Batu Pembalik Waktu
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Sinopsis
:
Pakaian
peri angsa putih robek di bagian pinggang. Batu berwarna tujuh menyembul di
atas perutnya yang putih. Peri angsa putih terpekik. Baru sadar apa yang
terjadi. Dia cepat menghantam tapi terlambat. Batu pembalik waktu telah berada
dalam genggaman lamanyala. Begitu dapatkan batu sakti tersebut lamanyala siap
berkelebat kabur. Pada saat itulah tiba-tiba suara perempuan menggerung keras.
"lasedayu suamiku! Siapa yang berani mencelakai dirimu!"satu bayangan
kuning berkelebat. Satu tendangan keras melabrak dada lamanyala hingga tubuhnya
mencelat mental sampai tiga tombak dan batu pembalik waktu yang ada dalam
genggaman tangan kanannya terlempar ke udara lalu jatuh ke tanah. Peri angsa
putih cepat memburu, gulingkan diri di tanah dan menyambar batu sakti itu.
*********************
1
SATU
pemandangan luar biasa terlihat di dalam rimba belantara Lasesatbuntu. Dua
sosok aneh berlari cepat mengusung sebuah tandu kayu. Sosok di sebelah depan
tinggi kurus hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala
sampai ke kaki termasuk sepasang matanya berwarna kuning. Kulitnya ditumbuhi
duri-duri panjang kaku seperti bulu landak. Sambil berlari sesekali makhluk ini
membuang ludah berwarna kuning. Seperti diketahui, di Negeri Latanahsilam hanya
ada dua makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna kuning. Orang pertama adalah
Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut alias Luhpingitan dan diketahui
sebagai istri Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. Orang ke dua ialah
makhluk yang mengusung tandu di sebelah depan tadi yang bukan lain adalah Hantu
Jatilandak.
Pengusung
tandu sebelah belakang tak kalah hebatnya. Seluruh permukaan tubuhnya tertutup
lapisan aneh berbentuk sisik hitam. Sisik ini seolah kepingankepingan baja
hitam yang mencuat keluar. Makhluk satu ini dikenal dengan nama Tringgiling
Liang Batu. Menurut riwayat dialah yang telah memelihara dan membesarkan Hantu
Jatilandak, lalu menganggap Hantu Jatilandak sebagai cucunya sendiri. (Untuk
lebih jelas mengenai nwayat Hantu Jatilandak dan Tringgilng Liang Batu harap
baca episode Wiro Sableng di Negeri Lanahsilam berjudul "Hantu
Jatilandak")
Di atas
tandu kayu yang diusung Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu, terbujur
sosok seorang perempuan tua renta, berambut putih awut-awutan. Sepintas mukanya
terlihat seolah tengkorak karena kulit wajahnya yang pucat memulih sangat
tipis. Sepasang mata orang ini tertutup Dan mulutnya yang agak menganga tiada
henti keluar suara erangan. Sesekali erangannya tersendat lalu dari sela
bibirnya meleleh darah merah kehitaman. Sebilah pisau menancap di dadanya
sebelah kiri. Gagang pisau maut ini terbuat dari sejenis batu berbentuk singa
berkepala dua!
"Jatilandak!"
tiba-tiba Tringgiling Liang Batu berseru. "Hentikan larimu. Ada yang perlu
kita bicarakan!"
"Wahai!
Kita tidak ada waktu lagi!" Menjawab Hantu Jatilandak. Lalu dia
menyambung. "Nenek ini siap meregang nyawa! Kalau ajalnya putus sebelum
kita menemui orang yang dicarinya, rahasia besar yang diketahuinya tidak pernah
akan terungkap! Dan aku akan merasa berdosa seumur-umur terhadap gadis bernama
Luhcinta itu!"
"Justru
karena aku khawatir dia akan menemui ajal maka aku perlu bicara denganmu! Lekas
kau hentikan larimu!" berteriak Tringgiling Liang Batu.
Tapi
Hantu Jatilandak tidak pedulikan ucapan kakeknya. Terpaksa makhluk bersisik itu
salurkan tenaga dalamnya ke kaki. Dua kakinya yang tengah berlari cepat itu
tiba-tiba menjadi berat sekali. Hantu Jatilandak terkejut ketika merasakan
bagaimana gerakan dua kakinya terasa sangat berat hingga dia tidak bisa lagi
berlari cepat.
"Kakek
ini hendak memaksaku berhenti berlari!" kata Hantu Jatilandak dalam hati.
Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam. Dua tenaga sakti tingkat tinggi saling
bentrok. Akibatnya Hantu Jatilandak lari tertahan-tahan. Duri Landak di sekujur
tubuhnya mencuat kaku. Di sebelah belakang dua kaki Tringgiling Liang Batu
laksana dua batu besar, terseret di tanah, mengepulkan pasir dan debu. Sosok
perempuan tua di atas tandu berguncangguncang. Suara erangannya mengeras.
Hantu
Jatilandak kucurkan keringat di sekujur tubuhnya ketika dia berusaha berdiri
terus. Dua kakinya memang bergerak cepat, tapi gerakannya tetap disitu-situ
juga! Dia tidak mampu bergerak maju barang satu jengkalpun! Akhirnya Hantu
Jatilandak terpaksa hentikan larinya.
"Kek!
Aku mengalah! Apa yang hendak kau bicarakan!"
"Sebelum
bicara, kita turunkan dulu tandu ini." berkata makhluk bersisik kepingan
baja hitam.
Tandu
kayu di atas terbujur sosok perempuan tua yang dadanya ditancapi pisau
perlahan-lahan diturunkan ke tanah. Hantu Jatilandak memandang pada Tringgiling
Liang Batu. Menunggu apa yang hendak dikatakan kakek itu
"Jatilandak,
tahukan kau di mana kita berada saat ini ‘" Trenggiling Liang Batu ajukan
pertanyaan.
Walau
heran mendengar pertanyaan kakeknya itu tapi Hantu Jatilandak memandang juga
berkeliling. "Heh! Bukankah kila berada dalam rimba belantara Lasesat
buntu?!"
"Kau
betul! Kita berada di dalam rimba keramat. Penuh dengan seribu satu macam
petakal Kila telah tersesat. Berarti kita harus segera mencati jalan keluar
sebelum mendapat celaka’"
"Aku
ingat Kek, di hutan ini konon pernah sahabatku tersesat dan mendapat
malapetaka. Tapi aku tidak takut! Kalau memang harus menembus hutan ini, walau
ada seribu bahaya akan tetap kulewati. Lagi pula bukankah menembus ribuan
belantara ini kita bisa lebih cepat sampai di Lembah Katak Hijau tempat
kediaman nenek bernama Luhmasigi itu? Atau mungkin kau merasa takut Kek?"
Tringgiling
Liang Batu tertawa dicap sebagai penakut "Sejak lahir sampai kelak aku
menemui kematian, aku tidak akan pernah mengenal rasa takut."
"Kalau
begitu mengapa kita tidak meneruskan perjalanan?" tanya Hantu Jatilandak.
"Waktu
kita sangat singkat! Lihat keadaan perempuan tua di atas tandu itu! Ajalnya tak
akan lama. Jika kita dihadang marabahaya di tengah hutan berarti sebagian dari
waktu kita akan habis percuma. Aku tidak yakin kita bisa menemui salah satu
dari tiga orang yang dikatakannya. Apa lagi ke tiga-tiganya." Dengan suara
agak perlahan makhluk bersisik ini berkata "Perempuan malang ini akan
menemui Kematiannya sebelum menemui orang-orang itu!"
"Kalau
begitu apa yang harus kita lakukan? Ingat Kek, sebelumnya kita telah berjanji
untuk menolongnya!" kata Jatilandak pula seraya menatap pada pisau
bergagang dua kepala singa yang menancap di dada perempuan tua di atas tandu.
"Aku
ingat. Janji adalah satu kebajikan yang harus dipenuhi! Tapi kesia-siaan adalah
satu hal yang harus dihindarkan! Kita harus bisa memaksanya bicara saat ini
juga! Kalau nasibnya buruk, dia meninggal sebelum sempat menemui salah satu
dari tiga orang itu, sebelum sempat mengungkap rahasia besar yang katanya telah
dipendamnya selama puluhan tahun, celakalah kita berdua yang telah berusaha
menolongnya!"
"Aku
mengerti maksudmu Kek," menyahuti Hantu Jatilandak. "Tapi apa kau
lupa? Sebelum kita mulai mengusungnya empat hari lewat, bukankah kita sudah
meminta agar dia mengungkapkan saja pada kita rahasia besar yang diketahuinya.
Lalu kita yang akan menyampaikan pada orang-orang itu. Tapi dia tegastegas
menolak. Dia tetap meminta kita mengusungnya, mencari orang-orang itu. Karena
katanya semua rahasia besar itu harus terungkap dari mulutnya sendiri. Harus
disampaikan langsung pada salah satu dari orang-orang itu. Kalau hal itu tidak
dapat dilakukannya maka dia akan menanggung satu dosa besar, Rohnya akan
dikutuk para Dewa dan akan tergantung sengsara antara langit dan bumi!"
Tringgiling
Liang Batu terdiam sejurus. Dia pandangi sosok perempuan tua di atas tandu.
Lalu dia membungkuk di samping sosok malang yang tengah meregang nyawa itu.
Mulutnya didekatkan ke telinga kiri orang.
"Luhmundinglaya,
kau dapat mendengar suaraku?"
Mulut
yang mengerang tidak memberikan jawaban. Mata yang terpejam tidak bergerak.
"Luhmundinglaya,
kau belum mati! Kuatkan dirimu, tabahkan hatimu! Jika kau ingin bebas dari
beban dosa besar, dengar apa yang akan kutanyakan!"
Sosok
perempuan tua bernama Luhmundinglaya tetap tidak bersuara dan tidak bergerak.
Tringgiling Liang Batu memandang pada cucunya. "Jatilandak, bantu aku
mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh perempuan ini. Kita harus bisa membuatnya
bicara!"
Makhluk
bersisik ini lalu tempelkan dua telapak tangannya ke dada. Dia memberi isyarat
agar Jatilandak menempelkan tangannya di atas kening orang. Jatilandak segera
melakukan. Begitu ke duanya mengerahkan hawa sakti dan hawa ini menerobos
masuk ke dalam tubuh Luhmundinglaya lewat dada dan kening, tubuh perempuan tua
itu menggeliat keras dan mengepulkan asap putih! Darah meleleh di sela
bibirnya. Setelah mengerang pendek, sepasang matanya kelihatan bergerak lalu
mulutnya terbuka.
"Apa
yang kalian lakukan terhadapku? Mengapa berbuat jahat menambah
kesengsaraanku?!"
"Luhmundinglaya,
jangan kau salah paham!" berkata Tringgiling Liang Batu. "Kami tidak
berbuat jahat menambah deritamu. Kami justru ingin menolongmu lepas dari azab
sengsara ini! Dengar Luhmundinglaya. Kami khawatir kau tak bisa bertahan dan
melepas ajal lebih dulu sebelum menemui orang-orang yang kau sebutkan empat
hari lalu itu! Keadaanmu sangat gawat Luhmundinglaya…."
"Tringgiling
Liang Batu, kau tua bangka buta mata buta pikiran! Ajalku bukan di tangan
kalian, juga bukan dalam diriku sendiri. Ajalku berada di tangan Yang Maha
Kuasa di atas sana. Aku yakin para Dewa masih melindungi diriku…."
"Nek,
sebaiknya kau katakan saja rahasia apa yang hendak kau sampaikan pada
orang-orang itu, kakekku tidak bicara dusta. Bukan mustahil kau keburu mati
sebelum sempat menemui Luhcinta atau Luhmasigi atau Luhniknik…."
"Kalau
rahasia itu memang ingin kukatakan pada kalian, mengapa tidak sejak empat hari
lalu ketika pertama kali bertemu dengan kalian? Mengapa harus menyengsarakan
diri dalam perjalanan panjang ini?"
"Luhmundinglaya,
aku…."
"Tringgiling
Liang Batu, aku mengutuk dirimu jika saat ini kau tidak segera melanjutkan
perjalanan mencari orang-orang itu!"
Hantu
Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu jadi terdiam dan saling pandang. Makhluk
bersisik gelengkan kepala dan berkata. "Baiklah, jika memang itu maumu.
Mengingat hubungan baik kita dimasa lalu aku dan cucuku akan mengusungmu sampai
keujung dunia sekalipun. Tapi jika nyawamu putu;, di tengah jalan jangan
salahkan aku dan cucuku!" Makhluk bersisik ini memberi isyarat pada
Jatilandak. Keduanya segera hendak mengusung tandu. Namun gerakan mereka
tertahan ketika tiba-tiba di tempat itu menyeruak santar sekali bau godokan
rempahrempah. Tidak menunggu lama, satu sosok besar gemuk muncul di depan
Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu.
“Hantu
Raja Obat!" seru kakek dan cucu itu hampir bersamaan.
Saat itu
juga tempat itu dipenuhi suara gelak tawa keras. Hantu Jatilandak dan
Tringgiling Liang Batu merasa tanah yang mereka pijak bergetar hebat.
Cepatcepat keduanya kerahkan tenaga dalam lalu bangkit berdiri. Sambil berdiri
Tringgiling Liang Batu berbisik pada cucunya. "Hati-hati terhadap makhluk
satu ini. Dia bisa baik seperti Dewa. Tapi juga bisa membedol usus, mengorek
jantung atau merengkah batok kepala mengambil otak kita untuk ramuan
obat-obatnya!"
*********************
2
ORANG
gemuk luar biasa yang tegak tertawa di hadapan Hantu Jatilandak dan Tringgiling
Liang Batu mengenakan jubah putih gombrang. Di atas kepalanya yang bermuka
bulat dan ada tompel (tahi lalat besar berbulu) di pipi kiri, terdapat sebuah
sorban besar. Di atas sorban ini terletak sebuah belanga tanah mengepulkan asap
dan keluarkan suara mendidih. Dari dalam belanga itu menebar bau rempah-rempah
aneh.
"Dua
sahabat lama Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu! Tidak disangka kita
bertemu di tempat ini. Apa yang tengah kalian lakukan di sini?!" Si gemuk
Hantu Raja Obat bertanya.
"Hantu
Raja Obat sobatku lama! Kau datang disaat yang tepat Kami butuh bantuanmu untuk
menolong orang ini!"
Mendengar
ucapan Tringgiling Liang Batu sepasang mata si gemuk bersorban itu melirik ke
arah sosok Luhmundinglaya di atas tandu.
"Hemm….
Apa yang terjadi dengan perempuan ini? Kalau tidak salah mataku melihat
bukankah dia yang bernama Luhmundinglaya? Sejak muda sampai tua suka
bergentayangan dari satu hutan ke hutan lain?!
"Dugaanmu
siapa dia memang tepai! Seperti kau lihat sendiri dia tengah meregang
nyawa!"
"Wahai!
Kalau soal nyawa mana ada obatnya di dunia ini!" ujar Hantu Raja Obat pula
"Kau
orang pandai! Kau pasti bisa menolongnya! Paling tidak mencabut pisau di
dadanya lalu mengobati lukanya!" kata Tringgiling Liang Hatu pula.
Hantu
Raja Obat perhatikan pisau bergagang batu berbentuk singa berkepala dua yang
menancap di dada kiri Luhmundinglaya. Lalu gelengkan kepalanya.
"Aku
tak bisa menolongnya. Pisau itu bukan pisau biasa. Begitu menembus sasaran,
ujungnya akan terbelah menjadi tiga membentuk cakar terbalik. Jika dicabut bagian
tubuh yang tertancap akan terbongkar. Malah bisabisa jantungnya ikut tertarik
keluar!"
"Ganas
sekali! Hantu Raja Obat, apa kau tahu siapa yang mencelakai nenek ini dengan
pisau itu?!"
"Tak
bisa kuduga. Tak pernah kulihat senjata bergagang dua kepala singa seperti itu
sebelumnya. Tapi, sejak Istana Kebahagiaan dibangun oleh Hantu Muka Dua,
berbagai keanehan dan angkara murka muncul di Negeri Latanahsilam ini. Bukan
mustahil ini pekerjaan Hantu Muka Dua atau orang-orangnya. Jika orang-orang
Istana Kebahagiaan berlaku sekejam ini pasti ada sebab musababnya. Apa kalian
tahu permusuhan apa yang menguak antara Luhmundinglaya dan Hantu Muka
Dua?"
"Wahai!
Kami tidak tahu menahu. Bahkan Luhmundinglaya tidak tahu siapa makhluk jahat
yang menginginkan nyawanya. Namun saat ini perlu kau ketahui. Ada satu rahasia
besar yang harus disampaikannya pada tiga orang tertentu. Sejak empat hari
lalu kami mengusungnya mencari orang-orang itu. Yang kami khawatirkan dia akan
menemui ajal sebelum sempat menemui salah satu dari ke tiga orang itu."
"Rahasia
besar! Rahasia apa?" tanya Hantu Raja Obat.
"Dia
tidak mau mengatakan!" menjawab Hantu Jatilandak. "Katanya dia akan
menanggung beban dosa teramat besar jika rahasia itu tidak disampaikannya
langsung pada orang-orang itu!"
"Siapa
tiga orang yang dimaksudkannya itu?" Kembali Hantu Raja Obat bertanya.
"Yang
pertama seorang gadis bernama Luhcinta. Lalu seorang nenek bernama Luhmasigi
dan yang ketiga seorang nenek lagi bernama Luhniknik!"
"Luhcinta!"
kata Hantu Raja Obat setengah berseru. "Wahai, gadis cantik sahabatku itu.
Walau banyak kabar kudengar tentang dirinya dan dia pernah menolong diriku
namun entah dimana dia sekarang berada. Jika memang Luhmundinglaya punya satu
rahasia besar dan harus disampaikannya langsung pada gadis itu, aku merasa
punya kewajiban untuk membantu. Tapi, sayang, saat ini aku punya satu urusan
sangat penting. Ada seorang sahabat yang perlu ditolong. Soal nenek-nenek
bernama Luhmasigi dan Luhniknik itu aku kenal siapa mereka. Luhniknik bukan
lain nenek bobrok yang biasa dipanggil dengan sebutan Hantu Penjunjung Roh. Dia
adalah nenek Luhcinta. Sedang Luhmasigi lebih dikenal dengan panggilan Hantu
Lembah Laekatakhi|au Dia adalah guru Luhcinta. Aku tidak begitu suka pada dua
nenek itu. Tapi mengingat bi di baik Luhcinta di masa lalu biarlah aku
menolongnya dengan cara lain "
Habis
berkata begitu Hantu Ma|a Obat gerakkan tangan kirinya. Dia turunkan belanga
besar panas yang ada di atas sorbannya. Mulut belanga didekatkannya ke bibir
Luhmundinglaya yang agak terbuka. Lalu enak saja cairan panas yang ada dalam
belanga itu diguyurkannya ke dalam mulut si nenek. Hantu Jatilandak dan
Tringgiling Liang Batu melengak kaget. Mereka tahu cairan yang ada dalam
belanga itu panasnya bukan main. Justru cairan itu diguyurkan ke dalam mulut
nenek yang sedang sekarat!
"Glekk…
glekkkk…! Cesss! Cesss! Cesss!"
Hantu
Raja Obat tertawa gelak-gelak. Sementara Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu
sama tercekat.
Dari
mulut Luhmundinglaya tiba-tiba menggelegar satu jeritan dahsyat. Cairan aneh
bercampur buku-buku darah menyembur. Bersamaan dengan itu sosok si nenek
bangkit terduduk. Sepasang matanya membeliak kemerahan. Sesaat kemudian tubuh
itu terbanting kembali ke atas tandu.
"Mati!"
seru Hantu Jatilandak.
Hantu
Raja Obat tertawa. "Jangan khawatir. Dia masih hidup. Mudah-mudahan para
Dewa memberkatinya. Kuharap obatku bisa membuatnya bertahan sampai tujuh hari
dimuka. Aku harus pergi sekarang. Jika kalian bertemu dengan Luhcinta, katakan
pada gadis itu. Aku tengah menuju ke satu tempat untuk menolong seorang pemuda
yang dicintainya…." Hantu Raja Obat putar tubuhnya yang gemuk luar biasa.
"Tunggu
dulu!" berkata Tringgiling Liang Batu.
Tubuh
gemuk itu berputar kembali.
"Sahabatku
Hantu Raja Obat, apakah kau telah mendengar kabar mengenai undangan dari Istana
Kebahagiaan. Ada satu upacara besar di sana pada hari ke lima belas bulan dua
belas. Apakah kau berniat menghadiri undangan itu?"
Hantu
Raja Obat tertawa gelak-gelak. "Upacara makan minum aku tidak begitu suka.
Tapi mengingat di sana bakal banyak orang pandai bermunculan, aku akan usahakan
datang. Belanga obatku perlu tambahan isi perut orang-orang berkepandaian
tinggi! Ha…ha… ha…!" Si gemuk berjubah putih ini berkelebat. Walau tawanya
masih mengumandang di rimba belantara itu namun sosoknya lenyap tak berbekas!
"Makhluk
luar biasa…" kata Tringgiling Liang Batu sambil gelengkan kepala. Lalu dia
berpaling pada cucunya. "Jatilandak, tadi Hantu Raja Obat berkata bahwa dia
tengah menuju ke satu tempat untuk menolong seorang pemuda yang dicintai
Luhcinta. Cucuku, apakah kau tahu siapa gerangan pemuda itu?"
Hantu
Jatilandak tak segera menjawab. Dia seperti tengah merenung. Tringgiling Liang
Batu pandangi wajah cucunya yang kuning ditumbuhi duri-duri panjang. Dalam
hatinya mendadak muncul satu perasaan. "Jangan-jangan cucuku ini memendam
rasa menyimpan cinta terhadap gadis bernama Luhcinta itu. Kasihan dia….
Sebaiknya tadi aku tidak bertanya siapa pemuda yang dicintai gadis itu Aku
telah membuat hatinya bersedih… Bukan mustahil cucuku ini hanya bertepuk
sebelah tangan
Hantu
Jatilandak tatap wajah kakeknya dengan sayu. Lalu dengan suara perlahan dia
berkala "Wiro Sableng…. Dia sahabatku. Pemuda asing itulah yang dicintai
Luhcinta. Lalu dalam bati Mandi Jatilandak ada suara lain ikut bicara.
"Wiro memang lebih lantas untuk dicintai gadis itu. Dari pada aku yang
buruk rupa begini…."
Sisik
hitam keras di wajah Tringgiling Liang Batu bergerak naik. Sepasang matanya
menatap ke arah Hantu Jatilandak tak berkedip. "Wiro Sableng? Bukankah
pemuda itu yang dulu pernah menolong kita sewaktu Hantu Muka Dua hendak
menghabisi kita di pulau?"
Hantu
Jatilandak mengangguk.
Tringgiling
Liang Batu menghela nafas dalam. Hatinya berkata. "Memang tidak mungkin
gadis bernama Luhcinta itu mengasihi cucuku. Dibanding dengan pemuda asing
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang, cucuku ketinggalan
segala-galanya. Bukan cuma ketinggalan ilmu kesaktian dan kepandaian silat,
tapi dalam ujud nyata saja tak mungkin menandingi Wiro Sableng. Kasihan
cucuku…. Semoga para Dewa menabahkan hatinya. Semoga rahmat dan berkah akan
jatuh atas dirinya dalam cara yang lain."
*********************
3
NENEK
berjubah coklat yang di atas kepalanya ada gulungan asap merah berbentuk
kerucut hentikan larinya, berpaling ke belakang, pada nenek yang sekujur
tubuhnya tertutup ratusan katak hijau.
"Luhmasigi!
Kita sudah menghabiskan banyak hari secara percuma! Hanya gara-gara mengikuti
kemauanmu. Menyelidik arti mimpi gilamu itu! Padahal bukankah lebih penting
mencari Luhmundinglaya, orang yang konon hendak menyampaikan sesuatu berita
besar pada kita?"
Nenek
bernama Luhmasigi yang di Negeri Latanahsilam dikenal dengan sebutan Hantu
Lembah Laekatakhijau pencongkan mulutnya lalu menjawab ucapan temannya.
"Luhniknik!
Kau masih saja mengomel tak karuan! Mimpiku bukan bunga tidur! Aku yakin apa
yang aku lihat dalam mimpi merupakan satu kenyataan! Apalagi jika dihubungkan
dengan firasatku suatu peristiwa besar akan terjadi di Negeri ini. Ingat
undangan pertemuan besar di Istana Kebahagiaan? Aku yakin dibalik undangan itu
ada satu rahasia busuk!"
"Rahasia
itu akan kita singkapkan! Bukankah kita sudah sama memutuskan untuk hadir di
Istana itu? Jika Hantu Muka Dua punya maksud jahat hendak mencelakai kita, aku
akan beset tubuhnya hingga hanya tinggal tulang belulang!" berkata nenek
bernama Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh yang merupakan nenek kandung
Luhcinta.
"Sudahlah,
jangan bicara saja. Beri aku kesempatan untuk meneliti keadaan. Rasa-rasanya
alam dikawasan ini menyerupai keadaan yang aku lihat di dalam mimpi!"
"Aku
melihat sesuatu di sebelah sana!" Hantu Penjunjung Roh berkata lalu
membuat dua kali lompatan. Di satu tempat di bawah sebatang pohon dia
membungkuk mengambil sesuatu.
"Apa
yang kau temukan?" tanya Hantu Laekatakhijau yang ikut berkelebat ke
tempat Hantu Penjunjung Roh berada.
Hantu
Penjunjung Roh perlihatkan pada sahabatnya benda apa yang barusan dipungutnya.
Ternyata seuntai rantai besi.
"Potongan
rantai besi…" kata nenek yang tubuhnya dipenuhi ratusan katak hijau.
"Dari mana asalnya benda ini, bagaimana bisa berada di sini? Coba kau
periksa…." Ketika Luhmasigi memegang rantai besi itu dia merasakan satu
hawa dingin aneh menjalar pada dua lengannya terus hinggap di kuduknya. "Aku
merasa ada hawa aneh. Aku yakin rantai besi ini bukan benda sembarangan.
Agaknya datang dari alam gaib…."
Mendengar
ucapan sahabatnya itu Hantu Penjunjung Roh pejamkan dua matanya dan mendongak
ke langit "Mungkin aku bisa menduga…" kata nenek ini dengan suara
perlahan. Setelah merenung beberapa lamanya dia kembali berucap. "Menurut
riwayat yang pernah kudengar menyangkut diri orang bernama Lakasipo bergelar
Hantu Kaki Batu, besar dugaanku rantai besi ini adalah rantai yang dulu pernah
mengikat dua kakinya. Aku…."
Belum
habis Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh berucap tiba-tiba ratusan katak
hijau yang menempel di kepala, muka dan sekujur tubuh kemudian keluarkan
jeritan-jeritan aneh keras sekali.
"Katak
celaka! Kalian mau membuat pecah gendanggendang telingaku!" teriak Hantu
Penjunjung Roh marah.
Ratusan
katak hijau kembali menjerit keras membeset udara. Lalu puluhan binatang itu
melesat belasan tombak ke kiri di mana terdapat satu kawasan berumput
"Tidak
biasanya anak-anakku bertingkah aneh seperti ini!" kata Hantu Lembah
Laekatakhijau terheran-heran. "Aku harus menyelidiki! Agaknya mereka
melihat sesuatu yang tak bisa kulihat dengan mataku!" Lalu Luhmasigi nenek
yang adalah guru Luhcinta ini berkelebat menyusul puluhan kataknya. Luhniknik
melompat pula mengikuti.
Di satu
pedataran berumput, di samping sebuah batu besar yang tertutup lumut,
tergeletak tak bergerak seekor katak hijau luar biasa besarnya, hampir sebesar
buah kelapa. Dua matanya yang coklat membeliak tak bergeming. Di sekitar sosok
katak besar itu berkeliling puluhan katak hijau yang tadi melompat dari tubuh
Hantu Laekatakhijau. Puluhan katak ini berjongkok di tanah, menatap ke arah
katak besar dengan sikap seolah menghormat. Puluhan katak yang masih menempel
di tubuh Luhmasigi tiba-tiba berlompatan dan bergabung bersama teman-temannya
mengelilingi katak besar. Kalau sebelumnya binatang-binatang itu
berteriak-teriak keras setinggi langit, kini semuanya mendekam tak bersuara dan
juga tak bergerak. Malah pandangan mata mereka pun tidak berkesip!
"Yang
kita temukan hanya seekor katak besar yang sudah jadi bangkai! Apa
anehnya!" kata Luhniknik tak acuh lalu memandang berkeliling.
"Wahai!
Justru aku melihat keanehan! Apa matamu buta tidak melihatnya?" kata
Luhmasigi pula.
"Apa
maksudmu?!" tanya Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh agak penasaran
mendengar kata-kata Luhmasigi tadi.
"Aku
sudah puluhan tahun hidup di tengah katak-katak hijau. Tapi baru sekali ini aku
melihat katak sebesar ini. Katak besar itu memang sudah jadi bangkai. Tapi
mengapa sosoknya tidak rusak dan mengapa tidak membusuk menebar bau busuk?!
Lalu kau saksikan sendiri. Ratusan katak yang selama ini melekat di tubuhku
duduk mengelilingi katak hijau besar itu. Tadinya mereka berteriak-teriak. Kini
mereka semua mendekam duduk seperti menghormat!"
Hantu
Penjunjung Roh hendak tertawa gelakgelak mendengar ucapan Hantu Laekatakhijau
itu. Namun niatnya dibatalkan karena khawatir sahabatnya akan tersinggung.
Dalam pada itu dia sendiri diam-diam mengakui memang ada keanehan dengan katak
besar yang telah mati itu seperti yang dikatakan Luhmasigi.
Saat itu
Luhmasigi telah melangkah mendekati batu besar. Dia jongkok di hadapan mayat
katak hijau besar. "Tak ada kulihat penyebab keanehan pada kulit tubuh
binatang ini. Mungkin keanehan itu ada di sebelah dalam badannya. Kalau tidak
ada satu kekuatan sakti, tidak mungkin katak ini bisa bertahan seperti ini.
Katak ini menemui ajalnya pasti sudah lama sekali. Bagaimana aku memeriksa
menyingkapkan keanehan ini?" Luhmasigi merenung sejenak. Dia melirik pada
puluhan katak yang berada di sekelilingnya. Lalu dia bangkit berdiri.
"Anak-anak,
aku perlu bantuan kalian!" Luhmasigi berucap pada katak-kataknya.
"Beset tubuh katak hijau besar itu. Aku ingin melihat apa yang ada dalam
perutnya!"
Luhmasigi
kerenyitkan kening. Setelah ditunggu tak seekorpun dari katak-katak hijau itu
melakukan apa yang tadi dikatakan si nenek. Padahal jangankan seekor katak
besar, seekor kudapun jika diserbu dan dibeset oleh ratusan katak itu pasti
akan berubah menjadi tulang belulang dalam waktu singkat!
"Anak-anak!
Apa kalian telah jadi tuli semua hingga tidak melakakan apa yang aku
perintahkan?!" Luhmasigi alias Hantu Laekatakhijau berucap dengan suara
keras. Tetap saja tak ada seekor katakpun yang bergerak.
"Wahai!"
Luhmasigi berseru dan delikkan matanya. "Jangan membuat aku marah! Puluhan
tahun aku bersama kalian! Tak pernah ada satu perintahkupun tidak kalian
laksanakan! Mengapa hari ini kalian semua diam membisu, tak bersuara tak
bergerak! Tidak menjalankan apa yang aku perintahkan?!"
"Luhmasigi,
kurasa ada apa-apanya. Antara katakmu dan katak besar itu ada kaitan hubungan
yang tidak kau ketahui…" berkata Hantu Penjunjung Roh.
"Lihat
saja gerak gerik mereka. Semuanya mendekam dengan sikap seolah menghormati
katak besar yang sudah jadi bangkai itu."
Sepasang
mata Luhmasigi masih membeliak besar. Pelipisnya bergerak-gerak. "Untung
saja aku tidak membawa tongkat bambu kuning lagi! Kalau tidak sudah kugebuk
kalian satu persatu!"
"Luhmasigi,
biar aku membantumu! Biar aku yang membongkar isi perut katak hijau itu!"
"Luhniknik!
Tungggu!" Luhmasigi berkata. "Jika anak-anakku berlaku hormat pada
katak besar itu, kita berdua juga harus perduli. Jangan melakukan sesuatu yang
menyakitkan mata dan hati mereka…."
"Kalau
begitu terserah padamu! Bagaimana kau mau melihat apa yang ada dalam perut
binatang itu kalau tidak menjebol badannya?!" ujar Hantu Penjunjung Roh
pula.
Hantu
Laekatakhijau kembali membungkuk. Diangkatnya sosok katak hijau besar. Dengan
tangan kirinya dipegangnya tinggi-tinggi dua kaki belakang binatang itu. Lalu
dengan jari-jari tangan kanannya perlahan-lahan dipencetnya tubuh katak di
bagian punggung dan perut. Mendadak si nenek tersentak. Kakinya tersurut dua
langkah dan wajahnya berubah.
"Ada
apa?" tanya Hantu Penjunjung Roh ingin tahu.
"Ada
hawa aneh dingin mencucuk masuk ke dalam tubuhku," menerangkan Hantu
Lembah Laekatakhijau. "Aku… aku merasakan ada sesuatu dalam perut bangkai
katak ini…." Si nenek merasakan jari-jari tangannya bergetar. Dia kuatkan
hati, kerahkan tenaga dalam dan kembali memencet punggung serta perut katak
hijau. Puluhan katak di sekitarnya keluarkan suara mendesah panjang seolah-olah
mereka turut merasakan sesuatu.
Saat itu
memang Hantu Lembah Laekatakhijau merasakan ada sesuatu dalam perut bangkai
katak. Dia kerahkan tangan ke ujung-ujung jari. Benda di dalam perut terasa
meluncur ke bawah, ke arah tenggorokan katak hijau.
Tiba-tiba
dari dalam mulut katak hijau keluar suara mendesis panjang. Menyusul
memancarnya cahaya aneh tujuh warna. Lalu menyusul keluar lelehan cairan putih.
Warna putih ini kemudian berubah membentuk tujuh warna. Hantu Laekatakhijau
merasakan tangannya bergetar. Tengkuknya semakin dingin. Jari-jari tangannya
menekan terus. Mulut katak yang sudah jadi bangkai bergerak membuka secara
aneh. Sesaat kemudian dari mulut itu menyembul sebuah benda keras dibalut tujuh
macam warna, makin panjang, makin panjang.
"Dess!"
Benda
aneh keluar lepas dari mulut katak hijau, jatuh ke bawah. Sesaat lagi benda itu
akan terhempas jatuh di tanah berumput Hantu Penjunjung Roh melompat ke depan,
cepat menyambutnya. Ternyata benda itu sebuah batu pipih aneh sebesar batu
pengasah pisau. Memiliki tujuh macam warna. Pada bagian atas berbentuk agak
bulat menyerupai kepala manusia dan pada sisi kiri kanan ada bagian yang
menonjol seperti telinga.
Mendadak
ratusan kodok yang masih bertebaran di tanah sekeliling batu besar keluarkan
teriakanteriakan keras. Hantu Laekatakhijau merasa tidak enak. Dia melangkah
mendekati sahabatnya yang tengah memperhatikan terheran-heran benda yang ada di
telapak tangannya yakni yang keluar dari perut katak besar.
Pada saat
itulah tiba-tiba di langit ada suara menderu keras. Laksana sambaran kilat
satu benda putih melesat rendah di udara. Pedataran berumput seolah diterpa
topan. Dua nenek terjengkang di tanah! Bersamaan dengan itu satu benda biru
berkelebat dahsyat, menyambar ke tangan kanan Hantu Penjunjung Roh yang
memegang benda aneh. Sebelum dua nenek itu mengetahui apa yang terjadi, benda
putih yang melesat sebat dan benda biru yang barusan menyambar membumbung ke
udara lalu lenyap seolah menembus langit.
"Jahanam!
Ada yang merampas benda itu!" teriak Hantu Penjunjung Roh. Hantu
Laekatakhijau terkejut besar. Dua nenek ini cepat melompat bangkit dan hantamkan
tangan kanan masing-masing ke udara.
"Wuuuttt!"
"Wuttt!"
Dua
gelombang angin melesat ke atas. Yang jadi sasaran ternyata sudah lenyap. Walau
demikian ada sepotong benda putih tiba-tiba melayang jatuh dari atas langit.
Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah Laekatakhijau sama-sama melompat, berebut
cepat menangkap benda putih itu.
"Rontokan
bulu burung…" kata si nenek seraya memperlihatkannya pada sahabatnya Hantu
Laekatakhijau.
Hantu
Laekatakhijau ambil benda itu dan memperhatikan. "Hemmm…" si nenek
bergumam. "Bulu burung tidak ada yang sebesar ini…." Dia memandang ke
langit "Aku sudah bisa menduga siapa adanya makhluk yang berusaha merampas
batu aneh tujuh warna itu…."
"Siapa?"
bertanya Hantu Penjunjung Roh.
"Tidak
akan kukatakan sekarang. Aku tak ingin pikiranmu ikut bercabang. Makhluk itu
kelak akan muncul sendiri. Yang penting kita harus lebih dulu mencari nenek
bernama Luhmundinglaya itu. Rahasia apa konon yang hendak disampaikannya pada
kita…."
"Aku
kecewa kau tak mau memberitahu siapa adanya si perampas batu berwarna tujuh
itu. Apa boleh buat Aku tak mau memaksa! Tapi apa kau mau mengatakan benda apa
sebenarnya yang tadi keluar dari mulut katak hijau itu?" tanya Hantu
Penjunjung Roh pula.
"Tak
dapat kupastikan apa adanya," jawab Hantu Laekatakhijau. Lalu dia
menambahkan. "Tapi jika ada seseorang merampasnya, pasti benda itu sangat
berharga. Jangan-jangan…." Si nenek mendadak hentikan ucapannya. Wajahnya
yang keriput berubah.
"Kau
tidak meneruskan ucapanmu. Wajahmu kulihat berubah. Apa yang ada dalam
pikiranmu wahai sahabatku Luhmasigi?"
"Aku
ingat pada peristiwa beberapa waktu lalu. Konon Hantu Tangan Empat pernah
diutus Hantu Muka Dua pergi ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang untuk
mencari sebuah batu sakti bernama Batu Sakti Pembalik Waktu. Dengan
mempergunakan ilmu itu siapapun bisa menembus perbedaan waktu dan bisa muncul
datang ke negeri asing itu lalu kembali lagi ke sini setiap saat yang
dikehendakinya…."
"Aku
memang pernah mendengar riwayat itu," kata Luhniknik alias Hantu
Penjunjung Roh pula. "Tetapi setahuku Hantu Tangan Empat tidak berhasil
mendapatkan batu sakti itu. Lalu bagaimana batu itu bisa berada di sini, jika
dugaanmu memang benar bahwa benda yang tadi dirampas orang itu adalah Batu
Pembalik Waktu ? Bagaimana bisa berada di dalam perut katak hijau?"
"Memang
sulit untuk dipercaya. Namun bukan mustahil batu itu tadinya dibawa oleh
orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu…."
"Jika
pendapatmu benar, mengapa mereka tidak mempergunakan untuk kembali ke kampung
halaman mereka di Tanah Jawa? Mengapa menyengsarakan diri dalam bahaya di
negeri ini?"
"Aku
tidak tahu mau mengatakan apa lagi," kata Luhmasigi. Si nenek garuk-garuk
kepalanya yang ditumbuhi rambut putih lalu memandang pada ratusan katak hijau
yang bertebaran di tanah. "Anak-anak, kita akan segera tinggalkan tempat
ini!" Mendengar ucapan si nenek ratusan katak hijau segera berlompatan ke
kepala, muka dan tubuh Hantu Laekatakhijau.
Untuk
mengingatkan pembaca pada riwayat Batu Pembalik Waktu perlu kita kembali pada
Episode Pertama dari petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam berjudul
"Bola Bola Iblis". Dituturkan dalam Episode tersebut secara tak
sengaja Naga Kuning telah menekan bagian menonjol di kiri kanan batu yang
berakibat membawa mereka melesat ke alam seribu dua ratus tahun silam dan
muncul di Negeri Latanahsilam.
Secara
tidak sengaja Batu Pembalik Waktu yang dibawa oleh Naga Kuning terjatuh di satu
tempat dan ditemui oleh katak hijau besar yang langsung menelannya.
Pada saat
menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Latanahsilam Wiro dan dua kawannya
bertemu dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu. Walau tadinya Lakasipo berniat
membunuh ke tiga orang itu namun persahabatan kemudian terjalin. Bahkan
Lakasipo menganggap Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sebagai saudara-saudara
angkatnya. Lakasipo juga berusaha membantu mereka untuk menemukan kembali Batu
Pembalik Waktu agar ketiganya bisa kembali ke Tanah Jawa. Namun usaha itu
sia-sia belaka karena sang batu tidak dapat ditemukan.
Pada saat
bersamaan sampainya Wiro dan dan kawan-kawan di Negeri Latanahsilam, muncul
pula seekor katak hijau besar. Binatang inilah yang menemukan Batu Pembalik
Waktu lalu menelannya. Karena batu itu bukan benda biasa, sehari setelah
menelan batu katak tadi menemui kematiannya. Anehnya walau telah jadi bangkai
sosoknya tidak rusak atau membusuk. Apa yang terjadi selanjutnya adalah seperti
yang dituturkan di atas.
*********************
4
DERU lima
air terjun seolah menjadi pengantar kekhusukan samadi yang tengah dilakukan
kakek berambut putih riap-riapan itu. Orang tua ini memiliki kening, hidung dan
dagu sama rata dengan pipinya. Dia duduk bersila mengapung satu jengkal di atas
batu rata di dalam bangunan berbentuk gapura.
Orang tua
ini bukan lain adalah Hantu Tangan Empat, salah seorang tokoh rimba persilatan
yang disegani di Negeri Latanahsilam. Di langit matahari mulai condong ke
barat. Peri Angsa Putih sampai saat itu masih saja tetap duduk bersila di
hadapan si orang tua. Sikapnya yang sepanjang hari memperlihatkan kesabaran
kini mulai goyah. Peri ini mulai gelisah, apa lagi setelah melihat petang mulai
merayap siap membawa sang surya ke titik tenggelamnya.
"Cucuku
Peri Angsa Putih, sifat manusia luar rupanya mulai mempengaruhi dirimu. Dimana
kau simpan rasa kesabaranmu selama ini?" Tiba-tiba kesunyian dan keresahan
menunggu dipecahkan oleh suara aneh yang seolah datang dari empat jurusan
hingga sulit mengetahui siapa adanya orang yang bicara. Mulut si kakek tidak
tampak bergerak. Matanyapun masih terpejam. Itulah ilmu Empat Penjuru Angin
Menebar Suara. Di Negeri Latanahsilam hanya ada tiga makhluk yang memiliki ilmu
kesaktian ini. Pertama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. Ke dua Hantu Tangan Empat
dan ke tiga adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang beruntung mendapat ilmu
tersebut dari Luhpingitan, istri Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Peri
bermata biru itu terkesiap kaget mendengar suara tadi. Dia menatap wajah Hantu
Tangan Empat sesaat lalu jatuhkan diri berlutut.
"Kek,
harap maafkan diriku kalau kedatanganku mengganggu semedimu…."
Dua mata
Hantu Tangan Empat yang sejak tadi tertutup perlahan-lahan terbuka. Dia
pandangi Peri Angsa Putih sejenak lalu berkata. "Terakhir sekali kau
datang ke tempat kediamanku ini dulu lama sekali. Kau muncul membawa pemuda
asing dan dua kawannya. Apakah kali ini kedatanganmu juga ada sangkut pautnya
dengan diri pemuda itu?"
Peri
Angsa Putih berusaha tersenyum untuk menutupi perubahan wajahnya. "Saya
menemuimu karena ada satu mimpi datang berulang kali sejak beberapa hari
ini…."
"Begitu?"
Alis putih Hantu Tangan Empat naik ke atas. Keningnya mengerenyit.
"Sebelum kau menerangkan mimpi apa yang kau alami, ada satu hal ingin
kuketahui. Di Negeri Latanahsilam sejak belakangan ini tersiar banyak berita.
Satu diantaranya menyangkut dirimu yang dihubungkan dengan pemuda asing bernama
Wiro Sableng itu. Konon kabar itu mengatakan bahwa kau tergila-gila pada pemuda
itu dan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Aku inginkan kejujuranmu.
Apakah berita itu benar adanya?"
"Kakek
Hantu Tangan Empat, berbagai berita bisa saja tersebar dan tersiar kemana-mana.
Namun kebenarannya perlu diteliti dan dikaji. Seingat saya sampai saat ini
saya masih bisa menjaga diri. Masih menyadari bahwa saya adalah bangsa Peri
yang tidak sama dengan manusia biasa…."
"Hemmm….
Aku berharap kau tetap berada dalam keadaan seperti itu," kata Hantu
Tangan Empat pula. "Namun perlu kau ketahui wahai cucuku. Pengaruh zaman
mendatangkan banyak perubahan di alam kehidupan kita. Perubahan ini
berpengaruh pula pada sifat dan sikap serta tindakan kita, termasuk kalian
bangsa Peri. Perbedaaan antara kaum Peri dan makhluk biasa semakin menipis.
Pengaruh dunia luar semakin terasa. Kuharap kau berlaku hati-hati…. Termasuk
berhati-hati dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Aku mendengar banyak
sekali kabar buruk menyangkut diri pemuda itu…."
"Semua
ucapan Kakek akan saya perhatikan," kata Peri Angsa Putih pula.
"Bagus,
sekarang kau boleh menceritakan padaku perihal mimpimu."
"Saya
kedatangan mimpi, tiga malam berturutturut. Dalam mimpi itu muncul seorang tua
memperlihatkan sebuah benda berbentuk segi empat. Agaknya merupakan sebuah
batu. Setiap dia hendak memberikan batu itu kepada saya, saya tersentak bangun
dan mimpi saya terputus. Saya lalu merenung apa arti mimpi itu. Tidak bisa saya
memecahkannya. Lalu saya ingat pada peristiwa beberapa waktu lalu. Ketika Kakek
diperintahkan oleh Hantu Muka Dua untuk berangkat menembus waktu, pergi ke
Tanah Jawa. Bukankah saat itu Kakek ditugaskan untuk mencari sebuah benda
bernama Batu Sakti Pembalik Waktu?"
"Kau
benar. Hantu Muka Dua memang menugaskan diriku mencari benda itu sampai ke
Negeri Seribu Dua Ratus Tahun Mendatang yang disebut Tanah Jawa. Aku terpaksa
melakukannya karena dia menculik dan menyekap istriku Luhbarini…."
"Mengenai
Batu Pembalik Waktu itu, Kek. Dapatkah kau mengatakan bagaimana
bentuknya?" bertanya Peri Angsa Putih.
"Aku
sendiri belum pernah melihatnya. Seperti kau ketahui aku tidak berhasil
mendapatkan batu tersebut Hanya dari Hantu Muka Dua aku pernah diberi tahu
bentuk dan ciri-cirinya."
"Coba
kau katakan, mungkin sama dengan batu yang saya lihat dalam mimpi."
"Menurut
Hantu Muka Dua, batu itu berbentuk empat persegi. Salah satu ujungnya agak
bulat. Memiliki tujuh warna. Apakah penjelasanku cocok dengan batu yang kau
lihat dalam mimpimu?"
Peri
Angsa Putih menggeleng. "Bentuknya mungkin sama. Tapi mengenai warnanya
tidak terlalu jelas…."
Hantu
Tangan Empat tatap wajah Peri Angsa Putih sejenak lalu bertanya. "Mengenai
orang tua dalam mimpi itu. Yang katamu hendak menyerahkan batu tersebut padamu,
apakah kau mengenali siapa dia adanya. Atau pernah melihat sebelumnya?"
"Saya
tidak mengenali siapa dia. Juga belum pernah melihatnya…."
"Kalau
begitu tidak banyak hal lain yang bisa kuberitahu padamu…."
"Penjelasan
Kakek sudah lebih dari cukup. Saya sangat berterima kasih. Sekarang izinkan
saya mohon diri berpamit pergi…."
"Sebentar
lagi hari akan malam. Mengapa kau tidak menginap saja di sini? Mungkin banyak
hal lain yang bisa kita bicarakan."
"Saya
ingin sekali bermalam di sini. Tapi masih ada beberapa urusan penting lainnya
yang harus saya lakukan. Mungkin Kakek sudah mendengar kabar bahwa Peri Bunda
tengah ditimpa musibah…."
"Aku
mendengar. Aib besar bagi bangsa Peri! Lagi-lagi karena perbuatan pemuda
bernama Wiro Sableng itu! Peri Bunda sampai hamil! Jika tiba saatnya pemuda itu
perlu dimintai pertanggungan jawabnya. Dengan darah bahkan kalau perlu dengan
nyawanya! Aku mengerti cucuku. Pergilah. Selalu berlaku hati-hati dimana kau
berada, dengan siapapun kau berhadapan."
Peri
Angsa Putih bersujud di hadapan Hantu Tangan Empat lalu tinggalkan bangunan
berbentuk gapura itu.
Sesaat
setelah Peri Angsa Putih meninggalkan tempat kediamannya, Hantu Tangan Empat
usap-usap janggut putihnya, menatap ke arah pedataran berumput di seberang
sana. Rumput di pedataran itu tidak berwarna hijau seberapa lazimnya warna
rumput melainkan berwarna biru.
"Batu
Sakti Pembalik Waktu…" desis Hantu Tangan Empat. "Batu keramat itu
tidak berhasil aku dapatkan. Tidak ada yang tahu dimana beradanya. Cucuku
datang membawa cerita tentang mimpi melihat batu sakti itu. Apakah dia berkata
benar…? Bukankah sejak beberapa lama belakangan ini cara berpikir dan gerak
geriknya banyak dipengaruhi oleh orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang itu? Aku curiga. Jangan-jangan batu itu mung-kin sudah ada padanya.
Paling tidak dia mengetahui dimana beradanya. Cuma dia tidak tahu pasti
bagaimana bentuknya. Itu sebabnya dia datang ke sini mencari keterangan untuk
memastikan…" Hantu Tangan Empat menyeringai dan usap-usapjanggut
putihnya. "Cucuku Peri Angsa Putih. Kau sudah pandai bercerdik diri. Tapi
kau tidak bisa menipu kakekmu ini!"
Hantu
Tangan Empat tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut. Saat itu juga
muncullah satu makhluk luar biasa yang sekujur sosoknya mulai dari kepala
sampai ke kaki dikobari api. Selain itu bagian tubuhnya sebelah kanan sangat
mengerikan untuk dipandang. Karena bagian tubuh ini hanya berbentuk satu lobang
besar, menggeroak demikian rupa hingga tulang-tulang iga, isi dada dan isi
perutnya kelihatan dengan nyata! Siapa gerangan adanya makhluk dahsyat ini?!
Sebelumnya
dalam Episode berjudul "Hantu Muka Dua" telah diriwayatkan mengenai
seorang Utusan atau Wakil Para Dewa bernama Lamanyala yang bertempur
habis-habisan melawan Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. Lamanyala
berusaha mengambil Jimat Hati Dewa yang dilarikan Lasedayu. Tapi Lasedayu
keburu menelan jimat itu hingga kesaktiannya berlipat ganda. Lamanyala tidak
berdaya menghadapi Lasedayu, akhirnya melarikan diri setelah tubuhnya sebelah
kanan dihantam hancur oleh lawan dengan pukulan sakti bernama Pukulan Tangan
Dewa Warna Kuning.
Sejak
peristiwa itu dengan sendirinya Lamanyala mendekam dendam kesumat besar
terhadap Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. Di dalam Episode berjudul
"Hantu Langit Terjungkir" dia muncul kembali pada saat Lasedayu
berusaha mengejar Hantu Kaki Batu (Lakasipo) yang diduganya adalah putera
kandungnya sendiri.
Lamanyala
berani menghadang Lasedayu karena dia mengetahui bahwa seluruh kesaktian yang
ada pada Lasedayu telah dirampas oleh Hantu Muka Dua lewat Sendok Pemasung
Nasib. Dugaan Lamanyala meleset. Karena selama berada di Lembah Seribu Kabut
diam-diam Lasedayu menciptakan satu ilmu kesaktian yang didasarkan pada
kekuatan alam sekitarnya. Dalam keadaan terdesak Lamanyala bermaksud hendak
melarikan diri. Namun tidak terduga muncullah Hantu Lumpur Hijau membantu.
Dikeroyok dua Lasedayu jadi tak berdaya. Apalagi setelah Lamanyala mengeluarkan
ilmu kesaktiannya berupa kobaran api raksasa menelikung seputar Lasedayu.
Pada
saat-saat dimana Lasedayu akan ditumpas habis dan menemui ajal, tiba-tiba
muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng bersama dua kawannya yakni Naga Kuning dan
Setan Ngompol. Untuk menyelamatkan si kakek, Wiro keluarkan ilmu kesaktian
bernama Angin Es. Kobaran api ganas Lamanyala bukan saja padam tapi kakek jahat
ini bersama-sama Hantu Lumpur Hijau serta merta berubah menjadi patung es!
Penuh
kagum akan kehebatan ilmu kesaktian Wiro yang sanggup membuat Lamanyala dan
Hantu Lumpur Hijau berubah menjadi patung es, Hantu Langit Terjungkir
bertanya. "Berapa lama dia akan jadi patung es seperti itu?"
Wiro
menjawab. "Jika mereka tetap berada di udara terbuka tapi terkena cahaya
matahari, mereka baru bisa bebas sekitar tujuh hari. Jika tidak terkena
matahari bisa-bisa dua puluh hari. Tapi jka mereka berada dalam air bisa-bisa
empat puluh hari."
Sambil
menyeringai Naga Kuning lalu menyambung ucapan Wiro itu.
"Kek,
waktu kau ke sini, kami melihat ada satu comberan busuk. Dalamnya sekitar
seleher. Di dalamnya ada macam-macam kotoran, ular air, kodok dan lintah.
Mengapa tidak dijebloskan saja dua kakek jahat itu ke sana?!"
Hantu
Langit Terjungkir menyeringai geli. "Memang, ada baiknya aku mengikuti
usulmu itu wahai sahabat kecil yang nakal! Ha… ha… ha!"
Apa yang
dikatakan Naga Kuning itu kemudian benar-benar dilaksanakan. Diikuti dari
belakang oleh Hantu Langit Terjungkir, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
menyeret sosok Lamanyala dan Hantu Lumpur Hijau ke sebuah kubangan busuk yang
bukan saja penuh berbagai kotoran tapi juga banyak binatangnya. Dua kakek itu
mereka cemplungkan ke dalam kubangan. Masih untung kepalanya sengaja dibiarkan
timbul. Kalau sampai diceburkan kaki ke atas kepala ke bawah niscaya keduanya
akan menemui kematian secara mengenaskan! Lamanyala dan Hantu Lumpur Hijau
memaki menyumpah habis-habisan!
Seperti
yang dikatakan Wiro jika mereka terpendam dalam kubangan atau comberan busuk
itu maka baru empat puluh hari kemudian lapisan es aneh yang membuat tubuh
mereka kaku akan mencair dan mereka bisa bebas kembali. Ternyata nasib keduanya
tidak seburuk itu. Baru tiga hari mendekam dalam kubangan busuk, Hantu Tangan
Empat yang kebetulan lewat di tempat itu menemukan mereka. Keduanya ditarik
keluar dari dalam kubangan. Selama satu hari satu malam Hantu Tangan Empat
mengerahkan kesaktiannya baru dia berhasil melelehkan lapisan es yang membungkus
sosok dua kakek itu.
Setelah
mengucapkan terima kasih Hantu Lumpur Hijau meninggalkan tempat itu. Sedang
Lamanyala yang merasa berhutang budi dan nyawa terhadap Hantu Tangan Empat
memutuskan untuk mengabdi dan mengikuti Hantu Tangan Empat kemanapun kakek itu
pergi. Tapi diam-diam sebenarnya Lamanyala mempunyai satu maksud rahasia dalam
memperhambakan diri pada tokoh utama Negeri Latanahsilam itu.
*********************
BEGITU
berhadapan dengan Hantu Tangan Empat, Lamanyala segera menghormat menjura
dalam. "Hantu Tangan Empat, kau memanggilku. Tentu ada urusan penting.
Harap kau memberi tahu agar aku bisa segera melaksanakan."
"Lamanyala,
kau tentu tahu. Barusan saja aku mendapat kunjungan cucuku makhluk Peri bernama
Peri Angsa Putih. Dia datang kemari menanyakan perihal sebuah batu bernama Batu
Pembalik Waktu. Kurasa kau pernah mendengar tentang batu keramat itu…."
"Sedikit
banyaknya aku memang sudah pernah mendengar," jawab Lamanyala. "Apa
yang harus aku lakukan wahai Hantu Tangan Empat?"
"Ikuti
Peri Angsa Putih. Selidiki sampai kau mengetahui apakah dia memiliki batu
sakti itu atau tidak. Jika benda itu memang berada di tangannya kau harus dapat
merampasnya…."
"Perintahmu
akan segera aku lakukan. Namun sebelum pergi aku ada dua pertanyaan …"
kata Lama-nyala pula.
"Ajukan
apa pertanyaanmu!"
"Pertama,
apakah cucumu Peri Angsa Putih tahu kalau aku telah menjadi abdimu?"
"Tidak,
Peri Angsa Putih tidak mengetahui. Juga tidak ada orang lain yang tahu. Mungkin
Hantu Lumpur Hijau karena dia yang melihat kau dan aku bersamasama terakhir
sekali. Tapi itupun baru dugaan. Apa pertanyaanmu yang ke dua?"
"Jika
Batu Pembalik Waktu itu ternyata memang ada di tangan Peri Angsa Putih, namun
dia menolak menyerahkan padaku, apa yang harus aku lakukan?"
"Wahai,
kau tahu apa yang harus kau lakukan Lamanyala! Nyawa manusia dan nyawa seorang
Peri tak ada bedanya. Kuharap kau mengerti maksud ucapanku itu…."
"Aku
mengerti Hantu Tangan Empat Tapi untuk menghindarkan kesalah pahaman biar aku
bertanya berterus terang. Apakah kau mengizinkan aku membunuhnya?!"
Hantu
Tangan Empat menatap tajam ke sepasang mata Lamanyala yang dikobari api. Lalu
kakek ini tertawa gelak-gelak. "Kau sudah tahu apa yang aku inginkan,
Lamanyala! Apakah aku harus bicara sejelas kilat di langit mendung?! Ha… ha…
ha… ha!"
Lamanyala
merenung. Lalu setelah anggukkan kepala dan menjura dalam, makhluk yang
sosoknya dikobari api ini berkelebat pergi dari hadapan Hantu Tangan Empat
*********************
5
DALAM
Episode sebelumnya ("Muka Tanah Liat") diceritakan bagaimana
Luhcinta, mengalami bencana, dikeroyok oleh kaki tangan Hantu Muka Dua yakni
Luhjahilio dan Lajahilio yang dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta.
Dalam pertempuran hebat dua kakek nenek jahat ini menyerang dengan
mempergunakan sejenis bubuk beracun sehingga Luhcinta roboh pingsan tak
sadarkan diri. Sebelum bencana lebih hebat menimpa gadis murid Hantu Lembah
Laekatakhijau ini muncullah Si Penolong Budiman alias Latampi memberikan pertolongan.
Orang yang wajahnya selama ini selalu ditutup tanah liat hitam itu kini
menampakkan diri dengan wajah aslinya.
Hantu
Muka Dua yang ada di tempat itu coba menghadang ketika Si Penolong Budiman
menyelamatkan Luhcinta. Tapi gagal. Penguasa Istana Kebahagiaan ini kemudian
melarikan diri menghindari bentrokan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro
sendiri yang merasa khawatir akan keselamatan Luhcinta, bersama Hantu Selaksa
Angin alias Luhpingitan segera melakukan pengejaran sementara Naga Kuning,
Setan Ngompol dan Betina Bercula menyusu! belakangan….
Latampi
baru memperlambat larinya ketika sang surya yang condong ke barat mulai memudar
sinarnya.
"Sudah
cukup jauh. Pasti aman sekarang. Aku harus mencari tempat yang baik. Gadis ini
harus segera diselamatkan…" Latampi perhatikan wajah Luhcinta yang pucat
pasi sedang bibirnya yang selama ini merah menawan kini kelihatan kebiru-biruan
pertanda ada racun jahat merasuk dalam aliran darahnya.
Memandang
berkeliling lelaki berjubah hitam itu melihat satu bukit kecil di ujung sana.
Tak jauh dari kaki bukit tampak beberapa ekor belibis hutan.
"Jika
ada belibis berarti ada mata air tak jauh dari tempat ini," membatin Si
Penolong Budiman. Lalu dia melarikan Luhcinta ke arah bukit Benar saja. Sebelum
dia mencapai kaki bukit di tengah jalan dia menemui satu telaga kecil. Belasan
ekor belibis coklat berenang seputar telaga. Latampi mencari tempat yang kering
dan baik lalu membaringkan Luhcinta. Dirabanya kening gadis itu. Terasa panas.
Lalu ditempelkannya telinganya ke dada. Dia mendengar suara detak jantung yang
tidak teratur.
Si
Penolong Budiman menarik nafas dalam. "Luhcinta, belasan tahun mengarungi
negeri, akhirnya kutemui juga dirimu. Sayang pertemuan ini tidak dalam suasana
menggembirakan…. Tidak mungkin akan menggembirakan. Karena…" Si Penolong
Budiman merasakan dadanya sesak. Kemudian dia sadar. "Aku tak boleh hanyut
dalam perasaan. Aku harus segera bertindak! Para Dewa, beri aku petunjuk dan
kekuatan untuk menyelamatkan gadis ini!" Si Penolong Budiman berdoa. Lalu
dia memijit urat besar di atas dua tumit Luhcinta. Hal yang sama dilakukannya
pada urat besar dii lekukan siku serta pangkal leher. Dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi bubuk berwarna biru. Bubuk ini
dituangkannya ke atas daun yang dibentuk menyerupai corong. Lalu ke dalam
corong daun dimasukkannya air telaga. Kemudian sedikit demi sedikit air
bercampur bubuk biru itu dituangkannya sampai habis ke dalam mulut Luhcinta.
Latampi
menunggu. Dia mulai khawatir ketika sosok Luhcinta masih belum bergerak dan
hembusan nafasnya tidak berubah. Dipegangnya kening gadis itu. Diusapnya
beberapa kali.
"Masih
panas…. Kalau obat itu tidak mampu membuat dia memuntahkan racun jahat yang
ada dalam tubuhnya, terpaksa aku mempergunakan cara lain…." Si Penolong
Budiman menunggu beberapa saat lagi. Disamping tidak sabar kini dia mulai
merasa cemas. "Tak ada jalan lain. Aku harus mengambil tindakan
pertolongan secara langsung. Aku harus menyedot racun yang ada di dalam tubuhnya…."
Sesaat
Latampi tatap wajah Luhcinta yang telah diketahuinya sebagai anak kandungnya
sendiri. Sepasang matanya berkaca-kaca. "Kalau aku tidak dapat menolong
anak ini, aku rela mati bersamanya. Derita sengsaranya selama ini menjadi beban
tambahan di atas derita sengsara diriku sendiri…. Wahai Para Dewa, tolong kami
yang menderita ini…."
Latampi
merunduk mencium kening Luhcinta. Air matanya jatuh mengucur di atas pipi si
gadis. Lalu dengan memejamkan mata dia susupkan dua tangannya ke balik dada
pakaian Luhcinta, meraba mencari letak urat besar di arah jantungnya.
Perlahan-lahan dia kerahkan hawa sakti yang ada dalam tubuhnya. Begitu
jari-jarinya dapat menjajagi letak urat besar itu, Latampi membungkuk, dekatkan
wajahnya ke wajah Luhcinta. Bibir mereka saling bertempelan. Lalu Latampi
menyedot. Sekujur tubuh lelaki ini bergetar. Mukanya merah keringatan.
Tiba-tiba sosok Luhcinta menggeliat Dua matanya yang sejak tadi terpejam
mendadak terpentang lebar. Dia melihat satu wajah dekat sekali di atasnya.
Gadis ini menjerit keras. Bersamaan dengan jeritannya itu menyembur cairan
biru berlendir, menyusul muntahan darah kehitam-hitaman, muncrat membasahi
wajah orang yang meneduhi mukanya.
"Manusia
kurang ajar! Siapa kau!" Luhcinta gerakkan kaki kanannya.
"Bukkk!"
Latampi
mencelat mental sampai dua tombak. Ketika dia berusaha bangkit berdiri di
hadapannya tahu-tahu telah tegak dua orang yang memandang padanya dengan
pandangan penuh amarah!
"Penolong
Budiman! Kemesumanmu rupanya tidak berhenti pada hanya mengintip saja! Sekarang
kau berani menggerayangi tubuh gadis yang sedang pingsan! Menciumnya! Manusia
sepertimu tidak ada tempat di Negeri Latanahsilam ini!" Salah seorang dari
yang tegak di hadapan Penolong Budiman membentak. Lalu pancarkan kentut.
"Brut
prett!"
"Sobatku,
aku tidak menyangka sekeji ini budi pekertimu! Menggagahi gadis yang tidak
berdaya!" Orang kedua ikut membentak.
"Hantu
Selaksa Angin! Wiro! Tidak! Tunggu! Biar aku…"
Bayangan
kuning berkelebat Satu tendangan melabrak ke arah dada Si Penolong Budiman.
Untung orang ini bertindak cepat jatuhkan diri. Dia berguling menjauh namun
mendadak satu sinar kuning menyerupai tombak berkiblat, menderu ke arah batok
kepala Si Penolong Budiman!
"Tahan
serangan!" teriak Latampi alias Si Penolong Budiman.
Tapi
tombak kuning itu terus menderu. Malah dari samping satu tangan datang melesat
menjambak rambutnya membuat Latampi tak mungkin menghindarkan diri dari
hantaman cahaya kuning berbentuk tombak yang adalah ilmu pukulan sakti milik
Hantu Selaksa Angin bernama Tombak Kuning Pengantar Mayatl
"Wiro!
Lepaskan jambakanmu!" teriak Latampi. "Kau dan nenek itu salah
sangka!"
Pendekar
212 hanya menyeringai. Dia sengaja menarik rambut Latampi hingga sosok orang
ini terbetot ke arah datangnya sinar kuning!
Tak ada
jalan lain bagi Si Penolong Budiman. Dari pada menemui ajal secara mengenaskan
begitu rupa mau tak mau dia harus menyelamatkan diri dengan balas menghantam.
Tangan kanannya bergerak.
"Wuuttt!"
Selarik
sinar hitam berbentuk kipas dipenuhi cahayacahaya terang seperti tebaranbunga
api berkiblat di udara!
"Pukulan
Menebar Budi!" teriak Pendekar 212. Tahu keganasan pukulan sakti itu dia
segera lepaskan jembakannya pada rambut Si Penolong Budiman. Lalu melompat satu
tombak ke belakang seraya lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.
"Bummm!"
"Bummm!"
Dua
letusan menggelegar di tempat itu. Air telaga muncrat setinggi tiga tombak.
Belasan burung belibis menjerit keras ketakutan lalu beterbangan ke udara.
Wiro
jatuh terhenyak di tanah. Mukanya pucat dan dadanya berdenyut sakit Hantu
Selaksa Angin tersandar ke sebatang pohon. Lututnya goyah lalu nenek ini jatuh
berlutut. Di bagian lain Si Penolong Budiman terpental dan terguling-guling di
tanah. Mukanya mengelam. Sosoknya menghuyung ketika dia coba berdiri. Di sela
bibirnya tampak lelehan darah.
"Masih
hidup manusia keji ini rupanya!" kertak Hantu Selaksa Angin. Dia
menggebrak ke depan sambil kembali menghantam. Kali ini tidak kepalang tang-gung
dia lepaskan pukulan Salju Putih Latinggimerul
"Nenek
jubah kuning! Harap kau suka mundur! Biar aku yang menyingkirkan kekejian dari
bumi Negeri Latanahsilam ini!" Satu suara membentak nyaring. Satu bayangan
biru berkelebat ke arah Si Penolong Budiman. Orangnya bukan lain adalah
Luhcinta!
"Butt
prett!"
"Wahai!
Kau yang diperlakukan keji, memang pantas kalau kau yang menghabisinya!"
kata Hantu Selaksa Angin lalu menarik pulang serangannya dan menyingkir ke
samping, memberi jalan pada Luhcinta.
"Luhcinta!
Tahan seranganmu! Jangan teruskan! Aku harus menerangkan sesuatu padamu!"
teriak Si Penolong Budiman.
"Berikan
keteranganmu pada semua roh jahat yang tergantung antar langit dan bumi!"
jawab Luhcinta. Lalu gadis ini hamburkan serangan berantai yang hebat sekali.
"Bukk…
bukkk… bukkk!"
Si
Penolong Budiman tidak berkelit tidak pula menangkis. Sepertinya dia pasrah
menerima hantaman lawan.
Tiga
pukulan keras melanda tubuh Si Penolong Budiman, membuatnya kembali terjengkang
di tanah dan muntahkan darah segar!
Dengan
muka pucat, mulut dan pakaian berselomot darah Si Penolong Budiman merangkak di
tanah lalu bangkit berdiri.
"Luhcinta,
kau tidak memberi kesempatan untukku bicara! Aku tidak menyesal kalau harus
mati di tanganmu…. Bunuhlah, aku tidak akan melawan!
Mungkin
ini satu-satunya cara untuk menebus kekeliruan dan dosa besarku di masa
lalu!"
Kalau
saja Luhcinta tidak sedang dilanda amarah, kata-kata Si Penolong Budiman itu
pasti akan menjadi satu tanda tanya besar baginya. Namun saat itu luapan amarah
tengah menyungkup dirinya. Dia melihat sendiri, juga ada beberapa orang
menyaksikan betapa tadi Si Penolong Budiman berbuat keji terhadapnya! Kata-kata
yang diucapkan Si Penolong Budiman itu malah dianggap sebagai tantangan oleh
Luhcinta.
"Selama
ini kasih sayang adalah pegangan hidupku! Tapi aku tidak akan pernah menyesal
membunuh makhluk keji sepertimu!"
Didahului
satu pekik dahsyat Luhcinta melesat ke depan. Dua tangannya bergerak. Satu
menghantamkan pukulan Tangan Dewa Merajam Bumi, satunya lagi melepas pukulan
bernama Kasih Mendorong Bumi. Sekalipun Si Penolong Budiman memiliki ilmu
kesaktian setinggi langit sedalam samudera namun tidak mungkin baginya
menyelamatkan diri dari dua pukulan maut itu. Apalagi saat itu dia seperti
memang sengaja memasang diri, siap untuk dihabisi!
Sesaat
lagi Si Penolong Budiman akan dibantai oleh dua pukulan sakti yang dilepaskan
Luhcinta anak kandungnya sendiri, tiba-tiba dua bayangan berkelebat sebat.
Satu teriakan keras menggelegar di Seantero tempat!
"Luhcinta!
Tahan seranganmu! Jangan bunuh orang itu! Dia Latampi! Ayahmu sendiri!"
*********************
6
SEMUA
orang yang ada di tempat itu tersentak kaget! Luhcinta sendiri merasa kalau ada
setan kepala tujuh menghambur keluar dari dalam tanah hendak mencekiknya, atau
ada halilintar turun dari langit menyambar di puncak hidungnya, tidak akan
seluar biasa itu kaget dirinya.
Gerakan
dua tangan si gadis serta merta tertahan. Mukanya sepucat kain kafan. Dua
matanya memandang membeliak ke arah Latampi yang dari merangkak dengan susah
payah berusaha bangkit berdiri tapi hanya mampu tegak berlutut Mukanya tak
kalah pucat dan pandangannya mengarah sayu pada Luhcinta.
"Luhcinta….
Kau…." Si Penolong Budiman tak Kuasa meneruskan ucapannya. Dua tangannya
diulurkan ke depan. Dua lututnya beringsut di tanah. Dua matanya berkaca-kaca.
Luhcinta
seperti melihat hantu. Gadis ini bersurut ke belakang. Tubuhnya huyung. Dia tak
kuat lagi menahan diri. Tubuhnya tersungkur ke depan. Tibatiba ada sepasang
tangan merangkulnya. Memandang ke samping Luhcinta melihat satu wajah dan tubuh
yang dipenuhi katak-katak hijau.
"Guru…"
desis Luhcinta.
"Muridku,
tabahkan hatimu, kuatkan jiwamu menghadapi kenyataan ini…."
Luhcinta
menarik ke samping kiri. Dia melihat sosok Hantu Penjunjung Roh memandang
padanya. Nenek ini kelihatan tersenyum, tapi senyum itu begitu sayu. Sambil
memegang kepala gadis itu si nenek berkata. "Cucuku, kau telah sampai
diakhir perjalananmu. Rahasia besar yang selama ini menjadi beban kehidupanmu
kini telah tersingkap…."
“Nek…"
suara Luhcinta bergetar. "Orang itu. Dia…."
Hantu
Penjunjung Roh usap kepala cucunya. Lalu ditolongnya gadis itu bangkit berdiri.
"Ya, dia…. Dia adalah Latampi. Dia anak kandungku. Dia ayah yang selama
ini kau cari. Aku akan memapahmu kepadanya. Bersimpuhlah di hadapannya, lalu
peluk dan rangkul dia. Ayah yang kau cari selama ini kau temukan…. Berkah para
Dewa telah sampai atas diri kalian berdua…." Waktu berkata itu Hantu
Penjunjung Roh tidak dapat lagi menahan kucuran air matanya.
Luhcinta
merasa dua kakinya seolah seberat batu raksasa. Dia tak sanggup melangkah.
Bibirnya bergetar.
Sepasang
matanya mulai basah. "Nek. saya…. Saya tidak bisa mempercayai semua ini….
Si muka tanah liat ini. Sebelumnya dia telah berbuat keji atas diri saya…. Tak
mungkin Nek…. Tak mungkin…. Saya tidak pernah mengharapkan seorang ayah sekeji
dirinya!"
"Luhcinta,
aku dan gurumu Hantu Laekatakhijau sudah menyelidik, sudah mendapat bukti-bukti
bahwa orang itu adalah Latampi ayah kandungmu. Jangan kau berani berkata tidak
mungkin. Yang Kuasa telah memperlihatkan kebesaran dan kasih sayangNya pada
kalian hingga hari ini kalian dipertemukan satu sama lain…."
Hantu
Penjunjung Roh terus memapah Luhcinta. Di depan sana Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepala. Sesaat dia tampak bingung. Lalu dia melangkah mendekati Si
Penolong Budiman dan menolong orang ini berdiri. Seperti apa yang dilakukan
Hantu Penjunjung Roh, Wiro kemudian membantu Si Penjunjung Roh melangkah
mendekati Luhcinta.
Hantu
Selaksa Angin menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya itu dengan mata
basah. Sejak tadi dia menahan diri agar tidak memancarkan kentut. Sementara
Hantu Laekatakhijau guru Luhcinta tersengguk-sengguk menahan tangis.
Beberapa
saat kemudian ayah dan anak itu tegak berhadap-hadapan, hanya terpisah dua
langkah. Keduanya saling memandang berhamburan air mata.
"Anakku
Luhcinta…" ucap Latampi dengan suara bergetar dan dada menggemuruh. Dua
tangannya diulurkan hendak menyentuh bahu gadis itu. "Apa yang aku lakukan
bukan kekejian berselubung nafsu mesum. Aku terpaksa menekan urat besar di
dadamu. Aku terpaksa harus menyedot racun jahat lewat mulutmu. Hanya itu satu-satunya
jalan menolong dirimu dari racun jahat yang ditebar kaki tangan Hantu Muka
Dua…."
Luhcinta
sendiri tegak tak bergerak. Telinganya terbuka, tapi dia seolah tidak mendengar
apa yaru diucapkan Latampi. Mulutnya ikut terbuka. Bibirnya bergeletar. Ingin
ia mengucapkan kata "Ayah" tetapi lidahnya serasa kelu. Tak ada
ucapan, tak ada suara yang keluar. Pada saat itulah tiba-tiba sekilas bayangan
hitam masa lalu terpampang di depan matanya, menghujam di dalam benak Luhcinta.
Yakni berupa kenyataan bahwa ayah kandungnya itu sebenarnya adalah kakak
kandung dari ibunya sendiri, sang ibu yang bernama Luhpiranti memang melahirkan
dirinya, tapi dia merupakan anak yang terlahir diluar nikah. Lalu sang ayah
sendiri tidak pula syah menjadi ayahnya karena dia adalah kakak kandung ibu
yang melahirkannya!
Luhcinta
memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam keadaan seperti itu ingin
sekali dia berlari ke dalam pelukan pemuda itu. Bicara dengannya. Agaknya hanya
Wirolah satu-satunya tempat dia menceritakan kemalangan hidup mengadukan nasib.
Namun hatinya menjadi perih bila dia ingat bahwa Wiro telah kawin dengan
Luhrembulan dan menjadi milik orang lain. Air mata semakin deras mengucur jatuh
ke pipi Luhcinta. Tubuhnya bergetar hebat.
Tiba-tiba
satu teriakan keras keluar dari mulutnya. ‘Tidak! Tidak!"
Seperti
ada kekuatan gaib memasuki dirinya, Luhcinta meronta keras melepaskan pegangan
dua nenek di kiri kanannya lalu melompat meninggalkan tempat itu.
"Luhcinta!"
teriak Hantu Penjunjung Roh me manggil. Hantu Laekatakhijau coba mengejar.
Pendekar 212 tak tinggal diam. Dia berusaha menghalangi tapi hanya sempat
menyentuh punggung gadis itu. Latampi sendiri jatuh berlutut di tanah, menutupi
wajahnya dengan dua tangan menahan gemuruh tangis yang seolah hendak
meledakkan tubuhnya!
"Luhmasigi,"
kata Hantu Laekatakhijau pada Hantu Penjunjung Roh. "Cucumu berada dalam
keadaan kalut kacau pikiran. Keadaannya bisa berbahaya. Kita harus
mengejarnya."
Tanpa
banyak bicara lagi dua nenek itu segera berkelebat ke arah lenyapnya Luhcinta.
Hantu
Selaksa Angin memandang pada Wiro. "Kau tidak ikutan mengejar gadis
itu?"
Wiro tak
bisa menjawab. Dia memang ingin sekali mengejar Luhcinta. Bukan saja untuk
menyelamatkan si gadis tapi juga untuk membicarakan masalah perkawinannya
dengan Luhrembulan.
Tanpa
setahu Hantu Selaksa Angin dan Wiro ataupun Latampi yang masih berlutut menahan
tangis, di balik serumpun semak belukar tiga sosok saling berdesakan
bersembunyi mengintai. Mereka adalah Naga Kuning, Betina Bercula dan si kakek
tukang kencing Si Setan Ngompol.
"Aneh,
apa yang terjadi sebelumnya di tempat ini! Orang berjubah hitam yang berlutut
di tanah sesenggukan itu, bukankah dia Si Muka Tanah Liat yang dikenal dengan
julukan Si Penolong Budiman? Setan apa yang masuk ke dalam tubuhnya hingga dia berlaku
aneh seperti itu?!"
Mendengar
ucapan Naga Kuning, Betina Bercula kepalkan dua tinjunya. "Memang dia!
Terakhir sekali kita melihatnya waktu dia menolong Luhcinta. Waktu itu lapisan
tanah liat hitam tidak lagi menutupi wajahnya! Aku mengenali wajahnya! Ingat
bagaimana dia menggebuki kita beberapa waktu lalu?!" Biar aku ganti
menghajarnya saat ini juga!"
"Tunggu!"
bisik Setan Ngompol sambil menahan pundak dua temannya. "Kita intip saja
dulu. Agaknya telah terjadi satu peristiwa besar di tempat ini. Jika kita
keluar mungkin semua keanehan ini tidak akan tersingkap…."
Saat itu
si nenek muka kuning terdengar berkata.
"Wiro,
kata orang gadis itu mencintaimu. Apa kau tidak mencintai dirinya? Kau harus
mengejar dan menolongnya…. Aku tidak akan mengadu pada istrimu yang bernama
Luhrembulan itu! Hik… hik… hik!" Hantu Selaksa Angin tertawa menggoda.
"Sstt…
Nenek itu bicara tentang seorang gadis. Kau bisa menduga siapa gadis itu
adanya?" Naga Kuning memandang pada Setan Ngompol. Kakek ini menggeleng.
"Jangan-jangan sebelumnya Luhcinta berada di tempat ini!"
"Si
nenek muka kuning tadi menyebut nama Luhrembulan. Rupanya dia juga sudah tahu
kalau Wiro sudah kawin dengan gadis itu!" kata Betina Bercula perlahan.
"Hai!
Gadis itu sudah lari jauh! Kau tidak mau mengejar dan menolongnya?" Hantu
Selaksa Angin kembali bertanya pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid
Eyang Sinto Gendeng ini jadi garuk-garuk kepala berulang kali. "Dalam
bingungnya gadis itu bisa saja melihat diriku seperti hantu. Tadi kita berdua
telah menolongnya. Saat ini kita tidak bisa berbuat banyak. Dua nenek tadi
sudah mengejar. Lagi pula aku punya kewajiban padamu untuk mencari Lasedayu.
Nenek suamimu itu belum kita temukan!"
Nenek
muka kuning tersenyum. "Tidak kusangka hatimu sebaik itu. Sampai-sampai mengorbankan
gadis cantik yang mencintaimu demi menolong nenek keriput sepertiku!"
"Aku
berbuat baik kepada siapa saja yang aku suka Nek," kata Pendekar 212 pula.
"Hemm….
Begitu? Aku suka pada orang yang mau bicara jujur sepertimu. Lalu bagaimana
dengan lelaki malang itu?" tanya si nenek sambil memandang pada Latampi.
Wiro
menarik nafas dalam lalu melangkah mendekati Si Penolong Budiman. Dipandangnya
pundak Latampi seraya berkata. "Sahabatku, maafkan kesalah pahaman kami
berdua. Hidup ini memang penuh dengan hal tak terduga. Tidak semuanya sesuai
dengan kehendak kita. Aku percaya, Gusti Allah Yang Maha Kuasa akan
menolongmu!"
Latampi
tidak dapat lagi menahan tangisnya. Tubuhnya berguncang keras. Lelaki ini
akhirnya meratap memilukan sambil bersujud di tanah. Wiro dan si nenek
memperhatikan dengan perasaan sedih.
Murid
Sinto Gendeng memandang dengan sangat haru. Dia lalu meraba ke balik pakaiannya
dan merasa lega. "Untung obat ini masih ada padaku…." Dari balik
pakaiannya Wiro keluarkan satu kantong kecil. Kan-tong itu diletakkannya di
tanah, di depan kepala Si Penolong Budiman.
"Sahabatku,
kau tertuka parah. Dalam kantong kecil ini ada dua butir obat. Mudah-mudahan
mujarab menyembuhkan lukamu. Aku tahu, luka di tubuh akan sanggup kau hadapi.
Namun luka hati agaknya memang sulit ditahan. Kuatkan jiwamu, tabahkan hatimu
sahabatku!"
Tangis Si
Penolong Budiman meledak. Ratapannya menyayat hati. Karena tidak tahan melihat
semua itu Wiro segera memberi isyarat pada Hantu Selaksa Angin. Keduanya lalu
tinggalkan tempat itu. belum jauh berjalan si nenek berkata.
"Kau
memang pantas berbuat baik pada Si Penolong Budiman itu. Siapa tahu satu hari
dia kelak akan menjadi ayah mertuamu! Hik… hik… hik!"
"Butt
prett!"
"Mulutmu
enak saja bicara Nek!" gerutu Wiro mendengar ucapan si nenek muka kuning.
Hantu
Selaksa Angin tersenyum geli. "Tadi aku dengar kau lagi-lagi menyebut nama
Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Kapan kau mau menerangkan siapa adanya Gusti Allah
itu. Lalu dimana aku bisa menemuiNya?"
Kini Wiro
yang tertawa. "Nanti Nek, kalau kau sudah bertemu dengan suamimu Lasedayu,
pada saat itulah kau akan merasakan kekuasaan dan kasihnya Gusti Allah…."
"Jadi
aku harus bertemu dulu dengan kakek sial itu, baru bisa tahu Gusti Allah?"
Wiro
tersenyum. Sulit baginya menerangkan pada Hantu Selaksa Angin. Sebaliknya
karena tidak mendapat jawab si nenek muka kuning lalu pancarkan kentutnya.
"Buttt
prett!"
Habis
kentut tiba-tiba si nenek berbalik.
Wiro
memandang dengan heran lalu bertanya. "Ada apa Nek?"
"Bicara
soal Gusti Aliahmu itu, aku jadi ingat pada perintah guruku Datuk Tanpa Bentuk
Tanpa Ujud. Bukankah aku harus mewariskan semua ilmu kepandaianku padamu?
Sampai saat ini tidak satu ilmu kesaktianpun yang aku berikan. Aku takut
melanggar perintah…."
"Kau
tak usah keliwat memikir hal itu Nek," jawab Wiro yang sejak sebelumnya
memang tidak mau menerima ilmu kepandaian apapun dari si nenek. "Kau
sudah punya niat menjalankan perintah tapi aku berterima kasih dan menolak
pemberian ilmu itu. Berarti kau tidak melanggar perintah, apalagi merasa
berdosa…."
"Aku
memang tidak merasa berdosa. Tapi merasa berhutang! Ini membuat aku merasa
tidak tenteram. Bagiku hutang jauh lebih berat dari pada dosa! Aku tahu kau
orangnya suka jahil. Jadi yang cocok untukmu adalah ilmu Menahan Darah
Memindah Jazad."
"Nek,
jangan kau bergurau. Aku sudah bilang aku ngeri dengan ilmu kepandaianmu yang
satu itu."
Si nenek
mendongak ke langit. "Mendung di manamana…." katanya. "Sebentar
lagi pasti hujan akan turun! Dengar Wiro, aku akan berikan ilmu itu padamu
sebelum hujan mencurah!"
"Tidak
Nek, terima kasih…."
Tapi saat
itu Hantu Selaksa Angin tiba-tiba sekali telah merangkul tubuh Pendekar 212.
Wiro berusaha meronta lepaskan diri. Tapi anehnya semakin dia bersikeras
mengeluarkan tenaga semakin dia tak bisa bergerak malah nafasnya mulai
megap-megap.
"Apa
yang hendak kau lakukan Nek…? Kau mau membunuh aku?!" tanya Wiro.
"Perlu
apa aku membunuhmu?!"
"Kau…
mungkin… mungkin kau tiba-tiba kemasukan setan mesum. Kau hendak berbuat tidak
senonoh padaku…?!"
"Anak
gila! Kau kira aku ini nenek bejat seperti Hantu Santet Laknat hah?!"
Wiro jadi
tersentak mendengar si nenek menyebut nama itu.
"Dengar
Wiro. Aku akan memberikan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad sekarang juga
padamu!"
"Nek!
Jangan paksa diriku!"
"Kuremukkan
tulang belulangmu jika kau berani membantah!" mengancam Hantu Selaksa
Angin. Lalu butt prett! Nenek ini pancarkan kentutnya. Bersamaan dengan itu dia
memperkencang pelukannya hingga Wiro merasa sekujur tubuhnya seperti mau remuk.
"Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad tidak susah menguasainya Kerahkan
tenaga dalammu, pusatkan ke perut, tahan nafas sambil menggosokkan ibu jari
tangan kiri atau tangan kananmu pada empat jari lainnya. Kalau sudah kau
lakukan, bagian tubuh manusia yang mana saja bisa kau pindahkan kemana kau
suka! Kau dengar Wiro?"
Di balik
semak belukar Naga Kuning dan kawankawannya yang diam-diam terus menguntit
Wiro dan si nenek, menggamit Si Setan Ngompol. "Kau dengar apa yang
dikatakan nenek tukang kentut itu? Ternyata tidak sulit menguasai ilmu Menahan
Darah Memindah Jazad itu! Aku juga pasti bisa melakukannya…."
"Kalau
orang tidak memberikan ilmu langsung padamu, jangan jahil mencoba-coba. Nanti
bisa kapiran salah kaprah!" kata Setan Ngompol pula.
"Ah,
kau cuma iri. Kaupun sebenarnya inginkan ilmu itu!" menggoda Naga Kuning.
"Jangan
kau bicara tak karuan!" bentak Setan Ngompol delikkan mata.
"Dengar
Kek," Naga Kuning masih belum berhenti mengganggu orang. "Kalau aku
dapatkan ilmu itu, nanti barangmu akan aku tukar dengan barang kuda. Agar kau
sembuh tidak ngompol-ngompol lagi! Hik… hik… hik!"
"Setan
alas kau!" rutuk Setan Ngompol.
Betina
Bercula ikut-ikutan mengganggu si kakek. "Naga Kuning, kalau barangnya
sudah kau tukar dengan-punya kuda, jangan lupa memberi tahu aku. Ingin sekali
aku melihatnya! Hik… hik… hik…!"
Sementara
itu murid Sinto Gendeng tidak menjawab pertanyaan si nenek muka kuning. Saat
itu dia sudah kelagapan tak bisa melepaskan diri dari pelukan kencang si nenek.
Hantu Selaksa Angin kembali kerahkan tenaganya.
"Kreekkk!"
Tulang
punggung Wiro bergemeletak. Sang pendekar mengeluh kesakitan.
"Sudah
Nek, aku…. Terserah padamu saja! Tapi lepaskan pelukanmu! Aku tak tahan…."
"Heh,
kau tak tahan? Tak tahan apa? Kau mulai terangsang rupanya dalam pelukanku?
Dasar pemuda cabul!" Si nenek membentak.
"Bukan
terangsang Nek. Tapi tak tahan bau ketiakmu! Hidungku mau tanggal
rasanya!" jawab Wiro.
"Hii…
hik… hik!" Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan mendengar kata-kata Wiro
itu. "Sekarang aku akan tunjukkan bagaimana cara mengembalikan bagian
tubuh atau benda apa saja kau pindahkan…."
Naga
Kuning memasang telinganya tajam-tajam, berusaha mencuri dengar petunjuk apa
yang hendak dikatakan si nenek pada Wiro. Tapi saat itu tiba-tiba di langit
mendung berkiblat petir. Cahaya putih bersabung laksana merobek langit.
Bersamaan dengan itu suara guntur menghunjam menggetarkan bumi memekakan
telinga. Naga Kuning tidak dapat mendengar apa yang dikatakan nenek muka
kuning pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Geledek
jahanam! Budek telingaku! Aku tak bisa mendengar apa yang diucapkan nenek
itu!" Naga Kuning memaki marah sambil bantingkan kaki.
Setan
Ngompol menyeringai. Sejak tadi kakek ini sudah jengkel pada si bocah. Sekarang
dia siap melakukan pembalasan. Dia susupkan telapak tangan kirinya ke dalam
celananya yang basah oleh air kencing. Lalu tangan yang berselomotan air
kencing pesing itu dipeperkannya ke muka Naga Kuning seraya berkata.
"Makanya, jangan suka jahil mencuri rejeki mendengar ucapan orang!
Mendingan kau terima dulu hadiah dariku!"
"Kakek
sialan!" rutuk Naga Kuning sambil meludah-ludah dan seka mukanya berulang
kali.
*********************
7
SATU
cahaya merah melesat dari langit, membuat Peri Angsa Putih yang tengah duduk di
bawah keteduhan pohon besar di tepi kelokan sungai terkejut Cepat-cepat dia
menyembunyikan benda yang sejak tadi dipegangnya ke balik pakaian putihnya.
Satu sosok terbungkus gulungan kain sutera merah tahu-tahu sudah berada di
hadapan Peri Angsa Putih. Bau harum mewangi memenuhi udara di tempat itu.
"Wahai,
kau terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba ini Peri Angsa Putih?"
Satu suara parau menegur.
"Peri
Sesepuh!" seru Peri Angsa Putih ketika menyadari siapa yang tegak di
hadapannya. Lalu dia menjura memberi hormat.
"Keterkejutanku
rasanya sangat beralasan wahai Peri Sesepuh. Aku berada di tempat terpencil
begini rupa. Bagaimana kau bisa mengetahui kehadiranku di sini. Kemudian,
bukankah sejak beberapa purnama ini kau diketahui mengucilkan diri menjauhi
alam manusia dan alam Peri? Mengapa kini kau mendadak muncul? Apakah pengucilan
dirimu telah berakhir?"
Yang
tegak di hadapan Peri Angsa Putih adalah seorang perempuan luar biasa gemuk,
berkulit putih. Mukanya yang bulat gembrot sungguh tidak sedap untuk dipandang.
Selain hidung yang pesek lebar serta bibir tebal, pada pipi kirinya ada tahi
lalat hitam sebesar telur burung dara. Makhluk ini mengenakan kain berwarna
merah tipis yang digelungkan ke sekujur tubuhnya secara sembrono hingga
beberapa bagian lekuk tubuhnya yang terlarang kadang-kadang tersingkap jelas.
Ketika dia tersenyum kelihatan gigi-giginya yang besar. Ketika dia mengangkat
tangan kirinya agak tinggi untuk mematik gulungan rambutnya, bulu ketiaknya
kelihatan berserabutan seperti ijuk!
Dalam
kisah di Negeri Latanahsilam si gemuk berpakaian sutera merah tipis ini dikenal
sebagai Peri Sesepuh yang merupakan Peri pimpinan dari segala Peri yang ada di
Negeri Atas Langit Dalam Episode berjudul "Rahasia Mawar Beracun"
dikisahkan bagaimana Peri Sesepuh terbongkar rahasianya sebagai Peri yang
hendak mencelakai Pendekar 212 Wiro Sableng dengan sekuntum mawar kuning
beracun. Akibat perbuatannya itu Peri Angsa Putih dan Peri Bunda, juga
Luhjelita hampir terkena tuduhan sebagai pelaku. Malu karena perbuatan jahatnya
diketahui, Peri Sesepuh akhirnya meninggalkan Negeri Atas Angin dan memencilkan
diri di satu tempat yang tidak satu orang atau Peripun mengetahui.
"Kerabatku
Peri Angsa Putih, tidak heran kalau kau sampai terkejut. Diriku ini memang
sengaja muncul dari alam pengasingan karena beberapa hal. Aku harap kau mau
membagi waktu, bersabar hati mendengar apa yang hendak aku katakan…."
"Aku
akan mendengar apa yang akan kau ucapkan, wahai Peri Sesepuh," kata Peri
Angsa Putih pula. Namun dalam hati Peri Angsa Putih merasa curiga.
"Jangan-jangan dia mengetahui kalau Batu Pembalik Waktu berada di
tanganku," pikir Peri Angsa Putih.
"Pertama
sekali aku merasa risau mendengar apa yang terjadi dengan Peri Bunda. Sewaktu
aku meninggalkan Negeri Atas Langit kepadanyalah aku percayakan untuk
mewakili diriku selama aku bersunyi diri di tempat pengucilan. Ternyata kini
satu musibah besar menimpa dirinya. Dia diketahui hamil berbadan dua. Diketahui
pula bahwa pemuda asing bernama Wiro Sableng itulah yang telah melakukan
perbuatan keji itu!" Peri Sesepuh terdiam sebentar lalu melanjutkan
ucapannya dengan pertanyaan. "Wahai Peri Angsa Putih, gerangan tindakan
apakah yang telah atau akan dilakukan oleh kita kaum Peri?"
Peri
Angsa Putih tak segera menjawab.
"Wahai,
apakah ada keraguan dalam lubuk hatimu untuk melakukan sesuatu pada pemuda
itu?" tanya Peri Sesepuh.
Peri
Angsa Putih masih diam.
"Hemm….
Atau mungkin rasa cintamu terhadapnya semakin mendalam hingga kau…."
"Peri
Sesepuh, aku sudah lama melupakan pemuda itu," kata Peri Angsa Putih pula.
"Begitu?"
Peri Sesepuh menatap tajam ke dalam sepasang mata biru Peri Angsa Putih.
Hatinya tak percaya akan apa yang barusan dikatakan kerabatnya itu. "Terus
terang aku juga telah melupakan semua kejadian di masa lalu. Tetapi hati
sanubari kita tidak terlalu jauh berbeda dengan hati nurani manusia biasa,
Hal-hal yang lama tetap akan menjadi kenangan sedang semua hal yang kita
hadapi saat ini merupakan satu kenyataan. Lalu segala hal di masa mendatang
merupakan satu tantangan. Kerabatku Peri Angsa Putih, saat ini aku tidak
berkewenangan untuk turun tangan mengambil tindakan. Peri Bunda yang menjadi
wakilku justru yang ditimpa musibah memalukan itu. Berarti hanya kau seorang
kini yang bisa dipercaya untuk berbuat sesuatu…. Kau harus mencari pemuda asing
itu. Kau harus meminta pertanggung jawabnya!
Kalau
Peri Bunda sampai melahirkan sungguh sangat memalukan. Dan seribu kali lebih
memalukan kalau tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan siapa ayah anak
yang dilahirkannya itu! Walau kemudian orang itu harus menemui kematiannya!
Peri Angsa Putih, tanggung jawab besar terletak di pundakmu!"
"Aku
memang sudah berniat mencari pemuda itu. Membawanya ke Puri kebahagiaan,
mempertemukannya dengan Peri Bunda sebelum Peri Bunda melahirkan."
"Aku
gembira mendengar kau sudah memasang niat begitu rupa," kata Peri Sesepuh
sambil anggukanggukkan kepala.
Sebenarnya
Peri Angsa Putih ingin agar peri gemuk itu cepat-cepat meninggalkannya. Namun
Peri Sesepuh malah kembali membuka ucapan.
"Aku
pernah mengimpikan dirimu, Peri Angsa Putih. Dalam mimpi kulihat kau duduk di
atas sebuah tebing tinggi di sebuah teluk. Bulan purnama empat belas hari
bersinar indah di langit. Tiba-tiba bulan itu meluncur turun ke pangkuanmu.
Agaknya satu berkah atau satu anugerah berupa sebuah benda sangat berharga akan
jatuh ke haribaanmu. Atau mungkin benda itu sudah berada di tanganmu?"
"Benda
apa maksudmu Peri Sesepuh? Bisakah kau menerangkan?" balik bertanya Peri
Angsa Putih. Suaranya datar dan agak tercekat. Hal ini karena kekhawatiran yang
muncul mendadak. Khawatir Peri Sesepuh benar-benar telah mengetahui kalau Batu
Pembalik Waktu itu ada di tangannya.
"Wahai,
benda itu bisa saja berupa sebuah logam, berbentuk sebilah senjata. Mungkin
juga berupa benda yang kelihatannya tidak berharga sama sekali. Seperti sebuah
batu. Padahal benda itu menyimpan satu kesaktian maha dasyat…."
Peri
Angsa Putih tersenyum. "Kalau aku memiliki benda atau senjata sakti pasti
akan kuberi tahu semua sahabat para Peri dan akan kusimpan di dalam almari
penyimpanan benda-benda pustaka di Negeri Atas Langit…"
"Kalau
begitu mimpiku hanya merupakan bunga tidur yang tak ada artinya…" kata
Peri Sesepuh pula sambil tersenyum. Di mata Peri Angsa Putih senyum peri gemuk
itu seperti satu isyarat rasa tidak percaya.
"Peri
Sesepuh, aku ingin pergi ke Puri Kebahagiaan tempat Peri Bunda mengasingkan
diri selama kehamilannya. Maafkan kalau aku tidak bisa bicara
berlama-lama…."
Peri
Sesepuh mengangguk. "Kau boleh segera pergi wahai kerabatku. Namun ada
satu hal lagi yang ingin kukatakan. Pada hari lima belas bulan dua belas mendatang,
pergilah ke Istana Kebahagiaan. Atas undangan Hantu Muka Dua disitu akan
berkumpul semua tokoh utama Negeri Latanahsilam. Tapi berhati-hatilah. Satu hal
besar menurut firasatku akan terjadi di tempat itu."
"Aku
memang sudah mendengar berita undangan itu. Dan aku juga sudah memutuskan untuk
pergi…"
Peri
Sesepuh tersenyum. "Selamat tinggal Peri Angsa Putih. Aku akan kembali ke
tempat pengasinganku. Jangan lupa kewajibanmu mencari pemuda yang telah
mencemari kehidupan kita bangsa Peri. Sudah sejak lama kaum kita dipermalukan
dan dipaksa bertekuk lutut di depan kaki laki-laki bangsa manusia. Kalau tidak
diambil tindakan tegas, kejadian seperti itu akan terulang berkali-kali…."
"Aku
tahu apa yang harus dilakukan," kata Peri Angsa Putih pula lalu menjura
lebih dahulu sebelum Peri Sesepuh meninggalkan tempat itu. Sikap Peri Angsa
Putih ini dirasakan oleh Peri Sesepuh sebagai satu cara halus sengaja
menyuruhnya pergi lebih cepat
Peri
Angsa Putih menghela nafas lega. "Peri Sesepuh…" katanya dalam hati.
"Apakah semua ucapanmu itu bisa kau jamin kebenarannya. Aku tahu, sampai
saat ini kau masih menaruh hati terhadap pemuda asing bernama Wiro Sableng itu.
Aku sendiri selama ini selalu hidup menipu diri. Kebencian yang kuperlihatkan
di depan semua orang seolah membakar diriku sendiri. Wiro…. Kalau kau tahu
bagaimana sebenarnya hati ini. Aku bahkan tidak perduli kau sekarang ini milik
siapa. Aku tidak akan perduli sekalipun kau kawin sepuluh kali dalam sehari.
Hatiku telah terlanjur luluh, seolah melebur masuk ke dalam aliran darahmu.
Dewa manapun tak ada yang sanggup untuk menarik melepas mengeluarkannya."
Lama Peri
Angsa Putih duduk termenung dalam kesendiriannya di bawah pohon di kelokan
sungai itu. Begitu dia ingat akan batu sakti yang ada di balik pakaian putihnya,
benda itu segera dikeluarkannya. Sambil memandangi batu berwarna tujuh itu,
dalam hatinya Peri Angsa Putih berkata.
"Wiro,
aku terlalu cinta padamu. Tubuh dan cintaku saat ini seolah terbelah dua.
Belahan pertama ingin memberikan batu ini padamu. Agar kau bisa kembali ke
negeri seribu dua ratus tahun mendatang, Tanah Jawa tanah kelahiranmu. Tetapi
belahan kedua tidak menginginkan aku kehilangan dirimu. Wiro, maafkan diriku
kalau Batu Pembalik Waktu ini tidak akan kuberikan padamu. Apapun yang akan
terjadi. Aku terlalu takut kehilanganmu…" Peri Angsa Putih cium batu sakti
itu sambil pejamkan matanya penuh khidmat.
Namun dia
tersentak kaget ketika mendadak di tempat itu membahana satu suara tawa
bergelak.
*********************
8
SATU
bayangan merah berkelebat. Udara di tikungan sungai itu mendadak menjadi panas.
Memandang
ke depan terkejutlah Peri Angsa Putih. Yang tegak di depannya adalah seorang
kakek dengan sekujur tubuh mulai dari kepala sampai kaki dikobari api.
"Lamanyala!"
desis Peri Angsa Putih.
Angsa
Putih besar yang mendekam tak jauh dari tempat itu mengeluarkan suara halus.
Suara binatang tunggangannya ini merupakan satu pertanda kurang baik bagi sang
Peri. Dia segera mengawasi ke depan.
Kobaran
api dalam mata makhluk bernama Lama-nyala menjilat ke luar. Ketika dia membuka
mulutnya, kobaran api juga melesat keluar dari mulut itu.
"Peri
Angsa Putih, Peri tercantik dari Peri yang ada di Negeri Latanahsilam. Sungguh
heran aku menemukan kau bersunyi diri di tempat seperti ini. Gerangan apakah
yang tengah menyelimuti hatimu hingga bersepi-sepi seorang diri?"
Peri
Angsa Putih tatap sosok makhluk yang dikobari api itu. Dalam hati dia berkata.
"Puluhan tahun diketahui makhluk ini bukan makhluk yang ramah. Puluhan
tahun dikenal dirinya berhati culas. Tugasnya menyelamatkan Jimat Hati Dewa
gagal. Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir berhasil merampas dan menelan
jimat sakti itu. Tidak heran kalau para Dewa menarik kembali jabatannya sebagai
wakil para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kini dia muncul bersikap ramah setelah
sekian lama tidak diketahui dimana beradanya. Keadaan dirinya sungguh
mengerikan. Setahuku dia mempunyai hubungan sangat dekat dengan Hantu Muka Dua.
Dia yang konon memberi ilmu kesaktian pada Hantu Muka Dua, menyuruh membangun
Istana Kebahagiaan dan memberikan gelar Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan
Segala Napsu pada Hantu Muka Dua. Kini tahu-tahu dia muncul di sini. Aku harus
berlaku hati-hati."
"Wahai!"
berucap Lamanyala. "Benar rupanya ada sesuatu menutupi hati dan mengganjal
jalan pikiranmu. Hingga aku menyapa dan bertanya tidak juga kau sahuti. Peri
Angsa Putih, jika ada kesulitan harap kau suka memberi tahu padaku. Siapa
menduga kalau aku bisa menolongmu…."
Peri
Angsa Putih akhirnya tersenyum. "Kau sangat baik, Lamanyala. Lama kita
tidak bertemu. Apa kabar beritamu. Apa pula yang membuatmu tahu-tahu sampai di
tempat ini?"
"Langkah
orang memang tidak bisa diduga. Aku mencarimu untuk menanyakan apakah kau sudah
mendengar kabar yang tersiar mengenai undangan besar di Istana Kebahagiaan pada
hari lima belas bulan dua belas mendatang?"
"Aku
memang sudah mendengar," jawab Peri Angsa Putih.
"Apakah
kau berkehendak menghadirinya?"
"Wahai,
mengapa kau bertanyakan hal itu Lama-nyala?"
"Tidak
ada maksud buruk tersembunyi. Mengingat kini kau satu-satunya Peri yang
dianggap sebagai pimpinan tertinggi di Negeri Atas Langit, maka hal itu
mendorong diriku ingin mengetahui…."
"Aku
memang sudah memutuskan untuk hadir. Kecuali jika terjadi sesuatu yang tidak
memungkinkan kedatanganku ke sana. Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kau
akan pergi ke sana?"
Lamanyala
mengangguk. Kobaran api di atas batok kepalanya naik ke atas. Peri Angsa Putih
bangkit dari duduknya. Dia menatap ke dalam sungai lalu melangkah mendekati
angsa putih tunggangannya. Sambil mengusap punggung binatang itu Peri Angsa
Putih berkata.
"Lamanyala,
aku senang bertemu denganmu. Namun karena ada kepentingan lain, aku minta izin
meninggalkan tempat ini lebih dulu…."
"Wahai,
kau rupanya sedang terburu-buru. Agaknya banyak hal yang harus kau lakukan
sejak tanggung jawab Negeri Atas Langit berada di pundakmu. Peri Angsa Putih,
aku melihat bulu angsa tungganganmu ada yang rusak. Agaknya pernah terjadi
sesuatu dengan binatang itu beberapa waktu lalu?"
Peri
Angsa Putih terkejut mendengar pertanyaan Lmanyala. Seperti diceritakan
sebelumnya akibat pukulan dua nenek sakti Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah
Laekatakhijau, memang ada bagian sayap angsa putih itu yang cidera. "Mata
makhluk ini tajam sekali. Agaknya dia tengah menyelidiki diriku…" membatin
Peri Angsa Putih. Lalu dia menjawab. "Angsa putih tungganganku tidak
kurang suatu apa. Hanya memang beberapa waktu lalu bulunya sempat rusak akibat
angin keras selagi terbang di udara…." Tentu saja Peri Angsa Putih tidak
mau menerangkan bentrokannya dengan dua nenek sakti itu. "Selamat tinggal
Lamanyala! Mudah-mudahan kita bisa bertemu di Istana Kebahagiaan pada hari lima
belas bulan dua belas!"
"Peri
Angsa Putih, tunggu dulu!" seru Lamanyala. Dua kali melangkah makhluk ini
sudah berada di depan sang Peri. "Aku belum menjelaskan maksud pertemuan
kita ini…."
"Hemm….
Kalau begitu kau hadir karena sengaja mencari diriku…."
"Tidak
salah. Tapi jangan kau menaruh curiga. Aku datang membawa maksud baik…."
"Katakanlah
maksud baik yang bagaimana?"
Dari
balik pakaiannya yang dikobari api Lamanyala keluarkan seuntai kalung terbuat
dari butir-butir batu yang dikobari nyala api berwarna biru aneh.
Peri
Angsa Putih terkejut melihat benda itu. "Kalung Api Buana Biru…"
katanya menyebut nama benda itu. Setahu Peri Angsa Putih kalung itu adalah
benda keramat milik para Dewa yang semasa jabatan Lamanyala sebagai Wakil Para
Dewa memang pernah diberikan pada Lamanyala. Kini setelah dia tidak menjabat
sebagai Wakil Para Dewa, apakah kalung itu masih boleh berada di tangannya?
Kobaran
api dalam mata Lamanyala menjilat keluar. "Peri Angsa Putih, melihat air
mukamu, mendengar desah ucapanmu, aku bisa membaca apa yang ada dalam hatimu
dan apa yang terlintas dalam pikiranmu. Kau tentu bertanya-tanya mengapa
pusaka Para Dewa ini masih berada di tanganku. Bukankah harus kukembalikan
karena aku tidak lagi menjadi Wakil Para Dewa?"
Peri
Angsa Putih tidak menjawab. Dan Lamanyala menjawab sendiri ucapannya tadi.
"Kalung Api Buana Biru ini masih berada di tanganku. Belum sempat aku
kembalikan pada Para Dewa. Ketika aku punya niat untuk mengembalikannya,
seorang utusan Dewa menemuiku. Dia memberi tahu agar benda sakti keramat ini
diberikan padamu…."
"Aku
terkejut mendengar ucapanmu itu! Aku tidak menyangka!" kata Peri Angsa
Putih pula karena dia tahu kalung di tangan Lamanyala bukan benda sembarangan.
"Aku
sudah menduga kau pasti akan terkejut!" kata Lamanyala. Namun agaknya
begitu garis tangan nasib peruntunganmu. Rejekimu besar sekali dan aku mana
berani menahan kalung ini lebih lama. Makanya saat ini aku akan menyerahkannya
padamu…."
Peri
Angsa Putih menatap kalung di tangan Lama-nyala. Hatinya kembali membatin.
"Setahuku telah berulang kali Para Dewa meminta makhluk ini mengembalikan
kalung itu. Dicari-cari makhluk ini entah menyembunyikan diri dimana. Adalah
aneh kalau hari ini katanya Para Dewa meminta agar kalung itu diserahkan
padaku…."
Lamanyala
maju satu langkah dan mengulurkan Kalung Api Buana Biru itu pada sang Peri.
Peri Angsa Putih tidak berani menyambutinya, malah ajukan pertanyaan.
"Lamanyala,
kalau aku boleh bertanya siapa adanya orang yang dipercaya menjadi Utusan Para
Dewa yang membawa berita bahwa kalung ini harus diberikan padaku?"
"Wahai!
Aku ingin sekali mengatakan siapa orangnya padamu. Tapi Para Dewa berpesan
agar hal itu tidak kukatakan pada siapapun, termasuk padamu…."
Perlahan-lahan
Peri Angsa Putih gelengkan kepalanya dan berkata. "Aku tidak berani
menerima kalung keramat itu. Harap kau tidak memaksa…" Sang Peri lalu
hendak bertindak naik ke punggung angsa putihnya.
"Peri
Angsa Putih, tunggu. Jangan pergi dulu. Aku belum mengatakan keseluruhan pesan
Utusan Dewa itu…" kata Lamanyala.
Peri
Angsa Putih berbalik. Dia tegak tak bergerak. Menunggu apa yang akan dikatakan
selanjutnya oleh makhluk kobaran api.
"Agaknya
Para Dewa sudah memaklumi kalau kau akan merasa tidak enak atau keberatan
menerima benda begini berharga. Itu sebabnya pada sang Utusan, Para Dewa
berkata bahwa kalung ini diberikan padamu dengan syarat kau balas menyerahkan
sesuatu pada para Dewa…."
Sepasang
alis Peri Angsa Putih naik ke atas. "Aku harus menyerahkan sesuatu?
Sesuatu apa?"
"Mohon
maafkan. Utusan Para Dewa tidak mengatakan benda apa yang harus kau serahkan.
Yang jelas sesuatu apa saja yang kau miliki…."
"Aku
tidak memiliki benda berharga yang bisa dijadikan penukar kalung keramat itu.
Kalaupun aku punya apa-apa tetap saja aku tidak, berani menerima kalung itu.
Harap kau bisa memaklumi Lamanyala. Harap kau suka menyampaikan pada Utusan
Para Dewa itu…."
"Peri
Angsa Putih, aku tidak memaksa. Tapi harap kau mau berpikir sebentar. Mungkin
kau terlupa. Kau pasti memiliki sesuatu yang sangat berharga…."
"Lamanyala,
aku tidak ingin meneruskan pembicaraan ini," kata Peri Angsa Putih pula.
Hatinya mulai tidak enak.
"Wahai
kerabatku. Aku hanya menjalankan perintah. Bagaimana jadinya jika aku tidak
berhasil melakukan tugas ini. Harap kau mau berpikir. Di dirimu pasti ada
sesuatu yang sangat berharga…."
"Kau
tidak meminta aku memberikan diriku atau kehormatanku, bukan?!"
Lidah api
membersit dari mata dan mulut Lama-nyala. "Maafkan diriku Peri Angsa
Putih. Maka aku berani berbuat dan meminta seperti itu. Terus terang, Para Dewa
pasti melihat sesuatu dalam dirimu yang aku tidak dapat melihatnya. Cobalah kau
memikirkan sekali lagi…."
Peri
Angsa Putih terdiam dalam kejengkelan hati nya. "Jangan-jangan makhluk ini
meminta Batu Pembalik Waktu yang ada padaku sebagai penukar Kalung Api Buana
Biru…" pikir Sang Peri. "Lebih baik aku tidak memperdulikan dirinya!"
Peri ini lalu melompat ke atas angsa putihnya. Melihat hal ini Lamanyala cepat
gerakkan tangan kirinya. Mulutnya menghembus ke depan.
"Bleeppp….
Wussss!"
Lingkaran
api setinggi kepala mengurung Peri Angsa Putih dan angsa tunggangannya. Kejut
sang Peri bukan alang kepalang.
"Lamanyala!
Mengapa kau melakukan ini? Apa maumu sebenarnya?!" berseru Peri Angsa
Putih.
"Wahai!
Aku hanya menjalankan tugas. Kemurkaan Para Dewa yang yang aku takutkan jika
aku tidak berhasil melakukan tugas. Menyerahkan kalung ini dan meminta sesuatu
darimu!"
"Kau
carilah Utusan Dewa itu. Biar nanti aku yang bicara dengan dia. Saat ini aku
tidak punya waktu lagi!" Peri Angsa Putih mengusap kuduk angsa
tunggangannya seraya berkata. "Naik. Melesat ke atas!"
Angsa
Putih itu keluarkan suara menguik. Siap melayang naik karena memang bagian
ataslah yang aman sementara kobaran api mengurung sekelilingnya.
"Wusss….
Bleepp!"
Lamanyala
kembali meniup dan gerakkan tangan kirinya. Kini kobaran api menggebubu di
sebelah atas kepala Peri Angsa Putih.
Marahlah
Peri cantik ini. Sepasang matanya yang biru siap membersitkan dua larik cahaya
biru untuk menghantam sosok Lamanyala. Tapi dia masih bisa bersabar diri.
Sambil meraba ke pinggangnya dia berkata. "Padaku ada selendang biru. Kau
boleh ambil benda ini. Dan kau tidak perlu menyerahkan kalung sakti itu
padaku!" Peri Angsa Putih menarik gulungan selendang biru panjang yang
melilit di pinggangnya.
"Ah!
Hati dan pikiranmu rupanya mulai terbuka! Tapi harap maafkan diriku wahai Peri
Angsa Putih. Menurut Dewa itu aku tidak boleh menerima apapun yang berbentuk
kain atau pakaian darimu. Berarti kau harus menyerahkan benda lain pengganti
kalung keramat ini!"
"Lamanyala!
Silat lidahmu hanya menghabiskan waktuku saja! Jika Utusan Dewa tidak mau
menerima pemberianku berupa selendang biru ini, maka harap dia suka menerima
dua bola mataku!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih kedipkan dia
matanya dan putar kepalanya.
Begitu
mata dikedipkan maka melesatlah dua larik cahaya biru. Begitu kepala diputar
maka cahaya biru itu bergulung menghantam kobaran api di sekeliling dan di atas
Peri Angsa Putih.
"Wuussss!
Wussss!"
"Buummm!
Bummm!"
Cahaya
biru menyabung menyambar kobaran api. Dua letusan dahsyat menggoncang tempat
itu. Air sungai memercik sampai setengah tombak. Daundaun pohon yang kering
berkobar diterjang api. Peri Angsa Putih menggebrak tunggangannya, berusaha
menerobos kobaran api yang terkuak lebar di sisi sebelah kanan. Namun baru saja
dia berhasil berkelebat keluar, selagi tunggangannya mengapung setinggi satu
tombak di udara tiba-tiba satu benda me-nyala menghantam dari kanan. Ternyata
Lamanyala telah menerjangnya dengan satu serangan dahsyat!
Mau tak
mau Peri Angsa Putih terpaksa selamatkan diri dengan melompat turun dari
punggung angsanya. Dia tegak berkacak pinggang dengan mata membeliak marah
pada makhluk kobaran api di depannya.
"Peri
Angsa Putih. Kau sungguh bodoh. Tidak mau menerima kalung sakti ini. Berarti
aku terpaksa meminta benda yang aku inginkan itu secara cumacuma dari
dirimu!"
"Makhluk
keparat! Aku sudah tahu keculasanmu! Yang aku belum tahu benda apa yang kau
inginkan dariku!" Membentak Peri Angsa Putih.
Lamanyala
tertawa bergelak. "Aku inginkan Batu Pembalik Waktu!"
Kaget
Peri Angsa Putih bukan alang kepalang. "Bagaimana makhluk ini bisa tahu
kalau Batu Pembalik Waktu ada padaku? Mungkin dia berserikat dengan Peri
Sesepuh? Tapi Peri itu sendiri tidak tahu kalau batu tersebut ada padaku. Atau
mungkin aku salah menduga…."
*********************
9
KAU
menyebut batu apa?!" tanya Peri Angsa Putih. Lamanyala tertawa bergelak.
"Kau tidak tuli.Tapi biar kuulang sekali lagi. Serahkan padaku Batu
Pembalik Waktu!"
"Aku
tidak mengerti! Kau meminta sesuatu yang tidak aku miliki!"
Kembali
Lamanyala tertawa gelak-gelak. Kobaran api melesat dari dua mata, dua liang
telinga dan mulutnya.
"Setahuku
bangsa Peri tidak pernah berdusta! Entah dirimu! Ha… ha… ha…!" Lamanyala
memasukkan kalung batu biru ke balik pakaiannya.
"Siapa
berdusta!" Bentak Peri Angsa Putih.
Gelak
tawa Lamanyala semakin menjadi-jadi. "Peri Angsa Putih, dengar ucapanku
ini. Wajahmu cantik, tubuhmu mulus. Aku tidak ingin membuatmu menjadi seorang
peri cacat… Keluarkan cepat batu sakti itu. Serahkan padaku. Aku akan
tinggalkan tem-pat ini. Kau juga boleh pergi dengan aman…."
"Makhluk
dajal tak tahu diuntung. Geroak di badanmu rupanya tidak cukup membuatmu ingat
diri! Atau mungkin kau minta sisi tubuh kirimu aku buat berlobang besar seperti
sisi sebelah kanan?!"
"Peri
Angsa Putih. Kau berani mengancam. Aku jadi tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan
tangan keras terhadapmu. Cuma aku masih berbaik hati. Aku tahu Batu Pembalik
Waktu itu ada padamu. Serahkan padaku. Apa sulitnya…."
Peri
Angsa Putih mendengus. "Sekarang aku tahu. Semua yang kau ucapkan tadi
hanya karanganmu belaka! Kau sebenarnya perampok yang mencoba
berbasa-basi!"
"Terima
kasih atas pujianmu itu! Ha… ha… ha!" Habis berkata begitu Lamanyala
dorongkan dua tangannya. Dua gelombang angin panas datang menerpa Peri Angsa
Putih. Peri ini berteriak keras. Selagi dia melesat ke udara, dua gelombang api
menyusul menggulung ke arahnya.
"Makhluk
durjana! Kau minta barang bukan milikmu! Biar aku memberikan ini padamu!"
Peri Angsa Putih silangkan dua lengannya lalu saling digosokkan satu sama lain.
Begitu kepalanya dianggukkan maka laksana air bah, melesatlah cahaya biru
pekat. Memapas ke arah dua gelombang kobaran api!
"Pukulan
Membalik Langit Menggulung Bumil" teriak Lamanyala. Makhluk kobaran api
ini cepat melesat ke udara. Tengkuknya bergidik ketika melihat bagaimana
cahaya biru dengan dahsyatnya menggulung dua gelombang kobaran apinya. Kobaran
api ini kemudian melesat membalik menghantam ke arah dirinya sendiri!
"Wussss!
Wussss!"
Untungnya
Lamanyala telah lebih dulu melompat ke udara selamatkan diri. Di belakangnya
rumpunan semak belukar, sebuah batu besar dan dua pohon langsung tenggelam
disapu dua gelombang api, amblas hitam menjadi arang!
Peri
Angsa Putih tegak berkacak pinggang. "Kau masih bisa selamatkan diri.
Jangan harap kali kedua aku menghantam kau bisa lolos dari kematian!"
"Peri
sombong! Jangan kira aku takut padamu! Makan ini!" teriak Lamanyala. Lalu
tangan kanannya dipukulkan ke arah sang Peri. Tak ada cahaya, tak ada sinar
atau suara. Tapi Peri Angsa Putih tahu satu serangan dahsyat menghantam ke
arahnya. Sambil kibaskan ujung lengan pakaian putihnya Peri ini cepat
singkirkan diri ke samping kiri.
"Setttt…
wuut! Blass!"
Batu
setinggi pinggang di sebelah sana kelihatan bergetar sesaat lalu diam lagi.
Lamanyala meniup ke arah batu itu. Batu besar langsung mengepul dan menebar
menjadi debu! Itulah ilmu yang disebut Penghancur Karang Membentuk Debu. Ilmu
kesaktian ini pernah diajarkan Lamanyala pada Hantu Muka Dua ketika Hantu Muka
Dua masih bertapa di satu pulau karang. (Baca Episode berjudul "Hantu Muka
Dua")
"Aku
kagum melihat permainan sulapmu!" kata Peri Angsa Putih mengejek kehebatan
ilmu pukulan sakti Lamanyala tadi. "Tapi sayang aku bukan anak kecil yang
bisa dibuat gembira dengan ilmu murahan begitu rupa!"
Walau
hatinya sakit diejek begitu rupa namun Lamanyala keluarkan suara tertawa
"Jika kau tidak senang dengan ilmu sulapku, kau pasti akan senang melihat
Hantu Api Menari! Peri Angsa Putih, buka matamu. Lihat baik-baik…!"
Lamanyala
susun dua tangannya di atas kepala. Ketika perlahan-lahan tangan itu
diturunkan, kobaran api di kepala dan sekujur tubuhnya menjadi menipis.
Sosoknya yang cacat berubah menjadi sosok utuh, tapi pakaiannya lenyap entah
kemana. Hingga di balik api tipis itu Lamanyala terlihat bertelanjang bulat.
Dengan sepasang mata memandang galak tak berkesip pada Peri Angsa Putih,
Lamanyala mulai menggerakkan dua kaki dan sepasang tangannya. Dia benarbenar
menari!
Melihat
keadaan tubuh lelaki yang serba bugil walau tertutup api tipis, Peri Angsa
Putih menjadi merah mukanya.
"Makhluk
kurang ajar! Ilmu iblis apa yang kau perlihatkan padaku!" bentak sang
Peri. Justru disinilah kesalahan Peri Angsa Putih. Siapa saja yang menyaksikan
sosok Hantu Api Menari sekali-kali tidak boleh terpengaruh. Kalau sampai
terpengaruh maka hawa aneh akan merasuk masuk ke dalam tubuhnya dan dalam alam
diluar sadar orang itu akan ikut menari. Lebih celakanya dia akan membuka
pakaiannya satu persatu agar dapat bersama bugil dengan sang hantu!
Perlahan-lahan
Peri Angsa Putih mulai menggerakkan kaki dan sepasang tangannya menirukan
gerak tari Lamanyala. Sesaat kemudian ketika Lama-nyala menari mengelilinginya
Peri Angsa Putih gerakkan dua tangannya membuka ikatan pinggang pakaian sutera
putihnya. Sebagian dada dan perutnya yang putih mulus tersingkap. Pada saat itu
pula sebuah benda yang sejak tadi disimpannya di balik pinggang, meluncur jatuh
ke tahan. Sepasang mata Lamanyala yang telah berubah menjadi Hantu Api Menari
mengawasi. Benda yang jatuh itu ternyata adalah Batu Pembalik Waktu!
Sebaliknya Peri Angsa Putih sendiri tidak menyadari apa yang terjadi. Dia terus
saja menari lemah gemulai dan kini siap membuka dada pakaiannya. Hampir tubuh
sebelah atas sang Peri tersingkap lebar tiba-tiba satu hawa dingin menyeruak
dan sekelompok kabut aneh berwarna kebiru-biruan memenuhi tempat itu!
Saat itu
juga gerak Hantu Api Menari mendadak berubah menjadi kaku. Semakin dingin udara
semakin bertahan gerakannya. Pada puncaknya sosok Lama-nyala hanya bisa
tertegun. Sementara itu Peri Angsa Putih yang kembali pulih kesadarannya
terpekik keras. Cepat-cepat dia menutup dadanya yang hampir tersingkap lalu
mengikat pinggang pakaiannya kembali. Tidak menunggu lebih lama Peri ini
melompat ke depan, kirimkan dua pukulan keras ke kepala dan dada Lamanyala.
Lamanyala
mencelat dua tombak. Terguling di tanah lalu wusss! Sosok Lamanyala kembali ke
ujudnya semula. Kobaran api besar kembali terlihat membungkus tubuhnya. Dari
mulutnya ada darah mengucur. Pipi kiri makhluk ini di bekas yang terkena
jotosan Peri Angsa Putih kelihatan menggembung biru. Dua tulang iganya sebelah
kiri patah remuk!
"Peri
jahanam! Kau tak bakai selamat dari tanganku!" teriak Lamanyala marah. Dia
menggebrak ke depan melompati lawan. Selagi Peri Angsa Putih bertindak mundur
tiba-tiba Lamanyala berbalik dan membungkuk. Apa yang dilakukannya? Tidak lain
menyambar Batu Pembalik Waktu yang tadi jatuh dari balik pakaian Peri Angsa
Putih. Namun belum sempat dia menyentuh batu sakti itu, tiba-tiba satu tangan
aneh dingin mencekal pergelangan tangan kanannya yang hendak mengambil batu.
Seperti diketahui sekujur tubuh Lamanyala termasuk lengannya diselubungi api.
Jangankan dipegang, berada dekat saja orang lain pasti sudah kepanasan. Namun
nyatanya tangan yang mencekalnya itu tidak cidera. Dengan kertakkan rahang dan
mata melotot Lamanyala ulurkan tangan kiri untuk mengambil Batu Pembalik Waktu.
Tapi lagi-lagi sebelum dia sempat menyentuh tiba-tiba tangan kanannya dibetot
keras. Sesaat kemudian tubuhnya mencelat jungkir balik di udara.
Satu
tangan kurus mengambil Batu Pembalik Waktu yang tergeletak di tanah. Lalu
terdengar suara orang berseru.
"Peri
Angsa Putih! Cepat kau simpan benda itu baik-baik!"
Belum
habis kata-kata itu terucap, Peri Angsa Putih melihat batu tujuh warna melesat
ke arahnya. Dengan cepat dia segera menyambuti. Batu Pembalik Waktu kini
kembali berada di tangan Peri Angsa Putih. Sebenarnya saat itu dia bisa segera
meninggalkan tempat itu namun sang Peri yang merasa menerima budi orang tidak
mau berlaku begitu.
Sebagai
makhluk berkepandaian tinggi walau dilempar ke udara dan terbanting ke tanah
seharusnya Lamanyala masih sanggup jatuh dengan dua kaki menjejak tanah lebih
dulu. Tapi anehnya saat itu dia tidak mampu berbuat begitu. Persendian tangan
dan kakinya laksana kaku. Dia terkapar tertelungkup di tanah. Dadanya serasa
remuk. Dengan pandangan mata keliangan, rahang menggembung dia memandang
beringas ke depan. Dia melihat satu kepala hampir menyentuh tanah. Dia tak bisa
jelas melihat wajah orang itu karena tertutup janggut, kumis dan rambut putih.
Lamanyala kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga kobaran api di kepala dan
sekujur tubuhnya mengeluarkan suara berdesir-desir.
"Makhluk
aneh! Mengapa kepalanya ada di bawah! Jangan-jangan dia adalah…" Lamanyala
merutuk dalam herannya. Perlahan-lahan dia berusaha bangkit berdiri. Saat
itulah meledak tawa berkekehan!
Memandang
ke depan Lamanyala terkesiap kaget melihat seorang kakek yang berdiri kaki ke
atas kepala ke bawah. Dua tangannya dipergunakan sebagai kaki.
"Lasedayu.
Hantu Langit Terjungkir! Benar dia rupanya!" Lamanyala menyebut nama itu
sampai lidah apinya bergetar saking geramnya.
"Makhluk
api Lamanyala! Kau beruntung. Rupanya ada orang yang menolongmu keluar dari
kubangan busuk! Ha… ha… ha! Kita bertemu lagi! Hari ini hari penentuan! Kau
atau aku yang bakal mampus!"
"Kakek
Hantu Langit Terjungkir! Harap kau jangan mencampuri urusan kami!" Berseru
Peri Angsa Putih.
"Peri
cantik. Dosa makhluk api ini atas diriku setinggi langit sedalam lautan! Jadi
biar aku yang memberi pelajaran padanya!" kata makhlukyang barusan muncul
dan bukan lain memang Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu.
Kalau
tidak merasa segan terhadap Hantu Langit Terjungkir mungkin saat itu Peri Angsa
Putih tidak perdulikan ucapan si kakek dan terus saja menyerang Lamanyala.
Walau demikian Peri Angsa Putih segera loloskan selendang birunya. Bagaimanapun
juga dia tidak ingin Lamanyala lolos dari tangannya.
"Makhluk
salah kaprah!" hardik Lamanyala. "Kau hanya bisa menghitung dosa
orang! Dosamu sendiri berserabutan! Tidak heran kalau kutuk menyengsarai
dirimu! Hari ini biar deritamu kuhabisi bersama nyawamu!"
Hantu
Langit Terjungkir tertawa gelak-gelak. "Ujudmu lebih buruk dari setan
alas. Tapi kesombonganmu lebih tinggi dari Gunung Latinggimeru! Sungguh kau
makhluk tak tahu diri! Setelah menyiksaku dengan kutukanmu, kini kau inginkan
nyawaku! Ha… ha… ha! Kau terlambat bertindak Lamanyala! Hari ini kau yang lebih
dulu mendapat kesempatan menemui para kerabatmu di alam roh! Ha… ha… ha!"
"Makhluk
salah ujud! Makhluk semacammu tidak pantas hidup di Negeri Latanahsilam ini!
Kebetulan kau datang mencari mati!" kertak Lamanyala lalu didahului
dengan melancarkan satu pukulan tangan kosong, dia berkelebat melompati Hantu
Langit Ter jungkir.
Satu
gelombang api menyambar ke arah si kakek. Selagi Hantu Langit Terjungkir
berusaha menghindar, Lamanyala kirim tendangan ganas ke tempat berbahaya di
bawah perut lawan!
Dua kaki
Hantu Langit Terjungkir membuat gerakan bersilang. Kabut kebiruan menebar. Lalu
bukkk!
Kekuatan
hawa dingin saling bentrokan dengan hawa panas lewat beradunya dua kaki.
"Cessss!"
Hantu
Langit Terjungkir terbalik tunggang langgang.
Lamanyala
sendiri terpental jauh. Ketika dia bangkit berdiri tubuhnya tampak miring. Kaki
kanannya yang tadi beradu dengan kaki lawan kini tidak di kobari api lagi dan
kelihatan bengkok hitam kebiruan. Lama-nyala tidak bisa mempercayai bagaimana
musuh yang telah kehilangan seluruh ilmu kesaktiannya dan sengsara berpuluh
tahun dalam kutukannya ternyata masih memiliki ilmu kesaktian yang bisa membuat
dirinya cidera begitu rupa! Sudah dua kali sebelum ini dia dipecundangi! Sekali
ini dia harus bisa melumat menghabisi musuh besarnya ini!
Lamanyala
membentak keras. Dua tangannya digerakkan. Dua larik kobaran api bergulung di
seputar tubuh Hantu Langit Terjungkir. Sekali lagi Lamanyala menggerakkan dua
tangan. Seperti tadi waktu dia berhadapan dengan Peri Angsa Putih, kali ini kembali
Lamanyala menutup gerak lawan dengan membuat kobaran api di atas kaki Hantu
Langit Terjungkir.
"Ha…
ha…! Permainan apa yang hendak kau perlihatkan padaku Lamanyala!" berseru
Hantu Langit Terjungkir.
Lamanyala
kertakkan rahang. Dia membatin. "Aku harus memasukkan hawa sakti penyedot
kekuatan dalam kobaran apiku. Kalau tidak pasti dia masih akan bisa menembus
ilmu kesaktianku!" Diam-diam lalu Lamanyala merapal satu aji kesaktian
yang selama ini jarang dipergunakannya karena belum sempurna dikuasainya. Setelah
merapal sambil menyeringai dia kembali menggerakkan dua tangannya. Kali ini
gerakan tangan itu bukan cuma menghantam lurus ke depan, tapi diputar demikian
rupa sehingga dua gelombang api yang menyerbu Hantu Langit Terjungkir seperti
dua buah mata bor raksasa, menderu ganas ke arah lawan. Yang dituju adalah dua
tangan Hantu Langit Terjungkir yang berada di sebelah bawah dipergunakan
sebagai kaki.
Hantu
Langit Terjungkir berseru kaget ketika melihat bagaimana tanah dekat dua
tangannya berubah menjadi lobang-lobang besar, terbongkar oleh serangan dua
larik kobaran api. Kakek ini cepat mengapung naik. Namun gerakannya tertahan
karena di sebelah atas telah menunggu pula dinding kobaran api dan secara
perlahan-lahan kobaran api ini turun ke bawah. Sementara kobaran api yang
bergulung mengelilinginya bergerak menciut!
"Kurang
ajar! Makhluk jahanam itu hendak memanggang tubuhku!" kertak Hantu Langit
Terjungkir. Dia kerahkan tenaga dalamnya yang kini berpusat di kening. Dengan
cepat dia alirkan tenaga dalam mengandung hawa sakti dingin ke sekujur
tubuhnya. Lalu dua kakinya digerakkan seperti sepasang mata gunting. Dua larik
cahaya kebiruan menggebubu menutupi tubuhnya. Dengan bertameng kabut sakti
dingin ini Hantu Langit Terjungkir kemudian melesat ke udara. Tapi dia jadi
kaget ketika tubuhnya mendadak terpental ke bawah, dua kakinya cidera kemerahan
dijilat api!
"Celaka!
Bagaimana mungkin aku tidak sanggup menembus kobaran api itu!" Si kakek
menggeser tubuhnya ke kanan. Kembali dia kerahkan tenaga dalam dan kerahkan
kabut biru melindungi tubuhnya lalu dia coba menerobos ke sisi kanan.
"Cesss!"
Bahu
Hantu Langit Terjungkir berubah merah disambar kobaran api. Lamanyala tertawa
bergelak. Merasa sudah bisa menguasai lawan, maka makhluk api ini memutuskan
untuk segera menghabisi. Tangan kanannya perlahan-lahan diangkat ke atas. Di
dalam kobaran api Hantu Langit Terjungkir menyumpahnyumpah habis-habisan.
"Jahanam!
Biar aku mengadu jiwa dengan bangsat itu!" Hantu Langit Terjungkir
kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai sekujur tubuhnya mengeluarkan cahaya
kebiruan. Bahkan hawa yang membersit dari hi-dung dan mulutnyapun tampak
berwarna biru. Tubuhnya bergerak naik, mengapung demikian rupa hingga tampak
melayang sama rata, satu jengkal di atas tanah. Di dahului bentakan keras kakek
ini kemudian pukulkan dua tangan dan hentakkan dua kakinya.
Di saat
bersamaan Lamanyala sabetkan tangan kanannya ke bawah.
Dua
kilatan cahaya biru bersabung dengan dua kiblatan nyala api merah. Untuk
kesekian kalinya tem-pat itu digoncang dentuman keras. Hantu Langit Terjungkir
terguling-guling beberapa kali lalu terhantar dekat pohon hangus. Tubuhnya
kelihatan merah dan kulitnya mengelupas di beberapa bagian. Peri Angsa Putih
tercekat kaget, cepat berlari menghampiri kakek ini. Tapi Lamanyala datang
menghadang. Padahal keadaan makhluk api ini saat itu mengerikan luar biasa.
Keningnya sebelah kiri kelihatan berlubang. Darah mengucur tiada henti. Ususnya
merorot keluar lewat lobang di sisi kanannya. Kalau tidak terkait pada patahan
salah satu tulang iganya, usus ini pasti akan jebol menjela sampai ke tanah.
"Batu
Pembalik Waktu…. Lekas serahkan padaku…!" Suara Lamanyala berubah serak
dan sember. Kobaran api yang biasanya menyembur keluar setiap dia bicara kini
hanya bergulung-gulung di dalam mulutnya.
Untuk
sesaat Peri Angsa Putih tertegun tak bergerak saking ngerinya melihat keadaan
makhluk api bernama Lamanyala itu. Kelengahan sang Peri tidak disia-siakan oleh
Lamanyala. Tadi dia sempat melihat dimana Peri Angsa Putih menyembunyikan Batu
Pembalik Waktu. Maka dengan satu gerakan kilat tangan kanannya menyambar ke
pinggang.
"Brettt!"
Pakaian
Peri Angsa Putih robek di bagian ping gang. Batu berwarna tujuh menyembul di
atas perutnya yang putih. Peri Angsa Putih terpekik. Baru sadar apa yang
terjadi dan dilakukan orang terhadapnya. Dia cepat menghantam ke depan tapi
terlambat. Batu Pembalik Waktu telah berada dalam genggaman Lama-nyala. Begitu
dapatkan batu sakti tersebut tanpa menunggu lebih lama Lamanyala segera putar
tubuh, siap berkelebat kabur. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara perempuan
menggerung keras.
"Lasedayu
suamiku! Siapa yang berani mencelakai dirimu!"
Satu
bayangan kuning berkelebat. Satu tendangan keras melabrak dada Lamanyala hingga
tubuhnya mencelat mental sampai tiga tombak dan Batu Pembalik Waktu yang ada
dalam genggaman tangan kanannya terlempar ke udara lalu jatuh ke tanah. Peri
Angsa Putih cepat memburu, gulingkan dirinya di tanah dan menyambar batu sakti
itu dengan cepat. Dengan cepat pula benda itu disisipkannya ke balik pinggang
pakaian. Ketika dia bangkit berdiri, terkejutlah sang Peri. Beberapa langkah di
hadapannya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Menatap ke arahnya.
"Wahai….
Apakah dia tahu… apakah tadi dia sempat melihat Batu Pembalik Waktu itu…?"
pikir Peri Angsa Putih. Sang Peri tidak tahu mau berkata atau berbuat apa. Dia
berpaling ke kiri. Di situ terkapar sosok Lamanyala, megap-megap seperti mau
sakarat. Menoleh ke sebelah kanan dia melihat seorang nenek berjubah kuning
duduk bersimpuh di tanah, terisakisak menahan tangis sambil memangku sosok
Hantu Langit Terjungkir.
Pandangan
Peri Angsa Putih kembali pada Wiro. Untuk sesaat lamanya dua orang ini saling
menatap tanpa ada kata yang terucap. Kemudian Wiro bergerak. Peri Angsa Putih
mengira sang pendekar hendak mendatanginya. Ternyata Wiro mendekati sosok
nenek berjubah kuning. Dalam kecewa Peri Angsa Putih merasa lega. "Dia
tidak mendatangiku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Berarti dia tidak melihat.
Dia tidak tahu kalau Batu Pembalik Waktu ada padaku…."
*********************
10
LUHPINGITAN
alias Hantu Selaksa Kentut terduduk memeluk dan menangisi sosok Hantu Langit
Terjungkir yang diletakkannya di atas pangkuannya. Beberapa bagian kulit tubuh
kakek ini tampak terkelupas merah. Saat itu Naga Kuning, Setan Ngompol dan
Betina Bercula yang mengikuti perjalanan Wiro telah sampai pula di tempat itu.
Mereka tidak tahu mau berbuat apa. Lebihlebih ketika melihat Peri Angsa Putih.
Sejak peristiwa Peri Angsa Putih menganiaya Lakasipo tempo hari, ke tiga orang
itu tidak lagi menaruh hormat pada sang Peri. (Baca Episode berjudul
"Rahasia Perkawinan Wiro") Akhirnya mereka bergerak mendekati nenek
muka kuning yang tengah meratap.
"Puluhan
tahun aku hidup tersiksa dan kau menderita. Puluhan tahun kita berpisah. Kini
setelah bertemu dirimu hanya tinggal jazad tak bernafas lagi. Lasedayu, buka
matamu, bicaralah…. Berucaplah walau hanya barang sepatah. Lasedayu kalau kau
tak bisa bersuara senyumpun jadilah. Lasedayu suamiku, mengapa buruk nian nasib
peruntungan kita. Empat orang anak kita lenyap tak diketahui di mana rimbanya.
Kalau masih hidup berada di mana. Kalau memang sudah meninggal dimana kuburnya.
Kini aku juga kehilangan dirimu selama-lamanya…."
Wiro
tegak terdiam sambil sesekali menggaruk kepala. Setan Ngompol tertunduk menahan
kencing. Betina Bercula usap matanya yang berkaca-kaca. Sedang Naga Kuning
sesekali melirik memperhatikan Peri Angsa Putih yang kini jadi dibencinya itu.
"Nenek,
biar aku memeriksa kakek itu. Mungkin masih bisa ditolong…" Wiro berkata
seraya berjongkok di samping Hantu Selaksa Angin.
"Mau
ditolong bagaimana lagi? Jangankan kau. Para Dewapun tidak mungkin
mengembalikan nyawanya!" menjawab si nenek lalu meratap tambah keras.
Wiro
pegang bahu Hantu Selaksa Angin dan berkata. "Kalau dia memang sudah
mati, memang tidak siapapun tidak bisa menolongnya. Tapi aku melihat masih ada
denyut halus pada urat nadi di lehernya. Lagi pula apa kau lupa pada Gusti
Allah Nek…?"
Si nenek
sesaat hentikan tangisnya. Dengan mata basah dia berpaling pada Pendekar 212.
"Gusti Allah temanmu itu, apakah dia bisa menolong suamiku ini?"
Wiro
tersenyum. "Gusti Allah bukan temanku Nek.
Dia
adalah Junjungan kita. Satu-satunya tempat kita meminta tolong. Karena dia Maha
Pengasih Maha Penyayang dan Maha Kuasa…."
Hantu
Selaksa Angin usap matanya yang basah. "Kalau begitu kau minta tolonglah
padaNya. Hidupkan suamiku ini. Biar kami bisa menghabiskan sisa hidup di hari
tua ini bersama-sama…. Mudah-mudahan dia memang belum mati…."
Nenek
muka kuning itu hendak beringsut dan membaringkan Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir di tanah agar Wiro bisa memeriksanya. Namun sebelum hal itu sempat
dilakukannya tiba-tiba ada suara berucap.
"Kalian
tolol semua! Siapa bilang aku sudah mati!"
Hantu
Selaksa Angin tersentak kaget. Dia sampai tersurut ke belakang hingga tubuh
Hantu Langit Terjungkir terguling ke tanah. Memandangi wajah kakek itu si
nenek melihat mata kiri Hantu Langit Terjungkir terbuka sedikit
"Wahai!
Dia memang masih hidup. Tapi mengapa hanya satu matanya saja yang
terbuka?!" Si nenek kembali terisak.
Mata kiri
Hantu Langit Terjungkir yang terbuka itu mengedip tiga kali. Si nenek kembali
terkejut
"Wahai!
Kalau kau sudah mati jangan rohmu mempermainkan diriku Lasedayu!"
"Siapa
yang sudah mati?!"
Tiba-tiba
sosok Lasedayu bergerak bangkit lalu duduk di tanah! Betina Bercula terpekik
dan melangkah mundur. Hantu Selaksa Angin sendiri beringsut menjauh dengan
mata pucat. Naga Kuning menyelinap ke belakang karena dia juga mengira si kakek
tadinya sudah menemui ajal. Setan Ngompol mendelik memperhatikan sambil
pegangi bagian bawah perutnya. Dari jauh Peri Angsa Putih diam-diam juga
memperhatikan semua yang terjadi dengan perasaan heran.
"Lasedayu,
suamiku. Kau ini benar-benar masih hidup atau bagaimana? Jangan berani
mempermainkan diriku! Sudah cukup aku puluhan tahun menderita sengsara. Jangan
berani berlaku kurang ajar…."
Hantu
Langit Terjungkir berpaling dan menatap si nenek sejurus. "Nenek muka
kuning," katanya. "Kita pernah berjumpa beberapa kali. Terakhir
sekali kau menolong tanganku yang patah. Walau kita mungkin bersahabat tapi
jarang bicara yang bukan-bukan. Jangan berani mengada-ada. Apalagi memanggil
diriku suami!"
"Kek,
biar aku menerangkan…" kata Wiro.
Hantu
Langit Terjungkir kini berpaling pada Pendekar 212. "Hemm…. Kau pasti
orangnya. Aku sudah tahu perangaimu yang suka bergurau dan bercanda. Tapi
jangan keterlaluan anak muda! Kau pasti yang menjadi biang keladi semua
ini…."
Wiro
menggaruk kepala. "Kek, ingat saat sehabis nenek ini menolong tanganmu dan
kau bercakapcakap dengan Si Penolong Budiman di tepi telaga?"
"Aku
setengah-setengah ingat," jawab Hantu Langit Terjungkir. "Memangnya
ada apa kau bertanya begitu?"
"Menurut
apa yang didengar nenek ini, waktu itu kau berkata pada Si Penolong Budiman.
Kau bersedia kawin dengannya. Ayo, kau pasti ingat. Jangan berani
berdusta."
Hantu
Langit Terjungkir memandang pada Hantu Selaksa Angin. "Aku tidak ingat,
tapi mungkin saja saat itu aku memang bicara begitu. Karena… karena dia berbuat
baik menolong tanganku yang patah. Lagi pula sudah puluhan tahun aku hidup
menyendiri. Tapi aku tidak mengerti. Kalian semua tahu, aku masih belum kawin
dengannya. Mengapa dia berani-beranian menyebut diriku suaminya?!"
Wiro
tertawa. "Coba kau lihat wajahnya baik-baik, Kek. Apa kau tidak ingat
siapa dirinya?"
Hantu
Langit Terjungkir ikuti apa yang dikatakan Wiro. Setelah menatap beberapa jurus
lamanya kakek ini berkata. "Aku memang mengenalinya. Dia nenek muka kuning
yang menolong diriku…."
"Maksudku
bukan itu Kek. Maksudku apakah wajahnya mengingatkanmu pada wajah seseorang di
masa puluhan tahun silam? Maksudku ketika kau masih muda?"
"Sulit
aku mengingat…."
Hantu
Selaksa Angin hampir terpancar kentutnya. Sambil menahan diri nenek ini
bertanya. "Waktu di telaga kau berkata pada Si Penolong Budiman bahwa kau
kawin dengan aku. Apakah saat ini perasaan itu masih ada dalam hatimu…."
"Aku….
Aku tahu kau nenek baik. Aku menanam budi padamu. Tapi…."
Wajah
nenek muka kuning itu mendadak jadi muram. Dia berpaling pada Wiro. Wiro lantas
berkata. "Terlalu banyak orang di sini. Mungkin kakek ini malu mengatakan
bahwa dia memang suka padamu…."
"Kalau
suka saja tak ada artinya. Yang aku inginkan adalah kawin. Juga dia sendiri
dulu yang jelas-jelas kudengar berkata mau kawin denganku!" si nenek
merajuk.
Mendengar
ucapan si nenek itu Naga Kuning dan Betina Bercula jadi tersenyum geli.
Wiro
tertawa lebar. Dia memandang pada si kakek lalu berkata. "Kek, apa ikan
asap atau ikan pindang mengingatkan kau pada seseorang?"
Wajah tua
Hantu Langit Terjungkir langsung berubah. Kakek ini usap janggutnya berulang
kali dan basahi bibirnya dengan ujung lidah. "Kau membuat air liurku
keluar. Itu makanan kesayanganku sejak muda. Tapi sudah puluhan tahun aku tak
pernah mencicipinya…."
Nenek
muka kuning memegang lengan Wiro dan berbisik. "Kau dengar sendiri. Dia
hanya ingat pada ikannya. Bukan padaku…."
"Kek,
kalau kau memang suka ikan pindang atau ikan asap, apa kau masih ingat siapa
yang paling pandai memasakkannya untukmu?"
"Tentu
saja istriku! Tapi dia entah dimana sekarang. Puluhan tahun kami berpisah.
Juga empat orang anakku…"
Mendengar
ucapan si kakek Hantu Selaksa Angin jadi sesenggukan menahan tangis. Wiro
pegang bahu nenek ini dan goyangkan kepalanya memberi isyarat. Si nenek ambil
kantong perbekalannya. Dari kantong ini dia keluarkan satu bungkusan daun
pisang dan diletakkannya di atas pangkuannya. Dengan tangan gemetaran Hantu
Selaksa Angin buka bungkusan daun pisang itu. Hantu Langit Terjungkir
memperhatikan dengan mata tak berkesip dan hidungnya membaui sesuatu hingga
tampak kembang kempis mengendus-endus.
Ketika
bungkusan daun pisang akhirnya terbuka, Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara
tertahan. Tubuhnya seperti didorong ke belakang. Saat itu dia masih terduduk di
tanah. Matanya berkilat-kilat. Lidahnya terjulur tak berkeputusan. Tangannya
serta merta diulurkan hendak mengambil salah satu dari dua potong ikan asap
berbumbu cabai hijau yang ada di atas daun itu. Tapi tiba-tiba dia tarik pulang
tangannya kembali. Dia memandang pada Hantu Selaksa Angin.
"Apakah
kau yang membuat ikan asap ini Nek?" tanya Hantu Langit Terjungkir.
Si nenek
menjawab dengan anggukkan kepala. Dua matanya kembali basah oleh air mata.
"Kau
membawa dua potong ikan itu, untuk siapa…?" kembali Hantu Langit
Terjungkir bertanya.
"Untuk
kau, suamiku…."
"Lagi-lagi
kau menyebut diriku suamimu. Siapakah kau sebenarnya nenek muka kuning?"
"Aku
Luhpingitan. Apa kau tidak ingat lagi padaku?" jawab Hantu Selaksa Angin
dengan suara bergetar dan tak kuat menahan tangis.
Sosok
Hantu Langit Terjungkir meleset satu tombak ke udara lalu turun kaki ke atas
kepala ke bawah.
"Jangan
kau berani menyebut nama itu. Jangan kau berani mengada-ada. Kau tahu!
Luhpingitan adalah nama orang yang pernah menjadi istriku!"
"Aku
memang Luhpingitan, istrimu yang terpisah selama puluhan tahun!"
"Kau!"
Hantu Selaksa Angin menatap lekat-lekat pada si nenek. Lalu dia memandang pada
Wiro. Sesaat kemudian meledaklah tawanya. "Wiro, kau benar benar hebat!
Pandai sekali mengatur semua ini…."
"Kek,
tidak ada yang mengatur. Nenek ini memang Luhpingitan. Orang yang pernah
menjadi istrimu. Dan sampai sekarang tetap menjadi istrimu…."
"Tidak
mungkin, wajah dan kulit istriku tidak kuning seperti dia…."
"Lasedayu
suamiku. Sejak kita terpisah puluhan tahun silam, banyak hal telah terjadi
dengan diriku. Suaraku berubah. Ingatanku hilang. Aku senang pada warna kuning
hingga setiap saat aku selalu melumuri wajah dan tubuhku dengan sejenis cairan.
Jika kau bersedia menunggu, di dekat sini ada satu danau kecil. Aku akan
membersihkan diri di sana untuk melunturkan lapisan kuning di muka dan tubuhku
ini. Nanti akan kau lihat sendiri wajahku. Akan kau saksikan apakah aku ini
benar Luhpingitan atau bukan…."
Hantu
Langit Terjungkir jadi ternganga mendengar katakata si nenek. Dia masih
terpana ketika Hantu Selaksa Angin bangkit berdiri lalu meninggalkan tempat
itu. Ketika dia sadar, kakek ini segera hendak mengikuti.
Tapi
pinggang celananya cepat dipegang Naga Kuning. "Dilarang mengintai
perempuan mandi Kek, termasuk mengintai nenek-nenek!"
"Anak
lancang! Mengapa aku tidak boleh mengintai istriku sendiri?!" menyahuti
Hantu Langit Terjungkir.
"Hik…
hik!" Betina Bercula tertawa geli. "Kau sendiri tadi belum yakin apa
nenek itu benar-benar istrimu. Jadi kau harus menunggu dulu di sini…."
"Harap
bersabar sobat," kata Setan Ngompol pula. "Nenek itu mandi tidak akan
lama. Paling-paling satu hari satu malam!"
"Kalian
gila semua!" maki Hantu Langit Terjungkir. Lalu kakek ini melesat ke atas
melewati orang-orang yang mengelilinginya.
"Hai!
Dia hendak menuju ke danau!" teriak Betina Bercula.
"Sudah
tidak sabaran dia rupanya!" kata Naga Kuning pula.
Semua
orang yang ada di tempat itu segera mengejar karena ingin tahu apa yang hendak
dilakukan Hantu Langit Terjungkir.
Ketika si
kakek sampai di tepi danau, Hantu Selaksa Angin baru saja hendak keluar dari
danau. Saat itu air masih setinggi dadanya. Mukanya yang sebelumnya kuning kini
kelihatan bersih memperlihatkan wajah aslinya.
Hantu
Langit Terjungkir terkesiap begitu dia melihat wajah si nenek. "Demi Para
Dewa!" katanya dengan suara gemetar.
"Kek,
apa nenek dalam danau itu memang Luhpingitan, perempuan yang pernah menjadi
istrimu?" Betina Bercula bertanya.
Lama
Hantu Langit Terjungkir tak bisa menjawab saking terkesimanya. Sesaat kemudian
meluncur ucapannya dengan suara bergetar.
"Walau
wajahnya kini sudah begitu tua. Tapi aku masih bisa mengenali. Dia benar
Luhpingitan. Istriku! Ibu dari anak-anakku!" Hantu Langit Terjungkir
lantas lari memasuki danau, mencebur ke dalam air sambil tiada berhentinya
berteriak. "Luhpingitan! Luhpingitan!"
Di dalam
air Luhpingitan hentikan langkahnya menuju tepian danau. Wajahnya tersenyum
walau air mata kembali membasahi pipinya. Perempuan tua ini mengembangkan dua
tangannya ketika Lasedayu mendatanginya. Keduanya lalu saling berangkulan dalam
air, sama-sama bertangisan.
Betina
Bercula jadi ikut-ikutan menangis dan cepat-cepat mengusut air matanya sebelum
ketahuan yang lain-lain. Wiro menarik nafas lega. Dia berkata pada Naga Kuning,
Setan Ngompol dan Betina Bercula. "Ayo kita tinggalkan tempat ini. Biarkan
sepasang kakek nenek itu melepas kerinduan hati mereka setelah puluhan tahun
berpisah…."
"Betapa
bahagianya mereka…" kata Betina Bercula lalu menarik nafas lega.
"Apakah
kau inginkan kebahagiaan seperti itu?" Naga Kuning bertanya.
"Anak
setan! Kau pasti mau menggoda diriku!" kata Betina Bercula sambil delikkan
mata.
"Aku
cuma bertanya," jawab Naga Kuning. "Kalau kau memang ingin merasakan
bahagia seperti dia, turun saja ke danau. Kakek Setan Ngompol pasti mau
menemanimu! Apalagi dia sudah seminggu tidak pernah mandi! Hik… hik… hik!"
"Anak
sambal! Ucapanmu selalu tidak karuan!" mengomel Setan Ngompol. "Kau
mau aku peperi lagi mukamu dengan air kencing?!"
Mendengar
ancaman si kakek Naga Kuning cepat menjauhkan diri, melangkah cepat-cepat.
Tiba-tiba anak ini hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling.
"Aku
tidak melihat Peri Angsa Putih! Kemana perginya Peri itu?" berucap Naga
Kuning.
"Pasti
dia pergi ketika kita menuju danau tadi!" berkata Betina Bercula.
"Makhluk
api Lamanyala juga tak ada lagi di tempat ini!" kata Setan Ngompol.
"Walah!
Jangan-jangan dua makhluk itu sudah mencari danau lain untuk bermesraan!"
menimpali Betina Bercula lalu tertawa cekikikan.
Tiba-tiba
satu benda putih melesat rendah di atas rombongan orang-orang itu. Satu cahaya
biru berkelebat. Naga Kuning dan Betina Bercula berseru kaget. Si Setan
Ngompol langsung terkencing. Benda biru itu ternyata menyambar ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng. Sebelum murid Sinto Gendeng ini sempat merunduk, ujung benda
biru telah menerpa urat besar di leher kirinya. Langsung Wiro menjadi kaku, tak
bisa bergerak tak bisa bersuara. Ternyata bukan itu saja yang terjadi. Di udara
benda putih tadi bergerak berbalik. Bersamaan dengan itu benda biru ikut
bergulung ke bawah, membuntal tubuh Wiro. Di udara terdengar suara menguik
panjang. Di lain saat sosok Wiro terangkat ke atas dan lenyap dilangit tinggi.
"Angsa
putih! Yang melesat itu angsa putih!" berteriak Si Setan Ngompol.
"Peri
Angsa Putih melarikan Wiro!" Betina Bercula ikut berseru.
"Astaga!
Mengapa Peri itu berbuat begitu?!" ujar Naga Kuning sambil kepalkan
tinjunya.
Ketiga
orang itu hendak mengejar. Tapi tidak tahu mau mengejar kemana.
*********************
11
KETIKA
sang surya muncul di ufuk timur menerangi jagat, segala sesuatunya terlihat
indah mulai dari lembah sampai ke puncak bukit di kejauhan. Namun semua
keindahan itu seolah tidak tertangkap oleh sepasang mata biru bagus Peri Angsa
Putih. Dia duduk di depan mulut goa kecil, merenung gundah. Hati dan pikirannya
bergalau kacau. Sejak malam tadi boleh dikatakan dia tidak memicingkan mata
sekejappun. Dia juga tidak berani masuk ke dalam goa dimana terbaring sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng, masih dalam keadaan kaku. Tak bisa bersuara tak
dapat bergerak.
Berkali-kali
Peri Angsa Putih menarik nafas dalam. Rasa bingung membuat dia tidak dapat
mengambil keputusan. Matanya memandang ke arah puncak bukit di kejauhan. Di
balik kerapatan pepohonan, samarsamar tampak satu bangunan putih kecil yang
atapnya berbentuk rembulan setangan lingkaran. Itulah Puri Kebahagiaan, tempat
dimana Peri Bunda mengasingkan diri dan dikabarkan berada dalam keadaan hamil
akibat hubungan gelapnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sampai
sore kemarin tekadnya begitu kiat untuk membawa Wiro ke Puri Kebahagiaan guna
meminta pertanggungan jawab pemuda itu atas apa yang telah dilakukannya
terhadap Peri Bunda. Namun menjelang akan sampai ke Puri Kebahagiaan mendadak
hatinya mulai kacau. Bagaimana mungkin dia akan menyerahkan Wiro padahal dia
menyadari betapa dia sangat mencintai pemuda itu?! Di dalam hati sanubari sang
Peri terjadi semacam peperangan. Kalau dia tidak membawa Wiro ke Puri
Kebahagiaan, maka dia akan dituduh melakukan kesalahan besar. Melanggar
perintah. Apalagi sebelumnya dia sempat bertemu dengan Peri Sesepuh. Sebaliknya
jika dia meneruskan membawa Wiro, maka mungkin dia akan kehilangan pemuda itu
untuk selama-lamanya.
Dalam
kekacauan pikiran begitu rupa, ada sekelumit bisikan agar dia menyerahkan saja
Batu Pembalik Waktu pada Wiro. Hingga memungkinkan pemuda itu selamat dari
tuntutan dan kembali ke Tanah Jawa bersama teman-temannya. Tetapi itu sama
juga. Berarti dia tetap akan kehilangan orang yang dikasihinya itu.
Ketika
sinar matahari mulai terasa menyengat kulitnya yang halus, Peri Angsa Putih
baru menyadari bahwa dia tidak mungkin duduk merenung terus di depan goa itu.
Apapun yang akan terjadi dia harus melakukan sesuatu. Setelah memejamkan mata
dan berdoa agar para Dewa meneguhkan hatinya, Peri Angsa Putih akhirnya masuk
ke dalam goa.
Di dalam
goa ternyata dia tidak bisa bertindak cepat. Beberapa lamanya dia hanya berdiri
tegak membelakangi Wiro yang terbaring di lantai. Hatinya kombali bimbang.
"Betapapun
terkadang kebencian menyelinap di hati ini terhadapnya, tapi aku harus mengakui
aku sangat mencintainya. Aku sangat takut kehilangan dirinya. Kalau saja aku
ini tidak dilahirkan sebagai Peri, mungkin labih mudah bagiku untuk mengambil
keputusan sesuai dengan suara hatiku. Sesuai dengan rasa cinta kasihku
terhadapnya…."
Perlahan-lahan
Peri Angsa Putih balikkan tubuhnya. Dua matanya yang biru saling bertatapan
dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tak dapat bertahan lama.
Dengan menundukkan kepala dan memandang ke jurusan lain Peri Angsa Putih
menekan bagian leher Wiro yang kemarin di lumpuhkannya dengan ujung selendang
biru miliknya. Saat itu juga Wiro mampu bergerak dan bersuara kembali.
"Kau
bebas. Kau boleh pergi…."
Murid
Eyang Sinto Gendeng cepat bergerak duduk. Ketika Peri Angsa Putih hendak
bangkit berdiri pula dia segera memegang bahu Peri itu seraya berkata.
"Duduklah,
kita perlu bicara."
Peri
Angsa Putih jadi bertambah bingung. Tapi dia tidak bisa berbuat lain. Setelah
duduk berhadaphadapan, terpisah tiga langkah, Wiro bertanya. "Peri Angsa
Putih, mengapa kau lakukan hal ini?"
"Aku
melakukan apa Wiro?" balik bertanya Peri Angsa Putih. Tidak seperti
biasanya sekali suara sang Peri terdengar bergetar.
Pendekar
212 tersenyum. "Mungkin kau sedang bingung, kacau pikiran disebabkan
banyak hal yang kau hadapi. Biar aku ulangi pertanyaanku tadi lebih jelas.
Kemarin kau melumpuhkan aku di tepi danau. Aku tak tahu apa tujuanmu
melakukannya. Kau membawaku ke goa ini. Aku juga tidak tahu apa maksudmu. Kini
kau bebaskan aku dan menyuruh pergi. Mengapa kau melakukan semua ini dan apa
sebenarnya maksud tujuanmu?"
"Aku
tidak bermaksud apa-apa. Mungkin ini karena kesalah pahamanku atau ketololanku
sendiri."
"Tidak,
jangan mendustai diri sendiri Peri Angsa Putih. Kau bukan saja Peri tercantik
di Negeri Atas Langit, tapi juga seorang Peri cerdik dan tidak tolol seperti
katamu."
Peri
Angsa Putih menatap wajah Pendekar 212 sesaat. Ketika sepasang mata mereka
saling beradu pandang sang Peri tak kuasa bertahan. Dia palingkan wajah lalu
bangkit berdiri. "Ikuti aku, aku akan menunjukkan sesuatu padamu."
Wiro
berdiri, melangkah mengikuti Peri Angsa Putih keluar dari goa. Di mulut goa
Peri itu hentikan langkahnya lalu menunjuk ke arah bangunan putih di puncak
bukit di kejauhan.
"Kau
lihat bangunan itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro
memandang ke bukit lalu anggukkan kepala.
"Itu
Puri Kebahagiaan…."
"Puri
atau Istana Kebahagiaan?" Wiro bertanya ingin ketegasan.
"Istana
Kebahagiaan adalah kediamannya Hantu Muka Dua. Yang di bukit sana adalah Puri
Kebahagiaan. Tempat saat ini Peri Bunda berada…."
Wiro
garuk kepalanya. "Kini aku bisa menduga apa sebenarnya yang hendak kau
lakukan. Kau melumpuhkan aku karena ingin membawaku ke Puri itu. Bukankah
dikabarkan Peri Bunda mengalami kehamilan karena melakukan hubungan
denganku?"
Peri
Angsa Putih tidak menyahut.
"Aku
tidak melakukan hal itu Peri Angsa Putih. Aku tidak pernah berhubungan dengan
Peri Bunda…."
"Ini
menjadi satu tanda tanya besar bagiku. Mana mungkin seorang perempuan hamil
tanpa melakukan hubungan dengan lawan jenisnya. Kau tidak mengaku melakukan
hubungan dengan Peri Bunda. Sebaliknya Peri Bunda sendiri selalu menyebut
namamu!"
"Aneh,
aku berkata sejujurnya. Tapi terkadang kejujuran tidak ada artinya apa-apa
dalam kancah fitnah. Hanya ada satu cara. Kau harus mengantarkan aku ke Puri
itu. Mempertemukan aku dengan Peri Bunda."
"Tadinya
itu maksudku melumpuhkanmu. Agar kau bisa kubawa ke Puri Kebahagiaan. Tapi
malam tadi diriku dilanda kebimbangan. Aku memutuskan tidak akan membawamu ke
Puri itu."
"Mengapa?"
tanya Pendekar 212.
"Aku
tak ingin terjadi sesuatu dengan dirimu," kata Peri Angsa Putih pula. Lalu
dalam hati dia menambahkan. "Aku tak ingin kehilanganmu Wiro. Saat ini
aku ingin sekali menyerahkan Batu Pembalik Waktu padamu. Tapi aku takut. Itu
hanya akan mempercepat kepergian dirimu dari sisiku."
"Peri
Angsa Putih, kulihat bibirmu bergerak. Tapi tak satu patahpun meluncur dari
mulutmu," kata Wiro. Tangannya diulurkan memegang lengan Peri Angsa Putih.
Sang Peri pandangkan jari-jari yang memegang lengannya itu. Wajahnya yang
cantik kelihatan memerah namun sepasang matanya bercahaya indah dan hatinya
berbunga-bunga.
"Peri
Angsa Putih, jika kau tidak mau mengantarkan aku ke Puri sana tak jadi apa.
Tapi apakah itu tidak mendatangkan kecurigaan bahwa kau berserikat atau membantu
diriku?"
Karena
ditunggu Peri Angsa Putih tidak memberikan jawaban Wiro akhirnya berkata.
"Kalau kau tidak mau mengantar, apakah kau bersedia menungguku di sini?
Aku akan segera ke Puri selagi hari masih pagi. Makin cepat urusan ini
diselesaikan makin baik."
"Pergilah.
Aku menunggumu di sini," kata Peri Angsa Putih lirih. Sesaat dipegangnya
tangan Wiro yang masih menempel di lengannya.
Tak lama
setelah Wiro meningggalkan dirinya ada rasa menyesal di hati Peri Angsa Putih.
Mengapa tadi dia tidak pergi saja bersama pemuda itu? Bagaimana kalau terjadi
apa-apa dengan Wiro. Siapa yang akan menolongnya? Dia memandang ke arah
kejauhan Saat itu dilihatnya sosok Wiro telah sampai di kaki bukit, siap
mendaki ke atas.
Tiba-tiba
bau aneh menusuk hidung Peri Angsa Putih. Belum sempat dia memperkirakan bau
apa iiu adanya atau dari mana dalang sumbernya tiba-tiba satu sosok gemuk luar
biasa mengenakan jubah rum-put kering gombrong tegak di hadapannya. Orang ini
mengenakan sorban dan di atas sorban dia menjunjung sebuah belanga mengepulkan
asap tebal menebar bau aneh.
"Hantu
Raja Obat…" berucap Peri Angsa Putih begitu dia mengenali siapa adanya
orang gemuk di hadapannya itu.
Hantu
Raja Obat yang mukanya ada tompel besar tertawa lebar. "Nasibku sedang
mujur. Bertemu kerabat tempat bertanya. Peri Angsa Putih, aku tidak menyangka
kau berada di sini. Aku mohon petunjuk. Di mana arah jalan menuju Puri
Kebahagiaan?"
"Wahai,
apa maksud tujuanmu mencari Puri itu?" balik bertanya Peri Angsa Putih.
"Menolong
seorang sahabat yang akan mendapat celaka," jawab Hantu Raja Obat.
"Siapa
orang itu?" kembali Peri Angsa Putih bertanya. "Pemuda katai yang
dulu pernah aku tolong menjadi besar. Kau pasti kenal dirinya. Namanya Wiro
Sableng. Dia berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang…."
Peri
Angsa Putih menunjuk ke arah bukit. "Kau lihat bangunan putih di atas
bukit sana. Itulah Puri Kebahagiaan."
Hantu
Raja Obat letakkan tangannya di atas mata agar tidak silau. "Hemmm….
Bangunan itu di sana rupanya. Eh, aku melihat ada seseorang berlari cepat
menuju puncak bukit…."
"Itu
pemuda kerabat yang hendak kau tolong. Dia barusan dari sini," menerangkan
Peri Angsa Putih.
"Ah!
Kuharap aku tidak terlambat…."
"Aku
juga akan ke sana. Kita pergi sama-sama!" kutu Peri Angsa Putih pula.
"
Terima kasih. Kau kuanggap sebagai tuan rumah. Jadi berjalanlah di sebelah
depan…."
Dua orang
itu lalu segera tinggalkan tempat tersebut. Sambil lari Peri Angsa Putih
memperhatikan Hantu Raja Obat di sampingnya. Walau gemuk luar biasa orang ini
cepat dan ringan gerakan larinya. bagalmanapun Peri Angsa Putih mempercepat
larinya Raja Obat tetap saja berada di sebelahnya. Padahal si gemuk ini berlari
seperti melangkah biasa. Hanya pakaiannya saja yang mengeluarkan suara berdesir
pertanda dia sebenarnya memang berlari cepat luar Mana Di atas kepalanya
belanga berisi cairan obat tidak bergerak sedikitpun!
*********************
12
PENDEKAR
212 Wiro Sableng sampai di depan bangunan putih di puncak bukit. Pintu kayu
kokoh yang tertutup terbuka sendirinya begitu dia sampai di depannya. Hawa aneh
menebar bau wangi keluar dari dalam bangunan.
"Tamu
yang sudah lamaditunggu silakan masuk!" Satu suara menggema di sebelah
dalam.
Karena
merasa dirinya memang tidak bersalah, tanpa ragu murid Eyang Sinto Gendeng ini
melangkah masuk. Namun baru saja dia melewati pintu kayu tiba-tiba dua orang
Peri berpakaian merah muda menyambutnya. Bukan dengan keramahan tapi dengan
todongan dua batang tombak. Tombak kedua siap menghunjam di dadanya, tepat di
arah jantung.
Dua orang
Peri lagi muncul di hadapan Wiro. Yang sebelah depan berkata. "Sebelum
masuk kami harus menggeledehmu lebih dulu. Jika kau membawa senjata, harus
diserahkan pada kami. Selain itu dua tanganmu harus kami amankan!"
Begitu
selesai berucap Peri ini angkat tangan kanannya. Ternyata dia sudah menyiapkan
segulung tali berwarna kuning. Tali ini kelihatannya buruk dan lapuk. Tapi
begitu sang Peri mengangkat tangannya, tali kuning itu meluncur laksana kilat.
Tahu-tahu dua tangan Pendekar 212 telah terikat kencang. Wiro kerahkan tenaga
dalam, coba memutus. Ternyata dia tidak mampu melakukan. Ketika Peri berikutnya
mendekatinya, menggeledah dan mengambil kapaknya, Wiro jadi penasaran.
"Kalian
semua dengar! Aku datang kesini membawa itikad baik. Meluruskan semua fitnah
jahat. Jangan perlakukan diriku sebagai tawanan!"
"Kami
menghargai jiwa besarmu datang ke sini. Kami tuan rumah di sini. Jadi kau layak
harus mengikuti apa aturan kami!"
"Jaga
kapak itu baik-baik. Jika sampai terjadi apa-apa aku tidak segan-segan
memecahkan kepala kalian sekalipun kalian semua cantik-cantik!"
Peri yang
mengikat tangan Wiro memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Ketika pintu
ditutupkan, di luar sana ada orang menggedor disertai suara berteriak.
"Aku
Peri Angsa Putih! Buka pintu kembali!"
Pintu
kayu dibuka kembali. Semua Peri berpakaian merah muda menjura begitu mereka
melihat kehadiran Peri Angsa Putih.
"Peri
Angsa Putih, kami memang menunggu kedatanganmu!"
Peri
Angsa Putih kerenyitkan kening ketika melihat dua tangan Pendekar 212 berada dalam
keadaan terikat tali kuning. Lalu Kapak Naga Geni 212 dipegang oleh salah
seorang Peri berpakaian merah muda.
"Mengapa
kalian memperlakukan dia seperti ini?!" bertanya Peri Angsa Putih.
"Wahai,
bukankah hal ini sudah pernah dibicarakan sebelumnya? Kami hanya menjalankan
perintah!" jawab Peri yang mengikat tangan Wiro.
"Buka
ikatannya dan kembalikan senjatanya!" Perintah Peri Angsa Putih. "Aku
yang akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa!"
Peri tadi
hendak menyahuti tapi segera tunduk begitu melihat Peri Angsa Putih pelototkan
mata. Tali kuning yang mengikat dua tangan Wiro segera dibuka. Kapak sakti
dikembalikan. Peri Angsa Putih lalu masuk ke dalam. Wiro mengikuti di belakang,
diapit oleh dua Peri berpakaian merah muda. Ketika Hantu Raja Obat hendak
menyusul masuk dua Peri yang tadi membawa tombak segera menahannya.
"Makhluk
gemuk menjunjung belanga di atas kepala. Kau tamu tak dikenal. Kami tidak
mengizinkan kau masuk!" berucap salah seorang dari Peri yang memegang
tombak.
Hantu
Raja Obat ganda tertawa. "Setahuku ada Peri hamil di dalam bangunan ini.
Kalau aku tidak diperbolehkan masuk bagaimana aku bisa menolongnya?!"
"Memangnya
kau siapa?!" tanya Peri satunya.
"Aku
dukun beranak! Aku yang akan menolong Peri itu melahirkan!" jawab Hantu
Raja Obat lalu tersenyum lebar sambil kedip-kedipkan matanya.
"Jangan
berani bergurau! Kau laki-laki. Mana ada laki-laki jadi dukun beranak!"
Membentak Peri di sebelah kanan. Lalu tombaknya langsung diarahkan ke leher
gembrot Hantu Raja Obat.
Hantu
Raja Obat kembali tertawa. "Mukaku muka laki-laki, suaraku juga suara
laki-laki. Tapi apa kau yakin auratku yang lain juga adalah aurat
laki-laki?"
"Jangan
berani bicara kurang ajar!"
"Aku
tidak kurang ajar! Apa perlu aku perlihatkan jenis diriku sebenarnya?!"
tanya Hantu Raja Obat seraya berbuat seolah hendak menyingkapkan bagian bawah
pakaiannya tinggi-tinggi. Peri yang ada di hadapannya langsung bersurut mundur
dengan muka merah. Wiro tersenyum-senyum mendengar ucapan dan melihat perbuatan
si Raja Obat.
Di
sebelah depan Peri Angsa Putih berkata. "Biarkan orang gemuk itu ikut
masuk. Aku yang membawanya kemari!"
Dengan
muka ditekuk akhirnya dua Peri yang berusaha menahan Hantu Raja Obat terpaksa
membiarkan si gemuk itu memasuki bangunan.
Peri
Angsa Putih melangkah melewati dua lorong panjang dan sunyi. Saking sunyinya
suara langkahlangkah kaki itu terdengar menggidikkan. Memasuki lorong ke tiga
yang kiri kanannya diterangi nyala api obor yang menebar harum sebau kayu
cendana, mereka sampai di hadapan sebuah pintu merah. Dari balik pintu
terdengar suara seperti orang meratap.
Peri
pengawal mendorong pintu merah, lalu memberi jalan pada Peri Angsa Putih. Tak
satupun dari Peri pengawal itu ikut masuk ke dalam. Namun begitu sampai di
dalam ternyata ada delapan Peri lainnya yang tampak berjaga-jaga di empat sudut
ruangan.
Di tengah
ruangan ada satu tempat tidur terbuat dari susunan empat kasur tebal. Di atas
kasur ini, berselimutkan sehelai kain berwarna hijau muda terbaring sosok Peri
Bunda. Walau wajahnya agak pucat namun kelihatan lebih putih dan lebih cantik
sebagaimana biasanya keadaan perempuan yang sedang ha-mil. Bagian perutnya
yang tertutup selimut hijau kelihatan membuncit tinggi. Peri Bunda terbaring
dengan mata terpejam. Namun dari mulutnya tiada henti keluar suara seperti
meratap yang membuat Pendekar 212 jadi mengkirik dingin tengkuknya.
"Wiro…
Wiro…. Kenapa kau tinggalkan diriku. Jika kau tidak mengasihi diriku aku rela.
Tapi jangan siasiakan anak kita. Kasihan bayi yang akan lahir nanti kalau
sampai tidak mempunyai ayah. Wiro… Wiro dimana kau berada. Sampai hati kau
meninggalkan diriku. Anak kita Wiro. Hasil hubungan kasih sayang kita…."
Semua
orang yang ada di ruangan itu memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro
sendiri tegak tertegun, memandangi Peri Bunda dengan mata besar dan garuk-garuk
kepala. Dalam hati dia memaki. "Peri satu ini mungkin kesurupan atau telah
berubah tidak waras pikirannya!" kata Wiro dalam hati. Lalu dia berpaling
pada Peri Angsa Putih.
"Peri
Angsa Putih, aku tidak mengerti…."
"Jangan
bicara padaku. Bicaralah padanya. Dia sudah berada dalam keadaan begini rupa
sejak seratus empat puluh hari lalu."
Wiro
kembali garuk-garuk kepala. Dia memandang pada Hantu Raja Obat yang kemudian
mendekatinya dan berbisik. "Kerjamu boleh juga anak muda! Menurut
penglihatanku Peri ini sudah hamil empat bulan…."
"Raja
Obat, kau boleh tidak percaya. Tapi aku bersumpah tidak pernah berbuat yang
tidak-tidak padanya…."
"Aku
tahu kau memang tidak berbuat yang tidaktidak. Berarti kau berbuat yang
iya-iya!" Hantu Raja Obat tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.
"Peri
Bunda, pemuda bernama Wiro Sableng itu ada di sini. Dia akan bicara
padamu," Peri Angsa Putih memberi tahu.
Mendengar
ucapan Peri Angsa Putih itu Peri Bunda keluarkan suara terisak. Lalu seperti
tadi dia kembali memanggil-manggil Wiro. Dua matanya tetap saja terpejam. Peri
Angsa Putih memberi isyarat pada Wiro agar dia segera bicara dengan Peri Bunda.
Dengan
kuduk masih dingin Wiro bergerak mendekati kasur ketiduran. "Peri Bunda,
aku Wiro Sableng. Aku datang untuk meluruskan yang tidak benar. Antara kita
sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan apapun. Mengapa kau berucap
berkepanjangan bahwa kita pernah melakukan hubungan badan. Bahwa akulah yang
menghamili dirimu…."
"Wiro,
aku sedih mendengar kau berucap seperti itu. Dulu berhari-hari kita berkasih
sayang membagi cinta di dalam Puri ini. Ketika hubungan kita berakibat hamilnya
diriku, mengapa kau tega menghindari tang-gung jawab. Sudah kukatakan Wiro. Kau
boleh menyianyiakan diriku. Tapi kasihani anak kita yang akan lahir
kelak…."
Tampang
Pendekar 212 jadi pucat. Dia memegang lengan Hantu Raja Obat dan berbisik.
"Harap kau segera memeriksanya. Aku yakin kalau tidak mendadak gila,
pasti ada roh jahat yang kesasar masuk ke dalam tubuhnya hingga dia meracau
begitu rupa!"
"Apa
yang kau katakan bisa saja terjadi. Tapi bagaimana dengan perutnya yang gendut.
Apa roh jahat bisa membuat perempuan hamil?!"
Mendengar
ucapan Hantu Raja Obat itu Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala.
"Kau
harus melakukan sesuatu Hantu Raja Obat. Lekas kau periksa keadaannya. Aku tak
pernah berbuat sekeji itu. Jadi aku tidak percaya…."
"Sudah,
tenangkan saja hatimu. Tak usah takut Aku sudah melihat ada sesuatu yang tidak
beres. Aku akan menolong. Tenangkan hatimu!" Habis berkata begitu Hantu
Raja Obat berpaling pada Peri Angsa Putih. "Aku akan memeriksanya. Harap
kau memberi izin…."
"Silakan
asal kau jangan menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang terlarang!" jawab
Peri Angsa Putih.
Hantu
Raja Obat menyeringai. Dia berlutut di samping pembaringan. Mulutnya komat
kamit entah membaca apa. Setelah pejamkan dua matanya sesaat, dia dekatkan
telinga kanannya ke perut Peri Bunda. Hantu Raja Obat tersentak kaget ketika
dia menangkap suara aneh di dalam perut sang Peri. Seperti ada banyak makhluk
aneh di dalam perut itu, bergerakgerak mengeluarkan suara serupa binatang
digorok!
Dengan
muka keringatan Hantu Raja Obat bangkit berdiri.
"Kau
menemukan sesuatu?" tanya Wiro berbisik.
"Kau
benar anak muda. Ada yang tidak beres. Di dalam perut Peri ini ada sesuatu. Aku
tidak tahu apa adanya. Kita lihat saja nanti!"
Dengan
tangan kirinya Hantu Raja Obat menurunkan belanga tanah di atas kepalanya.
Ketika dia hendak menuangkan cairan panas di dalam belanga itu ke dalam mulut
Peri Bunda, Peri Angsa Putih cepat mencegah.
"Peri
Angsa Putih, jika kau tidak mengizinkan aku mengobati Peri Bunda, sebaiknya
sejak sebelumnya kau tidak mengizinkan aku datang dan masuk ke tempat ini!"
"Cairan
apa yang ada dalam belanga itu?"
"Ah!
Kau keliwat curiga! Puluhan tahun aku mengelana kian kemari membawa cairan
dalam belanga ini untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit Isi belanga ini
tentu saja obat! Bukannya racun! Jika kau tidak percaya kau boleh mencicipi
lebih dulu. Kalau terjadi sesuatu denganmu, semua Peri anak buahmu di tempat
ini boleh menggorok batang leherku!"
"Peri
Angsa Putih, harap kau mau memberi izin padanya. Jika dia mencelakai Peri
Bunda, aku yang pertama sekali akan membabat putus lehernya!" Habis
berkata begitu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni
212.
"Ha… ha… ha! Anak muda! Kau boleh putuskan
leherku
jika aku memang berniat jahat terhadap Peri ini!"
"Bagaimana
Peri Angsa Putih?" tanya Wiro.
Setelah
diam sejurus Peri Angsa Putih akhirnya mengangguk. "Lakukan apa yang tadi
hendak kau lakukan! Tapi ingat Jika terjadi sesuatu dengan Peri Bunda, kau akan
menemui kematian pertama sekali di tempat ini Hantu Raja Obat!"
"Aku
bersedia menerima hukuman jika ternyata aku berniat jahat hendak mencelakai
Peri Bunda. Aku hanya ingin menolong sahabat mudaku ini hingga dia lepas dari
segala fitnah yang bukan-bukan!" Lalu Hantu Raja Obat kembali angkat
belanga tanahnya. Dengan hati-hati cairan panas dalam belanga itu dituangkannya
ke dalam mulut Peri Bunda yang menganga.
"Glukk….
Hek! Glukkk…. Hek… hek!"
Walau
agak susah dan tersendat-sendat namun sedikit demi sedikit cairan panas di
dalam belanga masuk juga ke dalam mulut Peri Bunda. Dari mulut itu mengepul
asap kekuning-kuningan. Tiba-tiba dari dalam perut Peri Bunda keluar suara
aneh, keras dan berulang-ulang. Hantu Raja Obat letakkan belanganya ke atas
sorban kembali. Lalu dia buka pakaiannya sebelah atas hingga dadanya yang
gembrot dan penuh bulu tersingkap sampai ke perut.
Pendekar
212 Wiro Sableng yang tegak tepat di belakang Hantu Raja Obat tak sengaja
memandang ke arah lengan kanan sebelah belakang si gemuk ini. Murid Sinto
Gendeng terkesiap kaget ketika melihat di bagian belakang lengan sebelah atas,
dekat ketiak kanan Hantu Raja Obat ada tanda menyerupai rajah menggambarkan
sekuntum bunga dalam lingkaran.
"Bunga
dalam lingkaran! Aku ingat cerita Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu!
Jangan-jangan Hantu Raja Obat ini adalah salah seorang dari empat anaknya yang
hilang! Aku harus memberi tahu Hantu Langit Terjungkir. Tapi aku harus lebih
dulu bicara dengan Hantu Raja Obat ini!"
Sementara
itu Hantu Raja Obat yang barusan membuka pakaiannya sebelah atas sampai ke
perut tegak sambil letakkan tangan kirinya di atas perutnya sendiri. Lalu
tangan kanan dengan telapak terbuka diarahkan ke perut Peri Bunda. Mulutnya
kembali berkomat-kamit Suara aneh di perut Peri Bunda terdengar semakin keras
menggidikkan. Sesaat kemudian dari telapak tangan kanan Hantu Raja Obat
memancar satu sinar lembut berwarna ungu. Ketika sinar itu menyentuh dan
menyapu perut buncit Peri Bunda tiba-tiba sepasang mata sang Peri terbuka
membeliak besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras. Bersamaan dengan itu
tubuhnya mencelat ke atas seperti dilempar ke langit-langit ruangan. Begitu
melayang ke bawah, dari mulut Peri Bunda menyembur darah hitam berbukubuku.
Lalu lebih menggidikkan dari dalam perut itu ikut berserabutan tiga belas ekor
lintah hitam! Binatangbinatang yang berlumuran darah ini bergeletakan di
lantai.
Peri
Angsa Putih melompat jauhkan diri. Beberapa Peri pengawal terpekik. Sebelum
lintah-lintah itu lari berkeliaran Hantu Raja Obat arahkan sinar yang keluar
dari telapak tangannya.
"Cesss!
Cesss! Cesss!"
Satu
persatu ke tiga belas lintah hitam itu menggeliat hangus lalu berubah menjadi
bubuk-bubuk hitam! Peri Bunda sendiri saat itu tegak tertegun dengan muka pucat
Matanya mendelik. Mulutnya masih ter nganga walau tak ada lagi darah atau
lintah yang menyembur keluar. Dalam keadaan seperti itu kembali Peri Bunda
keluarkan jeritan mengerikan. Lalu tubuhnya huyung. Sebelum roboh ke lantai
ruangan Wiro cepat merangkul pinggang Peri ini lalu membaringkannya di atas
kasur. Saat itu kelihatan jelas bagaimana perut sang Peri telah kempis hampir
sama rata dengan pinggul dan dadanya!
"Peri
Angsa Putih, kau dan semua yang ada disini!" Hantu Raja Obat membuka
mulut. "Kalian semua menyaksikan sendiri! Yang keluar dari perut Peri Buda
bukan jabang bayi. Tapi tiga belas ekor lintah jahat! Berarti kini terbukti
tidak benar Peri Bunda hamil. Kalaupun sahabatku si Wiro ini berselingkuh
dengan Peri Bunda, mana mungkin yang dikandungnya tiga belas ekor lintah!
Berarti Peri Bunda telah menjadi korban kejahatan keji. Ada orang jahat yang
telah menyantet mengguna-gunainya!"
Semua orang
yang ada di tempat itu terdiam. Seantero ruangan dilanda kesunyian.
"Tugasku
sudah selesai. Peri Angsa Putih, aku mohon diri sekarang…."
"Hantu
Raja Obat, kami berterima kasih padamu. Jika aku boleh bertanya, apakah kau
tahu siapa gerangan yang telah berbuat begitu keji terhadap Peri Bunda?"
Hantu
Raja Obat tersenyum. "Aku tahu paling tidak dapat menduga. Tapi aku tidak
mau mengatakan."
"Apakah
Hantu Santet Laknat?" tanya Peri Angsa Putih, membuat Wiro menjadi sesak
dadanya karena ingat akan Luhrembulan. Dia menjadi lega ketika me lihat Hantu
Raja Obat gelengkan kepala.
"Bukan
nenek satu itu. Tapi orang lain!"
Ketika
Hantu Raja Obat melangkah ke pintu ruangan, Wiro segera mengikuti. Peri Angsa
Putih ikut pula beranjak. Sambil berjalan Wiro berkata. "Raja Obat, aku
berterima kasih padamu. Kau telah membebaskan diriku dari segala tuduh dan
fitnah! Aku tidak melupakan budi baikmu ini!"
Makhluk
gemuk itu tertawa lebar. "Anak muda, kau berhati-hatilah. Di negeri ini
masih ada orang yang tidak menyenangi dirimu. Bukan mustahil satu ketika kelak
bagian tubuh di bawah perutmu itu disantetnya hingga berubah menjadi lintah
hitam seperti yang ada dalam perut Peri Bunda tadi! Ha…ha…ha!"
Wiro
tersenyum dan garuk-garuk kepala. Sambil terus melangkah dia berkata.
"Sekeluarnya dari tempat ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan
padamu…."
"Hemmm,
pasti soal gadis-gadis cantik. Sudah, bicara saja di sini sambil kita berjalan.
Mengapa harus menunggu sampai di luar!"
"Bukan.
Ini bukan menyangkut gadis-gadis cantik, Ini menyangkut tanda bunga dalam
lingkaran yang ada di balik lengan kananmu sebelah atas. Dekat ketiak…."
"Eh,
aku tidak tahu kalau aku punya tanda seperti itu!" kata Hantu Raja Obat
pula.
"Aku
tak sengaja melihat. Ketika tadi kau membuka pakaian sampai ke perut, kebetulan
aku berdiri di belakangmu!" jawab Wiro.
Tak acuh
Hantu Raja Obat berkata. "Manusia dilahirkan membawa berbagai macam tanda.
Aku ke betulan bertanda seperti yang kau katakan tadi. Juga lihat saja tompel
yang ada di wajahku. Itu juga satu tanda yang tak bisa dilenyapkan. Apa
anehnya? Mengapa hal itu sengaja kau ceritakan padaku?"
"Karena
ada kaitannya dengan cerita yang kudengar dari Hantu Langit Terjungkir…."
"Hemmm,…
Kakek satu itu. Ada apa dengan dirinya? Cerita apa yang dikatakannya
padamu?"
"Menurut
kakek itu, tanda bunga dalam lingkaran adalah tanda yang dimiliki empat orang
anaknya sejak dilahirkan ke dunia…."
Hantu
Raja Obat hentikan langkahnya dan menatap tajam pada Wiro. Sesaat kemudian dia
tertawa gelakgelak. "Jadi kau hendak mengatakan bahwa aku ini adalah anak
Hantu Langit Terjungkir! Sungguh gila!"
"Tidak,
ini tidak gila. Dan bukan kau saja yang mempunyai tanda seperti itu di Negeri
Latanahsilam ini. Menurut Hantu Langit Terjungkir, Lakasipo alias Hantu Kaki
Batu dan Hantu Bara Kaliatus juga memiliki tanda yang sama. Tanda bunga dalam
lingkaran!"
Hantu
Raja Obat hentikan langkahnya. Dia menatap tajam seolah hendak menembus sampai
ke dalam batok kepala Pendekar 212.
"Aku
jadi haus mendengar kata-katamu sahabatku!" kata si gemuk besar itu. Lalu
dia turunkan belanga tanah dari atas sorbannya. Dan gluk… glukl.. gluk. Enak
saja dia meneguk cairan yang ada dalam belanga. Setelah menyeka mulutnya dengan
ujung lengan jubah Hantu Raja Obat berkata.
"Kau
sahabatku baik! Tapi sekali ini sulit aku mempercayai apa yang kau katakan!
Selamat tinggal Wiro!"
"Hantu
Raja Obat, tunggu dulu!" memanggil Pendekar 212. Tapi manusia gemuk besar
itu telah melesat keluar pintu yang sudah dibuka untuknya oleh Peri pengawal.
Murid Eyang Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa selain garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
TAMAT
No comments:
Post a Comment