Nyawa Kedua
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
1
Sejak dua
minggu lalu pasangan suami istri muda Nyi Purwaningrum bersama suaminya Raden
Kuncorobanu yang seorang saudagar muda itu menempati rumah baru mereka di desa
Sarangan. Karena suami istri ini begitu ramah dan suka bergaul dengan siapa
saja maka dalam waktu singkat keduanya sudah dikenal dan disenangi oleh
penduduk desa. Apa lagi Kuncorobanu tidak segan-segan membantu penduduk miskin
yang hidupnya serba kekurangan.
Ketika
datang ke Sarangan, Nyi Purwaningrum yang berkulit hitam manis dan berwajah cantik
itu tengah mengandung menjelang bulan ke tujuh.
Sebagai
seorang saudagar, Kuncorobanu sering bepergian, terutama ke Magetan pusat dia
menjalankan usaha perdagangannya. Walau desa Sarangan tidak terlalu jauh dari
Magetan, namun jika banyak urusan dagang yang dilakukan maka seringkali
saudagar muda ini bermalam di Magetan.
Kalau
sang suami sedang bepergian Nyi Purwaningrum hanya seorang diri di rumah. Dia
tidak mempunyai pembantu atau pelayan. Juga tidak ada penjaga di rumah itu
sebagaimana layaknya kediaman orang-orang kaya atau para bangsawan. Hal ini
mendatangkan rasa cemas di banyak penduduk desa Sarangan yang telah mengenal
baik sepasang suami istri itu. Beberapa orang tetangga pernah memberitahu Nyi
Purwaningrum bahwa sejak beberapa bulan belakangan ini tujuh desa di sekitar
kawasan Telaga Sarangan, termasuk desa Sarangan, sebenarnya berada dalam
keadaan tidak aman. Tidak aman terutama bagi seorang perempuan yang sedang
hamil seperti halnya Nyi Purwaningrum. Telah beberapa kali terjadi ibu-ibu muda
yang tengah hamil diculik oleh makhluk aneh berbentuk pocong hidup. Siapa saja
yang berani melakukan pengejaran pasti menemui kematian. Sementara semua
perempuan yang diculik tak pernah kembali, tidak diketahui dibawa kemana dan
tidak diketahui apa yang terjadi dengan diri mereka.
“Kata
orang, di tempat kejadian, sebelum atau sesudah penculikan biasanya muncul
sebuah bendera aneh, berbentuk segitiga. Penduduk menyebutnya bendera darah
karena bendera itu memang basah oleh darah manusia!” Seorang penduduk desa,
perempuan separuh baya bernama Tumini memberitahu Nyi Purwaningrum ketika
berkunjung ke rumahnya. Perempuan ini sering mendatangi rumah kediaman istri
saudagar itu, membantu pekerjaan sehari-hari. Sekali-sekali perempuan ini
membawa serta anak perempuannya yang berusia sebelas tahun.
Mendengar
keterangan Tumini, Purwaningrum hanya tersenyum dan berkata. “Selama ini saya
tidak mendengar berita buruk seperti itu di desa kita. Keadaan di sini
kelihatan serba aman, tenteram. Penduduk ramah semua dan baik terhadap saya.
Tapi apa yang kakak Tumini ceritakan barusan akan saya sampaikan pada Mas Banu.
Sebaiknya dia tidak pulang ke rumah sampai larut malam atau sering menginap di
Magetan….”
“Rumah
ini sebaiknya ada pengawal. Terutama pada malam hari. Banyak lelaki penduduk
desa yang mau bantu menjaga keselamatan Jeng Ningrum, sekalipun tidak dibayar.
Kalau Jeng Ningrum mau saya bisa memangggil mereka….”
“Terima
kasih, kalian semua orang baik. Saya akan beritahu suami saya dulu kalau nanti
dia pulang.”
“Jeng
Ningrum, ada orang memberitahu saya. Beberapa hari ini, kalau hari mulai gelap
ada beberapa orang berpakaian serba hitam terlihat di sekitar rumah ini. Dua
orang di antara mereka yang naik kuda….”
“Mungkin
mereka penduduk desa yang berbaik hati ingin menjaga rumah saya,” kata Nyi
Purwaningrum pula.
“Tidak,
orang-orang itu tidak dikenal. Mereka bukan orang desa Sarangan. Setiap
pamongdesa datang meronda, mereka lenyap.”
“Lalu
apakah desa ini pernah kedatangan perampok? Ada penduduk yang kerampokan?”
tanya Nyi Ningrum.
“Tidak
pernah memang. Tapi penduduk berpendapat orang-orang itu punya niat tidak baik.
Jeng Ningrum harus berhati-hati.”
“Terima
kasih, saya akan perhatikan ucapan kakak. Kakak tak perlu cemas. Saya akan
menjaga diri baik-baik,” kata istri saudagar muda itu. Lalu dia melanjutkan
ucapannya. “Ada satu hal yang ingin saya beritahukan. Hari Jum’at di muka
bersama suami saya akan pergi ke Telaga Sarangan. Kata orang, di satu tempat
tak jauh dari Air Terjun Ngadiloyo banyak tumbuh berbagai macam bunga. Salah satu
di antaranya bunga mawar hitam yang sangat langka dan konon hanya tumbuh
beberapa kuntum saja. Bunga-bunga mawar ini katanya kuncup pada malam hari dan
mekar menjelang fajar menyingsing. Saya ingin melihatnya.”
“Penduduk
di sini menyebut bunga itu kembang mawar ireng,” kata Tumini pula. “Mengapa
Jeng Ningrum ingin melihat kembang mawar ireng itu?”
“Saya ini
aneh,” ucap Nyi Purwaningrum. “Sewaktu mulai hamil dan hamil muda, tidak
seperti perempuan lain, saya tidak pernah ngidam. Tidak pernah kepingin apa-apa.
Tidak ingin makan ini itu. Tapi ketika mendengar bunga mawar hitam di Telaga
Sarangan itu, saya setengah mati ingin melihat dan memetiknya barang
sekuntum….”
“Kata
orang bunga langka itu tidak boleh diambil. Tidak boleh dipetik. Tapi kalau
Jeng Ningrum yang menghendaki, rasanya tidak ada yang keberatan.”
Rencana
Nyi Purwaningrum hendak pergi ke Telaga Sarangan untuk melihat kembang mawar
ireng segera tersebar di kalangan penduduk desa. Pagi hari Jum’at ketika hari
masih gelap dan sepasang suami istri itu siap-siap untuk berangkat, begitu
keluar rumah mereka jadi terkejut. Di halaman telah menunggu belasan penduduk
desa mengelilingi sebuah kereta kecil ditarik seekor kuda hitam.
Seorang
lelaki lanjut usia berbelangkon biru yang duduk di depan kereta bertindak
sebagai sais bukan lain adalah Ki Sena Pamungkur, Kepala Desa Sarangan.
Beberapa pamong desa siap di atas kuda masing-masing bertindak sebagai
pengawal. Lalu belasan penduduk desa naik gerobak dan menunggang kuda membawa
obor siap pula bertindak sebagai pengiring.
Selagi
suami istri itu terheran-heran menyaksikan pemandangan di halaman rumah mereka,
Kepala Desa Sarangan turun dari kereta. Ditemani oleh Tumini dia menemui
Kuncorobanu, memberitahu bahwa dia dan penduduk desa Sarangan siap mengantar
saudagar itu bersama istrinya menuju Telaga Sarangan.
Walau
tidak menghendaki semua pelayanan itu namun baik Raden Kuncorobanu maupun
istrinya tidak tega menolak. Keduanya kelihatan sangat terharu.
Rombongan
sepasang suami istri diiringi penduduk desa akhirnya meninggalkan halaman
rumah, berangkat menuju Telaga Sarangan, tak ubahnya seperti arak-arakan kecil.
Apa lagi di sebelah depan ada sebuah gerobak ditumpangi pemuda desa yang
menabuh gendang, meniup seruling, memukul sebuah gong kecil serta beberapa kentongan.
Karena kejadian seperti ini baru kali itu terjadi, tidak heran walau pagi buta
dan masih gelap, sepanjang jalan penduduk desa berkerumun di depan rumah
masing-masing.
Ketika
rombongan keluar dari desa Sarangan, dalam kegelapan ada sepuluh penunggang kuda
berpakaian serba hitam membayangi. Orang-orang ini mengikuti rombongan tapi
tidak menempuh jalan yang sama. Mereka bergerak di kiri kanan jalan di balik
bayang-bayang gelap pepohonan. Kadang-kadang mereka lenyap seperti ditelan
malam.. Kemudian muncul lagi jauh di depan rombongan, berhenti dan menunggu
sampai, rombongan lewat. Sebelum fajar menyingsing rombongan telah sampai di
Telaga Sarangan. Kawasan ini diselimuti kesunyian. Air telaga tidak bergerak
tidak beriak seolah lapisan kaca yang mengambang. Udara terasa dingin. Tiupan
angin serasa menyayat kulit. Nyi Purwaningrum merapatkan baju tebalnya.
Sesekali terdengar suara kicau burung di kejauhan.
Ki Sena
Pamungkur yang menjadi sais membawa kereta menyusuri tepian telaga, terus ke
arah selatan. Lapat-lapat terdengar deru suara air terjun Ngadiloyo. Tak selang
berapa lama rombongan sampai di depan air terjun. Ki Sena menghentikan kereta
di tanah datar. Semua orang turun dari gerobak dan kuda, membawa obor
mengiringi pasangan suami istri yang didampingi Kepala Desa Sarangan, berjalan
ke satu bukit kecil di lamping kiri air terjun. Di sebelah depan para pemuda
desa sambil berjalan masih terus menabuh dan memainkan berbagai bebunyian.
Rombongan
mulai mendaki bukit kecil, menuju ke satu lereng. Di lereng bukit inilah
bertumbuhan berbagai macam bunga, di antaranya kembang mawar ireng yang ingin
dilihat oleh Nyi Purwaningrum dan kalau bisa hendak dipetiknya.
Di satu
tempat Kepala desa Ki Sena Pamungkur hentikan langkah, menunggu Raden
Kuncorobanu dan istrinya. Beberapa pamong desa melangkah berjejer memagari
jalan. Begitu Kuncorobanu dan istri sampai di depan Ki Sena. Kepala Desa ini
menunjuk ke arah satu dari lima pohon besar sejarak tiga tombak di depan
mereka. Para pemuda hentikan menabuh dan memainkan bebunyian.
“Raden
Kuncoro, Nyi Ningrum, kembang mawar hitam yang hendak dilihat itu tumbuh
mengelilingi pohon besar di sebelah tengah. Tinggal dekat saja, tapi jalannya
agak licin. Hati-hati….”
Tumini
yang ikut dalam rombongan segera memegang lengan Nyi Purwaningrum lalu
mendampingi, istri saudagar itu melangkah ke arah pohon besar di sebelah
tengah. Di antara deru air terjun di kejauhan sayup-sayup terdengar suara kokok
ayam.
“Syukur
kita sampai sebelum fajar menyingsing. Jadi masih bisa melihat bunga aneh itu
mekar mengembang. Bunga lain biasanya mulai mekar begitu tersentuh sinar sang
surya. Tapi bunga mawar hitam ini lain dari yang lain….” Kata Ki Sena Pamungkur.
Dia yang pertama sekali sampai di depan pohon besar sebelah tengah, menyusul
Kuncorobanu dan istrinya lalu para pamongdesa dan anggota rombongan lainnya.
Para
pemuda telah sejak tadi berhenti menabuh bebunyian. Mereka juga ingin
menyaksikan bunga mawar hitam itu.
“Kesampaian
juga maksud saya. Luar biasa….” kata Nyi Purwaningrum ketika dia sampai dan
melihat tujuh bunga mawar hitam tumbuh di sekitar pohon dan saat itu masih
dalam keadaan setengah kuncup. Permukaan bunga tertutup titik-titik embun.
“Sebentar
lagi bunga ini akan mekar mengembang,” kata Kepala Desa. Lalu dia memberi
perintah pada beberapa orang pemuda yang membawa.obor datang mendekat agar Nyi
Ningrum bisa melihat jelas ketika kuncupan bunga-bunga mawar hitam itu mulai
bergerak membuka, mekar mengembang. Supaya bisa melihat lebih jelas, Nyi
Ningrum sengaja membungkuk di depan tebaran bunga mawar hitam.
“Saya
melihat….” tiba-tiba Nyi Ningrum berucap. “Lihat! Kangmas Banu… bunganya mulai
bergerak. Bunganya mulai mekar.” Bukan cuma Raden Kuncorobanu, tapi semua orang
yang ada di situ, di bawah penerangan obor, pentang mata lebar-lebar, ingin
menyaksikan kebenaran ucapan Nyi Ningrum. Melihat bunga melati hitam yang tadi
setengah kuncup kini mulai bergerak mekar.
“Kalau
boleh,” ucap Nyi Ningrum, “begitu mekar saya ingin mendapatkannya sekuntum.”
“’Akan
saya petikkan untuk Nyi Ningrum,” kata Kepala Desa Ki Sena Pamungkur. Dia
bergerak lebih dekat ke pohon besar. Matanya memperhatikan kuncup mawar hitam
yang paling panjang dan paling lebar. “Aahhh….” Sang Kepala Desa kemudian
keluarkan suara kagum disertai tarikan nafas panjang. “Selama ini, belasan
tahun, saya hanya mendengar saja. Kini menyaksikan sendiri….” Sepasang mata Ki
Sena Pamungkur membesar ketika menyaksikan bagaimana ujung-ujung kuncup bunga
mawar yang menjadi pusat perhatiannya perlahan-lahan bergerak. Di sebelahnya
Raden Kuncorobanu juga memperhatikan dengan mata tak berkesip. Bunga yang tadi
setengah kuncup itu sesaat kemudian telah berkembang mekar keseluruhannya.
“Tolong
Ki Sena, petikkan bunga itu untuk istri saya….” kata Raden Kuncorobanu.
“Biar
saya sendiri yang memetiknya,” kata Nyi Purwaningrum lalu maju selangkah,
membungkuk sambil ulurkan tangan.
Pada saat
itulah ada sesuatu melesat dalam kegelapan malam. Cairan aneh menyiprat. Nyi
Ningrum terpekik ketika sebuah benda menancap di batang pohon besar, hanya
beberapa jengkal dari kepalanya yang tengah membungkuk!
Raden
Kuncorobanu tersurut dua langkah.
Ki Sena
Pamungkur melengak kaget.
“Bendera
darah!” Ucap sang Kepala Desa dengan suara bergetar lalu memandang berkeliling
dengan wajah berubah pucat.
Enam
orang pamong desa segera gerakkan tangan ke pinggang, loloskan golok
masing-masing.
Nyi
Ningrum melangkah mundur mendekati suaminya. Dengan cepat sepasang matanya dan
juga mata Kuncorobanu memperhatikan ke arah kegelapan. Saudagar muda ini
rundukkan kepala, membisikkan sesuatu ke telinga istrinya.
***********************
2
MALAM
udara dingin dan ketegangan mencekam begitu rupa tiba-tiba satu suara tawa
bergelak menggema di tempat itu, disusul ucapan lantang,
“Nyi
Ningrum, bunga mawar ireng adalah bunga langka bunga larangan. Siapa berani
memetik akan kejatuhan musibah! Tapi aku bersedia memetikkan semua bunga mawar
hitam itu dan kupersembahkan untukmu! Dengan satu syarat! Asal kau bersedia
ikut bersamaku!”
Semua
orang yang ada di tempat itu jadi terkejut dan sama palingkan kepala, memandang
berkeliling. Mencari tahu siapa orang yang barusan bicara keras dan kurang
ajar. Namun orang yang dicari tidak kelihatan. Rasa tegang semakin mencekam.
Kesunyian
menggantung di udara dingin dan gelap. Di kejauhan terdengar suara air terjun.
“Ki Sena,
apakah bukit ini ada hantunya?” tanya Nyi Ningrum setengah berbisik.
“Kalaupun
ada hantu, hantu mana yang bisa tertawa dan bicara berteriak,” jawab Kepala
Desa. Walau dia bicara gagah tapi suaranya bergetar tanda hatinya berdebar. Dia
melirik ke arah bendera merah yang menancap di batang pohon. Lalu berpaling
pada Raden Kuncorobanu dan berbisik. “Raden, kita dalam bahaya.”
Sepasang
mata Raden Kuncorobanu bergerak berputar.
Salah
satu kakinya digeser. Tiba-tiba saudagar muda ini berteriak.
“Siapa
yang bicara?!”
Tak ada
jawaban. Semua orang kembali memandang berkeliling. Tidak kelihatan siapa-siapa
selain orang-orang rombongan dari Desa Sarangan.
Tiba-tiba
seorang pamongdesa berseru seraya menunjuk.
“Ki Sena,
lihat! Di atas pohon!”
Semua
kepala diangkat, sama memandang ke jurusan yang ditunjuk pamongdesa. Dan semua
orang melihat! Di atas cabang pohon besar pada deretan ujung sebelah kanan,
berdiri satu sosok serba putih, mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Setan
pocong!”
Beberapa
mulut berucap hampir berbarengan. Semua wajah kelihatan berubah dan setiap
tengkuk terasa dingin! Beberapa orang mulai menggeser kaki, bergerak menjauh.
Tiba-tiba wuuut! Sosok putih di atas cabang pohon melayang turun. Satu kali
berkelebat dia telah berdiri di hadapan Nyi Ningrum. Istri saudagar yang tengah
hamil ini melangkah mundur. Raden Kuncorobanu cepat bergerak ke depan sang
istri. Ki Sena bergerak ke sebelah Kuncorobanu. Enam pamongdesa yang telah
menghunus golok berpencar, mengurung sosok serba putih. Mereka, sudah sering
mendengar makhluk ini dengan segala kejahatan yang dilakukan yakni menculik
perempuan-perempuan hamil. Yang mereka masih belum bisa memastikan apakah
makhluk ini setan pocong sungguhan atau manusia yang sengaja berpakaian dan
bertutup kepala seperti pocong. Yang jelas siapapun adanya makhluk ini rasa
gentar saat itu telah menggerayangi diri ke enam pamong desa.
Sambil
memegangi lengan Nyi Ningrum dan berusaha menariknya, Tumini berbisik. “Jeng,
Jeng! Makhluk itu pasti punya niat jahat mau menculik Jeng Ningrum.”
“Saya
tahu, tenang saja. Dia cuma sendiri. Kita belasan orang jumlahnya,” jawab Nyi
Purwaningrum. Perempuan muda yang tengah hamil hampir tujuh bulan ini berucap
tenang walau suaranya terdengar gemetar.
Di depan
sana, manusia pocong serba putih dongakkan kepala dan berseru.
“Nyi
Ningrum, aku menunggu jawaban! Aku akan petikkan semua kembang mawar ireng
untukmu. Setelah itu kau ikut bersamaku….”
Nyi
Ningrum tidak bergerak. Sepasang matanya memperhatikan sosok serba putih di
depannya dengan pandangan berkilat-kilat. Tumini memegang lengan perempuan
hamil itu lalu menariknya ke belakang.
“Pocong
edan! Nyalimu sungguh besar!” Ki Sena membentak. “Kalau kau muncul membawa niat
jahat terhadap Nyi Ningrum, sebaiknya lekas angkat kaki sebelum aku menyuruh
anak buahku menebas leher mencincang tubuhmu!”
Di balik
kain penutup kepala si manusia pocong keluarkan suara mendengus. Dua matanya
yang terlihat di belakang dua lobang kecil pada kain putih penutup kepala
berputar liar.
“Menebas
leher mencincang tubuh! Sungguh hebat!” Manusia pocong dongakkan kepala.
Lidahnya berdecak lalu dia tertawa bergelak. Tiba-tiba suara tawa itu putus
terhenti dan bukkk!
Satu
jotosan keras menghajar dada Ki Sena Pamungkur.
Kepala
Desa Sarangan ini terpental, jatuh terduduk di tanah. Dia mencoba bangkit
berdiri, tapi setengah jalan jatuh kembali dan semburkan darah segar.
Semua
orang yang ada di tempat itu jadi geger. Enam orang anak buah Ki Sena terkejut
bukan main. Mereka semua tahu kalau Kepala Desa Sarangan itu memiliki ilmu
silat tinggi. Kalau Ki Sena dibuat roboh dengan sekali hantam saja di mata
mereka ini adalah satu hal luar biasa.
“Anak-anak…
bunuh makhluk jahanam itu…” Suara Ki Sena Pamungkur terdengar perlahan. Tapi
karena tempat itu diselimuti kesunyian, semua orang dapat mendengar jelas. Dan
kata-kata Ki Sena itu adalah ucapannya yang terakhir. Karena setelah berucap
kepalanya terkulai, tubuh miring ke kiri lalu tergelimpang. Beberapa orang
keluarkan, seruan tertahan. Beberapa lagi segera mendatangi Ki Sena. Namun
sosok Kepala Desa itu sudah tak bernyawa lagi.
Walau
dilanda kejut dan kecut, namun melihat kematian Kepala Desa mereka, enam
pamongdesa dengan golok di tangan segera menyerbu manusia pocong. Dua orang
pemuda yang memegang obor dan punya nyali besar ikut pula menyerang. Mereka
menyorongkan obor ke tubuh dan kepala manusia pocong.
Diserang
delapan orang sekaligus ternyata tidak membuat gentar. Begitu enam golok berkiblat
dan dua obor menderu, makhluk ini geser kaki kanan, dua tangan bergerak. Empat
golok saling beradu bentrokan di udara. Dua lainnya terpental ke udara begitu
pemiliknya dilabrak jotosan kiri kanan manusia pocong hingga terjengkang muntah
darah. Salah seorang pemuda yang menyorongkan obor ke kepala manusia pocong
terpental dihantam tendangan. Selagi empat pamong desa keheranan tak mengerti
bagaimana sampai golok mereka saling bentrokan satu sama lain, manusia pocong
berkelebat. Gerakannya laksana kilat. Orang hanya mendengar suara jotosan dan
tendangan. Di lain saat empat pamong desa itu telah berkaparan di tanah.
Satu-satunya
penyerang yang tinggal yakni pemuda pemegang obor yang berdiri dengan muka
pucat. Lututnya goyah. Ketika manusia pocong melangkah mendekatinya, dia cepat
bergerak mundur lalu lemparkan obor ke arah lawan. Dengan mudah, dengan tangan
kirinya manusia pocong tangkap ujung gagang obor yang terbuat dari bambu.
Sekali tangan itu meremas maka ujung bambu bederak hancur, pecah menjadi bilahan-bilahan
tajam. Ketika sekali lagi tangan kiri manusia pocong bergerak, bambu obor yang
masih menyala laksana anak panah melesat ke arah si pemuda. Belum sempat pemuda
ini berkelit, ujung bambu gagang obor telah amblas menembus perutnya. Tubuhnya
terhuyung ke belakang beberapa langkah, lalu jatuh terbanting tertelentang. Dua
tangannya menggapai-gapai. Dalam sakit yang amat sangat mungkin dia berusaha
memegang dan hendak mencabut bambu obor yang menancap di perut. Namun gagal.
Dua tangan itu keburu terkulai jatuh ke samping. Pemuda ini menemui ajal dengan
muka mengerenyit dan mata mendelik.
Dalam
suasana geger yang mencekam, sementara di timur kelihatan rona cahaya terang
tanda fajar telah menyingsing, Raden Kuncorobanu tiba-tiba melompat ke hadapan
manusia pocong. Suaranya menggelegar ketika dia membentak keras.
“Setan
alas, dajal keparat! Dosa kejahatanmu sudah melewati takaran! Kau muncul
seperti pocong hidup! Aku akan menjadikanmu pocong sungguhan!”
Semua
orang yang ada di tempat itu kecuali Nyi Ningrum terkejut melihat gerakan dan
mendengar bentakan Raden Kuncorobanu. Mereka tidak menyangka saudagar muda yang
sejak tadi wajahnya kelihatan pucat itu ternyata punya keberanian. Manusia
pocong sendiri diam-diam merasa kaget. Dalam hati dia membatin. “Saudagar ini.
Suara bentakannya bukan bentakan biasa. Tak mungkin aku salah dengar, salah
rasa. Ada tenaga dalam menyertai bentakannya tadi.”
Sambil
berkacak pinggang dan sikap penuh jumawa, manusia pocong berkata.
“Saudagar
muda Raden Kuncorobanu! Sejak tadi kau diam saja. Kukira kau suka dan setuju
aku membawa istrimu….”
“Manusia
durjana!” tiba-tiba Nyi Purwaningrum membentak. Tentu saja ini membuat kaget,
semua orang, kecuali Raden Kuncorobanu. “Hari ini semua perbuatan kejimu akan
kami kuburkan bersama tubuh bejatmu!”
“Kami?!
Maksudmu kau dan suamimu hendak mengubur diriku?! Sungguh luar biasa!
Ha…ha…ha!”
“Malaikat
maut sudah di ujung hidung! Ajal sudah di depan mata! Masih bisa tertawa!”
hardik Raden Kuncorobanu sambil balas bertolak pinggang. “Lihat sekelilingmu!
Kau sudah terkurung! Satusatunya jalan lari adalah liang kubur! Kalau memang
kau masih layak mampus dikubur dan ada yang mau mengubur!”
Di balik
kain putih penutup kepala, tampang si manusia pocong jadi berubah. Hatinya
menggeram. “Jahanam, siapa sebenarnya dua orang suami istri ini?” Dan ketika
dia memandang berkeliling, dalam udara yang mulai terang-terang tanah, terlihat
ada sepuluh orang penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala hitam mengurung
tempat itu. Semua masih muda-muda tapi unjukkan tampang garang. Tangan
masingmasing bersitekan ke pinggang dimana tersisip pedang empat persegi
panjang.
Di
tempatnya berdiri Nyi Ningrum berkata pada Tumini. “Menghindar dari sini.
Beritahu semua orang agar segera menjauh!”
Tumini
yang sejak tadi pegangi lengan Nyi Ningrum merasa heran. Air muka cantik istri
saudagar muda itu yang selama ini selalu berseri dan murah senyum, kini
dilihatnya begitu garang. Ucapannya yang selalu ramah dan lembut kini terdengar
tegas dan galak. Tak berani bertanya Tumini segera lakukan apa yang dikatakan
Nyi Ningrum.
“Aku
senang pada orang-orang punya nyali! Aku ingin tahu kalian berdua ini siapa
sebenarnya?”
Nyi Ningrum
mendengus. Raden Kuncorobanu, cembungkan rahang lalu membentak.
“Ingat
seorang bernama Surablandong?!” Dunia begini luas. Manusia begitu banyak! Mana
aku sempat mengingat-ingat nama seseorang!”
“Surablandong
adalah Ketua Perguruan Silat Lawu Putih.”
“Lantas?!”
ujar manusia pocong dengan dongakkan kepala sambil matanya memperhatikan dua
orang di hadapannya lewat dua lobang kecil pada kain penutup kepala.
“Sekitar
satu bulan yang lalu kau membunuhnya di desa Plaosan.”
“Aahhh…”
Manusia pocong keluarkan suara panjang. “Aku tidak kenal, malah tidak ingat
peristiwa itu. Lalu apakah maksud kedatangan kalian hendak mengundang aku
selamatan empat puluh hari kematian manusia bernama Suroblandong itu?! Ha… ha…
ha! Maaf saja, aku mungkin tak bisa datang!”
“Jahanam
penculik perempuan-perempuan hamil! Pembunuh keji manusia-manusia tidak
berdosa!” hardik Kuncorobanu. “Dengar baik-baik! Surablandong adalah guru dan
ketua kami! Aku bukan saudagar! Namaku bukan Kuncorobanu tapi Parit Juwana!”
“Dan aku
bukan Nyi Purwaningrum tapi Wulan Srindi! Kami bukan pasangan suami istri tapi
adalah kakak adik seperguruan!”
“Manusia
dajal! Kau masuk dalam jebakan kami! Hari ini kami mewakili arwahnya untuk
mencabut nyawamu!” Orang yang selama ini dikenal penduduk desa Sarangan sebagai
Raden Kuncorobanu campakkan blangkon di atas kepalanya hingga rambutnya yang
panjang menjulai sampai ke bahu.
(Mengenai
riwayat terbunuhnya Surablandong silahkan baca ulang Episode pertama berjudul
113 Lorong Kematian)
***********************
3
SEPULUH
pemuda berpakaian serba hitam melompat turun dari kuda masing-masing. Mereka
segera bergerak membentuk lingkaran, mengurung. Rupanya mereka benar-benar
tidak menginginkan lolosnya manusia pocong itu. Semua orang desa Sarangan yang
ada di situ terkejut bukan main mendengar ucapan-ucapan dua orang yang selama
ini mereka kenal sebagai pasangan suami istri. Di tengah kalangan si manusia
pocong tetap unjukkan sikap tenang malah masih saja bertolak pinggang. Padahal
sebenarnya dadanya sempat berdebar, hatinya bertanya-tanya. Untuk menjaga
segala kemungkinan tenaga dalam segera dialirkan ke tangan kanan.
“Raden
Kuncorobanu! Parit Juwana! Siapapun namamu, kau sungguh keterlaluan! Masakan
adik seperguruan yang sedang hamil tega-teganya kau ajak untuk mencari
perkara!”
Parit
Juwana menyeringai. Di sebelahnya Nyi Ningrum alias Wulan Sindri berkata dengan
suara keras.
“Makhluk
dajal! Siapa bilang aku hamil!”
Wulan
Sindri tanggalkan pakaian tebal yang dikenakannya lalu tangan kanannya bergerak
membuka buhul kain panjang di pinggang sebelah kiri. Buhul itu ditarik
kuat-kuat sambil tubuhnya membuat putaran seperti gasing. Bersamaan dengan
berputarnya tubuh, dari pinggang serta perut Wulan Srindi menebar keluar
gulungan kain panjang menyerupai setagen. Di balik gulungan setagen dan kain
panjang ternyata dia mengenakan sehelai celana panjang hitam ringkas. Jadi
kehamilannya selama ini adalah palsu atau samaran belaka. Semua orang yang ada
di tempat itu memperhatikan dirinya dengan mata terbelalak. Si manusia pocong
sendiri menyaksikan kejadian di depan matanya dengan sumpah serapah dalam hati.
Dia berusaha kendalikan amarah. Dari balik kain putih penutup kepala dia
kemudian keluarkan suara berdecak berulang kali.
“Kalian
merasa telah berbuat sesuatu yang hebat! Dasar manusia-manusia picik! Kalian
merasa berhasil menipuku! Padahal yang kalian lakukan adalah satu ketololan
besar! Semua ketololan itu akan berakhir sangat mengenaskan! Parit Juwana!
Majulah! Aku ingin membunuhmu lebih dulu!”
Parit
Juwana, murid terpandai yang kini dipercayai mengetuai Perguruan Silat Lawu
Putih keluarkan bentakan keras, tubuhnya berkelebat laksana angin. Tangan kanan
menderu ke arah dada manusia pocong. Tanpa menggeser kedua kakinya makhluk
serba putih itu sambut serangan orang dengan balas mengirimkan jotosan. Agaknya
dia sengaja hendak mengajak saling adu jotosan karena dia merasa yakin kekuatan
tenaga dalamnya berada di atas kekuatan lawan. Tampaknya lawanpun bersedia
menyambut adu kekuatan itu.
Namun si
manusia pocong jadi tersentak kaget ketika hanya tinggal setengah jengkal lagi
dua tinju akan saling baku hantam tiba-tiba Parit Juwana miringkan tubuh ke
kiri, tangan kanan diputar ke samping. Bersamaan dengan itu tangan kiri melesat
ke arah pelipis kanan lawan dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Inilah jurus
maut yang disebut Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.
“Pecah
kepalamu!” seorang pemuda berpakaian hitam yang mengurung kalangan perkelahian
berseru. Teman-temannya yang lain juga menyangka begitu.
“Kraaaak!”
Lain yang
diperkirakan, lain yang terjadi.
Sepuluh
anak murid Perguruan Silat Lawu Putih berseru kaget. Wulan Srindi melengak
besar. Apa yang terjadi?
Hanya
sekejapan ketika tangan kiri Parit Juwana siap menghancurkan kepalanya, manusia
pocong membuat gerakan luar biasa cepat. Lutut dibengkokkan, badan membungkuk,
kepala ikut merunduk. Tanpa menggeser kuda-kuda kedua kaki, siku kanannya
menyodok keras ke samping, mendarat telak di rusuk sebelah kiri Parit Juwana.
Tiga tulang iga berderak patah. Parit Juwana sendiri terpental setengah tombak
lalu jatuh di atas rimbunan tanaman bebungaan.
Sepuluh
murid Perguruan Silat Lawu Putih terkesiap tak habis pikir. Bagaimana murid
terpandai yang dipercayakan sebagai Ketua Perguruan kini bisa dirobohkan lawan
hanya dalam satu gebrakan saja! Siapa sebenarnya manusia berdandan seperti
pocong ini. Sepuluh pemuda hanya tertegun seketika. Di lain saat, dengan pedang
di tangan semuanya telah menyerbu ke arah manusia pocong. Mereka membuat gerak
jurus yang disebut Di Dalam Kawah Merenda Kematian. Rupanya jurus-jurus silat
Perguruan Lawu Putih diciptakan demikian rupa dan diberi nama yang ada
hubungannya dengan alam.
Jurus
serangan Di Dalam Kawah Merenda Kematian jika diperhatikan memang terlihat
seperti tangan yang sedang merenda. Agaknya jurus serangan ini bukan jurus
indah nama belaka tapi juga dahsyat dalam kenyataan. Kedahsyatannya jadi
berlipat ganda karena yang menyerbu bukan cuma satu dua orang tapi sepuluh
orang sekaligus secara berbarengan.
Sepuluh
pedang berkiblat di saat fajar menyingsing dan hari mulai terang. Dua ujung
pedang menyambar ke arah kaki. Dua menderu membabat paha. Dua lagi menusuk ke
bagian perut. Lalu dua pedang membabat punggung dan sisa dua pedang membacok
dari belakang ke arah kepala. Kalaupun ke sepuluh pedang tidak dapat mengenai
sasaran, paling tidak sambaran ke punggung atau bacokan ke arah kepala yang
datang dari belakang akan sulit untuk dihindari. Beberapa waktu lalu ketika
sepuluh anak murid Perguruan Silat Lawu Putih itu turun gunung untuk membasmi
satu kelompok penjahat dipimpin oleh tiga orang berkepandaian tinggi, ketiganya
sekaligus meregang nyawa oleh jurus Di Dalam Kawah Merenda Kematian.
Ketika
Parit Juwana terlempar dengan tulang iga patah, Wulan Srindi cepat melompat
mendatangi.
“Kakak!”
“Aku
tidak apa-apa…,” jawab Parit Juwana walau jelas ada kerenyit kesakitan di
wajahnya sementara dua tangan menekap rusuk kiri.
“Kau
terluka, ada tulang igamu yang patah.”
“Jangan
pikirkan diriku, Wulan. Lihat ke sana. Sepuluh murid perguruan melancarkan
serangan Di Dalam Kawah Merenda Kematian. Sebentar lagi makhluk durjana itu
akan menemui ajal dengan & tubuh mandi darah! Dendam kesumat sakit hati kematian
guru dan ketua kita akan terbalaskan.”
“Aku
ingin menghabisinya dengan tangan sendiri!” kata Wulan Srindi.
“Hati-hati,
dia memiliki tenaga dalam luar biasa,” memberi tahu Parit Juwana.
Namun
Wulan Srindi telah berkelebat. Justru saat itulah di depan sana terjadi hal
yang menggemparkan.
Sewaktu
sepuluh pedang menyambar ganas di sekeliling tubuhnya, manusia pocong keluarkan
bentakkan keras. Tangan kirinya di angkat ke atas. Terdengar suara halus,
seperti ada satu benda bergeser. Ketika tangan, itu diputar di atas kepala,
dari balik jubah menderu angin deras disertai berkiblatnya cahayacahaya aneh.
Pekik
jerit berhamburan keluar dari mulut sepuluh murid Perguruan Silat Lawu Putih.
Tubuh mereka bermentalan jatuh bergelimpangan di tanah. Beberapa di antaranya
menyangsrang di atas semak belukar. Keadaan, mereka tak karuan rupa.
Mengerikan. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki memar hancur! Nyawa
mereka tak usah ditanya lagi. Amblas sudah.
Di balik
kain putih penutup kepala, manusia pocong bicara pelahan. Ada sesuatu yang
disesalinya. “Seharusnya aku tidak mempergunakan benda itu. Kalau ada yang
mengenali semburan cahaya tadi aku bisa celaka. Tapi lawan begitu banyak.
Mereka bukan saja berkepandaian tinggi, juga bersenjata golok. Ilmu silat biasa
tak mungkin dipakai untuk menghadapi mereka.”
***********************
4
PARIT
Juwana berteriak marah menyaksikan kematian sepuluh anak murid Perguruan. Wulan
Srindi menggerung keras. Dari tempatnya berdiri dalam keadaan limbung menahan
sakit akibat tiga tulang iganya patah, pemuda Perguruan Silat Lawu Putih
keluarkah tiga buah benda berbentuk bola berduri terbuat dari kuningan. Inilah
senjata rahasia yang disebut Elmaut Kuning. Ketika menerima jabatan sebagai
Ketua Perguruan, Parit Juwana menerima lebih dari seratus buah senjata rahasia
yang mengandung racun mematikan itu dari mendiang Surablandong.
“Wulan!-Menyingkir!”
teriak Parit Juwana karena sang adik seperguruan berada pada satu garis lurus
antara dirinya dengan manusia pocong yang hendak diserang. Wulan Srindi sempat
melirik ke belakang dan melihat apa yang ada di tangan Parit Juwana. Saat itu
murid perguruan yang masih gadis ini sebenarnya hendak melancarkan serangan
satu pukulan jarak jauh bernama Membelah Ombak Menembus Gunung. Pukulan sakti
ini sanggup mematah batang pohon besar, menghancurkan batu. Namun melihat Parit
Juwana memegang bola-bola Elmaut Kuning, sementara dia berada di tengah-tengah
alur serangan, sang dara tepaksa menyingkir ke samping. Begitu tubuh Wulan
Srindi bergerak, tiga buah bola berduri Elmaut Kuning menderu di udara! Dua
menyambar ke arah kepala, satunya melesat mencari sasaran di dada manusia
pocong.
“Bola-bola
keparat!” rutuk manusia pocong. Sebelumnya dia telah pernah melihat senjata
rahasia ini. Yaitu ketika diserang Surablandong di Plaosan tempo hari. Ketika
melihat tiga bola kuning menderu ganas ke arahnya, manusia pocong cepat
menyambar sosok mayat salah seorang murid Perguruan Silat Lawu Putih yang
menyangsang di atas semak belukar di sampingnya. Tubuh ini diangkatnya demikian
rupa, dijadikan sebagai tameng melindungi diri. Tiga bola kuning menancap di
kepala dan dada pemuda yang sudah jadi mayat itu.
“Jahanam
biadab!” teriak Wulan Srindi. Tidak menunggu lebih lama gadis ini segera
pukulkan tangan kanannya lancarkan serangan Membelah Ombak Menembus Gunung yang
tadi tak jadi dilakukan. Satu gelombang angin luar biasa dahsyat menderu ke
arah manusia pocong.
Yang
diserang leletkan lidah, keluarkan suara berdecak.
“Gadis
cantik, aku tidak ingin kau membuang-buang tenaga. Simpan tenagamu agar nanti
bisa melayani diriku! Ha… ha… ha!”
Habis
berkata begitu manusia pocong miringkan kepalanya sedikit. Lengan jubah sebelah
kiri dikebutkan.
“Wuuuutttt!”
“Braaaakkk!”
Wulan
Srindi tersentak kaget ketika melihat angin yang keluar dari ujung lengan jubah
kiri manusia pocong berhasil memapaki angin serangannya hingga melenceng dan
menghantam batang pohon hingga hancur berkeping-keping.
Selagi
pohon itu menggemuruh tumbang Wulan Srindi te1ah melesat menyerbu ke arah
manusia pocong. Dia ingat ucapan Parit Juwana tadi yaitu agar berhati-hati
karena manusia pocong memiliki tenaga dalam luar biasa. Karenanya serangan
tangan kosongnya selain mengandalkan jurus-jurus paling andal Wulan Srindi juga
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
“Gadis
ini berbahaya. Tapi terlalu cantik untuk dibunuh….” Manusia pocong berucap
dalam hati. Melirik ke samping dilihatnya Parit Juwana dengan langkah
tertatih-tatih berjalan ke arahnya, menggenggam sebilah golok di tangan kanan.
Saat itu Wulan Srindi telah menghabiskan dua jurus, menyerangnya seperti seekor
harimau lapar.
“Tak ada
waktu untuk main-main….,” ucap manusia pocong. Kalau tadi dia hanya mengelak
dan menghindar, kini setelah menggeser kedudukan kedua kakinya dia mulai
bergerak cepat. Tangan kanannya menyusup di antara dua tangan lawan yang
menderu kian kemari mencari sasaran di dada dan kepalanya. Tiba-tiba Wulan
Srindi terpekik. Dua tangannya untuk sesaat masih kelihatan bergerak latu jatuh
terkulai ke samping. Mata membeliak, mulut terkancing. Dua kaki kaku seperti
dipantek ke tanah. Ini terjadi setelah dua ujung jari tangan kanan manusia
pocong menotok urat besar di lehernya sebelah kiri.
Parit
Juwana maklum bahaya yang mengancam saudara seperguruannya itu. Kalau manusia
pocong tidak inginkan nyawa Wulan Srindi berarti dia inginkan diri gadis itu
hidup-hidup. Wulan Srindi dalam bahaya besar.
Tidak
menunggu lebih lama Parit Juwana pungut sebilah golok yang tercampak di tanah
lalu melompat, menyerbu ke arah manusia pocong. Dalam keadaan cidera begitu
rupa dia hanya mampu lancarkan serangan berupa satu kali tabasan satu kali
tusukan yang kesemuanya tidak mampu mengenai sasaran. Sekali bergerak manusia
pocong hantam pergelangan tangan kanan Parit Juwana hingga berderak patah.
Golok di dalam genggamannya terlepas mental ke udara. Selagi Perguruan Silat
Lawu Pulih ini jatuh terduduk di tanah kesakitan setengah mati, manusia pocong
tangkap golok yang mental lalu senjata ini ditusukkannya ke dada Parit Juwana.
Semua
orang yang ada di tempat itu keluarkan seruan ngeri. Untuk beberapa lamanya
mereka hanya bisa berdiri diam, tercekat tak bergerak. Mereka baru sadar
setelah tahu kalau si manusia pocong tak ada lagi di tempat itu. Dan Wulan
Srindipun tak kelihatan lagi di situ.
Di
kejauhan terdengar suara kuda dipacu.
“Manusia
pocong! Dia membawa kabur gadis itu!” Seseorang berteriak.
**************************
MANUSIA
Pocong baringkan tubuh Wulan Srindi di atas lantai batu ruangan besar kosong.
Dia tak menunggu lama. Dinding batu sebelah kiri bergeser membentuk celah. Dari
balik celah melangkah keluar satu sosok tinggi yang juga berpakaian dan
bertutup kepala serba putih.
Manusia
pocong pertama segera membungkuk berikan hormat lalu berucap.
“Yang
Mulia Ketua, terima salam hormat saya.”
Yang
dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sang Ketua hanya anggukkan kepala sedikit
lalu dari balik dua lobang pada kain putih penutup kepala sepasang matanya
memperhatikan tubuh Wulan Srindi yang tergeletak menelentang di lantai ruangan.
Sambil
melangkah pulang balik di samping tubuh Wulan Srindi, Sang Ketua keluarkan
ucapan.
“Mataku
belum buta. Perempuan yang kau bawa kali ini tidak dalam keadaan hamil. Apa
yang terjadi, apa yang telah kau lakukan dan apa yang saat ini ada dalam
benakmu!”
“Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Izinkan saya memberi keterangan. Perempuan ini memang
tidak hamil. Masih gadis. Namanya Wutan Srindi. Dia adalah anak murid Perguruan
Silat Lawu Putih. Surablandong, bekas Ketua Perguruan saya habisi beberapa
waktu lalu dalam peristiwa penculikan Nyi Upit Suwarni di Desa Plaosan….” Lalu
manusia pocong yang punya jabatan Wakil Ketua menjelaskan apa yang telah
terjadi.
Setelah
mendengar penuturan wakil Ketua, manusia pocong tinggi besar berdiam diri
beberapa lamanya lalu berkata.
“Seharusnya
pemuda bernama Parit Juwana itu kau tangkap hidup-hidup dan kau bawa ke sini
untuk menambah kekuatan barisan kita….” “Tadinya saya ingin berbuat begitu Yang
Mulia Ketua. Tapi kenyataannya tingkat kepandaiannya biasa-biasa saja. Selain
itu dia membekal dendam kesumat amat besar dalam dirinya terhadap kita. Bisa
berbahaya kalau dia diajak bergabung….”
“Bagaimana
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Dia tugas utamamu. Kau tahu apa akibatnya
jika tidak bisa mendapatkan manusia satu itu….”
“Saya
sudah menyirap kabar dimana dia berada. Sekarang juga saya akan minta diri
untuk mencarinya….”
“Sebelumnya
kau aku berikan waktu tujuh hari. Dua hari telah lewat percuma. Jangan sampai
aku kembali menyebutmu sebagai manusia tolol!”
“Yang
Mulia Sang Ketua, saya berjanji akan mampu mendapatkan Pendekar 212 dalam waktu
lima hari. Paling tidak….”
“Paling
tidak apa?!”
“Saya
bisa mendapatkan satu atau dua dari tiga gadis yang kabarnya ada bersama dia.
Kalau gadisgadis itu bisa kita bawa kesini, bukankah itu sebagai salah satu
cara untuk menjebak Pendekar 212 datang ke sini?”
“Bisa
begitu, tapi kau tahu sendiri. Pemuda sableng itu tidak sebodoh yang kau
perkirakan. Kau telah menyaksikan sendiri kehebatan ilmunya. Kau bahkan
dibuatnya membekal dendam seumur-umur.”
“Yang
Mulia Ketua, saya mohon diri. Apa yang harus saya lakukan dengan gadis ini?”
“Kau
boleh pergi. Aku bisa mengurus gadis cantik ini dengan caraku sendiri.”
Manusia
Pocong sang Wakil Ketua terdiam sejehak.
“Mengapa
kau masih berdiri di hadapanku?!” Yang Mulia Ketua menegur.
“Maksud
saya Yang Mulia. Sebelum pergi saya ingin….” Sang Wakil Ketua tidak meneruskan
ucapannya.
“Aku
tahu, aku tahu!” Yang Mulia Ketua memotong ucapan wakilnya. “Kau ingin
bersenang-senang dengan gadis ini, bukan?!”
“Jika
Yang Mulia Ketua mengizinkan.” Jawab sang Wakil Ketua.
Di
lantai, sepasang mata Wulan Srindi terbuka lebar dan berputar. Hanya itu
gerakan yang bisa dilakukannya ketika mendengar semua percakapan dua manusia
pocong itu. Dalam hati gadis ini berkata. “Jika salah satu dari kalian berbuat
keji terhadapku, aku bersumpah membunuhmu!”
Manusia
pocong bertubuh tinggi besar tertawa bergelak.
“Sekali
ini permintaanmu aku kabulkan. Tapi dengan satu syarat!”
“Mohon
Yang Mulia memberitahukan syarat itu.”
“Jika kau
gagal mendapatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga gadis cantik itu, kuburmu
akan jadi satu dengan kubur gadis ini!”
“Syarat
itu akan saya ingat baik-baik Yang Mulia Ketua.”
“Satu
lagi!”
“Ada apa
Yang Mulia?”
“Jangan
kau terjebak keduakali! Mendapatkan perempuan bunting ternyata hanya tipuan
belaka!”
“Saya
mengerti Yang Mulia Ketua. Harap maafkan saya. Sekarang saya mohon diri membawa
gadis ini!”
“Bawa
kemana kau suka. Tapi ingat! Jangan sekali-kali mendekati Rumah Tanpa Dosa.”
Manusia
pocong sang Wakil Ketua membungkuk berulang kali. Lalu dia mengangkat tubuh Wulan
Srindi. Gadis itu dipanggulnya di bahu kiri. Dengan cepat dia tinggalkan
ruangan itu.
***********************
5
KITA
tinggalkan dulu Wulan Srindi yang bernasib malang, jatuh ke tangan orang-orang
keji yang dikenal dengan panggilan manusia pocong. Kita kembali pada peristiwa
yang menggegerkan yakni ditemuinya dua kuburan di puncak gunung Gede. Satu
kubur berada dalam keadaan kosong, satunya berisi jenazah Puti Andini. Namun
kemudian kubur inipun ternyata berada dalam keadaan kosong. (Baca serial Wiro
Sableng Episode “Makam Ketiga” dan “Senandung Kematian”) Kemana lenyapnya
jenazah Puti Andini?
**************************
KAWASAN
Gunung Gede diselimuti cuaca buruk. Sejak siang hujan turun deras. Deru angin
terdengar menggidikan, apalagi sesekali diseling sambaran cahaya kilat disusul
gelegar guntur.
Dalam
keadaan seperti itu di lereng timur gunung seorang nenek kurus tinggi
berpakaian hitam, lima tusuk konde perak menancap di batok kepala, berlari
cepat menuju puncak. Nenek ini bukan lain adalah Sinto Gendeng, guru Pendekar
212 Wiro Sableng. Nenek sakti yang namanya telah, dikenal dan menggetarkan
delapan penjuru angin rimba persilatan tanah Jawa. Rupanya setelah sekian lama
meninggalkan Gunung Gede hari itu dia tengah dalam perjalanan kembali menuju
pondok kediamannya di puncak gunung. Namun selain cuaca buruk agaknya ada
sesuatu yang tidak beres dengan diri si nenek. Ini kentara dari larinya yang
tampak limbung.
Walau dia
masih kelihatan mampu berlari dengan cepat, menembus hujan lebat, melesat dalam
deru angin serta kabut, namun sesekali kelihatan Sinto Gendeng berhenti, tegak
terbungkuk sambil pergunakan tongkat kayu bututnya untuk menopang diri dan
terbatuk-batuk beberapa kali. Keangkeran pada wajahnya yang cekung tinggal
kulit tipis pembalut muka, pandangan matanya yang selalu menggidikan kini seolah
lenyap. Wajah yang nyaris menyerupai tengkorak kelihatan mengerenyit seperti
menahan rasa sakit.
“Sial,
penyakit apa yang menyerang diri tua keropos ini?! Mengapa badanku terasa panas
dingin, nafas sesak dan batuk terus-terusan?!” Sinto Gendeng melangkah
mendekati sebuah pohon, bersandar ke pohon itu lalu kembali batuk-batuk. Suara
batuknya terdengar aneh. Si nenek menyeringai sendiri dan berkata. “Edan! Suara
batukku seperti suara anjing mengaing. Hik… hik… hik!”
Sinto
Gendeng raba keningnya, terasa panas. Dia pegang leher, juga panas. Lalu dia
hembuskan nafasnya ke telapak tangan kiri.
“Semua
panas! Sial, jangan-jangan aku terserang demam. Aku tidak boleh sakit! Tidak
boleh! Aku harus segera sampai ke pondok!”
Sinto
Gendeng luruskan tubuh, dia pandangi pakaiannya yang basah kuyup lalu
memperhatikan berkeliling. Sesaat kemudian diusapnya kedua matanya.
“Tempat
ini memang banyak kabutnya. Tapi aneh, mengapa pandanganku seperti tidak
karuan? Apakah demam panas bisa membuat mata jadi lamur?!” Si nenek usap lagi
dua matanya lalu gelenggelengkan kepala. Kemudian terdengar mulutnya
menggerendeng. “Hujan celaka! Petir jahanam! Guntur keparat! Apa kalian kira
aku takut pada kalian?! Kalian tidak bisa menghentikan perjalananku! Aku harus
kembali ke pondok!”
Sinto Gendeng
putar tongkat kayunya tiga kali. Curahan hujan muncrat ke atas seperti dihantam
tameng. Angin terbelah bersibak dan di atas pohon lusinan daun-daun basah
melayang jatuh ke bawah. Si nenek tertawa panjang, ketuk-ketukkan ujung tongkat
ke kepalanya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya tidak
secepat seperti biasanya. Ketika hujan reda dan sang surya muncul sore hari itu
Sinto Gendeng masih sejarak ratusan tombak dari pondok kediamannya di puncak
gunung. Dan lagi-lagi di satu tempat nenek ini terpaksa hentikan lari karena
nafasnya kembali terasa sesak serta batuk kembali menyerang.
“Ba tuk
sialan!” maki Sinto Gendeng lalu meludah ke tanah dan dudukkan tubuhnya di satu
gundukan tanah di samping serumpunan semak belukar. Sambil duduk dia memeras
ujung kain hitamnya yang basah kuyup. Selesai memeras tangannya di tempelkan ke
hidung. Sinto Gendeng mengerenyit lalu tertawa sendiri. “Bau pesing….” katanya.
“Pantas…. Seharusnya aku tidak boleh marah kalau Anak Setan itu atau siapa saja
mengatakan aku nenek bau pesing. Kenyataannya memang begitu. Hik… hik… hik!
Mungkin aku harus minum air hujan campur kencing perasan dari kain ini agar
sakit panasku bisa sembuh! Hik… hik… hik.”
Suara
tawa cekikikan Sinto Gendeng terhenti ketika dua telapak kakinya yang menjejak
tanah terasa bergetar.
“Ada
orang mendatangi ke arahku,” membatin Sinto Gendeng. “Langkahnya tidak
terdengar tapi getarannya terasa pada dua telapak kakiku. Berarti dia bukan
orang sembarangan.”
Perlahan-lahan
nenek ini angkat kepalanya. Sepasang mata cekung Sinto Gendeng serta merta
terpentang lebar ketika dia melihat satu sosok berdandanan aneh berjalan ke
arahnya lalu berhenti sekitar sepuluh langkah di hadapannya.
Sosok itu
mengenakan jubah putih menjela tanah hingga kakinya tidak kelihatan. Dua
tangannya tertutup oleh lengan jubah panjang mengambai. Di sebelah atas,
keseluruhan kepala termasuk wajah ditutup sehelai kain putih yang hanya
dilubangi kecil pada bagian mata. Sosok yang berdiri di hadapan Sinto Gendeng
ini rangkapkan dua tangan di depan dada hingga keadaannya menyerupai pocong
hidup.
“Eh,
apakah aku tengah bermimpi atau melihat pocong hidup sungguhan? Edan. Di gunung
ini tidak ada kuburan. Mana mungkin ada pocong!” pikir Sinto Gendeng seraya
mengusap sepasang matanya. “Atau mungkin…? Ah, mana bisa jadi! Aku yakin
Malaikat Maut tampangnya tidak begini!”
Sinto
Gendeng tekankan tongkatnya ke tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Serangan demam panas membuat tubuhnya menggigil.
“Makhluk
serba putih! Kau kesasar dari mana?!” Sinto Gendeng tiba-tiba menegur. Seperti
biasa, walau dalam keadaan sakit suaranya tetap saja menyemprot garang.
Dua mata
dibalik dua lobang kecil pada penutup kain putih kelihatan bergerak dan
pancarkan sinar aneh.
“Aku
Malaikat Maut yang datang untuk mengambil nyawamu!” Tiba-tiba makhluk serba
putih keluarkan ucapan. Kain putih penutup kepalanya bergerak-gerak.
“Aaah!”
Sinto Gendeng keluarkan seruan panjang. “Benar juga dugaanku! Kau Malaikat Maut
rupanya. Tapi apakah Malaikat Maut ujudnya memang seperti dirimu? Yang aku
lihat kau mirip-mirip pocong hidup!” habis berkata begitu Sinto Gendeng tertawa
cekikikan.
“Hentikan
tawamu! Sudah mau mati masih tidak tahu diri!” Sosok serba putih di hadapan
Sinto Gendeng membentak sambil kaki kanan dihentakkan ke tanah.
Sinto
Gendeng memang hentikan tawanya. Selain itu dia merasakan, hentakkan kaki kanan
orang di depannya membuat tanah yang dipijaknya bergetar keras. Ada hawa aneh
panas seperti mencucuk dan membakar masuk ke dalam dua telapak kakinya. Kalau
dia tidak segera kerahkan tenaga dalam untuk bentengi diri, niscaya hawa aneh
itu akan terus menjalar ganas ke dalam tubuhnya.
Sinto
Gendeng orangnya suka jengkelan. Diserang orang secara licik dia jadi
penasaran. “Malaikat jejadian, aku kembalikan seranganmu!” Sinto Gendeng
alirkan tenaga dalam ke kaki kanan. Telapak kaki digeserkan ke tanah. Sesaat
kemudian orang berjubah dan bertutup kepala putih di depan sana keluarkan suara
kaget dan melompat hampir setengah tombak. Ujung jubahnya mengepulkan asap.
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. “Makanya! Jadi orang jangan suka jahil! Rasakan!”
Begitu
turun, di tanah orang berjubah dan bertutup kepala kibaskan bagian bawah
jubahnya lalu berucap keras dan ketus. “Sinto Gendeng! Kau boleh punya seribu
kehebatan! Semua itu tidak akan menolong dirimu selamat dari kematian!”
Maunya si
nenek saat itu juga dia ingin menghantam orang dengan satu pukulan sakti. Namun
dia masih bisa menahan diri karena ingin menyelidik lebih dalam sebab apa orang
inginkan nyawanya. Sementara itu demam yang menyerang dirinya semakin bertambah
parah hingga dua lutut Sinto Gendeng terasa ngilu dan goyah, tubuhnya kembali
menggigil.
“Aku
pikir-pikir, tapi tidak bisa terpikir! Aku ingat-ingat tapi tidak bisa
teringat! Kenal dirimu aku tidak. Melihat perwujudanmu baru kali ini. Apakah
ada silang sengketa antara kita di masa lalu? Aku yakin tidak. Adalah aneh kau
ingin membunuhku!”
“Kematian
memang aneh. Tidak, terduga dan datang begitu cepat, laksana kilat. Yang
namanya kematian itu tidak ada waktu untuk bertanya jawab!”
“Hemm…
begitu?” Sinto Gendeng menyeringai. “Kalau kau punya nyali harap buka kain
putih penutup kepalamu! Melihat tampangmu siapa tahu aku bisa ingat sesuatu.”
“Permintaan
orang yang mau mati tidak boleh ditolak. Aku memberi kesempatan padamu untuk
melakukan sendiri!” Habis berkata itu orang berpakaian menyerupai pocong
renggangkan dua kaki lalu ulurkan kepala ke arah si nenek.
“Yang
takabur itu biasanya manusia! Tidak sangka hantu pocong jejadian juga bisa takabur!”
Merasa ditantang Sinto Gendeng tambah penasaran. Entah kapan dia menggerakkan
kaki dan tangannya tahu-tahu tongkat kayu di tangan si nenek menderu ke arah
kepala yang tertutup kain putih. “Brett!”
***********************
6
MAKHLUK
menyerupai pocong hidung berseru kaget dan melompat mundur. Dia raba kain putih
penutup kepalanya dan dapatkan kain itu robek besar di bagian pipi kanan. Kalau
terlambat dia menghindar niscaya kulit dan daging pipinya ikut dirobek ujung
tongkat si nenek!
Sinto
Gendeng tertawa mengekeh. “Pocong jejadian! Kau masih minta aku menyingkapkan
kain penutup kepalamu?!”
Orang di
hadapan Sinto Gendeng keluarkan suara mendengus. Tiba-tiba dua lutut menekuk.
Bersamaan dengan gerakan tubuh sedikit membungkuk, dua tangannya melesat ke
depan, membuat gerakan seperti hendak memagut namun berbarengan dengan itu dua
gelombang angin dahsyat menderu menghantam ke arah bagian atas tubuh Sinto
Gendeng.
Selama
hidupnya Sinto Gendeng telah banyak menyaksikan dan menghadapi serangan lawan
berupa pukulan. Namun serangan seperti yang dilancarkan manusia pocong itu baru
sekali ini dilihatnya. Dua hantaman angin dahsyat tidak menghantam lurus ke
depan, tetapi sedikit melengkung seperti dua tangan yang tidak kelihatan
membuat gerakan mencengkeram lalu naik ke atas mengarah kepalanya.
Dalam
keadaan tubuh dilanda demam panas begitu rupa si nenek untung masih bisa
pergunakan otak. Untuk selamatkan diri dia tidak mengelak ke samping atau
melompat mundur. Dua kakinya langsung ditekuk. Sinto Gendeng jatuhkan diri ke
tanah.
Dua rangkum
gelombang angin menderu ganas di atas kepala Sinto Gendeng. Dua dari lima tusuk
konde perak yang menancap di kepalanya tersapu mental. Di belakang sana
terdengar suara berderak hancurnya batang pohon besar lalu tumbang bergemuruh.
Rahang
Sinto Gendeng menggembung. Sepasang matanya yang cekung seperti hendak melompat
keluar. Begitu terduduk di tanah nenek ini hantamkan tangan kanan ke depan.
Selarik
sinar putih panas dan menyilaukan berkiblat. Manusia pocong berseru kaget.
“Pukulan Sinar Matahari!” teriaknya. Sambil melompat ke kanan, di balik lengan
jubah yang panjang mengambai orang ini gerakkan tangan kirinya. Terdengar suara
benda bergeser halus disusul suara deru satu gelombang angin luar biasa deras
disertai cahaya berbagai warna.
Dua
kekuatan dahsyat mengandung hawa sakti saling bentrokan, menimbulkan suara
bedentum keras. Tanah bergetar, pepohonan berderak, dedaunan jatuh luruh.
Cahaya
putih pukulan maut Sinar Matahari terpental ke samping namun masih sempat
menyerempet sosok manusia pocong yang telah berusaha melompat selamatkan diri.
Sebaliknya
walaupun angin pukulan lawan yang menebar berbagai warna dapat dibuat buyar
oleh pukulan Sinar Matahari, namun tak urung laksana dihantam angin puting
beliung tubuh kurus kering Sinto Gendeng terangkat ke atas, berputar di udara
lalu terlempar jauh dan jatuh melintang di cabang pohon di samping pohon yang
tadi tumbang. Untuk beberapa lamanya nenek ini tergontai-gontai di cabang pohon
itu. Dari mulutnya bukan cuma merocos keluar kutuk serapah tapi juga ada
lelehan darah. Mukanya yang hitam kelihatan semakin hitam. Dua matanya menatap
berkilat ke arah manusia pocong di bawah sana yang terpental lalu jatuh
terjengkang di tanah. Bagian kiri jubahnya sampai ke lengan kelihatan hangus.
Luar biasanya tubuhnya tidak sampai cedera.
Dengan
cepat orang ini bangkit berdiri. Melihat Sinto Gendeng melintang tak berdaya di
atas cabang pohon dia segera angkat tangan kiri yang memegang sebuah benda
terlindung di balik lengan jubahnya yang gombrong. Ketika dia siap hendak
menghantamkan tangan itu ke arah Sinto Gendeng tiba-tiba suitan keras merobek
udara, dua kali berturut-turut.
Mendengar
suara suitan itu manusia pocong terpaksa hentikan gerakan. Walau hatinya masih
geram namun dia tidak berani meneruskan niat. Dengan cepat dia memutar tubuh
lalu berkelebat ke arah datangnya suara suitan tadi.
Di bagian
lereng yang dipenuhi pepohonan rapat dan belukar lebat, seorang tinggi besar
berpakaian sama dengan si manusia pocong berdiri menunggu. Dalam gendongannya
ada sosok seorang gadis berpakaian biru berbunga-bunga kuning. Selain
berselomotan tanah, pakaian ini bernoda darah dan tak karuan rupa hingga
keadaan si gadis nyaris kelihatan setengah telanjang. Pada pipi sebelah kiri
ada luka memanjang, rambut hitam tergerai hampir menyentuh tanah. Tidak dapat
dipastikan apakah gadis ini berada dalam keadaan pingsan atau sudah tidak
bernyawa lagi.
Sampai di
hadapan manusia pocong yang menggendong gadis, manusia pocong pertama
bungkukkan badan memberi hormat lalu cepat bertanya.
“Yang
Mulia Ketua, ada apakah kau memberi tanda?”
Manusia
pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua tidak segera menjawab.
Sesaat dia perhatikan jubah hangus serta kain penutup kepala yang robek.
“Apa yang
terjadi dengan dirimu?”
“Saya
berhadapan dengan Sinto Gendeng….”
“Memalukan,
ilmumu begitu tinggi bahkan membekal satu senjata sakti mandraguna. Nenek butut
itu ternyata membuatmu acak-acakan tak karuan begini rupa. Masih untung nyawamu
tidak dibuatnya sembrawutan!”
“Sebenarnya
tadi saya sudah siap membunuh nenek itu. Tapi Yang Mulia memberi tanda dengan
suitan….”
“Ada
orang datang. Kita harus segera tinggalkan tempat ini,” menjelaskan sang Ketua.
Dalam
hati manusia pocong satunya bertanya-tanya. Apakah ada sesuatu yang luar biasa
dengan orang yang datang itu hingga sang Ketua mengajaknya buru-buru
meninggalkan tempat itu?
“Yang
Mulia, saya masih punya kesempatan membunuh Sinto Gendeng.”
“Lupakan
dulu tua bangka satu itu. Ada pekerjaan lebih penting. Lain waktu nyawanya tak
bakal lepas dari tangan kita. Lagi pula sesuai rencana kita sudah mendapatkan
gadis ini….”
“Apakah
dia masih hidup. Bukankah sebelumnya dia sudah dikubur…?”
“Semua
sudah aku lakukan sesuai apa yang ada dalam Aksara Batu Bernyawa. Lagi pula
sang pemilik Aksara sudah memberi petunjuk. Bagaimana keadaannya akan kita
periksa nanti.”
“Satu
lagi Yang Mulia Ketua. Apakah Pedang Naga Suci 212 ada padanya?”
“Aku
belum sempat memeriksa. Dengar, kita akan melakukan perjalanan cukup jauh.
Padahal kita harus sampat di tujuan sebelum purnama mendatang. Kita harus
tinggalkan tempat ini sekarang juga. Lagi pula seperti kataku tadi, ada orang
muncul di tempat ini. Kita harus bertindak cepat. Kalau sampai salah waktu
terlambat bertindak, bisa-bisa semua urusan jadi kapiran! Ikuti aku!”
Manusia
pocong yang menggendong gadis dan disebut dengan panggilan Yang Mulia Ketua
tinggalkan tempat itu. Manusia pocong satunya tidak banyak bicara lagi segera
mengikuti Sang Ketua.
**************************
SINTO
Gendeng masih terbelintang di atas cabang pohon dan masih terus memaki panjang
pendek ketika tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Si nenek mencium bau
sesuatu lalu tubuhnya terasa dibawa melayang turun. Di lain saat dia sudah
duduk di tanah, tersandar ke batang pohon.
“Eh?!” Si
nenek mengerenyit. Matanya diusap beberapa kali. “Aku mencium bau harumnya
tuak. Aku melihat samar-samar tampang tua berjanggut putih sampai ke dada.
Bagaimana aku bisa yakin yang ada di depanku ini memang tua bangka konyol
berjuluk Dewa Tuak!”
Kakek
berambut, berjanggut dan berkumis putih mengenakan pakaian kain selempang biru
yang duduk bersila di depan Sinto Gendeng keluarkan suara tawa mengekeh. Di
bahunya dia memanggul dua buah bumbung bambu berisi tuak. Salah satu bumbung
diturunkannya lalu gluk… gluk… gluk. Dia teguk tuak dalam bambu sampai minuman
yang menebar bau harum itu berlelehan di dagu dan lehernya.
“Sinto,
penciumanmu rupanya masih tajam. Matamu juga masih awas! Ha… ha… ha…. Syukur
kau masih mengenali diriku!” Si kakek tertawa bergelak, seka lelehan tuak di
mulut dan dagunya. “Sinto, ada satu hal yang hendak aku tanyakan.”
“Dalam
keadaan seperti ini bukan saatnya bertanya jawab. Aku ingin kembali ke pondokku
di puncak gunung, Antarkan aku ke sana. nanti kita ngobrol sampai tujuh hari
tujuh malam! Tapi awas, asal kau jangan lagi-lagi membicarakan soal perjodohan
antara muridku Si Anak Setan Wiro Sableng dengan muridmu si Anggini itu!”
Dewa
Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan tanah Jawa tertawa mengekeh
mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. “Sinto, dengar. Waktu tadi aku memelukmu
lalu membawamu turun dari cabang pohon, aku merasakan tubuhmu hangat sekali.
Apakah itu berarti ada hasrat yang menyala dalam dirimu terhadapku?”
Sepasang
mata Sinto Gendeng membeliak besar. Mulutnya yang perot mencong ke kiri lalu
menyemburlah caci makinya.
“Tua
bangka sinting tidak tahu diri! Sudah bau tanah mulutmu masih saja bisa bicara
lancang! Kau ini mengigau atau mabok?!”
Dewa Tuak
kembali tertawa mendengar dampratan si nenek. Sambil usap-usap kumis putihnya
dia berkata. “Aku tidak ngigau, juga belum mabok! Aku hanya mengatakan apa
adanya. Tubuhmu terasa hangat. Padahal biasanya dingin dan bau pesing….”
“Kakek
setan! Saat ini aku tengah diserang demam! Siapa yang tidak bakal panas
tubuhnya kalau sedang demam?!”
“Ah,
maafkan kalau begitu. Aku mengira yang tidak-tidak karena mungkin keliwat
berharap yang tidak-tidak! Ha… ha… ha! Sobatku tua, kalau kau memang sedang
demam panas, bukan mendadak meriang karena terangsang oleh pelukanku, silahkan
kau minum beberapa teguk tuak kayangan. Dalam waktu singkat sakitmu pasti
sembuh.”
Si nenek
pelototkan mata.
“Eh,
kenapa kau melotot?”
“Aku tahu
apa yang ada dalam otak dan hatimu. Semua kotor!”
“Walah
biyungl Apa maksudmu?” tanya Dewa Tuak sambil garuk kepala.
“Kau
hendak membuat aku mabuk. Kalau aku mabuk dan tidak sadar diri, kau mau. Ayo…
kau mau apakan diriku?! Pasti kau mau berbuat yang bukan-bukan!”
Dewa Tuak
balik menonikkan mata. Tapi sesaat kemudian kakek ini tertawa gelak-gelak.
“Otak dan
hatiku tidak sekotor itu! Kita sudah saling kenal dan bersahabat puluhan tabun.
Malah hampir-hampir saling jadi besan. Sayang kau tidak mau. Jalan pikiranmu
rupanya suka membayangkan yang bukan-bukan! Sudah kalau kau tidak mau meneguk
tuakku siapa memaksa. Aku mau tanya satu lagi. Apa yang membuatmu sampai
enak-enakan tiduran di atas cabang pohon?”
“Gila!
Siapa yang tiduran di cabang pohon. Aku bertemu makhluk aneh. Berdandanan
seperti pocong hidup. Mengakunya Malaikat Maut dan mau membunuh aku! Ketika aku
hantam dengan pukulan Sinar Matahari dia membalas dengan satu pukulan dahsyat.
Aku hanya mampu menghanguskan jubah putihnya tapi aku sendiri dibuatnya
mencelat hingga menyangsang di cabang pohon! Sial! Kalau saja aku tidak sakit,
sudah kubuat lumat bangsat itu. Demam panas membuat aku tidak mampu mengerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti secara penuh.”
“Walau
katamu kau sakit, sulit aku percaya kalau ada orang yang mampu membuatmu begitu
rupa. Dua tusuk kondemu sampai-sampai ikut amblas. Sehebat apa ilmu
kesaktiannya?” Ujar Dewa Tuak sambil goleng-goleng kepala.
“Dari
ujud pakaiannya aku menaruh kira bangsat itu pasti dari golongan hitam. Dia
menyembunyikan wajah di balik kain putih berbentuk pocong. Dia memiliki pukulan
dahsyat yang menebar berbagai warna. Pukulan itu yang membuat aku mental sampai
menyangsang di cabang pohon celaka sana!”
“Kejadian
ini perlu diselidiki dan kau harap berhati-hati Sinto.”
“Aku bisa
menjaga diri, tidak perlu nasehat tukang mabok sepertimu. Selama ini aku dengar
bukankah kau memencilkan diri di pantai selatan?”
Dewa Tuak
menyeringai. “Lama-lama aku bosan juga menyendiri. Namanya hidup di dunia
kupikir tolol kalau aku memencilkan diri, buta segala apa yang terjadi di rimba
persilatan. Sekarang dengar ceritaku. Barusan aku naik ke puncak gunung ini….”
“Mencari
aku?!”
“Huh,
perlu apa mencari nenek peot macammu!”
“Sialan!”
maki Sinto Gendeng.
“Aku
mencari muridku Anggini. Sudah lama aku tidak melihatnya. Terakhir sekali dia
kuketahui pergi ke Pulau Andalas bersama seorang pemuda bernama Panji. Kabarnya
berguru dengan tokoh silat di Danau Maninjau bernama Nyanyuk Amber. Tapi
beberapa waktu belakangan, kusirap kabar anak itu berada di Tanah Jawa ini.
Berkeliaran bersama muridmu dan dua gadis cantik sahabatnya. Kemudian aku
dengar kabar lain bahwa mereka naik ke puncak gunung ini. Aku segera berangkat
ke sini. Tapi kau tahu, apa yang aku temukan dan lihat di puncak gunung tempat
kediamanmu?”
“Mana aku
bisa menduga,” jawab Sinto Gendeng. “Jangan-jangan kau mengacak-acak pondokku.
Tidur-tiduran di tempai tidurku!”
“Tempat
tidur butut bau pesing! Kambingpun lidak mau tidur di situ!” tukas Dewa Tuak.
“Sialan
kau!” maki Sinto Gendeng.
“Aku
tidak menemui muridku Anggini.” Dewa Tuak meneruskan ceritanya. “Juga tidak
menemui gadis teman-temannya. Juga tidak ada muridmu si Wiro Sableng itu, yang
kutemui adalah dua buah makam….”
“Makam?
Maksudmu kuburan?!” tanya Sinto Gendeng. Dua matanya yang cekung kembali
mendelik. “Kalau ada kuburan di puncak gunung sana, berarti yang tadi bertempur
dengan aku janganjangan memang setan pocong benaran!”
***********************
7
DEWA Tuak
sunggingkan senyum. “Aku menemukan dua buah makam. Dua buah kuburan. Tapi dua
makam itu dalam keadaan kosong! Di dalamnya hanya ada genangan air hujan!”
“Aneh!”
ujar Sinto Gendeng sambil menatap Dewa Tuak dengan pandangan tidak percaya.
“Ada yang
lebih aneh lagi,” ujar si kakek. Dia meneguk tuaknya beberapa kali baru
meneruskah. “Di belakang salah satu kuburan itu ada sebuah tiang kayu. Mungkin
sekali sebelumnya ada seseorang diikat pada tiang itu. Lalu ini keanehan satu
lagi. Aku menganggap bukannya aneh tapi gila! Gila besar! Di makam ke dua
menancap satu papan nisan. Di atas papan nisan itu tertulis Di sini
Beristirahat Untuk Selamalamanya Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Hah?!
Apa katamu?!” tanya Sinto Gendeng. Saking kagetnya tubuhnya sampai terlompat
bangun.
Dewa Tuak
mengulangi ucapannya yang terakhir. “Di sini Beristirahat Untuk Selama-lamanya
Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Tidak
mungkin! Tidak bisa jadi! Muridku belum mati! Aku yakin betul!” Sinto Gendeng
berkata setengah berteriak.
“Aku juga
sependapat denganmu Sinto. Seperti kataku tadi, dua kubur itu kosong. Tidak ada
mayat, tidak ada jenazah di dalamnya.”
“Lalu
siapa yang punya pekerjaan membuat dua buah kubur begitu rupa?”
“Siapa
yang bisa menerka? Siapa yang tahu apa sebenarnya telah terjadi!” ujar Dewa
Tuak pula. “Tapi biar aku berpikir sebentar.” Dan caranya Dewa Tuak berpikir
adalah dengan meneguk tuak harum dalam bumbung bambu. Setelah mukanya menjadi
merah dan mata berputar liar, kakek ini baru berkata. “Menurut jalan pikiranku,
jangan-jangan makhluk berbentuk pocong yang menyerangmu itulah yang telah
melakukan semua ini.”
“Bisa
jadi! Kurang ajar! Aku harus segera berangkat ke sana! Kau ikut aku!”
“Maaf
Sinto, aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tengah
mencari muridku. Aku khawatir anak itu tengah dalam bahaya….”
“Kau
tidak mau ikut aku ya sudah. Tapi….”
“Tapi apa
Sinto?”
“Aku
minta tuakmu!” Tidak menunggu jawaban orang Sinto Gendeng ambil bumbung bambu
yang dipegang si kakek lalu gluk, gluk, gluk dia teguk tuak harum itu hingga
mukanya yang hitam jadi bertambah hitam dan dua matanya kelihatan merah.
“Terima
kasih!” Sinto Gendeng serahkan kembali bumbung tuak. Lalu melangkah pergi. Tapi
baru tiga langkah menindak tiba-tiba si nenek pegang perutnya sebelah bawah.
“Dewa
Tuak! Sialan kau!” Dari mulut Sinto Gendeng keluar makian.
“Eh, ada
apa?” tanya Dewa Tuak heran.
“Tuak
gilamu itu!”
“Memangnya
ada apa dengan tuakku!”
“Setan!
Aku jadi kebelet kencing!” Teriak Sinto Gendeng. Lalu terbirit-birit, sambil
singsingkan kain, si nenek lari ke balik semak belukar.
Dewa Tuak
goleng-goleng kepala. Ketika dia mendengar suara sesuatu mengucur di balik
semak belukar kakek ini tak dapat menahan ketawanya.
“Sinto,
apa yang kau goreng di balik semak belukar! Riuh sekali kedengarannya! Ha… ha…
ha!”
**************************
DUA kaki
Sinto Gendeng seperti menancap di tanah ketika dia menyaksikan kebenaran cerita
Dewa Tuak. Tak jauh dari pondok kediamannya ditemuinya dua buah lobang kubur.
Tanah merah bertebaran di mana-mana. Lobang kubur tergenang air.
Saat itu
Sinto Gendeng merasa tubuhnya lebih baik dari sebelumnya. Hawa panas jauh
berkurang. Mungkin ini kemujaraban tuak kayangan Dewa Tuak yang tadi
diteguknya. Sambil memperhatikan ke dalam lubang kubur si nenek berkata dalam
hati.
“Kelihatannya
dua kubur ini seperti bekas digali orang. Kalau tidak ada jenazah di dalamnya
berarti ada yang menggali dan mencuri. Tapi apa perlunya orang mencuri mayat?
Lalu siapa yang dimakamkan di tempat ini? Muridku? Lalu satunya? Siapa yang
mengubur mereka? Ini bukan pekerjaan satu dua orang….”
Sinto
Gendeng perhatikan tanah di sekitar dua makam. Juga tanah di dekat pondok
kediamannya. Walau sudah agak samar-samar karena terguyur air hujan namun dia
masih bisa melihat bekas jejak-jejak kaki orang banyak sekali.
“Aneh,
manjur juga tuak kakek sialan itu. Tubuhku terasa lebih enak. Mataku kini bisa
melihat jelas. Jejak-jejak kaki itu….” Kembali Sinto Gendeng pandangi dua
lubang kubur yang tergenang air. “Harus kupastikan kuburan ini benar-benar
kosong,” kata si nenek dalam hati. Lalu dia angkat dua tangannya, telapak
dikembangkan, diarahkan ke dalam lobang. Hawa panas menderu. Terjadilah hal
luar biasa. Genangan air di dalam dua lobang kubur kelihatan bergoyang keras.
Didahului suara seperti mendidih genangan air itu muncrat ke atas bersama
lapisan tanah. Sesaat kemudian dua lobang kubur berada dalam keadaan kering!
“Kosong….
Benar-benar kosong,” kata Sinto Gendeng. “Apa sebenarnya yang terjadi di tempat
ini.” Si nenek memperhatikan. Lobang kubur yang di belakangnya ada tiang lebih
dalam dari lobang kubur yang ada papan nisan. “Tidak mungkin kuburan dibuat
sedangkal ini….” Sinto Gendeng ingat pada manusia pocong yang tadi ditemui dan
menyerangnya. “Kalau memang ada jenazah dalam dua liang kubur ini, tidak
mungkin dia yang mencuri. Pakaiannya putih bersih, tidak berlepotan tanah.”
Tidak
dapat memecahkan teka-teki dua makam aneh, Sinto Gendang akhirnya melangkah
menuju pondok. Pintu depan dan pintu belakang dibiarkannya terbuka lebar hingga
cahaya masuk menerangi bagian dalam pondok. Lama dia berdiri di tengah ruangan
memperhatikan sebelum duduk di tepi balai-balai kayu beralaskan tikar butut.
Sambil duduk kembali dia memandang seantero pondok. Di samping kiri ada meja
kayu dan sebuah kursi reot. Di sebelah kanan dekat pintu belakang terletak
sebuah gentong besar. Di atas penutup gentong ada sebuah gayung terbuat dari
tempurung kelapa. Si nenek kerenyitkan kening ketika melihat gagang gayung. Ada
bekas-bekas tanah pada ujung gagang gayung. Perlahan-lahan Sinto Gendeng
bangkit berdiri, melangkah mendekati gentong. Gayung diambil, diperhatikan.
“Sekian
lama gayung ini tidak ada yang menyentuh. Kalau hanya dipakai untuk menciduk
air dalam gentong, bagaimana bisa ada tanah menempel di ujung gagangnya? Ada
seseorang mempergunakannya untuk….” Ucapan dalam hati Sinto Gendeng terputus
ketika matanya melihat pada badan gentong yang tertutup debu tebal ada
bekas-bekas tangan. Dada si nenek berdebar. Wajahnya yang seperti tengkorak
hidup berubah. Gayung dicampakkannya ke lantai pondok. Di dalam gentong
terdapat air sampai setengahnya. Gentong dan air beratnya hampir dua ratus
kati. Dengan dua tangannya yang kurus tapi memiliki tenaga luar biasa Sinto
Gendeng geser gentong besar itu ke samping kiri. Debaran pada dadanya semakin
keras ketika melihat tanah di bawah gentong ada tanda-tanda bekas digali. Si
nenek berlutut di lantai pondok. Dengan dua tangannya dia menggali tanah sampai
dia menemukan sebuah peti kayu terbuat dari kayu besi hitam. Dengan cepat Sinto
Gendeng keluarkan peti kayu itu. Ketika penutup peti dibuka si nenek
terperangah, keluarkan seruan tertahan dan duduk terhenyak di tanah. Peti itu
kosong!
“Gusti
Allah! Kitab itu…,” desis Sinto Gendeng dengan suara bergetar. “Kitab Seribu
Macam Ilmu Pengobatan. Siapa yang begitu kurang ajar berani mencurinya!” Sinto
Gendeng pukul-pukul kepalanya sendiri. Di puncak kemarahannya nenek ini
tendangkan kaki kanannya. Gentong besar terbuat dari tanah hancur berantakan.
Air membasahi lantai pondok. Untuk beberapa lamanya si nenek masih terduduk,
tidak perdulikan kain dan tubuhnya sebelah bawah yang ikut kebasahan.
(Peristiwa lenyapnya Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dapat pembaca ikuti
dalam serial Wiro Sableng berjudulSenandung Kematian. Serial ini merupakan
Episode terakhir dari enam rangkaian Episode masing-masing berjudul Kembali Ke
Tanah Jawa, Tiga Makam Setan, Roh Dalam Keraton, Gondoruwo Patah Hati danMakam
Ketiga. Sedang mengenai kisah asal muasalnya kitab tersebut dapat dibaca dalam
serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang.)
Dalam
keadaan terduduk otak Sinto Gendeng bekerja. Di tanah sekitar halaman pondok
dan dekat dua kuburan terlihat banyak jejak-jejak kaki. Dewa Tuak dipastikan
datang setelah orang-orang itu pergi karena dia sama sekali tidak menceritakan
kalau bertemu dengan orang lain.
“Mungkinkah
kakek sialan itu yang mencuri Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan? Kalau bukan
dia yang jahil mengapa dia tidak mau aku ajak naik ke puncak sini?” Sinto
Gendengi menghela nafas panjang. “Sulit bisa kupercaya. Manusia pocong yang
menyerangku…. Mungkin dia jahanam yang mencuri kitab itu. Tapi bagaimana dia
bisa tahu kitab itu ada di bawah gentong? Lagi pula, jika dia sudah dapatkan
kitab, mengapa masih mau membuang waktu hendak membunuhku? Gila! Kalau bertermu
akan kucincang bangsat pencuri kitab itu!”
Dalam
alur cerita selanjutnya dikisahkan Sinto Gendeng menemui Wiro Sableng ketika
sang murid yang saat itu bersama tiga gadis cantik (Ratu Duyung, Bidadari Angin
Timur dan Anggini) hampir dicelakai Nyi Ragil Tawangatu (Si Manis Penyebar
Maut) yang ternyata adalah musuh bebuyutan Sinto Gendeng. Nyi Ragil dibantu Si
Muka Bangkai. Karena tidak sanggup menghadapi Sinto Gendeng, Nyi Ragil dan Si
Muka Bangkai akhirnya melarikan diri.
Kepada
Wiro, Sinto Gendeng menceritakan apa yang terjadi di puncak Gunung Gede. Si
nenek mengatakan dia menemui dua buah kuburan kosong. Wiro merasa heran karena
hanya satu kubur yang kosong sedang satunya berisi jenazah Puti Andini. Dari
keterangan yang saling berbeda itu ditarik kesimpulan bahwa jenazah Puti Andini
telah dicuri dan dilarikan orang. Siapa orangnya tak ada yang bisa menduga.
Sinto
Gendeng juga menceritakan hilangnya Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Entah
bagaimana mungkin terlupa si nenek tidak menceritakan pertemuannya dengan
manusia pocong dan Dewa Tuak. (Untuk jelasnya kisah ini silahkan dibaca serial
Wiro Sableng berjudul Tahta Janda Berdarah, yang merupakan Episode ke-4 dari
rangkaian Episode Badik Sumpah Darah)
***********************
8
MENJELANG
pertengahan malam langit tampak semakin kelam, udara terasa bertambah dingin
mencucuk kulit menembus tulang. Awan hitam bergerak ke arah timur.
Perlahan-lahan bulan sabit malam ke tiga muncul di langit. Cahaya temaram bulan
sabit ditambah kelap-kelip bintang yang bertaburan tidak sanggup mengusir
kegelapan.
Jauh di
utara Telaga Sarangan, terdapat satu kawasan bukit batu yang sunyi dimana hanya
suara deru angin yang terdengar menggidikkan dan sesekali ada suara panjang
raungan anjing menambah dinginnya tengkuk dan merindingnya bulu roma.
Beberapa
belas tombak di sebelah utara, di antara gundukan-gundukan batu, diselubungi
kegelapan di luar dan sebelah dalam, ada satu bangunan tua berbentuk panggung
rendah, berdinding kayu lapuk. Atap terbuat dari ijuk hitam tebal menyerupai
tanduk kerbau. Seluruh dinding merupakan pintu-pintu dalam keadaan tertutup,
masing-masing dua belas pintu setiap sisi. Berarti empat puluh delapan pintu
pada seluruh dinding. Karena tidak terpelihara di hampir setiap bagian bawah
atap kelihatan sarang labah-labah. Di barisan pintu depan yang menghadap ke
arah selatan, di bawah atap tergantung sebuah lampion kain putih dalam keadaan
tidak menyala. Kain lampion selain diselimuti debu juga dipenuhi sarang
laba-laba.
Tak jauh
dari bangunan panggung itu, terdapat satu pedataran kecil yang di sana sini
ditebari batubatu hitam berbagai bentuk dan ukuran.
Enam
orang perempuan muda dalam keadaan hamil, sama mengenakan seragam jubah luar
warna merah, berdiri di samping sebuah batu besar rata berbentuk empat persegi
panjang. Mereka berdiri tak bergerak, juga tidak bersuara. Bola-bola mata
mereka memandang lurus-lurus kosong dan hampa.
Di ujung
batu sebelah kiri, di atas satu batu berbentuk tiang tinggi sepinggang,
terdapat sebuah pendupaan besar yang apinya dalam keadaan menyala. Di ujung
sebelah kanan dari batu menancap ke tanah sebuah obor yang nyala apinya bergoyang-goyang
tertiup angin, membuat bayang-bayang seram di beberapa tempat.
Di
seberang lain batu persegi panjang berdiri enam sosok berpakaian serba putih,
mulai dari kain penutup kepala sampai ke jubah. Manusia-manusia pocong. Seperti
enam gadis, mereka tegak tak bergerak. Namun pandangan mata mereka yang
tersembunyi di balik dua lobang kecil kelihatan tajam dan sesekali bergerak ke
arah kiri dimana sejak tadi mereka menunggu kemunculan seseorang.
Di atas
batu terbaring menelentang satu sosok di tutup kain hitam mulai dari kaki
sampai sebatas leher di bawah dagu. Di ujung kain hitam kelihatan satu kepala
berambut panjang hitam, tergerai menebar, sengaja diatur berbentuk kipas di
atas batu. Kepala ini memiliki satu wajah seorang gadis dalam keadaan mata tertutup.
Kecantikan yang dimilikinya ditelan oleh kepucatan seolah tidak ada lagi darah
yang mengalir di wajah itu. Di pipi kiri melintang bekas luka yang belum lama
mengering. Jika diperhatikan lama-lama raut wajah itu kelihatan menggidikkan.
Apa lagi cahaya api obor yang bergoyang-goyang dan sesekali menyapu wajah si
gadis hingga wajah yang pucat pasi itu tampak tambah menyeramkan.
Di
langit, bulan sabit hari ke tiga kembali lenyap tersembunyi di balik saputan
awan hitam. Di kejauhan lapat-lapat terdengar kembali raungan anjing, panjang
menyayat.
Mungkin
tidak tahan berdiam diri sekian lama, perempuan hamil berjubah merah di ujung
kanan berbisik pada teman di sebelahnya yang juga hamil. Ketika bertanya raut
wajahnya dan juga pandangan mata tetap saja kosong.
“Mengapa
kita berdiri di sini? Siapa yang kita tunggu? Siapa gadis di atas batu ini?”
Perempuan
yang ditanya menjawab dengan suara datar perlahan.
“Kita
bahkan tidak tahu siapa kita. Bagaimana mungkin menanyakan perihal lain dan
orang lain.”
Perempuan
yang barusan bertanya rupanya masih belum puas. Dia berkata. “Rumah tua di
depan sana. Yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Kau tahu bangunan apa itu
adanya?”
“Sahabatku,”
jawab perempuan hamil yang barusan ditanya untuk kedua kali. “Di tempat seperti
ini tidak ada satu pertanyaanku di antara kita yang bisa dijawab. Malah setiap
ucapan bisa mendatangkan malapetaka. Berhentilah membuka mulut dan bertanya.”
Mendengar
ucapan orang, perempuan hamil yang tadi bertanya menarik nafas dalam. Sesaat
dia memandang kosong ke arah rumah panggung di kejauhan, lalu kembali matanya
memperhatikan sosok gadis berwajah pucat di atas batu persegi panjang. Melihat
gadis ini lagi-lagi mulutnya secara tak sadar bertanya.
“Dia,
gadis berambut panjang bermuka pucat ini. Apakah dalam keadaan hidup atau sudah
mati?”
Perempuan
hamil yang lagi-lagi ditanya agaknya kesal dan menjawab. “Tutup mulutmu,
sebelum ada orang lain yang. menutupnya!”
Sunyi dan
dingin. Nyala api obor membuat bayang-bayang aneh di beberapa tempat. Bersamaan
dengan itu kembali terdengar suara lolongan anjing di kejauhan, tiba-tiba dari
balik sebuah batu besar, seorang berpakaian seperti pocong hidup bergerak
keluar, melangkah ke arah dua belas orang yang berdiri di depan batu persegi
empat.
Enam
manusia pocong disamping batu segera mengambil sikap tegak dan palingkan kepala
ke arah manusia pocong yang melangkah mendatangi.
“Berikan
hormat pada wakil Ketua!” Salah seorang manusia pocong berseru. Lalu diikuti
oleh lima temannya dan enam perempuan hamil mereka semua membungkuk, memberi
hormat pada manusia pocong yang barusan datang dan disebut sebagai Wakil Ketua.
Di depan
pendupaan besar sang Wakil Ketua berhenti. Tangan kanan diulurkan ke atas
pendupaan, menebar sejenis bubuk. Sesaat kemudian arang menyala di dalam
pendupaan kepulkan asap tipis. Lalu bau harum menebar ke seantero tempat,
membuat suasana di tempat itu jadi tambah mencekam. Selesai menebar setanggi ke
dalam pendupaan, manusia pocong melangkah ke samping kiri. Bersamaan dengan itu
dia angkat tangan kanannya. Sambil membungkuk dia ayunkan tangan ke bawah.
Entah dari mana datangnya sebuah benda melesat di udara lalu menukik deras dan
menancap di batu persegi empat, sejengkal di atas kepala gadis berwajah pucat.
Benda ini ternyata sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga, basah oleh cairan
berwarna merah. Bendera darah.
Begitu
bendera menancap di batu, saat itu pula dari balik batu besar dari mana sang
Wakil Ketua datang, kini muncul satu sosok tinggi besar manusia pocong.
Dua belas
orang di sisi kiri kanan batu persegi serentak dongakkan kepala dan secara
berbarengan keluarkan ucapan keras.
“Salam
hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Sehabis
berseru, dua belas orang ini lalu membungkuk dalam-dalam ke arah manusia pocong
tinggi besar. Manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Wakil Ketua
perlahan-lahan luruskan tubuh kembali.
Saat
itulah dari arah rumah panggung ada suara tangisan bayi, terdengar keras di
dalam kesunyian. Dua belas orang di kedua sisi batu persegi empat, cepat
luruskan tubuh masing-masing lalu sama palingkan kepala ke arah rumah panggung.
Enam manusia pocong memandang sambil bertanya-tanya dalam hati. Enam perempuan
hamil juga ikut memandang tapi pandangan, pikiran serta hati mereka kosong.
Mendadak suara tangis bayi lenyap. Kesunyian menggantung di bawah deru angin
yang terasa semakin dingin menyayat kulit.
Tiba-tiba
salah satu dari dua belas pintu yang ada di bagian depan rumah panggung
terbuka. Di sebelah dalam kelihatan satu sosok berdiri, tak jelas siapa adanya
karena diselimuti kegelapan. Manusia pocong tinggi besar berikan isyarat dengan
goyangan kepala pada sang Wakil Ketua. Manusia pocong ini lalu palingkan kepala
pada enam orang manusia pocong yang berdiri di samping kiri batu besar dan
berkata.
“Enam
Satria Barisan Manusia Pocong kalian semua boleh pergi. Kembali ke kamar
masing-masing dan jangan berani keluar sebelum diperintahkan!”
Enam
orang manusia pocong dongakkan kepala sambil keluarkan ucapan. “Hanya perintah
Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai.”
Keenam
orang itu membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat tersebut. Satu persatu
mereka melangkah ke balik sebuah batu besar. Di balik batu ini ada sebuah
lorong. Ke dalam lorong inilah mereka masuk dan menghilang.
Setelah
enam orang manusia pocong pergi, Yang Mulia Ketua berpaling pada enam perempuan
hamil di samping batu pembaringan.
“Kekasihku,
agar tidak ada yang terlupa, agar tidak ada yang kesalahan aku ingin bertanya.
Apakah kalian telah memandikan gadis di atas batu pembaringan dengan kembang
tujuh rupa?”
Enam
perempuan hamil yang dipanggil dengan sebutan kekasihku membungkukkan tubuh
lalu berbarangan menjawab.
“Hal itu
telah kami lakukan. Kembang tujuh rupa dan air suci telah dimandikan. Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,
kalau begitu kalian berenam boleh pergi. Masuk ke kamar masing-masing, jangan
keluar sebelum diperintahkan. Jika berkesempatan besok malam aku akan menemui
kalian satu persatu.”
Enam
perempuan hamil yang rata-rata masih muda dan berwajah cantik membungkuk dalam
lalu keluarkan ucapan. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai dan dilayani!”
Secara
berbaris enam perempuan hamil tingalkan tempat itu. Seperti enam manusia pocong
mereka menyelinap di balik batu besar dan lenyap masuk ke dalam mulut
terowongan batu.
Ketua
manusia pocong memandang ke langit. Bulan sabit kelihatan membayang di balik
awan tipis.
“Wakil
Ketua, sebentar lagi malam akan sampai di pertengahannya. Saatnya untuk kita
mulai bekerja.”
“Saya
siap melaksanakan tugas dan perintah Yang Mulia Ketua,” jawab wakil Ketua lalu
dia memutar tubuh, menghadap dan memandang ke arah pintu bangunan panggung yang
terbuka. Sesaat dia memperhatikan sosok dalam gelap di belakang pintu rumah tua
yang terbuka.
“Nyi.
Bluduk! Apakah pekerjaanmu sudah rampung?!” Sang wakil Ketua berseru.
Dari
dalam bangunan tua terdengar jawaban orang. Suaranya kecil melengking.
“Pekerjaanku
sudah rampung. Darah sudah kumasukkan ke dalam bokor. Tali pusat ikut tersimpan
di dalamnya. Apakah sekarang aku boleh keluar dan menyerahkan bokor? Lalu
mendapatkan imbalan yang dijanjikan?”
“Nyi
Bluduk, silahkan keluar. Serahkan bokor padaku. Imbalan yang dijanjikan sudah
aku siapkan.”
Mendengar
ucapan Wakil Ketua manusia pocong itu, sosok di dalam rumah tua bergerak keluar
pintu, menuruni tangga lebar tapi pendek lalu melangkah mendatangi sang Wakil
Ketua. Ternyata orang ini adalah seorang nenek kurus berambut kelabu
awut-awutan. Pakaiannya kelihatan basah oleh keringat dan cairan merah. Dia
melangkah sambil memegang sebuah bokor terbuat dari perak putih. Bokor kecil
ini agaknya penuh dengan sejenis cairan karena si nenek kelihatan berjalan
perlahan dan hati-hati, takut isi bokor tumpah.
Wakil
Ketua manusia pocong ambil bokor yang diserahkan si nenek lalu diletakkan di
atas batu persegi empat, di samping kaki gadis yang sejak tadi terbaring tak
bergerak.
“Aku
minta upah imbalanku sekarang,” Nyi Bluduk ulurkan tangan pada Wakil Ketua
manusia pocong.
“Nyi
Bluduk, imbalan uang perak yang kami janjikan ada di dalam rumah tua. Kami
letakkan di atas satu-satunya kursi di tempat itu. Silahkan kau mengambil
sendiri.”
Nyi
Bluduk tampak cemberut.
“Kenapa
tidak bilang dari tadi. Aku jadi tak perlu mondar-mandir….”
“Harap
maafkan. Aku lupa memberitahu. Memang begitu caranya kami menyediakan imbalan.”
Si nenek
putar tubuhnya. Sebelum melangkah menuju rumah tua dia bertanya. “Setelah
pekerjaan ini apakah ada pekerjaan susulan?”
Wakil
Ketua manusia pocong tidak berikan jawaban melainkan berpaling pada sang Ketua.
Manusia pocong tinggi besar ini berkata.
“Aku
tidak bisa menjanjikan. Kalau memang ada kau pasti akan kami hubungi. Terima
kasih atas bantuanmu malam ini.”
Nyi
Bluduk pencongkan mulutnya yang kempot,” mengangguk lalu melangkah menuju rumah
tua. Begitu tubuhnya lenyap di belakang pintu yang terbuka tiba-tiba pintu ini
tertutup. Sesaat kemudian terdengar jeritan keras perempuan tua itu disusul
suara tubuh roboh ke lantai kayu. Di balik kain putih penutup kepala Yang Mulia
Ketua menyeringai.
“Wakil
Ketua, tugasmu mencari dukun beranak baru….”
“Saya
siap menjalankan perintah Yang Mulia Ketua. Tapi jika hal seperti ini
berkelanjutan, lambat laun kita akan kehabisan dukun beranak.”
“Kalau
itu sampai terjadi, kau bisa melakukan pekerjaan itu,” jawab sang Ketua yang
membuat manusia pocong di hadapannya jadi tersurut. “Setelah pekerjaan besar
ini selesai, bersihkan rumah itu. Singkirkan semua benda yang ada di dalamnya.”
“Saya
siap menjalankan perintah Yang Mulia Ketua.”
“Bagus,
sekarang mari kita mulai.” Dari balik jubah putihnya manusia pocong tinggi
besar keluarkan sebuah benda berwarna hitam.
***********************
9
BENDA itu
ternyata sebuah batu tipis berukuran satu jengkal persegi. Wakil Ketua manusia
pocong tebarkan setanggi ke dalam pendupaan. Asap putih tipis mengepul, bau
harum kembali merebak memenuhi pedataran. Yang, Mulia Ketua memegang batu tipis
di atas pendupaan. Batu diputar dan dibolak-balik. Dari balik kain putih
penutup kepala terdengar suaranya bergumam seperti tengah membacakan mantera.
Setelah itu batu hitam dicelupkan ke dalam cairan kental berwarna merah di
bokor perak. Anehnya, begitu batu masuk ke dalam bokor, cairan merah bergejolak
seperti mendidih. Bokor bergoyang-goyang. Cairan merah di dalamnya sampai muncrat
membasahi batu pembaringan segi empat. Bau anyir tercium di antara harum angker
bau setanggi. Cairan yang tumpah dari dalam bokor ternyata adalah darah.
Selain
bokor perak yang bergoyang, batu persegi empat di atas mana terbaring sosok
gadis bermuka pucat kelihatan bergetar. Getaran menjalar sampai ke tanah
pedataran. Dua manusia pocong tegak tak bergerak. Waspada berjaga-jaga kalau
sesuatu yang tidak terduga mendadak terjadi. Mulut masing-masing merapal
sesuatu.
Kejadian
itu tidak berlangsung lama. Bokor berhenti bergoyang. Batu besar dan tanah
perlahanlahan berhenti bergetar.
Yang
Mulia Ketua ulurkan tangan kanan memegang ujung batu tipis lalu mengeluarkannya
dari dalam bokor. Batu yang tadinya dingin kini terasa hangat. Dan anehnya,
kalau sebelumnya batu hitam itu polos kedua sisinya, kini pada salah satu sisi
muncul tulisan-tulisan kuno berwarna putih hingga walaupun gelap jelas dapat
dibaca.
Manusia
pocong tinggi besar berpaling pada wakilnya, memberi isyarat dengan anggukan
kepala. Melihat isyarat ini sang wakil segera ambil bokor perak, memegangnya
dengan hati-hati lalu berdiri di samping kiri batu segi empat.
Setelah
lebih dulu memandang ke langit untuk melihat bulan sabit hari ke tiga, Yang
Mulia Ketua menempatkan diri di depan batu persegi empat, pada ujung kaki sosok
gadis yang terbaring.
Aksara
Batu Bernyawa
Mula
kehidupan anak manusia adalah dari setetes air mani yang tenggelam dalam rahim
ibunya dan berubah menjadi jabang bayi
Di dalam
rahim sang ibu tali pusar menjadi sumber kehidupan
Jika seorang
yang sekarat inginkah kehidupan
Jika
seorang telah menghembuskan nafas lalu terkubur sampai sebelum sang surya
tenggelam
Dan
mereka inginkan kehidupan duniawi kembali
Bagi
mereka yang beruntung dan berjodoh akan didapat nyawa kedua
Asalkan
dilakukan semua syarat yang diminta
Pertama
upacara mendapatkah nyawa kedua harus dilakukan pada menjelang tengah malam di
tempat terbuka dan di bawah cahaya bulan sabit hari ketiga.
Kedua
insan tersebut sebelumnya harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa
Ketiga
yang memandikan haruslah kaum sejenisnya :
Lelaki
dimandikan oleh lelaki, perempuan dimandikan oleh perempuan.
Keempat
yang hadir, dalam upacara mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari dua
orang.
Kelima
letakkan tali pusar bayi yang baru dilahirkan di atas pusar insan yang bakal
mendapatkan nyawa kedua
Keenam
kucurkan darah suci bayi yang baru lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung
kaki sampai kepala dan rambut
Ketujuh
sabarlah menunggu sampai kicau burung atau kokok ayam pertama terdengar sebelum
fajar menyingsing
Jika itu
terjadi maka nyawa kedua telah tersimpan di dalam tubuh insan
Dia akan
bernyawa, akan hidup seperti manusia adanya namun akan ditemui beberapa
kelainan
Insan
nyawa kedua tidak akan mengenal siapa dirinya sendiri dan orang-orang
disekitarnya
Insan
nyawa kedua akan memiliki satu kekuatan luar biasa
Insan
nyawa kedua berada di bawah kekuasaan dan hanya tunduk pada orang yang
memberikan kehidupan kedua padanya
Karenanya
syarat ke delapan adalah, insan kedua harus ditempatkan secara baik-baik di
satu tempat dimana mulai kehidupan kedua datang padanya, tidak satu dosa
kejahatanpun baik berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di tempat tersebut
Syarat ke
sembilan dan terakhir, setiap bulan sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus
di usap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi yang baru dilahirkan
Bilamana
syarat ke delapan dan ke sembilan itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan
kembali ke asalnya semula
Dan yang
berbuat dosa kejahatan akan kejatuhan bencana malapetaka.
Selesai
Yang Mulia Ketua membaca rangkaian tulisan putih di atas batu hitam yang
disebut Aksara Batu Bernyawa, semua tulisan yang ada di batu itu secara aneh
lenyap tak berbekas. Demikian juga noda darah yang sebelumnya membasahi batu.
Perlahan-lahan manusia pocong tinggi besar masukkan batu tipis hitam itu ke
balik jubah. Matanya melirik ke langit, memperhatikan bulan sabit hari ke tiga.
Lalu dia melangkah mendekati wakilnya yang memegang bokor. Lengan jubah tangan
kanan digulung ke atas lalu tangan itu dimasukkan ke dalam bokor berisi darah.
Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatan memegang sebuah benda panjang
sejengkal, menyerupai ekor ular, berwarna hitam kelabu. Inilah tali pusar bayi
seperti yang dimaksudkan dalam tulisan pada Aksara Batu Bernyawa.
Yang Mulia
Ketua manusia pocong memutar tubuh, menggeser kakinya hingga dia berdiri pada
samping pertengahan batu persegi panjang. Tangan kiri diulurkan, diletakkan
pada bagian perut kain hitam penutup sosok gadis di atas batu. Tiba-tiba si
manusia pocong tarik kuat-kuat kain hitam itu. Ketika kain hitam ditarik lepas
sehingga sosok gadis yang terbaring menelentang di atas batu kini tidak
tertutup selembar benangpun, pada saat itulah obor yang menancap di ujung batu
mendadak padam. Di langit bulan sabit hari ke tiga, lenyap di balik saputan
awan tebal. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing panjang berhibahiba
menyayat keheningan malam.
Wakil
Ketua manusia pocong berdiri tak bergerak. Melalui dua lobang di kain putih
penutup kepalanya dia memperhatikan Yang Mulia Ketua dengan hati-hati
meletakkan tali pusar bayi di permukaan pusar gadis yang terbujur di atas batu
pembaringan persegi empat.
Selesai
meletakkan tali pusar, Yang Mulia Ketua mengambil bokor perak dari tangan
wakilnya. Cairan merah darah di dalam bokor lalu diguyurkan ke atas tubuh si
gadis, bermula dan dimulai dari ujung kaki terus ke tubuh, naik ke kepala dan
sampai di rambut yang tergerai hitam di atas batu.
Tiupan
angin mendadak terasa kencang. Udara bertambah dingin. Di langit bulan sabit
hari ke tiga perlahan-lahan muncul di balik saputan awan tebal. Dua manusia
pocong perlahan-lahan mendudukkan diri masing-masing di samping kiri kanan batu
pembaringan. Sesuai apa yang tertulis dalam Aksara Batu Bernyawa mereka harus
menunggu sampai ada kicau burung atau kokok ayam pertama sebelum fajar
menyingsing.
***********************
10
WAKIL
Ketua manusia pocong tampak gelisah. Beberapa kali dia memandang ke langit lalu
melirik ke arah timur. Di seberangnya, di sebelah batu pembaringan sang Ketua
dilihatnya tetap tenang, duduk bersila, kepala dan tubuh tidak bergerak dan
tidak mengeluarkan suara.
Wakil
Ketua kembali memandang ke arah timur. Pada puncak kegelisahannya dia tak tahan
untuk membuka mulut.
“Yang
Mulia Ketua, maafkan saya….”
“Ada
apa?”
“Saya
kawatir. Tak lama lagi langit di sebelah timur akan segera terang pertanda
fajar segera menyingsing.”
“Lalu?”
“Seperti
yang saya dengar dalam bacaan Yang Mulia Ketua tadi. Sampai saat ini tidak ada
kicau burung, tidak terdengar kokok ayam. Kalau tidak seekorpun dari dua
binatang itu memperdengarkan suaranya, berarti gagal sia-sialah semua usaha
kita. Gadis ini tidak mungkin menemui kehidupan baru dengan nyawa kedua.
Rencana kita untuk menundukkan dan menguasai rimba persilatan tanah jawa tidak
akan menemui kepastian. Semua dendam kesumat sakit hati tidak akan
terlaksanakah!”
Yang
Mulia.Ketua tidak segera menjawab. Dia diam seperti merenung. Sesaat kemudian
mulutnya baru berucap.
“Pekerjaan
setiap anak manusia bisa saja sia-sia. Yang namanya usaha bisa saja menemui
kegagalan. Termasuk apa yang kita lakukan dan rencanakan sejak beberapa waktu
lalu. Tetapi melalui tiupan angin malam, melalui kesunyian dan udara dingin
yang mencekam, aku menaruh firasat kita tidak akan menemui kegagalan. Apa yang
kita rencanakan akan berjalan lancar. Semua musuh akan kita singkirkan dan
rimba persilatan tanah Jawa akan berada dalam genggaman kita. Tenangkan hatimu,
jangan perasaan tolol kesusu membuatmu gelisah. Aku yakin apa yang tersurat
dalam Batu Aksara Bernyawa akan menjadi kenyataan!”
Baru saja
Yang Mulia Ketua mengeluarkan ucapan itu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
kokokan ayam. Dua manusia pocong serta merta bangkit dari duduk masing-masing.
Mata mereka memandang tak berkesip ke arah sosok gadis yang terbaring di atas
batu.
Di
kejauhan sekali lagi terdengar suara ayam berkokok. Lalu perlahan-lahan namun
terlihat jelas, sepasang mata gadis di atas batu bergerak perlahan, membuka
sedikit demi sedikit lalu terpentang nyalang menatap ke atas langit.
“Insan
yang terbaring di atas batu, apakah kau mendengar suaraku?” Yang Mulia Ketua
melangkah lebih dekat ke samping batu lalu menegur.
Gadis di
atas batu tidak menjawab. Wajahnya yang pucat tampak kosong. Matanya masih
menatap lurus-lurus ke langit.
“Insan di
atas batu, jika kau mendengar suaraku, bangunlah!”
Tubuh di
atas batu masih diam, tidak bergerak tidak bersuara. Tiba-tiba tangan kiri,
menyusul tangan kanan si gadis kelihatan bergerak. Sesaat kemudian menyusul
tubuhnya bergerak bangkit dan duduk. Hanya seperti tadi matanya memandang
lurus-lurus ke depan, seolah tidak melihat atau tidak memperhatikan kehadiran
dua manusia pocong di samping kiri dan sebelah kanannya.
“Insan di
atas batu, apakah kau tahu dimana saat ini kau berada?” Yang Mulia Ketua
bertanya.
Wajah
masih menghadap ke depan dan sepasang mata masih memandang lurus, gadis yang
duduk di atas batu gelengkan kepala.
“Insan di
atas batu, siapakah dirimu? Siapa namamu? Sebelumnya kau berasal dari maha?”
Yang Mulia Ketua kembali ajukan pertanyaan.
Tanpa
alihkan tatapan wajah dan pandangan sepasang matanya, gadis di atas batu
membuka mulut. Suaranya datar ketika berkata.
“Aku tidak
tahu berada dimana. Aku tidak tahu siapa diriku. Aku insan tidak bernama. Tidak
tahu berasal dari mana.”
Yang
Mulia Ketua menyeringai di balik kain putih penutup kepala. “Tepat seperti yang
tertulis pada Aksara Batu Bernyawa. Dia tidak tahu siapa dirinya. Tidak tahu
asal muasalnya.” Setelah tatap wajah putih pucat dan kosong itu sesaat manusia
pocong ini berkata. “Insan di atas batu, mulai hari ini aku, dan semua orang
yang ada di tempat ini akan memanggilmu Yang Mulia, Sri Paduka Ratu. Kau hanya
patuh dan tunduk pada diriku Yang Mulia Ketua!”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, alangkah bagusnya panggilan itu.” Si gadis berucap lalu
kepala di angkat ke atas, mata menatap lurus ke langit dan dari mulutnya keluar
suara tawa panjang. Suara tawa ini ternyata menimbulkan getaran hebat pada
gendang-gendang telinga dua manusia pocong hingga mereka terpaksa menekap
kuping.
“Yang
Mulia Sri Paduka Batu, aku tahu dalam dirimu tersimpan satu kekuatan hebat luar
biasa. Berupa tenaga luar dan tenaga dalam yang dahsyat. Turunlah dari atas
batu pembaringan. Tunjukkan dan buktikan pada kami, aku Yang Mulia Ketua dan
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.”
Perlahan-lahan
gadis di atas batu bergerak turun. Gerakan tubuhnya terlihat aneh. Kaku seolah
tulang-tulang di tubuhnya tidak memiliki persendian. Sebelum kakinya menginjak
tanah gadis ini goyangkan kepala. Rambut panjang hitamnya melesat setengah
putaran mengeluarkah deru angin luar biasa dahsyat.
“Wuuuuttt!”
“Braaaakk!”
Dua
manusia pocong tersentak kaget dan sama-sama mundur satu langkah.
Tiang
batu di atas mana pendupaan besar terletak putus kena tabasan rambut hitam si
gadis. Pendupaan mental. Bara api di dalam pendupaan mencelat dan jatuh
bertebaran di tanah pedataran.
Sang
Ketua melengak besar. Wakilnya leletkan lidah tidak mengira gadis yang kini
hidup dengan nyawa kedua memiliki kekuatan demikian hebatnya, padahal baru
rambutnya yang bekerja. Kalau tangan dan kakinya yang bergerak dapat
dibayangkan apa yahg bakal terjadi.
: “Apa
pembuktian kekuatan yang aku miliki barusan sudah cukup?” Si gadis bertanya.
Wajah dan matanya tetap saja menatap lurus, tidak berpaling pada orang yang
ditanyainya.
“Luar
biasa, kau hebat sekali Yang Mulia Sri Paduka Ratu.” Memuji Yang Mulia Ketua.
“Jika Yang Mulia Sri Paduka Ratu berkenan hendak menunjukkan kehebatanmu yang
lain, kami berdua tentu saja ingin menyaksikan.”
“Begitu?!”
Wajah cantik pucat dengan pandangan mata kosong lurus itu tetap tidak berubah
seolah tidak memiliki perasaan. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, jari-jari
tangan mencekal pinggiran batu persegi empat.
“Apa yang
hendak dilakukan makhluk ini?” pikir Yang Mulia Ketua sambil memperhatikan
dengan mata tak berkesip.
Didahului
satu teriakan keras, tiba-tiba si gadis angkat batu besar yang beratnya hampir
delapan ratus kati itu. Batu bukan hanya diangkat tapi dilempar ke udara.
Begitu batu melayang turun si gadis hantamkan tangan kanannya.
“Bukkk!”
“Byaaarr!”
Batu
besar hancur menjadi puluhan kepingan.
Dua
manusia pocong keluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Sang Wakil Ketua
decakkan mulut berulang kali sementara sang Ketua diam-diam membatin dalam
hati. “Luar biasa, tenaga dalamnya paling tidak dua tingkat di atas tenaga
dalamku. Aku harus mencari jalan. Jika semua urusan selesai bagaimana aku bisa
menyedot hawa sakti yang dimilikinya itu. Kalau aku berhasil menguasai tenaga
dalam gadis itu, rimba persilatan delapan penjuru angin benar-benar akan berada
dalam genggamanku!”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, kami kini percaya pada kekuatan luar biasa yang kau
miliki. Sekarang saatnya Yang Mulia bersalin diri mengenakan pakaian kebesaran.
Ikuti aku. Aku akan membawamu ke tempat yang akan menjadi kediamanmu. Satu hal
harus kau ingat baik-baik Sri Paduka Ratu. Kau hanya tunduk pada kuasa dan
perintahku! Tidak satu orang lainpun harus kau dengar perintahnya kecuali aku!
Kau tidak diperkenankan melakukan apapun tanpa perintah dan pengetahuanku!”
“Aku
mendengar dan akan aku patuhi,” jawab Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Bagus,
ternyata Yang Mulia berotak cerdas berpikiran jernih. Ingat satu hal. Di tempat
ini berlaku, perintah dan kepatuhan yang tidak bisa ditawar-tawar apa lagi
sampai dilanggar. Yaitu bahwa hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai.”
Si gadis
diam sesaat lalu perlahan-lahan anggukkan kepala.
Yang
Mulia Ketua manusia pocong berpaling pada Wakilnya, berkata agar sang Wakil
tetap berada di tempat itu. Kemudian pada gadis bermuka pucat berambut panjang
dia berkata. “Yang Mulia Sri Paduka ratu, ikuti aku.”
Yang
Mulia Ketua melangkah tinggalkan tempat itu. Di sebelah belakang si gadis
mengikuti. Wajah ke depan, dua mata memandang lurus. Dia melangkah kaku tidak
ubahnya seperti sebuah patung kayu yang bisa berjalan.
Yang
Mulia Ketua berjalan melewati rumah tua beratap ijuk, terus memasuki sebuah
lembah kecil. Di lembah ini terdapat satu bangunan panggung berbentuk bulat
terbuat dari kayu dan atap ijuk yang keseluruhannya dicat warna putih. Untuk
naik ke tingkat atas bangunan, orang harus menempuh tangga kayu
setengah
lingkaran.
Di pintu
depan Yang Mulia Ketua hentikan langkah dan berpaling pada gadis di
belakangnya.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, silahkan menaiki tangga. Di lantai ke dua terdapat
sebuah kamar bagus dilengkapi segala sesuatu keperluan Sri Paduka Ratu. Di atas
ranjang ada seperangkat.jubah dan kain penutup kepala putih. Itulah pakaian Sri
Paduka Ratu. Di atas sebuah meja kecil di samping ranjang ada satu mahkota
berbentuk japitan. Sri Paduka Ratu hanya tinggal melingkarkan mahkota itu di
atas kepala, pada kain putih penutup kepala. Lalu ada satu hal, selama berada
di tempat ini Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak diperkenankan keluar, kecuali
dengan sepengetahuan dan atas perintahku. Ingat aturan itu, jangan sampai
dilanggar.”
Tanpa
menjawab si gadis langkahkan kaki, masuk ke dalam bangunan. Di depan tangga
kayu setengah lingkaran dia hentikan langkah. Semula Yang Mulia Ketua manusia
pohcong mengira gadis itu akan naik ke tingkat atas bangunan melalui tangga. Tapi
tiba-tiba dilihatnya sosok si gadis yang saat itu tidak tertutup sehelai benang
pun, melesat membubung berputar ke atas. Rambutnya yang hitam berpilin di
udara. Kejadian ini merupakan satu pemandangan luar biasa indahnya. Sesaat Yang
Mulia Ketua sempat merasakan aliran darah dalam tubuhnya menjadi panas. Kalau
saja tidak ingat akan satu larangan dan pantangan besar, saat itu mau rasanya
dia menghambur ke tingkat atas. Sang Ketua tarik nafas dalam lalu memutar tubuh
siap untuk meninggalkan bangunan serba putih.
Justru
pada saat itulah mendadak dua bayangan putih berkelebat. Yang muncul ternyata
Wakil Ketua bersama seorang manusia pocong. Keduanya membungkuk memberi hormat.
“Wakil
Ketua, ada apa?”
“Maafkan
saya Yang Mulia Ketua. Sesuai perintah saya masih berada di tempat upacara
tadi. Tibatiba muncul Satria Pocong ini memberitahu ada seseorang menerobos
masuk ke dalam lorong. Orang itu kini terperangkap di jalur kiri lorong delapan
belas. Ketika dipergoki dan hendak diringkus, orang itu melakukan perlawanan.
Seorang Satria Pocong berhasil dilukainya dan kini dalam keadaan sekarat.”
Yang
Mulia Ketua tentu saja terkejut mendengar keterangan wakilnya itu.
“Jika dia
menerobos masuk sejauh lorong delapan belas, berarti orang itu punya kecerdikan
tinggi. Kalau dia mampu mencelakai anak buahku, berarti ilmu kepandaiannya luar
biasa. Wakil Ketua, kau dan Satria Pocong lekas menyelidik. Aku ingin kau
menangkap orang itu hidup-hidup. Mungkin kita perlukan tenaganya. Aku menunggu
laporanmu di Ruang Kayu Hitam.”
“Perintah
Yang Mulia Ketua segera saya laksanakan!” Wakil Ketua dan manusia pocong
satunya membungkuk hormat berkelebat tinggalkan tempat itu.
Ketika
melewati rumah kayu beratap ijuk berbentuk tanduk kerbau, Wakil Ketua berkata
pada manusia pocong di sebelahnya. “Kau segera menuju ke lorong delapan belas.
Tunggu aku disana. Jangan melakukan sesuatu sebelum aku datang….”
“Wakil
Ketua mau kemana?”
“Ada
sesuatu yang harus aku lakukan. Jangan banyak tanya. Cepat pergi!”
Setelah
manusia pocong itu pergi Sang Wakil Ketua segera berkelebat ke arah timur. Di
satu tempat dia memasuki sebuah goa yang merupakan mulut atau jalan rahasia
menuju terowongan batu. Dia berhenti di hadapan sebuah pintu putih yang
ditancapi sehelai bendera kecil berbentuk segitiga, basah oleh darah. Sebuah
tombol rahasia di samping kiri pintu ditekan. Sesaat kemudian pintu putih
terbuka. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ini segera masuk. Hanya dua tindak
memasuki ruangan yang lantainya ditutupi tikar jerami tebal, Wakil Ketua
hentikan langkah. Dua matanya terpentang lebar ke arah ranjang besar di sudut
kiri ruangan. Dia memandang seputar ruangan. Kosong.
“Wulan!”
Wakil Ketua berseru. “Wulan Srindi!” Tak ada jawaban. Manusia pocong ini
bergegas melangkah ke arah sehelai tirai biru. Tidak sabaran tirai itu
ditariknya hingga terbetot lepas. Di belakang tirai kelihatan satu ruangan
besar menurun ke bawah. Di situ terdapat sebuah kolam batu. Pada dinding batu
di atas kolam ada sebuah pancuran mengucurkan air jernih.
“Wulan!”
Suara
teriakan manusia pocong menggema keras di ruangan itu. Orang yang dicari tidak
ada di tempat itu. “Kurang ajar! Dia pasti kabur! Kalau tidak ada orang yang
membantu tidak mungkin dia bisa lolos dari tempat ini! Aku harus bertindak
cepat! Siapapun pengkhianatnya harus kuhabisi! Kalau tidak nyawaku sendiri bisa
berada di ujung tanduk!”
Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong segera menghambur keluar dari tempat itu.
***********************
11
DUDUK di
pinggiran telaga Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala sambil sesekali
menoleh pada anak lelaki berambut jabrik berpakaian hitam di sebelahnya yang
bukan lain adalah bocah konyol bernama Naga Kuning. Seperti diketahui anak
lelaki yang terakhir bernama Gunung ini ujud aslinya adalah seorang kakek sakti
mandraguna berusia lebih seratus tahun, dikenal dengan julukan Kiai Paus
Samudera Biru.
Di
samping Naga Kuning berdiri seorang nenek berwajah seram seperti setan,
berambut kelabu awut-awutan. Sepuluh jari kukunya berwarna hitam, dan panjang.
Seperti keadaannya Naga Kuning, si nenek juga memiliki ujud asli, sebagai
seorang nenek berwajah cantik dan masih memiliki tubuh bagus. Terlahir nenek
ini bernama Ning Intan Lestari. Dalam berbagai episode serial Wiro Sableng
sebelumnya telah diceritakan bahwa di masa muda antara kedua orang ini telah
terjalin tali percintaan. Namun perjalanan nasib membuat mereka terpisah selama
puluhan tahun. Ketika kembali bertemu di usia lanjut ternyata api cinta di masing-masing
hati mereka belum padam.
“Sayang,
Eyang Sinto pergi begitu saja. Padahal banyak yang akan aku tanyakan…” Wiro
keluarkan ucapan sambil kembali melirik pada Naga Kuning.
“Aku
tahu, kau masih kesal, mungkin juga masih marah padaku. Soalnya kau menganggap
gara-gara aku nenek itu kabur melarikan diri. Malu terlihat dalam keadaan bugil
olehku. Padahal semua tidak aku sengaja.” Naga Kuning bicara lalu pencet-pencet
hidungnya sendiri.
Dalam
episode sebelumnya (113 Lorong Kematian) diceritakan bagaimana Naga Kuning yang
menjelma menjadi Kiai Paus Samudera Biru berusaha menolong Sinto Gendong yang
saat itu terpendam di tepi telaga sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh Sepasang
Naga Kembar Naga Nina dan Naga Nini. Dua makhluk aneh ini menjatuhkan hukuman,
karena Sinto Gendeng telah membunuh anak lelaki bernama Boma Wanareja yang
berada dalam perlindungan mereka. (Baca serial Boma Gendenk) Menurut Wiro
sebenarnya Kiai Paus Samudera Biru yang penjelmaan Naga Kuning itu sudah
mengetahui bahwa jika tubuh gurunya dikeluarkan dari dalam pendaman tanah maka
sang guru akan berada dalam keadaan bugil. Tapi dasar jahil Naga Kuning terus
saja menarik dan mengeluarkan tubuh Sinto Gendeng. Akibatnya walau diselamatkan
dari jepitan tanah namun Sinto Gendeng jadi kalang kabut. Dalam keadaan bugil
nenek ini menyambar jubah hitam yang diberikan Gondoruwo Patah Hati, lalu lari
ke balik semak belukar. Naga Kuning yang ketakutan karena hendak dihajar Wiro,
kabur melarikan diri. Entah disengaja entah tidak bocah ini justru lari ke balik
semak-semak dimana Sinto Gendeng belum sempat mengenakan jubah menutupi
auratnya. Karuan saja si nenek berteriak marah, memaki panjang pendek lalu lari
terbirit-birit dan tak muncul lagi.
“Kau
selamanya, dimana-mana sering berbuat jahil. Boleh-boleh saja karena
kadang-kadang perbuatanmu memang-lucu. Tapi jika kau tidak memakai aturan,
berbuat konyol kurang ajar seenaknya, ini contoh akibatnya. Satu waktu jika
bertemu nenek itu pasti akan mendampratku habis-habisan!”
“Aku
memang merasa bersalah. Aku minta maaf,” kata Naga Kuning kelihatan
sungguh-sungguh. Namun kemudian dia menyambung ucapannya. “Tapi kalau kau mau
berpikir, mungkin kau tidak bakalan kesal atau jengkel padaku….”
“Apa yang
harus aku pikirkan?!” tukas Wiro dengan mata melotot sementara Gondoruwo Patah
Hati tegak diam, memandang ke tengah telaga namun telinganya terus menguping
pembicaraan dua sahabat itu.
“Kau
boleh saja marah kalau yang tak sengaja aku lihat bugil itu kekasihmu. Misalnya
saja Ratu Duyung atau Bidadari Angin Timur, atau bisa juga Anggini. Kau pasti
cemburu karena seumur hidup kau belum pernah melihat tubuh polos mereka. Tapi
aku si bocah konyol ini sudah kedahuluan punya rejeki besar dapat melihat tubuh
mereka yang bagus dalam keadaan ehem-ehem. Nah kalau memang mereka yang aku
lihat bugil, kau pantas marah. Tapi kenyataannya yang aku lihat bukan tubuh
anak perawan atau gadis yang bagus mulus. Tapi cuma tubuh seorang nenek yang
sudah keriput mulai dari ubun-ubun sampai ujung jempol! Hik… hik… hik! Apa
untungnya aku mau-mauan melihat tubuh hitam gosong begitu, kurus kering,
keriput lagi….”
“Kau
jangan berani menghina guruku. Mungkin saatnya aku menempeleng mukamu!”
“Sabar
sobatku, aku tiba-tiba saja jadi sadar. Melihat anak perawan bugil bisa terjadi
dimana-mana. Tapi melihat nenek-nenek bugil memang sulit, jarang kejadian.
Sekarang aku mengerti mengapa kau jadi marah. Soalnya nenek satu yang jadi
gurumu itu memang benar-benar langka. Mungkin orang bilang jika melihat nenek
bugil bisa jadi apes seumur-umur. Mudah-mudahan, aku sebaliknya. Semoga
beruntung. Lagi pula aku pikir-pikir. Seandainya gurumu masih muda dan punya
tubuh lumayan bagus, aku rasa wajar-wajar saja kalau kau juga ingin melihatnya.
Hik… hik… hik.”
“Anak
kurang ajar, kau benar-benar ingin aku tampar!” Tangan kanan Wiro berkelebat
bukan hendak menampar tapi mau menjambak rambut jabrik Naga Kuning.
“Aku tadi
sudah minta maaf…,” kata Naga Kuning lalu melompat bangkit dan menjauh dari
Wiro.
Gondoruwo
Patah Hati mendehem beberapa kali lalu berkata. “Hari mulai sore. Apakah kalian
dua sahabat masih hendak berdebat panjang lebar?”
“Nek,”
Wiro berkata pada Gondoruwo Patah Hati. “Aku tahu riwayat hubungan kalian
berdua. Kalau punya kekasih seperti manusia satu ini jangan sekali-kali berlaku
lengah. Setiap ada kesempatan dia pasti mau mengintip keadaan dirimu. Jangankan
manusia, sapi mandipun mau dia mengintainya!”
Naga
Kuning bukannya marah mendengar ucapan Wiro itu malah tertawa gelak-gelak
sementara Gondoruwo Patah Hati cuma senyum-senyum dan unjukkan wajah bersemu
merah.
“Wiro,
kami ada keperluan lain. Kita terpaksa berpisah di tempat ini. Sebelum berpisah
kami ingin tahu bagaimana keadaannya dengan tiga gadis cantik Bidadari Angin
Timur, Ratu Duyung dan Anggini? Mengapa mereka tidak bersamamu?”’
“Sebenarnya
aku dan Bidadari Angin Timur ingin menyelidik kemana lenyapnya Kitab Seribu
Macam Ilmu Pengobatan. Gadis itu punya dugaan siapa yang mencuri kitab itu….”
“Siapa?”
tanya Naga Kuning.
“Dia
belum mau memberitahu sebelum jelas sekali.”
“Lalu
Ratu Duyung dan Anggini?”
“Tadinya dua
gadis itu akan meneruskan penyelidikan menyangkut lenyapnya Pedang Naga Suci
212.
Mereka bermaksud memisahkah diri. Tapi karena aku tidak jadi melakukan
perjalanan bersama Bidadari Angin Timur, mereka akhirnya bergabung untuk
mencari dua benda yang hilang itu.” “Kau enak saja membagi-bagi tugas pada tiga
gadis cantik itu. Kalau aku, hemm… selalu berdekatan dengan mereka bukankah
satu hal yang sangat membahagiakan?”
“Bocah
ganjen sepertimu memang selalu punya pikiran seperti itu,” jawab Wiro. “Dalam
lenyapnya Pedang Naga Suci 212 dan Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan aku mana
mungkin lepas tangan begitu saja. Aku tetap akan melakukan penyelidikan. Namun
saat ini aku merasa perlu segera ke Kotaraja.”
“Nah,
gadis cantik mana lagi yang menunggumu di sana?” ujar Naga Kuning.
“Mulutmu
selalu usil, otakmu selalu kotor!”
Naga
Kuning hanya mesem-mesem mendengar dampratan Wiro itu.
“Aku
telah membuat perjanjian dengan tiga gadis itu bahwa kami akan bertemu minggu
muka di Kotaraja, di tempat kediaman Sutri Kaliangan, Putri Patih Kerajaan.”
“Kalau
begitu kami juga ingin bergabung dengan kalian di Kotaraja. Wiro, kau belum
mengatakan keperluanmu ke Kotaraja.”
“Aku
menyirap kabar Rana Suwarte yang tempo hari mencuri Keris Naga Kopek dan
berhasil kita ringkus, dalam keadaan ditotok dititipkan di rumah seorang
penduduk desa berhasil lolos. Kabur melarikan diri sebelum diserahkan pada
pihak berwenang!”
“Setan
Ngompol! Bukankah kakek geblek itu yang dulu kita tugaskan membawa Rana Suwarte
ke Kotaraja? Katanya dia mau menitipkan tahanan itu di sebuah desa.
Peristiwanya sudah cukup lama.”
“Betul.
Ternyata Rana Suwarte berhasil kabur. Berarti Setan Ngompol telah berlaku
sembrono. Sekarang tidak tahu dia berada di mana. Aku khawatir telah terjadi
sesuatu dengan kakek tukang kencing itu,” ucap Wiro lalu garuk-garuk kepala.
“Kejadian
lolosnya Rana Suwarte terus terang aku jadi merasa tidak enak,” kata Naga
Kuning pula.
Mendengar
ucapan si bocah Wiro melirik ke arah Gondoruwo Patah Hati. Si nenek tampak
berdiri tenang-tenang saja. Wajahnya tidak berubah ketika mendengar nama Rana
Suwarte disebut-sebut. Seperti diketahui Rana Suwarte adalah seorang kakek yang
sejak muda telah jatuh cinta pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Intan
Lestari. Di usia tua, Kiai Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng, berusaha
membujuk Gondoruwo Patah Hati agar mau mengikat tali perkawinan dengan kakek
itu. Tapi si nenek menolak karena hatinya telah lebih dulu jatuh pada Naga
Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru. (Baca serial Wiro Sableng Episode
berjudul “Gondoruwo Patah Hati”)
“Naga
Kuning, mungkin kau tahu di desa mana dan di rumah siapa Setan Ngompol dulu
menitipkan Rana Suwarte?”
“Dia
pernah menyebut-nyebut nama seorang janda di Bantul….”
“Seorang
janda?”
“Betul,”
jawab Naga Kuning. “Aku lupa namanya. Menurut Setan Ngomppl janda berkulit
putih dan
bertubuh
gemuk….”
“Kalian
berdua,” aku segera akan ke Kotaraja menyelidiki perkara ini. Jika kalian
memang ingin bergabung, seperti yang aku bilang datanglah ke tempat kediaman
Sutri Kaliangan minggu depan. Pada malam pertama bulan baru.”
Tak lama
setelah Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati pergi, Wiro segera pula tinggalkan
tempat itu. Di satu jalan menurun diapit pohon-pohon besar di kiri kanan jalan
tiba-tiba Wiro merasa ada seseorang berlari cepat mengikutinya di sebelah
belakang. Dia menoleh. Tapi tidak melihat siapa-siapa. Baru ketika dia hendak
meneruskan larinya mendadak ada bentakan keras di sebelah depan. Aneh, yang
mengejar tadi jelas-jelas berada di belakang, mengapa kini tahu-tahu suara itu
datang dari arah depan?
“Anak
Setan! Lekas naik ke sini!”
***********************
12
DALAM
kagetnya Wiro segera tahu siapa yang barusan membentak. Pemuda ini palingkan
kepala dan tujukan pandangan ke arah datangnya suara bentakan. Di atas sebuah
pohon di depan sana, pada cabang paling bawah duduk berjuntai satu sosok
berjubah hitam. Itulah si nenek Sinto Gendeng yang mengenakan jubah pemberian
Gondoruwo Patah Hati.
“Ah….”
Wiro lepas nafas lega lalu lari mendekati pohon, kemudian melesat naik dan
duduk di cabang pohon di samping sang guru. Cabang dimana kedua orang itu
duduk, tidak seberapa besar. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi,
diduduki dua orang demikian rupa cabang pasti akan patah.
“Eyang,
untung aku menemuimu disini…”
“Untung….
untung! Kau masih bilang untung! Orang lain justru membuatku buntung!” Sinto
Gendeng menggerendeng dengan wajah keriput bersungut.
Wiro
maklum kalau gurunya masih mengkal atas apa yang tadi terjadi.
“Mana
bocah Setan kurang ajar itu?!”
“Dia
sudah pergi Nek.”
“Kalau
bertemu lihat saja nanti! Aku akan ganti menelanjanginya!” Sinto Gendeng
keluarkan ancaman.
Wiro cuma
senyum dan garuk-garuk kepala.
“Anak
Setan, ada beberapa hal yang aku mau katakan padamu. Dulu pada pertemuan
pertama aku lupa memberi tahu.”
“Hal apa,
Nek? Saya mendengarkan….” J
“Pertama
soal dua makam kosong di tempat kediamanku di puncak Gunung Gede. Kau dulu
mengatakan satu kuburan memang kosong, tapi satunya lagi ada isinya. Di situ
dimakamkan jenazah gadis bernama Putì Andini. Betul begitu?”
“Betul
Nek….”
“Kau
melihat sendiri gadis itu waktu dikubur?”
“Melihat
sendiri memang tidak Eyang. Tiga gadis sahabatku yang memberi tahu. Mereka
bertiga yang mengubur Puti Andini. Mereka bertiga malah memberi tahu bahwa
orang yang membunuh Puti Andini kemungkinan adalah Pangeran Matahari. Ciri
pakaiannya sangat sama dengan Pangeran Matahari namun anehnya wajahnya bukan
wajah Pangeran Matahari.”
“Kalau
mereka tidak berdusta bahwa mereka bertiga mengubur jenazah Puti Andini, lalu
kemana lenyapnya mayat gadis itu. Kuburan itu kutemui dalam keadaan kosong!”
“Saya
juga heran. Sebenarnya hal itu yang ingin saya tanyakan padamu, Nek.” Ujar Wiro
pula.
“Aneh,
tiga gadis mengaku mengubur orang. Tapi kuburannya ternyata kosong. Kalau orang
yang berdandanan seperti Pangeran Matahari yang melakukan, maka kegilaan apa
sebenarnya yang telah diperbuatnya? Membunuh, mengubur lalu menggali kuburan
kembali untuk mengambil jenasah!” Sinto Gendeng komat-kamitkan mulut,
geleng-geleng kepala. Otaknya berpikir sambil pelototi sang murid dengan
matanya yang cekung. “Sewaktu naik ke puncak Gunung Gede, aku dalam keadaan
sakit panas. Di tengah jalan aku bertemu dengan manusia aneh berdandanan
seperti pocong hidup. Jubah putih, kepala ditutup kain putih yang ada
diikatkannya di sebelah atas. Mulanya aku mengira setan kuburan yang lagi
gentayangan. Tapi bangsat ini bisa bicara. Ternyata manusia juga. Cuma entah
penyakit gila apa yang diidapnya sampai berpakaian seperti itu. Hebatnya tanpa
tahu juntrungan bangsat itu berkata bahwa dia datang mau mengambil nyawaku!
Haram jadah! Hik…hik…hik!” Sinto Gendeng tertawa terpingkal baru meneruskan
keterangannya. “Aku ingin tahu siapa sebenarnya setan kesasar ini. Aku berusaha
mengait dan membetot penutup kepalanya dengan tongkat. Tapi dia punya kecepatan
bergerak luar biasa. Aku hanya mampu merobek sedikit kain penutup kepalanya.
Kami berkelahi habis-habisan. Sial! Bangsat itu punya ilmu kepandaian tidak
rendah. Mungkin juga aku lagi sakit. Yang jelas dia bisa membuatku mencelat ke
atas pohon. Waktu dia hendak rnenghabisiku, aku hantam dengan pukulan Sinar Matahari.
Dia membalas dengan pukulan aneh. Aku merasa dia memegang sebuah senjata di
balik lengan jubah tangan kirinya. Aku hanya mampu membuat sebagian jubahnya
hangus. Saat itu mungkin sekali dia benar-benar hendak membunuhku. Namun
tiba-tiba saja dia meninggalkan tempat itu setelah ada suara suitan di
kejauhan.”
“Berarti
dia tidak sendirian, Nek.”
“Kau
benar,” jawab Sinto Gendeng.
“Kalau
memang jenasah Putì Andini dicuri orang, mungkinkah manusia pocong itu yang
melakukan?”
Sinto
Gendeng menggeleng. “Dia muncul seorang diri, kabur juga seorang diri. Tidak
membawa apa-apa. Walau aku sempat dihajarnya, tapi aku kagum melihat pukulan
saktinya yang sanggup menghadapi pukulan Sinar Matahari. Aku berharap satu hari
kelak bisa berhadapan lagi dengan bangsat itu!”
“Nek,
apakah….”
“Tunggu!
Jangan bicara dulu! Ceritaku belum selesai!” bentak Sintò Gerideng. “Waktu aku
melintang tak berdaya di atas cabang pohon, tak diduga Dewa Tuak muncul.
Dia.yang menolongku….”
“Kakek
satu itu. Lama sekali aku tidak bertemu dengan dia. Apa yang membawanya
terpesat ke puncak Gunung Gede, Nek?” bertanya sang murid.
“Katanya
mencari muridnya si Anggini itu. Mungkin benar, mungkin juga dusta. Aku
kemudian punya firasat buruk. Jangan-jangan dia yang mencuri Kitab Seribu Macam
Ilmu Pengobatan…..”
“Tidak
mungkin Dewa Tuak sejahat itu,” kata Wiro pula.
“Tugasmu
menyelidik, mencari si pencuri dan mendapatkan kitab itu kembali. Dengan lain
perkataan kau harus mencari Dewa Tuak dan memancing-mancing dirinya sampai kau
yakin betul bukan dia yang mencuri kitab itu.”
“Bidadari
Angin Timur pernah mengatakan dia punya dugaan siapa pencuri kitab. Tapi gadis
itu belum mau menyebut nama orangnya….”
“Dugaan
bisa macam-macam. Aku minta kau tetap menyelidiki Dewa Tuak.”
“Tapi
Nek….”
“Tapi
apa?”
“Kalau
saya bertemu Dewa Tuak, lalu dia bicara soal perjodohan dengan muridnya. Dia
memaksa….”
“Jodoh
mana bisa dipaksa-paksa. Kecuali kalau kau memang suka pada muridnya. Apa kau
mau dinikahkan-dengan gadis muridnya itu?”
“Saya
belum mau kawin Nek,” jawab Pendekar 212.
Sinto
Gendeng kembali tertawa cekikikan.
“Sulit
aku percaya! Hik…hik!”
“Sungguh
Nek, saya masih perjaka,” kata Wiro lagi-lagi polos dan membuat sang guru
kembali tertawa panjang.
“Apamu
yang masih perjaka? Hidung? Dengkul atau jempol kakimu? Hik…hik…hik!”
Wiro
garuk-garuk kepala lalu ikutan tertawa.
Tiba-tiba
guru dan murid hentikan tawa. Di kejauhan terdengar derap kuda dipacu orang.
Tak lama kemudian, di jalan kecil di bawah mereka, dari arah Kotaraja kelihatan
seorang penunggang kuda memacu tunggangannya, kencang sekali. Orang ini hanya
mengenakan sehelai celana kolor butut. Berapa belas tombak di belakangnya
mengejar serombongan penunggang kuda. Di sebelah depan lelaki berpakaian bagus
mengenakan topi tinggi. Di sebelah belakang enam orang berseragam perajurit.
“Nek,
penunggang kuda di sebelah depan itu….”
“Aku
sudah melihat. Memangnya kenapa?”
“Dia… dia
kakek sahabatku si Setan Ngompol.”
“Aku
sudah tahu,” jawab Sinto Gendeng acuh. “Kelihatannya sahabatmu itu dalam
keadaan tidak enak. Tujuh orang yang mengejarnya, dari pakaiannya menunjukkan
mereka orang-orang Kadipaten. Entah Kadipaten mana. Kesalahan apa telah dibuat
kakek tolol tukang kencing itu sampai-sampai dia dikejar begitu rupa! Huh!”
“Terakhir
sekali dia membawa seorang tawanan ke Kotaraja. Tawanan itu kemudian dikabarkan
lolos. Setan Ngompol lenyap. Tahu-tahu barusan muncul, dikejar-kejar pasukan
Kadipaten. Nek, kalau sahabatku itu dalam bahaya, saya harus menolongnya.
Paling tidak tahu apa yang terjadi. Maafkan saya Nek. Saya harus melakukan
sesuatu….”
“Anak
Setan, terserah kau mau melakukan apa. Tapi awas, jangan lupa mencari Kitab
Seribu Macam Ilmu Pengobatan! Jangan lupa menyelidiki Dewa Tuak….”
“Saya
mohon diri Nek…”
“Pergi
saja sana….”
“Kau
tidak marah Nek?”
“Mengapa
harus marah?”
“Kau… kau
mau pergi kemana Nek?”
“Aku mau
pergi kemana? Apa urusanmu? Bukan cuma kau yang punya banyak kekasih di dunia
ini. Apa lagi aku sekarang punya jubah hitam baru, tidak bau pesing. Banyak
kakek-kakek gagah yang bisa aku pikat! Hik…hik…hik!” Tiba-tiba Sinto Gendeng
hentikan tawanya. Tangan kiri meraba ke bagian bawah perut.
“Kenapa
berhenti tertawa Nek?” tanya Wiro.
“Tidak,
tidak apa-apa.” Jawab Sinto Gendeng.
Wiro
melirik ke bawah. Di salah satu kaki si nenek yang tersembul di ujung jubah
hitam kelihatan cairan meleleh.
Wiro
tersenyum. “Eyang, saking senangnya kau pasti barusan kencing alias ngompol.”
“Jangan
urusi aku! Sudah, pergi sana!” Tampang si nenek bersemu merah.
“Saya
pergi Nek. Tapi jangan lupa!” Kata Wiro seraya menggeser duduknya menjauhi sang
guru.
“Jangan
lupa apa?!”
“Sebelum
mencari kakek gagah, jangan lupa cebok dulu! Nanti tidak ada kakek yang mau!
Habis bau pesing!”
“Anak
Setan kurang ajar!” maki Sinto Gendeng.
Tangannya
menyambar ke arah telinga kiri Wiro, hendak menjewer.
Tapi sang
murid lebih cepat melompat turun dari atas cabang pohon. Sambil lari dan
tertawa-tawa Wiro berteriak.
“Jangan
lupa Nek! Ceboookkk! Ha…ha…ha…ha!”
***********************
13
SETAN
Ngompol memacu kudanya laksana dikejar setan. Saat itu satu-satunya pakaian
yang melekat di tubuhnya hanyalah sehelai celana kolor butut basah kuyup.
Semakin cepat dia memacu kudanya semakin banyak air kencing yang mengucur dari
bawah perutnya. Sesekali kakek berkuping lebar bermata jereng ini menoleh
kebelakang. Setiap menoleh dia selalu mengeluarkan makian. Sialan! Tujuh
penunggang kuda yang mengejar saat demi saat bertambah dekat. Ternyata kuda
tunggangan Setan Ngompol hanyalah seekor kuda kacangan yang tak mampu berlari
kencang dan lekas lelah.
Dikejar
begitu rupa Setan Ngompol tidak tahu ke arah mana kuda membawanya. Dia sendiri
tidak tahu seluk beluk kawasan timur di luar Kotaraja itu. Hingga satu saat
kuda yang ditungganginya itu tiba-tiba berhenti, angkat dua kaki depan dan
meringkik keras.
“Binatang
keparat!” maki Setan Ngompol. Air kencingnya mengucur tak karuan. Memandang ke
depan kakek bermata jereng ini jadi merinding dan delikkan mata. Ternyata saat
itu dia dan kuda tunggangan berada hanya beberapa langkah di depan sebuah
jurang batu yang sangat dalam. Karuan saja air kencing tambah, deras menyembur.
Si kakek elus tengkuk kudanya, menarik tali kekang, berusaha membelokkan
binatang itu ke samping. Namun tujuh orang yang mengejar telah sampai di tempat
itu, langsung mengurung. Lelaki paling depan, bertopi tinggi dan mengenakan
pakaian bagus membentak.
“Dajal
tua! Lekas turun dari kudamu!”
Di atas
kuda Setan Ngompol menggigil, kembali terkencing-kencing. Sambil berpeluk
tangan di atas dada dia berkata.
“Di desa
Bantul kalian mau menangkapku. Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah aku
lakukan!”
“Turun
dari kudamu, nanti baru kita bicara! Atau mungkin saat ini juga kau memilih
mati dicincang anak buahku. Atau barangkali kau memilih mati dilempar ke dalam
jurang?!”
Enam
orang berpakaian perajurit Kadipaten segera menghunus senjata masing-masing
yaitu pedang panjang pipih berbentuk segi empat.
“Meski
sudah tua bangka begini aku belum mau mati! Tapi aku benar-benar tidak tahu apa
kesalahanku!” Setan Ngompol turun dari kudanya. Berdiri hanya memakai celana
kolor butut yang sudah basah kuyup oleh air kencing kakek ini bertanya. “Kalian
ini siapa sebenarnya? Mengapa ingin menangkapku?”
“Kami
bukan cuma ingin menangkapmu, tapi juga membunuhmu! Kejahatanmu setinggi langit
sedalam lautan!”
“Begitu?
Tuduhan gila! Aku merasa tidak punya dosa, tidak punya kesalahan!”
“Tua
bangka jahanam! Tutup mulutmu! Pakaian ini cukup menjadi bukti siapa dirimu
sebenarnya!” Bentak lelaki bertopi tinggi. Dari sebuah kantong kain yang
tergantung di leher kuda, orang ini keluarkan sehelai jubah putih dan kain
putih berbentuk aneh. Ada ikatan di salah satu ujungnya dan dua lobang kecil
disalah satu sisinya.
Sepasang
mata Setan Ngompol berputar jereng. Lalu kakek ini menyeringai.
“Hah!
Ternyata kau orang baik hati. Mau memberikan pakaian pada saat aku setengah
telanjang dan kedinginan begini rupa!” Setan Ngompol cepat membungkuk hendak
mengambil jubah putih.
Orang
bertopi tinggi di atas kuda habis kesabarannya. Sekali dia membuat gerakan,
tubuhnya melesat dari atas punggung kuda lalu berkelebat ke arah Setan Ngompol.
Kaki kanannya menendang ke jurusan kepala si kakek! Dalam kejutnya Setan
Ngompol jatuhkan diri ke tanah. Menyambar jubah dan kain putih, lalu
bergulingan. Namun saat itu enam orang perajurit secara serentak telah turun
dari atas kuda, melompat ke arah Setan Ngompol. Begitu tubuh kakek ini berhenti
berguling, masih terbujur di tanah, belum lagi sempat bangun, enam ujung pedang
tahu-tahu telah menempel di leher, dada dan perutnya.
“Serrr.”
Langsung saja kencing si kakek terpancar.
Salah
seorang perajurit yang menempelkan ujung pedangnya ke leher Setan Ngompol
menghardik.
“Tua
bangka bau pesing! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa! Kami adalah
perajuritperajurit utama Kadipaten Magetan! Orang di atas kuda itu adalah
Adipati Magetan Raden Sidik Mangkurat!”
“Serrr!”
Kembali Setan Ngompol pancarkan air kencing.
“Rupanya
aku berhadapan dengan seorang Adipati. Maafkan keadaanku yang begini. Adipati
selembar nyawaku mungkin tidak ada gunanya. Aku akan mati penasaran kalau tidak
tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat! Seumur-umur aku belum pernah ke
Magetan. Mana mungkin aku berbuat kejahatan di kota itu?”
“Kau
memang tidak berbuat kejahatan di Magetan. Tapi dimana-mana! Manusia pocong
jahanam! Kau bukan saja menculik perempuan-perempuan hamil, tapi juga telah
membunuh beberapa sahabatku, termasuk Aji Warangan!”
“Demi
Tuhan! Kau menyebut aku manusia pocong! Tampangku memang jelek, tapi kalau kau
sebut manusia pocong sungguh keterlaluan!”
“Jubah
putih dan kain penutup kepala di dekatmu itu! Bukankah itu dandanan pakaianmu?
Benda itu kami temukan di rumah janda tempat kau menginap! Siapa pemiliknya
kalau bukan kau?!”
“Seumur-umur
aku tidak pernah memiliki pakaian seperti ini. Seumur-umur aku tidak pernah
menculik perempuan hamil. Aku tidak kenal siapa itu Aji Warangan.”
“Dia
adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan! Dia lenyap dan aku yakin sudah kau
bunuh ketika dia melakukan pengejaran atas pembunuh Ki Mantep Jalawardu Kepala
Desa Plaosan. Lalu I Ketut Sudarsana menantu Kepala Desa. Kau juga membunuh
Surablandong sahabat Ki Mantep yang juga sahabatku! Kau menculik Nyi Upit
Suwarni, puteri Ki Mantep Jalawardu yang tengah hamil tujuh bulan!” .
“Wuaallah!
Tuduhan gila! Adipati, aku tidak kenal semua orang yang kau sebutkan itu!”
Adipati
Sidik Mangkurat melangkah mendekati Setan Ngompol yang tidak berdaya di bawah
tudingan enam pedang yang menempel di leher, dada dan perutnya.
“Tua
bangka keparat! Siapa namamu?!”
“Orang-orang
memanggilku dengan sebutan Setan Ngompol!”
Dalam
keadaan lain enam orang perajurit utama Kadipaten Magetan akan tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan si kakek. Tapi saat itu yang ingin mereka lakukan
adalah segera menusukkan amblas senjata masing-masing ke leher, dada dan perut
Setan Ngompol.
“Tua
bangka edan! Jangan berpura-pura sinting! Kami sudah tahu siapa dirimu!”
“Aku
tidak sinting! Paling tidak belum jadi orang sinting!” teriak Setan Ngompol.
Tidak
sabaran Adipati Magetan tendang pinggul si kakek hingga Setan Ngompol mencelat
sampai satu tombak. Dalam keadaan merintih kesakitan dan kucurkan air kencing,
enam perajurit cepat mendatangi dan kembali tempelkan ujung pedang ke leher dan
tubuh si kakek.
“Kau kami
gerebek di rumah janda di Bantul itu. Tidak ada lelaki lain di rumah itu. Jubah
putih dan kain putih penutup kepala yarig kami temui pasti milikmu. Pertanda
kau adalah manusia pocong yang selama beberapa bulan ini malang melintang
menculik dan membunuh!”
“Adipati,
aku bersumpah! Aku bukan orang yang kau tuduhkan itu!”
“Jangan
membuat aku kehilangan kesabaran! Katakan apa hubunganmu dengan janda gemuk di
Bantul. Dimana Nyi Upit Suwarni kau sembunyikan! Katakan dimana sarangmu!”
“Hubunganku
dengan janda gemuk itu cuma hubungan suka sama suka, doyan sama doyan. Aku
tidak tahu siapa itu Nyi Upit Suwarni. Aku tidak punya sarang. Karena aku bukan
burung atau lebah!”
Kesabaran
Adipati Magetan putus sudah.
Dengan
mata mendelik, rahang menggembung dia kemudian berteriak.
“Perajurit!
Bunuh tua bangka keparat itu!”
Enam
tangan bergerak siap menghunjamkan pedang masing-masing. Mendadak satu bentakan
menggeledek di tempat itu.
“Tahan!”
Adipati
Magetan dan enam perajurit merasakan tanah bergetar di dera kekuatan bentakan
tadi.
Di lain
kejap satu bayangan putih berkelebat dan tegak di depan Adipati Sidik
Mangkurat, di samping sosok Setan Ngompol yang siap hendak dibantai.
***********************
14
SETAN
Ngompol delikkan matanya yang lebar jereng lalu terkencing. Sambil senyum dia
keluarkan ucapan.
“Sobatku
si Anak Setan, kenapa tidak dari tadi-tadi kau muncul. Ayo bantu aku
membebaskan diri dari orang-orang gila ini. Aku dituduh menculik perempuan
hamil. Membunuh orang-orang yang aku tidak kenal!”
Enam
perajurit. pandangi pemuda berpakaian putih berambut gondrong yang berdiri di
hadapan pemimpin mereka. Adipati Sidik Mangkurat sendiri menatap tak berkesip
pada pemuda yang berdiri di hadapannya dan tidak dikenalnya.
“Pemuda
gondrong, apapun hubunganmu dengan kakek keparat itu, jangan coba-coba
mencampuri urusan. Apa lagi berani turun tangan untuk menolong dajal tua itu!”
“Adipati,
jangan bicara sombong! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa!” Setan
Ngompol berteriak.
Sekilas
sepasang mata Adipati Magetan melirik ke arah Setan Ngompol lalu memandang
menyipit dan tak berkesip ke arah pemuda di hadapannya.
“Dajal
tua itu bicara seolah kau adalah malaikat yang bisa menolongnya! Orang muda,
katakan siapa dirimu?!”
“Aku
tidak kalah edannya dengan kakek itu. Kalau dia sinting aku sableng!” jawab si
pemuda.
“Jangan
berolok-olok! Katakan cepat siapa dirimu!”
“Biar aku
yang menjawab!” berteriak Setan Ngompol. “Adipati! Dengar baik-baik! Pemuda
yang berdiri di depanmu itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng! Murid nenek sakti
Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Mereka orang-orang yahg dekat dengan Keraton.
Jadi jangan berani main-main. Sekarang lekas bebaskan diriku!”
Enam
perajurit Kadipaten Magetan dan juga sang Adipati Raden Sidik Mangkurat
tersentak kaget mendengar ucapan Setan Ngompol. Mereka memang pernah mehdahgar
nama besar Sinto Gendeng dan sang murid yahg dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 itu. Tapi seumur-umur belum pernah melihat atau kenal orangnya. Bukan
mustahil untuk selamatkan diri Setan Ngompol sengaja berdusta mengada-ada.
Adipati
Sidik Mangkurat menyeringai.
“Dajal
tua, siapapun adanya pemuda ini, dia tidak bakal menyelamatkan dirimu dari
kematian! Perajurit….”
“Tunggu!”
Wiro cepat keluarkan ucapan sambil angkat tangannya. Dari telapak tangan sang
pendekar berhembus selarik angin mengandung tenaga dalam tinggi. Orang yang tak
sanggup menahannya akan terpental saat itu juga. Jika punya ilmu dan coba
bertahan akan dibuat melintir. Yang coba membalas dengan tenaga dalam bisa
muntah darah! Yang dilepaskan Wiro untuk menyerang sang Adipati adalah pukulan
bernama Tangan Dewa Menghantam Karang, yang dipelajarinya dari Kitab Putih
Wasiat Dewa, didapat dari kakek sakti bernama Datuk Rao Basaluang Ameh.
Adipati
Magetan bukan orang sembarangan. Begitu Wiro mengangkat tangan dengan telapak
terbuka ke arahnya dia segera maklum kalau orang tengah mengirimkan satu
serangan jarak pendek yang halus, hampir tanpa suara namun memiliki kekuatan
dahsyat luar biasa. Adipati ini cepat angkat tangan kanannya untuk menolak
serangan Wiro.
Namun,
dia jadi terkejut besar ketika merasakan tangannya seperti disambar api, lalu
terpental ke belakang. Tidak menunggu ebih lama Adipati ini segera turunkan
tangan dan cepat menyingkir ke samping. Ketika dia memperhatikan ternyata
tangan kanannya sebatas pergelangan sampai ke ujung-ujung jari telah berubah
menjadi merah dan berdenyut sakit. Cepat dia ini kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Sesaat kemudian denyutan sakit lenyap namun tangan itu masih
kelihatan merah.
“Pemuda
gondrong, jika kau memang benar Pendekar 212 Wiro Sableng maka ini adalah satu
kejadian luar biasa! Selama ini aku mengenal dirimu sebagai seorang pendekar
pembela kebenaran penegak keadilan. Tapi hari ini kau membela tua bangka dajal
pembunuh dan penculik itu!”
“Adipati,
harap maafmu. Aku bukannya menyanggah. Aku kenal betul dengari kakek ini. Dia
memang suka jahil, banyak orang tidak senang karena kemana-mana selalu ngompol
dan menebar bau kencing yang tidak sedap. Tapi soal kejahatan aku berani
bersumpah dia tidak pernah melakukan. Apalagi yang namanya menculik perempuan
hamil. Untuk apa? Kalau dia membunuh seseorang tentu dia punya alasan. Harap
kau suka memerintahkan para perajuritmu untuk melepas dirinya. Lalu kita bicara
secara baikbaik.
“Dari
sikap dan cara bicaramu, aku curiga kau bukan Pendekar 212 sebenarnya. Kau dan
kakek itu tengah berusaha memperdayai diriku! Menyingkir dari hadapanku. Kalau
tidak kau bakal jadi korban kedua setelah tua bangka dajal itu!”
Wiro
berpaling ke arah Setan Ngompol.
“Kek,
mendengar ucapan Adipati ini jangan-jangan kau memang benar telah berbuat
kejahatan. Aku tidak bisa menolongmu. Maafkan kalau aku terpaksa pergi…”
“Wiro!
Tunggu! Kau lebih percaya Adipati itu atau diriku! Kita sudah bersahabat sekian
lama! Kau tahu siapa diriku….”
Wiro
gelengkan kepala.
“Sekali
ini aku mohon maafmu kakek,” ucap Wiro pula. Lalu setelah membungkuk memberi
hormat ke arah Adipati Sidik Mangkurat murid Sinto Gendeng melangkah tinggalkan
tempat itu. Namun baru setengah langkah berada di belakang sang Adipati,
tiba-tiba Wiro membuat gerakan kilat.
Adipati
Sidik Mangkurat hanya melihat cahaya putih menyilaukan dilapis cahaya
kemerahan. Lalu tahu-tahu salah satu dari dua mata Kapak Maut Naga Geni 212
telah menempel di tenggorokannya. Wiro sengaja kerahkan tenaga dalam hingga
mata kapak memancarkan hawa panas yang serta merta memasuki tenggorokan lalu
menjalar ke seluruh tubuh. Saat itu juga Adipati merasa dirinya seperti
dipanggang. Seluruh wajah dan sekujur tubuh serta pakaiannya basah mandi
keringat.
“Adipati,
kapak sakti ini mengandung hawa panas yang bisa melelehkan besi, menghancurkan
batu karang. Jika kau sanggup menahan, masih ada racun jahat yang bisa membuat
sekujur tubuhmu menjadi gosong. Kalau kau masih bisa bertahan, apakah lehermu
sanggup dan punya kekebalan menahan sayatan mata kapak yang punya daya tekanan
lebih dari seratus kati?! Aku tidak mau melakukan semua itu. Asalkan kau mau
membebaskan kakek sahabatku itu! Aku berani menjamin, dia bukan orang jahat
dengan segala tuduhan yang kau ucapkan tadi. Jika memang ada manusia pocong
yang kau katakan itu, aku berjanji membantu untuk mencari dan membekuk batang
lehernya!”
“Manusia
pocong itu adalah dajal tua itu sendiri!” jawab Adipati Magetan dengan suara
keras dan tampaknya tidak takut akan ancaman Wiro.
Murid Sinto
Gendeng tersenyum.
“Jika kau
berpendapat demikian, menyesal sekali kau akan menemui ajal berbarengan dengan
kakek itu!”
Wiro lalu
lipat gandakan tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni 212 memancarkan cahaya putih
menyilaukan. Cahaya merah yang melapisi bagian luar mata kapak tampak lebih
benderang. Adipati Sidik Mangkurat berteriak setinggi langit. Enam perajurit
tercekat. Leher sang Adipati mereka lihat seperti hangus menghitam. Wiro
kendurkan tenaga dalamnya. Hawa panas yang seperti mau melelehkan tubuh Adipati
Sidik Mangkurat surut.
“Bagaimana
Adipati…?” Pendekar 212 berbisik ke telinga sang Adipati.
Mata
Adipati Sidik Mangkurat mendelik. Rahangnya menggembung entah menahan amarah
entah menahan sakit. Dari mulutnya kemudian meluncur perintah..
“Perajurit,
lepaskan orang itu!”
Enam
pedang ditarik. Enam perajurit bersurut mundur.
“Kek,
pilih dua ekor kuda. Buatmu satu, aku satu!”
Setan
Ngompol bangkit berdiri lalu tertawa mengekeh. Seperti yang dikatakan Wiro dia
segera mengambil dua ekor kuda milik orang-orang Kadipaten Magetan. Salah
seekor di antaranya adalah tunggangan Adipati Sidik Mangkurat yang segera
dinaikinya. Kuda ke dua ditariknya mendekati Wiro. Tak lupa dia mengemasi dan
mengambil jubah serta kain putih yang tadi dilemparkan Adipati Sidik Mangkurat.
“Adipati,
antara kita tidak ada permusuhan. Jadi harap tidak ada dendam dalam dirimu
terhadapku! Apa yang aku lakukan hari ini hanyalah untuk menegakkan kebenaran.
Apakah kebenaran yang aku katakan itu memang benar adanya silahkan nanti kau
menyelidik sendiri. Aku menghormati dirimu, untuk itu aku mohon maaf akan semua
kelancanganku tadi. Ditambah yang satu ini!”
Selesai
keluarkan ucapan, dua jari tangan kiri Pendekar 212 bergerak ke tengkuk Adipati
Sidik Mangkurat. Saat itu juga sang Adipati merasakan sekujur tubuhnya kaku
tegang tak bisa bergerak. Wiro tidak tunggu lebih lama. Masih memegang Kapak
Maut Naga Geni 212 di tangan dia melompat ke atas kuda yang disiapkan Setan
Ngompol. Sekali sama-sama menggebrak, keduanya melesat di atas tunggangan masing-masing.
Di sebelah belakang caci maki dan ancaman menyerapah keluar dari mulut Adipati
Magetan.
**************************
DI SATU
pedataran rumput, menjelang sang surya akan tenggelam di ufuk barat. Pendekar
212 Wiro Sableng dan Setan Ngompol hentikan kuda lalu mencari tempat yang enak
untuk duduk. Saat itu Setan Ngompol telah mengenakan jubah putih yang
sebelumnya dibawa oleh Adipati Sidik Mangkurat.
“Kek,
sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Terakhir kali kau membawa Rana
Suwarte dalam keadaan tertotok ke Kota raja. Ada yang memberi tahu orang itu
kabur meloloskan diri. Lalu bagaimana pula ceritanya sampai Adipati Magetan dan
pasukannya mengejar-ngejar dirimu.”
Setan
Ngompol senyum-senyum. Matanya yang jereng berputar beberapa kali.
“Waktu
aku sampai di rumah janda di desa Bantul, hari sudah malam. Rana Suwarte aku
masukkan di sebuah kamar, masih dalam keadaan tertotok. Aku sendiri tidur di
kamar lain….”
“Bersama
janda itu tentunya,” sambut Wiro.
Si kakek
kedipkan mata jerengnya lalu tertawa mengekeh. “Kau belum lihat orangnya, tapi
nada suaramu seperti cemburu. Ha…ha…ha! Janda hebat. Luar biasa. Malam itu aku
benar-benar puas. Tulangtulang tubuhku seperti copot. Malam itu aku baru tidur
menjelang pagi. Gila! Kalau aku bayangkan janda itu. Ha…ha…ha!”
“Kek,
malam itu kau tidak ngompol di atas tempat tidur?”
“Wuallah.
Dalam keadaan darurat seperti itu anuku paling tahu diri. Ha…ha…ha!”
“Ceritakan
kecerobohan apa yang telah kaulakukan sampai Rana Suwarte bisa kabur.”
“Aku
tidak membuat kecerobohan. Dan Rana Suwarte tidak kabur, tapi ada yang membawa
kabur!” Menerangkan. Setan Ngompol. “Totokan yang aku lakukan atas diri orang
itu paling cepat akan punah sendirinya selama tiga hari. Jika dia memang bisa
memusnahkan totokan, pasti dia mencari dan menghajar diriku. Ternyata itu tidak
dilakukannya! Ada orang yang menculiknya. Dan si penculik itu ketinggalan jubah
serta kain putih ini!”
“Kau
sampai tidak mengetahui kejadian itu, bukankah itu satu kecerobohan?”
“Bisa
saja orang menuduhku begitu. Tapi kalau ada orang yang lebih tinggi ilmu
kepandaiannya dariku yang melakukan sesuatu terhadap Rana Suwarte, aku musti
bilang apa?”
“Kau
tetap coroboh, lengah. Karena semalam suntuk lebih mementingkan janda itu dari pada
memperhatikan tawanan.”
Setan
Ngompol pencongkan mulut. Lalu berkata. “Anehnya, di dalam kamar aku menemukan
jubah putih ini bersama kain yang ada ikatannya dan dua lobang di salah satu
sisinya. Aku tidak begitu memperhatikan jubah dan kain putih ini. Kutinggalkan
begitu saja di dalam kamar. Dua minggu aku menginap di rumah janda itu. Siang
tadi, tiba-tiba ada pasukan menggerebek. Aku mengira petugas keamanan dari
Kotaraja yang tengah melakukan pembersihan. Khawatir aku akan ditangkap lalu
dihukum dengan perintah harus mengawini janda itu, tidak pikir panjang walau
aku saat itu cuma pakai kolor butut dan kuyup, aku langsung saja kabur dari
rumah janda itu. Ternyata pasukan yang menggerebek melakukan pengejaran. Dan
ternyata mereka bukan pasukan pembersihan dari Kotaraja, melainkan Adipati
Magetan dan enam orang perajuritnya!”
”Pasal
lantaran apa mereka mengejarmu seperti mengejar maling kesiangan Kek?” tanya
Wiro pula.
“Itu yang
semula aku tidak tahu,” jawab Setan Ngompol. “Ketika aku tersudut di depan jurang
tadi baru aku tahu mereka adalah orang-orang Kadipaten Magetan. Sialan! Aku
dituduh sebagai manusia pocong yang menurut Adipati brengsek itu telah
gentayangan selama beberapa bulan. Menculik perempuanperempuan hamil, membunuh
teman-temannya. Sebagai bukti dia membawa jubah dan kain putih yang mereka
temukan di rumah janda itu. Mereka menuduh pakaian itu adalah milikku. Mereka
tidak pernah tahu kalau di rumah itu sebelumnya ada Rana Suwarte.”
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Aku
percaya kau tidak berbuat kejahatan sekeji itu, Kek. Cuma satu yang aku heran,
bagaimana janda di Bantul itu bisa suka padamu. Padahal kau bukan saja sudah
tua bangka seperti ini tapi juga tukang ngompol, kemana-mana selalu basah kuyup
celananya, bau pesing.”
“Terus
terang aku juga heran, janda gemuk, putih dan cantik itu senang padaku. Entah
mengapa malam kemarin ketika bermesraan aku sempat-sempatnya bertanya. Kau tahu
apa kata janda itu?”
Wiro
gelengkan kepala.
“Katanya
begini. Dari seluruh tubuhku, hanya ada satu yang sangat menarik hatinya. Bukan
saja waktu tidur, tapi setiap dekat denganku, bagian tubuhku itu selalu
dipegangnya, diusap, dibelai-belai. Aduh asyiknya! Nah, kau bisa menerka bagian
tubuhku yang mana yang disukai janda gemuk itu? Ha…ha…ha!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Hendak menjawab tapi tidak tega menyebut. Akhirnya Wiro
hanya memandang ke bagian bawah perut si kakek sambil kepalanya digoyangkan.
“Pasti
yang satu itu Kek.”
Setan
Ngompol tertawa mengekeh.
“Bukan,
bukan yang itu!” katanya sambil mengusap matanya yang basah oleh air mata
saking maraknya tertawa. “Tapi ini!” Si kakek pegang dua kupingnya kiri kanan.
“Janda itu suka pada telingaku yang lebar ini. Apa lagi yang sebelah kanan
terbalik aneh. Menurut dia sejak mengenal diriku dan sering memegang-megang
kupingku, rejekinya datang tidak terduga. Melimpah ruah. Ha…ha…ha!” Setan
Ngompol kembali tertawa bergelak. Dan di bawah perutnya air kencingnya kembali
mengucur.
TAMAT
No comments:
Post a Comment