengerjaiku!” kata Sinto Gendeng pada Naga Kuning dengan
mata melotot.
“Sinto!
Pertolongan itu mudah sekali melakukannya! Kau hanya menempatkan dirimu di atas
kepala anak itu. Lalu menyingsingkan kain bututmu, menungging sedikit dan
serrr…. Beres sudah!”.
“Sialan
kau Setan Ngompol! Kau bisa berkata begitu karena bukan kau yang melakukan!”
Menggerendeng Sinto Gendeng.
“Nek,
untuk kebaikan mungkin sekali ini kau terpaksa mengalah…” berkata Panji.
Sambil
terus mengomel panjang pendek si nenek berenang berputar-putar. Akhirnya dia
naik ke atas. “Aku peringatkan pada kalian semua!” kata Sinto Gendeng. “Setan
Ngompol! Kau lekas mendekam di belakang dinding batu sana! Jangan berani
mengintip auratku! Kau juga Panji! ikuti kakek itu ke belakang dinding batu!”
“Sinto….
Sinto! Aurat gadis saja aku tidak doyan mengintip. Apalagi kayu hitam lapuk
yang sudah; dimakan rayap sepertimu!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Namun
dia melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yaitu berenang ke balik dinding
Liang Lahat sambil tekap tubuhnya sebelah bawah dengan kedua tangan. Panji
berenang mengikuti di belakangnya. Sinto Gendeng kembali memaki panjang pendek
lalu bergerak mendekati dinding batu , tepat di atas kepala Naga Kuning.
“Bocah
setan! Aku akan menolongmu! Tapi awas! Jangan kau berani melirik atau mengintip
ke atas! Kalau itu kau lakukan jangan menyesal kedua matamu akan aku korek dan
seumur hidup kau akan terpendam dalam batu celaka itu!”
Naga
Kuning mencibir.
“Nek,
sepasang mata ini memang sudah puluhan tahun tidak melihat aurat terlarang.
Tapi kau tahu siapa diri saya. Lagipula mana mungkin saya berlaku tidak hormat
terhadap orang yang hendak menolong?!” Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga
Cilik atau Naga Kecil ini sebenarnya adalah seorang kakek berusia jauh lebih
tua dari Sinto Gendeng atau Setan Ngompol.
“Sudah!
Kau bocah tua bangka pandai bicara! Aku segera menolongmu! Tutup matamu!” Sinto
Gendeng lalu tempelkan tubuhnya sebelah belakang yang bungkuk ke dinding Liang
Lahat tepat di atas sosok Naga Kuning yang terpendam ke dalam dinding batu itu.
Naga
Kuning segera pejamkan ke dua matanya. Tapi setelah menunggu cukup lama tidak
terjadi apa-apa.
“Nek, kau
masih berada di atas atau bagaimana?!” Naga Kuning bertanya.
“Diam!
Aku masih di dekat dinding di atas kepalamu! Tutup mulutmu! Kau hanya
membuyarkan perhatianku!” Terdengar bentakan Sinto Gendeng.
Naga
Kuning tak berani berkata apa-apa lagi. Tapi setelah kembali menunggu cukup
lama dan tetap tak terjadi apa-apa anak ini menjadi tidak sabaran. Kedua
matanya dibuka.
”Nek….”
“Tutup
mulutmu! Tutup matamu! Atau kutusuk sampai kau buta!”
“Saya
sudah menunggu lama! Tapi kau tidak kencing-kencing juga!” jawab Naga Kuning.
Walau sesaat tapi anak ini masih sempat melihat si nenek di atasnya, menempel
ke dinding batu menungging.
Dia
berusaha menahan diri agar tidak tersenyum apalagi sampai tertawa cekikikan.
Dalam
hati anak ini berkata, “Seumur hidup baru sekali ini aku melihat nenek-nenek.
Ternyata menyerupai ikan pepes kering kejemur matahari!”
Dari
sebelah atas terdengar suara Sinto Gendeng.
“Aku
sudah berusaha kencing. Tapi tidak bisa-bisa! kencing sialan! Dipaksa tidak
mau. Biasanya sebentar-sebentar aku kencing!”
Di balik
dinding batu Liang Lahat Setan Ngompol dan Panji tertawa cekikikan mendengar
ucapan Sinto Gendeng tadi. Sebaliknya Sinto Gendeng keluarkan suara
menggerendeng lalu mengedan-edan sekuat tenaga agar bisa kencing hingga
tubuhnya tambah bungkuk hampir terlipat. Setelah berusaha setengah mati
tiba-tiba beerrrrr…. Naga Kuning merasa ada air hangat laksana mancur mengucur
membasahi kepalanya. Air hangat dan bau pesing ini turun ke muka terus membasahi
tubuhnya. Si bocah seperti mau muntah ketika ada air kencing membasahi mukanya
mengalir ke bawah hidung, turun ke bibirnya dan hampir tertelan!
Pada saat
yang sama Naga Kuning merasa dinding batu dimana dia terpendam menjadi panas.
Tiba-tiba didahului suara menggemuruh seolah datang dari dasar telaga yang
membuat dinding batu Liang Lahat itu bergoncang keras, tubuh Naga kuning
terpental keluar. Ada hawa aneh mendera keras membuat Sinto Gendeng tersapu
sampai beberapa tombak.
“Hai! Apa
yang terjadi?!” Terdengar suara Setan Ngompol berseru. Kakek ini dalam keadaan
terkencing-kencing keluar dari balik dinding batu bersama Panji. Wajah mereka
tampak pucat. Dilihatnya
Naga
Kuning melayang dalam air sedang Sinto Gendeng tengah berenang mendekati anak
itu.
“Bocah
setan! Kau sudah kutolongi! Sekarang katakan di mana beradanya benda yang
kucari!” Tahu-tahu si nenek sudah berada di depan Naga Kuning yang saat itu
tengah mengusap mukanya berulangkali berusaha membersihkan sisa-sisa air
kencing Sinto Gendeng yang tadi ikut, membasahi mukanya.
“Nek,
terlebih dulu saya mengucapkan terima kasih. Kalau kau tidak mengencingi diri
saya akan terpendam selamanya di Liang Lahat itu…. Sebelum saya memberi
keterangan saya mau bertanya dulu. Mana kakek yang dulu ikut mengobati lengan
saya yang patah? Dan siapa kakek satu ini? Apa pacarmu yang baru?!”
Panji
tersentak mendengar ucapan si bocah yang begitu berani. Setan Ngompol sesaat
melongo lalu tertawa gelak-gelak dan kencing lagi. Sebaliknya Sinto Gendeng
langsung naik darah.
“Bocah
kurang ajar! Naga Kuning! Kau minta aku gebuk?!”
“Harap
maafkan, bukan maksud saya mau kurang ajar. Cuma mau menanya saja, itu tanda
saya suka padamu dan juga pada orang tua berjuluk Kakek Segala Tahu itu…”
“Bocah
sialan! Kalau kau memang benar-benar anak kecil boleh saja kau bilang suka
padaku! Apa kau tidak sadar sudah berapa umurmu?!
“Ah,
maafkan saya. Saya memang tidak tahu diri!”
kata Naga
Kuning pula tersipu-sipu lalu ketika si nenek tidak melihat ke arahnya dia
mencibirkan bibirnya.
Setan
Ngompol mendekati Sinto Gendeng dan bertanya. “Menurutku anak ini paling bantar
baru berusia dua belas tahun. Aku tidak mengerti pertanyaanmu tadi. Memangnya
bocah itu berapa usianya?”
“Kau tak
perlu mengerti. Dibikin mengerti kau tak bakalan mengerti. Yang kau mengerti
cuma beser alias ngompol!” jawab Sinto Gendeng membentak saking kesalnya.
Dibentak begitu rupa dalam air Setan Ngompol melayang mundur dan unjukkan muka
sedih. Dalam keadaan seperti itu tetap saja dia kembali ngompol.
“Apa
kataku! Sedih saja kau masih ngompol!” kata si nenek. Dia berpaling pada Naga
Kuning. “Kau tunggu apa lagi! Ayo beri tahu di mana beradanya benda yang aku
cari itu!”
“Nek, di
dasar telaga ini tersimpan berbagai benda rahasia. Belasan orang coba
mencarinya. Mereka bukan saja tidak berjodoh dengan benda-benda itu tetapi
mereka hanya mencari kematian. Tolong kau beri tahu benda apa yang tengah kau
cari.”
“Bocah
geblek!” maki Sinto Gendeng. “Kau mau menipuku atau bagaimana?! Tadi kau bilang
tahu apa yang aku cari. Sekarang malah bertanya!”
“Maafkan
saya Nek. Soalnya seperti saya bilang tadi ada beberapa benda sangat berharga
dicari orang di Telaga Gajahmungkur ini. Saya takut memberi keterangan
keliru….”
Setelah
menggerendeng lebih dulu baru si nenek memberi tahu.
“Aku
mencari sebilah pedang sakti. Pedang Naga Suci 212. Senjata ini tidak
bersarung. Bentuknya bergulung seperti ikat pinggang. Puluhan tahun lalu pedang
itu aku sembunyikan di satu tempat di dasar telaga ini. Sekarang senjata itu
harus segera kutemukan untuk mengobati muridku!”
“Maksudmu
mengobati Pendekar 212 Wiro Sableng?” tanya Naga Kuning.
“Betul!”
jawab Sinto Gendeng. Lalu tidak sabaran dia berkata. “Ayo lekas kau terangkan
dimana pedang itu beradanya!”
“Naga
Kuning,” tiba-tiba Panji berkata. “Aku punya seorang sahabat, gadis bernama
Puti Andini. Berpakaian serba merah…. Katanya dia ke sini mau mencari sesuatu.
Sebuah batu….”
“Setan
alas!” teriak Sinto Gendeng. “Gadis hantu siapa yang kau tanya! Jangan berani
bicara memotong ucapan orang! Kau tahu aku tidak suka kau ikut ke tempat ini!
Kalau bukan gara-gara Kakek Segala Tahu sialan itu jangan harap….”
“Sinto!
Jangan membentak terus-terusan. Aku jadi kaget-kagetan dan kencing terus!”
Setan Ngompol berkata.
Tadinya
si nenek juga hendak mendamprat kakek satu ini. Tapi dia akhirnya berpaling
pada Naga Kuning dan berkata. “Kau masih belum mau bicara mengatakan di mana
pedang sakti itu?!”
Naga
Kuning menghela napas dalam. Wajahnya tampak murung.
“Nek,
sebenarnya kau datang terlambat….”
Mata
Sinto Gendeng membeliak. Wajah tuanya membersitkan seribu kerutan. Setan
Ngompol yang merasa tegang mendengar percakapan kedua prang itu diam-diam
kembali terkencing di celana.
“Bocah
setan! Apa kau bilang?! Aku terlambat? Memangnya pedang sakti itu sudah diambil
orang lain? Siapa?!”
****************
TIGA
Senjata
itu masih ada dalam telaga ini, Nek. Masih dalam keadaan tergulung. Tapi berada
di perut naga kembar yang betina itu….” Menerangkan Naga Kuning seraya menunjuk
pada naga kuning betina yang mendekam di kejauhan. Sinto Gendeng menatap
sejurus ke arah naga betina. “Aku tidak percaya. Bagaimana pedang itu bisa
berada dalam perut naga. Mana ada ular doyan pedang!”
“Kau
betul Sinto,” menimpali Setan Ngompol. “Bocah ini hendak menipu kita!”
“Nenek
Sinto, kau tahu siapa diri saya ini. Mana mungkin hendak berlaku culas padamu.
Dua kali dengan ini kau menolong diri saya. Walau cuma seorang tua bangka
bertampang bocah buruk tapi saya bukan bangsa manusia yang tidak mengerti budi
orang. Saya sudah memberi tahu apa yang kau ingin tahu. Walau budimu belum
dapat saya balas namun saya terpaksa meninggalkanmu. Air larangan sudah terlalu
banyak di tempat ini. Bukan mustahil sebentar lagi telaga ini akan amblas
musnah. Lebih baik kalian cepat-cepat pergi dari sini….”
“Sebelum
aku menemukan pedang itu aku tidak akan keluar dari Telaga Gajahmungkur ini!”
jawab Sinto Gendeng. “Dan kau bocah jelek. Jangan buru-buru ngambek! Apa yang
barusan kau bilang tidak masuk akal….”
“Nek, kau
hidup sudah puluhan tahun. Kawanmu yang kau panggil dengan nama Setan Ngompol
ini pasti juga sudah lebih delapan puluh tahun malang melintang di rimba
persilatan. Saya jauh lebih tua dari kalian. Apa di usia kalian yang begini tua
masih tidak menyadari kalau hidup di dunia ini banyak yang tidak masuk akal?
Bahwa untuk menghadapi semua yang tidak masuk akal itu manusia harus punya
seribu akal? Satu contoh, kita manusia-manusia biasa bisa berada di dalam air
begini dalam, apa masuk akal?! Kiai Gede Tapa Pamungkas makhluk setengah
manusia setengah roh. Sepasang naga kembar bukan ular besar biasa. Di luar
langit masih ada langit lain. Di luar akal masih ada akal lain! Siapa berani
melupakan kekuasaan Gusti Allah?!”
Walau
jadi terdiam mendengar ucapan Naga Kuning tapi tak urung Sinto Gendeng tetap
saja unjukkan wajah cemberut.
“Nek,”
kata Naga Kuning lagi. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Pedang sakti
bergulung itu ditelan oleh naga betina: Dan bukan cuma Pedang Naga Suci 212.
Ada seorang gadis cantik bernama Puti Andini ikut ditelan naga dan kini mendekam
di dalam perut binatang jejadian itu!”
Sinto
Gendeng keluarkan seruan tercekat dan pandangi Naga Kuning dengan mata melotot
sementara Setan Ngompol lag Magi terkencing karena kaget mendengar keterangan
si bocah yang mengejutkan, sementara itu Panji menjadi pucat pasi. “Puti
Andini…. Puti….” Pemuda ini menyebut nama si gadis berulang kali.
“Kalau
keteranganmu betul, apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pedang yang
ada dalam perut naga itu….”
“Juga
menolong gadis yang kau bilang cantik itu!” ujar Setan Ngompol. Lalu dia
berkata pada Sinto Gendeng. “Turut ceritamu bukankah gadis itu yang kau katakan
sebagai cucu Sukat Tandika, bekas kekasihmu di masa muda?”
Kembali
Sinto Gendeng unjukkan muka cemberut. “Urusan utama ku mendapatkan Pedang Naga
Suci 212. Soal cucu Tua Gila itu kalau memang bisa kutolong akan kulakukan.
Tapi jika orang ditelan ular menurutmu apa masih bisa hidup?”
“Ah,
menyedihkan sekali kalau gadis yang katanya cantik itu sampai menemui ajal
ditelan ular…” kata Setan Ngompol pula. “Naga Kuning, kau pasti tahu caranya
bagaimana mendapatkan pedang dan menyelamatkan gadis itu.” . “Naga Kuning, kau
harus menolong kami!” ujar Panji.
“Saya
tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin kita terpaksa menunggu….”
“Kami
tidak punya waktu lama. Selain hanya bisa bertahan sampai tengah malam nanti,
juga muridku perlu cepat disembuhkan. Satu peristiwa besar yang menebar nyawa
dan darah agaknya akan terjadi di Gajahmungkur ini…. Kami harus bergerak cepat
sebelum orang-orang Lembah Akhirat menimbulkan bencana lebih besar….”
“Naga itu
takut dengan air kencing!” berkata Panji. “Bagaimana kalau kalian berdua
mengguyur-nya dengan air larangan itu. Begitu dia mampus kita bedol perutnya!”
“Kau
betul Panji!” ujar Sinto Gendeng pertama kali menyetujui ucapan si pemuda.
“Setan
Ngompol! Ayo lekas siapkan kencingmu yang banyak. Kita serbu ular naga betina
itu!” kata Sinto Gendeng.
“Nenek
Sinto dan Kakek Setan Ngompol, naga itu bukan binatang biasa. Air larangan
memang bisa membunuhnya. Namun kalau dia mati setahuku tubuhnya akan lenyap
berubah menjadi pasir kuning. Rohnya melesat ke angkasa. Aku khawatir bersama
rohnya dia akan membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan gadis bernama Puti
Andini itu…”
Mendengar
keterangan Naga Kuning itu tiga orang yang ada di hadapan Naga Kuning menjadi
bingung.
ini
urusan gila! Pasti ada cara untuk mendapatkan senjata itu. Apapun akan
kulakukan untuk menolong muridku….”
“Seandainya
pedang itu sudah kau dapat dan Pendekar 212 berhasil disembuhkan, lalu apa yang
akan kau lakukan dengan Pedang Naga Suci 212 itu Nek?”
Pertanyaan
Naga Kuning yang tiba-tiba itu membuat Sinto Gendeng sesaat terdiam. Tapi
tiba-tiba dia membentak marah yang membuat Setan Ngompol tersembur air
kencingnya.
“Bocah
setan! Aku sekarang tahu apa yang ada di benakmu! Kau sengaja tidak mau
menolongku. Karena kau khawatir aku akan mengambil dan menguasai pedang itu!”
“Saya
memang ditugaskan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk menjaga segala sesuatu
yang ada di Telaga Gajahmungkur. Setelah sang Kiai meninggalkan telaga tanggung
jawab lebih besar berada di pundak saya….”
“Kau
bocah tolol, tua bangka geblek! Kiai Gede Tapa Pamungkas telah menghukummu,
mengapa kau masih perdulikan orang yang sudah tidak ada itu?!” Menukas Sinto
Gendeng.
‘Nek,
Kiai Gede menghukum saya karena memang saya bersalah. Walau dia tidak ada lagi
di tempat ini tapi beban tugas yang diberikannya tetap menjadi tanggung jawab
saya. Saya hanya ingin mengatakan. Jika pedang itu kau pergunakan sepenuhnya
untuk menyembuhkan muridmu, siapa yang mau mencegah. Tetapi, setelah muridmu
sembuh kau masih ingin menguasai senjata mustika sakti tersebut maka itu
berarti menyalahi maksud dan tujuan, menyalahi adat dan aturan….”
“Bocah
pintar ngomong!” semprot Sinto Gendeng. “Katamu dalam hidup ini manusia harus
memakai seribu akal! Apa salahnya kalau aku mengikuti kata-katamu itu dan
memiliki Pedang Naga Suci 212?! Dulu pun senjata itu sudah berada di tanganku….
Daripada jatuh ke tangan orang jahat bukankah lebih baik aku yang
menguasainya?! Perduli setan dengan segala adat dan aturan. Maksud dan tujuan
bisa berubah sesuai keadaan! Itu baru namanya hidup memakai akal!”
Naga
Kuning tersenyum. “Manusia memang harus memakai seribu akal dalam menghadapi
tantangan hidup. Tapi akal yang mana? Ada akal yang sepenuhnya datang dari otak
atau alam pikiran. Ada akal yang memadu otak dengan perasaan hati. Lalu ada
akal yang mempergunakan otak tapi juga dipengaruhi oleh dorongan yang datang
dari bawah pusar. Saya tidak tahu kau memakai akal yang mana Nek…. Jika
maksudmu mendapatkan Pedang Naga Suci bukan semata karena hendak menolong
muridmu, saya khawatir kau akan menghadapi urusan besar. Karena Kiai telah
menceritakan riwayat pedang itu. Senjata mustika itu hanya boleh dimiliki oleh
seseorang. Terserah orang itu nanti mau memberikan kepada siapa. Saya rasa kau
sudah tahu hal itu Nek, jadi tak perlu saya beberkan.”
Dari
wajah si nenek Naga Kuning maklum kalau Sinto Gendeng masih tidak puas.
Maka dia
menunjuk ke atas ke arah dinding batu Liang Lahat. “Nek, sebelum kita
meneruskan bicara, ada baiknya kau membaca dulu apa yang tertera di dinding
batu itu….”
“Perlu
apa aku mengikuti nasihatmu! Membaca segala tulisan bobrok di atas batu
sialan!” bentak Sinto Gendeng.
Naga
Kuning tidak perduli. Dia berenang ke atas. Setan Ngompol ikut berenang ke atas
karena sebelumnya memang dia sudah membaca sedikit rangkaian tulisan di atas
batu itu. Sesampainya di atas dan melihat Sinto Gendeng masih tetap berada di
bawah sana, Naga Kuning berseru.
“Nek,
jika kau tak mau membaca sendiri tulisan di batu ini, biaraku bacakan dan kau
silahkan pasang kuping mendengarkan!”
Lalu Naga
Kuning membaca keras-keras rangkaian tulisan yang ada di batu.
LIANG
LAHAT
Sesungguhnya
insan hidup terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas
dari tanah ke tanah
Namun
mengapa manusia menjadi lupa
Bersikap
sombong membusung dada
Bersikap
angkuh besar kepala
insan
hidup tak ada arti di hadapan Sang Penguasa
Tapi
mengapa insan berani menantang Sang Pencipta
Berani
tapi putih, lembut tapi jantan, perkasa tapi jujur
Bukankah
itu lebih baik daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi
serakah! Liang lahat!
Di sini
tersimpan saksi bisu dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli
dari ketidakjujuran
Bisakah
kekuatan insan memecah kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar desah
ketidakadilan
Bisakah
tongkat si buta mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang
kuasa dan Sang Pencipta adalah tempat bertanya, tempat meminta
Adakah
manusia bertanya dengan segala kebersihan hati? Adakah insan meminta dengan
kejujuran jiwa….
Naga
kuning belum sempat mengakhiri membaca bait-bait tulisan yang ada di atas
batu.
Masih tertinggal satu bait lagi. Namun Sinto Gendeng yang merasa semua yang
dibacakan si bocah sengaja untuk menyindir dirinya, kembali menjadi marah dan
membentak.
“Naga
Kuning! Kau boleh membaca tulisan itu sampai seribu kali. Mulai dari pagi sampai
pagi lagi tujuh hari tujuh malam! Jangan harap aku akan terpengaruh! Kalau saja
kau. bukan orang yang dipercayakan Kiai Gede Tapa Pamungkas guruku, sudah dari
taditadi kau kulabrak! Sekarang dengar ucapanku! Apa yang akan kulakukan nanti
dengan Pedang Naga Suci 212 adalah urusanku sendiri! Jika kau coba menghalangi
aku terpaksa akan melupakan segala macam budi….”
“Kalau
memang begitu Nek, urusan lebih baik diselesaikan sekarang sebelum semuanya
menjadi kapiran! Saya akan mendahuluinya mendapatkan senjata sakti itu!
Kalaupun kau berhasil mendapatkan pertama kali, saya bersumpah untuk
merampasnya!”
Merasa
ditantang marahlah Sinto Gendeng. Dia tidak perduli lagi siapa adanya Naga
Kuning. Melihat ketegangan yang terjadi Setan Ngompol sudah
ter-kencing-kencing. Dia berusaha mencegah terjadinya bentrokan namun saat itu
didahului satu pekikan keras nenek sakti dari Gunung Gede itu melesat ke arah
si anak.
“Bocah
Setan! Aku tidak meminta kau membalas segala budi pertolonganku! Tapi adalah
tolol dan kurang ajar kalau kau mencoba menghalangiku!”
Tangan
kanan si nenek bergerak ke arah kepala. Setan Ngompol maklum apa yang dilakukan
si nenek. Cepat-cepat dia tekap perutnya sebelah bawah. Panji yang juga sudah
bisa memperkirakan apa yang hendak diperbuat Sinto Gendeng segera berseru.
“Nek! Jangan serang anak itu! Kita memerlukan dia!” Yang dikhawatirkan pemuda
ini adalah kalau dia sampai kehilangan jejak Puti Andini.
Namun
Sinto Gendeng yang sudah khilaf karena nekad dan marah gerakkan tangannya. Dua
tusuk konde perak laksana sepasang anak panah lepas dari busurnya melesat
berkilauan di dalam air. Tusuk konde pertama mencari sasaran tepat di mata kiri
si bocah, satunya lagi mengarah dada kiri tepat di jurusan jantung. Jelas Sinto
Gendeng bertekad menghabisi anak ini!
Lima tusuk
konde yang selalu menancap di kepala Sinto Gendeng bukanlah tusuk konde biasa
karena merupakan senjata yang sangat berbahaya dan mengandung racun mematikan.
Kini dua dari lima tusuk konde itu dipakai untuk menyerang dan membunuh Naga
Kuning.
Naga Kuning
yang mendapat serangan itu seolah terkesiap dan tidak percaya kalau si nenek
benar-benar hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Dia tidak sempat
bergerak mengelak atau pun menangkis.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba berkiblat satu sinar putih menyilaukan yang
sesaat menerangi seantero dasar telaga. Air telaga yang dingin berubah menjadi
panas. Tusuk konde perak yang melesat ke arah mata kiri Naga Kuning terpental
ke atas sewaktu ujung tusuk konde hanya tinggal setengah jengkal saja dari
sasaran!
Seseorang
telah turun tangan menolong anak itu. Namun tusuk konde kedua yang mengarah
jantung tidak mungkin dihindari. Ujung tusuk konde yang lancip menghantam telak
dada kiri Naga Kuning. Tapi begitu menyentuh dada si anak senjata itu tidak
mampu melukai apalagi menancap tembus dan menusuk sampai ke jantung. Seolah
menghantam satu permukaan licin dan atos tusuk konde itu terpental ke samping.
“Kurang
ajar! Bocah itu ternyata memang benar telah memiliki ilmu lumba-lumba putih
yang membuat tubuhnya licin seperti kulit ikan!” mengomel Sinto Gendeng. “Tapi
siapa yang barusan menolong menangkis tusuk konde yang mengarah matanya.
Padahal aku tahu betul kedua mata anak ini adalah dua titik terlemah segala
kesaktian yang dimilikinya!”
Sinto
Gendeng memandang berkeliling penuh marah. Sepasang matanya mendelik
berapi-api. Rahangnya menggembung dan mukanya yang keriput kelam membesi. Dalam
marahnya dia melihat dua sosok tubuh melayang dalam air. Begitu mengenali kedua
orang itu maka meledaklah dampratannya.
****************
EMPAT
Sebelum
kita melanjutkan apa yang terjadi di dasar Telaga Gajahmungkur mari kita ikuti
dulu apa yang berlangsung di salah satu tepian telaga. Setelah gurunya Eyang
Sinto Gendeng dan Seta n Ngompol masuk ke dalam telaga bersama Panji alias
Datuk Pangeran Rajo Mudo dan perginya Kakek Segala Tahu, di tepi telaga hanya
tinggal Pendekar 212 Wiro Sableng berdua dengan Ratu Duyung. Untuk beberapa
lama kedua orang ini hanya berdiam diri. Sesekali Wiro melirik. Gadis di
sebelahnya dilihatnya memandang ke arah telaga terus-terusan. Murid Sinto
Gendeng ini mendehem beberapa kali lalu membuka pembicaraan dengan bertanya.
“Menurutmu
apakah guruku akan berhasil mendapatkan Pedang Naga Suci 212 itu?”
“Kau
khawatir mereka gagal dan kau tidak bisa ditolong?” Ratu Duyung malah balik
bertanya.
“Soal
diriku sudah nasib jadi begini. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang aku
khawatirkan adalah mendadak terjadi satu hal besar di tempat ini. Dan aku tidak
bisa berbuat apa. Apalagi Kapak Naga Geni 212 milikku entah di mana beradanya.
Guruku pasti marah besar kalau….” Wiro tiba-tiba ingat pada cermin bulat yang
dimiliki Ratu Duyung.
“Mana
cermin saktimu. Mungkin kau bisa melihat melalui cermin itu di mana beradanya
Kapak Naga Geni 212.
Ratu
Duyung segera keluarkan cermin saktinya. Dia segera memusatkan perhatian dan
pandangan mata ke permukaan cermin itu. Sesaat kemudian tampak cermin bergetar.
Wiro mendekat dan coba melihat. Tapi dia tidak melihat apa-apa dalam cermin
itu.
“Kau
melihat sesuatu Ratu..,?” bertanya Wiro.
“Cermin
bergetar….” kata Ratu Duyung perlahan. , Wiro memperhatikan. Cermin bulat itu
memang tampak bergetar dalam pegangan gadis sakti bermata biru. “Ada daya tolak
dari satu kekuatan sakti. Aku hanya melihat sesuatu berwarna kuning. Bergerak
sangat cepat. Tidak jelas apakah sosok manusia. Sulit diterka lelaki atau
perempuan….”
“Maksudmu
kalau itu adalah sosok manusia maka dia mengenakan pakaian serba kuning?”
“Mungkin….
Aku tak berani memastikan. Bayangan kuning lenyap dari dalam cermin. Aku tak
bisa memantau lebih jauh….”
Wiro
termenung sambil garuk-garuk kepala. “Be-rat dugaanku. Bayangan kuning ya rig
kau lihat dalam cermin adalah sosok orang berpakaian dan bercadar kuning. Waktu
terjadi pertempuran di teluk dia muncul menolong. Jangan-jangan senjata itu ada
padanya…."
“Aku
menduga demikian. Kau tak usah khawatir. Senjatamu berada di tempat yang
aman….”
“Aku
tetap khawatir. Soalnya siapa bisa menduga sifat manusia…. Di luar bisa saja
baik. Di dalam mungkin penuh maksud tertentu….”
Ratu
Duyung terdiam. Pandangan matanya masih terus ke arah telaga. Sejak peristiwa
di Puri Pelebur Kutuk dulu dia selalu memendam rasa bersalah tak berkeputusan.
Walau sebelumnya masalah itu sempat mereka bicarakan dan Wiro telah menganggap
selesai namun di lubuk hati gadis ini selalu ada perasaan penyesalan yang sulit
dilupakannya. Karena itu setiap Wiro mengatakan sesuatu dia seolah merasa bahwa
ucapan pemuda itu seolah merupakan sindiran yang ada hubungannya dengan
peristiwa lama. Melihat sang Ratu berhening diri, diam-diam Wiro menduga
mungkin gadis itu tersinggung dengan ucapannya tadi. Maka sambil memegang
jari-jari tangan kiri Ratu Duyung, Wiro berkata. “Ratu, jangan kau merasa
tersinggung. Segala ucapanku polos belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan diri
kita berdua atau apapun yang pernah terjadi antara kita berdua….”
“Aku
tahu…” jawab Ratu Duyung dengan suara setengah berbisik. “Tapi sulit bagiku
melenyapkan rasa bersalah dari lubuk hati ini. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana
perasaanku terhadap diriku sendiri dan terhadap dirimu. Aku….”
Ratu
Duyung tersendat. Ucapannya terhenti. Sepasang matanya yang biru tampak basah.
Wiro meremas jari-jari tangan gadis itu. Malah dengan tangannya yang lain dia
merangkul bahu sang Ratu seraya berbisik.
“Ratu,
jangan menangis….”
“Kalau
tidak menangis rasanya hati ini belum lega Wiro. Dada ini serasa sesak
berkepanjangan. Tekanan batin mengikuti kemana pun aku pergi….”
“Kau
gadis gagah. Kau mampu menyingkirkan semua itu….”
“Aku
manusia biasa. Manusia biasa yang jalan hidupnya ditakdirkan lain….”
“Jangan
menyalahi dirimu. Jangan menyalahi siapa-siapa. Kau adalah kau dan aku senang
serta bangga melihat kau apa adanya….”
“Betul
ucapanmu itu Wiro?” tanya Ratu Duyung seraya menatap dalam-dalam ke mata
Pendekar 212. Dua pasang mata sama beradu pandang. Dua hati berpadu rasa. Dua
jantung berdegup penuh cinta.
Wiro
tersenyum dan anggukkan kepala.
Entah
siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu dua insan itu telah tenggelam dalam
pelukan mesra.
“Wiro…”
bisik Ratu Duyung sambil membelai kuduk pemuda itu.
“Hemmm….”
Wiro bergumam.
“Seringkali
rasa bahagia seperti yang kualami saat ini menipu diriku sendiri. Membuat aku
lupa siapa diriku sebenarnya’….”
“Bukankah
kukatakan tadi kau adalah kau. Dan aku bangga melihat kau apa adanya…” kata
Pendekar 212 balas membelai punggung Ratu Duyung dengan usapan jarijari tangan
yang lembut. Ratu Duyung pejamkan kedua matanya. Wajahnya disandarkan di dada
kiri Wiro. “Aku suka mendengar kata-katamu itu Wiro. Tapi aku sadar hatiku tak
bisa ditipu oleh jalan pikiran. Sebaiknya pikiranku tidak pula dapat ditipu
oleh suara hati.
Sesuatu i
di lubuk hati ini mendekam sejak lama, tak kuasa aku utarakan. Bahkan mungkin
terpaksa harus ku-tanam lebih dalam dan*lebih jauh”. Lebih dalam dari pusat
bumi. Lebih jauh dari ujung dunia. Biarlah hanya getaran nya saja yang tetap
hidup dalam alam-i ku yang serba aneh. Alamku yang tak mungkin bersatu dengan
alammu….”
Wiro
mendekap pipi Ratu Duyung dengan dua tangannya lalu mengangkat kepala gadis
itu. Se-pasang mata biru Ratu Duyung tampak berkaca-kaca. Walau basah oleh air
mata tapi di balik segala kedukaan yang ada masih terbayang cahaya bahagia dan
mesra. Sudah sejak lama gadis ini membayangkan betapa indah dan mesranya jika
berada dalam pelukan Wiro. Semua ini menjadi kenyataan. Mereka bermesraan.
Namun sampai berapa lama kemesraan ini akan didapat dan dirasakannya?
“Tuhan….
Jangan kau pupus dan sirnakan kebahagiaan ini dari tanganku….” Suara yang
muncul di lubuk hati Ratu Duyung lebih merupakan bayangan ketakutan daripada
permintaan. Lehernya yang putih jenjang bergerak-gerak pertanda dia berusaha
menahan gelora hatinya. Wiro merunduk. Dengan permukaan bibirnya ditelusurinya
leher dan tengkuk yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ratu Duyung merasakan
kehangatan yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Sesaat terbayang kembali
olehnya peristiwa di Purr Pelebur Kutuk. Ketika mereka berdua-dua berada di
atas ketiduran tanpa sehelai benang pun menutupi aurat.
Ratu
Duyung mendesah halus. Tubuhnya menggeliat. Pelukannya tiba-tiba mengencang
seolah Wiro tak akan dilepaskannya untuk selama-lamanya. Wiro merasakan dada
basah keringatan berdegup kencang di wajahnya yang memanas. Hampir dia terlupa
dan hendak membenamkan wajahnya di belahan dada gadis itu tiba-tiba Wiro ingat,
perlahan-lahan ditariknya kepalanya. Dilihatnya wajah Ratu Duyung memerah.
Sepasang matanya terpejam, bibirnya yang merah terbuka merenggang dan cuping
hidungnya bergerak-gerak.
Wiro
ingin sekali mengecup bibir yang bagus dan basah itu. Namun pemuda ini masih
dapat menahan diri. Dalam gelora yang membakar darahnya dia masih ingat untuk
tidak berbuat lebih jauh. Jangan sampai dorongan hatinya mempengaruhi jalan
pikiran.
“Ratu,”
bisik Wiro di antara desah napasnya yang panas clan menderu. “Tadi kau
mengatakan alammu masih berbeda dengan alamku. Padahal setelah peristiwa di
Puri itu, bukankah kutukan yang menimpa dirimu telah sirna? Kau bukan lagi
makhluk setengah manusia setengah ikan? Kau benar-benar telah menjadi seorang
anak manusia, seorang gadis dengan segala kecantikan, keanggunan dan kesucian
yang ada.”
Sepasang
mata Ratu Duyung yang basah masih terpejam. Dua tangannya masih merangkul
lembut punggung dan belakang kepala pemuda itu. “Kau betul. Diriku dan juga
diri semua anak buahku telah bebas dari kutukan yang menyengsarakan itu. Namun
dalam kebahagiaan itu aku juga menyadari. Sekian lama hidup di dasar samudera
dalam alam yang berbeda telah menjadikan diriku bersatu men-darah daging dengan
alam yang serba aneh itu. Membuat diriku asing di tengah alammu walau wujud
diriku tidak beda dengan manusia lainnya. Aku merasa diri ini tidak punya
tempat dalam dunia ini….”
“Itu
hanya perasaanmu saja Ratu. Perlahan-lahan tapi pasti kau akan terbiasa. Kau
kelak akan merasakan betapa bahagianya hidup di dunia ini. Dengan segala
masalahnya baik suka maupun duka…”
Ratu
Duyung gelengkan kepalanya. Air mata jatuh berderai dari celah-celah barisan
bulu matanya yang panjang dan lentik. Mulutnya terbuka namun tidak ada ucapan
yang sanggup dikeluarkannya. Hanya suara hatinya yang berkata dan tak mungkin
terdengar oleh Wiro. “Kau tidak tahu Wiro, bukan hidup di alammu itu yang
menakutkan diriku. Tapi hidup tanpa dirimu di sampingku yang membuat aku seolah
merasa mati dalam hidup ini.
Aku boleh
tahu besarnya kasih sayang kecintaanku padamu. Tapi aku tidak tahu apakah kau
memiliki dan berapa besarnya kasih sayang dan rasa cintamu terhadapku. Yang aku
tahu adalah aku tak bakal dapat memiliki dirimu. Ini seperti sudah menjadi
takdir. Kau tak akan pernah menjadi milikku. Hati ini tahu, perasaan
ini-mengerti, ada seorang iain yang kau kasihi dan kau cintai dengan seputih
hatimu. Wiro, setinggi gunung kasih sayangku, sedalam lautan cintaku padamu
tapi aku sadar bahwa aku hanya akan meratap dalam kebahagiaanmu bersama gadis
lain itu….”
Ratu Duyung
berusaha menahan sengguk tangis hingga bahunya terguncangguncang. Wiro peluk
gadis ini erat-erat. Terasa kehangatan air mata Ratu Duyung menyentuh dadanya.
“Ratu,
kau harus berani menghadapi kenyataan. Hidup yang sebenarnya hidup adalah hidup
di alam ini, bukan di alammu. Kita akan bersama-sama. Kita akan berjalan
berdampingan dalam suka maupun susah….”
Ratu
Duyung angkat kepalanya. Sepasang matanya yang biru dibuka. Menatap lembut
penuh mesra. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. “Semua yang kau ucapkan
itu pancaran suara hatimu yang tulus. Tapi Wiro. Tidak mungkin kita
bersamasama, berjalan berdampingan dalam suka maupun susah. Karena aku tahu kau
bukan milikku. Ada gadis lain yang lebih baik dan cocok untuk dirimu….”
Wiro
hendak menggaruk kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu tapi si gadis
tersenyum dan pegangi tangan sang pendekar.
“Kau tahu
hal itu Wiro. Kau tak akan mau menipu dirimu sendiri. Yang aku pinta saat ini
hanyalah izinkan diri ini sedikit lebih lama berada dalam keadaan seperti ini,
bermesra berdua-dua dengan dirimu. Karena mungkin ini kesempatanku yang pertama
dan yang terakhir….”
“Eh,
memangnya kau mau ke mana? Mau melakukan apa?” tanya Wiro.
“Kau
bukan milikku tapi milik gadis lain. Cintamu bukan milikku tapi milik seorang
lain. Kau harus mengakui itu. Aku tak perlu menyebut siapa adanya gadis itu….”
“Aku….”
Wiro gelengkan kepala dan usap pipi sang Ratu dengan jari-jari tangan kanannya.
“Kalau kau sudah tahu…. Aku akan berterus-terang padamu. Aku memang pernah
menyukai dan mencintai seorang gadis….”
Ratu
Duyung pejamkan sepasang matanya yang biru. Jauh di lubuk hatinya seolah ada
sembilu menyayat perih. Bibirnya bergetar.
“Tapi aku
hanya bertepuk sebelah tangan,” terdengar kembali suara Wiro. “Aku senang orang
tak suka. Aku sayang orang tak cinta….”
Ratu
Duyung perlahan-lahan buka kedua matanya. Gadis ini berusaha menguatkan hatinya
untuk bisa berucap.
“Wiro,
cinta tak selalu seperti apa yang kita lihat. Bagi seorang gadis cinta yang ada
dalam hatinya terhadap seorang pemuda tidak ubahnya seperti gunung es yang
kelihatan hanya secuil di permukaan samudera. Bagian cinta yang sangat besar
disimpan dan disembunyikan di bawah permukaan laut. Di dalam laut hati
sanubarinya. Dipeliharanya baik-baik….”
“Ah, aku
tidak mengerti…” ujar Wiro. Kembali dia hendak menggaruk kepala tapi lagi-lagi
tangannya dipegang oleh Ratu Duyung.
“Gila!
Kepalaku mau pecah rasanya karena gatal! Aku tak bisa menggaruk! Lepaskan
peganganmu Ratu.”
Ratu
Duyung tersenyum. Sambil terus pegangi tangan Wiro dia berkata.
“Sebagian
dari keindahan cinta justru adalah pada ketidakmengertian itu Wiro…,”
Perlahan-lahan
Ratu Duyung angsurkan wajahnya mendekati wajah Pendekar 212. Murid Eyang Sinto
Gendeng ini jadi kelagapan ketika bibir gadis itu menyentuh permukaan bibirnya.
Tapi kegelapan si pemuda hanya sebentar. Dilain saat dua insan ini tenggelam
dalam kemesraan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Wiro…”
suara Ratu Duyung bergumam diantara desau napas. Wajahnya disusupkan ke pundak
si pemuda dan sepasang matanya melirik ke arah timur, ke balik serumpunan semak
belukar. “Sudah pergi…. Dia sudah pergi…. Pasti hatinya akan tersayat perih
menyaksikan aku dan pemuda yang dicintainya dalam keadaan begini rupa. Apakah
dia bisa mengerti, apakah gadis itu mau memahami. Bahwa hanya ini kebahagiaan
hidup yang bisa kudapatkan dan tak lebih dari ini. Aku hanya meminta secuil
kebahagiaan ini. Kalau ini satu dosa semoga kau mau memaafkan dan Tuhan mau
mengampuni. Sahabat, aku tidak akan menodai diriku dan diri pemuda yang kau
kasihi. Kau akan mendapatkan nya sebagai seorang kekasih yang bersih. Aku
berdoa untuk kebahagiaan kalian berdua….”
“Ratu,
aku mendengar seperti kau bicara sendirian…” kata Wiro seraya mendekap wajah
Ratu Duyung dengan dua tangannya,
“Wiro,
kita sudah terlalu lama di tempat ini. Kau tahu kawasan ini kurang amah.
Orang-orang Lembah Akhirat bisa muncul setiap saat. Lagipula aku punya firasat
ada sesuatu bakal terjadi di dasar telaga. Sebaiknya kita menyusul orang-orang
itu masuk ke dalam telaga….”
“Tapi
Eyang Sinto Gendeng meminta kita berjaga-jaga di sini….”
“Jika
sesuatu akan terjadi pasti akan terjadi walau kita berjaga-jaga bagaimanapun.
Mari….” Ratu Duyung memegang lengan Pendekar 212, siap mengajaknya terjun ke
dalam air.
“Ratu,
kau tahu aku tak mungkin masuk ke dalam air sepertimu, Kecuali kau mendekap dan
menyirap diriku seperti yang kau lakukan terhadap orang-orang itu.”
“Hemmm….”
Sang Ratu meragu sejenak. Kalau dilakukannya apa yang dipinta Wiro yakni
memberikan ilmu kemampuan masuk ke dalam telaga dengan cara mendekap, mungkin
lain yang akan terjadi. Mungkin salah seorang dari mereka akan lupa diri.
“Guruku
ada di dalam telaga. Dia pasti marah besar kalau diketahuinya aku ikut masuk.
Padahal dia sudah berpesan agar kita tetap berada di sini untuk berjaga-jaga.”
“Aku tahu
sifat gurumu. Gampang marah gampang pula baiknya.”
“Tapi
Ratu mungkin bahaya lebih besar akan menghadang diriku di dalam telaga sana.
Walau aku masih mengenakan jubah sakti Kencono Geni dan juga memiliki ilmu
tidur yang diberikan Si Raja Penidur tapi aku khawatir….”
“Celaka
bisa terjadi di mana-mana. Kalau dihadang, malapetaka malah tak datang. Kalau
lengah celaka malah jatuh menimpa.”
Wiro
terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu.
“Apa yang
kau pikirkan Wiro? Kau takut mati tenggelam dalam air? ingat kejadian setelah
geger besar di Pangandaran? Kau dan aku naik kereta kuda. La lu kita sama-sama
masuk ke dalam samudera….”
“Ah!”
Wiro gerakkan tangan kanannya yang tidak lagi dipegang Ratu Duyung lalu
menggaruk kepala sepuas-puasnya. Dia tidak menolak lagi sewaktu Ratu Duyung
menarik tangannya untuk kedua kali dan mencebur masuk ke dalam Telaga
Gajahmungkur.
****************
LIMA
Ketika
Wiro dan Ratu Duyung bermesraan di tepi telaga seseorang berkelebat ke balik
serumpunan semak belukar di sudut telaga tak berapa jauh dari dua muda-mudi itu
berada. Orang ini mengenakan pakaian biru, berambut panjang pirang. Bau tubuh
dan pakaiannya- yang harum menebar ke mana-mana. Bau harum inilah yang membuat
Ratu buyung menyadari bahwa ada seseorang bersembunyi tak jauh dari tempat itu.
Wiro sendiri karena telah hilang kesaktiannya tidak mampu mencium bau harum
tersebut. Dari bau wangi tersebut Ratu Duyung sudah bisa memperkirakan siapa
adanya orang tersebut.
Sambil
terus bercakap-cakap dengan Wiro, Ratu Duyung menyelidik, Memandang berkeliling
akhirnya dia mengetahui bahwa orang itu bersembunyi di baiik serumpunan semak
belukar. Rasa berdosa tiba-tiba saja muncul dalam hati Ratu Duyung. Tapi
sebagai manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh perasaan, apalagi perasaan
seorang perempuan yang selalu mempunyai rasa cemburu dan rasa ingin memiliki
seseorang, maka Ratu Duyung tidak memberitahukan kehadiran orang itu pada Wiro.
Dia juga tak mau memutus percakapan dan buru-buru pergi dari tempat itu. Apa
salahnya kalau saat itu dia boleh mereguk sedikit kebahagiaan, berdua-dua
bermesraan dengan orang kepada siapa dia berhutang budi dan kepada siapa cinta
kasihnya tercurah.
Lain
halnya dengan orang yang bersembunyi di balik semak-semak yang bukan lain
Bidadari Angin Timur adanya. Gad is ini merasa sekujur tubuhnya bergeletar
laksana dipanggang menyaksikan Wiro bermesraan dengan Ratu Duyung. Jari-jari
tangannya terkepal dan dua matanya menyorotkan sinar marah penuh cemburu! Kalau
dia tidak berpikir panjang saat itu juga mau dia melompat keluar dan melabrak
kedua orang itu. Tetapi begitu pikiran jernih memasuki kepalanya maka
perlahan-lahan gadis ini bisa menguasai dirinya. Malah diam-diam dia menyadari
mungkin semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Selama ini dia mengambil
sikap curiga dan selalu menjauhi Wiro. Apa yang harus disesalinya kalau kini
pemuda itu jatuh ke tangan gadis lain? Namun bagaimanapun dia ingin berpikir
jernih, rasa mementingkan diri sendiri tidak mungkin dipupusnya sama sekali.
“Ratu
Duyung, ternyata kau adalah gadis gampangan. Dan kau Wiro, kau tak lebih dari
seorang pemuda mata keranjang yang sanggup bercinta dengan siapa saja dan tega
melukai hati setiap gadis…”
Bidadari
Angin timur bersimpuh di tanah. Wajahnya ditutup dengan sepasang tangannya yang
berjari-jari halus. “Apa yang harus aku lakukan? Menangis? Berteriak marah!
Atau lebih baik kupukul sendiri kepala ini hingga pecah?! Aku mencarinya ke
teluk. Dari kabar yang kudapat katanya dia dalam bahaya. Ternyata kini dia
berada di tepi telaga. Bercinta dengan Ratu murahan itu!”
Bidadari
Angin Timur turunkan kedua tangannya. Wajahnya menjadi sangat merah. Dua
matanya laksana kobaran api. Cepat-cepat kepalanya dipalingkan ke jurusan lain.
Tak sanggup dia menyaksikan bagaimana Ratu Duyung dan Wiro Sableng saling
berkecupan.
“Mesum….
Hidup ini ternyata penuh kemesuman!” jerit Bidadari Angin Timur.
Tinjunya
kiri kanan dipukul-pukulkannya ke paha. Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu
masuk ke dalam telaga. Ketika dia menoleh Ratu Duyung dan Pendekar 212 Wiro
Sableng tak ada lagi di tempat itu.
“Mereka
masuk ke dalam telaga. Aku harus menyelidik apa yang mereka lakukan.
Jangan-jangan Ratu itu memiliki istana di dalam telaga. Tempat mereka berdua
bisa berbuat apa saja. Aku harus masuk ke dalam telaga! Harus! Tapi tak
mungkin…. Walau aku bisa berenang tak mungkin mampu bertahan lama dalam telaga
itu!” Kembali si gadis dibuncah perasaan marah dan cemburu. Dia melangkah
mondar-mandir. Dia berpikir keras apa yang harus dilakukannya agar kedua orang
itu segera keluar dari dalam telaga. “Aku tak mungkin membakar telaga ini! Aku
juga tak punya racun untuk ditebar hingga mereka sesak napas dan terpaksa
keluar dari dalam air. Apa yang harus kulakukan! Apa!!!”
Selagi
dia melangkah mondar-mandir di tepi telaga seperti itu tiba-tiba saja sesosok
tubuh berjubah hitam tegak di hadapannya. Dia melihat sepasang tangan berkuku
panjang. Lalu dia mendengar suara tawa cekikikan.
“Gadis
cantik berlesung pipit! Kita bertemu lagi! Hik… hik… hik!”
Bidadari
Angin Timur angkat kepalanya. Dia melihat satu wajah bundar putih penuh
keriput. Rambut putih yang dulu dilihatnya digulung di atas kepala kini
tergerai lepas riapriapan. Orang ini semakin jauh lebih tua daripada ketika
pertama kali ditemuinya.
“Nenek
Sika Sure jelantik…” ujar Bidadari Angin Timur.
Si nenek
tertawa panjang. “Aku senang kau masih ingat namaku. Padahal aku tak pernah
tahu siapa namamu! Hik..; hik… hik!”
“Nenek
Sika aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa yang membawamu ke Telaga
Gajahmungkur ini?” bertanya si gadis.
“Justru
aku yang ingin bertanya. Apa yang membuatmu hingga berada di tempat ini! Hik…
hik… hik! Dari cahaya matamu, dari rona air mukamu aku menduga keras kau berada
dalam gelombang perasaan hati yang sulit kau kendalikan! Betul kan…?! Hik… hik…
hik!”
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab. Gadis ini cuma menatap dengan tersenyum pada si
nenek.
“Ah, kau
tersenyum. Sepasang lesung pipit itu masih ada di kedua pipimu. Anakku, kau
ingat pertemuan kita pertama kali, dulu. Aku menemuimu, dalam keadaan menangis
berurai air mata. Sekarang pun kulihat sepasang matamu yang bagus basah oleh
air mata. Wajahmu menunjukkan adanya pukulan hati yang sangat berat. Sinar
matamu seolah menyembunyikan satu dendam kesumat. Anakku, apakah ini menyangkut
persoalan dulu juga? Masih ada hubungannya dengan pemuda yang kau bilang
bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu? (Mengenal pertemuan pertama
Sika Sure jelantik dengan Bidadari Angin Timur harap lihat Episode Asmara Darah
Tua Gila)
Bidadari
Angin Timur mengangguk perlahan. “Kau tentu masih ingat Nek, waktu itu
kukatakan terus terang padamu ada satu ganjalan yang membuat aku tak mau
berterus terang pada pemuda itu bahwa aku mencintainya. Aku mengambil sikap
rnenjauhinya. Aku tak mau menjadi bahan permainan cinta murahnya. Karena aku
tahu banyak gadis cantik mengelilinginya. Semua menaruh hati pada pemuda itu.
Dan barusan saja aku melihat dia bercinta bermesra dengan salah satu dari gadis
itu. Di depan mataku. Mereka berpegangan tangan, saling berangkulan. Ma lah aku
saksikan sendiri mereka….” Si gadis tidak sanggup lanjutkan ucapannya.
Kepalanya digelengkan beberapa kali. Air mata menggelinding jatuh ke pipinya
yang merah.
Sika Sure
Jelantik usap kepala Bidadari Angin Timur. Seperti diketahui nenek satu ini
adalah seorang berhati keras dan kejam. Namun bagaimanapun juga dia adalah
seorang perempuan yang ikut merasa pilu melihat kesedihan yang diderita perempuan
iain. Apalagi terhadap Bidadari Angin Timur yang sudah dianggapnya sebagai cucu
atau anak sendiri.
“Anakku,
seperti yang aku bilang dulu. Kau menanam pohon beracun dalam tubuhmu sendiri.
Semakin jauh hari berlalu semakin tinggi pohon itu mencuat ke kepalamu dan
semakin dalam akarnya menghunjam ke kakimu. Kau harus segera mengambil
keputusan. Menemui pemuda itu dan mengatakan terus terang bahwa kau
mencintainya….”
“Aku tak
sanggup melakukan itu Nek. Tidak ada seorang gadis pun yang mau berbuat begitu
bagaimanapun besar cintanya terhadap seorang pemuda…”
“Kalau
begitu kau mungkin terpaksa harus meninggalkannya….”
“Itu sama
saja dengan bunuh diri!”
Sika Sure
Jelantik tertawa panjang. “Anakku, itulah kehebatan cinta! Bisa membunuh orang
secara pelan-pelan bahkan bisa secara cepat! Nasib diriku sebagai contohnya.
Sampai saat ini tanganku sudah gatal untuk membunuh bekas kekasihku yang serong
dimasa muda! Tapi belum juga kesampaian!”
“Nek,
kalau seandainya kau bertemu dengan dia dan dia meminta maaf dengan setulus
hati, bagaimana jawabmu?!”
“Pertanyaan
gila sekali!” tukas Sika Sure Jelantik. “Dia memang pernah menunjukkan sikap
menyesal dan minta maaf. Tapi apakah harga diriku ini hanya sebatas penyesalan
dan permintaan maaf? Aku sudah keburu berkubang dalam rasa malu setinggi langit
sedalam lautan! Lalu suatu hari dia datang cengar-cengir bicara segala macam
penyesalan dan minta maaf. Tidak anakku! Sika Sure Jelantik bukan perempuan
berhati loyang. Tapi juga tidak memiliki hati emas! Dan sebagai perempuan
hatimu dengan hatiku mungkin berbeda. Buktinya kau hanya diam saja ketika
menyaksikan mereka bercinta di tepi telaga di depan mata kepalamu!”
“Nek, apa
betul kadangkala cinta itu adalah pengorbanan…?”
Sika Sure
Jelantik tertawa gelak-gelak. “Pengorbanan adalah istilah orang yang berada
dalam keadaan dikalahkan dan lemah tak bisa berbuat apa. Apakah kau merasa
orang yang dikalahkan dalam merebut hati pemuda pujaanmu itu anakku?”
Paras
Bidadari Angin Timur kelihatan bersemu merah.
“Apakah
kau tak bisa lagi mengalihkan cintamu pada pemuda lain?”
“Dia
adalah pemuda pertama dan yang terakhir yang aku cintai Nek. Hati dan cinta
kasihku hanya untuk dia seorang walau mungkin aku tidak akan mendapatkannya….”
“Lalu kau
mau menjadi perawan tua yang patah hati! Sungguh tolol perbuatanmu anakku!
Hidup hanya satu kali, jangan disia-siakan….”
“Tapi
bagaimana dengan dirimu sendiri Nek? Setelah kekasihmu mengkhianati dirimu, apa
kau sanggup berpaling pada lelaki lain?”
“Itu
pertanyaan gila! Aku tak mau menjawab!” kata Sika Sure Jelantik seraya
bantingkan kaki kanannya hingga tepian telaga itu terasa bergetar. “Sekarang
aku mau tanya. Apa yang membuatmu berada di Telaga Gajahmungkur ini. Kau boleh
punya seribu alasan cinta! Tapi pasti ada satu hal lain….”
“Tidak
ada alasan lain Nek. Setelah aku menyirap kabar pemuda itu bersama serombongan
para tokoh silat tengah bergerak ke telaga maka aku segera ke sini. Aku memang
menemuinya. Tapi sedang….”
“Sekarang
di maha beradanya pemuda itu?” tanya si nenek.
“Aku
tidak tahu Nek. Mungkin sekali mereka masuk ke dalam telaga….” Menerangkan
Bidadari Angin Timur.
Terkejutlah
si nenek mendengar hal itu. “Dengar, aku pernah bertemu dan menolong seorang
gadis tak dikenal. Tololnya aku tidak tahu namanya. Tapi ciri-cirinya berkulit
putih, rambut panjang hitam dan pakaian merah. Menurut ceritanya dia tengah
mencari sebuah batu hitam di Telaga Gajahmungkur ini. Batu itu berkhasiat untuk
menyembuhkan ibunya yang sedang sakit. Pertanyaanku, apakah kau melihat gadis
dengan ciri-ciri yang aku katakan itu?”
Bidadari
Angin Timur menggeleng.
“Apa
warna pakaian gadis yang bercinta dengan Pendekar 212?” tanya si nenek
menyelidik lebih jauh.
“Hitam….”
Sika Sure
jelantik mendongak ke langit lalu menatap tajam ke arah telaga. “Setahuku
Pendekar 212 tidak memiliki ilmu menyelam dalam air. Jika dia berani masuk ke
dalam telaga berarti ada seseorang yang membekalinya ilmu. Hanya ada satu orang
memiliki kepandaian seperti itu. Ratu Duyung. Tapi sang Ratu tak pernah
mengenakan pakaian hitam….”
“Gadis
berpakaian hitam bersama Pendekar 212 itu memang Ratu Duyung Nek,” menjelaskan
Bidadari Angin Timur.
“Hah?!”
Si nenek tersentak kaget. “Kenapa tidak kau beri tahu dari tadi! Ratu Duyung
dan Pendekar 212 ada dalam telaga! Beberapa tokoh silat katamu sebelumnya telah
menuju ke sini tapi tak kelihatan mata hidungnya! Jangan-jangan mereka sudah
berkumpul di dasar telaga sana! Pasti ada sesuatu! Anakku, ayo kau lekas ikut
bersamaku ke dalam telaga!”
“Aku tak
bisa Nek….”
“Aku akan
berikan ilmu menyelam seratus hari padamu!”
“Bukan
itu masalahnya Nek. Aku hanya tak ingin masuk ke dalam telaga. Kuharap kau bisa
memahami…”
“Hemmm….
Baik. Aku bisa memahami. Jika bertemu dengan Pendekar 212 biar aku memberi
pelajaran padanya sampai nyawanya lepas dari badan!”
“Kuharap
kau tidak melakukan hal itu Nek,” memohon Bidadari Angin Timur.
Si nenek
tersenyum. “Kau benar-benar mencintai pemuda itu. Tapi aku tak bisa menjamin
apa aku akan membunuhnya atau tidak….” Tanpa menunggu jawaban Bidadari Angin
Timur si nenek segera saja melompat masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.
****************
ENAM
Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya (Rahasia Cinta Tua Gila) Puti Andini telah
ditelan oleh ular naga betina. Sebelumnya gadis ini menyaksikan bagaimana naga
betina itu menyedot dan menelan batu putih sebesar dua kepalan tangan yang
ditemukannya di dasar telaga.
Ketika
tubuhnya disedot dan siap ditelan oleh naga betina itu Puti Andini berusaha
selamatkan diri dengan coba menghantamkan satu: pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan diarahkan tepat ke arah tanduk hijau
yang mencuat di atas kepala naga betina. Namun belum sempat dia menghantam ular
naga tiba-tiba ulurkan lidahnya yang bercabang, langsung melibat tubuh si
gadis. Dalam keadaan tak berdaya, sekali lidah menyentak maka tubuh Puti Andini
pun lenyap ke dalam mulut binatang itu. Si gadis menjerit keras. Namun
jeritannya tidak terdengar karena tubuhnya sudah berada dalam mulut ular naga.
Dilanda rasa takut yang amat sangat gadis ini akhirnya pingsan. Tubuhnya
melayang masuk ke dalam tenggorokan, terus amblas ke perut ular naga.
Puti
Andini, cucu Sabai Nan Rancak dan Tua Gila ini tidak tahu berapa lama dia
berada dalam keadaan pingsan. Ketika dia siuman pertama sekali yang didengarnya
adalah suara hentakan keras duk… duk… duk… tak berkeputusan. Tubuhnya bergetar
dan tersentak-sentak setiap suara itu terdengar. Lalu ada hawa sangat dingin
menyelimuti sekujur tubuhnya. Demikian dinginnya hingga dia merasa kulit dan
daging tubuhnya seolah disayat-sayat. Dalam keadaan seperti itu dia merasa
dadanya sesak dan jalan napasnya seperti tertutup.
Perlahan-lahan
Puti Andini buka kedua matanya. Dia dapatkan dirinya terbaring di dalam satu
lorong redup berlantai tertutup cairan sangat licin berwarna kemerahan. Ada bau
tidak enak menyengat hidungnya. Gadis ini coba berdiri. Tapi untuk sesaat dia
hanya mampu duduk. Saat itulah dia merasa ada cairan hangat di bawah hidungnya,
sekitar pipi sementara sepasang matanya terpaksa setengah dipejamkan karena
hawa dingin aneh serta bau menusuk di tempat itu membuat matanya menjadi perih.
Dirabanya bagian bawah hidungnya. Jari-jari tangannya menyentuh cairan hangat.
Ketika diperhatikannya ternyata darah.
“Ada
darah keluar dari hidungku….”
Put!
Andini mengusap pipinya kiri kanan. “Darah lagi…. Yang ini keluar dari dua
liang telinga…. Aku…. Suara duk… duk… duk yang seperti hantaman palu itu….” Dia
membutuhkan waktu beberapa saat sebelum menyadari bahwa saat itu dia berada
dalam tubuh ular naga betina. Dihunjam oleh rasa takut gadis ini cepat tegak
berdiri. Kakinya terpeleset oleh licinnya lantai yang dipijaknya yang bukan
lain adalah perut besar ular naga betina! Dia mencoba bangkit lagi sambil
tangannya menggapai sesuatu di atas kepalanya untuk tempat bergayut. Saat itu
terdengar suara menggemuruh. Si gadis terpelanting dan terpekik ketika
tiba-tiba lorong perut ujar di mana dia berada saat itu berputar kencang dan
membantingkan tubuhnya hingga jungkir balik lalu meluncur sejauh beberapa
tombak. Sesaat kemudian Puti Andini dapatkan dirinya berada dalam cairan busuk
setinggi betis.
“Aku
meluncur. Ke arah mana…? Mungkin ke bagian ekor atau ke arah kepala? Napasku
sesak.,.. Mataku perih…. Kepalaku seperti mau pecah! Agak-nya aku akan menemui
ajal dalam perut binatang ini! Aku tidak mau mati di sini. Aku harus melakukan
sesuatu….”
Anehnya
pada saat-saat seperti itu tiba-tiba muncul bayangan wajah seorang gagah yang
telinga kanannya memakai anting-anting. “Panji…” desis Puti Andini. “Pemuda
itu…. Di mana dia sekarang? Dia tak bisa menolongku. Tak satu orang pun bisa
menolongku…. Kalau saja dulu aku tidak meninggalkannya mungkin tidak begini
nasibku. Kakek Tua Gila! Ini semua gara-gara petunjuk gilamu! Panji…. Ah,
mengapa di saat seperti ini aku ingin sekali melihat pemuda itu….”
Megap-megap
Puti Andini bersandar ke dinding di belakangnya yang adalah bagian dari perut
besar * ular naga. Dalam keadaan seperti itu dia melihat isi perut ular yang
baginya tampak aneh dan sangat menyeramkan. Tiba-tiba untuk kedua kalinya
muncul suara menggemuruh. Perut ular bergerak dan membanting tubuh si gadis.
Cairan busuk mengguyur muka dan tubuhnya membuat gadis ini berteriak keras lalu
semburkan muntah campur darah. Sadarlah Puti Andini kalau ada bagian tubuhnya
di sebelah dalam yang telah terluka.
“Aku
tidak mau mati! Aku harus melakukan sesuatu! Aku harus keluar dari tempat
celaka ini!” Dia memandang berkeliling. ‘Aku harus merangkak ke arah mulut
ular. Itu satusatunya tempat untuk lolos. Tapi yang mana bagian kepala, mana
bagian ekor? Atau kuhantam saja isi perut binatang ini. Tubuhnya di sebelah
dalam pasti tidak seatos sebelah luar! Makhluk aneh. Punya isi perut tapi tidak
bertulang!”
Puti
Andini seka darah yang terus mengucur dari hidungnya. Tangan kanannya diangkat.
Tenaga dalam dialirkan penuh. Dia menghantam ke arah benda-benda aneh yang
merupakan bagian dari isi perut ular naga.
“Wusss!”
Pukulan
sakti si gadis menderu dan keluarkan suara menggema dahsyat. Bendabenda aneh di
depan sana kelihatan hancur berantakan. Lalu ada cairan merah mengguyur laksana
curahan hujan. Saat yang sama terdengar suara ringkikan dahsyat. Tubuh ular naga
betina tersentak ke atas, lalu berputar bergulung-gulung. Puti Andini terpental
kian kemari. Ketika dia jatuh ke bawah dia dapatkan dirinya terapung dalam
cairan merah setinggi pinggang. Sementara itu suara duk… duk… duk menghantam
telinga dan kepalanya semakin keras.
“Darah…
di mana-mana darah….” Suara Puti Andini menggigil bukan saja karena hawa dingin
yang mencucuk tapi juga oleh rasa takut amat sangat. Walau tenaganya seolah
terkuras dia berusaha bergerak, merancah dalam cairan merah setinggi pinggang.
Dia tidak tahu apakah saat itu dia bergerak ke arah kepala atau ke bagian ekor
ular. Sementara dari bagian-bagian tubuh dalam ular naga yang hancur masih
terus mengucur cairan darah yang makin lama membuat sekujur tubuh putih Andini
basah kuyup. Sementara itu genangan darah di bagian bawah perut semakin tinggi.
Di satu sudut Puti Andini tersandar benarbenar kehabisan tenaga.
“Tamat
riwayatku sekarang…” pikir si gadis. Mulutnya terbuka megap-megap.
Dadanya
tambah sesak. Dia mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tapi yang masuk
ke rongga pernapasannya hanya bau busuk sedang dari lobang hidungnya tak terasa
lagi ada hembusan napas. Mulutnya terbuka megap-megap. Lututnya lung la i
goyah. Sesaat tubuhnya akan terperosok jatuh ke dalam genangan darah ular
tiba-tiba jauh di sebelah kirinya dari balik tubuh ular yang melingkar tampak
seberkas cahaya terang.
“Mulut
ular…. Pasti itu mulut ular….” Didorong oleh harapan untuk menyelamatkan diri
dan keluar hidup-hidup dari dalam perut ular itu Puti Andini . mengumpulkan
sisa-sisa tenaga yang masih ada. Perlahan-lahan dia bergerak menyusuri dinding
perut ular ke arah berkas cahaya yang muncul di sebelah sana.
Hanya
satu tombak lagi dia akan mencapai tikungan perut ular dari arah mana
membersitnya cahaya terang tiba-tiba ular naga betina itu kembali memutar tubuh
sambil meringkik keras. Untuk kesekian kalinya keadaan di dalam perut ular itu
seperti kiamat bagi Puti Andini. Tubuhnya terpental kian kemari. Menghantam
dinding perut dan terhempas ke dalam genangan darah. Untung baginya ketika dia
mencoba merangkak, genangan darah di lekukan tubuh ular di mana dia berada
hanya setinggi mata kaki. Dengan mata perih setengah terpejam gadis ini
berpaling ke kanan; Dia hanya melihat kegelapan. Dia alihkan pandangan ke kiri.
Harapan nya kembali muncul ketika dari arah sebelah sana kelihatan lagi berkas
cahaya terang tadi.
Karena
hanya mampu merangkak, itulah yang dilakukan Puti Andini. Dalam keadaan susah
payah dan nyawa seolah sudah di depan mata akhirnya anak Andam Suri ini berhasil
mencapai bagian perut ular yang terang. Terduduk di atas perut ular yang
tergenang darah matanya terpacak ke depan. Dalam rongga besar perut ular itu
dia melihat sebuah benda putih melayang-layang seolah tanpa bobot. Benda inilah
yang mengeluarkan cahaya menerangi sebagian perut ular.
“Astaga,
benda putih yang melayang itu…. Bukankah itu batu putih aneh yang aku temui di
dasar telaga. Diperebutkan oleh dua ekor naga lalu akhirnya ditelan oleh naga
betina?”
Puti
Andini merangkak maju. mendekati batu putih yang melayang-layang. Ketika
dirasakannya cukup dekat dengan sisa tenaga yang ada dia membuat lompatan. Coba
menangkap batu itu. Tapi luput. Puti Andini tersungkur. Saat itu terdengar
suara menggemuruh. Perut ular bergoncang keras. Puti Andini terbanting ke kiri,
terhempas menghantam dinding perut ular. Megap-megap dia terkapar di atas
genangan darah. Tapi sepasang matanya berusaha memperhatikan dan mengikuti
gerakan batu putih yang melayang-layang. Dia beringsut berusaha mendekat
kembali. Ternyata batu putih itu melayang ke jurusannya. Si gadis tak
menyia-nyiakan kesempatan. Untuk kedua kalinya dia melompat. Luput lagi!
Padahal telapak tangan kirinya sempat bergeseran dengan batu itu.
Namun
saat itu tiba-tiba si gadis merasakan satu keanehan terjadi dengan dirinya.
Waktu tangan kirinya bergeseran dengan batu putih dia merasa ada satu hawa aneh
yang membuat kekuatannya pulih sedikit. Walau dadanya masih terasa sesak dan
darah masih meleleh dari telinga serta hidungnya namun jalan napasnya terasa
lebih longgar. Dengan kekuatan yang ada kini gadis itu mampu berdiri.
Pandangannya tak lepas dari batu putih yang masih melayang-layang dalam perut
ular. Tiba-tiba dia melihat dua buah benda menempel di perut ular di
hadapannya, di belakang batu putih. Pikiran si gadis jadi terbagi dua. Satu
pada batu putih yang ingin ditangkapnya, kedua pada dua benda yang menempel di
perut ular naga.
Benda
pertama sebuah kitab dalam keadaan terkembang dan koyak.
“Aneh,
perut ular ini dingin dan lembab. Semua tempat basah oleh darah. Tapi mengapa
kitab itu tetap kering. Kitab apa gerangan adanya…?”
Puti
Andini alihkan pandangannya pada benda kedua. Benda ini adalah sebuah batu
empat persegi panjang seukuran genggaman manusia. Salah satu ujungnya berbentuk
bulat dengan dua tonjolan di kiri kanan menyerupai kepala manusia lengkap
dengan telinga tapi tanpa wajah.
Batu ini
memiliki tujuh warna seperti tujuh warna pelangi yang mengingatkan Puti Andini
pada payung tujuh warna nya serta gelar yang disandangnya yaitu Dewi Payung
Tujuh. “Batu warna pelangi…” kata si gadis dalam hati. Seperti kitab di
sebelahnya batu ini kelihatan kering, tidak basah atau pun terkena noda darah.
“Dua benda aneh, bagaimana bisa berada dalam perut ular…? Jangan-jangan dalam
perut binatang ini pula tersimpan Pedang Naga Suci 212….”
Walau
besar keinginan si gadis hendak menyelidik kitab serta batu aneh itu namun dia
memutuskan untuk mendapatkan batu putih lebih dulu. Maka kembali Puti Andini
memusatkan perhatiannya pada batu putih yang melayang-layang dalam perut ular.
“Kalau
binatang ini tidak bergerak dan aku tidak sampai terjungkir balik batu aneh itu
pasti aku dapatkan!” Puti Andini maju selangkah demi selangkah. Batu putih
melayang di atas kepalanya berputar-putar. Lalu perlahan-lahan turun ke bawah
melewati pundak kirinya. Si gadis cepat bersurut sambil memutar diri lalu
menyergap. Dua tangannya melesat ke atas.
“Dapat!”
seru Puti Andini. “Plaaak!’ Tangan kiri dari tangan kanannya saling beradu. Dia
hanya menangkap angin!
“Aneh….
Batu itu melayang perlahan. Dekat sekali di depan hidungku. Tapi mengapa aku
tak mampu menangkapnya?” Puti Andini seka darah yang membasahi bagian atas
bibirnya. Sementara itu hawa dingin terasa semakin mencucuk dan bau tidak enak
semakin menusuk hidung.
Si gadis
pandangi batu putih. “Aku harus dapatkan batu itu. Bagaimana caranya?”
Puti
Andini memutar otak. Sesaat dia pandangi dirinya sendiri yang basah kuyup oleh
darah serta cairan busuk dalam perut ikan. Selintas pikiran menyeruak di kepala
si gadis. Dengan cepat dibukanya baju merahnya. “Tak ada siapa-siapa di dalam
perut ikan ini. Tak ada yang akan melihat diriku setengah telanjang seperti
ini!”
Puti
Andini peras baju merahnya sekering yang bisa dilakukan. Lalu baju itu
dikembangkan, dipegang dengan kedua tangan. Apa yang dilakukan Puti Andini
memang masuk akal. Walau ruangan dalam perut naga itu cukup besar namun dengan
mempergunakan bajunya sebagai jaring, peluangnya untuk dapat menangkap batu
putih itu akan lebih besar. Maka dalam keadaan tanpa pakaian di sebelah atas
dia melangkah mendekati batu putih. Ha nya dua langkah lagi dari hadapan batu
putih, begitu Puti Andini siap untuk menangkap benda itu dengan baju merahnya
tiba-tiba batu putih melesat ke atas. Gerakan yang hanya menangkap angin di
atas pijakan yang licin membuat sang dara jatuh terbanting dalam keadaan
tertelentang. Selagi dia mencoba berdiri tiba-tiba batu putih melesat ke bawah.
Menyambar ke arah dadanya yang polos sebelah kiri. In! adalah satu serangan
yang tidak terduga.
Puti Andini
cepat gulingkan diri untuk mengelak. Namun batu datang lebih cepat.
“Mati
aku!” keluh Puti Andini. Dia lalu menjerit keras.
Batu
putih menghantam permukaan dada kirinya dengan telak. Hantaman batu putih yang
hanya sebesar dua kepalan tangan itu membuat tubuhnya terhenyak laksana
ditindih dua gunung puluhan kati. Matanya mendelik besar. Di balik cairan darah
yang mengotori mukanya gadis itu sepucat kain kafan!
****************
TUJUH
Sudah
matikah aku….” Puti Andini bertanya pada diri sendiri. “Duk… duk… duk.”
“Aku
mendengar suara duk-duk-duk itu. Berarti aku belum mati. Tapi dadaku berat
sekali. Seolah ditindih batu sebesar kerbau….” Dia mencoba bangkit tapi tak
mampu. Memandang ke bawah gadis ini terkejut. Batu putih yang tadi menghantam
tubuhnya ternyata menempel di dadanya yang putih, tepat di atas jantung. Dia
kembali coba berdiri, berguling ke kiri lalu ke kanan. Tetap tak bisa.
Tiba-tiba ada hawa aneh mengalir ke dalam tubuhnya. Hawa ini berasal dari batu
putih yang menempel di dadanya yang telanjang.
Dadanya
yang sesak perlahan-lahan menjadi lega. Rongga pernapasannya yang sebelumnya
seperti tersekat kini menjadi lancar, Darah yang tadi masih mengucur dari
telinga dan lobang hidungnya serta merta berhenti. Tubuhnya terasa seringan
kapas. Ketika dicobanya bangkit sekali lagi, ternyata dia bukan saja mampu
berdiri tapi juga melesat ke atas hampir menyundul tubuh atas ular naga. Waktu
jatuh ke bawah dia merasa tubuhnya seperti melayang dan kakinya sama sekali
tidak tergelincir menginjak perut licin ular naga yang digenangi darah!
“Ada
keanehan terjadi dengan diriku!” ujar Puti Andini dalam hati.
Baru saja
dia berkata begitu tiba-tiba muncul suara menggemuruh. Ular naga betina
keluarkan ringkikan dahsyat lalu membanting-banting diri di dalam telaga. Kalau
tadi gerakan sedikit saja dari binatang itu membuat Puti Andini seolah merasa
kiamat dalam perut ular, kini dengan tubuhnya yang begitu ringan dia sanggup
bergerak cepat mengimbangi diri hingga tidak jungkir balik atau terhempas dan
terbanting-banting.
Ketika
dia tegak kembali Puti Andini terkejut. Batu putih itu ternyata masih menempel
di atas dadanya yang kencang dan bergoyang-goyang mengikuti detak jantungnya
yang keras. Dengan gemetar Puti Andini gerakkan tangan kanannya untuk memegang
batu itu. Hanya seujung rambut saja jari-jari tangannya akan menyentuh batu
putih, tibatiba satu tangan berkelebat seperti mengusap dadanya. Tahu-tahu batu
putih itu tak ada lagi di atas dadanya. Disaat bersamaan muncul suara
menggemuruh disertai suara ringkik panjang. Namun tidak terjadi apa-apa. Perut
ular di mana Puti Andini berada tidak bergerak sedikit pun. Bahkan suara
duk-duk-duk bunyi jantungnya tidak terdengar seolah ular raksasa ini telah
berhenti bernapas. Ketika dia memandang ke depan tersurutlah gadis ini sampai
punggungnya menyentuh perut naga.
Lima
langkah di hadapannya tegak sosok tubuh seorang sangat tua berpakaian berupa
selempang kain putih. Rambutnya yang panjang putih menjulai ke bawah. Walau
hanya sebagian saja wajah orang ini yang kelihatan namun Puti Andini segera
mengenali. Cepat Puti Andini tutupkan kedua tangannya di dadanya yang terbuka
polos.
“Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Orang tua yang aku lihat di ruang batu pualam. Yang keluar
dari makam putih…” desis Puti Andini dalam hati.
Si orang
tua gerakkan kepalanya sendiri. Rambutnya yang menjulai menutupi wajahnya
tersibak ke belakang. Kini kelihatan keseluruhan wajah orang tua ini, berkumis
dan berjanggut putih panjang. Sepasang matanya memandang tajam ke arah Puti
Andini, membuat si gadis merasa tidak enak.
“Apa lagi
yang ada di benak orang tua ini. Sebelumnya dia menyuruh anak-kecil bernama
Naga Kilning itu menjebloskan diriku ke dalam Liang Lahat. Kini tahu-tahu dia
ada dalam perut ular naga. Apa memang dia tinggal di sini? Yang jelas dia mampu
menerobos ruang dan waktu dan muncul secara tak terduga….”
“Suci
kembali kepada suci. Hanya kesucian bisa menerima kesucian….” Tiba-tiba Kiai
Gede Tapa Pamungkas berkata.
“Apa
maksud ucapan orang tua ini….” kata Puti Andini dalam hati tak mengerti.
Tiba-tiba
Kiai Gede Tapa Pamungkas ulurkan tangan kanannya yang memegang batu putih.
Walau jarak mereka terpisah lima langkah namun luar biasanya seolah bisa
memanjang tangan sang Kiai tahu-tahu sudah berada sejengkal di bawah dagu si
gadis. Hawa dingin yang keluar dari batu putih menyambar menyapu wajah Puti
Andini.
“Sesuatu
yang suci yang bisa berada di tangan yang suci….” Kembali si orang tua berkata.
“Orang
tua…. Apa maksudmu. Aku tidak mengerti,” ujar Puti Andini.
“Bukankah
kau masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur untuk mencari benda ini? Ambillah!” Kiai
Gede Tapa Pamungkas gerakkan tangan kanannya yang memegang batu putih. Kembali
ada hawa dingin menyapu wajah sang dara.
Puti
Andini pandangi batu putih dalam genggaman si orang tua. Dalam hati dia
berkata. “Yang kucari sebenarnya bukan batu putih itu….”
“Anak
gadis mengapa kau mendadak menjadi ragu. Ambillah. Benda ini memang berjodoh
denganmu. Tak ada satu kekuatan pun bisa menghalangi pemilikanmu atas benda
ini.”
“Batu
putih ini….”
“Dengar,
aku tak mungkin berada lebih lama di tempat ini. Lekas ambil batu ini dan
tinggalkan Telaga Gajahmungkur….”
“Tapi aku
terperangkap dalam perut ular besar ini. Bagaimana mungkin….”
“Kau akan
menyesal seumur hidup jika tidak segera mengambil batu putih ini!” memotong
Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Puti
Andini ulurkan tangan kanannya. Pada waktu itulah tiba-tiba keadaan dalam perut
ular menjadi sangat redup. Yang kelihatan hanya batu putih itu. Di kejauhan,
entah darimana arahnya menggema suara suitan aneh disusul suara ringkikan
panjang. Lalu ada suara menggelegar beberapa kali berturut-turut. Namun dalam
perut ular tidak terjadi apaapa, tak ada goyangan bahkan getaran pun tidak
terasa.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas lepaskan batu putih yang dipegangnya. Dalam gelap benda ini
berkilauan jatuh ke bawah, cepat disambut oleh Puti Andini. Hawa dingin
langsung menjalari tubuhnya.
“Anak
gadis yang berjodoh, aku pergi sekarang. Selamat tinggal…. Kita tak akan
bertemu lagi. Anggap juga kita tak pernah bertemu!”
Memandang
ke depan Puti Andini hanya melihat sekilas bayangan putih berkelebat. Lalu dia
tak melihat apa-apa lagi. Orang tua itu lenyap dari hadapannya. Bersamaan
dengan itu perlahan-lahan keredupan di tempat itu berkurang.
“Dia
muncul dan lenyap secara aneh. Kalau dia memang berniat baik mengapa dia tidak
menyelamatkan diriku keluar dari perut naga ini? Lalu segala ucapannya tadi?
Sesuatu yang suci hanya bisa berada di tangan yang suci. Apa maksudnya…?”
Selagi
berpikir begitu tiba-tiba Puti Andini merasakan seperti ada cairan sangat
dingin mengucuri tangan kanannya yang memegang batu putih. Ketika diperhatikan
terkejutlah gadis ini. Batu putih yang ada di atas telapak tangannya dilihatnya
meleleh cair seperti lapisan salju tersentuh hawa panas. Begitu batu putih berhenti
meleleh kini di telapak tangannya si gadis melihat sebuah benda aneh, bergulung
seperti sebuah ikat pinggang. Ujung benda ini berbentuk kepala seekor naga,
terbuat dari bahan keras putih yang menurut dugaannya adalah sejenis tulang
atau mungkin sekali gading. Bagian benda yang bergulung memancarkan cahaya
putih menyilaukan serta menebar hanya sangat dingin.
Puti
Andini mendadak merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Dadanya berdebar keras.
Seumur hidup dia belum pernah melihat Pedang Naga Sues 212. Tua Gila walau
menyuruh dia mencari senjata mustika itu namun tidak pernah mengatakan
bagaimana bentuk atau warnanya.
“Jangan-jangan….”
Puti Andini gerakkan tangan kanannya memegang bagian benda yang berbentuk
kepala ular naga. Tiba-tiba!
“Sreeetttt!”
Laksana kilat
benda yang bergulung bergerak membuka. Cahaya putih berkiblat. Puti Andini
terpekik. Benda yang dipegangnya terlepas. Sesuatu yang tajam menggurat bahu di
atas dada kirinya. Bersamaan dengan itu gadis ini terjajar dua langkah ke
belakang. Lalu terdengar suara sesuatu robek besar.
“Craaaasss!”
Puti
Andini kembali menjerit.
Perut
naga di sebelah depannya robek besar dan panjang laksana ditoreh oleh sebuah
benda yang sangat tajam. Bersamaan dengan itu ular naga meringkik keras dan
membalikkan tubuhnya, menggelepar kian kemari. Puti Andini melihat air telaga
masuk ke dalam perut ular. Namun dari dalam perut ular menghantam tekanan yang
sangat dahsyat disertai semburan darah, mendorong ke luar. Benda putih yang
tadi melukai dada kiri Puti Andini melesat ke luar dari perut ular. Samar-samar
si gadis masih sempat melihat bentuk benda itu. Ternyata sebuah pedang sangat
tipis, memancarkan cahaya putih dengan hulu berbentuk kepala naga.
“Pedang
Naga Suci 212!” seru Puti Andini dalam, hati dengan mata terbelalak. Dia
berusaha menyambar pedang itu dengan tangan kanan. Namun disaat yang sama
tubuhnya terpental keluar perut ular yang robek besar. Tekanan yang dahsyat
membuat pedang yang berusaha digapainya terdorong jauh hingga dia hanya
menangkap air sedang dirinyasendiri terlempar jauh.
Bersamaan
dengan itu dari dalam perut naga betina terlempar pula dua buah benda yaitu
kitab putih yang koyak dan batu persegi panjang yang dibalut tujuh warna. Naga
betina yang perutnya jebol sepanjang dua tombak dan mengeluarkan asap aneh
membanting-banting diri kian kemari hingga air telaga laksana dibuncah
gelombang. Tanah, pasir serta bebatuan dan semua benda yang ada di tempat itu
termasuk sosok Puti Andini terpental-pental kian kemari. Keadaan gelap
mengelam. Di kejauhan terdengar suara menggemuruh laksana gunung runtuh.
“Celaka!
Kemana lenyapnya pedang tadi…” ujar Puti Andini. Dia menggapai-gapai kian
kemari. Kaki dan tangannya digerak-gerakkan. Tiba-tiba dia merasa satu
keanehan. Gerakan nya tadi membuat tubuhnya mampu bertahan dan tidak terpental
lagi. Padahal air telaga masih terus membuncah.
“Apa yang
sebenarnya terjadi di tempat ini!” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling
berusaha mencari dimana adanya pedang putih yang tadi terlepas dari tangannya.
Sesaat ketika .keadaan mulai tenang dan terang kembali yang dilihatnya bukan
pedang itu melainkan sosok-sosok jerangkong dan tulang belulang manusia serta
beberapa mayat mengapung di sekitarnya.
Lalu
telinganya menangkap riakan-riakan halus di sebelah atas. Ketika dia mendongak
memperhatikan terkejutlah gadis ini. Di atas sana di antara mereka memegang
sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya putih.
“Pedang
itu!” seru Puti Andini dalam hati. Segera saja gadis ini berenang ke atas.
Lagi-lagi dia merasa aneh. Dia hanya menggerakkan tangan serta kaki biasa-biasa
saja. Tapi tubuhnya melesat ke atas cepat sekali. Hingga dalam waktu singkat
dia sudah berada di dekat kelompok orang-orang itu.
****************
DELAPAN
Di dalam
telaga, beberapa saat sebelum perut ular naga dibusai robek oleh pedang putih.
Dua orang yang barusan dilihat Sinto Gendeng di dalam Telaga Gajahmungkur itu
bukan lain adalah Pendekar212dan Ratu Duyung. “Ratu keparat bermata biru itu!
Pasti-dia yang punya gara-gara sampai si anak setan ikut masuk ke dalam telaga
ini! Berani- beraninya gadis itu mencampuri urusanku!”
Untuk
sesaat nenek sakti dari Gunung Gede ini lupakan kemarahannya terhadap Naga
Kuning. Kini kejengkelannya ditumpahkan pada Ratu Duyung dan muridnya. Sinto
Gendeng cepat berenang menyongsong Wiro dan Ratu Duyung. Panji serta Setan
Ngompol berenang mengikuti di sebelah belakang. Begitu sampai di hadapan Ratu
Duyung si nenek langsung mendamprat.
“Ratu
Duyung! Gara-garamu muridku jadi celaka sengsara! Sekarang beraninya kau
mencampuri
urusanku! Bertindak menjadi penghalang! Menolong bocah kurang ajar itu!
Apa
maumu! Berada di pihak mana kau sebenarnya?!”
Dibentak
oleh guru pemuda yang dicintainya seperti itu Ratu Duyung hanya bisa tundukkan
kepala sambil pegang cermin bulat sakti yang tadi dipergunakannya menangkis
serangan tusuk konde yang hendak menusuk mata kiri Naga Kuning. Di atas kaca
itu kini tampak menempel dua buah tusuk konde yang tadi dipakai Sinto Gendeng
untuk menyerang si bocah. Walau dia maklum mengapa si nenek sampai marah besar
namun Ratu Duyung merasa sedih. Baginya apa perlunya si nenek mengungkit
persoalan lama yang dianggapnya sudah selesai.
Melihat
Ratu Duyung hanya diam sambil tundukkan kepala Sinto Gendeng berpaling pada
muridnya.
“Anak
setan! Bukankah kau aku perintahkan tetap di tepi telaga untuk berjaga-jaga?!
Mengapa masuk ke sini bersama gadis bermata biru ini?! Kalian berdua dasar
manusiamanusia gatal!”
“Eyang,
kami datang ke sini bukan untuk mengacau. Ratu Duyung melihat sesuatu yang
mungkin…”
“Bukan
untuk mengacau katamu! Dia mencampuri urusanku! Dia menghalangiku membunuh anak
itu!” bentak Sinto Gendeng hingga Setan Ngompol yang ada di sebelahnya
tersentak kaget dan terkencing.
Wiro
garuk-garuk kepala. “Eyang, apa perlunya membunuh Naga Kuning. Dia anak baik….
Dia pernah menolongku. Dia….”
“Kalau
bicara soal tolong-menolong aku dua kali menyelamatkan dirinya! Berarti dua
kali pula aku boleh membunuhnya!” jawab Sinto Gendeng hampir berteriak hingga
gelembung-gelembung air melayang-layang di sekitar mulutnya.
Naga
Kuning yang sejak tadi berdiam diri tibatiba berenang ke hadapan Sinto Gendeng
lalu berkata. “Nek, betul sekali ucapanmu. Kau telah menyelamatkan diriku
sampai dua kali! Jika kau memang merasa sebagai wakil Tuhan untuk mencabut
nyawaku silahkan kau bunuh aku saat ini juga!”
Lalu,
“Brettt!”
Naga
Kuning robek baju hitamnya hingga dadanya terpentang telanjang. Di atas dada
itu terpampang gambar ular naga berwarna kuning. Sepasang matanya berwarna
merah. Di mata Sinto Gendeng gambar ini seolah hidup dan bergerak ke arahnya
dengan kepala terpentang. Si nenek cepat berenang mundur dengan wajah berubah.
Ketika dia memperhatikan wajah Naga Kuning, wajah itu dilihatnya bukan lagi
wajah seorang bocah melainkan wajah seorang kakek-kakek.
Melihat
gurunya terpojok, Wiro cepat ambil dua buah tusuk konde perak yang menempel di
cermin bulat yang dipegang Ratu Duyung lalu diserahkannya pada Sinto Gendeng.
“Anak
setan! Kau hanya bisa membuat aku malu setengah mati! Kapan kau bisa
menyenangkan diriku si tua bangka ini! Jauh-jauh aku ke sini karena hendak
menolongmu! Mencari Pedang Naga Suci 212 untuk mengobati dirimu! Malah kau
berbuat kurang ajar terhadapku!” Dengan wajah cemberut Sinto Gendeng sambar dua
buah tusuk konde perak yang diserahkan muridnya.
“Maafkan saya
Nek,” kata Wiro. “Jika kau tidak suka melihat kami berada di sini, kami akan
naik ke atas kembali….” Lalu Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung.
“Aku juga
merasa tidak perlu berada lebih lama di tempat ini!” ucap Naga Kuning. Lalu dia
berenang pula menuju permukaan telaga.
Pada
waktu itulah tiba-tiba ada suara ringkikan keras disusul oleh menebarnya
sesuatu seperti kabut di sebelah atas telaga. Lalu menyusul suara menggemuruh
dan bersamaan dengan itu air telaga tampak berubah merah oleh darah lalu bergulung-gulung
hingga semua orang yang ada di tempat itu berpelantingan kian kemari!
Dalam
keadaan yang tiba-tiba menjadi kelam di atas sana ada seberkas cahaya putih
berkiblat. Setan Ngompol pegangi perutnya yang bocor berat terkencing-kencing.
Sinto Gendeng letakkan dua. tangan di atas mata. Hatinya berdebar melihat
kilauan cahaya putih itu. Dia berteriak pada Setan Ngompol. “Ikuti aku cepat!”
Sepasang
kakek nenek itu segera berenang ke arah kilatan cahaya putih. Panji mengikuti.
Wiro dan Ratu Duyung sesaat saling-pandang dalam kebimbangan. Akhirnya keduanya
berenang menyusul orang-orang tadi.
Di
sebelah depan Sinto Gendeng dan Setan Ngompol berhenti berenang ketika mereka
menyadari bahwa sebenarnya mereka bergerak mendekati sosok besar ular naga
betina yang perutnya kelihatan robek besar. Lalu dari perut itu melesat keluar
sebuah benda yang memancarkan cahaya putih berkilauan. Disusul oleh sosok
seorang gadis tanpa baju. Lalu menyusul pula dua buah benda berupa kitab dan
sebuah batu berwarna. Si nenek tidak perdulikan gadis setengah telanjang atau
pun kitab dan batu berwarna. Yang diperhatikannya adalah benda panjang yang
memancarkan cahaya putih dan melesat paling depan.
“Pedang
Naga Suci 212!” seru si nenek. Dia segera melesat ke atas untuk menyambar
senjata sakti mandraguna itu. Hanya sedikit lagi jari-jari tangannya akan
menyentuh gagang pedang berbentuk kepala naga putih itu, tiba-tiba dari samping
melesat sesosok tubuh dan tahu-tahu pedang yang hendak diambil Sinto Gendeng
telah berada dalam genggaman orang lain.
“Jahanam!”
maki Sinto Gendeng. “Siapa kau! Serahkan pedang itu padaku!” Di hadapannya, di
dalam air, Sinto Gendeng melihat seorang nenek berjubah hitam berambut putih
mengambang-ngambang kian kemari. Jari-jari tangannya yang memegang pedang selain
sangat panjang juga berwarna merah.
Wiro dan
Ratu Duyung, Naga Kuning serta Panji segera mengenali nenek berjubah hitam yang
memegang pedang putih itu adalah Sika Sure Jelantik.
Seperti
diketahui Sika Sure Jelantik memang memiliki ilmu kepandaian berada lama di
dalam air. Namun tidak seperti ilmu yang dimiliki Ratu Duyung (yang oleh Ratu
Duyung seperti diceritakan sebelumnya diberikan pada Sinto Gendeng, Setan
Ngompol, Panji dan Wiro) atau Naga Kuning. Dia tidak mampu bicara dalam air.
Sewaktu dimaki oleh Sinto Gendeng dia hanya menggoyang-goyangkan tangan lalu
melesat ke permukaan telaga. Melihat orang hendak melarikan diri Sinto Gendeng
segera mengejar.
Sementara
itu Setan Ngompol dan Ratu Duyung terbagi perhatiannya pada dua benda lain yang
terlempar keluar dari perut robek ular naga betina. Karena batu berwarna
kebetulan melesat tak jauh dari tempatnya berada maka Setan Ngompol segera
berenang mengejar dan berhasil menangkap benda itu. Untuk sesaat dia
memperhatikan terheranheran.
“Sialan!
Cuma sebuah batu! Kukira apa! Tapi bentuknya mengapa aneh begini. Ujung satunya
seperti muka manusia tanpa wajah. Ada kuping. Lalu warnanya tujuh macam. Lalu
eh…. Batu ini dingin sekali! Ah….” Si kakek kembali terkencing. Semula batu itu
hendak dibuangnya begitu saja. “Kalau batu ini keluar dari perut naga berarti
batu ini bukan benda sembarangan. Buktinya begitu kupegang aku terus-terusan
kencing!” Akhirnya Setan Ngompol sembunyikan batu itu di kantong celananya yang
gombrong.
Di bagian
lain telaga, Ratu Duyung telah berhasil pula menangkap benda yang melayang di
air. Ketika diperhatikannya ternyata benda itu adalah sebuah kitab yang telah
koyak.
“Aneh,
ada kitab keluar dari perut naga besar, terbuat dari daun lontar putih yang
langka. Agaknya sudah puluhan tahun mendekam dalam perut naga itu. Tapi tidak
berubah warna, dan tidak basah,… Hanya ada bagian kitab yang koyak. Kitab apa
ini adanya?”
Sang Ratu
tutupkan kitab yang terkembang itu. Pada saat itulah dia membaca tulisan besar
yang berada di sampul kitab. Bibirnya bergetar ketika melafalkan apa yang
tertulis di situ. “Wasiat Malaikat”.
Entah
mengapa Ratu Duyung mendadak merasakan tengkuknya menjadi dingin dan sekujur
tubuhnya seperti digeletari satu kekuatan aneh.
“Kitab
Wasiat Malaikat. Aku memang pernah mendengar. Rimba persilatan memang
mempergunjingkannya sejak puluhan tahun lalu. Para tokoh berusaha menyirap
kabar, mencarinya sampai kemana-mana. Datuk Lembah Akhirat mengaku memiliki dan
menyimpan kitab ini. Ternyata…. Mungkin kitab ini bukan kitab yang asli. Atau
mungkin Datuk Lembah Akhirat menebar cerita bohong untuk maksud tertentu….”
Sebelum ada orang yang tahu Ratu Duyung segera sembunyikan kitab daun lontar
itu di balik baju hitamnya.
Kembali
kepada Sika Sure jelantik.
Begitu
gagang Pedang Naga Suci 212 tergenggam di tangannya, Sika Sure Jelantik merasa
ada hawa panas menyengat telapak dan jari-jari tangannya. Hawa panas ini terus
menjalar sepanjang lengan dan masuk ke tubuhnya. Walau dia berada dalam air
namun sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat. Si nenek segera kerahkan tenaga
dalam hingga hawa hangat itu berkurang sedikit, ini memang satu keanehan yang
tidak diketahui oleh Sika Sure Jelantik. Sesuai dengan keterangan yang pernah
diberikan oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas dan hanya diketahui oleh Sinto Gendeng
serta Tua Gila maka pedang mustika sakti itu hanya berjodoh dan hanya bisa
disentuh serta dimiliki oleh seorang perempuan suci. Jika pedang dipegang oleh
perempuan suci maka senjata ini akan mengeluarkan hawa sejuk dingin. Sebaliknya
jika disentuh oleh perempuan yang dalam hidupnya tidak lagi memiliki kesucian
maka senjata itu akan mengeluarkan hawa panas yang kalau tidak dilepaskan
lama-kelamaan akan membuat tangannya melepuh bahkan keracunan sekujur tubuhnya.
Seperti diketahui Sika Sure Jelantik pernah menjalani hidup yang tidak suci
selama berhubungan dengan Tua Gila di masa mudanya. Demikian pula dengan Sinto
Gendeng. Hingga Pedang Naga Suci tak akan mungkin dapat mereka kuasai. Kalau
dipaksakan malah bisa membahayakan diri mereka sendiri.
Melihat
Sika Sure Jelantik tidak perdulikan bentakannya malah seperti berusaha hendak
berenang menuju permukaan telaga, Sinto Gendeng menjadi tambah marah. “Tua
bangka itu kelihatannya memang bukan perempuan baik-baik! Biar aku beri hadiah
untuk ketololannya!” Habis berkata begitu Sinto Gendeng melesat mengejar sambil
lepaskan satu pukulan sakti. Melihat gerak tangan si nenek Wiro tahu pukulan
apa yang dilepaskan sang guru. Yakni pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Di
atas sana Sika Sure Jelantik tersentak kaget ketika satu gelombang angin yang
dahsyat membuat air telaga bersibak membentuk jalur ganas seperti terowongan
besar. Ada suara menggemuruh di bawah kakinya. Sadar kalau dirinya diserang
Sika Sure Jelantik cepat menyingkir sambil gerakkan tangan kirinya untuk
menangkis dengan pukulan sakti. Namun sadar kalau saat itu dia tengah memegang
sebuah senjata sakti maka tidak menunggu lebih lama serta merta si nenek
babatkan Pedang Naga Suci 212 ke bawah.
****************
SEMBILAN
Cahaya
putih menyilaukan mata bertebar dalam air. Telaga Gajahmungkur laksana disergap
puluhan kilat. Hawa aneh dingin menebar seolah air telaga berubah menjadi es.
Semua orang yang ada di dalam telaga menggeletar kedinginan. Setan Ngompol
rapatkan dua kakinya lalu melipat lutut sampai ke dada. Seperti biasa dia tak
dapat menahan kencing.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba dari sebelah atas menggemuruh gelombang air.
Karena paling dekat dengan sumber cahaya dan hantaman gelombang Sinto Gendeng
yang pertama sekali terpental. Nenek sakti ini memaki panjang pendek sementara
tubuhnya terpental jungkir balik. Menyusul Setan Ngompol dan Panji. Wiro dan
Ratu Duyung yang berada di sebelah belakang, walau jauh tetap saja ikut kena
sambaran gelombang air dan mencelat beberapa tombak.
Sementara
itu Naga Kuning satu-satunya orang yang agaknya tahu apa yang bakal terjadi.
Begitu melihat kiblatan cahaya putih disusul oleh suara gemuruh air, cepat-cepat
anak ini berenang ke dasar telaga lalu berlindung di balik dinding tinggi Liang
Lahat. Namun tak urung Naga Kuning masih juga terpental dan dinding di balik
mana dia bersembunyi mengeluarkan suara berderak. Lalu ujung dinding sebelah
atas kelihatan patah, melayang jatuh dengan dahsyat, menambah hebatnya
gelombang air telaga. Naga Kuning memandang ke atas. Penglihatannya tertutup
oleh keruhnya air telaga. Apa lagi saat itu air telaga telah bercampur baur
pula dengan darah naga serta kencing Setan Ngompol dan Sinto Gendeng.
“Aku tak
dapat melihat jelas. Pandanganku tidak tembus. Tapi aku yakin seseorang telah
menemukan Pedang Naga Suci 212. Lalu mempergunakan senjata sakti itu untuk
menangkis serangan Sinto Gendeng. Siapa yang kini menguasai pedang itu. Aku
melihat nenek berambut putih di atas sana. Tadi juga aku sempat melihat ada
sosok tubuh setengah telanjang. Jelas tubuh seorang gadis karena dadanya
kulihat montok, kencang dan putih bagus! Hik… hik..! Atau jangan-jangan….” Si
bocah tertawa sendirian.
Saat itu
Puti Andini baru saja berhasil hentikan tubuhnya yang terlontar setelah
terjungkir balik dalam air beberapa kali. Dia mengingat-ingat apa yang barusan
terjadi sambil usap-usap bahu kirinya yang tergurat. “Aku melihat cahaya putih
berkiblat. Lalu ada rasa perih akibat goresan luka di bahuku. Tubuhku kemudian
terlempar dari perut ular yang jebol….” Di bawah sana si gadis tiba-tiba
mendengar suara orang membentak. Berarti dia tidak sendirian di dalam telaga
itu.
“Jahanam!
Apa yang terjadi!” Yang berteriak adalah Sinto Gendeng. Dadanya mendenyut sakit
seolah ditindih oleh, batu besar sementara sekujur tubuhnya menggeletar
kedinginan. Cepat nenek ini dorongkan kedua tangannya ke atas. Melepas pukulan
sakti Benteng Topan Melanda Samudera.
“Byuuuurrrr!
Byuuuurrr!”
Air
telaga laksana menggelegak lalu mendobrak ke atas di dua tempat. Telaga
Gajahmungkur kembali bergoncang keras. Sinto Gendeng tertawa, mengikik lalu
berteriak.
“Mampus
kau!” Yang dimakinya adalah perempuan tua berjubah hitam di atas sana. Tapi
nenek sakti ini mendadak keluarkan seruan tegang ketika dari atas kembali
menyambar sinar putih. Kali ini sinar itu tidak menebar melainkan berbentuk
panjang. Laksana tombak raksasa melesat ke arahnya. Sekali lagi si nenek
berteriak keras lalu menyingkir. Ujung sinar putih menyambar lebih cepat.
Agaknya kali ini Sinto Gendeng tak mungkin selamatkan diri.
“Eyang!”
seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Di luar sadar tanpa-ingat keadaan dirinya dia
segera berenang untuk menolong gurunya.
“Pendekar
212! Jangan mencari mati!” Naga Kuning yang menyaksikan kejadian itu berseru
keras. “Celaka! Guru dan murid pasti akan menemui ajal! Apa yang harus aku
lakukan!” Bocah ini tekuk jari-jari tangannya dalam gerakan seperti hendak
mencakar. Lalu dua tangannya dihantamkan ke arah datangnya sinar putih. Dua
larik cahaya biru pekat menerpa ke atas, membabat cahaya putih yang menghunjam
ke arah sosok Sinto Gendeng, Beg itu dua larik cahaya biru menyentuh sinar
putih dua tangan Naga Kuning bergetar keras lalu tubuhnya terpental sampai dua
tombak. Si bocah terperangah menyaksikan bagaimana serangannya amblas sementara
itu sinar putih terus menderu ke arah Sinto Gendeng. ketika dia meraba mulutnya
terasa ada cairan hangat. “Aku terluka.,..” Membatin Naga Kuning. Air muka
bocah ini tampak berubah.
Sesaat
lagi sinar putih itu akan menghantam tubuh Sinto Gendeng tiba-tiba dari samping
kiri melesat satu cahaya putih yang tak kalah hebat kilauannya dari sinar putih
yang menyerang si nenek.
Dua sinar
saling beradu mengeluarkan letupan keras. Air telaga mencuat ke berbagai
penjuru. Sinto Gendeng selamat walau tubuhnya terpental dan untuk sesaat
lamanya melayang-layang dalam air yang keruh. Nenek ini bergidik ketika di
dasar telaga samarsamar dilihatnya satu lobang besar dan dalam akibat hantaman’-sinar
putih tadi.
“Siapa
yang barusan menolongku?!” ujar Sinto Gendeng dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Di sebelah sana dilihatnya Setan Ngompol mengambang dalam air.
Cairan kuning yang keluar dari bawah perutnya bersatu dengan air telaga yang
berwarna merah ternoda darah ular naga betina. Jauh di samping kiri Sinto
Gendeng melihat Naga Kuning bersandar di dinding Liang Lahat. Anak ini berdiri
pejamkan mata sambil rangkapkan sepasang tangan di depan dada. Dari sela
bibirnya tampak keluar cairan merah. “Bocah itu tadi berusaha menolongku. Tapi
aku tahu ada seorang iain yang barusan menyelamatkan jiwaku!”
Sinto
Gendeng putar kepalanya ke jurusan lain. Pandangannya membentur sosok Ratu
Duyung yang saat itu berada di dasar telaga, tegak sambil pegangi cermin
bulatnya. Wajahnya pucat. Matanya yang biru membelalak sedang bibirnya
bergetar. Tapi itu hanya sebentar. Sesaat kemudian gadis ini kelihatan mampu
menguasai dirinya kembali.
“Gadis
itu…” desis si nenek. “Dia yang menyelamatkan diriku. Tapi agaknya bukan hanya
dengan mengandalkan kesaktian cerminnya. Ada satu kekuatan lain menyertai
kilatan yang keluar dari cerminnya itu. Aku dapat merasakan…. aku melihat ada
pancaran cahaya putih aneh di sekitar tubuhnya! Mulai dari kepala sampai ke
kaki. Astaga! Itu adalah pancaran cahaya batin yang jarang dimiliki manusia!
Dan tidak sembarang orang bisa melihatnya seperti yang aku saksikan saat ini….”
Sinto Gendeng berenang mendekati Setan Ngompol lalu berkata, “Coba kau
perhatikan gadis berpakaian hitam yang memegang cermin bulat itu….”
“Aku
sudah melihatnya dari tadi. Wajahnya cantik. Sepasang matanya bagus sekali. Tak
pernah aku melihat mata luar biasa mempesona seperti itu. Apa maksudmu Sinto.
Apa kau hendak menjodohkan diriku dengan si jelita itu?”
“Tua bangka
bangkotan tak tahu diri!” maki Sinto Gendeng.
Setan
Ngompol tertawa bergelak hingga air kencingnya kembali terpancar.
“Aku mau
tanya! Apa kau melihat ada cahaya aneh seolah membungkus sekujur tubuhnya?”
Setan
Ngompol tekap mulutnya dengan tangan kiri sedang tangan kanan nenekap bagian
bawah perutnya. Orang tua bermata jereng berkuping lebar ini goleng-golengkan
kepala. “Aku tidak melihat segala macam cahaya aneh yang kau katakan itu
Sinto.”
“Benar
dugaanku,” kata si nenek sakti dalam hati. “Tidak semua orang bisa melihat
cahaya yang membungkus tubuh gadis itu…. Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada
dalam keadaan seperti itu…. Coba aku tanyakan pada anak setan itu.” Sinto
Gendeng hendak berenang mendekati Pendekar 212. Namun di dasar telaga Wiro
telah lebih dulu bergerak berenang mendekati Ratu Duyung.
Sesaat
setelah berada dekat sang Ratu, murid Sinto Gendeng jadi tertegun. Dua matanya
memperhatikan gadis jelita itu lekat-lekat.
“Ada
kelainan pada gadis ini. Wajahnya lebih berseri. Parasnya tambah cantik.
Tubuhnya seolah memancarkan daya pesona luar biasa. Sepasang matanya juga
tampak lebih biru, lebih bercahaya. Aku juga melihat satu keanehan. Ketika tadi
dia melancarkan serangan dengan cermin sakti, ada seberkas cahaya memancar di
balik pakaian hitamnya….“
Merasa
dirinya diperhatikan Ratu Duyung palingkan kepala pada Wiro lalu bertanya.
“Caramu
memandangku aneh sekali Wiro. Ada apa? Apa yang ada dalam pikiranmu?”
“Kau
telah menyelamatkan guruku. Aku sangat berterima kasih,” jawab Wiro.
Ratu
Duyung pandangi cermin saktinya.
“Aku,
melihat ada sinar aneh di balik pakaianmu ketika kau mengerahkan tenaga dalam
dan melancarkan serangan dengan cermin….”
“Sinar
aneh apa…?”
“Aku
tidak tahu. Kau sendiri apa tidak sadar…?”
Ratu
Duyung terdiam sesaat baru menjawab. “Memang ada satu keanehan kurasakan dalam
tubuhku. Aku mempergunakan cermin sakti untuk menangkis sinar putih yang datang
dari atas telaga. Gurumu memang selamat. Tapi aku merasa bahwa bukan cuma
kekuatan cermin sakti ini yang telah menolong nenek itu. Seolah ada satu
kekuatan lain dalam tubuhku. Kekuatan itu datangnya dari sini….” Ratu Duyung
usapkan tangan kirinya ke bagian perut di atas pusar di mana dia menyembunyikan
kitab kuno terbuat dari daun lontar yang telah koyak itu. “Kitab Wasiat
Malaikat…. Kitab ini yang jadi sumber kekuatan dahsyat dan aneh itu…” ujar Ratu
Duyung dalam hati dengan dada berdebar.
“Ada apa
Ratu…?” tanya Pendekar 212.
“Apakah
akan kuceritakan saja padanya…?” pikir Ratu Duyung. Hatinya bimbang. Lalu
didengarnya Wiro berkata.
“Tadi aku
memperhatikan. Ada beberapa benda keluar dari perut ular naga yang robek. Satu
dari benda-benda itu berhasil kau tangkap. Benda apakah…?”
“Ah, dia
melihat aku menyambar kitab itu.;… Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus
terang….” Ratu Duyung memandang ke atas. Saat itu dilihatnya Sinto Gendeng dan
Setan Ngompol saling bicara sambil memandang ke arahnya.
“Wiro,
lekas ikuti aku. Kita harus segera keluar dari telaga ini.”
“Sekali
ini kita tak satu pendapat Ratu. Aku melihat kilatan cahaya putih aneh
mengeluarkan hawa dingin sekali. Aku melihat sebuah benda melayang di atas
sana. Aku mendengar guruku berteriak menyebut Pedang Naga Suci 212. Kau tahu
keadaan diriku.
Saat
pulihnya kekuatanku mungkin hanya tinggal satu atau dua hari. Kau tahu dalam
waktu satu dua hari itu sesuatu bisa terjadi dengan diriku. Konon pedang sakti
itu sanggup menyembuhkan diriku dengan seketika. Aku harus mendapatkan pedang
itu Ratu. Paling tidak harus membantu guruku untuk mendapatkannya!”
“Kalau
begitu….” Ratu Duyung tak dapat meneruskan ucapannya. Karena di atas sana
tiba-tiba dia melihat terjadi sesuatu.
Sika Sure
jelantik yang saat itu masih memegang Pedang Naga Suci 212 merasakan tangannya
semakin panas. Ketika diperhatikannya ternyata tangan kanannya sudah melepuh
dan mengepulkan asap. Dia cepat kerahkan tenaga dalam sementara di bawahnya
dilihatnya ada beberapa orang berenang mendekat.
“Pedang
sakti luar biasa! Tapi mengapa hendak mencelakai diriku? Gila! Gagang pedang
ini semakin panas seolah berubah menjadi bara. Semakin aku kerahkan tenaga
dalam untuk melawan hawa panas, semakin parah sakit di tanganku! Aku tak bisa
bertahan. Tapi kalau senjata ini aku lepaskan, si nenek keparat Sinto Gendeng
itu pasti akan merampasnya. Aku juga melihat beberapa orang lain berenang
menuju ke sini. Janganjangan mereka semua masuk ke dalam telaga ini memang
untuk mencari pedang ini. Apa yang harus aku lakukan?”
Sika Sure
Jelantik memandang berkeliling lalu ke bagian bawah telaga. “Gadis itu….Bukankah
dia yang dulu aku berikan ilmu menyelam seratus hari? Hemmm…. Mungkin dia bisa
membantuku keluar dari kesulitan menghadapi pedang sakti ini….”
Dari
bawah sementara itu Panji berenang dengan cepat menuju bagian atas telaga.
Dadanya berdebar keras. Semula dia merasa ragu akan apa yang dilihatnya. Karena
itu dia berenang lebih cepat. “Mungkin memang gadis itu. Bukankah dia pernah
mengatakan ingin menyelidik ke dasar telaga untuk mencari sebuah benda? Tapi
mengapa kini keadaannya seperti itu? Bercelana tapi tidak mengenakan baju!”
Hanya
tinggal beberapa tombak barulah Panji yakin dia tidak salah menduga. “Puti
Andini!” teriak Panji.
Mendengar
ada orang yang menyebut namanya dalam air, Puti Andini. memandang berkeliling.
Dia melihat seorang berpakaian hijau.
“Pemuda
itu….” kata si gadis dalam hati. Saking girangnya dia membuka mulut untuk
berteriak balas memanggil. Tapi dia lupa bahwa ilmu yang diberikan Sika Sure
jelantik hanya untuk bertahan lama dalam air, tidak berkemampuan baginya untuk
bicara. Be-gitu mulutnya terbuka air telaga langsung masuk ke mulutnya terus ke
dalam tenggorokan. Gad is itu megap-megap menggapai kian kemari. Panji cepat
memegang salah satu lengan gadis itu.
“Puti,
apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan seperti ini. Tanpa baju. Ada
luka di bahu kirimu!”
Puti
Andini berpaling. Kedua matanya membesar. Jika dia tidak malu ingin sekali
gadis ini memeluk pemuda yang entah mengapa sejak beberapa lama ini sangat
dirindukannya. Namun begitu sadar keadaan dirinya yang tanpa pakaian
cepat-cepat dia berenang menjauh sambil menutupi dadanya.
Melihat
hal itu Panji segera buka baju hijaunya lalu berenang mengejar Puti Andini dan
serahkan pakaian itu pada si gadis. Sambil membelakangi si pemuda Puti Andini
kenakan pakaian hijau yang diberikan Panji. Namun belum sempat dia
mengancingkan pakaian itu tiba-tiba di depannya meluncur sebuah benda yang
memancarkan cahaya putih disertai tebaran hawa dingin. Menyusul munculnya satu
sosok berpakaian hitam berambut putih yang mengambang kian kemari dalam air.
“Nenek
Sika Sure Jelantik…” kata Puti And ini dalam hati begitu mengenali siapa adanya
orang yang berenang di atasnya sementara sepasang matanya terpentang lebar
memandang pada benda yang ada dalam genggaman tangan kanan si nenek. Sika Sure
Jelantik acung-acungkan pedangnya ke atas sedang tangan kiri dilambaikan
berulang kali memberi isyarat.
“Nenek
itu memberi .tanda agar kita mengikutinya…” kata Panji. “Setahuku dia bukan
orang baik-baik. Apa kau mengenalnya?”
Puti
Andini menjawab dengan anggukan kepala. Di atas sana kembali si nenek memberi
isyarat agar Puti Andini cepat-cepat mengikutinya. Si gadis memandang sesaat
pada Panji lalu menoleh pada Sika Sure Jelantik. Melihat si gadis masih ragu,
Panji akhirnya menarik tangan Puti Andini dan membawanya berenang menuju
permukaan telaga. Di bawah sana Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Nenek ini
segera berenang ke atas. Setan Ngompol mengikuti sementara di bagian lain Wiro
dan Ratu Duyung juga telah meluncur menuju permukaan telaga.
****************
SEPULUH
Sosok
Sika Sure jelantik adalah yang pertama sekali melesat keluar dari permukaan air
pada tepian Telaga Gajahmungkur sebelah barat. Nenek ini berjungkir balik dua
kali di udara lalu melayang turun dan tegak di pinggiran telaga pada bagian
yang penuh ditebari batu-batu besar berwarna hitam. Saat itu dia masih coba
bertahan memegang Pedang Naga Suci 212 walau kulit tangannya yang merah aneh
telah melepuh dan mengepulkan asap. Daging tangannya laksana dipanggang bahkan
tulang-tulang telapak tangan dan jarinya ada yang sampai terkuak putih menyembul!
Seperti diketahui nenek satu ini telah terperangkap oleh fitnah dan hasutan
orang-orang Lembah Akhirat hingga kini tangan kanannya berwarna merah pertanda
dia telah menguasai salah satu ilmu dahsyat andalan orang-orang Lembah Akhirat
yang disebut ilmu Mencabut Jiwa Memusnah Raga atau yang juga dikenal dengan
Ilmu Penghancur Mayat.
Puti
Andini dan Panji menyusul muncul di permukaan telaga. Karena muncul agak ke
tengah maka keduanya terpaksa berenang dulu untuk mencapai tepian berbatu-batu
di mana Sika Sure Jelantik berada.
Di tepi
telaga Sika Sure Jelantik menunggu sampai Puti Andini dan Panji naik ke daratan
lalu megap-megap melangkah ke atas batu dalam keadaan basah kuyup.
“Bajumu
belum kau kancingkan. Lekas kau rapikan….”
Puti
Andini terkejut mendengar bisikan Panji. Begitu sadar dia cepat-cepat
mengancingkan baju hijau milik si pemuda yang dipakainya.
“Anak
gadis!” Tiba-tiba nenek berambut putih basah riap-riapan di atas batu membuka
mulut. “Bukankah kau orangnya yang tempo hari pernah kuberikan ilmu menyelam
seratus hari?!”
“Benar
Nek. Aku tidak melupakan budi baikmu itu dan sekali lagi mengucapkan terima
kasih. Mohon maafmu kalau sampai saat ini belum dapat membalas budi baikmu
itu…” jawab Puti Andini sambil melirik bergidik pada tangan kanan si nenek yang
berwarna merah dan berada dalam keadaan mengelupas dan mengepulkan asap panas.
“Pedang Naga Suci 212,” kata Puti Andini. “Senjata ini sebelumnya dalam keadaan
tergulung. Pedang ini yang melukai bahuku dan merobek jebol perut ular naga
betina….” Si nenek menyeringai.
“Ini
bukan saatnya bicara segala macam budi! Lihat tanganku yang memegang pedang!”
Puti
Andini tercekat ngeri. Sedang Panji tak bisa lagi menahan diri langsung
berteriak.
“Nek,
tanganmu terluka parah! Mengapa kau masih memegangi senjata itu?!”
“Eh, anak
muda banci beranting emas. Kita belum lama bertemu di tepi telaga. Aku masih
ingat namamu. Panji! Apa hubunganmu dengan gadis ini?!” “Dia… dia….” Panji tak
bisa menjawab. Si nenek tertawa cekikikan. “Waktu aku bertemu kau, katamu kau
habis berenang dan menyelam di telaga hanya untuk senang-senang menyegarkan
diri. Kini aku tahu, kau tengah mencari gadis ini! Hik… hik… hik! Berarti kau
punya rasa suka padanya! Hik… hik… hik!”
Baik
Panji maupun Puti Andini jadi sama-sama bersemu merah wajah masingmasing. Si
nenek berpaling pada Puti Andini. Wajahnya yang keriputan tampak mengerenyit
menahan sakit yang amat sangat.
“Anak
gadis! Waktu pertama bertemu denganku kau bilang kau akan mencari sebuah batu
hitam di dasar Telaga Gajahmungkur. Katamu batu itu punya khasiat untuk
menyembuhkan ibumu yang sakit gara-gara ditinggal kabur oleh bapakmu yang
tergila-gila dengan seorang perempuan penghibur! Apa kau sudah menemukan batu
hitam itu?!”
Puti
Andini jadi tergagau dan tak bisa menjawab karena dia memang telah berdusta.
(Baca Episode ke-3Lembah Akhirat)
“Parasmu
berubah! Kau tak bisa menjawab. Berarti kau telah mendustai diriku!”
“Harap
maafkan diriku Nek. Perlu waktu banyak untuk menerangkan….”
“Persetan
dengan segala keterangan! Aku tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi
orang-orang di dalam telaga itu akan segera muncul. Aku….”
Sika Sure
jelantik kembali mengerenyit. Kali ini sambil terbungkuk-bungkuk. Tangan
kanannya tampak bergetar keras dan menebar bau daging terpanggang.
“Pedang
celaka…” rutuk si nenek. Dia maju ke hadapan Puti Andini. “Tolong kau pegangkan
dulu pedang ini. Lalu kau dan kekasihmu si pemuda banci pakai anting itu lekas
ikut bersamaku!”
Habis
berkata begitu Sika Sure Jelantik lalu angsurkan pedang yang dipegangnya pada
Puti Andini. Tanpa ragu-ragu Puti Andini cepat ulurkan tangan untuk menerima
senjata itu. Tapi tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat antara Sika Sure
jelantik dan si gadis. Pedang Naga Suci 212 terbetot lepas dari tangan si
nenek. Bersamaan dengan itu terdengar suara orang terpekik kesakitan! Lalu
menyusul suara benda berdesing dan berkiblatnya cahaya putih disertai suara
menderu-deru ditambah dengan tebaran angin dingin luar biasa;
Baik Sika
Sure Jelantik maupun Puti Andini sama-sama tersurut kaget dan memandang
terbelalak ke depan.
“Kau!”
teriakan keras keluar dari mulut Sika Sure Jelantik seraya menunjuk luruslurus
ke depan di mana di atas sebuah batu besar tegak berdiri seorang nenek berjubah
hitam. Di kepalanya bertengger sebuah topi berbentuk tanduk kerbau. Saat itu
dia tegak berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang kulitnya
kelihatan merah terkelupas seolah melepuh! Nenek satu ini adalah Sabai Nan
Rancak yang dikenal sebagai nenek Puti Andini.
Sementara
itu Pedang Naga Suci 212 yang tadi berada di tangan Sika Sure Jelantik kini
tampak menancap di atas sebuah batu sampai sedalam sepertiganya, Bagian atasnya
bergoyang-goyang pulang-balik memancarkan kilauan cahaya putih dan deru angin
serta hawa dingin.
Apa yang
barusan telah terjadi?
Ketika
Sika Sure Jelantik hendak menyerahkan Pedang Naga Suci 212 pada Puti Andini,
belum sempat gadis ini menyentuh senjata sakti mandraguna itu tiba-tiba
muncullah Sabai Nak Rancak. Dengan satu kelebatan cepat dan gerakan kilat dia
berhasil merampas pedang dari tangan Sika Sure Jelantik. Namun begitu jari-jari
tangannya memegang gagang pedang langsung dia terpekik karena ternyata gagang
senjata itu panas sekali seolah dia memegang bara api. Sabai Nan Rancak
kibas-kibaskan tangan kanannya. Ketika diperhatikannya ternyata telapak
tangannya telah terkelupas melepuh. Pedang sakti yang dilemparkannya menancap
di batu sampai sepertiganya.
“Nenek
Sabai!’ berseru Puti Andini begitu melihat neneknya berada di tempat itu, tegak
di atas batu sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang cidera. Sabai Nan Rancak
palingkan kepala. Darahnya langsung naik ke kepala begitu melihat cucunya
berada di tempat itu.
“Kau
memang cucu murtad! Sejak dulu aku katakan aku tidak suka kau pergi ke tanah
Jawa ini. Ternyata…;”
Pada saat
itu sekonyong-konyong ada orang tertawa mengekeh. Semua kepala dipalingkan ke
arah tebing telaga sebelah kiri di mana terdapat sebuah batu besar berwarna
coklat kehitaman. Di atas batu ini tampak duduk seorang kakek berkepala botak,
mengenakan pakaian putih lusuh.
Tiga
orang langsung tercekat. Yang pertama adalah Sika Sure Jelantik. “Tua bangka
botak di atas batu itu. Kalau aku bisa lebih mendekat dan mencium bau badannya
janganjangan….”
Si nenek
goyangkan kepalanya hingga rambut putihnya yang basah riap-riapan tersibak ke
belakang. Kelihatanlah wajahnya yang angker, menatap tajam pada kakek botak di
atas batu yang saat itu masih saja terus tertawa. Sabai Nak Rancak adalah orang
ke dua yang ikut terkesiap melihat kehadiran kakek botak itu, “Aku bertemu
pertama kali dengan manusia satu ini di Lembah Merpati. Hatiku menaruh syak
wasangka tapi tampangnya lain, suaranya juga lain!”
Orang
ketiga walau tercekat tapi diluar sadar bergerak maju satu langkah seraya
berseru.
“Kek!”
Kakek
botak di atas batu menyeringai. Tangan kanannya dilambaikan ke arah Puti Andini
sedang jari tangan kirinya disilangkan di depan bibir. “Ssstttt…. Jangan
mengganggu tawaku. Lagipula tak baik ketawa karena ada dua nenek sedang
kesakitan di tempat ini! Ha… ha… ha!”
Melihat
gelagat si botak terhadap Puti Andini baik Sabai Nan Rancak dan Sika Sure
Jelantik jadi curiga. Sika Sure Jelantik segera hendak membentak tapi Sabai Nan
Rancak keburu mendahului.
“Tua
bangka botak! Dua kali dengan ini kita bertemu!”
“Ah,
rupanya pertemuan pertama itu sangat berkesan di hatimu. Berarti sejak itu kau
tak pernah melupakan diriku!”
Wajah
keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam sementara kakek botak di atas batu
kembali tertawa gelak-gelak.
“Tua
bangka botak, otakmu rupanya kotor dan mulutmu lancang! Perlu apa aku
mengingat-ingat dirimu! Tua bangka edan tak tahu diri!” Memaki Sabai Nan
Rancak.
“Ah, pada
pertemuan sekali ini kau jadi pemarah dan galak sekali. Padahal pada pertemuan
pertama di lembah itu kau tenggelam dalam rasa sedih yang amat dalam.
Sampai-sampai kau bertanya padaku, apakah aku bisa membantu membunuh dirimu!”
Kembali
wajah Sabai Nan Rancak merah mengelam.
“Tua
bangka sialan! Lekas katakan siapa kau adanya! Atau kupanggang tubuhmu dengan
pukulan ini!” Sabai Nan Rancak mengancam seraya angkat tangan kanannya. Lang
sung tangan ini menjadi merah. Si nenek rupanya siap menghantamkan pukulan
Kipas Neraka!
Orang tua
botak di atas batu angkat kedua tangannya lalu membungkuk dalamdalam.
“Bukan
maksudku hendak bersikap kurang ajar. Bukan maksudku hendak menyinggung
perasaanmu. Aku mohon maafmu. Bolehkah aku mendendangkan lagu yang pernah aku
nyanyikan waktu di Lembah Merpati tempo hari?”
“Manusia
jahanam! Siapa sudi mendengar nyanyianmu!” bentak Sabai Nan Rancak.
Lalu dia
berpaling pada cucunya. “Puti Andini! Lekas kau katakan siapa adanya tua bangka
berotak miring ini!”
“Guru….
Aku….”
“Puti,
aku menaruh firasat kau tahu siapa adanya orang tua botak itu. Siapapun dia
adanya kuharap kau tidak memberi tahu pada gurumu. Aku khawatir keadaan akan
tambah kacau di tempat ini!”
Yang
bicara berbisik itu adalah Panji yang saat itu masih tegak di dekat Puti
Andini. Si gadis yang memang tahu siapa adanya kakek botak itu sebenarnya sudah
berniat untuk tidak membuka rahasia. Namun karena yang bertanya adalah guru dan
nenek kandungnya sendiri maka Puti Andini menjadi gugup.
Sabai Nan
Rancak jadi curiga. Dia melangkah mendekati cucunya dan berkata dengan suara
mendesis dan air muka beringas.
“Berat
dugaanku kau tahu siapa adanya kakek botak itu! Jika kau tidak memberi tahu,
aku tak segan-segan menghajarmu dengan pukulan Kipas Neraka ini!” Sabai Nan
Rancak angkat tangan kanannya yang memancarkan warna merah. Namun gerakannya
tertahan ketika dari pinggiran telaga di samping kirinya melesat keluar tiga
sosok tubuh. Mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, Ratu Duyung dan Naga
Kuning.
****************
SEBELAS
Melihat
munculnya Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung, Sabai Nan Rancak bertambah
naik amarahnya. “Pemuda jahanam satu ini! Beberapa kali aku ingin membunuhnya.
Mungkin sekali ini baru bisa kesampaian. Aku akan pergunakan pedang sakti yang
menancap di batu!”
Sabai Nan
Rancak kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri untuk melindungi diri. Lalu sekali
berkelebat dia berhasil memegang gagang Pedang Naga Suci 212. Ketika senjata
itu hendak ditariknya, kembali nenek sakti dari Pulau Andalas ini terpekik dan
tersurut tiga langkah sambil kibas-kibaskan tangan kirinya. Seperti kejadian
dengan tangan kanannya tadi, kini tangan kirinya ikut melepuh luka. Menyaksikan
kejadian itu Sika Sure jelantik ingat pada apa yang dialaminya lalu perhatikan
tangan kanannya yang cidera.
Di atas
batu tinggi kakek botak kembali tertawa bergelak. Namun mendadak tawanya
lenyap, berganti dengan seruan kaget. “Oo alah!”
Dari
dalam telaga untuk kesekian kalinya melesat keluar sosok-sosok manusia. Yang
sekarang ini adalah sosok Sinto Gendeng dan si Setan Ngompol.
Kakek
botak kerenyitkan kening dan goleng-goleng kepala. “Gawat… gawat! Bagaimana
tiga cecunguk ini bisa muncul bersamaan di tempat ini! Kalau aku tidak
bertindak cepat, kalau anak itu tidak berlaku sigap keadaan bisa jadi tambah
tak karuan…” Si botak memandang ke jurusan Puti Andini.
Maksudnya
hendak memberi isyarat tapi si gadis saat itu justru tengah memandang ke arah
lain yakni pada Pendekar 212 dan Ratu Duyung serta Naga Kuning. Begitu muncul
di tepi telaga Sinto Gendeng langsung berteriak keras hingga suaranya
menggelegar di seantero tempat.
“Jangan
ada yang berani menyentuh pedang!”
Selagi
semua orang terkesima si nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini berkelebat
menyambar Pedang Naga Suci 212 yang masih menancap di atas batu. Beg itu
jari-jari tangannya yang kurus menyentuh gagang pedang, Sinto Gendeng menjerit
keras dan terjajar ke belakang sampai dua langkah. Mukanya yang hitam keriput
kelihatah kelabu membesi. Ketika tangan kanannya diperhatikan, tangan itu
ternyata telah terkelupas. Maka disela desis kesakitan si nenek memaki panjang
pendek. Lalu dia bertindak nekad. Walau jelas-jelas tangan kanannya cidera tapi
kembali dia mencekal gagang pedang. Sekali ini dengan mengerahkan tenaga dalam.
Ternyata dia sanggup memegang gagang senjata yang berbentuk kepala naga betina
itu. Tapi hanya sesaat karena dilain kejap kelihatan tubuhnya bergetar keras.
Dari tangannya yang menggenggam pedang mengepul asap putih disusul lelehan
darah. Semakin dia mengerahkan tenaga dalam semakin parah keadaan tangannya.
Bahkan kini dari kepalanya yang ditancapi lima tusuk konde perak tampak mengepul
pula asap putih tipis.
Si nenek
menjerit satu kali. Dia masih berusaha bertahan dan nekad hendak menarik pedang
yang menancap di batu. Lalu dia menjerit sekali lagi. Kali ini yang ke tiga
jeritannya disertai dengan terlemparnya tubuhnya sampai empat langkah lalu
terjengkang di atas batu, tepat di bawah batu tinggi di mana kakek botak
berada! Dan seperti tadi kakek ini lagi-lagi keluarkan tawa mengekeh. Namun
kali ini tawanya pendek saja karena dia menyusul dengan ucapan yang membuat
orang-orang yang ada di tepi telaga itu menjadi tertegun.
Hanya si
Setan Ngompol yang tampak serba salah menekapi bagian bawah perutnya yang
ngocor mendengar jeritan-jeritan dan melihat keadaan tangan Sinto Gendeng yang
cidera.
“Berlaku
nekad hanya akan mendapat kualat! Memaksakan niat hanya akan mendapat laknat!
Pedang Naga Suci 212 adalah pedang keramat! Pedang Naga Suci 212 adalah sakti
dan suci. Pedang Naga Suci 212 adalah pedangnya kaum hawa. Karenanya hanya
perempuan yang suci saja lah yang sanggup menyentuhnya!”
“Botak gila
bermulut sedeng!” Sinto Gendeng berteriak. “Apa kau kira aku ini manusia
kotor!. Puluhan tahun silam aku telah menguasai senjata ini dan membawanya ke
mana-mana lalu menyimpannya di satu tempat….”
“Orang
sakti bertusuk konde lima,” menjawab kakek botak di atas batu tinggi, “Mulutku
mungkin lancang hingga hati dan perasaanmu tersinggung. Aku tidak mengatakan
dirimu manusia kotor. Tapi keadaan yang menyatakan. Hatimu mungkin baik. Tapi
ada perbedaan antara kebaikan dan kesucian. Seperti kataku Pedang Naga Suci 212
hanya mampu disentuh oleh perempuan yang masih suci lahir dan batin…. Kalau kau
merasa dirimu suci harap kau mampu menilai sendiri….”
Merah
padam wajah Sinto Gendeng. Dia mengerling pada Sabai Nan Rancak dan melihat
tangan kanan nenek itu cidera berat. Dia memandang ke arah Sika Sure jelantik.
Ternyata nenek satu ini pun penuh luka tangan kanannya. Perlahan-lahan, setelah
menyadari arti ucapan kakek botak tadi, wajah tua nenek ini menjadi berubah.
“Kakek
botak! Kau tidak mengenal diriku dan aku tidak tahu siapa dirimu! Bagaimana kau
bisa menilai aku ini suci atau tidak!” Sinto Gendeng bertanya setengah
berteriak tanda dia masih belum puas.
“Seperti
kataku tadi, aku bukan menilai kau suci atau tidak. Yang mampu mengetahui
kesucian dirimu adalah engkau sendiri. Usiamu sudah puluhan tahun. Apakah
seluruh hidupmu kau jalani dengan kesucian hati dan batin? Katamu dulu kau
pernah menguasai dan membawa Pedang Naga Suci 212 kemana-mana. Mungkin sekali
dimasa itu kau masih sebersih udara pagi, seputih kertas dan seharum bunga
melati….” Habis berkata begitu kakek botak lemparkan lirikan pada Sabai Nan
Rancak dan Sika Sure Jelantik.
Untuk
beberapa saat lamanya keadaan di tepi telaga itu menjadi sunyi sehening di
pekuburan. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Tiba-tiba Naga Kuning
keluarkan tawa cekikikan.
“Sayang
tokoh silat berjuluk Tua Gila tidak ada di tempat ini! Kalau saja dia hadir di
sini tentu dia gembira luar biasa melihat tiga kekasihnya dimasa mudanya
berkumpul di tempat ini! Ha… ha… ha!”
“Bocah
setan! Kau jangan berani bicara sembarangan!” teriak Sinto Gendeng karena
merasa sangat tersinggung.
Sabai Nan
Rancak yang juga merasa tersindir gerak-gerakkan sepuluh jari tangannya hingga
mengeluarkan suara berkeretekan dan memandang mendelik pada Naga Kuning. Lalu
Sika Sure Jelantik terdengar menggereng. Tangan kanannya perlahan-lahan
diangkat ke atas.
“Tunggu!
Jangan kalian marah padaku!” teriak Naga Kuning mencibir. “Aku bicara apa
adanya! Kalian muncul di sini sebenarnya mencari apa? Pedang Naga Suci 212?
Turut ucapan kakek botak di atas batu sana jelas kalian tidak bakal bisa
mendapatkannya….”
“Siapa
bilang aku ke sini mencari pedang!” teriak Sika Sure Jelantik.
“Aku
juga!” menimpali Sabai Nan Rancak.
“Aku
memang ke sini mencari Pedang Naga Suci 212!” ujar Sinto Gendeng polos tanpa
malu-malu. Lalu dia berpaling pada Wiro dan berkata. “Anak setan! Lekas kau
ambil pedang sakti itu!”
“Guru….
Eyang, aku tak bisa melakukah hal itu. Senjata itu bukan milikku…” jawab Wiro.
“Benar-benar
anak setan! Senjata itu milikku. Aku yang membawanya dan menyembunyikannya di
dasar Telaga Gajahmungkur! Setelah puluhan tahun pedang itu akhirnya ditemui.
Sekarang pedang itu aku berikan padamu sebagai pasangan Kapak Maut Naga Geni
212!”
“Saya tak
berani mengambilnya, Nek…” kata Wiro.
“Tolol
pengecut!” teriak Sinto Gendeng marah. “Apa kau tidak ingat justru senjata itu
adalah obat mujarab untuk memulihkan kesaktian dan tenaga dalammu!”
Wiro
terkesima. Dia bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi setelah mendengar
katakata kakek botak tadi hatinya menjadi was-was. Pertama pedang itu katanya
adalah pedang perempuan. Kedua hanya orang suci saja yang mampu menyentuhnya.
Dia sendiri bukankah pernah satu kali ketiduran dengan Ratu Duyung? Secara tak
sadar murid Sinto Gendeng itu melirik ke arah Ratu Duyung. Bagi sang Ratu
lirikan itu membuat hatinya jadi bergoncang. Tiba-tiba Ratu Duyung melompat ke
depan. Gadis ini heran sendiri karena gerakannya luar biasa cepat. Di
sekelilingnya tak satu orang pun yang melihat jelas apa yang dilakukan gadis
ini. Tahu-tahu dia telah tegak sambil memegang gagang Pedang Naga Suci 212 yang
menancap di batu!
Sang Ratu
merasakan ada satu hawa dingin sejuk menjalar masuk ke dalam tubuhnya hingga
saat dia merasakan satu ketenangan dan ketentraman luar biasa. Tubuhnya seperti
seringan kapas hingga saat itu dia seolah melayang di atas mega. Tak ada hawa
panas, tak ada sengatan seperti bara api. Kulit tangannya yang halus tidak
terkelupas. Dia sama sekali tidak cidera sedikitpun! Tapi ketika dia coba
mencabut senjata itu dari dalam batu, bagaimanapun dia mengerahkan seluruh
tenaga luar dan tenaga dalam, Pedang Naga Suci 212 tidak bergeming barang
sedikit pun!
“Ratu
Duyung, kau berhasil memegang Pedang Naga Suci 212 tanpa terluka tanpa cidera!
Berarti kau adalah seorang gadis yang masih suci lahir dan batin. Tapi kau
tidak mampu mencabut senjata mustika sakti itu dari dalam batu, Itu satu
pertanda bahwa kau tidak berjodoh untuk memilikinya.”
Ratu
Duyung dan semua orang yang ada di tepi telaga memandang ke arah orang yang
bicara yakni si kakek botak di atas batu tinggi.
Wiro
garuk-garuk kepala. Dalam hati dia berkata. “Setelah kejadian di Puri tempo
hari, menurut si kakek botak ternyata gadis ini masih suci. Lalu apakah diriku
juga bisa dianggap masih suci?” Wiro pandangi Pedang Naga Suci 212 yang sampai
saat itu masih menancap di batu.
“Wiro!”
Tiba-tiba terdengar teriakan Sinto Gendeng. “Lekas kau ambil pedang itu! Jika
Ratu Duyung masih suci berarti dia masih perawan dan kau masih perjaka! Selain
itu kau memerlukan pedang itu untuk menyembuhkan semua kelemahanmu!” Murid
Sinto Gendeng bergerak melangkah.
“Tunggu
dulu!” kakek botak berseru. “Sudah kukatakan bahwa Pedang Naga Suci 212 adalah
senjatanya perempuan….”
“Jangan
dengarkan ucapannya! Anak setan lekas kau ambil pedang itu lalu tinggalkan
tempat ini! Aku akan menghajar siapa yang berani menghalangi! Setan Ngompol
harap kau bantu aku!”
Pendekar
212 jadi bimbang. Saat itulah Puti Andini memandang ke jurusan si kakek botak.
Orang tua ini tidak menunggu lebih lama. Dia kedipkan matanya lalu tanpa ada
lain orang yang sempat melihat dia tudingkan ibu jari tangan kirinya ke arah
Pedang Naga Suci 212 yang menancap di batu.
****************
DUA BELAS
Maklum
akan arti isyarat kedipan mata dan gerakan ibu jari yang diberikan kakek botak,
maka secepat kilat Puti Andini berkelebat ke arah batu besar tempat Pedang Naga
Suci 212 menancap.
“Berani
pegang pedang berarti mampus!”
Sinto
Gendeng berteriak keras. Nenek ini lalu menerjang ke arah Puti Andini dengan
jurus yang disebut Kepala Naga Menyusup Awan. Tubuh si nenek laksana terbang di
udara. Tangan kiri menyambar ke pinggang sedang tangan kanan memukul ke arah
kepala Puti Andini.
Wiro yang
menyaksikan gerakan sang guru jadi terperangah. Garukan kepalanya terhenti di
samping kuping kanan. Dia maklum jurus yang dilancarkan Eyang Sinto Gendeng
saat itu sangat cepat dan berbahaya. Puti Andini tak mungkin mengelakkan diri.
Di saat yang sama Sika Sure Jelantik tak tinggal diam. Melihat Sinto Gendeng
menyerang Puti Andini yang sebelumnya dipercayakannya untuk menitipkan Pedang
Naga Suci 212, maka sambil berteriak beringas, “Tua bangka edan! Hendak kau
apakan cucuku?!”
Sika Sure
Jelantik lantas memotong gerakan nenek sakti dari Gunung Gede ini dengan satu
pukulan sakti yang “dilancarkan dengan tangan kiri. Lima larik sinar hitam
berkiblat dari ujung lima kuku tangan kirinya yang hitam.
“Tua
bangka setan!” maki Sinto Gendeng dalam hati. “Berani dia menyerangku! Dia
menyebut gadis itu cucunya! Apa-apaan ini! Aku tahu betul siapa dia! Sama
sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan si gadis walau sama-sama datang dari
seberang!”
Sabai Nan
Rancak juga terkejut. Sesaat dia bimbang. Ada yang harus dilakukannya dalam
keadaan seperti itu. Semua berlangsung begitu cepat. Kalau dia ikut turun ke
gelanggang pertempuran siapa yang hendak diserbunya. Sejak dulu sesuai dengan
tugas yang diberikan Sutan Alam Rajo Di Bumi, tokoh silat di Gunung Singgalang,
saat itu dia ingin segera membunuh Sinto Gendeng. Apalagi Sinto Gendeng jelas menyerang
cucunya dan berusaha merampas Pedang Naga Suci 212. Tapi menduga bahwa ada
hubungan tertentu antara Puti Andini dengan Sika Sure Jelantik yang juga
dibencinya maka dia khawatir Sika Sure Jelantik nantinya akan kembali merampas
pedang sakti itu dari tangan si gadis.
“Tak ada
jalan lain! Aku harus mendahului merampas pedang sakti itu!” kata Sabai Nan
Rancak dalam hati. Maka dia segera melepas pukulan K/pas Neraka. Sinar merah
panas bertabur di udara lalu melebar menyapu apa saja yang ada di depannya.
Siap menghantam Sika Sure Jelantik, Sinto Gendeng bahkan Puti Andini.
Melihat
bahaya besar mengancam Puti Andini, Panji tak tinggal diam. Pemuda ini segera
turun tangan membantu. Yang dilakukannya adalah menyergap Sinto Gendeng yakni
lawan yang paling dekat dengan si gadis. Seperti-diketahui walau memiliki ilmu
silat namun tingkat kepandaian pemuda ini jauh dibawah semua orang yang ada di
tempat itu. Sebenarnya Panji sendiri mengetahui hal ini. terjun ke gelanggang
pertempuran tokoh-tokoh silat tingkat tinggi itu sama saja dengan mengantar
nyawa. Namun apapun yang terjadi atas dirinya Panji tidak rela kalau Puti
Andini sampai mendapat celaka. Sinto Gendeng memaki dalam hati begitu tahu ada
orang hendak menelikung pinggangnya. Masih melayang di udara Sinto Gendeng
hantamkan kaki kanannya.
“Bukk!”
Panji
mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental sampai dua tombak. Tergeletak di bawah batu
tinggi di mana kakek botak berada. Dari sela bibirnya kelihatan lelehan darah.
Sementara itu sesaat lagi lima larik sinar hitam pukulan maut Sika Sure
Jelantik akan menghantam Puti Andini dan sinar merah pukulan Kipas Neraka
menebar kematian tibatiba di udara berkelebat se-gulungan benda aneh, putih
halus berkilauan. , “Jahanam apa pula ini?!”
Sinto
Gendeng memaki sewaktu tangannya yang siap menghantam Puti Andini terjirat oleh
sesuatu yang tak segera bisa dilihat dan dipastikannya. Disaat yang sama
sekonyong-konyong menggemuruh kiblatan cahaya putih disertai menebarnya hawa
yang sangat dingin. Lima larik sinar hitam pukulan yang dilepaskan Sika Sure
Jelantik buyar laksana disapu topan.
Pukulan
Kipas Neraka masih mampu menyebar dan menderu namun arahnya berubah ke atas
menghantam udara kosong. Beberapa orang terpental lalu jatuh tergeletak di
sekitar tebing batu. Selagi orang-orang ini berusaha bangkit dengan tubuh
bergeletar kedinginan tiba-tiba dari atas melayang jatuh sebuah benda hitam.
“Taaarrr!”
Sebelum
jatuh ke atas batu benda ini meledak. Lalu asap hitam yang memerihkan mata
bertabur menutupi pemandangan. Kutuk serapah terdengar di mana-mana.
Ketika
asap hitam lenyap dan udara di tepi telaga terang kembali maka di tempat itu
yang kelihatan hanya tinggal tiga orang. Yang pertama adalah Sinto Gendeng.
Nenek sakti ini memaki panjang pendek sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya
yang dilibat oleh sejenis benang halus berwarna putih berkilat. Dia segera
mengenali benang itu. Membeliaklah sepasang matanya.
“Setan
alas! Ini pasti pekerjaannya Tua Gila! Jahanam benar! Kakek botak tadi pasti
dia!”
Orang
kedua adalah Sabai Nan Rancak. Nenek satu ini melangkah mundar mandir sambil
keluarkan suara menggerutu. Ketika dia memutar langkah maka pandangannya saling
bentur dengan Sinto Gendeng.
“Kalau
kau memang membenci manusia satu itu, mengapa kau tidak mengejarnya! Aku curiga
kalian sudah sejak lama berserikat!” Sabai Nan Rancak menyemprot Sinto Gendeng
yang merupakan saingannya dimasa gadis remaja dalam memperebutkan Sukat Tandika
alias Tua Gila. Mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu marahlah Sinto
Gendeng. “Aku tahu otakmu miring sejak dulu! Aku juga tahu kau mencari Tua Gila
bukan untuk membalas dendam. Tapi hendak berbaik-baik dan ingin menjadi
gendaknya kembali! Rupanya kau mau minta dibikin bunting lagi hah?!”
“Nenek
setan bermulut kotor!” teriak Sabai Nan Rancak lalu lepaskan pukulan Kipas
Neraka dengan tenaga dalam penuh. Sinto Gendeng tidak tinggal diam. Dia tahu
kehebatan pukulan lawan. Tapi tahu pula kelemahannya. Pukulan Kipas Neraka
seperti diketahui menebar lebar sama rata dengan tanah. Karenanya begitu sinar
merah berkiblat Sinto Gendeng segera melesat setinggi tiga tombak. Lalu dari
atas dia menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari!
Seperti
diketahui Pukulan Sinar Matahari telah menimbulkan kegegeran selama Pendekar
212 Wiro Sableng malang melintang dalam rimba persilatan. Namun sekali ini yang
mengeluarkan pukulan sakti itu adalah sang dedengkotnya yakni nenek sakti Sinto
Gendeng guru Pendekar 212. Maka kedahsyatannya tak bisa dibayangkan.
Tempat
itu laksana dilabrak petir raksasa. Udara dilanda kesilauan luar biasa. Hawa
panas membakar seolah matahari hanya satu tombak di atas batok kepala. Air
Telaga Gajahmungkur bergemericik seperti mendidih.
Cahaya
putih Pukulan Sinar Matahari saling labrak dengan sinar merah pukulan Kipas
Neraka. Karena Sinto Gendeng menghantam dari atas maka pukulan saktinya
melabrak pukulan sakti lawan di bagian tengah yang merupakan titik lemahnya.
Satu letusan keras menggelegar. Batu dan tanah di tepi telaga bergetar hebat.
Air telaga muncrat sampai dua tombak. Pohon-pohon berderak. Ranting-ranting
putus dan dedaunan luruh ke tanah laksana dilanda topan.
Sinto
Gendeng melayang turun. Tubuhnya seolah barusan menembus dinding api. Ketika
dia menjejakkan kaki di tanah jelas nenek ini terhuyung-huyung. Lututnya goyah.
Tiga tombak di depannya Sabai Nan Rancak terjengkang di tanah dengan muka
seputih kain kafan. Tiba-tiba nenek sakti dari Singgalang ini berteriak keras.
Dia bangkit berdiri dengan muka seperti iblis. Dengan gerakan cepat dia
menanggalkan Mantel Sakti yang dikenakannya sambil melangkah cepat mendekati
lawan.
Sinto
Gendeng yang maklum akan kehebatan Mantel Sakti yang dulunya adalah milik Datuk
Tinggi Raja Di Langit ini tidak mau berlaku ayal. Dengan tangan kiri dia segera
cabut dua tusuk konde peraknya. Lalu tangan kanannya diangkat ke atas. Ketika
tangan kiri kanan Sinto Gendeng menghantam ke depan maka dua tusuk konde perak
menderu di udara dan pukulan sakti bernama Tameng Sakti Menerpa Hujan
berkiblat.
Sabai Nan
Rancak belum sempat mengebutkan mantel hitamnya untuk menyerang Sinto Gendeng.
Tahu-tahu lengan bajunya sebelah kanan robek besar. Dia masih untung karena
tusuk konde beracun yang dilemparkan Sinto Gendeng hanya merobek pakaiannya.
Namun selagi dia terhuyung-huyung menahan dahsyatnya hantaman pukulan Tameng
Sakti Menerpa Hujan, tusuk konde kedua menyambar deras ke sisi kirinya. Sabai
Nan Rancak angkat tangan kiri ke atas, pergunakan mantel hitam untuk menangkis.
“Breeeettt!”
Mantel
Sakti robek besar. Ujung tusuk konde menekuk bengkok tapi masih terus menembus
mantel lalu bagian kepalanya menoreh lengan kiri Sabai Nan Rancak. Nenek ini
terpekik dan pucat wajahnya begitu melihat dari balik lengan kiri jubah
hitamnya yang robek ada darah meleleh. Saat itu juga dia merasakan tangannya
panas. Hawa panas segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Terhuyung-huyung dia
sandarkan diri ke pohon besar di tepi telaga. Memandang ke depan dia tidak
melihat lagi sosok Sinto Gendeng. Hanya tampak nenek berambut putih riap-riapan
Sika Sure Jelantik tegak sekitar sepuluh langkah darinya, memandang menyeringai
seolah mengejeknya. Lalu nenek itu pun berkelebat pergi.
“Tusuk
konde jahanam…” maki Sabai Nan Rancak. Dia jatuhkan mantel hitam ke tanah. La
lu dengan tangan kanannya dirobeknya jubah hitam di bagian mana lengannya
terluka akibat goresan tusuk konde perak. Dengan cepat nenek ini tekan
kuat-kuat lengannya yang cidera. Dari luka di lengan itu membersit lelehan
darah berwarna kehitaman.
“Racun….
Tusuk konde celaka itu ternyata mengandung racun jahat!” Tidak menunggu lebih
lama Sabai Nan Rancak segera totok urat besar di pangkal lehernya sebelah kiri.
Pada saat
itulah tiba-tiba ada seorang tinggi besar berambut tegak kaku berkelebat di
depannya. Di mukanya yang hitam ada dua belas lobang mengerikan. Sepasang
alisnya yang tebal bergabung menjadi satu. Di bahu kanannya sebelah belakang
ada satu lobang luka besar yang tembus sampai ke bagian dada dan menebar bau
busuk. Walau penglihatannya saat itu mulai buram namun Sabai Nan Rancak masih
bisa mengenali siapa adanya orang berpakaian serba hitam itu. Hantu Balak Anam!
“Kau
muncul lagi! Aku tak suka melihatmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!” Hantu
Balak Anam menyeringai.
“ingat
dua kali pertemuan kita sebelumnya Sabai?”
“Persetan
dengan pertanyaanmu! Cepat minggat dari hadapanku!” bentak Sabai Nan Rancak.
Hantu
Balak Anam kembali menyeringai. Dia melirik pada Mantel Sakti yang ada di
tanah. Takut mantel itu hendak diambil orang si nenek segera injakkan kaki
kanannya di atas mantel.
“Tak usah
khawatir Sabai. Aku tidak akan merampas Mantel Sakti itu. Aku tahu itu adalah
barang curian. Kau mencari penyakit sendiri karena dengan mencuri kau menambah
musuh. Apa kau masih belum mengerti kalau kau telah diperalat orang? Dengar
baik-baik Sabai. Terakhir sekali bertemu aku menanyakan padamu apa kau punya
hubungan tertentu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi dari puncak Singgalang…”
“Manusia jahanam!
Pergi dari hadapanku!” hardik Sabai Nan Rancak. Tangan kanannya diangkat.
“Kau
berada dalam keadaan terluka Sabai. Lukamu bukan luka biasa. Kurasa saat ini
sekujur tubuhmu sudah dijalari racun. Kalau kau kerahkan tenaga dalam untuk
menghantamku dengan Pukulan Kipas Neraka, sama saja kau mempercepat kematian
sendiri!”
Pucatlah
paras si nenek. Tengkuknya dingin karena dia menyadari apa yang dikatakan Hantu
Balak Anam benar adanya.
“Dengar
apa yang akan kukatakan padamu Sabai. Beberapa tokoh silat Pulau Andalas
kembali ditemui tewas akibat pembunuhan keji. Ada berita bahwa kaulah yang
telah membunuh mereka….”
“Fitnah
busuk! Mana mungkin aku membunuh para tokoh itu. Selama ini aku berada di tanah
Jawa!” kata Sabai Nan Rancak hampir berteriak. “Katakan siapa yang melancarkan
fitnah keji itu! Mungkin sekali kau!”
Hantu
Balak Anam tertawa, “ingat, dulu aku pernah sampai dua kali menanyakan apa
hubunganmu dengan Sutan Alam Rajo Di Bumi. Kau tidak mau memberi tahu. Itu tak
jadi apa. Tapi terus terang aku menaruh curiga padamu Sabai. Kalau terbukti kau
memang berkomplot dengan Sutan keparat itu, aku akan mengadu jiwa denganmu!
Lihat tubuhku yang bolong ini! Kekasih gelapmu itulah yang telah mencelakai
diriku!”
“Manusia
jahanam! Mulutmu lancang dan kotor!” Sabai Nan Rancak melompat ke hadapan Hantu
Balak Anak dari Sijunjung yang diserang cepat menghindar.
“Tua
bangka tolol! Tidak tahu kalau dirimu diperalat orang! Kau tahu Sabai! Aku
mendapat kabar Sutan Alam Rajo Di Bumi lenyap dari puncak Singgalang. Cepat
atau lambat dia akan segera muncul di tanah Jawa ini. Mungkin dia tak dapat
menahan rindunya terhadapmu. Tapi mungkin juga dia datang untuk membunuhmu!”
Habis
berkata begitu Hantu Balak Anam putar tubuh lalu dengan langkah tenang dia
tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak kembali terduduk di bawah pohon besar.
Tubuhnya terasa semakin panas dan pemandangannya bertambah kabur.
“Celaka!
Racun jahat tusuk konde nenek iblis itu. Sanggupkah aku bertahan atau aku akan
menemui ajal di tempat ini?”
Sabai Nan
Rancak kerahkan tenaga dalam, atur jalan darah dan pernafasan. Dia menotok lagi
tubuhnya di beberapa bagian. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan biru
berkelebat di hadapannya. Bau sangat harum menusuk- penciumannya. Si nenek
angkat kepalanya.
“Gadis
berbaju biru, pikiranku sedang kacau. Apakah kita pernah bertemu? Apakah kau
datang bermaksud baik atau jahat?”
“Lupakan
semua pertanyaanmu itu Nek. Kau terluka cukup parah. Ada racun mengalir dalam
tubuhmu, izinkan aku menolong.”
Sabai Nan
Rancak tampak bimbang. “Terima kasih…. Tapi aku tidak percaya padamu. Aku
memilih lebih baik mati saja. Kehidupan dimasa laluku hanya derita sengsara.
Kehidupan dimasa datang hanyalah neraka! Jangan berani menolong! Jangan berani
menyentuh tubuhku!”
“Aku tak
pernah melihat racun sejahat ini. Siapa yang telah mencelakaimu Nek?”
“Iblis
perempuan bernama Sinto Gendeng! Musuh besarku sejak lama. Sial nasib diriku!
Ternyata kepandaiannya luar biasa dan mampu bergerak mendahuluiku. Apa salah
kalau saat ini aku rasanya kepingin mati saja?!”
Berubahlah
paras si gadis berbaju biru mendengar keterangan Sabai Nan Rancak itu. Dalam
hati dia bertanya-tanya silang sengketa apa yang ada antara si nenek dengan
guru pemuda yang dikasihinya itu.
“Nek,
jangan tolol. Tidak ada yang paling menyedihkan daripada menemui kematian
secara penasaran. Lihat jariku!”
“Eh, kau
hendak melakukan apa?!” tanya Sabai Nan Rancak ketika dilihatnya gadis cantik
di hadapannya meluruskan jari telunjuk tangan kanannya. Jawaban yang diterima
si nenek adalah satu totokan tepat di pertengahan keningnya. Sabai Nan Rancak
menjerit keras. Topi berbentuk tanduk kerbau yang melekat di kepalanya
terlempar ke atas. Dari ubun-ubunnya mengepul asap kehijau-hijauan.
Bidadari
Angin Timur menghela napas lega. “Terlambat aku menolongnya-nyawa nenek satu
ini tak mungkin diselamatkan lagi….” Lalu dari baiik pakaian birunya dia
mengeluarkan sebutir obat berwarna hijau. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut
Sabai Nan Rancak. Dengan satu totokan pada tenggorokan si nenek, obat itu
meluncur masuk ke dalam perut Sabai Nan Rancak.
“Sebetulnya
aku ingin menunggu sampai kau siuman Nek. Banyak yang bisa kita bicarakan.
Sayang waktuku sangat sempit. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu lagi….Semoga
lekas sembuh.” Setelah pandangi wajah tua keriput itu sesaat Bidadari Angin
Timur segera tinggalkan tempat itu.
****************
TIGA BELAS
Seperti
diceritakan sebelumnya, setelah ada letusan yang menebar asap hitam memerihkan
mata menutup pemandangan beberapa orang yang tadi berada di sekitar tepian
Telaga Gajahmungkur lenyap. Yang tinggal hanyalah Sinto Gendeng, Sika Sure
Jelantik dan Sabai Nan Rancak.
Sesudah
terjadi bentrokan hebat antara Sabai dan Sinto Gendeng, Sika Sure Jelantik
tinggalkan tempat itu sementara Sinto Gendeng sendiri telah lenyap lebih dulu.
Nenek ini berkelebat pergi ke arah lenyapnya kakek tukang kencing si Setan
Ngompol. Lalu kemana perginya orang-orang yang lain?
Di arah
timur Telaga Gajahmungkur saat itu tampak kakek berkepala botak berjalan
memanggul sesosok tubuh pemuda tanpa baju. Kakek ini tampaknya seperti berjalan
biasa saja. Namun orang yang ada di belakangnya dan berusaha mengejar tetap
saja mengalami kesulitan mendekati si kakek.
Pemuda
yang dipanggul di bahu kiri si kakek ternyata adalah Panji yang saat itu berada
dalam keadaan setengah sadar akibat tendangan kaki kanan Sinto Gendeng. Sekujur
tubuhnya terikat dalam gulungan benang halus berwarna putih berkilauan.
“Kek!
Tunggu!” Seseorang di sebelah belakang berseru memanggil kakek botak.
Kakek
botak seolah tak acuh. Dia lari terus. Di satu kelokan jalan dia membelok ke
kiri, menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu dan mendekam di situ. Ketika
orang yang mengejar sampai di tikungan jalan tentu saja dia jadi kehilangan.
“Kek! Di
mana kau! Aku tahu kau bersembunyi! Ini bukan saatnya bergurau!” Orang yang
mengejar ini bukan lain adalah Puti Andini. Di tangan kanannya gadis ini
memegang Pedang Naga Suci 212 yang berkilauan terkena siraman matahari.
“Sssttt!
Aku di sini…. Lekas kemari!”
Batang-batang
bambu terkuak ke samping. Dari celah-celah pohon muncul satu kepala botak
menyeringai. Puti Andini cepat melompat lalu menyelinap ke balik rerumpunan
bambu.
“Cucuku,
lekas kau simpan pedang sakti itu!” kata kakek botak begitu melihat Puti Andini
masih memegang pedang telanjang.
Si gadis
sesaat jadi bingung. “Bagaimana aku mau menyembunyikan. Pedang ini tidak
bersarung….”
“Anak
tolol! Sejak diciptakan senjata itu memang tidak punya sarung!” Dengan cepat
kakek botak mengambil Pedang Naga Suci 212 dari tangan Puti Andini. Dengan tangan
kanannya dia menekuk ujung pedang lalu enak saja seperti sebuah ikat pinggang
senjata itu digulungnya. Bersamaan dengan tergulungnya pedang, cahaya putih
yang menyilaukan lenyap dengan sendirinya. Puti Andini jadi terheran-heran
menyaksikan hal itu. Sedang kakek botak kepanasan tangannya.
“Lekas
kau sembunyikan senjata ini di balik pakaian. Hati- hati. Jangan sampai jatuh.
Jangan sampai ketahuan orang lain!”
Puti
Andini cepat mengambil Pedang Naga Suci yang kini berada dalam keadaan
tergulung lalu memasukkannya ke balik baju hijaunya. “Kek, menurutmu Pedang
Naga Suci 212 hanya bisa disentuh oleh perempuan yang masih suci. Barusan kau
enak saja memegang, bahkan menggulung senjata itu tanpa cidera seperti yang
terjadi dengan nenek Sika Sure Jelantik dan Sinto Gendeng serta Sabai Nan
Rancak….”
Kakek
botak tersenyum. “Aku memang bukan perempuan, bukan juga manusia suci. Tapi aku
tidak punya niat jahat untuk merampas atau memiliki senjata ini….”
“Tapi
Kek….”
“Sudah!
Jangan banyak tanya dulu. Lekas ikut aku. Kita harus sembunyi. Aku khawatir ada
orang mengikuti….” Kakek botak balikkan badan, melangkah cepat memasuki
kerapatan pepohonan.
“Tunggu
Kek!”
“Apa
lagi? Kenapa kau jadi begini bawel?!”
“Kek, aku
tahu kau belakangan ini suka menyamar. Tapi lama-lama aku jadi bingung sendiri
melihat mukamu….”
“Kalau
begitu jangan lihat mukaku!” kata si kakek lalu tertawa mengekeh sambil
usap-usap kepalanya yang plontos.
Puti
Andini geleng-geleng kepala. Ketika orang tua itu hendak melangkah cepat dia
pegang lengannya dan bertanya. “Kek, sahabatku pemuda yang kau panggul ini
bagaimana keadaannya?” Puti Andini merasa cemas melihat noda darah di mulut
Panji.
“Tak usah
khawatir. Dia cuma pingsan,” jawab si kakek. “Eh, kau suka padanya bukan…?”
“Kau tahu
apa mengenai hubungan kami berdua. Aku mengenalnya belum lama,”
jawab
Puti Andini. Kakek botak tertawa. “Cinta kalau ditunggu tak pernah datang.
Malah suka muncul secara tiba-tiba.
“Ha… ha…
ha! Aku tahu kau suka padanya. Aku bisa melihat dari sinar matamu dan nada
suaramu waktu bertanya….”
Paras
Puti Andini menjadi merah. Terlebih ketika dilihatnya Panji menggerakkan kepala
dan membuka mata. Walau tidak melihat tapi kakek botak tahu kalau pemuda yang
dipanggulnya telah sadarkan diri.
“Anak
muda, kau sudah siuman. Apa sudah bisa berjalan sendiri? Pinggangku mau patah
sejak tadi memanggulmu!”
“Kakek,
aku tidak mengenalmu. Tapi kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih.
Jika kau mau melepas lilitan benang aneh ini aku segera akan turun dari
bahumu!”
Kakek
botak tertawa lalu gerakkan tangan kanannya yang memegang ujung benang putih
halus. Tubuh Panji tersentak ke udara. Bergulung-gulung beberapa kali lalu
jatuh ke tanah dengan kaki lebih dulu. Sesaat pemuda ini tegak
terhuyung-huyung. Kakek botak menunggu sampai Panji sanggup berdiri dengan
benar baru menarik benang putih halus yang masih melilit sebagian tubuhnya.
“Sudah…
sudah! Tak usah pakai segala macam peradatan!” kata si kakek botak ketika Panji
hendak menjura memberi penghormatan padanya. “Lekas ikuti aku. Kita harus
sembunyi sampai keadaan aman!”
“Kek, aku
harus mencari seseorang. Aku terpaksa tidak bisa ikut bersamamu!”
“Eh,
apa-apaan kau ini! Tadi kau mengejarku. Sekarang malah mau pergi!” Kakek botak
pelototkan mata.
“Aku ada
urusan sangat penting. Aku harus menemui Wiro Sableng. Kita sudah mendapatkan
Pedang Naga Suci 212. Saatnya kita menolong pemuda itu….”
Mendengar
kata-kata si gadis kakek kepala botak jadi terkesiap. “Astaga! Kau benar
cucuku. Tapi yang lebih penting saat ini adalah menyelamatkan lebih dulu
senjata mustika itu. Kau tahu mengapa aku sengaja membawamu bersembunyi di
tempat ini. Semua orang yang tadi ada di telaga pasti berusaha mendapatkan
Pedang Naga Suci 212. Se-karang kalian berdua ikuti saja aku. Ada satu goa
rahasia tak jauh dari tempat ini. Kita sembunyi dulu di sana sampai keadaan
aman.”
Kakek
botak lalu putar tubuhnya dan berjalan mendahului di sebelah depan. Panji
memberi kesempatan pada. Puti Andini untuk melangkah di belakang si kakek.
Ketika gadis ini lewat di depannya dia segera berbisik. “Tadi kau bicara
menyebut-nyebut Pedang Naga Suci 212. Tapi aku tidak melihat senjata itu. Kau
simpan di mana?”
“Aku tak
bisa menerangkan sekarang….” jawab Puti Andini.
Panji»masih
belum puas. “Kakek botak itu. Apa kau kenal padanya. Apa dia bisa dipercaya?”
“Dia
kakekku sendiri. Aku cucunya. Dia yang memberi petunjuk padaku hingga
mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Apa atasanku tidak mempercayainya?”
“Aku
ingat pada ceritamu tentang batu hitam. Ternyata kau hanya mengelabui diriku,”
ujar Panji agak kecewa. Namun sambil tersenyum dia menunjuk pada kakek botak
yang sudah jauh di depan sana.
“Aku
melihat wajahnya aneh. Sepertinya dia….”
“Hemmm….”
Puti And ini bergumam. Dalam hati gadis ini berkata. “Jangan-jangan dia tahu
kalau kakekku ini menyamar mengenakan topeng tipis.” Dengan tersenyum si gadis
akhirnya berkata, “Ternyata matamu cukup tajam. Tidak banyak orang punya
kepandaian meneliti sepertimu. Tapi sekali lagi aku bilang, sekarang bukan
waktunya menerangkan segala-galanya. Nanti saja….” Habis berkata begitu Puti
Andini segera bergerak cepat menyusul kakek botak. Panji akhirnya mengikuti di
belakang. Baru saja ke dua orang ini berjalan beberapa langkah tiba-tiba dari
arah kanan terdengar suara bentakan-bentakan. Lalu ada sinar merah, kuning dan
hitam berkiblat di udara. Serta merta ranting dan daundaun pepohonan yang ada
di sekitar tempat itu terbakar hangus. Semak belukar dikobari api.
“Astaga!
Apa yang terjadi?!” ujar Panji. Baru saja pemuda ini berkata begitu tiba-tiba
kakek botak sudah berada di hadapan mereka.
“Lekas
ikuti aku. Sesuatu terjadi di sebelah sana. Mungkin hanya tipuan belaka. Jangan
melakukan sesuatu tanpa izinku!” Lalu kakek botak cepat berkelebat di antara
kerapatan pepohonan. Panji dan Puti Andini mengikuti sambil berpegangan tangan.
Berjalan
sejarak lima belas tombak ke. tiga orang itu sampai di «satu tempat yang
ditumbuhi rapat pohon-pohon jati tua yang tidak lagi memiliki daun. Di depan
sebatang pohon jati besar berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Dia
mengenakan pakaian serba hitam dan rambutnya gondrong sebahu. Pemuda ini tegak
dengan kaki merenggang, tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan
diangkat di atas kepala dengan jari-jari terkepal.
Delapan
langkah dari hadapan pemuda tadi tegak Ratu Duyung. Cermin bulat sakti
tergenggam di tangan kanannya. Sepasang matanya yang biru memandang tak
berkesip pada pemuda di depannya yang bukan lain adalah Raden Layang Kemitir yang
dalam rimba persilatan memperkenalkan diri dengan julukan Utusan Dari Akhirat.
Seperti dituturkan dalam Episode Utusan Dari Akhirat pemuda yang adalah putra
seorang bangsawan terhormat di Banten ini telah menemukan sebuah kitab sakti
bernama Matahari Sumber Segala Kesaktian. Kitab ini ditemukannya di balik
pakaian Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari yang
menemui aja! sewaktu terjadi bentrokan besar di Pangandaran. Berbekal ilmu
kesaktian yang tersimpan di dalam kitab maka arwah Si Muka Bangkai yang
menampakkan diri secara aneh memerintahkan Layang Kemitir untuk mencari dan
membunuh tiga musuh besarnya yang sekaligus musuh Pangeran Matahari. Ketiga
orang itu adalah Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila dan Wiro
Sableng. Ketika Wiro dan Ratu Duyung meninggalkan Telaga Gajahmungkur kedua
orang ini segera melakukan pengejaran terhadap Puti Andini yang telah
mendapatkan Pedang Naga Suci 212. Karena Wiro tidak mampu berlari secepat yang
dilakukannya, maka untuk dapat mengejar Puti Andini, Ratu Duyung menempuh jalan
pintas. Mereka hampir berhasil memapasi orang yang dikejar namun justru di
tempat itu berselisih jalan dengan Utusan Dari Akhirat. Pemuda ini dalam
perjalanan menuju Telaga Gajahmungkur. Rupanya dia juga telah menyirap kabar
akan terjadi sesuatu di telaga yang luas itu. Beg itu melihat Wiro, Utusan Dari
Akhirat segera menghadang.
“Pendekar
212! Kau sudah ditakdirkan mati di tanganku! Apa sekali ini kau masih mampu
kabur?!”
Beg itu
membentak Layang Kemitir langsung menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari ke
arah Wiro. Langit seolah menjadi redup. Tiga larik sinar aneh menyambar ganas.
Ratu Duyung yang berada di samping murid Sinto Gendeng cepat mendorong pemuda
itu hingga Wiro terpelanting dua tombak dan jatuh di balik sebatang pohon
besar.
“Ratu!
Lekas menyingkir! Pemuda itu hendak menyerang dengan pukulan Gerhana Matahari!”
Wiro berteriak memperingatkan karena dia mengenal sekali pukulan sakti yang
akan dilancarkan Utusan Dari Akhirat.
****************
EMPAT BELAS
Tapi saat
itu ada satu keberanian luar biasa dalam diri Ratu Duyung. Tangan kanannya
menyelinap ke balik pakaian mengeluarkan cermin saktinya. Ketika dia
mengerahkan tenaga dalam mendadak dia merasa ada satu kekuatan aneh mendahului
aliran tenaga dalamnya. Begitu dia mengiblatkan cermin saktinya maka
menggemuruhlah selarik sinar putih, panas menyilaukan mata laksana ada puluhan
kilat menyambar menjadi satu!
Ratu
Duyung terkesiap sendiri ketika menyaksikan bagaimana cahaya putih yang keluar
dari cerminnya menghantam Pukulan Gerhana Matahari yang mengeluarkan sinar
merah, kuning dan hitam hingga melesat bertaburan ke udara. Menghantam
ranting-ranting dan daun pepohonan hingga terbakar. Ranting-ranting yang
dikobari api itu begitu luruh ke bawah langsung membakar semak belukar kering
yang ada di sekitar tempat itu. “Lagi-lagi cermin ini mengeluarkan kehebatan
luar biasa tidak seperti biasanya…” kata sang Ratu dalam hati.
Layang
Kemitir tegak terbelalak. Dadanya berdenyut sakit. Matanya perih dan sepasang
lututnya bergetar. Sejak mewarisi ilmu kesaktian dari kitab Matahari; Sumber
Segala Kesaktian, pemuda ini merasa dirinya sebagai yang paling hebat.
Karena-nya dia menjadi kecut ketika serangannya tadi dihantam mental oleh
cahaya putih yang keluar dari cermin bulat di tangan Ratu Duyung. Sambil
menggeram dia angkat tangannya lurus-lurus ke atas. Jari-jari tangan dikepal.
“Wiro,
siapa sebenarnya pemuda edan ini?” bertanya Ratu Duyung.
“Dia
mengaku murid Si Muka Bangkai, mengaku sebagai saudara seperguruan Pangeran
Matahari. Awas Ratu! Dia hendak melepas pukulan Merapi Meletus,” bisik Wiro
pada Ratu Duyung. “Sebaiknya kita lekas menyingkir. Tak usah melayani pemuda
geblek itu. Aku khawatir….”
“Kau
tetap saja di balik pohon itu. Siapapun yang berani berlaku kurang ajar
terhadap kita perlu diberi pelajaran pahit!” jawab Ratu Duyung. Saat itu tangan
kirinya mengusap ke dada dimana tersimpan Kitab Wasiat Malaikat. Gadis ini tahu
sekali bahwa kekuatan hebat yang mengalir mendahului hawa sakti cermin bulatnya
berasal dari kitab sakti itu. Karenanya penuh percaya diri dia tegak tak
bergeming menghadapi Layang Kemitir.
“Gadis
cantik bermata biru!” seru Layang Kemitir seraya sunggingkan seringai genit
yang menjijikkan Ratu Duyung. “Apa gunanya membela pemuda sableng yang bakalan
menemui ajal menjadi bangkai tak berguna itu! Lebih baik kau ikut padaku. Kita
bisa hidup bersenang-senang sepanjang umur dunia!”
“Pemuda
jahanam! Berani kau bicara kurang ajar!” teriak Pendekar 212. Dia melompat dari
balik pohon, siap menyerang Layang Kemitir. Tapi Ratu Duyung cepat menahan
dadanya dan mendorong Wiro.
“Ho… ooo!
Pendekar 212 Wiro Sableng? Ke-kasihmu atau istrimu?! Ha… ha… ha!”
Wiro
menggeram marah sampai tubuhnya bergetar keras. Ratu Duyung sendiri tetap
tenang walau dari hidungnya saat itu dia keluarkan suara mendengus. Sepasang
matanya yang biru dan wajahnya yang cantik membersitkan hawa menggidikkan tapi
dari mulutnya malah keluar suara tawa memanjang.
“Pemuda
tak tahu diri! Baru memiliki ilmu se-dangkal comberan sudah bicara takabur
setinggi langit! Kau mau melepaskan pukulan Merapi Meletus?! Silahkan! Aku mau
lihat sampai di mana kehebatanmu!”
Ratu
Duyung melintangkan cermin saktinya di depan dada. Pada saat itu juga hawa
sakti mencuat keluar dari perutnya di bagian mana dia menyembunyikan Kitab Wasiat
Malaikat. Hawa aneh ini lalu masuk ke dalam cermin sakti hingga benda itu
memancarkan sinar menyilaukan.
Utusan
Dari Akhirat sesaat jadi terkesiap melihat keangkeran cahaya yang keluar dari
cermin bulat. Selain itu diam-diam dia merasa terkejut bagaimana Ratu Duyung
tahu bahwa dia hendak melepaskan pukulan Merapi Meletus. Otak cerdik dan akal
panjang seperti yang dimiliki Pangeran Matahari, walau kadarnya masih sangat
rendah, mulai bekerja.
“Gadis
cantik bermata biru: Aku kagum akan kecantikan dan keberanianmu.
Mungkin
saat ini kau tidak menyukai diriku. Tapi kalau umur sama panjang siapa tahu
kita kelak akan bertemu dalam satu jalinan cinta mesra. Ha… ha… ha!”
“Hemmm….
Begitu?!” ujar Ratu Duyung menyahut sementara Pendekar 212 Wiro Sableng merasa
kupingnya panas dan hatinya geram sekali mendengar ucapan orang.
“Kalau
aku boleh tahu sudah berapakah usiamu anak muda?”
“Eh, apa
maksudmu gadis cantik?” tanya Layang Kemitir agak heran.
“Apa kau
tuli? Orang bertanya berapa usiamu? Karena kemarin kami berdua melihat kau
kencing berdiri. Kencingmu saja masih belum lempang, bagaimana mau bercinta
dengan gadis secantik Ratu Duyung…” Yang berkata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Habis berkata begitu dia tertawa gelak-gelak.
Merah
padam tampang Layang Kemitir mendengar ucapan Wiro itu. Dadanya laksana disulut
api. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 kembali menambahkan ejekan.
“Kalau
kencing saja belum becus aku curiga jangan-jangan setiap kencing kau tidak
pernah cebok!”
Ratu
Duyung tertawa cekikikan. “Anak muda! Benar-benar memalukan! jangankan aku,
kambing betina pun mungkin tidak suka padamu! Hik… hik… hik!”
“Bangsat
keparat!” teriak Utusan Pari Akhirat dengan darah mendidih. Tangan kanannya
diturunkan ke bawah. Ketika tangan itu hendak dihantamkannya ke arah Ratu
Duyung dia tersirap kaget karena orang yang hendak diserang tak ada lagi di
tempatnya semula. Yang masih tegak di tempat itu adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. “Hemmm…. ini kesempatan paling baik untuk menamatkan riwayat pemuda
itu!” Maka Utusan Dari Akhirat segera menghantam ke arah Wiro.
Namun
pada saat itu tiba-tiba dari samping terdengar suara teriakan keras disertai
berkelebatnya satu bayangan hitam, menyusul kiblatan cahaya putih menyilaukan.
Seperti diketahui meski memiliki ilmu kesaktian yang didapatnya dari kitab
Matahari, Sumber Segala Kesaktian, namun pada dasarnya Layang Kemitir alias
Utusan Dari Akhirat tidak memiliki kepandaian silat tinggi dan tenaga dalam
inti. Begitu ada orang berkelebat ke arahnya dia bukannya mengelak malah dengan
nekad coba menghantamkan pukulan Me-rapi Meletus ke arah orang yang
menyerangnya. Padahal untuk itu dia harus memutar tubuh. Dalam ilmu silat
setiap gerakan adalah waktu. Kalau gerakan tidak didasari kecepatan maka mudah
sekali bagi lawan untuk mencuri kesempatan melakukan serangan. Sebelum Utusan
Dari Akhirat sempat berbalik satu tendangan mendarat di bahu kanannya sebelum
dia sempat melepaskan pukulan saktinya.
“Bukkk!”
Utusan
Dari Akhirat mencelat sampai tiga tombak. Pemuda ini terkapar di tanah.
Mengerang kesakitan. “Hancur bahuku…. Hancur bahuku…” katanya berulang kali.
Saat itu
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. “Apa yang terjadi di tempat
ini?!” Ada orang bertanya. Lalu menyusul suara kaleng berkerontangan keras
menusuk pendengaran. “Siapa yang barusan kena gebuk? Ha… ha… ha!”
Sesaat
kemudian di tempat itu muncullah seorang kakek bungkuk berpakaian lusuh penuh
tambalan. Dia menyandang sebuah buntalan di bahu kirinya. Tangan kanan memegang
sebuah kaleng rombeng yang diguncang terus-menerus. Di kepalanya ada caping
bambu yang masih baru. Di tangan kirinya orang tua ini memegang sebatang
tongkat kayu.
Orang tua
ini yang bukan lain adalah Kakek Segala Tahu adanya kerontangkan kalengnya tiga
kau lalu berkata. “Hai, aku mau lihat! Siapa saja yang ada di tempat ini!”
Kakek
Segala Tahu memandang berkeliling. Tentu saja kakek ini tidak bisa melihat
apa-apa karena kedua matanya tertutup selaput putih alias buta! Tapi sambil
senyum-senyum dia berkata. “Aku mencium bau pesing sangat santar. Sinto, apakah
kau berada di sekitar sini? Bau pesingmu biasanya tidak sesantar ini. Apa ada
orang lain di dekatmu? Kalau benar dugaanku maka orang itu adalah sahabat lama
si Setan Ngompol!”
Di balik
serumpun semak belukar Sinto Gendeng dan Setan Ngompol saling pandang. Kalau si
nenek memaki dalam hati maka Setan Ngompol tak habis pikir bagaimana orang buta
seperti Kakek Segala Tahu itu memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa orang
yang ada di dekatnya.
Kakek
Segala Tahu mendongak sambil gosok-gosok telinga kirinya dengan ujung tongkat.
“Ada seseorang enak-enakan duduk di atas pohon sebelah sana! Siapa kau adanya?
Harap memberi tahu nama!”
Saat itu
di atas cabang sebuah pohon jati terdengar suara orang menjawab. “Kek, aku si
bocah konyol Naga Kuning!”
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh. “Ah, suaramu masih saja ceria. Tanganmu yang
cidera tentu telah sembuh! Aku dengar ada musibah besar terjadi di tempat
kediamanmu di dasar Telaga Gajahmungkur!” Orang tua ini kerontangkan kaleng
rombengnya.
Dia
mendongak ke atas. “Hari telah petang. Udara agak mendung. Tapi telingaku
mencium bau yang sangat harum mewangi di tempat ini. Siapakah kau gerangan…?”
Sepi. Tak ada yang menjawab. Tak ada gerakan.
“Ah, si
cantik itu tak mau menjawab. Malu dia rupanya. Atau mungkin juga dia tak mau
kehadirannya diketahui orang?” Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Di balik
pohon keladi hutan berdaun lebar Bidadari Angin Timur mendekam tak bergerak.
Dia memang sengaja bersembunyi karena tidak ingin kehadirannya diketahui orang.
“Aku tahu
masih ada beberapa prang di tempat ini. Jika kalian memang para sahabat mengapa
tidak memberi tahu…?”
“Kek! Aku
Wiro Sableng! Aku bersama Ratu Duyung. Dia yang barusan menghajar seorang
pemuda berjuluk Utusan Dari Akhirat!”
“Ratu
Duyung! Apa kabarmu?! Pendekar 212! Aku senang mendengar suaramu. Syukur kau
masih hidup! Ha… ha… ha!” Orang tua ini memandang berkeliling. “Masih ada
beberapa orang lagi di tempat ini. Sembunyi di balik pohon atau semak belukar!
Tak jadi apa! tak jadi apa. Tapi semua kalian yang hadir di tempat ini! ingat
malam nanti adalah malam bulan purnama empat belas hari! Malam ini adalah malam
perjanjian. Kita berkumpul di Telaga Gajahmungkur sebelah barat! Nah, aku pergi
sekarang! Sampai nanti malam!” Si kakek kerontangkan kalengnya tiga kali.
Semua
orang yang ada di tempat itu menjadi terkesiap karena baru sadar bahwa malam
nanti adalah malam bulan purnama empat belas hari. Ketika mereka memandang lagi
ke depan Kakek Segala Tahu tak ada lagi di tempat itu.
Sementara
itu di satu tempat yang terlindung Puti Andini memandang pada kakek botak di
sampingnya. Si kakek gelengkan kepala. “Jangan kau berani membuka mulut! Kita
tidak perlu memberi tahu kehadiran kita di sini. Aku punya firasat sesuatu akan
terjadi di tempat ini. Kau dan Panji tetap di sini. Aku coba menyelidik ke
balik pohon besar sana. Aku barusan melihat ada seseorang menyelinap di tempat
itu.”
Tak jauh
dari situ, di balik pohon keladi hutan berdaun sangat lebar Bidadari Angin
Timur merasakan tubuhnya tegang ketika tiba-tiba di belakangnya ada satu suara
berkata perlahan tapi jelas.
“Sahabat
berwajah jelita. Waktu kita tidak lama. Ambil senjata ini. Berikan pada
pemiliknya sebelum malam tiba….”
Sebuah
benda yang memancarkan cahaya berkilauan tiba-tiba diangsurkan di depan
Bidadari Angin Timur hingga gadis ini tersurut kaget.
“Kapak
Naga Geni 212 yang dikabarkan lenyap!” desis Bidadari Angin Timur. Dia
berpaling ke samping. Saat itu tepat di sebelahnya tegak seorang mengenakan
pakaian serba kuning. Wajah dan rambutnya tertutup cadar berwarna kuning pula.
“Siapa
kau…. Mengapa senjata ini ada padamu?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Seperti
kataku tadi. Kita tak punya waktu lama. Lekas simpan senjata ini. Sembunyikan
di balik pakaianmu. Lekas ambil!”
Walau
hatinya bimbang tapi karena, mengenali sekali bahwa senjata itu adalah Kapak
Naga Geni 212 milik Wiro maka Bidadari Angin Timur segera mengambil dan
menyimpannya di balik pakaiannya.
“Sekarang
dengar. Di sekitar tempat ini ada beberapa orang bermaksud jahat. Lihat ke
depan, ke arah semak belukar lebat….”
Bidadari
Angin Timur menoleh ke arah yang dikatakan. Di jurusan itu dia melihat beberapa
orang berpakaian aneh dan mukanya dicat merah, hijau dan hitam. “Mereka adalah
orang-orang Lembah Akhirat. Mereka tengah memata-matai kita. Mereka punya
maksud jahat! Mereka mencari Pedang Naga Suci 212! Bermaksud merampasnya!”
“Lalu apa
yang harus kita lakukan?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Aku tahu
kau memiliki gerakan laksana angin secepat kilat. Kita harus bertindak cepat
merampas pedang mustika itu. Lalu….”
Bidadari
Angin Timur terkejut. “Kau berada di pihak mana sebenarnya? Mengapa kau hendak
merampas senjata orang?!”
“Bukankah
kau ingin menolong Pendekar 212. Bagaimana kalau orang-orang Lembah Akhirat
bergerak lebih cepat. Kita harus mendahului sebelum terlambat. Hanya Pedang
Naga Suci 212 yang bisa menyembuhkan musibah yang menimpa diri orang yang kau
cintai itu….”
Berubahlah
paras Bidadari Angin Timur.
“Dengar,
selain orang-orang Lembah Akhirat, ada orang lain yang juga punya niat jahat.
Sekarang ikuti apa yang aku katakan. Aku akan melompat ke arah gadis bernama
Puti Andini itu lalu membelok dan lari ke kanan. Aku tidak melakukan apa-apa.
Hanya mencuri perhatian, Kau mendatangi si gadis dari arah lain. Kau harus
mampu mengambil Pedang Naga Suci 212 yang disembunyikan di balik kain. Sebelum
tengah malam kita bertemu di barat Telaga Gajahmungkur. Tapi ingat. Jangan dulu
bergabung dengan para tokoh! Kau harus bisa membawa Pendekar 212 ke satu tempat
di mana ada dua pohon yang batang nya tumbuh saling bersilang. Bagaimana
caranya tak perlu kubilang. Terserah akalmu yang panjang. Kau siap?”
Bidadari
Angin Timur menatap mata bening orang bercadar kuning itu. “Pedang Naga Suci
212 bukan senjata sembarangan. Siapa yang berniat jahat bisa celaka sendiri.
Paling tidak tangannya akan terkelupas sampai kelihatan tulang!”
“Aku tahu
kau adalah seorang perawan suci. Maksud kita mengambil Pedang Naga Suci 212
bukan untuk merampas atau mencuri. Kita punya niat baik tersembunyi. Menolong
seorang kekasih. Kekasihmu sendiri. Jangan ada keraguan di dalam hati!”
“Baik,
aku siap. Tapi ingat satu hal. Jika kau menipu, lehermu akan kupatahkan lebih
dulu!”
Orang
bercadar tersenyum di balik cadarnya. Dengan tangan kanannya dibelainya pipi
Bidadari Angin Timur seraya berkata. “Tidak ada yang paling bahagia di dunia
ini selain menolong orang yang kau cintai! Nan, aku bergerak sekarang! Buang
rasa bimbang yang masih mengambang!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment