Api
Di Puncak Merapi
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
" Pangeran!
Telinga kananmu terluka!" Teriak Liris Merah. Gadis ini berlari
mendatangi. Pangeran Matahari langsung merangkul pinggang Liris Merah.
"Hanya luka kecil, mengapa dikawatirkan!" kata sang Pangeran pula.
"Kau tahu, kobaran api merangsang nafsuku. Aku ingin mencumbumu di tengah
kebakaran dahsyat ini!" "Pangeran, aku siap melayanimu,"jawab
Liris Merah yang sudah tergila-gila pada Pangeran Matahari. Lalu tanpa
malu-malu gadis ini tanggalkan pakaian merahnya dan baringkan tubuh di
tanah."Pangeran, cepat. Lakukan sekarang. Tubuhku terasa mulai
panas." "Kekasihku, kau memang hebat. Tidak pernah aku menemui gadis
luar biasa seperti dirimu sebelumnya!" Liris Merah memekik kecil lalu
tarik tangan Pangeran Matahari.
**********************
SATU
WULAN
Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih se-perti diketahui telah mengalami
nasib malang. Diperkosa oleh dua orang anggota Keraton Kaliningrat bernama
Kunto Randu dan Pekik Ireng. Kejadian yang merupakan pukulan sangat hebat itu
telah membuat Wulan Srindi rusak ingatan. Selain itu kecintaannya terhadap Wiro
Sableng menyebabkan pula Wulan Srindi kemana-mana menebar cerita bahwa Pendekar
212 adalah suaminya dan Dewa Tuak adalah gurunya. Dan saat itu dia tengah
mengandung jabang bayi usia tiga bulan hasil perkawinannya dengan Wiro.
Dengan
bantuan lblis Pemabuk yang menyelamatkan dan mengajarkan beberapa ilmu
kesaktian padanya, Wulan Srindi yang kini memiliki kulit wajah berwarna putih
berhasil membunuh salah satu dari dua pemerkosanya yaitu Kuntorandu. Peristiwa
itu meng-gegerkan pimpinan dan pengikut Keraton Kaliningrat. Karena Kuntorandu
menemui ajal di hutan Ngluwer telak-telak di depan mata orang-orang Keraton
Kaliningrat pada saat tengah dilakukan satu pertemuan rahasia.
Dalam
Episode sebelumnya ("Azab Sang Murid") diceritakan bagaimana Wulan
Srindi berhasil pula membunuk pemerkosanya yang kedua yaitu Pekik Ireng. Saat
itu Wiro tengah menghadapi se-rangan puluhan anggota Keraton Kaliningrat. Dia
tergaksa me-ngeluarkan ilmu "Membelah Bumi Menyedot Arwah" yang
di-dapatnya dari Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat dari Negeri
Latanahsilam. Empat belas orang Keraton Kaliningrat, di antaranya dua tokoh
silat bernama Ki Demang Timur dan Ki Demang Barat amblas jatuh ke dalam tanah
yang terbelah. Satu diantara mereka yaitu Pekik lreng diselamatkan oleh seorang
berpakaian hijau yang muncul secara tiba-tiba dan ternyata adalah Wulan Srindi.
Tentu
saja maksud Wulan Srindi.bukan hendak menolong. Pekik lreng dibawa ke satu
tempat. Setelah Wulan Srindi menga-takan siapa dia dan kebejatan apa yang telah
dilakukan Pekik lreng terhadapnya anggota Keraton Kaliningrat itu berusaha
membunuh Wulan Srindi. Pekik lreng tidak menganggap sebelah mata karena dia
memiliki ilmu kebal, tak mempan pukulan sakti tak tembus senjata tajam. Namun
ternyata Wulan Srindi telah mengetahui kelemahan ilmu kebal lawan. Hal ini tak
sengaja diketahuinya ketika dia pernah menempur orang-orang Keraton Kaliningrat
di hutan Ngluwer sehabis terjadi bentrokan dengan awak kapal Cina yang
kehilangan satu kantong kulit berisi madat.
Melihat
lawan mengetahui kelemahan ilmu kebalnya, Pekik lreng jadi leleh nyalinya lalu
ambil langkah seribu. Namun dia tldak mampu lari jauh. Setelah disembur dengan
minuman keras yang menyebabkan kepala dan badannya berlubang hangus, dengan
mempergunakan golok milik Pekik Ireng, sambil berteriak-teriak seperti orang
kemasukan setan Wulan Srindi mencacah sekujur tubuh Pekik Ireng. Luar biasa
mengerikan pembalasan dendam gadis malang yang telah berubah ingatan ini.
Sehabis membunuh Wulan Srindi terduduk menangis di tanah. Mendadak Wulan
hentikan tangisnya. Dia mendengar suara langkah kaki orang mendekati dari
samping kanan. Sebelum sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh
tergelimpang tertelungkup di tanah di hadapannya.
Wulan
Srindi berseru kaget. Lalu menjerit keras ketika mengenali siapa adanya orang
yang tergelimpang.
"Wiro!"
Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar.
"Suamiku,
apa yang terjadi?!" Wiro buka kedua matanya. Malam terlalu gelap dan
pemandangannya agak kabur. Namun dia mengenali suara itu.
"Wulan,
kaukah ini?"
"Betul,
aku Wulan istrimu …" Wiro jadi terdiam mendengar ucapan itu. Lidahnya
mendadak kelu.
"Wiro!
Katakan apa yang terjadi. Mukamu sepucat kain kafan!"
"Aku
… aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran Muda."
"Apa?!"
Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebar-lebar.
"Wiro,
beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?"
"Pertengahan
dada. Tak ada tanda cidera …" Wulan Srindi balikkan lagi tubuh Wiro.
Bagian belakang baju yang robek, dirobeknya lagi lebih besar. Dalam gelap di
bawah cacat panjang bekas sambaran ujung tongkat Sinto Gendeng di punggung
Wiro, Wulan melihat tanda merah besar dilingkari warna biru.
"Kau
terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika dalam beberapa hari kau
tidak mendapatkan obat penangkal, nyawamu tidak tertolong lagi …" Wiro
tertawa. Wulan Srindi tepuk-tepuk pipi Pendekar 212
"Kenapa
kau masih bisa tertawa?" tanya si gadis.
"Aku
tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega …”.
"Gila!"
teriak Wulan Srindi.
"Dengar
Wiro, dengar suamiku! Aku tidak ingin kau mati! Aku tidak mau anakku lahir
tanpa ayah!" Wiro garuk kepala. Mulutnya ingin tertawa bergelak. Namun
dalam hati dia setengah mengeluh setengah memaki.
"Celaka!
Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku dan dia tidak ada ikatan
perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan anakku. Tapi akibat perbuatan bejat
orang-orang Keraton Kaliningrat!"
"Wiro
suamiku," Wulan Srindi lanjutkan ucapan.
"Aku
pernah dihantam pukulan yang sama. lblis Pemabuk membawaku menemui seorang yang
mampu menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari dari
tempat ini? Aku akan membawamu ke tempat orang yang mampu menolong itu."
"Wulan,
aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan keselamatan diriku. Kau mau
menolong. Tapi rasanya aku tak akan sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku
seperti lumpuh. Pemandangan mataku terganggu."
"Kalau
begitu aku akan mendukungmu!"
"Kau
tidak mampu melakukan itu …"
"Harus
mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu?! Kalaupun kita harus
mati bersama itu lebih baik dari membiarkan dirimu dalamkeadaan seperti
ini." Wiro pejamkan mata. Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang
memperlihatkan kebaikan dan rela berkorban untuk dirinya. Dia ingat Eyang Sinto
Gendeng. Dia ingat pada Kapak Naga Geni 212 dan batu sakti yang ada di dalam
tubuhnya. Dua senjata itu diketahui merupakan penangkal racun yang sangat
ampuh. Mengapa kini tidak mampu memusnahkan racun pukulan Pangeran Muda?
Mungkin karena dia telah berlaku kualat pada Eyang Sinto?
Susah
payah Wulan berusaha mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat diatak berhasil
mencoba memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya.
"Wulan,
jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini." Gadis
muka putih itu ingat apa yang dilakukan lblis Pemabuk ketika dia mengalami
cidera akibat pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung. Dia harus melakukan hal
yang sama agar Wiro mampu bertahan lebih lama sebelum mendapat pertolongan.
Maka dengan cepat Wulan Srindi menotok beberapa bagian tubuh sang pendekar.
Akibat totokan muka Wiro yang tadi pucat kelihatan berubah sedikit merah. Namun
di sela bibir sebelah kiri kelihatan ada lelehan darah.
Wulan
terpekik. Dia keluarkan sapu tangan biru muda yang dulu pernah diserahkan pada
Wiro namun kemudian dikembalikan. Dengan sapu tangan itu dia seka lelehan
darah. Dulu dengan sapu tangan itu juga dia menyeka darah di mulut Wiro yang
luka akibat tamparan Sinto Gendeng. Mengingat kejadian yang terulang kembali
ini Wiro menghela nafas dalam dan pejamkan kedua matanya.
"Luka
dalammu lebih parah dari yang pernah aku alami. Apa lagi yang harus aku
lakukan?" Si gadis terduduk di tanah.
"Wiro,
aku akan menyeretmu!" Wulan Srindi belum putus asa.
"Kau
tidak perlu melakukan hal itu. Wulan, pergilah …." Tiba-tiba satu bayangan
aneh melayang turun dari atas pohon besar. Disusul suara perempuan.
"Pendekar
Dua Satu Dua Wiro sableng. Apakah kau berkenan menerima pertolonganku?"
Wiro angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi memperhatikan dengan mata
tak berkesip.
"Siapa?!"
Tanya Wiro .
"Aku
seorang sahabat."
"Bunga?
Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain …"
"Betul,
aku memang bukan Bunga." Bayangan itu berubah makin jelas, membentuk sosok
seorang perempuan berwajah cantik sekali.
"Bidadari
Angin Timur!" Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh
terbaring kembali. Mahluk bayangan tersenyum.
"Bidadari
Angin.Timur berambut pirang. Rambutku hitam. Bidadari Angin Timur berwajah
cantik. Wajahku buruk …" Wiro tatap wajah itu,
”Tidak,
kau tidak buruk. Wajahmu cantik sekali. Ada ketulusan dan kesetiaan dalam
wajahmu …" Kata-kata itu hanya terucap dalam hati.
"Lalu
siapa dirimu sebenarnya? Mengapa bicara berteka-teki?" Wulan Srindi
membuka mulut. Ada rasa curiga bercampur marah tapi juga ada perasaan cemburu.
"Kau
bukan Bidadari Angin Timur atau jejadiannya. Gadis itu sudah mati. Aku tahu
sekali hal itu!" Mahluk cantik berpaling pada Wulan Srindi, tersenyum dan
berkata.
"Oh,
begitu?"
"Jika
kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, lekas menyingkir dari hadapanku!"
Wulan Srindi keluarkan ancaman.
"Sahabat,
saat ini aku belum dapat memberi tahu nama atau menjelaskan siapa diriku."
Menjawab perempuan cantik berujud bayang-bayang. Lalu dia berpaling pada Wiro
dan kembali bertanya.
"Pendekar,
apakah kau bersedia menerima pertolonganku? Kau menderita luka dalam sangat
parah. Jika tidak mendapat pengobatan tubuhmu akan membusuk. Nyawamu tidak akan
tertolong lagi."
"Enak
saja kau bicara!" bentak Wulan Srindi.
"Kau
tahu apa mengenai luka dalam yang diderita suamiku! Lalu kau punya kemampuan
apa untuk mengobatinya!" Mahluk yang dibentak masih bisa tersenyum.
"Aku
memang orang bodoh. Mana punya kemampuan mengobati orang. Namun semua yang akan
aku lakukan semata-mata berdasarkan kuasa Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyembuh. Jika diantara kalian ada yang tidak berkenan menerima Kuasa Sang
Penyembuh maka aku mohon maaf dan saat ini juga aku minta diri dari hadapan
kalian."
"Tunggu
…" Ucap Wiro ketika dilihatnya perempuan cantik bayangan itu hendak
bergerak pergi.
"Jika
kau punya kemampuan menolongku, aku sangat berterima kasih." Perempuan
bayangan melirik ke arah Wulan Srindi Yang dilirik diam saja, mungkin masih
menaruh rasa was-was. Perempuan bayangan lalu minta bantuan Wulan Srindi untuk
mem-balikkan tubuh Wiro. Sebelum melakukan hal itu Wulan Srindi berkata.
"Jika
kau berdusta dan menipu, siapapun kau adanya akan aku pecahkan kepalamu!"
Masih dengan tersenyum perempuan cantik itu menjawab.
"Manusia
biasa memang sering berdusta, acap kali menipu. Tetapi Tuhan tidak pernah
berdusta, tidak pernah menipu." Wulan Srindi terdiam mendengar ucapan
orang. Namun akhirnya dia lakukan apa yang diminta . Perlahan-lahan dia
membalikkan tubuh Wiro hingga terbaring menelungkup. Punggung yang cacat dan
ada tanda merah biru tersingkap lebar. Perempuan bayangan berlutut di sisi
kanan Pendekar 212. Setelah sesaat memandangi punggung pemuda itu maka dengan
suara perlahan tapi cukup jelas terdengar di telinya Wiro dan Wulan Srindi dia
berkata.
"Kitab
Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengo-batan ke delapan ratus enam
belas. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera di
bagian yang berlawanan dari yang dipukul maka ada tiga hal yang harus
dilakukan.
"Tunggu
dulu!" Tiba-tiba Wiro berkata setengah berseru, memotong kata-kata
perempuan bayangan.
"Kau
menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Apa yang kau ketahui tentang kitab itu? Kau
seperti tengah membacanya. Malah kau mampu menyebut halamannya."
"Pendekar,
saat ini sebaiknya kau berdiam diri dulu. Jangan banyak bersuara. Mengenai
pertanyaanmu, biar nanti saja aku menjawab." Kata-kata perempuan bayangan
segera disahuti Wulan Srindi.
"Dia
layak menanyakan. Kitab itu miliknya. Lenyap dicuri orang beberapa waktu
lalu!"
"Sahabat,
kalau kitab itu memang milik Pendekar Dua Satu Dua, satu hari kelak kitab itu
akan kembali padanya. Sekarang apakah aku boleh melanjutkan menolong
dirinya?" Wulan Srindi tidak menjawab. Perempuan bayangan kembali memulai
usahanya untuk menolong Wiro. Dia mengulang ucapannya tadi.
"Kitab
Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengo-batan ke delapan ratus enam
belas. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera di
bagian yang berlawanan dari yang dipukul maka…..” Belum sempat perempuan
bayangan menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba satu bayangan merah laksana
burung raksasa berkelebat menukik dari arah belakang. Wiro yang terbaring
menelungkup dengan muka menghadap ke jurusan datangnya bayangan merah mencium
bahaya, serta merta berteriak.
"Sahabat!
Awas! Ada mahluk aneh membokongmu!" Saat itu juga lima larik cahaya merah
berkiblat angkerl Wiro angkat tangan kanan, bermaksud melepas satu pukulan
sakti untuk menangkis serangan membokong. Namun astaga! Apa yang terjadi?
Tangannya lumpuh, tak sanggup diangkat!
"Celaka!
Aku tak mungkin menolong!" Wulan Srindi sendiri dalam keterkejutannya
masih mampu melepas pukulan Membelah Ombak Menembus Gunung. Ini adalah jurus
pukulan sakti yang dimilikinya sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih. Dia
melancarkan serangan ini karena tidak punya cukup waktu untuk menyembur dengan
minuman keras dalam kendi. Walaupun otaknya tak beres dan ada rasa benci
terhadap perempuan bayangan, namun melihat orang berlaku pengecut, menyerang
secara membokong, gadis ini masih punya pikiran untuk menolong. Wulan Srindi
terpekik. Satu kekuatan dahsyat menerpa dirinya. Membuat gadis ini jatuh
terjengkang lalu bergulingan di tanah. Lima larik sinar merah angker terus
membeset ke arah tubuh sebelah belakang perempuan bayangan.
"Wusss!"
**********************
DUA
HANYA
sekejapan mata lagi lima larik sinar merah itu akan menghantam telak sasaran,
tiba-tiba tubuh perempuan bayangan memancarkan cahaya begemerlap laksana
percikan ratusan bunga api. Suara seperti petir menggelegar menggoncang
seantero tempat lima kali berturut-turut sewaktu lima larik sinar merah
berbenturan dengan ratusan cahaya biru bergemerlap yang memancar keluar dari
sosok perempuan bayangan. Perempuan ini goyangkan dua bahunya. Ratusan bunga
api biru yang terpencar-pencar akibat bentrokan dengan lima larik sinar merah
bergabung membentuk satu lingkaran aneh.
Lingkaran
biru yang begemerlap ini lalu melesat ke arah bayangan merah yang tadi
melepaskan serangan. Satu jeritan keras menyerupai lolongan srigala hutan
terdengar merobek langit. Sosok serba merah mengepul tersungkur di tanah, tepat
di hadapan Wulan Srindi hingga gadis ini berjingkrak dan terpekik!
"Setan
pembokong siapa kau?!" Wulan Srindi membentak. Dia cepat mengambil sebuah
kendi tanah lalu meneguk isinya. Mulut siap menyembur kearah orang yang tergelimpang
di tanah. Tapi tak jadi karena dia keburu melengak ngeri melihat keadaan orang
itu yang ternyata adalah seorang nenek berambut dan bermuka merah, mengenakan
pakaian selempang kain warna merah robek tak karuan rupa. Bagian dada yang
tersingkap memperlihatkan payu dara sebelah kiri yang sangat besar, berbeda
dengan payu dara sebelah kanan yang peot keriput. Sepasang mata merah mendelik
besar seperti mau melompat keluar dari rongganya. Mulut keluarkan suara erangan
disertai kucuran darah bewarna hitam! Perempuan cantik bayangan tidak beranjak
dari tempatnya berlutut di samping kanan Wiro. Mulutnya berucap perlahan.
"Antara
kita tak ada silang sengketa atau dendam sakit hati. Mengapa kau menyerangku?
Salahkah kalau aku melindungi diri dari perbuatan jahatmu tadi?" Sosok
yang tergeletak di tanah keluar-kan suara menggembor parau. Mulut megap-megap,
tenggorokan turun naik. Sepertinya dia hendak menyemburkan ucapan kemarah-an
namun tak mampu dikeluarkan. Tiba-tiba didahului oleh satu jerit-an merobek langit,
tubuh mahluk serba merah itu meledak tercabik-cabik, berubah menjadi tujuh
potongan daging yang ditancapi tulang belulang dan dikobari api, mencelat ke
udara. Sebelum hilang dari pemandangan tujuh potongan tubuh yang dikobari api
itu menyatu kembali, membentuk sebuah bola api besar dan melesat ke langit
hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Semua terjadi begitu cepat dan luar
biasa mengerikan. Untuk beberapa ketika kesunyian menggantung di udara.
Di tempat
jauh, di sebuah taman di halaman belakang gedung Kepatihan, pada saat sosok
merah meledak dan tercabik menjadi tujuh bagian, Wira Bumi yang baru saja
menghabiskan secangkir kopi hangat dan bermaksud masuk ke dalam gedung
tiba-tiba tersentak kaget. Dia melihat kiblatan cahaya merah tiga langkah di hadapannya.
Bersamaan dengan itu di telinganya mengiang suara raungan panjang menggidikkan.
Dia mengenali benar suara itu.
"Nyai
… ?" ucapnya dengan bibir bergetar. Dia tertegun beberapa ketika lalu
gelengkan kepala.
"Apa
yang.terjadi dengan diriku?" Dengan hati tak enak Patih Kerajaan ini
melangkah masuk ke dalam gedung. Kembali ke tempat kejadian.
"Hai!
Kau tahu siapa mahluk jahanam tadi? Manusia atau setan?” Wulan Srindi memecah
kesunyian, bertanya pada perempuan bayangan.
"Setahuku
dia adalah manusia yang telah pindah ke alam roh, menemui kematian puluhan
tahun silam. Penghuni pekuburan Kebonagung. Kalau tidak salah dia dipanggil
dengan nama Nyai Tumbal Jiwo …"
"Heran,
bagaimana kau tahu semua itu?" ucap Wiro sambil mencoba menggerakkan
tangan kiri kanan tapi tetap tergontai lumpuh. Mahluk perempuan bayangan hanya
tersenyum.
"Aku
pernah mendengar nama itu. Nyai Tumbal Jiwo adalah mahluk jahat guru Wira Bumi,
yang sekarang menjabat Patih Kerajaan …. Apa yang dikatakan Wiro ini adalah
sesuai dengan yang didengarnya dari Djaka Tua sebelum dibunuh oleh Cagak
Lenting alias Si Mata Elang atas perintah Patih Wira Bumi. Cagak Lenting
sendiri kemudian dibunuh oleh Nyi Retno Mantili. (Baca Episode sebelumnya
berjudul "Azab Sang Murid")
"Pendekar
apakah aku bisa melanjutkan pekerjaan mengobati pendekar …"
"Namaku
Wiro. Jangan terus-terusan memanggilku pendekar" ucap Wiro yang saat itu
terbaring menelungkup. Mahluk bayangan tersenyum duduk bersila di samping kanan
Wiro. Mata menatap ke punggung yang tersingkap, mulut berucap.
"Kitab
Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengobat- an ke delapan ratus enam
belas. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera di
bagian yang berlawanan dari yang dipukul maka beradi dia telah terkena satu
pukulan mengandung racun jahat yang bisa membuat tubuhnya busuk dan membunuhnya
dalam waktu. tiga hari. Untuk. menolongnya ada tiga hal yang hams dilakukan.
Pertama memohon doa berdoa pada Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang
cidera disembuhkan dari cideranya. Kedua buat guratan tanda silang tepat di
atas bagian tubuh yang cidera. Guratan bisa dilakukan dengan mempergunakan
kayu, batu tapi akan lebih baik jika dilakukan dengan ujung kuku tangan
disertai sedikit aliran tenaga dalam atau hawa sakti. Ketiga rebus empat helai
daun sirih. Air remasan daun diminumkan , empat helai daun sirih lalu
ditempelkan di bagian tubuh orang yang cidera dengan ujung daun mengarah ler,
kilen, kidul, dan wefan."
Setelah
mengeluarkan ucapan itu perempuan cantik dalam ujud bayangan memandang pada
Wiro dan Wulan Srindi.
"Mari
kita berdoa pada Yang Kuasa dalam hati masing-masing, memohon kesembuhan."
Mahluk bayangan berujud perem-puan cantik ini pejamkan mata. Wiro melakukan hal
yang sama walau dalam hati dia bertanya-tanya.
"Mahluk
aneh mengenal Tuhan. Apakah Tuhannya sama de-ngan Tuhanku?". Sementara
mahluk bayangan dan Wiro berdoa memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa, Wulan
Srindi teguk minuman keras dalam kendi. Mulutnya kemudian berucap perlahan.
"Gusti
Allah, aku memohon di hadapanMu, sembuhkan suamiku." Tak selang berapa
lama perempuan bayangan dan Wiro membuka mata masing-masing. Perempuan bayangan
gerakkan tangan kanan, diletakkan di punggung Wiro. Dengan ujung kuku ibu jari
tangan kanan dia menggurat, membuat tanda silang tepat di atas punggung yang
cidera. Begitu tanda silang berbentuk, dari bagian tubuh yang cidera membersit
darah kental berwarna merah kehitaman disertai kepulan asap,menebar bau tak
enak.
Wiro
sendiri saat itu menggigit bibir kuat-kuat menahan sakit luar biasa. Dia merasa
seolah dicengkeram tangan raksasa tak kelihatan yang hendak menjebol dan
membongkar punggungnya. Bagaimanapun Wiro berusaha bertahan akhirnya meledak
juga jeritannya.
"Kurang
ajar! Kau bukan menolong! Kau hendak membunuh suamiku!" teriak Wulan
Srindi lalu melompaf menerjang ke arah perempuan bayangan. Tendangan kaki
kanannya melesat ke kepala orang. Mahluk bayangan angkat tangan kirinya.
Telapak tangan dikembang, di arahkan pada Wulan Srindi. Mulutnya berucap.
"Jangan
bergerak, jangan bersuara. Atau pendekar ini tak – akan dapat
disembuhkan!" Dalam marahnya Wulan Srindi tidak perdulikan ucapan orang.
Dia malah lipat gandakan tenaga dalam sambil tangan kiri mengambil sebuah kendi
yang tergantung di pinggang. Namun semua gerakan itu mendadak sontak terhenti.
Serangkum angin bersiur halus, keluar dari telapak tangan perempuan bayangan.
Wulan Srindi merasa ada angin dingin menyapu sekujur tubuhnya. Sat itu juga dia
tak mampu bergerak lagi. Perlahanlahan sosoknya yang tadi mengapung di udara turun
ke bawah, terputar membelakangi Wiro. Kaki kiri menginjak tanah, kaki kanan
masih dalam sikap menendang sementara tangan kanan terkulai tak bergerak di
samping dan tangan kiri dalam sikap hendak mengambil kendi di pinggang.
"Jahanam
keparat! Kau apakan diriku?!" Teriak Wulan Srindi. Namun teriakan itu
hanya bergema di dalam hati karena jangankan berteriak, berkatapun dia tak
mampu! Lucu sekali keadaan Wulan Srindi. Tidak beda dengan sebuah patung. Wiro
yang menyaksikan kejadian itu kasihan ada geli juga ada.
Kepulan
asap di punggung Wiro perlahan-lahan sirna dalam kegelapan. Cidera dengan tanda
merah dilingkari warna biru tidak kentara lagi. Namun daging punggung di bagian
yang cidera itu kelihatan membengkak ke atas sementara darah merah kehitaman
masih terus mengucur.
"Pendekar,
aku telah melakukan apa yang bisa aku lakukan. Tinggal kini mencari empat
lembar daun sirih. Kurasa hal itu bisa dikerjakan oleh sahabat berpakaian hijau
yang membekal banyak kendi di pinggangnya." Habis berkata begitu perempuan
bayangan bergerak bangkit. Namun sebelum berdiri, dalam keadaan setengah
berjongkok dia dekatkan wajahnya ke telinga kiri Wiro dan berbisik.
"Pendekar
ada sesuatu yang hendak aku sampaikan padamu. Harap kau mendengar saja dan
jangan bicara. Kitab Seribu Pengobatan milikmu ada padaku. Sebelum mati Hantu
Malam Bergigi Perak berpesan agar kitab itu diserahkan padamu. Harap kau tidak
gusar. Saat ini aku tidak dapat menyerahkan kitab padamu. Ada yang aku
kawatirkan. Kalau berkenan datanglah ke Bukit Menoreh pada purnama hari ke
empat belas minggu depan. Cari pohon jati yang doyong ke timur. Tunggu di situ.
Tepat pada pertengahan malam kau akan mendengar tanda berupa suara burung
perkutut tiga kali berturut-turut. Pada saat kita bertemu kitab akan aku
serahkan padamu. Usahakan datang seorang diri. Karena kalau ada orang ke tiga
keadaan bisa berubah nanti. Aku pergi sekarang. Semoga kau lekas sembuh."
Mahluk
bayangan berujud perempuan cantik usapkan tangan kanannya di atas kening Wiro.
Pemuda ini merasa dadanya yang sejak tadi sesak menjadi lega. Rasa sakit di
punggung jauh berkurang. Pemandangannya yang tadi guram menjadi lebih jernih.
Wiro berusaha membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. Namun perempuan bayangan
cepat memberi tanda agar Wiro tidak mengeluarkan suara. Sebelum meninggalkan
tempat itu perempuan bayangan angkat tangan kirinya. Telapak yang terkembang
diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan merasa angin dingin menyapu dirinya. Saat
itu juga tubuhnya yang kaku bisa bergerak dan mulut yang bisu mampu bersuara
kembali. Dia membalikkan badan hendak mendamprat namun perempuan bayangan tak
ada lagi di tempat itu. Wulan Srindi melompat.
‘Wulan,
kau mau kemana?" tanya Wiro.
"Aku
mau mengejar setan betina tadi!" Jawab Wulan Srindi.
"Jangan
lakukan itu." Langkah Wulan terhenti. Dia meman-dang wajah Wiro sejurus
lalu berkata.
"Kalau
begitu biar aku pergi mencari daun sirih untuk obatmu. Sebelum matahari terbit
aku akan kembali."
"Terima
kasih kau mau menolongku …“ Wulan Srindi menyeringai.
"Hantu
perempuan itu saja mau menolongmu. Apa lagi aku yang istrimu!" Wiro
terdiam. Tapi kemudian dia tertawa gelak-gelak.
"Kenapa
kau tertawa? Apa yang lucu?!" tanya Wulan Srindi.
"Tidak
ada yang lucu. Saat ini sepertinya aku kepingin jadi gila!"
"Oala.
Kalau begitu bertambah satu lagi manusia sinting di dunia ini!" ucap Wulan
Srindi. Sambil tertawa cekikikan gadis ini tinggalkan tempat itu. . Seperti
yang dijanjikannya, sebelum sang surya muncul di ufuk timur Wulan Srindi
kembali ke tempat dimana dia meninggalkan Wiro. Namun kagetnya bukan alang
kepalang ketika mendapatkan pemuda yang dianggapnya sebagai suaminya itu tak
ada lagi di situ.
"Pasti
ini pekerjaan setan perempuan itu! Jahanam betul Kemana aku harus
mencarinya?!" Wulan Srindi marah sekali. Dia ambil sebuah kendi yang
tergantung di pinggang. Meneguk minuman keras dalam kendi hingga habis. Kendi
yang kosong lalu dibanting hingga amblas masuk ke dalam tanah! Seperti orang
kesetanan dari mulutnya keluar jerit berkepanjangan.
**********************
TIGA
DALAM
keadaan tubuh lunglai tak mampu bergerak dan didera demam panas Pendekar 212
Wiro Sableng menyadari kalau saat itu dia dipanggul orang dan dibawa lari di
kegelapan malam. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam namun akibatnya aliran
darahnya di beberapa tempat tertahan. Tak sanggup bertahan akhirnya Wiro jatuh pingsan.
Dua hari
kemudian. Didahului satu tarikan nafas panjang perlahan-lahan Wiro membuka
kedua matanya. Dia jadi terkesiap ketika kemanapun dia memutar mata hanya
kegelapan yang terlihat. Telinganya menangkap suara dua perempuan bicara
perlahan-lahan.
"Gila!
Apakah aku sudah buta? Atau sudah mati … Jangan jangan aku berada dalam liang
kubur. Mengapa sangat gelap?" ucap Pendekar 212 dalam hati. Saat itu dia
terbaring menelungkup di atas satu benda keras dan dingin. Wiro coba gerakkan
tangan kanan dan berusaha bangun. Ternyata dia tidak mampu melakukan, Dia
gerakkan kaki kiri. Juga tidak bisa. Coba dongakkan kepala. Tidak berhasil.
Wiro sadar.
"Ada
orang yang menotok tubuhku. Siapa? Dua perempuan itu? Dimana mereka? Gelap
sialan! Aku tak bisa melihat apa-apa!" Lapat-lapat dikejauhan Wiro
mendengar suara air memancur Lalu kembali ada suara dua orang perempuan
berbisik-bisik. Walau cuma dekat tapi karena sangat gelap dia tidak bisa
melihat kedua orang itu.
"Hai!
Aku berada dimana? Siapa yang barusan bicara? Apa yang terjadi dengan
diriku?" Wiro keluarkan ucapan. Suara berbisik serta merta lenyap. Wiro
jadi penasaran. Tubuhnya terasa tidak panas lagi. Dia coba gerakkan tangan dan
kaki. Tidak mampu. Ter-nyata dia dalam keadaan tertotok. Wiro coba mengingat-ingat.
Ber-mula ketika di satu tempat dia ditinggal oleh Wulan Srindi. Gadis itu pergi
untuk mencari daun sirih guna mengobati dirinya. Dalam keadaan tubuh cidera dan
digerayangi demam panas tiba-tiba berke-lebat satu bayangan dan tahu-tahu dia
telah berada di atas bahu seseorang, dibawa berlari dalam gelapnya malam sampai
akhirnya dia jatuh pingsan.
"Aku
tahu ada dua orang perempuan di tempat ini."Wiro keluarkan ucapan.
"Apakah
kalian yang menolong dan membawaku ke sini. Kalau kalian memang punya niat baik
menolongku, aku mengucap-kan terima kasih. Tapi mengapa tidak mau unjukkan
rupa? Mengapa menotokku segala? Dan ini tempat apa adanya? Mengapa gelap
sekali. Kuburanpun tidak segelap ini!"
Dari
samping kiri terdengar suara orang menahan tawa. Disusul suara ucapan dari
samping kanan.
"Kau
tahu gelapnya kuburan. Memangnya sudah pernah di kubur?! Apa sudah pernah
mati?! Berarti saat ini kau adalah hantu jejadian! Hik..hik!" Pendekar 212
memaki dalam hati.
"Dia
sudah siuman dan mulai banyak bicara. Mungkin perlu kita totok untuh membungkam
mulutnya!" Dalam gelap Wiro pejam-kan mata sesaat. Dia coba
mengingat-ingat. Dia rasa-rasa pernah mendengar suara itu. Tapi lupa dimana,
apa lagi mengenali orangnya. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat kembali akan
cidera parah yang dialaminya. Dia berkata.
"Aku
harus keluar dari tempat ini! Aku tak mau menemui ajal di sini!"
"Eh,
memangnya kau tahu kalau dirimu mau mati?!"
"Keluarkan
aku dari sini atau …"
"Tak
ada gunanya mengancam. Kau dalam keadaan tertotok!"
"Kalau
begitu lekas lepaskan totokan di tubuhku. Kalau tidak
kau akan
menyesal seumur-umur!"
"Hik
… hik, mengancam lagi!"
"Dengar,
jika terjadi sesuatu dengan disiku, kalian berdua harus bertanggung jawab
…."
"Kami
membawamu kesini. Apa itu bukan satu bukti tanggung jawab?!"
"Tanggung
jawab kentut! Aku dalam keadaan cidera berat. Aku butuh pengobatan. Seseorang
tengah menolongku. Tapi kalian menculik dan membawaku ke tempat celaka ini! Aku
akan menemui ajal! Aku akan segera mati!" Wiro berteriak keras hingga
ruangan batu bergetar. Dadanya turun naik. Lalu mulutnya berucap perlahan.
"Aku
tidak takut mati. Tapi aku tidak mau mati di tempat celaka ini. Keluarkan aku
dari sini!"
"Pendekar
Dua Satu Dua! Kami tahu semua apa yang terjadi dengan dirimu. Kami telah melakukan
yang terbaik untukmu. Yang Maha Kuasa masih menolong mu. Kini saatnya kau
membalas budi kebaikan kami." Salah satu dari dua perempuan dalam gelap
keluarkan ucapan.
"Kami
… kami! Siapa kalian? Mengapa menyekap aku di tempat gelap ini! Mengapa kalian
tidak berani unjukkan muka?! Jelas membekal niat tidak baik!"
"Siapa
bilang kami tidak berani unjuk muka!” Tiba-tiba sebuah obor menyala. Tempat itu
kini jadi terang benderang. Sepasang mata Wiro berputar. Temyata dia berada di
sebuah ruangan batu. Saat itu dia terbaring menelungkup di atas sebuah
ketiduran terbuat dari batu, tanpa baju, hanya mengenakan celana. Pandangan
Wiro segera saja membentur dua sosok tubuh dibalut pakaian merah dan biru,
bersanggul digulung di atas kepala, berwajah cantik jelita.
"Wong
edan! Kalian rupanya!" ucap Pendekar 212 setengah berteriak begitu
mengenali. Jengkel sekali tapi juga merasa gembira. Dua orang itu ternyata
adalah Liris Merah dan adiknya Liris Biru, murid Hantu Malam Bergigi Perak yang
telah menemui ajal di tangan Sinto Gendeng. Keduanya memperhatikan Wiro sambil
senyum-senyum. Seperti dituturkan sebelumnya dua gadis itu membawa jenazah
Hantu Malam Bergigi Perak ke Goa Cadasbiru di Kaliurang. Namun di tengah jalan
keduanya berubah pikiran. Jenazah sang guru mereka kubur di sebuah bukit kecil
lalu keduanya kembali ke tempat dimana Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal.
Tidak terduga di satu tempat mereka menemui Pendekar 212 dalam keadaan cidera
berat tengah ditolong oleh Wulan Srindi.
"Setelah
melihat kami, apa kau masih punya pikiran bahwa kami membekal niat jahat?"
Bertanya Liris Biru.
"Kalian
menculik dan membawa aku ke tempat ini. Kalian juga menotok tubuhku! Siapa yang
tidak akan punya dugaan kalau kalian memang punya niat jahat?!" Tukas
Pendekar 212. Lalu menyam-bung ucapannya.
"Aku
jadi bingung. Kalau kalian memang orang-orang jahat mengapa dulu
menciumku?" (Baca serial Wiro Sableng episode sebelumnya berjudul
"Nyi Bodong") Liris Merah dan Liris Biru jadi kemerahan wajah
masing-masing mendengar kata-kata pemuda itu.
"Kalau
kami memang orang-orang jahat, seharusnya pada saat pertama kali kami menemuimu
tergelimpang di tanah dalam keadaan tak berdaya, kami sudah membunuhmu tapi
kami punya alasan kuat untuk menghabisi nyawamul" Liris Merah keluarkan
ucapan.
"Hebat!
Dosa kesalahan apa yang telah aku buat hingga enak saja kalian mau
membunuhku?!"
"Bukan
kau yang punya dosa! Tapi gurumu!" jawab Liris Biru.
"Guruku?
Maksud kalian Eyang Sinto Gendeng?" Wiro kere-nyitkan kening. Hendak
menggaruk kepala tapi tidak bisa. Liris Merah melangkah lebih dekat ke
pembaringan batu.
"Dengar,"
ucap si gadis.
"Gurumu
Sinto Gendeng telah membunuh guru kami Hantu Malam Bergigi Perak! Keji
sekali!" Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang. Kalau saja tidak dalam
keadaan tertotok, Wiro pasti sudah melesat melompat mendengar ucapan Liris
Merah itu.
"Aku
tidak percaya! Jangan kau bicara tak karuan! Beraninya memfitnah guruku!"
Teriak Wiro. Kini Liris Biru yang melangkah mendekati pembaringan batu.
"Kami
memang tidak melihat peristiwanya. Tapi ada seorang
menyaksikan
kejadian itu …."
"Siapa?"
tanya Wiro dengan suara bergetar.
"Seorang
kakek bermata belok yang salah satu dari dua telinganya terbalik! Tukang beser
bernama Setan Ngompol!" Jawab Liris Biru.
"Ah,
kakek itul Mungkin saja dia salah melihat. Dia sudah tua matanya sudah mulai
rabun. ….” Liris Merah mencibir.
"Dia
memang sudah tua, tapi matanya tidak rabun apa lagi butal Dan ucapannya tidak
dusta!"
"Kalau
kalian merasa yakin guruku Eyang Sinto Gendeng yang membunuh guru kalian, lalu
mengapa kalian tidak segera saja membunuhku? Malah sebaliknya menolongku?"
"Kalau
saat ini kau memang minta mati, kami tidak segan-segan melakukannya!" kata
Liris Merah pula dengan menahan amarah. Wiro terdiam tapi otaknya berjalan.
Kalau dua orang gadis itu tidak membunuhnya berarti ada sesuatu yang mereka
harapkan. Akhirnya Wiro berkata.
"Aku
tidak bisa percaya begitu saja kata-kata kalian. Aku harus menemui Setan
Ngompol. Aku harap kalian segera melepas-kan totokan di tubuhku!"
"Dasar
sableng. Mau enaknya sendiri. Tidak tahu terima kasih
menerima
budi orang …" ucap Liris Merah. Gadis ini mendekati Wiro lalu dengan dua
jari tangan kanannya dia menusuk dua titik di punggung si pemuda. Saat itu juga
totokan yang membuat kaku tubuh Wiro musnah.
"Totokan
sudah kulepas! Kalau kau mau pergi silahkan pergi sekarang juga!" ucap
Liris Merah pula dengan suara keras lantang. Wiro atur aliran darah dan
kerahkan tenaga dalam. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke udara lalu melagang
turun, berdiri senyum-senyum di antara dua gadis cantik Liris Merah dan Liris
Biru.
"Tak
perlu cengengesan segala. Kau bilang mau pergi. Kenapa masih jual tampang di
sini?!" Kata Liris Merah sambil berdiri berkacak pinggang. Wiro tertawa.
"Sebelum
pergi, aku perlu bicara dulu."
"Bicara
apa?" tanya Liris Biru. Wiro usap-usapkan telapak tangannya satu sama
lain.
"Pertama,
aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian berdua karena membawaku ke sini.
Aku merasa telah menerima budi sangat besar. Kedua aku mohon maaf kalau tadi
telah bicara keras dan kasar pada kalian berdua …"
"Hemmm,
aneh juga. Tadi kau marah-marah dibawa kesini. Sekarang malah berterima kasih
dan minta maaf segab. Sepertinya minta dikasihani! Begitulah manusia, berbuat
seenaknya dulu baru kemudian minta maaf!" Tukas Liris Merah pula. Wiro
cuma menyengir. Tangan kanannya bergerak ke punggung, pada bagian yang cidera
bekas pukulan Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat. Dia merasa ada sesuatu
menempel di punggung itu. Diambilnya lalu diperhatikan. Wiro terkejut. Yang
dipegangnya saat itu adalah selembar daun sirih yang telah layu, berwarna
kehitaman. Wiro meraba lagi ke punggung. Sekali ini diadapatkan tiga lembar
daun sirih sekaligus. Langsung saja dia ingat kejadian dan ucapan perempuan
cantik bayangan.
",…empat
helai daun sirih Ialu ditempelkan di bagian tubuh orang yang cidera dengan
ujung mengarah ke ler, kilen, kidul dan wetan …. "
"Kalian
berdua, Liris Merah, Liris Biru …" ucap Wiro sambil memandang dari daun
sirih dan pada dua gadis silih berganti.
"Kalian
telah mengobati diriku?" Wiro merasa yakin kalau memang kedua gadis cantik
itu yang telah menolong mengobatinya karena saat kejadian Wulan Srindi telah
meninggalkan dirinya untuk mencari daun sirih yaitu sesuai dengan petunjuk
perempuan bayangan.
"Tadi
aku sudah mengatakan. Kami tahu semua yang terjadi. Dan kami berdua telah
melakukan yang terbaik untukmu." Kata Liris Merah dengan wajah asam. Wiro
menggaruk kepala. Ini pertama kali dia menggaruk dan terasa sedap sekali. Puas
menggaruk dia berkata.
"Kalau
tidak keberatan tolong jelaskan apa yang terjadi dan apa yang telah kalian
lakukan." Liris Merah berpaling pada adiknya Liris Biru. Liris Biru
kemudian menerangkan.
"Kami
datang di tempat kau tergeletak pada malam dua hari lalu …."
"Apa?!
Jadi aku berada di tempat ini sudah selama dua hari?"
memotong
Wiro. Liris merah anggukkan kepala. Lalu meneruskan penjelasannya.
"Kami
datang pada saat kau roboh di samping seorang gadis yang pinggangnya dipenuhi
kendi. Tak jauh dari situ ada satu sosok lelaki yang sudah jadi mayat dengan
tubuh hancur seperti dicincang. Siapa adanya gadis berdandanan aneh itu?"
Liris Biru bertanya sambil melirik melirik pada kakaknya.
"Namanya
Wulan Srindi. Sengsara yang amat sangat membuat jalan pikirannya berubah. Dia
diambil murid oleh lblis Pemabuk. Katakan, apa yang kalian ketahui selanjutnya
…"
"Gadis
itu berusaha keras menolongmu tapi tidak bisa. Lalu muncul satu mahluk aneh.
Perempuan cantik berbentuk-bayangan. Aku dan kakakku mendengar semua apa yang
diucapkan mahluk bayangan itu untuk mengobatimu. Pokoknya kami mendengar semua
pembicaraan kalian. Mahluk ini kemudian menolong mengobati cidera di
punggungmu. Namun masih diperlukan empat lembar daun sirih untuk menuntaskan
pengobatan. Ketika mahluk itu melenyapkan diri dan gadis bernama Wulan Srindi
meninggalkanmu untuk mencari daun sirih, kami membawamu pergi. Kau kami bawa
kesini. Tempat ini adalah Goa Cadasbiru, terletak di Kaliurang, tempat kediaman
kami bersama mendiang guru …." Wiro angguk-anggukkan kepala.
"Tadi
aku tidak tahu berada dimana. Sekarang setelah tahu aku sangat bersyukur
…." Liris Biru meneruskan keterangannya.
"Sesuai
ucapan mahluk bayangan kami cari empat lembar daun sirih. Kemudian kami
tempelkan di punggungmu yang cidera. Tubuhmu mengepulkan asap hitam. Dari cidera
di punggungmu membersit darah kehitaman yang kemudian secara aneh lenyap
sendirinya. Selama dua hari dua malam kau tergeletak menelungkup di atas
pembaringan batu itu, terserang demam panas. Kau sering mengigau,
berteriak-teriak, memukul dan menendang. Kami terpak-sa menotokmu. Sekarang kau
telah sembuh."
Wiro
rapatkan dua tangan di atas kening, membungkuk dalam-dalam seraya berkata.
"Aku
berhutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Katakan bagaimana aku bisa
membalasnya."
"Kami
hanya ingin kau menjawab beberapa pertanyaan." Jawab Liris Merah pula.
"Pertama,
siapa adanya perempuan cantik berbentuk bayangan itu?" Wiro menggaruk
kepala.
"Aku
sendiri tidak kenal padanya. Tapi dia seperti kenal padaku."
"Aku
tidak tahu apa kau berdusta atau tidak." ujar Liris Merah.
"Pertanyaan
kedua," Liris Biru yang berucap.
"Gadis
bernama Wulan Srindi itu memanggilmu dengan sebutan suamiku. Apakah dia
istrimu? Memangnya kau sudah kawin?" Wiro garuk kepala lalu menggeleng.
"Dia
bukan istriku, aku bukan suaminya …."
"Tapi
kabarnya dia sudah hamil tiga bulan!" Potong Liris Merah dengan unjukkan
wajah sinis.
"Aneh
juga! Tidak dikawini tapi bisa hamil!" ucap Liris Biru setengah mengejek.
Lalu tertawa cekikikan.
"Memang
aneh. Seperti aku katakan tadi akibat derita sengsara yang tak sanggup
dihadapinya, Wulan Srindi rusak jalan pikirannya. Sebelumnya dia mengaku
sebagai murid Dewa Tuak. Lalu kemana-mana menebar ucapan bahwa aku adalah
suaminya. Malah dia mengatakan kalau sudah hamil tiga bulan. Bahkan semua itu
pernah dikatakannya pada guruku Eyang Sinto Gendeng. Aku kasihan padanya, tapi
tak bisa berbuat apa …."
"Derita
sengsara apa yang begitu hebat hingga membuat dirinya rusak pikiran seperti
itu?" Bertanya Liris Biru.
"Dia
diperkosa …” Jawab Wiro.
Liris
Merah dan Liris Biru saling pandang dan sama-sama terdiam. Akhirnya Liris Merah
membuka mulut
"Waktu
mengobati dirimu, mahluk bayangan menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Yang kami
ingin tahu dimana beradanya kitab itu sekarang?"
"Aku
melihat mahluk bayangan itu berbisik padamu. Apa yang dibisikkannya?"
Liris Biru ikut ajukan pertanyaan. Wiro menggaruk kepala, mengingat-ingat.
"Saat
itu dia mengatakan bahwa Kitab Seribu Pengobatan ada padanya dan kelak akan
diserahkan padaku."
"Kapan?
Dimana akan diserahkan?" Desak Liris Merah. Walau memang sudah ada
perjanjian di satu tempat dengan mahluk bayangan namun Wiro tidak mau memberi
tahu.
"Kalian
berdua, aku telah berhutang budi dan nyawa pada kalian. Aku ingat cerita kalian
tempo hari. Kalian punya kelainan. Tidak tahan hawa panas. Dengar, jika kitab
itu aku dapatkan, aku berjanji akan menyerahkan pada kalian."
"Siapa
percaya janjimu!" ucap Liris Merah.
"Sahabatku,
salah satu perbuatan baik dalam hidup ini adalah saling percaya. Mana mungkin
aku berdusta pada orang-orang yang telah menyelamatkan nyawaku. Aku harus pergi
sekarang. Tolong tunjukkan jalan keluar ….." Liris Merah kesal tapi
tudingkan ibu jari tangan kirinya ke arah kanan. Wiro membungkuk. Mengucapkan
terimakasih lalu melangkah cepat kearah yang ditunjuk. Lima langkah bergerak
tiba-tiba Liris Biru berkelebat menghadang.
"Ada
apa?" tanya Wiro heran. Liris Biru angkat tangan kanannya. Di tangan itu
dia memegang sebuah benda terbuat dari perak yang segera dikenali Wiro.
"Tusuk
konde perak. ltu milik guruku. Bagaimana bisa berada padamu? "
"Kami
temukan tersemat di baju bututmu waktu kami menggeledah sekujur tubuhmu!"
Menerangkan Liris Biru. Wiro terkejut.
"Apa?!
Kalian menggeledah sekujur tubuhku?!" ucap pendekar sambil tekap dada lalu
tekap bagian di bawah perutnya. Liris Merah dan Liris Biru langsung merah wajah
masing-masing.
"Kami
bukan gadis murahan! Kami cukup tahu peradatan sopan santun waiau saat itu kau
dalam keadaan pingsan!" kata Liris Merah pula. Liris Biru kemudian
angsurkan tusuk konde perak yang segera diambil oleh Wiro.
"Terima
kasih. Kalian berdua baik sekali. Hutang budiku tambah besar." Pendekar
212 langsung melanjutkan langkahnya. Namun sebelum berkelebat pergi pemuda ini
lebih dulu mencium pipi kiri Liris Biru. Untuk beberapa lamanya Liris Biru
tegak tertegun sambil mendekap pipinya yang bekas dicium sementara sang kakak,
Liris Merah, memperhatikan dengan pandangan tidak senang. Lalu dia melangkah
mendekati adiknya dan berkata.
"Adikku,
terus terang aku tidak percaya pada semua ucapan Pendekar Dua Satu Dua. Terutama
janjinya akan menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus mengikutinya. Aku
punya firasat dia tengah menuju ke satu tempat dimana kitab itu berada."
"Terserah
padamu, kakak. Tapi ingat sudah saatnya kita berendam di telaga, membersihkan
diri di air pancuran. Tidakkah kau merasa kalau tubuh kita mulai panas?
Sebaiknya kita mendinginkan diri dulu …."
"Kalau
kita mendinginkan diri lebih dulu, pemuda itu sudah lari jauh. Aku akan
berusaha mencari telaga di tengah jalan."
"Kalau
begitu aku ikut bersamamu." Kata Liris biru pula.
"Tidak,
kau tunggu di sini. Apa kau lupa di tempat ini kita menyimpan benda sangat
berharga?" Walau menduga-duga apa itu alasan sebenarnya Liris Merah
menolak dia ikut serta akhirnya Liris Biru anggukan kepala mengalah.
"Pergilah.
Hati-hati …." Setelah Liris Merah pergi, sang adik masih tegak di
tempatnya semula. Hatinya berucap.
"Aku
lihat wajah kakak tadi. Menunjukkan rasa tidak senang. Ada bayangan rasa
cemburu. Apakah dia sudah jatuh cinta pada pemuda itu. Tapi mengapa tadi dia
selalu bicara keras? Kalau Wiro suka pada aku dan Liris Merah, mengapa cuma aku
yang diciumnya? Padahal dulu aku dan kakak sama-sama menciumnya.
Kepergian
kakak, apakah sepenuh hati hanya untuk menguntit, bukan karena hasrat ingin
berada dekat pemuda itu?" Liris Biru usap pipinya yang bekas dicium Wiri.
Dia ingat cerita Setan Ngompol. Selain memberi tahu siapa pembunuh gurunya si
kakek juga menjelaskan bahwa Kitab Seribu Pengobatan berada di tangan perempuan
bayangan. Dan yang tidak dilupakan Liris Biru adalah penjelasan Setan Ngompol
bahwa gurunya pernah mengeluarkan ucapkan kalau Wiro suka dia boleh memilih
salah satu antara dia dan kakaknya.
"Aku
tadi diciumnya. Apakah itu satu pertanda bahwa dia memilihku …. ?” Liris Biru
tersenyum sendiri Gadis ini keluar dari gua, langsung menuju ke sebuah telaga
yang terletak di bagian bawah satu tebing batu. Di salah satu dinding tebing
ada sebuah pancuran. Walau ada tangga batu menuju ke dalam telaga, Liris Biru
tidakmau berlama-lama. Gadis itu rangsung melesat terjun masuk ke dalam air.
Saat itu
langit di ufuk timur mulai tersaput cahaya kemerahan pertanda tak lama lagi
sang surya akan segera terbit. Sambil berendam untuk melenyapkan hawa panas
penyakit aneh yang diidapnya selama bertahun-tahun Liris Biru bernyanyi-nyanyi
kecil. Mendadak suara nyanyiannya lenyap. Dua kakinya yang menjajaki dasar
telaga merasa ada getaran-getaran aneh. Lalu dilihatnya ada sebuak benda
bergerak di dalam air, mendekat ke arahnya.
"lkan
besar? Buaya? Bertahun-tahun tinggal di sini setahuku tidak ada binatang hidup
dalam telaga ini. Jangan-jangan makluk jejadian hendak mencelakai diriku."
Tidak tunggu lebih lama segera saja Liris Biru angkat tangannya, siap untuk
menghantam dengan aliran tenaga dalam penuh.
Tiba-tiba
sebuah benda besar mencuat keluar dari dalam telaga. Air telaga bermuncratan.
Liris Biru pukulkan tangan kanannya ke depan. Dia berseru kaget ketika lengan
kanannya terasa dicekal kuat. Dan sewaktu muncratan air lenyap gadis ini lebih
kaget lagi begitu melihat siapa yang ada di hadapannya dan mencekal tangannya.
"Kau!"
Yang diteriaki tertawa lebar.
"Kurang
ajar sekali! Beraninya kau mengintip perempuan mandi!" Orang yang mencekal
lengan si gadis, yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa
bergelak.
"Kau
masih mengenakan pakaian utuh. Kalau sudah . telanjang boleh saja kau
marah!"
"Apa
yang kau lakukan di telaga ini! Kau bilang tadi kau mau pergi! Sekarang mengapa
ada di sini?" Liris Biru tarik tangannya yang dipegang Wiro.
"Aku
tidak mau diikuti oleh kakakmu. Selain itu aku memang sudah beberapa hari tidak
mandi. Kebetulan ada telaga berair jernih."
"Bagaimana
kau tahu kalau kakakku mengikutimu."
"Keluar
dari goa, aku tidak terus pergi. Aku sempat men-dengar pembicaraan kalian
…."
"ltu
Cuma jawaban yang dibuat-buat. Alasanmu yang sebe-narnya adalah menungguku
turun mandi ke telaga ini. Dasar pemu-da ganjenl"
"Eh,
tunggu dulu. Siapa yang ganjen di antara kita? Bukankah kau dan kakakmu yang
lebih dulu menciumku tempo hari?"
"Kami
menciummu bukan karena ganjen. Tapi karena sangat berharap dan bebesar hati kau
bisa menolong kami mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Kau sendiri mengapa
tadi waktu di goa menciumku?" Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab.
"Pertama,
kau baik. Lebih baik dari kakakmu yang bicara se-lalu keras meledak-ledak.
Selain itu kau cantik. Lalu bukankah ciuman itu pantas sebagai sopan santun
balasan ciumanmu tempo hari?"
"Edan!"
Teriak Liris Biru. Wajahnya yang basah oleh air telaga kelihatan bersemu merah
namun diam-diam hatinya merasa senang. Wiro tertawa lebar.
"Sudah,
agar tidak dituduh ganjen terus -terusan aku mau pergi saja."
"Tunggu,"
kata Liris Biru. Kini dia yang mencekal tangan kanan Wiro hingga si pemuda
tertarik satu langkah dan ini cukup membuat tubuh keduanyanya hampir
bersentuhan.
"Apakah
kau benar-benar akan menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan " bertanya Liris
Biru.
"Karena
kalau kau berdusta, percuma saja aku menunggu di sini"
"Mana
aku sampai hati mendustai gadis sebaik dan secantik-mu. Apa lagi mengingat
kematian gurumu di tangan Eyang Sinto. Aku merasa sangat menyesal dan sedih
sekali …" Wiro tekapkan kedua telapak tangannya kewajah Liris Biru. Entah
mengapa gadis ini lingkarkan dua tangannya di pinggang Wiro lalu sandarkan
kepala di dada bidang sang pendekar. Terdengar suaranya perlahan.
"Wiro,
apakah aku boleh ikut bersamamu?"
"Hemm
… Saat ini kurasa belum boleh. Lain kali kita akan pergi sama-sama kemana kau
suka.
"
Wiro belai rambut basah si gadis.
"Aku
harus pergi sekarang. Tunggu di sini. Aku pasti datang membawa kitab itu."
"Aku
akan menunggu," jawab Liris Biru lalu memeluk tubuh Wiro erat-erat seolah
tak ingin pemuda itu lekas-lekas meninggal- kannya. Sesaat Wiro balas merangkul
punggung si gadis lalu mencium keningnya.
"Aku
pergi …" bisik Pendekar 212.
"Tunggu,
walau kau tidak menceritakan kemana kau akan pergi namun aku tahu perjalananmu
pasti jauh. Sementara kau hanya membekal sehelai celana basah dan tidak
mengenakan baju. Di dalam goa ada beberapa perangkat pakaian mendiang guru. Aku
akan mengambilkan satu pasang untukmu. Naiklah ke tebing di atas sana."
"Gurumu
perempuan, aku laki-laki. Mana mungkin aku pakai pakaian perempuan. Aku belum
mau jadi banci ……" Saat itu Liris Merah telah melesat keluar dari telaga,
masuk kedalam Goa Cadasbiru. Ketika dia keluar membawa sehelai celana dan baju
hitam, Wiro sudah menunggu.
"Pakailah,"
kata Liris Biru sambil menyerahkan pakaian yang di bawanya.
"Eh,
tak mungkin aku berganti pakaian di hadapanmu," kata Wiro sambil memandang
kiri kanan.
"Jangan
bicara konyol. Kau bisa masuk ke dalam goa!" Wiro menyengir. Sambil
manggut-manggut melangkah masuk ke dalam goa. Ketika keluar dia sudah
mengenakan baju dan celana hitam. Ukuran badannya agak sempit, lengan dan kaki
celana menggan-tung kependekan. Liris Biru tertawa geli melihat keadaan Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
"Tak
mengapa. Biar jadi badut dari pada tidak pakai baju dan celana sama sekali. Liris
Biru, terima kasih untuk pakaian ini!" Sebelum berkelebat pergi Wiro tepuk
pantat si gadis.
"lhhh!"
Si gadis terpekik kaget tapi senang. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak di
tempat itu. Seumur hidup baru tadi untuk pertama kalinya dia memeluk dan dipeluk
seorang lelaki. Satu kenangan mesra dan indah yang tak bakal dilupakannya
sampai kapanpun. Di balik sebuah batu di atas tebing, sepasang mata melotot
sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi dengan dua insan di dalam telaga.
Wajahnya yang cantik tampak berkerut dan dada
menyentak
keras.
"Perasaanku
ternyata benar. Tidak sia-sia aku kembali untuk menyelidik. Lancangnya dia
menyerahkan pakaian milik guru. Liris Biru, sekalipun kau suka pada pemuda
kurang ajar itu dan dia senang padamu, aku bersumpah kau tak akan mendapatkan
dirinya.
"
Orang yang berucap perlahan itu balikkan tubuh. Pakaian yang serba merah,
rambut yang digulung di atas kepala menyatakan bahwa dia bukan lain adalah
Liris Merah.
**********************
EMPAT
DALAM
bangunan batu pualam di dasar telaga yang terletak di puncak Gunung Gede. Nenek
muka putih berpakaian biru dengan rambut hitam tergerai kusut, berlutut di
hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai,
saya? tak akan habis-habisnya mengucapkan terima kasih atas budi baik Kiai yang
telah menolong menyelamatkan saya. Mengobati cidera yang saya alami sehingga
sembuh . Saya tidak mungkin membalas semua budi dan hutang nyawa itu."
Kiai Gede Tapa Pamungkas, tokoh rimba persilatan berkepandaian sangat tinggi
dan mengenakan pakaian selempang kain putih tersenyum.
"Nenek
sahabatku bangkitlah. Mengapa terlalu banyak memakai peradatan segala?"
Mendengar ucapan sang Kiai si nenek segera bangun.
"Menolong
dengan mengharap balas budi bukanlah satu sifat yang tulus. Ketahuilah, jika
kau ingin berterima kasih, berterima kasihlah pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selain itu ada seseorang yang pantas menerima semua rasa terima kasihmu."
"Begitu
… ? Siapakah dia Kiai?" tanya nenek muka putih pula.
"Seorang
perempuan muda bernama Nyi Retno Mantili. Dialah yang telah menemukan dirimu
dalam keadaan cidera berat Dia yang membawamu ke padaku."
"Nyi
Retno Mantili …." ucap nenek muka putih.
"Apakah
saya pernah mengenal atau bertemu dengannya? Kiai, dimana saya bisa mencari dan
menjumpai perempuan berbudi luhur itu?"
"Tidak
mudah untuk mencarinya …"
"Dia
membawa saya kepada Kiai. Berarti dia mengenal Kiai. Kalau saya boleh bertanya
apa hubungan Kiai dengan Nyi Retno Mantili?"
"Perempuan
muda itu sebenarnya adalah istri Tumenggung Wira Bumi yang sekarang telah
menjadi Patih Kerajaan …" Nenek muka putih unjukkan wajah kaget. Kiai Gede
Tapa Pamungkas melanjutkan ceritanya.
"Perjalanan
nasib membawa Nyi Retno masuk ke jurang ke-sengsaraan. Derita yang amat sangat
karena kehilangan bayi puteri pertamanya membuat pikirannya berubah tidak
waras. Aku menemui dirinya di satu tempat ketika ada mahluk jejadian hendak
menghabisi nyawanya. Mahluk jahat ini dikenal dengan panggilan Nyi Tumbal Jiwo,
mahluk dari alam roh yang menjadi guru sesat Wira Bumi. Nyi Retno bisa
kuselamatkan dan kubawa ke sini. Kuberi sedikit pelajaran ilmu silat dan
beberapa kesaktian sambil berusaha menyembuhkan jalan pikirannya. Namun sia-sia
belaka. Setelah membawamu ke sini dia pergi begitu saja. Mungkin mencari
bayinya yang hilang. Mungkin juga ke Kotaraja untuk membalas dendam kesumat
sakit hati pada Wira Bumi yang dalam ketidak warasannya tidak diketahuinya
bahwa lelaki itu adalah suaminya sendiri." Nenek muka putih menghela nafas
dalam.
"Derita
yang saya alami rasanya begitu berat, seperti tidak tertahankan. Ternyata masih
ada orang yang lebih sengsara dari saya."
"Sahabatku,
baik atau buruk nasib kita sebagai manusia jangan diperbandingkan dengan orang
lain. Karena hal itu bisa membawa rasa iri dan ketidak adilan dalam diri kita.
Adalah satu dosa besar kalau kita sampai mengatakan bahwa Tuhanlah yang telah
berlaku tidak adil pada kita. Padahal jalan nasib seseorang sudah ditentukan
sebelumnya oleh Sang Pencipta." Mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas
nenek muka putih unjukkan wajah sayu dan hanya bisa berdiam diri.
"Sahabatku
….. Aku selalu memanggilmu dengan panggilan sahabat. Kau tentu punya nama. Lalu
jika kau orang rimba persilatan pasti memiliki gelar. Apakah aku boleh
mengetahui nama dan gelarmu?" Nenek muka putih tertawa.
"Gelar
saya tak punya, Kiai. Kalau nama, orang-orang memanggil saya Nyi Bodong."
Kening sang Kiai mengerenyit. Matanya sekilas menatap ke arah perut nenek muka
putih. Lalu bibirnya menyeruakkan senyum.
"Nyi
Bodong, sesuai janjiku tempo hari, siang ini kau boleh meninggalkan tempat ini.
Namun ada satu hal yang ingin aku ketahui.Bagaimana ceritanya kau bisa berada
di puncak Gunung Gede? Berjalan jauh kalau tidak tengah mencari seseorang
rasanya tidak masuk akal. Siapakah yang ingin kau temui?"
"Saya
tahu selain Kiai di puncak Gunung Gede ini tinggal juga Eyang Sinto Gendeng.
Namun terus terang saja, saya tidak bermaksud menemui Kiai atau nenek sakti itu
…"
"Begitu?
Aku juga ingin tahu siapa yang telah menciderai dirimu begitu jahat hingga aku
membutuhkan waktu lebih dari dua minggu untuk menyembuhkanmu."
Nenek
muka putih tampak terkejut. Hampir tak percaya. "Jadi saya telah berada
selama dua minggu di tempat ini? Ah, manusia bejat terkutuk itu pasti telah
lari jauh …"
"Nyi
Bodong maukah kau menceritakan riwayat perjalananmu dan siapa pula yang kau
maksudkan dengan manusia bejat terkutuk itu?"
"Kiai,
saya terpesat ke puncak Gunung Gede karena menge- jar seorang manusia jahat
berjuluk Hantu Pemerkosa yang bukan lain sebenarnya adalah Pangeran Matahari.
Banyak gadis dan perempuan muda serta istri orang yang telah jadi korbannya
….." Kiai Gede Tapa Pamungkas menghela nafas panjang dan gelengkan kepala.
"Aku
pernah mendengar kabar buruk manusia berjuluk Hantu Pemerkosa itu. Tapi tidak
pernah mengira kalau dia adalah Pangeran Matahari. Gusti Allah, bukannya saya
ingin mendahului kehendakMu. Mungkin sudah saatnya manusia satu itu
disingkirkan dari muka bumi ini untuk selamalamanya."
"Satu
kali saya sempat menyergap Hantu Pemerkosa dan membuat buntung tangan kirinya
namun dia bisa melarikan diri. Ternyata ada seorang ahli pengobatan yang
menolong. Mengobati bahkan menyambung kembali tangan kiri Pangeran Matahari
…."
"Hanya
ada satu orang yang punya kemampuan ilmu pengobatan seperti itu. Seorang
bernama Ki Tambakpati."
"Memang
Kiai, memang dia orangnya. Saya sempat menemuinya. Saya kemudian mengetahui
bahwa Pangeran Matahari itu dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede ini Saya
mengejar sampai ke sini ….."
"Nyi
Bodong, apakah kau tahu ada keperluan apa Pangeran Matahari alias Hantu
Pemerkosa datang ke puncak Gunung Gede?"
"Dia
mencari Kitab Seribu Pengobatan. Agaknya dia menderita satu penyakit yang sulit
disembuhkan. Konon kitab itu ada pada Eyang Sinto Gendeng." Si orang tua
angguk-anggukkan kepala.
"Kitab
itu tadinya memang ada pada Sinto Gendeng …." Dengan matanya yang jernih
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap sesaat ke arah Nyi Bodong. Dada si nenek
mendadak berdebar.
"Kitab
dicuri orang. Setelah lenyap beberapa lama kemudian kitab itu kembali berada di
tempat kediaman Sinto Gendeng. Tapi saat ini aku punya firasat kitab tersebut
sudah jatuh pula ke tangan orang lain. Sementara Sinto Gendeng sendiri tengah
menghadapi banyak masalah sekarang . Entah dimana dia berada."
"Kiai,
satu kali ketika saya masih terbaring sakit ada seorang pemuda masuk ke tempat
ini. Maksudnya baik, namun saya tidak suka dia hendak menyentuh saya. Pemuda
itu benama Wiro Sableng. Berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Bagaimana dia bisa
berada di tempat ini?"
"Dia
sahabat Nyi Retno Mantili. Aku yang membawa mereka masuk kedalam telaga ini.
Karena Sinto Gendeng adalah muridku maka Wiro Sableng bisa disebut sebagai cucu
muridku. Apakah kalian tidak saling mengenal sebelumnya?" Nyi Bodong tidak
menjawab.
"Nyi
Bodong, cidera berat di bahu kirimu. Apakah itu akibat bentrokan dengan
Pangeran Matahari?"
"Betul
Kiai. Saya sempat menghantamnya namun dia menyerang saya dengan sebuah senjata
aneh. Sebuah lentera yang memancarkan cahaya kuning. Saya dengar lentera itu
dalam rimba persilatan dikenal dengan sebutan Lentera Iblis..:."
"Lentera
Iblis …." Kiai GedeTapa Pamungkas usap wajahnya.
"Senjata
dari alam roh yang luar biasa hebatnya. Siapa yang memiliki akan menguasai
rimba persilatan. Kalau lentera itu tidak dirampas dari tangan Pangeran
Matahari atau tidak segera dimus-nahkan, rimba persilatan akan dilanda satu
malapetaka besar. Pangeran Matahari akan menjadi raja diraja kejahatan.
Golongan hitam akan menguasai seluruh tanah Jawa bahkan sampai ke tanah
seberang."
"Kiai,
kalau saya memang sudah sembuh, apakah saya boleh meninggalkan tempat
ini?"
"Sebelum
kau pergi ada yang perlu aku beritahukan," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas
pula.
"Dalam
sakitmu ada seorang tamu datang kesini. Dia hanya datang sebentar. Dia masuk
keruangan ini ketika kau tertidur lelap .."
"Siapakah
orang itu Kiai?" tanya Nyi Bodong sambil dalam hati menduga-duga.
"Sahabat
lamaku. Namanya Kiai Munding Suryakala." Nyi Bodong cepat menyembunyikan
rasa terkejutnya ketika mendengar orang tua itu menyebut nama tersebut.
"Apa
saja yang dibicarakan orang tua itu dengan Kiai?" Nyi Bodong memberanikan
diri bertanya.
"Seperti
kataku tadi. Dia hanya datang sebentar. Yang penting bisa menjengukmu dan tahu
hau berada dalam keadaan baik. Dia tidak bicara apa-apa. Hanya berpesan agar
kau segera pulang menemuinya. Dalam perjalanan jangan melakukan apa-apa jangan
pergi ke tempat lain, apapun yang terjadi."
"Akan
saya lakukan Kiai. Kalau saya boleh bertanya, apakah Kiai Munding Suryakala
menceritakan perihal diri saya atau hubungan saya dengan dirinya?" Nyi
Bodong bertanya dengan jantung berdebar. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan
kepala.
"Ada
sesuatu yang menggelisahkanmu, sahabatku?"
"Tidak,
tidak ada apa-apa …." si nenek muka putih menjawab dan diam-diam hatinya
merasa lega.
"Sebelum
pergi dia memberitahu satu hal padaku. Menurut Kiai Munding Suryakala satu
peristiwa besar akan terjadi di rimba persilatan tanah Jawa. Mungkin hal ini
ada hubungan dengan permintaannya agar kau lekas pulang. Dia tidak ingin suatu
apa terjadi dengan dirimu.”
"Kalau
begitu saya mohon diberi izin pergi sekarang …" Kiai Gede Tapa Pamungkas
mengangguk. Pintu hijau muda yang ada di ruangan itu terbuka.
"Kiai,
seperti yang Kiai pernah jelaskan, tempat ini terletak di dasar sebuah telaga
besar. Bagaimana mungkin saya keluar?" Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
"Dalam
tidurmu sementara menanti kesembuhan, aku telah meresapkan ilmu tahan berada
dalam air pada dirimu. Kau hanya tinggal menekankan kedua kakimu pada tanah
dasar telaga, maka tubuhmu akan melesat ke permukaan air. Selanjutnya kau bisa
berenang menuju tepian telaga …."
"Berenang?"
Nyi Bodong tertawa lebar.
"Saya
tidak pandai berenang, Kiai."
"Saat
ini kau sudah bisa berenang. Lihat saja nanti …." Nenek muka putih menatap
tercengang. Sadar kalau orang telah memberikan dua macam ilmu kepandaian Nyi
Bodong segera jatuhkan diri berlutut sambil mulutnya berucap.
"Terima
kasih Kiai. Budimu setinggi langit sedalam samudera” Kiai Gede Tapa Pamungkas
cepat menahan bahu si nenek.
"Tak
usah pakai peradatan segala. Aku tidak tahu antara kita siapa yang lebih tua
….” Sang Kiai lalu tertawa mengekeh. Nyi Bodong melangkah cepat menuju bagian
depan bangunan batu pualam.
"Selamat
tinggal Kiai. Saya sangat berharap akan dapat menemui Kiai di lain waktu."
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum dan anggukkan kepala. Seperti yang dikatakan
sang Kiai, begitu Nyi Bodong tekankan ke dua kakinya ke dasar telaga, tubuhnya
serta merta melesat ke atas dan dalam waktu sangat cepat dia sudah timbul di
permukaan air. Nenek muka putih ini dapatkan dirinya berada di tengah telaga.
Sosoknya terasa enteng. Ketika dia menggerakkan tangan dan kaki, tubuhnya
meluncur ke pinggiran timur telaga. Luar biasa! Ternyata dia memang bisa
berenang! Dan yang lebih luar biasa lagi, sewaktu dia mencapai daratan, baik
rambut, tubuh maupun pakaiannya tidak basah sedikitpun!
**********************
HANYA
tinggal satu hari perjalanan sebelum sampai ke tempat kediaman Kiai Munding
Suryakala hujan lebat turun mendera bumi. Nyi Bodong yang berada di pinggiran
rimba belantara beruntung mendapatkan sebuah gubuk yang biasa dipakai untuk
istirahat oleh para penebang pohon. Nyi Bodong duduk di balai-balai panjang
terbuat dari bambu. Matanya menatap sayu ke depan. Hujan lebat bukan saja
menutupi pemandangan tapi juga membuat udara terasa dingin sekali. Cukup
lamadudukdi dalam gubuk baru hujan mulai mereda berubah menjadi rintik-rintik.
Nyi Bodong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun baru saja hendak
bergerak dan bangkit berdiri tiba-tiba di depan sana, di antara kerapatan
pepohonan, sepasang matanya melihat dua orang berlari ke arah gubuk. Gerakan
mereka sebat dan enteng sekali.
Satu
perasaan tidak enak muncul dalam diri Nyi Bodong. Nenek muka putih ini cepat
berkelebat ke balik skbatang pohon besar sejarak dua betas langkah dari gubuk.
"Ada
teratak. Kita berhenti dulu!" Salah satu dari dua orang yang berlari
keluarkan ucapan. Suara perempuan. Yang satunya menyahuti.
"Kita
ini seperti orang tolol saja! Tadi waktu hujan lebat kita malah lari. Kini
hujan berhenti baru mencari tempat berteduh."
"Hik
… hik! Sebetulnya dua kakiku sudah penat Lagi pula aku dari tadi menahan
kentut!" Laiu preettt! Orang yang barusan, bicara pancarkan kentut. Sambil
tertawa-tawa orang ini yang ternyata perempuan masuk ke dalam gubuk dan duduk
di pinggir balai-balai bambu. Orang satunya menyusul masuk, duduk di samping
temannya.
Dari
balik pohon besar Nyi Bodong mengintip. Matanya mendelik dan jantungnya berdegup
keras ketika mengenali salah satu dari dua orang yang duduk dalam gubuk.
"Lain yang dikejar, lain yang aku temui! Mahluk jahanam, kau datang ke
sini mengantar nyawa!"
**********************
LIMA
ORANG
yang duduk di bangku bambu sebelah kanan mengenakan jubah putih menjela tanah,
berbadan tinggi besar. Kepala dan wajah tidak kelihatan karena dia mengenakan
sehelai kain putih yang menutupi kepala dan wajah sampai ke leher. Pada bagian
depan tutup kepala ada dua lobang kecil di jurusan sepasang mata.
"Aku
yakin dialah manusianya! Dibalik kain penutup kepala itu ada satu kepala
memiliki dua muka. Satu di sebelah depan, satu di sebelah belakang. Mahluk
jahanam! Hari ini kau bakal mendapatkan pembalasan atas semua perbuatan kejimu
terhadapku!" Nyi Bodong melirik pada sosok orang yang duduk di samping
leiaki berjubah dan bertutup kepala kain putih. Seorang nenek memiliki rambut,
wajah serta pakaian serba kuning. Di atas rambut kuning yang disanggul menancap
tiga buah sunting. Nyi Bodong ingat, dia pernah melihat nenek ini sebelumnya.
Selintas pikiran muncul di benak Nyi Bodong.
"Kalau
kuhabisi mahluk jahanan itu, tidak mungkin si nenek muka kuning sahabatnya akan
berlepas tangan. Aku sudah tak sabaran. Kalau perlu dua-duanya aku
bereskan!" Saat itu Nyi Bodong sudah siap keluar dari balik pohon besar
untuk segera menghabisi orang berjubah. Namun gerakan kakinya tertahan ketika
dia mendengar nenek muka kuning berucap.
"Sahabatku
Hantu Muka Dua, apa pendapatmu tentang kabar selentingan akan adanya satu
peristiwa besar dalam rimba persilatan tanah Jawa?"
"Luhkentut,
kau bertanya, aku menjawab. Apa perduliku?" sahut si jubah putih yang
ternyata adalah Hantu Muka Dua, salah satu dari sekian banyak tokoh negeri
Latanahsilam yang terpesat ketanah Jawa.
"Kita
hanya mahluk-mahluk yang tersesat ke negeri ini. Mauku ingin kembali ke
Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun silam. Tapi tak tahu bagaimana
caranya. Selain itu aku ingin menemui beberapa tokoh rimba persilatan. Aku
ingin meyakinkan bahwa antara aku dengan mereka tidak ada permusuhan. Aku
benar-benar tobat berbuat kejahatan …"
"Syukur
kalau kau benar sudah bertobat. Berarti aku tidak perlu lagi mengikuti kemana
kau pergi. Ketahuilah, setelah Seratus Tiga Belas Lorong Kematian musnah, para
tokoh meminta aku agar mengawasi dirimu. Mereka kawatir kalau-kalau kau akan
membuat malapetaka dimana-mana." Nenek yang dipanggil dengan nama
Luhkentut itu berdiri.
"Saatnya
aku meninggalkan dirimu. Aku ada keperluan lain .."
"Aku
tahu, kau mau mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu." Kata Hantu Muka
Dua sambil tertawa lalu berdiri pula.
"Aku
tak pernah melupakan pertolongannya. Kalau tidak karena dia aku kemana-mana,
setiap saat selalu menyemburkan kentut. Hik … hik! Selain itu aku merasa
kasihan, sejak dari negeri Latanahsilam sampai disini dia selalu menghadapi
banyak masalah. Bahkan nyawanya senantiasa terancam. Kalau saja aku bisa
membalas budi baiknya …." (Kisah lengkap orang-orang dari negeri
Latanahsilam sebelum terpesat ke tanah Jawa dapat dibaca dalam kisah
Latanahsilam terdiri dari 18 Episode "Bola-Bola Iblis" s/d
"lstana Kebahagiaan" )
"Aku
juga punya hutang budi dan nyawa pada pemuda itu. Dia yang menyelamatan diriku
ketika aku dalam keadaan sangat tak berdaya dan hampir jatuh ke jurang di
kawasan Seratus Tiga Belas Lorong Kematian …" Hantu Muka Dua berikan
pengakuan. Luhkentut mengangguk. Usap-usap perutnya.
"Rasanya
aku mau kentut …" kata si nenek pula.
"Eh,
kalau mau kentut jangan di hadapanku. Pergi jauh-jauh sana!" Luhkentut
alias Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. Dia melangkah keluar gubuk. Lalu
sekali berkelebat nenek serba kuning ini lenyap dari pemandangan. Si jubah
putih tarik nafas dalam. Ketika dia menanggalkan kain putih penutup kepalanya,
dibalik pohon besar wajah putih Nyi Bodong mengerenyit. Benar rupanya cerita
seseorang padanya. Seumur hidup baru kali ini dia menyaksikan ada manusia
memiliki dua buah wajah. Satu di depan berwarna putih, satu di belakang bewama
hitam. Sepasang lensa matanya depan belakang tidak berbentuk bulat, tapi berupa
segitiga berwarna hijau! Mau tak mau dingin juga tengkuk si nenek. Namun begitu
ingat perbuatan keji yang pernah dilakukan orang itu padanya, amarahnya tak
bisa terbendung lagi.
Hantu
Muka Dua mengusap mukanya sebelah depan dan siap mengenakan kain penutup kepala
kembali. Namun belum sempat hal itu dilakukan satu teriakan menggelegar di
seantero tempat dan satu bayangan biru berkelebat dari balik pohon. Saking
kagetnya kain penutup kepala di hngan Hantu Muka Dua jatuh ke tanah. Di lain
kejap seorang nenek bermuka putih, berpakaian serba biru telah berdiri berkacak
pinggang di hadapannya.
"Siapa
…. ?" Hantu Muka Dua dilah kaget dan tercekatnya ajukan pertanyaan. Nyi
Bodong meludah ke tanah.
"Mahluk
jahanam! Masih bisa bertanya! Aku datang untuk menghabisi nyawamu! Dosamu
setinggi langit sedalam lautan!" Mendengar bentakan orang wajah Hantu Muka
Dua depan belakang berubah menjadi wajah seorang kakek dan berwarna pucat pasi.
Beginilah keadaannya jika Hantu Muka Dua dalam terkejut.
"Nenek
muka putih. Melihatmu pun baru kali ini. Bagaimana kau menuduh aku punya dosa
setinggi langit sedalam lautan padamu?!"
"Otak
mahluk jahanam sepertimu memang bisa tumpul karena terlalu banyak berbuat dosa
kejahatan. lngat peristiwa di sebuah gubuk, ketika kau memperalat seorang
rampok bernama Warok Jangkrik untuk menjebak seorang perempuan muda?! Kau
kemudian hendak memperkosa perempuan itu!"
"Dimasa
lalu aku memang banyak berbuat dosa. Tapi saat ini aku telah bertobat ….."
"Bertobat?"
Nyi Bodong tertawa panjang.
"Kalau
sisa nyawa sudah di leher, mana ada lagi tobat di muka bumi ini?!"
"Nenek
muka putih. Antara kita tak ada silang sengketa. Kau sungguhan hendak
membunuhku?!"
"Aku
sudah bersumpah akan membunuhmu sejak hari kau melakukan perbuatan keji
itu!" jawab nenek muka putih.
"Tapi
apa hubunganmu dengan perempuan muda itu? Kau neneknya atau gurunya?"
"Soal
hubunganku dengan perempuan muda itu bukan urusanmu! Sekarang bersiaplah untuk
menerima kematian!"
"Nenek
muka putih, jika aku memang berdosa, aku rela menerima kematian. Tapi jika aku
tidak pernah punya silang sengketa denganmu, aku harap kau mau meninggalkan
tempat, ini." Nyi Bodong tertawa panjang.
"Ajalmu
sudah di depan mata!"
"Kalau
kau keliwat memaksa, aku terpaksa melawan mem-bela diri …" kata Hantu Muka
Dua pula.
"Silahkan!
Aku mau lihat kau bisa berbuat apa!" Hantu Muka Dua renggangkan dua kaki
memasang kuda-kuda. Dua tangan siap menangkis atau menghantam. Dia siapkan ilmu
pukulan yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Semasa di negeri 1200 tahun
lalu Latanahsilam, ilmu ini adalah hasil rampasan dari Hantu Lumpur Hijau.
Lawan yang terkena hantaman pukulan akan hancur meleleh tubuhnya, tidak beda
lumpur berwarna hijau. Saat itu ada keraguan dalam hati Hantu Muka Dua. Apakah
dia memang harus melayani si nenek? Karena dia merasa yakin, sekali ilmu
pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh di lepaskan, nenek muka putih itu akan
menemui kematian secara mengerikan.
Sementara
Hantu Muka Dua berada dalam kebimbangan, si nenek muka putih telah lebih dahulu
membuat gerakan. Dibarangi teriakan lantang tangan kanan Nyi Bodong berkelebat
menyingkap baju biru di bagian perut. Tangan kiri diangkat ke atas, telapak
mengembang. Sepasang mata segi tiga Hantu Muka Dua terbeliak besar, terpukau
menyaksikan perut putih mulus dihias sebuah pusar menonjol bercahaya. Selagi
Hantu Muka Dua terkesiap dari mulut Nyi Bodong tiba-tiba keluar suara raungan
seperti srigala melolong.
Lalu dari
pusar yang bodong mendadak sontak Menyembur selarik sinar berwarna biru gelap
menggidikkan. Sinar Geni Biru! llmu Pusar Pusara!
"Tahan
serangan! Jangan!" Tiba-tiba ada orang berseru. Namun terlambat. Larikan
sinar biru melanda Hantu Muka Dua tepat di bagian dada! Tak ampun lagi tubuh
mahluk dari negeri 1200 silam itu terbelah menjadi dua. Nyi Bodong terkejut
ketika melhat di kening sebelah depan Hantu Muka Dua secara aneh muncul guratan
angka 212. lni adalah bekas pukulan Wiro yang dihantamkan ke kening Hantu Muka
Dua sewaktu hancur dan musnahnya lstana Kebahagiaan. (Baca serial Wiro Sableng
di negeri Latanahsilam) Dua potongan tubuh Hantu Muka Dua kepulkan asap
biru,mencelat ke udara lalu meledak berkepingkeping, berubah menjadi lelehan
aneh berwarna putih dan akhimya lenyap dari pemandangan. Tamat sudah riwayat
mahluk yang di negeri Latanahsilam dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu.
Satu
raungan menggelegar di udara. Nyi Bodong tanpa perduli keluarkan suaratawa
cekikikan. Dia baru hentikan tawanya ketika ada satu bayangan berkelebatdi
hadapannya disusul satu suara keras.
"Salah
kaprah! Kau membunuh orang yang sudah tobat dan pernah menyelamatkan dirimu!
Hukuman Tuhan sekalipun tidak sekejam itu!"
"Keparat
jahanam! Siapa berani membawa-bawa nama Tuhan di tempat ini?!" teriak Nyi
Bodong. Memandang ke depan kening nenek muka putih mengerenyit. Mata mendelik
geram.
"Mahluk
samar! Kau setan jejadian atau demit hutan belantara?!" Bentak Nyi Bodong.
Yang
muncul dan berdiri di hadapan Nyi Bodong adalah sosok bayangan berupa seorang
perempuan cantik berambut panjang hitam menjela pinggang.
"Siapapun
diriku tak ada pentingnya. Yang lebih penting kau telah melakukan satu
kesalahan besar membunuh Hantu Muka Dua."
"Mahluk
setan! Beraninya kau menuduh aku berbuat salah. Jika kau membela dan Hantu Muka
Dua adalah sahabatmu, apakah kau tahu kebejatan mahluk itu?! Apakah kau tahu
apayang telah diperbuatnya terhadapku?!"
"Aku
lebih dari tahu! Hantu Muka Dua memang manusia bejat! Tapi dosa kebejatan
sebesar apapun akan selalu ada pengampunan. Dia sudah bertobat. Mengapa kau
masih melam-piaskan nafsu pembunuhan? Kalau kau tahu pertolongan apa yang telah
dilakukannya terhadapmu, aku yakin kau akan mengampuni selembar jiwanya!"
"Yang
aku tahu dia pemah hendak memperkosaku!"
"Betul,"
sahut mahluk bayangan berwajah jelita.
"Tapi
apakah kau tahu kalau Hantu Muka Dua juga yang menyelamatkan dirimu dari
perkosaan?!" Nyi Bodong terkejut sampai tersurut satu langkah. Menatap tak
berkesip pada mahluk bayangan di depannya.
"Apa
maksud ucapanmu?" tanya Nyi Bodong pula.
"Sayang
aku tak bisa menceritakan sekarang padamu. Di lain waktu jika kita bertemu lagi
akan aku jelaskan semuanya. Saat ini aku harus pergi he satu tempat untuk
memenuhi janji dengan seseorang."
"Mahluk
kurang ajar! Jika kau pergi tanpa memberi penjelasan akan kubunuh kau!"
Mengancam Nyi Bodong. Mahluk bayangan sunggingkan senyum.
"Aku
tidak takut pada gertakanmu. Kematian bukan apa-apa bagiku. Tapi jika kau
keliwat memaksa , baik! Akan kujelaskan. Pangeran Matahari tidak pernah sempat
memperkosamu. Karena sewaktu dia hendak menggagahimu, Hantu Muka Dua yang
kebetulan ada di tempat itu menghantam kemaluannya dengan satu pukulan sakti.
Kau pernah melihat darah di sekitar pahamu. Itu bukan darah karena kegadisanmu
telah dirampas Pangeran Matahari. Tapi itu adalah darah yang mengucur dari luka
pada kemaluan manusia terkutuk itu!"
"Apa?!"
Nyi Bodong menjerit keras. Sekujur tubuh nenek muka putih ini bergetar hebat
"Jadl
…j adi kau tahu siapa diriku?!"
"Aku
tak perduli siapa dirimu. Aku hanya turut sedih atas musibah yang kau alami
…" Mendengar ucapan orang Nyl Bodong jadi terenyuh hatinya. Saat itu
mahluk bayangan dilihatnya bergerak menjauh dan semakin samar.
"Hai!
Tunggu!" seru Nyi Bodong. Namun perempuan bayangan telah sima dari
pemandangan.
**********************
ENAM
LIRIS
Merah sadar dia tak sanggup lagi meneruskan larinya. Padahal orang yang dikejar
hanya tinggal beberapa tombak saja di depan sana. Malam dingin sekali karena
belum lama . hujan lebat baru berhenti. Namun saat itu gadis murid mendiang
Hantu Malam Bergigi Perak ini merasa diri seperti dipanggang. Sekujur tubuhnya
dilanda panas luar biasa. Asap mengepul mulai dari kepala sampai ke kaki.
Tenggorokan seperti diganjal bara menyala. Sepasang mata mulai membengkak dan
dari mulutnya membersit darah kental, meleleh di sudut bibir. lnilah kelainan
atau penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun. Seperti diketahui
kelainan yang sama juga terjadi atas diri adiknya, Liris Biru.
"Wi
… Wiro! Tolong!" Liris Merah berteriak sambil tangan kanan menggapai ke
depan, kearah orang yang sejaktadi diikuti dan dikejarnya. Namun saat itu
suaranya hanya tinggal merupakan seruan kelu halus. Dua lutut gadis cantik ini
goyah. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Mulut keluarkan suara erangan. Hidung
hembuskan nafas sengal. Dua mata mendelik nyalang, menatap tak berkesip ke
langit gelap hitam. Dada dan tenggorokan bergerak turun naik. Keadaannya tidak
beda dengan orang yang tengah sakarat.
Tiba-tiba
dalam gelap berkelebat satu bayangan hitam. Satu sosok tinggi besar kemudian
berhenti dan berdiri di samping Liris Merah yang tergelimpang di tanah. Si
gadis tidak melihat sosok yang ada di sebelahnya namun telinganya menangkap
suara kaki dan gerakan orang.
"Wiro
….." Suara Liris Merah perlahan sekali. Tapi masih bisa didengar oleh
orang tinggi besar berpakaian serba hitam yang tegak di sampingnya. Tampang
orang ini jadi berkerut mendengar si gadis menyebut nama itu. Di tangan kiri
dia membawa sebuah benda bercahaya, dibungkus kain hitam. Orang ini kemudian
pergunakan kaki kanannya untuk menyentuh tubuh si gadis.
"Kau
menyebut nama itu. Katakan apa sangkut pautmu dengan Pendekar Dua Satu
Dua!"
"Dengar,
siapapun kau adanya. Aku butuh pertolongan. Kalau tidaksegera masuk ke dalam
telaga, sungai, kolam atau apa saja yang ada airnya , aku akan segera menemui
kematian. Tolong, cepat." Orang tinggi besar membungkuk memperhatikan
wajah Liris Merah.
"Ah
….. Ternyata wajahmu cantik sekali. Tubuhmu juga bagus." Orang itu lalu
tertawa bergelak.
"Tidak
dinyana, di malam gelap dingin begini rupa aku mendapat rejeki besar. Ada
seseorang yang bakal menghangatkan tubuhku! Ha … ha … ha!"
"Demi
Tuhan, jangan tertawa dan bicara saja. Tolong …. aku butuh air." Liris
Merah meminta setengah meratap.
"Aku
tahu …. Dari kepulan asap yang keluar dari tubuhmu keadaanmu tidak beda seperti
batang kayu terbakar. Kalau tidak habis terkena pukulan beracun, kau pasti
mengindap satu penyakit aneh! Jika aku menolongmu, kau mau membalas dengan
apa?"
"Aku
bersedia melakukan apa saja …"
"Betul?!"
"Aku
tidak dusta!"
"Ha
… ha … ha!" Si tinggi besar tertawa bergelak.
"Kau
mau bersumpah?!"
"Aku
bersumpah!" jawab Liris Merah yang berada dalam keadaan sangat terdesak
dan butuh pertolongan demi menyelamatkan jiwanya. Sambil terus mengumbar tawa
orang tinggi besar ulurkan tangan kanan, mencekal dada pakaian merah lalu
memanggul si gadis dan melarikannya ke arah timur. Dari gerakan lari yang cepat
serta jurusan yang dituju agaknya orang ini cukup tahu seluk beluk kawasan itu.
Tak selang berapa lama dia sampai di satu tikungan sungai berair cukup deras.
Orang ini letakkan bungkusan bercahaya yang di bawanya di tebing sungai lalu
penuh nafsu dia mendekap tubuh Liris Merah erat-erat, kemudian mencebur masuk
ke dalam sungai. Di dalam sungai yang airnya dingin sekali orang ini terus saja
memeluki Liris Merah. Sesekali malah menciumi wajah si gadis. Cukup lama berada
dan berendam dalam sungai, perlahan-lahan hawa panas yang mendera tubuh Liris
Merah mulai berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Gadis ini celupkan
kepalanya ke dalam air beberapa kali. Setiap keluar dari air dia menarik nafas
panjang. Dari mulutnya mengepul uap panas.
"Bagaimana
keadaanmu?" tanya orang yang memeluk Liris Merah.
"Aku
merasa segar …."
"Apa
sebenarnya yang terjadi denganmu?"
"Akan
aku ceritakan. Lepaskan pelukanmu. Aku ingin naik ke darat." Liris Merah
merasa tidak senang karena dirinya terus dipeluk dan diciumi.
"Kau
mau melarikan diri?"
"Tidak.
Aku berterima kasih kau telah menolongku. Lepaskan
pelukanmu!"
"lngat
pada sumpah yang telah kau ucapkan?"
"Ya,
aku ingat …" jawab Liris Merah. Saat itu tiba-tiba saja si
gadis
merasa sangat takut.
"Aku
tidak percaya padamu. Kita keluar dari sungai sama-sama!" Sambil terus
mendekap tubuh Liris Merah, si tinggi besar melesat ke udara dan agaknya dia
sengaja jatuhkan diri di samping serumpun semak belukar di tepi sungai. Tanpa
memberi kesempatan bergerak pada gadis yang dihimpitnya orang ini berkata.
"Gadis
cantik, katakan siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu dan mengapa kau
berada di tempat begini rupa?" Liris Merah berusaha melepaskan diri dari
himpitan orang tapi tak berhasil. Ketika dia hendak berontak, satu totokan
melanda dadanya sebelah kiri sehingga sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Aku
menunggu jawabanmu."
"Katakan
dulu siapa kau adanya"
"Rimba
persilatan mengenal aku dengan nama Pangeran Matahari."
"Apa?!"
Kejut Liris Merah setengah mati. Dia berusaha memperhatikan wajah orang yang
menghimpitnya. Dia melihat satu wajah garang angker. Hidung miring ke kiri,
pipi dan rahang kiri melesak. Mata kiri terbenam di rongganya. Pada kening kiri
di bawah ikatan kain merah tampak cacat memanjang bekas luka.
"Ya
Tuhan," si gadis mengucap dalam hati.
"Lebih
baik tadi aku mati saja dari pada jatuh ke tangan manusia terkutuk ini!"
"Gadis
cantik, kau beruntung mendapat pertolonganku. Setelah tahu siapa diriku, apa
kau masih tidak mau bicara …" .
"Aku
akan bicara. Tapi berjanji kau akan memperlakukan aku baik-baik …"
Pangeran Matahari tertawa lebar. Matanya yang sebelah kanan bergerak berputar.
"Aku
akan memperlakukan kau luar biasa baik. Kau lihat saja nanti. Sekarang mulailah
bicara."
"Namaku
Liris Merah. Aku adalah murid Hantu Malam Bergigi Perak …." Dengan memberi
tahu siapa gurunya Liris Merah berharap Pangeran Matahari tidak akan berbuat kurang
ajar terhadap dirinya.
"Ah,
ternyata kau adalah seorang dewi rimba persilatan. Aku pernah mendengar nama
besar gurumu. Tapi beberapa waktu lalu aku menyirap kabar. Gurumu telah menemui
ajal di tangan Sinto Gendeng, nenek geblek dari Gunung Gede. Lalu apa yang kau
lakukan di tempat ini. Tadi kudengar kau menyebut nama Wiro. Dia adalah murid
nenek jelek itu!"
"Aku
tengah mengejar pemuda itu …."
"Hemmm
… Untuk apa mengejar? Kau bercinta dengannya?" tanya Pangeran Matahari.
Nada suaranya menyatakan ketidak senangan.
"Aku
ingin mendapatkan sebuah benda."
"Benda
apa?"
"Sebuah
kitab tentang pengobatan."
"Aha!
Tadinya aku mengira kau mengejar untuk membalas dendam kematian gurumu!
Ketahuilah, aku juga tengah mencari kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan."
"Kalau
begitu kita bisa sama-sama melakukan pengejaran."
"Wiro
sudah lari cukup jauh. Sulit untuk mengejar. Mengapa kita tidak lebih dulu
menghabiskan waktu bersenang-senang di tempat ini sambil menunggu terbitnya
sang surya? Atau kau ingin kita mencari tempat yang lebih baik dan lebih
hangat. Sebuah goa atau pondok misalnya?"
"Apa
maksudmu?!" tanya Liris Merah dengan bulu kuduk merinding. Wajah si gadis
mendadak pucat. Dia coba kerahkan hawa sakti pada aliran darahnya, memusnahkan
totokan, namun tak berhasil. Tubuhnya masih saja tetap lemas. Pangeran Matahari
menyeringai lalu singkapkan baju Liris Merah dan benamkan wajahnya ke dada si
gadis. Liris Merah menjerit tanpa ada siapapun yang mendengar apa lagi memberi
pertolongan.
"Demi
Tuhan, hentikan perbuatan terkutukmu ini!" Pangeran Matahari angkat
wajahnya dari dada si gadis.
"Dengar,
dalam waktu dekat aku punya satu rencana besar. Kau akan kujadikan salah satu
orang kepercayaanku. Siang hari kau akan jadi pendampingku. Malam hari kau akan
jadi penghiburku." Tangan manusia terkutuk ini meluncur ke pinggul Liris Merah,
menarik ke bawah celana merah yang dikenakan si gadis. Tak sengaja Pangeran
Matahari melihat bungkusan hitam yang diletakkannya di tanah memancarkan cahaya
lebih terang. ,
"Ada
bahaya!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Serta merta dia melompat menyambar
bungkusan. Pada saat itu ada suara orang berseru.
"Pangeran
Matahari! Sahabat seperjuangan! Mohon maaf kalau kedatanganku mengganggu hajat
besarmu!" Pangeran Matahari menggeram dan cepat berpaling. Dalam kegelapan
malam dia melihat seorang lelaki muda berpakaian sangat bagus dan berwajah
tampan. Rambut panjang sebahu, kening tinggi dihias sepasang alis tebal. Di
kiri kanan lelaki ini berdiri delapan orang rata-rata bertubuh tegap,
mengenakan seragam hitam. Di setiap dada kiri baju yang dikenakan ada sulaman
kuning gambar joglo dan dua keris bersilang.
"Manusia-manusia
sialan! Siapa kalian?!" Bentak Pangeran Matahari sambil tangan kirinya
membuka buhul bungkusan yang dipegang di tangan kanan.
"Sekali
lagi mohon maafmu Pangeran Matahari." kata lelaki muda berpakaian bagus
sambil maju dua langkah.
"Kita
sama-sama sahabat seperjuangan …."
"Tunggu
dulu!" hardik Pangeran Matahari.
"Melihat
tampang kalian baru kali ini. Bagaimana bisa sesum-bar mengatakan aku sebagai
sahabat seperjuangan …"
"Biar
saya jelaskan …"
"Sudah!
Aku tidak butuh penjelasan. Aku tidak ada waktu mendengar penjelasan. Lekas
minggat dari hadapanku atau kubuat amblas kalian semua!"
"Mohon
maaf dan mohon sabarmu, Pangeran Matahari. Saya Sawung Guntur. Orang-orang dan
para pengikut saya memanggil saya Pangeran Muda. Saya pimpinan tertinggi
Keraton Kaliningrat Saya sudah lama mendengar nama besarmu. Saya juga tahu
kalau Pangeran punya cita-cita untuk mengusai rimba persilatan. Sementara saya
ingin mengambil dan mengusai hak saya sebagai pemilik sah tahta Kerajaan."
"Ceritamu
enak didengar. Tapi aku tidak ada urusan, tidak punya waktu …."
"Dengar
dulu Pangeran. Saya bisa membantumu mewujud- kan cita-citamu menjadai Raja di
Raja rimba persilatan. Sementara jika kau sudi, kau juga bisa membantu saya
mendapatkan apa yang saya inginkan. Jika kita berdua bergabung, kekuatan mana
yang bisa menghadapi?"
"Aku
Pangeran Matahari cukup punya kemampuan melaku- kan sendiri apa yang ingin aku
lakukan. Mendapatkan apa yang ingin aku dapatkan. Pangeran Muda, siapapun kau
adanya, dari Keraton manapun kau berasal, lekas pergi dari tempat ini."
Kain bungkusan di tangan kanan Pangeran Matahari terbuka, jatuh ke tanah. Kini
di tangan Pangeran Matahari kelihatan sebuah lentera dalam kedaaan menyala,
memancarkan tiga warna angker.
"Lentera
lblis ….." ucap Pangeran Muda yang mengaku ber- nama Sawung Guntur.
"Beruntung
saya dapat melihat dengan mata kepala sendiri senjata paling ditakuti dalam
rimba persilatan!" Mendengar disebutnya nama Lentera lblis delapan orang
anak I buah Pangeran Muda serentak bersurut ke belakang.
"Apa
kau mau menyaksikan kehebatan lentera ini?" Tanya Pangeran Matahari dengan
nada pongah. Pangeran Muda tersenyum dan menjawab.
"Mana
saya berani berbuat yang bukan-bukan …"
"Kalau
begitu biar kuberikan sedikit pelajaranl" Habis berkata begitu Pangeran
Matahari renggangkan dua kaki lalu gerakkan Lentera lblis ke kanan.
"Wusss!"
Selarik
sinar merah berkiblat. Empat orang anggota Keraton Kali Ningrat di samping kiri
Pangeran Muda menjerit Tubuh mereka dikobari api dan mencelat ke udara. Lalu
jatuh bergedebukan di tanah dalam keadaan hangus merah leleh mengerikan!
Pangeran Muda dan empat orang anak buahnya berseru kaget. Kalau saja bukan
menghadapi momok nomor satu rimba persilatan serta punya satu kepentingan besar
pasti saat itu Pangeran Muda dan empat anak buahnya yang masih hidup akan
melabrak habis Pangeran Matahari.
"Pangeran
Matahari! Kehebatan dan keganasanmu nyatanya bukan isapan jempol belaka! Sayang
hal itu kau perlihatkan pada kami orang-orang yang datang membawa persahabatan.
Saya sangat menyesalkan. Saya akan pergi dari sini. Tapi saya punya satu
pertanyaan padamu! Apakah kau masih membutuhkan sebuah benda yang kau anggap
keramat?"
"Benda
apa?!" tanya Pangeran Matahari membentak dan dua matanya mendelik. Hatinya
jadi tidak enak. Darah panas naik ke kepala.
"Bendera
Darah!" Jawab Pangeran Muda. Lalu dengan sikap melecehkan, tanpa menunggu
jawaban orang dia memutar tubuh, siap tinggalkan tempat itu. Tampang Pangeran
Matahari berubah.
"Tunggu!"
seru Pangeran Matahari.
"Bendera
Darah milikku. Bendera itu aku tinggalkan di satu tempat. Tak satu orangpun
tahu. Apakah kau telah mencuri bendera itu? Kau berani mencari mati!"
"Kami
menemukan Bendera Darah secara tak sengaja di Goa Selarong. Bukankah kau masih
tetap punya niat untuk mendirikan partai Bendera Darah? Sayang sekali kalau
partai berdiri tanpa bendera sakti dan sangat bersejarah itu. Apa artinya
sebuah partai tanpa bendera kebesaran! Ha …. ha … ha!"
Geraham
Pangeran Matahari bergemeletakan. Rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak.
"Kau
membawa bendera itu saat ini?" Pangeran Muda tersenyum.
"Saya
tidak sebodoh itu!"
"Pangeran
setan! Kalau sampai Bendera Darah rusak atau hilang, nasibmu akan lebih jelek
dari empat anak buahmu yang barusan kubikin mampus!"
"Saya
percaya kau mampu melakukan hal itu. Apakah kini kau menerima ajakan saya untuk
bersahabat?" Tanya Pangeran Muda pula. Pangeran Matahari memaki dalam
hati. Otaknya diputar Lalu dia men jawab.
"Baik,
Satu minggu darisekarang naiklah ke puncak Gunung Merapi. Tunggu aku sampai
datang. Di sana kita akan membicarakan bagaimana cara dan urusan kita
bersahabat! Jangan lupa membawa Bendera Darah. Jika kau menipuku, kematian akan
jadi bagianmu walau kau punya sepuluh nyawa cadangan sekalipun!"Pangeran
Muda tersenyum lalu bbngkukkan badan.
"Saya
gembira mendengar ucapan Pangeran. Sekarang silahkan melanjutkan hajat
besarmu." Pangeran Muda bicara sambil memandang ke arah Liris Merah yang
tergeletak di tanah dengan dada tersingkap serta celana merosot sampai ke
pinggul. Ketika melewati empat orang anak buahnya yang tewas mengerikan
Pangeran Muda gelengkan kepala.
"Lentera
Iblis. Benar-benar luar biasa. Sanggup menembus ilmu kebal Atos Sejagat yang
dimiliki anak buahku. Aku harus dapat merampas senjata itu! Pangeran Matahari,
tunggu pembalasanku. Empat orang anak buahku tidak bisa mati percuma begitu
saja!"
**********************
TUJUH
KAKI
Bukit Menoreh. Menjelang pagi, hari ke enrpat belas. Di satu tempat Wiro
hentikan lari. Tengah dia menikmati indahnya pe-mandangan dikala sang surya
muncul di ufuk timur tiba-tiba ter-dengar suara berisik menyengat liang
telinga. Telinga sang pen-dekar sampai berdesing saking kaget dan sakit. Mata
membesar. Lalu mulut mengulum senyum. Dia kenal betul suara itu. Suara kaleng
berisi batu kerikil yang digoyang dengan pengerahan tenaga dalam! Siapa lagi
kalau bukan orang tua aneh itu!
"Kakek
Segala Tahu!" Wiro berseru.
"Kau
dimana Kek?!" Suara kerontangan kaleng datang dari arah timur. Wiro
menatap kearah itu. Namun suara berubah datang dari arah selatan. Ketika Wiro
memandang ke selatan suara kerontangan kaleng malah muncul dari barat. Wiro
tersenyum.
"Kakek
jahil itu mempermainkanku!" katanya dalam bati. Mendongak ke arah sebuah
pohon besar dia melihat orang yang dicarinya ada di sana. Duduk berjuntai
uncang-uncang kaki di atas sebuah dahan besar berpakaian butut rombeng,
mengenakan caping bambu di atas kepala. Di punggungnya ada sebuah buntalan. Di
tangan kiri dia memegang kaleng rombeng yang setiap kali digoyang mengeluarkan
suara berisik menggetarkan gendang-gendang telinga. Di tangan kanan dia
memegang sebuah ubi panggang yang dimakannya dengan lahap sampai keluarkan
suara menyiplak.
"Kek,
aku lapar! Bagi ubimu!" Wiro berseru lalu melesat ke
atas
pohon, duduk di samping si kakek. Si kakek berpaling. Dua matanya ternyata
putih buta!
"Eh,
kau rupanya! Lapar? Bagusnya aku masih ada sepotong persediaan. Ini
makanlah!" Dari dalam kantong bekalnya si kakek di atas pohon mengeluarkan
sepotong ubi bakar.
"Terima
kasih Kek, aku memang lagi lapar-laparnya." Sambil mengunyah ubi panggang
Wiro bertanya.
"Kek,
sejak peristiwa di lorong kematian, apakah kau baik-baik saja?"
"Baik
tidak baik bagiku sama saja. Puluhan tahun hidup di dunia ini apa kau kira
tidak jenuh? Waktu di lorong jahanam itu aku pikir-pikir mengapa aku tidak mati
saja. Sudah buta, buruk rupa begini hidup di dunia sengsara pula! Ha … ha …
ha!" Si kakek tertawa.
"Kek,
ubimu enak juga. Ah, capingmu baru! Kek, beruntung aku bertemu kau. Ada
beberapa hal yanq gin aku tanyakan. Boleh?" Kakek bercaping yang dalam
rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan sebutan Kakek Segala Tahu tertawa
lebar lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali. Wiro cepat tekap kedua telinganya.
Walau mata putih buta namun dengan kesaktiannya si kakek mampu melihat secara
aneh.
"Dari
bau pakaianmu aku tahu kau mengenakan baju dan celana bukan milikmu! Dari
gerakanmu sewaktu melompat ke atas pohon ini aku tahu kalau pakaianmu
kekecilan. Pakaian perempuan. Tangan dan kaki tergantung. Apa yang terjadi? Apa
kau sudah jadi badut sekarang? Kau mencuri pakaian perempuan mana? Ha … ha …
ha!"
"Aku
tidak mencuri Kek. Ada yang memberi.Lumayan dari pada bugil!"
"Pasti
yang memberikan gadis cantik!"
"Bagaimana
kau tahu Kek?" tanya Wiro.
"Gampang
saja. Pakaian perempuan yang punya pasti perempuan!" Si kakek tertawa
gelak-gelak. Wiro ikutan tertawa.
"Kek,
setelah kau meninggalkan kawasan Lorong Kematian tempo hari, apakah kau sudah
bertemu dengan Nyi Roro Manggut?" Kakek Segala Tahu mengangguk-angguk.
Wajahnya tampak berseri.
"Wah,
pasti seru pertemuannya. Pakai peluk cium segala Kek?!"
"Huss!
Urusan orang tua-tua kau anak muda mengapa kepingin tahu saja?" Wiro
tertawa.
"Kek,
aku dalam perjalanan ke Bukit Menoreh. Menemui seseorang. Saat perjanjian
adalah nanti tepat pertengahan malam .."
"Heran,
janji malam-malam buta. Di puncak bukit angker pula. Kau menemui seorang
manusia atau sebangsa mahluk jejadian?" bertanya Kakek Segala Tahu.
"Ah,
agaknya kau sudah tahu aku akan menemui mahluk aneh. Justru aku mau tanya. Apa
yang kau ketahui mengenai mahluk perempuan cantik berbentuk bayangan yang akan
aku temui itu." Si kakek mendongak, menatap ke langit yang mulai terang,
goyangkan kalengnya dua kali lalu berkata. Lagi-lagi Wiro terpaksa menekap
telinga.
"Aku
tak bisa memberi jawaban. Aku tak bisa menyelidik. Dia bukan mahluk alam roh
dunia kita. Dia sudah meninggal lebih dari seribu tahun silam dan kematiannya
di dunia lain …." Wiro ingat sesuatu.
"Aku
sudah menduga. Muncul dalam ujud bayang-bayang. Agaknya dia adalah mahluk
berasal dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu yang telah
meninggal dunia. Aku pernah kesasar ke sana, Kek." Sambil menggaruk kepala
Wiro bertanya.
"Kek,
menurut penglihatanmu apakah dia menaruh maksud baik atau jahat
terhadapku?" Kakek Segala Tahu buka capingnya. Walau hari masih pagi dan
udara masih sejuk seperti orang kepanasan kakek ini kipas kipaskan capingnya di
depan dada.
"Kalau
aku katakan, nanti kau pikir-pikir saja sendiri." Jawab Kakek Segala Tahu.
"Anak
sableng, ketahuilah perempuan cantik berujud bayang-bayang itu tengah jatuh
cinta padamu!"
"Apa
Kek?!" Wiro tersentak kaget. Si kakek tertawa gelak gelak. Lalu
kerontangkan kaleng rombengnya hingga kembali Wiro terpaksa tekap dua
telinganya.
"Kau
bercanda, Kek!" Si orang tua geleng-geleng kepala.
"Anak
muda, begitu banyak gadis cantik di sekelilingmu. Sampai-sampai kau punya
kekasih dari alam roh. Apakau belum punya niat untuk kawin?" Kembali
Pendekar 212 dibuat kaget
"Kawin
Kek? Maksudmu dengan perempuan bayangan itu?" Kakek Segala Tahu
kerontangkan kaleng rombengnya berulang kali lalu tertawa mengekeh.
"Sudah
…. sudah! Aku harus pergi sekarang. Tapi dengar, ada satu hal penting yang perlu
aku beritahukan. Aku menyirap kabar akan terjadi satu peristiwa besar dalam
rimba persilatan. Banyak tokoh rimba persilatan yang akan terlibat. Termasuk
dirimu! Waktunya tak lama lagi. Tak sampai sepuluh hari dimuka. ,Jadi kau
berhati-hatilah …"
"Bisa
kau terangkan peristiwa besar apa yang kau maksudkan. Kek?" tanya Wiro
pula.
"Banyak
prasangka namun sulit diduga." Kakek Segala Tahu goyangkan kalengnya dua
kali lalu menatap ke langit.
"Ah,
cahaya sang surya mulai menyiiaukan. Aku tak mampu melihat jelas. Namun
samar-samar ada tanda merah di langit. Tanda merah, bisa berarti darah atau
api. Bisa dua-dua sekaligus …" Wiro menggaruk kepala.
"Sebelum
pergi aku punya satu nasihat untukmu …"
"Urusan
kawin Kek?" tanya Wiso.
"Nah,
nah! Kau kini malah ingat-ingat kawin! Selangkangan- mu sudah mulai gatal ya?
Ha … ha … ha!"
"Enak
saja kau bicara!" cemberut Wiro tapi sambil menggaruk bagian bawah
perutnya.
"Weh,
kalau tidak gatal mengapa anumu kau garuk?!"Kakek Segala tahu tertawa
panjang. Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Anak
sableng, dengar nasihatku baik-baik. Kau jangan se kali-kali kualat sama
gurumu."
"Maksud
Kakek Eyang Sinto Gendeng?"
"Memangnya
kau punya berapa guru?"
"Kek,
aku sangat menghormati Eyang Sinto. Seumur hidup aku ingin berbakti padanya.
Tapi belakangan ini …."
"Tak
usah tapi-tapian. Kau tak usah menceritakan, aku sudah tahu apa yang terjadi
antara kau dan Sinto Gendeng. Walau nenek itu edan seribu edan, sinting seribu
sinting, jahat seribu jahat, dia tetap gurumu. Aku yakin selalu ada maksud baik
dibalik semua tindakannya yang aneh- aneh. Kalau tidak karena dia, kau tidak
selamat jadi orang seperti sekarang ini. Eh, apa jawabmu?! Jangan diam
saja!" Si kakek kerontangkan kaleng di tangan kiri.
"Saya
tahu Kek. Eyang Sinto yang menyelamatkan jiwaku dari kobaran api sewaktu saya
masih bayi. Dia yang kemudian memelihara saya. Memberi ilmu kepandaian serta
kesaktian. Saya perhatikan nasihatmu baik-baik Kek …"
"Jangan
cuma diperhatikan. Tapi dilaksanakanl"
"lya
Kek. Mungkin saya memang sudah kualat sama Eyang Sinto. Saya akan mencari
beliau dan minta maaf. Buruk baik dia tetap guru yang saya hormati. Selain itu
…." Wiro hentikan ucapan. Berpaling ke samping ternyata Kakek Segala Tahu
tak ada lagi di sebelahnya. Di kejauhan kemudian terdengar suara kerontangan
kaleng.
**********************
PUNCAK
Bukit Menoreh. Bagi Wiro tidak gampang mencari pohon jati yang miring atau
doyong ke timur di malam buta begitu rupa. Pohon doyong tersebut adalah tanda
yang dikatakan perempuan bayangan sebagai tempat pertemuan. Wiro nyaris putus
asa. Malam hampir mendekati pertengahan, saatnya perjanjian. Walau sebenarnya
ada bulan purnama namun sang rembulan sendiri tersembunyi di balik awan gelap.
"Jangan-jangan
mahluk itu menipuku …" pikir Wiro. Lapat-lapat terdengar raungan anjing
hutan di kejauhan, membuat Wio merasa tambah tidak enak. Lalu ada suara
mendesis. Wiro berpaling. Tepat pada saat seekor ular besar yang melilit
berjuntai di cabang sebatang pohon melesat hendak mematuk kepalanya. Secepat
kilat pemuda ini jatuhkan diri ketanah lalu bergulingan. Memaki panjang
pendek.Ketika bangkit berdiri Wiro dikagetkan oleh suara menggelepar.
Dia
berlaku waspada, merunduk sambil memandang ke depan. Ternyata ada seekor burang
melesat keluar dari balik sebatang pohon rendah dan terbang dalam kegelapan
malam ke arah timur. Tak sengaja Wiro terus memperhatikan. Burung lenyap di
bagian bukit yang agak rendah dan hanya ditumbuhi sederetan pohon jati tua.
Mendadak Wiro terkejut. Ketika dia mengawasi salah satu dari pohon jati itu
bentuknya miring ke arah timur!
"Aneh.
Burung tadi seperti memberiku petunjuk. Agaknya bukan burung biasa …"
pikir Pendekar 212 lalu cepat berlari ke arah deretan pohon-pohon jati. Wiro
sampai di dekat pohon jati tua yang miring ke timur. Memandang berkeliling dia
tidak melihat seorangpun berada di tempat itu. Wiro mendongak ke langit. Awan
gelap yang sejak tadi menutupi rembulan kini bergerak ke barat. Bulan purnama
empat belas hari tersembul menebar cahaya cukup terang di sekitar kawasan Bukit
Menoreh. Hanya sayahg saat itu hujan turun rintik-rintik.Angin bertiup kencang
dan udara mendadak dingin.
"Pertanda
apa lagi ini," membatin Wiro. Beberapa kali dia memandang berkeliling,
memperhatikan keadaan sekitarnya. Perem-puan bayangan tetap belum kelihatan.
Akhimya Wiro duduk di tanah, di bawah pohon jati tua yang miring ke timur.
Mendadak ada suara burung berkicau. Tiga kali berturut-turut.
Wiro
ingat itu adalah salah-satu tanda yang dikatakan mahluk bayangan. Cepat Wiro
bangkit dari duduknya. Memandang berkeliling. Dia tak melihat burung juga tidak
melihat perempuan bayangan.
"Pendekar,
apakah kau sudah lama berada di sini?" Tiba-tiba
ada suara
menegur. Wiro berpaling ke kiri. Laksana turun dari langit, satu bayangan
berupa sosok perempuan muncul kemudian berdiri lima langkah dari hadapan Wiro.
Walau cahaya rembulan tertindih kegelapan malam namun sosok bayangan itu
kelihatan jelas. Wajahnya yang cantik memandang tersenyum ke arah Wiro. Sang
pendekar mencium bau harum semerbak.
"Aku
belum lama berada di sini. Tadinya aku mengira …." Mahluk bayangan
tertawa.
"Kau
kira aku menipu?" Wiro menggaruk kepala.
"Apakah
kau membawa kitab itu?"
"Tentu
saja. Aku tidak akan berjanji dusta mengecewakanmu Hanya saja saat ini ada yang
lucu pada dirimu."
“Lucu
apa?" tanya Wiro.
"Kau
mengenakan baju kesempitan. Biar aku betulkan dulu." Mahluk bayangan
berbentuk perempuan cantik lalu menarik bahu baju hitam kiri kanan yang dipakai
Wiro. Menarik bagian pinggang kiri kanan lalu dua ujung lengan. Setelah itu dia
membungkuk untuk menarik dua pergelangan kaki celana hitam yang menggantung.
Setiap sentuhan tangan perempuan bayangan ini membuat sekujur tubuh Pendekas
212 bergetar. Sebaliknya Wiro juga merasakan tangan yang menyentuh pakaian dan
tubuhnya itu dihangati oleh perasaan yang menggelora.
"Nah,
itu lebih baik. Kau sekarang tidak terlihat seperti badut lagi." Wiro
memperhatikan baju dan celana hitam yang dikenakan-nya. Aneh, baju hitam itu
kini terlihat lebih besar, dua lengan tidak lagi menggantung. Begitu juga dua
ujung kaki celana hitam, kini tidak kependekan lagi, menjulai panjang menutupi
mata kakinya.
"Terima
kasih. Kau punya keahlian menata pakaian rupanya," ucap Wiro sambil
tersenyum.
"Bagaimana
mengenai kitab itu?"
"Ah,
kau sangat tidak sabaran. Aku mau tanya dulu, apakah kau datang sendirian ke
sini? Tidak merasa adayang mengikuti?"
"Sesuai
permintaanmu aku datang sendirian. Hanya malam kemarin memang seperti ada yang
mengikuti. Tapi sejak aku sampai di kaki bukit, aku yakin tidak ada yang
menguntit."
"Kau
bisa mengira-ngira siapa orang yang mengikutimu malam kemarin?"
"Sulit
aku menduga," jawab Wiro.
"Baiklah,
Kitab Seribu Pengobatan akan aku serahkan seka-rang padamu." Mahluk
bayangan perempuan cantik menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Ketika
tangan itu diajukan ke depan, Wiro melihat sebuah benda yang bukan lain adalah
Kitab Seribu Pengobatan. Kitab ini tebal sekali. Wiro cepat mengambil kitab
itu. Walau sangat tebal karena terbuat dari daun lontar halus ternyata kitab
itu enteng sekali. Kitab disimpan di balik baju.
"Kau
sekarang sudah mendapatkan kitab itu. Apa yang akan kau lakukan?"
"Kitab
ini milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Sebelum aku kembalikan pada beliau
terlebih dulu akan aku baca dan pelajari agar bisa kupergunakan untuk menolong
beberapa sahabat yang menderita penyakit."
"Siapa
saja sahabatmu itu?" tanya perempuan bayangan.
"Tak
mungkin aku sebutkan satu persatu …"
"Kalau
begitu katakan saja apa penyakitnya" Wiro tersenyum dan menggeleng.
"Soal
penyakit seseorang, aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain." Lama
perempuan bayangan menatap wajah Wiro. Diam-diamdia sangat mengagumi sifat sang
pendekar. Lalu dia berkata."Aku tidak ingin mencari tahu rahasia penyakit
seseorang. Niatku hanya ingin menolong semata. Secara kebetulan aku mengetahui
siapa yang pertama kali ingin kau tolong. Bukankah mereka dua gadis kakak
beradik murid seorang nenek sakti yang konon telah menemui kematian di tangan
gurumu?"
"Eh,
bagaimana kau tahu?"
"Bicara
soal kematian, apakah kau sudah tahu bahwa Hantu Muka Dua, kerabatku dari
negeri Latanahsilam telah menemui ajal beberapa hari lalu?" Walau selama
di negeri 1200 tahun silam Hantu Muka Dua alias Lajundai merupakan mahluk
paling jahat dan menjadi musuh besarnya, namun mendengar keterangan perempuan
bayangan mau tak mau Wiro menjadi terkejut.
"Bagaimana
kejadiannya? Siapa yang membunuh mahluk itu?’ tanya Wiro pula.
"Seorang
nenek sakti bermuka putih yang belakangan ini menggegerkan rimba persilatan.
Namanya Nyi Bodong."
**********************
DELAPAN
WIRO
terkejut mendengar disebutnya nama itu.
"Kau
tak percaya? Aku menyaksikan sendiri.Kasihan Hantu Muka Dua. Aku berusaha
mencegah karena Hantu Muka Dua telah bertobat. Namun gagal …"
"Nyi
Bodong," mengulang Wiro menyebut nama itu.
"Kau
mengenalnya?"
"Aku
pernah melihatnya beberapa kali."
"Pendekar,
kau tahu siapa sebenarnya nenek itu?" Wiro gelengkan kepala. Perempuan
bayangan kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mengenai
dua gadis kakak beradik murid Hantu Malam Bergigi Perak yang ingin kau
sembuhkan dari penyakitnya. Bukalah Kitab Seribu Pengobatan pada halaman
seratus enam belas. Disitu ada petunjuk pada pengobatan tiga ratus
sebelas."
"Luar
biasa!" ucap Wiro.
"Bagaimana
kau bisa ingat isi kitab itu?". Mahluk bayangan tersenyum.
"Setiap
manusia punya kelebihan dan kekurangan. Semua itu atas berkah dan kehendak Yang
Maha Kuasa." Wiro mengusap Kitab Seribu Pengobatan di balik pakaiannya
lalu bertanya.
"Selama
kitab ini ada padamu, apakah ada orang yang telah kau tolong?"
"Memang
ada. Dan tujuanku untuk mendapatkan kitab itu adalah semata-mata untuk menolong
orang itu"
"Berhasil?"
Perempuan bayangan mengangguk.
"Siapa?
Apa penyakitnya?" tanya Wiro.
"Turut
ucapanmu tadi bukankah tidak baik memberi tahu orang lain atas sakit seseorang?
Aku tak bisa mengatakan. Tapi kelak kau akan menemui orang itu karena selama
ini kalian bersahabat." Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku
tahu, kau berasal dari negeri Latanahsilam. Kau pasti salah seorang dari sekian
banyak yang terpesat ke tanah Jawa sewaktu lstana Kebahagiaan milik Hantu Muka
Dua hancur lebur. Bolehkan aku mengetahui namamu?"
"Mohon
maafmu Pendekar. Saat ini aku belum bisa memberi
tahu."
"Kalau
begitu aku punya satu permintaan. Kuharap kau tidak
menolak."
"Katakanlah,"
ucap perempuan bayangan sambil menatap. Saat itu Wiro juga memandang
memperhatikan hingga sepasang mata mereka saling beradu. Ada perasaan aneh
dalam diri Pendekar 212. Terlebih ketika dia ingat ucapan Kakek Segala Tahu
yang mengatakan bahwa mahluk di hadapannya ini tengah jatuh cinta atas dirinya.
Hal yang sama juga terjadi pada perempuan bayangan. Ujudnya yang samar
bergetar. Pandangan matanya menyimpan rahasia hati.
"Sejak
pertemuan kita pertama kali sampai saat ini kau selalu menampakkan diri dalam
ujud bayangan. Apakah kau bersedia memperlihatkan dirimu dalam ujud asli?"
"Seperti
yang pernah dilakukan oleh Bunga, gadis alam roh sahabatmu itu?" ucap
perempuan bayangan pula yang membuat Pendekar 212 jadi terperangah lalu senyum
garuk-garuk kepala.
"Pengetahuanmu
luar biasa. Seluas laut setinggi langit."
"Kau
keliwat menyanjung. Ketahuilah ujud dan rupa asliku buruk. Aku kawatir setelah
melihat kau tidak akan mau bertemu lagi denganku." Wiro tertawa. Pemuda
ini ulurkan tangan kanannya ke arah tangan kanan mahluk bayangan. Dia mengira
seperti akan menyentuh asap atau memegang angin. Tapi alangkah terkejutnya dia
ketika tangan yang dipegang adalah benar benar tangan manusia yang halus dan
hangat. Ketika Wiro memperhatikan ternyata mahluk bayangan itu telah
memperlihatkan diri dalam ujud aslinya! Wajah cantik di hias rambut hitam
panjang tergerai. Tubuh yang bagus dibalut pakaian biru muda. Sampai-sampai
Pendekar 212 memandang dengan mulut ternganga dan jari-jari tangannya bergerak
meremas, yang dibalas pula oleh perempuan cantik itu dengan remasan penuh
perasaan.
"Aahh..,Ternyata
kau cantik sekali." Ucap Wiro penuh kagum.
"Kalau
saja kau bisa dalam keadaan seperti ini selamanya …"
"Aku
tak mungkin melakukan. Kecuali …." jawab si cantik.
"Kecuali
bagaimana?" tanya Wiro.
"Kecuali
jika ada yang mengharapkan. Ada yang menginginkan."
"Seperti
yang aku lakukan barusan?" Si cantik mengangguk. "Ya, seperti yang
kau lakukan barusan," katanya.
"Jika
kau tak mau memberi tahu nama, bolehkah aku memanggilmu …" Wiro berpikir
sejenak. Menatap ke langit dia melihat rembulan butat indah empat betas hari.
"Boleh
aku memanggilmu dengan nama Purnama? tanya Wiro pula. Perempuan di hadapannya
tertawa dan anggukan kepala.
"Kalau
kau suka dengan nama itu, aku pun senang."
"Purnama,
apakah aku boleh mengajukan pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi?"
Sepasang bola mata perempuan cantik membesar.
"Pertanyaan
sangat pribadi? Apa maksudnya. Aku sangat ingin mendengarnya."
"Apakah
kau pernah mencintai seseorang?" Wajah cantik perempuan di hadapan Wiro
tampak bersemu merah. Sepasang alis mata yang hitam lengkung bergerak naik,
lalu senyum manis menyeruak di bibir yang merah segar.
"Pertanyaanmu
aneh. Mengapa hal itu kau tanyakan?" Wiro garuk-garuk kepala. Sebenarnya
ia ingin menguji apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu.
"Ah,
Sudahlah. Anggap saja itu tadi pertanyaan tolol!"
"Di
negeri asalku aku memang pernah mencintai seseorang. Bahkanaku pernahmenjadi
istri dari orang yang kucintai itu. Namun satu malapetaka besar terjadi. Aku
menemui kematian di alamku. Kami berpisah. Sampai saat ini aku tidak tahu
dimama suamiku berada. Secara adat Latanahsilam, aku buka lagi istri baginya
dan dia bukan lagi suami bagiku. Secara kenyataan di sana aku kembali menjadi
seorang gadis."
"Maksudmu
Hemm ….perawan?"
"Ya,"
jawab perempuan bayangan.
"Sulit
dipercaya. Tetapi begitulah keadaan lahiriah kami orang-orang perempuan
Latanahsilam ….”
"Hebat
juga" ucap Wiro dalam hati.
"Walau
sudah punya sepuluh anak dan sudah jadi nenek peot tetapi begitu tidak punya suami
lagi kembali menjadi perawan!" Wiro senyum-senyum sendiri. Purnama juga
tersenyum. Lama kedua orang itu terdiam sampai Wiro menyadari bahwa saat itu
mereka masih saling bergenggaman jari jemari. Perlahan-lahan Wiro tarik
tangannya.
"Purnama,
yang kau katakan tadi adalah riwayat semasa kau masih berada di Latanahsilam.
Yang aku ingin ketahui, setelah sekian lama aku berada ditanah jawa ini, apakah
ada seseorang yang menjadi tambatan hatimu? Atau kau tahu ada seorang yang
mencintaimu?" Sepasang mata Purnama menatap tak berkesip. Dada perempuan
itu berdebar. Hatinya berucap.
"Apakah
pemuda ini tahu apa yang aku rasakan?" Setelah terdiam beberapa ketika
akhirnya perempuan itu menjawab.
"Pertanyaanmu
kali ini agak sulit kujawab. Jika kukatakan memang ada atau tidak ada seseorang
yang kucintai, apakah itu ada artinya bagimu?" Wiro menggaruk kepala,
tertawa lebar dan balik bertanya.
"Mengenai
adanya orang yang menyukaimu?"
"Mana
aku tahu ada orang yang suka apa lagi sayang padaku. Tidak ada yang
menunjukkkan sikap seperti itu, apa lagi mengatakannya. Pendekar, apakah kau
menyukai diriku?" Wiro terperangah oleh pertanyaan yang blak-blakan ini
sampai kakinya tersurut satu langkah. Cepat Wiro alihkan pembicaraan.
"Purnama.
aku mengucapkan terima kasih. Kau telah sudi menyerahkan Kitab Seribu
Pengobatan."
"Kau
harus menjaga kitab itu baik-baikseperti kau menjaga keselamatan dirimu
sendiri.Terlalu banyak yang menginginkan. Nah, kau sudah dapatkan kitab yang
kau cari selama ini. Apakah kau akan segera meninggalkan tempat ini? Apakah
pertemuan kita hanya dan akan berakhir sampai di sini?" tentu saja
persahabatan kita tidak hanya sampai di sini. Ada ujar-ujar mengatakan selama
awan masih putih, gunung masih hijau dan laut masih biru, kita pasti akan
bertemu." Jawab Wiro.
"lndah
sekali ujar-ujar itu. Dan aku sangat berbahagia mengetahui bahwa kau masih
inginkan pertemuan dengan diriku ….”
"Jika
aku ingin bertemu, dimana aku harus mencarimu?" tanya Wiro.
"Kau
tak perlu susah susah mencari. Setiap gerak hatimu untuk bertemu akan
kuketahui. Karena kau selalu berada di dekatmu .." Jawaban perempuan
cantik itu membuat Pendekar 212 raba kuduknya lalu menggaruk kepala.
"Urusan
berabe. Kalau aku mandi pasti dia bisa melihatku! Jangan-jangan apa yang
dikatakan Kakek Segala Tahu memang benar. makluk ini tengan jatuh cinta padaku
…" ucap Wiro dalam hati.
"Purnama,
sebelum kita berpisah, ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Belakangan ini ada
beberapa tokoh memberi tahu akan terjadi satu peristiwa besar dalam rimba
persilatan. Apakah kau juga mengetahui hal itu?"
"Aku
mengetahui. Justru kau salah seorang yang akan terlibat dalam peristiwa itu.
Jaga dirimu baik-baik. Aku tak bisa menceritakan lebih banyak dan lebih rinci.
Biar sebaiknya orang lain saja yang mengatakan. Dia sejak tadi menunggu di
tempat ini." Habis berkata begitu perempuan bayangan yang diberi nama
Purnama oleh Wiro memegang erat-erat lengan kanan sang pendekar, menarik tangan
itu lalu menciumnya. Di lain kejap sosoknya berubah menjadi samar membentuk
bayangan dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Wiro berbalik ketika merasa ada
sambaran angin di belakangnya.
"Mesra
sekali! Ada kata-kata mesra, ada pegangan tangan serta ada ciuman!"
terdengar suara perempuan berucap. Di lain kejap di hadapan Wiro berdiri
seorang perempuan muda berpakaian kebaya putih panjang -serta celana putih
panjang sebetis. Wajahnya yang cantik tampak pucat dan kini tersenyum memandang
pada Pendekar 212.
"Bunga
…." ucap Wiro. Dia hendak merangkul tapi Bunga bersurut mundur. Wiro
merasa tidak enak. Selain itu senyum Bunga, gadis alam roh yang semasa hidupnya
bernama Suci di mata Wiro terlihat dan terasa sinis. Jadi inilah orang lain
yang tadi dimaksud Purnama.
"Bunga,
aku gembira melihat kedatanganmu."
"Sebaliknya
aku merasa menyesal karena kemunculanku mungkin hanya mengganggu kehadiran si
cantik tadi. Sebenarnya aku ingin berbincang-bincang dengannya. Sayang dia
keburu pergi …"
"Dia
meninggalkan pesan untuk menanyakan sesuatu padamu …"
"Begitu?
Pesan apa?Pertanyaan apa?" tanya Bunga Tidak seperti biasanya dalam
pertemuan yang sudah-sudah, kali ini setiap nada ucapan Bunga terasa tidak enak
di telinga dan hati Wiro.
"Dia
cemburu, mungkin juga marah. Seperti kata Purnama agaknya dia memang sudah lama
berada di sekitar sini. Memperhatikan dan mendengar apa yang aku bicarakan
…"
"Bunga
…"
"Wiro,
siapakah nama perempuan cantik tadi?" Bunga memotong ucapan Wiro.
"Aku
tidak tahu. Dia tidak pernah menerangkan namanya. Lalu kupanggil saja
Purnama," jawab Wiro polos.
"Nama
yang bagus sekali. Aku ingat ketika kau melakukan hal seperti itu padaku.
Ketika kau memberi nama Bunga padaku …."
Wiro
garuk-garuk kepala. Gadis dari alam roh yang ada di hadapannya ini sudah jelas
cemburu.
"Bunga,
jangan kau berprasangka …."
"Siapa
yang berprasangka? Berprasangka apa? Aku hanya melihat kenyataan betapa
mesranya dia menciumn tanganmu ketika hendak pergi. Aku berpikir,
mengingat-ingat, apakah aku pernah melakukan hal itu padamu? Rasanya tidak
…" Ternyata Bunga telah terlalu jauh larut dalam perasaannya. Wiro cepat
cepat berkata.
"Bunga,
aku ingin menanyakan. Apakah kau tahu satu peristiwa besar yang akan terjadi
dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh dunia persilatan membicarakan hal itu
…"
"Ah,
rupanya si cantik bernama Purnama tadi tidak menuntas-kan keterangannya.
Menyerahkan jawaban pada diriku. Cerdik sekali. Kalau aku tidak memberi tahu
apakah kau akan marah padaku?" Wiro menggeleng.
"Kau
sangat baik padaku. Aku banyak berhutang budi. Mana mungkin aku marah."
Bunga tertawa mendengar kata-kata sang pendekar.
.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Aku harus menemui dua orang sahabat
yang menderita sakit. Kau ikut?" Wiro mengajak.
"Aku
ingin sekali ikut. Tapi tak lama lagi hari akan segera siang. Selain itu aku
tak mau menyakiti perasaan si cantik tadi yang katanya selalu berada dekat
denganmu." Wiro terdiam. Dia merasa sedih melihat sikap dan cara bicara
Bunga. Namun mungkin semua itu dia juga yang salah.
"Bunga,
kurasa kau lebih dekat padaku. Maafkan aku kalau ada hal-hal yang membuat
dirimu tidak enak. Apapun yang terjadi semua itu tidak mengurangi rasa sayangku
padamu. Aku harus pergi sekarang juga …"
"Wiro,
mengenai pertanyaanmu tadi …" Ucapan Bunga terputus. Saat itu Pendekar 212
telah berkelebat lenyap.
"Ah,
apakah aku telah membuat dia kecewa? Marah?" Bunga duduk bersimpuh di
tanah. Air mata meluncur dari balik kelopak mata. Bunga pejamkan kedua matanya.
Hatinya kembali bersuara.
"Untuk
pertama kalinya dia mengatakan sayang padaku. Apakah kali ini aku terpaksa
membenarkan kabar dan ucapan banyak orang selama ini bahwa Pendekar Dua Satu
Dua itu seorang
pemuda
mata keranjang? Apakah aku tidak boleh cemburu? Apakah aku tidak boleh merasa
takut kehilangan dirinya?" Bunga tersengguk.
"Kalau
saja aku bisa mati lagi, rasanya aku ingin sekali mati untuk kedua kalinya
…"
**********************
SEMBILAN
WALAU
hujan telah beberapa kali turun, namun hawa sejuk tidak menyentuh puncak Gunung
Merapi. Sebagian besar daun-daun pepohonan mengering rontok. Kulit pohon
menciut kehitaman. Semak belukar hanya tinggal berbentuk ranting-ranting lapuk.
Beberapa anak sungai mengering dangkal. Kegersangan nyaris tampak dimalla-mana.
Siang itu
begitu menjejakkan kaki di puncak Gunung Merapi bersama Liris Merah, kejut
Pangeran Matahari bukan alang kepalang. Goa besar tempat kediaman mendiang
gurunya Si Muka Bangkai tak ada lagi. Yang tampak hanya reruntuhan puing-puing
batu goa, nyaris sama rata dengan tanah gunung.
"Kurang
ajar! Keparat! Jahanam mana berani mati menghancurkan goa tempat kediaman
guruku!" teriak Pangeran Matahari menggelegar sehingga seantero tempat
bergetar.
Beberapa
binatang hutan yang ada di dekat situ lari berhamburan. Puluhan burung yang
tengah berteduh dari teriknya sinar matahari di pepohonan menggelepar terbang
ke udara. Selain tenaga dalam tinggi yang dimiliki, hawa sakti yang ada pada
Lentera lblis yang dipegangnya ikut memberi kekuatan pada daya gelegar
teriakannya. Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa meman-dang berkeliling.
Rahang menggembung mata menyala. Liris Merah yang tidak tahu pasal ceritanya,
bertanya.
"Ada
apa Pangeran? Kau kelihatan marah besar." Kehadiran Liris Merah bersama
Pangeran Matahari di puncak Gunung Merapi itu memang perlu dijelaskan. Setelah
dirinya berulang kali digaulli oleh manusia bejat itu, entah mengapa Liris
Merah menyukai sang Pangeran yang buruk rupa serta kasar dan jahat. Rasa suka
itu hari demi hari berdua-dua selama perjalanan berubah menjadi rasa sayang.
Lebih-lebih Pangeran Matahari selalu memanjakan dirinya, mencarikan telaga atau
mata air untuk melenyapkan serangan hawa panas pada tubuhnya. Selain itu
Pangeran Matahari juga menjanji-kan akan mencari Kitab Seribu Pengobatan untuk
menyembuhkan penyakitnya.
"Aku
yakin. Kitab itu pasti ada di tangan Wiro Sableng." Begitu Pangeran
Matahari berkata pada Liris Merah. Sebagai gadis suci yang lugu soal hubungan
lelaki dan perempuan, Liris Merah mendapat kenikmatan yang selama ini belum
pernah dirasakannya. Dia tidak tahu apakah Pangeran Matahari benar-benar telah
menye-badaninya. Dia juga tidak tahu apakah saat itu dia masih seorang perawan
atau tidak. Karena seperti diketahui Pangeran Matahari telah kehilangan
kejantanannya.
Setiap
peluk cium serta rabaan sang Pangeran membuat Liris Merah bertambah suka pada
lelaki terkutuk itu bahkan bisa dikatakan tergila-gila. Sebaliknya Pangeran
Matahari menyadari bahwa sampai saat itu kejantanannya masih belum pulih. Hal
ini terbukti setiap saat dia hendak melampiaskan nafsu terkutuknya,
kejantanannya tidak berdaya. Itu sebabnya dia berusaha keras mendapatkan Kitab
Seribu Pengobatan. Menurut ahli pengobatan Ki Tambakpati yang pernah
menolongnya sampai dua kali, didalam kitab itu ada petunjuk untuk penyembuhan
penyakitnya.Pangeran Matahari letakkan Lentera lblis yang dibungkus kain hitam
di tanah. Lalu sambil terus menatap kearah reruntuhan goa dia berkata.
"Sebelumnya,
di tempat ini ada sebuah goa besar milik mendiang guruku. Aku pernah tinggal di
sini bertahun-tahun. Belum lama ini aku datang ke sini. Goa masih ada. Tapi
kini kau saksikan sendiri. Goa itu lenyap! Yang kelihatan hanya puing-puing,
tanah rata! Jahanam betul!" Liris Merah melangkah mendekat, merangkul
pinggang sang Pangeran lalu berkata.
"Kalau
cuma soal goa, kenapa terlalu dirisaukan. Kita bisa membangun pondok. Bagiku
tidur beratap langit berselimut embun tidak jadi soal. Pertama asalkan selalu
di dekatmu.Kedua ada mata air tak jauh dari sini. Dan ketiga janjimu akan
mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan." Pangeran Matahari peluk bahu Liris
Merah. Setelah menciumi wajah, leher dan dada gadis itu penuh nafsu dia
berkata.
"Aku
bukan akan mendirikan pondok di tempat ini. Tapi akan membangun istana! Puncak
Gunung Merapi akan menjadi markas besar Partai Bendera Darah yang sejak lama
ingin aku dirikan!" . Pangeran memandang berkeliling.
"Orang-orang
yang membawa nenek sinting itu baru akan sampai besok. Yang mengherankan
mengapa Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat tidak ada di tempat ini? Apa dia
merasa sudah jadi raja besar dan aku yang harus menunggu kedatangannya?"
"Pangeran
Matahari! Jangan salah menduga. Aku telah satu hari satu malam menunggumu di
sini!" Satu seruan keras lantang menyahuti kata-kata Pangeran Matahari
tadi. Sekejap kemudian berkelebat muncul sosok Pangeran Muda yang selalu
berpakaian bagus mewah. Ternyata dia tidak datang seorang diri. Dua belas orang
ikut muncul bersamanya. Pangeran Matahari angkat kepala, menatap tajam. Dia tak
merasa perlu memperhatikan sepuluh lelaki besar tegap berpakaian seragam hitam.
Yang jadi pusat pandangan-nya adalah dua orang yang tegak di kiri kanan tokoh
Keraton Kaliningratitu.
Yang
pertama dan berdiri di sebelah kiri sang Pangeran adalah seorang kakek berwajah
biru angker aneh berambut panjang kelabu yang dijalin lalu dililit seputar
kening. Di atas matanya yang sipit nyaris merupakan garis tidak terdapat alis.
Hidung hanya berbentuk benjolan sebesar ujung ibu jari sementara mulut
menyerupai mulut ikan, setiap saat selalu bergerak membuka dan menutup.
Pakaiannya jubah hijau digelayuti puluhan ekor ular berwarna coklat kehitaman.
"lblis
Ular Terbang Goa Kladen!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Walau
terkejut namun dia tidak merasa gentar.
"Bertahun-tahun
tidak kedengaran juntrungannya. Sekarang muncul bersama Pangeran gila kuasa
yang banyak kehilangan pendukung ini." Pangeran Matahari melirik ke
sebelah kanan Pangeran Muda. Disini berdiri seorang .nenek berwajah sangat
buruk. Rambutnya putih riap-riapan. Kepala selalu mendongak dan sepasang mata
yang juling menatap ke langit seolah-olah memperhatikansesuatu. Mulutnya yang
keriput selalu menghembus-hembus, menebar hawa panas berbau aneh. Si nenek
mengenakan pakaian menyerupai kemben hingga jelas kelihatan kalau dia sama
sekali tidak mempunyai tangan!
”lblis
Betina Mulut Beracun!" ucap Pangeran Matahari dalam hati menyebut nama si
nenek begitu dia mengenali.
"Jika
iblis lelaki dan iblis perempuan ini bergabung bersama Pangeran Muda, aku
mencium gelagat tidak baik." Pangeran Matahari melirik kearah Lentera
lblis yang terbungkus kain hitam yang diletakkannya di tanah. Di balik kain
hitam pembungkus Lentera lblis keluarkan cahaya redup. Dalam hati sang Pangeran
membatin.
"Lentera
lblis mengeluarkan cahaya di siang hari. Pertanda bahaya. Aku harus
berhati-hati. Pangeran Muda, jika kau berlaku culas ketahuilah kau tak akan
bisa menipu Pangeran Matahari!"
"Pangeran
Muda, sesuai janji, kau datang ke sini membawa Bendera Darah yang menurutmu kau
temukan secara tak sengaja di Goa Selarong."
"Sobatku
Pangeran Matahari, soal Bendera Darah itu jangan kawatir," jawab Pangeran
Muda yang aslinya bernama Sawung Guntur. Dia melirik ke arah Liris Merah.
"Ah,
kalau tidak salah mataku melihat, bukankah gadis cantik berpakaian serba merah
ini adalah salah seorang murid Hantu Malam Bergigi Perak,yang baru-baru ini
dikabarkan menemui ajal di tangan Sinto Gendeng?"
"Ucapanmu
tidak salah! Tapi saat ini aku membicarakan Bendera Darah, bukan perihal gadis
ini!" Damprat Pangeran Matahari. Pangeran Muda batuk-batuk. Dia tepukkan
dua tangannya. Saat itu juga dari atas sebuah pohon besar melayang turun satu
sosok berpakaian hijau sangat tipis sambil memegang sebatang besi berujung
lancip dimana tergulung sehelai kain berlumuran darah setengah kering.
Luar
biasa! Semua mata mendelik!
Sosok
berpakaian hijau yang turun dari pohon ternyata adalah seorang gadis cantik
mengenakan pakaian hijau sangat tipis. Begitu tipisnya hingga jelas terlihat
auratnya kencang, mulus dan bagus yang tidak mengenakan apa-apa lagi di balik
pakaian hijau itu. Dengan kedua tangannya gadis cantik ini memegang gagang besi
sebuah bendera yang tergulung, berwarna merah kehitaman, menebar bau busuk.
Busuknya darah yang setengah mengering. ltulah Bendera Darah. Bendera kebesaran
Partai Bendera Darah yang sejak lama ingin didirikan Pangeran Matahari dalam
rangka tujuannya menguasai rimba persilatan tanah Jawa.
"Pangeran
Matahari, aku perkenalkan. Gadis itu bernama Lawangningrum. Dia akan
menyerahkan Bendera Darah padamu. Tapi tidak di sini. Tak jauh dari sini,
orang-orangku telah mem-angun sebuah pondok kayu. Lawangningrum akan
menyerah-an Bendera Darah di pondok itu. Selanjutnya gadis itu jadi
milikmu." Pangeran Matahari perhatikan gadis cantik yang nyaris bugil di
hadapannya. Darahnya terasa panas, pelipis bergerak-gerak dan cuping hidung
yang bengkok kembang kempis. Nafsunya menggelegak. Dia memang suka pada si
gadis. Namun tindak tanduk dan bicara Pangeran Muda tadi membuat Pangeran.
Matahari merasa dilecehkan di hadapan orang banyak. Sang Pangeran terlalu
sombong untuk menerima hadiah istimewa secara begitu rupa. Pangeran Matahari
berpaling pada Pangeran Muda lalu berkata.
"Pangeran
Muda, aku ingin Lawangningrum menyerahkan ‘ Bendera Darah saat ini juga padaku,
di tempat ini!" Pangeran Muda Sawung Guntur melirik pada lblis Betina
Mulut Beracun dan lblis Ular Terbang Goa Kladen. Dua lblis ini sama anggukkan
kepala. Pangeran Muda berpaling kembali pada Pangeran Matahari dan berkata
dengan suara lantang.
"Pangeran
Matahari kau adalah pimpinan dan penguasa di puncak Merapi. Jika Pangeran
Matahari menghendaki bendera diserahkan di tempat ini siapa yang berani menampik?
Lawangningrum serahkan Bendera Darah pada Pangeran Matahari!" Pangeran
Matahari tidak bodoh. Dia telah melihat gerak gerik tiga orang di hadapannya.
Semakin jelas tercium hal yang tidak beres.
Gadis
bernama Lawangnillgrum anggukkan kepala lalu perlahan-lahan langkahkan kaki ke
arah Pangeran Matahari. Sementara berjalan dia goyangkan bahunya yang bidang
serta dada kencang dan pinggul besar. Pakaian hijau tipis yang melekat di
tubuhnya sedikit demi sedikit merosot jatuh ke tanah. Ketika dia sampai di hadapan
Pangeran Matahari untuk menyerahkan Bendera Darah, keadaan dirinya tidak lagi
tertutup sehelai benang pun. Polos telanjang!
Darah
Pangeran Matahari berdegup kencang dan panas Mata nya terbeliak besar. Dada
berguncang keras. Ketika Lawangningrum sedikit membungkuk memberi penghormatan
sambil.ulurkan Ben dera Darah, nafsu Pangeran Matahari menggelegak. Gerakan mem
bungkuk gadis bugil di hadapannya itu membuat sepasang payuda- ranya yang
kencang membuyut besar dan bergoyang kenyal.
Namun
kecerdikan otaknya membuat Pangeran Matahari ti- dak berlaku lengah. Dia sadar
bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Pada saat itulah Lawangingrum sentakkan dua
tangannya yang me-megang besi gagang bendera. Bendera Darah yang sejak tadi
ter-gulung pada gagang besi, membuka sebat, menebar hawa luar bia-sa amis
busuk. Namun yang keluar dari bendera itu bukan cuma ha-wa amis busuk.
Bersamaan dengan terbukanya gulungan bendera berbentuk segi tiga itu melesat
dua puluh senjata rahasia berupa paku panas merah menyala, menyerang Pangeran
Matahari!
Di saat
yang sama lblis Betina Mulut Seracun dan lblis Ular Terbang Goa Kladen
keluarkan pekikan lantang. Sepuluh orang ber-pakaian seragam hitam ikut
menjerit lalu menebar mengurung mem-bentuk lingkaran. Bersamaan dengan itu
tubuh Lawangningrum tam-pak mengepul. Ujudnya saat itu berubah menjadi sosok
seorang nenek bertubuh gemuk bungkuk. Ketika mulutnya yang peot menyeringai
kelihatan taring-taring mencuat panjang dan tajam serta basah oleh darah di dua
sudut bibir.
"Genderuwo
Penghisap Darah!" teriak Pangeran Matahari.
"Keparat
kurang ajar! Kalian mencari mati semua!" Pangeran Matahari marah sekali.
lblis Betina Mulut Beracun melompat sambil menyembur. Asap hitam beracun
membersitkan bau busuk mendera ke arah Pangeran Matahari. Jangankan manusia,
seekor gajah pun kalau sampai menghisap hawa beracun ini pasti akan
tergelimpang roboh menemui ajal!
Sementara
itu sepuluh dari tiga puluh ular coklat kehitaman yang menempel di pakaian
hijau lblis Ular Terbang Goa Kladen melesat di udara, menyambar ke arah
Pangeran Matahari! Pada saat semua orang bergerak menyerang Pangeran Matahari,
Pangeran Muda Sawung Guntur melompat menyambar Lentera lblis.
Pangeran
Matahari menggembor keras. Matanya terasa perih. Cepat dia tutup jalan
pernafasan untuk selamatkan diri dari serangan asap beracun yang disemburkan
lblis Betina Mulut Beracun. Sambil tutup pernafasan Pangeran Matahari jatuhkan
diri. Telapak tangan kiri bersitekan ke tanah. Tangan kanan menghantam ke
depan, lancarkan pukulan Menahan Bumi Memutar Matahari yang didapatnya dari
Singo Abang. Puluhan paku panas menyala yang menghantam ke arahnya
berpelantingan ke udara. Namun sebuah paku masih .sempat menghajar daun telinga
kanannya sehlingga robek kucurkan darah!
"Setan
alas! Terima kematianmu!" teriak Pangeran Matahari. Dia hendak menghantam
Gondoruwo Penghisap Darah dengan pukulan Gerhana Matahari namun.membatalkan
niatnya karena saat itu sepuluh ular coklat kehitaman yang melesat telah berada
dekat sekali. Sementara dia juga harus selamatkan Lentera Ibis yang hendak
dirampas Pangeran Muda! Liris Merah tidak tinggal diam. Didahului pekik
kemarahan gadis murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak ini berkelebat ke arah
samping lblis Ular Terbang Goa Kladen. Dua tangan disilang di depan dada. Dua
tangan itu tampak berubah hitam, sepuluh kuku jari mencuat hitam panjang.
Ketika dua tangan dihantamkan ke delapan, sepuluh larik cairan hitam menebar
bau busuk serta mengepulkan asap menyambar sepuluh ular yang melesatdi udara!
ltulah pukulan sakti yang disebut Limbah Neraka MenghujatBumi!
"Dess
… dess …. desss …. blaarrr!"
Sepuluh
ular terbang terpental hancur. lblis Ular Terbang Goa Kladen terkejut dan
pucat. Dia tidak menyangka kalau Liris Merah telah menerima warisan pukulan
sakti itu dari mendiang gurunya. Bum-buru dia bersurut mundur sampai empat
langkah.
**********************
SEPULUH
Sepuluh
anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam di dahului teriakan marah menyerbu
ke arah Liris Merah. Si gadis ganda tertawa dan berseru.
"Aku
tahu ilmu kebal kalian! Majulah lebih dekat untuk menerima kematian! Hik … hik
… hik! Liris Merah lalu melompat ke arah semak belukar hingga dua kakinya tidak
lagi menginjak tanah. Mendengar ucapan serta melihat gerakan si gadis sepuluh
lelaki berseragam hitam serta merta hentikan gerakan menyerang. Seperti
diketahui anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam memiliki ilmu kebal
tahan pukulan tahan senjata. Rahasia kekebalan ini diketahui oleh Liris Merah
dan Liris Biru dari guru mereka yaitu Hantu Malam Bergigi Perak.
Selama
kaki mereka berpijak di bumi, atau selama kaki penyerang menginjak tanah maka
tidak ada ilmu pukulan serta senjata apapun sanggup mencelakai mereka! Pangeran
Matahari tertawa bergelak.
"Kekasihku
Liris Merah!Kau hebat sekali!" Bersamaan dengan itu sang Pangeran putar
telapak tangan kirinya yang sampai saat itu masih bersitekan ke tanah. Kaki
kanan melesat ke depan dan
kraakk!
Pangeran
muda yang hendak mengambil Lentera lblis men-jerit keras ketika lengan
kanantlya hancur dimakan tendangan Pangeran Matahari. Untuk selamatkan diri dia
jatuhkan tubuh di tanah lalu berguling menjauh. Sambil terus mengumbar tawa
Pangeran Matahari ambil Lentera lblis dan buka kain hitam pem-bungkus. lblis
Ular Terbang Goa Kladen, lblis Betina Mulut Beracun dan Gondoruwo Penghisap
Darah tidak tahu apa yang terjadi.
Mereka
hanya melihat Lentera lblis di tangan Pangeran Matahari berputas sedemikian
rupa. Sebelum ketiganya sempat selamatkan diri, kilatan cahaya merah berkiblat
keluar dari Lentera Iblis.
"Wusss!
Wusss! Wusss!"
Tiga
tokoh rimba persilatan golongan hitam itu menjerit keras. Suara jeritan inereka
lenyap begitu sinar merah melanda tubuh masing-masing lalu jatuh ke tanah dalam
keadaan mengepul. Ketiganya menemui ajal dengan tubuh hangus nyaris leleh,
berwar-na merah! Pangeran Matahari telah menghajar ke tiga orang itu dengan
jurus pertama Lentera lblis yakni Jurus Api Neraka!
Cahaya
merah mengandung cahaya panas luar biasa ternyata tidak hanya berkiblat
menghabisi nyawa ke tiga tokoh bawa-an Pangeran Muda tadi, tetapi terus
menghantam ke arah deretan pepohonan dan semak belukar kering. Dalam sekejap
mata semuanya telah dilamun kobaran api. Ketika angin bertiup kencang kobaran
api meluas kemana-mana! Dalam waktu singkat sebagian puncak utara Gunung Merapi
di sekitar telaga telah tenggelam dalam satu kebakaran yang luar biasa
dasyatnya.
Melihat
apa yang terjadi atas diri ke tiga tokoh golongan hitam itu, sementara pimpinan
mereka Pangeran Muda tidak diketahui berada di mana dan dalam keadaan
bagaimana, sepuluh anggota Keraton Kaliningrat berseragam hitam tidak tunggu
lebih lama segera putar tubuh ambil langkah seribu. Namun Liris Merah agaknya
tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk selamatkan diri. Masih di antara
semak belukar yang saat itu mulai dijilat api, gadis itu lepaskan pukulan
tangan kosong jarak jauh. Satu persatu anggota Keraton Kaliningrat berseragam
hitam terpental dan tergelimpang dengan punggung hancur. Hanya dua orang saja
yang sempat kabur selamatkan nyawa.
Pangeran
Matahari tenteng Lentera lblis di tangan kanan lalu mengambil Bendera Darah.
Gagang bendera yang terbuat dari besi ini kemudian dihunjamkan ke sebuah batu
besar bekas reruntuhan goa. Bendera berbentuk segitiga yang berlumuran darah
setengah kering ini berkibar ditiup angin, menebar bau busuk amis.
"Pangeran!
Telinga kananmu terluka!" teriak Liris Merah. Gadis ini lari mendatangi.
Pangeran Matahari langsung merangkul pinggang Liris Merah.
"Hanya
luka kecil, mengapa dikhawatirkan?" kata sang Pangeran pula.
"Kau
tahu, kobaran api itu merangsang nafsuku. Aku ingin mencumbumu di tengah
kebakaran dahsyat ini!"
"Pangeran,
aku siap melayanimu,"jawab Liris Merah yang sudah tergila-gila pada
Pangeran Matahari. Lalu tanpa malu malu gadis ini tanggalkan pakaian merahnya
dan baringkan tubuh di tanah.
"Pangeran,
cepat. Lakukan Sekarang. Tubuhku mulai terasa panas." Pangeran Matahari
tertawa tergelak-gelak. Sepasang matanya berkilat-kilat.
"Kekasihku,
kau memang hebat! Tidak Pernah aku menemui gadis luar biasa seperti dirimu
sebelumnya! Kita bercumbu dulu di sini. Ada sebuah telaga kecil tak jauh dari
sini. Aku nanti akan mem-bawamu ke sana. Kita akan teruskan bersenang-senang di
telaga itu sampai malam, sampai pagi. Ha … ha … ha … ! kau hebat! Bilamana
Partai Bendera Darah berdiri, Aku akan menjadi Raja di Raja rimba persilatan
dan kau akan menjadi Ratunya! Ha … ha … ha!" Liris Merah memekik kecil
lalu tarik tangan Pangeran Matahari.
**********************
API yang
membakar puncak Merapi serta merta menarik perhatian semua orang yang berada di
sekitar gunung tersebut bahkan sampai jauh ke Kotaraja. Sri Baginda Raja
memerintahkan Patih Wira Bumi untuk melakukan penyelidikan. Sementara itu
beberapa mata-mata Kerajaan yang disebar untuk memantau keamanan serta
mengawasi gerakan-gerakan mencurigakan termasuk gerakan orang-orang Keraton
Kaliningrat melapor bahwa dua hari sebelum api berkobar di puncak Merapi,
Pangeran Muda terlihat menaiki gunung membawa sejumlah orang. Orang-orang
Kerajaan tak berani bertindak karena Pangeran Muda ditemani beberapa tokoh
rimba persilatan golongan hitam.
Keesokannya
ada serombongan orang tak dikenal naik ke puncak gunung membawa sebuah usungan.
Di hari yang sama kembali Pangeran Muda terlihat di sebuah dangau di kaki
gunung. Kali ini dia hanya seorang diri dan dalam keadaan cidera berat.
Berdasarhan keterangan mata-mata patih Wira Bumi bersama sejumlah pasukan serta
dua orang tokoh silat istana segera mendatangi dangau dimana Pangeran Muda
pimpinan pemberontak
Keraton
Kaliningrat terakhir kali terlihat. Ketika menjelang malam rombongan
orang-orang Kerajaan ini sampai ternyata Pangeran Muda Sawung Guntur masih ada
di sana. Lengan kanannya yang hancur mulai membusuk. Sang Pangeran
diperintahkan menyerah namun dengan nekad melakukan perlawanan. Walau lengan
kanannya dalam keadaan cidera berat ternyata Pangeran Muda tetap merupakan
manusia berbahaya.
Dia mampu
membunuh enam perajurit Kerajaan dan melukai salah seorang tokoh silat istana.
Setelah mendesak lawan yang terluka itu Wira Bumi berhasil menghantam dada
lawan dengan pukulan Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Ini adalah ilmu pukulan
sangat jahat yang didapat Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. Sebelum memukul Wira
Bumi menyembur dulu lawannya dengan asap hitam. Selagi pemandangan Pangeran
Muda tertutup, Patih Kerajaan menggebuk tokoh Keraton Kaliningrat itu telak di
bagian
dadanya
hingga muntah darah.
Dalam
keadaan luka parah luar dalam dan tertotok Pangeran
Muda
dipaksa memberi keterangan. Megap-megap orang ini menceritakan apa yang terjadi
di puncak Merapi.
"Aku
berjuang demi menuntut hakku yang syah atas tahta
Kerajaan.
Kalian memperlakukanku secara sewenang-wenang!
Aku mau
tahu apa kalian orang-orang Kerajaan mampu menghadapi Pangeran Matahari."
Ucap Pangeran Muda mengakhiri keterangan.
"Hanya
berteman seorang gadis, apakah kemampuan Pangeran Matahari begitu
hebatnya?"
"Patih
Kerajaan, jangan pongah. Aku tahu kau dapat banyak ilmu hebat dari gurumu
mahluk alam roh Nyai Tumbal Jiwo. Tapi siapa yang tidak kenal Pangeran
Matahari! Jangan lecehkan ilmu kesaktiannya. Selain itu dia memiliki sebuah
senjata berupa lentera bernama Lentera Iblis! Dialah yang telah membakar rimba
belantara di puncak Gunung Merapi! Sekali Partai Bendera Darah berdiri kalian
semua akan dihabisinya!" Patih Kerajaan menyeringai lalu angguk-anggukkan kepala.
"Aku
tadinya menganggap cerita tentang Lentera lblis itu hanya isapan jempol belaka
…"
"Naiklah
ke puncak Merapi. Rampas lentera itu sebelum lentera merampas nyawamu!"
kata Pangeran Muda pula lalu menyambung kata-katanya.
"Patih
Wira Bumi, aku telah memberi keterangan sangat berguna bagi Kerajaan,
seharusnya saat ini . kau membebaskan diriku! Aku adalah Rajamu yang
syah!" Wira Bumi tertawa panjang. Tiga tokoh silat golongan hitam yang
datang bersamanya sunggingkan senyum mengejek. Sang Patih kemudian tepuk-tepuk
bahu Pangeran Muda yang sampai saat itu masih berdiri dalam keadaan tertotok
lalu berkata.
"Jangan
kawatir Pangeran Muda. Kau akan aku lepaskan. Sekalian bersama nyawamu!"
Patih Kerajaan mengambil tombak yang dipegang seorang perajurit. Senjata ini
kemudian dihunjamkannya ke dada Pangeran Muda.
Manusia
yang memimpikan untuk dapat merebut tahta Kerajaan dan menjadi Raja ini hanya
sempat keluarkan jeritan pendek lalu jatuh terbanting ke tanah dan hembuskan
nafas terakhir dengan mata melotot.
Patih
Wira Bumi dan dua orang tokoh silat istana berunding apa yang akan dilakukan.
Akhirnya diputuskan bahwa hari itu juga, paling lambatsore nanti mereka akan
naik ke puncak Gunung Merapi setelah lebih dulu menghimpun dan menambah
kekuatan pasukan. Sang Patih sendiri yang akan memimpin rombongan. Sementara
itu kebakaran yang melanda puncak Merapi serta kabar tertangkap dan matinya
Pangeran Muda gembong pimpinan kaum pemberontak dari Keraton Kaliningrat telah
pula sampai ke telinga dan mendapat perhatian para tokoh rimba persilatan.
Mereka menghubungkan peristiwa itu dengan ramalan akan munculnya satu kejadian
luar biasa. Maka satu persatu para tokoh , rimba persilatan naik ke puncak
Merapi.
Para
sepuh rimba persilatan umumnya tahu bahwa kawasan utara puncak Gunung Merapi
pemah menjadi tempat kediaman Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. Pasti
sesuatu terjadi di sana. Kebanyakan dari mereka memilih melakukan perjalanan
pada malam hari agar sampai keesokan pagi di tempat tujuan.
Ketika
api melanda puncak Merapi, Pendekar 212 Wiro Sableng dalam perjalanan menuju
Goa Cadasbiru. Rencananya menemui Liris Merah dan Liris Biru, mencari petunjuk
dalam Kitab Seribu Pengobatan agar dapat menyembuhkan penyakit yang diderita
dua gadis itu. Di tengah jalan Wiro malah berpapasan dengan Liris Biru yang
ditemani Setan Ngompol. Ketika ditanya Setan Ngompol memberi tahu bahwa dia dan
Liris Biru bermaksud mencari Wiro dan Liris Merah yang katanya hendak mengejar
pemuda itu. Liris Biru tampak gelisah mengetahui kakaknya tidak bersama Wiro,
bahkan Wiro tidak tahu menahu dimana gadis itu berada.
"Kek,
dalam perjalanan aku melihat seperti ada kebakaran di
puncak
Gunung Merapi. Aku pernah menyirap kabar bahwa satu peristiwa besar akan
terjadi dalam rimba persilatan. Dari Kakek Segala Tahu yang aku temui belum
lama ini dia mengatakan peristiwa itu adalah api dan darah. Lalu mengingat
puncak Merapi adalah tempat kediaman Si Muka Bangkai guru Pangeran Matahari,
menurutmu bagaimana kalau kiia naik ke sana."
"Aku
memang punya pikiran begitu." Jawab Setan Ngompol. Lalu berpaling pada
Liris Biru
"Kau
ikut?"
"Aku
ikut kemana kalian pergi," jawab si gadis. Wiro mendekati Liris Biru dan
berkata.
"Kitab
Seribu Pengobatan sudah ada di tanganku. Sekem-balinya dari gunung Merapi kita
sama-sama mencari petunjuk dalam kitab bagaimana mengobati penyakit dirimu dan
Liris Merah." Wajah biris Biru tampak berseri.
"Aku
gembira. Aku merasa lega sekarang."
**********************
MALAM itu
tanpa perdulikan api yang terus melalap puncak Merapi, Pangeran Matahari dan
Liris Merah tidur di atas sebuah rakit di ayun lembut air telaga. Sementara
mayat orang-orang Keraton Kaliningrat masih bergeletakan di sekitar telaga.
Kedua insan yang lelap berpelukan setelah semalam suntuk memadu cinta saling
melampiaskan nafsu baru terbangun dari tidur ketika cahaya matahari memanasi
tubuh mereka. Kedua orang yang sejak malam tadi berada dalam keadaan bugil
cepat kenakan pakaian masing-masing. Lentera terbungkus kain hitam nampak
memancarkan cahaya merah.
"Ada
bahaya," bisik Pangeran Matahari. Dia pegang tangan Liris Merah. Tangan
yang lain menjangkau bungkusan Lentera lblis lalu keduanya melesat ke tepi
telaga, berdiri di hadapan sebuah pondok kayu yang sebelumnya sengaja dibangun
oleh Pangeran Muda untuk membujuk hati Pangeran Matahari.
"Masuklah
ke dalam pondok. Jangan sekali-kali berani keluar
kalau
tidak aku beri tanda dengan dua kali suitan. Awasi tawanan kita. Rombongan
malam tadi yang membawa tawanan sudah meninggalkan tempat ini. Aku punya
perasaan saat ini bukan cuma kita yang ada di tempat ini. Orang-orang rimba
persilatan. Mereka naik ke sini untuk mengantar nyawa!"
Setelah
Liris Merah masuk ke dalam pondok, Pangeran Matahari melangkah mendekati
Bendera Darah yang kini menancap di tengah halaman luas antara pondok kayu dan
telaga. Sambil memegang besi gagang bendera, dua mata Pangeran Matahari
memandang berkeliling. Dia melihat beberapa orang mendekam di balik pohon-pohon
besar. Ada yang berlindung di balik gundukan batu di tepi telaga. Ada juga
merunduk di balik . semak belukar.
Pangeran
Matahari tertawa berqelak "Manusia-manusia geblek! Berani datang tidak
berani unjukkan tampang!" Belum lenyap gelegar suara lantang Pangeran
Matahari, tiba tiba dari balik pepohonan, dari belakang gundukan batu dan semak
belukar satu persatu melesat keluar beberapa orang.
Pangeran
Matahari tahu kalau tidak semua orang yang datang sudah unjukkan diri. Masih
ada yang sembunyi. Sementara itu dari arah timur pinggiran telaga mendatangi
pasukan Kerajaan dibawah pimpinan Patih Wira Bumi dan Kepala Pasukan Kerajaan
Gempar Sumodibroto. Pangeran Matahari mendengus. Unjukkan seringai dan membuka
mulut.
"Kalian
datang dari jauh. Sepantasnya aku menghidangkan minuman hangat. Namun kalian
bukan tamu tamu yang pantas mendapatkan kehormatanku. Lagi pula kalian datang
sudah membawa bekal minuman. Yaitu darah kalian masing-masing yang kelak akan
kalian teguk sendiri sebelum menemui kematian! Ha … ha … ha!" Sang
Pangeran tahu, walau ada yang tidak dikenalnya namun orang-orang yang ada di
tempat itu bukanlah manusia-manusia sembarangan. Diantara mereka sudah menjadi
musuhnya sejak lama. Tapi selama Lentera Iblis ada dalam pegangannya dia tidak
perlu merasa kawatir.
"Tidak
diduga tidak disangka! Rupanya kalian datang jauh jauh minta mati secara
bersamaan! Belantara kobaran api puncak Gunung Merapi agaknya telah menarik
perhatian kalian! Sayangnya rasa ingin tahu kalian akan berakhir pada kematian!
Ha … ha … ha!"
Wiro
Sableng : Api Di Puncak Merapi
**********************
SEBELAS
ORANG
pertama yang jadi perhatian Pangeran Matahari adalah musuh bebuyutannya yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Pemuda
Sableng berjuluk Pendekar Dua Satu Dua! Hari ini kau berpenampilan aneh dan
lucu! Biasanya selalu mengenakan pakaian serba putih. Sekarang mengenakan
pakaian hitam! Apakah itu tanda sebagai rasa tahu diri bahwa kau bakal menemui
kematian?!"
Diejek
begitu rupa Wiro tenang-tenang saja, malah sambil menyengir dia menyahuti
ucapan orang.
"Aku
memang kehabisan kain putih untuk bahan pakaian. Kabarnya persediaan kain putih
di seluruh tempat sudah habis dipesan orang. Untuk dijadikan kain kafan
pembungkus jenazahmu. Tentunya kalau hari ini kau mampus dengan jazad masih
utuh! Ha … ha … ha!"
Tampang
Pangeran Matahari jadi kaku membesi. Tak mau kalah dia kembali tertawa. Suara
tawanya menindih suara tawa Pendekar 212, menggetarkan seantero tempat termasuk
halaman luas antara pondok dan telaga. Air telaga tampak bergelombang. Wiro
perhatikan Lentera lblis di tangan Pangeran Matahari. Dia meyakini senjata aneh
itu memberi kekuatan tambahan pada tenaga dalam serta hawa sakti yang ada dalam
tubuh murid Si Muka Bangkai itu.
"Gunung
Merapi adalah daerah kekuasaanku. Aku berpant-ang mati di sarang sendiri! Lihat
di sekitar kalian. Hampir selusin mayat bergeletakan. Apa itu tidak membuat
kalian berpikir seribu kali berani menyatroni Pangeran Matahari di sarangnya
sendiri?!" Wiro balas ucapan orang.
"Pangeran
Matahari, dosamu telah melebihi takaran. Sedalam lautan setinggi langit tembus,
sebusuk comberan. Ketahuilah bahwa sebenarnya kau telah lama mati. Selama ini
kau tak lebih dari pada mayat berjalan!" , Air. muka Pangeran Matahari
langsung mengelam kaku mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Namun dengan
cerdik
dia tindih
hawa amarah dengan tawa bergelak.
Setelah
puas tertawa Pangeran Matahari perhatikan orang berikutnya. Yaitu seorang kakek
bermata jereng, kuping lebar dan salah satunya terbalik. Kakek ini
sebentar-sebentar pegangi celana. Tanah yang dipijak tampak basah. Setan
Ngompol! Siapa lagi kalau bukandia!
"Kakek
jelek! Kau datang hanya mengotori tempat kediaman- ku dengan air kencingmu!
Tololnya mau ikut-ikutan mati bersama pendekar sableng itu!" Mendengar
ancaman itu karuan saja kencing Setan Ngompol jadi terpancar. Tanah di bawah
kedua kakinya tampak tambah becek.
"Air
kencingku bukan air kencing biasa!" menyahuti Setan Ngompol.
"Kalau
kau minum sambil menungging rasanya sama dengan anggur harum negeri Cina! Ha …
ha … ha! Kau mau minum kencingku? Sekarang? Ha … ha … ha!" Sambil tertawa
Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya Serrr …. serrr. Kencing kembali
memancar. Tampang Pangeran Matahari jadi merah membesi.
"Kakek
bau pesing! Kau boleh mempermainkanku! Sebentar lagi tubuhmu akan aku buat
leleh!" Namun dia jadi terhibur ketika melihat gadis cantik berpakaian
serba biru yang tegak di dekat si kakek.
"Gadis
cantik, bukankah kau adik gadis bernama Liris Merah?
Ah,
sayang sekali. Cantik dan harum mengapa jalan bersama kakek jelek bau pesing
itu?! Ha … ha … ha! Sebentar lagi kau akan terkejut melihat siapa yang hadir di
sini! Kau harus memanggil kakak ipar padaku! Ha … ha …. ha!"
Ucapan
terakhir pangeran Matahari itu membuat Liris Biru selain heran juga terkejut.
Apakah telah terjadi perkawinan antara Pangeran Matahari dengan kakaknya?
Kapan? Namun saat itu gadis ini tak bisa berpikir panjang. Pangeran Matahari
lalu palingkan kepala ke arah seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Pemuda ini
berambut ikal hitam, berwajah tampan. Wiro sendiri sejak tadi memperhatikan
karena rasa-rasa kenal.
"Sobat
muda! Aku tak mengenal siapa dirimu! Lekas terangkan siapa kau adanya. Apa
sudah bosan hidup berani datang ke puncak Merapi !"
"Namaku
Jatilandak! Aku datang ke sini untuk mewakili seorang gadis sahabatku yang
pernah kau perkosa!" Kejut Wiro dan Setan Ngompol bukan alang kepalang.
Jatilandak! Pemuda dari Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam., Apa yang
terjadi? Bagaimana keadaannya ymg dulu botak serta berkulit kuning menjijikkan
kini berubah menjadi seorang pemuda tampan berkulit bersih berambut lebat?
Kitab Seribu Pengobatan! Wiro lantas ingat pada perempuan bayangan. Mungkin
sekali Jatilandak lah yang diobati mahluk itu.
." Purnama
…." Wiro berucap berlahan.
"Apakah
kau berada di sini?"
"Aku
sejak tadi ada di dekatmu," ada suara jawaban mengiang di telinga kanan
Pendekar 212 disertai saputan angin halus.
"Purnama,
pemuda itukah yang kau maksudkan pada per-temuan kita sebelumnya?"
"Betul.
Dia sahabatmu bukan?" Wiro menggaruk kepala lalu mengangguk perlahan.
"Apa
hubunganmu dengan Jatilandak …."
"Kau
cemburu? Sudah nanti saja kita bicara lihat apa yang terjadi. Banyak kejutan
yang akan kau lihat sebentar lagi." Jawab Purnama mahluk alam roh dari
Negeri Latanasilam.
Kening
Pangeran Matahari mengerenyit.
"Selama
hidup aku telah merusak kehormatan puluhan gadis. Aku tak ingat satu-satu nama
mereka. Katakan siapa. nama Sahabatmu yang menurutmu telah aku perkosa?!"
"Bidadari
Angin Timur!" jawab Jatilandak tanpa tedeng aling-aling dengan suara keras
lantang hingga semua orang mendengar jelas. Wiro terkejut.
"Pangeran
jahanam!" geram Wiro dengan dua tangan terkepal. Pangeran Matahari lebih
lagi kejutnya. Tetapi ia tunjukkan
sikap
tenang. Sambil mengeringai dan usap-usap dagu
pangeran
bergumam.
"Hemm
…. Bidadari Angin Timur bukan gadis sembarangan. Jangan kau berani menuduh
tanpa membawa bukti. Dimana gadis itu sekarang?" .
"Dia
diketahui telah membuang diri masuk jurang. Bunuh diri karena tidak sanggup
menahan aib besar!" Wiro Sableng merasa tanah yang dipijak seperti amblas.
Mukanya tampak pucat. Sekujur tubuh panas bergetar dan dada terasa sesak. Dia
memandang ke arah Setan Ngampol Si kakek sendiri dalam kaget luar biasa
langsung kucurkan air kencing.
"Kek,
Apakah benar Bidadari Angin Timur sudah meninggal? Aku seperti tak bisa percaya
…" suara Wiro bergetar.Tenggorokan Setang Ngompol turun naik mendengar
ucapan Wiro tadi.
"Aku
tidak tahu Wiro. Lama sekali aku tidak melihat atau mendengar kabar dirinya.
Kalau nasibnya sampai begitu rupa, kasihan sekali …’
"Pangeran
Matahari! Aku datang untuk membalaskan sakit hati atas perbuatanmu terhadap
gadis sahabatku itu!" Habis berkata begitu Jatilandak siap hendak
menyerang Pangeran Matahari. Namun seperti ada satu tangan yang menahan dadanya
hingga gerakan kedua kakinya terhenti.
"Anak
Muda, kalau mau mati harap bersabar dulu! Jika kau memaksa aku akan memberikan
kesempatan bagimu untuk menemui kematian!" Jawab Pangeran Matahari.
Jatilandak
sunggingkan senyum sinis.
”Pangeran
Matahari kau tak bisa lari dari kematian. Mayatmu tidak bakal berkubur!"
Pangeran Matahari gembungkan rahang. Dia tak ingin melayani Jatilandak lebih
jauh. Dia berpaling pada Patih Kerajaan.
"Patih
Kerajaan Wira Bumi!" Pangeraan Matahari berseru.
"Sungguh
satu kehormatan atas kehadiranmu membawa pasukan dalam jumlah besar. Disertai
pula Kepala Pasukan Kerajaan dan dua tokoh silat istana! Benar-benar kehormatan
luar biasa!" Wiro berbisik pada Setan Ngompol. Suami perempuan Nyi Retno
Mantili jadi urusan kita nanti Kek. Dia yang menggantung Ki Tambakpati."
Sementara itu Patih Wira Bumi telah maju selangkah. .
"Pangeran
Matahari. Aku datang untuk menyelidik. Ada orang yang memberi tahu bahwa kau
telah membakar rimba di kawasan puncak gunung ini. Kemudian kau hendak
mendirikan Partai Bendera Darah yang mengancam ketentraman Kerajaan serta
seluruh kawasan negeri. Apakah hal itu benar adanya?"
Mendengar
kata-kata Patih Kerajaan Pangeran Matahari tertawa langsung tertawa
gelak-gelak..
"Sungguh
tolol!! Jauh jauh datang hanya untuk mengajukan dua pertanyaan. Ha … ha …
ha!" Pangeran Matahari kacakkan tangan kiri di pinggang Tangan kanan
memegang lebih erat gagang Lentera Iblis.Dua mata menatap tajam pada Patih
Kerajaan lalu dia bertanya.
"Patih,
siapa yang mengadukan hal itupada sampeyan?!"
"Pangeran
Muda yang kau hancurkan tangannya!" Jawab
Patih
Kerajaan. Kembali Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak
."Kau
lebih percaya pada biang pemberontak itu dari pada orang rimba persilatan
yangselalu bicara apa adanya seperti aku!"
Wira Bumi
melirik ke arah Bendera Darah yang menancap di tanah. Dia berpaling pada Kepala
Pasukan yang berdiri di sebelahnya dan berkata.
"Gempar
Sumobroto! Tangkap manusia itu hidup atau mati. Mendengar perintah sang Patih,
Kepala Pasukan Kerajaan segera memberi tanda kepada seluruh anak buahnya.
Hampir lima puluh perajurit segera mengepung Pangeran Matahari. Dua orang tokoh
silat istana yang juga mendapat tanda dari Wira Bumi cepat mendekati sang
Patih. Salah seorang berbisik.
"Patih,
Lentera lblis bukan senjata sembarangan Kita harus menghadapi lawan dengan
memakai siasat."
"Kalian
berdua tak perlu menasehatiku! Saat ini bukan waktunya banyak bicara. Aku
membawa kalian ke sini untuk menghabisi orang itu! Kerjakan perintah!"
Patih
Kerajaan marah sekali. Dia membentak sambil delikkan
mata. Dua
tokoh silat istana tak bisa berbuat lain. Namun salah seorang dari mereka yang
dikenal dengan julukan "Jerangkong Hidup" berlaku cerdik. Tokoh silat
yang keadaan tubuhnya memang seperti jerangkong kurus tinggi berselempang kain
putih itu berkelebat ke samping kiri seolah hendak menyerang lawan dari arah
ini namun sebenarnya dia berusaha menjauhkan diri dari Pangeran Matahari.
Pangeran
Matahari sendiri saat itu decakkan lidah dan goleng-goleng kepala. Dengan sikap
tenang malah sambil menyeringai dia menatap ke arah orang-orang yang datang
menyerbu.Pergelangan tangan kanan yang memegang Lentera lblis perlahan-lahan
bergerak berputar ke kanan siap mengeluarkan jurus pertama Lentera Iblis
bernama Api Neraka.
Pangeran
Matahari keluarkan bentakan dahsyat. Lentera Iblis
berputar
ke kanan lalu wusss! Sinar merah berkiblat.laksana kipas raksasa menyapu. Saat
itu juga pekik kematian mendera seantero tempat. Puluhan tubuh mencelat ke
udara lalu jatuh berkaparan di tanah dalam keadaan sudah jadi mayat, hangus
merah kepulkan asap. Bau daging terpanggang menghampar dimana-mana! Yang
menemui ajal saat itu adalah dua puluh tiga perajurit Kerajaan, Kepala Pasukan
Gempar Sumobroto serta seorang tokoh silat istana! Perajurit-perajurit dan
tokoh silat Si Jerangkong Hidup yang masih hidup, tanpa dapat dicegah langsung
saja tinggalkan tempat itu. Patih Kerajaan dalam kemarahannya tidak bisa
mencegah mereka yang kabur. Nyalinya sendiri saat itu sebenarnya sudah leleh.
Tapi untuk ikutan kabur dia merasa malu.
Agar
harga dirinya tidak jatuh Wira Bumi menghunus sebilah
tombak
pendek bermata dua yang memancarkan sinar berputar membentuk tameng besar di
tangan kiri sementara tangan kanan menyiapkan pukulan sakti bernama Angin Roh
Pengantar Kematian.
Didahului
satu teriakan keras Patih Kerajaan melompat ke hadapan Pangeran Matahari. Yang
diserang segera gerakkan tangan kanan yang memegang Lentera lblis. Namun
tiba-tiba ada suara perempuan berseru keras. Membuat gerakan sang Patih
tertahan.
"Patih
Kerajaan menyingkirlah! Nyawa Pangeran keparat itu bukan punyamu tapi milikku!.
Aku sudah menghancurkan goa kediamannya. Kini giliran dirinya akan kulumat
amblas!" Semua orang memandang berkeliling. Suara perempuan tadi terdengar
jelas dan begitu dekat. Namun sulit diduga dimana orangnya berada.
"lblis
perempuan! Berani bicara mengapa tidak berani unjukkan tampang?!" Pangeran
Matahari berteriak. Teriakan Pangeran Matahari disambut oleh satu tawa panjang.
Disusul suara seperti srigala melolong. Walau saat itu siang hari dan terang
benderang apa lagi ada hamparan hawa panas kobaran api yang membakar, namun tak
urung semua orang merasa tercekat.
Sesaat
kemudian satu bayangan biru berkelebat dari atas atap pondok kayu. Di lain
kejap sosok biru tadi sudah berdiri sepuluh langkah di depan kiri Pangeran
Matahari. Orang ini adalah
nenek
berwajah putih, mengenakan pakaian serba biru, berambut
hitam
kusut masai riap-riapan.
"Nyi
Bodong!" ucap Wiro setengah berseru. Begitu melihat siapa yang berdiri di
hadapannya walau dia tidak gentar namun perasaan tidak enak merasuki Pangeran
Matahari. Nenek muka putih inilah yang dulu membuntungi tangannya setelah dia
gagal memperkosa Nyi Retno Mantili.
"Nenek
keparat! Kau rupanya!" teriak Pangeran Matahari marah besar.
"Dulu
kau buntungi tanganmu! Barusan kau katakan kalau dirimulah yang telah
menghancurkan goa kediamanku! Sungguh besar dosamu Nyi Bodong! Hari ini kau
harus membayar perbuatanmu berikut bunganya alias mampus!" Nenek muka
putih tertawa panjang.
"Kalau
kau mampu membunuhku, aku sangat suka membawamu serta ke alam kematian menemui
orang-orang yang telah kau bunuh! Hik … hik … hik! Dosamu terhadap rimba
persilatan dan terhadap diriku sulit ditakar!"
"Nenek
sinting bermulut busuk! Aku ingin tahu dosa apa yang telah aku perbuat atas
dirimu!"
"Pertama
kau menghamili lalu membunuh adikku!"
"Huh!
Siapa nama adikmu?!"
"lngat
Pangandaran?"
"Nenek
setan! Kau yang mengingati aku! Bukan tugasku mengingat-ingat!"
Nyi
Bodong mendengus. "Adikku bernama Pandan Arum! Kau nodai dirinya sehingga
hamil lalu kau bunuh! Itu dosamu . perbuatan Dosa kedua kau juga telah
memperkosa diriku!" Disebutnya nama Pandan Arum membuat kening Wiro
mengerenyit dan dadanya berdebar.
"Aku
memperkosa dirimu?! Tunggu! Ha … ha … ha!" Pangeran Matahari tertawa
bergelak.
"Masih
banyak gadis dan perempuan muda yang bisa aku dapatkan! Mengapa aku mau-mauan
memperkosa nenek jelek dan bau macam dirimu?!"
"Pangeran
Matahari! Buka matamu lebar-lebar! Lihat siapa aku sebenarnya!" Habis
berkata begitu nenek muka putih gerakkan tangan ke atas kepala. Rambut panjang
hitam dan kusut dijambak
ditanggalkan
lalu dicampakkan ke tanah. Ternyata dia mengenakan rambut palsu. Kini kelihatan
rambut aslinya, berwarna pirang panjang sepinggang indah sekali. Semua orang
jadi melengak, semua mata terbuka besar dan semua hati menduga-duga. Wiro
tambah tegang. Setan Ngompol kucurkan air kencing.
Tidak
berhenti sampai hanya menanggalkan rambut. Kini nenek muka putih berambut
pirang gerakkan tangan ke atas kening, mengelupas sehelai topeng kulit yang
sangat tipis. Begitu topeng tersingkap memperlihatkan wajah sebenarnya dari si
nenek muka putih, beberapa mulut sama-sama keluarkan seruan tertahan.
"Bidadari
Angin Timur!" seru Wiro.
"Ya
Tuhan, terimakasih ternyata dia masih hidup!" Kalau Pangeran Matahari
sampai terdongak saking Tidak percaya, maka Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik
ternganga, menarik nafas berulang kali. Setan Ngompol tekap bagian bawah
perutnya.
"Wiro,
Yang aku tidak mengerti, dari mana dia dapat ilmu kesaktian Pusar bodong!
Hik..hik!"
"Pangeran
Matahari! Apakah kau sudah siap menerima kematian?!" Bidadari Angin Timur
alias Nyi Bodong ajukan pertanyaan sambil tangan kiri bergetak ke bagian perut
sementara tangan kanan perlahan-lahan diangkat ke atas. Jelas dia hendak
menghabisi lawan dengan llmu Pusar Pusara Yang selama ini
telah
menggegerkan rimba persilatan. Apakah pukulan sakti itu
akan
sanggup menghadapi Lentera Iblis?
Setelah
lenyap kejutnya, kepongahan kembali bersarang di
otak dan
hati Pangeran Matahari.
"Bidadari
Angin Timurl Sekalipun kau punya ilmu hebat dan pernah membuntungi tanganku,
tapi keadaan sekarang sudah berobah! Sekalipun semua orang yang ada di sini
membantumu! Sekalipun semua malaikat turun dari langit menolongmu! Kau dan
semua keparat yang ada di sini tidak akan mampu mengahadapi Lentera Iblis.
Kalian sudah menyaksikan sendiri bagaimana puluhan manusia berkaparan dan mati!
Apa
kalian telalu sombong atau buta semua! Bidadari Angin Timur, lebih baik kau
ikut bersamaku! Kita akan menjadi pasangan luar bisa hebat rimba
persilatan!" Bidadari Angin Timur menjawab dengan dengusan lalu meludah ke
tanah.
"Tawaranmu
sungguh sangat menjijikkan!” Pelipis Pangeran Matahari bergerak-gerak. Rahang
menggembung.
"Manusia-manusia
keparat! Kalian semua dengar!" Suara Pangeran Matahari menggeledek.
”Aku
bersedia berbaik hati mengampuni nyawa kalian semua dengan satu syarat! Yaitu
dengan tebusan nyawa Pendekar Dua Satu Dua. Dia harus datang ke hadapanku,
berlutut dan sebelum merima kematian harus menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan
padaku!"
Semua
orang yang ada di tempat itu jadi terdiam dalam keterkejutan dan sama memandang
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing.
Belum lenyap getar suara geledek Pangeran Matahari di telinga semua orang,
tiba-tiba satu suara perempuan menggema di tempat itu.
"Siapa
ingin membunuh Pendekar Dua Satu Dua langkahi dulu mayatku!" lag -lagi
semua orang dibuat terkejut.
**********************
DUA BELAS
DARI
balik gundukan batu hitam di tepi telaga melesat seorang gadis muka putih
berpakaian hijau. Di pinggangnya tergantung lima kendi kecil warna hitam. Kendi
ke enam ada di pegangan tangan kiri. Anehnya begitu menjejakkan kaki di
halaman, dia bukan berdiri di depan tapi malah di belakang Pangeran Matahari.
Sang Pangeran menggeram. Dalam amarahnya sang Pangeran menaruh curiga dan cepat
berpikir.
"Gadis
kurang waras ini, dia sengaja berdiri di belakangku. Apa maksudnya? Mungkin dia
mengetahui sesuatu. Tiga jurus Lentera Iblis! Tidak ada satupun jurus yang
menyerang musuh di sebelah belakang! Astaga! Kurang ajar!" Pangeran
Matahari cepat balikkan badan.
"Wulan
Srindi …" ucap Wiro, terkesiap tegang. Selain itu dia juga merasa sangat
terharu. Ternyata dalam kekurangan warasnya gadis itu benar-benar mencintai dan
siap membela dirinya.
"Perempuan
gila! Siapa kau?! Bagaimana bisa kesasar sampai di sini?!" bentak Pangeran
Matahari. Perempuan muda berbaju hijau lebih dulu teguk minuman keras dalam
kendi. Setelah tertawa panjang baru menjawab.
"Namaku
Wulan Srindi! Aku murid Dewa Tuak! Aku adalah istri Pendekar Dua Satu Dua! Saat
ini aku tengah hamil empat bulan! Apa cukup jelas jawabanku? Hik … hik … hik!”
Ucapan si gadis tentu saja membuat semua orang menjadi gempar. Air muka Wiro
tampak merah.
Ternyata
Wulan Srindi masih saja bertingkah seperti dulu. Bidadari Angin Timur
tercengang lalu tundukkan kepala. Dia merasa
kasihan
terhadap Wiro. Setan Ngompol pegangi bagian bawah perut. Hanya Liris Biru yang
tampak agak tenang.
"Ha
… ha … ha! Tidak sangka Pendekar Dua Satu Dua punya istri gelap! Punya anak
haram pula dalam kandungan empat bulan! Ha … ha … ha!” Pangeran Matahari
tertawa gelak-ge!ak.
"Hus!
Tawamu jelek! Mulutmu bau!" damprat Wulan Srindi lalu tertawa cekikikan.
Gadis itu teguk minuman dalam kendi lalu disemburkan ke arah Pangeran Matahari.
Sang Pangeran cepat menghindar dengan melompat kebelakang sambil keluarkan
kutuk serapah. Tanah satu langkah di depan kaki Pangeran Matahari terbongkar
membentuk lobang besar.
"Perempuan
kurang ajar! Amblas nyawamu!" Lentera iblis di tangan kanan,Pangeran
berputar ke kiri. Saat itu juga selarik sinar hitam menderu ke arah Wulan
Srindi, inilah jurus kedua Lentera lblis yang disebut Jurus Api Akhirat. Wulan
Srindi . sambuti serangan itu dengan semburan minuman keras.
"Wulan!
Awas! Cepat menyingkir!" teriak Wiro. Dia hendak melompat.
"Wutt!"
Sinar hitam keburu berkiblat keluar dari Lentera Iblis.
"Wusss!"
Wulan Srindi masih sempat menyemburkan miniman keras dari dalam mulutnya. Semua
terjadi luar biasa cepat.
Wulan
Srindi terpental dua tombak lalu terkapar dalam ujud mengerikan. Sekujur
tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki hangus nyaris tak berbentuk lagi.
Pangeran Matahari sendiri sesaat tampak tertegak tegang. Dua buah lobang besar
kelihatan di kaki celana hitamnya sebelah kanan. Semburan minuman keras Wulan
Srindi walau tidak telak telah melukai kakinya.
Wiro
berteriak marah. Liris Biru terpekik. Bidadari Angin ‘Timur melesat mendahului.
Jatilandak tak tinggal diam. Patih Wira Bumi juga marah namun tetap tak
bergerak di tempatnya. Pangeran Matahari sudah bisa kuasai dirinya. Sambil
melompat menjauhi para penyerang dia masukkan dua jari tangan kiri ke dalam
mulut lalu keluarkan suara bersuit dua kali berturut-turut. .
Lentera
lblis diangkat setinggi pinggang di arahkan pada Wiro dan kawan-kawan. Dari pintu
pondok melesat seorang gadis berpakaian merah, menggedong seseorang.
"Tahan
serangan kalian! Atau tua bangka ini akan menemui ajal saat ini juga!"
Berteriak Pangeran Matahari.
Ketika
gadis yang berpakaian merah yang bukan lain Liris Merah adanya menurunkan orang
yang digendongnya ke tanah di depan Pangeran Matahari, kegemparan hebat
terjadi. Perempuan tua yang tergeletak tertelentang di tanah adalah Sinto
Gendeng!
Keadaannya
mengenaskan sekali Tubuh, muka dan pakaian
kotor,
mata setengah terpejam menatap ke langit Di keningnya ada guratan luka. dari
mulut keluar erangan halus. walau masih bisa keluarkan suara namun si nenek
berada dibawah pengaruh totokan yang membuat sekujur tubuhnya kaku.
"Eyang
!” teriak Wiro.
"Kakak!"
teriak Liris Biru yang terkejut melihat Liris Merah. Tapi si kakak diam saja,
menoleh pun tidak.
"Jahanam!
Kau apakan guruku!" Penuh kalap Wiro melompat ke arah Pangeran Matahari.
Tangan kanan siap menghantam dengan pukulan Harimau Dewa sedang tangan kiri
melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Kedua pukulan sakti itu
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh dan keduanya dilancarkan dengan
tenaga dalam penuh! Jangankan manusia. Gunung batu sekalipun kalau sampai kena
hantaman dua pukulam itu akan hancur lebur!
Namun
gerakan Pendekar 212 serta merta terhenti ketika melihat apa yang dilakukan
Pangeran Matahari. Pangeran Matahari letakkan Lentera lblis di atas dada Sinto
Gendeng. Si Nenek keluarkan suaramengerang. Lentera itu tidak beda seperti
himpitan sebuah batu besar.
"Ada
yang berani bergerak, tua bangka buruk ini akan menemui kematian!"
Pangeran Matahari mengancam. Bukan cuma Wiro, semua orang terpaksa hentikan
gerakan.
"Pangeran
jahanam! Berani kau mencelakai guruku …"
"Pendekar
Dua Satu Dua tak usah mengancam! Nyawa gurumu ada di tanganku! Kitab Seribu
Pengobatan berikan padaku berikut nyawamu!"
"Pengecut
keparat!" teriak Wiro.
Sosok
Sinto Gendeng yang tergeletak di tanah keluarkan suara batuk-batuk beberapa
kali. Lalu terdengar nenek itu berucap.
"Anak
Setan, aku mendengar suaramu. Benar kau ada di sini?"
"Eyang!"
seru Wiro.
‘Saya ada
di sini. Saya akan menyelamatkanmu. Saya akan serahkan Kitab Seribu Pengobatan.
Juga nyawa saya sendiri!"
"Tidak
… tidak. Jangan percaya ucapan manusia bermulut kotor berhati mesum itu. Jika
Pangeran dajal ingin membunuhku biarkan saja. Aku memang sudah lama kepingin
mati! Jangan kau berani menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan padanya. Apa lagi
kalau sampai menyerahkan nyawa!"
"Nek,
biar aku yang mati! Aku ingin menebus dosa-dosaku padamu!" Sinto Gendeng
masih bisa tertawa.
"Dosa
kentut!" katanya.
"Nenek
hebat! Kalau begitu biar kau dan semua yang ada di sini kuhabisi sekarang
juga!" Pangeran Matahari tekan Lentera lblis kebawah sekaliqus didorong ke
depan. Kali ini dia hendak melancarkan jurus ke. tiga Lentera lblis yang
bernama Liang Lahat Menunggu. Kalau ini sampai terjadi maka yang akan menemui
ajal bukan cuma Sinto gendeng tapi juga semua orang yang ada di depan, samping
kiri dan samping kanan. Dari tiga jurus Lentera lblis, jurus inilah yang paling
ganas!
"Eyang!
Aku akan mengadu jiwa!" teriak Wiro.
"Aku
juga!" pekik Bidadari Angin Timur.
"Aku
ikut!" Setan Ngompol tak ketinggalan.
Jatilandak
juga berteriak. Malah sudah siap menyerbu ke arah Pangeran Matahari. Sepasang
matanya memancarkan sinar kuning pertanda dia akan menghantam sasaran dengan
ilmu kesaktian Mega Kuning Liang Batu yakni berupa semburan cahaya kuning dari
kedua mata.
Liris
Biru dalam keadaan tegang dan bingung hendak lari menubruk Liris Merah. Sebelum
ke empat orang tadi berteriak, tiba-tiba satu bayangan samar laksana kilat
berkelebat dan membungkuk di samping tubuh Sinto Gendeng. Jari tangannya
bergerak cepat, mulut membisikkan sesuatu ke telinga si nenek.
”Dess…desss…desss!"
Tiga
totokan yang menguasai tubuh si nenek terlepas musnah! Sinto Gendeng menjerit
keras. Tangan kanannya mencuat
ke atas,
ke arah bagian bawah perut Pangeran Matahari. Pangeran Matahari tersentak
kaget. Berusaha menghindar . tapi terlambat.
"Kreekkk!"
Jeritan
Pangeran Matahari setinggi langit ketika kemaluannya
hancur
diremas Sinto Gendeng. Dalam menahan sakit yang amat sangat dia masih berusaha
mendorong Lentera lblis ke depan. Namun saat itu Wiro menghantam lengan kanannya
dengan pukulan Koppo sehingga tulang lengan itu berderak remuk. Cahaya hitam
menyapu ke udara kosong. Wiro berusaha merampas Lentera lblis namun pegangan
Pangeran Matahari masih kuat walau tangannya sudah hancur. Sinto Gendeng yang
tidak sabaran angkat pinggulnya ke atas tinggi-tinggi lalu menjepit Lentera
lblis dengan kedua kakinya.
Sebenarnya
jepitan dua kaki si nenek tidak akan membuat Lentera terlepas dari pegangan
Pangeran Matahari. Namun saat itu Lentera lblis telah bersentuhan dengan kain
panjang hitam yang dikenakan Sinto Gendeng yang basah kuyup oleh air kencing!
Pantangan
Lentera lblis telah dilanggar!
Yaitu
tidak boleh tersentuh cairan yang keluar dari tubuh manusia! Saat itu juga satu
persatu cahaya merah, hitam dan kuning Lentera lblis meredup lalu padam sama
sekali. Asap tiga warna mengepul. Pangeran Matahari meraung keras.
"lhhh!"
Sinto Gendeng terpekik menggeliat karena hawa panas kepulan asap lentera
membuat tubuhnya sebelah bawah jadi kegelian. Si nenek lepaskan jepitan dua
kakinya pada Lentera Iblis.
Ketika
Lentera lblis akhirnya terlepas dari tangannya dan meledak hancur
berkeping-keping Pangeran Matahari jatuh terjerembab ke tanah. Dia cepat
bangun. Sambil menjerit-jerit dan pegangi bagian bawah perut,
terbungkuk-bungkuk dia berusaha melarikan diri. Namun di depannya telah
menghadang Bidadari Angin Timur.
‘”Buukkk!"
Satu
tendangan dahsyat mengantam bagian bawah perut Pangeran Matahari hingga tambah
hancur tak karuan rupa. Darah mengucur. Telapak tangan kirinya yang dipakai
menekap remuk. Raungan Pangeran matahari tak berkeputusan. Jatilandak jambak
rambutnya, di tarik ke atas lalu sarangkan satu jotosan ke dada orang. Tak
ampun Pangeran Matahari terpental empat langkah, dada hancur. Ketika dia
menjerit darah ikut menyembur dari mulutnya. Tapi sungguh luar biasa! Walau
dada remuk, tubuh sebelah bawah hancur, Pangeran Matahari masih sanggup
berdiri. Mata berputar liar. Saat itu Setan Ngompol tak sabaran datang
menghampirinya. Kakek ini masukkan dulu tangan kanannya ke dalam celana. Setelah
basah tangan itu dikeluarkan dan dijotoskan ke muka Pangeran Matahari.
"Croot!"
Mata
kanan Pangeran Matahari hancur. Untuk kesekian kalinya sang Pangeran meraung
keras. Selagi tubuhnya terhuyung-huyung, dia berusaha mengerahkan tenaga dalam
untuk melepas pukulan sakti. Namun dayanya sudah hampir sampai ke titik
terendah. Saat itu pula dari samping Pendekar 212 ulurkan tangan kanan
mencengkeram lehernya.
"Pangeran
terkutuk! Aku mewakili orang-orang yang telah .kau rusak kehormatannya dan
mereka yang kau bunuh!"
Lima jari
tangan kanan Wiro yang dialiri tenaga dalam tinggi mencengkeram.
"Kraakk!"
Tulang
leher Pangeran Matahari remuk. Mata kiri mencelet dan lidah terjulur. Dalam
keadaan babak belur seperti itu tak ada hal lain yang bisa dilakukan Pangeran
Matahari selain berusaha melarikan diri. Namun dia sudah tidak punya punya
kemampuan. Hanya sanggup bergerak empat langkah tiba-tiba Bidadari Angin Timur
datang menghadang. Tangan kiri naik ke atas, tangan kanan
menyingkap
baju biru. Pusar bodong menyembul.
"Pangeran
laknat! Ini dariku!" ucap Bidadari Angin Timur. Pusar bodong pancarkan
cahaya. Sinar Geni Biru melesat. Luar biasa mengerikan. Tak ada lagi jeritan
ketika tubuh Pangeran Matahari terkutung dua tepat di bagian pinggang. Isi
perut berbusaian. Darah menggenang. Belum puas Bidadari Angin Timur tendang dua
potongan tubuh hingga mental dan amblas masuk ke dalam kobaran api.
"Wiro,"
kata Setan Ngompol yang menyaksikan kejadian itu.
"Seperti
yang kau bilang Pangeran Matahari benar-benar tidak memerlukan kain
kafan!" ltulah akhir riwayat manusia paling jahat dan paling mesum yang
selama ini menjadi momok nomor satu dalam rimba persilatan.
Bidadari
Angin Timur tekap wajahnya. Air mata mengalir di sela jari-jari yang halus. Dia
benar-benar puas telah membalaskan
sakit
hati dendam kesumat Pandan Arum sekaligus dendamnya sendiri. Pada saat itu
terjadi satu keanehan. Di siang bolong begitu
rupa
tiba-tiba di langit kilat menyambar disusul suara gelegar guntur. Semua orang
tegak diam tercekam. Wiro ingat pada gurunya. Dia segera mendatangi, berlutut
di samping Sinto Gendeng, menciumi tangan si nenek seraya berkata.
"Nek,
saya murid kualat. Mohon ampun dan maafmu." Ketika kutungan tubuh Pangeran
Matahari mengepul jatuh ke tanah Liris Merah terpekik. Dia hendak lari menubruk
tubuh yang sudah tak karuan rupa itu. Namun namun cepat dicegat oleh Liris Biru
dan Setan Ngompol. Liris Merah meratap keras. Wiro menolong gurunya berdiri. Si
nenek menatap wajah sang murid yang berlutut di depannya dan usap rambut
gondrong Pendekar 212. Matanya berkaca-kaca.
"Wiro,
kau murid baik. Apapun yang terjadi kau tetap muridku. Aku punya satu
permintaan. Semua ilmu silat dan kesaktian yang aku berikan padamu tetap harus
kau pergunakan untuk kebaikan. Ketahuilah dengan menyatunya Kapak Naga Geni Dua
Satu Dua dan Batu Hitam Sakti di dalam tubuhmu, kekuatan tenaga dalam serta
hawa sakti yang kau miliki sekarang jadi berlipat ganda …"
"Terima
kasih Eyang. Saya tetap mohon maafmu," jawab Wiro dengan air mata
berlinang. Lalu dia bertanya.
"Bagaimana
sampai Eyang bisa diculik oleh manusia terkutuk itu?"
"Kejadiannya
malam hari. Selagi aku tertidur lelap di sebuah dangau, dalam keadaan sakit
…" Menerangkan Sinto Gendeng.
"Apakah
sekarang Eyang masih sakit?" Si nenek menggeliat lalu tertawa cekikikan.
"Rasanya
aku sudah sembuh …" Dia perhatikan lagi sang murid.
"Kau
lucu berpakaian hitam-hitam seperti ini." Wiro tersenyum lalu Keluarkan
Kitab Seribu Pengobatan dari balik bajunya.
"Eyang,
ini Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang. Saya berhasil mendapatkannya…" Si
nenek ambil kitab itu dari tangan Wiro, diperhatikan dibolak balik lalu
diserahkan kembali pada muridnya.
"Ambil
dan simpan haik-baik. Kau lebih layak menyimpannya. Banyak orang yang perlu kau
tolong dengan – - . kitab itu."
"Tapi
Eyang …."
"Huss!"
Sinto Gendeng masukkan kitab ke balik pakaian Wiro hingga sang murid tak bisa
menolak. Wiro keluarkan lagi sebuah benda dan diperlihatkan pada si nenek.
Sepasang mata Sinto Gendeng membesar berkilat.
"Oala!
Itu tusuk kondeku!"
"Benar
Eyang, sesuai tugas dari Eyang saya berhasil menemukan." Sinto Gendeng
tertawa gembira..
"Anak
setan, terbukti kau murid baik! Kau berhasil menjalankan dua tugas yang aku
berikan!" Sinto Gendeng usap kepala Wiro lalu ambil tusuk konde dan crass!
Tusuk konde perak itu ditancapkan di batok kepalanya! Kini tusuk konde si nenek
lengkap kembali berjumlah lima buah.
"Nek,
kita segera meninggalkan tempat ini. Api semakin besar. Hawa panasnya sampai ke
sini. Saya akan mengantarkanmu ke Gunung Gede."
"Tidak
usah … tidak usah. Aku mau keluyuran dulu mencari ketenangan hati. Bertemu
dengan beberapa sahabat." Sinto Gendeng tepuk-tepuk pundak sang murid.
"Tadi
ada kejadian hebat. Seorang perempuan cantik berbentuk bayangan melepaskan
totokan yang ada di tubuhku. Lalu memberi kisikan agar aku meremas barangnya
Pangeran Matahari. Aku suka suka saja memegang anunya orang. Hik .. hik … hik!
Tapi aku mau tanya, siapa mahluk aneh itu? Jelas dia bukan Bunga gadis dari
alam roh itu."
"Namanya
Pumama Nek …"
"Sahabat
atau kekasihmu yang baru?" Wiro tertawa. "Terserah Eyang mau bilang
apa." Sinto Gendeng tertawa dan angguk-anggukan kepala.
"Jangan
lupa mengurus mayat Wulan Srindi. Dia gadis baik.
Hanya
jalan nasibnya yang buruk. Kau tahu, sebenarnya aku tak pernah percaya kalau
kau sudah kawin dengan dia. Apa lagi sampai gadis itu hamil. Hik .. hik … hik.
Sejak kecil aku sudah memperhatikan dan tahu keadaan dirimu. Sifatmu memang
jahil, tapi anumu tidak jahil! Hik … hik … hik. Kelak kalau kau ingin kawin,
kawin
dengan siapa saja asal perempuan yang punya sifat baik, setia dan sayang
padamu. Aku tidak perduli apakah dia bangsa manusia atau hantu sekalipun! Hik …
hik … hik!" Wiro garuk-garuk kepala.
"Terima
kasih atas nasihatmu Nek. Tapi aku belum mau kawin."
"Ya
terus saja ganjen keluyuran!"ucap si nenek tapi sambil tersenyum.
"Sudah,
aku mau pergi sekarang. Eh, apa luka
dipunggungmu
masih ada?"
"Saya
tidak tahu Nek. Saya tidak mengingat-ingat. Murid nakal tentu saja pantas
menerima hukuman dari gurunya …" Sinto Gendeng mesem-mesem.
"Coba
kau balikkan tubuhmu sana. Aku mau lihat punggungmu. Ayo singkapkan punggung
bajumu." Sementara Wiro berbalik dan menyingkapkan bajunya di bagian
punggung si nenek peras kain panjangnya dengan tangan kanan hingga tangan itu
basah dengan air kencing. Tangan yang basah itu kemudian diusapkannya ke
punggung Wiro lalu dia meniup. Aneh! Guratan panjang cacat bekas luka di
punggung sang murid serta merta lenyap!
"Nek,
apa yang kau lakukan? Aku merasa dingin-dingin dan mencium bau pesing ” tanya
Wiro.
Dia hanya
mendengar suara Sinto Gendeng tertawa. Ketika berpaling nenek itu tak ada lagi
di belakangnya. Memandang ke jurusan lain kelihatan Sinto Gendeng sudah berada
di tempat jauh, melangkah sambil tertawa haha-hihi. Wiro menarik nafas panjang,
bangkit berdiri dan . tertawa lepas.
Wiro
memandang berkeliling. Jatilandak diiringi Bidadari Angin Timur dan Setan
Ngompol serta Liris Merah dan Liris Biru melangkah menghampiri.
"Jangan
dekat-dekat. Dia barusan diusapi air kencing sama
gurunya!"
berkata Setan Ngompol sambil tertawa-tawa. Tidak perdulikan ucapan orang
Jatilandak mendekati Wiro lalu merangkul Pendekar 212.
"Wiro,
sahabatku. Aku berterima kasih kau telah meminjam kan Kitab Seribu Pengobatan.
Dengan petunjuk dalam kitab itu kulitku yang kuning bisa disembuhkan. Rambutku
bisa tumbuh wajar …" Terheran-heran Wiro berkata.
"Rasanya
aku tidak pernah meminjamkan kitab itu padamu. Bagaimana mungkin …"
"Kau
menyerahkan pada seseorang yang kau beri nama Pumama."
"Ah,
kalau itu memang benar," kata Wiro pula.
"Wiro,
jangan kaget kalau aku jelaskan bahwa Purnama adalah ibuku. Di Latanahsilam
namanya Luhmintari …" Pendekar Dua Satu Dua terperangah dengan mulut
ternganga.
"Jatilandak,
kau mengatakan jangan kaget. Saat ini aku justru merasa sejuta kaget!"
kata Wiro sulit bisa percaya. Lalu kedua pemuda itu saling berpelukan
kembali.Wiro kemudian berpaling pada Bidadari Angin Timur.
"Sampai
saat ini rasanya aku masih tidak percaya kalau Nyi Bodong itu adalah Bidadari
Angin Timur. llmu kesaktianmu luar biasa." Bidadari Angin Timur tersenyum
manis. Wiro menambahkan.
"Aku
gembira bertemu denganmu sebagai Bidadari Angin Timur. Tidak sebagai Nyi Bodong
…." Gelak tawa meledak di tempat itu. Tangan kiri Bidadari Angin Timur
meluncur mencubit pinggang Wiro hingga sang pendekar menggeliat kesakitan.
"Wiro,
aku tahu banyak pekerjaan yang harus kau Iakukan. Diantaranya menolong dua
gadis kakak beradik ini. Mereka sekarang adik-adikku yang terkasih. Walau dulu
aku pernah menampar mereka. Untuk itu aku mohon maaf …" Habis berkata
begitu Bidadari Angin Timur mencium Liris Merah dan Liris Biru.
"Walau
aku tak ingin mengingat masa lampau lagi namun ada
dua orang
yang harus kutemui …"
"Kalau
aku boleh bertanya siapa kedua orang itu?" tanya
Wiro.
"Mengapa
tidak?" jawab Bidadari Angin Timur.
"Yang
pertama perempuan cantik yang kau beri nama Purnama itu. Ibu Jatilandak.Aku
ingin kejelasan kesaksiannya tentang musibah yang terjadi atas diriku. Yang
kedua adalah Kiai Munding Suryakala. Kakek sakti yang telah menyelamatkan diriku
waktu aku nekad menghambur jurang. Dia juga memberikan ilmu kesaktian
padaku." Gadis cantik berambut pirang itu diam sebentar lalu melanjutkan
ucapannya.
"Wiro,
ada satu hal yang ingin aku ceritakan padamu disertai permintaan maaf. Mengenai
hilangnya Kitab Seribu Pengobatan itu, akulah yang telah berlaku jahil. Aku
kesal padamu. Kitab kubawa kemana-mana sampai akhirnya aku ditolong Kiai
Munding Suryakala. Kiai yang secara diam-diam mengembalikan kitab ke pondok
Eyang Sinto di Gunung Gede." Wiro terdiam. Garuk-garuk kepala lalu tertawa
gelak-gelak.
"Semua
kejadian ada hikmahnya. Dan semua itu terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa.
Bidadari Angin Timur, jika kau ingin bertemu dengan ibu Jatilandak tak usah
pergi jauh. Dia ada di sini." Wiro menoleh ke kanan lalu berkata.
"Purnama,
hadirkan dirimu di sini." Saat itu juga tampak bayangan samar perempuan
cantik. Perlahan-lahan sosok bayangan itu berubah menjadi ujud utuh seorang
perempuan berparas jelita
Jatilandak
terkejut.
"Wiro,
bagaimana kau bisa melakukan hal ini. Aku anaknya sendiri tak bisa berbuat
seperti itu!" Wiro angkat bahu dan tertawa.
"Tanya
saja pada ibumu yang cantik ini," jawab Pendekar 212. Bidadari Angin Timur
memeluk Purnama alias Luhmintari lalu
menggandeng
tangannya. Sebelum berpisah ketiga orang itu, Wiro, Jatilandak dan Bidadari
Angin Timur saling berpelukan. Wiro berpaling pada Purnama.
"Kau
telah menolong Eyang Sinto. Aku sangat berterima kasih. Apakah aku boleh
memelukmu?"
Purnama
tersenyum. Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sama-sama tertawa. Purnama
kemudian mendahului merangkul Pendekar 212 lalu cepat-cepat menjauh jengah.
Setelah ke tiga orang itu pergi Wiro memandang berkeliling.
"Aku
tidak melihat Patih Kerajaan. Kita punya urusan yang belum selesai dengan
manusia satu itu."
"Pasti
sudah kabur duluan setelah ditinggal lari anak buahnya," kata Setan
Ngompol.
"Sekarang
bagaimana?"
"Kita
urus jenazah Wulan Srindi lebih dulu. Kemudian kita sama-sama ke Goa
Cadasbiru," kata Wiro pula. Liris Biru mengangguk. Liris Merah tampak
kikuk. Gadis satu ini sebenarnya ingin memisahkan diri. Apa yang ada di dalam
pikiran Liris Merah terbaca.oleh sang adik. Liris Biru berkata.
"Kakak,
kau boleh pergi kemana kau suka. Tapi kau harus
menjalani
pengobatan lebih dulu. Wiro akan menolong kita." Liris Merah akhirnya
anggukkan kepala dan tersenyum.
"Dalam
perjalanan ke Goa Cadasbiru di Kaliiurang, apakah aku boleh meminjam Kitab
Seribu Pengobatan? Sekadar untuk dibaca-baca saja?" Setan Ngompol
bertanya.
"Mau
mencari obat kuat Kek?" tanya Wiro bercanda.
"Boro-boro
mencari obat kuat. Kencing saja belum lempang!"
jawab
Setan Ngompol lalu tertawa sendiri. ,
Wiro
keluarkan Kitab Seribu Pengobatan.
"Aku
serahkan Sekarang. Tapi awas jangan sampai kena air kencingmu!” Liris biru dan
Liris Merah tertawa cekikikan. Dua gadis ini memandang ke arah kobaran api yang
semakin besar dan luas di kejauhan.
”Bagaimana
dengan api yang melanda puncak gunung ini? Apakah bisa dipadamkan? ” bertanya
Liris Biru.
”Tak usah
khawatir ” jawab Setan Ngompol.
”Biar
nanti aku kencingi, pasti padam semua!”. Semua orang yang ada disitu tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Di sebelah barat langit tampak
mendung tebal menggantung. Ketika orang-orang itu berada di lereng gunung
sebelah timur hujan mulai turun. Mula-mula perlahan saja kemudian berubah
sangat deras.
”Lihat
apa kataku! Kencingku sudah tumpah, sebentar lagi api di puncak gunung akan
segera padam” kata Setan Ngompol sambil berkacak pinggang.
”Sombongnya!”
ucap Liris Merah lalu menggelitik pinggang si kakek yang membuat Setan Ngompol
menjerit kegelian dan terkencing-kencing.
**********************
Pada pagi
hari perjalanan menuju Goa Cadas Biru di Kaliurang Setan Ngompol selalu
tertinggal di belakang. Sekali-sekali wajahnya tampak meringis seperti orang
kesakitan. Sebentar-sebentar dia pegangi bagian bawah perutnya. Ketika Wiro
menanyakan mengapa dia tidak berlari cepat dan sering meringis, sikakek
menjawab berbisik-bisik.
”Aku kena
masalah ……”
”Masalah
apa?”
”Aku baca
kitab Seribu Pengobatan, Aku menemui cara-cara pengobatan untuk kencing
beserku. Mudah saja, meminta Kesembuhan pada Yang Kuasa lalu membuat totokan
pada tiga tempat di bagian tubuh sebelah bawah. Kusangka penyakit beserku akan
hilang. Tapi ternyata sampai pagi ini aku tidak kencing-kencing. Tidak bisa
beser sama sekali. Sakitnya gila-gilaan. Sampai keluar keringat dingin aku
dibuatnya!”.
Wiro
minta Setan Ngompol mengeluarkan Kitab Seribu pengobatan dan menunjukkan
halaman serta urutan cara pengobatan yang telah dilakukannya. Wiro mulai meneliti
dan membaca. Selesai membaca dia bertanya pada Setan Ngompol bagian mana saja
dari tubuhnya yang ditotok dan berapa kali. Si kakek lalu menunjukkan bagian
tubuh sebelah bawah peut yang ditotoknya.
"Semua
aku totok masingpmasing tiga kali. Tapi bukannya sembuh, malah tidak bisa
kencing!” Wiro kembali meneliti dan membaca kitab. Sesaat kemudian dia tertawa.
Mula-mula perlahan saja, akhirnya keras terbahak-bahak. Liris Merah dan Liris
Biru mendatangi, ingin tahu apa yang terjadi.
"Anak
sableng! Aku sakit setengah mati kau malah tertawa!"
Setan
Ngompol merengut.
"Kek,
coba kau lihat dan baca lagi petunjuk dalam kitab ini. Untuk sakit
kencing-kencing yang kau alami penyembuhannya terbagi dua. Yaitu untuk lelaki
dan untuk perempuan. Tadi kau menunjukkan tempat-tempat yang telah kau totok
serta berapa kali totokannya. Aku baca disini, apa yang kau kerjakan itu adalah
penyembuhan untuk perempuan. Untuk lelaki bukan di situ totokannya dan
jumlahnya untuk setiap tempat masing-masing hanya dua kali! Jadi jangan heran
kalau kini kau tidak bisa kencing-kencing! Keliru pengobatan! Ha … ha …
ha!"
Wiro,
juga Liris Merah dan Liris Biru tertawa terpingkal pingkal. Setan Ngompol tegak
tertegun lemas. Mungkin kesal dia usap keras-keras bagian bawah perutnya.
"Eh
… eh ….. lihat!"si kakek tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke bagian
bawah. Celananya yang basah tampak menggembung bergerak-gerak. Matanya yang
jereng tambah juling.
Seerr ….
seeerr!
"Oala!
Beserku muncrat!"
Wiro,
Liris Merah dan Liris Biru kembali tertawa gelak-gelak.
T A M A T
No comments:
Post a Comment