Mayat
Kiriman Di Rumah Gadang
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
1
SESUAI
perjanjian yang dibuat para Datuk Luhak Nan Tigo sebelum berpisah di Ngarai
Sianok, Datuk Kuning Nan Sabatang dari Luhak Agam dan Datuk Bandara Putih dari
Luhak Limapuluh Kota selepas sholat Asar telah berada di rumah gadang kediaman
Datuk Panglima Kayo di Batu Sangkar. Turut kepada gelarnya, Datuk Panglimo Kayo
adalah Datuk paling kaya dibandingkan dua Datuk lainnya termasuk Datuk Marajo
Sati. Tidak heran kalau rumah gadang kediamannya berdiri megah bergonjong lima.
(rumah gadang: rumah besar)
Setelah
apa yang terjadi di Ngarai Sianok pagi hari itu, Tiga Datuk pimpinan tiga Luhak
merasa perlu dengan segera merundingkan tindakan apa yang akan mereka lakukan
sesudah Datuk Marajo Sati yaitu yang menjadi Datuk Pucuk atau Datuk Pimpinan
dari Tiga Datuk Luhak Nan Tigo diketahui menyimpan seorang gadis Cina cantik
belia di dalam goa kediamannya di Ngarai Sianok.
Ternyata
Datuk Panglimo belum sampai di rumah gadang.
“Aneh”,
kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Seharusnya Datuk Panglimo Kayo lebih dulu tiba
daripada kita…”
“Mungkin
ada yang dilakukannya lebih dulu sebelum pulang ke sini. Kita nantikan saja.
Mudah-mudahan sebentar lagi beliau datang…” Berujar Datuk Bandara Putih.
Sementara
menunggu kedatangan Datuk Panglimo Kayo, dua datuk tadi duduk bersila di lantai
rumah gadang sambil bercakap-cakap dan menikmati hidangan yang disuguhkan orang
rumah yaitu kopi hangat serta goreng pisang.
“Datuk
Kuning Nan Sabatang, kalau benar Datuk Pucuk Marajo Sati menyimpan gadis Cina
itu di dalam goanya, saya sungguh kecewa, sungguh sedih. Bagaimana mungkin
Datuk Pucuk mau berbuat seperti itu. Istrinya di Koto Gadang yang kemenakan
Datuk Panglimo Kayo selain cantik juga masih muda belia. Datuk juga kita
ketahui taat pada agama, patuh pada adat lembaga. Apa yang kurang…”
“Saya
sendiri sebenarnya juga sangat menyayangkan. Kalau tidak melihat dengan mata
kepala sendiri gadis Cina yang ditemukan dan ditangkap orang-orang itu, rasanya
mana mungkin saya percaya…”
“Yang
sangat terpukul pastilah saudara kita Datuk Panglimo Kayo,” ucap Datuk Bandaro
Putih dari Luhak Lima Puluh Kota. “Kita tahu benar riwayat bagaimana sampai
Gadih Puti Seruni kawin dengan Datuk Marajo Sati.
Kalau
tidak Datuk itu yang bersikeras memaksakan kehendak mungkin hal itu tidak
kejadian. Kita juga tahu bagaimana kemudian ayah Puti Seruni jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia karena perkawinan itu sebenarnya tidak disetujuinya.
Tapi dia seperti tidak berdaya, tidak bisa berbuat suatu apa karena Datuk
Panglimo Kayo adalah mamak Puti Seruni. Kadang-kadang saya berpikir-pikir, jika
tumbuh baik ya baik hasilnya. Tapi jika tumbuh keliru saya merasa kuasa seorang
mamak di negeri kita ini seperti berlebihan…”
Setelah
terdiam beberapa ketika Datuk Kuning Nan Sabatang mengusap wajah lalu menjawab.
“Sebenarnya adat lembaga negeri kita sudah baik. Tidak lekang oleh panas, tidak
lapuk oleh hujan. Cuma mungkin musyawarah dan kebijaksanaan yang perlu lebih
mendapat tempat. Memang susah juga jadinya kalau sampai seorang mamak lebih
berkuasa dari ayah nan kandung…”
“Kembali
pada kejadian di Ngarai tadi pagi…” Datuk Bandaro Putih alihkan pembicaraan.
“Saya mengerti jalan cerita kalau pemuda Pakih Jauhari itu memendam dendam luar
biasa pada Datuk Marajo Sati hingga dia menebar cerita buruk dan bahkan
menggalang penduduk di beberapa dusun untuk menyiapkan hukuman rajam atas diri
Datuk Marajo Sati. Tapi ada yang tidak saya mengerti…” Datuk Bandaro putih
memandang sebentar ke luar jendela baru melanjutkah. “Siapa sebenarnya gadis
Cina yang disembunyikan saudara kita itu di dalam goa. Lalu mengapa ada
beberapa orang tokoh di tanah Minang ini yang sama-sama kita kenal ikut bersama
orang tua asing berjubah hijau dan lelaki Cina berpakaian pasukan Kerajaan
Tiongkok menangkap gadis Cina itu?”
“Pandeka
Langit Bumi Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido, Niniek
Panjalo…” Datuk Kuning Nan Sabatang menyebut satu persatu nama orang yang
dimaksudkan Datuk Bandaro Putih. “Kita tahu memang tidak ada lantai yang
terjungkat dan silang sengketa antara mereka dengan Datuk Marajo Sati. Tapi
dari kejadian ini jelas mereka menunjukkan perseteruan dengan Datuk Pucuk itu.
Paling tidak berada di pihak yang berseberangan. Mungkin pemuda bernama Pakih
Jauhari bekas kekasih Puti Seruni itu telah berhasil membujuk mereka untuk melaksanakan
niatnya membalas dendam terhadap Datuk Marajo Sati…”
“Saya
meragukan hal itu,” jawab Datuk Bandaro Putih. “Pemuda itu bisa membuat marah
lalu membujuk penduduk dusun. Tapi untuk membujuk tokohtokoh berkepandaian
tinggi dan berpaham seperti itu, rasanya sulit dipercaya dia mampu melakukan.
Kalaupun bisa pasti ada yang diandalkannya. Imbalan besar. Uang, harta emas
berlian. Pakih Jauhari mana punya semua itu…”
“Jika
benar orang-orang itu mau berserikat dengan Pakih Jauhari, berarti ada satu hal
lain yang diberikan atau dijanjikan si pemuda pada mereka. Bukan uang bukan
harta. Tapi bisa saja berupa petunjuk, berupa keterangan sangat rahasia dan
sangat berharga…”
“Menyangkut
hal apa?” tanya Datuk Bandaro Putih pula.
“Gadis
yang mereka tangkap itu seorang gadis Cina. Di antara mereka saya lihat ada
seorang Cina berseragam pasukan Tiongkok. Mungkin orang ini yang jadi pimpinan
dalam rombongan. Mereka tengah mencari si gadis. Dan Pakih Jauhari mengetahui
di mana gadis itu berada lalu memberitahukan. Dia membuktikan kalau Datuk
Marajo Sati benar-benar menyimpan gadis cantik di dalam goa. Dendam kesumatnya
terbalaskan…”
Datuk
Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala beberapa kali.
“Gadis
Cina. Perempuan asing. Tapi waktu berteriak saya dengar dia mengeluarkan ucapan
bahasa orang di sini. Aneh juga. Jangan-jangan sudah berminggu-minggu
berbilang-bulan Datuk Marajo Sati bersama gadis itu hingga dia sempat mengajari
bahasa Minang…”
“Satu hal
saya perhatikan.” Ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. “Cara bicara Datuk Marajo
Sati pada kita bertiga kasar sekali. Beliau bicara beraku-aku pada kita.
Padahal jelas-jelas kita bertiga jauh lebih tua dari beliau. Dan selama ini
beliau tidak pernah berlaku sekasar itu baik dalam ucapan apa lagi tindakan.
Agaknya Datuk Marajo Sati berada dalam beban tekanan jiwa sangat berat.
Ditambah dengan amarah yang menggelegak karena menuduh kita yang datang
menancapkan Bendera Tiga Luhak, membawa orang dusun, menghasut untuk merajamnya
sampai mati di batang pohon…” Datuk Kuning Nan Sabatang menghela napas panjang.
“Betapapun nyatanya kejadian yang kita lihat, saya punya dugaan ada satu
peristiwa atau rahasia besar di balik semua kejadian ini.”
“Saya
juga merasa begitu,” jawab Datuk Bandaro Putih lalu kembali memandang keluar
jendela lalu bangkit berdiri.
“Rasanya
matahari telah menurun jauh condong ke barat. Datuk Panglimo Kayo yang kita
tunggu belum juga muncul. Sebentar lagi Magrib akan datang…”
Datuk
Kuning Nan Sabatang berdiri pula lalu tegak di belakang jendela di samping
Datuk Bandaro Putih.
“Datuk
Bandaro Putih, terus terang sejak tadi hati saya merasa tidak enak. Ada
firasat…”
Belum
selesai Datuk dari Luhak Agam ini berucap tiba-tiba bluk!
Satu
benda kuning berbelang hitam jatuh bergedebuk di halaman samping rumah gadang
kediaman Datuk Panglimo Kayo tak jauh dari sebatang pohon marapalam. Dua Datuk
di belakang jendela terkejut Lebih terkejut lagi ketika mereka menyaksikan
benda yang jatuh itu adalah seekor harimau besar kuning belang hitam.
“Inyiek
tunggangan Datuk Panglimo Kayo!” ucap dua Datuk di belakang jendela hampir
berbarengan. Tidak menunggu lebih lama keduanya langsung melompati jendela,
turun ke halaman. (Inyiek: di sini artinya harimau sakti)
Harimau
besar yang tergeletak di tanah itu ternyata berada dalam keadaan tidak bernyawa
lagi. Darah setengah kering meleleh di mata, hidung dan telinga. Sebuah rantai
besi putih panjang melilit tubuh serta empat kakinya yang tampak patah.
**********************
2
“RANTAI
Pintu Halilintar! Astaga! Bukankah benda ini potongan senjata milik Datuk
Panglimo Kayo?!” Datuk Kuning Nan Sabatang berucap setengah berseru.
“Saya
juga mengenali!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang putih jernih
berubah kelam. “Lalu Datuk Panglimo Kayo sendiri berada di mana?” Datuk Luhak
Limapuluh Kota ini memperhatikan sekeliling halaman.
“Ah,
firasat saya tadi. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan saudara kita yang
satu itu! Semoga Allah melindunginya…” Kata Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Datuk,
bantu saya melepaskan rantai agar arwah Inyiek bisa tenteram di alam gaib.
Kalau Datuk Panglimo Kayo tidak apa-apa maka rantai sakti ini akan kembali
kepadanya.”
Dua orang
Datuk dari Luhak Agam dan Luhak Limapuluh Kota itu segera berlutut di tanah, di
kiri kanan sosok harimau besar. Perlahan-lahan keduanya mengangkat tangan
sambil alirkan hawa sakti. Begitu terpentang tepat di depan dada, dua Datuk
hantamkan dua tangan masing-masing ke arah mayat harimau yang terikat besi
putih. Empat larik cahaya putih menderu.
Pada saat
empat cahaya putih menyentuh tubuh dan rantai besi putih yang melilit harimau
besar, satu letusan dahsyat laksana suara halilintar menggelegar di tempat itu
disertai berkiblatnya cahaya putih terang benderang. Dua Datuk terpental sampai
satu tombak tapi tidak cidera. Terjadi keajaiban. Sosok harimau kuning belang
hitam lenyap sementara rantai besi putih melayang ke udara dan akhirnya lenyap
dari pemandangan.
Di tempat
itu tiba-tiba terdengar suara auman dahsyat dua kali berturut-turut. Tanah
bergetar, angin dingin menyambar. Itulah auman Inyiek atau harimau sakti
tunggangan Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih yang ujudnya tidak
kelihatan. Binatang-binatang gaib itu seolah memberi ucapan, selamat jalan pada
teman mereka yang kembali ke alam gaib untuk selama-lamanya dan tak mungkin
lagi muncul di bumi.
Dua Datuk
bergerak bangun, tampungkan tangan masing-masing, mulut berkomat-kamit merapal
doa. Sementara dari atas rumah tetangga orang muncul berlarian mendatangi untuk
melihat apa yang terjadi. Mereka tidak sempat melihat harimau besar yang
dililit rantai putih. Mereka hanya melihat dua Datuk yang masih berlutut di
tanah berkomat-kamit merapal doa.
“Inyiek
sudah bebas dari penderitaannya. Kembali ke alam gaib. Semoga tidak terjadi
apa-apa dengan Datuk Panglimo Kayo.”
Baru saja
Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan ucapan, tiba-tiba di arah jalan tanah yang
agak mendaki menuju rumah gadang terdengar suara lenguh sapi, disertai suara
derak roda pedati dan gema ganto berkepanjangan, (ganto: semacam lonceng kecil
terbuat dari besi yang digantung di leher jawi/ sapi penarik pedati/gerobak)
Dua Datuk segera palingkan kepala. Mereka melihat sebuah pedati kecil tak
beratap muncul dikelokkan jalan tanah yang mendaki, bergerak ke arah halaman
rumah gadang di mana mereka berada.
“Aneh…”
ucap Datuk Kuning Nan Sabatang. “Pedati berjalan, tapi mana kusirnya?”
Diikuti
Datuk Bandaro Putih dan orang-orang yang ada di tempat itu Datuk Kuning Nan
Sabatang mendahului menyongsong pedati. Sapi penarik pedati dihentikan.
Binatang ini kembali melenguh. Ekor dikibas-kibas. Tibatiba dua kaki depan
dilipat, menyusul dua kaki belakang. Binatang ini rebahkan diri di tanah hingga
pedati yang ditariknya menungging ke depan. Tumpukan jerami kering tampak
menutupi pedati. Dua Datuk yang sejak tadi merasa curiga, dibantu oleh beberapa
orang yang ada di situ segera membongkar jerami kering. Sesaat kemudian semua
orang yang ada di situ termasuk dua Datuk tersentak kaget. Ketika tumpukan
jerami kering tersibak, di lantai pedati kelihatan terbujur sosok Datuk
Panglimo Kayo yang sudah jadi mayat. Sekujur tubuh mulai dari leher sampai ke
kaki dijirat rantai besi putih. Dari mata, hidung, telinga dan mulut ada
lelehan darah. Dalam cengkeraman jarijari tangan kanan Datuk Marajo Sati yang
sudah kaku terdapat sehelai potongan kain panjang berwarna putih yang salah
satu sisinya berjumbaijumbai.
“Astagafirullah…
Allahuakbar…” Dua Datuk mengucap berulangkah.
“Siapa
yang melakukan perbuatan keji dan jahat ini?!” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Siapa yang mengirimkan jenazah Datuk Panglimo Kayo dengan pedati ke sini…”
“Datuk,”
bisik Datuk Bandaro Putih. “Saat ini tidak ada yang bisa ditanya. Pedati datang
tidak berkusir… Lalu satu keanehan lagi, apakah ini potongan Rantai Pintu
Hallintar yang tadi kita lepas dari tubuh Inyiek kini melibat di tubuh Datuk
Panglimo Kayo. Rantai ini harus dibuang sebelum Datuk Panglimo Kayo
dimakamkan…”
“Pemilik
rantai akan mengambilnya sebelum jenazah dimandikan…” bisik Datuk Kuning Nan
Sabatang yang tahu banyak riwayat senjata sakti bernama Rantai Pintu Halilintar
itu.
Dibantu
orang banyak Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih segera
menurunkan mayat Datuk Panglimo Kayo dari dalam pedati. Sebelum mayat dibawa ke
dalam rumah gadang Datuk Bandaro Putih lepaskan kain putih panjang dari
cengkeraman jari-jari tangan mayat. Kain itu diperhatikan sejenak. Air muka
Datuk Bandaro Putih berubah. Kain diberikan pada Datuk Kuning Nan Sabatang.
Setelah memeriksa dengan teliti, wajah Datuk Kuning Nan Sabatang juga tampak
berubah. Suaranya bergetar ketika keluarkan ucapan.
“Saudaraku
Datuk Bandaro Putih. Saya yakin sekali kain putih panjang berumbai ini adalah
potongan sorban Datuk Marajo Sati. Berarti…”
“Datuk,
saya benar-benar seperti melihat ayam putih terbang siang. Tapi saya tidak
berani berprasangka menduga-duga. Kita berdua harus menyelidiki kejadian ini
sampai terungkap panjang pendeknya, dangkal dalamnya dan putih hitamnya. Simpan
baik-baik potongan sorban itu!” Kata Datuk Bandaro Putih lalu menyambung
ucapannya. “Saya tidak yakin pedati tak berkusir jtu membawa mayat Datuk
Panglimo Kayo jauh-jauh dari Agam. Mayat agaknya dinaikkan di satu tempat tak
jauh dari Batusangkar.” Sambil bicara Datuk Bandaro Putih berjalan ke arah
pedati. Di sini dia melakukan pemeriksaan kembali sampai matanya membentur satu
bungkusan daun yang terletak di lantai depan pedati, di bawah palang kayu
tempat dudukan kusir.” Ada nasi bungkus. Pasti punya orang yang tadinya duduk
di atas pedati ini. Kusir pedati. Dia belum sempat menyantap makanannya. Lalu
di mana kusir pedati itu sekarang? Datuk, coba kita menyelidik jalan arah ke
Sungai Tarab. Pedati ini pasti datang dari jurusan itu. Tidak mungkin dari arah
selatan.”
Tak lama
menyusuri jalan yang menuju sebuah dusun kecil bernama Sungai Tarab, dua Datuk
menemukan sesosok mayat pemuda tergeletak di tengah jalan. Di keningnya ada
luka besar, agak tertutup oleh darah yang mengental.
“Mungkin
ini kusir pedatinya. Dia dibunuh di tempat ini, lalu pedati dilepas sendirian
tidak berkusir. Mengapa? Si pembunuh takut diketahui siapa dirinya? Mungkin
Pakih Jauhari yang melakukan?” Datuk Kuning Nan Sabatang berpaling pada Datuk
Bandaro Putih di sampingnya.
Datuk
Bandaro Putih gelengkan kepala. “Pemuda itu bagaimanapun dendam kebenciannya
terhadap Datuk Panglimo Kayo mana mungkin punya kemampuan membunuh Datuk
Panglimo Kayo. Ingat potongan sorban putih milik Datuk Marajo Sati yang ada
dalam genggaman tangan mayat Datuk Panglimo Kayo? Itu satu pertanda atau jawaban
yang sulit ditampik. Datuk saudaraku, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Jika
jenazah sudah dikuburkan, kita segera ke
Ngarai
Sianok. Saya ingin sekali menyelidiki keadaan di dalam goa kediaman Datuk
Marajo Sati,” jawab Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Bagaimana
dengan mayat orang ini?” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Kita
bawa ke rumah kediaman Datuk Panglimo Kayo agar diurus sekalian. Saya yakin ada
orang yang mengenalinya,” jawab Datuk Kuning Nan Sabatang.
SESAAT
sebelum jenazah Datuk Panglimo Kayo dimandikan, tiba-tiba di siang yang terang
benderang itu menggelegar suara halilintar. Kilat menyambar di langit. Langit
seperti hendak runtuh, bumi seolah hendak terbelah. Rumah gadang bergoncang
berderak-derak. Beberapa orang berpekikan. Jenazah Datuk Panglimo Kayo yang
dibaringkan di ruang tengah rumah memancarkan cahaya putih. Lalu terdengar
suara berdesir disusul suara berkeretak.
Orang
banyak yang ada dalam ruangan itu termasuk dua Datuk pimpinan Luhak sama-sama
tercekat ketika menyaksikan bagaimana rantai putih Rantai Pintu Halilintar yang
menggelung sekujur tubuh Datuk Panglimo Kayo bergerak terbuka lalu melesat ke
arah pintu rumah gadang, melayang ke udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan
laksana menembus langitl
“Pemilik
rantai sakti telah mengambil senjata sakti itu…” bisik Datuk Kuning Nan
Sabatang sambil mengusap kuduknya yang terasa dingin.
PULANGNYA
Datuk Panglimo Kayo dalam keadaan sudah menjadi mayat dibawa oleh pedati tak
berkusir bukan hanya menghebohkan penghuni rumah gadang kediaman Datuk Panglimo
Kayo, namun, dengan cepat menjalar ke seluruh Batusangkar. Besoknya, berita
kematian Datuk kaya itu telah tersebar iuas sampai ke pelosok daerah Tanah
Datar. Perihal kusir pedati yang tewas, seperti yang dikatakan Datuk Kuning Nan
Sabatang, beberapa pelayat mengenali orang ini. Dia adalah Magek Jamin,
penduduk Sungai Tarab. Sebenarnya yang punya pedati adalah kakaknya yaitu Majo
Jamin. Tapi sampai mayat Magek Jamin dikubur Majo Jamin tidak muncul. Raib tak
diketahui ke mana perginya. Dua Datuk mengkhawatirkan Majo Jamin juga telah
menjadi korban pembunuhan.
SEPERTI
yang diduga oleh Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang, ketika
mereka mendatangi goa di samping dinding Ngarai Sianok untuk menjajagi keberadaan
Datuk Marajo Sati, goa berada dalam keadaan kosong. Yang mengejutku dua Datuk
ini menemukan beberapa helai pakaian perempuan serta satu kotak kecil berisi
pupur dan sepotong alat pemerah bibir.
“Kita
menemukan bukti Datuk… Keberadaan seorang perempuan di dalam goa kediaman Datuk
Marajo Sati ini ternyata memang satu kenyataan,” kata Datuk Bandaro Putih.
“Yang
jadi pertanyaan sekarang di mana Datuk itu berada?” ucap Datuk Kuning Nan
Sabatang. “Sungguh aib besar bagi kita para Penghulu dan semua Datuk di Luhak
Nan Tigo. Datuk Pucuk ternyata bukan saja menyimpan anak gadis, tapi juga
membunuh Datuk Panglimo Kayo. Saya tidak akan kembali ke rumah di Pariangan
sebelum menemukan Datuk Marajo Sati.”
“Saya
juga berpantang pulang ke Payakumbuh sebelum selesai urusan besar yang sangat
memalukan ini,” kata Datuk Bandaro Putih pula.
“Sekarang
ke mana kita akan mencari saudara dan pimpinan kita yang sesat itu?” tanya
Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Saya
menduga dua kemungkinan. Yang pertama Datuk Marajo Sati mengejar rombongan
orang-orang yang melarikan gadis Cina itu…”
“Gadis
Cina itu. Selain menjadi gadis simpanan Datuk Marajo Sati tapi siapa dia
sebenarnya? Dari mana datang dan munculnya? Dia saya dengar fasih bicara bahasa
orang di sini. Mengapa tokoh-tokoh berkepandaian tinggi dari tanah Jawa,
dibantu para tokoh di sini bahkan ada seorang Perwira Kerajaan Tiongkok
membentuk rombongan menangkapnya? Datuk, apa kemungkinan yang kedua dari dugaan
Datuk…”
“Kemungkinan
kedua Datuk Marajo Sati pergi ke Biaro, mendatangi rumah kediaman Pakih
Jauhari. Membunuh pemuda itu…”
“Sudah
seburuk dan sejahat itukah pekerti Datuk Pucuk? Masya Allah…” Datuk Kuning Nan
Sabatang mengucap beberapa kali.
“Datuk,
kita harus cepat-cepat menyelidik ke tempat yang Datuk katakan itu. Apa lagi yang
kita tunggu…?” Datuk Bandaro Putih sudah tidak sabaran.
“Bagaimana
kalau kita menyelidik ke Biaro lebih dulu. Pemuda bernama Pakih Jauhari itu
perlu diselamatkan bagaimanapun buruk kelakuannya terhadap Datuk Marajo Sati.
Selain itu mungkin kita bisa mendapatkan keterangan dari dia…”
“Saya
mengikut apa yang Datuk katakan.” Datuk Bandaro Putih lalu berseru.
“Inyiek
berdua! Kami memerlukan kalian!”
Sesaat
kemudian terdengar suara menderu. Lalu muncul dua sosok harimau besar kuning
belang hitam. Dua Datuk segera melompat ke atas
tunggangan
masing masing.
**********************
3
APA YANG
telah terjadi dengan Datuk Panglimo Kayo yang merupakan Datuk Pimpinan Luhak
Tanah Datar? Siapa yang telah membunuhnya lalu mengirim mayatnya ke rumah
gadang dengan pedati tidak beratap dan tidak berkusir.
Seperti
diceritakan sebelumnya dalam episode berjudul “Fitnah Berdarah Di Tanah Agam”,
di pedataran di atas Ngarai Sianok, selagi Pakih Jauhari dan puluhan orang
menyerbu Datuk Marajo Sati dengan lemparan batu dan para Datuk Luhak Nan Tigo
berusaha menghalangi serangan, secara diam-diam Ki Bonang Talang Ijo dan
rombongan sampai di Ngarai Sianok. Mereka berhasil masuk ke dalam goa kediaman
Datuk Marajo Sati setelah lebih dulu menjebol sebuah batu besar pen utup goa.
Chia Swi
Kim yang oleh Datuk Marajo Sati diberi nama Puti Bungo Sekuntum alias Kupu Kupu
Giok Ngarai Sianok, mendengar suara bergemuruh di mulut goa, mengira yang
datang adalah Datuk Marajo Sati, tanpa mengubah dirinya lebih dulu keluar dari
dalam ruangan rahasia di mana dia bersembunyi.
Begitu
melihat siapa yang muncul dan mengenali sosok serta wajah si gadis, Perwira
Muda Teng Sien langsung berteriak-teriak sambil menunjuk ke arah dua bahu si
gadis.
Ki Bonang
Talang Ijo ikut berteriak
“Cepat
tangkap gadis itu! Jangan sampai dia menggerakkan dua tangannya!”
Lalu
selagi beberapa orang mencekal, dengan cepat orang tua berjubah hijau ini totok
bahu kiri kanan Puti Bungo Sekuntum hingga dua tangan gadis itu menjadi lumpuh.
Ini membuat dia tidak bisa bergerak dan berarti dia tidak mampu merubah diri
menjadi kupu-kupu besar hidup atau berubah menjadi kupu-kupu batu giok.
Perwira
Muda Teng Sien mendatangi dan bicara panjang pendek»dalam bahasa Cina. Seperti
diketahui sejak roh gadis yang meninggal dunia masuk ke dalam tubuhnya, gadis
Cina ini walau masih mengerti apa yang dikatakan orang namun dia tidak bisa
lagi mengeluarkan ucapan dalam bahasa leluhurnya, (baca”Kupu Kupu Giok Ngarai
Sianok”)
Ki Bonang
dan kawan-kawan cepat membawa si gadis keluar dari goa. Karena ingin mencari
jalan memintas, tidak sengaja mereka melewati pedataran di atas ngarai di mana
puluhan orang di bawah pimpinan Pakih Jauhari tengah menghujani Datuk Marajo
Sati dengan batu. Serta merta Puti Bungo Sekuntum berteriak.
“Datuk!
Tolongl Mereka menangkap saya!”
Suasana
menjadi gempar!
Ketika di
bawah hujan batu Datuk Marajo Sati berusaha menolong si gadis tiba-tiba Ki
Bonang Talang Ijo ledakkan sebuah benda yang menebar asap hitam menutup
pemandangan. Setelah-sap sirna ternyata tokoh silat dari tanah Jawa itu bersama
rombongannya telah lenyap dengan memboyong serta Puti Bungo Sekuntum.
Sebelum
dituturkan apa yang terjadi dengan Datuk Panglimo Kayo hingga dia terbunuh dan
mayatnya dikirim ke rumah gadang di Batusangkar, kita ikuti lebih dulu apa yang
dialami Datuk Marajo Sati.
WALAU
amarah dan kebenciannya terhadap Pakih Jauhari serta tiga Datuk Luhak Nan Tigo
bukan alang kepalang namun Datuk Marajo Sati lebih mementingkan menyelamatkan
gadis dari negeri Cina itu. Dia segera melakukan pengejaran dengan menggunakan
Inyiek harimau tunggangannya. Tapi sampai matahari tenggelam dan malam datang
dia tidak berhasil melakukan pengejaran. Seolah baru sadar Datuk Marajo Sati
hentikan pengejaran. Inyiek kuning belang hitam yang tadi lari laksana terbang,
melayang turun ke tanah. Datuk Marajo Sati mendengar suara sesuatu. Selain itu
dia merasa tiupan angin agak keras dan dingin.
“Suara
riak permukaan air dihembus angin,” ucap sang Datuk dalam hati. Dia lalu
melesat ke arah satu bukit batu kecil. Harimau besar mengikuti. Memandang ke
bawah terkejutlah Datuk Marajo Sati. Dia melihat sebuah danau terbentang luas
sementara di arah barat matahari berbentuk setengah lingkaran merah menyala
siap menggelincir ke ufuk tenggelamnya. Datuk Marajo Sati segera tahu di mana
dia berada saat itu. Tanpa memalingkan kepala pada harimau besar di sebelahnya
sang Datuk berkata.
“Inyiek,
apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau membawa diriku ke Danau Maninjau.
Bukan mengejar orang-orang yang telah melarikan Puti Bungo Sekuntum?”
Harimau
besar menggereng halus lalu rundukkan diri. Kepala diletakkan di atas batu.
Mata menatap sayu. Melihat hal ini Datuk Marajo Sati segera berjongkok di
samping binatang itu dan memeriksa dengan teliti. Mula-mula dia melihat ada
lapisan cairan biru di sekitar hidung harimau. Lalu bagian putih sepasang mata
binatang ini juga tampak kebiru-biruan. Ketika Datuk Marajo Sati membuka mulut
harimau kelihatan gigi dan sebagian lidahnya juga berwarna kebiruan. Datuk
memeriksa dua telinga harimau. Ternyata juga ada lapisan kebiru-biruan.
“Inyiek,
kau telah disambar ilmu jahat bernama Santuang Panyasek. Penciumanmu menjadi
tumpul, penglihatan kabur, pendengaran berubah tuli. Kau tersesat membawa aku
ke tempat ini.” Datuk Marajo Sati mengusap kepala Inyiek kuning. “Kau tidak
perlu takut, aku tidak marah padamu. Aku tahu. Di tanah Minang ini ada beberapa
orang sakti memiliki ilmu Santuang Panyasek. Tapi yang paling tinggi
kepandaiannya adalah Tuanku Laras Muko Balang. Dia berada di antara orang-orang
yang menculik Puti Bungo Sekuntum. Pasti dia yang telah menyirapmu dengan ilmu
hitam itu. Agar kita tidak bisa melakukan pengejaran, “
Perlahan-lahan
sang surya yang tinggal setengah lingkaran lenyap di kejauhan. Siang telah
berganti malam. Sayup-sayup terdengar kumandang Azan. Datuk Marajo Dati, Datuk
Pucuk Luhak Nan Tigo ini jatuhkan kening di atas batu. Dalam bersujud dia
berkata.
“Ya Allah
ya Rabbi. Tuhan Seru Sekalian Alam. Maha Melihat Maha Mengetahui. Kau tahu ya
Allah. Betapa berat dan jahatnya fitnah berdarah yang telah jatuh atas diri
hambaMu ini. Berikan hamba ketabahan menghadapi semua malapetaka ini. Lebih
dari itu Kau lebih mengetahui ya Allah apa yang telah hamba lakukan dan apa
yang tidak hamba lakukan. Jika itu merupakan satu perbuatan keliru mohon
ampunan dariMu. Jika kesalahan itu harus ditebus dengan hukuman bagaimanapun
beratnya akan saya terima dengan segala keikhlasan. Tapi saya mohon ya Allah.
Tolong selamatkan Puti Bungo Sekuntum dari tangan orang-orang jahat yang telah
melarikannya. Ulurkan tangan kuasaMu. Lindungi anak gadis itu di manapun dia
berada, baik siang maupun malam. Ya Allah, kabulkanlah permintaan hambaMu yang
buruk dan hina ini ya Allah.”
Sehabis
memanjatkan doa Datuk Marajo Sati turun ke tepi danau, mengambil air
sembahyang. Ketika Datuk Marajo Sati membungkuk dan menyibak airdi tepi Danau
Singkarak tiba-tiba muncul bayangan kepala dan wajah manusia. Sang Datuk
tersurut satu langkah. Pakih Jauhari! Wajah pemuda yang samar di dalam air itu
menyeringai lalu di kejauhan terdengar suara tawanya bergelak.
“Astagafirullah…”
Datuk Marajo Sati mengucap. “Setankah yang aku lihat barusan? Setankah yang
tertawa dikejauhan…?” Sang Datuk lalu membaca beberapa ayat suci, diakhiri
dengan Ayat Kursi. Perlahan-lahan wajah di dalam air danau dan suara tertawa di
kejauhan lenyap sirna. Datuk kembali meneruskan mengambil air wudhu. Selesai
sholat, masih duduk di atas batu di atas bukit kecil di tepi danau, ditemani
Inyiek, Datuk Marajo Sati berzikir. Lalu hampir semalaman suntuk dia melakukan
tarak untuk
melenyapkan
ilmu jahat Santuang Panyasek yang menguasai diri harimau besar tunggangannya.
**********************
4
KETIKA
terjadi ledakan dan asap hitam meng-gebubu ke udara menutupi pemandangan, Datuk
Panglimo Kayo bergerak cepat Dengan cepat dia melompat ke udara. Selagi dalam
keadaan melayang dia melesat ke atas sebatang pohon besar. Dari atas pohon dia
dapat melihat rombongan orang-orang yang menculik gadis Cina itu lari cepat
sekali ke arah timur lalu secara tiba-tiba lenyap dari pemandangan.
“Heran,
kenapa tiba-tiba menghilang tidak kelihatan?” Pikir Datuk Panglimo Kayo sambil
mengusap dagu. Lalu dia berpikir lagi apakah perlu mengejar orang-orang itu
atau segera saja kembali ke Batusangkar karena ada perjanjian dengan dua Datuk
Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Karena hari masih pagi, akhirnya Datuk
Panglimo Kayo memutuskan memanggil Inyiek harimau tunggangannya lalu melakukan
pengejaran terhadap Ki Bonang Talang Ijo dan rombongan.
Untuk
menghindari pengejaran yang secara pasti akan dilakukan oleh Datuk Marajo Sati,
Tuanku Laras Muko Balang telah bersiap-siap dengan mengeluarkan ilmu Santuang
Panyasek agar Datuk Marajo Sati dan harimau tunggangannya tidak mampu melakukan
pengejaran. Akan halnya Datuk Panglimo Kayo dan Inyiek yang membawanya terbang
mula-mula memang sempat dipengaruhi ilmu hitam itu. Namun karena Tuanku Laras
Muko Balang hanya mengarahkan ilmu kesaktiannya pada Datuk Panglimo Kayo
bersama Inyiek harimau kuning hanya terpengaruh beberapa saat.
Setelah
berhasil mendapatkan Puti Bungo Sekuntum, Perwira Muda Teng Sien ingin agar
gadis itu dilepaskan dari totokan hingga bisa berubah bentuk menjadi kupu-kupu
batu giok dan mudah dibawa. Setelah hal itu berlangsung maka dia akan segera
pergi ke pesisir timur. Di Selat Malaka dia menunggu kapal layar yang akan
membawanya ke daratan Tiongkok. Tapi Ki Bonang Talang Ijo tidak menyetujui hal
itu. Dia ingin gadis Cina itu disembunyikan dulu di satu tempat yang telah
dipilih oleh Tuanku Laras Muko Balang dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik.
Setelah Perwira Muda Teng Sien menyerahkan peti kedua berisi batangan emas
seperti yang dijanjikan dan dibagi rata maka Puti Bungo Sekuntum baru akan
diserahkan.
Teng Sien
bersikeras agar semua orang mengikuti kemauannya. Karena merasa dialah yang
jadi pimpinan rombongan dan membayar orang-orang itu, termasuk Niniek Panjalo
dan Datuk Pancido yang datang kemudian. Sementara kata mufakat belum dicapai,
rombongan tiba di satu telaga kecil tak jauh dari kaki selatan Gunung Merapi.
Tuanku Laras Muko Balang dan Ki Bonang Talang Ijo meminta rombongan berhenti
untuk beristirahat barang beberapa lama sambil meneruskan perundingan apa yang
akan dilakukan selanjutnya. Puti Bungo Sekuntum yang dipanggul Tuanku Laras
didudukkan di tanah, disandarkan di batang pohon. Sampai saat itu gadis ini
masih berada dalam keadaan tertotok. Perwira Teng Sien menambahkan dua totokan
lagi di tubuhnya hingga bukan hanya dua tangan yang lumpuh tapi seluruh
auratnya tidak bisa digerakkan. Hanya mulutnya saja yang masih bicara dan
sepasang mata yang bergerak sekali-sekali.
Saat itu
tengahhari tepat bang surya bersinar terik. Tiba-tiba dari arah barat, seekor
harimau besar melesat laksana terbang di atas permukaan telaga. Di atasnya
duduk seorang berpakaian dan berdestar hitam yang bukan lain adalah Datuk
Panglimo Kayo, Datuk pemimpin Luhak Tanah Datar.
Tentu
saja semua orang menjadi heran sekaligus terkejut. Yang diduga akan datang
mengejar adalah Datuk Marajo Sati. Datuk Marajo Sati tidak berhasil menembus
ilmu sirapan Tuanku Laras Muko Balang, tapi mengapa kini Datuk Panglimo Kayo
yang datang?
“Tuanku
Laras, menurutmu apa keperluan Datuk dari Batusangkar ini mengejar kita?”
bertanya Datuk Pancido sambil mengusap-usap tongkat berkeluk yang terbuat dari
perunggu.
“Aku
tidak dapat memastikan. Di Tanah Minang kedudukannya di bawah Datuk Marajo
Sati. Mungkin dia hendak membela pimpinannya. Kalau dia bertingkah macam-macam
maka kedatangannya adalah mengantar nyawa. Saat ini aku sudah menanam satu
rencana bagus dalam benakku!” jawab Tuanku Laras Muko Balang sambil mengusap
wajahnya yang ditutupi bulu tipis, separuh berwarna hitam sebagian lagi
berwarna putih. “Datuk, kecuali Perwira Muda Teng Sien dan Ki Bonang, ajak
semua orang mengurung Datuk Panglimo Kayo dan Inyiek tunggangannya. Jangan
sampai dua mahluk itu melangkah terlalu jauh dari telaga.”
Datuk
Pancido segera lakukan apa yang dikatakan Tuanku Laras. Bersama Inyiek Panjalo
dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik dia segera mendatangi Datuk Panglimo Kayo
yang baru saja menjejakkan kaki bersama harimau tunggangannya di tepi telaga.
Ketiga orang ini segera menebar dan mengambil sikap mengurung.
Sementara
itu Tuanku Laras cepat-cepat mendekati Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien.
“Ki
Bonang, turut apa yang aku dengar Datuk Panglimo Kayo memiliki satu senjata
sakti luar biasa bernama Rantai Pintu Halilintar. Jika terjadi hal tidak
diingini dan dia menyerang kita dengan senjata itu, kita tidak akan
sanggup
menahannya. Kecuali kita memiliki penangkal…”
Kening Ki
Bonang Talang Ijo berkerut.
“Lekas
katakan apa penangkal itu?”
“Ada pada
Perwira Muda Teng Sien. Dia selalu membawanya ke manamana sebagai makanan
persediaan. Disimpan di dalam kaleng merah yang tergantung di pinggangnya.”
“Dendeng
babi? Di dalam kaleng itu yang ada hanya dendeng babi. Makanan perwira Cina
itu…”
“Benar
sekali Ki Bonang. Daging babi, mentah atau masak, lunak atau keras, basah atau
kering, adalah pantangan senjata sakti milik Datuk Panglimo Kayo. Untuk
berjaga-jaga, lekas kau minta kaleng itu pada Teng Sien. Keluarkan isinya dan
lemparkan ke arah Datuk Panglimo Kayo. Walau tidak mengena tubuh atau
senjatanya, dia tetap akan mengalami celaka berat!”
“Baik,
akan aku lakukan!” jawab Ki Bonang Talang Ijo pula lalu dengan cepat mendekati
Perwira Muda Teng Sien. Setelah bicara sebentar Perwira Kerajaan Tiongkok itu
menyerahkan kaleng besar merah yang tergantung di pinggangnya. Ki Bonang
mengeluarkan sebagian isi kaleng lalu memasukkan ke dalam saku kiri jubah
hijaunya.
Di tepi
telaga belum turun dari atas punggung harimau Datuk Panglimo Kayo sudah melihat
gerakan orang yang mencurigakan. Belum lagi dia membuka suara, di hadapannya
Datuk Pancido sudah mementang ucapan.
“Datuk
Panglimo Kayo. Jika Datuk Marajo Sati yang kau cari, orang itu tidak ada di
sini. Karenanya kami harap kau segera melanjutkan perjalanan.”
Datuk
Panglimo Kayo tidak segera menjawab. Dia lebih dulu menatap wajah Datuk Pancido
sebentar yang barusan menegurnya, memandang nenek yang berdiri di sampingnya
lalu beralih pada Pandeka Bumi Langit dari Sumanik dan selanjutnya memandang ke
arah Ki Bonang Talang Ijo, Perwira Muda Teng Sien dan Tuanku Laras Muko Balang.
Melirik pada gadis Cina yang bersandar di pohon. Setelah itu baru membuka mulut
menjawab.
“Datuk
Pancido, aku datang ke sini memang bukan mencari Datuk Marajo Sati…”
“Astaga!
Rupanya jauh panggang dari api dugaan kami!” Menyahuti Datuk Pancido sambil
melintangkan tongkat perunggunya di atas bahu.
“Lalu
gerangan apa maksud kedatangan Datuk ke tempat kami berada saat ini?” Niniek
Panjalo yang kini ajukan pertanyaan.
Datuk
Panglimo Kayo menyeringai.
“Apa
kalian berdua yang jadi pimpinan rombongan ini? Aku rasa tidak. Dua orang tua,
aku hanya ingin bicara dengan orang yang kalian tuakan dan jadikan pemimpin.
Bukan dengan kalian berdua!”
Mendengar
ucapan orang dan merasa dirinya direndahkan dua kakek nenek itu keluarkan suara
menggembor.
“Masing-masing
kami semua di sini adalah pimpinan. Jadi kalau memang mau bicara silahkan
bicara. Kalau tidak segera saja Undang hapus dari hadapan kami!” Kata Datuk
Pancido pula. (Undang hapus: angkat kaki pergi)
“Datuk
Pancido, kalau soal bicara usir mengusir bukan kau yang punya kuasa dan
wewenang. Di Luhak Tanah Datar akulah yang jadi Datuk Penghulunya. Bagaimana
kalau aku yang memerintahkan agar kau yang lindang hapus dari hadapanku karena
aku tidak suka negeri ini kau jadikan tempat berbuat ulah sekehendakmu!”
Niniek
Panjalo tertawa cekikikan. Di sebelahnya Pandeka Bumi Langit dari Sumanik
berkata.
“Datuk
Panglimo Kayo, kau bukan saja salah berucap tapi juga salah berbuat! Datuk
pimpinanmu menculik dan memeram gadis di dalam goanya! Apa yang kau lakukan
terhadapnya? Kau tidak berbuat apa-apa. Malah penduduk yang bertindak
menjatuhkan hukuman!”
“Soal
Datuk Marajo Sati bukan urusanmu! Kalau aku boleh berkata, bukankah kau juga
saat ini beramai-ramai tengah menculik gadis yang sama? Hendak kalian bawa dan peram
di mana?!”
Tiba-tiba
Puti Bungo Sekuntum berteriak.
“Datuk
berbaju hitam! Siapapun kau adanya mohon tolong diri saya! Selamatkan diri saya
dari orang-orang durjana ini! Mereka… Hekk!” Teriakan si gadis hanya sampai di
situ karena lehernya keburu ditotok oleh Ki Bonang Talang Ijo.
“Para
sahabat! Rupanya ada yang hendak menjadi pahlawan kesiangan! Biar sama-sama
kita lihat apa dia punya kemampuan untuk membebaskan gadis itu!”
Yang
barusan berseru adalah Tuanku Laras Muko Balang.
Mendengar
tantangan orang Datuk Panglimo Kayo jadi gusar.
“Tanah
Datar adalah daerah tanggung jawab dan di bawah perlindunganku! Kalian semua
pergi dari sini! Tinggalkan gadis itu!”
Ki Bonang
Talang Ijo maju dua langkah. Blangkon hijau di atas kepala dibuka lalu
dikipas-kipas di depan dada. Seperti diketahui belangkon kakek ini merupakan
senjata ampuh yang bisa melumpuhkan lawan dari jarak jauh. Sementara itu tangan
kiri dimasukkan ke dalam saku jubah di mana tersimpan beberapa potong dendeng
babi.
“Datuk
Panglimo Kayo, mohon maafkan para sahabatku kalau mereka bicara agak ceroboh.
Kami sangat menghormati kehadiran Datuk sebagai pimpinan di Luhak Tanah Datar.
Jika Datuk memang menginginkan gadis itu silahkan Datuk mengambil sendiri. Tapi
kami ingin bertanya. Kalau sudah dapat hendak Datuk apakan gadis itu? Hendak
disekap di dalam goa seperti yang dilakukan Datuk Marajo Sati? Setahu kami
Datuk tidak punya goa kediaman. Lalu mau dibawa ke mana? Mungkin ke dasar Danau
Maninjau? Itu saja yang ingin kami tanyakan… Ha… ha… ha!”
Ucapan
dan tawa Ki Bonang Talang Ijo itu disambut gelak tawa pula oleh semua orang
yang ada di tempat itu. Amarah Datuk Panglimo Kayo jadi naik ke kepala. Tapi
dia masih bisa menahan diri.
“Orang
tua, kau orang asing di sini. Bicara seenak mulut, bertindak sekehendak hati!
Minta maaf padaku dan pergi dari sini bersama yang lain-lain. Niscaya kalian
aku biarkan pergi dengan selamat…”
Tuanku
Laras Muko Balang keluarkan suara berbatuk-batuk yang disengaja beberapa kali
lalu berkata.
“Datuk
Panglimo Kayo. Kau baru menjadi pimpinan di satu nagari. Tapi sikapmu pongah
sekali. Seolah kau sudah menjadi penguasa di muka bumi. Sri Baginda Raja di
Pagaruyungpun tidak akan berlaku seperti dirimu!”
Ki Bonang
Talang Ijo pegang bahu Tuanku Laras lalu maju beberapa langkah ke hadapan Datuk
Panglimo Kayo. Sesaat dia berpaling dulu pada Tuanku Laras.
“Sahabatku
Tuanku Laras, bagaimanapun juga sebagai seorang tamu di negeri orang aku harus
menghormati sang penguasa yang jadi pimpinan. Biarkan aku memohon maaf atas
kata-kataku yang mungkin kasar…”
Lalu Ki
Bonang Talang Ijo menghadap ke arah Datuk Panglimo Kayo kembali. Badan sedikit
dibungkukkan. Tangan yang memegang belangkon hijau berkembang putih diayun
sambil mulutnya berucap.
“Datuk
Panglimo Kayo, aku Ki Bonang Talang Ijo dari Kota Gede di tanah Jawa, aku
mohon…”
Ki Bonang
tidak teruskan ucapan. Dari pusarnya mendesir tenaga dalam ke arah tangan yang
memegang belangkon hijau. Ketika tangan kanan itu diayunkan maka wuuuttt!
Selarik angin luar biasa deras menyambar ke arah Datuk pimpinan Luhak Tanah
Datar! Kalau sampai tersambar maka sekujur tubuh Datuk Panglimo Kayo akan
menjadi lumpuh!
**********************
5
SEBAGAI
Datuk pimpinan di daerah atau Luhak Tanah Datar Datuk Panglimo Kayo tentu saja
bukan orang sem-barangan. Selain merupakan orang cerdik pandai, seperti para
Datuk lainnya dia juga membekali diri dengan ilmu agama sekaligus ilmu silat
serta kesaktian tinggi.
Walau
belum pernah berhadapan dengan Ki Bonang Talang Ijo, namun Datuk Panglimo Kayo
sudah dapat membaca apa arti rundukan tubuh serta sapuan belangkon. Sebelum
angin melumpuhkan menyambar dirinya Datuk ini cepat melompat ke arah Niniek
Panjalo. Sekali menyergap nenek bertubuh kurus Ini sudah kena dicekal batang
lehernya oleh Datuk Panglimo Kayo yang bertubuh tinggi besar. Si nenek lalu
gemparkan ke arah Ki Bonang Talang Ijo yang tengah melancarkan serangan
membokong.
Dua orang
sama-sama berteriak kaget yaitu si nenek dan Ki Bonang sementara yang lain-lain
terkesiap tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Begitu terkena sambaran
angin yang keluar dari sapuan belangkon hijau, tubuh si nenek langsung lumpuh
tak bisa bergerak. Hanya mulutnya saja yang masih mampu berteriak. Tubuh lumpuh
Niniek Panjalo melesat menabrak Ki Bonang Talang Ijo. Dua kakek nenek ini jatuh
bertindihan di tanah. Si nenek menyumpah-nyumpah tapi tak bisa berbuat apa-apa
karena tidak mampu bergerak. Ki Bonang memaki panjang pendek. Dia cepat
bergerak bangun. Namun sebelum sempat berdiri bangkit satu kaki berkasut kulit
telah menginjak keningnya.
Si kakek
dari Kuto Gede ini merasa seolah satu batu besar menindih kepalanya, siap untuk
membuatnya remuk! Yang menginjak bukan lain adalah Datuk Panglimo Kayo. Semua
orang hampir tidak melihat kapan Datuk bertubuh tinggi besar itu bergerak
tahu-tahu dia sudah mampu menginjak kepala Ki Bonang!
“Orang
gaek bernama Ki Bonang! Kau datang di negeri orang mengapa berani berbuat
rusuh!” (orang gaek: orang tua)
“Datuk
kurang ajar! Berani kau menginjak kepalaku!” teriak Ki Bonang Talang Ijo.
Didahului satu teriakan keras dia usap sebagian wajahnya dengan tangan kiri
sementara tangan kanan yang masih memegang blangkon hijau dihantamkan ke atas.
Begitu
wajah diusap, seluruh kulit muka Ki Bonang Talang Ijo sampai ke mata dan
telinga serta rambut berubah menjadi hijau pekat. Dari kepala yang berubah
warna ini membersit keluar cahaya hijau, menjalar masuk ke kaki kanan Datuk
Panglimo Kayo membuat dia merasa seperti ditusuk ribuan jarum!
Sadar
bahaya besar mengancam dirinya, sebelum kaki kanan diangkat Datuk Panglimo Kayo
walau gerakannya agak tertahan oleh aliran cahaya hijau namun masih sempat
menghujamkan kaki ke kepala Ki Bonang.
“Kraakk!
Craass!”
Ki Bonang
Talang Ijo menjerit dahsyat! Keningnya sebelah kanan remuk. Mata melesak
terpuruk! Tapi sungguh luar biasa! Meski cidera berat begitu rupa dia seperti
tidak merasa kesakitan malah berteriak keras.
“Datuk
jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” Ki Bonang berteriak sambil lipat gandakan
tenaga dalam ke tangan kanan yang memukulkan belangkon. Namun saat itu Datuk
Panglimo Kayo sudah melompat ke udara. Bukan saja untuk selamatkan diri dari
hantaman angin belangkon tapi sekaligus juga menghindari serangan beberapa
orang lainnya yaitu Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido, Perwira Muda Teng
Sien dan Pandeka Bumi Langit dari Sumanik.
Dengan
pedang perak Al Kausar Tuanku Laras Muko Balang yang menyerbu dari arah kanan
membabat ke arah dua kaki Datuik Panglimo Kayo. Dari jurusan kiri Perwira Muda
Teng Sien sambil berteriak garang bacokkan golok besarnya ke arah pangkal
leher. Datuk Pancido seperti kebiasaannya, menyerang dari belakang. Begitu
melewati sosok lawan tongkat perunggu berkeluknya langsung dihantamkan, menderu
ke arah belakang batok kepala Datuk Panglimo Kayo. Pandeka Bumi Langit ikut
pula menyerbu dengan ilmu silat ganas Sitaralak.
Sementara
itu walau dalam keadaan cidera parah dan muka bergelimang darah, mata hanya
tinggal satu yang melihat, Ki Bonang Talang Ijo melompat ke udara setelah
hantaman angin belangkonnya tidak mengenai sasaran. Blangkon diletakkan di atas
kepala kembali lalu dua tangan dipentang lebar. Dari mulutnya yang kini menjadi
pencong akibat matanya yang terpuruk, keluar suara menggerung keras. Saat itu
juga sekujur tubuhnya dipijari sinar hijau. Di lain kejap dari tubuh itu keluar
satu mahluk mengerikan berbentuk gurita hijau jejadian berlengan delapan! Ke
delapan tangan ini menderu dahsyat siap menggulung melumat Datuk Panglimo Kayo.
Seumur
hidup baru sekali ini Datuk Panglimo Kayo bertarung melawan musuh yang
menyerang keroyokan. Selain itu belum pernah dia menghadapi tokoh-tokoh
berkepandaian silat dan kesaktian tinggi seperti yang dihadapinya saat itu.
Ketika salah satu ujung kaki celana hitamnya robek besar disambar pedang Al
Kausar di tangan Tuanku Laras Muko Balang, sementara dua tangan gurita sudah
melibat tangan kirinya, Datuk Panglimo Kayo tidakmau berlaku ayal. Didahului
suara bentakan keras sambil terus melesat ke udara dia memutar tubuh seperti
titiran sambil berteriak.
“Rantai
Pintu Halilintar!”
Di langit
mendadak menggelegar suara petir dibarengi memancarnya cahaya dua sinar terang
benderang laksana dua daun pintu terbuka.
“Rrreettttttttt”
Lalu
terdengar suara bergemerincing disertai berkiblatnya sinar putih dingin
menggidikkan menyelubungi tubuh Datuk Panglimo Kayo. Sinar ini berasal dari
sebuah senjata sakti milik sang Datuk berupa rantai besi putih sepanjang lebih
sepuluh tombak.
Bersamaan
dengan munculnya rantai putih, Inyiek harimau kuning belang hitam yang sejak
tadi mendekam diam tiba-tiba mengaum keras dan melompat memasuki kalangan
pertempuran.
“Trang…
trang!”
Pedang Al
Kausar di tangan Tuanku Laras Muko Balang terlepas mental. Golok besar yang
dipakai membacok oleh Perwira Muda Teng Sien patah dua. Sisa golok termasuk
gagang mencelat menyambar kepalanya sebelah kanan hingga daun telinganya
tersambar buntung! Teng Sien menjerit setinggi langit Dua tangan menekap
telinga yang buntung dan mengucurkan darah. Tubuh berputar huyung. Untuk
selamatkan diri diri dari serangan rantai besi putih dia cepat-cepat menjauhi
kalangan pertarungan. “Crass!”
Dua
tangan gurita yang melibat tangan kiri Datuk Panglimo Kayo putus menyemburkan
darah hijau mengerikan dan menjijikkan. Di samping kiri Datuk Pacindo keluarkan
jeritan pendek ketika kepala, punggung dan pinggangnya hancur digebuk gulungan
Rantai Pintu Halilintar. Tubuhnya terhempas ke tanah dalam keadaan hangus
gosong!
Pandeka
Bumi Langit dari Sumanik dengan menjatuhkan diri sama rata di tanah masih
sempat selamatkan tubuh dari sambaran rantai putih.
“Ki
Bonang! Lekas lemparkan barang pamungkas yang ada dalam saku jubahmu!”
Tuanku
Laras Muko Balang berteriak. Dia sengaja tidak menyebut daging atau dendeng
babi agar Datuk Panglimo Kayo tidak punya kesempatan melakukan sesuatu untuk
selamatkan diri.
**********************
6
MENDENGAR
teriakan Tuanku Laras, Ki Bonang hentikan serangan gurita jeja-diannya. Gurita
tangan delapan lenyap tanpa bekas. Ki Bonang cepatcepat masukkan tangan kiri
ke dalam saku jubah hijau. Begitu keluar dari dalam saku, potongan-potongan
daging dendeng babi yang didapatnya dari Perwira Muda Teng Sien_ segera
dilempar ke arah Rantai Pintu Halilintar.
Melihat
apa yang terjadi dan mencium bau menyengat dari benda yang dilemparkan ke
arahnya, Datuk Panglimo Kayo berteriak kaget. Dia berusaha menghindar namun
terlambat. Sekalipun potongan daging babi itu tidak mengenai Rantai Pintu
Akhirat dan tubuhnya namun kekuatan pantangan penghancur yang dimiliki begitu
luar biasa. Saat itu juga rantai yang terbuat dari besi putih sakti itu
terputus dua di sebelah tengah. Putusan pertama sepanjang lima tombak menderu
ke arah Inyiek harimau kuning belang hitam yang tengah melompat hendak menerkam
Perwira Muda Teng Sien. Dengan cepat rantai putih ini melibat tubuh binatang
sakti itu hingga mengeluarkan suara berkeretekan remuknya tulang belulang. Inyiek
mengaum dua kali lalu jatuh terkapar di tanah, Di mata, hidung, mulut dan
telinga mengucur darah.
“Mahluk
iblis! Pulang ke rumah majikanmu!” Bentak Tuanku Laras Muko Balang lalu dengan
kaki kanan dia tendang harimau besar hingga mencelat mental melewati telaga dan
lenyap dari pemandangan dan kelak akan jatuh di halaman rumah gadang kediaman
Datuk Panglimo Kayo.
Potongan
rantai putih yang kedua menderu bergemerlapan ke arah Datuk Panglimo Kayo.
Seperti yang terjadi dengan Inyiek, rantai ini dengan cepat menggulung sekujur
tubuh sang Datuk. Terdengar kembali suara berkeretekan begitu tulang belulang
Datuk Panglimo Kayo remuk. Sebelum darah mengucur keluar dari mata, hidung,
mulut dan telinga, Datuk Panglimo Kayo masih sempat berseru menyebut nama Allah.
Setelah itu pimpinan Luhak Tanah Datar ini tak bergerak lagi.
Walau
Datuk Panglimo Kayo telah menemui ajal, namun Ki Bonang Talang Ijo masih ingin
melampiaskan dendam amarahnya! Sekali dia menendang maka hancurlah kepala Datuk
Panglimo Kayo sebelah kanan. Masih belum puas Ki Bonang kembali hendak
menendang. Namun Tuanku Laras Muko Balang segera mencegah.
“Ki
Bonang, kalau kau hancurkan seluruh mukanya, tidak lagi nanti orang yang bisa
mengenali dirinya. Aku ingin melakukan sesuatu. Aku ingin menyampaikan pesan
pada dua Datuk pimpinan Luhak lainnya. Agar mereka jangan berani bertindak
ceroboh seperti yang dilakukan Datuk satu ini! Tetapi aku juga ingin
menyesatkan jalan pikiran mereka! Biar mereka menuduh orang lain yang telah
membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
Dari
balik pakaiannya Tuanku Laras lalu keluarkan sepotong robekan kain putih
panjang.
Ki Bonang
usap-usap mata kirinya.
“Tuanku
Laras, bukankah itu potongan sorban Datuk Marajo Sati…?”
Tuanku
Laras menyeringai.
“Aku
gembira kau mengetahui,” kata si muka belang ini. “Aku mengambilnya ketika
tercampakdi tanah sewaktu dia dilempari ratusan batu di Ngarai Sianok. Sekarang
apakah yang ada di dalam benakku sama dengan apa yang ada di dalam otakmu, Ki
Bonang?”
Setelah
berkata begitu Tuanku Laras letakkan robekan sorban Datuk Marajo Sati di atas
telapak tangan kanan Datuk Panglimo Kayo. Lalu lima jari tangan yang masih
belum begitu kaku dikatupkan.
“Tuanku
Laras,” kata Ki Bonang sambil menekap mata kanannya yang hancur dan berdenyut
sakit “Aku memuji kecerdikanmu. Aku merasa dendam kesumatku sulit terbalas
dengan apa yang kau lakukan. Tapi apa yang hendak Tuanku Laras lakukan
selanjutnya?”
Sambil
menyeringai Tuanku Laras Muko Balang menjawab.
“Mayatnya
akan aku kirim ke rumah gadang kediamannya di Batusangkar. Biar gempar orang
seluhak, biar geger semua manusia di tanah Minang ini!”
“Tuanku
Laras, mengapa mau bersusah-susah! Biarkan saja mayat Datuk Panglimo Kayo
membusuk di sini! Kalau memikir dendam kesumat rasanya aku lebih membenci
manusia satu ini dari siapapun! Lihat apa yang terjadi dengan mukaku! Lihat
mataku kini buta sebelah!” Habis berkata begitu Ki Bonang cepat-cepat ambil dua
macam obat dari balik jubahnya. Satu berupa bubuk hitam yang segera ditebarkan
di atas kening dan mata kanannya. Obat yang lain berbentuk butiran kecil bulat
sebanyak tujuh buah segera hendak ditelannya. Tapi lengannya tiba-tiba dicekal
oleh Tuanku Laras Muko Balang. Orang yang wajahnya tertutup bulu hitam putih
ini lantas berkata dengan suara bergetar.
“Siapa
saja bisa mempunyai dendam kesumat dan kebencian terhadap Datuk Panglimo Kayo!
Tapi aku Tuanku Laras Muko Balang, dendam kesumatku terhadap manusia itu jauh
lebih besar dari dendam orang termasuk Ki Bonang ditumpuk jadi satu! Kau dengar
apa yang aku katakan itu Ki Bonang?”
“Tentu
saja aku dengar Tuanku Laras. Tapi terus terang aku tidak mengerti. Ada silang
sengketa apa antara dirimu dengan Tuanku Panglimo Kayo?” jawab Ki Bonang Talang
Ijo lalu meneruskan dengan bertanya.
“Datuk
Panglimo Kayo, manusia jahanam itu! Sepuluh tahun silam dia membunuh ayahku
demi mendapatkan kedudukan sebagai pimpinan Luhak di Tanah Datar!”
“Ah,
kalau begitu maafkan diriku,” kata Ki Bonang pula.
Tuanku
Laras lepaskan cekalannya di lengan Ki Bonang. Orang tua ini cepat-cepat telan
tujuh butir obat yang sejak tadi telah digenggamnya.
Tuanku
Laras Muko Balang sarungkan pedang sakti Al Kausar. Lalu senjata ini diletakkan
di tanah. Ujung rantai besi putih yang melibat mayat Datuk Panglimo Kayo
dicekal erat-erat.
“Ki
Bonang, Pandeka Bumi Langit, ada satu hal yang perlu aku katakan pada kalian.
Dan nanti harap kau beri tahu pada Perwira Teng Sien. Jika aku kembali, aku
harap kalian dan Perwira Cina itu serta gadis di bawah pohon sana tetap berada
di tempat ini. Jangan sekali-sekali coba melarikan diri dari sini, membawa
gadis itu atau menipuku dengan cara keji lainnya. Jika hal itu terjadi maka Ki
Bonang tidak akan pernah kembali ke tanah Jawa, Perwira itu tidak akan pernah
pulang ke negerinya di Tiongkok dan Pandeka Bumi Langit hanya bisa pulang ke
Sumanik dalam keadaan tidak bernafas lagi.”
Ki Bonang
menyeringai buruk. Pandeka Bumi Langit pencongkan mulut.
“Kami
tidak akan mengkhianatimu! Tapi kami tidak akan mau menunggu sampai
berhari-hari!” Ki Bonang akhirnya keluarkan ucapan.
“Sebelum
matahari tenggelam, aku sudah kembali di sini!” jawab Tuanku Laras lalu
melangkah menyeret mayat Datuk Panglimo Kayo. Dia letakkan dua kaki di aas
pedang Al Kausar. Setelah merapal semacam jampai-jampai orang bermuka belang
ini lalu berseru.
“Pedang
sakti aku perlu bantuanmu. Bawa aku ke Sungai Tarab!”
“Wusss!”
Pedang
sakti di tanah kepulkan asap putih menyilaukan. Lalu terjadilah satu keajaiban.
Senjata yang terbuat dari perak murni itu melesat ke udara mengangkat tubuh
Tuanku Laras yang memegang ujung rantai putih dan melibat mayat Datuk Panglimo
Kayo lalu menerbangkannya ke arah tenggara.
KETIKA
melayang di udara mendekati Sungai Tarab, sebuah dusun kecil tak jauh dari Batu
Sangkar dari udara Tuanku Laras melihat sebuah pedati tak beratap. Di sebelah
depan duduk dua orang anak muda. Satu diantaranya adalah kusir pedati. Yang
seorang lagi asyik menyantap nasi bungkus.
“Ini yang
aku perlukan…” kata Tuanku Laras lalu dengan cepat melayang turun, menghadang
di depan pedati.
Dua anak
muda yang berada di depan pedati tentu saja terkejut bukan alang kepalang
ketika melihat ada orang bermuka aneh turun dari langit, melayang di atas pedang
dan membawa mayat bergulung besi putih lalu menghadang di tengah jalan!
Pemuda
tadi yang asyik menyantap nasi bungkus tercekik seperti mau muntah ketika
melihat sosok mayat yang hancur dan bergelimang darah sebagian wajahnya. Pemuda
yang membawa pedati dalam kejutnya segera menahan tali kekang. Sapi penarik
pedati serta merta berhenti. Dua kaki depan menggurat-gurat tanah. Binatang ini
agaknya juga seperti ketakutan.
“Dua anak
muda, apakah kalian akan menuju ke Batu Sangkar melalui Sungai Tarab?”
Anak muda
yang tadi menyantap nasi bungkus segera berhenti. Nasi bungkus lalu dilempar ke
tepi jalan. Karena ngeri dan jijik melihat muka mayat yang hancur dia tidak
sanggup lagi meneruskan makan.
“Aku
bertanya apakah kalian berdua tuli?” Tuanku Laras yang tidak mau membuang waktu
jadi marah.
Pemuda
yang barusan makan mengangguk. “Kami-kami memang hendak ke Batu Sangkar. Tentu
saja kami melewati Sungai Tarab…” Lalu pemuda ini, yang bernama Majo Jamin,
berbisik pada teman di sebelah yang adalah adiknya, bernama Magek Jamin.
“Magek, aden rasa-rasa kenal dengan orang bermuka belang ini. Aden pernah
melihatnya waktu ada pertunjukan Randai di Payakumbuh… Bukankah dia yang
dijuluki Tuanku Laras Muko Balang?” (Aden: aku)
“Kalian
tengah berbisik-bisik apa?!” Tuanku Laras membentak marah.
“Tidak…
tidak apa-apa…”
“Jangan
berani berdusta! Apa kalian mau aku jadikan mayat bergabung dengan mayat satu
ini?!”
Dua
pemuda jadi ketakutan setengah mati.
“Ampun
Datuk… kami… tadi saya hanya memberi tahu adik saya ini kalau tidak salah saya
menduga bukankah Datuk adalah Tuanku Laras…”
“Hemmmm…
Jadi kalian kenal juga padaku? Siapa nama kalian?”
“Saya
Majo Jamin. Adik saya Magek Jamin. Kami tinggal di selatan Sungai Tarab.”
Dari saku
jubahnya Tuanku Laras keluarkan dua keping uang logam lalu dilemparkan ke
pangkuan dua kakak beradik. Setelah itu dia mengambil pedang yang tergeletak di
tanah lalu dengan gerakan kilat melompat naik ke atas pedati kosong, hanya
dipenuhi jerami kering.
“Kalian
berdua bawa aku ke Batu Sangkar. Jangan berani membuka mulut kalau tidak aku
tanya!”
Dalam
takutnya Magek Jamin segera menjalankan pedati. Sebaliknya dalam takutnya Majo
Jamin melompat dari pedati lalu melarikan diri. Namun dia lari tidak jauh.
Karena begitu Tuanku Laras arahkan ujung pedang bersarung, selarik sinar putih
menderu menghantam punggung Majo Jamin. Pemuda malang ini terlempar masuk ke
dalam jurang sangat dalam dan menemui ajal di dasar jurang.
Melihat
kakaknya dibunuh dan terlempar masuk ke dalam jurang Magek Jamin berteriak.
“Datuk…!
Kau!”
Tuanku
Laras tusukkan ujung sarung pedang perak ke leher kusir pedati.
“Kalau
kau tidak ingin menyusul saudaramu ikuti perintahku. Cepat jalankan pedati!”
Magek
Jamin menggigil ketakutan dan terpaksa mencambuk sapi penarik pedati. Tak
berapa lama setelah melewati Sungai Tarab, Tuanku Laras berkata pada pemuda
kusir pedati.
“Aku rasa
cukup sampai di sini kau menolongku. Selanjutnya sapi penarik pedati ini sudah
tahu jalan ke Batu Sangkar.”
Magek
Jamin pemuda kusir pedati berpaling ke belakang hendak bertanya apa maksud
Tuanku Laras. Namun begitu kepala diputar keningnya dihantam dengan sarung
pedang perak. Tak ampun lagi pemuda ini terbanting ke samping dan jatuh ke
jalan. Tuanku Laras melompat turun dari pedati sementara sapi penarik pedati
terus berjalan ke arah Batu Sangkar, membawa mayat Datuk Panglimo Kayo yang
sudah ditimbun Tuanku Laras Muko Balang di bawah tumpukan jerami kering.
Sesekali sapi ini melenguh, meningkahi bunyi suara ganto yang tergantung di
lehernya.
**********************
7
SEKARANG
kita ikuti apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng setelah oleh
Inyiek Susu Tigo dia dilempar ke dalam telaga penuh berisi buaya sementara
Malin Kapuyuak tergelimpang tertelungkup di atas cabang pohon.
Dalam
episode sebelumnya (Fitnah Berdarah Di Tanah Agam) Inyiek Susu Tigo yang
merupakan salah seorang tokoh utama memiliki kesaktian tinggi telah lebih dulu
didatangi oleh Ki Bonang Talang Ijo, Tuanku Laras, Perwira Teng Sien, Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik, Datuk Pancido dan NiniekPanjalov.
Ki Bonang
dan kawan-kawan mengarang cerita melancarkan fitnah kalau salah seorang murid
Inyiek Susu Tigo yaitu Si Kamba Pesek Tangan Manjulai telah dibunuh oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng dan sebelum dibunuh lebih dulu diperkosa. Tidak heran
kalau ketika Wiro, Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak datang untuk mencari Si
Kamba Mancuang Tangan Manjulai, Inyiek Susu Tigo marah besar walau murid Sinto
Gandeng bersumpah bahwa dia tidak membunuh murid sang Inyiek. Wiro dilempar ke
dalam telaga yang ditunggui puluhan buaya besar peliharaan guru Si Kamba Pesek
dan Si Kamba Mancuang. Di dalam telaga tubuh Wiro secara aneh mengambang
tertelentang. Namun dia sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan atau kaki.
Hanya leher dan sepasang bola mata yang masih mampu diputar sedikit ke kiri
atau ke kanan. Air telaga terasa membeku dingin bukan kepalang hingga geraham
Wiro bergemeletakan menahan gigilan. Dia coba mengerahkan hawa panas sakti tapi
tidak berhasil. Sedikit demi sedikit dia merasa sekujur tubuhnya menjadi kaku.
Lidah juga mulai terasa kelu.
“Manusia
bersusu tiga itu mengatakan besok begitu matahari terbit buaya-buaya jahanam
itu akan menyantap diriku. Celakai Apa yang harus aku lakukan?! Rasanya aku mau
berteriak minta tolong. Tapi lidahku sudah kelu. Jangankan berteriak,
bersuarapun aku tidak bisa. Kalaupun aku mampu berteriak, mending kalau ada
mahluk yang datang menolong sekalipun setan. Bagaimana kalau buaya-buaya itu
yang tersentak lalu tidak menunggu sampai matahari terbit tapi langsung
menyantap diriku sekarang juga? Oala!”
Wiro
menatap ke langit di atasnya. Malah masih belum mencapai pertengahan. Berarti
masih cukup
banyak
waktu untuk memutar akal mencari selamat.
“Dasar
nasib sial celaka! Ada ada saja urusan di negeri orang ini. Aku sudah enak-enak
di tanah Jawa. Datuk Rao memanggilku. Urusan belum selesai, malah belum
ketahuan apa yang harus aku lakukan. Sekarang…” Ingat pada Datuk Rao Basaluang
Ameh, Wiro ingat pula pada Datuk Rao Bamato Hijau yaitu harimau sakti putih
bermata hijau peliharaan sang Datuk. “Ah, sahabatku itu pasti bisa menolong.”
Murid Sinto Gendeng pejamkan mata. Bibir bergerak. Mulut berucap walau suaranya
tidak keluar.
“Datuk
Rao Bamato Hijau, sahabatku. Datanglah cepat. Aku butuh pertolonganmu.
Keluarkan aku dari telaga celaka ini. Datuk Rao Bamato Hijau…”
Wiro
berucap berulang kali tidak putus-putus. Tapi sampai suaranya hilang tak mampu
lagi keluar dari tenggorokan Datuk Rao Bamato Hijau tidak kunjung muncul.
Biasanya kalau dipanggil seperti itu, dalam waktu beberapa kejapan mata saja
harimau putih sakti itu akan segera menampakkan diri.
“Heran,
apa yang terjadi? Mengapa Datuk Rao Bamato Hijau tidak datang? Apakah sedang
ada urusan di tempat jauh dengan Datuk Rao Basaluang Ameh…” Wiro jadi tak habis
pikir.
Apa
sebenarnya yang terjadi dengan harimau putih sakti itu? Seperti yang
diceritakan dan diakui oleh Denok Tuba Biru kepada Wiro, dia berhasil diam-diam
ikut ke tanah Minang dengan bergantungan di bagian bawah tubuh harimau putih
yang membawa Wiro untuk menemui Datuk Rao Basaluang Ameh. Wiro tidak mengetahui
keberadaan gadis gemuk bermuka biru belang kuning karena Denok Tuba Biru
mengerahkan ilmu kesaktian bernama Bayang Bayang Angin.
Walau Pendekar
212 tidak mengetahui si gadis gembrot itu ikut bersamanya, tapi harimau sakti
Datuk Rao Bamato Hijau tentu saja tidak bisa ditipu. Dia tahu tubuhnya
digelayuti gadis itu. Lalu mengapa binatang sakti ini diam saja? Tidak lain
karena Denok Tuba Biru punya akal dan cara manjur untuk menggereng-gereng halus
kedap-kedipkan sepasang mata yang hijau. Sepanjang perjalanan Denok Tuba Biru
tiada hentinya mengusap-usap dan meniup-niup “Burung” Datuk Rao Bamato Hijau
hingga harimau putih ini menjadi diam dan jinak dalam kenikmatannya.
Seumur
hidup jadi peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh, harimau putih itu belum pernah
merasakan kenikmatan seperti yang dialaminya. Selama beberapa hari dia mendekam
di dalam alamnya namun lama-lama tidak tahan juga. Ingatannya tidak bisa lenyap
dari gadis gemuk Denok Tuba Biru. Akhirnya harimau putih ini keluar dari alam
gaib pergi mencari gadis bertangan ampuh yang bisa memberi kenikmatan itu.
Ketika Wiro memanggilmanggilnya Datuk Rao Bamato Hijau tengah melayang di atas
Danau Maninjau. Binatang sakti ini telah dapat mencium bau tubuh Denok Tuba
Biru dan tahu kira-kira ke arah mana dia harus mencari gadis itu. Walau dia
mendengar ngiangan suara Wiro di kedua telinganya namun dia tidak mengacuhkan.
Yang lebih penting baginya saat itu adalah menemui Denok Tuba Biru sang
pengusap.
DI DALAM
rumah di tengah telaga kini perhatian Inyiek Susu Tigo tertuju pada Denok Tuba
Biru, gadis gemuk berwajah biru bergaris-garis kuning. Agaknya dia akan segera
menjadi korban kemarahan Inyiek Susu Tigo berikutnya. Malin Kapuyuak yang
mengetahui hal ini segera membisikkan pada Denok Tuba Biru agar cepat-cepat
menghisap tiga puting susu si Inyiek. Menurut Malin Kapuyuak, dengan cara
begitu maka sebagian ilmu kesaktian Inyiek Susu Tigo akan pindah ke dalam diri
Denok Tuba Biru. Selain itu dia akan diangkat jadi murid.
Dalam
keadaan terdesak Denok Tuba Biru ikuti saja apa yang dikatakan Malin Kapuyuak.
Dengan gerakan cepat dia berhasil menghisap tiga puting susu Inyiek Susu Tigo.
Tapi apa yang terjadi?
Bukan ilmu
kesaktian yang didapat Denok Tuba Biru. Ternyata Inyiek Susu Tigo mempunyai
kaul yaitu siapa saja perempuan yang bisa menghisap ketiga puting susunya maka
akan dijadikan sebagai istri!
Ketika
hal itu diucapkan Inyiek Susu Tigo dengan suara keras dan girang, kejut Denok
Tuba Biru bukan alang kepalang. Dalam marahnya karena merasa ditipu gadis gemuk
ini jotos muka Malin Kapuyuak hingga bibir dan hidungnya mengucurkan darah.
Kaiau tidak ditolong oleh Inyiek Susu Tigo mungkin pemuda ini bisa babak belur.
Oleh sang Inyiek Malin Kapuyuak yang tadinya juga hendak dihajar hanya dilempar
hingga jatuh terpentang di cabang pohon. Mungkin Inyiek Susu Tigo merasa pemuda
yang punya kesukaan mengintai anak gadis orang mandi di pancuran itu telah
membantunya mendapatkan seorang calon istri!
Dengan
susah payah Denok Tuba Biru berhasil keluar dari dalam pondok di tengah telaga
lalu melarikan diri. Inyiek Susu Tigo yang konon sudah belasan tahun menunggu
datangnya sang calon istri tentu saja tidak mau kehilangan Denok Tuba Biru. Dia
segera menghambur keluar pondok mengejar gadis gemuk berbulu ketiak lebat itu!
Selain kaulnya, mungkin pula Inyiek Susu Tigo memang suka pada sosok tubuh
Denok Tuba Biru yang gemuk buntal ditambah bulu ketiak yang lebat tersembul!
Ketika
Inyiek Susu Tigo melayang di atas telaga muncul seorang perempuan sambil
berseru agar Inyiek Susu Tigo jangan pergi dulu karena ada yang hendak
disampaikannya. Tapi Inyiek Susu Tigo yang tidak mau kehilangan Denok Tuba Biru
tidak perdulikan seruan orang, padahal yang datang itu adalah Si Kamba
Mancuang, muridnya yang merupakan saudara kembar Si Kamba Pesek yang telah
dibunuh Ki Bonang dan kawan-kawannya. Tapi kejahatan itu difitnahkan pada Wiro
sebagai pelakunya.
**********************
8
UNTUK
beberapa lamanya Si Kamba Mancuang berdiri di langkan rumah kayu. Dia merasa
heran Inyiek tidak mengacuhkan dirinya.
“Apa dia
tidak melihat, apa telinganya tidak mendengar suara seman denai? Ada urusan apa
Inyiek gerangan? Lalu pemuda yang dalam bahaya itu, di mana dia berada?”
Si Kamba
Mancuang dalam pikiran yang agak bingung tidak melihat kalau Wiro mengambang di
permukaan telaga yang memang gelap. Namun dia dapat menyaksikan puluhan buaya
yang biasanya berada di dalam telaga saat itu mendekam di seputar tepi telaga.
“Buaya-buaya
peliharaan Inyiek itu. Mereka menunggu datangnya saat bersantap…” Si nenek
membatin. Rupanya dia sudah tahu. Jika pada malam hari puluhan buaya tidak
berada di dalam telaga, berarti besoknya akan ada manusia yang jadi santapan.
“Siapa
korban kali ini?” pikir Si Kamba Mancuang. Dia kembali memperhatikan ke arah
telaga. Namun belum sempat melihat sosok Wiro yang mengambang si nenek
tiba-tiba seperti mendengar suara orang.
“Ada
orang mengerang. Tapi sambil bercarut marut… Di arah pohon besar sana…”
Tidak
menunggu lebih lama, Si Kamba Mancuang segera melesat di permukaan telaga lalu
melompat ke atas pohon besar. Berdiri di cabang sebelah bawah cabang di mana
Malin Kapuyuak tertelentang melintang.
“Aneh,
tadi ada suara mengerang. Sekarang mengapa sunyi?!” pikir si nenek.
Tiba-tiba
dia merasa ada tetesan air jatuh dari atas membasahi bahunya. Tetesan air
diusap.
“Hari
tidak hujan, embun belum turun secepat ini. Air apa ini? Mengapa terasa
hangat?”
Si nenek
dekatkan jari-jari tangannya yang mengusap air ke hidung. Langsung dia
berteriak marah.
“Kurang
ajar! Air kajamban!” (Air kajamban: air kencing)
Dalam
marahnya Si Kamba Mancuang mendongak ke atas. Baru dia melihat sosok tubuh
Malin Kapuyuak.
“Mahluk
jahanam! Siapa kau? Orang apa hantu?! Mengapa di atas pohon! Kau mengencingi
aku! Akan aku remas barangmu sampai hancur! Kurangajar sekali!”
Di cabang
pohon sebelah atas terdengar suara mengerang disusul suara ucapan
tersendat-sendat
“Nek… aku
Malin Kapu… yuak. Kalau kau tidak segera menolong, perutku akan pecah. Isi
perutku akan tumpah. Kau bukan hanya ketetesan air kencingku tapi juga akan
kejatuhan langekku!” (langek: kotoran)
Dengan
geram Si Kamba Mancuang melesat ke cabang pohon di sebelah atas. Kuduk baju
Malin Kapuyuak dicekal lalu pemuda itu dibawa melayang turun. Sampai di tanah
Malin Kapuyuak dilempar ke bawah pohon.
“Malin
Kapuyuak! Di mana-mana kau selalu berbuat yang tidak menyenangkan orang! Kalau
bukan kau sudah keremas hancur barangmu! Apa yang terjadi dengan dirimu?
Mengapa berada di sini! Mana sahabatmu pemuda Jawa berambut panjang seperti
perempuan itu?!”
Malin
Kapuyuak duduk bersandar di batang pohon sambil memegangi perutnya yang sakit
Dada turun naik, nafas tersengal. Dalam hati dia berkata, “Ala mak, si Uda itu
rupanya yang membuat bingung dan mengesalkan hati nenek ini.” Lalu pada Si
Kamba Mancuang dia berkata.
“Bertanya
satu-satu Nek. Jangan menyembur seperti Kudo taciriek!” (kudo taciriek: kuda
berak)
“Plaak!”
Si nenek tampar pipi Malin Kapuyuak.
“Dengar,
aku sedang marah! Saudara kembarku mati dibunuh orang. Guruku tidak mengacuhkan
diriku! Kau bukan saja telah berlaku kurang ajar mengencingiku, tapi sengaja
berlambat-lambat menjawab pertanyaanku!”
“Sabar
Nek, akan aku jawab… akan aku terangkan padamu…” Malin Kapuyuak usap pipinya
yang masih terasa sakit dan panas akibat tamparan si nenek. “Aku berada di atas
pohon bukan mauku! Aku dilempar Inyiek Susu Tigo, gurumu…”
“Guruku
memang aneh! Tapi dia tidak mau menghajar orang sesukanya. Kau pasti punya
salah! Pasti berlaku kurang ajar!”
“Tidak,
maksudnya baik. Dia hendak menolongku dari gebukan seorang gapuakyang hendak
dijadikan istrinya sesuai kaulannya. Tadinya… aku tidak tahu kalau gurumu punya
kaulan seperti itu! Aku terlanjur…” (gapuak: gemuk)
Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai tersentak kaget. Dia cepat memotong ucapan Malin
Kapuyuak.
“Apa
Inyiek… maksudmu gadis gemuk itu telah menghisap tiga susu Inyiek?” Rupanya
sang murid tahu juga riwayat kaulan Inyiek Susu Tigo.
“Benarsekali…
“jawabMalin Kapuyuak. “Karena tidak menyangka dan juga ketakutan setengah mati
gadis gemuk itu melarikan diri. Sekarang gurumu pasti tengah mengejarnya Nek.”
Si nenek
geleng-geleng kepala, mulut yang bergigi dilapisi perak berkomat-kamit entah
mau mengatakan apa. Dua tangan yang panjang hampir menyentuh tanah dikepalkan
berulang kali. Lalu dia berucap, “Kau belum memberi tahu di mana pemuda Jawa
bernama Wiro itu! Aku harus segera menemuinya. Ada orang hendak berbuat jahat
terhadapnya. Mau membunuhnya!”
“Kami
sudah tahu Nek…” kata Malin Kapuyuak pula.
“Apa
maksudmu kami sudah tahu?!”
“Orang-orang
itu adalah kakek Jawa berjubah hijau dan lima kawannya. Tadi mereka menemui
Inyiek. Memfitnah bahwa sahabatku itu telah memperkosa dan membunuh saudaramu
si nenek pesek…”
“Kurang
ajar! Justru aku ke sini mau memberi tahu Inyiek. Tapi dia lebih suka mengejar
calon istrinya itu daripada bicara sebentar dengan denai! Hai! Sahabatmu itu!
Di mana dia?!”
Malin
Kapuyuak monyongkan bibir sambil tangan kanan menunjuk ke arah telaga.
“Di dalam
telaga sana. Kata Inyiek besok begitu matahari terbit dia akan segera menjadi
mangsa puluhan buaya itu…”
“Astaga!”
Si nenek terkejut dan cepat-cepat berpaling ke arah telaga. Mata dibuka
lebar-lebar. Kali ini baru dia dapat melihat tutyuh Wiro yang terlentang
mengapung di permukaan air telaga. “Ya Tuhan rupanya dia yang akan jadi korban
pembantaian buaya peliharaan Inyiek!”
“Nek,
kalau kau memang sayang pada Uda sahabatku itu, kau harus menolongnya!”
Si Kamba
Mancuang tersentak kaget mendengar ucapan Malin Kapuyuak.
“Pemuda
kurang ajar! Kau ini bicara apa?!” membentak Si Kamba Mancuang.
Malin
Kapuyuak tertawa.
“Lantas
kalau kau tidak sayang padaku, apa kau tidak mau menolongnya?”
Si nenek
bantingkan kaki ke tanah.
“Aku
bukan tidak mau menolong! Tapi aku tidak mampu! Kau lihat puluhan buaya itu?
Jika ada yang mendekati tubuh sahabatmu, sekalipun aku murid Inyiek,
buaya-buaya itu akan lebih dulu membantai orang yang mau menolong itu!”
“Kalau
begitu kau bunuh saja semua buaya itu!”
“Dasar
Kapuyuak! Bicara seenak perutmu sendiri!” maki Si Kamba Mancuang.
“Kita
harus mencari akal Nek. Sahabatku si Uda pandeka itu harus ditolong.”
“Kalau
berhadapan dengan Inyiek Susu Tigo tidak ada yang namanya akal tapi kenyataan!
Karena kalau kita punya satu akal dia punya seribu akal!”
“Tapi
saat ini dia tidak ada di sini…”
“Kau
tidak percaya pada ucapanku? Mari aku buktikan!”
Si Kamba
Mancuang cekal leher baju Malin Kapuyuak lalu sambil membembeng pemuda ini ia
melompat ke tepi telaga. Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Puluhan
buaya bergerak cepat ke arah mereka. Malin Kapuyuak menjerit ketakutan. Si
nenek melesat menjauhi telaga, kembali ke bawah pohon besar.
“Sekarang
baru kau percayai” kata Si Kamba Mancuang pula. “Dan bukan puluhan buaya itu
saja yang jadi ancaman! Tubuh sahabatmu yang terapung di atas permukaan air
telaga itu walaupun bisa didekati dan disentuh tapi tidak bisa dikeluarkan dari
dalam air telaga. Inyiek telah merekat pemuda itu dengan ilmu Merekat Raga
Menahan Jiwa!”
“Onde
Mak, cilako benar nasib sahabatku,” ucap Malin Kapuyuak.
“Satu-satunya
cara menyelamatkan pemuda itu adalah mencari dan menemui Inyiek Susu Tigo,
minta pengampunan padanya agar dia mau melepaskan sahabatmu itu.”
“Kalau
memang tak ada jalan lain biar aku pergi mencari Inyiek. Pemuda Jawa itu pernah
menyelamatkan jiwaku. Sekarang giliranku menyelamatkan jiwanya, kalau aku
mampu. Tapi aku mau mencari ke mana? Lalu apa aku bisa menemuinya sebelum
matahari terbit? Kalau bertemu apa Inyiek mau membantu?” Malin Kapuyuak nampak
bingung sendiri dan cemas.
Lama si
nenek terdiam merenung. Akhirnya dia berkata.
“Mungkin
hanya ada dua orang yang mampu menyelamatkan pemuda itu.”
“Siapa
mereka Nek?”
“Yang
pertama perempuan yang hendak dijadikan istri oleh Inyiek. Karena kalau dia
memang menginginkan gadis itu, apapun pinta si gadis pasti akan dituruti.”
“Satunya
lagi siapa?” tanya Malin Kapuyuak.
“Inyiek
Batino. Ratu sekalian Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah.”
Malin
Kapuyuak ingat bagaimana dia dua kali gagal ketika mencoba menjual nama Inyiek
Batino untuk menakuti Ki Bonang dan kawan-kawan serta Inyiek Susu Tigo.
Terbungkuk-bungkuk karena perutnya masih sakit akibat terlalu lama tertelungkup
melintang di cabang pohon, pemuda ini berusaha sendiri.
“Nek,
kita harus segera mencari salah seorang dari mereka…
“Inyiek
Batino kurasa yang paling ampuh. Karena setahuku guruku sangat segan pada
perempuan sakti berwajah harimau itu. Tapi…”
“Jangan
terlalu banyak tapi Nek!” Malin Kapuyuak sudah tidak sabaran.
“Inyiek
Batino tidak diketahui berada di gunung yang mana saat ini. Kita tidak mungkin
mencari di tujuh gunung…”
“Nek,
kalau kau bicara begitu sama saja dengan takantuik!” (takantuik: terkentut Di
sini maksudnya sama saja dengan bohong)
“Mencari
gadis gendut calon istri Inyiek itu rasanya lebih mungkin. Kalau kita berhasil
menemuinya mungkin Inyiek juga ada di situ.”
“Kalau
begitu kita cari sekarang juga.” Malin Kapuyuak menatap ke langit. “Menurutku
saat ini sudah di pertengahan malam. Waktu kita tidak banyak sampai matahari
terbit.”
“Aku
tahu. Ada satu cara yang bisa membantu agar kita bisa menemui gadis itu. Jika
Inyiek memang sudah memilihnya untuk dijadikan istri maka sebagian hawa di
dalam tubuh Inyiek sudah berpindah ke dalam tubuhnya. Membaui hawa di tubuh si
gadis lebih mudah daripada membaui hawa yang ada di tubuh Inyiek.”
“Sudah!
Jangan bicara saja! Kita pergi sekarang Nek!”.“Tunggu dulu. Masih ada satu hal
lagi yang harus dilakukan,” kata Si Kamba Mancuang. “Hawa di dalam tubuh si
gadis berasal dari kesaktian Inyiek Susu Tigo. Kita bisa mengetahui keberadaan
gadis itu kalau kita menjalani salah satu kebiasan Inyiek. Yang paling ampuh
ialah meniru cara dia sering berdiri. Kaki ke atas kepala ke bawah. Aku tidak
mungkin berjalan apa lagi berlari dengan cara itu. Berarti kau yang melakukan.”
“Kau ini
ada-ada saja Nekl Mana mungkin aku melakukan hal itu.”
“Aku akan
mendukungmu, kakimu kau silangkan di atas bahu dan leherku, kepalamu di sebelah
bawah. Tapi aku mendukungmu di sebelah belakang…”
“Berarti
mukaku akan menghadap dan menempel di lancirikmu Nek! Kau bisa enak-enak
kegelian. Tapi aku! Hidungku bisa tanggal!” (Iancihk: pantat)
“Pemuda
kurang ajar! Itulah kalau terlalu sering mengintip perempuan mandi. Kalau
punggungmu yang beradu dengan punggungku mana mungkin mukamu malakok di
pantatku!” (malakok : menempel) Kini si nenek yang jadi kesal. Lalu sekali dia
bergerak tubuh Malin Kapuyuak dipentangnya kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki
kedua nenek ini bergerak pemuda itu sudah berada di belakang punggungnya.
Sambil mencekal dua kaki Malin Kapuyuak Si Kamba Mancuang dengan cepat
berkelebat tinggalkan tempat itu. Sambil lari dia menghirup udara berulang kali
untuk menjajagi hawa Inyiek Susu Tigo yang ada di dalam tubuh Denok Tuba Biru.
Dengan cara itu dia mampu mengetahui arah mana yang harus dituju. Apa lagi tadi
dia sempat memperhatikan ke arah mana sang guru melesat dalam mengejar gadis
gemuk itu.
“Nek,
jangan kencang-kencang larinya. Kepalaku pusing! Aku bisa muntah!” berteriak
Malin Kapuyuak. “Hueekkk!”
**********************
9
TUBUH
gemuk tinggi Inyiek Susu Tigo mengeluarkan suara angin menderu. Rambut dan janggut
berkibar-kibar. Sekian lama dia mengerahkan ilmu kesaktian untuk berlari cepat,
tokoh silat utama di tanah Minang ini jadi heran. Dia hentikan lari sesaat lalu
tinggikan kepala, mengendus udara berulangkah.
“Aneh,
dari tadi aku sudah mencium baunya. Tapi mengapa masih tidak melihat ujudnya?
Istriku… ilmu apa yang kau miliki hingga tega-teganya menghilang dari pandangan
mataku?”
Saat itu
seperti yang diperkirakan Inyiek Susu Tigo, Denok Tuba Biru yang tengah dikejar
memang telah berada cukup dekat hanya sekitar dua tombak di sebelah depan.
Namun karena gadis gemuk ini menerapkan Ilmu Bayang Bayang Angin maka Inyiek
Susu Tigo tidak mampu melihatnya. Denok Tuba Biru walau mampu melenyapkan diri
tidak kelihatan namun tetap merasa khawatir karena jarak dia dengan orang yang
mengejar hanya terpaut dua sampai tiga tombak saja.
Inyiek
Susu Tigo akhirnya hentikan lari. Mengusap dagu yang ditumbuhi janggut hitam
lebat sambil berpikir-pikir.
“Orang
Jawa ilmu kesaktiannya memang tinggi dan hebat-hebat Aku mau lihat apa dia bisa
menangkal ilmuku yang satu ini.”
Habis
berkata begitu Inyiek Susu Tigo berjongkok di tanah. Mulut komat kamit merapal
satu ajian sambil tangan membuka ikatan kain hitam yang tergulung di kepala.
Gulungan kain menyerupai sorban itu digelar memanjang di atas tanah. Sambil
mata dipejamkan Inyiek Susu Tigo membentak.
“Pergi!”
“Bukk!”
Inyiek
Susu Tigo pukulkan telapak tangan kanan ke tanah. Kejapan itu juga gulungan
kain hitam bergerak seperti ular mengangkat kepala. Disertai suara mendesir
gulungan kain hitam melesat ke depan dalam kegelapan malam.
Di depan
sana, sejarak sekitar dua puluh tombak tiba-tiba terdengar pekik perempuan. Itu
adalah suara pekik Denok Tuba Biru. Tubuhnya yang gemuk hampir jatuh tersungkur
kalau dia tidak cepat mengimbangi diri. Memandang ke bawah dia melihat satu
kain hitam panjang telah melibat kedua kakinya mulai dari mata kaki sampai ke
betis. Serangan ilmu yang dilancarkan Inyiek Susu Tigo telah mengena!
“Kurang
ajar! Benda jahanam apa yang menjirat kakiku! Aku tidak bisa melangkah!”
Denok
Tuba Biru membungkuk, berusaha membuka dan memutus gulungan kain hitam. Tapi
pinggangnya seperti kaku. Dia tidak mampu membungkuk hingga dua tangannya tidak
sampai menyentuh kain hitam.
Gadis
gemuk ini tidak kehabisan akal. Dia membuat gerakan hendak menjatuhkan diri ke
tanah. Tapi astaga! Dua telapak kakinya seperti dipaku lengket ke tanah.
Jangankan diangkat, digeser sajapun tidak bisa! Sadar kalau ada orang telah
mengerjai dirinya Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam dan hawa panas. Dialirkan
pada dua kaki. Dia bertiarap sekali dua kaki disentakkan maka kain hitam yang
mengikat akan robek dan putus. Namun sampai napas tersengal dan seluruh tubuh
bergetar libatan kain hitam tidak bisa diputus atau dirobek. Malah kedua
kakinya terasa sakit sekali seperti dicucuk ratusan jarum!
Tiba-tiba
dia mendengar suara menderu, tanah bergetar. Berpaling ke kiri Denok Tuba Biru
tersentak kaget Darah mendesir. Mahluk gemuk tinggi bernama Inyiek Susu Tigo
itu kini berada di samping kirinya. Hanya sejarak dua langkah!
Walau
berada sedekat itu namun Inyiek Susu Tigo masih belum melihat Denok Tuba Biru.
Gadis gemuk ini maklum cepat atau lambat orang itu pasti akan melihat ujud atau
mengetahui keberadaannya. Saat itu dia melihat Inyiek Susu Tigo berdiri dengan
mendongakkan kepala ke langit gelap. Tangan kiri mengusap-usap dada berbulu.
Denok Tuba Biru merinding sewaktu mendengar orang ini berucap.
“Istriku,
aku mencium semerbak bau tubuhmu. Mengapa kau masih tidak mau memperlihatkan
diri? Mengapa tega menggunakan ilmu untuk sembunyi? Aku tahu kau ada di dekat
sini. Dekat sekali. Aku ingin melihatmu. Aku ingin menyentuhmu. Wahai istriku,
perlihatkan dirimu…”
“Istriku…?
Celaka!” ucap Denok Tuba Biru dalam hati.
Inyiek
Susu Tigo maju dua langkah ke depan sambil dua tangan diulurkan lalu disapukan
kian kemari seperti berusaha menyentuh sesuatu. Tapi dia hanya menyapu udara
kosong. Dia mundur ke tempat semula lalu bergerak ke kanan dua langkah. Tangan
kembali disapukan. Tetap saja dia tidak menyentuh apa-apa. Kembali lelaki gemuk
tinggi ini mundur dan kini bergerak dua langkah ke kiri. Saat itu juga tubuhnya
serta merta beradu dengan tubuh Denok Tuba Biru!
Inyiek
Susu Tigo berseru gembira. Dengan cepat dua tangannya digelungkan ke depan.
Sesaat lagi dia akan berhasil merangkul tubuh gemuk Denok Tuba Biru tiba-tiba
bukkk!
Satu
jotosan keras yang dilepaskan Denok Tuba Biru melanda telak dada berbulu Inyiek
Susu Tigo hingga si gemuk besar ini terpental beberapa langkah dan jatuh
terjengkang di tanah. Dari mulutnya keluar suara mengerang sementara wajah
mengelam menahan sakit. Dalam hati dia berkata.
“Seumur
hidup baru kali ini aku dihantam pukulan sehebat ini. Dadaku terasa remuk.
Tulang-tulang seperti melesak ke dalam… Ada hawa aneh dalam tubuhku!”
Inyiek
Susu Tigo buka mulutnya lebar-lebar Kerahkan hawa sakti di dalam tubuh. Saat
itu juga dari mulut, hidung dan telinga menyembur keluar asap lembab berwarna
kebiru-biruan.
“Racun
jahat…” ucap Inyiek Susu Tigo dalam hati. Wajah berubah merah menahan amarah.
Sementara DenokTuba Biru terkesiap dan membatin.
“Orang
lain jika terkena pukulanku tadi paling tidak pasti muntah darah! Mahluk satu
ini hanya mengerang kesakitan. Dia mampu mengeluarkan racun pukulan! Sungguh
luar biasa!”
Masih
dalam keadaan terduduk di tanah wajah gelap Inyiek Susu Tigo menatap garang ke
depan, ke arah mana dipastikannya Denok Tuba Biru berada. Dari mulutnya keluar
suara menggembor marah.
“Aku
bermaksud baik! Tapi kalau orang membalas dengan kekerasan maka apapun akan aku
lakukan! Kalau aku harus mati maka calon istriku juga harus mampus!”
Habis
berkata begitu Inyiek Susu Tigo yang sudah dapat mengira-ngira di mana saat itu
berdirinya Denok Tuba Biru bergerak bangun lalu melompat ke depan. Sekali
menyergap dia berhasil merangkul tubuh gemuk si gadis yang dua kakinya tidak
mampu digerakkan itu. Sebaliknya yang dirangkul berusaha melepaskan diri sambil
hantamkan pukulan-pukulan keras. Dihujani pukulan bertubi-tubi Inyiek Susu Tigo
menangkis dengan sebat. Namun karena dia tidak melihat lawan dan datangnya
serangan maka beberapa pukulan berhasil mendarat di wajah dan dadanya. Untung
saja kedua kaki Denok Tuba Biru masih dalam keadaan terikat dan tak bisa
bergerak. Kalau tidak pasti Inyiek Susu Tigo akan babak belur karena sampai
saat itu walau marah tapi anehhya dia tidak berusaha balas menyerang. Dua
tangannya tampak bilur-bilur merah biru dan agak membengkak akibat menangkis
pukulan lawan yang tidak kelihatan.
Jika ada
orang lain yang melihat kejadian itu maka akan merasa aneh dan mengira Inyiek
Susu Tigo seorang gila atau tengah kemasukan setan, mencak-mencak seorang diri.
“Manusia
pengecutl Lepaskan kakiku yang kau jerati” berteriak Denok Tuba Biru.
“Kau juga
pengecutl Kalau berani perlihatkan dirimu!” balas berteriak Inyiek Susu Tigo.
“Maumu
akan aku layani! Tapi awas kalau kau tidak melepaskan jiratan kain hitam!
Jangan berani berlaku culas!” Denok Tuba Biru balas berteriak. Lalu sekali dia
merapal mantera maka saat itu juga ujudnya terlihat kembali.
Melihat
sosok nyata si gadis bertubuh gembrot bermuka biru itu Inyiek Susu Tigo
terperangah dan berseru lega penuh gembira.
“Kutemui
juga kau akhirnyal Aku mohon, aku minta kau ikut aku ke rumah di telaga. Kita
bicara soal hari baik hari perkawinan kita…”
DenokTuba
Biru mencibir.
“Walau
aku jelek begini, mana sudi aku kawin denganmu!” jawab Denok Tuba Biru. Lalu
dia membentak. “Kau belum melepaskan jiratan kain hitam!”
Inyiek
Susu Tigo geserkan kaki kanannya ke tanah. “Kain hitam kembalilah!” Serangkum
angin menderu ke arah dua kaki Denok Tuba Biru. “Rerrrtttt!”
Saat itu
juga kain hitam panjang yang melihat sepasang kaki DenokTuba Biru bergerak
berputar lalu melesat di udara dan menggulung di atas kepala Inyiek Susu Tigo.
Bersamaan dengan itu Denok Tuba Biru bisa menggerakkan kedua kakinya. Sambil
bertolak pinggang dan pentang wajah garang gadis itu berkata.
“Aku akan
pergi dari sini. Jangan berani mengikuti I”
Inyiek
Susu Tigo kedap-kedipkan mata, tersenyum dan basahi bibir dengan ujung lidah.
Cara berdiri si gadis ini membuat dadanya yang besar jadi tambah membusung
sementara ketiak tersibak memperlihatkan bulu yang lebat. Sang Inyiek jadi
blingsatan.
“Kau
sudah ditakdirkan jadi istriku. Ke manapun kau pergi aku akan mengikuti. Kita
hidup berdua atau mati bersama!” jawab Inyiek Susu Tigo.
“Gila!”
teriak Denok Tuba Biru lalu saling kesalnya dia tertawa gelakgelak. Melihat
hal ini Inyiek Susu Tigo juga ikutan tertawa. Dua sosok yang sama-sama gendut
gembrot itu tampak terguncang-guncang!
“Istriku,
ikut aku sekarang juga ke pondok di telaga. Aku punya beberapa perangkat
pakaian yang bagus. Jika kau berpakaian cara perempuan di sini kau pasti sangat
cantik. Mengapa paha yang putih, dada yang besar serta bulu ketiak yang rimbun
dipertontonkan pada semua orang. Itu semua nanti akan jadi milikku. Dan hanya
aku seorang yang boleh melihat dan membelai!”
“Kurang
ajar! Tidak tahu diri! Benar-benar tidak tahu diuntung!” teriak Denok Tuba Biru
sambil banting kaki. Didahului pekik kemarahan gadis gemuk ini tusukkan dua
jari tangan kanan ke depan. Dua larik cahaya biru yang mengandung racun jahat
menyambar ke arah dada Inyiek Susu Tigo. Inilah ilmu serangan yang disebut Dua
Jari Penyebar Racun Akhirat.
“Bagus!
Aku senang punya istri berkepandaian tinggi!” Ucap Inyiek Susu Tigo. Lalu tubuh
gemuk besar itu seolah seenteng kapas berkelebat membuat gerakan membalik
jungkir balik. Kini Inyiek berdiri kaki ke atas kepala ke bawah. Dua larik
sinar biru menderu di antara dua kakinya. Begitu lolos dari serangan, dengan
pergunakan dua-tangan sebagai kaki, dia melangkah cepat ke arah Denok Tuba
Biru. Selagi si gadis terkejut melihat hal ini dua kaki Inyiek tahu-tahu sudah
menggelung pinggang dan perutnya yang gembrot!
“Manusia
kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” Teriak Denok Tuba Biru
marah. “Tak tahu diuntung! Makan ini!”
Wuuutt”
Lima
larik sinar biru menyambar keluar dari limajari tangan kanan Denok Tuba Biru.
Inilah tatokan bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernapasan.
Jangankan manusia, gajahpun kalau terkena pukulan ini akan menjadi lumpuh
sekujur tubuhnya!
“Dess!
Desss! Desss!”
Tiga dari
lima sinar biru menghantam tubuh Inyiek Susu Tigo!
**********************
10
TERNYATA
kehebatan ilmu Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernapasan tidak berpengaruh
pada Inyiek Susu Tigo. Walau tubuhnya yang tinggi gemuk mencelat sampai satu tombak
namun dia tidak sanggup dibuat lumpuh. Melihat lawan masih mampu bergerak
bangkit, Denok Tuba Biru segera menerjang dan lepaskan pukulan serta tendangan
berantai.
“Hai!
Istriku! Jangan kau memukul dan menendang suamimu! Nanti bisa kualat!” teriak
Inyiek Susu Tigo.
“Setan
alas! Ilmu kebal apa yang dimiliki mahluk keparat ini!” pikir Denok Tuba Biru
penuh geram. Dia siap menyerang dengan Ilmu andalan yang lain yaitu Racun
Pelemas Raga, Serangan ini berupa racun jahat yang disemburkan dari mulut.
Banyak lawan celaka karena tidak mengira akan mendapat serangan seperti itu
ketika Denok Tuba Biru membarengi serangan dengan pukulan-pukulan tangan
kosong.
Seperti
diceritakan dalam episode Si Cantik Gila Dari Gunung Gede, Denok Tuba Biru
adalah orang termuda dari kelompok yang menamakan diri “Serikat Momok Tiga
Racun”. Dua anggota kelompok lainnya tewas. Yang pertama yaitu Tukak Racun
Kuning tewas di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Momok kedua dikenal dengan nama
Alis Bisa Merah menemui ajal di tangan Manusia Paku Sandaka. Momok ketiga yaitu
Denok Tuba Biru diselamatkan dan diampuni nyawanya oleh Sandaka. Setelah
kejadian itu Denok Tuba Biru berubah menjadi orang baik-baik dan bersama Wiro
pernah menolong Sandaka hingga pemuda ini sembuh dari puluhan paku yang menancap
di tubuh serta kepalanya dan akhirnya berjodoh dengan Nyi Retno Mantili. (Baca
“Perjodohan Berdarah” dan “Bayi Titisan”)
Selama
malang melintang dalam rimba persilatan tanah Jawa, ketiga orang itu terkenal
sebagai kelompok rimba persilatan golongan hitam yang memiliki ilmu hebat dan
telah membuat nama yang menggetarkan para tokoh. Setiap serangan yang
dilancarkan pasti mengandung racun yang bisa mencelakakan bahkan mematikan
lawan.
Denok
Tuba Biru kerahkan tenaga dalam dari pusar. Disalurkan dengan cepat ke dada
terus ke tenggorokan. Sepasang matanya berubah menjadi biru angker. Untuk
mengalihkan perhatian lawan dia mendahului serangan dengan gempuran tangan
kosong. Ketika Inyiek Susu Tigo masih terus mengalah dan hanya sibuk menangkis
tak mau membalas serangan, Denok Tuba Biru tibatiba buka mulutnya lebar-lebar.
Siap untuk menghamburkan Racun Pelemas Raga. Mendadak satu bayangan berkelebat
dalam kegelapan malam.
“Uni
gapuak! Tahan! Hentikan serangan!”
Gadis
gemuk bermuka biru belang kuning terpaksa hentikan serangan. Dia mengenali
suara itu. Tapi tidak melihat orangnya.
“Malin
Kapuyuak! Kau kah itu?!”
Memandang
ke depan Denok Tuba Biru merasa heran. Yang berteriak tadi jelas suara
laki-laki. Suara pemuda bernama Malin Kapuyuak. Tapi yang dilihat di hadapannya
saat itu adalah seorang nenek bertubuh tinggi berambut dan berjubah putih yang
ketika menyeringai kelihatan gigi berkilat karena dilapisi perak.
Si nenek
berpaling ke belakang di mana di punggungnya saat itu masih menggantung tubuh
Malin Kapuyuak. Dia berbisik.
“Cepat
kau bujuk gadis gendut itu… Aku akan mengurusi si Inyiek.”
Sekali
nenek ini yang bukan lain adalah Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai menggerakkan
dua tangan, maka Malin Kapuyuak yang sejak tadi dibawanya berlari di belakang
punggung terlempar ke hadapan Denok Tuba Biru. Kalau tidak cepat lengannya
dipegang si gadis pasti pemuda ini tersungkur jatuh di tanah.
“Uni
gapuak, hanya kau yang bisa menyelamatkan sahabat kita Uda berambut panjang
itu.”
“Maksudmu
Wiro?”
Malin
Kapuyuak mengangguk.
“Aku
memang ingat-ingat pemuda itu. Tapi mahluk bersusu tiga itu mengejarku. Ini
semua gara-garamu. Kalau kau tidak menipu memberi keterangan sialan itu…”
“Aku
tidak menipu. Aku memang tidak tahu. Aku yakin saat ini ada sebagian ilmu
Inyiek Susu Tigo yang sudah masuk ke dalam tubuhmu…”
“Ilmu
kentut!” maki Denok Tuba Biru.
“Sudah!
Jangan disebut lagi hal itu. Kau harus menerima permintaan Inyiek Susu Tigo
untuk dijadikan istrinya…”
“Setan!
Apa tidak salah aku mendengar?!” bentak Denok Tuba Biru.
“Dengar dulu!
Ini satu-satunya cara menyelamatkan Wiro. Jika kau pura-pura mengatakan pada
Inyiek bahwa kau bersedia menjadi istrinya tapi terlebih dulu inyiek harus
membebaskan Wiro, pasti dia mau melakukan…”
“Pemuda
itu, apa dia masih di telaga?”
“Benar…”
jawab Malin Kapuyuak.
“Kalau
begitu kita segera pergi ke sana menyelamatkan Wiro!”
“Tidak
mungkin Uni…”
“Apa yang
tidak mungkin?!” kembali Denok Tuba Biru menghardik.
“Nenek
berjubah putih itu. Dia murid Inyiek. Dia sudah memberi tahu kalau tidak satu
orang pun bisa menyelamatkan Wiro. Kuncinya pada Inyiek. Aku menyaksikan
sendiri nenek itu coba menolong tapi sia-sia karena dia akan jadi santapan
puluhan buaya lebih dulu!”
“Kalau
begitu buayanya yang dibunuh duluan!”
Malin
Kapuyuak menggeleng, “Aku juga sudah bilang begitu pada si nenek. Tapi tidak
mungkin. Wiro tidak bisa diangkat dari atas permukaan telaga. Tubuhnya lengket
seperti direkat ke air. Uni, sebaiknya kau lekas mendatangi Inyiek itu. Katakan
padanya kau bersedia menjadi istrinya. Asal sahabat kita Wiro dibebaskan lebih
dulu. Kalau Wiro sudah bebas kita bisa melarikan diri. Tapi kalau nanti kau
memang mau kawin benaran dengan Inyiek kurasa ada baiknya juga. Mungkin memang
sudah takdirmu menemui jodoh di negeri ini. Lagi pula, kalau diurus dan
didandani yang apik, apa lagi dimandikan dengan bunga tujuh rupa aku rasa
Inyiek itu tidak buruk-buruk amat…”
“Setan
kau Malin!” damprat si gadis gemuk. “Dengar, ada yang tidak aku mengerti. Nenek
itu jelas tebih tua dari Inyiek. Bagaimana mungkin dia bisa jadi muridnya? Lalu
jika dia memang murid Inyiek, mengapa dia mau membela Wiro, bukan membantu
gurunya?!”
Malin
Kapuyuak tanggalkan destar putih milik Wiro yang dipakainya, Kepala digaruk
berulang kali.
“Kalau
kita bicara dan berdebat terus di sini, nanti hari keburu siang. Matahari
keburu terbit dan Wiro tidak bisa diselamatkan lagi dari serbuan puluhan buaya
yang bakal membantainya!”
Sementara
itu Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai sudah berdiri di hadapan gurunya.
“Inyiek,
denai perlu bicara dengan Inyiek. Ini sangat penting…” (denai: saya)
Inyiek
Susu Tigo delikkan matanya yang belok besar.
“Aku
lebih penting mengurus calon istriku! Menyingkirlah sebelum gadis itu melarikan
diri lagi…”
“Inyiek,
aku dan pemuda itu akan membujuk agar gadis itu mau menjadi istrimu. Tidak
sulit. Tapi asal kau lebih dulu mau membebaskan sahabatnya, pemuda berambut
panjang yang kau rekat di permukan telaga…”
“Aku
tidak akan membuat perjanjian gila itu! Pemuda itu telah memperkosa dan
membunuh saudara kembarmu Si Kamba Pesek! Malah mencari-carimu hendak
disantuangnya pula! Mengapa kau justru membelanya?!” (disantuangnya: di sini
maksudnya hendak diperkosa)
“Itulah
sebabnya denai minta diperbolehkan bicara. Agar denai bisa menerangkan hal yang
sebenarnya pada Inyiek.”
Inyiek
Susu Tigo tidak perduli. Dia ulurkan tangannya yang besar lalu mendorong si
nenek ke samping.
“Inyiek,
tidak mau mendengarkan keterangan denai tidak jadi apa. Tapi kalau Inyiek
sampai kesalahan tangan membunuh pemuda itu, Inyiek tidak akan mendapatkan
gadis dari Jawa itu untuk selama-lamanya. Inyiek jadikan istri!” Lalu Si Kamba
Mancuang dengan kesal melengos pergi.
Inyiek
Susu Tigo jadi terdiam. Dia menatap si nenek lekat-lekat lalu berkata.
“Eh,
tunggu dulu!” Inyiek akhirnya berucap. “Baik, sekali ini aku turuti
permintaanmu. Apa yang hendak kau katakan padaku?”
“Terima
kasih Inyiek mau memberi kesempatan,” ucap Si Kamba Mancuang pula. “Ketahuilah
pemuda yang berasal dari Jawa itu sama sekali tidak memperkosa apa lagi
membunuh saudara kembar denai Si Kamba Pesek.”
“Lalu
bagaimana saudaramu bisa mati? Dicekik hantu Haru-Haru?!”
“Tidak
Inyiek. Saya mendapat kabar pelakunya adalah serombongan orang yang dipimpin
oleh seorang kakek berjubah dan berkopiah hijau berasal dari tanah Jawa,
bernama Ki Bonang Talang Ijo. Saya memang belum menyelidik kebenaran kabar itu.
Tapi Ki Bonang dan teman-temannya pernah bentrok dan memang tidak menyukai
pemuda itu karena dia dianggap sebagai penghalang dari apa yang tengah mereka
lakukan…”
“Orang
tua bernama Ki Bonang Talang Ijo itu bersama teman-temannya telah menemuiku di
pondok di tengah telaga. Mereka meyakinkan bahwa memang pemuda berambut panjang
yang berasal dari Jawa itulah pemerkosa dan pembunuh Si Kamba Pesek!”
“Fitnah
busuk Inyiek. Itu hanya fitnah…”
“Kalau
memang begitu biar. nanti saja akan aku selidiki. Saat ini aku mau mengurus
betina cantik itu yang juga berasal dari Jawa. Menyingkirlah…”
“Tapi
Inyiek, tak lama lagi matahari akan terbit. Puluhan buaya peliharaan Inyiek
akan memangsa pemuda itu…”
“Kamba
Mancuang, aku heran mengapa kau sangat mengkhawatirkan diri pemuda asing itu?”
“Karena…
karena…”
“Karena
apa?!” sentak Inyiek Susu Tigo.
“Karena
sebenarnya dia pernah menolong saudara kembar denai Si Kamba Pesek. Selain itu
denai juga menyirap kabar kalau dia ditugaskan melakukan sesuatu untuk
menghindarkan malapetaka besar di negeri ini.”
“Ah,
pahlawan gadang rupanya pemuda itu…” Inyiek Susu Tigo menyeringai lalu
keluarkan suara berdecak berulang kali sambil kepala digeleng-geleng. “Ilmu
hanya setinggi mata kaki mau menghindarkan malapetaka di negeri ini! Apa tidak
ada orang cerdik pandai dan sakti di tanah Minang ini?!”
Si nenek
diam saja.
“Kamba
Mancuang! Siapa yang kau bilang memberi tugas pada pemuda Jawa itu?” “Denai
tidak tahu Inyiek.” Inyiek Susu Tigo tampak kesal. “Kamba Mancuang. Jangan
membuat aku jadi marah! Kau mau berbanyak mulut tapi ternyata banyak tidak
tahu! Lekas menyingkir dari hadapanku!”
“Baiklah
kalau begitu kata Inyiek. Murid hanya menurut saja,” jawab Si Kamba Mancuang.
“Tapi harap Inyiek baik-baik satu hal agar nanti Inyiek tidak kesalahan tangan.
Pemuda Jawa berambut panjang bernama Wiro itu sama sekali tidak membunuh, tidak
pula memperkosa saudara kembar denai. Denai bersumpah akan mencari dan membunuh
pelaku sebenarnya. Dan denai punya dugaan bahwa pemuda Jawa itu yang tahu siapa
orangnya!”
Selesai
bicara si nenek lalu menghindar ke samping kiri memberi jalan pada sang guru.
Inyiek
Susu Tigo delikkan mata pada muridnya lalu tanpa pedulikan lagi Si Kamba
Mancuang dia menatap ke depan. Khawatir Denok Tuba Biru akan melarikan diri
lagi maka dia geserkan telapak kaki kanan ke tanah sambil mulut merapal aji
kesaktian.
“Aku
harus menguncinya dengan ilmu Merekat Raga Menahan Jiwa!”
Lima kuku
jari kaki Inyiek Susu Tigo berpijar merah. Namun belum sempat ilmu kesaktiannya
menderu ke arah Denok Tuba Biru mendadak terdengar suara menggereng disertai
berkelebatnya satu bayangan putih besar. Menyusul suara mengaum yang membuat
tanah bergetar. Di dalam gelap kelihatan dua buah cahaya hijau!
Denok
Tuba Biru tercekat.
**********************
11
MELIHAT
mahluk apa yang datang Inyiek Susu Tigo terkesiap. Malin Kapuyuak tersentak
kaget dan takut sementara Denok Tuba Biru yang sudah bisa menduga bersurut
mundur sambil berucap dalam hati.
“Oala,
binatang sakti ini datang pasti mencariku. Jangan-jangan dia ketagihan…”
Belum
habis si gadis membatin tiba-tiba binatang besar putih yang bukan lain adalah
Datuk Rao Bamato Hijau, harimau putih besar peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh
sudah berada di hadapannya. Harimau ini geserkan tubuh ke pinggang, mulut
mengerang halus, kepala diputar lidah lalu menjilati paha putih gemuk gempal si
gadis.
“Celaka,
si Datuk ini pasti mencari aku, agaknya dia ingin diusap lagi anunya” Kuduk
gadis ini jadi merinding.
“Binatang
keparat…” Inyiek Susu Tigo mendelik melihat apa yang terjadi, juga ada rasa
cemburu serta marah. Saat itu mau rasanya dia menendang harimau putih. Terlebih
ketika dilihatnya Denok Tuba Biru mengusap-usap tengkuk harimau putih itu.
Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
“Harimau
putih… Setahuku, turut riwayat yang aku dengar di tanah Minang hanya ada satu
orang yang memiliki dan memelihara harimau putih. Mahluk ini lebih dahsyat dari
Inyiek Batino Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung Batuah. Yang empunya
konon seorang Datuk berkepandaian luar biasa tinggi. Tapi Datuk itu kabarnya
sudah meninggal dunia puluhan bahkan mungkin ratusan tahun silam… Binatang itu
tampak jinak dengan istriku. Agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
Bagaimana mungkin…”
Si Kamba
Mancuang yang menyaksikan kemunculan harimau putih itu mendadak punya firasat
tidak baik. “Agaknya Inyiek tidak akan dapat menguasai gadis itu. Apa lagi
menjadikannya istri… Kalau tadi-tadi dia mendengar kata-kataku…”
Tiba-tiba
Denok Tuba Biru menarik tangan Malin Kapuyuak lalu melompat ke atas punggung
harimau besar putih.
“Datuk,
lekas terbang… Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang juga!” teriak Denok
Tuba Biru sambil menepuk pinggul harimau.
“Siapa
yang berani pergi dari sini akan aku bunuh!” mengancam Inyiek Susu Tigo.
Harimau
putih mengaum keras, lalu melesat ke udara.
“Istriku!
Kembali! Jangan pergi!” teriak Inyiek Susu Tigo.
Tapi
Datuk Rao Bamato Hijau melesat terus. Denok Tuba Biru tidak menjawab malah
berbisik pada harimau putih.
“Melesat
lebih tinggi. Orang itu pasti akan menyerang kita!”
Dugaan si
gadis benar adanya. Inyiek Susu Tigo melompat setinggi dua tombak. Dari dua
puting susu di kiri kanan dadanya menyambar dua larik sinar merah.
Masing-masing mengarah pada kepala dan tubuh harimau putih yang ditunggangi
Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak.
Datuk Rao
Bamato Hijau mengaum keras. Udara malam laksana tercabik-cabik. Sekali binatang
sakti ini goyangkan kepala, dua larik sinar hijau pekat menyembur dari sepasang
matanya, melabrak dua larik serangan sinar merah yang dilepas Inyiek Susu Tigo!
Dua
letusan keras berdentum di kepekatan dingin udara malam. Tubuh Datuk Rao Bamato
Hijau yang tengah melayang terbang di udara bergoncang keras. Cahaya hijau dan
merah berbuntal-buntal lalu menebar membentuk kabut luas.
Inyiek
Susu Tigo terjajar beberapa langkah. Dada berdenyut sakit. Dia segera merapal
aji kesaktian, mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti dan dialirkan pada susu
ketiga di pertengahan dada, siap menyerang lagi. Konon, selama ini tidak ada
satu musuhpun sanggup menghadapi jika sang Inyiek menyerang dengan cahaya biru
yang keluar dari susu ketiga. Namun saat itu Datuk Rao Bamato Hijau bersama dua
penunggangnya sudah tidak kelihatan lagi di langit malam.
Inyiek
Susu Tigo berteriak marah. Jatuhkan diri ke tanah dan mukul tanah
berulang-ulang dengan dua telapak tangan hingga tempat itu seperti dilanda
gempa. Si nenek Kamba Mancuang sampai jauh terduduk di tanah saking hebatnya
kemarahan sang guru. Namun dia cepat berdiri dan cepatcepat pula tinggalkan
tempat itu. Dia tidak perduli teriakan Inyiek Susu Tigo yang
memanggil-manggilnya.
“Kamba
Mancuang! Kau mau ke mana?!” Jangan pergi! Ada yang akan aku tanyakan padamu!”
Yang
menjawab hanya hembusan angin malam yang dingin.
“Murid
durhaka! Jangan harap aku akan mengembalikan dirimu ke bentuk semula!”
Si Kamba
Mancuang yang tengah berlari laksana kilat tercekat. Berhenti sebentar. Sesaat
ada kebimbangan dalam hatinya. Namun dia berkata perlahan.”
“Ya
Allah, ya Rabbi. Nasib diri denai, denai serahkan pasrah padaMu!” Habis
keluarkan ucapan si nenek teruskan larinya. Matanya berlinang-linang.
Inyiek
Susu Tigo usap muka berulang kali. Mulutnya meratap sedih.
“Istriku
mengapa kau tega pergi tinggalkan aku! Bahkan namamupun aku belum tahu. Ke mana
aku harus mencarimu. Tapi aku tak akan bisa pergi jauh. Kita tidak akan
berpisah terlalu lama. Bau tubuhmu sudah ada dalam alur napasku! Aku bersumpah
tidak akan kawin dengan perempuan lain selain dirimu. Wajahmu yang bundar,
tubuhmu yang montok putih, bulu ketiakmu yang lebat oooh… Tak ada perempuan
lain yang bisa menandingi!”
Dalam
meratap Inyiek Susu Tigo bersujud di tanah. Tiba-tiba dia ingat.
“Pemuda
di telaga itu! Akan aku bunuh dia sekarang juga! Perlu apa menunggu sampai
matahari terbit!”
Inyiek
Susu Tigo berteriak keras, memukul-mukul dada beberapa kali lalu berkelebat
lenyap dari tempat itu. Dia lupa apa yang dikatakan muridnya Si Kamba Mancuang.
Bahwa membunuh Wiro merupakan satu tindakan keliru.
Dengan
ilmu kesaktiannya laksana kilat menyambar Inyiek Susu Tigo berkelebat di
kegelapan malam. Tak selang berapa lama ketika dia sampai di telaga kejutnya
bukan alang kepalang. Puluhan buaya peliharaannya bergelimpangan di sekitar
tepian telaga. Tapi tidak satupun dari mereka yang mati atau pingsan.
Binatang-binatang itu seperti tertidur pulas! Inyiek mendongak ke langit gelap
tidak berbintang. Hidung menghirup udara dalamdalam. Dia mencium bau kemenyan.
“Ada
orang pandai berkepandaian tinggi barusan datang ke sini. Pasti dia yang
membungkam semua buaya peliharaanku…” Sambil bertanya-tanya dalam hati siapa
adanya orang itu Inyiek Susu Tigo memandang ke tengah telaga kejut. Kejut si
gemuk tinggi ini tambah menjadi!
Sosok
pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya mengapung kaku di permukaan air
telaga kini tidak kelihatan lagi!
“Bangsat
kurang ajar! Pasti orang pandai yang sama yang menolong pemuda itu lolos dari
sini! Akan kubunuh! Akan kubunuh semuanya!”
Mendadak
sang Inyiek terdiam.
“Mungkinkah
ini pekerjaan Inyiek Batino Ratu Sekalian Harimau Betina di negeri ini? Aku
ingat, pemuda yang datang bersama si rambut panjang dan istriku itu pernah
menyebut-nyebut Inyiek satu itu… Ah, perduli setan! Siapapun yang kurang ajar
dan menghalangiku akan aku habisi!”
Inyiek
memandang berkeliling lalu berteriak.
“Kamba
Mancuang! Apa kau ada di sini?!”
Tak ada
jawaban. Puluhan buaya masih bergelimpangan tak bergerak di sepanjang tepian
telaga.
MESKIPUN
tidak akan mampu menolong namun Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tidak ingin
membiarkan Wiro begitu saja. Dengan harapan akan terjadi satu keajaiban maka
dia berlari kembali ke tempat kediaman gurunya. Ketika dia sampai Inyiek Susu
Tigo sudah berada di sana, tengah berteriak maiah memanggil namanya. Si nenek
menyelinap sembunyi di balik pohon besar. Yang membuat si nenek heran tapi agak
lega adalah melihat Pendekar 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu.
Berarti dia selamat dari serbuan puluhan buaya pada saat matahari terbit. Lalu
apa pula yang terjadi dengan puluhan binatang peliharaan sang guru itu? Mengapa
mereka bergeletakan tak berkutik semua? Si Kamba Mancuang tak berani mendekati
untuk memeriksa.
“Di mana
pemuda itu sekarang? Apa ada orang pandai yang menolongnya? Apa sekarang dia
berada di tempat yang aman atau malah dalam keadaan lebih berbahaya?”
Selagi
berpikir-pikir begitu tiba-tiba ada suara menghilang di dua telinga si nenek.
“Perempuan
tua berambut dan berjubah putih, tinggalkan tempat ini. Berjalan kurus-lurus ke
arah matahari terbit. Jangan berbelok. Kau akan menemukan pemuda yang kau
cemaskan itu. Dia telah selamat dari mangsa puluhan buaya. Namun dia masih
memerlukan pertolonganmu…”
Si Kamba
Mancuang tersirap kaget. Memandang berkeliling.
“Orang
pandai siapa yang bicara dengan denai?” Si nenek bertanya.
“Jangan
perdulikan siapa diriku. Pergilah cepat…”
“Denai
akan menuruti ucapan orang pandai. Namun kunci keselamatan pemuda Jawa itu
berada di tangan Inyiek;”
“Ilmu
seorang anak manusia bisa setinggi gunung sedalam lautan. Namun
setinggi-tingginya ilmu adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa juga. Jangan lupakan
hal itu. Dengan izin Allah kau akan mampu menolongnya karena bukankah kau telah
mewarisi ilmu Inyiek Susu Tigo.
“Orang
pandai. Guru denai Inyiek Susu Tigo adalah orang baik. Namun kalau timbul
suganya dia bisa berbuat apa saja. Membunuh orang sama dengan membunuh lalat
baginya. Mohon orang pandai dapat menasehatinya…” (suga: gila)
“Inyiek
Susu Tigo adalah orang baik dan tetap akan jadi orang baik. Nasihat yang
terbaik bagi seorang manusia adalah suara hati nuraninya yang murni. Pergilah,
sebentar lagi malam akan berganti siang…”
Si Kamba
Tangan Manjulai membungkuk dalam-dalam.
“Orang
pandai, denai mengucapkan terima kasih. Jika orang pandai mengizinkan, denai
sangat ingin bertatap muka dengan orang pandai.”
Terdengar
suara tertawa perlahan. Saat itu juga tercium santar bau kemenyan disertai
kabut tipis yang muncul entah dari mana datangnya. Lapatlapat di kejauhan Si
Kamba Mancuang mendengar suara tiupan saluang.
“Perempuan
tua berambut dan berjubah putih. Allah akan melindungi dan memberkatimu…”
“Terima kasih
atas doa orang pandai.”
Sekali
lagi si nenek membungkuk.
**********************
12
DARI
hanya berjalan cepat, kemudian berlari kencang sekarang Si Kamba Mancuang
melesat laksana terbang di kegelapan malam menjelang pagi. Akhirnya di satu
tempat yang tak jelas di mana adanya nenek ini hentikan lari.
“Sudah
cukup lama aku berlari seperti dikejar Palasik Kuduang. Tapi pemuda itu tidak
juga kutemui. Jangan-jangan orang yang bicara tapi tidak kelihatan ujudnya itu
telah menipuku!” (Patasik Kuduang: mahlukyang suka menghisap darah manusia
terutama darah bayi dan anak-anak. Jika mencari mangsa hanya kepalanya yang
gentayangan ke mana-mana sementara tubuh buntung berada di tempat lain Mahluk
seram ini sangat terkenal dan ditakuti di tanah Minang)
Setelah
membuangrasa bimbangnya jauh-jauh Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai kembali
menerus kan lari ke arah timur, tidak membelokbelok.
Satu saat
matanya melihat cahaya terang di kaki langit.
“Fajar
sudah menyingsing. Aku berlari seperti tidak sampai-sampai. Pemuda itu belum
juga aku temui…”
“Dukkk!”
Si nenek
terpekik. Kakinya mendadak membentur sesuatu yang tergelimpang di bawah pohon.
Membuatnya nyaris tersungkur jatuh di tanah.
“Kulihat
matamu tidak buta. Hari sudah mulai siang. Apakah kau sengaja menendangku Nek?
Kau masih marah padaku ya?! Gara-gara aku peluk dan aku cium dulu itu…?”
Satu
suara menegur.
Astaga!
Si Kamba Mancuang sampai terlonjak saking terkejut. Dia mengenali suara itu.
Cepat-cepat dia berpaling.
“Kau!”
Pekik si nenek terkejut tapi juga gembira. Yang tergelimpang di tanah di bawah
pohon besar itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang memang tengah
dicarinya sesuai petunjuk suara mengiang tanpa ujud.
“Bagaimana
kau bisa sampai di sini?! Jauh dari telaga?!”
“Ada
orang menolongku.”
“Siapa?” tanya
si nenek pula.
“Aku
tidak tahu. Gerakannya cepat sekali. Dia membawaku ke tempat ini. Sebelum pergi
dia memberitahu bakal ada orang yang menolongku. Ternyata kau yang datang.” Si
nenek tersenyum.
“Aku tahu
kau berdusta. Kau pasti tahu siapa orang yang menolongmu. Tapi kalau kau tidak
mau memberi tahu siapa penolongmu tak jadi apa. Yang penting kau sudah
diselamatkan dari malapetaka besar. Aku mencium bau kemenyan di sekitar sini.
Pasti orang yang menolongmu sama dengan yang memberitahu padaku melalui suara
mengiang dari jarak jauh.”
Wiro
menyeringai. Hendak menggaruk kepala tapi tidak bisa.
“Syukur
kau tidak dimangsa buaya itu. Tapi tubuhmu kulihat masih diselubungi air beku
dari telaga. Kau masih berada di bawah pengaruh ilmu Merekat Raga Menahan Jiwa
Inyiek Susu Tigo…”
“Nek, kau
murid Inyiek Susu Tigo. Mungkin…”
“Ya, aku
tahu apa maksud bicaramu. Mudah-mudahan aku bisa mencairkan air telaga beku
yang membungkus tubuhmu. Waktu kau masih di tengah telaga aku tak bisa
melakukan karena puluhan buaya. setiap kejapan mata bisa menerkam diriku!” kata
Si Kamba Mancuang.
“Aku
sudah coba mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti panas. Tapi air beku ini
tidak mau leleh.” Selain mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti Wiro juga
berusaha menyalurkan kekuatan sakti yang ada di dalam Kapak Naga Geni 212 yang
ada di dalam tubuhnya. Namun sungguh luar biasa kekuatan ilmu lawan. Dia tidak
berdaya melakukan apapun untuk melenyapkan air telaga beku yang membungkus
tubuhnya.
“Sekalipun
ada api di dalam tubuhnya atau dirimu dipanggang satu hari satu malam, kekuatan
ilmu Inyiek itu tidak akan bisa dibuat lumer.”
“Oala…
Tolong aku cepat Nek!”
“Sudah,
diam saja. Aku akan menolongmu!”
“Ah! Aku
tahu kau orang baik. Kita sudah menjadi sahabat. Sejak pertama kali aku
melihatmu, aku selalu mengingat-ingat dirimu.”
“Rayuan
Jawa!” ejek si nenek sambil cibirkan bibir. “Manusia aneh! Dalam keadaan
seperti ini kau masih bisa bergurau!”
Si nenek
mengangkat Wiro lalu disandarkan ke pohon besar tapi dalam menyandarkan kepala
Wiro di sebelah bawah di tanah dekat akar pohon sementara kaki di sebelah atas.
“Nek,
apa-apaan ini…”
“Aku bilang
diam saja! Jangan banyak bicara! Kalau kau mau kutolong, kalau tidak biaraku
pergi sekarang juga! Aku masih banyak kepentingan lain…”
“Baik
Nek, maafkan aku…”
“Dengar,
kira-kira seratus hitungan darahmu akan mengalir lebih banyak turun ke kepala.
Kau akan merasa pusing. Kerahkan tenaga dalam hingga darahmu mengalir wajar
lagi ke seluruh tubuh. Aku akan meninggalkanmu sebentar…”
“Kau… kau
mau pergi ke mana Nek?”
“Jangan
macam anak kecil yang ditinggal sebentar saja sudah mau menangis!” bentak si
nenek.
“Ah, kau
ini Nek. Aku… aku cuma mau tahu…”
“Aku
pergi ke hutan sana mencari kelelawar,” menerangkan si Kamba Mancuang.
“Kelelawar?
Untuk apa? Mau kau panggang? Memangnya kita mau sarapan pagi bersama?”
Si nenek
pelintir kuat-kuat telinga kiri Wiro. Tapi karena telinganya tertutup air
telaga beku maka Wiro tak merasa apa-apa. Si Kamba Mancuang lalu berkelebat dan
lenyap dari bawah pohon.
Cukup
lama si nenek pergi akhirnya muncul kembali sambil menenteng seekor kelelawar
hutan besar berbulu coklat. Binatang bermata merah ini mencicit tiada henti,
membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan barisan gigi kecil runcing dan tajam.
Wiro
merasa lega si nenek sudah kembali. Tapi hatinya was-was karena menduga-duga si
nenek mau melakukan apa.
Sambil
mengeluarkan suara meracau berkepanjangan, entah membaca mantera entah.
menyanyi Si Kamba Mancuang menjengkal-jengkal tubuh kelelawar besar itu dari
kepala ke kaki, dari sayap kiri ke ujung sayap kanan. Dia melakukan hal itu
sambil mengelilingi pohon di mana Wiro tersandar. Tiba-tiba si nenek totok
tenggorokan kelelawar hingga binatang ini membuka mulut lebar-lebar dan menguik
keras. Setelah itu kepala dan mulutnya tidak bisa bergerak lagi. Hanya sepasang
mata dan dua kaki serta sayap yang masih bisa bergerak-gerak perlahan.
Suara
meracau dari mulut si nenek berhenti. Dia memandang ke bawah, menyeringai. Lalu
dia maju mendekati Wiro. Tangan kiri menarik pinggang celana sebelah depan lalu
tangan kanan dengan cepat memasuk menyelinapkan kelelawar besar ke dalam celana
Wiro.
Langsung
saja murid Sinto Gendeng berteriak-teriak. Memang kelelawar itu tidak bisa
menggigit, namun gesekan sayap dan dua kakinya membuat Wiro merinding kegelian.
“Nek, kau
ini mau berbuat apa? Masakan hendak melumer air beku dengan cara begini rupa…?!
Aduuhhhh! Apa tidak ada cara lain yang lebih gila?!”
Si Kamba
Mancuang tertawa mengekeh.
“Kelelawar
binatang yang bisa menghimpun hawa panas lalu mengalirkan ke seluruh tubuhmu.
Binatang ini satu-satunya mahluk penangkal ilmu Merekat Raga Menahan Jiwa yang
saat ini membungkus seluruh badanmu! Aku tidak memperdayai dirimu. Kau lihat
saja hasilnya sebentar lagi!”
“Tapi
Nek, aku tidak tahan! Geli sekali! Huaahhhh!”
Mendadak
di tempat itu terdengar suara beberapa orang tertawa bergelak.
“Nek,
orang sudah berteriak tidak tahan kegelian! Mengapa kelelawar itu tidak kau
ganti saja dengan tanganmu?; Ha… ha… ha!”
“Betul!
Dia enak kau juga enak!” Ada suara lain menyambung yang kemudian kembali
disusul suara tawa tergelak banyak orang.
Si nenek terkejut
dan cepat memutar tubuh.
Wiro juga
tak kalah kaget dan melirik ke arah beberapa orang yang barusan muncul di
tempat itu.
**********************
13
YANG
muncul di tempat itu di saat fajar mulai menyingsing adalah Ki Bonang Talang
Ijo yang keningnya luka parah dan mata kanan dibalut kain hitam akibat amblas
diinjak Datuk Panglimo Kayo. Kakek dari Kuto Gede ini sunguh luar biasa. Dalam
keadaan cidera berat seperti itu dia masih sanggup memimpin rombongan. Di
samping Ki Bonang berdiri Perwira Muda Teng Sien yang daun telinga kanannya
sumplung. Lalu berjejer Tuanku Laras Muko Balang, Pandeka Bumi Langit Dari
Semanik yang memanggul Puti Bungo Sekuntum alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok
alias Chia Swie Kim. Si gadis dalam keadaan tertotok, tak bisa bergerak tak
bisa bersuara.
Orang-orang
ini sebenarnya dalam perjalanan ke satu tempat rahasia milik Tuanku Laras Muko
Balang. Namun di tengah jalan mereka mendengar suara teriak teriakan. Ketika
mereka mendatangi sumber suara, mereka tidak menyangka akan bertemu dengan Wiro
dan Si Kamba Mancuang.
“Kalian
berdua! Lengkap sudah!” kata Ki Bonang Talang Ijo.
“Yang
satu pengkhianat musuh dalam selimut, berkawan dengan yang satunya pemuda Jawa
yang berusaha menghalangi urusan kita!” menyambung Tuanku Laras Muko Balang.
“Ki Bonang, aku akan menabas batang leher pemuda Jawa itu. Kau dan teman-teman
cepat habisi si nenek agar dia bisa bertemu saudara kembarnya di alam baka! Ha…
ha… ha!” Lalu Tuanku Laras hunus pedang Al Kausar. Melangkah mendatangi Wiro
yang sampai saat itu masih tersandar di pohon kepala ke bawah kaki ke atas.
Rupanya orang ini masih sangat mendendam atas apa yang telah diperbuat Wiro
beberapa waktu lalu. Yaitu menyerang dengan ilmu kesaktian aneh hingga celana
luar dan dalamnya tanggal tersedot masuk ke dalam belahan tanah.
Sementara
Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit melangkah mendekati Si Kamba Mancuang, Tuanku
Laras bertengkar dengan Perwira Muda Teng Sien. Orang Cina yang kuping kanannya
kini sumplung akibat tertabas patahan goloknya sendiri lebih suka tidak mencari
urusan baru tapi cepat-cepat menuju ke pesisir timur agar dia bisa membawa Puti
Bungo Sekuntum ke Tiongkok. Tuanku Laras yang didukung oleh Ki Bonang tetap
merasa Wiro dan si nenek sebagai batu sandungan yang bisa mencelakai mereka
jika tidak segera disingkirkan.
Si Kamba
Mancuang perhatikan tampang Ki Bonang dan Teng Sien lalu tertawa gelak-gelak.
“Kening
luka besar, mata dibalut kain. Jauh-jauh datang dari tanah Jawa hanya mencari
celaka! Masih tidak tahu diuntung! Hik… hik… Satunya lagi buntung daun
telinganya. Masih saja belum jera! Bergundal-bergundal busuk! Kaki tangan orang
asing! Penculik anak gadis orang! Kalian kalau tidak dibunuh semua tidak akan
aman tanah Minang ini!” teriak Si Kamba Mancuang.
“Nenek
culas!” Hardik Ki Bonang Talang Ijo. “Kau dan saudaramu yang sudah mampus telah
menerima masing-masing tiga batang emas! Kalau kau bisa mengembalikan semua
emas itu kami mungkin akan memberikan hukuman yang lebih ringan padamu!”
Si nenek
kembali tertawa mengekeh.
“Dasar
manusia serakah! Kau mau nyawaku atau batangan emas?! Kalau mau nyawaku aku
ingin tahu bagaimana caramu mau membunuhku! Kalau ingin batangan emas, silahkan
cari di neraka! Hik… hik… hik!”
“Tua
bangka setan! Kau akan mampus dan mayatnya kubuat tidak berbentuk!” teriak Ki Bonang
Talang Ijo marah sekali.
Dua
tangan panjang Si Kamba Mancuang melesat ke depan, menyongsong serangan yang
dilancarkan Teng Sien yang mempersenjatai diri dengan sebilah golok baru dan
datang dari arah kiri. Dari kanan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, suara kaki
dan dua tangannya bergemuruh memainkan silat Sitaralak yang sangat berbahaya.
Si Kamba
Mancuang yang maklum kehebatan ilmu silat tidak mau berlaku ayal apa lagi
sampai saling beradu tangan. Tangan kanan Pandeka Langit Bumi masih tampak
kemerah-merahan karena melepuh sewaktu bertarung dengan Pendekar 212.
Ki Bonang
sendiri langsung menggebrak dari depan. Seperti biasa sebelum menyerang dia
sudah tanggalkan belangkon hijau yang merupakan senjata andalan. Sebelum
serangan ketiga orang itu sampai Ki Bonang lebih dulu kebutkan belangkon, untuk
mempengaruhi dan melumpuhkan gerakan lawan. Tapi Si Kamba Mancuang yang sudah
tahu kehebatan lawan dengan cepat melompat mundur satu tombak sementara dua
tangan diulur laksana sepasang ular menyambar ganas.
“Hebat!
Hebat! Aku suka ini! Hik… hik! Nenek jubah putih, aku tahu siapa kau walau kita
tidak saling kenal sebelumnya! Jangan takuti Aku berada di pihakmu menumpas
pengeroyok pengecut! Orang-orang asing pembawa bahala harus dimusnahkan dari
tanah Minangkabau!”
Tiba-tiba
ada suara perempuan berseru. Di lain kejap di samping Si Kamba Mancuang telah
berdiri seorang nenek bungkuk, bertubuh kurus kering, kulit muka tipis hingga
wajahnya nyaris menyerupai tengkorak. Di tangan kanannya bergayut sebuah benda
menyerupai jaring. Nenek ini bukan lain adalah Niniek Panjalo.
Ki
Bonang, Pandeka Bumi Langit, Perwira Muda Teng Sien tampak terkejut besar.
Bahkan Tuanku Laras Muko Balang yang telah menghunus pedang dan tengah
mendekati Wiro terhenti langkahnya.
“Niniek
Panjalo, apa yang terjadi? Mengapa kau jadi begini? Kau membela musuh kita?!”
Menegur
Ki Bonang Talang Ijo.
“Niniek,
melangkahlah ke dekat kami. Jangan berdiri di samping tua bangka pengkhianat
itu!” Ikut bicara Pandeka Langit Bumi Dari Sumanik.
Niniek
Panjalo pelototkan mata lalu tertawa mengekeh.
“Aku
membela musuh kita? Hik… hik! Siapa musuhku, siapa kita?! Dengar baik-baik apa
yang aku katakan! Kalian keparat semua! Ketika aku lumpuh tak berdaya akibat
serangan Rantai Pintu Halilintar kalian pergi begitu saja meninggalkanku.
Sementara sahabatku Datuk Pancido tewas menemui ajal secara mengenaskan! Aku
sudah tahu siapa kalian sebenarnya! Manusia-manusia rakus yang menghalalkan
nyawa orang lain asal mendapat imbalan dan mencapai tujuan! Kalian menculik
anak gadis tidak berdosa itu! Apakah aku masih pantas berada di pihak kalian?!”
, “Ah,
kau pasti sudah termakan bujuk rayu. Kesinilah Niniek,” kata Ki Bonang.
“Bergabung kembali bersama kami. Urusan kita akan segera rampung. Kita semua
akan mendapat hasilnya sama rata…”
Niniek
Panjalo cibirkan bibir lalu keluarkan suara seperti orang kentut dari mulutnya.
Di lain kejap nenek ini gerakkan tangan kanan. Benda berbentuk jala berpijar
lalu menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo.
“Kurang
ajar! Mampuslah kalian berdua!” teriak Ki Bonang. Tubuh dirundukkan, tangan
kanan mengibaskan belangkon, tangan kiri melepas pukulan Di Atas Awan Menyergap
Rembulan. Namun sebelum serangan dilakukan, salah satu tangan panjang Si Kamba
Mancuang telah mencekal pergelangan tangannya.
Pendekar
212 yang menyaksikan apa yang terjadi dan tidak mampu berbuat apa-apa
sebenarnya sejak tadi ingin berteriak memberi tahu pada Si Kamba Mancuang bahwa
pembunuh saudara kembarnya adalah Ki Bonang dan kawan-kawannya itu. Namun dia
khawatir si nenek akan terpengaruh dengan ucapannya dan larut dalam kemarahan
yang bisa membahayakan dirinya. Kini setelah Ki Bonang kena dicekal tangannya
oleh si nenek maka Wiro baru memutuskan untuk memberi tahu.
“Nek,
habisi tua bangka berjubah hijau itu! Dia dan kawan-kawannya yang membunuh
saudara kembarmu Si Kamba Peseki”
Si Kamba
Mancuang seperti mendengar suara guntur menggelegar di atas kepalanya.
“Manusia
jahanam! Aku sudah punya dugaan kau dan teman-temanmu yang membunuh saudaraku!
Sekarang terbanglah ke akhirat untuk menghadap penjaga neraka!”
Tangan
kiri Si Kamba Mancuang melesat ke depan siap menggulung leher Ki Bonang Talang
Ijo.
**********************
14
PANDEKA
Bumi Langit Dari Sumanik berusaha menolong Ki Bonang namun sapuan jala sakti
Niniek Panjalo yang hendak menggebuk kepalanya membuat orang ini cepat-cepat
melompat mundur. Ki Bonang Talang Ijo yang tidak berhasil melepas cekalan Si
Kamba Mancuang dengan nekad melompat menerjangkan kaki kanan sementara dari
dalam belangkonnya dia keluarkan sebuah benda hitam bulat sebesar ujung ibu
jari.
Didahului
suara letupan keras tempat itu kini diselubungi asap hitam menutup pemandangan.
Si nenek terbatuk-batuk. Walau Ki Bonang akhirnya mampu lepaskan cekalan si
nenek namun tak urung dua jari tangan kirinya patah,
“Lekas
tinggalkan tempat ini!” teriak Ki Bonang Talang Ijo.
Perwira
Muda Teng Sien sambil menghambur kabur memaki panjang pendek.
“Aku
sudah bilang! Jangan mencari urusan baru! Gadis itu lebih penting!” teriak Teng
Sien yang hanya dimengerti Ki Bonang.
Di bagian
lain, begitu asap mengepul, Tuanku Laras Muko Balang dengan cepat melompat ke
hadapan Wiro yang tersandar di pohon kepala ke bawah kaki ke atas. Pedang Al
Kausar menderu ke bawah. Menyambar ke arah leher Pendekar 212! Cahayanya
berkilauan terkena sinar matahari pagi yang belum lama menyembul di arah timur.
Sesaat
lagi pedang sakti akan membabat putus leher Wiro tiba-tiba kelelawar besar yang
ada di dalam celana sang pendekar menguik keras dan weerrrr! Binatang itu
menghambur keluar dari dalam celana. Terbang ke udara dan lenyap dari
pemandangan, lalu greekkk! Lapisan air telaga beku yang membungkus sekujur
tubuh murid Sinto Gendeng hancur Berantakan. Ratusan keping air telaga beku
mental. Sebagian berhamburan ke arah Tuanku Laras Muko Balang.
“Brett!”
Bahu kiri
pakaian Tuanku Laras robek besar. Kejut orang ini bukan alang kepalang. Dengan
cepat dia putar pedang Al Kausar melindungi tubuh. Suara berdentangan terdengar
berulang-ulang seolah pedang sakti itu membentur logam keras. Tuanku Laras
selamat dari hantaman air telaga beku namun ketika satu kepingan menancap di
lengan kanannya, orang yang wajahnya ditumbuhi bulu tipis hitam putih ini
menjerit kesakitan. Pedang Al Kausar terlepas jatuh ke tanah. Selagi dia hendak
mengambil senjata ini, di hadapannya telah berdiri Pendekar 212. Kaki kanan
bergerak menendang ke arah kepalanya!
“Jahanam
kurang ajar!” Tuanku Laras Muko Balang menyumpah lalu jatuhkan diri ke tanah.
Sambil bergulingan ke arah sosok Puti Bungo Sekuntum tangan kiri lepaskan satu
pukulan tangan kosong menyerang Wiro. Wiro cepat membalas dengan pukulan Tangan
Dewa Menghantam Karang, ini adalah salah satu pukulan sakti yang didapatnya
dari Datuk Rao Basaluang Ameh di Danau Maninjau.
Wiro
terkejut ketika mendadak melihat sosok Tuanku Laras Muko Balang tahu-tahu telah
berdiri di hadapannya, menyeringai lalu berteriak.
“Wusss!”
Pukulan
sakti yang dilepaskan Wiro melabrak tubuh Tuanku Laras dengan telak hingga
hancur berkeping-keping tapi kepingan-kepingan itu kemudian mengambang ke udara
berubah jadi asap. Wiro sadar kalau lawan telah membuat tubuh jejadian… Lalu ke
mana tubuh Tuanku Laras yang asli? Dengan mengeluarkan ilmu yang disebut
Bayangan Menipu Mata Tuanku Laras bukan saja berhasil selamatkan diri dari
serangan Wiro tapi juga melarikan diri sambil memboyong Puti Bungo Sekuntum.
Wiro siap berkelebat hendak mengejar. Tapi Niniek Panjalo berteriak.
“Tak usah
dikejar! Aku tahu tempat di mana mereka akan berkumpul sebelum pergi ke pesisir
timur!”
Wiro
balikkan tubuh. Menatap pada Si Kamba Mancuang dan Niniek Panjalo. Si Kamba
Mancuang berdiri sambil memegang pedang Al Kausar milik Tuanku Laras Muko
Balang yang tercampak dan tidak sempat diambil karena saat itu selain
menyelamatkan diri dia juga lebih mementingkan memboyong Puti Bungo Sekuntum.
Kawan-kawannya yang lain sudah kabur lebih dulu begitu asap hitam menggebubu
menutupi pemandangan.
“Anak
muda,” ucap Si Kamba Mancuang. “Tadi kau berteriak mengatakan bahwa Ki Bonang
Talang Ijo dan kawan-kawannya yang membunuh saudara kembarku. Aku memang punya
dugaan begitu setelah menyirap kabar apa yang terjadi. Apa kau menyaksikan sendiri
peristiwanya?”
“Saat
saudaramu dibunuh memang tidak menyaksikan Nek. Tapi Ki Bonang dan kawan-kawan
menghadangku di tengah jalan lalu melempar mayat saudaramu di hadapanku.”
Si Kamba
Mancuang mengucap berulang kali. Sepasang matanya berkaca-kaca. “Luar biasa
buas! Mereka bukan manusia tapi binatang! Lalu bagaimana dengan jenazah
saudaraku…?” Si nenek berucap seolah bertanya pada diri sendiri.
“Aku
dibantu Malin Kapuyuak dan seorang sahabat bernama Denok Tuba Biru. Jenazah
kami bawa ke sebuah dusun. Kami minta bantuan kepala Dusun untuk mengurus
jenazah sampai di penguburan.”
“Terima
kasih… Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Kau tahu nama dusun di mana
saudaraku dimakamkan!” Si Kamba Mancuang bertanya dengan suara terisak.
“Aku
tidak tahu Nek. Tapi Malin Kapuyuak pasti tahu. Nenek berdua, aku juga
berterima kasih. Kalian sudah menolong diriku…” Berkata Wiro pada dua nenek.
Lalu dia ingat pada kelelawar di dalam celananya. Celana ditarik ke depan.
Tangan kanan dimasukkan ke dalam celana lalu disusupkan kian kemari.
Niniek
Panjalo palingkan wajah melengos. Sebenarnya ini adalah satu kepura-puraan
belaka. Padahal hatinya bergetar melihat apa yang dilakukan Wiro. Dia rasa-rasa
ingin pula memasukkan tangannya ke dalam celana sang pendekar.
“Dasar
pemuda gilo! Tidak malu dia membuncah barangnya di hadapan kami orang tua-tua!
Memangnya ada apa? Hilang burungmu?!” Si nenek yang tidak tahu apa asal muasal
kejadian hingga Wiro berlaku begitu memandang pada Si Kamba Mancuang. Nenek
satu ini yang masih diselimuti kesedihan lantas saja masih bisa tersenyum.
Niniek
Panjalo geleng-geleng kepala.
“Sahabatku,
kau rupanya sudah ketularan penyakit gilo pemuda Jawa itu! Ayo ikuti aku. Aku
tahu ke mana orang-orang itu pergi. Gadis Cina itu harus diselamatkan!”
“Nenek
berdua, sambil berjalan banyak hal yang akan aku tanyakan pada kalian…”
“Satu hal
yang ingin aku tanyakan lebih dulu,” kata Niniek Panjalo pula. “Kau tidak ada
perasaan marah, benci atau dendam padaku. Karena sebelumnya aku mengambil sikap
bermusuhan dan pernah menyerangmu?”
Wiro
tersenyum.
“Nek,
melihat dirimu aku ingat pada guruku di tanah Jawa. Aku menghormatimu seperti
aku menghormati beliau…”
“Ah, aku
berterima kasih. Kalau panjang umur mudah-mudahan aku nanti bisa bertemu dengan
gurumu itu. Siapa nama gurumu?” tanya Niniek Panjalo pula.
“Sinto
Gendeng.”
“Aneh
kedengarannya nama gurumu itu. Di negeri ini tidak ada Gendeng. Yang ada
Gandang. Hik… hikl Apa nama gurumu itu ada artinya?” (Gandang: Gendang)
“Betul
Nek, ada artinya. Sinto Gendeng artinya Sinto Gila!”
Niniek
Panjalo tertawa terkekeh-kekeh sambil tangan kanan mengayunayun jala.
“Ki
Bonang memberi tahu namamu Wiro Sableng yang artinya Wiro Gila. Sekarang aku
tahu gurumu juga gila! Jadi guru dan murid sama-sama gila! Hi… hik… hik…”
Tiba-tiba
Niniek Panjalo putar tangannya yang memegang jala demikian rupa hingga
rreettttt saat itu juga jala berpijar terang, menebar di udara dan di lain
kejap sekujur tubuh Pendekar 212 terjirat erat nyaris tak bisa berkutik di
dalam jala!
Si Kamba
Mancuang sebenarnya ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu hendak mengejar
Ki Bonang dan kawan-kawannya. Dalam dia berpikir-pikir dia tersentak melihat
apa yang dilakukan Niniek Panjalo. Nenek ini berteriak marah namun sebelum bisa
berbuat apa-apa Niniek Panjalo sudah berbalik, menotok tubuhnya di dua tempat,
mukanya diusap hingga nenek bergigi perak ini tak bisa bergerak tak mampu
bersuara. Dengan cepat Niniek Panjalo kemudian mengambil pedang Al Kausar milik
Tuanku Laras Muko Balang yang dipegang Si Kamba Mancuang.
“Nek, kau
ini sedang mempermainkan kami atau tengah bergurau bagaimana…?” Wiro berseru.
Walau bertanya namun ketika melihat Niniek Panjalo menotok serta mengambil
pedang dari tangan Si Kamba Mancuang, murid Sinto Gendeng segera maklum kalau
Niniek Panjalo tidak sedang main-main. Ada yang tidak beres. Lebih tepat kalau
dikatakan ada bahaya besar mengancam! Karenanya dengan cepat Wiro kerahkan
tenaga dalam. Dua tangan berusaha merobek menjebol jala berpijar. Namun tidak
berhasil! Aneh, tangannya tidak bisa merenggut, menyentuh apa lagi merobek. Dia
seolah menggapai angin!
Tawa
cekikikan Niniek Panjalo semakin menjadi-jadi.
“Siapa
bilang aku main-main. Tidak ada yang bergurau! Hik… hik… hik!” Nenek ini
kemudian bertepuk tiga kali.
“Dua
kekasihku! Kalian silahkan ke sini! Saatnya kita menyiangi dua ayam besar ini!
Hik… hik… hik!”
**********************
15
SESAAT
kemudian berkelebat satu sosok aneh besar. Ketika sosok ini berdiri di hadapan
si nenek ternyata adalah dua pemuda, satu berkumis biru, satunya berkumis
merah. Tubuh dua pemuda ini saling berdempetan di bagian punggung dan keduanya
mengenakan sehelai jubah besar berwarna merah gelap. Ketika keduanya sama-sama
menyeringai kelihatan barisan gigi besar yang berwarna sama dengan warna kumis
masing-masing. Di dalam rimba persilatan di tanah Minangkabau dua pemuda dempet
ini dikenal dengan julukan Tengku Mudo Sagalo Duo. (Tengku Muda Sagala Dua)
Konon keduanya berasal dari sebuah pulau di Selat Malaka. Menurut orang yang
mengetahui mereka terlahir dalam kutukan karena ayah dan ibu mereka merupakan
kakak dan adik kandung sedarah sedaging, Penduduk desa mengusir pasangan suami
istri salah kaprah itu. Dua bayi dempet lenyap secara aneh. Dua puluh tahun
kemudian dua bayi dempet itu muncul dalam keadaan sudah menjadi dua pemuda yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ada yang menduga, ketika masih bayi mereka
dilarikan oleh orang pandai yang diduga sebangsa mahluk jejadian, dibawa ke
sebuah pulau dan disitu diberi pelajaran berbagai macam ilmu. Karena wajah dua
pemuda ini memang gagah, serta keadaan tubuhnya yang aneh serba dua konon
banyak perempuan tua muda yang jalan hidupnya tidak senonoh menyukai Tengku
Mudo Sagalo Duo. Salah seorang di antara mereka adalah Niniek Panjalo yang
selama ini menganggap dua pemuda dempet sebagai kekasihnya. Dua pemuda dempet
yang merasa mempunyai kelebihan di dalam kekurangannya tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Mereka memanfaatkan keadaan diri mereka yang bisa memberikan
kesenangan tidak terhingga pada kaum perempuan untuk mendapatkan imbalan berupa
uang dan harta.
“Niniek,
bagus sekali tipu dayamu!” memuji Ki Bonang. “Sekarang cepat kau geledah nenek
rambut putih bergigi perak itu! Pastikan bahwa tiga batang emas yang pernah
didapatnya dari kakek Jawa itu benar-benar ada padanya. Jika tiga batang emas
sudah ditemukan, kita pergi satu persatu lalu kedua baruak-baruaktak berguna
ini dihabisi saja!” (baruak: beruk/monyet)
“Kekasihku,
kalian berdua tidak usah khawatir. Tiga batang emas itu pasti ada padanya!
Lihat aku akan geledah nenek ini!”
“Kalau
perlu kau telanjangi dia!” kata pemuda dempet berkumis dan berjanggut biru.
“Aku
setuju… aku setuju!” Menyahuti pemuda dempet berkumis merah.
Lalu
sambung ucapannya. “Niniek Panjalo, selama ini aku dan saudaraku hanya melihat
tubuhmu. Sekali-sekali untuk penyedap mata rasanya boleh juga jika kami melihat
tubuh yang lain! Ha… ha… ha!”
“Jangan
bicara kurang ajar yang membuat aku marah!” bentak Niniek Panjalo.
“Hai! Aku
hanya bergurau!” Si kumis merah cepat-cepat menyahuti.
Niniek
Panjalo melangkah mendekati Si Kamba Mancuang. Setelah memeriksa sekujur tubuh
si nenek, dia akhirnya menemukan tiga batang emas dalam sebuah kantong di balik
pinggang jubah Si Kamba Mancuang. Sambil tertawa gembira Niniek Panjalo
perhatikan tiga batang emas itu.
Dua
pemuda mengambil masing-masing sebatang emas, memperhatikan dengan mata besar,
mencium berulang kali. Si kumis biru berkata.
“Seumur
hidup baru sekali ini aku melihat dan memegang emas sebesar ini. Ini bukan emas
palsu! Kita akan jadi kaya raya! Ha… ha… ha!” Lalu batangan emas enak saja
disusupkannya ke balik pinggang. Hal yang sama dilakukan oleh si kumis merah.
Niniek Panjalo delikkan mata hendak menegur dan meminta kembali batangan emas
itu.
“Jangan
serakah Niniek. Masing-masing kita sudah dapat satu batang emas. Dibagi rata
dan adil. Malam nanti kita akan bersenang-senang dan kami berdua akan
memberikan pengalaman paling hebat bagimu.”
Walau
masih cemberut Niniek Panjalo masukkan sisa satu batangan emas ke dalam saku
pakaiannya lalu mundur dua langkah. Memandang ke arah Kamba Mancuang, berpaling
pada Wiro, lalu bertanya pada dua pemuda dempet.
“Dua
kekasihku Sunguik Biru dan Sunguik Merah. Mana dari dua baruak ini yang akan
kita habisi lebih dulu?” (Sunguik: Sungut, Kumis)
“Terserah
padamu. Tapi bagusnya kau habisi nenek bergigi perak itu lebih dulu. Agar kau
tidak cemburu pada kami! Ha… ha… ha!” jawab pemuda dempet berkumis merah lalu
tertawa tergelak-gelak.
Niniek
Panjalo tersenyum, kedipkan mata pada pemuda berkumis biru. “Kau kekasih yang
baik. Malam nanti aku akan berikan kenikmatan lebih padamu! Hik… hik… hik!”
Ketika si
nenek melangkah mendekati Si Kamba Mancuang dengan terpentang, Wiro yang tidak
mampu merobek jala berpijar cepat berteriak.
“Niniek
Panjalo! Jika batangan emas yang jadi incaranmu dan dua gendakmu, kalian sudah
mendapatkan! Mengapa masih hendak menurunkan tangan jahat membunuh nenek itu?
Bebaskan kami berdua!”
Niniek
Panjalo hentikan langkah, menatap ke arah Wiro. Dalam hati dia berkata, “Pemuda
berambut panjang, sebenarnya kau sudah jadi salah satu lelaki yang aku taksir.
Sayang…”
Tampang
Niniek Panjalo tiba-tiba berubah. Dari hidungnya keluar suara mendengus.
“Gara-gara
kalian berdua sahabatku Datuk Pancido tewas dihantam besi putih Datuk Panglimo
Kayo. Apa kau masih mau bermulut besar di hadapanku? Mungkin aku perlu merobek
mulutmu lebih dulu sebelum giliranmu aku bantai!”
Habis
berkata begitu Niniek Panjalo kembali balikkan badan, meneruskan langkah
mendekati Si Kamba Mancuang. Tangan yang memegang pedang Al Kausar diangkat
tinggi-tinggi ke atas.
Di dalam
jala berpijar yang tidak bisa ditembus dengan tangan kosong, rahang murid Sinto
Gendeng menggembung.
“Tua
bangka jahanam itu harus dihentikan! Aku harus bertindak cepat sebelum dia
membunuh si nenek mancung!”
Dari
mulut Wiro kemudian keluar pekik menggeledek.
“Kapak
Naga Geni Dua Satu Dua!”
Didahului
dengan memancarnya sinar terang di bagian dada Wiro, Kapak Naga Geni 212 yang
dengan kesaktiannya oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas dimasukkan ke dalam raga
Wiro, kini melesat keluar dari dalam tubuh Wiro. Memancarkan cahaya terang
menyilaukan, menebar hawa panas. Jala yang melibat tubuh Wiro robek besar lalu
hangus menjadi bubuk hitam. Kapak Naga Geni 212 melayang sebat di udara
mengeluarkan deru seperti ratusan tawon, menyambar ke arah Niniek Panjalo.
“Niniek!
Awas!” teriak dua pemuda dempet Sunguik Merah dan Sunguik Biru.
Kapak
Naga Geni 212 senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng bukanlah senjata
sakti biasa. Senjata ini seolah memiliki mata dan jiwa yang tidak mau
memperlakukan diri atau diperlakukan secara pengecut. Walau saat itu kapak
mampu menghantam tubuh bagian belakang Niniek Panjalo namun secara aneh dan
dalam kecepatan kilat senjata berputar hingga sebelum Niniek Panjalo sempat
berbalik, Kapak Naga Geni 212 telah mendarat telak di pertengahan dadanya!
Niniek
Panjalo meraung dahsyat. Tubuhnya mencelat jauh dan akan terus terpental kalau
tidak menabrak pohon. Walau tubuh itu tergelimpang di tanah nyawanya sudah
lepas lebih dulu.
Wiro yang
saat itu sudah berhasil keluar dari jala yang robek cepat mengangkat tangan.
Kapak Naga Geni 212 melesat kembali ke arahnya, sementara melayang di udara
noda darah yang ada di mata kapak lenyap dengan sendirinya. Senjata sakti itu
sesaat kemudian masuk kembali ke dalam tubuh Wiro.
Melihat
apa yang terjadi dua pemuda dempet menjadi kecut tegang. Si Singuik Biru
berbisik pada saudaranya Si Singuik Merah.
“Kita
sudah dapatkan emas itu. Sebaliknya cepat-cepat pergi dari sini. Perlu apa
mencari celaka membuat urusan dengan pemuda Jawa itu. Aku dengar dia seorang
tukang sihir…”
“Dari
gerak geriknya aku sudah bisa menjajagi sampai di mana kehebatan ilmunya. Kita
masih satu tingkat di atas…” kata Si Singuik Merah.
“Matamu
apa sudah buta?! Mulutmu asal bicara! Apa tadi tidak kau lihat bagaimana
senjata aneh berbentuk kapak bisa keluar dari tubuhnya?! Mana ada manusia yang
punya ilmu seperti itu!”
“Soal itu
apa yang perlu ditakutkan? Dia hanya menyihir pandangan mata!” Si Singuik Merah
masih menganggap enteng urusan.
“Menyihir
katamu! Buktinya nenek itu mati dengan dada terbelah dibuatnya! Senjatanya
keluar dari dalam perut masuk lagi ke dalam perut! Apa tidak gila?!” tukas Si
Singuik Biru.
“Baik,
aku ikut apa katamu. Tapi jangan lupa. Masih ada emas satu batang lagi pada
Niniek Panjalo yang bisa kita ambil…” jawab Si Singuik Merah.
“Jangan
menganggap enteng pemuda Jawa itu! Serakah adalah biang celaka! Jangan turutkan
ketamakan hatimu! Yang paling penting saat ini adalah cepat-cepat pergi dari
tempat celaka ini!”
“Lalu
bagaimana dengan mayat Niniek?” ujar Si Singuik Merah pula.
“Masih
banyak perempuan hidup yang masih muda dan cantik-cantik. Mengapa mengurusi
nenek yang sudah jadi bangkai?!” jawab Si Singuik Biru. Lalu dia betot
kuat-kuat punggungnya hingga saudaranya yang menempel di belakangnya tertarik
ke depan. Empat kaki menjejak tanah, Sesaat kemudian kedua pemuda dempet
berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo ini telah lenyap dari tempat tersebut.
Wiro
melompat ke hadapan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai. Dengan cepat dia
memeriksa keadaan nenek ini. Setelah melepas dua totokan yang tadi ditanamkan
Niniek Panjalo, Si Kamba Mancuang bisa bergerak kembali namun belum mampu
keluarkan suara.
Dengan
gerakan tangan Si Kamba Mancuang memberi tahu pada Wiro agar pemuda itu
mengusapkan tangannya ke wajahnya untuk melepas ilmu pembungkam yang menguasai
dirinya.
Wiro
lakukan apa yang diberi tahu si nenek. Begitu dia mengusapkan tangan kanan ke
wajah Si Kamba Mancuang maka nenek ini langsung tersenyum dan keluarkan ucapan.
“Terima
kasih kau telah menyelamatkan nyawaku…”
“Terima
kasih kembali Nek,” jawab Wiro. “Aku minta maaf kalau menduga keliru
perbuatanmu ketika menolong mengobati adikku.” “Aku sudah melupakan hal itu,
Nek.” “Tadi kau menyebut seorang sahabat bersama Denok Tuba Biru. Apakah dia
gadis bertubuh gemuk yang mukanya biru berbelang kuning?” bertanya Si Kamba
Mancuang. “Betul Nek.”
“Kalau
memang dia, gadis itu… dia sedang dikejar Inyiek Susu Tigo. Dia menghisap tiga
puting susu Inyiek. Padahal disitu ada rahasia kaulan. Siapa perempuan yang
bisa menghisap akan dijadikan istri…”
“Si
gembrot itu! Sudah gatal dia rupanya! Aku harus mencarinya dan memberi
pelajaran. Jangan membuat malu di negeri orang!” ujar Wiro.
“Pemuda
Malin Kapuyuak itu yang punya pekerjaan mempermainkan si gadis.” Menjelaskan si
nenek. Lalu dia menyambung. “Anak muda saat ini aku ingin segera mengejar Ki
Bonang dan kawan-kawannya…”
“Aku ikut
bersamamu Nek.”
Si Nenek
menatap wajah sang pendekar lalu tersenyum.
“Kau akan
membuat budi lagi. Padahal aku mau mengatakan kalau saat ini diriku benar-benar
berhutang budi besar padamu. Bagaimana aku harus membayarnya?”
Wiro
garuk-garuk kepala. Dilihatnya wajah si nenek sudah tidak redup sedih seperti
tadi lagi. Sudah agak cerah. Dia memandang berkeliling. Tidak ada orang lain di
tempat itu kecuali Niniek Panjalo yang sudah jadi mayat.
“Ada apa?
Kau mencari siapa?” tanya si nenek.
Wiro tak
menjawab melainkan ulurkan dua tangan memeluk Si Kamba Mancuang lalu mencium
pipinya kiri kanan. Si nenek jadi terkejut dan kelagapan. Tubuhnya sampai
bergetar panas dingin. Mendadak Wiro melihat ada selapis cahaya biru tipis
menyelubungi sekujur kepala dan tubuh si nenek. Wiro melihat satu sosok yang
lain. Sosok seorang gadis berkulit putih berwajah cantik dengan lesung pipit di
kedua pipi. Tapi hanya sekilas lalu sosok itu kembali pada ujud si nenek
semula.
“Nek…
kau…” Wiro mempererat pelukannya. Si nenek membalas lebih kencang sambil kepala
disandarkan di bahu Wiro. Namun kemudian seolah sadar cepat-cepat lepaskan diri
dari rangkulan Wiro.
“Oooh…
jadi begitu caranya aku harus membayar budi besarmu?” ucap si nenek pula sambil
tersipu-sipu.
“Anu Nek,
aku…”
Sambil
berkelebat pergi dari tempat itu Si Kamba Mancuang berkata.
“Ada satu
rahasia besar yang akan aku ceritakan padamu. Ikuti aku…”
“Tunggu
Nek, batangan emas yang dicuri nenek satu itu harus kita selamatkan.” Wiro
mengambil batang emas yang ada di saku pakaian Neniek Panjalo lalu lari
mengejar Si Kamba Mancuang. Dia juga mengambil pedang Al Kausar tak bersarung
milik Tuanku Laras Muko Balang yang tergeletak di tanah.
Sambil
lari mengikuti Si Kamba Mancuang Wiro membatin.
“Aku
tidak mungkin bermimpi. Tidak pula melihat mahluk jadi-jadian. Tapi tadi, walau
sekilas aku jelas-jelas melihat… Agaknya aku harus memeluk dan mencium nenek
itu sampai dia mau bicara, memberi tahu siapa dia sebenarnya!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment