Delapan Sabda Dewa
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
SATU
WALAU
matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara dipermukaan laut terasa panas
bukan main. Wiro pandangi baju dancelana putih kotor yang terletak di lantai
perahu. Dia berpikir-pikir apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian
Ratu Duyung yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian
putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu. Mungkin itu
sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat lagi
perahu yang ditumpangi Dewa Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau
bertebaran di permukaan laut.
Sesaat
wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona Ratu Duyung terbayang di
pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau
munafik kalau merasa tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi
mengingat permintaannya…”
Wiro
geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut penglihatan Ratu Duyung
lewat cermin saktinya ada sebuah pulau aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan
batu merah melulu. Dia tak mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak
luar biasa. Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di
tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir. “Mungkin
terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah memandang ke langit, Wiro
akhirnya memutuskan untuk menuju ke pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah
tenggara. Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang tadinya sangat
panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja dia teringat pada
manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng itu.
“Aku tak
dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialan yang dijuluki Makhluk Pembawa
Bala itu! Mengapa dia berusaha membunuhku secara licik! Lalu kemana dia
kaburnya? Kukira sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap
aku mau memberi ampun…”
Selagi
pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak sepasang telinganya mendengar
suara sesuatu diantara desau angin laut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan
perahu yang tengah dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke
kanan. Dia tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan
air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro palingkan kepala
ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda bergerak meluncur cepat mendekat
perahu dari arah kiri. Hatinya berdetak tidak enak.
“Ikan
buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari dua arah berlawanan,” pikir
Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan
Ratu Duyung!” Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya pada
kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaan air laut di sebelah
kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua kali.
“Huh!”
Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan ilmu Menembus Pandang yang
didapatnya dari Ratu Duyung saat itu samar-samar dia melihat sesosok tubuh
manusia berkulit sangat hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda
berbentuk tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya ke
kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit sangat hitam menyelam dalam
laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa senjata tombak bermata dua!
Dua
makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu yang bersamaan.
“Byarr!
Byarr!”
Dua
makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat itu juga Wiro melihat dua
sosok manusia berkulit sangat hitam, berambut pendek memiliki mata tanpa alis
berwarna merah. Bibir mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.
Wiro
perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul dari permukaan air laut itu.
Pada bahu kiri kanan dan bagian tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging
berbentuk sirip. Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan
luar biasa. Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk berenang jarak
jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut.
“Siapa
kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng.
Dua
makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata dan mulut mereka saja yang
berwarna merah, tapi lidah dan gigi mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan
gigi-gigi mereka berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah
serta barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah! Dari mulut
kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan keras. Lalu sosok tubuh mereka
melesat ke udara. Tombak hitam bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah
rusuk kiri dan kepala bagian kanan Wiro.
“Kurang
ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke lantai perahu. Bersamaan
dengan itu Wiro hantamkan pendayung di tangan kanannya ke tubuh makhluk di
sebelah kanan.
“Bukkk!”
“Traakk!”
Kayu
pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah kanan dengan telak. Kayu
pendayung patah dua sebaliknya makhluk yang kena digebuk cuma menyeringai.
Masih memegangi patahan kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala
perahu. Ketika dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam
air laut bergerak mendekatinya dan langsung menyerbu lagi.
Kali ini
mereka pergunakan tombak masing-masing untuk menusuk bagian bawah perut
Pendekar 212!
Sambil
melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir padi berputar”. Kaki
kanannya membabat deras ke arah kepala makhluk berkulit hitam di sebelah kiri
perahu sedang untuk yang di sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar
buah”.
“Praakk!”
Tendangan
kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk sebelah kiri.
“Pecah
kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat mental lalu amblas ke
dalam laut.
Makhluk
di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat kawannya kena tendangan Wiro.
Tubuhnya melesat ke atas dan coba menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan
Pendekar 212. tapi gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro
menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang satu ini
terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit menggidikkan.
Wiro
menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum lama merasa tenteram
tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin membunuhku. Siapa mereka…? Kaki
tangan orang tua berpenyakit kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,”
belum sempat Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar
teriakan keras.
“Huaahhh!”
“Huaahhh!”
Dua
makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah menemui ajal dan tenggelam
tiba-tiba mencelat muncul dari dalam laut. Tubuh mereka melesat ke udara
demikian tingginya hingga di lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.
Meskipun
terkejut besar melihat kejadian itu karena menyangka dua makhluk tadi telah
menemui ajalnya namun Wiro tak punya kesempatan untuk berpikir lebih lama.
Begitu dia mendongak untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk
aneh ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke punggung
dan bagian belakang kepala!
“Mereka
tidak main-main. Mereka memang ingin membunuhku!” ujar Wiro.
Secapt
kilat dia melompat lalu jatuhkan diri ke lantai perahu. Dua serangan terus
memburu. Wiro balikkan tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi
menggeprak ke samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang
disebut “membuka jendela memanah matahari”.
Hantaman
tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan dua lawannya. Sementara
tendangan kaki kanan menyodok masuk ke perut salah satu dari dua makhluk
berkulit hitam itu.
“Buukk!”
Makhluk
yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi tubuhnya tidka mental karena
dengan cepat kedua tangannya mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro
berkutat berusaha melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan
hantamkan satu jotosan ke dada Pendekar 212!
Wiro
merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya dihantamkan ke belakang
melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra”, membuat makhluk hitam di
belakangnya menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan sakit
Wiro berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil bergoyang keras.
Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan kedua tangannya yang mencekal
kaki Wiro. Saat itu juga tubuh murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu
melayang jatuh ke dalam laut!
Di dalam
air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu. Dia tahu dua lawan yang
dihadapinya memiliki kepandaian luar biasa dalam hal berenang dan menyelam.
Menghadapi mereka di dalam laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia
telah cidera akibat pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil
mencapai perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahutahu
sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil menendang
membuat gerakan jungkir balik di dalam air. Kakinya memang bisa lolos namun
begitu dia berbalik dua lawan sudah menggempurnya kembali.
“Makhluk-makhluk
hitam ini rupanya tahan pukulan dan tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan
sinar matahari. Tapi…” Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah
melepaskan pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya dan
apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di daratan?
Makhluk
pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro. Murid Sinto Gendeng segera
salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Semula dia agak meragu namun ketika
melihat tangan itu sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka
legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya.
Di depan
sana makhluk yang berada paling depan terkesiap dan hentikan gerakannya
berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan Wiro memancarkan sinar putih
menyilaukan dan air laut di sekitar tempat itu mendadak sontak menjadi panas.
Dua makhluk perlahanlahan berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang
seperti hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia hantamkan
tangan kanannya ke arah makhluk paling depan.
Sinar
putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang air yang mendadak sontak
menjadi panas laksana mendidih membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah
makhluk hitam paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke
kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat. Tubuhnya kelihatan
menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat jauh kemudian seperti sehelai daun
kering melayang jatuh ke dasar laut.
“Heemm…
mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil memandang berkeliling. Dadanya
yang terkena pukulan lawan tadi mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak
mungkin berada lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di
hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan yang kedua
tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya. Ketika dia coba melepaskan diri,
tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua tangan kemudian bergerak. Gerakannya
jelas hendak mematahkan batang leher Pendekar 212!
Wiro
hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Hantamannya
tepat mendarat di tubuh orang yang mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak
dirasakan malah cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang.
Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air laut
mengucur masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan hidung!
“Celaka!
Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh tenaga yang ada, kerahkan
tenaga dalam. Namun cekalan makhluk yang mencekalnya dari belakang tidak dapat
dilepaskan! Sementara itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana
punah. Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja. Lawan
yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku cerdik. Sambil terus mencekal
berusaha mematahkan batang leher Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa
Wiro bergerak semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang.
Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.
– == 0O0 == –
*******************
DUA
PADA saat
yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar 212 Wiro Sableng boleh dikatakan
hanya tinggal sekejapan mata saja lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang
yang paling dekat dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru
si nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang Dewa
Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhir sekali muncul wajah
Ratu Duyung.
“Ra… tu…”
Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapi ucapan itu tak pernah keluar. Malah
air laut masuk semakin banyak ke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke
belakang. Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna putih.
Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulubulu halus panjang. Nenek
ini menyeringai memperlihatkan gigigiginya yang kecil serta lidahnya yang
merah. Lalu sepasang matanya yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang
sesaat membuat Wiro jadi tersentak.
“Nenek
Neko… Nenek Muka Kucing…” ujar Wiro. Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa.
Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu.
“Koppo…
Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti muncul dalam diri
Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak memegang dua jari-jari kedua tangan
makhluk hitam yang mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”
Makhluk
hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan setengah mati. Mulutnya
terbuka lebar. Kedua matanya membeliak. Jari-jari tangannya hancur berpatahan.
Tulangnya mencuat keluar. Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan
cekalan lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu mematahkan
tulang yang disebut koppo silahkan baca serial Wiro Sableng berjudulSepasang
Manusia Bonsai)
Wiro
sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke permukaan laut. Dia muncul di
atas air dengan megap-megap. Ada cairan merah keluar dari mulutnya. Dia
memandang berkeliling. Di kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung
dipermainkan ombak. Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu.
Perlahanlahan dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum lenyap.
Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya terasa letih dan
tulang-tulangnya laksana tanggal dari persendian. Ketika dia hendak
membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh
di belakangnya. Wiro putar kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika
melihat siapa adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua perahu putih yang
tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya.
“Makhluk
Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha bangkit tapi tubuhnya yang lemah
itu terhenyak kembali ke lantai perahu. Dari balik kain penutup wajahnya
kembali terdengar suara tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya
penuh koreng membusuk.
Tiba-tiba
sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan pakaian sebentuk jubah melesat ke
udara. Dia mendarat di atas perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro
sendiri saat itu sudah tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping
tegak dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak dada Wiro.
Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar suara tawa bergelak.
“Mujur
tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau masih bias lolos dari
tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas! Nyawamu memang sudah ditakdirkan
harus amblas di tanganku! Ha… ha… ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu
lenyap. Kaki kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar
212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!
Hanya
setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa Bala akan menghancurkan leher
dan membunuh Pendekar 212 tibatiba dari laut sekitar perahu melesat enam sosok
tubuh. Bagian atas merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada
yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar. Keenam gadis
ini bukan lain adalah anak buah Ratu Duyung penguasa lautan di kawasan itu.
“Tahan!”
Enam
gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa Bala serta merta terhenti.
Memandang berkeliling dan melihat siapa yang ada di sekitar perahu tampangnya
yang tertutup kain cadar jadi berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak
mau dikatakan gelisah.
“Jangan
berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa Bala membentak.
Enam
gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari telunjuk tangan kanan
masing-masing.
Melihat
tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat teruskan hantaman kakinya ke
leher Wiro. Pada saat itu juga enam jari si gadis memancarkan sinar biru.
Ketika mereka mengangkat jari masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu,
enam sinar biru berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk
Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran. Makhluk Pembawa
Bala berseru keras. Cepat dia tarik serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu
terdengar jeritan orang ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya
laksana dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang kelihatan
hangus.
“Kalau
kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh lawan yang tak berdaya, kematian
akan menjadi bagianmu lebih dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh
setengah manusia setengah ikan membentak.
Mulut
orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup komat-kamit tapi tak ada
suara yang keluar. Dia maklum jangankan enam orang, satu orang saja sulit
baginya menghadapi gadis anak buah Ratu Duyung.
“Katakan
pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang dating untuk bertemu muka
denganku!”
“Ratu
kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna sepertimu!” jawab salah
seorang gadis. Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat dari
atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya.
“Sebelum
kau pergi dari sini kami perlu mengajukanbeberapa pertanyaan!” Makhluk Pembawa
Bala walaupun merasa jeri terhadap enam gadis namun karena merasa ditekan
lantas menukas.
“Jangan
membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?”
“Kami
perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya sejak sekian lama gentayangan
di kawasan ini!”
“Hemm…
Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa Bala mendongak lalu tertawa
bergelak.
“Katakan
pada Ratumu, jika dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan
kalian!”
“Kau
minta mampus! Terima kematianmu!” Enam larik sinar biru menyambar ke arah
Makhluk Pembawa Bala.
Orang ini
cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu dengan sigap caping yang terbuat
dari bambu itu dikibaskannya menangkis serangan enam larik sinar biru.
“Wussss!”
Makhluk
Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di tangannya hancur berantakam.
Kepingan-kepingan caping itu bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu
jatuh ke dalam laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas
perahu sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut. Enam gadis
cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai beberapa lamanya.
“Tubuhnya
tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan.
“Pasti
dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut. Beberapa hari di muka baru
mayatnya akan mengambang di permukaan laut…,” berkata gadis lainnya.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari mereka bertanya. “Sesuai perintah
Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada darah di sekitar mulutnya. Jelas dia
mengalamai luka dalam cukup parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok
leher dan dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada.
Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu. Pada bagian tengah
dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing lagi. Angka 212. Entah sadar
entah tidak, gadis ini lalu mengusap dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat
hal ini kawan di sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani
berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin saktinya dan
melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis dihukumnya! Lekas totok
pemuda itu!”
Wajah
gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212 tampak bersemu merah. Dia
berpaling dan menjawab, “Tak perlu bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau
pun sebenarnya sangat tertarik pada pemuda gagah ini…”
“Sudah!
Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan memasukkan obat ke dalam mulutnya!”
Gadis
pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di bagian leher dada Pendekar 212.
Setelah itu gadis kawannya memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut
Wiro. Sekali lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di
dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam tenggorokannya terus ke
perut.
“Sebelum
matahari tenggelam dia akan siuman dan luka dalamnya akan sembuh. Sekarang,
sesuai perintah Ratu kita harus mendorong perahu ini ke arah tenggara dan
meninggalkannya di satu tempat…”
Enam
orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu kecil di atas mana
Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur dalam keadaan pingsan.
– == 0O0
== –
*******************
TIGA
PANGERAN
Matahari merangkul gadis yang duduk di pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu
menciumnya berulang kali. “Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan
dalam katakana apa hasil peneyelidikanmu…”
Si gadis
tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. “Salah…” katanya
seraya membelai rambut di belakang kepala Pangeran Matahari.
“Eh, apa
yang salah?” tanya sang Pangeran. “Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku
memberitahu hasil penyelidikanku!”
Pangeran
Matahari tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si gadis lalu dikecupnya bibirnya
lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis dalam pelukan menurunkan tangannya ke
bawah. Pangeran Matahari cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat
kekasihku, urusan besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika
semua sudah rampung seribu hari pun kau suka aku akan melayani…”
Si gadis
tampak cemberut tapi serta merta pejamkan matanya dan mengeluarkan suara lirih
ketika Pangeran Matahari menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian
dada.
“Aku
tidak tahan. Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si gadis setengah
memelas.
Pangeran
Matahari tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan padaku hasil penyelidikanmu…”
Si gadis
melihat sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip. Ada sorotan
sinar aneh yang membuatnya jadi tak berani menatap. Dengan sikap manja dia
menggelungkan tangan kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja
yang kau ingin ketahui, Pangeran?”
“Pertama
sudah pasti menyangkut musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng. Menurut dua
bersaudara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan, mereka berhasil membunuh
Pendekar 212 di bukit di luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan
dengan membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang kau
ketahui?”
“Kemungkinan
mereka memang telah membunuh Pendekar 212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa
bukti. Tapi setahuku tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni
212 dan batu sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup dijadikan
tanda atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar sudah tewas? Atau mungkin
dua senjata itu palsu belaka?”
Pangeran
Matahari mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan kepala. “Kapak dan batu sakti
itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan kepala Pendekar 212 jauh lebih
meyakinkan daripada hanya mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku
itu…“
“Turut
penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan orang-orang kita, Pendekar
212 tidak diketahui lagi berada di mana. Ada yang menduga mayatnya dilarikan
orang ke satu tempat di tengah laut di selatan muara Kali Opak….”
“Hemmm….
Kalau keteranganmu benar mengapa kaki tanganku di kawasan itu belum datang
memberitahu?!” ujar Pangeran Matahari pula seraya mendongak dan usap dagunya
yang ditumbuhi janggut pendek kasar.
“Kawasan
laut selatan berada di bawah pengawasan penguasa tertentu yang memiliki beberapa
pembantu. Salah seorang dari mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu
telah terjadi di kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami
benturanbenturan aneh….”
“Ratu
Duyung dari dulu memang tidak pernah mau tunduk terhadap kita…” kata Pangeran
Matahari pula. “Sudah saatnya kita memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap
makhluk setengah manusia setengah ikan itu….”
“Pangeran,”
kata gadis yang duduk di pangkuan Pangeran Matahari. “Kalau aku boleh
mengusulkan, pada saat sekarang ini sebaiknya kita jangan mencari musuh baru
dulu. Salah-salah urusan besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan…
“
“Hemmm….
Kau betul. Usulmu aku terima!” kata Pangeran Matahari lalu menghadiahkan satu
kecupan di bibir gadis itu.
“Kau
lihat sendiri Pangeran. Aku tidak seperti gadis-gadis lain yang jadi kekasihmu.
Mereka hanya menyediakan badan. Aku bukan cuma badan. Tapi juga pikiran dan
sumbang saran….”
Pangeran
Matahari tertawa gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk bahu si gadis dia berkata.
“Itulah kelebihanmu, kekasihku. Itu sebabnya kau mendapat tempat utama di
sisiku.”
“Kalau
begitu apakah sekarang kita bisa bersenang-senang?” tanya si gadis. Lalu kaki
kirinya digelungkan ke pinggul sang Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap.
Ketihatan pahanya yang bagus mulus dan putih.
Pangeran
Matahari mengusap paha itu berulang kali lalu berkata. “Masih belum saatnya
kekasihku. Harap kau suka bersabar. Kau harus kembali melakukan penyelidikan.
Aku harus tahu apa yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar
dia sudah menemui ajal?”
“Nada
suaramu masih saja membayangkan rasa was-was Pangeran,” kata si gadis pula.
lalu tangannya meraba ke bagian dada Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam
dan pakaian yang dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang
ke dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa harus
merasa gelisah dan selalu memikirkan Pendekar 212?”
“Ada
ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu musuh sudah terlalu banyak sedang punya
seribu teman masih kurang banyak!” Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku
menyelidik lagi, pergi dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita
dapatkan saat ini?”
“Kataku
harap kau bersabar. Masanya akan datang aku akan jadi Raja Di Raja dunia
persilatan dan kau kekasih tunggalku….” Si gadis menarik napas dalam lalu
perlahan-lahan dia berdiri,
”Kalau
begitu ada baiknya aku minta diri sekarang juga,” katanya. Dia membungkuk
sedikit untuk memeluk dan mencium Pangeran Matahari.
Namun
dengan gerakan nakal dia menggoyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian tipis yang
melekat di tubuhnya serta merta merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran
Matahari balas memeluk maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang
Pangeran selalu menolak ajakan si gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia
tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia berdiri dan siap hendak mendukung
tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba, “Braaakkk!"
Pintu
ruangan terpentang. Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan diri di lantai. Gadis
cantik tanpa pakaian terpekik, cepat-cepat menyambar pakaiannya yang tercampak
di lantai laiu melompat tinggalkan tempat itu.
Pangeran
Matahari tak kurang terkejutnya. Tampangnya merah mengelam, rahangnya
menggembung hingga wajahnya berubah seperti jadi empat persegi!
Orang
yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat hitam. Sekujur tubuhnya
mulai dari muka sampai ke kaki berwarna sangat hitam dan liat. Pada dua bahu
dan tengkuknya sampai ke punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata
dan bibirnya merah.
Pangeran
Matahari kerenyitkan kening. Kedua matanya mendelik tak berkesip menyaksikan
bagaimana sepasang tangan manusia hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke
ujung-ujung jari tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih
menggidikkan.
“Jahanam!
Apa yang terjadi dengan dirimu! Mana kawanmu?!”
Pangeran
Matahari membentak seraya melangkah ke hadapan orang hitam yang terkapar di
lantai.
“Ka…
kawanku mati!” jawab orang hitam.
“Mati?!
Apa yang terjadi?!”
“Dia… dia
mati dibunuh Pendekar 212….”
Tampang
Pangeran Matahari berubah. Alisnya berjingkrak dan daun telinganya seperti
mencuat mendengar ucapan orang hitam itu. Kaki kanannya ditendangkan ke dada
orang itu hingga si hitam ini mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.
“Lekas
katakan apa yang terjadi!” bentak Pangeran Matahari.
“Mohon
maafmu Pangeran… Kami tidak berhasil menjalankan tugas yang kau berikan.
Kawanku terbunuh. Aku sendiri kau bisa saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur
oleh Pendekar 212!”
Kembali
sepasang mata Pangeran Matahari memperhatikan kedua tangan orang hitam itu
seolah tak percaya. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan…. “Ilmu apa yang telah
dipakai mencelakai orang ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku
dia tidak memiliki ilmu kepandaian begini rupa….”
Pangeran
Matahari mendongak. Otaknya berpikir keras. Tetap saja dia tidak bisa menerima
keterangan si hitam.
“Kau
berdusta! Ini bukan pekerjaannya Pendekar 212!” bentak sang Pangeran. “Dia
tidak punya ilmu kepandaian mematahkan tulang seperti ini! Aku tahu betul!”
“Saya
bersumpah memang dia yang melakukan. Kami mencegatnya di pantai selatan…”
Pangeran
Matahari terdiam sesaat. “Jika kau memang telah berhadapan dengan Pendekar 212,
aku ingin mencocokkan ciri-ciri jahanam itu dengan apa yang kau saksikan.
Bagaimana keadaan rambutnya?”
“Hitam
lebat dan… dan gondrong..,” jawab si hitam. “Apa dia mengenakan ikat kepala
kain putih di keningnya?” Si hitam menggeleng. “Hemmmmm….” Pangeran Matahari
bergumam. Kecurigaan bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia
mengenakan pakaian serba putih?”
“Ti…
tidak Pangeran. Dia mengenakan baju dan celana hitam….”
“Jahanam!
Jelas orang itu bukan Pendekar 212! Seumur hidupnya dia tidak pernah mengenakan
pakaian hitam! Kau berani mendustaiku!”
”Saya
bersumpah saya tidak berdusta Pangeran…”
“Manusia
keparat! Aku tanya padamu, apa benar kawanmu sudah mampus?!” bertanya Pangeran
Matahari seraya bungkukkan tubuhnya sedikit.
“Dia
memang telah menemui ajal Pangeran. Saya menyaksikan sendiri…” jawab si hitam
yang masih terkapar di lantai sambil menduga-duga apa maksud pertanyaan
Pangeran itu karena sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai kematian
kawannya.
Di
hadapan si hitam Pangeran Matahari menyeringai.
Tiba-tiba
seringai itu lenyap lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu kau
susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia jelek dan tolol macammu!” Habis
berkata begitu Pangeran Matahari ayunkan tangan kanannya.
Bersamaan
dengan itu dia alirkan tenaga dalam dari bagian dada di mana menempel Kitab
Wasiat Iblis.
Pangeran
Matahari tahu betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak mau
susah. Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab iblis
itu.
“Praakkk!”
Kepala
manusia hitam rengkah mengerikan. Tubuhnya terbanting ke lantai tanpa nyawa
lagi!
Masuk ke
ruangan dalam Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas sebuah
bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi. Pakaian
tipisriya dipergunakan menutupi auratnya yang penting tapi itu pun tidak mampu
menutupi seluruh tubuhnya.
“Aku
hampir yakin kalau Pendekar 212 memang sudah menemui ajal. Tapi aku merasa
perlu menunggu sampai Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala
musuh besarku itu….”
“Apakah
sampai saat ini kau masih merahasiakan tentang diriku terhadap mereka?”
Pangeran Matahari mengangguk.
“Sebaliknya
bagaimana dengan saudaramu. Aku tidak ingin….”
“Kau tak
usah khawatir Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak mendengar mengenai dirinya.
Entah berada di mana…” jawab si gadis yang duduk di atas bantalan empuk sambil
menjulurkan kakinya dan balik pakaian tipis.
Memandangi
tubuh si gadis pikiran sang Pangeran jadi berubah. Kalau sebelumnya dia tidak
berniat untuk bersenangsenang kini setelah membunuh lelaki hitam tadi
rangsangan dalam dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan
si gadis. Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu
ditariknya.
– == 0O0
== –
*******************
EMPAT
SINAR
sang surya yang siap tenggelam membuat air laut kemerahan. Enam gadis anak buah
Ratu Duyung yang mendorong perahu berhenti berenang. Gadis yang bertindak
sebagai pimpinan berkata.
“Kita
mengantar sampai di sini. Di kejauhan ada sebuah pulau. Ombak akan mendorong
perahu dan membawa pemuda ini ke sana. Kita harus segera kembali. Ingat pesan
Ratu. Kita tidak boleh berada terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak
bertebaran di sekitar kawasan ini.”
Lima
gadis lainnya tidak menjawab. Dalam hati sebenarnya mereka ingin mengantar
perahu berisi Pendekar 212 itu sampai ke daratan, menunggu sampai dia siuman
dari pingsan. Namun kelimanya tak berani membantah.
“Mudah-mudahan
dia cepat sadar dan selamat. Mari kita kembali…”
“Tunggu
dulu,” salah seorang dari lima gadis tiba-tiba berkata.
“Ada
apa?!” “Aku mendengar seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan…”
Empat
gadis lainnya picingkan mata dan pasang telinga. Lalu hampir berbarengan mereka
mengiyakan. Gadis yang bertindak sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah
mendengar apa yang didengar lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara
desau angin laut dan alunan gelombang bisa saja menipu pendengaran kita.
Kalaupun
memang yang kalian dengar adalah suara orang menyanyi maka itu adalah satu
keanehan. Siapa pula yang menyanyi di tengah lautan begini rupa? Dan ingat
pelajaran dari Ratu. Dibalik setiap keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya.
Jadi, kalian tak perlu banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!”
Enam gadis
cantik yang tubuh atas polos sedang sebatas pinggang ke bawah berbentuk ekor
ikan besar itu melepaskan tangan masing-masing dari perahu lalu berbalik.
Sesaat kemudian keenamnya lenyap masuk ke dalam laut.
Perahu
tanpa kemudi tanpa dikayuh itu meluncur perlahan dibawa alunan ombak menuju ke
tenggara dimana di kejauhan kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama
sekali tidak kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di bawah
sinar matahari yang tenggelam dan udara yang mulai menggelap pulau itu
kelihatan angker. Keangkeran itu bisa membuat siapa saja jadi merinding karena
dari pertengahan pulau yang gelap dimana terdapat gunung dan bebukitan batu
merah tiba-tiba sayupsayup sampai terdengar suara orang menyanyi.
Laut
selatan tak pernah tenang
Gelombang
selalu datang menantang
Ribuan
pagi ribuan petang
Tubuh
lapuk ini menunggu kedatangan
Yang
menunggu tua renta malang
Yang
ditunggu budak malang
Apakah
saat ini petunjuk
Yang
Kuasa turun menjelang
Mungkinkah
ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya
kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan
Agar
tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta
Orang
yang menyanyi itu duduk bersila di atas salah satu puncak batu berwarna merah.
Tubuhnya tampak bungkuk dimakan usia. Rambut, kumis dan janggutnya yang putih
panjang melambailambai tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap
namun masih bisa terlihat keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya sebelah
kanan yaitu mulai dari pertengahan kening, hidung, mulut dan dagu berwarna
biru. Di dalam mulutnya senantiasa ada segumpal sirih campur tembakau yang
selalu dikunyahnya tiada henti. Bahkan ketika menyanyi tadi sirih itu masih
tetap berada dalam mulutnya namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-olah
mulutnya kosong tak berisi apa-apa!
Di
hadapan orang tua berjubah putih ini, di atas batu, terletak benda aneh, entah
batu entah logam. Benda ini mengeluarkan sinar angker merah kebiruan seperti
nyala sumber api yang sangat panas. Namun anehnya yang terpancar dari benda itu
bukan hawa panas melainkan satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin
menjadi-jadi malah kini hawa di tempat itu terasa sangat dingin. Si orang tua
bermuka biru sebelah sampai-sampai kertakkan rahang menahan gigil kedinginan.
“Saatnya
sudah tiba…” kata orang tua bermuka belang dalam hati. Seluruh kekuatan luar
dalam dikumpulkannya agar tubuhnya tidak ambruk oleh hawa dingin yang
menggempur dari benda bercahaya di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh
menggigil orang tua ini angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung
jarinya yang kurus keriput kelihatan bergetar kaku.
“Batu
sakti batu pembawa petunjuk…” si orang tua berucap dengan suara bergetar.
“Terbanglah tinggi, membubung ke angkasa.Melayanglah turun menukik ke bumi.
Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada
petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal malapetaka. Ingat hanya
ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di delapan penjuru angin. Gusti Allah
tempat semua kekuatan itu berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa
petunjuk. Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik bumi.
Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa!”
Getaran
tangan kanan si orang tua semakin keras. Benda di atas batu di hadapannya
bersinar hebat menyilaukan. Didahului dengan teriakan dahsyat orang tua itu
pukulkan tangannya ke udara.
“Byaaarrr!”
“Wussssss!”
Benda di
atas batu bersinar. Tempat itu laksana diterangi sinar kilat. Lalu terjadi satu
hal yang ajaib. Benda terang di atas batu melesat ke udara, mengeluarkan ekor
panjang cahaya terang. Di udara benda ini berputar tujuh kali berturut-turut.
Lalu dengan kecepatan yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda
bercahaya itu melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke tempat asalnya
semula di atas batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di mana
terdapat sebuah batu miring, diapit oleh gugusan batu-batu karang runcing.
KITA
kembali dulu pada saat tak lama setelah enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung
melepas perahu kecil di dalam mana Pendekar 212 terbaring dalam keadaan
pingsan….
Perahu
kecil dipermainkan ombak, meluncur perlahan ke arah pantai. pulau yang tertutup
batu-batu besar berwarna merah sedang di sebelah depan pulau itu dikurung oleh
deretan batu-batu karang runcing laksana memagari.
Satu
gelombang besar tiba-tiba muncul di tengah laut, menghantam ke arah pulau dalam
bentuk ombak yang bukan olaholah dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto
Gendeng berada dalam keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima
tombak, hancur berkeping-keping. Tubuh Wiro tampak berputar seperti kitiran
lalu melayang jatuh melewati dua puncak runcing batu karang kemudian terhempas
di atas sebuah batu miring. Keningnya membentur bagian batu yang menonjol.
Terjadi satu hal yang aneh. Pada saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh
ke atas batu Wiro masih berada dalam keadaan pingsan. Tapi begitu keningnya
membentur tonjolan batu yang menimbulkan luka serta kucuran darah, Pendekar 212
mendadak siuman dan sempat bangkit sambil dua tangannya bersitekan ke batu.
“Apa yang
terjadi dengan diriku. Di mana aku saat ini…. “ Dia memandang berkeliling
sementara telinganya mendengar suara deburan ombak tidak henti-hentinya memukul
batu-batu karang yang memagari pulau batu merah itu.
“Aku
mendengar suata deburan ombak. Berarti…. Eh, aku seperti mendengar suara orang
menyanyi….” Murid Sinto Gendeng memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah
datangnya suara nyanyian itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang
diulang-ulang itu. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya
melihat puncak-puncak bukit batu yang menghitam dalam kegelapan.
“Aku akan
pergunakan ilmu pemberian Ratu Duyung. Ilmu Menembus Pandang….” Wiro segera
kerahkan tenaga dalam dan atur jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia
tidak dapat memusatkan pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak
meraba.
Ada
cairan mengalir di keningnya, turun ke pipi kiri. Saat itu keadaan belum gelap
benar. Pantulan terakhir cahaya matahari masih bisa membuat Wiro mengenali
bahwa cairan merah yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri.
“Apa yang
terjadi dengan diriku…. Aku terluka,” pikir Wiro. Dia mendadak saja merasa
ngeri melihat darahnya sendiri.
Pendengarannya
dipasang baik baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh kalau ada orang menyanyi
di tempat ini. Manusia atau jinkah yang menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam
nyanyiannya tadi….”` Wiro siap untuk melihat dengan ilmu Menembus Pandangnya.
Tiba-tiba dia jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan
sinar sangat terang melayang turun ke bumi.
“Bintang
jatuh…”pikir Wiro. Kemudian disadarinya kalau benda bercahaya itu melayang
jatuh ke arahnya.
“Astaga!”
Wiro berseru kaget.Dia berusaha menggulingkan diri. Tapi benda bercahaya
datangnya laksana kilat. Jatuh menghantam kepalanya tepat pada bagian luka di
kening sebelah kiri lalu amblas masuk ke dalam kepalanya!
“Wusss!”
Kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki bersinar terang benderang. Dia seperti melihat ada ratusan bintang
menyilaukan di depan matanya. Saat itu juga sekujur tubuhnya terasa sedingin
salju di puncak gunung hingga dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham
bergemeletakan. Wiro berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit
tangannya yang menahan tubuhnya terkulai lemah ke samping. Badannya jatuh
terbujur di atas batu miring. Kesadarannya perlahanlahan sirna.
Di atas
batu miring tubuhnya yang sedingin es itu tidak bergerak sedikit pun. Kedua
matanya terpentang lebar. Namun dia tidak melihat apa yang ada di sekitar
ataupun di atasnya. Dia seperti orang tidur nyalang. Satu kejadian aneh
menyelubungi Pendekar 212. Dia tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana
disedot masuk ke dalam alam pada masa sekitar tujuh puluh tahun yang silam.
Anehnya dirinya sendiri seolah-olah berada dalam pusaran waktu itu!
– == 0O0
== –
*******************
LIMA
LAUT
utara tampak tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di langit tak berawan
kawanan burung laut terbang melintas di atas kapal besar terbuat dari kayu. Di
buritan kapal Ageng Musalamat memeluk kakek berjubah dan bersorban putih
erat-erat, mencium kedua pipinya berulang kali dan berusaha menahan titiknya
air mata.
“Muridku
Ageng Musalamat, negeri Cina sangat jauh dari sini. Perjalanan menempuh laut
bukan satu hal yang mudah. Kau telah memutuskan untuk menerima undangan Raja di
sana. Ini satu kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi
dirimu. Berarti kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu. Lebih dari
itu kau membawa serta empat puluh orang yang sebagian besar adalah
murid-muridmu yang merupakan juga murid-muridku. Keselamatan mereka menjadi
tanggung jawabmu…. “
“Wali
Astanapura yang saya sebut dengan hormat sebagai Eyang Ismoyo Jelantik, guru
saya tercinta. Perjalanan besar ini memang bukan tanpa bahaya. Namun dengan
bekal ilmu pengetahuan serta kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan
bimbingan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang empat
puluh akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat pula kembali pulang ke tanah
Jawa ini.” Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala.
“Bagaimanapun
baiknya keadaan dan sambutan orang di sana, satu hal harus kau ingat bahwa
negeri itu adalah tanah asing. Jadi kau dan anak-anak harus pandai-pandai
membawa diri. Jangan berlaku sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang
lain. Jangan pamerkan sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai. Mungkin
di negeri sana semua yang kau miliki itu tidak ada artinya sama sekali. Ingat
peribahasa yang mengatakan mulut kamu harimau kamu. Di mana kaki berpijak di
situ langit dijunjung. Pesankan pada anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima
waktu. Itu tiang agama yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.”
“Terima
kasih Eyang. Saya akan selalu ingat baik-baik semua pesan Eyang…. “
“Selamat
jalan muridku. Doaku bersamamu….”
“Selamat
tinggal Eyang. Doakan agar kami kembali cepat ke tanah Jawa ini….” Wali
Astanapura yang dipanggil oleh muridnya itu dengan sebutan Eyang Ismoyo
Jelantik anggukkan kepala.
“Kau
harus kembali ke sini tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng
Sri Ageng Musalamat….”
“Saya
mendengar dan saya berjanji Eyang…” jawab Ageng Musalamat.
Eyang
Ismoyo berpaling pada seorang pemuda yang tegak di belakangnya sambil memegang
sebuah kotak kayu jati berhias ukiran Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan
peti yang dipegangnya kepada Eyang ismoyo.
“Ageng
Musalamat,” kata Eyang Ismoyo seraya membuka penutup kotak kayu,
“Kotak
ini berisi sebuah senjata sakti mandraguna berupa keris. Baik mata keris, hulu
maupun sarungnya terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga
kekuatannya lebih atos daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu sakti
di Bali yang masih merupakan kakekku. Ketika dibuat senjata ini tidak bernama.
Ayahku kemudian memberinya nama yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku
menitipkan keris sakti ini padamu untuk diserahkan pada Raja, negeri Cina
sebagai tanda persahabatan yang tulus.” Eyang Ismoyo membuka penutup peti.
Satu
cahaya kuning membersit keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat
hingga lelaki berusia empat putuh tahun ini mengerenyit kesilauan. Meskipun
silau namun Musalamat masih dapat melihat sosok keris emas Kiyai Sabrang Tujuh
langit yang ada dalam kotak kayu. Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu
menyerahkannya pada muridnya seraya berkata.
“Simpan
senjata mustika ini di tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu mengawasinya.
Tak ada seorang pun yang akan sanggup mencurinya….”
“Maksud
Eyang ada satu kekuatan yang melindunginya?” tanya Musalamat. Eyang Ismoyo
menunjuk ke atas.
“Tuhan
Yang Maha Kuasa yang melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal
berusaha mencuri atau merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau selama
berada dalam titipan yang sah maka orang jahat itu tak akan sanggup melakukan.
Keris ini akan menjadi sangat berat seolah seberat gunung batu!” Ageng
Musalarnat menerima kotak kayu itu dengan hatihati. Lalu sang guru berkata.
“Sebelum
layar terkembang, sebelum kapal besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu.
Seumur hidup belum pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti kamar
ketiduran tuan puteri…?” Eyang Ismoyo memegang bahu muridnya.
Walau
sentuhan itu biasa-biasa saja namun Musalamat merasa ada satu hawa aneh yang
membuat tubuhnya mengikut kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah
Musalamat kalau gurunya bukan hanya sekedar ingin melihat kamar di dalam kapal.
Apa yang diduga Musalamat ternyata benar. Begitu masuk ke dalam kamar di bawah
buritan Eyang Ismoyo langsung mengunci pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak
kayu jati di dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih lebar
yang menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih dikeluarkannya sebuah
benda berupa lembaran-lembaran daun lontar yang sudah sangat tua membentuk
sebuah kitab. Sepasang mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di
tangan gurunya dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno yang
tergurat di sampul kitab.
“Kitab
Putih Wasiat Dewa…” kata Ageng Musalamat dalam hati dengan dada berdebar.
“Muridku,
aku yakin kau pernah mendengar tentang kitab sakti ini…” Ageng Musalamat
mengangguk.
“Saya
sudah lama tahu kalau Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,”
jawab Musalamat sambil matanya tidak lepas dari kitab tua yang berada di tangan
sang guru.
“Kitab
ini dibuat dan ditulis isinya oleh nenek moyang kita ratusan tahun yang silam.
Siapa mereka adanya tidak diketahui. Yang jelas pada masa kitab ini diciptakan
nenek moyang kita masih belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua
kekuatan, semua kesaktian datang dari langit, daripada apa yang mereka sebut
para Dewa. Walau demikian apa yang mereka pelajari dan apa yang kemudian mereka
ajarkan bukanlah satu perbuatan sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban
asli yang tidak tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama
dan peradaban itu yang kini tetap kita pergunakan sebagai panutan. Muridku,
Kitab Wasiat Dewa ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti ini diwariskan
padaku sekitar lima belas tahun yang lalu. Aku telah membaca dan mempelajari
seluruh isinya. Namun aku merasa kepandaian apa yang aku dapat dari kitab ini
masih belum sempurna. Harus banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami
pelajaran dan kesaktian yang ada di sini. Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah
lanjut dan tubuhku sudah sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu menemui ajal
sebelum aku dapat mengerti seluruh isi kitab ini. Kau masih muda, otakmu masih tajam
dan tubuhmu masih kuat. Kurasa kau akan mampu menguasai isi kitab ini jauh
lebih cepat dariku. Aku tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab
Wasiat Dewa ini kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya
beberapa lembar ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan berasal dari kitab
ini akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas segala kejahatan.
Orang yang memberikan kitab ini padaku pernah mengatakan siapa yang memiliki
kitab ini dan mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi penguasa
dunia persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan…“ Eyang Ismoyo
menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng Musalamat.
Sang
murid yang tidak menduga hal itu akan terjadi tersurut mundur dengan muka
pucat.
“Eyang…
Sa… saya tidak berani menerima kitab sakti ini…” kata Ageng Musalamat dengan
suara bergetar.
“Kau
tidak berani. Apakah kau mau mengatakan apa sebabnya?” tanya Eyang Ismoyo
seraya menatap tajam sepasang mata muridnya.
“Saya…
saya merasa tidak layak memilikinya. Saya insan kecil yang tak mungkin mampu…”
“Muridku…” memotong Eyang Ismoyo.
“Di mata
Tuhan semua manusia itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain adalah
ketakwaan terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain ialah dari patuh
pada larangan dan kukuh pada ajaranNya. Aku mempercayakan kitab ini untuk
diserahkan padamu. Jangan siasiakan kepercayaan itu…”
“Eyang…”
“Aku
pernah mendapat petunjuk dalam mimpi. Kau akan mampu menguasai isi kitab ini
dalam enam kali bulan purnama. Selama perjalanan ke negeri Cina yang akan
menghabiskan waktu cukup lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan
menyelami serta mempelajari isinya… Terimalah!” Dua tangan Ageng Musalamat
tampak gemetaran ketika menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar
itu.
“Terima
kasih atas kepercayaan guru. Amanat Eyang tidak akan saya sia-siakan,”
Musalamat membungkuk dalam-dalam. Eyang Ismoyo tersenyum.
Tiba-tiba
dia melangkah ke pintu. Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya. “Ada
apa Eyang?” tanya Ageng Musalamat.
“Ada
seseorang mencuri dengar pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua. Mendengar
ini Ageng Musalamat segera membuka pintu dan memeriksa keluar.
“Tak ada
siapa-siapa…” katanya. Tapi dia yakin pendengaran sang guru tidak salah.
“Orangnya tentu telah menyelinap pergi. Muridku, ada seorang culas di antara
empat puluh anak buahmu.”
“Saya
menyesalkan kebodohan saya. Padahal saya telah memilih mereka dari orang-orang
yang paling saya percayai. Agaknya saya harus melakukan penyelidikan. Kalau
perlu keberangkatan hari ini saya batalkan.” Si orang tua gelengkan kepala
seraya memegang bahu muridnya.
“Jangan
habiskan waktu untuk melakukan hal itu. Jika kau sudah tahu ada seorang yang
bersifat lancung yang harus kau lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap
waspada. Bila dalam perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu,
kuperintahkan padamu untuk melemparkannya ke dalam lautan! Aku pergi sekarang.”
Sri Ageng Musalamat cepat menyalami tangan gurunya dan menciumnya dengan
khidmat.
Lalu
orang tua itu diantarkannya sampai ke daratan. Ketika kapal besar itu mulai
meluncur meninggalkan pantai utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi
beberapa orang sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia baru
bergerak sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas pemandangan. Dari saku jubahnya
dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu sambil melangkah orang tua ini mulai
berzikir. Jauh di lubuk hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan
bertemu lagi untuk selama-lamanya dengan muridnya itu.
“Entah
aku yang akan meninggalkan dunia fana ini lebih dulu, entah dia yang akan
mendapat cobaan berat…” membatin si orang tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan
dia dari segala malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali ke
tanah Jawa.”
– == 0O0
== –
*******************
ENAM
LAUT
malam mengalun tenang. Itu adalah malam pertama kapal kayu yang ditumpangi
rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat dalam pelayaran menuju utara. Setelah
beberapa lama berada di anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid
Eyang Ismoyo itu turun ke bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia berdiri di atas
sebuah kursi kayu lalu menggeser papan kecil di langit-langit ruangan. Dari
atas langit-langit kamar dikeluarkannya Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati
kitab itu diturunkannya lalu duduk di atas ranjang.
Ageng
Musalamat sengaja menyembunyikan kitab sakti itu di atas loteng kamar tidur
karena khawatir ada yang berniat jahat. Apalagi dia sudah mendapat
pemberitahuan dari sang guru kalau ada seseorang yang telah mencuri dengar
percakapan mereka di dalam kamar.
Sejak
siang tadi sebenarnya Ageng Musalamat ingin membuka dan membaca isi kitab itu
namun hatinya merasa tidak tenang. Hal ini dapat dimaklumi. Beban yang
diberikan Eyang Ismoyo dengan menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban
kecil. Kalau sampai dia tidak dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang
akan celaka tapi rimba persilatan di tanah Jawa akan mengalami bencana.
Ageng
Musalamat memperbesar lampu minyak di atas kepala tempat tidur. Dengan tangan
gemetar dia membalik sampul Kitab Wasiat Dewa.
Pada
halaman pertama tertera serangkaian tulisan dalam aksara Jawa kuno berbunyi:
Bilamana
datang kebenaran maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan
mungkin bisa berjaya.
Tapi pada
saat kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu
membendungnya.
Kejahatan
membakar dan merusak laksana api.
Tetapi
api itu sendiri sebenarnya adalah kekuatan dahsyat Yang diarahkan para Dewa
untuk membakar mereka.
Bilamana
api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna.
Ageng
Musalamat membaca rangkaian kalimat itu sampai tiga kali lalu pejamkan mata
merenungi dan meresapi. Sesaat kemudian baru dia membuka halaman kedua Kitab
Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.
Di
halaman ini terdapat gambar kepala seekor harimau putih yang dikurung oleh
lingkaran putih. Pada bagian bawah tertera tulisan berbunyi:
Putih
lambang kesucian dan kebenaran.
Harimau
lambang keberanian dan kejantanan.
Barang
siapa berjodoh dengan kitab ini maka kemana pun dia pergi harimau putih akan
menjadi kekuatan, menjaganya dari segala musuh, ilmu hitam dan iblis jahat.
Setelah
mengerti betul apa yang tertulis di halaman kedua itu maka barulah Ageng
Musalamat membalik memasuki halaman ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan
panjang dalam aksara Jawa kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa
membaca dengan perlahan dan hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.
DELAPAN
SABDA DEWA
Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa yang telah disabdakan.
Delapan
Sabda Dewa adalah delapan jalur keselamatan.
Tanah –
Sabda Dewa Pertama Manusia berasal dan dijadikan dari tanah
Kepada
tanahlah manusia akan kembali
Karenanya
manusia tidak boleh congkak dan takabur dan harus ingat bahwa dirinya berasal
dari gumpalan debu yang hina.
Yang
kuasa kemudian memberikan kehormatan, menjadikannya makhluk pilihan karena
memiliki pikiran yang membedakannya dengan binatang.
Tanah
bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa diberikan kepada manusia untuk tempatnya
berlindung diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki.
Karenanya
tidaklah layak kalau manusia merusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji
serta berbuat kejahatan di atasnya.
Tanah dan
bumi diberikan Yang Kuasa untuk kebahagiaan ummat manusia.
Karenanya
manusia wajib berterima kasih dengan jalan memeliharanya.
Tanah
tempat kaki berpijak.
Dimana
bumi dipijak di situ langit dijunjung
Ketika
tanah dijadikan ajang pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa
Mengapa
manusia tidak berpikir dan berterima kasih...?
Air –
Sabda Dewa Ke-dua
Lebih
dari separuh bumi diciptakan Yang Kuasa dalam bentuk air Air mengalir di bumi
dan mengalir di tubuh manusia.
Air
sumber kehidupan Air membawa berkah Mengapa manusia tidak berpikir?
Mengapa
manusia berlaku keji mencemari air, membunuh makhluk yang hidup di dalam air
dan di atas air
Air
selalu mengalir dari atas ke bawah
Bukankah
itu satu petunjuk bahwa mereka yang di atas harus menolong mereka yang di
bawah?
Pada saat
manusia lupa dan tidak berterima kasih atas segala berkah
Maka para
Dewa berseteru dengan mereka
Azab Yang
Kuasa pun turunlah
Dan air
berubah menjadi bencana.
Api – Sabda
Dewa ke-tiga
Ketika
kecil menjadi kawan
Sewaktu
besar menjadi lawan
Mengapa
manusia tidak mau berpikir dalam mencari manfaat daripada kualat?
Api
membakar seganas iblis
Di dalam
tubuh manusia ada api yang mampu merubah manusia menjadi iblis
Barang
siapa tidak mampu melawan api, bumi dan tanah akan meratap, air akan menangis
manusia akan menjadi api puntung neraka.
Para Dewa
terhempas dalam perkabungan.
Udara –
Sabda Dewa Ke-empat
Udara
sumber kehidupan
Dihembuskan
Yang Kuasa ke dalam jalan pernapasan jantung sanubari manusia
Udara
tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh tangan
Di dalam
yang tidak terlihat dan tidak tersentuh itu ada berkah yang maha besar
Mengapa
manusia masih mau berlaku culas
Mencemari
udara dengan berbagai kebusukan
Ketika
jalan napas tak dapat lagi menerima hawa kotor,
Para Dewa
siap melihat kematian mengenaskan Mengapa manusia tidak berpikir?
Bulan –
Sabda Dewa Ke-lima
Sumber
kesejukan dunia ini muncul dikala malam
Tiada
keindahan melebihi malam dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang
lembut
Mengapa
manusia tidak bisa selembut sinar rembulan?
Padahal
manusia memiliki pikiran, bulan tidak
Padahal
manusia memiliki hati, rembulan tidak
Bukankah
kelembutan sinar rembulan mencerminkan perasaan kasih?
Kasih
dari orang tua terhadap anaknya
Kasih
seorang pemuda pada gadis curahan hatinya
Kasih
sesama insan
Bahkan
binatang pun mempunyai rasa kasih
Lalu
mengapa manusia terkadang melupakannya?
Mengapa
kasih dapat berubah menjadi kebencian yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari
siapa para Dewa akan mendapat jawaban?
Matahari
– Sabda Dewa Ke-enam
Ketika
bumi berputar dan matahari menerangi jagat
Cahaya
terang menjadi berkah bagi seisi alam
Yang
kuasa tidak ingin para makhluk dalam kegelapan
Tetapi mengapa
banyak diantara mereka yang sengaja mencari memeluk kegelapan?
Tidakkah
manusia berpikir Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari cahaya matahari?
Ketika
bumi menjadi gelap karena sinar matahari terhalang rembulan,
Apakah
manusia merenungi arti semua ini?
Mengapa
ummat mengeluh teriknya matahari
Padahal
diakhir dunia kelak mereka akan didera oleh seribu teriknya matahari
Padahal
bukankah para Dewa telah memberi ingat akan azab setiap dosa....?
Kayu –
Sabda Dewa Ke-tujuh
Siapa
yang menanam akan menuai
Itu janji
Maha Pencipta Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah
Sang
Pencipta tiada akan melupakannya
Karena
Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui
Lalu
mengapa kemudian manusia merusak benih, merusak yang tumbuh di atas tanah
Padahal
mereka perlu tetumbuhan untuk dimakan
Padahal
mereka butuh pepohonan untuk berlindung
Adakah
manusia merasa bisa hidup tanpa pohon dan kayu?
Ketika
badai mengamuk dan pepohonan tumbang sama rata dengan tanah
Ketika
para Dewa merenung mengingat dosa
Ummat
manusia masih saja berbuat kerusakan
Padahal
mereka punya otak untuk berpikir dan punya hati untuk merasa.
Batu –
Sabda Dewa Ke-delapan
Ketika
gunung batu meletus
Para Dewa
bersujud minta ampun
Manusia
menjerit, terhenyak dalam ketakutan
Tapi
hanya seketika
Sesaat
mereka terlepas dari bencana kembali mereka lupa dan tegakkan kepala dengan
congkak
Batu
dijadikan Maha Pencipta agar manusia mempergunakannya untuk melindungi diri
dari keganasan alam
Agar
manusia ingat bahwa keteguhan iman harus dipegang sekukuh batu
Ketika
iman runtuh seperti runtuhnya gunung batu
Para Dewa
menangis meminta ampun
Apakah
mata dan hati manusia telah berubah menjadi batu, buta dan bisu tiada rasa?
Kanjeng
Sri Ageng Musalamat terpekur lama meresapi apa yang barusan dibacanya. “Delapan
Sabda Dewa…” katanya dalam hati sambil memejamkan mata.
“Sungguh
luar biasa. Tak pernah kubaca tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila
ditelusuri sangat mendalam. Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa
orang belum mengenal agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di sini, dasar
pemikiran sang penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa yang
dimaksud penulis dengan para Dewa dalam kitab ini? Para tokoh silat, para
pemuka agama atau Dewa sungguhan…?” Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya
“Isi
kitab ini mengandung makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus ingat
pada ajaran Sang Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan perduli
lingkungan. Delapan Sabda Dewa ditutup dengan rangkuman kalimat agar manusia
memiliki iman sekokoh batu…. Lalu dimanakah letak kehebatan buku ini? Mana
ajaran-ajaran silat atau ilmu kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang
menjadi penguasa dunia persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang kubaca baru
beberapa halaman. Masih ada halaman lain yang harus kubaca dan kuteliti…”
Perlahan-lahan
Sri Ageng Musalamat pergunakan jari-jari tangan kanannya untuk membuka halaman
berikutnya yakni halaman kelima. Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu
keanehan. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu
dua jari itu laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan.
“Astagfirullah,
dua jari tanganku menjadi kaku. Tak bisa digerakkan. Aku tak mampu membalikkan
halaman keempat untuk membuka halaman ke lima….” Ageng Musalamat kerahkan
tenaga luarnya
“Celaka!
Kini lima jariku semua jadi kaku!” Lelaki itu terkejut dan berubah air mukanya.
Selain heran dan terkejut ada sekelumit rasa penasaran dalam dirinya
“Membalikkan
halaman kitab daun lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak
menjadi kaku tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga dalam mungkin
jari-jariku bisa pulih dan aku mampu membuka halaman kelima….“ Berpikir sampai
disitu Ageng Musalamat kerahkan tenaga dalam murninya dari pusar ke pergelangan
tangan kanan terus ke ujungujung lima jarinya.
Tapi apa
yang terjadi kemudian membuat lelaki ini keluarkan seruan tertahan dan wajahnya
mengerenyit tanda menahan sakit yang amat sangat. Tangan kanannya seperti
disambar petir terbanting ke samping dan ada. asap putih mengepul dari tangan
itu. Ketika dia memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah
telah berubah menjadi sangat merah laksana tersiram air panas. Selagi Ageng Musalamat
tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan yang amat sangat tiba-tiba kamar di
mana dia berada itu laksana runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman
harimau. Bersamaan dengan itu hidungnya mencium harum bau kemenyan hingga dalam
kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa ngeri yang membuat bulu
tengkuknya merinding!
“Ya
Tuhan, lindungi diriku. Apa yang sesungguhnya terjadi. Jangan berikan cobaan
padaku yang aku tidak sanggup menghadapinya…” Sekali lagi terdengar suara auman
dalam kamar kayu yang sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat
terbanting ke dinding kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat Dewa.
Kedua matanya membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya muncul dua
bayang-bayang aneh yang samar-samar membentuk sosok tubuh manusia dan sosok
binatang besar!
– == 0O0
== –
*******************
TUJUH
WALAU dua
sosok di hadapannya tidak beda seperti asap tipis namun Sri Ageng Musalamat
dapat melihat bahwa sosok pertama adalah seorang tua bertampang gagah yang
tubuhnya sangat tinggi hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh
langitlangit kamar. Orang ini mengenakan selempang kain putih dan memegang
sebuah tongkat kayu berwarna putih. Sepasang matanya berwarna kebiruan dan
menatap tajam pada Ageng Musalamat yang saat itu masih terhenyak di atas
ranjang kayu dan tersandar ke dinding kamar. Di sebelah kiri si orang tua, ini
yang membuat Ageng Musalamat menjadi menahan napas dan keluarkan keringat
dingin tegak seekor harimau putih yang bukan main besarnya, memiliki tinggi
tubuh sampai sepinggang orang tua berselempang kain putih itu.
Sepasang
mata harimau besar ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak berkesip pada
Ageng Musalamat. Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya
masih gemetar Ageng Musalamat bertanya.
“Or…
orang tua…. Siapa kau adanya?” Dalam hati dia yakin saat itu bukan berhadapan
dengan manusia dan harimau sungguhan. Mungkin jin laut naik ke atas kapal
bersama binatang peliharaannya? Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu
berpenghuni makhluk halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat
diamdiam membaca berbagai ayat suci dan memahon perlindungan pada Yang Maha
Kuasa.
“Kanjeng
Sri Ageng Musalamat…” orang tua berbentuk bayangan dan menyebut nama lengkap
murid Eyang Ismoyo itu.
“Seratus
tahun lalu aku dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku sudah lama
ditelan bumi. Kalau aku bisa muncui dan berdiri di hadapanmu saat ini, itu
tidak lain semata-mata adalah karena Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau
putih di sampingku adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Seperti diriku dia pun sudah
lama bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul dan ikut
bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami datang untuk memberitahu padamu bahwa
Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh dengan dirimu…”
“Da…
Datuk Rao…. Aku tak mengerti maksudmu,” kata Ageng Musalamat. “Kitab Wasiat
Dewa yang ada di tangan kirimu itu tidak berjodoh dengan dirimu. Dengan kata
lain apa-apa yang ada di dalamnya tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya
berkesempatan membaca sampai halaman ke empat. Dalam empat halaman itu
sesungguhnya kau telah mempelajari hal-hal besar yang orang lain tidak pernah
mengetahui atau rnenyadarinya sebelumnya….”
“Orang
tua, harap maafkan kalau kukatakan aku masih tidak mengerti. Izinkan aku bertanya,
apa hubunganmu dengan kitab ini?”
“Kami
adalah sesepuh terakhir yang diserahi tugas untuk menjaga Kitab Wasiat Dewa.
Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang yang tidak mendapat izin dan ridho.
Apalagi kalau sampai mempelajarinya….”
“Kitab
ini aku terima dari guruku Eyang ismovo Jeiantik yang dikenal dengan panggilan
Wali Astanapura…”
“Kami
tahu hal itu…” kata si orang tua pula.
“Beliau
menyerahkan disertai pesan bahwa aku harus mempelajari serta menyelami isi
kitab ini. Kelak aku akan memiliki ilmu sangat berguna untuk membela keadilan
dan kebenaran, menguasai dunia persilatan di jalan Allah, pengubur kesesatan
dan penumpas kejahatan…. Dia telah membaca isi buku ini walau katanya tidak
tuntas. Karena sudah terlalu tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku…. “
“Kami
tahu, tapi ada yang kau tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak pernah membaca
apalagi mempelajari isi Kitab Wasiat Dewa itu…. “ Tentu saja Ageng Musalamat
jadi terkejut mendengar ucapan orang tua berupa bayangan dan asap itu.
“Kami
menitipkan Kitab Wasiat Dewa padanya melalui seseorang. Dia menjaga kitab sakti
itu selama lima belas tahun tanpa sekali pun berani membuka dan membaca isinya.
Itu sesuai dengan pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu
kelak harus diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang itu
ternyata adalah dirimu…. “
“Kalau
kau sudah tahu hal itu berarti tidak ada halangan bagiku untuk mempelajari
segala ilmu kesaktian yang ada di dalamnya.”
“Tidak
Ageng Musalamat. Kau tidak boleh mempelajari isinya. Karena kau hanyalah
seorang perantara yang dititipkan untuk menjaga kitab itu baik-baik seperti kau
menjaga keselamatan diri dan nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik,
kau pun harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau
percayai…. “ Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua.
“Kanjeng
Sri Ageng Musalamat, apakah kau mendengar dan mengerti apa-apa yang aku ucapkan
tadi?” bertanya Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Aku
mendengar, tapi terus terang harap dimaafkan sulit aku bisa mengerti semua ini.
Kau menyebut dirimu sudah ditelan bumi seratus tahun yang silam. Bagaimana aku
bisa mempercayai hal-hal yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini…?”
“Ada
hal-hal yang memang tak bisa dicerna oleh otak manusia, karena semua itu
terjadi dengan kodrat dan kuasanya Tuhan. Bila manusia memaksa untuk
memecahkannya sedang dia tidak mampu melakukannya maka berarti manusia mendera
dan menyiksa dirinya sendiri. Namun apa yang aku katakan padamu tidak termasuk
dalam hal-hal yang tak bisa dicerna akal dan pikiran itu. Kami hanya meminta
agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa baik-baik, jangan membaca dan mempelajari
isi kitab mulai dari halaman lima. Dan bahwa kau harus menyerahkan kitab itu
kelak pada seseorang yang sangat kau percayai….”
“Siapa
orangnya…?” tanya Ageng Musalamat.
“Kau akan
tahu sendiri pada dua puluh tahun mendatang…” jawab Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Datuk….”
“Kau
berjanji akan mematuhi apa yang kami minta?”
“Aku tak
mungkin berjanji…. “
“Kalau
begitu bersumpahlah!” kata Datuk Rao Basaluang Ameh. Ageng Musalamat menangkap
nada suara yang mengandung ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas
dirinya sebelum kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua
jari tangannya kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia memaksa dengan
mengerahkan tenaga dalam untuk membuka halaman ke lima dari Kitab Wasiat Dewa,
sekujur lengannya bukan saja menjadi kaku tapi juga melepuh merah laksana
tersiram air panas! Sesaat Ageng Musalamat memperhatikan tangan kanannya.
“Jangan-jangan
orang tua ini yang telah melakukannya…” kata Ageng Musalamat dalam hati.
“Kalau
aku menolak permintaannya pasti dia akan melakukan sesuatu yang lebih hebat
dari ini….”
“Kanjeng
Sri Ageng Musalamat, aku tahu apa yang ada dalam benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao
Basaluang Ameh berucap, membuat Ageng Musalamat terkesiap.
“Jika kau
merasa tidak sanggup menjaga Kitab Putih Wasiat Dewa, lebih dari itu tidak akan
berlaku culas membaca seluruh isinya, maka saat ini juga lebih baik kau
serahkan kitab itu padaku!" Si orang tua angkat tangannya yang memegang
tongkat. Tongkat kayu putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat.
Saat itu
juga tubuh Ageng Musalamat tersedot ke depan. Keningnya menempel di ujung
tongkat. Sementara sekujur tubuhnya terasa kaku dan sedingin es! Putuslah nyali
murid Eyang Ismoyo ini.
“Datuk
Rao… Aku, aku berjanji akan menjaga Kitab Wasiat Dewa dan nanti akan
menyerahkannya pada orang yang paling kupercaya….“
“Kau
tidak akan mengingkari janji?”
“Tidak
Datuk….“
“Bagus.
Tapi harap kau ingat. Jika kau berlaku curang dan mengingkari janji maka kau
akan mendapat malapetaka besar…“
“Aku
tidak akan mengingkari janji Datuk,” kata Ageng Musalamat pula.
Datuk Rao
Basaluang Ameh tarik tongkatnya sedikit. Ujung tongkat terlepas perlahan dari
kening Ageng Musaiamat. Tapi sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan
terbanting ke dinding kamar.
“Kanjeng
Sri Ageng Musalamat, kami tahu beban berat bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat
Dewa. Apalagi kau akan berada di negeri asing. Kau lebih beruntung dari
orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya…”
“Apa
maksud Datuk Rao?” tanya Ageng Musalamat.
“Kau akan
kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau
pergunakan untuk menjaga diri….”
“Datuk
hendak mengajarkan tlmu silat Harimau Dewa. Di dalam kamar sesempit ini?
Bagaimana mungkin…”
"Ilmu
ini tidak perlu dilatih secara lahir. Pada saat kau memerlukan, ilmu itu akan
menuntunmu menghadapi musuh…”
“Ilmu
aneh luar biasa. Jika Datuk tidak bergurau maka saya menghaturkan terima
kasih…”
“Mendekatlah
ke sini Ageng Musalamat. Duduk di lantai di hadapanku,” kata Datuk Rao
Basaluang Ameh. Ageng Musalamat turun dari atas ranjang kayu.
“Letakkan
Kitab Putih Wasiat Dewa di atas pangkuanmu.” Kembali murid Eyang Ismoyo
melakukan apa yang dikatakan si orang tua berbentuk samar.
Setelah
Ageng Musalamat duduk di hadapannya, dari balik selempang kain putihnya Datuk
Rao keluarkan sebuah benda yang memancarkan sinar kekuningan. Benda ini
ternyata adalah sebuah saluang terbuat dari emas. (Saluang = sebentuk seruling
khas Minangkabau yang biasanya terbuat dari bambu). Datuk Rao dekatkan ujung
saluang ke mulutnya.
Sesaat
kemudian menggemalah suara alunan seruling, lembut berhibahiba. Harimau putih
besar di samping sang Datuk tiba-tiba melangkah ke hadapan Ageng Musalamat.
Orang ini serasa terbang nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat
lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala Ageng
Musalamat sampai ke pangkal leher masuk ke dalam mulutnya. Murid Eyang Ismoyo
ini tidak sempat merasakan adanya hawa dingin yang keluar dari mulut harimau
putih karena dirinya langsung pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki
kepalanya terus mengalir ke tangannya kiri kanan.
– == 0O0
== –
*******************
DELAPAN
PEMUDA
berpakaian biru berikat kepala merah dan bertubuh tegap itu sesaat tegak tak
bergerak di depan pintu kamar. Dari balik tumpukan peti-peti besar melangkah
keluar seorang lelaki separuh baya. Mereka adalah anggota rombongan dan
murid-murid Ageng Musalamat.
Lelaki
yang melangkah dari balik peti menegur pemuda yang berdiri di depan pintu kamar
Ageng Musalamat.
“Cagak
Guntoro, sedang apa kau di situ? Air mukamu kulihat aneh.” Pemuda bernama Cagak
Guntoro tersentak kaget oleh teguran yang tiba-tiba itu.
“Kakak
Munding Sura, syukur kau datang. Aku mendengar suara suara aneh dari dalam
kamar pimpinan kita Kanjeng Sri Ageng Musalamat.” Munding Sura tersenyum.
“Kau baru
sekali ini mengarungi laut naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara
angin laut tentu telah mempengaruhi pendengaranmu.”
“Aku
tidak tertipu pendengaran sendiri kakak Munding. Aku barusan dari geladak.
Kanjeng Sri Ageng tidak ada di sana. Aku yakin dia berada dalam kamar…”
“Malam
belum larut, tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk kamar untuk tidur…” kata
Munding Sura pula.
“Suara-suara
aneh apa yang tadi kau dengar?”
“Suara
seperti orang jatuh. Mungkin juga suara orang dibanting ke dinding. Lalu aku
dengar Kanjeng Ageng bicara. Tapi lawan bicaranya tak kedengaran suaranya…”
“Kau
ngaco Cagak! Apa kau kira pimpinan kita tidak waras bicara sendirian dalam
kamar? Hemm… mungkin dia memang sudah tertidur lalu mengigau…. Sebaiknya kita
tinggalkan saja tempat ini. Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam…“
Munding
Sura hendak berlalu tapi Cagak Guntoro cepat memegang bahunya dan berkata.
“Kalau kita pergi begitu saja tanpa menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu
dengan dirinya?”
“Lalu apa
yang ada di benakmu?” tanya Munding Sura.
Cagak
Guntoro tidak menjawab. Dia melangkah mendekati pintu lalu mengetuk. Tak ada
jawaban.
Pemuda
ini mengetuk sekali lagi. Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di
dalam?” Tetap tak ada jawaban.
Cagak
Guntoro memandang pada Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak
enak.
“Buka
pintunya. Kalau terkunci buka paksa!” kata Munding Sura.
Cagak
Guntoro coba membuka pintu.
“Dikunci
dari dalam…” bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan
bahunya untuk mendorong.
Sekali
mendorong pintu kamar terbuka. Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura
mengikuti. Namun belum sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini
melompat mundur sambil berbarengan keluarkan seruan tertahan.
Di dalam
kamar yang tak seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng Musalamat tampak terbujur
di atas ranjang kayu. Punggungnya tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada
sebuah kitab daun lontar dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng
Musalamat tampak tak kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua
anggota rombongan itu terkejut bukan kepalang bahkan ngeri. Muka itu telah
berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Kejadian ini hanya terlihat
sebentar karena sesaat kemudian perlahan-lahan wajah Sri Ageng Musalamat
kembali pulih ke bentuknya semula. Cuma hanya sepasang matanya saja yang
kelihatan terkatup.
“Apa yang
terjadi dengan pimpinan kita? Barusan mukanya seperti harimau…” kata Cagak
Guntoro dengan suara bergetar karena masih diselimuti rasa ngeri.
“Aku
mencium bau kemenyan,” balas berbisik Munding Sura.
“Yang
begini merupakan tanda-tanda ilmu hitam…”
“Tidak
mungkin Kanjeng Sri Ageng memiliki ilmu hitam. Kita semua tahu betul hal itu!”
kata Cagak Guntoro pula.
“Jangan-jangan
ada seseorang telah berbuat jahat terhadapnya. Kita harus segera membuat dia
sadar…” Munding Sura masuk ke dalam kamar.
Namun
saat itu perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat membuka kedua matanya. Dalam
keadaan sadar dia segera ingat akan apa yang barusan dialaminya. Namun tidak
bisa memikir panjang karena dilihatnya ada dua orang anak buahnya berada dalam
kamar.
“Cagak
Guntoro, Munding Sura! Ada apa kalian berada dalam kamarku?!” tanya Ageng
Musalamat.
“Maafkan
kami berdua Kanjeng Sri Ageng. Kami tidak bermaksud lancang. Namun tadi Cagak
Guntoro mendengar suara gaduh dalam kamar….”
“Betul
Kanjeng. Saya mendengar suara seperti sosok tubuh terbanting ke dinding…. Kami
mengetuk pintu kamar. Juga memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena
khawatir terjadi apa-apa dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk…,” Begitu Cagak
Guntoro menerangkan.
“Waktu
masuk kamar ini terselubung bau kemenyan…” menambahkan Munding Sura.
“Begitu
masuk kami lihat Kanjeng tersandar ke dinding. Mata terpejam entah tidur entah
pingsan. Syukur sekarang Kanjeng sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami minta
diri….”
“Tunggu…”
kata Ageng Musalamat.
“Selain
suara orang terbanting ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara
lain…?”
“Kami
mendengar Kanjeng bicara dengan seseorang. Tapi waktu kami masuk tidak ada
siapa-siapa di kamar ini selain Kanjeng…. “ Menjawab Cagak Guntoro.
“Hemmm….
Berarti mereka tidak mendengar suara auman harimau putih itu. Juga tidak
mendengar suara seruling dan suara Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng
Musalamat. Munding Sura melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng
Musalamat dan masih dalam keadaan terbuka.
Melihat
orang melirik baru Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya.
Lalu dia
bertanya. “Apa kalian masih mencium bau kemenyan di kamar ini?” Dua anak murid
menggeleng.
“Kalian
boleh pergi. Tak usah khawatir. Tak ada apa-apa di sini. Aku berterima kasih
kalian punya perhatian atas keselamatanku…. Sebelum pergi mungkin ada hal lain
yang hendak kalian katakan padaku?” Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding
Sura.
Pemuda
itu memandang maksudnya untuk memberi isyarat pada lelaki itu apakah akan
diceritakan saja bagaimana tadi mereka menyaksikan wajah sang Kanjeng berubah
seperti muka seekor harimau putih. Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat
membungkuk hingga Cagak Guntoro terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu.
Sampai di
geladak Munding Sura memegang lengan Cagak Guntoro lalu bertanya berbisik.
“Waktu di
dalam kamar tadi kau berada lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa
kau sempat memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?”
“Sempat,
tapi aku tak tahu buku apa. Tulisannya kecil-kecil. Lagi pula ditulis memakai
huruf Jawa kuno. Aku tidak begitu pandai membaca tulisan Jawa kuno… Kenapa kau
menanyakan kitab itu?” “Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan
Kanjeng tadi…”
“Hem,
bagaimana kau bisa menduga begitu kakak Munding Sura?” tanya Cagak Guntoro.
Munding
Sura terdiam lalu mengangkat bahu.
“Kurasa
Kanjeng tidak suka kita membicarakan apa yang tadi kita saksikan. Sebaiknya
kita lupakan saja kejadian itu….”
“Kurasa
begitu…” kata Cagak Guntoro. Lalu dia menepuk bahu Munding Sura dan berbisik.
“Lihat,
Kanjeng Sri Ageng ada di ujung buritan sana…. Memang ada baiknya dia berada di
laut terbuka begini beranginangin. Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang
sehat. Panas dan pengap.”
*******************
Sambil
berpegangan pada pagar kayu kokoh di buritan kapal sebelah kiri Ageng Musalamat
meraba dadanya.
Di balik
pakaiannya tersimpan Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di
dalam kamar, kitab itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun dia pergi.
Memandang
ke arah lautan luas yang menghitam dalam kegelapan malam Ageng Musalamat
merenungi apa yang telah,dialaminya.
“Dua
puluh tahun…. Menurut orang tua yang muncul secara aneh itu aku harus
menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada seorang yang paling aku percayai. Padahal
Eyang Ismoyo jelas-jelas mengatakan jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab
ini aku akan menjadi penguasa dunia persilatan. Hemmm… mengapa orang tua itu
berdusta? Kalau saja sebelumnya dia menceritakan terus terang padaku bahwa
kitab ini tidak berjodoh rasanya bebanku tidak akan seberat ini. Atau mungkin
dia sendiri tidak mengetahui kalau dirinya, dan juga diriku hanya ketitipan
saja sebelum Kitab Wasiat Dewa sampai di tangan orang yang benar-benar
berjodoh? Lalu siapa pula gerangan orang yang beruntung itu?” Ageng Musalamat
menarik napas dalam berulang kali.
“Waktu
kutanya apakah ada hal lain yang hendak disampaikan, Cagak Guntoro kulihat
seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Munding Sura cepat-cepat keluar hingga
pemuda itu tak sempat bicara. Atau mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro
mengatakan. Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.” Lama Sri Ageng Musalamat
merenung dan berpikir-pikir di buritan kapal.
Dia baru
beranjak dari situ ketika angin laut terasa semakin kencang dan lembab. Ketika
dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam, langkah Ageng Musalamat serta
merta terhenti. Peti kayu berukir tempat disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh
Langit dilihatnya tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan
membuka tutupnya untuk memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit menyilaukannya.
Hatinya lega mendapatkan senjata mustika itu masih berada dalam peti.
“Peti ini
sebelumnya berada di atas meja kecil sana. Bagaimana mungkin tahu-tahu berada
di lantai? Pasti ada seseorang yang coba mencurinya…“ Lalu Ageng Musalamat
ingat akan keterangan Eyang Ismoyo.
Barang
siapa bermaksud jahat dan mencuri keris sakti itu maka senjata itu akan berubah
beratnya laksana segunung batu! Ageng Musalamat coba mereka-reka.
“Ada
seseorang menyelinap masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya
keluar kamar tiba-tiba keris menjadi sangat berat hingga dia tidak mampu
mengangkat dan lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk. Pencuri laknat.
Ada pengkhianat dan pencuri di atas kapal ini. Celakanya dia adalah salah
seorang dari murid-muridku!” Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan
buritan.
Cagak
Guntoro ditemuinya lebih dulu. Pemuda ini terduduk di salah satu sudut kapal.
Kaki kanannya tampak bengkak dan luka. Seorang kawannya sibuk menguruti kaki
yang cidera itu.
“Hemm….
Dia rupanya,” kata Ageng Musalamat dalam hati.
Dia melangkah
mendekati orang yang mengurut dan menepuk bahunya.
“Pergilah…
Biar aku yang meneruskan mengurut kakinya.” “Kanjeng…. Tak usah. Biarkan saja
dia…” kata Cagak Guntoro.
Namun
pandangan mata pimpinan mereka membuat pemuda yang tadi mengurut segera berdiri
dan tinggalkan tempat itu. Setelah mereka berada berdua saja Ageng Musalamat
berjongkok di depan Cagak Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia
berkata.
“Hemmm…
Cidera kakimu cukup parah. Apa yang terjadi Cagak Guntoro?”
“Kakiku
kejatuhan salah satu besi penahan tiang layar kapal…“
“Pasti
kau tidak berhati-hati. Malu rasanya pemuda sehebatmu bisa dihajar lawan tidak
bernapas seperti besi itu!” Ageng Musalamat menyeringai.
Lalu
tangan kirinya bergerak memegang kaki kanan muridnya itu. Pegangan sang Kanjeng
bukan pegangan sembarangan karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak
Guntoro teraduh-aduh kesakitan.
“Dengar,
aku bisa meremukkan tulang kakimu mulai dari ujung jari sampai ke mata kaki…”
kata Ageng Musalamat dengan suara tajam dan pandangan mata tak berkesip.
“Kanjeng….
Apa maksudmu?” tanya Cagak Guntoro sambil menahan sakit.
“Katakan
apa yang sebenarnya terjadi! Kakimu itu cidera bukan karena kejatuhan besi kapal!”
“Aku
tidak berdusta Kanjeng. Perlu apa….”
“Waktu
aku berada di buritan kau menyelinap masuk ke dalam kamarku. Berusaha mencuri
peti kayu berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba
menjadi berat dan kau tidak mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari
tanganmu, jatuh menimpa kaki kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro tampak
berubah mukanya.
“Kanjeng…
aku tak pernah berdusta padamu…. Mengingat budimu aku menghormati lebih dari
menghormati orang tua sendiri…“
“Kedua
orang tuamu sudah mati! Tak perlu disebut-sebut. Aku tidak percaya pada
keteranganmu. Ingat, kau dulu kupungut dari pasar sewaktu jadi pengemis kecil,
kurus kering dan korengan. Hebat kalau kau menyebut segala budi. Kau memang
telah membuktikan. Dengan mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu
bagaimana saktinya senjata itu!" Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali.
Dia menggelenggelengkan kepalanya berulang kali.
“Menurut
pesan Eyang Ismoyo manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih
mau memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku cabut. Derajatmu
sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani semua anggota rombongan!
Kalau kelak nanti tidak terbukti bahwa memang bukan kau yang hendak mencuri
senjata mustika itu maka aku akan memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu
kembali!” Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak Guntoro ke
lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu.
“Kanjeng!”
panggil Cagak Guntoro.
“Kau
keliru Kanjeng. Aku bersumpah bahwa aku tidak….” Ageng Musalamat tidak perduli.
Dia
melangkah terus dan akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di
tangga yang menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu
Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura. Anak muridnya ini segera ditariknya
ke salah satu sudut di bawah tangga.
“Aku
perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau menjawab dengan jujur.
Jangan berani berdusta!” Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun
Munding Sura menjawab juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak kau tanyakan?”
“Sewaktu
kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku menanyakan pada pemuda itu apa ada
hal lain yang hendak dikatakannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu
padaku. Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian
berdua cepat-cepat meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu yang kalian
tidak mau mengatakan!”
“Kanjeng….”
“Aku
menunggu Munding Sura. Katakan cepat!”
“Waktu
kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri Ageng duduk di atas ranjang
kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami tidak tahu apakah saat itu Kanjeng
tengah tidur atau pingsan. Cuma kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti
biasanya….”
“Maksudmu?”
tanya Ageng Musalamat.
“Muka
Kanjeng tidak seperti muka manusia….”
“Munding
Sura!” bentak Ageng Musalamat.
“Jangan
kau bicara ngelantur…“
“Saya
tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami lihat muka Kanjeng
telah berubah menjadi muka seekor harimau putih…“ Kalau ada petir menyambar di
depannya mungkin tidak demikian terkejutnya Ageng Musalamat.
“Mukaku
berubah menjadi muka seekor harimau putih katamu?!” Dalam keadaan tercekat
Munding Sura anggukkan kepala.
Ageng
Musalamat tegak tak bergerak. Ingatannya kembali pada apa yang terjadi di
kamarnya. Muncul sosok Datuk Rao dan seekor harimau putih. Lalu harimau putih
itu mendekatinya dan membuka mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan
kepalanya ke dalam mulutnya, dia jatuh pingsan.
“Orang
ini tidak berdusta,” membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk
Rao.
“Kau
lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu
sebelumnya… Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa.
Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri…“
“Berarti….”
Ageng Musalamat usap-usap dagunya,
“Datuk
Rao memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau Dewa…”
– == 0O0
== –
*******************
SEMBILAN
KEDATANGAN
rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat disambut utusan khusus Raja Tiongkok di
pelabuhan Seochow. Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat
penting di Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena
tahu rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia sengaja
mengirimkan orang-orang seagama untuk menyambut kedatangan Ageng Musalamat dan
rombongan.
Seorang
penterjemah yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak
akan mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi. Di antara rombongan
penjemput terdapat seorang anak lelaki kurus berusia sembilan tahun. Setelah
upacara penyambutan resmi selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke
muka membawa sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau.
Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum. Si anak lalu
menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.
“Ah,
rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya adalah perokok berat. Sejak
beberapa tahun belakangan ini aku berusaha mengurangi merokok karena kurang
baik untuk kesehatan. Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum
ini aku berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri Ageng
Musalamat tertawa lebar.
Diusapnya
kepala anak lelaki itu berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang
diserahkan. Langsung saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya
tinggitinggi ke udara.
“Terima
kasih… terima kasih…” kata Ageng Musalamat berulang kali seraya membungkuk.
Dia
berpaling pada anak lelaki yang barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat
sesuatu yang sudah lama diharapkannya.
“Anak ini
walau kurus tapi memiliki bentuk tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki
anak lain. Sepasang bola matanya jernih dan pandangannya mencerminkan satu
kekuatan yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan yang
seperti dia….” Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya.
“Anak
gagah, siapa namamu?” Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si penterjemah apa yang
ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak dan suara lantang menjawab.
“Nama
saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa Chungwei!”
“Anak
hebat!” memuji Ageng Musalamat.
“Orang
tuamu pasti bangga punya anak sepertimu…”
Setelah
Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu membungkuk.
“Orang
tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu waktu terjadi air bah besar
di pantai timur!”
“Ah…”
Ageng
Musalamat manggut-manggut terharu. Namun dibalik keharuannya dia melihat
sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya
padahal dia mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.
“Anak ini
mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan senyum menghias bibir….”
Ageng
Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui.
“Aku
menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama. Aku juga
seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan hidup membuat seseorang
menjadi tabah dan kuat sekuat batu karang yang aku lihat banyak bertebaran di
pantai menjelang pelabuhan Seochow!”
Ki Hok
Kui kembali tersenyum.
“Saya
memang sudah pernah mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu….” Anak ini
menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng.
Tentu
saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang ada di sekitar situ juga
terheran-heran mendengar ucapan anak itu.
“Ki Hok
Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Kapan…
di mana? Padahal kita baru saja saling bertemu saat ini.”
“Dalam
mimpi,” jawab Ki Hok Kui pula.
“Satu
tahun lalu saya pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti
itu. Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah
orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada saya….”
Sesaat
Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si anak. Begitu juga
anggota rombongan yang lain.
“Ternyata
anak ini punya daya ingat yang kuat….” kata Ageng Musalamat dalam hati.
“Aku yang
baru berusia empat puluh tahunan terkadang sering-sering lupa pada hal-hal yang
belum lama terjadi. Hemm…. “ Ageng Musalamat tertawa lebar.
“Apakah
kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota ini?”
Ki Hok
Kui menggeleng.
“Saya
tidak punya saudara tidak punya sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak
terlantar dipimpin seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah
tiga kali naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?”
Ageng
Musalamat tertawa gelak-gelak.
“Gurumu
itu pasti ulama hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan
pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini….” Ageng Musalamat tepuk-tepuk
bahu Ki Hok Kui.
“Anak
gagah, apakah kau akan menyertai rombongan kami ke Kotaraja?” Si anak
mengangguk. “Kalau begitu kita berangkat sekarang….” “Kan-jieng dan rombongan
silahkan berangkat duluan. Nanti saya menyusul….” “Eh, memangnya kau hendak
kemana Hok Kui?” tanya Ageng Musalamat pula.
Si anak
menunjuk ke langit.
“Matahari
sudah tinggi Kan-jieng…. Saya belum sembahyang Zuhur.” Ageng Musalamat
terkejut.
“Astagfirullah,
semoga Tuhan mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum
sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar…. Hok Kui, apakah
ada mesjid di sekitar sini?”
“Tidak
ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan besar yang
ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya banyak untuk wudhu….”
“Kalau
begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang berjamaah di tempat yang kau
katakan itu.” Ki Hok Kui membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan dipegangnya
lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah bangunan besar yang terletak tak
jauh dari sana.
*******************
Walaupun
rombongan mengendarai beberapa kereta dan gerobak serta ada pula yang
menunggangi kuda, namuh cuaca yang buruk membuat mereka tidak bisa bergerak
cepat. Satu hari menjelang sampai di Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan
berkemah di dekat sebuah telaga kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya
sebenarnya ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta dan gerobak
serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari suntuk berjalan
terus menerus.
Di dalam
kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang sunat dan bersiap-siap untuk
merebahkan diri di atas sehelai tikar permadani mendadak telinga Ageng
Musalamat mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan.
Tak lama
kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. Ageng Musalamat yang satu
kemah dengan penterjemah Bu Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai
di luar dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang
menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang kuda. Selain
mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang kuda ini juga memakai kain
hitam penutup wajah masing-masing. Di belakang punggung mereka kelihatan
tersembul ujung gagang pedang.
Mereka memiliki
rambut hitam lebat. yang dikuncir di atas kepala. Anehnya rambut di sebelah
atas ikatan kuncir berwarna kuning keemasan.
“Kami
datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari seberang!”
Penunggang
kuda di sebelah kiri depan berseru. Tidak seperti enam temannya, dia
satu-satunya yang mengenakan mantel merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan
rombongan tak dikenal itu. Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang
diucapkan orang itu.
“Ini
aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya mencariku?” bisik Ageng
Musalamat.
“Sebentar
lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan utusan Raja tengah
melangkah ke hadapan penunggang kuda bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng
berikan jawaban.
Lu Liong
Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian merah dan mempunyai
kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta memiliki kepandaian silat melangkah ke
depan kuda tunggangan si mantel merah.
“Aku Lu
Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari tanah Jawa. Tamu Raja tidak
boleh diganggu. Jika kau ada keperluan harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu
harap beritahu siapa kalian adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang
harap kau memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara
denganku!” Orang bermantel terdengar mendengus.
“Lu Liong
Ong!” orang ini keluarkan suara lantang.
“Kami
tahu kau pejabat tinggi salah satu orang kepercayaan Raja! Karena kami
menghormatimu maka kami tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian
orang-orang Kerajaan!”
“Aku
minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam orang anak buahmu lekas
kau perintahkan untuk melakukan hal yang sama!” Kembali orang bermantel
mendengus di balik kain hitam penutup mukanya.
Dia
memandang berkeliling pada enam orang anak buahnya. Lalu masih duduk di atas
kuda orang ini kibaskan mantel merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu
Liong Ong membuatnya agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan atur
kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh sambaran angin
mantel yang hebat itu! Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat
dari punggung kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang dulu ke
atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak tanah tidak sedikit
suarapun terdengar.
Rupanya
orang ini sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua
orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang diketahuinya memiliki
kepandaian tinggi.
“Hemm….
Orang ini sengaja memamerkan ginkangnya,” membatin Lu Liong Ong. (ginkang =
ilmu meringankan tubuh)
Enam
penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun dari tunggangan
masing-masing. Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata.
“Sekarang
katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan kalian ke sini! Muncul
dengan menutupi wajah dengan kain bukan tindakan orang-orang bermaksud baik!”
“Menurut
aturan kami tidak layak memberitahu siapa kami adanya. Tapi mengingat kau
adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit berlaku murah. Kalau kami sudah
memberitahu harap kau jangan banyak cingcong lagi!”
“Katakan
saja langsung siapa kalian!” kata Lu Liong O.ng menahan jengkel.
“Kami
utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas. Kami datang untuk menjemput
pimpinan orang-orang yang datang dari Jawa…” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu
dari beberapa partai besar di daratan Tiongkok)
Terkejutlah
semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu. Ageng Musalamat sendiri
walau tetap berlaku tenang namun wajahnya jelas berubah. Dia segera minta
keterangan pada penterjemah Bu Tjeng.
“Orang-orang
itu bermaksud menjemputmu… Itu istilah halusnya. Sebenarnya mereka hendak
mengambilmu secara paksa….”
“Mau
menculikku?!”
– == 0O0
== –
*******************
SEPULUH
SI
PENERJEMAH, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan.
“Tapi
mengapa? Siapa mereka sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat.
“Selama
beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu pengurus tinggi Partai
Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus partai terjadi satu perselisihan besar.
Paderi itu memutuskan meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan
dia ikut serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun dan
mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama Perkumpulan Kuncir Emas. Dari
satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu kawasan pemukiman besar.
Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka
akan membentuk sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami
Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka sering melakukan
perampokan dan pembunuhan walau yang mereka rampok dan bunuh adalah orang-orang
kaya pelit atau pejabat-pejabat yang diketahui melakukan korupsi.”
Lu Liong
Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu bertanya.
“Apakah
Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa maksudnya menjemput tamu kami yang datang
dari Jawa itu?”
Lelaki
bermantel merah kembali tertawa pendek.
“Kami
bukan anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal yang
tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami datang untuk
menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia keluar!”
“Selama
orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja maka tidak ada satu orang
lainpun boleh memintanya! Aku sudah tahu apa kata-kata menjemput yang kau
sebutkan! Kalian sebenarnya hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau
menculik tamu Raja!”
“Kalau
kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan orang itu pada kami?!”
“Aku
perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan tempat ini!” bentak Lu
Liong Ong.
“Lu Liong
Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap hormat terhadap kalian
orang-orang Kerajaan dan tidak ingin mencari urusan. Tapi jika kau berani
menampik permintaan Lo Sam Tojin maka itu adalah satu penghinaan besar yang
harus kau bayar dengan mahal!” Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak
tadi dirangkapkan di depan dada.
“Kami
memang sudah lama mendengar dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang
Perkumpulan Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik.
Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada Lo Sam Tojin.
Jika dia tidak segera membubarkan perkumpulannya maka pasukan Kerajaan akan
datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada
satu putusan pengadilan baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!”
Orang
bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya ikut-ikutan tertawa.
“Lu Liong
Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi mulutmu lebih besar dari
kedudukanmu! Kalau kau menuduh kami ini orang-orang jahat mengapa tidak segera
turun tangan menangkap kami?!”
Ditantang
seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong tetap tenang.
“Saatnya
akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah Pek-hun menumpas habis kalian
semual Kalian masih untung saat ini kami tengah membawa rombongan tamu dari
seberang laut. Jadi sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat
angkat kaki!”
Orang
bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada enam anak buahnya dan
berkata.
“Kawan-kawan,
percuma bicara dengan manusia satu ini! Bereskan dia!” Mendengar kata-kata
pimpinan mereka enam orang berseragam hitam melompat ke depan.
Mereka
menebar demikian rupa hingga Lu Liong Ong terkurung di tengah-tengah. Melihat
kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah. Namun langkahnya tertahan
oleh pegangan Ki Hok Kui. Anak ini mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng
Musalamat berpaling pada Bu Tjeng. Orang ini segera memberitahu.
“Hok Kui
mengkhawatirkan keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah
karena orang itu datang hendak menculikmu.”
Ageng
Musalamat tersenyum.
“Anak
baik! Kau tak usah mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak
berbuat jahat terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rombongan
tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja.”
“Kalau
Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang. Berarti kita akan menonton
satu perkelahian seru!” kata Ki Hok Kui pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng
Musalamat.
Sementara
itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam orang anggota Perkumpulan Kuncir
Emas telah menyerang Lu Liong Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah.
Namun yang diserang adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah
membekal diri dengan ilmu silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika
gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh lawan. Keenamnya
cepat menyerbu kembali. Perkelahian berlangsung hebat. Saat itulah Ageng
Musalamat berteriak pada beberapa orang anak buahnya. Lima anak murid Ageng
Musalamat, yang memiliki kepandaian tinggi segera melompat masuk ke dalam
kalangan perkelahian.
Melihat
ini Lu Liong Ong berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng Musalamat dan
berkata.
“Pimpinan
kami meminta agar kau menyuruh mundur lima orang itu!”
“Tapi dia
dikeroyok secara curang!” jawab Ageng Musalamat.
“Tak usah
khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi mereka. Lagipula beberapa orang
anggota prajurit Kerajaan yang ada di antara kami akan membantu!”
Mendengar
ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa menyuruh murid-muridnya mundur.
Bersamaan dengan mundurnya mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke
tengah kalangan. Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka kini
keadaan jadi terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan. Perkelahian tangan
kosong berjalan seru. Walau dikeroyok begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu
bertahan bahkan dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok
pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan seranganserangan balasan.
Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua orang tergelimpang muntah darah
akibat dimakan tendangan lawan. Lu Liong Ong kertakan rahang.
Otaknya
yang cerdik serta matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan
barisan pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke salah
satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan. Lawan pertama terkapar di
tanah dengan leher patah akibat hantaman pinggiran tangannya yang sekeras besi.
Sesaat kemudian korban kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh
tepat di depan lelaki bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak
tak berkutik lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat tendangan kaki
kanan Lu Liong Ong. Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang
mendapat semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan Kuncir
Emas.
Dua orang
yang masih tinggal walau kini menghadapi lawan yang jauh lebih banyak namun
mereka tidak menjadi takut. Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti
kalap keduanya menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah yang tak mau
melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan melompat ke
tengah kalanggn perkelahian. Dia sempat merobohkan dua prajurit yang menyerang
anak buahnya hingga mencelat mental dan menemui ajal dengan kepala pecah!
“Tahan!
Lu Liong Ong aku lawanmu!” Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.
“Korban
sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas kau harus bertanggung jawab!
Atas nama Kerajaan lekas menyerah dan berlutut!”
“Pejabat
jahanam! Makan dulu tanganku ini!” bentak si mantel merah. Tapi dia tidak
mengirimkan jotosan atau pukulan.
Tangan
kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya.
“Wussss!”
Mantel
itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam kegelapan malam. Angin deras
menghantam ke arah Lu Liong Ong.
“Orang
itu memiliki tenaga dalam tinggi,” membatin Ageng Musalamat yang menyaksikan
jalannya perkelahian dan melihat bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung
hampir jatuh.
Selagi
dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan lancarkan satu
jotosan ke pelipis kirinya! Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk
menangkis.
“Bukkkk!”
Dua
lengan saling beradu. Entah karena kedudukan kedua kaki Lu Liong Ong yang belum
kokoh, entah karena keadaan tubuhnya yang miring atau entah karena lawan
memiliki tenaga yang lebih kuat, beradunya dua lengan itu membuat pejabat
Kerajaan itu terjatuh keras ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit lawan
bermantel mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang rusuknya. Lu Liong
Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi tendangan lawan akan
menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu Liong Ong, gulingkan tubuhnya.
Si mantel
merah tersaruk ke depan namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu
Liong Ong membuat gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu
melesat ke atas. Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong berkelebat ke
arah si mantel merah. Inilah jurus silat bernama soan hong liap in yang berarti
“angin berpusing mengejar awan.”
Orang
bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki kanan lawan menderu ke
arah lehernya. Ini benar-benar merupakan serangan mematikan. Dia cepat melompat
hindarkan diri. Meski serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia masih
kurang cepat. Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya mencelat
sampai dua tombak lalu tergelimpang di tanah. Ageng Musalamat mengira paling
tidak tulang bahu si mantel merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri.
Namun apa yang terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si
kuncir emas itu. Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang ini melompat
bangkit. Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika melihat lawannya tidak cidera
malah masih sanggup berdiri dan melangkah ke arahnya.
“Lu Liong
Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya sedikit. Nyawamu hanya tinggal
beberapa kejapan saja!”
“Manusia
sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu kemari untuk mencari mati!”
Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor.
Lalu didahului
bentakan keras tubuhnya berkelebat. Sinar merah mantelnya bertabur. Lu Liong
Ong merasa kedua matanya perih. Ada hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat
dia tidak dapat melihat apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar
datangnya serangan. Dengan cepat dia melompat ke kiri.
“Bukkkkk!”
Lu Liong
Ong mengeluh tinggi. Mantel merah menghantam punggungnya hingga tak ampun lagi
pejabat Kerajaan ini terpental ke depan. Untung dia masih sempat menggapai roda
sebuah gerobak hingga tak sampai jatuh ke tanah.
Namun
baru saja dia membalikkan badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong
tersandar ke badan gerobak. Dadanya seolah remuk. Napasnya sesak. Sewaktu dia
coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya. Beberapa orang
anak buahnya berseru kaget melihat kejadian ini. Saat itu si mantel merah sudah
berkelebat lag!. Tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan
kirinya menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti
patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!.
Ketika si
mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di udara malam, melewati
kepala beberapa orang yang ada di tempat itu, melesat satu bayangan putih.
Tahu-tahu si mantel merah merasakan ada satu tangan memegang bahu kirinya.
Mendadak sontak tangan kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa
digerakkan iagi. Bersamaan dengan itu di belakangnya ada satu suara menegur
dalam bahasa yang tidak dimengertinya.
“Orang
gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan perkelahian. Lawan dalam keadaan
tidak berdaya. Tak ada untungnya bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong….” Si mantel
merah berpaling. Pandangannya membentur wajah Ageng Musalamat yang memandang
tersenyum padanya.
“Kau
pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu…” Ageng Musalamat masih
tersenyum.
Tidak
menjawab karena memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah.
Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi diucapkan Ageng
Musalamat. Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat
berkata.
“Paman Bu
Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu saling bicara dalam bahasa yang
mereka tidak mengerti satu sama lain!”
“Kau
benar!” kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara Lu Liong Ong dan si
mantel merah yang masih mencekal si pejabat tapi tak sanggup meneruskan
maksudnya membunuh orang itu.
Ageng
Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat
menterjemahkan.
“Orang
ini memintamu agar melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya
membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin hingga kau
diutus untuk menjemputnya?” Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan
mengendur amarahnya.
Sepasang
pandangan mata lembut Ageng Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan
jambakannya pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah
setengah sadar setengah pingsan. Beberapa orang prajurit segera menggotongnya
ke tempat aman.
“Orang
asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin ingin bertemu denganmu. Itu
sebabnya dia mengutusku untuk menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun
tempat kediamannya.”
“Ah,
Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum pernah bertemu tapi telah
sudi mengundangku datang ke tempatnya. Kau kembalilah ke danau Pek-hun.
Sampaikan salam hormatku pada Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat
ini aku sedang menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi
izin aku akan datang sendiri menyambanginya di lembah itu…” Habis berkata
begitu Ageng Musalamat membungkuk memberi hormat.
Ketika
dia hendak membalikkan badan si mantel merah berseru.
“Orang
asing! Tunggu!” Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng Musalamat.
“Peraturan
di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras. Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan
sesuatu dan tidak berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan
memisahkan kepalaku dari tubuhku!” Sepasang alis mata Ageng Musalamat
berjingkat ketika dia mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu
Tjeng.
“Jika kau
tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan, mengapa tidak keluar saja?”
“Itu
lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan seluruh keluargaku!”
“Ah…
Rupanya susah juga hidup ini bagimu…” kata Ageng Musalamat sambil usap-usap
dagunya.
“Sebelum
pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku…”
“Hemmm,
aku ingin mendengarkan….”
“Katanya,
jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun maka sebagai gantinya aku harus
mendapatkan keris emas yang hendak kau persembahkan pada Raja….” Ageng
Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku membawa keris itu,
pikirnya.
“Rupanya
kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang bisa dipendam di negeri
ini. Aku memang membawa sebilah keris emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku
tidak keberatan menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.”
Beberapa
orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan pimpinan mereka, serentak
menegur keras menyatakan ketidak senangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang
setengah sadar setengah pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa
yang hendak dilakukan Ageng Musalamat.
“Tamu
terhormat Kanjeng…! Jika kau serahkan keris itu padanya maka itu adalah satu
penghinaan besar bagi Raja dan rakyat Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah
berteriak lalu perlahan-lahan jatuh terduduk di tanah.
“Sahabatku
pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir… Lihat saja apa yang akan terjadi,”
kata Ageng Musalamat sambil tersenyum dan kedipkan matanya.
Ageng
Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah mengikutinya. Lalu dia melangkah
menuju kemah. Hampir semua orang yang ada di tempat itu mengikuti. Sampai di
dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng Musalamat menunjuk pada sebuah
peti kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas tumpukan barang.
“Buka
penutup peti dan lihat isinya…” Ageng Musalamat berkata pada si mantel merah.
Bu Tjeng
cepat menterjemahkan ucapan Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu.
Agaknya dia khawatir orang akan menjebaknya. Namun setelah melihat Ageng
Musalamat memandang tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera
dekati peti kayu jati berukir itu. Dia ulurkan tangan membuka penutup peti.
Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar. Si mantel merah
lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak tangan kiri.
“Apakah
benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?” tanya Ageng Musalamat.
Si mantel
merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu Tjeng. Ageng Musalamat kembali
bicara. Bu Tjeng kembali menterjemah.
“Kau
boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi dan menyerahkan pada Lo Sam
Tojin.”
”Ah….
Terima kasih… terima kasih…” kata si mantel merah sambil membungkuk berulang
kali.
Dia tidak
menyangka kalau orang akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti
kayu cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat peti
dari tumpukan barang. Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel
merah yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya terhuyung ke
depan. Peti kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit itu seperti berubah
menjadi sebuah batu besar yang amat berat. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga
tetap saja dia tak sanggup bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan
tangannya menjadi panjang. Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia
kerahkan tenaga dalam.
“Krakk!
Kraaak!”
Si mantel
merah menjerit keras. Sambungan tulang bahunya kiri kanan tanggal dari
persendian. Peti kayu lepas dari pegangannya dan bukkk! Peti jatuh menimpa
kakinya. Kasut yang melindungi kakinya berlubang besar. Tulang kakinya remuk
dan kasut itu tampak merah tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel
merah menjerit berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.
Ageng
Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi keris sakti. Lalu dengan tangan
kirinya dipegangnya bahu si mantel merah.
“Katakan
pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup membawa keris daiam peti ini.
Mungkin senjata ini tidak berjodoh dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang…“
Si mantel merah hendak berteriak marah.
Tapi
ketika dilihatnya orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti
ada sinar aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa banyak
bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah.
– == 0O0
== –
*******************
SEBELAS
MALAM
pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng Musalamat dibawa ke istana Raja.
Sebelum jamuan makan malam yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan
serta undangan khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng
Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada Raja. Sebagai
balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang terbuat dari batu giok berwarna
hijau pekat. Tasbih itu bukan tasbih biasa karena mampu menolak racun serta
memiliki kekuatan besar.
Perjamuan
itu menjadi semarak karena dipertunjukkan berbagai tarian dari beberapa
propinsi. Menjelang tengah malam, perjamuan baru selesai dan rombongan diantar
ke tempat bermalam yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana.
Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa tempat berpemandangan
indah.
Pada
malam ketiga sesuai yang telah diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan
lagi di sebuah gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk
perunjukan kepandaian silat. Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja, tapi
beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan Pengawal Raja dan Kepala
Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir. Lu Liong Ong sendiri tidak
kelihatan karena kabarnya masih dalam perawatan akibat perkelahian dengan anak
buah Lo Sam Tojin tempo hari. Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat
tangan kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan akrobat.
Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti memperlihatkan kebolehan
mereka. Bagian ketiga yang merupakan bagian penutup adalah pertandingan
persahabatan antara pihak tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa.
Agaknya
dalam rangka persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak berani
menurunkan tangan keras. Walau begitu pertandingan itu berjalan cukup seru dan
tidak henti-hentinya mendapatkan sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir.
Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara malam itu tiba-tiba
sebuah benda kuning melesat di udara lalu menancap di atas panggung. Ketika
semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu
tombak yang pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada
bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar berupa kunciran
rambut. “Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang mengenali.
Tempat itupun menjadi gempar. Belum berhenti getaran besi bendera yang menancap
di lantai panggungm belum reda suara gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba
terdengar suara tawa mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu
berkelapkelip.
“Braakk!”
Loteng di
atas panggung ambruk. Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak tepat
di samping kanan bendera kuning.
“Lo Sam
Tojin!” beberapa orang yang duduk di barisan depan sampai terlonjak dari kursi
masing-masing saking kagetnya.
Ageng
Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja merasa
berdebar. Kedua matanya memandang tak berkesip pada orang yang di atas
panggung. Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek mengenakan jubah
paderi berwarna serba hitam. Mukanya berwarna kuning muda. Sepasang alis,
bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya
yang kurus tinggi membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk
dipandang. Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan. Di tangan
kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna kuning.
“Apakah
kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan masing-masing?!” Tiba-tiba Lo
Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa
mengekeh.
“Tak ada
yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari kebodohan masing-masing!”
seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa bergelak-gelak.
Seseorang
berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan depan tegak dari kursinya
lalu membentak. Orang ini adalah Suma Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal
Istana.
“Lo Sam
Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas turun dari panggung dan
tinggalkan tempat ini!”
“Ah…!
Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh semua!” Lo Sam Tojin
menjawab.
“Apa
maksudmu?!” sentak Suma Tiang Bun dengan mata mendelik.
“Beberapa
hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong sesumbar jual omongan besar mau
menyerbu kediamanku di lembah Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang
she Lu itu? Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh
kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal bernama Suma
Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk berlalu. Ha… ha… ha…!”
Merah
padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu. Dia cepat memandang berkelliling
dan siap berteriak pada para pengawal untuk memberi perintah agas segera
menangkap Lo Sam Tojin tapi alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat
tidak satupun anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding
ruangan kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah
tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala! Di atas panggung Lo
Sam Tojin kembali tertawa mengekeh.
“Jenderal
Suma!,” teriak Lo Sam Tojin, “kau tak usah khawatir. Semua anak buahmu berada
di gudang belakang. Semua tertidur pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua!
Ha… ha… ha…!”
Terkejutlah
Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin itu. Dia cepat berpaling pada
seorang lelaki gemuk pendek yang tegak di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal
Tjia, Kepala Balatentara Daerah Timur.
“Jenderal,
aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan. Lucuti semua anggota Kuncir Emas
yang ada di tempat ini. Aku akan menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!”
Jenderal Tjia mengangguk.
“Hati-hati
Jenderal Suma. Lo Sam Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung
membantumu begitu selesai menyusun kekuatan!” Begitu Jenderal Tjia bergerak.
Suma
Tiang Bun berkelebat ke atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan
ejekan.
“Ha… ha…!
Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal Suma! Kau mengenakan pakain bagus
dan mewah. Aku Cuma memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh,
pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha… ha… ha..!”
“Tojin
sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan terakhir kepadamu.
Tinggalkan tempat ini!”
“Ho… ho!
Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi mencari orang lain! Sebelum aku
menemukan orang itu jangan harapa aku akan minggat dari sini!”
“Kau akan
menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan mengurung tempat ini. Kau dan anak
buahmu tak bakal bisa keluar hidup-hidup dari sini!”
“Heemm…
begitu?!” dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan jelalatan kian kemari.
“mari
kita main-main sebentar. Sudah lama aku tidak mengukur sampai dimana tingkat
kepandaian seorang Jenderal sepertimu!”
“Kalau
kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak akan sungkan-sungkan lagi!”
kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke depan melancarkan serangan.
“Ha… ha!
Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!” ejek Lo Sam Tojin. Lalu sapukan
tongkat besinya ke depan. (Ouw liong cut tong = Naga hitam keluar goa).
Jenderal
Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar Lo Sam Tojin menyebut nama
jurus serangan yang dilancarkannya. Sebenarnya ini bukan satu hal yang
mengherankan. Jenderal Suma dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat
gemblengan Kun Lun Pay. Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang
sesepuh itu. Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai.
“Jenderal
Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh mengherankan, Raja mau mengangkatmu
jadi Kepala Barisan Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi
seranganmu dengan jurus yang sama!” Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu
sisipkan tongkat besi kuningnya.
Ketika
serangan lawan berupa jotosan keras siap melabrak dadanya Lo Sam Tojin
berteriak keras.
“Jurus
ouw liong cut tong sejati!” Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun
semua orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan paderi
melancarkan serangan tahu-tahu…
“Buukkk!”
Jenderal
Suma terpental satu tombak ke belakang. Dari mulutnya terdengar erang
kesakitan. Ketika dia memperhatikan tangan kanannya ternyata tangan itu telah
membengkak merah. Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi
amarah tak mampu dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia melompat ke
depan. Kini terjadi perkelahian seru. Lima jurus Jenderal Suma Tiang Bun
merangsek lawannya dengan seranganserangan ganas.
Tapi Lo
Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang. Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma
keluarkan seluruh kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang
besar berkelebat mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin berseru keras
ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan serangan lawan. Kini dia tidak
menyerang dengan sepasang tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk
mengebut gempuran lawan.
“Wuuss…!
Wuuss…!”
Dua larik
sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah hitam sang paderi. Sinar di
sebelah kanan berhasil dielakkan Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari
arah kiri menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini
terpental. Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar keras. Dari
mulutnya ada darah meleleh. Sang Jenderal menderita luka dalam yang cukup
parah.
“Paderi
keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik ini juga!” kertak Suma Tiang
Bun.
“Srett!”
Dia cabut
pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia menggerakkan tangan maka sinar
putih bertabur menyambar ke leher Lo Sam Tojin. Si kakek ganda tertawa.
Tangannya bergerak ke pinggang. Selarik sinar kuning berkiblat.
“Traangg!”
Bunga api
memercik di atas panggung ketika pedang Suma Tiang Bun beradu keras dengan
tongkat besi Lo Sam Tojin. Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah
cidera maka genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu
bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental. Di atas
pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke udara. Semua orang terkesiap
ketika melihat bagaimana pedang Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara,
laksana disedot, melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning.
Dengan cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa mengekeh.
“Jenderal
Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang milikmu sendiri! Bersiaplah untuk
menghadapa Giam lo ong! Ha… ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut).
Jenderal
Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang dengan melompat ke
belakang. Dia menyambar sebuah jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang
kembali membabat dia menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat
dari porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam Tojin
menderu dari atas ke bawah, mengarah batok kepala Jenderal Suma. Rupanya tojin
ini benar-benar hendak membuktikan katakatanya yaitu ingin membelah tubuh sang
Jenderal! Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan Kerajaan
yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua puluh orang anak buah Lo
Sam Tojin.
Walau
mereka berjumlah lebih sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian
tinggi dalam waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal
Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut mengancam Jenderal Suma
segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya melayang di udara dia
lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Lo Sam
Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu merasakan ada sambaran angin
menyerang ke arah sepuluh jalan darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan
bacokannya ke kepala Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar
kuning bertabur. Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia. Orang
gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke bawah panggung.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh terbanting di lantai,
tombak besi di tangan Lo Sam Tojin tahutahu melayang. Demikian cepatnya sambaran
tongkat besi ini hingga Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi
menancap di ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar.
Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di tangan Lo Sam Tojin siap pula
membelah kepala Jenderal Suma!
– == 0O0
== –
*******************
DUA BELAS
SESAAT
lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan kepala terbelah tiba-tiba dari
bawah panggung, dari barisan kursi paling depan melesat satu bayangan putih.
Bersamaan dengan itu ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang
membuat kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih sanggup
meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset jauh, tak dapat membelah kepala
Jenderal Suma melainkan hanya membelah angin. Satu tangna kemudian menarik
leher pakaian Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam
Tojin. Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak buah
Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama hentikan pertempuran dan
memandang ke atas panggung. Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki
tinggi tegap mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia
memegang seuntai tasbih.
“Tamu
asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!” seseorang berseru.
Suasana
menjadi gempar sesaat namun segera sirap. Semua mata ditujukan ke atas
panggung. Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa diam kini
terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang berjubah putih di
hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin
usap-usapkan tangan kirinya ke dagu. Pedang di tangan kanan tiba-tiba
dihunjamkan ke bawah hingga menancap di lantai panggung.
“Dicari
susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat ini muncul di hadapanku!
Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa yang katanya memiliki kepandaian
tinggi, datang membawa sebilah keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha… ha…
ha!”
Karena
tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng Musalamat hanya tersenyum dan
membungkuk. Sang paderi makin keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak
menendang ke arah badan pedang yang menancap di lantai panggung.
“Desss!”
“Wuuut!”
Pedang
yang menancap melesat ke atas, berputar laksana baling-baling, menyambar ke
arah Ageng Musalamat. Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang
tasbih. Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari Raja
Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang diberikannya
pada Raja.
“Tring..
tring… tring!”
Terdengar
suara berdentringan beberapa kali. Bunga api memijar enam kali berturut-turut.
Ageng Musalamat terkejut dan cepat melompat ketika tangannya yang memegang
tasbih terasa pedih seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan
Kuncir Emas tak kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng Musalamat walau
ditujukan pada pedang yang berputar namun ada hawa aneh yang membuatnya
melangkah mundur terhuyung-huyung. Sementara itu pedang yang kena hantaman
tasbih jatuh berdentrangan di bawah panggung.
“Orang
asing, aku mengagumi kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin seraya membungkuk. Ageng
Musalamat balas menghormat.
“Aku tak
punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke lembah Pek-hun sekarang juga.
Orang sepertimu aku perlukan untuk bantu membangun Partai Kuncir Emas…“
Lalu Lo
Sam Tojin berikan tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat
mengikutinya. Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya. Melihat
ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin. Ke dua tangannya didorongkan ke muka.
Gerakannya perlahan saja. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung
dua lengan jubahnya melesat angin sederas topan. Panggung bergoncang.
Tirai-tirai tebal bergoyang keras bahkan ada yang robek. Di atas panggung tubuh
Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat.
“Jatuh!”
teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga dalamnya.
Mukanya
yang kuning kelihatan seperti mengkerut. Goncangan di tubuh Ageng Musalamat
semakin hebat. Jubah putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan
sambil membungkuk dan mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya
berputarputar kian kemari.
“Jatuh!”
teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi.
Ageng
Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh. Lantai panggung yang
dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia menginjak bara api!
“Kalau
aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang tua bermuka kuning ini
memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus mencari jalan mengalahkannya tanpa
menghinanya!”
Ageng
Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen yang bertebaran di lantai
panggung sebelah kiri. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Tenaga dalamnya
dikerahkan ke kaki kanan. Tiba-tiba kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung.
Laksana senjata rahasia, puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam
Tojin. Selagi Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan
pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan porselen ini
menancap demikian rupa laksana disisipkan dengan hatihati dan rapi hingga tak
ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka ataupun tergores! Kalau saja mukanya
tidak dilapisi cat kuning maka semua orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam
Tojin telah berubah sepucat mayat!
Kakek ini
menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi pasti mampu membunuhnya dengan tusukan
puluhan pecahan porselen itu.
“Orang
asing…” kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar.
“Aku
menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku tidak bias membawamu
ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran
yang kau berikan saat ini cukup membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua
itu…” Lo Sam Tojin membungkuk berulang kali.
Ageng
Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara yang sama yaitu membungkuk pula
beberapa kali. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak
dan!
“Kanjeng
guru! Awas!” Seseorang berteriak dari bawah panggung.
Ageng
Musalamat cepat mengangkat kepalanya. Sebenarnya tadipun dia sudah mendengar
ada suara menderu datang dari depan. Ketika melihat ke depan terkejutlah dia!
Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan di badan melesat
ke arahnya.
“Ular
iblis pencabut nyawa!” teriak beberapa orang di bawah panggung.
Ular
terbang yang diberi julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu adalah senjata
rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo Sam Tojin. Di tempat
penyimpanannya di dalam sebuah kantong di balik pakaiannya lima ular itu tak
ubahnya seperti kayu kaku. Tapi begitu melesat di udara berubah seolah ular
sungguhan. Melesat dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk mematuk
sasaran!
Ageng
Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas lantai panggung. Tasbih di
tangan kanan diputar sebat. Tiga ular beracun lewat di atasnya, menancap pada
tiang kayu panggung. Dua lainnya dihantam hancur dengan tasbih. Lo Sam Tojin
menggereng marah. Dia menerjang ke depan, menyerang dengan ganas dan tenaga
dalam penuh. Lima jari tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak
Ageng Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah menjadi
cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling diandalkan oleh Lo Sam Tojin
yang selama ini tidak satu musuhpun sanggup menghadapinya.
Orang
banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi yang tahu betul akan
keganasan ilmu yang dimiliki Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat.
Mereka tidak bisa menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka
terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai. Tapi apa yang terjadi kemudian
membuat semuanya secara tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir
berbarengan. Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng Musalamat berubah
menjadi kepala seekor harimau putih. Selagi dia tertegun kecut lawan telah
melompat ke hadapannya. Ageng Musalamat merasakan terjadi keanehan atas
dirinya. Sepasang tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya.
Tasbih
dalam genggamannya menderu menabur sinar angker. Dia mendengar suara
bergedebukan berulang kali. Lalu…
“Praaakkk!”
Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk.
Tubuhnya
terpelanting namun sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur. Sepasang
matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan darah. Hidungnya remuk sedang
mulutnya pecah! Tapi hebatnya kakek ini masih mampu berdiri walau kini
kepalanya kelihatan miring. Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng
Musalamat hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda merah. Ageng Musalamat
jadi mendidih amarahnya. Tapi sikapnya tetap tenang. Ketika lawan berusaha
menyergapnya dengan satu serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan
menderu ke depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi ini
terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai panggung, kaki kanan
Ageng Musalamat mendarat di dagunya. Darah menyembur.
Tubuh Lo
Sam Tojin mencelat ke bawah panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak
berkutik lagi, tidak bernapas lagi!
“Lo Sam
Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!” teriak beberapa orang.
Tempat
itu menjadi gempar. Beberapa orang anggota Kuncir Emas yang tahu bahaya secepat
kilat ambil langkah seribu menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang.
Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah. Tadi sewaktu dia membungkuk
dan tidak sempat melihat datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa,
seorang di bawah sana berteriak mengingatkannya.
“Kanjeng
guru! Awas!” Dia kenal suara itu.
Dia
merasa telah ditolong dan diselamatkan. Pandangan Ageng Musalamat membentur
sosok Cagak Guntoro, murid yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah
yang berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit.
“Berarti…
Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam
hati.
– == 0O0
== –
*******************
TIGA BELAS
KEMATIAN
Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas menggegerkan daratan Tiongkok
kawasan timur. Di pegunungan Kun Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta
besar atas kematian orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima
orang utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Mereka
membawa hadiah-hadiah besar dan menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng
Musalamat suka berkunjung ke markas mereka. Dengan sangat hati-hati Ageng
Musalamat menolak menerima hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada
kesempatan akan menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun. Namun
utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musalamat mau menerima hadiah
itu. Setelah saling bersitegang akhirnya Ageng Musalamat mengalah. Namun semua
hadiah kemudian disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti
asuhan di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui tinggal.
Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja meminta Ageng
Musalamat datang. Kepadanya Raja menghadiahkan satu daerah subur tak jauh dari
Hsin Yang.
Di situ
dibangun belasan rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya
selama mereka suka. Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi Ageng
Musalamat namun dengan halus kedudukan bagus itu ditolaknya. Lama kelamaan
tempat kediaman Ageng Musalamat semakin berkembang luas hingga menjadi satu
kota kecil dimana hampir semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam
rimba persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu nama
besar. Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang pandai bahkan pihak
Kerajaan yang mampu mengalahkan atau menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat
disejajarkan ketinggian ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok
pada masa itu. (kang-ouw = dunia persilatan)
Diam-diam
beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng Musalamat dengan maksud agar orang
sakti ini mengajarkan kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih
suka memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di sini dia
membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu bertambah. Ki Hok Kui
termasuk salah seorang murid yang paling disukai dan dipercaya Kanjeng Sri
Ageng Musalamat. Anak yang cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya
itu, tapi juga dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa. Sampai dua
tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur yang ditinggal Jenderal
Tjia masih tetap lowong. Untuk sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh
Jenderal Suma Tiang Bun.
Namun
entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja akan mengangkat Ageng
Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur itu. Tanpa
melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu Jenderal Suma terlanjur merasa
jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri Ageng Musalamat karena menganggap orang
ini bisa merampas kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin
dipertahankannya. Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu demi
satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting bergabung dengan dia untuk
tidak menyukai Ageng Musalamat yang bagaimanapun juga adalah orang asing.
Tindakan Jenderal Suma tidak sampai disitu saja. Dia berkali-kali menghadap
Raja untuk memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng Musalamat. Ageng
Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak orang-orang tertentu tidak suka
padanya. Namun dia tidak ambil perduli. Sikapnya pada orang-orang yang
membencinya itu biasabiasa saja. Dia lebih memperhatikan pengembangan kota
kecilnya yang melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang.
Akhirnya
keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang. Setelah
bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah perlahan-lahan mengikis rasa
rindu terhadap tanah Jawa. Bahkan akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang
penduduk asli seagama. Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak
buahnya. Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat lagi dikatakan
kota kecil. Sebagian penduduknya hidup dari bertani dan sebagian lainnya
mencoba berdagang.
Nama kota
Hsin Yang menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Jumlah
pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya ratusan tapi sampai
ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang telah dibebaskan dari hukuman sejak lima belas
tahun lalu hidup berbahagia dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura
menempuh jalan berbeda. Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering mengelana
sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat pada penduduk setempat.
Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin Yang membentuk satu
kekuatan besar yang lambat laun membuat para penjahat tinggi di Kotaraja merasa
kurang enak. Ketidak enakan ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
TANPA
terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat bermukim di Tiongkok. Selama
berumah tangga sayangnya dia tidak dikarunia anak. Karena itu rasa kasih
sayangnya banyak tercurah pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh
dikatakan selama dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan.
Pada saat
dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng Musalamat berhasil
diserapnya. Bahasa Jawanyapun tak kalah medok dengan orang-orang yang datang
dari tanah Jawa itu. Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu
kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari dia
dipanggil ke istana. Ternyata satu pertemuan penting yang dihadiri oleh
pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah diatur.
Dalam
pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng Musalamat diangkat menjadi
Tikoan berkedudukan di Hsin Yang dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya.
Sekali ini Ageng Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu.
(Tikoan = jabatan sederajat Bupati) Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng
Musalamat menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang
yang tidak menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang pernah
diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat maka disusunlah satu fitnah besar
untuk menjatuhkan Tikoan baru itu.
“Heran,”
kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya.
“Ilmu
pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali memberi tahu
Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan berbahaya. Eh malah Raja
mengangkatnya menjadi Tikoan….”
Seorang
perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan berdandan mencolok memegang bahu
Jenderal Suma. Dia adalah salah seorang tokoh silat istana yang berhasil
ditarik Jenderal Suma Tiang Bun ke dalam kelompoknya.
“Untuk
menjatuhkan batu karang, ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa
kita jatuhkan dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah
bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan banyaknya itu
bersumpah untuk membalas dendam kematian Ketua mereka? Lagi pula aku ada satu
rencana besar yang bisa kita jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat
orang Jawa anak murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak
keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?”
“Hemmm….
Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu Louw Bin Nio?” Perempuan separuh
baya itu tersenyum dan kedipkan matanya dengan genit.
“Jika kau
ingin tahu bukan di sini tempatnya,” jawab Louw Bin Nio sambil memandang pada
orang-orang yang ada di situ.
Mendengar
ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio semua orang yang ada di situ
menjadi maklum. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
“Ikuti
aku,” kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan pinggulnya yang besar.
Perempuan
ini adalah seorang tokoh silat istana yang sejak masih gadis secara diam-diam
telah menjadi kekasih gelap Jenderal Suma. Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke
dalam sebuah kamar. Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma
dengan penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.
“Sudah
berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang Bun…”
“Hampir
dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak sekali akhir-akhir ini….”
“Sekarang
lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas Suma. Cepat buka bajuku dan aku
akan membuka bajumu!” Lalu jarijari tangan Louw Bin Nio bergerak.
Dia bukan
membuka pakaian Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu.
Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa memuaskannya
dengan hubungan badan yang aneh-aneh sementara istrinya yang gemuk di rumah hanya
merupakan sosok dingin sedingin salju di puncak Thay San.
– == 0O0
== –
*******************
EMPAT BELAS
SALAH
satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan untuk bertahan terhadap
godaan. Sejak Adam tergoda oleh setan hingga memakan buah larangan lalu bersama
Hawa diusir dari Taman Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi
manusia, menggoda agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri
Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan
terhadap hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke lima
Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana.
Malam itu
entah mengapa, sewaktu hasutan setan menghantuinya, dia tidak berdaya melawan.
Semakin dilawan semakin keras dorongan untuk ingin mengetahui apa sebenarnya
yang ada di halaman ke lima dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan
bimbang akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak
sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri. Dari balik jubah putihnya
dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya
gemetar. Tengkuknya mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya
ditutupnya kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya.
“Kanjeng
Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau tidak disuruh merenangi
lautan api atau mendaki gunung batu membara. Apa susahnya membalik halaman
kitab itu? Jangan mau dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau
menjadi penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi sekarang
kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin dia mengetahui. Sekali kau
membuka halaman ke lima kitab sakti itu, dunia persilatan berada di tanganmu.
Raja Tiongkok kelak akan memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu…” Ageng
Musalamat menggigit bibirnya sendiri.
Berkali-kali
dia menarik napas dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan kanannya walaupun
masih gemetar bergerak membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa! Begitu
halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka, terpentanglah sepasang mata
Kanjeng Sri Ageng Musalamat!
Ternyata
halaman itu kosong!
Tak ada
gambar tak ada tulisan. Dibaliknya halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong!
“Orang
menipuku…“ kata Ageng Musalamat terperangah.
“Datuk
Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan halaman lainnya ternyata
tidak ada apa-apanya!”
Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di kejauhan. Suaranya mengalun
lembut berhiba-hiba lalu menderam suara auman binatang. Ageng Musalamat
tercekat. Parasnya menjadi pucat pasi.
“Datuk
Rao…” desisnya.
Baru saja
dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua kepulan asap putih yang dengan
cepat berubah membentuk sosok tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si
harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao menatap dengan
pandangan rawan pada Ageng Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan
Ageng Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi orang tua
itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin.
“Sayang
sekali… Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Pada saat-saat terakhir
imanmu runtuh! Padahal kau telah mengulang berpuluh kali membaca Sabda Dewa
yang ke delapan. Imanmu tidak sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca
Sabda dewa ke tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak
berpikir mencari manfaat dari pada kualat?!”
“Maafkan
diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku berdosa. Aku akan melakukan apa
saja yang bisa menebus dosa kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah
meratap.
“Mengapa
kau tergoda melanggar pantangan, Ageng Musalamat?”
“Aku
terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula ketika halaman ke lima Kitab
Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apaapanya. Halaman itu kosong!” Datuk Rao
tersenyum.
“Matamu
tidak seperti mata malaikat. Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan
oleh Yang Maha Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!”
Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak dan wajahnya seputih
kain kafan.
“Aku
mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku…”
“Kesalahan
telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan tak ada gunanya Ageng
Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang akan menimpamu. Aku hanya ada dua
pesan terakhir. Pertama hatihatilah. Kedua jangan lupa amanat agar kau
menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!” Datuk Rao
angkat saluang emasnya lalu mulai meniup.
Suara
seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao Bamato Hijau
membuka mulut keluarkan suara auman. Bersamaan dengan sirnanya suara auman
lenyap pulalah sosok asap ke dua makhluk itu.
*******************
Sepanjang
malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa memicingkan mata. Menjelang pagi
ketika sepasang matanya sempat hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar
derap kaki kuda, menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas
sebagai pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.
“Tikoan!
Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!” Ageng Musalamat terduduk di
atas ranjang.
Telinganya
dipasang kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.
“Tikoan
Musalamat! Buka pintu! Cepat!”
“Eh, itu
suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini menggedor pintu. Setahuku
dia berada di timur…” Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang
itu cepat-cepat turun ke bawah.
Begitu
pintu dibuka masuklah muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa
orang pengawal.
”Ada apa
Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?” Ageng Musalamat berpaling pada Cagak
Guntoro.
Muridnya
yang satu ini juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.
“Lekas
tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus diberitahu agar segera
mengungsi!” kata Ki Hok Kui yang kini telah menjadi seorang lelaki gagah
berusia tiga puluh tahun dan telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan
kesaktian Ageng Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa.
“Tinggalkan
kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis minum-minum dan mabok?!” ujar
Ageng Musalamat.
“Demi
Tuhan, Kan-jieng….”
“Katakan
ada apa?!” Ageng Musalamat membentak.
“Pasukan
Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak menyerbu ke sini! Mereka hendak
membunuh kita semua! Hsin Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!”
Paras Ageng Musalamat jadi berubah.
“Bicara
yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru…” Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu
menuturkan,
“Raja
menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng berserikat dengan
orang-orang Mongol untuk meruntuhkan takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat
Jenderal Suma membawa sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja
Mongol ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan serta
siasat penyerbuannya ke Kotaraja….”
“Fitnah!”
teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan dikepal.
“Kan-jieng
tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah.
Celakanya Raja begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara
Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah dua ribu orang
akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kanjieng mencari jalan selamat…”
Ageng
Musalamat gelengkan kepala.
“Bahaya
sebesar apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak Guntoro
lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku tetap di sini. Aku akan
menghadapi Jenderal culas itu!”
”Tapi
Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia membawa enam tokoh silat istana,
dua orang tokoh silat golongan hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang
dikenal dengan julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada
yang melihat Munding Sura bersama Jenderal Suma!”
Terkejutlah
Ageng Musalamat. Dia sudah lama mendengar hubungan gelap Jenderal Suma dengan
Louw Bin Nio. Perempuan satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi dan merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana!
Lain dari
itu dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang dulu begitu dipercayanya
ternyata adalah seorang pengkhianat.
“Seribu
Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat istana boleh muncul di hadapanku
dan seribu Louw Bin Nio boleh unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan
melarikan diri. Aku tidak akan meninggalkan Hsin Yang!” Dari balik pakaiannya
Ageng Musalamat keluarkan Kitab Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki
Hok Kui.
Ternyata
muridnya inilah orang yang paling dipercayanya.
“Hok Kui,
selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat ini!”
“Kan-jieng!”
seru Ki Hok Kui.
“Saya
tidak akan pergi! Saya siap bertempur bersama Kan-jieng!”
“Jangan
berani membangkang Hok Kui!”
“Saya
ingin mati bersama Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui.
“Plaaaakkkk!”
Satu
tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui.
Tamparan
yang dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang rahang manusia.
Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui
hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou atau Harimau Kepala Besi.
“Hok Kui!
Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan kubunuh kau saat ini juga!” teriak
Ageng Musalamat.
Ki Hok
Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju mendatangi dan dengan cepat
memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke dalam baju muridnya itu.
“Kitab
itu lebih berharga dari nyawaku! Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!” Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara menderu seperti air bah mendatangi.
Menyusul
suara tiupan terompet. Paras Ki Hok Kui berubah.
“Astaga!
Saya tidak menyangka balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat…. “
“Lekas
pergi dari sini Kui Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia berpaling pada Cagak
Guntoro dan berkata.
“Bangunkan
istri dan para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh mungkin
dari Hsin Yang.”
Ketika
Ageng Musalamat melihat Hok Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak
marah.
“Kau
tunggu apa lagi?!” Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya air
mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum berkelebat dia berkata.
“Kan
jieng guruku tercinta, saya berdoa untuk keselamatanmu!”
– == 0O0
== –
*******************
LIMA BELAS
PERAHU
kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di dalamnya terbujur satu sosok
tubuh hanya tinggal ku!it pembalut tulang, mengenakan pakaian yang nyaris
hancur. Kulitnya yang tadi putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat
sinar matahari. Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha
mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya menunggu
hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid terpandai dan paling
dipercaya Ageng Musalamat.
Setelah
mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas benar-benar menghancurkan
Hsin Yang dan membantai setiap orang yang mereka temui di kota itu termasuk
gurunya, Ki Hok Kui lalu menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat
amanat sang guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini
dia mendapat beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Dia sudah
selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau dibawa akan dibawa kemana,
kalau diserahkan akan diserahkan pada siapa?
Seperti
mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau berada dalam keadaan sangat
lemah duduk di lantai perahu. Dua matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.
“Pulau..”
desisnya.
Digosoknya
dua matanya dengan rasa tidak percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu
adalah sebuah pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah?
Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di belakangnya.
Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan. Pucatlah paras cekung Ki Hok Kui.
“Astaga!
Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di sini!” Ratusan tombak di
belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan sebuah kapal layar besar. Dari bendera
yang berkibar di tiang utama jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok.
Apa sebenarnya yang telah terjadi? Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan
Hsin Yang dan membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui
terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak diketahui
seluk beluknya. Sewaktu Ki Hok Kui sampai di Nanchang, Jenderal Suma mengetahui
dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui diduga masih hidup. Selain itu sewaktu
tempat kediaman dan mayat Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa
tidak ditemukan.
Munding
Sura yakin kitab itu telah diserahkan oleh Ageng Musalamat kepada Hok Kui untuk
diselamatkan. Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat itu
dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow. Tujuan sang Jenderal
bukan saja untuk mengikis habis semua anak murid Ageng Musalamat tapi juga untuk
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di
Seochow. Di sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil
dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura mempunyai
dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma Tiang Bun. Menurut
pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui melarikan diri menuju tanah Jawa.
Pemburuan di lautpun dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak
begitu memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru mereka berhasil
mengejar perahu Kui Hok. Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya
menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan.
Di
kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya. Dari atas kapal layar lima
buah perahu diturunkan. Masingmasing perahu berisi tiga penumpang. Perahu
terdepan ditumpangi Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat
istana. Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang Jenderal ditumpangi
oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang Pencabut Nyawa)
didampingi dua orang tokoh silat golongan hitam.
Tiga
perahu lainnya masing-masing berisi seorang perwira tinggi Kerajaan dan dua
tokoh silat. Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera terkejar. Lima
perahu besar mengurungnya. Lima belas orang berkepandaian tinggi langsung
menyerang. Ada dengan tangan kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa
orang sengaja melepaskan senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang Pencabut
Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
lihay melancarkan serangan laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil
kiblatkan sebilah golok panjang. Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki
Harimau Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang hebat
tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri. Apalagi keadaannya saat itu
sangat lemah pula.
Jenderal
Suma berulang kali berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa
yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada bajunya. Tapi Hok Kui
pantang menyerah.
“Louw Bin
Nio!” teriak Jenderal Suma yang sudah tidak sabaran.
“Bunuh
bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!”
“Dengan
senang hati kekasihku!” jawab Iblis Terbang Pencabut nyawa.
“Tapi
biar kupesiangi dulu tubuhnya!” Habis berkata begitu perempuan ini melesat ke
atas perahu Hok Kui. Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.
“Crass!
Craass! Crass! Craass!”
Jeritan-setinggi
langit menggelegar keluar dari mulut Hok Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah
membabat buntung dua tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal
paha! Darah membanjiri lantai perahu. Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa
panjang.
Ketika
dia hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok Kui, murid
Ageng Musalamat ini perlaku nekad. Dengan sisa tenaga yang ada tanpa tangan dan
kaki dia gulingkan tubuh, mencebur masuk ke dalam laut!
“Munding
Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik bajunya!” teriak Jenderal
Suma.
Tidak
pikir panjang lagi si pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut.
Justru pada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di atas lima
perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat ketika melihat air laut
mendadak berwarna merah. Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak
keras. Tiga belas orang lainnya sama tersentak kaget.
Ternyata
di sekitar perahu mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.
“Kembali
ke kapal!” teriak Jenderal Suma Tiang Bun.
Empat
perahu cepat dikayuh kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang ditumpangi
Jenderal Suma. Dua ekor ikan hiu besar menabrak perahunya hingga terbalik.
Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang terbalik dari atas perahu segera disambar
belasan ikan hiu! Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan setan.
Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut menyusul Suma Tiang
Bun.
*******************
Di atas
batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak. Sekujur badannya dibungkus
hawa aneh sedingin es. Sepasang matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat
apa-apa. Tiba-tiba
“Wusss!”
Sekujur
tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Lalu
sekali lagi terdengar suara,
“Wusss!”
Dari
kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar terang. Benda ini
melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa dan akhirnya lenyap seolah ditelan
langit malam. Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak menggeliat
lalu bergerak duduk. Dia memandang celingak-celinguk terheran-heran. Kepalanya
dipegang berulang kali. Akhirnya murid Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.
“Aneh,
barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat seorang bernama Kanjeng
Sri Ageng Musalamat. Aku melihat Kitab Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang
Jenderal Cina melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor
bergelar Tjui-bihun… Tjui… Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya dalam bahasa
Cina!” Wiro kembali garuk-garuk kepala.
“Ki Hok
Kui… Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya itu. Dia yang terakhir
sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi dia kecebur masuk ke dalam laut!”
Wiro garuk-garuk kepala lagi dan kembali memandang berkeliling.
Lalu dia
ingat pada Delapan Sabda Dewa. Dan bicara seorang diri. “Delapan Sabda Dewa…
Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu… Batu! Astaga mengapa aku bisa
mengingatnya?!” Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara orang bernyanyi.
Laut
Selatan tak pernah tenang
Gelombang
selalu datang menantang
Ribuan
pagi ribuan petang
Tubuh
lapuk ini menunggu kedatangan
Yang
menunggu tua renta malang
Yang
ditunggu budak malang
Apakah
saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah
ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya
kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan
Agar
tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta.
“Tempat
aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk
kepala dia turun dari batu miring itu dan melangkah ke arah datangnya suara
nyanyian tadi.
T A M A T
No comments:
Post a Comment